R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

COVER B A P P E D A BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

i LAPORAN AKHIR 2020 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

KATA PENGANTAR

Interaksi spasial (orang dan barang) yang semakin kompleks membawa implikasi pada permasalahan pada jaringan (khususnya transportasi). Wujudnya adalah peningkatan kepadatan lalu lintas yang ditunjukkan dengan kinerja jalan yang semakin menurun dengan peningkatan volume lalu lintas dan penurunan kapasitas jalan. Permasalahan kinerja jaringan jalan dipicu pula oleh tumpang tindih jaringan trayek, meningkatnya operasi kendaraan pribadi di jaringan jalan. Inisiasi studi Road Map Sistem Transportasi oleh Pemerintah Kota dalam hal ini BAPPEDA Kota Salatiga, diharapkan mampu menjawab permasalahan yang terjadi saat ini dan menemukan soluasi terbaik demi peningkatan Sistem Transportasi di Kota Salatiga. Laporan Akhir ini merupakan hasil pencapaian menyeluruh pada pentahapan kegiatan penyusunan studi Road Map Sistem Transportasi Kota Salatiga. Buku Laporan Akhir studi Roadmap Sistem Transportasi di Kota Salatiga ini berisikan pembahasan sebagai berikut: 1. Pendahuluan; 2. Tinjauan Teori; 3. Pendekatan dan Metodologi; 4. Gambaran Umum; 5. Analisis Transportasi 6. Kebijakan dan Strategi Transportasi Kota Salatiga (Roadmap) 7. Kesimpulan dan Rekomendasi

Pada Laporan Akhir ini telah dilakukan pembahasan bersama Dinas/ Instansi terkait untuk mengerucutkan langkah berikutnya. Akhir kata, tim penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penyusunan buku Laporan Akhir ini.

Hormat Kami;

Tim Penyusun, 2020

ii R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...... ii DAFTAR ISI ...... iii DAFTAR TABEL ...... vi DAFTAR GAMBAR ...... ix

BAB I. PENDAHULAN ...... I-1 I.1. LATAR BELAKANG ...... I-2 I.2. PERMASALAHAN ...... I-3 I.3. TUJUAN DAN SASARAN ...... I-4 I.4. DASAR HUKUM ...... I-4 I.5. RUANG LINGKUP ...... I-5 I.6. SISTEMATIKA PENULISAN LAPORAN ...... I-5

BAB II. KEBIJAKAN DAN LITERATUR TRANSPORTASI ...... II-1 II.1. SIGNIFIKASI STUDI ...... II-2 II.2. PERATURAN DAN KEBIJAKAN ANGKUTAN UMUM ...... II-3 II.3. SISTEM TRANSPORTASI ...... II-7 II.3.1. Pola Pergerakan ...... II-8 II.3.2. Karakteristik Transportasi ...... II-12 II.4. KETERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN TRANSPORTASI ...... II-13 II.4.1. Pengertian Kebutuhan Transportasi ...... II-13 II.4.2. Pengertian Ketersediaan Transportasi ...... II-14 II.5. SARANA (JARINGAN PELAYANAN) DAN PRASARANA TRANSPORTASI ...... II-14 II.5.1. Jaringan Pelayanan ...... II-14 II.5.2. Jaringan Prasarana ...... II-16 II.6. TINJAUAN ANGKUTAN UMUM ...... II-19 II.6.1. Pengertian Angkutan Umum ...... II-19 II.6.2. Tujuan Angkutan Umum ...... II-19 II.6.3. Persyaratan Angkutan Umum ...... II-20 II.6.4. Angkutan Umum (Mass Transit) menurut Jenis Pelayanan ...... II-20 II.6.5. Kualitas Operasi Angkutan Umum...... II-20 II.6.6. Perencanaan Operasional Angkutan Umum ...... II-21 II.6.7. Karakteristik Moda Angkutan Umum ...... II-22 II.6.8. Karakteristik Pengguna Angkutan Umum...... II-22 II.7. PELAYANAN ANGKUTAN UMUM PENUMPANG (AUP) ...... II-23 II.8. PERMINTAAN DAN PENAWARAN TRANSPORTASI ...... II-24

iii R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

II.9. KINERJA RUAS JALAN ...... II-26 II.9.1. Kapasitas Jalan ...... II-27 II.9.2. Volume Lalu Lintas ...... II-33 II.9.3. Tingkat Pelayanan (Level of Service) Jalan ...... II-36 II.9.4. Kecepatan Arus Bebas ...... II-38 II.10. ANALISIS BANGKITAN-TARIKAN PERJALANAN ...... II-39 II.11. INTERAKSI ANTARKOTA ...... II-42

BAB III. PENDEKATAN DAN METODOLOGI ...... III-1 III.1. KERANGKA PEMIKIRAN...... III-2 III.2. PENDEKATAN PELAKSANAAN KEGIATAN ...... III-4 III.2.1. Pendekatan Teknis ...... III-4 III.2.2. Pendekatan Tentang Strategi Pengembangan Jaringan Jalan ...... III-4 III.2.3. Pendekatan Tentang Model Sistem Jaringan Jalan ...... III-5 III.3. METODOLOGI PEKERJAAN ...... III-11 Tahap 1 Pendahuluan ...... III-13 Tahap 2 Antara ...... III-13 Tahap 3 Akhir ...... III-14 III.4. METODE PENGUMPULAN DATA ...... III-14 III.4.1. Pengumpulan Data Sekunder ...... III-14 III.4.2. Pengumpulan Data Primer ...... III-17 III.5. METODE ANALISIS ...... III-21 III.5.1. Analisis Interaksi Ruang Perkotaan (Interaksi Antar Zona) ...... III-21 III.5.2. Analisis Kinerja Sarana dan Prasarana Transportasi Umum ...... III-27 III.5.3. Analisis Kinerja Jaringan Transportasi ...... III-28 III.5.4. Merumuskan Strategi, Kebijakan, dan Program Indikatif Penanganan Permasalahan Transportasi ...... III-40

BAB IV. GAMBARAN UMUM ...... IV-1 IV.1. KOTA SALATIGA ...... IV-2 IV.1.1. Letak Geografis dan Adminitratif ...... IV-2 IV.1.2. Fisik Wilayah ...... IV-5 IV.1.3. Curah Hujan ...... IV-5 IV.1.4. Kondisi Kependudukan ...... IV-6 IV.1.5. Ekonomi Wilayah ...... IV-10 IV.1.6. Kondisi Lahan ...... IV-11 IV.1.7. Transportasi ...... IV-14 IV.2. RENCANA TATA RUANG WILAYAN KOTA SALATIGA ...... IV-15

BAB V. ANALISIS ...... V-1 V.1. ANALISIS KINERJA JARINGAN ...... V-3

iv R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

V.1.1. Karakteristik Jaringan Jalan ...... V-3 V.1.2. Rona Jaringan Jalan ...... V-6 V.1.3. Kapasitas Jalan Perkotaan Salatiga ...... V-8 V.1.4. Analisis Jaringan Jalan ...... V-44 V.1.5. Pengujian Hipotesis ...... V-50 V.1.6. Model Distribusi Perjalanan ...... V-53 V.1.7. Pembebanan Jaringan Jalan ...... V-60 V.1.8. Alternatif Skenario Peningkatan Kapasitas Jalan ...... V-62 V.2. ANALISIS JARINGAN PELAYANAN ANGKUTAN UMUM ...... V-64 V.2.1. Kondisi Jaringan Pelayanan Angkutan Umum ...... V-64 V.2.2. Jaringan Pelayanan Transportasi Angkutan Umum Kota Salatiga ...... V-64 V.2.3. Infrastruktur Pendukung ...... V-65 V.2.4. Pola Permintaan Perjalanan ...... V-66 V.2.5. Sistem Zona ...... V-66 V.2.6. Pemodelan Jaringan Trayek Angkutan Umum ...... V-70 V.2.7. Pembebanan Jaringan Pelayanan Aup ...... V-73 V.2.8. Potensi Transfer Point dan Transit point ...... V-78 V.3. ANALISIS INTERAKSI SPASIAL (RUANG PERKOTAAN) ...... V-80 V.3.1. Interaksi Eksternal ...... V-81 V.3.2. Interaksi Internal ...... V-85

BAB VI. ROADMAP TRANSPORTASI ...... VI-1 VI.1. POTENSI DAN PERMASALAHAN TRANSPORTASI ...... VI-2 VI.1.1. Potensi Kota Salatiga ...... VI-2 VI.1.2. Permasalahan Transportasi ...... VI-2 VI.2. KONSEP ROADMAP SISTEM TRANSPORTASI KOTA SALATIGA ...... VI-4 VI.2.1. Visi dan Misi ...... VI-4 VI.2.2. Kelembagaan...... VI-5 VI.2.3. Ide Konsep Umum ...... VI-5 VI.3. KEBIJAKAN TRANSPORTASI BERDASARKAN PERATURAN DAERAH RTRW ...... IV-6 VI.3. RENCANA ROADMAP SMART CITY TRANSPORT ...... VI-9

BAB VII. KESIMPILAN DAN REKOMENDASI...... VII-1 VII.1. KESIMPULAN ...... VII-2 VII.2. REKOMENDASI ...... VII-3

v R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

DAFTAR TABEL

Tabel II.1 Klasifikasi Pergerakan Orang di Perkotaan Berdasarkan Maksud Perjalanan ...... II-8 Tabel II.2 Jenis dan Macam Moda Transportasi Kota Menurut Karakteristik dan Penggunaannya ...... II-10 Tabel II.3 Prasarana Bangunan Terminal ...... II-17 Tabel II.4 Karakteristik Pelayanan Angkutan Umum dan Kendaraan Pribadi ...... II-24 Tabel II.5 Variabel Pelayanan AUP ...... II-24 Tabel II.6 Kapasitas Dasar Jalan Perkotaan ...... II-28 Tabel II.7 Faktor Penyesuaian Lebar Jalan Perkotaan (FCW)...... II-28 Tabel II.8 Faktor Penyesuaian Pembagian Arah Jalan Perkotaan (FCSP) ...... II-29 Tabel II.9 Faktor Gangguan Samping dengan Bahu Jalan Perkotaan ...... II-29 Tabel II.10 Faktor Gangguan Samping dengan Kerb Jalan Perkotaan ...... II-29 Tabel II.11 Kegiatan di Sekitar Jalan Perkotaan ...... II-30 Tabel II.12 Nilai Total Gangguan Samping Jalan Perkotaan...... II-30 Tabel II.13 Nilai Ukuran Kota Jalan Perkotaan ...... II-31 Tabel II.14 Kapasitas Dasar Jalan Antar Kota 4 Lajur 2 Arah (Co) ...... II-31 Tabel II.15 Kapasitas Dasar Jalan Antar Kota 2 Lajur 2 Arah (Co) ...... II-31 Tabel II.16 Faktor Penyesuaian Lebar Jalan Antar Kota (FCW) ...... II-32 Tabel II.17 Faktor Penyesuaian Pembagian Arah Jalan Antar Kota (FCSP) ...... II-32 Tabel II.18 Faktor Gangguan Samping dengan Bahu ...... II-33 Tabel II.19 Ekivalensi Mobil Penumpang Jalan Perkotaan tak terbagi ...... II-34 Tabel II.20 Ekivalensi Mobil Penumpang Untuk Jalan Perkotaan Terbagi dan/atau Satu Arah ...... II-34 Tabel II.21 Nilai Ekivalensi Mobil Penumpang Pada Persimpangan ...... II-35 Tabel II.22 Ekivalensi Mobil Penumpang (EMP) Jalan Antar Kota 2 Lajur 2 Arah Tak Terbagi .. II-35 Tabel II.23 Ekivalensi Mobil Penumpang (EMP) Jalan Antar Kota 4 Lajur 2 Arah ...... II-36 Tabel II.24 Ekivalensi Mobil Penumpang (EMP) Jalan Antar Kota 6 Lajur 2 Arah Terbagi ...... II-36 Tabel II.25 Karakteristik tingkat pelayanan ...... II-37 Tabel II.26 Jenis Keterkaitan Spasial Menurut Rondinelli...... II-42

Tabel III.1 Kebutuhan Data Pelaksanaan Studi Roadmap Sistem Transportasi Kota Salatiga . III-20 Tabel III.2 Kapasitas Dasar Jalan Perkotaan ...... III-29 Tabel III.3 Faktor Penyesuaian Lebar Jalan Perkotaan (FCW)...... III-29

vi R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Tabel III.4 Faktor Penyesuaian Pembagian Arah Jalan Perkotaan (FCSP) ...... III-30 Tabel III.5 Faktor Gangguan Samping dengan Bahu Jalan Perkotaan ...... III-30 Tabel III.6 Faktor Gangguan Samping dengan Kerb Jalan Perkotaan ...... III-30 Tabel III.7 Kegiatan di Sekitar Jalan Perkotaan ...... III-31 Tabel III.8 Nilai Total Gangguan Samping Jalan Perkotaan...... III-31 Tabel III.9 Nilai Ukuran Kota Jalan Perkotaan ...... III-32 Tabel III.10 Kapasitas Dasar Jalan Antar Kota 4 Lajur 2 Arah (Co) ...... III-32 Tabel III.11 Kapasitas Dasar Jalan Antar Kota 2 Lajur 2 Arah (Co) ...... III-33 Tabel III.12 Faktor Penyesuaian Lebar Jalan Antar Kota (FCW) ...... III-33 Tabel III.13 Faktor Penyesuaian Pembagian Arah Jalan Antar Kota (FCSP) ...... III-34 Tabel III.14 Faktor Gangguan Samping dengan Bahu ...... III-34 Tabel III.15 Ekivalensi Mobil Penumpang Jalan Perkotaan tak terbagi ...... III-35 Tabel III.16 Ekivalensi Mobil Penumpang Untuk Jalan Perkotaan Terbagi dan/atau Satu Arah III-35 Tabel III.17 Nilai Ekivalensi Mobil Penumpang Pada Persimpangan ...... III-35 Tabel III.18 Ekivalensi Mobil Penumpang (EMP) Jalan Antar Kota 2 Lajur 2 Arah Tak Terbagi .. III-36 Tabel III.19 Ekivalensi Mobil Penumpang (EMP) Jalan Antar Kota 4 Lajur 2 Arah ...... III-36 Tabel III.20 Ekivalensi Mobil Penumpang (EMP) Jalan Antar Kota 6 Lajur 2 Arah Terbagi ...... III-37 Tabel III.21 Karakteristik tingkat pelayanan ...... III-37 Tabel III.22 Kodifikasi Moda ...... III-38 Tabel III.23 Model Analisis SWOT ...... III-41 Tabel III.24 Pembobotan Analisis SWOT ...... III-43

Tabel IV.1 Pembagian Wilayah Administrasi dan Luasan Per Kecamatan Kota Salatiga ...... IV-2 Tabel IV.2 Curah Hujan, Hari Hujan dan Rata-rata Curah Hujan di Kota Salatiga Tahun 2018 (mm) ...... IV-5 Tabel IV.3 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Per Kecamatan Kota Salatiga ...... IV-6 Tabel IV.4 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur Kota Salatiga 2018 ...... IV-10 Tabel IV.5 Banyaknya Perusahaan Industri Menurut Kecamatan di Kota Salatiga, 2018 ...... IV-11 Tabel IV.6 Luasan dan Penggunaan Lahan Kota Salatiga 2018 (Ha) ...... IV-12 Tabel IV.7 Panjang Jalan Kota Salatiga menurut Jenis Permukaan Tahun 2018 (km) ...... IV-14 Tabel IV.8 Panjang Jalan Kota Salatiga menurut Kondisi Jalan Tahun 2018 (km) ...... IV-14 Tabel IV.9 Banyaknya Angkutan Dalam Kota (Angkota) menurut Trayek yang dilayani Tahun 2018...... IV-14 Tabel IV.10 Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga 2010 – 2030 ...... IV-15

Tabel V.1 Pembagian Zona Internal ...... V - 44 Tabel V.2 Pembagian Zona Eksternal ...... V - 45 Tabel V.3 Kodifikasi Moda ...... V - 46 Tabel V.4 Kodifikasi Tipe Jalan...... V - 47 Tabel V.5 Volume Lalulintas Terkalibrasi Matrik Primer Dan Sekunder ...... V - 51 Tabel V.6 Uji Model ...... V - 53

vii R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Tabel V.7 Matrik Distribusi Perjalanan Kendaraan dalam smp/jam Kota Salatiga ...... V - 55 Tabel V.8 Tabel Skenario 1 Pelebaran Jalan ...... V - 62 Tabel V.9 Tabel Skenario 2 SSA (Sistem Satu Arah) ...... V - 63 Tabel V.10 Pembagian Zona ...... V - 67 Tabel V.11 Daftar Sekolah SMP dan SMA di Kota Salatiga ...... V - 68 Tabel V.12 Tabel Jaringan Trayek Eksisting ...... V - 70 Tabel V.13 Jumlah Segmen Dan Titik Henti ...... V - 71 Tabel V.14 Kinerja Angkutan Umum Penumpang ...... V - 76 Tabel VI.1 Rancangan Roadmap Smart City Transport Kota Salatiga ...... VI-11

viii R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1 Sistem Transportasi ...... II-7 Gambar II.2 Interaksi Tata Guna Lahan dan Transportasi ...... II-11 Gambar II.3 Pola Perjalanan Antar Zona yang Berbeda dalam Ruang Kota ...... II-11 Gambar II.4 Faktor-Faktor yang Berpengaruh dalam Penyediaan Transportasi ...... II-13 Gambar II.5 Situasi Transportasi Pada Masa Sekarang ...... II-23 Gambar II.6 Hubungan volume atau V/C dengan kecepatan ...... II-38

Gambar III.1 Kerangka Pemikiran Studi Roadmap Sistem Transportasi Kota Salatiga, 2020 .... III.3 Gambar III.2 Pola Jaringan Jalan ...... III.5 Gambar III.3 Representasi Zonasi ...... III.7 Gambar III.4 Skema Tahapan Kegiatan Studi Kelayakan Batang New Port Tahap Awal...... III.12 Gambar III.5 Klasifikasi Metode untuk Memperkirakan Matriks Asal Tujuan ...... III.22 Gambar III.6 Diagram Analisis Asal Tujuan ...... III.24 Gambar III.7 Contoh Desire Line Bangkitan Perjalanan dari Kelurahan Salatiga ...... III.25 Gambar III.8 Contoh Desire Line Bangkitan Perjalanan dari Kelurahan Kumpulrejo ...... III.26 Gambar III.9 Contoh Hasil Analisis Jaringan Jalan (EMME) ...... III.39 Gambar III.10 Perhitungan Analisis SWOT ...... III.43

Gambar IV.1 Grafik Luas Wilayah Per Kecamatan Kota Salatiga ...... IV-2 Gambar IV.2 Peta Kota Salatiga dalam Konstelasi Jawa Tengah ...... IV-3 Gambar IV.3 Peta Kota Salatiga ...... IV-4 Gambar IV.4 Grafik Jumlah Penduduk Kota Salatiga Tahun 2018 ...... IV-6 Gambar IV.5 Sebaran Penduduk Kota Salatiga, 2019...... IV-7 Gambar IV.6 Kepadatan Penduduk Kota Salatiga, 2019 ...... IV-8 Gambar IV.7 Grafik Kepadatan Penduduk Kota Salatiga Tahun 2018 ...... IV-9 Gambar IV.8 Grafik Sex Ratio Penduduk Kota Salatiga Tahun 2018...... IV-9 Gambar IV.9 Grafik Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur Kota Salatiga Tahun 2018 ... IV-10 Gambar IV.10 Grafik Banyaknya Perusahaan Industri Menurut Kecamatan di Kota Salatiga, 2018 ...... IV-11 Gambar IV.11 Grafik penggunaan lahan Kota Salatiga tahun 2018 ...... IV-12 Gambar IV.12 Guna Lahan Kota Salatiga, 2019 ...... IV-13

GAMBAR V.1 JARINGAN JALAN DAN AKSES KE KOTA SALATIGA...... V - 4 GAMBAR V.2 AKTIFITAS KEGIATAN DI SEPANJANG JALAN DIPONEGORO ...... V - 5 GAMBAR V.3 AKTIFITAS KEGIATAN DI SEPANJANG JALAN SUDIRMAN...... V - 6

ix R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

GAMBAR V.4 JALAN LINGKAR DALAM DI KOTA SALATIGA ...... V - 7 GAMBAR V.5 JALAN LINGKAR SALATIGA (JLS) SEBAGAI LINGKAR LUAR KOTA SALATIGA ...... V - 7 GAMBAR V.6 JALAN TOL MELINTAS KOTA SALATIGA ...... V - 8 GAMBAR V.7 JALAN LINGKAR SALATIGA ...... V - 9 GAMBAR V.8 CROSS SECTION JALAN SOEKARNO-HATTA ...... V - 10 GAMBAR V.9 JALAN SOEKARNO-HATTA ...... V - 10 GAMBAR V.10 CROSS SECTION JALAN JENDRAL SUDIRMAN ...... V - 11 GAMBAR V.11 JALAN JENDRAL SUDIRMAN ...... V - 11 GAMBAR V.12 CROSS SECTION JALAN AHMAD YANI ...... V - 12 GAMBAR V.13 JALAN AHMAD YANI ...... V - 12 GAMBAR V.14 CROSS SECTION JALAN DIPOMENGGOLO ...... V - 13 GAMBAR V.15 JALAN DIPOMENGGOLO ...... V - 13 GAMBAR V.16 CROSS SECTION JALAN HASANUDIN ...... V - 14 GAMBAR V.17 JALAN HASANUDIN ...... V - 14 GAMBAR V.18 CROSS SECTION JALAN VETERAN ...... V - 15 GAMBAR V.19 JALAN VETERAN ...... V - 15 GAMBAR V.20 CROSS SECTION JALAN OSAMALIKI ...... V - 16 GAMBAR V.21 JALAN OSAMALIKI ...... V - 16 GAMBAR V.22 CROSS SECTION JALAN BLOTONGAN ...... V - 17 GAMBAR V.23 JALAN BLOTONGAN ...... V - 17 GAMBAR V.24 CROSS SECTION JALAN IMAM BONJOL ...... V - 18 GAMBAR V.25 JALAN IMAM BONJOL ...... V - 18 GAMBAR V.26 CROSS SECTION JALAN KH. WAHID HASYIM ...... V - 19 GAMBAR V.27 JALAN KH. WAHID HASYIM ...... V - 19 GAMBAR V.28 CROSS SECTION JALAN PEMUDA ...... V - 20 GAMBAR V.29 JALAN PEMUDA...... V - 20 GAMBAR V.30 CROSS SECTION JALAN DIPONEGORO ...... V - 21 GAMBAR V.31 JALAN DIPONEGORO ...... V - 21 GAMBAR V.32 CROSS SECTION JALAN PATIMURA ...... V - 22 GAMBAR V.33 JALAN PATIMURA...... V - 22 GAMBAR V.34 CROSS SECTION JALAN RAYA SURUH ...... V - 23 GAMBAR V.35 JALAN RAYA SURUH ...... V - 23 GAMBAR V.36 CROSS SECTION JALAN ARGOSARI RAYA ...... V - 24 GAMBAR V.37 JALAN ARGOSARI RAYA ...... V - 24 GAMBAR V.38 CROSS SECTION JALAN ARJUNA ...... V - 25 GAMBAR V.39 JALAN ARJUNA ...... V - 25 GAMBAR V.40 CROSS SECTION JALAN SIDOMULYO ...... V - 26 GAMBAR V.41 JALAN SIDOMULYO ...... V - 26 GAMBAR V.42 CROSS SECTION JALAN DR. MUWARDI ...... V - 27 GAMBAR V.43 JALAN DR. MUWARDI ...... V - 27 GAMBAR V.44 CROSS SECTION DUKUH KLUMPIT ...... V - 28

x R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

GAMBAR V.45 JALAN DUKUH KLUMPIT ...... V - 28 GAMBAR V.46 CROSS SECTION JALAN ARGO TUNGGAL ...... V - 29 GAMBAR V.47 JALAN ARGO TUNGGAL ...... V - 29 GAMBAR V.48 CROSS SECTION JALAN KH. ASNAWI ...... V - 30 GAMBAR V.49 JALAN KH. ASNAWI ...... V - 30 GAMBAR V.50 CROSS SECTION JALAN FATMAWATI ...... V - 31 GAMBAR V.51 JALAN FATMAWATI ...... V - 31 GAMBAR V.52 CROSS SECTION JALAN WONOSARI-PAKIS ...... V - 32 GAMBAR V.53 JALAN WONOSARI-PAKIS ...... V - 32 GAMBAR V.54 CROSS SECTION JALAN RAYA KOPENG ...... V - 33 GAMBAR V.55 JALAN RAYA KOPENG ...... V - 33 GAMBAR V.56 CROSS SECTION JALAN RAYA SURUH (ARAH GEMOLONG) ...... V - 34 GAMBAR V.57 JALAN RAYA SURUH (ARAH GEMOLONG) ...... V - 34 GAMBAR V.58 CROSS SECTION JALAN SALATIGA-BRINGIN ...... V - 35 GAMBAR V.59 JALAN RAYA SALATIGA-BRINGIN ...... V - 35 GAMBAR V.60 CROSS SECTION JALAN KARJAN ...... V - 36 GAMBAR V.61 JALAN RAYA KARJAN ...... V - 36 GAMBAR V.62 CROSS SECTION JALAN TOL -SOLO (ARAH SEMARANG) ...... V - 37 GAMBAR V.63 JALAN TOL SEMARANG-SOLO (ARAH SEMARANG) ...... V - 37 GAMBAR V.64 CROSS SECTION JALAN SALATIGA-TUKANG ...... V - 38 GAMBAR V.65 JALAN SALATIGA-TUKANG ...... V - 38 GAMBAR V.66 CROSS SECTION JALAN WONOSARI-PAKIS (ARAH SUSUKAN) ...... V - 39 GAMBAR V.67 JALAN WONOSARI-PAKIS (ARAH SUSUKAN) ...... V - 39 GAMBAR V.68 CROSS SECTION JALAN SALATIGA-SURUH ...... V - 40 GAMBAR V.69 JALAN SALATIGA-SURUH ...... V - 40 GAMBAR V.70 CROSS SECTION JALAN TOL SEMARANG-SOLO (ARAH SOLO) ...... V - 41 GAMBAR V.71 JALAN TOL SEMARANG-SOLO (ARAH SOLO) ...... V - 41 GAMBAR V.72 CROSS SECTION JALAN NYI AGENG SERANG ...... V - 42 GAMBAR V.73 JALAN NYI AGENG SERANG ...... V - 42 GAMBAR V.74 CROSS SECTION JALAN SALATIGA-MUNCUL ...... V - 43 GAMBAR V.75 JALAN SALATIGA-MUNCUL ...... V - 43 GAMBAR V.76 PUSAT ZONA ...... V - 45 GAMBAR V.77 JARINGAN JALAN DAN ZONA PADA MODEL JARINGAN KOTA SALATIGA ...... V - 48 GAMBAR V.78 BANGKITAN TARIKAN BERBASIS ZONA ...... V - 50 GAMBAR V.79 DESIRE LINE BANGKITAN PERJALANAN DARI KELURAHAN SALATIGA ...... V - 56 GAMBAR V.80 DESIRE LINE BANGKITAN PERJALANAN DARI KELURAHAN TINGKIR TENGAH ...... V - 57 GAMBAR V.81 DESIRE LINE BANGKITAN PERJALANAN DARI ARAH ARTERI UTARA (SEMARANG) . V - 58 GAMBAR V.82 LALULINTAS ANGKUTAN BARANG DI JLS...... V - 59 GAMBAR V.83 LALULINTAS ANGKUTAN BARANG DI JALAN LINGKAR DALAM KOTA SALATIGA .... V - 59 GAMBAR V.84 PEMBEBANAN LALULINTAS (SMP/JAM) TAHUN 2020 ...... V - 61 GAMBAR V.85 JARINGAN JALAN DENGAN PELAYANAN AUP ...... V - 65

xi R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

GAMBAR V.86 KONDISI TERMINAL DI KOTA SALATIGA ...... V - 66 GAMBAR V.87 SEGMEN RUTE TRAYEK ANGKUTAN UMUM ...... V - 73 GAMBAR V.88 TRAYEK BANYUBIRU SALATIGA ...... V - 74 GAMBAR V.89 TRAYEK KOPENG SALATIGA ...... V - 77 GAMBAR V.90 TRAYEK BST KORIDOR 1 ...... V - 77 GAMBAR V.91 TRAYEK BST KORIDOR 3 ...... V - 78 GAMBAR V.92 POTENSI TRANSFER DAN TRANSIT POINT PERJALANAN REGULER ...... V - 79 GAMBAR V.93 POTENSI TRANSFER DAN TRANSIT POINT AKTIFITAS SEKOLAH ...... V - 80 GAMBAR V.94 INTERAKSI PERKOTAAN INTI SEMARANG – SALATIGA DAN SALATIGA - HINTERLAND ...... V - 82 GAMBAR V.95 INTERAKSI PERKOTAAN INTI SEMARANG – SALATIGA DAN SALATIGA - HINTERLAND ...... V - 83 GAMBAR V.96 PETA SEBARAN GUNA LAHAN INDUSTRI KOTA SALATIGA...... V - 86 GAMBAR V.97 PETA SEBARAN GUNA LAHAN PENDIDIKAN KOTA SALATIGA ...... V - 87 GAMBAR V.98 PETA SEBARAN GUNA LAHAN PERDAGANGAN DAN JASA KOTA SALATIGA ...... V - 88 GAMBAR V.99 PETA TATA GUNA LAHAN KOTA SALATIGA ...... V - 89 GAMBAR V.100 PEMBEBANAN LALULINTAS (SMP/JAM) TAHUN 2020 ...... V - 90 GAMBAR V.101 PEMBEBANAN LALULINTAS (SMP/JAM) TAHUN 2020 BERDASARKAN INTERAKSI INTERNAL (GUNA LAHAN KOTA SALATIGA) ...... V - 91 GAMBAR VI.1 PETA RENCANA JARINGAN TRANSPORTASI KOTA SALATIGA ...... VI - 7

xii R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

BAB I. PENDAHULAN

B A P P E D A BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

2020

Roadmap Sistem Transportasi Kota Salatiga

PENDAHULUAN Latar Belakang | Permasalahan | Tujuan dan Sasaran | Dasar Hukum | Ruang Lingkup | Sistematika Penulisan Laporan

L A P O R A N A K H I R 1 Halaman | I - 1 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

I.1. LATAR BELAKANG

Urbanisasi di area-area perkotaan semakin kompleks. Kompleksitas ini telah membawa perubahan pada dinamika spasial perkotaan. Sebagai bentuknya fenomena urbanisasi regional telah memberikan tekanan kota-kota terhadap terjadinya desentralisasi di kawasan yang semula tidak masuk dalam kategori daerah perkotaan (Hudalah & Firman, 2012), Pusat-pusat baru mulai muncul dan tumbuh dengan ditandainya perkembangan karakteristik kawasan non-urban yang semula didominasi dengan area-area pertanian, perkebunan, atau bahkan lahan-lahan non terbangun. Saat ini telah berubah menjadi lahan-lahan dengan fungsi perkotaan, seperti perdagangan dan jasa, area permukiman padat, aktivitas industri (Annez & Buckley, 2009). Beberapa fenomena ini di beberapa kawasan perkotaan berskala besar di Asia termasuk , seperti Mega-urban regions dan Bandung memicu tumbuhnya struktur polisentris (Dharmapatni & Firman, 1995; Firman, 2017). Namun pada kota-kota menengah dan kecil, seperti Salatiga sebagai bagian (penyangga) dari area metropolitan Semarang, urbanisasi regional berdampak pada semakin meluasnya kawasan sub-urban di sekitar inti kota dengan karakteristik semakin padat area terbangun.

Sejalan dengan hal tersebut, konteks urbanisasi seringkali memberikan implikasi pada morfologi ruang perkotaan, sedangkan aspek interaksi tidak banyak dipahami. Prinsip interaksi ini pada dasarnya memberikan peran dalam menunjukkan hubungan kota-kota dan hinterland disekitarnya (Batty, 2013). Lebih jauh, interaksi dapat terjadi antar area metropolitan dan daerah pedalaman yang jauh (Neal, 2012). Beberapa bentuk interaksi ini banyak dijelaskan dengan pendekatan aliran orang, aliran barang, ataupun aliran informasi. Namun demikian, interaksi ini tidak pernah lepas dari keberadaan infrastruktur fisik yang menopang aliran. Secara nyata dua aspek yang banyak dikaji dalam studi perkotaan adalah aliran informasi, tetapi aspek ini mengabaikan infrastruktur fisiknya. Sementara itu dalam kaitannya dengan interaksi spasial perkotaan, interaksi orang dan barang yang didukung oleh jaringan transportasi merupakan komponen penting dalam menjelaskan perluasan morfologi perkotaan (Boix, 2003; Rodrigue, 2020).

Namun demikian, dalam berbagai studi perkotaan di Indonesia, interaksi ini memberikan implikasi terhadap timbulnya permasalahan ruang perkotaan (Kraas, 2007). Kota-kota menjadi semakin berkembang, sementara jaringan transportasi yang mendukung pergerakan semakin padat. Pada aspek transportasi, permasalahan ini ditunjukkan dengan meningkatnya volume lalu lintas yang memberikan implikasi pada semakin menurunnya kinerja kapasitas ruang jalan. Hubungan fungsional yang semakin kompleks antar ruang-ruang perkotaan lambat laun memberikan friksi permasalahan lingkungan dan livability ruang perkotaan. Sementara tumpang tindih trayek, pertumbuhan kendaraan pribadi, tumbuhnya transportasi berbasis online, dan semakin berkembangnya angkutan umum massal yang tidak terintegrasi membawa pada permasalahan sosial-ekonomi (terutama operator).

L A P O R A N A K H I R Halaman | I - 2 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Berdasarkan penjelasan diatas, Pemerintah Kota Salatiga menganggap penting melihat interaksi (flows) orang dan barang yang melibatkan jaringan transportasi. Hal ini diperlukan secara khusus untuk mengkaji dan mengevaluasi pola pergerakan dan kinerja transportasi (termasuk trayek) di Kota Salatiga. Beberapa kasus khusus akan dikaji berkaitan dengan fokus interaksi orang dan barang menggunakan moda transportasi tertentu. Lebih lanjut fokus akan dilanjutkan dengan melihat peran jaringan transportasi yang ada saat ini dalam mendukung kinerja ruang arus dari orang dan barang. Secara lebih spesifik, studi ini akan melibatkan beberapa nodes sebagai representasi dari zona untuk dikaji ruang secara fungsional (missal, tata guna lahan, terminal penumpang, terminal barang, transit dan transfer poin angkutan umum massal), serta jaringan trayek angkutan orang dan barang. Gambaran analisis dikemukakan untuk menggambarkan kinerja transportasi secara makro (dan tipikal pada analisis mikro) sebagai input dalam membangun kerangka kebijakan (Roadmap) penanganan permasalahan transportasi di Kota Salatiga.

I.2. PERMASALAHAN

Hasil studi berupa output kegiatan, harus dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada, diantaranya permasalahan yang secara spesifik, yaitu:

1. Tata kelola ruang perkotaan diatur dengan kebijakan spasial berbagai level, tetapi aturan yang dibangun cenderung terfragmentasi secara administratif dan sebagian kebijakan bersifat parsial (contohnya: kebijakan transportasi tidak diintegrasikan dengan lingkungan dan tata ruang); 2. Perluasan ruang morfologi perkotaan secara fisik membawa dampak terhadap semakin padatnya kawasan pinggiran atau sub-urbannya, serta berubahnya fungsi ruang-ruang non-perkotaan menjadi perkotaan; 3. Permasalahan perkotaan tidak hanya dapat dijelaskan dengan melihat ekspansi spasial secara fisik, tetapi membutuhkan penilaian terhadap interaksi spasial yang melibatkan jaringan infrastruktur pendukungnya (contohnya transportasi).

Permasalahan secara teknis yaitu:

1. Interaksi spasial (orang dan barang) yang semakin kompleks membawa implikasi pada permasalahan pada jaringan (khususnya transportasi); 2. Wujudnya adalah peningkatan kepadatan lalu lintas yang ditunjukkan dengan kinerja jalan yang semakin menurun dengan peningkatan volume lalu lintas dan penurunan kapasitas jalan; 3. Permasalahan kinerja jaringan jalan dipicu pula oleh tumpang tindih jaringan trayek, meningkatnya operasi kendaraan pribadi di jaringan jalan;

L A P O R A N A K H I R Halaman | I - 3 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

4. Supply transportasi jauh dari Demand pelaku perjalanan, sehingga tingkat isian angkutan umum massal tidak optimal; 5. Permasalahan fungsi nodal yang berkembang secara natural, serta adanya kapitalisasi ruang perkotaan (oleh pengusaha, missal perumahan, perdagangan dan jasa, industri, dan perkantoran) menyebabkan jaringan transportasi berkembang tidak teratur dan kompleks, tumpang tindih.

I.3. TUJUAN DAN SASARAN

Berdasarkan permasalahan yang telah dijabarkan sebelumnya, tujuan dari studi ini adalah melakukan penyusunan Roadmap Sistem Transportasi di Kota Salatiga.

Sasaran untuk mencapai tujuan adalah, sebagai berikut:

1. Melakukan Analisis Kinerja Moda/Sarana Transportasi; 2. Melakukan Analisis Kinerja Jaringan Transportasi (termasuk Evaluasi Trayek Angkutan); 3. Melakukan Analisis Interaksi Antar Fungsi Ruang Perkotaan Salatiga; 4. Merumuskan Roadmap Penanganan Transportasi dari Sisi Demand dan Supply.

I.4. DASAR HUKUM

Kegiatan Roadmap Sistem Transportasi di Kota Salatiga berlandaskan Peraturan dan kebijakan, diantaranya:

1. Undang – Undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan; 2. Undang – Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; 3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; 4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 5. Peraturan Pemerintah No 34 Tahun 2006 tentang Jalan; 6. Peraturan Pemerintah No 32 Tahun 2011 Tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak, Serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas; 7. Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2011 tentang Forum Lalulintas dan Angkutan Jalan 8. Peraturan Pemerintah No.55 Tahun 2012 tentang Kendaraan; 9. Peraturan Pemerintah No.79 Tahun 2013 tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; 10. Peraturan Pemerintah No 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan;

L A P O R A N A K H I R Halaman | I - 4 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

11. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 132 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Terminal Penumpang Angkutan Jalan; 12. Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 25 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Terminal Penumpang Angkutan Jalan Tipe B di Jawa Tengah; 13. Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Tengah No 8 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Perhubungan di Provinsi Jawa Tengah; 14. Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Tengah No 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009-2029; 15. Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 620/2 Tahun 2016 tentang Penetapan Status Ruas Jalan Sebagai Jalan Provinsi Jawa Tengah; 16. Peraturan Daerah Kota Salatiga No 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga; dan 17. Peraturan Daerah Kota Salatiga No 9 Tahun 2018 tentang Rencana Detail Tata Ruang BWP Pk, I, II, III Dan IV Kota Salatiga Tahun 2017-2030.

I.5. RUANG LINGKUP

Ruang lingkup wilayah, kegiatan dilaksanakan di wilayah Administrasi Kota Salatiga. Sedangkan untuk lingkup kegiatan studi Roadmap Sistem Transportasi di Kota Salatiga ini sebagai berikut:

1. Analisis interaksi dilakukan dengan mengkaji fungsi ruang perkotaan (dikategorikan), interaksi antar zona; 2. Analisis kinerja moda/sarana transportasi dengan mengkaji efektivitas moda yang digunakan dalam mengangkut orang dan barang; 3. Analisis kinerja jaringan transportasi dengan menjabarkan (melalui model atau pendekatan yang tepat) kondisi volume lalu lintas, kapasitas ruas jalan, jaringan trayek; 4. Merumuskan strategi, kebijakan, dan program indikatif penanganan permasalahan ruang dan transportasi.

I.6. SISTEMATIKA PENULISAN LAPORAN

Sistematika penulisan Laporan Akhir hasil pelaksanaan kegiatan studi Roadmap Sistem Transportasi di Kota Salatiga ini sebagai berikut:

Bab 1 Pendahuluan

Pembahasan pada bab ini menguraikan latar belakang, permasalahan, tujuan dan sasaran, dasar hukum, ruang lingkup, dan diakhiri sistematika penulisan laporan.

L A P O R A N A K H I R Halaman | I - 5 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Bab 2 Kebijakan dan Literatur Transportasi

Pembahasan pada bab ini menguraikan tentang signifikasi studi, peraturan dan kebijakan angkutan umum, sistem transportasi, ketersediaan dan kebutuhan transportasi, sarana (jaringan pelayanan) dan prasarana transportasi, tinjauan angkutan umum, pelayanan angkutan umum penumpang (AUP), permintaan dan penawaran transportasi, kinerja ruas jalan, kinerja simpang, bangkitan tarikan perjalanan, dan interaksi antarkota.

Bab 3 Metodologi

Pembahasan pada bab ini menguraikan kerangka pemikiran, pendekatan pelaksanaan kegiatan, metodologi pekerjaan, metode pengumpulan data, dan metode analisis.

Bab 4 Gambaran Umum

Pembahasan pada bab ini menguraikan profil Kota Salatiga dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Salatiga.

Bab 5 Analisis Transportasi

Pembahasan pada bab ini meliputi analisis kinerja jaringan, analisis jaringan pelayanan angkutan umum, dan analisis interaksi spasial (ruang perkotaan).

Bab 6 Kebijakan dan Strategi Transportasi Kota Salatiga (Roadmap)

Pembahasan pada bab ini meliputi potensi dan permasalahan transportasi, konsep roadmap sistem transportasi kota salatiga, dan rencana roadmap smart city transport.

Bab 7 Kesimpulan dan Rekomendasi

Pembahasan pada bab ini yaitu terkait langkah berikutnya berdasarkan kesimpulan danrekomendasi dari kegiatan ini.

L A P O R A N A K H I R Halaman | I - 6 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

BAB II. KEBIJAKAN DAN LITERATUR TRANSPORTASI

B A P P E D A

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

2020

Roadmap Sistem Transportasi Kota Salatiga

KEBIJAKAN DAN LITERATUR TRANSPORTASI Signifikasi Studi | Peraturan dan Kebijakan A. Umum | Sistem Transportasi | Ketersediaan dan Kebutuhan Transportasi | Sarana dan Prasarana Transportasi | Tinjauan Angkutan Umum | Permintaan dan Penawaran Transportasi | Kinerja Jalan dan Simpang | Bangkitan dan Tarikan 2 L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 1 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Sarana Transportasi Moda Angkutan Umum yang melayani berbagai kawasan perkotaan saat ini jumlahnya sangat banyak, terutama untuk angkutan darat. Mulai dari angkutan umum perkotaan (angkot), Angkutan Massal berupa Bus Rapid Transit dan Busway, hingga angkutan feeder. Berbagai permasalahan muncul seperti manajemen trayek yang kurang terencana, tumpang tindih trayek, kualitas pelayanan yang kurang baik, sehingga menyebabkan timbulnya berbagai dampak kepada masyarakat sebagai pengguna. Angkutan umum memiliki peran yang penting sebagai sarana mobilisasi penduduk sehingga memerlukan solusi dari berbagai permasalahan yang ada oleh masing-masing stakeholder terkait.

Perkembangan wilayah yang kurang terencana terutama pusat-pusat permukiman serta pusat kegiatan, dan ketidakpastian kebijakan penataan ruang akibat sentimen politik, kian memperparah kinerja pelayanan angkutan umum di wilayah perkotaan. Demand angkutan umum sebenarnya sangat besar, namun pusat-pusat lokasi permintaan layanan angkutan umum yang berkembang sprawl, tidak terpusat dan semakin berkembang ke wilayah pinggiran perkotaan, memperumit dalam upaya meningkatkan Supply angkutan umum. Perlu upaya dan biaya yang cukup besar untuk menyediakan pelayanan angkutan umum bagi wilayah yang berkembang secara tidak teratur/ terpusat dan terencana dengan baik.

II.1. SIGNIFIKASI STUDI

Sektor transportasi menjadi dominan sebagai demand pemenuhan kebutuhan dari aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat. Aktivitas tersebut menimbulkan pergerakan yang dimulai dari rumah menuju tempat kerja dan kembali lagi ke rumah. Pergerakan ini membutuhkan sarana transportasi yaitu angkutan umum penumpang.

Perkembangan kota ke arah pinggiran merupakan fenomena perkembangan wilayah perkotaan saat ini, dimana kebutuhan ruang terbangun sebagai permukiman semakin meningkat. Perkembangan tersebut merupakan fenomena urban sprawl, menurut Harvey and Clark (1971) urban sprawl mengacu pada perluasan berkelanjutan di sekitar kota besar, dimana selalu ada zona lahan yang berada dalam proses konversi dari lahan pedesaan menjadi guna lahan perkotaan atau lahan non terbangun menjadi terbangun. Perkembangan pinggiran kota diikuti dengan perkembangan aktivitas perdagangan, komersial, dan infrastruktur sebagai pendukung aktivitas masyarakat.

Perkembangan ke arah pinggiran kota didukung oleh ketersediaan infrastruktur sebagai pendukung permukiman, selain itu ketersediaan jaringan jalan mempermudah masyarakat dalam melakukan pergerakan. Pergerakan aktivitas sehari-hari masyarakat meliputi bekerja, sekolah, dan memenuhi kebutuhan rumah tangga. Pergerakan masyarakat pinggiran tergolong perjalanan Home-Based, yaitu perjalanan yang menunjukkan bahwa rumah dan pembuat perjalanan merupakan asal dan tujuan dari perjalanan (Willumsen, 1994: 114). Akibat pergerakan tersebut muncul kebutuhan terhadap moda angkutan untuk melakukan perjalanan,

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 2 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

fenomena tersebut ditangkap oleh masyarakat yang memiliki modal untuk menyediakan jasa transportasi. Ketersediaan moda transportasi yang ada di daerah pinggiran muncul tanpa ada campur tangan pemerintah dalam pengaturan trayek dan batasan jumlah angkutan yang beroperasi, akibatnya terjadi persaingan antar operator yang menyebabkan pelayanan yang diberikan tidak maksimal.

Pelayanan angkutan umum dengan kualitasnya yang buruk, menyebabkan timbulnya berbagai dampak kepada masyarakat serta kebutuhan terhadap angkutan umum penumpang. Di sisi lainnya, terjadi peningkatan kepadatan lalu lintas yang ditunjukkan dengan kinerja jalan yang semakin menurun dengan peningkatan volume lalu lintas dan penurunan kapasitas jalan.

Berdasarkan penjelasan diatas, Pemerintah Kota Salatiga menganggap penting melihat interaksi (flows) orang dan barang yang melibatkan jaringan transportasi. Hal ini diperlukan secara khusus untuk mengkaji dan mengevaluasi pola pergerakan dan kinerja transportasi (termasuk trayek) di Kota Salatiga. Gambaran analisis dikemukakan untuk menggambarkan kinerja transportasi secara makro (dan tipikal pada analisis mikro) sebagai input dalam membangun kerangka kebijakan (Roadmap) penanganan permasalahan transportasi di Kota Salatiga.

