Malioboro Sebagai Pusat Pariwisata Kota Yogyakarta

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Malioboro Sebagai Pusat Pariwisata Kota Yogyakarta Domestic Case Study 2018 Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta Malioboro Sebagai Pusat Pariwisata Kota Yogyakarta Dhoni Cahya Aditya 141384 Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta A. Pendahuluan Berdasarkan program Domestic Case Study laporan ini untuk memenuhi syarat jenjang sarjana yang dibuat pada semester 3 dengan cara melakuakan observasi terhadap suatu objek wisata. Selain itu mahasiswa telah dibekali materi dalam seminar yang dilakuakan oleh STIPRAM yang bertempat di JEC dengan tema Sinkronisasi. Pengembangan Desrtinasi Pariwisata Dan Sdm Pariwisata : Suatu Antisipasi Menghadapi Mea 2015 [1]. Penulis strata 1 hospitality semester III yang melakukan perjalanan ke Yogyakarta pada tanggal 10 Juni 2015 Penulis mengunjungi beberapa objek wisata yaitu Keraton, Malioboro dan Benteng Venderbug. Disini penulis ingin mengambil Malioboro sebagai judul jurnal.Penulis merasa Malioboro sangat cocok untuk dibahas karena disana memiliki potensi wisata yang sangat diminati. Kota Yogyakarta adalah provinsi yang terletak bagian selatan pulau Jawa ini merupakan salah satu daerah tujuan wisata favorit yang ada di Indonesia, hal ini dikarenakan Yogyakarta banyak obyek wisata yang sangat menarik. Di Utara Yogyakarta, terdapat Gunung Merapi. Di Selatan Yogyakata terdapat pantai pantai yang Indah.Serta di tengah Yogyakarta terdapat Keraton, yang merupakan obyek wisata budaya yang sangat menarik. Selain hal hal yang disebut di atas.Yogyakarta memiliki obyek wisata yang menarik. Obyek wisata yang sering dilewati namun kadang kala sering dilupakan. Obyek ini, berupa jalan yang dikenal dengan nama Malioboro. Pada awalnya jalan ini hanya dilewati oleh masyarakat yang hendak ke Keraton atau kompleks kawasan Indische pertama di Jogja seperti Loji Besar (Benteng Vredeburg), Loji Kecil (kawasan di sebelah Gedung Agung), Loji Kebon (Gedung Agung), maupun Loji Setan (Kantor DPRD). Namun keberadaan Pasar Gede atau Pasar Beringharjo di sisi selatan serta adanya permukiman etnis Tionghoa di daerah Ketandan lambat laun mendongkrak perekonomian di kawasan tersebut. B. Pembahasan Pariwisata tumbuh dengan pesat dan menjadi pertumbuhan ekonomi yang cepat didunia [2]. Pariwisata merupakan salah satu sumber devisa negara yang sangat potensial, sektor ini merupakan unggulan dalam menopang perekonomian masyarakat Indonesia. Dalam mendukung kegiatan pariwisata, pemerintah akan memberikan fasilitas dan infrastruktur yang dibutuhkan dan memiliki daya tarik bagi wisatawan [3]. Tempat wisata merupakan salah satu tujuan utama yang tidak akan terlewatkan untuk dikunjungi para wisatawan. Para wisatawan akan lebih memilih tempat wisata aman, nyaman, dan bersih [4]. Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi [5]. Diawali dari kegiatan yang semula hanya dinikmati oleh segelintir orang-orang yang relatif kaya pada awal abad ke-20, kini telah menjadi bagian dari hak azasi manusia. Hal ini terjadi tidak hanya di negara maju tetapi mulai dirasakan pula di negara berkembang [6]. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang dalam tahap pembangunannya, berusaha membangun industri pariwisata sebagai salah satu cara untuk mencapai neraca perdagangan luar negeri yang berimbang. Melalui industri ini diharapkan pemasukan devisa dapat bertambah [7]. A. Sejarah Yogyakarta Antara tahun 1568 – 1586 di pulau Jawa bagian tengah, berdiri Kerajaan Pajang yang diperintah oleh Sultan Hadiwijaya, di mana semasa mudanya beliau terkenal dengan nama Jaka Tingkir. Dalam pertikaian dengan Adipati dari Jipang yang bernama Arya Penangsang, beliau berhasil mucul sebagai pemenang atas bantuan dari beberapa orang panglima perangnya, antara lain Ki Ageng Pemanahan dan putera kandungnya yang bernama Bagus Sutawijaya, seorang