ORANG BIASA DI TEMPAT LUAR BIASA

Studi Atas Pengalaman Belanja Keluarga Kelas Menengah Bawah di Ambarrukmo Plaza

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Studi Pascasarjana Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

OLEH: SAMSUL BAHRI

PEMBIMBING: ST SUNARDI KATRIN BANDEL

MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA 2009 II III PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 21 Mei 2009

Penulis

Samsul Bahri

IV KATA PENGANTAR

Saya mengucapkan banyak terimakasih kepada dua pembimbing saya, Pak St Sunardi dan Katrin Bandel, atas koreksi serta masukan yang diberikan demi perbaikan karya tulis ini, baik itu dari sisi teoretis, maupun dari sisi teknis, terutama koreksi atas pengulangan kalimat dan pengulangan penjelasan yang kerap saya buat. Terimakasih juga kepada pembantu pembimbing, Devi Ardhiani, atas kesediaan membaca beberapa bagian dari karya ini dan memberikan masukan berarti. Meski telah melalui proses perbaikan, tidak menutup kemungkinan masih ada kekurangan yang dikandung karya ini. Segala kekurangan itu adalah kesalahan saya dan menjadi tanggungjawab saya. Selama menjalani studi di Program Ilmu Religi Budaya (IRB), saya banyak mendapat pengalaman berharga dan tambahan wawasan dari para tenaga pengajar. Mereka telah menjadi guru sekaligus rekan diskusi yang baik. Atas semua itu, saya menyampaikan terimakasih kepada mereka; Romo Baskara, Budiawan, Romo Banar, Tri Subagya, George Aditjondro, Novita Dewi dan Robert Imam. Untuk urusan administrasi, terimakasih kepada mbak Hengki Samudrawati. Terimakasih kepada rekan-rekan saya; Linda, Bu Aleida, Yudi, Yustina, Yeni, Sujud, Mas Hagung, Bung Anzieb. Sebagian dari mereka telah banyak membantu saya dalam mengumpulkan data tambahan bagi karya tulis ini. Terimakasih kepada rekan saya di Universitas Muhammadiyah Mataram, Bung Zakaria, atas motivasi yang diberikan saya menyelesaikan sisa-sisa masa studi saya. Terimakasih kepada Mas Suwarno sekeluarga selaku informan dalam penelitian saya. Dari merekalah sebagian sumber data penelitian ini digali. Tidak lupa terimakasih kepada kedua orang tua saya yang telah memberi dukungan ketika saya mengambil keputusan melanjutkan studi. Penelitian ini mulai saya lakukan pada akhir tahun 2006, dan selesai pada awal tahun 2008, namun mengalami proses perbaikan dan penyempurnaan hingga tahun 2009. Tesis ini diinspirasi dari kegiatan kunjungan yang saya lakukan beberapa kali ke sebuah tempat belanja mewah di kota ini, Ambarrukmo Plaza. Ketertarikan dengan apa yang saya saksikan berkali-kali di tempat belanja itu, menjadi titik berangkat gagasan penelitian saya. Sebagai seorang pemula dalam ranah keilmuan kajian budaya, banyak hal yang harus saya pelajari dari awal, lantaran adanya kesenjangan latar belakang keilmuan yang saya miliki sebelumnya dengan kajian yang saya anggap ”baru” ini. Karenanya, capaian saya melalui karya penelitian ini belum lagi dapat dikatakan sempurna. Saya merasa masih harus banyak membaca karya-karya penelitian lain untuk mengetahui bagaimana cara praksis sebuah penelitian dijalankan.

Yogyakarta, Mei 2009

V DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... I

HALAMAN PENGESAHAN ...... II

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...... IV

KATA PENGANTAR ...... V

DAFTAR ISI ...... VI

ABSTRAK ...... IX

BAB I

PENDAHULUAN ...... 1

A. Latar Belakang ...... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ...... 6

C. Tujuan Penelitian ...... 7

D. Manfaat Penelitian ...... 8

E. Tinjauan Penelitian ...……………………………………………………….. 8

F. Sistematika Penulisan ………………………………………………………. 13

BAB II

METODOLOGI …………………………………………………………………….. 14

A. Pengantar ...... 14

B. Pendekatan Penelitian ...... 14

C. Kerangka Konseptual ...... 16

1. Politik ekonomi tanda ...... 16

2. Hegemoni mal dan resistensi melalui persepsi ...... 19

D. Sumber Data Penelitian ...... 21

VI VII

BAB III

AMBARRUKMO PLAZA SEBAGAI TEMPAT BELANJA ISTIMEWA ...... 23

A. Pengantar ...... 23

B. Para Pembangun dan Pertimbangan atas Pembangunan Ambarrukmo Plaza .. 28

1. Triad Aristokrat ...... 28

2. Dari Malioboro ke Jalan Solo ...... 32

3. Menimbang Ruang Strategis dan Ruas Jalan Ekonomis ...... 43

C. Ambarrukmo Plaza dan Usaha Spesifikasi Konsumen ...... 46

1. “Jarak Plaza Hanya Lima Menit dari Bandara” ...... 48

2. Akses Jalan Baru ke Plaza ...... 50

3. Iklan Belanja Meriah Carrefour ...... 53

4. Arteri dan Plakat Carrefour di Atasnya ...... 56

5. Imajinasi Amplaz Lewat Majalah “Plaza” ...... 58

D. Kesimpulan ...... 61

BAB IV

ORANG BIASA BERBELANJA KE TEMPAT ISTIMEWA ...... 63

A. Pengantar……………………………………………………………………… 63

B. Latar Kawasan dan Profil Keluarga Orang Biasa ...... 64

1. Latar Kawasan Domisili ………………………………………………..... 64

2. Latar Keluarga ...... 67

C. Pergi Belanja ke Tempat Istimewa ...... 68

1. Ke ”Kerfur” Beli Sabun ...... 69

2. Belanja Baju Obral di ”Kerfur” ...... 97

3. Belanja Buah Pir Murah di ”Kerfur” ...... 102

D. Kesimpulan ...... 109 VIII

BAB V

PRAKTEK KONSUMSI ORANG BIASA DI TEMPAT LUAR BIASA MEMBACA PENGALAMAN DAN MENANDAI MOMEN ...... 111

A. Pengantar …………………………………………………………………..... 111

B. Godaan Barang, Daya Beli, Ekstase dan Rasa Frustrasi ...... 113

1. Godaan Barang dan Topangan Daya Beli ...... 114

2. Ekstase Berbelanja dan Rasa Frustrasi ...... 126

C. Kehadiran di Plaza dan Kemungkinannya ...... 133

1. Carrefour dan Agitasi Belanja “Paling Murah” ...... 134

2. Pola Konsumsi Orang Biasa dan Sirkulasi Kehadiran di Plaza ...... 138

D. Juxtapose, Orang Biasa ”Memandang” Tempat Luar Biasa ...... 140

1. Beli Sabun di Kerfur ...... 141

2. Tidak Ada Beda Mal dan Pasar Malam? ...... 143

3. Mencemooh Teror Harga di Atas Rata-rata...... 145

4. Yang Sedikit di Tempat yang Besar ...... 147

E. Kesimpulan...... 150

BAB VI

PENUTUP ...... 152

A. Pasar Modern dan Gagasannya ...... 152

B. Sihir Tempat Belanja dan Penerimaan Konsumen ...... 155

C. Juxtaposisi, ”Ketidaksampaian Selera” yang Diterima ...... 160

D. Peristiwa Budaya di Sisi Peristiwa Ekonomi ...... 161

DAFTAR PUSTAKA ...... 164

LAMPIRAN ...... 167 ABSTRAK

Tesis ini mengkaji pengalaman belanja yang dilakukan oleh orang-orang dari kelas menengah bawah di tempat belanja mewah, Ambarrukmo Plaza. Sampel yang diambil sebagai sumber data dalam penelitian ini yakni satu keluarga orang biasa (orang kampung) yang memiliki kebiasaan berbelanja di plaza itu. Plaza itu sendiri dibangun dan seolah-olah dipersiapkan untuk konsumen dari segmen terbatas, kelas menengah atas. Itu bisa dilihat secara kentara misalnya dari struktur bangunan fisik tempat belanja, jenis-jenis komoditi yang dijual, dan bentuk- bentuk promosionalnya. Tetapi di antara sekian banyak outlet tempat belanja di plaza itu, satu di antara rumah belanja yang ada di sana, yakni rumah belanja Carrefour, menyediakan beragam jenis barang yang sebagiannya dijual dengan harga terjangkau oleh daya beli masyarakat umum. Rumah belanja ini terbilang sangat memanjakan selera belanja konsumen, disamping karena ketersediaan barang yang melimpah, juga karena tawaran harga yang menggoda. Orang-orang kampung yang bermaksud memenuhi keinginan berbelanja di plaza itu, tujuan utama mereka adalah rumah belanja Carrefour. Kepergian mereka ke rumah belanja di plaza itu dimotivasi oleh agitasi belanja murah. Tetapi seringkali ’kepercayaan’ mereka akan belanja murah itu tidak bersesuaian dengan kenyataan bahwa mereka seringkali mengeluarkan ongkos belanja yang terbilang tidak sedikit, lantaran banyaknya barang yang dibeli. Hal ini mungkin karena godaan barang di tempat belanja itu seringkali membuat konsumen tidak dapat mengekang keinginan belanja mereka. Dengan kata lain, kenikmatan belanja di tempat itu kerap membuat lupa akan barang-barang apa saja yang sebetulnya dibutuhkan untuk dibeli, dan apa yang tidak seharusnya dibeli. Pemahaman mereka tentang belanja di tempat mewah itu bermula dari proses pembiasaan. Kemampuan mereka untuk memahami nama barang, kemampuan mereka untuk menggunakan fasilitas belanja dan tiadanya beban kultural berhadapan dengan tempat belanja itu, karena adanya proses pembiasaan. Tempat belanja istimewa itu pada akhirnya menjadi bagian dari mereka, atau mereka menjadi bagian dari tempat belanja itu. Kehadiran rutin mereka ke sana dimungkinkan oleh pola mereka dalam membeli barang, dan cara barang-barang itu dimanfaatkan. Berangkat dari kasus kecil yang menjadi objek bahasan tesis ini, hal mendasar yang mau ditunjukkan secara tidak langsung oleh kajian ini ialah gambaran tentang kekuatan lembaga-lembaga konsumsi seperti plaza, mal, rumah belanja, di dalam mempenetrasi rasa dan selera masyarakat.

Kata kunci: belanja, godaan barang, pola membeli.

VIII VIII BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semenjak dari rencana awal, pembangunan Ambarrukmo Plaza seolah-olah diproyeksikan untuk konsumen dari kalangan elit. Plaza ini mengusung slogan

“Dunia Barunya Yogya”. Dengan slogan itu, seperti hendak melebihi semua tempat belanja istimewa lainnya, plaza ini berupaya dihadirkan sebagai tempat belanja yang benar-benar berkelas. Dalam salah satu komentarnya, manajer marketing plaza ini misalnya menyatakan bahwa Ambarrukmo Plaza sengaja dipersiapkan sebagai tempat belanja bagi orang-orang berduit di Kota Yogyakarta dan Jawa Tengah. Khususnya bagi mereka yang gemar berbelanja ke luar daerah, hingga ke luar negeri. 1

Di tangan seorang arsitek kenamaan dari Ark Design bernama Paul Tan, bangunan fisik plaza yang berdiri atas restu Sri Sultan itu dibentuk dengan gaya eksklusif. Warna minimalis dengan nuansa yang tidak terlampau mencolok pada setiap bagiannya, memberi kesan nuansa elitis, meski dengan sedikit kerancuan yang dipaksakan, sebab bangunan plaza itu mengambil konsep bangunan di negara dengan empat musim. Hal itu terlihat dari keadaan ruang yang tertutup, seperti tidak memerlukan fungsi penyinaran matahari, yang seharusnya dimaksimalkan demi menghemat penggunaan energi listrik. Konon, menurut sang arsitek, bangunan ini merupakan paduan antara gaya modern yang disangga

1 ”Mal-mal Siap Bersaing Dengan Segmen Berbeda,” Kompas Jogja, 31 Januari 2005.

1 2

konsep filosofi Jawa.2 Suatu paduan yang juga mewakili kepentingan bisnis para pihak pemegang kewenangan atas pembangunan plaza tersebut, yakni antara kepentingan bisnis keluarga kerajaan dengan kepentingan pemodal pemilik rumah belanja Carrefour usaha ritel raksasa asal Prancis.

Di Ambarrukmo Plaza, terdapat ratusan outlet mewah berupa gerai fashion, gerai merchandise, tempat spa, café, food court, arena permainan, bioskop dan dua rumah belanja. Atrium dan hall room disediakan sebagai tempat diselenggarakan pameran produk dan acara-acara publik lainnya. Tersedianya tempat parkir yang luas, tempat penitipan bayi, ruangan khusus untuk merokok

(smoking area), hingga toilet yang katanya berkelas internasional, menjadi fasilitas penunjang plaza ini.3

Di outlet-outlet di plaza itu, barang-barang mewah dan berharga jual tinggi dipamerkan. Food Court dan Café dilengkapi fasilitas hotspot. Dengan fasilitas itu, setiap orang dapat duduk di hadapan laptop sambil menyantap hidangan. Sesuai slogannya, plaza ini memang ingin mengkonstruksi suatu

“dunia (pengalaman) baru” di mana setiap orang dapat merasakan suatu cara mengalami atau mengimajinasikan hidup baru.

Semenjak mulai dioperasikan tanggal 5 Maret 2006, ribuan pengunjung datang setiap hari ke plaza itu, dengan atau tanpa bermaksud berbelanja. Tidak sedikit pengunjung yang datang sekedar bermaksud jalan-jalan menghirup suasana segar, ataupun dengan tujuan menghabiskan akhir pekan. Sebagian besar

2 “Ambarrukmo Plaza Sparkle in the Nite,” majalah Plaza edisi Premium, tahun 2006, hlm. 5

3 ibid, majalah Plaza 3

pengunjung datang secara bersama-sama, berdua atau rombongan keluarga. Di dalam plaza ini kemewahan ditawarkan. Orang dapat membeli apa saja sesuka hati, sejauh tabungan sejumlah uang yang tersisa masih memungkinkan untuk dibelanjakan.

Di sini orang dapat memanjakan diri dengan beragam produk fashion. Di sini orang dapat mampir rehat dan melemaskan otot di tempat jasa pemijatan elektrik. Di sini orang dapat meremajakan rambut dan memperindah tubuh di galeri spa. Di sini orang dapat memanjakan selera makan dengan mencoba kuliner dari yang tradisional hingga bercita rasa internasional. Orang dapat membuat janji bertemu di café, atau merayakan ulang tahun di salah satu sudut sebuah gerai rumah makan. Boleh dikatakan, tempat ini benar-benar telah menjadi bagian dari ‘rumah’ (home). Oleh keberadaan fasilitas dan kebutuhan yang serba ada di plaza itu, para pengunjung dikondisikan agar sedapat mungkin merasa senyaman berada di rumah sendiri (feel at home).

Jika kita ingin menyaksikan bagaimana kebiasaan berbelanja kalangan kelas menengah atas, maka pemandangan di dalam plaza ini dapat memberikan pengetahuan tentang itu. Satu keluarga datang bersama, masuk ke rumah belanja dan pulang dengan satu hingga dua, tiga troli barang belanjaan yang melimpah.

Kita juga dapat menyaksikan beberapa orang yang mendatangi sebuah outlet mewah, memilih barang-barang bermerk, membayar di kasir dengan uang cash atau kartu kredit, lalu keluar melenggang dengan barang dalam bungkus sebuah tas eksklusif bergambar outlet di mana barang itu diperoleh. 4

Saya telah beberapa kali berkunjung ke Ambarrukmo Plaza, sejak jauh sebelum rencana riset ini saya lakukan. Dalam sebuah kunjungan untuk ke sekian kali, terdapat pemandangan yang kerap kali menarik perhatian saya. Saya melihat sebagian dari pengunjung di plaza itu datang dari kalangan orang-orang biasa.

Orang yang sebetulnya tidak didefinisikan sebagai pengunjung plaza tersebut.

Saya mengamati beberapa hal dari diri pengunjung kalangan ini. Mulai dari yang paling mudah terlihat, yakni penampilan mereka. Lebih jauh saya juga memperhatikan jenis-jenis barang belanjaan mereka. Berapa banyak jumlah barang yang mereka beli. Dari pengamatan awal ini, saya mengetahui bahwa pengunjung plaza itu bukan hanya orang-orang dari kalangan kelas menengah atas, melainkan juga dari kalangan orang-orang biasa yang karena rasa ingin tahu yang besar pada mulanya, mencoba berkunjung ke tempat belanja istimewa itu.

Jika para pengunjung dari kalangan orang-orang biasa bermaksud berbelanja barang kebutuhan tertentu ke plaza itu, tujuan belanja favorit mereka adalah rumah belanja Carrefour. Rumah belanja ini terletak di salah satu bagian di plaza itu, di Lower Ground dan Ground Floor. Jenis komoditi yang diperjualbelikan di rumah belanja ini sangat beragam; dari barang-barang yang bernilai jual tinggi, hingga barang-barang yang cukup terjangkau nilai tukarnya.

Rendahnya nilai tukar ekonomi sebagian komoditi di rumah belanja inilah yang menjadi alasan bagi para konsumen dari kalangan orang-orang biasa, memilih berbelanja di plaza untuk kalangan elit tersebut.

Bagi saya, pemandangan di atas menarik untuk dicermati. Bagaimana mungkin orang-orang dari desa atau dari kampung itu datang berbelanja di 5

tempat istimewa tersebut. Sekedar memenuhi rasa ingin tahu? Rasa penasaran?

Tertarik dengan harga murah? Memburu gengsi?

Mengenai pola kehadiran pengunjung dari kalangan orang biasa ini, saya membuat klasifikasi sementara, dan klasifikasi ini berdasarkan motivasi kunjungan mereka ke plaza itu. Klasifikasi tersebut adalah; pertama, mereka yang datang untuk sekedar memenuhi rasa ingin tahu. Mereka datang, melihat- lihat, dan jika perlu, membelanjakan uang beberapa rupiah saja. Setelah itu mereka jarang kembali ke tempat itu. Kedua, mereka yang datang membeli barang-barang untuk keperluan perdagangan. Mereka membeli barang untuk dijual kembali (bahasa Jawa: kulakan). Ketiga, mereka yang berkunjung dan memiliki intensitas kehadiran yang rutin. Mereka datang berbelanja untuk memenuhi kebutuhan bulanan. Keempat, mereka yang datang pada saat-saat tertentu karena tertarik mendengar informasi barang-barang obral.

Sebagian dari mereka, khususnya mereka yang tinggal di kampung di sekitar tempat belanja istimewa itu, menjadi konsumen tetap rumah belanja tersebut. Merujuk pada klasifikasi yang saya buat, mereka termasuk dalam jenis konsumen ketiga dan keempat; konsumen yang datang karena suatu kebutuhan rutin, dan karena keperluan membeli barang-barang berstatus obral. Setiap bulan, tempat istimewa itu menjadi tujuan kunjungan berbelanja mereka. Alasan mereka sederhana: sebagian barang di sana harganya murah dan terjangkau oleh sejumlah uang yang ada di ’saku’ mereka.

Kehadiran orang-orang biasa ini sepertinya berbalik dengan angan-angan pihak pengembang plaza jika benar bahwa sedari awal mereka merencanakan 6

plaza istimewa tersebut hanya disiapkan bagi kalangan terbatas menengah atas.

Kejanggalan semacam ini memang patut dipertanyakan. Namun bagaimanapun, kajian ini tidak akan difokuskan untuk membahas kejanggalan tersebut. Titik berangkat dari kajian ini diarahkan untuk lebih jauh melihat bagaimana sesungguhnya pengalaman belanja orang-orang biasa itu di tempat yang begitu mewah untuk ukuran mereka tersebut. Bagaimana tempat belanja mewah itu dihadirkan dan bagaimana tempat belanja itu “mungkin” menjadi bagian dari sesuatu tempat di antara beberapa tempat transaksional di mana orang-orang biasa itu memenuhi kebutuhan mereka.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Mencermati pengalaman orang-orang biasa ini berhadapan dengan tempat belanja istimewa seperti plaza, dapat menjadi jalan melihat proses transisi pengalaman konsumsi masyarakat, dan menjadi sarana mengukur kekuatan lembaga konsumsi di dalam mempenetrasi rasa yang dialami masyarakat. Kehadiran mereka di tempat belanja mewah tentu tidak dapat begitu saja dilihat sebagai sebuah kehadiran yang biasa: datang, berbelanja, jalan-jalan dan pulang. Ulasan mendalam atas pengalaman orang-orang biasa berhadapan dengan tempat belanja istimewa diperlukan untuk mengetahui detil-detil dari pengalaman tersebut dalam kaitannya dengan cara lembaga konsumsi mempenetrasi rasa masyarakat. Untuk keperluan itu, bahasan tesis ini akan saya batasi di seputar pengalaman orang- orang biasa berhadapan dengan tempat belanja istimewa. Saya menitikberatkan bahasan di seputar pengalaman belanja mereka. Wilayah pengalaman ini dengan 7

sendirinya menjadi tolak ukur dalam melihat kekuatan lembaga konsumsi mempengaruhi rasa masyarakat.

Dengan demikian, dari penjelasan di atas, persoalan dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana bentuk pengalaman orang-orang biasa berbelanja di tempat belanja istimewa Ambarrukmo Plaza? Bentuk pengalaman di sini meliputi: pengalaman psikologis ketika tengah berbelanja, pengalaman mengkonsumsi dan persepsi mereka atas tempat belanja mewah tersebut. Kondisi kemungkinan apa yang membuat mereka dapat ‘menikmati’ kegiatan berbelanja di plaza mewah itu? Bagaimana mereka memposisikan tempat belanja istimewa itu dalam hidup sehari-hari mereka, di mana kegiatan berbelanja di tempat itu menjadi bagian dari pengalaman keseharian tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengumpulkan data lapangan yang diangkat dari fenomena empirik bernama kegiatan berbelanja. Setelah data terkumpul, peristiwa empirik itu belum lagi berwujud (belum dapat dipahami). Karena itu, tujuan lebih dalam dari penelitian ini yaitu untuk mengolah, menstrukturkan, dan memberi nama (to order of things) serpihan-serpihan data dari realitas empirik yang pada mulanya kita hadapi sebagai suatu bentuk chaos yang belum terpahami itu. Hasil olahan terhadap data tersebut kemudian akan dieksposisikan atau disajikan ke dalam suatu bentuk baru yang dapat dipahami. 8

D. Manfaat Penelitian

Sudah barang tentu kegiatan penelitian ini dimaksudkan agar memberi manfaat baik dari sisi akademis maupun dari segi nonakademis. Saya perlu mempertegas beberapa manfaat penelitian ini antara lain: pertama, memberi pengetahuan baru mengenai wilayah-wilayah kebudayaan masyarakat kota, dan pola-pola konsumsi kelompok kelas sosial menengah bawah ketika berhadapan dengan tempat belanja super modern seperti mal atau plaza. Kedua, penelitian ini menjadi salah satu pintu masuk terhadap pemahaman agar setiap orang dapat memberi penguatan atas alasan-alasan mereka menolak atau menerima kehadiran pasar modern di tengah-tengah masyarakat. Ketiga, penelitian ini diharapkan mampu mempengaruhi kebijakan pihak-pihak pengembang modal di dalam mempertimbangkan bukan hanya kepentingan ekonomis, tetapi juga wilayah- wilayah kultural masyarakat.

E. Tinjauan Penelitian

Kajian tentang situs-situs konsumsi seperti mal atau tempat belanja modern pada umumnya, dalam kaitannya dengan peristiwa kultural masyarakat, sebetulnya sudah sangat sering dilakukan. Di negara-negara post-industri (lates capitalism) seperti di Eropa dan Amerika, kajian mal (mall studies), bukan lagi merupakan sebuah studi yang baru di tengah fenomena globalisasi dan demokratisasi konsumsi. Mal atau tempat-tempat belanja modern lainnya,4 diasumsikan bukan

4 Mal lazim dipakai untuk menunjuk tempat belanja besar dengan konsep “one-stop shopping” atau tempat di mana orang dapat memenuhi segala keperluannya sekaligus. Plaza sebetulnya sama dengan mal karena memuat konsep ”one-stop shopping”. Demikian pula dengan Square, yang juga merupakan tempat belanja dengan konsep ”one-stop shopping”. Sementara supermarket, 9

hanya sekedar tempat peristiwa ekonomi bernama jual beli, atau pertukaran barang, berlangsung. Tetapi mal telah pula menjadi suatu lembaga penting yang turut menggerakkan dan membentuk kebudayaan masyarakat.

Kajian tentang kegiatan belanja dalam hubungannya dengan pembentukan identitas pernah dilakukan oleh Daniel Miller dan kawan-kawan di Inggris. Lewat hasil penelitian berjudul Shopping Place and Identity (1998), Miller berupaya mengkonstruksi pengetahuan tentang hubungan antara barang yang dikonsumsi, tempat barang itu diperoleh dengan cara orang-orang membentuk identitas mereka. Fokus kajian ini dititikberatkan kepada proses pembentukan identitas lewat jenis-jenis barang yang dikonsumsi dan hubungan-hubungan dan eskpresi antara kelompok-kelompok konsumen dari etnis berbeda.

Chua Beng-Huat, seorang intelektual yang juga mendalami kajian budaya konsumsi di Singapura, banyak memberi perhatian terhadap pengalaman orang- orang berbelanja di tempat-tempat seperti mal. Dalam salah satu karyanya dari hasil penelitian empirik di Takasimaya Square, Singapura yang berjudul ”Bodies in Shopping Centres: Displays, Shapes and Intimacies” (1996), dia menempatkan pengalaman belanja orang-orang dalam hubungan antara konstruksi ruang di mal yang mempengaruhi tubuh dalam melakukan persentuhan maupun penghindaran antara tubuh dengan tubuh dua pasangan yang tengah asyik berbelanja, dan antara tubuh dengan barang. Penelitian etnografis yang dia lakukan

hypermarket adalah bagian dari tempat belanja modern, namun tidak mengandung konsep ”one- stop shopping”. Sebuah bangunan mal atau plaza biasanya dilengkapi keberadaan supermarket. Di Mal Malioboro ada Hero Supermarket. Plaza Ambarrukmo terdapat Carrefour. Penggunaan kata ”Plaza” untuk sebuah tempat belanja, dimaksudkan oleh si pengembangnya untuk menunjuk kepada nilai eksklusif dari tempat belanja tersebut. Kata ”Plaza” berasal dari bahasa Italia, Pallazo, yang berarti bangunan menyerupai istana. 10

memperlihatkan contoh mengenai bagaimana pada suatu ketika tubuh kita dibuat merenggang dari tubuh pasangan belanja kita, dan pada suatu kesempatan lain dibuat menyatu kembali. Konstruksi ruang dalam mal juga mengkondisikan kemungkinan persentuhan dan penghindaran persentuhan antara tubuh dengan barang. Di lantai paling bawah dalam tata ruang sebuah mal (Takasimaya), di mana terdapat lebih banyak barang-barang murah, tubuh dapat dengan leluasa melakukan persentuhan dengan barang. Antara tubuh kita dengan barang tidak berjarak. Namun, pada lantai di tingkat berikutnya, teror harga sebuah barang membuat tubuh pengunjung menjadi berjarak dari barang.

Jon Goss dalam artikel panjang tentang mal berjudul, “The Magic of The

Mall: Analysis of Form, Function, and Meaning in the Contemporary Retail Built

Environtment” (1993), menjelaskan lebih detail tentang kepentingan-kepentingan komodifikasi di balik konstruksi ruang mal. Mal dikatakannya sebagai: ruang publik, ruang liminal, ruang transaksi, ruang instrumental, ruang dengan sistem spasial, sebagai a p(a)lace of desire. Kajian yang dilakukan Goss ini paling tidak dapat dijadikan sebagai referensi tentang mal dengan ciri-ciri spesifiknya sebagai tempat konsumsi super modern.

Sebuah penelitian singkat tentang mal juga dilakukan oleh Mary

Storkrocki lewat karya berjudul Go to the Mall and Get it All, Adolescent,

Aesthetic Values in the (2001). Penelitian kualitatif ini hanya berisi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada kelas diskusi group untuk kepentingan mencari hubungan antara seni dan tempat konsumsi. Penelitian ini 11

tidak disertai uraian mendalam tentang pengalaman kelas diskusi group ketika berada di mal.

Di sendiri, sejauh ini kajian kebudayaan tentang mal belum banyak mendapat perhatian. Salah satu kajian pernah dilakukan oleh Ali Humaidi di Kudus lewat tesis berjudul Dari Tradisionalisme Santri ke Kapitalisme Tanda,

Kajian atas Struktur Ruang Kota Kudus (2004). Fokus penelitian ini adalah struktur ruang kota Kudus dalam hubungannya dengan kehadiran mal sebagai situs budaya konsumsi global dan simbol Kota Kudus yang menjadi situs budaya konsumsi lokal. Karena penelitian ini menggunakan kerangka teori strukturasi

Giddens, maka ia juga menitikberatkan pada fungsi-fungsi yang dimainkan oleh agen-agen pembawa kebudayaan, dalam hal ini mahasiswa dari Yogyakarta.

Peran mereka dikaitkan dengan proses produksi budaya konsumsi di Kota Kudus.

Pada bagian ini, kurang begitu jelas benar apa peran agen kebudayaan yang dimaksud, dalam hubungannya dengan garis besar kajian yang mengangkat tema struktur ruang kota dan proses produksi kebudayaan.

Selain tulisan dari Humaidi di atas, saya belum menjumpai satu penelitian pun yang secara khusus membahas mal di Indonesia. Kalaupun ada beberapa karya skripsi yang membahas mal, namun lebih banyak yang berhubungan dengan sudut pandang ilmu ekonomi, semisal mengenai sistem pembayaran di

Mal Malioboro, dan sejenisnya. Beberapa artikel pendek yang berbicara tentang mal di Indonesia, hanya sebatas opini dengan perspektif politik ekonomi. Mal belum banyak diletakkan sebagai objek kajian dengan sudut pandang 12

kebudayaan. Besar kemungkinan karena orang masih belum mau mengakui pengalaman-pengelaman baru ini sebagai bagian dari peristiwa kebudayaan.

Pengertian kebudayaan sejauh ini hanya dibatasi pada sesuatu yang punya nilai tradisi, semisal seni tarian, lagu-lagu rakyat, perilaku-perilaku tertentu yang dinisbatkan kepada nilai tradisi dan punya nilai jual pariwisata. Kebudayaan belum dipahami sebagai apa yang didefinisikan Raymond Williams tentang kebudayaan: a whole way of life, material, intelectual and spiritual.5 Cara hidup sehari-hari, atau pengalaman sehari-hari dalam hubungannya dengan apa saja.

Kajian yang saya lakukan ini, akan berupaya melihat pengaruh lembaga konsumsi terhadap pembentukan selera masyarakat, dengan fokus pada peristiwa pengalaman belanja itu sendiri. Dalam kajian ini saya menggunakan kategori kelas sosial (kelas menengah bawah) untuk mendefinisikan kelompok sosial yang menjadi fokus bahasan saya.

Saya berasumsi bahwa keberadaan orang-orang biasa berhadapan dengan tempat belanja istimewa, tidak dapat dipandang sebagai sebuah pengalaman biasa, pengalaman yang tanpa arti. Wilayah pengalaman ini penting dimanfaatkan sebagai pintu masuk untuk memahami sejauhmana kehadiran tempat-tempat belanja moderen seperti mal, plaza, telah turut membentuk pengalaman baru bagi masyarakat dari suatu kelompok kelas sosial tertentu, berikut konsekuensi- konsekuensi yang lahir dari pengalaman baru tersebut.

5 Raymond William, Culture and Society 1780-1950, London, Penguin, 1966. hlm. 16. Lihat juga Graeme Turner dalam British Cultural Studies, London, Routledge, 1996. hlm. 48. 13

F. Sistematika Penulisan

Guna memberi suatu pemahaman utuh dan terstruktur terhadap tema bahasan kajian ini, struktur batang tubuh dari tesis ini saya susun sebagai berikut: Bab pendahuluan mengetengahkan latar belakang kajian ini. Bab ini membahas mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan penelitian dan sistematika penulisan dari hasil penelitian. Pada bab berikutnya, saya akan secara khusus berbicara mengenai kerangka dasar atau kerangka pemikiran teoritis yang akan saya pakai untuk membantu di dalam menjelaskan persoalan-persoalan yang saya angkat sebagai tema bahasan. Pada bab ini pula saya mengetengahkan cara atau metode perolehan data dari penelitian ini. Pada bab tiga, saya secara khusus membahas tempat belanja istimewa Ambarrukmo

Plaza. Bahasan ini bertujuan untuk memberi gambaran profile dari tempat belanja istimewa yang dimaksud dalam penelitian ini. Pada bab keempat, melalui sebuah catatan etnografis, saya mendeskripsikan, menggambarkan pengalaman belanja orang-orang biasa ini di rumah belanja Carrefour, Ambarrukmo Plaza. Pada bab lima, saya mencoba menganalisa ulang pengalaman belanja tersebut. Analisis atas pengalaman ini bertujuan untuk mengetahui beberapa masalah penting, disamping untuk menjawab persoalan penelitian, berkaitan dengan pengalaman orang-orang biasa di tempat luar biasa. Bab enam, atau bab penutup berisi kesimpulan yang lebih ditekankan pada usaha merefleksikan secara keseluruhan hasil penelitian ini. BAB II

METODOLOGI

A. Pengantar

Sebagaimana telah dipaparkan dalam Bab I, penelitian ini bertujuan mengumpulkan data seputar pengalaman (belanja) orang-orang biasa berhadapan dengan tempat belanja istimewa. Pengalaman belanja merupakan bagian dari aktivitas yang dihidupi oleh masyarakat sehari-hari (lived experience), sebagaimana pengalaman orang berada di kampus, pengalaman menggunakan alat teknologi terbaru, pengalaman menonton film, pengalaman berada pada sebuah acara pameran bunga, pengalaman berada di depan sebuah acara televisi kegemaran dan masih banyak lagi pengalaman-pengalaman yang dihidupi oleh masyarakat. Pengalaman dalam kaitannya dengan keseharian masyarakat, bukanlah wilayah statis, melainkan dinamis. Pengalaman merupakan wilayah empirik yang dapat kita jadikan jalan mengetahui proses sirkulasi perkembangan kebudayaan baru masyarakat.

B. Pendekatan Penelitian; Realitas Sebagai Teks

Dalam sebuah penelitian yang menempatkan pengalaman sebagai wilayah yang diteliti, dibutuhkan hermeneutik atau pendekatan fenomenologi sebagai jalan memahami realitas terdalam dari pengalaman tersebut. 1

Tentang hermeneutik, pada umumnya, hermeneutik hanya dipahami dalam ruang lingkup yang terbatas: sebagai metode tafsir atas kitab suci. Karena

1 Paula Saukko, Doing Research in Cultural Studies, London, Sage Publication: 2003, hlm.33.

14 15

itu, pendekatan atau metode hermeneutik lebih banyak berhubungan atau dihubungkan kepada teks kitab suci. Pada awalnya hermeneutik memang lahir sebagai respon atas kejumudan dalam pemahaman atas teks kitab suci. Umum dipahami bahwa hermeneutik dimaksudkan untuk mencari makna teks, atau melahirkan makna baru dari teks lama, dengan menempatkan teks tersebut dalam hubungannya dengan realitas historis pada zamannya.

Sebagai pendekatan atau metode, hermeneutik kini telah mengalami perluasan lingkup arti dan penggunaan. Ia tidak sekedar dipakai untuk menafsir kitab suci, hermeneutik juga dipakai untuk menafsir realitas yang dihidupi saat ini. Sebab, seluruh realitas itu sendiri tergolong ke dalam teks. Teks yang hidup dan mengalir. Tentang teks sendiri, Rosenau misalkan berpendapat:

Postmodernism is text-centered. Everything is a text including a life experience, a war, a revolution, a political rally, an election, a personal relationship, a vacation, getting a haircut, buying a car, seeking a job…2

Kata Rosenau, posmodern bertumpu pada teks. Segala realitas ini adalah teks.

Keseharian kita adalah teks. Perang, revolusi, kampanye politik, pemilihan umum, hubungan-hubungan personal, kegiatan berlibur, kegiatan mencukur rambut, membeli mobil dan kegiatan mencari pekerjaan, dapat disebut teks. Kita bisa tambahkan, termasuk ke dalam teks adalah kegiatan kita pergi ke mal ataupun pasar tradisional.

Akan seperti apa teks dari pengalaman ini dibaca, bergantung kepada kerangka pikir yang digunakan untuk menjelaskannya. Berikut saya akan

2 Pauline Marie Rosenau, Post-modernism and the Social Science, Insight, Indroads, and Intrusions, (Princeton University Press, 1992) hlm. 35-36. 16

menjelaskan kerangka konseptual yang akan membantu saya untuk memperjelas persoalan yang mau saya teliti dari wilayah pengalaman tersebut.

C. Kerangka Konseptual

1. Politik ekonomi tanda

Pengalaman merupakan wilayah empirik. Pengalaman meliputi segala hal. Salah satunya adalah pengalaman orang belanja. Pengalaman belanja antara lain meliputi; momen ketika orang berhadapan dengan barang. Momen saat mengambil keputusan untuk membeli dan atau tidak membeli barang, dan masih banyak momen-momen lain saat orang berhadapan dengan barang dan tempat di mana barang itu diperjualbelikan. Dengan demikian, pengalaman mengandaikan ada orang yang mengalami. Orang yang mengalami dapat kita sebut subjek.

Subjek yang mengalami. Subjek dikatakan mengalami sesuatu (belanja) karena ada benda material yang dihadapi (barang-barang atau objek), dan terdapat tempat di mana pengalaman itu berlangsung (mal atau plaza).

Keputusan yang diambil oleh subjek untuk datang dan tidak datang (ke tempat belanja), membeli dan tidak membeli (barang) berhubungan dengan apa yang mereka pikirkan tentang “kegunaan” sebuah barang. Namun juga berdasarkan pengalaman, seringkali subjek tidak dapat menentukan bobot nilai sebuah barang melulu berdasarkan nilai guna barang. Pengalaman membeli tidak lagi merupakan peristiwa terjadinya pertukaran uang dengan barang yang senilai.

Pengalaman membeli adalah juga pengalaman ketidaktahuan orang akan nilai 17

barang. Yang ada hanya perasaan “senang” karena sudah dapat membeli.

“Pokoknya beli”.

Untuk memperjelas persoalan ini, saya berupaya meminjam teori politik ekonomi tanda dari Baudrillard. Kenapa teori politik ekonomi tanda? Dan bukan teori politik ekonomi saja? Karena tanda sudah memainkan peran dominan dalam kebudayaan kontemporer kita. Baudrillard percaya bahwa culture is now dominated by simulations. Kebudayaan kita saat ini didominasi oleh simulasi, sistem pencitraan.3

Terlebih dahulu saya akan menguraikan penjelasan Baudrillard tentang kronologi kritik atas politik ekonomi tanda. Titik berangkat teori politik ekonomi tanda yang digagas Baudrillard sendiri, didasarkan atas kritiknya terhadap teori politik ekonomi Marxian. Ia menganggap teori ini sudah tidak memadai (saya lebih suka menyebutnya kurang memadai) untuk menjelaskan persoalan- persoalan yang lahir dalam konteks kebudayaan masyarakat kontemporer.

Mempertahankan teori politik ekonomi sebagai landasan mengurai persoalan konsumsi mutakhir, kerap kali menggiring para peneliti kepada usaha untuk mendikotomikan antara ideologi kaum borjuasi dan ideologi rakyat jelata.

Teori ini barangkali masih dapat dipakai, namun tidak cukup memadai untuk menjelaskan kompleksitas lapisan persoalan kultural masyarakat saat ini. Karena itu, teori politik ekonomi tanda muncul sebagai kerangka untuk menjelaskan persoalan yang lahir dalam kultur masyarakat yang secara basis material terbentuk oleh kemajuan teknologi (khususnya teknologi informasi). Dalam hal

3 Mark Poster dalam kata pengantar untuk buku Jean Baudrillard, Selected Writings, Oxford, Polity Press, 2001. hlm. 1 18

konsumsi, saat ini kita tidak lagi berada dalam masa ketika masyarakat yang mengkonsumsi barang mendasarkan niat mengkonsumsi untuk kebutuhan (I buy because I need). Tetapi lebih dari itu, pengalaman konsumsi kita sebagian besar telah masuk ke dalam wilayah kegiatan mengkonsumsi karena orang ingin menjadi apa yang dicitrakan tentang fungsi suatu barang (I want to be alike say,

Luna Maya, so I buy). Mengkonsumsi untuk keperluan mode, nilai tanda.

Pengalaman konsumsi kita juga sebagian besar telah pula memasuki wilayah kegiatan konsumsi untuk tujuan mengkonsumsi itu sendiri (I buy because I like to buy, then I don’t clearly know why I buy). Mengkonsumsi tanpa kebutuhan.

Kebutuhan dalam arti kehendak mengkonsumsi berdasarkan keinginan mendapatkan nilai guna suatu barang. Pada titik ini, orang sudah mulai masuk ke dalam kerangka apa yang di sebut Baudrillard sebagai “histeria massal” (general hysteria).

Menurut Baudrillard, terdapat empat rumusan mengenai logika nilai dalam proses konsumsi: logika fungsional nilai guna, logika ekonomi nilai tukar, logika perbedaan nilai tanda dan logika pertukaran simbolik. Prinsip dari keempatnya adalah masing-masing: prinsip utilitas, prinsip equivalensi, prinsip differensi dan prinsip ambivalensi.4

Secara sederhana, keempat prinsip dari empat logika nilai ini dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama, utilitas atau nilai guna. Orang membeli barang karena mengharapkan nilai guna dari barang yang dibeli (utility).

Kehendak membeli didasarkan pada adanya kebutuhan yang bersifat alamiah.

4 Jean Baudrillard, Selected Writtings, Cambridge: Polity Press, 2001, hlm. 60 19

Kedua, equivalensi atau nilai persamaan ekonomi. Sebuah barang dibeli berdasarkan kesamaan antara nilai yang dikandung alat tukar ekonomi dan nilai yang ada pada barang konsumsi. Orang membeli barang berdasarkan persamaan nilai tukar antara uang dengan nilai barang. Ketiga, differensi atau prinsip perbedaan. Di sini pertukaran antara uang dengan barang didasarkan pada adanya nilai tanda pada barang. Bukan hanya nilai guna, atau kadang-kadang nilai guna dikosongkan demi nilai tanda. Terakhir yang keempat adalah prinsip ambivalensi.

Dalam proses konsumsi yang ada adalah pertukaran simbolik. Kenapa disebut ambivalen? Sebab orang ingin mempertahankan antara nilai tanda dan nilai equivalen juga nilai guna, yang sebetulnya tidak mungkin dipertahankan. Nilai uang dikosongkan. Yang ada hanya desire. Orang terkadang membeli sesuatu bukan karena dia tahu fungsi dan kebutuhan akan barang tersebut, melainkan karena semata-mata merasakan kenikmatan membeli.