II.2. PERATURAN DAN KEBIJAKAN ANGKUTAN UMUM

Dalam Undang-undang No 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, materi yang berhubungan dengan kajian ini adalah sebagai berikut:

1. Angkutan Orang dan Barang (pasal 137, 138) a. Angkutan orang dan/atau barang dapat menggunakan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor; b. Angkutan orang yang menggunakan Kendaraan Bermotor berupa Sepeda Motor, Mobil penumpang, atau bus; c. Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor wajib menggunakan mobil barang; d. Mobil barang dilarang digunakan untuk angkutan orang, kecuali: 1) Rasio Kendaraan Bermotor untuk angkutan orang, kondisi geografis, dan prasarana jalan di provinsi/kabupaten/kota belum memadai; 2) Untuk pengerahan atau pelatihan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau 3) Kepentingan lain berdasarkan pertimbangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Pemerintah Daerah. a) Angkutan umum diselenggarakan dalam upaya memenuhi angkutan yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau; b) Pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan angkutan umum; c) Angkutan umum orang dan/atau barang hanya dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum;

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 3 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

d) Pemerintah wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang antar kota antar provinsi serta lintas batas negara; e) Pemerintah Daerah provinsi wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang antar kota dalam provinsi; f) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang dalam wilayah kabupaten/kota; g) Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Pelayanan Angkutan Orang (Pasal 140 s/d 157) a. Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum terdiri atas angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek, dan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek; b. Jenis pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek terdiri atas angkutan lintas batas negara, angkutan antarkota antarprovinsi, angkutan antarkota dalam provinsi, angkutan perkotaan, atau angkutan pedesaan; c. Kriteria pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek harus memiliki rute tetap dan teratur, terjadwal, berawal, berakhir, dan menaikkan atau menurunkan penumpang di terminal untuk angkutan antarkota dan lintas batas negara, dan menaikkan dan menurunkan penumpang pada tempat yang ditentukan untuk angkutan perkotaan dan pedesaan; d. Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum disusun berdasarkan tata ruang wilayah, tingkat permintaan jasa angkutan, kemampuan penyediaan jasa angkutan, ketersediaan jaringan lalu lintas dan angkutan jalan, kesesuaian dengan kelas jalan, keterpaduan intramoda angkutan, dan keterpaduan antarmoda angkutan; e. Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum disusun dalam bentuk rencana umum jaringan trayek. f. Rencana umum jaringan trayek terdiri atas jaringan trayek lintas batas negara jaringan trayek antarkota antarprovinsi, jaringan trayek antarkota dalam provinsi, jaringan trayek perkotaan, dan jaringan trayek pedesaan; g. Jaringan trayek perkotaan disusun berdasarkan kawasan perkotaan; h. Kawasan perkotaan untuk pelayanan angkutan ditetapkan oleh:

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 4 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

1) Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan untuk kawasan perkotaan yang melampaui batas wilayah provinsi; 2) Gubernur untuk kawasan perkotaan yang melampaui batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi; atau 3) Bupati/Walikota untuk kawasan perkotaan yang berada dalam wilayah kabupaten/kota. i. Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum lintas batas negara ditetapkan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan sesuai dengan perjanjian antar negara; j. Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum ditetapkan oleh: 1) Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan untuk jaringan trayek dan kebutuhan kendaraan bermotor umum antarkota antarprovinsi dan perkotaan yang melampaui batas 1 (satu) provinsi; 2) Gubernur untuk jaringan trayek dan kebutuhan kendaraan bermotor umum antarkota dalam provinsi dan perkotaan yang melampaui batas 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi setelah mendapat persetujuan dari menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, atau 3) Bupati/Walikota untuk jaringan trayek dan kebutuhan kendaraan bermotor umum perkotaan dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota setelah mendapat persetujuan dari menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan. k. Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum pedesaan ditetapkan oleh: 1) Bupati untuk kawasan pedesaan yang menghubungkan 1 (satu) kabupaten; 2) Gubernur untuk kawasan perdesaan yang melampaui 1 (satu) daerah kabupaten dalam 1 (satu) daerah provinsi; atau 3) Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan untuk kawasan pedesaan yang melampaui satu daerah provinsi. l. Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek terdiri atas: 1) Angkutan orang dengan menggunakan taksi; 2) Angkutan orang dengan tujuan tertentu; 3) Angkutan orang untuk keperluan pariwisata; dan 4) Angkutan orang di kawasan tertentu. m. Angkutan orang dengan menggunakan taksi harus digunakan untuk pelayanan angkutan dari pintu ke pintu dengan wilayah operasi dalam kawasan perkotaan.

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 5 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

1) Wilayah operasi dalam kawasan perkotaan dapat: a) Berada dalam wilayah kota: b) Berada dalam wilayah kabupaten; c) Melampaui wilayah kota atau wilayah kabupaten dalam 1 (satu) daerah provinsi; atau d) Melampaui wilayah provinsi. 2) Wilayah operasi dalam kawasan perkotaan dan jumlah maksimal kebutuhan taksi ditetapkan oleh; a) Walikota untuk taksi yang wilayah operasinya berada dalam wilayah kota; b) Bupati untuk taksi yang wilayah operasinya berada dalam wilayah kabupaten; c) Gubernur untuk taksi yang wilayah operasinya melampaui wilayah kota atau wilayah kabupaten dalam 1 (satu) wilayah provinsi; atau d) Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan untuk taksi yang wilayah operasinya melampaui wilayah provinsi. n. Angkutan orang dengan tujuan tertentu dilarang menaikkan dan/atau menurunkan penumpang di sepanjang perjalanan untuk keperluan lain di luar pelayanan angkutan orang dalam trayek. o. Angkutan orang untuk keperluan pariwisata harus digunakan untuk pelayanan angkutan wisata. p. Penyelenggaraan angkutan orang untuk keperluan pariwisata harus menggunakan mobil penumpang umum dan mobil bus umum dengan tanda khusus. q. Angkutan orang untuk keperluan pariwisata tidak diperbolehkan menggunakan kendaraan bermotor umum dalam trayek, kecuali di daerah yang belum tersedia angkutan khusus untuk pariwisata. r. Angkutan di kawasan tertentu harus dilaksanakan melalui pelayanan angkutan di jalan lokal dan jalan lingkungan. s. Angkutan orang di kawasan tertentu harus menggunakan mobil penumpang umum. t. Pemerintah menjamin ketersediaan angkutan massal berbasis jalan untuk memenuhi kebutuhan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum di kawasan perkotaan. u. Angkutan massal harus didukung dengan mobil bus yang berkapasitas angkut massal; lajur khusus, trayek angkutan umum lain yang tidak berhimpitan dengan trayek angkutan massal, dan angkutan penumpang.

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 6 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

II.3. SISTEM TRANSPORTASI

Sistem adalah gabungan beberapa komponen atau objek yang saling berkaitan. Dalam setiap organisasi sistem, perubahan pada satu komponen dapat menyebabkan perubahan pada komponen lainnya. Dalam sistem mekanis, komponen berhubungan secara mekanis, misalnya komponen dalam mesin mobil. Dalam sistem tidak mekanis, misalnya dalam interaksi tata guna lahan dengan sistem jaringan transportasi, komponen yang ada tidak dapat berhubungan secara mekanis, akan tetapi perubahan pada salah satu komponen (sistem kegiatan) dapat menyebabkan perubahan pada komponen lainnya (sistem jaringan dan sistem pergerakan).

Sistem transportasi terdiri dari sistem transportasi makro dan sistem transportasi mikro. Dimana dalam sistem transportasi makro terbagi lagi menjadi beberapa sistem transportasi mikro yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi (Tamin,2000). Sistem transportasi kota dapat diartikan sebagai suatu kesatuan dari elemen-elemen, komponen-komponen yang saling mendukung dan bekerja sama dalam pengadaan transportasi yang melayani wilayah perkotaan (Miro,1997:5).

Sumber : Tamin, 2000:48 Gambar II.1 Sistem Transportasi

Sistem transportasi mikro tersebut terdiri dari:

1. Sistem kegiatan (ekonomi, sosial, kebudayaan, dan lain-lain) 2. Sistem jaringan prasarana transportasi (jaringan jalan raya, kereta api, terminal bus dan kereta api, bandara, dan pelabuhan laut) 3. Sistem pergerakan lalu lintas (kendaraan dan orang) 4. Sistem kelembagaan meliputi individu, kelompok, lembaga, dan instansi pemerintah dan swasta yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam setiap sistem mikro tersebut. Sistem kelembagaan transportasi di Indonesia adalah sebagai berikut: a. Sistem kegiatan: Bappenas, Bappeda, Bangda, Pemda; b. Sistem jaringan: Kemen. Perhubungan (Darat, Laut Udara), Bina Marga; c. Sistem pergerakan: DLLAJ, Organda, Polantas, Masyarakat.

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 7 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Dapat dikatakan bahwa sistem transportasi dalam suatu kawasan tertentu mempunyai hubungan yang sangat erat dengan sistem aktivitas sosial ekonomi manusia (Menheim dalam Miro, 1997:8), dimana sistem transportasi dari waktu ke waktu dapat berkembang sejalan dengan perkembangan dan perubahan sistem aktivitas sosial ekonomi manusia dan juga sebaliknya. Perkembangan dan perubahan kedua sistem tersebut dapat menyebabkan ketidakseimbangan dan munculnya persoalan. Untuk mengatur keseimbangan antara sistem transportasi dan sistem aktivitas manusia, tentu harus ada yang mengatur, yaitu sistem kelembagaan.

II.3.1. Pola Pergerakan

Untuk memahami dan mempelajari pergerakan, maka perlu dikaji beberapa konsep dasar yang melatarbelakangi kajian angkutan dan bagaimana konsep ini saling berkaitan untuk membentuk sistem transportasi (Tamin,1997:12). Konsep yang akan dikaji dibagi dua bagian, yaitu:

1. Konsep mengenai ciri pergerakan tidak-spasial (tanpa batas ruang) di dalam kota, misalnya menyangkut pertanyaan mengapa orang melakukan perjalanan, kapan orang melakukan perjalanan, dan jenis angkutan apa yang mereka gunakan. 2. Konsep mengenai ciri pergerakan spasial (dengan batas ruang) di dalam kota, termasuk pola tata guna lahan, pola perjalanan orang, pola perjalanan angkutan barang.

Ciri Pergerakan Tidak Spasial

1. Sebab Terjadinya Pergerakan

Sebab terjadinya pergerakan dapat dikelompokkan berdasarkan maksud perjalanan yang dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Tabel II-1 Klasifikasi Pergerakan Orang di Perkotaan Berdasarkan Maksud Perjalanan

Aktivitas Klasifikasi Perjalanan Keterangan EKONOMI 1. Ke tempat kerja Jumlah orang yang bekerja tidak tinggi, sekitar 40- a. Mencari nafkah 2. Yang berkaitan dengan 50% penduduk. Perjalanan yang berkaitan dengan b. Mendapatkan barang bekerja pekerja termasuk : dan pelayanan 3. Ke dan dari took dan keluar a. Pulang ke rumah untuk keperluan pribadi b. Mengangkut barang 4. Yang berkaitan dengan c. Ke dan dari rapat belanja atau bisnis pribadi Pelayanan dan hiburan terpisah, tetapi pelayanan medis, hukum, dan kesejahteraan termasuk disini SOSIAL 1. Ke dan dari rumah teman Kebanyakan fasilitas terdapat dalam lingkungan Menciptakan, menjaga Ke dan dari tempat pertemuan keluarga dan tidak menghasilkan banyak hubungan pribadi bukan rumah perjalanan. Butir 2 juga kombinasi dengan perjalanan dengan maksud hiburan PENDIDIKAN Ke dan dari sekolah, kampus, Hal ini terjadi pada sebagian besar penduduk yang dan lain-lain berusia 5-22 tahun. Di negara sedang berkembang jumlahnya sekitar 85% penduduk

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 8 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Aktivitas Klasifikasi Perjalanan Keterangan REKREASI DAN HIBURAN 1. Ke dan dari tempat Mengunjungi restoran, kunjungan social termasuk rekreasi perjalanan pada hari libur Yang berkaitan dengan perjalanan dan berkendaraan untuk rekreasi KEBUDAYAAN 1. Ke dan dari tempat ibadah Perjalanan kebudayaan dan hiburan sangat sulit 2. Perjalanan bukan hiburan dibedakan ke dan dari daerah budaya serta pertemuan politik Sumber: Tamin, 1997:48

2. Waktu Terjadinya Pergerakan

Waktu terjadinya pergerakan sangat tergantung pada kapan seseorang melakukan aktivitasnya sehari-harinya. Dengan demikian, waktu perjalanan sangat tergantung pada maksud perjalanan. Jika ditinjau secara keseluruhan, pola perjalanan setiap hari di suatu kota pada dasarnya merupakan gabungan dari pola perjalanan dengan maksud bekerja, pendidikan, berbelanja, serta kegiatan sosial lainnya. Pola perjalanan yang diperoleh dari penggabungan ketiga pola perjalanan di atas, terkadang disebut pula pola variasi harian, yang menunjukkan tiga waktu puncak, yaitu waktu puncak pagi, waktu puncak siang dan waktu puncak malam.

Pola variasi harian seperti ini dijumpai di semua kota berukuran sedang dan besar di seluruh dunia. Tentu saja rincian waktu terjadinya waktu puncak berbeda antara satu kota dengan kota lainnya, tergantung pada ciri pola waktu kerja yang ada, dan ciri pola waktu sekolah.

Informasi pola harian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukkan strategi yang paling sesuai untuk pengaturan sistem angkutan umum mengingat bahwa pola beban yang berbeda mengakibatkan pola operasional yang berbeda dan juga pola pembiayaan yang berbeda. Dengan diketahuinya pola variasi harian ini, perencana transportasi dapat mengatur, misalnya, sistem frekuensi dan sistem pentarifan yang paling sesuai.

3. Jenis Sarana Angkutan yang Digunakan

Dalam melakukan perjalanan, orang biasanya dihadapi dalam beberapa pilihan jenis angkutan, antara lain: mobil, angkutan umum, pesawat terbang dan kereta api. Dalam menentukan pilihan jenis angkutan, orang mempertimbangkan berbagai faktor, yaitu maksud perjalanan, jarak tempuh, biaya, dan tingkat kenyamanan. Faktor jarak dan faktor maksud perjalanan merupakan faktor yang paling dominan dalam menentukan jenis atau moda kendaraan yang digunakan. Dengan berjalan kaki, persentase tinggi cenderung untuk perjalanan jarak dekat, sedangkan perjalanan dengan mobil dan motor dengan persentase tinggi cenderung untuk jarak tempuh yang lebih jauh. Moda

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 9 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

angkutan kendaraan bermotor terbagi menjadi tiga tipe, yaitu kendaran pribadi, paratransit, dan mass transit yang memiliki karakteristik yang berbeda.

Tabel II-2 Jenis dan Macam Moda Transportasi Kota Menurut Karakteristik dan Penggunaannya

Karakteristik Tipe Penggunaan (Peruntukan) Sebutan Pribadi Para Transit Mass Transit Tipe moda (bentuk Mobil, motor, sepeda, jalan Taksi, mobil sewa, dial a ride, Bus, kereta api, rapid transit, kendaraan) kaki ojek, becak, jitney, dokar kapal Tersedia untuk Pemilik Umum Umum Penyedia jasa Pemilik Operator Umum Penentuan rute Fleksibel/ bebas oleh pemilik Fleksibel/ bebas menurut Tetap (oleh operator dan tujuan pemakai jasa aturan) trayek Penentuan jadwal Fleksibel/ bebas oleh pemilik Fleksibel/ bebas menurut Tetap oleh operator tujuan pemakai jasa Karcis - Negosiasi Tetap (menurut ketentuan tarif) Daerah operasi (prasarana Jalan raya, trotoar dan Jalan raya dan terminal kecil Jalan raya, jalan bawah jalan yang digunakan tempat parkir tanah, rel, sungai, terminal, stasiun dan pelabuhan Kerapatan daerah Rendah-sedang-rapat Rendah-sedang-padat Padat Konfigurasi penentuan rute Bebas memencar Bebas memencar Orientasi ke CBD (radial menyebar) Waktu Off peak/ peak hours setiap Setiap waktu Peak hours (waktu sibuk) hari Trip purpose/ tujuan Rekreasi, belanja, bisnis, Belanja, bisnis, keperluan Bisnis, sekolah perjalan sekolah khusus lainnya Sumber: Miro, 1997:40

Ciri Pergerakan Spasial

Keterkaitan antar wilayah ruang sangatlah berperan dalam menciptakan perjalanan. Konsep paling mendasar yang menjelaskan terjadinya pergerakan atau perjalanan selalu dikaitkan dengan pola hubungan antara distribusi spasial perjalanan dengan distribusi spasial tata guna lahan yang terdapat dalam suatu wilayah. Dalam hal ini, konsep dasarnya adalah bahwa suatu perjalanan dilakukan untuk melakukan kegiatan tertentu di lokasi yang dituju, dan lokasi kegiatan tersebut ditentukan oleh pola tata guna lahan kota tersebut. Jadi, faktor tata guna lahan sangatlah berperan (Tamin,1997:17).

Perencanaan transportasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan kota, perencanaan kota tanpa mempertimbangkan keadaan dan pola transportasi yang akan terjadi sebagai akibat rencana itu sendiri (Warpani, 1990:54). Tata guna lahan kota dalam bentuknya yang lain adalah kegiatan yang ‘ditempatkan’ di atas lahan kota; karena itu tidak dapat diabaikan hubungan antara satu guna lahan dengan guna lahan lainnya karena ini juga berarti hubungan kegiatan antar kegiatan kota. Dengan kata lain, perencanaan perangkutan dan perencanaan kota adalah ‘saudara kembar’. Bluden, W.R dalam Warpani (1990;56) mengatakan bahwa perangkutan dan tata guna lahan dalam kota seperti layaknya ‘ayam’ dan ‘telur’, tidak dapat

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 10 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

dikatakan siapa yang ada lebih dahulu. Penentuan guna lahan melahirkan perangkutan, sebaliknya pembangunan jalur angkutan (apalagi angkutan darat) dengan mengubah tata guna lahan yang ada. Hubungan antara tata guna lahan dengan transportasi ini dapat dilihat dalam gambar interaksi tata guna lahan dan transportasi berikut ini.

Sistem aktivitas Aksesibilitas Sistem transportasi

Peletakan lokasi dari kegiatan Keputusan untuk mengadakan perjalanan individu dan kelompok

Kebutuhan perjalanan Pola aktivitas

Fasilitas transportasi dan Perkembangan lahan perubahan pelayanan (berubah menurut aktivitas)

Sumber : Meyer dan Miller dalam Tamin, 1997 Gambar II. 2 Interaksi Tata Guna Lahan dan Transportasi

Ciri perjalanan spasial yang dibahas pada bagian ini adalah pola perjalanan orang. Perjalanan terbentuk karena adanya aktivitas yang dilakukan bukan di tempat tinggal sehingga pola persebaran tata guna lahan suatu kota akan sangat mempengaruhi pola perjalanan orang. Berikut ini pola perjalanan orang dalam ruang kota.

Volume perjalanan sangat tinggi Zona Zona Volume perjalanan tinggi tempat tempat Volume perjalanan sedang tinggal kerja Volume perjalanan rendah

Zona Zona pertokoan pendidikan Zona wisata

Sumber : Miro, 1997 Gambar II.3 Pola Perjalanan Antar Zona yang Berbeda dalam Ruang Kota

Setelah diketahui besarnya pergerakan antar zona selanjutnya digunakan untuk memperkirakan permintaan kebutuhan transportasi antar zone dalam lingkup wilayah atau kota dengan

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 11 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

mempertimbangkan faktor-faktor atau variabel penentu yang mendorong orang untuk berjalan yang disebut “faktor non spasial” (Miro, 1997 : 71).

II.3.2. Karakteristik Transportasi

Faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi permintaan jasa transportasi dilihat dari aspek permintaan dan penyediaan (Miro,1997:15), yaitu:

1. Dari aspek pemakai jasa

Penduduk, urbanisasi, jumlah pekerja, pendapatan, bentuk-bentuk kegiatan penggunaan jasa, guna lahan, dan lain-lain. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pemakai jasa transportasi adalah berupa motivasi seseorang untuk mengadakan perjalanan dan juga seperti karakteristik perjalanan seseorang dari rumah ke pasar, ke kantor, ke sekolah, ke tempat hiburan, dan lain-lainnya ditentukan oleh pendapatan, aktivitas seseorang di tempat tujuan, faktor penduduk, urbanisasi, dan jumlah pekerja. Perubahan tata guna lahan sangat berkaitan erat dengan kebutuhan transportasi, karena perubahan tata guna lahan akan meningkatkan kebutuhan transportasi dan sebaliknya, pembangunan sarana transportasi akan meningkatkan tata guna lahan (Warpani, 1990).

2. Dari aspek sistem transportasi (penyediaan)

Biaya transportasi, kondisi fisik alat angkut, rute tempuh, kenyamanan/ keamanan dalam kendaraan, pelayanan awak kendaraan, kecepatan (waktu tunggu dan waktu tempuh), dan lain-lain. Faktor yang mempengaruhi permintaan jasa transportasi dilihat dari sisi jasa transportasi adalah bagaimana karakteristik dari sistem transportasi itu dapat mempengaruhi orang untuk melakukan perjalananan, seperti biaya transportasi, keadaan fisik alat angkut, rute tempuh, pelayanan awak kendaraan, dan lain-lain.

Unsur-unsur karakteristik transportasi (Miro,1997:23-25) antara lain adalah:

1. Unsur jalan dan terminal antara lain: perlengkapan jalan, terminal dan segala perlengkapan pelayanannya, kapasitas jalan, jaringan jalan, kemudahan-kemudahan pada jalan dan terminal. 2. Unsur kendaran antara lain: a. Jumlah kendaraan per jam, per kilometer, dan trip perjalanan b. Desain kendaraan (bodi kendaraan, layout tempat duduk/barang kendaraan, alat pelengkap kendaraan) c. Kecepatan kendaraan (travel time) termasuk waktu tunggu (waiting time) dan kapasitas angkut d. Kenyamanan berkendaraan dan pelayanan awak kendaraan

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 12 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

3. Unsur sistem pengelolaan antara lain: a. Harga jalan, ongkos pemakaian terminal dan tarif parkir (pajak kendaraan, retribusi, dan sewa lahan parkir per satuan waktu) b. Biaya penyediaan kendaraan (biaya operasi, subsidi bahan bakar, dll) c. Pengaturan operasi (karcis/asuransi, jadwal keberangkatan yang tepat waktu) d. Sistem manajemen e. Trayek angkutan yang handal dan manajemen lalu lintas.

Penawaran transportasi ditimbulkan oleh unsur-unsur yang saling berhubungan ditunjukkan pada gambar di bawah ini.

Karakteristik Teknologi (Kendaraan/jalan) Perilaku Penyedia Jasa Kelembagaan & Kondisi Pasar Performasi Biaya Penyedia Teknologi Jasa

Biaya Pemakai Jasa Tingkat Cost Recovery Pelayanan Perilaku Pemakai Jasa

PENAWARAN TRANSPORTAS

Sumber : Miro,1997:25 Gambar II.4 Faktor-Faktor yang Berpengaruh dalam Penyediaan Transportasi

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 13 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

II.4. KETERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN TRANSPORTASI

II.4.1. Pengertian Kebutuhan Transportasi

Menurut Santoso dan Tjipyono dalam Septiana (2002) ada perbedaan mendasar antara kebutuhan, keinginan dan permintaan.

1. Kebutuhan adalah suatu keadaan merasa tidak memiliki kepuasan dasar, kebutuhan melekat pada sifat dasar manusia, contohnya: orang butuh makanan, pakaian, perlindungan, keamanan, hak milik, harga diri dan beberapa aspek lain. 2. Keinginan adalah hasrat akan pemuas tertentu dari kebutuhan tersebut. Orang dapat memiliki kebutuhan yang sama, namun keinginannya berbeda. 3. Permintaan adalah suatu produk yang didukung dengan kemampuan serta kesediaan membelinya. Keinginan menjadi permintaan jika didukung daya beli.

Kebutuhan transportasi merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi karena semua manusia butuh untuk bergerak atau melakukan pergerakan. Pergerakan yang dilakukan tersebut bertujuan untuk melakukan aktivitas sehari-harinya, kebutuhan akan transportasi merupakan derived demand yang berarti transportasi bukan merupakan tujuan akhir, namun transportasi dibutuhkan guna mencapai tujuan akhir tersebut (Benson & Whitehead, dalam Warpani, 1990:21). Sedangkan permintaan akan transportasi adalah keinginan orang untuk melakukan pergerakan menggunakan moda transportasi, dalam hal ini dengan menggunakan kendaraan umum yang didukung dengan kemampuan finansial untuk membayarnya.

II.4.2. Pengertian Ketersediaan Transportasi

Berdasarkan konsep teori ekonomi, yang dimaksudkan dengan ketersediaan jasa transportasi (transport supply) adalah pasokan yang disediakan untuk mengantisipasi kebutuhan pergerakan. Secara fisik berwujud sebagai sarana dan prasarana. Tetapi pengertian supply pada transportasi berbeda dengan pengertiannya dalam ilmu ekonomi yang terkait dengan niaga dan jasa. Sarana transportasi tidak dapat digudangkan dan dilayankan dalam bentuk yang teratur. Supply akan diminta pada saat dan di tempat permintaan tumbuh. Contohnya, bus dengan daya tampung 60 kursi dikatakan tepat terpakai semua walaupun berangkat hanya dengan 20 penumpang. Sisa 40 kursi tidak dapat disimpan untuk menampung arus penumpang pada waktu lain.

Semua ciri ini hendaknya diperhitungkan ketika menaksir lalu lintas agar kemampuan pelayanan pada peak hour atau puncak demand dapat terjamin, dan guna meminimumkan kapasitas angkut pada saat sepi (off peak). Tindakan ini dilakukan supaya terhindar dari kemacetan dan kesulitan lain (LPM ITB dalam Satriadi, 2001;23-24).

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 14 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

II.5. SARANA (JARINGAN PELAYANAN) DAN PRASARANA TRANSPORTASI

II.5.1. Jaringan Pelayanan

Pelayanan angkutan orang dengan kendaraan umum dikelompokkan menurut wilayah pelayanan, operasi pelayanan, dan perannya. Menurut wilayah pelayanannya, angkutan penumpang dengan kendaraan umum, terdiri dari angkutan lintas batas negara, angkutan antarkota antarprovinsi, angkutan kota, angkutan pedesaan, angkutan perbatasan, angkutan khusus, angkutan taksi, angkutan sewa, angkutan pariwisata dan angkutan lingkungan. Menurut sifat operasi pelayanannya, angkutan penumpang dengan kendaraan umum di atas dapat dilaksanakan dalam trayek dan tidak dalam trayek. Angkutan orang dengan kendaraan umum dalam trayek, yaitu:

1. Angkutan lintas batas negara, angkutan dari satu kota ke kota lain yang melewati lintas batas negara dengan menggunakan mobil bus umum yang terkait dalam trayek; 2. Angkutan antarkota antarprovinsi (AKAP), angkutan dan satu kota ke kota lain yang melalui antardaerah kabupaten/kota yang melalui lebih dari satu daerah provinsi dengan menggunakan mobil bus umum yang terikat dalam trayek; 3. Angkutan antarkota dalam provinsi (AKDP), angkutan dari satu kota ke kota lain yang melalui antardaerah kabupaten/kota dalam satu daerah provinsi dengan menggunakan mobil bus umum yang terikat dalam trayek; 4. Angkutan kota, angkutan dari satu tempat ke tempat lain dalam satu daerah kota atau wilayah ibukota kabupaten atau dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan menggunakan mobil bus umum atau mobil penumpang umum yang terikat dalam trayek; 5. Angkutan pedesaan, angkutan dari satu tempat ke tempat lain dalam satu daerah kabupaten yang tidak termasuk dalam trayek kota yang berada pada wilayah ibukota kabupaten dengan mempergunakan mobil bus umum atau mobil penumpang umum yang terikat dalam trayek; 6. Angkutan perbatasan, angkutan kota atau angkutan pedesaan yang memasuki wilayah kecamatan yang berbatasan langsung pada kabupaten atau kota lainnya baik yang melalui satu provinsi maupun lebih dari satu provinsi; 7. Angkutan khusus, angkutan yang mempunyai asal dan/atau tujuan tetap, yang melayani antar jemput penumpang umum, antar jemput karyawan, permukiman, dan simpul yang berbeda. 8. Sedangkan untuk angkutan orang dengan kendaraan umum tidak dalam trayek yaitu: 9. Angkutan taksi, angkutan dengan menggunakan mobil penumpang umum yang diberi tanda khusus dan dilengkapi dengan argometer yang melayani angkutan dari pintu ke pintu dalam wilayah operasi terbatas;

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 15 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

10. Angkutan sewa, angkutan dengan menggunakan mobil penumpang umum yang melayani angkutan dari pintu ke pintu dengan atau tanpa pengemudi, dalam wilayah operasi yang tidak terbatas; 11. Angkutan pariwisata, angkutan dengan menggunakan bus umum yang dilengkapi dengan tanda-tanda khusus untuk keperluan pariwisata atau keperluan lain di luar pelayanan angkutan dalam trayek, seperti untuk keperluan keluarga dan sosial lainnya; 12. Angkutan lingkungan, angkutan dengan menggunakan mobil penumpang yang dioperasikan dalam wilayah operasi terbatas pada kawasan tertentu.

Pelayanan angkutan barang dengan kendaraan umum tidak dibatasi wilayah pelayanannya. Demi keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan dapat ditetapkan jaringan lintas untuk mobil barang tertentu, baik kendaraan umum maupun kendaraan bukan umum. Dengan ditetapkan jaringan lintas untuk mobil barang yang bersangkutan, maka mobil barang dimaksud hanya diijinkan melalui lintasannya, misalnya mobil barang pengangkut petikemas, mobil barang pengangkut bahan berbahaya dan beracun, dan mobil barang pengangkut alat berat.

II.5.2. Jaringan Prasarana

Jaringan prasarana transportasi jalan terdiri dan simpul yang berwujud terminal penumpang dan terminal barang, dan ruang lalu lintas. Terminal penumpang menurut wilayah pelayanannya dikelompokkan menjadi:

1. Terminal penumpang tipe A, berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan lintas batas negara, angkutan antar kota antarprovinsi, antarkota dalam provinsi, angkutan kota, dan angkutan pedesaan; 2. Terminal penumpang tipe B, berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan antarkota dalam provinsi, angkutan kota, dan angkutan pedesaan; 3. Terminal penumpang tipe C, berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan pedesaan. Selanjutnya masing-masing tipe tersebut dapat dibagi dalam beberapa kelas sesuai dengan kapasitas terminal dan volume kendaraan umum yang dilayani.

Terminal barang dapat pula dikelompokkan menurut fungsi pelayanan penyebaran/distribusi menjadi:

1. Terminal utama, berfungsi melayani penyebaran antarpusat kegiatan nasional dari pusat kegiatan wilayah ke pusat kegiatan nasional, serta perpindahan antarmoda; 2. Terminal penumpang, berfungsi melayani penyebaran antarpusat kegiatan wilayah, dari pusat kegiatan lokal ke pusat kegiatan wilayah; 3. Terminal lokal, berfungsi melayani penyebaran antarpusat kegiatan lokal.

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 16 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Tabel II-3 Prasarana Bangunan Terminal

No Komponen Aktivitas Jenis Prasarana 1 Penumpang transfer ● Turun dari kendaraan ● Platform bay atau pindah moda ● Membeli tiket ● Loket tiket ● Menunggu, makan, minum, istirahat ● Ruang tunggu ● Naik ke kendaraan ● Toko ● Restoran ● Toilet 2 Sarana angkutan ● Datang, masuk dan menunggu antrian ● Lajur, track umum ● Menurunkan penumpang ● Platform bay ● Parkir ● Area parkir ● Pembersihan/pembekalan ● Bengkel ● Perbaikan kecil ● Pompa BBM ● Pengisian BBM ● Menaikkan penumpang ● Pergi dari terminal 3 Penumpang/ ● Kendaraan datang ● Jalan akses masuk pengantar (kiss & ride) ● Menurunkan orang/ barang ● Platform mobil ● Kendaraan meninggalkan terminal ● Jalan keluar ● Penumpang membeli tiket ● Loket tiket ● Penumpang menunggu, istirahat ● Ruang informasi ● Penumpang naik ● Ruang tunggu ● berangkat ● Toko ● Restoran ● Toilet ● Platform bay ● Lajur, track 4 Penumpang (park & ● Datang ● Jalan akses masuk ride) ● Parkir ● Area parkir mobil ● Membeli tiket ● Loket tiket ● Menunggu, istirahat ● Ruang tunggu ● Penumpang naik ● Toko ● Penumpang turun ● Restoran ● Berjalan ke tempat parkir ● Toilet ● Pergi meninggalkan terminal ● Platform bay ● Pedestrian line ● Jalan keluar 5 Penumpang pejalan ● Penumpang datang ● Jalur akses pedestrian kaki ● Membeli tiket ● Loket tiket ● Menunggu, istirahat ● Ruang tunggu ● Penumpang naik ● Toko ● Berangkat meninggalkan terminal ● Restoran ● Toilet ● Platform bay ● Lajur, track

Selain terminal, prasarana transportasi adalah jaringan jalan. Jaringan jalan terdiri atas Jaringan jalan primer dan jaringan jalan sekunder.

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 17 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

1. Jaringan jalan primer, merupakan jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan. 2. Jaringan jalan sekunder, merupakan jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan Jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan.

Berdasarkan sifat dan pergerakan lalu lintas dan angkutan jalan, jalan umum dibedakan atas fungsi jalan arteri, kolektor, lokal dan lingkungan.

1. Jalan arteri, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan Jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna; 2. Jalan kolektor, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi; 3. Jalan lokal, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah Jalan masuk tidak dibatasi. Jalan lingkungan, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.

Pembagian setiap ruas jalan pada jaringan jalan primer terdiri dari:

1. Jalan arteri primer, menghubungkan secara berdaya guna antarpusat kegiatan nasional, atau antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan wilayah; 2. Jalan kolektor primer, menghubungkan secara berdaya guna antara pusat kegiatan wilayah, atau menghubungkan antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal; 3. Jalan lokal primer, menghubungkan secara berdaya guna pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lingkungan atau pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lingkungan atau pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lokal, dan antarpusat kegiatan lingkungan; 4. Jalan lingkungan primer, menghubungkan antarpusat kegiatan di dalam kawasan perdesaan dan jalan di dalam lingkungan kawasan perdesaan.

Jalan umum menurut statusnya dikelompokkan ka dalam jalan nasionai, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa.

1. Jalan nasional merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antaribukota provinsi dan jalan strategis nasional, serta jalan tol; 2. Jalan provinsi merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau antaribukota, dan jalan strategis provinsi;

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 18 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

3. Jalan kabupaten merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak termasuk jalan nasional dan jalan provinsi yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, atau antaribukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan PKL, antar-PKL, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilaya kabupaten, dan jalan strategis kabupaten; 4. Jalan kota adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan antarpersil, berada di dalam kota. 5. Jalan desa merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan atau antarpermukiman di dalam desa serta jalan lingkungan.

II.6. TINJAUAN ANGKUTAN UMUM

Konsep penyediaan angkutan umum muncul karena tidak semua warga punya kendaraan pribadi, sehingga Negara berkewajiban menyediakan angkutan bagi masyarakat secara keseluruhan. Terdapat dua konsumen jasa angkutan umum (Warpani,1990), yaitu:

1. Paksawan (captive), yaitu mereka yang tidak mampu memiliki kendaraan sendiri atau menyewa secara pribadi. 2. Pilihan (choice), yaitu mereka yang mampu.

II.6.1. Pengertian Angkutan Umum

Angkutan umum atau publik transport menurut kamus tata ruang adalah alat angkut penumpang yang diperuntukkan bagi masyarakat umum. Angkutan umum penumpang adalah angkutan penumpang yang dilakukan dengan sistem sewa atau bayar. Termasuk dalam pengertian angkutan umum penumpang adalah angkutan kota (bus, minibus, dsb), kereta api, angkutan air, dan angkutan udara (Warpani, 1990:170).

II.6.2. Tujuan Angkutan Umum

Tujuan sosial angkutan umum secara langsung maupun tidak langsung, dapat memperkecil kesenjangan sosial dalam struktur masyarakat. Adapun tujuan ekonomis aspek angkutan umum adalah terdapatnya tingkat efektivitas angkutan umum perkotaan menyangkut pemanfaatan secara ekonomis, sarana dan prasarana kota dengan kontrol dan pengaturannya (Servant dalam Indarto,1993).

Menurut Paul Addenbrooke dalam Indarto (1993), masyarakat mempunyai tuntutan untuk mobilisasi dan memfungsikan angkutan umum pada dua hal, yaitu:

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 19 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

1. Memberikan kesempatan orang yang tidak menggunakan kendaran pribadi untuk kepuasan ekonomi dan keinginan sosial yang tidak terpenuhi dalam melakukan perjalanannya. 2. Memberikan alternatif kepada kendaraan pribadi, karena secara fisik ataupun ekonomi tidak terbatas penggunaannya tidak tercukupi dan tidak layak secara sosial atau alasan-alasan lingkungan.

Lebih lanjut lagi mengenai penyediaan angkutan umum di negara sedang berkembang yang jumlah kelompok captivenya sangat dominan, maka kebijakannya lebih berorientasi pada penambahan kapasitas angkut daripada kenyamanan (misalnya: ber-AC), sehingga semua anggota masyarakat yang membutuhkan dapat dipenuhi (LPM ITB, 1997 : I-5).

II.6.3. Persyaratan Angkutan Umum

Adapun persyaratan untuk menyelenggarakan angkutan umum (Gunadarma, 1997) adalah sebagai berikut:

1. Memiliki izin usaha angkutan 2. Memiliki izin trayek 3. Mengasuransikan kendaraan dan penumpangnya 4. Layak pakai bagi kendaraan yang dioperasikan

Pada umumnya kendaraan umum di Indonesia dioperasikan antara lain oleh perusahaan swasta atau koperasi sebagai operator serta pemerintah (DLLAJ) antara lain DAMRI dan PPD.

II.6.4. Angkutan Umum (Mass Transit) menurut Jenis Pelayanan

Berikut ini adalah beberapa jenis angkutan umum yang dilihat menurut jenis pelayanannya (Miro,1997:43) antara lain:

1. Tipe rute dan pelayanan trip: a. Angkutan lokal, desa, jarak pendek (short haul transit) b. Angkutan kota (city transit) c. Angkutan antar kota (regional transit) 2. Jadwal pemberhentian dan tipe operasi: a. Pelayanan lokal/angkutan kota dan desa (local service) harus berhenti pada setiap stopan (halte) b. Pelayanan antar kota dalam propinsi (accelerated service), pemberhentian diminimumkan c. Pelayanan jarak jauh (express service), dalam perjalanan harus non stop (patas) kecuali di tempat-tempat istirahat yang ditentukan 3. Waktu pelayanan

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 20 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

a. Reguler, setiap waktu 24 jam b. Commuter (tetap, ulak-alik) c. Khusus atau irregular (carteran) 4. Hirarki rute a. Arteri (bus-bus besar atau bus-bus kota besar) b. Kolektor (bus-bus sedang, mikrolet, , ) c. Lokal (ojek, becak, bemo)

II.6.5. Kualitas Operasi Angkutan Umum

Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas operasi angkutan umum (Wibowo, 2003) antara lain:

1. Load factor, yaitu perbandingan jumlah penumpang dengan kapasitas tempat duduk mobil penumpang. Misalnya load factor 50%, berarti jumlah tempat duduk yang kosong adalah setengah dari kapasitas yang ditetapkan. Load factor cenderung tinggi pada jam-jam sibuk, apabila tidak diimbangi dengan peningkatan frekuensi pelayanan akan menimbulkan kelebihan muatan sehingga tingkat pelayanan menurun. Hal ini akan menimbulkan penurunan tingkat kepuasan penumpang dan terjadi pemindahan moda, persepsi negatif terhadap sistem, dan gangguan terhadap keamanan. 2. Waktu tempuh, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menempuh suatu rute secara utuh dari asal sampai ke akhir tujuan rute. 3. Frekuensi pelayanan, yaitu jumlah perjalanan kendaraan dalam satuan waktu tertentu. 4. Jumlah armada, yaitu jumlah kendaraan yang beroperasi pada satu rute.

II.6.6. Perencanaan Operasional Angkutan Umum

Proses perencanaan pada perusahaan angkutan umum dalam menyediakan jasa angkutan kepada masyarakat dimulai dengan merencanakan kapasitas, penentuan jumlah kendaraan dan pendapatan, route costing, penjadwalan, kinerja dan standar pelayanan (Nasution,1996).

Penentuan jumlah kendaraan yang dibutuhkan didasarkan peramalan trafik penumpang (passenger traffic forecast) pada setiap rute atau trayek yang akan dilayani. Efisiensi dari pelayanan angkutan umum jalan raya adalah suatu fungsi dari banyak faktor, antara lain adalah waktu bepergian (journey time). Salah satu unsur dari waktu bepergian adalah waktu perjalanan (running time). Waktu perjalanan adalah waktu yang diperlukan oleh kendaraan untuk melakukan perjalanan dari ujung permulaan rute ke ujung akhir. Menurut Nasution (1996: 45- 47), waktu perjalanan merupakan fungsi kecepatan rata-rata kendaraan. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap kecepatan rata-rata kendaraan, seperti:

1. Jarak pemberhentian kendaraan 2. Jumlah penumpang per trip

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 21 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

3. Waktu naik dan turun rata-rata per penumpang 4. Keadaan jalan 5. Perilaku pengemudi 6. Banyaknya tanjakan 7. Kemacetan lalu lintas, dan lain-lain

Dengan banyaknya variable yang mempengaruhi, kecepatan kendaraan rata-rata dari kota ke kota dan dari rute ke rute berbeda-beda. Oleh karena itu, untuk angkutan kota tidak dilakukan penetapan kecepatan kendaraan rata-rata. Bagi operator, waktu perjalanan adalah sangat penting karena berpengaruh langsung terhadap kelayakan finansial hasil pelayanan yang diberikan Nasution (1996: 45-47).

II.6.7. Karakteristik Moda Angkutan Umum

Angkutan umum penumpang mempunyai karakteristik tertentu. (Dimitriou, 1995:185) mengatakan bahwa karakteristik dasar AUP di Indonesia adalah:

1. Limit kecepatan : 60 km/jam 2. Kecepatan rata-rata : 8 km/jam 3. Trip length (panjang perjalanan) ideal : 43 km 4. Panjang perjalanan rata-rata : 4,5 km

Angkutan umum penumpang di indonesia paling baik dikembangkan di sepanjang rute yang tingkat permintaan atau geometri jalannya tidak mendukung keberadaan operasional pelayanan bus (Dimitriou, 1995:185).

II.6.8. Karakteristik Pengguna Angkutan Umum

(Warpani, 2002:27) menerangkan bahwa dalam mengelola sistem pengangkutan ada dua kelompok yaitu:

1. Captive riders (orang yang tidak mampu memiliki sendiri atau menyewa). 2. Choice riders (orang yang mampu memiliki kendaraan sendiri).

Pengguna angkutan umum yang terdiri choice dan captive user secara matematis dapat dilihat dalam persamaan berikut (FTSP –ITB, 1997: II-4):

Pengguna Angkutan Umum = Kelompok Captive + x % Kelompok Choice

Idealnya, kota dengan penduduk lebih dari 1 juta jiwa seharusnya telah memiliki sistem angkutan umum massal yang terintegrasi dengan kualitas pelayanan yang handal. Prasarana

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 22 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

jaringan yang terbatas ini dapat dimanfaatkan secara optimal untuk sebagian besar kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Medan, Semarang, Surabaya dan Makassar. Kemacetan lalu lintas akibat kepadatan kendaraan pada jaringan jalan dapat terjadi setiap hari. Penyebab utamanya adalah volume kendaraan yang ada tidak dapat diakomodir oleh kapasitas jaringan jalan yang ada dan termasuk peran angkutan umum belum berfungsi semestinya.

Keseimbangan antara demand dan supply didasarkan pada faktor kebutuhan transportasi dan ketersediaan prasarana transportasi untuk situasi sekarang dan situasi ideal. Jika salah satu dari dua variabel tersebut tidak berimbang maka akan menimbulkan permasalahan tentang transportasi, salah satunya adalah angkutan umum penumpang. Akhirnya muncul ketidakseimbangan dalam bentuk permasalahan Transportasi.

Kebutuhan Transportasi (KT) Prasarana Transportasi (PT)

PT1 KT0 PT0 KT1

a. Situasi ideal b. Situasi sekarang

Catatan: K

KT0 - Kebutuhan transportasi pada situasi ideal

KT1 - Kebutuhan transportasi pada situasi sekarang PT0 - Prasarana transportasi pada situasi ideal PT1 - Prasarana transportasi pada situasi sekarang

Sumber: Ohta (1998) Gambar II.5 Situasi TransportasiT Pada Masa Sekarang

II.7. PELAYANAN ANGKUTAN UMUM PENUMPANG (AUP)

Salah satu cara menentukan tingkat pelayanan angkutan umum dapat digunakan dilakukan dengan membandingkannya dengan angkutan jenis lain, misalnya angkutan pribadi. Berikut ini adalah perbedaaan antara angkutan umum dengan angkutan pribadi agar dapat mengetahui bentuk pelayanan yang ditawarkan oleh angkutan umum.

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 23 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Tabel II-4 Karakteristik Pelayanan Angkutan Umum dan Kendaraan Pribadi

KARAKTERISTIK ANGKUTAN UMUM ANGKUTAN PRIBADI Peruntukan Umum Pemilik Pemasok jasa Operator Pemilik Penentuan Rute perjalanan Operator (fixed) Pengguna/ Pemilik (fleksibel) Penentuan Kapan digunakan Operator (fixed) Pengguna/ Pemilik (fleksibel) Penentuan biaya Operator (fixed) Sesuai pemakaian Moda Bus, StreetCar, LRT, Rapid Mobil, motor, sepeda Kerapatan daerah pelayanan optimal Rendah-medium Medium-tinggi Pola rute pelayanan yang optimal Menyebar Terkonsentrasi (Radial) Waktu pelayanan terbaik Off-peak Peak Trip-Purpose Rekreasi, shopping, bisnis Kerja, sekolah, bisnis Sumber: FTSP-ITB, 1997: II-2

Berdasarkan dari tabel di atas, terlihat bahwa perbedaaan pelayanan angkutan umum dan pribadi dibedakan berdasarkan variabel karakteristiknya yaitu: peruntukkan, pemasok jasa, penentuan rute perjalanan, penentuan kapan digunakan, penentuan biaya, penentuan moda, kerapatan daerah pelayanan optimal, pola rute pelayanan yang optimal, waktu pelayanan terbaik, dan trip-purpose.

