BAB III

POLIGAMI DALAM ISLAM

3.1. Pendahuluan

Bab ini berisi tentang: Pengertian (hakikat), rukun, hikmah, tujuan, dan prinsip dalam Islam; Landasan teologis poligami dalam Islam;

Sejarah poligami ditinjau dari konteks turunnya ayat tentang poligami dalam

Alquran; Keadilan sebagai syarat mutlak poligami dalam Islam; Poligami dalam pandangan fukaha, mufasir, dan Feminis Muslim; Tafsir jender tentang poligami: metode dan analisis yang digunakan; Poligami dalam hukum positif di Indonesia;

Poligami di Indonesia: antara ajaran agama dan budaya patriarki; Poligami dalam data penelitian di LBH_APIK1 Jakarta; Tipologi pemikiran Islam dalam pemetaan penafsiran tentang poligami.

3.2. Pengertian (Hakikat), Rukun, Hikmah, Tujuan dan Prinsip

Perkawinan/Pernikahan dalam Islam.

Bagi pemeluknya, Islam dipandang sebagai agama yang sempurna. Hal ini karena ajarannya diyakini telah mencakup semua tuntunan yang diperlukan bagi kehidupan umat manusia, termasuk didalamnya adalah tuntunan mengenai kehidupan perkawinan. Perkawinan merupakan perihal yang cukup banyak

1 LBH-APIK adalah singkatan dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan. Lembaga ini berbertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan demokratis, serta menciptakan kondisi yang setara antara perempuan dan laki-laki di dalam segala aspek kehidupan. LBH APIK berupaya mewujudkan sistem hukum yang berperspektif perempuan, dengan terus menerus berupaya menghapuskan ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dalam berbagai bentuknya. http://www.lbh-apik.or.id/profil-lbh-apik- jakarta.html, diakses pada Rabu, 22 Juni 2016.

98 disinggung dalam sejumlah ayat Alquran.2 Terkait hal ini, Musdah Mulia menyatakan bahwa Alquran telah membahas perihal perkawinan secara rinci, baik dengan penggunakan kosa kata nikah (berhimpun) yang dijumpai sebanyak 23 kali, maupun kata zauwj (pasangan), ditemukan sebanyak 80 kali. Bagi Musdah

Mulia, untuk dapat memahami hakikat perkawinan dengan benar, maka seluruh ayat yang berbicara tentang perkawinan harus diurai dengan menggunakan metode tematik dan holistik sekaligus, sehingga nantinya akan diperoleh intisari dari penjelasan ayat-ayat tersebut.3

3.2.1. Pengertian (Hakikat) Perkawinan/Pernikahan dalam Islam.

Perkawinan merupakan sebuah aqad/perjanjian suci yang sangat kuat.

Terkait hal ini, Q.S. An-Nisa‟/4:21, menggambarkan ikatan perkawinan sebagai sebuah perjanjian suci dan serius (mitsaqan ghalidzan) antara kedua pihak (laki- laki dan perempuan) yang setara dan penuh diliputi cinta dan kasih sayang.

Sebagai mitsaqan ghalidzan, kedua pihak yang terikat perkawinan, berkewajiban menjaga kesucian dan kelanggengan perjanjian tersebut. Selain sebagai mitsaqan ghalidzan, perkawinan juga merupakan sebuah kontrak, hal ini dapat terlihat dari adanya unsur ijab (tawaran) dan qabul (penerimaan).4

2 Dalam KBBI, Alquran diartikan sebagai “kitab suci umat Islam yg berisi firman Allah yg diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dengan perantaraan malaikat Jibril untuk dibaca, dipahami, dan diamalkan sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi umat manusia”. http://kbbi.web.id/Alquran, diakses pada Senin, tanggal 11 Januari 2016 Pukul 11.00 WIB. 3 Siti Musdah Mulia, “Menuju Hukum Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia” dalam Perempuan & Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, (Ed. Sulistyowati Irianto), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 144. 4 Mulia, “Menuju Hukum Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia” dalam Perempuan & Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, (Ed. Sulistyowati Irianto), 145-146. Dari hakikat tentang perkawinan yang telah disebutkan, menunjukkan bahwa sesungguhnya perkawinan yang dikehendaki dalam Islam adalah bersifat monogami, bukan poligami.

99

Dalam istilah hukum Islam, sebagaimana dinyatakan Shomad, bahwa kata

“perkawinan” memiliki kesamaan makna dengan kata “nikah” dan kata “zawaj”.

Dari segi bahasa, nikah mempunyai arti sebenarnya (haqiqat) yakni “dham” yang berarti menghimpit, menindih atau berkumpul. Sedangkan secara kiasan, nikah disebut sebagai “wathaa” yang berarti “setubuh” atau “aqad” yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan.5

Sementara itu, dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, dijelaskan bahwa kata nikah berasal dari kata Arab yang telah dibakukan menjadi kata Indonesia, yang makna asalnya: berkumpul, menindas dan memasukkan (sesuatu), juga memiliki makna bersetubuh dan berakad. Bagi para ahli hukum Islam (fukaha), istilah nikah ditafsirkan sebagai suatu akad yang menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita yang telah melakukan akad (perjanjian) tersebut.6 Sedangkan dalam Ensiklopedi Hukum Islam, nikah didefinisikan sebagai “akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang lelaki dan seorang perempuan, menumbuhkan sikap saling tolong-menolong, serta menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya”.7

Dari berbagai pengertian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa, perkawinan/pernikahan adalah sebuah akad atau perjanjian suci yang sangat kuat antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan tujuan untuk membentuk sebuah keluarga/rumah tangga yang diliputi cinta dan kasih sayang.

5 Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), 272-273. 6 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, jilid 2 (I-N), (Jakarta: Djambatan, 2002), 856. 7 Abdul Aziz Dahlan, dkk. (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), 1329.

100

3.2.2. Rukun Perkawinan/Pernikahan dalam Islam.

Dalam hukum perkawinan Islam, dikenal adanya rukun perkawinan.

Rukun perkawinan tersebut, meliputi:

1) Adanya mempelai laki-laki/calon suami.

Disini, seorang calon suami harus memenuhi syarat: bukan mahram dari

calon istri; tidak terpaksa/atas kemauan sendiri; orangnya jelas; dan tidak

sedang menjalankan ihram haji.

2) Adanya mempelai wanita/calon istri.

Syarat bagi calon istri adalah: tidak ada halangan hukum (tidak bersuami,

bukan mahram, tidak sedang dalam idah); merdeka atas kemauan sendiri;

jelas orangnya; tidak sedang berihram haji.

3) Wali nikah.

Wali dalam perkawinan harus memenuhi syarat: laki-laki; baligh; waras

akalnya; tidak dipaksa; adil; tidak sedang ihram haji.

4) Dua orang saksi.

Syarat untuk menjadi saksi dalam perkawinan, antara lain: laki-laki;

baligh; waras akalnya; dapat mendengar dan melihat; bebas/tidak dipaksa;

tidak sedang mengerjakan ihram.

5) Ijab Kabul.

Ada dua syarat dalam sebuah ijab kabul, yakni: pertama, bahasa yang

digunakan dalam ijab kabul dapat dimengerti oleh kedua belah pihak

mempelai dan juga saksi; kedua, penggunaan ucapan yang menunjukkan

101

waktu lampau oleh satu pihak, dan yang menunjukkan waktu yang akan

datang bagi pihak lainnya.8

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rukun perkawinan dalam

Islam meliputi lima hal, yakni: mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali nikah, dua orang saksi dan Ijab Kabul.

3.2.3. Hikmah Perkawinan/Pernikahan dalam Islam.

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, perkawinan disebutkan memiliki beberapa hikmah, diantaranya adalah: dihalalkannya hubungan seksual antara suami dan istri; diperolehnya keturunan yang sah; tersalurkannya naluri kebapakan atau keibuan; memupuk rasa tanggungjawab dalam rangka memelihara dan mendidik anak; memperkuat silaturahmi; serta memperpanjang usia.9

3.2.4. Tujuan Perkawinan/Pernikahan dalam Islam.

Menurut Ramulyo, perkawinan dalam Islam memiliki tujuan yang sangat mulia, yakni: menghalalkan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan sebagai tuntutan hajat tabiat kemanusiaan; mewujudkan sebuah keluarga yang didasarkan pada cinta kasih; dan memperoleh keturunan yang sah.10 Adapun menurut Pasal 2 KHI, disebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah terwujudnya kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah. 11

8 Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, 277-78. 9 Lihat, Abdul Aziz Dahlan, dkk. (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, 1329-1330. 10 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), 27. 11 Sakinah berarti: kedamaian; ketenteraman; ketenangan; kebahagiaan (http://kbbi.web.id/sakinah, diakses pada Rabu tanggal 20 Januari 2016 Pukul 09.45 WIB), mawadah wa rahmah berarti cinta dan kasih sayang. Lihat, Mulia, “Menuju Hukum Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia” dalam Perempuan & Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, (Ed. Sulistyowati Irianto), 146.

102

3.2.5. Prinsip-prinsip Perkawinan/Pernikahan dalam Islam.

Perkawinan di dalam Islam memiliki prinsip-prinsip yang sangat jelas.

Musdah Mulia menyebutkan bahwa ada lima prinsip dasar pernikahan di dalam

Islam, meliputi; monogami, cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah), saling melengkapi dan melindungi, pergaulan yang sopan dan santun (mu’asyarah bil ma’ruf) baik dalam relasi seksual maupun dalam relasi kemanusiaan, dan kebebasan memilih jodoh bagi laki-laki dan perempuan.12

Mengenai perihal monogami sebagai prinsip dasar perkawinan, juga disebutkan di dalam Tafsir Al-Qur’an Tematik: Hukum, Keadilan dan Hak Asasi

Manusia. Dalam tafsir tersebut disebutkan bahwa, meski poligami diperbolehkan dengan syarat adil yang sangat ketat, tapi sesungguhnya prinsip perkawinan yang dikehendaki dalam Islam adalah monogami. Prinsip monogami tersebut didasarkan pada pemahaman sebuah ayat (Q.S. 4:3) yang intinya, jika ia (seorang laki-laki) merasa tidak akan mampu berlaku adil, maka ia diminta untuk menikah dengan seorang istri saja..13

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa prinsip perkawinan yang sesungguhnya dikehendaki di dalam Islam adalah monogami, yakni perkawinan dimana seorang laki-laki hanya boleh menikah dengan seorang istri, dan seorang perempuan hanya boleh menikah dengan seorang suami. Jadi, bukan poligami.

12 Musdah Mulia, “Menuju Hukum Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia” dalam Perempuan & Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, (Ed. Sulistyowati Irianto), 144. 13 Muchlis M. Hanafi, et.al (ed.), Tafsir Al-Qur’an Tematik: Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, 2010), 164. Jika dicermati secara seksama, maka terlihat bahwa di kalangan umat Islam, Q.S. 4:3 telah ditafsirkan secara berbeda khususnya bila dikaitkan dengan prinsip perkawinan. Pada satu sisi, Q.S. 4:3 ditafsirkan sebagai dasar bagi perkawinan monogami, sementara itu di sisi lain, ditafsirkan sebagai dalil untuk melakukan poligami.

