SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TAREKAT QODIRIYAH HANAFIYAH DI TANGERANG SELATAN

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora

Oleh:

JAINUDIN 1112022000079

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019 M/1440 H

ABSTRAK Jainudin: Sejarah dan Perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan Keberadaan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah sejak kemunculannya berkembang sangat pesat. Beberapa para pengikutnya merupakan tokoh masyarakat, civitas akademik yang berada di daerah Tangerang Selatan. Padahal kemunculan serta berdirinya Tarekat Qodiriyah Hanafiyah berada di Padang, Sumatera Barat. Kemunculan tarekat tersebut di Tangerang Selatan perlu dikaji lebih mendalam mengenai latar belakang, faktor pendukung serta bentuk perkembangannya di Tangerang Selatan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif menggunakan metode analysis deskriptif dan analysis historis. Dalam analisis deskriptif penulis menggunakan pendekatan sejarah untuk menjelaskan kemunculan, perkembangan hingga implikasi yang terjadi di Tangerang Selatan atas adanya Tarekat Qodiriyah Hanafiyah. Kemunculan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan semakin penting dipahami mengingat pusat kajian dan lembaga tarekat ini berlokasi di BSD, Tangerang Selatan. Meskipun tempat munculnya di Padang, namun pusat gerakan dan perkembangan tarekat Qodiriyah Hanafiyah ini berada di BSD, Tangerang Selatan. Temuan penelitian ini adalah kemunculan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah diawali dengan adanya publikasi Kalam Ilham Ilahi milik Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiyah selaku pendiri Tarekat Qodiriyah Hanafiyah. Keberadaannya disukai oleh pegiat tasawuf, terutama kalangan civitas akademik di daerah Tangerang Selatan. Sejak kemunculannya, Tarekat Qodiriyah Hanafiyah terus berkembang dengan membentuk lembaga di bawah naungannya seperti Majelis Rabbani Indonesia (MRI), Dewan Tarekat Indonesia (DUTI), Tasawuf Islamic Centre Indonesia (TICI) yang mengadakan kegiatan seputar sufistik dari kajian hingga keorganisasian tingkat nasional, dan keseluruhannya berpusat di BSD, Tangerang Selatan.

Kata Kunci: Tarekat Qodiriyah Hanafiyah, Tangerang Selatan

i

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya bagi para hamba-Nya yang selalu memuja. Shalawat serta salam semoga selalu terlimpah kepada junjungan nabi Muhammad saw beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Rasa syukur disertai dengan usaha yang sungguh- sungguh serta tekad yang kuat akhirnya berhasil menyelesaikan skripsi yang berjudul “Sejarah dan Perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiah di Tangerang Selatan” meskipun penulis sadar betul akan banyaknya kekurangan dalam karya ini. Penulis berkeyakinan karya ini dapat bersumbangsih bagi siapa saja yang ingin bergelut pada dunia penelitian, khususnya bagi mereka yang memfokuskan kajian pada dunia tokoh sejarawan.

Layaknya peristiwa sejarah yang menyebabkan tidak tunggal, begitupun halnya dengan perjuangan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Tidak bisa dinafikan bahwa penulis bukan satu-satunya aktor sentral, namun di balik usaha dan kerja keras penulis terdapat orang-orang yang rela meluangkan waktu untuk membantu. Oleh karena penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini tanpa kendala yang berarti.

Untuk itu persembahkan ucapan terimakasih tersebut kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A. selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Drs. Saiful Umam, M.A., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora. 3. Nurhasan, MA. Selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam.

ii

4. Solikhatus Sa’diyah, M.Pd. selaku seketaris Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam yang telah dengan sabar mengurusi semua administrasi yang penulis butuhkan. 5. Prof. Dr. Didin Saepudin. M.A. selaku pembimbing, atas perhatian, diskusi, dan masukannya selama penulis menyusun skripsi ini. 6. Drs. Saiful Umam. M.A., Ph.D. selaku dosen pembimbing Akademik selama penulisan menjadi mahasiswa atas curahan waktu, motivasi, dan perhatiannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisanini. 7. Alm. H. Muhammad Ya’qub Ayahanda penulis dan Nafiah selaku Ibunda penulis. Terima kasih atas motivasi, cinta, dan pengorbanan yang telah diberikan tanpa pamrih. Juga, kakak dan adikku tercinta, Hamzah, Siti Rahmah, Siti Masitoh dan Abdul Ghofur. Terima kasih telah menjadikan rumah sebagai tempat berdiskusi dan mengadu hati. 8. Rindy Januati dan Ahmad Syauqi selaku kakak ipar dan adik ipar, terima kasih atas segala motivasi dan bantuan selama perkuliahan. 9. Muhammad Alif Al-Kholifi, Muhammad Al-Faruq As-Syauqi dan Ahmad Faza Asy-Syauqi selaku ponakan tercinta yang selalu menjadi penawar letih dan pemberi semangat disaat sedih. 10. Andini Rachmahlia, selaku satu sosok yang senantiasa memberi semangat dan terus membantu dalam segi fisik ataupun materi. Terima kasih untuk perjuangan, kesabaran dan memberi motivasi untuk lebih maju untuk menjalankan skripsi ini. 11. Nur Silam dan Risman, penulis mengucapkan banyak terima kasih yang mendalam telah menjadi teman seperjuangan dari awal masa kuliah sampai saat ini. Terima kasih atas diskusi-diskusi yang menarik selama perkuliahan. 12. Wahyudin Arief, Muammar Akbar, Muhammad dan Rizal Fahlevi, terima kasih untuk teman-teman seperjuangan yang selalu membantu di saat sulit, saling mengingatkan dalam kebaikan dan selalu memberikan motivasi satu sama lain.

iii

13. Kader PMII semua yang sudah menjadi sebagian keluarga kecil yang membuat organisasi ini. Terimakasih atas bimbingan dan ilmu yang bermanfaat. 14. Keluarga Besar Markaz Pulsa khususnya untuk Guru Besar PT. Markaz Jalan Bersama kepada Ir. Muhammad Ridwan yang telah mengembalikan semua semangat hidup serta mentalitas diri penulis dan sebagai tempat bertukar ilmu teknis maupun non teknis, sekaligus ilmu kesabaran dan motivasi untuk selalu semangat dan berjuang. 15. Muhammad Panji Lesmana dan Daniel Juneus Caesar sahabat terdekat yang rela untuk direpotkan dan rela membantu membackup segala teknis pekerjaan selama penulisan. 16. Dan untuk semua teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu- persatu, tetapi tidak mengurangi rasa terima kasih penulis kepada teman- teman yang memberikan motivasi dan semangat kepada penulis dalam perkuliahan maupun dalam penyelesaian penulisan karya ini.

Jakarta, 6 Mei 2019

Jainudin

iv

DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ABSTRAK ...... i KATA PENGANTAR ...... ii DAFTAR ISI ...... v

BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang ...... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah ...... 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 8 D. Tinjauan Pustaka ...... 9 E. Kerangka Teori ...... 11 F. Metode Penelitian ...... 13 G. Sistematika Penulisan ...... 14

BAB II PERKEMBANGAN TAREKAT DI INDONESIA ...... 16 A. Pengertian Tarekat ...... 16 B. Unsur-Unsur Terekat ...... 19 C. Sejarah dan Perkembangan Tarekat ...... 20

BAB III TAREKAT QODIRIYAH HANAFIYAH ...... 33 A. Sejarah Pendiri Tarekat Qodiriyah Hanafiyah ...... 33 B. Riwayat Pendidikan ...... 36 C. Sejarah Berdirinya Tarekat Qodiriyah Hanafiyah ...... 37 D. Ajaran Tarekat Qodiriyah Hanafiyah ...... 39 E. Tingkatan dalam Tarekat Qodiryah Hanafiyah ...... 43

BAB IV SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TAREKAT QODIRIYAH HANAFIYAH DI TANGERANG SELATAN ...... 44 A. Masuknya Tarekat Qodiriyah Hanafiyah ke Tangerang Selatan ...... 44 B. Majelis Rabbani Indonesia ...... 47 C. Tasawuf Islamci Centre Indonesia ...... 49 D. Dewan Ulama Tarekat Indonesia (DUTI) ...... 50 E. Relevansi Perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah ...... 53 F. Implikasi Tarekat Qodiriyah Hanafiyah Terhadap Masyarakat Tangerang Selatan ...... 57

BAB V PENUTUP ...... 59 A. Kesimpulan ...... 59 B. Kritik dan Saran ...... 60

DAFTAR PUSTAKA ...... 61

v

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu gagasan terpenting dalam Islam sebagai upaya menjawab polemik moralitas adalah dengan jalan sufi atau tasawuf. Tasawuf disebut juga Sufisme oleh orientalis merupakan ajaran dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.1 Tujuannya adalah untuk senantiasa menjaga diri serta membersihkan jiwa semata untuk Allah.2 Mulyadi Karthanegara menjelaskan bahwa tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dari Islam. Spiritualitas ini dapat mengambil bentuk yang beraneka dalam diri manusia.3

Dalam tasawuf, terdapat tarekat sebagai organisasi sufi hadir sebagai institusi penyedia layanan praktis dan terstruktur untuk memandu tahapan-tahapan perjalanan mistik yang berpusat pada relasi guru dan murid. Otoritas guru (mursyid) yang telah melampaui tahapan tahapan mistik harus diterima secara keseluruhan oleh murid. Misalnya, Rasulullah mengajarkan wirid atau zikir yang perlu diamalkan oelh Ali bin Abi Thalib atau sahabat-sahabat beliau yang lain. Ajaran-ajaran khusus Rasulullah itu disampaikan sesuai dengan kebutuhan penerimanya, terutama berkaitan dengan faktor psikologis.4 Pada tahap selanjutnya, ajaran khusus Rasulullah itu disebarkan secara khusus pula oleh beberapa sahabat penerima. Meski tak semua orang dianggap pantas menerima ajaran tertentu tersebut, namun biasanya jumlah mereka bertambah banyak. Hingga akhirnya menjadi komunitas tertentu dan kekuatan sosial utama yang mampu hampir di seluruh komunitas masyarakat muslim. Ia kemudian menjadi

1 , Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 53. 2 Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 1996), h. 42- 43. 3 Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 3. 4 Abdul Wadud. Satu TUHAN Seribu Jalan, Sejarah, Ajaran, dan Gerakan Tarekat di Indonesia. (Yogyakarta, FORUM (Grup Relasi Inti Media, anggota IKAPI). 2013), h. 6.

1 2

perkumpulan khusus, atau lahir sebagai sebuah tarekat.5

Tarekat dikenal sebagai hubungan yang berisi bimbingan spiritual antara murid dan guru dalam Islam. Namun pada faktanya, tarekat justru berkembang pada ranah yang lebih luas, seperti menjadi organisasi yang terstruktur dan meluas. Efek lainnya adalah keberadaan organisasi atau kelompok tarekat ini berperan aktif di dunia sosial, termasuk masalah moralitas hingga ekonomi dan politik. Gerakan ini menjadi diskursus yang menarik untuk diteliti untuk menjelaskan perubahan sosial. Selain itu juga menjadi catatan sejarah tersendiri dalam dunia Islam.

Pada prinsipnya tarekat sebagai organisasi sufi hadir sebagai institusi penyedia layanan praktis dan terstruktur untuk memandu tahapan-tahapan perjalanan mistik yang berpusat pada relasi guru dan murid. Otoritas guru (mursyid) yang telah melampaui tahapan tahapan mistik harus diterima secara keseluruhan oleh murid. Misalnya, Rasulullah mengajarkan apa yang perlu diamalkan oleh Ali bin Abi Thalib atau sahabat-sahabat beliau yang lain. Ajaran- ajaran khusus Rasulullah itu disampaikan sesuai dengan kebutuhan penerimanya, terutama berkaitan dengan faktor psikologis.6 Pada tahap selanjutnya, ajaran khusus Rasulullah itu disebarkan secara khusus pula oleh beberapa sahabat penerima. Meski tak semua orang dianggap pantas menerima ajaran tertentu tersebut, namun biasanya jumlah mereka bertambah banyak. Hingga akhirnya menjadi komunitas tertentu dan kekuatan sosial utama yang mampu hampir di seluruh komunitas masyarakat muslim. Ia kemudian menjadi perkumpulan khusus, atau lahir sebagai sebuah tarekat.7

Secara umum tarekat memiliki fenomena ganda, di mana pada satu sisi, menjadi sebuah disiplin mistik yang secara normatif doktrinal meliputi sistem wirid, zikir, do‟a, etika tawassul, ziarah, dan sejenisnya sebagai jalan spiritual sufi, sementara pada sisi yang lain merupakan sistem interaksi sosial sufi yang terintegrasi dalam sebuah tata hidup sufistik untuk menciptakan lingkungan psiko-

5 Ahmad Najib Burhani. Tarekat Tanpa Tarekat; Jalan Baru Menuju Sufi (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002), h. 101. 6 Abdul Wadud. Satu TUHAN Seribu Jalan, h. 6. 7 Najib Burhani, Tarekat Tanpa Tarekat, h. 101. 3

sosial sufi sebagai kondisi yang menekankan kesalihan individual dan komunal yang tujuannya adalah tercapainya kebahagiaan hakiki, dunia akhirat. Fenomena lain adalah kebersamaan antara guru dan murid yang memiliki pengaruh kuat terhadap sosial. tarekat yang semula merupakan ikatan sederhanadan bersahaja antara guru dan murid, berpotensi untuk berkembang baik struktural maupun fungsional. Secara struktural, misalnya, terdapat suatu ordotarekat yang mengembangkan jaringanjaringan seperti pendidikan, ekonomi, perdagangan, pertanian, dan bahkan sistem dan struktur politik. Struktur tarekat tersebut bermanifestasi dalam sebuah asosiasi-asosiasi yang pada akhirnya memperbesar tubuh atau organisasi tarekat yang bersangkutan.8

Sejarah kemunculan tarekat dikemukakan oleh Jhon O. Voll. Ia mejelaskan bahwa penjelasan mistis terhadap Islam muncul sejak awal sejarah islam. Munculnya gerakan tarekat menurut O. Voll, kemungkinan disebabkan adanya perselisihan atau konflik yang terjadi antar otoritas keagamaan, baik karena satu perkara atau ketidaksepahaman dalam aliran. Karena itulah para guru sufi yang telah berhasil mencampai puncak pencapaian, mereka mendirikan lembaga tersendiri (berupa majelis atau madrasah) yang mengajarkan tentang tasawuf menurut jalan yang ditempuhnya. Tarekat itu sendiri diperkirakan muncul pada abad ke 5 Hijriyah. 9

Pada abad ke-5 Hijriyah atau abad 13 Masehi barulah muncul tarekat sebagai kelanjutan kegiatan kaum sufi sebelumnya. Hal ini ditandai dengan setiap silsilah tarekat selalu dihubungkan dengan nama pendiri atau tokoh-tokoh sufi yang lahir pada abad itu. Mula-mula muncul tarekat Qadiriyah yang dikembangkan oleh syeikh Abdul Qodir Jaelani di Asia tengah Tibristan tempat kelahiran dan oprasionalnya, kemudian berkembang ke Baghdad, Irak, Turki, Arab Saudi sampai ke Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, India, Tiongkok. Muncul pula tarekat Rifa‟iyah di Maroko dan Aljazair. Disusul tarekat Suhrawardiyah di Afrika utara, Afrika tengah, Sudan dan Nigeria. Tarekat-tarekat

8 Agus Riyadi, “Tarekat Sebagai Organisasi Tasawuf” dalam Jurnal at-Taqaddum vol. 6. No. 2. (Semarang: UIN Walisongo, 2014), h. 364. 9 Rosihon Anwar & Mukhtar Sholihin. Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pusaka Setia. 2006), h. 23. 4

itu kemudian berkembang dengan cepat melalui murid-murid, bercabang dan beranting hingga banyak sekali.10

Perkembangan tarekat meluas hingga ke Indonesia. secara nyata baru terlihat pada abad XVII yaitu dimulai pertama kali oleh (m.1610) dan muridnya Syamsuddin As-Sumantrani (m.1630) akan tetapi keduanya tidak meninggalkan organisasi tarekat yang berlangsung terus-menerus. Baru kemudian setelah Abdur Rauf bin Ali Singkel memperkenalkan tarekat Syattariyah di pada tahun 1679 M, organisasi tarekat inilah menjadi jelas dan dapat ditelusuri perkembangannya melalui silsilah hubungan guru murid sampai kebeberapa daerah di Indonesia.11 Hamzah Fansuri secara tegas disebut sebagai penganut Tarekat Qadiriyah.12 Kendatipun demikian, tarekat yang dianut oleh Hamzah fansuri maupun muridnya Syamsuddin Al Sumantrani berbeda dengan Tarekat Qadiriyah yang sekarang berkembang.13

Di Sulawesi tarekat juga berkembang atas prakasa Syekh Yusuf Tajul Khalwati (1621-1689 M). Ulama Makassar ini dikenal seorang sufi yang menerima banyak ijazah tarekat seperti Tarekat Qadiriyah dari Nuruddin Ar Raniri, Tarekat Naqsabandiyah dari Muhammad Abdul Baqi Billah Ba‟alawiyah dari Sayid Ali, Tarerkat Syattariyah dari Burhanuddin Al Mula bin Ibrahim, dan Tarekat Khalwatiyah dari Abdul Barakat Ayyub bin Ahmad.14 Adapun ajaran tasawuf yang dikembangkan seperti yang tertera dalam kitab karangannya “Fathur Rahman” ada banyak persamaan dengan Abi Yazid Al Bistami, Abdul Karim Al Jilli, dan Abu Mansur Al Hallaj. Begitu juga dalam kitabnya “Zubdatul

10 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011, Cet ke- 4), h. 6. 11 Trimingham, J.S, The Sufi Order in Islam. (London Oxford Univesity Press. 1971), h. 130. 12 Martin Van Bruinessen, “Tarekat Qadiriyah dan Ilmu Syekh Abdul Qadir Jaelani di India, Kurdistan, dan Indonesia”, dalam Ulumul Qur’an Vol.2 No. 2,(Jakarta: LSAF: 1989), h. 69. 13 Syafi‟i, Ahmad, Tangkulan, , dan Tarekat, Kebangkitan Agama di Jawa. (Jakarta: Obor Indonesia, 2006), h. 62. 14 Tudjimah Cs, Syekh Yusuf Makassar: Riwayat Hidup Karya dan Ajarannya. (Jakrta: DEPDIKBUD, 1987), h. 18-19. 5

Asrar”, dia menyatakan mengikuti ajaran Syekh Muhammad Fadlullah Burhanpuri, seperti tentang macam-macam zikir.15

