TAKWIM HIJRIYAH TAREKAT SYATTARIYAH (Studi Filologi Terhadap Naskah Takwim di Nagari Muaro Sijunjung)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

SEPTIAN DWITTES NIM: 1112044100011

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1438 H/2016 M.

ABSTRAK

Septian Dwittes, NIM 1112044100011, TAKWIM HIJRIYAH TAREKAT SYATTARIYAH (Studi Filologi Terhadap Naskah Takwim di Nagari Muaro Sijunjung), Strata Satu (S-1), Jurusan Ahwal Syakhshiyyah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1437 H/2016 M, 94 Halaman. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui penentuan awal bulan hijriyah yang digunakan oleh Tarekat Syattariyah di Calau kecamatan Sijunjung. Hal tersebut dilakukan dengan mengungkapkan landasan yang digunakan Tarekat Syattariyah dalam menentukan awal bulan. Selanjutnya bagaimana cara menentukan awal bulan hijriyah menurut manuskrip takwim Tarekat Syattariyah yang terdapat di Surau Calau. Adapun penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan melakukan pendekatan filologi, yang menekankan penelitian terhadap manuskrip takwim yang terdapat di Surau Calau. Selain itu penulis juga menggunakan pendekatan kualitatif dengan mencari data baik dari dalam buku, jurnal, dan wawancara dari penentuan awal bulan hijriyah Tarekat Syattariyah di Surau Calau. Pendekatan filologi yang penulis gunakan dalam penelitian ini dengan jenis Edisi Diplomatik yaitu hasil transkipsi setia dari sebuah naskah tunggal yang menggambarkan sedekat mungkin wujud aslinya. Dari hasil penelitian yang penulis lakukan diketahui bahwa landasan yang digunakan oleh Tarekat Syattariyah dalam menentukan awal bulan hijriyah adalah dengan berpegangan kepada al-Quran dan Sunnah. Metode penentuan awal bulan hijriyah di Surau Calau menggunakan Hisab takwim dengan berpatokan kepada huruf tahun dan huruf bulan dengan cara menghitung dengan huruf tahun kelahiran Nabi, huruf tahun hijrah Nabi serta huruf tahun wafatnya Nabi. Hisab takwim digunakan untuk menetukan tanggal satu dari setiap awal bulan sebagai patokan dalam menjalankan amalan Tarekat Syattariyah. Mengenai penentuan awal Ramdhan dan Syawal, hisab takwim hanya digunakan sebagai patokan untuk melihat hilal saja karena untuk menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal haruslah dengan terlihatnya hilal dengan mata telanjang tidak menggunakan alat bantuan teknologi apapun, apabila hilal tidak terlihat maka akan dilakukan istikmal.

Kata kunci :Metode, Hisab Rukyat, Surau Calau, Manuskrip, Takwim Hijriyah Tarekat Syattariyah. Pembimbing :Dra. Maskufa, MA. Daftar Pustaka :1999 Sampai 2016.

v

KATA PENGANTAR

بسم هللا الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya serta memberikan berkah, kasih sayang, dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “TAKWIM HIJRIYAH

TAREKAT SYATTARIYAH (Studi Filologi Terhadap Naskah Takwim di

Nagari Muaro Sijunjung)”. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW yang telah mengantarkan umatnya dari kegelapan dunia ke zaman peradaban ilmu pengetahuan seperti saat sekarang ini.

Penulis sangat bahagia dan bersyukur karena dapat menyelesaikan tugas akhir dalam jenjang pendidikan Strata Satu (S1) yang penulis tempuh telah selesai. Serta penulis tak lupa meminta maaf apabila didalam penulisan skripsi ini ada yang kurang berkanan dihati para pembaca, karena penulis menyadari bahwa penulis masih jauh dari kesempurnaan.

Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah mungkin dapat tercapai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai ungkapan rasa hormat yang amat mendalam, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., Rektor Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

vi

3. Dr. H. Abdul Halim, M. Ag, dan Arip Purkon, MA, Ketua Program Studi

Hukum Keluarga dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga.

4. Pembimbing Akademik Dr. Hj. Azizah, MA, dan Seluruh Dosen Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Dosen pembimbing Skripsi Dra. Maskufa, MA yang selalu memberi

pengarahan, pembelajaran yang baru bagi saya dengan penuh keikhlasan,

kesabaran, dan keistiqomahan dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Terkhusus kepada kedua orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi.

Ayahanda tercinta Aripin K. dan ibunda tercinta Nurilis yang selalu

mendoakan dan memberikan semangat kepada ananda untuk menyelesaikan

skripsi ini, serta telah mengorbankan seluruh hidupnya untuk membahagiakan

dan membesarkan penulis sampai saat ini. Tidak akan pernah dan mustahil

penulis mampu membayar apa yang telah diberikan selama ini. Kedua orang

tua selalu menjadi sumber inspirasi penulis dalam menjalankan kehidupan

dan meyelesaikan skripsi ini.

7. Kepada kakak-kakak tercinta Susanti Apriani, Bustomi Aripin, Syafril

Anwar, yang selalu memberi semangat dan mendoakan penulis dalam setiap

perjalanan studi penulis dan selalu menjadi kakak-kakak yang baik bagi

penulis.

8. Kepada karib kerabat yang di Guguk Dadok dan Ipuh Permai yang sangat

saya cintai dan banggakan. Terimakasih telah membantu penulis dalam studi

baik dalam bentuk materil maupun moril.

vii

9. Kepada bapak Yusri Akhimuddin dan Ayang Ultriza Yaqin, Phd. yang telah

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan terimakasih banyak

atas saran-saran dan arahan yang diberikan kepada penulis.

10. Kepada teman-teman dan kakak-kakak dari jurusan Filologi Sekolah Pasca

Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bang Nof, Rahmi Wati, Zikra Fadilla

dan Mustaqim serta Ferki Ahmad Marlion dan Wardiantono. Terimakasih

telah membantu penulis dalam studi baik dalam bentuk materil maupun

moril.

11. Kepada Ikatan Keluarga Alumni MAN 2 Batusangkar dan Keluarga

Mahasiswa Minangkabau yang berada di Ciputat dan sekitarnya. Terimakasih

telah membantu penulis dalam studi baik dalam bentuk materil maupun

moril.

12. Kepada sahabat-sahabat terbaikku Roni Zuli Putra, Ridwan Kusuma, Adlul

Alghofiqi, Anshar Arif Sofyan, Aprilia Farchataeni, Ara Dasopang, Nanik

Maulidah, Syarifah Dacosta Fidigal dan Fatimahwati yang telah menjadi

saksi dari perjuanganku. Terimakasih telah banyak membuat cerita dalam

hidup penulis baik berupa canda tawa, tangis, dan pergorbanan. Tetap selalu

menjadi sahabat yang terbaik bagi penulis.

13. Kepada teman-teman kosan Andrian Saputra, Arif Setiawan Onira, dan

Rahmad Hidayat yang selalu menghibur dan memberi semangat penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini. Selalu ada setiap penulis lagi malas, galau,

bosan, bahkan sampai larut menemani penulis dalam menyelasaikan skripsi

ini.

viii

Semoga amal baik mereka semua dibalas berlipat ganda oleh Allah SWT.

Sungguh hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang berlipat ganda.

Penulis berharap skripsi ini bermanfaat pada saat ini, masa yang akan datang. Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih amat jauh dari kesempurnaan karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi selanjutnya.

Jakarta, 13 September 2016

Septian Dwittes

ix

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN ...... iii LEMBAR PERNYATAAN ...... iv ABSTRAK ...... v KATA PENGANTAR ...... vi DAFTAR ISI ...... x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 5 C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ...... 5 D. Tujuan dan Manfaat ...... 6 E. Metode Penelitian ...... 7 F. Review Studi Terdahulu ...... 9 G. Sistematika Penulisan ...... 13

BAB II METODE PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYAH

A. Pengertian Hisab Rukyat ...... 14 1. Pengertian Hisab ...... 14 2. Pengertian Rukyat ...... 19 B. Dasar Hukum Hisab Rukyat ...... 20 C. Pandangan Madzhab Terkait Penentuan Awal Bulan Qamariyah ...... 27

BAB III PROFIL TAREKAT SYATTARIYAH

A. Sejarah Tarekat Syattariyah ...... 35 B. Perilaku Ibadah Tarekat Syattariyah ...... 43

BAB IV PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYAH TAREKAT SYATTARIYAH

A. Manuskrip Takwim ...... 51 B. Metode Penentuan Awal Bulan Hijriyah ...... 70 C. Analisis Penulis Terhadap Takwim Hijriyah ...... 84

BAB V PENUTUP

x

A. Kesimpulan ...... 89 B. Saran-saran ...... 89

DAFTAR PUSTAKA ...... 91

LAMPIRAN-LAMPIRAN ......

xi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penentuan awal Ramadhan dan Syawal mendapat perhatian khusus dari masyarakat Islam, sejak masa Rasulullah SAW hingga kini, karena keterkaitannya dengan ibadah puasa, kegiatan ekonomi, sosial, dan politik. Bahkan ia dapat mempengaruhi stabilitas, ketentraman dan keamanan masyarakat.1

Ibadah rukun Islam kaum Muslimin, kecuali membaca kalimat syahadat, selalu berkaitan dengan waktu-waktu tertentu dalam prosesinya. Prosesi ibadah puasa, zakat, dan haji perhitungannya berdasarkan perhitungan perjalanan revolusi bulan terhadap bumi. Ini dinamakan Kalender Islam atau Kalender Qamariyah.

Hanya sholat yang menjadi kewajiban harian kaum muslimin yang perhitungannya mengacu pada waktu bumi melakukan rotasi dan posisi relatifnya terhadap matahari, sama sekali terbebas dari perhitungan qamariyah di atas, bahkan independen dari perjalanan revolusi bumi itu sendiri terhadap matahari.2

Kalender Qamariyah (lunar system) membagi satu tahun menjadi 12 bulan.

Setiap bulan memiliki jumlah hari 29 atau 30. Total jumlah hari dalam setahun sistem Qamariyah adalah 354 hari, jadi satu tahun Qamariyah kira-kira 11,256 hari lebih pendek dari kalender Syamsiyah. Perhitungan bulan dalam Islam dimulai dengan terbitnya bulan sabit yang betul-betul kelihatan dalam suatu hari.

1 Dikjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Selayang Pandang Hisab Rukyat (Jakarta: Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2004), h.121. 2 Tono Saksono, Mengkompromikan Rukyat dan Hilal (Jakarta: PT. Amythas Publica, 2007), h.42.

1 2

Menurut madzhab Syafi‟i kenampakan bulan sabit ini menjadi persyaratan untuk menentukan pemulaan sebuah bulan, meskipun sebetulnya kemunculan bulan sabit setiap bulan dapat dihitung dengan akurat. Pendeknya, selain kewajiban sholat lima waktu dan syahadat, hampir semua prosesi ibadah Islam dilakukan berdasarkan perhitungan perjalanan bulan.3

Penetapan awal bulan khususnya pada bulan-bulan yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah dapat dilakukan dengan rukyat juga hisab. Keduanya merupakan hasil interpretasi dalam memahami nash-nash Al-Quran maupun

Hadits Nabi SAW Sebagai hasil ijtihad keduanya bisa benar dan bisa juga , namun sesuai dengan jiwa ijtihad jika salah tetap berpahala apalagi benar maka kedua cara ini dapat digunakan secara mandiri ataupun yang satu melengkapi yang lain.4 Persoalan hisab rukyat dalam hal penentuan awal bulan Qamariyah terutama bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah sering kali memunculkan perbedaan, bahkan kadang menyulut permusuhan yang mengoyak jalinan ukhuwah islamiyah.5

Perbedaan masyarakat muslim Indonesia tentang awal dan akhir Ramadhan berulang kali terjadi, tidak terkecuali di Sumatera Barat. Perbedaan ini disebabkan karena beragamnya cara dan metode yang digunakan untuk menentukan awal bulan Qamariyah. Selain itu, juga karena banyaknya pihak yang memiliki otoritas dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan. Metode yang digunakan muslim

Indonesia dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan antara lain metode hisab, rukyat hilal, hisab dan rukyat, imkan al-rukyat, istikmal dan beberapa metode

3 Tono Saksono, Mengkompromikan Rukyat dan Hilal, h.42. 4 Maskufa, “Hisab Hakiki ”, Ahkam X, no.1 (Maret 2008): h.118. 5 Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyat (Jakarta: Erlangga, 2007), h.43.

3

hisab tradisional seperti Aboge di Jawa Timur, hisab Sunda di Jawa Barat, serta hisab Taqwim dan hisab Munjid di Sumatera Barat. Setiap pimpinan kelompok memiliki otoritas menetapkan awal Ramadhan dan melaksanakan ibadah puasa sesuai dengan metode dan keyakinan masing-masing.

Khususnya di Sumatera Barat, setidaknya ada empat kelompok Islam yang berbeda dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan, yaitu Pemerintah,

Muhammadiyah, Persatuan Tarbiyah Islamiyah dan kelompok Tarekat. Tarekat

Syaman dan Naqsabandiyah memiliki perhitungan kalendernya lebih awal dari

Pemerintah. Muhammadiyah dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah memiliki perhitungan yang terkadang sama dan berbeda dengan Pemerintah. Tarekat

Syattariyah biasanya melaksanakan puasa terlambat satu sampai dua hari dari

Pemerintah. Setiap kelompok meyakini kebenaran sistem perhitungan yang mereka gunakan. Salah satu informasi tentang penanggalan dan perbedaan awal

Ramadhan, dalam hal ini sistem yang digunakan kelompok Tarekat, masih ada yang terekam dalam bentuk manuskrip. Misalnya manuskrip yang tersimpan di

Surau Calau, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat.6

Surau Calau merupakan salah satu di antara puluhan surau Tarekat

Syatariah yang terdapat di Sumatera Barat. Surau ini terletak di Jorong Subarang

Sukam, Kenagarian Muaro Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sijunjung. Pendiri surau ini adalah Syekh Abdul Wahab, pada kira-kira abad ke-18. Surau ini pada masanya pernah menjadi pusat pengajaran keislaman yang maju, salah satu buktinya dengan banyaknya peninggalan manuskrip di surau tersebut.

6 Yusri Akhimuddin, “[Asal Khilaf Bilangan Taqwim]: Relasi Ulama-Umara di Minangkabau Abad ke-17 dalam Penetapan Awal Ramadan”, Mannasa II, no.1 (2012): h.80.

4

Penting dikemukan disini bahwa selain menyelenggaran praktik-praktik

Syatariah, surau ini juga merupakan pusat penentuan awal Ramadhan untuk daerah Sijunjung dan menjadi rujukan untuk daerah-daerah di sekitarnya. Di surau ini dilakukan “mancaliak bulan” pada waktu tertentu dan dapat untuk memutuskan masuknya Ramadhan dan Syawal.7

Secara tekstual diketahui bahwa teks takwim menjelaskan mengenai panduan penentuan awal bulan hijriyah, pemahaman dalam penentuan awal

Ramadhan dan berhari raya serta landasannya pada zaman Nabi. Secara kontekstual diketahui bahwa Surau Calau merupakan pusat penentuan awal

Ramadhan dan berhari Raya bagi penganut Tarekat Syatariah untuk daerah

Sijunjung dan Dharmasraya dari dahulu hingga sekarang. Pengamalan hisab takwim di Surau Calau sudah berlangsung secara turun temurun dari Syekh Abdul

Wahab sampai hari ini dengan mengamalkan mazhab Imam Syafi‟i.8

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk menelaah lebih jauh mengenai cara menentukan awal bulan Qamariyah dan bagaimana proses takwim dalam menentukan masuknya awal bulan serta apa landasan yang digunakan oleh

Tarekat Syattariyah untuk menentukan awal bulan Qamariyah, untuk itu penulis ingin meneliti lebih jauh lagi kedalam bentuk penulisan skripsi dengan judul

“TAKWIM HIJRIYAH TAREKAT SYATTARIYAH (Studi Filologi Terhadap

Naskah Takwim di Nagari Muaro Sijunjung)”

7 Kadrianto, “Teks Takwim dalam Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan Konteks”, Hantaran FIB UNAND, (2013): h.2. 8 Kadrianto, “Teks Takwim dalam Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan Konteks”, Hantaran FIB UNAND, (2013): h.2.

5

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana langkah-langkah menentukan awal bulan hijriyah ?

2. Apa saja metode yang digunakan untuk menentukan awal bulan hijriyah ?

3. Apakah penyebab terjadinya perbedaan dalam menentukan awal bulan

hijriyah khususnya di Indonesia ?

4. Bagaimana menyikapi perbedaan penetapan awal bulan hijriyah di

Indonesia khususnya yang berkaitan dengan ibadah umat Islam ?

5. Bagaimanakah perkembangan Tarekat Syattariyah di Minangkabau ?

6. Bagaimana ajaran dari aliran Tarekat Syattariyah di Minangkabau ?

7. Bagaimanakah cara menentukan awal bulan hijriyah menurut manuskrip

takwin Tarekat Syattariyah di Surau Calau?

8. Bagaimana proses penentuan awal bulan hijriyah menurut manuskrip

takwin di Surau Calau ?

9. Apakah landasan yang digunakan oleh Tarekat Syattariyah dalam

menentukan awal bulan hijriyah ?

10. Hambatan-hambatan apa yang timbul ketika jamaah Tarekat Syattariyah

melaksanakan ibadah haji ke Makkah yang notabene metode penghitungan

awal bulannya berbeda dengan pemerintah Arab Saudi ?

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini, agar pembahasan tidak melebar jauh dari topik yang dibahas, maka penulis mambatasi permasalahan pada metode penentuan awal bulan yang digunakan oleh Tarekat Syattariyah di Surau Calau Sijunjung dalam menentukan awal bulan hijriyah.

6

Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Apakah landasan yang digunakan Tarekat Syattariyah dalam menentukan

awal bulan hijriyah ?

2. Bagaimana cara menentukan awal bulan hijriyah menurut manuskrip

takwim Tarekat Syattariyah di Surau Calau ?

D. Tujuan Dan Manfaat

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui landasan yang digunakan Tarekat Syattariyah dalam

menentukan awal bulan hijriyah.

2. Untuk mengetahui cara menentukan awal bulan hijriah menurut manuskrip

takwim Tarekat Syattariyah di Surau Calau.

Adapun manfaat yang didapat dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Manfaat yang didapat secara pribadi dari penulisan karya ilmiah ini adalah

sebagai dasar untuk malanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi

dan menjadikan takwim hijriyah Tarekat Syattariah di Surau Calau ini

sebagai konsentrasi yang akan penulis dalami.

2. Manfaat untuk sebuah institusi yaitu memperkaya pustaka Fakultas

Syariah dan Hukum dengan pembahasan tentang takwim hijriyah Tarekat

Syattariah di Surau Calau yang tidak hanya membahas seputar takwim

hijriah itu sendiri, melainkan diperkaya dengan kaitannya dengan

manuskrip Tarekat syattariah di Surau Calau.

7

3. Memberikan sebuah pemahaman kepada masyarakat khusunya masyarakat

muslim dalam bidang takwim hijriyah menurut penganut Tarekat

Syattariyah di Surau Calau.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan kajian filologi, yaitu metode penelitian yang memfokuskan perhatian pada aspek bahasa dan sastra, terlebih yang termasuk dalam kategori bahasa dan sastra klasik.9 Filologi pada dasarnya digunakan untuk meneliti objek naskah, dan untuk melihat data tekstual dari naskah.10 Filologi adalah ilmu yang berusaha mempelajari dan memahami seluk beluk tentang naskah (manuskrip).

Filologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang diperlukan untuk suatu upaya yang dilakukan terhadap peninggalan tulisan masa lampau dalam rangka menggali nilai-nilai budaya masa lampau yang terkandung di dalam naskah.11

2. Sumber Data

a. Data Primer

Adapun data primer dalam penelitian ini adalah manuskrip, yaitu

dokumen yang ditulis tangan secara manual diatas sebuah media seperti

kertas, papirus, dan lontar, daluwang, kulit binatang, dan lainnya yang

berisi informasi menyangkut buah pikiran, perasaan, kepercayaan,

9 Oman Fathurahman, dkk, Filologi dan Islam Indonesia, cet. I, (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010), h.10. 10 Kadrianto, “Teks Takwim dalam Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan Konteks”, Hantaran FIB UNAND, (2013): h.4. 11 Kadrianto, “Teks Takwim dalam Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan Konteks”, Hantaran FIB UNAND, (2013): h.3.

8

istiadat, kegiatan sehari-hari, ajaran, dan berbagai informasi lain yang

terkait dengan sebuah masyarakat tertentu pada masa lampau.12

b. Data Sekunder

Buku-buku, Journal, artikel dan sebagainya yang berkaitan dengan

permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

3. Pengumpulan Data

a. Dokumentasi

Dokumentasi yaitu mengumpulkan dokumen-dokumen yang berkaitan

dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

b. Wawancara

Wawancara yaitu melakukan tanya jawab secara langsung kepada orang

yang ahli dalam bidang takwim hijriah dalam manuskrip Tarekat

Syattariyah di Surau Calau secara tatap muka antara penulis dengan

narasumber guna mendapatkan informasi-informasi yang berkenaan

dengan permasalah yang diangkat dalam penelitian ini.

c. Observasi

Melakukan pengamatan langsung di lapangan atau lokasi penelitian

yaitu di Surau Calau kecamatan Sijunjung untuk menggali lebih dalam

tentang materi yang akan dibahas dalam penelitian ini.

4. Pengolahan Data

Adapun tatacara pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara pendekatan filologi jenis Edisi Diplomatik (Diplomatic

12 Oman Fathurahman, dkk., Filologi dan Islam Indonesia, h.4.

9

Edition). Edisi diplomatik disini sesungguhnya adalah teks hasil transkipsi setia dari sebuah naskah tunggal yang menggambarkan sedekat mungkin wujud aslinya. Dalam sebuah edisi diplomatik, sang pengkaji naskah tidak bertujuan untuk menghadirkan teks yang memiliki bacaan terbaik (best readings), melainkan menyajikan teks “apa adanya”.