Tabel II-5 Variabel Pelayanan AUP

NO. VARIABEL KETERANGAN 1. Keselamatan Berhubungan dengan masalah kemungkinan kecelakaan dan terutama berkaitan erat dengan sistem prosedur keselamatan yang digunakan. 2. Keandalan Dapat melayani penumpang sewaktu-waktu/kapan saja angkutan umum tersebut dibutuhkan selalu tersedia. Disamping itu berhubungan dengan ketetapan jadwal dan jaminan sampai di tempat tujuan. 3. Fleksibilitas Kemudahan yang ada dalam mengubah segala sesuatu sebagai akibat adanya kejadian yang berubah tidak sesuai dengan skenario yang direncanakan. 4. Kenyamanan Terutama berlaku untuk angkutan penumpang dan erat kaitannya dengan masalah tata letak tempat duduk, sistem pengaturan udara di dalam kendaraan dan lain-lain. 5. Kecepatan Merupakan faktor yang sangat penting dan berkaitan erat dengan masalah efisiensi sistem transportasi. 6. Dampak Sangat beragam jenisnya, mulai dari lingkungan sosial politik serta konsumsi energi yang dibutuhkan dampak tersebut dapat berupa dampak positif dan dampak negatif. 7. Keamanan Berkaitan dengan kemungkinan terjadinya tindak kejahatan 8. Biaya Berhubungan dengan ongkos/tarif angkutan yang harus dibayar oleh penumpang 9. Pelayanan Berhubungan dengan citra/image terhadap perusahaan atau moda Operator transportasi tertentu. Jika perusahaan/moda transportasi tertentu dapat memberikan pelayanan terbaik dan kepuasan kepada penumpang/users, maka users tersebut akan menjadi pelanggan setia. Sumber: Nasution (2004:55), Warpani (2002:56), Gray (1979:261-262)

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 24 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

II.8. PERMINTAAN DAN PENAWARAN TRANSPORTASI

Permintaan dan penawaran jasa transportasi berkaitan dengan saling keterhubungan antara masyarakat sebagai penumpang (demand) dengan operator angkutan (supply). Hal ini menjadi masalah ketika masyarakat yang berada di pinggiran melakukan pergerakan ke pusat kota dengan tujuan yang beragam dan dilakukan secara kontinyu. Pergerakan masyarakat secara kontinyu dan memiliki intensitas yang tinggi berdampak pada tingginya permintaan jasa transportasi sebagai moda untuk melakukan pergerakan, sehingga harus didukung dengan penyediaan pelayanan transportasi.

1. Permintaan Transportasi

Kebutuhan akan pergerakan bersifat sebagai kebutuhan turunan (Nataniel dalam Tamin, 2000: 4). Maksud dari pernyataan tersebut dalam pergerakan timbul karena adanya permintaan dan aktivitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Pergerakan tersebut membutuhkan alat transportasi sebagai sarana pergerakan, hal ini menyebabkan terjadinya permintaan terhadap pelayanan transportasi dengan tersedianya angkutan. Permintaan jasa transportasi dibedakan menjadi lima kelompok dominan (Morlok, 1989:451-495).

a. Waktu (kapan dan berapa lamanya) b. Arah (darimana mau kemana) c. Motivasi (maksud dan tujuan) d. Kualitas (tingkat pelayanan, kepuasan, kenyamanan, dan keamanan)

Kebutuhan akan transportasi merupakan drive demand yang berarti transportasi bukan merupakan tujuan akhir namun transportasi digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan akhir (Benson dan Whitehead dalam Warpani, 1990: 21). Permintaan pelayanan transportasi membutuhkan kualitas pelayanan yang mampu memberi rasa nyaman dan yang terpenting memiliki ongkos transportasi yang murah.

2. Pelayanan Transportasi

Pelayanan atau penawaran jasa transportasi adalah jasa yang disediakan untuk mengantisipasi kebutuhan pergerakan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat berkaitan dengan permintaan akan jasa transportasi secara keseluruhan (Salim, 1995:17). Setiap moda transportasi yang ditawarkan memiliki karakteristik dan sifat pelayanan yang berbeda, dimana hal tersebut berpengaruh terhadap kualitas pelayanan jasa angkutan yang ditawarkan oleh pemilik angkutan atau operator. Jasa pelayanan angkutan tersebut dibedakan dari segi (Salim, 1995: 18).

a. Peralatan yang digunakan b. Kapasitas yang tersedia c. Kondisi alat angkutan yang dipakai d. Sistem pembiayaan dan pengopersian alat angkut

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 25 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Operator angkutan harus memperhatikan kualitas pelayanan yang tepat waktu, kenyamanan, dan keamanan penumpang harus menjadi prioritas serta memiliki ongkos yang murah, hal ini saling berkaitan untuk memenuhi demand masyarakat yang variatif. Terpenuhinya kebutuhan kendaraan/armada setiap operasi pada saat diperlukan dalam jumlah optimal merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan perangkutan (Warpani, 2002: 30). Warpani (2002: 41) berpendapat setidaknya ada tiga pengetahuan yang semestinya dimiliki oleh operator dalam melakukan pelayanan kepada penumpang, meliputi:

a. Pengetahuan akan biaya b. Kecepatan dan ketepatan prakiraan c. Pengetahuan akan “pasar” (termasuk kondisi demand) dan pemasaran.

Adapun perlunya peran pemerintah dalam pengaturan moda transportasi sebagai regulator yang mengatur trayek agar tidak tumpang tindih, kebutuhan jumlah moda transportasi, dan yang terpenting adalah tarif yang dibebankan kepada penumpang sebagai uang jasa transportasi. Secara ekonomis angkutan memiliki peran sebagai perputaran barang maupun uang, karena mampu menggerakkan ekonomi perkotaan dalam hal jasa angkut barang maupun melayani pergerakan masyarakat. Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan angkutan umum (Wibawa, 2003) antara lain:

a. Load Factor, yaitu perbandingan jumlah penumpang dengan kapasitas tempat duduk mobil penumpang. Misalnya load factor 50% berarti jumlah tempat duduk yang kosong adalah setengah dari kapasitas yang ditetapkan. Load factor cenderung tinggi pada jam-jam sibuk, apabila tidak diimbangi dengan peningkatan frekuensi pelayanan maka akan menimbulkan kelebihan muatan sehingga tingkat pelayanan menurun, hal ini akan menurunkan tingkat kepuasan penumpang. b. Waktu tempuh, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menempuh suatu rute sampai ke akhir tujuan rute. c. Frekuensi pelayanan yaitu jumlah perjalanan kendaraan dalam suatu waktu tertentu. d. Jumlah armada, yaitu jumlah kendaraan yang beroperasi pada satu rute.

Segi pelayanan jasa transportasi harus memperhatikan keamanan, ketepatan, keteraturan, kenyamanan, kecepatan, kesenangan, dan kepuasan (Salim, 1993: 18). Pelayanan transportasi diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dan pergerakan masyarakat dalam melakukan aktivitas.

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 26 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

II.9. KINERJA RUAS JALAN

Kinerja ruas (link) dari suatu jaringan akan sangat berpengaruh pada kinerja jaringan secara keseluruhan. Parameter yang umum dipakai untuk menentukan kinerja suatu ruas antara lain derajat kejenuhan, kecepatan dan waktu tempuh. Kinerja ruas ini sangat ditentukan dari kondisi ruas itu sendiri, misalnya: jumlah lajur, lebar lajur, hambatan samping (tata guna lahan) pada sisi kiri dan kanan jalan dan lain-lain. Untuk analisa dari kondisi ruas jalan akan digunakan prosedur yang ada dalam Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI,1997) diantaranya sebagai berikut:

II.9.1. Kapasitas Jalan

Kapasitas adalah volume maksimum kendaran yang dapat diharapkan untuk melalui suatu potongan jalan pada periode waktu tertentu untuk kondisi tertentu. Kapasitas lebih dikenal dengan “Daya tampung maksimal” suatu ruas jalan terhadap volume lalu lintas yang melintas. Kapasitas jalan berbeda-beda kemampuannya, tergantung/ dipengaruhi lebar dan penggunaan jalan tersebut (satu atau dua arah). Nilai kapasitas/daya tampung suatu ruas jalan dinyatakan dengan smp/jam (Satuan Mobil Penumpang per-jam).

Kapasitas dasar adalah volume maksimum yang dapat melewati suatu potongan lajur jalan (untuk jalan multi lajur) atau suatu potongan jalan (untuk jalan dua lajur) pada kondisi jalan dan arus lalu lintas ideal. Kondisi ideal terjadi bila:

● Lebar lajur tidak kurang dari 3,5 m. ● Kebebasan lateral tidak kurang dari 1,75 m. ● Standar geometrik baik. ● Hanya mobil penumpang yang menggunakan jalan. ● Tidak ada batas kecepatan.

A. Kapasitas Jalan Perkotaan (Urban Road)

Perhitungan kapasitas untuk jalan perkotaan adalah sebagai berikut:

C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs ( smp/jam )

Keterangan : C : Kapasitas ( smp/jam ) Co : Kapasitas dasar ( smp/jam ) FCw : Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas FCsp : Faktor penyesuaian pemisah arah FCsf : Faktor penyesuaian hambatan samping FCcs : Faktor penyesuaian ukuran kota

1. Kapasitas Dasar (Co)

Dalam menentukan kapasitas dasar digunakan standar IHCM dimana data kapasitas jalan diklasifikasikan berdasarkan tipe jalan dan dikelompokkan menjadi

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 27 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

tiga jenis berdasarkan jumlah jalur per lajur yang dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel II-6 Kapasitas Dasar Jalan Perkotaan

Tipe Jalan Kota Kapasitas Dasar, Co Keterangan Empat lajur terbagi atau jalan satu arah 1650 Smp/jam Per Lajur Empat lajur tak terbagi 1500 Smp/jam Per Lajur Dua lajur tak terbagi 2900 Smp/jam Kedua Arah Sumber: Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

2. Faktor Penyesuaian Lebar Jalan (FCw)

Penentuan faktor koreksi lebar jalan (FCw) didasarkan pada lebar jalan efektif (Wc). Kriteria faktor koreksi lebar jalan (FCw) ini disajikan pada tabel sebagai berikut.

Tabel II-7 Faktor Penyesuaian Lebar Jalan Perkotaan (FCW)

Lebar jalur lalu lintas efektif (Wc) Tipe Jalan FCw (meter) Empat-lajur terbagi atau jalan Per lajur satu arah 3,00 0,92 3,25 0,96 3,50 1,00 3,75 1,04 4,00 1,08 Empat lajur tak terbagi Per lajur 3,00 0,91 3,25 0,95 3,50 1,00 3,75 1,05 4,00 1,09 Dua lajur tak terbagi Total dua arah 5 0,56 6 0,87 7 1,00 8 1,14 9 1,25 10 1,29 11 1,34 Sumber: Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

3. Faktor Penyesuaian Pemisah Arah (FCSP)

Penentuan faktor koreksi untuk pembagian arah (FCSP) pada tabel berikut didasarkan pada kondisi lalu lintas dari kedua arah. Oleh karena itu faktor koreksi ini hanya berlaku untuk jalan dua arah. Sedangkan untuk jalan satu arah dan

dengan median FCSP diambil sama dengan 1.00

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 28 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Tabel II-8 Faktor Penyesuaian Pembagian Arah Jalan Perkotaan (FCSP)

Pemisahan arah SP % - % 50-50 55-45 60-40 65-35 70-30 Fsp Dua- lajur 2/2 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88 Empat-lajur 4/2 1,00 0,985 0,97 0,955 0,94

Sumber : Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997) Catatan : Untuk jalan terbagi dan jalan satu arah, faktor penyesuaian kapasitas untuk pemisahan arah tidak dapat diterapkan dan nilai 1,0

4. Faktor Penyesuaian Gangguan Samping (FCSF)

Faktor koreksi untuk gangguan samping didasarkan pada lebar bahu efektif (Ws) dan tingkat gangguan samping, yang dapat dilihat pada tabel-tabel sebagai berikut.

Tabel II-9 Faktor Gangguan Samping dengan Bahu Jalan Perkotaan

Kelas Faktor Penyesuaian Akibat Hambatan Samping (FCSF) Tipe Hambatan Lebar Bahu Efektif Ws Jalan Samping ≤ 0,5 1,0 1,5 ≥ 2,0 VL 0,96 0,98 1,01 1,03 L 0,94 0,97 1,00 1,02 4/2 D M 0,92 0,95 0,98 1,00 H 0,88 0,92 0,95 0,98 VH 0,84 0,88 0,92 0,96 VL 0,96 0,99 1,01 1,03 L 0,94 0,97 1,00 1,02 4/2 UD M 0,92 0,95 0,98 1,00 H 0,87 0,91 0,94 0,98 VH 0,80 0,86 0,90 0,95 2/2 UD VL 0,94 0,96 0,99 1,01 atau L 0,92 0,94 0,97 1,00 Jalan M 0,89 0,92 0,95 0,98 Satu H 0,82 0,86 0,90 0,95 Arah VH 0,73 0,79 0,85 0,91 Sumber : Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

Tabel II-10 Faktor Gangguan Samping dengan Kerb Jalan Perkotaan

Kelas Faktor Penyesuaian Akibat Hambatan Samping (FCSF) Tipe Hambatan Jarak Kereb - Penghalang WK Jalan Samping ≤ 0,5 1,0 1,5 ≥ 2,0 VL 0,95 0,97 0,99 1,01 L 0,94 0,96 0,98 1,00 4/2 D M 0,91 0,93 0,95 0,98 H 0,86 0,89 0,92 0,95 VH 0,81 0,85 0,88 0,92 VL 0,95 0,97 0,99 1,01 L 0,93 0,95 0,97 1,00 4/2 UD M 0,90 0,92 0,95 0,97 H 0,84 0,87 0,90 0,93

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 29 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

VH 0,77 0,81 0,85 0,90 2/2 UD VL 0,93 0,95 0,97 0,99 atau L 0,90 0,92 0,95 0,97 Jalan M 0,86 0,88 0,91 0,94 Satu H 0,78 0,81 0,84 0,88 Arah VH 0,68 0,72 0,77 0,82 Sumber : Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

Nilai yang digunakan mulai dari kelas gangguan samping sama dengan sangat rendah sampai dengan sangat tinggi ditunjukkan berikut ini:

Tabel II-11 Kegiatan di Sekitar Jalan Perkotaan

Kelas Gangguan Samping Komponen Sangat Sangat Rendah Sedang Tinggi rendah tinggi Gerakan pejalan kaki 0 1 2 4 7 Angkutan umum berhenti 0 1 3 6 9 Kend. Keluar masuk 0 1 3 5 8 Sumber : Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

Angka yang terdapat pada tabel diatas dijumlahkan bila terdapat kombinasi dari ketiga komponen gangguan samping.

Tabel II-12 Nilai Total Gangguan Samping Jalan Perkotaan

Nilai Total Kelas Gangguan Samping 0 – 1 Sangat rendah 2 - 5 Rendah 6 – 11 Sedang 12 – 18 Tinggi 19 - 24 Sangat tinggi Sumber : Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

Faktor penyesuaian kapasitas untuk 6 lajur dapat ditentukan dengan

menggunakan nilai FCSF untuk jalan empat lajur dan perhitungan:

FC6,SF= 1 – 0,8 X (1 – FC4,SF)

Dimana, FC6,SF = faktor penyesuaian kapasitas untuk jalan enam lajur. FC4,SF = faktor penyesuaian kapasitas untuk jalan empat lajur.

5. Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCS)

Untuk menentukan nilai ukuran kota didasarkan pada data jumlah penduduk, dimana ukuran yang digunakan adalah jumlah penduduk per satu juta orang. Nilai untuk masing-masing ukuran jumlah penduduk adalah sebagai berikut:

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 30 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Tabel II-13 Nilai Ukuran Kota Jalan Perkotaan

Ukuran Kota (juta penduduk) Fcs <0.1 0.86 0.1 – 0.5 0.90 0.5 – 1.0 0.94 1.0 – 3.0 1.00 >3 1.04 Sumber : Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

B. Kapasitas Jalan Antar Kota (Intern Urban Road)

Perhitungan kapasitas untuk jalan antar kota adalah sebagai berikut:

C = Co x FCw x FCsp x FCsf ( smp/jam )

keterangan : C : Kapasitas ( smp/jam ) Co : Kapasitas dasar ( smp/jam ) FCw : Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas FCsp : Faktor penyesuaian pemisah arah FCsf : Faktor penyesuaian hambatan samping

1. Kapasitas Dasar (Co)

Dalam menentukan kapasitas dasar digunakan standar IHCM dimana data kapasitas jalan diklasifikasikan berdasarkan tipe jalan dan dikelompokkan menjadi tiga jenis berdasarkan jumlah jalur per lajur yang dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel II-14 Kapasitas Dasar Jalan Antar Kota 4 Lajur 2 Arah (Co)

Kapasitas Dasar Total Kedua Tipe Jalan Arah (smp/jam) Empat Lajur Terbagi - Datar 1900 - Bukit 1850 - Gunung 1800 Empat Lajur Tak Terbagi - Datar 1700 - Bukit 1650 - Gunung 1600 Sumber: Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997) Tabel II-15 Kapasitas Dasar Jalan Antar Kota 2 Lajur 2 Arah (Co)

Kapasitas Dasar Total Kedua Tipe Jalan Arah (smp/jam) Dua Lajur Tak Terbagi - Datar 3100

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 31 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

- Bukit 3000 - Gunung 2900 Sumber: Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

2. Faktor Penyesuaian Lebar Jalan (FCw)

Faktor kesesuaian lebar jalan ditentukan oleh jumlah jalur, jumlah lajur pada tiap jalur dan lebar lalu-lintas efektif tiap lajur. Faktor kesesuaian lebar jalan dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel II-16 Faktor Penyesuaian Lebar Jalan Antar Kota (FCW)

Tipe Jalan Lebar Efektif Jalur Lalu lintas (Wc) (m) FCw Empat Lajur Terbagi Per Lajur Atau Enam Lajur Terbagi 3,00 0,91 3,25 0,96 3,50 1,00 3,75 1,03 Empat Lajur Tak Terbagi Per Lajur 3,00 0,91 3,25 0,96 3,50 1,00 3,75 1,03 Dua lajur Tak Terbagi Total Dua Arah 5 0,69 6 0,91 7 1,00 8 1,08 9 1,15 10 1,21 11 1,27 Sumber: Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

3. Faktor Penyesuaian Pemisah Arah (FCSP)

Penentuan faktor koreksi untuk pembagian arah (FCSP) pada tabel berikut didasarkan pada kondisi lalu lintas dari kedua arah. Oleh karena itu faktor koreksi ini hanya berlaku untuk jalan dua arah. Sedangkan untuk jalan satu arah dan

dengan median FCSP diambil sama dengan 1.00.

Tabel II-17 Faktor Penyesuaian Pembagian Arah Jalan Antar Kota (FCSP)

Pemisahan arah SP % - % 50-50 55-45 60-40 65-35 70-30 Fsp Dua- lajur 2/2 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88 Empat-lajur 4/2 1,00 0,975 0,95 0,925 0,90

Sumber : Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997) Catatan : Untuk jalan terbagi dan jalan satu arah, faktor penyesuaian kapasitas untuk pemisahan arah tidak dapat diterapkan dan nilai 1,0

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 32 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

4. Faktor Penyesuaian Gangguan Samping (FCSF)

Faktor koreksi untuk gangguan samping didasarkan pada lebar bahu efektif (Ws) dan tingkat gangguan samping, yang dapat dilihat pada tabel-tabel sebagai berikut.

Tabel II-18 Faktor Gangguan Samping dengan Bahu

Kelas Faktor Penyesuaian Akibat Hambatan Samping (FCSF) Tipe Hambatan Lebar Bahu Efektif Ws Jalan Samping ≤ 0,5 1,0 1,5 ≥ 2,0 VL 0,99 1,00 1,01 1,03 L 0,96 0,97 0,99 1,01 4/2 D M 0,93 0,95 0,96 0,99 H 0,90 0,92 0,95 0,97 VH 0,88 0,90 0,93 0,96 VL 0,97 0,99 1,00 1,02 L 0,93 0,95 0,97 1,00 2/2 UD M 0,88 0,91 0,94 0,98 4/2 UD H 0,84 0,87 0,91 0,95 VH 0,80 0,83 0,88 0,93 Sumber : Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

Faktor penyesuaian kapasitas untuk 6 lajur dapat ditentukan dengan

menggunakan nilai FCSF untuk jalan empat lajur dan perhitungan:

FC6,SF= 1 – 0,8 X (1 – FC4,SF)

Dimana, FC6,SF = faktor penyesuaian kapasitas untuk jalan enam lajur. FC4,SF = faktor penyesuaian kapasitas untuk jalan empat lajur.

II.9.2. Volume Lalu Lintas

Volume adalah jumlah kendaraan yang melalui suatu titik pada suatu jalur gerak per satuan waktu. Biasanya digunakan satuan kendaraan per waktu (Morlok, 1978). Jumlah gerakan yang dihitung meliputi macam moda lalu lintas seperti pejalan kaki, mobil, bus, mobil barang atau kelompok-kelompok campuran moda. Satuan yang digunakan dalam menghitung volume lalu lintas adalah satuan mobil penumpang (SMP). Untuk menunjukkan volume lalu lintas pada suatu ruas jalan maka dilakukan dengan pengalian jumlah kendaraan yang menggunakan ruas jalan tersebut dengan faktor ekivalensi mobil penumpang (EMP).

Untuk mendesain jalan dengan kapasitas yang memadai, maka volume lalu lintas yang diperkirakan akan menggunakan jalan harus ditentukan terlebih dahulu. Sebagai langkah awal maka volume lalu lintas yang ada (existing) harus ditentukan.

→ Variasi jam-an

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 33 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Volume lalu lintas umumnya rendah pada malam hari, tetapi meningkat secara cepat sewaktu orang mulai pergi ke tempat kerja. Volume jam sibuk biasanya terjadi pada saat orang melakukan perjalanan ke dan dari tempat atau sekolah. → Variasi arah Volume arus lalu lintas dalam satu hari pada masing-masing arah biasanya sama besar. Tetapi pada waktu-waktu tertentu orang akan melakukan perjalanan dalam satu arah. → Variasi harian Arus lalu lintas bervariasi sesuai dengan hari dalam seminggu. → Distribusi jalur Apabila dua atau lebih lajur lalu lintas disediakan pada arah yang sama, maka distribusi kendaraan pada masing-masing lajur tersebut.

A. Perhitungan Volume Lalu Lintas Jalan Perkotaan

Pembagian Ekivalensi Mobil Penumpang (EMP) untuk jalan perkotaan dibagi dalam beberapa jenis kendaraan (MKJI, 1997) yaitu:

- Kendaraan ringan (LV); - kendaraan berat (HV); - sepeda motor (MC).

Faktor penentu satuan mobil penumpang dipengaruhi oleh klasifikasi kendaraan dan ruas jalan. Daftar satuan mobil penumpang menurut MKJI dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel II-19 Ekivalensi Mobil Penumpang Jalan Perkotaan tak terbagi

EMP Tipe Jalan : Arus Lalu Lintas dua arah MC Jalan Tak Terbagi (kend/jam) HV Lebar jalur lalu lintas Wc (m) ≤ 6 > 6 Dua-lajur tak terbagi 0 1,3 0,50 0,40 (2/2 UD) ≥ 1800 1,2 0,35 0,25 Empat lajur tak 0 1,3 0,40 terbagi (4/2 UD) ≥ 3700 1,2 0,25 Sumber: Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

Tabel II-20 Ekivalensi Mobil Penumpang Untuk Jalan Perkotaan Terbagi dan/atau Satu Arah

Tipe jalan : Arus lalu lintas per lajur Emp Jalan satu arah dan jalan terbagi (kend/jam) HV MC Dua lajur satu arah (2/1), dan 0 1,3 0,40 Empat lajur terbagi (4/2 D) ≥ 1050 1,2 0,25 Tiga lajur satu arah (3/1), dan 0 1,3 0,40

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 34 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Enam lajur terbagi (6/2 D) ≥ 1100 1,2 0,25 Sumber: Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

Tabel II-21 Nilai Ekivalensi Mobil Penumpang Pada Persimpangan

Emp Jenis Kendaraan Pendekat terlindung Pendekat terlawan Kendaraan ringan (LV) 1,00 1,00 Kendaraan berat (HV) 1,30 1,30 Sepeda motor (MC) 0,20 0,40 Sumber: Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

B. Perhitungan Volume Lalu Lintas Jalan Antar Kota

Pembagian Ekivalensi Mobil Penumpang (EMP) untuk jalan luar kota dibagi dalam 5 (lima) jenis kendaraan (MKJI, 1997: V-38) yaitu:

- kendaraan ringan (LV); - kendaraan menengah (MHV); - bus besar (LB); - truk besar (LT); - sepeda motor (MC).

Tabel II-22 Ekivalensi Mobil Penumpang (EMP) Jalan Antar Kota 2 Lajur 2 Arah Tak Terbagi

EMP Arus Lalu Lintas Kendaraan Sepeda Motor (MC) Tipe Kendaraan Truk Besar Total dua Arah Menengah Bus Besar (LB) (Kend/jam) alinyemen Ringan (LV) (LT) (Kend/jam) (MHV) (Kend/jam) < 6 > (Kend/jam) (Kend/jam) (Kend/jam) 6 m 8 m 8 m Datar 0 1 1,2 1,2 1,8 0,8 0,6 0,4 800 1 1,8 1,8 2,7 1,2 0,9 0,6 1350 1 1,5 1,6 2,5 0,9 0,7 0,5  1900 1 1,3 1,5 2,5 0,6 0,5 0,4 Bukit 0 1 1,8 1,6 5,2 0,7 0,5 0,3 650 1 2,4 2,5 5,0 1,0 0,8 0,5 1100 1 2,0 2,0 4,0 0,8 0,6 0,4  1600 1 1,7 1,7 3,2 0,5 0,4 0,3 Gunung 0 1 3,5 2,5 6,0 0,6 0,4 0,2 450 1 3,0 3,2 5,5 5,5 0,7 0,4 900 1 2,5 2,5 5,0 5,0 0,5 0,3  1350 1 1,9 2,2 4,0 4,0 0,4 0,3 Sumber: Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 35 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Tabel II-23 Ekivalensi Mobil Penumpang (EMP) Jalan Antar Kota 4 Lajur 2 Arah

Arus Lalu EMP Arus Lalu Lintas Lintas Jalan Kendaraan Tipe Jalan terbagi Kendaraan Bis Besar Truk Besar Sepeda Motor tak terbagi Menengah alinyemen 4/2 D Ringan (LV) (LB) (LT) (MC) 4/2 UD (MHV) (Kend/jam) (Kend/jam) (Kend/jam) (Kend/jam) (Kend/jam) (kend/jam) (Kend/jam) Datar 0 0 1 1,2 1,2 1,6 0,5 1000 1700 1 1,4 1,4 2,0 0,6 1800 3250 1 1,6 1,7 2,5 0,8 > 2150 > 3950 1 1,3 1,5 2,0 0,5 Bukit 0 0 1 1,8 1,6 4,8 0,4 750 1350 1 2,0 2,0 4,6 0,5 1400 2500 1 2,2 2,3 4,3 0,7 > 1750 > 3150 1 1,8 1,9 3,5 0,4 Gunung 0 0 1 3,2 2,2 5,5 0,3 550 1000 1 2,9 2,6 5,1 0,4 1100 2000 1 2,6 2,9 4,8 0,6 > 1500 > 2700 1 2,0 2,4 3,8 0,3 Sumber: Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

Tabel II-24 Ekivalensi Mobil Penumpang (EMP) Jalan Antar Kota 6 Lajur 2 Arah Terbagi

EMP Arus Lalu Lintas Kendaraan Kendaraan Tipe Bis Besar Truk Besar Sepeda Motor Total Dua Arah Ringan Menengah alinyemen (LB) (LT) (MC) (kend/jam) (LV) (MHV) (Kend/jam) (Kend/jam) (Kend/jam) (Kend/jam) (Kend/jam) Datar 0 1 1,2 1,2 1,6 0,5 1500 1 1,4 1,4 2,0 0,6 2750 1 1,6 1,7 2,5 0,8  3250 1 1,3 1,5 2,0 0,5 Bukit 0 1 1,8 1,6 4,8 0,4 1100 1 2,0 2,0 4,6 0,5 2100 1 2,2 2,3 4,3 0,7  2650 1 1,8 1,9 3,5 0,4 Gunung 0 1 3,2 2,2 5,5 0,3 800 1 2,9 2,6 5,1 0,4 1700 1 2,6 2,9 4,8 0,6  2300 1 2,0 2,4 3,8 0,3 Sumber: Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

II.9.3. Tingkat Pelayanan (Level of Service) Jalan

Tingkat pelayanan adalah suatu metode yang mungkin untuk memberikan batasan-batasan ukuran untuk dapat menjawab pertanyaan apakah kondisi suatu ruas jalan yang ada saat ini masih memenuhi syarat untuk dilalui oleh volume maksimum lalu lintas/pemakai jalan yang ada

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 36 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

saat ini dan peningkatannya hingga masa yang akan datang. Level of service suatu ruas jalan dapat dinyatakan dengan rumus:

푽풐풍풖풎풆 풍풂풍풖 풍풊풏풕풂풔 푳풐풔 풐풇 풔풆풓풗풊풄풆 (푳푶푺) = 푲풂풑풂풔풊풕풂풔

푆푀푃 푉 ( ) 퐽푎푚

푎푡푎푢 = 푆푀푃 퐶 ( 퐽푎푚)

Tabel berikut menunjukan nilai tingkat pelayanan atau level of service suatu ruas jalan yang telah dilakukan oleh para ahli rekayasa lalu lintas:

Tabel II-25 Karakteristik tingkat pelayanan

Tingkat Batas Lingkup V/C Ciri-ciri arus lalu lintas Pelayanan 0,0 s/d 0,19 A Kondisi arus bebas dengan kecepatan tinggi, pengemudi dapat memilih kecepatan yang diinginkan tanpa hambatan. 0,20 s/d 0,44 B Arus stabil, tetapi kecepatan operasi mulai dibatasi oleh kondisi lalu lintas. Pengemudi memiliki kebebasan yang cukup untuk memilih kecepatan. 0,45 s/d 0,69 C Arus stabil, tetapi kecepatan dan gerak kendaraan dikendalikan. Pengemudi dibatasi dalam memilih kecepatan. 0,70 s/d 0,84 D Arus mendekati tidak stabil, kecepatan masih dikendalikan, V/C masih dapat ditolerir. 0,85 s/d 1,00 E Volume lalu lintas mendekati berada pada kapasitas. Arus tidak stabil, kecepatan terkadang terhenti. > 1,0 F Arus yang dipaksakan atau macet, kecepatan rendah, volume di bawah kapasitas. Antrian yang panjang dan terjadi hambatan-hambatan yang besar. Sumber : Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

Keterangan: LV : Light vehicle ( kendaraan ringan ) HV : Heavy vehicle (kendaraan berat ) MC : Motorcycle ( sepeda motor ) UM : Unmotorised ( kendaraan tidak bermotor )

Tingkat pelayanan ruas jalan biasanya diukur dengan menggunakan indikator rasio volume berbanding kapasitas (V/C) dan kecepatan perjalanan. Hubungan V/C, kecepatan dan tingkat pelayanan dapat dijelaskan dengan tabel dan gambar sebagai berikut:

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 37 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

A B

C D Kecepatan E

F

Volume atau V/C

Sumber : Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

Gambar II.6 Hubungan volume atau V/C dengan kecepatan

II.9.4. Kecepatan Arus Bebas

Kecepatan arus bebas (FV) didefinisikan sebagai kecepatan pada tingkat arus nol, yaitu kecepatan yang akan dipilih pengemudi jika mengendarai kendaraan bermotor tanpa dipengaruhi oleh kendaraan bermotor lain di jalan. Kecepatan arus bebas telah diamati melalui pengumpulan data lapangan, dimana hubungan antara kecepatan arus bebas dengan kondisi geometrik dan lingkungan telah ditentukan dengan metode regresi. Kecepatan arus bebas kendaraan ringan telah dipilih sebagai kriteria dasar untuk kinerja segmen jalan pada arus = 0.

Kecepatan arus bebas untuk kendaraan berat dan sepeda motor juga diberikan sebagai referensi. Kecepatan arus bebas untuk mobil penumpang biasanya 10-15% lebih tinggi dari tipe kendaraan ringan lain. Persamaan untuk menentukan kecepatan arus bebas mempunyai bentuk umum berikut:

FV = ( FV0 + FVW ) x FFVSF FFVCS dimana: FV : Kecepatan arus bebas kendaraan ringan pada kondisi lapangan (km/jam) FVO : Kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan pada jalan yang diamati FVW : Penyesuaian kecepatan untuk lebar jalan (km/jam) FFVSF : Faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan lebar bahu atau jarak kereb penghalang FFVCS : Faktor penyesuaian kecepatan untuk ukuran kota

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 38 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Kecepatan di ruas merupakan salah satu kriteria untuk menentukan kinerja dari jaringan jalan. Kecepatan dapat diukur menggunakan metode spot speed ataupun dengan car moving observer. Kecepatan tempuh didefinisikan sebagai kecepatan rata-rata ruang dari kendaraan ringan (LV) sepanjang segmen jalan:

V = L / TT dimana: V = Kecepatan rata-rata ruang LV (km/jam) L = Panjang segmen (km) TT = Waktu tempuh rata-rata LV sepanjang segmen (jam)

II.10. ANALISIS BANGKITAN-TARIKAN PERJALANAN

Bangkitan pergerakan/perjalanan (trip generation) adalah tahapan pemodelan yang memperkirakan jumlah pergerakan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan atau jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu tata guna lahan atau zona (Tamin, 1997). Bangkitan pergerakan (trip generation) adalah banyaknya lalu lintas yang ditimbulkan oleh suatu zona atau tata guna lahan persatuan waktu (Wells, 1975). Bangkitan pergerakan (trip generation) adalah jumlah perjalanan yang terjadi dalam satuan waktu pada suatu zona tata guna lahan (Hobbs, 1995). Bangkitan pergerakan adalah suatu proses analisis yang menetapkan atau menghasilkan hubungan antara aktivitas kota dengan pergerakan.(Tamin,1997.) perjalanan dibagi menjadi dua yaitu:

1. Home base trip, pergerakan yang berbasis rumah. Artinya perjalanan yang dilakukan berasal dan rumah dan kembali ke rumah. 2. Non home base trip, pergerakan berbasis bukan rumah. Artinya perjalanan yang asal dan tujuannya bukan rumah.

Pernyataan di atas menyatakan bahwa ada dua jenis zona yaitu zona yang menghasilkan pergerakan (trip production) dan zona yang menarik suatu pergerakan (trip attraction). Defenisi trip attraction dan trip production adalah:

1. Bangkitan perjalanan (trip production) adalah suatu perjalanan yang mempunyai tempat asal dari kawasan perumahan di tata guna tanah tertentu. 2. Tarikan perjalanan (trip attraction) adalah suatu perjalanan yang berakhir tidak pada kawasan perumahan tata guna tanah tertentu.

Kawasan yang membangkitkan perjalanan adalah kawasan perumahan sedangkan kawasan yang cenderung untuk menarik perjalanan adalah kawasan perkantoran, perindustrian, pendidikan, pertokoan dan tempat rekreasi. Bangkitan dan tarikan perjalanan dapat dilihat pada diagram berikut (Tamin,1997). Bangkitan pergerakan digunakan untuk menyatakan suatu pergerakan berbasis rumah yang mempunyai asal dan/atau tujuan adalah rumah atau pergerakan yang dibangkitkan oleh pergerakan berbasis bukan rumah. Tarikan pergerakan digunakan untuk menyatakan suatu pergerakan berbasis rumah yang mempunyai tempat asal

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 39 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

dan atau tujuan bukan rumah atau pergerakan yang tertarik oleh pergerakan berbasis bukan rumah (Tamin, 1997),

Bangkitan dan tarikan pergerakan digunakan untuk menyatakan bangkitan pergerakan pada masa sekarang, yang akan digunakan untuk meramalkan pergerakan pada masa mendatang. Bangkitan pergerakan ini berhubungan dengan penentuan jumlah keseluruhan yang dibangkitkan oleh sebuah kawasan. Parameter tujuan perjalanan yang sangat berpengaruh di dalam produksi perjalanan (Levinson, 1976), adalah:

1. tempat bekerja, 2. kawasan perbelanjaan, 3. kawasan pendidikan, 4. kawasan usaha (bisnis), 5. kawasan hiburan (rekreasi).

Perjalanan dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu

1. Berdasarkan tujuan perjalanan, perjalanan dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian sesuai dengan tujuan perjalanan tersebut yaitu: a. perjalanan ke tempat kerja, b. perjalanan dengan tujuan pendidikan, c. perjalanan ke pertokoan/belanja, d. perjalanan untuk kepentingan sosial. 2. Berdasarkan waktu perjalanan biasanya dikelompokkan menjadi perjalanan pada jam sibuk dan jam tidak sibuk. Perjalanan pada jam sibuk pagi hari merupakan perjalanan utama yang harus dilakukan setiap hari (untuk kerja dan sekolah). 3. Berdasarkan jenis orang, pengelompokan perjalanan individu yang dipengaruhi oleh tingkat sosial-ekonomi, seperti: a. tingkat pendapatan, b. tingkat kepemilikan kendaraan, c. ukuran dan struktur rumah tangga.

Dalam sistem perencanaan transportasi terdapat empat langkah yang saling terkait satu dengan yang lain (Tamin, 1997), yaitu:

1. Bangkitan pergerakan (trip generation) 2. Distribusi perjalanan (trip distribution) 3. Pemilihan moda (modal split) 4. Pembebanan jaringan (trip assignment)

Definisi dasar:

1. Perjalanan adalah pergerakan satu arah dari zona asal tujuan, termasuk pergerakan berjalan kaki. Berhenti secara kebetulan tidak dianggap sebagai tujuan perjalanan,walaupun perubahan rute terpaksa dilakukan. Pergerakan sering diartikan

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 40 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

dengan pergerakan pulang dan pergi, dalam ilmu transportasi biasanya analisis keduanya harus dipisahkan. 2. Bangkitan perjalanan dipergunakan untuk suatu perjalanan berbasis rumah yang tempat asal dan/atau tujuan adalah rumah atau pergerakan yang dibangkitan oleh pergerakan berbasis bukan rumah. 3. Tarikan perjalanan dipergunakan untuk suatu perjalanan berbasis rumah yang mempunyai tempat asal dan/atau tujuan adalah rumah atau pergerakan yang dibangkitan oleh pergerakan berbasis bukan rumah 4. Pergerakan berbasis rumah pergerakan yang baik asal maupun tujuan pergerakan adalah bukan rumah. 5. Tahapan pergerakan bukan bangkitan sering dipergunakan untuk menetapkan besarnya bangkitan perjalanan yang dihasilkan oleh rumah tangga (baik untuk perjalanan berbasis rumah maupun berbasis bukan rumah) pada selang waktu tertentu (per jam per hari). 6. Aksesibilitas adalah alat untuk mengukur potensial dalam melakukan perjalanan, selain juga menghitung jumlah perjalanan itu sendiri. Aksesibilitas dapat digunakan untuk menyatakan tingkat kemudahan suatu tempat untuk dijangkau. 7. Bangkitan dan tarikan pergerakan adalah tahapan pemodelan yang memperkirakan jumlah pergerakan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan dan jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu tata guna lahan atau zona. 8. Sebaran pergerakan (trip distribution) sangat berkaitan dengan bangkitan pergerakan. Bangkitan pergerakan memperlihatkan banyaknya lalu lintas yang dibangkitkan oleh setiap tata guna lahan, sedangkan sebaran pergerakan menjelaskan ke mana dan dari mana lalu lintas tersebut. 9. Pemilihan moda (moda split, moda choice), jika terjadi interaksi antara 2 (dua) tata guna lahan dalam suatu kota, maka seseorang akan memutuskan bagaimana interaksi tersebut akan dilakukan. Dalam kebanyakan kasus, pilihan pertama adalah dengan menggunakan jaringan seluler (karena pilihan ini dapat menghindarkan dari terjadinya perjalanan). Keputusan harus ditetapkan dalam hal pemilihan moda, secara sederhana moda berkaitan dengan jenis transportasi yang digunakan. Salah satu pilihannya adalah dengan berjalan kaki atau menggunakan kendaraan. Jika menggunakan kendaraan, pilihannya adalah kendaraan pribadi atau kendaraan umum. Jika terdapat lebih dari satu jenis moda, maka yang dipilih adalah yang memiliki rute terpendek, tercepat atau terekonomis. 10. Pemilihan rute (route choice), pemilihan moda dan rute dilakukan bersama-sama. Untuk angkutan umum, rute ditentukan berdasarkan moda transportasi. Untuk kendaraan pribadi, diasumsikan bahwa orang akan memilih moda transportasinya dulu kemudian rutenya. Seperti pemilihan moda, pemilihan rute juga tergantung pada alternatif terpendek, tercepat, termurah, dan diasumsikan bahwa pemakai jalan mempunyai informasi yang cukup (misalnya tentang kemacetan jalan) sehingga mereka dapat menentukan rute terbaik.

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 41 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

II.11. INTERAKSI ANTARKOTA

Menurut Yunus (2010: 64) interaksi atau dengan kata lain dapat dikatakan imbal daya, merupakan suatu proses yang saling mempengaruhi antara dua hal. Jika interaksi tersebut dihubungkan dengan ruang, maka proses saling mempengaruhi yang terjadi pun antar ruang. Menurut pendapat Ullman (dalam Yunus, 2010: 64), interaksi spasial menekankan pada terjadinya ketergantungan di antara beberapa area dan berimplikasi pada terjadinya perpindahan komoditas, barang, manusia dan lain-lain di antara beberapa daerah. Wujud dari hubungan atau interaksi yang terjadi antar kota atau antar wilayah dapat diwujudkan melalui urbanisasi, ruralisasi, sirkulasi serta ulang-alik (commuting). Pada kenyataannya bentuk interaksi antar daerah sangat bervariasi, yang jika disimulasikan oleh kota A dan Kota B terdiri atas (Yunus, 2010: 65):

1. Interaksi seimbang (balanced interaction), A dan B saling mempengaruhi tetapi tidak tergantung satu sama lain. 2. Interaksi yang tidak seimbang (imbalanced interaction), A mempengaruhi B namun tidak tergantung pada B, tapi B tergantung pada A. 3. A dan B saling ketergantungan (interdependence).

Menurut Rustiadi (2009: 49), spasial dapat dipandang dari segi geografi dan segi sosial-ekonomi. Berdasarkan perspektif geografi, spasial merupakan segala hal yang berhubungan dengan tempat atau lokasi. Definisi dari tempat itu sangat terukur, jelas dan dapat diukur secara kuantitatif karena lokasi terdapat di atas permukaan bumi. Sementara itu jika dipandang dari perspektif sosial-ekonomi, ruang tidak dititikberatkan pada lokasi atau tempat secara kuantitatif, tapi lebih ditekankan pada permasalahannya, apa yang menjadi masalah dan mengapa permasalahan itu terjadi.

Tabel II-26 Jenis Keterkaitan Spasial Menurut Rondinelli

Tipe Elemen - Elemen

Keterkaitan fisik ● Jaringan jalan ● Jaringan transportasi sungai dan air ● Jaringan kereta api ● Ketergantungan ekologis Keterkaitan ekonomi ● Pola-pola pasar ● Arus bahan baku dan barang antara ● Arus modal, keterkaitan produksi ● Pola konsumsi dan belanja ● Arus pendapatan ● Arus komoditi sektoral dan interregional cross linkages Keterkaitan berupa mobilitas ● Migrasi penduduk ● Perjalanan kerja

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 42 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Keterkaitan interaksi sosial ● Pola visiting ● Pola kinship ● Kegiatan rites, ritual dan keagamaan ● Interaksi kelompok sosial Keterkaitan delivery pelayanan ● Arus dan jaringan energi ● Jaringan kredit dan finansial ● Keterkaitan pendidikan, training dan pengembangan ● Sistem delivery pelayanan kesehatan ● Pola pelayanan profesional, komersial dan teknik ● Sistem pelayanan transportasi Keterkaitan politik, administrasi ● Hubungan structural dan organisasi ● Arus budget pemerintah ● Kebergantungan organisasi ● Pola otoritas approval supervisi ● Pola transaksi inter yurisdiksi ● Rantai keputusan politik formal Sumber: Rondinelli, 1985: 143

L A P O R A N A K H I R Halaman | II - 43 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

BAB III. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

B A P P E D A

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

2020

Roadmap Sistem Transportasi Kota Salatiga PENDEKATAN DAN

METODOLOGI Kerangka Pemikiran | Pendekatan Pelaksanaan Kegiatan | Metodologi Pekerjaan | Metodologi Pengumpulan Data | Metodologi Analisis L A P O R A N A K H I R 3 Halaman | III - 1 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Sirkulasi orang dan barang sangat memerlukan dukungan kinerja jaringan transportasi yang Handal, Prima, dan Terintegrasi dengan baik. Diperlukan suatu kajian dan evaluasi terhadap pola pergerakan yang timbul akibat interaksi antar zona di ruang-ruang perkotaan. Kajian dan evaluasi ini dilakukan dengan menganalisa kinerja jaringan transportasi (prasarana) dan kinerja moda transportasi (sarana). Lebih lanjut fokus akan dilanjutkan dengan melihat peran jaringan transportasi yang ada saat ini dalam mendukung kinerja ruang arus dari orang dan barang. Secara lebih spesifik, studi ini akan melibatkan beberapa nodes sebagai representasi dari zona untuk dikaji ruang secara fungsional (missal, tata guna lahan, terminal penumpang, terminal barang, transit dan transfer poin angkutan umum massal), serta jaringan trayek angkutan orang dan barang. Gambaran analisis dikemukakan untuk menggambarkan kinerja transportasi secara makro (dan tipikal pada analisis mikro) sebagai input dalam membangun kerangka kebijakan (Roadmap) penanganan permasalahan transportasi di Kota Salatiga.

Untuk itu, dalam pelaksanaan studi penyusunan Roadmap Sistem Transportasi di Kota Salatiga diperlukan suatu metodologi pekerjaan yang akan digunakan sebagai acuan dari seluruh rangkaian pelaksanaan kegiatan didalamnya.

III.1. KERANGKA PEMIKIRAN

Sebagai bagian awal dalam pelaksanaan pekerjaan ini, akan dijelaskan mengenai kerangka pikir pelaksanaan pekerjaan yang merupakan cara pikir secara keseluruhan yang dilakukan konsultan terkait konteks studi penyusunan Roadmap Sistem Transportasi di Kota Salatiga. Berikut kerangka pikir yang telah disesuaikan dengan Kerangka Acuan Kerja studi penyusunan Roadmap Sistem Transportasi di Kota Salatiga:

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 2 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

KONDISI TERKINI Interaksi spasial (orang dan barang) yang semakin kompleks membawa implikasi pada permasalahan pada jaringan (khususnya transportasi);

Terjadi peningkatan kepadatan lalu lintas Terjadi tumpang tindih jaringan trayek, yang ditunjukkan dengan kinerja jalan serta meningkatnya operasi kendaraan yang semakin menurun dengan pribadi di jaringan jalan yang tumbuh peningkatan volume lalu lintas dan dengan cepat di wilayah perkotaan penurunan kapasitas jalan

Permasalahan fungsi nodal yang berkembang secara natural, serta adanya kapitalisasi ruang perkotaan (oleh pengusaha, missal perumahan, perdagangan dan jasa, industri, dan perkantoran) menyebabkan jaringan transportasi berkembang tidak teratur dan kompleks, tumpang tindih.

ROADMAP SISTEM TRANSPORTASI KOTA SALATIGA

Interaksi Antar Zona Kinerja Sarana dan Prasarana Pola Pergerakan, Kinerja Jalan,

Dalam Ruang Perkotaan Salatiga Transportasi dan Jaringan Trayek

Sebaran Bangkitan dan Tarikan Volume, Beban, Load Factor dan Supply serta Interaksi (Demand) Jangkauan Pelayanan

STRATEGI, KEBIJAKAN, DAN PROGRAM INDIKATIF PENANGANAN PERMASALAHAN RUANG DAN TRANSPORTASI.

Gambar III-1 Kerangka Pemikiran Studi Roadmap Sistem Transportasi Kota Salatiga, 2020

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 3 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

III.2. PENDEKATAN PELAKSANAAN KEGIATAN

III.2.1. Pendekatan Teknis

Untuk mencapai maksud dan tujuan dan sasaran penyusunan Roadmap Sistem Transportasi di Kota Salatiga, maka perlu mempertimbangkan pendekatan–pendekatan teknis yang akan digunakan. Pendekatan yang digunakan, meliputi:

1. Pendekatan Komprehensif

Penyusunan Roadmap Sistem Transportasi di Kota Salatiga perlu memperhatikan banyak aspek yang mempengaruhi kondisi lalu lintas di ruas jalan perkotaan Salatiga.

