EKSISTENSI SENI PERTUNJUKAN LUAMBEK DALAM KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT NAGARI KEPALA HILALANG KECAMATAN 2 X 11 KAYU TANAM KABUPATEN PADANG PARIAMAN
TESIS
Oleh: ZAHARA KAMAL NIM. 10723
Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mendapatkan gelar Magister Pendidikan
KONSENTRASI SOSIOLOGI / ANTROPOLOGI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI PADANG 2011
ABSRTACT
Zahara Kamal 2010, Art existence parades Luambek In Societies Social life Nagari Kepala Hilalang district 2 x 11 Kayu Tanam Padang Pariaman's Regencies.
This research intent to reveal art existence causal factors parade Luambek in nagari kepala Hilalang's society life and parade meaning Luambek for society. Art existence parades Luambek this was identified from factor internal and external, meanwhile meaning that is contained in the context parade Luambek get bearing with denotatif's meaning and konotatif. This research utilize kualitatif's research method. Methodic data collecting that is utilized is obervasi, interview, and documentation. That data that at gather has to increase trust, acting researcher as instrumental as observational main. To warrant data at probing tech cuddle data by participation prolongation, observing persistence and triangulation. Informan that is chosen is elemental direct the interesting society with art activity parades Luambek. Result observationaling to point out that of internal factor, art existence parades Luambek in societies social life nagari Kepala Hilalang backed up by severally factor which is; Luambek constituting peoples fashioned art, get role in the context nagari’s party or ‘ Alek Pauleh ’ , and gets role and its functioning nagari's society social structure and organization chart Luambek well in construction and also deep management. Meanwhile of external factor exists three factors that adequately is of important escort internal factor, which is builds prestise individual and prestise nagari, increasing goodwill relationship, and builds association taste. Hereafter meaning which consists in parade art Luambek well of denotatif's meaning viewpoint and also konotatif's meaning appears of two main aspects, which is performing requisites Alek Pauleh cover( manggatok bungo pinang, managakkan pauleh, mamasang pakaian laga-laga/pauleh ), and performing procedure Alek Pauleh cover (manner waits for to expect a guest, send for permit plays randai luambek , representation randai Luambek , send for permit plays Luambek , choose janang , representation Luambek ).
i
ABSTRAK
Zahara Kamal 2010, Eksistensi Seni Pertunjukan Luambek Dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Nagari Kepala Hilalang Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam Kabupaten Padang Pariaman.
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan faktor-faktor penyebab eksistensi seni pertunjukan Luambek dalam kehidupan masyarakat nagari KepalaHilalang dan makna pertunjukan Luambek bagi masyarakat. Eksistensi seni pertunjukan Luambek ini diidentifikasi dari faktor internal dan eksternal, sedangkan makna yang dikandung dalam konteks prtunjukan Luambek berkaitan dengan makna denotatif dan konotatif. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah obervasi, wawancara, dan dokumentasi. Agar data yang dihimpun memiliki tingkat kepercayaan, peneliti bertindak sebagai instrumen utama penelitian. Untuk menjamin keabsahan data dipelukan teknik pemeriksaan data dengan cara perpanjangan keikutsertaan, ketekunan pengamatan dan triangulasi. Informan yang dipilih adalah unsur masyarakat yang terlibat langsung dengan aktivitas seni pertunjukan Luambek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari faktor internal, eksistensi seni pertunjukan Luambek dalam kehidupan sosial masyarakat nagari Kepala Hilalang didukung oleh beberapa faktor yaitu; Luambek merupakan seni pertunjukan rakyat, berperan dalam konteks helat nagari atau ‘Alek Pauleh’, serta berperan dan berfungsinya struktur sosial masyarakat nagari dan struktur organisasi Luambek baik dalam pembinaan maupun dalam pengelolaan. Sedangkan dari faktor eksternal terdapat tiga faktor yang cukup penting mengiringi faktor internal, yaitu membangun prestise individu dan prestise nagari, meningkatkan hubungan silaturahmi, serta membina rasa persatuan. Selanjutnya makna yang terkandung dalam seni pertunjukan Luambek baik dari sudut pandang makna denotatif maupun makna konotatif terlihat dari dua aspek utama, yaitu syarat-syarat pelaksanaan Alek Pauleh meliputi (manggatok pinang, managakkan laga-laga/pauleh, mamasang pakaian laga-laga/pauleh), dan prosedur pelaksanaan Alek Pauleh meliputi (etika menanti tamu, minta izin memainkan randai luambek, penyajian randai Luambek, minta izin memainkan Luambek, memilih janang, penyajian Luambek).
ii
PERSETUJUAN AKHIR TESIS
Mahasiswa : Zahara Kamal NIM : 10723
Nama Tanda Tangan Tanggal
Prof. Dr. Damsar, M.A ______Pembimbing I
Prof. Dr. Firman, M.S. Kons ______Pembimbing II
Direktur Program Pascasarjana Ketua Program Studi/Konsentrasi
Prof. Dr. Mukhayar, M.Pd Dr. Siti Fatimah, M.Pd., M.Hum
NIP.19500612 197603 1 005 NIP. 10610218 198403 2 oo
iii
PETSETUJUAN KOMISI UJIAN TESIS MAGISTER KEPENDIDIKAN
No. Nama Tanda Tangan
1. Prof.Dr. Damsar, M.A. (Ketua)
2. Prof. Dr. Firman, M.S.Kons. (Sekretaris)
3, Prof. Dr. Azwar Ananda, M.A. (Anggota)
4. Dr. Siti Fatimah, M.Pd., M.Hum. (Anggota)
5. Prof. Dr. H. Abizar (Anggota)
Mahasiswa Mahasiswa : ZAHARA KAMAL NIM : 10723 Tanggal Ujian :
iv
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Karya tulis saya, tesis dengan judul Eksistensi Seni Pertunjukan Luambek Dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Nagari Kepala Hilalang Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam Kabupaten Padang Pariaman, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik baik di Unicversitas Negeri Padang maupun di perguruan tinggi lainnya. 2. Karya ini murrni gagasan, penilaian dan rumusan saya sendiri, tanpa bantuan tidak sah dari pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing. 3. Dalam karya ini tidak terdapat hasil karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali dikutip secara tertulis dengan jelas dan dicantumkan sebagai acuan di dalam naskah saya dengan disebutkan nama pengarangnya dan dicantumkan pada daftar pustaka. 4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya, dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidak-benaran pernyataan ini, saya bersedia menerima sangsi akademik berupa pencabutan gelar yang telah saya peroleh karena karya tulis ini, serta sangsi lainnya sesuai dengan norma dan ketentuan hukum yang berlaku
Padang, 16 Juni 2011 Saya yang menyatakan
Zahara Kamal NIM. 10723
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji ditujukan kepada Allah semata, dengan izin, rahmat dan kurnia-Nya penulis telah dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul
“Eksistensi Seni Pertunjukan Luambek Dalam Kehidupan Sosial Masyarakat
Nagari Kepala Hilalang Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam Kabupaten Padang
Pariaman” . Tulisan ini merupakan suatu kajian tetang keberadaan kesenian
Luambek ditinjau dari sudut eksistensi dan maknanya dalam kehidupan masyakat pendukungnya.
Penyelesaian tesis ini tidak luput dari bantuan segenap orang-orang yang tulus. Penulis menyadari tanpa adanya bantuan tersebut penulisan tesis ini tidak akan terwujud. Dalam rangka inilah penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:
1. Prof. Dr. Damsar, M.A. selaku pembimbing I dan Prof. Dr. Firman, M.S.
Kons, selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan
saran yang sangat berharga untuk penulis.
2. Prof. Dr. Azwar Ananda, M.A., Dr. Siti Fatimah, M.Pd., M.Hum, dan Prof.
Dr. H. Abizar, selaku dosen penguji tesis ini.
3. Direktur Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang beserta staf dan
tenaga pengajar yang telah memberi dan membuka wawasan penulis dengan
ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan program studi penulis.
4. Wali Nagari Kepala Hilalang beserta penghulu-penghulu, pemuka
masyarakat, Kapalo Mudo, Urang Tuo yang telah membantu dalam
vi
pengumpulan data dengan baik. Seluruh informan yang telah bersedia
memberi informasi sesui dengan fokus penelitian.
5. Ketua STSI Padangpanjang yang telah mempercayakan kepada penulis untuk
melanjutkan studi ke jenjang pscasarjana di Universitas Negeri Padang.
6. Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Padang yang telah
memberikan bantuan dan dorongan semangat kepada penulis dalam
penyelesaian tulisan ini.
Semoga segala bantuan yang telah diberikan, menjadi amal ibadah dan mendapat imbalan yang setimpal dari Allah swt. Amin.
Padang, 2011
Penulis
vii
DAFTAR ISI
ABSTRACT……… ...... i ABSTRAK ...... ii PERSETUJUAN AKHIR TESIS ...... iii PERSETUJUAN KOMISI UJIAN ……………………………… iv SURAT PERNYATAAN ………………………………………… . v KATA PENGANTAR ...... vi DAFTAR ISI ...... viii DAFTAR GAMBAR ...... x DAFTAR LAMPIRAN ...... xi
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……………………………... 1 B. Fokus Penelitian dan Masalah……………………….. 12 C. Tujuan Penelitian ……………………………………. 12 D. Manfaat Penelitian …………………………………… 13
BAB II. KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori …………………………………………. . 14 1. Eksistensi …………………………………………. 14 2. Seni Pertunjukan………………………………….. 15 3. Pengertian Luambek …………………………….... 16 4. Sosio dan Budaya ….……………………………... 18 5. Fungsionalisme Struktural………………………... . 20 6. Interaksi Sosial ………………………………….... 23 7. Makna Simbolis …………………………………... 24 B. Penelitian yang Relevan ...... 27 C. Kerangka Berfikir …………………………………… . 30
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ………………………………. . 34 B. Lokasi Penelitian ……………………………………. 35 C. Informan Penelitian ………………………………… . 37 D. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ………………… 38 1. Observasi …………………………………………... 38 2. Wawancara ……………………………………….... 39 3. Dokumentasi ………………………………...... 40 E. Teknik Penjaminan Keabsahan Data ………...... 41 1. Perpanjangan Keikut Sertaan ...... 41 2. Ketekunan Pengamatan ...... 42 3. Triangulasi Data ...... 42 F. Teknik Analisis Data …………...... 43 1. Reduksi Data ...... 44 2. Penyajian Data ...... 44 3. Penarikan Kasimpulan ...... 44
viii
BAB IV. TEMUAN UMUM DAN TEMUAN KHUSUS A. Temuan Umum ………………………………………. 46 1. Tinjauan Geografi Nagari Kep. Hilalang ………...... 46 2. Tinjauan Kebudayaan Masyarakat Nagari ……...... 49 a. Adat Isiadat…………………………………...... 52 b. Sisstem Religi dan Kepercayaan……………...... 63 c. Kesenian ………………… …………………..... 67 B. Temuan Khusus ……………………………………… 69 1. Eksistensi Seni Pertunjukan Luambek …………...... 69 a. Luambek Sebagai Tradisi Seni Pertrunjukan Rakyat ……………………………. 70 b. Luambek berperan Dalam Konteks Alek Nagari... 74 c. Peran Struktur Sosial Masyarakat Nagari dan Strutur Organisasi Luambek……………….... 84 2. Makna Pertunjukan Luambek …………………...... 102 a. Makna Denotatif dan Konotatif Syarat-syarat Pelaksanaan Alek Pauleh...... 104 b. Makna Denotatif dan Konotatif Prosedur Pelaksanaan Alek Pauleh…………….. 112 C. Pembahasan 1. Eksistensi Seni Pertunjukan Luambek……………… 123 2. Makna Pertunjukan Luambek Bagi Masyarakat …….. 136
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ...... 144 B. Saran ...... 145 DAFTAR PUSTAKA ...... 147 LAMPIRAN ...... …………………. 150
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 :Kerangka Berfikir ……………………………………...... 33 Gambar 2 : Komponen-komponen Analisis Data………………….... 45 Gambar 3 : Struktur Sosial Masyarakat Nagari Kepela Hilalang……. 87 Gambar 4 : Struktur Organisasi Luambek .. ……………………...... 93 Gambar 5 : Struktur Organisai Luambek Dalam Struktur Nagari...... 99 Gambar 6 : Tempat Duduk di Laga-laga…………………………...... 111 Gambar 7 : Proses Pasambahan Minta Izin Memainkan Randai …… 115
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel suku, penghulu dan perangkatnya dalam wilayah nagari Kep. Hilalang...... 150 Lampiran 2. Organisasi KAN Nagari Kepala Hilalang …………………. 151 Lampiran 3. Dokumentasi Alek Pauleh Tinggi Gambar laga-laga dan Perlengkapan Alek Pauleh Tinggi...... 152 Gambar Tabie dan Tirai pada langit-langit laga-laga...... 152 Gambar Tabuah larangan di halaman depan laga-laga..... 153 Gambar Musik Gandang Tambua mengarak rombongan baburu babi...... 153 Gambar Fenomena saat Alek Pauleh Tinggi...... 154 Gambar Tari cindai dimainkan oleh penghulu...... 154 Gambar Pertunjukan Randai Luambek...... 155 Gambar Bundo Kanduang mengantar jamba ke Laga-laga.. 155 Gambar Makan Bajamba di laga-laga...... 156 Gambar Siriah Carano di hadapan niniak mamak...... 156 Lampiran 4. Dokumentasi Alek Pauleh Lumpuah…………………….…..... 157 Gambar laga-laga Alek Pauleh Lumpuah...... 157 Gambar Pasambahan minta izin memainkan Luambek...... 157 Gambar pemain Luambek menyalami penghulu...... 158 Gambar anak mudo memainkan Luambek...... 158 Lampiran 5. Dokumentasi Gerak lalu dan ambek……………………….. 159 Gambar gerak lalu ujuang guntiang………………………….. 159 Gambar gerak lalu simbue………………………………….. 159 Gambar gerak lalu batuah…………………………………. 160 Lampiran 6 Teks Dampeang Luambek…………………………………… 161 Teks Dampeang Jantan …………………………………….. 161 Teks Dampeang Batino…………………………………….. 162 Lampiran 7 Notasi Dampeang Luambek ………………………………… 163 Lampiran 8 Peta Administrasi Kecamatan Kabupaten Padang Pariaman… 166
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat nagari-nagari di Minangkabau memiliki berbagai upacara
adat, dan ritual agama, serta acara-acara sosial yang berhubungan dengan
adat Minangkabau dan agama Islam yang dianutnya. Biasanya setiap
pelaksanaan upacara, atau acara-acara sosial masyarakat itu dimeriahkan
dengan pertunjukan berbagai kesenian tradisional sesuai dengan tradisi dan
selera masyarakat di nagari masing-masing.
Masyarakat Minangkabau di Kabupaten Padang Pariaman umumnya
memiliki seni pertunjukan tradisional Luambek. Dalam kaitan ini, sebagian
besar nagari- nagari yang terdapat di 17 kecamatan di Kabupaten Padang
Pariaman memilki seni pertunjukan Luambek, khusus di kecamatan 2x11
Kayu Tanam hanya satu nagari saja yang memiliki seni pertunjukan Luambek
yaitu nagari Kepala Hilalang. Mengapa kondisi seperti ini bisa terjadi dan
bagaimana eksistensinya dalam kehidupan sosial masyarakat nagari Kepala
Hilalang.
Seni pertunjukan Luambek cukup dikenal untuk memeriahkan
berbagai upacara dan acara sosial masyarakat nagari-nagari di Kabupaten
Padang Pariaman khususnya di nagari Kepala Hilalang. Istimewanya,
pelaksanaan pertunjukan Luambek hadir dalam bentuk satu paket pertunjukan
khusus yang berlangsung selama tiga hari berturut-turut, jauh melebihi waktu
pelaksanaan konteks upacara yang dimeriahkannya.
1
Menurut Maiyar Sutan Parmato, secara etimologis istilah Luambek
berasal dari kata lalu dan kata ambek. Kata lalu berarti lewat, jalan atau maju;
dan kata ambek berarti hambat atau menghalangi. Perkataan lalu dan ambek
dalam konteks Luambek bermakna filosofis, yaitu tidak boleh sesuka hati
memasuki suatu nagari di daerah Pariaman, karena nagari-nagari itu dijaga
secara adat. Nilai falsafah ini diapresiasi masyarakat pendukungnya sewaktu
Luambek dipertunjukkan.
Dalam konteks silat Minangkabau versi masyarakat Pariaman, bahwa
lalu berarti ‘menyerang’ dan ambek berarti ‘menangkis.’ Namun begitu,
secara konseptual Luambek bukanlah sejenis silat yang terdapat dalam
masyarakat Pariaman (khususnya masyarakat nagari Kepala Hilalang).
Luambek merupakan sejenis seni pertunjukan tradisional yang konsep
geraknya mengadopsi unsur-unsur gerak silat yang dimiliki oleh masyarakat
nagari-nagari dalam wilayah Pariaman. Komposisi gerak Luambek berbentuk
gerak-gerak simbolis pencak silat (gerak bayangan) yang disajikan di atas
laga-laga oleh dua orang laki-laki yang berposisi sebagai penyerang dan
penangkis. Gerak bayangan maksudnya gerak serangan dan gerak tangkisan
yang tidak dilakukan dengan kontak badan sebagaimana dua orang sedang
bersilat, tetapi motif-motif gerak silat dilakukan dalam posisi yang berjauhan
satu sama lainnya. Pertunjukan Luambek diiringi oleh dendang tradisional
Dampeang oleh dua orang Tukang Dampeang sebagai dendang khas
masyarakat Pariaman (Wawancara dengan Maiyar Sutan Parmato [60 tahun]
pada tanggal 25 April 2010 di nagari Kepala Hilalang).
2
Berdasarkan keterangan di atas, dapat dirumuskan, bahwa Luambek
adalah sejenis kesenian tradisional masyarakat Pariaman yang memiliki
komposisi gerak silat yang telah diadoptasi dalam bentuk simbol-simbol gerak
bayangan oleh dua orang pemain laki-laki (penyerang dan penangkis) dengan
posisi saling berhadapan sebagaimana dua orang sedang bersilat di atas laga-
laga (pentas tradisional khas Pariaman) yang diiringi oleh musik vokal
Dampeang.
Terdapat dua jenis Dampeang, yaitu dampeang jantan dan
dampeang batino. Dampeang jantan berfungsi untuk mengiringi gerak
Luambek dalam keadaan menyerang dan menangkis, dan dampeang batino
berfungsi untuk mengiringi gerak Luambek pada waktu tidak melakukan
serangan atau tangkisan.
Dalam penyajian Luambek, secara bergantian kedua pemain
mengadu keterampilan menyerang dan menangkis dalam bentuk gerak-gerak
bayangan, karena kedua pemain tidak boleh bersinggungan dalam melakukan
gerakannya, sehingga gerak-gerak yang bergaya pencak itu dilahirkan melalui
simbol-simbol kearifan tertentu saja. Penyerangan dilakukan untuk merebut
pakaian lawan, seperti destar, baju, kain samping, ikat pinggang yang dipakai
oleh masing-masing pemain. Sementara sang lawan berusaha setangkas
mungkin untuk menangkis serangan agar pakaiannya tidak dapat diambil oleh
penyerang.
Pertunjukan kesenian tradisional Luambek dipimpin oleh dua orang
Janang. Menurut Abdul Rivai Yogi, janang adalah anggota-anggota pengurus
3
upacara helat (menerima tamu, mendudukkan dan menghidangkan makanan),
helat janang sama dengan helat yang ada pengurusnya, ada ketuanya (Yogi,
1980: 166). Namun, Janang dalam konteks pertunjukan Luambek adalah
seseorang yang berfungsi mengawasi jalannya pertunjukan Luambek sesuai
dengan aturan pertunjukannya. Pemain Luambek yang menyalahi aturan, akan
langsung ditegur oleh Janang tersebut.
Pertunjukan setiap pasang pemain Luambek disajikan di hadapan
para ninik-mamak (pemuka adat) dari masing-masing nagari yang duduk di
atas laga-laga menghadiri Alek Pauleh yang dilaksanakan oleh suatu nagari.
Kehadiran pemuka adat dalam konteks pertunjukan ini mengindikasikan
bahwa kesenian tradisional Luambek merupakan kesenian adat yang
dibanggakan oleh para pemangku adat di nagari-nagari dalam lingkungan
daerah Pariaman.
Pelaksanaan paket pertunjukan Luambek disebut Alek Nagari (helat
nagari) atau Alek Pauleh, sedangkan konteks upacara atau acara sosial yang
dimeriahkannya dalam masyarakat nagari Kepala Hilalang adalah upacara
batagak panghulu (pengangkatan penghulu), acara peresmian balai adat,
peresmian pasar, pengangkatan kapalo mudo, dan pengangkatan muncak buru,
serta peresmian laga-laga baru.
Bangunan suasana pertunjukan alek pauleh ini lebih besar dan lebih sakral
bila dibandingkan dengan upacara atau acara yang dimeriahkannya. Kenyataan ini
didasari oleh beberapa konsep berikut: 1) Organisasi panitia alek pauleh terdiri dari
unsur-unsur masyarakat nagari yang dikoordinir oleh Kapalo Mudo; artinya panitia
alek bukan didasari atas keluarga dari suku yang mempunyai hajat upacara adat
4
tersebut; 2) Pelaksanaan pertunjukan Luambek dijalankan berdasarkan syarat dan
aturan yang ketat dengan konsep yang berhubungan dengan struktur sosial adat dan
norma-norma adat di nagari; 3) Alek ini dilaksanakan pada tempat khusus disebut
laga-laga yang hanya diperuntukkan untuk pertunjukan alek pauleh; 4) Laga-laga
dibangun berdasarkan konsep sosial masyarakat yang mengandung nilai dan norma
kehidupan bermasyarakat di nagari; 5) Peserta pertunjukan Luambek pada alek
pauleh terdiri dari kelompok-kelompok yang berasal dari beberapa nagari bertetangga
yang memiliki tradisi kesenian Luambek di daerah Pariaman; 6) Para penonton
meliputi semua lapisan masyarakat nagari pada lokasi alek pauleh tersebut beserta
masyarakat nagari tetangganya; 7) Para pemuka adat dan masyarakat nagari
pelaksana alek pauleh memposisikan alek ini menjadi peristiwa penting dalam
kehidupan sosial masyarakatnya, sekaligus sebagai simbol eksistensi nagari mereka.
Sehubungan dengan masalah di atas, maka eksistensi seni pertunjukan
Luambek dalam konteks sosio-budaya masyarakat nagari Kepala Hilalang, dapat
diidentifikasi dari dua sudut pandangan pokok, yaitu 1) masalah kepemilikan tradisi
kesenian Luambek; dan 2) masalah nilai atau makna yang dikandung dalam konteks
pertunjukan Luambek.
Pertama, masalah kepemilikan tradisi kesenian Luambek di nagari
Kepala Hilalang berhubungan langsung dengan struktur sosial adat di nagari.
Masyarakatnya memposisikan Luambek sebagai ”suntiang niniak-mamak,
pamenan anak mudo-mudo” (perhiasan ninik-mamak atau pimpinan adat,
permainan anak-anak muda). Lembaga adat niniak mamak di nagari yang
anggotanya terdiri dari para penghulu suku (pemuka adat) berposisi sebagai
pemilik kesenian Luambek. Namun, praktisi baluambek dilegalisasikan
kepada para pemuda di nagari yang telah mendapat pendidikan adat dan
5
agama sebagai syarat menjadi pemain Luambek; maksudnya tidak boleh
sembarang pemuda sebagai pelaku pertunjukan Luambek, dan segala aktivitas
yang berkenaan dengan pertunjukan Luambek harus terlebih dahulu seizin
niniak mamak. Dengan begitu, semua aktivitas baluambek, baik proses latihan
maupun pertunjukannya dikoordinir oleh seorang ketua pemuda yang ditunjuk
secara adat disebut Kapalo Mudo. Keadaan ini sesuai dengan temuan Edi
Sedyawati (1981: 72), bahwa “dalam kebudayaan Minangkabau, kegiatan
pencak maupun tari dilakukan oleh suatu kelompok warga komuditi yang
disebut orang mudo. Mereka ini terdiri dari kaum lelaki yang bukan niniak
mamak. Mereka merupakan suatu golongan masyarakat tersendiri.”
Ungkapan masyarakat yang menempatkan Luambek sebagai suntiang
niniak mamak, pamenan anak mudo tersebut, menunjukkan adanya sinergi
pemuka adat dengan generasi muda, sekaligus mengisyaratkan bahwa
kesenian Luambek menjadi simbol status yang paling tinggi dalam kehidupan
sosio-budaya masyarakat nagari Kepala Hilalang khususnya dan daerah rantau
Pariaman umumnya. Di sini niniak mamak mengemban tanggungjawab ganda
terhadap pelestarian adat nagari dan pelestarian etika yang berhubungan
dengan tradisi baluambek yang terakumulasi dalam aturan atau syarat-syarat
pelaksanaannya. (Wawancara dengan Abusani Syam [70 tahun] pada tangal
25 April 2010 di Tarok, nagari Kepala Hilalang).
Kedua, masalah nilai atau makna yang dikandung dalam konteks
pertunjukan Luambek berhubungan erat dengan manfaat sosial yang secara
otomatis diraih oleh masyarakat pelaksana alek pauleh. Dalam hal ini,
6
Luambek sebagai seni pertunjukan tradisi menjadi bagian yang integral dari
kehidupan sosio-kultural masyarakat nagari Kepala Hilalang. Alek pauleh
berfungsi sebagai wahana atau wadah untuk menciptakan kekuatan sosial
masyarakat di nagari, sehingga kesenian ini menjadi bahagian kehidupan
berbudaya yang memiliki keterkaitan langsung dengan struktur sosial
masyarakat nagari.
Alhasil, konteks alek pauleh mengandung nilai-nilai kemasyarakatan
yang memberikan makna sosial sebagai berikut: 1) alek pauleh dipandang
sebagai acara keramaian untuk “menambah semaraknya suatu pelaksanaan
seremoni upacara adat”; 2) menempatkan alek pauleh sebagai simbol sosio-
budaya yang berfungsi untuk meningkatkan “hubungan silaturahim antar
masyarakat dalam satu nagari”; 3) menempatkan Luambek sebagai simbol
sosio-budaya yang berfungsi untuk meningkatkan “hubungan silaturahmi antar
pemuka adat dan masyarakat nagari yang bertetangga;” 4) suatu aktivitas yang
berfungsi untuk “meningkatkan gengsi suatu upacara” yang sedang
dilaksanakan, sehingga pelaksanaan seremoni upacara tersebut dirasakan lebih
total sebagai upacara yang beradat; 5) keberadaan kesenian Luambek berperan
untuk “memupuk rasa kebanggaan bagi masyarakat nagari” yang
melaksanakan alek pauleh terhadap masyarakat nagari lainnya di daerah
Pariaman.
Dapat disimpulkan, bahwa hikmah atau nilai sosial utama dari
pertunjukan Luambek adalah mepererat hubungan silaturrahim antar
masyarakat di nagari lokasi pelaksanaan pertunjukan, sekaligus memupuk
7
silaturrahim antar masyarakat nagari yang bertetangga. Melalui konteks
pertunjukan Luambek akan terbangun komunikasi antara ninik mamak dengan
masyarakatnya, dan timbulnya rasa sosial dari masyarakat nagari untuk saling
membantu antar sesama sehingga mendorong keikhlasannya untuk
memberikan sumbangan terhadap biaya pelaksanaan helat nagari yang
tanggung-jawabnya dilaksanakan secara bersama.
Oleh karena niat untuk meraih kebanggaan nagari ini, maka
masyarakat nagari termotivasi untuk mengadakan alek pauleh sebagai suatu
seremoni upacara masyarakat di nagari. Mereka ikut menyumbangkan uang
pembiayaan, ikut menyumbangkan tenaga untuk proses pelaksanaan helat,
ikut bertanggungjawab menjaga keamanan, ikut bertanggungjawab melayani
tamu, karena setiap tamu yang datang dari luar nagarinya, akan disediakan
makan dan pemondokan oleh panitia alek pauleh.
Berdasarkan keterangan di atas, diketahui bahwa pertunjukan
Luambek di nagari Kepala Hilalang tidak terlepas dari kehidupan masyarakat,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Umar Kayam bahwa “kesenian tidak
pernah berdiri sendiri lepas dari masyarakat. Salah satu bagian yang penting
dari kebudayaan, kesenian adalah ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu
sendiri. Masyarakat yang menyangga kebudayaan ….” (1981: 39).
Pertunjukan Luambek dalam helat nagari (alek pauleh) Kepala
Hilalang menjadi salah satu unsur penting untuk eksistensi nagari tersebut, dan
dipandang masyarakatnya sebagai helat yang tinggi adatnya. Hal ini sesuai
dengan pandangan Hamka (1984:83-84), bahwa “Adat bagi orang
8
Minangkabau dipandang sebagai suatu kebudayaan yang utuh, …. di
dalamnya meliputi cara-cara hidup, tata tertib, kesenian dan filsafat.”
Sehubungan dengan hal di atas, perlu dipahami bahwa pertunjukan
Luambek merupakan bagian dari kebudayaan, yang hadir dan eksis serta
memilki makna tersendiri bagi masyarakat pendukungnya. Keberadaannya
merupakan ungkapan kreativitas dan manifestasi dari kehidupan masyarakat
pendukungnya.
Keberadaan Luambek pada suatu nagari di Kabupaten Padang
Pariaman khususnya nagari Kepala Hilalang merupakan kebanggaan dan
sebagai simbol status suatu nagari. Untuk meraih kebanggaan dan simbol
status tersebut, maka masyarakat nagari terdorong untuk mengadakan alek
pauleh sebagai resepsi suatu upacara masyarakat di nagari. Untuk pelaksanaan
aleh pauleh tersebut, biasanya dengan penuh keikhlasan masyarakat nagari
yang bersangkutan ikut menyumbangkan uang pembiayaan, ikut
menyumbangkan tenaga untuk proses pelaksanaan helat, ikut
bertanggungjawab menjaga keamanan, ikut bertanggungjawab melayani tamu,
karena setiap tamu yang datang dari luar nagarinya, akan disediakan makan
dan pemondokan oleh panitia alek pauleh.
Aktivitas alek paauleh di atas biasanya dilaksanakan selama tujuh
hari tujuh malam. Sesuai dengan ketentuan adat dan kesepakatan niniak
mamak nagari, hari pertama sampai hari ketiga adalah hari yang dikhususkan
untuk pertunjukan Luambek. Selama tiga hari tersebut, tidak boleh satupun
ada bunyi-bunyian di sekitar arena pertunjukan atau arena helat, misalnya
9
tidak boleh menghidupkan pesawat televisi, atau pertunjukan jenis hiburan
lainnya, sebab masyarakat setempat memandang acara baluambek adalah helat
yang tinggi ritual adatnya. Semua aturan yang terdapat dalam aktivitas
baluambek tersebut dijunjung tinggi dan dipatuhi oleh masyarakat setempat.
