Kawasan Malioboro Sebagai Daya Tarik Wisata Utama Di Yogyakarta

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Kawasan Malioboro Sebagai Daya Tarik Wisata Utama Di Yogyakarta Domestic Case Study 2018 Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta Kawasan Malioboro Sebagai Daya Tarik Wisata Utama Di Yogyakarta Stefanus Rinaldi Galura 1702768 Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta Abstract : Makalah ini merupakan hasil laporan Domestic Case Study untuk syarat publikasi ilmiah di Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta dengan Judul Kawasan Malioboro Sebagai Daya Tarik Wisata Utama Di Yogyakarta. 1. Pendahuluan Domestic Case Study (DCS), adalah program peninjauan dan penelitian secara langsung yang diselenggarakan Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo (STIPRAM) Yogyakarta sebagai salah satu syarat kelulusan Strata 1, dimana para mahasiswa mampu mempotret, mencatat, dan menganalisa segala kegiatan yang mereka kunjungi. Para mahasiswa juga dibekali dengan program seminar tentang Kepariwisataan dan Perhotelan, yang mana hasil penelitian tersebut ditulis dalam bentuk karya tulis dengan jurnal akademik. Pada hari Jumat, tanggal 12 Januari sampai 14 Januari 2018 , Para mahasiswa STIPRAM Yogyakarta melaksanakan program Domestic Case Study ,sebagai penggantinya dengan menghadiri Jambore Nasional yang bertemakan “Responsible Tourism” (Pariwisata Berbasis Lingkungan)[1]. Seminar tersebut dilaksanan di Bumi Perkemahan Kaliurang, Yogyakarta, Penulis mendapatkan informasi tentang bagaimana cara merawat, menjaga alam, pemberdayaan sumber daya alam yang baik dan tentang kebahagian diri sendiri. Jalan Malioboro adalah nama salah satu kawasan jalan dari tiga jalan di Kota Yogyakarta yang membentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke perempatan Kantor Pos Yogyakarta. Secara keseluruhan terdiri dari Jalan Margo Utomo, Jalan Malioboro, dan Jalan Margo Mulyo. Jalan ini merupakan poros Garis Imajiner Kraton Yogyakarta. Pada tanggal 20 Desember 2013, pukul 10.30 oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X nama dua ruas jalan Malioboro dikembalikan ke nama aslinya, Jalan Pangeran Mangkubumi menjadi jalan Margo Utomo, dan Jalan Jenderal Achmad Yani menjadi jalan Margo Mulyo. Terdapat beberapa objek bersejarah di kawasan tiga jalan ini antara lain Tugu Yogyakarta, Stasiun Tugu, Gedung Agung, Pasar Beringharjo, Benteng Vredeburg, dan Monumen Serangan Oemoem 1 Maret. Jalan Malioboro sangat terkenal dengan para pedagang kaki lima yang menjajakan kerajinan khas Jogja dan warung- warung lesehan di malam hari yang msenjual makanan gudeg Jogja serta terkenal sebagai tempat berkumpulnya para seniman yang sering mengekpresikan kemampuan mereka seperti bermain musik, melukis, hapening art, pantomim, dan lain-lain di sepanjang jalan ini. Sejak awal degup jantung Malioboro berdetak ,telah menjadi pusat pemerintahan dan perekonomian perkotaan. Setiap bagian dari jalan Malioboro ini menjadi saksi dari sebuah jalanan biasa hingga menjadi salah satu titik terpenting dalan sejarah kota Yogyakarta dan Indonesia. Bangunan Istana Kepresidenan Yogyakarta yang dibangun tahun 1823 menjadi titik penting sejarah perkembangan kota Yogyakarta yang merupakan soko guru Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari bangunan ini berbagai perisitiwa penting sejarah Indonesia dimulai dari sini. Pada tanggal 6 Januari 1946, Yogyakarta resmi menjadi ibukota baru Republik Indonesia yang masih muda. Istana Kepresidenan Yogyakarta sebagai kediaman Presiden Soekarno beserta keluarganya. Pelantikan Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar TNI (pada tanggal 3 Juni 1947), diikuti pelantikan sebagai Pucuk Pimpinan Angkatan Perang Republik Indonesia (pada tanggal 3 Juli 1947), serta lima Kabinet Republik yang masih muda itu pun dibentuk dan 1 dilantik di Istana ini pula. Benteng Vredeburg yang berhadapan dengan Gedung Agung. Bangunan yang dulu dikenal dengan nama