2. Pendekatan Perundang–undangan

Studi Roadmap ini dilakukan berdasarkan pendekatan peraturan perundang-undangan yang menaunginya. Pendekatan ini dimaksudkan agar hasil yang dibuat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3. Pendekatan Literatur

Pendekatan ini dilakukan melalui sumber-sumber dari referensi atau literatur yang relevan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan sebagai penunjang kegiatan Penyusunan Roadmap Sistem Transportasi di Kota Salatiga.

4. Pengamatan Langsung di Lapangan (kondisi eksisting)

Pendekatan ini dilakukan dengan pengamatan langsung kondisi di lapangan yang bertujuan untuk mendapatkan data-data empiris. Pendekatan secara langsung dapat berupa observasi dan pengumpulan data di lapangan.

III.2.2. Pendekatan Tentang Strategi Pengembangan Jaringan Jalan

Tujuan utama dari strategi pengembangan jaringan jalan, baik itu berupa pekerjaan peningkatan, pelebaran dan pembangunan jalan baru, adalah meningkatkan kapasitas jalan sehingga secara langsung akan dapat meningkatkan kinerja lalu lintas.

Dalam rangka pelaksanaan strategi pengembangan jaringan jalan, sudah harus dilakukan inventarisasi mengenai jalan – jalan mana saja yang sudah harus ditingkatkan dan dilebarkan serta pada lokasi mana saja ruas jalan baru perlu dibangun. Pada bagian akhir, berdasarkan hasil inventarisasi dan analisis, bisa ditentukan pada lokasi – lokasi mana yang sudah selayaknya dibangun jalan layang (fly over).

Kota Salatiga sudah menerapkan strategi ini, salah satu contohnya adalah pembangunan Jalan Lingkar Salatiga. Dengan adanya jalan lingkar ini, maka kapasitas jalan akan bertambah, beban lalu lintas perkotaan akan berkurang. Namun strategi ini mempunyai konsekuensi finansial yang cukup besar. Disamping itu, permasalah krusial pembebasan lahan menjadi hal yang sering dihindari dalam pembangunan infrastruktur transportasi.

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 4 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Jaringan jalan mempunyai pola jaringan sesuai dengan karakteristik kawasan/wilayah dan rencana pengembangannya. Untuk daerah yang berkembang secara natural maka pola jaringannya akan terbentuk dengan karakteristik alamiahnya. Pola jaringan jalan secara umum adalah sebagai berikut:

Grid Network Radial Network

Linier Network Modified Radial Network

Gambar III-2 Pola Jaringan Jalan

III.2.3. Pendekatan Tentang Model Sistem Jaringan Jalan

Pemodelan dapat digunakan untuk mencerminkan hubungan sistem tata guna lahan (kegiatan) dengan sistem prasarana transportasi (jaringan) dengan menggunakan beberapa seri fungsi atau persamaan (model matematik). Model tersebut dapat menerapkan cara kerja sistem dan hubungan keterkaitan antara sistem secara terukur. Hubungan antara sistem guna lahan (kegiatan) sistem transportasi (jaringan) dan sistem arus lalu lintas (pergerakan) dinyatakan secara matematis. Enam konsep yang dapat digunakan adalah aksesibilitas, pemilihan rute, serta ciri dinamis arus lalu lintas dalam sistem jaringan jalan.

Beberapa hal yang wajib diperhatikan dalam merancang pemodelan adalah:

1. Tujuan pemodelan adalah untuk membantu mengerti cara kerja sistem dan meramalkan perubahan pada sistem pergerakan lalu lintas sebagai akibat perubahan pada sistem tata guna lahan dan sistem transportasi.

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 5 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

2. Peubah yang terpengaruhi yang harus dipertimbangkan adalah tata guna lahan, sistem prasarana transportasi dan arus lalu lintas. 3. Peubah yang bisa diatur oleh para perencana transportasi adalah lokasi tata guna lahan dan fasilitas prasarana transportasi dengan melaksanakan kebijakan yang tertera dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). 4. Teori yang digunakan adalah aksesibilitas, bangkitan dan tarikan pergerakan, sebaran pergerakan, pemilihan moda, pemilihan rute dan ciri arus lalu lintas dinamis. Setiap teori (konsep) merupakan sub model. 5. Tingkat pengelompokan model memerlukan dua faktor yang harus diperhatikan. 6. Waktu mempunyai dua arti dalam pemodelan. Model dinamis menganggap waktu harus di pertimbangkan sebagai peubah dalam fungsi matematisnya; sedangkan model statis tidak waktu sebagai peubah, tetapi dapat digunakan untuk meramalkan sesuatu sebagai fungsi waktu tertentu. 7. Teknik yang dapat digunakan dalam pemodelan sistem transportasi antara lain matematika, statistika dan penelitian operasional, termasuk juga pemrograman. 8. Data yang sangat diperlukan dalam pemodelan sistem transportasi harus mempunyai kuantitas dan kualitas yang baik. Data yang dibutuhkan terdiri dari data survey, baik primer maupun sekunder. 9. Proses kalibrasi adalah proses menaksir nilai parameter suatu model dengan berbagai teknik yang sudah ada: analisis numerik, aljabar linier, optimasi dan lain – lain. Setelah kalibrasi, diharapkan model tersebut dapat menghasilkan keluaran yang sama dengan data lapangan (realita). Proses kalibrasi dilakukan dengan menggunakan bantuan algoritma komputer dan beberapa kinerja statistik untuk menentukan kepentingan peramalan pada masa mendatang.

A. Daerah Zonasi

Daerah kajian mencakup wilayah suatu kota yang diagregasi, akan tetapi harus dapat mencakup ruang atau daerah yang cukup untuk pengembangan kota di masa mendatang pada tahun rencana. Biasanya survey kendaraan yang melalui garis ordo (batas daerah kajian) perlu dilakukan agar batas dapat ditentukan sehingga tidak memotong jalan yang sama lebih dari dua kali (untuk menghindari perhitungan ganda dua kendaraan yang sama). Batas tersebut juga bisa berupa batas alam seperti sungai dan rel kereta api.

Secara umum, Yosef Sheffi menyatakan jaringan digunakan untuk menggambarkan sebuah struktur yang berlainan fisik, seperti jalan dan persimpangan. Tiap – tiap jaringan terdiri dari dua tipe dari tiap elemen – elemen: sebuah titik – titik dan sebuah segmen – segmen garis yang menghubungkan titik – titik tersebut. Pengamatan ini mendahului definisi secara matematis mengenai jaringan, yaitu sebagai sebuah simpul (node) dan sebuah ruas (link) yang menghubungkan simpul tersebut.

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 6 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Zona merupakan suatu kesatuan ruang dalam tahapan perencanaan transportasi yang mewakili suatu wilayah tertentu yang mewakili karakteristik tertentu pula. Salah satu hal yang mendasar pada proses pembagian zona adalah identifikasi sistem kegiatan (guna lahan) yang signifikan terjadi di wilayah tersebut, dan identifikasi tingkat keseragaman tata guna lahan yang diwakili oleh masing – masing zona.

Proses perencanaan transportasi untuk daerah perkotaan didasarkan pada sebuah partisi dari daerah ke dalam zona – zona lalu lintas. Ukuran dari tiap – tiap zona lalu lintas dapat mengubah dari sebuah blok menjadi satu keseluruhan yang berdekatan, atau sebuah kota dalam daerah perkotaan. Tiap zona lalu lintas dipresentasikan oleh sebuah simpul yang dikenal sebagai centroid. Representasi jaringan dari daerah perkotaan akan terdiri dari beberapa simpul, yaitu representasi persimpangan, bus stop dan fasilitas transportasi lain. Centroid merupakan “sumber” dan “pembuangan” dari simpul dimana lalu lintas dibangkitkan dan lalu lintas ditujukan. Ketika centroid didefinisikan, pergerakan keinginan yang meliputi sebuah jaringan perkotaan dapat diekspresikan dengan sebuah origin – destination matrix. Matrik ini menspesifikasikan aliran antara origin centroid dan setiap destination centroid dalam jaringan.

Gambar berikut menunjukkan zona lalu lintas yang dikelilingi jalan empat lajur dua arah. Simpul di tengah dari zona disebut centroid. Centroid tersebut dihubungkan dengan jaringan jalan ruas khusus yaitu centroid connector (juga disebut “connectors” atau “dummy links”). Centroid dalam gambar dibawah ini adalah perjalanan bangkitan dan semua connector terhubung dari centroid dan menuju simpul dari jaringan jalan.

(Sumber : Yosef Sheffi, 1985)

Gambar III-3 Representasi Zonasi

Representasi Jaringan dari Zona Lalu Lintas, termasuk Centroid Node dan Centroid Connector Links.

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 7 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Prinsip dasar yang biasanya digunakan untuk pembagian zona pada wilayah studi, adalah:

1. Prinsip Homogenitas dalam Zona, Pada prinsipnya, pembagian zona sebaiknya didasarkan pada kehomogenan atribut populasi yang mempengaruhi perilaku perjalanan. Dalam hal ini populasi sebagai pembangkit perjalanan untuk berbagai keperluan (bekerja, sekolah, belanja, bisnis, sosial, dan lain-lain) umumnya didasarkan pada perilaku individu atau kelompok individu (keluarga, perumahan, kelurahan, kecamatan, atau kabupaten). 2. Homogenitas vs Ketersediaan Data Eksisting, Pembagian zona berdasarkan kehomogenan perilaku permintaan perjalanan akan sulit diterapkan, karena data eksisting untuk itu tidak tersedia. Di Indonesia data sosial ekonomi (yang dikumpulkan oleh BPS) yang umumnya digunakan untuk mengkalibrasi model transportasi umumnya dikumpulkan dengan basis wilayah administrasi (misalnya kelurahan, kecamatan, kabupaten atau Provinsi). Biasanya zona dibagi berdasarkan batas administrasi yang ada, tergantung lingkup studi yang dilaksanakan. Pembagian zona berdasarkan wilayah administrasi ini bukanlah pilihan terbaik dalam membentuk sistem zona, akan tetapi data administratif inilah sumber satu-satunya yang ada di Indonesia saat ini. Dengan demikian mau tidak mau kita sebaiknya tetap mengacu kepada data ini untuk membentuk sistem zona untuk mengurangi kebutuhan dana untuk mengumpulkan data baru jika kita ingin membentuk sistem zona yang lebih baik dengan prinsip homogenitas. 3. Tingkat Detail vs Biaya, Penentuan sistem zona untuk daerah studi sangat dipengaruhi oleh tingkat kerincian yang disyaratkan untuk menggambarkan suatu daerah tertentu. Permasalahan tersebut dapat dilihat dari dua sisi yang berlawanan, yaitu ketepatan dan biaya. Di satu sisi ketepatan yang tinggi hanya dapat diperoleh dengan definisi sistem zona dengan resolusi yang cukup tinggi, misalnya sampai level individu atau keluarga.

Di lain pihak untuk menyediakan data zona secara detail akan membutuhkan biaya yang cukup besar yang kemungkinan tidak sebanding dengan tambahan informasi yang didapatkan. Demikian juga model detail bahkan cenderung individual model perangkat lunak simulasinya belum banyak tersedia, sehingga kemungkinan data yang terkumpul akan mubazir karena model yang dibentuk tidak operasional.

Sebagai gambaran umum, berikut ini dituliskan beberapa kriteria untuk menetapkan sistem zona dalam daerah kajian, yaitu:

1. Ukuran zona harus konsisten dengan kepadatan jaringan jalan yang akan dimodelkan, sehingga pada umumnya ukuran zona akan semakin besar jika letaknya semakin jauh dari pusat kota.

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 8 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

2. Ukuran zona harus didesain sedemikian rupa sehingga arus lalu lintas yang dibebankan ke dalam jaringan jalan sesuai dengan ketepatan seperti yang disyaratkan. 3. Batas zona harus dibuat sedemikian rupa sehingga konsisten dengan jenis pola pengembangan setiap zona, misalnya untuk pemukiman, industri atau perkantoran. 4. Batas zona diusahakan sesuai dengan batas sensus, batas administrasi daerah, dan batas zona yang digunakan oleh daerah kajian. 5. Batas zona harus sesuai dengan batas daerah yang digunakan dalam pengumpulan data. 6. Pergerakan yang berasal/bertujuan pada area di luar daerah studi biasanya dianggap berasal dari zona di luar daerah studi (external zone). Keuntungan penggunaan zona eksternal ini adalah untuk mengidentifikasikan pergerakan langsung (eksternal-eksternal) yang membebani jaringan jalan di dalam daerah studi. Untuk mengurangi efek dari perjalanan langsung ini harus diperkirakan batas daerah studi secara hati-hati, meskipun tidak mungkin perjalanan langsung ini dihilangkan sama sekali. 7. Oleh Karena itu, zonasi untuk kajian studi ini disagregasi dengan pendekatan wilayah administratif Kelurahan di Kota Salatiga sebanyak 22 Kelurahan, ditambah zona external 6 zona external yang mengakses jaringan jalan di dalam wilayah Kota Salatiga.

B. Ruas Jalan

Pergerakan dari lalu lintas kendaraan melalui jalan dan persimpangan tidak hanya arus pada daerah perkotaan. Sebuah transit link dapat direpresentasikan oleh sebuah jaringan linier sederhana dimana stasiun transit (atau bus stop) dipresentasikan oleh simpul dan porsi garis angkut oleh ruas. Hambatan perjalanan atau Level of Service, dihubungkan oleh representasi ruas dan jaringan perkotaan dapat mengandung beberapa komponen – komponen, mencerminkan waktu perjalanan, keamanan, biaya perjalanan, stabilitas arus dan lain – lain.

Kunci utama dalam merencanakan sistem jaringan jalan adalah penentuan tingkat hierarki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor, atau lokal). Hal ini sangat tergantung pada jenis dan tujuan kajian. Jika semakin banyak jalan yang ditetapkan, maka hasilnya akan lebih teliti, tetapi kebutuhan akan sumber daya juga akan meningkat dan kompleksitas perhitungan juga semakin meningkat.

C. Model Bangkitan/Tarikan Pergerakan

Pada pembentukan bangkitan dan tarikan diperlukan data mengenai trip end setiap zona yang dibentuk di Kota Salatiga. Berdasarkan hal tersebut maka disusun zoning sistem Kota

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 9 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Salatiga. Zona yang dibentuk merupakan zona internal dan eksternal, dimana zona internal sangat dipengaruhi oleh pergerakan dalam Kota Salatiga, dalam hal ini besarnya bangkitan dan tarikan zona internal, sedangkan pelabuhan atau bandar udara merupakan simpul keluar masuknya pergerakan dari zona eksternal ke zona internal maupun sebaliknya.

D. Model Distribusi Pergerakan

Sebaran pergerakan merupakan tahapan dalam perencanaan transportasi yang menunjukkan interaksi antar tata guna lahan, jaringan transportasi dan arus lalu lintas. Pola pergerakan antar zona yang terjadi dalam sistem transportasi sering dinyatakan sebagai matrik pergerakan atau Matrik Asal – Tujuan (MAT). MAT dapat digunakan:

1. Pemodelan kebutuhan akan transportasi untuk daerah pedalaman atau antar kota. 2. Pemodelan kebutuhan akan transportasi untuk daerah perkotaan. 3. Pemodelan dan perencanaan manajemen lalu lintas baik di daerah perkotaan maupun antar kota. 4. Pemodelan kebutuhan akan transportasi di daerah yang ketersediaan datanya tidak begitu mendukung, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas (misalnya di negara sedang berkembang).

E. Model Pemilihan Rute

Salah satu pendekatan yang paling sering digunakan adalah memperhatikan dua faktor utama dalam pemilihan rute, yaitu pergerakan biaya pergerakan dan nilai waktu – biaya pergerakan dianggap proporsional dengan jarak tempuh. Dalam beberapa model pemilihan rute dimungkinkan penggunaan bobot yang berbeda bagi faktor tempuh dan jarak tempuh untuk menggambarkan persepsi pengendara dalam kedua waktu tersebut. Terdapat bukti kuat yang menunjukkan bahwa waktu tempuh mempunyai bobot yang lebih dominan dari pada jarak tempuh bagi pergerakan dalam kota.

F. Pembebanan Jaringan

Secara umum, teknik pembebanan dapat dikelompokkan atas dasar apakah model tersebut memperhitungkan pengaruh kemacetan (keterbatasan kapasitas jaringan jalan) dan/atau kesalahpahaman pengendara terhadap biaya aktual di ruas jalan.

1. Model Pembebanan All-or Nothing (A-o-N)

Teknik pembebanan All-Or-Nothing (A-o-N) merupakan teknik paling sederhana untuk mengalokasikan matriks permintaan perjalanan ke dalam jaringan jalan. Seperti telah dibahas sebelumnya, pembebanan A-o-N mengesampingkan efek kemacetan maupun efek kesalahpahaman pengendara terhadap rute terpendek.

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 10 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Sebagai petunjuk praktis, teknik pembebanan A-o-N cukup efisien jika digunakan pada jaringan jalan yang sederhana, misalnya jaringan jalan rural, yang kondisi lalu lintasnya tidak begitu padat dengan sedikit alternatif rute yang tersedia dan ukuran biaya setiap alternatif rutenya yang jauh berbeda.

2. Model Keseimbangan Pengguna (KP)

Model pemilihan rute bertujuan untuk mengidentifikasi rute yang dipilih oleh setiap pengendara dalam suatu jaringan jalan. Model pemilihan rute dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa faktor pertimbangan yang didasarkan atas pengamatan bahwa tidak setiap pengendara dari suatu lokasi menuju lokasi lainnya akan memilih suatu rute yang persis sama.

Beberapa alasan kenapa pengendara memilih rute yang berbeda-beda adalah:

a. Kemungkinan pengendara berbeda dalam hal persepsi mengenai ‘rute terbaik’. Beberapa pengendara mungkin mengasumsikannya sebagai rute dengan jarak tempuh yang terpendek atau rute dengan waktu tempuh yang tersingkat atau mungkin juga rute yang termurah. b. Kemacetan dan karakteristik fisik suatu ruas jalan akan membatasi jumlah arus lalu lintas yang menggunakan jalan tersebut.

Model Keseimbangan Pengguna (KP) mencoba memasukkan pengaruh kemacetan ke dalam model pembebanannya. Model ini berbasis pada analisis ekuilibrium yang pada jaringan jalan didasari oleh pendekatan deskriptif dimana pengguna jalan diasumsikan akan selalu berusaha untuk meminimumkan biaya perjalanan yang harus dikeluarkannya. Dengan demikian mereka akan memilih rute yang dianggap termurah untuk mencapai tujuan perjalanannya

III.3. METODOLOGI PEKERJAAN

Metodologi Pekerjaan Studi Roadmap Sistem Transportasi di Kota Salatiga disusun dan diturunkan dari metodologi yang diarahkan dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK) Studi Roadmap Sistem Transportasi di Kota Salatiga dan secara umum mencakup tahapan seperti yang tertuang dalam skema pelaksanaan pekerjaan berikut ini:

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 11 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

PEKERJAAN PERSIAPAN MULAI

Kick of Meeting Tim Kerja; Persiapan Personil & Alat; Review Peraturan & Kebijakan; Studi Literatur;

Penyusunan Metodologi; Jadwal Kerja & Form Survei.

PENYUSUNAN LAPORAN PENDAHULUAN

LAPORAN Tinjauan Literatur | Metodologi | Gambaran Wilayah | PENDAHULUAN Rencana Kerja

Pembahasan

YA TIDAK SURVEI PENGUMPULAN DATA

Inventarisasi Trayek Identifikasi Zona Bangkitan Traffic Counting, Inventarisasi Kebutuhan A.Umum & Load Factor / Tarikan Geometrik, Dokumentasi Data Sekunder Serta Prasarana A.Umum

PENYUSUNAN LAPORAN ANTARA

Hasil Pengumpulan Data | Analisis | Draft Strategi, Kebijakan, dan Program Indikatif Penanganan Permasalahan Ruang dan Transportasi Kota Salatiga LAPORAN ANTARA

PENYUSUNAN LAPORAN AKHIR LAPORAN Pembahasan Penyempurnaan Analisis | Penyusunan Strategi, Kebijakan, dan AKHIR TIDAK YA Program Indikatif Penanganan Permasalahan Ruang dan Transportasi Kota Salatiga | Kesimpulan dan Rekomendasi

Pembahasan

TIDAK

YA LAPORAN FINAL SELESAI ` ROADMAP SISTEM TRANSPORTASI KOTA SALATIGA

Gambar III-4 Skema Tahapan Kegiatan Studi Kelayakan Batang New Port Tahap Awal

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 12 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Skema pelaksanaan Studi Roadmap Sistem Transportasi di Kota Salatiga disesuaikan dengan kebutuhan pelaporan dalam studi ini dan disesuaikan dengan estimasi waktu pekerjaan, yaitu mencakup:

Tahap 1 Pendahuluan

Pada tahap ini, kegiatan ditujukan untuk menyelesaikan masalah administrasi dan menyiapkan kerangka pelaksanaan studi berupa:

a. Kick of Meeting Tim Kerja; b. Persiapan Personil & Alat; c. Review Peraturan & Kebijakan; d. Studi Literatur; e. Penyusunan Metodologi; f. Jadwal Kerja & Form Survei.

Keluaran (Output) tahap ini berupa LAPORAN PENDAHULUAN.

Tahap 2 Antara

Pada tahap ini, kegiatan ditujukan untuk memperoleh data (sekunder dan primer) untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan analisis sesuai dengan kebutuhan studi yang mengacu pada KAK Roadmap Sistem Transportasi di Kota Salatiga. Kegiatan yang akan dilaksanakan diantaranya:

a. Persiapan Survei Pengumpulan Data; b. Identifikasi Wilayah; c. Mobilisasi Personil; d. Survei Zona Bangkitan Tarikan e. Survei Prasarana Transportasi f. Survei Sarana Transportasi/ Moda (Traffic, Load Factor) g. Survei Lalu Lintas (Traffic Counting/ Bangkitan Tarikan) h. Survei Zona Pusat Permukiman dan Pusat Kegiatan i. Survei Wawancara, Kuesioner (Bila diperlukan) j. Analisis interaksi dilakukan dengan mengkaji fungsi ruang perkotaan (dikategorikan), interaksi antar zona; k. Analisis kinerja moda/sarana transportasi dengan mengkaji efektivitas moda yang digunakan dalam mengangkut orang dan barang; l. Analisis kinerja jaringan transportasi dengan menjabarkan (melalui model atau pendekatan yang tepat) kondisi volume lalu lintas, kapasitas ruas jalan, jaringan trayek; m. Draft strategi, kebijakan, dan program indikatif penanganan permasalahan ruang dan transportasi.

Keluaran (Output) tahap ini berupa LAPORAN ANTARA.

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 13 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Tahap 3 Akhir

Pada tahap ini, terdapat 2 keluaran pekerjaan, yaitu Draft Laporan Akhir dan Laporan Akhir yang merupakan finalisasi pelaporan pekerjaan dari awal hingga akhir pelaksanaan pekerjaan Studi Roadmap Sistem Transportasi di Kota Salatiga. Beberapa kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah:

a. Penyempurnaan Analisis hasil pembahasan; b. Penyusunan Strategi, Kebijakan, dan Program Indikatif Penanganan Permasalahan Ruang dan Transportasi; c. Kesimpulan dan Rekomendasi.

Keluaran (Output) tahap ini berupa LAPORAN AKHIR.

III.4. METODE PENGUMPULAN DATA

Dasar untuk melakukan proses analisis yaitu tersedianya data yang valid. Untuk itulah diperlukan proses pengumpulan data. Tahap ini menjadi bagian yang cukup krusial dan dapat mempengaruhi hasil akhir secara keseluruhan. Data yang dikumpulkan meliputi data sekunder dan data primer. Data sekunder dikumpulkan melalui dinas/instansi terkait, forum diskusi, wawancara, serta hasil peninjauan kembali terhadap hasil pelaksanaan studi terdahulu. Sedangkan data primer dikumpulkan langsung dari lapangan yang berupa hasil pengukuran langsung, wawancara (bila diperlukan), identifikasi lapangan dan sebagainya.

III.4.1. Pengumpulan Data Sekunder

Data akan digunakan dalam proses analisis dan kajian sesuai tujuan, sasaran, dan keluaran Studi Roadmap Sistem Transportasi Kota Salatiga. Data tersebut kemudian akan diolah dan dianalisis, sehingga didapatkan parameter sebagai pertimbangan dalam penyusunan Strategi, Kebijakan, dan Program Indikatif Penanganan Permasalahan Ruang dan Transportasi.

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mendatangi dinas/instansi terkait untuk meminta sejumlah dokumentasi data dari institusi pengelola sistem transportasi atau instansi lain yang dapat menyediakan data yang berkaitan dengan pelaksanaan studi. Data sekunder ini khususnya berupa data statistik, kebijakan terkait dan peta-peta pendukung kegiatan.

Kegiatan pengumpulan data sekunder meliputi data dari studi terkait, kondisi wilayah, kondisi sarana dan prasarana angkutan umum, profil ruas jalan yang ada di wilayah studi, meliputi:

1. Rekapitulasi data statistik daerah (time series 5 tahun terakhir); 2. Pengumpulan dokumen kebijakan tentang Sistem Transportasi yang telah tersusun sebelumnya;

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 14 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

3. Pengumpulan data berupa dokumen atau laporan (report) yang berkaitan dengan data teknis meliputi kondisi sarana dan prasarana transportasi yang ada di wilayah studi; 4. Pengumpulan data berupa dokumen perencanaan daerah: a. RTRW; b. Tataran Transportasi Lokal; c. Rencana Arah Pengembangan Wilayah; d. Rencana Jangka Panjang e. Rencana Jangka Menengah 5. Mengumpulkan laporan dari rencana program pengembangan wilayah kota serta Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) meliputi: a. Pola pemanfaatan lahan; b. Potensi pemanfaatan ruang; c. Potensi sumber daya alam; d. Sektor ekonomi rakyat dan posisi geografis.

Konsultan akan mengumpulkan data dari berbagai narasumber lainnya, khususnya yang berada di lapangan berkaitan dengan kondisi wilayah, ruas jalan, sarana dan prasarana angkutan umum. Data serta informasi lainnya yang akan dikumpulkan dalam studi ini meliputi:

1. Kebijakan Pengembangan Pemerintah Pusat/Daerah menyangkut Tata Guna Lahan dan Prasarana Fisik Wilayah yang ada, serta strategi pengembangan dari pemerintah dalam sektor transportasi; 2. Informasi mengenai pembagian zona, standar pelayanan angkutan, MAT, kualitas pelayanan angkutan yang ada, publikasi, berita atau laporan-laporan tundaan transportasi/kemacetan, laporan produksi dan perdagangan antar wilayah, referensi- referensi terkait pengembangan transportasi, simpul-simpul potensial, karakteristik dan lain-lain, dengan memperhatikan: a. Perumusan-perumusan zonasi yang ada, baik terkait bangkitan/tarikan pergerakan, zonasi industri, perdagangan, ekonomi, maupun fungsi/ kegiatan lain; b. Perumusan definisi operasional zonasi: bangkitan dan tarikan pergerakan, pusat kegiatan, pusat pertumbuhan dll.; c. Inventarisasi karakteristik zona yang telah dirumuskan, antara lain: kegiatan industri dan produksi (misalnya produksi dominan, LQ), kegiatan ekonomi dan perdagangan (misal perdagangan antar zona), sosial dan kependudukan (pelayanan sosial, jumlah, kepadatan, dan pertumbuhan penduduk), dll. 3. Inventarisasi pola pergerakan berupa garis keinginan atau MAT untuk penumpang dan barang; 4. Inventarisasi karakteristik sarana dan pelayanan transportasi antar zona-zona dalam lingkup wilayah studi (misalnya: biaya, jenis angkutan, waktu tunggu dan perjalanan,

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 15 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

perpindahan intermoda dan antarmoda, urutan perjalanan, load factor, waktu sibuk, ciri pengguna sarana transportasi); 5. Inventarisasi, identifikasi, dan analisis sarana dan prasarana transportasi; a. Jumlah, jenis, kapasitas, kondisi armada angkutan umum; b. Rencana penambahan armada; c. Jumlah, jenis, fasilitas, kapasitas, dan kondisi simpul transportasi; d. Jarak simpul eksisting dan potensial dari pusat-pusat kegiatan yang ada di dalam zona-zona yang telah dirumuskan sebelumnya; e. Cakupan, kapasitas, dimensi, kondisi, dan karakteristik angkutan umum; f. Kapasitas organisasi pengelola dan atau penyedia sarana dan prasarana transportasi; 6. Data Sosial, Ekonomi dan Kewilayahan yang meliputi: a. Demografi: jumlah penduduk, komposisi usia, kepadatan, dll; b. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB); c. Pariwisata dan profil investasi; d. Harga/nilai lahan yang meliputi harga NJOP dan harga pasar; e. Harga bahan bangunan dan unit pekerjaan konstruksi; f. Data ketenagakerjaan, seperti jumlah, kualitas, domisili dan potensi ketenagakerjaan. 7. Sistem pendekatan pembangunan wilayah yang diterapkan, meliputi: a. Kebijaksanaan pemanfaatan lahan dan kebijakan ruang; b. Sumber daya alam; data yang diperlukan adalah data jenis dan jumlahnya, baik itu potensi yang ada, data eksploitasi dan deposit sisa yang kiranya masih dapat dimanfaatkan, data tersebut dilengkapi dengan keterlibatan pihak ketiga dalam eksploitasi, pemanfaatan, pemasaran/ distribusi hingga ke dampak ekonomis yang diperoleh daerah; c. Ekonomi rakyat; jenis dan pola usaha kecil dan menengah, koperasi yang dilakukan oleh masyarakat setempat; d. Industri; jenis industri yang ada, jumlah produksi, nilai jual, jalur pemasaran dan sebagainya. 8. Inventarisasi peta-peta, antara lain: peta tematik terkait zonasi, peta jaringan jalan, peta rute angkutan, peta simpul-simpul transportasi yang ada serta informasi fisiografi, topografi dan meteorologi: a. Peta situasi; b. Peta topografi; c. Peta geologi; d. Peta meteorologi; e. Data kondisi tanah; dan f. Status dan penggunaan lahan. 9. Dokumen/Hasil studi terkait, meliputi: a. Hasil studi dan perencanaan;

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 16 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

b. Standar perencanaan angkutan umum; c. Peraturan terkait mengenai Sarana dan Prasarana Angkutan umum.

Selain data karakteristik wilayah, dalam tahap ini juga dikumpulkan dokumen perencanaan yang terkait seperti peraturan perundang-undangan, pedoman/standar perencanaan dan dokumen rencana pengembangan wilayah dan prasarana wilayah.

III.4.2. Pengumpulan Data Primer

Untuk mendukung data sekunder yang telah diperoleh dan untuk mendapatkan gambaran mengenai kinerja ruas jalan, sarana dan prasarana transportasi umum di wilayah studi, maka pengumpulan data primer akan dilakukan secara langsung dengan tujuan memperoleh informasi penting berkaitan dengan tata guna lahan, kinerja lalu lintas eksisting, dan angkutan umum. Kegiatan pengumpulan data ini dilakukan apabila data sekunder tidak memenuhi kebutuhan data untuk melakukan analisis sesuai keluaran (output) yang diharapkan dalam pekerjaan Roadmap Sistem Transportasi di Kota Salatiga.

Sebelum survei primer, terlebih dahulu dilakukan tahap persiapan survei yang intinya mendayagunakan sumber daya perolehan informasi sekunder bagi kematangan pelaksanaan survei primer. Pada tahap ini segala informasi yang berkaitan dengan masalah lapangan pada wilayah kajian diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk formulir survei, rencana kerja survei, organisasi lapangan, dan peta-peta detail.

Sebagaimana layaknya dalam proses kajian penataan, pengkajian dan analisis data lainnya, prinsip GIGO (Garbage In Garbage Out) juga akan diterapkan dalam kajian ini, dimana ketepatan dan keakuratan data dan informasi yang diperoleh merupakan kunci utama untuk memperoleh hasil analisis dan rekomendasi yang tepat dan akurat.

Sebaliknya apabila data dan informasi yang digunakan tidak memenuhi standar kriteria ketepatan dan keakuratan, maka analisis dan rekomendasi yang dihasilkan juga akan berada jauh dari ketepatan dan keakuratan. Pelaksanaan waktu survei dilaksanakan pada kondisi lalu lintas jam sibuk. Adapun penjelasan mengenai teknik dan waktu pelaksanaan pengumpulan data primer akan dijelaskan berikut ini:

A. Survei Inventarisasi Ruas Jalan

Survei inventarisasi ruas jalan dilaksanakan pada ruas-ruas jalan terpilih yang dapat menggambarkan kondisi jaringan jalan di wilayah studi. Ruas-ruas jalan tersebut mewakili ruas utama di pusat perkotaan/ pusat kegiatan, ruas jalan penghubung pusat permukiman dengan pusat kegiatan, dan ruas-ruas jalan gerbang wilayah studi dengan wilayah hinterland (antar Kabupaten/Kota).

Hal-hal yang perlu dilakukan dalam melakukan survei tersebut yaitu:

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 17 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

1. Profil Geometrik Jalan 2. Volume lalu lintas berdasarkan kelompok kendaraan dan arah pergerakan.

Dari data inventarisasi ini selanjutnya akan ditaksir kapasitas ruas jalan serta pola pengaturan lalu lintasnya.

1. Tata guna lahan, informasi mengenai jenis bangunan penggunaan lahan dan penghalang terhadap jarak pandangan bebas serta objek-objek yang menghalangi kelancaran lalu lintas kendaraan maupun pejalan kaki seperti warung, pedagang kaki lima, dan sebagainya. 2. Desain geometrik, data yang berkaitan dengan desain geometrik jalan dan simpang yang perlu diinventarisasi meliputi: potongan melintang yang terperinci yang meliputi lebar jalan dan daerah milik jalan; jumlah dan lebar lajur lalu lintas, jalur lambat (service roads), median, bahu jalan yang diperkeras, trotoar, penyediaan dan tinggi kerb, dan lain-lain. 3. Pengendalian lalu lintas, informasi mengenai perangkat pengendalian lalu lintas yang perlu diinventarisasi meliputi: rambu lalu lintas dan marka jalan yang meliputi lokasi, jenis dan ukuran serta jenis pengendalian.

B. Survei Lalu Lintas Eksisting

Survei pencacahan lalu lintas ruas dilakukan untuk mendapatkan data volume, komposisi kendaraan, distribusi pergerakan lalu lintas, dan volume lalu lintas pada hari kerja di jam sibuk (peak hour). Pencacahan lalu lintas dilakukan terpisah untuk masing-masing arah lalu lintas. Di dalam survei ini kendaraan dikelompokkan ke dalam 5 (empat) kelas sebagai berikut (dan pejalan kaki):

1. Kendaraan ringan (light vehicle /LV): yang meliputi sedan, station wagon, jeep, dan kendaraan penumpang pribadi lainnya. Pick-up dan mobil hantaran, yaitu kendaraan bermotor beroda empat yang bukan truk yang dipakai untuk angkutan barang dengan berat total maksimum 2,5 ton. 2. Kendaraan berat (heavy vehicle /HV): yaitu kendaraan bermotor untuk angkutan orang dan/atau barang dengan jumlah dengan tonase minimum 2,5 ton. 3. Angkutan umum (public transport): yaitu kendaraan yang digunakan untuk layanan orang secara massal, meliputi mobil penumpang umum (MPU) (meliputi: sedan, station wagon, dan bus kecil-satu pintu), dan bus (meliputi bus sedang dan bus besar). 4. Sepeda motor (motorcycle/MC): kendaraan bermotor beroda dua yang menggunakan mesin penggerak.

Pengumpulan data volume lalu lintas dilakukan pada ruas jalan utama yang sudah dijelaskan sebelumnya. Selain itu juga dilakukan survei inventarisasi jalan berupa perlengkapan jalan/ fasilitas pendukung transportasi umum (Halte). Pencatatan data

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 18 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

umumnya dilakukan secara terpisah untuk masing-masing arah arus lalu lintas, dan kemudian dijumlahkan pada tahap analisis guna memperoleh volume total dua arah. Surveyor mencatat total kendaraan yang diamati pada setiap interval waktu yang telah ditetapkan, biasanya antara 15 menit (untuk jalan yang sangat sibuk) hingga 1 jam. Survei dilakukan pada hari kerja. Survei dilakukan simultan untuk survei tata guna lahan, inventarisasi ruas jalan (geometrik jalan, fasilitas pendukung, kecepatan, permasalahan transportasi), layanan angkutan umum, dan survei pencacahan lalu lintas lalu lintas, serta pendokumentasian kegiatan.

C. Survey Bangkitan/ Tarikan Perjalanan

Fokus utama pada kegiatan Roadmap Sistem Transportasi di Kota Salatiga yaitu terkait Sarana dan Prasarana Angkutan Umum. Pelayanan angkutan umum erat kaitannya dengan Demand (Permintaan) dan Supply (Penyediaan). Sehingga survey bangkitan/tarikan perjalanan dilakukan untuk mendapatkan data keluar masuk Kawasan Pusat Permukiman sebagai wilayah Bangkitan dan Kawasan Pusat Kegiatan sebagai wilayah Tarikan.

Data selanjutnya diolah bersama dengan data jaringan jalan di wilayah studi dan beberapa data pendukung lainnya untuk mengetahui pola pergerakan dan ruas jalan dengan pembebanan jalan tertinggi akibat adanya pergerakan/perjalanan.

D. Survei Angkutan Umum

Pekerjaan Roadmap Sistem Transportasi ini dilakukan pada saat Pandemi Covid-19, maka dalam pelaksanaan kegiatan survei sangat diperhatikan protokol kesehatan. Menyesuaikan hal itu, dalam survei angkutan umum tidak dilakukan secara statis/ dinamis. Survei dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan Inventarisasi Jaringan Trayek. Selanjutnya menentukan titik pengamatan terhadap Angkutan Umum pada trayek tersebut. Adapun survei meliputi:

1. Identifikasi Angkutan Umum aktif 2. Jaringan Trayek aktif 3. Frekuensi Angkutan Umum aktif 4. Load Factor on the spot 5. Kondisi Moda Transportasi

Pada survey Load Factor, titik lokasi dapat dilakukan lebih dari 1 titik, tergantung dari Tata Guna Lahan pada lintasan trayek. Penempatan titik lokasi dapat dilakukan pada pintu gerbang Pusat Permukiman atau Pusat Kegiatan dan untuk melengkapi ditempatkan juga diantara keduanya.

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 19 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

E. Survei Prasarana Angkutan Umum

Survei ini dilakukan dengan mendatangi prasarana angkutan umum yang ada di wilayah studi, seperti terminal, titik transit, dan halte HUB. Selain inventarisasi dan pengecekan kondisi fisik, turut dilakukan dokumentasi untuk mendukung hasil akhir survei.

F. Survei Asal Tujuan

Survei asal tujuan, idealnya dilakukan dengan selebaran kuesioner kepada masyarakat di Kota Salatiga, baik warga tetap maupun pendatang. Namun, karena kondisi yang terjadi saat ini (Pandemi Covid-19) maka survei dilakukan secara online. Adapun langkah-langkah yang dilakukan pada survei ini yaitu:

1. Mempersiapkan bentuk-bentuk pertanyaan yang dapat mewakili tujuan survei; 2. Menyusun kuesioner pada Google Formulir; 3. Menyebarkan Link Google Formulir secara hierarki yang dimulai dari Camat, Lurah hingga perangkat RT/RW; 4. Masyarakat mengisi kuesioner secara online.

Pertanyaan yang tertuang pada Google formulir diantaranya:

1. Profil Responden (Nama, Usia, Alamat, dan Pekerjaan); 2. Profil Aktivitas rutin harian (Bekerja, Belajar, Belanja dan lain sebagainya; 3. Asal Tujuan Responden serta jenis kegiatan rutin (Rute Pergi Pulang); 4. Penggunaan Moda dan Biaya yang dikeluarkan; 5. Tanggapan terhadap transportasi wilayah studi dan pelayanan angkutan umum eksisting.

Berkaitan dengan data sekunder dan primer yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan penyusunan Roadmap Sistem Transportasi di Kota Salatiga, berikut disampaikan tabel kebutuhan data di bawah ini:

Tabel III-1 Kebutuhan Data Pelaksanaan Studi Roadmap Sistem Transportasi Kota Salatiga NO. JENIS DATA SUMBER (SASARAN) A. DATA SEKUNDER 1. Data Profil Wilayah (Kependudukan, Ekonomi & Sosial Budaya)

a. Statistik Daerah ● BPS b. Kondisi Eksisting (Kondisi & Respon Masyarakat) 2. Data Peraturan dan Kebijakan Daerah ● BAPPEDA (RTRW dan RUTR Wilayah, Tatrawil, Tatralok, Rencana Arah ● DISHUB Pengembangan Wilayah, & Peraturan Daerah Lainnya) 3. Data Potensi Daerah ● Dinas/Instansi Terkait (Pertanian, Perikanan, Perkebunan, Kehutanan, Hasil Alam, & Industri) 4. Data Industri dan Barang (Eksisting & Rencana) ● Dinas Perindustrian 5. Data Angkutan Umum ● DISHUB (Jaringan Trayek Angkutan Umum (Sarana), dan Prasarana

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 20 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

B. DATA PRIMER 1. Data Angkutan Umum ● Trayek Eksisting ● Load factor ● Frekuensi ● Prasarana Angkutan Umum 2. Data Profil dan Kinerja Jalan ● Survei Lapangan ● Geometrik (Kapasitas Jalan)

● Volume Lalu Lintas ● Bangkitan/ Tarikan 3. Karakteristik dan Pola Pergerakan antar Zona ● Profil Zona ● Sebaran Pusat Permukiman dan Pusat Kegiatan Sumber: Konsultan Pelaksana, 2019

Pelaksanaan survei lebih lanjut terlampir pada bagian Desain Survei.

III.5. METODE ANALISIS

Hasil pengumpulan data, selanjutnya dilakukan inventarisasi dan pengelompokan data yang selanjutnya dilakukan pengolahan data sesuai dengan analisis dalam studi Roadmap Sistem Transportasi di Kota Salatiga. Ruang lingkup studi roadmap transportasi ini sebagai berikut:

III.5.1. Analisis Interaksi Ruang Perkotaan (Interaksi Antar Zona)

A. Pola Pergerakan (MAT)

Interaksi Antar Zona digambarkan sebagai bentuk perpindahan orang/ barang dari zona asal (origin) ke zona tujuan (destination) dalam satu wilayah perkotaan (Kota Salatiga). Aktivitas pergerakan tersebut selanjutnya disebut sebagai interaksi internal wilayah perkotaan. Apabila terjadi interaksi dengan wilayah hinterland atau dengan pusat perkotaan yang lebih besar (Metropolitan Semarang, Salatiga) disebut sebagai interaksi eksternal. Oleh itu, guna mengetahui seberapa besar terjadi interaksi antar zona pada wilayah Kota Salatiga, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai Pola Pergerakan yang terjadi.

Untuk menggambarkan pola pergerakan dalam perencanaan transportasi, pada kesempatan ini digunakan Matriks Pergerakan atau Matriks Asal – Tujuan (MAT) / Origin – Destination Matrix (O - D matrix). MAT adalah matriks berdimensi dua yang berisi informasi mengenai besarnya pergerakan antar lokasi (zona) di dalam daerah tertentu. Baris menyatakan zona asal dan kolom menyatakan zona tujuan, sehingga sel matriksnya menyatakan besarnya arus dari zona asal ke zona tujuan. Dalam hal ini notasi Tid menyatakan besarnya arus pergerakan (kendaraan, penumpang, atau barang) yang bergerak dari zona asal i ke zona tujuan d selama selang waktu tertentu.

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 21 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan MAT metode tersebut dibagi menjadi dua kelompok, metode Tidak Konvensional (Tamin, 2000) dan pengelompokkan digambarkan dalam diagram pada gambar berikut:

Wawancara di tepi jalan Wawancara di rumah Metode Metode menggunakan Langsung bendera Metode foto udara Metode mengikuti mobil

Metode Analogi Tanpa batasan Metode Seragam Konvensional Dengan satu batasan Batasan bangkitan

Batasan tarikan Dengan dua batasan Rata-rata Fratar Metode Tidak Detroit Langsung Furness Metode MAT

Metode Sintetis Model Opportunity Model Gravity Model Gravity-Opportunity

Metode berdasarkan informasi arus lalu lintas Metode Tidak Konvensional Estimasi Matriks Entropi Maksimum (EMEM) Model Estimasi Kebutuhan Transportasi (MEKT)

Sumber: Tamin, 2000

Gambar III-5 Klasifikasi Metode untuk Memperkirakan Matriks Asal Tujuan

Metode mendapatkan MAT yang dibahas dalam studi ini adalah salah satu model dalam metode sintetis, yaitu model gravity (GR). Model tersebut merupakan metode interaksi spasial yang paling terkenal dan sering dipergunakan karena sangat sederhana, mudah dimengerti dan digunakan. Model Gravity / GR dapat dibagi lagi menjadi empat jenis, yaitu:

● Tanpa batasan (Unconstraint Gravity Model / UCGR), ● Dengan batasan bangkitan (Production Constraint Gravity Model / PCGR/SCGR),

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 22 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

● Dengan batasan tarikan (Attraction Constraint Gravity Model / ACGR/SCGR), ● Dengan batasan bangkitan tarikan (Production Attraction Constraint Gravity Model /PACGR/DACGR).

Model PCGR dan ACGR sering pula disebut sebagai dengan satu batasan (Single Constraint Gravity Model / SCGR), dan model PACGR sering pula disebut sebagai dengan dua batasan atau (Double Constraint Gravity Model / DCGR). Menurut Jones (1997) dalam Tamin (2008), terdapat hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan metode gravity untuk membuat model bangkitan tarikan, sebagai berikut:

● Model UCGR “tidak mempertimbangkan saingan” dari zona asal; ● Model SCGR memungkinan pemakai jalan memilih alternatif zona tujuan tetapi tidak memperhitungkan permintaan pemakai lain di jalan zona asal; ● Model DCGR mempertimbangkan kelemahan kedua jenis model tersebut.

Berikut ini persamaan yang dipergunakan dalam model GR / Model Gravity.