Hangabehi yang bertempat tinggal di sebelah utara pasar dan oleh karenanya beliau mendapat sebutan : Ngabehi Loring Pasar. Sebagai balas jasa kepada Ki Ageng Pemanahan dan puteranya itu, Sultan Pajang kemudian memberikan anugerah sebidang daerah yang disebut Bumi Menataok, yang masih berupa hutan belantara, dan kemudian dibangun mejadi sebuah “tanah perdikan”. Sesurut Kerajaan Pajang, Bagus Sutawijaya yang juga menjadi putra angkat Sultan Pajang, kemudian mendirikan Kerajaan Mataram di atas Bumi Mentaok dan mengakat diri sebagai Raja dengan gelar Panembahan Senopati. Salah seorang putera beliau dari pekawinannya dengan Retno Dumilah, putri Adipati Madiun, memerintah Kerajaan Mataram sebagai Raja ketiga, dan bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo, Beliau adalah seorang patriot sejati dan terkenal dengan perjuangan beliau merebut kota Batavia, yang dekarang disebut Jakarta, dari kekuasaan VOC, suatu organisasi dagang Belanda. Waktu terus berjalan dan peristiwa silih berganti. Pada permulaan abad ke-18, Kerajaan Mataram diperintah oleh Sri Sunan Paku Buwono ke II. Setelah beliau mangkat, terjadilah pertikaian keluarga, antara salah seorang putra beliau dengan salah seorang adik beliau, yang merupakan pula hasil hasutan dari penjajah Belanda yang berkuasa saat itu. Petikaian itu dapat diselesaikan dengan bik melalui Perjanjian Ginyanti, yang terjadi pada tahun 1755, yang isi pokoknya adalah Palihan Nagari, yang artinya pembagian Kerajaan menjadi dua, yakni Kerajaan Surakata Hadiningrat dibawah pemerintah putera Sunan Paku Buwono ke-III, dan Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat dibawah pemerintahan adik kandung Sri Sunan Paku Buwono ke-II yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat inikemudian lazim disebut sebagai Yogyakarta dan sering disingkat menjadi Jogja. Pada tahun 1813, Sri Sultan Hamengku Buwono I, menyerahkan sebagian dari wilayah Kerajaannya yang terletak di sebelah Barat sungai Progo, kepada salah seorang puteranya yang bernama Pangeran Notokusumo untuk memerintah di daerah itu secara bebas, dengan kedaulatan yang penuh. Pangeran Notokusumo selanjutnya bergelar sebagai Sri Paku Alam I, sedang daerah kekuasaan beliau disebut Adikarto. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, beliau menyatakan sepenuhnya berdiri di belakang Negara Republik Indonesia, sebagai bagian dari negara persatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya bersatatus Daerah Istimewa Yogyakarta (setingkat dengan Provinsi), sampai sekarang. B. Letak Geografis Yogyakarta Secara geografi provinsi DIY terletak pada 8°30'-7°20' Lintang Selatan dan 109°40'-111°0' Bujur Timur. Batas wilayahnya sebagai berikut : Timur : Kabupaten Klaten Barat : Kabupaten Purworejo Utara : Kabupaten Magelang Selatan : Samudera Hindia C. Kota Pelajar Antara awal tahun 1946 sampai akhir tahun 1949, selama lebih kurang 4 tahun, Yogyakarta menjadi Ibukota Negara RI. Pada masa itu para pimpinan bangsa Indonesia berkumpul di kota perjuangan ini. Seperti layaknya sebuah ibukota, Jogja memikat kedatangan para kaum remaja dari seluruh penjuru tanah air yang ingin berpartisipasi dalam mengisi pembangunan negara ini yang baru saja medeka. Namum untuk dapat membangun suatu negara diperlukan tenaga-tenaga ahli, terdidik dan telatih. Dan karena itulah yang melatar belakangin pemerintah RI untuk mendirikan sebuah Universitas, yang kita kenal dengan nama Universitas Gajah Mada, merupakan Universitas Negeri pertama yang lahir pada masa kemerdekaan. Selanjutnya diikuti dengan berdirinya akademi di bidang kesenian(Akademi Seni Rupa Indonesia dan Akademi Musik Indonesia), serta sekolah tinggi di bidang agama Islam (Perguruan Tinggi Agama Islam Negaeri, yang selanjutnya menjadi UIN Sunan Kalijaga). Pada waktu selanjutnya juga bediri lembaga-lembaga pendidikan baik negeri maupun swastadi kota Yogyakarta, sehingga hampir tidak ada cabang ilmu pengetahuan