103

3.3. Landasan Teologis Poligami dalam Islam14

Pembahasan mengenai poligami di dalam Islam, tidak pernah lepas dari sebuah ayat Alquran, yakni Q.S. An-Nisa‟/4:3,15 yang artinya ditafsirkan sebagai berikut:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”16

Adapun pembahasan mengenai syarat keadilan dalam poligami, sering dikaitkan dengan Q.S. An-Nisa‟/4: 129, yang artinya ditafsirkan sebagai berikut;

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”17

Menurut Baroroh dalam Sukri (ed.), dalam pembahasan tentang syarat keadilan di dalam poligami, sejumlah mufasir dan feminis Muslim telah mengaitkan syarat keadilan poligami pada Q.S. An-Nisa‟/4: 3 dengan Q.S. An-

Nisa‟/4: 129. Dalam hal ini, ia mencontohkan para mufasir seperti: Ibnu Katsir,

Al-Zamakhsyari, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla. Adapun di kalangan feminis

Muslim, seperti: Asghar Ali Engineer dan Amina Wadud Muhsin.18

14 Landasan teologis yang penulis angkat terkait poligami dalam Islam berupa ayat Suci Alquran dan juga Hadits Nabi SAW. 15 Q.S. adalah singkatan dari kata Quran Surat. 16 Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha Putera, 1989). 17 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya. 18 Umul Baroroh, “Poligami dalam Pandangan Mufasir dan Fukaha dalam Bias Jender dalam pemahaman Islam, (Ed. Sri Suhandjati Sukri), 69-77.

104

Selain kedua ayat tersebut diatas, landasan teologis mengenai poligami dalam Islam juga ditemukan pada dua Hadits Nabi SAW berikut ini:19

“Dari Ibn Syihab, ia berkata, telah sampai kepadaku berita bahwa Rasulullah SAW berkata kepada seorang laki-laki dari Tsaqif yang telah masuk Islam sedang disisinya ada sepuluh orang istri tatkala Ats-Tsaqafi itu masuk IIslam: Peganglah empat orang diantara mereka, dan ceraikan yang lainnya”. (H.R. Malik, at-Tirmidzi, dan Ibn Majah, teks hadits dari Malik).

“Dari Harits ibn Qais, berkata Musaddad ibn „Umairah dan berkata Wahab al-Asadi, ia berkata: Aku masuk Islam, sedang aku mempunyai delapan orang istri, maka aku disebut yang demikian kepada Nabi SAW, maka beliau bersabda: “Pilihlah empat orang di antara mereka”. (H.R. Abu Daud).

Dengan melihat paparan diatas, maka disini dapat disimpulkan bahwa landasan teologis tentang poligami di dalam Islam meliputi: Q.S. An-Nisa/4: 3,

Q.S. An-Nisa/4: 129, dan Hadits Nabi SAW.

3.4. Sejarah Poligami ditinjau dari Konteks Turunnya Ayat tentang Poligami

dalam Alquran.

Ditinjau dari sejarah turunnya ayat, sejumlah literatur telah memperlihatkan bahwa turunnya ayat tentang poligami tidak terlepas dari konteks yang melingkupinya. Murtadho dengan jelas menyatakan bahwa praktik poligami dalam Islam dikonsepkan pada masa Perang Uhud, yakni ketika banyak pria dalam masyarakat Arab terbunuh dalam peperangan tersebut. Dalam kondisi yang demikian, praktik poligami diperbolehkan dengan tujuan perlindungan terhadap janda dan anak yatim yang ditinggal mati di dalam peperangan.20

Senada dengan hal tersebut, Baroroh menyatakan bahwa ayat tentang poligami harus dipahami sesuai dengan konteks turunnya, yakni diturunkan

19 Kedua hadits tersebut diambil dari tulisan Yunahar Ilyas, Konstruksi Pemikiran Gender dalam Pemikiran Mufasir, 159. 20 Ali Murtadho, Konseling Perkawinan: Perspektif Agama-Agama, (Semarang: Walisongo Press, 2009), 99-100.

105 setelah terjadinya perang Uhud yang menewaskan 70 dari 700 orang pasukan kaum muslimin. Dari kejadian tersebut, secara otomatis jumlah laki-laki menjadi berkurang, sementara itu di sisi lain, banyak perempuan yang menjadi janda dan anak-anak menjadi yatim. Dalam konteks yang demikian, maka jalan terbaik yang dapat ditempuh kala itu adalah dengan memperbolehkan orang mukmin mengawini janda-janda dan anak yatim hingga empat orang dengan syarat dapat berlaku adil terhadap mereka (esensi Q.S. 4:3). Adapun mengenai Q.S. An-

Nisa‟/4:129, Baroroh berpendapat bahwa ayat tersebut secara implisit tidak pernah menganjurkan kepada laki-laki untuk berpoligami meski kondisi tertentu dan persyaratan adil terpenuhi. Intinya bahwa, poligami hanya merupakan suatu kebolehan, dan bukan anjuran.21

Farida juga menyatakan bahwa ayat poligami (Q.S An-Nisa‟/4:3) hadir dalam kerangka pentingnya menjaga harta anak-anak yatim dan melindungi mereka dari perlakuan tidak adil, khususnya oleh para wali mereka sendiri.

Menurut Farida, turunnya Q.S.4:3 sejatinya bukan untuk mengapresiasi poligami, tetapi justeru untuk membatasi poligami yang telah ada sebelumnya.22

Dari ketiga pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa menurut konteks turunnya ayat, diperbolehkannya praktik poligami di dalam Islam adalah dalam kerangka perlindungan terhadap janda dan anak yatim yang ditinggal mati saat terjadinya Perang Uhud.

21 Umul Baroroh, “Poligami dalam Pandangan Mufasir dan Fukaha” dalam Bias Jender dalam Pemahaman Islam, (Ed. Sri Suhandjati Sukri), 76. Mengenai konteks turunnya ayat poligami kaitannya dengan perlindungan terhadap janda dan anak yatim setelah terjadinya perang Uhud. Lihat juga Wahiduddin Khan (terj. Abdullah Ali), Agar Perempuan Tetap menjadi Perempuan: Cara Islam Membebaskan Wanita, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003), 234. 22 Farida, Menimbang Dalil Poligami, 79.

106

Terkait dengan adanya tujuan poligami sebagai perlindungan terhadap para janda dan anak yatim, di sini penulis berpendapat bahwa pada saat ini, dimana era telah berubah maka perlindungan terhadap para janda dan anak yatim, tidak lagi harus melalui cara poligami sebagaimana yang dilakukan di masa lampau. Pada saat ini, perlindungan terhadap janda dan anak yatim dapat saja dilakukan dengan cara yang lain, misalnya adalah melalui bantuan untuk janda dan anak yatim yang dikelola oleh negara.23 Intinya, bahwa, jika didasarkan pada konteks turunnya ayat tentang poligami, maka pada konteks saat ini, sudah menjadi kurang relevan ketika poligami dilakukan dengan alasan perlindungan terhadap janda dan anak yatim, karena sesungguhnya masih ada cara lain yang dapat ditempuh untuk tujuan tersebut.

3.5. Keadilan sebagai syarat Mutlak pada Poligami dalam Islam.

Dalam Q.S. 4:3, telah disebutkan dengan jelas bahwa salah satu syarat mutlak bagi dibolehkannya poligami adalah mampu berlaku adil diantara istri- istrinya. Meski telah disebut dengan jelas, namun batasan mengenai “adil” tersebut, hingga saat ini ternyata masih terus menjadi bahan perdebatan. Ada yang menafsirkan adil dalam makna kuantitatif, ada juga yang menafsirkan dalam makna kualitatif. Selain itu, tidak sedikit pula yang mengaitkan syarat keadilan pada Q.S. 4:3 dengan Q.S. 4:129.

Terkait syarat keadilan ini, Nurohmah menyatakan bahwa hingga saat ini, keadilan yang dikemukakan oleh para ahli fiqih terkait masalah poligami masih cenderung bersifat kuantitatif, seperti misalnya: pembagian rezeki secara merata

23 Lihat Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), 32.

107 diantara istri-istri yang dikawini, pembagian jatah hari (giliran), dan sebagainya.

Disini, para ahli fiqih tidak memperhatikan aspek-aspek kualitatif, seperti: rasa cinta, tidak pilih kasih, tidak memihak dan sebagainya. Menurut Nurohmah, keadilan kualitatif inilah yang seharusnya menjadi prioritas utama.24

Tidak jauh beda dengan pendapat Nurohmah di atas, dalam Tafsir Al-

Quran Tematik: Hukum, Keadilan, dan Hak Asasi Manusia, juga dijelaskan bahwa, jika dikaitkan dengan Q.S. 4:129, maka perintah berbuat adil dalam persoalan poligami adalah memberi perlakuan yang sama kepada istri dalam hal qismah (giliran), dan bukan keadilan dalam ranah cinta. Hal ini didasarkan pada pendapat Ibnu „Asyur, bahwa Adil yang dimaksud bukan dalam hal membagi perasaan cinta kepada setiap istri, karena bukan tidak mungkin satu diantara istri- istri tersebut ada yang lebih cantik dan lebih menarik bagi suami daripada yang lain. Intinya bahwa, perlakuan adil yang dituntut di dalam ayat ini adalah adil dalam persoalan qismah. 25

3.6. Poligami dalam Pandangan Fukaha, Mufasir, dan Feminis Muslim

Dalam memandang perihal poligami, para fukaha, mufasir, dan feminis

Muslim, memberikan pendapat yang berbeda-beda. Mengenai hal ini, Baroroh dalam Suhandjati menyatakan, bahwa meskipun dalam membahas tentang poligami, acuan yang digunakan sama (khususnya dalam hal ini Q.S. An-

Nisa/4:3), namun pandangan yang dihasilkan sangat beragam diantara para fukaha, mufasir dan feminis Muslim. Pada masa lalu, para fukaha menafsirkan

24 Leli Nurohmah, “Poligami Saatnya Melihat Realitas” dalam Menimbang Poligami, Jurnal Perempuan No. 31/2003, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), 37. 25 Muchlis M. Hanafi, et. Al, Tafsir Al-Qur’an Tematik: Hukum, Keadilan, dan Hak Asasi Manusia, 164-165.