Rusternburg (peristirahatan) dibangun pada tahun 1760. Kemegahan yang dirasakan saat ini dari Benteng Vredeburg pertama kalinya diusulkan pihak Belanda melalui Gubernur W.H. Van Ossenberch dengan alasan menjaga stabilitas keamanan pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I. Pihak Belanda menunggu waktu 5 tahun untuk mendapatkan restu dari Sultan Hamengkubuwono I untuk menyempurnakan Benteng Rusternburg tersebut. Pembuatan benteng ini diarsiteki oleh Frans Haak. Kemudian bangunan benteng yang baru tersebut dinamakan Benteng Vredeburg yang berarti perdamaian. Malioboro menyajikan berbagai aktivitas belanja, mulai dari bentuk aktivitas tradisional sampai dengan aktivitas belanja modern. Salah satu cara berbelanja di Malioboro adalah dengan proses tawar-menawar terutama untuk komoditi barang barang yang berupa souvenir dan cenderamata yang dijajakan oleh pedagang kaki lima yang berjajar di sepanjang trotoar jalan Malioboro. Berbagai macam cederamata dan kerajinan dapat anda dapatkan disini seperti kerajinan dari perak, kulit, kayu, kain batik, gerabah dan sebagainya. Di sepanjang jalan, Anda bisa menjumpai berbagai macam souvenir khas Jogja seperti kerajinan perak, rotan, wayang kulit, batik dan juga blangkon. Aneka macam souvenir ini bisa Anda peroleh dengan harga terjangkau. Apalagi jika Anda pandai menawar. Beraneka macam jajanan khas Jogja seperti bakpia, pecel, es dawet dan sate gajih pun bisa Anda jumpai di sana. Menjelang malam jalan Malioboro juga dipenuhi dengan aneka pedagang kuliner. Anda bisa menikmati aneka kuliner sembari duduk lesehan dan diiringi lagu-lagu dari para pengamen jalanan. Tersedia pula angkringan khas Jogja yang siap menjamu Anda dengan hidangan khasnya. Menikmati pengalaman berbelanja, berburu cinderamata khas Jogja, wisatawan bisa berjalan kaki sepanjang bahu jalan yang berkoridor (arcade). Di sini akan ditemui banyak pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya. Mulai dari produk kerajinan lokal seperti batik, hiasan rotan, wayang kulit, kerajinan bambu (gantungan kunci, lampu hias dan lain sebagainya) juga blangkon (topi khas Jawa/Jogja) serta barang- barang perak, hingga pedagang yang menjual pernak pernik umum yang banyak ditemui di tempat perdagangan lain. Sepanjang arcade, wisatawan selain bisa berbelanja dengan tenang dalam kondisi cerah maupun hujan, juga bisa menikmati pengalaman belanja yang menyenangkan saat menawar harga. Jika beruntung, bisa berkurang sepertiga atau bahkan separohnya. Jangan lupa untuk menyisakan sedikit tenaga. Masih ada pasar tradisional yang harus dikunjungi. Di tempat yang dikenal dengan Pasar Beringharjo, selain wisatawan bisa menjumpai barang-barang sejenis yang dijual di sepanjang arcade, pasar ini menyediakan beraneka produk tradisional yang lebih lengkap. Selain produk lokal Jogja, juga tersedia produk daerah tetangga seperti batik Pekalongan atau batik Solo. Mencari batik tulis atau batik print, atau sekedar mencari tirai penghias jendela dengan motif unik serta sprei indah bermotif batik. Tempat ini akan memuaskan hasrat berbelanja barang-barang unik dengan harga yang lebih murah. 2. Pembahasan A. Sejarah Malioboro Asal Mula Nama Jalan Malioboro Yogyakarta yang merupakan sebuah tafsir tentang kearifan luhur atas seruas marga Sang Raja yang menautkan antara Keraton dan Merapi. Jalan Malioboro yang selama ini akrab bagi para wisatawan Yogyakarta yang tetap istimewa memang menyediakan aneka fasilitas belanja murah dan hemat selain juga yang mahal karena mutu. “Jalan raya itu telah ditata dan digunakan untuk keperluan upacara tertentu sekitar lima puluh tahun sebelum Inggris berkuasa di Jawa,” ungkap Peter Brian Ramsey Carey, “dan kemungkinan hal itu telah dikenal sebagai 'Jalan Maliabara' sejak awalnya.”Peter B.R. Carey mengungkapkan hal tersebut dalam tulisannya Jalan Maliabara ( 'Garland Bearing Street' ): The Etymology and Historical Origins of a much Misunderstood Yogyakarta Street Name yang terbit dalam jurnal