ANALISIS FRAMING
PESAN MORAL FILM GET MARRIED
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Sosial Islam (S. Sos. I)
Oleh:
YAYU RULIA SYAROF NIM: 104051001809
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M ANALISIS FRAMING
PESAN MORAL FILM GET MARRIED
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Sosial Islam (S. Sos. I)
Oleh
YAYU RULIA SYAROF NIM: 104051001809
Pembimbing,
Drs. Wahidin Saputra, MA NIP: 150276299
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul ANALISIS FRAMING PESAN MORAL FILM GET
MARRIED, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Dakwah dan
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 09 Juni 2008, Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam pada
Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Program Studi Strata 1.
Jakarta, 18 Juni 2008
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. Murodi, MA Umi Musyarofah, MA NIP: 150254102 NIP: 150281980
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Drs. Sunandar Ibnu Nur, M.Ag Rubiyanah, MA NIP: 150273477 NIP: 150286373
Pembimbing,
Drs. Wahidin Saputra, MA NIP: 150270810
ABSTRAK
Nama : Yayu Rulia Syarof NIM : 104051001809 Fakultas : Dakwah dan Komunikasi Jurusan : Komunikasi Penyiaran Islam
ANALISIS FRAMING PESAN MORAL FILM GET MARRIED
Film merupakan saluran komunikasi massa yang paling efektif dalam penyampaian pesan, karena film dapat memberikan efek baik dari aspek edukatif, afektif maupun kognitif dengan mudah kepada penonton. Dalam penyampaian pesannya media film tidak hanya sekedar bercerita akan tetapi juga memberikan gambaran dalam kehidupan sosial sebuah komunitas. Begitu juga dengan film Get Married yang menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia dan dan kebudayaan masyarakat itu sendiri. Film Get Married adalah buah karya Hanung Bramantyo yang berhasil menarik perhatian banyak penonton, dan juga berhasil menjadi film untuk kategori nominasi terbanyak di ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2007. Dengan berbagai keunggulan film ini, maka penulis melakukan penelitian mendalam pada aspek cerita film ini, guna memahami isu dan pesan apa yang sebenarnya hendak disampaikan. Permasalah yang ingin diungkap dalam penelitian ini adalah ingin melihat bagaimana isi cerita film yang dibingkai oleh Hanung Bramantyo sebagai sutradara film Get Married ini. Dengan menggunakan teori analisis framing model Pan dan Kosicki, dapat ditelaah bagaimana proses penyampaian pesan dan pengemasan pesan oleh sutradara melalui elemen sintaksis, skrip, tematik dan retoris sesuai isu pesan yang ditonjolkan dalam frame-frame yang terdapat dalam cerita film tersebut. Metodologi penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena dalam pelaksanaannya lebih dilakukan pada pemaknaan teks, dari pada penjumlahan katagori. Pengumpulan data melalui research document, kemudian data-data dianalisis melalui struktur framing model Pan dan Kosicki. Dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa dengan menganalisa film melalui pendekatan teori framing dan strukturnya, dapat mengungkap isu pesan yang ingin disampaikan oleh sutradara kepada penonton.Hasil dari analisis framing film Get Married ini juga ditemukan pesan-pesan yang mengandung unsur kebaikan (pesan moral).
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim.
Segala panjatan syukur kehadirat Allah SWT atas segala hidayah dan taufiq-
Nya yang telah diberikan kepada saya, sehingga saya dapat berkesempatan menyelasaikan skripsi saya yang berjudul “Analisis Framing Pesan Moral Film Get
Married”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial program studi SI di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Dakwah dan Komunikasi,
Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam.
Shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW, semoga kita memperoleh syafa’at-nya di akhir zaman nanti.
Melalui kesempatan ini saya juga ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Kedua orang tua tercinta, ayahanda Siddik Muztaba dan ibunda Masanih atas
keikhlasan dukungan dan do’a dan kasih sayang sepanjang masa yang telah
mereka berikan. Juga kakak-kakak tercinta Hendi Hidayat beserta istri, Aas
Nurhasana beserta suami dan Subki Hasan beserta istri yang senantiasa
mencurahkan perhatian.
2. Dr. Murodi, M.A., selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi.
3. Drs. Wahidin Saputra, M.A., selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran
Islam sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah berkenan meluangkan
waktu untuk memberikan pengarahan dan ilmu yang sangat berharga.
4. Umi Musyarofah, M.A., selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam
yang tidak pernah bosan memberikan dukungan dan memberikan nasihat.
5. Seluruh Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang telah memberikan ilmu
pengetahuan. Semoga ilmu yang telah diberikan dapat bermanfaat. Juga kepada seluruh staf bagian Akademik, dan seluruh staf bagian Perpustakaan Fakultas
Dakwah dan Komunikasi.
6. Mulyadi, A.Md., selaku guruku yang selalu memberi insipirasi dan dorongan
untuk tetap semangat dalam menuntut ilmu sampai akhir masa.
7. Sahabat-sahabatku di UIN Syarif Hidayatullah angkatan 2004, khususnya kelas
KPI B yang telah memberikan semangat dalam penulisan skripsi ini, dan telah
memberikan ribuan kenangan manis yang tak kan terlupakan.
8. Rekan-rekan yang tergabung dalam Ikatan Remaja Nahdlatul Ulama (IRENA)
Cinangka, yang telah memberikan semarak dan semangat hidup, sehingga selalu
tercipta senyuman bahagia.
9. Sahabat-sahabat terdekat, Ashabul Kahfi, Nurmansyah, Agus Muharom, Dede
Taufik Kurnia, Lisah Fauziah, Dewi Erian, Meriska, Nyla, Maulana, Cipto, Nani,
Nasrul Ulum, dan Aan.
10. Adik-adikku Noor Wulandari dan Hamzah yang bersedia menjadi asisten.
Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dan kekhilafan dalam
menyusun skripsi ini. Oleh karenanya sangat diharapkan saran dan kritik dan juga
ralat demi kemajuan bersama di masa depan. Besar harapan semoga skripsi ini dapat
menjadi motivasi dan inspirasi serta bermanfaat bagi penulis pribadi dan pembaca sekalian.
Jakarta, 25 Mei 2008
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI…………………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………. ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………… iv
DAFTAR TABEL……………………………………………………………… vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………… 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………… 3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………. 4
D. Metodologi Penelitian……………………………………... 5
E. Tinjauan Pustaka…………………………………………… 8
F. Sistematika Penulisan…………………………………….... 9
BAB II LANDASAN TEORITIS
A. Pengertian Moral, Etika dan Akhlak……………………… 11
B. Teori Framing…………………………………………….. 16
C. Film Sebagai Media Komunikasi dan Dakwah…………… 22
D. Perkawinan Menurut Islam...... 32
BAB III GAMBARAN UMUM FILM GET MARRIED
A. Latar Belakang Pembuatan Film………………………….. 36
B. Sinopsis Film Get Married………………………………… 39
C. Tim Produksi dan Pemeran Film Get Married……………. 40
BAB IV PESAN MORAL FILM GET MARRIED
A. Pengemasan Pesan Film Get Married……………………… 44
B. Pesan Moral Film Get Married…………………………….. 59
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………… 69
B. Saran-saran.………………………………………………… 70
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………. 72
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 01 Frame: Menikah Untuk Meneruskan Riwayat
Keluarga………………………………………………………. 47
Tabel 02 Frame: Menikah karena Perjodohan………………………….. 51
Tabel 03 Frame: Mencari Bantuan Paranormal Agar Segera
Menikah………………………………………………………. 54
Tabel 04 Frame: Memilih Pasangan yang Tepat……………………….. 58
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata I di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah.