Secara terorganisir, perkembangan tarekat di Indonesia terdapat tiga kelompok tarekat terbesar, yaitu Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah, Tarekat Naqsabandiyah Muzhariyah, dan Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah. Ketiga aliran tarekat inilah yang dewasa ini memiliki penganut paling besar dibanding dengan Tarekat rifaiyah, Tarekat Samaniyah, Tarekat Syatariyah, Tarekat Tijaniyah, Tarekat Alawiyah, Tarekat Syaziliyah, dan lain-lainnya. Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah dipelopori oleh Syeikh Ismail Al-Khalidi. Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah juga berkembang dengan cepat. Di antara tokoh utama penyiar tarekat ini adalah Syekh Muhammad Al Hadi, Girikusumo, di Mranggen, Demak, Jawa Tengah. Dewasa ini mursyid Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah di Jawa Tengah (Kudus, Rembang, Pati, Surakarta) menyandarkan sanad atau silsilah pada Syekh Muhammad Al Hadi.16

Adapun Tarekat Naqsabandiyah Muzhariyah dipelopori oleh Syekh Muhammad Saleh Az Zawawi. Mujahid atau pembaharu dari tarekat ini adalah Syekh Muhammad Muzhar Al Ahmadi. Pengaruh cabang Tarekat Naqsabandiyah Muzhariyah di Indonesia meliputi daerah , Pontianak, dan Madura. Tokoh penyiar Tarekat Naqsabandiyah di Madura adalah Syekh Abdul Azim Al Manduri. Puncak perkembangan tarekat ini dicapai setelah KH. Fatul Bari Al Manduri menyiarkannya kepada orang awam yang diikuti oleh muridnya bernama Sayid Muhsin Al Hinduan yang meyebarkan mulai dari Madura, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.17

Adapun tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah dipelopori oleh Syeikh Ahmad Khatib al-Sambas meninggal dunia (1878 M) kepemimpinannya dilanjutkan oleh para muridnya yaitu: Syekh Abdul Karim Banten, Syekh Talhah Cirebon, dan Ahmad Hasbullah bin Muhammad Madura. Dari tiga pengganti

15 Tudjimah Cs, Syekh Yusuf Makassar, h. 30-33. 16 Dhofier, Zamakhsari, Tradisi : Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. (Jakarta: Penerbit LP3ES. 1982), h. 144. 17 Abbdullah, Shagir, Syekh Ismail Al Minangkabawi Penyiar Thareqat Naqsabandiyah Khalidiyah. (Solo: Penerbit Ramadhani. 1985), h. 6-7. 6

Ahmad Khatib tersebut, Kyai Ahmad Hasbullah bin Muhammad Madura menurunkan kepada murid-muridnya di Jawa Timur seperti Kyai Ramli, ayah Kyai Mustain Ramli. Di Jawa Tengah, Kyai Muslih mengambil silsilahnya kepada Syekh Abdul Karim Banten. Di Jawa Barat, Abah Anom (Suryalaya) mengambil silsilah dari jalur Kyai Talhah Cirebon, begitu juga dengan Kyai Thahir Falak (Pagentongan, Bogor). Cabang-cabang Tarekat Qadiriyah wan Naqsabandiyah tersebut yang terbesar dan yang paling berpengaruh adalah Abah Anom (KH. A. Shahibulwafa Tajul „Arifin) di Suryalaya karena sistem pengobatan narkotika melalui zikir (sufi healing). Abah Anom sekarang memiliki pengganti yang tersebar di berbagai tempat di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Lombok, bahkan di Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.18 Selain Abah Anom, Kyai Muslih (Mranggen) yang mengambil silsilah melalui jalur Kyai Abdul Karim Banten juga merupakan tokoh besar dalam tarekat ini dan sekaligus sebagai perintis berdirinya organisasi tarekat secara nasional yang disebut “Jamiyah Ahli Tharekat Mutabaroh An Nahdliyah”. Di antara para penerus Kyai Muslih, dan seletah beliau meninggal dunia (1981 M) tumbuh menjadi pusat Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah adalah KH Durri Nawawi di Desa Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah.

Banyaknya organisasi tarekat yang muncul di Indonesia kemudian direspon oleh berbagai kalangan untuk mendirikan organisasi ketarekataan. Tujuannya antara lain menangkal faham di luar Islam yang masuk ke dalam ajaran-ajaran tarekat sekaligus membela ajaran tarekat dari kritik dan kecaman.19 Selain itu juga menjadi upaya menjaga kemurnian tarekat dari unsur-unsur non Islam dilakukan dalam lembaga musyawarah ulama sufi yang disebut “pembahasan masalah-masalah” atau menurut istilah aslinya “Bahsul Masail”. 20

Secara umum, organisasi tersebut menegaskan adanya tarekat yang dipandang sah (mu’tabarah) dan ada pula tarekat yang dianggap tidak sah (ghair mu’tabarah). Penjelasan dari keduanya yaitu: Suatu tarekat dianggap sah jika

18 Bruinessen, “Tarekat Qadiriyah” h. 74-75. 19 Shagir, Syekh Ismail Al Minangkabawi, h. 9. 20 Syafi‟i, Ahmad, Tangkulan, Abangan, dan Tarekat, Kebangkitan Agama di Jawa. (Jakarta, Diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia Anggota IKAPI DKI, 2006), h. 72. 7

memiliki mata rantai (silsilah) yang mutawatir sehingga amalan-amalan dalam tarekat tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara syari‟at. Sebaliknya, jika suatu tarekat tidak memiliki mata rantai (silsilah) yang mutawatir sehingga ajaran tarekat tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara syari‟at maka ia dianggap tidak memiliki dasar keabsahan dan oleh karenanya disebut tarekat yang tidak sah (ghair al-mu’tabarah).21

Dari sekian banyak aliran tarekat, terdapat satu aliran tarekat yang cukup menarik untuk diteliti lebih lanjut. Aliran tersebut adalah Tarekat Qadiriyah Hanafiah. Tarekat tersebut didirikan oleh Tuangku22 Syeikh Muhammad Ali Hanafiyah Qutub Rabbani pada tahun 1995. Yang menarik dari Aliran ini adalah Mursyidnya mendapatkan Kalam Ilahi pada saat berumur 15 tahun dan masih kelas I STM. Syeikh Muhammad Ali Hanafiah mendapat bimbingan ruhayinah, yaitu Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiyah berguru di alam ghaib secara langsung dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.23 Sehingga pertemuan antara Tuangku dan Syekh Abdul Qodir tidak dilakukan di dunia nyata, melainkan di alam ghaib.

Pada tahun 2000, Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah mendirikan Tasawuf Islamic Centre Indonesia (TICI) yang kini berpusat di Jakarta. Di tahun 200224, Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah juga membangun Pondok Pesantren Tasawuf Rabbani di Solok Sumatera Barat, sebagai pusat latihan ruhani (riyadhah) bagi murid-muridnya serta orang-orang yang tertarik belajar Tasawuf. Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah juga mendirikan berbagai macam usaha untuk meningkatkan perekonomian ummat, baik di bidang jasa, penjualan, pertanian, perkebunan, perternakan, pertambangan, yang semuanya dijalankan

21 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011, Cet ke- 4), h. 6. 22 Dalam pengucapannya menjadi “Tuangku”, namun maksud yang dituju sebagaimana “Tuanku”. 23 Ahmad Rahman, KALAM ILHAM ILAHI, Muhammad Ali Hanafiah (Pelepas Dahaga bagi Hamba Pencari Tuhan), (Tangerang Selatan: Rabbani Press 2002), h. 4. 24 Zubair Ahmad & Andang B Malla, BUKU PUTIH KEMATIAN, Sebuah Pengalaman Ruhani Tuangku Syekh Muhammad Ali Hanafiah Ar-Rabbani, (Tangerang Selatan: Rabbani Press 2015), h. 6. 8

oleh murid-muridnya Tuangku dengan satu tujuan yakni “Islam yang Bersatu dan Berbagi”.

Salah satu lembaga pusat penyebaran Tarekat Qodiriyah Hanafiyah adalah Majelis Rabbani Indonesia (MRI). MRI kini beralamatkan di BSD, Serpong, Tangerang Selatan. Melalui MRI di Serpong, beberapa organisasi atau lembaga- lembaga lain juga turut muncul seperti DUTI, maupun TICI. Semenjak kemunculannya, Tarekat Qadariyah Hanafiyah berkembang cukup pesat. dengan mengorganisasikan Tarekatnya menjadi berbagai lembaga baik terkait dengan tasawuf maupun dengan perkembangan keumatan lain. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti Sejarah Perkembangan Tarekat Qadariyah Hanafiah di Tangerang Selatan sebagai pusat penyebaran Tarekat tersebut.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Penelitian ini dibatasi pada persoalan sejarah dan perkembangan tarekat Qadariyah Hanafiyah di Tangerang Selatan. Di dalamnya menjelaskan persoalan awal kemunculan tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan serta bentuk dan jenis-jenis perkembangannya. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana masuk dan berkembangnya tarekat Qadariyah Hanafiyah di Tangerang Selatan? 2. Bagaimana bentuk dan model perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan? 3. Bagaimana implikasi Tarekat Qodiriyah Hanafiyah terhadap pengikutnya di Tangerang Selatan? C. Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menjelaskan kronologis sejarah kemunculan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan 2. Mendeskripsikan bentuk-bentuk perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan 9

3. Menjelaskan implikasi Tarekat Qodiriyah Hanafiyah terhadap masyarakat Tangerang Selatan.

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk penulis sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora di Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Untuk peneliti selanjutnya sebagai tinjauan pustaka dalam penelitian Sejarah Tarekat di Indonesia.

3. Untuk Kampus sebagai koleksi kepustakaan bidang sejarah dan perkembangan peradaban Islam.

4. Untuk masyarakat sebagai tambahan wawasan pengetahuan dalam bidang sejarah peradaban dalam kajian sejarah tasawuf maupun tarekat di Indonesia.

D. Tinjauan Pustaka

Terdapat beberapa penelitian yang relevan dengan tema yang akan diteliti. Berikut rinciannya:

1. Muthiah Ahmad mahasiswi dari Program Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung jurusan Komunikasi Penyiaran Islam dalam tesisnya yang berjudul “Zikir di Majlis Rabbani Indonesia” dalam tesis ini di jelaskan tentang dzikir yang ada di Majlis Rabbani Indonesia (MRI) yang dulunya bernama Majlis Al-Dzikri Indonesia (MAI) yang di dirikan oleh Tuangku Syeikh Muhammad Ali Hanafiah pada tahun 1996, kemudian pada bulan mei 2003 namanya berubah menjadi Majlis Rabbani Indonesia (MRI). Kegiatan Majlis ini saat ini dipusatkan di Pondok Pesantren Rabbani Solok, Sumatra Barat. Organisasi ini berasaskan Islam dengan berpaham Ahlusunnah wal Jamaah. Tujuan utama MRI adalah mengembangan dakwah islamiyah, menghidupkan kembali nilai-nilai zikir, meningkatkan 10

pemahaman umat Islam terhadap tauhid, mendorong terbentuknya umat yang beristiqomah dan meningkaatkan rasa ukhuwah islamiyah. Gambaran tata cara zikir pada MRI, biasanya para jamaah yang datang ke Majelis Rabbani Indonesia (MRI) pada umumnya mengenakan pakaian putih-putih, mukenah putih, dan bagi jamaah laki-laki mengenakan pakaian takwah berwarna putih serta kopiah juga berwarna putih. Sebenarnya tidak ada persyaratan untuk mengenakan pakaian serba putih, namun para jamaah merasa bahwa ketika ingin menghadap kepada Sang Pencipta hendaklah dengan hati yang bersih yang disimbolkan dengan mengenakan pakai serba putih. Sebelum kegiatan zikir dimulai, terlebih dahulu Mursyid mengadakan kajian tentang keislaman atau mengenai ketauhidan dan juga ada sesi Tanya jawab antara jamaah dengan Mursyid. Kajian ini tidak terlalu lama sekitar 30 menit, setelah itu para jamaah bersiap untuk berzikir yang dipimpin langsung oleh Mursyi..25 2. Prof. Dr. Ahmad Rahman, M.Ag, dalam buku-bukunya yang berjudul ”KALAM ILHAM ILAHI, Muhammad Ali Hanafiah, Pelepas dahaga bagi hamba pencari Tuhan” terbitan Rabbanni Press Tangerang Selatan 200226, kemudian buku “Menyapa Rasa Para Pencari Tuhan, Hidangan Ruhani Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah” terbitan Rabbani Press Tangerang Selatan 201127, dan buku “INILAH AKU, HERE I AM, Pencerahan Rohani Bagi Para Pencari Tuhan, Maulana Syaikh Muhammad Ali Hanafiah” terbitan Rabbani Press Tangerang Selatan 201228. Beliau menjelaskan dalam buku-bukunya tentang Kalam Ilham Ilahi dari hasil penelitian beliau yang dilakukan sejak bulan april 2002 ini telah diseminarkan oleh Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Balai Penelitian Agama dan Kemasyarakatan Jakarta, yang mana Kalam Ilham Ilahi sejak awal turun yaitu di akhir tahun 1995 ketika Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah duduk dikelas 1 STM sampai sekarang,

25 Muthiah Ahmad, Zikir di Majelis Rabbani Indonesia (MRI),(Tesis dari Program Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Bandung 2015. 26 Ahmad Rahman, KALAM ILHAM ILAHI, 27 Ahmad Rahman, Menyapa Rasa Para Pencari Tuhan, Hidangan Nurani Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, (Tangerang Selatan: Rabbani Press 2011), h. 23. 28 Ahmad Rahman, Inilah AKU, Here I AM, Pencerahan Rohani bagi Pencari Tuhan, Maulana Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, (Tangerang Selatan: Rabbani Press 2012), h. 15. 11

yaitu ketika beliau Ahmad Rahman menulis buku tentang ini pada tanggal 11 September 2002, sekitar seribu Kalam Ilham Ilahi yang turun kepada Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah. Akan tetapi, banyak yang tidak ditulis, karena sifatnya tarbiyah pribadi, bahkan ada yang sifatnya teguran kepadaTuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, sedangkan yang ditulis ini oleh Ahmad Rahman yaitu Kalam Ilham Ilahi yang bersifat kajian, yang dapat dijadikan pelajaran. 3. Radhi Islami dari program magister fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul Sejarah dan Perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah: Sejarah Lahir dan Perkembagannya di Indonesia. Tesis ini menjelaskan latar belakang sejarah berdirinya tarekat Qodiriyah Hanafiyah serta ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi penjelasannya sangat umum, yakni penjelasan dari mulai kemunculan, hingga menjelaskan perkembangannya di seluruh Indonesia. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah penulis membatasi pada wilayah Tangerang Selatan. Khusus pada wilayah Tangerang selatan mengenai kemunculan serta bentuk dan model penyebarannya.

Dari ketiga penelitian di atas belum terdapat penelitian mengenai sejarah dan perkembangan tarekat Qodiriyah Hanafiah di Tangerang Selatan. Oleh karena itu penelitian ini bersifat baru dan original.

E. Kerangka Teori

Teori yang digunakan penulis untuk meneliti sejarah dan perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan ini adalah teori perubahan sosial. Teori perubahan sosial yang digunakan merupakan teori dalam perspektif sejarah. Sebagaimana pendapat Kartodirjo bahwa perubahan sosial merupakan gejala sejarah atas proses terjadinya perubahan dalam konteks sosial.29 Berikut penjelasan detail mengenai teori-teori yang digunakan. 1. Perubahan Sosial

29 Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 4 12

Perubahan merupakan suatu kondisi yang berbeda dari sebelumnya dengan kondisi yang terjadi saat ini. Adanya perubahan merupakan hasil perbandingan waktu tertentu yang terjadi pada satu masyarakat. Dalam perubahan tentunya memuat proses terjadinya perubahan itu sendiri. Proses tersebut menunjukkan sebuah gejala sejarah. Gejala sejarah juga memuat persoalan hubungan kausal sekaligus proses yang terjadi dari sebelum hingga sesudah adanya perubahan.30 Dalam perubahan sosial setidaknya memuat dua unsur: a. Dinamika masyarakat memajukan tingkat perubahan ke arah yang lebih maju dengan melihat berbagai faktor yang melatarbelakangi perubahan tersebut. b. Arah perubahan sosial menuju dari sederhana ke bentuk yang lebih kompleks, dengan kata lain menuju pada arah yang lebih baik.31 Dalam teori perubahan sosial, Talcot Parson berpendapat bahwa asumsi terjadinya perubahan sosial berasal dari hubungan antar lembaga atau komunitas dalam masyarakat yang berakibat pada perubahan sistem sosial (seperti bahasa maupun budaya) maupun struktur sosial (peran dan fungsi). Adapun sumber perubahan sosialnya berasal dari faktor endogen mencakup sistem masyarakat itu sendiri dan eksogen berupa masyarakat pendatang atau dari luar.32 Faktor eksogen dalam perubahan sosial, misalnya ide, pengetahuan, teknologi atau kebijakan sosial-politik dari luar struktur, dan lain sebagainya. Sedangkan faktor endogen bisa saja dalam bentuk kompetisi atau persaingan kekuasaan yang mempengaruhi kontrol terhadap kekuasaan dalam struktur sosial, perubahan komposisi dan peran-peran elemen anggota dalam struktur sosial, dan lain sebagainya. Dalam teori perubahan sosial, Talcot Parson berpendapat bahwa asumsi terjadinya perubahan sosial harus memenuhi empat syarat yang disebutnya AGIL. AGIL adalah singkatan dari Adaption, Goal, Attainment, Integration, dan Latency. Adapun rinciannya adalah 1) Adaptasi (adaptation): sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diridengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya.