Di tengah-tengah proses globalisasi, terjadinya kontak-kontak
budaya yang menyertai gerakan masyarakat tidak dapat dihindari lagi.
Intensitas kontak-kontak budaya itu sedikit banyak akan mempengaruhi
kehidupan dan perkembangan suatu tradisi dalam masyarakat termasuk
persepsi dan apresiasi masyarakat dalam memandang suatu kesenian termasuk
seni pertunjukan Luambek. Namun karena masyarakat nagari Kepala Hilalang
adalah masyarakat yang terbuka, bisa menerima masuknya budaya asing
dengan penuh kebijaksanaan dan menggunakan filter norma adat dan agama
Islam, sehingga tradisi seni pertunjukan Luambek dapat hidup berdampingan
dengan seni pertunjukan yang datang dari budaya asing. Namun para generasi
muda lebih menyenangi seni pertunjukan yang datang dari budaya asing
seperti orgen tunggal, musik dangdut, musik modern dan lain-lain.
Walaupun para generasi muda kurang menyenangi kesenian tradisi
nagarinya, namun untuk membatasi pengaruh budaya asing para penghulu
nagari setempat tetap berusaha mengarahkan anak kemenakannya mulai dari
tingkat sekolah dasar untuk mempelajari seni pertunjukan Luambek, karena
dalam mempelajari seni pertunjukan Luambek sekaligus terkandung nilai adat,
agama, dan nilai sosial kemasyarakatan.
10
Sehubungan dengan hal di atas, berarti dalam kehidupan masyarakat
nagari Kepala Hilalang di samping menerima pengaruh budaya asing,
masyarakatnya masih tetap mempertahankan kesenian tradisinya khusus
kesenian Luambek. Sehubungan dengan mempertahankan kesenian
tradisional, Edi Sedyawati menjelaskan bahwa:
Ada alasan-alasan untuk mempertahankan kesenian tradisional, tetapi jelas tidak semata-mata menjadikannya barang mati. Salah satu alasan mempertahankan seni pertunjukan tradisional adalah pengenalan secara luas dan sering --satu keakraban dengan sesuatu yang dikenal mempunyai arti sebagai pembentuk ketentraman awal, semacam bekal minimum, sebagai suatu landasan untuk menggerakkan karya bagi seniman, untuk mewujudkan apresiasi bagi sipenikmat .… Hal lain yang membuat usaha menghidupkan seni pertunjukan tradisional adalah kenyataan adanya arus keras pengaruh dari luar tradisi-tradisi yang memungkinkan timpangnya keseimbangan …. maka yang patut diusahakan adalah untuk membuat tradisi-tradisi kesenian itu tidak kehilangan hidupnya, untuk membuatnya senantiasa mampu menyediakan iklim merdeka dalam mewujudkan aspirasi manusia seniman, aspirasi masyarakat (1981: 51).
Bertitik tolak dari fenomena di atas, hal yang menarik di sini adalah
kenapa masyarakat nagari Kepala Hilalang masih tetap mempertahankan
tradisi seni pertunjukan Luambek terutaman dalam konteks helat nagari.
Faktor apa yang mendukung sehingga seni pertunjukan Luambek di tengah-
tengah globalisasi ini masih tetap eksis dalam kehidupan masyarakat nagari
Kepala Hilalang. Makna sosial apa yang dimilki oleh Luambek sehingga
masyarakat perlu mempertahankan kesenian Luambek tersebut. Dengan
demikian persoalan makna yang terkandung tradisi seni pertunjukan Luambek
menarik untuk ditelusuri melalui penelitin ini, terutama untuk mahami
eksistensinya dalam masyarakat. Selanjutnya untuk memahami makna yang
11
terkandung dalam tradisi seni pertunjukan Luambek, sangat menarik dikaji
terutama dalam rangka pelestarian dan perkembangan seni pertunjukan
Luambek. Dengan demikian penelitian terhadap eksistensi seni pertunjukan
Luambek ini penting dilakukan.
Kehadiran Luambek pada upacara helat nagari di Kepala Hilalang
merupakan hal yang cukup unik dan menarik untuk dikaji karena segala
aktivitas yang berkaitan dengan pertunjukan Luambek sangat terkait dengan
adat dan struktur masyarakat. Dalam kaitan ini aktivitas budaya dalam bentuk
helat nagari yang menghadirkan pertunjukan Luambek dipandang oleh
masyarakat nagari Kepala Hilalang sebagai jenis pertunjukan yang beradat.
B. Fokus dan Masalah Penelitian
Pada kesempatan ini, peneliti memfokuskan penelitian pada
eksistensi seni pertunjukan Luambek dalam kehidupan sosial masyarakat
Nagari Kepala Hilalang, Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam, Kabupaten Padang
Pariaman.
Selanjutnya berdasarkan fokus penelitian ini, peneliti mengajukan
pertanyaan penelitian, sebagai berikut:
1. Bagaimana seni pertunjukan Luambek eksis dalam kehidupan masyarakat
nagari Kepala Hilalang?
2. Bagaimana makna pertunjukan Luambek bagi masyarakat nagari Kepala
Hilalang dalam konteks helat nagari atau “Alek Pauleh”.
12
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan:
1. Foktor-faktor yang menyebabkan eksisnya seni pertunjukan Luambek
dalam kehidupan masyarakat nagari Kepala Hilalang.
2. Makna pertunjukan Luambek bagi masyarakat nagari Kepala Hilalang
dalam konteks helat nagari atau ”Alek Pauleh”
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Manfaat bagi akademisi, yaitu sebagai bahan kajian pengembangan ilmu
pengetahuan di bidang Antropologi Budaya dan Sosiologi terutama dalam
bidang seni pertunjukan Luambek di nagari Kepala Hilalang.
2. Memberi masukan bagi lembaga pendidikan kesenian seperti STSI
Padangpanjang dan pendidikan kesenian jenis lainnya, sekaligus menjadi
dokumentasi dan inventarisasi bagi STSI Padangpanjang untuk dapat
digunakan bila diperlukan.
3. Bagi peneliti lain yang berminat, dapat memakainya sebagai bahan
komparasi dan acuan dalam penelitian lanjutan dengan memperluas
permasalahan yang bermanfaat untuk dunia ilmu pengetahuan.
13
14
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Eksistensi
Arif Wibowo (2008) memperkenalkan bahwa dari sudut etimologi
eksistensi berasal dari kata eks yang berarti diluar dan sistensi yang berarti
berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai
berdiri sendiri sebagai dirinya sekaligus keluar dari dirinya. Eksistensialisme
merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia,
dimana manusia dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi,
mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan
pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret yakni manusia sebagai
eksistensi (Staff.blog.ui.ac.id, diakses 27 Juli 2010)
Hasan menyatakan bahwa filsafat harus bertolak pada manusia yang
kongkret, yaitu manusia sebagai eksistensi dan bagi manusia eksistensi itu
mendahului esensi. Sebagai filsafat yang menentukan eksistensi manusia
sebagai tema sentral, eksistensialisme tumbuh sebagai suatu ragam filsafat
antropologi. Ada beberapa ciri eksistensialisme, yaitu, selalu melihat cara
manusia berada, eksistensi diartikan secara dinamis sehingga ada unsur berbuat
dan menjadi, manusia dipandang sebagai suatu realitas yang terbuka dan belum
selesai, dan berdasarkan pengalaman yang konkret ….. Dan ilmu-ilmu lain
14
yang berkaitan dengan eksistensialisme adalah ilmu-ilmu yang berkaitan
dengan manusia seperti sosiologi (berkaitan dengan manusia dan
keberadaannya di dalam lingkungan sosial), antropologi (berkaitan anatar
manusia dengan lingkungan budayanya). (Hasan, 2009: 7).
Sehubungan dengan eksistensi seni pertunjukan Luambek dalam
kehidupan sosial masyarakat nagari Kepala Hilalang sangat berkaitan dengan
keberadaan manusia di dalam lingkungan masyarakatnya dan berkaitan dengan
bagaimana kesadaran manusia dengan lingkungan budayanya.
2. Seni Pertunjukan
Umar Kayam (2003: 98) menjelaskan bahwa seni pertunjukan lahir
dalam masyarakat dan ditonton oleh masyarakat. Ia lahir dan dikembangkan
oleh masyarakat. ---Dalam masyarakat itu sendiri hadir berbagai sistem sosial
yang menggerakkan dinamika masyarakat (sistem kekuasaan, sistem sosial,
sistem kepercayaan dan sebagainya), maka seni pertunjukan yang tumbuh dan
berkembang itu, tidak bisa tidak (pasti) dipengaruhi oleh sistem-sistem
tersebut.
I Made Bandem (2004: 1) menjelaskan bahwa seni pertunjukan tradisi
merupakan bagian integral dari kehidupan sosio-kultural-religius masyarakat,
yang dipertunjukkan dalam berbagai upacara ritual keagamaan, yang
menciptakan semacam kekuatan sosial sebuah masyarakat tradisi.
15
Seni tradisional sebenarnya bukan saja warisan budaya leluhur yang
perlu dilestarikan, tetapi juga menyangkut kehidupan beberapa kelompok
warga masyarakat yang tergantung kepadanya. Oleh karena itu, seni
tradisional harus dihindarkan dari bahaya kepunahan. Usaha menolong seni
tradisional tidak dapat dilakukan secara serabutan dan hanya berdasarkan
pemahaman atas gejala-gejala yang tampak di permukaan semata, tetapi harus
berdasarkan pada pemahaman atas hal-hal yang mendasar yang menyebabkan
kemundurannya. ((Kayam, dkk, editor Ahimsa, 2000: 393).
Seni pertunjukan Luambek merupakan bagian yang integral dari
kehidupan sosio-kultural masyarakat, yang dipertunjukkan dalam berbagai
upacara ritual yang menciptakan semacam kekuatan social sebuah masyarakat
tradisi. Secara konseptual kesenian Luambek merupakan salah satu jenis seni
pertunjukan tradisional Minangkabau yang hidup dan berkembang di daerah
budaya Pariaman (Rantau Pesisir Minangkabau).
3. Pengertian Luambek
Secara etimologis Luambek berasal dari kata ‘lalu’ dan ‘ambek’. Kata
‘lalu’ berarti lewat, jalan, dan maju; sedangkan kata ‘ambek’ berarti hambat
atau menghalangi. Perkataan ‘lalu’ dan ‘ambek’ dalam konteks Luambek
bermakna, bahwa tidak boleh sesuka hati memasuki suatu nagari di daerah
Pariaman, karena nagari-nagari itu dijaga secara adat. Suasana ini dilahirkan
dalam bentuk seni pertunjukan Luambek.
16
Luambek terdiri dari dua bagian, yaitu Randai Luambek dan Luambek.
Randai Luambek adalah suatu komposisi gerak pencak yang dibawakan oleh
tujuh hingga sebelas orang pemain laki-laki dengan formasi penyajiannya
memakai pola lantai melingkar. Salah seorang di antaranya dipercayai
memimpin penyajian Randai Luambek disebut Tukang Aliah. Dia sekaligus
bertindak memberi aba-aba untuk menukar pola gerak yang telah dimainkan
sebelumnya dengan pola gerak berikutnya, kemudian diikuti oleh semua
pemain randai.
Luambek adalah sejenis gerak pencak yang dibawakan oleh dua orang
pemain laki-laki dengan posisi saling berhadapan. Satu orang pemain
berperan sebagai palalu (penyerang) dan satu orang lagi berperan sebagai
paambek (penangkis). Secara bergantian kedua pemain mengadu keterampilan
menyerang dan menangkis dalam bentuk simbol-simbol gerak. Dalam hal ini
kedua pemain adu keterampilan mempertahan simbol kebesaran penghulu
nagarinya masing-masing melalui simbol-simbol gerak yaitu: (1) gerak lalu
deta yang harus ditangkis dengan gerak ambek deta, gerak ini ingin
mengambil saluak penghulu; (2) gerak lalu ujuang guntiang yang harus
ditangkis dengan gerak ambek ujuangn guntiang, gerak ini ingin
mengguntingn pakaian penghulu; (3) gerak lalu batuah yang harus ditangkis
dengan gerak ambek batuah, gerak ini ada dua keinginan yaitu memukul dan
menembil saluak penghulu; (4) gerak lalu simbue yang harus ditangkis
17
dengan gerak ambek simbue, gerak ini ingin membuka pakaian atau
mengambil keris penghulu.
Dalam melakukan gerakan menyerang dan menangkis kedua pemain
tidak boleh melakukan kontak fisik atau bersinggungan. Gerak-gerak yang
bergaya pencak dilahirkan melalui simbol-simbol gerak sebagaimana
dimaksud, apabila sipemain yang berperan sebagai paambek (penangkis) tidak
dapat menghambat gerak lalu (serangan) dari pasangan mainnya, maka
menurut konsep pertunjukan Luambek dia disebut “buluih” atau kalah. Dalam
hal ini yang mendapat malu bukan hanya diri pemain itu sendiri, akan tetapi
yang mendapat malu adalah nagari, niniak mamak nagari yang diwakilinya.
4. Sosio dan Budaya
James M. Henslin (2006: 4) menjelaskan bahwa perspektif sosiologis
(sociological perspective) menekankan pada konteks sosial dalam mana
manusia hidup. Perspektif sosiologis mengkaji bagaimana konteks tersebut
mempengaruhi kehidupan manusia. Inti perspektif sosiologis pertanyaan
bagaimana kelompok mempengaruhi manusia, khususnya manusia
dipengaruhi masyarakat (society) mereka sekelompok manusia yang memiliki
kebudayaan dan wilayah bersama. Untuk mengetahui mengapa manusia
melakukan apa yang mereka lakukan, para sosiolog mempelajari lokasi
sosial (social location), sudut-sudut kehidupan yang ditempati manusia
karena lokasi mereka dalam suatu masyarakat. Para sosiolog melihat
18
bagaimana pekerjaan, penghasilan, pendidikan, gender, dan ras-etnisitas
mempengaruhi ide dan perilaku manusia.
Raymond William (1994; 585-586) dalam sosiologi budaya terdapat
tiga jenis komponen pokok, yaitu lembaga budaya (insitutions), isi budaya
(content), dan efek budaya (effects). Lembaga budaya akan menanyakan
siapa yang menghasilkan produk budaya, siapa yang mengontrol, dan
bagaimana kontrol itu dilakukasn; isi budaya menanyakan apa yang
dihasilkan atau simbol apa yang diusahakan; sementara efek budaya akan
menanyakan konsekwensi apa yang diharapkan dari proses budaya itu.
Koentjaraningrat (1990: 180) menjelaskan bahwa kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar
berarti bahwa seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan.
J.J. Honigmann (1959: 11-12) dalam Koentjaraningrat, membedakan
ada tiga “gejala kebudayaan” (wujud kebudayaan) yaitu: (1) wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-
norma, peraturan dan sebagainya; (2) wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks aktivitas atau tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat; (3)
wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia (1980: 186-187).
19
5. Fungsionalisme Struktural
Fungsionalisme struktural adalah salah satu paham atau perspektif dalam
sosiologi yang memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang terdiri dari
bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain dan bagian yang satu tak
dapat berfungsi tanpa ada hubungan dengan bagian yang lain (Raho, 2007: 48).
Dalam fungsionalis struktural, istilah struktural dan fungsional tidak selalu perlu dihubungkan, meski keduanya biasanya dihubungkan. Kita dapat mempelari struktur masyarakat tanpa memperhatikan fungsinya (atau Akibatnya) terhadap struktur lain. Begitu pula dapat menelitui fungsi bertbagai proses sosial yang mungkin tidak mempunyai struktur. Ciri utama pendekatan fungsionalisme struktural memperhatikan kedua unsur itu. Meski fungsionalisme struktural mempunyai berbagai bentuk (Abrahamson, 1978), fungsionalisme kemasyarakatan (social functionalism) adalah pendekatan dominan yang digunakan dikalangan fungsionalis struktural sosiologi (Sztompka, 1974) ..... Sasaran perhatian utama fungsionalisme kemasyarakatan adalah struktur sosial dan institusi masyarakat berskala luas, antar hubungannya, dan pengaruhnya terhadap aktor (Ritzer, 2008: 118). Redclife-Brown memperkenalkan gagasan ”struktur” di bidang
antropologi, ... bahwa ”struktur adalah tatanan fakta: sesuatu yang dilekatkan
orang ketika mengamati sesuatu masyarakat tertentu”:..... Selanjutnya Brown
menjelaskan bahwa struktur adalah cara yang sering digunakan individu
untuk menyosok dan mengasosiasikan dirinya sendiri dalam suatu
masyarakat. Oleh karenanya setiap struktrur bersifat khas, dan tidak dapat
diterjemahkan ke dalam struktur lain (Paz, 1997: 7-8).
Bernard Raho, SVD (2007: 49) dalam Teori Sosiologi Modern
mengutip pendapat Kingsley Davis dan Wilbert Moore yang menyatakan
20
bahwa, salah satu karya yang cukup terkenal dari fungsionalisme struktural
ialah teori tentang stratifikasi sosial. Teori ini dikemukakan oleh Kingsley
Davis dan Wilbert Moore (1945). Davis dan Moore menganggap stratifikasi
sosial sebagai satu kenyataan yang universal dan perlu untuk
mempertahankan keberlangsungan hidup suatu masyarakat. Mereka
berpendapat bahwa tidak ada masyarakat yang tidak punya sistem stratifikasi
sosial. Stratifikasi adalah suatu keharusan. Tetapi mereka menambahkan
bahwa stratifikasi yang mereka maksudkan bukannya individu-individu yang
ada dalam sistem stratifikasi itu melainkan sistem posisi-posisi. Mereka
memusatkan perhatiannya posisi-posisi yang mengandung prestise-prestise
yang berbeda-beda dalam masyarakat dan bukannya pada individu-individu
yang menduduki posisi tertentu.
Selanjutnya, teori struktural fungsional lebih menghasilkan satu
perspektif yang menekankan harmoni dan regulasi karena dibangun atas dasar
sejumlah asumsi-asumsi homeostatik yang dapat dikemukakan lebih jauh
sebagai berikut: (a) masyarakat harus dilihat sebagai suatu tim kompleks,
terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling tergantung, dan
setiap bagian tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian
lainnya; (b) setiap bagian dari sebuah masyarakat eksis karena bagian
teresebut memiliki fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas
masyarakat secara keseluruhan; karena itu, eksistensi itu bagian tertentu dari
masyarakat dapat diterangkan apabila fungsinya bagi masyarakat sebagai
21
keseluruhan dapat diidentifikasikan; (c) semua masyarakat mempunyai
mekanisme untuk mengintegrasikan diri; sekalipun integrasi social tidak
pernah tercapai secara sempurna, namun system social senantiasa akan
berproses ke arah itu; (d) perubahan dalam system social umumnya terjadi
secara gradual, melalui proses penyesuaian, dan tidak terjadi secara
revolusioner; (e) factor penting yang mengintegrasikan masyarakat adalah
adanya kesempatan di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai
kemasyarakatan tertentu; (f) masyarakat cendrung mengarah pada suatu
keadaan equilibrium atau homeostatis (Maliki (2004: 45-46).
Sehubungan dengan pendapat di atas, eksistensi Luambek dalam
masyarakat nagari Kepala Hilalang dapat ditinjau dari perspektif sosiologi
yang memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang terdiri dari bagian-
bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Hal ini sangat terkait dengan
stratifikasi sosial dalam masyarakat nagari dan stratifikasi sosial dalam
organisasi Luambek itu sendiri. Dalam hal ini struktur masyarakat yang
dimaksud adalah struktur sosial dalam nagari yang terkait dengan Tungku
Tigo Sajarangan yang meliputi niniak mamak, alim ulama, dan cadiak
pandai; dan struktur sosial dalam organisasi Luambek yang terkait dengan
jabatan niniak mamak sebagai pemilik kesenian Luambek, Urang Tuo sebagai
penasehat Kapalo Mudo, Kapalo Mudo sebagai koordinator, pembina, dan
pelatih anak mudo dalam kesenian Luambek. Kedua bentuk struktur ini
merupakan stratifikasi sosial yang diduduki oleh individu tertentu untuk
22
memusatkan perhatian pada posisi dan fungsinya dalam masyarakat terutama
dalam memelihara keberlangsungan kehidupan sosial dan budaya termasuk
kesenian Luambek sebagai “suntiang nimniak mamak, pamenan anak mudo”.
6. Interaksi Sosial
Interaksi terjadi jika satu individu melakukan tindakan, sehingga
menimbulkan reaksi pada individu-individu yang lain. Karena itu interaksi
terjadi dalam kehidupan sosial. Dengan kata lain interaksi dapat diartikan
hubungan timbal balik atau saling mempengaruhi di antara gejala aneka
kehidupan yang dilakukan oleh manusia. Interaksi sosial merupakan sarana
atau alat dalam mencapai kehidupan sosial. Adanya interaksi sosial
merupakan naluri manusia yang sejak lahir membutuhkan pergaulan dengan
sesamanya. Kehidupan sosial tersebut meliputi: kegiatan-kegiatan bersama,
keteraturan sosial dan control social, berkomunikasi antar sesama. Interaksi
berasal dari kata inter dan aksi. Aksi (action) yang dimaksud adalah tindakan.
Tindakan oleh Max Weber diartikan sebagai perilaku yang mempunyai makna
subjektif bagi pelakunya (the subjective meaning of action). Maksudnya
adalah bahwa makna yang sebenarnya dari suatu tindakan hanya diketahui
dengan benar oleh pelakunya (aktor) sendiri. (http:/ bumikupijak.com diakses
27 Juli 2010).
“Karakteristik dasar dari interaksi simbolis adalah suatu hubungan
yang terjadi secara alami antara manusia dalam masyarakat dan hubungan
23
masyarakat dengan individu. Interaksi yang terjadi antara individu dengan
individu, kelompok dengan kelompok berkembang melalui simbol-simbol
yang mereka ciptakan. Realitas sosial merupakan rangkaian peristiwa yang
terjadi pada beberapa individu dalam masyarakat. Interaksi simbolik juga
ditemui pada kesenian Luambek berupa symbol-simbiol meliputi suntiang
niniak mamak, pamenan anak mudo, alek pauleh, laga-laga/pauleh, mamakan
bungo pinang, pasambahan, lalu, ambek, buluih, yang semuanya itu
mempunyai makna bagi masyarakatnya.
7. Makna Simbolis
Makna melibatkan simbol dan rujukan yang disebut referensil.
Spradley (1997: 122-125) menjelaskan teori rasional tentang makna
didasarkan pada premis berikut: makna simbol apapun merupakan hubungan
simbol itu dengaan simbol lain; (1) makna budaya disandikan dalam simbol-
simbol; (2) bahasa merupakan simbol utama yang menyandikaan makna
budaya dalam masyarakat. Bahasa dapaat digunakan untuk membicarakan
semua simbol lain yang diandaikan; (3) makna simbol apapun merupakan
hubungan dari simbol itu dengan simbol lain dalam suatu budaya tertentu; (4)
tugas etnografi adalah memberi sandi simbol-simbol budaya serta
mengidentifikasikan aturan-aturan penyhandian yang mendasari. Tugas inin
dapat dilaksanakan dengan cara menemukan hubungan- hubungan di antara
berbagai simbol budaya.
24
Cliford Geertz (1992:39) menyatakan bahwa melihat dimensi- dimensi
simbolis dari tindakan sosial – seni, agama, idiologi, ilmu pengetahuan,
hukum, moralitas, akal sehat – bukanlah berpaling dari dilema-dilema
kehidupan yang bersifat eksistensial ke bidang kelembagaan tertentu dari
bentuk-bentuk yang dikosongkan dari emosi, melainkan terjun ketengah-
tengah mereka.
Kunci pertama untuk memahami kualitas dan makna simbol harus
dirujuk pada lingkungan di mana dia terkait dan merupakan bahagian dari
lingkungan tersebut. Selanjutnya bukan hanya kodrat (nature)ndari lambang
itu sendiuri tapi juga harus dilihat pada hubungan yang diperhitungkan pada
saat memilih simbol itu sendiri. Pada waktu yang bersamaan kita tidak dapat
melupakan keseluruhan sifat dari objek yang dipergunakan sebagai simbol.
Sebab objeek simbol dan kelompok manusia yang menggunakan simbol itu
cendrung mempresentasikan hubungan terkoordinir dalam suatu situasi
tertentu (Pelly, 1984: 84).
Mircia Eliade sebagaimana dikutib Hans J. Daeng mengatakan bahwa
simbol mengungkapkan aspek-aspek terdalam dari kenyataan yang tidak
terjangkau oleh alat pengenalan lain. Gambar, simbol dan mitos
mengungkapkan modalitas yang paling rahasia (daeng, 2000: 82-83).
Aspek makna dalam Luambrk merupakan suatu fenomena budaya.
Kajian ini akan memberikan analisis dan pemahaman tentang Luambek
sebagai salah satu unsur dari kebudayaan masyarakat Minangkabau yang
25
mencerminkan perilaku, tradisi dan pandangan hidup masyarakat,
sebagaimana yang dikemukakan Cligford Geertz bahwa kebudayaan adalah
sistem pemaknaan yang dimiliki bersama, karena ityu merupakan hasil dari
proses sosial dan bukan proses perorangan (1973: 39).
Sistem simbol adalah sesuatu yang diciptakan oleh manusia dan secara
konvensional digunakan bersama, teratur dan benar-benar dipelajari,
ssehingga memberi pengertian hakekat manusia, yaitu suatu kerangka yang
penuh dengan arti untuk mengorientasikan dirinya kepada yang lain, kepada
lingkungannya, dan pada dirinya sendiri, srta sekaligus sebagai prodduk dan
ketergantungan dengaan interaksi sosial (1973: 250).
Pelly (1994:85) menjelaskan simbol sebagai ‘pengetahuan bisu yang
tidak dapat diungkapkan’ (tacit knowledge). Bentuk eksplisit dari simbolisme
adalah makna (signifiers) yang melekat pada apa yang diberi makna
(signified), seperti hubungan antara bunyi dan arti dalam ilmu bahasa
simbolisme bukan saja merupakan suatu instruksi dari komunikasi sosial,
tetapi suatu kelengkapan yang lahir dalam mental yang membuat pengalaman
manusia bisa bermakna. Orang tidak saja berinteraksi dengan orang lain
tetapi secara simbolis orang dapat berinteraksi dengan dirinya sendiri.
Cassirer (1987:294) menjelaskan bahwa manusia makhluk yang penuh
dengan simbol (lambang). Melalui simbol atau lambang seluruh budaya
manusia dapat diungkap, yang perlu ditangkap adalah makna dari suatu benda
tertentu. Kebudayaan sebagai wadah yang memuat pengalaman serta
26
pengetahuan manusia secara keseluruhan diturunkan dan diajarkan dari
generasi ke generasi berikutnya melalui sistem simboliknya.
Frondizi (1963:194) menyatakan bahwa sebuah pertunjukan
mempunyai nilai dan makna dan keberadaannya hanya di dalam situasi yang
konkrit dan tertentu. Sebuah pertunjukan merupakan simbol yang memiliki
makna sesuai dengan situasi ketika pertunjukan itu dipergelarkan.
Dapat disimpulkan bahwa meterial apapun bentuknya dapat memberi
makna dari simbol-simbol melalui benda-benda, gambar dan tulisan, sehingga
dapat memberikan suatu komunikasi baik verbal maupun visual.
B. Penelitian yang Relevan
Tinjauan terhadap penelitian yang relevan perlu dilakukan untuk
menelaah berbagai sumber yang ada relevansinya dengan penelitian yang
dilakukan. Di samping itu juga bertujuan untuk menghindari terjadinya
duplikasi dengan hasil penelitian lainnya.
Penelitian terhadap seni pertunjukan Luambek ini telah penulis
lakukan pada tahun (1979) untuk skripsi sarjana muda ASKI Padangpanjang
yang berjudul “Luambek di Kecamatan 2 x 11 Enam Lingkung, bersifat
informasi awal membahas tentang pengertian Luambek, syarat-syarat
penyajian Luambek, bentuk penyajian Luambek, randai bajalan malam
luambek bajalan siang, jenis dampeang Luambek, luambek mendidik
27
kewaspadaan, keterampilan fisik dan mental. Tulisan ini dijadikan sumber
utama untuk dapat memahami konsep pertunjukan .
Pada tahun (1992) penelitian dilanjutkan untuk skripsi Sarjana
Etnomusikologi FS USU Medan yang berjudul “Analisis Musik Vokal
Dampeang Luambek di Nagari Kepala Hilalang Kecamatan 2 x 11 Enam
Lingkung Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat”, membahas tentang
fungsi dan penggunaan dampeang, makna teks dampeang secara semantic
dan simbolis, fungsi teks dalam pengungkapan melodi dan analisis melodi
dampeang.
Pada tahun (1994) penelitian tentang seni pertunjukan Luambek
dilanjutkan lagi dengan judul “Studi Tekstual Dampeang Luambek di nagari
Kepala Hilalang Kecamatan 2 x 11 Enam Lingkung Kabupaten Padang
Pariaman (Analisis Pantun dan Penggarapannya)”, membahas tentang
dampeang sebagai musik tari Luambek meliputi musik vocal dampeang,
teks dampeang, struktur dan peranannya, serta menganalisis teks dampeang
luambek yang meliputi pantun sebagai teks dasar dampeang, pantun dan
penggarapan teks dampeang.
Selanjutnya pada tahun (1996) penelitian terhadap seni pertunjukan
Luambek dilanjutkan dengan judul “Konsep Jender Dalam Pertunjukan
Dampeang Luambek di Nagari Kepala Hilalang Minangkabau”, membahas
tentang konsep jender yang terdapat pada teks dampeang jantan dan
dampeang batino dalam konteks pertunjukan Luambek terkait dengan
28
perbedaan symbol gerak luambek ketika diiringi dampeang jantan dan
dampeang batino. Selanjutnya, sesuai dengan ketentuan adatnya, kaum
wanita ditak dibolehkan memainkan Luambek bahkan tidak dibolehkan
mendekati tempat pertunjukan atau tidak diperbolehkan menyaksikan
pertunjukan tersebut.
Maizarti (1990) dalam skripsi sarjana ISI Yogyakarta yang berjudul
“Tari Luambek Dalam Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Nagari Kepala
Hilalang di Sumatera Barat”, membahas tentang bentuk penyajian Luambek,
Tari luambek pada masa lampau dan masa sekarang,.
M. Nefi Imran “Tari Luambek Sebagai Tari Ritual Pada Etnis
Minangkabau di Indonesia”, dalam “Jurnal Tirai Panggung” . Malaysia: Pusat
Kebudayaan Malaysia 1990. Tulisan ini membahas tentang perjalanan sejarah
tari ulu ambek, tari ulu ambek sebagai tari adat, syarat-syarat pertunjukan ulu
ambek, syarat-syarat mempelajari ulu ambek.
Ediwar Caniago dkk. “Luambek dan Randai di Minangkabau:
Pengelolaan Seni Pertunjukan Dalam Konteks Adat” dalam Telisik Tradisi
Pusparagam Pengelolaan Seni, Yayasan Kelola. Tulisan ini membahas
masalah yang berhubungan dengan system pewarisan kesenian Luambek
sebagai kesenian komunitas adat.