yang tidak diajarkan di kota ini. Hal ini menjadikan kota Jogja tumbul menjadi kota pelajar dan pusat pendidikan. Sarana mobilitas paling populer di kalangan pelajar, mahasiswa, karyawan, pegawai, pedagang dan masyarakat umum adalah sepeda dan sepeda motor, yang merupakan sarana trasportasi yang digunakan baik siang mupun di malam hari. Hal ini menjadika Jogja juga dikenal dengan sebutan kota sepeda. D. Pusat Kebudayaan Pada hakekatnya, seni budaya yang asli dan indah selalu terdapat di lingkunggan kraton dan daerah disekitarnya. Sebagai bekas suatu Kerajaan yang besar, maka Yogyakarta memiliki kesenian dan kebudayaan yang tinggi dan bahkan merupakan pusat sumber seni budaya Jawa. Hal ini dapat kita lihat dari peninggalan seni-budaya yang dapat kita saksikan pada pahatan pada monumen-monumen peninggalan sejarah seperti candi-candi, istana Sultan dan tempat-tempat lain yang masih berkaitan dengan kehidupan istana. Dan sebagian dapat disaksikan pada moseum-moseum budaya. Kehidupan seni tari dan seni lainnya juga masih berkembang pesat di kota Jogja serta nilai- nilai budaya masyarakat Jogja terukap pula dalam bentuk arsitektur rumah penduduk, dengan bentuk joglonya yang banyak dikenal di seluruh Indonesia. Andhong antik di Jogja memperkuat kesan, bahwa Yogyakarta masih memiliki nilai-nilai tradisional. Seniman terkenal dan seniman besar besar yang ada di Indonesia saat ini, banyak yang didik dandigembleng di Yogyakarta. Sederetan nama seniman seperti Affandi, Bagong Kusdiharjo, Edi Sunarso, Saptoto, Amri Yahya, Kuswadji Kawindro Susanto dan lain-lain merupakan nama-nama yang ikut memperkuat pernanan Yogyakarta sebagai Pusat Kebudayaan. E. Daerah TujuanWisata Pada masa sekarang, seluruh predikat Yogyakarta luluh mejadi satu dan berkembang menjadi satu dimensi baru : Yogyakarta Sebagai Daerah Tujuan Wisata. Keramah tamahan yang tulus, khas Yogyakarta, akan menyambut para wisatawan di saat
Recommended publications
  • Island Hopping Indonesia Audley Group Tour 5Th October 2012
    Island Hopping Indonesia Audley Group Tour 5th October 2012 Sunrise over Mount Bromo, Java We are proud to have received a number of awards over recent years. We have been the Daily Telegraph Ultra Travel Best Small Tour Operator winner and runner-up in the last three years and have been in the top five of the Guardian and Observer’s Best Small Tour Operator award for the past five years as well as featuring in Wanderlust magazine’s Top Tour Operators for the past nine years. The readers of Condé Nast Traveller magazine have also voted us their Favourite Specialist Tour Operator and we were included in the Sunday Times Travel Magazine’s 2011 Value for Money Awards. These awards are widely recognised as being the most respected in the travel industry as they are professional surveys of the publications’ readerships. With over 500 tour operators for you to choose from in the UK alone, we hope you find these awards are an additional reassurance of the quality of service you can expect from Audley. Contents Introduction, meet our specialists, climate ______________ 4 Flights and visas 5 Day by day summary of travel arrangements _____________ 6 Quotation 8 Tour Information ________________________________ 9 Why travel with us? ______________________________ 10 Photographs of the region _________________________ 12 Itinerary in detail ________________________________ 14 Accommodation information _______________________ 28 General information _____________________________ 33 Terms and conditions _____________________________ 36 Booking form _____________________________ back page Borobudur, Java An introduction to our Island Hopping Our Indonesia group tour specialists Indonesia group tour Sarah Howard With years of experience operating in Indonesia, we 01993 838 119 have designed this tour to take in some of our favourite sarah.howard:@audleytravel.com places from over the years.
