TRADISI BASAPA DI NAGARI ULAKAN KECAMATAN ULAKAN TAPAKIS KABUPATEN PADANG PARIAMAN SUMATERA BARAT
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Sarja Ilmu Sosial dalam Bidang Antropologi
OLEH : AFDHAL HALIM 140905091
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL
MEDAN
2018
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PERNYATAAN ORIGINAL
Tradisi Basapa Di Nagari Ulakan Kecamatan Ulakan Tapakis Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat
SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.
Medan , April 2018
Penulis
Afdhal Halim
Universitas Sumatera Utara ABSTRAK
AFDHAL HALIM, 2018. Judul skripsi: Tradisi Basapa Di Nagari Ulakan Kecamatan Ulakan Tapakis Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat. Skripsi ini terdiri dari 5 BAB, 121 halaman, 14 gambar, 1 bagan, 2 tabel.
Penulisan ini berjudul Tradisi Basapa Di Nagari Ulakan Kecamatan Ulakan Tapakis Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat. Bertujuan untuk mengetahui bagaimana tradisi ziarah basapa di Nagari Ulakan yang banyak menjadi perbincangan dikalangan masyarakat khususnya Sumatera barat. mencari kejelasan mengenai perselisiahan faham mengenai boleh atau tidaknya melaksanakan tradisi basapa diantara golongan Islam tradisional dan Islam modern. Metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode kualitatif. Bagaimna penulis melihat berbagai rangkaian kegiatan dalam tradisi basapa dan mencari maksud dan tujuan dari kegiatan tersebut. Untuk memperoleh data penelitian yang dibutuhkan, peneliti menggunakan teknik observasi dan wawancara. Dalam melakukan wawancara peneliti melakukan wawancara mendalam agar data yang diperoleh lebih mendalam dan menditael. Penulis juga menggunakan pengamatan observasi secara holistic. semua ini tidak akan mudah penulis lakukan tanpa membangun rapport (hubungan baik) dengan masyarakat sekitar dan beberapa informan yang penulis wawancarai. Hasil penilitian ini menunjukkan bahwa dalam acara basapa jamaah tetap meminta dan memohon kepada Allah SWT, hanya saja melalui wasilah (penghubung) guru Syehk Burhanuddin, dan meminta limpahan keberkhatan dari sang guru. Agar do’a yang di ucapkan bisa di sampaikan kepada Allah SWT dan dari limpahan keberkhatan sang guru, mudah-mudahan keberkhatan dari Allah juga bisa mereka dapatkan. kemudian ini semua adalah tergantung kepada Aqidah (ilmu pengetahuan dalam memahami perkara-perkara yang berkaitan keyakinan terhadap Allah) mereka masing-masing, bagaimana mereka bisa memahami ini semua dengan Aqidah yang telah mereka pelajari. Kemudian dalam mencari ketenangan jiwa masyarakat Minangkabau memiliki metode atau cara sendiri, yang mereka dapatakan dari history dan sosiologis dalam perjalanan hidupnya. Seperti halnya basapa ini. Walaupun masyarakat seluruhnya beragam Islam namun ada aliran-aliran atau paham-paham yang mereka anut sebagai bentuk cara atau metode dalam mencari ketenangan jiwa mereka masing-masing.
Kata kunci: tradisi, ziarah, syehk.
Universitas Sumatera Utara UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT atas berkhat dan rahmat serta hidayah-NYA saya dapat menyelesaikan skripsi saya ini. Selanjutnya syalawat beriring salam saya hadiahkan kepada Nabi kita Nabi Muhammad SAW.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk saya mendapatkan gelar Sarjana
Strata satu (SI) pada depertemen Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial Dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini merupakan akhir dari perkuliahan yang saya jalankan selama bertahun-tahun dan awal bagi saya untuk belajar memehami semuanya. Dengan terciptanya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, mulai dari keluarga, sahabat, teman, dan berbagai pihak lainnya. Saya mengucapkan ribuan terima kasih yang sebesar-besarnya, yang belum cukup kiranya untuk membalas jasa kedua orantua saya selama ini untuk menguliahkan saya. Kepada ayah saya
AFRIZAL.S dan ibu saya HALIMATUSA’DIAH yang tidak pernah lelah dan putus asa untuk bekerja keras demi bisa menguliahkan saya di Universita
Sumatera utara ini, tanpa meminta sedikit imbalan dari saya untuk membalas jasa mereka, mungkin dengan saya menyelesaikan kuliah di Universitas Sumatera ini, bisa sedikit membuat mereka tersenyum bahagia. Dan saya tidak lupa berdo’a semoga jerih payah mereka selama ini, menjadi amal ibadah hendaknya di sisi
Allah SWT. Kemudian untuk keluarga saudara kandung saya Fikri Alfaruk dan
Fauri Irvan yang selalu menghibur dan bercanda ketika saya pulang kampung, dan kebahagian ini adalah suatu yang istimewa bagi saya ketika bisa berkumpul dengan mereka. Kemudian saya juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga
Universitas Sumatera Utara sanak family saya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, kerena begitu banyaknya mereka menyangi saya dan membantu dalam segi materi pada bangku perkuliahan, begitu juga dengan jiran tetangga saya di kampung yang selalu memberi saya oleh-oleh dari kampung ketika saya pergi menuntut Ilmu ke negeri orang Sumatera Utara. Begitu juga dengan saudara saya seperantauan yang ada di
Medan ini yang juga menampung saya ketika pertama kali menginjakkan kaki di
Kota Medan, sekali lagi saya mengucapkan terima kasih atas bantuan sanak saudara semuanya yang ada di kota Medan.
Kemudian saya juga mengucapakan terimakasih kepada dosen pembinbing akademik yaitu bapak Drs Zulkifli MA yang selama perkulihan selalu membinbing dan memberi arahan tentang perkuliahan, dan juga selalu memberi semangat agar segera menyelesaikan perkuliahan. Bahkan bapak Zulkifli yang terus mendesak agar saya bisa cepat menyelesaikan studi, dan saya merasa seperti orangtua kedua bagi saya di Medan. Kemudian saya juga mengucapkan terimakasih kepada dosen pembibing skripsi saya yaitu bapak Agustrisno M.sp yang telah membagi ilmunya dan sangat membantu saya dalam menyusun skripsi ini.
Kemudian saya juga mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak
Dr.Fikarwin Zuska selaku ketua depertemen Antropologi FISIP Universitas
Sumatera Utara yang mengajarkan kepada saya pertama kali pentingnya Ilmu
Antropologi Sosial. Kemudian penulis juga mengucapkan terimakasih kepada ibuk Nita Savitri, M.Hum. yang selalu memberi perhatian kepada saya, dan beliau tidak segan memanggil saya untuk diskusi denganya, dia selalu
Universitas Sumatera Utara menanyakan bagaimana perkuliahan dan tentang judul skripsi saya, padahal ibuk
Nita ini tidak dosen pembing saya, tapi beliu sudah seperti dosen pembing
Akademik bagi saya. Selanjutnya penulis juga mengucapkan beribu terima kasih kepada ibuk Dra. Sabariah Bangun yang telah mengizinkan saya untuk tinggal di rumah beliau, dan tentu ini akan sangat membantu meringatkan keungan keluarga saya, dan tidak hanya itu ibuk Sabariah juga tidak lupa memberi nasehat kepada saya dan merasa ada seorang sosok ibu di dekat saya. Kemudian saya juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh dosen Antropologi yang telah banyak memberi ilmu penegtahuan kepada saya selama perkuliahan berlangsung, namun saya memohon maaf yang sebesar-besarnya tidak bisa disebutkan namanya satu persatu, namun yang jelas ilmu dan pengetahuan yang beliau berikan akan selalu teringat dan menjadi nilai ibadah bagi kita semua. Dan tidak lupa saya ucapkan terimakasi kepada seluruh staff karyawan Depertemen Antropologi Universitas
Sumatera Utara.
Terimakasih juga kepada seluruh informan saya yang sudah bersedia menjadi informan dan meluangkan waktunya serta berbagi informasi dengan saya, informan saya itu adalalah Tuanku Kuniang Alfajri, Angku Sutan Datuak, Tuanku
Bagindo Firdaus, bapak Zailani, Angku Imam Saidi, Ali Imran Tuanku Bagindo, dan uni yel. Tanpa bantuan dari kalian semua mungkin skripsi ini tidak akan bisa diselesaikan, dan sekali lagi saya mengucapkan terimakasih, mungkin saya tidak bisa membalas jasa kalian semua, namun saya berdoa agar Allah menjadikan semua ini adalah Ibadah bagi kita semua.
Universitas Sumatera Utara Selanjutnya saya mengucapkan terimakasih kepada kerabat-kerabat
Depertemen Antropologi yang sama-sama berjuang dan belajar di Depertemen
Antropologi. Khusus saya ucapkan terimakasih kepada senior Antropologi saya yaitu bang Alfi Syukri, Achil Pratama dan Selvi Ariska, yang telah banyak berbagi ilmu dan pengalaman khususnya dalam Antropologi Sosial. Kemudian saya juga mengucapkan terimakasih kepada teman dekat saya selama perkuliahan, baik suka maupun duka kami selalu bersama yaitu Blup-Blup Vero Kurniawan,
Yosri Naldi Putra, Isma Purnama, Tumiar Sitohang. Dan juga saya ucapkan terima kasih kepada Irwansyah Sitorus selaku teman kos dengan saya, yang selalu diskusi mengenai penulisan skripsi dan berbagi ilmu lainnya. Kemudian terkhusus lagi saya ucapkan kepada seluruh kerabat Antropologi angkatan 2014, yang sama- sama berjuang dari awal sampai akhir di depertemen Antropologi, dan mudah- mudahan kita semua bisa dipertemukan lagi di suatu waktu dalam keadaan sukses semua hendaknya amin.
Kemudian penulis juga mengucapakan terimakasih kepada organisasi
IMIB USU yang banyak memberi Ilmu pengetahuan kepada saya, yang tidak mungkin saya dapatkan di bangku perkuliahan. Tidak hanya itu saya juga mengucapkan ribuan terimakasih kepada seluruh anggota IMIB USU yang sudah banyak berbagi cerita dengan saya di perantauan ini, dengan berkumpul bersama mereka semua, itu membuat saya teringat akan kampung halaman, dan kebersamaan ini membuat rasa rindu saya terhadap kampung halaman, bisa sedikit terobati. selanjutnyaTerkhusus saya ucapkan kepada anggota IMIB USU angkatan
2014 yang sama-sama berjuang dengan saya pada saat ini, mudah-mudahan kita
Universitas Sumatera Utara semua bisa menyelesaikan studi kita tepat pada waktunya. Dan tidak hanya itu saya juga menucapakan terimakasih kepada teman saya yang ada di kampung halaman, yang membuat saya selalu ingin pulang kampung dan berbagi cerita dengannya tentang kehidupan yang kami jalani di daerah perantauan, dan inilah salah satu penyemangat bagi saya untuk tetap berjuang di tanah rantau orang ini.
Medan, April 2018
Penulis
Afdhal Halim
Universitas Sumatera Utara RIWAYAT HIDUP
AFDHAL HALIM, Lahir pada tanggal 19 Oktober 1995 di Tanjung
Barulak Kecamatan Batipuh, Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat. Penulis merupakan anak pertama dari 3 orang bersaudara. Anak dari pasangan Afrizal.s dengan Halimahtusa’diah. Penulis memulai pendidikannya di Taman Kanak- kanak Harapan Bangsa di Sumatera Barat pada tahun 2002. Kemudian masuk ke
Sekolah Dasar SDN 03 Batipuh dan selesai pada tahun 2008. Kemudian penulis melanjutkan ke Pesantren Tarbiyah Islamiyah (MTsTI) Tanjung Barulak dan menyelesaikannya pada tahun 2011. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMAN 1 Batipuh dan menyelesaikannya pada tahun 2014. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi Universitas Sumatera Utara. perguruan tinggi ini penulis menjalani/mengambil konsentrasi program studi
Antropologi Sosial yang dinaungi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara(FISIP USU). Adapun alamat email aktif yang bisa dihubungi yaitu [email protected].
Universitas Sumatera Utara Selama pendidikan di Antropologi FISIP USU, penulis juga mengikuti berbagai kegiatan seperti kepanitian, seminar kampus, pengalaman organisasi dan anggota dalam berbagai kegiatan organisasi. adapun kegiatan yang diikuti adalah:
1. Peserta Inisiasi Antropologi FISIP USU di Danau Toba-Parapat
Sumatera Utara (2014)
2. Peserta penyambutan mahasiswa baru Ikatan Mahasiswa Imam
Bonjol Universitas Sumatera Utara (PMB IMIB USU) di
Sibolangi (2014)
3. Peserta Imib Leadership Training di Pancur Batu (2014)
4. Panitia penyambutan Hari Besar Islam organisasi Ikatan
Mahasiswa Imam Bonjol (2014)
5. Panitia balai kerapatan anggota (BKA) IMIB USU (2014)
6. Panitia jaringa kekerabatan Antropologi Indonesia (JKAI) di
Sumatera Utara (2015)
7. Panitia penyambutan mahasiswa IMIB USU di Brestagi (2015)
8. Ketua panitia Roadsow/ sosialisasi ke SMA di Sumatera Barat
(2015)
9. Anggota bidang Perguruan Tinggi dan Kepemudaan dalam
kepengurusan IMIB USU periode 2015/2016
10. Kepala bidang Minat Bakat dalam kepengurusan IMIB USU
periode 2016/2017
11. Panitia dalam Pergelaran Buaya Minangkabau (PBM) Di Sumatera
Utara (2017)
Universitas Sumatera Utara 12. Panitia pada acara Dies Natalis Universitas Sumatera Utara (2017)
13. Peserta Training Of Fasilitator (TOF) mata kuliah Pengembangan
Masyarakat (2017)
14. Interviewer pada penelitian Survey evaluasi pemerintahan Jokowi-
JK (2017)
15. Penelitian dosen dalam penegembangan masyarakat mengenai
pengelolaan samapah dan pembuatan pupuk di desa Nagalawan
(2017)
Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR
Puji syukur Alahamdulillah penulis aturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “tradisi basapa di Nagari Ulakan
Kecamatan Ulakan Tapakis Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat” kemudian syalawat beriringan salam tidak lupa pula penulis ucapkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Yang telah membawa Ilmu Pengetahuan dari alam yang kurang berilmu menjadi alam yang berilmu pengetahuan, seperti saat sekarang ini.
Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan dalam jenjang perkuliahan Strata 1 (SI) Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini tidak lepas dari hambatan dan kesulitan, namun berkat bimbingan, bantuan, nasehat dan saran serta kerjasama dari berbagai pihak, khususnya pembinbing, segala hambatan tersebut akhirnya dapat diatasi dengan baik.
Dalam penulisan skripsi ini tentunya tidak lepas dari kekurangan, baik aspek kualitas maupun aspek kuantitas dari materi penelitian yang disajikan.
Semua ini didasarkan dari keterbatasan yang dimiliki penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna sehingga penulis membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan pendidikan di masa yang akan datang.
Akhir kata penulis ucapkan ribuan terimakasih kepada seluruh pihak, semoga segala bantuan yang telah diberikan, menjadi amal sholeh dan mendapat
Universitas Sumatera Utara Ridho di sisi Allah SWT. Hanya kepada Allah penulis meminta ampun, dan hanya kepada manusia penulis meminta maaf.
Medan, April 2018
Penulis
Afdhal Halim
Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN ...... HALAMAN PENGESAHAN ...... PERNYATAAN ORIGINAL ...... i ABSTRAK ...... ii UCAPAN TERIMA KASIH ...... iii RIWAYAT HIDUP ...... viii KATA PENGANTAR ...... xi DAFTAR ISI ...... xiii DAFTAR GAMBAR ...... xv DAFTAR BAGAN ...... xvi DAFTAR TABEL ...... xvii BAB 1. PENDAHULUAN ...... 1 1.1. Latar Belakang Masalah ...... 1 1.2. Tinjauan Pustaka ...... 7 1.3. Rumusan Masalah ...... 20 1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ...... 20 1.5. Metode Penelitian ...... 21 1.5.1. Teknik Pengumpulan Data ...... 21 1.5.2. Sumber Data ...... 23 1.5.3. Alat Bantu Penelitian ...... 24 1.6. Pengalaman Penelitian ...... 24 1.7. Sistematika Penulisan ...... 29 BAB II. GAMBARAN UMUM ...... 30 2.1. Sejarah Nagari Ulakan ...... 30 2.1.1 Karekteristik Nagari ...... 32 2.1.2. Sarana Umum ...... 32
2.1.3. Geografis Nagari ...... 34 2.2. Sosial Budaya ...... 34 ...... BAB III. BIOGRAFI SYEHK BURHANUDDIN ...... 42 3.1. Sejarah Syehk Burhanuddin ...... 42 3.2. Berguru Kepada Tuanku Madinah ...... 45 3.3. Memperdalam Ilmu Ke Aceh ...... 48 3.4. Kembali ke Minangkabau ...... 57 3.5. Mendirikan Surau Di Tanjung Medan ...... 61 3.6. Islam Berkembang Di Minangkabau ...... 63 3.7. Cerita Lain Tentang Syehk Burhanuddin ...... 69 BAB IV. BASAPA/ BERSYAFAR ...... 74 4.1. Pengertian Basapa ...... 74 4.2. Tarekhat Syatariah ...... 76 4.3. Komponen upacara Basapa...... 81 4.3.1. Tempat Kegiatan ...... 82
Universitas Sumatera Utara 4.3.2. Waktu Kegiatan ...... 86 4.3.3. Orang Yang Melakukan ...... 87 4.3.4. Alat Atau Benda ...... 92 4.4. Kegiatan Basapa ...... 98 4.5. Kegiatan Utama Basapa ...... 101 4.6. Pandangan Mengenai Basapa ...... 107 BAB V. KESIMPULAN ...... 114 5.1. Kesimpulan ...... 114 5.2. Saran ...... 115 DAFTAR PUSTAKA ...... 117 LAMPIRAN ...... 119
Universitas Sumatera Utara DAFTAR GAMBAR Gambar 1 : Komplek Syehk Burhnuddin ………………………….. 82 Gambar 2 : Surau Gadang Syehk Burhanuddin …………………… 83 Gambar 3: surau pondok ……………………………………………. 85 Gambar 4: makam Angku Shaliah ………………………………….. 85 Gambar 5: benda-benda mentawan ………………………………... 93 Gambar 6: air kimo …………………………………………………. 95 Gambar 7: air batu ampa …………………………………………… 95 Gambar 8: suasana waktu basapa …………………………………… 101 Gambar 9 : Wawancara Dengan Angku Sutan Datuk …………….. 120 Gambar 10 : Wawancara Dengan Ali Imran Tuanku Bagindo …… 120 Gambar 11 : Wawancara Dengan Penjaga Makam ……………….. 120 Gambar 12 : Wawancara Dengan Angku Imam Saidi ……………... 121 Gambar 13: Acara Malam Di Surau Gadang Syek Burhanuddi …... 121 Gambar 14 : Pasar Kuliner Ulakan …………………………………. 121
Universitas Sumatera Utara DAFTAR BAGAN
Bagan I : Kelima Komponen System Religi …………………………. 15
Universitas Sumatera Utara DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Nama Korong di Nagari Ulakan …………………………. 31
Tabel 2. khalifah penerus Syehk Burhanuddin …………………… 78
Universitas Sumatera Utara BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Ziarah kubur merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk mengenang jasa orang yang sudah meninggal dengan cara mendo’akan orang yang sudah meninggal tersebut agar diampuni dosanya. Sedangkan berziarah ke kuburan keramat selain mendo’akan orang yang sudah meninggal juga memohon kepada roh orang yang sudah meninggal agar mereka yang berada di dunia diberi keselamatan dan dilindungi oleh Allah SWT. Penelitian yang dilakukan oleh
Chambert menjelaskan bahwa ziarah merupakan ritus yang universal. Ritus ziarah tidak hanya di Indonesia, namun juga dilakukan oleh masyarakat di beberapa
Negara muslim. Secara sederhana, ziarah merupakan aktivitas mengunjungi tempat yang oleh pandangan umum masyarakat (peziarah) biasanya diyakini mengandung unsur-unsur sakral, keramat, dan suci. Objek paling umum yang dijadikan tujuan adalah wali, para syuhada, pendiri ordo Sufi, raja, dan tokoh- tokoh masyarakat.
Menurut Woodward ritus ziarah umum dilakukan oleh peziarah dihampir seluruh makam yang dianggap keramat. Kajian mengenai ziarah juga dilakukan oleh Syam terkait dengan makam ketika meneliti persoalan Islam pesisir.
Menurutnya, makam yang tidak hanya dimaksudkan sebagai tempat untuk menyimpan mayat, tetapi juga tempat untuk berkumpul, berdoa, dan mencari berkah. Syam menyebut beberapa makam di Pesisir Utara Jawa Timur yang
Universitas Sumatera Utara dinilai sebagai tempat keramat, antara lain komplek pemakaman Sunan Ampel di
Surabaya, makam Putri Suwari di Leran, makam Malik Ibrahim dan Giri di
Gresik, Sunan Drajat di Paciran dan Sunan Bonang di Tuban. Makam-makam keramat itu dipelihara dengan baik dan selalu ramai didatangi oleh para peziarah.
Keberadaannya tidak hanya berfungsi sebagai sarana ritual keagamaan, tetapi juga medan ekonomi. Beberapa makam dikelilingi dengan sejumlah pedagang yang dikunjungi banyak orang disela-sela ziarah. Menurut Woodward kramatan biasanya merupakan suatu makam suci atau tempat keramat lainnya dimana wali bisa menjadi tempat memohon dengan khusyuk. Disini, tampak titik sentral dari sebuah tempat keramat adalah posisi wali yang mempunyai kekuasaan untuk memberi barakah dan membantu dalam persoalan keduniaan1.
Ziarah ke makam tergolong tradisi yang sangat tua, barangkali setua kebudayaan manusia itu sendiri. Tradisi ini umumnya berhubungan erat dengan unsur kepercayaan atau keagamaan umat manusia. Tradisi, menurut Piotr
Sztompka, kesamaan benda material dan gagasan yang berasal dari masa lalu namun masih ada hingga kini dan belum dihancurkan atau dirusakan. Tradisi dapat diartikan sebagai warisan yang benar atau warisan masa lalu. Namun demikian tradisi yang terjadi berulang-ulang bukanlah dilakukan secara kebetulan atau disengaja. Dari pemahaman tersebut maka apapun yang dilakukan oleh manusia secara turun-temurun dari setiap aspek kehidupannya yang merupakan upaya untuk meringankan hidup manusia dapat dikatakan sebagai ”tradisi,” yang
1 Fikria Najitama, ZIARAH SUCI DAN ZIARAH RESMI (Makna Ziarah pada Makam Santri dan Makam Priyayi) Vol. 11, No. 1, Januari - Juni 2013
Universitas Sumatera Utara berarti bahwa hal tersebut adalah menjadi bagian dari kebudayaan. Menurut C.A. van Peursen, tradisi adalah proses pewarisan atau penerusan norma-norma, adat- istiadat, kaidah-kaidah, atau harta-harta. Tradisi dapat dirubah, diangkat, ditolak, dan dipadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia. Meredith Mc Guire melihat bahwa dalam masyarakat pedesaan umumnya tradisi erat kaitannya dengan mitos dan agama. Menurut Azyumardi Azra, orang-orang muslim di pedesaan percaya bahwa Tuhan sangat baik dan tidak akan mengabaikan mereka, tetapi pada saat yang sama, kekuatan-kekuatan jahat dan setan terus mendatangkan bencana, sehingga mereka terpaksa mengarahkan aktivitas ritualnya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan jahat tersebut. Dalam kaitan ini pula terjadi pemujaan terhadap orang-orang yang telah mati, yang dipandang potensial untuk membantu mereka dalam menghadapi berbagai kekuatan jahat.
Ungkapan Azra dalam kalimat “pemujaan terhadap orang-orang yang telah mati” mungkin terlalu berlebihan digunakan untuk menggambarkan keyakinan masyarakat muslim di Pati. Pada kenyataannya, mereka menolak kalau dikatakan memuja orang-orang yang telah mati. Lebih tepat kalau dikatakan, mereka menggunakan arwah orang-orang yang telah mati itu sebagai perantara untuk menyampaikan harapan mereka kepada Tuhan. Arwah itu pun bukan sembarang arwah, melainkan arwah dari orang-orang suci, misalnya kyai, syekh dan wali2.
Salah satu aktivitas keagamaan di Minangkabau yang memperlihatkan percampuran antara tradisi-tradisi lama dengan aktivitas religius lslam adalah aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh para peziarah di makam Syekh
2 AH. Choiron, Menggali Makna Ziarah di Makam Mursyid Toriqoh Syehk Mutamakin Kajen DalamPerspektif Konseling Tasawuf Vol. 8, No. 1, Juni 2017
Universitas Sumatera Utara Burhanuddin di Ulakan Pariaman pada waktu Upacara basapa. Upacara
(ceremony) merupakan sistem aktivitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa tetap, yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan. Upacara basapa atau bersafar adalah upacara-upacara keagamaan yang diselenggarakan ummat lslam yang berziarah di komplek makam Syekh
Burhanuddin di Ulakan Pariaman pada hari Rabu setelah tanggal 10 pada bulan
Syafar dalam hitungan penanggalan Hijriyah setiap tahunnya. Oleh karena itu aktivitas keagamaan ini disebut dengan bersafar atau basapa dalam Bahasa
Minangkabau, karena sesuai dengan waktu pelaksanaanya.
Pelaksanaan upacara basapa ini dilakukan dua kali, yaitu sapa gadang dan safa ketek. Sapa gadang (syafar besar) adalah upacara basapa pertama yang dilakukan setelah tanggal 10 di bulan Syafar yang diikuti oleh peziarah dalam jumlah yang besar yang berasal dari berbagai daerah di Sumatera Barat serta propinsi lainnya seperti Riau dan Jambi. Sapa ketek (syafar kecil) adalah Syafar yang dilakukan seminggu setelah sapa gadang dilakukan, untuk menampung peziarah dari daerah Padang Pariaman dan masyarakat perantau dari Padang
Pariaman. Namun kenyataannya pada sapa ketek peziarah yang datang juga berasal dari luar daerah Padang Pariaman. Dilihat dari jumlah pengunjung dan peziarah yang datang lebih banyak terdapat pada sapa gadang dibandingkan dengan sapa ketek. Namun dalam aktivitas pelaksanaannya sama saja. Basapa atau bersafar pada prinsipnya adalah aktivitas berziarah yang dilakukan oleh umat lslam di komplek makam Syekh Burhanuddin yang dilaksanakan pada setiap
Universitas Sumatera Utara bulan Syafar. Dalam aktivitas berziarah atau basapa ini banyak peziarah yang juga melakukan aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan ajaran agama lslam maupun kepercayaan yang diyakininya. Ajaran agama lslam yang dimaksudkan adalah setiap aktivitas keagamaan yang dilakukan oleh penganut lslam itu sendiri sesuai dengan aturan-aturan atau aktivitas keagamaan yang diperintahkan oleh
Tuhan, atau mengikut sunnah Nabi SAW.
Bagi kalangan ahli antropologi, aktivitas upacara keagamaan merupakan aktivitas yang sangat penting diteliti, karena aktifitas religi merupakan salah satu unsur kebudayaan yang pasti terdapat dalam semua masyarakat manapun di
Dunia. Analisis religi banyak dimulai dari upacara-upacara yang dilakukan, karena sistem ritus dan upacara merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib. Koentjaraningrat suatu agama merupakan religi bagi penganutnya, karena dalam suatu agama terdapat komponen lain selain sistem ritus dan upacara, yaitu adanya emosi keagamaan yang menyebabkan seseorang bersikap religius, adanya system keyakinan yang mengarahkan orang dalam melakukan aktivitas religius, serta adanya umat atau kesatuan sosial yang melakukan aktivitas religius.
Religi dalam pengertian manusia tunduk dan patuh kepada sistem keyakinan atau kekuatan gaib yang diyakini ada di lingkungan manusia dan berpengaruh kepada kehidupannya. Upacara keagamaan menjadi penting artinya karena dihubungkan dengan tujuan hidup manusia, sedangkan dalam sistem religi sendiri seperti yang dikatakan Freusz bahwa pusat dari tiap-tiap sistem kepercayaan yang ada di dunia ini adalah upacara, dan melalui kekuatan yang dianggapnya berperan dalam
Universitas Sumatera Utara tindakan-tindakan seperti itu manusia mengira dapat memenuhi dan dapat mencapai tujuan hidupnya baik materil maupun spiritual.