Setidaknya, dalam edisi diplomatik ini pun ada tanda-tanda diakritik atau tanda baca tertentu yang niscaya digunakan untuk menandai bagian teks yang terpaksa harus dihilangkan atau ditambahkan.13

5. Analisis Data

Setelah semua data yang diperlukan dalam penelitian ini terkumpul maka tahap selanjutnya akan dilakukan analisis data dengan menggunakan penelitian pendekatan filologi edisi diplomatik guna untuk mengetahui hasil dari sebuah penelitian yang dilakukan.

6. Teknik penulisan

Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini mengacu kepada

“Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariáh dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

F. Review Studi Terdahulu

Dari beberapa literatur skripsi yang ada di perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadikannya sebagai perbandingan dengan skripsi yang akan ditulis, diantaranya:

Judul Skripsi Pembahasan Perbedaan

13 Oman Fathurahman, dkk., Filologi dan Islam Indonesia, h.21.

10

1. Lutfi Kamali/2011. Penulis mengkaji Perbedaannya dengan

Pemikiran KH. bagaimana kiprah dan skripsi yang akan penulis

Royadi Hanna konsep dari KH. buat yaitu penulis akan

Dalam Penetapan Royadi Hanna dalam mengkaji bagaimana

Puasa dan Hari menentukan puasa metode yang digunakan

Raya Di Kampung dan hari raya di oleh aliran Tarekat

Rawa Lele kampung Rawa Lele Syattariyah dalam

Kelurahan Kelurahan menentukan awal bulan

Pegadungan Jakarta Pegadungan Jakarta Hijriyah yang berpatokan

Barat Barat, serta dari manuskrip takwim

bagaimana yang terdapat di Surau

aplikasinya dengan Calau Nagari Muaro

konsep pemerintah kecamatan Sijunjung.

dalam penetapan awal

bulan Syawal 1428

H/2007 M.

2. Nahraji Zen/2011. Penulis mengkaji Manakalah perbedaanya

Sistem Penentuan sistem perhitungan adalah penulis tidak

Awal Bulan serta dasar hukum membahas tentang

Qamariyah Di yang digunakan oleh penentuan awal bulan

Lajnah Falakiyah Lajnah Falakiyah al- Qamariyah menurut

Alhusiniyah Husiniyah dan Lajnah Falakiyah al-

Cakung Barat, penulis juga Husiniyah melainkan

11

Jakarta Timur. membahas bagaimana penulis hanya membahas

praktek penetapan tentang penentuan awal

awal bulan bulan Qamariyah

Qamariyah serta menurut aliran Tarekat

sebab-sebab Syattariyah yang

terjadinya perbedaan berlokasi di Surau Calau

dalam menentukan Nagari Muaro kecamatan

awal bulan Sijunjung yang

Qamariyah dengan berpatokan kepada teks

pemerintah. manuskrip takwim

hijriyah yang digunakan.

3. Nurbaiti/2012. Penulis Perbedaannya penulis

Penetapan Awal mengintrepretasikan membahas tentang

Bulan Qamariyah tentang penetapan penentuan awal bulan

Perspektif Pondok awal bulan Qamariyah menurut

Pesantren Annida Qamariyah di Pondok aliran Tarekat

Al- Islamy Bekasi. Annida Al- Syattariyah yang

Islamy Bekasi serta berlokasi di Surau Calau

mengkaji metode Nagari Muaro kecamatan

serta dasar hukum Sijunjung yang

yang digunakan berpatokan kepada teks

dalam menentukan manuskrip takwim

awal bulan hijriyah yang digunakan

12

Qamariyah serta

bagaimana sikap yang

dilakukan ketika

dalam menentukan

awal Bulan

Qamariyah ini

berbeda dengan yang

ditetapkan oleh

pemerintah.

4. Kadrianto/2003. Penulis Penulis akan

Teks Takwim mendeskripsikan menjelaskan lebih jauh

dalam Naskah- naskah manuskrip tentang bagaimana

Naskah Koleksi tersebut serta dan metode penentuan awal

Surau Calau: Teks membahas cara bulan hijriyah yang

dan Konteks. menghitung hisab terdapat dalam

takwim. Penulis tidak manuskrip takwim di

menjelaskan isi dari Surau Calau serta

manuskrip takwim meneliti apa landasan

tersebut secara rinci. hukum yang dipakai

dalam melakukan hisab

takwim ini.

13

G. Sistematika Penulisan

Agar dalam penulisaan skripsi ini menjadi terarah dan tidak mengambang, penulis membuat sistematika penulisan yang disusun per bab. Skripsi ini terdiri dari lima bab, dan setiap bab memiliki sub bab yang menjadi penjelasan dari masing-masing bab tersebut. Skripsi ini diakhiri dengan daftar pustaka yang menjadi rujukan penulis dalam penulisan skripsi ini dan lampiran-lampiran.

Adapun sistematika penulisan tersebut ialah sebagai berikut:

BAB I tentang latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, metode penelitian, review studi terdahulu, dan sistematika penulisan.

BAB II membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan metode serta tata cara dalam menentukan awal bulah hijriyah serta dasar hukum penentuan awal bulan dan menampilkan penentuan awal bulan menurut imam mazhab..

BAB III membahas mengenai sejarah, tokoh pengembang, jajaran serta silsilah Tarekat Syattariyah dan perilaku ibadah dari Tarekat Syattariyah.

BAB IV Membahas tentang teks takwim hijriah dalam manuskrip Tarekat

Syattariyah di Suaru Calau, serta dalam bab ini juga akan dijelaskan tata cara penentuan awal bulan yang dilaksanakan oleh penganut Tarekat Syattariyah di

Surau Calau Sijunjung.

BAB V terdiri dari kesimpulan dan saran.

BAB II

METODE PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYAH

A. Pengertian Hisab Rukyat

1. Pengertian Hisab

Ilmu hisab dalam bahasa Inggris disebut dengan Arithmatic1, “Hisab” itu sendiri berarti hitung. Jadi Ilmu Hisab adalah ilmu hitung.2 Secara etimologis, kata hisab dari bahasa Arab al-hisb yang berarti al-adad wa al-ihsha‟, bilangan atau hitungan.3

Di kalangan umat Islam ilmu Falak dan ilmu Faraid dikenal pula sebagai ilmu Hisab karena kegiatan yang paling banyak dilakukan dalam kedua ilmu tersebut adalah perhitungan-perhitungan. Ilmu falak atau astronomi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari benda-benda langit, tentang fisiknya, geraknya, ukurannya dan segala yang berkaitan dengannya. Benda langit yang dijadikan obyek kajian di kalangan umat Islam adalah matahari, bulan dan bumi yang terbatas pada posisinya masing-masing. Hal ini disebabkan karena perintah

1 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, cet. I (Yogyakarta: UIN-Malang Pers, 2008), h.214. Lihat Lajnah Falakiah, Pedoman Rukyat Dan Hisab , (Lajnah Falakiah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, 2006), h. 4 – 5 dan h. 47. Aritmatik adalah tanggal yang dapat dihitung hanya dengan cara aritmatika. Secara khusus, tidak perlu untuk membuat pengamatan astronomi atau mengacu pada pengamatan astronomi, contoh dari perhitungan ini adalah kalender masehi. Lihat Shofiyullah, Mengenal Kalender Lunisolar di Indonesia, (Malang : PP. Miftahul Huda, 2006), h.04. 2 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, Almanak Hisab Rukyat, cet.III. (Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia, 2010), h.20. 3 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, h.214.

14 15

pelaksanaan ibadah baik waktu maupun caranya berkaitan langsung dengan posisi benda langit tersebut.4

Sementara itu, menurut istilah Hisab adalah perhitungan benda-benda langit untuk mengetahui kedudukannya pada suatu saat yang diinginkan. Dengan demikian yang dimaksud dengan hisab disini adalah hisab yang berkaitan dengan penentuan awal bulan Qamariyah. Penentuan awal bulan Qamariyah mempunyai makna yang sangat penting karena berkaitan dengan penentuan hari-hari besar

Islam dan yang lebih penting lagi adalah berkaitan dengan penentuan masuknya awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, karena ketiga bulan ini berhubungan dengan masalah kewajiban umat islam yakni ibadah puasa, shalat Id, zakat fitrah dan haji.5

Aliran-aliran hisab di Indonesia apabila ditinjau dari segi sistemnya dapatlah dibagi menjadi dua kelompok besar:

a. Hisab Urfi

Hisab ini dinamakan dengan hisab urfi karena kegiatan perhitungannya dilandaskan kepada kaidah-kaidah yang bersifat tradisional.6 Sistem hisab urfi ini perhitungannya didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi.

Lama hari antar bulan berselang seling antara 29 dan 30 hari yang bersifat tetap kecuali bulan Dzulhijjah pada tahun kabisat berumur 30 hari.7

4 Maskufa, “Hisab Hakiki Muhammadiyah”, Ahkam X, no.1 (Maret 2008): h.119. 5 Maskufa, “Hisab Hakiki Muhammadiyah”, Ahkam X, no.1 (Maret 2008): h.120. 6 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, Almanak Hisab Rukyat, h.95. 7 Maskufa, “Hisab Hakiki Muhammadiyah”, Ahkam X, no.1 (Maret 2008): h.128.

16

Tahun panjang ditetapkan umurnya 355 hari sedangkan tahun pendek ditetapkan 354 hari. Dalam 30 tahun terjadi 11 kali tahun kabisat yang terletak pada deretan tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26 dan 29.8

Para ulama di kalangan umat Islam sepakat bahwa hisab urfi ini tidak dapat dipergunakan dalam menentukan awal bulan Qamariyah untuk pelaksanaan ibadah kecuali untuk pembuatan kalender. 9 Karena dalam perhitungannya bersifat tetap kecuali pada tahun kabisat pada bulan Dzulhijjah 30 hari dan hanya menggunakan hisab tradisional.

b. Hisab Hakiki

Hisab hakiki adalah sistem penentuan awal bulan Qamariyah dengan metode penentuan kedudukan Bulan pada saat Matahari terbenam.10 Hisab hakiki ialah hitungan yang sebenarnya, yaitu hitungan berdasarkan peredaran matahari atau bulan yang sebenarbenarnya dan setepat-tepatnya.11 Sistem ini dapat digunakan dalam penentuan waktu-waktu ibadah karena dianggap lebih sesuai dengan yang dimaksudkan syarak‟. Sebab, dalam prakteknya sistem ini memperhitungkan wujudnya hilal. Dan sistem hisab inilah yang digunakan oleh

Muhammadiyah dalam menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal.12

Sistem hisab hakiki dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu:

8 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, Almanak Hisab Rukyat, h.96. 9 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, h.224. 10 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, Almanak Hisab Rukyat, h.96 11 Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, “Penggunaan Hisab dalam Penetapan Bulan Baru Hijriyah/Qomariyah”, dalam Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen Agama , Hisab Rukyat dan Perbedaannya (Jakarta: Departemen Agama,2004). H.21. 12 Maskufa, “Hisab Hakiki Muhammadiyah”, Ahkam X, no.1 (Maret 2008): h.129.

17

1) Hisab Hakiki Taqribi

Sistem hisab ini mempunyai data yang bersumber dari data yang telah disusun oleh Ulugh Beik al-Samaraqandi. Pengamatan yang digunakan bersumnber dari teori Ptolomius, yaitu dengan teori geosentrisnya yang menyatakan Bumi sebagai pusat peredaran benda-benda langit. Ketinggian hilal dihitung dari titik pusat bumi, bukan dari permukaan bumi dan berpedoman pada gerak rata-rata bulan, yaitu setiap hari bulan bergerak kearah timur rata-rata 12 derajat.

Rumus ketinggian hilal adalah selisih waktu ijtima‟ dengan waktu terbenam kemudian dibagi dua. Konsekwensinya ialah apabila ijtima‟ terjadi sebelum matahari terbenam, pasti hilal sudah berada diatas ufuq. Hisab ini belum memberikan informasi tentang azimut bulan dan matahari dan diperlukan bnyak koreksi untuk menghasilkan perhitungan yang lebih akurat. Dengan demikian metode ini tidak dapat dijadikan untuk pelaksanaan ru‟yah al-hilal.13 Sistem ini mempunyai kelebihan, yaitu data dan tabel-tabelnya dapat digunakan terus menerus tanpa harus dirubah.

2) Hisab Hakiki Tahqiqi

Hisab ini mendasarkan perhitungannya pada data astronomi yang telah disusun oleh Syaikh Husein Zaid Alauddin Ibnu Syatir. Adapun pengamatannya berdasarkan kepada teori Copernicus yaitu dengan teori heliocentris yang meyakini matahari sebagai pusat peredaran benda-benda langit. Menurut sistem ini, perhitungan dapat dilakukan dengan rumus-rumus spherical trogonometri

13 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, h.228.

18

dengan koreksi-koreksi data gerakan bulan maupun data gerakan matahari yang dilakukan dengan teliti.

Sistem hisab ini menentukan ketinggian hilal dengan memperhatikan posisi lintang dan bujur, deklinasi bulan, dan sudut waktu bulan dengan koreksi-koreksi terhadap pengaruh refraksi, paralaks, Dip (keredahan ufuk), dan semi diameter bulan. Oleh karena itu, hisab ini dapat memberikan informasi tentang terbenamnya matahari setelah terjadinya ijtima‟, ketinggian hilal, azimut matahri dan bulan untuk tempat observasi, serta dapat membantu pelaksanaan ru‟yah al- hilal. Adapun yang dapat dikelompokkan dalam sistem ini adalah al-Khulashah al-Wafiyah dan Hisab Haqiqi Nur Anwar.

3) Hisab Hakiki Tadqiqi

Sistem hisab ini menggunakan perhitungan yang didasarkan pada data-data astronomi modern. Sistem hisab ini merupakan pengembangan dari sistem hisab haqiqi tahqiqi yang disintesakan dengan ilmu astronomi modern. Hal ini dilakukan dengan memperluas dan menambahkan koreksi-koreksi gerak bulan dan matahari dengan rumus-rumus spherical trigonometri, sehingga didapat data yang sangat teliti dan akurat. Penyelesaian perhitungan menggunakan alat-alat elektronika modern, misalnya kalkulator, computer, dan alat pendeteksi koordinat lintang dan bujur dengan standart internasional, yaitu Geo Positioning System

(GPS). Hisab ini dapat lebih akurat memperhitungkan posisi hilal sehingga pelaksanaan rukyat dapat dilakukan dengan lebih teliti.14 Sistem hisab inilah yang

14 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, h.228.

19

biasa digunakan oleh Pemerintah dan NU dalam menentukan masuknya awal bulan seperti Ramadhan dan Syawal.

2. Pengertian Rukyat

Secara etimologi istilah rukyat berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata al- ra‟a yang berarti melihat dengan mata, maksudnya adalah melihat dengan mata telanjang (langsung). Adapun istilah ru‟yah al-hilal dalam konteks penentuan awal bulan Qamariyah adalah melihat hilal dengan mata telanjang atau dengan menggunakan alat yang dilakukan setiap akhir bulan atau tanggal 29 bulan

Qamariyah pada saat matahari terbenam.15

Berhasil atau tidaknya rukyatul hilal tergantung pada kondisi ufuk sebelah barat tempat peninjau, posisi hilal itu sendiri dan kejelian mata sipeninjau.16 Jika hilal berhasil dirukyat, sejak malam itu sudah dihitung tanggal satu bulan baru.

Tetapi jika tidak berhasil dirukyat, maka malam itu dan keesokan harinya masih merupakan bulan yang sedang berjalan, sehingga umur bulan tersebut disempurnakan 30 hari yang terkenal dengan istilah istikmal.17

Rukyah hilal (melihat bulan baru) untuk mengetahui pergantian bulan dan khususnya untuk mengetahui awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzhulhijjah dalam rangka pelaksanaan ibadah puasa, hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul

Adha.18 Rukyat biasanya digunakan untuk memastikan hasil perhitungan hisab

15 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, h.214. 16 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, Almanak Hisab Rukyat, h.21. 17 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, h.216. 18 A. Jamil, Ilmu Falak (Teori dan Aplikasi): Arah Qiblat, Awal Waktu, dan Awal Tahun (Hisab Kontemporer) cet. III. (Jakarta: Amzah, 2014), h.153.

20

apakah pada waktu tersebut hilal bisa terlihat atau terhalang oleh sesuatu baik berupa debu maupun awan mendung.

B. Dasar Hukum Hisab Rukyat

     .          

            .   Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya19 akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah- rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.(QS. Al Baqarah, 2: 189)

adalah bentuk jamak dari hilaal. Adanya bentuk jamak untuk kata ini األٕيح

(walaupun benda yang dimaksud satu), dengan alasan hilal setiap bulan dan setiap permulaan malam, ini berarti menunjukkan perbedaan waktu yang diungkapkan dengan perbedaan dzat. Al-Hilaal adalah sebutan untuk sesuatu yang tampak di awal dan di akhir bulan. Al Ashma‟i berkata, “(benda) itu tetap disebut hilaal sampai tampak bulat.”20

katakanlah, “itu adalah [petunjuk] waktu bagi) قو ٕٚ ٍ٘قٞد ىيْاط ٗاىؽط manusia dan [ibadah] haji”) ayat ini menjelaskan tentang hikmah bertambah dan berkurangnya hilal, dan hal itu juga menunjukkan waktu yang digunakan manusia untuk menetapkan ibadah-ibadah dan mu‟amalah-mu‟amalah mereka, seperti

19 Pada masa Jahiliyah, orang-orang yang berilham di waktu haji, mereka memasuki rumah dari belakang bukan dari depan. Hal ini ditanyakan pula oleh para sahabat kepada Rasulullah SAW Maka diturunkanlah ayat ini. 20 Al Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Fathul Qadir, jil. I, Penerjemah Amir Hamzah Fachruddin, dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h.734.

21

puasa, buka puasa, haji, masa kehamilan, iddah, persewaan, perjanjian atas sesuatu dan sebagainya.21

           

              Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. dia menjelaskan tanda- tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui. (QS. Yunus,10: 5)

,dengan hanya menyebutkan satu dhamir قذسٓ Dalam ayat ini disebutkan padahal sebelumnya disebutkan bulan dan matahari. Ada dua jawaban dari masalah ini, yaitu: pertama: Dhamir huruf ha (nya) pada kata ini hanya kembali kepada bulan, tidak kepada matahari, karena dengan terbitnya bulan sabitlah

(hilal) diketahuinya pergantian bulan dan tahun (Hijriyah), bukan dengan matahari. Kedua: penyebutan kata ganti salah satu telah mencakupi keduanya.

supaya kamu mengetahui“ ىرؼيَ٘ا ػذد اىغِْٞ ٗاىؽغاب ,Sedangkan firman Allah bilangan tahun dan perhitungan (waktu),” artinya adalah, Allah menetapkan tempat-tempat bulan dan matahari itu agar kalian wahai orang-orang beriman tahu jumlah tahun, baik permulaan maupun berakhirnya. Maksud dari perhitungannya disini adalah perhitungan waktu, hari, jam, dan sebagainya.22

              

         .

21 Al Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir, jil. I, , h.735. 22 Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, jil. 13, Penerjemah Anshari Taslim, dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h.449.

22

Artinya: Dan kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu kami hapuskan tanda malam dan kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun- tahun dan perhitungan. dan segala sesuatu Telah kami terangkan dengan jelas. (QS. Al Isra‟, 17: 12)

Maksud ayat ini adalah, Allah Ta‟ala berfirman, “Di antara nikmat Allah kepada kalian adalah, membedakan antara tanda-tanda malam dan tanda-tanda siang, dengan menggelapkan malam dan menerangkan siang, agar kalian berdiam diri pada malam hari dan berusaha mencari rezeki Allah yang telah ditakdirkan-

Nya bagi kalian pada siang hari. Juga agar kalian mengetahui bilangan tahun, berakhirnya tahun, permulaan masuknya tahun, dan perhitungan waktu siang dan malam serta waktu-waktunya.”23

                Artinya: Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi. (QS. At- Taubah, 9: 36).

Firman Allah SWT,     ً “Di waktu Dia

menciptakan langit dan bumi.” Penyebutan kalimat ini sebenarnya untuk menjelaskan bahwa qadha dan qadar Allah ditetapkan sebelum penciptaan langit dan bumi. Selain itu, Allah SWT menentapkan bulan-bulan ini dan menamakan masing-masing bulan tersebut beserta dengan urutannya pada saat Allah menciptakan langit dan bumi. Kemudian nama-nama bulan itu diberitahukan kepada para nabi melalui Kitab Suci yang diturunkan Allah kepada masing- masing mereka.

23 Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, jil. 16, Penerjemah Misbah, dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h.555.

23

Inilah makna firman Allah SWT, “Sesungguhnya bilangan bulan disisi

Allah ialah dua belas bulan.” Hukumnya tetap ada seperti ketika diturunkan, dan akan tetap kekal walaupun orang-orang musyrik berusaha mengacak urutannya atau merubah nama-namanya.24

Ayat ini menunjukkan bahwa yang diwajibkan didalam menerapkan waktu peribadatan atau lainnya hanya berlandaskan hitungan bulan atau tahun yang dikenal oleh bangsa Arab, bukan hitungan bulan atau tahun yang dipakai oleh orang asing, orang-orang Romawi, atau penanggalan orang-orang Mesir kuno, karena hitungan hari atau bulan yang dimiliki oleh mereka tidak sama dengan hitungan yang dimiliki oleh orang Islam.25

              

...    Artinya: (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, ... (QS. Al Baqarah, 2: 185)

karena itu, barang siapa di antara kamu, hadir [di negeri) فَِ شٖذ ٍْنٌ اىصٖش tempat tinggalnya] di bulan itu), yakni sedang berada di tempat tinggalnya dan

pada posisi nashab اىصٖش tidak sedang bepergian, yakni sedang mukim. Kata sebagai zharf (keterangan waktu), bukan sebagai maf‟ul bih (obyek penderita).

Segolongan salaf dan khalaf mengatakan, bahwa orang yang mendapati bulan

24 Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi; jil. 8, Penerjemah Budi Rosyadi, dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h.309. 25 Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, h.310.