Archipel, Volume 27, 1984. Carey merupakan Emeritus Professor di Trinity College, Oxford, Inggris. Kini, dia juga menjabat sebagai Adjunct Professor di Departemen 2 Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Perdamaian Giyanti yang ditandatangani pada 22 Rabiulakhir 1680 dalam kalender Jawa, atau 12 Februari 1755, telah membagi kekuasaan Tanah Jawa menjadi Kasusunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Pembangunan bangunan inti Keraton Kasultanan Ngayogyakarta selesai pada 7 Oktober 1756, yang kemudian diperingati setiap tahunnya sebagai hari jadi Kota Yogyakarta. Bahasa Sansekerta telah berpengaruh dalam budaya dan sastra Jawa kuno. Carey menemukan sebuah petunjuk tentang asal nama Yogyakarta. Nama “Ngayogyakarta” rupanya berasal dari bahasa Sansekerta Ayodhya ( bahasa Jawa: “Ngayodya”), demikian hemat Carey. Dari penjelasan Carey tersebut, sepertinya kita harus menghormati kearifan pendiri kota ini dengan tetap melafalkan "Yogya" meskipun nama kota ini kerap ditulis sebagai "Jogja". Ayodhya, menurutnya, merupakan kota dari Sang Rama, seorang pahlawan India dalam wiracarita Ramayana. Demikian juga dengan nama Jalan “Maliabara”—atau yang biasa ditulis sebagai Malioboro—Carey berpendapat istilah itu diduga diadopsi juga dari bahasa Sansekerta “malyabhara”. Istilah Sansekerta “malya” ( untaian bunga ), “malyakarma” ( merawat untaian bunga ), “malyabharin” (menyandang untaian bunga) menurut Carey dapat ditemukan dalam kisah Jawa kuno. Ketiganya bisa dicari dalam kitab Ramayana abad ke-9, kitab Adiparwa dan Wirathaparwa abad ke -10, dan Parthawijaya abad ke -14. Sayangnya, ungkap Carey dalam jurnal tersebut, istilah tersebut tampaknya tidak ditemukan dalam naskah kontemporer yang berkait dengan pendirian Keraton Ngayogyakarta oleh Mangkubumi pada pertengahan abad ke - 18. Namun, pada kenyataannya Jalan Maliabara menjadi rajamarga yang berfungsi sebagai jalan raya seremonial yang membelah jantung kota, menautkan hubungan sakral
Recommended publications
  • Island Hopping Indonesia Audley Group Tour 5Th October 2012
    Island Hopping Indonesia Audley Group Tour 5th October 2012 Sunrise over Mount Bromo, Java We are proud to have received a number of awards over recent years. We have been the Daily Telegraph Ultra Travel Best Small Tour Operator winner and runner-up in the last three years and have been in the top five of the Guardian and Observer’s Best Small Tour Operator award for the past five years as well as featuring in Wanderlust magazine’s Top Tour Operators for the past nine years. The readers of Condé Nast Traveller magazine have also voted us their Favourite Specialist Tour Operator and we were included in the Sunday Times Travel Magazine’s 2011 Value for Money Awards. These awards are widely recognised as being the most respected in the travel industry as they are professional surveys of the publications’ readerships. With over 500 tour operators for you to choose from in the UK alone, we hope you find these awards are an additional reassurance of the quality of service you can expect from Audley. Contents Introduction, meet our specialists, climate ______________ 4 Flights and visas 5 Day by day summary of travel arrangements _____________ 6 Quotation 8 Tour Information ________________________________ 9 Why travel with us? ______________________________ 10 Photographs of the region _________________________ 12 Itinerary in detail ________________________________ 14 Accommodation information _______________________ 28 General information _____________________________ 33 Terms and conditions _____________________________ 36 Booking form _____________________________ back page Borobudur, Java An introduction to our Island Hopping Our Indonesia group tour specialists Indonesia group tour Sarah Howard With years of experience operating in Indonesia, we 01993 838 119 have designed this tour to take in some of our favourite sarah.howard:@audleytravel.com places from over the years.
