EKSISTENSI SENI PERTUNJUKAN LUAMBEK DALAM KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT KEPALA HILALANG KECAMATAN 2 X 11 KAYU TANAM KABUPATEN PADANG PARIAMAN

TESIS

Oleh: ZAHARA KAMAL NIM. 10723

Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mendapatkan gelar Magister Pendidikan

KONSENTRASI SOSIOLOGI / ANTROPOLOGI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI PADANG 2011

ABSRTACT

Zahara Kamal 2010, Art existence parades Luambek In Societies Social life Nagari Kepala Hilalang district 2 x 11 Kayu Tanam Padang Pariaman's Regencies.

This research intent to reveal art existence causal factors parade Luambek in nagari kepala Hilalang's society life and parade meaning Luambek for society. Art existence parades Luambek this was identified from factor internal and external, meanwhile meaning that is contained in the context parade Luambek get bearing with denotatif's meaning and konotatif. This research utilize kualitatif's research method. Methodic data collecting that is utilized is obervasi, interview, and documentation. That data that at gather has to increase trust, acting researcher as instrumental as observational main. To warrant data at probing tech cuddle data by participation prolongation, observing persistence and triangulation. Informan that is chosen is elemental direct the interesting society with art activity parades Luambek. Result observationaling to point out that of internal factor, art existence parades Luambek in societies social life nagari Kepala Hilalang backed up by severally factor which is; Luambek constituting peoples fashioned art, get role in the context nagari’s party or ‘ Alek Pauleh ’ , and gets role and its functioning nagari's society social structure and organization chart Luambek well in construction and also deep management. Meanwhile of external factor exists three factors that adequately is of important escort internal factor, which is builds prestise individual and prestise nagari, increasing goodwill relationship, and builds association taste. Hereafter meaning which consists in parade art Luambek well of denotatif's meaning viewpoint and also konotatif's meaning appears of two main aspects, which is performing requisites Alek Pauleh cover( manggatok bungo pinang, managakkan pauleh, mamasang pakaian laga-laga/pauleh ), and performing procedure Alek Pauleh cover (manner waits for to expect a guest, send for permit plays luambek , representation randai Luambek , send for permit plays Luambek , choose janang , representation Luambek ).

i

ABSTRAK

Zahara Kamal 2010, Eksistensi Seni Pertunjukan Luambek Dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Nagari Kepala Hilalang Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam Kabupaten Padang Pariaman.

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan faktor-faktor penyebab eksistensi seni pertunjukan Luambek dalam kehidupan masyarakat nagari KepalaHilalang dan makna pertunjukan Luambek bagi masyarakat. Eksistensi seni pertunjukan Luambek ini diidentifikasi dari faktor internal dan eksternal, sedangkan makna yang dikandung dalam konteks prtunjukan Luambek berkaitan dengan makna denotatif dan konotatif. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah obervasi, wawancara, dan dokumentasi. Agar data yang dihimpun memiliki tingkat kepercayaan, peneliti bertindak sebagai instrumen utama penelitian. Untuk menjamin keabsahan data dipelukan teknik pemeriksaan data dengan cara perpanjangan keikutsertaan, ketekunan pengamatan dan triangulasi. Informan yang dipilih adalah unsur masyarakat yang terlibat langsung dengan aktivitas seni pertunjukan Luambek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari faktor internal, eksistensi seni pertunjukan Luambek dalam kehidupan sosial masyarakat nagari Kepala Hilalang didukung oleh beberapa faktor yaitu; Luambek merupakan seni pertunjukan rakyat, berperan dalam konteks helat nagari atau ‘Alek Pauleh’, serta berperan dan berfungsinya struktur sosial masyarakat nagari dan struktur organisasi Luambek baik dalam pembinaan maupun dalam pengelolaan. Sedangkan dari faktor eksternal terdapat tiga faktor yang cukup penting mengiringi faktor internal, yaitu membangun prestise individu dan prestise nagari, meningkatkan hubungan silaturahmi, serta membina rasa persatuan. Selanjutnya makna yang terkandung dalam seni pertunjukan Luambek baik dari sudut pandang makna denotatif maupun makna konotatif terlihat dari dua aspek utama, yaitu syarat-syarat pelaksanaan Alek Pauleh meliputi (manggatok pinang, managakkan laga-laga/pauleh, mamasang pakaian laga-laga/pauleh), dan prosedur pelaksanaan Alek Pauleh meliputi (etika menanti tamu, minta izin memainkan randai luambek, penyajian randai Luambek, minta izin memainkan Luambek, memilih janang, penyajian Luambek).

ii

PERSETUJUAN AKHIR TESIS

Mahasiswa : Zahara Kamal NIM : 10723

Nama Tanda Tangan Tanggal

Prof. Dr. Damsar, M.A ______Pembimbing I

Prof. Dr. Firman, M.S. Kons ______Pembimbing II

Direktur Program Pascasarjana Ketua Program Studi/Konsentrasi

Prof. Dr. Mukhayar, M.Pd Dr. Siti Fatimah, M.Pd., M.Hum

NIP.19500612 197603 1 005 NIP. 10610218 198403 2 oo

iii

PETSETUJUAN KOMISI UJIAN TESIS MAGISTER KEPENDIDIKAN

No. Nama Tanda Tangan

1. Prof.Dr. Damsar, M.A. (Ketua)

2. Prof. Dr. Firman, M.S.Kons. (Sekretaris)

3, Prof. Dr. Azwar Ananda, M.A. (Anggota)

4. Dr. Siti Fatimah, M.Pd., M.Hum. (Anggota)

5. Prof. Dr. H. Abizar (Anggota)

Mahasiswa Mahasiswa : ZAHARA KAMAL NIM : 10723 Tanggal Ujian :

iv

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Karya tulis saya, tesis dengan judul Eksistensi Seni Pertunjukan Luambek Dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Nagari Kepala Hilalang Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam Kabupaten Padang Pariaman, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik baik di Unicversitas Negeri Padang maupun di perguruan tinggi lainnya. 2. Karya ini murrni gagasan, penilaian dan rumusan saya sendiri, tanpa bantuan tidak sah dari pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing. 3. Dalam karya ini tidak terdapat hasil karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali dikutip secara tertulis dengan jelas dan dicantumkan sebagai acuan di dalam naskah saya dengan disebutkan nama pengarangnya dan dicantumkan pada daftar pustaka. 4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya, dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidak-benaran pernyataan ini, saya bersedia menerima sangsi akademik berupa pencabutan gelar yang telah saya peroleh karena karya tulis ini, serta sangsi lainnya sesuai dengan norma dan ketentuan hukum yang berlaku

Padang, 16 Juni 2011 Saya yang menyatakan

Zahara Kamal NIM. 10723

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji ditujukan kepada Allah semata, dengan izin, rahmat dan kurnia-Nya penulis telah dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul

“Eksistensi Seni Pertunjukan Luambek Dalam Kehidupan Sosial Masyarakat

Nagari Kepala Hilalang Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam Kabupaten Padang

Pariaman” . Tulisan ini merupakan suatu kajian tetang keberadaan kesenian

Luambek ditinjau dari sudut eksistensi dan maknanya dalam kehidupan masyakat pendukungnya.

Penyelesaian tesis ini tidak luput dari bantuan segenap orang-orang yang tulus. Penulis menyadari tanpa adanya bantuan tersebut penulisan tesis ini tidak akan terwujud. Dalam rangka inilah penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Prof. Dr. Damsar, M.A. selaku pembimbing I dan Prof. Dr. Firman, M.S.

Kons, selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan

saran yang sangat berharga untuk penulis.

2. Prof. Dr. Azwar Ananda, M.A., Dr. Siti Fatimah, M.Pd., M.Hum, dan Prof.

Dr. H. Abizar, selaku dosen penguji tesis ini.

3. Direktur Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang beserta staf dan

tenaga pengajar yang telah memberi dan membuka wawasan penulis dengan

ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan program studi penulis.

4. Wali Nagari Kepala Hilalang beserta penghulu-penghulu, pemuka

masyarakat, Kapalo Mudo, Urang Tuo yang telah membantu dalam

vi

pengumpulan data dengan baik. Seluruh informan yang telah bersedia

memberi informasi sesui dengan fokus penelitian.

5. Ketua STSI Padangpanjang yang telah mempercayakan kepada penulis untuk

melanjutkan studi ke jenjang pscasarjana di Universitas Negeri Padang.

6. Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Padang yang telah

memberikan bantuan dan dorongan semangat kepada penulis dalam

penyelesaian tulisan ini.

Semoga segala bantuan yang telah diberikan, menjadi amal ibadah dan mendapat imbalan yang setimpal dari Allah swt. Amin.

Padang, 2011

Penulis

vii

DAFTAR ISI

ABSTRACT……… ...... i ABSTRAK ...... ii PERSETUJUAN AKHIR TESIS ...... iii PERSETUJUAN KOMISI UJIAN ……………………………… iv SURAT PERNYATAAN ………………………………………… . v KATA PENGANTAR ...... vi DAFTAR ISI ...... viii DAFTAR GAMBAR ...... x DAFTAR LAMPIRAN ...... xi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……………………………... 1 B. Fokus Penelitian dan Masalah……………………….. 12 C. Tujuan Penelitian ……………………………………. 12 D. Manfaat Penelitian …………………………………… 13

BAB II. KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori …………………………………………. . 14 1. Eksistensi …………………………………………. 14 2. Seni Pertunjukan………………………………….. 15 3. Pengertian Luambek …………………………….... 16 4. Sosio dan Budaya ….……………………………... 18 5. Fungsionalisme Struktural………………………... . 20 6. Interaksi Sosial ………………………………….... 23 7. Makna Simbolis …………………………………... 24 B. Penelitian yang Relevan ...... 27 C. Kerangka Berfikir …………………………………… . 30

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ………………………………. . 34 B. Lokasi Penelitian ……………………………………. 35 C. Informan Penelitian ………………………………… . 37 D. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ………………… 38 1. Observasi …………………………………………... 38 2. Wawancara ……………………………………….... 39 3. Dokumentasi ………………………………...... 40 E. Teknik Penjaminan Keabsahan Data ………...... 41 1. Perpanjangan Keikut Sertaan ...... 41 2. Ketekunan Pengamatan ...... 42 3. Triangulasi Data ...... 42 F. Teknik Analisis Data …………...... 43 1. Reduksi Data ...... 44 2. Penyajian Data ...... 44 3. Penarikan Kasimpulan ...... 44

viii

BAB IV. TEMUAN UMUM DAN TEMUAN KHUSUS A. Temuan Umum ………………………………………. 46 1. Tinjauan Geografi Nagari Kep. Hilalang ………...... 46 2. Tinjauan Kebudayaan Masyarakat Nagari ……...... 49 a. Isiadat…………………………………...... 52 b. Sisstem Religi dan Kepercayaan……………...... 63 c. Kesenian ………………… …………………..... 67 B. Temuan Khusus ……………………………………… 69 1. Eksistensi Seni Pertunjukan Luambek …………...... 69 a. Luambek Sebagai Tradisi Seni Pertrunjukan Rakyat ……………………………. 70 b. Luambek berperan Dalam Konteks Alek Nagari... 74 c. Peran Struktur Sosial Masyarakat Nagari dan Strutur Organisasi Luambek……………….... 84 2. Makna Pertunjukan Luambek …………………...... 102 a. Makna Denotatif dan Konotatif Syarat-syarat Pelaksanaan Alek Pauleh...... 104 b. Makna Denotatif dan Konotatif Prosedur Pelaksanaan Alek Pauleh…………….. 112 C. Pembahasan 1. Eksistensi Seni Pertunjukan Luambek……………… 123 2. Makna Pertunjukan Luambek Bagi Masyarakat …….. 136

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ...... 144 B. Saran ...... 145 DAFTAR PUSTAKA ...... 147 LAMPIRAN ...... …………………. 150

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 :Kerangka Berfikir ……………………………………...... 33 Gambar 2 : Komponen-komponen Analisis Data………………….... 45 Gambar 3 : Struktur Sosial Masyarakat Nagari Kepela Hilalang……. 87 Gambar 4 : Struktur Organisasi Luambek .. ……………………...... 93 Gambar 5 : Struktur Organisai Luambek Dalam Struktur Nagari...... 99 Gambar 6 : Tempat Duduk di Laga-laga…………………………...... 111 Gambar 7 : Proses Pasambahan Minta Izin Memainkan Randai …… 115

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Tabel suku, penghulu dan perangkatnya dalam wilayah nagari Kep. Hilalang...... 150 Lampiran 2. Organisasi KAN Nagari Kepala Hilalang …………………. 151 Lampiran 3. Dokumentasi Alek Pauleh Tinggi Gambar laga-laga dan Perlengkapan Alek Pauleh Tinggi...... 152 Gambar Tabie dan Tirai pada langit-langit laga-laga...... 152 Gambar Tabuah larangan di halaman depan laga-laga..... 153 Gambar Musik Gandang Tambua mengarak rombongan baburu babi...... 153 Gambar Fenomena saat Alek Pauleh Tinggi...... 154 Gambar Tari cindai dimainkan oleh penghulu...... 154 Gambar Pertunjukan Randai Luambek...... 155 Gambar Bundo Kanduang mengantar jamba ke Laga-laga.. 155 Gambar Makan Bajamba di laga-laga...... 156 Gambar Siriah Carano di hadapan niniak mamak...... 156 Lampiran 4. Dokumentasi Alek Pauleh Lumpuah…………………….…..... 157 Gambar laga-laga Alek Pauleh Lumpuah...... 157 Gambar Pasambahan minta izin memainkan Luambek...... 157 Gambar pemain Luambek menyalami penghulu...... 158 Gambar anak mudo memainkan Luambek...... 158 Lampiran 5. Dokumentasi Gerak lalu dan ambek……………………….. 159 Gambar gerak lalu ujuang guntiang………………………….. 159 Gambar gerak lalu simbue………………………………….. 159 Gambar gerak lalu batuah…………………………………. 160 Lampiran 6 Teks Dampeang Luambek…………………………………… 161 Teks Dampeang Jantan …………………………………….. 161 Teks Dampeang Batino…………………………………….. 162 Lampiran 7 Notasi Dampeang Luambek ………………………………… 163 Lampiran 8 Peta Administrasi Kecamatan Kabupaten Padang Pariaman… 166

xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat nagari-nagari di memiliki berbagai upacara

adat, dan ritual agama, serta acara-acara sosial yang berhubungan dengan

adat Minangkabau dan agama Islam yang dianutnya. Biasanya setiap

pelaksanaan upacara, atau acara-acara sosial masyarakat itu dimeriahkan

dengan pertunjukan berbagai kesenian tradisional sesuai dengan tradisi dan

selera masyarakat di nagari masing-masing.

Masyarakat Minangkabau di Kabupaten Padang Pariaman umumnya

memiliki seni pertunjukan tradisional Luambek. Dalam kaitan ini, sebagian

besar nagari- nagari yang terdapat di 17 kecamatan di Kabupaten Padang

Pariaman memilki seni pertunjukan Luambek, khusus di kecamatan 2x11

Kayu Tanam hanya satu nagari saja yang memiliki seni pertunjukan Luambek

yaitu nagari Kepala Hilalang. Mengapa kondisi seperti ini bisa terjadi dan

bagaimana eksistensinya dalam kehidupan sosial masyarakat nagari Kepala

Hilalang.

Seni pertunjukan Luambek cukup dikenal untuk memeriahkan

berbagai upacara dan acara sosial masyarakat nagari-nagari di Kabupaten

Padang Pariaman khususnya di nagari Kepala Hilalang. Istimewanya,

pelaksanaan pertunjukan Luambek hadir dalam bentuk satu paket pertunjukan

khusus yang berlangsung selama tiga hari berturut-turut, jauh melebihi waktu

pelaksanaan konteks upacara yang dimeriahkannya.

1

Menurut Maiyar Sutan Parmato, secara etimologis istilah Luambek

berasal dari kata lalu dan kata ambek. Kata lalu berarti lewat, jalan atau maju;

dan kata ambek berarti hambat atau menghalangi. Perkataan lalu dan ambek

dalam konteks Luambek bermakna filosofis, yaitu tidak boleh sesuka hati

memasuki suatu nagari di daerah Pariaman, karena nagari-nagari itu dijaga

secara adat. Nilai falsafah ini diapresiasi masyarakat pendukungnya sewaktu

Luambek dipertunjukkan.

Dalam konteks Minangkabau versi masyarakat Pariaman, bahwa

lalu berarti ‘menyerang’ dan ambek berarti ‘menangkis.’ Namun begitu,

secara konseptual Luambek bukanlah sejenis silat yang terdapat dalam

masyarakat Pariaman (khususnya masyarakat nagari Kepala Hilalang).

Luambek merupakan sejenis seni pertunjukan tradisional yang konsep

geraknya mengadopsi unsur-unsur gerak silat yang dimiliki oleh masyarakat

nagari-nagari dalam wilayah Pariaman. Komposisi gerak Luambek berbentuk

gerak-gerak simbolis pencak silat (gerak bayangan) yang disajikan di atas

laga-laga oleh dua orang laki-laki yang berposisi sebagai penyerang dan

penangkis. Gerak bayangan maksudnya gerak serangan dan gerak tangkisan

yang tidak dilakukan dengan kontak badan sebagaimana dua orang sedang

bersilat, tetapi motif-motif gerak silat dilakukan dalam posisi yang berjauhan

satu sama lainnya. Pertunjukan Luambek diiringi oleh dendang tradisional

Dampeang oleh dua orang Tukang Dampeang sebagai dendang khas

masyarakat Pariaman (Wawancara dengan Maiyar Sutan Parmato [60 tahun]

pada tanggal 25 April 2010 di nagari Kepala Hilalang).

2

Berdasarkan keterangan di atas, dapat dirumuskan, bahwa Luambek

adalah sejenis kesenian tradisional masyarakat Pariaman yang memiliki

komposisi gerak silat yang telah diadoptasi dalam bentuk simbol-simbol gerak

bayangan oleh dua orang pemain laki-laki (penyerang dan penangkis) dengan

posisi saling berhadapan sebagaimana dua orang sedang bersilat di atas laga-

laga (pentas tradisional khas Pariaman) yang diiringi oleh musik vokal

Dampeang.

Terdapat dua jenis Dampeang, yaitu dampeang jantan dan

dampeang batino. Dampeang jantan berfungsi untuk mengiringi gerak

Luambek dalam keadaan menyerang dan menangkis, dan dampeang batino

berfungsi untuk mengiringi gerak Luambek pada waktu tidak melakukan

serangan atau tangkisan.

Dalam penyajian Luambek, secara bergantian kedua pemain

mengadu keterampilan menyerang dan menangkis dalam bentuk gerak-gerak

bayangan, karena kedua pemain tidak boleh bersinggungan dalam melakukan

gerakannya, sehingga gerak-gerak yang bergaya pencak itu dilahirkan melalui

simbol-simbol kearifan tertentu saja. Penyerangan dilakukan untuk merebut

pakaian lawan, seperti destar, baju, kain samping, ikat pinggang yang dipakai

oleh masing-masing pemain. Sementara sang lawan berusaha setangkas

mungkin untuk menangkis serangan agar pakaiannya tidak dapat diambil oleh

penyerang.

Pertunjukan kesenian tradisional Luambek dipimpin oleh dua orang

Janang. Menurut Abdul Rivai Yogi, janang adalah anggota-anggota pengurus

3

upacara helat (menerima tamu, mendudukkan dan menghidangkan makanan),

helat janang sama dengan helat yang ada pengurusnya, ada ketuanya (Yogi,

1980: 166). Namun, Janang dalam konteks pertunjukan Luambek adalah

seseorang yang berfungsi mengawasi jalannya pertunjukan Luambek sesuai

dengan aturan pertunjukannya. Pemain Luambek yang menyalahi aturan, akan

langsung ditegur oleh Janang tersebut.

Pertunjukan setiap pasang pemain Luambek disajikan di hadapan

para ninik-mamak (pemuka adat) dari masing-masing nagari yang duduk di

atas laga-laga menghadiri Alek Pauleh yang dilaksanakan oleh suatu nagari.

Kehadiran pemuka adat dalam konteks pertunjukan ini mengindikasikan

bahwa kesenian tradisional Luambek merupakan kesenian adat yang

dibanggakan oleh para pemangku adat di nagari-nagari dalam lingkungan

daerah Pariaman.

Pelaksanaan paket pertunjukan Luambek disebut Alek Nagari (helat

nagari) atau Alek Pauleh, sedangkan konteks upacara atau acara sosial yang

dimeriahkannya dalam masyarakat nagari Kepala Hilalang adalah upacara

batagak panghulu (pengangkatan penghulu), acara peresmian balai adat,

peresmian pasar, pengangkatan kapalo mudo, dan pengangkatan muncak buru,

serta peresmian laga-laga baru.