Jakarta,
HAIZA RONI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Globalisasi dewasa ini sudah merasuk ke segala sendi kehidupan manusia
dapat dilihat dari semakin meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Begitu juga dengan kemajuan dibidang teknologi komunikasi massa.
Perkembangan globalisasi ini menjadikan media massa naik pada suatu
tingkat yang lebih bermanfaat dan lebih dipilih orang banyak untuk melakukan
komunikasi dengan seluruh manusia yang ada di seantero mayapada ini secara
serentak. Dalam bahasa Dovifat (1967), teknologi komunikasi mutakhir ini
telah menciptakan apa yang disebut “publik dunia”.1
Dewasa ini media tumbuh semakin pesat, sebagai media informasi, radio
dan televisi unggul dalam menyampaikan informasi secara dini yang
dilengkapi dengan ulasan penjelas. Manusia merupakan sasaran dari media
tersebut, semua pesan media massa dikonsumsi oleh masyarakat serta menjadi
bahan informasi dan referensi mereka.2
Disamping surat kabar, majalah, radio dan televisi, film juga menjadi
bagian dari salah satu media komunikasi massa.3 Sebagai media komunikasi
massa film dibuat dengan tujuan tertentu, kemudian hasilnya tersebut
ditayangkan untuk dapat ditonton oleh masyarakat. Karakter psikologisnya
khas bila dibandingkan dengan sistem komunikasi interpersonal yaitu film
1 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2004), Cet. ke-21, h. 186. 2 Aep Kusnawan et.al, Komunikasi Penyiaran Islam (Bandung; Penerbit Benang Merah Press, 2004), Cet. 1, hal. 23. 3 Adi pranajaya, Film dan Masyarakat : Sebuah Pengantar (Jakarta; BP SDM Citra Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, 1999), h. 11. bersifat satu arah. Jadi bila dibandingkan dengan jenis komunikasi lainnya,
film dianggap jenis yang paling efektif.
Film merupakan sesuatu yang unik dibandingkan dengan media lainnya,
karena sifatnya yang bergerak secara bebas dan tetap, penerjemahannya
melalui gambar-gambar visual dan suara yang nyata, juga memiliki
kesanggupan untuk menangani berbagai subjek yang tidak terbatas ragamnya.4
Berkat unsur inilah film merupakan salah satu bentuk seni alternatif yang
banyak diminati masyarakat, karena dengan mengamati secara seksama apa
yang memungkinkan ditawarkan sebuah film melalui peristiwa yang ada
dibalik ceritanya, film juga merupakan ekspresi atau pernyataan dari sebuah
kebudayaan, serta mencerminkan dan menyatakan segi-segi yang kadang-
kadang kurang jelas terlihat dalam masyarakat.5
Film indonesia bangkit lagi setelah meledaknya film Ada Apa Dengan
Cinta karya sutradara muda Rudi Sudjarwo pada tahun 2002. Kebangkitan itu
terus diperlihatkan oleh para sineas handal melalui karya-karya mereka yang
semakin diminati penonton.
Di penghujung tahun 2007 Hanung Bramantyo mencoba mengangkat
kembali pamor film komedi yang sempat jaya pada masa Warkop DKI atau
Didi Petet dengan Kabayan-nya. Melalui filmnya yang berjudul Get Married,
Hanung mencoba bersaing dengan film-film horor yang sedang ramai disuguhi
kepada penonton.
4 Joseph M. Boggs, The Art of Watching Film, (Terj) Asrul Sani (Jakarta; Yayasan Citra Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, 1986), h. 5. 5 Adi pranajaya, Film dan Masyarakat : Sebuah Pengantar (Jakarta; BP SDM Citra Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, 1999), h. 6.
Dunia perfilman Indonesia memang sedang diwarnai oleh sederet film
yang bernuansa mistis dan romantis, Hanung dengan cerdas memberikan
kesegaran baru bagi penonton yang penat dari kegiatan sehari-hari mereka,
dengan memberikan sentuhan komedi dengan bahasa yang ringan pada
filmnya kali ini, film Get Married-pun menambah keceriaan penonton dalam
merayakan hari raya ‘Idul Fitri.
Film Get Married adalah buah karya Hanung Bramantyo yang berhasil
menarik perhatian banyak penonton, dan juga berhasil menjadi film untuk
kategori nominasi terbanyak di ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2007.
Dengan berbagai keunggulan film ini, maka penulis melakukan penelitian
mendalam pada aspek cerita film ini, guna memahami isu dan pesan apa yang
sebenarnya hendak disampaikan. Oleh karenanya judul yang diambil adalah
Analisis Framing Pesan Moral Film Get Married.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk menghindari terlalu luas dan melebarnya pembatasan maka
penelitian ini dibuat suatu batasan. Ruang lingkup dibatasi hanya pada analisis
tekstual dalam naskah film Get Married karya Hanung Bramantyo.
Sedangkan perumusan masalah yang diangkat adalah :
1. Bagaimana pengemasan pesan yang disampaikan Hanung Bramantyo
dalam film Get Married?
2. Pesan moral apa yang terdapat pada film Get Married?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang diharapkan dapat dicapai dalam penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui pengemasan pesan yang disampaikan Hanung
Bramantyo dalam film Get Married.
b. Untuk Mengetahui pesan moral yang terdapat pada film Get Married.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
perkembangan kajian dakwah tentang media dan komunikasi massa, serta
memberikan pandangan baru tentang analisis framing sebagai sebuah metode
penelitian dalam analisis teks media.
b. Manfaat Praktis
Semoga dapat menjadi informasi bagi penelitian serupa di masa
mendatang dalam melakukan telaah film terutama dilihat dari analisis framing.
D. Metodologi penelitian
1. Metode Penelitian
Metodologi penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif,
memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari
perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di masyarakat. Objek
analisis dalam pendekatan kualitatif adalah makna dari gejala-gejala sosial dan
budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai kategorisasi tertentu.6 Dan penelitian
ini bersifat kualitatif karena dalam pelaksanaannya lebih dilakukan pada
pemaknaan teks, dari pada penjumlahan katagori.
Pendekatan analisis kualitatif menggunakan pendekatan logika induktif,
silogismenya dibangun berdasarkan hal khusus atau data di lapangan dan
bermuara pada hal-hal umum. Analisis ini tidak digunakan untuk mencari data
frekuensi, akan tetapi untuk menganalisis dari data yang tampak, maka analisis
ini digunakan untuk memahami fakta dan bukan untuk menjelaskan fakta
tersebut.7
2. Jenis Penelitian
Berdasarkan dari tujuannya ini menggunakan jenis penelitian eksplanatif.