24

Ramadhan dalam keadaan sedang muqim, tidak sedang bepergian, maka ia wajib berpuasa, baik setelah itu ia bepergian (safar) maupun tetap muqim.26

       Artinya: Dan Telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (Setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.27(QS. Yasin, 36:39)

Manzilah-manzilah berjumlah dua puluh delapan manzilah, yang mana bulan setiap malam menempati satu manzilah. Adapun nama dari manzilah- manzilah itu adalah: Apabila bulan telah berada pada bentuk terakhirnya, maka ia kembali ke bentuk awalnya. Jadi ia melampaui angkasa selama dua puluh delapan malam. Ia kemudian mengecil seperti tanda kering yang melengkung dan kemudian membesar menjadi bulan purnama.28

Penggunaan metode hisab dan rukyat selain didasarkan kepada nash Al-

Quran, juga didasarkan pada hadits-hadits Nabi Muhammad SAW, berikut:

ؼَ َّذشََْا ػَ ْث ُ ذ ََّّللاِ ْت ُِ ٍَ ْغيَ َحَ ؼَ َّذشََْا ٍَاىِ ٌل ػَ ِْ َّافِ ٍغ ػَ ِْ ػَ ْث ِذ ََّّللاِ ْت ِِ ػُ َ َش َس ِظ َٜ ََّّللاُ ػَ ُْٖ َا أَ َُّ َس ُع َ٘ه ََّّللاِ َصيٚ َّ ََّّللاُ ػَيَ ْٞ ِٔ َٗ َعيَّ ٌَ َر َم َش َس ٍَ َع َاُ فَقَ َاه ََل ذَ ُص ٍُ٘٘ا ؼَرَّٚ ذَ َش ْٗا ْاى ِٖ ََل َه َٗ ََل ذُ ْف ِط ُشٗا ؼَ رَّٚ ذَ َش ُْٗٓ فَئِ ُْ ُغ ٌَّ ػَيَ ْٞ ُن ٌْ فَ ْاق ُذ ُسٗا ىَٔ 29ُ

26 Al Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir, jil. I, Penerjemah Amir Hamzah Fachruddin, dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h.709. 27 Maksudnya: bulan-bulan itu pada Awal bulan, kecil berbentuk sabit, Kemudian sesudah menempati manzilah-manzilah, dia menjadi purnama, Kemudian pada manzilah terakhir kelihatan seperti tandan kering yang melengkung. 28 Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, h.73. 29 Dalam penelitian ini peneliti juga mengambil rujukan dari software hadits berisi kitab 9 imam dalam bahasa Indonesia kepada bangsa Indonesia khususnya kaum Muslimin yang dikeluarkan oleh Lidwa Pusaka. Keberadaan program software ini memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki pada literatur kitab atau buku-buku. Disamping lebih ringkas bentuknya, praktis, dan murah, sebuah program software juga tentu lebih bisa menjawab tututan efisiensi waktu dalam mencari objek ilmu yang kita kehendaki. Karya dari Lidwa Pustaka ini diberi nama Ensiklopedi Hadits (disingkat menjadi CDHAK9I) yang didalamnya telah dikumpulkan dan disusun oleh sembilan ulama hadits kenamaan ummat, yang berjumlah 62.000 hadits. Dalam program software ini hadits disusun berdasarkan nomor urut dalam kitab masing-masing, dan juga dapat melihat keshahihan suatu hadits dengan menemukan dengan melihat perawinya, dan kita dapat melihat kedudukan dari masing-masing perawi. Dalam pembuatan Software ini bekerja sama dengan PT. Telkom Indonesia dan Pt Kreasi Riset Informatika Sistem Solusi ( Keriss ). Lidwa

25

Artinya: Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Maslamah telah menceritakan kepada kami Malik dari Nafi' dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menceritakan tentang bulan Ramadhan lalu Beliau bersabda: "Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal dan jangan pula kalian berbuka hingga kalian melihatnya. Apabila kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah jumlahnya (jumlah hari disempurnakan) "(Bukhari - 1773).

َ ٗ ػَ ِِ ْات ِِ ػُ َ َش َس ِظ َٜ َّللا ػَ ُْٖ َا قَ َاه: َع َِ ؼْ ُد َس ُع ْ٘ ُه َّللا َصيٚ ََّّللا ػَيَِٞ ِٔ َٗ َعيَّ ٌَ َٝقُ ُ٘ه: اِ َرا َساَ ْٝرُ َُ٘آُ فَ ُص ْ٘ ٍُ ْ٘ا, َٗاِ َرا َساَ ْٝرُ َُ ُْ٘ٓ فَ ْافطُ ُش ْٗا, فَاِ ُْ ُغ ٌَّ ػَيَ ْٞ ُن ٌْ فَ ْاق ُذ ُس ْٗاىَُٔ,,ٍرفق ػيٞٔ َٗىِ َُ ْغيِ ٌٍ:,, فَاِ ُْ 30 اُ ْغ َِ ػَ َٜ يَ ْٞ ُن ٌْ فَ ْاق ُذ ُس ْٗاىَُٔ شَ ََلشِ ْٞ َِ,, َٗىِ ْيثُ َخ ِاسٛ:,, فَ ْام َِيُ ْ٘ا ِاىؼ َّذجَ شَ ََلشِ ْٞ َِ ,, Artinya: Ibnu Umar berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Apabila engkau sekalian melihatnya (bulan) berpuasalah, dan apabila engkau sekalian melihatnya (bulan) berbukalah, dan jika awan menutupi kalian maka perkirakanlah.” Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim:”Jika awan menutupi kalian maka perkirakanlah tiga puluh hari.” Menurut riwayat Bukhari:”Maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga puluh hari.”

َٗىَُٔ فؼَ ِٚ ِذ ْٝ ِس اَتِٚ ُٕ َش ْٝ َشجَ: فَ ْام َِيُ ْ٘ا ػِ َّذجَ َش ؼْثَ ِاُ شَ ََلشِ ْٞ َِ ,,31 Artinya: Menurut riwayatnya dari hadits Abu Hurairah: “Maka Sempurnakanlah hitungan bulan Sya‟ban 30 hari.”

Berdasarkan hadits-hadits tentang penetapan awal bulan Qamariyah khususnya awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah adalah dengan jalan rukyatul hilal yaitu melihat secara langsung hilal sesaat setelah matahari terbenam

Pustaka i-Software, Kitab Sembilan Imam, Shohih Bukhari No. 1773, lihat juga Imam Malik bin Anas, Al Muwaththa‟ Imam Malik, Penerjemah Nur Alim, dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h.349, dan Al Bayan, Shahih Bukhari Muslim, cet. 10. Penerjemah Jabal, (Bandung: Jabal, 2013), h.205. 30 Ibnu Hajar Atsqani, Buluughul Maraam Min Adilatil Ahkaam, Penerjemah Masdar Helmy, (Bandung: Gema Risalah Press, 2012), h.256, lihat juga Al-Hafizh „Abdul „Azhim bin „Abdul Qawi Zakiyuddin Al-Mundziri, Mukhtashar Shahih Muslim Penerjemah Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), h.325, dan Al-Imam Zainudin Ahmad bin Abd Al-Lathif Az- Zabidi, At-Tajriid Ash-Shariih li Ahaadits Al-Jaami‟ Ash-Shahih, Penerjemah Achmad Zaidun,( Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h.424. 31 Ibnu Hajar Atsqani, Buluughul Maraam Min Adilatil Ahkaam, h.256, lihat juga Kementerian Agama Republik Indonesia, Almanak Hisab Rukyat, , h.11

26

pada hari ke 29 atau dengan jalan istikmal yakni menggenapkan bilangan bulan itu menjadi 30 hari manakala rukyat yang dilakukan itu tidak berhasil.32

Kalimat “faqdurullah” dimaknai oleh kalangan penganut hisab sebagai kira- kirakanlah yaitu dengan jalan hisab. Sementara bagi kalangan penganut rukyat kalimat tersebut masih mujmal sedangkan hadits dengan teks”...fakmiluu „idata

Sya‟ban tsalaatsiina” adalah mufasar. Maka yang mujmal harus dibawa ke yang mufasar. Jadi makna faqdurulah dalam hadits itu adalah istikmal. Yaitu bila rukyat tidak berhasil maka genapkanlah bilangan bulan Sya‟ban itu 30 hari.33

Sementara itu, digunakannya metode hisab dalam menetapkan awal bulan qamariyah yang digunakan sebagian umat Islam bukan didasarkan kepada pengetahuan akal semata dengan melepaskan diri dari nash. Akan tetapi, mereka juga menggunakan nash baik yang terdapat dalam Al-Quran seperti QS. Yunus ayat 5 dan QS. Al-Isra ayat 12 seperti yang telah penulis cantumkan di atas.

Dalam kitab-kitab tafsir disebutkan bahwa ayat tersebut menerangkan tentang susunan dan hukum yang berlaku di ruang angkasa yang juga menunjukkan akan kekuasaan dan kebesaran Allah SWT dalam mengatur alam semesta dengan harmonis. Dengan ayat ini pula manusia dapat memahami manfaat dari sinar matahari dan cahaya bulan, malam untuk beristirahat dan siang hari untuk mencari penghidupan (bekerja) dan melakukan perjalanan. Juga ditetapkan pada masing-masing benda langit itu garis edar masing-masing sehingga memudahkan manusia dalam menghitung dan mengetahui bilangan tahun, bulan, hari, dan seterusnya yang pada akhirnya manusia dapat membuat

32 Maskufa, Ilmu Falak, cet. I, (Ciputat: Gaung Persada Press, 2009), h.152. 33 Maskufa, Ilmu Falak, h.155.

27

perencanaan bagi diri, keluarga dan masyarakat dalam menjalani hidup dan kehidupannya sebagai anggota masyarakat dan hamba Allah SWT.

Selanjutnya, dengan ayat ini manusia berdasarkan pada adanya peredaran bulan dan matahari yang tetap dan harmonis dapat mengetahui perhitungan tahun, bulan dan hari. Manusia juga dapat melakukan perhitungan terhadap waktu shalat, waktu berpuasa, dan berhari raya dan waktu pelaksanaan haji sehingga kewajiban- kewajiban agama itu dapat dilaksanakan tepat waktu.34 Karena begitu pentingnya untuk menentukan waktu karena berkaitan dengan pelaksanaan ibadah umat

Islam.

C. Pandangan Ulama Madzhab Terkait Penentuan Bulan Qamariyah

Pendapat para fuqaha tentang cara memastikan kemunculan hilal Ramadhan dan Syawwal berkisar di antara tiga kemungkinan, yaitu dengan terlihatnya hilal oleh khalayak ramai, oleh dua orang Muslim yang adil (berperangai baik), dan oleh satu pria adil.

1. Madzhab Hanafi

Jika langit cerah, untuk menentukan tibanya bulan Ramadhan dan hari Idul

Fitri, hilal harus terlihat oleh khalayak ramai. Pengukuran jumlah mereka diserahkan kepada pemimpin negara (menurut pendapat paling shahih). Syarat terlihatnya hilal oleh khalayak ramai adalah karena mathla‟ hanya satu ditempat itu, sementara tidak ada penghalang (mendung, misalnya), mata semua orang sehat, dan mereka semua berkeinginan untuk melihat hilal. Sehingga, dalam kondisi seperti ini, jika hanya satu orang di antara khalayak yang melihat hilal, ini

34 Maskufa, Ilmu Falak, h.154..

28

jelas menunjukkan kekeliruan penglihatannya. Pada waktu menyampaikan kesaksian, masing-masing dari khalayak ini mesti mengucapkan “aku bersaksi”.35

Adapun jika langit tidak cerah karena mendung atau badai debu misalnya, maka terlihatnya hilal cukup dipastikan dengan persaksian seorang Muslim yang adil (berbudi luhur), berotak waras, dan balig atau persaksian seorang Muslim yang tidak diketahui budi pekertinya (menurut pendapat yang shahih), baik laki- laki maupun perempuan, merdeka maupun hamba sahaya, sebab ini adalah perkara keagamaan, sehingga ia mirip dengan periwayatan hadits. Dalam kondisi ini orang tersebut tidak disyaratkan orang tersebut mengucapkan “aku bersaksi”.

Dalam masalah ini seseorang boleh memberi kesaksian berdasarkan persaksian orang lain. Jadi, dia boleh memberi kesaksian di depan hakim berdasarkan kesaksian seseorang yang telah melihat hilal.

Barang siapa telah melihat hilal sendirian, dia harus berpuasa meskipun penguasa tidak menerima kesaksiannya. Seandainya dia tidak berpuasa, dia wajib mengqadha, tapi tidak wajib membayar kafarat.

Informasi yang diberikan oleh pakar hisab dan astrologi tidak boleh dipegang, sebab ia bertentangan dengan syariat Nabi kita. Alasannya, meskipun hasil perhitungan hisab itu benar, kita hanya diperintahkan oleh syariat untuk berpuasa hanya berdasarkan rukyatul hilal dengan cara biasa.36

2. Madzhab Maliki

Hilal Ramadhan dipastikan kemunculannya melalui rukyat dengan tiga cara berikut.

35 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid. 3 Penerjemah Abdul Hayyie al- Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2011), h.50. 36 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, , h.51.

29

a. Hilal terlihat oleh khalayak ramai, meskipun mereka tidak berbudi

luhur. Khalayak ramai disini orang-orang dalam suatu jumlah yang

menurut kebiasaan tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta.

Mereka tidak harus disyaratkan laki-laki, merdeka, atau berbudi luhur. b. Hilal terlihat oleh dua orang atau lebih yang berbudi luhur. Persaksian

mereka memastikan tibanya hari puasa dan hari Idul Fitri, baik pada

waktu mendung maupun cuaca cerah. “Orang yang berbudi luhur”

adalah laki-laki merdeka, balig, dan berotak waras, yang tidak pernah

melakukan dosa besar dan tidak terus-menerus melakukan dosa kecil,

serta tidak melakukan perkara yang mengurangi kewibawaan. Dengan

demikian, tidak wajib puasa pada waktu cuaca mendung jika yang

melihat hilal hanya satu pria yang berbudi luhur, atau satu wanita, atau

dua wanita (menurut pendapat yang masyhur), tapi orang yang melihat

hilal itu wajib berpuasa. Boleh memberi kesaksian berdasarkan

kesaksian dua pria berbudi luhur, apabila berita kedua pria tersebut

dinukil oleh dua orang dari masing-masing mereka. Dalam pernyataan

yang disampaikan oleh dua pria berbudi luhur atau oleh orang yang

menukil pernyataan mereka, tidak harus dipakai ungkapan “aku

bersaksi”.37 c. Hilal terlihat oleh satu orang yang berbudi luhur. Jika demikian, hari

puasa dan Idul Fitri sudah pasti bagi orang ini. Dengan demikian,

penguasa tidak boleh menetapkan kemunculan hilal berdasarkan

37 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h.51.

30

penglihatan satu orang saja yang berbudi luhur. Orang ini tidak

diharuskan laki-laki dan tidak pula harus merdeka. Adapun jika yang

melihat hilal tersebut adalah si penguasa sendiri, maka wajib berpuasa

dan berhari raya Idul Fitri (bagi semua orang).

Adapun hilal Syawal dipastikan kemunculannya jika telah terlihat oleh khalayak ramai yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta dan informasi mereka memberikan pengetahuan yang pasti, atau jika telah terlihat oleh dua orang yang berbudi luhur, sebagaimana halnya dalam pemastian kemunculan hilal

Ramadhan.

Hilal tidak dapat dipastikan kemunculannya berdasarkan ucapan astrolog

(orang yang bisa memperkirakan masa depan berdasarkan posisi bintang), baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain, sebab syariat mengaitkan puasa, Idul

Fitri, dan haji dengan “terlihatnya” hilal, bukan dengan “kemunculan” jika di asumsikan bahwa ucapan astrolog tersebut benar. Jadi, kita tidak boleh dan tidak diperintahkan untuk beramal dengan berpedoman kepada perhitungan ilmu falak, meskipun hasil perhitungannya benar.38

3. Madzhab Syafi’i

Kemunculan hilal (untuk Ramadhan, Syawal, maupun bulan yang lain) bagi masyarakat umum dipastikan dengan penglihatan satu orang yang berbudi luhur,39 meskipun orang ini tidak dikenal, baik langit cerah ataupun tidak, dengan syarat bahwa orang yang melihat tersebut berbudi luhur, Muslim, balig, berakal, merdeka, laki-laki, dan menggunakan kalimat “Aku bersaksi”. Dalil mereka:

38 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h.52. 39 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jil.2 Penerjemah Khairul Amru Harahap, dkk (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012), h.221.

31

Suatu ketika Ibnu Umar r.a. melihat hilal lalu dia melapor kepada Rasulullah

SAW, kemudian Rasulullah berpuasa dan memerintahkan orang-orang berpuasa.

Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan hadits tersebut:

ظاء أػشاتٜ إىٚ اىْثٜ صيٚ َّللا ػيٞٔ ٗعيٌ فقو: إّٜ سأٝد َٕله سٍعاُ، فقو: أذشٖذ أُ َل إىٔإَل َّللا ؟ قاه: ؼٌّ، قاه: أذشٖذ أُ ؽٍَذا سع٘ه َّللا ؟ قاه: ؼٌّ، قاه: ٝا تَله، أرُ فٜ اىْظ فيٞصٍ٘٘ا غذا40 Artinya: Seorang Arab Badui menghadap Rasulullah SAW lalu berkata, “saya telah melihat hilal Ramadhan!” Beliau bertanya, “Apakah kau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah ?” orang itu menjawab, “Ya.” Beliau bertanya lagi, “Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul Allah?” Dia menjawab, “Ya.” Beliau lantas bersabda, “Hai Bilal, umumkan kepada semua orang agar mereka berpuasa besok”.(Tirmidzi, Hadits No. 627).

Jika kita telah berpuasa berdasarkan informasi terlihatnya hilal oleh seorang yang berbudi luhur, namun kita masih belum melihat hilal (Syawal) padahal sudah tiga puluh hari kita puasa, maka kita harus menghentikan puasa (berhari raya Idul

Fitri) menurut pendapat yang paling shahih, meskipun langit cerah, sebab jumlah hari dalam bulan itu sudah sempurna tiga puluh, sesuai dengan hujjah Syafi‟i.41

4. Madzhab Hambali

Untuk memastikan kemunculan hilal Ramadhan, dapat diterima perkataan seseorang mukalaf yang berbudi luhur, secara zahir dan bathin, baik dia pria maupun wanita, merdeka maupun budak, meskipun dia tidak mengucapkan “Aku bersaksi bahwa aku sudah melihat hilal.” Jadi, tidak dapat diterima perkataan seseorang mumayiz dan orang yang tidak diketahui perangainya. Sebab, ucapannya tidak bisa diyakini kebenarannya, baik dalam cuaca mendung maupun cerah, meskipun orang yang melihat itu berada di kerumunan orang banyak dan

40 Dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan Hakim. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Lihat juga Lidwa Pustaka i-Software, Kitab Sembilan Imam, Kitab Tirmidzi No. 627. 41 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h.53.

32

hanya dia seorang yang melihatnya. Jika penguasa menetapkan suatu keputusan berdasarkan kesaksian satu orang, keputusan itu wajib dilaksanakan masyarakat.

Jadi, siapapun mendengar dari mulut seseorang yang berbudi luhur, maka dia harus berpuasa. Orang yang melihat hilal tidak wajib memberitahukannya kepada orang-orang atau melapor kepada qadhi atau pergi ke masjid. Wajib puasa atas orang yang tidak diterima kesaksiannya akibat kefasikan atau faktor lain, berdasarkan hadits, ”Berpuasalah jika kalian melihat hilal Ramadhan.” Tapi, dia tidak boleh mengakhiri puasa Ramadhan (berhari raya Idul Fitri) kecuali bersama khalayak ramai. Sebab, tibanya hari Idul Fitri tidak bisa dipastikan kecuali dengan kesaksian dua orang yang berbudi luhur. Jika dia melihat hilal Syawal sendirian, dia tidak boleh berhari raya Idul Fitri. Selain itu, ada kemungkinan dia keliru, juga dia bisa dicurigai ingin cepat-cepat mengakhiri puasa. Jadi, wajib ber-ikhtiyath.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tidak wajib berpuasa dengan berpedoman kepada perhitungan ilmu perbintangan, meskipun perhitungan ini sering benarnya. Sebab, hal ini tidak mempunyai landasan dalil syar‟i.

Apabila orang-orang telah berpuasa berdasarkan kesaksian dua orang selama tiga puluh hari kemudian mereka masih tidak melihat hilal (Syawal), hendaklah mereka mengakhiri puasa (berhari raya Idul Fitri), baik cuaca mendung maupun cerah. Namun, mereka tidak boleh mebghentikan puasa jika mereka telah berpuasa selama tiga puluh hari berdasarkan kesaksian satu orang saja. Sebab, ini adalah masalah penghentian puasa, maka tidak boleh didasarkan pada ucapan satu orang.

33

Jika mereka telah berpuasa selama 28 hari kemudian melihat hilal, meraka hanya wajib mengqadha puasa satu hari. Jika mereka berpuasa karena cuaca mendung, debu, atau asap misalnya, mereka tidak boleh menghentikan puasa.

Sebab, puasa tersebut tadinya dilakukan sebagai ihtiyath.42

Kesimpulannya: untuk memastikan kemunculan hilal Ramadhan dan

Syawal, madzhab Hanafi mensyaratkan terlihatnya hilal oleh khalayak ramai apabila cuaca cerah, tapi cukup hanya terlihat oleh satu orang yang berbudi luhur apabila cuaca mendung dan sejenisnya. Sedangkan madzhab Maliki, mengharuskan terlihatnya hilal oleh dua orang atau lebih yang berbudi luhur.

Mereka berpendapat pula bahwa terlihatnya hilal oleh satu orang yang berbudi luhur cukup bagi orang yang tidak berkepentingan dengan urusan kemunculan hilal.