Bangunan suasana pertunjukan alek pauleh ini lebih besar dan lebih sakral

bila dibandingkan dengan upacara atau acara yang dimeriahkannya. Kenyataan ini

didasari oleh beberapa konsep berikut: 1) Organisasi panitia alek pauleh terdiri dari

unsur-unsur masyarakat nagari yang dikoordinir oleh Kapalo Mudo; artinya panitia

alek bukan didasari atas keluarga dari suku yang mempunyai hajat upacara adat

4

tersebut; 2) Pelaksanaan pertunjukan Luambek dijalankan berdasarkan syarat dan

aturan yang ketat dengan konsep yang berhubungan dengan struktur sosial adat dan

norma-norma adat di nagari; 3) Alek ini dilaksanakan pada tempat khusus disebut

laga-laga yang hanya diperuntukkan untuk pertunjukan alek pauleh; 4) Laga-laga

dibangun berdasarkan konsep sosial masyarakat yang mengandung nilai dan norma

kehidupan bermasyarakat di nagari; 5) Peserta pertunjukan Luambek pada alek

pauleh terdiri dari kelompok-kelompok yang berasal dari beberapa nagari bertetangga

yang memiliki tradisi kesenian Luambek di daerah Pariaman; 6) Para penonton

meliputi semua lapisan masyarakat nagari pada lokasi alek pauleh tersebut beserta

masyarakat nagari tetangganya; 7) Para pemuka adat dan masyarakat nagari

pelaksana alek pauleh memposisikan alek ini menjadi peristiwa penting dalam

kehidupan sosial masyarakatnya, sekaligus sebagai simbol eksistensi nagari mereka.

Sehubungan dengan masalah di atas, maka eksistensi seni pertunjukan

Luambek dalam konteks sosio-budaya masyarakat nagari Kepala Hilalang, dapat

diidentifikasi dari dua sudut pandangan pokok, yaitu 1) masalah kepemilikan tradisi

kesenian Luambek; dan 2) masalah nilai atau makna yang dikandung dalam konteks

pertunjukan Luambek.

Pertama, masalah kepemilikan tradisi kesenian Luambek di nagari

Kepala Hilalang berhubungan langsung dengan struktur sosial adat di nagari.

Masyarakatnya memposisikan Luambek sebagai ”suntiang niniak-mamak,

pamenan anak mudo-mudo” (perhiasan ninik-mamak atau pimpinan adat,

permainan anak-anak muda). Lembaga adat niniak mamak di nagari yang

anggotanya terdiri dari para penghulu suku (pemuka adat) berposisi sebagai

pemilik kesenian Luambek. Namun, praktisi baluambek dilegalisasikan

kepada para pemuda di nagari yang telah mendapat pendidikan adat dan

5

agama sebagai syarat menjadi pemain Luambek; maksudnya tidak boleh

sembarang pemuda sebagai pelaku pertunjukan Luambek, dan segala aktivitas

yang berkenaan dengan pertunjukan Luambek harus terlebih dahulu seizin

niniak mamak. Dengan begitu, semua aktivitas baluambek, baik proses latihan

maupun pertunjukannya dikoordinir oleh seorang ketua pemuda yang ditunjuk

secara adat disebut Kapalo Mudo. Keadaan ini sesuai dengan temuan Edi

Sedyawati (1981: 72), bahwa “dalam kebudayaan Minangkabau, kegiatan

pencak maupun tari dilakukan oleh suatu kelompok warga komuditi yang

disebut orang mudo. Mereka ini terdiri dari kaum lelaki yang bukan niniak

mamak. Mereka merupakan suatu golongan masyarakat tersendiri.”

Ungkapan masyarakat yang menempatkan Luambek sebagai suntiang

niniak mamak, pamenan anak mudo tersebut, menunjukkan adanya sinergi

pemuka adat dengan generasi muda, sekaligus mengisyaratkan bahwa

kesenian Luambek menjadi simbol status yang paling tinggi dalam kehidupan

sosio-budaya masyarakat nagari Kepala Hilalang khususnya dan daerah rantau

Pariaman umumnya. Di sini niniak mamak mengemban tanggungjawab ganda

terhadap pelestarian adat nagari dan pelestarian etika yang berhubungan

dengan tradisi baluambek yang terakumulasi dalam aturan atau syarat-syarat

pelaksanaannya. (Wawancara dengan Abusani Syam [70 tahun] pada tangal

25 April 2010 di Tarok, nagari Kepala Hilalang).

Kedua, masalah nilai atau makna yang dikandung dalam konteks

pertunjukan Luambek berhubungan erat dengan manfaat sosial yang secara

otomatis diraih oleh masyarakat pelaksana alek pauleh. Dalam hal ini,

6

Luambek sebagai seni pertunjukan tradisi menjadi bagian yang integral dari

kehidupan sosio-kultural masyarakat nagari Kepala Hilalang. Alek pauleh

berfungsi sebagai wahana atau wadah untuk menciptakan kekuatan sosial

masyarakat di nagari, sehingga kesenian ini menjadi bahagian kehidupan

berbudaya yang memiliki keterkaitan langsung dengan struktur sosial

masyarakat nagari.

Alhasil, konteks alek pauleh mengandung nilai-nilai kemasyarakatan

yang memberikan makna sosial sebagai berikut: 1) alek pauleh dipandang

sebagai acara keramaian untuk “menambah semaraknya suatu pelaksanaan

seremoni upacara adat”; 2) menempatkan alek pauleh sebagai simbol sosio-

budaya yang berfungsi untuk meningkatkan “hubungan silaturahim antar

masyarakat dalam satu nagari”; 3) menempatkan Luambek sebagai simbol

sosio-budaya yang berfungsi untuk meningkatkan “hubungan silaturahmi antar

pemuka adat dan masyarakat nagari yang bertetangga;” 4) suatu aktivitas yang

berfungsi untuk “meningkatkan gengsi suatu upacara” yang sedang

dilaksanakan, sehingga pelaksanaan seremoni upacara tersebut dirasakan lebih

total sebagai upacara yang beradat; 5) keberadaan kesenian Luambek berperan

untuk “memupuk rasa kebanggaan bagi masyarakat nagari” yang

melaksanakan alek pauleh terhadap masyarakat nagari lainnya di daerah

Pariaman.

Dapat disimpulkan, bahwa hikmah atau nilai sosial utama dari

pertunjukan Luambek adalah mepererat hubungan silaturrahim antar

masyarakat di nagari lokasi pelaksanaan pertunjukan, sekaligus memupuk

7

silaturrahim antar masyarakat nagari yang bertetangga. Melalui konteks

pertunjukan Luambek akan terbangun komunikasi antara ninik mamak dengan

masyarakatnya, dan timbulnya rasa sosial dari masyarakat nagari untuk saling

membantu antar sesama sehingga mendorong keikhlasannya untuk

memberikan sumbangan terhadap biaya pelaksanaan helat nagari yang

tanggung-jawabnya dilaksanakan secara bersama.

Oleh karena niat untuk meraih kebanggaan nagari ini, maka

masyarakat nagari termotivasi untuk mengadakan alek pauleh sebagai suatu

seremoni upacara masyarakat di nagari. Mereka ikut menyumbangkan uang

pembiayaan, ikut menyumbangkan tenaga untuk proses pelaksanaan helat,

ikut bertanggungjawab menjaga keamanan, ikut bertanggungjawab melayani

tamu, karena setiap tamu yang datang dari luar nagarinya, akan disediakan

makan dan pemondokan oleh panitia alek pauleh.

Berdasarkan keterangan di atas, diketahui bahwa pertunjukan

Luambek di nagari Kepala Hilalang tidak terlepas dari kehidupan masyarakat,

sebagaimana yang dikemukakan oleh Umar Kayam bahwa “kesenian tidak

pernah berdiri sendiri lepas dari masyarakat. Salah satu bagian yang penting

dari kebudayaan, kesenian adalah ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu

sendiri. Masyarakat yang menyangga kebudayaan ….” (1981: 39).

Pertunjukan Luambek dalam helat nagari (alek pauleh) Kepala

Hilalang menjadi salah satu unsur penting untuk eksistensi nagari tersebut, dan

dipandang masyarakatnya sebagai helat yang tinggi adatnya. Hal ini sesuai

dengan pandangan Hamka (1984:83-84), bahwa “Adat bagi orang

8

Minangkabau dipandang sebagai suatu kebudayaan yang utuh, …. di

dalamnya meliputi cara-cara hidup, tata tertib, kesenian dan filsafat.”

Sehubungan dengan hal di atas, perlu dipahami bahwa pertunjukan

Luambek merupakan bagian dari kebudayaan, yang hadir dan eksis serta

memilki makna tersendiri bagi masyarakat pendukungnya. Keberadaannya

merupakan ungkapan kreativitas dan manifestasi dari kehidupan masyarakat

pendukungnya.

Keberadaan Luambek pada suatu nagari di Kabupaten Padang

Pariaman khususnya nagari Kepala Hilalang merupakan kebanggaan dan

sebagai simbol status suatu nagari. Untuk meraih kebanggaan dan simbol

status tersebut, maka masyarakat nagari terdorong untuk mengadakan alek

pauleh sebagai resepsi suatu upacara masyarakat di nagari. Untuk pelaksanaan

aleh pauleh tersebut, biasanya dengan penuh keikhlasan masyarakat nagari

yang bersangkutan ikut menyumbangkan uang pembiayaan, ikut

menyumbangkan tenaga untuk proses pelaksanaan helat, ikut

bertanggungjawab menjaga keamanan, ikut bertanggungjawab melayani tamu,

karena setiap tamu yang datang dari luar nagarinya, akan disediakan makan

dan pemondokan oleh panitia alek pauleh.

Aktivitas alek paauleh di atas biasanya dilaksanakan selama tujuh

hari tujuh malam. Sesuai dengan ketentuan adat dan kesepakatan niniak

mamak nagari, hari pertama sampai hari ketiga adalah hari yang dikhususkan

untuk pertunjukan Luambek. Selama tiga hari tersebut, tidak boleh satupun

ada bunyi-bunyian di sekitar arena pertunjukan atau arena helat, misalnya

9

tidak boleh menghidupkan pesawat televisi, atau pertunjukan jenis hiburan

lainnya, sebab masyarakat setempat memandang acara baluambek adalah helat

yang tinggi ritual adatnya. Semua aturan yang terdapat dalam aktivitas

baluambek tersebut dijunjung tinggi dan dipatuhi oleh masyarakat setempat.

Di tengah-tengah proses globalisasi, terjadinya kontak-kontak

budaya yang menyertai gerakan masyarakat tidak dapat dihindari lagi.

Intensitas kontak-kontak budaya itu sedikit banyak akan mempengaruhi

kehidupan dan perkembangan suatu tradisi dalam masyarakat termasuk

persepsi dan apresiasi masyarakat dalam memandang suatu kesenian termasuk

seni pertunjukan Luambek. Namun karena masyarakat nagari Kepala Hilalang

adalah masyarakat yang terbuka, bisa menerima masuknya budaya asing

dengan penuh kebijaksanaan dan menggunakan filter norma adat dan agama

Islam, sehingga tradisi seni pertunjukan Luambek dapat hidup berdampingan

dengan seni pertunjukan yang datang dari budaya asing. Namun para generasi

muda lebih menyenangi seni pertunjukan yang datang dari budaya asing

seperti orgen tunggal, musik dangdut, musik modern dan lain-lain.

Walaupun para generasi muda kurang menyenangi kesenian tradisi

nagarinya, namun untuk membatasi pengaruh budaya asing para penghulu

nagari setempat tetap berusaha mengarahkan anak kemenakannya mulai dari

tingkat sekolah dasar untuk mempelajari seni pertunjukan Luambek, karena

dalam mempelajari seni pertunjukan Luambek sekaligus terkandung nilai adat,

agama, dan nilai sosial kemasyarakatan.

10

Sehubungan dengan hal di atas, berarti dalam kehidupan masyarakat

nagari Kepala Hilalang di samping menerima pengaruh budaya asing,

masyarakatnya masih tetap mempertahankan kesenian tradisinya khusus

kesenian Luambek. Sehubungan dengan mempertahankan kesenian

tradisional, Edi Sedyawati menjelaskan bahwa:

Ada alasan-alasan untuk mempertahankan kesenian tradisional, tetapi jelas tidak semata-mata menjadikannya barang mati. Salah satu alasan mempertahankan seni pertunjukan tradisional adalah pengenalan secara luas dan sering --satu keakraban dengan sesuatu yang dikenal mempunyai arti sebagai pembentuk ketentraman awal, semacam bekal minimum, sebagai suatu landasan untuk menggerakkan karya bagi seniman, untuk mewujudkan apresiasi bagi sipenikmat .… Hal lain yang membuat usaha menghidupkan seni pertunjukan tradisional adalah kenyataan adanya arus keras pengaruh dari luar tradisi-tradisi yang memungkinkan timpangnya keseimbangan …. maka yang patut diusahakan adalah untuk membuat tradisi-tradisi kesenian itu tidak kehilangan hidupnya, untuk membuatnya senantiasa mampu menyediakan iklim merdeka dalam mewujudkan aspirasi manusia seniman, aspirasi masyarakat (1981: 51).

Bertitik tolak dari fenomena di atas, hal yang menarik di sini adalah

kenapa masyarakat nagari Kepala Hilalang masih tetap mempertahankan

tradisi seni pertunjukan Luambek terutaman dalam konteks helat nagari.

Faktor apa yang mendukung sehingga seni pertunjukan Luambek di tengah-

tengah globalisasi ini masih tetap eksis dalam kehidupan masyarakat nagari

Kepala Hilalang. Makna sosial apa yang dimilki oleh Luambek sehingga

masyarakat perlu mempertahankan kesenian Luambek tersebut. Dengan

demikian persoalan makna yang terkandung tradisi seni pertunjukan Luambek

menarik untuk ditelusuri melalui penelitin ini, terutama untuk mahami

eksistensinya dalam masyarakat. Selanjutnya untuk memahami makna yang

11

terkandung dalam tradisi seni pertunjukan Luambek, sangat menarik dikaji

terutama dalam rangka pelestarian dan perkembangan seni pertunjukan

Luambek. Dengan demikian penelitian terhadap eksistensi seni pertunjukan

Luambek ini penting dilakukan.

Kehadiran Luambek pada upacara helat nagari di Kepala Hilalang

merupakan hal yang cukup unik dan menarik untuk dikaji karena segala

aktivitas yang berkaitan dengan pertunjukan Luambek sangat terkait dengan

adat dan struktur masyarakat. Dalam kaitan ini aktivitas budaya dalam bentuk

helat nagari yang menghadirkan pertunjukan Luambek dipandang oleh

masyarakat nagari Kepala Hilalang sebagai jenis pertunjukan yang beradat.

B. Fokus dan Masalah Penelitian

Pada kesempatan ini, peneliti memfokuskan penelitian pada

eksistensi seni pertunjukan Luambek dalam kehidupan sosial masyarakat

Nagari Kepala Hilalang, Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam, Kabupaten Padang

Pariaman.

Selanjutnya berdasarkan fokus penelitian ini, peneliti mengajukan

pertanyaan penelitian, sebagai berikut:

1. Bagaimana seni pertunjukan Luambek eksis dalam kehidupan masyarakat

nagari Kepala Hilalang?

2. Bagaimana makna pertunjukan Luambek bagi masyarakat nagari Kepala

Hilalang dalam konteks helat nagari atau “Alek Pauleh”.

12

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan:

1. Foktor-faktor yang menyebabkan eksisnya seni pertunjukan Luambek

dalam kehidupan masyarakat nagari Kepala Hilalang.

2. Makna pertunjukan Luambek bagi masyarakat nagari Kepala Hilalang

dalam konteks helat nagari atau ”Alek Pauleh”

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Manfaat bagi akademisi, yaitu sebagai bahan kajian pengembangan ilmu

pengetahuan di bidang Antropologi Budaya dan Sosiologi terutama dalam

bidang seni pertunjukan Luambek di nagari Kepala Hilalang.

2. Memberi masukan bagi lembaga pendidikan kesenian seperti STSI

Padangpanjang dan pendidikan kesenian jenis lainnya, sekaligus menjadi

dokumentasi dan inventarisasi bagi STSI Padangpanjang untuk dapat

digunakan bila diperlukan.

3. Bagi peneliti lain yang berminat, dapat memakainya sebagai bahan

komparasi dan acuan dalam penelitian lanjutan dengan memperluas

permasalahan yang bermanfaat untuk dunia ilmu pengetahuan.

13

14

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Eksistensi

Arif Wibowo (2008) memperkenalkan bahwa dari sudut etimologi

eksistensi berasal dari kata eks yang berarti diluar dan sistensi yang berarti

berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai

berdiri sendiri sebagai dirinya sekaligus keluar dari dirinya. Eksistensialisme

merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia,

dimana manusia dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi,

mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan

pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret yakni manusia sebagai

eksistensi (Staff.blog.ui.ac.id, diakses 27 Juli 2010)

Hasan menyatakan bahwa filsafat harus bertolak pada manusia yang

kongkret, yaitu manusia sebagai eksistensi dan bagi manusia eksistensi itu

mendahului esensi. Sebagai filsafat yang menentukan eksistensi manusia

sebagai tema sentral, eksistensialisme tumbuh sebagai suatu ragam filsafat

antropologi. Ada beberapa ciri eksistensialisme, yaitu, selalu melihat cara

manusia berada, eksistensi diartikan secara dinamis sehingga ada unsur berbuat

dan menjadi, manusia dipandang sebagai suatu realitas yang terbuka dan belum

selesai, dan berdasarkan pengalaman yang konkret ….. Dan ilmu-ilmu lain

14

yang berkaitan dengan eksistensialisme adalah ilmu-ilmu yang berkaitan

dengan manusia seperti sosiologi (berkaitan dengan manusia dan

keberadaannya di dalam lingkungan sosial), antropologi (berkaitan anatar

manusia dengan lingkungan budayanya). (Hasan, 2009: 7).

Sehubungan dengan eksistensi seni pertunjukan Luambek dalam

kehidupan sosial masyarakat nagari Kepala Hilalang sangat berkaitan dengan

keberadaan manusia di dalam lingkungan masyarakatnya dan berkaitan dengan

bagaimana kesadaran manusia dengan lingkungan budayanya.

2. Seni Pertunjukan

Umar Kayam (2003: 98) menjelaskan bahwa seni pertunjukan lahir

dalam masyarakat dan ditonton oleh masyarakat. Ia lahir dan dikembangkan

oleh masyarakat. ---Dalam masyarakat itu sendiri hadir berbagai sistem sosial

yang menggerakkan dinamika masyarakat (sistem kekuasaan, sistem sosial,

sistem kepercayaan dan sebagainya), maka seni pertunjukan yang tumbuh dan

berkembang itu, tidak bisa tidak (pasti) dipengaruhi oleh sistem-sistem

tersebut.

I Made Bandem (2004: 1) menjelaskan bahwa seni pertunjukan tradisi

merupakan bagian integral dari kehidupan sosio-kultural-religius masyarakat,

yang dipertunjukkan dalam berbagai upacara ritual keagamaan, yang

menciptakan semacam kekuatan sosial sebuah masyarakat tradisi.

15

Seni tradisional sebenarnya bukan saja warisan budaya leluhur yang

perlu dilestarikan, tetapi juga menyangkut kehidupan beberapa kelompok

warga masyarakat yang tergantung kepadanya. Oleh karena itu, seni

tradisional harus dihindarkan dari bahaya kepunahan. Usaha menolong seni

tradisional tidak dapat dilakukan secara serabutan dan hanya berdasarkan

pemahaman atas gejala-gejala yang tampak di permukaan semata, tetapi harus

berdasarkan pada pemahaman atas hal-hal yang mendasar yang menyebabkan

kemundurannya. ((Kayam, dkk, editor Ahimsa, 2000: 393).

Seni pertunjukan Luambek merupakan bagian yang integral dari

kehidupan sosio-kultural masyarakat, yang dipertunjukkan dalam berbagai

upacara ritual yang menciptakan semacam kekuatan social sebuah masyarakat

tradisi. Secara konseptual kesenian Luambek merupakan salah satu jenis seni

pertunjukan tradisional Minangkabau yang hidup dan berkembang di daerah

budaya Pariaman (Rantau Pesisir Minangkabau).

3. Pengertian Luambek

Secara etimologis Luambek berasal dari kata ‘lalu’ dan ‘ambek’. Kata

‘lalu’ berarti lewat, jalan, dan maju; sedangkan kata ‘ambek’ berarti hambat

atau menghalangi. Perkataan ‘lalu’ dan ‘ambek’ dalam konteks Luambek

bermakna, bahwa tidak boleh sesuka hati memasuki suatu nagari di daerah

Pariaman, karena nagari-nagari itu dijaga secara adat. Suasana ini dilahirkan

dalam bentuk seni pertunjukan Luambek.

16

Luambek terdiri dari dua bagian, yaitu Randai Luambek dan Luambek.

Randai Luambek adalah suatu komposisi gerak pencak yang dibawakan oleh

tujuh hingga sebelas orang pemain laki-laki dengan formasi penyajiannya

memakai pola lantai melingkar. Salah seorang di antaranya dipercayai

memimpin penyajian Randai Luambek disebut Tukang Aliah. Dia sekaligus

bertindak memberi aba-aba untuk menukar pola gerak yang telah dimainkan

sebelumnya dengan pola gerak berikutnya, kemudian diikuti oleh semua

pemain randai.

