Potret Yogyakarta Dalam Dunia Film Indonesia
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
SENI BUDAYA YOGYAKARTA VOLUME XI NOMOR 3/2016 Potret Yogyakarta dalam Dunia Film Indonesia SENI BUDAYA YOGYAKARTA VOLUME XI NOMOR 3/2016 EDITORIAL 2 Yogya dan Mimpi Film Indonesia JENDELA 4 Membaca Pemikiran dan Nilai Film di Indonesia 14 Potret Yogyakarta dalam Dunia Film Indonesia 24 Denyut Palu Arit dalam Pita Seluloid 32 Ketika “Bangkong” Menyingkirkan Krugers 36 From Jogja With Film Foto: Tim Dokumentasi Fourcolour Films. Keterangan: Potret salah satu scene pada film “Semalam Anak Kita Pulang” (2015). 38 SKETSA Puisi-Puisi Penanggungjawab Umum Redaktur Diterbitkan oleh Taman Budaya Yogyakarta Drs. Umar Priyono, M.Pd. Suwarno Wisetrotomo Jl. Sriwedani No. 1 Yogyakarta 55123 Stanislaus Yangni Telp: (0274) 523512, 561914 Fax: (0274) 580771 Penanggungjawab Teknis Satmoko Budi Santoso Email: [email protected] Drs. Diah Tutuko Suryandaru Website: www.thewindowofyogyakarta.com Penanggungjawab Anggaran Editor Dra. Siswati Dra. V. Retnaningsih Diproduksi di Yogyakarta Penanggungjawab Distribusi Kertas sampul: Aster, Isi: Matte Paper Desainer Dian Widowati L., SH Huruf: Leelawadee, Lato, HelveticaNeueLight, Adobe Garamond Pro Maria Inarita Uthe Ilustrasi: www.freepik.com Penanggungjawab Redaksional Viki Restina Bela Kuss Indarto Sekretariat Fotografer Matajendela, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali. Suroto, Bejo, Wahyudi, Suprayitno Rudi Subagyo, Redaksi menerima tulisan dari penulis, kritikus dan pemerhati seni bu- Juiyus W., Joko Setiawan Lukito daya. EDITORIAL Yogya dan Mimpi Film Indonesia Kuss Indarto ingga pertengahan tahun 1998 telah menjadi tonggak bagi berkaitan dengan campur tangan 2016, menurut data dari perubahan geopolitik di Indonesia pemerintah dalam produksi film. www.liputan6.com, jumlah yang berimbas hingga ke dunia Selama masa Orde Baru, berdasarkan Hpenonton film Indonesia (bukan semua kreatif, termasuk di antaranya di Undang-Undang No. 8 tahun 1992 film yang beredar di Indonesia!) telah jagat perfilman. Semangat degerulasi, tentang Perfilman, sebelum diproduksi mencapai angka 11 juta penonton. debiroktarisasi sampai melemahnya film harus didaftarkan kepada menteri Ini jauh melonjak ketimbang 15-10 sensor oleh negara terjadi setelah penerangan untuk mendapatkan Tanda tahun lalu. Tahun 2000 film kita transisi politik pada paruh kedua Pendaftaran Film Seluloid (TPP-PS), hanya ditonton oleh 1,8 juta orang, dasawarsa 1990-an tersebut. yang menjadi alat kontrol dan campur tahun 2001 (0,6 juta), 2002 (4,3 (Meskipun, sayangnya, sensor justru tangan pemerintah dalam industri juta), 2003 (4,7 juta), 2004 (6 juta), dilakukan oleh kelompok kepentingan film. Di ranah teknologi, persoalan 2005 (8,7 juta) dan 2006 (10 juta). politik dalam masyarakat sendiri processing film Indonesia mengalami Lonjakan angka ini memuat makna yang kadang berbungkus agama dan ketertinggalan, seperti sebelum adanya yang beragam. Kita bisa beranggapan semacamnya). kine transfer yang mampu mentransfer bahwa film Indonesia telah kembali video ke film cerita serta kualitas menemukan kekariban dengan Kita bisa menilik pendapat Budi audio di laboratorium pemrosesan masyarakat penontonnya