Budaya atau kebudayaan dilihat sebagai keseluruhan pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi, dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan- tindakan yang diperlukan. Kebudayaan dalam pengertian ini merupakan sistem pemikiran yang melandasi setiap aktivitas yang dilakukan manusia. Budaya yang didefenisikan seperti itu mengacu pada hal-ha1 yang dipelajari manusia, bukan hal-ha1 yang mereka kerjakan dan perbuat. Walaupun demikian aktivitas yang dikerjakan manusia yang dipelajari atau disosialisasikan dalam jangka waktu yang lama sehingga tercipta pola tingkah laku terhadapnya dapat dikatakan sebagai aktivitas budaya3. Termasuk juga aktifitas-aktifitas yang di lakukan di makam
Syehk Burhanuddin, baik itu Aktivitas pengambilan pasir kubur Syekh
Burhanuddin, pengambilan air kimo, pengambilan air batu ampa dan lain sebagainya.
Unsur upacara basapa yang dilakukan peziarah di komplek makam Syekh
Burhanuddin yang menjadi perhatian dari penelitian ini adalah, mengetahui maksud dan tujuan dari aktifitas-aktifitas yang dilakukan seperti mengambil pasir makam Syekh Burhanuddin, meletakkan ramuan obat-obatan dan kemenyan di atas makam, mengambil air kimo, mengambil air batu ampa, membawa, meletakkan hewan peliharaan seperti ayam dan kambing, atau meletakkan sesajen, dan aktivitas mantawaan. Kemudian tidak hanya itu akibat dari aktivitas ziarah ke
3 Andri Febrianto, Sinkretisme Dalam Upacara Basapa di Makam Syehk Burhanuddin, Skripsi, Universitas Negri Medan, Tahun 2000.
Universitas Sumatera Utara makam keramat dan basapa masih menimbulkan pertentangan teologis, antara pihak yang membolehkan dan pihak yang mengharamkan atau melarang. Pihak yang membolehkan berasal dari kalangan Islam tradisional, sedangkan yang melarang berasal dari kalangan Islam modernis.
Terlepas dari pertentangan tersebut, ziarah ke makam keramat, seperti makam Syekh Burhanudin, merupakan sebuah fakta sosioantropologis yang tidak bisa diabaikan, bahkan merupakan satu bentuk tradisi yang menarik untuk diteliti. oleh karena itu terkait dengan hal di atas maka penulis ingin meneliti tentang
“Tradisi Basapa di Nagari Ulakan Kecamatan Ulakan Tapakis Kabupaten
Padang Pariaman Sumatera Barat”.
1.2. Tinjaun Pustaka
Dikalangan para ahli yang telah mengemukakan teori-teori tentang asal mulanya religi diantaranya E.B. Tylor dengan menggunakan pendekatan yang bersifat evolusionistis, mengemukakan dalam bukunya “Primitive Culture”(1873).
Menurutnya asal mula religi adalah kesadaran manusia akan faham jiwa.
Kesadaran akan faham jiwa tersebut dikarenakan dua sebab yaitu :
• Perbedaan yang tampak kepada manusia antara hal-hal yang hidup
dan hal-hal yang mati.
• Peristiwa mimpi, dalam mimpi manusia melihat dirinya di tempat-
tempat lain daripada tempat tidurnya.
Tetapi kata Tylor walaupun melayang, hubungan jiwa dan jasmani pada saat-saat seperti tidur atau pingsan tetap ada. Hanya pada waktu seorang manusia
Universitas Sumatera Utara mati jiwa melayang terlepas selama-lamanya. antara lain tiap-tiap manusia itu telah memikirkan religi, berdasarkan pandangan ini manusia sampai pada konsep tentang kekuatan gaib atau sering disebut supernatural. Terpisah dari badan manusia dan yang memberikan hidup pada manusia. Pada tingkat tertua di dalam evolusi religinya manusia percaya bahwa mahkluk-mahkluk halus itu yang menempati sekeliling tempat tinggal manusia, yang bertubuh halus sehingga tidak dapat tertangkap oleh pancaindra manusia. mendapat suatu tempat yang amat penting di dalam kehidupan manusia sehingga menjadi objek daripada penghormatan dan penyembahannya dengan berbagai upacara berupa do’a, sajian, atau korban, inilah yang disebut Tylor animisme. Pada tingkat kedua di dalam evolusi religi manusia percaya bahwa gerak alam hidup itu juga disebabkan oleh adanya jiwa yang ada di belakang peristiwa dan gejala alam. Mahkluk-mahkluk halus yang ada di belakang gerak alam serupa disebut dengan dewa-dewa alam, dan inilah yang disebut dinamisme. Pada tingkat ketiga di dalam evolusi religi bersama-sama dengan timbulnya kepercayaan bahwa alam dewa-dewa itu juga hidup dalam suatu system kenegaraan, demikian pula ada susunan pangkat dewa- dewa mulai dari raja dewa sebagai yang tertinggi sampai pada dewa yang terendah yang sering disebut dengan polyteisme. Akibat dari kepercayaan itu adalah berkembangnya kepercayaan kepada satu Tuhan yang Esa, dan timbulnya agama-agama monoteism.4.
Banyak kritik yang dilontarkan terhadap teori Tylor ini, antara lain yang dikemukakan oleh R.R. Marett dalam bukunya yang berjudul “Threshold of
4 Kusnaka Adimihardja, Antropologi Sosial Dalam Pembangunan, (Bandung : Tarsito, 1976) hlm 86-91
Universitas Sumatera Utara Religion”. (1909) menurut Marett terjadinya religi adalah suatu emosi atau getaran jiwa yang timbul karena disebabkan rasa takut manusia, cemas atau kagum yang dirasakan dalam situasi-situasi tertentu. Oleh karenanya manusia beranggapan di luar kekuatan dirinya terdapat kekuatan-kekuatan lain yang lebih, oleh Marett kekuatan tersebut dinamakan “supernatutal”. Dengan demikian timbul keyakinan bahwa kekuatan gaib itu ada dalam segala hal yang sifatnya luar biasa, baik manusia yang luar biasa, binatang yang luar biasa, tumbuh-tumbuhan yang luar biasa, gejala-gejala alam yang luar biasa dan benda-benda yang luar biasa.
Keyakinan itu dan emosi keagamaan yang timbul karena keyakinan itu, serta segala tingkah laku upacara yang merupakan akibat selanjutnya adalah bentuk tertua dari reigi. Bentuk religi semacam itu oleh Marett malahan dianggap lebih tua dari religi dimana manusia menyembah mahkluk halus dan roh, dengan perkataan lain, lebih tua dari religi animisme.
Kemudian seoarang ahli berkembangsaan Prancis E. Durkheim dalam bukunya yang berjudul “Les Forms Elementaires Do la vie Religieuse: (1912).
Mengemukakan bahwa aktifitas religi pada manusia disebabkan geteran jiwa yang menumbuhkan emosi keagamaan, karena pengaruh rasa sintemen kemasyarakatan. Sentimen kemasyarakatan yang dimaksud Durkheim adalah suatu keterikatan terhadap rasa cinta, rasa bakti dan lain-lain dalam komplek perasaan kemasyarakatan. Maka sentiment kemasyarakatan tersebut dapat menimbulkan sentiment keagamaan yang merupakan pangkal tingkah laku keagamaan.
Universitas Sumatera Utara Konsep R. Otto terhadap sikap kagum, terpesona terhadap hal yang gaib, suatu konsepsi mengenai azas religi yang beroreantasi pada sikap manusia dalam menghadapi dunia gaib yang berasal dari teologi Rudolf Otto, yang diuraikan dalam sebuah buku yang telah menarik perhatian kalangan luas, berjudul Das
Heilige (1917). Menurutnya semua sitem religi, kepercayaan dan agama di dunia berpusat kepada suatu konsep tentang hal yang gaib (mysterium) yang dianggap maha dahsyat (tremendum) dan keramat (sacer) oleh manusia. Sifat dari hal gaib serta keramat itu adalah maha abadi, maha dahsyat, maha baik, maha adil, maha bijaksana, tak terlihat, tak berobah, tak terbatas, dan sebagainya. Pokoknya sifatnya pada azasnya sulit dilukiskan dengan bahasa manusia mana pun juga, karena hal yang gaib atau keramat itu memang memiliki sifat-sifat yang sebenarnya tak mungkin dapat dicakup oleh pikiran dan akal manusia. Walaupun demikian dalam semua masyarakat dan kebudayaan di dunia, hal yang gaib dan keramat tadi, yang menimbulkan sikap kagum terpesona, selalu akan menarik perhatian manusia, dan mendorong timbulnya hasrat untuk menghayati rasa bersatu dengannya.
Kemudian pendapat lain dikemukakan oleh J.G.Frazer dalam bukunya
“The Golden Rough” (1890). Menurutnya manusia itu memecahkan masalah- masalah hidup mereka melalui akal dan system pengetahuan. Tetapi selanjutnya
Frezer mengemukakan akal dan penegtahuan manusia ada batasnya, makin berkembang kebudayaan manusia, makin luas masalah-masalah yang dihadapi dan batas akal manusia itu makin menyempit. Masalah-masalah yang tidak bisa dipecahkan dengan akalnya, dipecahkan melalui bentuk-bentuk lain, seperti
Universitas Sumatera Utara percaya terhadap hal-hal yang bersifat magis. Menurut Frezer magis itu suatu penguasaan dan pengawasan manusia terhadap alam semesta dengan mengendalikan daya matera-mantra, maka magis itu dapat dikatakan sebagai suatu ritus dalam bentuk do’a dan mantera –mantra yang diucapkan manusia untuk menegaskan hasrat seseorang terhadap alam dan kekuatan-kekuatan gaib, atas dasar kepercayaan penguasaan terhadap manusia, untuk maksud-maksud tertentu. Selanjutnya Frezer menjelaskan bahwa pada mulanya perbuatan magis tersebut hanya digunakan untuk memecahkan masalah-masalah diluar batas-batas kemampuan manusia. Akan tetapi terbukti bahwa masalah gaib tersebut tidak dapat memenuhi tantangan hidup dan kebutuhan manusia, maka lambat laun mulailah manusia percaya pada alam yang dikuasai makhluk-makhluk halus yang dirasakan lebih berkuasa daripada manusia itu sendiri. dari perkebangan demikian timbullah religi. Memang ada suatu perbedaan besar antara ilmu gaib dengan religi. Ilmu gaib adalah segala system tingkah laku dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksud dengan menguasai dan mempergunakan kekuatan- kekuatan dan kaidah-kaidah gaib yang ada di dalam alam. Sebaliknya religi adalah segala system tingkah laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan mahkluk-mahkluk halus, seperti dewa-dewa, ruh-ruh, nenek moyang yang menempati seluruh jagat raya ini5 .
Dalam penelitian dan studi religi perlu pula diperhatikan tentang tingkah laku manusia yang bersifat religi, dimana manusia itu manghadapi dunia atau
5 J. Van Baal, Sejarah Dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Jakarta: PT Gramedia, 1987)hlm 131-134
Universitas Sumatera Utara alam gaib dengan berbagai perasaan. Seperti perasaan hormat, takut, kasih atau campuran dari berbagai persaan-perasaan tersebut. Melalaui berbagai perasaan tersebut kemudian mendorong manusia itu melakukan berbagai perbuatan yang bersifat ritus, yang bertujuan untuk melakukan kontak dengan alam gaib itu.
Tingkah laku demikian biasa disebut “religious behavior” yang tidak terlepas dari pengaruh religious emosional. Sedangkan tata cara untuk melakukan upacara- upacara yang bersifat ritus tersebut biasa disebut “religious remonies”. Dimana perlu diperhatikan komponen-komponen yang mendukung penyelenggaraan upacara tersebut. Seperti tempat upacara, waktu upacara, peralatan upacara dan orang-orang yang melakukan upacara, yang kesemuanya itu tentu merupakan hal yang dianggap suci.
W. Robertson Smith mengemukakan tiga gagasan penting yang menambah penegrtian kita mengenai azas-azas religi dan agama pada umumnya. Gagasan yang pertama menegnai soal bahwa di samping system keyakinan dan doktrin, system upacara juga merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama yang memerlukan studi dan analisa yang khusus. Hal yang menarik perhatian
Robertson adalah bahwa dalam banyak agama upacaranya itu tetap, tetapi latar belakang, keyakinan, maksud atau doktrinnya berobah. Gagasan kedua adalah bahwa upacara religi atau agama, yang biasanya banyak dilakukan oleh masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Para pemeluk suatu religi atau agama memang ada menjalankan kewajiban mereka untuk melakukan upacara itu dengan sungguh-sungguh tetapi tidak sedikit pula
Universitas Sumatera Utara yang hanya melakukannya setengah-setengah saja. Motivasi mereka tidak terutama untuk berbakti kepada dewa atau tuhannya, atau untuk mengalami kepuasan keagamaan secara pribadi, tetapi juga karena mereka menganggap bahwa melakukan upacara adalah suatu kewajiban sosial. Gagasan yang ketiga adalah teorinya mengenai fungsi upacara bersaji. Pada pokoknya upacara seperti itu, dimana manusia menyajikan sebagian dari seekor binatang, terutama darahnya, kepada dewa, kemudian memakan sendiri sebahagian sisa daging dan darahnya, dan juga dianggap sebagai suatu aktifitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa.
K.T. Preusz menentukan bahwa pusat dari tiap system religi dan kepercayaan di dunia adalah ritus dan upacara, dan melalui kekuatan-kekuatan yang dianggapnya berperan dalam tindakan-tindakan gaib seperti itu manusia mengira dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya serta mencapai tujuan hidupnya, baik yang sifatnya material maupun yang spiritual. Dengan demikian
Preusz menganggap tindakan ilmu gaib dan upacara religi itu hanya sebagai dua aspek dari suatu tindakan, dan malahan seringkali tampak bahwa ia menganggap upacara religi biasanya memang bersifat ilmu gaib. Kemudian ritus atau upacara religi akan bersifat kosong tak bermakna, apabila tingkah laku manusia di dalamnya didasarkan pada akal rasional dan logika, tetapi secara naluri manusia memiliki suatu emosi mistikal yang mendorongnya untuk berbakti kepada kekuatan tinggi yang olehnya tampak konkret di sekitarnya, dalam keteraturan
Universitas Sumatera Utara dari alam, serta proses pergantian musim, dan kedahsyatan alam dalam hubungannya dengan masalah hidup dan maut6 .
Pada dasarnya ada empat unsur pokok dari religi pada umumnya yaitu :
1) Emosi keagamaan atau getaran jiwa yang menyebabkan manusia
menjalankan kelakuan keagamaan.
2) System kepercayaan atau bayangan-bayangan manusia tentang bentuk
dunia lain, alam gaib, hidup atau maut.
3) System upacara keagamaan yang bertujuan mencari hubungna dengan
dunia gaib berdasarkan atas system kepercayaan tersebut.
4) Kelompok keagamaan atau kesatuan-kesatuan sosial yang
mengonsepsikan dan mengaktifkan religi beserta system upacara-upacara
keagamaan.
Berbagai analisa terhadap masalah azas dan asal mula religi yang dikembangkan oleh berbagai ahli, masing-masing dengan metode pendekatannya sendiri-sendiri, tetapi terutama analisa Soderblom yang berusaha menggabungkan semua pendekatan tadi, telah memberi pelajaran kepada kita bahwa gejala religi itu merupakan gejala yang begitu kompleks sehingga tidak dapat diterangkan dengan satu hipotesa atau satu teori saja. Maka dari itu saya mencoba menyimpulkan dari berbagai bagaian yang saling berkaitan, maka dapat dikatan ada lima komponen dalam religi yaitu sebagai berikut :
(1) emosi keagamaan
(2)system keyakinan
6 Koentjaraningrat Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta : Universitas Indonesia, 1987) hlm 58-69
Universitas Sumatera Utara (3)system ritus dan upacara
(4)peralatan ritus dan upacara
(5)umat agama.
Bagan 1.1. Kelima Komponen Sistem Religi
Sistem Keyakinan
Emosi
Umat Keagamaan Sistem Agama Ritus Dan Upacara Keagamaan
Peralatan ritus dan upacara
Sumber Data : Sejarah Teori Antropologi I
Emosi keagamaan bisa diartikan sebagai suatu getaran jiwa yang pada suatu ketika pernah menghinggapi seorang manusia dalam jangka waktu hidupnya
Universitas Sumatera Utara walaupun getaran itu mungkin hanya berlangsung beberapa detik saja untuk kemudian menghilang lagi. Komponen emosi keagamaan inilah yang merupakan komponen utama dari gejala religi, yang membedakan suatu sitem religi dari semua system sosial budaya lain dalam masyarakat manusia. system kepercayaan itu bisa berupa konsepsi tentang faham-faham yang hidup terlepas dalam pikiran orang, tetapi juga bisa berupa konsepsi-konsepsi dan faham-faham yang terintegrasi ke dalam dongeng-dongeng dan aturan-aturan, dongeng-dongeng dan aturan-aturan ini biasanya dianggap keramat, dan merupakan kesusastraaan suci dalam suatu religi. System ritus dan upacara dalam suatu religi beruwujud aktifitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhdap tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, atau mahkluk halus lainnya, dan dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni dunia gaib lainnya. Suatu ritus atau upacara religi biasanya terdiri dari suatu kombinasi yang merangkaikan satu- dua atau beberapa tindakan, sperti: berdo’a, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, berpuasa, bertapa dan lain sebagainya. Dalam ritus dan upacara religi biasanya dipergunakan berbagai macam-macam sarana dan peralatan, seperti: tempat atau gedung pemujaan (mesjid,gereja,lapangan) patung dewa, patung suci, alat bunyi-bunyian suci (lonceng, seruling suci) dan para pelaku upacara seringkali harus mengenakan pakaian yang juga dianggap mempunyai sifat suci.
Komponen kelima dari sitem religi adalah umatnya, kesatuan sosial yang menganut system keyakinan dan yang melaksanakan system ritus serta upacara ini.
Universitas Sumatera Utara Kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku disebut upacara keagamaan atau religious ceremonies atau rites. Tiap upacara keagamaan dapat terbagi ke dalam empat komponen yaitu:
1. Tempat Upacara
Tempat upacara yang keramat adalah biasanya suatu tempat yang
dkhususkan dan yang tidak boleh didatangi orang yang tidak
berkepentingan. Pada pusat-pusat upacara desa serupa itu sering ada
bangunan-bangunan tertentu seperti tiang-tiang upacara dari kayu atau
batu, tahta-tahta batu, panggung batu, atau suatu rumah upacara. Kuburan
biasanya juga merupakan suatu tempat keramat yang dipakai sebagai
tempat upacara keagamaan. Hal ini mudah dimengerti karena kuburan
dibayangkan sebagaimana tempat dimana orang-orang dapat paling mudah
berhubungan dengan ruh-ruh nenek moyang yang meninggal, pokoknya
semua tempat dimana orang merasakan dunia gaib, biasanya juga menjadi
tempat keramat untuk melakukan upacara-upacara keagamaan.
2. Saat Upacara
Saat-saat upacara biasanya dirasakan sebagai saat-saat yang
genting dan gawat, dan yang penuh dengan bahaya gaib. Saat-saat itu
biasanya saat-saat yang berulang tetap, sejajar dengan irama gerak alam
semesta. Suatu saat upacara yang amat lazim adalah misalnya saat
pergantian siang dan malam. hal ini kita lihat misalnya pada agama Islam,
yang membuat waktu magrib sebagai waktu bagi umatnya untuk
melaksanakan shalat serupa dengan banyak religi di dunia yang juga
Universitas Sumatera Utara membuat waktu senja sebagai saat upacara. Dalam jangka waktu
kehidupan tiap individu dalam masyarakat ada pula saat yang dianggap
saat genting atau krisis, saat-saat itu adalah misalnya waktu hamil, haid
yang pertama, waktu perkawinan, waktu kematian dan lain sebagainya.
Akhirnya masih ada waktu-waktu genting yang timbul karena keadaan
bahaya, misalnya pada waktu adanya wabah penakit, bencana alam, atau
perperangan.
3. Benda-Benda Upacara
Benda-benda upacara merupakan alat-alat yang dipakai dalam hal
menjalankan upacara-upacara keagamaan. Alat-alat itu biasanya seperti
wadah untuk tempat sajian, alat kecil seperti sendok, pisau dan lain-lain.
Adapun satu golongan alat-alat yang hampir secara universal dipakai
dalam upacara keagamaan adalah alat bunyi-bunyian, hal itu disebabkan
karena suara, nyayian, dan music merupakan unsure yang amat penting
dalam upacara keagamaan sebagai hal yang bisa menambah suasana
keramat.
4. Orang-Orang Yang Melakukan Upacara
Orang-orang pemuka upacara keagamaan dalam berbagai macam
religi dan berbagai macam suku bangsa di dunia biasanya dapat kita bagi
ke dalam tiga golongan yaitu: pendeta, dukun, syaman. Pendeta adalah
orang yang karena suatu pendidikannya yang lama menjadi ahli dalam hal
melakukan pekerjaan sebagai pemuka upacara keagamaan. Untuk
memperhitungkan saat upacara dengan setepat-tepatnya, maka para
Universitas Sumatera Utara pendeta sering mempelajari jalanya bintang-bintang, sehingga mereka menjadi ahli bintang-bintang dalam masyarakatnya. Untuk membuat bermacam sajian mereka mempunyai pengetahuan yang amat teliti tentang bermacam tumbuh-tumbuhan sehingga menjadi ahli tumbuh-tumbuhan dalam masyarakat. Untuk mengucapkan dan melagukan syair-syair pujaan dengan baik dan sempurna mereka sering terpaksa mempelajari sifat-sifat dari bahanya dengan seksama sehingga menjadi ahli-ahli bahasa dalam masyarakat. Memang pendeta-pendeta itu seringkali merupakan kaum yang terpeajar di dalam masyarakat. Dalam banyak masyarakat ada pula orang-orang yang sebenarnya bukan pendeta, karena mereka tidak mendapatkan pendidikan seperti pendeta dan karena mereka dilantik ke dalam golongan pendeta atau dalam salah satu organisasi pendeta. Tetapi karena orang tade mempunyai pekerjaan yang erat bersangkutan dengan religi, maka mereka diangap oleh umum sebagai orang-orang yang juga mempunyai pengetahuan banyak tentang upacara dan dianggap sebagai orang-orang yang bisa menjalankan upacara-upacara kecil. syaman adalah sebuah istilah yang sering juga dipakai untuk menamakan apa yang di atas disebut dukun, tetapi istilah itu baiknya dipakai untuk golongan dukun yang melakukan semacam upacara yang khusus. Seoarang syaman diantara suku-suku bangsa di daerah utara itu biasa pria atau wanita.
Dalam kehidupan sehari-hari mereka hidup tidak berbeda dengan
Universitas Sumatera Utara masyarakat lainya, tetapi hanya kemampuan untuk mengundang ruh yang
membedakan mereka7 .
1.3. Rumusan Masalah
Dari latar belakang msalah. Timbul dua hal yang menjadi acuan penulis untuk melakukan penelitian yakni: (1) mencari kejelasan maksud dan tujuan para peziarah ke makam Syhek Burhanudin dalam mengambil sesuatu dari makam tersebut, seperti pasir, air limau, meletakkan nazar dan lain sebagainya. (2) mencari informasi tentang perbedaan pandangan pendapat antara golongan Islam tradisioanal dan golongan Islam modern dalam berziarah ke makam Syhek
Burhanudin.
Sehubungan dengan masalah di atas maka muncul beberapa pertanyaan- pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan di atas, yakni sebagai berikut:
1. Apa yang melatarbelakangi tradisi basapa di Nagari Ulakan ?
2. Siapa saja yang melaksanakan tradisi basapa ?
3. Bagaimanakah tradisi basapa di makam Syehk Burhanudin ?
1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menegetahui bagaimana tradisi ziarah basapa di Nagari Ulakan yang banyak menjadi perbincangan dikalangan masyarakat khususnya Sumatera barat. Dan juga mencari kejelasan mengenai
7 Koentjraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta : PT Dian Rakyat, 1967)hlm 229- 240
Universitas Sumatera Utara perselisiahan faham menegenai boleh atau tidaknya melakasanakan tradisi basapa diantara golongan Islam tradisional dan Islam modern.
Manfaat dari penulisan ini pertama untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis dalam menyusun karya ilmiah, kemudian sebagai referensi bagi masyarakat Sumatra Barat khususnya, dalam menambah wawasan dan pengetahuan dalam tradisi ziarah Basapa di Nagari Ulakan.
1.5. Metode Penelitian
Metode Penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti untuk
mendapatkan informasi atau data yang diinginkan si peneliti. Dengan hal-hal
yang telah dijelaskan diatas, maka penulis menggunakan metode penelitian
Kualitatif. Penelitian Kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat
deskriptif dan cenderung menganalisi data dan metode kualitatif lebih
menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah
dari pada melihat permasalahan untuk penelitian generalisasi.
1.5.1. Teknik Pengumpulan Data
Agar mempermudah penulis untuk memperoleh informasi dan data yang
dibutuhkan. Peneliti menggunakan tenkik pengumpulan data sebagai berikut:
1. Observasi partisipasi: yaitu dimana penulis ikut tinggal bersama warga
dan terlibat dalam tradisi Basapa, agar tidak ada satu hal yang
dilewatkan oleh penulis ketika melakukan observasi.
Universitas Sumatera Utara 2. Wawancara: wawancara yang dilakukan pun ada dua yaitu wawancara
langsung dan tidak langsung.
a. Wawancara langsung adalah mewawancarai masyarakat secara
langsung mengenai inti dari permasalahan yang sedang diteliti oleh
penulis.
b. Wawancara tidak langsung adalah wawancara yang dilakukan
seperti berbicara atau ngobrol hal ini dilakukan agar masyarakat
tidak curiga dan tidak ada kekhawatiran.
Dalam melakukan wawancara ini penulis juga membagi tiga tingkatan informan yang nantinya diwawancarai yaitu:
• Key informa
Informan kunci atau informan yang benar-benar khusus dalam bidang
tersebut. Informan ini adalah para tokoh adat atau ninik mamak dan
para khalifah penerus ajaran dari Sheyk Burhanudin.
• Informan pangkal
Informan yang bisa memberi petunjuk dan arah menuju informan
kunci. Informan ini berupa tokoh-tokoh masayaraat atau para alim
ulama yang berada di Nagari Ulakan
• Informan biasa
Informan yang umum atau tidak memberi arah yang akurat. Ini adalah
informan masyarakat umum yang berada di Nagari Ulakan.
Untuk dapat melakukan semua metode tersebut yang paling penting adalah membangun rapport (menjalin hubungan baik) terlebih dahulu agar masyarakat
Universitas Sumatera Utara dan yang ingin penulis wawancari merasa nyaman sehingga mereka akan memberikan jawaban yang sesuai kita inginkan dan tidak menyembunyikan apapun.
1.5.2. Sumber Data
Dari teknik pengumpulan data yang dilakukan, penulis juga mempunyai 2
jenis sumber data yang akan digunakan untuk mengumpulkan informasi dan data
agar penelitian yang dilakukan semakin baik, yaitu:
1. Data Primer: adalah sumber data peneliti yang diperoleh secara
langsung dari sumber aslinya yang berupa wawancara, jejak pendapat
dari individu atau kelompok maupun dari observasi dari suatu obyek.
Dengan kata lain, peneliti membutuhkan pengumpulan data dengan
cara menjawab pertanyaan riset.
Kelebihan dari data primer adalah data lebih mencerminkan kebenaran
berdasarkan dengan apa yang dilihat dan didengar langsung oleh
peneliti sehingga unsur-unsur kebohongan dari sumber yang
fenomenal dapat dihindari.
2. Data Sekunder: adalah sumber data penelitian yang diperoleh melalui
media perantara atau secara tidak langsung yang berupa buku, catatan,
bukti yang telah ada, atau arsip baik yang dipublikasikan maupun yang
tidak dipublikasikan secara umum. Dengan kata lain, peneliti
membutuhkan pengumpulan data atau membaca buku yang
berhubungan dengan penelitiannya.
Universitas Sumatera Utara Kelebihan dari data sekunder adalah waktu dan biaya yang dibutuhkan
untuk penelitian, mengklarifikasi permasalahan dan mengevaluasi
data, relatif lebih sedikit dibandingkan dengan pengumpulan data
primer.
1.5.3. Alat Bantu Penelitian
Pengumpulan informasi dan pencarian data tidak akan bisa dilakukan
tanpa alat bantu, untuk penelitian dilakukan dengan menggunakan:
1. Kamera: digunakan untuk memfoto benda yang dianggap penting atau
mengabadikan hal yang memang perlu dibutuhkan dalam menunjang
hasil penelitian agar hasil penelitian nya dibuat memiliki bukti yang
kuat sehingga dapat diakui penelitian tersebut.
2. Rekaman: digunakan untuk merekam hasil wawancara yang dilakukan
agar hasil dari wawancara dapat di dengar dan tidak lupa, dan menjadi
bukti dari penelitian.
3. Alat tulis: digunakan untuk mencatat hal yang perlu agar tidak lupa
dan hilang, mencatat apa yang ingin kita tanyakan, agar pertanyaan
yang diajukan tidak kabur.