30 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), h. 78. 31 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial, h. 99. 32 Syamsir Alam dan Amir Fadhilah, Sosiologi Pedesaan, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2008), h. 126. 13

2) Pencapain tujuan (goal attainment): sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. 3) Integrasi (integration): sebuah sistem harus mengatur antarhubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mengelola antar hubungan ketiga fungsi penting lainnya (A,G,I,L). 4) Latency (pemeliharaan pola): sebuah sistem harus memperlengkapi, memelihara dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi sehingg menjadi tatanan yang masyarakat yang mapan.33

F. Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian pada kajian sejarah perlu menggunakan pemahaman metode sejarah. Metode sejarah adalah suatu proses menguji dan menganalisis secara kritis terhadap rekaman dan peninggalan masa lampau berdasarkan data-data yang telah diperoleh.34 Dalam penelitian sejarah terdapat tahapan-tahapan yang harus penulis lakukan, sebagai mana pendapat Kuntowijoyo. Berikut adalah tahapan-tahapan yang penulis lakukan dalam penelitian sejarah:35

1. Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian heuristik penulis menggunakan data kepustakaan atau library research dengan mengakses beberapa sumber tertulis berupa buku, jurnal, serta situs internet. Heuristik dibedakan menjadi sumber kebendaan atau material berupa sumber tertulis seperti record, seperti dokumen, arsip, surat, catatan harian, foto-foto, dan file.36 Studi pustaka mengenai sumber tertulis seperti naskah, buku dan jurnal yang terkait dengan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah Data kepustakaan akan diperkuat dengan data yang dikumpulkan dengan melakukan tahap wawancara. Wawancara merupakan metode dengan catatan pertanyaan melalui tanya jawab secara tatap muka kepada informan atau nara

33 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 118. 34 Louis Gottshalck, Mengerti Sejarah, h. 39 35 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, h. 68-72. 36 M. Dien Madjid, Johan Wahyudhi, ilmu sejarah, h.219-223. 14

sumber. Moleong menyebutkan wawancara adalah percakapan yang dilakukan oleh pewawancara dan pihak yang diwawancarai.37 2. Verifikasi Tahap berikutnya ialah kritik sumber atau verifikasi. Dalam proses ini, penulis melakukan keaslian uji sumber melalui kritik ekteren. Selain itu penulis melakukan uji kelayakan beberapa sumber melalui kritik intern. Dalam kritik ektern penulis menganalisa mengenai sumber primer yang penulis dapatkan melalui situs resmi. 3. Interpretasi Tahap selanjutnya interpretasi38 atau penafsiran terhadap sumber-sumber yang telah penulis dapat. Dalam penulisan ini penulis menggunakan analisis dengan menginterpretasikan beberapa fakta mengenai perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan. 4. Penulisan (Historiografi) Tahap terakhir historiografi39, dalam tahap ini penulis menulis hasil penelitian kedalam penulisan sejarah, dan kemudian menarik kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang dirumuskan dalam skripsi ini. 5. Pedoman Penulisan Adapun Panduan penulisan skripsi ini berdasarkan pada Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017 yang diterbitkan oleh Lembaga Penjamin Mutu (LPM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. G. Sistematika Penulisan

Dalam menyusun skripsi ini terdiri dari lima bab. Berikut rinciannya:

Bab I Menjelaskan latar belakang masalah penelitian, merumuskan, metodologi yang digunakan hingga sistematika penulisan

Bab II Menjelaskan mengenai gambaran umum mengenai Tarekat Qodiriyah Hanafiyah, dari mulai biografi pendirinya dan sejarah

37 Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 135. 38 M. Dien Madjid, Johan Wahyudhi, Ilmu Sejarah, h. 225. 39 M. Dien Madjid, Johan Wahyudhi, Ilmu Sejarah, h. 230. 15

umum kemunculannya

Bab III Menjelaskan gambaran umum mengenai tasawuf dan tarekat dalam dunia Islam. Serta menjelaskan sejarah perkembangan tarekat di Indonesia

Bab IV Menjelaskan hasil penelitian tentang sejarah dan perkembangan tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan serta beberapa bentuk perubahan dan implikasinya terhadap masyarakat Tangerang Selatan

Bab V Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan kritik-saran.

BAB II

PERKEMBANGAN TAREKAT DI INDONESIA

A. Pengertian Tarekat Sufisme saat ini sangat dekat dengan apa yang dinamakan dengan Tarekat atau thariqah dalam bahasa Arabnya. Secara etimologi asal usul kata tarekat atau thariqah berasal dari kata al-Tharq (jamak: al-Thuruq) yang merupakan isim Musytaraq, secara harfiah berarti jalan, tempat setapak, atau metode/cara.1 Kata tarekat, secara umum mengacu pada metode latihan atau amalan khusus berupa zikir, wirid, muraqabah dengan tujuan untuk mencapai maqam tertentu dalam sebuah institusi yang terdiri dari guru dan murid. Harun Nasution mendefinisikan tarekat sebagai jalan yang harus ditempuh oleh seorang sufi, dengan tujuan untuk berada sedekat mungkin dengan Allah.2 Syekh Muhammad Amin Kurdy mendefinisakan tarekat sebagai pengamalan syari‟at dan (dengan tekun) melaksanakan ibadah dan menjauhkan diri dari sikap mempermudah pada apa yang memang tidak boleh dipermudah.3

Harun Nasution, berpendapat bahwa istilah tarekat merupakan jalan yang harus ditempuh oleh seorang salik dalam tujuannya berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Dalam perkembangannya, thariqah mengalami proses pelembagaan dan mengandung arti organisasi tarekat. Setiap tarekat mempunyai syekh mursyid, upacara pembai‟atan, tawajuhan, dan bentuk dzikir sendiri-sendiri, yang membedakan antara satu tarekat dengan tarekat lainnya.4

Menurut Mulyadhi Kartanegara, tarekat memuat dua unsur, jalan dan persaudaraan atau perkumpulan antara guru (yang membimbing) dan murid (yang belajar) dalam menjalankan tasawuf. Penjelasannya tarekat merupakan jalan yang bersifat spiritual bagi seorang sufi yang didalamnya berisi amalan

1 Ris‟an Rusli, Tasawuf dan Tarekat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013) h. 184 2 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 2010)h. 43 3 A. Bachrun Rifa‟i dan Hasan Mud‟is, Filsafat Tasawuf (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010) h. 233 4 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Jakarta: UI Press, 1986), h. 89.

16 17

ibadah dan lainnya yang bertemakan menyebut nama Allah dan sifat-sifatnya disertai penghayatan yang mendalam. Amalan dalam tarekat ini ditujukan untuk memperoleh hubungan sedekat mungkin (secara rohaniah) dengan Allah.5 Secara gambalang yakni dengan melihat sisi pengamalan, tujuan tarekat berarti mengadakan latihan (riyadhah) dan berjuang melawan nafsu (mujahadah), membersihkan berdiri dari sifat-sifat yang tercela dan diisi dengan sifat-sifat yang terpuji dengan melalui perbaikan budi dalam berbagai segi. Dari sisi tadzakkur, tujuan tarekat mewujudkan rasa ingat kepada Allah Dzat Yang Maha Besar dan Maha Kuasa atas segalanya dengan melalui jalan mengamalkan wirid dan dzikir yang dibarengi dengan tafakur secara terus menerus.

Tujuan tarekat tersebut akan dapat dicapai oleh setiap orang yang mengamalkan tarekat. Jelasnya ia dapat mengerjakan syari‟at Allah dan Rasul- Nya dengan melalui jalan atau sistem yang mengantarkan tercapainya tujuan hakikat yang sebenarnya sesuai dengan yang dikehendaki oleh syari‟at itu sendiri. Fungsinya membentuk keluarga besar, dan semua anggotanya menganggap diri mereka bersaudara satu sama lain. Tarekat dapat juga bermuatan politik, hal ini dikarenakan banyaknya pengikut atau anggota- anggotanya, sehingga pimpinan (guru atau syekh) memiliki pengaruh yang kuat bagi anggotanya.

Tarekat memiliki fenomena ganda, di mana pada satu sisi, menjadi sebuah disiplin mistik yang secara normatif doktrinal meliputi sistem wirid, zikir, do‟a, etika tawassul, ziarah, dan sejenisnya sebagai jalan spiritual sufi, sementara pada sisi yang lain merupakan sistem interaksi sosial sufi yang terintegrasi dalam sebuah tata hidup sufistik untuk menciptakan lingkungan psiko-sosial sufi sebagai kondisi yang menekankan kesalihan individual dan komunal yang tujuannya adalah tercapainya kebahagiaan hakiki, dunia akhirat.

Fenomena lain adalah kebersamaan antara guru dan murid yang memiliki pengaruh kuat terhadap sosial. tarekat yang semula merupakan ikatan

5 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo, 2012), h. 271. 18

sederhanadan bersahaja antara guru dan murid, berpotensi untuk berkembang baik struktural maupun fungsional. Secara struktural, misalnya, terdapat suatu ordotarekat yang mengembangkan jaringanjaringan seperti pendidikan, ekonomi, perdagangan, pertanian, dan bahkan sistem dan struktur politik. Struktur tarekat tersebut bermanifestasi dalam sebuah asosiasi-asosiasi yang pada akhirnya memperbesar tubuh atau organisasi tarekat yang bersangkutan.6

Dapat disimpulkan bahwa tarekat berfondasi pada Syariat Islam dan mengacu pada tuntunan Rasulallah (Sunnah), para sahabat dan tabi‟in. Berbeda dari persangkaan para pengkritik tarekat dan tasawuf, pada dasarnya tarekat dilaksanakan di atas bangunan syari‟at dan Sunnah Nabi. Dan peran mursyid dalam suatu tarekat adalah unsur utama yang membimbing muridnya agar si murid tetap melangkah di jalan yang benar dan tetap berada dalam thariqah,tidak menyimpang dari syariat. B. Unsur dalam Tarekat

Seorang yang ingin masuk kedalam dunia sufistik ia harus mengikuti jalur yang telah ditentukan bagi para sufi dan secara bertahap ia harus konsisten dalam mendalami seluk beluknya. 7Dalam perkembangan ilmu tasawuf, para sufi yang sudah mendapat pencerahan biasanya akan membuka majelis atau semacam perguruan yang berfungsi untuk melatih spiritualitas. Seseorang yang ingin mendekatkan diri pada Allah tidak perlu dia melakukan amalannya sendiri, tetapi ia bisa menyelami ilmu tasawuf dan melatih spiritualitasnya (batin) lewat seorang guru yang telah mumpuni pengetahuan dan maqam spiritualitasnya. Dalam tarekat biasanya sang guru sufi disebut sebagai mursyid. Sang mursyid ini berarti adalah pembimbing, petunjuk, pengajar sekaligus yang menjadi contoh bagi murid.8

Setiap tarekat pasti memiliki syaikh yang dijunjung tinggi, Biasanya syaikh atau mursyid mengajar murid-muridnya untuk melatih rohani lewat

6 Agus Riyadi, “Tarekat Sebagai Organisasi Tasawuf” dalam Jurnal at-Taqaddum vol. 6. No. 2. (Semarang: UIN Walisongo, 2014), h. 364. 7 Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia, (Depok: Pustaka IIMaN, 2009) h. 183 8 M. Solihin, & Rosihon Anwar. Kamus Tasawuf, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya)h. 151. 19

metode zikir dan ibadah lainnya yang dinamakan suluk atau ribath. Kata tarekat kemudian mengalami pergeseran makna. Jika pada awalnya tarekat adalah suatu jalan yang ditempuh seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah, kemudian makna tersebut berubah pengertian, yaitu jalan menuju tuhan di bawah bimbingan seorang guru.9

Seorang mursyid membimbing sang murid untuk menggapai maqam dan tahapan spiritualitas yang memuaskan.Tarekat dalam hal ini adalah sarana atau jalan spiritual untuk membimbing setiap orang untuk mencapai derajat yang dekat dengan Allah10. Tarekat itu sendiri pada hakikatnya adalah sebuah institusi sufisme yang berdiri atas jalur syariat Islam dan tidak menyimpang darinya. Abu Bakar Atjeh memberikan komentar mengenai tarekat:

“Jalan, petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh sahabat dan tabi‟in, turun-temurun sampai kepada guru-guru, sambung- menyambung dan rantai-berantai; atau suatu cara mengajar atau mendidik, lama kelamaan meluas menjadi kumpulan kekeluargaan yang mengikat penganut-penganut sufi yang sepaham dan sealiran, guna memudahkan menerima ajaran-ajaran dan latihan-latihan dari para pemimpinnya dalam satu ikatan.”11

Hubungan seorang pembimbing (mursyid) dengan yang dibimbing (murid) dan yang dibimbing dengan yang dibimbing lainnya lama kelamaan mengikat satu persaudaraan tarekat yang disebut dengan persaudaraan shufi. Akhirnya tarekat tidak hanya dikonotasikan pada suatu metode praktis tetapi dikonotasikan sebagai lembaga bimbingan calon shufi, yang elemennya adalah guru (syekh, mursyid), murid, tempat (yang disebut dengan zawiyah), perjanjian antara guru dan murid (baiat), do‟a dan wirid khusus, adanya penyebaran oleh bekas murid setelah mendapat ijazah dari gurunya dengan silsilah yang diakui kebenarannya sampai kepada Nabi Muhammad SAW.

9 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011, Cet ke- 4), h. 6-8 10 Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2010), h. 115 11 Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Thariqah, (Solo: Ramadhani, 1996), h. 97 20

Guru didalam tarekat adalah orang yang paling berpengaruh. Ia mempunyai wewenang (otoritas) yang sangat luas12.

Dalam tarekat terdapat sebuah unsur penting yaitu bai‟at (bay„ah)13 yaitu janji atau sumpah setia, dalam hal ini berarti sumpah setia seorang murid kepada syaikh yang menjadi pembimbingnya. Bai„at juga merupakan tali pengikat agar seorang murid dapat istiqamah (kosnsisten) dalam menempuh jalan menuju Allah SWT sesuai apa yang diajarkan sang guru. Selain itu, ada juga tata pengamalannya, yaitu wirid, atau dzikir, ratib, muzikk, menari, bernapas, dan sebagainya. Hal tersebut harus mengacu pada ketentuan syari‟at. Abu Bakar Aceh memberikan penjelasan bahwa syari‟at merupakan peraturan, tarekat merupakan pelaksanaan, hakekat merupakan keadaan, dan ma‟rifat merupaka tujuan akhir dari perjalan mistis seorang salik.14

C. Sejarah dan Perkembangan Tarekat

Peralihan tasawuf yang bersifat personal pada tarekat yang bersifat lembaga tidak terlepas dari perkembangan dan perluasan tasawuf itu sendiri. Semakin luas pengaruh tasawuf, semakin banyak pula orang berhasrat mempelajarinya. Seorang guru tasawuf biasanya memformulasikan suatu sistem pengajaran tasawuf berdasarkan pengalamannya sendiri. Sistem pengajaran itulah yang kemudian menjadi ciri khas bagi suatu tarekat yang membedakannya dari tarekat yang lain. Tarekat adalah organisai dari pengikut sufi-sufi besar. Mereka mendirikan organisasi-organisasi untuk melestarikan ajaran-ajaran tasawuf gurunya. Maka timbullah tarekat. Tarekat ini memakai suatu tempat pusat kegiatan disebut ribat yang (disebut juga zawiyah, hangkah atau pekir).

Teori lain sejarah kemunculan tarekat dikemukakan oleh Jhon O. Voll. Ia mejelaskan bahwa penjelasan mistis terhadap Islam muncul sejak awal sejarah islam. Munculnya gerakan tarekat menurut O. Voll, kemungkinan

12 Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang: Rasail Media Group 2010), h. 115. 13 Hassan Sadhily. Ensiklopedi Indonesia. Jilid 1, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1980) h. 362. 14 Abu Bakar Atjeh. Pengantar Ilmu Tariqah, h. 99 21

disebabkan adanya perselisihan atau konflik yang terjadi antar otoritas keagamaan, baik karena satu perkara atau ketidaksepahaman dalam aliran. Karena itulah para guru sufi yang telah berhasil mencampai puncak pencapaian, mereka mendirikan lembaga tersendiri (berupa majelis atau madrasah) yang mengajarkan tentang tasawuf menurut jalan yang ditempuhnya. Tarekat itu sendiri diperkirakan muncul pada abad ke 5 Hijriyah. 15

Kegiatan kaum sufi pada abad ke 5 Hijriyah merupakan suatu lompatan besar dalam dunia tasawuf. Pada mulanya tasawuf bersifat personal, dimana hanya individu-individu tertentu saja (yang kuat dan tekun) bisa merasakan kelezatan marifatullah, tapi setelah Tarekat berdiri dan membentuk suatu lembaga keagamaan, maka tasawuf bukan saja khusus diamalkan oleh kaum sufi, tetapi juga bisa diamalkan oleh umat awam melalui perantara guru (mursyid). Pada mulanya tokoh yang membentuk suatu tarekat adalah Syaikh Abdul Qadir Jailani di Baghdad yang kemudin komunitas tarekatnya disebut sebagai Qadiriyah. Sedangkan di Persia, muncul tokoh Shihabbudin Umar Suhrawardi, Sayyid Ahmad Rifa‟i dan Jalaluddin Rummi yang membentuk komunitas tarekatnya sendiri di daerah Persi.16

Secara positif pengaruh berdirinya tarekat berdampak pada kesalehan individu atau masyarakat yang mengikuti tarekat tersebut, namun sisi negatifnya, muncul pengkultusan terhadap guru-guru tarekat atau kaum sufi sehingga umat awam asal bertaqlid saja kepada orang yang dianggap sufi tanpa mengetahui apakah benar orang itu sufi atau hanya sekedar orang yang mengklaim dirinya sufi.

Istilah tarekat terkadang kemudian digunakan untuk menyebut suatu bimbingan pribadi dari perilaku yang dilakukan oleh seorang mursyid kepada muridnya. Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak dipahami oleh banyak kalangan, ketika mendengar kata tarekat. Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian. Pertama, ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual

15 Rosihon Anwar & Mukhtar Sholihin. Ilmu Tasawuf.( Bandung: Pusaka Setia. 2006) 16 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 310. 22

kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adanya lembaga formal seperti zawiyah, rubath, atau rumah atau tempat untuk melaksanakan riyadhah atau khanaaqah. Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu mempunyai tiga sistem, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan persaudaraan, dan sistem hierarki seperti syaikh atau mursyid, wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan ber-wasilah dengan guru dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah atau limpahan petolongan dari guru. Kepatuhan murid kepada guru dalam tarekat, laksana mayat di tangan orang yang memandikannya.17

Awal kemunculan tarekat adalah pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriyah, yang sejalan dengan kemunculan tasawuf. Pada abad ke-5 Hijriyah atau abad 13 Masehi barulah muncul tarekat sebagai kelanjutan kegiatan kaum sufi sebelumnya. Hal ini ditandai dengan setiap silsilah tarekat selalu dihubungkan dengan nama pendiri atau tokoh-tokoh sufi yang lahir pada abad itu. Mula- mula muncul tarekat Qadiriyah yang dikembangkan oleh syeikh Abdul Qodir Jaelani di Asia tengah Tibristan tempat kelahiran dan oprasionalnya, kemudian berkembang ke Baghdad, Irak, Turki, Arab Saudi sampai ke Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailan, India, Tiongkok. Muncul pula tarekat Rifa‟iyah di Maroko dan Aljazair. Disusul tarekat Suhrawardiyah di Afrika utara, Afrika tengah, Sudan dan Nigeria. Tarekat-tarekat itu kemudian berkembang dengan cepat melalui murid-muridnya.18

Pada perkembangannya, kata tarekat mengalami pergeseran makna. Jika pada awalnya tarekat berarti jalan yang ditempuh oleh seorang sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah, maka pada tahap selanjutnya istilah tarekat digunakan untuk menunjuk pada suatu metode psikologi yang dilakukan oleh guru tasawuf (mursyid) kapada muridnya untuk mengenal Tuhan secara

17 KH. A. Aziz Masyuri, Ensklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf, (Surabaya: Imtiyaz, 2014), h. 2. 18 Sri Mulyati dkk, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011, Cet ke- 4), h. 6. 23

mendalam. Dari sinilah, terbentuklah suatu tarekat, dalam pengertian “jalan menuju Tuhan di bawah bimbingan seorang guru”. Dari pengertian ini kemudian kata tersebut digunakan dalam konotasi makna cara seseorang melakukan suatu pekerjaan, baik terpuji maupun tercela. Menurut istilah tasawuf sendiri, tarekat berarti perjalanan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara mensucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk dapat mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan19, dan perjalanan yang mengikuti jalur yang ada melalui tahap dan seluk-beluknya. Kata tarekat, secara umum mengacu pada metode latihan atau amalan (zikir, wirid, muraqabah), juga pada institusi guru dan murid yang tumbuh bersamanya.20

Tarekat sebagai organized hadir sebagai institusi penyedia layanan praktis dan terstruktur untuk memandu tahapan-tahapan perjalanan mistik yang berpusat pada relasi guru dan murid. Otoritas guru (mursyid) yang telah melampaui tahapan tahapan mistik harus diterima secara keseluruhan oleh murid. Ini diperlukan agar langkah murid untuk bertemu dengan Tuhan dapat terlaksana seperti yang dialami guru. Relasi guru-murid ini terbangun sambung menyambung hingga sampai kepada nabi sebagai sumbernya. Inilah yang disebut silsilah, yaitu mata rantai yang menghubungkan antara satu mursyid dengan mursyid yang mendahuluinya, fungsinya sama seperti sanad yang digunakan ulama hadis.