Luambek adalah sejenis gerak pencak yang dibawakan oleh dua orang

pemain laki-laki dengan posisi saling berhadapan. Satu orang pemain

berperan sebagai palalu (penyerang) dan satu orang lagi berperan sebagai

paambek (penangkis). Secara bergantian kedua pemain mengadu keterampilan

menyerang dan menangkis dalam bentuk simbol-simbol gerak. Dalam hal ini

kedua pemain adu keterampilan mempertahan simbol kebesaran penghulu

nagarinya masing-masing melalui simbol-simbol gerak yaitu: (1) gerak lalu

deta yang harus ditangkis dengan gerak ambek deta, gerak ini ingin

mengambil saluak penghulu; (2) gerak lalu ujuang guntiang yang harus

ditangkis dengan gerak ambek ujuangn guntiang, gerak ini ingin

mengguntingn pakaian penghulu; (3) gerak lalu batuah yang harus ditangkis

dengan gerak ambek batuah, gerak ini ada dua keinginan yaitu memukul dan

menembil saluak penghulu; (4) gerak lalu simbue yang harus ditangkis

17

dengan gerak ambek simbue, gerak ini ingin membuka pakaian atau

mengambil keris penghulu.

Dalam melakukan gerakan menyerang dan menangkis kedua pemain

tidak boleh melakukan kontak fisik atau bersinggungan. Gerak-gerak yang

bergaya pencak dilahirkan melalui simbol-simbol gerak sebagaimana

dimaksud, apabila sipemain yang berperan sebagai paambek (penangkis) tidak

dapat menghambat gerak lalu (serangan) dari pasangan mainnya, maka

menurut konsep pertunjukan Luambek dia disebut “buluih” atau kalah. Dalam

hal ini yang mendapat malu bukan hanya diri pemain itu sendiri, akan tetapi

yang mendapat malu adalah nagari, niniak mamak nagari yang diwakilinya.

4. Sosio dan Budaya

James M. Henslin (2006: 4) menjelaskan bahwa perspektif sosiologis

(sociological perspective) menekankan pada konteks sosial dalam mana

manusia hidup. Perspektif sosiologis mengkaji bagaimana konteks tersebut

mempengaruhi kehidupan manusia. Inti perspektif sosiologis pertanyaan

bagaimana kelompok mempengaruhi manusia, khususnya manusia

dipengaruhi masyarakat (society) mereka sekelompok manusia yang memiliki

kebudayaan dan wilayah bersama. Untuk mengetahui mengapa manusia

melakukan apa yang mereka lakukan, para sosiolog mempelajari lokasi

sosial (social location), sudut-sudut kehidupan yang ditempati manusia

karena lokasi mereka dalam suatu masyarakat. Para sosiolog melihat

18

bagaimana pekerjaan, penghasilan, pendidikan, gender, dan ras-etnisitas

mempengaruhi ide dan perilaku manusia.

Raymond William (1994; 585-586) dalam sosiologi budaya terdapat

tiga jenis komponen pokok, yaitu lembaga budaya (insitutions), isi budaya

(content), dan efek budaya (effects). Lembaga budaya akan menanyakan

siapa yang menghasilkan produk budaya, siapa yang mengontrol, dan

bagaimana kontrol itu dilakukasn; isi budaya menanyakan apa yang

dihasilkan atau simbol apa yang diusahakan; sementara efek budaya akan

menanyakan konsekwensi apa yang diharapkan dari proses budaya itu.

Koentjaraningrat (1990: 180) menjelaskan bahwa kebudayaan adalah

keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka

kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar

berarti bahwa seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan.

J.J. Honigmann (1959: 11-12) dalam Koentjaraningrat, membedakan

ada tiga “gejala kebudayaan” (wujud kebudayaan) yaitu: (1) wujud

kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-

norma, peraturan dan sebagainya; (2) wujud kebudayaan sebagai suatu

kompleks aktivitas atau tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat; (3)

wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia (1980: 186-187).

19

5. Fungsionalisme Struktural

Fungsionalisme struktural adalah salah satu paham atau perspektif dalam

sosiologi yang memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang terdiri dari

bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain dan bagian yang satu tak

dapat berfungsi tanpa ada hubungan dengan bagian yang lain (Raho, 2007: 48).

Dalam fungsionalis struktural, istilah struktural dan fungsional tidak selalu perlu dihubungkan, meski keduanya biasanya dihubungkan. Kita dapat mempelari struktur masyarakat tanpa memperhatikan fungsinya (atau Akibatnya) terhadap struktur lain. Begitu pula dapat menelitui fungsi bertbagai proses sosial yang mungkin tidak mempunyai struktur. Ciri utama pendekatan fungsionalisme struktural memperhatikan kedua unsur itu. Meski fungsionalisme struktural mempunyai berbagai bentuk (Abrahamson, 1978), fungsionalisme kemasyarakatan (social functionalism) adalah pendekatan dominan yang digunakan dikalangan fungsionalis struktural sosiologi (Sztompka, 1974) ..... Sasaran perhatian utama fungsionalisme kemasyarakatan adalah struktur sosial dan institusi masyarakat berskala luas, antar hubungannya, dan pengaruhnya terhadap aktor (Ritzer, 2008: 118). Redclife-Brown memperkenalkan gagasan ”struktur” di bidang

antropologi, ... bahwa ”struktur adalah tatanan fakta: sesuatu yang dilekatkan

orang ketika mengamati sesuatu masyarakat tertentu”:..... Selanjutnya Brown

menjelaskan bahwa struktur adalah cara yang sering digunakan individu

untuk menyosok dan mengasosiasikan dirinya sendiri dalam suatu

masyarakat. Oleh karenanya setiap struktrur bersifat khas, dan tidak dapat

diterjemahkan ke dalam struktur lain (Paz, 1997: 7-8).

Bernard Raho, SVD (2007: 49) dalam Teori Sosiologi Modern

mengutip pendapat Kingsley Davis dan Wilbert Moore yang menyatakan

20

bahwa, salah satu karya yang cukup terkenal dari fungsionalisme struktural

ialah teori tentang stratifikasi sosial. Teori ini dikemukakan oleh Kingsley

Davis dan Wilbert Moore (1945). Davis dan Moore menganggap stratifikasi

sosial sebagai satu kenyataan yang universal dan perlu untuk

mempertahankan keberlangsungan hidup suatu masyarakat. Mereka

berpendapat bahwa tidak ada masyarakat yang tidak punya sistem stratifikasi

sosial. Stratifikasi adalah suatu keharusan. Tetapi mereka menambahkan

bahwa stratifikasi yang mereka maksudkan bukannya individu-individu yang

ada dalam sistem stratifikasi itu melainkan sistem posisi-posisi. Mereka

memusatkan perhatiannya posisi-posisi yang mengandung prestise-prestise

yang berbeda-beda dalam masyarakat dan bukannya pada individu-individu

yang menduduki posisi tertentu.

Selanjutnya, teori struktural fungsional lebih menghasilkan satu

perspektif yang menekankan harmoni dan regulasi karena dibangun atas dasar

sejumlah asumsi-asumsi homeostatik yang dapat dikemukakan lebih jauh

sebagai berikut: (a) masyarakat harus dilihat sebagai suatu tim kompleks,

terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling tergantung, dan

setiap bagian tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian

lainnya; (b) setiap bagian dari sebuah masyarakat eksis karena bagian

teresebut memiliki fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas

masyarakat secara keseluruhan; karena itu, eksistensi itu bagian tertentu dari

masyarakat dapat diterangkan apabila fungsinya bagi masyarakat sebagai

21

keseluruhan dapat diidentifikasikan; (c) semua masyarakat mempunyai

mekanisme untuk mengintegrasikan diri; sekalipun integrasi social tidak

pernah tercapai secara sempurna, namun system social senantiasa akan

berproses ke arah itu; (d) perubahan dalam system social umumnya terjadi

secara gradual, melalui proses penyesuaian, dan tidak terjadi secara

revolusioner; (e) factor penting yang mengintegrasikan masyarakat adalah

adanya kesempatan di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai

kemasyarakatan tertentu; (f) masyarakat cendrung mengarah pada suatu

keadaan equilibrium atau homeostatis (Maliki (2004: 45-46).

Sehubungan dengan pendapat di atas, eksistensi Luambek dalam

masyarakat nagari Kepala Hilalang dapat ditinjau dari perspektif sosiologi

yang memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang terdiri dari bagian-

bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Hal ini sangat terkait dengan

stratifikasi sosial dalam masyarakat nagari dan stratifikasi sosial dalam

organisasi Luambek itu sendiri. Dalam hal ini struktur masyarakat yang

dimaksud adalah struktur sosial dalam nagari yang terkait dengan Tungku

Tigo Sajarangan yang meliputi niniak mamak, alim ulama, dan cadiak

pandai; dan struktur sosial dalam organisasi Luambek yang terkait dengan

jabatan niniak mamak sebagai pemilik kesenian Luambek, Urang Tuo sebagai

penasehat Kapalo Mudo, Kapalo Mudo sebagai koordinator, pembina, dan

pelatih anak mudo dalam kesenian Luambek. Kedua bentuk struktur ini

merupakan stratifikasi sosial yang diduduki oleh individu tertentu untuk

22

memusatkan perhatian pada posisi dan fungsinya dalam masyarakat terutama

dalam memelihara keberlangsungan kehidupan sosial dan budaya termasuk

kesenian Luambek sebagai “suntiang nimniak mamak, pamenan anak mudo”.

6. Interaksi Sosial

Interaksi terjadi jika satu individu melakukan tindakan, sehingga

menimbulkan reaksi pada individu-individu yang lain. Karena itu interaksi

terjadi dalam kehidupan sosial. Dengan kata lain interaksi dapat diartikan

hubungan timbal balik atau saling mempengaruhi di antara gejala aneka

kehidupan yang dilakukan oleh manusia. Interaksi sosial merupakan sarana

atau alat dalam mencapai kehidupan sosial. Adanya interaksi sosial

merupakan naluri manusia yang sejak lahir membutuhkan pergaulan dengan

sesamanya. Kehidupan sosial tersebut meliputi: kegiatan-kegiatan bersama,

keteraturan sosial dan control social, berkomunikasi antar sesama. Interaksi

berasal dari kata inter dan aksi. Aksi (action) yang dimaksud adalah tindakan.

Tindakan oleh Max Weber diartikan sebagai perilaku yang mempunyai makna

subjektif bagi pelakunya (the subjective meaning of action). Maksudnya

adalah bahwa makna yang sebenarnya dari suatu tindakan hanya diketahui

dengan benar oleh pelakunya (aktor) sendiri. (http:/ bumikupijak.com diakses

27 Juli 2010).

“Karakteristik dasar dari interaksi simbolis adalah suatu hubungan

yang terjadi secara alami antara manusia dalam masyarakat dan hubungan

23

masyarakat dengan individu. Interaksi yang terjadi antara individu dengan

individu, kelompok dengan kelompok berkembang melalui simbol-simbol

yang mereka ciptakan. Realitas sosial merupakan rangkaian peristiwa yang

terjadi pada beberapa individu dalam masyarakat. Interaksi simbolik juga

ditemui pada kesenian Luambek berupa symbol-simbiol meliputi suntiang

niniak mamak, pamenan anak mudo, alek pauleh, laga-laga/pauleh, mamakan

bungo pinang, pasambahan, lalu, ambek, buluih, yang semuanya itu

mempunyai makna bagi masyarakatnya.

7. Makna Simbolis

Makna melibatkan simbol dan rujukan yang disebut referensil.

Spradley (1997: 122-125) menjelaskan teori rasional tentang makna

didasarkan pada premis berikut: makna simbol apapun merupakan hubungan

simbol itu dengaan simbol lain; (1) makna budaya disandikan dalam simbol-

simbol; (2) bahasa merupakan simbol utama yang menyandikaan makna

budaya dalam masyarakat. Bahasa dapaat digunakan untuk membicarakan

semua simbol lain yang diandaikan; (3) makna simbol apapun merupakan

hubungan dari simbol itu dengan simbol lain dalam suatu budaya tertentu; (4)

tugas etnografi adalah memberi sandi simbol-simbol budaya serta

mengidentifikasikan aturan-aturan penyhandian yang mendasari. Tugas inin

dapat dilaksanakan dengan cara menemukan hubungan- hubungan di antara

berbagai simbol budaya.

24

Cliford Geertz (1992:39) menyatakan bahwa melihat dimensi- dimensi

simbolis dari tindakan sosial – seni, agama, idiologi, ilmu pengetahuan,

hukum, moralitas, akal sehat – bukanlah berpaling dari dilema-dilema

kehidupan yang bersifat eksistensial ke bidang kelembagaan tertentu dari

bentuk-bentuk yang dikosongkan dari emosi, melainkan terjun ketengah-

tengah mereka.

Kunci pertama untuk memahami kualitas dan makna simbol harus

dirujuk pada lingkungan di mana dia terkait dan merupakan bahagian dari

lingkungan tersebut. Selanjutnya bukan hanya kodrat (nature)ndari lambang

itu sendiuri tapi juga harus dilihat pada hubungan yang diperhitungkan pada

saat memilih simbol itu sendiri. Pada waktu yang bersamaan kita tidak dapat

melupakan keseluruhan sifat dari objek yang dipergunakan sebagai simbol.

Sebab objeek simbol dan kelompok manusia yang menggunakan simbol itu

cendrung mempresentasikan hubungan terkoordinir dalam suatu situasi

tertentu (Pelly, 1984: 84).

Mircia Eliade sebagaimana dikutib Hans J. Daeng mengatakan bahwa

simbol mengungkapkan aspek-aspek terdalam dari kenyataan yang tidak

terjangkau oleh alat pengenalan lain. Gambar, simbol dan mitos

mengungkapkan modalitas yang paling rahasia (daeng, 2000: 82-83).

Aspek makna dalam Luambrk merupakan suatu fenomena budaya.

Kajian ini akan memberikan analisis dan pemahaman tentang Luambek

sebagai salah satu unsur dari kebudayaan masyarakat Minangkabau yang

25

mencerminkan perilaku, tradisi dan pandangan hidup masyarakat,

sebagaimana yang dikemukakan Cligford Geertz bahwa kebudayaan adalah

sistem pemaknaan yang dimiliki bersama, karena ityu merupakan hasil dari

proses sosial dan bukan proses perorangan (1973: 39).

Sistem simbol adalah sesuatu yang diciptakan oleh manusia dan secara

konvensional digunakan bersama, teratur dan benar-benar dipelajari,

ssehingga memberi pengertian hakekat manusia, yaitu suatu kerangka yang

penuh dengan arti untuk mengorientasikan dirinya kepada yang lain, kepada

lingkungannya, dan pada dirinya sendiri, srta sekaligus sebagai prodduk dan

ketergantungan dengaan interaksi sosial (1973: 250).

Pelly (1994:85) menjelaskan simbol sebagai ‘pengetahuan bisu yang

tidak dapat diungkapkan’ (tacit knowledge). Bentuk eksplisit dari simbolisme

adalah makna (signifiers) yang melekat pada apa yang diberi makna

(signified), seperti hubungan antara bunyi dan arti dalam ilmu bahasa

simbolisme bukan saja merupakan suatu instruksi dari komunikasi sosial,

tetapi suatu kelengkapan yang lahir dalam mental yang membuat pengalaman

manusia bisa bermakna. Orang tidak saja berinteraksi dengan orang lain

tetapi secara simbolis orang dapat berinteraksi dengan dirinya sendiri.

Cassirer (1987:294) menjelaskan bahwa manusia makhluk yang penuh

dengan simbol (lambang). Melalui simbol atau lambang seluruh budaya

manusia dapat diungkap, yang perlu ditangkap adalah makna dari suatu benda

tertentu. Kebudayaan sebagai wadah yang memuat pengalaman serta

26

pengetahuan manusia secara keseluruhan diturunkan dan diajarkan dari

generasi ke generasi berikutnya melalui sistem simboliknya.

Frondizi (1963:194) menyatakan bahwa sebuah pertunjukan

mempunyai nilai dan makna dan keberadaannya hanya di dalam situasi yang

konkrit dan tertentu. Sebuah pertunjukan merupakan simbol yang memiliki

makna sesuai dengan situasi ketika pertunjukan itu dipergelarkan.

Dapat disimpulkan bahwa meterial apapun bentuknya dapat memberi

makna dari simbol-simbol melalui benda-benda, gambar dan tulisan, sehingga

dapat memberikan suatu komunikasi baik verbal maupun visual.

B. Penelitian yang Relevan

Tinjauan terhadap penelitian yang relevan perlu dilakukan untuk

menelaah berbagai sumber yang ada relevansinya dengan penelitian yang

dilakukan. Di samping itu juga bertujuan untuk menghindari terjadinya

duplikasi dengan hasil penelitian lainnya.

Penelitian terhadap seni pertunjukan Luambek ini telah penulis

lakukan pada tahun (1979) untuk skripsi sarjana muda ASKI Padangpanjang

yang berjudul “Luambek di Kecamatan 2 x 11 Enam Lingkung, bersifat

informasi awal membahas tentang pengertian Luambek, syarat-syarat

penyajian Luambek, bentuk penyajian Luambek, randai bajalan malam

luambek bajalan siang, jenis dampeang Luambek, luambek mendidik

27

kewaspadaan, keterampilan fisik dan mental. Tulisan ini dijadikan sumber

utama untuk dapat memahami konsep pertunjukan .

Pada tahun (1992) penelitian dilanjutkan untuk skripsi Sarjana

Etnomusikologi FS USU Medan yang berjudul “Analisis Musik Vokal

Dampeang Luambek di Nagari Kepala Hilalang Kecamatan 2 x 11 Enam

Lingkung Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat”, membahas tentang

fungsi dan penggunaan dampeang, makna teks dampeang secara semantic

dan simbolis, fungsi teks dalam pengungkapan melodi dan analisis melodi

dampeang.

Pada tahun (1994) penelitian tentang seni pertunjukan Luambek

dilanjutkan lagi dengan judul “Studi Tekstual Dampeang Luambek di nagari

Kepala Hilalang Kecamatan 2 x 11 Enam Lingkung Kabupaten Padang

Pariaman (Analisis Pantun dan Penggarapannya)”, membahas tentang

dampeang sebagai musik tari Luambek meliputi musik vocal dampeang,

teks dampeang, struktur dan peranannya, serta menganalisis teks dampeang

luambek yang meliputi pantun sebagai teks dasar dampeang, pantun dan

penggarapan teks dampeang.

Selanjutnya pada tahun (1996) penelitian terhadap seni pertunjukan

Luambek dilanjutkan dengan judul “Konsep Jender Dalam Pertunjukan

Dampeang Luambek di Nagari Kepala Hilalang Minangkabau”, membahas

tentang konsep jender yang terdapat pada teks dampeang jantan dan

dampeang batino dalam konteks pertunjukan Luambek terkait dengan

28

perbedaan symbol gerak luambek ketika diiringi dampeang jantan dan

dampeang batino. Selanjutnya, sesuai dengan ketentuan adatnya, kaum

wanita ditak dibolehkan memainkan Luambek bahkan tidak dibolehkan

mendekati tempat pertunjukan atau tidak diperbolehkan menyaksikan

pertunjukan tersebut.

Maizarti (1990) dalam skripsi sarjana ISI Yogyakarta yang berjudul

“Tari Luambek Dalam Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Nagari Kepala

Hilalang di Sumatera Barat”, membahas tentang bentuk penyajian Luambek,

Tari luambek pada masa lampau dan masa sekarang,.

M. Nefi Imran “Tari Luambek Sebagai Tari Ritual Pada Etnis

Minangkabau di Indonesia”, dalam “Jurnal Tirai Panggung” . Malaysia: Pusat

Kebudayaan Malaysia 1990. Tulisan ini membahas tentang perjalanan sejarah

tari ulu ambek, tari ulu ambek sebagai tari adat, syarat-syarat pertunjukan ulu

ambek, syarat-syarat mempelajari ulu ambek.

Ediwar Caniago dkk. “Luambek dan Randai di Minangkabau:

Pengelolaan Seni Pertunjukan Dalam Konteks Adat” dalam Telisik Tradisi

Pusparagam Pengelolaan Seni, Yayasan Kelola. Tulisan ini membahas

masalah yang berhubungan dengan system pewarisan kesenian Luambek

sebagai kesenian komunitas adat.

Tulisan yang dikemukakan di atas ternyata belum ada membahas

masalah yang berhubungan dengan eksistensi Luambek dalam

pengintegrasikan masyarakat dan makna pertunjukan Luambek dalam

29

konteks Alek Pauleh. Walaupun demikian semua tulisan tersebut sangat

bermanfaat bagi peneliti untuk membahas eksistensi seni pertunjukan

Luambek dalam kehidupan sosial masyarakat nagari Kepala Hilalang.

C. Kerangka Berpikir.

Pendekatan teori yang digunakan dalam membahas eksistensi seni

pertunjukan Luambek dalam kehidupan sosial masyarakat Nagari Kepala

Hilalang adalah teori fungsionalisme struktural. Redcliffe-Brown

mengemukakan bahwa fungsi sangat berkaitan erat dengan struktur sosial

masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-

individu dapat berganti setiap masa. Dengan demikian, Redcliffe-Brown

yang melihat fungsi itu dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat,

mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada

keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi

adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang

diuraikannya berikut ini.