Tulisan yang dikemukakan di atas ternyata belum ada membahas
masalah yang berhubungan dengan eksistensi Luambek dalam
pengintegrasikan masyarakat dan makna pertunjukan Luambek dalam
29
konteks Alek Pauleh. Walaupun demikian semua tulisan tersebut sangat
bermanfaat bagi peneliti untuk membahas eksistensi seni pertunjukan
Luambek dalam kehidupan sosial masyarakat nagari Kepala Hilalang.
C. Kerangka Berpikir.
Pendekatan teori yang digunakan dalam membahas eksistensi seni
pertunjukan Luambek dalam kehidupan sosial masyarakat Nagari Kepala
Hilalang adalah teori fungsionalisme struktural. Redcliffe-Brown
mengemukakan bahwa fungsi sangat berkaitan erat dengan struktur sosial
masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-
individu dapat berganti setiap masa. Dengan demikian, Redcliffe-Brown
yang melihat fungsi itu dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat,
mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada
keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi
adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang
diuraikannya berikut ini.
Dalam kehidupan masyarakat manusia, kebutuhan akan integrasi
sosial adalah alasan fundamental untuk terbentuknya unsur-unsur dari
lembaga-lembaga sosial. Unsur-unsur dan lembaga-lembaga sosial itu
selanjutnya berfungsi untuk mempertahankan integrasi sosial atau masyarakat
dalam keadaan terintegrasi.
30
Lembaga-lembaga oleh Redcliffe-Brown dipandang sebagai struktur-
struktur juga, yang merupakan bagian dari struktur yang lebih luas. Struktur
yang lebih luas yang merupakan keseluruhan sehingga membentuk apa yang
disebut masyarakat, disebut struktur sosial. Di dalam strukrur sosial yang
lebih luas itu akan dijumpai struktur-struktur yang lebih kecil, ... Di dalam
struktur yang kecil itu sering juga ada struktur yang lebih kecil lagi, begitu
seterusnya. Keberadaan struktur-struktur itu, ternyata saling terkait secara
fungsional. Sehubungan dengan itu Redcliffe-Brown lalu mengatakan bahwa
pengertian fungsi, tidak lain adalah membangun dari bagian atau unsur-unsur,
agar tetap berlangsungnya kehidupan sistem sosial.
Sejalan dengan itu, Maliki (2004: 45-46) menjelaskan bahwa teori
structural fungsional lebih menghasilkan satu perspektif yang menekankan
harmoni dan regulasi karena dibangun atas dasar sejumlah asumsi-asumsi
homeostatic (Maliki, 2004: 45-46).
Luambek sebagai salah satu produk sosio-budaya yang mengandung
dinamika kedisiplinan adat pada tataran tinggi. Dalam kaitan ini Luambek
sebagai seni pertunjukan tradisi merupakan bagian integral dari kehidupan
sosio-kultural masyarakat, yang dipertunjukkan dalam berbagai upacara ritual,
yang menciptakan semacam kekuatan sosial sebuah masyarakat.
Kepemilikan kesenian Luambek berhubungan langsung dengan struktur
sosial adat yaitu niniak mamak di nagari yang anggotanya terdiri dari para penghulu
suku dari setiap nagari yang berposisi sebagai pemilik kesenian Luambek. Namun
31
praktisi Luambek didelegasikan kepada para pemuda yang disebut “anak mudo”
(sebagai pemain Luambek) yang dikoordinir oleh seseorang yang dipercayai oleh
niniak mamak disebut “kapalo mudo”. Sinergi niniak mamak dengan generasi muda
ini digambarkan dalam sebuah ungkapan, bahwa tradisi Luambek adalah “Suntiang
niniak mamak, pamenan anak mudo”. Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa
kesenian Luambek menjadi simbol status yang paling tinggi dalam kehidupan
sosio-budaya masyarakat nagari-nagari di rantau Pariaman umumnya, dan
nagari Kepala Hilalang khususnya.
Sehubungan dengan pendapat di atas, fungsional atau tidaknya seni
pertunjukan Luambek dalam masyarakat sangat tergantung pada
keberfungsian dari struktur-struktur masyarakat yang ada baik dari struktur
adat (KAN), struktur pemerintahan Nagari maupun struktur organisasi
Luambek itu sendiri.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat bagan kerangka berfikir berikut ini.
32
Eksistensi Seni Pertunjukan Luambek Dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Nagari Kepala Hilalang Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam Kabupaten Padang Pariaman
Kebudayaan Nagari
Kesenian Nagari
KESENIAN LUAMBEK
Struktur Sosial Struktur Organisasi Masyarakat Nagari Luambek
Meningkatkan Hubungan Silaturrahmi Antar Masyarakat Nagari dan Meningkatkan Status / identitas nagari serta Penghulu nagari
Gambar 1: Kerangka Berfikir
33
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan pertimbangan
bahwa peneliti mengkaji lebih mendalam fenomena-fenomena yang terjadi
dalam lingkungan masyarakat. Sesuai dengan apa yang dikemukakan Miles
dan Huberman (1992: 37) bahwa penelitian kualitatif dilakukan untuk
mendapatkan informasi tentang fenomena yang sedang berlangsung. Bogdan
dan Taylor juga mengemukakan tentang pendekatan kualitatif yang dipandang
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis atau lisan dari orang dan perilaku yang diamati”. --- Kirk dan
Miller menyatakan bahwa “penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam
ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada
pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan
dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya”
(Lexy J. Moleong, 2001: 3).
Selanjutnta Maleong menjelaskan peneliti dalam pandangan
fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya
terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. ….. Weber
memberi tekanan pada “verstehen”, yaitu pengertian interpretatif terhadap
pemahaman manusia. ….. Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis ialah
34
aspek subjektif dari perilaku orang. Mereka berusaha masuk ke dalam dunia
konseptual para subjek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka
mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh
mereka di sekitar peristiwa dalam kehidupan sehari-hari (2001: 9).
Sehubungan dengan ini peneliti berusaha mengungkapkan dan memahami
kenyataan yang ada dilapangan yang berhubungan dengan eksistensi seni
pertunjukan Luambek dalam kehidupan sosial masyarakat nagari Kepala
Hilalang.
Dalam hal ini peneliti berusaha untuk melakukan pendekatan dengan
para niniak mamak sebagai pemilik kesenian Luambek, pendekatan dengan
Kapalo Mudo sebagai koordinator, pengelola, dan pelatih kesenian Luambek,
pendekatan dengan pemain Luambek, dan dengan Urang Tuo sebagai
penasehat Kapalo Mudo serta pendekatan dengan Anak Mudo sebagai pemain
Luambek. Dalam hal ini, pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang
dipandang cocok untuk memahami masyarakat sebagaimana mereka sendiri
dalam kaitannya dengan eksistensi kesenian Luambek dari perspektif fungsi,
struktur dan makna (meaning) suatu fenomena menurut masyarakatnya
sendiri.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil setting di nagari Kepala Hilalang,
Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam, Kabupaten Padang Pariaman. Alasan
35
memilih lokasi nagari Kepala Hilalang adalah karena nagari Kepala Hilalang
satu-satunya nagari di Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam yang mempunyai
tradisi seni pertunjukan Luambek. Di samping itu pengambilan lokasi juga
karena dalam kehidupan masyarakat nagari Kepala Hilalang seni
pertunjukan Luambek eksis dan berfungasi dalam kegiatan helat nagari atau
alek paulehi seperti peresmian pengangkatan penghulu, peresmian balai adat,
pengangkatan Kapalo Mudo, pengengkatan muncak buru, peresmian pasar
dan lain-lain. Kelompok kesenian Luambek nagari ini masih aktif melakukan
kegiatan mingguan atau latihan kesenian Luambek dan juga sering memenuhi
undangan nagari-nagari lain untuk mempertunjukkan Luambek yang lazim
disebut dengan “manapa”. Di nagari ini terdapat empat laga-laga/pauleh
sebagi tempat latihan Luambek dan tempat pertunjukan Luambek yaitu satu di
korong Tarok, satu di korong Pincuran Tujuh, satu di korong Pasa Balai
Kamih dan satu lagi di korong Pasa Limau. Dalam hal ini berarti keberadaan
kesenian Luambek di daerah ini cukup fungsional dalam kehidupan
masyarakatnya.
Dalam pelaksanaan penelitian, peneliti selalu berusaha melakukan
peleburan diri dalam situasi sosial dengan berusaha sedapat mungkin tidak
menjadi peneliti formal. Pemilihan lokasi ini berpedoman kepada pendapat
yang dikemukakan oleh Spradley (1980) yakni: a) Simplicity, kesederhanaan
situasinya; b) Accessibility, kemudahan memasukinya; c) Un-obstrusiveness,
ketidakkentaraan dalam melakukan penelitian; d) Permissible ness, keizinan
36
melakukan penelitian yang mudah diperoleh; e) Frecurney recurring
activities, terdapatnya aktivitas yang terjadi secara berulang-ulang; f)
Participation, kehadiran informan berpartisipasi untuk kegiatan penelitian.
C. Informan Penelitian
Informan dalam penelitian ini terdiri dari informan kunci dan informan
pembantu atau informan lainnya. Dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai
informan kunci adalah orang-orang yang terlibat langsung dalam kelompok
organisasi Luambek yang terdiri dari niniak mamak, urang tuo, kapalo mudo,
anak mudo (pemain Luambek). Di samping itu yang tidak kalah pentingnya
adalah informan pembantu atau informan lainnya meliputi tokoh adat, tokoh
agama, cerdik pandai, pemuka masyarakat, generasi muda, dan masyarakat
umum lainnya. Walaupun penelitian ini merupakan penelitian lanjutan, maka
pemilihan informan masih tetap dilakukan dengan penuh pertimbangan,
memperhatikan tingkat kredibilitas dan signifikansinya dengan maksud agar
dapat memberikan data yang diperlukan.
D. Teknik dan Alat Pengumpul Data
Teknik penelitian yang dipakai dalam pengumpulan data adalah
observasi, wawancara dan dokumentasi.
37
1. Observasi
Teknik observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
partisipasi aktif (active participation) yaitu peneliti langsung datang
ketempat lokasi di mana diadakan upacara helat nagari yang dimeriahkan
dengan kesenian Luambek. Pengamatan dimulai dari kegiatan gotong
royong mempersipkan atau membenahi tempat pertunjukan (laga-
laga/pauleh), memasang pakaian laga-laga/pauleh, sampai pelaksanaan
helat yang berlangsung tiga hari tiga malam. Sebagaimana lazimnya dalam
penelitian kualitatif, peneliti sendiri merupakan instrumen utama dalam
melakukan observasi untuk mencari dan menghimpun data dengan ikut
terlibat dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh objek yang diteliti,
walaupun tingkat keterlibatan tersebut dapat berkadar tinggi ataupun
rendah.
Dalam proses observasi peneliti hanya terlibat sebagai pengamat
jartak jauh saja, karena sesuai dengan ketentuan adatnya perempuan tidak
boleh terlibat dalam pertunjukan Luambek dan tidak boleh memasuki arena
pertunjukan Luambek. Dengan kondisi ini, peneliti dibantu oleh anggota
penelti laki-laki untuk dapat mengemati lebih dekat. Untuk memperoleh
data tentang eksistensi Luambek dalam kehidupan sosial masyarakat nagari
Kepala Hilalang melalui perspektif fungsi, struktur dan makna, maka
pengamatan dilakukan untuk melihat, mendengar dan mengamati kegiatan-
38
kegiatan yang dilakukan oleh kelompok Luambek dan masyarakat mulai
dari persiapan sampai pelaksanaan.
2. Wawancara
Pengumpulan data melalui teknik observasi tersebut di atas didukung
dengan teknik wawancara sebagai pengujian terhadap sesuatu yang telah
diamati, dan sekaligus menjaring fenomena-fenomena yang tak tersaksikan
oleh mata.
Wawancara yang dilakukan adalah wawancara secara mendalam (in
depth interview) dengan cara tidak berstruktur (unstructured interview).
Teknik wawancara ini digunakan untuk mendapatkan data atau infornasi
dengan cara bertatap muka langsung dengan informan. Wawancara ada
yang dilakukan di rumah informan, di kantor KAN dan ada juga di kedai
kopi. Dalam usaha mendapatkan data yang lengkap dan mendalam, peneliti
melakukan wawancara dengan orang-orang yang dipandang memiliki
kompetensi tentang objek yang diteliti. Wawancara dilakukan dengan sangat
hati-hati agar informasi yang diperoleh sesuai dengan permasalahan yang
diteliti.
Peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang tersusun secara
sistematis, akan tetapi pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa
poin-poin yang sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pada umumnya
wawancara dilakukan pada malam hari, karena waktu yang disediakan oleh
39
informan (khususnya niniak mamak) lebih cendrung setelah shalat isya,
sedangkan informan lain bisa saja di kedai kopi. Wawancara ini dilakukan
setelah menyaksikan aktivitas pelaksanaan helat atau pertunjukan Luambek.
Proses wawancara seperti ini diprediksi akan dapat mengungkapkan
fenomena eksiatensi Luambek dalam konteks sosio-budaya masyarakat
nagari Kepala Hilalang. Untuk mempermudah peneliti dalam
mengumpulkan data, maka dalam proses wawancvara penelliti
menggunakan alat bantu berupa buku catatan dan tape rcorder .
3. Dokumentasi
Studi dokumentasi dalam penelitian ini dilakukan untuk
mengumpulkan data yaitu dari bahan tertulis, wawancara dan pertunjukan
Luambek yang peneliti jadikan sebagai bahan informasi. Data tertulis
diperoleh dari berbagai sumber, seperti perpustakaan Pascasarjana UNP,
perpustakaan STSI Padangpanjang, dan perpustakaan pribadi. Selain itu
juga diperoleh beberapa tulisan yang berkaitan dengan Luambek seperti:
jurnal, artikel, makalah dan majalah, internet serta rekaman pertunjukan
Luambek sebagai referensi penelitian ini.
Peneliti melakukan dokumentasi pertunjukan Luambek dalam konteks
helat nagari dalam rangka pengangkatan Kapalo Mudo tanggal 5 Agustus
2010, dan dalam rangka pengangkatan penghulu Dt. Rky Mulia tanggal 25
November 2010 serta ketika kelompok Luambek nagari Kepala Hilalang
40
pergi memenuhi undangan nagari lain (manapa) yaitu ke nagari Lubuak
Pandan 2 April 2010. Dalam pendokumentasian kegiatan ini, peneliti
dibantu oleh anak laki-laki peneliti sendiri dengan menggunakan camera
foto merek Kodak EasyShare C813 dan camera handyhcam merek Sony
Wide LCD DCR-DVD 810.
E. Teknik Penjaminan Keabsahan Data
Validnya data merupakan tanggung jawab ilmiah yang perlu
diutamakan dalam penelitian. Dalam Maleong (2001: 173-175) menjelaskan,
untuk menetapkan keabsahan (trustworthiness) data dipelukan teknik
pemeriksaan data. Pelaksanaan teknik pemeriksaan data didasarkan atas
sejumlah kriteria tertentu. Ada empat kriteria yang digunakan, yaitu derajat
kepercayaan (credibility), keteralihan (transfermability), kebergantungan
(dependability), dan kepastian (confirmability).
Dalam penelitian ini, untuk penjaminan keabsahan data peneliti lebih
mengacu pada standar derajat kepercayaan (credibility), karena standar ini
lebih cocok dan lebih mudah untuk dianalisis sehingga data penelitian lebih
akurat. Penjaminan keabsahan data dengan standar credibility ini dilakukan
dengan cara:
1. Perpanjangan Keikutsertaan (prolonged engagement)
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan wakru yang cukup
lama, karena peneliti hares menunggu adanya upacara yang berkaitan
41
dengan objek penelitian. Keterlibatan peneliti dalam upaca helat nagari
dalam konteks pertunjukan Luambek, dan keterlibatan dengan pelaksanaan
pertunjukan Luambek itu sendiri. Keterlibatan peneliti ini menggunakan
rentangan waktu yang relatif lama, semenjak dari pendekatan, membangun
komunikasi, hingga terbangun raport (keterpercayaan) dari informan
khususnya, dan masyarakat pendukung Luambek umumnya.
2. Ketekunan Pengamatan (persistent observation)
Peneliti melakukan pengamatan lebih tekun agar dapat ditemukan
unsur-unsur dan ciri-ciri yang relevan dengn pokok persoalan yang sedang
diamati. Selanjutnya dilakukan pemusatan perhatian pada pokok persoalan
secara rinci. Dalam hal ini modal kesabaran dan keuletan, peneliti dapat
memfokuskan pengamatan pada pokok permasalahan yang sedang diteliti,
sehingga penelti dapat memperoleh data yang valid.
3. Triangulasi data dilakukan dengan cara: a) membandingkan data hasil
pengamatan dengan data wawancara; b) membandingkan apa yang dikatan
informan di depan umum dengan apa yang dikatan secara pribadi; c)
membandingkan apa yang dikatakan pada situasi tertentu dengan apa yang
dikatakannya sepanjang waktu; d) membandingkan keadaan dan perspektif
seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan lain dan e)
membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang berkaitan.
Dalam rangka usaha penjaminan keabsahan data dari hasil penelitian,
42
peneliti melakukan diskusi dengan teman sejawat dan dengan orang-orang
yang memahami objek penelitian ini. Teknik ini dilakukan dengan cara
mengekspos hasil sementara dan hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk
diskusi analikitik dengan teman-teman sejawat. Dalam kaitan ini, yang
tidak kalah pentingnya adalah melakukan konsultasi dengan dosen
pembimbing, sehingga data yang diperoleh sesuai dengan kenyataan yang
ada di lapangan.
F. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan upaya untuk mencari dan menata secara
sistematis catatan hasil observasi, hasil wawancara, dan pengamatan lainnya
untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang objek yang diteliti. Dalam
penelitian ini teknik analisis data yang digunakan mengacu kepada anjuran
Miles dan Huberman (1992: 20) yang mengemukakan bahwa aktivitas dalam
analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlansung secara terus
menerus pada setiap tahap penelitian sehingga sampai tuntas, dsan datanya
sampai jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu (1) reduksi data (data
reduction); (2) penyajian data (data display); (3) penarikan kesimpulan
(conclusion drawing/verifikation).
43
1. Reduksi Data (Data Reduction)
Pada tahap reduksi data adalah proses terus menerus yang dimulai
dari pengumpulan data hingga penarikan kesimpulan, yang meliputi
membuat ringkasan, mengkode, menelusuri tema, membuat gugus-gugus,
membuat pertisi dan membuat memo. Reduksi data ini merupakan bentuk
analisis yang menajamkan, menggolongkan mengarahkan, membuang yang
tak perlu dan mengorganisasikan data sehingga kesimpulan-kesimpulan
akhirnya dapat ditarik dan diverifikasi.
2. Penyajian Data (Data Display)
Tahap penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang
memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Penyajian ini berbentuk teks naratif dan berbentuk tabel dan
bagan-bagan yang dirancang guna menggabungkan informasi tersusun
untuk menentukan kebenaran dalam penarikan kesimpulan.
3. Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing/Verifikation).
Pada tahap penarikan kesimpulan, data yang diperoleh dari hasil
observasi, wawancara dan dokumentasi, kemudian disimpulkan sesuai
dengan proses yang ditemukan. Kesimpulan awal bersifat longgar dan
akhirnya semakin rinci dan mengakar dengan kokoh.
Kesimpulan itu juga diverifikasi selama penelitin berlangsung dengan
cara: memikirkan kembali selama penulisan , tinjauan ulang pada catatan-catatan
lapangan, tukar pikiran dengan teman sejawat untuk mengembangkan
44
“kesepakatan intersubjektif, dan upaya-upaya yang luas untuk menempatkan
salinan suatu temuan dalam seperangkat data yang lain. Dalam hal ini, makna-
makna yang muncul dari data diuji kebenarannya, kekokohannya, kecocokannya,
yakni yang merupakan validitasnnya.
Tiga jenis kegiatan analisis dan kegiatan pengumpulan data yang telah
diuraikan di atas, merupakan proses siklus dan interaktif. Dalam hal ini peneliti
bergerak di antara empat sumbu selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak
bolak balik diantara kegiatan reduksi, penyajian dan penarikan
kesimpulan/verifikasi.
Pengumpulan
data Penyajian
data
Reduksi
data
Kesimpulan‐kesimpulan:
Penarikan/Verifikasi
Gambar 2: Komponen-komponen Analisis Data: Model Interaktif
45
46
BAB IV TEMUAN UMUM DAN TEMUAN KHUSUS
A. Temuan Umum
Temuan umum yang penting diketahui pada Bab ini adalah hal-hal
yang berhubungan dengan lokasi kehidupan kesenian Luambek, dan
masyarakat yang menghidupi atau menggunakan kesenian itu sendiri. Sesuai
dengan obyek penelitian, bahwa yang dimaksud dengan lokasi kehidupan
kesenian Luambek, adalah tinjauan geografi nagari Kepala Hilalang, dan yang
dimaksud dengan masyarakat yang menggunakan kesenian Luambek adalah
tinjauan kebudayaan masyarakat nagari Kepala Hilalang itu sendiri.
1. Tinjauan Geografi Nagari Kepala Hilalang
Geografi adalah ilmu tentang lokasi dan variasi keruangan atas
fenomena fisik dan manusia di atas permukaan bumi. Kata geografi
berasal dari Bahasa Yunani yaitu gê ("Bumi") dan graphein ("menulis",
atau "menjelaskan"). …. Geografi tidak hanya menjawab apa dan dimana
di atas muka bumi, tapi juga mengapa di situ dan tidak di tempat lainnya,
kadang diartikan dengan "lokasi pada ruang." Geografi mempelajari hal
ini, baik yang disebabkan oleh alam atau manusia. Juga mempelajari
akibat yang disebabkan dari perbedaan yang terjadi itu (file:///E:/
ChipsWikipedia/Wikipedia/articles/g/e/o/Geografi.html).
Nagari Kepala Hilalang adalah salah satu nagari yang terdapat di
Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam, Kabupaten Padang Pariaman. Nagari ini
46
berada dekat kaki gunung Tandikat dengan ketinggian lebih kurang 80
meter dari permukaan laut, dengan luas lebih kurang 6096 Ha. Nagari ini
terdiri dari empat korong, yaitu korong Pasa Balai Kamih, Korong Tarok,
Korong Pasa Limau, dan Korong Pincuran Tujuah.
Berdasarkan letak geografis, nagari Kepala Hilalang mempunyai
batas wilayah berikut: Sebelah Utara berbatas dengan gunung Tandikat,
sebelah Selatan berbatas dengan nagari Sicincin, sebelah Timur berbatas
dengan nagari Kayu Tanam, dan sebelah Barat berbatas dengan nagari
Tandikat (Sumber; data Kantor Wali Nagari Kepala Hilalang 2010).
Pusat pemerintahan nagari Kepala Hilalang terletak di korong Pasa
Balai Kamih yang berjarak lebih kurang 4 km ke ibu Kecamatan 2 x 11
Kayu Tanam, dan berjarak lebih kurang 20 km ke ibu kota Kabupaten
Padang Pariaman. Nagari ini terletak di tepi jalan raya yang ramai dilalui
kendaraan mobil dan motor yang pulang pergi jalur dari Padang ke
Bukittinggi, Batusangkar, Lintau, Medan, Pakan Baru, Jakarta; Pariaman
ke Bukittinggi, Medan, Pakan Baru dan lain-lain.
Nagari Kepala Hilalang merupakan daerah agraris yang memiliki dua
jenis lahan pertanian, yaitu pertanian sawah dan perkebunan. Perkebunan
yang paling dominan adalah perkebunan karet; di samping itu ditemui juga
tanaman-tanaman lain, seperti durian, petai, nangka dan lain-lain. Lahan
pertanian sawah pada umumnya memiliki permukaan tanah yang datar,
sedangkan lahan pertanian perkebunan karet dan tanaman lainnya lebih
banyak berada di daerah perbukitan atau lebih dekat ke kaki gunung
47
Tandikat. Lahan pertanian sawah dan perkebunan karet tersebut menjadi
sumber ekonomi utama dalam kehidupan masyarakat nagari Kepala
Hilalang.
Ditinjau dari wilayah kebudayaan, nagari Kepala Hilalang terletak di
sub-wilayah Rantau Pesisir Barat Minangkabau (Pariaman). Secara kultur
geografis Minangkabau, status lokasi nagari ini disebut ikue darek, kapalo
rantau (ekor darat, kepala rantau), karena letaknya berbatasan langsung
dengan salah satu luhak yaitu Luhak Tanah Datar, yaitu nagari yang
berada di daerah perbatasan antara daerah darek dan rantau Minangkabau.
Sehubungan dengan ini LKAAM Sumatera Barat menyatakan
bahwa:
Daerah rantau dari Luhak Tanah Datar adalah Rantau Pesisir Panjang atau Bandar X (Batang Kapeh, Surantiah, Ampang Parik, Kambang, Lakitan, Punggasan, Aie Haji, Painan, Banda Salido dan Tarusan). Tapan Lunang Silaut, Indo Puro dan Manjuto juga merupakan rantau Luhak Tanah Datar. Di samping itu juga disebut ujung darek kapalo rantau yang merupakan daerah perbatasan antara Luhak Tanah Datar dengan daerah rantau. Daerah tersebut adalah Anduring Kayu Tanam, Guguak Kapalo Hilalang, Sicincin Tinggi, Toboh Pakandangan, 2 x 11 VI Lingkung dan VII Koto Sungai Sariak (1987: 39-40).
Berdasarkan tinjauan geografi di atas, dapat dilihat bahwa nagari
Kepala Hilalang terletak pada bagian atas wilayah rantau Pesisir Barat
(Pariaman) Minangkabau yang relatif jauh dari areal pantai, dan
berbatasan langsung dengan wilayah darek Minangkabau ‘Luhak Tanah
Datar’ sehingga julukan posisi geografi nagari Kepala Hilalang disebut
„ikue darek kapalo rantau“.
48
Geografi suatu nagari di Minangkabau akan otomatis mempengaruhi
konsep budaya masyarakat nagari itu sendiri yang terealisasi ke dalam
konsep dan eksistensi suatu jenis kesenian dalam kehidupan sosial
masyarakat suatu nagari yang berbeda dengan nagari lainnya. Prinsip
hubungan geografi suatu nagari dengan produk budaya masyarakat nagari
inilah yang dinyatakan dengan ungkapan Adat salingka nagari, cupak
salingka batuang; lain padang lain belalang, lain lubuak lain ikannyo
(adat selingkar nagari, takaran selingkar bambu; lain padang lain belalang,
lain kolam lain ikannya); maksudnya masyarakat suatu nagari memiliki
kespesifikan karakter produk sosio-budaya dan seninya yang berbeda
dengan masyarakat nagari-nagari lainnya di Minangkabau.
2. Tinjauan Kebudayaan Masyarakat Nagari Kepala Hilalang
Menurut ilmu antropologi, “kebudayaan adalah keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia melalui belajar”
(Koentjaraningrat, 1990: 180). Dalam hal ini fokus utama antropologi
adalah kebudayaan, khususnya sejumlah tradisi dan kebiasaan-kebiasaan
lain yang diperoleh melalui belajar yang kemudian mengatur bentuk
kepercayaan dan perilaku manusia. Selanjutnya, masih senyawa dengan
pandangan terdahulu, Edward B. Tylor, mengatakan, bahwa “kebudayaan
merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
49
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota
masyarakat”
J.J. Honigmnann, dalam buku pelajaran antropologinya yang berjudul The World of Man (1959: hlm. 11-12) menmbedakan adanya tiga “gejala kebudayaan”, yaitu (1) ideas, (2) activities, (3) artifacts, pengarang bverpendirian bahwa kebudayaan itu ada tiga wujudnya yaitu : 1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, 2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat 3) wujud kebudayaan sebagai benda- benda hasil karya nmanusia (Koentjaraninggrat, 1990: 186-187)
Mempelajari beberapa definisi kebudayaan, dapat diperoleh
pengertian mengenai ‘kebudayaan’ yaitu sistem pengetahuan yang
meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan
oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan
benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa,
peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang
kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan
kehidupan bermasyarakat.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa letak dan ruang
nagari Kepala Hilalang berada pada posisi ikue darek kapalo rantau dalam
‘geografis’ kultur Minangkabau, yaitu sebagai suatu daerah yang sistem
kebudayaannya dipengaruhi oleh dua kekuatan budaya luhak dan rantau.
50
Pengaruh dua kekuatan budaya ini mempunyai dampak terhadap
kehidupan sosial budaya masyarakat nagari Kepala Hilalang.
Kebudayaan nagari Kepala Hilalang merupakan suatu kebudayaan
tersendiri yang tidak persis sama dengan kebudayaan nagari-nagari lainnya
di wilayah Rantau Pesisir Pariaman. Perbedaan yang dimaksud lazim
disebut dengan ungkapan adaik salingka nagari, cupak salingka batuang,
lain lubuak lain ikannyo, lain padang lain belalang (adat selingkar nagari,
(Wawancara dengan A.R. Dt Bungsu [75 tahun] pada tanggal 25 April
2010 di nagari Kepala Hilalang).
Secara umum falsafah kehidupan masyarakat Minangkabau terpatri
dalam ungkapan “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabbullah,
syarak mangato adaik mamakai (Adat bersandi syarak, syarak bersendi
kitab Allah (Al-Quran), syarak mengatakan adat memakai (Idrus Hakimi,
1978: 105). Maksud dari pepatah ini adalah segala ketentuan-ketentuan
adat harus disesuaikan dengan ajaran Islam. Ketentuan adat yang
bertentangan dengan ajaran agama Islam mesti dihilangkan. Jadi adat dan
agama Islam di Minangkabau sangat erat kaitannya karena harus saling
mendukung.
Sehubungan dengan hal di atas, masyarakat nagari Kepala Hilalang
sebagaimana masyarakat Minangkabau lainnya adalah menganut ajaran
agama Islam. Agama Islam telah diterima dan menyatu dengan budaya
(adat istiadat) berabad-abad yang lalu, sehingga dalam kehidupan sehari-
51
hari masyarakat dituntun oleh norma agama dan adat yang merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Bersumber dari rangkuman definisi kebudayaan di atas, diambil
beberapa unsur kebudayaan yang penting sesuai hubungannya dengan
konteks penulisan, yaitu berkisar tentang masalah: adat-istiadat, kesenian
dan sistem kepercayaan masyarakat nagari Kepala Hilalang.
a. Adat-istiadat
Bagi orang Minangkabau adat itu merupakan ‘Kebudayaan’
secara keseluruhannya, karena di dalam fakta adat Minangkabau
terdapat tiga bagian kebudayaan yang telah dikemukakan oleh
Koentjaraninggrat, yaitu adat dalam pengertian dalam bentuk kato,
cupak, adat, adat nan ampek dan lain-lain. Adat dalam pengertian tata
kelakuan berupa cara pelaksanaannya, sedangkan adat dalam
pengertian fisik merupakan hasil pelaksanaannya, (LKAAM, 1987:
18).