sendiri— Irawanto dalam buku “Menguak film di Indonesia yang tertinggal mengalahkan, atau mampu setidaknya Peta Perfilman Indonesia” (2014) dibandingkan dengan, misalnya, bersaing keras dengan minat terhadap bahwa setidaknya ada tiga simpul Singapura. film-film mancanegara yang beredar persoalan yang paling mendasar di sini. Market share film Indonesia dalam peta produksi film nasional, Pemetaan atas tiga hal tersebut—yang hingga medio tahun ini sebanyak 30% yaitu: (1) sumberdaya manusia, (2) berkait dengan problem kekuasaan dibanding film asing yang masing regulasi produksi, dan (3) teknologi negara—memang ada benarnya. mendominasi hingga 70%. Anggapan dalam perfilman. Tiga persoalan Setelah Orde Baru runtuh banyak hal lain bisa dikemukakan pula kalau tersebut saling berhimpitan, tidak dalam peta yang diintroduksikan oleh angka tersebut mengisyaratkan bahwa mungkin terberai satu sama lain. Budi di atas berubah. Sumberdaya sekarang dunia perfilman Indonesia Dalam hal sumberdaya manusia, manusia banyak pembenahan, regulasi telah didukung perkembangannya oleh industri film Indonesia berkaitan dalam sistem produksi dibenahi situasi sosial politik yang kondusif. dengan ketersediaan para sineas yang sehingga kondusif, dan teknologi terbatas, serta infrastruktur pendidikan dalam perfilman dikebut mengejar Kita tahu, momentum jatuhnya tinggi perfilman yang juga terbatas ketertinggalan. Maka, dinamika dan pemerintahan rezim Orde Baru tahun jumlahnya. Persoalan regulasi produksi perkembangan dunia film Indonesia, 4 dari produksi, distribusi, hingga tak banyak mengantisipasi untuk bergerak dan berupaya membenahi konsumsi menggeliat terus. mengatasi problem ini tapi justru segala lini yang tertinggal, termasuk memberi ruang gerak yang bebas atas kepemilikan atas visi pada film yang Lalu, apakah perkembangan ini juga mengguritanya film impor kepada mencerahkan publik. segaris dengan problem kualitas film para importir. Kita tahu, perusahaan kita? Ini pancingan pertanyaan yang importir film Subentra dan jaringan Maka, menarik sebenarnya dengan hal bisa menjadi perdebatan panjang (dan bioskop 21 (dwi-mono) adalah milik yang banyakm terjadi dan lambat-laun belum tentu berkesudahan). Kita bisa pengusaha Sudwikatmono yang muncul di berbagai kawasan, terutama menilik kilasan sejarah dunia perfilman (kebetulan) adalah adik Tien Soeharto, di Yogyakarta. Lingkungan dan kita untuk mengkaji problem kualitas first lady Indonesia yang diduga banyak atmosfir kreatif telah lama terbangun, itu. Mulai dari masa-masa riuhnya mempengaruhi kebijakan-kebijakan lembaga pendidikan yang bertalian erat sepak terjang Ismail Marzuki, suaminya, Soehato. dengan dunia film—seperti Jurusan Sjumandjaya, hingga Teguh Karya Televisi di ISI Yogyakarta, dan sekian dan Slamet Rahardjo, lalu disambung Banyak pengamat memberi excuse banyak kampus lain—telah memberi dengan hadirnya Garin Nugroho atau permaafan atas gejala tersebut. kontribusi banyak bagi lahirnya dalam kerontangnya dunia perfilman Misalnya Garin Nugroho dan Dyna para sineas muda yang berbakat Indonesia. Tahun-tahun setelah itu Herlina dalam buku “Paradoks dan dan visioner. Bukan semata-mata kita bisa menyimak karya-karya sineas Kontradiksi Film