Yaitu bertujuan untuk menjelaskan sebuah permasalahan yang telah memiliki
gambaran yang jelas, dan bermaksud menggali secara lebih dalam.8 Peneliti
mencoba mencari tahu sebab dan alasan mengapa peristiwa bisa terjadi,
diantaranya menjelaskan secara akurat mengenai satu topik masalah,
menghubungkan topik-topik yang berbeda namun memiliki keterkaitan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh datanya, penulis melakukan document research artinya
penulis hanya meneliti script atau naskah yang terdapat pada film Get Married
sebagai data primer atau sasaran utama dalam analisis, tanpa melakukan
wawancara.
Selain melakukan research pada script tersebut, document research juga
sebagai teknik pengumpulan data-data atau teori-teori melalui telaah dan
6 Bungin, Sosiologi Komunikasi, h. 302. 7 Jumroni, Metode-metode Penelitian Komunikasi (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2006), Cet. 1, h. 33-34. 8 Ipah Farihah, Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2006). mengkaji dari buku, majalah, internet dan literatur-literatur lainnya yang ada
relevansi dengan materi penelitian ini.
4. Teknik Pengolahan Data
Data diolah dengan menggunakan penjelasan tabel-tabel dan teori analisis
framing yang merujuk pada model Pan dan Kosicki, sehingga dengan
penyajian dan penjelasan tabel serta teori itu akan terlihat lebih jelas pesan
yang ingin diangkat atau ditonjolkan oleh sutradara.
5. Unit Analisis
Subjek yang akan diteliti adalah film Get Married, sedangkan objek
penelitiannya sendiri adalah pesan tekstual dalam skenario film Get Married.
6. Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis framing. Framing
didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol,
menempatkan informasi lebih dari pada yang lain sehingga khalayak lebih
tertuju pada tersebut.
Framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai analisis untuk
mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja)
dibingkai oleh media.9 Analisis framing juga membuka peluang bagi
implementasi konsep-konsep sosiologis, politik dan kultural untuk
menganalisis fenomena komunikasi, sehingga suatu fenomena dapat
diapresiasi dan dianalisis berdasarkan konteks sosiologis, politik, atau kultural
yang meliputinya (Sudibyo, 1999b : 176).10
9 Eriyanto, Analisis Framing (Yogyakarta : LKiS, 2002). 10 Ibid Analisis bingkai merupakan dasar struktur kognitif yang memandu
persepsi dan representasi realitas – membongkar ideologi dibalik penulisan
informasi,11 menjelaskan bahwa latar belakang budaya membentuk
pemahaman terhadap sebuah peristiwa.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisis framing Model
Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki, yang merupakan salah satu dari empat
teori alternatif dari analisis framing terpopuler yang digunakan untuk
memperoleh gambaran isi pesan yang disampaikan. Model analisis ini dibagi
dalam empat struktur besar, yakni meliputi struktur sintaksis, skrip, tematik,
dan retoris.
STRUKTUR PERANGKAT FRAMING UNIT YANG DIAMATI
SINTAKSIS Judul, latar informasi, 1. Skema Cerita - Skematik Cara penulis pelaku dan dialog. menyusun cerita
SKRIP 2. Kelengkapan Cerita konstruksi dramatik, narasi, (Unsur-unsur skenario film) Cara penulis dan scene. Mengisahkan cerita
3. Detail TEMATIK Tema, proposisi, kalimat, 4. Koherensi Cara penulis 5. Bentuk Kalimat hubungan antar kalimat. 6. Kata Ganti menulis cerita
RETORIS Kata, idiom dan citra. 7. Leksikon Cara penulis 8. Metafora menekankan cerita
E. Tinjauan Pustaka
11 Jumroni, Metode-metode Penelitian Komunikasi (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2006), Cet. 1, h. 92. Dalam penelitian Analisis Framing Pesan Moral Film Get Married ini,
penulis terinspirasi pada skripsi-skripsi terdahulu. Diantaranya Analisis Framing
Film Berbagai Suami Karya Nia Dinata yang ditulis oleh Junaidi dan Analisis
Framing Berita Rancangan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi
Publik (RUU KMIP) di www.bipnewsroom.info Badan Informasi Publik
Departemen Komunikasi dan Informatika oleh Untung Sutomo pada tahun 2007.
Junaidi dalam penelitiannya menjelaskan masalah pengemasan pesan yang
disampaikan Nia Dinata dalam film Berbagi Suami dan mengungkap nilai-nilai
yang melatar belakangi konstruksi sosial dalam pengemasan pesannya. Adapun
Untung Sutomo meneliti RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, dalam
analisis framingnya ia mendapatkan hasil konstruksi berita seputar RUU KMIP
tersebut.
Kedua penelitian tersebut sama-sama menggunakan teori dan model yang
sama seperti peneliti kali ini. Namun, penelitian kali peneliti tidak hanya
mengungkap pengemasan pesan oleh sutradara, tetapi juga mengungkap pesan
moral yang terdapat dalam film Get Married.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penyusunan skripsi ini, maka dibuatlah sistematika
penulisan yang terdiri dari beberapa bab, dan bab-bab tersebut memiliki beberapa
sub-bab yaitu :
BAB I PENDAHULUAN yang terdiri dari, Latar Belakang Masalah, Batasan
dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi
Penelitian, Tinjauan Pustaka dan Sistematika Penelitian. BAB II LANDASAN TEORITIS yang terdiri dari, Pengertian Moral, Etika
dan Akhlak, Teori Framing, Film Sebagai Media Dakwah, dan
Perkawinan Menurut Islam.
BAB III GAMBARAN UMUM FILM GET MARRIED yang terdiri dari
Latar Belakang Pembuatan Film Get Married, Sinopsis Film Get
Married dan Tim Produksi Film Get Married.
BAB IV PESAN MORAL FILM GET MARRIED membahas hasil penelitian
yang terdiri dari, Pengemasan Pesan Dalam Film Get Married, dan
Pesan Moral Dalam Film Get Married.
BAB V PENUTUP yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran-saran.
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Pengertian Moral, Etika dan Akhlak
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, moral adalah penentuan baik-
buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.12Kata moral sendiri berasal dari
bahasa latin yaitu mos atau mores yang berarti adat istiadat, kebiasaan,
kelakuan, tabiat, watak, dan cara hidup. Sedangkan secara etimologi moral
adalah istilah yang digunakan untuk menentukan batas dari sifat, perangai,
kehendak pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar,
salah, baik atau buruk.13
Moral merupakan ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah,
patokan-patokan kumpulan peraturan dan ketetapan lisan atau tertulis tentang
bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang
baik. Sumber dasar ajaran-ajaran moral adalah tradisi, adat istiadat, ajaran
agama dan ideologi-ideologi tertentu.14
Beberapa pengertian moral juga dituliskan dalam buku The Advanced
Leaner’s Dictionary of Current English, sebagai berikut:
1. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk.
2. Kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar dan salah.
3. Ajaran atau gambaran tingkah laku yang baik.15
12 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), cet. XII, h. 278. 13 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), cet. 5, h. 94. 14 Sudirman Tebba, Etika dan Tasawuf Jawa, (Jakarta: Pustaka irVan, 2007), h. 11-12. 15 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 93. Berdasarkan kutipan tersebut, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah
yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan
nilai atau ketentuan baik atau buruk, benar atau salah.