Berdasarkan nilai-nilai dasar yang dinyatakan dalam
ungkapann Alam takambang jadikan guru maka adat Minangkabau
dapat dibagi kedalam empat kategori yaitu: (1) adat nan sabana Adat;
(2) adat nan diadatkan; (3) adat teradat; (4) adat istiadat. M. Rasyid
Manggis Dt. Rajo Penghulu menjelaskan sebagai berikut:
Adat nan sabana adat (adat yang sebenar adat), merupakan yang paling kuat (tinggi) dan bersifat umum sekali yaitu nilai disarm yang berbentuk hukum alam. Kebenarannya bersifat mutlakseperti dikatakan: Adat api membakar, adat air membasahi, tajam adatnya 52
melukai,adat sakit diobati. Ketentuan-ketentuan ini berlaku sepanjang masa tanpa terikat oleh waktu dan tempat. Adat nan diadatkan merupakan warisan budaya dari perumus adat Minangkabau yaitu Dt. Katumanggungan dan Dt. Parpatiah nan Sabatang. Adat nan diadatkan mengenai peraturan hidup bermasyarakat orang Minangkabau secara umum dan sama berlaku dalam Luhak Nan Tigo. Sebagai contoh, garis keturunan, pewarisan sako dan pusako dan lain-lain. Adat nan teradat merupakan hasil kesepakan penghulu-penghulu dalam satu-satu nagari. Di sini berlaku lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Adat istiadat, adalah kebiasaan umum yang berasal dari tiru meniru dan tidak diberi kekuatan pengikat oleh penghulu-penghulu dan tidak betentangan dengan Adat Nan Teradat (LKAAM, 1987: 19-20).
Adat di Minangkabau merupakan ketentuan-ketentuan yang
mengatur kehidupan masyarakatnya, lebih diperkokoh dengan ajaran
agama Islam, sehingga kedudukannya bertambah kuat, seperti yang
diungkapkan melalui pepatah yang berbunyi:
Adat basandi syarak Syarak basandi Kitabullah Syarak mangato adaik mamakai (Idrus Hakimi, 1978: 105).
(Adat bersendi syarak Syarak bersendi kitab Allah (Al-Quran) Syarak mengatakan adat memakai)
Maksud dari pepatah di atas, adalah ketentuan-ketentuan
adat diperkuat dengan ajaran Islam. Segala yang telah digariskan
dalam adat, disesuaikan dengan ajaran agama Islam. Jadi adat dan
agama Islam di Minangkabau sangat erat kaitannya karena harus
saling mendukung.
53
Sehubungan dengan hal di atas, masyarakat Minangkabau
adalah penganut ajaran agama Islam. Agama Islam telah diterima dan
menyatu dengan budaya (adat istiadat) berabad-abad yang lalu,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dituntun oleh
norma agama dan adat. Dalam hal ini norma agama dan adat
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Sehubungan dengan uraian di atas, maka adat-istiadat
termasuk klasifikasi adat yang keempat menurut kategori adat
Minangkabau. Prinsip adat-istiadat adalah segala bentuk upacara
dalam konteks adat dan agama, dan segala bentuk ritual-ritual yang
telah menjadi kebiasaan oleh masyarakat suatu nagari yang konsep
dan tata cara pelaksanaannya berbeda dengan nagari-nagari lainnya di
Minangkabau. Prinsip inilah yang disebut dengan adaik salingka
nagari (adat selingkar nagari). Kajian adat-istiadat masyarakat nagari
Kepala Hilalang di sini terdari dari masalah upacara perkawinan, alek
nagari, baburu babi, turun mandi, mencaliak anak sebagaimana uraian
berikut:
1) Upacara Perkawinan
Di nagari Kepala Hilalang, pelaksanaan akad nikah (ijab-
kabul) dalam suatu rangkaian proses perkawinan termasuk
klasifikasi kegiatan keagamaan, tetapi tata cara proses perkawinan
dan upacara perkawinan termasuk klasifikasi adat-istiadat suatu
nagari, karena melibatkan seluruh unsur-unsur kerabat yang terkait
54
secara adat, dan sistem pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan
ketentuan adat salingka nagari (Wawancara dengan H.Jamaluddin
Imam [70 tahun] pada tanggal 16 April 2010 di nagari Kepala
Hilalang).
Selanjutnya A.R. Dt Bungsu salah seorang pemuka adat
menjelaskan bahwa sebelum pelaksanaan upacara perkawinan di
nagari Kepala Hilalang --sesuai dengan ketentuan adat yang
berlaku di nagari Kepala Hilalang yang berlaku di nagari Kepala
Hilalang yang berlaku di nagari Kepala Hilalang yang berlaku di
nagari Kepala Hilalang yang berlaku di nagari Kepala Hilalang--
harus terlebih dahulu melalui beberapa tahap yaitu ‘malesoh
batang’, maminang (timbang tando), akad nikah dan pesta
perkawinan.
Kegiatan malesoh batang adalah kegiatan dimana kedua
orang tua pihak perempuan melakukan peninjauan, sekaligus
pendekatan dengan kedua orang tua pihak laki-laki. Peninjauan ini
dilakukan untuk mengetahui apakah kedua orang tua pihak laki-laki
sudah menyetujui hubungan anak laki-lakinya dengan anak
perempuannya. Apabila kedua belah pihak telah sepakat dan
menyetujui hubungan kedua anaknya, maka orang tua mencari
kesepakatan kapan waktu yang tepat untuk melakukan peminangan.
Orang tua pihak perempuan menyampaikan kesepakatan tersebut
kepada mamak kaumnya.
55
Selanjutnya kegiatan maminang (timbang tando) atau
peminangan dilakukan oleh tiga sampai empat orang mamak kaum
dari pihak perempuan. Mereka datang meminang dengan
membawa kampia siriah yang berisi paket sirih selengkapnya dan
didampingi dengan japutan adaik yang sudah ditetapkan oleh
niniak mamak nagari, serta menyerahkan sebentuk cincin sebagai
tanda pertunangan telah dilakukan (Wawancara dengan A.R. Dt
Bungsu [75 tahun] pada tanggal 16 April 2010 di nagari Kepala
Hilalang).
Tata cara seperti ini sangat berbeda sekali dengan nagari-
nagari lain di Pariaman, tetapi lebih mirip kepada tata cara
pelaksanaan adat perkawinan yang terdapat pada nagari-nagari di
wilayah darek Minangkabau, sebagaimana yang dikatakan D. Dt
Lelo Panjang, bahwa di Pariaman peminangan dilaksanakan
beramai-ramai, karena mengikutkan seluruh kerabat baik yang
bertali adat maupun yang bertali budi, baik laki-laki maupun
perempuan ikut pergi meminang dengan membawa bermacam-
macam masakan berupa kue, nasi, dan sambal yang cukup banyak.
Pihak perempuan juga mnenyediakan uang jemputan maupun uang
dapua yang sudah disepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak
(Wawancara dengan D.Dt Lelo Panjang [48 tahun] pada tanggal
25 April 2010 di nagari Kepala Hilalang).
56
Begitu juga kegiatan Akad Nikah (Ijab-kabul) merupakan
bagian pokok dari serangkaian upacara perkawinan sesuai dengan
ajaran agama Islam. Di nagari Kepala Hilalang akad nikah biasanya
dilakukan di Mesjid yang dipimpin oleh kadi nagari (pegawai
KUA). Acara ini dihadiri oleh kedua orang tua calon mempelai,
kaum kerabat yang terikat secara adat serta saksi. Apabila ijab
kabul sudah dianggap sah oleh saksi dilakukan penyerahan mahar
dari calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan.
Selanjutnya D. Dt. Lelo Panjang menjelaskan bahwa
pelaksanaan pesta perkawinan dilakukan melalui beberapa proses
yaitu malam bainai, sapatang manumpi, manjapuik
marapulai/maanta marapulai, basandiang, maanta anak daro
(manjalang).
Malam bainai; biasanya dilakukan setelah selesai pernikahan
pada malam harinya dilakukan pemasangan inai pada kuku jari
kaki dan kuku jari tangan calon penganten perempuan. Sapatang
manompi; adalah membuat makanan sejenis kanji yang digoreng,
biasanya kaum ibu-ibu bersemangat menyaksikan pembuatan tompi
karena apa bila pada penggorengan tompi itu pecah atau meledak,
itu merupakan petanda bahwa calon penganten tersebut tidak suci
lagi.
Manjapuik marapulai/Maanta marapulai; manjapuik
marapulai adalah kegiatan menjemput penganten laki-laki secara
57
adat yang dilakukan oleh pihak kaum kerabat penganten
perempuan pergi menjemput marapulai untuk dibawa ke rumah
pengaten perempuan untuk bersanding. Biasanya pada hari Minggu
pagi penganten laki-laki diantar kerumah penganten perempuan
yang diarak dengan ‘dikie rabanbo’. Penganten didampingi dan
diiringi oleh kaum kerabat terutama yang bertalian adat dan ada
juga yang bertalian budi. Sampai di rumah penganten perempuan,
penganten laki-laki dipersandingkan dengan penganten perempuan.
Pada malam harinya penganten perempuan pergi manjalang
(menjelang) ke rumah penganten laki-laki yang didampingi oleh
kaum kerabat yang bertalian adat maupun yang bertalian budi
dengan penganten perempuan. Pihak penganten perempuan
membawa hidangan jamba yang berisi nasi sambal, dan jamba
yang derisi bermacan makanan kue., serta nasi kunyit di dulang
tinggi. Sementara di nagari lain di Pariaman di samping itu yang
lebih penting dibawa dalam kegiatan manjalang tersebut adalah
‘juadah’ (Wawancara dengan Bakhtaruddin [48 tahun] pada
tanggal 16 April 2010 di nagari Kepala Hilalang).
2). Alek Nagari
Alek Nagari adalah salah satu kegiatan budaya yang
dilakukan oleh masyarakat nagari dalam berbagai konteks seperti
batagak penghulu (pengangkatan penghulu), pengangkatan
58
Kapalo Mudo, pengangkatan Muncak Buru, peresmian balai adat,
persmian pasar, dan sebagainya.
Dalam sebuah Alek Nagari, biasanya dipertunjukkan
berbagai macam kesenian tradisi baik yang ada di nagari yang
bersangkutan maupun mengundang kesenian tradisi nagari lain,
seperti indang, gandang tambua, saluang dan sebagainya. Di
nagari Kepala Hilalang, jika Alek Nagari yang menghadirkan
kesenian tradisi Luambek, maka Alek Nagari itu disebut Alek
Pauleh.
3). Buru Babi
Baburu babi merupakan kegiatan masyarakat nagari
Kepala Hilalang yang tidak termasuk ke dalam jenis upacara adat
atau upacara agama, dan tidak bisa pula diklasifikasikan sebagai
suatu jenis kesenian, tetapi termasuk sebagai “kegemaran anak
nagari.”
Sebetulnya budaya berburu yang ditradisikan oleh berbagai
kelompok masyarakat Minangkabau hingga sekarang ini sudah ada
semenjak dahulu, terutama di kalangan masyarakat purba yang
berburu binatang untuk kepentingan makanan mereka yang hidup
di perdalaman. Hal ini diinformasikan Havilan (1999: 131)
sebagaimana dikutip Desmawardi dalam tulisannya berjudul “Buru
Babi: Suntiang Niniak Mamak Pamenan Anak Mudo” bahwa:
Berdasarkan bukti-bukti arkeologis, dan pengetahuan kita tentang
59
metode suku-suku bangsa yang pada jaman sekarang hidup dari
berburu dan mendahulukan bahan makanan, telah disimpulkan
bahwa pemburu purba, .... , yang kemungkinan sekali mengadakan
kegiatan berburu dalam kelompok-kelompk kecil, boleh jadi dari
beberapa keluarga. Kerja sama seperti itu membutuhkan
perencanaan dan membutuhkan bentuk komunikasi verbal dan atau
isyarat (Desmawardi, 2000: 2).
Baburu Babi dalam konteks sekarang adalah kegiatan
secara berkelompok untuk menghalau musuh –terutama hama babi-
- yang akan merusak tanaman masyarakat. Bagi masyarakat nagari
Kepala Hilalang, kegiatan berburu babi termasuk klasifikasi
kegiatan yang beradat, karena aturan adat nagari menempatkan
kegiatan tersebut sebagai “suntiang niniak mamak pamenan anak
mudo”.
Untuk pelaksanaan kegiatan berburu ini harus terlebih
dahulu minta izin kepada ninik mamak dalam suatu musyawarah
dalam bentuk ‘pasambahan’ (pidato adat). Pasambahan ini
melibatkan beberapa unsur yaitu ninik mamak, muncak buru,
kapalo mudo, urang tuo, dan Bupati Padang Pariaman selaku ketua
PORBI (Persatuan Olah Raga Buru Babi). Desmawardi
menjelaskan bahwa “semula aktivitas berburu ini hanya di
kalangan pedesaan tetapi sekarang sudah menjadi kegemaran
berbagai lapisan masyarakat, baik yang hidup di pedesaan maupun
60
yang hidup di perkotaan dari kalangan petani sampai kepada
pejabat pemerintah” (Desmawardi, 2000: 3).
Sehubungan dengan Alek Nagari jenis Alek Pauleh Tinggi,
kegiatan Baburu Babi merupakan kegiatan penting untuk
mengusisir segala musuh atau mara bahaya yang akan mengganggu
jalannya upacara, dan juga sebagai acara pembukaan helat nagari
(Alek Pauleh Tinggi).
4). Upacara Turun Mandi
Upacara Turun Mandi merupakan kegiatan masyarakat
nagari Kepala Hilalang yang sudah menjadi kebiasaan dalam
kehidupan sosial masyarakat nagari ini. Upacara ini merupakan
suatu kegiatan budaya yang dilaksanakan oleh suatu keluarga
ketika anak berumur 40 hari sampai berumur tiga bulan. Anak bayi
dibawa ke luar rumah, biasanya ke pincuran tapian mandi, atau ke
pincuran Mesjid yang ada di nagari ini.
Kalau dilihat dari proses kegiatannya, upacara ini dapat
dikatakan upacara adat, karena pelaksanaannya berkaitan dengan
kekerabatan dalam adat. Unsusr-unsur kerabat harus hadir dalam
upacara ini yaitu pihak bako anak bayi, pihak bako orang tua
perempuan dari bayi, pihak bako orang tua laki-laki dari bayi, serta
masyarakat kampung yang bertalian adat. Pelaksanaan kegiatan ini
dilakukan dengan mendo’a yang dipimpin oleh ‘urang siak’ yang
diundang khusus. Kegiatan mendo’a ini deiyakini oleh masyarakat
61
setempat sebagai suatu ibadah sunat. Perjalanan dari rumah sampai
ke pincuran tapian mandi atau ke pincuran Mesjid diarak dengan
kesenian nuansa Islam yaitu ‘Dikie Rabano’ sebagai penyemarak
suasana.
5) Mancaliak Anak
Mancaliak Anak merupakan suatu kegiatan melihat anak
pertama dari pasangan suami istri. Kegiatan ini melibatkan unsusr-
unsur kerabat yang harus hadir dalam upacara ini yaitu pihak bako
anak bayi, pihak bako orang tua perempuan dari bayi, pihak bako
orang tua laki-laki dari bayi, serta masyarakat kampung yang
bertalian adat, maka kegiatan ini dapat dikelompokkan pada
upacara adat.
Bisanya semua unsur-unsur kerabat yang datang membawa
berbagai bentuk pemberian yang diperuntukkan pada anak bayi
tersebut. Di nagari Kepala hilalangh besar kecilnya nilai pemberian
dari pihak kerabat tidak menjadi ukuran kebanggaan, namun
nagari-nagari lain di daerah Rantau Pariaman terutama, pemberian
dari bako bayi sangat menjadi perhatian baik bagi pihak bako bayi
maupun dari pihak kerabat lainnya, karena besar kecilnya nilai
pemberian merupakan suatu kebanggaan dan pamer kekayaan.
62
b. Sistem Religi dan Kepercayaan
Walaupun nagari Kepala Hilalang berada dalam wilayah
Rantau Pesisir Barat Minangkabau (Pariaman), namun tata cara
pengamalan dalam sistem religi dan kepercayaannya cukup berbeda
dengan yang diamalkan masyarakat nagari-nagari lainnya di Pariaman,
seperti kegiatan basapa, mandoa mauluik, mandoa kamatian (manigo
hari, maampek baleh, maampek puluah, maratuih hari), bulan lamang,
bulan sang bareh, ratik, ziarah kubur adalah tidak ditemui dalam
sistem religi dan kepercayaan masyarakat nagari Kepala Hilalang.
Berikut ini dapat dilihat beberapa bentuk upacara atau kegiatan ritual
yang khas masyarakat nagari Kepala Hilalang sebagai berikut:
1) Mandoa Kekah
Mandoa Kekah merupakan anjuran agama Islam yang
hukumnya sunat. Dalam masyarakat nagari Kepala Hilalang
pelaksanaan kekah ini ada yang dilaksanakan pada waktu bayi
berumur satu minggu dan ada juga yang dilaksanakan menjelang
anak tersebut kawin, artinya pelaksanaan kekah sangat tergantung
pada keinginan dan kesanggupan keluarga yang bersangkutan
Biasanya semua karib kerabat, sanak family atau tetangga, baik
yang bertalian darah maupun yang bertalian budi diundang untuk
mengikuti upacara kekah tersebut. Upacara ini diiringi dengan
mendo’a dengan mengundang ‘urang siak’ untuk memimpin do’a.
Dalam hal ini, mendo’a dianggap dapat memberikan nilai manfaat
63
kepada pihak keluarga yang berhajat, karena diyakini
mendatangkan pahala dari hasil ibadah yang hukumnya sunat
tersebut. Biasanya setelah selesai mendo’a dilanjutkan dengan
Dikie Rabano.
2) Upacara Sunat Rasu
Upacara Sunat Rasu adalah upacara ritual yang merupakan
amalan yang hukumnya wajib bagi setiap laki-laki Islam. Sunat
Rasu biasanya dilakukan setelah seseorang berumur sekitar 8 tahun
sampai 10 tahun, atau mada juga yang dilaksanakan menjelang
perkawinannya. Biasanya semua karib kerabat, sanak family atau
tetangga, baik yang bertalian darah maupun yang bertalian budi
diundang untuk menghadiri upacara ini. Upacara ini diiringi dengan
mendo’a dengan mengundang ‘urang siak’ untuk memimpin do’a
tersebut. Kegiatan mendo’a ini diyakini bernilai ibadah yang
hukumnya sunat dan dapat mendatangkan pahala terhadap pihak
keluarga yang berhajat.
3) Mendo’a Selamat
Doa Selamat biasanya dilakukan oleh pihak keluarga setelah
selamat dari sesuatu kegiatan, seperti selamat dalam perjalanan
menunaikan ibadah haji di Mekah, selamat dalam perjalanan
mengemban tugas, selamat dari musibah atau cobaan hidup dan
sejenisnya. Mendo’a dipimpin oleh ‘urang siak’ dengan materi
do’a yang bersifat tawaqal kepada yang maha kuasa yang telah
64
melimpahkan rahmat, kurnia, dan taufik serta petunjuk kepada
hamba-Nya.
Mendo’a Syukuran; biasanya dilaksanakan setelah
mendapat rahmat dan nikmat dari Allah Subhanahuwa Ta’ala,
seperti berflimpahnya hasil panen padi, panen jagung, panen cabe
dan sebagainya, atau pun setelah mendapat keuntungan berdagang
yang dijalankan sesuai dengan anjuran agama Islam. Biasanya
orang yang beriman dan bertaqwa, akan selalu mensyukuri setiap
rahmat dan nikmat yang diberikan oleh Allah, karena semuanya itu
berkat Allah SWT. Rasa syukur inilah yang disampaikan melalui
do’a syukur yang dipimpin oleh ‘urang siak’ yang diikuti oleh para
undangan dari sanak family dan tetangga yang datang.
4) Mendo’a Kematian
Upacara ritual mendo’a kematian ini khususnya
dilaksanakan oleh pihak keluarga yang ditimpa musibah kematian.
Mendo’akan agar orang yang meninggal dunia mendapat kelapangan
azab kubur, keringan azab di Padang Masyar, dan menempati surga
Jannatun Na’im, sekaligus bagi keluarga yang ditinggalkan tabah
menghadapi cobaan dan musibah tersebut.
Di nagari Kepala Hilalang kegiatan mendo’a kematian
hanya dilakukan dua kali saja, itupun bagi orang yang kemampuan
ekonominya mencukupi, yaitu 1) mendo’a setelah selesai
penguburan mayat yang dilakukan pada hari itu juga (biasanya
65
setelah shalat magrib); 2) mendo’a yang dilakukan setelah beberapa
bulan bahkan setelah beberapa tahun seseorang meninggal dunia.
Pelaksanaan mendoa’a ini sangat tergantung pada kesanggupan
pihak keluarga yang meninggal dunia. Tata cara ini berbeda dengan
nagari nagari lain yang ada di wilayah rantau Pariaman. Desmawardi
dalam hasil mepelitiannya yang berjudul “Nyanyian Religius
‘Mando’a’: Suatu Aktivitas Masyarakat terhadap Seni Nuansa Islam
Di Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat” (2010: 51)
menyatakan bahwa: mendo’a kematian dilakukan mulai malam
pertama setelah seseorang meninggal dunia atau mulai dari sapatang
bakubue sampai tiga hari berturut-turut, hari ketujuh (manujuah
hari), empat belas hari (manduo kali tujuah), 40 hari (maampek
puluah dan maratuih hari). 100 hari (manyaratuih hari).
5) Ratik Tulak Bala
Ratik Tulak Bala adalah merupakan suatu kegiatan budaya
yang mengandung unsur ke- Islaman. Ratik Tulak Bala merupakan
suatu maktivitas keagamaan (memuji-muji nama Allah) yang yang
dilakukan oleh para jemaah pengajian dari tradisi surau dalam
masyarakat nagari Kepala Hilalang. Ratik Tulak Bala digunakan oleh
masyarakat setempat untuk mengusir hama atau bala yang menimpa
tanaman padi di sawah maupun yang menimpa kehidupan
masyarakat.
66
Kegiatan do’a Tulak Bala disampaikan melalui nyanyian
religius yang berisi pujian kepada Allah, dan memohon kapada Allah
agar terhindar dari segala mara bahaya yang akan mengganggu
kehidupan masyarakat nagari bersangkutan. Do’a Tulak Bala ini
dilakukan sambil berjalan mengelilingi areal persawahan atau
kampung yang sedang ditimpa mara bahaya (Zahara Kamal. 2001:
22-26).
c. Kesenian
Sebagaimana telah dikemukan terdahulu bahwa secara
geografis nagari Kepala Hilalang berada di perbatasan antara darek
dan rantau yang dijuluki Ikue Darek Kapalo Rantau. Dengan
demikian dari sudut aktivitas berkesenian masyarakat nagari
Kepala Hilalang tentu dipengarui oleh kedua budaya (rantau dan
darek) Minangkabau. Sehubungan dengan kesenian, masyarakat
nagari Kepala Hilalang hanya memiliki tiga jenis seni tradisi yaitu:
1) Luambek dan Randai Luambek; 2) Silek dan Randai Silek; 3)
Dikie Rabano.
Kesenian tradisi tersebut selain berperan dalam upacara-
upacara adat, seni tradisi juga berfungsi untuk media pendidikan
adat istiadat. Lebih-lebih lagi mengingat tidak adanya wadah atau
tempat khusus untuk pelaksanaan pendidikan adat istiadat
Minangkabau secara formal. Pendidikan adat hanya diperoleh
melalui pengalaman kehidupan dalam lingkungan masyarakat, 67
seperti dalam kehidupan sehari-hari sewaktu upacara adat atau
sedang pertunjukan kesenian tradisiomnal, seperti penyajian randai
silek dengan pola lantai melingkar yang dilakukan pemain sambil
berdendang dengan mengungkapkan pantun-pantun, pepatah-
petitih dan sebagainya, dan di dalamnya mengandung nilai-nilai
filosofi, adat istiadat, sosial budaya dan sebagainya. Sikap
demikian itu dapat dijadikan pedoman dan pegangan masyarakat
dalam menjalani kehidupan secara pribadi maupun bermasyarakat
di Minangkabau (Rasyid Manggis, 1975: 8).
Di Minangkabau ada yang dikenal dengan sasaran,
yaitu suatu tempat aktivitas anak nagari dalam bidang kesenian
tradisi dan di daerah budaya Pariaman ada suatu tempat lagi untuk
aktivitas anak nagari yang disebut Laga-laga/Pauleh. Di tempat ini
anak nagari membentuk rasa kebersamaan dan kegotongroyongan
antara satu dengan lainnya dalam masyarakat, sehingga mereka
merasa bertanggung jawab untuk melestarikan budaya daerahnya
sendiri. Setiap upacara adat, kelompok-kelompok kesenian dalam
nagari sering muncul sebagai penyemarak. Apabila suatu nagari
menyelenggarakan upacara adat, di samping dimeriahkan dengan
kesenian yang ada di nagari bersangkutan juga dimeriahkan dengan
kesenian nagari lain yaitu dengan mengundang kelompok-
kelompok kesenian yang ada di sekitarnya untuk memeriahkan
upacara tersebut.
68
B. Temuan Khusus
Luambek adalah sejenis seni pertunjukan tradisional masyarakat
Pariaman yang memiliki komposisi gerak silat yang telah diadopsi dalam
bentuk simbol-simbol gerak bayangan oleh dua orang pemain laki-laki
(penyerang dan penangkis) dengan posisi saling berhadapan sebagaimana dua
orang sedang bersilat di atas laga-laga (pentas tradisional khas Pariaman)
yang diiringi oleh musik vokal Dampeang.
Dalam pelaksanaan tradisi seni pertunjukan Luambek sekaligus
dapat dilihat unsur-unsur seni bela diri yang berposisi sebagai kesenian adat.
Luambek sebagai bela diri dapat dilihat bahwa masing-masing pemain
bertarung adu keterampilan dalam mempertahankan harga diri penghulu dan
nagari masing-masing. Kedua pemain melakukan gerak lalu (menyerang) dan
gerak ambek (menasngkis) tanpa melakukan kontak fisik. Sedangkan Luambek
sebagai kesenian adat dapat dilihat dari konsep kepemilikannya, aturan-aturan,
etika, nilai-nilai dan norma-norma yang terdapat dalam pertunjukan Luambek
yang pada prinsipnya berpijak pada ajaran adat dan agama Islam.
1. Eksistensi Seni Pertunjukan Luambek
Eksistensi seni pertunjukan Luambek ditinjau dari dua faktor yaitu:
faktor internal dan faktor eksternal.
a. Faktor Internal
Ditinjau dari faktktor internal, eksistensi seni pertunjukan
Luambek di nagari Kepala Hilalang dapat dilihat dari tingkat
69
kepentingan keterlibatannya pada acara atau upacara tertentu dalam
kehidupan sosial-adat masyarakatnya, yaitu meliputi: (1). Luambek
sebagai tradisi seni pertunjukan rakyat; (2). Luambek berperan dalam
konteks alek nagari; (3) Peran struktur sosial masyarakat nagari dan
organisasi Luambek dalam pengelolaan seni pertunjukan Luambek.
1) Luambek sebagai Tradisi Seni Pertunjukan Rakyat
James Brandon dalam tulisannya yang berjudul Seni
Pertunjukan di Asia Tenggara, terjemahan Soedarsono (Brandon,
1989: 162) menyatakan bahwa tradisi seni pertunjukan rakyat
terutama berhubungan dengan kehidupan desa. Ia berhubungan
dengan kepercayaan-kepercayaan animistik pra sejarah dan ritual.
Pertunjukan dilakukan pada masa-masa tenggang yang tak tetap
dan untuk kejadian-kejadian yang khas. Para pemain adalah orang-
orang desa setempat yang berperan atau menari sebagai hobi atau
untuk mendapatkan prestise; mereka bukan pemain profesional.
Biaya yang diperlukan untuk pertunjukan disediakan oleh
masyarakat atau sponsor setempat; penonton hadir dengan cuma-
cuma atau tidak dipungut bayaran.
Sejalan dengan pendapat di atas, Luambek dapat
dikelompokkan ke dalam tradisi seni pertunjukan rakyat, karena
pertunjukan seni tradisi ini selalu berhubungan dengan acara atau
70
upacara yang menempati posisi penting dalam kehidupan sosial
yang khas dan beradat masyarakat nagari.
Aktivitas sehari-hari yang utama dalam kehidupan masyarakat
nagari Kepala Hilalang ialah bertani (petani sawah dan petani ladang).
Dalam rangka menjaga tanaman dari ancaman hama agar dapat
menuai hasil yang lebih baik, maka masyarakat nagari ini selalu
mengadakan kegiatan memburu hama babi, bajing, dan tikus dengan
jadwal tertentu yang diadakan secara berkelanjutan.
Oleh karena dampak kegiatan berburu hama tanaman ini sangat
positif terhadap kesejahteraan petani, maka nagari Kepala Hilalang
mengikuti tradisi berburu yang telah berlaku dalam nagari-nagari
lainnya di daerah Padang Pariaman, yaitu mengadakan kegiatan
berburu secara terorganisir yang dipimpin oleh seorang pimpinan
berburu yang disebut Muncak Buru.
Kehadiran seorang Muncak Buru menjadi krusial dalam
kehidupan pertanian masyarakat nagari Kepala Hilalang, sehingga
seorang Muncak Buru cukup dihormati oleh masyarakat nagari ini.
Dengan demikian, pengangkatan seorang Muncak Buru dilengkapi
dengan seremoni pertunjukan kesenian Luambek.
Selain dari kehidupan pertanian, masalah kegiatan para pemuda
di nagari Kepala Hilalang juga menjadi hal yang penting, karena
keberhasilan segala akativitas sosial dan adat dalam nagari tidak
terlepas dari peranan para pemuda tersebut. Agar kekompakan
71
pemuda tetap terjaga dan aktivitas para pemuda di nagari tidak
menjurus kepada masalah-masalah yang negatif, maka pemuka adat
nagari memilih seorang ketua pemuda di nagari yang disebut Kapalo
Mudo.
Keberadaan seorang Kapalo Mudo menempati posisi struktur
kehidupan sosial di nagari Kepala Hilalang. Dengan begitu,
pelantikan seorang Kapalo Mudo diadakan secara besar-besaran yang
melibatkan segala lapisan masyarakat nagari dan dimeriahkan dengan
pertunjukan kesenian Luambek.