Dalam kehidupan masyarakat manusia, kebutuhan akan integrasi

sosial adalah alasan fundamental untuk terbentuknya unsur-unsur dari

lembaga-lembaga sosial. Unsur-unsur dan lembaga-lembaga sosial itu

selanjutnya berfungsi untuk mempertahankan integrasi sosial atau masyarakat

dalam keadaan terintegrasi.

30

Lembaga-lembaga oleh Redcliffe-Brown dipandang sebagai struktur-

struktur juga, yang merupakan bagian dari struktur yang lebih luas. Struktur

yang lebih luas yang merupakan keseluruhan sehingga membentuk apa yang

disebut masyarakat, disebut struktur sosial. Di dalam strukrur sosial yang

lebih luas itu akan dijumpai struktur-struktur yang lebih kecil, ... Di dalam

struktur yang kecil itu sering juga ada struktur yang lebih kecil lagi, begitu

seterusnya. Keberadaan struktur-struktur itu, ternyata saling terkait secara

fungsional. Sehubungan dengan itu Redcliffe-Brown lalu mengatakan bahwa

pengertian fungsi, tidak lain adalah membangun dari bagian atau unsur-unsur,

agar tetap berlangsungnya kehidupan sistem sosial.

Sejalan dengan itu, Maliki (2004: 45-46) menjelaskan bahwa teori

structural fungsional lebih menghasilkan satu perspektif yang menekankan

harmoni dan regulasi karena dibangun atas dasar sejumlah asumsi-asumsi

homeostatic (Maliki, 2004: 45-46).

Luambek sebagai salah satu produk sosio-budaya yang mengandung

dinamika kedisiplinan adat pada tataran tinggi. Dalam kaitan ini Luambek

sebagai seni pertunjukan tradisi merupakan bagian integral dari kehidupan

sosio-kultural masyarakat, yang dipertunjukkan dalam berbagai upacara ritual,

yang menciptakan semacam kekuatan sosial sebuah masyarakat.

Kepemilikan kesenian Luambek berhubungan langsung dengan struktur

sosial adat yaitu niniak mamak di nagari yang anggotanya terdiri dari para penghulu

suku dari setiap nagari yang berposisi sebagai pemilik kesenian Luambek. Namun

31

praktisi Luambek didelegasikan kepada para pemuda yang disebut “anak mudo”

(sebagai pemain Luambek) yang dikoordinir oleh seseorang yang dipercayai oleh

niniak mamak disebut “kapalo mudo”. Sinergi niniak mamak dengan generasi muda

ini digambarkan dalam sebuah ungkapan, bahwa tradisi Luambek adalah “Suntiang

niniak mamak, pamenan anak mudo”. Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa

kesenian Luambek menjadi simbol status yang paling tinggi dalam kehidupan

sosio-budaya masyarakat nagari-nagari di rantau Pariaman umumnya, dan

nagari Kepala Hilalang khususnya.

Sehubungan dengan pendapat di atas, fungsional atau tidaknya seni

pertunjukan Luambek dalam masyarakat sangat tergantung pada

keberfungsian dari struktur-struktur masyarakat yang ada baik dari struktur

adat (KAN), struktur pemerintahan Nagari maupun struktur organisasi

Luambek itu sendiri.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat bagan kerangka berfikir berikut ini.

32

Eksistensi Seni Pertunjukan Luambek Dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Nagari Kepala Hilalang Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam Kabupaten Padang Pariaman

Kebudayaan Nagari

Kesenian Nagari

KESENIAN LUAMBEK

Struktur Sosial Struktur Organisasi Masyarakat Nagari Luambek

Meningkatkan Hubungan Silaturrahmi Antar Masyarakat Nagari dan Meningkatkan Status / identitas nagari serta Penghulu nagari

Gambar 1: Kerangka Berfikir

33

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan pertimbangan

bahwa peneliti mengkaji lebih mendalam fenomena-fenomena yang terjadi

dalam lingkungan masyarakat. Sesuai dengan apa yang dikemukakan Miles

dan Huberman (1992: 37) bahwa penelitian kualitatif dilakukan untuk

mendapatkan informasi tentang fenomena yang sedang berlangsung. Bogdan

dan Taylor juga mengemukakan tentang pendekatan kualitatif yang dipandang

sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-

kata tertulis atau lisan dari orang dan perilaku yang diamati”. --- Kirk dan

Miller menyatakan bahwa “penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam

ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada

pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan

dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya”

(Lexy J. Moleong, 2001: 3).

Selanjutnta Maleong menjelaskan peneliti dalam pandangan

fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya

terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. ….. Weber

memberi tekanan pada “verstehen”, yaitu pengertian interpretatif terhadap

pemahaman manusia. ….. Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis ialah

34

aspek subjektif dari perilaku orang. Mereka berusaha masuk ke dalam dunia

konseptual para subjek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka

mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh

mereka di sekitar peristiwa dalam kehidupan sehari-hari (2001: 9).

Sehubungan dengan ini peneliti berusaha mengungkapkan dan memahami

kenyataan yang ada dilapangan yang berhubungan dengan eksistensi seni

pertunjukan Luambek dalam kehidupan sosial masyarakat nagari Kepala

Hilalang.

Dalam hal ini peneliti berusaha untuk melakukan pendekatan dengan

para niniak mamak sebagai pemilik kesenian Luambek, pendekatan dengan

Kapalo Mudo sebagai koordinator, pengelola, dan pelatih kesenian Luambek,

pendekatan dengan pemain Luambek, dan dengan Urang Tuo sebagai

penasehat Kapalo Mudo serta pendekatan dengan Anak Mudo sebagai pemain

Luambek. Dalam hal ini, pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang

dipandang cocok untuk memahami masyarakat sebagaimana mereka sendiri

dalam kaitannya dengan eksistensi kesenian Luambek dari perspektif fungsi,

struktur dan makna (meaning) suatu fenomena menurut masyarakatnya

sendiri.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil setting di nagari Kepala Hilalang,

Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam, Kabupaten Padang Pariaman. Alasan

35

memilih lokasi nagari Kepala Hilalang adalah karena nagari Kepala Hilalang

satu-satunya nagari di Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam yang mempunyai

tradisi seni pertunjukan Luambek. Di samping itu pengambilan lokasi juga

karena dalam kehidupan masyarakat nagari Kepala Hilalang seni

pertunjukan Luambek eksis dan berfungasi dalam kegiatan helat nagari atau

alek paulehi seperti peresmian pengangkatan penghulu, peresmian balai adat,

pengangkatan Kapalo Mudo, pengengkatan muncak buru, peresmian pasar

dan lain-lain. Kelompok kesenian Luambek nagari ini masih aktif melakukan

kegiatan mingguan atau latihan kesenian Luambek dan juga sering memenuhi

undangan nagari-nagari lain untuk mempertunjukkan Luambek yang lazim

disebut dengan “manapa”. Di nagari ini terdapat empat laga-laga/pauleh

sebagi tempat latihan Luambek dan tempat pertunjukan Luambek yaitu satu di

korong Tarok, satu di korong Pincuran Tujuh, satu di korong Pasa Balai

Kamih dan satu lagi di korong Pasa Limau. Dalam hal ini berarti keberadaan

kesenian Luambek di daerah ini cukup fungsional dalam kehidupan

masyarakatnya.

Dalam pelaksanaan penelitian, peneliti selalu berusaha melakukan

peleburan diri dalam situasi sosial dengan berusaha sedapat mungkin tidak

menjadi peneliti formal. Pemilihan lokasi ini berpedoman kepada pendapat

yang dikemukakan oleh Spradley (1980) yakni: a) Simplicity, kesederhanaan

situasinya; b) Accessibility, kemudahan memasukinya; c) Un-obstrusiveness,

ketidakkentaraan dalam melakukan penelitian; d) Permissible ness, keizinan

36

melakukan penelitian yang mudah diperoleh; e) Frecurney recurring

activities, terdapatnya aktivitas yang terjadi secara berulang-ulang; f)

Participation, kehadiran informan berpartisipasi untuk kegiatan penelitian.

C. Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini terdiri dari informan kunci dan informan

pembantu atau informan lainnya. Dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai

informan kunci adalah orang-orang yang terlibat langsung dalam kelompok

organisasi Luambek yang terdiri dari niniak mamak, urang tuo, kapalo mudo,

anak mudo (pemain Luambek). Di samping itu yang tidak kalah pentingnya

adalah informan pembantu atau informan lainnya meliputi tokoh adat, tokoh

agama, cerdik pandai, pemuka masyarakat, generasi muda, dan masyarakat

umum lainnya. Walaupun penelitian ini merupakan penelitian lanjutan, maka

pemilihan informan masih tetap dilakukan dengan penuh pertimbangan,

memperhatikan tingkat kredibilitas dan signifikansinya dengan maksud agar

dapat memberikan data yang diperlukan.

D. Teknik dan Alat Pengumpul Data

Teknik penelitian yang dipakai dalam pengumpulan data adalah

observasi, wawancara dan dokumentasi.

37

1. Observasi

Teknik observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

partisipasi aktif (active participation) yaitu peneliti langsung datang

ketempat lokasi di mana diadakan upacara helat nagari yang dimeriahkan

dengan kesenian Luambek. Pengamatan dimulai dari kegiatan gotong

royong mempersipkan atau membenahi tempat pertunjukan (laga-

laga/pauleh), memasang pakaian laga-laga/pauleh, sampai pelaksanaan

helat yang berlangsung tiga hari tiga malam. Sebagaimana lazimnya dalam

penelitian kualitatif, peneliti sendiri merupakan instrumen utama dalam

melakukan observasi untuk mencari dan menghimpun data dengan ikut

terlibat dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh objek yang diteliti,

walaupun tingkat keterlibatan tersebut dapat berkadar tinggi ataupun

rendah.

Dalam proses observasi peneliti hanya terlibat sebagai pengamat

jartak jauh saja, karena sesuai dengan ketentuan adatnya perempuan tidak

boleh terlibat dalam pertunjukan Luambek dan tidak boleh memasuki arena

pertunjukan Luambek. Dengan kondisi ini, peneliti dibantu oleh anggota

penelti laki-laki untuk dapat mengemati lebih dekat. Untuk memperoleh

data tentang eksistensi Luambek dalam kehidupan sosial masyarakat nagari

Kepala Hilalang melalui perspektif fungsi, struktur dan makna, maka

pengamatan dilakukan untuk melihat, mendengar dan mengamati kegiatan-

38

kegiatan yang dilakukan oleh kelompok Luambek dan masyarakat mulai

dari persiapan sampai pelaksanaan.

2. Wawancara

Pengumpulan data melalui teknik observasi tersebut di atas didukung

dengan teknik wawancara sebagai pengujian terhadap sesuatu yang telah

diamati, dan sekaligus menjaring fenomena-fenomena yang tak tersaksikan

oleh mata.

Wawancara yang dilakukan adalah wawancara secara mendalam (in

depth interview) dengan cara tidak berstruktur (unstructured interview).

Teknik wawancara ini digunakan untuk mendapatkan data atau infornasi

dengan cara bertatap muka langsung dengan informan. Wawancara ada

yang dilakukan di rumah informan, di kantor KAN dan ada juga di kedai

kopi. Dalam usaha mendapatkan data yang lengkap dan mendalam, peneliti

melakukan wawancara dengan orang-orang yang dipandang memiliki

kompetensi tentang objek yang diteliti. Wawancara dilakukan dengan sangat

hati-hati agar informasi yang diperoleh sesuai dengan permasalahan yang

diteliti.

Peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang tersusun secara

sistematis, akan tetapi pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa

poin-poin yang sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pada umumnya

wawancara dilakukan pada malam hari, karena waktu yang disediakan oleh

39

informan (khususnya niniak mamak) lebih cendrung setelah shalat isya,

sedangkan informan lain bisa saja di kedai kopi. Wawancara ini dilakukan

setelah menyaksikan aktivitas pelaksanaan helat atau pertunjukan Luambek.

Proses wawancara seperti ini diprediksi akan dapat mengungkapkan

fenomena eksiatensi Luambek dalam konteks sosio-budaya masyarakat

nagari Kepala Hilalang. Untuk mempermudah peneliti dalam

mengumpulkan data, maka dalam proses wawancvara penelliti

menggunakan alat bantu berupa buku catatan dan tape rcorder .

3. Dokumentasi

Studi dokumentasi dalam penelitian ini dilakukan untuk

mengumpulkan data yaitu dari bahan tertulis, wawancara dan pertunjukan

Luambek yang peneliti jadikan sebagai bahan informasi. Data tertulis

diperoleh dari berbagai sumber, seperti perpustakaan Pascasarjana UNP,

perpustakaan STSI Padangpanjang, dan perpustakaan pribadi. Selain itu

juga diperoleh beberapa tulisan yang berkaitan dengan Luambek seperti:

jurnal, artikel, makalah dan majalah, internet serta rekaman pertunjukan

Luambek sebagai referensi penelitian ini.

Peneliti melakukan dokumentasi pertunjukan Luambek dalam konteks

helat nagari dalam rangka pengangkatan Kapalo Mudo tanggal 5 Agustus

2010, dan dalam rangka pengangkatan penghulu Dt. Rky Mulia tanggal 25

November 2010 serta ketika kelompok Luambek nagari Kepala Hilalang

40

pergi memenuhi undangan nagari lain (manapa) yaitu ke nagari Lubuak

Pandan 2 April 2010. Dalam pendokumentasian kegiatan ini, peneliti

dibantu oleh anak laki-laki peneliti sendiri dengan menggunakan camera

foto merek Kodak EasyShare C813 dan camera handyhcam merek Sony

Wide LCD DCR-DVD 810.

E. Teknik Penjaminan Keabsahan Data

Validnya data merupakan tanggung jawab ilmiah yang perlu

diutamakan dalam penelitian. Dalam Maleong (2001: 173-175) menjelaskan,

untuk menetapkan keabsahan (trustworthiness) data dipelukan teknik

pemeriksaan data. Pelaksanaan teknik pemeriksaan data didasarkan atas

sejumlah kriteria tertentu. Ada empat kriteria yang digunakan, yaitu derajat

kepercayaan (credibility), keteralihan (transfermability), kebergantungan

(dependability), dan kepastian (confirmability).

Dalam penelitian ini, untuk penjaminan keabsahan data peneliti lebih

mengacu pada standar derajat kepercayaan (credibility), karena standar ini

lebih cocok dan lebih mudah untuk dianalisis sehingga data penelitian lebih

akurat. Penjaminan keabsahan data dengan standar credibility ini dilakukan

dengan cara:

1. Perpanjangan Keikutsertaan (prolonged engagement)

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan wakru yang cukup

lama, karena peneliti hares menunggu adanya upacara yang berkaitan

41

dengan objek penelitian. Keterlibatan peneliti dalam upaca helat nagari

dalam konteks pertunjukan Luambek, dan keterlibatan dengan pelaksanaan

pertunjukan Luambek itu sendiri. Keterlibatan peneliti ini menggunakan

rentangan waktu yang relatif lama, semenjak dari pendekatan, membangun

komunikasi, hingga terbangun raport (keterpercayaan) dari informan

khususnya, dan masyarakat pendukung Luambek umumnya.

2. Ketekunan Pengamatan (persistent observation)

Peneliti melakukan pengamatan lebih tekun agar dapat ditemukan

unsur-unsur dan ciri-ciri yang relevan dengn pokok persoalan yang sedang

diamati. Selanjutnya dilakukan pemusatan perhatian pada pokok persoalan

secara rinci. Dalam hal ini modal kesabaran dan keuletan, peneliti dapat

memfokuskan pengamatan pada pokok permasalahan yang sedang diteliti,

sehingga penelti dapat memperoleh data yang valid.

3. Triangulasi data dilakukan dengan cara: a) membandingkan data hasil

pengamatan dengan data wawancara; b) membandingkan apa yang dikatan

informan di depan umum dengan apa yang dikatan secara pribadi; c)

membandingkan apa yang dikatakan pada situasi tertentu dengan apa yang

dikatakannya sepanjang waktu; d) membandingkan keadaan dan perspektif

seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan lain dan e)

membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang berkaitan.

Dalam rangka usaha penjaminan keabsahan data dari hasil penelitian,

42

peneliti melakukan diskusi dengan teman sejawat dan dengan orang-orang

yang memahami objek penelitian ini. Teknik ini dilakukan dengan cara

mengekspos hasil sementara dan hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk

diskusi analikitik dengan teman-teman sejawat. Dalam kaitan ini, yang

tidak kalah pentingnya adalah melakukan konsultasi dengan dosen

pembimbing, sehingga data yang diperoleh sesuai dengan kenyataan yang

ada di lapangan.

F. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan upaya untuk mencari dan menata secara

sistematis catatan hasil observasi, hasil wawancara, dan pengamatan lainnya

untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang objek yang diteliti. Dalam

penelitian ini teknik analisis data yang digunakan mengacu kepada anjuran

Miles dan Huberman (1992: 20) yang mengemukakan bahwa aktivitas dalam

analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlansung secara terus

menerus pada setiap tahap penelitian sehingga sampai tuntas, dsan datanya

sampai jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu (1) reduksi data (data

reduction); (2) penyajian data (data display); (3) penarikan kesimpulan

(conclusion drawing/verifikation).

43

1. Reduksi Data (Data Reduction)

Pada tahap reduksi data adalah proses terus menerus yang dimulai

dari pengumpulan data hingga penarikan kesimpulan, yang meliputi

membuat ringkasan, mengkode, menelusuri tema, membuat gugus-gugus,

membuat pertisi dan membuat memo. Reduksi data ini merupakan bentuk

analisis yang menajamkan, menggolongkan mengarahkan, membuang yang

tak perlu dan mengorganisasikan data sehingga kesimpulan-kesimpulan

akhirnya dapat ditarik dan diverifikasi.

2. Penyajian Data (Data Display)

Tahap penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang

memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan

tindakan. Penyajian ini berbentuk teks naratif dan berbentuk tabel dan

bagan-bagan yang dirancang guna menggabungkan informasi tersusun

untuk menentukan kebenaran dalam penarikan kesimpulan.

3. Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing/Verifikation).

Pada tahap penarikan kesimpulan, data yang diperoleh dari hasil

observasi, wawancara dan dokumentasi, kemudian disimpulkan sesuai

dengan proses yang ditemukan. Kesimpulan awal bersifat longgar dan

akhirnya semakin rinci dan mengakar dengan kokoh.

Kesimpulan itu juga diverifikasi selama penelitin berlangsung dengan

cara: memikirkan kembali selama penulisan , tinjauan ulang pada catatan-catatan

lapangan, tukar pikiran dengan teman sejawat untuk mengembangkan

44

“kesepakatan intersubjektif, dan upaya-upaya yang luas untuk menempatkan

salinan suatu temuan dalam seperangkat data yang lain. Dalam hal ini, makna-

makna yang muncul dari data diuji kebenarannya, kekokohannya, kecocokannya,

yakni yang merupakan validitasnnya.

Tiga jenis kegiatan analisis dan kegiatan pengumpulan data yang telah

diuraikan di atas, merupakan proses siklus dan interaktif. Dalam hal ini peneliti

bergerak di antara empat sumbu selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak

bolak balik diantara kegiatan reduksi, penyajian dan penarikan

kesimpulan/verifikasi.

Pengumpulan

data Penyajian

data

Reduksi

data

Kesimpulan‐kesimpulan:

Penarikan/Verifikasi

Gambar 2: Komponen-komponen Analisis Data: Model Interaktif

45

46

BAB IV TEMUAN UMUM DAN TEMUAN KHUSUS

A. Temuan Umum

Temuan umum yang penting diketahui pada Bab ini adalah hal-hal

yang berhubungan dengan lokasi kehidupan kesenian Luambek, dan

masyarakat yang menghidupi atau menggunakan kesenian itu sendiri. Sesuai

dengan obyek penelitian, bahwa yang dimaksud dengan lokasi kehidupan

kesenian Luambek, adalah tinjauan geografi nagari Kepala Hilalang, dan yang

dimaksud dengan masyarakat yang menggunakan kesenian Luambek adalah

tinjauan kebudayaan masyarakat nagari Kepala Hilalang itu sendiri.

1. Tinjauan Geografi Nagari Kepala Hilalang

Geografi adalah ilmu tentang lokasi dan variasi keruangan atas

fenomena fisik dan manusia di atas permukaan bumi. Kata geografi

berasal dari Bahasa Yunani yaitu gê ("Bumi") dan graphein ("menulis",

atau "menjelaskan"). …. Geografi tidak hanya menjawab apa dan dimana

di atas muka bumi, tapi juga mengapa di situ dan tidak di tempat lainnya,

kadang diartikan dengan "lokasi pada ruang." Geografi mempelajari hal

ini, baik yang disebabkan oleh alam atau manusia. Juga mempelajari

akibat yang disebabkan dari perbedaan yang terjadi itu (file:///E:/

ChipsWikipedia/Wikipedia/articles/g/e/o/Geografi.html).

Nagari Kepala Hilalang adalah salah satu nagari yang terdapat di

Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam, Kabupaten Padang Pariaman. Nagari ini

46

berada dekat kaki gunung Tandikat dengan ketinggian lebih kurang 80

meter dari permukaan laut, dengan luas lebih kurang 6096 Ha. Nagari ini

terdiri dari empat korong, yaitu korong Pasa Balai Kamih, Korong Tarok,

Korong Pasa Limau, dan Korong Pincuran Tujuah.