Dalam buku Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa moral adalah
kesusilaan atau kebiasaan yang dapat mencakup:
a. Seluruh kaidah kebiasaan dan kesusilaan yang berlaku pada suatu
kelompok tertentu.
b. Ajaran kesusilaan yang dipelajari secara sistematis di dalam etika,
falsafah moral dan teologi moral.
Menurut Zakiah Darajat, moral adalah kelakuan sesuai dengan ukuran
(nilai-nilai) masyarakat yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar
yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan tersebut.16
Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma yang terdapat di
antara sekelompok manusia. Adapun nilai moral adalah kebaikan manusia
sebagai manusia. Norma moral adalah tentang bagaimana manusia harus hidup
supaya menjadi baik sebagai manusia.17 Adapun kategori berdasarkan pesan
moral ada tiga macam:
1. Kategori hubungan manusia dengan Tuhan.
2. Kategori hubungan manusia dengan diri sendiri. Menjadi sub; ambisi,
harga diri, takut dan lain-lain.
3. Kategori hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkungan
sosial, termasuk hubungannya dengan alam. Dibagi menjadi sub kategori;
persahabatan, kesetiaan, penghianatan, permusuhan dan lain-lain.
16 Zakiah Darajat, Peranan Agama Islam Dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Haji Masagung, 1993) h. 63. 17 Yadi Purwanto, Etika Profesi, (Bandung, PT. Repika Aditama, 2007), h. 45. Etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Dari pengertian kebahasaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.18
Menurut Franz Magnis Susesno, etika adalah sarana orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab suatu pertanyaan yang amat fundamental tentang bagaimana manusia harus bertindak.19 Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan suatu filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan moral. Jadi, etika merupakan sebuah ilmu dan bukan ajaran.
Kata moral lebih mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia, menuntun manusia bagaimana seharusnya ia hidup atau apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Sedangkan etika adalah ilmu, yakni pemikiran rasional, kritis dan sistematis tentang ajaran-ajaran moral. Etika menuntun seseorang untuk mengapa atau atas dasar apa ia harus mengikuti ajaran moral tertentu. Dalam artian ini etika dapat disebut filsafat moral (E. Y. Kanter,
2002:2).20
Jadi, ajaran moral dapat diibaratkan dengan buku petunjuk bagaimana kita harus memperlakukan kendaraan kita dengan baik, sedangkan etika memberikan pengertian tentang struktur dan teknologi kendaraan itu.
Dari beberapa definisi di atas tentang moral, maka peneliti menyimpulkan bahwa moral adalah nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok tertentu dalam mengatur segala tingkah
18 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 90. 19 Ibid., h. 11. 20 http://anggara.org/2006/06/14/dimensimoral lakunya. Sedangkan etika merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan baik dan buruknya sikap dan tingkah laku manusia, atau aturan tentang tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia.
Selain etika, akhlak juga punya makna yang sama dengan moral. Menurut bahasa akhlak berasal dari bahasa Arab yang berarti perangai, kelakuan, tabi’at, watak dasar, kebiasaan, kelaziman.
Sedangkan pengertian akhlak berdasarkan terminologi adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada yang lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka yang menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.21
Ibn Miskawaih yang dikenal sebagai pakar bidang akhlak terdahulu, secara singkat mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang mendoronganya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.22
Sementara itu Imam al-Ghazali mengatakan sebagaimana yang dikutip oleh Abudin Nata bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.23
Menurut Hamka, akhlak bersumber pada empat perkara yaitu:
1. Hikmat, ialah keadaan nafi (batin) yang dengan hikmat dapat
mengetahui mana yang benar dan mana yang salah segala
perbuatannya yang berhubungan dengan ikhtiar.
21 Mohammad Ali Azis, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 117. 22 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 3. 23 Ibid., 2. Syuja’ah, ialah kekuatan ghabah (marah) itu dituntun oleh akal baik
maju dan mundurnya.
3. Iffah, ialah mengekang kehendak nafsu dengan akal dan syara.
4. ‘Adalah, ialah keadaan nafs yaitu suatu kekuatan batin yang dapat
mengendalikan diri ketika marah atau ketika syahwat naik.24
Akhlak terdiri dari dua macam, yaitu:
1. Akhlak Mahmudah; yaitu perbuatan baik terhadap Tuhan, sesama
manusia dan makhluk-makhluknya.
2. Akhlak Madzmumah; yaitu perbuatan buruk terhadap Tuhan, sesama
manusia dan makhluk-makhluknya.
Uraian di atas menunjukkan bahwa etika dan moral berasal dari akal
manusia dan budaya masyarakat. Sementara akhlak berasal dari wahyu Tuhan,
yakni ketentuan yang berdasarkan al-Qur’an dan hadits.
B. Teori Framing
Analisis framing merupakan versi terbaru dari pendekatan analisis wacana,
khususnya dalam menganlisis teks media. Gagasan mengenai framing diawali
oleh Beterson pada tahun 1995, awalnya frame dimaknai sebagai stuktur
konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik,
kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori standar
untuk mengapresiasikan realitas.25
Framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas dibentuk
dan dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan dan konstruksi realitas itu,
24 Hamka, Akhlak Karimah, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1992), h.5. 25 Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), cet. Ke-4, h. 161-162. hasil akhirnya adalah adanya bagian tertentu dari relitas yang lebih menonjol dan lebih mudah dikenal.26
Penonjolan yang dimaksud adalah mempertinggi probabilitas penerima
akan informasi, sehingga dapat melihat pesan tersebut dengan lebih tajam dan
dapat tersimpan dalam ingatan penerima pesan.
Media massa – khususnya film menghadirkan sebuah cerita dengan
mengemas atau membingkai (framing) cerita tersebut dari realitas suatu
peristiwa. Karena media apapun tidak terlepas dari bias-bias yang berkaitan
dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama.27
Menurut Dedy N. Hidayat yang dikutip Racmah Ida, menjelaskan bahwa
analisis framing dapat digunakan untuk melihat bagaimana upaya media menyajikan sebuah event yang mengesahkan obyektifitas, keseimbangan dan nonpartisan dan mengemasnya sedemikian rupa, sehingga khalayak mudah
tergiring ke dalam kerangka framing pendefinisian realitas dan tertentu yang
dilakukan oleh media melalui pemilihan kata, bahasa, penggunaan simbol dan
sistem logika tertentu.28
Dalam mendefinisikan framing, Gamson menggunakan dua pendekatan,
pertama pendekatan kultural yang menghasilkan framing dalam level kultural,
dan kedua menggunakan pendekatan psikologis yang menghasilkan framing
dalam level individual.29
Analisis framing berusaha menemukan kunci-kunci tema dalam sebuah teks dan menunjukkan bahwa latar budaya membentuk pemahaman terhadap sebuah peristiwa.