Dalam proses pertunjukan Luambek masih berhubungan
dengan kepercayaan-kepercayaan animistik dan ritual. Berdasarkan
wawancara dengan Bakhtaruddin, menyatakan bahwa secara tradisi
kelompok kesenian Luambek ini masih mempercayai dukun dalam
pelaksanaan pertunjukannya. Setiap akan memainkan Luambek, baik
penampilan di nagari sendiri atau di nagari tetangga, terlebih dahulu
para pemain dilimaui (disiram dengan air jeruk) oleh dukun. Jeruk itu
terdiri dari tujuh macam yang diberi mantra oleh dukun sambil
membakar kemenyan. Air jeruk tujuh macam yang sudah dimantrai
tersebut diusapkan pada pemain Luambek semenjak dari kepala (ujung
rambut) hingga ke ujung kaki (Wawancara dengan Bakhtaruddin [48
tahun] pada tanggal 25 April 2010 di nagari Kepala Hilalang).
Selanjutnya Bakhtaruddin menjaskan bahwa tujuan utama
siraman dengan air jeruk itu agar mental pemain menjadi kuat dan
72
percaya diri, dan agar ketika bermain Luambek, meraka tidak bisa
dikalahkan (buluih) oleh lawan dalam permainan Luambek, sekaligus
bertujuan untuk menangkal guna-guna atau sihir yang didatangkan
kelompok pemain lawan terhadap kelompok Luambek nagari tertentu
yang sedang bermain Luambek di atas laga-laga (pentas tradisional
versi masyarakat Pariaman).
Para pemain setiap kelompok Luambek terdiri dari rakyat biasa
yang berasal dari nagari masing-masing nagari. Mereka merupakan
para seniman alami yang memiliki hobi untuk menguasai silat, tari
tradisional dan seni vokal dampeang dan akhirnya baerperan sebagai
pemain Luambek. Kemahiran bemain Luambek menjadi sebuah
prestise di tengah kehidupan seni pertunjukan Luambek dalam
masyarakat nagari sendiri, atau pun bagi seniman-seniman Luambek di
nagari tetangga lainnya. Walaupun begitu, para pemain Luambek tidak
pernah memasuki dunia keseniman yang bertaraf profesional, karena
tujuan utama seniman Luambek adalah untuk menjadi duta seni bagi
nagari mereka masing-masing pada setiap iven pertunjukan Luambek
di daerah Pariaman.
Semua konteks pertunjukan Luambek, baik di nagari Kapalo
Hilalang, maupun nagari-nagari tetangga lainnya di daerah Pariaman
tidak pernah memiliki jadwal yang tetap, karena terjadinya semua
konteks acara atau upacara sosial dan adat dalam masyarakat nagari
73
selalu bersifat insidentil sesuai dengan dinamika sosial yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat nagari masing-masing.
Biasanya gagasan atau ide untuk mengadakan pertunjukan
Luambek dalam bentuk helat nagari ada yang berawal datangnya dari
rakyat atau masyarakat, dan usulan inilah yang dibawa kepada para
pemuka adat di nagari untuk mendapatkan rekomendasi, tetapi terdapat
juga ide untuk mengadakan pertunjukan Luambek dalam bentuk helat
nagari yang berasal dari dari pemuka adat.
Sungguhpun gagasan atau ide pertunjukan Luambek berasal
dari masyarakat maupun dari pemuka adat di nagari, namun biaya
pelaksanaan Alek Nagari yang diperlukan untuk melaksanakan helat
nagari yang menampilkan kesenian Luambek adalah disediakan oleh
masyarakat atau sponsor setempat. Oleh karena helat nagari ini
adalah kebutuhan masyarakat nagari secara bersama-sama, maka iven
pertunjukan Luambek tidak pernah dikomersilkan sehingga masyarakat
yang menyaksikan pertunjukan Luambek tidak dipungut bayaran.
Dalam hal ini seni pertunjukan Luambek adalah dari rakyat untuk
rakyat serta untuk menghibur masyarakatnya.
2) Luambek berperan dalam Konteks Alek Nagari
Pertunjukan Luambek disajikan pada konteks acara atau
upacara yang memiliki nilai khusus dalam kehidupan sosial
masyarakat nagari Kepala Hilalang, seperti 1) upacara batagak
74
pangulu (pengangkatan penghulu baru) yang disebabkan oleh
pergantian jabatan penghulu yang sudah meninggal dunia atau
karena penghulu uzur yang tidak sanggup lagi menjalankan
tugasnya sebagai penghulu; 2) upacara pengangkatan Kapalo Mudo
(ketua pemuda) di nagari yang mungkin karena meninggal atau pun
sakit sehingga tidak sanggup lagi menjalankan tugasnya sebagai
pimpinan generasi muda di nagari; 3) pengangkatan Muncak Buru
(pimpinan kegiatan berburu babi dan berburu bajing kelapa) yang
mungkin disebabkan karena meninggal atau pun sakit sehingga
tidak sanggup lagi menjalankan tugas yang dijabatnya sebagai
Muncak Buru; 4) peresmian balai adat nagari, dan 5) peresmian
pasar baru, serta kegiatan lainnya yang istimewa dalam kehidupan
masyarakat nagari Kepala Hilalang.
Pelaksanaan kelima jenis acara atau upacara di atas disebut
dengan Alek Nagari (helat nagari) adalah salah satu kegiatan
keramaian yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu oleh
masyarakat nagari-nagari di lingkungan daerah rantau Pariaman,
dan jenis kegiatan keramaian ini akan saling berbeda pada setiap
nagari.
Bagi nagari Kepala Hilalang, apabila Alek Nagari
menghadirkan Luambek, maka Alek Nagari itu disebut oleh
masyarakatnya dengan Alek Pauleh. Sehubungan dengan ini,
Nazaruddin Majolelo menjelaskan bahwa Alek Pauleh merupakan
75
helat yang dilakukan oleh masyarakat nagari yang bertujuan untuk
meningkatkan hubungan silaturrahmi anggota masyarakat nagari.
Alek Pauleh ini ada dua jenis yaitu Alek Pauleh Tinggi dan Alek
Pauleh Lumpuah. Alek Pauleh Tinggi adalah suatu alek (helat)
nagari yang didasari atas gagasan atau ide yang datang dari hasrat
para ninik mamak di nagari. Sedangkan Alek Pauleh Lumpuah
adalah suatu alek (helat) nagari yang didasari atas gagasan atau ide
yang berasal dari masyarakat di kedai-kedai kopi.
Perbedaan kedua jenis helat ini mempunyai makna
tersendiri bagi masyarat nagari. Pelaksanaan alek Pauleh Tinggi
dipandang oleh masyarakat setempat lebih meriah, lebih mulia,
lebih komplek dibanding alek Pauleh Lumpuah yang agak
sederhana sifatnya. Di samping itu juga karena pelaksanaan helat
ini diprakarsai oleh penghulu nagari (Wawancara dengan
Nazaruddin Majolelo [57 tahun] pada tanggal 28 April 2010 di
nagari Kepala Hilalang).
Biasanya, kedua bentuk gagasan, baik gagasan dari Niniak
Mamak maupun dari anggota masyarakat disampaikan kepada
Kapalo Mudo. Sesuai dengan ketentuan adatnya, Kapalo Mudo
menyampaikan gagasan tersebut kepada struktur sosial masyarakat
nagari melalui kegiatan musyawarah untuk mencari kata sepakat
apakah gagasan untuk mengadakan Alek Pauleh sebagaimana
dimaksud dapat disepakati untuk dilaksanakan atau tidak.
76
Selanjutnya, perbedaan antara dua jenis alek tersebut di atas
dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain: (a) laga-laga dan
pakaiannya; (b) cara mengundang; (c) cara menanti/menyongsong
tamu; (d) cara pembukaan acara; (e) penyediaan hidangan. Dalam
hal ini A.R Dt. Bungsu menjelaskan perbedaan kedua jenis helat
tersebut sebagai berikut:
(a) Aspek Laga-laga dan Pakaiannya
Ditinjau dari aspek pakaian laga-laga/pauleh pada Alek
Pauleh Lumpuah, sesuai dengan ketentuan adatnya; pada langit-
langit laga-laga/pauleh diberi pakaian atau hiasan dengan tabia,
pada langit-langit laga-laga/pauleh bagian belakang dipasang tirai
cancang untuk Niniak Mamak Alek (niniak mamak yang datang
dari nagari lain) dan pada langit-langit bagian depan dipasang pula
tirai cancang untuk Niniak Mamak Pangka (niniak mamak nagari
yang mengadakan helat), serta pada langit-langit bagian tengah
dipasang tirai kolam/tirai anak mudo.
Pada bagian belakang lantai laga-laga/pauleh disediakan
kasur tepat di bawah tirai cancang untuk tempat duduk Niniak
Mamak Alek dan pada lantai bagian depan laga-laga/pauleh juga
disediakan kasur untuk tempat duduk Niniak Mamak Pangka. Di
depan tempat duduk Niniak Mamak Pangka diletakkan ‘siriah
paga’ (sirih selengkapnya dalam carano), dan didepan tempat
duduk Niniak Mamak Alek juga diletakkan ‘siriah paga’ (sirih
77
selengkapnya dalam carano), serta di bagian tengah setentang tirai
kolam disediakan ‘siriah paga’ (sirih selengkapnya dalam carano)
yang berfungsi untuk menyongsomg tamu yang datang. Sedangkan
semua tonggak laga-laga/pauleh dibungkus dengan kain berwarna
warni. Di pintu gerbang lokasi helat dipasang marawa sebagai
tanda alek baradaik (helat beradat).
Pada Alek Pauleh Tinggi, di samping hiasan yang ada pada
Pauleh Lumpuah di atas, ditambah dengan beberapa hiasan sebagai
simbol Alek Pauleh Tinggi yaitu marawa sabatang batuang
(merawa yang dipasang pada satu batang betung). Marawa ini
terdiri dari dua buah yang di disilangkan di puncak bangunan
laga-laga/pauleh bagian depan. Di halaman laga-laga.pauleh
sebelah kanan dipasang payung panji dan perlengkapannya,
sebelah kiri ditempatkan tabuah larangan (tabuh larangan).
(b) Aspek Cara Mengundang
Cara mengundang untuk kedua jenis Alek Pauleh tersebut,
juga terdapat perbedaan. Cara mengundang untuk Alek Pauleh
Lumpuah biasanya dilakukan oleh Kapalo Mudo yang dibantu oleh
Anak Mudo. Kapalo Mudo pergi menjalankan undangan ke nagari
lain dengan membawa sirih selengkapnya dan rokok. Kapalo Mudo
pergi ke rumah Niniak Mamak atau ke rumah Kapalo Mudo nagari
yang diundang dengan menyuguhkan siriah dan rokok serta
menyampaikan tujuan kedatangannya. Sedangkan cara
78
mengundang untuk Alek Pauleh Tinggi di samping membawa sirih
selengkapnya dan rokok, Kapalo Mudo harus dilengkapi dengan
‘keris’ dan ‘saluak’ milik Niniak Mamak nagarinya sebagai simbol
bahwa yang datang mengundang adalah Niniak Mamak
(c) Cara Menyongsong Tamu
Selanjutnya cara menyongsong tamu pada Alek Pauleh
Lumpuah, biasanya semua rombongan kesenian Luambek dari
nagari yang diundang, datang ke lokasi perhelatan dipimpin
langsung oleh Kapalo Mudo kelompok masing-nasing nagari. Pada
acara Alek Pauleh Lumpuah setiap rombongan tamu datang
memberi tahu kedatangannya dengan sorak dampeang disambut
pula oleh pelaksana helat dengan sorak dampeang pula.
Selanjutnya rombongan tersebut disongsong oleh Kapalo Mudo
yang didampingi oleh Urang Tuo dan anak mudo dengan
menyuguhkan siriah paga (sirih selengkapnya dalam carano).
Kapalo Mudo Pangka (Kapalo Mudo yang mengadakan helat atau
tuan rumah) mengucapkan selamat datang pada Kapalo Mudo Alek
(Kapalo Mudo yang datang dari nagari yang diundang) beserta
rombongan.
Pada acara Alek Pauleh Tinggi, ditambah lagi dengan
beberapa aturan yaitu semua rombongan kesenian Luambek yang
datang dari nagari yang diundang, datang ke lokasi perhelatan yang
dipimpin langsung oleh niniak mamak nagarinya masing-masing
79
dengan memakai pakaian kebesaran penghulu, yaitu baju lapang
(longgar) tanpa saku, celana lapang (longgar), saluak, keris,
tungkek (tongkat), kain samping, kain sandang, cawek (ikat
pinggang), dan lainnya. Pada Alek Pauleh Tinggi tamu dinanti
dengan Galombang Luambek yang diiringi dengan musik Gandang
Tambua, dan pada akhir galombang ditutup dengan tembakan
‘badie balansa’ (bedil belansa). Selanjutnya niniak mamak yang
didampingi oleh Kapalo Mudo, Urang Tuo dan anak mudo datang
menyongsong rombongan tamu tersebut, Kapalo Mudo
menyuguhkan ‘siriah paga’ (sirih dalam carano selengkapnya).
Caranya menyongsong helat atau tamu yang datang juga dengan
pasambahan seperti yang terdapat pada Alek Pauleh Lumpuah.
(d) Cara Pembukaan Alek
Cara pembukaan acara kedua jenis helat Alek Pauleh
Lumpuah dan Alek Pauleh Tingggi, terdapat pula perbedaan.
Pembukaan acara Alek Pauleh Lumpuah, biasanya upacara helat
dibuka dengan kegiatan yang disebut “balingkuang” yaitu
penampilan Randai Luambek oleh nagari-nagari yang terdekat
dengan nagari yang mengadakan helat. Sedangkan pada acara Alek
Pauleh Tinggi, pagi hari sebelum malam pertama pelaksanaan helat,
terlebih dahnulu dilakukan suatu kegiatan berburu yang bertujuan
untuk mengusir bala yang akan mengganggu pelaksanaan helat.
Rombongan masyarakat yang pergi berburu diarak dengan musik
80
Gandang Tambua dari lokasi laga-laga/pauleh sampai kepinggiran
kampung, dan rombongan yang berburu langsung masuk kehutan,
ada yang membawa anjing, galah, dan bedil. Pada malam haringya
acara helat dibuka dengan ‘tari cindai yang dimainkan oleh dua
orang penghulu tertua di nagari yang mengadakan helat.
(e) Cara Penyediaan Makanan
Sehubungan dengan penyediaan makanan pada kedua jenis alek
(heat) ini juga terdapat perbedaan. Penyediaan makanan pada helat
Pauleh Lumpuah lebih sedarhana dibanding dengan Alek Pauleh
Tinggi. Pada acara Alek pauleh Lumpuah biasanya masyarakat
menyediakan makan untuk acara helat dengan cara beriur dan
menerima bantuan dari anggota masyarakat nagari baik dari yang
berada di rantau, yang berada di kampung dan dari perusahaan yang
ada di nagari bersangkutan. Sebagai ciri khas dari helat ini biasanya
dengan menyemblih kambinng untuk dihidangkan pada para tamu
yang datang. Penyediaan hidangan untuk para tamu, biasanya
dimasak secara bersama-sama oleh anggota masyarakat terutama
oleh kaum ibu-ibu. Tempat makan para tamu yang datang biasanya
disediakan tempat khusus yang disebut upang-upang takanak atau
bisa saja di rumah penduduk yang dekat dengan areal; pertunjukan.
Penyediaan makanan seperti ini juga ditemukan pada acara
Alek Pauleh Tinggi, namun di samping itu makanan secara khusus
juga disediakan oleh para istri-istri penghulu yang ada di nagari
81
setempat. Pada hari pertama atau pembukaan acara para istri
penghulu datang ke laga-laga/pauleh membawa dua jenis
makanan, satu jenis dalam bentuk hidangan jamba yang berisi nasi
dan sambal, dan satu lagi di dulang tinggi yang berisi nasi kunyit
sebagai tanda helat beradat. Hidangan ini ditempatkan di laga-
laga/pauleh untuk dimakan oleh para penghulu-penghulu, para tamu
pejabat pemerintahan, seperti camat, bupati, gubernur dan pejabat
lainnya yang diundang (Wawancara dengan A.R. Dt. Bungsu [75
tahun] pada tanggal 28 April 2010 di nagari Kepala Hilalang).
Dalam hal ini, Bakhtaruddin menjelaskan bahwa dalam
melaksanakan Alek Pauleh akan melibatkan berbagai unsur
masyarakat yang mana masing-masing unsur itu saling terkait dan
sama-sama memegang peranan penting dalam kegiatan alek (helat)
tersebut. Adapun unsur-unsur yang dimaksud adalah yang berkaitan
dengan struktur solsial masyarakat nagari Kepala Hilalang.
Struktur sosial masyarakat masyarakat nagari Kepala
Hilalang meliputi seluruh anggota persukuan yang ada di nagari
Kepala Hilalang, para penghulu setiap suku-suku beserta panungkek,
labai dan urang tuo setiap suku yang ada dalam masyarakat. Di
samping sruktur sosial masyarakat tersebut yang tidak kalah
pentingnya adalah berhubungan dengan struktur organisasi Luambek
yaitu penghulu-penghulu suku, urang tuo Luambek, Kapalo Mudo,
82
dan Anak Mudo (Wawancara dengan Bakhtaruddin [48 tahun] pada
tanggal 25 April 2010 di nagari Kepala Hilalang).
Dalam Alek Nagari nagari Kepala Hilalang, seni pertunjukan
Luambek memegang peranan penting, sehingga kesenian ini selalu
digunakan oleh masyarakat untuk memeriahkan berbagai acara sosial
dan adat mereka. Di samping itu, Lazimnya sebuah Alek Nagari
dipertunjukkan juga berbagai macam tradisi seni pertunjukan rakyat
atau disebut permainan rakyaik (permainan rakyat) atau permainan
anak nagari yang terdiri dari seni pertunjukan indang, gandang
tambua, randai silek, pencak silat dan lain-lain. Namun, hal yang
penting di sini, ialah bahwa seni pertunjukan Luambek menempati
posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan seni tradisi lainnya
dalam sebuah nagari.
Aktivitas helat Alek Pauleh di atas biasanya dilaksanakan
selama tujuh hari tujuh malam. Sesuai dengan ketentuan adat
dan kesepakatan Niniak Mamak nagari daerah rantau Pariaman
khususnya di nagari Kepala Hilalang, hari pertama sampai hari
ketiga adalah hari yang dikhususkan untuk pertunjukan
Luambek. Selama tiga hari tersebut, tidak boleh satupun ada
bunyi-bunyian di sekitar arena pertunjukan atau arena helat,
misalnya tidak boleh menghidupkan pesawat televisi, atau
pertunjukan jenis hiburan lainnya, sebab masyarakat setempat
83
memandang acara atau upacara yang dimeriahkan dengan seni
pertunjukan Luambek adalah helat yang tinggi ritual adatnya.
Semua aturan yang terdapat dalam aktivitas pertunjukan
Luambek tersebut dijunjung tinggi dan dipatuhi oleh
masyarakat setempat. Akan tetapi setelah selesai acara
pertunjukan Luambek, barulah boleh ditampilkan berbagai jenis
hiburan lainnya. Dalam hal ini berarti bahwa di samping Alek
Nagari dimeriahkan dengan kesenian Luambek, juga
dimeriahkan oleh bermacam-macam jenis seni pertunjukan
rakyat dan hiburan lainnya, seperti randai silek dan silek,
baindang, basimarantang (teater tradisional randai),
basaluang, orgen tunggal dan sebagainya.
3) Peran Struktur Sosial Masyarakat Nagari dan Struktur Organisasi Luambek
Dalam kegiatan operasionalnya Luambek dikelola dengan
sistem pengurusan tradisional yang sudah terpola mengikuti acuan
yang bernuansa adat, karena kesenian Luambek adalah milik ninik-
mamak di nagari-nagari. Luambek adalah simbol adat dan nagari,
sekaligus kebanggaan masyarakat nagari mereka masing-masing.
Selagi adat di nagari tidak pupus, maka selama itu pula seni
pertunjukan Luambek akan terus hidup. Dengan demikian, segala
aktivitas yang berhubungan dengan Luambek selalu berkaitan
sengan struktur sosial masyarakat nagari dan pelaksanaannya
84
diatur oleh suatu organisasi Luambek pada setiap nagari yang telah
ditetapkan menurut adatnya.
Sehubungan dengan ini D. Dt. Lelo Panjang menjelaskan
bahwa secara tradisi pengelolaan kesenian Luambek di nagari
Kepala Hilalang pada prinsipnya melibatkan berbagai lapisan
sosial masyarakat nagari atau melibatkan struktur sosial
masyarakat dalam nagari. Struktur sosial masyarakat yang
dimaksud adalah 1) Struktur Sosial Masyarakat Nagari Kepala
Hilalang; 2) Struktur Organisasi Luambek (Wawancara dengan D.
Dt. Lelo Panjang [48 tahun] pada tanggal 28 April 2010 di nagari
Kepala Hilalang).
Berikut ini dapat dilihat peranan struktur sosial masyarakat
nagari Kepala Hilalang dan peranan struktur organisasi Luambek
dalam pembinaan dan pengelolaan seni pertunjukan Luambek di
nagari.
(a) Peran Struktur Sosial Masyarakat Nagari Kepala Hilalang
Struktur sosial masyarakat nagari Kepala Hilalang terdiri
dari suku-suku yang ada di nagari ini yaitu suku Jambak,
Tanjuang, Guci Koto dan Panyalai. Masing-masing suku ini
mempunyai Penghulu, Panungkek, Labai dan Urang Tuo.
Seluruh unsur-unsur dalam struktur sosial masyarakat itu
memegang peranan penting dalam mengatur kehidupan
masyarakat baik secara adat maupun yang berhubungan
85
dengan keagamaan dalam persukuannya masing-masing. Di
samping mengurus persukuannya ia juga ikut ambil bagian
dalam aktivitas kesenian Luambek. Para penghulu dari suku-
suku yang ada di nagari berstatus sebagai pemilik kesenian
Luambek. Dapat dijelaskan di sini bahwa Luambek adalah
milik nagari, maka niniak mamak yang dimaksud di sini adalah
seluruh niniak mamak atau penghulu setiap suku yang ada di
nagari Kepala Hilalang.
Dalam kegiatan helat nagari atau Alek Pauleh,
terbangun ikatan emosional dalam masyarakat, baik ditinjau
dari sistem sosial maupun dari sistem kekerabatan. Masyarakat
memiliki kesadaran yang tinggi untuk ikut berpartisipasi secara
moril dan materil dalam upacara Alek Pauleh, seperti
pengangkatan penghulu, muncak buru, kapalo mudo,
peresmian pasar, peresmian balai adat dan sejenisnya,
sehingga terbangun sistem sosial yang baik dalam masyarakat
tersebut. Sedangkan kesadaran suatu persukuan untuk
berpartisipasi secara moril maupun materil dalam upacara
pengangkatan penghulu persukuannya merupakan sistem
kekerabatan yang terbangun dalam persukuannya dan
kekerabatan akibat perkawinan.
86
NAGARI
SUKU SUKU SUKU SUKU SUKU
PENGHULU PENGHULU PENGHULU PENGHULU PENGHULU
PANUNGKEK PANUNGKEK PANUNGKEK PANUNGKEK PANUNGKEK
LABAI LABAI LABAI LABAI LABAI
URANG TUO URANG TUO URANG TUO URANG TUO URANG TUO
ALEK NAGARI UPACARA PENGNGKATAN PENGHULU UPACARA PENGANGKATAN MUNCAK BURU UPACARA ENGANGKATAN KAPALO MUDO PERTUNJUKAN PERESMIAN BALAI ADAT LUAMBEK
Gambar 3 Sruktur Sosial Masyarakat Nagari Kepala Hilalang
Nazir (Seorang Kapalo Mudo) menjelaskan bahwa dalam
pengelolaan Luambek sehari-hari, para Niniak Mamak atau
penghulu di samping bertugas membina dan mengatur anak
kemenakannya juga bertugas mengawasi, memberi petunjuk dan
arahan kepada Kapalo Mudo agar kesenian Luambek sebagai
87
kebanggaan nagari tetap eksis dan fungsional dalam masyarakat.
Dalam hal pembinaan, Niniak Mamak atau penghulu dibantu oleh
Panungkek dalam memberi bekal, petunjuk dan arahan pada
Kapalo Mudo beserta Anak Mudo terutama yang berkaitan dengan
norma-norma adat Minangkabau (Wawancara dengan Nazir
Kapalo Mudo [60 tahun] pada tanggal 28 April 2010 di nagari
Kepala Hilalang).
Dalam aktivitas pembinaan Luambek, Panungkek bertugas
sebagai pembantu Penghulu yang juga berperan dalam mendidik
mental dan spritual kelompok Luambek, karena setiap yang ingin
belajar Luambek harus terlebih dahulu memahami ajaran adat dan
ajaran agama Islam. Bahkan untuk membatasi masuknya pengaruh
asing, biasanya para penghulu mengrahkan anak kemenakannya
untuk mempelajari Luambek dimulai dari usia dini, karena dalam
belajar Luambek sekaligus juga diajarkan tentang adat dan ajaran
agama Islam (Wawancara dengan H.Jamaluddin Imam [70 tahun]
pada tanggal 16 April 2010 di nagari Kepala Hilalang).
Di samping itu yang tidak kalah pentingnya adalah bantuan
dan dukungan seluruh unsur masyarakat nagari serta Bundo
Kanduang sebagai ibu sejati yang bijaksana terutama dalam
mendidik generasi penerus dan mempunyai jiwa kepemimpinan.
Dalam aktivitas Luambek ia berperan mengatur dan menyiapkan
makanan untuk para undangan dan panitia alek (helat).
88
(b) Peran Struktur Organisasi Luambek
Berkesenian ada yang sifatnya ‘individual,’ misalnya teater
tutur Tupai Janjang di Palembayan, sastra tutur Sijobang di
Payakumbuah, rabab pasisia, rabab piaman, dan sebagainya. Selain
itu, terdapat kesenian yang sifatnya ‘kelompok’ dalam
membawakan materi seninya, seperti randai, saluang-dendang,
Luambek dan sebagainya.
Setiap kesenian yang penyajiannya bersifat kelompok,
mereka akan dinaungi sebuah organisasi kesenian sebagai hasil
kesepakatan bekerjasama untuk mencapai tujuan yang sama dalam
berkesenian. Oleh karena organisasi ini bergerak pada bidang seni
yang dipergelarkan atau dipertunjukan, maka sekarang lebih
populer disebut dengan ‘organisasi seni pertunjukan.’ Pengertian
organisasi seni pertunjukan adalah “organisasi tradisional maupun
modern yang berbentuk sanggar tari, teater, grup musik dan seni
suara, yang mempertunjukan hasil karya seninya secara komersial
maupun non komersial untuk suatu tontonan atau tujuan lain”
(Achsan, cs, 2003: 7).
Organisasi Luambek adalah semacam organisasi seni
pertunjukan dalam kelompok masyarakat yang terlibat langsung
dengan kesenian Luambek yang bertugas mengelola keberadaan
kesenian Luambek. Organisasi Luambek ini ditetapkan
berdasarkan hasil musyawarah para penghulu yang ada di nagari
89
setempat dan diserahkan kepada seorang ketua pemuda yang
disebut Kapalo Mudo untuk mengkoordinir organisasi Luambek
tersebut.
Organisasi seni pertunjukan tradisional sangat berhubungan
emosi dengan lingkungan sosial-budaya, ekologi, teknologi,
ekonomi, politik, sehingga organisasi seni tradisional itu
merupakan suatu bagian yang penting bagi masyarakat, karena
pertunjukan seni yang baik dari organisasi seni tersebut akan selalu
berulang dinikmati masyarakat pencintanya, dan otomatis
menumbuhkan kebanggaan bagi para pelakunya. Sehubungan
dengan itu, mekanik yang menggerakkan untuk berfungsinya
organisasi adalah dikandung oleh prinsip-prinsip manajemen
(manajemen kesenian).
Manajemen merupakan salah satu unsur penting yang
menunjang keberhasilan organisasi seni pertunjukan sehingga
pertunjukannya dapat tampil dengan baik, serta sehat dalam
pengelolaan organisasinya (Achsan, cs, 2003: v). Jadi ‘organisasi’
merupakan induk dari aktivitas manajemen, karena untuk
memajukan organisasilah diperlukannya sistim manajemen. Dalam
kaitan ini Manthou’ dalam tulisannya yang berjudul Manajemen
Tradisi dalam Seni Tradisional, menyatakan bahwa:
Manajemen pada seni tradisonal cenderung menerapkan manajemen tradisi. Sifat kebersamaan yang melatarbelakangi berdirinya serta berkembangnya seni tradisional, ditambah sumber daya anggota kelompok yang rata-rata terbatas, 90
mengakibatkan dominasi pimpinan dalam mengelola kelompoknya sangat besar. Dominasi di segala bidang inilah yang menentukan arah dan perkembangan perjalanan hidup kelompok seni tradisional. Apabila pimpinan mempunyai visi yang luas dan dedikasi yang tinggi terhadap kelompok, maka kelompok tersebut akan maju (1999: 1).
Dari uraian di atas, ada dua hal penting yang dapat ditarik
sebagai catatan; Pertama, bahwa kesenian Luambek di satu pihak
dapat dilihat sebagai tujuan utama, apabila ia diletakkan sebagai
subyek (matter) dalam upaya untuk mencapai sebuah sistem nilai
(kemuliaan manusia yang lebih tinggi). Kedua, sebagai medium
komunikasi masyarakat, di mana sebagai pelaku Luambek
(kesenian) berhubungan erat dengan masyarakat pendukung
maupun dalam seluruh inter-komunikasi masyarakat.
Dalam konteks kesenian Luambek, seorang Kapalo Mudo
menempati posisi sebagai koordinator kegiatan Luambek,
sedangkan organisasi Luambek dipimpin oleh ninik-mamak dalam
nagari, sekaligus manajer yang mengatur segala gerakan Luambek.
Walaupun organisasi kesenian Luambek di suatu nagari tidak
beroreantasi komersial (pasar), tetapi langgengnya kehidupan
Luambek di tengah masyarakat pendukungnya telah cukup
membuktikan bahwa ninik-mamak sebagai manajer Luambek telah
mengamalkan prinsip-prinsip manajemen yang dikemukakan
Stoner dan Sirait (1996:8), bahwa manajemen adalah proses
perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian
91
upaya anggota organisasi dan penggunaan semua sumber daya
organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan berbagai pendapat ahli di atas, dapat
disimpulkan bahwa manajemen adalah suatu proses kerjasama
antara dua orang atau lebih dalam suatu organisasi dengan
menggunakan atau memanfaatkan sumber daya pemikiran dan
sumber-sumber daya lainnya dalam rangka mencapai tujuan
tertentu secara efektif dan efisien.
Dalam kaitan ini, Abusani Syam menjelaskan bahwa
organisasi Luambek dipimpin oleh para penghulu-penghulu suku
yang ada dalam nagari. Dalam konteks kesenian Luambek para
penghulu-penghulu ini disebut Niniak Mamak yang befungsi
sebagai pemilik kesenian Luambek, sebagaimana yang telah
disebutkan bahwa“Luambek suntiang niniak mamak, pamenan
anak mudo”.