Urutan prosedur analisis kegiatan Penyusunan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang akan dilakukan dalam mengerjakan disajikan dalam flowchart berikut:

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 23 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

MULAI Pengumpulan Data Sekunder: Data Jumlah Penduduk Data Jumlah Pendapatan Penduduk IDENTIFIKASI AWAL Data Pergerakan Harian (Lalu Lintas Harian Orang dan Barang) Data Jumlah Kepemilikan Studi Literatur Kendaraan Bermotor Data Tata Guna Lahan Data PDRB

Survei Pendahuluan

Pengumpulan Data Primer: Survei Pergerakan Harian Identifikasi Variabel (Traffic Counting) Pada Bebas & Tak Bebas Kawasan Aglomerasi. Selama pada jam sibuk Wawancara Dinas dan Operator Angkutan Orang dan Penumpang Analisis Data Wawancara Sampling Asal Tujuan Operator Angkutan dan Penggunan Jalan. Analisis Korelasi

Analisis Model Gravity

MODEL BANGKITAN TARIKAN PERJALANAN

Ujia Validitas: TIDAK Uji Multikorelasitas. Syarat: Nilai VIF di sekitar 1; Nilai Tolerance mendekati 1 Uji Multikorelasitas. Syarat: Nilai VIF di sekitar 1; Nilai Tolerance mendekati 1

YA

MODEL BANGKITAN TARIKAN PERJALANAN

SELESAI

Sumber: Tamin (2008), Telaah Pustaka (2017) dan diolah Kembali

Gambar III-6 Diagram Analisis Asal Tujuan

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 24 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

B. Distribusi Pergerakan (Desire Line)

Representasi distribusi bangkitan dan tarikan perjalanan yang ditunjukkan dalam matrik distribusi lalu lintas (MAT), selanjutnya dapat digambarkan dalam bentuk desire line. Garis keinginan perjalanan berbasis titik centroid pada masing-masing zona. Semakin besar ketebalan garis maka besar pula nilai yang ditunjukkan bangkitan perjalanannya, demikian sebaliknya semakin kecil garis keinginan menunjukkan kecilnya bangkitan perjalanan. Berikut contoh pengaplikasian desire line pada beberapa kelurahan di Kota Salatiga yang ditunjukkan seperti pada gambar berikut:

Sumber : Studi Penyusunan Sistem Koordinasi Antar Simpang Ber-APILL (ATCS), 2014

Gambar III-7 Contoh Desire Line Bangkitan Perjalanan dari Kelurahan Salatiga

Dari gambar contoh di atas terlihat bahwa bangkitan dari arah Kelurahan Salatiga ke seluruh kelurahan yang ada terdistribusi merata. Hal ini karena Kelurahan Salatiga berada di tengah kota dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi, sehingga mampu menarik dan membangkitkan perjalanan baik itu internal maupun external.

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 25 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Akan berbeda jika dilihat desire line dari kawasan pinggiran/ sub urban seperti Kelurahan Kumpulrejo. Kelurahan ini terletak dibagian selatan Kota Salatiga dan berada di pinggir kota dengan akses jalan kolektor primer. Karena luas wilayah kelurahan dan kepadatan penduduk yang rendah maka pola bangkitan tarikan tidak sebesar di Kelurahan yang berada di tengah kota.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Sumber : Studi Penyusunan Sistem Koordinasi Antar Simpang Ber-APILL (ATCS), 2014

Gambar III-8 Contoh Desire Line Bangkitan Perjalanan dari Kelurahan Kumpulrejo

Sementara itu, pola perjalanan antar kota yang yang melewati Kota Salatiga menunjukkan nilai yang cukup besar untuk pola perjalanan external-external. Walaupun demikian, tarikan perjalanan external – internal juga cukup merata. Sebagai contoh adalah perjalanan dari arah arteri utara menuju Kota Salatiga, terdapat pola pergerakan lebih dari 500 smp/jam perjalanan menerus ke arteri selatan, sementara itu terdapat perjalanan sekitar 146 smp/jam menuju arah Kopeng, kedua bangkitan tersebut jauh lebih besar dari tarikan ke masing-masing kelurahan di Kota Salatiga.

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 26 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Model di atas dibangun dengan dilakukan tahapan analisis variable removed untuk mendapatkan model yang terbaik. Sehingga diperoleh model di atas dengan korelasi sebesar 0.64 dan tingkat signifikansi model sebesar 0.001, sehingga model ini dapat digunakan sebagai model distribusi perjalanan.

Bangkitan dan tarikan yang berasal dari zona, dibuat menjadi matrik bangkitan tarikan. Matrik tersebut dikalibrasi dengan metode Double Constraint Growth Factor. Dari data zona yang telah ditetapkan, bangkitan dan tarikan dibuat sebagai target O-D pada matrik dalam bentuk matematis model gravity.

III.5.2. Analisis Kinerja Sarana dan Prasarana Transportasi Umum

Bagian ini terbagi menjadi beberapa sub analisis, diantaranya:

A. Analisis Jaringan Trayek

Analisis ini dilakukan dengan metode evaluasi deskripsi. Tahap awal dilakukan inventarisasi jaringan trayek baik pada trayek aktif maupun yang tidak aktif. Sebelumnya, hasil analisis interaksi antar zona dikonversikan dalam bentuk peta yang menggambarkan hasil analisis, terutama hasil Desire Line. Jaringan trayek kemudian di overlay-kan dengan jaringan jalan serta hasil Desire Line analisis interaksi antar zona. Dan bila dimungkinkan hasil analisis volume lalu lintas dan kinerja jalan turu disertakan.

Langkah-langkah di atas, diharapkan dapat memperlihatkan bagaimana ketersediaan angkutan umum saat ini telah sesuai atau jauh dari demand angkutan umum. Selain itu, bila dalam 1 ruas jalan terdapat beberapa trayek yang berhimpitan dan/atau memiliki lintasan yang sama lebih dari 50%, maka dapat dikatakan terdapat tumpang tindih jaringan trayek. Tentu jika hal tersebut mengemuka, bukan suatu hasil penilaian yang baik untuk menggambarkan kondisi transportasi di Kota Salatiga.

B. Analisis Kinerja Angkutan Umum (sarana) berdasarkan Load Factor

Kinerja angkutan umum, dapat digambarkan berdasarkan hasil analisis load factor. Untuk mendapatkan data Load Factor angkutan umum dapat dilakukan dengan metode survei Statis dan Dinamis. Berkenaan dengan kondisi saat ini terjadi Pandemi Covid-19, pelaksanaan survei tersebut menimbulkan resiko tinggi. Oleh itu, survei pada kesempatan kali dilakukan Load Factor on spot, yaitu menghitung load factor angkutan umum pada titik tertentu di dalam lintasan trayek, dengan sebelumnya menentukan kapasitas sesuai moda angkutan umum. Jumlah titik trayek diharapkan dapat menggambarkan kondisi kinerja angkutan umum dengan baik.

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 27 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

C. Analisis Prasarana Angkutan Umum

Analisis Prasarana Angkutan Umum dilakukan dengan metode evaluasi deskripsi. Data yang dibutuhkan yaitu gambaran eksisting prasarana. Data kemudian akan dievaluasi sesuai standar pelayanan dan penyediaan fasilitas bagi Prasarana tersebut.

III.5.3. Analisis Kinerja Jaringan Transportasi

A. Metode Perhitungan Kapasitas Jalan

Kapasitas dasar adalah volume maksimum yang dapat melewati suatu potongan lajur jalan (untuk jalan multi lajur) atau suatu potongan jalan (untuk jalan dua lajur) pada kondisi jalan dan arus lalu lintas ideal. Kondisi ideal terjadi bila:

● Lebar lajur tidak kurang dari 3,5 m. ● Kebebasan lateral tidak kurang dari 1,75 m. ● Standar geometrik baik. ● Hanya mobil penumpang yang menggunakan jalan. ● Tidak ada batas kecepatan.

Kapasitas dasar jalan tergantung pada tipe jalan, jumlah lajur dan apakah jalan dipisah dengan pemisah fisik atau tidak.

1. Kapasitas Jalan Perkotaan (Urban Road)

Perhitungan kapasitas untuk jalan perkotaan adalah sebagai berikut:

C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs ( smp/jam )

dimana : C : Kapasitas ( smp/jam ) Co : Kapasitas dasar ( smp/jam ) FCw : Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas FCsp : Faktor penyesuaian pemisah arah FCsf : Faktor penyesuaian hambatan samping FCcs : Faktor penyesuaian ukuran kota

a. Kapasitas Dasar (Co)

Dalam menentukan kapasitas dasar digunakan standar IHCM dimana data kapasitas jalan diklasifikasikan berdasarkan tipe jalan dan dikelompokkan menjadi tiga jenis berdasarkan jumlah jalur per lajur yang dapat dilihat pada tabel berikut ini.

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 28 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Tabel III-2 Kapasitas Dasar Jalan Perkotaan

Tipe Jalan Kota Kapasitas Dasar, Co Keterangan Empat lajur terbagi atau jalan satu arah 1650 Smp/jam Per Lajur Empat lajur tak terbagi 1500 Smp/jam Per Lajur Dua lajur tak terbagi 2900 Smp/jam Kedua Arah Sumber: Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

b. Faktor Penyesuaian Lebar Jalan (FCw)

Penentuan faktor koreksi lebar jalan (FCw) didasarkan pada lebar jalan efektif (Wc). Kriteria faktor koreksi lebar jalan (FCw) ini disajikan pada tabel sebagai berikut.

Tabel III-3 Faktor Penyesuaian Lebar Jalan Perkotaan (FCW) Lebar jalur lalu lintas efektif (Wc) Tipe Jalan FCw (meter) Empat-lajur terbagi atau jalan Per lajur satu arah 3,00 0,92 3,25 0,96 3,50 1,00 3,75 1,04 4,00 1,08 Empat lajur tak terbagi Per lajur 3,00 0,91 3,25 0,95 3,50 1,00 3,75 1,05 4,00 1,09 Dua lajur tak terbagi Total dua arah 5 0,56 6 0,87 7 1,00 8 1,14 9 1,25 10 1,29 11 1,34 Sumber: Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

c. Faktor Penyesuaian Pemisah Arah (FCSP)

Penentuan faktor koreksi untuk pembagian arah (FCSP) pada tabel berikut didasarkan pada kondisi lalu lintas dari kedua arah. Oleh karena itu faktor koreksi ini hanya berlaku untuk jalan dua arah. Sedangkan untuk jalan satu arah dan

dengan median FCSP diambil sama dengan 1.00.

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 29 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Tabel III-4 Faktor Penyesuaian Pembagian Arah Jalan Perkotaan (FCSP)

Pemisahan arah SP % - % 50-50 55-45 60-40 65-35 70-30 Fsp Dua- lajur 2/2 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88 Empat-lajur 4/2 1,00 0,985 0,97 0,955 0,94

Sumber : Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997) Catatan : Untuk jalan terbagi dan jalan satu arah, faktor penyesuaian kapasitas untuk pemisahan arah tidak dapat diterapkan dan nilai 1,0

d. Faktor Penyesuaian Gangguan Samping (FCSF)

Faktor koreksi untuk gangguan samping didasarkan pada lebar bahu efektif (Ws) dan tingkat gangguan samping, yang dapat dilihat pada tabel-tabel sebagai berikut.

Tabel III-5 Faktor Gangguan Samping dengan Bahu Jalan Perkotaan

Kelas Faktor Penyesuaian Akibat Hambatan Samping (FCSF) Tipe Hambatan Lebar Bahu Efektif Ws Jalan Samping ≤ 0,5 1,0 1,5 ≥ 2,0 VL 0,96 0,98 1,01 1,03 L 0,94 0,97 1,00 1,02 4/2 D M 0,92 0,95 0,98 1,00 H 0,88 0,92 0,95 0,98 VH 0,84 0,88 0,92 0,96 VL 0,96 0,99 1,01 1,03 L 0,94 0,97 1,00 1,02 4/2 UD M 0,92 0,95 0,98 1,00 H 0,87 0,91 0,94 0,98 VH 0,80 0,86 0,90 0,95 2/2 UD VL 0,94 0,96 0,99 1,01 atau L 0,92 0,94 0,97 1,00 Jalan M 0,89 0,92 0,95 0,98 Satu H 0,82 0,86 0,90 0,95 Arah VH 0,73 0,79 0,85 0,91 Sumber : Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

Tabel III-6 Faktor Gangguan Samping dengan Kerb Jalan Perkotaan

Kelas Faktor Penyesuaian Akibat Hambatan Samping (FCSF) Tipe Hambatan Jarak Kereb - Penghalang WK Jalan Samping ≤ 0,5 1,0 1,5 ≥ 2,0 VL 0,95 0,97 0,99 1,01 L 0,94 0,96 0,98 1,00 4/2 D M 0,91 0,93 0,95 0,98 H 0,86 0,89 0,92 0,95 VH 0,81 0,85 0,88 0,92 VL 0,95 0,97 0,99 1,01 L 0,93 0,95 0,97 1,00 4/2 UD M 0,90 0,92 0,95 0,97 H 0,84 0,87 0,90 0,93 VH 0,77 0,81 0,85 0,90 VL 0,93 0,95 0,97 0,99

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 30 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Kelas Faktor Penyesuaian Akibat Hambatan Samping (FCSF) Tipe Hambatan Jarak Kereb - Penghalang WK Jalan Samping ≤ 0,5 1,0 1,5 ≥ 2,0 2/2 UD L 0,90 0,92 0,95 0,97 atau M 0,86 0,88 0,91 0,94 Jalan H 0,78 0,81 0,84 0,88 Satu VH 0,68 0,72 0,77 0,82 Arah Sumber : Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

Nilai yang digunakan mulai dari kelas gangguan samping sama dengan sangat rendah sampai dengan sangat tinggi ditunjukkan berikut ini:

Tabel III-7 Kegiatan di Sekitar Jalan Perkotaan Kelas Gangguan Samping Komponen Sangat Sangat Rendah Sedang Tinggi rendah tinggi Gerakan pejalan kaki 0 1 2 4 7 Angkutan umum berhenti 0 1 3 6 9 Kend. Keluar masuk 0 1 3 5 8 Sumber : Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

Angka yang terdapat pada tabel diatas dijumlahkan bila terdapat kombinasi dari ketiga komponen gangguan samping.

Tabel III-8 Nilai Total Gangguan Samping Jalan Perkotaan

Nilai Total Kelas Gangguan Samping 0 – 1 Sangat rendah 2 - 5 Rendah 6 – 11 Sedang 12 – 18 Tinggi 19 - 24 Sangat tinggi Sumber : Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

Faktor penyesuaian kapasitas untuk 6 lajur dapat ditentukan dengan

menggunakan nilai FCSF untuk jalan empat lajur dan perhitungan:

FC6,SF= 1 – 0,8 X (1 – FC4,SF)

Dimana, FC6,SF = faktor penyesuaian kapasitas untuk jalan enam lajur. FC4,SF = faktor penyesuaian kapasitas untuk jalan empat lajur.

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 31 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

e. Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCS)

Untuk menentukan nilai ukuran kota didasarkan pada data jumlah penduduk, dimana ukuran yang digunakan adalah jumlah penduduk per satu juta orang. Nilai untuk masing-masing ukuran jumlah penduduk adalah sebagai berikut:

Tabel III-9 Nilai Ukuran Kota Jalan Perkotaan Ukuran Kota (juta penduduk) Fcs <0.1 0.86 0.1 – 0.5 0.90 0.5 – 1.0 0.94 1.0 – 3.0 1.00 >3 1.04 Sumber : Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

2. Kapasitas Jalan Antar Kota (Intern Urban Road)

Perhitungan kapasitas untuk jalan antar kota adalah sebagai berikut:

C = Co x FCw x FCsp x FCsf ( smp/jam )

dimana : C : Kapasitas ( smp/jam ) Co : Kapasitas dasar ( smp/jam ) FCw : Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas FCsp : Faktor penyesuaian pemisahan arah FCsf : Faktor penyesuaian hambatan samping

a. Kapasitas Dasar (Co)

Dalam menentukan kapasitas dasar digunakan standar IHCM dimana data kapasitas jalan diklasifikasikan berdasarkan tipe jalan dan dikelompokkan menjadi tiga jenis berdasarkan jumlah jalur per lajur yang dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel III-10 Kapasitas Dasar Jalan Antar Kota 4 Lajur 2 Arah (Co) Kapasitas Dasar Total Kedua Tipe Jalan Arah (smp/jam) Empat Lajur Terbagi - Datar 1900 - Bukit 1850 - Gunung 1800 Empat Lajur Tak Terbagi - Datar 1700 - Bukit 1650 - Gunung 1600 Sumber: Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 32 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Tabel III-11 Kapasitas Dasar Jalan Antar Kota 2 Lajur 2 Arah (Co) Kapasitas Dasar Total Kedua Tipe Jalan Arah (smp/jam) Dua Lajur Tak Terbagi - Datar 3100 - Bukit 3000 - Gunung 2900 Sumber: Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

b. Faktor Penyesuaian Lebar Jalan (FCw)

Faktor kesesuaian lebar jalan ditentukan oleh jumlah jalur, jumlah lajur pada tiap jalur dan lebar lalu-lintas efektif tiap lajur. Faktor kesesuaian lebar jalan dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel III-12 Faktor Penyesuaian Lebar Jalan Antar Kota (FCW) Tipe Jalan Lebar Efektif Jalur Lalu lintas (Wc) (m) FCw Empat Lajur Terbagi Per Lajur Atau Enam Lajur Terbagi 3,00 0,91 3,25 0,96 3,50 1,00 3,75 1,03 Empat Lajur Tak Terbagi Per Lajur 3,00 0,91 3,25 0,96 3,50 1,00 3,75 1,03 Dua lajur Tak Terbagi Total Dua Arah 5 0,69 6 0,91 7 1,00 8 1,08 9 1,15 10 1,21 11 1,27 Sumber: Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

c. Faktor Penyesuaian Pemisah Arah (FCSP)

Penentuan faktor koreksi untuk pembagian arah (FCSP) pada tabel berikut didasarkan pada kondisi lalu lintas dari kedua arah. Oleh karena itu faktor koreksi ini hanya berlaku untuk jalan dua arah. Sedangkan untuk jalan satu arah dan

dengan median FCSP diambil sama dengan 1.00.

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 33 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Tabel III-13 Faktor Penyesuaian Pembagian Arah Jalan Antar Kota (FCSP)

Pemisahan arah SP % - % 50-50 55-45 60-40 65-35 70-30 Fsp Dua- lajur 2/2 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88 Empat-lajur 4/2 1,00 0,975 0,95 0,925 0,90

Sumber : Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997) Catatan : Untuk jalan terbagi dan jalan satu arah, faktor penyesuaian kapasitas untuk pemisahan arah tidak dapat diterapkan dan nilai 1,0

d. Faktor Penyesuaian Gangguan Samping (FCSF)

Faktor koreksi untuk gangguan samping didasarkan pada lebar bahu efektif (Ws) dan tingkat gangguan samping, yang dapat dilihat pada tabel-tabel sebagai berikut.

Tabel III-14 Faktor Gangguan Samping dengan Bahu

Kelas Faktor Penyesuaian Akibat Hambatan Samping (FCSF) Tipe Hambatan Lebar Bahu Efektif Ws Jalan Samping ≤ 0,5 1,0 1,5 ≥ 2,0 VL 0,99 1,00 1,01 1,03 L 0,96 0,97 0,99 1,01 4/2 D M 0,93 0,95 0,96 0,99 H 0,90 0,92 0,95 0,97 VH 0,88 0,90 0,93 0,96 VL 0,97 0,99 1,00 1,02 L 0,93 0,95 0,97 1,00 2/2 UD M 0,88 0,91 0,94 0,98 4/2 UD H 0,84 0,87 0,91 0,95 VH 0,80 0,83 0,88 0,93 Sumber : Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

Faktor penyesuaian kapasitas untuk 6 lajur dapat ditentukan dengan

menggunakan nilai FCSF untuk jalan empat lajur dan perhitungan:

FC6,SF= 1 – 0,8 X (1 – FC4,SF)

Dimana, FC6,SF = faktor penyesuaian kapasitas untuk jalan enam lajur. FC4,SF = faktor penyesuaian kapasitas untuk jalan empat lajur.

B. Metode Perhitungan Volume Lalu Lintas

1. Volume Lalu Lintas Jalan Perkotaan

Pembagian Ekivalensi Mobil Penumpang (EMP) untuk jalan perkotaan dibagi dalam beberapa jenis kendaraan (MKJI, 1997) yaitu:

● Kendaraan ringan (LV); ● kendaraan berat (HV); ● sepeda motor (MC).

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 34 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Faktor penentu satuan mobil penumpang dipengaruhi oleh klasifikasi kendaraan dan ruas jalan. Daftar satuan mobil penumpang menurut MKJI dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel III-15 Ekivalensi Mobil Penumpang Jalan Perkotaan tak terbagi EMP Tipe Jalan : Arus Lalu Lintas dua arah MC Jalan Tak Terbagi (kend/jam) HV Lebar jalur lalu lintas Wc (m) ≤ 6 > 6 Dua-lajur tak terbagi 0 1,3 0,50 0,40 (2/2 UD) ≥ 1800 1,2 0,35 0,25 Empat lajur tak 0 1,3 0,40 terbagi (4/2 UD) ≥ 3700 1,2 0,25 Sumber: Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

Tabel III-16 Ekivalensi Mobil Penumpang Untuk Jalan Perkotaan Terbagi dan/atau Satu Arah Tipe jalan : Arus lalu lintas per lajur Emp Jalan satu arah dan jalan terbagi (kend/jam) HV MC Dua lajur satu arah (2/1), dan 0 1,3 0,40 Empat lajur terbagi (4/2 D) ≥ 1050 1,2 0,25 Tiga lajur satu arah (3/1), dan 0 1,3 0,40 Enam lajur terbagi (6/2 D) ≥ 1100 1,2 0,25 Sumber: Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

Tabel III-17 Nilai Ekivalensi Mobil Penumpang Pada Persimpangan Emp Jenis Kendaraan Pendekat terlindung Pendekat terlawan Kendaraan ringan (LV) 1,00 1,00 Kendaraan berat (HV) 1,30 1,30 Sepeda motor (MC) 0,20 0,40 Sumber: Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

2. Volume Lalu Lintas Jalan Antar Kota

Pembagian Ekivalensi Mobil Penumpang (EMP) untuk jalan luar kota dibagi dalam 5 (lima) jenis kendaraan (MKJI, 1997: V-38) yaitu:

● kendaraan ringan (LV); ● kendaraan menengah (MHV); ● bus besar (LB); ● truk besar (LT); ● sepeda motor (MC).

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 35 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Tabel III-18 Ekivalensi Mobil Penumpang (EMP) Jalan Antar Kota 2 Lajur 2 Arah Tak Terbagi EMP Arus Lalu Lintas Kendaraan Sepeda Motor (MC) Tipe Kendaraan Truk Besar Total dua Arah Menengah Bus Besar (LB) (Kend/jam) alinyemen Ringan (LV) (LT) (Kend/jam) (MHV) (Kend/jam) < 6 > (Kend/jam) (Kend/jam) (Kend/jam) 6 m 8 m 8 m Datar 0 1 1,2 1,2 1,8 0,8 0,6 0,4 800 1 1,8 1,8 2,7 1,2 0,9 0,6 1350 1 1,5 1,6 2,5 0,9 0,7 0,5  1900 1 1,3 1,5 2,5 0,6 0,5 0,4 Bukit 0 1 1,8 1,6 5,2 0,7 0,5 0,3 650 1 2,4 2,5 5,0 1,0 0,8 0,5 1100 1 2,0 2,0 4,0 0,8 0,6 0,4  1600 1 1,7 1,7 3,2 0,5 0,4 0,3 Gunung 0 1 3,5 2,5 6,0 0,6 0,4 0,2 450 1 3,0 3,2 5,5 5,5 0,7 0,4 900 1 2,5 2,5 5,0 5,0 0,5 0,3  1350 1 1,9 2,2 4,0 4,0 0,4 0,3 Sumber: Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

Tabel III-19 Ekivalensi Mobil Penumpang (EMP) Jalan Antar Kota 4 Lajur 2 Arah

Arus Lalu EMP Arus Lalu Lintas Lintas Jalan Kendaraan Tipe Jalan terbagi Kendaraan Bis Besar Truk Besar Sepeda Motor tak terbagi Menengah alinyemen 4/2 D Ringan (LV) (LB) (LT) (MC) 4/2 UD (MHV) (Kend/jam) (Kend/jam) (Kend/jam) (Kend/jam) (Kend/jam) (kend/jam) (Kend/jam) Datar 0 0 1 1,2 1,2 1,6 0,5 1000 1700 1 1,4 1,4 2,0 0,6 1800 3250 1 1,6 1,7 2,5 0,8 > 2150 > 3950 1 1,3 1,5 2,0 0,5 Bukit 0 0 1 1,8 1,6 4,8 0,4 750 1350 1 2,0 2,0 4,6 0,5 1400 2500 1 2,2 2,3 4,3 0,7 > 1750 > 3150 1 1,8 1,9 3,5 0,4 Gunung 0 0 1 3,2 2,2 5,5 0,3 550 1000 1 2,9 2,6 5,1 0,4 1100 2000 1 2,6 2,9 4,8 0,6 > 1500 > 2700 1 2,0 2,4 3,8 0,3 Sumber: Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 36 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Tabel III-20 Ekivalensi Mobil Penumpang (EMP) Jalan Antar Kota 6 Lajur 2 Arah Terbagi EMP Arus Lalu Lintas Kendaraan Kendaraan Tipe Bis Besar Truk Besar Sepeda Motor Total Dua Arah Ringan Menengah alinyemen (LB) (LT) (MC) (kend/jam) (LV) (MHV) (Kend/jam) (Kend/jam) (Kend/jam) (Kend/jam) (Kend/jam) Datar 0 1 1,2 1,2 1,6 0,5 1500 1 1,4 1,4 2,0 0,6 2750 1 1,6 1,7 2,5 0,8  3250 1 1,3 1,5 2,0 0,5 Bukit 0 1 1,8 1,6 4,8 0,4 1100 1 2,0 2,0 4,6 0,5 2100 1 2,2 2,3 4,3 0,7  2650 1 1,8 1,9 3,5 0,4 Gunung 0 1 3,2 2,2 5,5 0,3 800 1 2,9 2,6 5,1 0,4 1700 1 2,6 2,9 4,8 0,6  2300 1 2,0 2,4 3,8 0,3 Sumber: Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

C. Tingkat Pelayanan (Level of Service) Jalan

Tingkat pelayanan adalah suatu metode yang mungkin untuk memberikan batasan- batasan ukuran untuk dapat menjawab pertanyaan apakah kondisi suatu ruas jalan yang ada saat ini masih memenuhi syarat untuk dilalui oleh volume maksimum lalu lintas/pemakai jalan yang ada saat ini dan peningkatannya hingga masa yang akan datang. Level of service suatu ruas jalan dapat dinyatakan dengan rumus:

푽풐풍풖풎풆 풍풂풍풖 풍풊풏풕풂풔 푳풐풔 풐풇 풔풆풓풗풊풄풆 (푳푶푺) = 푲풂풑풂풔풊풕풂풔

푆푀푃 푉 ( ) 퐽푎푚

푎푡푎푢 = 푆푀푃 퐶 ( 퐽푎푚) Tabel berikut menunjukan nilai tingkat pelayanan atau level of service suatu ruas jalan yang telah dilakukan oleh para ahli rekayasa lalu lintas:

Tabel III-21 Karakteristik tingkat pelayanan Tingkat Batas Lingkup V/C Ciri-ciri arus lalu lintas Pelayanan 0,0 s/d 0,19 A Kondisi arus bebas dengan kecepatan tinggi, pengemudi dapat memilih kecepatan yang diinginkan tanpa hambatan. 0,20 s/d 0,44 B Arus stabil, tetapi kecepatan operasi mulai dibatasi oleh kondisi lalu lintas. Pengemudi memiliki kebebasan yang cukup untuk memilih kecepatan. 0,45 s/d 0,69 C Arus stabil, tetapi kecepatan dan gerak kendaraan dikendalikan. Pengemudi dibatasi dalam memilih kecepatan. 0,70 s/d 0,84 D Arus mendekati tidak stabil, kecepatan masih dikendalikan, V/C masih dapat ditolerir.

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 37 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

0,85 s/d 1,00 E Volume lalu lintas mendekati berada pada kapasitas. Arus tidak stabil, kecepatan terkadang terhenti. > 1,0 F Arus yang dipaksakan atau macet, kecepatan rendah, volume di bawah kapasitas. Antrian yang panjang dan terjadi hambatan-hambatan yang besar. Sumber : Perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)

Keterangan: LV : Light vehicle ( kendaraan ringan ) HV : Heavy vehicle (kendaraan berat ) MC : Motorcycle ( sepeda motor ) UM : Unmotorised ( kendaraan tidak bermotor )

D. Model Jaringan Jalan

Jaringan jalan yang diteliti adalah jalan arteri primer, arteri sekunder, kolektor primer dan kolektor sekunder. Dalam mengidentifikasi jaringan jalan, setiap persimpangan (node) diberi kode nomor, sehingga setiap ruas yang diteliti akan ditunjukkan dengan kode nomor node awal dan node akhirnya. Ruas yang diteliti dapat berupa segmen dari ruas jalan tertentu namun dapat juga berupa gabungan dari beberapa ruas jalan tergantung dari letak nodenya.

Ketika membangun pemodelan jaringan jalan digunakan EMME/3 ver 3.4.1., dengan atribut yang diinput antara lain:

● Kode ruas ( LL), Pembuatan simpul/node dilakukan sebelum membuat ruas/link. Link terbentuk dengan menghubungkan 2 node. ● Moda ( MOD ), Moda yang digunakan yaitu mobil (kode c), bus (kode b), dan truk (kode t) diinput sesuai dengan tipe jalan.

Tabel III-22 Kodifikasi Moda No. Kode Klasifikasi Jalan Keterangan Moda

1. cbt Arteri Primer

2. cbt Arteri Sekunder

3. cbt Kolektor Primer – Sekunder

4. - Dummy Links Kode = kode moda yang terhubung dummy link

5. cbt Jalan Tol

Panjang jalan (LEN), Secara grafis, panjang jalan dalam EMME/3 tidak menunjukkan panjang sebenarnya. Panjang jalan dalam EMME/3 didefinisikan dengan memasukkan nilainya di setiap link yang dibuat. Jumlah lajur (LAN), Ruas jalan yang dimodelkan dalam EMME/3 dibuat serepresentatif mungkin terhadap ruas jalan sebenarnya dalam peta.

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 38 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Volume Delay Function (VDF), VDF merupakan fungsi dari tundaan dan volume lalu lintas. VDF diinput berdasarkan formula Volume Delay Function yang diperoleh dari studi-studi yang telah tersedia di dalam program EMME/3 ini. Dalam pemodelan ini digunakan VDF yang terdapat dalam program EMME/3 yang sesuai dengan kondisi jalan yang ditinjau.

Sumber : Studi Penyusunan Sistem Koordinasi Antar Simpang Ber-APILL (ATCS), 2014

Gambar III-9 Contoh Hasil Analisis Jaringan Jalan (EMME)

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 39 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

III.5.4. Merumuskan Strategi, Kebijakan, dan Program Indikatif Penanganan Permasalahan Transportasi

Secara harfiah, road map dapat diartikan sebagai peta penentu atau petunjuk arah. Dalam konteks upaya pencapaian hasil suatu kegiatan, road map adalah sebuah dokumen rencana kerja rinci yang mengintegrasikan seluruh rencana dan pelaksanaan program serta kegiatan dalam rentang waktu tertentu (Sumber: Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, No. 9 Tahun 2011).

Road map penanganan permasalahan transportasi dapat diartikan sebagai sebuah dokumen rencana kerja rinci yang mengintegrasikan seluruh aspek perencanaan, pelaksanaan aksi, dan indikator kesuksesan dalam rentang waktu tertentu.

Maksud dari membangun kerangka kebijakan (roadmap) penanganan permasalahan transportasi di Kota Salatiga adalah upaya peningkatan kualitas sarana, prasarana transportasi, dan jaringan jalan pendukung sebagai langkah menuju Transportasi Kota Salatiga yang lebih baik. Informasi yang harus ada pada roadmap adalah:

1. Tahapan atau aktivitas-aktivitas yang harus dilakukan untuk setiap program dan kegiatan 2. Target capaian/hasil 3. Pelaksana 4. Penanggungjawab 5. Dukungan yang dibutuhkan 6. Anggaran yang diperlukan

Dalam pelaksanaan program dan kegiatan, road map dapat digunakan sebagai alat bantu dalam pengukuran pencapaian kinerja serta monitoring dan evaluasi. Prinsip dasar penyusunan roadmap penelitian:

1. Jelas, ringkas, padat, dan harus mudah dipahami 2. Menggunakan format tertentu 3. Dapat dilaksanakan 4. Terukur, Program, kegiatan, target, waktu, dan outcomes harus dapat diukur 5. Adjustable, Roadmap dapat mengakomodasi umpan balik dan perbaikan perbaikan yang diperlukan 6. Terinci, Roadmap harus merupakan rincian dari pelaksanaan kegiatan dan hasil yang diharapkan dari kegiatan tersebut 7. Roadmap harus merupakan kesepakatan bersama yang memberikan gambaran kesadaran akan tanggung jawab yang harus diselesaikan 8. Roadmap harus menjadi dokumen resmi.

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 40 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Dalam penyusunan Kebijakan, Strategi, dan Program, diperlukan Analisis SWOT. Analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi permasalahan, hambatan, peluang dan pemetaan dan kebijakan penanganan permasalahan transportasi. Analisis SWOT adalah analisis kondisi internal maupun eksternal suatu organisasi yang selanjutnya akan digunakan sebagai dasar untuk merancang strategi dan program kerja. Analisis internal meliputi penilaian terhadap faktor kekuatan (Strength) dan kelemahan (Weakness). Sementara, analisis eksternal mencakup faktor peluang (Opportunity) dan tantangan (ThreatS). Ada dua macam pendekatan dalam analisis SWOT, yaitu:

1. Pendekatan Kualitatif Matriks SWOT

Pendekatan kualitatif matriks SWOT sebagaimana dikembangkan oleh Kearns menampilkan delapan kotak, yaitu dua paling atas adalah kotak faktor eksternal (Peluang dan Tantangan) sedangkan dua kotak sebelah kiri adalah faktor internal (Kekuatan dan Kelemahan). Empat kotak lainnya merupakan kotak isu-isu strategis yang timbul sebagai hasil titik pertemuan antara faktor-faktor internal dan eksternal.

Tabel III-23 Model Analisis SWOT

Sumber: Hisyam, 1998 Keterangan:

Sel A: Comparative Advantages

Sel ini merupakan pertemuan dua elemen kekuatan dan peluang sehingga memberikan kemungkinan bagi suatu organisasi untuk bisa berkembang lebih cepat.

Sel B: Mobilization

Sel ini merupakan interaksi antara ancaman dan kekuatan. Di sini harus dilakukan upaya mobilisasi sumber daya yang merupakan kekuatan organisasi untuk memperlunak ancaman dari luar tersebut, bahkan kemudian merubah ancaman itu menjadi sebuah peluang.

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 41 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Sel C: Divestment/Investment

Sel ini merupakan interaksi antara kelemahan organisasi dan peluang dari luar. Situasi seperti ini memberikan suatu pilihan pada situasi yang kabur. Peluang yang tersedia sangat meyakinkan namun tidak dapat dimanfaatkan karena kekuatan yang ada tidak cukup untuk menggarapnya. Pilihan keputusan yang diambil adalah (melepas peluang yang ada untuk dimanfaatkan organisasi lain) atau memaksakan menggarap peluang itu (investasi).

Sel D: Damage Control

Sel ini merupakan kondisi yang paling lemah dari semua sel karena merupakan pertemuan antara kelemahan organisasi dengan ancaman dari luar, dan karenanya keputusan yang salah akan membawa bencana yang besar bagi organisasi. Strategi yang harus diambil adalah Damage Control (mengendalikan kerugian) sehingga tidak menjadi lebih parah dari yang diperkirakan.

2. Pendekatan Kuantitatif Analisis SWOT

Data SWOT kualitatif diatas dapat dikembangkan secara kuantitatif melalui perhitungan Analisis SWOT yang dikembangkan oleh Pearce dan Robinson (1998) agar diketahui secara pasti posisi organisasi yang sesungguhnya. Perhitungan yang dilakukan melalui tiga tahap, yaitu:

a. Melakukan perhitungan skor (a) dan bobot (b) point faktor serta jumlah total perkalian skor dan bobot (c = a x b) pada setiap faktor S-W-O-T; Menghitung skor (a) masing-masing poin faktor dilakukan secara saling bebas (penilaian terhadap sebuah point factor tidak boleh dipengaruhi atau mempengaruhi penilaian terhadap point factor lainnya). Pilihan rentang besaran skor sangat menentukan akurasi penilaian namun yang lazim digunakan adalah dari 1 sampai 10, dengan asumsi nilai 1 berarti skor yang paling rendah dan 10 berarti skor yang paling tinggi. Perhitungan bobot (b) masing-masing point faktor dilaksanakan secara saling ketergantungan. Artinya, penilaian terhadap satu point faktor adalah dengan membandingkan tingkat kepentingannya dengan point faktor lainnya. Sehingga formulasi perhitungannya adalah nilai yang telah didapat (rentang nilainya sama dengan banyaknya point faktor) dibagi dengan banyaknya jumlah poin faktor). b. Melakukan pengurangan antara jumlah total faktor S dengan W (d) dan faktor O dengan T (e); Perolehan angka (d = x) selanjutnya menjadi nilai atau titik pada sumbu X, sementara perolehan angka (e = y) selanjutnya menjadi nilai atau titik pada sumbu Y; c. Mencari posisi organisasi yang ditunjukkan oleh titik (x,y) pada kuadran SWOT.

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 42 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Tabel III-24 Pembobotan Analisis SWOT

Gambar III-10 Perhitungan Analisis SWOT Kuadran I (positif, positif)

Posisi ini menandakan sebuah organisasi yang kuat dan berpeluang, Rekomendasi strategi yang diberikan adalah Progresif, artinya organisasi dalam kondisi prima dan mantap sehingga sangat dimungkinkan untuk terus melakukan ekspansi, memperbesar pertumbuhan dan meraih kemajuan secara maksimal.

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 43 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Kuadran II (positif, negatif)

Posisi ini menandakan sebuah organisasi yang kuat namun menghadapi tantangan yang besar. Rekomendasi strategi yang diberikan adalah Diversifikasi Strategi, artinya organisasi dalam kondisi mantap namun menghadapi sejumlah tantangan berat sehingga diperkirakan roda organisasi akan mengalami kesulitan untuk terus berputar bila hanya bertumpu pada strategi sebelumnya. Oleh karenanya, organisasi disarankan untuk segera memperbanyak ragam strategi taktisnya.

Kuadran III (negatif, positif)

Posisi ini menandakan sebuah organisasi yang lemah namun sangat berpeluang. Rekomendasi strategi yang diberikan adalah Ubah Strategi, artinya organisasi disarankan untuk mengubah strategi sebelumnya. Sebab, strategi yang lama dikhawatirkan sulit untuk dapat menangkap peluang yang ada sekaligus memperbaiki kinerja organisasi.

Kuadran IV (negatif, negatif)

Posisi ini menandakan sebuah organisasi yang lemah dan menghadapi tantangan besar. Rekomendasi strategi yang diberikan adalah Strategi Bertahan, artinya kondisi internal organisasi berada pada pilihan dilematis. Oleh karenanya organisasi disarankan untuk menggunakan strategi bertahan, mengendalikan kinerja internal agar tidak semakin terperosok. Strategi ini dipertahankan sambil terus berupaya membenahi diri.

L A P O R A N A K H I R Halaman | III - 44 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

BAB IV. GAMBARAN UMUM

B A P P E D A

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

2020

Roadmap Sistem Transportasi Kota Salatiga

GAMBARAN UMUM

Kota Salatiga | Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga

4 L A P O R A N A K H I R Halaman | IV - 1 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

IV.1. KOTA SALATIGA

IV.1.1. Letak Geografis dan Administratif

Kota Salatiga terletak di tengah-tengah wilayah Kabupaten Semarang, letaknya antara 007o .17’ dan 007o .17’.23” Lintang Selatan dan antara 110o27’56,81” dan 110o .32’.4,64” Bujur Timur. Secara administratif Kota Salatiga terbagi menjadi 4 kecamatan dan 23 kelurahan. Luas wilayah Kota Salatiga pada tahun 2018 tercatat sebesar 56,78 km². Berikut adalah tabel administrasi Kota Salatiga.

Tabel IV.1 Pembagian Wilayah Administrasi dan Luasan Per Kecamatan Kota Salatiga

Luas wilayah Administrasi NO Kecamatan km² Kelurahan RW RT 1 Argomulyo 18,526 6 57 267 2 Tingkir 10,549 7 49 298 3 Sidomukti 11,459 4 38 230 4 Sidorejo 16,247 6 59 306 Jumlah 56,781 23 203 1101 Sumber: Kota Salatiga Dalam Angka, 2019

Presentase Luasan Kecamatan Kota Salatiga

29% 33% Argomulyo Tingkir Sidomukti Sidorejo

20% 18%

Gambar IV.1 Grafik Luas Wilayah Per Kecamatan Kota Salatiga

Berdasarkan luasan per kecamatan, wilayah yang memiliki luas terbesar adalah Kecamatan Argomulyo dengan luasan 18,526 km² dari keseluruhan Kawasan Kota Salatiga. Sedangkan wilayah terkecil adalah kecamatan tingkir dengan luasan 10,549 dari luasan keseluruhan Kota Salatiga.

L A P O R A N A K H I R Halaman | IV - 2 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Sumber: RTRW Kota Salatiga 2010-2030 Gambar IV.2 Peta Kota Salatiga dalam Konstelasi Jawa Tengah

L A P O R A N A K H I R Halaman | IV - 3 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Sumber: RTRW Kota Salatiga 2010-2030

Gambar IV.3 Peta Kota Salatiga

L A P O R A N A K H I R Halaman | IV - 4 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

IV.1.2. Fisik Wilayah

Tinjauan morfologis, Kota Salatiga berada di cekungan kaki gunung Merbabu diantara gunung- gunung kecil antara lain Gajahmungkur, Telomoyo dan Payung Rong. Dengan ketinggian antara 450 - 825 m dpl (dari permukaan air laut), dan pada aspek topografis, Kota Salatiga terdiri dari 3 bagian:

1. Bergelombang ± 65 %, terdiri dari: a. Kelurahan: Dukuh, Ledok, Kutowinangun, Salatiga dan Sidorejo Lor. b. Kelurahan: Bugel, Kumpulrejo dan Kauman Kidul. 2. Miring ± 25 %, terdiri dari: a. Kelurahan: Tegalrejo, Mangunsari dan Sidorejo Lor. b. Keluarahan: Sidorejo Kidul, Tingkir Lor, Pulutan, Kecandran, Randuacir, Tingkir Tengah dan Cebongan. 3. Datar ± 10 %, terdiri dari: a. Kelurahan: Kalicacing b. Keluarahan : Noborejo, Kalibening dan Blotongan

IV.1.3. Curah Hujan

Curah hujan di suatu tempat antara lain dipengaruhi oleh keadaan iklim, keadaan topografi dan perputaran/ pertemuan arus udara. Oleh karena itu jumlah curah hujan beragam menurut bulan dan letak stasiun pengamat. Curah hujan tertinggi tercatat sebesar 332 mm pada bulan Desember dan hari hujan terbanyak tercatat sebanyak 15 hari pada bulan Januari. Berikut tabel curah hujan tahun 2018:

Tabel IV.2 Curah Hujan, Hari Hujan dan Rata-rata Curah Hujan di Kota Salatiga Tahun 2018 (mm)

No Bulan Curah hujan Hari hujan Rata-rata curah hujan 1 Januari 270 13 20,77 2 Pebruari 233 15 15,53 3 Maret 208 13 16,00 4 April 175 13 13,46 5 Mei 53 7 7,57 6 Juni 21 2 10,50 7 Juli 0 0 0 8 Agustus 0 0 0 9 September 12 2 6,00 10 Oktober 26 2 13,00 11 November 241 10 24,10 12 Desember 332 15 22,13 J u m l a h 1.571 92 17,08 Total Sumber: Kota Salatiga Dalam Angka, 2019

L A P O R A N A K H I R Halaman | IV - 5 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

IV.1.4. Kondisi Kependudukan

Pada tahun 2018, jumlah penduduk Kota Salatiga sebesar 191.571 jiwa. Jumlah penduduk perempuan lebih besar dibandingkan penduduk laki-laki, ditunjukkan oleh rasio jenis kelamin (rasio jumlah penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan), sebesar 95,77 Penduduk Kota Salatiga belum menyebar secara merata di seluruh wilayah Kota Salatiga. Umumnya, penduduk banyak menumpuk di daerah perkotaan dibandingkan pedesaan. Pada tahun 2018 rata rata, kepadatan penduduk Salatiga sebesar 3.374 jiwa setiap km persegi. Berikut adalah tabel kependudukan Kota Salatiga.