Lapisan-lapisan konseptual ini, dari utility, equivalensi, differensi dan ambivalensi, akan saya pakai untuk menjelaskan persoalan pengalaman belanja

(mengkonsumsi) orang-orang biasa yang pergi belanja di tempat luar biasa. Dari sini kita akan melihat terdapat momen-momen tertentu dalam kegiatan atau pengalaman belanja itu, ketika mereka harus membeli barang berdasarkan nilai guna, nilai tukar, nilai tanda dan kenikmatan membeli semata.

2. Hegemoni mal dan resistensi melalui persepsi

Terdapat dua pandangan tentang mal sebagai situs konsumsi: pertama, mereka yang memandang mal sebagai bentuk baru (kultur) imperialisme yang 20

menghegemoni masyarakat. Di dalam buku Window Shopping: Cinema and the

Postmodern, Friedberg menawarkan kritik pesimis terhadap mal yang diambil dari analisis kritis atas fetisisme komoditi Marx yang diteruskan mazhab

Frankfurt. Dalam model pemikian ini, praktik konsumsi dinyatakan sebagai ekspresi dari etos dasar kapitalisme abad dua puluh, di mana komoditas secara ideologi dipakai sebagai cara memuaskan kebutuhan semu masyarakat. 5

Pandangan yang banyak diilhami oleh pemikiran kiri baru mazhab

Frankfurt ini, melihat secara pesimis terhadap perkembangan budaya massa, dalam hal ini budaya mal, yang punya kecenderungan menyeragamkan masyarakat dan membuat masyarakat pasif. Masyarakat dibuat tidak punya alternatif kecuali tunduk kepada kemauan dasar dari kapitalisme.

Kedua, berseberangan dengan pandangan pesimis di atas, terdapat pandangan yang tidak semata-mata melihat perkembangan kapitalisme sebagai sesuatu yang dapat membuat pasif masyarakat. Michel de Certeau dalam The

Practice of Everyday Life, menyatakan bahwa dia menolak pandangan yang menganggap konsumen bersikap pasif dan didominasi oleh totalitas sistem komoditi. Sejalan dengan pandangan de Certeau ini adalah pandangan John Fiske dalam Reading Popular Culture yang menyatakan bahwa ketika berhadapan dengan totalitas sistem komoditi, konsumen tidak pasif. Kata Fiske:

…however developers might code mall environments for maximum distraction and optimum consumption, mall users routinely override such message by

5 Sebagaimana dikutip dari Marianne Conroy, “Discount Dreams, Factory Outlet Malls, Consumption and the Performance of Middle-Class Identity,” Social Text 54, Vol. 16, No. 1, Duke University Press, 1998. hlm. 68. 21

commandeering the space of the mall for uses other than consumption, especially for social display and interration. 6

Pandangan Fiske di atas menegaskan bahwa dalam proses konsumsi selalu terdapat celah di mana konsumen mencoba keluar (struggle) dari dominasi sistem komoditi. Dari dua pandangan ini (Conroy menyebutnya: a cultural pesimist’s critique untuk yang pertama dan the cultural populist untuk yang kedua) saya lebih condong untuk memihak kepada pandangan yang kedua.

Pandangan yang melihat konsumen sebagai konsumen yang tidak pasif.

Kerangka pikir ini akan saya pakai untuk membaca beberapa pengalaman belanja orang-orang biasa, khususnya persepsi mereka atas barang dan tempat belanja istimewa.

D. Sumber Data Penelitian

Data dalam penelitian ini saya kategorikan menjadi dua: data primer dan data sekunder. Data primer saya peroleh dengan cara berikut ini: saya melakukan observasi partisipatoris dengan mengikuti tiga kali kegiatan berbelanja di plaza yang dilakukan oleh informan saya. Dalam kegiatan ini, saya berusaha mendengar apa saja komentar dan tanggapan mereka tentang plaza dari kegiatan berbelanja mereka. Saya juga memperhatikan segenap tindakan, sikap dan perkataan informan saya selama kegiatan belanja berlangsung. Di luar kegiatan belanja di plaza, saya juga melakukan perbincangan seputar pengalaman mereka

6 dikutip dari Conroy, Ibid. 22

berbelanja di plaza. Saya membuat sebuah catatan etnografis untuk mendeskripsikan seputar pengalaman berbelanja mereka di plaza.

Informan saya adalah satu keluarga yang berasal dari kelas pekerja (orang biasa). Anggota keluarga terdiri dari Ayah, Ibu dan dua orang anak; perempuan dan laki-laki. Mereka tinggal dengan mengontrak sebuah rumah sederhana dengan sewa empat ratus ribu setahun dan beban listrik lebih dari empat puluh ribu sebulan. Lokasi domisili mereka di wilayah perkampungan, sekira 500 meter sebelah utara Ambarrukmo Plaza.

Keluarga Martini dan Suwarno (demikian nama samaran yang saya berikan) adalah satu dari beberapa keluarga kalangan orang-orang biasa yang gemar berbelanja ke Ambarrukmo Plaza, semenjak plaza itu berdiri. Kategori

“orang biasa” saya pakai untuk menamai jenis konsumen plaza semacam keluarga Martini dan Suwarno, berdasarkan beberapa kategori berikut: jenis profesi, jumlah penghasilan bulanan, jumlah pengeluaran untuk keperluan sehari- hari, tempat tinggal, cara menata barang di ruang tamu, merek pakaian yang dipakai, jenis musik kegemaran, tontonan televisi kegemaran, channel radio yang didengar sehari-hari, tema-tema pembicaraan sehari-hari.

Beberapa data sekunder saya peroleh dari pemberitaan di harian, majalah dan situs internet, yang keseluruhannya berhubungan dengan tema yang saya bahas. Selain itu, data sekunder saya peroleh dari perbincangan dengan beberapa orang yang pernah berbelanja di Ambarrukmo Plaza, kemudian ditambah dengan dokumentasi foto yang memiliki relevansi dengan tema penelitian ini. BAB III

AMBARRUKMO PLAZA SEBAGAI TEMPAT BELANJA ISTIMEWA

A. Pengantar

Sepotong iklan di salah satu harian nasional yang mempromosikan kehadiran

Ambarrukmo Plaza terbit tiga bulan sebelum plaza itu genap diresmikan pengoperasiannya. Iklan bernada maklumat tersebut berbunyi: “Nantikan

Kehadiran Plaza Terbesar se DIY dan Jateng”. Tampilan visual iklan yang dimuat setengah halaman itu bergambar sebuah tas belanja raksasa bertuliskan:

”Ambarrukmo Plaza Dunia Barunya Yogya, Soft Opening, Maret 2006”. Di sekitarnya berdiri orang-orang yang seluruhnya memfokuskan pandangan takjub ke arah tas raksasa di hadapan mereka. Orang-orang yang dimaksud dalam iklan terdiri dari para pekerja profesional, anak-anak remaja, akademisi, singkatnya, orang-orang dari kalangan menengah atas perkotaan. 1

Dengan bunyi teks iklan dan tampilan imej gambar semacam itu, plaza ini tengah berupaya membayangkan diri sebagai tempat khusus bagi kalangan tertentu dan terbatas. Kalau Shapir Square, mal yang berjarak kurang dari satu kilometer ke arah barat Ambarrukmo Plaza itu lebih dahulu menggunakan kalimat promosi ”mal terbesar se DIY”, Ambarrukmo Plaza mengklaim diri tidak hanya sebagai tempat belanja terbesar se DIY, tetapi juga terbesar se Jawa

1 Iklan ini terbit di harian Kompas, pada tanggal 19 Desember 2005, halaman 44. Iklan ini seperti hendak menyaingi gencarnya promosi iklan yang diterbitkan Solo Grand Mall (SGM) sebuah mal yang berdiri di Jalan Slamet Riyadi kota Solo, yang sudah lebih dahulu beroperasi. Iklan SGM bernada ajakan berbunyi: “ayo ke mall…” terbit setiap hari, termasuk di harian Kompas Jogja dan koran lokal lainnya.

23 24

Tengah. Kalimat-kalimat promosional ini memang terbilang berlebihan, mengingat tidak ada suatu pembuktian yang dapat membenarkan bahwa

Ambarrukmo Plaza adalah tempat belanja terbesar di seluruh DIY dan Jawa

Tengah. Akan tetapi, sebagai sebuah kalimat promosional dan sebagaimana lazimnya cara berpromosi, mewartakan sesuatu secara berlebihan adalah hal yang wajar.

Gambar (1) Potongan iklan promosi Ambarrukmo Plaza diambil dari harian Kompas, tanggal 19 Desember 2005 (dokumentasi Samsul Bahri)

Sebelum Ambarrukmo Plaza, di Kota Yogyakarta sudah berdiri beberapa mal. Di Jalan Malioboro terdapat tiga buah bangunan mal; Mal Ramayana,

Ramai Mal dan Malioboro Mal. Di Jalan Magelang terdapat Borobudur Plaza. Di

Jalan Brigjen Katamso berdiri Mal Jogjatronik. Di sepanjang Jalan Solo terdapat

Galeria dan Shapir Square. Shapir Square dioperasikan hanya beberapa bulan sebelum Ambarrukmo Plaza. Menurut rencananya, masih akan ada beberapa mal lagi yang bakal didirikan di kota ini, setelah Shapir Square dan Ambarrukmo

Plaza, antara lain Marvin Reeves Trade Centre di Jalan Ringroad Utara dan Jogja

Plaza di Jalan Sudirman. 25

Di Kota Yogyakarta, mal pertama kali didirikan di kawasan Malioboro.

Mal ini diberi nama sesuai nama jalan di mana ia didirikan: Malioboro Mall, berdiri tahun 1993.2 Setahun berselang, pada 1994, di Jalan Solo berdiri sebuah mal terletak di perempatan depan Rumah Sakit Umum Bethesda, bernama

Galeria.3 Pada tahun 2005, di Jalan Brigjen Katamso berdiri Mal Jogjatronik. Mal ini menjadikan barang-barang elektronik sebagai komoditi utamanya.4 Tahun

2006, dua buah mal berdiri di Jalan Solo, yakni Shapir Square dan Ambarrukmo

Plaza. Kedua bangunan mal ini didirikan di kawasan dalam jarak yang terbilang berdekatan; kurang dari satu kilometer.5

Tabel berikut ini menjelaskan konsep dan segmentasi pengunjung mal di

Kota Yogyakarta.

2 Malioboro Mall hingga kini menyisakan sengketa antara pihak pengelola sekaligus pemilik dalam hal ini PT Yogya Indah Sejahtera (YIS) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Anindya Mitra Internasional (AMI) selaku mitra bisnis, terkait pembagian keuntungan. Dalam kasus ini, PT Anindya merasa telah dirugikan. www.ghuluha.wordpress.com, http://jogjainfo.net/direksi- diakses tanggal 17 Mei 2009.

3 Galeria didirikan di atas lahan milik Yayasan Gereja Kristen Jawa (GKJ). Sebelumnya, di atas lahan itu berdiri sebuah toko buku milik Yayasan Gereja Kristen Jawa. Letak mal ini berada di persimpangan strategis antara Jalan Prof.Yohanes, Jalan Jendral Sudirman , Jalan Urip Sumoharjo dan Jalan Wahidin Sudirohusodo. Mal ini dikelola oleh PT Sawo Kembar Galleria selaku pemilik. St. Sunardi membuat deskripsi tentang mal Galeria ini dalam sebuah artikel panjang berjudul “Keluarga Galeria” t.t. (tidak diterbitkan).

4 Bangunan yang dijadikan tempat untuk Mal Jogjatronik di Jalan Brigjen Katamso ini semula adalah bekas gedung ORI (Oeang Repoeblik Indonesia), salah satu bangunan yang tergolong bersejarah dan masuk dalam kategori bangunan warisan yang dilindungi (heritage). Mal ini dikelola salah satunya oleh PT Anindya Mitra Internasional (AMI) salah satu Badan Usaha Milik Daerah.

5 Sri Sultan Hamengkubuwono X menyatakan bahwa pendirian Mal Saphir Square oleh PT. Saphir Yogya Super Mall, tidak berdasarkan aturan prosedur yang berlaku, yakni tidak atas dasar sepengetahuan Provinsi. Karena itu status Saphir Square illegal secara yuridis. ”Sultan HB X: Saya Heran Kenapa Mall Ditolak” Kompas Jogja, 19 Desember 2005. 26

Nama Mal Konsep Segmentasi Malioboro Mall Menjual berbagai macam produk Masyarakat umum menengah lokal dan impor. One stop shopping. Sebagai tempat rekreasi. Mal Galeria Menjual berbagai macam produk Masyarakat umum menengah ke lokal dan impor. One stop atas shopping. Sebagai tempat rekreasi. Saphir Square Memperdagangkan semua produk Segala kalangan lokal maupun impor, dengan konsep one stop shoping, sebagai tempat rekreasi. Ambarrukmo Plaza Menjual barang-barang eksklusif, Masyarakat menengah ke atas lokal dan impor. Dilengkapi fasilitas hiburan, kuliner dan olahraga. One stop shopping. Sebagai arena rekreasi. Mal Jogjatronik Pusat perdagangan alat-alat Masyarakat umum elektronik. Mal Ramayana (Malioboro) Umumnya menjual produk fashion. Semua kalangan

Ramai Mal (Malioboro) Pusat elektronik dan fashion Semua kalangan

Borobudur Plaza Arena hiburan Semua kalangan

Marvin Reeves Trade Centre Shopping mall Kalangan menengah (pembangunan ditunda) Jogja Plaza (pembangunan - Kalangan menengah atas

ditunda)

Sumber: Litbang Kompas/Kompas Jogja, 31 Januari 2005. Tambahan data dari penulis untuk Malioboro Mall, Ramayana dan Ramai.

Ambarrukmo Plaza (seting tempat yang akan menjadi bahasan tesis ini) berdiri di atas lahan milik Kraton Yogyakarta (Sultan Ground) seluas dua hektar, dengan menelan biaya investasi sebesar 240 miliar rupiah.6 Plaza ini berdiri di

6 ”Ledakan Mal di Solo dan Yogya,” Majalah SWA, 12 Mei 2005. Pembangunan Ambarrukmo Plaza ini terkesan dipaksakan karena menggerus satu sisi dari bangunan bersejarah Gandhok Tengen peninggalan Hamengkubuwono IX, Raja Yogyakarta sebelumnya. Menurut Direktur PT. PMMS Tjia Eddy Susanto, sebenarnya pembangunan Ambarrukmo Plaza bisa saja tanpa harus menggerus situs bersejarah itu, namun karena persoalan teknis konstruksi maka dengan terpaksa separuh badan bangunan Gandhok Tengen dipangkas. Kompas, 27 Agustus 2004. Hal yang sama biasa terjadi di pusat-pusat kota. Di Jakarta banyak bangunan bernilai sejarah yang juga tergerus oleh beragam kepentingan. Tahun 1971, Hotel des Indes dibongkar dan diganti menjadi pusat perbelanjaan Duta Merlin. Hotel der Nederlanden diratakan dan diganti Gedung Bina Graha. Societeit Harmonie dibongkar tahun 1985 dan digantikan bangunan baru yang merupakan komplek istana. (Lihat dalam Batavia, Kisah Jakarta Tempo Doeloe, Intisari 1988). Stadion Menteng yang bersejarah menjadi markas pertama kesebelasan Persija Jakarta dibongkar, disulap menjadi taman kota. Catatan penulis: Vandalisme terhadap bangunan bernilai sejarah, tampaknya menjadi pemandangan yang biasa terjadi ketika sebuah kepentingan (ekonomi bisnis) diakomodasi, namun berbenturan dengan persoalan keterbatasan lahan strategis. 27

sebelah barat Hotel Ambarrukmo.7 Pembangunannya dimulai sejak tahun 2004 dan baru diresmikan pada tanggal 5 Maret 2006. Lokasi yang ditempati bangunan plaza istimewa ini sebelumnya berupa bangunan Sekolah Dasar (SD

Ambarrukmo) yang telah berdiri sejak tahun 1950-an.8 Pada tanggal 27 Mei, dua bulan setelah diresmikan, operasional plaza dihentikan akibat gempa bumi. Baru kemudian pada tanggal 1 Juli, plaza ini kembali dibuka setelah tim ahli konstruksi bangunan dari Universitas Gadjah Mada menyatakan bahwa kondisi bangunan layak pakai. 9

Melalui uraian berikut, saya akan menjelaskan mengenai keistimewaan plaza ini dari beberapa aspek, antara lain; para pihak yang terlibat dalam pembangunannya dan pertimbangan-pertimbangan pemilahan lokasi strategis bangunan. Setelah itu barulah saya akan menguraikan upaya-upaya spesifikasi konsumen dilihat dari aspek politik promosional yang dijalankan untuk menjaga dan mempertahankan nilai eksklusivitas plaza ini sebagai tempat belanja istimewa.

7 Hotel Ambarrukmo didirikan pada tahun 1963 dari dana rampasan perang Jepang (perang Pasifik) dan sebagai bentuk pelaksanaan dari ketetapan MPRS No 2/1960. Semenjak berdiri, PT.Hotel Indonesia Natour ditunjuk sebagai pengelola. Masa kontrak pengelolaan selama 40 tahun. Tahun 2003, masa kontrak PT. Hotel Indonesia Natour berakhir. Pada 30 April 2004 digelar penyerahan resmi kembali kontrak. Fahri Salam, “Jagad Mal Jogja,” dalam www.google.co.id/Jagad Mal Jogja. diakses tanggal 10 Mei 2007. Sampai saat ini (tahun 2008) belum ada lagi pihak pengelola yang mengontrak untuk mengoperasionalkan Hotel Ambarrukmo.

8 Setelah diratakan, bangunan Sekolah Dasar Ambarrukmo dipindah ke sebelah barat Balai Desa Ambarrukmo dengan menempati areal persawahan yang sebelumnya difungsikan sebagai kolam ikan. Kolam ikan ini ditutup dan di atasnya berdiri bangunan baru Sekolah Dasar Ambarrukmo.

9 Lihat misalkan iklan yang dimuat secara berturut pada minggu terakhir bulan Juni di harian Kedaulatan Rakyat. Iklan itu berisi permakluman dibukanya kembali operasional Ambarrukmo Plaza. 28

B. Triad Aristokrat dan Pertimbangan atas Pembangunan Ambarrukmo Plaza

1. Triad Aristokrat Sebagai sebuah bisnis yang membutuhkan modal besar, pembangunan mal atau plaza tidak lepas dari peran para pemodal. Hampir sebagian besar mal yang berdiri di setiap jantung kota di Indonesia membutuhkan talangan dana dari para investor asing. Sebagian pihak menganggap pesatnya pembangunan mal mengindikasikan gejala positif pertumbuhan ekonomi di bidang investasi modal asing. Pada umumnya, para pemodal menjalin suatu kerjasama dengan mitra bisnis di dalam negeri. Mereka datang membawa modal dan membutuhkan lahan di mana modal itu dapat dikembangkan. Menjalin kerjasama dengan pihak lokal

(khususnya pemerintah daerah) merupakan salah satu cara untuk memuluskan jalannya pengembangan modal tersebut. Pemerintah daerah sendiri sangat mendukung kebijakan investasi modal asing di bidang ekonomi (pembangunan mal) atas alasan otonomi daerah. Kabarnya sebagai sumber pemasukan bagi anggaran daerah.

Sehubungan dengan perlunya mengetahui berbagai pihak yang memiliki peran dalam pembangunan Ambarrukmo Plaza, maka saya akan menguraikan secara singkat siapa saja pihak yang andil atas pembangunan plaza itu. Uraian yang akan saya berikan mengenai hal ini sebatas berkaitan dengan pihak-pihak yang menjadi motor pembangun plaza. Atas dasar keterbatasan akses informasi, saya tidak punya kepentingan mengurai lebih detail persoalan mengenai kesepakatan-kesepakatan internal yang andil dalam kongsi bisnis plaza, misalnya 29

mengenai jumlah pembagian keuntungan antara para pemodal yang telah menanam investasi.

Mereka yang andil dalam pembangunan plaza ini antara lain, pihak

Kraton Yogyakarta melalui perusahaan yang dipayungi oleh unit bisnis kraton, yakni PT. Putera Mataram Mitra Sejahtera (PT PMMS), kemudian bisnis retail terbesar asal Prancis, Carrefour, dan salah satu perusahaan ternama di Indonesia,

PT. H.M.Sampoerna.

PT. Putera Mataram Mitra Sejahtera merupakan salah satu kendaraan bisnis pihak Kraton Yogyakarta. Perusahaan ini berada di bawah payung

Departemen Agraria dan Bangunan, unit bisnis keluarga kraton yang dikepalai oleh Hadiwinoto, adik kandung Sultan Hamengkubuwono X. Nama kerajaan

”Mataram” dipakai sebagai nama yang mengidentikkan perusahaan ini milik keluarga kerajaan.

Gambar (2) Prasasti peresmian terletak di salah satu pilar rumah belanja Carrefour bertuliskan: “Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa Carrefour Plaza Ambarrukmo Diresmikan Pada Hari Minggu Tanggal 5 Maret 2006 oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Hamengkubuwono X” (dokumentasi Samsul Bahri) 30

Carrefour adalah sebuah perusahaan retail raksasa yang berinduk di

Prancis. Carrefour didirikan tahun 1959 oleh keluarga Fournier dan Defforey

(Fournier and Defforey Family). Supermarket pertama didirikan Carrefour pada tahun 1960 di Annecy, Houte-Savoie. Sebelum di Indonesia, Carrefour telah memulai membuka usahanya di beberapa negara seperti Spanyol, Brazil,

Argentina, Turki, Italia, Mexico, Taiwan, Malaysia, China, Thailand, Korea,

Hongkong, Singapura dan Polandia. Carrefour baru memulai mengembangkan sayap bisnisnya di Indonesia pada Oktober 1998 dengan membuka unit pertama di Cempaka Putih, Jakarta.10 Tahun itu adalah tahun ketika Indonesia tengah berada dalam api dan bara kerusuhan politik.

Masuknya peritel raksasa di Indonesia, termasuk Carrefour, atas ijin dari pemerintah yang pada saat itu berkepentingan untuk memulihkan kembali situasi perekonomian nasional setelah dilumpuhkan badai krisis ekonomi sepanjang tahun 1997. Ijin atas masuknya Carrefour sendiri keluar pada tahun 1997 berdasarkan SK Menkeu Nomor 455/MMK 01 tahun 1997. 11

Pada penghujung tahun 1999, Carrefour dan Promodes (induk perusahaan

Continent yang juga berasal dari Prancis) melakukan merger atas semua usaha di seluruh dunia. Penggabungan ini membentuk suatu grup usaha ritel terbesar kedua di dunia dengan tetap memakai nama Carrefour. Tahun 2006, Carrefour

Indonesia telah memiliki 22 paserba (pasar serba ada) yang tersebar di kota-kota besar: Jakarta, , , Palembang, , , Yogyakarta,

10 www.carrefour.co.id, diakses tanggal 23 Mei 2006.

11 ”Cikal Bakal Berkembangnya Pasar Modern,” Kompas, 3 November 2007. hlm. 35 31

Solo (2008) dan didukung oleh lebih dari 7.500 karyawan. 12 Pada bulan Januari

2008, Carrefour mengakuisisi saham Alfa Retailindo sebanyak 75 persen. 13

PT. HM. Sampoerna lebih banyak dikenal sebagai perusahaan yang memproduksi rokok. HM. Sampoerna sendiri didirikan pada tahun 1913 di

Surabaya oleh Liem Seeng Tee dan isterinya Siem Tjiang Nio, imigran Tionghoa dari Fujian, dengan nama Handel Maastchpaij Liem Seeng Tee yang kemudian berubah menjadi NV Handel Maastchapij Sampoerna. Perusahaan ini meraih kesuksesan dengan merek Dji Sam Soe pada tahun 1930-an hingga kedatangan

Jepang pada tahun 1942 yang memporak-porandakan bisnis perusahaan itu.

Setelah masa kebangkrutan, putra Liem, Aga Sampoerna mengambil alih kepemimpinan dan membangkitkan kembali perusahaan tersebut dengan manajemen yang lebih modern. Nama perusahaan juga berubah menjadi nama paten yang dipakai hingga saat ini. Selain itu, melihat kepopuleran rokok cengkeh di Indonesia, dia memutuskan untuk hanya memproduksi rokok kretek saja.

Generasi berikutnya, Putera Sampoerna adalah generasi yang membawa PT. HM.

Sampoerna melangkah lebih jauh dengan terobosan-terobosan yang dilakukannya, seperti perkenalan rokok bernikotin rendah, A Mild dan perluasan bisnis melalui kepemilikan di perusahaan supermarket Alfa, dan untuk suatu saat,

12 www.carrefour.co.id, diakses tanggal 23 Mei 2006.

13 ”Carrefour Resmi Ambil Alih Alfa,” Kompas, 22 Januari 2008. ”Carrefour Akuisisi Saham Alfa,” Sinar Harapan, 22 Januari 2008. Rencananya Carrefour juga tengah mengincar retail Makro. “Carrefour Incar Makro?” Kompas.com 28 Agustus 2008. Diakses tanggal 5 September 2008. 32

dalam bidang perbankan.14 Pada Maret 2005, sebagian besar saham perusahaan ini diakuisisi oleh Philip Morris. PT. Philip Morris Indonesia mengakuisisi 40 persen saham. Sebanyak 5 persen masih menjadi milik HM. Sampoerna dan selebihnya menjadi milik publik. 15

Selain memproduksi rokok berskala nasional, HM. Sampoerna juga memproduksi rokok bermerk lokal untuk dikonsumsi di tingkat lokal. Di

Yogyakarta sendiri, bekerjasama dengan perusahaan milik keluarga kerajaan,

HM. Sampoerna memproduksi rokok dengan merk “Kraton Ndalem”. Rokok ini memanfaatkan beberapa atribusi penting yang ada hubungannya dengan kesultanan Yogyakarta. Bungkus rokok berwarna hijau tua diambil dari warna dominan yang dapat dijumpai pada permukaan ornamen bangunan Kraton

Yogyakarta. Kemudian yang paling penting adalah simbol Kerajaan Mataram yang menempel di bungkus rokok. Keterlibatan PT. HM. Sampoerna dalam pembangunan Ambarrukmo Plaza, merupakan bagian dari kerjasama yang telah lama terjalin antara perusahaan itu dengan perusahaan yang dikelola oleh pihak

Kraton Yogyakarta.

2. Dari Malioboro ke Jalan Solo

Di Eropa, sebagaimana dikemukakan Roland Barthes, bentuk dari kota lama dicirikan oleh keberadaan tempat-tempat sentral yang berhubungan dengan kekuatan organisasi sosial. Kota tradisional memiliki semacam unit semantik

14 www.wikipedia.org/wiki/HM.Sampoerna. diakses tanggal 17 Desember 2007.

15 “Philip Morris Akuisisi Saham HM. Sampoerna,” Kompas, 15 Maret 2005. 33

(semantic unity) yang ditunjukkan dengan jalinan fungsional antara keberadaan unit-unit perdagangan dengan praksis sosial politik, agama dan interaksi kultural.

Bagian-bagian tata ruang dari kota ini, menurut Barthes, terdiri atas alun-alun kota, pedestrian, tempat ibadah, bangunan-bangunan pemerintahan, enklav perumahan, bank, dan tentu saja pasar atau pusat perbelanjaan. Lebih jelasnya pendapat Barthes berikut:

…the classic city form was organized around a centre which possessed material manifestations corresponding to each of the primary forces of social organization. Thus, the classic city had a kind of semantic unity represented by its centre within which the specific social practices of politic, religion, business, and cultural interaction had their material or constructed correlates. This historical form of city space included a large town square which facilitated pedestrian mingling, and several adjacent buildings including a church or cathedral; a civic building, possibly also housing, a court of law; a bank or brokerage house; and most importantly, a market. 16

Keadaan topografi kota seperti dikemukakan Barthes di atas merupakan ciri pada umumnya dari kondisi pusat kota lama di Eropa. Besar kemungkinan, proses kolonisasi yang panjang oleh bangsa Eropa, menjadi perantara masuknya model tata kota semacam itu di Hindia Belanda (Indonesia). Desain tata ruang pusat kota yang ada di Indonesia (di Jawa khususnya) merupakan replika tata kota lama di negara Eropa.

Dilihat dari topografi kotanya, Yogyakarta tergolong ke dalam bentuk kota lama (tradisional) menurut beberapa ciri-ciri yang mendukungnya. Ciri-ciri kota lama seperti digambarkan Barthes memang masih terlihat di titik pusat Kota

Yogyakarta. Namun dalam perkembangannya, tata kota yang terintegrasi itu kian

16 Roland Barthes, Semiologie et Urbanisme (1970-1) sebagaimana dikutip M. Gottdiener dalam Postmodern Semiotic, Material Culture and the Forms of Postmodern Life, Blackwell, 1995, hlm., 81-82. 34

mengalami perluasan dengan dibukanya sentra-sentra baru bagi kegiatan perekonomian (dekonsentrasi).

Proses dekonsentrasi ini tentu tidak akan terjadi jika tidak ada sebuah kepentingan ataupun kondisi-kondisi tertentu yang mendasarinya. Sebagai salah satu pintu masuk yang dapat dilalui untuk melihat proses dekonsentrasi tersebut, saya akan sedikit melakukan pembacaan atas keberadaan dua ruas jalan ekonomis di kota ini, yakni Jalan Malioboro dan Jalan Solo, di mana keduanya akan kita lihat dalam kedudukannya sebagai sentra kegiatan ekonomi, sambil menyisipkan secara hemat penjelasan mengenai kepentingan dan kondisi kemungkinan yang berhubungan dengan perluasan sentra kegiatan ekonomi tersebut.

Sebagaimana Orchad Road di Singapura yang dirancang sebagai pusat tujuan berbelanja,17 Jalan Malioboro di Yogyakarta juga dirancang atas kepentingan memajukan dan memadukan antara ”wisata budaya” dan wisata belanja. Tidak kurang dari ratusan toko dan supermarket, sebuah pasar tradisional serta sebuah mal berdiri di sisi arteri sepanjang satu kilometer itu. Keberadaan tempat-tempat penginapan seperti hotel yang ditunjang pula dengan keberadaan bisnis seks komersial (Pasar Kembang) di jalan ini, menjadi faktor pendukung tempat itu sebagai tujuan wisata. Sebagai jalan utama yang langsung menghubungkan setiap pejalan kaki dengan situs kraton, Malioboro telah benar-

17 Orchad Road dikembangkan dari pertengahan tahun 1960-an hingga pertengahan 1990-an dan menjadi pusat tujuan belanja di Negara Kota itu. Lihat Chua Beng Huat, Life is Not Complete Without Shopping, Consumption Culture in Singapore, Singapore: NUS Press, 2005. hlm. 41. 35

benar menjadi ikon kota yang melebihi ketenaran setiap sudut tempat mana pun di Yogyakarta. 18

Sebuah tempat belanja berstatus “mal” buat pertama kalinya berdiri di

Kota Yogyakarta setelah pada tahun 1993 di ruas jalan ini berdiri sebuah mal yang juga diberi nama berdasarkan nama populer jalan tersebut: Malioboro Mal.

Supermarket Ramai yang sudah jauh lebih dulu berdiri di lokasi ruas jalan yang sama, tiba-tiba menambahkan predikat “mal” sehingga populer dengan nama

Ramai Mal. Tidak ketinggalan supermarket Ramayana juga menambahkan predikat “mal” dan memopulerkan diri dengan sebutan “Mal Ramayana”. Klaim sebagai tempat berpredikat “mal” oleh kedua tempat belanja tadi, tentu punya keterkaitan dengan identifikasi nama tempat belanja populer itu seiring perkembangan pola konsumsi masyarakat.

Di samping ketiga tempat belanja moderen tersebut, di bagian lain dari sisi Jalan Malioboro terdapat pasar tradisional yang cukup terkenal, Pasar

Bringharjo. Pasar ini merupakan bagian integral dari komponen yang mendukung keberadaan kraton, alun-alun, bank, perumahan, masjid raya yang menjadi ciri dari sebagian banyak kota-kota di Jawa (ciri kota tradisional). Kembali kepada pendapat Barthes di atas, pasar merupakan komponen penting yang ada pada

18 Malioboro merupakan pusat perbelanjaan di Kota Yogyakarta. Diukur dari perempatan Tugu hingga ke alun-alun utara Kraton, berjarak kira-kira satu kilometer. Dalam jarak sepanjang itu, di sisi kiri dan kanan jalan berjejer tempat-tempat perbelanjaan; toko, supermarket, pedagang emperan, pasar tradisional, hotel dan mal, sebuah gedung perpustakaan, pusat pemerintahan, kantor Gubernur, dan kantor DPRD. Jalan Malioboro menjadi benchmark sekaligus brandmark Kota Yogyakarta. Brosur-brosur wisata menempatkan Malioboro sebagai ikon wisata belanja kota ini. Setidaknya itu dibuktikan dari slogan klise “Anda belum pernah ke Jogja, kalau belum ke Malioboro.” 36

sebuah kota lama. Pasar Bringharjo merupakan cikal bakal bertumbuhnya pusat perbelanjaan Malioboro di kemudian hari.

Gairah belanja konsumen di pusat perbelanjaan Malioboro, membuat situasi di tempat ini kian padat pengunjung. Beberapa persoalan semisal bagaimana mengatur dan mengkondisikan situasi yang nyaman bagi pengunjung terus diupayakan. Akan tetapi, usaha-usaha ini tidak selalu membawa hasil.

Beberapa wacana tentang penertiban Jalan Malioboro yang pernah berkembang antara lain: pemerintah merencanakan memindah lokasi parkir dari kawasan

Malioboro ke luar area Malioboro. Rencana lainnya, pemerintah berupaya akan menaikkan biaya parkir setinggi-tingginya bagi pemakai jasa parkir di kawasan

Malioboro dengan maksud mengurangi minat para pengunjung yang datang dengan kendaraan pribadi. Pemerintah kota bekerjasama dengan Pusat Studi

Transportasi dan Logistik UGM juga mengusulkan diterapkan sistim road pricing, sebagaimana sistem masuk di jalan tol.19 Terakhir pemerintah berupaya mengadakan lokasi parkir bawah tanah yang direncanakan akan dibangun di

Alun-Alun Utara Kraton (ujung selatan Jalan Malioboro).

Sehubungan dengan belum (atau tidak memungkinkan) terealisasikannya rencana penertiban kawasan tersebut, salah satu rencana pendekatan yang lebih mungkin adalah dengan mengupayakan dekonsentrasi atas Malioboro.20

19 Kebijakan ini dinilai memberatkan masyarakat. ”Road Pricing Malioboro, Tidak Efektif Menghapus Kemacetan,” Kompas Jogja, 24 Oktober 2005. ”Road Pricing Malioboro, Pemkot Harus Bijak Terhadap Masukan Masyarakat,” Kompas Jogja, 28 Oktober 2005.

20 Mengenai kerawanan lalu lintas Jalan Malioboro, dari jauh hari sudah pernah menjadi wacana. Bahkan kemudian diangkat menjadi salah satu tema film layar lebar berjudul Malioboro. Film yang dibuat di akhir tahun 80-an dan disutradarai Chaerul Umam ini berkisah tentang seorang wartawan yang keinginannya untuk menuangkan gagasan tentang kerawanan lalu lintas jalan 37

Malioboro tidak lagi dijadikan satu-satunya destinasi wisata belanja. Untuk mendukung ke arah upaya tersebut, perluasan kawasan belanja baru perlu diusahakan. Di sinilah kemudian keberadaan vital Jalan Solo dimaksimalkan sebagai sasaran pengembangan kawasan belanja baru. Pemerintah memproyeksikan Jalan Solo sebagai salah satu arteri yang akan menjadi kawasan pusat perbelanjaan.

Gambar (3) Beberapa tempat belanja di Jalan Malioboro: Malioboro Mal, Ramai dan Ramayana (dokumentasi Samsul Bahri)

Kedudukan Jalan Malioboro menjadi titik ordinat bagi keberadaan ruas jalan ekonomis lain, termasuk Jalan Solo. 21 Perluasan kegiatan ekonomi di Jalan

Solo menjadi salah satu upaya bagi proses dekonsentrasi di atas. Jalan Solo merupakan jalan utama yang menjadi pintu masuk sebelah timur menuju pusat

Malioboro ditolak atasannya. Selengkapnya lihat JB. Kristanto, “Malioboro” Yogya Masa Kini (1989) dalam Nonton Film Nonton Indonesia, Jakarta, Penerbit Kompas, 2004, hlm.134. Tambahan pula, sekaitan dengan situasi di Jalan Malioboro, beberapa dari para penulis (penulis karya sastra) yang mencoba mengangkat tema dengan seting ruang Malioboro, memandang tempat ini sebagai kawasan yang tidak lagi ramah untuk dikunjungi. Sebut saja sebuah novel yang ditulis Eko Susanto, berjudul Orang-orang Malioboro (Yogyakarta: Insist Press, 2005). Dalam novel yang ditulis berdasarkan pengalaman kesehariannya selama sembilan tahun menjadi pedagang kakilima di kawasan itu, dia mencoba menggambarkan Malioboro sebagai tempat yang rawan kriminalitas; pencopetan dan penjambretan. Permulaan novel dibuka dengan terbunuhnya seorang jambret setelah dihajar massa.

21 Jalan Solo (kira-kira demikian kebanyakan orang menamai jalan ini) adalah sebutan untuk dua ruas jalan yang saling berhubungan lurus, dari arah timur: Jalan Adisucipto dan Jalan Urip Sumoharjo. Jalan ini merupakan jalan besar yang secara lurus menghubungkan antara Yogyakarta dan Solo. 38

Kota Yogyakarta. Di sisi kiri dan kanan jalan ini berdiri toko, warung, apotek, hotel, wisma penginapan, diskotik, museum dan galeri seni rupa, gedung pameran, rumah sakit, minimarket dan supermarket, mal, plaza, bank, kampus, pedagang kaki lima dan bengkel. Lurus ke arah barat jalan ini, adalah bangunan

Tugu yang menjadi titik pertemuan antara Jalan Solo dan pusat perbelanjaan

Jalan Malioboro. Meskipun tergolong ruas jalan ekonomis, predikat kedua jalan ini berbeda. 22 Jalan Malioboro lebih populer sebagai pusat perbelanjaan (bahkan menjadi ikon tujuan wisata belanja), ketimbang Jalan Solo. 23

Di Jalan Malioboro, tempat-tempat belanja terkonsentrasi dan terintegrasi di satu arah. Sementara Jalan Solo, keberadaannya sebagai pusat perbelanjaan belum tampak. Jalan ini masih dianggap sebagai jalan umum kota. Di sepanjang jalan ini tidak terlalu tampak rombongan pejalan kaki atau para wisatawan belanja, sebagaimana terlihat di sepanjang Jalan Malioboro. Sebagaimana di

Jalan Malioboro, Jalan Solo dilalui oleh semua jenis moda transportasi darat, kendaraan umum, bus angkutan, bus wisata, mobil pribadi, sepeda motor, angkutan tradisional andong, dan becak. Di Jalan Malioboro, ruas jalan disatu- arahkan. Sedang di Jalan Solo ruas jalan dibagi dua arah, terkecuali di beberapa titik yang menjadi pusat keramaian, jalan dibuat satu arah (sepanjang Jalan Urip

Sumoharjo).

22 Saya memaksudkan suatu kawasan sebagai jalan ekonomis (meminjam istilah St. Sunardi: zona ekonomi) dengan alasan: setiap jalan di mana terdapat pusat-pusat atau bakal pusat tempat perbelanjaan yang sudah ditandai dengan berdirinya deretan toko, warung, supermarket, mal dan tempat-tempat yang memungkinkan menjadi arena jual beli. Indikator zona ekonomi lainnya ditandai keberadaan papan iklan, baliho dan spanduk komersial.

23 Lebih lengkap tentang nama-nama bangunan dan unit usaha di sepanjang Jalan Solo dan Jalan Malioboro, lihat lampiran. 39

Tingkat kepadatan jumlah kendaraan antara kedua jalan itu pada mulanya jauh berbeda. Di Jalan Malioboro, jumlah kendaraan yang melintas setiap harinya dua kali lipat lebih banyak dari pada yang ada di Jalan Solo atau ruas jalan lainnya. Kepadatan jumlah kendaraan akan mencapai puncaknya pada akhir pekan. Kelak kemudian, kenyataan ini menjadi salah satu alasan penting pemerintah (Sri Sultan Hamengkubuwono X) melakukan apa yang disebutnya sebagai “pemerataan lokasi belanja untuk mengurangi tingkat kemacetan lalu lintas di jalan Malioboro”, melalui program pendirian mal di kawasan lain, termasuk kawasan Jalan Solo.24

Setelah berdiri dua mal (Shapir dan Amplaz) di kawasan Jalan Solo, setidaknya sudah tampak ada perubahan –meskipun belum sepenuhnya— berkaitan dengan situasi tingkat pemerataan arus kendaraan. Usaha lain yang diupayakan untuk mempercantik kawasan Jalan Malioboro juga sudah direncanakan dengan dikeluarkannya keputusan merelokasi kawasan parkir Jalan

Malioboro dengan membangun tempat parkir bawah tanah (under-ground) di atas

Alun-Alun Utara Kraton. Keputusan ini menurut Sri Sultan Hamengkubuwono X disebutnya sebagai Sabdo Pandhito Ratu, keputusan yang tidak boleh dicabut setelah diputuskan. 25

24 Sebagaimana diakui sendiri oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam sebuah dialog pada acara rubrik Jemparing TVRI Yogyakarta (tayang ulang, recorded), tanggal 31 Juli 2007.

25 Lihat pledoi Sri Sultan atas gagasan pembangunan tempat parkir bawah tanah Alun-Alun Utara dalam artikel berjudul ”Alun-alun Utara Yogyakarta, Antara Wacana dan Realita,” Kompas, 9 Desember 2005. hlm. 68. Ide Sultan untuk membangun sistem parkir bawah tanah sebetulnya banyak diinspirasi dari model-model kota di Jepang yang sudah lama mengembangkan pembangunan perluasan kawasan kota dengan memanfaatkan pembangunan bawah tanah. 40

Gambar (4) Mal yang berdiri di Jalan Solo: Mal Galeria, Saphir Square, Ambarrukmo Plaza, sebagai upaya dekonsentrasi atas Jalan Malioboro. (dokumentasi Samsul Bahri)

Keberadaan media luar ruang seperti papan reklame dalam jumlah besar merupakan satu ikon penting penunjang predikat sebuah jalan ekonomis (zona ekonomi). Nuansa lain yang tampak berbeda di kedua jalan ekonomis ini justeru mengenai keberadaan tampilan papan iklan. Di sepanjang Jalan Solo kita biasa melihat billboard, baliho iklan dalam ukuran raksasa yang dipasang dengan posisi melintang jalan, atau berada di tengah jalan dan di sisi jalan. Selebihnya adalah iklan-iklan spanduk, umbul-umbul di perempatan jalan dan yang dipancangkan baik di tengah pembatas jalan dua arus maupun di trotoar. Sebaliknya, di Jalan

Malioboro, papan reklame hanya terpampang di dinding-dinding pertokoan, maupun di puncak gedung pertokoan, supermarket dan mal. Selebihnya adalah reklame dalam bentuk spanduk mini dan baliho ukuran tanggung di sisi jalan.