Terlihatnya hilal oleh satu orang yang berbudi luhur adalah cukup, meskipun orang itu tidak diketahui perangainya menurut madzhab Syafi‟i, tapi tidak cukup jika orang itu tidak diketahui perangainya menurut madzhab Hambali.

Disamping itu, menurut madzhab Hambali dan Maliki, untuk memastikan tibanya

Idul Fitri, hilal Syawal harus terlihat oleh dua orang yang berbudi luhur. Menurut madzhab Hanafi dan Hambali, kesaksian wanita dapat diterima, tetapi menurut madzhab Maliki dan Syafi‟i, kesaksiannya tidak dapat diterima.43

42 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h.54. 43 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h.56. Lihat juga Muhammad Jawad Mughniyah, Al- „ala a-Madzhab al-Khamsah Penerjemah Masykur A.B., dkk, (Jakarta: Lentera, 1999). h.170-173.

34

Praktek hisab dan rukyat di Indonesia pada umumnya berpedoman kepada pendapat madzhab Syafi‟i karena mayoritsa dari penduduk Indonesia yang beragama Islam menganut Madzhab Syafi‟i.

BAB III

PROFIL TAREKAT SYATTARIYAH

A. Sejarah Tarekat Syattariyah

Tarekat Syattariyah sendiri adalah sebuah Tarekat yang dinisbatkan kepada

Syaikh Abdullah al-Syattar (w, 890 H/1485 M). Tarekat tersebut berakar kepada

Tarekat Isyqiyyah di Iran atau Bistamiyyah (asosiasi kepada Yazid al-Bisthami) di

Turki Usmani yang didirikan oleh Syihabuddin Abu Hafs al-Suhrawardi (w, 632

H/1234 M). Sebutan Syattariyah muncul ketika Abdullah al-Syattar mengembangkannya di wilayah India. Penyebaran Syattariyah lebih lanjut mendapatkan momentumnya pada diri Muhammad Ghauts, yang memasukkan elemen-elemen yoga dalam formulasi dzikir Syattariyah dan menghasilkan berbagai karya penting. Pengembangan Syattariyah keluar dari India dilakukan oleh Sibghatullah bin Ruhillah Jamal al-Barwaji (w, 1015 H/1606 M).

Sibghatullah juga merupakan teman karib Fadlullah Burhanpuri (w, 1029 H/1620

M), penulis kitab Taufah al-Mursalah.1

Di tangan Sibghatullah, Tarekat Syattariyah berkembang ke Hijaz, yaitu ketika ia memutuskan tinggal dan membangun ribat di Madinah. Dia dipandang sebagai tokoh yang berhasil memperkenalkan kitab Jawahir al-Khamsah karya

Muhammad Ghauts di kalangan ulama Haramayn. Dua muridnya yang terkemuka adalah Muhammad al-Syinawi dan Ahmad al-Qusyasyi. Melalui mereka berdua

1 Ahwan Fanani, “Ajaran Tarekat Syattariyah dalam Naskah Risalah Shattariyyah Gresik”, Walisongo 20, no.2 (November 2012): h.358.

35 36

terekat Syattariyah berkembang luas, dan melalui al-Qasyasyi, Tarekat tersebut masuk ke Indonesia, melalui Abdurouf Singkel (1024-1105 H/ 1614-1690 M).2

Awal perkembangan Tarekat Syattariyah di wilayah Melayu-Indonesia tidak dapat dipisahkan dari masa kembalinya Abdurrauf al-Sinkili dari Haramayn pada awal paruh kedua abad 17 tepatnya pada tahun 1661 M setahun setelah guru utamanya al-Qusyasyi wafat. Seperti dijelaskan dalam salah satu kitab karangannya, „Umdat al-Muhtajin, al-Sinkili menghabiskan waktu sekitar 19 tahun di Haramayn untuk belajar tentang berbagai ilmu pengetahuan Islam, seperti tafsir, hadis, fikih, tasawuf, kalam, dan lain-lain. Ia belajar berbagai pengetahuan agama tersebut pada tidak kurang dari 15 orang guru, 27 ulama terkenal, dan 15 tokoh mistik kenamaan di Jeddah, Makkah, Madinah, Mokha,

Bait al-Faqih, dan lain-lain. Masa kembalinya al-Sinkili dari Haramayn ini dapat dianggap sebagai awal masuknya Tarekat Syattariyah ke dunia Melayu-Indonesia.

Sejauh ini tidak ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa Tarekat ini telah hadir sebelumnya.3

Di antara murid-murid al-Sinkili, yang paling terkemuka di antaranya adalah Syaikh Burhanuddin dari Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat dan Syaikh

Abdul Muhyi dari Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa barat. Kedua murid al-Sinkili ini berhasil melanjutkan dan mengembangkan silsilah Tarekat Syattariyah, dan menjadi tokoh sentral, di wilayahnya masing-masing. Syaikh Burhanuddin

2 Ahwan Fanani, “Ajaran Tarekat Syattariyah dalam Naskah Risalah Shattariyyah Gresik”, h.358. 3 Oman Fathurrahman, “Tarekat Syattariyah: Memperkuat Ajaran Neosufisme”, dalam Sri Mukyati et.al., Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h.162.

37

menjadi khalifah utama bagi semua khalifah Tarekat Syattariyah di wilayah

Sumatera Barat periode berikutnya.4

Syaikh Burhanuddin Ulakan yang diperkirakan lahir sekitar tahun 1026 H bernama Pono sewaktu kecilnya.5 Sedangkan menurut Dr. Oman Fathurrahman,

M. Hum dalam buku Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia menyebutkan kalau Syaikh Burhanuddin dilahirkan sekitar tahun 1056 H/1646 M. Syaikh

Burhanuddin anak dari Pampak dan ibunya Sukuik yang dilahirkan di Pariangan yang diyakini sebagai daerah asal Minangkabau, setelah itu pindah ke Sintuk,

Lubuk Alung, Pariaman. Sebelum belajar kepada Syaikh Abdurrauf al-Sinkili di

Aceh, diriwayatkan bahwa Pono muda berguru kepada Syaikh „Abdullah „Arif di desa Tapakis, seorang pengembara Arab yang konon juga merupakan murid dari

Syaikh Ahmad al-Qusyasyi di Madinah, dan oleh karenanya dikenal dengan sebutan Syaikh Madinah (Tuanku Madinah).6

Syaikh Madinah menyarankan agar Pono untuk lebih mendalami ajaran agama Islam ke kepada Syaikh Abdurrauf al-Sinkili (Syaikh Kuala). Seruan

Syaikh Madinah dipenuhi oleh Pono. Pada sekitar tahun 1043 H Pono meninggalkan Sintuk, Lubuk Alung berangkat ke Aceh selama kurang lebih 23 tahun. Pada tahun 1066 H Pono meninggalkan Aceh dan kembali ke Kubu

Tanjung Medan, Ulakan dengan diberi gelar oleh Syaikh Abdurrauf dengan

4 Oman Fathurrahman, “Tarekat Syattariyah: Memperkuat Ajaran Neosufisme”, dalam Sri Mukyati et.al., Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, h.163. 5 Arsip Sejarah Ringkas Syekh Burhanuddin yang disahkan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Padang Pariaman tanggal 6 November 2004 di Pariaman. 6Oman Fathurrahman, “Tarekat Syattariyah: Memperkuat Ajaran Neosufisme”, h.167.

38

sebutan Burhanuddin yang berarti Penyuluh agama.7 Setelah itu Syaikh

Burhanuddin menetap dan tinggal serta mengajar agama Islam di Tanjung Medan

Ulakan serta mendirikan pondok/pesantren disana. Selanjutnya Syaikh

Burhanuddin diangkat sebagai khalifah pertama di daerah Minangkabau khususnya di pulau Sumatera Semenanjung Melayu pada umumnya. Beliau wafat pada hari Rabu tanggal 10 Syafar tahun 1111 H dengan usia 85 tahun sehingga sekarang sudah menjadi tradisi bagi jamaah Syattariyah setiap hari Rabu di atas tanggal 10 Syafar setiap tahunnya ke Ulakan Pariaman untuk bersyafar.8

Dari wilayah Sumatera Barat sendiri, al-Sinkili juga diketahui memiliki beberapa murid lain selain Syaikh Burhanuddin. Dalam naskah inilah sejarah ringkas Auliyaullah al-Salihin Syaikh Burhanuddin Ulakan yang

Mengembangkan Agama Islam di Daerah Minangkabau hasil salinan Imam

Maulana Abdul Manaf Amin misalnya, disebutkan bahwa ketika datang ke Aceh,

Syaikh Burhanuddin ditemani oleh empat orang Minangkabau lainnya yang bertemu di jalan dan hendak menuntut ilmu agama ke Aceh. Keempat orang itu adalah Datuk Maruhun Panjang dari Padang Ganting Batusangkar, Syaikh

Tarapang dari Kubung Tiga Belas Solok, Syaikh Mutanasir dari Koto Tangah

Padang, dan Syaikh Buyung Muda dari Bayang Pulut-pulut Bandar Sepuluh.9

7Syaikh Burhanuddin sepanjang hayatnya tidak pernah berkeluarga sehingga dia tidak mempunyai keturunan dan sepeninggalan beliau jabatan khalifahnya turun temurun kepada murid- murid untuk menjaga peninggalan dan warisan beliau. 8 Sejarah Ringkas Syekh Burhanuddin yang disahkan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Padang Pariaman tanggal 6 November 2004 di Pariaman. Lihat juga Harry Iskandar, “Surau Syech Gadang Burhanuddin dan Surau Tinggi Calau”, artikel diakses pada 25 Juli 2016 dari http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/2016/02/02/surau-syech-gadang- burhanuddin-dan-surau-tinggi-calau/. 9Oman Fathurrahman, “Tarekat Syattariyah: Memperkuat Ajaran Neosufisme”, h.163.

39

Perkembangan Tarekat Syattariyah di Sumatera Barat sendiri tampaknya tidak dapat dipisahkan dari institusi surau, yang secara umum telah memainkan peran penting dalam proses transmisi sebagai ilmu pengetahuan Islam. Dalam hal ini, Syaikh Burhanuddin yang kemudian diikuti oleh para khalifah berikutnya bisa dianggap berhasil dalam menyerap potensi lokal dengan memanfaatkan institusi surau, yang dalam masyarakat Minangkabau sejak awal telah berfungsi sebagai rumah tempat tinggal para pemuda setelah akil balig, terpisah dari rumah keluarga yang menjadi tempat tinggal wanita dan anak-anak. Kendati sudah tidak berfungsi lagi sebagai pusat keilmuan Islam seperti pada awal perkembangannya, hingga kini, ribuan surau masih dapat dijumpai di Sumatera Barat. Khususnya di surau- surau tua yang pernah menjadi basis Tarekat, biasanya dijumpai sejumlah kitab keagamaan, baik yang masih ditulis tangan (manuscripts) maupun kitab cetakan.

Khalifah Tarekat Syattariyah setelah Syaikh Burhanuddin Ulakan sendiri tampaknya berjumlah puluhan, sehingga tidak mengherankan jika silsilah Tarekat yang berkembang hingga saat ini bisa melalui jalur yang berbeda-beda. Selain itu, sumber lokal pun ternyata menyebutkan sejumlah nama khalifah yang urut- urutannya agak berbeda satu dengan yang lain. Khalifah-khalifah Syaikh

Burhanuddin Ulakan tersebut, beberapa di antaranya seperti disebutkan dasalm naskah Muballigul Islam (h. 216-218) melanjutkan kepemimpinan Syaikh

Burhanuddin di Surau Tanjung Medan, Ulakan. Mereka adalah:10

1. Syaikh Abdurrahman sebagai khalifah pertama, kemudian dilanjutkan

secara berturut-turut oleh

10 Oman Fathurrahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.115.

40

2. Syaikh Khairuddin;

3. Syaikh Jalaluddin;

4. Syaikh Idris, yang konon juga merupakan kawan dekat Syaikh

Burhanuddin sendiri ketika belajar dengan Syaikh Madinah di Air Sirah

Tapakis;

5. Syaikh Abdul Muhsin, yaitu Tuanku Tapi Pasang yang tinggal di surau

Tangah Padang;

6. Syaikh Habibullah. Pada masa ini, di Tanjung Medan Ulakan terdapat

tiga khalifah yang menjadi pemimpin di surau Tanjung Medan, yakni :

Syaikh Habibullah sendiri, Syaikh Khalidin, yang dikenal dengan

sebutan Tuanku nan Hitam, dan Tuanku Fakih Mansur. Ketiga ulama ini

merupakan murid langsung dari Syaikh Abdul Muhsin;

7. Syaikh Ahmad Qasim;

8. Tuanku Tibarau nan Tuo;

9. Syaikh Abdul Jalil, cucu dari Tuanku Tibarau nan Tuo.

Susunan dan urutan khalifah Syaikh Burhanuddin Ulakan di atas sedikit berbeda dengan susunan yang disebutkan dalam sebuah kertas yang berjudul

Sejarah Ringkas Syekh Burhanuddin yang ditanda tangani oleh Kepala Kantor

Urusan Agama Kabupaten Padang Pariaman, tertanggal 6 November 2004 yang sekarang dipegang oleh Heri Firmansyah TK. Kalifah. Untuk lebih jelasnya inilah

41

susunan khalifah dari Syaikh Burhanuddin Ulakan sampai sekarang. Mereka adalah:11

1. Syaikh Burhanuddin (1066 H – 1111 H )

2. Syaikh Idris (1111 H – 1126 H)

3. Syaikh Abdul Rahman (1126 H – 1137 H)

4. Syaikh Chairuddin (1137 H – 1146 H)

5. Syaikh Jalaluddin (1146 H – 1161 H)

6. Syaikh Abdul Muchsin (1161 H – 1180 H0

7. Syaikh Abdul Hasan (1180 H – 1194 H)

8. Syaikh Khaliluddin (1194 H – 1211 H)

9. Syaikh Habibullah (1211 H - 1231 H)

10. Syaikh Sultan Khusasi ( 1231 H – 1248 H)

11. Syaikh Djafarin (1248 H – 1280 H)

12. Syaikh Muhammad Sani (1280 H – 1311 H)

13. Syaikh Bosai (1311 H – 1366H)

14. Tuanku Barmawi (1366 H – 1424 H)

15. Tuanku Hery Firmansyah (1424 H – Sekarang)

Silsilah Tarekat Syattariyah melalui khalifah Syaikh Burhanuddin Ulakan yang lain tidak kurang kompleksnya. Syaikh Abdurrahman Ulakan Misalnya, memiliki dua orang khalifah, yakni Syaikh Abdul Muhsin Ulakan dan Syaikh

Sultan al-Kisai ibn Habibullah Ulakan. Belakangan, nama yang disebut terakhir merupakan khalifah yang memainkan peran penting dalam penyebaran Tarekat

11 Sejarah Ringkas Syekh Burhanuddin yang disahkan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Padang Pariaman tanggal 6 November 2004 di Pariaman. Lihat juga Oman Fathurrahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau, h.116.

42

Syattariyah di Sumatera Barat, karena melalui dirinya lah muncul sejumlah murid yang mengembangkan Tarekat Syattariyah di berbagai pelosok Minangkabau.

Dari catatan yang dijumpai, Syaikh Sultan al-Kisai ibn Habibullah Ulakan setidaknya memiliki lima orang murid utama, seperti Syaikh Abdul Wahab Calau

Sijunjung yang dijadikan guru oleh Syaikh Supayang Solok. Selain murid dari

Syaikh Sultan al-Kasai ibn Habibullah Ulakan, ia juga pernah berguru langsung kepada Syaikh Abdul Muhsin Ulakan, guru bagi Syaikh Sultan al-Kasai ibn

Habibullah Ulakan sendiri. Syaikh Abdul Wahab ditugaskan gurunya untuk mengembangkan Tarekat Syattariyah di Desa Calau, Sijunjung, hingga ia dikenal dengan sebutan Angku Syaikh Calau atau Inyiak Calau. 12 Syaikh Abdul Wahab

(w. 1869), seorang ulama yang berasal dari Tanjung Bonai Aur, kecamatan

Sumpur Kudus, kabupaten Sijunjung, yang merintis Surau Calau menjadi pusat kecendikiaan ulama-ulama Tarekat Syattariyah pada awal abad ke-19. Syaikh

Abdul Wahab telah menjadi magnet bagi orang-orang dari penjuru negeri untuk datang dan belajar berbagai ilmu keagamaan di Surau Calau.13 Syaikh Abdul

Wahab meninggal dan dikuburkan di Calau, Sijunjung. Hingga kini, pusaranya banyak diziarahi orang, khususnya para penganut Tarekat Syattariyah dari berbagai pelosok di Minangkabau.14

Surau Calau merupakan salah satu di antara puluhan surau Tarekat

Syattariyah yang terdapat di Sumatera Barat. Surau ini terletak di Jorong

Subarang Sukam, Kenagarian Muaro, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten

12 Oman Fathurrahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau, h. 118. 13 Konservasi Naskah Calau artikel diakses pada 29 Juli 2016 http://www.sumbarprov.go.id/details/news/7703 14 Oman Fathurrahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau, h. 118.

43

Sijunjung. Surau ini pada masanya pernah menjadi pusat pengajaran keislaman yang maju, Syaikh Abdul Wahab dalam konteks ini merupakan sosok yang sangat penting, sangat dihormati di daerah Sijunjung dan juga oleh daerah lain di luar

Sijunjung. Hal ini bisa dibuktikan dalam proses ritual basafa. Bukti selanjutnya yang memperkuat bahwa Syaikh Abdul Wahab merupakan tokoh yang penting, disegani dan dihormati adalah dengan ditemukannya ratusan naskah kuno di lokasi Surau Calau.15 Demikianlah sejarah Tarekat Syattariyah dari awal mula munculnya hingga mengalami perkembangan yang sangat pesat di dunia Islam.

B. Perilaku Ibadah Tarekat Syattariyah

Sejak awal munculnya di wilayah India, Tarekat Syattariyah kemudian mengalami reformulasi di Haramayn, dan akhirnya menyebar ke berbagai bagian dunia Islam lain, termasuk di dunia Islam Melayu-Indonesia. Tarekat Syattariyah telah mengalami dan menunjukkan perkembangan yang sangat dinamis dan munculnya sifat dan kecenderungan yang beragam di masing-masing periodenya, baik menyangkut ritual maupun doktrin ajarannya. Diantara doktrin dan ajaran yang masih dilakukan oleh Tarekat Syattariyah di Surau Calau diantaranya:

1. Penegasan dan Aktualisasi Paham Ahlussunah Wal Jamaah

Menurut Angku Ali Umar menyebutkan dalam blog pribadinya, bahwa ulama Syattariyah adalah penganut paham Ahlussunah Wal Jamaah dan menjalankan hukum syariat Islam menurut madzhab Syafi‟i Rahimahullah, paham yang diamalkan selain Ahlussunah Wal Jamaah adalah sesat.16

15 Kadrianto, “Teks Takwim dalam Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan Konteks”, Hantaran FIB UNAND, (2013): h.2. 16 Tk. Ali Umar, “Tesis Ali Umar Bab II”, artikel diakses pada 29 Juli 2016 dari http://ungkuali.blogspot.co.id/2011/01/tesis-ali-umar-bab-ii_20.html?m=1

44

Hal ini yang paling menonjol dalam ekspresi ajaran Tarekat Syattariyah di

Sumatera Barat termasuk Surau Calau di Sijunjung seperti tercermin dalam naskah-naskahnya adalah penegasan bahwa ajaran teologis yang disampaikan oleh

Syaikh Burhanuddin Ulakan bercorak Ahlussunah Wal Jamaah. Hal ini, antara lain, dikemukakan dalam naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di

Minangkabau Semenjak Dahulu Dari Syaikh Burhanuddin Sampai Ke Zaman

Kita Sekarang.

“...Islam yang beliau kembangkan ialah agama Islam yang bermazhab Shafi‟i dan beriktikad Ahlussunah Wal Jamaah...” (h.117).

Dalam literatur Islam, iktikad Ahlussunah Wal Jamaah adalah sebuah faham teologis yang prinsip-prinsip ajarannya sering dihubungkan dengan ajaran- ajaran teologisnya Abu Hasan al-Ash‟ari. Ahlussunah Wal Jamaah sendiri, secara umum berarti “kelompok yang berpegang teguh pada sunnah dan jamaah”. Sesuai dengan namanya, mereka yang menganut faham “sunnah”, atau hadits Nabi, dan

Ijma‟ sebagai pedoman dalam kehidupan beragama. Dengan demikian, kelompok

Muslim yang berfaham Ahlussunah Wal Jamaah setidaknya ada tiga pedoman yang menjadi rujukan dalam beragama mereka: Quran, Hadits Nabi, dan Ijma‟.

Kendati “hanya” menempati urutan ketiga, dalam kenyataannya, ijma‟ seringkali menjadi penentu dalam menjustifikasi sebuah persoalan hukum, terutama jika tidak dikemukakan secara spesifik dalam al-Quran dan hadits Nabi.17

Corak keagamaan seperti inilah yang ditegaskan oleh para penganut Tarekat

Syattariyah di Sumatera Barat sebagai sifat ajaran Islam yang mereka terima dari

Syaikh Burhanuddin Ulakan. Lebih dari itu, secara lebih spesifik lagi, sifat dan

17 Oman Fathurrahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau, h. 126.

45

kecenderungan keberagaman para penganut Tarekat Syattariyah di Sumatera

Barat ini ditambah dengan keharusan menggunakan hisab taqwim dalam menghitung bulan, dan menggunakan metode ru‟yat al-hilal (melihat hilal) dalam menentukan awal bulan Ramadan dan Idul Fitri.

Kecenderungan untuk menganut madzhab Syafi‟i juga patut digarisbawahi, karena dalam kenyataannya, hanya mazhab Syafi‟ilah yang dipraktikkan oleh para penganut terkat Syattariyah. Di antara sifat dan kecenderungan mazhab Syafi‟i yang diakui sebagai satu-satunya mazhab anutan para penganut Tarekat

Syattariyah di Sumatera Barat adalah responnya yang relatif fleksibel dalam menyikapi berbagai dinamika keberagamaan ummat, serta tradisi dan budaya lokal.