1.6. Pengalaman Penelitian
Penelitian ini penulis mulai pada bulan November 2017 sampai bulan
Februari 2018. Dimana pada bulan November penulis pulang kampung, dan
kebetulan penelitian tentang tradisi basapa ini dilakukan di Sumatera Barat sekitar
Universitas Sumatera Utara 2 jam perjalanan dari rumah penulis. Pada bulan ini kondisi kejelasan skripsi penulis belum jelas, karena pada waktu ini proposal penelitian penulis belum siap, bahkan judul dari rencana skripsi penulis ini belum di ajukan ke depertemen
Antropologi. Dengan modal nekat dan do’a, penulis putuskan untuk pergi penelitian sebelum semuanya begitu jelas. Akan tetapi niat ini juga di dukung karena acara tradisi basapa ini berlangsungnya pada bulan November, maka dari itu penulis putuskan untuk melakukan penelitian terlebih dahulu sebelum semuanya begitu jelas. Dan Alhamdulillah dengan melakukan penelitian terlebih dahulu penulis bisa menjelaskan kepada ketua depertemen Antropologi Dr.
Fikarwin Zuska mengenai rencana judul skripsi penulis. Dan sebelumnya penulis juga meminta saran kepada ketua depertemen Antopologi mengenai kendala waktu itu, dan ketua depertemen menyarankan untuk mengganti rencana judul skrispsi penulis.
Namun penulis tetap bersikeras dengan pendiriannya untuk mengangkat tradisi basapa ini sebagai judul skripsinya. Maka dari itu penulis mencoba minta pendapat kepada bapak Sekretaris depertemen Agustrisno, M.Sp tentang hal ini.
Dan Alhamdulillah Sekretaris depertemen memeberikan solusi kepada penulis mengenai permasalahan ini. Dimana Sekretaris depertemen menyuruh penulis untuk mengambil video terlebih dahulu, apakah ini dari bantuan orang tua atau teman dekat, agar nanti penulis bisa melihat kegiatan tradisi basapa ini secara detail. Hal ini juga disebabkan karena penulis belum bisa pergi penelitian pada waktu itu, disebabkan karena praktek kerja lapanagn (PKL) belum siap, tinggal seminggu lagi. Maka dari itu penulis menyetujui saran dari Sekretaris depertemen.
Universitas Sumatera Utara Maka dari itu penulis meminta kepada saudara Saipul Anwar mahasiswa IAIN
Batusangkar untuk mengikuti acara basapa gadang dan mendokumentasikannya.
Dan setelah penulis menyelesaikan PKL penulis langsung pergi penelitian ke
Pariaman Sumatera Barat, penulis akhirnya dapat mengikuti acara basapa ini dengan langsung, walaupun pada acara basapa kecil, namun acara basapa kecil dan besar ini tidak terlalu berbeda, sehingga penulis juga bisa merasakan dan melihat secara langsung bagaimana berlangsungnya acara tradisi basapa. Dan sebelumnya penulis sudah mendapatkan data-data dari Saipul, dan penulis juga mendapatkan informasi mengenai lokasi dan tempat-tempat acara tradisi basapa.
Kemudian selama penelitian pada bualan November kira-kira 7hari penulis ditemani oleh saudara Saipul. Dan kami menginap di salah satu suarau/ mushola yang ada di Ulakan. Pada malam harinya penulis mencoba merancang rencana penelitian untuk besok, kemana kami harus pergi dan kepada siapa saja kami bertanya. Untuk memudahkan itu semua penulis membuat Interview Guied. Untuk memudahkan penulis nantinya ketika wawancara di lapangan. Namun pada penelitian kali ini penulis lebih banyak melakukan Observasi dan pengamatan terhadap berlangsungnya acara teradisi basapa ini, mulai dari awal datangnya para jamaah, terus dilanjutkan dengan kegiatan malam hari, hingga pada acara puncak besoknya yaitu kunjungan ziarah ke makam Syehk Burhanuddin. Pada kesempatan kali ini penulis tidak bisa begitu banyak melakukan wawancara dengan berbagai informan, ini dikarenakan kesibukan dari informan sewaktu acara berlangsung, namun sesibuk-sibuknya informan penulis masih bisa mencuri- curi waktu untuk wawancara dengan dalih sebagai peserta basapa. Walaupun
Universitas Sumatera Utara hasilnya belum maksimal, maka dari itu penulis lebih banyak berinteraksi dengan jamaah yang berdatangan, dan penulis juga sempat mewawancarai kepala rombongan dari Kabupaten Sijunjung denngan membawa rombongan lebih dari
10 bus. setelah hampir seminggu penulis di lokasi penelitian, penulis memutuskan untuk kembali ke Medan untuk menyelesaikan dari kejelasan yang belum jelas.
Setelah sampai di Medan penulis langsung mengajukan judul penelitian, dan Alhamdulillah ketua depertemen menyetujuinya. Dan karena waktu itu yang memberi saran adalah Sekretaris depertemen, maka dari itu penulis meminta bapak tersebut sebagai pembinbing skripsi penulis, dan Alhamdulillah bapak
Sekretaris depertemen bisa menjadi dosen pembinbing skripsi penulis. Kemudian hampir satu bulan penulis dapat meneyelesaikan proposal penelitian dengan bantuan bimbingan dari bapak Sekretaris depertemen. Kemudian pertengahan bulan Januari 2018 penulis putuskan untuk pulang kampung dan melanjutkan penelitian ke Ulakan Pariaman. kali ini penulis di bantu oleh saudara Vero
Kurniawan sama-sama mahasiswa Antropologi USU dan juga satu angkatan, namun beliu tinggal di Kabupaten Solok. Dan penulis putuskan awal bulan
Februari penulis dan saudara vero pergi untuk melanjutkan penelitian yang belum selesai. Seperti sebelumnya sebelum peneliti terjun ke lapangan penulis pada malam harinya membuat rancangan untuk ke lapangan besok, dan membuat
Interview Guied. Kemudian keesokan harinya penulis pergi ke kantor Wali Nagari untuk meminta izin penelitian dan sekalian mengantarkan surat penelitian, dan meminta data mengenai monografi Nagari.
Universitas Sumatera Utara Kemudian penulis melanjutkan dengan menemui informan yang waktu itu belum maksimal wawancaranya. Dan kali ini penulis membuat janji dengan informan kapan waktu luang dari informan, agar wawancara yang dilakukan bisa lebih santai dan waktu yang panjang. Sebahagian informan meminta sore hari atau malam hari, karena pada siang hari mereka sibuk bekerja, dan ini tidak terlalu masalah bagi penulis, justru dengan wawancara pada malam hari itu lebih tenang dan tidak bising. Kemudian penulis mendapatkan informan yang lain dari informasi yang diberikan oleh informan sebelumnya, dan tentunya mereka mengarahkan penulis kepada informan kunci lainya. Kemudian hari-hari berikutnya penulis melakukan pengembangan Rapport dengan warga, dengan sering duduk-duduk di warung, dan menurut pengalaman selama perkulihan warung merupakan pusat informasi yang paling banyak dan mudah di dapatkan, cukup dengan mendengarkan saja. Kemudian penulis pada pagi hari juga pergi ke tepi laut, untuk melihat nelayan pergi melaut, dan penulis juga ikut membatu mendorong perahu dari pinggir pantai ke tepi laut. Pada siang hari penulis juga kembali berbaur dengan nelayan ketika mereka pulang dari melaut.
Setelah itu penulis juga direkomendasikan dari berbagai informan untuk mencari buku tentang Syehk Burhanuddin, dan penulis mencoba mencarinya di pasar Ulakan dekat makam Syehk Burhanuddin, dan Alhamdulillah bukunya dapat, namun cuman satu. Kemudian penulis tidak sampai distu saja penulis juga pergi ke perpustakaan Nagari setempat, dan mencoba meminta data kepada bagian kepengurusan makam Syehk Burhanuddin, tetapi penulis memiliki kendala dengan pengurus makam ini, karna begitu sulitnya menemui mereka, namun kami
Universitas Sumatera Utara hanya bisa berinteraksi dengan via telepon. Kemudian setelah hampir 10hari
penulis berada di lokasi penelitian dan merasa data yang ada sudah cukup, penulis
memutuskan untuk kembali ke kampung halaman dan sebelumnya penulis
kembali ke kantor Wali Nagari untuk meminta izin pamit dan sekalian
mengucapkan terima kasih atas bantuan dari perangkat Nagari.
1.7. Sietematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan skripsi secara keseluruhan menjadi
sistematis, penyusun sedemikian rupa ke dalam sistematika penulisan. Masing-
masing bab terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika penyusunannya
sebagai berikut:
• BAB 1 berisi latar belakang masalah, kajian pustaka, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, pengalaman penelitian,
dan sistematika penulisan.
• BAB 2 berisi gambaran umum lokasi penelitian
• BAB 3 berisi tentang penyebab terjadinya tradisi basapa di Nagari
Ulakan, yaitu kisah Syehk Burhanuddin dari awal hingga dia wafat.
• BAB 4 berisi tentang jawaban atas rumusan masalah, yakni tentang
maksud dan tujuan tradisi basapa dan menjawab perbedaan pendapat
mengenai tradisi basapa.
• BAB 5 berisi kesimpulan dari semua bab tentang keseluruhan hasil
penelitian dan juga saran dari hasil penelituian.
Universitas Sumatera Utara BAB II
GAMBARAN UMUM
2.1. Sejarah Nagari Ulakan
Ulakan adalah nama Nagari yang terletak dalam sebuah wilayah pemerintahan terendah Kecamatan Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman. Nagari
Ulakan sebagai wilayah pemerintahan terendah memiliki struktur pemerintahan sendiri yang terbagi kedalam pemerintahan Eksekutif dijalankan oleh Wali Nagari, pemerintahan legislatif dipegang oleh BAMUS Nagari dan pemerintahan yudikatif dipegang oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN). Tiap-tiap lembaga memiliki tugas dan kewenangan masing-masing dalam mengurusi dan membangun sistem pemerintahan Nagari sesuai dengan budaya masyarakat lokal. Nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat memiliki adat dan budaya sesuai dengan nilai- nilai luhur yang sudah berkembang sejak zaman dahulu. Nilai-nilai luhur tersebut tercermin kedalam budaya masyarakat yang ada disetiap Korong sebagai masyarakat yang membangun kesatuan pada suatu wilayah hingga terbentuk sebuah Nagari. Korong adalah bagian dari Wilayah Nagari yang dipimpin oleh
Wali Korong. Nagari Ulakan terdiri dari sembilan belas Korong yang menempati wilayah dan ulayat para tetua adat pada setiap suku yang mempunyai penghulu pucuak atau niniak mamak nan basa batuah di Nagari Ulakan.
Dari tabel di halaman selanjutnya maka dapat diketahui sembilan belas jumlah Korong yang menempati wilayah Nagari Ulakan. Jumlah penduduk yang menempati wilayah Nagari Ulakan pada sembilan belas korong tersebut ± 14.164
Universitas Sumatera Utara ribu jiwa dengan luas wilayah ± 158.566 Ha yang terdiri dari ± 177 Ha tanah darat, ± 501 sawah tadah hujan/ladang, ± 15Ha tanah basah, ± 11 Ha Fasilitas umuml, dan lain-lainnya.
Tabel. 1.: Nama Korong di Nagari Ulakan Kecamatan Ulakan Tapakis Kabupaten Padang Pariaman
NO NAMA KORONG L P L+P 1 Lapau Kandang 196 193 389 2 Maransi 288 374 635 3 Kampuang Ladang 172 187 357 4 Tiram 185 227 412 5 Sei Gimba Gantiang 292 298 590 6 Sikabu 533 573 1106 7 Padang Toboh 628 695 1323 8 Kampuang Koto 336 361 697 9 Kampuang Galapuang 389 415 804 10 Pasa Ulakan 112 128 240 11 Padang Pauah 262 303 565 12 Kabun Bungo Pasang 272 349 621 13 Gantiang Tangah Padng 367 437 804 14 Cubadak Palak Gadang 172 218 390 15 Manggopoh Dalam 659 689 1348 16 Manggopoh Ujuang 436 459 895 17 Binuang 167 186 353 18 Koto Panjang 547 558 1105 19 Tanjuang Medan 694 834 1528 Jumblah 6707 7457 14164
Data Sekunder : Nagari Ulakan Tahun 2015
Universitas Sumatera Utara 2.1.1.Karakteristik Nagari
Nagari Ulakan merupakan kawasan pedesaan yang bersifat agraris dan
maritim, dengan mata pencaharian dari sebahagian besar penduduknya adalah
bercocok tanam terutama sektor pertanian, Nelayan dan pertenakan. Sedangkan
pencaharian lainnya adalah sektor industry kecil yang bergerak di bidang
kerajinan dan pemanfaatan hasil olahan pertanian, laut dan perkebunan.
2.1.2. Sarana Umum
Nagari Ulakan memiliki sarana umum yaitu satu SMA Negri, satu MI
Negri, satu MI Swasta, satu SMP Negri, dan sebelas SDN Negri. dan memiliki tempat ibadah sebanyak 3 buah Mesjid dan 49 Mushala. Kemudian untuk sarana jalan Nagari itu keadaannya sudah beraspal tapi banyak yang sudah mulai rusak.
Begitu juga dengan sarana irigasi yang ada di Nagari Ulakan masih dalam system
Tradisional sehingga fungsinya belum maksimal.
2.1.2. Geografis Nagari
Secara geografis daerah ini berada dalam daratan rendah dengan kawasan
pantai yang cukup luas di pinggir Samudera Indonesia. Iklim cuaca yang baik di
daerah pinggir pantai menjadikan mata pencaharian utama penduduknya sebagai
nelayan, di samping juga ada sebagian kecil yang bertani. Tetapi juga tidak
sedikit anak Nagari Ulakan yang berada diperantauan diberbagai kota besar di
Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan kota-kota besar lainnya. Nagari
Universitas Sumatera Utara Ulakan sebagai sebuah wilayah pemerintahan terendah memiliki batas-batas
sebagai berikut :
• Sebelah Utara berbatasan dengan : Nagari Pauh Kamba kecamatan
Ulakan Tapakis
• Sebelah Selatan berbatasan dengan : Nagari Tapakis Kecamatan Ulakan
Tapakis
• Sebelah Barat berbatasan dengan : Samudera Indonesia Kecamatan
Ulakan Tapakis
• Sebelah Timur berbatasan dengan : Nagari Taboh Gadang Kecamatan
Ulakan Tapakis8.
Letaknya yang begitu strategis menjadikan daerah ini sebagai jalur perlintasan bagi orang yang akan menuju ibu kota Kabupaten Pariaman. Lebih-lebih lagi, jalur jalan sebagai penghubung antar daerah sekitarnya cukup baik dan beraspal, sehingga arus transportasi antar daerah relatif lancar dan mudah dijangkau dari berbagai tempat. Nagari Ulakan setelah menjadi kecamatan tersendiri mempunyai luas wilayah ± 4.150 Ha yang terdiri dari tanah persawahan ± 1.810 Ha, sawah tadah hujan/lading ± 652 Ha, perkebunan rakyat ± 823 Ha, perumahan dan prasarana sosial ± 777 Ha, jalan ± 57 Ha dan lain-lain ± 33 Ha. Berdasarkan data bulan Juli 1997, penduduk Kecamatan Ulakan Tapakis berjumlah ± 18.497 orang yang terdiri dari ± 3.709 kepala keluarga dengan perimbangan ± 8.596 perempuan dan ± 9.901 laki-laki. Jumlah laki-laki yang lebih banyak dari perempuan dari data tersebut pada umumnya terdiri dari para lanjut usia (lansia) yang biaya
8 Nagari Ulakan, Data Sekunder Demografi Nagari Ulakan, tahun 2015.
Universitas Sumatera Utara hidupnya sehari-hari dikirimkan oleh anak atau keluarga dari perantauan.
Sedangkan perempuan umumnya juga ikut membantu ekonomi keluarga dengan berdagang kecil-kecilan di pasar Ulakan tempat ramainya orang melakukan ziarah ke makam Syekh Burhanuddin. Kecamatan Ulakan Tapakis sekarang dibagi menjadi 12 Nagari dipimpin oleh seorang Wali Nagari yang lebih banyak hanya mengurus masalah administrasi pemerintahan, sedangkan masalah sosial kemasyarakatan masih dipegang kuat oleh pemilik wilayah atau kalangan Ninik
Mamak (yang berbingkah tanah).
2.2. Sosial Budaya Ulakan
Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan orang Ulakan pada umumnya mengaku berasal dari Darek (pusat alam Minangkabau). Orang yang tidak bisa menunjukkan dimana daerah Darek asal muasal nenek moyangnya berarti bukan asli orang Ulakan, sebab Ulakan itu rantau, setiap rantau jelas ada Dareknya.
Kepastian asal-usul Darek seseorang juga menjadi persyaratan untuk menentukan status sosialnya dalam tatanan kemasyarakatan. Bahkan raja, penghulu, dan datuk- datuk yang sekarang memegang jabatan secara turun-temurun juga harus bisa menjelaskan dimana sumber Dareknya. Dari sini jelas betapa keterkaitan dan ketersambungan hubungan antara darek dan rantau sangat penting. Suku tertua yang dianggap (diyakini) malaco (membuka) dan merintis Nagari, menebang hutan, membuka daerah baru adalah suku Panyalai (Chaniago) dan suku Koto.
Dari kedua suku asal ini ada “orang tua yang berempat” yang memiliki kedudukan khusus ditengah-tengah masyarakat. Empat suku lainnya merupakan
Universitas Sumatera Utara belahan (perkembangan), ada juga yang menyebut orang yang datang kemudian, yaitu suku Sikumbang dan Tanjung Belahan atau mengisi adat pada suku Koto dan suku Jambak, sedangkan Guci belahan atau mengisi adat pada suku Panyalai
(Chaniago). Pemuka adat Ulakan dan tokoh masyarakat menuturkan bahwa
Nagari Ulakan sebagai daerah rantau bagi pusat kerajaan Minangkabau telah lama dikenal terutama sejak kehadiran Syekh Burhanuddin abad ke- 17 M atau ke-12
H. Nama Nagari Ulakan ini kemudian menjadi pusat perhatian setelah Syekh
Burhanuddin mengembangkan agama Islam serta mendirikan surau sebagai pusat pendidikan Islam di Minangkabau masa itu. Empat orang teman Syekh
Burhanuddin yang dulu sama-sama belajar dengannya di Aceh, yaitu ;
(1) Datuk Maruhun Panjang dari Padang Gantiang,
(2) Si Tarapang dari Kubung Tigo Baleh Solok
(3) Muhammad Natsir Syekh Surau Baru dari Koto Tangah Padang dan
(4) Syekh Buyung Mudo dari Bayang Pulut-Pulut Pesisir Selatan.
Mereka disuruh belajar oleh Syekh Abdurrauf kepada Syekh Burhanuddin
Ulakan, karena ia pulang dulu sebelum izin gurunya, tetapi kemudian usahanya menyebarkan Islam tidak disambut oleh masyarakat kampungnya. Kegagalan mereka berempat menjadikan ia kembali belajar ke Aceh dan oleh gurunya diperintahkan untuk belajar pada Syekh Burhanuddin di Tanjung Medan Ulakan.
Syekh Burhanuddin menerima mereka dengan baik dan mendirikan surau untuk mereka di sebuah tempat tidak jauh dari Tanjung Medan lebih dekat ke pantai yang dinamakan oleh masyarakat ketika itu dengan Padang Galundi. Karena di daerah ini banyak tumbuh pohon galundi (sejenis tumbuhan berurat tunggang tapi
Universitas Sumatera Utara tidak mendatangkan buah, sekarang masih tumbuh di sekitar makam Syekh
Burhanuddin Ulakan). Pembukaan lahan untuk pendidikan dan surau baru itu diikuti oleh penduduk, yang kemudian lama kelamaan dikenal dengan tempat orang Ulakan, yaitu daerah surau tempat belajarnya empat orang sahabat Syekh
Burhanuddin yang diulak (ditolak) oleh gurunya untuk belajar yang kedua kali di
Aceh. Jadi Ulakan dalam bahasa Minang berarti orang yang ditolak. Di Nagari
Ulakan inilah, peninggalan Syehk Burhanuddin sampai saat ini, masih terpelihara baik berupa bangunan surau di Tanjung Medan dan Komplek Makam di Ulakan, yang menjadi monumen sejarah sekaligus dapat membantu menelusuri jejak sejarah yang di kandung dalam monumen tersebut. Selain itu dapat pula dijadikan sebagai salah satu sumber penulisan sejarah Syehk Burhanuddin. Sampai kini kedua tempat tersebut masih menjadi tujuan tempat ziarah bagi pengikutnya. Hal ini menunjukkan rasa hormat kepada gurunya, sekaligus mengenang jasa-jasa
Syehk Burhanuddin dalam mengembangkan agama Islam di Minangkabau.
Penamaan Nagari Ulakan juga diceritakan oleh orangtua disana sebagai
Nagari baru dibanding dengan daerah sekitarnya. Nagari ini baru dikenal luas setelah Syekh Burhanuddin menempatkan empat orang sahabatnya pada surau yang dibangunnya untuk mereka belajar ditempat itu. Cerita rakyat yang berkembang luas dalam masyarakat tradisional baik disekitar Ulakan maupun daerah lainnya, bahwa Nagari Ulakan ini sengaja dipilih oleh Syekh Burhanuddin karena dulu ia pernah beramanat untuk dikuburkan di daerah Padang Nan Galundi jika ia meninggal dunia. Setelah ia wafat amanat ini terlupakan oleh masyarakat.
Ketika mayat akan dkuburkan secara tiba-tiba terdengarlah suara shalawat dari
Universitas Sumatera Utara atas, lalu kemudian orang sadar bahwa mungkin tidak disitulah tempat kuburannya. Setelah mengikuti suara shalawat kemudian mereka berhenti di
Padang Galundi, tempat kuburan sekarang dan semenjak itulah Nagari Ulakan lebih dikenal secara luas karena merupakan amanat dari Syekh Burhanuddin sendiri. Bahkan sampai saat ini, dibelakang surau Tanjung Medan masih ada lobang yang oleh khalifah dan orang sekitar itu dinamakan kuburan sibohong.
Bila dilihat dari asal muasal Nagari Ulakan yang dirintis oleh nenek moyang orang Koto dan Panyalai maka dapat disimpulkan bahwa daerah Ulakan sama dengan daerah Pesisir Barat pulau Sumatera sudah dikenal pedagang asing
(Arab, Cina, Portugis, dan terakhir Belanda) sejak dulu. Ada informasi menyebutkan bahwa jauh sebelum datang ke Pesisir Pantai Barat pulau Sumatera ini sudah berkembang juga agama Hindu dan Budha. Bukti pengaruh agama
Hindu dan Budha pernah ditemukan dari arsitektur Rumah Ibadah (Surau) di
Pariaman dan sekitarnya yang berbentuk pura, dengan atap lancip ke atas. Begitu juga bahasa ibadah yang digunakan masih menggunakan sebutan Hindu misalnya kata shalat dengan sembahyang. Lebih-lebih lagi, dikalangan tradisionil masih ada yang menggunakan stanggi untuk tempat kemenyan yang akan dibakar ketika mendo’a. kemenyan dan alat yang berhubungan dengan ritual tersebut masih menjadi budaya keagamaan masyarakat Ulakan dan golongan yang terpengaruh dengan paham itu. Disaat basapa kemenyan, bunga dan limau (jeruk nipis) masih menjadi barang dagangan yang mendatangkan untung karena banyak peziarah yang membutuhkan. Bahkan di makam Syekh Burhanuddin hal seperti ini seakan- akan dijadikan budaya yang sulit untuk ditiadakan, misalnya meminta pasir
Universitas Sumatera Utara kuburan itu untuk obat, mencuci muka dengan air kerang yang ada di makam dan beberapa praktek lain yang sulit dicarikan referensinya kedalam sumber agama
Islam. Sebagai daerah rantau pemegang kekuasaan, Nagari Ulakan jelas sangat berbeda sekali dengan daerah Darek (Luhak Nan Tigo, Luhak Agam, Luhak
Tanah Datar dan Luhak Lima Puluh Kota). Sesuai dengan pepatah ada
Minangkabau, Luhak Bapanghulu, Rantau Berajo. Demikian juga dengan rantau
Ulakan di sini dikenal 11 Rajo (Raja) yang memiliki otoritas kewilayahan (urang nan punyo ulayat), yang berhak menentukan keadaan Nagari berikut dengan urusan anak Nagari rajo tersebut adalah sebagai berikut:
1. Rangkayo Rajo Sulaiman.
2. Rangkayo Rajo Mangkuto
3. Rangkayo Rajo Dihulu
4. Rangkayo Rajo Amai Said
5. Rangkayo Rajo Malakewi
6. Rangkayo Rajo Tan Basa
7. Rangkayo Rajo Majo Basa
8. Rangkayo Rajo Malako
9. Rangkayo Rajo Sampono
10. Rangkayo Datuk Tamin Alam
11. Rangkayo Datuk Batuah.
Raja-raja tersebut merupakan orang yang memiliki kewenangan luas sepanjang adat dan kehidupan sosial anak Nagari Ulakan sejak dulu sampai sekarang, tak terkecuali juga dalam menentukan siapa dan bagaimana masyarakat
Universitas Sumatera Utara disusun. Sebagaimana juga disebutkan dalam sejarah bahwa daerah pesisir adalah pintu gerbang bagi daerah darek (pusat) Minangkabau ke dunia luar. Karena itu ia memainkan peranan penting dalam perdagangan penting dengan pihak luar, sejak masih berada di bawah pengaruh kerajaan Aceh pada abad ke 15 sampai ke-17 M.
Berfungsinya pantai barat Sumatera Selatan Malako direbut Portugis tahun
1511M sekaligus memudahkan lalu lintas perdagangan saudagar-saudagar Asia.
Seperti dari Arab, Persia, dan Tiongkok ke daerah ini. Begitu juga hanya saudagar-saudagar Aceh dengan mudah dapat memasuki dan mendatangi pelabuhan Pantai Barat termasuk daerah Tiku Pariaman. Kondisi ini tentu akan membawa dampak bagi masyarakat Pariaman umumnya, tak terkecuali juga daerah Ulakan. Bukti kuatnya pengaruh Aceh dalam tatanan adat sistem sosial budaya Pariaman dapat diamati dari beberapa hal;
1. Ulakan seorang anak berbangsa atau dinasbahkan (gelarnya dinisbahkan
atau dikaitkan) dengan gelar ayahnya. Sehingga dikenal ada tiga gelar
kehormatan yang disandang oleh seorang laki-laki Pariaman yang sudah
kawin. Pertama Sidi, gelar sidi menurut pemuka adat dipunyai oleh orang-
orang yang memiliki garis keturunan dari Arab Sayyid yang kemudian
karena pengaruh bahasa berubah menjadi Sidi. Kedua disebut dengan
panggilan Sutan ini adalah gelar yang dipunyai oleh orang yang nenek
moyangnya berasal dari para sultan (pangeran) atau pemegang kekuasaan
di wilayah itu. Ketiga Bagindo, konon menurut beberapa riwayat punya
hubungan dengan Nabi, sehingga orang Pariaman sering menyebut Nabi
Muhammad dengan Bagindo Rasullah SAW. Inilah yang dimaksud
Universitas Sumatera Utara berbangso ke ayah dan beradat ke mamak. Orang laki-laki Pariaman
memiliki status yang jelas dalam keluarga, jika ayahnya Sidi maka
anaknya juga kan bergelar sidi, sementara gelar mamak (saudara laki-laki
ibunya) itu hanya pada seseorang yang diangkat menjadi penghulu dalam
kaumnya.
2. Dalam sistem gelar kehormatan yang diberikan kepada pemuka agama, di
daerah ini hampir sama dengan yang berkembang di Aceh, misalnya gelar
Tuanku, Imam, Labai, dan Khatib. Tuanku dalam pengertian masyarakat
Pariaman adalah seseorang yang telah berhasil menamatkan pendidikan
pada suatu surau, lalu dimuliakan (dihormati pengajiannya) dengan acara
jamuan makan yang didahului dengan menyembelih kambing dan disetujui
oleh ninik mamak serta unsur pemuka Nagari. Apabila gelar ini sudah
lekat tidak akan batal, gelar ini abadi sampai mati, tetapi gelar tersebut
tidak dapat diwariskan kepada anak atau kemenakan. Imam bukan seperti
yang dipahami ditempat lain. Imam adalah gelar adat yang berfungsi
sebagai mediasi (perantara) Tuanku dengan raja dalam membina
keagamaan masyarakat. Khatib biasanya pembaca khotbah. Gelar khatib
bagi masyarakat Ulakan adalah orang yang bertanggung jawab keagamaan
dalam sukunya dan di Mesjid Nagari. Sedangkan gelar Labai selain
Pariaman hanya dipakai pada tokoh yang sudah mempunyai dalam ilmu
agama, seperti Zainul Labay. Namun di Pariaman Labai dimaksudkan
untuk orang-orang yang diangkat untuk mengurus surau, mengurus
kematian dan berbagai upacara yang terkait dengan kematian dan acara
Universitas Sumatera Utara hari besar Islam lainnya, serta pendidikan anak-anak setiap harinya. Labai
disini dalam pengertian penanggung jawab pelaksanaan kegiatan agama di
surau.