Secara umum terdapat dua aliran tarekat terbesar yang mainstream di kalangan sufistik, yaitu Naqsyabandiyah dan Qadiriyah. Tarekat Naqsyabandiyah didirikan oleh Muhammad Bahauddin An-Naqsabandi al- Uwaisi al-Bukhari (w.1389M) di Turkistan.Tarekat ini merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim (meskipun sedikit di antara orang-orang Arab) serta Turki, BosniaHerzegovina, dan wilayah Volga Ural. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari‟ at secara ketat, keseriusan dalam

19 KH. A. Aziz Masyuri, Ensklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf, (Surabaya: Imtiyaz 2014), h. 1. 20 Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia, (Depok: Pustaka Iman 2009), h. 183. 24

beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).

Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya, adalah dzikir yaitu berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan yang lebih langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam (khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, “dalam hati”), sebagai lawan dari dzikir keras (dhahri) yang lebih disukai tarekat tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah dari pada kebanyakan tarekat lain. Dengan hanya duduk bersama-sama menghadiri majelis Hadhrat Nabi Muhammad dengan hati yang benar dan ikhlas serta penuh cinta biarpun hanya sekali, orang yang hadir itu akan mencapai kesempurnaan iman pada maqam yang tertinggi. Begitulah keadaannya apabila seseorang itu hadir dan berkhidmat dalam majelis Naqsyabandiyah, dengan hati yang benar dan ikhlas, orang yang hadir itu akan dapat merasakan maqam Syuhud dan „Irfan yang akan diperoleh setelah begitu lama menuruti jalan-jalan tarekat yang lain.21

Adapun tarekat Qadiriyah adalah nama sebuah tarekat yang didirikan oleh Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al Baghdadi (1077-1166M). Tarekat Qadiriyah berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria kemudian diikuti oleh jutaan umat muslim yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia.Syekh Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi, ini adalah urutan ke 17 dari rantai mata emas mursyid tarekat. Tarekat Qadiriyah ini dikenal luwes, yaitu bila murid sudah mencapai derajat syekh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul

21 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), h. 28. 25

Qadir Jaelani sendiri, “Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya”.22

Tarekat Qadiriyah mementingkan kasih sayang terhadap semua makhluk, rendah hati dan menjauhi fanatisme dalam keagamaan maupun politik. Keistimewaan tarekatnya ialah zikir dengan menyebut-nyebut nama Tuhan. Ada anggapan membaca Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani pada tanggal 10 malam tiap bulan bisa melepaskan kemiskinan. Karena itu manaqibnya populer, baik di Jawa maupun Sumatera. Adapun asas-asas dalam tarekat Qadiriyah ialah bercita-cita tinggi, melaksanakan cita-cita, membesarkan nikmat, memelihara kehormatan dan memperbaiki khidmat kepada Allah SWT. Sedangkan wirid dan zikir yang dilafalkan ialah “Lailahaillallahu” dengan berdiri sambil bersenam, mengepalkan tangan ke samping, ke depan, ke muka dengan badan yang sigap, dan putus ingatan dengan yang lain, kecuali hanya kepada Allah SWT.23

Masuknya tarekat-tarekat ke Indonesia, biasanya bersamaan dengan adanya migrasi, perdagangan, atau munculnya orang-orang Indonesia yang belajar agama keluar negeri seperti India atau Arab Saudi. Van Bruinessen menyebutkan, banyak orang Indonesia yang kembali dari berhaji sudah di baiat menjadi pengikut suatu tarekat selama mereka menetap di Mekah dan sebagian diantaranya mendapatkan ijazah untuk mengajarkan berbagai tarekat mereka. Itulah sebabnya banyak ulama Indonesia yang selesai pergi haji atau belajar ke Arab lalu mendirikan tarekat setelah pulang dari tempat ia belajar. Ada beberapa orang yang terkenal sebagai pembawa tarekat tertentu untuk pertama kalinya ke Indonesia, misalnya Hamzah Fanzuri (w.1590 M) memperkenalkan tarekat wujudiyah di Aceh, Abdul Rauf Singkel (1620-1693 M) memperkenalkan tarekat Syattariyah juga di Aceh, Syekh Yusuf al- Makassariy (1626 - 1699 M) memperkenalkan tarekat Naqsyabandiyah dan tarekat Khalwatiyah di Banten dan Sulawesi Selatan, Syekh Ahmad

22 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat, h. 34. 23 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat, h. 39. 26

Khatib Sambas (w. 1878 M) bersama Syekh Abdul Karim Banten memperkenalkan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Banten, Syekh Abdul Fattah memperkenalkan tarekat Ahmadiyah atau Idrisiyah, Syekh Abd. al-Shamad al-Falimbani juga berjasa menyebarkan tarekat Sammaniyah (beliau murid langsung Syaikh Abdul Karim ) dan Syekh Ismail dari Simabur, Minangkabau juga mulai mengajarkan tarekat Khalidiyah di Tanah Minang tersebut. berkat mereka tarekat mulai muncul dan berkembang di Indonesia.24

Perkembangan tarekat di Indonesia secara nyata baru terlihat pada abad XVII yaitu dimulai pertama kali oleh Hamzah Fansuri (m.1610) dan muridnya Syamsuddin As-Sumantrani (m.1630) akan tetapi keduanya tidak meninggalkan organisasi tarekat yang berlangsung terus-menerus. Baru kemudian setelah Abdur Rauf bin Ali Singkel memperkenalkan tarekat Syatariyah di Aceh pada tahun 1679 M, organisasi tarekat inilah menjadi jelas dan dapat ditelusuri perkembangannya melalui silsilah hubungan guru murid sampai kebeberapa daerah di Indonesia25. Hamzah Fansuri secara tegas disebut sebagai penganut Tarekat Qadiriyah26. Kendatipun demikian, tarekat yang dianut oleh Hamzah fansuri maupun muridnya Syamsuddin Al Sumantrani berbeda dengan Tarekat Qadiriyah yang sekarang berkembang. Keduanya dikenal menganut paham penyatuan manusia dan Tuhan (Wahdatul Wujud), sedang Tarekat Qadiriyah yang sekarang ada, tidak lagi mengenal ajaran tersebut.27

Tokoh-tokoh penyiar Islam yang hidup dan berdakwah di Indonesia sebelumnya, secara samar-samar juga cenderung menganut paham ini. Syekh Abdullah Arif seorang penyiar pertama di Aceh apda abad 12 M dalam

24 Martin Van Bruinessen, , Pesantren dan Tarekat : Tradisi –Tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999) h.201-214 25 Trimingham, J.S, The Sufi Order in Islam. (London Oxford Univesity Press. 1971),h.130. 26 Bruinessen, M.V, “Tarekat Qadiriyah dan Ilmu Syekh Abdul Qadir Jaelani di India, Kurdistan, dan Indonesia”, dalam Ulumul Qur‟an Vol.2 No. 2,(Jakarta, Penerbit Lembaga Studi Agama dan Filsafat. 1989), h. 69. 27 Syafi‟i, Ahmad, Tangkulan, Abangan, dan Tarekat, Kebangkitan Agama di Jawa. (Jakarta, Diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia Anggota IKAPI DKI. 2006), h. 62. 27

karangannya yang berjudul “Bahrul Laahut” juga mengajarkan ajaran yang sama dengan Abu Mansur Al Hallaj dan Muhyiddin Ibnu Arabi yakni wahdatul wujud28. Begitu juga di jawa, di zaman penyiar Islam pertama (walisongo) terdapat seorang tokoh tasawuf yang mengajarkan paham ini. Bahkan pada periode setelahnya, beberapa tokoh dalam Kitab Cabolek, ada saja orang yang menyiarkan ajaran ini meskipun harus menerima hukuman berat. Tentang aliran tarekat apa yang dianut oleh Walisongo tidaklah jelas. Hanya saja dalam dinyatakan bahwa dan mengajarkan Ilmu Abdul Qadir29.

Di Sulawesi tarekat juga berkembang atas prakasa Syekh Yusuf Tajul Khalwati (1621-1689 M). Ulama Makassar ini dikenal seorang sufi yang menerima banyak ijazah tarekat seperti Tarekat Qadiriyah dari Nuruddin Ar Raniri, Tarekat Naqsabandiyah dari Muhammad Abdul Baqi Billah Ba‟alawiyah dari Sayid Ali, Tarerkat Syatariyah dari Burhanuddin Al Mula bin Ibrahim, dan Tarekat Khalwatiyah dari Abdul Barakat Ayyub bin Ahmad30. Adapun ajaran tasawuf yang dikembangkan seperti yang tertera dalam kitab karangannya “Fathur Rahman” ada banyak persamaan dengan Abi Yazid Al Bistami, Abdul Karim Al Jili, dan Abu Mansur Al Hallaj. Begitu juga dalm kitabnya “Zubdatul Asrar”, dia menyatakan mengikuti ajaran Syekh Muhammad Fadlullah Burhanpuri, seperti tentang macam-macam zikir31.

Pada abad XVIII, perkembangan tarekat masih juga menunjukan ada pengaruh paham wujudiyah. Tetapi kecenderungan kepada pentingnya fiqih sudah mulai tampak. Hal itu terlihat antara lain pada karya-karya ulama sufi pada abad tersebut. Di antara ulama yang hidup pada masa itu adalah Syekh

28 Abdullah, Hawash, Perkembangan Ilmu tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara. (Solo, Penerbit Ramadhani. 1980), h. 13. 29 Bruinessen, M.V, “Tarekat Qadiriyah dan Ilmu Syekh Abdul Qadir Jaelani di India, Kurdistan, dan Indonesia”, dalam Ulumul Qur‟an Vol.2 No. 2, (Jakarta, Penerbit Lembaga Studi Agama dan Filsafat. 1989), h. 70. 30 Tudjimah Cs, Syekh Yusuf Makassar: Riwayat Hidup Karya dan Ajarannya. (Jakrta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. 1987), h. 18-19. 31 Tudjimah Cs, Syekh Yusuf Makassar: Riwayat Hidup Karya dan Ajarannya. (Jakrta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. 1987), h. 30-33. 28

Abdus Samad Al Falimbani, Syekh Muhammad Nafis Al Banjari, dan Haji Ahmad Mutamakin Cebolek. Syekh Abdus Samad dalam karyanya yang berjudul “Siyarus Salikin” memandang bahwa aliran wujudiyah dan sejenisnya adalah ilmu tasawuf yang tinggi nilainya. Syekh Abdus Samad juga mengajarkan “Fanaul Af‟al” yakni menyatukan perbuatan makhluk di dalam perbuatan Allah. Begitu juga Syekh Muhammad Nafis Al Banjari adalah seorang sufi penganut paham Muhyiddin Ibnu Al Arabi. Ajaran tasawufnya dapat dilihat pada buku karangannya “Ad Durun Nafis” yang juga mengajarkan maqam fana‟ (kedudukan menyatu dengan Tuhan) dalam tiga tingkatan. Pertama, fana‟ pada perbuatan seperti kata: “Tiada yang berbuat hanya Allah”. Kedua, fana‟ pada sifat, seperti kata mereka: “Tiada yang hidup hanya Allah”. Ketiga, fana‟ pada zat, seperti kata: “Tiada yang ada hanyalah Allah”. Kitab ini seratus tahun kemudian setelah penulisnya wafat dinyatakan sesat oleh Kerajaan Johor, Sayid Alwi Thahir Al Haddad32. Sezaman dengan ulama di Palembang dan di Banjarmasin tersebut di Jawa juga muncul seorang Haji yang dituduh mengajarkan aliran wujudiyah (manunggaling kawula gusti) yang bernama Haji Ahmad Mutamakin. Informasi tentang tokoh ini sebagian besar diketahui para ahli melalui buku sastra Jawa yang berjudul “Serat Cabolek” karangan Yasadipura dan telah diangkat menjadi desertasi oleh Dr. Soebardi33.

Perwujudan tarekat seperti dijelaskan di atas menunjukan bahwa ajaran tasawuf yang berkembang pada awal penyiaran Islam sampai dengan abad XVIII adalah tasawuf yang bercorak filosofis dan menekankan pada ajaran wahdatul wujud sebagai puncak tasawuf. Corak tasawuf yang demikian itu tidak saja pada Tarekat Syatariyah yang dikembangkan oleh Syekh Abdur Rauf Singkel seperti yang dinyatakan oleh Steenbrink34 tetapi juga pada tarekat lainnya seperti Tarekat Qadiriyah oleh Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin Al Sumantrani, Tarekat Khalwatiyah dan Tarekat Naqsabandiyah

32 Abdullah, Hawash, Perkembangan Ilmu tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara. (Solo, Penerbit Ramadhani. 1980), h. 85. 33 Soebardi, S. The Book of Cabolek. (Leiden, The Hague-Martinus Nijhoff. 1975), h. 26. 34 Steenbrink, K.A, Beberapa Aspek tentang Islam Indonesia Abad ke-19. (Jakarta, Penerbit Bulan Bintang. 1984), h. 174. 29

oleh Syekh Yusuf Makassar, Tarekat Samaniyah oleh Syekh Abdus Samad Al Falimbani dan Syekh Muhammad Nafis Al Banjari. Pemurnian ajaran tasawuf dengan cara menghilangkan pandangan wahdatul wujud dan menekankan pentingnya syariat baru terjadi pada abad ke-19 melalui tokoh-tokoh sufi yang juga berasal dari Indonesia sendiri setelah mereka kembali dari mencari ilmu di pusat Islam yakni Saudi Arabia35.

Ada tiga ulama tarekat terpenting dalam kaitannya dengan pemurnian ajaran tasawuf pada abad ke-19 di Indonesia yaitu Syekh Ismail Al Khalidi Al Minangkabawi, Syekh Muhammad Saleh Az Zawawi, dan Syekh Ahmad Khatib As Sambasi. Tarekat yang dikembangkan oleh ketiga ulama sufi ini adalah Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah, Tarekat Naqsabandiyah Muzhariyah, dan Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah. Ketiga aliran tarekat inilah yang dewasa ini memiliki penganut paling besar dibanding dengan Tarekat rifaiyah, Tarekat Samaniyah, Tarekat Syatariyah, Tarekat Tijaniyah, Tarekat Alawiyah, Tarekat Syaziliyah, dan lain-lainnya.

Syekh Ismail Al Khalidi Al Minangkabawi adalah pelopor Tarekat Khalidiyah Naqsabandiyah di Minangkabau khususnya dan pada umumnya di Indonesia yang telah banyak mengadakan perubahan metode dalam tasawuf. Dengan munculnya tarekat ini kemasyhuran Tarekat Syatariyah di Sumatra Barat yang bersumber dari ajaran Syekh Burhanuddin Ulakan menjadi berkurang. Perubahan ajaran Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah adalah tentang kesaksian tunggal (Wahdatus Syuhud) dan menentang ajaran (Wahdatul Wujud) yang bersumber pada ajaran Syekh Abu Mansur Al Hallaj dan Syekh Muhyiddin Ibnu Al Arabi36. Syekh Ismail Al Khalidi Al Minangkabawi setelah belajar di daearahnya kemudian melanjutkan pelajarannya ke Makkah dan berguru dengan Syekh Khalid Al Kurdi seorang pembaharu Tarekat Naqsabandiyah.37 Pada tahun 1850-an, beberapa orang

35 Syafi‟i, Ahmad, Tangkulan, Abangan, dan Tarekat, Kebangkitan Agama di Jawa. (Jakarta, Diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia Anggota IKAPI DKI. 2006), h. 65. 36 Mansoer, dkk, Sejarah Minangkabau. (Jakarta, Penerbit Bhatara Masa Kini. 1970), h. 164. 37 Abbdullah, Shagir, Syekh Ismail Al Minangkabawi Penyiar Thareqat Naqsabandiyah Khalidiyah. (Solo, Penerbit Ramadhani. 1985), h. 17. 30

Nusantara mulai menyebarkan tarekat ini di Jawa dan Sumatera38. Dan sejak itu pula di beberapa daerah di Indonesia Tarekat Syatariyah diganti dengan Naqsabandiyah wa Qadiriyah.39

Cabang dari Tarekat Naqsabandiyah lainnya adalah Tarekat Muzhariyah. Tarekat ini di syiarkan oleh Syekh Muhammad Saleh Az Zawawi. Mujahid atau pembaharu dari tarekat ini adalah Syekh Muhammad Muzhar Al Ahmadi. Pengaruh cabang Tarekat Naqsabandiyah Muzhariyah di Indonesia meliputi daerah Riau, Pontianak, dan Madura. Tokoh penyiar Tarekat Naqsabandiyah di Madura adalah Syekh Abdul Azim Al Manduri. Puncak perkembangan tarekat ini dicapai setelah KH. Fatul Bari Al Manduri menyiarkannya kepada orang awam yang diikuti oleh muridnya bernama Sayid Muhsin Al Hinduan yang meyebarkan mulai dari Madura, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan40. Di Jawa Tengah, Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah juga berkembang dengan cepat pada masa ini. Di antara tokoh utama penyiar tarekat ini adalah Syekh Muhammad Al Hadi, Girikusumo, di Mranggen, Demak, Jawa Tengah. Dewasa ini mursyid Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah di Jawa Tengah (Kudus, Rembang, Pati, Surakarta) menyandarkan sanad atau silsilah pada Syekh Muhammad Al Hadi. Dengan demikian keterangan Zamakhsari Dhofir41 bahwa Kyai Baedhawi, Kyai Maksum (keduanya dari Lasem, Rembang) dan Kyai Hafidh (Rembang), Kyai Arwani (Kudus), Kyai Muslih (Mranggen-Demak), dan Kyai Adlan Ali dari Tebuireng (Jombang) sebagai pimpinan Tarekat Qadiriyah wan Naqsabandiyah adalah kurang teliti. Kyai Baedhawi sebenarnya menganut Tarekat Syaziliyah. Kyai Hafidh dan Kyai Arwani adalah penganut/ pimpinan Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah yang berasal dari Syekh Muhammad Al Hadi

38 Bruinessen, M.V, “Bukankah Orang Kurdi yang Mengislamkan Indonesia”. Dalam Pesantren No. 4/Vol. IV/1987. (Jakarta, Penerbit P3M. 1987), h. 51. 39 Steenbrink, K.A, Beberapa Aspek tentang Islam Indonesia Abad ke-19. (Jakarta, Penerbit Bulan Bintang. 1984), h. 174. 40 Abbdullah, Shagir, Syekh Ismail Al Minangkabawi Penyiar Thareqat Naqsabandiyah Khalidiyah. (Solo, Penerbit Ramadhani. 1985), h. 6-7. 41 Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. (Jakarta, Penerbit LP3ES. 1982), h. 144. 31

Mranggen. Sedangkan Kyai Muslih dan Kyai Adlan Ali memang benar sebagai pimpinan Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah.42

Pada pertengahan abad ke-19, seorang ulama dari Kalimantan mengajarkan Tarekat Qadiriyah yang digabungkan dengan Tarekat Naqsabandiyah sebagai kesatuan yang kemudian dikenal dengan nama Tarekat Qadiriyah wan Naqsabandiyah . Syekh Ahmad Khatib As Sambasi adalah pembaharu atau pencetus kedua tarekat tersebut. Setelah Ahmad Khatib Sambas meninggal dunia (1878 M) kepemimpinannya dilanjutkan oleh para muridnya yaitu: Syekh Abdul Karim Banten, Syekh Talhah Cirebon, dan Kyai Ahmad Hasbullah bin Muhammad Madura. Dari tiga muridnya Ahmad Khatib tersebut, Kyai Ahmad Hasbullah bin Muhammad Madura menurunkan kepada murid-muridnya di Jawa Timur seperti Kyai Ramli, ayah Kyai Mustain Ramli. Di Jawa Tengah, Kyai Muslih mengambil silsilahnya kepada Syekh Abdul Karim Banten. Di Jawa Barat, Abah Anom (Suryalaya) mengambil silsilah dari jalur Kyai Talhah Cirebon, begitu juga dengan Kyai Thahir Falak (Pagentongan, Bogor). Cabang-cabang Tarekat Qadiriyah wan Naqsabandiyah tersebut yang terbesar dan yang paling berpengaruh adalah Abah Anom (KH. A. Shahibulwafa Tajul „Arifin) di Suryalaya karena sistem pengobatan narkotika melalui zikir (sufi healing).43 Selain Abah Anom, Kyai Muslih (Mranggen) yang mengambil silsilah melalui jalur Kyai Abdul Karim Banten juga merupakan tokoh besar dalam tarekat ini dan sekaligus sebagai perintis berdirinya organisasi tarekat secara nasional yang disebut “Jamiyah Ahli Tharekat Mutabaroh An Nahdliyah”.