Berdasarkan letak geografis, nagari Kepala Hilalang mempunyai

batas wilayah berikut: Sebelah Utara berbatas dengan gunung Tandikat,

sebelah Selatan berbatas dengan nagari Sicincin, sebelah Timur berbatas

dengan nagari Kayu Tanam, dan sebelah Barat berbatas dengan nagari

Tandikat (Sumber; data Kantor Wali Nagari Kepala Hilalang 2010).

Pusat pemerintahan nagari Kepala Hilalang terletak di korong Pasa

Balai Kamih yang berjarak lebih kurang 4 km ke ibu Kecamatan 2 x 11

Kayu Tanam, dan berjarak lebih kurang 20 km ke ibu kota Kabupaten

Padang Pariaman. Nagari ini terletak di tepi jalan raya yang ramai dilalui

kendaraan mobil dan motor yang pulang pergi jalur dari Padang ke

Bukittinggi, Batusangkar, Lintau, Medan, Pakan Baru, Jakarta; Pariaman

ke Bukittinggi, Medan, Pakan Baru dan lain-lain.

Nagari Kepala Hilalang merupakan daerah agraris yang memiliki dua

jenis lahan pertanian, yaitu pertanian sawah dan perkebunan. Perkebunan

yang paling dominan adalah perkebunan karet; di samping itu ditemui juga

tanaman-tanaman lain, seperti durian, petai, nangka dan lain-lain. Lahan

pertanian sawah pada umumnya memiliki permukaan tanah yang datar,

sedangkan lahan pertanian perkebunan karet dan tanaman lainnya lebih

banyak berada di daerah perbukitan atau lebih dekat ke kaki gunung

47

Tandikat. Lahan pertanian sawah dan perkebunan karet tersebut menjadi

sumber ekonomi utama dalam kehidupan masyarakat nagari Kepala

Hilalang.

Ditinjau dari wilayah kebudayaan, nagari Kepala Hilalang terletak di

sub-wilayah Rantau Pesisir Barat Minangkabau (Pariaman). Secara kultur

geografis Minangkabau, status lokasi nagari ini disebut ikue darek, kapalo

rantau (ekor darat, kepala rantau), karena letaknya berbatasan langsung

dengan salah satu luhak yaitu Luhak Tanah Datar, yaitu nagari yang

berada di daerah perbatasan antara daerah darek dan rantau Minangkabau.

Sehubungan dengan ini LKAAM Sumatera Barat menyatakan

bahwa:

Daerah rantau dari Luhak Tanah Datar adalah Rantau Pesisir Panjang atau Bandar X (Batang Kapeh, Surantiah, Ampang Parik, Kambang, Lakitan, Punggasan, Aie Haji, Painan, Banda Salido dan Tarusan). Tapan Lunang Silaut, Indo Puro dan Manjuto juga merupakan rantau Luhak Tanah Datar. Di samping itu juga disebut ujung darek kapalo rantau yang merupakan daerah perbatasan antara Luhak Tanah Datar dengan daerah rantau. Daerah tersebut adalah Anduring Kayu Tanam, Guguak Kapalo Hilalang, Sicincin Tinggi, Toboh Pakandangan, 2 x 11 VI Lingkung dan VII Koto Sungai Sariak (1987: 39-40).

Berdasarkan tinjauan geografi di atas, dapat dilihat bahwa nagari

Kepala Hilalang terletak pada bagian atas wilayah rantau Pesisir Barat

(Pariaman) Minangkabau yang relatif jauh dari areal pantai, dan

berbatasan langsung dengan wilayah darek Minangkabau ‘Luhak Tanah

Datar’ sehingga julukan posisi geografi nagari Kepala Hilalang disebut

„ikue darek kapalo rantau“.

48

Geografi suatu nagari di Minangkabau akan otomatis mempengaruhi

konsep budaya masyarakat nagari itu sendiri yang terealisasi ke dalam

konsep dan eksistensi suatu jenis kesenian dalam kehidupan sosial

masyarakat suatu nagari yang berbeda dengan nagari lainnya. Prinsip

hubungan geografi suatu nagari dengan produk budaya masyarakat nagari

inilah yang dinyatakan dengan ungkapan Adat salingka nagari, cupak

salingka batuang; lain padang lain belalang, lain lubuak lain ikannyo

(adat selingkar nagari, takaran selingkar bambu; lain padang lain belalang,

lain kolam lain ikannya); maksudnya masyarakat suatu nagari memiliki

kespesifikan karakter produk sosio-budaya dan seninya yang berbeda

dengan masyarakat nagari-nagari lainnya di Minangkabau.

2. Tinjauan Kebudayaan Masyarakat Nagari Kepala Hilalang

Menurut ilmu antropologi, “kebudayaan adalah keseluruhan sistem

gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan

masyarakat yang dijadikan milik diri manusia melalui belajar”

(Koentjaraningrat, 1990: 180). Dalam hal ini fokus utama antropologi

adalah kebudayaan, khususnya sejumlah tradisi dan kebiasaan-kebiasaan

lain yang diperoleh melalui belajar yang kemudian mengatur bentuk

kepercayaan dan perilaku manusia. Selanjutnya, masih senyawa dengan

pandangan terdahulu, Edward B. Tylor, mengatakan, bahwa “kebudayaan

merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung

pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan

49

kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota

masyarakat”

J.J. Honigmnann, dalam buku pelajaran antropologinya yang berjudul The World of Man (1959: hlm. 11-12) menmbedakan adanya tiga “gejala kebudayaan”, yaitu (1) ideas, (2) activities, (3) artifacts, pengarang bverpendirian bahwa kebudayaan itu ada tiga wujudnya yaitu : 1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, 2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat 3) wujud kebudayaan sebagai benda- benda hasil karya nmanusia (Koentjaraninggrat, 1990: 186-187)

Mempelajari beberapa definisi kebudayaan, dapat diperoleh

pengertian mengenai ‘kebudayaan’ yaitu sistem pengetahuan yang

meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia,

sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.

Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan

oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan

benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa,

peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang

kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan

kehidupan bermasyarakat.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa letak dan ruang

nagari Kepala Hilalang berada pada posisi ikue darek kapalo rantau dalam

‘geografis’ kultur Minangkabau, yaitu sebagai suatu daerah yang sistem

kebudayaannya dipengaruhi oleh dua kekuatan budaya luhak dan rantau.

50

Pengaruh dua kekuatan budaya ini mempunyai dampak terhadap

kehidupan sosial budaya masyarakat nagari Kepala Hilalang.

Kebudayaan nagari Kepala Hilalang merupakan suatu kebudayaan

tersendiri yang tidak persis sama dengan kebudayaan nagari-nagari lainnya

di wilayah Rantau Pesisir Pariaman. Perbedaan yang dimaksud lazim

disebut dengan ungkapan adaik salingka nagari, cupak salingka batuang,

lain lubuak lain ikannyo, lain padang lain belalang (adat selingkar nagari,

(Wawancara dengan A.R. Dt Bungsu [75 tahun] pada tanggal 25 April

2010 di nagari Kepala Hilalang).

Secara umum falsafah kehidupan masyarakat Minangkabau terpatri

dalam ungkapan “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabbullah,

syarak mangato adaik mamakai (Adat bersandi syarak, syarak bersendi

kitab Allah (Al-Quran), syarak mengatakan adat memakai (Idrus Hakimi,

1978: 105). Maksud dari pepatah ini adalah segala ketentuan-ketentuan

adat harus disesuaikan dengan ajaran Islam. Ketentuan adat yang

bertentangan dengan ajaran agama Islam mesti dihilangkan. Jadi adat dan

agama Islam di Minangkabau sangat erat kaitannya karena harus saling

mendukung.

Sehubungan dengan hal di atas, masyarakat nagari Kepala Hilalang

sebagaimana masyarakat Minangkabau lainnya adalah menganut ajaran

agama Islam. Agama Islam telah diterima dan menyatu dengan budaya

(adat istiadat) berabad-abad yang lalu, sehingga dalam kehidupan sehari-

51

hari masyarakat dituntun oleh norma agama dan adat yang merupakan satu

kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Bersumber dari rangkuman definisi kebudayaan di atas, diambil

beberapa unsur kebudayaan yang penting sesuai hubungannya dengan

konteks penulisan, yaitu berkisar tentang masalah: adat-istiadat, kesenian

dan sistem kepercayaan masyarakat nagari Kepala Hilalang.

a. Adat-istiadat

Bagi orang Minangkabau adat itu merupakan ‘Kebudayaan’

secara keseluruhannya, karena di dalam fakta adat Minangkabau

terdapat tiga bagian kebudayaan yang telah dikemukakan oleh

Koentjaraninggrat, yaitu adat dalam pengertian dalam bentuk kato,

cupak, adat, adat nan ampek dan lain-lain. Adat dalam pengertian tata

kelakuan berupa cara pelaksanaannya, sedangkan adat dalam

pengertian fisik merupakan hasil pelaksanaannya, (LKAAM, 1987:

18).

Berdasarkan nilai-nilai dasar yang dinyatakan dalam

ungkapann Alam takambang jadikan guru maka adat Minangkabau

dapat dibagi kedalam empat kategori yaitu: (1) adat nan sabana Adat;

(2) adat nan diadatkan; (3) adat teradat; (4) adat istiadat. M. Rasyid

Manggis Dt. Rajo Penghulu menjelaskan sebagai berikut:

Adat nan sabana adat (adat yang sebenar adat), merupakan yang paling kuat (tinggi) dan bersifat umum sekali yaitu nilai disarm yang berbentuk hukum alam. Kebenarannya bersifat mutlakseperti dikatakan: Adat api membakar, adat air membasahi, tajam adatnya 52

melukai,adat sakit diobati. Ketentuan-ketentuan ini berlaku sepanjang masa tanpa terikat oleh waktu dan tempat. Adat nan diadatkan merupakan warisan budaya dari perumus adat Minangkabau yaitu Dt. Katumanggungan dan Dt. Parpatiah nan Sabatang. Adat nan diadatkan mengenai peraturan hidup bermasyarakat orang Minangkabau secara umum dan sama berlaku dalam Luhak Nan Tigo. Sebagai contoh, garis keturunan, pewarisan sako dan pusako dan lain-lain. Adat nan teradat merupakan hasil kesepakan penghulu-penghulu dalam satu-satu nagari. Di sini berlaku lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Adat istiadat, adalah kebiasaan umum yang berasal dari tiru meniru dan tidak diberi kekuatan pengikat oleh penghulu-penghulu dan tidak betentangan dengan Adat Nan Teradat (LKAAM, 1987: 19-20).

Adat di Minangkabau merupakan ketentuan-ketentuan yang

mengatur kehidupan masyarakatnya, lebih diperkokoh dengan ajaran

agama Islam, sehingga kedudukannya bertambah kuat, seperti yang

diungkapkan melalui pepatah yang berbunyi:

Adat basandi syarak Syarak basandi Kitabullah Syarak mangato adaik mamakai (Idrus Hakimi, 1978: 105).

(Adat bersendi syarak Syarak bersendi kitab Allah (Al-Quran) Syarak mengatakan adat memakai)

Maksud dari pepatah di atas, adalah ketentuan-ketentuan

adat diperkuat dengan ajaran Islam. Segala yang telah digariskan

dalam adat, disesuaikan dengan ajaran agama Islam. Jadi adat dan

agama Islam di Minangkabau sangat erat kaitannya karena harus

saling mendukung.

53

Sehubungan dengan hal di atas, masyarakat Minangkabau

adalah penganut ajaran agama Islam. Agama Islam telah diterima dan

menyatu dengan budaya (adat istiadat) berabad-abad yang lalu,

sehingga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dituntun oleh

norma agama dan adat. Dalam hal ini norma agama dan adat

merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Sehubungan dengan uraian di atas, maka adat-istiadat

termasuk klasifikasi adat yang keempat menurut kategori adat

Minangkabau. Prinsip adat-istiadat adalah segala bentuk upacara

dalam konteks adat dan agama, dan segala bentuk ritual-ritual yang

telah menjadi kebiasaan oleh masyarakat suatu nagari yang konsep

dan tata cara pelaksanaannya berbeda dengan nagari-nagari lainnya di

Minangkabau. Prinsip inilah yang disebut dengan adaik salingka

nagari (adat selingkar nagari). Kajian adat-istiadat masyarakat nagari

Kepala Hilalang di sini terdari dari masalah upacara perkawinan, alek

nagari, baburu babi, turun mandi, mencaliak anak sebagaimana uraian

berikut:

1) Upacara Perkawinan

Di nagari Kepala Hilalang, pelaksanaan akad nikah (ijab-

kabul) dalam suatu rangkaian proses perkawinan termasuk

klasifikasi kegiatan keagamaan, tetapi tata cara proses perkawinan

dan upacara perkawinan termasuk klasifikasi adat-istiadat suatu

nagari, karena melibatkan seluruh unsur-unsur kerabat yang terkait

54

secara adat, dan sistem pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan

ketentuan adat salingka nagari (Wawancara dengan H.Jamaluddin

Imam [70 tahun] pada tanggal 16 April 2010 di nagari Kepala

Hilalang).

Selanjutnya A.R. Dt Bungsu salah seorang pemuka adat

menjelaskan bahwa sebelum pelaksanaan upacara perkawinan di

nagari Kepala Hilalang --sesuai dengan ketentuan adat yang

berlaku di nagari Kepala Hilalang yang berlaku di nagari Kepala

Hilalang yang berlaku di nagari Kepala Hilalang yang berlaku di

nagari Kepala Hilalang yang berlaku di nagari Kepala Hilalang--

harus terlebih dahulu melalui beberapa tahap yaitu ‘malesoh

batang’, maminang (timbang tando), akad nikah dan pesta

perkawinan.

Kegiatan malesoh batang adalah kegiatan dimana kedua

orang tua pihak perempuan melakukan peninjauan, sekaligus

pendekatan dengan kedua orang tua pihak laki-laki. Peninjauan ini

dilakukan untuk mengetahui apakah kedua orang tua pihak laki-laki

sudah menyetujui hubungan anak laki-lakinya dengan anak

perempuannya. Apabila kedua belah pihak telah sepakat dan

menyetujui hubungan kedua anaknya, maka orang tua mencari

kesepakatan kapan waktu yang tepat untuk melakukan peminangan.

Orang tua pihak perempuan menyampaikan kesepakatan tersebut

kepada mamak kaumnya.

55

Selanjutnya kegiatan maminang (timbang tando) atau

peminangan dilakukan oleh tiga sampai empat orang mamak kaum

dari pihak perempuan. Mereka datang meminang dengan

membawa kampia siriah yang berisi paket sirih selengkapnya dan

didampingi dengan japutan adaik yang sudah ditetapkan oleh

niniak mamak nagari, serta menyerahkan sebentuk cincin sebagai

tanda pertunangan telah dilakukan (Wawancara dengan A.R. Dt

Bungsu [75 tahun] pada tanggal 16 April 2010 di nagari Kepala

Hilalang).

Tata cara seperti ini sangat berbeda sekali dengan nagari-

nagari lain di Pariaman, tetapi lebih mirip kepada tata cara

pelaksanaan adat perkawinan yang terdapat pada nagari-nagari di

wilayah darek Minangkabau, sebagaimana yang dikatakan D. Dt

Lelo Panjang, bahwa di Pariaman peminangan dilaksanakan

beramai-ramai, karena mengikutkan seluruh kerabat baik yang

bertali adat maupun yang bertali budi, baik laki-laki maupun

perempuan ikut pergi meminang dengan membawa bermacam-

macam masakan berupa kue, nasi, dan sambal yang cukup banyak.

Pihak perempuan juga mnenyediakan uang jemputan maupun uang

dapua yang sudah disepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak

(Wawancara dengan D.Dt Lelo Panjang [48 tahun] pada tanggal

25 April 2010 di nagari Kepala Hilalang).

56

Begitu juga kegiatan Akad Nikah (Ijab-kabul) merupakan

bagian pokok dari serangkaian upacara perkawinan sesuai dengan

ajaran agama Islam. Di nagari Kepala Hilalang akad nikah biasanya

dilakukan di Mesjid yang dipimpin oleh kadi nagari (pegawai

KUA). Acara ini dihadiri oleh kedua orang tua calon mempelai,

kaum kerabat yang terikat secara adat serta saksi. Apabila ijab

kabul sudah dianggap sah oleh saksi dilakukan penyerahan mahar

dari calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan.

Selanjutnya D. Dt. Lelo Panjang menjelaskan bahwa

pelaksanaan pesta perkawinan dilakukan melalui beberapa proses

yaitu malam bainai, sapatang manumpi, manjapuik

marapulai/maanta marapulai, basandiang, maanta anak daro

(manjalang).

Malam bainai; biasanya dilakukan setelah selesai pernikahan

pada malam harinya dilakukan pemasangan inai pada kuku jari

kaki dan kuku jari tangan calon penganten perempuan. Sapatang

manompi; adalah membuat makanan sejenis kanji yang digoreng,

biasanya kaum ibu-ibu bersemangat menyaksikan pembuatan tompi

karena apa bila pada penggorengan tompi itu pecah atau meledak,

itu merupakan petanda bahwa calon penganten tersebut tidak suci

lagi.

Manjapuik marapulai/Maanta marapulai; manjapuik

marapulai adalah kegiatan menjemput penganten laki-laki secara

57

adat yang dilakukan oleh pihak kaum kerabat penganten

perempuan pergi menjemput marapulai untuk dibawa ke rumah

pengaten perempuan untuk bersanding. Biasanya pada hari Minggu

pagi penganten laki-laki diantar kerumah penganten perempuan

yang diarak dengan ‘dikie rabanbo’. Penganten didampingi dan

diiringi oleh kaum kerabat terutama yang bertalian adat dan ada

juga yang bertalian budi. Sampai di rumah penganten perempuan,

penganten laki-laki dipersandingkan dengan penganten perempuan.

Pada malam harinya penganten perempuan pergi manjalang

(menjelang) ke rumah penganten laki-laki yang didampingi oleh

kaum kerabat yang bertalian adat maupun yang bertalian budi

dengan penganten perempuan. Pihak penganten perempuan

membawa hidangan jamba yang berisi nasi sambal, dan jamba

yang derisi bermacan makanan kue., serta nasi kunyit di dulang

tinggi. Sementara di nagari lain di Pariaman di samping itu yang

lebih penting dibawa dalam kegiatan manjalang tersebut adalah

‘juadah’ (Wawancara dengan Bakhtaruddin [48 tahun] pada

tanggal 16 April 2010 di nagari Kepala Hilalang).

2). Alek Nagari

Alek Nagari adalah salah satu kegiatan budaya yang

dilakukan oleh masyarakat nagari dalam berbagai konteks seperti

batagak penghulu (pengangkatan penghulu), pengangkatan

58

Kapalo Mudo, pengangkatan Muncak Buru, peresmian balai adat,

persmian pasar, dan sebagainya.

Dalam sebuah Alek Nagari, biasanya dipertunjukkan

berbagai macam kesenian tradisi baik yang ada di nagari yang

bersangkutan maupun mengundang kesenian tradisi nagari lain,

seperti , gandang tambua, dan sebagainya. Di

nagari Kepala Hilalang, jika Alek Nagari yang menghadirkan

kesenian tradisi Luambek, maka Alek Nagari itu disebut Alek

Pauleh.

3). Buru Babi

Baburu babi merupakan kegiatan masyarakat nagari

Kepala Hilalang yang tidak termasuk ke dalam jenis upacara adat

atau upacara agama, dan tidak bisa pula diklasifikasikan sebagai

suatu jenis kesenian, tetapi termasuk sebagai “kegemaran anak

nagari.”

Sebetulnya budaya berburu yang ditradisikan oleh berbagai

kelompok masyarakat Minangkabau hingga sekarang ini sudah ada

semenjak dahulu, terutama di kalangan masyarakat purba yang

berburu binatang untuk kepentingan makanan mereka yang hidup

di perdalaman. Hal ini diinformasikan Havilan (1999: 131)

sebagaimana dikutip Desmawardi dalam tulisannya berjudul “Buru

Babi: Suntiang Niniak Mamak Pamenan Anak Mudo” bahwa:

Berdasarkan bukti-bukti arkeologis, dan pengetahuan kita tentang

59

metode suku-suku bangsa yang pada jaman sekarang hidup dari

berburu dan mendahulukan bahan makanan, telah disimpulkan

bahwa pemburu purba, .... , yang kemungkinan sekali mengadakan

kegiatan berburu dalam kelompok-kelompk kecil, boleh jadi dari

beberapa keluarga. Kerja sama seperti itu membutuhkan

perencanaan dan membutuhkan bentuk komunikasi verbal dan atau

isyarat (Desmawardi, 2000: 2).

Baburu Babi dalam konteks sekarang adalah kegiatan

secara berkelompok untuk menghalau musuh –terutama hama babi-

- yang akan merusak tanaman masyarakat. Bagi masyarakat nagari

Kepala Hilalang, kegiatan berburu babi termasuk klasifikasi

kegiatan yang beradat, karena aturan adat nagari menempatkan

kegiatan tersebut sebagai “suntiang niniak mamak pamenan anak

mudo”.