Tidak heran kemudian, corak keberagamaan para penganut Tarekat

Syattariyah “didefinisikan” melalui berbagai ritual dan faham keagamaan sebagai berikut:18

1) Melafazkan ushalli dalam niat salat;

2) Wajib membaca basmallah dalam surat al-Fatihah;

3) Membaca doa qunut seraya mengangkat tangan pada salat subuh;

4) Menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri melalui rukyat (melihat

hilal);

5) Melaksanakan salat tarawih sebanyak 20 rakaat dan witir 3 rakaat di

bulan Ramadhan;

6) Mentalkinkan mayat;

18 Oman Fathurrahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau, h. 127.

46

7) Sunat menghadiahkan pahala bacaan bagi orang yang telah mati;

8) Ziarah kubur ke makam Nabi Muhammad SAW dan orang-orang saleh

adalah sunat;

9) Merayakan maulid Nabi Muhammad SAW pada bulan Rabiul Awwal

dengan, antara lain, membaca barjanzi;

10) Sunat berdiri saat membaca barjanzi (ashraqal);

11) Sunat menambah kata “wa bi hamdihi” setelah bacaan subhana rabi al-

azim ketika ruku‟ dan subhana rabi al-a‟la ketika sujud;

12) Sunat menambahkan kata “sayyidina” sebelum menyebut nama

Muhammad;

13) Memperingati kematian mayat (tahlil) hingga hari ketiga, ketujuh, dan

keseratus;

14) Allah memiliki sifat, dan mempelajari sifat Allah yang 20 hukumnya

wajib;

15) Wajib mengganti (qada‟) salat yang tertinggal, baik sengaja maupun

tidak sengaja;

16) Dianjurkan mempelajari tasawuf dan tarekat;

17) Sunat membaca zikir la ilaha illa Allah berjamaah setelah salat wajib;

18) Bertawasul ketika berdoa tidak termasuk perbuatan syirik;

19) Menyentuh al-Quran tanpa berwudhu hukumnya haram;

20) Wajib mencuci setiap barang yang disentuh anjing dengan tujuh kali

siraman air dan salah satunya dengan tanah;

47

21) Bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahram

membatalkan wudlu;

22) Orang yang sedang berhadas besar (junub) tidak sah mengerjakan salat

malam sebelum mandi;

23) Azan pertama sebelum sembahyang jumat hukumnya sunat;

24) Salat sunat sebelum salat jumat hukumnya sunat;

25) Menjatuhkan talak ketika istri sedang haid hukumnya sah;

26) Menulis ayat al-Quran dengan huruf latin hukumnya haram;

27) Surga dan neraka itu kekal keduanya;

28) Al-Quran itu bersifat qadim;

29) Alam bersifat baru (muhdath);

30) Talak yang dijatuhkan tiga kali sekaligus berarti jatuh talak tiga.

Dari butiran-butiran di atas, tampak jelas rumusan identitas keberagamaan para penganut Tarekat Syattariyah di Sumatera Barat maupun yang di Surau

Calau ini sangat khas dengan bernuansa lokal, kendati beberapa ritual di antaranya juga terdapat dalam tradisi beragama dalam komunitas Muslim lain, seperti dalam tradisi masyarakat Nahdatul Ulama (NU) misalnya.

Menurut Tuanku Ali Umar menuliskan bahwa amalan yang selalu di pegang oleh ulama Syattariyah secara berurutan adalah:19

a) Menetapkan awal Ramadhan dan Syawal dengan rukyat al-hilal;

b) Menetapkan rukyat al-hilal dengan hisab takwim khamsiyah;

c) Shalat tarawih 20 raka‟at dengan 10 kali salam;

19 Tk. Ali Umar, “Tesis Ali Umar Bab II”, artikel diakses pada 29 Juli 2016 dari http://ungkuali.blogspot.co.id/2011/01/tesis-ali-umar-bab-ii_20.html?m=1.

48

d) Shalat witir 3 raka‟at dengan 2 kali salam;

e) Melafadzkan niat sedikit sebelum takbir;

f) Membaca do‟a iftitah;

g) Membaca basmallah dalam al-Fatihah dan ayat ketika shalat;

h) Tasbih pada rukuk dan sujud 3 kali;

i) Qunut di raka‟at kedua shalat subuh setelah rukuk;

j) Tasbih dan dzikir setelah shalat fardhu;

k) Khutbah Jum‟at dan dua hari raya dengan bahasa Arab;

l) Dzikir, do‟a dan bacaan Qur‟an bermanfaat bagi orang mukin yang

mati;

m) Talqin;

n) Berharum-harum sebelum pembacaan do‟a arwah, do‟a qurban, dan

do‟a aqiqah dengan membakar kemenyan;

o) Ziarah kuburan Nabi SAW dan ulama;

p) Tawassul;

q) Menutup kepala bagi laki-laki waktu shalat;

r) Membesarkan maulid Nabi SAW dengan syair Syarafal Anam;

s) Madzhab Syafi‟i;

t) Bai‟ah.

2. Ritual Basapa

Basapa adalah sebuah ritual dalam bentuk ziarah secara serentak ke makan

Syaikh Burhanuddin Ulakan di Padang Sigalundi Ulakan. Kendati Syaikh burhanuddin Ulakan adalah tokoh ulama Tarekat Syattariyah, tetapi dalam acara

49

basapa ini, mereka yang hadir tidak dari penganut Tarekat Syattariyah saja, melainkan juga masyarakat Muslim pada umumnya. Dapat dipastikan bahwa ritual basapa ini dilakukan untuk menghormati Syaikh Burhanuddin Ulakan yang dianggap telah berjasa dalam penyebaran Tarekat Syattariyah khususnya, dan

Islam pada umumnya. Ziarah bersama ini dilakukan pada hari Rabu setelah tanggal 10 Safar,20 dan oleh karena jatuh pada bulan Safar inilah ritual tersebut dinakaman basapa (bersafar). Penentuan acara basapa setelah tanggal 10 Safar sendiri berkaitan dengan hari yang diyakini sebagai tanggal wafatnya Syaikh

Burhanuddin Ulakan, yaitu 10 Safar 1111 H/ 1691 M.21

Pelaksanaan ritual basapa umumnya diisi dengan tiga kegiatan utama, yaitu: pertama, ziarah dan berdoa di makan Syaikh Burhanuddin Ulakan; kedua, salat, baik salat wajib maupun sunnat; ketiga, zikir. Kendati dari awalnya dimaksudkan untuk beribadah semata, akan tetapi, bagi sebagian kalangan, beberapa praktik ritual yang dilakukan oleh para pengikut Tarekat Syattariyah ketika basapa ini sudah dianggap berlebihan dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Di antara ritual yang banyak mengundang kritik tersebut adalah: sesajen yang ditaruh di atas kuburan, salat di atas kuburan, menjadikan air yang sudah ditaruh di atas kuburan sebagai obat yang dapat menyembuhkan, dan beberapa lainnya.22

Jamaah Tarekat Syattariyah yang berada di Surau Calau Sijunjung sampai saat ini masih menjalankan dan mengamalkan beberapa praktik ajaran Tarekat

20 Kadrianto, “Teks Takwim dalam Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan Konteks”, Hantaran FIB UNAND, (2013): h.2. 21 Oman Fathurrahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau, h. 130. Lihat juga Arsip Sejarah Ringkas Syekh Burhanuddin yang disahkan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Padang Pariaman tanggal 6 November 2004 di Pariaman. 22 Oman Fathurrahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau, h. 131.

50

Syattariyah, seperti salat berjamaah yang dilakukan selama 40 hari tanpa terputus sampai akhir bulan Ramadhan atau yang disebut dengan sebutan “salat 40 hari”, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, peringatan Israk Mi‟raj dan penentuan awal bulan Arab dengan menggunakan hisab takwim. Surau Calau merupakan pusat dari penentuan awal bulan Ramadhan untuk daerah Sijunjung dan menjadi rujukan bagi daerah-daerah di sekitarnya. Di surau ini dilakukan “mancaliak bulan” pada waktu tertentu dan dapat untuk memutuskan masuknya Ramadhan dan Syawal.23

Surau Calau sampai saat ini masih menjadi pusat menjalankan kegiatan dan amalan-amalan Tarekat Syattariyah bagi jamaah Tarekat Syattariyah yang berdomisili di sekitar Muaro Sijunjung maupun dari luar Sijunjung seperti dalam hal memutuskan masuknya tanggal satu di bulan Ramadhan dan Syawal.

23 Kadrianto, “Teks Takwim dalam Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan Konteks”, Hantaran FIB UNAND, (2013): h.2.

BAB IV

PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYAH TAREKAT SYATTARIYAH

A. Manuskrip Takwim

Gambar 1.

51 52

اىثاب اىصاّٜ فٜ ٗاظثاخ اىصً٘ ٗعْرٔ ٗاؼنأٍ ػِ اتػ َْٚش سظٜ َّللا ػَْٖا اُ

سع٘ه َّللا صيٚ َّللا ػيٞٔ ٗعيٌ رمش سٍعاُ فقاه َل ذصٍ٘٘ا ؼرٚ ذشٗا اىَٖله َٗل ذفطشٗا

ؼرٚ ذشٗٓ فاُ غٌ ػيٞنٌ فاقذسٗا ىٔ اخشظٔ اىغرح اَل اىرشٍزٛ ٗفٜ سٗاٝح اىثخاسٛ فاُ غٌ

ػيٞنٌ فامَي٘ا اىؼذج شَلشِٞ ٗىَغيٌ ٗاىْغاء ػِٗ اتٜ ٕشٝشج سظٜ َّللا ػْٔ فاُ غٌ ػيٞنٌ

فصٍ٘٘ا شَلشٝ ٍِٞ٘ا اُ غٌ ػيٞنٌ اٛ غطاء شٜء ٍِ عؽاب اٗ غٌ ٗغٞشٓ فيٌ ٝظٖش ػِٗ

ؼضٝفحسظٜ َّللا ػْٔ قاه سع٘ه َّللا صيٚ َّللا ػيٞٔ ٗعيٌ َل ذقذٍ٘ا اىشٖشؼرٚ ذشٗا اىَٖله

اٗذنَي٘ا اىؼذج شٌ صٍ٘٘ا ؼرٚ ذشٗا اىَٖله اٗ ذنَي٘ا اىؼذج اخشظٔ ات٘داٗد ٗاىْغاء. ػِٗ

ػائشحسظٜ َّللا ػْٖا قاىد ماُ سع٘ه َّللا صيٚ َّللا ػيٞٔ ٗعيٌ ٝرؽفظ ٍِ شؼثاُ ٍا َل

ٝرؽفظ ٍِ غٞشٓ شٌ ذصٍ٘٘ا ىشؤٝح سٍعاُ فاُ غٌ ػيٞنٌ ػذ شَلشٝ ٍِٞ٘ا شٌ صاً اخشظٔ

ات٘دٗد ػِٗ اتِ ػثاط سظٜ َّللا ػَْٖا قاه ظاء اػشاتٜ اىٚ اىْثٜ صيٚ َّللا ػيٞٔ ٗعيٌ

فقاه اّٜ ساٝد اىَٖله ْٜؼٝ َٕله سٍعاُ فقاه اذشٖذ اُ َل اىٔ اَل َّللا قاه اذشٖذ اُ ؽٍَذ

سع٘ه َّللا قاه ؼٌّ قاه ٝا تَله ارُ فٜ اىْاط اُ ٝصٍ٘٘ا غذا اخشظٔ اصؽاب اىغِْ ػِٗ

اتػَِشسظٜ َّللا ػَْٖا قاه ذشا اٛ اىْاط اىَٖله فاخثشخ سع٘ه َّللا صيٚ َّللا ػيٞٔ ٗعٌَ

اّٜ ساٝرٔ فصاً ٗاٍش اىْاط تصٞأٍ اخشظٔ ات٘داٗد.

ٗارا اخريف اىْاط فٜ اىؽ٘ه اسظؼ٘ا اىٚ اىٖعشج اىْثٜ صيٚ َّللا ػيٞٔ ٗعيٌ ٗاُ

اخريف فٜ اىٖعشج فشؼ٘ا ؼذٝس ذغٞش امصش اىؼيَاء فاُ اعرٙ٘ فاذثؼ٘ا ٍَا ٝ٘فق ٍِ ػَيٌٖ

ػَاىٌٖ تاىنرة ٗاىؽذٝس ٗق٘ه اىْثٜ صيٚ َّللا ػيٞٔ ٗعيٌ )ػرَادٛ(

ٝعة صً٘ سٍعاُ تامَاه شؼثاُ شَلشٝ ٍِٞ٘ا اٗتشؤٝح اىَٖله. ٍْٖاض: ىٞيح شَلشِٞ

ْٔ.ٍ

53

اىصً٘ ػيٚ ظشتِٞ اؼذَٕا ىثاط اىرقٌٝ٘ واندنيم ٗاىصاّٜ ىثاط انحديث ٗىٝ٘٘افق

اىرقٌٝ٘ اىذىٞو ىثاط اىرقٌٝ٘ ٗى٘ َل ٝ٘افق اىرقٌٝ٘ ٗاىذىٞو ىثاط .اىرْثٔ اىؽذٝس.

اندنيم فمن شهد منكم انشهر فهيصمه.

انحديث: وهى من اول انطهىع انفجر اني غروب انشمس.

اىؽذٝس صٍ٘٘ اىشؤٝرٔ ٗافطشٗ اىشؤٝرٔ فاُ غٌ ػيٞنٌ فامَي٘ اػذج شؼثاُ شَلشِٞ

ٍٝ٘ا .اقْاع.

ٗاىَشاد ىشؤٝح اىَٖله مو تصٞش ٍِ اىشٖ٘س ٗششغ تصٞش قثو ٍِ ػذد ذقٌَٖٝ٘

ٍٝ٘ا.

ٕٗ٘ ٍِ اٗه اىغشٗب اىشَظ اىٚ غي٘ع اىفعش شٞخاىح.

Bab ke-2 tentang kewajiban berpuasa, sunnah-sunnahnya, serta hukum- hukumnya. Dari ibn Umar ra, bahwa Rasulullah SAW mengingatkan tentang

Ramadhan seraya bersabda: “jangan kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal, dan janganlah berbuka (hari raya) hingga kalian melihatnya kembali. Jika kalian ragu maka tetapkanlah oleh kalian akannya”. (dikeluarkan perawi yang eanam kecuali Sunan Turmidzi)1. Dan pada riwayat Bukhari ra “ jika kamu ragu maka sempurnakanlah olehmu jumlah 30” demikian juga terdapat dalam riwayat

Muslim dan Nasa‟i. Dan dari Abi Hurairah ra “ Dan jika kalian ragu maka berpuasalah kalian 30 hari. “jika kalian ragu “ artinya tertutupi oleh sesuatu yaitu awan dan ragu atau tidak tampak. Dari Huzaifah ra Rasulullah bersabda:” janganlah kalian mendahului bulan hingga kalian melihat hilal dan

1 Diantara kitab hadits yang enam kecuali Sunan Tirmidzi adalah Sahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Nasa‟i, Sunan Ibnu Majah, dan Musnad Ahmad.

54

sempurnakanlah bilangan itu kemudian berpuasalah kalian hingga melihat hilal lalu sempurnakanlah bilangan itu (dikeluarkan oleh Abu Daud dan Nasai). Dan dari Aisyah r.a berkata: dulu Rasulullah SAW tidak menjaga bulan-bulan lain sebagaimana ia menjaga Sya‟ban maka berpuasalah kalian apabila telah datang

Ramadhan. Apabila beliau ragu maka beliau menyempurnakan 30 hari lalu berpuasa (H.R Abu Daud). Dari Ibn Abbas semoga Allah SWT meridhai keduanya bahwa telah datang seorang Arab Badui kepada Rasulullah SAW dan berkata : sesunggunya aku telah melihat hilal, yakni hilal Ramadhan, Rasulullah

SAW bersabda: “apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan

Muhammad adalah rasul utusan Allah”, ia berkata : ya : lalu beliau bersabda:”ya

Bilal, serukan kepada manusia agar mereka berpuasa esok hari” (HR Ashab

Sunan). Dari Ibnu Umar semoga Allah meridhoi keduanya :” aku mengabari

Rasulullah bahwa aku telah melihat hilal lalu beliau berpuasa dan memerintahkan manusia berpuasa (HR. Abu Daud).

Apabila manusia berselisih dalam dialog (mengenai kedatangan Ramadhan), kembalilah kalian kepada hijrahnya Nabi SAW dan jika berselisih pula pada pada hijrah Nabi SAW maka ikutilah jumhur ulama, dan jika sama maka ikutilah siapa yang sesuai dengan kitab dan hadis serta perkataan Nabi.

Wajib puasa Ramadhan apabila telah sempurna Sya‟ban 30 hari atau tampaknya hilal pada malam ketiga puluh pertanda masuknya Ramadhan (

Manhaj).

Landasan puasa ada dua: Pertama, pedoman kalender, dalilnya firman Allah

SWT ( barang siapa yang menyaksikan (hilal) diantara kamu maka berpuasalah ).

55

Kedua, landasan hadis sekalipun bersesuaian dengan kalender yakni * dari awal terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari sebagaimana sabda Rasululullah

SAW :”berpuasalah kalian apabila melihat hilal dan berbukalah bila telah melihatnya kembali, jika ragu maka genapkanlah 30 hari”(kitab iqna‟). Sementara dalil yang berpedomankan kalender sekalipun tidak bersesuaian dengan kalender.

Melihat hilal adalah setiap penglihatan pada tiap-tiap bulan dan sarat melihat hilal tersebut adalah sehari sebelum jumlah bilangan takwim mereka. Dan penglihatan itu dimulai dari awal tenggelamnya matahari sampai munculnya fajar syaikhak (fajar sodik).

56

Gambar 2.

57

قاه شٞخْا اىؼاىٌ ػَلٍح اىصَذاّٜ ٍَل اتشإٌٞ اتِ ؼغِ اىن٘ساّٜ ٗغشٝق ؼٍشفح

ؼشٗف اىغْٔ اُ ذطشغ ٍِ ٕعشج اىَصطفٝ٘ح شؼَائٞح شٌ شَاّٞح شٌ ٗاؼذج اىثقٝ ٜقغٌ ػيٚ

ؼشٗف إعض دت٘د فٞؽس اّرٜٖ فٖ٘ ؼشٗف اىغْح فٞعٌ اىؼ ٚشٗف اىشٖش ٝثذاء اىؼذد ٍِ

ًٝ٘ اىخَٞظ فٞؽس اّرٜٖ ٗرىل غشج رىل اىشٖش ٗقاه اٝعا اُ ذطشغ ٍِ اىٖعشج

اىَصطفٝ٘ح شَاّٞح اىثاقٝ ٜقغٌ ػيؼ ٚشٗف إعضدت٘د فٞؽس اّرٖٚ فٖ٘ ؼشٗف اىغْح فٞثذاء

اىؼذد ٍِ ًٝ٘ استغ ٗقاه اٝعا اُ ذطشغ ٍِ اىٖعشج اىَصطفٝ٘ح شَاّٞح اىثاقٝ ٜقغٌ ػيٚ

ؼشٗف إعض دت٘د فٞؽس اّرٜٖ فٖ٘ ؼشٗف اىغْح فٞثذاء اىؼذد ٍِ ًٝ٘ اَلؼذ فؼذد اىخَٞظ

ذاتغ ًٝ٘ اَلستغ ى٘ ًٝ٘ اؼذ فٚ اىغشج.

َٗل ٝع٘ص اُ ؽٝ٘س اىغْح اىؼَرثشج فٜ اىششع ٍثْٞح تاىشؤٝح اىَٖله اىٚ اىغْح اَلٝاً

.. ٍِٗ ؼ٘ىٖا فٖ٘ تذػح اٗ فاعذ ٗظإو ٗظاه َلُ شٖ٘ساىؼشب ؼٍرثشج تاىشؤٝح اَلٕيح

َلتاىشؤٝح اَلتٞاض ىق٘ىٔ ذؼاه فَِ شٖذ ٍْنٌ فيٞصَٔ ٗىق٘ىٔ اىْثٜ صيٚ َّللا ػيٞٔ ٗعيٌ

صٍ٘٘ا ىشؤٝح اىَٖله ٗافطشٗا ىشؤٝرٔ فاُ غٌ ػيٞنٌ فامَي٘ا ػذج شؼثاُ شَلشٝ ٍِٞ٘ا ٍِٗ

ذخاىف ىق٘ه َّللا ٗىق٘ه اىْثٜ صاىٚ َّللا ػيٞٔ ٗعيٌ ػٗئَ فٍٖ٘شدٗد فٚ اىْاسظٌْٖ اىذاٍغ

اىنفاس.

ٗماُ ٍ٘ى٘د ادً ػيٞٔ اىغَلً فٚ خاٍٞظ اٝاً ٍِ اىعؼَح فٜ اىؽَشً فٜ اىغْح اىثاء

ػيٜ اَلصػ فػ ٚذد اَلؼذٝح ٗٗقغ فٜ اخش اىغْح اَلىف ؼط اَلمثشٕٗ٘ ٞػذا َل ظٜؽ فٚ

ًٝ٘ اىعؼَح ػْٗذ تؼط اىؼيَاء ٕٗ٘ اىَشٖ٘س. ّقو مراب اىراسٝخ.