26 Eriyanto, Analisis Farming, h. 66. 27 Ibid., h. 5. 28 Rachmah Ida, Ragam Penelitian Isi Media Kuantitatif, dalam Burhan Bungin, h. 150. 29 Sobur, Analisis Teks Media, h. 172. Pada dasarnya framing adalah metode untuk melihat cara bercerita (story
telling) media atas peristiwa. Cara bercerita itu tergambar pada “cara melihat”
terhadap realitas yang dijadikan berita atau cerita, “cara melihat” ini
berpengaruh pada hasil akhir dari konstruksi realitas.30
Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki mendefinisikan framing sebagai
strategi konstruksi dan memproses berita. Perangkat kognisi yang digunakan
dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dan dihubungkan dengan
rutinitas dan konvensi pembentukan berita.31 Perangkat framing atau struktur
analisis tersebut adalah sintaksis, skrip, tematik dan retoris.
1. Struktur Sintaksis
Struktur sintaksis berhubungan dengan bagaimana penulis menyusun
gagasan dalam sebuah cerita. Bagian-bagian yang diamati adalah judul, latar
dan lainnya. Bagian ini disusun dalam bentuk tetap dan teratur sehingga
membentuk skema yang menjadi pedoman bagaimana cerita hendak disusun.
Dalam sebuah plot (peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita
yang berdasarkan sebab akibat), hal yang sangat esensial untuk diperhatikan
adalah peristiwa, konflik dan klimaks. Eksistensi plot itu sendiri sangat
ditentukan oleh ketiga unsur tersebut. Demikian pula dengan masalah kualitas
dan kadar kemenarikan sebuah cerita fiksi.32
30 Eriyanto, Analisis Framing, h. 10. 31 Ibid., h. 69. 32 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), h. 113. Peristiwa dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu: peristiwa fungsional,
kaitan dan acuan.33 Peristiwa fungsional adalah peristiwa-peristiwa yang menentukan dan atau mempengaruhi perkembangan plot. Urutan-urutan peristiwa fungsional merupakan inti cerita sebuah karya fiksi yang bersangkutan.
Peristiwa kaitan adalah peristiwa-peristiwa yang berfungsi mengaitkan peristiwa-peristiwa penting (baca: peristiwa fungsional) dalam pengurutan penyajian cerita (atau: secara plot).
Peristiwa acuan adalah peristiwa yang tidak secara langsung berpengaruh
dan atau berhubungan dengan perkembangan plot, melainkan mengacu pada
unsur-unsur lain, misalnya berhubungan dengan masalah perwatakan atau
suasana yang melingkupi batin seorang tokoh. Dalam hal ini bukannya alur
dan peristiwa-peristiwa penting yang diceritakan, melainkan bagaimana
suasana alam dan batin dilukiskan.
Selain peristiwa dalam sebuah plot cerita dikenal juga adanya konflik.
Konflik menyarankan pada sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang
terjadi dan atau dialami oleh tokoh (-tokoh) cerita yang, jika tokoh (-tokoh) itu
mempunyai kebebasan untuk memilih, ia (mereka) tidak akan memilih
peristiwa itu menimpa dirinya.34
Bentuk konflik sebagai bentuk kejadian, dapat dibedakan dalam dua kategori: konflik fisik dan konflik batin, konflik eksternal dan konflik internal.
Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi dengan sesuatu yang diluar
dirinya – dengan lingkungan alam – dengan lingkungan manusia. Sedangkan
33 Ibid., h. 118. 34 Ibid., h. 122. konflik internal (atau: konflik batin) adalah konflik yang terjadi dalam hati,
jiwa seseorang tokoh (atau: tokoh-tokoh) cerita.35
Ada satu hal lagi yang sangat menentukan (arah) perkembangan plot
adalah klimaks. Menurut Stanton, klimaks adalah saat konflik telah mencapai
tingkat intensitas tertinggi, dan saat (hal) itu merupakan sesuatu yang tidak
dapat dihindari kejadiannya. Artinya, berdasarkan tuntutan dan kelogisan
cerita, perisatiwa dan saat itu memang harus terjadi tidak boleh tidak.36
2. Struktur Skrip
Struktur skrip melihat bagaimana strategi penulis cerita mengisahkan atau
menceritakan peristiwa sesuai dengan plotnya, dan berdasarkan nilai
konstruksi dramatik sebuah cerita dalam skenario.
Dalam berita, wartawan menggunakan beberapa perangkat dalam struktur
skrip ini yaitu What (apa), When (kapan), Who (siapa), Where (di mana), Why
(mengapa) dan How (bagaimana). Begitu juga dengan penulis cerita tetap
menggunakan unsur-unsur tersebut dalam mengisahkan cerita, namun sudah
dikemas dalam unsur-unsur skenario film.
Cerita adalah perjuangan protagonis dalam mengatasi problema tama dan
untuk bisa mencapai goal. Lintasan perjuangan terssebut berupa rangkaian
adegan, yakni adegan yang merupakan pokok-pokok cerita, adegan-adegan
yang indah dan memiliki nilai dramatik, yakni yang mengandung konflik,
suspense, ketakutan dan sebagainya.37
3. Struktur Tematik
35 Ibid., h. 124. 36 Ibid., h. 127. 37 Misbach Yusa Biran, Teknik Menulis Skenario Film Cerita (yogyakarta: Pustaka Jaya, 2006), h. 128. Struktur tematik berhubungan dengan cara penulis cerita mengungkapkan
pandangannya atas peristiwa ke dalam proposisi, kalimat, atau hubungan
antarkalimat yang membentuk teks secara keseluruhan.
Perangakat framing yang digunakan adalah detail, koherensi, bentuk
kalimat dan kata ganti. Melalui perangkat-perangkat ini membantu melihat
bagaimana pemahaman itu diwujudkan dalam bentuk yang lebih kecil.
Detail merupakan strategi komunikator mengekspresikan sikapnya dengan
cara yang implisit. Komunikator detail dalam mengemas pesan, mana yang
dikembangkan dan mana yang diceritakan dengan detail yang besar, akan
menggambarkan bagaimana wacana yang dikembangkan oleh media.38
Koherensi adalah pertalian atau jalinan antarkata, proposisi, atau kalimat.
Sehingga cerita yang tidak berhubungan sekalipun dapat menjadi berhubungan
ketika seseorang menghubungkannya.
Koherensi memiliki beberapa macam kategori: pertama, koherensi sebab-
akibat, yaitu proposisi atau kalimat satu dipandang akibat atau sebab dari
proposisi lain. Kedua, koherensi penjelas, yakni proposisi atau satu kalimat
sebagai penjelas proposisi atau kalimat lain. Ketiga, koherensi pembeda, yakni
proposisi atau kalimat satu dipandang menjadi kebalikan atau lawan dari
proposisi atau kalimat lain.39
Adapun kalimat adalah satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan atau
tulisan, yang mengungkapkan pikiran yang utuh. Gagasan yang tunggal
38 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2006), cet. Ke-6, h. 238. 39 Eriyanto, Analisis Framing, 2. 263. dinyatakan dalam kalimat tunggal, dan gagasan yang bersegi dinyatakan
dalam kalimat majemuk.40
Perangkat lain adalah proposisi, menurut Poespoprodjo proposisi adalah
suatu penuturan yang utuh, atau ungkapan keputusan dalam kata-kata atau
juga manifestasi luaran dari sebuah keputusan.41
Kata ganti adalah elemen untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan
suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh
komunikator untuk menunjukkan di mana posisi seseorang dalam wacana.42
4. Struktur Retoris
Retoris berhubungan dengan bagaimana penulis cerita menekankan arti
tertentu ke dalam cerita. Struktur ini akan melihat bagaimana penulis cerita
memakai pilihan kata, idiom, bentuk citra yang ditampilkan sebagai
penekanan arti tertentu kepada pembaca atau penonton.