Untuk pelaksanaan kegiatan berburu ini harus terlebih

dahulu minta izin kepada ninik mamak dalam suatu musyawarah

dalam bentuk ‘pasambahan’ (pidato adat). Pasambahan ini

melibatkan beberapa unsur yaitu ninik mamak, muncak buru,

kapalo mudo, urang tuo, dan Bupati Padang Pariaman selaku ketua

PORBI (Persatuan Olah Raga Buru Babi). Desmawardi

menjelaskan bahwa “semula aktivitas berburu ini hanya di

kalangan pedesaan tetapi sekarang sudah menjadi kegemaran

berbagai lapisan masyarakat, baik yang hidup di pedesaan maupun

60

yang hidup di perkotaan dari kalangan petani sampai kepada

pejabat pemerintah” (Desmawardi, 2000: 3).

Sehubungan dengan Alek Nagari jenis Alek Pauleh Tinggi,

kegiatan Baburu Babi merupakan kegiatan penting untuk

mengusisir segala musuh atau mara bahaya yang akan mengganggu

jalannya upacara, dan juga sebagai acara pembukaan helat nagari

(Alek Pauleh Tinggi).

4). Upacara Turun Mandi

Upacara Turun Mandi merupakan kegiatan masyarakat

nagari Kepala Hilalang yang sudah menjadi kebiasaan dalam

kehidupan sosial masyarakat nagari ini. Upacara ini merupakan

suatu kegiatan budaya yang dilaksanakan oleh suatu keluarga

ketika anak berumur 40 hari sampai berumur tiga bulan. Anak bayi

dibawa ke luar rumah, biasanya ke pincuran tapian mandi, atau ke

pincuran Mesjid yang ada di nagari ini.

Kalau dilihat dari proses kegiatannya, upacara ini dapat

dikatakan upacara adat, karena pelaksanaannya berkaitan dengan

kekerabatan dalam adat. Unsusr-unsur kerabat harus hadir dalam

upacara ini yaitu pihak bako anak bayi, pihak bako orang tua

perempuan dari bayi, pihak bako orang tua laki-laki dari bayi, serta

masyarakat kampung yang bertalian adat. Pelaksanaan kegiatan ini

dilakukan dengan mendo’a yang dipimpin oleh ‘urang siak’ yang

diundang khusus. Kegiatan mendo’a ini deiyakini oleh masyarakat

61

setempat sebagai suatu ibadah sunat. Perjalanan dari rumah sampai

ke pincuran tapian mandi atau ke pincuran Mesjid diarak dengan

kesenian nuansa Islam yaitu ‘Dikie Rabano’ sebagai penyemarak

suasana.

5) Mancaliak Anak

Mancaliak Anak merupakan suatu kegiatan melihat anak

pertama dari pasangan suami istri. Kegiatan ini melibatkan unsusr-

unsur kerabat yang harus hadir dalam upacara ini yaitu pihak bako

anak bayi, pihak bako orang tua perempuan dari bayi, pihak bako

orang tua laki-laki dari bayi, serta masyarakat kampung yang

bertalian adat, maka kegiatan ini dapat dikelompokkan pada

upacara adat.

Bisanya semua unsur-unsur kerabat yang datang membawa

berbagai bentuk pemberian yang diperuntukkan pada anak bayi

tersebut. Di nagari Kepala hilalangh besar kecilnya nilai pemberian

dari pihak kerabat tidak menjadi ukuran kebanggaan, namun

nagari-nagari lain di daerah Rantau Pariaman terutama, pemberian

dari bako bayi sangat menjadi perhatian baik bagi pihak bako bayi

maupun dari pihak kerabat lainnya, karena besar kecilnya nilai

pemberian merupakan suatu kebanggaan dan pamer kekayaan.

62

b. Sistem Religi dan Kepercayaan

Walaupun nagari Kepala Hilalang berada dalam wilayah

Rantau Pesisir Barat Minangkabau (Pariaman), namun tata cara

pengamalan dalam sistem religi dan kepercayaannya cukup berbeda

dengan yang diamalkan masyarakat nagari-nagari lainnya di Pariaman,

seperti kegiatan basapa, mandoa mauluik, mandoa kamatian (manigo

hari, maampek baleh, maampek puluah, maratuih hari), bulan lamang,

bulan sang bareh, ratik, ziarah kubur adalah tidak ditemui dalam

sistem religi dan kepercayaan masyarakat nagari Kepala Hilalang.

Berikut ini dapat dilihat beberapa bentuk upacara atau kegiatan ritual

yang khas masyarakat nagari Kepala Hilalang sebagai berikut:

1) Mandoa Kekah

Mandoa Kekah merupakan anjuran agama Islam yang

hukumnya sunat. Dalam masyarakat nagari Kepala Hilalang

pelaksanaan kekah ini ada yang dilaksanakan pada waktu bayi

berumur satu minggu dan ada juga yang dilaksanakan menjelang

anak tersebut kawin, artinya pelaksanaan kekah sangat tergantung

pada keinginan dan kesanggupan keluarga yang bersangkutan

Biasanya semua karib kerabat, sanak family atau tetangga, baik

yang bertalian darah maupun yang bertalian budi diundang untuk

mengikuti upacara kekah tersebut. Upacara ini diiringi dengan

mendo’a dengan mengundang ‘urang siak’ untuk memimpin do’a.

Dalam hal ini, mendo’a dianggap dapat memberikan nilai manfaat

63

kepada pihak keluarga yang berhajat, karena diyakini

mendatangkan pahala dari hasil ibadah yang hukumnya sunat

tersebut. Biasanya setelah selesai mendo’a dilanjutkan dengan

Dikie Rabano.

2) Upacara Sunat Rasu

Upacara Sunat Rasu adalah upacara ritual yang merupakan

amalan yang hukumnya wajib bagi setiap laki-laki Islam. Sunat

Rasu biasanya dilakukan setelah seseorang berumur sekitar 8 tahun

sampai 10 tahun, atau mada juga yang dilaksanakan menjelang

perkawinannya. Biasanya semua karib kerabat, sanak family atau

tetangga, baik yang bertalian darah maupun yang bertalian budi

diundang untuk menghadiri upacara ini. Upacara ini diiringi dengan

mendo’a dengan mengundang ‘urang siak’ untuk memimpin do’a

tersebut. Kegiatan mendo’a ini diyakini bernilai ibadah yang

hukumnya sunat dan dapat mendatangkan pahala terhadap pihak

keluarga yang berhajat.

3) Mendo’a Selamat

Doa Selamat biasanya dilakukan oleh pihak keluarga setelah

selamat dari sesuatu kegiatan, seperti selamat dalam perjalanan

menunaikan ibadah haji di Mekah, selamat dalam perjalanan

mengemban tugas, selamat dari musibah atau cobaan hidup dan

sejenisnya. Mendo’a dipimpin oleh ‘urang siak’ dengan materi

do’a yang bersifat tawaqal kepada yang maha kuasa yang telah

64

melimpahkan rahmat, kurnia, dan taufik serta petunjuk kepada

hamba-Nya.

Mendo’a Syukuran; biasanya dilaksanakan setelah

mendapat rahmat dan nikmat dari Allah Subhanahuwa Ta’ala,

seperti berflimpahnya hasil panen padi, panen jagung, panen cabe

dan sebagainya, atau pun setelah mendapat keuntungan berdagang

yang dijalankan sesuai dengan anjuran agama Islam. Biasanya

orang yang beriman dan bertaqwa, akan selalu mensyukuri setiap

rahmat dan nikmat yang diberikan oleh Allah, karena semuanya itu

berkat Allah SWT. Rasa syukur inilah yang disampaikan melalui

do’a syukur yang dipimpin oleh ‘urang siak’ yang diikuti oleh para

undangan dari sanak family dan tetangga yang datang.

4) Mendo’a Kematian

Upacara ritual mendo’a kematian ini khususnya

dilaksanakan oleh pihak keluarga yang ditimpa musibah kematian.

Mendo’akan agar orang yang meninggal dunia mendapat kelapangan

azab kubur, keringan azab di Padang Masyar, dan menempati surga

Jannatun Na’im, sekaligus bagi keluarga yang ditinggalkan tabah

menghadapi cobaan dan musibah tersebut.

Di nagari Kepala Hilalang kegiatan mendo’a kematian

hanya dilakukan dua kali saja, itupun bagi orang yang kemampuan

ekonominya mencukupi, yaitu 1) mendo’a setelah selesai

penguburan mayat yang dilakukan pada hari itu juga (biasanya

65

setelah shalat magrib); 2) mendo’a yang dilakukan setelah beberapa

bulan bahkan setelah beberapa tahun seseorang meninggal dunia.

Pelaksanaan mendoa’a ini sangat tergantung pada kesanggupan

pihak keluarga yang meninggal dunia. Tata cara ini berbeda dengan

nagari nagari lain yang ada di wilayah rantau Pariaman. Desmawardi

dalam hasil mepelitiannya yang berjudul “Nyanyian Religius

‘Mando’a’: Suatu Aktivitas Masyarakat terhadap Seni Nuansa Islam

Di Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat” (2010: 51)

menyatakan bahwa: mendo’a kematian dilakukan mulai malam

pertama setelah seseorang meninggal dunia atau mulai dari sapatang

bakubue sampai tiga hari berturut-turut, hari ketujuh (manujuah

hari), empat belas hari (manduo kali tujuah), 40 hari (maampek

puluah dan maratuih hari). 100 hari (manyaratuih hari).

5) Ratik Tulak Bala

Ratik Tulak Bala adalah merupakan suatu kegiatan budaya

yang mengandung unsur ke- Islaman. Ratik Tulak Bala merupakan

suatu maktivitas keagamaan (memuji-muji nama Allah) yang yang

dilakukan oleh para jemaah pengajian dari tradisi surau dalam

masyarakat nagari Kepala Hilalang. Ratik Tulak Bala digunakan oleh

masyarakat setempat untuk mengusir hama atau bala yang menimpa

tanaman padi di sawah maupun yang menimpa kehidupan

masyarakat.

66

Kegiatan do’a Tulak Bala disampaikan melalui nyanyian

religius yang berisi pujian kepada Allah, dan memohon kapada Allah

agar terhindar dari segala mara bahaya yang akan mengganggu

kehidupan masyarakat nagari bersangkutan. Do’a Tulak Bala ini

dilakukan sambil berjalan mengelilingi areal persawahan atau

kampung yang sedang ditimpa mara bahaya (Zahara Kamal. 2001:

22-26).

c. Kesenian

Sebagaimana telah dikemukan terdahulu bahwa secara

geografis nagari Kepala Hilalang berada di perbatasan antara darek

dan rantau yang dijuluki Ikue Darek Kapalo Rantau. Dengan

demikian dari sudut aktivitas berkesenian masyarakat nagari

Kepala Hilalang tentu dipengarui oleh kedua budaya (rantau dan

darek) Minangkabau. Sehubungan dengan kesenian, masyarakat

nagari Kepala Hilalang hanya memiliki tiga jenis seni tradisi yaitu:

1) Luambek dan Randai Luambek; 2) Silek dan Randai Silek; 3)

Dikie Rabano.

Kesenian tradisi tersebut selain berperan dalam upacara-

upacara adat, seni tradisi juga berfungsi untuk media pendidikan

adat istiadat. Lebih-lebih lagi mengingat tidak adanya wadah atau

tempat khusus untuk pelaksanaan pendidikan adat istiadat

Minangkabau secara formal. Pendidikan adat hanya diperoleh

melalui pengalaman kehidupan dalam lingkungan masyarakat, 67

seperti dalam kehidupan sehari-hari sewaktu upacara adat atau

sedang pertunjukan kesenian tradisiomnal, seperti penyajian randai

silek dengan pola lantai melingkar yang dilakukan pemain sambil

berdendang dengan mengungkapkan pantun-pantun, pepatah-

petitih dan sebagainya, dan di dalamnya mengandung nilai-nilai

filosofi, adat istiadat, sosial budaya dan sebagainya. Sikap

demikian itu dapat dijadikan pedoman dan pegangan masyarakat

dalam menjalani kehidupan secara pribadi maupun bermasyarakat

di Minangkabau (Rasyid Manggis, 1975: 8).

Di Minangkabau ada yang dikenal dengan sasaran,

yaitu suatu tempat aktivitas anak nagari dalam bidang kesenian

tradisi dan di daerah budaya Pariaman ada suatu tempat lagi untuk

aktivitas anak nagari yang disebut Laga-laga/Pauleh. Di tempat ini

anak nagari membentuk rasa kebersamaan dan kegotongroyongan

antara satu dengan lainnya dalam masyarakat, sehingga mereka

merasa bertanggung jawab untuk melestarikan budaya daerahnya

sendiri. Setiap upacara adat, kelompok-kelompok kesenian dalam

nagari sering muncul sebagai penyemarak. Apabila suatu nagari

menyelenggarakan upacara adat, di samping dimeriahkan dengan

kesenian yang ada di nagari bersangkutan juga dimeriahkan dengan

kesenian nagari lain yaitu dengan mengundang kelompok-

kelompok kesenian yang ada di sekitarnya untuk memeriahkan

upacara tersebut.

68

B. Temuan Khusus

Luambek adalah sejenis seni pertunjukan tradisional masyarakat

Pariaman yang memiliki komposisi gerak silat yang telah diadopsi dalam

bentuk simbol-simbol gerak bayangan oleh dua orang pemain laki-laki

(penyerang dan penangkis) dengan posisi saling berhadapan sebagaimana dua

orang sedang bersilat di atas laga-laga (pentas tradisional khas Pariaman)

yang diiringi oleh musik vokal Dampeang.

Dalam pelaksanaan tradisi seni pertunjukan Luambek sekaligus

dapat dilihat unsur-unsur seni bela diri yang berposisi sebagai kesenian adat.

Luambek sebagai bela diri dapat dilihat bahwa masing-masing pemain

bertarung adu keterampilan dalam mempertahankan harga diri penghulu dan

nagari masing-masing. Kedua pemain melakukan gerak lalu (menyerang) dan

gerak ambek (menasngkis) tanpa melakukan kontak fisik. Sedangkan Luambek

sebagai kesenian adat dapat dilihat dari konsep kepemilikannya, aturan-aturan,

etika, nilai-nilai dan norma-norma yang terdapat dalam pertunjukan Luambek

yang pada prinsipnya berpijak pada ajaran adat dan agama Islam.

1. Eksistensi Seni Pertunjukan Luambek

Eksistensi seni pertunjukan Luambek ditinjau dari dua faktor yaitu:

faktor internal dan faktor eksternal.

a. Faktor Internal

Ditinjau dari faktktor internal, eksistensi seni pertunjukan

Luambek di nagari Kepala Hilalang dapat dilihat dari tingkat

69

kepentingan keterlibatannya pada acara atau upacara tertentu dalam

kehidupan sosial-adat masyarakatnya, yaitu meliputi: (1). Luambek

sebagai tradisi seni pertunjukan rakyat; (2). Luambek berperan dalam

konteks alek nagari; (3) Peran struktur sosial masyarakat nagari dan

organisasi Luambek dalam pengelolaan seni pertunjukan Luambek.

1) Luambek sebagai Tradisi Seni Pertunjukan Rakyat

James Brandon dalam tulisannya yang berjudul Seni

Pertunjukan di Asia Tenggara, terjemahan Soedarsono (Brandon,

1989: 162) menyatakan bahwa tradisi seni pertunjukan rakyat

terutama berhubungan dengan kehidupan desa. Ia berhubungan

dengan kepercayaan-kepercayaan animistik pra sejarah dan ritual.

Pertunjukan dilakukan pada masa-masa tenggang yang tak tetap

dan untuk kejadian-kejadian yang khas. Para pemain adalah orang-

orang desa setempat yang berperan atau menari sebagai hobi atau

untuk mendapatkan prestise; mereka bukan pemain profesional.

Biaya yang diperlukan untuk pertunjukan disediakan oleh

masyarakat atau sponsor setempat; penonton hadir dengan cuma-

cuma atau tidak dipungut bayaran.

Sejalan dengan pendapat di atas, Luambek dapat

dikelompokkan ke dalam tradisi seni pertunjukan rakyat, karena

pertunjukan seni tradisi ini selalu berhubungan dengan acara atau

70

upacara yang menempati posisi penting dalam kehidupan sosial

yang khas dan beradat masyarakat nagari.

Aktivitas sehari-hari yang utama dalam kehidupan masyarakat

nagari Kepala Hilalang ialah bertani (petani sawah dan petani ladang).

Dalam rangka menjaga tanaman dari ancaman hama agar dapat

menuai hasil yang lebih baik, maka masyarakat nagari ini selalu

mengadakan kegiatan memburu hama babi, bajing, dan tikus dengan

jadwal tertentu yang diadakan secara berkelanjutan.

Oleh karena dampak kegiatan berburu hama tanaman ini sangat

positif terhadap kesejahteraan petani, maka nagari Kepala Hilalang

mengikuti tradisi berburu yang telah berlaku dalam nagari-nagari

lainnya di daerah Padang Pariaman, yaitu mengadakan kegiatan

berburu secara terorganisir yang dipimpin oleh seorang pimpinan

berburu yang disebut Muncak Buru.

Kehadiran seorang Muncak Buru menjadi krusial dalam

kehidupan pertanian masyarakat nagari Kepala Hilalang, sehingga

seorang Muncak Buru cukup dihormati oleh masyarakat nagari ini.

Dengan demikian, pengangkatan seorang Muncak Buru dilengkapi

dengan seremoni pertunjukan kesenian Luambek.

Selain dari kehidupan pertanian, masalah kegiatan para pemuda

di nagari Kepala Hilalang juga menjadi hal yang penting, karena

keberhasilan segala akativitas sosial dan adat dalam nagari tidak

terlepas dari peranan para pemuda tersebut. Agar kekompakan

71

pemuda tetap terjaga dan aktivitas para pemuda di nagari tidak

menjurus kepada masalah-masalah yang negatif, maka pemuka adat

nagari memilih seorang ketua pemuda di nagari yang disebut Kapalo

Mudo.

Keberadaan seorang Kapalo Mudo menempati posisi struktur

kehidupan sosial di nagari Kepala Hilalang. Dengan begitu,

pelantikan seorang Kapalo Mudo diadakan secara besar-besaran yang

melibatkan segala lapisan masyarakat nagari dan dimeriahkan dengan

pertunjukan kesenian Luambek.

Dalam proses pertunjukan Luambek masih berhubungan

dengan kepercayaan-kepercayaan animistik dan ritual. Berdasarkan

wawancara dengan Bakhtaruddin, menyatakan bahwa secara tradisi

kelompok kesenian Luambek ini masih mempercayai dukun dalam

pelaksanaan pertunjukannya. Setiap akan memainkan Luambek, baik

penampilan di nagari sendiri atau di nagari tetangga, terlebih dahulu

para pemain dilimaui (disiram dengan air jeruk) oleh dukun. Jeruk itu

terdiri dari tujuh macam yang diberi mantra oleh dukun sambil

membakar kemenyan. Air jeruk tujuh macam yang sudah dimantrai

tersebut diusapkan pada pemain Luambek semenjak dari kepala (ujung

rambut) hingga ke ujung kaki (Wawancara dengan Bakhtaruddin [48

tahun] pada tanggal 25 April 2010 di nagari Kepala Hilalang).

Selanjutnya Bakhtaruddin menjaskan bahwa tujuan utama

siraman dengan air jeruk itu agar mental pemain menjadi kuat dan

72

percaya diri, dan agar ketika bermain Luambek, meraka tidak bisa

dikalahkan (buluih) oleh lawan dalam permainan Luambek, sekaligus

bertujuan untuk menangkal guna-guna atau sihir yang didatangkan

kelompok pemain lawan terhadap kelompok Luambek nagari tertentu

yang sedang bermain Luambek di atas laga-laga (pentas tradisional

versi masyarakat Pariaman).

Para pemain setiap kelompok Luambek terdiri dari rakyat biasa

yang berasal dari nagari masing-masing nagari. Mereka merupakan

para seniman alami yang memiliki hobi untuk menguasai silat, tari

tradisional dan seni vokal dampeang dan akhirnya baerperan sebagai

pemain Luambek. Kemahiran bemain Luambek menjadi sebuah

prestise di tengah kehidupan seni pertunjukan Luambek dalam

masyarakat nagari sendiri, atau pun bagi seniman-seniman Luambek di

nagari tetangga lainnya. Walaupun begitu, para pemain Luambek tidak

pernah memasuki dunia keseniman yang bertaraf profesional, karena

tujuan utama seniman Luambek adalah untuk menjadi duta seni bagi

nagari mereka masing-masing pada setiap iven pertunjukan Luambek

di daerah Pariaman.

Semua konteks pertunjukan Luambek, baik di nagari Kapalo

Hilalang, maupun nagari-nagari tetangga lainnya di daerah Pariaman

tidak pernah memiliki jadwal yang tetap, karena terjadinya semua

konteks acara atau upacara sosial dan adat dalam masyarakat nagari

73

selalu bersifat insidentil sesuai dengan dinamika sosial yang terjadi

dalam kehidupan masyarakat nagari masing-masing.

Biasanya gagasan atau ide untuk mengadakan pertunjukan

Luambek dalam bentuk helat nagari ada yang berawal datangnya dari

rakyat atau masyarakat, dan usulan inilah yang dibawa kepada para

pemuka adat di nagari untuk mendapatkan rekomendasi, tetapi terdapat

juga ide untuk mengadakan pertunjukan Luambek dalam bentuk helat

nagari yang berasal dari dari pemuka adat.