108 ayat tersebut sebagai kewenangan laki-laki untuk melakukan poligami tanpa adanya batasan persyaratan tertentu. Meskipun ada sebagian dari mereka yang mensyaratkan berlaku adil terhadap para istri, tetapi hanya sebatas keadilan lahiriah. Selanjutnya, para mufasir, meski tidak secara tegas melarang poligami, namun mereka cenderung mempersulit pelaksanaan poligami dengan syarat keadilan yang sulit untuk dipenuhi. Sementara itu, dengan memperhitungkan konteks, para feminis muslim melarang poligami karena persyaratan keadilan yang ditetapkan dalam Alquran, menurutnya adalah hal yang mustahil untuk dapat dipenuhi. Adapun dalam hukum positif di Indonesia, poligami diperkenankan dengan alasan dan kondisi khusus serta harus mendapatkan izin dari pengadilan.26

Tidak jauh berbeda dengan hal di atas, Farida menyatakan bahwa dalam memandang poligami, para ulama terbelah menjadi tiga spektrum pandangan yang berbeda. Pertama, kalangan yang berpendirian bahwa poligami merupakan salah satu sunnah Nabi yang seyogyanya diteladani, terutama oleh mereka, laki-laki yang memiliki kemampuan secara material dan kesanggupan untuk bertindak adil.

Kelompok ini tidak membatasi jumlah maksimal perempuan yang bisa dinikahi.

Kedua, ulama yang berpandangan bahwa poligami dapat diperbolehkan dalam batas maksimal 4 orang perempuan. Menurut kelompok kedua ini, perihal pernikahan Nabi yang lebih dari empat orang perempuan diposisikan sebagai khususiyat al-Nabi. Kelompok kedua ini masih memiliki kemiripan pendapat dengan kelompok pertama menyangkut dimungkinkan dan dibolehkannya laki- laki menikah lebih dari satu orang istri dengan catatan mampu dan dapat berlaku

26 Umul Baroroh, “Poligami dalam Pandangan Mufasir dan Fukaha” dalam Bias Jender dalam Pemahaman Islam, (Ed. Sri Suhandjati Sukri), 78.

109 adil. Ketiga, ulama yang melarang praktek poligami. Pendapat ini banyak dikemukakan oleh modernis Islam, Muhammad Abduh dan feminis Muslim,

Fatima Mernissi. 27

Berikut ini adalah pandangan para fukaha, mufasir, dan feminis Muslim tentang poligami:

3.6.1. Poligami dalam Pandangan Fukaha.

Menurut para fukaha klasik seperti Imam Syafi‟i dan imam Hanafi,28 sebagai mana dikutip oleh Baroroh, bahwa poligami merupakan hal yang dibolehkan secara mutlak oleh agama. Bagi Imam Syafi‟i, meski tidak menyinggung soal keadilan sebagaimana yang dilakukan oleh para mufasir kontemporer dalam mengkaji masalah poligami, namun selama poligami itu dilakukan dengan tidak melebihi dari empat orang istri, maka poligami merupakan hal yang dibolehkan secara mutlak. Adapun bagi Hanafi, meski menyinggung masalah keadilan bagi istri yang dipoligami, namun hal tersebut

27 Farida, Menimbang Dalil Poligami: antara teks, konteks dan praktek, 25-28. 28 Imam Syafi‟i dan Abu Hanifah termasuk dalam empat mazhab hukum Sunni yang hidup pada masa kekhalifahan „Abbasiah (750-1258). Pada masa tersebut Islam Sunni menemukan jati dirinya. Empat mazhab Hukum Sunni, dimulai oleh Abu Hanifah (w.767), Malik ibn Anas (w.795), Al-Syafi‟i (w.820) dan ibn Hanbal (w. 855). Lihat John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Jilid 5, (Bandung: Mizan, 2001), 260. Pemikiran Sunni modern diprakarsai oleh pembaru Muhammad „Abduh (1849-1905) dan Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935). Mereka menampilkan bentuk penafsiran baru atas Alquran yang dipublikasikan dalam edisi bulanan jurnal Mesir, Al-Manar. Lihat, John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Jilid 5, 261. Dalam hal poligami, terdapat perbedaan antara paham Sunni dan Syi‟ah dalam Islam. Bagi Muslim Syi‟ah, disamping empat isteri yang secara legal diperbolehkan, mereka juga diizinkan untuk secara simultan melakukan “pernikahan sementara” (mut’ah) sebanyak yang dikehendaki. Kaum Syi‟ah hingga kini tetap memelihara legitimasi “pernikahan sementara” dengan landasan Alquran (QS. An-Nisa/4: 24), ketiadaan larangan spesifik oleh Nabi Muhammad dan pengabaian terhadap hadis Sunni yang berlawanan. Mengenai pembolehan perkawinan Sementara (mut’ah) oleh Syi‟ah dapat juga dilihat pada Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, Edisi I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), 388. Perbedaan pandangan dari paham Sunni dan Syi‟ah mengenai hal tersebut, terus menjadi titik perbedaan kronis, perselisihan, dan permusuhan antara kedua pengikut paham tersebut. Lihat John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Jilid 5, (Bandung: Mizan, 2001), 136-137.

110 hanya sebatas keadilan yang bersifat lahiriah semata, seperti pembagian giliran, pakaian, makanan serta pergaulan, dan bukan adil dalam hal psikis. Dengan demikian, menurut Baroroh bahwa dalam memandang masalah poligami, para fukaha cenderung tidak menempatkan perempuan sebagai sosok yang memiliki kedudukan setara dengan laki-laki di dalam sebuah perkawinan.29

3.6.2. Poligami dalam Pandangan Mufasir.30

Untuk mengetahui bagaimana pandangan para mufasir mengenai poligami, terlebih dulu peneliti sampaikan beberapa hal terkait dengan definisi tafsir

Alquran beserta seluk-beluknya. Nashruddin Baidan, dalam hal ini telah memberikan definisi tafsir Alquran sebagai penjelasan atau keterangan terhadap kandungan makna dari ayat-ayat Alquran yang terkadang sulit dipahami.31

Menurut Baidan, dalam sepanjang sejarah tafsir Alquran, ada empat metode yang biasa dikembangkan oleh para mufasir, yaitu: metode global (al-manhaj al- ijmali), metode analitis (al-manhaj al-tahlili), metode komparatif (al-manhaj al- muqarin), dan metode tematik (al-manhaj al-mawdhu’i).32

29 Umul Baroroh, “Poligami dalam Pandangan Mufasir dan Fukaha” dalam Bias Jender dalam pemahaman Islam, (Ed. Suhandjati Sukri), 69-70. 30 Mufasir dalam KBBI diartikan sebagai orang yang menerangkan makna (maksud) ayat Alquran; ahli tafsir (terutama penafsiran), http://kbbi.web.id/mufasir, diakses pada Selasa, tanggal 12 Januari 2016 Pukul 12.00 WIB. 31 Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an: Kajian Ktitis terhadap Ayat-ayat yang Beredaksi Mirip, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 40, 32 Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an: Kajian Ktitis terhadap Ayat-ayat yang Beredaksi Mirip, 15. Tafsir ijmali adalah penjelasan ayat-ayat Alquran secara ringkas tetapi mencakup, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca. Tafsir tahlili adalah cara penafsiran yang menggunakan penalaran dimana mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari berbagai seginya, dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Alquran sebagaimana tercantum di dalam mushaf. Tafsir Muqarin adalah membandingkan teks ayat-ayat Alquran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama; membandingkan ayat Alquran dengan hadits yang pada lahirnya terlihat bertentanga; membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan Alquran. Tafsir maudhu’i adalah membahas ayat-ayat Alquran sesuai

111

Berbeda dengan Baidan, Muchotob Hamzah telah menggolongkan sejarah perkembangan tafsir Alquran ke dalam lima periode, yaitu: periode Nabi dan para sahabat, periode tabi‟in, Periode Tabi‟it tabi‟in (Abad II s.d. awal IV H), periode mutaakhkhirin (awal abad IV s.d. XI H) dan periode modern (abad XII sampai sekarang).33

Tafsir Alquran juga dapat diartikan dalam arti yang seluas-luasnya.

Mengenai hal ini, Quraish Shihab dalam Harahap menyatakan bahwa upaya memahami maksud firman-firman Allah, dengan pendekatan apapun yang digunakan seseorang, dan sesuai dengan kemampuannya, merupakan tafsir dalam arti yang seluas-luasnya.34

Selanjutnya, beralih kepada keragaman penafsiran terhadap sebuah teks kitab suci keagamaan (dalam hal ini Alquran). Shihab menyatakan bahwa keragaman penafsiran tersebut merupakan hal yang wajar dan dapat dipahami.

Menurutnya, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan tingkat intelektualitas dan kedalaman spiritualitas manusia di dalam menafsirkan sebuah teks kitab suci keagamaan. Secara lengkap, dalam hal ini Shihab menyatakan:

“Sebagaimana Alquran, kitab-kitab suci agama lain juga memiliki dimensi kemanusiaan. Tanpa keterlibatan dan interaksi manusia terhadap teks-teks keagamaan tersebut, pesan- pesannya tidak akan dimengerti, di cerna, di hayati, apalagi diamalkan. Namun karena tingkat intelektualitas dan kedalaman spiritualitas manusia berbeda, dengan sendirinya kadar pemahaman dari hasil interaksi tersebut berbeda pula.”

dengan tema dan judul yang telah ditetapkan. Lihat Nurjannh Ismail, : Bias laki-laki dalam Penafsiran, (Yogyakarta: LKiS, 2003), 15-18. 33 Lihat lebih detail pada Muchotob Hamzah, Studi AlquranKomprehensif, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), 247-251. 34 Quraish Shihab, dalam Kata Pengantar, Syahrin Harahap, Islam Dinamis: Menegakkan Nilai-nilai Ajaran Al-Qur’an dalam Kehidupan Modern di Indonesia, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997), x.

112

Selanjutnya, secara spesifik Shihab menyebutkan beberapa sebab yang dapat menimbulkan pemahaman beragam, diantaranya adalah:

1) Sulitnya dipastikan apakah suatu teks itu harus dipahami secara literal atau

simbolis. Teks-teks keagamaan terkadang diuntai dalam kalimat

perlambang, dan tidak jarang diungkap dalam kata-kata yang mengandung

metaphor atau kata bersayap.

2) Dalam literatur ilmu Alquran juga dijumpai adanya terma-terma tafsir dan

ta’wil. Tafsir, yang menunjuk kepada penjelasan aspek lahiriah (eksoteris)

pesan-pesan teks, dan ta’wil yang menunjuk kepada pengertian aspek

batiniah (esoteris) teks.

3) Teks-teks dalam Alquran terbagi kedalam dua kategori: muhkam (tidak

mengandung arti beragam) dan mutasyabih (yang dapat memberi sekian

banyak arti).

4) Adanya perbedaan tingkat daya persepsi dan pengertian penerima teks.35

Sementara itu, menurut Nurjanah, terjadinya perbedaan penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran, lebih dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti; bentuk, metode dan corak tafsir yang digunakan, serta situasi sosial dimana para mufasir itu hidup.36

35 Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1997), 61-62. 36 Nurjanah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias laki-laki dalam Penafsiran, (Yogyakarta: LKis, 2003), 14-15.