Leksikon adalah pemilihan dan pemakaian kata-kata tertentu untuk
menandai atau menggambarkan peristiwa. Pilihan kata-kata yang dipakai
menunjukkan sikap dan ideologi tertentu.43
Sedangkan metafora, dimaksudkan sebagai ornamen atau bumbu dari suatu
cerita. Pemakaian metafora ini bisa menjadi petunjuk utama untuk mengerti
makana suatu teks. Penulis cerita menggunakan kepercayaan masyarakat,
ungkapan sehari-hari, peribahasa, pepatah, petuah leluhur, kata-kata kuno,
bahkan mungkin ungkapan yang diambil dari ayat-ayat suci untuk
40 E. Zaenal Arifin, dan S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: Akademika Pressindo, 1995), Ed. Baru, cet. Ke-1, h. 78. 41 Poespoprodjo, Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu (Bandung: Pustaka Grafika, 1999), h. 170. 42 Eriyanto, Analisis Wacana, h. 253. 43 Eriyanto, Analisis Framing, h. 257-226. memperkuat pesan utama. Penggunaan metafora ini sebagai landasan berpikir
atas pendapat atau gagasan tertentu kepada publik.44
C. Film Sebagai Media Komunikasi dan Dakwah
1. Pengertian Film
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI: 2003), film diartikan
sebagai: (1) Selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar
negatif (yang akan dibuat potret) atau untuk tempat gambar positif (yang akan
dimainkan di bioskop); (2) Lakon (cerita) gambar hidup.45
Para teoritikus film menyatakan bahwa film adalah perkembangan yang
bermuncul dari fotografi. Hanya saja foto tidak memperlihatkan ilusi gerak
(baca: statis), sedangkan film meberikan ilusi gerak (moving camera).
Film adalah gambar hidup, juga sering disebut dengan movie. Gambar
hidup adalah bentuk seni, bentuk popular dari hiburan dan juga bisnis. Film
merupakan teknologi hiburan massa dan untuk menyebarluaskan informasi
dan berbagai pesan dan skala luas disamping pers, radio, dan televisi.46
Sebagai media rekam film menyajikan gambar figuratif dalam bentuk objek-
objek fotografis yang dekat dengan kehidupan manusia (Andre Garcies).47
Berdasarkan Undang-undang perfilman No. 8 Tahun 1992: film adalah
karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa
pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam
pada seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan
44 Ibid., h. 259. 45 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Edisi Ke-3, h. 316. 46 Sean McBride, Komunikasi dan Masyarakat Sekarang dan Masa Depan: Aneka Suara Satu Dunai, (Terj) (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), h. 20. 47 Muslikh Madiyant, Sinema Sastra: Mencari Bahasa di Dalam Teks Visual, Jurnal Humaniora, Volume XV, No.2/2003. teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis dan ukuran melalui proses
kimiawi, elektronik, atau lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik,
elektronik, dan/atau lainnya. Sedangkan perfilman itu sendiri adalah seluruh
kegiatan yang berhubungan dengan pembuatan, jasa, teknik, pengeksporan,
pengimporan, pengedaran, pertunjukkan, dan/atau penayangan film.48
Film tidak hanya sekedar cerita semata melainkan sebuah gambaran dalam
kehidupan sosial sebuah komunitas. Film memiliki realitas kelompok
masyarakat baik realitas dalam bentuk imajinasi atau realitas dalam arti
sebenarnya.
Film adalah fenomena sosial, psikologi dan estetika yang kompleks. Film
adalah dokumen yang terdiri dari cerita dan gambar diiringi kata-kata dan
musik. Jadi, film adalah produksi yang multi-dimensional dan sangat
kompleks.49 Sehingga film dapat memberikan pengaruh bagi jiwa manusia,
karena dalam suatu proses menonton film terjadi suatu gejala yang disebut
oleh ilmu jiwa sosial sebagai identifikasi sosiologi sesuai dengan karakteristik
dan keunikan yang ada pada film, dan ini adalah salah satu kelebihan film
sebagai media massa dibanding dengan media massa lainnya.
Film tidak hanya memberikan hiburan semata tetapi lebih dari itu film
sudah masuk ke dalam sebuah kebudayaan yang tidak hanya sekedar objek estetika.
Dari banyak penjelasan di atas tentang film, maka penulis menyimpulkan
bahwa pengertian film adalah cerita atau gambaran realita kehidupan sehari-
48 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32. 49 Ibid., h. 121. hari yang digambarkan melalui media elektronik audio-visual untuk
disampaikan kepada khalayak ramai.
a. Perkembangan Film
Film merupakan salah satu media komunikasi massa yang baru dimulai
pada tahun 1906, ketika Ferdinand Zecca da Prancis membuat film yang
berjudul The Story of Crime, dan Edward S. Porter membuat film yang
berjudul The life of an American Fireman pada tahun 1902. Akan tetapi karya
yang dianggap sebagai film cerita yang pertama adalah karya Edward S. Porter
yang berjudul The Great Train Roberry50, karena film yang hanya berdurasi
sebelas menit ini sudah memiliki teknik pembuatan film yang mengagumkan
pada saat itu.
Setelah film ditemukan pada akhir abad ke-19, film mengalami
perkembangan seiring dengan perkembangan teknologi yang mendukung.
Pada awalnya hanya dikenal film hitam-putih dan tanpa suara.
Adapun menurut sejarah perfilman di Indonesia, film pertama yang
diprodusir di Negeri ini adalah film yang berjudul Lady Van Java oleh seorang
yang bernama David pada tahun 1926 di kota Bandung. Sehingga pada tahun
1930 masyarakat Indonesia telah disajikan dengan film-film yang semakin
merebak seperti film Lutung Kasarung, Si Conat dan Pareh. Namun film yang
disajikan masih merupakan film bisu.51
50 Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: Alumni, 1978), h. 201-202. 51 Elvianaro Ardianto dan Lukiati Komala Erdinaya, Komunikasi Massa Suatu Pengantar (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2004), Cet. Ke-1. h. 135. Peralatan produksi film telah mengalami perkembangan dari waktu ke
waktu, pada akhir tahun 1920-an mulai dikenal film bersuara, dan menyusul
film warna pada tahun 1930-an.52
Lebih lanjutnya Onong Uchjana effendy juga menjelaskan bahwa :
“Pada tahun 1953 diketengahkan sistem tiga dimensi, yaitu suatu sistem yang benar-benar menimbulkan kesan yang mendalam, karena apa yang dilihat penonton tidak lagi latar, sehingga terlihat tampak benar-benar seperti kenyataan. Pada tahun yang sama, perusahaan film 20 Century Fox memperkenalkan cinemascope dengan layarnya yang lebar. Sementara itu perusahaan film Paramount berhasil menampilkan sistem vista vision yang meskipun layarnya tidak selebar cinemascope tetapi gambar yang ditampilkan sangat tajam.”53
Dalam The Art of Film, Ernest Lindgren menyatakan, adalah mustahil
untuk membayangkan sesuatu yang dapat dilihat oleh mata atau didengar oleh
telinga, baik sesuatu yang benar-benar ada maupun sesuatu yang ada dalam
khayalan, yang tidak dapat disajikan dalam media film.54 b. Jenis-jenis Film
Dewasa ini terdapat pelbagai ragam film. Meskipun cara pendekatan
berbeda-beda, semua film dapat dikatakan mempunyai satu sasaran, yaitu
menarik perhatian orang terhadap muatan masalah-masalah yang dikandung.