3. Dalam bidang kesenian anak Nagari di Ulakan dan daerah Pariaman
lainnya dikenal jenis kesenian indang. Indang jenis permainan dengan
menggunakan tabuah kecil yang dinamakan rafa'i dilakukan oleh anak-
anak muda (remaja) dalam jumlah lebih kurang 10 orang gerak dan lagu
serta gendang yang dimainkannya hampir sama/mirip dengan tari seudati
yang populer sekali bagi rakyat Aceh9.
9 Duski Samad, syehk Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau,(Jakarta: the foundation, 2003)hlm65-73.
Universitas Sumatera Utara BAB III
BIOGRAFI SYEHK BURHANUDDIN
3.1. Sejarah Syehk Burhanuddin
Amran SN menulis (dalam syehk burhanuddin, tambo dunia, rabu, 18 Mei
2011), ada beberapa nama yang diberikan kepada tokoh Syekh Burhanuddin saat ia masih kecil, pertama beliu disebut Buyuang Panuah yang berarti anak lelaki yang bisa dipercaya,. Dan nama kedua adalah Buyuang Pono yang berasal dari kata Samparono. Dengan demikian sebutan dari kedua nama itu mempunyai arti yang hampir bersamaan. Panuah dalam bahasa Minang berarti cukup, tak berguncang, dan bisa juga ditafsirkan juga dengan sempurna. Sedangkan
Samparono memanglah sempurna, tanpa cela. Kemudian ia sehari-harinya di masa kanak-kanak dipanggil Pono. tapi ada juga yang menyebut nama kecil ketiga, yaitu si Kanun (Imam Maulana dalam bukunya, Mubalighul Islam, menyebutnya si Qanun). Namun dari ketiga nama tersebut yang paling terkenal namanya dan kebanyakan pendapat bahwa nama yang sering dipanggil sewaktu masa kecil adalah Pono. Nenek moyangnya berasal dari Nagari asal orang
Minangkabau, Guguk Sikaladi Pariangan Tanah Datar. Neneknya bernama Puti
Aka Lundang, seorang keturunan berbangsa, dan kakeknya dikenal dengan nama
Tantejo Garuhano. Dan dari kedua orang tersebut lahirlah, ayahnya yang bernama
Pampak Sati Karimun Merah, seorang yang dikenal luas dalam masyarakat sebagai Datu (Seorang dukun). Sedangkan ibunya, seorang putri, yang bernama
Universitas Sumatera Utara Puteri Cukup Bilang Pandai. Berdasarkan garis keturunan menurut ibunya
(Matrilinieal) Burhanuddin bersuku Guci10.
Masa kanak-kanaknya dihabiskan di daerah kelahirannya dibawa asuhan orantuanya. Ada suatu peristiwa yang menarik ketika ia masih berusia Sembilan tahun. Suatu hari ia bermain-bermain dengan teman temanya disebuah dataran tinggi, yang disebut Kuwaik Galundi nan Baselo, Pono dan teman teman sebayanya, asyik bermain. Mereka tidak sadar ada seekor harimau yang mengintai. Seketika-tika harimau itu menghambur ke arah Pono. Akan tetapi dengan sigap, Pono mengadakan perlawanan, akhirnya harimau itu kalah dan melarikan diri masuk hutan belantara. Sementara itu Pono menderita luka pada paha kiri, ternyata pada luka tersebut, urat kakinya putus. Walaupun ia dapat sembuh tapi Pono menjadi pincang. Karena ia pincang teman-teman sebayanya memanggilnya si Pincang. Kedua orang tua Pono, sejak kanak-kanak telah mendidik anak mereka itu dengan ahklak dan budi pekerti yang baik, sesuai dengan perkembangan dan kehidupan masyarakat Minangkabau. Pono oleh orang tuanya diserahkan pada saudagar Gujarat. Orang Gujarat tersebut mengajarkan
Pono ilmu agama, yaitu ilmu agama Islam.
Kemudian mereka pindah ke Sintuk. Perpindahan tersebut adalah karena kehidupan mereka kurang baik secara ekonomi, dan disamping itu karena masyarakat setempat masih beragama Budha. Maka Pono dan keluarganya dikucilkan, bahkan hendak dibunuh, mendengar kabar tentang seorang ulama besar yang mengajar di Tapakis. Menurut catatan, perjalanan yang dilakukan
10 Amran SN, Syehk Burhanuddin, Tambo Dunia, Rabu, 18 Mei 2011.
Universitas Sumatera Utara Pono bersama kedua orangtuanya, dari kampung halamannya Pariangan Tanah
Datar merancah hutan melewati Malalo, terus ke bukit Punggung Jawi, terus ke
Asam Pulau, dekat Kayu Tanam. Selanjutnya dengan mengikuti aliran batang
Tapakis, akhirnya sampai keluarga ini di Sintuk. Jalan itu merupakan jalan dagang, yang di awasi oleh Tuan Gadang dari Batipuh. Di tempat inilah keluaraga
Pampak memulai kehidupan baru. Usaha lama, beternak sapi dikembangkanya di tempat baru ini, karena daerah Sintuk mempunyai padang rumput yang subur.
Pono dengan rajin dan patuh mengembalakan ternak ayahnya, sehingga berkembang biak, dan membawa keluarga Pampak termasuk keluarga terpandang di daerah baru tersebut.
Binjai Chaniago (dalam mengenang sejarah syekh Burhanuddin) mengungkapkan, ada beberapa kekhususan bagi Pono. Ketika masih kecil, dia tidak mau menerima sesuatu hal dengan begitu saja. Dia selalu berfikir, bertanya, dan banyak menghabiskan waktunya di bukit-bukit atau di padang-padang rumput, sambil mengembala ternak ayahnya, untuk merenung sesuatu yang ia pertanyakan. Di malam hari Pono tekun mengikuti pelajaran ilmu kebathilan dan bela diri silat dari ayahnya, hingga menjadi bekal baginya dalam mengarungi kehidupan sehari-hari, berlanjut dalam perjalanan menuntut ilmu, kemudian mengembangkan agama Islam di Minangkabau. Pada zaman dahulu ketika
Minangkabau masih dipenuhi rimba raya, atau hutan belantara, dan bianatang buas, ilmu bela diri silat memang sangat diperlukan bagi para pemuda
Minangkabau, terutama bagi pengembara dalam mempertahankan diri dari
Universitas Sumatera Utara bahaya-bahaya yang mengancam. Bahkan dulu, anggota pasukan kerajaan
Pagaruyuang adalah terdiri dari pesilat-pesilat tangguh.
3.2. Berguru Kepada Tuanku Madinah
Dalam pengembalaan ternak ayahnya di Tapakis, Pono mendapat teman baru, seorang pemuda sebaya dengannya, bernama Indris, suku Koto, berasal dari
Tanjung Medan, Ulakan. Ia mempunyai budi pekerti yang baik dan halus. Mereka menjadi teman setia (kelak indris diberi gelar Khatib Majolelo oleh Syehk
Burhanuddin sekembali dari Aceh). Dari Indris, Pono mendapat keterangan bahwa di Nagari Tapakis berdiam seorang ulama berasal dari Aceh, bernama
Syehk Abdul Khusasi atau Syehk Abdul Arif. Ulama ini juga sering disebut dengan nama Tuanku Air Sirah, karena dia bermukim dan mengajar di Air Sirah, nama Jorong di Nagari Tapakis. Ia seangkatan dengan Syehk Abdurrauf as
Singkil, dan sama-sama berguru kepada Syehk Ahmad Kosasih dan Syehk Abdul
Qadir al Jailani di Madinah. Kehadiran Tuanku Madinah di Tapkis kurang mendapat sambutan dari masyarakat, teruma dalam kaum adat yang teguh memegang tradisi mereka. Tapi ada juga beberapa orang yang menerimanya.
Sehingga banyak juga orang belajar ilmu agama Islam pada Syehk Abdul Arif atau Tuanku Madinah. Karena ia datang dari Arab yang berasal dari Madinah.
Konon kabarnya ketika berangkat dari Madinah, Syehk Abdul Arif dibekali oleh gurunya sebuah perahu, dan segengam air. Sebelum berangkat gurunya berfatwa “agar ia mendarat dan berhenti nanti, bila bau dan rasa air di tempat tersebut sama dengan bau dan rasa air yang dibawa dari Madinah”.
Universitas Sumatera Utara Dengan segala suka, duka dan rintangan dalam perjalanan, akhirnya sampailah
Syehk Abdul Arif di pantai Tiram Tapakis, dimana rasa dan bau air lautnya sama dengan rasa dan bau air yang dibawanya dari Madinah. Kemudian ia mulai menetap dikawasan yang tak jauh dari pantai Tiram Tapakis, termasuk Kecamatan
Ulakan Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Di sinilah ia dengan sabar dan gigih, secara perlahan-lahan dan sembunyi-sembunyi, mengajarkan ajaran Islam kepada masyarakat sekitar. Namun, setelah sekian lama hasilnya belum menggembirakan, pasalnya anak nagari lebih teguh memegang adat istiadat jahiliyah dan kepercayaan lama yang animisme.
Suatu ketika dengan ajakan Indris Majolelo, Pono dapat berkenalan dengan Syehk Madinah. Melihat Pono, ia menjadi tertarik kepada pemuda ini.
Kemudian setelah bertemu beberapa kali, Syehk Madinah menjatuhkan pilihannya kepada Pono, maka pono diangkat sebagai murid pertamaya. Pada saat itu juga
Pono langsung mengucapkan dua kalimat Shahadat, sebagai kewajiban menjadi penganut agama Islam yang khalis di hadapan Syehk Madinah. Pono dengan tekun belajar pada gurunya itu. Karena kecerdasan dan ahklaknya yang terpuji,
Tuanku Madinah menyayangi Pono. Ia seorang murid yang rajin, dan cepat mengamalkan segala fatwa gurunya. Ia termasuk murid yang pandai, dan berotak encer, selama proses belajar Pono cepat menyerap pendidikan yang diberikan
Syehk Madinah. Ia cepat memahami dan menangkap apa yang diajarkan oleh gurunya.
Kemudian secara perlahan-lahan tapi pasti, Pono terus mendapat pembekalan agama dari Syehk Madinah. Melihat Pono sudah mengusai ajaran
Universitas Sumatera Utara Islam, maka sesuai dengan fatwa gurunya di Madinah, bahwa ia hanya ditugaskan untuk mengajarkan kepada satu orang saja pada setiap daerah yang disinggahinya.
Maka Syehk Madinah merasa cukup waktunya untuk meninggalkan Pono sendirian, dan pergi ke tempat lain. Sebelum Syehk Madinah pergi meninggalkan
Pono, ia sempat berpesan kepada Pono agar memperdalam agama ilmu Islam kepada Syehk Abdurrauf as Singkil di Aceh. Setelah gurrunya pergi, Pono sangat merasa kehilangan, seperti ayam kehilangan induknya, Pono sering bermenung dan terharu atas kepergian Tuanku Madinah. Hati Pono amat sedih karena secara tidak diduga sama sekali guru yang dihormati dan disayanginya telah pergi.
Harapan Pono untuk menimba ilmu sebanyak mungkin dari gurunya itu menjadi gagal. Menurut cerita lisan turun-temurun di kalangan masyarakat, tidak ada seorangpun yang mengetahui kedatangan dan kepergian Syehk Madinah di kawasan tersebut. Syehk Madinah yang dijuluki dengan wali Allah itu mempunyai kebiasaan, “datang secara tiba-tiba, begitu juga dengan kepergiannya”. Kata salah seorang tetua Nagari Tapakis. Keberadaan dan kepergianya dianggap warga sekitar sebagai suatu kejadian luar biasa, dan tidak bisa dipahami dengan akal sehat. Tanda keberadaan Syehk Madinah diyakini oleh warga waktu itu, dengan ada sebuah batu dan sebuah jeruk sebagai bentuk kemunculan Syehk Madinah di pantai Tiram Tapakis.
Sepeninggalan Tuanku Madinah Pono kembali ke Sintuk, dengan perasaan hiba dan putus harapan. Ia sering menyendiri dari pergaulan ramai, dan merasa masygul melihat kemungkaran yang terjadi dan dilakukan anak Nagari. Pada suatu waktu untuk mengobati kemasygulannya atas kemungkaran yang dilakukan
Universitas Sumatera Utara anak Nagari, maka ia dengan tekun dan sepenuh hati untuk mengamatkan fatwa gurunya dan ajaran Islam yang diterimanya dari Tuanku Syehk Madinah. Secara sembunyi-sembunyi Pono sempat mengajarkan dan meyakinkan teman-teman dekat, serta tetangganya akan hakekat kebenaran agama Islam. Lambat laut agama
Islam mulai memasuki hati sebagian kecil penduduk Sintuk, yang dimulai dari ayah dan ibunya. Dakwah Pono demikian tidak berlangsung lama, tantangan demi tantangan dari anak Nagari, terutama dari para penghulu suku dan pinpinan
Nagari. Mereka merasa wibawanya akan berkurang karena dakwah Pono.
Akhirnya mereka menasehati Pono agar segera meninggalkan kegiatan dakwahnya. Namun Pono tetap melaksanakan kegiatan dakwahnya, akibatanya tantangan semakin menjadi-jadi. Mulanya mereka menganianya dan meracun ternak ayahnya, kemudian meninggkat dengan ancaman pengusiran. Puncak tantangan yaitu ketika keputusan musyawarah nagari untuk membunuh Pono, apabila tidak segera menghentikan dakwahnya, hingga Pono tidak dapat tempat berpijak lagi di Sintuk.
3.3. Memperdalam Ilmu Agama Ke Aceh
Pada saat krisis dan berbagai cobaan tersebut, Pono semakin kokoh pribadinya. Di saat itulah dia ingat pesan gurunya, Tuanku Madinah, bahwa bila keadaan sudah memungkinkan ia segera melanjutkan ilmunya kepada Syehk
Abdurrauf as Singkil di Aceh, seorang ulama besar yang terkenal di zaman itu.
Ketika Tuanku Madinah masih hidup ia pernah menuturkan kepada Pono, Syehk
Abdurrauf as Singkil tersebut adalah saudara sepaguruannya. Mereka sama-sama
Universitas Sumatera Utara pernah menimba ilmu pada Syehk Ahmad Qusyasyi di Madinah. Setelah teringat pesan gurunya Tuanku Madinah, Pono kembali segar dan tegar. Tujuannya sudah mantap memperdalam ilmu agama Islam ke Aceh, kepada ulama besar Syehk
Abdurrauf as Singkil. Pesan guru ini, disampaikan dengan khidmat kepada kedua orangtuanya dan mereka merestuinya. Lalu ketiganya berserah diri dan memohon perlindungan ke hadapan Allah. Manusia boleh berencana tapi semuanya itu Allah jualah yang menentukan.
Dalam usia muda, pada malam hari Pono meninggalkan Nagari Sintuk menuju Aceh untuk mempelajari dan memperdalam agama Tauhid Islam. Ia dilepas oleh kedua orangtuanya beserta sahabat karibnya Indris dengan perasaan galau, berat, dan merasa kehilangan. Sebelum Pono berangkat ia sujud mohon maaf dan restu kepada kedua orangtuanya. Setelah itu, dengan air mata yang terus membasahi kedua belah pipinya, Pono dengan tegar dan penuh semngat mulai melangkahkan kakinya ke luar rumah. Ia dilepas dengan berat hati oleh kedua orangtuanya tercinta. Bagi orangtua kepergian pono ke Aceh sama saja dengan kehilangan anak untuk selamanya, karena Aceh begitu jauh, dan medan perjalananya sangat berat serta berbahaya. Sehingga pamitnya Pono untuk pergi ke Aceh, bagaikan pamit untuk selamanya yang tidak kembali lagi. Namun demikian, Pono sempat berpesan kepada teman akrabnya Inddris, bahwa dia akan kembali akan selamat, dan Indris juga berjanji akan menanti kedatangan Pono sahabat karibnya. Berbekal semangat dan tekad yang bulat, disertai penyerahan diri kepada Allah, Pono berangkat secara diam-diam. Ini dilakukannya karena khawatir diketahui oleh mata-mata pemimpin nagarinya. Tujuannya sudah bulat
Universitas Sumatera Utara ke Singkil Aceh Selatan untuk berguru kepada Syehk Abdurruf as Singkil seorang ulama besar Aceh yang terkenal waktu itu.
Nagari Sintuk sudah jauh ditinggalkan Pono, tanpa kawan ia menyelusuri pesisir Samudra Nusantara. Kemudian secara kebetulan dalam perjalanan ia bertemu dengan empat orang pemuda sebaya dengannya. Mereka lalu berkenalan, dan ternyata keempat pemuda itu mempunyai niat yang sama, yaitu hendak pergi ke Aceh untuk menuntun ilmu agama kepada Syehk Abdurrauf. Mereka adalah
Datuk Maruhum dari Padang Ganting, Tarapang dari Kubang Tigo Baleh,
Muhamammad Nasir dari Koto Tangah, dan Buyuang Mudo dari Bayang Tarusan.
Terjadilah persahabatan diantara mereka. Lalu setelah musyawarah didapat kata sepakat Pono diangkat menjadi ketua rombongan dan diterimanya dengan penuh tanggung jawab. Melalui suka dan duka selama dalam perjalanan hilang hari berganti hari, hilang bulan berganti bulan, akhirnya dengan selamat mereka samapai di Singkil, langsung menghadap serta memperkenalkan diri kepada
Syehk Abdurrauf. Pono sebagai juru bicara menyampaikan niat yang dikandung semenjak dari kampung halaman dengan sopan, tak lupa pula menyampaikan pesan gurunya Tuanku Madinah. Mendengar penuturan dan permintaan yang disampaikan oleh Pono sebagai ketua rombongan, dengan segala senang hati
Syehk Abdurrauf menerima dan mengabulkan permohonan calon muridnya. kemudian Syehk Abdurrauf teringat pesan gurunya Syehk Ahmad Qusasy
“apabila sampai engkau ke negri Aceh akan datang orang berlima nan balima dibawa kitab,seorang dari Ulakan yaitu Syehk Burhanuddin akan diberi kitab, jikalau hendak pai naik haji ke Mekkah, jangan diberi izin Syehk Burhanuddin,
Universitas Sumatera Utara disanalah ilmu yang akan diputuskan, sampaikan disana ilmu semulanya” dan akhirnya Syehk Abdurrauf mengganti nama Pono menjadi Burhanuddin.
Burhanuddin menuntut ilmu dan memperdalam ajaran Islam selama 30 tahun, sekaligus mempunyai kesempatan belajar tentang kehidupan istana kepada ulama besar dan mubaligh terkemuka Aceh Syehk Abdurrauf. Sebab pada zaman
Sultanah Syafiatuddin meminta di Aceh(1641-1675) Syehk Abdurrauf diangkat sebagai Mufti besar Aceh. Syehk Abdurrauf memberikan perhatian istimewa kepada Burhanuddin. Hubungan antara murid dengan guru terlihat sangat intim, di samping belajar, Burhanuddin juga membantu gurunya, mengembala ternak.
Kemudian, membuat dan memelihara kolam ikan, sebagai bagian dari kegiatan rangkang (perguruan). Ketika itu, murid-murid di rangkang Syehk Abdurrauf diharuskan berusaha sendiri dan mandiri, serta mempunyai keterampilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Burhanuddin diajak tinggal serumah dengan gurunya. Tugas Burhanuddin bertambah, dengan mengasuh anak-anak sang guru.
Ia juga sudah dianggap sebagai keluarga sendiri oleh Syehk Abdurrauf. Dalam belajar, minat perhatian dan kecerdasan Burhanuddin sungguh luar biasa, diikuti dengan daya tangkap yang tinggi. Tidak mengherankan bila Burhanuddin ketika itu termasuk murid terpandai di antara pelajar yang ada disana. Karena itulah
Syehk Abdurrauf mencurahkan semua ilmu yang pernah dimilikinya dan kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Burhanuddin. Ilmu yang dipelajarinya yaitu ilmu syariat Islam dengan cabang-cabangnya Tauhid,Tasawuf,
Nahu, Sharaf, Hadis juga ilmu Fiqih dan Taqwim(hisab). Di samping itu ia juga
Universitas Sumatera Utara memperdalam ilmu dalam bidang hukum Islam dan tentang kehidupan istana dari
Syehk Abdurrauf.
Burhanuddin merupakan seorang murid yang sangat patuh kepada gurunya. Hal ini diceritakan oleh Dr.Syehk Haji Jalaluddin dalam salah satu bukunya sebagai berikut :
“dari sehari ke sehari tumbulah kasih sayang, takut dan malu kepada guru Syehk Abdurrauf. Pada suatu hari, Syehk Abdurrauf mengunyah- ngunyah sirih, tiba-tiba tenpat kapur sirihnya terlepas dari tangannya, jatuh ke dalam kakus(WC) yang sangat dalam yang telah dipakai berpuluh-puluh tahun. Tuanku Syehk Abdurrauf berkata: “siapa diantara kalian sebanyak ini, yang sudi membersihkan kakus itu sebersih- bersihnya. Selain itu juga sambil mengambil tempat sirih saya yang jatuh ke dalamnya”. Mendengar kata Syehk Abdurrahman tersebut, kecuali Burhanuddin tak ada seorang murid pun yang bersedia. Mereka merasa enggan,jijik dan malas mengerjakan apa yang diperintahkan oleh gurunya. Burhanuddin bekerja berjam- jam membersihkan kakus itu, sehingga bersih dan tempat kapur sirihpun ditemukan. Kemudian tempat sirih itu dibersihkan dan dipersembahkannya kepada Syehk Abdurrauf. Dan Syehk Abdurrauf menerimanya, serta berdoa dengan sepanjang-panjang doa. Selanjutnya Syehk Abdurrauf itu berkata:
“tanganmu ini akan dicium oleh raja-raja, penghulu-penghulu orang besar di Minangkabau dan muridmu itu tidak akan putus-putusnya sampai akhir zaman. Dan ilmu kamu akan memberkati dunia ini. Aku namai kamu saidi Syehk Burhanuddin”.
Menurut Adriyetti Amin mengatakan ada beberapa macam bentuk ujian yang diberikan Syekh Abdurrauf pada Syekh Burhanuddin, yaitu :
a) Mendukung gurunya dari tempat tinggalnya ke tempat belajar, karena hal
seperti ini ia terima dari gurunya Syekh Ahmad al-Qusyaisyi.
Universitas Sumatera Utara b) Pada suatu hari Syekh Abdurrauf dihadapan murid-muridnya yang banyak,
menyuruh muridnya itu untuk mengambil tempat kapur sadah yang beliau
jatuhkan kedalam kakus atau wc. Berkatalah salah seorang yang guru tua
pada Syekh Abdurrauf. Angku guru kami, apa yang aku itu kami amalkan
dan kami patuhi, tapi permintaan kami pada angku, beri waktu kami satu
atau dua hari untuk mengambil tempat kapur itu, tatkala Syekh
Burhanuddin mendengar permintaan guru tua itu, Syekh Burhanuddin
menjawab biar saya yang mengambilnya sekarang, dengan menyerahkan
diri pada Allah Syekh Burhanuddin masuklah kedalam kakus itu kemudian
keluar lalu terus mencuci tempat Sadah itu. Teman-temannya heran karena
ia masuk ketempat najis itu pakaiannya sedikitpun tidak kotor. c) Bentuk ujian lain yang diberikan gurunya Syekh Abdurrauf adalah
menyuruh Syekh Burhanuddin mengambil kitab dalam mesjid dan bawa
ke surau ketempat gurunya. Setelah mendengar itu ia langsung pergi dan
membawa kitab-kitab itu kehadapan gurunya, Syekh Abdurrauf menyuruh
Syekh Burhanuddin duduk di depannya dan mengajarkan segala ilmu yang
ada dalam kitab itu akhirnya setelah isi kitab itu diajarkan ia dengan cepat
mengerti, memahami dan mengamalkannya, setelah selesai belajar kitab
itu dikembalikan ke dalam Mesjid. d) Ujian berikutnya, Syekh Burhanuddin dihadapan guru-guru tua, Syekh
Abdurrauf memberikan sebuah pertanyaan yang sulit. Pertanyaan itu tidak
terjawab oleh guru-guru tua, lalu pertanyaan itu diberikan pada Syekh
Burhanuddin. Dengan penuh rasa hormat dan dengan lemah lembut, Syekh
Universitas Sumatera Utara Burhanuddin bisa menjawab pertanyaan itu dengan sempurna. Dengan itu
Syekh Abdurrauf mengerti bahwa ilmunya Syekh Burhanuddin sudah
mantap, dan ini contoh bagi yang lain patuh, adab, dan tertib pada guru,
maka ilmu itu akan berkah. e) Ujian berikutnya yang diberikan oleh Syekh Abdurrauf pada Syekh
Burhanuddin adalah menyuruh Syekh Burhanuddin pergi ke pasar, padahal
Syekh Burhanuddin baru pulang dari gembala. Tanpa membuang waktu
Syekh Burhanuddin berangkat ke pasar. Sepeninggalan Syekh
Burhanuddin berangkat ke pasar, Syekh Abdurrauf bersama murid-
muridnya berangkat ke seberang sungai besar di Aceh dan meninggalkan
pesar pada penghuni surau. Bila Syekh Burhanuddin kembali dari pasar,
suruh menyusul ke seberang. Setelah Syekh Burhanuddin pulang dari
pasar dan mendapat pesan tersebut, maka Syekh Burhanuddin langsung
berangkat ke seberang tersebut. Setelah dicarinya sampan untuk
menyeberang, semua sampan sudah tidak ada setelah berusaha hilir mudik
mencari sampai akhirnya dengan hati yang bulat beliau berenang pakaian
yang ia pakai ia buka dan diikatkan kekepala dengan keyakinan yang
penuh beliau injakan kakinya ke air tetapi Allah berbuat apa yang
dikehendakinya maka kaki Burhanuddin telapak kakinya tidak terbenam
ke dalam air hanya terletak saja diatas air, maka beliau berjalanlah diatas
air dengan selamat setelah sampai diseberang ia berjumpa dengan gurunya
lalu ditanya dengan apa Syekh Burhanuddin ke seberang, dengan rasa
hormat ia menjawab hanya berjalan kaki dan orang banyakpun tercengang.
Universitas Sumatera Utara f) Ujian yang lainnya adalah, Syekh Abdurrauf memerintahkannya untuk
berkhalawat/bertarak ke gua batu di hulu sungai Aceh selama 40 hari.
Mendengar perintah itu, Syekh Burhanuddin berangkat menuju gua batu
melalui hutan belantara yang tidak pernah ditempuh manusia. Dengan
berserah diri pada Allah ia melangkah masuk hutan itu. Setelah berapa
jauh dalam hutan, ia berjumpa dengan serombongan besar babi hutan.
Syekh Burhanuddin menahan langkahnya sampai babi itu berlalu. Atas
pertolongan Allah babi itu tidak mengganggu perjalanan Syekh
Burhanuddin. Dilanjutkan perjalannya, akhirnya kakinya itu terinjak
sesuatu yang dingin, setelah ia lihat rupanya seekor ular besar yang sedang
tidur yang sudah menegakkan kepalanya. Ular itu menghadap ke Syekh
Burhanuddin dengan lidah menjulur keluar dan bercabang tiga. Setelah ia
berdo’a kepada Allah dan ular itu pun bergerak masuk hutan yang lebat
itu. Dalam melanjutkan perjalanan tak berapa lama setelah itu, ia
dikejutkan oleh suara auman seekor harimau besar yang sedang bermain
dengan anaknya. Melihat hal itu Syekh Burhanuddin tidak gentar, ia yakin
dengan kekuasaan Allah ia melanjutkan perjalanan, dilihat sekeliling tidak
ada jalan karena rimba yang sangat padat dan duri yang sangat padat.