Tidak adanya billboard dalam ukuran raksasa yang terpasang melintang di sepanjang Jalan Malioboro kemungkinan disebabkan dampaknya yang dapat mengurangi keelokan pemandangan. Bisa dibayangkan, andaikata ada papan reklame yang melintang jalan di seruas Jalan Malioboro, paling tidak akan mengganggu pengelihatan dari kemungkinan melihat joglo Kraton, jika ditatap dari jarak pandang yang cukup jauh. Kemungkinan ini juga diperkuat oleh 41

adanya mitos poros utara-selatan: Merapi, Tugu dan Kraton yang menurut kosmologinya merupakan suatu jarak mistik yang tidak boleh dirintangi, apalagi oleh selintasan iklan raksasa.

Gambar (5) Deretan baliho raksasa dan sebuah iklan melintang jalan di sepanjang Jalan Solo. Salah satu indikator ruas jalan ekonomis. (dokumentasi Samsul Bahri)

Di sisi Jalan Malioboro (sisi timur) kini terdapat tempat-tempat duduk permanen yang dibuat dari semen beton yang melingkari setiap pohon. Tempat- tempat duduk permanen ini merupakan instrumen pelengkap, di samping pedestrian, yang disediakan bagi pengunjung. Setiap pengunjung yang hendak melepas penat atau yang hanya sekedar bermaksud jeda dari perjalanan, dapat memanfaatkan tempat duduk tersebut. Sayangnya, karena jarak tempat duduk yang begitu dekat dengan tempat parkir sepeda motor, kecuali hanya tukang parkir yang memanfaatkan tempat duduk itu, sedikit sekali atau bahkan pengunjung enggan memanfaatkannya. Di Jalan Solo, tampaknya sudah tidak tersisa petak-petak sisi jalan yang dapat dijadikan spasi untuk membuat tempat duduk permanen seperti di Jalan Malioboro (kecuali di depan Ambarrukmo 42

Plaza), atau barangkali memang keberadaan tempat duduk serupa tidak terlalu dibutuhkan di Jalan Solo.

Seperti diketahui, Yogyakarta sangat populer sebagai kota seni. Jalan

Malioboro secara khusus punya sekelumit sejarah sebagai tempat tumbuhnya kegiatan berkesenian, dalam hal ini seni sastra. Dahulu, di salah satu sudut jalan ini pernah ada kelompok sastra bernama Persada Studi Klub (PSK), dan keberadaan seniman jalanan Malioboro yang tetap eksis sampai saat ini.

Meskipun Jalan Solo tidak punya catatan khusus sebagai tempat tumbuhnya kegiatan berkesenian, jangan dilupakan bahwa museum pelukis terkenal, Affandi, justeru terletak di jalan ini. V art Gallery, sebuah galeri seni rupa yang baru saja di tahun 2005 diresmikan, juga terletak di jalan ini, sebelah barat museum

Affandi. Di Jalan Malioboro, kecuali hanya ruang bagian dalam Benteng

Vredeburg dan Gedung Taman Budaya yang sekali waktu dimanfaatkan sebagai tempat pameran seni rupa, tidak ada tempat lain yang menjadi lokasi representatif kegiatan pameran kesenian seni rupa. Selang setahun setelah V art Gallery di

Jalan Solo diresmikan, diresmikan pula Jogja Gallery di dekat Alun-Alun Utara

Kraton.

Keberadaan kelompok kesenian yang mengambil popularitas nama jalan yang menjadi ikon Kota Yogyakarta, kemudian keberadaan galeri seni yang terdapat di masing-masing ruas jalur ekonomis tersebut, menambah kuatnya kesan Yogyakarta sebagai destinasi tujuan wisata belanja dan ’wisata budaya’.

Belakangan, sejak tahun 2008, setelah pemerintah daerah melalui Dinas

Perhubungan memberlakukan sistim angkutan Trans-Jogja, terdapat bus jalur 43

khusus (jalur 1A, 1B) yang menghubungkan kedua jalan ini. Jalur-jalur ini tergolong yang paling padat penumpang, sehingga sebagian orang kemudian menyebutnya sebagai “jalur belanja”. 26

3. Menimbang Ruang Strategis dan Ruas Jalan Ekonomis

Sebagaimana M. Gottdiener yang mengaitkan perkembangan mal di tengah masyarakat Amerika dengan perubahan-perubahan fundamental dalam bidang sosio-spasial yang kemudian memengaruhi lingkungan urban, perkembangan pusat perbelanjaan seperti mal di Kota Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari konteks perubahan fundamental dalam pola konsumsi masyarakat dan perubahan kondisi ruang sosial semacam itu. 27 Sub-bab ini akan memberikan kejelasan mengenai kondisi ruang sosial dilihat dari kemunculan enklav perumahan- perumahan elit di seputar lokasi atau di wilayah yang sekawasan dengan tempat didirikannya Ambarrukmo Plaza.

Bisnis real estate merupakan salah satu pemicu akselerasi perkembangan enklav baru di kawasan perkotaan secara umum, khususnya di Yogyakarta.

Wilayah-wilayah kosong yang semula sebagian besarnya berupa tanah persawahan, banyak yang disulap menjadi bangunan-bangunan komplek perumahan elit. Hal ini berkaitan dengan semakin tingginya mobilisasi jumlah

26 Saya meminta pendapat sebagian para penumpang pengguna jalur bus 1A, mengenai jumlah penumpang yang selalu memadati jalur tersebut. Mereka mengatakan bahwa harus dimaklumi jalur ini merupakan “jalur belanja”. Selepas dari Ambarrukmo Plaza, dari Shapir Square, Gardena ataupun dari Galeria, orang bisa melanjutkan kegiatan belanja menuju pusat perbelanjaan jalan Malioboro dengan memanfaatkan jasa angkutan jalur 1A.

27 The phenomenon of the mall in the United States can only be understood within the context of the fundamental changes in sosio-spatial organization affecting the urban environtment over the past thirty years, Gottdiener, dari The Social Production of Urban Space dalam Postmodern Semiotics, hlm. 81. 44

penduduk kelas menengah atas di perkotaan. Semakin tinggi prosentase kelompok kelas sosial atas secara otomatis meningkatkan permintaan akan tempat hunian baru yang representatif.

Umumnya, kelompok-kelompok sosial yang menghuni komplek perumahan elit ini adalah golongan pekerja profesional, para pebisnis papan atas di sektor-sektor tertentu. Sebagian besar mereka para pendatang. Karena posisi sebagai pendatang, demi alasan praktis, mereka biasanya tidak hendak memulai hidup dengan membangun hubungan-hubungan sosial dengan penduduk setempat. Karenanya, pilihan untuk tinggal di komplek perumahan (residence) adalah pilihan untuk menghindari kehidupan dengan aturan tradisi dan kebiasaan masyarakat (kebiasaan hidup bermasyarakat) yang dianggap rumit dan membutuhkan adaptasi lama untuk menyerapnya. Saya kira ini adalah sedikit dari banyak alasan kultural yang memicu para pengembang real estate untuk terus mendirikan komplek hunian baru sebagai tempat tinggal para pendatang dari kalangan elit di perkotaan.

Masuk ke arah utara dari Jalan Solo, lokasi berdirinya Ambarrukmo

Plaza, terdapat beberapa enklav perumahan elit. Beberapa di antaranya sudah berdiri jauh-jauh hari sebelum plaza didirikan. Sebagian lagi baru berdiri bersamaan dengan berdirinya plaza. Perumahan Puri Kenari yang terletak di utara plaza, sudah ada jauh sebelum plaza berdiri. Begitu juga dengan Wisma Joglo.

Jogja Regency, Citra Grahadhika Sejahtera, Citra Panorama, Taman Kenari yang berdiri di sisi timur-utara Hotel Ambarrukmo. Town House 1, 2 dan 3,

Ambarrukmo Residence, Tectona House, adalah beberapa enklav baru, didirikan 45

di jalur satu arah di Jalan Wahid Hasyim, di lokasi yang tidak terlampau berjauhan. Perumahan Bumi Seturan Permai 1 dan 2, terletak di dekat Kampus

YKPN, berdiri antara tahun 2002 dan 2004. Belum lagi ditambah dengan keberadaan rumah-rumah kos yang dihuni oleh mahasiswa dari kelas sosial atas.

Bertumbuhnya rumah-rumah kos dengan harga sewa yang tinggi di kawasan ini

(Seturan dan Babarsari) didukung oleh keberadaan bangunan-bangunan kampus.

Terutama sekali keberadaan kampus-kampus yang tergolong elit. Kawasan ini dapat disebut sebagai kawasan satelit, di mana Ambarrukmo Plaza berfungsi sebagai sentral.

Keberadaan komplek perumahan elit dan rumah-rumah pemondokan mahasiswa semacam itu mendapat respon dari pihak pengembang bisnis di sektor konsumsi. Di beberapa ruas jalan umum di kawasan itu, berdiri toko, warung, fitness centre, diskotek, swalayan, tempat-tempat jasa yang menjual dan menawarkan beragam barang dan jasa: tempat pencucian motor dan mobil dan tempat laundry. Tidak cukup itu, kebutuhan sebagian besar kelompok kelas menengah atas ini direspon pula dengan menghadirkan tempat belanja yang paling representatif seperti mal. Mereka adalah sumber pasar potensial bagi pasar modern tersebut. Kehadiran Ambarrukmo Plaza di tempat di mana menurut rancangan strategi ruang merupakan tempat paling strategis, adalah jawaban atas kehendak memenuhi kebutuhan kelompok-kelompok sosial atas tersebut. 46

C. Ambarrukmo Plaza dan Usaha Spesifikasi Konsumen

Salah satu cara untuk menjaga nilai eksklusif sebuah tempat belanja ialah dengan membatasi konsumen (spesifikasi konsumen). Spesifikasi konsumen itu, dalam konteks pembangunan Ambarrukmo Plaza, tidak dapat dilepaskan dari beberapa pernyataan politis yang mengarah kepada usaha melegalisasi kebijakan kontroversial pembangunan mal, semisal pernyataan yang menganggap bahwa mal bukan biang keladi kematian usaha-usaha kecil pertokoan di sekitar rumah tangga dan pasar tradisional, melainkan minimarketlah yang menjadi penyebabnya. Kehadiran mal ditengarai tidak akan mematikan pasar tradisional, karena mal memiliki segmen pasar konsumen tersendiri. Justru yang berpotensi mematikan pasar tradisional adalah minimarket. Menurut Sutarto, Kepala Dinas

Perizinan Kota Yogyakarta, potensi pertumbuhan toko jejaring hingga ke kampung-kampung harus diwaspadai sebelum terlambat karena bisa mematikan geliat usaha ekonomi masyarakat. 28

Pernyataan itu dilontarkan pemerintah Yogyakarta dalam situasi ketika tengah gencar lontaran kritik yang dialamatkan kepada pemerintah DIY atas kebijakan perencanaan pembangunan mal di Yogyakarta. Jika minimarket yang disebut sebagai penyebab melemahnya geliat ekonomi masyarakat kebanyakan, lantas mengapa dari dulu pemerintah tidak berupaya mengeluarkan kebijakan membatasi jumlah minimarket? Mengapa pernyataan itu baru dikeluarkan ketika tengah gencar kritik atas pembangunan mal?

28 “Pendirian Minimarket Dibatasi,” Kompas Jogja, 28 Maret 2007. 47

Secara khusus pernyataan itu dikeluarkan untuk menangkal kritik atas pembangunan mal Ambarrukmo Plaza. Sebab sebagaimana diketahui, kritik tersebut secara tidak langsung bermaksud mendeligitimasi kebijakan kontroversial Sri Sultan Hamengkubuwono X, yang merelakan separuh bangunan situs bersejarah Gandhok Tengen dikorbankan untuk kepentingan pembangunan Ambarrukmo Plaza.

Secara umum, dalam kasus di Indonesia, dan secara khusus dalam kasus di Yogyakarta, wacana pembangunan pasar moderen senantiasa berada dalam dua tegangan antara yang pro dan yang kontra. Kekhawatiran atas pengembangan pasar moderen didasarkan atas keprihatinan terhadap ekonomi menengah bawah di mana pasar tradisional diasosiasikan sebagai poros kegiatan perekonomian masyarakat menengah bawah dalam skala modal yang relatif kecil.

Sebagian besar mal yang didirikan di Yogyakarta tidak ada yang tidak mengundang kontroversi, entah itu yang berhubungan dengan sengketa karena proses pembangunan yang mengganggu masyarakat sekitar, sengketa kepemilikan lahan ataupun yang berhubungan dengan perusakan cagar budaya atau situs bersejarah.

Secara garis besar, pertentangan dan kontroversi atas pembangunan mal di Yogyakarta terjadi atas dasar dualisme berikut: kehendak memajukan perekonomian dengan memperluas jaringan modal versus kehendak menjaga stabilitas ekonomi kerakyatan (ekonomi), kehendak modernisasi ekonomi versus pemeliharaan tradisionalisme ekonomi (budaya), kewenangan kekuasaan versus kepentingan publik (sosial), otoritas absolut (Sri Sultan sebagai Raja dan kepala 48

pemerintahan) versus kedaulatan demokratis (politik). Sebagai konsekuensi adanya pertentangan itu, dikeluarkanlah ‘maklumat’ yang mengarahkan kepada upaya spesifikasi konsumen mal. Dalam kasus Ambarrukmo Plaza, dapat dilihat beberapa upaya yang dilakukan dan mengarah kepada kebijakan spesifikasi konsumen. Dalam hal politik spesifikasi konsumen ini, saya lebih memilih untuk memberi fokus kepada hal-hal berikut: materi promosional berupa teks bunyi iklan, pemilihan penempatan materi promosi, media serta cara suatu materi promosi didistribusikan. Selebihnya, saya membahas secara singkat satu materi non-promosional berupa jalan baru yang dibuka oleh pihak Carrefour yang menghubungkan antara plaza dengan kawasan elit di sekitarnya.

1. “Jarak Plaza Hanya Lima Menit dari Bandara”

Lokasinya sangat strategis yaitu di jalur utama Jogja-Solo, dan hanya 5 menit dari bandara internasional Adisucipto.29

Kalimat di atas adalah kalimat promosi. Lazimnya promosi, selalu ada yang terkesan dilebihkan. Jarak 5 menit dari bandara menuju Ambarrukmo Plaza dapat ditempuh jika di jalan raya tidak ada kemacetan dan tidak ada halangan traiffic light. Tetapi pada kenyataan, untuk sampai ke plaza dari bandara dibutuhkan paling tidak 15 menit dengan melewati jalan ramai dan tiga kali halangan traffic light. Saya ingin meminjam keseluruhan bunyi kalimat promosi itu sebagai jalan masuk untuk membahas strategi dan aplikasi Ambarrukmo Plaza di dalam usahanya melakukan spesifikasi konsumen. Sebelumnya, saya sudah

29 “Ambarrukmo Plaza The Facilities,” Majalah Plaza, edisi Premium, 2006. hlm. 06 49

menyebutkan bahwa salah satu ciri dari pasar moderen di dalam menjaga nilai eksklusifitas di antara tempat belanja lainnya, ialah adanya upaya spesifikasi konsumen. Karena itu, kita perlu melihat bagaimana strategi plaza ini melakukan spesifikasi konsumen. 30

Coba kita beri perhatian kepada bunyi kalimat promosional di atas: …dan hanya 5 menit dari bandara internasional Adisucipto. Mengapa kalimat promosional ini menunjuk kepada tempat transit seperti bandara? Mengapa kalimat promosi itu tidak (juga) berbunyi: …dari terminal Giwangan hanya berjarak sekian menit? Kata “bandara” punya kebersatuan hubungan dengan jenis alat transportasi udara: pesawat. Sementara “terminal” punya hubungan dengan alat transportasi darat: bus, metro, trem dan sejenisnya.

Untuk sementara, pesawat terbang adalah alat transportasi yang banyak dimanfaatkan oleh para pekerja dari kalangan menengah atas yang memiliki mobilitas tinggi. Di samping itu juga, penerbangan umumnya dimanfaatkan para turis domestik ataupun turis asing. Kedudukan kedua tempat, antara bandara dan terminal, berbeda. Asosiasi bandara sudah jelas berbeda dengan terminal.

Mereka yang memanfaatkan fasilitas bandara sebagai tempat transit dari satu kawasan ke kawasan lain, dengan mudah mengesankan bahwa mereka adalah kalangan orang-orang penting, kalangan menengah atas. Karena perbedaan inilah bandara dipakai dalam kalimat promosi Plaza Ambarrukmo.

30 Saya lebih memilih materi promosional tersebut sebagai jalan membahas konsep spesifikasi konsumen, ketimbang mengulas bentuk teks bangunan dan struktur ruang dari plaza ini. 50

Bukan tidak ada alasan mendasar mengapa bandara dipilih dalam kalimat promosi tersebut. Di awal sudah dijelaskan kedudukan Ambarrukmo Plaza sebagai tempat belanja berkelas. Tempat belanja bertaraf internasional. Sebagai tempat belanja dengan citra kelas menengah atas, maka sudah menjadi keharusan untuk melekatkan identitas “yang berkelas” dengan segala atribut yang juga berhubungan dengan “yang serba berkelas”. Bandara adalah tempat bagi para penumpang dengan kecenderungan tingkat ekonomi menengah atas, penumpang berkelas –meskipun di bandara ada perbedaan kelas pesawat antara yang ekonomi, bisnis dan kelas satu.

2. Akses Jalan Baru Menuju Plaza

Dahulu, jalan itu hanya jalan buntu dan belum diaspal. Jalan itu hanya jalan di pinggiran kampung. Bukan jalan besar. Jalan itu tidak banyak dilalui kendaraan.

Ketika rencana pembangunan mal Ambarrukmo Plaza digagas, jalan itu mulai digarap. Mula-mula diberi pengeras (diaspal), kemudian jalur buntu yang tidak ada tembusannya itu dibuka dengan membelah lahan persawahan, sehingga jalan itu menjadi penghubung antara jalan di kampung Nologaten, Ambarrukmo dan jalan menuju Seturan. 51

Gambar (6) Jalan baru yang dibuka Carrefour, menghubungkan antara Ambarrukmo Plaza dengan kawasan elit di utaranya. (dokumentasi Samsul Bahri)

Secara teknis, jalan baru ini sebetulnya tidak terlalu perlu diadakan. Sebab bagi mereka yang misalkan hendak menuju ke Jalan Solo dari Seturan, sudah terdapat empat lajur jalan yang dapat menghubungkannya: Jalan Babarsari, Jalan

Seturan, Jalan Wahid Hasyim dan Jalan Mundu. Keempat lajur ini dapat dijadikan akses bagi mereka yang berada di utara Jalan solo.

Tetapi jalan baru itu –menurut plakat yang didirikan diujungnya diberi nama Jalan Melon— tetap dianggap perlu. Terlebih setelah beberapa buah rumah mewah berdiri di sisi kiri kanan badan jalan baru ini. Titik hubung jalan baru itu dimulai dari Ambarrukmo Plaza dan berakhir menuju Jalan Mundu, Seturan.

Jalan itu dianggap sebagai jalan lintas strategis yang dapat menghubungkan antara wilayah Seturan dan tempat belanja istimewa Ambarrukmo Plaza. Karena itu, pihak Carrefour memoles jalan buntu itu menjadi jalan baru, dibalut aspal dengan ketebalan yang luar biasa bagusnya. Lengkap dengan garis tengah putih pembatas dua arus jalan lalu lintas. 52

Dengan dilengkapi garis pembatas warna putih di permukaannya, jalan baru itu dianggap jalur penting. Sebab, dibandingkan dengan banyak jalur lain yang dibuat di pinggir-pinggir kampung, hanya Jalan Melon itu saja yang dibuat lengkap dengan garis putih di permukaannya, seperti jalan raya besar pada lazimnya.

Melihat hubungan antar ujung sepanjang ruas jalan ini, barulah dapat dimengerti apa fungsi jalan ini secara spesifik. Jalan itu sebetulnya pada mulanya dipersiapkan untuk mempermudah akses menuju Ambarrukmo Plaza bagi para konsumen yang tinggal di kawasan Seturan. Sudah saya sebut di atas, jalan itu menghubungkan Ambarrukmo Plaza dan Jalan Mundu Seturan. Seperti saya gambarkan dalam peta (Lihat lampiran II peta komplek perumahan elit di sekitar

Ambarrukmo Plaza), kawasan Seturan lebih banyak didominasi bangunan- bangunan komplek perumahan elite, rumah-rumah kos mahasiswa dengan fasilitas yang mewah. Sebab, di sekitaran kawasan ini berdiri dua bangunan kampus penting, kampus yang terbilang elite, yakni Universitas Pembangunan

Nasional Veteran dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yayasan Keluarga

Pahlawan Nasional (STIE YKPN). Keduanya adalah kampus elite dengan sebagian besar mahasiswanya bermukim di kawasan Seturan. Jalan baru ini sengaja dibuka sebagai akses yang menghubungkan secara khusus antara kawasan elite ini dengan mal Ambarrukmo Plaza. 53

3. Iklan Belanja Meriah Carrefour

Di atas eskalator landai yang menghubungkan antara Lower Ground dan Ground

Floor rumah belanja Carrefour, terpampang sebuah iklan belanja meriah

Carrefour. Iklan itu bergambar sekeluarga besar orang berada tengah menikmati kegiatan belanja bersama, dalam suasana yang amat ceria selepas memborong barang di rumah belanja Carrefour. Kegiatan belanja itu diikuti oleh hampir seluruh anggota keluarga: kakek nenek, sepasang suami isteri dan kedua anak mereka. Mereka membawa dua buah troli yang penuh dengan barang belanjaan.

Gambar visual mengedepankan sesuatu yang berhubungan dengan keintiman, di mana keluarga ditampilkan sebagai daya persuasi iklan guna membangkitkan naluri dasar (hasrat berbelanja) konsumen.31

Kehadiran konsumen ke rumah belanja ini lazimnya dilakukan secara bersama-sama anggota keluarga. Gambar iklan ini semakin menegaskan posisi

Ambarrukmo Plaza sebagai apa yang terkemudian oleh pihak pengembang plaza itu disebut sebagai tempat belanja berbasis keluarga (family mall). 32 Meski iklan itu tidak bicara tentang pembatasan jenis konsumen, tetapi dari detil gambar yang tersaji, dengan segera kita akan menemukan ideologi yang menyertai gambar iklan belanja meriah tersebut. 33

31 Intimitas atau nilai keintiman (sebagaimana ditunjukkan dalam iklan belanja Carrefour) merupakan salah satu bentuk logo-teknik dalam iklan disamping seksualitas dan ketakutan. Biasanya keintiman dibuat lewat bahasa eks-komunikasi dalam sebuah pergaulan. Lihat St. Sunardi dalam Semiotika Negativa, 2004. hlm. 157 – 158.

32 Istilah family mall sebelumnya tidak pernah disebut sebagai konsep dasar Ambarrukmo Plaza. Baru pada majalah Plaza edisi keempat, istilah family mall mulai disinggung.

33 Dalam membaca iklan ini, sepenuhnya saya merujuk kepada konsep dasar mitologi dari Roland Barthes. Selengkapnya, lihat Roland Barthes, Mythologies, London: Paladin, 1973. Bab II Konsep Dasar. 54

Gambar (7) Iklan belanja meriah Carrefour di depan eskalator landai yang menghubungkan dua lantai rumah belanja tersebut. (dokumentasi Samsul Bahri)

Pada gambar iklan itu, kita melihat salah satu fasilitas penting yang disediakan sebuah rumah belanja, yakni kereta dorong alias troli. Alat ini diciptakan di samping untuk memudahkan dalam kegiatan belanja, juga untuk memfasilitasi mereka yang berbelanja dalam jumlah melimpah. Bagi mereka yang berbelanja dalam jumlah kecil, tersedia keranjang belanja yang mampu menampung sejumlah barang belanjaan yang tidak terlalu banyak.

Pilihan konsumen ketika mendatangi rumah belanja Carrefour, apakah hendak menggunakan keranjang belanja atau kereta dorong, bergantung pada apakah mereka hendak berbelanja dalam jumlah besar atau sekedarnya. Para pengguna kereta dorong berbelanja dalam jumlah seperti yang diharapkan dalam gambar iklan belanja meriah Carrefour.

Di dalam gambar iklan itu, semua anggota keluarga ikut serta dalam kegiatan belanja. Artinya bahwa masing-masing anggota keluarga mempunyai pilihan tersendiri untuk kebutuhan mereka. Kakek dan nenek akan memilih jenis sabun mandi yang berbeda dari merk sabun mandi anak dan cucu mereka. 55

Pasangan suami isteri memilih sabun mandi yang berbeda dari kedua anak mereka. Jenis makanan yang mereka konsumsi pun dipilih secara berbeda.

Perbedaan usia dan jenis kelamin semacam itu, menjadi benar-benar natural ketika orang dihadapkan kepada pilihan jenis konsumsi yang berbeda-beda.

Masing-masing punya pilihan dan atau ditentukan kebutuhannya sendiri-sendiri.

Karena pilihan yang berbeda dan masing-masing memenuhi kebutuhan menurut apa yang mereka butuhkan, membuat aktivitas berbelanja menjadi tampak meriah, karena melimpahnya jumlah barang belanja.

Posisi penempatan iklan dalam rumah belanja itu juga perlu diberi perhatian. Iklan belanja itu diletakkan di antara ruas arah diantarai oleh eskalator landai yang menghubungkan antara Ground Floor dan Lower Ground rumah belanja Carrefour. Di sisi kiri dan kanan eskalator landai tersebut terisi penuh oleh barang dari jenis makanan ringan. Pemandangan ini memberi kesan bahwa kita tengah berada di surga (surga belanja) di mana semua barang kebutuhan dapat dipenuhi seketika. Seperti bayangan kita tentang surga, di mana segala sesuatu dapat diperoleh sesuka hati.

Karena posisi ini, setiap kali para konsumen melanjutkan kegiatan belanja dari GF menuju LG, iklan itu –meski tanpa sekalimat pun caption yang menyertainya—seperti bicara kepada siapa pun yang tengah menikmati kegiatan belanja di tempat itu: “bagaimana barang belanjaan Anda, sudah melimpahkah?

Manjakan diri Anda. Ada begitu banyak pilihan belanja di sini…” 56

4. Arteri dan Plakat Carrefour di Atasnya

Posisi arteri (ruas jalan utama) tidak dapat dipisahkan begitu saja dari kegiatan bisnis. Arteri punya hubungan dekat dengan bisnis. Jika bukan sebuah bangunan tempat kegiatan berbelanja yang berdiri di sisinya, maka dapat dipastikan di situ terdapat sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan mengkonsumsi, apalagi kalau bukan papan reklame.

Material promosional yang masih punya hubungan dengan keberadaan tempat belanja istimewa Plaza Ambarrukkmo adalah papan reklame berlogo perusahaan waralaba yang berinduk di negeri Prancis, Carrefour. Segera setelah

Plaza Ambarrukkmo berdiri, di setiap tempat ‘strategis’ di ruas jalan-jalan utama kota (arteri), berdiri papan reklame Carrefour. Sejauh menurut catatan amatan saya, terdapat beberapa buah papan reklame Carrefour yang masing-masing terletak di tempat-tempat berikut: dekat bandara, pertigaan pertemuan antara

Jalan Solo dan Jalan Lingkar Utara, pertigaan pertemuan antara Jalan Solo dan

Jalan Babarsari, perempatan Jalan Gejayan, perempatan Jalan Kaliurang dan seterusnya (lihat lampiran III). 34

Papan reklame ini dengan bunyi ajakan dalam bahasa yang merajuk “ke

Carrefour aja, ahh...!” bukan sekedar menunjuk di mana lokasi rumah belanja

Carrefour, lalu diikuti keterangan jarak plaza dengan lokasi di mana kita berada.

Melihat papan reklame ini sebagai sekedar sebuah papan iklan, maka tidak ada bedanya dengan papan reklame produk rokok dan produk lain yang ada di

34 Pengamatan dan identifikasi terakhir yang saya lakukan terhadap keberadaan plakat di setiap lokasi strategis ini adalah pada minggu pertama bulan Feberuari 2007. Kini sebagian plakat itu sudah dicabut, bahkan pada saat perayaan ulang tahun Carrefour yang ke sembilan yang jatuh di bulan Agustus, sebagian plakat berlogo “C” itu diganti iklan ulang tahun Carrefour. 57

sekitarnya. Letak di kawasan mana papan reklame Carrefour ini berada memiliki makna yang tidak bisa berhenti dibaca sebagai sebuah papan reklame belaka.

Gambar (8) Contoh beberapa plakat baliho Carrefour di ruas jalan-jalan strategis, secara berturut: di perempatan Demak Ijo, dan di Jalan Ring Road Utara. (dokumentasi Samsul Bahri)

Papan reklame itu jelas mau ditujukan kepada siapa, konsumen macam apa dan dari kalangan mana. Papan reklame itu tidak ditujukan kepada semua kalangan. Memperhatikan peta letak posisi papan reklame ini, maka hanya di setiap kawasan ‘strategis’ kita dapat menjumpai papan reklame Carrefour tersebut dipancangkan.

Berbeda dari lokasi strategis itu, plakat Carrefour ini tidak dijumpai misalnya di perempatan besar yang merupakan persimpangan antara Jalan

Lingkar (ringroad) Timur dengan Jalan Wonosari. Bukan lantaran kawasan ini termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Bantul, yang mana sikap pemerintahnya sendiri berlaku defensif terhadap kehadiran mal.35 Tetapi, lebih

35 Di kawasan perempatan Jalan Wonosari dan terus ke arah selatan, pada proses identifikasi yang saya lakukan bulan Februari 2007, saya tidak menjumpai adanya plakat Carrefour. Sebaliknya, menurut amatan lapangan saya pada bulan Juli 2007 saya justeru menjumpai plakat baliho milik mal Saphir Square di sisi jalan tanjakan ke arah kabupaten Gunung Kidul, searah Jalan Wonosari. 58

karena kawasan ini memang bukan kawasan lintasan ideal yang dilalui oleh konsumen yang dibayangkan plaza. Sepanjang amatan saya, jalan ini pada umumnya setiap pagi dan sore menjelang petang banyak dilalui oleh para pekerja dari desa yang datang dari kawasan Bantul dan Gundung Kidul. Sepertinya, atas dasar inilah plakat itu tidak didirikan di perempatan jalan ini.

5. Imajinasi Amplaz Lewat Majalah “Plaza”

Dengan sebuah majalah yang dilengkapi beragam rubrik di dalamnya, terkadang tempat belanja mencoba membuat dirinya terkesan tidak mau ketinggalan dari institusi-institusi seperti lembaga pendidikan, tempat di mana kelompok kelas menengah berada, dan sangat mengandalkan ketergantungan keseharian mereka pada keberadaan media (media bacaan). Dengan majalah, tempat belanja tidak sekedar mengajak konsumen berbelanja, tetapi juga ingin turut membagi pengetahuan kepada konsumen. Majalah menjadi penanda keeksklusivitasan sebuah tempat belanja.

Tradisi menggali informasi, salah satunya lewat membaca, hanya dikenal di kalangan kelas menengah dan menengah atas. Jenis konsumen semacam ini, tidak cukup diberi informasi tentang harga diskon sebuah barang, sebagaimana dibuat oleh setiap tempat belanja lewat brosur belanja. Konsumen jenis ini membutuhkan pengetahuan tentang barang baru, merek terbaru, produk termahal, fashion yang tengah jadi trend, musik terbaru, film terbaru sampai dengan informasi pengetahuan umum yang kelihatan tidak ada hubungannya dengan tempat belanja itu sendiri. Informasi semacam ini tidak cukup ditampung lewat 59

brosur belanja, dan memang tidak ada tempat untuk itu pada kolom brosur belanja. Ia membutuhkan wadah yang lebih elegan, semacam majalah.

Majalah Plaza yang diterbitkan berkala oleh Ambarrukmo Plaza dimaksudkan sebagai sarana sebagaimana tujuan di atas: mensosialisasikan produk sekaligus menambah pengetahuan konsumen.

Gambar (9) Majalah Plaza diterbitkan oleh pengembang Ambarrukmo Plaza (dokumentasi Samsul Bahri)

Mari kita perhatikan jenis rubrik yang ada di Majalah Plaza. Rubrikasi dalam majalah Plaza terdiri dari rubrik tetap dan beberapa yang lainnya terdiri dari rubrik tidak tetap. Rubrik itu terdiri dari: kata pembuka (foreword) dari pihak pengembang plaza yakni PT. Putera Mataram Mitra Sejahtera. Disusul rubrik

“What’s hot” berisi informasi tentang produk-produk berkelas yang disediakan di setiap outlet di Ambarrukmo Plaza. Rubrik resensi buku, musik dan film. Rubrik kuliner bernama “dine in”. Kemudian rubrik “news and agenda” berisi informasi seputar kegiatan-kegiatan yang dilangsungkan di plaza. Rubrik “what they say” berisi komentar-komentar pengunjung. Di bagian akhir terdapat rubrik “mall directory” berisi informasi tentang lokasi outlet di plaza. Rubrik yang berisi pengetahuan umum terdiri dari rubrik “theme story”, “art & culture”, ataupun 60

berisi “interview” dengan seorang pakar. Terdapat pula rubrik “special report” yang mengetengahkan informasi bernilai wisata.

Majalah Plaza dimaksudkan untuk promosi sekaligus membagi pengetahuan. Di dalamnya diberitakan profil sebuah kamera merk terbaru, handphone teranyar, dengan kelebihan-kelebihannya. Di dalamnya juga kita bisa membaca dan mengenal sosok pelukis Raden Saleh dengan karya-karya agungnya. Di dalamnya diberitakan tentang fashion yang tengah jadi trend. Di dalamnya juga ada informasi tentang gamelan sekaten. Begitulah, isi yang disajikan dalam Majalah Plaza terbilang beragam dan eksklusif. Informasi produk disandingkan dengan informasi tourisme dan pengetahuan umum.

Lantas siapa sasaran pembaca majalah ini? Majalah berlabel “in-house magazine” ini dibuat cuma-cuma untuk konsumen. Terbit setiap bulan.

Dibagikan kepada setiap pelanggan pemilik kartu PASC (Plaza Ambarrukmo

Shopping Card). Beberapa tempat yang menjadi channel distributor majalah ini antara lain: accor hotel (Novotel, Grand Mercure dan Ibis), Hyatt Regency, beberapa outlet di Ambarrukmo Plaza; Rumah Kopi, Sekar Kedhaton, Pastello,

Ullen Sentalu, Starbucks Coffee. Beberapa Longue dan Cafe: Caesar, Blue Sky.

Rumah Spa: The Cangkringan dan Losari Coffee Plantation. Termasuk di galeri seni rupa: Jogja Gallery.

Memperhatikan beberapa tempat yang menjadi channel distributor majalah ini, tentu tidak sembarang orang dapat mengaksesnya. Hanya kalangan terbataslah yang mampu memperoleh majalah ini. Citra Ambarrukmo Plaza tidak hanya dibangun lewat bagaimana rubrikasi memuat informasi ekslusif di 61

dalamnya, tetapi dari cara majalah ini diperoleh pun sudah dapat menggambarkan posisi majalah ini sebagai tanda yang mewakili tempat belanja: Ambarrukmo

Plaza. Seperti terdapat suatu hubungan paradigmatik antara keberadaan Majalah

Plaza dan tempat-tempat distribusinya dengan kedudukan tempat belanja yang diwakilinya. Hubungan paradigmatik itu membangkitkan pengetahuan atau imajinasi kita tentang tempat belanja ini sebagai tempat belanja istimewa.

D. Kesimpulan

Terdapat begitu banyak kaitan antara berdirinya Ambarrukmo Plaza dengan kondisi-kondisi tertentu. Dilihat dari sudut perencanaan tata ruang, plaza ini berdiri dan termasuk dalam salah satu agenda proyek besar pemerintah di dalam melakukan dekonsentrasi atas Jalan Malioboro. Dari sudut pandang kepentingan bisnis, plaza ini sebagaimana dengan mal dan tempat belanja moderen lain, diharapkan sebagai sumber bagi peningkatan pendapatan daerah.

Pembangunan Ambarrukmo Plaza tidak lepas dari kontroversi di seputarnya. Entah itu kontroversi yang menyangkut kebijakan pembangunan plaza yang mengabaikan arti penting situs bersejarah (kasus khusus) ataupun kontroversi menyangkut nasib pasar-pasar tradisional (kasus umum). Untuk kasus pertama, pihak pengembang plaza tidak dapat memberikan alasan memadai bagaimana menghindar dari kritik atas kebijakan menggerus situs bersejarah demi kepentingan pembangunan plaza.

Sementara untuk kasus kedua, pihak pengembang plaza telah melakukan upaya salah satunya dengan membangun citra plaza sebagai tempat belanja 62

kalangan terbatas. Pembangunan citra sebagai tempat belanja eksklusif tidak hanya tampak dari struktur fisik berupa bangunan plaza dan outlet istimewa di dalamnya. Di samping itu juga terdapat material-material lain yang secara tidak langsung berperan di dalam mengkonstruksi imej plaza sebagai tempat belanja kalangan terbatas. Material yang secara tidak langsung mengkonstruksi imej plaza sebagai tempat belanja istimewa antara lain terdiri dari: bunyi promosional yang mengaitkan antara plaza dan bandara udara, gambar iklan belanja meriah

Carrefour, pembukaan akses jalan baru ke plaza, plakat rumah belanja Carrefour di tempat-tempat tertentu dan keberadaan Majalah Plaza sendiri. Dari sinilah imej tentang plaza dibangun untuk memberi penegasan posisinya sebagai tempat belanja istimewa di antara tempat belanja lainnya di kota ini. BAB IV

ORANG BIASA BERBELANJA KE TEMPAT ISTIMEWA

A. Pengantar

Pada bab sebelumnya, saya sudah membicarakan salah satu tempat belanja istimewa di Kota Yogyakarta. Keberadaan tempat belanja istimewa ini juga saya kaitkan dengan apa yang saya sebut sebagai “politik spesifikasi konsumen.”

Upaya spesifikasi konsumen merupakan salah satu ciri dari pasar moderen untuk menunjukkan nilai perbedaan dengan sesama pasar moderen. Dari penjelasan sebelumnya, setidaknya kita sudah mendapatkan gambaran tentang sosok konsumen yang dibayangkan sebagai pengunjung plaza istimewa ini.

Bagaimanapun besarnya keinginan membayangkan konsumen secara definitif, serta didukung berbagai upaya (strategi promosi) yang dijalankan untuk memberi akses hanya kepada konsumen dari kalangan tertentu, sebagai tempat semi-publik (quasi-public space), plaza ini tentu tidak membatasi kebebasan siapa pun yang datang berkunjung, termasuk mereka dari kalangan orang-orang

(konsumen) yang tidak didefinisikan sebagai pengunjung.

Pada bab ini saya akan secara khusus menuliskan pengalaman belanja konsumen yang tidak masuk dalam kategori sasaran utama konsumen plaza.

Catatan etnografis ini mengambil sampel satu keluarga dari kalangan kelas pekerja menengah bawah yang mengaku menjadi konsumen tetap rumah belanja

Carrefour. Keluarga ini adalah satu di antara banyak keluarga lain dari kalangan

63 64

“orang-orang biasa” yang gemar berkunjung entah untuk maksud berbelanja atau sekedar datang jalan-jalan dan memanjakan mata.

B. Latar Kawasan dan Profil Keluarga Orang Biasa

Sebelum menceritakan pengalaman belanja orang biasa di tempat luar biasa, saya merasa perlu terlebih dahulu mendeskripsikan profil keluarga yang menjadi sumber dari mana cerita pengalaman belanja ini berasal. Di samping itu perlu juga terlebih dahulu menguraikan latar masyarakat dan situasi kawasan di mana mereka tinggal. Penjelasan tentang hal ini saya rasa penting agar dapat diketahui situasi yang melatari pengalaman konsumsi keluarga kecil ini.

1. Latar kawasan domisili

Keluarga ini tinggal dalam kawasan satu wilayah dan satu ruas jalan dengan tempat tinggal saya. Mereka tinggal di kampung N dan saya di kampung D. Jarak antara tempat tinggal kami hanya satu kilometer. Saya mulai tinggal di kampung di kawasan sebelah utara Jalan Solo ini sejak tahun 1999. Hanya terdapat satu bus

Kopata warna kuning, A1 dan A2 yang membawa saya pergi pulang dari Jalan

Solo ke tempat tinggal saya. Kawasan jalan ini tidak terlalu ramai dibandingkan dengan misalnya Jalan Seturan, Babarsari, beberapa meter ke arah timur.

Kawasan Seturan dan Babarsari menjadi pusat keramaian karena di lingkaran itu terdapat beberapa kampus antara lain STIE YKPN, AMIKOM, UII Ekonomi,

UPN Veteran, STTNAS, Universitas Proklamasi 45 dan Universitas Atma Jaya

II. Dahulu, di sepanjang kawasan ini terdapat lahan persawahan yang cukup luas. 65

Kini sebagian besar dari lahan itu telah disulap menjadi bangunan, untuk pemukiman dan unit usaha bisnis.

Perubahan terasa berjalan cepat. Tahun demi tahun, saya menyaksikan proses pembukaan lahan-lahan baru –secara terpisah dari kawasan pemukiman penduduk setempat— entah untuk kegiatan berbisnis ataupun untuk sebuah kawasan pemukiman baru. Beberapa komplek perumahan baru yang saya saksikan mulai dibangun semenjak saya berada di kawasan ini antara lain; perumahan Citra Panorama, Citra Grahadika Sejahtera dan Taman Kenari, masing-masing terletak di Jalan Mundu. Jauh ke timur, di kawasan Seturan, sebelah timur kampus STIE YKPN, kawasan yang semula hanya berupa lahan yang ditanami tanaman tebu, nyaris tidak tersisa setelah dua komplek perumahan elit yang luas dibangun, yakni Bumi Seturan Permai 1 dan Bumi Seturan Permai

2. Pada tahun ini juga di sebelah utara kampus Ekonomi UII berlangsung pembangunan perumahan untuk kalangan menengah yang memakan lahan cukup luas.

Pada tahun-tahun selanjutnya, di Jalan Wahid Hasyim (Nologaten) saya menyaksikan separuh kawasan persawahan dan tanah kosong juga telah berubah fungsi menjadi pemukiman-pemukiman elit. Griya Matahari, Town House 1,

(Town House 2 dan 3 dibangun belakangan) lalu Tectona House dan

Ambarrukmo Residence. Di tahun-tahun yang sama, di sepanjang kawasan Ring

Road Utara, berlangsung pembangunan perumahan dan ruko Casa Grande yang sangat mewah dan luas. Karena itu untuk mengetahui lebih lengkap, saya 66

membuat peta sederhana yang menggambarkan posisi dan letak komplek- komplek perumahan elit di sekitar kawasan tersebut (Lihat lampiran II). 1

Bersamaan dengan dibangunnya komplek-komplek perumahan elit, di kawasan itu juga mulai menjamur usaha-usaha di bidang ekonomi. Sepanjang

Selokan Mataram kini berubah menjadi sentra ekonomi dengan bangunan- bangunan toko berukuran kecil dan sedang. Sebelah selatan perumahan Bumi

Seturan Permai berubah menjadi komplek pertokoan. Cafe-cafe dan warung makan bercita rasa kelas menengah bermunculan sepanjang Jalan Seturan.

Warung-warung makan bertambah jumlahnya. Di Jalan Wahid Hasyim berdiri beberapa buah swalayan dan beberapa tahun kemudian sebuah diskotek.

Warung-warung internet yang dulu jarang ditemukan di kawasan ini, semakin mudah dijumpai. Studio musik dan pusat kebugaran berdiri. Termasuk yang paling besar adalah Depok Fittnes Centre di Jalan Seturan.