Sungguhpun gagasan atau ide pertunjukan Luambek berasal

dari masyarakat maupun dari pemuka adat di nagari, namun biaya

pelaksanaan Alek Nagari yang diperlukan untuk melaksanakan helat

nagari yang menampilkan kesenian Luambek adalah disediakan oleh

masyarakat atau sponsor setempat. Oleh karena helat nagari ini

adalah kebutuhan masyarakat nagari secara bersama-sama, maka iven

pertunjukan Luambek tidak pernah dikomersilkan sehingga masyarakat

yang menyaksikan pertunjukan Luambek tidak dipungut bayaran.

Dalam hal ini seni pertunjukan Luambek adalah dari rakyat untuk

rakyat serta untuk menghibur masyarakatnya.

2) Luambek berperan dalam Konteks Alek Nagari

Pertunjukan Luambek disajikan pada konteks acara atau

upacara yang memiliki nilai khusus dalam kehidupan sosial

masyarakat nagari Kepala Hilalang, seperti 1) upacara batagak

74

pangulu (pengangkatan penghulu baru) yang disebabkan oleh

pergantian jabatan penghulu yang sudah meninggal dunia atau

karena penghulu uzur yang tidak sanggup lagi menjalankan

tugasnya sebagai penghulu; 2) upacara pengangkatan Kapalo Mudo

(ketua pemuda) di nagari yang mungkin karena meninggal atau pun

sakit sehingga tidak sanggup lagi menjalankan tugasnya sebagai

pimpinan generasi muda di nagari; 3) pengangkatan Muncak Buru

(pimpinan kegiatan berburu babi dan berburu bajing kelapa) yang

mungkin disebabkan karena meninggal atau pun sakit sehingga

tidak sanggup lagi menjalankan tugas yang dijabatnya sebagai

Muncak Buru; 4) peresmian balai adat nagari, dan 5) peresmian

pasar baru, serta kegiatan lainnya yang istimewa dalam kehidupan

masyarakat nagari Kepala Hilalang.

Pelaksanaan kelima jenis acara atau upacara di atas disebut

dengan Alek Nagari (helat nagari) adalah salah satu kegiatan

keramaian yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu oleh

masyarakat nagari-nagari di lingkungan daerah rantau Pariaman,

dan jenis kegiatan keramaian ini akan saling berbeda pada setiap

nagari.

Bagi nagari Kepala Hilalang, apabila Alek Nagari

menghadirkan Luambek, maka Alek Nagari itu disebut oleh

masyarakatnya dengan Alek Pauleh. Sehubungan dengan ini,

Nazaruddin Majolelo menjelaskan bahwa Alek Pauleh merupakan

75

helat yang dilakukan oleh masyarakat nagari yang bertujuan untuk

meningkatkan hubungan silaturrahmi anggota masyarakat nagari.

Alek Pauleh ini ada dua jenis yaitu Alek Pauleh Tinggi dan Alek

Pauleh Lumpuah. Alek Pauleh Tinggi adalah suatu alek (helat)

nagari yang didasari atas gagasan atau ide yang datang dari hasrat

para ninik mamak di nagari. Sedangkan Alek Pauleh Lumpuah

adalah suatu alek (helat) nagari yang didasari atas gagasan atau ide

yang berasal dari masyarakat di kedai-kedai kopi.

Perbedaan kedua jenis helat ini mempunyai makna

tersendiri bagi masyarat nagari. Pelaksanaan alek Pauleh Tinggi

dipandang oleh masyarakat setempat lebih meriah, lebih mulia,

lebih komplek dibanding alek Pauleh Lumpuah yang agak

sederhana sifatnya. Di samping itu juga karena pelaksanaan helat

ini diprakarsai oleh penghulu nagari (Wawancara dengan

Nazaruddin Majolelo [57 tahun] pada tanggal 28 April 2010 di

nagari Kepala Hilalang).

Biasanya, kedua bentuk gagasan, baik gagasan dari Niniak

Mamak maupun dari anggota masyarakat disampaikan kepada

Kapalo Mudo. Sesuai dengan ketentuan adatnya, Kapalo Mudo

menyampaikan gagasan tersebut kepada struktur sosial masyarakat

nagari melalui kegiatan musyawarah untuk mencari kata sepakat

apakah gagasan untuk mengadakan Alek Pauleh sebagaimana

dimaksud dapat disepakati untuk dilaksanakan atau tidak.

76

Selanjutnya, perbedaan antara dua jenis alek tersebut di atas

dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain: (a) laga-laga dan

pakaiannya; (b) cara mengundang; (c) cara menanti/menyongsong

tamu; (d) cara pembukaan acara; (e) penyediaan hidangan. Dalam

hal ini A.R Dt. Bungsu menjelaskan perbedaan kedua jenis helat

tersebut sebagai berikut:

(a) Aspek Laga-laga dan Pakaiannya

Ditinjau dari aspek pakaian laga-laga/pauleh pada Alek

Pauleh Lumpuah, sesuai dengan ketentuan adatnya; pada langit-

langit laga-laga/pauleh diberi pakaian atau hiasan dengan tabia,

pada langit-langit laga-laga/pauleh bagian belakang dipasang tirai

cancang untuk Niniak Mamak Alek (niniak mamak yang datang

dari nagari lain) dan pada langit-langit bagian depan dipasang pula

tirai cancang untuk Niniak Mamak Pangka (niniak mamak nagari

yang mengadakan helat), serta pada langit-langit bagian tengah

dipasang tirai kolam/tirai anak mudo.

Pada bagian belakang lantai laga-laga/pauleh disediakan

kasur tepat di bawah tirai cancang untuk tempat duduk Niniak

Mamak Alek dan pada lantai bagian depan laga-laga/pauleh juga

disediakan kasur untuk tempat duduk Niniak Mamak Pangka. Di

depan tempat duduk Niniak Mamak Pangka diletakkan ‘siriah

paga’ (sirih selengkapnya dalam carano), dan didepan tempat

duduk Niniak Mamak Alek juga diletakkan ‘siriah paga’ (sirih

77

selengkapnya dalam carano), serta di bagian tengah setentang tirai

kolam disediakan ‘siriah paga’ (sirih selengkapnya dalam carano)

yang berfungsi untuk menyongsomg tamu yang datang. Sedangkan

semua tonggak laga-laga/pauleh dibungkus dengan kain berwarna

warni. Di pintu gerbang lokasi helat dipasang marawa sebagai

tanda alek baradaik (helat beradat).

Pada Alek Pauleh Tinggi, di samping hiasan yang ada pada

Pauleh Lumpuah di atas, ditambah dengan beberapa hiasan sebagai

simbol Alek Pauleh Tinggi yaitu marawa sabatang batuang

(merawa yang dipasang pada satu batang betung). Marawa ini

terdiri dari dua buah yang di disilangkan di puncak bangunan

laga-laga/pauleh bagian depan. Di halaman laga-laga.pauleh

sebelah kanan dipasang payung panji dan perlengkapannya,

sebelah kiri ditempatkan tabuah larangan (tabuh larangan).

(b) Aspek Cara Mengundang

Cara mengundang untuk kedua jenis Alek Pauleh tersebut,

juga terdapat perbedaan. Cara mengundang untuk Alek Pauleh

Lumpuah biasanya dilakukan oleh Kapalo Mudo yang dibantu oleh

Anak Mudo. Kapalo Mudo pergi menjalankan undangan ke nagari

lain dengan membawa sirih selengkapnya dan rokok. Kapalo Mudo

pergi ke rumah Niniak Mamak atau ke rumah Kapalo Mudo nagari

yang diundang dengan menyuguhkan siriah dan rokok serta

menyampaikan tujuan kedatangannya. Sedangkan cara

78

mengundang untuk Alek Pauleh Tinggi di samping membawa sirih

selengkapnya dan rokok, Kapalo Mudo harus dilengkapi dengan

‘keris’ dan ‘saluak’ milik Niniak Mamak nagarinya sebagai simbol

bahwa yang datang mengundang adalah Niniak Mamak

(c) Cara Menyongsong Tamu

Selanjutnya cara menyongsong tamu pada Alek Pauleh

Lumpuah, biasanya semua rombongan kesenian Luambek dari

nagari yang diundang, datang ke lokasi perhelatan dipimpin

langsung oleh Kapalo Mudo kelompok masing-nasing nagari. Pada

acara Alek Pauleh Lumpuah setiap rombongan tamu datang

memberi tahu kedatangannya dengan sorak dampeang disambut

pula oleh pelaksana helat dengan sorak dampeang pula.

Selanjutnya rombongan tersebut disongsong oleh Kapalo Mudo

yang didampingi oleh Urang Tuo dan anak mudo dengan

menyuguhkan siriah paga (sirih selengkapnya dalam carano).

Kapalo Mudo Pangka (Kapalo Mudo yang mengadakan helat atau

tuan rumah) mengucapkan selamat datang pada Kapalo Mudo Alek

(Kapalo Mudo yang datang dari nagari yang diundang) beserta

rombongan.

Pada acara Alek Pauleh Tinggi, ditambah lagi dengan

beberapa aturan yaitu semua rombongan kesenian Luambek yang

datang dari nagari yang diundang, datang ke lokasi perhelatan yang

dipimpin langsung oleh niniak mamak nagarinya masing-masing

79

dengan memakai pakaian kebesaran penghulu, yaitu baju lapang

(longgar) tanpa saku, celana lapang (longgar), saluak, keris,

tungkek (tongkat), kain samping, kain sandang, cawek (ikat

pinggang), dan lainnya. Pada Alek Pauleh Tinggi tamu dinanti

dengan Galombang Luambek yang diiringi dengan musik Gandang

Tambua, dan pada akhir galombang ditutup dengan tembakan

‘badie balansa’ (bedil belansa). Selanjutnya niniak mamak yang

didampingi oleh Kapalo Mudo, Urang Tuo dan anak mudo datang

menyongsong rombongan tamu tersebut, Kapalo Mudo

menyuguhkan ‘siriah paga’ (sirih dalam carano selengkapnya).

Caranya menyongsong helat atau tamu yang datang juga dengan

pasambahan seperti yang terdapat pada Alek Pauleh Lumpuah.

(d) Cara Pembukaan Alek

Cara pembukaan acara kedua jenis helat Alek Pauleh

Lumpuah dan Alek Pauleh Tingggi, terdapat pula perbedaan.

Pembukaan acara Alek Pauleh Lumpuah, biasanya upacara helat

dibuka dengan kegiatan yang disebut “balingkuang” yaitu

penampilan Randai Luambek oleh nagari-nagari yang terdekat

dengan nagari yang mengadakan helat. Sedangkan pada acara Alek

Pauleh Tinggi, pagi hari sebelum malam pertama pelaksanaan helat,

terlebih dahnulu dilakukan suatu kegiatan berburu yang bertujuan

untuk mengusir bala yang akan mengganggu pelaksanaan helat.

Rombongan masyarakat yang pergi berburu diarak dengan musik

80

Gandang Tambua dari lokasi laga-laga/pauleh sampai kepinggiran

kampung, dan rombongan yang berburu langsung masuk kehutan,

ada yang membawa anjing, galah, dan bedil. Pada malam haringya

acara helat dibuka dengan ‘tari cindai yang dimainkan oleh dua

orang penghulu tertua di nagari yang mengadakan helat.

(e) Cara Penyediaan Makanan

Sehubungan dengan penyediaan makanan pada kedua jenis alek

(heat) ini juga terdapat perbedaan. Penyediaan makanan pada helat

Pauleh Lumpuah lebih sedarhana dibanding dengan Alek Pauleh

Tinggi. Pada acara Alek pauleh Lumpuah biasanya masyarakat

menyediakan makan untuk acara helat dengan cara beriur dan

menerima bantuan dari anggota masyarakat nagari baik dari yang

berada di rantau, yang berada di kampung dan dari perusahaan yang

ada di nagari bersangkutan. Sebagai ciri khas dari helat ini biasanya

dengan menyemblih kambinng untuk dihidangkan pada para tamu

yang datang. Penyediaan hidangan untuk para tamu, biasanya

dimasak secara bersama-sama oleh anggota masyarakat terutama

oleh kaum ibu-ibu. Tempat makan para tamu yang datang biasanya

disediakan tempat khusus yang disebut upang-upang takanak atau

bisa saja di rumah penduduk yang dekat dengan areal; pertunjukan.

Penyediaan makanan seperti ini juga ditemukan pada acara

Alek Pauleh Tinggi, namun di samping itu makanan secara khusus

juga disediakan oleh para istri-istri penghulu yang ada di nagari

81

setempat. Pada hari pertama atau pembukaan acara para istri

penghulu datang ke laga-laga/pauleh membawa dua jenis

makanan, satu jenis dalam bentuk hidangan jamba yang berisi nasi

dan sambal, dan satu lagi di dulang tinggi yang berisi nasi kunyit

sebagai tanda helat beradat. Hidangan ini ditempatkan di laga-

laga/pauleh untuk dimakan oleh para penghulu-penghulu, para tamu

pejabat pemerintahan, seperti camat, bupati, gubernur dan pejabat

lainnya yang diundang (Wawancara dengan A.R. Dt. Bungsu [75

tahun] pada tanggal 28 April 2010 di nagari Kepala Hilalang).

Dalam hal ini, Bakhtaruddin menjelaskan bahwa dalam

melaksanakan Alek Pauleh akan melibatkan berbagai unsur

masyarakat yang mana masing-masing unsur itu saling terkait dan

sama-sama memegang peranan penting dalam kegiatan alek (helat)

tersebut. Adapun unsur-unsur yang dimaksud adalah yang berkaitan

dengan struktur solsial masyarakat nagari Kepala Hilalang.

Struktur sosial masyarakat masyarakat nagari Kepala

Hilalang meliputi seluruh anggota persukuan yang ada di nagari

Kepala Hilalang, para penghulu setiap suku-suku beserta panungkek,

labai dan urang tuo setiap suku yang ada dalam masyarakat. Di

samping sruktur sosial masyarakat tersebut yang tidak kalah

pentingnya adalah berhubungan dengan struktur organisasi Luambek

yaitu penghulu-penghulu suku, urang tuo Luambek, Kapalo Mudo,

82

dan Anak Mudo (Wawancara dengan Bakhtaruddin [48 tahun] pada

tanggal 25 April 2010 di nagari Kepala Hilalang).

Dalam Alek Nagari nagari Kepala Hilalang, seni pertunjukan

Luambek memegang peranan penting, sehingga kesenian ini selalu

digunakan oleh masyarakat untuk memeriahkan berbagai acara sosial

dan adat mereka. Di samping itu, Lazimnya sebuah Alek Nagari

dipertunjukkan juga berbagai macam tradisi seni pertunjukan rakyat

atau disebut permainan rakyaik (permainan rakyat) atau permainan

anak nagari yang terdiri dari seni pertunjukan indang, gandang

tambua, randai silek, pencak silat dan lain-lain. Namun, hal yang

penting di sini, ialah bahwa seni pertunjukan Luambek menempati

posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan seni tradisi lainnya

dalam sebuah nagari.

Aktivitas helat Alek Pauleh di atas biasanya dilaksanakan

selama tujuh hari tujuh malam. Sesuai dengan ketentuan adat

dan kesepakatan Niniak Mamak nagari daerah rantau Pariaman

khususnya di nagari Kepala Hilalang, hari pertama sampai hari

ketiga adalah hari yang dikhususkan untuk pertunjukan

Luambek. Selama tiga hari tersebut, tidak boleh satupun ada

bunyi-bunyian di sekitar arena pertunjukan atau arena helat,

misalnya tidak boleh menghidupkan pesawat televisi, atau

pertunjukan jenis hiburan lainnya, sebab masyarakat setempat

83

memandang acara atau upacara yang dimeriahkan dengan seni

pertunjukan Luambek adalah helat yang tinggi ritual adatnya.

Semua aturan yang terdapat dalam aktivitas pertunjukan

Luambek tersebut dijunjung tinggi dan dipatuhi oleh

masyarakat setempat. Akan tetapi setelah selesai acara

pertunjukan Luambek, barulah boleh ditampilkan berbagai jenis

hiburan lainnya. Dalam hal ini berarti bahwa di samping Alek

Nagari dimeriahkan dengan kesenian Luambek, juga

dimeriahkan oleh bermacam-macam jenis seni pertunjukan

rakyat dan hiburan lainnya, seperti randai silek dan silek,

baindang, basimarantang (teater tradisional randai),

basaluang, orgen tunggal dan sebagainya.

3) Peran Struktur Sosial Masyarakat Nagari dan Struktur Organisasi Luambek

Dalam kegiatan operasionalnya Luambek dikelola dengan

sistem pengurusan tradisional yang sudah terpola mengikuti acuan

yang bernuansa adat, karena kesenian Luambek adalah milik ninik-

mamak di nagari-nagari. Luambek adalah simbol adat dan nagari,

sekaligus kebanggaan masyarakat nagari mereka masing-masing.

Selagi adat di nagari tidak pupus, maka selama itu pula seni

pertunjukan Luambek akan terus hidup. Dengan demikian, segala

aktivitas yang berhubungan dengan Luambek selalu berkaitan

sengan struktur sosial masyarakat nagari dan pelaksanaannya

84

diatur oleh suatu organisasi Luambek pada setiap nagari yang telah

ditetapkan menurut adatnya.

Sehubungan dengan ini D. Dt. Lelo Panjang menjelaskan

bahwa secara tradisi pengelolaan kesenian Luambek di nagari

Kepala Hilalang pada prinsipnya melibatkan berbagai lapisan

sosial masyarakat nagari atau melibatkan struktur sosial

masyarakat dalam nagari. Struktur sosial masyarakat yang

dimaksud adalah 1) Struktur Sosial Masyarakat Nagari Kepala

Hilalang; 2) Struktur Organisasi Luambek (Wawancara dengan D.

Dt. Lelo Panjang [48 tahun] pada tanggal 28 April 2010 di nagari

Kepala Hilalang).

Berikut ini dapat dilihat peranan struktur sosial masyarakat

nagari Kepala Hilalang dan peranan struktur organisasi Luambek

dalam pembinaan dan pengelolaan seni pertunjukan Luambek di

nagari.

(a) Peran Struktur Sosial Masyarakat Nagari Kepala Hilalang

Struktur sosial masyarakat nagari Kepala Hilalang terdiri

dari suku-suku yang ada di nagari ini yaitu suku Jambak,

Tanjuang, Guci Koto dan Panyalai. Masing-masing suku ini

mempunyai Penghulu, Panungkek, Labai dan Urang Tuo.

Seluruh unsur-unsur dalam struktur sosial masyarakat itu

memegang peranan penting dalam mengatur kehidupan

masyarakat baik secara adat maupun yang berhubungan

85

dengan keagamaan dalam persukuannya masing-masing. Di

samping mengurus persukuannya ia juga ikut ambil bagian

dalam aktivitas kesenian Luambek. Para penghulu dari suku-

suku yang ada di nagari berstatus sebagai pemilik kesenian

Luambek. Dapat dijelaskan di sini bahwa Luambek adalah

milik nagari, maka niniak mamak yang dimaksud di sini adalah

seluruh niniak mamak atau penghulu setiap suku yang ada di

nagari Kepala Hilalang.

Dalam kegiatan helat nagari atau Alek Pauleh,

terbangun ikatan emosional dalam masyarakat, baik ditinjau

dari sistem sosial maupun dari sistem kekerabatan. Masyarakat

memiliki kesadaran yang tinggi untuk ikut berpartisipasi secara

moril dan materil dalam upacara Alek Pauleh, seperti

pengangkatan penghulu, muncak buru, kapalo mudo,

peresmian pasar, peresmian balai adat dan sejenisnya,

sehingga terbangun sistem sosial yang baik dalam masyarakat

tersebut. Sedangkan kesadaran suatu persukuan untuk

berpartisipasi secara moril maupun materil dalam upacara

pengangkatan penghulu persukuannya merupakan sistem

kekerabatan yang terbangun dalam persukuannya dan

kekerabatan akibat perkawinan.

86

NAGARI

SUKU SUKU SUKU SUKU SUKU

PENGHULU PENGHULU PENGHULU PENGHULU PENGHULU

PANUNGKEK PANUNGKEK PANUNGKEK PANUNGKEK PANUNGKEK

LABAI LABAI LABAI LABAI LABAI

URANG TUO URANG TUO URANG TUO URANG TUO URANG TUO

ALEK NAGARI UPACARA PENGNGKATAN PENGHULU UPACARA PENGANGKATAN MUNCAK BURU UPACARA ENGANGKATAN KAPALO MUDO PERTUNJUKAN PERESMIAN BALAI ADAT LUAMBEK

Gambar 3 Sruktur Sosial Masyarakat Nagari Kepala Hilalang

Nazir (Seorang Kapalo Mudo) menjelaskan bahwa dalam

pengelolaan Luambek sehari-hari, para Niniak Mamak atau

penghulu di samping bertugas membina dan mengatur anak

kemenakannya juga bertugas mengawasi, memberi petunjuk dan

arahan kepada Kapalo Mudo agar kesenian Luambek sebagai

87

kebanggaan nagari tetap eksis dan fungsional dalam masyarakat.