Tabel IV.3 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Per Kecamatan Kota Salatiga

Jumlah penduduk Kepadatan penduduk NO Kecamatan Luas Kec. Kepadatan Sek ratio Laki-laki Perempuan Jumlah (km²) per km². 1 Argomulyo 22.318 23.031 45.349 18,526 2.448 96,90 2 Tingkir 21.840 22.771 44.611 10,549 4.229 95,91 3 Sidomukti 21.494 22.174 43.668 11,459 3.811 96,93 4 Sidorejo 28.066 29.877 57.943 16,247 3.566 93,94 Jumlah 93.718 97.853 191.571 56,781 3.374 95,77 Sumber: Kota Salatiga Dalam Angka, 2019

LAKI-LAKI PEREMPUAN 29.877

35.000 28.066

23.031

22.771

22.318

22.174 21.840 30.000 21.494

25.000

20.000

15.000

10.000

5.000

0 Argomulyo Tingkir Sidomukti Sidorejo

Gambar IV.4 Grafik Jumlah Penduduk Kota Salatiga Tahun 2018

L A P O R A N A K H I R Halaman | IV - 6 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Sumber: RTRW Kota Salatiga 2010-2030

Gambar IV.5 Sebaran Penduduk Kota Salatiga, 2019

L A P O R A N A K H I R Halaman | IV - 7 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Sumber: RTRW Kota Salatiga 2010-2030

Gambar IV.6 Kepadatan Penduduk Kota Salatiga, 2019

L A P O R A N A K H I R Halaman | IV - 8 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Kepadatan Penduduk Kecamatan Kota Salatiga

18% 25%

Argomulyo Tingkir 30% Sidomukti 27%

Gambar IV.7 Grafik Kepadatan Penduduk Kota Salatiga Tahun 2018

SEX RATIO PENDUDUK KOTA SALATIGA

25% 25%

Argomulyo Tingkir 25% 25% Sidomukti Sidorejo

Gambar IV.8 Grafik Sex Ratio Penduduk Kota Salatiga Tahun 2018

Data penduduk menurut kelompok umur di kota salatiga pada tahun 2018 menunjukan jumlah penduduk yang berusia muda lebih besar dari pada penduduk yang berusia tua. Hal ini mengidentifikasikan terjadinya pertumbuhan jumlah penduduk, sehingga generasi muda lebih banyak daripada generasi tua. Gambaran mengenai jumlah penduduk menurut umur dapat dilihat dari table di bawah ini:

L A P O R A N A K H I R Halaman | IV - 9 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Tabel IV.4 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur Kota Salatiga 2018

Kelompok umur Laki-laki Perempuan Jumlah 0 - 4 7.305 6.888 14.193 5 - 9 6.977 6.569 13.546 10 - 14 6.527 6.307 12.834 15 - 19 8.240 8.667 16.907 20 - 24 9.855 9.755 19.610 25 - 29 7.861 7.746 15.607 30 - 34 7.027 7.029 14.056 35 - 39 6.552 6.913 13.465 40 - 44 6.523 6.967 13.490 45 - 49 5.834 6.676 12.510 50 - 54 5.958 6.618 12.576 55 - 59 5.297 5.753 11.050 60 - 64 3.462 3.644 7.106 65+ 6.300 8.321 14.621 Jumlah 93.718 97.853 191.571 Sumber: Kota Salatiga Dalam Angka, 2019

Laki-laki Perempuan

12.000

9.855

9.755

8.667 8.321

10.000 8.240

7.861

7.746

7.305

7.029

7.027

6.977

6.967

6.913

6.888

6.676

6.618

6.569

6.552

6.527

6.523 6.307

8.000 6.300

5.958

5.834

5.753 5.297

6.000

3.644 3.462

4.000

2.000

0 0 - 4 5--9 10--19 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 - 49 50 - 54 55 - 59 60 - 64 65+

Sumber: Kota Salatiga Dalam Angka, 2019 Gambar IV.9 Grafik Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur Kota Salatiga Tahun 2018

IV.1.5. Ekonomi Wilayah

Perindustrian Pembangunan di sektor industri merupakan prioritas utama pembangunan ekonomi tanpa mengabaikan pembangunan di sektor lain. Sektor industri dibedakan menjadi industri besar dan industri sedang serta industri kecil dan industri rumah tangga. Definisi yang digunakan BPS, industri besar adalah perusahaan yang mempunyai tenaga kerja 100 orang atau lebih, industri sedang adalah perusahaan dengan tenaga kerja 20 orang sampai dengan 99

L A P O R A N A K H I R Halaman | IV - 10 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

orang, industri kecil adalah perusahaan dengan tenaga kerja 5 orang sampai dengan 19 orang, dan industri rumah tangga adalah perusahaan dengan tenaga kerja 1 orang sampai dengan 4 orang. Menurut Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Kota Salatiga, terdapat 1.969 perusahaan industri pada tahun 2018 atau meningkat 0,56 persen dibandingkan jumlah perusahaan tahun sebelumnya. Jumlah tenaga kerja yang diserap sebanyak 15.565 orang. Total nilai investasi industri yang ditanamkan di Kota Salatiga tahun 2018 sebesar 1.493.028 juta rupiah atau turun sekitar 0,33 persen dibandingkan dengan tahun 2017. Berikut tabel industri di Kota Salatiga:

Tabel IV.5 Banyaknya Perusahaan Industri Menurut Kecamatan di Kota Salatiga, 2018

No Kecamatan Jumlah

1 Argomulyo 300

2 Tingkir 596

3 Sidomukti 471

4 Sidorejo 578

Sumber: Kota Salatiga Dalam Angka, 2019

Industri di Kota Salatiga 700 600 500 400 300 200 100 0 Argomulyo Tingkir Sidomukti Sidorejo

jumlah industri

Sumber: Kota Salatiga Dalam Angka, 2019 Gambar IV.10 Grafik Banyaknya Perusahaan Industri Menurut Kecamatan di Kota Salatiga, 2018

IV.1.6. Kondisi Lahan

Lahan merupakan wadah bagi segala aktivitas penduduk suatu kota atau wilayah. Luas wilayah Kota Salatiga pada tahun 2018 tercatat sebesar 56,78 km². Luas yang ada, terdiri dari 6,36 km2 (11,20 persen) lahan sawah; 17,58 km² (30,96 persen) lahan pertanian bukan sawah dan 32,84 km2 (57,84 persen) bukan lahan pertanian. Sebagian besar lahan sawah ditanami padi dua kali

L A P O R A N A K H I R Halaman | IV - 11 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

dalam setahun yaitu seluas 527 hektar atau 82,86 persen. Sebanyak 10,85 persen lahan sawah hanya ditanami padi sekali dalam setahun. Berikutnya, lahan yang dipakai untuk tegal/kebun sebesar 89,99 persen dari total lahan pertanian bukan sawah. berikut Gambaran mengenai penggunaan lahan dilihat dari table di bawah ini:

Tabel IV.6 Luasan dan Penggunaan Lahan Kota Salatiga 2018 (Ha)

No Kecamatan Lahan Sawah Pertanian Bukan Lahan Jumlah Bukan Sawah Pertanian 1 Argomulyo 9 755 1.089 1.853 2 Tingkir 300 173 582 1.055 3 Sidomukti 50 382 714 1.146 4 Sidorejo 277 448 899 1.624 Jumlah 636 1.758 3.284 5.678 Sumber: Kota Salatiga Dalam Angka, 2019

1200 1.089

1000 899

755 800 714 582 600 448 382 400 300 277 173 200 50 9 0 Argomulyo Tingkir Sidomukti Sidorejo

Lahan Sawah Pertanian Bukan Sawah Bukan Lahan Pertanian

Sumber: Kota Salatiga Dalam Angka, 2019 Gambar IV.11 Grafik penggunaan lahan Kota Salatiga tahun 2018

L A P O R A N A K H I R Halaman | IV - 12 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Sumber: RTRW Kota Salatiga 2010-2030

Gambar IV.12 Guna Lahan Kota Salatiga, 2019

L A P O R A N A K H I R Halaman | IV - 13 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

IV.1.7. Transportasi

Jalan merupakan prasarana pengangkutan darat yang penting untuk memperlancar kegiatan perekonomian. Dengan semakin meningkatnya usaha pembangunan maka akan meningkat pula tuntutan peningkatan pembangunan jalan untuk memudahkan mobilitas penduduk dan memperlancar lalu lintas barang dari satu daerah ke daerah lain. Panjang jalan di seluruh wilayah Kota Salatiga pada tahun 2018 menurut Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Salatiga mencapai 337,47 kilometer. Adapun tabel sebagai berikut:

Tabel IV.7 Panjang Jalan Kota Salatiga menurut Jenis Permukaan Tahun 2018 (km)

No Jenis Permukaan Panjang Jalan 2018 (km)

1 Diaspal /asphalt 306,875

2 Rigid atau beton/ concrete roads -

3 Kerikil/ graveled -

4 Tanah/ land -

5 Lainnya/ others 30,596

Jumlah 337,471

Sumber: Kota Salatiga Dalam Angka, 2019

Tabel IV.8 Panjang Jalan Kota Salatiga menurut Kondisi Jalan Tahun 2018 (km)

No Kondisi Jalan Panjang Jalan 2018 (km)

1 Baik 292,477

2 sedang 12,636

3 Rusak 30,770

4 Rusak berat 1,588

Jumlah 337,471

Sumber: Kota Salatiga Dalam Angka, 2019

Tabel IV.9 Banyaknya Angkutan Dalam Kota (Angkota) menurut Trayek yang dilayani Tahun 2018

Jarak No. Trayek Jalur Armada (Km) 1 Tamansari - Karangrejo – PP 1 7 44 2 Tamansari - Modangan – PP 2 5 83 3 Tamansari - Kauman Kidul – PP 3 4 32

L A P O R A N A K H I R Halaman | IV - 14 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Jarak No. Trayek Jalur Armada (Km) 4 Tamansari - Kali Bening - PP 4 4 14 5 Tamansari - Isep-isep - Cengek – PP 5 6 39 6 Tamansari - Noborejo – PP 6 7 71 7 Tamansari - Tegalrejo – PP 7 7 17 8 Tamansari - Ngawen – PP 8 4 25 9 Tamansari - Grogol – PP 9 4 20 10 Tamansari - RSU - Isep-isep – PP 10 5 21 11 Tamansari - Karang Alit - Perum Warak – PP 11 4 16 12 Tamansari - Bugel - Sembir – PP 12 3 4 13 Tamansari - Banyu Putih - Grogol - PP 14 5 11 14 Tamansari - Randuacir – PP 16 7 14 15 Tamansari - Gamol – PP 17 5 10 Jumlah/Total 421 Sumber: Kota Salatiga Dalam Angka, 2019

IV.2. RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SALATIGA

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga Tahun 2010-2030 diatur dalam Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga Tahun 2010 – 3030. Tujuan penataan ruang Kota Salatiga yaitu mewujudkan Kota Salatiga sebagai pusat pendidikan dan olahraga di kawasan Kendal––Semarang–Salatiga–Purwodadi (KEDUNGSEPUR) yang berkelanjutan didukung sektor perdagangan dan jasa yang berwawasan lingkungan.

Tabel IV.10 Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga 2010 – 2030

No. Bagian Muatan 1. Tujuan Tujuan penataan ruang Kota Salatiga adalah mewujudkan Kota Salatiga sebagai pusat pendidikan dan olahraga di kawasan Kendal–Ungaran–Semarang–Salatiga– Purwodadi (Kedungsepur) yang berkelanjutan didukung sektor perdagangan dan jasa yang berwawasan lingkungan. 2. Kebijakan Penataan 1. Kebijakan pengembangan struktur ruang meliputi: Ruang a. pemantapan pusat pelayanan kegiatan sesuai dengan fungsinya b. peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan sistem prasarana dan sarana umum c. pengembangan sistem jaringan transportasi jalan yang memperlancar pergerakan antarpusat kegiatan. 2. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Pola Ruang. meliputi: a. peningkatan fungsi kawasan lindung b. penyediaan RTH kota yang proporsional c. perwujudan pengembangan kegiatan budi daya yang optimal dan efisien d. peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara. 3. Kebijakan pengembangan kawasan strategis meliputi: a. pengembangan kawasan strategis sosial budaya

L A P O R A N A K H I R Halaman | IV - 15 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

No. Bagian Muatan b. pengembangan kawasan strategis ekonomi.

3. Strategi Penataan Ruang 1. Strategi pemantapan pusat pelayanan meliputi: a. menetapkan hirarki sistem pusat pelayanan secara berjenjang b. mengembangkan pusat perdagangan berskala regional c. mengembangkan kegiatan pendidikan menengah kejuruan, akademi, dan perguruan tinggi hingga ke skala pelayanan regional d. mengembangkan pusat kegiatan olah raga e. mengembangkan kegiatan wisata budaya, wisata alam dan wisata buatan f. mengembangkan kegiatan jasa pertemuan dan jasa pameran. 2. Strategi peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan sistem prasarana dan sarana umum meliputi: a. mengembangkan prasarana telekomunikasi nirkabel berupa tower BTS bersama b. mengembangkan prasarana listrik dengan sumber energi alternatif c. meningkatkan dan mengembangkan ketersediaan air baku d. meningkatkan kualitas jaringan irigasi dan distribusi air. 3. Strategi pengembangan sistem jaringan transportasi jalan yang memperlancar pergerakan antarpusat meliputi: a. mengembangkan jaringan jalan lingkar b. menata fungsi jaringan jalan c. mengembangkan terminal tipe A, tipe C, dan terminal angkutan kota (angkota).

4. Strategi peningkatan fungsi kawasan lindung meliputi: a. menetapkan kawasan lindung b. menjaga kelestarian kawasan lindung c. mengembalikan dan mengatur pemanfaatan tanah sesuai peruntukan fungsi lindung d. melestarikan kawasan lindung cagar budaya e. melakukan rehabilitasi dan konservasi kawasan lindung yang telah menurun fungsinya. 5. Strategi penyediaan RTH kota yang proporsional meliputi: a. meningkatkan kuantitas RTH hingga 30 (tiga puluh) persen b. mengembalikan RTH sesuai fungsinya c. mempertahankan RTH yang telah ada. 6. Strategi perwujudan pengembangan kegiatan budi daya yang optimal dan efisien meliputi: a. menetapkan kawasan budidaya sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan b. mengarahkan pengembangan kawasan industri di bagian Selatan kota c. mengarahkan pengembangan kawasan pertanian lahan basah di bagian Timur kota

L A P O R A N A K H I R Halaman | IV - 16 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

No. Bagian Muatan d. mendorong pengembangan kawasan budi daya secara vertikal di kawasan kepadatan tinggi e. memperhatikan keterpaduan antar kegiatan budi daya f. mengembangkan fasilitas olahraga berskala nasional dan internasional. 7. Strategi perwujudan peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara meliputi: a. mengembangkan kegiatan budi daya secara selektif di dalam dan di sekitar kawasan strategis nasional untuk menjaga fungsi pertahanan dan keamanan b. mengembangkan kawasan lindung dan/atau kawasan budidaya tidak terbangun di sekitar kawasan strategis nasional yang mempunyai fungsi khusus pertahanan dan keamanan dengan kawasan budidaya terbangun c. menjaga dan memelihara aset–aset pertahanan dan keamanan. 8. Strategi pengembangan kawasan strategis sosial budaya meliputi: a. menetapkan kawasan strategis kota dengan fungsi pendidikan berskala internasional b. meningkatkan prasarana dan sarana pendidikan tinggi di kawasan strategis c. meningkatkan prasarana dan sarana pusat pendidikan dasar dan pusat pendidikan menengah di kawasan strategis. 9. Strategi pengembangan kawasan strategis ekonomi meliputi: a. menetapkan kawasan strategis kota dengan fungsi perdagangan dan jasa b. meningkatkan prasarana dan sarana perdagangan dan jasa berskala regional c. meningkatkan jaringan prasarana dan fasilitas penunjang kegiatan perdagangan dan jasa.

4. Rencana Struktur Ruang Rencana struktur ruang wilayah Kota Salatiga terdiri dari: Kota Salatiga 1. Rencana pengembangan sistem pusat pelayanan

Sistem Pusat Pelayanan Rencana pengembangan sistem pusat pelayanan terdiri dari: a. Pusat pelayanan kota sebagai pusat perdagangan jasa dan perkantoran meliputi: ● Kelurahan Salatiga ● Kelurahan Kutowinangun ● Kelurahan Gendongan ● Kelurahan Kalicacing b. Sub Pusat pelayanan kota meliputi: ● Kelurahan Sidorejo Lor di Kecamatan Sidorejo sebagai pusat pengembangan pendidikan tinggi dan pariwisata ● Kelurahan Mangunsari di Kecamatan Sidomukti sebagai pusat pengembangan pelayanan kesehatan dan pemukiman

L A P O R A N A K H I R Halaman | IV - 17 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

No. Bagian Muatan ● Kelurahan Randuacir di Kecamatan Argomulyo sebagai pengembangan kegiatan industri dan kegiatan berbasis pertanian meliputi Agrowisata dan Agroindustri ● Kelurahan Sidorejo Kidul di Kecamatan Tingkir sebagai pengembangan kegiatan industri dan kegiatan berbasis pertanian lahan basah c. Pusat lingkungan sebagai pusat pelayanan lokal meliputi pelayanan ekonomi, sosial dan/atau administrasi. meliputi: ● Kelurahan Blotongan ● Kelurahan Bugel ● Kelurahan Kauman Kidul ● Kelurahan Pulutan ● Kelurahan Kalibening ● Kelurahan Tingkir Lor ● Kelurahan Tingkir Tengah ● Kelurahan Noborejo ● Kelurahan Ledok ● Kelurahan Tegalrejo ● Kelurahan Kumpulrejo ● Kelurahan Cebongan ● Kelurahan Kecandran ● Kelurahan Dukuh. 2. Rencana Pengembangan Sistem Prasarana Wilayah Kota a. Rencana Sistem Jaringan Transportasi b. Rencana Sistem Jaringan Energi/Kelistrikan c. Rencana Sistem Jaringan Telekomunikasi d. Rencana Sistem Jaringan Sumber Daya Air e. Rencana Infrastruktur Perkotaan.

5. Rencana Pola Ruang Rencana pola ruang wilayah kota terdiri atas: Wilayah kota salatiga 1. Kawasan Lindung a. Kawasan yang memberi perlindungan kawasan bawahannya meliputi: ● kawasan lindung yang dikelola oleh masyarakat seluas kurang lebih 45 (empat puluh lima) hektar ● kawasan resapan air. b. Kawasan perlindungan setempat ● kawasan sempadan sungai ● kawasan sekitar mata air ● kawasan sekitar embung atau waduk. c. RTH kota ● RTH publik ● RTH privat d. Kawasan cagar budaya ● Prasasti Plumpungan di Kelurahan Kauman Kidul seluas kurang lebih 0,3 (nol koma tiga) hektar

L A P O R A N A K H I R Halaman | IV - 18 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

No. Bagian Muatan ● bangunan bersejarah di Kelurahan Salatiga, Kelurahan Kalicacing, Kelurahan Kutowinangun, dan Kelurahan Sidorejo Lor. e. Kawasan rawan bencana alam yaitu merupakan kawasan rawan longsor. f. Kawasan lindung geologi yang merupakan kawasan imbuhan air. g. Kawasan lindung lainnya yang merupakan kawasan perlindungan plasma nutfah meliputi: ● Gandaria (buca macrophilla) di Kelurahan Mangunsari ● Kesambi (schleichera oleosa) di Kelurahan Kalicacing ● Rejasa (elaecanpur grandiflora) di Kelurahan Kalicacing ● Pule (alstonia scholaris) di Kelurahan Mangunsari. 2. Kawasan Budi Daya a. kawasan peruntukan perumahan: ● perumahan dengan kepadatan tinggi yaitu lebih besar dari 5336 jiwa per kilometer persegi ● perumahan dengan kepadatan sedang yaitu antara 2668 hingga 5336 jiwa per kilometer persegi ● perumahan dengan kepadatan rendah yaitu kurang dari 2668 jiwa per kilometer persegi. b. kawasan peruntukan perdagangan dan jasa ● pasar tradisional ● pusat perbelanjaan ● toko modern. c. kawasan peruntukan perkantoran ● perkantoran pemerintahan ● perkantoran swasta. d. kawasan peruntukan industri ● industri kecil ● industri menengah ● industri besar non polutan. e. kawasan peruntukan pariwisata ● pariwisata budaya ● pariwisata alam ● pariwisata buatan. f. kawasan RTNH ● alun–alun kawasan pemerintahan ● plasa bangunan ibadah ● penyediaan lahan parkir ● lapangan olahraga. g. kawasan ruang evakuasi bencana ● kawasan ruang evakuasi bencana di Kelurahan Blotongan dan Kelurahan Bugel di lapangan Prampelan Blotongan dan halaman atau gedung pertemuan Kecamatan Sidorejo

L A P O R A N A K H I R Halaman | IV - 19 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

No. Bagian Muatan ● kawasan ruang evakuasi bencana di Kelurahan Sidorejo Kidul dan Kelurahan Kutowinangun di lapangan sepak bola Sidorejo Kidul dan gedung pertemuan Kecamatan Tingkir ● kawasan ruang evakuasi bencana di Kelurahan Randuacir dan Kelurahan Kumpulrejo di halaman dan gedung pertemuan Kecamatan Argomulyo dan lapangan sepak bola Randuacir. h. kawasan peruntukan ruang bagi kegiatan sektor informal adalah area khusus untuk Pedagang Kaki Lima (PKL) yang terdapat di : ● kawasan PKL Kridanggo di Kelurahan Kalicacing ● kawasan PKL Lapangan Pancasila di Kelurahan Kalicacing ● kawasan PKL Jenderal Sudirman di Kelurahan Salatiga ● Kelurahan Kutowinangun dan Kelurahan Kalicacing ● kawasan PKL Pasar Andong di Kelurahan Mangunsari ● kawasan PKL Margosari di Kelurahan Salatiga. i. kawasan peruntukan lainnya. ● kawasan peruntukan pertanian ● kawasan peruntukan perikanan ● kawasan peruntukan hutan rakyat ● pelayanan umum ● peruntukan pertahanan dan keamanan ● kawasan peruntukan olahraga dan rekreasi.

6. Penetapan Kawasan Kota Salatiga ditetapkan termasuk dalam Kawasan Strategis Nasional dan Kawasan Strategis Wilayah Strategis Provinsi Jawa Tengah sebagai kawasan strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi yaitu Kawasan Perkotaan Kendal–Demak–Ungaran–Salatiga– Semarang–Purwodadi (Kedungsepur).

Kawasan strategis di Kota Salatiga meliputi: 1. kawasan strategis sosial budaya terdiri atas: a. kawasan strategis pendidikan dasar dan menengah (learning center) di Kelurahan Salatiga dan Kelurahan Sidorejo Lor b. kawasan strategis pendidikan tinggi di Kelurahan Blotongan dan Kelurahan Pulutan. 2. kawasan strategis ekonomi yaitu kawasan strategis perdagangan dan jasa di Jalan Jenderal Sudirman di Kelurahan Salatiga dan Kelurahan Kutowinangun

7. Arahan Pemanfaatan Arahan pemanfaatan ruang wilayah kota merupakan perwujudan rencana struktur Ruang Wilayah ruang, pola ruang, dan kawasan strategis kota. Arahan pemanfaatan ruang terdiri atas: 1. indikasi program utama 2. indikasi sumber pendanaan 3. indikasi pelaksana kegiatan 4. waktu pelaksanaan

Sumber: Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga Tahun 2010 – 3030

L A P O R A N A K H I R Halaman | IV - 20 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

BAB V. ANALISIS

B A P P E D A BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

2020

Roadmap Sistem Transportasi Kota Salatiga ANALISIS TRANSPORTASI Analisis Kinerja Jaringan | Analisis Jaringan Pelayanan Angkutan Umum | Analisis Interaksi Spasial Ruang Perkotaan Di Kota Salatiga

5 L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 1 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Urbanisasi di area-area perkotaan semakin kompleks. Kompleksitas ini telah membawa perubahan pada dinamika spasial perkotaan. Sebagai bentuknya fenomena urbanisasi regional telah memberikan tekanan kota-kota terhadap terjadinya desentralisasi di kawasan yang semula tidak masuk dalam kategori daerah perkotaan (Hudalah & Firman, 2012). Beberapa fenomena ini pada kota-kota menengah dan kecil, seperti Salatiga sebagai bagian (penyangga) dari area metropolitan Semarang, urbanisasi regional berdampak pada semakin meluasnya kawasan sub- urban di sekitar inti kota dengan karakteristik semakin padat area terbangun.

Prinsip interaksi ini pada dasarnya memberikan peran dalam menunjukkan hubungan kota-kota dan hinterland disekitarnya (Batty, 2013). Interaksi ini tidak pernah lepas dari keberadaan infrastruktur fisik yang menopang aliran. Secara nyata dua aspek yang banyak dikaji dalam studi perkotaan adalah aliran informasi, tetapi aspek ini mengabaikan infrastruktur fisiknya. Sementara itu dalam kaitannya dengan interaksi spasial perkotaan, interaksi orang dan barang yang didukung oleh jaringan transportasi merupakan komponen penting dalam menjelaskan perluasan morfologi perkotaan (Boix, 2003; Rodrigue, 2020). Interaksi nyatanya memberikan implikasi terhadap timbulnya permasalahan ruang perkotaan (Kraas, 2007). Pada aspek transportasi, permasalahan ini ditunjukkan dengan meningkatnya volume lalu lintas yang memberikan implikasi pada semakin menurunnya kinerja kapasitas ruang jalan. Hubungan fungsional yang semakin kompleks antar ruang-ruang perkotaan lambat laun memberikan friksi permasalahan lingkungan dan livability ruang perkotaan. Sementara tumpang tindih trayek, pertumbuhan kendaraan pribadi, tumbuhnya transportasi berbasis online, dan semakin berkembangnya angkutan umum massal yang tidak terintegrasi membawa pada permasalahan sosial-ekonomi (terutama operator).

Pemerintah Kota Salatiga menganggap penting melihat interaksi (flows) orang dan barang yang melibatkan jaringan transportasi. Hal ini diperlukan secara khusus untuk mengkaji dan mengevaluasi pola pergerakan dan kinerja transportasi (termasuk trayek) di Kota Salatiga. Beberapa (Keluaran) output yang diharapkan Pemerintah Kota Salatiga pada pekerjaan Roadmap Sistem Transportasi Kota Salatiga ini diantaranya:

1. Kinerja Jaringan Transportasi; 2. Kinerja Moda/Sarana Transportasi; 3. Gambaran Interaksi Antar Fungsi Ruang Perkotaan di Kota Salatiga; dan 4. Rumusan Roadmap Penanganan Transportasi dari Sisi Demand dan Supply.

Untuk mencapai keluaran yang diharapkan maka dilakukan proses pengumpulan data baik sekunder maupun primer. Kegiatan pengumpulan data telah dilakukan, maka berikut disampaikan hasil analisis sesuai dengan maksud, tujuan, dan keluaran yang ada pada Kerangka Acuan Kerja Roadmap Sistem Transportasi Kota Salatiga tahun 2020:

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 2 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

V.1. ANALISIS KINERJA JARINGAN

Jaringan Transportasi dengan menjabarkan (melalui model atau pendekatan yang tepat) kondisi volume lalu lintas, kapasitas ruas jalan, jaringan trayek. Jaringan Transportasi merupakan elemen penting pendukung interaksi spasial perkotaan, interaksi orang dan barang dalam morfologi perkotaan (Boix, 2003; Rodrigue, 2020). Adanya fenomena-fenomena kota-kota menjadi semakin berkembang, jaringan transportasi yang mendukung pergerakan semakin padat. Permasalahan ini ditunjukkan dengan meningkatnya volume lalu lintas yang memberikan implikasi pada semakin menurunnya kinerja kapasitas ruang jalan.

Pelaksanaan pekerjaan ini fokus akan dilanjutkan dengan melihat peran jaringan transportasi yang ada saat ini dalam mendukung kinerja ruang arus dari orang dan barang. Secara lebih spesifik, studi ini akan melibatkan beberapa nodes sebagai representasi dari zona untuk dikaji ruang secara fungsional (semisal, tata guna lahan, terminal penumpang, terminal barang, transit dan transfer poin angkutan umum massal), serta jaringan trayek angkutan orang dan barang.

V.1.1. Karakteristik Jaringan Jalan

Jaringan jalan di Kota Salatiga cenderung berbentuk grid semi radial (setengah radial) dengan beberapa titik akses, dengan dua pintu gerbang Utara – selatan sebagai akses arteri primer dan dua kolektor primer dari/ke arah Kopeng di sisi barat dan dari/ke arah timur laut menuju Kedungjati. Sementara itu terdapat akses dari/ke Gemolong melalui Kecamatan Tingkir, dan akses ke Ambarawa melalui Kelurahan Kecandran.

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 3 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Sumber: Peraturan Daerah Kota Salatiga No 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga Gambar V.1 Jaringan Jalan dan Akses Ke Kota Salatiga

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 4 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Dalam perkembangan dan pertumbuhan Jawa Tengah, Salatiga sangat berperan penting terutama dengan adanya Jalan Lingkar Salatiga yang dapat mengurangi permasalahan kemacetan di perkotaan. Hal ini sangat penting, baik itu untuk skala regional, karena jaringan jalan arteri utara selatan di Jawa Tengah melalui Kota Salatiga. Disisi lain, dampak arus menerus antar kota tidak mengganggu aktivitas ekonomi dan pergerakan lokal dalam Kota Salatiga. Jaringan jalan yang amati adalah jalan arteri primer, arteri sekunder, kolektor primer dan kolektor Sekunder.

Seiring dengan perkembangan kota, Kota Salatiga berkembang menjadi kota yang memfokuskan pada jasa, pendidikan dan pariwisata. Berdasarkan lokasinya, kawasan pariwisata dan jasa di Kota Salatiga terletak menyebar dan pada umumnya berada di sepanjang jalan-jalan utama. Kawasan perdagangan modern, pariwisata dan jasa terutama terdapat di Kawasan Kelurahan Salatiga sepanjang ruas Jalan Sudirman dan Jalan Diponegoro, yang merupakan urat nadi perekonomian Kota Salatiga. Di kawasan tersebut terdapat setidaknya tiga pusat perbelanjaan, Bank Nasional seperti Bank Mandiri, BRI, pusat pendidikan seperti UKSW dan STIE UMA. Selain itu, kawasan perdagangan jasa juga terdapat di sepanjang Jl. Sudirman dengan adanya kawasan pusat oleh-oleh khas Salatiga dan Hotel Grand Wahid Salatiga.

Sumber: Diolah dari berbagai Sumber, 2020 Gambar V.2 Aktifitas Kegiatan di Sepanjang Jalan Diponegoro

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 5 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Sumber: Diolah dari berbagai Sumber, 2020 Gambar V.3 Aktifitas Kegiatan di Sepanjang Jalan Sudirman

V.1.2. Rona Jaringan Jalan

Jaringan jalan di Kota Salatiga terbentuk secara natural dengan jalan di perkotaan yang cukup rapat. Kemudian dengan perkembangan waktu dan kebutuhan kapasitas jalan, maka jaringan jalan perkotaan ditetapkan sedemikian hingga terdapat jaringan jalan lingkar dalam Kota Salatiga. Jaringan jalan lingkar dalam ini dibangun pada sistem jaringan jaringan jalan eksisting meliputi jalan Wahid Hasyim, Jalan Osa Maliki dan Jalan Veteran.

Disisi lain, terdapat Jalan Lingkar Luar Kota Salatiga, atau biasa disebut pula Jalan Lingkar Salatiga (JLS). Jalan Lingkar Salatiga ini dibangun sepanjang 11,3 kilometer melewati Kecamatan Argomulyo, yang meliputi Kelurahan Cebongan, Kelurahan Randu Acir, Kelurahan Kumpul Rejo, Kecamatan Sidomukti, meliputi Kelurahan Dukuh dan Kelurahan Kecandran dan Kecamatan Sidorejo, meliputi Kelurahan Pulutan dan Kelurahan Blotongan.

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 6 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Sumber: Diolah dari berbagai Sumber, 2020 Gambar V.4 Jalan Lingkar Dalam Di Kota Salatiga

Sumber: Diolah dari berbagai Sumber, 2020 Gambar V.5 Jalan Lingkar Salatiga (JLS) sebagai Lingkar Luar Kota Salatiga

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 7 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Sumber: Google street view, 2020 Gambar V.6 Jalan Tol Melintas Kota Salatiga

Jalan Tol Semarang-Solo diresmikan Presiden Joko Widodo dan beroperasi penuh pada tahun 2017 ini menghubungkan kota Semarang dan Solo. Kehadiran Jalan Tol ini memiliki arti penting sebagai aksesibilitas penopang perekonomian di daerah yang dilintasi seperti Semarang, Salatiga, Boyolali, Sukoharjo dan Solo. Jalan Tol Semarang - Solo juga memiliki peran penting bagi masyarakat dalam rangka memperkuat konektivitas mendukung potensi pengembangan wilayah, khususnya untuk peningkatan kelancaran arus barang dan jasa.

Kehadiran Tol ini juga sebagai akses pendukung pariwisata alam yang ada di sekitar Jalan Tol Trans Jawa hingga sekaligus dapat menikmati wisata kuliner yang disuguhkan di masing-masing daerahnya khususnya di Kota Semarang hingga Kota Solo. Jalan Tol Semarang - Solo memiliki total panjang 72,64 Km yang terbagi menjadi lima seksi. Seksi I yakni Semarang-Ungaran (10,85 Km), Seksi II Ungaran-Bawen (11,99 Km), Seksi III Bawen-Salatiga 17,6 Km, Seksi IV Salatiga- Boyolali 24,5 Km, dan Seksi V Boyolali-Kartasura 7,74 Km.

V.1.3. Kapasitas Jalan Perkotaan Salatiga

Perhitungan kapasitas untuk jalan perkotaan adalah sebagai berikut:

C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs ( smp/jam )

dimana : C : Kapasitas ( smp/jam ) Co : Kapasitas dasar ( smp/jam ) FCw : Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas FCsp : Faktor penyesuaian pemisah arah FCsf : Faktor penyesuaian hambatan samping FCcs : Faktor penyesuaian ukuran kota

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 8 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Jalan yang diteliti pada jalan perkotaan Salatiga adalah sebagai berikut:

1. Jalan Lingkar Salatiga a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 4/2 UD ● Lebar badan jalan : 17 m ● Lebar median : 1 m ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : 0,5 m b. bahu luar : 1 m ● Lebar trotoar : 1,5 m

Gambar V.7 Cross Section Jalan Lingkar Salatiga

Gambar V.7A Jalan Lingkar Salatiga

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 1650 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 0,92 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1,00 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,93 FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota = 0,90 C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs = 1650 x 0,92 x 1,00 x 0,93 x 0,90 = 2823,48 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 9 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

2. Jalan Soekarno-Hatta a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 4/2 UD ● Lebar badan jalan : 15 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam :- b. bahu luar : 0,5 m ● Lebar trotoar : 1,5 m

Gambar V.8 Cross Section Jalan Soekarno-Hatta

Gambar V.9 Jalan Soekarno-Hatta

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 1500 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 1,00 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1,00 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,91 FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota = 0,90 C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs = (1500 x 2) x 1,00 x 1,00 x 0,91 x 0,90 = 2457,00 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 10 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

3. Jalan Jendral Sudirman a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 4/2 UD ● Lebar badan jalan : 18 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : - b. bahu luar : 2 m ● Lebar trotoar : 2 m

Gambar V.10 Cross Section Jalan Jendral Sudirman

Gambar V.11 Jalan Jendral Sudirman

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 1500 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 1,00 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1,00 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,88 FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota = 0,90 C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs = (1500 x 2) x 1,00 x 1,00 x 0,88 x 0,90 = 2376,00 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 11 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

4. Jalan Ahmad Yani a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 12 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : - b. bahu luar : 2 m ● Lebar trotoar : 2 m

Gambar V.12 Cross Section Jalan Ahmad Yani

Gambar V.13 Jalan Ahmad Yani

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 2900 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 1,34 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1,00 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,98 FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota = 0,90 C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs = 2900 x 1,34 x 1,00 x 0,98 x 0,90 = 3808,28 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 12 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

5. Jalan Dipomenggolo a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 6 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : - b. bahu luar : 0,2 m ● Lebar trotoar : -

Gambar V.14 Cross Section Jalan Dipomenggolo

Gambar V.15 Jalan Dipomenggolo

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 2900 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 0,87 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1,00 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,86 FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota = 0,90 C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs = 2900 x 0,87 x 1,00 x 0,86 x 0,90 = 2169,78 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 13 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

6. Jalan Hasanudin a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 9 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : - b. bahu luar : 1 m ● Lebar trotoar : -

Gambar V.16 Cross Section Jalan Hasanudin

Gambar V.17 Jalan Hasanudin

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 2900 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 1,00 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1,00 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,91 FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota = 0,90 C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs = 2900 x 1,00 x 1,00 x 0,91 x 0,90 = 3808,28 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 14 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

7. Jalan Veteran a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 12 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : - b. bahu luar : 2 m ● Lebar trotoar : 1,5 m

Gambar V.18 Cross Section Jalan Veteran

Gambar V.19 Jalan Veteran

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 2900 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 1,14 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1,00 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,98 FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota = 0,90 C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs = 2900 x 1,14 x 1,00 x 0,98 x 0,90 = 3239,88 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 15 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

8. Jalan Osamaliki a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 10,4 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : - b. bahu luar : 0,5 m ● Lebar trotoar : 2 m

Gambar V.20 Cross Section Jalan Osamaliki

Gambar V.21 Jalan Osamaliki

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 2900 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 1,29 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1,00 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,88 FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota = 0,90 C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs = 2900 x 1,29 x 1,00 x 0,88 x 0,90 = 3292,08 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 16 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

9. Jalan Blotongan a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 15 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : - b. bahu luar : 1,5 m ● Lebar trotoar : 2 m

Gambar V.22 Cross Section Jalan Blotongan

Gambar V.23 Jalan Blotongan

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 2900 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 1,34 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1,00 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,91 FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota = 0,90 C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs = 2900 x 1,34 x 1,00 x 0,91 x 0,90 = 3536,26 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 17 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

10. Jalan Imam Bonjol a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 8 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : - b. bahu luar : 1 m ● Lebar trotoar : 1,5 m

Gambar V.24 Cross Section Jalan Imam Bonjol

Gambar V.25 Jalan Imam Bonjol

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 2900 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 0,87 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1,00 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,88 FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota = 0,90 C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs = 2900 x 0,87 x 1,00 x 0,88 x 0,90 = 2220,24 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 18 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

11. Jalan KH.Wahid Hasyim a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 8,4 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : - b. bahu luar : 0,5 m ● Lebar trotoar : 2 m

Gambar V.26 Cross Section Jalan KH. Wahid Hasyim

Gambar V.27 Jalan KH. Wahid Hasyim

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 2900 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 1,14 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1,00 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,89 FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota = 0,90 C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs = 2900 x 1,14 x 1,00 x 0,89 x 0,90 = 2942,34 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 19 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

12. Jalan Pemuda a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 4/2 UD ● Lebar badan jalan : 17,5 m ● Lebar median : 1,5 m ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : 0,5 m b. bahu luar : 1,5 m ● Lebar trotoar : 2 m

Gambar V.28 Cross Section Jalan Pemuda

Gambar V.29 Jalan Pemuda

c) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 2900 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 1,00 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1,00 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,98 FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota = 0,90 C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs = 2900 x 1,00 x 1,00 x 0,98 x 0,90 = 3234,00 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 20 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

13. Jalan Diponegoro a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 13,5 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : - b. bahu luar : 2 m ● Lebar trotoar : 2 m

Gambar V.30 Cross Section Jalan Diponegoro

Gambar V.31 Jalan Diponegoro

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 2900 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 1,34 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1,00 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,98 FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota = 0,90 C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs = 2900 x 1,34 x 1,00 x 0,98 x 0,90 = 3808,28 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 21 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

14. Jalan Patimura a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 9 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : - b. bahu luar : 1 m ● Lebar trotoar : 2 m

Gambar V.32 Cross Section Jalan Patimura

Gambar V.33 Jalan Patimura

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 2900 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 1,14 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1,00 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,89 FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota = 0,90 C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs = 2900 x 1,14 x 1,00 x 0,89 x 0,90 = 2648,11 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 22 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

15. Jalan Raya Suruh a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 8,5 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : - b. bahu luar : 0,5 m ● Lebar trotoar : -

Gambar V.34 Cross Section Jalan Raya Suruh

Gambar V.35 Jalan Raya Suruh

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 2900 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 1,14 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1,00 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,89 FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota = 0,90 C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs = 2900 x 1,14 x 1,00 x 0,89 x 0,90 = 2648,11 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 23 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

16. Jalan Argosari Raya a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 6 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : - b. bahu luar : 0,5 m ● Lebar trotoar : -

Gambar V.36 Cross Section Jalan Argosari Raya

Gambar V.37 Jalan Argosari Raya

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 2900 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 0,87 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1,00 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,89 FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota = 0,90 C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs = 2900 x 0,87 x 1,00 x 0,89 x 0,90 = 2020,92 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 24 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

17. Jalan Arjuna a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 7 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : - b. bahu luar : - ● Lebar trotoar : -

Gambar V.38 Cross Section Jalan Arjuna

Gambar V.39 Jalan Arjuna

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 2900 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 1,00 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1,00 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,89 FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota = 0,90 C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs = 2900 x 1,00 x 1,00 x 0,89 x 0,90 = 2322,90 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 25 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

18. Jalan Sidomulyo a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 6 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : - b. bahu luar : - ● Lebar trotoar : -

Gambar V.40 Cross Section Jalan Sidomulyo

Gambar V.41 Jalan Sidomulyo

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 2900 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 0,87 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1,00 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,89 FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota = 0,90 C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs = 2900 x 0,87 x 1,00 x 0,89 x 0,90 = 2020,92 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 26 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

19. Jalan DR. Muwardi a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 9 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : - b. bahu luar : 0,5 m ● Lebar trotoar : 2 m

Gambar V.42 Cross Section Jalan DR. Muwardi

Gambar V.43 Jalan DR. Muwardi

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 2900 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 1,14 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1,00 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,91 FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota = 0,90 C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs = 2900 x 1,14 x 1,00 x 0,91 x 0,90 = 3008,46 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 27 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

20. Jalan Dukuh Klumpit a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 6 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : - b. bahu luar : - ● Lebar trotoar : -

Gambar V.44 Cross Section Jalan Dukuh Klumpit

Gambar V.45 Jalan Dukuh Klumpit

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 2900 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 0,87 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1,00 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,89 FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota = 0,90 C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs = 2900 x 0,87 x 1,00 x 0,89 x 0,90 = 2020,92 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 28 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

21. Jalan Argo Tunggal a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 6 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : - b. bahu luar : - ● Lebar trotoar : -

Gambar V.46 Cross Section Jalan Argo Tunggal

Gambar V.47 Jalan Argo Tunggal

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 2900 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 0,87 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1,00 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,89 FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota = 0,90 C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs = 2900 x 0,87 x 1,00 x 0,89 x 0,90 = 2020,92 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 29 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

22. Jalan KH. Asnawi a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 6 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : - b. bahu luar : - ● Lebar trotoar : -

Gambar V.48 Cross Section Jalan KH. Asnawi

Gambar V.49 Jalan KH. Asnawi

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 2900 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 0,56 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1,00 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,89 FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota = 0,90 C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs = 2900 x 0,56 x 1,00 x 0,89x 0,90 = 1445,36 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 30 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

23. Jalan Fatmawati (Arteri Arah Utara) a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 13 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam :- b. bahu luar : 1 m ● Lebar trotoar : -

Gambar V.50 Cross Section Jalan Fatmawati

Gambar V.51 Jalan Fatmawati

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 3000 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 1,27 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,95 C = Co x FCw x FCsp x FCsf = 3000 x 1,27 x 1 x 0,95 = 3619,5 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 31 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

24. Jalan Wonosari-Pakis (Arteri Arah Selatan) a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 11 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam :- b. bahu luar : 2 m ● Lebar trotoar : 1,5 m

Gambar V.52 Cross Section Jalan Wonosari-Pakis

Gambar V.53 Jalan Wonosari-Pakis

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 3000 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 1,27 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 1 C = Co x FCw x FCsp x FCsf = 3000 x 1,27 x 1 x 1 = 3810,00 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 32 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

25. Jalan Raya Kopeng a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 8 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam :- b. bahu luar : 0,5 m ● Lebar trotoar : -

Gambar V.54 Cross Section Jalan Raya Kopeng

Gambar V.55 Jalan Raya Kopeng

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 3000 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 1,08 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,93 C = Co x FCw x FCsp x FCsf = 3000 x 1,08 x 1 x 0,93 = 3013,20 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 33 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

26. Jalan Raya Suruh (Arah Gemolong) a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 7 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : - b. bahu luar : 0,5 m ● Lebar trotoar : -

Gambar V.56 Cross Section Jalan Raya Suruh (Arah Gemolong)

Gambar V.57 Jalan Raya Suruh (Arah Gemolong)

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 3000 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 1 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,93 C = Co x FCw x FCsp x FCsf = 3000 x 1 x 1 x 0,93 = 2790,00 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 34 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

27. Jalan Salatiga-Bringin (Arah Kedung Jati) a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 8 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : - b. bahu luar : 0,5 m ● Lebar trotoar : -

Gambar V.58 Cross Section Jalan Salatiga-Bringin

Gambar V.59 Jalan Salatiga-Bringin

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 3000 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 1,08 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,93 C = Co x FCw x FCsp x FCsf = 3000 x 1,08 x 1 x 0,93 = 3013,20 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 35 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

28. Jalan Karjan (Akses Tuntang) a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 6 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : - b. bahu luar : 0,5 m ● Lebar trotoar : -

Gambar V.60 Cross Section Jalan Karjan

Gambar V.61 Jalan Karjan

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 3000 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 0,91 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,93 C = Co x FCw x FCsp x FCsf = 3000 x 0,91 x 1 x 0,93 = 2538,90 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 36 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

29. Jalan Tol Semarang-Solo (Arah Semarang) a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 23 m ● Lebar median : 1 m ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : 1 m b. bahu luar : 3 m ● Lebar trotoar : -

Gambar V.62 Cross Section Jalan Tol Semarang-Solo (Arah Semarang)

Gambar V.63 Jalan Tol Semarang-Solo (Arah Semarang)

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 2300 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 1 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1 C = Co x FCw x FCsp = (2300 x 2) x 1 x 1 = 4600,00 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 37 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

30. Jalan Salatiga-Tukang (Arah Pabelan) a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 5 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : - b. bahu luar : - ● Lebar trotoar : -

Gambar V.64 Cross Section Jalan Salatiga-Tukang

Gambar V.65 Jalan Salatiga-Tukang

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 3000 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 0,69 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,93 C = Co x FCw x FCsp x FCsf = 3000 x 0,69 x 1 x 0,93 = 1925,10 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 38 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

31. Jalan Wonosari-Pakis (Arah Susukan) a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 11 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : - b. bahu luar : 2 m ● Lebar trotoar : 1,5 m

Gambar V.66 Cross Section Jalan Wonosari-Pakis (Arah Susukan)

Gambar V.67 Jalan Wonosari-Pakis (Arah Susukan)

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 3000 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 1,27 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 1 C = Co x FCw x FCsp x FCsf = 3000 x 1,27 x 1 x 1 = 3810,00 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 39 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

32. Jalan Salatiga-Suruh (Arah Suruh) a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 7 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : - b. bahu luar : 0,5 m ● Lebar trotoar : -

Gambar V.68 Cross Section Jalan Salatiga-Suruh

Gambar V.69 Jalan Salatiga-Suruh

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 3000 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 1 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,93 C = Co x FCw x FCsp x FCsf = 3000 x 1 x 1 x 0,93 = 2883,00 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 40 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

33. Jalan Tol Semarang-Solo (Arah Solo) a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 23 m ● Lebar median : 1 m ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : 1 m b. bahu luar : 3 m ● Lebar trotoar : -

Gambar V.70 Cross Section Jalan Tol Semarang-Solo (Arah Solo)

Gambar V.71 Jalan Tol Semarang-Solo (Arah Solo)

a) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 2300 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 1 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1 C = Co x FCw x FCsp = (2300 x 2) x 1 x 1 = 4600,00 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 41 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

34. Jalan Nyi Ageng Serang (Arah Jetak) a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 5 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : - b. bahu luar : - ● Lebar trotoar : -

Gambar V.72 Cross Section Jalan Nyi Ageng Serang Arah

Gambar V.73 Jalan Nyi Ageng Serang Arah

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 3000 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 0,69 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,93 C = Co x FCw x FCsp x FCsf = 3000 x 0,69 x 1 x 0,93 = 1925,10 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 42 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

35. Jalan Salatiga-Muncul (Arah Banyubiru) a) Kondisi Geometrik ● Tipe jalan : 2/2 UD ● Lebar badan jalan : 6 m ● Lebar median : - ● Lebar bahu jalan a. bahu dalam : - b. bahu luar : 0,5 m ● Lebar trotoar : -

Gambar V.74 Cross Section Jalan Salatiga-Muncul

Gambar V.75 Jalan Salatiga-Muncul

b) Kapasitas Jalan C = Co x FCw x FCsp x FCsf C = kapasitas (smp/jam) C = kapasitas dasar (smp/jam) = 3000 FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas = 0,91 FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah = 1 FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping = 0,93 C = Co x FCw x FCsp x FCsf = 3000 x 0,91 x 1 x 0,93 = 2538,90 smp/jam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 43 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

V.1.4. Analisis Jaringan Jalan

A. Penetapan Zona

Untuk melakukan kajian perencanaan transportasi maka daerah kajian dibangun model transportasi dengan membagi wilayah studi menjadi beberapa zona yang masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri. Zona di dalam daerah kajian disebut zona internal dan zona di luar daerah kajian disebut zona eksternal. Terdapat dua Basis zona yang akan dikembangkan dalam analisis jaringan jalan. Pertama, Basis zona dengan tingkat agregasi secara makro digunakan untuk melihat karakteristik homogenitas zona sehingga diharapkan dapat menunjukkan pola sebaran pergerakan makro dengan mempertimbangkan perjalanan eksternal. Basis zona yang pertama digunakan dalam pemodelan transportasi ini adalah wilayah kecamatan yang dikelompokkan menjadi 27 zona yang terdiri atas 22 zona internal untuk wilayah Kota Salatiga dan 13 zona eksternal dari arah arteri utara selatan, kolektor barat timur dan kolektor utara.