    [Show full text]
  • PLACE BRAND EXPERIENCE WISATAWAN MALIOBORO TERHADAP CITY BRANDING DIY “JOGJA ISTIMEWA” (Studi Kualitatif Pada Pengalaman
    PLACE BRAND EXPERIENCE WISATAWAN MALIOBORO TERHADAP CITY BRANDING DIY “JOGJA ISTIMEWA” (Studi Kualitatif Pada Pengalaman Wisatawan Malioboro) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Oleh WAHIDA SARI PANGESTU 13321056 Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Yogyakarta 2018 i ii iii iv MOTTO “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (Qs. Ar Ra’d : 11) “You Think if You Think You Can” PERSEMBAHAN Karya ini saya persembahkan kepada : Mama, Bapak, dan Kedua adik saya v KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr.Wb Alhamdulilahirabbil’alamiin, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan Rahmad dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Place brand experience wisatawan Malioboro terkait city branding DIY “jogja istimewa” (Study kualitatif pada pengalaman wisatawan Malioboro). Shalawat serta salam tidak lupa penulis panjatkan Kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya yang selalu berjuang untuk Islam di Jalan Allah SWT. Skripsi ini disusun penulis, guna memenuhi syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana (SI) pada jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia. Skripsi ini merupakan penelitian kualitatif pada pengalaman wisatawan yang berkunjung ke Malioboro dimana kaitannya dengan “jogja istimewa”. Penelitian ini peneliti lakukan sebagai salah satu evaluasi dari city branding Daerah Istimewa Yogyakarta “jogja istimewa”. Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam bentuk material maupun non material hingga skripsi ini dapat terselesaikan.
    [Show full text]
  • Chapter Iv Object of Research Overview
    CHAPTER IV OBJECT OF RESEARCH OVERVIEW A. Profile Special District of Yogyakarta. 1. DIY Geographical. DIY was one of the provinces in Indonesia, located in the central part of Java Island. DIY position lies between 7°.33 '- 8°.12' south latitude and 110°.00 '- 110°.50' east longitude, and was recorded an area of 3185.80 km². 65% of the territory in the province at an altitude of between 100 m - 499 m above sea level; 28, 84% at an altitude of less than 100 m; 5, 04% at an altitude of between 500 m - 999 m and 0, 47% are at elevations above 1000 m. DIY is divided into five districts, namely Kulon Progo, Bantul District, Yogyakarta, Sleman and Gunung Kidul regency with the total number of villages in the districts of the village numbered 438. DIY provincial capital contained in the Yogyakarta District lead by Sultan HB X as governor of DIY. DIY there is a volcano of Mount Merapi with a height of 2,941 m, which is located in Regency Sleman. Several rivers also flow in the province, such as the Code River, Opak River, Progo River, River Gajahwong, Winongo and Serang River. DIY has a tropical climate which is influenced by the dry season and the rainy season. The total area owned by the widest Gunung Kidul Regency with an area of 1485.36 sq km area, followed by Kabupaten Kulonprogo with an area 586,27 km², Kabupaten Sleman with an area of 574.82 km², Bantul with an area of 506.85 km², and Regency Yogyakarta with the smallest area covering an area of 32.50 km² (Badan Pusat Statistik Provinsi D.I.Yogyakarta, 2016).