Indonesia” (2013) menghamba pada perputaran roda generasi baru berikutnya seperti Riri menyebut bahwa maraknya film horror industrialisasi fulm yang menggerus Riza, hingga Ifa Isfansyah, Eddy pada waktu itu sebagai genre untuk idealisme. Cahyono sampai anak muda Wregas melawan krisis. Krisis itu sebagai Bhanuteja, dan sekian banyak nama akibat dari liberalisasi perdagangan Menarik pula bahwa kekuatan lain yang tak mungkin bisa diabsen internasional, dan industri film sumberdaya perfilman dari Yogyakarta satu persatu dalam ruang ini. nasional yang tidak memiliki persiapan secara pelahan telah memberi asupan memadai telah terpukul dengan telak. gizi yang memperkaya khasanah film Di celah nama-nama yang berupaya Maka, upaya perlawanan yang bisa Indonesia: narasi-narasi film bukan menghidupkan film Indonesia dilakukan adalah melahirkan film-film hanya berbincang tentang dunia kelas dan membopong idealisme versi genre horor dan seks sebagai pilihan menengah atas, bukan tentang mimpi mereka masing-masing, publik bisa pertama dan utama. kosong yang miskin kreativitas dan mendeteksi alur sejarah film yang minim inspirasi. Ada anak-anak muda penuh gejolak bahkan mungkin bisa Jauh kurun waktunya dari masa- yang mengawali proses di Yogyakarta disebut sebagai “bopeng”. “Bopeng” masa itu, setelah masuk masa seperti Ifa Isfansyah, Eddy Cahyono, itu antara lain menderasnya film-film reformasi, ternyata dunia film kita Wregas Bhanuteja, yang menyimpan yang mengetengahkan tema-tema masih membopong “bopeng” seperti magma besar untuk mengayakan dunia hantu dan seks sebagai “basis utama” itu. Kita bisa simak film-film yang film Indonesia. Film Indonesia tak lagi kehadiran film Indonesia. Film-fim sulit untuk bisa mencerdaskan dan menarik ketika direpresentasikan hanya itu konon merupakan jenis film inspiratif bagi masyarakat seperti oleh potongan dunia glamor Jakarta yang paling mudah dibuat dengan “Suster Keramas”, Rintihan Kuntilanak”, yang tak jarang kering dan miskin ide. serempak dan dengan biaya murah “Pocong Mandi Goyang Pinggul”, dan Kekuatan Yogyakarta siap mengambil (low budget). Ini “bopeng”, namun masih banyak lagi. Demi “horror peran penting dalam upaya pengayaan apa boleh buat, tema-tema inilah dan sensualitas yang total”, produser pelangi film Indonesia itu. Kenapa yang boleh dikatakan menyelamatkan kita bahkan mendatangkan bintang tidak? film Indonesia dari kematian di era film porno dari Jepang dan Amerika akhir 1980-an hingga 1990-an. Pada Serikat seperti Rin Sakuragi, Sora kurun waktu itu film-film produksi Aoi, Sasha Grey dan Terra Patrick. Ini Hollywood menyerbu Indonesia bagai luar biasa mengenaskan bagi dunia Kuss Indarto, pemimpin redaksi. tsunami yang tak terbendung. Negara film Indonesia yang sebenarnya terus Volume XI Nomor 3/2016 | matajendela 5 JENDELA Membaca Pemikiran dan Nilai Film di Indonesia Deni S. Jusmani 6 ilm memiliki kemampuan untuk Menurut catatan Dewi, film pertama Suasana proses produksi film “SITI” di Pantai menyesuaikan dengan kondisi kali dipertontonkan untuk khalayak Parangkusumo, Bantul Yogyakarta. budaya, bahkan seringkali umum dengan membayar berlangsung Foto oleh Tim Dokumentasi Fourcolour Films. Fdikatakan sebagai sebuah industri di Grand Cafe Boulevard