ٝٗع٘ص اترذاء اىؼذد ٍِ اَلؼذ ٗاَلستؼا ٗاىخَٞظ ٗاٍامُ٘ اَلؼذ ظ٘اُ اَلترذاء اىؼذد

ٍْٔ فَلُ ْٜؼٍ اَلؼذ ٗاؼذ ٗىق٘ىٔ صيٚ َّللا ػيٞٔ ٗعيٌ ػذد مصٞش ٝؤخز ٍِ اى٘اؼذ َٗلُ

اترذاء اىخيق ٍِ اَلؼذ اىٝ ًٜ٘ اىعؼَح قاه صاؼة اىؽنٌ ٍِ عٞذٓ ٗاٍامُ٘ اَلستؼا ظ٘اُ

58

اَلترذاء ٍْٔ فَلَُّللا عثؽأّ ٗذؼاىٜ خيق اىْ٘ساٛ ّ٘س ّثْٞا ؽٍَذ صيٚ َّللا ػيٞٔ ٗعيٌ فٚ

ًٝ٘ اَلستؼا ٗاٍامُ٘ اىخَٞظ ظ٘اُ اَلترذاء اىؼذد ٍْٔ فَلُ َّللا عثؽأّ ٗذؼاىٚ خيق دٗاتٖا

ؼٗٗشٖا ٗظَٞغ ٍافٖٞا فٍٞ٘ٝ ِٚ َٕٗا اىخَٞظ ٗاىعؼَح ٗخيق ادً فٝ ًٜ٘ اىعؼَح اخش

اىخيق فٚ اخشعاػح ٍِ عاػاخ اىعؼَح . ّقو ٍِ اىفراٙٗ.

ٝعة صً٘ سٍعاُ تاعرنَاه شؼثاُ شَلشٝ ٍِٞ٘ا ٗاُ ماّد اعَاء ٍطثقح تاىغٌٞ اٗسؤٝح

ػذس ٗاؼذا َٕله ىٞيح اىصَلشِٞ. ٍِٗ شنش صً٘ تاعرنَاه شؼثاُ شَلشٝ ٍِٞ٘ا ػَذ اىغَاء.

Syeikh Alamah Shamadani Mala Ibrahim ibn Hasan al-Kulani pernah berkata: cara mengetahui “huruf sanah” atau angka tahunan, dengan menguragi hijrah Al-Musthafawiyyah Sya‟maniyyah (Nabi Muhammad SAW) kemudian

ا ٕ ض ص د ب ٗ د ditambah dengan delapan hari selanjutnya dibagi dengan huruf maka hasilnya adalah “huruf sanah”, huruf sanah tersebut mencakup huruf bulan yang dimulai dengan menghitung dari hari Kamis sampai habis. Beliau juga berpendapat bahwa dikurangi dari hijrahnya Al-Musthafawiyyah Sya‟maniyyah

sekira-kira ا ٕ ض ص د ب ٗ د Nabi Muhammad SAW) dan membagi bulan-bulan) berakhir yaitu bulan dari bulan hijriyah, dengan bilangan yang dimulai dari hari

Rabu. Dan beliau juga berpendapat bahwa dikurangi dari hijrahnya Nabi SAW

sekira-kira berakhir yaitu bulan-bulan ا ٕ ض ص د ب ٗ د dan membagi bulan-bulan dari bulan hijriyah dengan bilangan yang dimulai dari hari Minggu maka menghitung hari Kamis mengikuti hari Rabu maupun Minggu.

Tidak boleh berselisih dan bersaing dalam syariat tentang rukyatul hilal dalam menentukan hari... Hal itu adalah bid‟ah, kerusakan, kebodohan, dan kesesatan karena bulan-bulan Arab yang benar adalah berdasarkan penglihatan

59

hilal-hilal, sebagaimana firman Allah :” siapa yang melihat (hilal) diantara kamu maka berpuasalah”. Sabda Nabi SAW : „‟ berpuasalah kalian dengan melihat hilal dan berbukalah bila melihatnya kembali, jika kalian ragu genapkanlah jumlah

Sya‟ban 30 hari . barang siapa yang berselisih dari firman Allah dan sabda baginda Nabi SAW sementara dia tau dan menolak, tempatnya neraka Jahannam bersama orang kafir .

Nabi Adam as lahir pada hari kelima –Juma‟at pada bulan Muharram, pada tahun (ba) dalam riwayat paling shahih dalam bilangan Uhud kejadian tersebut terjadi pada akhir tahun 1000 haji besar yaitu Idul Adha yang terjadi pada hari

Jumat menurut sebagian ulama ini yang masyhur.

Boleh memulai bilangan dari hari Minggu, Rabu dan Kamis. Adapun eksistensi Minggu (Ahad) kebolehan memulai bilangan darinya karena Ahad adalah satu, sabda Nabi Muhammad SAW “ Jumlah yang banyak diambil untuk perhitungan adalah Ahad dan karena penciptaan makhluk bermula dari hari Ahad sampai hari Kamis “. Shabih Hakam dari tuannya berkata: adapun kebolehan memulai hari Rabu karena Allah swt menciptakan segala cahaya (nur) Nabi

Muhammad saw pada hari Rabu. Adapun eksistensi bolehnya dimulai pada hari

Kamis karena Allah swt menciptakan hewan-hewan melata dan isi perutnya dan seluruh yang ada padanya selama dua hari yaitu hari Kamis dan Jumat dan menciptakan Adam pada hari Jumat, akhir makhluk yang diciptakanpun hari

Jumat.

Wajib berpuasa Ramadhan apabila telah menyempurnakan Sya‟ban 30 hari sekalipun langit tidak terlihat dengan jelas atau tampak jelas saat hilal pertama

60

dimalam ke-30 dan siapa yang ragu berpuasa saat telah sempurnanya sya‟ban 30 hari ketika muncul hilal dilangit, tidak boleh berpuasa berlandaskan telah melihat hilal sebelum terbenamnya matahari.

61

Gambar 3.

62

Dalam naskah ini ditulis dengan menggunakan bahasa Arab dan Melayu yang berisi tulisan yang menjelaskan tentang tahun Hijriyah yang di tulis disisi kanan atas naskah sampai ke bagian bawah yang ditulis secara vertikal dengan menggunakan bahasa Arab dan Melayu yang berbunyi:

“Adapun Hijriyah sekarang kini pada tahun dari hari seribu dua ratus enam puluh satu tahun”.

Dalam naskah terdapat huruf tahun yang terdiri dari 9 kolom, kolom 3,5,7, dan 9 ditulis dengan tinta yang berwarna merah yang ditulis secara terbalik.

Sedangkan kolom 2, 4, 6, dan 8 ditulis dengan tinta berwarna hitam.

ا ٓ ض ص د ب ٗ د

4 6 2 4 7 3 5 1

Muharam Sabtu Senin Kamis Sabtu Selasa Jum‟at Minggu Rabu ص

Shafar Senin Rabu Sabtu Senin Kamis Minggu Selasa Jum‟at ب

Rabi‟awal Selasa Kamis Minggu Selasa Jum‟at Senin Rabu Sabtu ض

Rabi‟akhir Kamis Sabtu Selasa Kamis Minggu Rabu Jum‟at Senin ٓ

Jmd awal Jum‟at Minggu Rabu Jum‟at Senin Kamis Sabtu Selasa ٗ

Jmd akhir Minggu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Sabtu Senin Kamis ا

Rajab Senin Rabu Sabtu Senin Kamis Minggu Selasa Jum‟at ب

Rabu Jum‟‟at Senin Rabu Sabtu Selasa Kamis Minggu Sya‟ban

63

د

Ramadhan Kamis Sabtu Selasa Kamis Minggu Rabu Jum‟at Senin ٓ

Syawal Sabtu Senin Kamis Sabtu Selasa Jum‟at Minggu Rabu ص

Zulkaedah Minggu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Sabtu Senin Kamis ا

Zulhijah Selasa Kamis Minggu Selasa Jum‟at Senin Rabu Sabtu ض

64

Gambar 4.

65

Dalam naskah ini terdapat 9 kolom, kolom 2, 4, 6, 8 ditulis dengan tinta berwarna hitam yang ditulis secara terbalik, sedangkan kolom 1, 3, 5, 7, dan 9 ditulis dengan menggunakan tinta berwarna merah. Naskah ini menjelaskan tentang kalender hijriyah yang memulai perhitungan hari dengan hari Minggu dengan menggunakan bahasa Arab.

ا ٓ ض ص د ب ٗ د

4 6 2 4 7 3 5 1

Muharam Rabu Jum‟at Senin Rabu Sabtu Selasa Kamis Minggu ص

Shafar Jum‟at Minggu Rabu Jum‟at Senin Kamis Sabtu Selasa ب

Rabi‟awal Sabtu Senin Kamis Sabtu Selasa Jum‟at Minggu Rabu ض

Rabi‟akhir Senin Rabu Sabtu Senin Kamis Minggu Selasa Jum‟at ٓ

Jmd awal Selasa Kamis Minggu Selasa Jum‟at Senin Rabu Sabtu ٗ

Jmd akhir Kamis Sabtu Selasa Kamis Minggu Rabu Jum‟at Senin ا

Rajab Jum‟at Minggu Rabu Jum‟at Senin Kamis Sabtu Selasa ب

Sya‟ban Minggu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Sabtu Senin Kamis د

Ramadhan Senin Rabu Sabtu Senin Kamis Minggu Selasa Jum‟at ٓ

Syawal Rabu Jum‟at Senin Rabu Sabtu Selasa Kamis Minggu ص

66

Zulkaedah Kamis Sabtu Selasa Kamis Minggu Rabu Jum‟at Senin ا

Zulhijah Sabtu Senin Kamis Sabtu Selasa Jum‟at Minggu Rabu ض

67

Gambar 5.

68

Naskah yang kelima ini ditulis dengan menggunakan bahasa Arab dan

Arab Melayu, didalamnya terdapat tulisan dari pojok kanan atas sampai pojok kiri atas berisikan: “Adapun hijrah sekarang kini seribu dua ratus tiga puluh tujuh salapan selapan puluh tahun sembilan ...”. Sedangkan tulisan yang terdapat di sisi kiri naskah yang ditulis dari atas kebawah secara vertikal menjelaskan tentang wafatnya tuanku di Sijunjung yang berbunyi: “Inilah wafatnya Tuanku di

Sijunjung pada bulan Rabiul Awal pada tiga hari bulan pada tahun bersampai sepuluh tahun wafatnya Tuanku di Pingin pada bulan Rabiul Akhir lima belas hari bulan pada tahun Wa, Alif, Ba.”

Dalam naskah ini juga terdapat kalender tahun Hijriyah dengan memulai perhitungan hari dengan Hari Kamis yang terdiri dari 9 kolom, kolom 1, 3, 5, 7, 9 ditulis dengan tinta merah yang ditulis secara terbalik kecuali pada kolom 1, sedangkan kolom 2, 4, 6, 8 ditulis dengan tinta berwarna hitam. Kalender ditulis dengan menggunakan bahasa Arab.

ا ٓ ض ص د ب ٗ د

4 6 2 4 7 3 5 1

Muharam Minggu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Sabtu Senin Kamis ص

Shafar Selasa Kamis Minggu Selasa Jum‟at Senin Rabu Sabtu ب

Rabi‟awal Rabu Jum‟at Senin Rabu Sabtu Selasa Kamis Minggu ض

Rabi‟akhir Jum‟at Minggu Rabu Jum‟at Senin Kamis Sabtu Selasa ٓ

Sabtu Senin Kamis Sabtu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Jmd awal

69

ٗ

Jmd akhir Senin Rabu Sabtu Senin Kamis Minggu Selasa Jum‟at ا

Rajab Selasa Kamis Minggu Selasa Jum‟at Senin Rabu Sabtu ب

Sya‟ban Kamis Sabtu Selasa Kamis Minggu Rabu Jum‟at Senin د

Ramadhan Jum‟at Minggu Rabu Jum‟at Senin Kamis Sabtu Selasa ٓ

Syawal Minggu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Sabtu Senin Kamis ص

Zulkaedah Senin Rabu Sabtu Senin Kamis Minggu Selasa Jum‟at ا

Zulhijah Rabu Jum‟at Senin Rabu Sabtu Selasa Kamis Minggu ض

Naskah takwim yang terdapat di Surau Calau ini ditulis dengan menggunakan bahasa Arab dan Arab Melayu. Adapun jenis kertas yang digunakan adalah kertas Eropa dengan ukuran 24 x 18 cm, ukuran teks 14 x 8 cm.

Naskah ini bersampul kulit dengan kondisi sampul baik. Tinta yang digunakan tinta berwarna hitam dan merah. Halaman ke-3, ke-4, dan ke-5 dari naskah terdapat hitungan kalender Hijriyah yang ditulis dengan menggunakan hitam dan merah yang terdiri dari sembilan kolom.2 Dalam kitab ini tidak semuanya yang membahas tentang teks takwim sebagian besar naskah sudah rusak dengan keadaan tinta yang mengembang.

2 Kadrianto, “Teks Takwim dalam Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan Konteks”, Hantaran FIB UNAND, (2013): h.5.

70

B. Metode Penentuan Awal Bulan Hijriyah

Salah satu ciri amalan yang dilaksanakan oleh jamaah Tarekat Syattariyah yang terdapat di Sumatera Barat adalah keharusan untuk melakukan hisab takwim yang diajarkan oleh Syaikh Burhanuddin Ulakan (1646-1699) yang beliau dapatkan selama berguru kepada Syaikh Abdurrauf bin Ali Pansuri (1615-1693) yang silsilahnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW.3

Pengamalam hisab takwim dikalangan Tarekat Syattariyah Surau Calau sudah berlangsung secara turun-temurun. Penganut Tarekat Syattariyah di Surau

Calau mengamalkan hisab takwim untuk menentukan tanggal satu bulan hijriyah, dengan mempedomani hisab takwim untuk memulai praktik ajaran Tarekat

Syattariyah seperti: Sholat ampek puluah, puasa bulan Rajab, penentuan awal

Ramadhan atau Syawal dan lain sebagainya.4

Menurut Umar Sl. Tgk. Mudo alasan penganut Tarekat Syattariyah masih menggunakan takwim dalam menentapkan awal bulan hijriyah adalah karena mengikuti sunnah Nabi dan silsilahnya yang sampai kepada Nabi Muhammad

SAW. berikut ini adalah silsilah takwim Tarekat Syattariyah Surau Calau

Sijunjung:5

1. Nabi Muhammad SAW

2. Saidina Ali Karimallahu wajha

3. Hasan AlBasri

4. Syekh Abibul „Ajmi

3 Umar Sl. Tgk. Mudo, Risalah Nurul Amaliah, h. 12. 4 Kadrianto, “Teks Takwim dalam Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan Konteks”, Hantaran FIB UNAND, (2013): h.9. 5 Wawancara dengan Umar Sl. Tgk. Mudo 15 Februari 2016.

71

5. Syekh Daud Tho-i

6. Syekh Abi Yazid Bustami

7. Syekh Ma‟aruf Alkarkhi

8. Syekh Abi Bakar‟Ali Raudul Bari

9. Syekh Abi„Ali Alkhatib

10.Syekh Usman Maghribi

11.Syekh Abi Qosim Alkarkani

12.Syekh Abi Ali Alpari Huda

13.Syekh Yusuf Hamdani

14.Syekh Abdul Khaliq Al‟Adawani

15.Syekh Abi Bakar Nasaji

16.Syekh Ghazari

17.Syekh Abi Annaju

18.Syekh Umar Ilyas

19.Syekh Najmudin Alkari

20.Syekh Majiduddin Albaghdadi

21.Syekh‟Ula Uddin

22.Syekh „Ulawatus Sumani

23.Syekh Syekh Syahul Qarahi

24.Syekh Saidi ali Hamdani

25.Syekh Ahmad Qusyasy Ahli syathari

26.Syekh Abdul Rauf bin Ali Panshuri

27.Syekh Burhanuddin ulakan

28.Syekh Abdul Muhib

29.Syekh Ahmad Shoghir Ahli Taqwim.

72

Adapun dasar hukum dari hisab takwim yang digunakan oleh penganut

Tarekat Syattariyah Surau Calau adalah berdasarkan hadits Nabi Muhammad

SAW, diantaranya:6

ػِ تخاسٛ ٍٗغيٌ ٗغٞشٌٕ قاه اىْثٜ صيٚ َّللا ػيٞٔ ٗعيٌ ػَٗو اىْثٜ صيٚ َّللا ػيٞٔ ٗعيٌ ؼٝرَذ تاىرقٌٝ٘ فٜ ادساك اىغْٔ َل تشؤٝح اىَٖله )فٜ اىنراب اص٘اب اىؽغاب( Artinya: dari Bukhari dan Muslim dan Tarmizi dan lainya: Berkata Nabi saw “Amalan Nabi saw itu berpegang dengan takwim dalam memperdapat (menghitung) setahun, tidak dengan melihat hilal.

اػيٌ ٕزا ذقٌٝ٘ إو عْح ٗاىعؼَح Artinya: Ketahuilah Bahwa taqwim itu pakaian kaum Ahlul sunah wal jamaah. قاه اىخيفاء ٗاىغيفاءاىغْح اىؼَرثشج ذؤخز تاىرقٌٝ٘ Artinya: Berkata ulama khalaf dan salaf : Tahun yang dimashurkan diambil dari hisab taqwim (Mizan qurub /Syekh Abdul Khaliq). Proses perhitungan awal bulan hijriyah dengan menggunakan hisab takwim dilakukan dengan berdasarkan kepada huruf tahun dan huruf bulan. Berikut ini tabel dari huruf tahun menurut hari bilangan para sahabat dan imam:

Tabel 1

ات٘ اؼذ ٓ ب ص د ا ٗ ض ا

تنش Minggu

ػَش اشِْٞ د ا ٗ ض ص ٓ ب ص

Senin

ػصَاُ شَلز ض ص ٓ ب ٗ د ا ٗ

Selasa

ٍيل استغ ب ٗ د ا ٓ ض ص ٓ

Rabu

6 Umar Sl. Tgk. Mudo, Risalah Nurul Amaliah, h. 4.

73

ػيٜ خَٞظ ا ٓ ض ص د ب ٗ د شافٜؼ Kamis

ؼْفٜ ظؼَح ص د ب ٗ ض ا ٓ ض

Jum‟at

ؼَثاىٜ عثد ٗ ض ا ٓ ب ص د ب

Sabtu

Dari tujuh macam huruf tahun menurut masing-masing sahabat dan imam di atas Surau Calau mengamalkan perhitungan huruf tahun yang digunakan oleh Ali dan Syafi‟i dengan memulai huruf tahun dengan huruf Alif, Ha, Ja, Za, Da, Ba,

Wa, Da, dengan memulai perhitungan hari dari hari Kamis yaitu yang berpedoman kepada ketetapan bahwa 1 Muharram tahun 1 Hijriyah jatuh pada hari Kamis. Hal ini dapat dilihat pada tabel hisab takwim yang akan dipaparkan dibawah ini. Berikut ini adalah kalender hijriyah yang digunakan oleh penganut

Tarekat Syattariyah di Surau Calau dalam melakukan hisab takwim:7

Tabel 2.

Huruf Nama ا ٓ ض ص د ب ٗ د 4 6 2 4 7 3 5 1 Bulan Bulan ؽٍشاً 7/ص خَٞظ اشِْٞ عثد استغ اؼذ ظؼَح شَلز اؼذ Minggu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Sabtu Senin kamis Muharam صفش 2/ب عثد استغ اشِْٞ ظؼَح شَلز اؼذ خَٞظ شَلز Selasa Kamis Minggu Selasa Jum‟at Senin Rabu Sabtu Shafar ستٞغ اَلٗه 3/ض اؼذ خَٞظ شَلز عثد استغ اشِْٞ ظؼَح استغ Rabu Jum‟at Senin Rabu Sabtu Selasa Kamis Minggu Rabi‟awal ستٞغ اَلخٞش 5/ٓ شَلز عثد خَٞظ اشِْٞ ظؼَح استغ اؼذ ظؼَح Jum‟at Minggu Rabu Jum‟at Senin kamis Sabtu Selasa Rabi‟akhir ظَاد اَلٗه 6/ٗ استغ اؼذ ظؼَح شَلز عثد خَٞظ اشِْٞ عثد Sabtu Senin Kamis Sabtu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Jmd awal

7 Umar Sl. Tgk. Mudo, Risalah Nurul Amaliah, h. 12. Lihat juga Nandi Pinto, “Pemahaman Hadis Ru‟yat al-Hilal Menurut Ulama Syattariyah Ulakan Padang Pariaman”, Mannasa Ulunnuha 3, no.2 (Oktober 2014): h.203.

74

ظَاد اَلخٞش 1/ا ظؼَح شَلز اؼذ خَٞظ اشِْٞ عثد استغ اشِْٞ Senin Rabu Sabtu Senin Kamis Minggu Selasa Jum‟at Jmd akhir سظة 2/ب عثد استغ اشِْٞ ظؼَح شَلز اؼذ خَٞظ شَلز Selasa Kamis Minggu Selasa Jum‟at Senin Rabu Sabtu Rajab شؼثاُ 4/د اشِْٞ ظؼَح استغ اؼذ خَٞظ شَلز عثد خَٞظ Kamis Sabtu Selasa Kamis Minggu Rabu Jum‟at Senin Sya‟ban سٍعاُ 5/ٓ شَلز عثد خَٞظ اشِْٞ ظؼَح استغ اؼذ ظؼَح Jum‟at Minggu Rabu Jum‟at Senin Kamis Sabtu Selasa Ramadhan ش٘اه 7/ص خَٞظ اشِْٞ عثد استغ اؼذ ظؼَح شَلز اؼذ Minggu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Sabtu Senin Khamis Syawal رٗا اىقؼذج 1/ا ظؼَح شَلز اؼذ خَٞظ اشِْٞ عثد استغ اشِْٞ Senin Rabu Sabtu Senin Kamis Minggu Selasa Jum‟at Zulkaedah رٗا اىؽعح 3/ض اؼذ خَٞظ شَلز عثد استغ اشِْٞ ظؼَح استغ Rabu Jum‟at Senin Rabu Sabtu Selasa Kamis Minggu Zulhijah

Tahap pertama yang harus dilaksanakan dalam hisab takwim adalah mencari huruf tahun, yaitu dengan berpedoman kepada huruf tahun lahir Nabi, huruf tahun

Hijrah Nabi dan huruf tahun wafat Nabi Muhammad SAW Misalnya mencari huruf tahun hijriyah berdasarkan hari lahir Nabi Muhammad SAW, caranya adalah tahun hijriyah dibagi dengan delapan sebagaimana banyaknya jumlah dari huruf tahun sampai habis dan tidak bisa dibagi lagi dengan angka 8, dan sisa dari pembagian itu yang akan kita jadikan patokan dalam perhitungan mencari huruf tahun tersebut, dan berapa sisanya tadi di hitung dari huruf tahun lahir Nabi

8.ه Muhammad SAW yaitu huruf

Berikut ini adalah cara mencari huruf tahun 1437 H dengan berpatokan kepada huruf tahun lahir Nabi Muhammad SAW:9

8 Wawancara dengan Umar Sl. Tgk. Mudo 15 Februari 2016. 9 Wawancara dengan Umar Sl. Tgk. Mudo 15 Februari 2016. Lihat juga Nandi Pinto, “Pemahaman Hadis Ru‟yat al-Hilal Menurut Ulama Syattariyah Ulakan Padang Pariaman”, Mannasa Ulunnuha 3, no.2 (Oktober 2014): h.204. Lihat juga Kadrianto, “Teks Takwim dalam Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan Konteks”, Hantaran FIB UNAND, (2013): h.11.