Memasuki tahun 2004, kabar tentang pembangunan Ambarrukmo Plaza mulai terdengar. Seorang arsitek kenamaan diundang mendesain bentuk bangunan plaza. Alat-alat berat mulai didatangkan. Penggalian dilakukan. Tanah- tanah galian sebagian dipindah untuk menutup kolam ikan di sebelah barat Balai

Desa Ambarrukmo yang kemudian menjadi lokasi berdirinya SD Ambarrukmo setelah digusur dari tempat semula. Pembangunan plaza itu memakan waktu kurang dari dua tahun.

Pada hari Minggu tanggal 5 Maret 2006, plaza itu diresmikan oleh gubernur, raja dan sekaligus pemilik lahan tempat plaza itu dibangun. Kini

1 Seluruh data mengenai kawasan ini, termasuk mengenai letak lokasi perumahan elit, saya tulis berdasarkan pengamatan langsung. 67

bangunan plaza itu menjadi sentral di sepanjang kawasan tersebut. Kawasan ini:

Gowok, Papringan, Nologaten, Dabag, Pringwulung, Pringgolayan, Cepit,

Mundu, Seturan, Babarsari, Puluhdadi, Janti, Maguwoharjo, yang berada di selingkaran tempat belanja “terbesar se-DIY dan Jateng” itu untuk sementara saya namai sebagai kawasan satelit Ambarrukmo Plaza.

2. Latar keluarga

Keluarga Suwarno dan Martini berasal dari sebuah desa di Gunung Kidul. Saya hanya pernah menginap semalam di Desa Gedang Sari, tempat tinggal asal mereka. Mereka tinggal di Kota Yogyakarta sejak tahun 2000. Tahun ketika pertumbuhan gairah ekonomi di kota ini kian pesat. Bersama dua orang anak, Lia dan Tono, saat ini mereka menempati satu bagian dari tiga bagian lain sebuah rumah kontrakan yang terdiri dari ruang keluarga, dapur dan kamar tidur.

Di Yogyakarta, mereka membuka usaha sebagai penjual warung tenda lesehan, usaha yang umumnya dijalani oleh para pendatang dari luar kota ini.

Warung tenda lesehan buka pada sore hari menjelang petang. Suwarno dan

Martini membuka warungnya di Jalan Wahid Hasyim. Selama tinggal di wilayah ini, mereka turut menyaksikan perkembangan pembangunan yang terus berjalan di sepanjang kawasan tersebut.

Untuk keperluan yang berhubungan dengan usahanya, Martini rutin mengunjungi pasar tradisional Ambarrukmo. Sementara untuk keperluan keluarga, terkadang Martini pergi berbelanja ke swalayan Peni. Jaraknya satu kilometer ke utara tempat tinggal mereka. Pada tahun 2004, keluarga Martini dan 68

Suwarno sebagaimana keluarga yang lain, mengetahui akan segera berdiri tempat belanja yang tidak terlampau jauh dari tempat tinggal mereka. Kurang dari dua tahun, tempat belanja itu benar-benar berdiri.

Tergerak oleh rasa ingin tahu, mereka sesekali berkunjung ke tempat belanja istimewa tersebut. Menurut pengakuan Martini kepada saya, tempat belanja itu adalah tempat termewah yang pernah ia kunjungi sepanjang umurnya.

Tempat belanja itu sebetulnya diperuntukkan bagi kalangan menengah atas.

Tetapi, tidak berarti bahwa keluarga “orang biasa” seperti keluarga Suwarno dan

Martini tidak memiliki kesempatan ke sana.

C. Pergi Belanja ke Tempat Istimewa

Di salah satu bagian dari majalah Plaza, majalah promosional yang diterbitkan secara berkala oleh pihak pengembang, terdapat sebuah rubrik, “What They Say” namanya. Sesuai nama rubrik tersebut, bagian ini memuat komentar-komentar khusus tentang pengalaman orang berkunjung ke sana. Komentar itu datang dari para pengunjung semua usia dan profesi: para siswa dan mahasiswa, pekerja profesional, akademisi hingga selebritas - kecuali para pengunjung dari kalangan orang-orang biasa ini.!

Sehubungan dengan tidak adanya tempat yang menampung pendapat orang-orang biasa tersebut, maka catatan etnografis ini setidaknya akan membantu melihat “What They Say” tentang mal yang menjadi tujuan kunjungan mereka. 69

Menurut penyebutan orang-orang biasa ini, dibandingkan menyebut

“Ambarrukmo Plaza” atau “plaza”, “kerfur” terasa lebih dekat bagi mereka. Jika bermaksud berbelanja ke tempat istimewa itu, mereka lebih akrab menyebut dengan “pergi ke kerfur” ketimbang “pergi ke Ambarrukmo Plaza” atau ketimbang menurut lidah anak-anak remaja yang gemar membuat akronim: “ke

Amplaz”. Persoalan pilihan penyebutan ini karena tidak ada lagi tempat yang tidak mereka lewatkan untuk dikunjungi ketika berada di sana, kecuali rumah belanja “kerfur”.

Sesuai sebutannya sebagai pasar serba ada (paserba), rumah belanja

Carrefour tidak hanya menyediakan jenis komoditi yang dapat dikonsumsi kelompok kelas sosial tertentu. Rumah belanja ini juga menyediakan barang yang nilai tukarnya terbilang relatif terjangkau kalangan menengah bawah. Bahkan permainan harga di tempat itu terkesan memanjakan selera belanja konsumen kelas menengah bawah. Saya menuliskan tiga catatan pengalaman lapangan mengikuti kegiatan belanja yang dilakukan informan saya, masing-masing secara berturut tanggal 20 Mei, 1 Juli dan 8 Juli tahun 2007.

1. Ke “Kerfur” Beli Sabun

”Kami kehabisan sabun mandi. Kami mau beli sabun mandi ke kerfur,” ujar

Martini mengemukakan alasan kepergiannya ke Carrefour, Ambarrukmo Plaza.

Alasan yang terdengar sangat sederhana: membeli sabun mandi! Aktivitas yang sebetulnya bisa mereka lakukan dengan mendatangi toko kecil di sekitar tempat tinggal mereka tanpa harus pergi ke plaza. 70

Tetapi Martini punya alasan sendiri. Perbedaan harga antara di plaza dan di toko kecil menjadi alasan mendasar mereka memilih berbelanja ke plaza.

Barangkali, salah satu alasan kuat mengapa orang dari kalangan orang biasa datang belanja ke tempat ini (Carrefour) adalah persis sama dengan alasan yang mendorong Martini sekeluarga berkemas ke sana, yakni: harga yang murah.

Menurut pengakuan Martini sendiri, kalau mau belanja dalam porsi besar, atau belanja kebutuhan bulanan, mereka lebih memilih pergi ke Carrefour.

Setidaknya, menurut dia, selisih digit nilai tukar beberapa rupiah dari harga di luar, sudah lumayan besar nominalnya, jika diukur dari harga keseluruhan barang belanjaan. Beberapa hari sebelumnya, ia pernah mengemukakan alasan berikut ini kepada saya:

…blonjo sabun, mendingan neng kerfur. Regone sok iso luwih murah timbangane tuku dek toko-toko. Opo maneh nek blonjo rodo akeh ngono, mendingan neng kerfur, pilihane yo luweh okeh.

…belanja sabun, mendingan ke kerfur. Harganya bisa lebih murah ketimbang beli di toko. Apalagi jika belanjaan kita rada banyak, mendingan ke kerfur, pilihan barangnya juga lebih banyak.2

Hari saat kami akan pergi belanja itu adalah hari Minggu. Hari di mana

Martini dan suaminya, Suwarno, tengah jeda dari aktivitas kerja rutin.

Sebagaimana banyak orang memanfaatkan hari libur untuk sekedar mencari hiburan, keluarga Suwarno tengah mempersiapkan diri untuk tujuan serupa. Kini tujuannya adalah plaza. Martini sekeluarga tengah mempersiapkan diri belanja ke

Carrefour Ambarrukmo Plaza, suatu kegiatan yang biasa mereka lakukan dalam setiap kesempatan.

2 Dari perbincangan dengan Martini, tanggal 7 Mei 2007. 71

Jarum jam menunjuk pukul 10 pagi ketika mereka tengah mempersiapkan kegiatan belanja. Di luar dugaan saya, persiapan itu cukup memakan waktu.3 Lia diminta memandikan dan mendandani adiknya, Tono, dan disarankan memberi sarapan yang banyak. Sarapan yang banyak untuk Tono, kata ibunya, dimaksudkan agar nanti dia tidak banyak permintaan selagi diajak jalan-jalan di plaza. Tono, anak bungsu mereka yang berusia empat tahun ini, dikenal sebagai yang paling banyak mengajukan permintaan terutama untuk jenis jajanan.

Melayani permintaan Tono terkadang merepotkan, lantaran terlalu banyak yang diingini. Memberinya sarapan yang banyak sebelum berangkat dimaksudkan untuk menekan ketertarikannya akan barang-barang dari jenis makanan.

Saya teringat kepada penjelasan mengenai tips belanja hemat yang secara kebetulan saya temukan di situs resmi Ambarrukmo Plaza. Di situs itu terdapat informasi tertulis khusus mengenai tips belanja hemat. Poin keempat dari tips belanja hemat itu berbunyi: “Usahakan untuk mengisi perut sebelum pergi belanja. Hal ini demi kenyamanan Anda di saat berbelanja, di samping untuk menghindari pengeluaran tambahan dengan makan di luar.” 4

Tips ‘bijak’ ini menganjurkan kepada setiap konsumen untuk terlebih dahulu menutupi salah satu sumber hasrat (perut), agar tidak mengganggu

3 Saya semakin dibuat yakin oleh lamanya persiapan itu. Kepergian mereka ke tempat belanja, tidak semata untuk belanja, tapi untuk tujuan yang lain juga. Apalagi kalau bukan jalan-jalan. saat ini aktivitas berbelanja bukan sekedar aktivitas kerja. Masyarakat bahkan sudah sejak lama diperkenalkan kepada istilah wisata belanja. Fenomena belanja sebagai kegiatan wisata menggejala setelah berkembang pusat-pusat perbelanjaan dan kian besarnya pengaruh pasar-pasar moderen ke tengah-tengah masyarakat. Bersamaan dengan hadirnya pasar moderen semacam hyper dan supermarket, mal dan plaza, konsep tentang belanja mengalami perubahan mendasar. Salah satunya ialah masuknya kegiatan belanja ke dalam kategori suatu kegiatan rekreasi, wisata.

4 ”Tips Belanja Hemat,” www.plaza-ambarrukmo.co.id/ rubrik news and tips, tt. diakses 15 Juli 2006. 72

‘stabilitas’ kenyamanan selagi memanjakan hasrat belanja. Perhatikan kata-kata

“demi kenyamanan Anda di saat berbelanja.” Dengan tips semacam ini, lembaga- lembaga pasar moderen terkadang menampakkan kepedulian yang besar terhadap persoalan penghematan konsumen. Salah satunya dengan menganjurkan agar jangan sekali-kali membuang-buang uang untuk hal-hal yang tidak seharusnya dibeli, lewat kata-kata “di samping untuk menghindari pengeluaran tambahan”.

Seolah-olah lembaga pasar moderen tahu apa saja konsekuensi yang akan ditimbulkan dari kebiasaan konsumen berbelanja secara berlebihan. ”Pengeluaran tambahan” bagi Martini tentu saja berasal dari pengeluaran yang diakibatkan oleh kehendak pemenuhan keinginan Tono yang berlebihan.

Sementara suami Martini, Suwarno, sudah sedari tadi bersiap dengan baju dan celana jeans dalam tampilan yang biasa, Martini sendiri membutuhkan berdandan sedikit lebih lama. Berbeda dari emaknya, Lia yang sudah menganggap plaza ini sebagai tempat ia sesekali menghabiskan waktu bermain dengan kawan-kawannya pada saat senggang, mengatur dandanan seadanya.

Boleh dikatakan bahwa salah satu yang menandakan kegiatan belanja ke mal sebagai sebuah kegiatan rekreasi, ditunjukkan dengan adanya sedikit persiapan yang dilakukan oleh pengunjung, sebagaimana biasa dilakukan dalam sebuah kegiatan bernama rekreasi.

Persiapan itu memakan waktu satu setengah jam. Begitu dirasa cukup, saya dan keluarga Suwarno kemudian berangkat. Antara tempat tinggal mereka dengan plaza hanya berjarak lima kali lemparan batu. Sebetulnya, jarak ini dapat ditempuh dengan hanya berjalan kaki. Akan tetapi, karena siang yang terik, kami 73

memilih mengendarai motor. Dengan kedatangan bersama satu keluarga, kegiatan belanja ini terasa benar-benar seperti sebuah rekreasi.

Sepanjang pengamatan saya, sebagian besar pengunjung Ambarrukmo

Plaza datang bersama: berdua atau satu keluarga. Atas dasar ini pula,

Ambarrukmo Plaza mengklaim diri sebagai “family mall”, mal untuk seluruh anggota keluarga dari semua usia; dari balita, anak-anak, remaja, dewasa hingga lansia.

Setiba di area plaza, kami menitipkan kendaraan bermotor di tempat parkir luar plaza. Tempat parkir ini dikelola oleh orang-orang kampung sekitar, dengan memanfaatkan petak bagian halaman rumah warga yang masih tersisa. Di tempat parkir, kami menerima karcis parkir sebagai jaminan atas penitipan, tanpa ada jaminan atas segala kemungkinan resiko kerugian, seperti kehilangan misalnya. Karcis yang di atasnya tertulis demikian: Parkir Plaza Ambarrukmo,

Kawulo Alit. Ya, lokasi parkir ini diidentifikasi sebagai tempat parkir kalangan orang-orang kecil atau orang-orang biasa. 5

Dari lokasi parkir, kami berjalan menyusuri ruas jalan masuk menuju pintu utama bagian selatan plaza. Jumlah pengunjung pada siang hari Minggu tidak sebanyak pada malam harinya. Puncak kepadatan pengunjung di plaza ini terjadi pada akhir pekan, terutama malam Minggu. Akan lebih ramai lagi jika bertepatan dengan tanggal muda. Bahkan para petugas parkir di luar plaza harus

5 Kenyataannya, ongkos parkir di lokasi ini tidak lebih murah dibanding di basement plaza. 74

menutup jalan masuk di jalan baru menuju plaza bagian utara, dan memanfaatkan ruas jalan itu sebagai lokasi parkir karena pengunjung yang membeludak. 6

Di dekat pintu masuk, berdiri dua orang petugas keamanan. Seorang dari mereka, dengan alat metal detector, memeriksa tas punggung bawaan saya. 7

Secara berurutan, kami melewati pintu. Terdengar bunyi mesin sensor otomatis, seperti sedang merekam dan mencatat kehadiran kami. Pintu masuk yang ada di bagian selatan ini tidak dibuka keseluruhan. Hanya seukuran badan satu orang dewasa. Karena itu pengunjung tidak dapat serentak masuk, melainkan satu demi satu. Sebagiannya difungsikan sebagai pintu keluar. Barangkali ini untuk memudahkan berjalannya sistem sensor otomatis.

Pintu bagian selatan merupakan salah satu pintu utama yang paling ramai dilalui pengunjung. Satu pintu utama lainnya terletak di bagian timur. Pelataran pintu timur menjorok ke luar. Atap joglonya disangga pilar-pilar bundar. Di sini pintu dibuka lebar. Terkesan resmi. Di bagian dalam depan pintu, terdapat tempat resepsionis yang difungsikan sebagai pusat informasi. Tempat ini ditunggu oleh dua hingga tiga penjaga perempuan dalam busana rapi. Pengunjung yang ingin

6 Berdasarkan penghitungan yang saya lakukan atas jumlah pengunjung Ambarrukmo Plaza, didapatkan informasi berikut: Pada malam Minggu (identifikasi tanggal 28 April 2007 jam 18.30 – 19.30), setiap satu jam terdapat sekitar 360 – 380 buah mobil yang masuk dari pintu parkir basement sebelah timur. Di luar hari Minggu (identifikasi Rabo sore tanggal 2 Mei 2007 jam 16.30 – 17.30) terdapat 150 buah mobil yang masuk setiap satu jam melalui pintu basement sebelah timur.

7 Barangkali lantaran dianggap mengganggu kenyamanan pengunjung, penggunaan alat metal detektor ini di kemudian hari tidak lagi saya lihat dipakai di pintu utama. Sistem sensor otomatis yang dipasang di pintu masuk, menggantikan penggunaan manual metal detektor. Barangkali penggunaan metal detektor dapat dipakai kembali jika isu terorisme sewaktu-waktu kembali mengemuka. 75

menanyakan sesuatu atau memerlukan bantuan berkaitan dengan keperluannya berada di plaza tersebut, dapat mendatangi tempat itu.

Sedikit saja pengunjung yang masuk melalui pintu timur. Karena mereka yang tiba dari lokasi parkir luar plaza harus berjalan memutar dulu untuk masuk melalui pintu ini. Jalur pintu timur sering dipakai untuk kedatangan orang-orang penting, terutama untuk kedatangan para artis. Di samping dua jalur utama pintu masuk tersebut, di masing-masing tingkat, terdapat pintu-pintu masuk khusus bagi pengendara roda empat. Karena di setiap lantai, termasuk di bagian atap paling atas (top roof), terdapat tempat parkir khusus mobil. Keberadaan pintu- pintu khusus ini dapat mempermudah pengunjung (dengan kendaraan roda empat) yang bermaksud segera sampai ke lokasi yang hendak dituju.

Ketika kami melewati pintu masuk, suasana sejuk langsung menyergap.

Semburan penyejuk ruangan (air conditioner) terasa memanjakan, saat di luar panas siang teramat terik. Meski waktu tengah hari, lampu-lampu terang menyala dari setiap etalase dan dari langit-langit ruangan di tiap lantai bangunan bertingkat tujuh itu. Bangunan plaza didesain dengan bentuk dinding yang minim kaca, sehingga sedikit sekali pantulan cahaya matahari yang dapat masuk ke dalam. Karena keadaan ini, lampu-lampu dari etalase dan rumah belanja dibiarkan terus menyala. Saya tidak dapat memperkirakan berapa besar daya listrik yang diperlukan untuk menghidupkan bola-bola lampu dan mesin pendingin ruangan di seluruh bagian dalam ruangan plaza itu.

Ubin tempat kami berjalan tampak berkilau oleh pantulan cahaya lampu.

Tempat ini sangat bersih. Bahkan –jika harus dikatakan berlebihan— seekor lalat 76

pun enggan terbang melintas di situ. Tidak ada sehelai remah sisa makanan kecil tercecer di lantai. Kalau pun ada bekas debu di atasnya yang ditinggalkan oleh alas kaki para pengunjung, petugas cleaning service segera membersihkan.

Mereka disiapkan di masing-masing lantai di setiap sudut, lengkap dengan seragam. Setiap saat mereka menyapu ataupun mengepel lantai dengan kain basah yang telah diberi pengharum. Kadang secara pribadi, saya dibuat merasa sangat terhormat dan benar-benar merasa menjadi orang berpunya, saat tanpa sengaja berjalan melintas di dekat seorang petugas kebersihan yang tengah berjongkok membersihkan lantai plaza, atau membersihkan bekas jejak di lantai yang saya lalui.

Di atas lantai ubin dari batu pualam yang tampak berkilau inilah saya dan keluarga Suwarno berjalan. Saya menyaksikan keluarga ini telah sangat terbiasa dengan suasana di dalam plaza. Tidak ada sesuatu yang terlalu banyak menarik perhatian mereka. Tidak juga deretan etalase yang mengelilingi seluruh ruangan.

Sebagaimana yang mungkin dialami oleh mereka yang untuk kali pertama berkunjung ke sana. Barangkali lantaran mereka kerap pergi ke tempat ini. Lebih- lebih karena mereka sendiri sudah mengenal di bagian tempat mana mereka akan berbelanja.

Tujuan kami adalah rumah belanja “kerfur.” Rumah belanja ini terletak di lantai dasar (Ground Floor) dan lantai bawah (Lower Ground) di bagian ujung plaza. Bagi orang-orang biasa, Carrefour adalah tujuan tempat belanja utama mereka. Di plaza itu, tampaknya tidak ada tempat lain yang mau menerima kehadiran keluarga kelas pekerja, orang-orang biasa seperti keluarga Suwarno, 77

kecuali rumah belanja Carrefour. Sementara outlet-outlet lain dipersiapkan untuk komunitas atau konsumen spesifik dari kalangan middle class dan upper midle class, rumah belanja Carrefour menjadi tempat favorit orang-orang biasa ini.

Carrefour menyediakan diri sebagai tempat yang ‘bersedia’ dikunjungi oleh siapa pun (bandingkan dengan rumah belanja Centro yang terletak satu tingkat di atas Carrefour) karena menyediakan beragam barang-barang kebutuhan sehari-hari. Jenis barang-barang itu mulai dari yang bernilai tukar sangat tinggi menurut ukuran orang biasa, hingga jenis barang-barang yang relatif dapat dijangkau harganya. Tambahan lagi, Carrefour kadang terkesan memanjakan konsumen dengan konsep belanja diskon alias belanja serba murah setiap saat. 8

Untuk mencapai rumah belanja yang dimaksud, kami berjalan melewati outlet Belle Jewelry, Watchclub, Polo Ralp Laurent, Valesya Leather, Fashion

Park dan berbagai nama-nama outlet lain di Ground Floor yang tidak terlalu familiar buat saya, lebih-lebih bagi keluarga Suwarno, dan karena itu dilalui begitu saja. Di dalam outlet-outlet itu, diam menunggu para penjaga, kebanyakan perempuan. Penampilan mereka di bawah terang lampu bersinar kristal, terlihat anggun. Harga-harga barang di outlet itu terbilang mahal. Jarangnya pengunjung yang masuk ke bilik outlet, menunjukkan betapa tempat itu hanya mungkin didatangi orang-orang tertentu. Barangkali Suwarno dan Martini juga menyadari bahwa sejumlah uang di saku mereka tidak akan cukup memenuhi jika dipakai membeli satu buah barang saja di outlet itu.

8 diskon adalah belanja dengan nilai tukar ‘dirasakan’ seolah-olah lebih rendah dari kualitas sebuah barang. 78

Sepanjang jalan menuju rumah belanja tujuan kami, Tono mulai menunjukkan kegembiraannya secara berlebihan, dengan keceriaan seorang anak yang baru pertama kali diajak pergi ke tempat yang lama diimpikan. Dia berbicara setengah berteriak, melompat dan merebahkan badannya di lantai, tidak hirau terhadap tatapan berpasang mata para karyawan dari outlet-outlet mewah di sekeliling yang memerhatikannya. Beberapa kali dia harus secara paksa ditahan karena ulahnya. Tak kurang ayah, ibu dan kakaknya memarahi Tono. “Ngisin- ngisini kowe ki. Didelok wong akeh kuwi loh.”(Memalukan, tingkahmu dilihat banyak orang) Seru Suwarno memperingati anak bungsunya. Tindakan Tono dianggap “norak dan memalukan.”

Gambar (10) Beberapa deretan outlet di Ambarrukmo Plaza (dokumentasi Samsul Bahri)

Suasana di dalam plaza sendiri sangat mendukung keceriaan. Aroma semerbak panggangan roti dari remagan di outlet Bread Talk dan Roti Boy, lantai berjalan yang licin dan kemilau, penerangan lampu yang maksimal, semburan air conditioner serta suara alunan musik yang riuh rendah, membuat siapa pun merasakan kenyamanan di tengah suasana ramai. Suasana yang sangat 79

bersahabat. Suasana yang tidak mereka temukan di tempat sehari-hari mereka bekerja. Bagi anak-anak sendiri, suasana semacam ini sudah barang tentu sangat menyenangkan. Saya berpikir, melalui keluguan tingkah tak terkendali dari anak- anak semacam ulah Tono tadi, sebetulnya dapat menjadi jalan memahami kekuatan ‘sihir’ sebuah tempat belanja di dalam kemampuannya mengintervensi dan mempersuasi sisi terdalam (psikologis) setiap orang.

Kegiatan belanja dimulai dari Ground Floor (menurut pengucapan Lia: grond flur), tempat tersedianya barang-barang non-pangan di Carrefour. Tas punggung saya titipkan di tempat loker penitipan. Kami mendekati pintu pembatas. Seorang penjaga dengan ramah mempersilahkan. Palang pintu jalur masuk terbuka otomatis, dan menutup kembali setelah kami melewatinya. Di dekat pintu, tidak lupa Lia mengambil secarik brosur belanja yang tersedia di sana. Brosur belanja berisi daftar harga barang-barang bulan itu. Termasuk harga barang-barang murah, atau barang-barang diskon. Kami bersama melewati pintu.

Lia mengambil sebuah keranjang belanja yang disediakan di dekat palang pintu itu. Karena saya sendiri juga bermaksud berbelanja, saya mengambil keranjang belanja. Kami berjalan dengan langkah yang sedikit diperlambat. Sebuah lagu berjudul Stars are Blind dalam irama reggae yang dinyanyikan Paris Hilton terdengar mengalun. Sesekali dari pengeras suara di ruangan itu, terdengar bunyi pengumuman info barang-barang diskon dan ajakan untuk berbelanja sebanyak- banyaknya.

Di rumah belanja itu, di hadapan kami, yang terlihat hanya tumpukan barang. Kanan kiri kami barang. Kemana pun pandangan diarahkan, yang ada 80

hanya barang. Tempat belanja ini memberi kesan bahwa tidak ada barang yang tidak tersedia. Bahkan kalau kita perhatikan saat melewati eskalator yang menghubungkan dua lantai rumah belanja itu, di sisi kiri dan kanan dipenuhi beberapa jenis makanan ringan. Rasanya baru di Carrefour saya menjumpai pemandangan ini: makanan kecil yang memenuhi bagian-bagian eskalator.

Pemandangan ini sekedar memberi kesan betapa melimpahnya jumlah barang di tempat itu. Tidaklah terlalu sulit bagi para pengunjung untuk menjumpai barang- barang impor di antara produk lokal. Semua serba ada. Mulai dari barang yang sudah dikenal nama dan fungsinya, sampai berbagai jenis barang yang saya sendiri tidak mengenal nama dan nilai gunanya. Barang-barang disusun di jejeran rak-rak. Deretan rak yang penuh dengan barang itu membentuk lorong-lorong.

Sebagian lagi ditaruh di dalam wadah besar. Para pengunjung dengan leluasa dapat memegang barang-barang itu, lalu menaruhnya kembali jika tidak ada niat untuk membeli.

Dari langit-langit ruangan, terjuntai pamflet-pamflet promosi bertulis

“bulan promosi harga serba ringan.” Juga terdapat reklame dalam tulisan “harga spesial,” “paling murah”. Pamflet-pamflet promo itu berusaha meyakinkan bahwa lantaran harga yang murah dan spesial, apapun bisa kita beli. 81

Gambar (11) Display promosi belanja murah rumah belanja Carrefour Ambarrukmo Plaza juga menjadi daya tarik bagi konsumen dari kalangan kelas bawah. (dokumentasi Samsul Bahri)

Lia dan ibunya, Martini, menjadi pemandu kegiatan belanja itu. Suwarno di belakangnya bersama Tono yang sesekali waktu lepas dari perhatian dan kembali menunjukkan tindakan “memalukan” yang lain. Lia dan Martini tampak memiliki lebih banyak inisiatif dalam kegiatan belanja itu. Mereka terlihat lebih aktif. Keputusan untuk memindahkan dan atau tidak memindahkan barang ke dalam keranjang belanja, berada di tangan mereka berdua. Pembicaraan- pembicaraan kecil yang hanya didengar oleh mereka berdua kerap terlihat.

Sementara Suwarno sendiri, tampak masih terlihat ragu-ragu berada di tempat itu. Padahal ini bukan kali pertama dia ke sana. Ia telah berkali-kali ke tempat itu menemani isteri dan anaknya berbelanja. Tidak ada alasan baginya untuk misalkan merasa canggung memegang-megang barang di bawah pengawasan para penjaga yang berdiri di setiap sudut. Suwarno menggeser langkahnya perlahan-lahan sambil melihat-lihat sekitar. Pandangannya tertuju antara barang-barang dan orang-orang yang lalu lalang dalam beragam penampilan. Penampilan orang-orang yang lalu lalang di rumah belanja itu yang juga menjadi pusat perhatian Suwarno. Di tempat itu tidak sedikit para penjaga 82

perempuan yang tampil dalam busana seksi dan menarik. Juga tidak kurang para pengunjung perempuan yang berpenampilan demikian: mengenakan baju minimalis yang memperlihatkan bagian-bagian tubuh. Bagi Suwarno, pemandangan ini barangkali menjadi alasan mengapa ia tidak terlalu berkonsentrasi dan memberi perhatian melulu kepada barang-barang di sekitar.

Sesekali Suwarno turut memperhatikan barang yang menjadi perhatian istri dan anak perempuannya. Di lain kesempatan, perhatiannya tertuju kepada lalu lalang orang-orang yang berjalan di sekitar. Ia tampak seperti tidak punya inisiatif. Memperhatikan posisi Suwarno dan Martini di tempat itu, saya seperti melihat adanya pertukaran peran antara mereka. Di dalam rumah tangga,

Suwarno menjadi ayah dan kepala rumah tangga, tempat segala keputusan mengenai rencana-rencana keluarga berada. Tetapi, di dalam rumah belanja, peran pengambil keputusan tidak lagi berada di tangan dia, melainkan ada pada wewenang istri dan anak perempuannya.

Di antara beragam merek-merek barang dengan harga yang tertera pada rak, terdapat merek dengan harga yang menarik perhatian mereka (harga murah).

Martini dan Lia sesekali mencondongkan badan meraih barang di hadapan mereka, untuk diperhatikan sebentar. Ia beri komentar seperlunya atas barang tersebut, sebelum kemudian diletakkan di tempat semula. Jika letak barang tidak mereka tempatkan di posisi semula, seorang penjaga perempuan mendekat dan membantu merapikannya kembali. Barang-barang itu bagi mereka, lebih sering sekedar menjadi bahan yang enak dipegang, dilihat dan dibicarakan. Belum tentu mereka memutuskan untuk memindahkannya ke dalam keranjang belanja. 83

Mereka kemudian bergeser menuju tempat barang-barang kebutuhan mandi. Sesuai tujuan mereka: “beli sabun di kerfur”. Beberapa kali hal yang sama dilakukan baik oleh Martini, Lia, juga Suwarno. Barang yang kebetulan menarik perhatian, coba diperhatikan sejenak, jika perlu dipegang. Jika barang tersebut punya hubungan dengan aroma, didekatkan ke indra penciuman, diberi komentar seperlunya untuk kemudian ditinggalkan di tempatnya. “Iki mambu melon. Sabun ki mambu melon.” (Ini bau melon. Sabun ini bau melon), kata Lia seraya memegang sabun dan didekatkan ke indra penciumannya. “Lah iki pelem.

Mambu pelem ki.” (Lah yang ini mangga. Bau mangga ini), kata Martini, melakukan hal yang sama.

Berbagai jenis kebutuhan untuk mandi itu mereka perhatikan. Sebagian dipindahkan ke keranjang belanja. Sabun mandi merek Dettol dengan promo

“beli 3 gratis 1” diambil satu paket dan dipindahkan ke keranjang. Mereka mengaku cocok dengan sabun itu. Bukan hanya cocok dipakai, tapi juga cocok dalam harga. Membelinya dalam jumlah paket lebih murah daripada dibeli eceran. Merasa sudah memilih berbagai barang yang dibutuhkan (sabun, shampo dalam kemasan sacet, pasta, sikat gigi), rombongan kecil itu bergeser ke rak tempat beberapa produk kecantikan. Terdapat jenis lotion yang kerap mereka pakai, Marina Body Lotion. Harganya murah, paling murah dibanding merek lotion yang lain. Lia mengambil satu, membuka tutupnya lalu didekatkan ke hidung. Ia tutup kembali dan memasukkan lotion itu ke keranjang belanja.

Sehabis dari tempat ini, mereka berpindah ke tempat penjualan alat-alat elektronik. Di tempat ini mereka lebih tertarik berdiri di depan susunan televisi 84

yang dipajang dalam berbagai ukuran. Mereka memperhatikan dan membanding- bandingkan harga, merek dan model televisi yang tersedia, kalau-kalau terdapat harga yang berkompromi. Cukup lama waktu yang mereka habiskan di tempat ini.

Kebetulan keluarga ini tengah mengidamkan memiliki sebuah televisi dengan merek yang lebih bagus daripada merek yang sudah mereka punyai. Di ruang keluarga rumah kontrakan mereka, terdapat televisi 14 inci bermerek

Changhong buatan Cina. Kualitas suara dan gambar televisi ini sebetulnya masih sangat layak dinikmati. Mereka membelinya sekitar enam tahun lalu, lengkap dengan alat putar video CD. Barangkali pengetahuan mereka tentang televisi layar datar dalam ukuran inci yang jauh lebih besar, membuat televisi ukuran 14 inci yang sementara mereka miliki itu menjadi kurang memberi kepuasan. Karena itu mereka bermaksud menggantinya.

Saya kurang bisa menangkap apa saja yang tengah mereka bicarakan.

Tempat ini terlampau bising oleh suara deretan televisi yang dihidupkan. Tetapi dari gerak gerik mereka, tampaklah bahwa antara Martini, Lia dan Suwarno tengah berlangsung pembicaraan mengenai kemungkinan salah satu barang elektronik tersebut kelak dapat terpajang di ruang tamu mereka.

Keinginan itu satu waktu pernah dituturkan Martini kepada saya. Ada satu pengalaman ketika Martini ditawari membeli televisi di Carrefour berdasarkan informasi dari seorang karyawan tempat belanja itu. Menurut penuturan Martini kepada saya, dia mendapat informasi tentang sebuah televisi merek Polytron 85

layar datar, 21 inci, dengan nilai tukar yang lumayan terjangkau: delapan ratus ribu rupiah. Kata Martini kepada saya:

Bayangono, ono tipi merek Polytron dua puluh satu inci, regone ming wolungatus ewu, wis tipine layar datar. Aku ngiler le krungu. Karepku tipi iki pingin tak ganti. Seminggu sak bare dikandani karyawane kerfur, aku kan mrono golekono, karepku ming ndelok thok barange, e malahan wis laku kok.

Kamu bisa bayangkan, harga segitu untuk merek seperti Polytron dengan ukuran 21 inci, layar datar lagi. Saya sampai ngiler dan segera ingin punya. Televisi ini (yang sementara mereka punyai –pen.) ingin saya ganti. Tapi tidak sampai seminggu dari saat informasi itu keluar, ketika saya mencarinya di kerfur, maksud saya sekedar untuk lihat-lihat dulu, eh, barangnya sudah tidak ada, sudah laku terjual. 9

Dalam pengakuan mereka, sesekali mereka sempatkan berada di tempat display televisi dalam setiap kunjungan ke tempat belanja ini, semata-mata untuk melihat-lihat. Di samping untuk mengantisipasi kalau-kalau ada harga obral.

Selain itu, tempat ini cukup menarik perhatian mereka. Susunan deretan televisi dalam ukuran berbeda ditempatkan berjejer di rak. Masing-masing dibiarkan hidup. Ini merupakan pemandangan yang sedikit berbeda, ketika di rumah orang hanya biasa menyaksikan satu layar tv.

Puas memanjakan diri dengan sekedar melihat-lihat display televisi, seraya memendam keinginan untuk memiliki salah satu dari barang-barang elektronik tersebut, kami berpindah tempat dan melanjutkan kegiatan belanja dengan turun menuju lantai bawah (Lower Ground), melewati eskalator landai.

Di hadapan kami, terpampang iklan belanja meriah Carrefour. Saat tengah berada di eskalator yang membawa badan kami bergeser pelan menuju Lower Ground, mereka mencoba memanjakan diri dengan sekedar mengambil dan melepas

9 Dari petikan obrolan seputar pengalaman belanja keluarga Martini, tanggal 7 Mei 2007 86

kembali beberapa makanan ringan yang memenuhi sisi kiri dan kanan eskalator tersebut, tanpa bermaksud memindahkannya ke dalam keranjang belanja. Tono menggenggam salah satu makanan ringan itu. Lia memintanya untuk mengembalikan barang itu ke tempat semula. ”Iki ra didol, ming kanggo hiasan thok neng kene.” Ini tidak dijual. Cuma untuk hiasan saja di sini, kata Lia kepada adiknya. Tono melepas makanan ringan itu ke tempatnya. Barangkali saja dia percaya dengan kata-kata kakaknya, bahwa barang yang ditaruh di tempat yang kurang lazim itu memang tidak untuk dijual, melainkan hanya pajangan belaka.

Gambar (12) Eskalator yang menghubungkan dua lantai rumah belanja Carrefour dipenuhi makanan ringan untuk memberi kesan betapa melimpahnya barang di rumah belanja tersebut. (dokumentasi Samsul Bahri)

Setiba di Lower Ground, Lia dan Martini meluncur ke tempat tersedianya telur ayam. Lia mengambil, menarik dengan tangannya, bungkus plastik yang tersedia melingkar di samping wadah besar tempat telur itu. Ditemani ibunya, dia memilih telur. Butir-butir telur dibanding-bandingkan, mereka memilih dan mengambil mana yang kelihatan lebih besar ukurannya. Lia membawa sekantong 87

telur dan menyerahkannya untuk ditimbang. Satu kilogram masuk ke keranjang belanja.

Sambil berjalan dengan memperhatikan sekitar, mereka pindah ke tempat jenis jajanan dan makanan kecil. Namun, terlebih dahulu mereka kembali menuju rak paling utara, dekat eskalator tadi, tempat tersedia sabun cuci dan detergen.

Mereka memegang, memperhatikan harga dari barang-barang itu. Sebagian dimasukkan ke dalam keranjang belanja. Kebiasaan membanding-bandingkan harga sebelum membeli biasa dilakukan Martini, untuk beberapa jenis barang.

Saya memperhatikan misalnya ketika dia hendak membeli detergen merek Daia berhadiah sebuah piring makan. Martini urung mengambil barang tersebut lantaran menurutnya: “masih lebih murah di luar dua ratus rupiah daripada di sini.” Ia pun memilih yang lain dan meninggalkan barang yang katanya hanya punya selisih dua ratus rupiah dengan harga di luar (yang dimaksud mungkin swalayan Peni. Karena selain ke Carrefour, mereka kadang berbelanja di swalayan ini).

Pekerjaan membanding-bandingkan harga semacam itu sudah tentu dimaksudkan untuk meminimalisasi jumlah pengeluaran. Karenanya, setiap nilai tukar pembelian yang dianggap membengkakkan jumlah pengeluaran akan mereka tekan. Sebagaimana yang dilakukan ketika berusaha mencegah Tono yang merengek meminta dibelikan makanan dalam jumlah berlebihan dan dengan nilai tukar cukup mencengangkan.

Seperti sudah diduga dan sudah dalam antisipasi mereka, setengah perjalanan ’rekreasi’ belanja itu betul-betul terganggu oleh tingkah si kecil Tono. 88

Sesekali dia mengambil sesukanya barang-barang yang memang dia kenal betul namanya. Pada barang itu tertera harga yang sudah pasti bikin kaget orang tuanya. dan sosis daging sapi diambil dan dimasukkannya ke dalam keranjang, begitu juga dengan berjenis-jenis makanan berupa jajan-jajanan lain.

Orang tuanya kali ini tidak memberikan reaksi terhadap tindakan itu.

Mencegahnya dengan kata-kata tentu terasa sulit. Mereka membiarkan saja Tono mengambil barang-barang itu. Tapi kemudian secara diam-diam, barang-barang yang tidak dikehendaki itu dikembalikan lagi oleh ayahnya ke tempat semula.

Kadang, mereka akan melakukan cara-cara persuasif terhadap kemauan ‘edan’ si kecil. Ketika tengah berada di sekitar tempat display makanan jenis coklat- coklatan, Tono misalnya merengek meminta diambilkan coklat dalam kemasan yang menarik perhatiannya. Tetapi, harga barang itu menakutkan buat kedua orang tuanya. Lalu kata ibunya memperingati Tono:

“Delok en regone kuwi-kuwi, petang puluh ewu, kowe tak tukoke celono jin oleh loro.. timbangane coklat, milih endi..”

Itu lihat harganya, empat puluh ribu, kamu milih tak belikan celana jin dapat dua potong.. ketimbang coklat, pilih mana..

Tono diyakinkan dengan tingginya harga jual barang yang dimauinya dengan melakukan banding harga jika uang sebanyak itu dipakai untuk membelikannya celana jeans, jenis celana yang kebetulan sedang sangat disukai oleh Tono, karena kesan “jin”-nya barangkali.

Di Carrefour, letak barang ditaruh berdasarkan kesamaan jenis dan bukan kesamaan dalam harga. Karena itu, barang-barang dengan harga rendah dapat 89

bersanding dengan barang-barang bernilai tukar tinggi, dari jenis yang sama.

Karena pola peletakan barang semacam ini (dan ini adalah cara termudah agar konsumen mengingat letak sebuah barang), selagi asyik melihat-lihat, sesekali mereka terkejut menyaksikan beberapa barang yang memiliki kontras harga antara satu dan yang lain dari jenis yang sama. Kali ini kebetulan mereka lewat di depan tempat berbagai jenis makanan dan minuman instan dipajang, dengan maksud membeli teh berhadiah sendok dan makanan ringan. Tanpa sengaja, pandangan mereka tertuju pada harga yang tertera di rak di mana dipajang beberapa deret toples kopi mocca. Suwarno dan Martini terheran-heran melihat label harga salah satu merek kopi mocca. Menurut mereka, harga itu luar biasa mahalnya. Spontan Suwarno berkomentar seraya menunjuk deretan kopi mocca itu:

Wek..e..e..e..e..e , Sam, iki Sam, wolung puloh limo, edhan piye.. kopi iso regone wolung puloh ngene…

Wek..e..e..e..e..e (seruan kaget ini menirukan aksi Mbah Darmo yang terheran- heran dalam acara Sulap Selip di An-TV), bajigur, Sam, ini Sam, delapan puluh lima ribu. Gila enggak.. kopi kok bisa harganya sampai delapan puluhan ribu begini…

Sambil berkata demikian, Suwarno mengambil barang itu dari tempatnya, dan mencoba memperhatikan. Jenis kopi mocca itu terlihat sedikit agak beda dari jenis kopi lainnya. Di luar rasa heran mereka, barangkali harga sebanyak itu dirasa terlalu tidak masuk akal untuk jenis kopi mocca dalam kemasan sekecil itu.

Harga itu dirasa sangat ‘mengejek’ ukuran kepantasan menurut hitung-hitungan rasio normatif daya beli mereka. 90

Gambar (13) Kopi dan kopi mocca di rak rumah belanja Carrefour, mulai dari harga 16.000 rupiah hingga 85.450 rupiah. (dokumentasi Samsul Bahri)

Mereka berlalu dari tempat itu setelah berkeliling dan akhirnya beberapa bungkus teh berhadiah sendok mampir di keranjang belanja. Merasa jumlah belanjaan kian banyak dan memberatkan, Martini yang setelah secara bergantian membawa keranjang belanja dengan Lia, memutuskan memindahkan barang yang ada di keranjang ke dalam troli (kereta dorong). Martini meminta Lia untuk mengambil troli. Lia bergegas menghilang di antara rak penuh barang-barang.