Syekh Burhanuddin berdo’a pada Allah, kiranya Allah menunjukkan jalan
yang akan ditempuh, dan teringat dengan gurunya tiba-tiba datang seekor
gajah putih yang lalu dihadapannya, tidak melihat kekanan dan kekiri, ia
menerubus hutan itu, dan memutus akar yang melintang. Dengan jalan
yang terbuka oleh gajah putih, Syekh Burhanuddin mengikuti jalan itu dan
Universitas Sumatera Utara didepannya, Syekh Burhanuddin berjumpa dengan tebing tinggi dan terjal,
tidak bisa didaki, gajah putih tadi tak tahu kemana perginya, tetapi air
sungai Aceh sudah kedengaran derunya. Sementara ia termenung itu, dari
dalam gua terbang seekor burung elang bondo, maka ditujunya tempat
keluar elang itu. Sesuai dengan petunjuk gurunya, dipintu gua itu tumbuh
sebatang puding yang merah daunnya, yang dekat pohon itu terbit sebuah
mata air yang jernihnya. Syekh Burhanuddin melanjutkan perjalanan
kedalam gua itu, dengan mengucapkan salam dan membaca salawat serta
bertasbih pada Allah sesampai didalam ia terkejut, didalam gua itu
dilihatnya ada batu yang tersusun rapi dan dibalik itu ia melihat ada
lapangan yang agak luas dan dari sana ada satu cahaya yang lunak untuk
menerangi. Syekh Burhanuddin menuju sebuah batu besar yang terletak
ditengah-tengah gua. Tidak jauh dari situ ada sungai kecil yang mengalir.
Sungai itu bermacam-macam bunyinya, kadang bunyi anak menangis,
kadang-kadang bunyi orang yang berjalan dan kadang dengar suara yang
gemuruh. Dengan berserah diri pada Allah, berzikir dan bertawajuk pada
Allah dan atas jalan tarikat syatariyah yang beliau terima dari gurunya.
Setelah empat puluh hari dia berkhalawat, akhirnya ia kembali pada
gurunya. g) Setelah beberapa ujian ia lalui, akhirnya Syekh Abdurrauf memberikan
ujian, mungkin yang paling berat yaitu Syekh Burhanuddin disuruh
menghuni rumah dengan dua anak gadisnya yang cantik dan baik. Gadis
itu sangat jinak pada Syekh Burhanuddin tak obahnya seperti istri pada
Universitas Sumatera Utara suaminya. Seiring itu iblis datang menggoda Syekh Burhanuddin, tetapi
untung ia sadar, ia turun dari rumah, setiba dibawah ditelapak jenjang
beliau pukul kemaluannya dengan batu sehingga beliau tidak sadar diri
dan pada waktu itu Syekh Abdurrauf datang ditengah malam itu, akibat
kemaluannya yang ia pukul sehingga ia tidak punya anak/keturunan11.
3.4. Kembali Ke Minangkabau
Menurut Addriyenti Amir dan Sudamoko guru Syehk Burhanuddin, Syehk
Abdrrauf as Singkil telah mengajarkan semua kitab dengan sempurna kepada
Syehk Burhanddin. Dan karena daya tangkap Syehk Burhanuddin melebihi kawan-kawan yang ada yang ada pada masanya tentu saja dengan izin Allah
SWT. Ia dapat menerima dengan baik. Hal tersebut diketahui dari sahabat Syehk
Burhanuddin yang berempat yaitu Datuk Mauhum Panjang dari Padang Gantiang
Batu Sangkar, Tarapang dari Kubang Tigo Baleh Solok, Buyuang Mudo dari
Bayang Pulut-Pulut Bandar Sepuluh Pesisir Selatan dan Muhamd Natsir dari Koto
Tangah Padang, hendak melanjutkan kembali belajar kepada gurunya, Syehk
Abdurrauf, tapi ditolak dan direkomendasikan supaya kembali ke Minangkabau belajar kepada Syehk Burhanuddin di Tanjung Medan Pariaman, karena kata
Syehk Abdurrauf semua kitab telah dibawa oleh Burhanuddin ke Pariaman artinya semua isi kitab sudah hafal oleh Syehk Burhanuddin.
Setelah cukup menimba dan menerima ilmu pengetahuan agama serta penegtahuan umum selama 30 tahun pada Syehk Abdurrauf serta melalui ujian-
11 Jusna Tunus, Telaah Terhadap Konsep Pendidikan Tradisional Surau Syehk Burhanuddin Ulakan Pariaman, (Riau: Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2011)
Universitas Sumatera Utara ujian berat dilengkapi dengan berkhalwat 40 hari di gua hulu sungai Aceh, di kaki
Gunung Peusangan, sebelah Selatan Beureun, akhirnya Burhanuddin berhasil lulus dengan baik, maka tibalah masanya Burhanuddin meninggalkan Aceh. Masa pendidikan diakhiri dengan perpisahan anatara guru dan murid dengan penuh kasih sayang. Pada malam perpisahan itu terjadi percakapan antara Syehk
Abdurrauf dengan Syehk Burhanuddin seperti diceritakan oleh Dr. Syehk Haji
Jalaluddin:
“malam ini berakhilah ketabahan dan kesungguhan haimu nenuntut ilmu tiada taranya. Suka duka belajar telah engkau lalui dengan sepenuh hati. Berbahagialah engkau dengan rahmat dan karunia Allah, telah selama menempuh masa khalwat 40 hari lamanya. Engkau beruntung di dunia dan berbahagia di akhirat kelak. Sekarang pulanglah engkau ke tanah tumpah darahmu menemui ibu dan ayahmu, yang telah lama engkau tinggalkan. Di samping itu tugas berat dan mulia menantimu untuk mengembangkan Islam disana”.
Syehk Abdurrauf menambahkan:
“hatimu telah terbuka dan aku mendoakan ke hadhirat Allah subhanahu wataala, semoga cahaya hatimu menyinari seluruh alam minangkabau. Kini engkau aku lepaskan. Namun dengar baik-baik, bahwa guru di Madinah, yakni Syehk Ahmad Qusasyi, Syehk Qadir al Jailani dan Syehk Launawi, ketika aku berangkat ke tanah jawi (Aceh) ini, beliau memberi amanat yang harus kusampaikan kepadamu, bahwa sesungguhnya nama Burhanuddin yang engkau pakai adalah nama pemberian guruku itu, dan beliau mengirimkan sepasang jubah dan kopiah. Terimalah ini dari aku, supaya sempurna amanat yang kubawa dan suatu kemulian bagi engkau dengan sepasang pakaian ini tanda kebesaran ilmu yang penuh di dadamu, ajarkanlah ilmu apa-apa yang ditakdirkan oleh Allah. Kalau kamu tetap kasih, takut, malu, patuh kepadaku nanti kamu akan mendapat hikmat kebatinan, yakni seolah-olah ruhaniyah saya menjelma kepadamu. Kalau kamu berkata seolah-olah itu kataku. Kalau kamu mengajar seolah- olah itu adalah pengajaranku. Bahkan terkadang-kadang rupa jasadmu seoalah-olah itu adalah jasadku. Kalau kamu sudah begitu rupa, mudahlah bagi kamu mengajarkan agama Islam kepada siapa pun juga. Itulah yang dikatakan Rabithah Mursyid. Seorang yang mendapat Rbithah Mursyid orang itu akan terus mendapat taufik dan hidayah Allah. Dan diberi ilmu hikmah terbuka rahasia Allah dan berbahagialah orang itu
Universitas Sumatera Utara dunia akhirat, insya-Allah. Kita hanya bercerai pada lahir, pada batin kita tidak bercerai ujar Syehk Abdurrauf menutup wejangannya”.
Seperti ditulis Dr Syehk Haji Jalaluddin. Hari itu merupakan hari perpisahan antara guru dan murid, dan Syehk Burhanuddin meninggalakan Mesjid Singkil untuk selama-lamanya. Syehk Abdurrauf melepas Syehk Burhanuddin dengan sebuah taufah dan menyediakan perahu disertai Sembilan orang yang akan mengawal selama dalam perjalanan. Rombongan ini dipinpim oleh Tuanku Nan
Basaruang dengan pesan, supaya mengantarkan Syehk Burhanuddin sampai di kampung halamannya.
Pada saat Syehk Burhanuddin pulang dari Aceh menuju Minangkabau telah terjadi perubahan hubungan anatar Aceh dan Minangkabau. Daerah-daerah yang selama ini berada di bawah kekuasaan Aceh, satu persatu melepaskan diri.
Demikian halnya dengan Minagkabau, juga berusaha melepaskan diri. Dalam usaha tersebut, telah terjadi beberapa perkelahian dan peperangan yang banyak memakan korban. Di antaranya, gugur seorang panglima bernama Sisangko, kemanakan panglima Kacang Hitam, cucu Ami Said yang berkubur di pulau
Angso Duo Pariaman. Setalah menempuh perjalanan jauh, akhirnya perahu Syehk
Burhanuddin berhasil mendarat di pulau Angso, di muka pantai Pariaman untuk beristrirahat dan meninjau keadaan di darat. Kemudian bersama dengan pengawalnya mereka mendekati pantai Ulakan. Tapi karena perahu Syehk
Burhanuddin adalah perahu Aceh, sehingga penduduk di sekitar pantai telah bersiap-siap dan berjaga-jaga lengkap dengan senjata menunggu kemungkinan yang akan terjadi. Melihat keadaan seperti itu, Syehk Burhanuddin berpendapat lebih baik kembali ke pulau Angso menunggu keadaan yang baik. Namun Tuanku
Universitas Sumatera Utara Nan Basruang berpendapat lain, tugasnya yakni mengantarkan orang kampung mereka sendiri, yang telah merantau ke Aceh beberapa tahun. Dengan keras hati ia mendayung perahu sendiri ke pantai. Ia disambut dengan perkelahian melawan orang banyak. Walaupun ia memperlihatkan keberanianya namun akhirnya gugur dalam melakukan tugas yang diembannya.
Syehk Burhanuddin tinggal sendirian di pulau Angso setelah pengawalnya yang delapan orang itu disuruhnya kembali ke Aceh. Melalui pengawalnya itu ia berpesan kepada Syehk Abdurrauf bahwa ia telah sampai di kampung halamnya, dan akan menyalamatkan jenazah Tuanku Nan Basarung. Melalui seorang nelayan, Syehk Burhanuddin mengirim sepucuk surat kepada teman akrabnya
Idris Majolelo, yang memberitahukan bahwa ia sudah kembali dari Aceh dan sekarang berada di pulau Angso. Perahu yang mendekati pantai Ulakan kemarin adalah perahunya yang disediakan oleh Syehk Abdurrauf untuk membawa pulang dari Aceh. Setelah menerima surat tersebut, Idris Majolelo menyampaikan isi dan maksud surat tersebut kepada para penghulu, pemimpin dan rakyat Ulakan.
Setelah diadakan musyawarah semua setuju untuk menerima kedatangan Syehk
Burhanuddin di kampung halamanya sendiri. besoknya Idris Majolelo bersama sejumblah tokoh masyarakat Ulakan menjemput ulama tersebut ke pantai Kenaur dekat Pariaman, tempat Syehk Burhanuddin mendarat.
Kemudian kedua teman ini berjabat tanagan dan berpelukan, setelah sekian lama berpisah. Lalu mereka berangkat ke Padang Lagondi Ulakan.
Disanalah mereka bermalam, sebagai tanda kenang-kenangan kembali dari menuntut ilmu, Syehk Burhanuddin menanam ranting pinago biru yang dibawa
Universitas Sumatera Utara dari Aceh di pantai Ulakan. Setelah menanam pohon tersebut, ia kemudian berpesan kepada Indris Majolelo bila ajal sampai kelak agar ia dikuburkan dekat pinago biru tersebut. Kemudian Indris Majolelo membawa Syehk Burhanuddin ke
Tanjung Medan,dan dalam perjalanan Indris Majolelo menceritakan keadaan orantuanya, yang telah lama meninggal, dan telah diselenggarakan dengan baik,
Syehk Burhanuddin mengucapkan terima kasih kepada sahabatnya yang baik itu, sekaligus mendoakan kedua orangtuanya yang telah tiada.
3.5. Mendirikan Surau Di Tanjung Medan
Di Tanjung Medan ada sebidang tanah milik Idris Majolelo, pemberian dari raja Ulakan. Ke tanah inilah Syehk Burhanuddin dibawa oleh Idris Majolelo.
Lalu didirikan rumah sederhana untuk tempat tinggal Syehk Burhanuddin, kemudian dari tempat tersebut dumulainya tugas suci mengajar dan meyebarkan ajaran Islam. Usaha pertama dilakukan di Lingkungan keluarga Idris Majolelo.
Kemudian diikuti oleh tetangga terdekat. Dari keseharian masyarakat Syehk
Burhanuddin secara beransur-ansur menanamkan nialai-nilai aqidah Islam, akhirnya sebagian masyarakat Tanjung Medan sudah menjadi penganut agama
Islam yang taat. Syehk Burhanuddin mengajarkan agama Islam dengan cara lemah lembut dan damai. Jalan yang dilakukan adalah menerapkan salah satu ayat Al-
Qur’an yang berbunyi: la iqraha fiddin” artinya tidak ada paksaan dalam menjalankan agama. Cara ini berhasil dilaksanakan dengan baik. Syehk
Burhanuddin yakin bahwa kegagalan di Sintuk dulu (sebelum berangkat ke Aceh)
Universitas Sumatera Utara merupakan keberhasilan yang tertunda, baru menampakkan hasil setelah ia belajar di Aceh, dan melakukan dakwah Islam di dalam dan luar nagari Ulakan.
Dalam usaha mengajarkan dan mengembangkan ajaran Islam, Syehk
Burhanuddin menjalankan strategi yang penuh perhitungan dan bijaksana.
Pertama kali, dakwahnya diarahkan kepada anak-anak yang masih bersih dan mudah dipengaruhi. Ia mengupayakan agar anak-anak senang bermain di halaman surau, dengan membuat halaman surau selalu bersih dan tertata rapi. Ia ikut pula bermain bersama anak-anak, ketika setiap memulai permainan, Syehk
Burhanuddin selalu mengucapkan nama Allah, bismillahirrahmanirrahim dan membaca doa-doa lainya. Syehk Burhanuddin selalu unggul dan menang dalam permainan, sehingga anak-anak meyakini karena bacaan dan doa itulah yang menyebabkan Syehk Burhanuddin menang. Dengan cara demikian anak-anak menjadi tertarik ingin belajar dan mengetahui isi doa yang dibacanya. Usaha
Syehk Burhanuddin dalam mengembangkan ajaran Islam di Ulakan, selalu mendapat tantangan dari kalangan Ninik Mamak, para Penghulu dan pemimpin masyarakat lainnya di Ulakan. Mereka khawatir pengaruhnya akan berkurang karena ajaran Islam yang di ajarkan Syehk Burhanuddin. Namun dengan selalu ramah-tamah kepada orang-orang yang berada di sekelilingnya, dan dengan cara lemah-lembut, pendekatan persuasive, serta dengan sentuhan psikologis, Syehk
Burhanuddin masuk ke dalam masyarakat di sekitarnya dengan ajaran agama
Islam.
Selanjutnya para penghulu, raja-raja pemuka dan pemimpin masyarakat lainya di Ulakan, dengan suka rela menerima ajaran Islam yang diajarkannya
Universitas Sumatera Utara secara lunak pelan tapi pasti. Setelah murid-murid makin banyak belajar mengaji,
Syehk Burhanuddin mengajak Ninik Mamak, para Penghulu, Raja-raja dan pemimpin masyarakat lainya bermusyawarah mengenai kelanjutan pengajaran dan pengembangan ajaran Islam di daerah Ulakan dan sekitarnya. Dalam musyawarah tersebut disetujuai pembangunan sebuah surau (mushalla). Kemudian secara gotong-royong dibangunlah sebuah surau di Tanjung Medan. Surau tersebut sampai sekarang dapat disaksikan sebagai tempat mengaji bagi anak-anak dan para satri. Menurut H.M Bibit Suprapto (dalam ensiklopedi ulama nusantar 2009), surau ini kemudian berkembang pesat dan menjadi sebuah pondok pesantren.
Syehk Burhanuddin memperoleh penghormatan yang lauar biasa oleh masyarakat, sehingga ajaran yang ia bawa mudah diterima di sana. Selain itu, mulai banyak murid dan satri yang berdatanagan untuk berguru kepadanya, baik dari wilayah
Minangkabau sendiri,Riau, Jambi, Malaka, maupun dari daerah-dareah lain.
3.6. Islam Berkembang Di Minangkabau
Setelah Syehk Burhanuddi mendapat dukungan dari Ninik Mamak, para
Penghulu,Raja-raja dan pemimpin masyarakat lainnya di Ulakan, ia secara intensif mengajarkan dan menembangkan ajaran agama Islam di Minankabau, melalui pendidikan surau. Muridnya makin banyak tidak hanya dari Ulakan, Pariaman, tapi juga sudah datang dari daerah sekitar kerajaan Pagaruyuang untuk belajar agama Islam dan Tarekat Syaththariyah. Adapun ajaran Syaththariyah yang di kembangkan oleh Syehk Burhanuddin di Minangkabau, sama seperti yang di kembangkan oleh gurunya Syehk Abdurrauf di Aceh. Ajaran ini yaitu mengaji
Universitas Sumatera Utara tentang konsep Ketuhanan. Ajaran Tasauf ini juga bisa disimpulkan dengan Iman dan Tauhid. Tauhidnya adalah dalam pengertian Tauhid Syariat, Tauhid Tarekhat, dan Tauhid Hakekat, yaitu tingkatan penghayatan Tauhid yang tinggi.
Dalam mengembangkan agama Islam di Mianangkabau Syehk
Burhanuddin sangat dipengaruhi metode-metode dan berbagai ilmu yang diperoleh dari gurunya Syehk Abdurrauf. Hanya dalam penerapannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi, serta tradisi yang ada di alam Minangkabau. Sebagai putra Minangkabau Syehk Burhanuddin paham benar mengenai apa yang harus ia lakukan. Ia dapat memanfaatkan tradisi yang ada, yang telah turun temurun dalam pengembangan dan penyiaran Islam di Minangkabau. Ia bisa mencitakan antara adat dan agama Islam sama-sama berjalan dengan serasi tanpa ada bantuan yang berarti.
Daerah-daerah pertanian di pedalaman yang dulunya sulit dimasuki ajaran
Islam, secara perlahan-lahan dapat menerima dakwah Syehk Burhanuddin sehingga menjadi pemeluk agama Islam yang taat. Bahkan dari daerah-daerah pedalaman ini lahir pula pemuka-pemuka agama Islam yang tangguh, kemudian hari aktif juga menyebarkan ajaran Islam ke dareah-daerah sekitarnya, berlanjut dengan melakukan pembaharuan Islam. Bahkan dalam pembaharuan Islam atau pemurnian Islam di Minangkabau, seperti gerakan kembali ke Syariat, dan gerakan Pandri dan lainnya. Dapat dikatakan semuanya berasal dari alumni surau
Ulakan yang didirikan oleh Syehk Burhanuddin. Dalam usaha penyebaran agama
Islam secara teratur dan sistematis, Syehk Burhanuddin menjadikan surau sebagai pusat pendidikan dan pengajaran agama Islam, yang dapat menumbuhkan minat
Universitas Sumatera Utara masyarakat ikut aktif di dalamnya, baik secara murid langsung, ataupun simpatisan aktif dan pasif, kemudian menerima ajaran-ajaran Islam.
Menghadapi kaum adat yang di dukung istana Pagaruyung terutama para penghulu, raja-raja dan pemimpin Nagari, yang merasa takut wibawa mereka akan berkurang, karena dakwah beserta murid-muridnya, Syehk Burhanuddin menghadapinya dengan bijaksana, sabar dan pendekatan-pendekatan yang lebih baik. Ia ajak mereka bermusyawarah secara baik, sehingga Syehk Burhanuddin mencapai kesepakatan dengan kerajaan Pagaruyung dan para penghulu, dengan nama kesepakatan Bukit Marapalam yang menyatakan; “adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah”. Artinya adat bersendi agama (Islam), Agama (Islam) bersandikan kitab Allah (Al-Quran), dengan demikian hukum adat dan hukum agama sama-sama dipakai sebagai pedoman hidup dalam masyarakat
Minangkabau. dalam kesepakatan Bukit Marapalam ini semua ganjalan yang ada selama ini dapat diatasi dengan baik. Seperti halnya dengan ajaran Syia’ah dalam pertemuan Bukit Marapalam disepakati bahwa agama Islam yang dikembangkan di Minagkabau adalah mazhab imam Syafi’i. begitu pula dengan kedudukan antara para Penghulu dengan para Alim Ulama di Minangkabau, kesepakatan
Bukit Marapalam juga menetapkan sama sejajar. Ulama menjadi suluah bendang dalam nagari (pembawa nur Islam atau cahaya Islam) bukan menjadi bawahan dari Penghulu seperti kedudukan panungkek nanti dan dubalang. Selain itu di dalam kesepakatan Bukit Marapalam ini, disepakati pula bahwa Syehk
Burhanuddin Ulakan bersama pengikutnya diberi kebebasan menyebar luaskan, dan mengembangkan agama Islam di seluruh alam Minangkabau. Seperti pepatah
Universitas Sumatera Utara mengatakan “di dalam lareh nan duo, luhak nan tigo, dari ikua darek kapalo rantau sampai ka riak nan badabuah”. ( dari dalam lareh yang dua dan luhak yang tiga, dari ujung kepala akhir rantau sampai ke ujung awal).
Setelah kesepakatan Bukit Marapalam kehadiran Syehk Burhanuddin di
Minangkabau dapat diterima oleh berbagai pihak. Ia disegani oleh tokoh dan pengikut Tarekat lain seperti Tarekat Naqsyabandiyah, Samaniyah dan Qadiriyah.
Bahkan tidak sedikit yang mengatakan bahwa ilmu-ilmu agama yang mereka miliki merupakan hasil keturunan Syehk Burhanuddin Ulakan. Syariat Islam yang dibawa dan kembangkan oleh Syehk Burhanuddin telah menyinari Alam
Minangkabau. Banyak orang menganut agama Islam kepada Syehk Burhanuddin.
Dari mana-mana orang datang ke Tanjung Medan sehingga nama Tnajung Medan,
Ulakan sebagai pusat pendidikan dan pengajaran ilmu Islam menjadi masyur saat itu. Dan suraunya menjadi penuh dan sesak dengan murid-muridnya, sehingga untuk menampung jumblah murid yang banyak itu maka di bangun lagi surau- surau di sekeliling surau asal.
Syehk Burhanuddin tidak lupa mendidik kader penerus untuk melanjutkan usaha menyebarluaskan ajaran Islam di Minangkabau, dengan cara melakukan latihan-latihan keterampilan, pendidikan agama, dan pendidikan umum lainya, serta ketangkasan bela diri. Setelah itu murid-murid aktif menyebarkan agama
Islam ke pedalaman Minangkabau. Selain berpusat di Ulakan didirikannya pula oleh murid-muridnya pusat-pusat pengajaran, diantaranya: di Kapeh-Kapeh,
Pandai Sinkek, Mensiangan di dekat Padang Panjang, Koto Lawas, dan Koto Tuo,
Empat Angkat. Kemudian ulama-ulama dari luhak Agam ini banyak pula yang
Universitas Sumatera Utara pergi memperdalam ilmunya ke Ulakan Pariaman, sebagai pusat penyiaran agama
Islam di Minangkabau. Dari luhak Agam inilah nanti lahir ulama-ulama besar yang secara berkesinambungan membangun agama Islam di Minangkabau.
Seperti Tuanku Nan Tuo dari daerah Cangkiang, Batu Taba Ampek Angkek, luak
Agam. Tuanku Imam Bonjol sendiri merupakan salah satu murid Tuangku Nan
Renceh, Kamang Mudiak Agam, seoarang alumni dari Ulakan.
Untuk meneruskan perjuangannya di Ulakan sendiri, Syehk Burhanuddin melatih dan mendidik dua orang Tanjung Medan, Abdul Rahman dan Jallaludin.
Mereka dipersiapkan untuk menggantikan kedudukannya sebagai khalifah kelak.
Mereka di didik dengan baik karena menurut penilaian Syehk Burhanuddin kedua anak muda ini memenuhi persyaratan dalam mengemban tugasnya, baik dari segi akhlak, kecerdasan maupun dalam keterampilan dakwah. Syehk Burhanuddin menetapkan Abdul Rahman sebagai khalifah pertama. Sedangkan terhadap temannya Idris Majolelo sejak dari muda, sudah bekerja bahu membahu dalam menegakkan agama Islam di Minangkabau, sebagai penghargaan atas jasa- jasanya, Syehk Burhanuddin mengangkat Idris Majolelo menjadi Khatib nagari
Tanjung Medan , dan jabatan itu berlangsung turun-temurun samapai sekarang.
Sampai akhir hayatnya, Syehk Burhanuddin terus mengajarakan dan mengembangkan agama Islam. Setelah wafatnya tanggal 10 Syafar 1111 Hijriah atau 1697 Masehi di Ulakan, agama Islam telah menyebar ke seluruh
Minangkabau dan daerah sekitarnya. Syehk Burhanuddin meninggal di surau
Gadang desa Tanjung Medan. Surau Gadang merupakan sebuah mushalla yag menjadi pusat pendidikan Islam yang didirikannya di daerah Tanjung Medan.
Universitas Sumatera Utara Sebelum kematiannya Syehk Burhanuddin telah berpesan kepada Idris Dt. Majo
Lelo dan Syehk Abdul Rahman, jika beliu meninggal dunia supaya dikuburkan di bawah pohon ketaping yang dibawanya dari Aceh dan di tanam di Padang
Lagondi. Dengan kesalehan dan kebesarannya dalam mengamalkan dan mengembangkan agama Islam. Ada keanehan dan kajaiban ketika Syehk
Burhanuddin meninggal dunia, Syehk Burhanuddin dinyatakan meninggal dunia di surau Gadang, maka digalilah kuburannya yang berdekatan dengan surau
Gadang tempat Syehk Burhanuddin mengajarkan agama Islam. Setelah jenazahnya hendak di kuburkan oleh murid-muridnya, sewaktu hendak dimasukkan ke liang lahat secar tiba-tiba terdengar suara orang membaca swalawat Nabi di udara, suara Shalawat Nabi itu rupanya begerak meninggakan lokasi kubur yang telah digali yang kemudian diikuti oleh murid-muridnya dan masyarakat lainya yang ikut dalam penguburan tersebut. Masyarakat terus mengikuti suara Shalwat Nabi terebut sampai akhirnya berhenti dan hilang stelah sampai di Padang Lagondi, tepatnya di bawah pohon ketaping. Melihat kejadian tersebut murid-muridnya dan sahabatnya Idris Dt. Majolelo teringat akan pesan
Syehk Burhanuddin bahwa di lokasi inilah sebenarnya kuburan Syehk
Burhanuddin yang sebenarnya. Oleh karena itu digalilah kuburan yang baru, dan setelah jenazah Syehk Burhanuddin dikuburkan, kuburannya diberi tanda dengan batu nisan yang ada sampai sekarang.
Universitas Sumatera Utara 3.7. Cerita Lain Tentang Syehk Burhanuddin
Kisah-kisah mengenai Syehk Burhanuddin di mulai ketika memperdalam ilmu di Aceh kepada Tuanku Syehk Abdurrauf. cukup menarik, bahkan masih tetap hidup dikalangan pengikutnya. Di mata pengikutnya sosok Syehk
Burhanuddin adalah seorang waliuallah yang sarat dengan kekaromahan. Seperti di ungkapkan Binjai Chaniago (dalam Mengenang Sejarah Syehk Burhanuddin
Ulakan). Menurut yang empu ceritanya ketika Syehk Abdurrauf dapat undangan ke sebuah pulau, maka dia bergegas pergi dengan beberapa santri dan berpesan kepada satri yang tinggal agar menyuruh pakiah Pono menyusul ke pulau tersebut.
Mendapat tugas dari sang guru, yang dijunjung tinggi, Pakiah Pono bergegas ke tepi pantai, tetapi setiba di tepi pantai dia tidak mendapat sebuah perahupun untuk berlabuh ke pulau. Sebab pakiah Pono cucu Tantejo Gurhano sang Datuk ternama
Pariangan, maka menguasaai Alam bukanlah sulit. Apalagi dengan bekal pengetahuaannya tentang syari’at Islam dan pemahamannya akan maksud dan kandungan Al-Quran sudah sangat mendalam, dan jabaran dari Ma’rifat Asmaul
Husna sudah dia pecahkan maka atas izizn Allah dengan keyakinan penuh tubuhnya menjadi ringan seringan kapas. Dan dia bisa berjalan di atas air seakan- akan ada kayu penyangga, yang menopang saat dia melangkah menuju pulau.
Peristiwa ini disaksikan oleh satri baik dari daratan maupun di seberang pulau, sehingga ia menjadi salah satu kekaromahan pakiah Pono. Kejadian serupa juga terjadi saat pakiah Pono sedang membetulkan atap rumah, dimana ada potongan kayu terjatuh, dan akan mengenai anak gadis sang guru, maka dengan seketika pakiah Pono melayang kebawah untuk menyambut kayu tersebut (pariaman news
Universitas Sumatera Utara online, 4 Mei 2013). Kisah lain mengisahklan perjalanan Syehk Burhanuddin yang berlayar menggunakan lapiak pandan (tikar pandan) saat kembali dari menuntut ilmu di Aceh. Syehk Burhanuddin naik perahu dari aceh singgah di pulau Angso. Dari pulau Angso ke pantai Pariaman dia naik tikar sholat, yang terbuat dari pandan, dan melabuhkan tikar pandan tersebut di pantai Pariaman.