    [Show full text]
  • MOTIVASI PENGUNJUNG MELAKUKAN LEISURE and RECREATION DI DAYA TARIK WISATA MALIOBORO, YOGYAKARTA Abstract
    Jurnal Destinasi Pariwisata p-ISSN: 2338-8811, e-ISSN: 2548-8937 Vol. 9 No 1, 2021 MOTIVASI PENGUNJUNG MELAKUKAN LEISURE AND RECREATION DI DAYA TARIK WISATA MALIOBORO, YOGYAKARTA Ni Komang Otami Astuti Widiandari a, 1,Saptono Nugroho a, 2 1 [email protected], 2 [email protected] a Program Studi Sarjana Destinasi Pariwisata, Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana, Jl. Dr. R. Goris No 7, Denpasar, Bali 80232 Indonesia Abstract Shopping center Malioboro offers a variety of souvenirs typical of Yogyakarta such as shirts, batik, blankon, sandals, and various types of handicrafts. In addition, Malioboro also serves as a culinary center with stalls along the street serving typical food and beverages at very cheap prices. Malioboro also has old buildings of Dutch colonial heritage. This research is located at Jalan Malioboro, Sosromenduran, Gedong Tengen, Yogyakarta City, Special region of Yogyakarta. The aims of this research to understand the attraction, accessibility, amenities, and ancillary also the tourist motivations in this tourist destination. The accidental sampling technique using for informants to collecting data. This research uses qualitative methods with techniques of observation, interview, questionaire, and documentation study. The data analysist technique used descriptive qualitative analysis. The research finds that many variety of attractions (culinary, shopping tour, building architecture, and street artists), accesibility (by transportation and information), amenities (hotels and tourism support facilities) and ancillary (UPT and merchant associations) existed in Malioboro. The motivation of visitors divided by two factors that is the push factor (out of saturation and curiosity) and pull factor (images owned, cheap prices provided, and the atmosphere offered by Malioboro).
    [Show full text]
  • 1965 and Now in Indonesia by Martha Stroud a Dissertation Submitted In
    Ripples, Echoes, and Reverberations: 1965 and Now in Indonesia by Martha Stroud A dissertation submitted in partial satisfaction of the requirements for the degree Joint Doctor of Philosophy with University of California, San Francisco in Medical Anthropology in the Graduate Division of the University of California, Berkeley Committee in charge: Professor Nancy Scheper-Hughes, Chair Professor Laura Nader Professor Sharon Kaufman Professor Jeffrey A. Hadler Spring 2015 “Ripples, Echoes, and Reverberations: 1965 and Now in Indonesia” © 2015 Martha Stroud 1 Abstract Ripples, Echoes, and Reverberations: 1965 and Now in Indonesia by Martha Stroud Joint Doctor of Philosophy with University of California, San Francisco in Medical Anthropology University of California, Berkeley Professor Nancy Scheper-Hughes, Chair In Indonesia, during six months in 1965-1966, between half a million and a million people were killed during a purge of suspected Communist Party members after a purported failed coup d’état blamed on the Communist Party. Hundreds of thousands of Indonesians were imprisoned without trial, many for more than a decade. The regime that orchestrated the mass killings and detentions remained in power for over 30 years, suppressing public discussion of these events. It was not until 1998 that Indonesians were finally “free” to discuss this tragic chapter of Indonesian history. In this dissertation, I investigate how Indonesians perceive and describe the relationship between the past and the present when it comes to the events of 1965-1966 and their aftermath. Do the killings and detentions still emerge in and influence daily life today? If so, how? The experiences, interactions, and conversations I had and the interviews I conducted during two years of fieldwork, primarily in Yogyakarta on the island of Java, shape the form and focus of this dissertation.
    [Show full text]
  • Dari Jalan Kerajaan Menjadi Jalan Pertokoan Kolonial: Malioboro 1756-1941
    Volume 14 Number 2 ISSN 2314-1234 (Print) Page October 2018 ISSN 2620-5882 (Online) 171—193 Dari Jalan Kerajaan Menjadi Jalan Pertokoan Kolonial: Malioboro 1756-1941 SITI MAHMUDAH NUR FAUZIAH Alumnus Program Studi S1 Departmen Sejarah FIB UGM Email: [email protected] Abstract In the colonial period, the beginning of the 20th century became the starting point of Keywords: the emergence of modern shopping streets in almost all cities in Java, such as Groote Malioboro; Postweg (Postal Highway, now Jalan Ahmad Yani) in Semarang, Bragaweg (Jalan colonial Braga) in Bandung, Jalan Pasar Baru in Weltevreden, Jalan Tunjungan in Surabaya, shopping and Kayutangan (now Jalan Basuki Rahmat) in Malang. In Yogyakarta, Malioboro street became the most modern and crowded colonial shopping street at that time. Since the establishment of the Sultanate of Ngayogyakarta Hadiningrat in 1756 Malioboro has played an important role in the palace’s urban planning as a rajamarga (royal road) for certain ceremonies and has become an integral part of the concept of the palace philosophy line which is full of meaning. This paper will describe the development of Malioboro from a royal road into a colonial shopping street in 1756-1941 more comprehensively. The method used in this research is a historical method which includes the selection of topics, collecting resources, verification, interpretation, and writing. As the cornerstone of this research, the data used is relevant data from Gegevens over Djokjakarta’s archives, newspapers, magazines, Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta, Kleian’s Adresboek van Geheel Nederlandsch-Indie, Telefoongids voor Java, Madoera en Bali, memoirs, interviews, maps and pictures related to Malioboro.