Tidak berapa lama, dia sudah kembali dengan kereta dorong. Barang yang ada di keranjang belanja dipindahkan. Dengan troli diharapkan beban perjalanan belanja itu terasa lebih ringan. Terlebih setelah Tono dengan senang hati meminta duduk di salah satu bagian yang sebetulnya tidak disiapkan sebagai tempat menaruh anak-anak di atas kereta dorong tersebut. Dengan begitu mereka merasa jauh lebih leluasa dan tidak banyak mendapat interupsi dari tindakan-tindakan spontan

Tono. Dengan troli itu pula, semakin tampak ada kesan bahwa keluarga Martini 91

tengah melakukan belanja besar-besaran. Padahal, jumlah barang belanjaan mereka yang ada di dalam troli masih bisa ditampung dalam sebuah keranjang belanja.

Namun dengan bantuan troli, setidaknya kini mereka lebih merasa leluasa menjelajahi tempat demi tempat di sekitaran rumah belanja itu. Lorong demi lorong mereka jelajahi dan sampailah di tempat rak yang memajang mi instan.

”Neng omah ne ra ono lauk sarapan, yo biasane masak mi.” (Di rumah, kalau tidak ada lauk untuk sarapan, biasa masak mi). Kata Martini menjelaskan kepada saya, mengapa mereka perlu membeli mi instan.

Lia mengambil beberapa bungkus mi instan. Ada banyak macam merek dan jenis mi instan. Dipilihnya mi instan kegemaran mereka. ”Mi goreng kriuk” kata Tono. Dia seperti sudah mengakrabi jenis merek itu. ”Rasa ” kata

Suwarno menyebut kegemarannya. ”Rasa soto yang ada jeruk nipisnya” kata

Martini. Tetapi harga mi rasa soto dengan jeruk nipis lebih mahal dari yang lain.

Dan mereka tidak jadi mengambilnya. ”Lha iki podo wae kok rasane.” (Lha ini sama saja kok rasanya), kata Suwarno menunjuk mi instan rasa soto pilihannya, agar Lia tak jadi mengambil mi instan soto dengan jeruk nipis pilihan ibunya.

Saya ikut mengambil beberapa bungkus mi instan. Barang yang satu ini kelihatan menambah kian banyak barang belanjaan saya.

Suwarno dan Martini meminta agar saya sebaiknya menaruh barang belanjaan ke dalam troli secara terpisah dengan barang belanjaan mereka. Saya sendiri tidak terlalu merasa terbebani dengan barang belanjaan yang saya bawa.

Tetapi saya juga tidak keberatan memindah sekeranjang kecil barang belanjaan 92

milik saya ke dalam troli. Dengan begitu, semakin tampak bertambah banyak barang belanjaan di dalam troli, dan semakin pantas pula kelihatannya mendorong troli dengan jumlah barang yang ‘terlihat’ banyak.

Sisa waktu dari kegiatan belanja itu habis untuk sekedar menelusuri lorong demi lorong, di antara barang-barang. Mereka berhenti sejenak di tempat tersajinya berjenis masakan siap saji. Di sini terdapat beragam jenis masakan matang siap saji. Ikan, daging, sate, udang dan . Makanan itu dijejer rapi dan menarik. Di lain tempat, terdapat -bumbu dapur siap diolah. Sambil melihat-lihat, mereka bertanya-tanya, kira-kira siapa yang membeli masakan yang sudah matang itu, dan jika barang-barang dari jenis masakan matang itu tidak laku dan basi, lantas dikemanakan, dibuang? Apakah “kerfur” tidak akan rugi membuang-buang barang tidak laku? Pertanyaan-pertanyaan ini mengalir dari rasa ingin tahu mereka. Saya memperhatikan misalnya komentar sambil lalu dari Lia dan disambut opini kedua orang tuanya tentang barang berupa masakan siap saji itu.

Lia: Iki kanggo panganan sopo ngene ki. Suwarno: Sing tuku yo paling wong-wong sugeh kuwi sing gak sempet masak, ngono kuwi. (jeda sejenak) Martini: Nek pomo ra laku tur basi ngono, kanggo sopo. Diguwak ato paling dikekke karyawane dewe yo. Suwarno: Didumno karyawane. Martini: Bejo men karyawane.

Lia: Ini (masakan) untuk makanan siapa, ya. Suwarno: Yang beli paling orang-orang kaya yang tidak sempat masak (karena sibuk). (jeda sejenak) Martini: Seumpama masakan ini tidak laku dan basi, lantas diberikan ke siapa, ya. Dibuang atau paling dibagi-bagikan ke karyawan sendiri, ya. Suwarno: Dibagikan ke karyawannya. Martini: Beruntung benar karyawan kerfur. 93

Gambar (14) Masakan siap saji di rumah belanja Carrefour. (dokumentasi Samsul Bahri)

Masakan-masakan siap saji ini memang menarik untuk sekedar dilihat- lihat. Barangkali juga karena disajikan dan ditampilkan dengan sedikit istimewa.

Dari penampilan dan cara masakan itu dikemas, Suwarno memperkirakan bahwa hanya orang-orang kaya saja yang membeli masakan siap saji tersebut. Orang- orang yang tidak sempat memasak karena suatu kesibukan yang padat.

Mereka bergeser meninggalkan tempat masakan tadi dan seperti hendak mau mengakhiri kegiatan belanja, mereka kembali menaiki eskalator landai.

Betapa pun keinginan mereka memperlama waktu belanja, mereka toh harus mengakhirinya. Kegiatan belanja itu berakhir pertama karena sudah tidak ada yang perlu dibeli. Kedua, karena sudah tidak ada yang ingin dilihat lagi, dan ketiga, karena alasan Martini sendiri; “ayo bali wae, wis pegel ngene.” (ayo kembali, sudah capek begini). Mereka pun memutuskan kembali ke Ground

Floor. Di sini mereka masih sempat berjalan-jalan mengembalikan ke tempat semula beberapa jenis barang yang tidak terlalu dibutuhkan, dan jika perlu menggantinya dengan yang lain, sebelum kemudian menghampiri kassa. 94

Pada giliran ketika barang-barang mereka dicek kassa, mata Martini dan

Suwarno tidak lepas dari memperhatikan digit demi digit harga di screen count yang terus bertambah. Pasta, sikat gigi, sabun mandi, shampo sachet, body lotion, detergen, sabun colek, beberapa bungkus teh berhadiah sendok, satu kilo telur ayam, beberapa bungkus mi instan dan jenis-jenis makanan ringan lain. Satu per satu barang belanjaan mereka dipindahkan kassa ke dalam tas kresek berlogo rumah belanja itu. Mula-mula di tangan Martini tergenggam uang lima puluh ribu yang akan dipakai untuk membayar sejumlah barang milik mereka. Mengetahui harga barang belanjaan mereka yang terus naik, Martini mengeluarkan lima puluh ribu lagi.

Jumlah pengeluaran mereka ternyata jauh lebih banyak dari yang diperkirakan. Setelah menerima struk belanja dengan jumlah pengeluaran yang belakangan membuatnya tidak percaya, Martini dan suaminya berusaha mereka- reka ulang apa-apa yang baru saja mereka beli. Sepanjang jalan pulang dari rumah belanja Carrefour, mereka membicarakan kemungkinan adanya kekeliruan dalam sistem transaksi pembayaran tadi. Struk belanja itu masih di tangan

Martini.

Sesampai di rumah, barang-barang dikeluarkan untuk kemudian dicocokkan dengan harga yang tertera pada struk belanja, sambil mengira-ira nilai tukar barang tersebut, sejauh yang mereka ingat.

Tidak ada yang keliru. Semua sudah sesuai. Tapi, mereka tidak percaya dengan jumlah pengeluaran yang membengkak. Mulanya, mereka mengira ada yang salah dalam sistem pembayaran di kassa. Kegiatan belanja mereka memang 95

kelihatan irit. Namun, akhir dari kegiatan belanja siang itu begitu mengecewakan

Martini dan suaminya. Mereka tidak menduga bahwa besaran angka belanja yang dikeluarkan akan mencapai jumlah yang menurut mereka terlalu banyak. Belanja siang itu menghabiskan sekitar delapan puluh dua ribu rupiah. Padahal menurut harapan sebelumnya, jumlah pengeluaran tak akan sampai mencapai jumlah tersebut.

Kejadian-kejadian semacam di atas, barangkali ada pula hubungannya dengan apa yang suatu ketika dalam sebuah kesempatan perbincangan dikatakan

Suwarno kepada saya. Di tengah-tengah perbincangan tersebut, secara berkelakar

Suwarno berkomentar dan komentar tersebut mempunyai hubungan atas hal ini:

“Kerfur ngapusi kok. Blonjo rono kuwi gak keroso entek e akeh terus.”

”Carrefour pembohong. Belanja ke sana itu enggak terasa pengeluaran habis banyak terus.” 10

Pernyataan ini diungkapkan dengan nada yang menurut saya tidak terlalu serius, tetapi barangkali memang punya hubungan dengan bagaimana mereka mempersepsi tempat tujuan belanja favorit mereka; yakni adanya suatu perasaan antara ‘benci dan rindu’. Benci lantaran pengeluaran belanja yang selalu tidak pernah sedikit, dan rindu karena harga-harga barang di sana yang kadung memanjakan selera belanja mereka: murah, berhadiah dan banyak diskon.

10 Petikan dari obrolan bersama Suwarno, Martini, Lia, Sulis dan dua pelanggannya di warung Martini tanggal 29 Juli 2007. 96

Persoalannya adalah bahwa mereka tidak dapat melakukan kontrol ketat atas keinginan-keinginan mereka sendiri untuk membeli. Pendapat Martini yang lebih tepat disebut sebagai nada menyayangkan:

Yo ngene ki, Sam, Nek wis neng kono (Carrefour) iku wis aku kadang ra ngerti opo sing tak ambil. Pokoke ambil wae. Sak barre lagi ngerti nek belonjo wis entek akeh (tertawa). Akeh barang sing dibeli.

“Kalau sudah di dalam (di Carrefour) saya tidak tahu apa saja yang saya ambil. Pokoknya ambil. Kalau sudah selesai belanja baru kerasa belanja habis banyak (tertawa). Banyak barang yang saya beli.” 11

Pada kenyataannya, mereka terlanjur melakukan apa yang sebelumnya tidak ada dalam rencana belanja mereka, yakni membeli barang-barang bernilai tukar rendah dalam jumlah yang tidak sedikit, semisal teh berhadiah sendok, wafer dan lain-lain (buying impuls). Ada begitu banyak barang belanjaan yang semula tidak masuk dalam rencana pembelian mereka, tetapi serasa tiba-tiba ikut terdaftar begitu saja di dalam struk belanja. Mungkin mereka terlalu terpaku dengan bayangan besaran pengeluaran untuk membeli “sabun mandi” yang tentunya tak akan memakan banyak pengeluaran. Ketika ukuran besaran belanja

“sabun mandi” dibenturkan dengan kenyataan banyaknya barang yang mereka beli, maka sesuatu kontradiksi psikologis terjadi. Untuk mendapatkan rasa pembelaan atas ketidakpuasan menerima hasil akhir dari apa yang sudah mereka belanjakan, tanpa sengaja mereka mengambinghitamkan rumah belanja Carrefour dengan menganggap adanya kekeliruan dalam sistem pembayaran di kassa.

11 Petikan dari perbincangan dengan Martini seputar pengalaman belanja, tanggal 22 Mei 2007, dua hari setelah kegiatan belanja yang saya ikuti di Carrefour Ambarrukmo Plaza. Dalam perbincangan ini sebetulnya saya fokuskan kepada sikap mereka yang menganggap keliru sistem pembayaran di Carrefour. 97

2. Belanja Baju Obral di “Kerfur”

Tidak ada pemberitahuan iklan belanja obral besar-besaran yang terpampang di papan raksasa pengumuman belanja diskon Carrefour di depan Ambarrukmo

Plaza, sebagaimana terpampang pada saat musim belanja diskon. Yang ada hanya pengumuman diskon alat-alat sekolah untuk anak-anak menjelang tahun ajaran baru mendatang. Tapi pada suatu petang, seorang pelanggan warung nasi Martini yang juga karyawan di Amplaz memberi tahu Martini bahwa di Carrefour sedang ada obral besar-besaran, belanja murah meriah untuk beragam pakaian. Obral itu akan berlangsung dari minggu terakhir Juni hingga minggu awal bulan Juli.

Karyawan tadi menganjurkan agar Martini ke Carrefour, sebab persediaan bisa saja habis sebelum tenggat akhir yang ditentukan.

Tergoda oleh pemberitahuan langsung dari karyawan tadi, pada suatu siang Martini merencanakan kepergian untuk belanja ke Carrefour. Bagi Martini sendiri, punya kenalan (pelanggan warungnya) karyawan di Amplaz sangat membantu. Setidaknya, dengan perantara merekalah berita tentang belanja diskon didapatkan secepat mungkin.

Seperti yang kemudian saya ketahui dari cerita Martini sendiri dan dari pengalaman mengikuti kegiatan belanjanya, bahwa hampir sebagian banyak rencana kepergian ‘mendadak’ mereka ke Carrefour lantaran mendapat kabar belanja barang-barang dengan harga murah.

Sepanjang pagi hari Minggu itu, saat saya berkesempatan berkunjung ke rumah Martini, sesaat sebelum saya diajak menonton kesenian Jathilan, saya mengikuti seluruh pembicaraan di dalam keluarga tersebut. Separuh obrolan 98

antara Martini dengan sepupu jauhnya, Eni, berkaitan dengan rencana memborong baju murah di Carrefour.

Martini: En, dek wingi, Jeje ngabari ono pakaian murah neng kerfur. Mengko sore yuk neng kerfur. Eni: yuk, kepingin ndelok-ndelok aku. Martini: pakaiane didol kilonan lhoh. Ningo mengko sore merono. Eni: yo, bar ndelok jathilan wae. Martini: yo bar teko jathilan.

Martini: En, kemarin, Jeje (karyawan Amplaz langganan warung Martini) ngasih kabar, di Carrefour ada pakaian murah-murah. Ntar sore kita lihat ke sana yuk. Eni: Yuk, aku kepingin lihat-lihat. Martini: Pakaiannya dijual kiloan lhoh. Makanya ntar sore aja kita ke sana. Eni: Ya, ha ah, habis nonton jathilan aja. Martini: Ya, habis dari nonton jathilan.

Sesuai rencana, pada petang hari Minggu tanggal 1 Juli 2007 (belanja obral itu sendiri sudah dibuka sejak minggu terakhir bulan Juni dan akan berakhir di minggu pertama bulan Juli), Martini bergegas ke plaza (Carrefour), ditemani

Tono, Lia dan saudara sepupu jauhnya, Eni. Kegiatan mengurus warung lesehan dia serahkan sementara sepenuhnya kepada suami, Suwarno dan saudara Martini,

Sulis. Sebagai pelanggan oportunis, Martini senantiasa memanfaatkan momen belanja barang-barang obral semacam itu. Harapannya tentu saja untuk memperoleh banyak barang dengan harga murah.

Sesuai kebiasaan, sesampai di plaza, mereka langsung meluncur ke rumah belanja Carrefour. Di Carrefour, di salah satu bagian tempat penjualan barang- barang diskon, terdapat setumpukan pakaian yang pada kenyataan menurut amatan Martini sendiri adalah pakaian bekas (second hand). Semua barang- barang diskon tersebut diletakkan dalam sebuah wadah besar. Dilihat sekilas, tampaknya tumpukan pakaian obral tersebut terlihat lebih pantas untuk diberikan 99

cuma-cuma, ketimbang untuk dijual. Namanya juga barang obral murah, sebagian pakaian-pakaian itu tampak kusut masai, terlihat seperti habis dibongkar balik tidak beraturan. Konsumen dapat memilah pakaian, seperti saat tengah memilih buah-buahan di Lower Ground. Di atas tumpukan pakaian obral itu terpampang tulisan harga jual barang yang lumayan provokatif: “Big Sale. Obral

6.000/kg–10.000/kg”. Cukup menggoda. Pakaian dijual obral dengan nilai tukar rendah. Satu kilogramnya bisa mencapai dua hingga tiga potong baju siap pakai.

Sebagian pengunjung tampak serius memilah pakaian dan mengumpulkannya satu per satu untuk ditimbang. Sebagian lagi sekedar iseng melihat-lihat, berputar-putar sebentar di sekitaran tumpukan pakaian itu, dengan enggan memegang dan melepas, sebelum kemudian berlalu, tanpa menaruh rasa tertarik dan tanpa kemauan membeli sedikitpun.

Martini, Lia dan Eni bersama-sama membongkar balik tumpukan pakaian di hadapan mereka, meneliti merek dan potongan, menaksir model dan ukuran, mematut diri membayangkan tampilan dan kepantasan pemakaian. Beberapa di antara pakaian-pakaian itu menarik perhatian Martini, dan sebagian lain sama sekali tidak. Dalam sepanjang pengamatan saya, Martini tergolong konsumen yang cermat memilih barang, untuk jenis pakaian. Dalam keadaan obral besar yang menurut harapan lembaga pengeluar kebijakan diskon, akan menggoda pembeli untuk membeli dalam jumlah besar, ternyata tidak berlaku untuk Martini yang sedikit punya sensitivitas soal model.

Apa yang terjadi pada kenyataannya adalah bahwa Martini mengurungkan niat untuk membeli barang-barang berlabel “Big Sale” itu. Martini sepertinya 100

terlalu menyayangkan jika beberapa rupiah saja keluar untuk sekilo pakaian- pakaian bekas tersebut. Komentarnya:

Sebetulnya, aku tertarik neng ono celana jin sing mau, ningo bawahan betis e kurang apik. Aku rak senenge modele kayak gitu tadi. Sayang banget enggak ono sing ketoke pantes tak enggo. Lagian, kualitas barange ketoke kurang apik. Pantesan didol murah ngono. Wong ketoke barang bekas kabeh. Mau ndelok kan? Barange koyo-koyo wis kanggo pirang-pirang tahun.

Saya tertarik dengan celana jin yang tadi, tapi bawahan betisnya kurang bagus. Saya tidak suka model tadi. Sayang sekali, model-modelnya enggak ada yang pas untuk saya pakai. Lagian kualitas barang-barangnya kurang bagus. Pantasan dijual obral besar begitu, ya. Wong barangnya kelihatan barang bekas. Lihat, kan? Barangnya seperti sudah terpakai bertahun-tahun.

Atas keputusan tidak membelanjakan uang, Eni yang menemani Martini berbelanja juga memberi pendapat dengan alasan yang tidak jauh berbeda dari

Martini. Pendapat Eni atas barang obral tersebut:

Walah, kelihatannya seperti barang bekas semua. Kalau kayak gitu bukan cuma di sini adanya. Besok kalo ada pasar malam (pasar malam Agustusan di kampung Nologaten –pen.) biasanya juga banyak dijual baju-baju bekas.

Urung membeli barang-barang obral, Martini memilih memindah haluan belanja. Mereka pergi membeli buku-buku serta alat tulis untuk keperluan Lia dalam tahun ajaran baru nanti. Habis berjalan-jalan dan membeli barang seperlunya, mereka mampir ke tempat di mana deretan televisi dipajang, sekedar melihat-lihat barang elektronik yang dipajang dalam keadaan ON itu. Selepas dari tempat ini, mereka melanjutkan ke Lower Ground, maksudnya untuk membeli beberapa kilo telur ayam, tetapi urung karena merasa bahwa persediaan yang sudah dibeli di pasar masih tersisa banyak. Di samping itu juga karena tampaknya, Tono sudah sedari tadi menunjukkan gelagat yang selalu membikin repot. Mereka pun memutuskan untuk menyudahi kegiatan belanja. 101

Sekembali dari rumah belanja Carrefour, atas inisiatif Lia untuk menghibur adiknya yang merengek meminta dibelikan pizza (entah dari mana dia tahu jenis makanan ini), dan seperti hendak menggenapkan kegiatan jalan-jalan di plaza, mereka mampir di outlet Bread Talk. Outlet ini menjual makanan berupa aneka macam roti. Terletak di Ground Floor Ambarrukmo Plaza. Outlet ini lumayan ramai pengunjung. Dibandingkan outlet Roti Boy (Lower Ground) yang hanya menyajikan satu macam roti, outlet Bread Talk menyediakan yang lebih beragam. Di tempat ini, dalam situasi ramai, kita dapat menyaksikan ularan antrean pembeli yang berjejer mengambil makanan layaknya seperti dalam suasana time-break jam makan pada sebuah pesta atau acara rehat sebuah seminar.

Gambar (15) Outlet Bread Talk di Ambarrukmo Plaza. (dokumentasi Samsul Bahri)

Mula-mula mereka berdiri agak renggang di sekitar tempat itu, menyaksikan bagaimana cara orang mengambil sendiri makanan (berjenis roti) yang tersedia di hadapan mereka. Setelah cukup paham, mereka mendekat. Lia 102

mengambil wadah dan alat jepitan roti. Lia masuk ke tengah-tengah urutan antrean dan memilih makanan yang menurutnya lebih terjangkau nilai tukarnya dibanding yang lain. Satu buah roti Hokkaido Dome seharga tujuh ribu lima ratus dan sebuah roti Cheese Pillow seharga lima ribu lima ratus. Pilihan Lia akan kedua macam roti di atas bukan lantaran dia tahu benar bagaimana rasa enaknya roti tersebut. Tetapi lantaran bahwa kedua roti itu terjangkau nilai tukarnya. Ini kali pertama Lia berbelanja di outlet tersebut. Niat mereka membeli roti di Bread

Talk sebatas untuk mencoba-coba. Lebih karena didorong oleh desakan rasa penasaran dengan antrean panjang yang setiap saat mereka saksikan ketika berkunjung ke plaza.

3. Belanja Buah Pir Murah di “Kerfur”

Buah pir tengah membanjir. Harga jualnya sedang miring dalam tiga hari ke depan. Begitu kabar yang didengar Martini dari salah seorang karyawan

Carrefour langganan warung lesehannya. Kebetulan hari Minggu sore besoknya

Martini sekeluarga merencanakan akan pulang kampung (ke Gunung Kidul) untuk sebuah acara rasulan, bersih desa. Acara rutin yang diselenggarakan setiap tahun. Kepulangan ke kampung kali ini, sekaligus dengan tujuan menengok orang tua. Lantaran mendengar kabar harga miring tadi, instingnya sebagai konsumen oportunis segera bekerja, dan buah pir adalah oleh-oleh yang akan dibawanya pulang kampung kali ini.

Keesokan hari Minggu siang, Martini, Suwarno dan Lia (tanpa keikutsertaan Tono) bersiap untuk kepergian mereka ke Carrefour mencari buah 103

pir murah. Tono tidak diikutkan dalam kegiatan belanja itu. Caranya sederhana, mereka ‘bersekongkol’ tidak memberitahu akan rencana kepergian mereka ke

Carrefour. Menjelang terik, sesuai kebiasaannya, Tono dibiarkan tertidur terlebih dahulu, sebelum kemudian ditinggal pergi. Mereka tidak ingin memperumit kegiatan belanja siang itu dengan tidak menyertakan anak bungsunya.

Tentu saja mereka sudah mempersiapkan kemungkinan yang akan terjadi jika anak bungsunya tahu bahwa dirinya tidak diikutsertakan dalam acara belanja kali itu. Mereka berjanji akan membelikan jajanan yang ‘mungkin disukai’ Tono.

Apa jenis jajanan yang mungkin disukai Tono? Entahlah. Ini hanya sebagai cara menyiasati kemungkinan yang bakal terjadi, kalau-kalau sesuatu akan terjadi jika

Tono tahu haknya untuk ikut belanja tidak dipenuhi.

“Pelanggan kerfur yang terhormat, hari ini di Lower Ground kerfur juga berlangsung diskon besar untuk jenis buah pir. Anda yang berminat bisa langsung ke Lower Ground kerfur… Nikmati belanja murah hanya di rumah belanja kerfur...” Terdengar imbauan dari pengeras suara di rumah belanja Carrefour.

Benar saja apa yang dikabarkan karyawan Carrefour kepada Martini kemarin malam. Buah pir benar-benar membanjir dan sedang murah-murahnya.

Martini, Suwarno dan Lia berhambur ke tempat di mana buah pir tersedia.

Mereka memilih-milih buah, membungkus dan membawanya untuk ditimbang.

Dua kilo buah pir sudah di keranjang belanjaan mereka. Saya bertanya dalam hati, sejak kapan mereka menyukai buah pir? Bukankah jenis buah yang satu ini tidak lazim dikonsumsi orang kebanyakan, dibanding buah mangga atau rambutan atau jeruk misalnya. 104

Mereka mengaku sudah lama mengkonsumsi buah pir. Mulanya memang tidak terlalu suka karena rasanya yang biasa saja, “seperti jambu air”, ujar

Martini. Barangkali, nilai perbedaan karena kelangkaan jenis buah ini dan karena jarangnya masyarakat kebanyakan mengkonsumsinya, membuat jenis buah itu menjadi barang yang lebih pantas dijadikan oleh-oleh untuk dibawa pulang kampung. Sebab di kampung sendiri, buah jenis itu tidak terlalu banyak dikenal.

Setelah dua kilo buah pir mampir di keranjang belanja, mereka beranjak.

Tapi tunggu dulu, acara belanja kali ini tidak segera diakhiri di tempat buah- buahan. Martini dan Lia diikuti Suwarno dan saya, bergegas ke tempat di mana telur ayam tersedia. Satu kilo masuk ke keranjang belanja. Dari situ mereka berpindah ke tempat sabun cuci. Berkeliling di sekitar, melihat harga dan ukuran gramnya, seraya menimbang perlu tidaknya membeli sabun cuci kali ini. Selepas dari situ, mereka teringat jajan oleh-oleh untuk si kecil Tono. Mereka berjalan ke tempat beragam makanan kecil tersedia, memilih jajanan wafer murah yang sekiranya kelihatan asing dan belum banyak dijual di toko-toko kecil. Maksudnya barangkali untuk memberi surprise kepada Tono, sebagai cara mengkompensasi ketidakikutsertaan Tono dalam kegiatan belanja itu. Berhentikah kegiatan belanja itu sampai di situ? Tidak. Kegiatan belanja ini tidak berhenti setelah dua kilo buah pir, sekilo telor ayam, sabun detergen dan oleh-oleh untuk Tono berada di keranjang belanja.

Merasa terbebani menenteng dengan keranjang, Lia diminta mengambil kereta dorong. Dengan troli, sepertinya kegiatan belanja ini akan sedikit memakan lebih banyak waktu. Melalui eskalator landai, mereka meluncur ke 105

Ground Floor Carrefour. Kemanakah lagi tujuan mereka kalau bukan ke area display televisi. Barangkali ini adalah kegiatan favorit yang tidak pernah dilewatkan Martini sekeluarga setiap kali berkunjung ke Carrefour. Karena posisi tempat display yang bertepatan di pintu transit yang menghubungkan pengunjung dari Ground Floor ke Lower Ground, maka tempat display televisi ini menjadi tempat terakhir mereka melihat-lihat di Ground Floor atau menjadi tempat pertama mereka melihat-lihat di Ground Floor jika kedatangan diawali dari

Lower Ground.

Kegiatan belanja itu ternyata berlanjut di Ground Floor. Suwarno tampak seperti sudah tidak punya inisiatif lagi. Dia yang bertugas mendorong troli hanya mengekor di belakang isteri dan anak perempuannya. Hanya isteri dan anak perempuannyalah yang paling mengerti apa saja barang-barang yang mereka perlukan untuk dibawa pulang kampung nanti sore.

Selagi masih berputar di antara lorong penuh barang-barang konsumsi itu,

Suwarno menyarankan agar kegiatan belanja itu segera diakhiri, kalau sudah merasa terpenuhi semua. Tetapi Martini dan Lia terlanjur meluncur ke tempat lain lagi dan mengambil beberapa barang lain lagi. Suwarno mengkhawatirkan bahwa jika mereka terus memperlama waktu di tempat ini, kasihan si kecil akan terbangun dan mengamuk jika saja tahu dirinya tidak diikutsertakan. Mendengar alasan ayahnya, Lia segera menyanggah dengan mengatakan bahwa masih ada

Sulis di rumah yang akan menjaga Tono jika dia terbangun.

Tidak berhasil dengan ajakan seperti itu, Suwarno menganjurkan dengan alasan lain. Jika mereka masih terus menambah barang belanjaan, khawatir 106

pengeluaran mereka akan membengkak sebagaimana kebiasaan yang sudah- sudah. Lia dan Martini tidak hirau, mereka ingin merangkum kegiatan belanja kali ini, sebelum nanti sore pergi ke kampung dengan oleh-oleh yang lebih banyak. Suwarno dengan enggan dan terpaksa terus mengikuti mereka. Suwarno membisikkan sesuatu kepada saya dan lebih tepat disebut sebagai sebuah ungkapan keputusasaan: “mengko Mak e muring-muring dewe nek ngerti belanjaan entek akeh.” (Nanti lihat, Mak-nya uring-uringan sendiri kalau tahu belanjaan menghabiskan uang banyak). Dengan kata-kata itu, Suwarno seperti sudah mengantisipasi apa yang nanti bakal berlaku atas keputusan Martini dan

Lia memperlama waktu belanja dan memperbanyak barang belanjaan. Dengan memperingatkan seperti itu, Suwarno tidak ingin ikut-ikut jika nanti mereka mengumbar komentar atas belanjaan yang banyak dan pengeluaran yang membengkak.

Semakin bertambah barang belanjaan yang mampir ke dalam troli, semakin mengkhawatirkan Suwarno bahwa pengeluaran mereka akan kian membengkak. Kali ini Suwarno tampak tidak terlalu menikmati kegiatan belanja itu. Kecuali hanya memperhatikan sekeliling lalu lalang para pengunjung dan para pelayan dalam penampilan menarik, sedikit pun ia tidak memberi perhatian terhadap barang-barang sebagaimana isteri dan anak perempuannya mencurahkan perhatian ke sana.

Benar saja apa yang dikatakan Suwarno. Konsekuensi yang tidak diharapkan terjadi. Kegiatan belanja itu berakhir dengan drama saling menyalahkan antara Suwarno seorang diri dan Lia yang condong berpihak 107

kepada ibunya. Semenjak kembali dari plaza, hingga sampai di rumah, tanpa menghiraukan saya yang sudah dianggap teman akrab dalam keluarga mereka, terjadi perbantahan kecil. Apa pasal? Tidak lain lantaran pembengkakan jumlah pengeluaran untuk belanja siang itu. Dua kilo buah pir hanya akan menghabiskan tidak lebih dari dua puluh ribu rupiah saja. Tetapi, jumlah yang tertera di struk belanja sebagai hasil akhir dari kegiatan belanja itu menunjukkan jumlah yang membuat mereka saling menyalahkan: enam puluh ribu perak. Jumlah berlipat ganda dari harga dua kilogram buah pir yang semula direncanakan.

Bukan apa-apa yang membuat keributan kecil itu berlangsung, melainkan jumlah besaran pengeluaran yang tidak mereka rencanakan sebelumnya.

Tambahan lagi, lantaran saran-saran Suwarno sebelumnya, dianggap angin lalu.

Andaikata sebelum keberangkatan tadi mereka sudah merencanakan akan membeli barang-barang lain, selain hanya dua kilogram buah pir, barangkali tidak akan ada keributan itu. Sekali lagi, barangkali. Suwarno menyalahkan istrinya karena tidak menghiraukan saran agar segera menyudahi belanja. Martini bersikeras bahwa barang-barang yang dia beli toh nanti juga akan diperuntukkan bagi saudara-saudara di kampung. Suwarno menegaskan bahwa sebetulnya barang yang akan mereka bawa hanya dua kilo buah pir itu saja. Tidak lebih.

Keributan dalam rumah kecil itu bertambah ramai ketika Tono yang keluar dari kamar tidurnya tahu bahwa dirinya tidak diikutkan dalam kegiatan belanja ke Carrefour. Tangisnya mulai meledak demi melihat dua buah tas kresek berlogo Carrefour dan barang belanjaan di dalamnya. Tahu apa yang bakal dilakukan adiknya, Lia segera mengeluarkan dua buah wafer berbentuk stick dan 108

menyerahkan kepada Tono dengan harapan dapat meredam tangisnya yang mulai terdengar riuh. Tono menerima kedua wafer stick dari Lia. Tapi apa yang dilakukan atas pemberian itu? Tono bukannya tambah senang dengan membuka dan memakan wafer oleh-oleh belanja tersebut, melainkan dilemparkan begitu saja. Sementara Suwarno, ayahnya, memberinya tatapan mata melotot, juga dengan harapan meredam tangisnya yang ribut dan peringatan atas tindakannya melempar wafer. Ibunya sendiri, Martini, memberinya omongan yang menyuruhnya agar jangan terlalu kolokan.

Sebetulnya, apa yang dilakukan Tono dengan sikapnya yang dalam kata- kata ibunya disebut “kolokan” itu tidak lain adalah sebentuk protes atas keputusan mereka yang secara sepihak tidak menyertakan dirinya dalam kegiatan belanja bersama siang itu. Untuk sementara, pertentangan kecil antara Suwarno versus istrinya dan anak perempuannya soal kegiatan belanja yang memakan banyak biaya di luar dugaan itu, terhenti, dan kini terarah kepada usaha meredam tangis si kecil Tono yang mulai tidak menghiraukan mereka dengan melakukan tindakan-tindakan pelampiasan secara kekurangajaran seorang kanak-kanak.

Tidak ada yang dapat mereka semua, termasuk saya, lakukan untuk membuat diam Tono, kecuali bahwa mereka berjanji dalam waktu dekat nanti

(entah kapan) akan segera membawanya pergi ke Carrefour. Saya sendiri membantu meyakinkannya bahwa dalam waktu dekat nanti kita akan pergi jalan- jalan dan belanja ke mal dengan menyertakan dirinya. Jawaban Tono atas bujukan itu ialah kata-kata ‘ancaman’ seperti hendak mencoba meyakinkan agar kami menepati janji ajakan untuk nanti dalam waktu dekat membawa serta 109

dirinya dalam kegiatan belanja di Carrefour: “tenan lhoh ya, tenan, sumpah, neng kerfur…”

D. Kesimpulan

Meskipun tempat belanja Ambarrukmo Plaza punya kesan sebagai tempat belanja yang kelihatannya tidak mungkin dijangkau sembarang konsumen, pengalaman

Martini dan Suwarno sekeluarga menjadi bukti bahwa plaza itu juga memberi kesempatan terhadap kehadiran konsumen yang tidak dibayangkan sebagai pengunjung ’resmi’. Dengan alasannya sendiri, Martini dan Suwarno sekeluarga dengan leluasa menjelajahi tempat-tempat yang dipenuhi barang-barang konsumsi itu. Mereka ikut larut menikmati kegiatan belanja.

Berbelanja sudah menjadi bagian keseharian mereka. Tetapi pergi ke plaza setiap saat-saat tertentu adalah sesuatu kebiasaan yang secara perlahan- lahan menjadi semacam sarana edukasi tersendiri (edukasi selera) bagi pengalaman baru mereka berhadapan dengan tempat belanja istimewa. Pada akhirnya mereka merasa telah menjadi bagian dari tempat belanja istimewa itu.

Berbelanja kebutuhan dapat mereka penuhi di sana.

Bagaimana pun, pengalaman belanja mereka bukan sesuatu yang datar- datar saja. Terdapat begitu banyak peristiwa kecil di dalamnya. Martini yang gampang tergoda oleh barang, Lia yang mendukung segenap keputusan ibunya,

Suwarno yang senantiasa bersikap preventif, Tono yang bikin repot, harga barang yang mengejutkan, keinginan untuk memiliki televisi baru, troli yang dipakai untuk sedikit barang dan selebihnya untuk mempersempit ruang gerak Tono, 110

perasaan tertipu oleh hasil akhir belanja, barang obral yang menarik perhatian tetapi urung memberi kepuasan, buah pir murah dan pertengkaran karena pembengkakan jumlah belanja, kesemua itu merupakan bentuk-bentuk pengalaman belanja orang biasa dalam rangka mengukur kepantasan mereka berada di tempat belanja istimewa tersebut.

Kegiatan belanja di plaza mewah bagi mereka dimaksudkan sekaligus sebagai sebuah kegiatan ’rekreasi’, namun dengan efek yang sama sekali tidak mendatangkan nilai rekreatif, sejauh dilihat dari seberapa sering mereka mendapatkan kenyataan bahwa impian harga murah di tempat itu tidak berarti mendatangkan kepuasan sebagaimana yang mereka harapkan. BAB V

PRAKTEK KONSUMSI ORANG BIASA DI TEMPAT LUAR BIASA MEMBACA PENGALAMAN DAN MENANDAI MOMEN

A. Pengantar

Pada bab sebelumnya, saya sudah mendeskripsikan pengalaman belanja orang biasa di tempat luar biasa. Pada bab ini saya akan mengurai praktek belanja orang-orang biasa di tempat luar biasa. Pembahasan ini akan meliputi permasalahan-permasalahan seperti godaan barang dan kemampuan membeli, ekstase berbelanja dan rasa frustrasi. Suatu peristiwa psikologis atau apa yang disebut Baudrillard sebagai peristiwa histeria massal (general hysteria) yang ditimbulkan oleh kenyataan adanya perbenturan, sekaligus perjumpaan langsung, ketika orang biasa mencoba melakukan penetrasi ke dalam salah satu situs konsumsi global bernama plaza.

Selebihnya, saya akan membaca kemungkinan lain seperti adanya kemungkinan di mana orang-orang biasa ini mencoba untuk “merasa kian dekat” dengan dan berusaha mengatasi “hegemoni” tempat belanja luar biasa dengan cara mereka sendiri. Momen ini, misalnya, ditunjukkan dengan kemampuan mereka di dalam mempertanyakan atau menyoal segala sesuatu yang berhubungan dengan apa yang mereka alami (kegiatan belanja mereka di mal).

Kemampuan “mempertanyakan” mengandaikan adanya suatu upaya pengambilan jarak (distansiasi) dengan pengalaman mereka sendiri.

111 112

Keadaan di mana seseorang melakukan tindakan pengambilan jarak dari pengalaman menandai adanya sikap tidak pasif. Dalam konteks pengalaman orang biasa berbelanja di tempat luar biasa, dapat dikatakan bahwa sebetulnya mereka tidak pasif ketika berhadapan dengan kontrol sistem komoditi. Analisis

Michel de Carteau tentang praktek konsumsi dalam ”The Practice of Everyday

Life” menyatakan bahwa konsumen tidaklah selamanya berlaku pasif ketika berhadapan dengan totalitas sistem komoditi.1 Orang biasa tidak dapat disebut konsumen pasif, ketika berhadapan dengan tempat luar biasa. Sejalan dengan pendapat de Carteau, John Fiske dalam Reading Popular Culture, menyatakan:

in the postmodern era the global reach of capitalism exeeds its grasp, such that consumers might intervene at the local, tactical level to wrest pleasure and meaning from a system designed to dominate them, precisely insofar as their use of the objects that they consume goes against what the system intends. 2

Fiske ingin menegaskan pendapat de Carteau bahwa konsumen tidak begitu saja dapat didominasi oleh sistem komoditi. Konsumen selalu aktif, bahkan ketika mereka tampak seperti sedang didominasi.

Upaya-upaya dominasi sistem komoditi ditunjukkan lewat segala sesuatu

(barang) yang membuat konsumen tidak lagi dapat mengambil jarak dari pengalaman. Tindakan “mempertanyakan” yang dilakukan oleh orang biasa dalam pengalaman mereka berhadapan dengan tempat luar biasa dapat dibaca

1 Michel de Carteu, “The Practice of Everyday Life,” trans. Steven Rendell, Berkeley: University of California Press, 1993, hlm. 165-166, sebagaimana dikutip oleh Mariane Conroy, “Discount Dreams, Factory Outlet Malls, Consumption, and the Performance of Middle Class Identity,” Social Text 54, Vol. 16, No. 1, Spring 1998. hlm. 67-69

2 John Fiske, Reading Popular Culture, Boston: Unwin Hyman, 1989. Sebagaimana dikutip Conroy, “Discount Dreams…,“ Ibid. 113

sebagai sebuah upaya lepasnya mereka dari bayang-bayang hegemoni tempat belanja luar biasa.

Setelah melakukan pembacaan atas pengalaman, selanjutnya lebih jauh saya akan mencoba ’menandai’ momen atau saat dalam detil-detil pengalaman tersebut dengan mencoba mengkerangkakan pengalaman tersebut ke dalam prinsip-prinsip konsumsi. Baudrillard menyebut terdapat empat hal prinsip dalam konsumsi: utilitas (nilai guna), equivalensi (nilai persamaan ekonomis), diferensi

(nilai perbedaan) dan ambivalensi (pertukaran simbolik).

Dalam setiap pengalaman mengonsumsi (berbelanja), terdapat momen ketika keputusan berbelanja (barang) didasarkan atas prinsip-prinsip konsumsi tersebut. Dengan demikian, dalam penjelasan berikutnya nanti, seluruh momen pengalaman tersebut akan saya kembalikan kepada keempat prinsip konsumsi tadi.

B. Godaan Barang, Daya Beli, Ekstase dan Rasa Frustrasi

Di dalam pengalaman itu (saya ambil dari pengalaman dalam catatan etnografis pada bab sebelumnya) terdapat semacam tarik menarik antara intimidasi barang yang menggoda dengan topangan daya beli, juga antara rasa ekstase yang tiba- tiba disandera oleh rasa frustrasi. Di dalam pengalaman orang berbelanja, terdapat bagian di mana bagian itu diisi oleh suatu pengalaman merasakan kekuatan tarik-menarik tersebut. Pengalaman belanja adalah pengalaman orang berhadapan dengan barang. Pengalaman (psikologis) orang merasakan kekuatan tarik menarik. Hal ini mungkin karena ada situasi yang mendukungnya. Kondisi 114

yang paling memungkinkan tersebut lebih banyak berkaitan dengan soal struktur ruang belanja, fetisisasi komoditi, dan provokasi nilai tukar.

1. Godaan Barang dan Topangan Daya Beli

Kegiatan pergi belanja ke plaza yang dilakukan oleh orang-orang biasa dilakukan atas dasar beragam pertimbangan. Mereka sangat mempertimbangkan segenap kecukupan modal atau daya untuk membeli. Karena itu, kegiatan belanja di mal mula-mula didorong oleh adanya harapan memperoleh barang dengan nilai lebih.

Yang dimaksud nilai lebih di sini adalah semacam fetisisme. Fetisisme ini mengambil bentuk antara lain: pertama, penciptaan suasana tempat belanja, atau performance barang di tempat belanja, kedua, iming-iming harga diskon, dan ketiga, barang dengan embel-embel hadiah.

Suasana di rumah belanja atau mal selalu memberi kesan betapa melimpahnya persediaan barang. Di Carrefour misalnya, barang-barang itu disusun sedemikian rupa di dalam rak-rak yang tersusun panjang dan kadang- kadang terdapat rak yang tingginya melebihi jangkauan tangan. Barang itu disusun dengan membentuk katalog barang konsumsi. Ini untuk memudahkan konsumen mengingat letak sebuah barang. Tempat makanan, misalnya dipisahkan dari tempat detergen, dan seterusnya. Di rumah belanja ini, dan di rumah belanja di pasar moderen pada umumnya, kesan akan keberlimpahan suatu barang selalu ditekankan. Bahkan usaha untuk itu, Carrefour lebih memberi tekanan lagi dengan misalkan menempatkan barang pada posisi yang kurang lazim, semisal barang ditempatkan di sisi eskalator. 115

Susunan barang yang sedemikian rupa tidak hanya bertujuan memudahkan. Lebih dari sekedar bertujuan memudahkan, susunan barang yang demikian itu juga memberi efek godaan (seduction). Mula-mula daya persuasi sebuah barang dikonstruksi dari kecanggihan media (advertorial/iklan) memanipulasi imej akan nilai guna sebuah barang. Karenanya, nilai guna barang biasanya sudah terdaftar dalam pikiran konsumen, lewat proses internalisasi melalui media iklan yang setiap hari mereka konsumsi dari kegiatan menonton televisi dan mendengar radio.