Hingga saat kedatangannya di sambut patui tungga (petir tunggal) menyambar dengan bunyi berdentum keras, bumi bergoncang hebat dan gempapun terjadi tapi laut tetap tenang dan berombak, hanya pasang naik dan angin berhembus semilir sepoi-sepoi basah menepi di pantai. Warga yang cemas dengan kedatangan tersebut melihat sosok tubuh seorang sedang berzikir di atas tikar pandan dari arah pulau Angso Duo menuju pantai Pariaman. Orang tersebut adalah Syehk
Burhanuddin.
Syehk Abdurrauf mempunyai seorang putrid jelita, untuk menguji keimanan Pono, dia meninggalkan putrinya di rumah, hanya berdua dengan putra
Ulakan tersebut. Pono waktu itu baru berusia 18 Tahun. Usia dimana libido sedang tinggi-tingginya, lelaki mana yang tak tergoda hanya tinggal berdua dengan seorang anak gadis cantik, yang pada hakekatnya tidak mempunyai hubungan darah. Sepanjang malam dia berusaha menahan nafsunya untuk menggauli anak sang guru. Masuk hari ketiga Pono muda tak tahan, nafsunya sudah di ubun-ubun tapi dia tidak mau menanggung dosa dan malu, dia tidak mau menggauli anak gurunya. Geram dengan nafsu nan tak jua reda, Pono mengambil palu. Dia pergi ke kamar, seketika terdengar suara teriakan yang tertahan dari kamar Pono. Orang-orang yang mendengar langsung berhamburan termasuk
Universitas Sumatera Utara Abdurrauf yang baru pulang. Di dalam kamar Pono terkapar pingsan. Darah mengalir dari selangkangnya. Pono memukul kemaluaanya dengan palu. Langkah itu dilakukannya karena dia tidak mau menzinai perempuan. Pono yang pingsan dibawa Abdurrauf ke dalam surau. Dia sakit berhari-hari luka di selakangnya semakin parah. Hampir sebulan menderita sakit, akhirnya Pono sembuh.
Abdurrauf yang kagum dengan sifat Pono, akhirnya pasrah.
Setelah sampai waktunya dia akhirnya mengucapakan kalau kaji Pono telah sempurna. Pono pun dinobatkan sebagai Syehk dengan gelar Syehk
Burhanuddin. Tapi akibat perbuatannya yang memukul alat kelamin sendiri Syehk
Burhanuddin dikabarkan tak lagi bisa punya anak. Sebab itulah beliu tak beristri sepanjang hayat. Jelas Bustami Tuanku Majo Lelo yang saat ini mengabdikan hidup untuk mengurus Mesjid dan pesantren luhur Syehk Burhanuddin (pos Metro
Padang 29/05/2010).
Selain itu ada yang menceritakan sewaktu akan pulang ke kampung halaman Syehk Burhanuddin sempat dibekali oleh gurunya berupa tiga bingkisan
(bongkah) tanah. Gurunya berpesan agar ia mencari tanah yang kadarnya seimbang dengan tanah yang dibawa dari Aceh. Lalu setibanya di Ulakan, Syehk
Burhanuddin menemukan kecocokan dengan tanah pertama di Lagundi, yang menjadi tempat makamnya. Tanah kedua cocok dengan tanah di kampung Koto, yang dijadikan sebagai tempat Mesjidnya. Dan tanah ketiga cocok dengan tanah di Tanjung Medan, yang dijadikan suraunya sebagai pusat tempat ia mengajarkan berbagai ilmu kepada murid-muridnya.
Universitas Sumatera Utara Dalam tradisi lisan Minangkabau dikisahkan bahwa Syehk Burhanuddin sering singgah ke rumah-rumah penduduk untuk bersilaturahmi serta untuk mengajarkan agama Islam. Syehk Burhanuddin merasa sangsi atas makanan yang disungguhkan oleh masyarakat itu. Karena itu, untuk menghindari jamuan diragukan kehalalannya, ia menyarankan tuan rumah mencari bambu (buluh) mengalasnya dengan daun pisang muda. Lalu memasukkan beras ketan dan santan dengan sedikit garam, kemudian memanaskannya dengan api, hingga matang.
Sampai sekarang hal inilah yang dipercayaai masyarakat sebagai awal pembuatan makanan disebut lamang (lemang).
Syehk Burhanuddin di kalangan umat Islam Minangkabau adalah seorang ulama besar yang kharismatik, dan diyakini pula bahwa dialah orang pertama penyebar agama Islam dengan metode tarekahat Syatariah di daerah ini. Setidak- tidaknya dari dialah perkembangan dan pembaharuan agama Islam di
Mianagkabau mengalami proses penyebaran begitu pesat melalui pendidikan surau. Sebagai ulama Syehk Burhanuddin memiliki kepribadian yang agung. Ia seorang moderat bukan dari aliran keras. Tingkat sosialnya tinggi dan mengerti apa yang dirasakan masyarakat. Ia seorang penyebar penuh santun dan menyukai kedamaian. Entah karena sugesti yang ia ciptakan atau karena nuasa kedamaian itu yang tumbuh bersemi, maka di makam kompleks Syehk Burhanuddin selalu terasa aman, nyaman, tentram, damai, dan bersahabat. Setiap kali orang pernah datang ke tempat itu, maka dalam dirinya akan ada rasa kerinduan untuk kembali dan kembali lagi kesana. Syehk Burhanuddin telah lama pergi ke haribaan Allah dan meninggalkan masyarakat Minangkabau. tapi cahaya terang yang ia
Universitas Sumatera Utara tinggalkan dan keteladanan yang pernah ia tebarkan, membuat makam dan suraunya senantiasa dikunjungi banyak orang disepanjang masa. Keteladanan dalam mengamalkan, melaksanakan dan meyebarluaskan ajaran agama Islam.
Dari mulut peziarah tidak pernah terdengar umpat dan cerca apalagi caci maki dan hujatan. Dari mulut mereka, selalu terdengar doa untuk kebaikan bersama.
Menurut Samsul Munir Amin (dalam Karomah Para Kiai, 2008) atas jasa dan perjuangan menyebarkan agama Islam di Sumatera Barat, hingga saat ini makam
Syehk Burhanuddin mendapat perhatian besar dari para peziarah, teruma oleh jamaah tarekat Shatariah. Menurut tradisi setempat , ziarah tersebut disebut basapa atau Bersyafar serempak bersama puluhan ribu orang karena dilakukan setiap hari Rabu, setelah tanggal 10 Syhafar12.
12 Sjarifoedin Amir, Minangkabau Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam Bonjol, Jakarta: PT Gria Media Prima, Tahun 2014.
Universitas Sumatera Utara BAB IV
BASAPA/BERSYAFAR
4.1. Pengertian Bapasa
Oman Faturahman berpendapat basapa adalah sebuah ritual dalam bentuk ziarah secara serentak ke makam Syehk Burhanuddin di Padang Galundi Ulakan,
Pariaman. Angku Imam Saidi (pimpinan zikir bersama) mengatakan bahwa basapa itu artinya ziarah ke makam waliAllah (Syehk Burhanuddin) yang telah berjasa untuk daerah Minangkabau. sedangkan menurut Angku Sutan Datuak
(sebagai pengurus surau gadang Syehk Burhanuddin) mengatakan bahwa asal dari kata Syafar ini adalah “kunjungan” jadi basapa dikatakan berupa pengunjungan ke tempat guru Syehk Burhanuddin pada bulan Syafar. Lain lagi pendapat dari bapak Zailani (Garim surau Tanjung Barulak) mengatakan bahwa asal kata Syafa itu artinya sakato, saiyo atau sepaham, artinya menyatukan semua paham atau pemikiran dalam melaksanakan ziarah bersama ke makam Syehk Burhanuddin.
Angku Imam Saidi (pimpinan zikir bersama) Ritual basapa ini dilakukan untuk menghormati Syehk Burhanuddin, dan mengenang sejarah orang yang dianggap telah berjasa dalam penyebaran Tarekhat Syathariah khususnya, dan
Islam pada umumnya di Minagkabau. Tuanku Bagindo firdaus (Imam surau
Ulakan) mengatakan bahwa tujuan dari diadakan basapa ini untuk memperingati hari kematian Tuanku Syehk Burhanuddin selaku guru dari jamaah Syatariyah dan penyebar agama Islam yang paling berhasil di Minangkabau, dan untuk menjalin silaturahmi antar sesama jamaah Syatariyah yang ada di Miangkabau.
Universitas Sumatera Utara Menurut beberapa sumber lokal, ritual basapa mulai dilakukan oleh para pengikut Syehk Burhanuddin pada sekitar tahun 1316 H/1897 M. Adapun dahulunya orang datang berziarah ke makam Ulakan tidak ditentukan bulan dan harinya, malahan menurut kemauan satu-satu Negri saja dengan ulamanya, ada yang di bulan Rabi’al-Awwal, ada yang di bulan Rabi’al-Akhir, ada yang di bulan
Rajab, di bulan Sya’ban, di bulan Ramadhan, di bulan Syawal, di bulan Zul-
Qaidah dan di bulan Zul-Hijjah. Kemudian dua orang ulama pewaris Syehk
Burhanuddin yakni Syehk Kepala Koto Pauh Kambar dan Syehk Tuanku
Kataping mengambil inisiatif untuk bermusyawarah dengan sejumlah ulama dan jamaah Tarekhat Syatariyah lainnya merumuskan dan menentukan waktu ziarah bersama ke makam Syehk Burhanuddin Ulakan. Syehk kepala Koto Pauh Kambar menjelaskan jika ziarah ke makam Syehk Burhanuddin dapat dilaksanakan dalam waktu bersamaan, maka banyak hal yang dapat dilakukan secara bersamaan, antara lain membicarakan berbagai persoalan keagamaan di kalangan penganut
Tarekhat Syatariyah seperti penentuan awal Ramadhan dan hari Raya Idul Fitri.
Akhirnya dalam pertemuan itu diputuskan pula bahwa ziarah ke makam
Syehk Burhanuddin akan dilaksanakan secara rutin pada setiap Rabu, setelah tanggal 10 di bulan Syafar. Hal ini dikarenakan wafatnya Syehk Burhanuddin bertepatan pada hari Rabu, tanggal 10 Syafar 1111 Hijriah atau 1697 Masehi, maka dari itu pelaksanaan acara basapa secara serentak dilakukan, untuk mengingat hari kematiannya serta mengenang jasa beliau. sebenarnya setiap hari itu sama, bukan berarti hari Rabu lebih baik daripada hari yang lain, namun karena wafatnya Syehk Burhanuddin hari Rabu, maka dari itu pelaksanaan acara
Universitas Sumatera Utara basapa ini dilakukan hari Rabu. kenapa tidak pada hari kelahiran Syehk
Burhanuddin, hal ini juga tidak ada kepastian kapan lahirnya Syehk Burhanuddin, yang masyarakat tahu bahwasanya kehadiran Syehk Burhanuddin ini sekitar awal abad ke-17 Masehi. kemudian karena meninggalnya pada bulan Syafar, maka inilah ritual tersebut dinamakan dengan basapa (bersyafar). apabila ada jamaah yang mengunjungi makam Syehk Burhanuddin di luar tanggal dan waktu yang telah disepakti atau ditetapkan, maka hal itu juga boleh dan tidak masalah, namun bukan acara basapa lagi namanya tapi ziarah kubur seperti ziarah biasa. Namun tetap makam Syehk Burhanuddin ada penjaganya, jadi apabila ada orang yang datang berziarah maka penjaga makam inilah yang menyambut mereka dan mengarahkan ke tempat makam.
4.2. Tarekat Syatariyah
Secara etimologi tarekat berasal dari kata Arab Tarīqatūn yang berarti jalan atau mazhab atau cara. Oleh sebab itu tarekat merupakan suatu metode pelaksanaan teknis untuk mencapai hakikat ilmu tauhid. Pada awalnya, tarekat itu merupakan bentuk praktik ibadah yang diajarkan secara khusus kepada orang tertentu. Misalnya, Rasulullah mengajarkan wirid atau zikir yang perlu diamalkan oleh Ali bin Abi Thalib. memerintahkan kepada sahabat A untuk banyak mengulang-ulang kalimat tahlil dan tahmid. Pada sahabat B, Muhammad memerintahkan untuk banyak membaca ayat tertentu dari surat dalam Alquran.
Ajaran-ajaran khusus Rasulullah itu disampaikan sesuai dengan kebutuhan penerimanya, terutama berkaitan dengan faktor psikologis.
Universitas Sumatera Utara Tarekat dalam pengertian kedua yakni sebagai persaudaraan kaum sufi tumbuh sejalan dengan semakin mantapnya berbagai teori dan amalan-amalan sufistik. Kemudian lahir pula konsep ijazah, silsilah yang semua ditunjukan untuk menopang kokohnya system persaudaraan sufi yang telah melembaga itu. Bahkan pada masa-masa berikutnya seorang murid tidaklah sekedar pengikut Syehk, tetapi mereka juga harus menerima ba’ah (sumpah setia) kepada sang Syehk ataupun pendiri tarekat sesuai dengan garis lurus silsilah yang diterima dari
Syehk. Dengan begitu seorang murid memperoleh legitiminasi dalam pengetahuan dalam tarekat dan jalinan silsilah persaudaraan, yang berarti sudah berada dalam satu keluarga besar tarekat yang dimasukinya.
Tujuan utama pendirian berbagai tarekat oleh para sufi adalah untuk membina dan mengarahkan seseorang agar bisa merasakan hakikat Tuhannya dalam kehidupan sehari-hari melalui perjalanan ibadah yang terarah dan sempurna. Ada yang menganggap orang-orang sufi dan tarekat sebagai orang bersih dari kekotoran, penuh dengan pemikiran, ada juga orang yang beranggapan mereka mencapai makna orang yang berkata benar, semulia-mulianya manusia setelah para Nabi sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nisa 4:6913.
13 Amir Sjarifoedin, Minangkabau, PT gramedia Prima: Jakarta. 2014. Hal 427-428.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2. khalifah penerus Syehk Burhanuddin
NO NAMA KHALIFAH LAMA KETERANGAN KHALIFAH KE- JABATAN 1 Syehk Pertama 1066 H - 1111 H 45 tahun Burhanuddin 2 Syehk Idris Kedua 1111 H – 1226 H 15 tahun 3 SyehkAbdul Ketiga 1226 H – 1137 H 11 tahun rahman 4 Syehk Chairudin Keempat 1137 H – 1146 H 9 tahun 5 Syehk Jalaluddin Kelima 1146 H – 1161 H 15 tahun 6 Syehk Abdul Keenam 1161 H – 1180 H 19 tahun Muchsin 7 Syehk Abdul Ketujuh 1180 H – 1194 H 14 tahun Hasan 8 Syehk Chailiddin Kedelapan 1194 H – 1211 H 17 tahun 9 Syehk Habibullah Kesembilan 1121 H – 1231 H 20 tahun 10 Syehk Sultan Kesepuluh 1231 H – 1248 H 17 tahun Khusai’ 11 Syehk Djakfar Kesebelas 1248 H – 1280 H 32 tahun 12 Syehk Mhd. Sani Keduabelas 1280 H – 1311 H 31 tahun 13 Syehk Bosai Ketigabelas 1311 H – 1366 H 55 tahun 14 Syehk Bermawi Keempatbelas 1366 H – Masih hidup Sekarang
Sumber Data : buku Syehk Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau
Pada abad ke-17 tarekat Syatariyah sudah berkembang di Minangkabau.
Syehk Burhanuddin Ulakan adalah orang yang pertama membawa ajaran tarekat
Syatariyah ke Mianangkau. Syehk Burhanuddin mengembangkan agama Islam dengan tarekat Syatariyah di Ulakan. Kemudian dari Ulakan tarekat Syatariyah berkembang melalui rute-rute perdagangan ke Kapeh-Kapeh dan Mensiangan, dekat Padang Panjang, terus Koto Lawas dan kearah persawahan yang kaya di
Universitas Sumatera Utara Agam Selatan, daerah Kota Tuo di dekat Cangkiang, serta daerah Ampek Angkek, terus berkembang ke seluruh alam Minangkabau. Adapun ajaran Tarekat
Syatariyah yang berkembang di Minangkabau sama seperti yang dikembangkan oleh Syehk Abdurrauf as-Singkil di Aceh. Kemudian pengajian tarekat ini secara intens dikembangkannya di surau Tanjung Medan Ulakan. Pengaruh surau Syehk
Burhanuddin dalam menyebarkan Islam ke polosok-polosok alam Minangkabau melalui jalur tarekat dapat diamati dari beberapa hal, yang sampai saat ini masih tetap dijaga dan dipelihara oleh masyarakat yang punya hubungan keilmuan atau silsilah dengannya, antara lain :
1) Kunjungan ulama dan pengikut tarekat Syatariyah pada acara
basapa setiap bulan syafar di makam Syehk Burhanuddin Ulakan
Pariaman. mereka menghadiri acara basapa adalah untuk
melakukan ziarah dan menampilkan pengajian tarekat Syatariyah
setelah selesai melakukan ibadah-ibadah khusus, seperti dzikir,
shalat sunnat.
2) Ziarah dan ibadah, pada hari Selasa sebelum dilakukan basapa
pada hari Rabu setelah tanggal 10 Syafar setiap tahunnya di surau
Tanjung Medan sebagai tempat pertama Syehk Burhanuddin
menyebarkan paham tarekat Syatariyah ke seluruh alam
Minangkabau. Ziarah ke Tanjung Medan ini disebut juga
“menjelang guru” (maksudnya mengunjungi guru untuk
mendapatkan keberkatan dan kemanfaatan dari kaji pengajian
tarekat yang sudah diketahui dan diamalkan.
Universitas Sumatera Utara 3) Termasuk juga salah satu persyaratan untuk mendapatkan
keberkatan dan kemanfaatan ilmu pengajian tarekat yang sudah
dipunyai adalah melihat pakaian yang terdiri dari baju panjang,
kopiah, sorban serta kitab Al-Quran tulisan tangan yang disimpan
oleh khalifah H. Burnawi di surau pondok Koto Panjang, terletak
antara makam dengan surau Tanjung Medan. Milik Syehk
Burhanuddin ini menurut pemegangnya, tidak boleh dibuka dan
diperlihatkan kepada sembarang orang. Untuk melihat dan
membuka barang ini dari simpananya harus diawali dengan
serangkaian ibadah seperti tahlil membaca La Ilaha Ilaha Allah
sebanyak 70.000 di tambah dengan bacaan fatihah dan doa
dihadiahkan kepada Syehk Burhanuddin. Yang jelas pengikut dan
penganut tarekat Syatariyah menjadikan tradisi melihat pakaian itu
salah satu acara basapa ke Ulakan, dan dianggap membawa
keberkatan baginya.
Tarekat Syatariyah yang memiliki hubungan dengan Syehk Burhanuddin tetap dijaga kesinambungannya oleh pengikutnya melalui kunjungan dari khalifah di Tanjung Medan Ulakan ke sentra tarekat di daerah-daerah lain: Sawahlunto
Sijunjuang dengan pusatnya di surau Calau Muaro Sijunjuang, surau di Taluak
Kuantan, di Lubuak Jambi, di Singkarak, di Koto Tuo, dan daerah lainya.
Biasanya setelah basapa tersebut Tuanku Kuniang Syahril Luthan, berkeliling memberikan pengajian ke daerah-daerah sebagai tindak lanjut dari ba’ah (sumpah setia) yang mereka terima ketika kegiatan basapa. Untuk mempertahankan
Universitas Sumatera Utara hubungan penganut tarekat Syatariyah dengan khalifah Syehk Burhanuddin maka setiap kali basapa ke Ulakan, khusunya basapa ke surau Tanjung Medan, khalifah ini melakukan pengajian umum dan sekaligus memba’at angota baru serta memperkuat ba’at anggota lama.
Melihat jaringan ulama dan pengikut Syehk Burhanuddin tampak dengan jelas batapa surau adalah suatu alat dan tempat perjuangan mereka menyebarkan dan mempertahankan tarekat Syatariyah. Kenyataan bahwa basapa itu mayoritasnya diikuti oleh pengikut Syatariah yang berpusat pada surau-surau tertentu di ungkapkan oleh bapak Ali Amran (tuanku kali Ulakan sekarang) bahwa semua orang asli Miangkabau itu bertarekat Syatariyah dan pada dasarnya mereka memiliki tiga paham kegamaan yang paling pokok (1) dalam bidang Aqidah berpahamkan ahl-al sunnah wa al-jama’ah, (2) bermazhab Syafi’I dalam ibadah dan muamalah, (3) berpahamkan tarekat Syatariyah seperti yang telah diwariskan
Syehk Burhanuddin. Itulah sebabnya acara basapa identik dengan pertemuan akbar jamaah Syatariah di Minangkabau sekali setahun14.
4.3. Komponen Upacara Basapa
Dalam penelitian dan studi religi perlu pula diperhatikan tentang tingkah laku manusia yang bersifat religi, dimana manusia itu manghadapi dunia atau alam gaib dengan berbagai perasaan. Seperti perasaan hormat, takut, kasih atau campuran dari berbagai persaan-perasaan tersebut. Melalaui berbagai perasaan tersebut kemudian mendorong manusia itu melakukan berbagai perbuatan yang
14 Duski Samad, Syehk Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau. Jakarta. 2003. Hal 135-137.
Universitas Sumatera Utara bersifat ritus, yang bertujuan untuk melakukan kontak dengan alam gaib itu.
Tingkah laku demikian biasa disebut “religious behavior” yang tidak terlepas dari pengaruh religious emosional. Sedangkan tata cara untuk melakukan upacara- upacara yang bersifat ritus tersebut biasa disebut “religious remonies”. Dimana perlu diperhatikan komponen-komponen yang mendukung penyelenggaraan upacara tersebut. Seperti tempat upacara, waktu upacara, peralatan upacara dan orang-orang yang melakukan upacara, yang kesemuanya itu tentu merupakan hal yang dianggap suci.
4.3.1. Tempat Kegiatan
• Makam Syekh Burhanuddin
Gambar 1: kompleks makam Syehk Burhanuddin
makam yang didatangi peziarah setiap tahun berada di daerah pantai dari
Desa Manggopoh Palak Gadang, sebelas kilometer sebelah selatan dari
kota administratif Pariaman. Komplek makam Syekh Burhanuddin dengan
areal sekitar lima hektar itu, ditandai dengan pintu gerbang yang telah
dibangun permanen, bertuliskan "Kompleks Makam Syahk Burhanuddin"
berwarna kuning keemasan di bagian atasnya. Pintu gerbang yang besar
Universitas Sumatera Utara dan menghadap ke arah barat atau pantai Ulakan ini diikuti dengan jalan
semen dua jalur menuju pintu gerbang kedua, yaitu pintu masuk areal
bangunan makam Syekh Burhanuddin, dengan jarak sekitar 30 meter dari
gerbang utama. Dalam areal bangunan makam Syekh Burhanuddin yang
dibangun bergonjong terdapat beberapa makam lainnya yang tidak dikenal
yang ditandai dengan batu-batu nisan yang berasal dari batu kali yang
tidak beraturan. Makam-makam ini terletak di sekeliling makam utama
dan tanahnya tidaklah ditinggikan. Permukaannya sudah ditutupi dengan
batu-batu, namun sekarang dalam tahap renovasi lantainya di alas dengan
papan menjadi lantai dari bangunan makam secara keseluruhan, walaupun
demikian bangunan makam ini sudah ditinggikan setengah meter dari
permukaan tanah. Dalam bangunan permanen berlantai papan ini juga
terdapat beberapa kulit kerang besar, dengan ukuran diameter sekitar
setengah meter. Pada waktu basapa kulit-kulit kerang besar yang disebut
kimo ini diisi air dan ditaburi bunga rampai dan asam oleh penjaganya.
Selain kimo terdapat sebuah batu ampa, batu pipih berwarna hitam yang
terus disirami air pada saat basapa.
• Surau Tanjung Medan
Gambar 2.: surau gadang syehk burhanuddin
Universitas Sumatera Utara Kemudian tempat kedua yaitu surau Tanjung Medan tempat pertama kali
Syehk Burhanuddin menetap dan mengembangkan Islam. Surau Syehk
Burhanuddin terletak di desa Tanjung Medan, 6 km dari makam Ulakan, lokasi surau agak masuk ke dalam dari jalan raya. Surau Syehk
Burhanuddin terdiri dari dua bangunan. Pertama bangunan serambi berdenah segi empat panjang, sebagai bangunan tambahan yang dibuat kemudian. Bangunan ini, beratap gonjong dan berfungsi juga sebagai tempat menemani tamu sebelum masuk ruangan dalam, dan keseluruhan bangunan itu terbuka. Lantainya beralaskan plesteran semen dan bukan beralaskan papan sebagaimana halnya rumah Gadang. Kedua, bangunan berdenah segi empat bujur sangkar terletak dibelakang serambi. Pada prinsipnya bangunan ini, berstruktur konstruksi joglo, sebagaimana Mesjid kuno di Jawa, seperti Mesjid Demak yang disesuiakan dengan keadaan dan kebiasaan orang Minangkabau, dengan struktur berkolong (loteng dan panggung). Di kawasan ini juga, ditemukan kompleks perguruan Islam atau pesantren, yang merupakan cikal bakal berawalnya perguruan Syehk
Burhanuddin. Di sinilah awal mula Syehk Burhanuddin menggembleng murid-muridnya, sembari menyebarkan ajaran agama Islam kepada masyarakat sekitarnya.
Universitas Sumatera Utara • Surau Pondok
Gambar 3: surau pondok
Tempat ketiga yang dikunjungi ketika acara basapa yaitu surau Pondok
yang hanya berjarak 2km dari surau Tanjung Medan, tempat dipeliharanya
pakaian, kitab, dan al-Quran kulit mayang (upih) tulisan tangan Syehk
Burhanuddin dan benda pusaka lainnya. Di surau pondok ini jamaah
diterima oleh Tuanku Khalifah pemegang pakain, sekarang di jabat oleh
Tuanku Bermawi.
• Makam Angku Shaliah
Gambar 4: makam angku Shaliah
Universitas Sumatera Utara Tempat keempat yaitu Makam angku Shaliah terletak di Korong Lareh nan
Panjang, Nagari Sungai Sariak. Angku Shaliah menurut cerita orang tuo-
tuo dulu mengatakan bahwa ungku shaliah merupakan seorang umat
manusia mengajarkan Islam kepada semua masyarakat Pariaman, yang
memiliki kelebihan, dan keistimewaan sebagai ulama seperti: do’a angku
Shaliah yang banyak dkabulkan oleh Allah, sehingga semasa dia hidup
banyak jamaah yang minta didoakan oleh angku Shaliah, angku Shaliah
memiliki indra yang lebih dari kebanyakan orang sehingga angku Shaliah
bisa memprediksi kejadian kejadian yang akan terjadi. Setelah dia wafat
makam dan foto beliau dikeramatkan oleh murid-murid Hamzah al-
Fansuri, fotonya sering dijadikan sebagai pelaris termasuk di kedai-kedai
nasi, rumah makan Padang. Jika ada foto kakek berkopiah hitam, itu
berarti menandakan bahwasanya rumah makan ini adalah milik orang
pariaman atau khas Pariaman.
4.3.2. Waktu Kegiatan
Pelaksanaan upacara basapa ini dilakukan dua kali, yaitu sapa gadang(safa besar) dan safa ketek (safa kecil). Sapa gadang adalah upacara basapa pertama yang dilakukan hari Rabu untuk memperingati hari kematian
Syehk Burhanuddin setelah tanggal 10 di bulan Syafar yang diikuti oleh peziarah dalam jumlah yang besar yang berasal dari berbagai daerah di Sumatera Barat serta propinsi lainnya seperti Riau dan Jambi. Sapa ketek adalah sapa yang dilakukan seminggu setelah sapa gadang dilakukan, untuk memperingati hari
Universitas Sumatera Utara menujuh hari kematian Syehk Burhanuddin dan sekaligus untuk menampung peziarah dari daerah Padang Pariaman dan masyarakat perantau dari Padang
Pariaman. Namun kenyataannya pada sapa ketek peziarah yang datang juga berasal dari luar daerah Padang Pariaman. Dilihat dari jumlah pengunjung dan peziarah yang datang lebih banyak terdapat pada sapa gadang dibandingkan dengan sapa ketek. pembagian waktu basapa ini dikarenakan lokasi dan tempat yang tidak memungkinkan untuk menampung semua jamaah, maka dari itu acara basapa ini dibuat menjadi dua kali setahun yaitu sapa gadang dan sapa ketek.