Tabel V.1 Pembagian Zona Internal

No. Nama Kelurahan Kecamatan Zona 1 Kel Randuacir Kecamatan Argomulyo Internal 2 Kel Kumpulrejo Kecamatan Argomulyo Internal 3 Kel Tegalrejo Kecamatan Argomulyo Internal 4 Kel Cebongan Kecamatan Argomulyo Internal 5 Kel Noborejo Kecamatan Argomulyo Internal 6 Kel Ledok Kecamatan Argomulyo Internal 7 Kel Tingkir Tengah Kecamatan Tingkir Internal 8 Kel Gendongan Kecamatan Tingkir Internal 9 Kel Kalibening Kecamatan Tingkir Internal 10 Kel Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Internal 11 Kel Sidorejo Kidul Kecamatan Tingkir Internal 12 Kel Kutawinangun Kecamatan Tingkir Internal 13 Kel Mangunsari Kecamatan Sidomukti Internal 14 Kel Dukuh Kecamatan Sidomukti Internal 15 Kel Kecandran Kecamatan Sidomukti Internal 16 Kel Kalicacing Kecamatan Sidomukti Internal 17 Kel Bugel Kecamatan Sidorejo Internal 18 Kel Kauman Kidul Kecamatan Sidorejo Internal 19 Kel Salatiga Kecamatan Sidorejo Internal 20 Kel Pulutan Kecamatan Sidorejo Internal 21 Kel Sidorejo Lor Kecamatan Sidorejo Internal 22 Kel Blotongan Kecamatan Sidorejo Internal Sumber: Hasil analisis tim penyusun, tahun 2020

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 44 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Tabel V.2 Pembagian Zona Eksternal

No Akses Zona 23 Arteri Arah Utara (Semarang) External 24 Arteri Arah Selatan (Boyolali) External 25 Kolektor Arah Kopeng External 26 Kolektor Arah Gemolong External 27 Kolektor Arah Kedung Jati External 28 Akses Tuntang External 29 Tol Arah Semarang External 30 Pabelan External 31 Susukan External 32 Suruh External 33 Tol Arah Solo External 34 Jetak External 35 Banyubiru External Sumber: Hasil analisis tim penyusun, tahun 2020

Sumber: Hasil analisis tim penyusun, tahun 2020 Gambar V.76 Pusat Zona

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 45 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Untuk mempermudah pengelompokan dan kesesuaian dengan program EMME3 ver 3.4.1 yang akan digunakan dalam membantu análisis. Pembagian zona disesuaikan dengan batas administrasi daerah, yang ditunjukkan dalam Tabel di atas. Sistem zona dengan basis kelurahan dipilih ini karena ketersediaan data terutama data dasar pembentukan perjalanan orang (O-D) dan juga parameter hasil model, analisa dan proyeksi (parameter sosial-ekonomi seperti penduduk, kepadatan penggunaan lahan dan lain-lain) tersedia untuk masing-masing kelurahan di Kota Salatiga.

B. Model Jaringan Jalan

Jaringan jalan yang diteliti adalah jalan arteri primer, arteri sekunder, kolektor primer dan kolektor sekunder. Dalam mengidentifikasi jaringan jalan, setiap persimpangan (node) diberi kode nomor, sehingga setiap ruas yang diteliti akan ditunjukkan dengan kode nomor node awal dan node akhirnya. Ruas yang diteliti dapat berupa segmen dari ruas jalan tertentu namun dapat juga berupa gabungan dari beberapa ruas jalan tergantung dari letak nodenya.

Ketika membangun pemodelan jaringan jalan Salatiga dalam EMME/3 ver 3.4.1., atribut yang di input antara lain:

1. Kode ruas (LL), Pembuatan simpul/node dilakukan sebelum membuat ruas/link. Link terbentuk dengan menghubungkan 2 node. 2. Moda (MOD), Moda yang digunakan yaitu mobil (kode c), bus (kode b), dan truk (kode t) diinput sesuai dengan tipe jalan.

Tabel V.3 Kodifikasi Moda

Kode No. Klasifikasi Jalan Keterangan Moda

1. cbt Arteri Primer

2. cbt Arteri Sekunder

3. cbt Kolektor Primer – Sekunder

4. - Dummy Links Kode = kode moda yang terhubung dummy link

5. cbt Jalan Tol

Sumber: Hasil analisis tim penyusun, tahun 2020

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 46 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

C. Tipe jalan

Tipe jalan dikodifikasi sesuai dengan klasifikasi jalan, antara lain:

Tabel V.4 Kodifikasi Tipe Jalan

No. Kode Tipe Jalan Klasifikasi Jalan 1. 01 Jalan Lokal 2. 12 Arteri Primer 3. 13 Kolektor Primer 4. 14 Kolektor Sekunder 5. 10 Dummy Links 6. 02 Jalan Tol

Sumber: Hasil analisis tim penyusun, 2020

Panjang jalan (LEN), Secara grafis, panjang jalan dalam EMME/3 tidak menunjukkan panjang sebenarnya. Panjang jalan dalam EMME/3 didefinisikan dengan memasukkan nilainya di setiap link yang dibuat.

Jumlah lajur (LAN), Ruas jalan yang dimodelkan dalam EMME/3 dibuat se-representatif mungkin terhadap ruas jalan sebenarnya dalam peta.

Volume Delay Function (VDF), VDF merupakan fungsi dari tundaan dan volume lalu lintas. VDF diinput berdasarkan formula Volume Delay Function yang diperoleh dari studi-studi yang telah tersedia di dalam program EMME/3 ini. Dalam pemodelan ini digunakan VDF yang terdapat dalam program EMME/3 yang sesuai dengan kondisi jalan yang ditinjau.

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 47 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Sumber: Hasil analisis tim penyusun, 2020 Gambar V.77 Jaringan Jalan dan Zona pada Model Jaringan Kota Salatiga

D. Model Bangkitan dan Tarikan Perjalanan

Sumber data dasar untuk membentuk matriks perjalanan adalah data karakteristik perjalanan yang dihasilkan pada survei OD yang mengacu pada data sekunder dan survei primer yang telah dilakukan secara komprehensif dari berbagai sumber.

Model bangkitan perjalanan (trip generation) yang digunakan dalam studi ini lebih didasarkan pada penggunaan tingkat perjalanan (trip rate) yang dikembangkan dari hasil-hasil wawancara sampling. Hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan gambaran karakteristik perjalanan yang lebih rinci dan mempermudah dalam melakukan kontrol terhadap proses modal split.

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 48 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

E. Data Dasar

Model jaringan jalan yang digunakan berasal dari peta diadopsi dari Peta GIS URMS Kota Salatiga dengan data-data yang diambil, yaitu nama jalan di tiap setiap segmen, panjang jalan setiap segmen, arah pergerakan, jumlah lajur dan sebagainya. Matriks asal tujuan yang digunakan berasal dari Survei wawancara. Data sosio-ekonomi yang digunakan adalah jumlah penduduk, jumlah lahan terbangun (pekarangan), jumlah kendaraan bermotor, dengan unit tiap zona (kecamatan). Data karakteristik perjalanan orang diperoleh dari wawancara. Data volume lalu lintas diperoleh dari survei traffic counting tahun 2020, data sekunder dari Dinas Perhubungan Tahun 2013 sampai dengan tahun 2019.

Kecenderungan pergerakan penduduk ke pusat kota dari daerah suburban Kota Salatiga sampai akhir 2019 masih cukup besar. Namun karena adanya kendala pandemi Covid-19, maka lalu lintas menjadi sangat bias. Porsi Pergerakan harian menuju CBD dari masing-masing kelurahan yang ada di Kota Salatiga terkonsentrasi pada jalur arteri utara – selatan.

Dari berbagai pertimbangan tersebut diatas, dibangun model pergerakan asal tujuan perjalanan di wilayah studi. Batasan zona menjadi hal penting dalam membentuk model matrik perjalanan. Di atas sudah disebutkan bahwa jumlah zona internal 22 zona dan zona eksternal 13 Zona. Sehingga matrik perjalanan orang di kota Salatiga ini disajikan dalam bentuk matrik 35 Zona.

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 49 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Sumber : Hasil analisis tim penyusun, 2020 Gambar V.78 Bangkitan Tarikan Berbasis Zona

Terlihat bahwa pola pergerakan menerus antar zona external cukup signifikan dalam pola pergerakan orang melalui Kota Salatiga. Sementara itu pola pergerakan internal menunjukkan pola yang padat di kawasan tengah kota yang dilewati Jalan Arteri Nasional yaitu Jalan Diponegoro, Jalan Sudirman. Disamping itu, dengan adanya jalan Tol Trans Jawa, yang mempunyai akses tol masuk ke jaringan jalan Kota Salatiga melalui tingkir maka Kota salatiga semakin menarik untuk lalu lintas jalan.

V.1.5. Pengujian Hipotesis

Setelah mengkalibrasi matrik O-D primer dan sekunder, diperoleh volume lalu lintas origin dan destination sebagai berikut:

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 50 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Tabel V.5 Volume Lalu Lintas Terkalibrasi Matrik Primer dan Sekunder

Matrik Primer Matrik Sekunder NO Origin Destination Origin Destination 1 1144 572 1763 1496 2 572 572 3282 2995 3 9720 10292 11385 10769 4 4574 1715 5989 5901 5 4574 4574 5198 4352 6 13723 8577 12610 12500 7 2287 3431 3660 3864 8 1715 2859 7581 9525 9 1144 1715 1940 1925 10 572 572 2746 2725 11 1144 2287 4516 4563 12 572 572 7349 7165 13 1715 1715 4004 4165 14 1715 1144 7199 7236 15 572 572 1016 1099 16 572 572 3989 3699 17 572 572 4295 4535 18 572 1144 4155 4004 19 572 1144 2530 2585 20 5146 8577 5217 5320 Sumber: Hasil analisis tim penyusun, 2020

Pengujian hipotesis pada kasus ini dilakukan dari data volume lalu lintas hasil data primer dengan hasil data sekunder. Pengujian dilakukan dengan uji F, dalam hal ini berfungsi sebagai uji kesesuaian data, dengan membandingkan antara nilai F hitung dan dari F tabel. Pengujian dikatakan benar apabila rata-rata populasi data volume lalu lintas dari data sekunder sama dengan data primer, jika nilai F dari hasil hitungan lebih kecil dari nilai F dari tabel.

Tahap pengujian hipotesis untuk volume lalu lintas adalah sebagai berikut:

1. Menentukan derajat bebas (db)

Dalam hal ini r berupa survei dan model, masing- masing r jumlahnya 6, sehingga r =4 dan n =6, maka:

Dari data volume lalu lintas: db1 = r – 1 = 4 -1 = 3 db2 = r(n-1) = 4(20 – 1) = 4 (19) = 76, atau db2 = T-r = (n1 + n2 + n3 + n4) – r = (20+20+20+20) – 4 = 76

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 51 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Cek: db1 + db2 = db total (r-1) + (T – r) = (T-1) (4-1) + (80 – 4) = (80 – 1) 3 + 76 = 79 76 = 79 => OK 2. Menetapkan Hipotesis

Ho: Rata-rata data antara volume lalu lintas dari data sekunder dengan volume lalu lintas dari data primer adalah sama. Penetapan hipotesis tersebut dikarenakan data primer hanya diperoleh dari ruas-ruas jalan yang ditinjau saja. Hal ini menyebabkan kurang lengkapnya matrik O-D primer. Oleh karena itu dibuat kesimpulan apabila Ho benar, matrik yang digunakan untuk analisis selanjutnya berasal dari data sekunder.

3. Menghitung F cuplikan

2 ni (X i − X )  (r −1) 2 ( − )  r(n −1) F cuplikan =  X i X i

Diperoleh Fcuplikan = 3.75

4. Mencari titik kritis

Dalam uji hipotesis ini, dipakai tingkat signifikansi α = 1% dengan db1= 1 dan db2 = 12, maka dari tabel diperoleh F tabel = 3.95.

5. Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan dilakukan dengan titik kritis F tabel. Pada hasil uji hipotesis diperoleh Fcuplikan = 3,75, F tabel = 3,95, ternyata Fcuplikan < F tabel, maka Ho diterima.

6. Penarikan Kesimpulan

Terakhir, setelah diambil suatu keputusan atas dasar perbandingan kedua nilai tersebut, kemudian ditariklah suatu kesimpulan, bahwa rata-rata data volume lalu lintas dari data sekunder dan data primer adalah sama, sehingga matrik yang digunakan untuk analisis selanjutnya berasal dari data sekunder.

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 52 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Hasil uji hipotesis volume lalu lintas data sekunder dengan data sekunder disusun pada tabel berikut. Terlihat bahwa nilai F untuk seluruh hitungan lebih kecil dari nilai F tabel.

Tabel V.6 Uji Model

Parameter Sampel α F hitung F Keterangan Tabel Volume Lalu Lintas 20 0.01 3.75 3.95 Uji dapat diterima

Sumber : Pengolahan Data Survei

V.1.6. Model Distribusi Perjalanan

Distribusi perjalanan merupakan bagian yang terangkai dari bangkitan pergerakan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan dan jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu zona. Distribusi Perjalanan atau biasa juga disebut Sebaran pergerakan merupakan tahapan dalam perencanaan transportasi yang menunjukkan interaksi antara tata guna lahan, jaringan transportasi dan arus lalu lintas.

Distribusi perjalanan yang sudah dikembangkan pada kasus jaringan jalan di Salatiga ini, didasarkan pada pendekatan numerik pada data lalu lintas yang telah disurvei sebelumnya. Pola pergerakan antar zona yang terjadi dalam sistem transportasi sering dinyatakan sebagai matriks pergerakan atau Matrik Asal–Tujuan (MAT).

Pendekatan dengan menggunakan metode tidak langsung dilakukan dengan membentuk suatu model dari faktor – faktor yang dipertimbangkan mempunyai hubungan yang erat dengan pola pergerakan yang hendak diketahui.

Beberapa prosedur matematis telah dikembangkan, secara umum dikelompokan menjadi dua bagian utama:

A. Metode Analogi

Pada metode ini digunakan satu tingkat pertumbuhan terhadap pergerakan saat ini untuk mendapatkan pergerakan pada masa yang akan datang.

Beberapa metode telah dikembangkan, dan setiap metode menggunakan asumsi bahwa pola pergerakan pada saat sekarang dapat diproyeksikan ke masa yang akan datang dengan menggunakan nilai tingkat pertumbuhan zona. Semua dalam metode analogi mempunyai persamaan umum sebagai berikut:

Tid = tid • E

Dimana:

Tid = pergerakan masa mendatang dari zona i ke zona d tid = pergerakan masa sekarang dari zona i ke zona d E = tingkat pertumbuhan

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 53 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

B. Metode Sintesis

Metode ini digunakan dengan membentuk suatu pemodelan yang menggambarkan hubungan antar pola bangkitan dan tarikan lalu lintas, kemudian diproyeksikan untuk memperoleh pergerakan pada masa yang akan datang.

Metode tanpa batas atau metode seragam adalah metode tertua dan paling sederhana, yang secara matematis dapat dijelaskan sebagai berikut:

Tid = tid • E

T E = t Dimana: T = total pergerakan pada masa mendatang di dalam daerah kajian t = total pergerakan pada masa sekarang di dalam daerah kajian E = tingkat pertumbuhan

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 54 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Tabel V.7 Matrik Distribusi Perjalanan Kendaraan dalam smp/jam Kota Salatiga

Sumber : Hasil Analisis Tim Penyusun, 2020

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 55 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Representasi distribusi bangkitan dan tarikan perjalanan yang ditunjukkan dalam matrik distribusi lalu lintas, dapat digambarkan dalam bentuk garis desire line. Garis keinginan perjalanan berbasis titik centroid pada masing-masing zona. Semakin besar ketebalan garis maka besar pula nilai yang ditunjukkan bangkitan perjalanannya, demikian sebaliknya semakin kecil garis keinginan menunjukkan kecilnya bangkitan perjalanan. Berikut desire line pada beberapa kelurahan yang ditunjukkan seperti pada gambar berikut:

Sumber : Hasil analisis tim penyusun, 2020 Gambar V.79 Desire Line Bangkitan Perjalanan dari Kelurahan Salatiga

Dari gambar di atas terlihat bahwa bangkitan dari arah Kelurahan Salatiga ke seluruh kelurahan yang ada terdistribusi merata. Hal ini karena Kelurahan Salatiga berada di tengah kota dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi, sehingga mampu menarik dan membangkitkan perjalanan baik itu internal maupun external.

Akan berbeda jika dilihat desire line dari kawasan pinggiran/ sub urban seperti Kelurahan Kumpulrejo. Kelurahan ini terletak dibagian selatan Kota Salatiga dan berada di pinggir kota dengan akses jalan kolektor primer. Karena luas wilayah kelurahan dan kepadatan penduduk yang rendah maka pola bangkitan tarikan tidak sebesar di Kelurahan yang berada di tengah kota.

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 56 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Sumber : Hasil analisis tim penyusun, 2020 Gambar V.80 Desire Line Bangkitan Perjalanan dari Kelurahan Tingkir Tengah

Sementara itu, pola perjalanan antar kota yang yang melewati Kota Salatiga menunjukkan nilai yang cukup besar untuk pola perjalanan external-external. Walaupun demikian, tarikan perjalanan external – internal juga cukup merata. Sebagai contoh adalah perjalanan dari arah arteri utara menuju Kota Salatiga, terdapat pola pergerakan lebih dari 500 smp/jam perjalanan menerus ke arteri selatan, sementara itu terdapat perjalanan sekitar 146 smp/jam menuju arah Kopeng, kedua bangkitan tersebut jauh lebih besar dari tarikan ke masing-masing kelurahan di Kota Salatiga. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut ini:

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 57 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Sumber : Hasil analisis tim penyusun, 2020 Gambar V.81 Desire Line Bangkitan Perjalanan dari Arah Arteri Utara (Semarang)

Hasil olahan data menunjukan bahwa persamaan garis lurus untuk meramalkan jumlah perjalanan di Kota Salatiga adalah sebagai berikut:

Y = 115.0469 + 0.0034X1 + 0.0005X2 + 1.67X3 Dengan: Y = jumlah perjalanan perjam (smp/jam) X1 = Jumlah kepadatan penduduk (jiwa/km) X2 = Jumlah Kendaraan (kend) X3 = Jumlah lokasi aktivitas potensial(titik)

Model di atas dibangun dengan dilakukan tahapan analisis variabel removed untuk mendapatkan model yang terbaik. Sehingga diperoleh model di atas dengan korelasi sebesar 0.64 dan tingkat signifikansi model sebesar 0.001, sehingga model ini dapat digunakan sebagai model distribusi perjalanan.

Bangkitan dan tarikan yang berasal dari zona, dibuat menjadi matrik bangkitan tarikan. Matrik tersebut dikalibrasi dengan metode Double Constraint Growth Factor. Dari data zona yang telah

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 58 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

ditetapkan, bangkitan dan tarikan dibuat sebagai target O-D pada matrik dalam bentuk matematis model gravity.

Bangkitan dan tarikan perjalanan secara visual didominasi angkutan barang cukup membebani jaringan jalan di Kota Salatiga. Hal ini ditunjukkan dengan adanya lalu lintas angkutan barang yang cukup dominan di jalan arteri, baik itu jalan lingkar dalam Kota Salatiga maupun Jalan Lingkar Salatiga (JLS).

Gambar V.82 Lalu Lintas Angkutan Barang di JLS

Gambar V.83 Lalu Lintas Angkutan Barang di jalan Lingkar Dalam Kota Salatiga

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 59 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

V.1.7. Pembebanan Jaringan Jalan

Untuk mengetahui unjuk kerja ruas jalan dan karakteristik pola pergerakan angkutan barang pada jaringan jalan, maka setiap pergerakan yang ada sebagaimana telah dimodelkan pada pemodelan distribusi perjalanan harus dibebankan pada ruas jalan yang ada. Untuk membebankan perjalanan pada ruas-ruas jalan, terdapat beberapa metode pendekatan, yaitu:

1. All or Nothing Assignment

Adalah suatu metode pembebanan lalu lintas dengan pendekatan bahwa perjalanan orang akan dibebankan berdasarkan lintasan terpendek, sehingga akan diperoleh suatu pergerakan yang paling efisien.

2. Capacity Restraint

Metode ini menggunakan pendekatan asumsi kurang lebih sama dengan metode All or Nothing, hanya saja metode ini memperhitungkan kapasitas suatu ruas jalan. Artinya, bahwa apabila suatu ruas jalan tersebut akan berhenti dan perjalanan selanjutnya akan dilakukan pada ruas jalan yang lainnya.

3. Diversion Curve

Pada model ini, pendekatan yang dilakukan adalah berdasarkan pada suatu penelitian yang rinci terhadap perilaku pelaku perjalanan dan faktor-faktor yang menyebabkan mengapa mereka memilih rute perjalanan. Faktor-faktor tersebut selanjutnya akan menjadi faktor hambatan perjalanan (travel resistance)

4. User and Sysem Optimal

Metode ini mempergunakan suatu perhitungan teknik optimasi dengan program linear dalam pembebanan perjalanan untuk memperoleh suatu total waktu perjalanan atau biaya perjalanan dalam suatu jaringan jalan menjadi paling kecil.

Pada pelaksanaan studi ini, teknik/metode yang dipergunakan untuk membebankan perjalanan adalah dengan menggunakan Metode Capacity Restraint dan Keseimbangan Wardrop. Prosedur pembebanan lalu lintas berdasarkan Prinsip Kesetimbangan Wardrop dapat dijabarkan sebagai berikut: “bahwa lalu lintas akan melakukan pengaturan diri sendiri dalam jaringan jalan sehingga biaya perjalanan pada semua rute terpakai antar O-D sama dengan biaya minimum perjalanan, sedangkan biaya perjalanan pada semua rute tak terpakai sama dengan atau lebih besar”.

Keberhasilan dalam menciptakan kesetimbangan wardrop memerlukan suatu fungsi kontrol yang disebut “delta function” dimana variabel-variabel pengaruhnya terdiri atas volume lalu lintas dan impedansi dari tiap rute. Secara garis besar fungsi delta ini merupakan perbandingan antara jumlah total dari pertambahan biaya pada masing-masing rute terhadap total biaya perjalanan di seluruh ruas terpakai.

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 60 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Teknik pembebanan lalu lintas ini mengambil asumsi bahwa pelaku perjalanan sudah memahami kondisi jaringan jalan dan mampu berupaya untuk meminimalkan biaya perjalanan. Yang dimaksud dengan biaya perjalanan disini adalah:

1. Lama waktu perjalanan 2. Panjang jarak tempuh perjalanan

Generalized cost yang merupakan kombinasi linier antara waktu tempuh dan jarak tempuh dimana waktu tempuh dan jarak tempuh dikonversi ke dalam nilai uang dengan tingkat konversi tertentu. Berikut hasil pembebanan pergerakan perjalanan pada jaringan jalan yang ada:

Sumber: Hasil Analisis Konsultan, 2020 Gambar V.84 Pembebanan lalu lintas (smp/jam) tahun 2020

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 61 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

V.1.8. Alternatif Skenario Peningkatan Kapasitas Jalan 1. Skenario 1 Pelebaran Jalan Berdasarkan volume lalu lintas Kota Salatiga dan perhitungan kapasitas jalan berdasarkan analisis Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) Tahun 1997, dihasilkan perhitungan DS (Degree Of Saturation) yang melebihi 0,85 dibeberapa jalan di Kota Salatiga. Sehingga diperlukan pelebaran jalan supaya tidak terjadi kemacetan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel V.8 Berikut. Tabel V.8 Tabel Skenario 1 Pelebaran Jalan

Geometrik Kapasitas Awal Kapasitas Baru Volume Lalu Lintas No Nama Jalan DS DS Baru Keterangan Jalan (smp/jam) (smp/jam) (smp/jam)

1 Jl. Lingkar Selatan Salatiga 4/2 D 2823.48 1756.16 0.62 2 Jl. Blotongan 2/2 UD 3536.26 2848.33 0.81 3 Jl. Diponegoro 2/2 UD 3808.28 5187.00 3821.70 1.00 0.74 diubah 4/2 UD @3m 4 Jl. Jendral Sudirman 2/2 UD 4752.00 2864.56 0.60 5 Jl. Soekarno-Hatta 4/2 UD 4914.00 5925.15 4705.64 0.96 0.79 diubah 4/2 UD @3.75m 6 Jl. Patimura 2/2 UD 2648.11 5868.72 4860.78 1.84 0.83 diubah 4/2 D @.75m 7 Jl. Imam Bonjol 2/2 UD 2220.24 3419.68 2828.50 1.27 0.83 diubah @5.5m 8 Jl. Osamaliki 2/2 UD 3292.08 5132.40 3185.89 0.97 0.62 diubah 4/2 UD @3m 9 Jl. Veteran 2/2 UD 3239.88 5460.00 4427.33 1.37 0.81 diubah 4/2 UD @3m 10 Jl. Ahmad Yani 2/2 UD 3808.28 3089.33 0.81 11 Jl. Hasanudin 2/2 UD 2707.61 4668.30 2970.40 1.10 0.64 diubah 4/2 UD @3m 12 Jl. Pemuda 4/2 D 3234.00 1646.00 0.51 13 Jl. Argosari Raya 2/2 UD 2322.90 4520.88 3294.00 1.42 0.73 diubah 4/2 UD @3m 14 Jl. Dipomenggolo 2/2 UD 2169.78 2942.34 2239.50 1.03 0.76 diubah @4m 15 Jl. Raya Suruh 2/2 UD 2648.11 6543.50 5597.80 2.11 0.86 diubah 4/2 D @4m bahu 2m 16 Jl. Arjuna 2/2 UD 2322.90 4520.88 3292.29 1.42 0.73 diubah 4/2 UD @3m 17 Jl. Sidomulyo 2/2 UD 2020.92 2996.54 2529.33 1.25 0.84 diubah @5m 18 Jl. KH Wahid Hasyim 2/2 UD 2942.34 5023.20 3301.00 1.12 0.66 diubah 4/2 UD @3m 19 Jl. Dr. Muwardi 2/2 UD 3008.46 5415.00 3357.40 1.12 0.62 diubah 4/2 UD @3m 20 Jl. Dukuh Klumpit 2/2 UD 2020.92 4520.88 3848.50 1.90 0.85 diubah 4/2 UD @3m 21 Jl. Argo Tunggal 2/2 UD 2020.92 4520.88 3364.86 1.67 0.74 diubah 4/2 UD @3m 22 Jl. KH Asnawi 2/2 UD 1445.36 2942.34 2231.00 1.54 0.76 diubah @4m

Pada tabel diatas disimpulkan bahwa Jl. Lingkar Salatiga, Jl. Blontongan, Jl. Jendral Sudirman, Jl. Ahmad Yani, dan Jl. Pemuda tidak perlu diperlebar karena kapasitas jalan sudah cukup baik dan memenuhi. Sedangkan jalan yang lain perlu diperlebar sesuai dengan keterangan tabel di atas untuk mendapatkan DS baru yang dapat memenuhi, sehingga kinerja jalan akan meningkat.

2. Skenario 2 - SSA (Sistem Satu Arah) Selain alternatif skenario peningkatan kapasitas, juga dipilih alternatif Sistem Satu Arah dibeberapa jalan yang bisa dimungkinkan untuk di SSA kan, jika tidak ada kendala seperti adanya kendaraan umum dan juga harus memenuhi syarat adanya jalan yang hierarki.

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 62 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Tabel V.9 Tabel Skenario 2 - SSA (Sistem Satu Arah)

Kapasitas Awal Kapasitas Baru Volume Lalu No Nama Jalan Geometrik Jalan DS DS Baru (smp/jam) (smp/jam) Lintas (smp/jam) 1 Jl. Lingkar Selatan Salatiga 4/2 D 2823.48 1756.16 0.622 2 Jl. Blotongan 2/2 UD 3536.26 2848.33 0.805 3 Jl. Diponegoro 2/2 UD 3808.28 3821.70 1.004 4 Jl. Jendral Sudirman 2/2 UD 4752.00 2864.56 0.603 5 Jl. Soekarno-Hatta 4/2 UD 4914.00 4705.64 0.958 6 Jl. Patimura 2/2 UD 2648.11 4860.78 1.836 7 Jl. Imam Bonjol 2/1 UD 2220.24 3136.32 2828.50 1.274 0.90 8 Jl. Osamaliki 2/2 UD 3292.08 3185.89 0.968 9 Jl. Veteran 2/1 UD 3239.88 3385.80 4427.33 1.367 1.31 10 Jl. Ahmad Yani 2/2 UD 3808.28 3089.33 0.811 11 Jl. Hasanudin 2/2 UD 2707.61 2970.40 1.097 3 Jl. Pemuda 4/2 D 3234.00 1646.00 0.509 13 Jl. Argosari Raya 2/2 UD 2322.90 3294.00 1.418 14 Jl. Dipomenggolo 2/1 UD 2169.78 3616.03 2239.50 1.032 0.62 15 Jl. Raya Suruh 2/2 UD 2648.11 5597.80 2.114 16 Jl. Arjuna 2/1 UD 2322.90 2950.99 3292.29 1.417 1.12 17 Jl. Sidomulyo 2/1 UD 2020.92 3047.22 2529.33 1.252 0.83 18 Jl. KH Wahid Hasyim 2/2 UD 2942.34 3301.00 1.122 19 Jl. Dr. Muwardi 2/2 UD 3008.46 3357.40 1.116 20 Jl. Dukuh Klumpit 2/2 UD 2020.92 3848.50 1.904 21 Jl. Argo Tunggal 2/2 UD 2020.92 3364.86 1.665 22 Jl. KH Asnawi 2/2 UD 1445.36 2231.00 1.544

Pada tabel di atas dapat disimpulkan bahwa jalan yang dapat di SSA kan hanya Jl. Imam Bonjol, Jl. Veteran, Jl. Dipomenggolo, Jl. Arjuna, Jl. Sidomulyo, dengan perhitungan DS yang lebih kecil dari sebelum di SSA kan.

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 63 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

V.2. ANALISIS JARINGAN PELAYANAN ANGKUTAN UMUM

V.2.1. Kondisi Jaringan Pelayanan Angkutan Umum

Berdasarkan kondisi pola jaringan yang terbentuk di Kota Salatiga, diketahui bahwa jaringan jalan cenderung membentuk feeder line yang menghubungkan (arteri) Jalan Pantai Utara (Pantura) Jawa dari Kota Semarang dan ke sistem jaringan jalan koridor tengah di Kota Solo. Hai ini didukung pula dengan adanya koridor sejajar di kedua arteri di Kota Salatiga yaitu Jalan Lingkar Salatiga dan Jalan Tol. Koridor jalan kolektor didukung pula oleh jaringan jalan sekunder sebagai pengumpul dan pendistribusi arus menuju dan dari pusat-pusat kegiatan menuju ke Provinsi Jawa Tengah.

Bentuk jaringan jalan seperti ini mengakibatkan arus lalu-lintas cenderung terakumulasi pada ruas-ruas jalan utama dan simpul-simpul akses sehingga terjadi gangguan dalam skala kecil sekalipun pada ruas jalan utama akan menyebabkan masalah yang cukup serius, terutama kemacetan.

Dari data sekunder yang ada, menunjukan identifikasi pola perjalanan di Kota Salatiga memiliki kecenderungan tingginya perjalanan dari luar zona. Hal ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik wilayah Kota Salatiga, karakteristik Sosial budaya, tingkat mobilitas penduduk dan ketersediaan sarana serta tata guna lahan yang ada. Sebagaimana diketahui bahwa Kota Salatiga mempunyai karakteristik secara umum terdiri dari 2 (dua), yaitu kawasan yang terletak pada kawasan jalur utama yang memiliki karakteristik daerah perkotaan perdagangan/industri dimana pada umumnya antara pusat kegiatan dan pusat hunian berada pada satu kawasan serta wilayah lainnya adalah wilayah pedalaman yang memiliki karakteristik wilayah pertanian / perkebunan dengan ciri khas aktivitas masyarakat yang terbatas pada daerah tersebut. Kondisi inilah yang menyebabkan tingginya pergerakan di dalam zona.

V.2.2. Jaringan Pelayanan Transportasi Angkutan Umum Kota Salatiga

Seperti yang sudah terlihat di database yang ada bahwa jumlah trayek dan PO yang terdapat di Kota Salatiga mengalami pertumbuhan yang fluktuatif dari tahun ketahun. Sementara itu belum terdapat penataan jaringan pelayanan angkutan umum itu sendiri, jadi hal ini yang menjadi salah satu sebab munculnya ketimpangan antara penyediaan jaringan pelayangan dan permintaan yang ada.

Disisi lain, Trayek dan PO yang terdaftar belum dilakukan optimasi jaringan pelayanan berdasarkan pola sebaran permintaan penggunaan angkutan umum. Hal ini ditunjukkan dengan belum adanya peta trayek AUP Kota Salatiga. Sebaran Peta trayek dibutuhkan untuk melihat cakupan pelayanan AUP terhadap permintaan berbasis tapak. Jadi, tindak lanjut dari studi ini perlu penggambaran sebaran jaringan pelayanan AUP berbasis jaringan infrastruktur yang ada.

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 64 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Sumber: Hasil Analisis Konsultan, 2020 Gambar V.85 Jaringan Jalan dengan Pelayanan AUP

V.2.3. Infrastruktur Pendukung

Baik moda angkutan umum maupun jaringan pelayanannya yang ada menjadi tidak produktif jika tidak ada infrastruktur pendukung guna melayani pergerakan yang ada. Infrastruktur utama sebagai representasi simpul-simpul perpindahan transportasi (Hub Transport) tersebut antara lain:

● Halte ● Parkir ● Pedestrian

Sehingga dari simpul-simpul tersebut diawali dan diakhirinya pergerakan angkutan umum AUP maupan AKDP. Namun secara realitas yang ada, peran infrastruktur pendukung masih kurang optimal mengingat kondisi pelayanan angkutan umum tersebut belum mempertibangkan faktor lain yaitu faktor pendukung/inftastruktur non fisik. Faktor-faktor tersebut adalah:

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 65 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

● Jadwal Pelayanan (schedule) ● Sistem Informasi ● ticketing/fares, tax system ● Rules dan Regulasi

Sumber: Dokumentasi Survei Konsultan, 2020 Gambar V.86 Kondisi Terminal di Kota Salatiga

V.2.4. Pola Permintaan Perjalanan

Pola permintaan perjalanan digunakan untuk mengetahui kondisi unjuk kerja jaringan, terutama berkaitan dengan jaringan pelayanan transportasi angkutan umum pada sistem jaringan jalan pada saat ini dan masa yang akan datang. Proses peramalan permintaan angkutan ini bertujuan untuk mengetahui besarnya jumlah pergerakan yang akan dihasilkan dan yang akan menuju pada suatu zona serta sebarannya pada periode waktu tahun rencana. Pola permintaan perjalanan direpresentasikan dalam bentuk matrik perjalanan asal-tujuan. Matrik perjalanan dibentuk berdasarkan bangkitan dan tarikan perjalanan dari zona-zona aktivitas yang telah ditentukan batasan wilayah pengamatannya. Sehingga akan memunculkan pola pergerakan cakupan wilayah yaitu pergerakan internal dan external.

V.2.5. Sistem Zona

V. 2.5.1 Pola Perjalanan Reguler Berbasis Kelurahan Untuk melakukan kajian perencanaan transportasi maka daerah kajian dibagi menjadi beberapa zona yang masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri. Zona di dalam daerah kajian disebut zona internal dan zona di luar daerah kajian disebut zona eksternal. Daerah studi dalam

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 66 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

pekerjaan ini dibagi menjadi 35 zona. Untuk mempermudah pengelompokan dan kesesuaian dengan program EMME3 yang akan digunakan dalam membantu analisis, pembagian zona disesuaikan dengan batas administrasi daerah, yang ditunjukkan dalam tabel di bawah:

Tabel V.10 Pembagian Zona

No.Zon a Nama Kelurahan Kecamatan Zona 1001 Kel Randuacir Kecamatan Argomulyo Internal 1002 Kel Kumpulrejo Kecamatan Argomulyo Internal 1003 Kel Tegalrejo Kecamatan Argomulyo Internal 1004 Kel Cebongan Kecamatan Argomulyo Internal 1005 Kel Noborejo Kecamatan Argomulyo Internal 1006 Kel Ledok Kecamatan Argomulyo Internal 1007 Kel Tingkir Tengah Kecamatan Tingkir Internal 1008 Kel Gendongan Kecamatan Tingkir Internal 1009 Kel kalibening Kecamatan Tingkir Internal 1010 Kel Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Internal 1011 Kel Sidorejo Kidul Kecamatan Tingkir Internal 1012 Kel Kutawinangun Kecamatan Tingkir Internal 1013 Kel Mangunsari Kecamatan Sidomukti Internal 1014 Kel Dukuh Kecamatan Sidomukti Internal 1015 Kel Kecandran Kecamatan Sidomukti Internal 1016 Kel Kalicacing Kecamatan Sidomukti Internal 1017 Kel Bugel Kecamatan Sidorejo Internal 1018 Kel Kauman Kidul Kecamatan Sidorejo Internal 1019 Kel Salatiga Kecamatan Sidorejo Internal 1020 Kel Pulutan Kecamatan Sidorejo Internal 1021 Kel Sidorejo Lor Kecamatan Sidorejo Internal 1022 Kel Blotongan Kecamatan Sidorejo Internal 1023 Arteri Arah Utara Kab. Semarang External 1024 Arteri Arah Selatan Kab. Semarang External 1025 Kolektor Arah Kopeng Kab. Semarang External 1026 Kolektor Arah Gemolong Kab. Semarang External 1027 Kolektor Arah Kedung Jati Kab. Semarang External 1028 Akses Tuntang Kab. Semarang External 1029 Tol Arah Semarang Kab. Semarang External 1030 Pabelan Kab. Semarang External 1031 Susukan Kab. Semarang External 1032 Suruh Kab. Semarang External 1033 Tol Arah Solo Kab. Semarang External 1034 Jetak Kab. Semarang External 1035 Banyubiru Kab. Semarang External

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 67 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Nomor zona digunakan untuk pembuatan model jaringan transportasi, sementara itu kode zona digunakan sebagai dasar nomenclature (tata aturan penomoran) berbasis wilayah administrasi yang dipakai standar secara nasional. Hal ini perlu dilakukan karena penetapan nomenklatur trayek AUP berbasis wilayah tersebut. Penyederhanaan penomoran pada pemodelan hanya diberlakukan pada analisis kajian ini, mengingat terdapat keterbatasan format pada sistem modul komputasinya.

V. 2.5.2 Pola Perjalanan Berbasis Aktivitas Seperti diketahui bahwa tempat yang rawan macet khususnya pada pagi hari dan siang hari(pada jam masuk dan jam pulang sekolah. Berdasarkan karakteristik perjalanan regular antar zona maka Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan sekolah Menengah Atas (SMA) memproduksi perjalanan yang signifikan. Pada umumnya beberapa SMP dan SMA tersebut tidak memiliki tempat khusus untuk menurunkan penumpang maupun untuk menjemput penumpang. Hal ini menyebabkan kendaraan pengantar dan penjemput siswa berhenti atau parkir di badan jalan dan terjadilah penumpukan panjang kendaraan sehingga terjadi penurunan kapasitas jalan raya. Kemacetan lalu lintas yang terjadi di sekitar lokasi sekolah menengah pertama pada jam masuk dan pulang sekolah bisa dicegah apabila sebelum menentukan lokasi sebuah sekolah, pihak pendiri sekolah terlebih dahulu memperkirakan besarnya bangkitan pergerakan yang akan terjadi akibat pembangunan sekolah tersebut. Pengambilan data pada penelitian ini hanya dibatasi pada beberapa sekolah menengah pertama swasta di Kota Salatiga yang tersebar di berbagai kecamatan.

Oleh karena itu, pola perjalanan berbasis zona aktivitas pada kajian studi ini dimodelkan berdasarkan zona Pendidikan SMP dan SMA yang ada di Kota Salatiga. Berikut potensi bangkitan perjalanan sekolah SMP dan SMA di Kota Salatiga.

Tabel V.11 Daftar Sekolah SMP dan SMA di Kota Salatiga

Jumlah No NPSN Nama Sekolah Kecamatan Jenjang Status Siswa Kategori 18 20328397 Smas Kristen 2 Argomulyo Argomulyo SMA SWASTA 13 UNBK 19 20328434 Smp Negeri 10 Salatiga Argomulyo SMP NEGERI 234 Bergabung 21 69930694 Smk Bhakti Nusantara Salatiga Argomulyo SMK SWASTA 5 UNBK 26 20364817 Mtsn Salatiga Argomulyo MTS NEGERI 250 UNBK 31 20328439 Smp Negeri 6 Salatiga Argomulyo SMP NEGERI 224 Bergabung 41 69946657 Smp Islam Sunan Giri Argomulyo SMP SWASTA 27 Bergabung 46 20328448 Sman 2 Salatiga Argomulyo SMA NEGERI 306 UNBK 57 69883595 Smpit Nidaul Hikmah Argomulyo SMP SWASTA 14 Bergabung 7 20328440 Smp Negeri 7 Salatiga Sidomukti SMP NEGERI 205 Bergabung 12 20328453 Smkn 1 Salatiga Sidomukti SMK NEGERI 441 UNBK 15 20364818 Mtss Plus Al Madinah Sidomukti MTS SWASTA 14 Non UNBK 17 20328398 Smas Kristen 1 Sidomukti Sidomukti SMA SWASTA 189 UNBK 24 20328457 Smks Pgri 1 Salatiga Sidomukti SMK SWASTA 101 UNBK 28 20328462 Smks Saraswati Salatiga Sidomukti SMK SWASTA 423 UNBK

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 68 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

30 20339229 Smks Pgri 3 Salatiga Sidomukti SMK SWASTA 19 UNBK 32 20328438 Smp Negeri 5 Salatiga Sidomukti SMP NEGERI 217 Bergabung 37 69892226 Sma Mountainview Christian School Sidomukti SMA SWASTA 21 UNBK 40 20328436 Smp Negeri 3 Salatiga Sidomukti SMP NEGERI 240 UNBK 44 69892225 Smp Mountainview Christian School Sidomukti SMP SWASTA 24 UNBK 49 20330954 Smks Al Falah Salatiga Sidomukti SMK SWASTA 43 UNBK 50 60727454 Mtss Yasinta Sidomukti MTS SWASTA 20 Non UNBK 51 20328460 Smkn 2 Salatiga Sidomukti SMK NEGERI 554 UNBK 52 20328452 Smks Kristen Bisnis & Manajemen Sidomukti SMK SWASTA 90 UNBK 53 20328455 Smks Pgri 2 Salatiga Sidomukti SMK SWASTA 95 UNBK 61 20328454 Smks Pelita Salatiga Sidomukti SMK SWASTA 48 UNBK 62 20328428 Smp Kristen 04 Salatiga Sidomukti SMP SWASTA 24 Bergabung 1 20328425 Smp Islam Sultan Fattah Sidorejo SMP SWASTA 70 Non UNBK 2 20328447 Sman 1 Salatiga Sidorejo SMA NEGERI 324 UNBK 4 20328429 Smp Kristen Satya Wacana Salatiga Sidorejo SMP SWASTA 71 Bergabung 5 20363036 Mas Tahfizhul Quran (Matiq) As Surkati Sidorejo MA SWASTA 17 Non UNBK 8 20328461 Smks Kristen Salatiga Sidorejo SMK SWASTA 40 UNBK 9 20360506 Smks Farmasi Putra Bangsa Sidorejo SMK SWASTA 48 UNBK 10 20341188 Smks Darma Lestari Sidorejo SMK SWASTA 25 UNBK 11 20328430 Smp Muhammadiyah Sidorejo SMP SWASTA 133 UNBK 13 20328437 Smp Negeri 4 Salatiga Sidorejo SMP NEGERI 246 Bergabung 14 20328463 Smp Dharma Lestari Sidorejo SMP SWASTA 22 Non UNBK 16 20328435 Smp Negeri 2 Salatiga Sidorejo SMP NEGERI 266 UNBK 20 20328431 Smp Pangudi Luhur Salatiga Sidorejo SMP SWASTA 76 UNBK 22 20364820 Mtss Sa Pancasila Sidorejo MTS SWASTA 32 Non UNBK 25 20328446 Smas Theresiana Sidorejo SMA SWASTA 15 UNBK 29 20328449 Sman 3 Salatiga Sidorejo SMA NEGERI 329 UNBK 33 20330955 Smks Pancasila Salatiga Sidorejo SMK SWASTA 15 UNBK 34 20328426 Smp Kristen 1 Salatiga Sidorejo SMP SWASTA 14 Bergabung 35 20328450 Smks Diponegoro Salatiga Sidorejo SMK SWASTA 155 UNBK 36 20341453 Smks Plus Al_Madinah Salatiga Sidorejo SMK SWASTA 7 UNBK 38 20328432 Smp Stella Matutina Salatiga Sidorejo SMP SWASTA 158 UNBK 39 20363035 Man Salatiga Sidorejo MA NEGERI 354 UNBK 42 20328458 Smks Muhammadiyah Salatiga Sidorejo SMK SWASTA 251 UNBK 43 20339238 Smks Sultan Fattah Salatiga Sidorejo SMK SWASTA 49 UNBK 47 20328464 Smp Negeri 9 Salatiga Sidorejo SMP NEGERI 241 Bergabung 48 20328395 Smas Muhammadiyah (Plus) Salatiga Sidorejo SMA SWASTA 74 UNBK 54 20364819 Mtss Nu Salatiga Sidorejo MTS SWASTA 132 Non UNBK 56 20328396 Smas Kr Satya Wacana Sidorejo SMA SWASTA 164 UNBK 58 20328443 Smp Islam Al Azhar 18 Salatiga Sidorejo SMP SWASTA 102 Non UNBK 59 20362463 Smp Islam Raden Paku Sidorejo SMP SWASTA 7 Non UNBK 60 20328433 Smp Negeri 1 Salatiga Sidorejo SMP NEGERI 227 UNBK 3 69893079 Smp Anak Terang Salatiga Tingkir SMP SWASTA 20 UNBK

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 69 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

6 20328441 Smp Negeri 8 Salatiga Tingkir SMP NEGERI 212 Bergabung 23 20338571 Smkn 3 Salatiga Tingkir SMK NEGERI 412 UNBK 27 20328427 Smp Kristen 2 Salatiga Tingkir SMP SWASTA 76 Bergabung 45 20328442 Smp Islam Sudirman 2 Tingkir Salatiga Tingkir SMP SWASTA 42 Non UNBK 55 20328451 Smks Islam Sudirman Tingkir Tingkir SMK SWASTA 25 UNBK Sumber: Kemendikbud, 2020

V.2.6. Pemodelan Jaringan Trayek Angkutan Umum

A. Nomenclature Kode Trayek

Perlu diketahui bersama bahwa pengkodean trayek AUP Kota Salatiga didasarkan pada kode wilayah kota dengan diberi no Trayek 1, 2 dan seterusnya. Jika dilihat data yang diperoleh, terdapat 13 (tigabelas) trayek.