Dalam kaitan ini struktur organisasi Luambek itu terdiri dari
unsur-unsur; (a) niniak mamak sebagai pemilik dan pimpinan yang
memberi izin untuk pelaksanaan Luambek; (b) Urang Tuo sebagai
penasehat Kapalo Mudo; (c) Kapalo Mudo sebagai koordinator,
pengelola, pembina, pelatih kesenian Luambek; dan (d) Anak Mudo
sebagai pemain Luambek dan pembantu Kapalo Mudo (Wawancara
dengan Abusani Syam [70 tahun] pada tanggal 16 April 2010
nagari Kepala Hilalang)
92
NINIAK MAMAK (PENGHULU)
URANG TUO KAPALO MUDO
ANAK MUDO
Gambar 4 Struktur Organisasi Luambek
D. Dt. Lelo Panjang (48 tahun) menjelaskan bahwa Urang
Tuo adalah orang yang dipercayai oleh penghulu-penghulu dalam
nagari tanpa memperhitungkan sukunya. Dalam hal ini yang
dimaksud Urang Tuo di sini bukanlah orang yang tua umurnya
akan tetapi adalah seorang yang dituakan karena pengalamannya
baik yang berhubungan dengan adat, agama, seluk beluk
kehidupan masyarakat suatu nagari maupun di bidang Luambek.
Dalam konteks baLuambek, Urang Tuo adalah orang yang
bertugas sebagai penasehat Kapalo Mudo dan Anak Mudo. Urang
Tuo amat memahami seluk beluk aktivitas kesenian Luambek,
ibarat “kapai tampek batanyo, kapulang tampek babarito” (akan
pergi tempat bertanya, waktu pulang tempat membawa berita).
Artinya Urang Tuo adalah orang tempat bertanya dan melaporkan
93
masalah bagi Kapalo Mudo. Biasanya orang yang menjadi Urang
Tuo telah pernah sebelumnya sebagai Kapalo Mudo sebelumnya
(Wawancara dengan D. Dt Lelo Panjang [48 tahun] pada tanggal
23 April 2010 di nagari Kepala Hilalang).
A.R Dt. Bungsu menjelaskann bahwa jabatan Kapalo Mudo
yang ada di nagari Kepala Hilalang tugasnya hanya berhubungan
dengan Luambek saja, sehingga di nagari ini hanya dikenal Kapalo
Mudo Luambek. Jabatan Kapalo Mudo di nagari-nagari lainnya di
wilayah Rantau Pariaman, di samping bertugas mengelola
Luambek juga bertugas mengurus segala aktiviktas masyarakat
yang ada dalam nagari, terutama yang berhubungan dengan
upacara adat. Setiap nagari mempunyai dua jenis Kapalo Mudo
yaitu pertama Kapalo Mudo Gadang (Kapalo Mudo Nagari) dan
kedua Kapalo Mudo Ketek (Kapalo Mudo Kaum). Kapalo Mudo
Nagari adalah seorang yang diberi tanggung jawab secara adat oleh
Tungku Tigo Sajarangan atas suatu nagari untuk mengurus segala
aktivitas yang ada dalam nagari, baik yang berhubungan dengan
adat, kesenian, termasuk kegiatan kesenian Luambek.
Demikian pula dengan Kapalo Mudo Ketek (Kapalo Mudo
Kaum) yang juga diberi tanggung jawab secara adat oleh Niniak
Mamak kaumnya untuk mengurus kelompok suku atau kaumnya,
baik yang berhubungan dengan adat, kesenian, dan kesenian
Luambek. Di nagari Kepala Hilalang kedua jenis Kapalo Mudo
94
tersebut tidak ada ditemui, namun yang ada hanyalah Kapalo Mudo
Luambek. Kapalo Mudo Luambek adalah seorang yang diberi
tanggung jawab secara adat oleh Niniak Mamak atas suatu nagari
untuk mengurus segala aktivitas yang berhubungan dengan
kesenian Luambek saja (Wawancara dengan A.R. Dt. Bungsu [75
tahun] pada tanggal 28 April 2010 di nagari Kepala Hilalang).
Selanjutnya Maiyar St. Parmato menambahkan bahwa tugas
dan tanggung jawab Kapalo Mudo Luambek adalah: (a) membina
dan melatih Anak Mudo tentang keterampilan bermain Randai
Luambek dan Luambek; (b) meminta izin pada Niniak Mamak
ketika ingin mengadakan Alek Pauleh dan ketika akan
menampilkan Luambek, mengatur Anak Mudo ketika ingin pai
manapa (pergi memenuhi undangan nagari lain); (3) mengatur
Anak Mudo ketika akan mengadakan Alek Pauleh antara lain
menjalankan undangan ke nagari lain, mempersiapkan bangunan
laga-laga/pauleh tempat pertunjukan Luambek, mengatur Anak
Mudo ketika memasang pakaian laga-laga/pauleh, mengajak
masyarakat gotong royong membenahi membersihkan lingkungan
sekitar lokasi helat, menyongsong tamu ketika hari alek (helat),
mengantar tamu ke laga-laga/pauleh atau ke tempat duduk yang
telah diatur sesuai dengan adatnya (Wawancara dengan Maiyar
Sutan Parmato [60 tahun] pada tanggal 28 April 2010 di Tarok,
nagari Kepala Hilalang).
95
Sejalan dengan pendapat Manthou bahwa manajemen seni
tradisonal cenderung menerapkan manajemen tradisi dimana
dominasi pimpinan dalam mengelola kelompoknya sangat besar.
Dominasi di segala bidang inilah yang menentukan arah dan
perkembangan perjalanan hidup kelompok seni tradisional. Apabila
pimpinan mempunyai visi yang luas dan dedikasi yang tinggi
terhadap kelompok, maka kelompok tersebut akan maju.
Sehubungan dengan sistem pengelolaan Luambek yang
didominasi oleh Kapalo Mudo baik dalam aktivitas sehari-hari,
ketika helat yang di nagari sendiri maupun ketika memenuhi
undangan helat ke nagari lain Kapalo Mudo berperan penting
sebagai koordinator, pembina, pengelola, pelatih. Karena begitu
banyaknya tugas dan tanggung jawab Kapalo Mudo dalam
mengelola kesenian Luambek, maka orang yang dipilih atau diberi
mandat oleh penghulu nagari untuk menjadi Kapalo Mudo tidak
bisa sembarangan saja. Dalam hal ini ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi untuk menjadi Kapalo Mudo sebagaimana telah
ditetapkan sesuai dengan ketentuan adatnya sebagai berikut:
(1) Laki-laki dewasa yang beragama Islam;
(2) Mempunyai etika dan sopan santun yang baik dan pandai
bergaul dalam tatanan hidup bermasyarakat;
(3) Memilki pengetahuan dan pengalaman yang luas, sehingga
memahami seluk beluk adat Minangkabau;
96
(4) Mahir bermain Luambek dan memahami seluk beluknya;
(5) Pintar menyampaikan kata dan mahir berpidato adat
(pasambahan);
(6) Arif bijaksana dalam memimpin (berjiwa pemimpin;
(7) Menjadi panutan atau terpandang sebagai anggota masyarakat;
(8) Memilki landasan ekonmi yang cukup kuat uhntuk mendukung
tugasnya yang hanya berlandaskan sukarela;
(9) Mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap tugas dan tanggung
jawab (Wawancara dengan Maiyar Sutan Parmato [60 tahun]
pada tanggal 28 April 2010 di Tarok, nagari Kepala Hilalang).
Perlu ditambahkan di sini bahwa walaupun terdapat
perbedaan tugas Kapalo Mudo nagari lain dengan Kapalo Mudo
Luambek nagari Kapala Hilalang, namun dalam aktivitasnya tetap
dipanggil sebagai Kapalo Mudo, dan syarat-syarat yang menjadi
kriteria pemilihannya juga tidak ada perbedaannya.
Anak mudo adalah para pemain Luambek. Pada saat Alek
Luambek atau Alek Pauleh ia berperan sebagai pemain Randai
Luambek dan pemain Luambek serta bertanggung jawab terhadap
martabat nagari yang diwakilinya. Dalam rangka pengelolaan
kesenian Luambek, para Anak Mudo ini bertugas dan bertanggung
jawab membantu segala aktivitas Kapalo Mudo, baik dalam
konteks latihan, pai manapa (memenuhi undangan nagari lain),
97
maupun dalam konteks alek (helat) yang diadakan oleh nagari
sendiri.
Dapat dijelaskan di sini bahwa masing-masing unsur yang
terdapat dalam struktur tersebut di atas mempunyai tugas dan
tanggung jawab yang saling terkait satu sama lain. Apabila salah
satu dari unsur-unsur itu tidak menjalankan tugas dan tanggung
jawabnya atau tidak berfungsi, maka pengelolaan terhadap
kesenian Luambek tidak dapat berjalan dengan baik.
Apabila Niniak Mamak sebagai pemilik kesenian Luambek
tidak menjalankan tugasnya, atau Kapalo Mudo sebagai pengelola
tidak aktif membina/melatih para Anak Mudo, atau Anak Mudo
tidak mau berlatih, ataupun Urang Tuo tidak memberi nasehat
kepada Kapalo Mudo maupun Anak Mudo, maka sudah jelas
kesenian tersebut akan punah dan hilang begitu saja karena tidak
ada generasi penerusnya, sehingga kesenian Luambek tidak eksis
dalam kehidupan masyarakatnya.
98
NAGARI
SUKU SUKU SUKU SUKU SUKU
PENGHULU PENGHULU PENGHULU PENGHULU PENGHULU U
URANG TUO KAPALO MUDO LUAMBEK ANAKUDO
Gambar 5 Skema: Struktur Organisasi Luambek dalam Struktur Sosial Nagari
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa eksistensi
pertunjukaan Luambek dalam kehidupan sosial masyarakat nagari
Kepala Hilalang dapat dilihat dari aspek struktur sosial masyarakat
nagari dan struktur organisasi Luambek. Struktur ini masih eksis dan
menjalankan tugas serta tanggung jawabnya masing-masing yaitu,
Niniak mamak sebagai pemilik kesenian Luambek, Kapalo Mudo
sebagai pembina dan pengelola kesenian Luambek, Urang Tuo sebagai
penasehat Kapalo Mudo dan Anak Mudo sebagai pemain Luambek;
aspek tempat yang disebut laga-laga atau pauleh, masih digunakan
sebagai tempat latihan dan tempat pertunjukan Luambek; aspek
pertunjukan, kesenian Luambek masih eksis dalam upacara helat
99
nagari, seperti upacara pengangkatan penghulu, pengangkatan Kapalo
Mudo, pengangkatan muncak buru, peresmian Balai Adat, peresmian
pasar, peresmian kantor pemerintahan, peresmian laga-laga, dan juga
masih giat memenuhi undangan nagari lain yang lazim disebut dengan
‘manapa’ yaitu membawa rombongan Luambek untuk memainkan
Luambek ke nagari yang mengundang.
b. Faktor Eksternal
Terdapat tiga faktor eksternal yang cukup penting mengiringi
faktor internal, yaitu membangun prestise individu dan prestise nagari,
mengakrabkan rasa pesahabatan, dan membina rasa persatuan.
1) Membangun Prestise (Kebanggaan) Individu dan
Nagari
Masyarakat Pariaman terkenal memiliki sifat ‘padunia’
yang berlebihan, terutama bagi laki-laki. Seorang laki-laki di
daerah Pariaman akan berlomba-lomba untuk menunjukkan
eksistensi diri demi meraih kebanggaan, baik dalam porsi sebagai
individual, maupun dalam tataran kelompok. Malahan ada pameo
daerah setempat berbunyi “bialah bacarai jo bini daripado
dilarang manonton Luambek atau Indang” (biarlah bercerai dengan
isteri daripada dilarang pergi menonton Luambek, atau Indang).
Dengan demikian, apabila helat Luambek atau Indang, maka akan
100
tumpah-ruah penonton menyaksikannya, semenjak dari anak-anak,
remaja hingga orang tua.
Berdasarkan wawancara tanggal 11 Januari 2011 dengan
Dt.Bungsu (75 th), seorang pemuka adat di nagari Kepala Hilalang,
mengatakan bahwa “demi memperoleh kebanggaan itu, masyarakat
Pariaman rela mengorbankan waktu dan harta mereka, karena
seseorang atau suatu kelompok masyarakat yang tidak melibatkan
diri ke dalam suatu helat (helat keluarga atau helat nagari), maka
mereka akan dipergunjingkan oleh masyarakat kampung sehingga
mendapat malu dalam kehidupan sosial di nagari.
Kemudian, masalah kebanggaan nagari berhubungan
dengan konteks Alek Luambek yang diadakan oleh suatu nagari.
Rasa persatuan ini telah mulai muncul pada saat melakukan
musyawarah tentang tata cara pelaksanaan helat Luambek yang
undungannya tersebar ke nagari-nagari tetangga. Dengan
demikian, demi suksesnya pelaksanaan helat Luambek, maka
semua pihak yang terlibat bekerja bahu-membahu dalam suatu
persatuan.
2) Mengakrabkan Rasa Persahabatan
Masalah persahabatan cukup penting dalam kehidupan
sosial masyarakat Pariaman (khususnya laki-laki). Suasana dalam
arena pertunjukan Luambek sangat memungkinkan sangat
memungkinkan untuk menjalin rasa persahabatan, karena para
101
penonton akan duduk di warung-warung pada selang-selang waktu
sebelum pertunjukan Luambek.
Pada warung kopi ini, mereka akan mengobrol bermacam
tema yang berhubungan dengan Luambek, maupun tema tentang
masalah adat Minangkabau, bahkan tema yang aktual tentang
perkembangan politik bangsa. Namun, hal yang lebih penting di
sini ialah terbangunnya rasa keakraban antar sesama karena
masing-masing menyampaikan fikiran-fikirannya atau pun
tanggapan-tanggapan terhadap sesuatu masalah dengan cara
humor, berkelakar, bahkan dengan retorika tertentu yang selalu
mengundang gelak-tawa. Suasana yang penuh canda inilah yang
selalu dirindukan oleh para pecandu (penonton fanatik) Luambek,
sehingga dimana saja ada helat Luambek akan selalu dihadirinya.
3) Membina Rasa Persatuan
Selain hal di atas yang tidak kalah pentingnya sebagai
faktor eksternal dalam suatu helat Luambek adalah terbinanya rasa
persatuan masyarakat nagari atas semua lapisan, baik antara
sesama pemuka adat, antar generasi muda, ninik-mamak dengan
generasi muda.
2. Makna Pertunjukan Luambek
Makna yang terkandung dalam pertunjukan Luambek, dapat
ditinjau dari dua sudut pandang, yaitu makna denotatif dan makna
102
konotatif. Sehubungan dengan ini, dalam sebuah artikel yang berjudul
“Makna Denotatif dan Konotatif” menjelaskan bahwa:
Makna denotatif dan konotatif berkaitan dengan makna kata dan pemakaiannya dalam kehidupan berbahasa, baik lisan maupun tulisan. … Denotatif adalah makna kata sebenarnya, makna secara wajar, secara apa adanya atau disebut juga makna leksikal. … Konotatif adalah makna asosiasi yaitu makna yang timbul sebagai akibat dari sikap sosial, sikap pribadi, serta kriteria tambahan yang diberikan pada sebuah makna leksikal. … Jadi makna konotatif adalah makna tambahan, yaitu makna di luar makna sebenarnya atau makna kiasan. Dengan kata lain makna konotasi adalah makna kata yang bertautan dengan nilai rasa (Purwiati, 1995: 10).
Dengan demikian denotatif dimengerti sebagai makna harfiah yang
“sesungguhnya,” sementara itu konotasi mengacu pada makna yang
menempel pada makna leksikal tersebut. Atau bisa juga dianalogikan
bahwa makna yang sesungguhnya itu berada di dalam lapis denotasi, dan
makna yang mendalam terletak di dalam lapis konotasi.
Luambek sebagai seni pertunjukan tradisi menjadi bagian yang
integral dari kehidupan sosio-kultural masyarakat nagari Kepala Hilalang.
Dalam hal ini, helat nagari yang dimeriahkan dengen seni pertunjukan
Luambek atau yang disebut Alek Pauleh berfungsi sebagai wahana atau
wadah untuk msenciptakan kekuatan sosial masyarakat di nagari, sehingga
kesenian ini menjadi bahagian kehidupan berbudaya yang memiliki
keterkaitan langsung dengan struktur sosial masyarakat nagari.
Dalam Alek Pauleh terkandung nilai-nilai kemasyarakatan yang
memberi makna sosial, antara lain menambah semaraknya suatu
pelaksanaan upacara adat, meningkatkan hubungan silaturahmi antar
masyarakat dalam satu nagari, meningkatkan hubungan silaturahmi 103
pemuka adat dan masyarakat yang bertetangga, meningkatkan hubungan
silaturahmi antara mamak dengan kemenakan, memupuk rasa kebanggaan
bagi masyarakat nagari yang melaksanakan alek pauleh.
Berdasarkan uraian di atas, makna yang terkandung dalam tradisi
seni pertunjukan Luambek ditinjau dari dua sudut pandang “makna
denotatif dan makna konotatif.” Berikut ini, untuk dapat melihat makna
yang terkandung dalam seni pertunjukan Luambek menurut kedua sudut
pandang makna tersebut dapat dilihat dari dua aspek utama, yaitu syarat-
syarat pelaksanaan Alek Pauleh, dan prosedur pelaksanaan Alek Pauleh
yang harus dipenuhi untuk dapat melaksanakan Alek Pauleh, sebagai
berikut:
a. Makna Denotatif dan Konotatif Syarat-syarat Pelaksanaan Alek
Pauleh
Proses Alek Pauleh memiliki konsep spesifik yang lebih rumit
bila dibandingkan dengan resepsi upacara yang dimeriahkan dengan
genre kesenian tradisi lainnya. Melaksanakan Alek Pauleh diharuskan
untuk memenuhi syarat-syarat yang sudah ditetapkan oleh penghulu-
penghulu nagari. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk
pelaksanaan Alek Pauleh tdrsebut adalah 1) manggatok pinang, 2)
managakkan pauleh, 3) mamasang pakaian laga-laga/pauleh
(Wawancara dengan Nazaruddin Majolelo [57 tahun] pada tanggal 28
April 2010 di nagari Kepala Hilalang).
104
1) Manggatok Pinang
Manggatok pinang yaitu semacam musyawarah yang
melibatkan lembaga adat meliputi para Penghulu nagari beserta
Panungkek, Urang Tuo, Kapalo Mudo, termasuk Kerapatan Adat
Nagari dan Wali Nagari. Musyawarah ini pertama-tama
disampaikan oleh Kapalo Mudo kepada niniak mamak atau
Penghulu tentang latar-belakang proses munculnya gagasan untuk
mengadakan alek (helat) nagari.
Dalam kaitan ini, ada dua bentuk gagasan yang
melatarbelakangi dikabulkannya pertunjukan Luambek oleh ninik-
mamak yaitu: (1) gagasan yang bermula dari pembicaraan
masyarakat di warung-warung kopi yang berkeinginan untuk
mengadakan alek nagari (alek pauleh); (2) gagasan dari para
niniak mamak untuk mengadakan alek nagari (alek pauleh).
Biasanya rencana ini disampaikan oleh penggagas di atas
kepada Kapalo Mudo, dan Kapalo Mudo memusyawarahkan
kepada Penghulu, Panungkek dan Urang Tuo dalam suatu
musyawarah yang disebut ‘mamakan bungo pinang’. Musyawarah
ini dimulai oleh Kapalo Mudo memohon izin pada ninik-mamak
atau penghulu untuk mengadakan alek nagari (alek pauleh).
Setelah mendapat izin dari Niniak Mamak, musyawarah
dilanjutkan pada tingkat nagari yang melibatkan seluruh unsur
105
Kerapatan Adat Nagari, Wali nagari, pemuka masyarakat, Kapalo
Mudo, Urang Tuo, Anak Mudo, Bundo Kanduang, dan masyarakat
banyak. Musyawarah ini bertujuan untuk menentukan jadwal
pelaksanaan alek, bagaimana bentuk alek, kapan gotong royong
pembenahan laga-laga, kapan menjalankan undangan, kelompok-
kelompok Luambek nagari mana yang akan diundang, siapa yang
akan menjalankan undangan dan dengan berpakain apa, siapa yang
akan menyediakan makanan waktu alek, dan sebagainya. Di sini
jelas bahwa nilai musyawarah dan mufakat sangat dominan sebagai
simbol sosio-budaya.
Makna denotatif atau makna leksikal dari kata ‘manggatok
pinang’ atau disebut juga ‘mamakan bungo pinang’ adalah
memakan atau mengunyah-gunyah sejenis bahan makanan khusus
yang terdiri dari buah pinang muda, daun sirih, sadah dan gambir.
Semua bahan ini diramu menjadi satu dengan porsi ukuran
secukupnya dalam bungkusan daun sirih, lalu dimakan atau
dikunyah-kunyah sampai berupa serat sehingga menghasil air
merah.
Air itu ditelan yang memberikan dampak terhadap
kesehatan gigi dan penetralisir gula darah. Kegiatan seperti inilah
yang disebut dengan manggatok pinang yang selalu terjadi pada
setiap melaksanakan panggilan (mengundang secara adat) untuk
berbagai ragam upacara adat dalam kehidupan masyarakat nagari.
106
Makna konotatif dari peristiwa manggatok pinang atau
mamakan bungo pinang dalam konteks Luambek adalah suatu jenis
musyawarah yang dilakukan oleh para pemuka adat di nagari
Kelapa Hilalang dengan topik pembahasan tentang masalah usulan
atau permohonan masyarakat untuk mengadakan Alek Nagari yang
menampilkan kesenian Luambek yang dibawa Kapalo Mudo
kepada ninik-mamak.
2) Managakkan Laga-laga atau Pauleh
Sesuai dengan ketentuan adat, Luambek tidak boleh
ditampilkan di sembarang tempat, akan tetapi harus ditampilkan di
tempat khusus yang disebut laga-laga atau pauleh. Bujang (75
tahun) menjelaskan bahwa laga-laga atau pauleh dapat diartikan
sama, karena peuleh itu sesungguhnya adalah laga-laga. Namun
apabila dipahami secara konseptual, pauleh mengandung dua
pengertian yaitu secara harfiah dan secara makna. Secara harfiah
kata pauleh berasal dari kata ulas atau sambungan, dan dalam
konteks makna, bangunan pauleh adalah sambungan dari bangunan
laga-laga.
Dengan demikian, Laga-laga/pauleh adalah sebuah
bangunan berupa pondok yang mirip seperti pandopo tanpa
dinding, mempunyai tonggak 8 buah, berukuran sekitar 9 m x 8 m.
Lantainya terbuat dari anyaman bambu yang pemasangannya
107
ditinggikan lebih kurang 40 cm dari tanah, sedangkan atapnya
terbuat daun rumbia atau seng.
Lantai laga-laga/pauleh yang terbuat dari bambu anyaman
seperti krai rotan dan dijalin dengan tali nilon yang sengaja dibuat
tujuh baris jalinan yang disebut ‘balek’. Dalam permainan
Luambek, baris jalinan bagian tengah merupakan garis batas antara
pemain yang lalu (menyerang) dengan pemain yang maambek
(menangkis).
Makna denotatif dari managakkan laga-laga atau pauleh
adalah suatu kegiatan masyarakat nagari dalam mendirikan pentas
khusus untuk penampilan kesenian tradisional Luambek yang
termasuk bagian dari struktur pelaksanaan alek nagari atau alek
pauleh. Kegiatan mendirikan laga-laga/pauleh ini melibatkan
seluruh unsur masyarakat dalam kegiatan gotong royong yang
dikoordinir oleh Kapalo Mudo.
Kegiatan managakkan laga-laga/pauleh tidak saja
membuat bangunan laga-laga baru, adakalanya membenahi
bangunan laga-laga/pauleh yang sudah ada. Bangunan laga-
laga/pauleh baru adalah bangunan laga-laga/pauleh yang dibuat
khusus untuk alek nagari dan dibongkar kembali setelah helat
selesai. Sedangkan membenahi bangunan laga-laga/pauleh yang
sudah ada adalah memperbaiki atau mengganti bagian-bagian
bangunan yang rusak dan tetap berdiri setelah helat selesai.
108
Sesuai dengan tradisinya, setiap masyarakat nagari Kepala
Hilalang akan mengadakan helat nagari atau disebut juga Alek
Pauleh, selalu membuat sambungan di sekeliling bangunan laga-
laga dengan ukuran lebih kurang 2 meter. Pauleh ini sengaja
dibuat untuk tempat duduk Anak Mudo baik untuk Anak Mudo
Pangka (anak mudo yang mengadakan helat) maupun untuk tempat
duduk Anak Mudo Alek yang datang dari berbagai nagari yang
diundang.
Pemahaman dari sudut makna konotatif, bahwa pauleh
bermakna mengulas atau menyambungkan silaturrahmi antara
Niniak Mamak dengan anak kemenakannya, dengan sesama
penghulu, dan seluruh masyarakat nagari-nagari yang terlibat
dalam kegiatan Alek Pauleh tersebut. Laga-laga secara harafiah
berarti berlaga atau adu keterampilan atau adu kekuatan, dan secara
fisik laga-laga berarti bangunan tempat berlaga.
3) Memasang Pakaian Laga-laga/ Pauleh
Menurut ketentuan adat, setiap bangunan Laga-laga/Pauleh
yang telah selesai harus dilengkapi pula dengan pakaian laga-laga
(perlengkapan-perlengkapan dan perhiasan/pernak pernik). Adapun
perlengkapan-perlengkapan yang harus ada di laga-laga adalah
berupa kasur, tikar, lapiak balambak, carano, camin (kaca).
Selain itu, pakaian laga-laga yang harus dipasang ialah
berupa perhiasan-perhiasan dan pernak-pernik, seperti tabia, tirai
109
cancang, tirai kolam, marawa. Di halaman bangunan laga-
laga/pauleh juga diberi hiasan sesuai ketentuannya, seperti tabuah
larangan, payuang panji (di dalam terdapat keris, jangguik janggi,
tapuang pua, perisai). Semua perlengkapan dan pakaian laga-
laga/pauleh ini ditetapkan oleh niniak mamak yang telah diwarisi
secara turun temurun.
Di samping aturan tentang perlengkapan dan pakaian
tersebut di atas, juga ada atruran atau ketentuan yang berkaitan
dengan tempat duduk di laga-laga/pauleh yaitu:
a) Pada bagian depan tempat duduk Niniak Mamak Pangka
(NMP)
b) Pada bagian belakang tempat duduk Niniak Mamak Alek
(NMA)
c) Pada bagian tengah kiri dan kanan tempat duduk Janang (JN)
d) Pada bagian depan, kiri dan kanan sambungan laga-
laga/pauleh tempat duduk Anak Mudo Alek (AMA)
e) Pada bagian belakang sambungan laga-laga/pauleh tempat
duduk Anak MudoPangka.
(Wawancara dengan Nazaruddin Majolelo [57 tahun] pada tanggal
28 April 2010 di nagari Kepala Hilalang).
110
AMA
NMA
*******************************************
******************************************** AMA: VII KOTO‐NAN SABARIH
JN******************* ********************JN* AMA:
AMA: ********************************************
********************************************
NMP
AMP
Gambar 6 Tempat Duduk Di Pauleh/Laga-laga Keterangan: NMP : Niniak Mamak Pangka NMA : Niniak Mamak Alek AMP : Anak Mudo Pangka AMA : Anak Mudo Alek JN : Janang : CARANO
Sehubungan hal di atas, bahwa makna denotatif dari ‘mamasang
pakaian laga-laga/pauleh’ ialah suatu kegiatan untuk memberi dekorasi
laga-laga/pauleh dengan aneka perlengkapan dan perhiasan, serta pernak-
111
penik yang berbagai bentuk sehingga menambah indahnya bangunan pisik
laga-laga/pauleh tersebut.
Pada sisi lain, makna konotatif dari ‘mamasang pakaian laga-
laga/pauleh’, yaitu suatu kegiatan untuk menunjukkan rasa suka-cita
masyarakat nagari dalam melaksanakan helat nagari, sekaligus
menghormati para ninik-mamak dan pemain Luambek/Dampeang
Luambek dengan perlengkapan, perhiasan dan pernak-pernik yang
memiliki nilai secara adat.
b. Makna Denotatif dan Konotatif Prosedur Pelaksanaan Alek Pauleh
Selanjutnya dalam pelaksanaan Alek Pauleh, ditemui aturan
tentang urutan kegiatan dalam pelaksanaan Alek Pauleh yang dapat dilihat
dari urutan berikut ini.
1) Menyongsong Tamu
Secara denotatif bahwa ‘menyongsong tamu’ adalah suatu tata
cara menerima tamu dalam konteks helat nagari yang menampilkan
tradisi seni pertunjukan Luambek. Etika atau aturan menyongsong tamu
dalam aktivitas Alek Luambek atau Alek Pauleh harus sesuai dengan
ketentuan adat. Tamu yang datang biasanya dalam bentuk rombongan
kelompok nagarinya masing-masing yang terdiri dari Niniak Mamak,
Urang Tuo, dan Anak Mudo.
Rombongan tersebut memberi tahu kedatangannya dengan suatu
tanda yang disebut ‘sorak dampeang ayo-u’, dan dibalas oleh pihak
112
pelaksana helat juga dengan sorak dampeang ayo-u, selanjutnya Kapalo
Mudo Pangka atau pihak pelaksana helat, langung datang
menyongsong tamu dengan menyuguhkan ‘siriah paga’ atau sirih
selengkapnya dalan carano dengan cara ‘pasambahan’ (Pidato adat)
antara Kapalo Mudo Pangka dengan Kapalo Mudo Alek. Setiap
rombongan tamu (alek yang datang) selalu dinanti dengan cara yang
sama (Bakhtaruddin menyongsong tamu ketika Pengangkatan Penghulu
Dt. Rky. Mulie tanggal 30 September 2010).
Selanjutnya Kapalo Mudo Pangka membawa rombongan tamu
yang datang ke laga-laga/pauleh ke tempat duduk yang telah
ditentukan sesuai dengan strata masing-masing tamu tersebut.
Dari tatacara penyambutan tamu sebagaimana telah dikemukakan
di atas, terkandung makna konotatif yang secara simbolis
menggambarkan sikap dan tingkah laku suatu masyarakat dalam
menghargai dan memuliakan tamunya.
2) Minta Izin Memainkan Randai Luambek
Permohonan izin untuk memainkan Randai Luambek
disampaikan dalam bentuk pasambahan (pidato adat) oleh seorang
Kapalo Mudo si pangka (pihak pelaksana helat nagari). Unsur yang
terlibat dalam kegiatan ini adalah Kapalo Mudo Pangka, Nimiak
Mamak Pangka, dan Niniak Mamak Alek yang datang memenuhi
panggilan helat nagari tersebut.