113

Berikut adalah pandangan beberapa mufasir tentang poligami:

1. Pandangan HAMKA tentang poligami. 37

Menurut HAMKA, sekalipun memiliki isteri lebih dari satu diperbolehkan dengan syarat yang ketat, tetapi beristeri satu itu jauh lebih terpuji. Adapun terkait dengan syarat keadilan yang dimaksud dalam Q.S. 4:129, menurut HAMKA adalah menyangkut perkara hati. Poligami dibolehkan dalam Islam karena ada 2 pertimbangan, yakni; Pertama, untuk menghindari perzinahan. Dengan adanya poligami maka bagi laki-laki yang tidak dapat terpenuhi kebutuhan seksualnya dengan satu orang istri akan dapat menyalurkan secara sah dan sehat gelora seksual yang dimiliki oleh laki-laki tersebut. Kedua, untuk mengatasi problem sosial, dimana jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki misalnya akibat peperangan. Dalam konteks ini, poligami merupakan alternatif yang paling realistis dan dapat dipertanggungjawabkan. Intinya bahwa, perkawinan yang ideal sesuai Alquran menurut Hamka adalah monogami. Adapun poligami diperbolehkan sebagai solusi terhadap problem seksual dan sosial.38

2. Pandangan Hasbi tentang poligami. 39

Menurut Hasbi, yang dimaksud adil dalam Q.S.4:129 adalah kecondongan hati. Kecondongan hati terhadap seseorang perempuan dalam poligami adalah hal

37 HAMKA adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Ia dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1908 M di kampung Tanah Sirah, Nagari Sungai Batang, di tepi danau Maninjau, Sumatera Barat. HAMKA adalah putera dari Syekh Abdul Karim Amrullah (1879- 1945), seorang ulama besar pelopor gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau. Lihat, Yunahar Ilyas, Konstruksi Pemikiran Gender Dalam Pemikiran Mufasir, (Jakarta: Program peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, 2005), 31-32. 38 Yunahar Ilyas, Konstruksi Pemikiran Gender Dalam Pemikiran Mufasir, 165-167. 39 Hasbi adalah nama panggilan untuk M. Hasbi ash-Shiddiqy. Ia lahir pada tanggal 10 Maret 1904 di Lhokseumawe, Aceh Utara. Ibunya bernama Tengku Amrah, putri dari Tengku Abdul aziz, dan ayahnya adalah al-Haj Tengku Muhammad Husen ibn Muhammad Su‟ud. Lihat lebih lanjut pada Yunahar Ilyas, Konstruksi Pemikiran Gender Dalam Pemikiran Mufasir, 43.

114 yang diperbolehkan dengan catatan tidak mengurangi hak istri lainnya. Bagi

Hasbi, poligami hanya di perbolehkan ketika terjadi sebuah keadaan darurat.

Terkait dengan undang-undang tentang poligami, Hasbi menyatakan bahwa, sebaiknya undang-undang poligami itu dapat menjamin kemaslahatan dan menolak kemasfadatan/kemudaratan.40

3. Pandangan Muhammad Abduh tentang Poligami.

Menurut Muhammad Abduh, pada dasarnya, poligami diperbolehkan bagi seorang suami, selama dilakukan dengan keadilan dan tanggung jawab yang penuh. Akan tetapi, dalam perkembangan sekarang, seorang suami yang memenuhi kualifikasi tersebut bisa dikatakan mustahil ditemukan. Betapa banyak istri-istri tua yang terlantar, karena suami lebih memilih tinggal dengan istri-istri muda. Oleh karena itu, Muhammad Abduh menyatakan bahwa seharusnya poligami itu dilarang.41 Ia juga mengatakan bahwa bila poligami itu ada manfaatnya pada periode awal Islam, tentu saat ini juga dibutuhkan oleh masyarakat.42

3.6.3. Poligami dalam Pandangan Feminis Muslim

Pada bagian ini, peneliti mengetengahkan tiga pandangan feminis Muslim mengenai poligami. Mereka adalah Asghar Ali Engineer (India), Nawal el-

Saadawi (Mesir) dan Musdah Mulia (Indonesia). Ketiga feminis sengaja dipilih dari asal negara dan jenis kelamin yang berbeda, dengan tujuan untuk mengetahui

40 Ilyas, Konstruksi Pemikiran Gender Dalam Pemikiran Mufasir, 167-168. 41 Farida, Menimbang Dalil Poligami: antara teks, konteks dan praktek, 27-28. 42 Nawal El-Saadawi, Wajah Telanjang Perempuan, (terj. Zulhilmiyasri), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 225.

115 apakah dengan latar budaya yang berbeda dapat mempengaruhi pandangan mereka tentang poligami dalam Islam.

1. Asghar Ali Engineer (India)

Menurut Engineer, poligami merupakan sebuah tradisi yang telah dipraktikkan secara luas oleh Masyarakat Arab pra-Islam. Pada saat itu, poligami dilakukan tanpa mengenal adanya batasan maksimum mengenai jumlah istri yang dapat dimiliki oleh seorang laki-laki.43

Terkait prinsip perkawinan, Engineer berpendapat bahwa sesungguhnya perkawinan yang dikehendaki menurut Alquran adalah monogami. Adapun mengenai poligami, dengan menggunakan istilah “ideologis pragmatis”, Engineer menyatakan, bahwa Alquran merupakan jalan tengah bagi masalah poligami yang ada. Menurutnya, selain mengisyaratkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, Alquran juga memberi solusi yang dapat diterima oleh masyarakat tersebut, yang kala itu didominasi oleh laki-laki.

Lebih lanjut dikatakan bahwa, sepanjang memperhatikan pernyataan

Alquran, poligami bukanlah solusi yang menyenangkan. Disini, Alquran menganjurkan tindakan pembatasan dalam hal jumlah perempuan yang boleh dipoligami, yakni dari yang sebelumnya tidak terbatas menjadi maksimal empat istri. Selain itu, pernyataan Alquran telah membuat poligami jelas bahwa Alquran enggan untuk membolehkan terjadinya poligami kecuali dengan syarat keadilan yang sangat ketat bagi keempat istri.44

43 Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, (terj. Agus Nuryatno), (Yogyakarta: LKis, 2007), 111. 44 Engineer, Pembebasan Perempuan, 112.

116

2. Nawal El-Saadawi (Mesir)

Menurut Nawal, hak istri di dalam Islam adalah mendapatkan perlakuan adil dari suami. Keadilan tersebut menjadi mustahil terpenuhi apabila suami kemudian berpoligami. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Alquran: “Sekali- kali kamu tidak akan bisa berlaku adil di antara istri-istrimu walaupun kamu sudah berusaha.” 45

3. Musdah Mulia (Indonesia)

Menurut Musdah Mulia, “pada hakikatnya poligami merupakan pelecehan dan penghinaan terhadap martabat perempuan”.46 Poligami membawa dampak psikologis yang kurang baik terhadap perempuan(istri) dan anak-anak keluarga poligami. Dampak psikologis tersebut antara lain; perempuan akan merasa sakit hati bila suaminya menjalin hubungan dengan perempuan lain, terjadinya konflik internal dalam keluarga poligami (baik antar istri maupun anak-anak yang dilahirkan), dan berdampak buruk terhadap perkembangan jiwa anak hasil perkawinan poligami.47

Terkait dengan undang-undang yang mengatur pelaksanaan poligami di

Indonesia, Musdah Mulia menyatakan bahwa, kebijakan hukum nasional yang berkaitan dengan poligami itu kurang responsif terhadap kebutuhan hukum dan kepentingan perempuan. Menurutnya, bahwa, peraturan yang dibuat hanya

45 El-Saadawi, Wajah Telanjang Perempuan, 93. 46 Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007), 135. 47 Mulia, Islam Menggugat Poligami, 141-143.

117 didasarkan pada kepentingan kaum laki-laki semata (laki-laki baik dalam artian jenis kelamin maupun struktur/institusi pengambil keputusan).48

Praktik poligami dalam masyarakat telah menimbulkan banyaknya problem sosial, seperti; maraknya perkawinan bawah tangan (sirri), tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dalam rumahtangga, terlantarnya istri dan anak secara psikologis dan ekonomi, serta tingginya kasus pelanggaran terhadap anak.49

Menurut Musdah Mulia, “Islam tidak pernah menganjurkan, apalagi mewajibkan poligami”.50 Selanjutnya ia mengatakan bahwa;

“Pembahasan poligami dalam Islam harus dilihat dari perspektif perlunya pengaturan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi. Suatu perundang-undangan dipandang ideal manakala mampu mengakomodasikan semua kemungkinan yang bakal terjadi.”51

3.7. Tafsir Jender tentang Poligami: Metode dan Analisis Tafsir yang

digunakan.

Dalam perkembangan dunia Islam, kemunculan tafsir jender dewasa ini, tidak lepas dari adanya kesadaran para feminis Muslim terhadap isu-isu jender di dalam Alquran. Mengenai keberadaan tafsir jender ini, secara tersirat dinyatakan oleh Hasan, bahwa kesadaran jender muncul dengan melibatkan faktor teologis melalui reinterpretasi terhadap ajaran agama.52 Adapun menurut Fakih, kajian kritis merupakan hal yang sangat diperlukan guna mengakhiri bias dan dominasi

48 Mulia, Islam Menggugat Poligami, 177-178. 49 Mulia, Islam Menggugat Poligami, 193. 50 Mulia, Islam Menggugat Poligami, 192. 51 Mulia, Islam Menggugat Poligami, 192. 52 Hamka Hasan, Tafsir Jender: Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), 99.

118 dalam penafsiran agama.53 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tafsir jender merupakan sebuah reinterpretasi melalui kajian kritis terhadap ayat-ayat di dalam Alquran yang berbicara mengenai relasi jender dengan tujuan agar tidak menimbulkan adanya bias jender yang berakibat pada kekeliruan dalam memahami agama.

Selanjutnya, terkait dengan tafsir jender di Indonesia, Hasan menyatakan bahwa ada lima isu penting di dalam Islam yang biasa dibahas dalam tafsir jender di Indonesia, yakni; asal kejadian perempuan, kepemimpinan perempuan, warisan perempuan, poligami, dan persaksian perempuan.54Adapun, terkait dengan metode tafsir yang digunakan, Hasan menyatakan bahwa, ada empat metode tafsir yang biasa digunakan dalam tafsir jender di Indonesia, yakni: ijmali, tahlili, muqaran dan maudu’i.55 Disini, Hasan mencontohkan persoalan poligami (Q.S

Al-Nisa/4:3) yang dibahas dalam Tafsir Al-Tabari sebagai tafsir dengan metode tahlili. Menurutnya, tafsir tersebut telah memaparkan beberapa penafsiran seputar masalah poligami berikut dalil naqli berupa hadits yang menjadi dasar argumentasinya. Semua pendapat tersebut bermuara pada larangan bagi wali anak yatim untuk menikahinya apabila mereka tidak mampu berbuat adil dalam memberikan mahar sesuai ketentuan agama. Para wali tersebut dipersilahkan

53 Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 134. 54 Hamka Hasan, Tafsir Jender: Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir, 173. 55 Hasan, Tafsir Jender: Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir, 101- 116. Mengenai pengertian tentang metode Ijmali Tahlili, Muqaran dan Maudu’i telah dijelaskan pada catatan kaki megenai poligami dalam pandangan mufasir. Sementara itu, Nurjannah membedakan tafsir tahlili, menjadi dua macam yakni tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi ar-ra’yi. Lihat, Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias laki-laki dalam Penafsiran, (Yogyakarta: LKiS, 2003), 16.