Meski begitu, daya persuasi barang tentu bukan hanya datang dari proses internalisasi fungsi mediasi iklan semacam itu. Iklan adalah satu bagian dari proses mata rantai komodifikasi yang berperan mendekatkan konsumen dengan barang. Peran iklan berada pada kekuatan mengimajinasikan fungsi sebuah barang.

Tidak dapat diabaikan bahwa daya persuasi barang itu juga datang dari kekuatan yang lahir dari teknik penataan sebuah barang di tempat belanja. Hal ini sangat dipertimbangkan oleh lembaga pasar modern, sebab tingkat ini merupakan tahapan di mana terjadi momen konsumen berhadapan langsung dengan barang, tidak lagi dimediasi. Tempat belanja merupakan tempat di mana konsumen berhadapan langsung dengan barang yang akan dibeli.

Di samping sistem penataan, godaan barang juga datang dari sistem yang diterapkan oleh pasar modern terhadap kebebasan konsumen. Sistem itu disebut, 116

self-service, yang membedakannya dari help-service.3 Self-service system adalah semacam kebebasan bagi konsumen untuk secara langsung bersentuhan dengan barang-barang yang hendak atau tidak hendak dibelinya.

Tanpa meminta bantuan penjaga, setiap orang dengan leluasa memegang dan memeriksa barang. Biasanya, sistem self-service lebih disukai konsumen – terlebih dari orang biasa— ketimbang sistem help-service di mana untuk sampai kepada barang, konsumen terlebih dahulu meminta bantuan penjaga. Dalam model help service, terdapat suatu proses berkomunikasi antara konsumen dan penjaga, kebiasaan yang hanya ada dalam sistem berbelanja di pasar tradisional atau di toko-toko kecil. Sementara itu sistem self-service atau melayani diri sendiri memungkinkan konsumen berhadapan dan bersentuhan langsung dengan barang.

Persentuhan langsung dengan barang terkadang mengandung suatu kenikmatan sendiri. Ketika tengah berbelanja di Carrefour, Martini kerap melakukan kegiatan melihat, memegang dan bahkan sesekali, untuk lebih dalam mengenali figur barang, ia mendekatkan barang itu ke indra penciuman. Meski tanpa suatu maksud untuk segera memindahkan barang itu ke dalam keranjang atau troli. Kenikmatan yang dirasakan adalah bahwa dengan sistem melayani sendiri ini, konsumen dibuat tidak berjarak dengan barang.

Konsumen dapat mengenali barang dari dekat sekali. Konsumen diyakinkan bahwa dengan sangat mudah sekali barang itu dapat dipindahkan ke

3 Istilah self-service (ditulis self-serve) pernah digunakan oleh Chua Beng Huat dalam artikelnya “Step to Becoming a Fashion Consumer” dalam buku Life is not Complete Without Shopping, Singapore: Singapore University Press, 2005. hlm. 61. Tulisan lengkapnya: Such activities are normally uneventful happenings, especially in self-serve, mass market stores. Di samping istilah self-service saya mengenalkan penggunaan istilah help-service. 117

dalam keranjang atau kereta belanja. Lebih-lebih tidak ada keharusan dan intimidasi untuk membeli, setelah melakukan persentuhan tetapi tidak jadi membeli. Ini berbeda sekali dengan praktek di tempat belanja di mana sistem yang diterapkan adalah sistem help-service. Dalam sistem help-service, seseorang paling tidak merasa mendapatkan intimidasi setelah melakukan persentuhan dengan barang tetapi mengurungkan keputusan untuk membelinya.

Selain itu, godaan barang datang dari iming-iming diskon atau harga murah. Godaan paling besar bagi keluarga Suwarno dan Martini adalah godaan yang datang dari belanja diskon. Sebagaimana diketahui, rumah belanja

Carrefour tergolong rumah belanja yang juga paling giat mengkampanyekan kebijakan diskon. Beberapa dapat dilihat dari bunyi iklan belanja diskon yang terpampang di papan iklan depan Ambarrukmo Plaza atau dari bunyi Brosur

Belanja Carrefour (BBC) berikut: “Banyak Mainan Harga Ringan,” untuk iklan belanja hari Natal. “Kamar Si Kecil Cantik, Harga Tetap Irit,” untuk iklan furniture kamar tidur. “Alat Kantor Komplit, Harga Irit,” untuk alat-alat kantor, dan ”harga serba-serba hemat”.

Brosur ini berisi daftar harga barang yang biasanya ditentukan berapa jumlah nilai ”turun harga” dari harga semula. Harga Rp. 59.000, dicoret lalu terdapat harga jual Rp. 49.000,-. Teknik mencoret harga yang lebih tinggi merupakan cara meyakinkan konsumen. Harga yang dicoret adalah harga yang

”tidak dikehendaki”, harga yang tinggi. 118

Gambar (16 ) Contoh brosur belanja Carrefour (dokumentasi Samsul Bahri)

Lembaga-lembaga pasar modern kerap melakukan persaingan di tingkat perang harga semacam itu demi meraih konsumen fanatik sebanyak-banyaknya.

Dalam konteks perang harga itu, Carrefour senantiasa memanjakan konsumen dengan iming-iming “belanja murah hasil melimpah”, yang diharapkan bahwa pada akhirnya setelah mempertimbangkan perbedaan-perbedaan harga, setiap orang akan mengambil keputusan untuk memilih –seperti bunyi slogan Carrefour yang terkenal itu— “ke Carrefour aja, ahh…!”

Teknik diskon tergolong teknik persuasi yang paling mujarab dalam meraih konsumen sebanyak-banyaknya. Diskon (pemotongan harga jual ke tingkat yang rendah dari harga aslinya) memberi kesan bahwa sebuah barang dapat diperoleh dalam jumlah berlimpah dan dengan pengeluaran yang tidak terlalu besar. Diskon juga memberi kesan bahwa seseorang dapat menghemat ongkos belanja akibat dari minimnya nilai tukar, dan orang punya kemungkinan untuk berbelanja barang lebih banyak. Keputusan-keputusan pergi belanja ke mal 119

oleh Martini dan keluarganya banyak dimotivasi impian harga murah dan hasil melimpah semacam itu (bdk. Marianne Conroy, 1998).

Sebagian besar konsumen memang sangat tertarik kepada barang diskon.

Besar kemungkinan dalam setiap kali transaksi belanja, mereka –terutama dari jenis konsumen oportunis seperti Martini sekeluarga— mengharapkan diskon.

Dalam sedikit kasus, ada kala diskon justeru dapat merendahkan imej sebuah barang. Ada kalanya diskon akan mengecewakan konsumen jika diketahui bahwa barang-barang berlabel diskon tersebut ternyata tidak memenuhi keinginan konsumen. Dalam hal ini, agitasi belanja diskon menemukan kegagalannya.

Sebuah promosi dinyatakan gagal ketika dia tidak dapat memenuhi harapan dari sasaran konsumen yang dituju.

Diskon merupakan bahasa lain dari tawar menawar antara penjual dan pembeli. Harus dikatakan di sini bahwa kata-kata ”diskon” sendiri mula-mula beredar di tengah-tengah pasar modern. Kata itu dilahirkan dan kemudian diintroduksi melalui lembaga-lembaga pasar modern. Karena di pasar modern orang tidak dapat melakukan komunikasi langsung antara penjual dan pembeli, maka diskon berperan menggantikan bahasa verbal si penjual kepada si pembeli di dalam usaha meyakinkan si pembeli.

Saya akan menjelaskan apa yang dilakukan seorang pembeli di sebuah pasar tradisional di dalam usahanya mendapatkan harga barang yang murah. Si penjual biasanya menawarkan harga yang sangat tinggi. Si pembeli mengetahui hal ini, dan kemudian melakukan penawaran. Penawaran ini dilakukan melalui pembicaraan. Seringkali pembicaraan tawar-menawar ini berlangsung dalam 120

waktu yang tidak sebentar. Penawaran dengan cara pembicaraan itu, jika belum dicapai kesepakatan, biasanya diakhiri dengan teknik menjauh yang dilakukan oleh si pembeli. Biasanya, pembeli akan berpura-pura meninggalkan penjual dengan harapan si penjual akan memanggilnya dan kembali menawarkan harga yang lebih rendah, sampai dicapai kesepakatan.

Di dalam pasar modern, komunikasi verbal dengan tawar menawar yang rumit semacam itu tidak mungkin terjadi. Istilah ’modern’ yang disandang pasar modern berarti dengan sendirinya memuat nilai kemodernan, antara lain, efisiensi dan efektifitas. Karena itu, penawaran tidak dilakukan melalui komunikasi verbal, melainkan melalui komunikasi searah yang ditentukan oleh penjual, dalam hal ini pasar modern. Tulisan diskon yang dipajang di setiap sudut, di tempat-tempat barang tertentu adalah sebuah penawaran. Tinggal apakah konsumen atau pembeli tertarik dengan ajakan diskon itu atau tidak.

Teknik lain yang juga menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen khususnya bagi keluarga Suwarno dan Martini adalah berbelanja barang yang disertai dengan hadiah. Tidak sedikit barang yang dibeli berdasarkan pertimbangan hadiah. Teh berhadiah sendok, detergen berhadiah piring, sabun mandi ”beli 3 gratis 1”. Sistem pemberian hadiah semacam ini memiliki daya persuasi yang lumayan tinggi. Seolah-oleh barang hadiah itu terasa diberikan cuma-cuma. Padahal, pemberian hadiah itu sendiri dibarengi dengan harga yang lebih tinggi. Hadiah hanya memberi daya tarik.

Keputusan-keputusan yang diambil konsumen ketika membeli barang, datang dari berbagai kepentingan. Sebagian mendahulukan nilai tanda, sebagian 121

mendahulukan nilai guna dan sebagian lagi mendahulukan nilai tukar. Dalam praktek belanja masyarakat kebanyakan, yang pertama-tama didahulukan adalah pertimbangan akan nilai guna dan nilai tukar sebuah barang. Martini sekeluarga selalu mempertimbangkan nilai guna sekaligus nilai tukar sebuah barang. Nilai tanda barang, bagi mereka, tidak terletak pada barang itu sendiri, sebab tidak ada barang-barang bermerk prestisius yang dapat dijangkau dengan kemampuan daya beli mereka. Nilai tanda barang itu terletak pada tempat dari mana barang itu diperoleh.

Kepergian mereka ke tempat belanja seperti plaza adalah nilai lebih tersendiri. Kepergian ini menjadi sesuatu yang dibanggakan, yang dapat menjadi bahan cerita kepada para tetangga sekitar mereka. Adalah juga sebuah kebanggaan bagi mereka ketika dapat memperoleh barang dengan harga-harga yang menurut mereka terjangkau dan murah, di tempat-tempat belanja prestisius seperti mall dan plaza.

Mereka akan menghindari membeli barang-barang yang tidak terlalu mereka ketahui kedalaman nilai gunanya, atau mereka akan menghindari membeli barang yang setelah diketahuinya memiliki nilai tukar lebih tinggi dibandingkan dengan jika mereka beli di luar. Hal ini sebetulnya terkait dengan kemampuan daya beli yang dimiliki oleh keluarga orang-orang biasa ini. Dengan penghasilan bulanan di bawah satu juta, mereka merasa tidak leluasa memenuhi segenap keinginan-keinginan untuk memiliki lebih banyak barang kebutuhan atau sekedar untuk mengkompensasi keinginan berlebihan dari permintaan anak mereka. 122

Kemampuan daya beli seseorang memang menjadi faktor penentu apakah seseorang dapat menikmati ekstase berbelanja atau justeru sebaliknya, merasakan perasaan tertekan (stress) akibat dorongan-dorongan keinginan yang tidak dapat segera dipenuhi. Namun, bagaimanapun, kondisi keuangan yang minim bukan tidak mungkin memberi jalan bagi ekstase berbelanja seseorang. Pilihan untuk pemenuhan kepuasan itu dapat dialihkan kepada pilihan akan barang-barang diskon, atau barang-barang yang bernilai tukar lebih rendah. Adanya pilihan belanja semacam ini melahirkan tipologi jenis konsumen baru yakni konsumen oportunis. 4

Berhadapan dengan tempat belanja istimewa seperti mal, sebagian besar konsumen dari kelas menengah bawah atau orang-orang biasa lebih tertarik kepada informasi belanja diskon dan barang-barang berhadiah. Dorongan- dorongan untuk pergi ke mal, selain karena tujuan jalan-jalan, juga karena kebutuhan memburu barang-barang diskon. Inilah yang mencirikan mereka sebagai konsumen oportunis.

Pertimbangan yang selalu menjadi prioritas bagi Martini sekeluarga ketika hendak memutuskan untuk pergi ke mal adalah kecukupan modal atau uang belanja. Mereka mengaku bahwa kepergian ke mal yang dilakukan

“kadang-kadang” itu karena menimbang kecukupan daya beli mereka. Meskipun mereka mendapatkan informasi belanja murah di mal, namun pada saat tidak ada kecukupan uang untuk belanja, maka dengan terpaksa mereka menahan diri untuk

4 Oportunis di sini tidak bermakna negatif, sebagaimana umum dipahami. Konsumen oportunis adalah konsumen yang gemar memanfaatkan saat-saat obral atau diskon untuk datang berbondong-bondong membeli barang. 123

tidak pergi ke mal. Sebagaimana diakui sendiri oleh Suwarno, suami Martini dalam pernyataan berikut:

Paling penak blonjo, nek lagi akeh duite. Ra ono duit gak penak e. Mergo nek nyang mol iku akeh karepe. Lhah, piye nek karepe akeh ning ra nduwe duit. Podo wae…

Paling enak belanja kalau lagi banyak uang. Enggak ada uang enggak enak ke sana (ke mal). Sebab di mal terlalu banyak yang diingini (untuk dibeli). Lhah, gimana jika keinginan banyak, tapi enggak punya uang untuk beli. Sama saja..5

Kenyamanan belanja atau ekstase belanja mereka sangat didukung oleh kemampuan daya beli atas barang, sebagaimana pengalaman kebanyakan orang- orang lain juga. Suwarno menyatakannya lewat kata-kata “paling enak belanja…” yang dia maksud adalah rasa ekstase belanja, sebab di mal terdapat banyak sekali pilihan barang yang dibeli. Tetapi ekstase berbelanja itu suatu yang mustahil dicapai tanpa “uang banyak.” Pada kenyataan, mereka tidak pernah memiliki cukup banyak uang untuk dibelanjakan di mal. Setiap kali datang berbelanja ke sana, jumlah uang yang mereka kantongi pas-pasan. Martini mengutarakan pendapatnya tentang jumlah penghasilan yang menurutnya lumayan untuk menyangga kemauan mereka pergi berbelanja ke mal:

Saban bulan yen ono hasil jualan lumayan, lan kebutuhan pengeluaran sehari- hari gak boros, paling ora kene iso nabung telung atus, petang atus. Sebagiane kanggo tak gawe belonjo sabun macem-macem neng kerfur.

Setiap bulan, jika hasil jualan lumayan, dan tidak terlalu banyak kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi, paling tidak, kami bisa menyimpan tiga ratus, empat ratus ribu. Sebagiannya (dari tabungan itu) tak pakai belanja sabun dan macam-macam di kerfur. 6

5 Petikan dari hasil obrolan dengan Suwarno dan Martini, 3 Juni 2007 6 Petikan dari hasil obrolan dengan Suwarno dan Martini, 3 Juni 2007 124

Menurut pengakuan Martini, setiap bulan mereka dapat menyimpan tiga hingga empat ratus ribu dari hasil kerja mereka di warung makan. Ini adalah hasil bersih setelah dipotong keharusan melunasi kredit sepeda motor yang belum lunas, dan keperluan membayar uang listrik. Sementara dari upah Suwarno yang minim mereka pakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pengeluaran sehari- hari yang mereka maksud adalah sebagian banyak berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari keluarga, termasuk uang belanja Lia dan uang jajan Tono. Belum lagi jika orang tua di Gunung Kidul yang setiap bulannya meminta dijenguk, juga bagian dari pengeluaran yang tidak sedikit.

Pengakuan Martini tentang kegemaran berbelanja ke mal ketimbang ke toko-toko kecil di sekelilingnya, terkait dengan besaran harga satuan (nilai tukar per satu buah barang). Dibanding dengan membeli di toko kecil, harga di mal masih jauh lebih murah, dengan selisih dua hingga tiga ratus rupiah.

Pertimbangan akan selisih harga semacam ini mempengaruhi keputusan Martini sekeluarga untuk pergi ke mal ketimbang harus membelanjakan uang secara eceran di toko-toko kecil di sekitar rumahnya.

Menarik menggarisbawahi pernyataan terakhir dari Martini: “Sebagian tak pakai belanja sabun dan macam-macam di Kerfur.” Carrefour adalah tujuan belanja yang paling mungkin bagi mereka. Sebab hanya di Carrefour jenis kebutuhan yang berhubungan dengan rumah tangga mereka dapat dipenuhi.

Rumah belanja dan outlet lainnya jelas tidak mungkin mereka datangi, sebab tempat-tempat semacam itu hanya welcome bagi mereka yang tampak punya kemampuan daya beli memadai. 125

Dilihat dari pola praktek belanja keluarga Martini di mal, tempat yang mereka datangi adalah Carrefour, tanpa sedikitpun meluangkan banyak perhatian

–kecuali melirik—tempat-tempat belanja mewah di sekeliling mereka. Alih-alih membuat mereka tertarik dengan tempat-tempat belanja spesifik itu, mereka justru merasa terintimidasi, seolah-olah terdapat peringatan buat mereka: “tempat ini tidak layak kalian kunjungi.” Kalau pun mereka dengan terpaksa mampir di

Mc D (baca: Mekdi) atau outlet Rotiboy dan Bread Talk, itu pun lebih karena dorongan rasa penasaran untuk sekedar “ingin tahu saja”.

Dalam sebuah kesempatan, terdorong rasa penasaran, mereka mencoba antre di depan Bread Talk. Maksudnya untuk membeli roti. Pemandangan di outlet ini memang menarik perhatian mereka setiap kali datang ke plaza. Letak outlet yang persis berada di sisi Ground Floor, setiap saat mereka lewati jika hendak ke rumah belanja Carrefour. Karena rasa penasaran, tentu saja mereka tidak ingin melewatkan sekedar membayar rasa penasaran. Setelah mencicipi dua buah roti yang mereka beli, terasa bahwa tak ada yang istimewa pada rasa roti yang mampir di lidah mereka. Kecuali bahwa rasanya memang berbeda. Setelah satu kali kesempatan itu saja, mereka tidak pernah mengulang lagi membeli roti di Bread Talk. Bukan apa-apa, mereka merasa bahwa nilai tukar roti itu tidak sebanding dengan rasa di lidah. Tetapi bahwa mereka pernah mencoba membelanjakan uang di tempat itu adalah hal lain lagi. Pengalaman itu tentu memberi kesan. Kesan bahwa mereka pernah berada dalam satu antrean panjang di depan outlet Bread Talk. 126

Tidak lebih dari itu. Semua ini dikembalikan kepada persoalan kemampuan daya beli mereka sebagai konsumen di tempat istimewa tersebut.

Meski demikian, akan dilihat bahwa dalam serba-keterbatasan uang belanja, mereka merasakan ekstase luar biasa dalam berbelanja. Tetapi, setiap kali mereka merasakan ekstase tersebut setiap kali itu pula harus mereka kompensasi dengan rasa frustrasi.

2. Ekstase Berbelanja dan Rasa Frustrasi

Nek wis neng kono (Carrefour) iku wis aku kadang ra ngerti opo sing tak ambil. Pokoke ambil wae. Sak bare lagi ngerti nek belonjo wis entek akeh. Akeh barang sing dibeli.

Rebecca Bloomwood selalu tidak dapat menahan diri untuk tidak membelanjakan uang, begitu dia mengetahui bahwa ada barang bagus yang harus dibeli, meski dia sendiri sadar bahwa uang di sakunya tidaklah cukup banyak untuk dipakai memenuhi harga barang tersebut. Dengan kepandaian bersilat lidah, dia terpaksa meminjam ke beberapa teman sejumlah uang untuk melengkapi jumlah uang yang sementara dia punya guna membeli barang yang dia ingini. Setelah barang- barang itu dia miliki, barulah dia sadar betapa banyak uang yang telah dia keluarkan untuk memperoleh barang tersebut. Bukan hanya itu, yang juga menambah kebingungannya atas keputusan membeli barang itu ialah kenyataan bahwa ia memperoleh uang itu dengan jalan kepandaiannya berbohong. 7

Pengalaman ekstase berbelanja hampir dialami oleh setiap orang. Ada kondisi di mana belanja menjadi sesuatu yang mengasyikkan. Mal disebut-sebut sebagai situs konsumsi tempat pengalaman ekstase berbelanja dapat dialami

7 Cerita si gila belanja Rebecca Bloomwood saya rangkum dari novel karya Sophie Kinsella, A Confession of A Shopaholic, Jakarta, Gramedia, 2004. 127

setiap pengunjung yang datang ke sana. Hal itu mungkin karena mal didesain menurut kepentingan kesenangan konsumen untuk membelanjakan uang, sebagai a p(a)lace of desire. Dalam pemeo dinyatakan: “to shop till you drop” (bdk.

Goss, 1993). Mula-mula mal menarik perhatian setiap orang untuk datang. Di dalamnya, orang berhadapan dengan sejumlah besar barang-barang konsumsi.

Barang-barang itu begitu menggoda. Godaan barang datang dari berbagai sisi.

Apakah barang-barang itu dibutuhkan atau kebutuhan akan barang itu baru diketahui setelah orang menjumpainya di mal, atau orang berusaha memikirkan apa saja yang mereka butuhkan dari barang-barang tertentu.

Karena godaan barang yang begitu kuat, orang tidak terlalu menyadari seberapa besar uang yang harus mereka keluarkan untuk menukar barang-barang itu. Komentar Martini yang mengawali sub-bab ini, kemudian rangkuman dari kisah dalam novel A Confession of a Shopaholic di atas menunjukkan betapa kenikmatan berbelanja kadang menenggelamkan mereka dalam suatu pengalaman mengambil keputusan tanpa sebuah pertimbangan. Apakah lantaran ini pula Baudrillard menyebut konsumsi sebagai proses konsumasi? Barangkali.

Berbelanja di tempat lain, semisal di swalayan-swalayan kecil semacam di Peni Putri tempat dahulu Martini kerap berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari, sangatlah berbeda dari pengalaman dia ketika berkunjung di mal (Carrefour).

Perbedaan yang terutama dimaksud adalah dalam hal jumlah barang dan besaran pengeluaran yang dikeluarkan, serta lama waktu yang dihabiskan untuk berbelanja. Ia misalkan mengaku bahwa semenjak belanja di Carrefour, sejumlah uang yang harus dia keluarkan rata-rata lebih dari tiga puluh ribu, bahkan bisa 128

sampai berkali-kali lipatnya. Padahal, belanja barang yang sama di Peni Putri, rata-rata uang yang dia habiskan tidak pernah mencapai jumlah sebanyak yang dia habiskan di Carrefour. Bukan lantaran bahwa di swalayan Peni Putri harga- harga barang lebih murah. Justru menurut Martini, harga di Carrefour tidak lebih mahal daripada harga di swalayan Peni. Besarnya pengeluaran itu terutama disebabkan oleh lebih banyak barang yang dibeli, akibat dari lebih lama berada di dalam tempat belanja dan lebih banyak barang pilihan yang menggoda mereka.

Dalam hal lama waktu yang mereka habiskan selama berada di tempat belanja istimewa ini, sepanjang yang saya catat dalam pengalaman menemani keluarga ini belanja di Carrefour Ambarrukmo Plaza, waktu yang mereka habiskan berkisar antara satu jam setengah hingga dua jam. Durasi waktu sepanjang itu bahkan terasa terlampau singkat. Mereka mengaku pernah berada di mal dari jam empat sore dan keluar pada pukul tujuh petang hari. Jika Jon Goss

(1993) dengan meminjam istilah dari Turner, menyebut mal sebagai ruang liminalitas, tempat di mana orang terpisah dari keadaan normal sehari-hari, maka kenyataan ketika Martini sekeluarga begitu terheran mendapati dirinya berada dalam situasi malam hari sekeluar dari mal membuktikan mal sebagai ruang liminal. Di dalamnya, orang tidak merasakan perubahan waktu. Orang tidak merasakan siang atau malam, kecuali jika mereka keluar. Mau dibilang siang?

Mengapa lampu-lampu itu menyala deras seperti saat malam hari? Jika dibilang malam? Mengapa tak ada sisi gelap di dalamnya, sebagaimana normal terjadi pada situasi bernama malam. Dalam pengalaman ini Martini misalkan berkomentar: 129

kene tau mlebu, pas masih terang-terange awan, jam empatan. Le metune, eh, neng jobo ki wis peteng banget. Enggak keroso, lhoh, peteng.

Kami suatu ketika pernah masuk ke mal itu masih terang, jam empat-an (sore hari). Sekeluarnya, eh, sudah gelap di luar. Padahal enggak terasa lhoh, kok tiba- tiba sudah gelap.8

Tidak terasa mengapa tiba-tiba gelap. Di dalam mal, waktu seperti tidak berjalan. Pengalaman ekstase adalah pengalaman ketika seseorang tidak merasa berada dalam arus perguliran waktu. Orang hanya merasakan kesenangan berbelanja tanpa diinterupsi waktu. Dan mal adalah tempat di mana orang paling senang membunuh waktu yang sia-sia. Para pelajar meninggalkan bangku sekolah yang terasa membosankan dan memilih mal sebagai tempat membuang waktu sia-sia itu. Para pegawai negeri sipil di kantor-kantor dinas juga memilih mal sebagai tempat tujuan membunuh waktu-waktu menganggur mereka.

Keasyikan melihat dan menimang barang-barang itulah yang membuat waktu terasa tidak bergulir.

Dalam komentar di awal, Martini mengaku bahwa dia selalu tidak pernah dapat mengontrol diri ketika tengah berada (berbelanja) di Carrefour.

Keterbatasan sejumlah uang membuat dia begitu selektif memilih barang dengan pertama-tama menimbang-nimbang nilai tukarnya, atau berusaha mencegah anak bungsunya untuk jangan sekali-kali sembarangan mengambil barang. Tetapi, pada saat yang sama seperti sudah ada tuntutan untuk berbelanja lebih banyak barang dari jenis barang-barang bernilai tukar rendah.

8 Petikan dari obrolan dengan Martini dan Suwarno, 16 Mei 2007 130

Dalam pengalaman belanja, Martini kadang tidak dapat menghentikan diri dari membeli. Ketika pada suatu hari mereka pergi belanja dengan hanya bertujuan membeli dua kilo buah pir, ia tidak menghentikan diri setelah dua kilo buah pir pindah ke dalam keranjang belanjaan. Ia tidak lekas-lekas keluar dari tempat belanja itu, melainkan memilih melanjutkan tamasya belanja. Ia bahkan mengganti keranjang belanja dengan troli. Ia membeli lebih banyak barang, melebihi jumlah dari yang semula direncanakan.

Dua kilo buah pir itu hanya pengantar, trigger, pembukaan saja bagi kepergian mereka ke mal. Selanjutnya, kegiatan belanja itu dilengkapi dengan membeli barang-barang yang tidak direncanakan. Meski mereka tergolong jenis konsumen oportunis, yang hanya datang sesekali membeli barang lantaran iming- iming diskon, dan karenanya, keputusan apa yang akan dibeli sudah terlebih dahulu direncanakan, namun pada kenyataannya, seringkali daftar-daftar rencana itu mengalami ketidaksesuaian (pembengkakan). Itu diketahui mereka setelah usai berbelanja. Bukankah andaikata hanya dua kilogram buah pir saja yang mereka beli, maka sejumlah uang yang akan keluar dari saku mereka barangkali tak akan lebih dari dua puluh lima ribu ditambah jajanan untuk Tono? Bukankah andaikata hanya dua kilogram buah pir saja yang masuk ke dalam keranjang belanjaan, tak perlu ada perang mulut antara Martini dan suaminya? Tetapi, dugaan semula keliru. Sejumlah uang yang mereka habiskan melampaui jumlah perkiraan harga dua kilogram buah pir tadi. Ekstase membuat orang melakukan sesuatu tanpa pertimbangan, atau membuat keputusan-keputusan semula menjadi 131

tidak terlalu berarti. Mereka terpaksa menanggung keputusan-keputusan tak terduga itu dengan rasa frustrasi.

Ekstase berbelanja itu pada kenyataannya dapat dilihat dari bagaimana mereka membuat suatu kebiasaan berbelanja dengan kesenangan pada melihat- lihat dan memperhatikan barang. Acara belanja itu berlangsung dengan sangat lambat, tidak terlihat suatu sikap terburu-buru, seolah bahwa dengan begitu mereka dapat mengenali satu demi satu profil barang yang ada di tempat itu.

Dalam sebuah kesempatan, ketika saya bertanya kepada Suwarno, apa yang menyenangkan dia belanja lama-lama di mal, dia menjawab:

“Ya, senang lihat-lihat. Di mal banyak yang bisa dilihat, bukan cuma barang- barang belanjaan…” 9

Di mal bukan hanya barang belanjaan yang menarik perhatian dan mendatangkan kenikmatan belanja. Buat Suwarno, banyak hal lain yang bisa dia lihat-lihat. Menurut pengakuan Suwarno, orang-orang berparas anggun entah itu pelayan atau konsumen, menjadi suatu pemandangan yang menarik buat dilihat di mal saat berbelanja. Karena perhatian tidak hanya tertuju kepada barang belanjaan, maka kehadiran sesuatu “selain barang belanjaan yang bisa dilihat” ini yang membuat kegiatan belanja di mal menjadi perlu dikondisikan dengan seperlahan mungkin. Kegiatan melihat-lihat “selain barang belanjaan” ini adalah bonus atau nilai plus tersendiri yang dapat dinikmati konsumen ketika tengah berbelanja di mal. Apa yang dimaksud sebagai yang dilihat “bukan cuma barang belanjaan?”

9 Petikan dari wawancara dengan Suwarno dan Martini, 9 Juli 2007 132

Ketika tengah berada di tempat belanja di mal, mereka merasakan interaksi yang begitu dekat dengan beragam kelompok orang-orang yang mana interaksi ini jarang mereka alami dalam keseharian di luar mal. Interakasi itu berupa pertemuan dalam jarak yang dekat, meski bukan berarti bahwa interaksi itu berisi suatu kegiatan saling mengenali satu sama lain. Di tempat ini bahkan orang tak perlu merasa saling mengenali. Tetapi, dengan kehadiran di tempat belanja itu, orang dengan sendirinya merasa sama-sama menjadi bagian dari tempat belanja tersebut. Kesempatan ini, terutama bagi Suwarno, adalah kesempatan untuk ‘melihat’, dan dari melihat itu ada kesenangan yang didapat.

Tanpa terasa bahwa aktivitas belanja mereka sebagian banyak dihabiskan antara kesenangan memilah dan melihat barang-barang, juga kesenangan melihat-lihat segala sesuatu yang mungkin mendatangkan rasa nikmat.

Sepulang berbelanja di Carrefour, salah satu kebiasaan mereka ketika mengetahui hasil akhir belanja yang kurang mengenakkan, mereka berusaha memeriksa kembali struk belanja dan melihat-lihat ulang serta mencocokkan harga satu demi satu barang yang sudah mereka beli. Tujuannya adalah mencoba meyakinkan diri apakah daftar yang tertera dalam struk belanja itu tidak ada yang keliru. Atau tujuan lainnya adalah mencoba membenarkan apakah keputusan- keputusan yang mereka ambil ketika membeli barang sudah benar sesuai dengan daftar yang tertera di struk belanja. Setiap mengetahui hasil akhir dari jumlah belanjaan mereka, Martini seolah tidak dapat menerima bahwa daftar belanjaan mereka sebegitu banyaknya dan jumlah uang yang mereka keluarkan yang tidak sedikit. 133

Kaitannya dengan rasa frustrasi setelah mengetahui hasil akhir belanja mereka, persoalannya kini terletak bukan terutama pada banyaknya uang yang mereka belanjakan dan banyaknya barang yang masuk ke dalam keranjang belanja mereka. Masalahnya adalah bahwa harapan mereka untuk ‘belanja murah’ sebagai konsekuensi logis dari janji diskon itu kerap tidak terpenuhi. Pada dasarnya, belanja diskon seharusnya berakibat bagi penghematan pengeluaran, meminimalisir pengeluaran, mempersedikit ongkos belanja, dan dengan hasil belanjaan yang jauh lebih melimpah. Harapan-harapan semacam ini nyatanya tidak dapat terealisasi begitu mereka menyadari bahwa belanja diskon ternyata tidak mempersedikit pengeluaran, melainkan semakin menggelembungkannya.

Pada akhirnya ini yang harus mereka kompensasi dengan rasa frustrasi. Efek dari rasa frustrasi mereka ialah tindakan menyalahkan atau pun mengambinghitamkan sistem pembayaran (kassa), sebagaimana diuraikan dalam pengalaman pergi belanja sebelumnya.

C. Kehadiran di Plaza dan Kemungkinannya

Membandingkan tingkat kehadiran orang-orang biasa di tempat istimewa antara

Shapir Square, Malioboro Mal, Galeria dan Ambarrukmo Plaza, maka tingkat kehadiran orang-orang biasa ini di Ambarrukmo Plaza terbilang besar. Memilih pergi berbelanja ke Ambarrukmo Plaza bagi keluarga orang biasa didorong oleh berbagai kemungkinan. Pertama, soal nilai tukar barang yang lumayan rendah.

Kedatangan mereka ke plaza, terutama dengan tujuan rumah belanja Carrefour, banyak dimotivasi oleh agitasi belanja murah. Kedua, menyangkut pola praktek 134

konsumsi mereka atas barang yang dibeli di rumah belanja mewah tersebut. Dua kemungkinan yang menjadi faktor kehadiran orang-orang biasa di tempat istimewa ini akan saya bicarakan dalam dua sub bab berikut.

1. Carrefour dan Agitasi Belanja “Paling Murah”

Belanja dengan potongan harga hingga ke tingkat seminimal mungkin selalu menjadi impian kebanyakan konsumen. Tidak terkecuali, Plaza Ambarrukmo dengan rumah belanja Carrefour-nya, menjadi satu-satunya tujuan belanja sebagian besar masyarakat termasuk dari kalangan orang-orang biasa yang mendambakan belanja dengan memperoleh potongan harga. Komentar dari

Martini berikut ini cukup membuktikan alasan belanja murah sebagai faktor kegemaran mereka pergi ke plaza dengan Carrefour sebagai tujuannya:

Kene nek belonjo akeh, koyok arep belonjo sabun-sabunan ngono kuwi neng kerfur. Mergo regone lumayan murah, Sam, bandingane karo tuku dek pasar ato toko. Bayangono yo, sabun Dettol sing paketan kuwi neng toko ra ono. Onone sing eceran. Nek tuku siji-siji kan larang. Mendingan neng kerfur tuku sing paket oleh papat kuwi. Masio dek toko ono sing paket, ningo regone rodo larang dibanding kerfur.

Kami kalau mau belanja banyak, untuk sejenis sabun-sabunan, perginya ke kerfur. Sebab harganya lumayan murah, Sam, dibanding beli di pasar atau toko kecil. Bayangkan ya, sabun dettol yang paketan itu di toko tidak ada. Adanya dijual eceran. Kalau belinya satu-satu (eceran) kan mahal. Mendingan di kerfur beli yang paketan dapat empat itu. Meskipun di toko ada yang paketan, namun harganya lebih mahal dibanding kerfur. 10

Ungkapan di atas mewakili sebagian saja dari kenyataan betapa Carrefour berusaha menciptakan suasana surga belanja bagi konsumen, tempat di mana setiap konsumen dimanjakan dengan pengakuan dari konsumen sendiri.

10 Petikan dari hasil perbincangan dengan Martini dan Suwarno tanggal 16 Mei 2007 135

Carrefour telah bermurah hati kepada mereka dengan menyediakan barang- barang beraneka ragam dan dengan nilai tukar yang terjangkau.11 Akan tetapi, ungkapan di atas barangkali tidak ada hubungannya sama sekali dengan produk- produk yang secara khusus dikeluarkan Carrefour sendiri dan diberi label sebagai barang ”paling murah”. Ungkapan itu pun tidak ada hubungannya dengan kenyataan rendahnya nilai tukar barang di Carrefour. Ungkapan itu murni lantaran besaran harga yang dipatok Carrefour memang memiliki selisih nilai tukar dengan harga barang yang dijual di toko-toko kecil.

Menarik untuk mempersoalkan agitasi belanja ”paling murah” yang dijalankan Carrefour untuk produk-produk yang Carrefour keluarkan sendiri.

Agitasi belanja ”paling murah” dijalankan Carrefour untuk menarik sebanyak mungkin konsumen. Label itu dipakai untuk menarik konsumen karena Carrefour percaya dengan karakter konsumen yang sangat menyukai barang-barang murah.

11 Dalam banyak hal Carrefour sebagai lembaga ritel telah mendapatkan banyak kritikan dari konsumen atas kesalahan manajemen dan prosedur. Saya menjumpai banyak kasus protes konsumen di bagian surat pembaca harian menyangkut pelayanan dan kesalahan prosedur oleh Carrefour. 136

Gambar (17) Contoh produk Carrefour dengan plakat dan label barang ”paling murah” (dokumentasi Samsul Bahri)

Untuk memahami kepentingan agitasi belanja murah Carrefour, harus pula diletakkan dalam konteks ketatnya persaingan di antara sesama pasar moderen di dalam upaya masing-masing merekrut konsumen fanatik. Bahkan rumah belanja Carrefour memberikan jaminan khusus terhadap nilai murah setiap produk yang dijual di tempat itu dengan mencantumkan maklumat berikut: ”Ada yang lebih murah, kami ganti selisihnya.” 12 Maksudnya, jika ada barang serupa

(semua barang yang dijual di Carrefour) memiliki selisih nilai jual lebih murah dari yang ada di Carrefour, maka kepada konsumen yang telah bersedia menunjukkan adanya barang dengan nilai tukar lebih murah dibanding dengan nilai tukar yang mereka peroleh di Carrefour, pihak Carrefour akan mengganti selisih harga tersebut.13

12 Keterangan itu terdapat dalam setiap brosur belanja Carrefour. Berderet dengan keterangan berbunyi “Tidak puas? Kami beli kembali,” “parkir gratis,” “Pengiriman Gratis,” “Simpel, kami menghargai setiap rupiah anda.” Keterangan-keterangan ini sebetulnya memperkuat citra Carrefour sebagai tempat belanja yang menyenangkan, karena orang merasa mendapatkan jaminan bahwa barang-barang yang mereka beli diperoleh dengan harga yang sangat murah.

13 Dengan mengeluarkan jaminan tersebut, tampaknya pihak Carrefour seolah-olah telah berupaya memanjakan konsumen. Carrefour berusaha memberi kepedulian besar terhadap konsumen. Namun, tidak demikian pada kenyataannya. Keberanian Carrefour mengeluarkan jaminan bahwa barang yang dijual di sana tidak ada yang menyaingi selisih harganya di pasar moderen mana pun, didukung oleh aturan dan konsensus yang dibuat Carrefour dengan pihak pemasok. Termasuk 137

Terlepas dari persoalan adanya konsesi semacam itu, dengan memberi label barang ”paling murah”, Carrefour melupakan satu hal bahwa identitas sebagai tempat belanja ekslusif, dengan demikian, menjadi kurang berarti karenanya. Bukankah ketika sebuah tempat belanja tengah dibayangkan sebagai tempat tujuan belanja kalangan tertentu, maka segenap identitas yang mendukung ke arah pembentukan imej tersebut mutlak diperlukan? Agitasi belanja ”paling murah” justeru menjadi kebalikan dari citra belanja ekslusif. Sebab agitasi belanja semacam itu hanya menarik bagi sebagian banyak kalangan dengan daya beli minimum, seperti daya beli konsumen dari kalangan orang-orang biasa.

pihak pemasok untuk produk yang bermerek Carrefour dan berlabel ”paling murah”. Di dalam konsensus ini diberlakukan suatu ketentuan sepihak yang lebih menguntungkan pihak pengelola Carrefour dan membuat pemasok tidak berdaya. Taruhlah contoh berikut: nilai tukar untuk sabun cuci piring (dish washing liquid) bermerk Carrefour dan berlabel ”paling murah” yang dikeluarkan PT. Lotus Mas Indonesia, seharga Rp. 4.390 per 800 miligramnya. Apabila oleh konsumen ditemukan produk serupa di tempat berbeda dengan selisih nilai tukar yang lebih rendah dari yang ada di Carrefour, dan pihak konsumen ini kemudian mengadu kepada Carrefour, maka Carrefour akan mengganti selisih nilai tukar tersebut. Tetapi, persoalan tidak berhenti di situ. Carrefour di satu sisi akan mengambil kebijakan memfinalti pihak pemasok yang memasok barang di tempat lain dengan selisih nilai jual yang lebih murah dibanding dengan yang dipasok di Carrefour. Dalam hal ini kerugian dibebankan kepada pihak pemasok. Hal yang sama berlaku untuk produk yang lain. Semisal contoh berikut: harga satu rol tissue bermerk Trentis di Carrefour Rp. 2.250. Jika suatu ketika oleh konsumen dijumpai produk yang sama di Alfa Supermarket misalnya, dengan harga Rp. 2.100, itu artinya terdapat selisih Rp. 150 dengan yang ada di Carrefour, maka jika konsumen bersangkutan melaporkan hal ini kepada pihak Carrefour, maka selisih perbedaan nilai tukar itu akan diganti cuma-cuma oleh pihak Carrefour. Meski tampaknya pihak Carrefour telah dirugikan dengan adanya mekanisme yang memanjakan konsumen ini, pada kenyataannya tidak demikian. Dengan adanya mekanisme ini, pihak Carrefour sebetulnya sangat diuntungkan, sebab dibalik itu sudah ada konsensus yang dibuat secara ketat dengan pihak pemasok. Jika terjadi kejadian serupa contoh di atas, maka pihak Carrefour tidak segan-segan memberikan finalty (hukuman) kepada pihak pemasok. Terhadap pihak pemasoklah segala kerugian dibebankan. Laporan harian Kompas, 3 November 2007. Dengan menerapkan mekanisme berwajah ganda ini, pihak Carrefour sangat diuntungkan. Di satu sisi dia dapat menjaga kepercayaan konsumen. Di sisi lain dia diuntungkan dari hasil pinalti terhadap pelanggaran konsensus dengan pihak pemasok. 138

2. Pola Konsumsi Orang Biasa dan Sirkulasi Kehadiran di Plaza

Sebelumnya sudah dijelaskan sekilas mengenai siklus kehadiran orang-orang biasa di tempat luar biasa. Kegiatan belanja yang mereka lakukan di Plaza

Ambarrukmo dari satu kesempatan ke kesempatan berikutnya, berjarak antara tiga puluh hari, atau setiap satu bulan sekali. Pola siklus kehadiran semacam ini, sebetulnya punya keterkaitan dengan cara atau pola praktek konsumsi mereka terhadap barang-barang hasil belanjaan di mal. Saya akan menyinggung beberapa macam barang belanjaan yang menjadi kebutuhan dan yang mengantarai siklus kehadiran satu bulan sekali ke mal. Beberapa macam barang seperti; sabun mandi, detergen, shampo, dan pasta. Jenis-jenis barang yang memang tidak lekas habis dikonsumsi. Dari bermacam barang ini, saya tertarik untuk melihat bagaimana cara mereka membelinya, kemudian bagaimana cara pemakaiannya.