    [Show full text]
  • PLACE BRAND EXPERIENCE WISATAWAN MALIOBORO TERHADAP CITY BRANDING DIY “JOGJA ISTIMEWA” (Studi Kualitatif Pada Pengalaman
    PLACE BRAND EXPERIENCE WISATAWAN MALIOBORO TERHADAP CITY BRANDING DIY “JOGJA ISTIMEWA” (Studi Kualitatif Pada Pengalaman Wisatawan Malioboro) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Oleh WAHIDA SARI PANGESTU 13321056 Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Yogyakarta 2018 i ii iii iv MOTTO “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (Qs. Ar Ra’d : 11) “You Think if You Think You Can” PERSEMBAHAN Karya ini saya persembahkan kepada : Mama, Bapak, dan Kedua adik saya v KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr.Wb Alhamdulilahirabbil’alamiin, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan Rahmad dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Place brand experience wisatawan Malioboro terkait city branding DIY “jogja istimewa” (Study kualitatif pada pengalaman wisatawan Malioboro). Shalawat serta salam tidak lupa penulis panjatkan Kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya yang selalu berjuang untuk Islam di Jalan Allah SWT. Skripsi ini disusun penulis, guna memenuhi syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana (SI) pada jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia. Skripsi ini merupakan penelitian kualitatif pada pengalaman wisatawan yang berkunjung ke Malioboro dimana kaitannya dengan “jogja istimewa”. Penelitian ini peneliti lakukan sebagai salah satu evaluasi dari city branding Daerah Istimewa Yogyakarta “jogja istimewa”. Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam bentuk material maupun non material hingga skripsi ini dapat terselesaikan.
    [Show full text]
  • Chapter Iv Object of Research Overview
    CHAPTER IV OBJECT OF RESEARCH OVERVIEW A. Profile Special District of Yogyakarta. 1. DIY Geographical. DIY was one of the provinces in Indonesia, located in the central part of Java Island. DIY position lies between 7°.33 '- 8°.12' south latitude and 110°.00 '- 110°.50' east longitude, and was recorded an area of 3185.80 km². 65% of the territory in the province at an altitude of between 100 m - 499 m above sea level; 28, 84% at an altitude of less than 100 m; 5, 04% at an altitude of between 500 m - 999 m and 0, 47% are at elevations above 1000 m. DIY is divided into five districts, namely Kulon Progo, Bantul District, Yogyakarta, Sleman and Gunung Kidul regency with the total number of villages in the districts of the village numbered 438. DIY provincial capital contained in the Yogyakarta District lead by Sultan HB X as governor of DIY. DIY there is a volcano of Mount Merapi with a height of 2,941 m, which is located in Regency Sleman. Several rivers also flow in the province, such as the Code River, Opak River, Progo River, River Gajahwong, Winongo and Serang River. DIY has a tropical climate which is influenced by the dry season and the rainy season. The total area owned by the widest Gunung Kidul Regency with an area of 1485.36 sq km area, followed by Kabupaten Kulonprogo with an area 586,27 km², Kabupaten Sleman with an area of 574.82 km², Bantul with an area of 506.85 km², and Regency Yogyakarta with the smallest area covering an area of 32.50 km² (Badan Pusat Statistik Provinsi D.I.Yogyakarta, 2016).