Namun dalam aktivitas pelaksanaannya sama saja.. Semenjak itu basapa menjadi ritual tahunan yang tak pernah terlewatkan oleh para penganut Tarekahat
Syatariah, kemudian basapa tidak hanya dihadiri oleh penganut Tarekhat
Syatariah dari Sumatera Barat saja, melainkan dari daerah lainya seperti Jambi,
Palembang, Riau, Sumatera Utara, bahkan dari Negri jiran Malaysia. Meskipun
Syehk Burhanuddin adalah tokoh ulama Tarekat Syatariah, tetapi dalam acara basapa ini, mereka yang hadir tidak hanya terdiri dari penganut Tarekat
Syathariah saja, juga masayarakat muslim lainnya.
4.3.3. Orang Yang Melakukan
Kegiatan tahunan yang dilakukan tanpa undangan resmi kepada semua jamaah ini kelihatan unik dan menunjukkan luar biasa kuatnya hubungan sipiritualnya dan emosional antar pengikut Syehk Burhanuddin di berbagai daerah. Panitia basapa selalu kewalahan melayani antusias jamaah setiap tahunnya karena pertumbuhan dan peningkatan pengunjung yang di luar dugaan
Universitas Sumatera Utara mereka. Tidak semua semua pengunjung basapa memiliki tujuaan yang sama.
Ada yang datang bertujuan untuk beragama atau untuk akhirat, ada tujuan untuk kehidupan dunia, ada tujuan yang positif dan ada juga tujuan yang berbau negatif.
Diantara beberapa tujuan tersebut adalah sebagai berikut:
• Berziarah
Ziarah ke makam Syehk Burhanuddin, jauh sebelum kesepakatan basapa
ini disepaki, para jamah pengikut Syehk Burhanuddin telah melakukan
ziarah ke makam beliau. Dengan tujuan mereka datang untuk berziarah ke
makam guru adalah tak lain untuk menghormati dan mengenang jasa guru
yang telah berhasil mengembangkan agama Islam di Miangkabau ini.
Mereka menyatakan sebaik-baiknya ziarah itu adalah ke makam
Rosulullah, tetapi karena keterbatasan ekonomi mereka, mereka tidak bisa
berziarah ke makam Rosullah maka dari itu mereka menziarahi makam
Syehk Burhanuddin. Logikanya kita bisa mengenal Tuhan dan agama
Islam adalah karena adanya Rasulullah, adanya khalifah-khalifah dan guru
yang menyebarkan agama Islam. Syehk Burhanuddin adalah salah satu
Ulama yang besar pengaruhnya dalam menyebarkan agama Islam di
Minangkabau, maka dari itu patut bagi kita menghormatai dan menganang
jasa beliau dengan menziarahi makam Syehk Burhanuddin.
• Melepas Nazard
Sebahagian tujuan jamaah datang basapa ada yang pergi melepas nazard
yang pernah mereka ucapkan dulunya. Dalam agama Islam nazard
merupakan suatu janji yang perlu ditepati, apalagi nazard tersebut telah di
Universitas Sumatera Utara ucapkan dan di dengar juga oleh orang lain. Jika kita tidak menepatinya
maka kita akan berhutang sampai kita menepati janji tersebut. Begitu juga
ketika jamah mengucapkan nazardnya, contoh ketika mereka berziarah ke
makam Syehk Burhanuddin ini pada tahun sekarang dan mereka bernazard
jika dagangan atau sawah saya di ladang terhindar dari bahaya dan
mendapatkan hasil yang lebih dari biasanya, maka saya akan pergi lagi
untuk berziarah pada waktu basapa di tahun depan. Pelaksanaan nazard
dihubungkan dengan arwah Syehk Burhanuddin, yaitu untuk mendapatkan
syafat dan limpahan berkhat dari setiap aktivitas atau pekerjaan yang
dilakukan.
• Mengambil Berkhat
Sebahagian jamaah basapa yang datang adalah dengan tujuan mengabil
sesuatu di makam syehk Burhanuddin dengan wasilah sebagai berkhat.
Banyak jamah yang datang dengan membawa berbagai alat, apakah itu air
minum, jeruk nipis, kemenyan, dan bahkan benda yang berada di sekitar
makam Syehk Burhanuddin mereka jadikan itu sebagai suatu alat untuk
mengambil keberkhatan dari ke sholehan sang guru. ketika ditanyakan
kepada mereka tentang hal ini, mereka mengatakan membutuhkan sesuatu
dan memohon dari Allah dan mereka membutuhkan suatu media atau alat
yang nyata untuk mewujudkan keinginan mereka tersebut.
• Wisata religi
Tidak semua jamaah datang pada acara basapa untuk pergi ziarah ke
makam Syehk Burhanuddin, jika ada mereka pergi ke makam hanya untuk
Universitas Sumatera Utara berfoto-foto dan melihat-lihat saja, kemudian pergi bermain ke tepi pantai,
untuk menikmati indahnya pantai. Dan tidak hanya itu saja selesai mereka
bermain di pantai mereka pergi ke pasar Ulakan yang berada di dekat
makam Syehk Burhanuddin untuk belanja berbagai kuliner dan barang-
barang lainnya. Dan biasanya yang pergi basapa dengan tujuan ini adalah
dari golongan muda-mudi.
• Berdagang
Dalam acara basapa ini sebahagian masyarakat memanfaatkan untuk
berdagang, karena kita tahu bahwa orang Minang itu sangat terkenal
dengan berdagang dan menjdi salah satu budaya dan pekerjaan yang
sangat di sukai oleh masyarakat Minangkabau. Bahkan salah satu
pedagang rela jauh-jauh pergi ke tempat basapa ini untuk berjualan.
Setelah ditanyakan kepada mereka kenapa mau pergi berjualan sejauh ini,
apakah tidak rugi? Namun mereka menjawab kalau tidak memberi
keuntungan yang besar mana mungkin kami rela pergi jauh-jauh kesini
untuk berdagang, walaupun bayar sewa lapak mereka mahal. Tetapi karena
begitu ramainya pengunjung basapa membuat pedagang waktu basapa ini
mendapat untung yang besar. Maka dari itu mereka rela berebut
mendapatkan tempat dari jauh-jauh hari sebelum waktu basapa.
• Mengemis
Tidak hanya masyarakat yang memiliki fisik normal saja yang datang
waktu basapa ini, tetapi dengan kekurangan fisik dan keterbatasanya
mereka juga pergi ke tempat basapa ini. Mereka memiliki tujuan untuk
Universitas Sumatera Utara mendapat belahan kasihan dari orang yang datang ke tempat makam
Syehk Burhanuddin dengan mengemis di tepi makam atau di pintu masuk
dan pintu keluar dari makam Syehk Burhanuddin.
• Menjual Jasa
Dalam acara basapa ini, ada sebahagian orang yang memiliki keahlian
dalam bidang tersebut, memanfatkanya sewaktu acara basapa
berlangsung. Yaitu para Tuanku (orang yang pandai dalam memimpin
doa) ikut dalam membantu para jamaah yang tidak ada membawa guru,
untuk memandu mereka dalam acara basapa ini, namun dalam hal ini para
Tuanku bisa juga menggunakan situasi ini menjadi suatu pekerjaan untuk
mencari uang, dimana ketika jamaah dipandu atau menolong
mendoakannya, maka jamaah akan memberikan sedekah kepada para
Tuanku, walaupun tidak ada patokan dari berapa yang di kasih, tetapi para
Tuanku berebut dalam mencari jamaah sehingga ini seakan-akan para
Tuanku yang butuh dengan jamaah, bukan sebaliknya.
• Mencopet
Tidak hanya tujuan positif saja orang pergi ke tempat basapa ini, namun
ada juga niat jahat yang dilakukan oleh orang di lingkungan yang sangat
religious ini. Emang benar yang dikatakan para ulama dimana ada Nabi
Muahmmad SAW, maka disitu juga pasti ada Abu Jahil. Dalam suasana
yang begitu ramai sehingga membuat tangan-tangan jahil gampang
melakukan aksinya, bahkan dengan cara menghipnotis juga mereka
lakukan. Bukan berarti pada kegiatan basapa ini tidak ada keamanan,
Universitas Sumatera Utara bahkan ketika acara basapa ini dari berbagai keamanan di turunkan,
mualai dari Polisi, TNI, Dishub, dan bahkan aparat Nagari serta Ninik
Mamak juga ikut mengamankan areal basapa ini. Namun karena begitu
ramainya dan berdesakan membuat pihak keamanan sulit mengamankan
lokasi dari basapa ini. Namun pihak dari panitia peneyelenggara basapa
tidak henti-hentinya menginngatkan dengan pengeras suara kepada
seluruh jamah, untuk berhati-hati dengan barang bawaannya, begitu juga
dengan yang membawa anak kecil.
4.3.4. Alat Atau Benda
• Kemenyan
Kemenyan pada acara basapa menjadi salah satu bahan atau alat dalam
memulai melakukan suatu acara di makan Syehk Burhanuddin. Dimana
kemanyan ini digunakan para jamaah untuk memulai acara berdo’a atau
bertahlil, dengan cara membakarnya dengan beralaskan berupa
sabut/patok kelapa yang sudah tua dan sudah ada bara api atau langsung
membakar patok kelapa ini untuk dijadikan tempat membakar kemenyan.
Maksud dan tujuan dari dibakarnya kemanyan ini tidak jawaban yang pasti
dari bebrapa informan, namun yang mereka ketahui bahwasanya orang
Islam itu suka dengan wangi-wangian, karena kemenyan ini jika dibakar
mengeluarkan bau yang menyengat dan wangi, maka dari itu jamah
menggunakan alat ini sebagai alat untuk memulai suatu acara.
Universitas Sumatera Utara • Mantawaan
Gambar 5: benda-benda mentawan
Mantawan merupakan aktifitas sebahagian peziarah berupa meletakkan
benda-benda di atas makam Syehk Burhanuddin untuk memperoleh
kekuatan dari arwah Syehk Burhanuddin guna keperluan tertentu. Benda-
benda yang di letakkan di atas makam diataranya berasal dari tumbuh-
tumbuhan, makanan, air dan termasuk benda-benda buatan manusia
sendiri. tergantung dari kesukaan dari para peziarah, dan kebanyakan dari
benda-benda yang di letakkan itu adalah berupa air minum, karena dengan
air minum bagi mereka itu lebih bisa dimanfaatkan dengan cara
meminumnya yang sebelumnya sudah di do’akan secara bersama di atas
makam Syehk Burhanuddin. Tentunya dengan bacaan-bacaan do’a
maupun tahlillan bisa mengharapkan keberkhatan dari air minum yang
mereka letakkan di atas makam. benda-benda tersebut di bawa oleh
peziarah dan diletakkan di atas makam Syehk Burhanuddin beberapa saat,
kemudian diambil lagi dan dipergunakan sesuai dengan tujuan masing-
masing.
Universitas Sumatera Utara • Pasir Makam
Pengambilan pasir makam ini dilakukan tetap dalam kerangka untuk
memperoleh kekuatan goib dari roh/ arwah Syehk Burhanuddin. Caranya
adalah peziarah yang menginginkannya meminta kepada penjaga kubur.
Penjaga kubur yang bertugas di dalam makam telah siap dengan sanduk
tampurung yaitu sendok yang dibuat dari tempurung kelapa dan bertangkai
kayu dan kantong-kantong plastic yang sudah disiapkan oleh penjaga
kubur banyak pasir yang diambil yaitu satu sendok tempurung setera
dengan satu gengam dengan berat kira-kira satu ons atau 200 mili liter.
Sebenarnya tidak ada ukuran berapa banyak yang harus diambil dan
digunakan, namun karena begitu banyaknuya jamaah yang menginginkan
pasir makam ini, maka dari penjaga makam membagi sama rata sebanyak
satu sendok tempurung, dan menjadikan sendok ini sebagai ukurannya.
Karna disamping sebagai patokan ukuran sendok tempurung ini sesuai
dengan keadaan jangkauan dari penjaga makam untuk menimbanya. Maka
dari itu penjaga makam menggunakan sendok tempurung ini, biasanya
sendok ini digunakan oleh masyarakat dulunya untuk mengambil nasi dari
periuk. Kemudian alasan kenapa banyak orang mengambil pasir di makam
Syehk Burhanuddin adalah mereka membutuhkan sesuatu dari makam
yang bisa mereka ambil, karna kebetulan makam Syehk Burhanuddin
berada di dekat pantai, tentu makam ini penuh dengan pasir, dan pasir
inilah yang begitu sangat dekat dengan makam Syehk Burhanuddin.
Dimana pasir ini selalu dido’akan maupun di tahlilan oleh para jamah
Universitas Sumatera Utara ziarah yang datang, sehingga ada kepercayaan sebagaian masyarakat
bahwasanya pasir yang berada dekat makam ini memiliki kekaromahan
dari sang guru (Syehk Burhanuddin) dengan ke karomahannya itu mereka
mengharapkan akan keberkatan dari Allah SWT melalui wasilah Syehk
Burhanuddin. Kemudian keguanaan dari pasir makam ini rata-rata jamaah
mengaku untuk obat sawah, obat kedei, obat pagar rumah dan lain-lain.
Cara mereka menggunakannya yaitu ada sebahagian jamaah
menaburkannya seperti di sawah, ada juga sebahagian di bungkus dengan
kain lalu diikat dan disimpan di tempat yang tinggi seperti di atas pintu
rumah. Namun menurut penjaga makam disana seharusnya pasir ini tidak
perlu di tabur di mana-mana cukup simpan saja disuatu tempat dan
penjaga makam selalu mengingatkan agar tidak menyalahgunakan pasir
makam ini. pasir ini memang didatangkan dari luar, karena banyaknya
jamaah yang mengambilnya, sehingga pasir yang di kuburan cepat habis.
• Air Kimo (kulit kerang)
Gambar 6: air kimo
Kulit-kulit kerang yang berukuran besar sekitar 40cm diameternya dan
memiliki panjang sekitar 50cm yang disebut kimo oleh masyarakat
Universitas Sumatera Utara setempat dan perziarah yang terdapat di dalam bangunan makam. dulunya
kulit kerang ini atau kimo digunakan sebagai penampung air di depan
makam, karna pada dahulunya bejana seperti ember atau baskom tidak
ada, jadi karena dulunya makam ini belum disemen dan masih bertanah
sehingga para jamaah sebelum masuk ke dalam makam mencuci kaki
mereka dulu dengan air yang di tampung dengan kulit kerang tersebut.
Namun sekarang kegunaan Kimo mempunyai nilai yang tak lepas
kaitannya dengan kesakralan Syehk Burhanuddin. Air kimo pada umunya
hanya digunakan untuk mengobati penyakit ringan, seperti sakit kepala,
menghilangkan keletihan, dan rasa lain yang terasa di badan. Caranya
dengan mengusap air kimo pada tempat yang dirasa sakit.
• Air Batu Ampa
Gambar 7: air batu ampa
Batu ampa merupakan batu pipih yang juga dihubungkan dengan sejarah
Syehk Burhanuddin sewaktu di Aceh. Pemanfaatan air batu ampa sama
dengan air Kimo, air ini juga bisa menyembuhkan beberapa penyakit
ringan. Air batu ampa juga dicampur dengan bunga rampai dan irisan jeuk
nipis. Alasan air ini dicampur dengan irisan jeruk nipis dan bunga rampai
Universitas Sumatera Utara menurut informasi setempat, bahwasanya batu ampa ini dulunya bekas
tempat Syehk Burhanuddin memukul alat kelaminnya sehingga
mengeluarkan darah yang banyak. Jadi untuk menghilangkan bau amis
dari bekas darah, makanya air untuk membersihkan tempat batu itu
dicampur dengan irisan jeruk nipis dan bunga rampai, agar bau amis itu
tidak ada lagi. Namun sekarang air batu ampa yang sudah dicampur
dengan irisan jeruk nipis dan bunga rampai digunakan untuk mengobati
beberapa penyakit ringan. bagi peziarah yang ingin memiliki air batu ampa
ini, airnya sudah disiapkan oleh penjaga di dalam ember, diambil dengan
tangan, diusapkan atau disiramkan ke atas batu ampa, kemudian baru
diusapkan ke bagian yang sakit. Penjaganyapun telah menyiapkan air batu
ampa yang di bungkus dengan plastic yang dapat dibawa pulang. Jamaah
cukup mengganti satu bungkus plastic air batu ampa itu dengan sedekah
seiklasnya.
• Meletakkan Sesajen
Meletakkan sesajen merupakan salah satu aktivitas religious yang
dilakukan peziarah di makam Syehk Burhanuddin pada waktu basapa.
Sesajan merupakan suatu rangkain makanan kecil, benda-benda kecil,
bunga-bungaan serta barang hiasan yang semuanya disusun menuruti
konsepsi keagaaman sehingga merupakan lambang (simbol) yang
mengandung arti. Memberikan sesajen dilakukan peziarah sewaktu basapa
selain menunaikan nazar yang telah dibuat sebelumnya, juga dilaksanakan
semata-mata untuk memberian sajian kepada arwah Syehk Burhanuddin.
Universitas Sumatera Utara Biasanya pembayaran nazard yang dulunya pernah diucapkan jamah yaitu
berupa hewan ternak seperti kambing dan ayam, kemudian berupa
makanan yaitunya satu kantong plastic beras. Dengan demikian berupa
makanan ini hanyalah merupakan symbol dari pengungkapan rasa cinta
dan hormat. Pemberian sesajen dilakukan tetap dalam konteks untuk
memperoleh safaat dan berkat dari Allah melalui arwah Syehk
Burhanuddin. Kemudian barang-barang seperti hewan ternak, beras dan
lain sebagainya dikumpulkan satu tempat, kemudian kesemuanya ini
digunakan untuk keperluan basapa atau keperluan makam Syehk
Burhanuddin.
4.4. Kegiatan Basapa
Terkait dengan kegiatan basapa, ada beberapa kegiatan dan bermacam- macam ibadah dilakukan jamaah yang mengikutinya sesuai dengan bimbingan guru mereka jamah masing-masing. Jamaah basapa datang pada hari selasa sore, minggu ketiga bulan Syafar dan langsung menuju surau Tanjung Medan tempat pertama kali Syehk Burhanuddin menetap dan mengembangkan Islam. Di surau
Tanjung Medan ini khalifah Syehk Burhanuddin (sekarang Tuanku Kuniang
Syahril Luthan) sebagi pimpinan Surau telah menyiapkan kebutuhan tempat dan sarana lainnya. Pada hari Selasa sepanjang malam jamaah melakukan ibadah di tempat ini. Di mulai dari shalat Magrib berjamah dengan imam Khalifah Tuanku
Kuniang Syahril Luthan, kemudian di lanjutkan dengan tahlil dan doa dengan niat pahala tahlil dan doa agar disampaikan Allah kepada Syehk Burhanuddin. Mereka
Universitas Sumatera Utara juga bermohon agar didoakan oleh Syehk Burhanuddin agar selamat dan berakat semua pengajian yang telah mereka terima. Acara ini berlangsung sampai masuk waktu shalat Isya. Setelah shalat Isya berjamaah , mereka istrirahat untuk makam malam, sekitar satu jam kemudian di lanjutkan dengan pengajian Tarekhat ba’ah
(sumpah setia) dan ceramah agama. Akhirnya ditutup dengan pertemuan antar guru (kahlifah) dengan pimpinan jamah. Biasanya mereka membicarakan keadaan jamaah di tempat mereka masing-masing dan merencakan kapan guru dapat mengunjungi suarau pengajian di daerah mereka masing-masing.
Acara selanjutnya keesokan harinya sebelum/menjelang waktu Zhuhur jamaah berangkat menuju surau Pondok yang hanya berjarak 2km dari surau
Tanjung Medan, tempat dipeliharanya pakaian, kitab, dan al-Quran kulit mayang
(upih) tulisan tangan Syehk Burhanuddin dan benda pusaka lainnya. Di surau pondok ini jamaah diterima oleh Tuanku Khalifah pemegang pakain, sekarang di jabat oleh Tuanku Bermawi. Untuk melihat pakain itu jamaah harus mengikuti serangkain ibadah, seperti bertahlil sebanyak 70.000 yang dihadiahkan kepada guru Syehk Burhanuddin dan kemudian di akhiri dengan doa. Pakain yang diperlihatkan oleh Tuanku Bermawi terdiri dari baju jubah panjang dari kain bercorak ala Cina, ikat pinggang ala Arab, dan peci haji seperti yang umumnya dipakai orang telah pergi haji, satu al-quran kulit mayang (upih) tulisan tangan dengan kertas kanji lama. Sehabis shalat Zuhur berjamaah dan makam bersama mereka melanjutkan Syafar ke makam yang terletak di pasar Ulakan berjarak sekitar 3km dari surau Pondok. Disana mereka diterima oleh panitia basapa, dengan kepala rombongan melapor kepada panitia berapa jamaah yang mereka
Universitas Sumatera Utara bawa, kemudian panitia memberi tempat sesuai dengan jumblah jamah dan jatah yang tersedia. Ada yang di tempatkan di surau-surau dekat makam, ada yang di bawah pohon ketaping, ada di dalam Mesjid dan di lapangan terbuka. Tergantung dari kepemilikan dari rombongan jamah. Sebahagian ada jamaah yang memeliki surau di sekitar makam dan bagi yang tidak memiliki tempat, maka mereka mendapat tempat di lapangan terbuka. Dan tanah dari daerah sekitar makam ini, yang banyak didirikan berbagai bangunan surau atau Mesjid, adalah tanah wakaf dari teman dekat Syehk Burhanuddin yaitu Indris Majalelo.
Namun dari rangkain acara di atas, tidak semua jamaah basapa yang melakukan urutan kegiatan di atas, dan biasanya rangkain kegiatan itu dari jamaah-jamah yang jauh dari Pariaman, sehingga mereka harus menginap di tempat, untuk bisa mengikuti acara basapa. Dan sebahagian Negri dalam melakukan tradisi basapa ini tergantung dari kesepakatan mereka dengan kepala rombongan mereka, kemana saja mereka akan pergi dan hal-hal apa saja yang akan mereka lakukan sewaktu basapa. Seperti dari jamaah Nagari Tanjung
Barulak yang peneliti wawancarai. Kepala rombongan mereka bernama Pakiah
Syarif Malano selaku imam Mesjid Tanjung Barulak dan sekaligus kepala rombongan Nagari Tanjung Barulak mengatakan :
“Jadi kami melakukan basapa iko tiok tahun, dan biasonyo kami pai wakatu sapa gadang, rute pai basapa kami tiok tahun babedo-bedo, tagantung dari kesepakatan jamaah nan ka pai,biasonyo kami pai pertamo ka makam di koto baru, satalah itu langsuang ka makam angku shaleh, selanjuiknyo kami pai ka surau pondok untuk macaliak pakain, dan terakhir baru ka makam Syek Burhanuddin. untuk masalah biaya itu kami tanggung masiang-masiang. Dan kebetulan kami punyo suarau di ulaan mako kami tiok tahun bisa langsung pai ka suarau untuak malataan barang, ka sumbayang, zikia, ceramah, dan lain sebagai nyo. Dan ambo sabalum kami pai basapa tarui ma ngecean ka jamaah, kalau ka pai
Universitas Sumatera Utara ziarah ka makam guru, bukan untuk maminta-minta kapado guru, apolagi ka kuburan, itu tarui ambo kecean ka jamaah sabalum barangkek pai basapa. biasonyo nan banyak pai basapa ko urang nan lah gaek-gaek, kok ado bana nan mudo-mudo inyo banyak nan pai raun-raun se ka pantai, nan ka makam nomor duo ndek inyo”
(Jadi kami pergi acara basapa ini tiap tahun, dan biasanya kami pergi ketika acara basapa gadang, kemudian untuk menegnai rute basapanya tiap tahun kami perginya berbeda-beda tempatnya tergantung dari jamaah yang akan ikut. Biasanya pertama kami pergi ke makam di Koto Baru, selanjutnya ke makam Angku Shaleh, kemudian dilanjutkan ke surau pondok untuk melihat pakaian, dan terakhir baru ke makam Syehk Burhanuddin. Mengenai biaya kami menanggung pribadai dan kebetulan kami memiliki surau di Ulakan sehingga kami kalau pergi basapa langsung kesana untuk meletakkan barang-barang, untuk melakukan shalat berjamaah, berzikir, mendengar ceramah dan melakukan ibadah lainya. Dan sebelum berangkat saya selalu mengingatkan kepada jamaah bahwasanya kita pergi untuk menziarahi kuburan guru, bukan meminta kepadanya apalagi meminta kepada kuburan, dan ini selalu saya ingatkan kepada jamaah tiap tahunnya. biasanya yang pergi basapa ini adalah orang yang sudah tua-tua, dan jika ada yang muda-muda ikut, mereka hanya pergi berwisata saja ke pantai dekat makam, dan menjadikan nomor dua ziarah ke makam).
4.5. Kegiatan Utama Basapa
Dalam pelaksanaannya sendiri ritual basapa umumnya diisi dengan tiga kegiatan utama, yaitu pertama ziarah dan berdoa di makam Syehk Burhanuddin, kedua sholat, baik sholat wajib atau sunnat dan ketiga zikir.
1. Ziarah Bersama
Gambar 8: suasana waktu basapa
Universitas Sumatera Utara
Ketika mereka sampai di area sekitar makam dan setelah menempatkan barang bawaan pada lokasi yang disediakan oleh panitia basapa, maka Tuanku atau pimpinan jamaah membawa rombongannya ke dekat makam Syehk Burhanuddin untuk melakukan ziarah dan menghadiahkan beberapa bacaan zikir, atau bacaan-bacaan ajaran Islam lain kepadanya, tergantung dari pengamalan pimpinan rombongan jamaah masing-masing. Upacara ziarah ini dipinpim oleh sang guru yang biasanya duduk paling dekat dengan kuburan yang ada dalam makam itu. Diawali dengan bacaan doa ziarah kubur oleh masing-masing jamaah, kemudian guru memimpin bacaan al-Fatihah yang pertama kali ditujukan dan dihadiahkan khusus kepada beliau guru mereka (Syehk Burhanuddin).
Fatiah kedua dihadiahkan pahalanya kepada Syehk Abdurrahman dan
Khatib Majolelo berkubur di samping Syehk Burhanuddin. Fatihah ketiga dihadiahkan kepada semua orang yang berkubur di tempat tersebut dan semua arwah kaum muslimin di mana saja berada. Kemudian membacakan 3 surah terakhir dalam Alquran dengan 3x berulang (surat
Al-Iklas, surat Al Falaq, surat An Nas). Seterusnya sang guru memimpin tahlil la ilaha illa allah sesuai kemampuan mereka, yang pahalanya juga dihadiahkan kepada guru yang bermakam di tempat itu. Setelah tahlil sang guru mengakhiri kegiatan ziarah itu dengan doa. bagi jamaah yang tidak ada membawa guru dari rombongannya, maka di sekitar makam terdapat para Tuanku(orang pandai dalam membaca doa/seperti ustand) yang akan
Universitas Sumatera Utara membatu memandu para jamaah dalam melaksanakan ziarah di makam
Syehk Burhanuddin.
Selesai kegiatan terpinpim ini masing-masing jamaah berdoa sesuai keinginanya, di samping berdoa ada juga jamaah yang membaca
(memasan) nadzarnya atau membayar nadzarnya yang telah diucapkan dulu. Jamaah lain ada meletakkan jeruk nipis (limau dan bahan lainya) di atas tanah kuburan Syehk Burhanuddin dan ada juga yang mengambil tanah (pasir) kuburan itu. Setelah ditanyakan pada umumnya jamaah menjawab bahwa ini dimaksudkan untuk mengambil berkhat dan biasanya digunakan untuk obat-obatan, seperti obat sawah, obat rumah, dan obat diri sendiri. ada pula jamah yang mengambil air kerang yang terdapat dalam kompleks makam itu untuk diusapkan ke kepalanya atau dibawa pulang. Ada lagi yang mengambil air bekas cucian batu tempat pemukul kehormatan guru tersebut dulunya, yang masih kelihatan warna merah dalam batu itu. Ketika ditanyakan kepada mereka tentang berbagai kegiatan yang dilakukan pada umumnya mereka beralasan untuk mengambil berkhat. Misalnya ditanyakan kenapa pahala Fatihah dan tahlil dihadiahkan kepada guru yang bermakam di sini, padahal dia seorang ulama besar dan pahalanya tentu sudah banyak. Alasan yang mereka kemukakan tidak terlepasa dari alasan keberkhatan dan penghormatan kepada guru. Menurut mereka berkhat adalah limpahan pahala darinya
(Syehk Burhanuddin) sehingga dapat mengantarkan pada keselamatan dunia dan akhirat. Seperti diibaratka air gelas yang sudah penuh di tambah
Universitas Sumatera Utara terus sehingga air tersebut pasti akan melimpah. Limpahan itulah yang diharapkan, karena limpahan itu akan mendatangkan berkhat dari Allah
SWT.