119 untuk mengawini perempuan-perempuan lain hingga empat dengan syarat adil.

Jika mereka juga tidak mampu berlaku adil, maka cukup mengawini satu saja.56

Sementara itu, Umar memberikan contoh penggunaan metode tafsir tahlili dan mawdlu’i terhadap masalah poligami. Dari metode tafsir tahlili terhadap Q.S.

4: 3, disimpulkan bahwa teks ayat tersebut telah mengizinkan seorang laki-laki untuk berpoligami dengan satu sampai empat orang istri, asal yang bersangkutan mampu berlaku adil. Namun, melalui metode mawdlu’i, Umar berkesimpulan lain. Hal ini karena adanya Q.S. 4: 129 yang seolah-olah memustahilkan syarat adil itu dapat dilakukan manusia. Menurutnya, Ayat ini dapat diartikan menolak poligami, atau paling tidak, lebih memperketat pelaksanaan poligami.

Terkait penggunaan metode tafsir tersebut, Umar menyatakan bahwa secara umum, penggunaan metode mawdlu’i akan menghasilkan penafsiran yang lebih moderat terhadap ayat-ayat jender daripada metode tahlili, karena metode ini tidak banyak mengintrodusir budaya Timur Tengah yang cenderung memposisikan laki-laki lebih dominan dari pada perempuan.57

Masih terkait dengan penggunaan metode tafsir, bahwa penggunaan metode yang kurang tepat dalam memahami sebuah teks Alquran dapat menghasilkan tafsir yang bias jender. Dzuhayatin menyatakan bahwa dalam menafsirkan Alquran, sebagian mufasir menggunakan metode tafsir bi al-ma’tsur

(penafsiran Alquran yang bersandarkan pada Alquran, hadist atau ijtihad sahabat) dan sebagian yang lain metode tafsir bi ar-ra’yi (penafsiran Alquran yang

56 Hasan, Tafsir Jender: Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir, 105- 106. 57 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), 262-263.

120 bersandar pada logika berpikir penafsir sendiri). Banyak penafsiran dengan menggunakan metode tersebut yang bias jender. Untuk menghindari bias ini, penafsiran dan pemahaman terhadap ayat-ayat Alquran perlu ditinjau kembali, direinterpretasi dan direaktualisasi. Perlu penggunaan kedua metode (secara bersamaan) agar penafsiran terhadap ayat jender kebenarannya dapat ditemukan.58

Selanjutnya beralih kepada analisis tafsir, bahwa untuk menganalisis sebuah tafsir jender di dalam Alquran, maka diperlukan adanya metode analisis tafsir yang tepat untuk digunakan. Menurut Hasan, metode analisis tafsir adalah metode yang digunakan untuk menganalisis ayat-ayat Alquran agar maksud ayat dapat dipahami.59 Berbeda dengan metode tafsir yang berorientasi pada bentuk penyajian tafsir seperti ijmali, tahlili, muqaran dan maudu’i, ada lima metode analisis tafsir yang dapat dipakai dalam dalam menganalisis tafsir jender. Metode tersebut adalah; Sosio–kultural, semiotik, semantik, intertekstual dan adab ijtima’.60

Poligami sebagai salah satu isu jender di dalam tafsir jender, harus dapat dianalisis dengan benar. Terkait hal ini, Hasan menyatakan bahwa untuk dapat menafsirkan Q.S. An-Nisa‟/4:3 tentang poligami, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai kandungan kata an-Nisa’ sebagai nama surat tersebut. Hal ini karena tujuan surah dalam Alquran dapat dirumuskan berdasarkan penamaan surah. Menurut Hasan, Q.S. 4:3 bertujuan untuk memberikan perlindungan atas

58 Siti Ruhaini Dzuhayatin, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, Kata Pengantar, (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga dan Pustaka Pelajar, 2002), viii- ix. 59 Hasan, Tafsir Jender: Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir, 117. 60 Mengenai metode analisis tafsir dalam tafsir jender ini, dapat dibaca pada Hamka Hasan, Tafsir Jender: Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir, 117-142.

121 hak-hak perempuan. Selain itu, Q.S. An-Nisa‟ juga membahas hak-hak perempuan lainnya, seperti: persamaan penciptaan, derajat; perlindungan mendapatkan warisan dan lain-lain.

Lebih lanjut dikatakan bahwa, surah An-Nisa‟ diawali dengan seruan

Allah kepada umat manusia, bahwa manusia diciptakan dari zat yang satu; dan dari sana pula diciptakan pasanganmu; lalu perintah untuk memberikan hak-hak anak yatim, dan hal-hal yang layak berkaitan dengan perolehan harta; setelah itu, ayat poligami yang diawali dengan pengandaian berupa kekhawatiran untuk tidak berlaku adil terhadap anak-anak yatim, dan perintah untuk monogami jika seseorang tidak dapat berlaku adil. Berdasarkan ayat ini, tidak ditemukan faktor yang berhubungan dengan problem sosial, ekonomi, dan seks yang berhubungan dengan istri yang membolehkan laki-laki berpoligami melainkan mengaitkannya dengan keadilan bagi anak yatim. Dari logika ini, dapat dipahami bahwa poligami adalah untuk pemberdayaan anak yatim terutama anak yatim perempuan seperti halnya yang pernah dipraktikkan oleh Nabi. Rumusan ini menurut Hasan jauh berbeda dengan ulama yang ingin memenangkan kepentingan laki-laki dan juga tafsir jender yang condong membela perempuan.61

Hasan juga menyatakan, bahwa tafsir jender tidak pernah menekankan persoalan keadilan pada pihak yang tengah atau akan berpoligami untuk membolehkannya, melainkan pembahasan keadilan dalam rangka menolaknya.

Hasan berharap agar pembahasan keadilan mestinya dijelaskan dalam kerangka untuk melihat poligami dalam perspektif yang netral atau jalan tengah yang biasa

61 Hasan, Tafsir Jender: Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir, 273- 274.

122 diistilahkan Engineer dengan idiologis-pragmatis. Selanjutnya, terkait dengan adanya sejumlah tafsir yang membolehkan poligami pada saat istri mandul.

Alasan tersebut dinyatakan Hasan sebagai ahistoris dan tidak memiliki landasan teoritis baik Hadits maupun Alquran. Alasan tersebut menurutnya sengaja dibuat untuk melegalkan poligami, padahal seharusnya poligami dibahas dalam spektrum yang lebih luas di bawah pembahasan perkawinan. Tujuan perkawinan yang dijelaskan Alquran sangatlah mulia. Bahkan tujuan tersebut bertentangan dengan konsep poligami yang banyak dijelaskan dalam tafsir jender.62

3.8. Poligami dalam Hukum Positif di Indonesia

Menurut Undang-undang Perkawinan (UUP) Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan di Indonesia menganut asas monogami (pasal 3 ayat 1). Meski demikian, pada ayat selanjutnya dikatakan bahwa apabila dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan, maka pengadilan dapat memberi izin kepada pihak suami untuk beristri lebih dari satu (pasal 3 ayat 2). Menurut penulis, bunyi pasal

3 ayat 1 dan ayat 2 telah menunjukkan adanya ambiguitas. Dalam ayat 1 dinyatakan bahwa asas perkawinan di Indonesia adalah monogami, namun ayat 2 menyiratkan tentang adanya asas monogami terbuka (khusus bagi kaum laki- laki).63 Terkait adanya asas monogami terbuka (Pasal 3 ayat 2) ini, penulis berpendapat bahwa UUP belum memenuhi prinsip kesetaraan dan keadilan jender.

Hal ini terlihat dari adanya perlakuan hukum yang berbeda antara laki-laki dan

62 Hasan, Tafsir Jender: Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir, 274- 275. 63 Yang dimaksud dengan asas monogami terbuka yaitu asas perkawinan adalah monogami, tetapi khusus bagi kaum laki-laki, ia memperoleh kelonggaran untuk melakukan poligami. Mengenai asas monogami terbuka, lihat, Leli Nurohmah, “Poligami Saatnya Melihat Realitas” dalam Menimbang Poligami, Jurnal Perempuan No. 31/2003, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003.

123 perempuan. Selain itu, dengan adanya asas monogami terbuka, negara berarti juga telah memberi ruang/celah bagi kaum laki-laki untuk dapat melakukan poligami.

Intinya bahwa, negara telah memihak kaum laki-laki dengan melegitimasi seksualitas mereka ke dalam sebuah Undang-undang Perkawinan Nasional.

Selanjutnya, beralih pada perihal pemberian izin oleh pengadilan.64 Dalam

Pasal 4 ayat 1 disebutkan bahwa seorang suami yang akan beristri lebih dari satu terlebih dahulu wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan dimana ia bertempat tinggal. Selanjutnya, dalam pasal 4 ayat 2 dinyatakan bahwa pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk menikah dengan lebih dari seorang istri, apabila didalam pengajuan permohonan telah terpenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, yakni: (a) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri; (b) istri mengalami cacat badan atau sakit berat yang kemungkinannya sangat kecil untuk dapat disembuhkan; dan (c) istri mengalami kemandulan.

Dalam pandangan penulis, pasal 4 ayat 2, menunjukkan adanya sifat bias jender dan juga patriarkis di dalam UUP. Bias jender ditunjukkan pada kata

“kewajiban istri” (Pasal 4 ayat 2 point a). Kewajiban istri mana yang dimaksud?

Adapun disebut bersifat patriarkis karena dalam Pasal 4 ayat 2, seorang istri benar-benar dituntut untuk dapat menjadi seorang pelayan yang sempurna bagi suami. Seorang istri harus mampu menjalankan semua fungsi pelayanannya dengan baik, khususnya dalam hal ini adalah fungsi seksualitas (reproduksi), seperti mengandung dan melahirkan. Ketika seorang istri tidak dapat melahirkan

64 Menurut Sudarsono, izin poligami bagi umat Muslim dapat diperoleh dari pengadilan agama, sedangkan bagi non muslim dari pengadilan umum. Lihat Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), 32.