    [Show full text]
  • MOTIVASI PENGUNJUNG MELAKUKAN LEISURE and RECREATION DI DAYA TARIK WISATA MALIOBORO, YOGYAKARTA Abstract
    Jurnal Destinasi Pariwisata p-ISSN: 2338-8811, e-ISSN: 2548-8937 Vol. 9 No 1, 2021 MOTIVASI PENGUNJUNG MELAKUKAN LEISURE AND RECREATION DI DAYA TARIK WISATA MALIOBORO, YOGYAKARTA Ni Komang Otami Astuti Widiandari a, 1,Saptono Nugroho a, 2 1 [email protected], 2 [email protected] a Program Studi Sarjana Destinasi Pariwisata, Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana, Jl. Dr. R. Goris No 7, Denpasar, Bali 80232 Indonesia Abstract Shopping center Malioboro offers a variety of souvenirs typical of Yogyakarta such as shirts, batik, blankon, sandals, and various types of handicrafts. In addition, Malioboro also serves as a culinary center with stalls along the street serving typical food and beverages at very cheap prices. Malioboro also has old buildings of Dutch colonial heritage. This research is located at Jalan Malioboro, Sosromenduran, Gedong Tengen, Yogyakarta City, Special region of Yogyakarta. The aims of this research to understand the attraction, accessibility, amenities, and ancillary also the tourist motivations in this tourist destination. The accidental sampling technique using for informants to collecting data. This research uses qualitative methods with techniques of observation, interview, questionaire, and documentation study. The data analysist technique used descriptive qualitative analysis. The research finds that many variety of attractions (culinary, shopping tour, building architecture, and street artists), accesibility (by transportation and information), amenities (hotels and tourism support facilities) and ancillary (UPT and merchant associations) existed in Malioboro. The motivation of visitors divided by two factors that is the push factor (out of saturation and curiosity) and pull factor (images owned, cheap prices provided, and the atmosphere offered by Malioboro).
    [Show full text]
  • 1965 and Now in Indonesia by Martha Stroud a Dissertation Submitted In
    Ripples, Echoes, and Reverberations: 1965 and Now in Indonesia by Martha Stroud A dissertation submitted in partial satisfaction of the requirements for the degree Joint Doctor of Philosophy with University of California, San Francisco in Medical Anthropology in the Graduate Division of the University of California, Berkeley Committee in charge: Professor Nancy Scheper-Hughes, Chair Professor Laura Nader Professor Sharon Kaufman Professor Jeffrey A. Hadler Spring 2015 “Ripples, Echoes, and Reverberations: 1965 and Now in Indonesia” © 2015 Martha Stroud 1 Abstract Ripples, Echoes, and Reverberations: 1965 and Now in Indonesia by Martha Stroud Joint Doctor of Philosophy with University of California, San Francisco in Medical Anthropology University of California, Berkeley Professor Nancy Scheper-Hughes, Chair In Indonesia, during six months in 1965-1966, between half a million and a million people were killed during a purge of suspected Communist Party members after a purported failed coup d’état blamed on the Communist Party. Hundreds of thousands of Indonesians were imprisoned without trial, many for more than a decade. The regime that orchestrated the mass killings and detentions remained in power for over 30 years, suppressing public discussion of these events. It was not until 1998 that Indonesians were finally “free” to discuss this tragic chapter of Indonesian history. In this dissertation, I investigate how Indonesians perceive and describe the relationship between the past and the present when it comes to the events of 1965-1966 and their aftermath. Do the killings and detentions still emerge in and influence daily life today? If so, how? The experiences, interactions, and conversations I had and the interviews I conducted during two years of fieldwork, primarily in Yogyakarta on the island of Java, shape the form and focus of this dissertation.
    [Show full text]
  • Dari Jalan Kerajaan Menjadi Jalan Pertokoan Kolonial: Malioboro 1756-1941
    Volume 14 Number 2 ISSN 2314-1234 (Print) Page October 2018 ISSN 2620-5882 (Online) 171—193 Dari Jalan Kerajaan Menjadi Jalan Pertokoan Kolonial: Malioboro 1756-1941 SITI MAHMUDAH NUR FAUZIAH Alumnus Program Studi S1 Departmen Sejarah FIB UGM Email: [email protected] Abstract In the colonial period, the beginning of the 20th century became the starting point of Keywords: the emergence of modern shopping streets in almost all cities in Java, such as Groote Malioboro; Postweg (Postal Highway, now Jalan Ahmad Yani) in Semarang, Bragaweg (Jalan colonial Braga) in Bandung, Jalan Pasar Baru in Weltevreden, Jalan Tunjungan in Surabaya, shopping and Kayutangan (now Jalan Basuki Rahmat) in Malang. In Yogyakarta, Malioboro street became the most modern and crowded colonial shopping street at that time. Since the establishment of the Sultanate of Ngayogyakarta Hadiningrat in 1756 Malioboro has played an important role in the palace’s urban planning as a rajamarga (royal road) for certain ceremonies and has become an integral part of the concept of the palace philosophy line which is full of meaning. This paper will describe the development of Malioboro from a royal road into a colonial shopping street in 1756-1941 more comprehensively. The method used in this research is a historical method which includes the selection of topics, collecting resources, verification, interpretation, and writing. As the cornerstone of this research, the data used is relevant data from Gegevens over Djokjakarta’s archives, newspapers, magazines, Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta, Kleian’s Adresboek van Geheel Nederlandsch-Indie, Telefoongids voor Java, Madoera en Bali, memoirs, interviews, maps and pictures related to Malioboro.