Selain itu film dapat dirancang untuk melayani keperluan publik terbatas
maupun publik yang seluas-luasnya.
Pada dasarnya film dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yakni film
cerita dan film noncerita. Film cerita adalah film yang diproduksi berdasarkan
cerita yang dikarang dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Pada umumnya film
cerita bersifat komersial, artinya dipertunjukkan di bioskop dengan harga
52 Marseli Sumarno, Dasar-dasar Apresiasi Film (Jakarta: Grasindo, 1996), h. 9. 53 Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat komunikasi, Opcit, h. 58. 54 Pranajaya, Film dan Masyarakat, h. 9-10. karcis tertentu atau diputar di televisi dengan dukungan sponsor iklan tertentu.55
Film cerita memiliki pelbagai jenis, diantaranya sebagai berikut:
a. Film Drama; adalah suatu kejadian atau peristiwa hidup yang hebat,
mengandung konflik pergolakan, clash atau benturan antara dua orang
atau lebih. Sifat drama antara lain romance, tragedy dan comedy.
b. Film Realisme; adalah film yang mengandung relevansi dengan
kehidupan sehari-hari.
c. Film Sejarah; melukiskan kehidupan tokoh tersohor dan peristiwanya.
d. Film Horor/Misteri; mengisahkan cerita yang menyeramkan,
mengupas terjadinya fenomena supranatural yang menimbulkan rasa
wonder, heran, takjub dan takut.
e. Film Perang; menggambarkan peperangan atau situasi di dalamnya
atau setelahnya.
f. Film Anak; mengupas kehidupan anak-anak.
Dalam pembuatan film-film cerita ini dibutuhkan proses pemikiran dan proses teknis. Proses pemikiran berupa pencarian ide, gagasan atau cerita yang akan digarap. Sedangkan proses teknis berupa keterampilan artistik untuk mewujudkan segala ide, gagasan atau cerita menjadi film yang siap ditonton. Oleh karena itu film cerita dapat dipandang sebagai wahana penyebaran nilai- nilai.56
Sedangkan film non-cerita merupakan kategori film yang mengambil
kenyataan sebagai subjeknya. Jadi merekam kenyataan daripada fiksi tentang
55 Ibid. 56 Ibid., h. 13. kenyataan.57 Yang termasuk film noncerita adalah film dokumenter dan film
faktual.
Film dokumenter adalah film yang hanya merekam kejadian tanpa diolah
lagi, misalnya dokumentasi upacara kenegaraan. Selain mengandung fakta,
film dokumenter juga mengandung subjektifitas pembuat.58 Subjektivitas
diartikan sebagai sikap atau opini terhadap peristiwa. Adapun film faktual
pasa umumnya hanya menampilkan fakta – sekedar merekam peristiwa.
Dengan kata lain, film dokumenter bukan cerminan pasif dari kenyataan,
melainkan ada proses penafsiran atas kenyataan yang dilakukan oleh si
pembuat film dokumenter.59
Adapun film faktual disebut juga dengan film berita (newsreel), yakni film
mengenai fakta dan peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi yang disajikan
melalui media televisi, dengan dipandu gambar film dan berita yang pesannya
lebih bersifat penerangan atau informasi atau pengetahuan bagi penonton. c. Unsur-unsur Film
Menurut Adi Pranajaya dalam bukunya yang berjudul Film dan
Masyarakat menuliskan bahwa film mempunyai beberapa unsur sebagai
berikut:
a. Tittle adalah judul dari film. b. Crident Tittle, meliputi produser, crew, aktor/artis, dan lain-lain. c. Tema Film, merupakan inti cerita yang terdapat dalam sebuah film. d. Intrik, usaha pemeran oleh pemain dalam menceritakan adegan yang telah disiapkan dalam naskah untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh sutradara. e. Klimaks, yaitu puncak dari inti cerita yang disampaikan. Klimaks dapat berbentuk komflik atau benturan antar pemain.
57 Ibid., h. 10. 58 Ibid., h. 14. 59 Ibid., h. 14. f. Plot, yaitu alur atau jalan cerita dalam film. Alur terdapat dua macam yakni alur maju yang disampaikan pada masa sekarang atau mendatang, dan alur mundur adalah cerita yang disampaikan tentang cerita masa lalu. g. Suspen, keterangan pada masalah yang terkatung-katung. h. Million Setting, latar kejadian dalam sebuah film baik berupa waktu, tempat, perlengkapan, aksesoris atau fashion yang disesuaikan. i. Sinopsis, gambaran cerita yang disampaikan dalam sebuah film dan berebentuk naskah. j. Trailer, merupakan bagian film yang menarik. k. Character, karakteristik dari para pelaku dalam sebuah film.
d. Stuktur-struktur Film
a. Pembagian cerita. b. Pembagian adegan (squence). c. Penganbilan gambar (shoot). d. Pemilihan adegan pembuka (opening). e. Alur cerita dan continuity. f. Intrique yang meliputi jealousy, penghianatan, rahasi bocor, tipu muslihat dan lain-lain. g. Anti klimaks, penyelesaian masalah – dilakukan setelah klimaks. h. Ending, akhir cerita dari sebuah film, bisa berakhir bahagia (happy ending) atau berakhir menyedihkan (sad ending).60
2. Pendekatan Menganalisa Film
Menurut James Monaco dalam How to Read a Film, mengatakan bahwa
memahami film adalah memahami bagaimana setiap unsur, baik sosial,
ekonomi, politik, budaya, psikologi dan estetis film masing-masing mengubah
diri dalam hubungannya yang dinamis.61
Menilai sebuah film pada hakikatnya dalah menganalisis unsur-unsur sebuah film tanpa terlepas dari kebulatannya. Baik sifat, proporsi, fungsi, dan saling hubungan dari unsur-unsurnya. Kalaupun kemudian terjadi sudut pandang dan hasil penilaian yang berbeda karena film memiliki keunikan dan kompleksitasnya sendiri. Yaitu memiliki dimensi etis, politis, psikologis, sosiologis dan estetis. Namun, film juga mengadaptasi nilai-nilai seni lainnya, seperti musik, drama, sastra dan lain-lain. Selain itu film tidak selalu memiliki struktur yang jelas, yang bisa didekati dengan formal, sistematis, rasional dan teratur. Akan tetapi jika sebuah film cukup efektif, maka ia dapat didekati dalam tanggapan emosional, intuitif, dan lewat pengalaman-pengalaman kehidupan.62
60 Ibid., h. 103. 61 Garin Nugroho, Kekuasaan dan Hiburan (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1998), h. 76. 62 Ibid., h. 83-85. Apresiasi terhadap film dapat dikatakan sebagai upaya untuk
meningkatkan daya persepsi seseorang terhadap film-film yang disaksikan
setiap hari melalui televisi, bioskop umum dan tempat pertunjukkan lainnya.