    [Show full text]
  • BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum 1. Jalan
    BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum 1. Jalan Malioboro Jalan Malioboro adalah salah satu kawasan jalan dari tiga jalan di kota Yogyakarta yang membentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke perempatan Kantor Pos Yogyakarta. Secara keseluruhan terdiri dari Jalan Margo Utomo, Jalan Malioboro, dan Jalan Margo Mulyo. Jalan ini merupakan poros Garis Imajiner (garis khayal yang menjadi acuan) Kraton Yogyakarta. Terdapat beberapa objek bersejarah di kawasan tiga jalan ini antara lain Tugu Yogyakarta, Stasiun Tugu, Gedung Agung, Pasar Beringharjo, Benteng Vredeburg, dan Monumen Serangan Oemoem 1 Maret. Jalan Malioboro sangat terkenal dengan para pedagang kaki lima yang menjajakan kerajinan khas Jogja dan warung-warung lesehan di malam hari yang menjual makanan gudeg Jogja serta terkenal sebagai tempat berkumpulnya para seniman yang sering mengekspresikan kemampuan mereka seperti bermain musik, melukis, happening art, pantomim, dan lain-lain di sepanjang jalan ini (https://id.wikipedia.org). Malioboro merupakan kawasan perbelanjaan yang legendaris yang menjadi salah satu kebanggan kota Yogyakarta. Malioboro menyajikan berbagai aktivitas belanja tradisional sampai dengan aktivitas belanja modern. Salah satu cara berbelanja di Malioboro adalah dengan 47 proses tawar-menawar terutama untuk komoditi barang-barang yang berupa souvenir dan cenderamata yang dijajakan oleh pedagang kaki lima yang berjajar disepanjang trotoar jalan Malioboro. Berbagai macam cenderamata dan kerajinan yang dapat di dapatkan disini, seperti kerajinan dari perak, kulit, kayu, kain batik, gerabah dan sebagainya (http://www.njogja.co.id). Kawasan Malioboro dekat dengan obyek wisata sejarah lainnya yang sangat banyak menyimpan cerita sejarah yang menarik. Tempat dan obyek wisata tersebut seperti berwisata arsitektur peninggalan kolonial Belanda dan wisata belanja tradisional lainnya.
    [Show full text]
  • ORANG BIASA DI TEMPAT LUAR BIASA Studi Atas Pengalaman
    ORANG BIASA DI TEMPAT LUAR BIASA Studi Atas Pengalaman Belanja Keluarga Kelas Menengah Bawah di Ambarrukmo Plaza TESIS Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Studi Pascasarjana Program Magister Ilmu Religi dan Budaya OLEH: SAMSUL BAHRI PEMBIMBING: ST SUNARDI KATRIN BANDEL MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2009 II III PERNYATAAN KEASLIAN KARYA Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah. Yogyakarta, 21 Mei 2009 Penulis Samsul Bahri IV KATA PENGANTAR Saya mengucapkan banyak terimakasih kepada dua pembimbing saya, Pak St Sunardi dan Katrin Bandel, atas koreksi serta masukan yang diberikan demi perbaikan karya tulis ini, baik itu dari sisi teoretis, maupun dari sisi teknis, terutama koreksi atas pengulangan kalimat dan pengulangan penjelasan yang kerap saya buat. Terimakasih juga kepada pembantu pembimbing, Devi Ardhiani, atas kesediaan membaca beberapa bagian dari karya ini dan memberikan masukan berarti. Meski telah melalui proses perbaikan, tidak menutup kemungkinan masih ada kekurangan yang dikandung karya ini. Segala kekurangan itu adalah kesalahan saya dan menjadi tanggungjawab saya. Selama menjalani studi di Program Ilmu Religi Budaya (IRB), saya banyak mendapat pengalaman berharga dan tambahan wawasan dari para tenaga pengajar. Mereka telah menjadi guru sekaligus rekan diskusi yang baik. Atas semua itu, saya menyampaikan terimakasih kepada mereka; Romo Baskara, Budiawan, Romo Banar, Tri Subagya, George Aditjondro, Novita Dewi dan Robert Imam. Untuk urusan administrasi, terimakasih kepada mbak Hengki Samudrawati. Terimakasih kepada rekan-rekan saya; Linda, Bu Aleida, Yudi, Yustina, Yeni, Sujud, Mas Hagung, Bung Anzieb.