113
Proses minta izin memainkan Randai Luambek dimulai oleh
Kapalo Mudo Pangka menyampaikan keinginan segala anak muda
untuk memainkan Randai Luambek, karena ini mohon izin dari Niniak
Mamak. Berikut ini dapat dilihat struktur pasambahan minta izin
memainkan Randai Luambek:
a) Kapalo Mudo Pangka mendatangkan sambah kepada Niniak
Mamak Pangka memohon izin agar diperbolehkan memainkan
Randai Luambek.
b) Niniak Mamak Pangka menyampaikan rundingan atau keinginan
Kapalo Mudo Pangka kepada Niniak Mamak Alek.
c) Niniak Mamak Alek menyampaikan rundingan tersebut kepada
sesama Niniak Mamak Alek yang datang dari berbagai nagari.
Niniak Mamak Alek minta minta kepada Niniak Mamak Pangka
untuk memusyawarahkan rundingan tersebut pada semua niniak
mamak yang hadir melalui ungkapan kata-kata pasambahan.
Setelah bermusyawarah, niniak mamak yang hadir
memperoleh kesepakatan untuk memberi izin kepada Anak Mudo
untuk memainkan Randai Luambek dan yang akan menyampaikan
kesepakatan itu diserahkan kepada niniak mamak pangka kepada
Kapalo Mudo Pangka.
Niniak mamak pangka menyampaikan bahwa seluruh
Niniak Mamak yang hadir telah sepakat memberi izin untuk
memainkan randai Luambek. Dengan demikian barulah dapat
114
dimulai pertunjukan Randai Luambek secara bergiliran sesuai
dengan urutan kedatangan kelompok Randai nagari yang
bersangkutan.
Pada kesempatan ini Kapalo Mudo Pangka juga meminta
kerelaan kepada seluruh Alek yang datang melalui Niniak Mamak
Alek (niniak mamak yang datang dari nagari-nagari yang
diundang), kalau sekiranya kelompok randai nagari-nagari yang
datang cukup banyak pada malam itu sehingga tidak sempat tampil
memainkan Randai Luambek karena keterbatasan waktu, maka
pihak sipangka minta kerelaan dan maaf kepada seluruh Alek yang
datang.
Perutnjukan Randai Luambek berlangsung sekitar pukul 10
malam sampai menjelang subuh. Proses pasambahan ini dapat
dilihat dari skema berikut:
KMP NMP NMA
NMA I NMA II NMA III
Gambar 7
Proses Pasambahan Minta Izin Memainkan Randai Luambek
115
Dilihat dari sudut makna denotatif bahwa ‘permohonan izin
untuk memainkan Randai Luambek’ merupakan sebuah etika seorang
pemuda yang diberi legalitas sebagai pemain Luambek yang
kepemilikan kesenian ini dipegang oleh ninik-mamak, karena kesenian
Luambek tidak bisa ditampilkan sebelum mendapat izin dari si pemilik
kesenian.
Kemudian, bila dipandang dari sudut makna konotatifnya, bahwa
aktivitas ‘permohonan izin untuk memainkan Randai Luambek’ yang
disampaikan oleh Kapalo Mudo kepada ninik-mamak merupakan
sebuah simbol ketinggian nilai sosial yang dikandung oleh seni
pertunjukan Randai Luambek yang penampilan diproses melalui tata
cara yang santun pula.
3) Penyajian Randai Luambek
Sesuai dengan ketentuannya, penyajian Randai Luambek
dilakukan pada malam hari. Randai Luambek terbangun dari gerak
pencak silat yang dimainkan oleh 7 sampai 11 orang pemain laki-laki
dengan pola lantai melingkar, dan satu orang di antaranya bertugas
sebagai ‘tukang aliah’. Dia sekaligus bertindak memberi aba-aba
untuk menukar pola gerak yang telah dimainkan sebelumnya dengan
pola gerak berikutnya, kemudian diikuti oleh semua pemain randai.
Gerak-gerak Randai Luambek tersebut diiringi oleh musik vokal
dampeang.
116
Konsep pola lantai melingkar dalam pertunjukan Randai
Luambek melambangkan rangkaian persatuan, dan tukang aliah
melambangkan seorang imam yang diikuti oleh makmumnya. Kedua
perlambang ini menunjukkan makna denotatif yang dikandung oleh
Randai Luambek tersebut. Sedangkan dari sisi maknanya yang lebih
dalam (makna konotatif), bahwa pertunjukan Randai Luambek
merupakan simbolis dari sikap dan tingkah laku masyarakat dalam
kehidupan bermasyarakat yang mengutamakan rasa persatuan dan
kesatuan dan mematuhi aturan-paturan dari pemimpinnya.
4) Minta Izin Memainkan Luambek
Permohonan izin untuk memainkan Luambek dilaksanakan
sekitar pukul 10 pagi bertempat di Laga-laga/Pauleh. Permohonan izin
untuk memainkan Luambek juga disampaikan dalam bentuk pidato
adat Pasambahan yang dimulai oleh Kapalo Mudo Pangka. Unsur
yang terlibat dalam kegiatan ini adalah Kapalo Mudo Pangka, Nimiak
Mamak Pangka, dan Niniak Mamak Alek yang tadang.
Kapalo Mudo Pangka mendatangkan sambah kepada Niniak
Mamak Pangka tentang ‘ randai nan bajalan malam sudah selasai,
dan karena hari sudah siang, maka ia ingin meminjam suntiang niniak
mamak atau memainkan Luambek. Selanjutnya Niniak Mamak Pangka
menyampaikan dan memusyawarahkan permohonan tersebut kepada
Niniak Mamak Alek yang hadir. Karena Niniak Mamak Alek yang hadir
cukup banyak, maka Niniak Mamak Alek sesama Niniak Mamak Alek 117
melakukan musyawarah mencarai kata sepakat untuk menjawab
permohonan Kapalo Mudo Pangka, kegiatan ini disampaikan melalui
ungkapan tradisi dengan kata-kata ‘pasambahan’.
Setelah diperoleh kesepakatan oleh seluruh Niniak Mamak Alek
yang hadir, maka salah seorang dari Niniak Mamak Alek
menyampaikan kesepakatan tersebut kepada Niniak Mamak Pangka
dan menyerahkan untuk menyampaikan kesepakatan tersebut kepada
Niniak Mamak Pangka.
Selanjutnya Niniak Mamak Pangka menyampaikan kesepakatan
bahwa Niniak Mamak yang hadir telah sepakat meminjamkan ‘suntiang
niniak mamak’ kepada Kapalo Mudo Pangka. Seluruh Niniak Mamak yang
hadir sepakat untuk dapat meminjamkan suntiang niniak mamak dengan
syarat; ‘manyalang mangumbalikan, manjapuik maantakan’. Kapalo Mudo
Pangka menjawab “dengan insya allah kami kumbalikan” (Wawancara
dengan A.R. Dt. Bungsu [75 tahun] pada tanggal 28 April 2010 di nagari
Kepala Hilalang).
Suatu kesepakatan untuk menampilkan Luambek dalam helat
nagari tidak bisa disimpulkan secara gampang tanpa melalui
musyawarah kepada semua pimpinan adat yang hadir dalam
pelaksanaan acara tersebut. Artinya makna denotatif yang penting
dalam konteks permohonan izin untuk menampilkan kesenian
Luambek ini adalah pelaksanaan penampilan Luambek dalam helat
nagari selalu menjunjung tinggi azas musyawarah sehingga legalitas
118
pemuda sebagai pemain Luambek telah mendapat dukungan penuh dari
segala pihak.
Bagitu juga bila dipandang dari sudut makna konotatifnya,
bahwa aktivitas ‘permohonan izin untuk memainkan Luambek’ yang
disampaikan oleh Kapalo Mudo kepada ninik-mamak merupakan
sebuah simbol ketinggian nilai sosial yang dikandung oleh seni
pertunjukan Luambek yang penampilannya diproses melalui tata cara
yang santun dan beretika tinggi.
5) Memilih Janang
Sebelum penyajian Luambek dimulai, terlebih dahulu Niniak
Mamak Pangka musyawarah kecil dengan Niniak Mamak Alek untuk
mencari kesepakatan menunjuk Janang (wasit) untuk mengawasi
jalannya penyajian Luambek. Janang adalah orang yang bertugas
sebagai juri atau hakim permainan dan memilik hak untuk menegur
pemain Luambek yang melakukan kecurangan dalam bermain.
Janang terdiri dari dua orang pria yang telah memenuhi syarat-
syarat sesuai dengan ketentuan adat helat nagari dengan Luambek. Satu
orang dipilih dari kelompok penyelenggara helat dan satu orang lagi
dari kelompok peserta yang diundang.
Dalam konteks pertunjukan Luambek, orang yang dipilih menjadi
janang tidak bisa sembarangan, harus memiliki syarat berupa sifat-sifat
yang dalam ungkapan tradisional Minangkabau sebagai berikut:
119
a) tahu ereang jo garendeang, artinya mempunyai firasat yangn tajam terhadap gerak-gerik yang salah, dan tajam perasaan dalam memperhatikan sikap dan gtidak tanduk orangm lain; b) tahu jo salah dengan siliah, artinya mengetahui kesalahan yang sengaja dan yang tidak sengaja; c) tahu jo hino dengan mulie, artinya dapat membedakan sesuatu yang memberi malu dan yang memberi kemuliaan, atau tahu mengenai apa yang dapat merendahkan atau meninggikan kampung dan nagari; d) tahu jom ombak nan kabasabuang, artinya arif menilai sesuatu kejadian yang membahayakan dalam pertunjukan mLuambek; e) tahu jo karam nan kamanonggok, artinya arif dalam mengetahui sesuatu yang dapat mencelakakan diri, kampung atau nagari; f) bamato tajam, batalingo nyariang, artinya mempunyai penglihatan dan pendengaran yang tajam dan waspada; g) kok manyapo urang indak buliah barek sabalah, artinya bersifat adil dan tenggang rasa serta berani menegakkan keadilan dan kebenaran; h) kok tajadi silang jo salisiah, manitiak dari langik mambusek dari bumi, malang indak dapek ditulak mujue indak dapek diraiah, kok tasuo jo nan malang dilarai jo deta sarato siriah paga di tangahnyo, artinya bila terjadi pertengkaran atau silang sengketa dalam pertunjukan Luambek baik berupa protes dari penontgon atau dari pihak panitia dan pemain Luambek, maka janang harus sanggup bertindak sebagai hakim untuk mengatasi agar perdamaian dapat tercapai (Wawancara dengan D. Dt. Lelo Panjang [48 tahun] pada tanggal 25 April 2010 di nagari Kepala Hilalang).
Selanjutnya perlu dipahami bahwa apabila terjadi perselisihan
dalam pertunjukan Luambek, penonton tidak boleh menginjak lantai
laga-laga/pauleh, karena hanya janang dan Niniak Mamak silang nan
bapangka yang mutlak berhak untuk menyelesaikan perselisihan yang
terjadi. Bagi siapa saja yang melanggar peraturan yang berlaku dalam
kesenian Luambek dikenakan denda sebesar seratus liter beras dan satu
ekor kerbau.
Setelah janang yang dipilih memenuhi semua persyaratan yang
berlaku, maka barulah boleh ditampilkan Luambek yang rentangan 120
waktunya dimulai sekitar pukul 11.00 wib pagi sampai sore menjelang
magrib.
Segala bentuk etika dan aturan-aturan sebagaimana telah
dikemukakan di atas, merupakan gambaran tingkah laku masyarakat
pemilik kesenian Luambek. Etika yang berkaitan dengan urutan
pembicaraan dalam proses minta izin, terkandung makna simbolis
yang menunjukkan bahwa masyarakat menjunjung tinggi nilai-nilai
musyawarah, dan menghargai status seseorang dalam masyarakat.
Dalam hal ini, maksud kehadiran Janang dari sudut pandang
makna denotatif adalah suatu peristiwa penampilan Luambek sebagai
jenis kesenian adat yang dimiliki ninik-mamak seyogianya diwasiti
atau diserahkan memimpinnya kepada pakar Luambek itu sendiri
(janang), agar kehormatan seorang pemain dan nagarinya terhindar
dari malu. Sedangkan dari sudut makna konotatifnya, bahwa
penampilan Luambek terbangun dari suatu kedisiplinan ketat yang
tidak boleh sedikit pun dilanggar dalam permainannya, sehingga
kebesaran ninik-mamak dan kemuliaan pemuda, serta kebanggan
nagari masing-masing akan tetap terjaga.
6) Penyajian Luambek
Penyajian Luambek berupa gerak silat Luambek dimainkan oleh 2
orang laki-laki yang saling berhadapan, satu orang berperan sebagai
pelalu (penyerang) dan satu orang lagi berperan sebagai paambek
(penangkis). 121
Penyajian Luambek sama halnya dengan penyajian Randai
Luambek, yaitu sama-sama diiringi oleh musik vokal ‘dampeang,’
yaitu Dampeang Jantan dan Dampeang Batino. Dalam pertunjukan
Luambek gerak lalu dan gerak ambek hanya boleh dilakukan ketika
Dampeang Jantan dinyanyikan dan kedua pemain bisa saja melampaui
baris balek (baris anyaman latai laga-laga) bagian tengahnya. Namun
ketika Dampenag Batino dinyanyikan, pemain Luambek tidak boleh
melakukan gerak lalu dan ambek dan juga tidak boleh melewati baris
balek bagian tengah.
Dalam penyajian Luambek tidak boleh melakukan serangan pada
saat lawan (penangkis) memiliki balabek (perisai penangkis), dan
penyerang mesti memberitahu lawan apabila terdapat posisinya yang
bisa diserang. Dalam hal ini, makna denotatif yang dikandung
penyajian Luambek ada unsur sportivitas yang tinggi melebihi
sportivitas peraturan olah raga di dunia.
Seterusnya penyajian Luambek dalam konteks makna konotatif
Luambek, bahwa tidak boleh sesuka hati memasuki suatu nagari orang
lain di daerah Pariaman; atau dengan perkataan lain, bahwa seseorang
harus memiliki etika yang baik, sopan dan santun dalam memasuki
nagari lain, karena nagari-nagari itu dijaga secara adat. Hal ini
disimbolkan dalam bentuk balek laga-laga (baris anyaman balek
bagian tengah) atau baris balek nomor lima dari tujuh baris anyaman
(lihat gambar bagan tempat duduk di pauleh/laga-laga).
122
C. Pembahasan
1. Eksistensi Seni Pertunjukan Luambek
Seni pertunjukan Luambek dalam kehidupan masyarakat nagari
Kepala Hilalang, ternyata sampai saat ini masih eksis dan fungsional
dalam kehidupan sosial masyarakatnya. Sistem pengelolaannya berjalan
dengan baik karena didukung oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama
dapat dilihat dari keikutsertaan struktur sosial nagari yang bersinergi
dengan struktur organisasi kesenian tradisional Luambek itu sendiri. Baik
struktur sosial nagari, struktur organisasi Luambek, termasuk bundo
kanduang dan masyarakat umum lainnya terlihat saling mendukung untuk
erksisnya seni pertunjukan Luambek. Ini terjadi tentu karena adanya
kesadaran seluruh lapisan masyarakat terhadap lingkungan sosial serta
kesadaran terhadap lingkungan budayanya.
Pernyataan di atas dapat dilihat ketika pemberian jabatan
Penghulu kepada seseorang dari suatu suku, pemberian jabatan kepada
seseorang untuk menjadi Kapalo Mudo maupun jabatan untuk menjadi
Muncak Buru adalah diseremonikan dalam bentuk upacara helat nagari
yang menghadirkan seni pertunjukan Luambek. Di samping itu, untuk
meresmikan balai adat, kantor pemerintahan, pasar, juga lebih cendrung
dimeriahkan dengan upacara helat nagari yang menghadirkan seni
pertunjukan Luambek. Memperhatikan kondisi demikian, berati seni
pertunjukan Luambek menempati posisi penting dalam berbagai upacara
budaya yang dihidupi masyarakat nagari sebagai pendukung utama,
123
sehingga seni pertunjukan Luambek eksis dan fungsional dalam kehidupan
sosial masyarakat nagari Kepala Hilalang.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan Hasan (2005) bahwa dari
sudut ilmu sosiologi eksistensi ini sangat berkaitan dengan manusia dan
keberadaannya di dalam lingkungan sosial, sedangkan dari sudut ilmu
antropologi berkaitan antar hubungan manusia dengan lingkungan
budayanya. Dalam kaitan ini, eksistensi seni pertunjukan Luambek dalam
masyarakat nagari Kepala Hilalang sangat tergantung pada bagaimana
kesadaran masyarakatnya terhadap lingkungan sosialnya dan hubungan
masyarakat dengan lingkungan budayanya. Hal ini berarti bahwa
eksistensi seni pertunjukan Luambek dalam kehidupan sosial masyarakat
nagari Kepala Hilalang sangat berkaitan dengan keberadaan manusia di
dalam lingkungan masyarakatnya dan berkaitan dengan bagaimana
kesadaran manusia terhadap lingkungan budayanya.
Pembahasan terhadap eksistensi seni pertunjukan Luambek dalam
kehidupan masyarakat nagari Kepala Hilalang dilakukan melalui dua sudut
pandang, yaitu dari sudut pandang ‘sruktur sosiaal masyarakat nagari dan
struktur organisasi Luambek. Eksistensi tersebut dapat dilihat dari
bagaimana kesadaran masyarakat dalam memfungsikan kesenian tradisi
khususnya Luambek dalam berbagai kegiatan budayanya. Dalam hal ini,
pembahasan masalah eksistensi tersebut menggunakan teori
fungsionalisme struktural, karena keberadaan kesenian Luambek sangat
terkait dengan struktur sosial masyarakat.
124
Sejalan dengan pendapat Redcliffe-Brown, struktur masyarakat
yang dimaksud di sini adalah struktur-struktur sosial yang terintegrasi dan
norma-norma yang ada mengendalikan para anggota mereka. Dalam
kaitan ini masyarakat nagari Kepala Hilalang adalah masyarakat yang
dalam kehidupannya sehari-hari dikendalikan oleh aturan atau norma-
norma adat dan norma-norma agama Islam. Dalam ungkapan adat
Minangkabau dinyatakan “adaik basandi syarak, syarak basandi
kitabullah” (adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah).
Struktur sosial masyarakat yang dibahas dalam konteks tulisan ini
adalah struktur masyarakat yang berkaitan dengan keberadaan kesenian
Luambek sebagai salah satu kesenian tradisi Minangkabau yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat nagari Kepala Hilalang. Adapun struktur
masyarakat yang dimaksud adalah struktur sosial yang terdiri dari suku-
suku, penghulu suku, panungkek sebagai wakil dan pembantu penghulu,
labai yang mengurus hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan, dan
Urang Tuo suku-suku yang ada dan struktur organisasi Luambek.
Redcliffe-Brown memperkenalkan gagasan “struktur” di bidang
antropologi, … berpendapat bahwa “struktur adalah tatanan fakta: sesuatu
yang dilekatkan orang ketika mengamati sesuatu masyarakat tertentu”.
….. Bagi Redcliffe-Brown, struktur adalah “cara yang sering digunakan
individu untuk memahami dan mengasosiasikan dirinya sendiri dalam
suatu masyarakkat. Oleh karenanya setiap struktur bersifat khas, dan tidak
dapat diterjemahkan ke dalam struktur lain” (Paz, 1997: 7-8). Sehubungan
125
dengan struktur sosial nagari dan struktur organisasi Luambek merupakan
struktur khusus yang secara tradisi berfungsi dalam pengelolaan seni
pertunjukan Luambek.
Sebagaimana pendapat Redcliffe-Brown yang dikutip Yitno (1993:
9) menyatakan bahwa lembaga-lembaga juga dipandang sebagai struktur-
struktur, yang merupakan bagian dari struktur yang lebih luas. Struktur
yang lebih luas merupakan keseluruhan sehingga membentuk apa yang
disebut masyarakat, disebut sebagai struktur sosial. Di dalam struktur
sosial yang lebih luas akan dijumpai struktur-struktur yang lebih kecil.
Dalam struktur yang lebih kecil itu sering juga dijumpai struktur yang
lebih kecil lagi, begitu seterusnya. Keberadaan struktur-struktur itu,
ternyata saling terkait secara fungsional.
Uraian di atas juga sejalan dengan teori struktural fungsional yang
lebih menghasilkan satu perspektif yang menekankan harmoni dan regulasi
karena dibangun atas dasar sejumlah asumsi-asumsi homeostatik yang
dapat dikemukakan lebih jauh sebagai berikut: (a) masyarakat harus dilihat
sebagai suatu tim kompleks, terdiri dari bagian-bagian yang saling
berhubungan dan saling tergantung, dan setiap bagian tersebut
berpengaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian lainnya; (b) setiap
bagian dari sebuah masyarakat eksis karena bagian teresebut memiliki
fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas masyarakat
secara keseluruhan; karena itu, eksistensi itu bagian tertentu dari
masyarakat dapat diterangkan apabila fungsinya bagi masyarakat sebagai
126
keseluruhan dapat diidentifikasikan; (c) semua masyarakat mempunyai
mekanisme untuk mengintegrasikan diri; sekalipun integrasi social tidak
pernah tercapai secara sempurna, namun system social senantiasa akan
berproses ke arah itu; (d) perubahan dalam system social umumnya terjadi
secara gradual, melalui proses penyesuaian, dan tidak terjadi secara
revolusioner; (e) factor penting yang mengintegrasikan masyarakat adalah
adanya kesempatan di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai
kemasyarakatan tertentu; (f) masyarakat cendrung mengarah pada suatu
keadaan equilibrium atau homeostatis (Maliki (2004: 45-46).
Struktur sosial masyarakat dalam kaitannya dengan kesenian
Luambek dilakukan berdasarkan pada teori fungsional struktural Redclife-
Brown, dengan mengkaitkan kajian terhadap kesenian Luambek dengan
lembaga-lembaga yang ada, yaitu lembaga adat, lembaga keagamaan, dan
lembaga pendidikan yaitu struktur sosial masyarakat yang meliputi niniak
mamak atau penghulu-penghulu suku, panungkek sebagai wakil penghulu,
labai dan urang tuo. Dalam hal ini niniak mamak dan panungkek berkaitan
dengan lembaga adat, labai berkaitan dengan lembaga keagamaan, dan
urang tuo sebagai penasehat berkaitan dengan lembaga kependidikan. Di
samping itu juga mengkaitkan dengan peranan bundo kanduang, yang
merupakan suatu lembaga bagi golongan perempuan menurut adat
Minangkabau. Hakimi (1991: 75) menyatakan bahwa Bundo kanduang
berarti ibu sejati yang memiliki sifat-sifat keibuan dan kememimpinan.
127
Dalam kehidupan bermasyarakat ke empat unsur (niniak mamak
atau penghulu, panungkek, labai, urang tuo) dan bundo kanduang adalah
struktur kepemimpinan nagari, sangat memegang peranan penting. Empat
unsur tersebut masing-masing mempunyai tugas dan fungsi yang berbeda,
namun masing-masingnya saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu
sama lainnya atau merupakan satu kesatuan.
Niniak mamak atau penghulu merupakan struktur social menurut
adat Minangkabau yang bertanggung jawab terhadap warga persukuannya
secara khusus, dan terhadap masyarakat nagari, serta adat Minangkabau
secara umum. Di samping itu, posisinya juga sebagai pemilik kesenian
Luambek, sehingga ia mengemban tanggung jawab ganda yaitu terhadap
kelestarian adat nagari dan adat yang berhubungan dengan tradisi
Baluambek. Niniak mamak di sini bertanggung jawab memberi
pengetahuan tentang norma-norma adat yang berlaku di nagari Kepala
Hilalang (Minangkabau) khususnya kepada yang ingin belajar Luambek.
Dalam aktivitas Baluambek, labai setiap suku berperan dalam
mendidik mental dan spritual kelompok Luambek, karena setiap yang ingin
belajar Luambek, selain harus memahami norma adat juga harus
memahami ajaran agama Islam.
Urang Tuo adalah seseorang yang berpengalaman dengan hukum
adat serta syariah. Ia memegang peranan penting sebagai penasehat, pai
tampek batano, pulang tampek mangadu baik masalah yang berthubungan
dengan adat, agama, termasuk seni pertunjukan Luambek. Baik urang tuo
128
dari masing-masing suku maupun urang tuo yang dipilih khusus untuk
mengurus hal-hal yang berhubungan dengan kesenian Luambek bertugas
menjaga agar norma-norma yang terdapat dalam kehidupan masyarakat
dan dalam kesenian Luambek tidak mudah dirasuki oleh norma-norma lain
yang tidak sesuai dengan “adat bersendi syarak, syarak bersendi
Kitabullah”.
Dalam konteks kesenian Luambek, Bundo Kanduang sangat
memegang peranan penting dalam mengarahkan anak laki-lakinya untuk
mengikuti kegiatan kesenian Luambek, sehingga secara berangsur angsur
anak-anak tersebut setidaknya dapat memahami norma-norma yang
berlaku dalam kesenian Luambek. Dengan memahami norma-norma
tersebut berarti mereka sudah mempunyai bekal pengetahuan baik di
bidang adat maupun agama Islam.
Di samping itu, dalam upacara Alek Pauleh, bundo kanduang
sangat memegang peranan penting dalam menyiapkan segala kebutuhan
makan dan minum baik untuk tamu maupun untuk panitia pelaksana alek
(helat). Ketika Alek Pauleh Tinggi, sesuai dengan ketentuan adatnya para
bundo kanduang khususnya istri penghulu-penghulu yang ada di nagari
juga menyiapkan jamba yang berisi nasi dan sambal serta nasi kunyit di
tulang tinggi, sebagai tanda bahwa helat tersebut diprakarsai oleh
penghulu. Apabila salah satu di antara unsur-unsur sosial tersebut tidak
menjalankan tugas dan fungsinya, maka segala sesuatu yang akan
129
dilaksanakan dalam masyarakat tidak dapat tercapai, termasuk pelaksanaan
kesenian Luambek.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa dengan berfungsinya struktur
sosial masyarakat yang telah dikemukakan di atas, maka kesenian
Luambek sebagai salah satu kesenian tradisi dapat pula berfungsi dalam
kehidupan sosial masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan
Redcliffe-Brown bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial
masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-
individu dapat berganti setiap saat. Ini dapat dibuktikan dengan adanya
pergantian jabatan seperti jabatan penghulu dengan adanya upacara
pengangkatan penghulu, pergantian jabatan Kapalo Mudo dengan adanya
upacara pengangkatan Kapalo Mudo. Brown menyatakan bahwa fungsi
merupakan sumbangan satu bagian aktivitas masyarakat kepada
keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatynya. Adapun
tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi
internal, seperti yang diuraikannya berkut ini.
Bay the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes to the total activity of which it is a part. The function of a particular social usage is the contribution it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social syatem ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistensy, i.e. without producing persistent conflicts which can neither be resolved nor regulated (1952: 181).
'Fungsi' menurut definisi di sini yang ditawarkan adalah kontribusi
yang kegiatan parsial dengan membuat aktivitas total yang menjadi 130
bagiannya. Fungsi dari penggunaan sosial tertentu merupakan
kontribusi itu dibuat untuk kehidupan sosial total sebagai fungsi sistem
sosial total. Pandangan seperti menyiratkan bahwa syatem sosial ...
memiliki jenis kesatuan, tertentu yang dapat kita bicarakan sebagai satu
kesatuan fungsional. Kita mungkin mendefinisikan sebagai kondisi di
mana semua bagian dari sistem sosial bekerja sama dengan tingkat yang
cukup harmoni atau consistensy internal, yaitu tanpa menghasilkan
konflik persistent (keras) yang tidak dapat diatasi atau diatur (1952:
181).
Selaras dengan pandangan Brown, seni tradisi khususnya kesenian
Luambek bisa dianggap sebagai bagian dari struktur sosial masyarakat.
Seni pertunjukan Luambek adalah salah satu bagian aktivitas yang dapat
menyumbang kepada keseluruhan aktivitas, yang pada masanya
berfungsi bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat
penggunanya. Fungsinya lebih jauh adalah untuk mencapai harmoni
dan konsitensi internal. Pencapaian kondisi itu, dilatar belakangi oleh
berbagai kondisi sosial dan budaya masyarakat.
Selanjutnya, berkaitan dengan struktur organisasi Luambek yaitu
berkaitan dengan struktur dari kesenian itu sendiri yang pada
prinsipnya juga merupakan bagian dari struktur nagari. Struktur
Luambek tersebut terdiri dari bagian-bagaian atau komponen-komponen
yang satu sama lain saling terkait. Adapun bagian-bagian atau
komponen-komponen tersebut berhubungan dengan struktur organisasi
131
Luambek meliputi Niniak mamak, Urang Tuo, Kapalo Mudo dan Anak
Mudo.
Perlu dipahami bahwa struktur organisasi Luambek itu sendiri tidak
terlepas dari struktur sosial nagari, karena kesenian Luambek adalah
bahagian dari struktur nagari. Struktur organisasi Luambek terdiri dari
unsur Niniak Mamak, Urang Tuo, Kapalo Mudo, dan Anak Mudo.
Sehubungan dengan Niniak Mamak, ia adalah figur utama yang
berperan sebagai pemilik kesenian Luambek, maka ia sangat
menentukan keberadaan Luambek dari segala segi, sebab baik nagari
dan penghulu-penghulu nagari tergantung pada berhasil atau tidaknya
Niniak Mamak memelihara kesenian Luambek dan membina Kapalo
Mudo, dan Anak mudo sebagai figur yang diberinya kepercayaan di
bidang kesenian Luambek.
Urang Tuo yang dimaksud di sini bukanlah karena tua umur, tetapi
pengalamannya memahami konsep sosial masyarakatnya, dan
kemampuannya dalam berbagai keterampilan tradisional, baik dari segi
kepandaian lahir maupun bathin. Baik dalam aktivitas pembinaan dan
latihan Luambek, maupun untuk kegiatan penampilan di nagari sendiri
atau pergi manapa ke nagai lain, di sini Urang Tuo sangat memegang
peranan penting terutama memberi petunjuk dan nasehat kepada Kapalo
Mudo maupun Anak Mudo. Petunjuk dan nasehat itu berupa peringatan
agar dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kegiatan Baluambek, para
Anak Mudo dan Kapalo Mudo harus selalu tetap waspada dan jangan
132
sampai lupa akan diri dan jangan sombong. Biasanya sebelum
penampilan Luambek, terlebih dahulu Urang Tuo telah mempersiapkan
semacam ramuan obat tradisi untuk para pemain Luambek (Anak Mudo)
dan Kapalo Mudo.
Dalam masyarakat nagari Kepala Hilalang Kapalo Mudo
merupakan figur utama dalam pengelolaan dan melestarikan Luambek.
Karena Kapalo Mudo mengemban tugas dan tanggung jawab yang
diberi oleh Niniak Mamak untuk mengelola dan melestarikan kesenian
Luambek. Karena keberadaan Luambek dalam suatu masyarakat nagari
di wilayah rantau Pariaman khususnya nagari Kepala Hilalang
merupakan simbol status nagarinya masing-masing.