124 keturunan, maka dirinya menjadi rentan terhadap kemungkinan perlakuan dipoligami oleh suami. Seperti halnya juga, ketika ia harus mengalami sakit yang berkepanjangan dan bahkan mengalami cacat permanen. Intinya disini bahwa, untuk terhindar dari kemungkinan perlakuan poligami sang suami, maka seorang istri harus menjadi sosok yang sehat, subur dan kuat, agar dirinya selalu dapat melayani suami dengan baik dan juga dapat memberinya keturunan yang sehat.

Pasal 5 ayat 1, menyatakan bahwa permohonan izin kepada pengadilan yang dilakukan oleh suami ketika akan beristri lebih dari satu, juga harus disertai adanya: (a) Persetujuan dari istri/istri-istri; (b) Jaminan suami terhadap pemenuhan kebutuhan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; serta (c) Adanya jaminan dari suami bahwa ia akan mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Namun, pada Pasal 5 ayat 2, selanjutnya disebutkan bahwa persetujuan dari istri (point a) menjadi tidak diperlukan lagi apabila istri/istri- istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang- kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. Mengenai hal ini, lagi-lagi menunjukkan bahwa

UUP mengandung ambiguitas. Pada satu sisi dikatakan bahwa izin istri itu diperlukan oleh suami yang akan berpoligami, namun pada sisi lain, dikatakan bahwa karena sebab-sebab tertentu, izin istri menjadi tidak diperlukan lagi, dan dapat digantikan oleh penilaian pengadilan. Selain itu, posisi perempuan juga terlihat masih kurang mendapat tempat yang semestinya di dalam UUP. Ketika

125 seorang istri tidak mau memberikan izin bagi suami untuk berpoligami, maka pemberian izin dapat diambil alih oleh lembaga pengadilan.

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Undang- undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 3, 4 dan 5, maka asas perkawinan di

Indonesia adalah asas monogami terbuka, yakni asas perkawinan monogami dimana kaum laki-laki mendapat kelonggaran untuk dapat melakukan poligami.

Pelaksanaan poligami oleh kaum laki-laki, dalam hal ini harus tunduk pada izin pengadilan. Dalam UUP, seorang istri benar-benar dituntut untuk dapat menjadi seorang pelayan yang sempurna bagi suami jika dirinya ingin terhindar dari kemungkinan perlakuan dipoligami oleh suami. Persetujuan istri terhadap suami yang akan berpoligami menjadi bukan hal mutlak lagi karena ternyata pemberian izin dapat diambil alih oleh lembaga pengadilan. Intinya bahwa, UUP No. 1 tahun

1974 Pasal 3, 4, dan 5 telah menunjukkan adanya sifat yang: ambigu, patriarkis dan bias jender.

Selanjutnya, beralih kepada Kompilasi Hukum Islam (KHI). Terkait dengan adanya Kompilasi Hukum Islam di beberapa Negara Muslim, termasuk didalamnya di Indonesia, Antonio 65 menyatakan bahwa “Pembentukan hukum

Islam dimulai dari fase tasyri (legislasi) dan diakhiri dengan fase kodifikasi/kompilasi yang dilakukan oleh beberapa Negara anggota Organization

65 Antonio adalah nama panggilan dari Muhammad Syafii Antonio (Nio Gwan Chung). Ia lahir di Sukabumi pada tanggal 12 Mei 1967 dari pasangan Liem Soen Nio dan Nio Sem Nyau seorang Shinse dan Biksu Budha Tridharma. Lulus dari Fakultas Syariah University of Jordan (S1) dan Program Islamic Studies Al Azhar Cairo, Master of Economics International Islamic University Malaysia (S2), University of Melbourne (S3) dan melakukan visiting research di Oxford University. Tahun 2006 Antonio diangkat menjadi Shariah Advisory Council Bank Central Malaysia oleh Perdana Menteri Malaysia. Ia telah menulis sejumlah buku tentang Perbankan, Leadership dan Manajemen. Ia pernah mendapat anugerah “Syariah Award” dari MUI, BMI dan Bank Indonesia. Lihat, pada Muhammad Syafii Antonio, Muhammad SAW: The Super Leader Super Manager, (Jakarta: ProLM Centre, 2007).

126 of Islamic Conference (OIC) dan lembaga-lembaga Negara atau semi resmi serta lembaga-lembaga Islam Internasional atau swasta yang bertujuan untuk melakukan ijtihad dalam masalah-masalah kontemporer”. Dari lembaga tersebut, terciptalah produk-produk hukum Islam.

Menurut Antonio, usaha untuk mengkompilasi hukum Islam di Indonesia dimulai sejak adanya penandatanganan surat keputusan bersama Ketua

Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI tentang penunjukkan pelaksanaan proyek pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi No. 07/KMM/1985 dan

No. 25 tahun 1985. Adapun landasan yuridisnya adalah UU No. 14/1970 pasal 20 ayat (1): Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di Indonesia.

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia terbentuk berdasarkan Instruksi

Presiden RI No.1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni. Adapun dasar pelaksanaannya adalah keputusan Menteri Agama RI No. 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991.

Kompilasi Hukum Islam terdiri atas 229 pasal yang termuat dalam tiga buku: buku pertama tentang hukum perkawinan, buku kedua tentang hukum kewarisan dan buku ketiga tentang perwakafan.66 Ketentuan mengenai pelaksanaan poligami di Indonesia diatur dalam buku pertama tentang perkawinan, tepatnya pada pasal

55 s/d 59.

Pasal 55 berisi tentang: batasan jumlah istri yang boleh dipoligami, yakni maksimal 4 orang; syarat utama beristri lebih dari satu orang adalah mampu

66 Antonio, Muhammad SAW: The Super Leader Super Manager, (Jakarta: ProLM Centre, 2007), 247-250.

127 berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya; serta adanya larangan untuk beristri lebih dari satu, apabila suami tidak mampu berlaku adil.

Dalam pasal 56, disebutkan bahwa seorang suami yang hendak beristri lebih dari satu, maka ia harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Tanpa adanya izin dari Pengadilan Agama tersebut, maka perkawinannya dengan istri kedua, ketiga atau keempat, dikatakan tidak memiliki kekuatan hukum.

Selanjutnya beralih kepada pasal 57 dan 58. Bahwa, isi dari 2 pasal tersebut ternyata memiliki kesamaan dengan pasal 5 UU Perkawinan No. 1 tahun

1974 yakni berkaitan dengan syarat bagi dikeluarkannya izin oleh Pengadilan kepada suami yang akan beristri lebih dari satu, yakni: istri tidak dapat menjalankan keawajibannya sebagai seorang istri, istri mengalami cacat badan dan sakit yang sulit disembuhkan, istri mengalami kemandulan. Selain itu, suami juga harus mendapat persetujuan dari istri, serta dapat menjamin kebutuhan hidup istri-istri dan anak-anak mereka kedepannya.

Adapun dalam pasal 59 dijelaskan tentang diperbolehkannya banding atau kasasi baik oleh pihak suami ataupun istri, terkait dengan penetapan pemberian izin oleh Pengadilan Agama tersebut.

3.9. Poligami di Indonesia: antara Ajaran Agama dan Budaya Patriarki.

Ajaran agama dan budaya patriarki merupakan dua hal yang disinyalir telah menjadi pendukung tumbuh suburnya poligami di Indonesia. Farida, dalam hal ini menyatakan, bahwa tersebarnya agama Islam di nusantara sekitar abad XIII telah memperkuat tradisi praktik poligami. Untuk mendukung pernyataan tersebut, disini Farida memperlihatkan ungkapan Kartini dalam salah satu isi suratnya yang

128 intinya menyatakan bahwa poligami yang telah berlangsung berabad-abad, kemudian mendapat perlindungan dari ajaran Islam. Kartini melihat praktik poligami sebagai “perkawinan” antara tradisi budaya patriarki yang sudah mengakar di masyarakat dengan ajaran agama Islam, sehingga ia tak sanggup melawannya.67

Gambaran tentang ketidakberdayaan perempuan yang dipoligami dalam budaya patriarki, juga dapat terlihat dalam sastra Jawa. Menurut Suhandjati, di dalam Serat Wulang Estri, Kinanthi, perempuan telah digambarkan sebagai sosok yang tidak memiliki hak untuk berbicara dan berpendapat. Perempuan harus selalu patuh pada ajaran yang dipola, meski hal tersebut kadang bertentangan dengan kata hatinya. Dalam hal ini dicontohkan, bahwa ketika sang suami punya keinginan untuk menikah lagi, maka istri harus mau menerimanya meski sampai dimadu hingga 40 orang. Bahkan, terkadang istri harus ikut serta mencarikan gadis-gadis cantik untuk suaminya.68

Mengenai ketidakberdayaan perempuan yang dipoligami dalam budaya patriarki, juga dinyatakan oleh Hasan. Menurutnya, poligami merupakan hal yang lazim terjadi di kalangan priyayi. Ada beberapa alasan mengapa seorang istri priyayi tidak dapat begitu saja meminta cerai kepada suaminya ketika ia dimadu, diantaranya: isteri takut terbuang; isteri tidak memiliki pekerjaan; tidak mampu menghidupi dirinya sendiri; takut dianggap sebagai perempuan yang tidak baik, tidak dapat mengabdi pada suami, bahkan dianggap sebagai perempuan yang

67 Farida, Menimbang Dalil Poligami: antara teks, konteks dan praktek, 64. 68 Sri Suhandjati Sukri dan Ridin Sofwan,“Perempuan dalam Lingkup Tradisi dan Sastra” dalam Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa, (Yogyakarta: Gama Media Offset, 2001), 106.

129 tidak layak dijadikan istri.69 Itulah gambaran mengenai betapa kuatnya pengaruh ajaran agama dan budaya patriarki yang telah menyebabkan seorang perempuan begitu tunduk pada kemauan laki-laki, termasuk ketika hendak dipoligami.

Dalam pandangan penulis, ketiga pendapat di atas telah dapat menunjukkan betapa poligami dalam Islam keberadaan telah dilanggengkan oleh kentalnya budaya patriarki dan ajaran agama (tepatnya dalam hal ini adalah tafsir

Alquran). Intinya bahwa, budaya patriarki dan ajaran agama, telah memperkokoh legitimasi poligami dalam Islam.

3.10. Poligami dalam Data Penelitian Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi

Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH-APIK) Jakarta.