    [Show full text]
  • Pengembangan Destinasi Wisata Keraton Yogyakarta
    Domestic Case Study 2018 Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta Pengembangan Destinasi Wisata Keraton Yogyakarta Topwan Tong 1702770 Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta Abstract: The purpose of observation on the development of tourist destinations Kraton Yogyakarta is to determine the readiness and strategies undertaken in the face of the Palace Yogyakarta MEA (ASEAN Economy Community) in 2015, namely by increasing the potential that exists in the Kraton Yogyakarta such as historical and cultural heritage, as well as the hospitality of its people to be developed be a force in the tourism sector. Add to public knowledge about the condition attractions, manners, and mastery of the English language for a tour guide as capital to communicate with foreign tourists. Kraton Yogyakarta is a tourist attraction that must be maintained and enhanced its potential to compete face MEA in 2015. Kraton Yogyakarta is also a major part in the effort to preserve Javanese cultur, which not only performs the role of culture but also a social role through interaction with the community. Keywords: Development; Destination; Tourism; ASEAN Economy Community; Strategy. 1. Pendahuluan Kegiatan pariwisata adalah salah satu sektor yang sangat berperan dalam proses pengembangan danpembangunan suatu negara terutama sebuah wilayah [1]. Kegiatan pariwisata mampu memberikan kontribusinya bagi pendapatan masyarakat suatu daerah yaitu terciptanya obyek dan daya tarik wisata yang mampu mendatangkan wisatawan untuk datang ke suatu daerah tersebut [2]. Selain di anggap sebagai salah satu sektor pembangunan yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ataupun daerah, pariwisata juga dianggap sebagai aset yang strategis untuk mendorong pembangunan dan pengembangan pada wilayah-wilayah tersebut yang memiliki potensi obyek dan daya tarik wisata ODTW [3].
    [Show full text]
  • Jurnal Seni Musik Kajian Bentuk Pertunjukan Grup
    JSM 3 (2) (2014) JURNAL SENI MUSIK http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jsm KAJIAN BENTUK PERTUNJUKAN GRUP MUSIK ANGKLUNG KRIDOTOMO DI YOGYAKARTA Nusa Galendra Maola Muhammad Eko Raharjo Jurusan Sendratasik, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Info Artikel Abstrak ________________ ___________________________________________________________________ Sejarah Artikel: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan bentuk pertunjukan grup Diterima Agustus 2014 musik Angklung Kridotomo. Metode penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini adalah Disetujui Oktober 2014 deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menujukan, grup musik Angklung Kridotomo melakukan Dipublikasikan Desember pertunjukan di Pasar Beringharjo pada siang hari dan jalan Malioboro pada malam hari. 2014 Pertunjukan grup Angklung Kridotomo terdiri dari bagian pembuka yang berisi salam dan musik ________________ pembuka, pada bagian inti memainkan lagu pop, campursari dan dangdut, dan pada bagian Keywords: terakhir memainkan lagu request dan di akhiri dengan salam penutup study; music perfomance; Angklung. Abstract ____________________ ___________________________________________________________________ The purpose of this study is to investigate and describe perfomance form of music group Angklung Kridotomo. Research methods applied in this study is qualitative descriptive. The result showed, music group Angklung Kridotomo do perfomance in Beringharjo market at day and in Malioboro street at night. Angklung Kridotomo group perfomance consisted by opening session that contain greeting and play opening music, at the prime session playing pop, campursari, and dangdut music. At the last session playing requested song and ended with closing © 2014 Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi: ISSN 2301- 4091 Gedung B2 Lantai 2 FBS Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail: [email protected] Nusa Galendra Maola Muhammad, Eko Raharjo/ Jurnal Seni Musik 3 (2) (2014) PENDAHULUAN A.