Sampai saat ini di Asia Tenggara menjadi jamaah paling besar dan paling subur perkembangnya. Di Indonesia, tercatat ada bermacam-macam tarekat dan organisasi yang mirip tarekat. Beberapa di antaranya hanya sebagai tarekat lokal yang berdasarkan pada ajaran-ajaran dan amalan-amalan guru

42 Syafi‟i, Ahmad, Tangkulan, Abangan, dan Tarekat, Kebangkitan Agama di Jawa. (Jakarta, Diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia Anggota IKAPI DKI, 2006), h. 67. 43 Bruinessen, M.V, “Tarekat Qadiriyah dan Ilmu Syekh Abdul Qadir Jaelani di India, Kurdistan, dan Indonesia”, dalam Ulumul Qur‟an Vol.2 No. 2, (Jakarta, Penerbit Lembaga Studi Agama dan Filsafat. 1989), h. 74-75.

32

tertentu. Tarekat lainnya, biasanya yang lebih besar, sebetulnya merupakan cabang-cabang dari gerakan Sufi internasional, misalnya Khalwatiyah (Sulawesi Selatan), Syattariyah (Sumatera Barat dan Jawa), Qadiriyah, Rifa‟iyah, Idrisiyah atau Ahmadiyah, Tijaniyah dan yang paling besar adalah Naqsyabandiyah. Terdapat 45 Thariqah Mu‟tabarah dan Berstandar di Lingkungan (NU), yaitu: 1) Abbasiyah2) Ahmadiyah , 3) Akbariyah, 4 Alawiyah, 5) Baerumiyah, 6) Bakdasyiyah, 7) Bakriyah, 8) Bayumiyah, 9) Buhuriyah, 10) Dasuqiyah, 11) Ghozaliyah, 12) Ghoibiyah, 13) Haddadiyah, 14) Hamzawiyah, 15) Idrisiyah, 16) Idrusiyah, 17) ISawiyah, 18) Jalwatiyah, 19) Junaidiyah, 20) Justiyah, 21) Khodliriyah, 22) Kholidiyah Wan Naqsyabandiyah, 23) Kholwatiyah, 24) Kubrowiyah, 25) Madbuliyah, 26) Malamiyah , 27) Maulawiyah, 28) Qadiriyah Wan Naqsyabandiyah, 29) Rifa‟iyah, 30) Rumiyah, 31) Sa‟diyah, 32) Samaniyah, 33) Sumbuliyah, 34) Syadzaliyah, 35) Sya‟baniyah, 36) Syathoriyah, 37) Syuhrowiyah, 38) Tijaniyah, 39) Umariyah, 40) Usyaqiyah, 41) Usmaniyah, 42) Uwaisiyah, 43) Zainiyah, 44) Mulazamatu Qira‟atul Qur‟an, 45) Mulazamatu Qira‟atul Kutub. Semua tarekat ini mempunyai hubungan salasilah yang bertawasul dengan segala salasilah guru mursid (masyayikh) ahlus shufi hingga sampai kepada Rasulullah S.A.W. dengan dibai‟atkan atau ditalkinkan dari para guru mursyid yang masuk dalam rantai salasilah Ahli Tarekat TaSawuf Ahlus Shufi yang bersambung-sambung sampai kepada Rasulullah S.A.W.44

44 Farhan, “Islam dan Tasawuf di Indonesia” dalam Jurnal Esoterik; Jurnal Akhlak dan Tasawuf Vol. 2 No. 1. (Kudus: STAIN Kudus, 2016), h. 20-21. BAB III

TAREKAT QODIRIYAH HANAFIYAH

A. Biografi Pendiri Tarekat Qodiriyah Hanafiyah

Tarekat Qodiriyah Hanafiyah didirikan oleh Mursyid bernama Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah. Gelar „Tuangku” merupakan penghormatan yang setara dengan Tuanku, yaitu sebutan atau panggilan kepada orang mulia.1 Qodiriyah diambil dari mursyid utama yakni Syaikh Abdul Qodir al-Jilani, sedangkan Hanafiyah diambil dari pendirinya yakni Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiyah.2 Tuangku diminta untuk mendirikan tarekat sesuai keinginannya, akan tetapi beliau menghormati gurunya, yakni Syaikh Abdul Qadir al-Jilani sehingga tetap menempatkan nama Qodiriyah sebagai aliran tarekatnya. 3

Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah Al-Kutub lahir pada 2 April tahun 1978. Lahir dari pasangan Sudirman Anwar dan Lisda Ghalib berasal dari Padang. Ayahnya merupakan seorang pegawai di Kantor Gubernur Sumatera Barat. Garis keturunan Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah terhubung dengan Rasulullah s.a.w melalui Kakeknya bernaman Ibrahim Ibn Ahmad Kuwat.4

Kehidupan Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiyah sejak kecil mengikuti ayahnya. Ayahnya sendiri sering bolak-balik Jakarta-Padang sebagai pekerja Lembaga Administrasi Negara (LAN). kemudian ke Solok, terakhir kembali lagi ke Padang. Keikutsertaannya hingga Tuangku berumur 12 tahun atau bertepatan dengan kelas VI SD sekaligus bertepatan dengan kematian ayahnya di

1 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Kemendikbud, 2007), h. 1145. 2 Qodiriyah adalah nama sebuah tarekat yang didirikan oleh Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al-Baghdadi (1077-1166M). Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes, yaitu bila murid sudah mencapai derajat syekh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Lihat dalam Sri Mulyati Dkk, h. 34 3 Zubair Ahmad & Andang B Malla, BUKU PUTIH KEMATIAN, Sebuah Pengalaman Ruhani Tuangku Syekh Muhammad Ali Hanafiah Ar-Rabbani, (Tangerang Selatan: Rabbani Press 2015), h. 8. 4 Zubair & Andang, BUKU PUTIH KEMATIAN, h. 3.

33 34

umur 40 tahun.5 Sepeninggal Ayahnya, Tuangku menjalani kehidupan dengan berbagai tantangan dan keresahan sehingga mengantarkannya ke dalam perjalanan spiritualnya dengan berbagai kejadian yang aneh.

Kejadian aneh yang dimaksud berhubungan dengan kondisi spiritualnya. Sebagaimana kejadian pada saat Tuangku berumur 12 tahun atau pasca sepeninggal ayahnya, Tuangku kerap mengalami kegelisahan yang luar biasa. Puncaknya Tuangku semakin merasa ragu akan keberadaan Tuhan. Suatu ketika Tuangku akhirnya keluar rumah dan berteriak keras mengucapkan “Jika memang Engkau ada, maka tunjukkanlah keberadaan-Mu malam ini! Apabila Engkau tidak menunjukkan diri-Mu maka mulai malam ini, Saya tidak akan pernah lagi percaya kepada-Mu!” Pada ketika itu juga, Allah menjawab tantangannya dengan sebuat kilat bertuliskan lafadz Jalalah dalam bahasa Arab yang sangat terang walaupun tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Sejak malam itulah, Sultan Auliya yaitu Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani selalu datang secara Ruhaniah memberikan bimbingan kepadanya.6

Kejadian selanjutnya terjadi pada saat Tuangku berumur 17 tahun atau saat menginjak pendidikannya di STM Kota Padang. Saat itu mulai turun Kalam Ilham Ilahi. Ia menulisnya kemudian diperlihatkan kepada salah seorang sahabatnya yaitu Zulkifli Zukma atau yang sekarang akrab dipanggil Buya Zul, mahasiswa IAIN Imam Bonjol Padang.7 Dalam perjalanan spritualnya, Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah sering mengalami peristiwa-peristiwa di luar nalar manusia, di antaranya beliau telah mengalami mati suri lebih dari tujuh kali, bahkan sempat dikubur selama tiga hari dua malam dan sampai saat ini bekas kuburannya dijaga dan bekas pakaiannya disimpan oleh murid-muridnya Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah.

Pada tahun 2002, Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah menikah dengan wanita berdarah Jawa dan Minang yang akrab dipanggil Ummi Ridha serta dikaruniai tiga orang putra, yaitu: Muhammad Isa Rabbani, Muhammad

5 Ahmad Rahman, KALAM ILHAM ILAHI, Muhammad Ali Hanafiah (Pelepas Dahaga bagi Hamba Pencari Tuhan), (Tangerang Selatan: Rabbani Press 2002), h. 22. 6 Zubair Ahmad & Andang B Malla, BUKU PUTIH KEMATIAN, h. 6. 7 Ahmad Rahman, KALAM ILHAM ILAHI, h. 24. 35

Dawud Rabbani, dan Muhammad Ibrahim Rabbani, dan satu orang putri yang meninggal dunia pada usia 2 tahun bernama Az-Zahra Putri Ar-Ridha.8

Perjalanan kehidupan Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah selanjtunya adalah mengembangkan ajaran tasawuf yang telah diterimanya secara langsung melalui Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Kemudian pada tahun 2000, Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah mendirikan Tasawuf Islamic Centre Indonesia (TICI) yang kini berpusat di Jakarta. Di tahun 20029, Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah juga membangun Pondok Pesantren Tasawuf Rabbani di Solok Sumatera Barat, sebagai pusat latihan ruhani (riyadhah) bagi murid- muridnya serta orang-orang yang tertarik belajar Tasawuf. Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah juga mendirikan berbagai macam usaha untuk meningkatkan perekonomian ummat, baik di bidang jasa, penjualan, pertanian, perkebunan, perternakan, pertambangan, yang semuanya dijalankan oleh murid- muridnya Tuangku dengan satu tujuan yakni “Islam yang Bersatu dan Berbagi”.

Sejak tahun 2004, Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah bolak-balik ke Jakarta, khususnya wilayah lebak bulus Jakarta Selatan, untuk menyebarkan Kalam Ilham Ilahi yang diterimanya. Kehadirannya di Jakarta merupakan inisiasi dari Ahmad Rahman, Ahli Peneliti Utama pada Balitbang Kementerian Agama RI. Kalam Ilham Ilahi yang dikumpulkan dari hasil penelitian tersebut, kemudian diterbitkan oleh Penerbit Hikmah, Mizan Publika tahun 2004 dengan judul: Sastra Ilahi, Ilham Sirriyah Tuangku Syekh Muhammad Ali Hanafiah.10 Selanjutnya, buku tersebut diterbitkan ulang dengan beberapa penambahan oleh Penerbit Rabani Press pada tahun 2011 dengan judul: Menyapa Rasa Para Pencari Tuhan: Hidangan Nurani Tuangku Syekh Muhammad Ali Hanafiah11, dan pada tahun 2012 diterbitkan dalam dua bahasa dengan judul: Inilah Aku: Hidangan Ruhani Tuangku Syekh Muhammad Ali Hanafiah (Here I Am: The Innermost

8 Zubair Ahmad & Andang B Malla, BUKU PUTIH KEMATIAN, h. 4. 9 Zubair Ahmad & Andang B Malla, BUKU PUTIH KEMATIAN, h. 6. 10 Ahmad Rahman, KALAM ILHAM ILAHI, h. 9. 11 Ahmad Rahman, Menyapa Rasa Para Pencari Tuhan, Hidangan Nurani Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, (Tangerang Selatan: Rabbani Press 2011), h. 12. 36

Inspiration)12. Saat ini, Tarekat Qodiriyah Hanafiah sudah memiliki domisili permanen di Komplek Masjid Rabbani, Perumahan Puspitaloka, Bumi Serpong Damai, Kota Tangerang Selatan.

B. Riwayat Pendidikan

Tidak terlalu banyak penjelasan riwayat pendidikan Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah. Secara formal, Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah menjalani pendidikan di SD, SMP Hingga STM di Kota Padang. Sempat beberapa kali masuk ke perguruan tinggi negeri akan tetapi tidak bisa dilanjutkan atau tidak diselesaikan. Terdapat beberapa hal yang menjadikan Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah tidak bisa melanjutkan pendidikannnya di perguruan tinggi, salah satu faktor utamanya adalah perjalanan spiritual berupa berkhalwat di beberapa daerah sehingga tidak bisa mengikuti jadwal perkuliahan secara sempurna.

Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah menjalani pendidikan di tingkat dasar dengan berpindah-pindah. Hal ini dikarenakan Tuangku mengikuti perjalanan ayahnya yang harus bolak-balik dari Padang, Jakarta, Solok dan ke Padang. Namun akhirnya pendidikan SD nya diselesaikan di kota Padang. Di tingkat selanjutnya, Tuangku menjalani pendidikan di tingkat SMP di kota Padang. Terus berlanjut hingga tingkat SMA.

Pada tingkat pendidikan formalnya sangat erat dengan pendidikan umum. Dalam hal ini Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah secara umum tidak mengenyam pendidikan agama secara khusus. Akan tetapi Syaikh Muhammad Ali Hanafiah tidak secara khusus mendalami pendidikan agama, seperti pesantren. Hanya mengikuti pendidikan agama di kampungnya. Maka sejak duduk di bangku SMP, ia memilih sahabat yang baik dan teamn yang mau di ajak mendirikan shalat, sambil ia berbincang-bincang dengan mereka tentang agama. Ia selalu bermalam di Mushalla () dekat rumahnya, di Ampang Sumatera Barat. Di Surau, ia belajar membaca Al-Quran, azan, dan ia pernah ditunjuk menjadi guru

12 Ahmad Rahman, Inilah AKU, Here I AM, Pencerahan Rohani bagi Pencari Tuhan, Maulana Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, (Tangerang Selatan: Rabbani Press 2012), h. 7. 37

Taman Pendidikan Al-Quran (TPA), tetapi ia tidak pernah belajar dipesantren, atau belajar agama pada seorang ulama.13

Dalam buku Buku Putih Kematian ditulis bahwa Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah sempat mengikuti pendidikan di IAIN Imam Bonjol, Padang. Akan tetapi pendidikannya tidak bisa dilanjutkan karena Tuangku harus mengikut perjalanan khalwat ke Pegunungan mendalami dunia spiritualnya. Hal ini dikarenakan sejak Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah menerima Kalam Ilham Ilahi, Tuangku lebih mendalami perjalanan spiritualnya daripada pendidikan formalnya. Salah satu tarekat yang diikutinya adalah Tarekat yang berada di Malaysia. Sejak saat itu Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah terus mendalami dunia spiritual daripada pendidikan formalnya.14

C. Sejarah Berdirinya Tarekat Qodiriyah Hanafiyah

Latar belakang berdirinya Tarekat Qodiriyah Hanafiah berhubungan erat dengan beberapa kejadian luar biasa yang dialami oleh Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah. Berawal dari keraguan sekaligus keingintahuannya terhadap hal-hal ketuhanan, pada saat menginjak SMP, Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah menantang keberadaan Tuhan. Tantangan tersebut kemudian direspon dengan jawaban berupa sambaran kilat yang membentuk lafadz jalalah atau lafadz Allah. Semenjak kejadian itu, Syaikh Muhammad Ali Hanafiah sering didatangi Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani untuk diajari ilmu tasawuf secara bathiniyah. 15 Keberadaan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani sebagai mursyid merupakan pengukuhan utama Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah dalam menjalani dunia tasawuf maupun tarekat.

Puncak pendidikan spiritualitasnya adalah ketika Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah menerima Kalam Ilhma Ilahi. Setelah penerimaan Kalam Ilham Ilahi tersebut kemudian Tuangku menulis dan disebarkan kepada beberapa teman-temannya. Ahmad Rahman selaku peneliti di Kementerian Agama menegaskan bahwa Kalam Ilham Ilahi merupakan hidangan tasawuf yang

13 Ahmad Rahman, Kalam Ilham Ilahi, h. 24. 14 Zubair Ahmad & Andang B Malla, Buku Putih Kematian, h. 18. 15 Zubair Ahmad & Andang B Malla, Buku Putih Kematian, h. 6. 38

memiliki makna mendalam serta berbeda dengan tarekat lainnya. Dengan kata lain, Kalam Ilham Ilahi memiliki keistimewaan dibanding syair-syair sufistik lainnya.16

Pada saat mulai turunya Kalam Ilham Ilahi, Ia menulisnya kemudian diperlihatkan kepada salah seorang sahabatnya yaitu Zulkifli Zukma, mahasiswa IAIN Imam Bonjol Padang. Kemudian Zulkifli Zukma membawa satu lembar dari Kalam Ilham Ilahi itu ke IAIN Imam Bonjol, dan ia memperlihatkan kepada teman-temannya. Menurut Zulkifli, mereka takjub sehingga muncullah beberapa nama yang mereka berikan, seperti Kalam Ghaib, Kalam Sirr, dan Kalam Ilham Ilahi (adalah nama terakhir yang sekarang dipakai).17

Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah juga melakukan bai’at secara dzahir kepada Maulana Syaikh Muhammad Nazhim Adil Al Naqsyabandi ketika Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah mengambil baiat secara ruhani kepadanya di rumah Perdana Menteri Malaysia, Tun Abdur Razak tahun 2006. Pembaiatan itu sendiri disaksikan secara ruhaniah oleh Syaikh Hisyam Kabbani, menantu dan pelanjut kemursyidan Tarekat Naqsyabandiyah Nazhimiyah. Selain tarekat Qodiriyah, Syekh Nazhim juga mengijazahkan tiga tarekat lainnya kepada Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, yaitu Tarekat Naqsyabandiayah, Tarekat Alawiyah, dan Tarekat Nazhimiyah. Namun, tarekat Qodiriyahlah yang diamanahkan Syaikh Nazhim kepada Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah untuk diajarkan kepada jamaahnya yaitu jama‟ah Tarekat Qodiriyah Hanafiah.

