BAB III POLIGAMI DALAM ISLAM 3.1. Pendahuluan Bab Ini Berisi Tentang
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
BAB III POLIGAMI DALAM ISLAM 3.1. Pendahuluan Bab ini berisi tentang: Pengertian (hakikat), rukun, hikmah, tujuan, dan prinsip perkawinan dalam Islam; Landasan teologis poligami dalam Islam; Sejarah poligami ditinjau dari konteks turunnya ayat tentang poligami dalam Alquran; Keadilan sebagai syarat mutlak poligami dalam Islam; Poligami dalam pandangan fukaha, mufasir, dan Feminis Muslim; Tafsir jender tentang poligami: metode dan analisis yang digunakan; Poligami dalam hukum positif di Indonesia; Poligami di Indonesia: antara ajaran agama dan budaya patriarki; Poligami dalam data penelitian di LBH_APIK1 Jakarta; Tipologi pemikiran Islam dalam pemetaan penafsiran tentang poligami. 3.2. Pengertian (Hakikat), Rukun, Hikmah, Tujuan dan Prinsip Perkawinan/Pernikahan dalam Islam. Bagi pemeluknya, Islam dipandang sebagai agama yang sempurna. Hal ini karena ajarannya diyakini telah mencakup semua tuntunan yang diperlukan bagi kehidupan umat manusia, termasuk didalamnya adalah tuntunan mengenai kehidupan perkawinan. Perkawinan merupakan perihal yang cukup banyak 1 LBH-APIK adalah singkatan dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan. Lembaga ini berbertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan demokratis, serta menciptakan kondisi yang setara antara perempuan dan laki-laki di dalam segala aspek kehidupan. LBH APIK berupaya mewujudkan sistem hukum yang berperspektif perempuan, dengan terus menerus berupaya menghapuskan ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dalam berbagai bentuknya. http://www.lbh-apik.or.id/profil-lbh-apik- jakarta.html, diakses pada Rabu, 22 Juni 2016. 98 disinggung dalam sejumlah ayat Alquran.2 Terkait hal ini, Musdah Mulia menyatakan bahwa Alquran telah membahas perihal perkawinan secara rinci, baik dengan penggunakan kosa kata nikah (berhimpun) yang dijumpai sebanyak 23 kali, maupun kata zauwj (pasangan), ditemukan sebanyak 80 kali. Bagi Musdah Mulia, untuk dapat memahami hakikat perkawinan dengan benar, maka seluruh ayat yang berbicara tentang perkawinan harus diurai dengan menggunakan metode tematik dan holistik sekaligus, sehingga nantinya akan diperoleh intisari dari penjelasan ayat-ayat tersebut.3 3.2.1. Pengertian (Hakikat) Perkawinan/Pernikahan dalam Islam. Perkawinan merupakan sebuah aqad/perjanjian suci yang sangat kuat. Terkait hal ini, Q.S. An-Nisa‟/4:21, menggambarkan ikatan perkawinan sebagai sebuah perjanjian suci dan serius (mitsaqan ghalidzan) antara kedua pihak (laki- laki dan perempuan) yang setara dan penuh diliputi cinta dan kasih sayang. Sebagai mitsaqan ghalidzan, kedua pihak yang terikat perkawinan, berkewajiban menjaga kesucian dan kelanggengan perjanjian tersebut. Selain sebagai mitsaqan ghalidzan, perkawinan juga merupakan sebuah kontrak, hal ini dapat terlihat dari adanya unsur ijab (tawaran) dan qabul (penerimaan).4 2 Dalam KBBI, Alquran diartikan sebagai “kitab suci umat Islam yg berisi firman Allah yg diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dengan perantaraan malaikat Jibril untuk dibaca, dipahami, dan diamalkan sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi umat manusia”. http://kbbi.web.id/Alquran, diakses pada Senin, tanggal 11 Januari 2016 Pukul 11.00 WIB. 3 Siti Musdah Mulia, “Menuju Hukum Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia” dalam Perempuan & Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, (Ed. Sulistyowati Irianto), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 144. 4 Mulia, “Menuju Hukum Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia” dalam Perempuan & Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, (Ed. Sulistyowati Irianto), 145-146. Dari hakikat tentang perkawinan yang telah disebutkan, menunjukkan bahwa sesungguhnya perkawinan yang dikehendaki dalam Islam adalah bersifat monogami, bukan poligami. 99 Dalam istilah hukum Islam, sebagaimana dinyatakan Shomad, bahwa kata “perkawinan” memiliki kesamaan makna dengan kata “nikah” dan kata “zawaj”. Dari segi bahasa, nikah mempunyai arti sebenarnya (haqiqat) yakni “dham” yang berarti menghimpit, menindih atau berkumpul. Sedangkan secara kiasan, nikah disebut sebagai “wathaa” yang berarti “setubuh” atau “aqad” yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan.5 Sementara itu, dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, dijelaskan bahwa kata nikah berasal dari kata Arab yang telah dibakukan menjadi kata Indonesia, yang makna asalnya: berkumpul, menindas dan memasukkan (sesuatu), juga memiliki makna bersetubuh dan berakad. Bagi para ahli hukum Islam (fukaha), istilah nikah ditafsirkan sebagai suatu akad yang menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita yang telah melakukan akad (perjanjian) tersebut.6 Sedangkan dalam Ensiklopedi Hukum Islam, nikah didefinisikan sebagai “akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang lelaki dan seorang perempuan, menumbuhkan sikap saling tolong-menolong, serta menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya”.7 Dari berbagai pengertian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa, perkawinan/pernikahan adalah sebuah akad atau perjanjian suci yang sangat kuat antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan tujuan untuk membentuk sebuah keluarga/rumah tangga yang diliputi cinta dan kasih sayang. 