Dari Laporan Tahun 2010 LBH_APIK Jakarta melalui Judul “Jerat

Birokrasi, Patriarki, dan Formalisme Hukum Bagi Perempuan Pencari

Keadilan”, diperoleh data berikut;

“Tindak kekerasan poligami, seringkali diikuti dengan tindak pidana lain. Dari 60,1% ada sebanyak 4,97% kasus pelaku menikah lagi secara resmi (dicatatkan) dengan memalsukan dan tanpa sepengetahuan istri (Mitra) atau atas Mitra yang dengan terpaksa merelakan suaminya menikah resmi. Istri (Mitra) yang “merelakan” pelaku menikah lagi biasanya dikarenakan faktor ketergantungan ekonomi, demi kepentingan anak atau karena bujuk rayu suami. Sementara Pelaku yang melakukan pernikahan Siri (dibawah tangan) tanpa sepengetahuan istri (Mitra) sebanyak 17,67%, dan sebanyak 8,28% korban mengakui pelaku (suami) menikah tetapi korban tidak mengetahui apakah pelaku menikah resmi atau siri sedangkan 69,06% Mitra menyampaikan bahwa Pelaku tetap memilih untuk selingkuh sembunyi-sembunyi.”

Dari data diatas, dapat diungkap dua hal, yakni: Pertama, ditinjau dari ketentuan hukum positif tentang perkawinan di Indonesia, maka sebagian praktik poligami, dalam pelaksanaannya telah menyimpang dari ketentuan yang ada.

Dalam hal ini, adalah bahwa poligami dilakukan tanpa sepengetahuan atau izin

69 Hasan, Tafsir Jender, 39.

130 dari istri pertama70. Kedua, bahwa praktik poligami ternyata juga diikuti dengan tindak pidana, seperti: pemalsuan identitas, penipuan, pemaksaan, perselingkuhan, dan sebagainya.

Selanjutnya, terkait dengan dampak poligami terhadap istri (khususnya adalah istri pertama), juga dapat ditemukan pada data lain dari LBH APIK

Jakarta, yang dalam hal ini disitir oleh Farida. Berdasarkan pengaduan dari sejumlah istri (korban poligami) ke LBH-APIK Jakarta, dapat terungkap bahwa dilihat dari jumlah variasi dampak, maka poligami telah berdampak pada adanya: istri tidak diberi nafkah (37 orang); ditelantarkan/ditinggalkan suami (23 orang); mendapat teror dari istri kedua (22 orang), tekanan psikis (21 orang), pisah ranjang (11 orang), penganiayaan fisik (7 orang), dicerai oleh suami (6 orang).71

Dari data diatas, dapat disimpulkan tiga hal, yakni: pertama, ditinjau dari kerangka besar perkawinan, maka poligami dalam sebagian praktiknya, justeru telah menyimpang dari tujuan perkawinan yang sejatinya72; kedua, bahwa sejumlah praktik poligami telah dilakukan tanpa mengindahkan ketentuan yang ada, baik ketentuan agama maupun ketentuan hukum positif yang berlaku73;

70 Suami yang melakukan poligami tanpa sepengetahuan atau izin dari istri pertama merupakan tindakan yang menyalahi ketentuan Pasal 5 ayat 1 (point a) UUP No. 1 tahun 1974 dan Pasal 56 ayat 1 KHI. 71 Farida, Menimbang Dalil Poligami: antara Teks, Konteks dan Praktek, 77. Pada catatan bawah data, disebutkan bahwa ada istri yang menerima dampak lebih dari satu jenis. 72 Dalam UUP No. 1/1974 disebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun dalam Pasal 2 KHI disebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah terwujudnya kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah. 73 Yang dimaksud dengan ketentuan agama disini adalah Q.S. 4:3. Adapun ketentuan hukum positif adalah terkait dengan ketentuan yang terdapat dalam UUP No. 1/1974 dan KHI.

131 ketiga, bahwa poligami dapat menjadi salah satu penyebab bagi terjadinya tindak kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT), khususnya terhadap perempuan.74

3.11. Tipologi Pemikiran Islam dalam Penafsiran Poligami.

Tipologi dalam KBBI diartikan sebagai ilmu watak tentang bagian manusia dalam golongan-golongan menurut corak watak masing-masing.75

Menurut Mukti Ali, tipologi dapat digunakan sebagai sebuah metode dalam memahami Islam. Hal ini karena, tipologi sebagai sebuah pendekatan, telah banyak digunakan oleh sarjana Barat di dalam memahami ilmu-ilmu manusia.

Tipologi adalah sebuah metode yang dianggap obyektif oleh banyak ahli sosiologi, berisi klasifikasi topik dan tema sesuai tipenya, kemudian dilakukan perbandingan terhadap topik dan tema dengan tipe yang sama.76

Pemikiran Islam yang dimaksud di dalam tesis ini adalah pemikiran yang dihasilkan dari pandangan para mufasir, fukaha dan feminis Muslim tentang poligami. Adapun terkait dengan tipologi pemikiran Islam, disini tipologi dibuat peneliti berdasarkan pada beberapa hal yang ada keterkaitannya dengan pemikiran

Islam, seperti: Mazhab, corak gerakan keagamaan, tipe pemikiran teologis, paradigma pemikiran dalam Islam serta paradigma pemikiran dalam aliran feminis. Melalui cara ini, peneliti menemukan istilah-istilah seperti fundamental,

74 Dalam Lembar Info No.17/98 tentang Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Pasal 11 disebutkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang dapat mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan perempuan baik secara fisik, seksual maupun psikologis, termasuk didalamnya adalah ancaman, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan yang dilakukan secara sewenang-wenang, baik hal tersebut dilakukan di depan umum maupun di ranah pribadi. 75 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 952. 76 Mukti Ali, “Metodologi Ilmi Agama Islam” dalam Metodologi Penelitian Agama: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), 61.

132 moderat dan liberal. Untuk selanjutnya, istilah-istilah tersebut, digunakan peneliti untuk memetakan penafsiran tentang poligami ke dalam sebuah tipologi.

Dalam KBBI, fundamental diartikan: bersifat dasar, pokok, mendasar.

Dalam gerakan keagamaan, fundamentalis berarti pengikut yang selalu berupaya kembali kepada ajaran asli sesuai teks kitab suci. Fundamentalisme memiliki paham perjuangan yang bersifat radikal.77 Sebagai corak gerakan keagamaan, fundamentalisme tidak hanya berkembang dalam Islam, tetapi juga agama-agama lain. Bahkan, pada awalnya fundamentalisme justeru terlahir dari tradisi Kristen.78

Dalam Islam, fundamentalisme berkembang menjadi dua makna, yakni yang bersifat positif dan negatif. Dalam makna positif, fundamentalisme diartikan sebagai paham dan sikap untuk kembali kepada ajaran agama berdasarkan

Alquran dan Hadis melalui jalan ittiba’. Adapun dalam makna negatif, fundamentalisme diartikan sebagai sikap ekstrem dan keras.79

Menurut Outhwaite, pada dasarnya Islam adalah fundamentalis karena

Islam menekankan kesempurnaan Alquran. Sebagai fundamentalis, Islam telah mempromosikan hukum Islam sebagai cara hidup sempurna bagi negara. Dalam penggunaan kontemporer, istilah Muslim “fundamentalis” menujuk pada satu gerakan konservatif yang memiliki ciri militansi dan fanatisme.80 Adapun

Esposito berpendapat, bahwa Istilah fundamentalisme menunjuk pada satu paham gerakan keagamaan yang mendefinisikan agama secara mutlak dan harfiah.

77 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, KBBI, 245. 78 Haedar Nashir, Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2013), 207. 79 Nashir, Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, 208. 80 William Outhwaite, (ed.), Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern, Edisi Kedua, (Jakarta: Kencana, 2008), 330- 331.

133

Dalam fundamentalisme, terdapat usaha pemurnian atau reformasi kepercayaan dan praktik keagamaan untuk disesuaikan kembali berdasarkan teks kitab suci.

Penerapan istilah fundamentalisme dalam dunia Islam dapat menimbulkan sebuah kontroversi. Hal ini karena dalam istilah fundamentalisme terdapat konotasi yang negatif, seperti: kebodohan, keterbelakangan, bahkan menghina gerakan-gerakan kebangkitan Islam yang absah. Dalam gerakan kebangkitan

Islam, dikenal istilah-istilah yang mengarah pada makna umum dari

“fundamentalisme” misalnya: Islamisme, integrisme, Islam neo-normatif, Islam neo-tradisional, revivalisme Islam dan nativisme Islam.81

Beralih kepada pemikiran moderat dalam Islam. Dalam KBBI, moderat diartikan: menghindari sesuatu yang ekstrem, mencari jalan tengah, dan menghargai pendapat pihak lain yang berbeda.82 Nashir menyatakan bahwa pemikiran reformis-moderat terlahir sebagai hasil dari persentuhan reformisme dan modernisme Islam. Pemikiran ini beranggapan bahwa Islam adalah agama yang universal, komprehensif dan integral. Islam memiliki prinsip-prinsip yang rasional, realistis dan moderat serta berwawasan kepada masa depan. Oleh karena itu, Islam dipandang akan selalu dapat mengikuti perkembangan zaman yakni dengan memberi solusi tepat bagi problematika umatnya.83

Selanjutnya beralih kepada pemikiran liberal. Liberal mengandung makna: bebas dan terbuka.84 Liberalisme memiliki fokus pada kebebasan individual.

81 Lihat lebih lanjut pada John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2001), 84-85. 82 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, KBBI, 589. 83 Nashir, Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, 206. 84 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, KBBI, 522.

134

Dalam kebebasan beragama, liberalisme menempatkan pemeluk suatu agama sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam menilai teks kitab suci.85

Menurut Fauzi dalam Dzulmanni (ed.), pemikiran Islam bukanlah sesuatu yang Ilahi, profan, manusiawi dan ijtihadi. Dalam wacana hermeneutika, pemikiran Islam dapat dibedakan ke dalam dua macam pola pemikiran, yakni: tekstual dan kontekstual. Pola tekstual merupakan bentuk pemikiran yang didasarkan pada teks secara literer tanpa mempertimbangkan konteks seperti kondisi sosio-kultural, psikologis dan sebagainya. Pola ini cenderung normatif dengan pendekatan doktrinal teologis, bersifat parsial formalistik dan terkadang reduksionis. Tujuan dari pola ini adalah mengembalikan Islam sebagaimana zaman Rasul. Kelompok dari penganut pola ini sering disebut dengan kelompok ortodoks, revivalis, konservatif dan fundamentalis. Sementara itu, pola kontekstual merupakan bentuk pemikiran yang didasarkan pada pertimbangan konteks ruang dan waktu, kondisi sosio-kultural serta historisnya. Pemikiran ini sering disebut dengan pemikiran Liberal (Islam Liberal).86

Sementara itu, Zuly Qodir membagi “Mazhab Baru” Pemikiran Islam

Indonesia ke dalam empat mazhab, yakni; mazhab konvensional, mazhab radikal/mazhab militan, mazhab moderat dan mazhab liberal. Mazhab konvensional adalah mazhab aliran main stream Islam. Termasuk didalamnya adalan NU, Muhammadiyah, Persis dan Syarikat Islam. Corak pemikiran

85 Dzulmanni (ed.), ““Islam Liberal”: Liberalisme Berbaju Islam” dalam Islam Liberal & Fundamental: Sebuah Pertarungan Wacana, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007), 239. Mengenai pendapat tentang liberalisme tersebut diambil dari Bab III Tanggapan Kontra dengan sumber Bulletin al-Islam Edisi 134. 86 Akhmad Fauzi, “Bersikap Arif pada Islam Liberal: Refleksi Kasus Fatwa Mati Ilil Abshar Abdalla” dalam Islam Liberal dan Fundamental: Sebuah Pertarungan Wacana, (Ed. Dzulmanni), (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007), 131-135.