Cara membeli yang saya maksud adalah takaran jumlah barang itu ketika dibeli.

Cara pemakaian adalah cara mereka memanfaatkan barang-barang itu sehingga habis terpakai.

Dari beberapa jenis tadi, saya sebutkan misalkan sabun merek Dettol yang menjadi pilihan jenis sabun mandi mereka. Sabun Dettol, jika dibeli dalam jumlah satuan (yang dijual di toko-toko eceran sebagian besarnya dijual dalam jumlah satuan) memiliki selisih nilai tukar yang lebih tinggi dibanding jika dibeli dalam jumlah banyak (empat buah). Sesuai dengan promosinya, “Beli 3 Gratis

1”, memungkinkan sabun ini dapat mereka beli dalam jumlah satu paket sekaligus. Toko-toko kecil juga menjual dalam satu paket tetapi dengan harga yang jauh lebih mahal dibanding harga beli di mal. Sepanjang pengetahuan saya, 139

jenis sabun mandi inilah yang menjadi barang belanjaan yang tidak pernah absen dari daftar barang belanja ketika mereka pergi ke mal. Setiap kali ke mal, barang ini selalu masuk dalam daftar belanjaan mereka, sama seperti shampo merek

Pantene kemasan sachet, pasta gigi pepsoden herbal dan detergen berhadiah piring.

Dalam sebuah kesempatan, saya mencoba mengamati cara mereka memanfaatkan sabun mandi. Satu batang sabun mandi (Dettol) ini mereka pakai berempat. Di dalam keluarga Martini, tidak ada pembedaan misalkan sabun mandi untuk orang dewasa dalam keluarga mereka dan untuk anak-anak.

Barangkali karena jenis sabun ini tergolong cocok dipakai oleh semua usia, sebagaimana tertulis di bungkus sabun ini: “perlindungan SETIAP HARI untuk seluruh keluarga”. 14

Kata-kata “Untuk Seluruh Keluarga” berarti cocok untuk semua usia pemakai. Barangkali ini dapat dikategorikan ciri konsumsi orang biasa.

Sementara kita temukan dalam beberapa keluarga “orang tidak biasa” bahwa pemakaian sabun mandi dibedakan antara yang dipakai oleh orang dewasa dan anak-anak mereka. Atau bahkan lebih spesifik lagi, dibedakan antara yang dipakai oleh perempuan dan laki-laki menurut merek yang mereka sukai. Di keluarga orang biasa, tidak ada pembedaan semacam itu. Satu batang dari satu merek sabun mandi dipakai bersama-sama. Tidaklah terlalu diperhitungkan, apalagi diambil pusing, apa konsekuensi pemakaian sabun mandi secara bersama- sama bagi kesehatan kulit mereka.

14 Pada bungkus sabun ini tertulis promosi “perlindungan SETIAP HARI untuk seluruh keluarga”. 140

Jika satu batang sabun ukuran 75 Gram ini dipakai oleh empat orang sekligus, maka diperlukan waktu tujuh hari untuk membuatnya mengecil (habis terpakai). Secara keseluruhan, sejumlah empat batang sabun dalam satu paket ini akan habis terpakai dalam waktu empat minggu atau tiga puluh hari. Berdasarkan tenggat waktu ini, itu artinya bahwa mereka sudah akan mempersiapkan untuk membeli lagi. Mengenai cara atau takaran pembelian, sabun ini selalu mereka beli satu paket (empat batang), tidak lebih. Mereka tidak pernah membeli dua hingga tiga paket dengan harapan akan dapat terpakai lebih lama dan tanpa harus kembali ke mal lagi untuk membelinya. Sebab, jika misalkan sabun ini dibeli lebih dari satu paket, maka lama waktu pemakaiannya melebihi tenggat tempo satu bulan. Tetapi pada prakteknya, mereka hanya membeli satu paket saja. Pola membeli semacam ini tentu mereka sesuaikan juga dengan kemampuan membeli, mengingat kepergian mereka ke mal tidak hanya untuk maksud membeli satu jenis barang.

D. Juxtapose, Orang Biasa “Memandang” Tempat Luar Biasa

Setiap kali berbelanja ke sebuah tempat belanja baru, atau tempat berbelanja istimewa, seseorang (konsumen) harus melakukan penyesuaian-penyesuaian.

Adaptasi itu berlangsung karena bagian-bagian dari atau jenis-jenis konstruksi ruang dan barang di tempat belanja mewah itu kurang familiar buat mereka. Sub bab ini sekaligus akan membahas momen-momen ketika mereka harus berhadapan dengan beberapa kenyataan yang jauh dari pengetahuan mereka sebelumnya. Namun, reaksi mereka atas kenyataan pengalaman baru ini 141

seringkali melahirkan sesuatu yang tampak seolah-olah seperti mengecilkan arti dan konotasi ‘mewah’ dari tempat belanja itu sendiri. Kita akan melihat hal ini dari uraian mengenai beberapa hal berikut: Pertama, dilihat dari cara mereka mengemukakan alasan kepergian ke tempat belanja istimewa tersebut, yang membuat eksistensi tempat belanja mewah itu tidak berbeda dari tempat belanja biasa seperti toko kecil di sekitar tempat tinggal mereka. Kedua, ketika mereka menyoal kemegahan rumah belanja yang menyediakan barang-barang yang sepertinya tidak sesuai dengan citra megah dari tempat belanja itu sendiri. Ketiga, berhadapan dengan barang-barang yang meneror mereka (dengan harga yang di luar kepantasan daya beli mereka) tidak membuat mereka mengambil jarak dan diam. Mereka justru mencoba belajar mengenali barang tersebut. Keempat, mereka berani melakukan praktek subversi terhadap konsep belanja ideal yang diterapkan rumah belanja, dengan misalkan menggunakan fasilitas belanja yang melampaui maksud penggunaan dari fasilitas tersebut. Kita akan melihat bagaimana mereka menggunakan troli dengan maksud memperlama kegiatan berjalan-jalan, yang juga difungsikan untuk membatasi gerak anak-anak.

1. Beli Sabun Mandi di Kerfur

Ketika bermaksud membeli kebutuhan sehari-hari dengan pergi ke rumah belanja

Carrefour di Plaza Ambarrukmo, Martini mengemukakan alasan dengan menggunakan ungkapan sederhana: “mau beli sabun mandi”. Ungkapan ini adalah ungkapan dengan gaya metonimik. Sabun mandi disebut untuk mewakili alasan kegiatan pergi berbelanja ke tempat belanja mewah tersebut. 142

Kenyataannya mereka tidak hanya sekedar membeli sabun mandi. Menariknya, mereka memakai ‘sabun mandi’ sebagai alasan pergi berbelanja ke rumah belanja di tempat istimewa itu. Persoalan ini berkaitan dengan cara mereka mempersepsi tempat belanja mewah tersebut.

Kalau sabun mandi kita hubungkan dengan keberadaan tempat belanja istimewa dan orang-orang biasa ini, tempat belanja mewah tersebut seperti bukan tempat belanja istimewa lagi buat mereka. Setidaknya dilihat dari cara mereka mengungkap alasan kepergian mereka ke sana. Di situ terlihat bagaimana mereka mencoba mempersepsi tempat belanja itu seperti tidak ada yang membedakannya dengan warung atau toko kecil di sekitar tempat tinggal mereka. Apakah ini lantaran mereka sudah kerap ke tempat belanja tersbut, dan karena itu mereka merasa seperti sudah tidak ada lagi ‘jarak’ antara mereka dengan tempat belanja mewah tersebut?

Tetapi yang lebih penting dari itu, menyangkut hubungan antara mereka dengan tempat belanja itu sendiri. Hubungan yang dimaksud adalah hubungan kedekatan. Mereka merasa bahwa plaza sudah menjadi bagian dari langgam hidup mereka. Plaza menjadi suatu tempat dalam dunia yang mereka hidupi.

Tempat belanja mewah itu tidak berada ‘jauh di sana’. Tetapi, tempat itu di sini, menjadi bagian dari mereka. Barang-barang di rumah belanja mewah itu masuk ke dalam rumah mereka, dan mereka mengkonsumsinya. Sejumlah uang di saku mereka dapat digunakan untuk memindahkan sebagian barang-barang yang ada di plaza itu ke dalam rumah mereka. 143

2. Tidak Ada Beda Mal dan Pasar Malam? Mal tidak selalu berhasil membujuk pembeli dengan impian harga diskon. Ada kala di mana mal membuat blunder ketika menawarkan produk-produk murah meriah, namun tidak sesuai dengan yang diharapkan konsumen. Saya akan menunjukkan dari kasus belanja diskon besar-besaran ini.

Ketika Martini mendapat kabar tentang belanja pakaian murah di

Carrefour, dia seperti sudah menggantang harap bahwa barang-barang itu akan dibelinya sebanyak mungkin. Rencana belanja dipersiapkan sehari sebelumnya setelah ia mendapat kabar tentang barang obral itu dari seorang karyawan

Carrefour. Keesokannya, pada petang hari, ia pergi. Berhadapan dan melihat langsung barang yang dimaksud, barang berupa pakaian berlabel “Big Sale,

6000/kg – 10.000/kg” itu sama sekali tidak menarik perhatiannya. Ia bahkan berani mengatakan bahwa pakaian-pakaian itu adalah pakaian bekas dan mutunya tidak lebih baik daripada pakaian-pakaian bekas yang dijual di pasar malam.

Barang-barang itu hanya menarik di label harganya yang menggoda dan menggiurkan, karena kesannya yang memanjakan. Ada sejumlah orang yang memilih barang dan bersedia membungkus dan menimbangnya. Tapi sebagian yang lain, termasuk Martini sendiri mengabaikan begitu saja. Mereka terlalu menyayangkan beberapa rupiah terbuang sia-sia hanya untuk pakaian dengan kualitas yang mereka anggap buruk itu.

Padahal, menurut harapan semula, dengan menjanjikan harga diskon yang demikian murah itu, mal berharap bahwa akan ada begitu banyak orang yang tertarik untuk membeli barang-barang itu. Pihak penyelenggara diskon 144

mengharapkan bahwa nilai lebih dari barang-barang ini, yang tentu diharapkan akan memenuhi keinginan konsumen, terletak pada tempat di mana ia dibeli, bukan persoalan kualitas barangnya sendiri. Karena itulah, barang-barang yang sebetulnya lebih layak dijual di pinggir-pinggir jalan pada acara pasar malam atau yang dijual di toko-toko pakaian bekas, coba dihadirkan di mal. Kehadirannya di mal akan menambah nilai tanda dari barang. Lebih-lebih pihak penyelenggara diskon percaya dengan asumsi bahwa masyarakat lebih percaya kualitas sebuah barang yang dijual di mal ketimbang yang dijual di tempat selain mal.

Pada kenyataannya, harapan-harapan pihak mal dengan keberanian memajang barang-barang yang menurut Martini sendiri “seperti barang bekas” menjadi berbalik. Kenyataan ini tidak saja membuat tempat belanja istimewa itu menjadi berkurang keistimewaannya. Kenyataan ini juga telah melahirkan suatu persepsi baru dari kalangan orang biasa tentang mal sebagai tempat belanja istimewa. Dalam bayangan mereka, barang-barang yang dijual di mal punya nilai lebih dari sisi kualitas barang. Tetapi, pengalaman ini telah merubah bayangan mereka tentang kualitas barang di mal. Bagi mereka, sebagaimana komentar teman belanja Martini: “enggak ada bedanya barang mal dengan barang di pasar malam.”

Pernyataan basa basi semacam ini dapat dikategorikan ke dalam pernyataan subversif konsumen terhadap hegemoni plaza, dalam konteks ketika plaza tengah dibayangkan sebagai tempat belanja istimewa. 145

3. Mencemooh Teror Harga di Atas Rata-rata

Dalam artikel panjang etnografi yang menggambarkan kegiatan jalan-jalan dua orang remaja di mal berjudul Bodies in Shopping Centres: Displays, Shapes and

Intimacies (2005), Chua Beng-Huat antara lain menyatakan sebagai tesis bahwa ruang di mal (Takashimaya Squere) dikonstruksi sedemikian rupa sehingga mempengaruhi kebebasan dan atau sebaliknya ketidakbebasan tubuh konsumen yang berada di dalamnya. Ada saat di mana tubuh konsumen dibuat tidak berjarak dengan barang, konsumen dapat melakukan persentuhan langsung dengan barang, terutama untuk jenis-jenis barang dengan harga tukar yang tidak terlalu tinggi. Namun, untuk sebagian jenis barang bernilai tukar tinggi, tubuh konsumen serasa dibuat berjarak, mendapat teror dari tingginya nilai tukar, sehingga jangankan untuk menyentuh barang tersebut, melihatnya saja konsumen dibuat segan.

Saya ingin menggarisbawahi pernyataan bahwa teror barang atas tubuh konsumen berasal dari tingginya nilai tukar atau harga barang. Untuk sebagian kasus hal ini memang terjadi. Tetapi tidak demikian jika dibandingkan dengan pengalaman Suwarno ketika berbelanja di Carrefour. Ada saat tubuh memang diteror dengan tingginya nilai tukar. Dalam pengalamannya, tingginya nilai tukar barang tidak sama sekali membuat gentar seseorang untuk menyentuh barang.

Perhatikan misalnya pengalaman Suwarno yang berhadapan dengan sebuah barang berupa setoples kopi Mocca seharga delapan puluh ribu, suatu jumlah harga yang membuat mereka mengeluarkan seruan “edan”. Sejauh yang mereka ketahui, belum pernah ada harga setoples kopi mocca yang mencapai sebegitu 146

mahalnya. Normalnya, harga kopi mocca yang pernah mereka ketahui paling mahal tidak lebih dari dua puluh ribu. Tetapi, pengalaman di Carrefour ini membuat mereka tidak habis pikir.

Sejumlah harga itu sempat membikin mereka kaget dan terheran-heran.

Tetapi, toh ternyata mereka tidak gentar untuk menyentuh bahkan menggenggamnya. Mereka bahkan mencemooh barang tersebut lantaran dirasanya menghina norma kepantasan daya beli mereka. Mula-mula, Suwarno terkejut menyaksikan nominal harga kopi mocca tersebut. Nominal harga yang menurutnya tak masuk akal, menggerakkan sebelah tangannya untuk mengambil toples kecil itu dari tempatnya. Nominal harga jual itu juga mengundang matanya untuk menyelidik jenis kopi macam apa yang harganya mencapai sebegitu mahalnya.

Tindakan mengambil, memperhatikan, menyoal, bertanya karena rasa penasaran ini membuat mereka seperti sudah tak lagi berjarak dengan tempat belanja istimewa tersebut. Melalui sejumlah barang dengan harga jual yang mahal, sebuah tempat belanja sebetulnya ingin menunjukkan identitas sebagai tempat belanja yang tidak sembarang konsumen dapat mengunjunginya

(eksklusivitas). Atau paling tidak membuat beberapa konsumen dari kalangan orang-orang biasa merasa kapok untuk datang pada kunjungan berikutnya, lantaran teror harga tersebut. Teror harga membuat siapa pun yang tidak memiliki kecukupan daya beli memadai, mengambil jarak dari barang.

Suwarno melakukan tindakan sebaliknya. Mengambil dan memperhatikan tidak didorong oleh keinginan membeli, melainkan oleh sebersit rasa penasaran. 147

Meskipun harga yang tertera pada barang itu meneror pikiran mereka –salah satunya dengan membuat mereka terkejut dan terheran—tetapi teror itu tidak mereka pedulikan. Teror harga itu tidak membuat jarak antara tubuhnya dengan barang kian renggang. Sebaliknya, mereka merapatkan tubuh kepada barang, dengan melakukan persentuhan dengan barang. Harga itu meski mengancam mereka, tidak membuat mereka segan dan mengambil jarak. Bahkan Suwarno menyoal nilai jual barang: ”segini saja bisa harga delapan puluh. Edan.”

Pernyataan ini sebetulnya merupakan kata-kata cemooh. Sebab, ia merasa bahwa harga barang itu telah menghina kepantasan normatif daya beli mereka sebagai orang biasa (konsumen mal). Sasaran komentar ”gila” dalam pernyataan

Suwarno di situ bukan hanya barang dengan harga jual tinggi tersebut, tetapi juga orang yang telah memproduksinya dan termasuk juga orang yang bersedia mengkonsumsinya.

4. Yang Sedikit di Tempat yang Besar

Pada mulanya, kereta dorong atau troli disediakan bagi mereka yang secara khusus berbelanja dalam jumlah besar dan melimpah. Mereka yang berbelanja dalam porsi minimum disediakan keranjang. Cukup keranjang belanja yang dapat menampung barang dalam jumlah sedikit. Kedua benda ini merupakan alat khusus yang disediakan untuk memudahkan kegiatan belanja konsumen di pasar- pasar moderen; supermarket dan mal. Alat ini disediakan di depan pintu masuk menuju rumah belanja. Setiap konsumen yang datang mengambil terlebih dahulu alat tersebut. Fasilitas semacam keranjang dan kereta dorong yang membedakan 148

antara konsumen yang berkunjung ke pasar tradisional dan yang berbelanja di pasar moderen. Fasilitas tersebut menjadi standar perlengkapan yang membedakan pasar moderen dari pasar tradisional.

Di tangan konsumen rumah belanja Carrefour, tidak selamanya troli difungsikan menurut asumsi di atas: sebagai alat memudahkan konsumen yang berbelanja dalam jumlah besar. Alih-alih difungsikan sebagai alat memudahkan berbelanja dalam jumlah besar, alat itu lebih banyak difungsikan untuk sesuatu yang sama sekali tidak berhubungan dengan kepentingan penggunaannya.

Dalam beberapa kesempatan berbelanja, Martini dan Suwarno sekeluarga sesekali memanfaatkan alat ini. Bukan karena mereka hendak berbelanja dalam jumlah besar. Bukan karena mereka hendak membeli almari atau springbed.

Tetapi karena tindakan anak bungsu mereka, Tono, tidak dapat didiamkan. Anak bungsu mereka sering membuat mereka kerepotan di tengah-tengah kegiatan belanja itu. Separuh dari kegiatan berbelanja yang dimaksudkan untuk bersantai itu terasa terganggu oleh tingkah anak bungsu mereka. Salah satu cara mereka menyiasati agar anak bungsu mereka tidak banyak tingkah ialah dengan mendudukkannya di atas troli belanja.

Di samping alasan praktis semacam itu, alasan lainnya adalah karena mereka merasa kecapaian membawa barang dengan keranjang belanja.

Sehubungan bahwa kegiatan belanja itu lebih banyak diisi jalan-jalan dan lihat- lihat barang. Kegiatan belanja mereka menjadi lama, bukan karena mereka kesulitan menemukan barang yang hendak dibeli. Tetapi lebih karena mereka merasa asyik dengan kegiatan melihat-lihat di dalam rumah belanja. Andaikata 149

mereka datang ke rumah belanja itu atas maksud sekedar berbelanja barang- barang yang mereka butuhkan saja, maka sebetulnya tidak dibutuhkan banyak waktu untuk itu. Tidak perlu menghabiskan waktu satu jam setengah hingga dua jam berada di dalam rumah belanja itu. Banyak dan sedikitnya waktu yang dihabiskan di tempat belanja berhubungan dengan sedikit atau banyaknya barang yang dibeli. Ini menurut normalnya. Tetapi, lamanya Martini dan Suwarno berada di dalam, tidak ada hubungannya dengan jumlah belanjaan mereka. Mereka belanja dalam jumlah yang sekedarnya, meski waktu yang mereka habiskan tidak setimbang dengan jumlah barang tersebut.

Dalam praktek ini, troli dipakai bukan untuk menampung sejumlah barang dalam jumlah banyak. Sebab jumlah barang belanjaan mereka tidak banyak. Tetapi agar kegiatan jalan-jalan mereka tidak terganggu dengan berat barang yang harus ditenteng dengan keranjang. Troli memudahkan mereka. Troli membuat mereka merasa lebih leluasa berjalan-jalan. Meskipun ada juga keinginan untuk membuat troli itu terisi oleh lebih banyak barang, tetapi kemampuan keuangan mereka jelas tidak mengijinkan. Salah satu cara mereka membuat agar sejumlah barang di dalam troli tampak sedikit lebih banyak ialah dengan membeli sejumlah barang berupa beberapa bungkus saja. Barang itu dibiarkan berjejer di dalam troli memenuhi seluruh bagian persegi dari kereta belanja itu, meskipun tidak mungkin memenuhinya. Ketika mereka meminta saya untuk memindahkan barang belanjaan saya sendiri ke dalam troli yang mereka bawa, seperti ada isyarat bahwa mereka hendak sedikit merasa nyaman mendorong troli dengan barang belanjaan yang kelihatan jauh lebih banyak. 150

Konsumen yang berbelanja dalam jumlah minimum dan memaksakan diri memakai kereta belanja, dengan sendirinya terasa ada yang tidak menghendaki tindakan semacam ini: ”barang sedikit saja pakai troli”. Tindakan-tindakan penyesuaian terhadap penggunaan fasilitas berbelanja semacam itu yang dilakukan konsumen lebih banyak berdasarkan kebutuhan seberapa besar jumlah barang yang hendak dibeli. Jika secara terpaksa konsumen memaksakan diri untuk menggunakan fasilitas kereta dorong –seperti dalam pengalaman Martini dan Suwarno sekeluarga— yang sebetulnya tidak sesuai dengan sejumlah barang yang dibeli, maka seperti sudah ada tuntutan dari dalam diri mereka untuk membuat kereta belanja tersebut seolah-olah dipenuhi banyak barang. Yang demikian ini adalah cara mereka menjaga kepentingan ”mengamankan” kenyamanan berbelanja.

F. Kesimpulan

Ketika orang biasa memutuskan berbelanja di tempat istimewa seperti plaza, terdapat beberapa pengalaman yang muncul dari praktek tersebut. Dari soal tarik menarik antara godaan barang dan topangan daya beli mereka. Ada pula rasa ekstase yang berdampingan dengan frustrasi. Di sini konsumen kalangan orang biasa tampak menjadi seperti seolah seseorang “pesakitan” akibat dari kontradiksi-kontradiksi tersebut. Mereka tergoda oleh rayuan komoditi. Tetapi hasrat mereka tidak bisa dilepaskan begitu saja karena menyadari topangan daya beli mereka. Mereka terkadang tenggelam dalam rasa ekstase berbelanja murah.

Menyadari bahwa nilai dari jumlah belanjaan mereka jauh melebihi apa yang 151

mereka perkirakan, membuat mereka merasa frustrasi. Inilah daya tarik menarik yang membuat mereka menjadi seperti tenggelam dalam ‘kekuasaan’ kemegahan tempat belanja tersebut.

Tetapi, itu tidak berarti bahwa mereka sepenuhnya dikuasai oleh tempat belanja mewah tersebut. Terdapat beberapa praktek dimana mereka mencoba seperti sedang lepas dari ‘dominasi’ kemewahan tempat belanja tersebut. Itu misalnya ditunjukkan dengan kemampuan menyoal beberapa hal tentang tempat belanja dan barang yang dijual di tempat belanja mewah tersebut. Di samping itu pula terdapat praktek mereka yang mensubversi konsep ideal rumah belanja mewah. Memanfaatkan kereta belanja di luar fungsi sebenarnya merupakan salah satu bentuk praktek subversif tersebut.

Kehadiran mereka di tempat belanja istimewa tersebut tidak lepas dari gaya praktek pola konsumsi mereka, dan situasi kondisional. Agitasi belanja- belanja diskon adalah contoh dari kondisi-kondisi yang memungkinkan kehadiran mereka di tempat belanja istimewa. Sebagaimana diketahui, tingkat kehadiran itu berotasi menurut waktu tertentu. Hal ini tidak lepas dari cara mereka melakukan praktek mengkonsumsi barang yang mereka beli di rumah belanja yang ada di plaza tersebut. Di atas saya telah mencontohkan dengan menyebutkan cara mereka membeli, memakai atau memanfaatkan kebutuhan yang berhubungan dengan kebutuhan sehari-hari, semisal cara memakai sabun mandi.

Pada akhirnya, kita harus memberi nama kepada pengalaman ini sebagai sebuah kondisi kontras (juxtaposition). Orang biasa mengalami satu fase penting dari rangkaian aktivitas konsumtif mereka di sebuah tempat belanja istimewa. BAB VI

PENUTUP

A. Pasar Modern dan Gagasannya

Berbelanja merupakan salah satu kegiatan dasar dari aktivitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka. Prinsip dasar kegiatan belanja adalah pertukaran barang. Kehadiran lembaga-lembaga konsumsi seperti pasar modern, mal, plaza, lewat suatu proses besar bernama ekspansi modal, mengubah banyak hal dari cara orang memperoleh barang-barang kebutuhan mereka, mengubah cara orang memaknai barang kebutuhan itu sendiri, dan mengubah cara orang memaknai kegiatan belanja.

Pasar modern, swalayan, supermarket, mal dan plaza, sesuai label ‘modern’ yang disandangnya, memuat bagian-bagian penting dari apa yang dikatakan

‘modern’ tersebut, antara lain, efisiensi, kebebasan, kepastian, kontrol dan segala kemudahannya. 1

Ketika masuk pasar modern dan bermaksud memperoleh barang yang dikehendaki, orang tidak perlu lagi membuang waktu secara percuma dengan melakukan tawar menawar harga. Konsumen cukup melihat daftar harga dan memilih yang sesuai dengan keinginan mereka.

1 Lihat prinsip modernitas (rasionalitas) versi Max Weber yakni efficiency, calculability, predictability and control, yang digunakan George Ritzer dan Seth Ovadia sebagai kerangka konseptual dalam penelitian mereka tentang McDonald berjudul “The Process of McDonaldization is not Uniform, nor Are Its Settings, Consumer, or the Consumption of Its Goods and Services,” dalam buku Mark Gottdiener (ed.) New Form of Consumption, Consumers, Culture, and Commodification, New York, Oxford, Rowman & Littlefield Publisher Inc., 2000. hlm. 33 – 49.

152 153

Memasuki pasar modern, konsumen juga difasilitasi dengan beragam kelengkapan, yang membuat kenyamanan ‘tubuh’ saat melakukan kegiatan belanja, terjamin. Ada eskalator yang bisa difungsikan untuk memindahkan tubuh dari satu tempat ke tempat lain. Ada keranjang belanja yang disediakan, juga kereta belanja

(troli), ada tas khusus wadah barang belanja, ada kartu kredit yang dapat dipakai menukar barang tanpa harus direpotkan oleh uang kecil kembalian. Inilah prinsip pertama, yakni efisiensi.

Ketika memasuki pasar modern, konsumen juga diberi kebebasan memilih, hendak membeli atau tidak. Konsumen bebas mengembalikan barang yang sudah dimasukkan keranjang belanja, sebelum dibayarkan ke kasir. Di sini berlaku prinsip self-service, melayani diri sendiri, mengambil barang sendiri (swalayan). Swalayan dari bahasa pengertian melayani diri sendiri, berangkat dari prinsip dasar modernisme yakni kebebasan.

Akan tetapi, kebebasan dalam prinsip modern adalah kebebasan yang terukur dan pasti. Ada kepastian yang membatasi kebebasan kita. “Barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan lagi” adalah bahasa maklumat yang dipakai oleh lembaga- lembaga pasar modern untuk menjamin adanya kepastian itu.

Hal penting lagi dari prinsip modernitas yang termuat dalam pasar modern yakni kehadiran sistem pengawasan menyerupai panopticon dalam istilah Foucault.

Seorang konsumen tidak berhadapan langsung dengan si pemilik, melainkan hanya berhadapan dengan barang. Fungsi pengawasan dijalankan dengan sistem 154

pengamanan langsung namun bersifat terbatas seperti kehadiran security, satpam.

Selain itu, digunakan juga alat-alat canggih semacam detektor otomatis, cermin pengintai, CCTV.

Prinsip dasar dari pasar modern di atas sengaja saya beberkan sebagai pembukaan dalam bab penutup tesis ini, untuk sekedar memberi gambaran tentang apa saja bagian dari prinsip ‘modernitas’ yang termuat di dalam pasar modern.

Saya ingin menambahkan lagi satu prinsip dari pasar modern dan ekonomi modern yang dicetuskan pakar ekonomi modern, Adam Smith, bahwa tujuan dari aktivitas ekonomi ialah untuk mengakumulasi keuntungan sebesar-besarnya.

Prinsip keuntungan sebesar-besarnya melahirkan cara-cara atau teknik baru di dalam memasarkan sebuah produk. Kita mengenal istilah fetisisme komoditas, yakni penghilangan fungsi barang dari aspek fungsionalnya, dan digantikan dengan fungsi nilai tukar. Yang lebih ekstrim adalah pengosongan nilai fungsional barang dan digeser oleh nilai simbolik. Nilai guna diambilalih kedudukannya oleh nilai simbol. Karenanya, tujuan-tujuan konsumsi tidak lagi sebatas untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kegiatan ‘membeli’ itu sendiri sudah termasuk ke dalam

‘kebutuhan’. Baudrillard menyebutnya dengan “sistem kebutuhan”. 2

Lembaga-lembaga pasar modern ini membuat kosa kata dan idiom yang identik, semisal diskon, sale atau obral, dan belanja berhadiah. Idiom yang diciptakan dari lembaga konsumsi modern tersebut kini sudah menjadi pengetahuan

2 Jean Baudrillard, “The System of Objects”, dalam Selected Writtings, hlm. 18-24. 155

umum masyarakat. Fetisisasi barang melalui penciptaan bahasa yang dapat meyakinkan konsumen akan kemudahan memperoleh barang dan melahirkan rasa

‘kenikmatan’ membeli.

B. Sihir Tempat Belanja dan Penerimaan Konsumen

Saat ini lembaga-lembaga konsumsi modern itu hadir ke tengah-tengah masyarakat dan menjadi bagian dari (embeded) masyarakat. Pada bab-bab pembahasan dari tesis ini, saya sudah berupaya menyajikan sekelumit peristiwa mengenai kehadiran pasar modern (Plaza) ke tengah-tengah masyarakat, dan bagaimana upaya masyarakat melakukan ‘penerimaan’ atas kehadiran lembaga konsumsi tersebut. Kalau media

(televisi) kita tempatkan sebagai suatu bentuk lembaga konsumsi yang berperan mengolah selera masyarakat, fungsi-fungsi yang diperankan lebih banyak di wilayah pembentukan imej suatu barang, mengimajinasikan fungsi sebuah barang. Sementara pasar modern sendiri sebagai lembaga konsumsi, memerankan fungsi sebagai tempat orang mengalami langsung.

Ambarrukmo Plaza, dibangun dan dihadirkan sebagai sebuah tempat belanja mewah. Kemewahan itu ditawarkan dengan pembentukan strutktur ruang, strategi promosi, bentuk-bentuk dalam iklan promosional, jenis barang-barang yang ditawarkan, fasilitas-fasilitas yang disediakan, dan dengan demikian diharapkan menjadi tempat belanja bagi kalangan elit. Pencitraan-pencitraan semacam ini lumrah dilakukan oleh setiap tempat belanja atau lembaga-lembaga konsumsi, dalam 156

konteks persaingan ketat dengan sesama tempat-tempat belanja modern lain, untuk menarik sebesar-besarnya minat pengunjung. Ukuran-ukuran keberhasilan sebuah tempat belanja dapat dilihat dari besarnya animo masyarakat mengunjungi tempat belanja tersebut. Sebaliknya, kegagalan dari tempat-tempat belanja modern dilihat dari kian sedikitnya minat masyarakat untuk berkunjung ke tempat tersebut. Istilah mall-ghost (mal berhantu) diberikan kepada tempat-tempat belanja modern, mal dan plaza, yang minim pengunjung, atau sudah mulai ditinggalkan pemilik tenant.

Karena itu, mal kemudian didesain sebagai tempat menyerupai ruang publik

(quasi public space), tidak hanya sebagai tempat orang berbelanja, tetapi juga arena jalan-jalan, bermain, menikmati hiburan dan sebagainya. Penyertaan kegiatan konser musik, kunjungan-kunjungan artis, kegiatan perlombaan dan hiburan lain, atau untuk contoh di Ambarrukmo Plaza penyelenggaraan pameran produk daerah adalah dalam rangka mempertahankan antusiasme masyarakat untuk tetap hadir dan berkunjung ke mal. Lembaga konsumsi modern itu membutuhkan sebanyak mungkin pengunjung agar tetap tampak hidup.

Pada salah satu bab dalam kajian ini, saya sudah menuliskan satu fragmen kegiatan berbelanja kalangan menengah bawah di tempat belanja mewah itu.

Kemungkinan-kemungkinan yang dapat mengantarkan mereka ke sana dapat kita lihat dari perspektif modalitas, ekonomi dan kultural, meminjam istilah Bourdieu tentang ‘modal’ (capital).3 Kehadiran mereka ke tempat belanja istimewa itu

3 Lihat Pierre Bourdieu dalam Outline of a Theory of Practice, Cambridge: Cambridge University Press, 1977. 157

didukung oleh dua kepemilikan modal tersebut. Modal ekonomi, karena tujuan mereka adalah berbelanja, memperoleh barang kebutuhan. Kemudian modal kultural, terkait dengan kebiasaan menempatkan diri di tengah-tengah tempat belanja modern tersebut.

Modal kultural ini tentu tidak datang dengan sendirinya, melainkan dimulai dari proses pembiasaan, karena mereka diharuskan untuk tunduk dan disiplin terhadap cara-cara serta prinsip-prinsip (sebagaimana diuraikan dalam bagian awal bab ini) yang diperkenalkan oleh lembaga pasar modern tersebut. Pencapaian- pencapain modal kultural diraih melalui kebiasaan mengulang-ulang, membiasakan diri.

Lebih jauh juga sudah dipaparkan mengenai bentuk-bentuk pengalaman berbelanja yang khas kalangan menengah bawah ini. Pada mulanya, pilihan-pilihan berbelanja ditentukan oleh keinginan untuk memperoleh nilai tukar yang rendah.

Diskon, belanja berhadiah, adalah idiom pasar modern yang masuk ke dalam persepsi, dan jika mungkin disebut ‘keyakinan’ mereka tentang berbelanja di

“kerfur” Ambarrukmo Plaza.

Idiom-idiom itu sangat memanjakan selera berbelanja mereka. Aktivitas rutin kepergian mereka ke sana sebagian didorong oleh harapan memperoleh barang- barang dengan nilai jual terjangkau. Pembentukan rutinitas berbelanja mereka ke

“kerfur”, dapat dilihat dari pola-pola berbelanja yang mereka lakukan, dan cara mereka memanfaatkan barang-barang yang mereka beli. Porsi pembelian barang, 158

menurut cara berbelanja mereka, ditentukan oleh kemampuan daya beli. Mereka menginginkan membeli sebanyak mungkin barang dari jenis yang berbeda.

Keinginan ini didorong oleh godaan beragam jenis barang pilihan yang tersedia.

Tetapi lantaran kemampuan daya beli mereka yang minim, maka cara untuk memperoleh banyak jenis barang yang berbeda itu ialah dengan mempersedikit porsi pembelian untuk satu jenis barang.

Sabun mandi yang mereka beli, sebatas yang dibutuhkan untuk masa pemakaian satu bulan, tidak lebih. Detergen yang mereka beli, sebatas yang dibutuhkan untuk masa pemakaian satu bulan, tidak lebih. Demikian pula dengan pasta, sampho dan sejenisnya. Semakin sedikit porsi untuk satu jenis barang, maka semakin banyak pilihan barang yang bisa mereka peroleh. Cara memanfaatkan barang yang mereka beli, tenggang waktu pemakaian barang, sebagaimana yang sudah saya jelaskan di bab pembahasan kajian ini, punya keterkaitan dengan saat ketika mereka harus pergi berbelanja lagi ke tempat yang sama. Dari sinilah pola- pola rutinitas pergi ke “kerfur” itu terbentuk.

Bagian penting yang harus digarisbawahi pada bab penghabisan ini adalah terkait dengan persepsi orang-orang biasa ini, dan cara mereka menempatkan tempat belanja istimewa itu sebagai bagian dari sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas mereka. Tempat belanja mewah itu tidak berada “jauh di sana”, melainkan sudah ada di dalam salah satu kegiatan yang teragendakan (terencana secara teratur). Bukti- bukti yang bisa kita jadikan pembenaran mengenai kehadiran tempat belanja itu ke 159

dalam ‘kehidupan’ mereka yakni lewat pernyataan banal, “pergi beli sabun mandi ke kerfur”. Tempat belanja istimewa itu dalam persepsi mereka tidak lagi ada perbedaannya dengan warung atau toko-toko kecil yang berada tak jauh di sekitar tempat tinggal mereka.

Cara mereka mempersepsi tempat belanja itu, dengan sendirinya mencerminkan sebuah ‘tindakan subversif’ atas nilai-nilai pencitraan yang berusaha dibangun oleh rumah belanja itu sebagai tempat belanja berkelas.

Pengalaman dan persepsi atas pengalaman belanja mereka, menyimpan sesuatu yang ambigu antara harapan memperoleh barang-barang bernilai tukar rendah dengan hasil berbelanja yang kerap ‘mengecewakan’. Mula-mula, mereka datang ke sana, dengan harapan memperoleh barang dengan nilai tukar lebih rendah.

Memang benar bahwa harga barang-barang di rumah belanja itu cukup memanjakan selera berbelanja mereka. Tetapi porsi pembelian yang tidak pernah sedikit, membuat ongkos belanja mereka menjadi berlebihan. Hal ini menimbulkan kekecewaan mereka. Harapan berbelanja murah, tak pernah mereka dapatkan.

Perlahan-lahan lahir kesadaran mereka bahwa berbelanja ke tempat istimewa itu tidak selalu memberi keuntungan, melainkan sebaliknya.

Tetapi berhentikah mereka dari kegiatan berbelanja ke tempat itu? Tawaran- tawaran harga dan agitasi belanja murah di rumah belanja “kerfur” membuat mereka ingin lagi dan lagi mendatangi rumah belanja itu. Pilihan barang yang beragam dan tawaran harga yang murah membuat mereka merasa bahwa melewatkan pergi 160

berbelanja ke sana berarti membiarkan kesempatan terbuang. Dari sini kita bisa mengenal dan mengukur kekuatan lembaga konsumsi bernama mal atau plaza, di dalam mengintervensi sisi terdalam (rasa) dari masyarakat. Barangkali istilah yang mungkin bisa kita pinjam untuk menggambarkan kekuatan lembaga konsumsi ini adalah “hegemoni”. 4 Penerimaan seseorang atas suatu ketentuan, aturan, disiplin, tanpa paksaan. Konsumen dari kalangan bawah ini menyadari ketidakberdayaan mereka ketika harus berhadapan dengan tempat belanja istimewa, tetapi mereka tetap saja menyetujui kekurangan-kekurangan mereka, bukan sebagai sesuatu yang harus menghambat mereka dari kemungkinan mendatangi rumah belanja mewah itu.

C. Juxtaposisi, “Ketidaksampaian Selera” yang Diterima

Pengalaman belanja orang biasa di tempat luar biasa, suatu pemandangan kontras antara dua hal yang tampak seolah-olah berbeda. Pengalaman belanja mereka dapat dilihat sebagai suatu contoh kecil di mana terdapat suatu upaya dari satu kelompok sosial yang tengah berupaya menyampaikan selera mereka dengan apa yang tampak seperti terasa sulit mereka capai. Dalam kenyataannya, antara orang biasa dan tempat luar biasa yang mereka kunjungi, terdapat suatu ‘jarak’. Jarak yang secara tidak langsung memaksa mereka untuk berupaya melakukan penyesuaian-penyesuaian, penerimaan-penerimaan. Menyesuaikan diri di sini dimaknai sebagai sebuah usaha

4 Hegemony, egemonia merupakan istilah politik dari Antonio Gramsci untuk menamai suatu kondisi (moment) dalam istilah praksisnya “pendisiplinan” (membuat tunduk, stabil dan menerima) tanpa paksaan (coersion). Lihat Anne Showstack Sasson, Gramsci’s Politics, Minneapolis: University of Minnesota Press, 1987. hlm. 111-118. 161

mengikuti irama atau langgam dari kultur yang mau dibentuk oleh tempat belanja super moderen tersebut.

Jika pandangan umum menganggap kurang pantas (bahasa Jawa; wagu) setiap apa yang menyangkut “tidak sampainya selera”, maka kini perlahan-lahan,

“ketidaksampaian selera” itu terasa absah dan mulai dapat diterima. Keberanian

Suwarno dan Martini sekeluarga menginjakkan kaki di tempat belanja mewah seperti plaza, dan menjadikan aktivitas berbelanja di plaza sebagai salah satu kegiatan rutin dalam rangkaian siklus kegiatan mereka, merupakan sesuatu jalan memahami bahwa “tidak sampainya selera” itu dapat diterima sebagai hal yang biasa.

D. Peristiwa Budaya Di Sisi Peristiwa Ekonomi

Peristiwa-peristiwa kecil dari gambaran tentang pengalaman belanja ini membawa kita kepada satu pemahaman tentang sesuatu di luar gejala ekonomi. Peristiwa- peristiwa ekonomi yang ditandai dengan masuk dan berkembangnya modal yang dimanifestasikan dalam wujud tempat-tempat belanja, dengan caranya sendiri, telah pula andil di dalam membentuk peristiwa kebudayaan masyarakat, terutama dalam laku dan cara masyarakat menempatkan kegiatan belanja sebagai bagian dari keseharian mereka.

Pada level tertentu, kita harus memercayai bahwa kegiatan belanja tidak lagi atas pertimbangan kebutuhan akan barang. Pada prakteknya, pasar telah merubah 162

kegiatan belanja itu menjadi mirip sebuah “gambling”, di mana orang terjun bermain dan berhadap menjadi pemenang di dalam permainan itu, meski kemungkinan untuk dikalahkan berkali-kali sangat besar.

Sebagaimana berlaku dalam sebuah permainan (perjudian), setiap orang diyakinkan dengan harapan kemudahan memperoleh keuntungan, namun setiap kali itu pula orang akan siap dikalahkan. Orang merasa memperoleh keberuntungan dari mendapatkan sekali kemenangan, tanpa menyadari telah bersedia untuk berkali-kali dikalahkan.

Agitasi belanja diskon, belanja murah, belanja berhadiah yang diterapkan oleh lembaga pasar-pasar modern, merupakan bentuk-bentuk dari “sistem ekonomi permainan”. Praktek ini menyebar di semua level kegiatan ekonomi. Praktek-praktek ekonomi semacam ini dilegalkan hanya karena setiap orang (konsumen) merasa tidak pernah ada yang dirugikan.