Menurut pengakuannya mereka tidaklah meminta kepadanya, tapi tetap minta kepada Allah, hanya saja ialah orang yang dekat dengan Allah, apalagi ia adalah pekerjaan mulia yang disuruh agama. Mengenai limau dan mengambil pasir kuburan serta mengambil air kerang itu hanyalah alat semata-mata untuk syariatnya tanda bahwa mereka membutuhkan sesuatu dari Allah berkat kemulian sang guru, bukan dia yang mengabulkan doa tetapi hanya atas kehendak Allah semata. Kepadanyalah mereka memohon izin atas ilmunya diberikan dan juga untuk mendoakan mereka.
Ketika penulis diskusikan dengan ulama yang memimpin jamaah basapa tentang berbagai cara dan bentuk pengalaman peserta basapa ini, pada umunya mereka merespon dengan nada biasa dan menjelaskan bahwa cara pengamalan itu tidaklah sesat. Menurut mereka apa bedanya dengan minta obat kepada dokter, bila berkeyakinan obat yang menyehatkan berarti juga syirik. Demikian juga halnya orang yang mengambil pasir kuburan, meletakkan limau disana, mengambil air kerang dan batu di makam Syehk Burhanuddin. Jika benda itu yang diyakini menyehatkan penyakitnya maka ia syirik, tapi kalau itu hanya sekedar alat (syariat saja) maka tidaklah salah. Begitu juga yang di katakana Angku Sutan Datuak
(Pengurus Surau Gadang Ulakan)
“sabanayo tagantuang kapado aqidah kito masiang-masiang, sabaik kalau kito indak manggatuangan iko ka aqidah atau ma
Universitas Sumatera Utara I’tikaikan dalam hati kito dan hanyo manjadian sebagai wasilah, mako buliah-buliah sajo. Kito contohan sajo wakatu zaman nabi Muhamamad SAW, katiko sahabaik nabi Umar Bin Khatab hendak mencium batu Hajar Aswad nyo mangecean bahwasanyo engkau tidak memberi manfaaik dan juga tidak memberi mudhorat, tetapi aku berbuat karena mengikut Rosulullah”
(Sebenarnya tergantung kepada aqidah (ilmu pengetahuan dalam memahami perkara-perkara yang berkaitan keyakinan terhadap Allah dan sifat-sifat kesempurnaanya) kita masing-masing, sebab kalau kita tidak menggatungkannya kepada aqidah dan mengitikatkan/ membenarkan dalam hati tetapi hanya sebagai wasilah atau penghubung, maka itu tidaklah salah. Kita contohkan ketika zaman Nabi Muhammad SAW, ketika sahabatnya Umar Bin Khatab hendak mencium batu hajar aswad, dia berkata kepada batu itu bahwasanya engkau tidak memberi manfaat, dan juga tidak memberi mudorhat, tetapi aku berbuat karena mengikut sunnah Rosulullah).
Namun tidak semua jamaah atau peserta basapa yang mengerti tentang hal Aqidah ini, bagaimana mereka menempatkan Aqidah mereka ketika melakukan basapa ini, itulah gunanya setiap jamaah memiliki guru atau Tuankunya masing-masing agar bisa memberikan pehaman dan arahan terhadap mereka. Tetapi kebanyakan guru atau Tuanku tidak menjelaskan kepada jamaahnya tidak begitu menditel, dia hanya mengingatkan bahwa kita tidak meminta kepada kuburan, tetapi kita tetap meminta kepada Allah SWT, hanya menjadikan kegiatan ziarah ke makam guru Syehk Burhanuddin ini sebagai wasilah (penghubung) kita kepada
Allah, agar do’a yang kita ucapkan bisa disampaikan cepat sampai kepada
Allah, secara guru Syehk Burhanuddin adalah orang yang mulia atau orang yang dekat dengan Allah, tentu secara logika do’a kita lebih di Ijabah oleh
Allah ketimbang kita hamba yang biasa. Ibarat kita ingin bertemu dengan
Gubernur, tentu kita harus menemui Sekretarisnya duluan agar kita bisa
Universitas Sumatera Utara berjumpa dengannya. Tentu jika kita melalui sekretarisnya lebih cepat
berjumpa dengan gubernur dibanding kita yang langsung menemuinya
tanpa melalui sektretarisnya.
2. Shalat Wajib Dan Sunat
Kegiatan selanjutnya yaitu seperti kehidupan sehari-harinya yaitu
Sholat Wajib 5 waktu sehari semalam. Disini mereka setiap waktunya
melakukan Sholat wajib secara berjamaah, ada yang berjamaah di Mesjid
atau di surau(mushola) jamaah mereka masing-masing. Kemudian
dilanjutkan dengan shalat sunnat, dan biasanya pada acara basapa ini
mereka melaksanakn Shalat sunnat Buraha. Shalat buraha adalah shalat
sunat mutlak dua rakaat dengan niat ditujukan pahalanya ke Syehk
Burhanuddin yang telah memberikan ilmu agama Islam kepada mereka
melalui guru dengan harapan agar berkat ilmu agama ini ada bermanfaat
serta mendatangkan kebaikan untuk dirinya.
3. Berzikir
Selesai shalat buraha biasanya jamaah melanjutkan kegiatan
dengan berzikir sendiri-sendiri sesuai yang diajarkan guru. Dzikir di
kalangan penganut tarekhat Syatariah berupa dzikir tahlil dengan
membaca la ilaha illa Allah sebanyak 3x tahapan, masing-masing tahapan
70ribu kali. 70ribu kali pertama ditujukan untuk guru-guru sampai ke
Nabi, karena mereka menjadi wasilah agama sampai kepada mereka.
70ribu kali kedua untuk kedua orang tua yang telah menjadi wasilah
mereka hidup di dunia ini. Dan 70ribu kali ketiga untuk diri sendiri
Universitas Sumatera Utara sebagai tebusan dari api neraka, karena ada fatwa guru orang yang
membaca 70ribu kali kalimah la illaha illa Allah maka ia dibebaskan dari
api neraka.
4.6. Pandangan Mengenai Basapa
Masyarakat yang belum mengenal persis bagaimana corak pemahaman keagamaan masyarakat Ulakan dan yang memiliki hubungan dengannya, akan banyak bertanya dan tidak jarang mengatakan itu suatu yang bid’ah tidak ada nashnya dalam agama. Atau bisa juga mengatakan bahwa pemahaman keagamaan golongan tradisional itu sudah tidak Islami lagi. Dalam kasus Minangkabau masyarakat tradisional yang berada di pusat Minangkabau (darek) lebih cendrung kepada rasional dan memiliki ibadah yang ketat. Sedangkan masyarakat Islam tradisional daerah pesisir (rantau) cendrung emosional serta sikap mengagungkan guru yang berlebihan dan lebih mendahulukan pandangan filosofis dalam keagamaan. Sehingga semangat aktivisme agak sedikit lebih lemah dibandingkan dengan daerah darek. Pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa corak keagamaan di pesisir (Ulakan dan sekitarnya) lebih kental ketradisionalnya yang dapat ditunjukan dari beberapa hal yaitu:
1) Di Ulakan dan daerah yang berada di bawah pengaruhnya banyak sekali
ditemukan makam-makam yang dikeramatkan, diziarahi dan dianggap
sesuatu yang bertuah dan sering orang memberikan nazar ke sana. Makam-
makam itu pada umumnya adalah kuburan ulama yang punya hubungan
silsilah dengan Syehk Burhanuddin misalnya kuburan Tuanku Salih di
Universitas Sumatera Utara Sungai Sariak, kuburan Tuanku Ampalu Tinggi di Tandikat Mudiak
Padang, kuburan Tuanku Bintungan Tinggi di Pauh Kambar, kuburan
Tuanku Mato Air di Pakandangan.
2) Pendidikan agama di daerah Pariaman sekitarnya masih didominasi oleh
system pendidikan surau (mushala) yang berbentuk halakah. Sedangkan
pendidikan agama dalam bentuk Madrasah tidak sebanyak di daerah
Darek.
3) Tradisi peringatan hari besar Islam di daerah Pariaman dan sekitarnya
lebih mengedepankan serimonialnya, ketimbang isi acara itu sendiri.
misalnya dalam peringatan maulid Nabi di kalangan tradisionalis Pariaman
terkenal sekali tradisi masyarakat makan bajamba (makan bersama dengan
wadah yang besar) dan lamang (lemang). Namun tentang apa hikmah yang
terdapat di dalamnya tidak pernah diungkap karena acaranya dilakukan
dalam bahasa Arab dengan irama lagu yang tidak mudah dipahami tentang
apa yang dibaca, bacaan itu disebut dengan Dzikir Sarafal Anam.
4) Kultus atau paling tidak pemujaan yang melebihi menurut sistematisnya
terhadap ulama merupakan bahagian dari prilaku keagamaan masyarakat
di Ulakan dan Pariaman umunya. Sehingga ada istilah ketulahan. Yaitu
suatu keyakinan akan mendapat bahaya kalau menentang ulama.
Akibatnya dominasi tuanku terhadap paham keagamaan masyarakat begitu
kuat.
5) Masih kuatnya ilmu batin atau ilmu klenik dan pendukunan dalam
masyarakat. Tidak jarang terjadi tuanku juga bertindak sebagai dukun
Universitas Sumatera Utara melalui pengajian Tarekhat Syatariahnya tuanku mengobati orang atau
mungkin mengerjakan artimya menganiaya orang karena balas dendam
dan sakit hati atau lainya15.
Anggapan bahwa praktek keagamaan di Ulakan setelah wafatnya Syehk
Burhanuddin menyimpang, umumnya dilontarkan oleh kalangan modernis Islam dengan mengemukakan dalil berdasarkan sudut pandang mereka. Tetapi kalangan ulama tradisional seolah-olah tidak bisa memberi pantahan yang kuat, dan bagaimana praktek keagamaan yang dilakukan pengikut Tarekaht Syatariyah dalam basapa tiap tahunnya.
pada zaman dahulu Nabi pernah melarang umatnya untuk berziarah ke makam, hal ini dilarang ketika Islam dan Iman umat Nabi Muhammad belum kuat atau sempurna. Sehingga pada masa itu banyak umat melakukan hal-hal yang berlebihan ketika ziarah kubur, ada sebahagian yang terlalu bersedih, sehingga mereka meraung-raung menangis di hadapan kuburan, mereka mengangap bahwa tidak ada gunanya mereka hidup, karena menggap hubungan mereka dengan yang sudah mati tidak ada lagi dan putuslah harapan mereka. Ada sebahagian yang pergi ziarah ke kuburan untuk meminta-minta kepada yang sudah meninggal dan meletakkan beberapa sesajen, dan ini tentu sudah jauh dari ajaran agama Islam, maka dari itu Nabi melarang melakukan ziarah kubur pada masa itu. Namun setelah agama Islam dan Iman manusia sudah mulai kuat dan kokoh Nabi malahan menyuruh umatnya untuk menziarahi kuburan, sebagaimana sabda Nabi SAW yang artinya:
15 Duski Samad. Syehk Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau. Jakarta. 2003 hal162-165.
Universitas Sumatera Utara “sesungguhnya akau pernah melarang kalian untuk menziarahi kubur, maka (sekarang) ziarahilah kuburan”. Kemudian di akhir hadist di tambahkan oleh Nabi dengan “ sebab ziarah kubur itu akan mengingatkan pada hari akhirat” (HR Muslim). Di kalangan Islam modernis yang menganggap ini adalah sesuatu yang salah atau bid’ah, mereka tidak tahu bagaimana hakekhat dalam acara ini, yang mereka tahu ini adalah sesuatu yang berlebihan dan sulit untuk di logikan. Dan kebanyakan dari Islam modernis ini menganggap orang yang datang berziarah ke makam Syehk Burhanuddin ini adalah untuk meminta-minta kepada kuburan dengan beberapa serimonialnya masing-masing. Tetapi mereka tidak paham akan maksud dan tujuan dalam melakukan ziarah ke makam guru. Bapak Ali Imran
(ketua Badan pemberdayaan dan pengembangan kawasan makm Syehk
Burhanuddin Ulakan BP2KMSB) mengatakan bahwa:
urang nan mangecean iko syiriak atau bid’ah adolah urang nan ndak tahu-tahu bana lo do, jadi nyo murah se mangecean iko nan bid’ah lah nan syiriak lah, tapi inyo ndak tahu ba’a hakikaik nan sabananyo do, pi alah hadist nabi mah, “sia nan manziarahi ulama, berarti nyo lah menziarahi Rosulullah, barang sia nan lah menziarahi Rosulullah berarti nyo lah menziarahi Allah”. (Orang yang mengatakan ini syirik atau bid’ah adalah orang dari kalangan yang tidak paham betul, jadi dia dengan gampang membid’ahkan sesuatu hal, namun mereka tidak mengerti tentang hakikat yang sebenaranya. Sebagaimana sabda Nabi SAW “barang siapa yang menziarahi ulama, berarti dia telah menziarahiku (Rosulullah) dan barang siapa yang menziarahiku berarti dia telah menziarhi Allah SWT). Kemudian penjelasan dari bapak Angku Sutan Datuak selaku pengurus surau gadang Syehk Burhanuddin menegenai tradisi basapa mengatakan:
“Satiok jamaah dalam basapa ko inyo punyo perguruan masiang- masiang, dan jamaah katiko nyo babuek sesuatau jo ilmu yang di pelajarinyo serta dengan Aqidah masiang-masiang. Dan katiko acara basapa pun dengan ilmu, ziarah ke makam guru itu sunnah, namun ado
Universitas Sumatera Utara hal hal yang dilakukan jamaah katiko basapa di anggap balabiah. Nah iko kunci nyo 2, nan pertamo urang nan malakuan sesuatu hal misalnya katiko basapa urang nan batua-batua mangarati sahinggo nyo melakukan itu jo ilmu dan aqidah nyo, dan kaduo urang nan melakukan sesuatau hal katiko basapa urang nan indak tau-tau bana, atau manuruikan sajo tanpa di dasari jo ilmu, a nan iko lah salah, mangarjoan sesuatu indak jo ilmu” (Setiap jamaah basapa memiliki perguruan masing-masing, dan ketika jamaah berbuat sesuatu hal dengan ilmu dan aqidah yang telah dipelajarinya. Begitu juga dengan ketika acara basapa juga dengan ilmu, ziarah ke makam guru itu sunnah, namun ada hal-hal yang dilakukan jamaah ketika basapa dianggap berlebihan. Nah ini kunci 2 saja, pertama ketika ada orang melakukan sesuatau hal misalnya ketika basapa adalah orang yang paham dan mengerti sehingga mereka berbuat dengan ilmu serta aqidah mereka masing-masing. Kedua orang yang melakukan sesuatu hal ketika basapa adalah orang yang tidak begitu paham atau hanya sekedar ikut-ikutan saja tanpa didasari oleh ilmu. Hal inilah yang salah, berbuat sesuatu tidak dengan ilmu). Dari penjelasan bapak Angku Sutan Datuak di atas bahwasanya ketika acara basapa berlangsung tidak semuanya jamaah itu melakukan hal-hal yang aneh atau sesuatu hal yang sulit dilogikan dengan sudut pandang Islam modernis. sebahagian jamaah yang datang memang hanya khusus untuk menziarahi guru, sebagahian lagi ada yang berbuat lebih dari itu, namun kembali lagi semuanya itu tergantung dari ilmu dan aqidah mereka masing-masing. Oleh sebab itu tidak bisa kalangan Islam modernis menganggap atau menyamakan semua jamaah, dan mengambil satu sudut pandang saja mengenai tradisi basapa ini.
Sebenarnya perbedaan pandangan atau pendapat dalam Islam itu bagus, sebagaimana pendapat para ulama, “perbedaan pendapat itu menjadi rahmat bagi orang mukmin”, maksud dari perbedaan ini menjadi pemersatu dan bukan menjadi pemecah. Begitu juga dengan 4 mazhab (Hambali, Hanafi, Syafi’i,
Maliki) di dalam agama Islam, apakah mereka saling membid’ahkhan ketika dalam urusan agama, tentu tidak mereka memiliki perbedaan dan pendapat yang
Universitas Sumatera Utara berbeda,(dalam konteks khilafiah-khilafiah yang belum jelas hukumnya) tetapi mereka tetap menghargaai mazhab yang lainnya, karena semuanya tidak ada yang salah.
Kemudian seperti pepatah Minangkabau yang mengatakan “Adaik Basandi
Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” maksudnya adat itu berlandaskan hukum
Islam, dan hukum Islam itu berlandaskan kitab Suci al-quran. Dari pepatah ini menjelaskan bahwasanya masyarakat Minangkabau itu seluruhnya beragama
Islam. Namun walaupun mereka semua beragama Islam tetapi ada aliran-aliran atau paham-paham yang mereka anut, sebagai metode atau cara dalam menjalankan agama mereka. Ada yang beraliran Muahamadiyah, NU, Syiah dan lain sebagainya. Tidak hanya itu adalagi yang namanya bertarekhat yaitu suatau metode atau cara dalam mensucikan diri. Dimana ada tarekhat Syatariah,
Nagsabaniah dan lain sebagainya, yang penaman tarekat ini diambil dari pakar atau syehk yang mencetuskannya. Begitu juga dengan pelaksanaan acara basapa di Nagari Ulakan dimana jamaah yang datang bukan hanya yang bertarekhat
Syatariyah saja, namun ada yang bertarekhat lain bahkan yang tidak bertarekahat sekalipun juga hadir untuk melakukan kegiatan basapa pada bulan Syafar.
Masyarakat Minangkabau semuanya beragama Islam, namun dalam menjalankan ajaran agama Islam masyarakat Minangkabau memiliki cara atau metode yang berbeda, perbedaan ini mereka dapatkankan dari history dan sosiologis dalam perjalanan hidupnya. Sehingga satu individu atau kelompok memiliki history dan sosiologis yang berbeda mereka dapatkan. perbedaan- perbedaan ini muncul karena sesuai dengan kebutuhan dan psikologis dari
Universitas Sumatera Utara penerimanya dalam mencari ketenangan jiwa. Dan tidak terlepas juga dari pengaruh tempat perguruan dan seorang guru, karena setiap guru bisa saja memiliki persepsi atau paradigma yang berbeda-beda dalam memahami suatu paham. Hal ini dikarena diturunkan kepada manusia, maka bagaikan cahaya matahari yang tampil dengan beragam warna, bisa saja seorang A menangkap itu adalah warna putih sedangkan orang B menganggap itu adalah warna kuning, padahal mereka sama-sama melihat dari sumber yang sama.
Agama sesungguhnya juga erat hubungannya dengan kepentingan.
Percampuran antara agama dengan kepentingan ini bisa dilihat dan dipandang secara sosiologis misalnya agama dipandang sebagai realitas sosial dan secara antropologis agama dilihat sebagai bagian dari sitem budaya masyarakat. oleh karena itu Amin Abdullah meyakini bahwa hampir tidak dijumpai semua agama yang tidak mempunyai institusi dan organisasi pendukung yang memperkuat dan menyebarluaskan ajaran agama yang diembanya16. Begitu juga yang terjadi di
Minangkabau umumnya, dan pada kegiatan basapa pada khususnya. Dimana terdapat berbagai pedoman aliran-aliran atau paham yang digunakan sebagai cara atau metode dalam mencari ketenangan jiwa mereka masing-masing. Damana hal ini terdapat didalam jantung agama Islam yaitu suatu pengetahuan dan pesan yang sama, yang muncul melalui berbagai macam nama, bentuk, symbol, ataupun dalam bentuk pesan-pesan moral lainya.
16 Amin Abdullah, Keberagamaan yang saling menyapa. ITTAQA Press. Yogyakarta. 1999. Hal 145- 146.
Universitas Sumatera Utara BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Tradisi basapa ialah ziarah yang dilakukan secara serentak atau bersamaan ke makam Syehk Burhanuddin dengan menyatukan satu paham untuk menghormati guru serta mengenang jasa guru yang telah berhasil mengembangkan agama Islam di Minangkabau. Tujuan diadakan acara basapa ini adalah untuk memperingati hari kematian Tuanku Syehk Burhanuddin selaku guru dari jamaah Syatariah dan penyebar agama Islam yang paling berhasil di
Minangkabau, dan untuk menjalin silaturahmi antar sesama jamaah Syatariah yang ada di Minangkabau. Dalam setiap tahunnya, ziarah bersama ini dilakukan pada hari Rabu setelah tanggal 10 Syafar, dan oleh karena jatuh pada bulan Syafar inilah ritual tersebut dinamakan dengan basapa (bersyafar).
Pelaksanaan upacara basapa ini dilakukan dua kali, yaitu sapa gadang
(safa besar) dan safa ketek (safa kecil). Sapa gadang adalah upacara basapa pertama yang dilakukan setelah tanggal 10 di bulan Syafar yang diikuti oleh peziarah dalam jumlah yang besar yang berasal dari berbagai daerah di Sumatera
Barat serta propinsi lainnya seperti Riau dan Jambi. Sapa ketek adalah Syafar yang dilakukan seminggu setelah sapa gadang dilakukan, untuk menampung peziarah dari daerah Padang Pariaman dan masyarakat perantau dari Padang
Pariaman.
Universitas Sumatera Utara Dalam acara basapa jamaah tetap meminta dan memohon kepada Allah
SWT, hanya saja melalui wasilah (penghubung) guru Syehk Burhanuddin, dan meminta limpahan keberkhatan dari sang guru. Agar do’a yang di ucapkan bisa di sampaikan kepada Allah SWT dan dari limpahan keberkhatan sang guru, mudah- mudahan keberkhatan dari Allah juga bisa mereka dapatkan. kemudian ini semua adalah tergantung kepada Aqidah (ilmu pengetahuan dalam memahami perkara- perkara yang berkaitan keyakinan terhadap Allah) mereka masing-masing, bagaimana mereka bisa memahami ini semua dengan Aqidah yang telah mereka pelajari. Namun ini semua tidak terlepas juga dari peran seorang guru/Tuanku mereka masing-masing, bagaimana seorang guru harus bisa memberikan penjelasan yang sejelas-jelasnya menegenai tujuan dari basapa ini, agar semua jamaah bisa faham dan satu pemikiran dengan apa yang di jelaskan oleh sang guru.
Masyarakat Minangkabau semuanya beragama Islam, namun dalam menjalankan ajaran agama Islam masyarakat Minangkabau memiliki cara atau metode yang berbeda, perbedaan ini mereka dapatkankan dari history dan sosiologis dalam perjalanan hidupnya. Sehingga satu individu atau kelompok memiliki history dan sosiologis yang berbeda mereka dapatkan. perbedaan- perbedaan ini muncul karena sesuai dengan kebutuhan dan psikologis dari penerimanya dalam mencari ketenangan jiwa.
5.2. Saran
Tradisi basapa merupakan rangkaian acara religi yang begitu terkenal di ranah Minangkabau bahkan acara basapa ini dinanti-nantikan setiap tahunnya.
Universitas Sumatera Utara Karena begitu inginnya mereka datang untuk melaksanakan acara tradisi basapa.
Tradisi merupakan bagian dari kebudayaan, dan dalam acara basapa, kegiatan ini berbau dengan keyakinan dan kepercayaan.
Islam membiarkan beberapa adat kebiasaan manusia yang tidak bertentangan dengan syariat dan adab-adab Islam atau sejalan dengannya. Oleh karena itu Rasulullah SAW tidak menghapus seluruh adat dan budaya masyarakat
Arab yang ada sebelum datangnya Islam. Akan tetapi Rasullulah SAW melarang budaya-budaya yang mengandung unsur syirik dan yang bertentangan lainnya.
Jadi selama adat dan budaya itu tidak bertentanagan dengan ajaran Islam, silahkan melakukannya.
Begitu juga dengan acara tradisi basapa ini, selagi jamaah bisa membedakan dan memahami apa tujuan serta maksud dari acara basapa ini. Dan jamaah mampu menempatkan Aqidah mereka sebagaimana mestinya. Begitu juga dengan pimpinan jamaah atau perguruaan jamaah masing-masing, harus bisa menjelaskan dengan seditael-ditaelnya kepada jamaah, bagaimana hakekat dan tujuaan dari acara basapa ini, agar jamaah tidak salah menangkap dari kegiatan basapa ini.
Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Amin. 1999. Keberagamaan Yang Saling Menyapa. Yogyakarta: ITTAQA Press.
Adimihardja Kusnaka. 1976. Antropologi Sosial Dalam Pembangunan. Bandung: Tarsito.
Agustianda. 2016. Perkembangan Pemikiran Tasawuf Syehk Burhanuddin Di Kalangan Masyarakat Minang Kota Medan. [tesis]. Universitas Islam Negri Sumatera Utara.
Armini Gusti Ayu. 2016. Tradisi Ziarah Dan Berkaul Pada Makam Keramat Di Lombok Nusa Tenggara Barat. Nusa Tenggara Barat: jurnal penelitian sejarah dan nilai tradisional. Vol 23. No 1.
Baal J. Van. 1987. Sejarah Dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya. Jakarta: PT Gramedia.
Choiron AH. 2017. Menggali Makna Ziarah di Makam Mursyid Toriqoh Syehk Mutamakin Kajen DalamPerspektif Konseling Tasawuf. Jawa Tengah: jurnal bimbingan konseling Islam Vol. 8, No. 1.
Febrianto Andri. 2000. Singkretisme Dalam Upacara Basapa di Makam Syehk Burhanddin. Universitas Negri Padang.
Handayana Yosi. 2014. Filem Wisata Religi Basapa Di Ulakan Padang Pariaman. [skripsi]. Padang: Universitas Negri Padang.
Irmasari Mitra. 2013. Makna Ritual Ziarah Kubur Angku Keramat Junjung Sirih Oleh Masyarakat Pariangan. [skripsi]. Padang: Universitas Negri Padang.
Universitas Sumatera Utara Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia.
Koentjraningrat. 1967. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT Dian Rakyat.
Mujib M. Misbahul. 2016. Tradisi Ziarah Dalam Mayarakat Jawa Kontestasi Kesalehan, Identitas Keagamaan Dan Komersial. Yogyakarta: jurnal kebudayaan Islam. Vol. 14. No. 2.
Mustaghfiroh Hikmatul, dan Muhamad Mustaqim. Analisis Spritualitas Para Pencari Berkah. Jawa Tengah: jurnal penelitian. Vol 8. No. 1.
Najitama Fikria. 2013. Ziarah Suci Dan Ziarah Resmi (Makna Ziarah pada Makam Santri dan Makam Priyayi). Kabumen: jurnal kebudayaan Islam. Vol. 11, No. 1.
Putra Yoneka, 2014. Syehk Burhanuddin. [skripsi]. Yogyakarta: Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga.
Samad Duski. 2003. syehk Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau. Jakarta: the foundation.
Sjarifoedin Tj.A, Amir. 2014. Minangkabau. Jakarta: PT GREDIA MEDIA.
Tunus Jusna. 2011. Telaah Terhadap Konsep Pendidikan Tradisional Surau Syehk Burhanuddin Ulakan Pariaman. [tesis]. Riau: Universitas Islam Negri Sultan Syarif Kasim Riau.
Yunus Muahmad Natsir. 2005. Peran Surau Syehk Burhanuddin Sebagai Lembaga Pendidikan Islam Tradisional Di Pariaman Sumatera Barat. Sumatera Barat: jurnal penelitian dan evaluasi pendidikan. No 2 tahun VII.
Universitas Sumatera Utara LAMPIRAN
DAFTAR INFORMAN
• KEY INFORMAN a. Nama : ANGKU SUTAN DATUAK Jabatan: PENGURUS SURAU GADANG SYEHK BURHANUDDIN Umur : 65 TAHUN
b. Nama : ALI IMRAN TUANKU BAGINDO Jabatan: TUAN QADI DAN KETUA PENGURUS MAKAM SYEHKBURHANUDDIN Umur : 58 TAHUN
• INFORMAN PANGKAL c. Nama : ANGKU IMAM SAIDI Jabatan: PEMIMPIN ZIKIR BERSAMA Umur : 46 TAHUN
d. Nama : TUANKU KUNIANG ALFANJRI Jabatan: USTDAD Umur : 43 TAHUN
e. Nama : BAPAK ZAILANI Jabatan: GHORIM SURAU TANJUNG BARULAK Umur : 72 TAHUN
• INFORMAN BIASA f. Nama : TUANGKU BAGINDO FIRDAUS Jabatan: IMAM SURAU ULAKAN Umur : 55 TAHUN
g. Nama : UNI YEL jabatan : PEDAGANG umur : 38 TAHUN
Universitas Sumatera Utara DOKUMENTASI INFORMAN
Gambar 9.; wawancara dengan angku sutan datuak
Gambar 10.: wawancara denagan ali imran tuangku bagindo
Gambar 11.: wawancara denagan penjaga makam syehk burhanuddin
Universitas Sumatera Utara
Gambar 12: wawancara dengan angku imam saidi
Gambar 13.: acara malm hari di surau gadang syek burhanuddin
Gambar 14.: Pasar kuliner ulakaan
Universitas Sumatera Utara