Adapun secara dzahir Tarekat Qodiriyah Hanafiah berhubungan secara ruhaniah dengan guru-guru yang membai‟at Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, seperti Naqasabandi, Maulawiyah, Alawiyah, maupun Tarekat Syatariah. Adapun secara rinci sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Zubair

16 Ahmad Rahman, Kalam Ihlam Ilahi, h. 7. 17 Ahmad Rahman, KALAM ILHAM ILAHI, h. 24. 39

Ahmad tentang 26 peniri tarekat yang telah terhubungkan secara ruhaniah dengan Tarekat Qodiriyah Hanafiah.18

Salah satu kualifikasi tarekat adalah adanya sanad atau silsilah. Sanad merupakan mata rantai yang menghubungkan ajaran tarekat terhubung kepada Rasulullah. Dalam Tarekat, silsilah atau sanad merupakan elemen terpenting, hal ini dikarenakan sanad menjadi acuan ajaran-ajaran dalam tarekat bisa dipastikan berasal dari Rasulullah. Pengamalan ajaran tarekat itu dianggap penting sekali urut-urutan nama para mashayikh atau guru yang telah mengajar dan mengamalkan dasar-dasar tarekat itu secara turun temurun. Garis para mashayikh atau keguruan yang turun temurun dari satu generasi ke satu generasi itulah yang dinamakan sebagai silsilah atau sanad.19 Selain itu dari silsilah sanad tarekat merupakan bagian yang menentukan tentang keabsaah atau tidaknya sebuah tarekat. Selain itu, dalam keorganisasian tarekat terdapat term mu’tabarah atau ghair mu’tabarah yang mengindikasikan atas otentik atau tidaknya silsilah sanad tarekat.20

D. Ajaran Tarekat Qodiriyah Hanafiyah Secara umum ajaran atau amalan tarekat Qodiriyah Hanafiyah terbagi menjadi tiga hal, yakni zikir atau mujahadah sebagai landasan spiritual, berkhalwat sebagai latihan dan menerapkan kasih sayang sebagai buah atau perilaku yang harus ditunjukkan dalam mengikuti Tarekat Qodiriyah Hanafiyah. Berikut penjelasan umumnya: 1. Dzikir atau Mujahaddah. Secara umum semua aliran Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes, yaitu bila murid sudah mencapai derajat syekh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya.21 Tidak berbeda dengan ajaran dan amalan

18 Zubair Ahmad & Andang B Malla, BUKU PUTIH KEMATIAN, Sebuah Pengalaman Ruhani Tuangku Syekh Muhammad Ali Hanafiah Ar-Rabbani, (Tangerang Selatan: Rabbani Press 2015), h. 11. 19 Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqshabandiyyah di Indonesia, (Bandung: Penerbit Mizan, 1992), h. 29. 20 Sri Mulyati dkk, h. 32. 21 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011, Cet ke- 4), h. 256. 40

utama dalam Tarekat Qodiriyah, yakni dzikir dengan mengucapkan asma Allah secara jelas, Tarekat Qodiriyah Hanafiah pun memiliki amalan yang sama. Akan tetapi perbedaannya adalah mujahaddah yang dilakukan pengikut Tarekat Qodiriyah Hanafiah dilakukan di tempat yang sunyi. Zikir merupakan landasan utama dalam penyampaian rasa. Sesungguhnya zikir itu adalah tersambung ke rasa (rasa nurani), keadaan ini adalah suatu proses menundukkan fikiran kedalam rasa nurani (rasa berTuhan) karena rasa itu adalah tiada berhuruf, kata, atau kalimat, maka yang di harapkan adalah fikirannya saat berzikir dapat mencapai/masuk kedalam rasa ini (hening), namun yang sering terjadi adalah ketidak mampuan fikiran untuk diam, hening (masuk kedalam rasa nurani/rasa berTuhan)22 Sebab kita selama ini lebih sering bergaul dengan alam fikiran di dalam hati kita dari pada merasakan Dia di dalam hati kita. Untuk itu di perlukan riyadhoh/latihan berzikir memfokuskan fikiran ini kedalam merasakan rasa nurani/berTuhan, dengan metode-metode zikir dari guru mursyid. Zikir akan membuahkan kebangkitan maqam-maqam tauhid. Zikir membuahkan makrifat dan ahwal. Zikir adalah pohon yang akan berbuah kenikmatan. Semakin besar pohonnya akan semakin lebat buahnya. Zikir adalah asal semua maqam dan semua dasar bangunan. Zikir juga merupakan dinding yang didirikan di atas dasar bangunan, dan zikir juga merupakan atap yang dipasang di atas dindingnya. Seseorang tidak hidup tanpa zikir. Dan orang disebut lalai atau mati hanya karena tidak berzikir. Menjadi jelas, zikir adalah seluruh bangunan, mulai dari dasar bangunan sampai atap suatu bangunan23. Dalam prakteknya, ajaran dzikir Tarekat Qodiriyah Hanafiah dilakukan dengan cara jamaah yang datang ke Majelis Rabbani Indonesia (MRI) pada umumnya mengenakan pakaian putih-putih, mukenah putih, dan bagi jamaah laki-laki mengenakan pakaian takwah berwah putih serta kopiah juga berwarna putih. Suhardi menuturkan bahwa sebenarnya tidak ada persyaratan untuk mengenakan pakaian serba putih, namun para jamaah merasa bahwa ketika ingin menghadap

22 Radhi Islami, “Sejarah dan Perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah” Tesis Magister Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2018, h. 70. 23 Saifuddin Aman & Abdul Qadir Isa, Tasawuf Revolusi Mental Zikir Mengolah Jiwa & Raga, (Jakarta, Penerbit Ruhama, 2014), h. 141. 41

kepada Sang Pencipta hendaklah dengan hati yang bersih yang disimbolkan dengan mengenakan pakai serba putih.24 2. Rasa Dekat Ajaran mengenai rasa sebagai media pertama dalam menjalani spiritualitas. Rasa dekat merupakan kedekatan manusia dengan Tuhan tidak bisa dikatakan jauh ataupun dekat. Akan tetapi cukuplah Tuhan yang mengetahui keberadaan manusia. Dekat tidak bisa dijabarkan oleh akal pikiran. Hanya rasa yang bisa menjelaskannya. Adapun bentuk kedekatan ini dapat dibuktikan apabila tidak ada lagi hijab (penghalang). Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah membagi rasa menjadi tiga, yaitu; Rasa Jasmani (fisik), Rasa Ruhani (keadaan jiwa manusia), Rasa Nurani (rasa berTuhan). Maka di dalam zikrullah tujuan awal seorang hamba adalah agar bisa meRasakan rasa berTuhan dengan menundukkan fikirannya kedalam Rasa berTuhan ini. Di dalam Zikir ini pun ada beberapa tingkatan; yaitu Ingat, Dekat, Pandang, dan Cinta.25 Rasa dekat mustahil terbit dari akal seorang hamba apalagi datang dari hawa nafsu. Rasa dekat lahir dari pemberian Allah sendiri, seorang hamba tidak mampu menciptakan rasa dekat di dalam hati dan perasaannya sendiri. Rasa dekat dalam Tarekat Qodiriyah Hanafiah merupakan ḥ al (kondisi atau keadaan) yang berorientasi pada mahabbah atau cinta kepada Tuhan. Kedudukan rasa dekat memiliki persamaan dengan Ma‟rifat, karena kedekatan merupakan pemberian, hal tersebut maka sama halnya dengan kedudukan seseorang yang telah mencapai ma‟rifat maka akan dibukakan pengetahuan dan segala keindahan yang ada. Hal tersebut merupakan pemberian dari Tuhan secara langsung. 3. Penyaksian Ajaran penyaksian atau kesaksian merupakan tahapan kelanjutan dari penjelasan rasa maupun hati di atas. Penyaksian merupakan maqam yang diberikan Tuhan di atas puncak segala rasa. Ketika keakuan diri sudah lenyap, rasa kepemilikin sudah hilang terhadap segala sesuatu termasuk terhadap diri sendiri bahkan terhadap kata “aku” sendiri, sehingga mencapai titik nol maka pada saat itulah terbuka tirai

24 Majelis Rabbani, “Tata Cara Dzikir”, diambil dari www.majelisrabbani.org diakses pada 8 April 2019. 25 Radhi Islami, “Sejarah dan Perkembangan”, h. 36. 42

dan hijab yang di buka sendiri oleh Allah. Disaat di bukakan hijab maka pada saat itulah sang hamba akan dapat menyaksikan keindahan Wajahnya Allah. 4. Mahabbah Cinta atau mahabbah merupakan tingkatan selanjutnya yang bisa dirasakan seseorang dalam mengikuti tarekat Qodiriyah Hanafiah. Dalam Kalam Sirnya dijelaskan bahwa “tidak ada sesuatu yang dapat memalingkan „kedekatan‟ dan „penyaksian‟ melainkan jika engkau jadikan keduanya sebagai sesuatu yang dituju. Tidak ada kerugian dalam perjalanan seorang hamba yang menjadikan „kecintaan‟ sebagai tujuan atas pendekatan dan menyaksikan Aku sebagai kekasihnya.26 Konsep cinta tarekat Qodiriyah Hanafiah dapat dipahami sebagai berikut. Mengetahui segala sesuatu tentang ke-Tuhanan haruslah menggunakan hati, atau rasa sebagai bentuk pemahanan. Maka dalam proses pencarian kepada Tuhan menggunakan rasa sebagai tumpuan perbuatannya. Catatan dari awal telah dijelaskan bahwa hati merupakan tempat rasa, dan rasa bersumber dari nurani, dimana nurani merupakan asal atau unsur ketuhanan. Dengan demikian perbuatan dari hati adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat keilahiatan (ketuhanan). Maka tatkala hati telah mengatur perbuatan kita menjadi perbuatan yang bernilai ketuhanan, maka penyaksian akan diberikan oleh Tuhan kepada hamba tersebut. Dengan kata lain, penyaksian juga membentuk kerinduan atau mengganti perasaan hati sang hamba dengan cinta dan rindu di dalam hati hamba tersebut. 5. Khalwat (Menyepi) Mujahaddah atau zikir yang dilakukan oleh Tarekat Qodiriyah Hanafiah dilakukan ditempat sepi, dengan tidak membawa perbekalan duniawi. Secara sederhana khalwat memiliki kemiripan dengan konsep zuhud dengan cara berkhalwat.27 Akan tetapi yang perlu ditekankan dalam Tarekat Qodiriyah Hanafiah adalah bentuk penjelasan mengenai meninggalkan dunia dimaknai sebagai membedakan atau mengurai (memisahkan) antara urusan dunia dengan urusan mendekatkan diri kepada Allah.

26 Radhi Islami, “Sejarah dan Perkembangan”, h. 82. 27 Zuhud merupakan meninggalkan urusan duniawi, sedangkan khalwat adalah metode dalam meninggalkan duniawi dengan cara menyepi dari tempat keramaian. Lihat Harun Nasution, Mistisisme dalam Islam, h. 64. 43

Khalwat memiliki makna ganda, yakni sebagai pelatihan spiritual sekaligus sikap yang harus diwujudkan ketika mengikuti Tarekat Qodiriyah Hanafiyah. Khalwat yang dilakukan bersamaan zikir merupakan latihan spiritualitas. Para pengikut Tarekat akan diajak bermujahaddah di tempat yang sepi dari perkumpulan manusia, seperti di bukit, atau hutan. Sedangkan khalwat sebagai sikap yang diwujudkan adalah bersikap zuhud atau tidak mencintai keduniawian. Harus lebih mengutamakan urusan kepada Allah daripada urusan ke duniawian. E. Tingkatan Dalam Tarekat Qodiriyah Hanafiyah

Setelah menjadi murid biasanya perjalanan spiritual (suluk)nya sang murid dimulai dengan mempelajari tasawuf. Berapa lama waktu yang ditentukan oleh sang murid tidak ada ketentuan pasti, dan berhak mengajarkan ilmunya, semuanya tergantung dari Sang Murid sendiri dalam menjalani beberapa tahapan pengalaman spiritual (maqamat) hingga sampai pada pengetahuan tentang al- haqiqat (kebenaran hakiki). Beberapa murid bisa saja menyelesaikan pelajaran mistisnya dalam waktu singkat sebagian lainnya perlu waktu lama.Keluluasan murid ditentukan sang Mursyid. Apabila sang murid telah dianggap lulus dalam perjalanan spiritualnya dalam memahami hakikat, maka sang Mursyid akan mengangkatnya sebagai penerus yang proses pengangkatannya biasanya diberikan ijazah (otorisasi atau lisensi).28

28 Aboe Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi danTasawuf, (Solo : Ramadhani, 1985), h. 121. BAB IV

PERKEMBANGAN TAREKAT QODIRIYAH HANAFIYAH DI TANGERANG SELATAN

A. Masuknya TQH Ke Tangerang Selatan

Tarekat Qodiriyah Hanafiyah berdiri sejak tahun 1995. Tarekat ini berdiri pertama kali di daerah Solok, Padang, Sumatera Barat. Akan tetapi sejak tahun 2000an, keberadaan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah semakin menyebar luas. Tidak hanya di daerah Indonesia, akan tetapi juga ke semanjung Asia Tenggara bahkan ke seluruh dunia.

Adapun penyebarannya ke daerah Tangerang Selatan berhubungan dengan keberadaan Kalam Ilham Ilahi atau Kalam Siri. Kehadirannya sejak Tuangku berumur 17 Tahun dan setelah menjalani pendidikan Ruhaniyah kepada Syaikh Abdul Qodir al-Jilani. Dalam perkembangan selanjutnya, Kalam Siri tersebut diperkenalkan kepada sahabat dekatnya, hingga akhirnya Kalam Siri tersebut sampai ke Litbang Kementerian Agama RI. Kejadian ini menjadi catatan kemunculan dan perkembagnan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan.

Keberadaan Kalam Ilham Ilahi diminati oleh Ahmad Rahman, selaku peneliti di Balitbang Kementerian Agama RI. Kalam Ilham Ilahi dianggap sebagai hidangan ruhani bagi para pencari Tuhan. Secara personal, Ahmad Rahman menyebut sebagai pemurnian ajaran tasawuf, terutama dalam salah kaprah memahami adanya kelompok wahdatul wujud. Menurutnya, paham wahdatul wujud dalam dunia tasawuf adalah kekeliruan. Hal ini diketahui setelah Ahmad Rahman ditegur secara langsung oleh Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiyah.1 Keberadaan Kalam Ilham Ilahi tersebut kemudian dibukukan dengan diterbitkan oleh Penerbit Hikmah, Mizan Publika tahun 2004 dengan judul: Sastra Ilahi, Ilham Sirriyah Tuangku Syekh Muhammad Ali Hanafiah.2

1 Ahmad Rahman, “Kata Pengantar” dalam Menyap Rasa Para Pencari Tuhan, (Jakarta: Penerbit Rabbani, 2011), h. xxii. 2 Ahmad Rahman, KALAM ILHAM ILAHI, Muhammad Ali Hanafiah, Pelepas Dahaga bagi Hamba Pencari Tuhan, (Tangerang Selatan: Rabbani Press 2002), h. 23.

44 45

Poin penting dalam kehadiran Kalam Ilham Ilahi dan Ahmad Rahman adalah adanya pertemuan atau kunjungan rutin Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah ke Jakarta. Kehadiran Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah menjadi faktor penentu penyebaran Tarekat Qodiriyah Hanafiyah di daerah Jakarta. Kemudian memilih Masjid Rabbani, di BSD sebagai pusat gerakannya. Sejak tahun 2004, Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah bolak-balik ke Jakarta, khususnya wilayah lebak bulus Jakarta Selatan, untuk menyebarkan Kalam Ilham Ilahi yang diterimanya.3

Model perkembangan ini pada prinsipnya sebagaimana bentuk penyebaran secara doktrinal. Sebagaimana awal berdirinya tarekat ini, Sebagaiama diketahui, Tarekat Qodiriyah Hanafiah resmi berdiri di tahun 1995, akan tetapi semenjak tahun 1993 Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah telah aktif memberikan kajian ketarekatan, bahkan Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah telah memiliki beberapa murid.

Prosesi masuknya Tarekat Qodiriyah Hanafiyah ke daerah Tangerang Selatan secara umum dijelaskan dalam kedatangannya ke Jakarta. Meski demikian, darerah sebarannya meliputi Lebak Bulus, Pondok Indah, Masjid Fatullah dan Masjid Rabbani di BSD, Tangerang Selatan. Kehadiran Tuangku ke Jakarta secara tidak langsung terdapat dua misi sekaligus, menyebarkan ajaran tarekatnya sekaligus memenuhi undangan Ahmad Rahman dalam rangka penelitiannya terkait tasawuf.

Salah satu strategi yang diterapkannya adalah dengan membuka kajian- kajian seputar tasawuf di masjid-masjid. Adapun daerah yang dibuka kajian seputar tasawufnya adalah seperti Majelis Rabbani Indonesia (MRI) maupun Tasawuf Islamic Center Indonesia (TICI) yang bertempat di Masjid Baitul Ihsan, BSD Tangerang Selatan.4

Organisasi tersebut secara umum merupakan lembaga yang berada di bawah naungan Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiyah. Secara khusus

3 Ahmad Rahman, KALAM ILHAM ILAHI, h. 26. 4 Radhi Islami, “Sejaran dan Perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah”, Tesis Magister Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta, 2017, h. 81. 46

sebagai lembaga formal dalam rangka mengembangkan dan menyebarluaskan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah. Sebagaimana Majelis Rabbani Indonesia merupakan perkembangan dari Majlis Al-Dzikri Indonesia (MAI) yang di dirikan oleh Tuanku Syeikh Muhammad Ali Hanafiah pada tahun 1994, kemudian pada bulan mei 2003 namanya berubah menjadi Majlis Rabbani Indonesia (MRI). MRI merupakan lembaga yang membuat beberapa program terkait Tarekat Qadiriyah Hanafiah. Kegiatan majlis ini, saat ini dipusatkan di Pondok Pesantren Rabbani Solok, Sumatra Barat dan di Masjid Rabbani BSD.5

Adapun bentuk kajiannya meliputi kajian Jalalain, Dzikir dan Muhasabah, hingga Tawajjuh. Kajian Tafsir Jalalain diadakan di Masjid Baiturrahman, Ciputat, dan Masjid Ar-Rabbani di BSD. Pelaksanaannya adalah di Masjid Baiturrahman diadakan pada setiap sabtu pagi. Sedangkan di Masjid Ar- Rabbani setiap rabu ke II dan IV setiap bulannya. Agenda Zikir dan Muhasabbah dilakukan di dua tempat, yakni Masjid Rabbani di BSD dan Masjid Fathullah, UIN Jakarta. Sedangkan Tawajjuh diadakan di Masjid Rabbani BSD.6

Daerah tersebut menjadi tempat penyebaran Tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan. Di antara semua agenda di atas, Masjid Rabbani lah sebagai tempat yang paling banyak diagendakan. Hal ini dikarenakan pusat gerakan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan berpusat di Masjid Rabbani yang terletak di BSD. Tidak hanya untuk di daerah Tangerang Selatan, akan tetapi juga untuk daerah Jakarta dan sekitarnya.