    [Show full text]
  • Prosiding Penelitian Lapangan I Identifikasi
    PROSIDING PENELITIAN LAPANGAN I IDENTIFIKASI KEPARIWISATAAN MELALUI 4A DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PROGRAM STUDI DIPLOMA IV PARIWISATA FAKULTAS PARIWISATA UNIVERSITAS UDAYANA, 2018 PROSIDING PENELITIAN LAPANGAN I PEMBINA Dra. AA Putri Sri, M.Si TIM PENYUNTING Dr. Putu Sucita Yanthy,SS.,M.Par Ni Made Ariani, SE.,M.Par Ida Bagus Ketut Astina, M.Si. Nyoman Ariana, SST.Par.M.Par Ni Ketut Arismayanti, SST.Par. M.Par I Gusti Ngurah Widyatmaja, SST.Par. M.Par Nyoman Jamin Ariana,M.Par Fanny Maharani Suarka, SST.Par., M.Par Ni Nyoman Sri Aryanti, SST.Par.M.Par Agus Muriawan Putra, SST.Par., M.Par Ni Putu Ratna Sari, SST.Par. M.Par Agung Sri Sulistyawati,SSt.Par.,M.Par Putu Ratih Pertiwi, SST.Par., M. Par.,M.Rech Ida bagus Dwi Setiawan,SST.Par.,M.Par Putu Diah Kesuma Dewi, SST.Par.,M.Par ISBN 978-602-294-329-7 i KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah yang telah diberikan kepada kita semua, sehingga buku Prosiding Penelitian Lapangan I Identifikasi Kepariwisataan Melalui 4A di Daerah istimewa Yogyakarta yang merupakan hasil penelitian dari para mahasiswa angkatan 2017 dapat terwujud. Buku prosiding ini memuat sejumlah artikel hasil penelitian para mahasiswa yang dibimbing oleh para Dosen Program Studi Diploma IV Pariwisata yang dikumpulkan dan ditata oleh tim penyunting. Oleh karena itu dalam kesempatan ini perkenankan kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah mewujudkan kegiatan ini, yang telah meluangkan waktu tenaga dan pemikirannya demi kesuksesan kegiatan ini. Semoga buku prosiding ini dapat memberi kemanfaatan bagi kita semua, untuk kepentingan pengembangan ilmu pariwisata.
    [Show full text]
  • Chapter 25 Place Names and Cultural Heritage (Kerfoot, 2015, Watt, 2015)
    Section 9 Cultural aspects indigenous, minority and regional language names. In and attitudinal aspects of human life at a former point of 2012, this working group was changed to a working time. group for the issue of geographical names as cultural Cultural heritage is the cultural legacy of past Chapter 25 Place Names and Cultural heritage (Kerfoot, 2015, Watt, 2015). Contributions to generations. This can include tangible products of Heritage in an Archipelagic Country the discussion of culture in UNGEGN are to be found in heritage such as built structures, tools and fabricated various documents resulting from the ten UNGEGN items. It can also include intangible heritage such as Conferences from 1967 to 2012 and other publications folklore, oral history, traditions, language, and Multamia RMT Lauder and Allan F Lauder including Kadmon (2000), UNGEGN (2006) and Helleland indigenous knowledge. Natural heritage, meanwhile (2006). The field of toponymy has experienced a major refers to works of nature with cultural value, with which transformation over the course of the last 20 years. A 25.1 Introduction humans interact meaningfully. Cultural heritage is a variety of new thematic concerns have been explored, product of human action or cognition which is thought and there is now a far greater recognition that worthy of preservation for the benefit of others and of This chapter looks at the issue of the relationship toponymical research should be firmly grounded in an future generations. between toponymy and cultural heritage in the context explicit engagement with critical theories of space, The rationale behind the idea that cultural heritage has of an Asian archipelagic nation.
    [Show full text]