5 Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), 272-273. 6 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, jilid 2 (I-N), (Jakarta: Djambatan, 2002), 856. 7 Abdul Aziz Dahlan, dkk. (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), 1329. 100 3.2.2. Rukun Perkawinan/Pernikahan dalam Islam. Dalam hukum perkawinan Islam, dikenal adanya rukun perkawinan. Rukun perkawinan tersebut, meliputi: 1) Adanya mempelai laki-laki/calon suami. Disini, seorang calon suami harus memenuhi syarat: bukan mahram dari calon istri; tidak terpaksa/atas kemauan sendiri; orangnya jelas; dan tidak sedang menjalankan ihram haji. 2) Adanya mempelai wanita/calon istri. Syarat bagi calon istri adalah: tidak ada halangan hukum (tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam idah); merdeka atas kemauan sendiri; jelas orangnya; tidak sedang berihram haji. 3) Wali nikah. Wali dalam perkawinan harus memenuhi syarat: laki-laki; baligh; waras akalnya; tidak dipaksa; adil; tidak sedang ihram haji. 4) Dua orang saksi. Syarat untuk menjadi saksi dalam perkawinan, antara lain: laki-laki; baligh; waras akalnya; dapat mendengar dan melihat; bebas/tidak dipaksa; tidak sedang mengerjakan ihram. 5) Ijab Kabul. Ada dua syarat dalam sebuah ijab kabul, yakni: pertama, bahasa yang digunakan dalam ijab kabul dapat dimengerti oleh kedua belah pihak mempelai dan juga saksi; kedua, penggunaan ucapan yang menunjukkan 101 waktu lampau oleh satu pihak, dan yang menunjukkan waktu yang akan datang bagi pihak lainnya.8 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rukun perkawinan dalam Islam meliputi lima hal, yakni: mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali nikah, dua orang saksi dan Ijab Kabul. 3.2.3. Hikmah Perkawinan/Pernikahan dalam Islam. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, perkawinan disebutkan memiliki beberapa hikmah, diantaranya adalah: dihalalkannya hubungan seksual antara suami dan istri; diperolehnya keturunan yang sah; tersalurkannya naluri kebapakan atau keibuan; memupuk rasa tanggungjawab dalam rangka memelihara dan mendidik anak; memperkuat silaturahmi; serta memperpanjang usia.9 3.2.4. Tujuan Perkawinan/Pernikahan dalam Islam. Menurut Ramulyo, perkawinan dalam Islam memiliki tujuan yang sangat mulia, yakni: menghalalkan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan sebagai tuntutan hajat tabiat kemanusiaan; mewujudkan sebuah keluarga yang didasarkan pada cinta kasih; dan memperoleh keturunan yang sah.10 Adapun menurut Pasal 2 KHI, disebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah terwujudnya kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah. 11 8 Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, 277-78. 9 Lihat, Abdul Aziz Dahlan, dkk. (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, 1329-1330. 10 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), 27. 11 Sakinah berarti: kedamaian; ketenteraman; ketenangan; kebahagiaan (http://kbbi.web.id/sakinah, diakses pada Rabu tanggal 20 Januari 2016 Pukul 09.45 WIB), mawadah wa rahmah berarti cinta dan kasih sayang. Lihat, Mulia, “Menuju Hukum Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia” dalam Perempuan & Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, (Ed. Sulistyowati Irianto), 146. 102 3.2.5. Prinsip-prinsip Perkawinan/Pernikahan dalam Islam. Perkawinan di dalam Islam memiliki prinsip-prinsip yang sangat jelas. Musdah Mulia menyebutkan bahwa ada lima prinsip dasar pernikahan di dalam Islam, meliputi; monogami, cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah), saling melengkapi dan melindungi, pergaulan yang sopan dan santun (mu’asyarah bil ma’ruf) baik dalam relasi seksual maupun dalam relasi kemanusiaan, dan kebebasan memilih jodoh bagi laki-laki dan perempuan.12 Mengenai perihal monogami sebagai prinsip dasar perkawinan, juga disebutkan di dalam Tafsir Al-Qur’an Tematik: Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia. Dalam tafsir tersebut disebutkan bahwa, meski poligami diperbolehkan dengan syarat adil yang sangat ketat, tapi sesungguhnya prinsip perkawinan yang dikehendaki dalam Islam adalah monogami. Prinsip monogami tersebut didasarkan pada pemahaman sebuah ayat (Q.S. 4:3) yang intinya, jika ia (seorang laki-laki) merasa tidak akan mampu berlaku adil, maka ia diminta untuk menikah dengan