Secara umum penanggungjawab pembimbing agenda di atas adalah Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, selaku mursyid utama tarekat Qodiriyah Hanafiyah. Akan tetapi, beberapa agenda juga diserahkan kepada muridnya untuk mengisi kajian maupun dzikir. Hal ini menjadi strategi penyebaran tarekat Qodiriyah Hanafiyah melalui para pengikutnya

Untuk daerah Tangerang Selatan secara praktis diserahkan kepada orang- orang yang berdomisili atau orang yang memiliki rutinitas di daerah tersebut. Sebagaimana Zubair Ahmad dipercaya untuk menjadi pembimbing Kajian Tafsir

5 Radhi Islami, “Sejaran dan Perkembangan”, h. 87. 6 Diambil dari www.majelisrabbani.org. Diakses pada 27 April 2019. 47

Jalalain di Ciputat. Hal ini mengindikasikan bahwa penyebaran adanya penyesuaian antara domisili (baik aktifitas pekerjaan atau tempat tinggal) dengan daerah sebaran Tarekat Qodiriyah Hanafiyah. Atau dengan kata lain memanfaatkan para pengikutnya dalam menyebarkan tarekat Qodiriyah Hanafiyah.7

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa masuknya Tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan berhubungan dengan penelitian pembukuan Kalam Ilham Ilahi Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiyah. Selain persoalan pempublikasian Ilham tersebut tersirat adanya penyebaran Tarekat Qodiriyah secara tidak langsung. Perjalanan bolak-balik Jakarta-Padang sekaligus membuka kajian ketasawuffan yang berpusat di BSD, Tangerang Selatan. Dengan dimulainya kajian-kajian ketasawufan di sekitar Tangerang Selatan inilah menjadi titik poin dalam menjelaskan masuk dan berkembangnya Tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan.

Keberadan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah diminati oleh akademisi maupun masyarakat pegiat tasawuf di Tangerang Selatan. Jika dilihat dari beberapa murid- muridnya adalah civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berada di Tangerang Selatan. Hal ini mendukung penyebaran dan perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan.

B. Majelis Rabbani Indonesia Majlis Rabbani Indonesia (MRI) merupakan organisasi bernama Majlis Al-Dzikri Indonesia (MAI) yang di dirikan oleh Tuanku Syeikh Muhammad Ali Hanafiah pada tahun 1994, kemudian pada bulan mei 2003 namanya berubah menjadi Majlis Rabbani Indonesia (MRI). MRI merupakan lembaga yang membuat beberapa program terkait Tarekat Qadiriyah Hanafiah. Kegiatan majlis ini, saat ini dipusatkan di Pondok Pesantren Rabbani Solok, Sumatra Barat dan di Masjid Rabbani BSD.8 Adapun tujuan utama MRI adalah mengembangan dakwah Islamiyah, menghidupkan kembali nilai-nilai zikir, meningkatkan pemahaman

7 Radhi Islami, “Sejarah dan Perkembangan”, h. 83. 8 Radhi Islami, “Sejarah dan Perkembangan”, h. 85. 48

umat Islam terhadap tauhid, mendorong terbentuknya umat yang beristiqomah dan meningkaatkan rasa ukhuwah Islamiyah.

Dakwah yang dilakukan oleh MRI bertujuan pada prinsip diutusnya Nabi, yaitu sebagai rahmat kepada seluruh alam. Secara sederhana tujuan dakwah dari MRI adalah menciptkan kedamaian bagi seluruh umat manusia. Kedamaian itu tentu saja hanya dapat terwujud jikalau manusia memosisikan dirinya sebagai hamba yang menjadikan hidupnya sebagai pengabdian karena cinta kepada Allah.9

Majelis Rabbani Indonesia atau MRI memiliki program pendidikan, dakwah dan penerbitan. Keseluruhannya sebagai penunjang organisasi MRI dan pada akhirnya berdampak pada perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah. Dalam progam pendidikan, MRI di Tangerang Selatan memiliki Sufi International Institute. Institute ini didirikan pada tahun 2015 di Pusat Perdagangan BSD City, Kota Tangerang Selatan.Lembaga ini merupakan pusat pengkajian tasawuf dan kesufian yang bertaraf internasional.Lembaga ini diproyeksikan untuk menjadi Sekolah Pascasarjana Sufi untuk menampung para pengkaji tasawuf di seluruh dunia.

Selanjutnya, pada program pendidikan MRI memiliki Sufi Healing, yaitu pelatihan penyaluran Energi Kenyamanan Hati (EKH) itu diolah dengan cara meditasi sufi (Dzikir dan Tafakur) lewat bimbingan para trainer Sufi dan Guru Besar Sufi. Sufi Healing bertujuan untuk menemukan kenyamanan hati dan ketenangan jiwa. Penyembuhan metode Sufi healing lewat bimbingan trainer adalah sebagai jembatan antar alam fisik dengan alam ruh (hati nurani). Apapun penyakit mental dan fisik, maka obat penawar yang harus diminum adalah Energi Kenyaman Hati (EKH) yang secara otomatis akan disaluri energy Ketuhanan. Selain itu, Peningkatan kesadaran spiritual. Peserta akan dibimbing untuk mengenal diri sejatinya termasuk potensi dan visi pribadinya serta Tuhannya. Dengan demikian peserta akan mampu menjalani kehidupan yang selaras dengan kehendakNya sehingga meraih kebahagiaan sejati. 2) Keseimbangan hidup (life

9 Majelis Rabbani Indonesia, “Sejarah MRI”, diakses dari www.majelisrabbani.org diakses pada 27 April 2019. 49

balance). Peserta akan diajarkan bagaimana cara untuk menyelaraskan tubuh, pikiran dan hati sehingga tercapai keseimbangan dan ketenteraman bathin serta semangat dalam menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan.10

Program Publikasi dan Penerbitan, mencakup menerbitkan beberapa buku, majalah, bulletin, dan module pelatihan melalui Penerbit Rabbani Press. Beberapa hasil publikasi dan terbitan MRI seperti Sastra Ilahi, Ilham Sirriyah Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah diterbitkan oleh Penerbit Hikmah, Mizan Publika tahun 2004. Menyapa Rasa Para Pencari Tuhan: Hidangan Nurani Tuangku Syekh Muhammad Ali Hanafiyah oleh Penerbit Rabbani Press tahun 2011. Inilah Aku: Hidangan Ruhani (Here I Am: the innermost inspiration) oleh Penerbit Rabbani Press tahun 2012. Adapun majalah yang diterbitkannya adalah Majalah Spiritual Islam diterbitkan berkala setiap setahun sekali.11

C. Tasawuf Islamic Centre Indonesia

Tasawuf Islamic Centre Indonesia (TICI) merupakan pusat pengkajian dan pengembangan tasawuf serta wadah komunikasi bagi organisasi ummat Islam, khususnya para pengkaji dan pengamal tasawuf di Indonesia. Lembaga ini berdiri sejak tahun 2002. Tasawuf Islamic Centre Indonesia (TICI) adalah lembaga nirlaba yang berkedudukan di Jakarta dan diketuai oleh Prof. Dr. Muhammad Bambang Pranowo, MA. TICI memiliki cabang di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Singapura, dan Malaysia.12 Dalam sejarahnya, TICI sebenarnya telah berdiri sejak tahun 2000 di bawah naungan Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah yang diemban oleh Kepala Departemen Agama Propinsi Sumatera Barat.13

Visi dibentuknya TICI adalah menjadi lembaga terdepan di bidang kajian dan pengembangan tasawuf serta dakwah kepada jalan Allah dengan hikmah dan mauidzhoh hasanah, dialog bermartabat, & keteladanan menuju mardatillah. Sedangkan misinya terdiri dari tiga poin, yaitu: Menyelenggarakan kajian tasawuf

10 Radhi Islami, “Sejarah dan Perkembangan”, h. 88. 11 Majelis Rabbani Indonesia, “Sejarah MRI”, diakses dari www.majelisrabbani.org diakses pada 27 April 2019. 12 Zubair Ahmad, “Sejarah Tasawuf Islamic Centre (TICI)” dalam Majelis Rabbani Indonesia, diambil dari www.majelisrabbani.org. Diakses pada 27 April 2019. 13 Radhi Islami, “Sejarah dan Perkembangan”, h. 84. 50

dalam berbagai aliran; Melakukan riset di bidang tasawuf untuk kemajuan umat Islam dan Melakukan dakwah sesuai tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.

Adapun tujuan didirikannya TICI adalah sebagai berikut:

1. Memberikan pemahaman yang benar tentang aspek tasawuf atau ihsan sebagai bagian dari komponen agama yang tak terpisahkan dari aspek islam dan iman. 2. Menggali nilai-nilai spiritual dan tradisi perjalanan spiritual para auliya sebagai pelajaran keteladanan dalam menjalankan agama Islam.

3. Mengembangkan dakwah Islam berdasarkan prinsip hikmat kebijaksanaan, mauizhah hasanah persuasif keteladanan, dan dialog yang mengedepankan adab dan kebenaran.

Adapun hubungannya dengan penyebaranTarekat Qadiriyah Hanafiah adalah TICI berperan mengadakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan ajaran Tarekat Qadiriyah Hanafiah seperti kajian keagamaan dan zikir. Adapun penyebarannya terdapat di Masjid Baitul Ihsan Bank Indonesia, Masjid Fathullah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Masjid Raya Bintaro Jaya Jakarta14

D. Dewan Ulama Tarekat Indonesia (DUTI)

DUTI merupakan wadah dan fasilitator yang membantu para Syekh/mursyid tarekat dalam melaksanakan tugas kemursyidan dan dakwah. Dewan Ulama Thariqah Indonesia disingkat DUTI berdiri dengan Akta pendirian Nomor 02 tanggal 11 Agustus 2016. Pusat DUTI saat ini berada di Serpong, Kota Tangerang Selatan dan memiliki cabang di beberapa propinsi seluruh Indonesia. Beberapa provinsi juga telah berhimpun di antaranya Sumatera Utara, Riau, Banten, dan DKI Jakarta.15

Keberadaan DUTI telah sah secara legal formal dengan diterbitkannya Akta pendirian Nomor 02 tanggal 11 Agustus 2016. DUTI juga telah mendapatkan pengesahan pemerintah pusat melalui Keputusan Menteri Hukum

14 Radhi Islami, “Sejarah dan Perkembangan”, h. 85. 15 Zubair Ahmad, “Sejarah Berdirinya Dewan Ulama Tarekat Indonesia (DUTI)” diambil dari www.majelisrabbani.org 27 April 2019. 51

dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU- 0071646.AH.01.07.Tahun 2016 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Dewan Ulama Thariqah Indonesia (DUTI). Serta, kepengurusan pusat DUTI telah terdaftar pada Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat Kota Tangerang Selatan Nomor 220/SKT/KESBANGPOLINMAS/ 2016.16

Tujuan dibentuknya Dewan Ulama Thariqah Indonesia adalah untuk menjadi wadah bagi para mursyid di Indonesia untuk berhimpun, bersilaturahmi dan menuangkan gagasan-gagasan dalam membina umat Islam dengan pendekatan humanis, ukhuwah, dan spiritual melalui maksimalisasi peran ulama thariqah di Indonesia. Adapun posisi para Syekh/Mursyid thariqah adalah selaku anggota dewan mustasyar. Segala keputusan dan kebijakan menjadi kewenangan para Syekh/Mursyid yang difasilitasi dan dilaksanakan oleh pengurus DUTI.17

Kehadiran DUTI diharapkan semua ulama tarekat secara bersama-sama mengembangkan tarekat agar dapat dinikmati oleh semua umat Islam. DUTI bertujuan meluruskan paham-paham yang dialamatkan kepada tarekat yang tidak sesuai dengan ajaran pokok Islam dalam Al-Qur’an dan Hadis. DUTI juga akan mewakili para penganut tarekat untuk menyuarakan aspirasi mereka kepada pemerintah, terutama dalam penetapan suatu tarekat itu sesat atau lainnya. Keberadaan DUTI adalah untuk memberikan rekomendasi dari para ulama tarekat yang tergabung di DUTI ini.18

Dewan Ulama Thariqah Indonesia (DUTI) sejarahnya adalah diawali dengan dibentuknya Persatuan Ulama Thariqah Indonesia (PUTI) oleh Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah pada tahun 2003, yang selanjutnya melalui forum silaturahmi ulama thariqah pada tahun 2016 dikukuhkan dan dibentuklah

16 Radhi Islami, “Sejarah dan Perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah”, h. 89. 17 Dewan Ulama Tarekat Indonesia, “Visi-Misi dan Tujuan” diambil dari laman resminya di http://dewanulamathariqah.org/id/tentang-duti/sejarah-duti/ tanggal 27 April 2019. 18 Dewan Ulama Tarekat Indonesia, “Sejarah DUTI”, diambil dari laman resminya di http://dewanulamathariqah.org/id/tentang-duti/sejarah-duti/ tanggal 27 April 2019. 52

Dewan Ulama Thariqah Indonesia (DUTI) yang legalitasnya dikeluarkan oleh Kemenkumham Repulik Indonesia pada bulan Agustus 2016.19

Penggagas utama DUTI tersebut adalah Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah. Dibantu oleh beberapa muridnya, seperti Ahmad Rahman, Bambang Pranowo, serta Prof. Dr. Salmadanis, MA selaku ketua Jami’iyah Tarekat Mu’tabarah Sumatera Barat mendeklarasikan agar semuat Mursyid tarekat Sumatera Barat bersatu untuk menghidupkan kembali ajaran tarekat ini sebagai solusi atas krisis spiritual umat Islam, khususnya di Sumatera Barat.20

Secara umum pengurus DUTI didominasi oleh pengikut Tarekat Qodiriyah Hanafiyah. Seperti Dewan Mutasyarnya adalah Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah. Selanjutnya, Ahmad Rahman dan Bambang Pranowo selaku muridnya juga menjadi anggota Mutasyar DUTI. Kemudian di posisi Sekretaris Jenderal diampu oleh Zubair Ahmad, yang juga bagian dari jama’ah Tarekat Qodiriyah Hanafiyah.21

Agenda yang dilakukan di antaranya adalah melakukan pertemuan ulama tarekat se-Asean. Agenda tersebut sepenuhnya didukung oleh kementerian Agama RI. Kegiatan tersebut diselenggarakan di Ponpes Tasawuf Rabbani, Desa Koto Sani Kecamatan Sepuluh Koto Singkarak Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat pada 1 – 2 April 2017. Menurut Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah pertemuan ini merupakan perkembangan dari pertemuan sebelumnya yakni pertemuan Ulama Tarekat se Sumatera Barat yang menghasilkan DUTI.

Tujuan yang ingin dicapai dalam acara Silaturahim Ulama Thariqah se- ASEAN ini di antaranya: Merumuskan langkah dan aksi bersama dalam membangun umat yang memiliki akidah yang kuar, pemikiran yang moderat, dan santun dalam berkomunikasi dengan masyarakat. Mempererat hubungan kasih sayang di antara para ulama tarekat dan jamaah pengamal tarekat agar dapat memberikan wajah Islam yang ramah. Mempromosikan karakter khas Islam

19 Transkip sambutan Zubair Ahmad dalam Silaturahim dan Mudzakarah Ulama Thariqah Se-ASEAN pada tanggal 1-2 April 2017 di Pondok Pesantren Tasawuf Rabbani, Solok Sumatera Barat. 20 Radhie Islami, “Sejarah dan Perkembangan Tarekat”, h. 89. 21 Kepengurusan DUTI, 53

Indonesia yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa. Meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam agar menjadi bingkai dalam kehidupan sehari-hari. Menampilkan seni dan budaya Islam yang bernuansa ilahiyah di Indonesia. Menjalin kerjasama antara tarekat yang ada di Nusantara dan ASEAN untuk membangun umat yang bersaudara.22 Hingga kini, silaturrahmi DUTI sudah dilakukan sebanyak tiga kali. Tepatnya pada 28-29 April 2018 sebagai acara silaturrahmi dan mudzakarah ketiga kalinya.

Salah satu gerakan yang dihasilkan dari adanya DUTI adalah Fatwa mengharamkam gerakan yang dibentuk oleh Fethullah Gulen. Melalui surat resmi Nomor : 01/ Kep/F – DUTI-A/ X, 2018, Dewan Ulama Thariqah Indonesia/ASEAN Memutuskan mengharamkan segala gerakan dan kegiatan yang dibuat oleh Fethullah Gulen beserta pengikutnya di seluruh dunia, serta mengajak dan menghimbau Fethullah Gulen beserta pengikutnya bertaubat kepada Allah SWT dan mempertanggung jawabkan perbuatannya terhadap umat islam di dunia khususnya apa yang telah terjadi di Turkey pada 15 Juli 2016.23

Keberadaan DUTI turut menyebarluaskan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah secara massif. Hal dapat dilihat sebagaimana pusat DUTI beralamatkan di BSD, Tangerang Selatan, akan tetapi pusat kegiatannya berada di Pesantren Rabbani di Solok, Padang, yaitu pesantren tasawuf yang didirikan oleh Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah. Secara tidak langsung, DUTI sebagai persatuan ulama sekaligus memperkenalkan dan menyebarluaskan eksistensi Tarekat Qodiriyah Hanafiyah.

E. Relevansi Perkembangan Tarikat Qodiriyah Hanafiah Dari penjelasan di atas dapat dipahami Tarekat Qodiriyah Hanafiah melakukan penyebaran baik secara personal maupun secara organisasi. Upaya gerakan yang dilakukan baik oleh Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah maupun para murid-muridnya merupakan bentuk perkembangan yang terjadi dalam Tarekat Qodiriyah Hanafiah. Dari mulai memiliki murid yang jumlahnya

22 Dewan Ulama Tarekat Indonesia, “Sejarah DUTI”, diambil dari laman resminya di http://dewanulamathariqah.org/id/tentang-duti/sejarah-duti/ tanggal 27 April 2019. 23 Fatwa Dewan Ulama Tarekat Indonesia/Asean tentang Fethullah Gulen Nomor : 01/ Kep/F – DUTI-A/ X, 2018. 54

puluhan hingga ribuan, dari yang tersebar hanya di sekitar Padang, meluas hingga ke seluruh Indonesia, bahkan ke wilayah Asean.