    [Show full text]
  • BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum 1. Jalan
    BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum 1. Jalan Malioboro Jalan Malioboro adalah salah satu kawasan jalan dari tiga jalan di kota Yogyakarta yang membentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke perempatan Kantor Pos Yogyakarta. Secara keseluruhan terdiri dari Jalan Margo Utomo, Jalan Malioboro, dan Jalan Margo Mulyo. Jalan ini merupakan poros Garis Imajiner (garis khayal yang menjadi acuan) Kraton Yogyakarta. Terdapat beberapa objek bersejarah di kawasan tiga jalan ini antara lain Tugu Yogyakarta, Stasiun Tugu, Gedung Agung, Pasar Beringharjo, Benteng Vredeburg, dan Monumen Serangan Oemoem 1 Maret. Jalan Malioboro sangat terkenal dengan para pedagang kaki lima yang menjajakan kerajinan khas Jogja dan warung-warung lesehan di malam hari yang menjual makanan gudeg Jogja serta terkenal sebagai tempat berkumpulnya para seniman yang sering mengekspresikan kemampuan mereka seperti bermain musik, melukis, happening art, pantomim, dan lain-lain di sepanjang jalan ini (https://id.wikipedia.org). Malioboro merupakan kawasan perbelanjaan yang legendaris yang menjadi salah satu kebanggan kota Yogyakarta. Malioboro menyajikan berbagai aktivitas belanja tradisional sampai dengan aktivitas belanja modern. Salah satu cara berbelanja di Malioboro adalah dengan 47 proses tawar-menawar terutama untuk komoditi barang-barang yang berupa souvenir dan cenderamata yang dijajakan oleh pedagang kaki lima yang berjajar disepanjang trotoar jalan Malioboro. Berbagai macam cenderamata dan kerajinan yang dapat di dapatkan disini, seperti kerajinan dari perak, kulit, kayu, kain batik, gerabah dan sebagainya (http://www.njogja.co.id). Kawasan Malioboro dekat dengan obyek wisata sejarah lainnya yang sangat banyak menyimpan cerita sejarah yang menarik. Tempat dan obyek wisata tersebut seperti berwisata arsitektur peninggalan kolonial Belanda dan wisata belanja tradisional lainnya.
    [Show full text]
  • ORANG BIASA DI TEMPAT LUAR BIASA Studi Atas Pengalaman
    ORANG BIASA DI TEMPAT LUAR BIASA Studi Atas Pengalaman Belanja Keluarga Kelas Menengah Bawah di Ambarrukmo Plaza TESIS Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Studi Pascasarjana Program Magister Ilmu Religi dan Budaya OLEH: SAMSUL BAHRI PEMBIMBING: ST SUNARDI KATRIN BANDEL MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2009 II III PERNYATAAN KEASLIAN KARYA Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah. Yogyakarta, 21 Mei 2009 Penulis Samsul Bahri IV KATA PENGANTAR Saya mengucapkan banyak terimakasih kepada dua pembimbing saya, Pak St Sunardi dan Katrin Bandel, atas koreksi serta masukan yang diberikan demi perbaikan karya tulis ini, baik itu dari sisi teoretis, maupun dari sisi teknis, terutama koreksi atas pengulangan kalimat dan pengulangan penjelasan yang kerap saya buat. Terimakasih juga kepada pembantu pembimbing, Devi Ardhiani, atas kesediaan membaca beberapa bagian dari karya ini dan memberikan masukan berarti. Meski telah melalui proses perbaikan, tidak menutup kemungkinan masih ada kekurangan yang dikandung karya ini. Segala kekurangan itu adalah kesalahan saya dan menjadi tanggungjawab saya. Selama menjalani studi di Program Ilmu Religi Budaya (IRB), saya banyak mendapat pengalaman berharga dan tambahan wawasan dari para tenaga pengajar. Mereka telah menjadi guru sekaligus rekan diskusi yang baik. Atas semua itu, saya menyampaikan terimakasih kepada mereka; Romo Baskara, Budiawan, Romo Banar, Tri Subagya, George Aditjondro, Novita Dewi dan Robert Imam. Untuk urusan administrasi, terimakasih kepada mbak Hengki Samudrawati. Terimakasih kepada rekan-rekan saya; Linda, Bu Aleida, Yudi, Yustina, Yeni, Sujud, Mas Hagung, Bung Anzieb.