B. Panjang Rute

Panjang rute setiap trayek diukur dengan menggunakan odometer yang berada di atas armada bus. Data yang diperoleh dikalibrasi dengan koordinat yang di generate dari sistem pemetaan google map dan data sekunder lainnya yang telah/pernah diambil dari alat GPS. Berikut adalah panjang trayek angkutan umum yang ada:

Tabel V.12 Tabel Jaringan Trayek Eksisting

No. Kode Trayek Nama Trayek Panjang (Km) 1 T-11B Trayek11B 4.23 2 T-11A Trayek11A 4.11 3 T-12A Trayek12A 7.06 4 T-12B Trayek12B 7.29 5 T-16A Trayek16A 7.41 6 T-16B Trayek16B 7.41 7 T-17A Trayek17A 6.52 8 T-17B Trayek17B 6.37 9 T-1A Trayek1A 4.47 10 T-1B Trayek1B 4.55 11 T-2A Trayek2A 5.38 12 T-2B Trayek2B 5.47 13 T-3A Trayek3A 2.52 14 T-3B Trayek3B 2.6 15 T-4A Trayek4A 5.99 16 T-4B Trayek4B 5.93 17 T-5A Trayek5A 6.62 18 T-5B Trayek5B 6.62 19 T-6A Trayek6A 6.34

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 70 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

20 T-6B Trayek6B 6.34 21 T-7A Trayek7A 8.44 22 T-7B Trayek7B 8.15 23 T-8A Trayek8A 5.47 24 T-8B Trayek8B 5.18 25 T-9A Trayek9A 5.78 26 T-9B Trayek9B 5.49

C. Segmen Trayek AUP

Segmen adalah penggal potongan jalan pada rute trayek angkutan umum yang merepresentasikan terjadinya naik-turun penumpang. Dalam kondisi nyata saat ini, angkutan umum dapat melakukan henti bus di sembarang tempat. Hal ini disebabkan karena belum memadainya sarana perhentian bus terutama pada jalur antar kota. Perhentian bus pada titik-titik di sepanjang jalur trayek AUP disesuaikan dengan karakteristik jaringan jalan. Dalam hal ini adalah, terdapatnya simpang pertigaan atau perempatan, sehingga dimungkinkan adanya transit angkutan umum penumpang.

Tabel V.13 Jumlah Segmen dan Titik Henti pada Pemodelan Angkutan Umum

Kecepatan Jumlah Ratio Henti No Kode Nama Trayek Jenis Panjang(km) (km/jam) Segmen (Berhenti/Km) 1 AKDP Semarang-Solo BusBesar 40 18.43 35 2 2 AKDP1 Solo-Semarang BusBesar 40 18.43 35 2 3 BST1A Koridor1A BusSedang 30 10.05 32 3 4 BST1B Koridor1B BusSedang 30 10.74 42 4 5 BST2A Koridor2A BusSedang 30 11.73 24 2 6 BST2B Koridor2B BusSedang 30 11.73 24 2 7 BST3A Koridor3A BusSedang 30 8.04 32 4 8 BST3B Koridor3B BusSedang 30 8.04 32 4 9 BST4A Koridor4A BusSedang 30 4.73 10 2 10 BST4B Koridor4B BusSedang 30 4.16 14 3 11 BST5A Koridor5A BusSedang 30 3.62 12 3 12 BST5B Koridor5B BusSedang 30 3.62 12 3 13 ELF1 Bawen-Salatiga BusSedang 40 11.55 32 3 14 ELF2 Salatiga-Bawen BusSedang 40 11.55 32 3 15 T-11A Trayek11A minibus 20 4.54 39 9 16 T-11B Trayek11B minibus 20 4.44 31 7 17 T-12A Trayek12A minibus 20 7.06 14 2 18 T-12B Trayek12B minibus 20 7.3 19 3 19 T-16A Trayek16A minibus 20 7.94 24 3 20 T-16B Trayek16B minibus 20 7.41 19 3 21 T-17A Trayek17A minibus 20 6.52 24 4 22 T-17B Trayek17B minibus 20 7.26 28 4

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 71 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Kecepatan Jumlah Ratio Henti No Kode Nama Trayek Jenis Panjang(km) (km/jam) Segmen (Berhenti/Km) 23 T-1A Trayek1A minibus 20 4.47 22 5 24 T-1B Trayek1B minibus 20 4.5 24 5 25 T-2A Trayek2A minibus 20 5.38 19 4 26 T-2B Trayek2B minibus 20 5.41 21 4 27 T-3A Trayek3A minibus 20 2.52 10 4 28 T-3B Trayek3B minibus 20 2.61 14 5 29 T-4A Trayek4A minibus 20 5.99 13 2 30 T-4B Trayek4B minibus 20 5.93 13 2 31 T-5A Trayek5A minibus 20 6.9 20 3 32 T-5B Trayek5B minibus 20 6.62 17 3 33 T-6A Trayek6A minibus 20 6.93 23 3 34 T-6B Trayek6B minibus 20 6.34 18 3 35 T-7A Trayek7A minibus 20 8.44 35 4 36 T-7B Trayek7B minibus 20 8.35 28 3 37 T-8A Trayek8A minibus 20 5.47 33 6 38 T-8B Trayek8B minibus 20 5.39 26 5 39 T-9A Trayek9A minibus 20 5.78 34 6 40 T-9B Trayek9B minibus 20 5.69 27 5

Untuk menetapkan segmen pada analisis ini dilakukan dengan pendekatan komputasi, sehingga dapat dilakukan secara efisien mengingat begitu banyaknya trayek yang ada. Jika dibutuhkan informasi yang lebih, maka diperlukan kajian yang lebih mendalam pada tiap-tiap trayek yang ada sehingga diketahui segmen mana saja yang dapat didefinisikan pada rute tersebut.

Berikut adalah contoh pemodelan jaringan trayek AUP pada sistem jaringan jalan yang digambarkan menggunakan software komputasi.

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 72 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Gambar V.87 Segmen Rute Trayek Angkutan Umum

V.2.7. Pembebanan Jaringan Pelayanan Aup

Untuk mengetahui unjuk kerja ruas jalan, maka setiap pergerakan yang ada sebagaimana telah dimodelkan pada pemodelan distribusi perjalanan harus dibebankan pada ruas jalan yang terdapat jaringan pelayanan AUP. Untuk membebankan perjalanan pada ruas-ruas jalan, terdapat beberapa metode pendekatan User and System Optimal. Metode ini mempergunakan suatu perhitungan teknik optimasi dengan program linear dalam pembebanan perjalanan untuk memperoleh suatu total waktu perjalanan atau biaya perjalanan dalam suatu jaringan jalan menjadi paling kecil.

Pada pelaksanaan studi ini, teknik/metode yang dipergunakan untuk membebankan perjalanan adalah dengan menggunakan Keseimbangan Wardrop. Prosedur pembebanan lalu lintas berdasarkan Prinsip Kesetimbangan Wardrop dapat dijabarkan sebagai berikut: “bahwa lalu lintas akan melakukan pengaturan diri sendiri dalam jaringan pelayanan yang sudah ditetapkan namun tetap mempertimbangkan biaya perjalanan pada semua rute terpakai antar O-D sama dengan biaya minimum perjalanan, sedangkan biaya perjalanan pada semua rute tak terpakai sama dengan atau lebih besar”.

Keberhasilan dalam menciptakan kesetimbangan wardrop memerlukan suatu fungsi kontrol yang disebut “delta function” dimana variabel-variabel pengaruhnya terdiri atas volume penumpang yang naik dan turun pada segmen-segmen yang ada impedan dari tiap rute. Secara

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 73 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

garis besar fungsi delta ini merupakan perbandingan antara jumlah total dari pertambahan biaya pada masing-masing rute terhadap total biaya perjalanan di seluruh ruas terpakai.

Teknik pembebanan lalu lintas ini mengambil asumsi bahwa pelaku perjalanan sudah memahami kondisi jaringan pelayanan transportasi dan jaringan infrastruktur jalan yang ada dan mampu berupaya untuk meminimalkan biaya perjalanan. Yang dimaksud dengan biaya perjalanan disini adalah :

1. Lama waktu perjalanan 2. Panjang jarak tempuh perjalanan 3. Generalized cost yang merupakan kombinasi linier antara waktu tempuh dan jarak tempuh dimana waktu tempuh dan jarak tempuh dikonversi ke dalam nilai uang dengan tingkat konversi tertentu.

Hasil dari pembebanan matrik asal tujuan perjalanan pada sistem jaringan pelayanan transportasi tersebut dapat direpresentasikan dalam bentuk tingkat turnover pengguna angkutan umum di tiap segmennya. Sehingga dapat pula diketahui tingkat isian (Load Factor) tiap trayek. Hal ini juga mempertimbangkan jumlah armada, jumlah tempat duduk, frekuensi dan headway pelayanan angkutan umumnya.

Gambar V.88 Trayek Banyubiru Salatiga

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 74 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Tabel V.14 Kinerja Angkutan Umum Penumpang Berbasis Aktivitas

Jumlah Panjang Waktu Penumpang No. Kode Trayek Jenis Type Headway pnp.km menit.km LF Armada (km) (menit) (orang) 1 AKDP Semarang-Solo b 2 4 10 18.43 28 730 3103.6 78.5 1.00 2 AKDP1 Solo-Semarang b 2 4 10 18.43 28 1680 10233.6 259.4 1.30 3 BST1A Koridor1A b 2 3 10 10.05 20.43 547 1310.2 44.6 0.78 4 BST1B Koridor2B b 2 3 10 10.74 21.9 357 1263.6 43.1 0.70 5 BST2A Koridor2A b 2 3 10 11.73 23.71 324 1407.2 47.3 0.71 6 BST2B Koridor2B b 2 3 10 11.73 23.71 642 2826.9 95.3 1.43 7 BST3A Koridor3A b 2 3 10 8.04 16.4 297 817.9 27.8 0.61 8 BST3B Koridor3B b 2 3 10 8.04 16.4 543 1781.2 60.5 1.32 9 BST4A Koridor4A b 2 2 10 4.73 9.55 80 147.9 5 0.19 10 BST4B Koridor4B b 2 2 10 4.16 8.45 62 126.8 4.3 0.18 11 BST5A Koridor5A b 2 2 10 3.62 7.35 474 1343.2 45.5 1.21 12 BST5B Koridor5B b 2 2 10 3.62 7.35 382 1019.9 34.5 1.68 13 ELF1 Bawen-Salatiga b 2 3 10 11.55 17.65 715 2649.2 67.3 1.37 14 ELF2 Salatiga-Bawen b 2 3 10 11.55 17.65 408 1228.5 31.3 0.63 15 T-11A Trayek11A b 1 4 5 4.54 14.02 1177 2287.5 117.7 1.50 16 T-11B Trayek11B b 1 4 5 4.44 13.62 14 14.4 0.7 0.02 17 T-12A Trayek12A b 1 5 5 7.06 21.33 1093 1815.4 91.7 1.79 18 T-12B Trayek12B b 1 6 5 7.3 22.1 2687 3078.4 157.3 1.93 19 T-16A Trayek16A b 1 6 5 7.94 24.05 585 952.5 47.9 0.83 20 T-16B Trayek16B b 1 6 5 7.41 22.41 1181 3683.9 185.9 1.45 21 T-17A Trayek17A b 1 5 5 6.52 19.8 271 953.9 48.4 1.02 22 T-17B Trayek17B b 1 6 5 7.26 22.06 1936 7910 401.4 1.57 23 T-1A no description b 1 4 5 4.47 13.62 510 1126 57.2 1.75

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 75 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Jumlah Panjang Waktu Penumpang No. Kode Trayek Jenis Type Headway pnp.km menit.km LF Armada (km) (menit) (orang) 24 T-1B Trayek1B b 1 4 5 4.5 13.74 644 315.4 16.1 0.49 25 T-2A Trayek2A b 1 4 5 5.38 16.33 631 1583.9 80.4 1.04 26 T-2B Trayek2B b 1 4 5 5.41 16.45 754 454.1 23 0.58 27 T-3A Trayek3A b 1 3 5 2.52 7.65 505 707.5 35.8 1.95 28 T-3B Trayek3B b 1 3 5 2.61 7.97 2687 3078.4 157.3 1.19 29 T-4A Trayek4A b 1 5 5 5.99 18.1 978 2964.1 149.8 1.44 30 T-4B Trayek4B b 1 5 5 5.93 17.92 765 2039.8 103 1.39 31 T-5A Trayek5A b 1 5 5 6.9 20.89 1659 6424.2 324.3 1.47 32 T-5B Trayek5B b 1 5 5 6.62 20.03 61 94.7 4.8 0.10 33 T-6A Trayek6A b 1 5 5 6.93 21.03 371 813.1 41.1 0.81 34 T-6B Trayek6B b 1 5 5 6.34 19.21 27 20.9 1.1 0.02 35 T-7A Trayek7A b 1 6 5 8.44 25.66 470 1203.3 61.3 0.99 36 T-7B Trayek7B b 1 6 5 8.35 25.34 132 263.9 13.3 0.22 37 T-8A Trayek8A b 1 4 5 5.47 16.75 299 307.7 16 0.39 38 T-8B Trayek8B b 1 4 5 5.39 16.42 14 14.4 0.7 0.02 39 T-9A Trayek9A b 1 5 5 5.78 17.67 344 531.3 27.4 0.64 40 T-9B Trayek9B b 1 5 5 5.69 17.34 132 263.9 13.3 0.32

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 76 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Gambar V.89 Trayek Kopeng Salatiga

Gambar V.90 Trayek BST Koridor 1

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 77 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Gambar V.91 Trayek BST Koridor 3

V.2.8. Potensi Transfer Point dan Transit point

Dalam kaidah transportasi dan perjalanan kendaraan angkutan umum terdapat istilah kata Transit dan transfer. Transit merupakan istilah dalam dunia transportasi, yang artinya pemberhentian penumpang angkutan umum dengan kendaraan umum sementara waktu pada titik perhentian seperti terminal, stasiun, bandara atau pelabuhan. Kegiatan yang terjadi adalah pengecekan mesin , penyesuaian jadwal operasi dan pergantian pengemudi ,atau pengisian bahan bakar , dan biasanya titik ini sebagai awal atau akhir perjalanan penumpang. Sedangkan ,transfer artinya sama dengan transit tetapi bedanya transfer penumpang turun dan menunggu armada angkutan umum di ruang tunggu untuk sementara waktu dan hanya sebentar tetapi kadang juga bisa memakan waktu yang cukup lama,tergantung kedatangan armada angkutan umum lanjutan menuju tujuan.

Pada kajian ini, setelah dilakukan analisis ditemukan potensi titik-titik transfer dan transit point potensial pada jaringan jalan di Kota Salatiga. Seperti ditunjukkan pada gambar berikut:

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 78 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Gambar V.92 Potensi Transfer dan Transit Point Perjalanan Reguler

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 79 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Gambar V.93 Potensi Transfer dan Transit Point Aktifitas Sekolah

V.3. ANALISIS INTERAKSI SPASIAL (RUANG PERKOTAAN)

Pada analisis spasial ini, terdapat 2 (dua) macam interaksi yaitu secara Eksternal dan Internal. Interaksi eksternal lebih kepada hubungan spasial antara Kota Salatiga dengan Pusat Metropolitan Semarang dan wilayah hinterlandnya. Sedangkan interaksi internal yaitu hubungan antara wilayah pinggiran dengan pusat kota maupun diantaranya. Dilihat dari letaknya, Kota Salatiga berada diantara jalur pergerakan dengan kepadatan tinggi antara utara dan selatan serta pergerakan barat ke timur dengan kepadatan pergerakan sedang. Dari kedua interaksi tersebut, pada interaksi eksternal terdapat aktivitas pergerakan yang sangat menonjol yaitu pergerakan Comuter Pekerja. Sedangkan pada interaksi internal, aktivitas pergerakan perdagangan, pendidikan, dan bekerja menjadi aktivitas yang paling dominan.

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 80 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

V.3.1. Interaksi Eksternal

Urbanisasi di area-area perkotaan semakin kompleks. Kompleksitas ini telah membawa perubahan pada dinamika spasial perkotaan. Pusat-pusat baru mulai muncul dan tumbuh dengan ditandainya perkembangan karakteristik kawasan non-urban yang semula didominasi dengan area-area pertanian, perkebunan, atau bahkan lahan-lahan non terbangun. Saat ini telah berubah menjadi lahan-lahan dengan fungsi perkotaan, seperti perdagangan dan jasa, area permukiman padat, dan aktivitas industri.

Kota Salatiga ditetapkan termasuk dalam Kawasan Strategis Nasional dan Kawasan Strategis Provinsi Jawa Tengah yaitu sebagai kawasan strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi yaitu Kawasan Perkotaan Aglomerasi Kendal–Demak–Ungaran–Salatiga–Semarang– Purwodadi (Kedungsepur). Pada kota-kota menengah dan kecil, seperti Salatiga sebagai bagian (kota penyangga) dari Aglomerasi Kedungsepur dengan perkotaan inti adalah Kota Semarang, urbanisasi regional berdampak pada semakin meluasnya kawasan sub-urban di sekitar inti kota dengan karakteristik semakin padat area terbangun.

Dalam kurun waktu 10-15 hingga saat ini, Kota Salatiga menunjukan perkembangan wilayah perkotaan yang cukup besar, khususnya dari sisi ekonomi wilayah. Sehingga muncul interaksi yang cukup kuat antara Kota Salatiga dengan wilayah hinterlandnya seperti sub-wilayah Kopeng, Gemolong, Ambarawa, Beringin hingga bagian utara wilayah Kabupaten Boyolali. Hubungan antara Kota Salatiga – Perkotaan Inti Semarang dan Kota Salatiga dengan wilayah hinterlandnya disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:

1. Lapangan Pekerjaan 2. Perdagangan dan Jasa; 3. Pendidikan;

Wilayah kota administratif dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih maju, dianggap memiliki peluang lebih besar baik itu dari peluang kerja, bisnis perdagangan, maupun pada kualitas pendidikan. Sebagai contoh, bahwa lapangan pekerjaan di wilayah metropolitan Semarang lebih besar dibandingkan dengan Kota Salatiga, begitu Kota Salatiga dianggap lebih baik dibandingkan wilayah hinterlandnya.

Kondisi terkini, hubungan antara Kota Salatiga dengan Perkotaan Inti Semarang didukung dengan infrastruktur jaringan jalan reguler dengan kondisi yang sangat baik (Mantap) dan jaringan Jalan TOL Semarang – Solo.

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 81 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

PERKOTAAN INTI SEMARANG

Beringin

Kopeng & Banyubiru KOTA PENYANGGA SALATIGA

Tingkir - Gemolong

Gambar V.94 Interaksi Perkotaan Inti Semarang – Salatiga dan Salatiga - Hinterland

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 82 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Pada gambar di atas, dimana kondisi 10 – 15 tahun silam, bahwa interaksi antara Kota Salatiga dengan Perkotaan Inti Semarang dan sekitarnya terjadi sangat intens/ besar. Sedangkan interaksi Kota Salatiga dan hinterlandnya tergolong rendah – sedang. Namun kondisi terkini, hubungan Kota Salatiga – Perkotaan Inti Semarang kondisinya tetap, sedangkan Kota Salatiga dan hinterlandnya terjadi peningkatan. Pertumbuhan Ekonomi wilayah dan kemajuan wilayah Salatiga menjadi ketertarikan wilayah hinterland, seperti pada sektor Pendidikan, Perdagangan dan Jasa, serta Peluang Kerja melalui terbuka lebarnya Lapangan Pekerjaan.

PERKOTAAN INTI SEMARANG

Beringin

Kopeng & Banyubiru KOTA PENYANGGA SALATIGA

Tingkir - Gemolong

Gambar V.95 Interaksi Perkotaan Inti Semarang – Salatiga dan Salatiga - Hinterland

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 83 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Interaksi ini dapat terlihat dari volume lalu lintas pada pintu gerbang/ aksesibilitas/ simpul Kota Salatiga diantaranya:

1. Simpang Pasar Sapi (Jl. Imam Bonjol) Pada jam puncak di pagi hari 7.30 – 7.45, volume lalu lintas yang masuk ke Kota Salatiga mencapai 212,8 smp/jam 2. Simpang Pulutan (Jl. Dipomenggolo) Pada jam puncak di pagi hari 06.00 – 06.15, volume lalu lintas yang masuk ke Kota Salatiga mencapai 285,5 smp/jam 3. Simpang Jalan Lingkar Salatiga Tingkir Pada jam puncak di pagi hari 06.30 – 06.45, volume lalu lintas yang masuk ke Kota Salatiga mencapai 258,8 smp/jam 4. Simpang Jalan Lingkar Salatiga Blotongan Pada jam puncak di pagi hari 06.45 – 07.00 volume lalu lintas yang masuk ke Kota Salatiga mencapai 221,3 smp/jam 5. Simpang Patimura (Jl. Patimura) Pada jam puncak di pagi hari 07.00 – 07.15 volume lalu lintas yang masuk ke Kota Salatiga mencapai 317,7 smp/jam

Berdasarkan ke-5 ruas jalan (akses masuk Kota Salatiga) di atas, maka jumlah pergerakan yang memasuki Kota Salatiga pada pagi hari mencapai 1296,1 smp/jam. Besaran lalu lintas ini terjadi pada masa Pandemi Covid 19. Bila diperkirakan pada kondisi normal (terjadi penurunan 40%), maka jumlah pergerakan mencapai 2160,2 smp/jam.

Masih berkaitan dengan interaksi eksternal, berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, diketahui bahwa Kota Salatiga juga bertindak sebagai titik transit pergerakan dari wilayah Hinterland Kota Salatiga yang akan menuju ke Kabupaten Semarang hingga Kota Semarang. Transit ini terbagi menjadi 2 yaitu:

1. Dari Lokasi Asal (Sepeda Motor) – Penitipan Sepeda Motor – Melanjutkan Perjalanan ke Tujuan. Lokasi Transfer Point diantaranya: 2. Dari Lokasi Asal (Angkutan Umum) – Titik Integrasi/ Perpindahan Moda – Melanjutkan Perjalanan ke Tujuan

Adapun titik transfer poin atau integrasi pada pergerakan di atas diantaranya:

1. Kawasan Terminal Tingkir 2. Kawasan Pasar Sapi 3. Kawasan UKSW (Wahid Hasyim – Imam Bonjol) 4. Kawasan Simpang Haji Ilyas

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 84 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

V.3.2. Interaksi Internal

Kota Salatiga ditetapkan termasuk dalam Kawasan Strategis Nasional dan Kawasan Strategis Provinsi Jawa Tengah sebagai kawasan strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi yaitu Kawasan Aglomerasi Perkotaan Kendal – Demak – Ungaran – Salatiga – Semarang – Purwodadi (KEDUNGSEPUR).

Adapun Kawasan Strategis di Kota Salatiga meliputi:

1. Kawasan Strategis Sosial Budaya a. Kawasan Strategis Pendidikan Dasar dan Menengah (learning center) di Kelurahan Salatiga dan Kelurahan Sidorejo Lor; dan b. Kawasan Strategis Pendidikan Tinggi di Kelurahan Blotongan dan Kelurahan Pulutan. 2. Kawasan Strategis Ekonomi Meliputi kawasan strategis perdagangan dan jasa di Jalan Jenderal Sudirman di Kelurahan Salatiga dan Kelurahan Kutowinangun.

Memperhatikan penggunaan lahan di Kota Salatiga, bahwa Tata Guna Lahan yang menimbulkan Bangkitan dan Tarikan tertinggi berada di pusat Perkotaan Kota Salatiga. Terbentang di sekitar ruas Jl. Diponegoro hingga ke selatan Jl. Jend. Sudirman. Pada kawasan tersebut terdapat Pusat Perdagangan dan Jasa, Pendidikan, dan Perkantoran. Sedangkan untuk guna lahan industri berpusat di sisi selatan ruas Jl. Jend. Sudirman hingga persimpangan Terminal Tingkir dan Jalan Lingkar Salatiga.

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 85 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Gambar V.96 Peta Sebaran Guna Lahan Industri Kota Salatiga

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 86 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Gambar V.97 Peta Sebaran Guna Lahan Pendidikan Kota Salatiga

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 87 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Gambar V.98 Peta Sebaran Guna Lahan Perdagangan dan Jasa Kota Salatiga

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 88 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Gambar V.99 Peta Tata Guna Lahan Kota Salatiga

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 89 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Maksud dari pergerakan yang timbul pada interaski ini didominasi oleh:

1. Aktivitas Bisnis Perdagangan dan Jasa 2. Aktivitas Bekerja 3. Aktivitas Pendidikan

Berdasarkan hasil permodelan jaringan jalan, dengan adanya interkasi spasial baik internal maupun eksternal, diketahui pembebanan jalan dari pergerakan yang timbul. Berikut hasil pembebanan terhadap jaringan jalan di Kota Salatiga.

Sumber: Hasil Analisis Konsultan, 2020 Gambar V.100 Pembebanan lalulintas (smp/jam) tahun 2020

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 90 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Gambar V.101 Pembebanan lalu lintas (smp/jam) tahun 2020 Berdasarkan Interaksi Internal (Guna Lahan Kota Salatiga)

L A P O R A N A K H I R Halaman | V - 91 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

BAB VI. ROADMAP TRANSPORTASI B A P P E D A BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

2020

Roadmap Sistem Transportasi Kota Salatiga ROADMAP TRANSPORTASI Potensi dan Permasalahan Transportasi | Konsep Roadmap Sistem Transportasi | Rencana Roadmap Smart City Transportasi 6 L A P O R A N A K H I R Halaman | VI - 1 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

VI.1. POTENSI DAN PERMASALAHAN TRANSPORTASI

Sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun Roadmap Sistem Transportasi Kota Salatiga, maka berdasarkan hasil survei lapangan, berikut Potensi dan Permasalahan utama terkait transportasi Kota Salatiga:

VI.1.1. Potensi Kota Salatiga

Berdasarkan hasil survei lapangan dan fenomena-fenomena yang terjadi, berikut disampaikan beberapa potensi Kota Salatiga yang berkaitan dengan Sistem Transportasi:

1. Kota Salatiga terletak pada ketinggian ± 700 mDPL dengan karakteristik daratan tergolong cukup datar hanya beberapa titik kawasan yang memiliki dataran berbukit dengan kondisi jalan menanjak dan menurun. Pada ketinggian ini, kondisi iklim di Kota Salatiga cukup sejuk. Ruang terbuka hijau dengan vegetasi pohon-pohon besar banyak dijumpai di berbagai sudut. Kondisi ini sangat mendukung bagi mobilisasi orang yang menggunakan moda sepeda (Un-Motorized). 2. Luas wilayah Kota Salatiga pada tahun 2018 tercatat sebesar 56,78 km² dengan jumlah penduduk Kota Salatiga sebesar 191.571 jiwa. Sebagai kota administratif luasan dan jumlah penduduk tersebut memudahkan penerapan kebijakan termasuk upaya pengaturan, monitoring dan evaluasi. 3. Pusat Perdagangan dan Jasa Kota Salatiga terpusat di sekitar ruas Jl. Diponegoro hingga Jl. Jend. Sudirman; 4. Secara umum, letak guna lahan yang memiliki bangkitan dan tarikan terbesar berada di pusat perkotaan, dan dikelilingi guna lahan permukiman yang semakin melebar kepadatannya semakin rendah. 5. Sebaran permukiman pada tahun 2020 sebagian besar berada di pusat perkotaan dan sekitarnya. Pengembangan permukiman di wilayah pinggiran tidak begitu masif, sehingga masih memiliki peluang cukup besar dalam mengatur pengembangan permukiman yang terintegrasi dengan jaringan transportasi umum; 6. Kondisi perkerasan jalan secara umum sangat baik dan mantap; 7. Terdapat Terminal Tipe A Tingkir yang dapat dimanfaatkan sebagai titik simpul untuk pergerakan dari internal ke eksternal maupun eksternal ke eksternal. Walaupun pengelolanya adalah BPTD Jawa Tengah, namun manfaat keberadaan terminal tersebut sangat besar untuk wilayah Kota Salatiga; 8. Adanya Perguruan Tinggi UKSW menjadi salah satu daya tarik untuk orang datang ke Salatiga disamping objek-objek wisata di Kota Salatiga; 9. Kekuatan Keuangan Kota Salatiga diprediksi mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat khususnya berkaitan dengan Layanan Transportasi Umum.

VI.1.2. Permasalahan Transportasi

Berdasarkan hasil survei lapangan dan fenomena-fenomena yang terjadi, berikut disampaikan beberapa permasalahan di Kota Salatiga yang berkaitan dengan Sistem Transportasi:

L A P O R A N A K H I R Halaman | VI - 2 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

1. Lebar jalan di Kota Salatiga khususnya Jalan Kolektor dan Lokal tidak begitu besar, sehingga bentuk pelayanan angkutan umum dengan moda berupa Bus Medium (3/4) cukup sulit diterapkan agar dapat menjangkau permintaan layanan (demand) ke wilayah yang lebih dalam; 2. Penggunaan Kendaraan pribadi masih cukup besar, perbandingannya diprediksi 85% kendaraan pribadi dan 15% penggunaan angkutan umum. Hal ini mencerminkan minat masyarakat dalam penggunaan angkutan umum masih rendah. Kendaraan Pribadi dianggap lebih efektif dan efisien dalam melakukan pergerakan; 3. Interaksi spasial (orang dan barang) yang semakin kompleks, belum tertata dan cenderung berkembang secara tidak teratur; 4. Permasalahan kinerja jaringan jalan dipicu pula oleh tumpang tindih jaringan trayek, meningkatnya operasi kendaraan pribadi di jaringan jalan; 5. Supply transportasi jauh dari Demand pelaku perjalanan, sehingga tingkat isian angkutan umum massal tidak optimal; 6. Permasalahan fungsi nodal yang berkembang secara natural, serta adanya kapitalisasi ruang perkotaan (oleh pengusaha, missal perumahan, perdagangan dan jasa, industri, dan perkantoran) menyebabkan jaringan transportasi berkembang tidak teratur dan kompleks, tumpang tindih.

Pertimbangan yang dapat membantu dalam menentukan Kebijakan Transportasi di Kota Salatiga, diantaranya:

1. Tahun 2020, berkembang trend zaman milenial, segala sesuatu dituntun digital, modern, fungsional, efektif dan efisien; 2. Berkaca pada kondisi terkini, bahwa generasi muda dengan rentang umum 17 – 30 tahun sangat membawa dampak bagi perkembangan wilayah. Melibatkan generasi muda dalam perencanaan wilayah khusus terkait Transportasi, menjadikan peluang keberhasilan sangat besar. Sesuatu yang dianggap kekinian, modern, dan canggih lebih cepat diterima oleh khalayak muda. Adanya modernisasi Moda Angkutan (Instagramable), Titik Simpul, dan sistem pembayaran diprediksi akan menarik generasi muda untuk beralih dari kendaraan pribadi menjadi tren menggunakan angkutan umum. Generasi muda akan lebih baik jika turut disertakan dalam perencanaan wilayah; 3. Pergerakan yang ada di Kota Salatiga a. Masyarakat Kota Salatiga melakukan aktivitas rutin harian di dalam wilayah Kota Salatiga (Internal); b. Masyarakat Kota Salatiga melakukan aktivitas rutin keluar dari Kota Salatiga diantara menuju Kabupaten Semarang bagian utara, Kota Semarang, dan Surakarta sekitarnya (dukungan Jaringan Jalan Tol); dan c. Masyarakat dari wilayah hinterland bergerak menuju Kota Salatiga untuk berbagai aktivitas bisnis perdagangan dan jasa pendidikan, bekerja baik sektor pemerintahan maupun swasta.

L A P O R A N A K H I R Halaman | VI - 3 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

VI.2. KONSEP ROADMAP SISTEM TRANSPORTASI KOTA SALATIGA

Rencana Penyusunan Roadmap Sistem Transportasi Kota Salatiga disusun untuk menjadi acuan bagi penentu kebijakan dan stakeholder lain dalam mengkoordinasikan, mensinergikan dan mengawal (evaluasi-monitoring) dalam upaya mewujudkan Sistem Transportasi yang lebih baik.

Ide awal Konsep Roadmap Sistem Transportasi yaitu:

SMART CITY TRANSPORT

VI.2.1. Visi dan Misi

VISI:

“Mewujudkan Sistem Transportasi Kota Salatiga dengan Konektivitas Tinggi, Modern, Efektif dan Efisien“

Penyusunan Roadmap Sistem Transportasi memiliki visi dan misi, untuk melanjutkan menyusun dan mengkategorikan berbagai program dan kegiatan terkait aspek smart city transport. Visi merupakan cita-cita atau mimpi tentang kondisi yang ideal yang diharapkan muncul dalam kurun waktu tertentu. Sedangkan misi adalah pilihan atau jalan yang akan digunakan dalam mencapai cita-cita tersebut, untuk itu misi lebih merupakan fokus sektor atau masalah yang menjadi komponen penting dalam realisasi visi. Setiap misi berkaitan dengan program yang terhubung ke masing-masing dinas dalam sistem pemerintahan dan perencanaan kota yang berlaku.

Misi yang digunakan dalam perumusan rencana smart city transport adalah:

1. Mendayagunakan sumber daya secara efektif dan efisien

Mengelola seluruh sumber daya melalui kinerja yang optimal yang didukung oleh infrastruktur atau pemanfaatan teknologi melalui integrasi data antar OPD untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan memberikan informasi yang cepat dan tepat.

2. Mencapai good governance, clean environment, comfort mobility, comfort living, dan kreatif. a. Good governance dengan Sistem dan proses penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan yang berkelanjutan yang berlandaskan prinsip-prinsip supremasi hukum dan memaksimalkan pelayanan kepada masyarakat secara transparan,akuntabel, dan memiliki kredibilitas. b. Clean environment dengan Mengupayakan efisiensi energi dan memaksimalkan potensi energi alternatif/terbarukan c. Comfort mobility dengan Memberikan kemudahan dalam pergerakan dan transportasi kepada masyarakat. d. Masyarakat kreatif dengan Menerapkan sumber daya manusia dan partisipasi aktif masyarakat terlebih pada generasi muda untuk inovatif dan kreatif dalam mempercepat smart city transport in.

L A P O R A N A K H I R Halaman | VI - 4 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

VI.2.2. Kelembagaan

Kelembagaan dibentuk untuk menjamin kepastian dalam menjalankan rencana aksi yang sudah disusun. Pada Smart City Transport Kota Salatiga diperlukan struktur kelembagaan, sehingga POKJA khusus untuk menangani smart city transport dapat terbentuk untuk terintegrasi. POKJA ini merupakan suatu kelompok kerja multi-stakeholder yang berfungsi menjalankan mekanisme koordinasi, sinergitas dan monitoring dan evaluasi program-program dalam rencana aksi daerah. Kelompok kerja atau POKJA smart city transport ini diberi wewenang dan tugas yang meliputi:

1. Sinergitas

Sinergitas yang dimaksud adalah menyatukan langkah dan atau menyelaraskan berbagai jenis kegiatan antar lembaga. Pokja bukan pelaksana program, namun berperan bagaimana meramu dan mengarahkan program smart city transport menjadi lebih sinergis dan memperoleh hasil yang lebih baik.

2. Koordinasi

Pokja berperan memfasilitasi mekanisme koordinasi antar lembaga pemerintah (dinas), dan di luar lembaga pemerintah yang terlibat dalam pokja (akademisi, LSM dan perwakilan masyarakat)

3. Monitoring dan Evaluasi

Pokja berperan melakukan monitoring dan evaluasi, yaitu dengan mengelola data terkait capaian dan dampak program secara terukur dan terstruktur lembaga pemerintah yang terlibat dalam pokja (akademisi, LSM dan perwakilan masyarakat).

Program-program yang diidentifikasi pada Roadmap Smart City Transport Kota Salatiga mempertimbangkan yaitu:

1. Isu dan masalah dari indikator; 2. Prioritas berdasarkan indikator penilaian; 3. Usulan dari OPD terkait kegiatan yang akan dilakukan.

VI.2.3. Ide Konsep Umum

Ide Konsep Umum adalah proses yang diambil berdasarkan eksisting. Dengan mengolah isu dan masalah maka dihasilkan rumusan ide untuk konsep umum pada program/kegiatan dan dijabarkan pada pentahapan 5 tahun kedepan.

Pentahapan pada ide konsep smart city transport terbagi menjadi 5 jenis yaitu:

L A P O R A N A K H I R Halaman | VI - 5 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Tahap 1 Branding smart city transport adalah upaya membangun identitas transportasi perkotaan yang cerdas, dengan membentuk citra transportasi perkotaan. Pada tahap ini juga merupakan proses integrasi data dan penguatan kinerja. Tahap 2 Pilot project lokasi tertentu dilakukan untuk pelaksanaan kegiatan percontohan yang dirancang sebagai pengujian untuk menunjukkan keefektifan. Tahap 3 Penerapan inovasi dan teknologi yaitu dimana integrasi data sudah dapat berjalan dengan baik dan fungsi sistem teknologi informasi terpadu pada command center bisa diterapkan. Tahap 4 Pengembangan sistem informasi berbasis open data dan big data analysis. Open data yang tersedia bisa diakses dan dimanfaatkan oleh masyarakat yang merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mendukung transparansi dan akuntabilitas serta mendorong partisipasi masyarakat mewujudkan smart city transport. Sedangkan pada big data analysis adalah mengumpulkan, mengorganisasikan dan menganalisis jumlah data yang besar untuk mendapatkan informasi yang berguna jadi dapat membantu untuk mengidentifikasi data yang penting dalam mengambil keputusan. Semua hal tersebut tersusun di command center. Tahap 5 Penerapan sistem pada tahap 4 sebagai bentuk penerapan antara teknologi (smart ICT), kinerja dan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan Kota Salatiga dari level siap masuk ke smart city transport menjadi level menerapkan smart city transport.

VI.3. KEBIJAKAN TRANSPORTASI BERDASARKAN PERATURAN DAERAH RTRW

Pengembangan sistem jaringan transportasi jalan yang memperlancar pergerakan antarpusat kegiatan. Rencana sistem jaringan transportasi merupakan sistem jaringan transportasi darat. Rencana sistem jaringan transportasi darat merupakan rencana sistem jaringan jalan yang terdiri atas: a. Jaringan jalan; b. Jaringan pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan meliputi jaringan trayek angkutan penumpang; dan c. Jaringan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan meliputi terminal penumpang dan barang.

L A P O R A N A K H I R Halaman | VI - 6 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Berikut merupakan rencana sistem jaringan transportasi Kota Salatiga dijelaskan lebih rinci dalam peta Rencana Jaringan Transportasi yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini.

Gambar VI.1 Peta Rencana Jaringan Transportasi Kota Salatiga

L A P O R A N A K H I R Halaman | VI - 7 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Jaringan jalan yang dimaksud meliputi: a. Jaringan jalan tol; Jaringan jalan tol merupakan Jalan Tol Semarang – Solo melalui: • Kelurahan Bugel di Kecamatan Sidorejo; • Kelurahan Kauman Kidul di Kecamatan Sidorejo; dan • Kelurahan Tingkir Tengah di Kecamatan Tingkir. b. Jaringan jalan arteri primer; Jaringan jalan arteri primer di Kota Salatiga meliputi ruas Batas Kota Salatiga–Batas Semarang Barat/Surakarta Barat, Jalan Wahid Hasyim, Jalan Osa Maliki, Jalan Veteran, dan Jalan Soekarno–Hatta. Rencana pengembangan jalan lingkar Salatiga. c. Jaringan jalan kolektor primer; Jaringan jalan kolektor primer 2 meliputi Jalan Hasanudin, Jalan Ahmad Yani, dan Jalan Patimura. Rencana pengembangan jalan Tingkir-Barukan. d. Jaringan jalan kolektor sekunder; e. Jaringan jalan lokal primer; dan f. Jaringan jalan lokal sekunder.

Rencana jaringan pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan meliputi jaringan trayek angkutan penumpang meliputi: a. Angkutan penumpang umum dalam kota Trayek angkutan penumpang umum dalam kota meliputi: a. Tamansari–Karangrejo PP; b. Tamansari–Modangan PP; c. Tamansari–Kauman Kidul PP; d. Tamansari–Kali Bening PP; e. Tamansari–Isep–isep–Cengek PP; f. Tamansari–Noborejo PP; g. Tamansari–Tegalrejo PP; h. Tamansari–Ngawen PP; i. Tamansari–Grogol PP; j. Tamansari–RSU– Isep–isep PP; k. Tamansari–Karangalit–Perum Warak PP; l. Tamansari–Bugel–Sembir PP; m. Tamansari–Canden–Butuh PP; n. Tamansari–Banyuputih–Grogol PP; o. Tamansari–Candiwesi–Bugel PP; p. Tamansari–Randuacir PP; dan q. Tamansari–Gamol PP. b. Angkutan penumpang umum bus dan non bus. Trayek angkutan penumpang umum bus dan non bus meliputi: a. Angkutan Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) 1. Arah dari Semarang

L A P O R A N A K H I R Halaman | VI - 8 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Semarang – Jalan Fatmawati–Jalan Lingkar Salatiga–Terminal Tingkir– Jalan Sukarno Hatta–Surakarta. 2. Arah dari Surakarta Surakarta–Jalan Sukarno Hatta–Terminal Tingkir –Jalan Lingkar Salatiga– Jalan Fatmawati–Semarang. b. Angkutan Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) 1. Jurusan Surakarta–Salatiga–Semarang PP; 2. Jurusan Salatiga–Ampel–Cepogo PP; 3. Jurusan Salatiga–Karanggede PP; 4. Jurusan Salatiga–Simo PP; 5. Jurusan Salatiga–Suruh PP; 6. Jurusan Salatiga–Kopeng–Magelang PP; 7. Jurusan Salatiga–Bringin–Purwodadi PP; 8. Jurusan Salatiga–Bringin PP; 9. Jurusan Salatiga–Bawen–Ungaran (non bus/micro bus) PP; 10. Jurusan Salatiga–Bawen–Ambarawa PP; 11. Jurusan Salatiga–Banyubiru–Ambarawa–Grabag PP; 12. Jurusan Ampel–Semarang PP; 13. Jurusan Kopeng–Salatiga–Semarang PP; 14. Jurusan Semarang–Salatiga–Bringin PP; 15. Jurusan Semarang–Ambarawa–Banyubiru–Salatiga PP; dan 16. Jurusan Salatiga–Suruh PP.

Jaringan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan meliputi: a. Terminal tipe A Rencana peningkatan terminal penumpang Tipe A terdapat di Kelurahan Tingkir Tengah. b. Terminal tipe C Rencana pengembangan terminal penumpang Tipe C terdapat di: a. Kelurahan Kumpulrejo; dan b. Kelurahan Kauman Kidul. c. Terminal angkota Rencana pengembangan terminal angkota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdapat di Kelurahan Salatiga. d. Terminal barang Terminal barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi: a. Terminal bongkar muat barang terdapat di Kecamatan Argomulyo; dan b. Terminal bongkar muat barang pasar terdapat di Kelurahan Kutowinangun.

VI.4. RENCANA ROADMAP SMART CITY TRANSPORT

Rencana roadmap smart city transport dirumuskan dalam program dan kegiatan, jangka waktu, dan penanggung jawab. Target Roadmap smart city transport Kota Salatiga dalam jangka waktu 5 tahun yaitu ditargetkan untuk dapat naik sebesar 10%, dimana fokus pada perbaikan kinerja,

L A P O R A N A K H I R Halaman | VI - 9 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

integrasi data dan meningkatkan sistem informasi internal dan eksternal, serta partisipasi masyarakat dalam percepatan smart city transport. Rumusan (draft) program dan kegiatan roadmap smart city transport dapat dilihat pada tabel berikut ini:

L A P O R A N A K H I R Halaman | VI - 10 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

Tabel VI.1 Rancangan Roadmap Smart City Transport Kota Salatiga

L A P O R A N A K H I R Halaman | VI - 11 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

BAB VII. RENCANA KERJA

B A P P E D A

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

2020

Roadmap Sistem Transportasi Kota Salatiga KESIMPULAN DAN

REKOMENDASI Kesimpulan | Rekomendasi

L A P O R A N AK H I R 7 Halaman | VII - 1 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

VII.1. KESIMPULAN

Pencapaian pelaksanaan pekerjaan Roadmap Sistem Transportasi Kota Salatiga merupakan rencana kerja berdasarkan kajian makroskopik pada system transportasi di Kota Salatiga. Hasil pekerjaan yang telah dituangkan dalam Laporan Akhir yang telah dibahas bersama Tim Teknis Roadmap Sistem Transportasi Kota Salatiga adalah sebagai berikut:

1. Dimensi Infrastruktur badan Jalan Kota Salatiga tergolong cukup kecil, pada ruas jalan lokal lebar badan rata-rata 5.00 – 6.00 m; 2. Pola Jaringan Jalan pada pusat perkotaan Salatiga berbentuk Semi Grid, sedangkan secara makro berupa Radial Sentrifugal; 3. Berdasarkan hasil survei, diketahui terdapat 15 trayek angkutan perkotaan (Angkot) dan tidak seluruhnya saat ini masih aktif. Penurunan jumlah penumpang karena Pandemi Covid 19; 4. Terdapat 2 (dua) lokasi titik simpul yaitu Terminal Tipe A dan Terminal Tipe C yang perlu dikembangkan lebih lanjut sebagai simpul transfer dan transit point; 5. Pertumbuhan Ekonomi wilayah dan kemajuan wilayah Salatiga menjadi ketertarikan wilayah hinterland, seperti pada sektor Pendidikan, Perdagangan dan Jasa, serta Peluang Kerja melalui terbuka lebarnya Lapangan Pekerjaan. 6. Pertimbangan yang dapat membantu dalam menentukan Kebijakan Transportasi di Kota Salatiga, diantaranya: a) Tahun 2020, berkembang trend zaman milenial, segala sesuatu dituntun digital, modern, fungsional, efektif dan efeisen; b) Berkaca pada kondisi terkini, bahwa generasi muda dengan rentang umum 17 – 30 tahun sangat membawa dampak bagi perkembangan wilayah. Melibatkan generasi muda dalam perencanaan wilayah khusus terkait Transportasi, menjadikan peluang keberhasilan sangat besar. Sesuatu yang dianggap kekinian, modern, dan canggih lebih cepat diterima oleh khalayak muda. Adanya modernisasi Moda Angkutan (Instagramable), Titik Simpul, dan sistem pembanyaran diprediksi akan menarik generasi muda untuk beralih dari kendaraan pribadi menjadi tren menggunakan angkutan umum. Generasi muda akan lebih baik jika turut disertakan dalam perencanaan wilayah; c) Masyarakat Kota Salatiga melakukan aktivitas rutin harian di dalam wilayah Kota Salatiga (Internal); d) Masyarakat Kota Salatiga melakukan aktivitas rutin keluar dari Kota Salatiga diantara menuju Kabupaten Semarang bagian utara, Kota Semarang, dan Surakarta sekitarnya (dukungan Jaringan Jalan Tol); dan e) Masyarakat dari wilayah hinterland bergerak menuju Kota Salatiga untuk berbagai aktivitas bisnis perdagangan dan jasa pendidikan, bekerja baik sektor pemerintahan maupun swasta.

L A P O R A N AK H I R Halaman | VII - 2 R O A D M A P S I S T E M T R A N S P O R T A S I K O T A S A L A T I G A

VII.2. REKOMENDASI

Dari hasil Analisis kinerja jalan, analisis permintaan dan penyediaan dan analisis SWOT yang dilakukan berdasarkan potensi, peluang, hambatan dan tantangan yang ada di Kota Salatiga, didapati :

1. Strategi yang digunakan dalam penyelenggaraan dan pengembangan transportasi Kota Salatiga yaitu Menggunakan Kekuatan untuk Memanfaatkan Peluang. 2. Memanfaatkan Keberadaan Titik Simpul Terminal Tipe A Tingkir sebagai Titik Simpul Utama (HUB) Penghubung Kota Salatiga dengan Kota Semarang dan Kota Salatiga dengan wilayah Hinterland. 3. Optimalisasi Terminal Tipe C Tamansari sebagai titik simpul di Pusat Perkotaan Salatiga, termasuk didalamnya meningkatkan pelayanan dan fasilitas utama serta pedukung terminal tipe C 4. Mengintegrasikan angkutan umum perkotaan (angkot) dengan titik simpul Terminal Tipe A (AKAP & AKDP). 5. Penambahan Titik Simpul pada lokasi pertemuan/ simpul potensial berdasarkan pergerakan dari dan ke Kota Salatiga yang ada saat ini; 6. Integrasi Antar Moda untuk efisiensi waktu, dan ekonomis (1 Tarif).

L A P O R A N AK H I R Halaman | VII - 3