Ada hal yang penting yang perlu digarisbawahi dalam perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiah. Jika mengacu pada teori perubahan sosial memiliki dua unsur berupa Pertma dinamika masyarakat memajukan tingkat perubahan ke arah yang lebih maju dengan melihat berbagai faktor yang melatarbelakangi perubahan tersebut. Kedua Arah perubahan sosial menuju dari sederhana ke bentuk yang lebih kompleks, dengan kata lain menuju pada arah yang lebih baik.24 Dalam hal dapat dipahami bahwa Tarekat Qodiriyah Hanafiah tidak hanya berkembang secara pesat, akan tetapi juga berperan dalam perubahan sosial, khususnya dalam wilayah tarekat.

Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah menghadirkan Tarekat Qodiriyah Hanafiah dimulai dari menyebarkan secara personal. Dalam hal ini Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah secara pribadi melakukan penyebaran ajaran Tarekat Qodiriyah Hanafiah. Selanjutnya, Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah melakukan terobosan yang lebih massif, yakni dengan membuat transformasi organisasi tarekat berkembang dalam bentuk organisasi formal sebagaimana organisasi yang dibentuknya yakni TICI, MRI, hingga DUTI. Organisasi-organisasi tersebut berada di bawah naungan Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah. Bahkan pada perkembangan selanjutnya meluas hingga mendeklarasikan Dewan Ulama Tarekat Asean atau Asia (DUTA). Maka sangat jelas perkembangan organisasi Tarekat Qodiriyah Hanafiah dari organisasi tarekat menjelma dalam organisasi formal yang menghubungkan beberapa aliran tarekat yang tersebar di seluruh Indonesia, maupun dunia.

Terdapat beberapa faktor perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiah sehingga sangat pesat. Di antaranya adalah sosok kemursyidan atau kewalian Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah. Tingkat kewalian25 Tuangku Syaikh

24 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metode Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1992), h. 99. 25 Derajat kewalian Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah dapat dilihat dari semenjak beliau mendapat bimbingan ruhani secara langsung dari Aulia Syaikh Abdul Qadri al-Jilani. Derajat kewalian ini tidak mudah didapatkan oleh orang lain, perlu ada mujahaddah yang kuat dan riyadhah beberapa tahap, akan tetapi Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah justru 55

Muhammad Ali Hanafiah menjadi pilar utama pengaruh berkembangnya Tarekat Qodiriyah Hanafiah.

Selanjutnya, Tarekat Qodiriyah Hanafiah (dalam hal ini diprakarsai oleh Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah) melakukan terobosan yang berbeda dalam merespon masalah-masalah kehidupan manusia. Tuangku merespon era globlalisasi sebagai krisis spiritual dengan menghadirkan organisasi formal tarekat. Berdirinya lembaga atau organisasi formal di bawah naungan Tarekat Qodiriyah Hanafiah merupakan upaya menjawab tantangan krisis spiritualitas umat manusia. Adapun metode yang digunakannya pun tidak se konservatif organisasi tarekat yang berjalan dalam ranah spiritual, akan tetapi Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah mengkombinasikan organisasi spiritual dengan organisasi formal sehingga mudah diterima oleh masyarakat. Hal ini menjadi pendukung massifnya perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiah di Indonesia.

Figur dan metode mentransformasikan organisasi spiritual ke organisasi formal membuat Tarekat Qodiriyah Hanafiah semakin diakui bahkan oleh beberapa kalangan aliran tarekat. Pondok Pesantren Ar-Rabbani yang didirikan oleh Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah merupakan satu-satunya pesantren tasawuf di Sumatera Barat sekaligus menjadi pesantren tasawuf terbesar di Sumatera Barat. Keberadaanya menjadi sangat strategis untuk melakukan pertemuan para ulama tarekat baik di wilayah Sumatera Barat maupun se Indonesia. Pada tahun 2016 itulah Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah memiliki inisiatif untuk mengumpulkan para ulama tarekat se Sumatera Barat untuk melakukan upaya menjawab tantangan zaman, khususnya persoalan krisis spiritualitas umat Islam. Pelaksanaan kegiatan tersebut menghasilkan Dewan Ulama Tarekat Indonesia yang dikukuhkan sebagai organisasi resmi di bawah naungan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-0071646.AH.01.07.Tahun 2016 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Dewan Ulama Thariqah Indonesia (DUTI).

mendapatkannya secara langsung tanpa perantara. Merupakan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh ulama tarekat se zamannya saat ini. 56

Pada poin tersebut mengindikasikan bahwa organsasi tasawuf telah bertransformasi pada gerakan sosial dalam rangka merespon permasalahan yang dihadapi masyarakat. Sebagaimana yang baru dilakukan di tahun ini, DUTI menggelar Mudzakarah Ulama Thariqah se-ASEAN yang ketiga, bekerjasama dengan Dewan Ulama Thariqah ASEAN (DUTA) di Pondok Pesantren Taruna Rabbani, Nagari Koto Sani Kabupaten Solok, Sumatera Barat, Indonesia. Ada tiga poin yang disampaikan Sekjend DUTI untuk DUTA yakni dakwah, ekonomi, dan politik.

Pertama, Dakwah, DUTI/DUTA akan mewujudkan dakwah lintas negara ASEAN dengan melaksanakan dakwah rutin para mursyid se-ASEAN. Kedua, Ekonomi, DUTI/DUTA akan mewujudkan rancangan ekonomi dengan konsep “Islam bersatu adalah Islam yang berbagi”. Maka dengan itu Dewan Ulama Thariqah ASEAN akan mengimplementasi kerjasama yang telah dibuat demi mengembangkan segala potensi ekonomi lembaga-lembaga thariqah se-ASEAN. Ketiga, Politik, DUTI/DUTA akan mewujudkan sikap independen dan tidak memihak pada salah satu partai politik di masing-masing negara anggota. DUTI/DUTA akan mendorong umat Islam, khususnya para ikhwan pengamal tarekat untuk menggunakan hak politiknya untuk memilih pemimpin Muslim yang dikenal menjaga marwah, penuh amanah, adil, dan memihak pada kepentingan umat Islam.26

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa gerakan Tarekat Qodiriyah Hanafiah tidak hanya mengembangkan dalam bidang spiritualitas semata, akan tetapi Tarikat Qodiriyah Hanafiah berperan secara langsung dalam kehidupan nyata. Melalui program yang dilakukan melalui berbagai lembaga di bawah naungannya seperti MRI, TICI, DUTI maupun DUTA. Maka semakin jelaslah perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiah tidak hanya berperan dalam persoalan perkembangan masalah spiritualitas, akan tetapi juga merambah pada gerakan sosial yang lebih nyata.

26 Diakses dari www.dewanthariqah.org diakses pada 20 September 2018. 57

F. Implikasi Tarekat Qodiriyah Hanafiyah Terhadap Pengikutnya di Tangerang Selatan

Keberadaan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah secara tidak langsung berpengaruh kepada masyarakat sekitarnya. Sebaimana keberadaan Tarekat ini dijalankan secara pribadi oleh Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiyah, semakin hari semakin banyak peminatnya. Hingga tersebar luas ke seluruh Indonesia bahkan ke menyasar daerah Asia Tenggara.

Pada masyarakat Tangerang Selatan, terutama para akademisi merasakan pengetahuan baru tentang dunia tasawuf. Sebagaimana pernyataan Ahmad Rahman yang mengelompokkan dua aliran tasawuf, yaitu Wahdatul Wujud dan Wahdatul Syuhud mendapat teguran langsung dari Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiyah bahwa tidak ada pandangan dua kelompok tersebut.27

Kritik Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiyah berdampak pada pemahaman baru mengenai kelompok tasawuf yang tidak bisa diklasifikasikan. Meski demikian belum diteliti lebih lanjut dalam khazanah intelektual. Oleh karena itu perlu diteliti lebih lanjut mengenai penolakan pandangan Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiyah terhadap dua kelompok tasawuf.

Selain berimplikasi pada ranah pemikiran dan akhlak, keberadaan lembaga-lembaga di bawah naungan Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiyah memberikan kontribusi secara intelektual dan spritual, sehingga keberadaan Tarekat Qodiriyah dirasa memberikan jawaban atas krisis moralitas dan krisis spiritual yang tengah dihadapi masyarakat.

27 Ahmad Rahman, “Kata Pengantar” dalam Inilah Aku: Tuangku syaikh Muhammad Ali Hanafiyah, h. xxi BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penelitian mengenai sejarah dan perkembangan tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan terfokus pada dua persoalan, yaitu sejarah kemunculan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan dan Jenis serta model perkembangannya. Adapun hasil penelitiannya adalah sebagai berikut:

Pertama kemunculan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan berbarengan dengan munculnya publikasi ilmiah tentang Kalam Ilham Ilahi atau Kalam Siri milik Tuangku Syaikh Muhammad Ali hanafiyah. Hadirnya publikasi ilmiah tentang Kalam Siri tersebut disukai oleh para akademisi serta masyarakat pegiat tasawuf yang dominan berdomisili Tangerang Selatan. Keberadaan Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiyah di Jakarta sekaligus membuka kajian ketasawuffan di berbagai Masjid seperti Masjdi Baiturrohim Ciputat, Masjid Fathullah UIN Jakarta, dan berpusat di Masjid Rabbani, BSD, Tangerang Selatan. Model perkembanganya berbentuk doktrinal, yaitu dengan memasang para murid yang berasal dari Tangerang Selatan menjadi penanggungjawab kajian yang diagendakan.

Kedua jenis dan model perkembangan tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan melalui lembaga yang dibentuknya. Lembaga tersebut pada dasarnya telah dibentuk sebelumnya di Padang, yakni tempat asal kemunculan tarekat Qodiriyah Hanafiyah, akan tetapi lembaga tersebut justru dipusatkan di BSD, Tangerang Selatan, yaitu di Masjid Rabbani. Adapun organisasi yang dimaksud adalah Majelis Rabbani Indonesia (MRI), Tasawuf Islamic Centre Indonesia (TICI) dan Dewan Ulama Tarekat Indonesia (DUTI).

Secara umum keseluruhan lembaga berpusat di Majelis Rabbani Indonesia (MRI). Dari MRI tersebut berkembang mengadakan silaturrahmi ulama tarekat seluruh Indonesia dan menghasilkan Dewan Ulama Tarekat Indonesia (DUTI). Dengan mengumpulkan ulama tarekat seluruh Indonesia maka tarekat Qodiriyah Hanafiyah semakin terkenal dan semakin pesat perkembangannya, baik di daerah

59 60

Tangerang Selatan sendiri maupun ke seluruh Indonesia, maupun ke dataran Asia Tenggara.

Ketiga implikasi bagi masyarakat Tangerang Selatan adalah keberadaan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah memberikan pemahaman baru dalam keilmuan tasawuf, yaitu menolak pandangan wahdatul wujud dan wahdatul Syuhud. Selain itu, keberadaan tarekat tersebut berimplikasi pada akhlak yang baik serta peningkatan spiritual yang mendalam bagi para pengikut Tarekat Qodiriyah Hanafiyah.

Kritik dan Saran

Tarekat Qodiriyah Hanafiah memiliki jangkauan yang cukup luas untuk diteliti dalam wilayah sejarah. Penelitian ini secara umum melengkapi secara spesifik dari tesis Sejarah dan Perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Indonesia. Penulis hanya mengambil satu wilayah, yaitu Tangerang Selatan sebagai salah satu pusat penyebaran Tarekat Qodiriyah Hanafiyah. Di dalamnya masih terdapat banyak lembaga yang konsern dalam bidang ketasawuffan, pendidikan umum, bahkan kajian-kajian lainnya. Sebagaimana dalam penelitian sejarah bisa mengambil satu ruang dan waktu tertentu serta dikaitkan dengan ilmu sosial maupun ilmu-ilmu lain.

Sebagaimana diketahui, Tarekat Qodiriyah Hanafiyah berkembang melalui lembaga legal formal, seperti DUTI, TICI maupun MRI. Pada dasarnya setiap lembaga yang berada di bawah naungan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah dapat diteliti lebih detail lagi dalam penelitian sejarah. Dengan demikian menghasilkan karya ilmiah dalam penelitian sejarah semakin banyak dan bervariatif dari satu gerakan tasawuf atau tarekat. DAFTAR PUSTAKA

Abbdullah, Shagir, Syekh Ismail Al Minangkabawi Penyiar Thareqat Naqsabandiyah Khalidiyah. Solo, Penerbit Ramadhani. 1985.

Abdullah, Hawash. Perkembangan Ilmu tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara. Solo, Penerbit Ramadhani. 1980.

Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logoso Wacana Ilmu, 1999.

Ahmad, Zubair, & Andang B Malla. BUKU PUTIH KEMATIAN, Sebuah Pengalaman Ruhani Tuangku Syekh Muhammad Ali Hanafiah Ar- Rabbani, Tangerang Selatan: Rabbani Press 2015. al-Ghazali. Ihya Ulumuddin t.tp: Mathba‟ ah al-Amirat al-Syarfiyyah, 1909.

Al-Qusyairy. Risalah al-Qusyairiyah fi al-Ilm al-Tasawuf. Kairo: Dar al-Khair, t.t. al-Taftazani, Abu Wafa al-Ghanimi. Tasawuf Islam: Telaah Historis dan Perkembangannya, Terj. Subkhan Anshori. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008. al-Thusi. Abu Nashr al-Sarraj. Al-Luma’. Cairo: Dar al-Haditsah, 1960.

Aman, Saifuddin. & Isa, Abdul Qadir. Tasawuf Revolusi Mental Zikir Mengolah Jiwa & Raga, Jakarta, Penerbit Ruhama, 2014.

Amin, Samsul Munir. Ilmu Tasawuf Jakarta: Amzah, 2012.

Aniys, Ibrahim dkk. Mu’jam al-wasiyt, Juz I. Mesir: Dar al-Ma’arif, 1392 H/ 1972 M.

Anwar, Rosihon. & Sholihin, Mukhtar. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pusaka Setia. 2006.

Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2010.

Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 1996.

Atjeh, Abu Bakar. Pengantar Ilmu Thariqah, Solo: Ramadhani, 1996.

Baqir, Muhammad Ash-Sadr. Falsafatuna: Pandangan terhadap Pelbagai Aliran Filsafat Dunia, Terj. Smith al-Hadr. Bandung; Mizan, 2014.

Bruinessen, M.V, “Tarekat Qadiriyah dan Ilmu Syekh Abdul Qadir Jaelani di India, Kurdistan, dan Indonesia”, dalam Ulumul Qur’an Vol.2 No. 2,Jakarta, Penerbit Lembaga Studi Agama dan Filsafat. 1989.

61 62

Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat : Tradisi – Tradisi Islam di Indonesia Bandung: Mizan, 1999.

Bruinessen, Martin Van. Tarekat Naqshabandiyyah di Indonesia, Bandung: Penerbit Mizan, 1992.

Burhani, Ahmad Najib. Tarekat Tanpa Tarekat; Jalan Baru Menuju Sufi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, cet.III, 1990.

Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta, Penerbit LP3ES. 1982.

Farhan, “Islam dan Tasawuf di Indonesia” dalam Jurnal Esoterik; Jurnal Akhlak dan Tasawuf Vol. 2 No. 1. Kudus: STAIN Kudus, 2016.

Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press 1985.

Islami, Radhi. “Sejarah dan Perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah”, Tesis Magister Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2018.

Kartanegara, Mulyadhi. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Erlangga, 2006.

Kartodirdjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metode Sejarah. Jakarta: Gramedia, 1992.

Khaldun, Ibn. Muqaddimah Ibn Khaldun. t.tp.: Dâr al-Fikr, t.th.

M. Solihin, & Rosihon Anwar. Kamus Tasawuf, Bandung: PT. Remaja Rosdakaryah. 1995.

Mansoer, dkk, Sejarah Minangkabau. Jakarta, Penerbit Bhatara Masa Kini. 1970.

Masyuri, A. Aziz. Ensklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf. Surabaya: Imtiyaz 2014.

Mulyati, Sri. Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia Jakarta: Kencana, 2006.

Muslih. Risalah Al Thariqah Al Qadiriyah Wan Naqsabandiyah juz 1 & 2, Kudus, Penerbit Menara. 1976.

Mutahhari, Murtadha. Quantum Akhlak, Terj. Babul Ulum. Bandung: Arti Bumi Intaran, 2008.

Muthahhari, Murtadha. Menapak Jalan Spiritual Sekilas Tentang Ajaran Tasauf dan Tokoh-Tokohnya. Bandung: Pustaka Hidayah, 2006. 63

Muthiah, Ahmad. Zikir di Majelis Rabbani Indonesia MRI,Tesis dari Program Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Bandung 2015 tidak diterbitkan.

Nasirudin. Pendidikan Tasawuf. Semarang: Rasail Media Group 2010.

Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Nata, Abudin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo, 2012.

Rahman, Ahmad. Inilah AKU, Here I AM, Pencerahan Rohani bagi Pencari Tuhan, Maulana Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, Tangerang Selatan: Rabbani Press 2012.

Rahman, Ahmad. KALAM ILHAM ILAHI, Muhammad Ali Hanafiah Pelepas Dahaga bagi Hamba Pencari Tuhan, Tangerang Selatan: Rabbani Press 2002.

Rahman, Ahmad. Menyapa Rasa Para Pencari Tuhan, Hidangan Nurani Tuanku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, Tangerang Selatan: Rabbani Press 2011.

Rifa’i, A. Bachrun. dan Mud’is, Hasan. Filsafat Tasawuf Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010.

Riyadi, Agus. “Tarekat Sebagai Organisasi Tasawuf” dalam Jurnal at-Taqaddum vol. 6. No. 2. Semarang: UIN Walisongo, 2014.

Sadhily, Hassan. Ensiklopedi Indonesia. Jilid 1, Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1980.

Schimechel, Annemarie. Dimensi Mistik dalam Islam, Terj. Ed. Sapardi Djoko Darmono. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009.

Shagir, Abbdullah. Syekh Ismail Al Minangkabawi Penyiar Thareqat Naqsabandiyah Khalidiyah. Solo, Penerbit Ramadhani. 1985.

Shihab, Alwi. Akar Tasawuf di Indonesia, Depok: Pustaka IIMaN, 2009.

Siregar, Rivay. Tasawuf; Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.

Soebardi, S. The Book of Cabolek. Leiden, The Hague-Martinus Nijhoff. 1975.

Steenbrink, K.A., Beberapa Aspek tentang Islam Indonesia Abad ke-19. Jakarta, Penerbit Bulan Bintang. 1984. 64

Syafi’i, Ahmad. Tangklukan, Abangan, dan Tarekat, Kebangkitan Agama di Jawa. Jakarta, Diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia Anggota IKAPI DKI. 2006.

Thusi, Abu Nashr al-Sarraj. Al-Luma’ Cairo: Dar al-Haditsah, 1960, h. 68.

Trimingham, J.S., The Sufi Order in Islam. London Oxford Univesity Press. 1971.

Tudjimah Cs. Syekh Yusuf Makassar: Riwayat Hidup Karya dan Ajarannya. Jakrta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. 1987.

Wadud, Abdul. Satu TUHAN Seribu Jalan, Sejarah, Ajaran, dan Gerakan Tarekat di Indonesia. Yogyakarta, FORUM Grup Relasi Inti Media, anggota IKAPI. 2013.

Wafa, Abu al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam: Telaah Historis dan Perkembangannya, Terj. Subkhan Anshori Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008. http//www.majelisrabbani.org. http//www.dewanthariqah.org.