75

ا ٕ ض ص د ب ٗ د

8 1437 = 179 8 63 56 77 72 5

Huruf Tahun + Huruf Bulan = Jumlah Total Ba (2) Ha (5) 7

(Jumlah Sisa pembagian (Ramadhan) Catatan: untuk menentukan hari 1437 H/8 dihitung dari dihitung dari hari Kamis. huruf Ha.)

Tabel 3.

Huruf Nama ا ٓ ض ص د ب ٗ د 4 6 2 4 7 3 5 1 Bulan Bulan ؽٍشاً 7/ص خَٞظ اشِْٞ عثد استغ اؼذ ظؼَح شَلز اؼذ Minggu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Sabtu Senin kamis Muharam صفش 2/ب عثد استغ اشِْٞ ظؼَح شَلز اؼذ خَٞظ شَلز Selasa Kamis Minggu Selasa Jum‟at Senin Rabu Sabtu Shafar ستٞغ اَلٗه 3/ض اؼذ خَٞظ شَلز عثد استغ اشِْٞ ظؼَح استغ Rabu Jum‟at Senin Rabu Sabtu Selasa Kamis Minggu Rabi‟awal ستٞغ اَلخٞش 5/ٓ شَلز عثد خَٞظ اشِْٞ ظؼَح استغ اؼذ ظؼَح Jum‟at Minggu Rabu Jum‟at Senin kamis Sabtu Selasa Rabi‟akhir ظَاد اَلٗه 6/ٗ استغ اؼذ ظؼَح شَلز عثد خَٞظ اشِْٞ عثد Sabtu Senin Kamis Sabtu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Jmd awal ظَاد اَلخٞش 1/ا ظؼَح شَلز اؼذ خَٞظ اشِْٞ عثد استغ اشِْٞ Senin Rabu Sabtu Senin Kamis Minggu Selasa Jum‟at Jmd akhir سظة 2/ب عثد استغ اشِْٞ ظؼَح شَلز اؼذ خَٞظ شَلز Selasa Kamis Minggu Selasa Jum‟at Senin Rabu Sabtu Rajab شؼثاُ 4/د اشِْٞ ظؼَح استغ اؼذ خَٞظ شَلز عثد خَٞظ Kamis Sabtu Selasa Kamis Minggu Rabu Jum‟at Senin Sya‟ban سٍعاُ 5/ٓ شَلز عثد خَٞظ اشِْٞ ظؼَح استغ اؼذ ظؼَح Jum‟at Minggu Rabu Jum‟at Senin Kamis Sabtu Selasa Ramadhan

76

ش٘اه 7/ص خَٞظ اشِْٞ عثد استغ اؼذ ظؼَح شَلز اؼذ Minggu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Sabtu Senin Khamis Syawal رٗا اىقؼذج 1/ا ظؼَح شَلز اؼذ خَٞظ اشِْٞ عثد استغ اشِْٞ Senin Rabu Sabtu Senin Kamis Minggu Selasa Jum‟at Zulkaedah رٗا اىؽعح 3/ض اؼذ خَٞظ شَلز عثد استغ اشِْٞ ظؼَح استغ Rabu Jum‟at Senin Rabu Sabtu Selasa Kamis Minggu Zulhijah

Jadi, untuk menentukan huruf tahun yang harus diperhatikan disini adalah angka 5, caranya memulai hitungan dari huruf tahun lahirnya Nabi Muhammad

SAW yaitu huruf Ha, maka yang menjadi huruf tahunnya adalah Ba. Setelah huruf tahun diketahui, langkah selanjutnya adalah mencari tanggal satu bulan

Ramadhan yaitu dengan cara menjumlahkan titik huruf tahun dengan titik huruf

adalah 2 titik dan jumlah titik Ramadhan (Ha) adalah ب bulan. Jumlah titik huruf

5, jadi 2 + 5 = 7.

Mencari huruf tahun dengan berpatokan kepada huruf tahun Hijrah Nabi caranya adalah tahun hijriyah dikurang dengan lama hidup Nabi di Makkah yaitu selama 53 tahun maka hasilnya dibagi dengan 8 dan sisa dari pembagian itu

10.و dihitung dari dari huruf tahun Hijrah Nabi Muhammad SAW yaitu huruf

ا ٕ ض ص د ب ٗ د 1437-53

8 1384 = 17 8 58 56 24

10 Wawancara dengan Umar Sl. Tgk. Mudo 15 Februari 2016. Lihat juga Nandi Pinto, “Pemahaman Hadis Ru‟yat al-Hilal Menurut Ulama Syattariyah Ulakan Padang Pariaman”, Mannasa Ulunnuha 3, no.2 (Oktober 2014): h.204. Lihat juga Kadrianto, “Teks Takwim dalam Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan Konteks”, Hantaran FIB UNAND, (2013): h.11.

77

Huruf Tahun + Huruf Bulan = Jumlah Total Ba (2) Ha (5) 7

(Jumlah Sisa pembagian (Ramadhan) Catatan: untuk menentukan hari 1384 H/8 dihitung dari dihitung dari hari Kamis. huruf Wa.)

Tabel 4. Huruf Nama ا ٓ ض ص د ب ٗ د 4 6 2 4 7 3 5 1 Bulan Bulan ؽٍشاً 7/ص خَٞظ اشِْٞ عثد استغ اؼذ ظؼَح شَلز اؼذ Minggu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Sabtu Senin kamis Muharam صفش 2/ب عثد استغ اشِْٞ ظؼَح شَلز اؼذ خَٞظ شَلز Selasa Kamis Minggu Selasa Jum‟at Senin Rabu Sabtu Shafar ستٞغ اَلٗه 3/ض اؼذ خَٞظ شَلز عثد استغ اشِْٞ ظؼَح استغ Rabu Jum‟at Senin Rabu Sabtu Selasa Kamis Minggu Rabi‟awal ستٞغ اَلخٞش 5/ٓ شَلز عثد خَٞظ اشِْٞ ظؼَح استغ اؼذ ظؼَح Jum‟at Minggu Rabu Jum‟at Senin kamis Sabtu Selasa Rabi‟akhir ظَاد اَلٗه 6/ٗ استغ اؼذ ظؼَح شَلز عثد خَٞظ اشِْٞ عثد Sabtu Senin Kamis Sabtu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Jmd awal ظَاد اَلخٞش 1/ا ظؼَح شَلز اؼذ خَٞظ اشِْٞ عثد استغ اشِْٞ Senin Rabu Sabtu Senin Kamis Minggu Selasa Jum‟at Jmd akhir سظة 2/ب عثد استغ اشِْٞ ظؼَح شَلز اؼذ خَٞظ شَلز Selasa Kamis Minggu Selasa Jum‟at Senin Rabu Sabtu Rajab شؼثاُ 4/د اشِْٞ ظؼَح استغ اؼذ خَٞظ شَلز عثد خَٞظ Kamis Sabtu Selasa Kamis Minggu Rabu Jum‟at Senin Sya‟ban سٍعاُ 5/ٓ شَلز عثد خَٞظ اشِْٞ ظؼَح استغ اؼذ ظؼَح Jum‟at Minggu Rabu Jum‟at Senin Kamis Sabtu Selasa Ramadhan ش٘اه 7/ص خَٞظ اشِْٞ عثد استغ اؼذ ظؼَح شَلز اؼذ Minggu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Sabtu Senin Khamis Syawal رٗا اىقؼذج 1/ا ظؼَح شَلز اؼذ خَٞظ اشِْٞ عثد استغ اشِْٞ Senin Rabu Sabtu Senin Kamis Minggu Selasa Jum‟at Zulkaedah رٗا اىؽعح 3/ض اؼذ خَٞظ شَلز عثد استغ اشِْٞ ظؼَح استغ Rabu Jum‟at Senin Rabu Sabtu Selasa Kamis Minggu Zulhijah

Menentukah huruf tahun dengan patokan huruf hijrah Nabi sisa pembagian

24 dihitung dari huruf Wa maka yang menjadi huruf tahunnya adalah Ba .

Langkah selanjutnya adalah mencari tanggal satu bulan Ramadhan yaitu dengan

78

cara menjumlahkan titik huruf tahun dengan titik huruf bulan. Jumlah titik huruf

Ba adalah 2 titik dan jumlah titik Ramadhan (Ha) adalah 5, jadi 2 + 5 = 7.

Mencari huruf tahun dengan huruf tahun wafat Nabi caranya sama dengan mencari huruf tahun dengan menggunakan huruf Hijrah Nabi, hanya saja tahun hijriyah dikurangi dengan umur Nabi Muhammad SAW yaitu 63 tahun, baru dibagi 8 sampai habis dan sisanya dihitung dari huruf wafat Nabi Muhammad

11.ا SAW yaitu huruf

ا ٕ ض ص د ب ٗ د 1374=1437-63

8 1374 = 171 8 57 56 14 8 6

Huruf Tahun + Huruf Bulan = Jumlah Total Ba (2) Ha (5) 7

(Jumlah Sisa pembagian (Ramadhan) Catatan: untuk menentukan hari 1437 H/8 dihitung dari dihitung dari hari Kamis. huruf Alif.)

11 Wawancara dengan Umar Sl. Tgk. Mudo 15 Februari 2016. Lihat juga Nandi Pinto, “Pemahaman Hadis Ru‟yat al-Hilal Menurut Ulama Syattariyah Ulakan Padang Pariaman”, Mannasa Ulunnuha 3, no.2 (Oktober 2014): h.204. Lihat juga Kadrianto, “Teks Takwim dalam Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan Konteks”, Hantaran FIB UNAND, (2013): h.11.

79

Tabel 5.

Huruf Nama ا ٓ ض ص د ب ٗ د 4 6 2 4 7 3 5 1 Bulan Bulan ؽٍشاً 7/ص خَٞظ اشِْٞ عثد استغ اؼذ ظؼَح شَلز اؼذ Minggu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Sabtu Senin kamis Muharam صفش 2/ب عثد استغ اشِْٞ ظؼَح شَلز اؼذ خَٞظ شَلز Selasa Kamis Minggu Selasa Jum‟at Senin Rabu Sabtu Shafar ستٞغ اَلٗه 3/ض اؼذ خَٞظ شَلز عثد استغ اشِْٞ ظؼَح استغ Rabu Jum‟at Senin Rabu Sabtu Selasa Kamis Minggu Rabi‟awal ستٞغ اَلخٞش 5/ٓ شَلز عثد خَٞظ اشِْٞ ظؼَح استغ اؼذ ظؼَح Jum‟at Minggu Rabu Jum‟at Senin kamis Sabtu Selasa Rabi‟akhir ظَاد اَلٗه 6/ٗ استغ اؼذ ظؼَح شَلز عثد خَٞظ اشِْٞ عثد Sabtu Senin Kamis Sabtu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Jmd awal ظَاد اَلخٞش 1/ا ظؼَح شَلز اؼذ خَٞظ اشِْٞ عثد استغ اشِْٞ Senin Rabu Sabtu Senin Kamis Minggu Selasa Jum‟at Jmd akhir سظة 2/ب عثد استغ اشِْٞ ظؼَح شَلز اؼذ خَٞظ شَلز Selasa Kamis Minggu Selasa Jum‟at Senin Rabu Sabtu Rajab شؼثاُ 4/د اشِْٞ ظؼَح استغ اؼذ خَٞظ شَلز عثد خَٞظ Kamis Sabtu Selasa Kamis Minggu Rabu Jum‟at Senin Sya‟ban سٍعاُ 5/ٓ شَلز عثد خَٞظ اشِْٞ ظؼَح استغ اؼذ ظؼَح Jum‟at Minggu Rabu Jum‟at Senin Kamis Sabtu Selasa Ramadhan ش٘اه 7/ص خَٞظ اشِْٞ عثد استغ اؼذ ظؼَح شَلز اؼذ Minggu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Sabtu Senin Khamis Syawal رٗا اىقؼذج 1/ا ظؼَح شَلز اؼذ خَٞظ اشِْٞ عثد استغ اشِْٞ Senin Rabu Sabtu Senin Kamis Minggu Selasa Jum‟at Zulkaedah رٗا اىؽعح 3/ض اؼذ خَٞظ شَلز عثد استغ اشِْٞ ظؼَح استغ Rabu Jum‟at Senin Rabu Sabtu Selasa Kamis Minggu Zulhijah

Menentukan huruf tahun berdasarkan huruf wafat Nabi sisa pembagiannya adalah 6 kemudian dihitung dari huruf Alif maka yang menjadi huruf tahunnya adalah Ba. Mencari tanggal satu bulan Ramadhan yaitu dengan cara menjumlahkan titik huruf tahun dengan titik huruf bulan. Jumlah titik huruf Ba adalah 2 titik dan jumlah titik Ramadhan (Ha) adalah 5, jadi 2 + 5 = 7.

80

Metode hisab takwim dengan berpatokan kepada tiga cara diatas maka hasil dari perhitungannya adalah sama yaitu huruf tahun 1437 H adalah huruf Ba.

Sedangkan untuk menentukan harinya adalah huruf tahun ditambahkan huruf bulan yaitu 2+5=7, lalu dihitung secara berurutan dari hari Kamis, maka satu

Ramadhan 1437 H menurut hisab takwim jatuh pada hari Rabu.

Setelah tanggal satu pada bulan Ramadhan ditemukan, proses selanjutnya mancaliak bulan yang dilakukan pada hari Selasa malam Rabu untuk benar-benar memastikan kalau malam itu hilal sudah terlihat. Mancaliak bulan atau ru‟yat al- hilal adalah patokan bagi penganut Tarekat Syattariyah untuk memulai puasa atau berhari raya bukan dengan hisab takwim karena berdasarkan beberapa dalil diantaranya:12

فَِ شٖذ ٍْنٌ اىشٖش فيٞصَٔ Artinya: barang siapa yang memandang hilal (bulan) maka wajiblah baginya berpuasa (Q.S. Al-Baqarah:185). صٍ٘٘ا ىشؤٝرٔ ٗافطشٗا ىشؤٝرٔ فاُ غٌ ػيٞنٌ فامَي٘ا ػذج شؼثاُ شَلشٝ ٍِٞ٘ا )سٗآ اىثخاسٛ ٍٗغيٌ( Artinya: Berpuasalah kamu karena melihat hilal(bulan)dan berbukalah kamu karena melihat hilal(bulan), jika hilal ditutupi atasmu maka sempurnakanlah olehmu akan bilangan sya‟ban tiga puluh hari(RH.Bukhari dan Muslim). قاه اىْثٜ ص ً َلذقذٍ٘ا شٖش ؼرٚ ذشٗ اىَٖله اٗ ذنَو اىؼذج )سٗآ ات٘ داٗد ٗاىْغاء( Artinya:Jangan kamu dahului bulan itu hingga kamu melihat hilal atau menyempurnakan bilangan.(HR.Abu Daud dan Nisa-i)

قاه اىْثٜ ص ً ارا سأٝرٌ اىَٖله فصٍ٘٘ا ٗارا سأٝرَ٘ٓ فافطشٗا فاُ غٌ ػيٞنٌ فصٍ٘٘ا شَلشِٞ )سٗآ ٍغيٌ ٗ اؼَذ(. Artinya: Berkata nabi saw,Apabila telah melihat kamu akan hilal maka puasalah kamu dan apabila telah melihat pula kamu akan dia hilal maka berbukalah kamu (berhari raya) maka jika hilal itu ditutupi atasmu maka puasalah kamu akan tiga puluh hari.(HR.Muslim dan Ahmad).

12 Wawancara dengan Umar Sl. Tgk. Mudo 15 Februari 2016.

81

Proses mancaliak bulan biasanya dihadiri oleh penganut Tarekat Syattariyah baik yang berasal dari Surau Calau maupun dari surau-surau di sekitarnya yang mengirimkan masing-masing utusannya ke Surau Calau. Mancaliak bulan dilakukan di Surau Calau atau tempat yang tinggi seperti di Bukik Gadang, dan tempat yang tinggi lainya. Apabila hilal terlihat dengan jelas di Surau Calau maka keesokan harinya sudah di tetapkan sebagai tanggal 1 Ramadhan begitu juga dengan penetapan hari raya Idul Fitri dan bagi daerah-daerah yang jauh dari Surau

Calau akan dikabarkan dengan melalui surat yang ditandatangani serta di sahkan oleh Angku Calau dan Niniak Mamak. Apabila hilal tidak terlihat di Surau Calau namun terlihat di daerah lain maka akan dilaksanakan sidang untuk mengambil sumpah atas kebenaran dari kesaksian orang yang melihat hilal tersebut.

Sebelum pengambilan sumpah orang yang menyaksikan hilal terlebih dahulu disuruh untuk berwudhu. Sumpah dipimpin langsung oleh Umar SL

Tuanku Mudo13 dengan bertanya langsung kepada orang yang menyaksikan hilal seperti kapan hilal terlihat, berapa lama, jarak hilal dari bukit serta kemanakah arah telengnya hilal. Apabila berhasil dijawab dan bisa diterima oleh pengikut sidang maka orang tersebut akan disumpah dengan menggunakan al-Quran di atas kepalanya dengan mengucapkan kata-kata sumpah dan dia benar-benar telah melihat akan hilal. Setelah pengambilan sumpah selesai maka Angku Umar SL

Tuanku Mudo selaku pembimbing sidang langsung mengeluarkan ketetapan bahwa besoknya telah jatuh tanggal satu Ramadhan dengan di tanda-tangani oleh pengurus yang lain beserta Niniak Mamak di daerah Muaro dan dilanjutkan

13 Umar SL Tuanku Mudo adalah Guru Tarekat Syattariyah di Surau Calau.

82

dengan memukul tabuah dan bagi surau yang terletak jauh dari Surau Calau maka akan dikirimkan pemberitahuan dengan melalui surat ketetapan.

Apabila hilal pada tanggal 29 Sya‟ban tidak terlihat baik di wilayah Surau

Calau maupun di daerah lain, maka bulan Sya‟ban akan digenapkan menjadi 30 hari, walaupun menurut hisab takwim kalau besoknya sudah jatuh tanggal 1

Ramadhan.14 Demikianlah metode yang digunakan oleh Tarekat Syattariyah dalam menentukan awal bulan hijriyah terutama dalam menentukan satu

Ramadhan dan Syawal.

Hisab takwim yang digunakan oleh Tarekat Syattariyah ini berbeda dengan hisab munjid tarekat Naqsabandiyah. Misalnya menetapkan awal Ramadhan 1437

H dengan menggunakan hisab munjid, caranya :

ا ٕ ض ص د ب ٗ د

8 1437 = 179 8 63 56 77 72 5

Huruf Tahun + Huruf Bulan = Jumlah Total Za (7) Ha (5) 12

(Jumlah Sisa pembagian (Ramadhan) Catatan: untuk menentukan hari 1437 H/8 dihitung dari dihitung dari hari Kamis. huruf Da yang ke-2.)

14 Wawancara dengan Umar Sl. Tgk. Mudo 15 Februari 2016.

83

Tabel 6.

Huruf Nama ا ٓ ض ص د ب ٗ د 4 6 2 4 7 3 5 1 Bulan Bulan ؽٍشاً 7/ص خَٞظ اشِْٞ عثد استغ اؼذ ظؼَح شَلز اؼذ Minggu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Sabtu Senin kamis Muharam صفش 2/ب عثد استغ اشِْٞ ظؼَح شَلز اؼذ خَٞظ شَلز Selasa Kamis Minggu Selasa Jum‟at Senin Rabu Sabtu Shafar ستٞغ اَلٗه 3/ض اؼذ خَٞظ شَلز عثد استغ اشِْٞ ظؼَح استغ Rabu Jum‟at Senin Rabu Sabtu Selasa Kamis Minggu Rabi‟awal ستٞغ اَلخٞش 5/ٓ شَلز عثد خَٞظ اشِْٞ ظؼَح استغ اؼذ ظؼَح Jum‟at Minggu Rabu Jum‟at Senin kamis Sabtu Selasa Rabi‟akhir ظَاد اَلٗه 6/ٗ استغ اؼذ ظؼَح شَلز عثد خَٞظ اشِْٞ عثد Sabtu Senin Kamis Sabtu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Jmd awal ظَاد اَلخٞش 1/ا ظؼَح شَلز اؼذ خَٞظ اشِْٞ عثد استغ اشِْٞ Senin Rabu Sabtu Senin Kamis Minggu Selasa Jum‟at Jmd akhir سظة 2/ب عثد استغ اشِْٞ ظؼَح شَلز اؼذ خَٞظ شَلز Selasa Kamis Minggu Selasa Jum‟at Senin Rabu Sabtu Rajab شؼثاُ 4/د اشِْٞ ظؼَح استغ اؼذ خَٞظ شَلز عثد خَٞظ Kamis Sabtu Selasa Kamis Minggu Rabu Jum‟at Senin Sya‟ban سٍعاُ 5/ٓ شَلز عثد خَٞظ اشِْٞ ظؼَح استغ اؼذ ظؼَح Jum‟at Minggu Rabu Jum‟at Senin Kamis Sabtu Selasa Ramadhan ش٘اه 7/ص خَٞظ اشِْٞ عثد استغ اؼذ ظؼَح شَلز اؼذ Minggu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Sabtu Senin Khamis Syawal رٗا اىقؼذج 1/ا ظؼَح شَلز اؼذ خَٞظ اشِْٞ عثد استغ اشِْٞ Senin Rabu Sabtu Senin Kamis Minggu Selasa Jum‟at Zulkaedah رٗا اىؽعح 3/ض اؼذ خَٞظ شَلز عثد استغ اشِْٞ ظؼَح استغ Rabu Jum‟at Senin Rabu Sabtu Selasa Kamis Minggu Zulhijah

Jadi berdasarkan hisab munjid awal Ramadhan 1437 H jatuh pada hari Senin sedangkan menurut hisab takwim 1 Ramadhan 1437 H jatuh pada hari Rabu.