Pergerakan modal dalam wujud lembaga-lembaga konsumsi ini telah pula menggeser satu identitas penting dari penanda sebuah kota. Kalau selama ini Kota

Yogyakarta dibayangkan sebagai “Kota Budaya” (The City of Culture) dengan segenap atribut yang dimilikinya: keberadaan bangunan-bangunan bernilai sejarah, kesenian-kesenian tertentu, tradisi intelektualisme yang dipancarkan dari mercusuar- mercusuar pendidikan seperti kampus, perpustakaan dan toko-toko buku. Ini barangkali satu bagian yang tersisa dari harapan ‘bawah sadar’ (pemerintah kota) untuk terus mempertahankan nilai eksotisme kota. Fakta lain memperlihatkan arus 163

modal itu telah membentuk satu citra baru bagi identitas kota menjadi apa yang kemudian disebut St Sunardi sebagai “Kota Budaya Promosi” The City of

(Promotional) Culture.5 Mal, plaza, supermarket, pembukaan zona-zona ekonomi, perang iklan ditandai maraknya media luar ruang (baliho, spanduk promo) yang memenuhi setiap sudut kota, kemudian logika “promo” yang merambah hingga ke area lembaga pendidikan (kampus), sekaligus menandai “cara berada” lembaga- lembaga pendidikan itu, kian menguatkan pergeseran identitas Kota Yogyakarta dari

“Kota Budaya” menjadi “Kota Budaya (Promosi).”

5 Istilah The City of (Promotional) Culture sebagai lawan dari identitas baku The City of Culture dikenalkan St Sunardi dalam kuliah-kuliah tentang perkembangan kajian budaya. DAFTAR PUSTAKA

I. Artikel

Beng-Huat, Chua., “Bodies in Shopping Centres: Displays, Shapes and Intimacies,” Papper Seminar Cultural and Social Dimension of Market Expansion III, Goethe Institute, Jakarta 26-27 Agustus 1996.

Conroy, Marianne., “Discount Dreams, Factory Outlet Malls, Consumption, and the Performance of Middle-Class Identity,” Social Text 54, Vol. 16, No. 1, Duke University Press, 1998. de Carteu, Michel., “The Practice of Everyday Life,” trans. Steven Rendell, Berkeley: University of California Press, 1993,

Goss, Jon., “The Magic of The Mall: Analysis of Form, Function, and Meaning in the Contemporary Retail Built Environtment” Annals of the Association of American Geographers, Vol. 83, No.1, 1993.

Sunardi, St., “Keluarga Galeria”, t.t. tidak diterbitkan.

II. Buku

Barthes, Roland, Mythologies, London, Paladin, 1973.

Baudrillard, Jeans, Selected Writtings, Cambridge, Polity Press, 2001.

Beng Huat, Chua., Life is Not Complete Without Shopping, Consumption Culture in Singapore, Singapore, NUS Press, 2005. Bourdieu, Pierre., Outline of a Theory of Practice, Cambridge: Cambridge University Press, 1977 Gottdiener, M. Postmodern Semiotic, Material Culture and the Forms of Postmodern Life Blackwell, 1995.

163 164

______(ed.), New Form of Consumption; Consumer, Culture, and Commodification, New York, Rowman & Littlefield Publisher, 2000.

Kinsella, Sophie A Confession of A Shopaholic, Jakarta, Gramedia, 2004.

Kristanto, JB. Nonton Film Nonton Indonesia, Jakarta, Penerbit Kompas, 2004.

Miller, Daniel, dkk. Shopping, Place and Identity, London, Routledge, 1998.

Rosenau, Pauline Marie, Post-modernim and the Social Science, Insight, Indroads, and Intrusions, Princeton University Press, 1992.

Saukko, Paula, Doing Research in Cultural Studies, London, Sage Publication, 2003.

Sasson, Anne Showstack., Gramsci’s Politics, Minneapolis: University of Minnesota Press, 1987.

Sunardi, St., Semiotika Negativa, Yogyakarta, Buku Baik, 2004.

Susanto, Eko., Orang-orang Malioboro, Yogyakarta, Insist Press, 2005.

Turner, Graeme., British Cultural Studies, London, Routledge, 1996.

William, Raymond, Culture and Society 1780 – 1950, London, Penguin, 1966.

III. Majalah, Surat Kabar dan Situs Internet

Majalah PLAZA

Majalah SWA

Harian Kompas 165

Harian Kompas Jogja

Harian Sinar Harapan

Harian Kedaulatan Rakyat www.plaza-ambarrukmo.co.id www.carrefour.co.id www.wikipedia.org LAMPIRAN I

Identitas Informan Penelitian

Suwarno Martini Sulistiyo Suheni Lia Tono (Saudara (Saudara jauh (Anak ke 1) (Anak ke 2) kandung Martini) Martini) Tpt/tgl. lahir Gunungkidul Gunungkidul, Gunungkidul, Bantul, Gunungkidul Yogyakarta 1970 23 Maret 1971 24 Juli 1979 21 Feb 1988 usia 38 tahun 37 tahun 29 tahun 20 tahun 12 tahun 4 tahun Alamat asal Karang, Grogol, Grogol, Dlingo, Bantul Grogol, Grogol, Ngalang, Wonosari, GK Wonosari, GK Wonosari, GK Wonosari, GK Gedangsari, GK Pendidikan SMP SD SMP SMP SD TK terakhir Status Menikah Menikah Menikah Belum menikah Belum Belum menikah menikah Pekerjaan Buruh tidak tetap Dagang Dagang Dagang Pelajar Pelajar Alamat Nologaten Idem Idem Idem Idem Idem Sekarang Yogyakarta Mulai tinggal Tahun 2000 Tahun 2000 Tahun 2005 Tahun 2000 Tahun 2000 Tahun 2000 di Yogyakarta Biaya sewa Rp 400.000 Idem Idem - Idem Idem tempat tinggal per 1 tahun

Acara TV Asal Plesetan, Cinta Fitri, Cinta Fitri, Hip- Sinetron Cinta Sinetron Cinta Lucu lucu, Kegemaran / Empat Mata, Sinetron Misteri, hip Hura, Liga Fitri, Olivia, Fitri, Naruto, yang kerap Komedi Tengah Kuis Superdil 2 Inggris, Misteri Cinderella Cinderella, ditonton Malam , Kuis Miliar, Sinetron Ilahi, Komedi Alisia, Superdil 2 Miliar Cinderella Tengah Malam, Moto GP Musik Pavorit Campursari Campursari Dangdut, Pop Pop, Rock Pop - (tradisional) (tradisional), Dangdut Dangdut Artis / Group Inul Daratista, Desi Ratnasari, Dewa 19, Ungu, Ratu, Ungu, Gita Gutawa, - Band Dewi Persik, Dewi Prsik, Kangen Band, Kangen Band, Agnes Monica penyanyi Desi Ratnasari, Mulan Kuwok, Dewi Persik, Inul Mulan Kwok, Pasha Ungu, pavorit Mulan Kuwok Daratista, Mulan Maia Ahmad, Kangen Band Kuwok Pasha Ungu Chanel Radio Lupa nama Lupa nama Istakalisa FM Jarang dengar Jarang - yang chanel yang channel yang radio dengar radio didengarkan menyiarkan menyiarkan musik musik Campursari Campursari Media harian Tidak baca Tidak baca Merapi, Posmo, Merapi, KR Tidak baca Tidak baca yang dibaca KR (jarang baca) (jarang baca)

Merek alat Handphone Idem Siemen C35 (beli Nokia 3315 (beli Tidak punya Tidak punya komunikasi Nokia 3315 (beli second) second) pribadi beli second) baru atau second

Perlengkapan Televisi Merk Idem Idem Televisi merk Idem Idem rumah beli Changong (beli Fujitek (beli baru atau baru), VCD baru) VCD merk second dan Player merk Fujitek (baru), mereknya Sanwa (beli jam dinding baru), Radio Tape merk Polytron (beli second), Kipas angin, jam dinding

Tujuan Peni Swalayan, Peni Swalayan, Pasar Gowok, Peni Swalayan, - - belanja selain Pasar Gowok Pasar Gowok, Malioboro, Pasar Gowok, ke Carrefour Bringharjo Malioboro, Amplaz Bringharjo Berkunjung ke Sebulan sekali Sebulan sekali Kadang-kadang Kadang-kadang Setiap Kadang- Ambarrukmo atau kadang- atau kadang- seminggu kadang Plaza kadang kadang atau kadang- kadang

Acara annual Bersih desa, Idem Idem Idem Idem Idem selain Pitulasan Lebaran Perkumpulan Arisan Arisan - - - - Merayakan Tidak dirayakan Tidak dirayakan Tidak dirayakan Dulu dirayakan, Dirayakan Dirayakan ulang tahun sekarang tidak Ket: Penggunaan nama bukan nama sebenarnya.

166 LAMPIRAN II DENAH KOMPLEK PERUMAHAN ELIT DI KAWASAN SATELIT Taman AMBARRUKMO PLAZA Kencana Taman Nagoya Sejahtera

International Griya Casa Grande Hospital Pasar UII Tradisional ekonomi Parwita Asri

Ring Road Utara Griya Parwita Asri UPN LBA Puri veteran LIA Gejayan Indah

Bumi Seturan Permai II Permata STIE Seturan YKPN

Bumi Seturan Tectona House Permai I

Jalan Selokan Mataram Depok Fittnes Centre Peni Griya Asri Swalayan

STT NAS discotic Ambarrukmo Taman Kenari Residence Swalayan UP 45

Cita Panorama Jogja Residence

Girya Matahari Citra Grahadika Sejahtera

AMPTA Puri Kenari Jogja Regency UAJY II Town House II Town House I

Pasar Wisma Tradisional Joglo

HOTEL Carrefour HOTEL Ambarrukmo Winotosastro Amplaz

Jalan Solo UIN Wisma HOTEL SUKA Prambanan Sriwedari Komplek Polri

Town House III

Ket: Pencatatan nama-nama komplek perumahan elit dilakukan tahun 2007

167 Map Komplek Perumahan Elite di Kawasan Satelit Ambarrukmo Plaza CG Pasar Tradisional AMIKOM LAMPIRAN II Condong catur UII EKONOMI JALAN RING ROAD UTARA

UPN Veteran

LIA

STIE YKPN

PS

BSP 2

BSP TCH 1

JALAN SELOKAN MATARAM

PENI SWALAYAN GA

DISCOTIC DEPOK STTNAS TA FITTNES RA CENTRE KA NI AR TA UP 45

TK LAHAN PERSAWAHAN

JRS

GM CP UAJY II

TH TH 1 2 AMPTA CGS JR Pasar PK Tradisional Ambarrukmo Wisma Joglo Hotel HOTEL Amplaz Ambarrukmo STOCK carrefour WINOTO WELL M SASTRO

JALAN SOLO

UIN WISMA HOTEL SUKA PRAMBANAN SRIWEDARI

KP

Ket: = Komplek perumahan elit di sekitar Amplaz TH 3 AP MD = Jalur baru yang dibangun pihak Carrefour

= Pemukiman Penduduk Non Komplek LAMPIRAN III K 168 Baliho Carrefour (C) K Ring Road K Utara K K C C C C C C

K K K Jalan Jalan K Magelang Kaliurang K K Jalan K Colombo K K K K jalan Ring road K babarsari Jalan seturan

Jalan K Affandi K K Jl Prof Yohanes Carrefour Galeria C Jalan C C C Amplaz Solo

Saphir K Square Jalan Janti / K Ring road K K Bandara Jalan Adisucipto Malioboro Jalan Timoho Jl. Suroto K JEC K C JL. Wahidin Jalan Sudirohusodo C Mal Malioboro Wonosarai

Jl Gedong K Kuning

Jalan Brigjend Katamso K Ket: Identifikasi nama baliho Jogjatronik KRATON Carrefour dilakukan Februari K Jalan 2007 Ringroad

Jalan Parangtritis K LAMPIRAN IV

Daftar Nama Tenant di Ambarrukmo Plaza Berdasarkan Kategori

NO Tenant Letak Lantai / Unit Accesories 01 Cheaper-Cheaper L3 #B45 02 Fancy Chatelain L2 #B27 03 Fans Accessories GF #B.21 04 Feminine GF #B.22 05 Guess GF #B.24-25 06 Lendis Sport L2 #B.3 07 Leova L1 #B.3 08 Madonna Accessories L1 #B.43 09 Mode Collection L1 #B.26 10 My Secret Garden L3 # B44/B48-49 11 Naughty Accesories L2 # B26-28 12 Stroberi L1 # B39 13 Stroberi Castle L2 # A19 Jewelery 14 Argenta Silver L1 #B.51 15 Belle Jewelry GF #A.30 16 Elegance Jewelry GF #A.17&20 17 Felice Jewelry GF #B.30-31 18 Rose Diamond GFl #B.6-7 19 Semar Jewelry L1 #A.8-9 Fashion 20 Accent & Mint L1 # A17 21 Arithalia GF #A.5/6 22 Artha Mode L2, B49 23 Audie L1 # B9 24 Keris L2 # B38-41 25 Bluza L2 # B47-48 & B52-53 26 Body & Soul L1 #B.34-37 27 Cardinal L2 #B.32-33 28 Contempo L1 #A.4-5 29 Cool L3 # B42-43 30 Country Fiesta L3 # B37 31 Crisia Boutique GF #A.8 32 Dust L1 # B28-29 33 F&D Counter Culture L2 # A4-6 34 Faces Young Style GF #A.25-26 35 Factor L3 # B33 36 Fashion Park GF #B.28 37 Giordano GF #A.3-4 38 Hammer L1 #A.6-7 39 It's A Store L2 #B.60-61 40 Kappa L3 # B39 41 Kidz Station L2,B4-9 42 Lamara GF, A18 43 Lee Copper L3 # B31-32 44 Locker's Stuff L2,A19 45 Logo L1 #B.15-18 46 Lois L3 # B38 47 Mannequin L1 #B.48 48 Miami Beach L2 #B.45 49 Mineola L1 #B.44-45 50 Minimal L1,A24 51 Mississippi River L2 # A18 52 Number 61 L1 # 18-20 53 Ocean Pasific L3 # B40 54 Peach Boutique L2 #B.34 55 Pesta 42 L2 #B.46 56 Planet Surf L2 #A.9-11 57 Polo L2 # A2-3 58 Polo Ralph Laurent GF # B.26 59 Poshboy L1 #B.38 60 Simplicity & Graphis L1, A12 61 Sox Galeri LG # A6

169 170

62 The Executive GFl #B.5 63 Up 2 Date GF # B15 64 UP 9 L2 #B.58-59 65 Update Concept L2 # A7 66 Update men's boutique L3 # B47 67 Valesya Leather GFl #B.27 68 Vintage Boutique L1 #B.58 69 Yaya Fashion L2 # B22 70 Yessie L2 # B42 Lingerie 71 Lingerie Shop L1 #B61 Perfumery 72 Beauty Box LG # B14 73 C & F Perfumery GF # B 29 74 Chrystalline L2 # B57 75 Tiara Keyonee L1 # B25 Shoes & Bags 76 Adidas L2 #B.36-37 77 Bata GF#A9 78 Bellagio GF #A.31 79 Buccheri Buccheri GF # A34-35 80 Everbest L1,B53 - 55 81 Fladeo L2 #B.20-21 82 Gosh GF #A.32 83 Montana GF # B23 84 Nike L1, A10- A11 85 Otani GF #B.2-4 86 Sport Station L1 # A14 87 Vicari GFl #A.10 88 Zee U L2 # B73-74 Watches 89 Casio Concept Shop L2 # A21 90 Crystal Time LG #B.7 91 Watch Club GFl #A.7 Kids / Toys 92 Baby Snoopy L1 # B14 93 Cartoon n Cartoon L1 # B46-47 94 Le Monde L1 # A21 Restaurant & Cafe 95 A&W L3 # B4-7 96 Hayam Wuruk LG # A34 & A37 97 Bakar Batu L3, A11 98 Bakso Lapangan Tembak LG #A.2-3 99 Caesar Lounge & Cafe L3 100 77 LG #B.32-34 101 Hot Meal LG #A.35-36 102 Istana Mie & Es L3 # B17-18 103 Kedai Cobek L3/A7 104 Kentucky Fried Chicken GF #A.27-28 105 Mie Menteng LG #A.32 106 Mie Nusantara L3 #A.15 107 Mr. Bakso LG # B29-30 108 Pastello Resto L3 #A.16 109 Ny. Kamto LG #B.23-24 110 Pizza Hut GF #A.33 111 Qua-Li L3 #A.1 112 Red Bean L3 #A.12/13 113 Solaria L3 # A17-18 114 Taman Sari Food Court L3 115 Texas Fried Chicken L1 #A.1-3 116 Torabistro L3 #B.28-30 & Ice Cream 117 Baskin Robins LG # B17 118 BreadTalk GF #A.37 119 D'Crepes LG #B.5 120 Dunkin' Donuts GF #A.21-23 121 Mama Oven LG #B.23a 122 Mc. Donalds LG # B22 123 Bakery LG #B.8-9,18 124 Rotiboy Bakeshoppe LG #B.31 Karaoke Box 171

125 Starbox Instant Box L3 # B50-51 Music & Movie Store 126 Bulletin Music L2 # A17 127 Disc Tarra L3 #A.2/3 128 Indo Music L2 #B.43 129 Pondok Pujian LG # B19 130 Studio One L1 # A23 Cinema 131 Cineplex 21 L3 #B.20 Beverages 132 Franklin Corner LG # A15 133 Starbucks Coffee GF # A1 Game Zone 134 Fantasy Kingdom LG # A1 135 Game Fantasia L3 # B8-16 136 Timezone L1 #A.22 Notebook, Gadget & Electronic 137 EMAX (Apple Premium Reseller) L3, B 19 138 Gadget Store LG # A26 139 Metrostar Computer L2 # A13 140 Mobiland LG # B20 141 Star Shine LG #B 10-12 Cellular Provider 142 Smart Telecom LG # A23-25 143 XL Center L2 # A12 Cellular Shop 144 Ambarrukmo Phone Center LG 145 Nokia Sales & Care Center LG # A12-14 146 Oke Shop L2 # B2 147 Sony Ericsson LG # A9-11 Digital Photo Studio 148 Sampurna Photo L3 # B46 Home Appliances 149 Aowa LG # B27 150 Body Pack LG # A7 151 Madato LG # B26 152 Omega Plus LG #B.25 Home Decor 153 Ambarrukmo Dekor GF # B17 154 Kenari Djaja GF 155 Leaves Bedding LG # A8 156 Orchid Flower GF # B16 157 Sweet Home GF # A14 158 Three Star GF # A29 Department Store 159 Centro L1 #B.20 - L2 #B.19a Hypermarket 160 Carrefour LG #B.21 - GF #B.9a Gift Shop 161 Bubbles LG # B3 162 Lavender L1 #B.30 163 Nopio L1 #A.13 Handycraft 164 House Of Mangos L2 #B.44 165 Jogja Gift Village L1 # B31-33 166 Natlovers Treasures LG #B.13 Hair & Beauty 167 Chandra Gupta Salon GF # A13-14 168 Johnny Andrean Salon LG #B.1-2 169 Johny Danuarta Salon L1 #B.59-60 170 Natasha Skin Care L1 #B.4-6 171 New Topsy Salon L2 #B.1 172 O-Smile Dental Care L1 # B7 Drug Store 173 Century Health Care LG # B28 174 eCosway LG #B.36 175 GNC Live Well LG # B35 176 Guardian GF # B18-20 Health Supplies 177 Advance LG # B6 178 Innovation Store L2 # A1 172

179 Jaco LG,B4 180 Perfect Health LG #B.15-16 181 Shaga Fitness LG # A4-5 Health Care 182 Nail Pia L3 # B2-3 183 Nakamura Reflexolgy LG # A33 184 Passion L3, B26- B27 Opticals 185 JM Optik GF #B.1 186 Optik International GF #A.24 187 Optik Melawai GF #A.11 188 Optik Seis GF #B.8-9 189 Optik Tunggal GF #B32 Book Store & Stationery 190 Gramedia Toko Buku L2 #A.14-15-22 191 Namiki Pen & Art Gallery L3 # B1 Properties 192 Formula Land GF # A2-3 193 Turindo Tour & Travel L2, B31 Auto Plaza 194 Sim Corner L1,B24 Hobby Shop 195 Golf House L2,A8 196 Jogja Aeromodelling L2 # B30 197 Manhattan L2 #A.23 Money Changer 198 Mulia Money Changer LG # A27 ATM 199 ATM Butik BCA GF

200 ATM Center (BII, Lippo, Mega, Mandiri, Niaga, LG ATM Center NISP, Panin, BNI )

SUMBER: http://www.plaza-ambarrukmo.co.id/tenants.php#, directory Majalah Plaza LAMPIRAN V

Daftar Nama Bangunan dan Unit Usaha Sepanjang Jalan Solo Yogyakarta

Bangunan/Unit Usaha di Sisi Selatan Bangunan/Unit Usaha di Sisi Utara Hotel Jayakarta Alfa Supermarket Pemancingan Pemancingan Abadi Tailor PKL Dealer dan bengkel (deretan toko) PKL Setiawan Spooring Bengkel Kenteng Toko penjualan Kasur dan Spring bed Warung PKL MD cell PKL Tempat pembuatan kursi dan meubel Pusat Pendidikan IWAPI Salon Widya Jogja Adventure Rumah Bunga Sekar Chrysa Inti Kasoem Optikal Studio music 161 Omega Natrabu tour n travel Cia-Seng Warung Oleh-oleh Rejeki Toko Aldi Jaya Rumah Road cell UD. Tambak Jati Toko Kios PKL jual ban motor PT. Borobudur Oto Mobil Suzuki Sumber Baru Mobil Perum TNI AU Indo Mobil Sumber Baru Notaris PPAT Istana Srikandi (pusat oleh-oleh) Loket pembayaran rekening telpon Salon Anggraini Spesialis spare part Toko oleh- oleh Bu Vera Rosalia indah Kantor Notaris Guswanto Bekas dealer Ahas (kosong) Toko BNI Tambak Bayan Toko Trinity internet Primagama Optic Prambanan Chokdee motor Toko tanpa papan nama Victory celluler Potong rambut Riyanto Toko kecil Bima 3 toko oleh- oleh Rumah Agen Bus Eka Amazing Nyaman Travel Rajawali computer UD. Sumber Barito Rajawali outdoor equipment Press ban Smile digital photo Ruko tanpa papan nama Global surya Fish Kantor Gatra Majalah Toko Jago PT. Mendjangan Bintang Putra TCL (the creative life) Kurnia Jaya Ahas Equity Subur Motor Krisbow Wartel + toilet Acaciana Toko Ray White real estate agent Modiste Inung Toko Bangunan Karya Jaya Toko Al-Hikmah V class swalayan Pringgondani Warung Burjo Stars Warung Bu Prapto Agen pengiriman Barang Srijaya Abadi (bengkel) Mirota Kampus Babarsari Ruko tanpa papan nama Wartel Jago (pusat oleh-oleh) Warung Makan Laras Toko Bu Harjo Prana Dewa Meubel Jari-Jari pijat refleksi Intan travel Toko Ngudi Raos Babarsari Travel (rama sakti tour n travel) Toko Ca Kwe Rumah Makan Duta Minang SHY sell Bunga Kampus (outlet model dan gaya) Toko SHY Northern shop PS 46 Duta mas spooring Vermak Jeans Phia Deva (pusat oleh-oleh) Garden Furniture Gemini cell Bakso urat Arema Cak Pur Depot Herbal Ayman Toko Ngudi Raos (Pegasus) Ayam Goreng Suharti Toko Rumah Sticker scotlite Agen tiket Johar travel Modiste Yully Sahara photo copy Rumah makan Padang Merapi Singgalang Kantor Notaris Kios Toko tanpa nama Doni Service elektronik Honda Anugerah Reparasi radiator

173 174

Apotik Janti Toko Toko dan Bu Nur Toko Gedung tanpa nama Toko Bangunan belum jadi Toko Murni Jaya Rumah Rumah Favorit (suku cadang roda empat) Toko Meubel Agung Rejeki Suzuki Ambarrukmo Toko tanpa papan nama Ascot Celluler Toko tanpa papan nama Alnect computer 2 Bandung Jeans n Tailor Buana Photo Copy BPR Sinarenam Permai Depok Tahiti tour n travel Trvel SAA Tan Tock Seng Hospital Notaris Cotton house Sop Ayam Pak Min Klaten Rumah Makan Padang ARAU Apotek Husada Rumah PKL Pom Bensin Lucas Salon Kantor Koramil Depok Toko besi dan Kaca Bintang Mulia Maestro Photo Depot dan K-Link Shocker (hobies, anime, game) Tempat penitipan motor (Janti) JA-Seng sentral kosmetik Kios Mutiara Refill Parfum Toko Rumah makan Padang Cita Rasa Tempat penitipan motor Nusantara Sakti Motor Biro Jasa STNK Naya Cell Tong Seng Gule Potong Rambut Azis Tempat penitipan motor (janti) Kantor polsek Depok Batu Mulia Abadi tailor Ayong kosmetik Kawasaki dealer Toko kecil Bangunan (sedang dibangun) Istana Siswa Asia Tile Rodalink Hotel Sriwedari Panasonic Service Centre Wisma Prambanan Oto Mobil (variasi) Gedung kosong Toko kecil PKL Parsley Bakery Cake PKL Mobile 8 centre Teather (PS) Kantor Kimpraswil bid. Pengairan Warriors (Play Stasion) Rumah Pegadaian Budi Motor Counter tiket Merpati Sriwijaya reservation Sidik Foto Apotek Toko Kamajaya BPR Artha Sumber Arum Solo Phone Sell Husada Bima Perkasa AM Phone London Beauty Centre Ruko kosong Gedung belum jadi Rumah Rumah Master Link Hotel Winotosastro Seanna Tour Maestro Tour Kios (sedang dibongkar) Toko (tanpa nama) Circle K Notaris PPAT Rahmat Loundry Toko Bangunan Alam Indah Linda Trans Kampus Stikes STTI Respati (agak ke dalam) Linda Salon Kampus Akindo (agak ke dalam) Kedai Bamboe Global Art Jogja Toko Apotek Graha Farma Jogja Bisnis (UPTD) Beauty Bead Toko Lahan kosong T-Sell BRI Toko Kusuma Jaya Rental Mobil Kurnia Mobile Phone Wisma Kemala Warung Padang Sabar Jaya PKL Atma Motor (bengkel) Bebek goreng Wongso Central Loundry n Dry Cleaning Lahan kosong milik PT. Isa Kontraktor Fisio Bak Mi Jawa Pak Gino Toko Anisa Sate Ayam Podo Moro Wartel CV. Prasaja Komunika GSM centre Telkom PKL (ahli kunci) Juansha Parfum Bengkel Istana Lampu Sea food From Surabaya Post Mode Fashion House Paket Kobra Express Supermarket Oli, Ban Soto Lentok Pak Kerto Welkom Fashion Gallery Warung makan Madiun 175

Litto (vermak) Lahan kosong milik PT. Isa Kontraktor PKL PKL Sanggar Rias Putri Ayu Hotel Ambarrukmo Suzuki Indo Jaya Ambarrukmo Pesanggrahan Toko kecil AMBARRUKMO PLAZA Energy Penjahit Sinar Remaja Foto Copy 99 Apotik Agung Farma Desle Sport & Shoes Toko Buah Surya Buah Apotik babarsari Bank Syari’ah Mandiri Sidomukti motor PCP (Priority Cargo Package) Cahaya merpati furniture interior Panti pijat Tunanetra Vermak jeans Kantor Notaris PPAT Santa Baby Shop Rental VCD Warung gudeg Toko Bina Prestasi Wartel Wavin Warnet Merapi Elang Plastik n Doose Sinar Mas (elektrik) Bekas kios Photo copy Sahara Sahara Photo copy Dealer spare part motor Kimia Farma Muda Jaya Motor Star motor (bengkel reparasi) Kios pakan burung Usaha Kita (toko sepeda) Warung bumbu dapur Bato (PT. TUV Rheinland) PODO Toko (tidak ada nama) Istana Fision Honda genuine part Yanto Paris (kaca mata) rumah persewaan alat-alat pesta Kedai Pramuka Counter tiket pesawat Toko BU Rojo Depot Prima Jaya Kuburan Danagung Bakti Ni No Ri Restaurant n Café Jaya agung motor Rujak Cingur Jatim Pulung (Maspion) Istana Billiard Gita Buana Steak House Toko buku Social Agency Miroso P K L (afdruk foto dan stempel) Crown digital auditing studio Gedung Politeknik (Toko Buku Yusuf Agency) Kos putri Kampus UIN Sunan Kalijaga Yamaha Gedung Mandala Bhakti Wanitatama Gudang SMA Karya Rini Toko kecil Lahan kosong Andoyo motor 3 Hotel Saphire Makmur spare part SAPPHIRE SQUARE (MALL) Makmur (toko sepeda) Fashion Future Toko Manan Motorola Celluler Shop n Sony Erricson Wartel Dhoho Griya Indosat Pak Dhe sticker O-Smile Manggala (accessory) Andalan Finance Apple DVD UD. Kawan Kita (ahas Honda) Unite ! Shop Restorant Lombok Ijo Hasta lasita Suhodo (bengkel motor) Toko kecil Naning (persewaan alat pesta) Printertape Grand racing Diva Bumi asih jaya Indotama grosir parfum Restoran Colombo Parfum Clinique Toko Kencana motor Griya indah furniture Duta baru foto Yamaha Sumber baru motor Manggala motor Toko K-Seng Sweet Home Interior PKL press Ban Toko kelontong Museum Affandi Hotel Duta Wisata II Relax Toko bangunan Harapan Jaya Toko kecil Sandang Murah V art Gallery and café Rumah (dijual) K F C / pusat kulakan Handphone dan computer Bangunan kosong Gedung dan Wisma PU Jamsostek Stock well Cinema Empire XXI SMA kolese de Brito Warung Tenda Pacific (sedang dibangun) Rumah Ganesha Kampus Politeknik LPP Perpustakaan Mohammad Hatta (yayasan Hatta) Kampus Ista AKPRIND (agak ke dalam) Megatech computer Rumah Restorant Duta Minang Counter Batavia air Warung Gudeg Campursari 176

Toko (kosong) Gedung sedang dibangun Rahayu electric Spon jaya mebel CPS minimarket Mitra phone Madu Nusantara Lamhaba agency Rumah makan Gajah Jaya Pilar tour Future Kids Mandala Court Dazzle (celluler) Stop and Shop Fashion Stir mobil Dewi Bank Sinar Mas Circle K Duta Foto Wartel Suzuki motor Gudang kayu (Gudeg Kayu) Toko Mas Ibukota Dokter gigi Handoko Kharisma Rumah Sandang Muslim Ahas Honda Bata Sampurna Foto Gracia Toko Bangunan Damai Horizon Kaki Sehat (tempat pijat) Uchida (varia electric) Pasar tiket Toko kosong Rumah Dallas Toko Ellite Golden Skin Care Toko Bobby Serba Cantique Toko Venno Soda Lounge Prima (tiket counter) Toko besi Nusantara Elegance (shoes gallery) New Wijaya textile Artha Photo Natasha Skin Care Elizabeth Apotik Toko mas Empat Lima BNI Bintang Jaya Lippo Bank Stars Citra Toko Sinar (elektrik) Rumah Central Photo Toko Mahkota batik Century Bank Toko Canada Yamaha Toko Ramona Melia Panen Mas Toko emas Rukun GARDENA Prima textile Stars Toko emas Semar Toko alat tulis Siswa Muda Toko emas Kuda Mas Rama Toko Ganesha Textile Batik Danar Hadi Keio Toko counter celluler Toko Viva Toko cat warna abadi Jago (rumah belanja keluarga) Romance Aneka Tekstil King Koil Reksa Arcade Asuransi Rama Mumbay Textile Swalayan Citrouli Megah textile Next Footsal n Lounge Rumah makan Bu Warti Circle K ML Décor Planet pool centre Bangunan belum jadi Buana Photo Copy Toko Rahayu Muncul Pangkas Rambut Salon Endang Toko Delapan Wartel Groofy Baledono Toko bangunan (tanpa papan nama) Warung pecel Ponorogo Edelweiss Warung makan Tojoyo 3 Toko – toko (tanpa papan nama) Graha elektronik (adira on shop) Mirasa Sophie paris R.S. Bethesda Oen sell UOB Buana Imola Adem Ayem Hotel Kantor Golkar Bank Danamon Gramedia (dunkin Donuts) D & G (Dolce Gabbana) ELTI Nusantara tour Lippo Bank Nokia celluler Holland Hanny Salon BII Shooter Billiard n Lounge Bank NISP TOTO aneka logam Bank Mega Optic akur Honda Ahas Bangunan (sedang dibangun) Bank Mayapada Kantor Ikatan Sarjana Wanita Indonesia Cab. 177

Yogya Circle K Star One Centre Arena penjualan beragam Bunga Smiley Mc. Donald Dental center KALI CODE Panti Adjidarmo Indo Jaya Suzuki Golden celluler Counter bus Safari Dharma Raya Dokter gigi Kumalasari Warung non-stop Davin décor Rumah Makan Duta Minang Yussuf tailor MaCell Srimanganti Hotel Bank Mandiri Enggal jaya Asuransi Bumiputra 1912 Hotel Duta Wisata I Bank Mandiri U + 2 fashion TK Bokpri Gondolayu Rama SD Bokpri Gondolayu Zenko Lahan milik Indosat Music & T-Shirt Bangunan kosong BCA Phonix Rama (gordyn) Toko Samudera Fisindo Rumah Kedai Tiga Nyonya Toko Sumber Rejeki Circle K UD. Trisna Jaya S. Singer Textile plus Apotek Wisnu Warna warni Frog Digital Photography Griya Muslim Annisa Kurnia Musik Lahan kosong Argus (optic) Vinolia baby n Kids Modiste Pini Toko tanpa nama BANGUNAN TUGU Takashimura restorant Easy minimarket Trend’s (mac mohan) Camry Snoopy Batik Nandia Optic Melawai Avenue Citra Kampung Asoka textile Citra Borobudur décor Bata Sony erricson Enggal Jaya (elektronik) Toko Obat Malaya Aspira (mac mohan) Toko tanpa papan nama Toko mas Elegan Palace (mac mohan) Griya Hobby GALERIA MALL Lahan kosong DHL Lahan kosong Novotel (hotel) TK Bokpri SMU Bokpri 2 Rumah Wisma Tamu I dr. Hindardjo (spesialis penyakit dalam) Wisma Tamu II Pasar swalayan Super Indo BCA Museum pusat TNI AD Dharma Wiratama Bank BTN Secretariat Partai Patriot Gereja Anugerah Telkomsel Centre Hotel Sapta Gria Asuransi Jasindo Jogja Phone Market 3 Store Toko 178

Toko Toko Toko Toko Quartz + Celluler Toko PKL K a l i code Frezz Bandeng resto Edy Helm (supermarket helm) Sate Kuda Nasi Rames Rumah Makan Tio “asli” Ciu Power tell Merpati motor Honda Kantor Pos Hotel Santika Jogja Bank Niaga S Singer (penjahit) Grand Mercure Bangunan gedung kosong Kantor Distrantib kota Yogyakarta Dimensi tour n travel Pizza Hut Murah (Toko Alat Tulis) BANGUNAN TUGU

Sumber: identifikasi langsung hari Selasa, tanggal 17 Juni 2008 pukul: 05.30 – 08.40 dan Kamis tanggal 19 Juni 2008 pukul 08.00 – 10.00 (dokumentasi Samsul Bahri) LAMPIRAN VI

Daftar Nama Bangunan dan Unit Usaha Sepanjang Jalan Malioboro

Bangunan/Unit Usaha di Sisi Barat Bangunan/Unit Usaha di Sisi Timur Toko Podjok Bus Malam Safari Dharma Raya (Agen Tiket) Bangunan (kosong) Bima (Agen Tiket) Loy Travel A Kasoem Optik Modern Mebel Audio Tone (pusat alat bantu dengar) Toko Wahyu Yogya Hotel Kombokarno Utama – Banano Bakso Bebek Goreng “H Slamet” Tugu Chiken PT Luxindo Raya Penjahit dan Penatu “Ganjar Sabar” Teta (Beauty and Slimming Clinic) Toko Meubel Sidodadi Apotek Merapi Indra Kelana Tour and Travel Bangunan (dikontrakkan) Bangunan Kosong (dikontrakkan) Rumah Makan Adem Ayem Plaza Arjuna Yogyakarta (Hotel) Bangunan (tanpa papan nama) Harian Kedaulatan Rakyat Toko Sen (Toko Alat alat Mobil) Champion (toko alat tulis) Toko Cat “Lancar” Dokter Gigi “Santi” Toko Suwito Honda PT Colombo Pal (dealer) Yogya Silver Permata Bank Restu (Biro Perjalanan) Ice Cream Tip-Top Rabobank Raja Motor (dealer) Viar (dealer mobil) PT Pertamina (Persero) Apotek Farmarin – PT Fajar Mekar Indah XL Center Mega Mitra (Simpan Pinjam) PT PLN (Persero) Orchid Beauty Ladies Centre Universitas Mercu Buana Bank Ekonomi Hotel Toegoe Toko Mas “Kutut Mas” Gama Candi Resto Devin Tour and Travel (Rental Mobil) Inna Garuda Hotel Tom Salon and Laundry De Djogja (Karoke and Lounge Café) Wijaya Baru Travel Dinas Pariwisata Oleh Oleh Khas Yogya Pathok Gedung DPRD DIY Exelsior Computer Legian Garden Restaurant –Diana Music – Billiard Melia Laundry Drycleaning MALL MALIOBORO Rosalia Indah (Biro Perjalanan Astra Motor Honda Toko Rumus (Alat Tulis Percetakan) Toko Sepatu Pantja Djaja Binatu Yogya Extreme Cloth Bank Saudara Akari (TV Audio) – Al-Fath Rachmalia Indah Otani (Sepatu Tas dan Busana) Nani’s (Souvenir Sprei Kebaya Batik) Toko ”Hidup Baru” (Tas dan Alat Tulis) Priaventure (Biro Perjalanan) Toko Obat “Sehat” Rizky Tour and Travel (Biro Perjalanan) Hotel Mutiara Sumber Baru Niaga 33 (Dealer Resmi Yamaha) Mac Mohan Audio (Elektronik Komputer Parabola) Sami Jaya Phone Center Sentral Yamaha Yogyakarta Hotel Mutiara Sumber Baru Motor Supermarket Mobil dan Sepeda Pusat Penerangan Pariwisata (Government Tourist Motor Information Center) Djohar Ismail (Dokter Spesialis Anak) Bank BPD DIY Toko Mas & Berlian “Mulia” – Koperasi Serba Usaha Kantor Gubernur DIY “Arto Mulyo” Nokia Center bangunan tua kosong/ rusak Honda ABC Motor Paris (Toko Sepatu) Tomang Toko Kerajinan “Menang” BCA (KCP) Mirota (Antique and Repro Furniture) Wisma Ratih Batik ”Terang Bulan” Stasiun Tugu Al-Fath (Busana Muslim) Asia “Datoek Teloek Basa” (Batik dan Kerajinan) Batik Keris Fancy, Kerajinan Tas Kulit Mesin Jahit ”Sumber Harapan” J Viola Toko Obat ”Tay An Tjan” Batik Kerajinan Nadzar Bata Factory Outlet Mulia Sentral (Toko Permata) Tiara Pusat Kosmetik Gemah Ripah (Toko Makanan Oleh-Oleh) Indo Maret (Gedung Chemist Druggist) Logam Mulia (Toko Mas Permata) – Koperasi Simpan Pinjam ”Urip Mulyo” Bangunan kosong Toko Obat Enggal Husada / Eng Thay Hoo Kodak Express Surya Abadi Jogja Library Center Toko Emas Perak ”Gadjah Sakti” – Money Changer

179 180

Music T-Hirt (Punk) Al-Fath (Busana Muslim) Mac Mohan Trend’z 2 Toko Proton (Jamu) Reflexologi Kaki Bugar Toko ”Djoen” (Makanan Kuwe dan Minuman) Prudential Depon Makan ”Asia” Subur d/h Ong Mega (Sepatu dan Tas) Batik Mangkoro RAMAYANA Toko Anugerah Listrik Batik Juwita Batik Kemuning Faiza (Moslem Fashion) – BMT Beringharjo Toko “63” Makmur Jaya Eiger Invider Shop (Clothing & Accessories) Circle K Batik Putra Kencana Batik Taruntum Varia Fashion Apeco Winsor & Newton Gracia Décor Edward Forrer (Sepatu dan Tas) Boom Stock Mode Style Batik Citra Toko Mas “Aneka” KFC Obor Mas Autorized Money Changer (PT Intra Valas) Pasar Beringharjo Perdana (Toko Kain dan Penjahit) Benteng Vredeburg Batik Srikandi Kawedar (Pusat Oleh-oleh Khas Jogja) Ramayana Kimia Farma (Apotik) Modern (Toko Sepatu) Eiger Toko Obat Sinar Sehat Sami Agung (Toko Meubel) Domino (Sepatu dan Tas) Remaja (Tas dan Koper) Eiger Ardiles Jogja The City of Batik Bata Batik Surya Madison (Sepatu dan Tas) Bratatex Jaya Dewi Favorite (steak & ) Dugem Shop Denzer Fashion Clubber Batik Janoko Rianty Batik Dewata (Tas dan Koper) Batik dan Kerajinan Adiningrat T2 Distro Amanda Yunika (Jeans and Jacket) Dugem Shop Safari (Toko Sepatu dan Tas) Bata Gading (Sepatu dan Tas) Toko Setia Budi (elektronik) Ganesha Textile Sahiba (Busana Muslim Batik Corner) Oshin Warna Warni (seragam textile) Queen (fashion) Liman (Kasur dan Busa) Matahari Sampurna Jogja Batik Trion’s Gallery ( Batik dan Perak) Warna Warni (Batik dan Kebaya) Mac Mohan Toko Wina Batik Danar Hadi Solo Bedhol Toko Batik Ningrat Batik Keris Time Zone Airland Nam Hien - Ratu Jaya 181

Matahari Italy (sepatu dan tas) Dugem Fashion Rocket Shop Toko Mas Berkah Toko Obat Sumber Husodo d/h Tek An Tong Dallas Enteng (Obat dan Jamu) Luwes (Toko Jaket Tas & Koper) Istana Arloji ”TAN” Istana Kebaya Mac Mohan Dynasty Fashion Toko Sumber Mulya RAMAI (Pusat Perbelanjaan) Istana (Sari Batik) Wisma Batik Margaria Ibu Yuli RM. Soto Ayam 61 Batik Sekar Arum Cherry Fashion Citra (Batik) Optik Murah Toko Teguh Look Fashion Omega Toko Besi Aneka Tehnik Gunung Mas Salaman (Toko Emas berlian) Toko Mas ”Dewi” Toko Mas ”Guci Mas” Batik Soenardi Batik Silky - Gita Dahar Timur Sumber Cahaya (toko elektronik) Toko Mas Monita Toko Mas Kereta Mas Toko Bung Gemuk Iboe RM Cirebon ”Ayam ” Mirota Batik ISTANA NEGARA

Sumber: Identifikasi langsung dilakukan hari Selasa 17 Juni 2008. Disempurnakan Minggu 12 Juli 2009, Senin 13 Juli 2009 dan Jumat 17 Juli 2009 (Dokumentasi Samsul Bahri).