    [Show full text]
  • Pengembangan Destinasi Wisata Keraton Yogyakarta
    Domestic Case Study 2018 Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta Pengembangan Destinasi Wisata Keraton Yogyakarta Topwan Tong 1702770 Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta Abstract: The purpose of observation on the development of tourist destinations Kraton Yogyakarta is to determine the readiness and strategies undertaken in the face of the Palace Yogyakarta MEA (ASEAN Economy Community) in 2015, namely by increasing the potential that exists in the Kraton Yogyakarta such as historical and cultural heritage, as well as the hospitality of its people to be developed be a force in the tourism sector. Add to public knowledge about the condition attractions, manners, and mastery of the English language for a tour guide as capital to communicate with foreign tourists. Kraton Yogyakarta is a tourist attraction that must be maintained and enhanced its potential to compete face MEA in 2015. Kraton Yogyakarta is also a major part in the effort to preserve Javanese cultur, which not only performs the role of culture but also a social role through interaction with the community. Keywords: Development; Destination; Tourism; ASEAN Economy Community; Strategy. 1. Pendahuluan Kegiatan pariwisata adalah salah satu sektor yang sangat berperan dalam proses pengembangan danpembangunan suatu negara terutama sebuah wilayah [1]. Kegiatan pariwisata mampu memberikan kontribusinya bagi pendapatan masyarakat suatu daerah yaitu terciptanya obyek dan daya tarik wisata yang mampu mendatangkan wisatawan untuk datang ke suatu daerah tersebut [2]. Selain di anggap sebagai salah satu sektor pembangunan yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ataupun daerah, pariwisata juga dianggap sebagai aset yang strategis untuk mendorong pembangunan dan pengembangan pada wilayah-wilayah tersebut yang memiliki potensi obyek dan daya tarik wisata ODTW [3].
    [Show full text]
  • Jurnal Seni Musik Kajian Bentuk Pertunjukan Grup
    JSM 3 (2) (2014) JURNAL SENI MUSIK http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jsm KAJIAN BENTUK PERTUNJUKAN GRUP MUSIK ANGKLUNG KRIDOTOMO DI YOGYAKARTA Nusa Galendra Maola Muhammad Eko Raharjo Jurusan Sendratasik, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Info Artikel Abstrak ________________ ___________________________________________________________________ Sejarah Artikel: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan bentuk pertunjukan grup Diterima Agustus 2014 musik Angklung Kridotomo. Metode penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini adalah Disetujui Oktober 2014 deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menujukan, grup musik Angklung Kridotomo melakukan Dipublikasikan Desember pertunjukan di Pasar Beringharjo pada siang hari dan jalan Malioboro pada malam hari. 2014 Pertunjukan grup Angklung Kridotomo terdiri dari bagian pembuka yang berisi salam dan musik ________________ pembuka, pada bagian inti memainkan lagu pop, campursari dan dangdut, dan pada bagian Keywords: terakhir memainkan lagu request dan di akhiri dengan salam penutup study; music perfomance; Angklung. Abstract ____________________ ___________________________________________________________________ The purpose of this study is to investigate and describe perfomance form of music group Angklung Kridotomo. Research methods applied in this study is qualitative descriptive. The result showed, music group Angklung Kridotomo do perfomance in Beringharjo market at day and in Malioboro street at night. Angklung Kridotomo group perfomance consisted by opening session that contain greeting and play opening music, at the prime session playing pop, campursari, and dangdut music. At the last session playing requested song and ended with closing © 2014 Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi: ISSN 2301- 4091 Gedung B2 Lantai 2 FBS Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail: [email protected] Nusa Galendra Maola Muhammad, Eko Raharjo/ Jurnal Seni Musik 3 (2) (2014) PENDAHULUAN A.