Hisab munjid dan hisab takwim juga memiliki kesamaan yaitu menggunakan kalender dan perhitungan hari yang sama, serta kedua metode hisab ini digolongkan kedalam bentuk hisab “urfi. Namun yang menjadi perbedaannya hanya terletak pada patokan huruf tahun dari perhitungannya, hisab takwim

84

memulai hitungan dari huruf Ha sedangkan hisab munjid memulai hitungan dengan huruf Da yang ke-2.15

C. Analisis Penulis terhadap Takwim Hijriyah

Penggunaan hisab takwim bagi penganut ajaran Tarekat Syattariyah khususnya yang terdapat di Surau Calau, kecamatan Sijunjung telah terjadi sejak lama dan diwariskan secara turun temurun mulai dari Syaikh Abdul Wahab pertama kali mengembangkan ajaran Tarekat Syattariyah di Surau Calau hingga sekarang.

Hisab takwim dilakukan untuk mengetahui awal bulan hijriyah sebagai patokan untuk menjalankan ajaran-ajaran Tarekat Syattariyah seperti memperingati maulid Nabi Muhammad SAW, shalat empat puluh hari, puasa

Ramadhan serta penentuan hari raya Idul Fitri dan lain sebagainya. Ada tiga cara yang digunakan oleh jamaah Tarekat Syattariyah untuk menentukan waktu dalam melaksanakan praktek ajarannya yaitu dengan menghitung tanggal satu dari awal bulan dengan menggunakan huruf tahun dan huruf bulan yang dapat diperoleh dari huruf lahir Nabi, huruf hijrah Nabi, dan huruf wafat Nabi.

Penggunaan hisab takwim bagi penganut Tarekat Syattariyah hanyalah sebagai patokan untuk menentukan waktu kegiatan mancaliak bulan bukan sebagai patokan penentuan awal Ramadhan dan Syawal. Hisab takwim yang dilakukan oleh penganut Tarekat Syattariyah termasuk jenis metode hisab „Urfi yang perhitungannya dilandaskan kepada kaidah-kaidah yang bersifat tradisional

15 Ashma Rimadany, “Comparative Study Between Naqsabandiyah and Syattariyah Congregations In Determining the Beginning of Islamic Lunar Month in West Sumatera Province,” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2016), h. 70-73.

85

dan tetap yang berdasarkan kepada huruf tahun dan huruf bulan,16 bukan dengan menggunakan hisab Hakiki yang metode penentuannya dengan melihat kedudukan bulan pada saat matahari terbenam,17 ijtima‟ bulan, posisi dan keadaan hilal, mencari tinggi hakiki bulan, dan lain sebagainya.

Menentukan kapan jatuhnya awal Ramadhan dan Syawal penganut Tarekat

Syattariyah di Surau Calau harus menggunakan rukyatul hilal bukan menggunakan hisab takwim, karena berdasarkan pemahaman mereka terhadap ayat Al-Quran dan hadits Nabi Muhammad SAW yang terdapat di dalam manuskrip takwim di Surau Calau, diantaranya:

فَِ شٖذ ٍْنٌ اىشٖش فيٞصَٔ Artinya: barang siapa yang memandang hilal (bulan) maka wajiblah baginya berpuasa. (Q.S. al-Baqarah :185) صٍ٘٘ا ىشؤٝرٔ ٗافطشٗا ىشؤٝرٔ فاُ غٌ ػيٞنٌ فامَي٘ا ػذج شؼثاُ شَلشٝ ٍِٞ٘ا Artinya:Berpuasalah kamu karena melihat hilal(bulan)dan berbukalah kamu karena melihat hilal(bulan), jika hilal ditutupi atasmu maka sempurnakanlah olehmu akan bilangan sya‟ban tiga puluh hari(RH.Bukhari dan Muslim)

Kegiatan mancaliak bulan sendiri tidak boleh menggunakan bantuan teknologi dan harus menggunakan mata telanjang. Apabila hilal tidak terlihat oleh mata telanjang karena disebabkan oleh pengaruh cuaca mendung atau debu maka penganut Tarekat Syattariyah khususnya di Surau Calau akan menggenapkan bilangan Sya‟ban menjadi 30 hari. Apabila hilal terlihat dengan menggunakan bantuan teknologi seperti teropong bintang sekalipun maka mereka tetap tidak

16 Maskufa, “Hisab Hakiki Muhammadiyah”, Ahkam X, no. 1 (Maret 2008): h. 119. 17 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, Almanak Hisab Rukyat, cet. III. (Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia, 2010), h. 96.

86

akan menerima hasilnya karena makna rukyatul hilal bagi mereka adalah dengan menggunakan mata telanjang bukan dengan bantuan alat-alat teknologi moderen yang datangnya belakangan.

Berdasarkan uraian penulis dari bab-bab sebelumnya, diantara amalan yang harus dilakukan oleh penganut Tarekat Syattariyah menyebutkan salah satunya adalah keharusan mengikuti ajaran Islam sesuai dengan madzhab Syafi‟i. Dalam menentukan awal bulan khususnya Ramadhan dan Syawal menurut Syafi‟i dari beberapa buku diantaranya, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Fiqih Sunnah, serta Fiqih

Lima Madzhab penulis tidak menemukan adanya pendapat dari madzhab Syafi‟i yang menentang melihat hilal dengan menggunakan bantuan astronomi, ilmu falak atau dengan menggunakan teknologi. Namun madzhab Hanafi, Hanbali, dan

Maliki mereka terang-terangan menentang penetapan Ramadhan dengan bantuan astronomi walaupun sering benarnya, karena menurut mereka puasa Ramadhan dan Syawal harus berdasarkan terlihatnya hilal bukan dengan kemunculan hilal dan tidak sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW.18

Jadi penulis menyimpulkan kalau penganut Tarekat Syattariyah di Surau

Calau tidak sepenuhnya mengikuti ajaran madzhab Syafi‟i dalam hal penentuan awal bulan hijriyah tentang penetapan awal Ramadhan dan Syawal karena mereka menentang menentukan awal Ramadhan dengan bantuan ilmu falak serta peralatan moderen lainnya sedangkan madzhab Syafi‟i tidak memberikan

18 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid. 3 Penerjemah Abdul Hayyie al- Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 50 - 56. Lihat juga Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh „ala a-Madzhab al-Khamsah, PenerjemahMasykur A.B., dkk, (Jakarta: Lentera, 1999). h.170-173. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jil. 2, Penerjemah Khairul Amru Harahap, dkk, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012), h.221.

87

komentar terkait penentuan awal bulan Ramadhan dengan bantuan astrolog, atau dengan menggunakan teknologi.

Praktek rukyat yang dilakukan oleh jama‟ah Tarekat Syattariyah yang terdapat di Surau Calau ini tidak seperti praktek rukyat yang dilakukan oleh ormas-ormas Islam lainnya, seperti NU dan Pemerintah. Misalnya untuk kasus

Ramadhan 1437 H NU dan Pemerintah menetapkan tanggal 6 Juni 2016 sebagai 1

Ramadhan 1437 H, sedangkan Tarekat Syattariyah berdasarkan Takwim yang mereka yakini kebenarannya menetapkan 1 Ramadhan 1437 H pada hari Rabu tanggal 8 Juni 2016 yaitu ada selisih waktu selama dua hari.

Selisih waktu antara Tarekat Syattariyah dengan NU dan Pemerintah dalam menentukan awal Ramdhan serta Syawal adalah karena perbedaan metode yang mereka gunakan. Tarekat Syattariyah sendiri berpedoman kepada metode hisab

„urfi dengan perhitungan dengan menggunakan metode hisab tradisional yang hasilnya bersifat tetap kecuali pada bulan Dzulhijjah pada tahun kabisat berumur

30 hari.19 Pemerintah dan NU menggunakan metode hisab hakiki tahqiqi dan hisab hakiki tadqiqi yang berpedoman kepada koreksi data gerak bulan maupun data gerakan matahari menggunakan rumus-rumus spherical trigonometri sehingga didapat data yang sangat teliti dan akurat dengan bantuan perhitungan alat-alat elektronika moderen.20 Jadi dapat disimpulkan bahwa sebab terjadinya perbedaan dan selisih waktu dari penentuan awal bulan hijriyah baik Ramadhan maupun Syawal antara Tarekat Syattariyah dengan Pemerintah dan NU adalah

19 Maskufa, “Hisab Hakiki Muhammadiyah”, Ahkam X, no. 1 (Maret 2008): h. 128. 20 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, cet. 1 (Yogyakarta: UIN-Malang Pers, 2008), h. 228

88

karena perbedaan metode dan jenis perhitungan dalam menentukan takwim hijriyah itu sendiri.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan uraian serta hasil penelitian yang penulis sajikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Pertama: Landasan yang digunakan oleh penganut Tarekat Syattariyah di Surau Calau tentang penentuan awal bulan hijriyah khususnya penentuan awal Ramadhan dan Syawal berdasarkan kepada dalil-dalil yang kuat seperti Al-Quran dan Sunah Nabi

Muhammad SAW serta dari pemahaman yang mereka terima dari Syaikh-syaikh terdahulu, salah satu buktinya adalah pengamalan mereka terhadap peninggalan berupa manuskrip takwim yang terdapat di Surau Calau kecamatan Sijunjung.

Kedua: Metode penentuan awal bulan hijriyah yang digunakan oleh penganut Tarekat Syattariyah di Surau Calau adalah dengan menggunakan hisab takwim untuk menentukan tanggal satu bulan hijriyah yang perhitungannya berdasarkan huruf tahun dan huruf bulan. Hisab takwim juga digunakan sebagai patokan untuk malakukan kegiatan mancaliak bulan (melihat bulan) bukan sebagai patokan untuk penentuan awal Ramadhan maupun Syawal. Sedangkan untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal harus ditetapkan berdasarkan ru‟yat al-hilal bukan dengan hisab takwim.

B. Saran-saran

1. Penganut Tarekat Syattariyah di Surau Calau hendaklah menerima

perkembangan teknologi untuk mendapat data yang lebih akurat dan

89 90

bisa menggabungkannya dengan takwim hijriyah yang selama ini di

lakukan di Surau Calau tanpa harus menghilangkan tradisi sebelumnya

yang telah dilakukan secara turun-temurun.

2. Para Ilmuwan dan Ulama berkewajiban memberikan penjelasan

mengenai takwim hijriyah yang dilaksanakan di Surau Calau, karena

tidak semua masyarakat mengetahuinya, sehingga ada sebagian

masyarakat yang berpandangan kurang baik terhadap takwim hijriyah di

Surau Calau ini.

3. Bagi seluruh peneliti khususnya mahasiswa hendaklah lebih intens lagi

dalam melakukan penelitian dibidang filologi, untuk mencapai

pemahaman yang tersimpan dibalik manuskrip. Sehingga dapat

memahami dan menganalisa maksud dan tujuan dari manuskrip dan

manjadi sebuah pengetahuan yang bermanfaat dalam kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA

Akhimuddin, Yusri. “[Asal Khilaf Bilangan Takwim]: Relasi Ulama-Ulama di Minangkabau Abad ke-17 dalam Penetapan Awal Ramadhan.” Manassa Manuskripta II. No.1 (2012).

Al Bayan, Shahih Bukhari Muslim, cet. 10. Penerjemah Jabal. Bandung: Jabal, 2013.

Anas, Imam Malik bin. Al Muwaththa‟ Imam Malik. Penerjemah Nur Alim, dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.

Arsip Sejarah Ringkas Syekh Burhanuddin yang disahkan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Padang Pariaman tanggal 6 November 2004 di Pariaman.

Atsqani, Ibnu Hajar. Buluughul Maraam Min Adilatil Ahkaam. Penerjemah Masdar Helmy. Bandung: Gema Risalah Press, 2012.

Azhari, Susiknan. “Penyatuan Kalender Islam: Mendialogkan Wujud Al-Hilal dan Visibilitas Hilal.” Ahkam XIII. No.2 (Juli 2013): h. 157-166.

Dikjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Direktorat Pembinaan Peradilan Agama. Selayang Pandang Hisab Rukyat. Jakarta : Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2004.

Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Kementrian Agama Republik Indonesia. Almanak Hisab Rukyat, cet. III. Jakarta: Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat KEMENAG, 2010.

Fanani, Ahwan. “Ajaran Tarekat Syattariyyah dalam Naskah Risalah Shattariyyah Gresik.” Walisongo 20. No. 2 (November 2012): h. 348-369.

Fathurahman, Oman, dkk. Filologi dan Islam Indonesia, cet. I. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010.

Fathurrahman, Oman. “Tarekat Syattariyyah: Memperkuat Ajaran Neosufisme.” Dalam Sri Mukyati et.al., Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006. h. 152

Fathurrahman, Oman. Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Jakarta: Prenada Media Group, 2008).

91 92

Harry Iskandar, “Surau Syech Gadang Burhanuddin dan Surau Tinggi Calau”, artikel diakses pada 25 Juli 2016 dari http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/2016/02/02/surau-syech- gadang-burhanuddin-dan-surau-tinggi-calau/.

Izzuddin, Ahmad. Fiqih Hisab Rukyat. Jakarta: Erlangga, 2007.

Jamil, A. Ilmu Falak (Teori dan Aplikasi): Arah Qiblat, Awal Waktu, dan Awal Tahun (Hisab Kontemporer), cet. III. Jakarta: Amzah, 2014.

Jawad Mughniyah, Muhammad. Al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Khamsah. Penerjemah Masykur A.B., dkk. Cet. 4. Jakarta: Lentera, 1999.

Kadrianto. “Teks Takwim dalam Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan Konteks.” Hantaran FIB UNAND. (2013). Kementerian Agama Republik Indonesia (KEMENAG). Almanak Hisab Rukyat, cet. III. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam KEMENAG, 2010.

Konservasi Naskah Calau artikel diakses pada 29 Juli 2016 http://www.sumbarprov.go.id/details/news/7703.

Lajnah Falakiah. Pedoman Rukyat dan Hisab Nahdlatul Ulama. Jakarta: Lajnah Falakiah Pengurus Besar NU, 2006.

Lidwa Pustaka. “Kitab Sembilan Imam.” i-Software.

Maskufa. “Hisab Hakiki Muhammadiyah.” Ahkam 10. No. 1 (Maret 2008): h. 118-134.

Maskufa. Ilmu Falak, cet. I. Ciputat: Gaung Persada Press, 2009.

Al-Mundziri, Al-Hafizh „Abdul „Azhim bin „Abdul Qawi Zakiyuddin. Mukhtashar Shahih Muslim. Penerjemah Achmad Zaidun. Jakarta: Pustaka Amani, 2003.

Murtadho, Mohammad. Ilmu Falak Praktis, cet I. Yogyakarta: UIN-Malang Pers, 2008.

Pinto, Nandi. “Pemahaman Hadis Ru‟yat al-Hilal Menurut Ulama Syattariyah Ulakan Padang Pariaman.” Manassa Ulunnuha 3. No. 2 (Oktober 2014):197-207.

Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan,

93

Departemen Agama , Hisab Rukyat dan Perbedaannya. Jakarta: Departemen Agama, 2004.

Al Qurthubi, Syaikh Imam. Tafsir Al Qurthubi, jilid. 15. Penerjemah Muhyiddin Mas Rida, dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.

Al Qurthubi, Syaikh Imam. Tafsir Al Qurthubi, jilid. 8. Penerjemah Budi Rosyadi, dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

Al-Quran surat Al-Baqarah :189, Yunus: 5, Al-Isra‟:12, At-Taubah: 36, Al- Baqarah: 185, Yasin:39.

Rimadany, Ashma “Comparative Study Between Naqsabandiyah and Syattariyah Congregations In Determining the Beginning of Islamic Lunar Month in West Sumatera Province,” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2016).

Saksono, Tono. Mengkompromikan Rukyat dan Hilal. Jakarta: PT. Amythas Publica, 2007.

Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah 2. Penerjemah Khairul Amru Harahab, dkk. Cet. 3. Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012.

Sl. Tgk. Mudo, Umar. Risalah Nurul Amaliah. Muaro, 2010.

Shofiyullah. Mengenal Kalender Lunisolar di Indonesia. Malang : PP. Miftahul Huda, 2006.

Asy-Syaukani, Al Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad. Tafsir Fathul Qadir, jilid. I. Penerjemah Amir Hamzah Fachruddin, Asep Saefullah. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

Ath Thabari, Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir. Tafsir Ath-Thabari, jilid 13. Penerjemah Anshari Taslim, dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.

Ath Thabari, Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir. Tafsir Ath-Thabari, jilid 16. Penerjemah Misbah, dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.

Umar, Tk. Ali, “Tesis Ali Umar Bab II”, artikel diakses pada 29 Juli 2016 dari http://ungkuali.blogspot.co.id/2011/01/tesis-ali-umar-bab-ii_20.html?m=1.

Wawancara dengan Umar Sl. Tgk. Mudo 15 Februari 2016.

Az-Zabidi, Al-Imam Zainudin Ahmad bin Abd Al-Lathif. At-Tajriid Ash-Shariih li Ahaadits Al-Jaami‟ Ash-Shahih. Penerjemah Achmad Zaidun. Jakarta: Pustaka Amani, 2002.

94

Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jilid 3. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Jakarta: Gema Insani, 2011.

Lampiran 1

Lampiran 2

Pedoman Wawancara

Nama : Umar Sl. Tgk. Mudo Alamat : Pasar Jumat, Nagari Muaro, Kec. Sijunjung Jabatan : Guru Tarekat Syattariyah di Surau Calau Pekerjaan : Pedagang Tempat : Ruko milik Narasumber di Pasar Jumat, Nagari Muaro Tanggal : 15 Februari 2016

1. Apakah landasan yang digunakan Tarekat Syattariyah dalam menentukan awal bulan hijriyah? Dalam menentukan awal bulan hijriyah kami berlandaskan kepada Al- Quran dan Sunnah Nabi SAW seperti yang tertera di dalam manuskrip takwim yang terdapat di Surau Calau dan juga bisa dilihat dalam buku Risalah Nurul Amaliyah yang saya tulis ulang yang bersumber dari manuskrip takwim peninggalan Syaikh Abdul Wahid yang terdapat di Surau Calau ini. 2. Bagaimana metode penentuan awal bulan menurut Tarekat Syattariyah di Surau Calau? Langkah pertama yang harus dilakukan dalam menentukan awal bulan

hijriyah bagi jamaah Tarekat Syattariyah di Surau Calau terutama yang

berkaitan dengan penentuan awal Ramadhan dan Syawal yaitu melakukan

hisab takwim untuk menentukan huruf tahun dan huruf bulan, untuk

menentukannya dilakukan dengan tiga cara, diantaranya:

a) Berpedoman kepada huruf tahun lahir Nabi SAW yaitu huruf

Ha. Caranya huruf tahun dibagi dengan angka 8 (jumlah huruf

bulan) lalu angka sisa dari pembagian tersebut yang akan di

jadikan patokan untuk menentukan huruf tahunnya. Misalnya

sisa pembagian 5 maka untuk menentukan huruf tahun dihitung

sebanyak lima kali dari huruf Ha maka itulah yang akan

menjadi huruf tahunnya.

b) Berpedoman kepada huruf tahun Hijrah Nabi SAW yaitu Wa

caranya sama tapi sebelum dibagi dengan 8 maka harus

dikurangi dulu dengan lama hidup Nabi SAW di Makkah yaitu

53 tahun.

c) Berpedoman dengan menggunakan huruf wafat Nabi SAW yaitu

Alif sebelum dibagi 8 harus dikurangi terlebih dahulu dengan

lama umur Nabi SAW yaitu 63 tahun.

Setelah huruf tahun ditemukan untuk menentukan harinya adalah huruf tahun ditambah huruf bulan dan hasilnya dihitung dari hari Kamis.

Setelah tanggal satu dalam Ramadhan ataupun Syawal telah ditemukan berdasarkan hisab takwim, maka tahap selanjutnya adalah melakukan kegiatan mancaliak bulan yaitu dilakukan sehari sebelum tanggal satu dari hisab takwim tadi untuk memastikan apakah malam itu hilal benar-benar sudah terlihat. Misalnya dalam menentukan awal Ramadhan kalau malam itu hilal tidak terlihat maka akan digenapkan Sya‟ban menjadi 30 hari walaupun menurut hisab takwim besok sudah masuk tanggal 1 pada bulan

Ramadhan. Karena untuk mentukan awal Ramadhan dan Syawal harus dengan terlihatnya hilal, dan hisab takwim disini sebagai alat bantu atau

pedoman untuk menentukan kapan kegiatan melihat hilal bukan sebagai

patokan untuk menentapkan awal Ramadhan.

3. Apakah bantuan alat teknologi di perbolehkan dalam proses rukyatul hilal

bagi Tarekat Syattariyah di Surau Calau?

Kegiatan mancaliak bulan harus dilakukan dengan menggunakan mata

telanjang tidak dengan menggunakan alat bantu seperti teropong bintang

dan lain-lainnya. Walaupun dalam proses melihat hilal dengan bantuan alat

moderen seperti teropong bintang dan lain sebagainya dapat terlihat kami

tetap tidak akan mempercayainya. Karena kami menetapkan awal

Ramadhan maupun Syawal harus dengan mata tidak dengan bantuan

teknologi, apabila salah satu dari kami melihat hilal maka kami akan

melakukan sumpah di Surau Calau apakah kesaksian orang ini dapat

dipercaya apa tidak yang dihadiri oleh jamaah Tarekat maupun niniak

mamak se-nagari Muaro.