Anak Mudo adalah bagian dari struktur masyarakat nagari yang
dalam konteks Baluambek ia berperan sebagai pemain Luambek yang
mewakili nagarinya. Ia memikul tanggung jawab yang cukup berat,
karena buruk baik nagari yang diwakilinya sangat tergantung pada
kepiawaiannya dalam bermain. Dalam memikul tanggung jawab ini, ia
selalu berusaha mempertahankan harga diri dan martabat penghulu
nagari yang diwakilinya.
Dengan demikian dapat dilihat bahwa dalam kehidupan sosial
masyarakat nagari Kepala Hilalang, Luambek dipandang oleh
masyarakatmya sebagai kesenian yang tinggi adatnya. Kepemilikan
kesenian Luambek, berhubungan langsung dengan struktur sosial adat
di nagari. Lembaga adat Niniak Mamak di nagari yang anggotanya
133
terdiri dari para penghulu suku (pemuka adat) dari setiap suku di nagari
berposisi sebagai pemilik kesenian Luambek. Namun, praktisi
Baluambek dilegalisasikan kepada para pemuda di nagari yang telah
mendapat pendidikan adat dan agama sebagai syarat menjadi pemain
Luambek; maksudnya tidak boleh sembarang pemuda sebagai pelaku
pertunjukan Luambek. Bahkan segala aktivitas yang berkenaan dengan
pertunjukan Luambek juga tidak boleh dilaksanakan tanpa terlebih
dahulu mendapat izin dari niniak mamak. Pelaksanaan minta izin ini
harus melalui prosedur sesuai aturan yang telah ditetapkan oleh niniak
mamak. Sesuai dengan ketentuannya, semua aktivitas baluambek, baik
proses latihan maupun pertunjukannya dikoordinir oleh seorang ketua
pemuda yang ditunjuk secara adat disebut Kapalo Mudo.
Kondisi sebagaimana dikemukakan di atas, terlihat adanya sinergi
ninik-mamak (pemuka adat) dengan generasi muda yang digambarkan
dalam sebuah ungkapan, bahwa tradisi Luambek adalah “suntiang
niniak mamak, pamenan anak mudo” (mahkota adat para ninik-mamak
dan permainan anak muda). Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa
kesenian Luambek menjadi simbol status yang paling tinggi dalam
kehidupan sosio-budaya masyarakat Nagari Kepala Hilalang khususnya
dan daerah rantau Pariaman umumnya. Dengan demikian, niniak
mamak mengemban tanggung jawab ganda terhadap pelestarian adat
nagari dan pelestarian etika yang berhubungan dengan tradisi
baluambek yang terakumulasi dalam aturan atau syarat-syarat
134
pelaksanaannya, sebagaimana telah dikemukakan pada bagian
terdahulu.
Luambek sebagai tradisi seni pertunjukan rakyat merupakan
bagian yang integral dari kehidupan sosio-kultural masyarakat nagari
Kepala Hilalang khususnya dan nagari-nagari di daerah Pariaman
umumnya. Alek pauleh berfungsi sebagai wahana atau wadah untuk
menciptakan kekuatan sosial sebuah masyarakat tradisi di nagari,
sehingga kesenian ini menjadi bahagian kehidupan berbudaya yang
memiliki keterkaitan langsung dengan struktur sosial masyarakat di
nagari.
Dengan demikian, hikmah atau nilai sosial utama dari pelaksanaan
Luambek adalah mempererat hubungan silaturrahmi antar masyarakat di
nagari lokasi pelaksanaan pertunjukan Luambek, sekaligus memupuk
silaturrahim antar masyarakat nagari yang berbeda. Melalui konteks
pertunjukan Luambek akan terbangun komunikasi antara Ninik Mamak
dengan masyarakatnya, dan timbulnya rasa sosial dari masyarakat
nagari.
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa faktor yang menyebabkan
eksisnya seni pertunjukan Luambek dalam kehidupan masyarakat nagari
Kepala Hilalang adalah:
1) Faktor status luambek sebagai suntiang niniak mamak
135
2) Faktor struktur sosial masyarakat nagari dan struktur organisasi
Luambek, masih menjalankan tugas dan tanggung jawabnya masing-
masing.
3) Faktor tempat pertunjukan yang disebut laga-laga atau pauleh,
dimiki oleh setiap nagari dan masih digunakan sebagai tempat
latihan dan tempat pertunjukan Luambek
4) Faktor pertunjukan, kesenian Luambek masih eksis dan dfungsional
dalam upacara helat nagari, seperti upacara pengangkatan penghulu,
pengangkatan Kapalo Mudo, pengangkatan muncak buru, peresmian
Balai Adat, peresmian pasar, peresmian kator pemerintahan,
peresmian laga-laga, dan juga masih giat memenuhi undangan
nagari lain yang lazim disebut dengan ‘manapa’ yaitu membawa
rombongan Luambek ke nagari yang mengundang.
2. Makna Pertunjukan Luambek bagi Masyarakat
a. Makna Prosedur Pelaksanaan Alek Pauleh
Aspek makna dalam pertunjukan Luambek merupakan suatu
fenomena budaya. Kajian ini akan memberikan analisis dan
pemahaman tentang Luambek sebagai salah satu unsur dari kebudayaan
masyarakat Minangkabau yang mencerminkan prilaku, tradisi dan
pandangan hidup masyarakat, sebagaimana yang dikemukakan Clifford
Geertz bahwa kebudayaan adalah sistem pemaknaan yang dimiliki
136
bersama, karena itu merupakan hasil dari proses sosial dan bukan
proses perorangan (1973: 39).
Tradisi seni pertunjukan Luambek merupakan simbol yang
memiliki hubungan konseptual dengan masyarakat dan lingkungannya.
Simbol seni adalah pernyataan kehendak manusia mengenai sesuatu
dalam bentuk atau wujud karya seni, dan mempunyai arti sesuai dengan
maksud dari pernyataan itu. Dari segi fungsi sosialnya, daya tarik
pertunjukan rakyat terletak pada kemampuannya sebagai pembangun
dan pemelihara solidaritas kelompok (Kayam, 1977: 6 dalam Kayam,
dkk, editor Ahimsa, 2000: 340).
Kehadiran pertunjukan Luambek dalam berbagai upacara helat
nagari merupakan simbol adat dan simbol nagari, sekaligus berfungsi
untuk meningkatkan hubungan silaturahmi anggota masyarakat nagari,
dan menunjukkan status nagari beserta penghulunya. Dalam hal ini
pertunjukan Luambek dibangun dari kekuatan-kekuatan simbol sebagai
tempat bersemayamnya nilai-nilai sosial-kemasyarakatan masyarakat
nagari, sekaligus refleksi dari ketahanan adat-istiadat, sehingga
kehadiran Luambek pada berbagai upacara helat nagari menjadi
bermakna bagi masyarakatnya.
Pertunjukan Luambek dalam konteks Alek Pauleh mengandung
nilai-nilai kemasyarakatan yang memberikan makna sosial sebagai
berikut: 1) alek pauleh dipandang sebagai acara keramaian untuk
“menambah semaraknya suatu pelaksanaan seremoni upacara adat”; 2)
137
menempatkan alek pauleh sebagai simbol sosio-budaya yang berfungsi
untuk meningkatkan “hubungan silaturahmi antar masyarakat dalam
satu nagari”; 3) menempatkan Luambek sebagai simbol sosio-budaya
yang berfungsi untuk meningkatkan “hubungan antar pemuka adat dan
masyarakat nagari yang bertetangga;” 4) suatu aktivitas yang berfungsi
untuk “meningkatkan gengsi suatu upacara” yang sedang dilaksanakan,
sehingga pelaksanaan seremoni upacara tersebut dirasakan lebih total
sebagai upacara yang beradat; 5) Keberadaan kesenian Luambek
berperan untuk “memupuk rasa kebanggaan bagi masyarakat nagari”
yang melaksanakan alek pauleh terhadap masyarakat nagari lainnya di
daerah Pariaman.
Berbicara tentang makna, sesungguhnya dalam pertunjukan
Luambek, sangat sarat dengan simbol-simbol yang mengandung makna
filisofi bagi masyarakatnya. Misalnya di halaman bangunan laga-
laga/pauleh ditempatkan payuang panji yang berisi jangguik janggi,
tapuang pua, pertisai, padang pacabuik, pada langit-langit laga-
laga/pauleh dipasang tabia, tirai cindai dan tirai kolam, lantai laga-
laga/pauleh terdiri dari tujuh baris anyaman (balek) yang kesemuanya
mempunyai makna. Di samping itu juga dapat dilihat dari kepemilikan
Luambek sebagai suntiang niniak mamak, syarat-syarat pelaksanaan
helat, seperti mamakan bungo pinang, managakkan pauleh/laga-laga,
dan etika-etika lainnya yang harus dipenuhi, semuanya merupakan
simbol-simbol yang penuh dengan makna bagi masyarakat pemiliknya.
138
Namun pada saat ini peneliti belum memfokuskan perhtian pada
simbol-simbol dan makna tersebut.
Pada kesempatan ini peneliti lebih memfokuskan perhatian pada
makna dari simbol-simbol gerak lalu dan gerak ambek dalam
pertunjukan Luambek dan makna yang terdapat dalam prosedur
pelaksanaan helat, dan Luambek sebagai simbol status nagari.
a. Makna Simbol gerak lalu dan ambek
Dalam melakukan gerak lalu dan gerak ambek kedua pemain
tidak boleh melakukan kontak fisik atau bersinggungan. Gerak-gerak
yang bergaya pencak dilahirkan melalui simbol-simbol gerak.
Gerak lalu dan ambek dilakukan oleh kedua pemain secara
bergantian mengadu keterampilan menyerang dan menangkis dalam
bentuk simbol-simbol gerak. Dalam hal ini kedua pemain adu
keterampilan mempertahan simbol kebesaran penghulu nagarinya
masing-masing melalui simbol-simbol gerak yaitu:
1) gerak lalu batuah (menebas dengan tangan) yang bertujuan untuk
mengambil deta (destar) atau saluak penghulu. Apabila destar itu
berhasil dirampas, ini mengandung makna bahwa masyarakat
nagari dan penghulu nagari kehilangan predikat dan harga dirinya.
Gerak lalu batuah ini yang harus ditangkis dengan gerak ambek
batuah pula.
139
2) gerak lalu ujuang guntiang yang bertujuan untuk menggunting atau
merampas pakaian yang dipakai lawan. Apabila kain pakaian
berhasil dirampas ini mengandung makna bahwa penghulu dan
nagari yang diwakilinya akan mendapat malu atau kehilangan
harga diri. Gerak lalu ujuang guntiang ditangkis dengan ambek
ujuang guntiang.
3) gerak lalu kaluang yang bertujuan untuk mengungkung atau
mematikan langkah lawan. Apabila tidak bisa ditangkis ini
mengandung makna bahwa penghulu dan nagari yang diwakilinya
mendapat malu karena tidak dapat bergerak atau berbuat apa-apa
dalam masyarakat. Gerak lalu kaluang harus ditangkis dengan
gerak ambek kaluang.
4) gerak lalu simbue yang bertujuan membuka ikat piggang, buah
baju dan mengambil keris lawan. Apabila gerk lalu ini tidak bisa
dihambat ini mengandung makna bahwa penghulu dan nagarinya
mendapat malu yang amat sangat, karena secara simbolis ikat
pinggang, buah bajunya sudah terbuka serta keris sebagai senjata
pusakanya juga sudah diambil lawan. Gerak lalu simbue ini
ditangkis dengan gerak ambek simbue.
Dapat ditambahkan di sini, bahwa menurut masyarakatnya
apabila gerak-gerak lalu sebagaiman dikemukakan di atas, tidak bisa
dihambat atau ditangkis oleh pasangan bermain, maka orang itu
disebut ‘buluih’ atau kalah; konsep buluih di sini mengandung makna
140
mendapat malu. Dalam hal ini yang mendapat malu bukan hanya
sipemain yang ‘buluih’ saja akan tetapi juga penghulu dan nagari yang
diwakilinya.
Selanjutnya dilihat dari gerak lalu dan ambek yang telah
dikemukakan di atas, mengandung makna filosofi bagi masyaraktnya
yaitu bahwa dalam kehidupan sehari-hari apabila sesuatu masalah atau
rundingan datang secara adat, harus dinanti secara adat, dan apabila
datang secara agama dinanti pula secara agama, artinya dalam
menyelesaikan persoalan, apabila datang secara baik-baik maka harus
ditanggapi secara baik-baik pula.
b. Makna Syarat-syarat Pelaksanaan Alek Peuleh
Makna yang terkandung dalam kegiatan mamakan bungo pinang
adalah bahwa untuk melakukan suatu kegiatan harus dimusyawarahkan
dengan kata-kata dan tutur bahasa yang indah. Hal ini menunjukkan
bahwa dalam syarat-sarat pelaksanaan Luambek terlihat adanya unsur
pendidikan tentang perilaku dan etika berbicara dalam suatu forum
yang harus saling menghargai.
Makna yang terkandung dalam kegiatan managakkan pauleh
adalah bahwa adanya suatu keinginan atau harapan yang tulus dari
pelaksana helat untuk dikunjungi oleh sanak keluarga sebanyak
banyaknya, sehingga perlu dipersiapkan suatu tempat khusus untuk
sanak keluarga tersebut. Dengan berkumpulnya sanak keluarga di
141
pauleh tersebut, maka terjadilah interaksi sehingga hubungan
silaturrahmi antar mereka menjadi meningkat.
Pada sisi lain, kegiatan memasang pakaian laga-laga
mengandung makna bahwa helat yang diadakan adalah helat yang
beradat, yang disimbolkan dengan beberapa jenis paakaian laga-laga
seperti tabia, tirai cancang pada langit-langit lagap-laga yang disebut
juga dengan titai niniak mamak, tirai kolam atau tirai anak mudo.
Simbol ini merupakan tanda yang menunjukkan tempat duduk niniak
mamak dan tempat duduk anak mudo. Sedangkan simbol lainnyaa dari
pakaian laga-laga adalah sebagai tanda yang menunjukkan besar atau
kecilnya helat apakah helat yang diadakan Alek Pauleh Tinggi ataukah
Alek Pauleh Lumpuah.
Segala aturan dan etika dalam musyawarah minta izin
pelaksanaan helat mengandung makna yang menunjukkan bahwa
masyarakat menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah.
c. Makna Prosedur Pelaksanaan Helat
Memperhatikan tatacara penyambutan tamu sebagaimana telah
dikemukakan pada bagian terdahulu, terkandung makna simbolis yang
menggambarkan sikap dan tingkah laku suatu masyarakat dalam
menghargai dan memuliakan tamunya.
Segala bentuk etika dan aturan-aturan musyawarah minta izin
memain Randai Luambek dan Luambek, adalah merupakan gambaran
142
tingkah laku masyarakat pemilik kesenian Luambek. Etika yang
berkaitan dengan urutan pembicaraan dalam proses minta izin,
terkandung makna simbolis yang menunjukkan bahwa masyarakat
menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah, dan menghargai status
seseorang dalam masyarakat.
Selanjutnya ditinjau dari konsep pola lantai melingkar dalam
pertunjukan Randai Luambek melambangkan rangkaian persatuan,
sedangkan tukang aliah melambangkan seorang imam yang diikuti oleh
makmumnya. Dalam hal ini, pada pertunjukan Randai Luambek
terkandung makna simbolis yang menunjukkan bahwa sikap dan
tingkah laku masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat
mengutamakan rasa persatuan dan kesatuan dan mematuhi peraturan-
paraturan dari pemimpinnya.
143
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Eksistensi seni pertunjukan Luambek baik ditinjau dari faktor
internal maupun dari faktor eksternal dalam kehidupan sosial masyarakat
nagari Kepala Hilalang sangat tergantung pada keberfungsian struktur
sosial masyarakat dan struktur keorganisasian Luambek itu sendiri.
Keberfungsian struktur sosial masyarakat nagari dan struktur organisasi
Luambek membuat seni peretunjukan Luambek eksis dalam kehidupan
sosial masyarakat nagari Kepala Hilalang.
Kehadiran pertunjukan Luambek dalam berbagai upacara helat
nagari merupakan simbol adat dan simbol nagari, sekaligus berfungsi
untuk meningkatkan hubungan silaturahmi anggota masyarakat nagari,
dan menunjukkan status nagari beserta penghulunya. Dalam hal ini
pertunjukan Luambek dibangun dari kekuatan-kekuatan simbol sebagai
tempat bersemayamnya nilai-nilai sosial-kemasyarakatan masyarakat
nagari, sekaligus refleksi dari ketahanan adat-istiadat, sehingga
kehadiran Luambek pada berbagai upacara helat nagari menjadi
bermakna bagi masyarakatnya.
Dengan demikian, ada beberapa faktor penyebab eksisnya seni
pertrunjukan Luambek dalam kehidupan masyarakat nagari Kepala
Hilalang yaitu Luambek dipandang sebagai kesenian adat dengan
ungkapan ‘Luambek Suntiang Niniak Mamak, dalam pengelolaan sehari-
144
hari Luambek mempunyai organisasi yang kuat, setiap nagari
mempunyai laga-laga/pauleh tempat khusus untuk tempat latihan
sekaligus untuk pertunjukan,
Ditinjau faktor syarat-syarat pelaksanaan alek pauleh dan
prosedur pelaksanaan alek pauleh, terkandung makna denotatif dan
makna konotatif yang menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah, nilai-
nilai sosial-kemasyarakatan, adat istiadat dan menghargai status
seseorang dalam masyarakat.
B. Saran
Berdasarkan hasil temuan-temuan penelitian di lapangan, maka
pada kesempatan ini peneliti mengajukan saran kepada:
1. Masyarakat nagari Kepala Hilalang agar tetap mempertahankan tradisi
seni pertunjukan Luambek terutama dalam konbteks alek nagari atau
alek pauleh. Di samping itu juga agar tetap aktif dalam memenuhi
undangan nagari lain untuk memainkan Luambek.
2. Struktur sosial masyarakat nagari dan struktur sosial organisasi
Luambek agar tetap menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing
terutama dalam pembinaan dan pengelolaan seni pertunjukan
Luambek.
3. Bagi lembaga pendidikan kesenian seperti ISI Padangpanjang agar
dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai dokumentasi dan
inventarisasi yang dapat digunakan sebagai bahan literatur.
145
4. Bagi peneliti yang ingin melakukan penelitian lanjutan agar dapat
memperluas permasalahan dan memperdalam pengkajian terhadap
seni pertunjukan Luambek, karena kesenian ini sangat sarat dengan
nilai, norma, dan makna bagi masyarakatnya.
146
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa Putra, Heddy Shri (ed). 2000. Ketika Orang Jawa Nyeni. Yogyakarta: Galang Press.
------. 2001. Strukturalisme Levi-Straus Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press.
Brandon, James. 1989. Seni Pertunjukan di Asia Tenggara, Terjemahan Soedarsono. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia.
Brown, Redcliffe. 1952. Structure and Function in Primitive Society. New York: The Free Press.
Desmawardi. 2000. “Baburu Babi Suntiang Niniak Mamak Pamenan Dek Nan Mudo” Makalah. Yogyakarta: UGM.
------. 2005. “Maulud Nabi: Tradisi Ritual Keagamaan dan Seni Di Pariaman Sumatera Barat”. Laporan Penelitian. Padangpanjang: STSI Padangpanjang.
…………….. 2010. “Nyanyian Religius Mend’a Suatu Aktivitas Masyarakat Terhadap Seni Nuansa Islam di Kabupaten Padang P{ariaman Sumatera Barat”. Laporan Penelitian. Padangpanjang: STSI Padang Panjang.
Daeng, Hans J. 2000. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Hakimi, Idrus Dt Rajo Penghulu. 1987. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minqangkabau. Bandung: Rosda.
Hasan, Fuad. 2005. Berkenalan Dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya.
Henslin, James M. 2006. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. Jakartra: Erlangga.
Johnson, Doyle Paul. 1990. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. 147
------.1991. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Kaplan, David. 1999. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelaajar.
LKAAM. 1987. Adat Minangkabau (Sejarah dan Budaya). Padang: LKAAM.
Lauer, Robert H. 2003. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakartra: Rineka Cipta.
Manggis, M. Rasyid Dt. Rajo Penghulu. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta: Mutiara.
Miles dan Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia.
Maleong, Lexy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rordakarya.
Maliki, Zainuddin. 2004. Narasi Agung Tiga Teori Sosial Hegemonik. Surabaya: Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat.
Navis, A.A. 1984. Alam Takambang Jadi guru : Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta : Grafiti Press.
Paz, Octavio. 1997. Levi-Straouss Empu Antropologi Struktural. Yogyakarta: LKiS.
Poloma, Margaret M. (1994). Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Pelly, Usman. (1994). Teori-Teori Sosial Budaya. Jakarta: Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kerja Kependidikan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud.
Piaget, Jean. 1995. Strukturalisme. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Permas, Achsan; 2003. Manajemen Organisasi seni Pertunjukan. Jakarta: Penerbit PPM.
Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan Dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Petaka Pelajar.
Ritzar, George. 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: CV Rajawali. 148
Roho, Bernard. 2007.Teori Sosiologi Moidern. Jakarta: Prestasi Pustakakarya.
------. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
Stoner, James Af dan Sirait Alfonsus. 1996. (terjemahan). Jakarta: Erlangga.
Soekanto, Soejono. 1993. Babarapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sedyawati, Edi. 1981: Pertumbuhan Seni pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.
------, 1986. Talcot Parsons, Fungsionalisme Imperatif. Jakarta: CV Rajawali.
Salmurgiyanto dkk (ed). 2003. Mencermati Seni Pertunjukan Perspektif Kebudayaan, Ritual, Hukum. Surakarta: The Ford Foundation & Program Pasca Sarjana STSI Surakarta.
Yogi, A. Rivai. 1980. Sastra Minang. Jakarta: Mutiara.
Yitno, Amin. 1993. “Fungsionalisma Dalam Penelitian Sosial dan Budaya”. Makalah. Surtakarta: STSI Surakarta.
Yunus, Umar.1971. Kebudayaan Minangkabau, dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Kolentjaraninggrat (ed). Jakarta: Djembatan.
Zahara Kamal. 2001. “Nyanyian Religius Dalam Ratik Tulak Bala Di Desa Tarok Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam Kab. Padang Pariaman. Padang Panjang”. Laporan Penelitian. STSI Padang Panjang.
149
Lampiran 1
Tabel Suku, Penghulu dan Perangkatnya Dalam Wilayah Nagari Kepala Hilalang
No Suku Penghulu Panungkek Labai Urang Tuo Jambak Mansyur Rky. Mulie Z. Bgd. Alam A.Lb. Imam Basa Syofyan Dt. Tuo B.Dt. Rajo Mangkuto Idrus Bdr Sati M. Lb. Bdr B.Dt.Bdr.Sati R.Dt.R.Mulie Nan Adi A.Bgd Nan Ilyas Lb.Kali N. St. Marajo Mudo Mudo Basa 2. Tanjung Rasydi Dt.Majo Indo R. Ajung Sati J. Lb. Mangkuto UT.Dt. RajoPenghulu Mawardi Dt. Sati Bakar Bgd.Sati Bakar Lb. Zulkirman Majo Sati Barahim Asril Dt. Lenggang St Basa Lb. Basa M. Lenggang Basa Basa Sy.Dt. Rangkai Putih N.Angke Nan Sy.Lb. Bandaro RT.Dt. Bth Mudo NanHitam D. Dt . Lelo Panjang 3. Guci Sy. Dt. Tianso Kamar Sidi Ali Lb. Marajo D. St Malano Marajo Dt. Pangulu Basa Rajo Sutan Lb. Basa Yahya Dt. Bagindo H.Bagindo Sy. Lb. Sutan Z. M. St. Bagindo Malano 4. Koto Sy.Dt.PandukoSinaro Jalius St. Panduko Sy. Lb. Rajo Syofyan Pdk. Rajo M.Dt.Tumangguang Anwar St. Bgd. Nurdin Lb. Bgd. St.Tumangguang Dt.Majo Lelo St. Malaut Lb. Majo Lelo Majolelo Syawal Dt. Kayo D. Bgd. Sati A. Lb. Jalelo AB St Marlaut Dt. Nan Sati Bgd Jalelo Lb. Sutan Bgd. Jalelo Yauza Dt.Pdk.Sati Yurnalis Bgd. Sati Zaidin H. Dt Mudo D. St. Tanameh M. Lb. Mudo D.Bgd.Tanameh Z.Dt.Pdk Nan Mudo D. Malano Rajo N. Lb.Malano Sy. Malano Kali A.R.Dt Bungsu Tarmizi Bgd M.Lb Malano B.St. Sati Alam Bungsu Pakiah L.A.Dt. Rk Basa M. Bgd Basa B. Lb. Basa AS Angke Basa 5. Panyalai Sy.Dt Maninjun Sy.Bgd.Batuah H.Lb. Sinaro Dt.Sinaro Nan Hitam M.Jamil Dt. A.Z.Sidi Rajo M.Lb Pito Sati Anas M. Dt Gadang Tanpatiah Z.Dt Tumbijo Kh. St.Marlaut M. Lb.Bagindo A. T Sumber: Kantor KAN Nagari Kepala Hilalang
150
Lampiran 2.
Struktur Organisasi KAN Nagari Kepala Hilalang
WAKIL KETUA KAN
M. DT. SATI
BENDAHARA SEKRETARIS
MJ.DT TANPATIAH D. DT . LELO PANJANG
SEKSI PUSAKO SEKSI SENI SEKSI EKONOMI BUDAYA ADAT DAN SAKO/ PRADILAN DAN SURAT PEMBANGUNAN
NAGARI Z.H. DT. MUDO SY. DT. RANGKAI SY.DT. PANDUKO PUTIAH SINARO
Sumber: Kantor KAN Nagari Kepala Hilalang
151
Lampiran 3
Dokumentasi Alek Pauleh Tinggi
Gambar Laga-laga dan Perlengkapan Alek Pauleh Tinggi Foto Dokumentasi: Asril
Gambar Pakaian Laga-laga ‘Tabie dan Tirai. Pada Langit-langit Laga-Laga Foto Dokumentasi :Irfan
152
Gambar Tabuah Larangan Di Halaman Depan Laga-Laga Alek Pauleh Tinggi Foto Dokumentasi : Asril
Gambar Musik Gandang Tambua Mengarak Rombongan Buru Babi Foto Dokumentasi: Asril
153
Gambar Fenomena saat Alek Pauleh Tinggi Foto dokumentasi : Asril
Gambar Pertunjukan Tari Cindai oleh dua orang Penghulu Foto Dokumentasi: Asril
154
Gambar Pertunjukan Randai Luambek Foto Dokumentasi: Asril
Gambar Bundo Kanduang Mengantar Jamba ke Laga-Laga Foto Dokumentasi : Asril
155
Gambar Makan Bajamba di Laga-laga Foto Dokumentasi: Hanefi
Gambar Siriah Carano Di Depan Niniak Mamak Foto Dokumentasi : Asri
156
Lampira 4
Dokumentasi Alek Pauleh Lumpuah
Gambar Laga-laga Alek Pauleh Lumpuah Foto Dokumen: Irfan Kurniawan
Gambar Kegiatan Pasambahan Minta izin Memainkan Luambek Foto Dokumen: Irfan Kurniawan
157
Gambar salag seorang Pemain Luambek Menyalami Penghulu Untuk Memainkan Luambek Foto Dokumen: Irfan Kurniawan
Gambar dua orang Anak Mudo Memainkan Luambek Foto Dokumen: Irfan Kurniawan
158
Lampiran 5
Dokumentasi Gerak Lalu dan Ambek
Gambar Gerak Lalu Ujuang Guntiang Foto Dokumentasi: Hanefi
Gambar Gerak Lalu Simbua Foto Dokumentasi: Henefi 159
Gambar Gerak Lalu Batuah Foto Dokumentasi: Henefi
160
Lampiran 6
Teks Dampeang Luambek
Teks Dampeang Jantan 1
Ai dampeang oi, olai yo yaknga olai yo daknganga, “Ayo u“ Ampeang ngo o oi ngo o oi yak ngangadau oi, danga yaknga ongok ngo ngonak kanduang dodok do ei Dodok jakngak ngak ngak ngamang, ngamang oi tajolak, oi rang jolekan ei antah, “Antah-antah ei antah“ Dagang oi yakngak nga ngongoi, adau lah kanadau ei komah, oi adau juo ei ala, “Hei yo alah-ok ngangayo-ok ngongo hai“
Teks Dampeang Jantan 2
Ai jawek lah salam, olai yoi yok ngongoi kumbak ngakngali saknganga, „“Ayo u“ Alam oi yak ngadau ei nge e ei nge e ei, danga yaknga ei ngo ngongo nak kanduang dodok do ei Dodok jaknga nga-ngamang, ngamang oi tajolak, ongok ngongo ngolah, oi rang jolehkan ei alah, “A ntah- , oi antah“ Dagang ei eiyak nganga ngongomah, adau lah kanadau kokngoimah, ei adau juo ei alah, “Ei yo alah, ok ngangayo, ok ngongohai“
Teks Dampeang Jantan 3
Iyo oi aie asin, olai yoi yokngongo oi hulunyo mak nganga, “Ayo u“ Anih ei yok ngongo, kanduang talido do ngodo Danga oi dak nganga nganga ngamang, dibaliak kaknga ngampuangyak tak ngangah, oi koto ngaknga ngambang oi antah, “Antah-antah, oi antah“ Dagang oi yok ngongo ngoyah, alun barakngak ngak ngalun, oi kumpai rakngak ngalun ok ngongolah, “Iyo alah, ok nganga yo, ok ngongo hai“
Teks Dapeng Jantan 4
Iyo tujuah musim, olai yo yak nganga oi lamo manak nganga, „“Ayo u“ Angih oi yoyok ngongo ngongak, kanduang talido do ngodo Danga oi daknganga ngangamang, takngangah kak ngangandunag saknganga ngangayang lambek dakngangatang ngok ngoi antah, „“A ntah-antan, oi antah“ Dagang oi yok ngongo ngong ngoyah, anyik silongok ngodang oi tabiang daknganga ai yak ngongolah, „“Iyo Alah, o nganga yo, okngongohai.
161
Teks Dampeang Batino 1
Ai ai yak ngalai, tadangak ngampeang oi Ai ngok ngongoi, ai ngongok ai ngok yak nga ai ngo ngongoi Dodok lai kanik ngik ngiro ngok ngongoi ngok ngoi, ai ngongoi Ai ngok ngongok ai yak ngak ai dak nganga ai ton oi, olai yoi ladakngak ngampeang oi
Teks Dampeang Batino 2
Ai ai yak ngalai, tadangak ngampeang oi Ai ngok ngongoi, ai ngongok ai ngok yak nga ai ngo ngongoi Dodok lai kanik ngik ngiro ngok ngongoi ngok ngoi, ai ngongoi Ai ngok ngongok ai yak ngak ai dak nganga ai ton oi, olai yoi ladakngak ngampeang oi
162
Lampiran 7
Notasi Dampeang Luambek
Notasi Dampeang Jantan
163
Notasi Dampeang Batino
164
Notasi Dampeang Jantan
165
Lampiran 8
Peta Kabupaten Padang Pariaman
166