135 keagamman dalam mazhab ini masih mengacu pada aliran Suni, dan sedikit berbau mistik terutama di kalangan warga nahdliyin, adapun Muhammadiyah lebih suka menyatakan diri tidak bermazhab, karena purifikasi, kembali pada

Alquran dan Hadits.

Mazhab militan/radikal adalah aliran pemikiran Islam Indonesia yang menolak segala bentuk pemikiran dan praktik keislaman yang sudah dianggap melenceng dari ajaran Alquran dan Hadits. Dalam pandangan Islam

Radikal/Militan, praktik politik Indonesia harusnya adalah politik Islam dan praktik ekonomi juga ekonomi Islam.

Mazhab Moderat adalah sebuah aliran pemikiran Islam Indonesia yang bisa menerima pelbagai macam corak ragam pemikiran Islam, tidak bersikap menerima atau menolak keseluruhan model pemahaman keagamaan yang berkembang di tanah air. Di sini tidak ada agenda politik untuk mendirikan

Negara Islam, yang terpenting adalah substansi pemikiran dan aksi Islam

Indonesia. Mengikuti Clifford Geertz, mazhab ini mendekati paham “abangan”, dan lebih dekat dengan “kaum penghayat” dan aliran-aliran spiritualitas.

Mazhab Liberal merupakan mazhab yang berani melakukan pembongkaran terhadap teks-teks suci keagamaan secara radikal, mempertanyakan kembali otentisitas kitab suci, hadits nabi dan sejarah Islam.

Dalam mazhab ini sangat diperlukan adanya tradisi kritis dan dekonstruksi atas pemahaman lama yang dianggap keliru. Bagi mazhab Liberal, Islam harus

136 dipahami secara modern, rasional, dan mengutamakan reason. Islam harus dipahami secara kontekstual, progresif dan emansipatoris.87

Dalam membicarakan Hukum Islam, Taqwim telah mengklasifikasi pemikiran Islam ke dalam tiga tipe pemikiran teologis: rasional, tradisional dan fundamental;

1. Pemikiran Rasional

Tipe pemikiran rasional dalam hukum Islam adalah pemikiran yang tetap berdasar pada Alquran, baik secara tekstual maupun kontekstual. Ciri-cirinya adalah: mempertimbangkan kemaslahatan secara luas, logis, filosofis dan pemecahan masalah dilakukan secara interdisipliner dan komprehensif. Tokoh yang dicontohkan dalam tipe pemikiran rasional adalah Abu Hanifah (80-150 H/

699-767 M). Dalam berijtihad, Abu Hanifah dikatakan selalu berpegang pada

Alquran, hadis, Ijma’, Qaul Shahabi, Qiyas dan Istihsan.

2. Pemikiran Tradisional

Pemikiran Tradisional adalah pemikiran dengan ciri-ciri: berpegang atau kembali kepada pemikiran tekstual, berpegang kuat pada tradisi ulama, penggunaan metode qiyas dengan illat yang akurat, dan pertimbangan kemaslahatan hanya dalam tataran darurat. Tokoh yang dicontohkan adalah Malik ibn Anas dan Asy-Syafi‟i.

3. Pemikiran Fundamental

Pemikiran ini sangat menekankan untuk kembali kepada Alquran dan

Hadis dengan pemahaman yang tekstual atau literal. Metode qiyas tidak

87 Zuli Qodir, Islam Liberal: Paradigma Baru Wacana dan Aksi Islam Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 33-38.

137 diperbolehkan. Pemahaman hukum sangat didominasi oleh petunjuk wahyu.

Tokoh yang dicontohkan adalah Ahmad ibn Hambal (164-241 H/780-855M) dan

Dawud azh-Zhahiri (w.270 H/884 M).88

Sementara itu, Ulinnuha Khusnan, seorang dosen IIQ dan UIN Jakarta dalam membahas tipologi paradigma keberagamaan santri, telah menyebutkan tentang beberapa paradigma yang berkembang di kalangan santri, diantaranya: fundamentalis, rasionalis, dan liberalis. Paradigma fundamentalis adalah paradigma keberagamaan yang pemahamannya bertumpu pada hal-hal yang asasi.

Pada umumnya, mereka yang berparadigma ini akan menafsirkan teks-teks keagamaan secara tekstual (literalis).

Paradigma rasional adalah paradigma yang dalam menjelaskan ajaran- ajaran Islam tidak semata-mata mengandalkan wahyu Tuhan semata, tetapi juga mengikutsertakan ijtihad manusia melalui akal pikirannya. Paradigm ini menghargai pendapat akal pikiran dan menggunakannya untuk memperkuat dalil- dalil ajaran agama. Adapun paradigma keberagamaan liberalis adalah paradigma yang memandang bahwa agama diasumsikan sebagai agen perubahan sosial.

Pemahaman terhadap hukum-hukum agama dilakukan secara konteksual. Dalam paradigma ini, dekonstruksi ulang melalui pengembangan wacana keilmuan dari sumber eksternal terhadap pemahaman doktrin yang ada, adalah hal yang sangat diperlukan.89

88 Lihat, Ahmad Taqwim, Hukum Islam dalam Perspektif Pemikiran Rasional, Tradisional dan Fundamental, (Semarang: Walisongo Press, 2009), 61-82. 89 M. Ulinnuha Khusnan, “Memotret Paradigma Keberagamaan Kaum Santri” dalam Pergeseran Paradigma Menyoroti Gerakan Keagamaan, Jurnal Dialog No. 68, Tahun XXXII, Nopember 2009, 41-64.

138

Dari paparan diatas, maka peneliti menyimpulkan bahwa secara sederhana, pemikiran Islam dapat dikategorikan ke dalam 3 tipe pemikiran teologis, yakni;

Fundamental/Radikal, Moderat dan Liberal.

1. Pemikiran Islam Fundamental.

Dalam pemikiran Islam fundamental, terkandung makna adanya usaha pemurnian atau reformasi kepercayaan dan praktik berdasarkan dasar-dasar agama sebagaimana yang tertuang dalam teks kitab suci. Dalam pemikiran ini, teks agama akan dimaknai secara tekstual/literer tanpa melihat dari sudut konteksnya.

2. Pemikiran Islam Moderat.

Pemikiran ini beranggapan bahwa Islam adalah agama yang universal, komprehensif dan integral. Islam selalu mengikuti perkembangan zaman karena didalamnya terdapat prinsip-prinsip yang rasional, realistis dan moderat serta berwawasan kepada masa depan sehingga Islam akan terus dapat memberi solusi bagi problematika umatnya.

Dalam Pemikiran Islam Moderat, terdapat sebuah upaya untuk menghindari sesuatu yang ekstrem, memilih jalan tengah, menghargai pendapat pihak lain yang berbeda. Pemikiran ini dapat menerima pelbagai macam corak ragam pemikiran Islam, tidak bersikap menerima atau menolak keseluruhan model pemahaman keagamaan yang berkembang.

3. Pemikiran Islam Liberal.

Dalam Pemikiran Islam Liberal, akal pikiran merupakan pemegang otoritas tertinggi dalam menilai teks kitab suci. Pembongkaran terhadap teks-teks suci keagamaan dilakukan secara radikal, mempertanyakan kembali otentisitas

139 kitab suci, hadis nabi dan sejarah Islam. Dalam pemikiran liberal ini sangat diperlukan adanya tradisi kritis dan dekonstruksi atas pemahaman lama yang dianggap keliru.

Tipologi pemikiran Islam tersebut diatas, selanjutnya digunakan peneliti untuk menganalisis tentang beragamnya pandangan fukaha, mufasir maupun feminis Muslim terhadap poligami dalam Islam. Disini, peneliti melakukan pemetaan atas ragam penafsiran tentang poligami ke dalam tiga kategori:

Fundamental, Moderat dan Liberal.

3.12. Kesimpulan.

Dari pembahasan tentang poligami dalam Islam, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Perkawinan dalam Islam adalah sebuah akad/perjanjian suci yang sangat

kuat antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan tujuan untuk

membentuk sebuah keluarga yang diliputi cinta dan kasih sayang. Asas

perkawinan dalam Islam adalah monogami. Rukun pernikahan di dalam

Islam meliputi 5 hal, yaitu: mempelai laki-laki; mempelai perempuan, wali

nikah, 2 orang saksi; dan ijab Kabul.

2. Landasan teologis poligami dalam Islam terdiri atas: Q.S. 4:3, Q.S. 4:29

dan Hadits-hadits Nabi SAW.

3. Ditinjau dari konteks turunnya ayat, poligami dalam Islam dilakukan

untuk tujuan perlindungan terhadap para janda dan anak yatim.

Berdasarkan konteks turunnya ayat, maka pada konteks saat ini, sudah

menjadi kurang relevan ketika poligami dilakukan dengan sebuah alasan

140

perlindungan terhadap janda dan anak yatim, karena sesungguhnya masih

ada cara lain yang dapat ditempuh untuk tujuan tersebut.

4. Dalam memandang perihal poligami dalam Islam, telah terjadi keragaman

penafsiran oleh para fukaha, mufasir, dan feminis Muslim. Keragamaan

penafsiran tentang poligami dapat dipetakan ke dalam sebuah tipologi

pemikiran Islam, melalui tiga kategori: Fundamental, Moderat dan Liberal.

5. Indonesia merupakan salah satu negara yang memperkenankan poligami di

dalam perundang-undangannya. Hukum positif Indonesia yang mengatur

pelaksanaan poligami, antara lain: Undang-undang No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan di Indonesia (Pasal 3, 4 dan 5) dan Inpres No. 1 Tahun

1991 tentang Kompilasi Hukum Islam/KHI (Pasal 55 s/d 59).

6. Dari data tentang poligami yang ada pada LBH_APIK Jakarta, maka

sedikitnya ada tiga point penting yang perlu untuk digarisbawahi, yaitu:

1) Bahwa poligami di dalam sebagian praktiknya, telah dilakukan

menyimpang dari ketentuan yang ada, baik itu ketentuan agama

maupun hukum positif yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, misalnya

adalah poligami dilakukan tanpa izin/sepengetahuan dari istri pertama.

2) Dalam sebagian praktiknya, poligami ternyata juga diikuti dengan

tindak pidana, seperti: pemalsuan identitas, pemaksaan dan

perselingkuhan.

3) Poligami dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya tindak

kekerasan di dalam rumahtangga (KDRT), khususnya terhadap

perempuan (istri).

141