    [Show full text]
  • Prosiding Penelitian Lapangan I Identifikasi
    PROSIDING PENELITIAN LAPANGAN I IDENTIFIKASI KEPARIWISATAAN MELALUI 4A DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PROGRAM STUDI DIPLOMA IV PARIWISATA FAKULTAS PARIWISATA UNIVERSITAS UDAYANA, 2018 PROSIDING PENELITIAN LAPANGAN I PEMBINA Dra. AA Putri Sri, M.Si TIM PENYUNTING Dr. Putu Sucita Yanthy,SS.,M.Par Ni Made Ariani, SE.,M.Par Ida Bagus Ketut Astina, M.Si. Nyoman Ariana, SST.Par.M.Par Ni Ketut Arismayanti, SST.Par. M.Par I Gusti Ngurah Widyatmaja, SST.Par. M.Par Nyoman Jamin Ariana,M.Par Fanny Maharani Suarka, SST.Par., M.Par Ni Nyoman Sri Aryanti, SST.Par.M.Par Agus Muriawan Putra, SST.Par., M.Par Ni Putu Ratna Sari, SST.Par. M.Par Agung Sri Sulistyawati,SSt.Par.,M.Par Putu Ratih Pertiwi, SST.Par., M. Par.,M.Rech Ida bagus Dwi Setiawan,SST.Par.,M.Par Putu Diah Kesuma Dewi, SST.Par.,M.Par ISBN 978-602-294-329-7 i KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah yang telah diberikan kepada kita semua, sehingga buku Prosiding Penelitian Lapangan I Identifikasi Kepariwisataan Melalui 4A di Daerah istimewa Yogyakarta yang merupakan hasil penelitian dari para mahasiswa angkatan 2017 dapat terwujud. Buku prosiding ini memuat sejumlah artikel hasil penelitian para mahasiswa yang dibimbing oleh para Dosen Program Studi Diploma IV Pariwisata yang dikumpulkan dan ditata oleh tim penyunting. Oleh karena itu dalam kesempatan ini perkenankan kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah mewujudkan kegiatan ini, yang telah meluangkan waktu tenaga dan pemikirannya demi kesuksesan kegiatan ini. Semoga buku prosiding ini dapat memberi kemanfaatan bagi kita semua, untuk kepentingan pengembangan ilmu pariwisata.
    [Show full text]
  • Chapter 25 Place Names and Cultural Heritage (Kerfoot, 2015, Watt, 2015)
    Section 9 Cultural aspects indigenous, minority and regional language names. In and attitudinal aspects of human life at a former point of 2012, this working group was changed to a working time. group for the issue of geographical names as cultural Cultural heritage is the cultural legacy of past Chapter 25 Place Names and Cultural heritage (Kerfoot, 2015, Watt, 2015). Contributions to generations. This can include tangible products of Heritage in an Archipelagic Country the discussion of culture in UNGEGN are to be found in heritage such as built structures, tools and fabricated various documents resulting from the ten UNGEGN items. It can also include intangible heritage such as Conferences from 1967 to 2012 and other publications folklore, oral history, traditions, language, and Multamia RMT Lauder and Allan F Lauder including Kadmon (2000), UNGEGN (2006) and Helleland indigenous knowledge. Natural heritage, meanwhile (2006). The field of toponymy has experienced a major refers to works of nature with cultural value, with which transformation over the course of the last 20 years. A 25.1 Introduction humans interact meaningfully. Cultural heritage is a variety of new thematic concerns have been explored, product of human action or cognition which is thought and there is now a far greater recognition that worthy of preservation for the benefit of others and of This chapter looks at the issue of the relationship toponymical research should be firmly grounded in an future generations. between toponymy and cultural heritage in the context explicit engagement with critical theories of space, The rationale behind the idea that cultural heritage has of an Asian archipelagic nation.
    [Show full text]