Dengan demikian penonton dapat membedakan antara film yang berkesan
dangkal dan yang berkesan mendalam.
Analisa tidak menuntut, atau bahkan berusaha untuk menjelaskan
segalanya tentang suatu bentuk karya seni. Gambar-gambar yang mengalir
lincah, akan selalu menghindar dari analisa yang sempurna dan tidak ada
jawaban final yang tersedia buat setiap karya seni. Jadi, film tidak sepenuhnya
dapat ditangkap oleh sebuah analisa.63
Menganalisa sebuah film merupakan bentuk latihan mempersepsi dan memahami film. Dengan menganalisa sebuah film kita akan memperoleh manfaat yang maksimal dari pertunjukkan film, menghargai film yang berkualitas baik dan mengesampingkan film yang buruk, serta kita dapat menjaga diri dari pengaruh-pengaruh negatif yang mungkin timbul dari film.64
3. Film Sebagai Media Dakwah
Era informasi yang ditandai dengan maraknya berbagai macam media
massa sebagai sarana komunikasi sudah seharusnya umat Islam mampu
memanfaatkan media massa tersebut untuk berdakwah. Tentu saja dakwah
melalui media massa ini yang harus berjalan seiring dengan pelaksanaan
format dakwah lainnya.
Media komunikasi (radio, televisi, internet, buku, koran dan majalah)
memiliki nilai strategis sebagai media dakwah, karena media-media tersebut
mempunyai banyak keutamaan:65
1. Program yang dipersiapkan oleh seorang ahli, sehingga materi yang disampaikan benar-benar bermutu.
63 Sumarno, Apresiasi Film, h. 46. 64 Ibid., h. 28. 65 Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: al-Ikhlas, 1983), h.176. 2. Media komunikasi tersebut merupakan bagian dari budaya masyarakat. 3. Mudah dijangkau oleh berbagai lapisan masyarakat. 4. Media tersebut memiliki barbagai fungsi positif bagi kebaikan kehidupan sosial manusia yang antara lain menyampaikan kebijakan, informasi secara tepat dan akurat.
Pada perkembangan zaman sekarang ini pemanfaatan berbagai macam
sarana komunikasi dan informasi yang semakin canggih, media cetak maupun
elektronik, audio atau audio visual dan internet adalah merupakan sarana
penunjang untuk berdakwah agar ajaran Islam dapat diterima di masyarakat.
Dari sekian banyak media yang digunakan salah satunya adalah film yang
mempunyai daya tarik tersendiri dengan keragaman cerita serta aktor dan artis
yang tidak membosankan bagi audiensnya.
Dalam kehidupan masyarakat yang semakin kompleks ini, dakwah Islam
memerlukan sebuah strategi baru yang mampu mengantisipasi perubahan
zaman yang semakin dinamis. Oleh sebab itu, dalam rekayasa peradaban Islam
sekarang ini guna menyongsong kebangkitan umat di zaman modern saat ini
diperlukan formasi strategi yang tepat.
Salah satu di antara unsur penting dalam sistem kebudayaan adalah
kesenian. Melalui kesenianlah manusia mampu memperoleh saluran untuk
mengekspresikan pengalaman serta ide yang mencerdaskan kehidupan
batinnya. Di antara jenis kesenian yang diciptakan manusia adalah film.
Sebagai komunikasi massa, film dapat memainkan peran dirinya sebagai
saluran menarik untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu dari dan untuk
manusia, termasuk pesan-pesan keagamaan yang lazimnya disebut dengan
dakwah.66 Karena kelebihan film adalah memiliki pengaruh terhadap penonton
66 Miftah Faridl, Dakwah Kontemporer Pola Alternatif Dakwah Melalui Televisi, (Bandung: Pusdai Press, 2000), Cet. Ke-1, h. 93. mulai dari gaya hidup bahkan sampai karakter diri sang penonton. Dengan
begitu film juga dapat berfungsi sebagai media dakwah yang efektif.
D. Perkawinan Menurut Islam
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan pranata sosial yang telah ada sejak manusia
diciptakan oleh Allah SWT, yakni antara Adam a.s. dan Siti Hawa. Sehingga
dapat dikatakan bahwa sudah menjadi fitrah manusia untuk hidup berpasang-
pasangan.
Menurut bahasa perkawinan adalah pengumpulan, sedangkan menurut
syar’i (hukum) perkawinan adalah suatu akad yang mengandung kebolehan
untuk bersenang-senang bagi masing-masing pasangan (suami-istri) atas dasar
yang disyariatkan.67 Sedangkan dalam UU No. 1/1974 pasal 1 disebutkan
bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami-istri.68
Di kalangan bangsa Arab, lafadz nikah (perkawinan) dipergunakan untuk arti akad, senggama dan bersenang-senang. Akan tetapi secara hakikat lafadz nikah dikhususkan untuk akad dan secara kiasan dipergunakan sebagai arti senggama. Secara umum penggunaan lafadz nikah dalam al-Qur’an hanya dipergunakan dalam arti akad, bukan senggama.69
Perkawinan dalam Islam dinamakan “zawaj” atau “nikah”. Zawaj berasal
dari kata zaujun yang berarti pasangan yang tidak dapat dipisahkan. Jadi zawaj
adalah pasangan dalam arti dua makhluk dijadikan pasangan hidup.70
Sedangkan nikah membawa arti lebih sempit, yakni menghubungkan dua jenis
67Luthfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita (Tangerang: CV Pamulang, 2005), h. 1-2. 68 Ibid., h. 1. 69 Ibid., h. 2. 70 Fuad Mohd. Fachrudin, Kawin Mut’ah Dalam Pandangan Islam (Jakarta: Penerbit Pedoman Ilmu Jaya,1992), h. 6. manusia untuk hidup bersama dan menghalalkan – menggunakan tubuh
masing-masing untuk apa yang telah dihalalkan oleh Allah.71
Perkawinan dalam Islam memiliki lima rukun yang harus dipenuhi secara kumulatif. Pemenuhan lima rukun ini dimaksudkan agar perkawinan yang merupakan perbuatan hukum ini dapat berakibat hukum, yakni timbulnya hak dan kewajiban. Lima rukun tersebut meliputi calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab - kabul.72
2. Tujuan Perkawinan
Allah telah menciptakan lelaki dan perempuan sehingga mereka dapat
berhubungan satu sama lain, saling mencintai dan menghasilkan keturunan
serta dapat hidup dalam kedamaian sesuai dengan perintah Allah SWT dan
Rasul-Nya. Sebagaimana tersebut dalam Q.S. ar-Rum ayat 21.