Dalam hal pembinaan, Niniak Mamak atau penghulu dibantu oleh

Panungkek dalam memberi bekal, petunjuk dan arahan pada

Kapalo Mudo beserta Anak Mudo terutama yang berkaitan dengan

norma-norma adat Minangkabau (Wawancara dengan Nazir

Kapalo Mudo [60 tahun] pada tanggal 28 April 2010 di nagari

Kepala Hilalang).

Dalam aktivitas pembinaan Luambek, Panungkek bertugas

sebagai pembantu Penghulu yang juga berperan dalam mendidik

mental dan spritual kelompok Luambek, karena setiap yang ingin

belajar Luambek harus terlebih dahulu memahami ajaran adat dan

ajaran agama Islam. Bahkan untuk membatasi masuknya pengaruh

asing, biasanya para penghulu mengrahkan anak kemenakannya

untuk mempelajari Luambek dimulai dari usia dini, karena dalam

belajar Luambek sekaligus juga diajarkan tentang adat dan ajaran

agama Islam (Wawancara dengan H.Jamaluddin Imam [70 tahun]

pada tanggal 16 April 2010 di nagari Kepala Hilalang).

Di samping itu yang tidak kalah pentingnya adalah bantuan

dan dukungan seluruh unsur masyarakat nagari serta Bundo

Kanduang sebagai ibu sejati yang bijaksana terutama dalam

mendidik generasi penerus dan mempunyai jiwa kepemimpinan.

Dalam aktivitas Luambek ia berperan mengatur dan menyiapkan

makanan untuk para undangan dan panitia alek (helat).

88

(b) Peran Struktur Organisasi Luambek

Berkesenian ada yang sifatnya ‘individual,’ misalnya teater

tutur Tupai Janjang di Palembayan, sastra tutur Sijobang di

Payakumbuah, rabab pasisia, rabab piaman, dan sebagainya. Selain

itu, terdapat kesenian yang sifatnya ‘kelompok’ dalam

membawakan materi seninya, seperti randai, saluang-dendang,

Luambek dan sebagainya.

Setiap kesenian yang penyajiannya bersifat kelompok,

mereka akan dinaungi sebuah organisasi kesenian sebagai hasil

kesepakatan bekerjasama untuk mencapai tujuan yang sama dalam

berkesenian. Oleh karena organisasi ini bergerak pada bidang seni

yang dipergelarkan atau dipertunjukan, maka sekarang lebih

populer disebut dengan ‘organisasi seni pertunjukan.’ Pengertian

organisasi seni pertunjukan adalah “organisasi tradisional maupun

modern yang berbentuk sanggar tari, teater, grup musik dan seni

suara, yang mempertunjukan hasil karya seninya secara komersial

maupun non komersial untuk suatu tontonan atau tujuan lain”

(Achsan, cs, 2003: 7).

Organisasi Luambek adalah semacam organisasi seni

pertunjukan dalam kelompok masyarakat yang terlibat langsung

dengan kesenian Luambek yang bertugas mengelola keberadaan

kesenian Luambek. Organisasi Luambek ini ditetapkan

berdasarkan hasil musyawarah para penghulu yang ada di nagari

89

setempat dan diserahkan kepada seorang ketua pemuda yang

disebut Kapalo Mudo untuk mengkoordinir organisasi Luambek

tersebut.

Organisasi seni pertunjukan tradisional sangat berhubungan

emosi dengan lingkungan sosial-budaya, ekologi, teknologi,

ekonomi, politik, sehingga organisasi seni tradisional itu

merupakan suatu bagian yang penting bagi masyarakat, karena

pertunjukan seni yang baik dari organisasi seni tersebut akan selalu

berulang dinikmati masyarakat pencintanya, dan otomatis

menumbuhkan kebanggaan bagi para pelakunya. Sehubungan

dengan itu, mekanik yang menggerakkan untuk berfungsinya

organisasi adalah dikandung oleh prinsip-prinsip manajemen

(manajemen kesenian).

Manajemen merupakan salah satu unsur penting yang

menunjang keberhasilan organisasi seni pertunjukan sehingga

pertunjukannya dapat tampil dengan baik, serta sehat dalam

pengelolaan organisasinya (Achsan, cs, 2003: v). Jadi ‘organisasi’

merupakan induk dari aktivitas manajemen, karena untuk

memajukan organisasilah diperlukannya sistim manajemen. Dalam

kaitan ini Manthou’ dalam tulisannya yang berjudul Manajemen

Tradisi dalam Seni Tradisional, menyatakan bahwa:

Manajemen pada seni tradisonal cenderung menerapkan manajemen tradisi. Sifat kebersamaan yang melatarbelakangi berdirinya serta berkembangnya seni tradisional, ditambah sumber daya anggota kelompok yang rata-rata terbatas, 90

mengakibatkan dominasi pimpinan dalam mengelola kelompoknya sangat besar. Dominasi di segala bidang inilah yang menentukan arah dan perkembangan perjalanan hidup kelompok seni tradisional. Apabila pimpinan mempunyai visi yang luas dan dedikasi yang tinggi terhadap kelompok, maka kelompok tersebut akan maju (1999: 1).

Dari uraian di atas, ada dua hal penting yang dapat ditarik

sebagai catatan; Pertama, bahwa kesenian Luambek di satu pihak

dapat dilihat sebagai tujuan utama, apabila ia diletakkan sebagai

subyek (matter) dalam upaya untuk mencapai sebuah sistem nilai

(kemuliaan manusia yang lebih tinggi). Kedua, sebagai medium

komunikasi masyarakat, di mana sebagai pelaku Luambek

(kesenian) berhubungan erat dengan masyarakat pendukung

maupun dalam seluruh inter-komunikasi masyarakat.

Dalam konteks kesenian Luambek, seorang Kapalo Mudo

menempati posisi sebagai koordinator kegiatan Luambek,

sedangkan organisasi Luambek dipimpin oleh ninik-mamak dalam

nagari, sekaligus manajer yang mengatur segala gerakan Luambek.

Walaupun organisasi kesenian Luambek di suatu nagari tidak

beroreantasi komersial (pasar), tetapi langgengnya kehidupan

Luambek di tengah masyarakat pendukungnya telah cukup

membuktikan bahwa ninik-mamak sebagai manajer Luambek telah

mengamalkan prinsip-prinsip manajemen yang dikemukakan

Stoner dan Sirait (1996:8), bahwa manajemen adalah proses

perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian

91

upaya anggota organisasi dan penggunaan semua sumber daya

organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Berdasarkan berbagai pendapat ahli di atas, dapat

disimpulkan bahwa manajemen adalah suatu proses kerjasama

antara dua orang atau lebih dalam suatu organisasi dengan

menggunakan atau memanfaatkan sumber daya pemikiran dan

sumber-sumber daya lainnya dalam rangka mencapai tujuan

tertentu secara efektif dan efisien.

Dalam kaitan ini, Abusani Syam menjelaskan bahwa

organisasi Luambek dipimpin oleh para penghulu-penghulu suku

yang ada dalam nagari. Dalam konteks kesenian Luambek para

penghulu-penghulu ini disebut Niniak Mamak yang befungsi

sebagai pemilik kesenian Luambek, sebagaimana yang telah

disebutkan bahwa“Luambek suntiang niniak mamak, pamenan

anak mudo”.

Dalam kaitan ini struktur organisasi Luambek itu terdiri dari

unsur-unsur; (a) niniak mamak sebagai pemilik dan pimpinan yang

memberi izin untuk pelaksanaan Luambek; (b) Urang Tuo sebagai

penasehat Kapalo Mudo; (c) Kapalo Mudo sebagai koordinator,

pengelola, pembina, pelatih kesenian Luambek; dan (d) Anak Mudo

sebagai pemain Luambek dan pembantu Kapalo Mudo (Wawancara

dengan Abusani Syam [70 tahun] pada tanggal 16 April 2010

nagari Kepala Hilalang)

92

NINIAK MAMAK (PENGHULU)

URANG TUO KAPALO MUDO

ANAK MUDO

Gambar 4 Struktur Organisasi Luambek

D. Dt. Lelo Panjang (48 tahun) menjelaskan bahwa Urang

Tuo adalah orang yang dipercayai oleh penghulu-penghulu dalam

nagari tanpa memperhitungkan sukunya. Dalam hal ini yang

dimaksud Urang Tuo di sini bukanlah orang yang tua umurnya

akan tetapi adalah seorang yang dituakan karena pengalamannya

baik yang berhubungan dengan adat, agama, seluk beluk

kehidupan masyarakat suatu nagari maupun di bidang Luambek.

Dalam konteks baLuambek, Urang Tuo adalah orang yang

bertugas sebagai penasehat Kapalo Mudo dan Anak Mudo. Urang

Tuo amat memahami seluk beluk aktivitas kesenian Luambek,

ibarat “kapai tampek batanyo, kapulang tampek babarito” (akan

pergi tempat bertanya, waktu pulang tempat membawa berita).

Artinya Urang Tuo adalah orang tempat bertanya dan melaporkan

93

masalah bagi Kapalo Mudo. Biasanya orang yang menjadi Urang

Tuo telah pernah sebelumnya sebagai Kapalo Mudo sebelumnya

(Wawancara dengan D. Dt Lelo Panjang [48 tahun] pada tanggal

23 April 2010 di nagari Kepala Hilalang).

A.R Dt. Bungsu menjelaskann bahwa jabatan Kapalo Mudo

yang ada di nagari Kepala Hilalang tugasnya hanya berhubungan

dengan Luambek saja, sehingga di nagari ini hanya dikenal Kapalo

Mudo Luambek. Jabatan Kapalo Mudo di nagari-nagari lainnya di

wilayah Rantau Pariaman, di samping bertugas mengelola

Luambek juga bertugas mengurus segala aktiviktas masyarakat

yang ada dalam nagari, terutama yang berhubungan dengan

upacara adat. Setiap nagari mempunyai dua jenis Kapalo Mudo

yaitu pertama Kapalo Mudo Gadang (Kapalo Mudo Nagari) dan

kedua Kapalo Mudo Ketek (Kapalo Mudo Kaum). Kapalo Mudo

Nagari adalah seorang yang diberi tanggung jawab secara adat oleh

Tungku Tigo Sajarangan atas suatu nagari untuk mengurus segala

aktivitas yang ada dalam nagari, baik yang berhubungan dengan

adat, kesenian, termasuk kegiatan kesenian Luambek.

Demikian pula dengan Kapalo Mudo Ketek (Kapalo Mudo

Kaum) yang juga diberi tanggung jawab secara adat oleh Niniak

Mamak kaumnya untuk mengurus kelompok suku atau kaumnya,

baik yang berhubungan dengan adat, kesenian, dan kesenian

Luambek. Di nagari Kepala Hilalang kedua jenis Kapalo Mudo

94

tersebut tidak ada ditemui, namun yang ada hanyalah Kapalo Mudo

Luambek. Kapalo Mudo Luambek adalah seorang yang diberi

tanggung jawab secara adat oleh Niniak Mamak atas suatu nagari

untuk mengurus segala aktivitas yang berhubungan dengan

kesenian Luambek saja (Wawancara dengan A.R. Dt. Bungsu [75

tahun] pada tanggal 28 April 2010 di nagari Kepala Hilalang).

Selanjutnya Maiyar St. Parmato menambahkan bahwa tugas

dan tanggung jawab Kapalo Mudo Luambek adalah: (a) membina

dan melatih Anak Mudo tentang keterampilan bermain Randai

Luambek dan Luambek; (b) meminta izin pada Niniak Mamak

ketika ingin mengadakan Alek Pauleh dan ketika akan

menampilkan Luambek, mengatur Anak Mudo ketika ingin pai

manapa (pergi memenuhi undangan nagari lain); (3) mengatur

Anak Mudo ketika akan mengadakan Alek Pauleh antara lain

menjalankan undangan ke nagari lain, mempersiapkan bangunan

laga-laga/pauleh tempat pertunjukan Luambek, mengatur Anak

Mudo ketika memasang pakaian laga-laga/pauleh, mengajak

masyarakat gotong royong membenahi membersihkan lingkungan

sekitar lokasi helat, menyongsong tamu ketika hari alek (helat),

mengantar tamu ke laga-laga/pauleh atau ke tempat duduk yang

telah diatur sesuai dengan adatnya (Wawancara dengan Maiyar

Sutan Parmato [60 tahun] pada tanggal 28 April 2010 di Tarok,

nagari Kepala Hilalang).

95

Sejalan dengan pendapat Manthou bahwa manajemen seni

tradisonal cenderung menerapkan manajemen tradisi dimana

dominasi pimpinan dalam mengelola kelompoknya sangat besar.

Dominasi di segala bidang inilah yang menentukan arah dan

perkembangan perjalanan hidup kelompok seni tradisional. Apabila

pimpinan mempunyai visi yang luas dan dedikasi yang tinggi

terhadap kelompok, maka kelompok tersebut akan maju.

Sehubungan dengan sistem pengelolaan Luambek yang

didominasi oleh Kapalo Mudo baik dalam aktivitas sehari-hari,

ketika helat yang di nagari sendiri maupun ketika memenuhi

undangan helat ke nagari lain Kapalo Mudo berperan penting

sebagai koordinator, pembina, pengelola, pelatih. Karena begitu

banyaknya tugas dan tanggung jawab Kapalo Mudo dalam

mengelola kesenian Luambek, maka orang yang dipilih atau diberi

mandat oleh penghulu nagari untuk menjadi Kapalo Mudo tidak

bisa sembarangan saja. Dalam hal ini ada beberapa syarat yang

harus dipenuhi untuk menjadi Kapalo Mudo sebagaimana telah

ditetapkan sesuai dengan ketentuan adatnya sebagai berikut:

(1) Laki-laki dewasa yang beragama Islam;

(2) Mempunyai etika dan sopan santun yang baik dan pandai

bergaul dalam tatanan hidup bermasyarakat;

(3) Memilki pengetahuan dan pengalaman yang luas, sehingga

memahami seluk beluk adat Minangkabau;

96

(4) Mahir bermain Luambek dan memahami seluk beluknya;

(5) Pintar menyampaikan kata dan mahir berpidato adat

(pasambahan);

(6) Arif bijaksana dalam memimpin (berjiwa pemimpin;

(7) Menjadi panutan atau terpandang sebagai anggota masyarakat;

(8) Memilki landasan ekonmi yang cukup kuat uhntuk mendukung

tugasnya yang hanya berlandaskan sukarela;

(9) Mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap tugas dan tanggung

jawab (Wawancara dengan Maiyar Sutan Parmato [60 tahun]

pada tanggal 28 April 2010 di Tarok, nagari Kepala Hilalang).

Perlu ditambahkan di sini bahwa walaupun terdapat

perbedaan tugas Kapalo Mudo nagari lain dengan Kapalo Mudo

Luambek nagari Kapala Hilalang, namun dalam aktivitasnya tetap

dipanggil sebagai Kapalo Mudo, dan syarat-syarat yang menjadi

kriteria pemilihannya juga tidak ada perbedaannya.

Anak mudo adalah para pemain Luambek. Pada saat Alek

Luambek atau Alek Pauleh ia berperan sebagai pemain Randai

Luambek dan pemain Luambek serta bertanggung jawab terhadap

martabat nagari yang diwakilinya. Dalam rangka pengelolaan

kesenian Luambek, para Anak Mudo ini bertugas dan bertanggung

jawab membantu segala aktivitas Kapalo Mudo, baik dalam

konteks latihan, pai manapa (memenuhi undangan nagari lain),

97

maupun dalam konteks alek (helat) yang diadakan oleh nagari

sendiri.

Dapat dijelaskan di sini bahwa masing-masing unsur yang

terdapat dalam struktur tersebut di atas mempunyai tugas dan

tanggung jawab yang saling terkait satu sama lain. Apabila salah

satu dari unsur-unsur itu tidak menjalankan tugas dan tanggung

jawabnya atau tidak berfungsi, maka pengelolaan terhadap

kesenian Luambek tidak dapat berjalan dengan baik.

Apabila Niniak Mamak sebagai pemilik kesenian Luambek

tidak menjalankan tugasnya, atau Kapalo Mudo sebagai pengelola

tidak aktif membina/melatih para Anak Mudo, atau Anak Mudo

tidak mau berlatih, ataupun Urang Tuo tidak memberi nasehat

kepada Kapalo Mudo maupun Anak Mudo, maka sudah jelas

kesenian tersebut akan punah dan hilang begitu saja karena tidak

ada generasi penerusnya, sehingga kesenian Luambek tidak eksis

dalam kehidupan masyarakatnya.

98

NAGARI

SUKU SUKU SUKU SUKU SUKU

PENGHULU PENGHULU PENGHULU PENGHULU PENGHULU U

URANG TUO KAPALO MUDO LUAMBEK ANAKUDO

Gambar 5 Skema: Struktur Organisasi Luambek dalam Struktur Sosial Nagari

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa eksistensi

pertunjukaan Luambek dalam kehidupan sosial masyarakat nagari

Kepala Hilalang dapat dilihat dari aspek struktur sosial masyarakat

nagari dan struktur organisasi Luambek. Struktur ini masih eksis dan

menjalankan tugas serta tanggung jawabnya masing-masing yaitu,

Niniak mamak sebagai pemilik kesenian Luambek, Kapalo Mudo

sebagai pembina dan pengelola kesenian Luambek, Urang Tuo sebagai

penasehat Kapalo Mudo dan Anak Mudo sebagai pemain Luambek;

aspek tempat yang disebut laga-laga atau pauleh, masih digunakan

sebagai tempat latihan dan tempat pertunjukan Luambek; aspek

pertunjukan, kesenian Luambek masih eksis dalam upacara helat

99

nagari, seperti upacara pengangkatan penghulu, pengangkatan Kapalo

Mudo, pengangkatan muncak buru, peresmian Balai Adat, peresmian

pasar, peresmian kantor pemerintahan, peresmian laga-laga, dan juga

masih giat memenuhi undangan nagari lain yang lazim disebut dengan

‘manapa’ yaitu membawa rombongan Luambek untuk memainkan

Luambek ke nagari yang mengundang.

b. Faktor Eksternal

Terdapat tiga faktor eksternal yang cukup penting mengiringi

faktor internal, yaitu membangun prestise individu dan prestise nagari,

mengakrabkan rasa pesahabatan, dan membina rasa persatuan.

1) Membangun Prestise (Kebanggaan) Individu dan

Nagari

Masyarakat Pariaman terkenal memiliki sifat ‘padunia’

yang berlebihan, terutama bagi laki-laki. Seorang laki-laki di

daerah Pariaman akan berlomba-lomba untuk menunjukkan

eksistensi diri demi meraih kebanggaan, baik dalam porsi sebagai

individual, maupun dalam tataran kelompok. Malahan ada pameo

daerah setempat berbunyi “bialah bacarai jo bini daripado

dilarang manonton Luambek atau Indang” (biarlah bercerai dengan

isteri daripada dilarang pergi menonton Luambek, atau Indang).

Dengan demikian, apabila helat Luambek atau Indang, maka akan

100

tumpah-ruah penonton menyaksikannya, semenjak dari anak-anak,

remaja hingga orang tua.

Berdasarkan wawancara tanggal 11 Januari 2011 dengan

Dt.Bungsu (75 th), seorang pemuka adat di nagari Kepala Hilalang,

mengatakan bahwa “demi memperoleh kebanggaan itu, masyarakat

Pariaman rela mengorbankan waktu dan harta mereka, karena

seseorang atau suatu kelompok masyarakat yang tidak melibatkan

diri ke dalam suatu helat (helat keluarga atau helat nagari), maka

mereka akan dipergunjingkan oleh masyarakat kampung sehingga

mendapat malu dalam kehidupan sosial di nagari.

Kemudian, masalah kebanggaan nagari berhubungan

dengan konteks Alek Luambek yang diadakan oleh suatu nagari.

Rasa persatuan ini telah mulai muncul pada saat melakukan

musyawarah tentang tata cara pelaksanaan helat Luambek yang

undungannya tersebar ke nagari-nagari tetangga. Dengan

demikian, demi suksesnya pelaksanaan helat Luambek, maka

semua pihak yang terlibat bekerja bahu-membahu dalam suatu

persatuan.

2) Mengakrabkan Rasa Persahabatan

Masalah persahabatan cukup penting dalam kehidupan

sosial masyarakat Pariaman (khususnya laki-laki). Suasana dalam

arena pertunjukan Luambek sangat memungkinkan sangat

memungkinkan untuk menjalin rasa persahabatan, karena para

101

penonton akan duduk di warung-warung pada selang-selang waktu

sebelum pertunjukan Luambek.

Pada warung kopi ini, mereka akan mengobrol bermacam

tema yang berhubungan dengan Luambek, maupun tema tentang

masalah adat Minangkabau, bahkan tema yang aktual tentang

perkembangan politik bangsa. Namun, hal yang lebih penting di

sini ialah terbangunnya rasa keakraban antar sesama karena

masing-masing menyampaikan fikiran-fikirannya atau pun

tanggapan-tanggapan terhadap sesuatu masalah dengan cara

humor, berkelakar, bahkan dengan retorika tertentu yang selalu

mengundang gelak-tawa. Suasana yang penuh canda inilah yang

selalu dirindukan oleh para pecandu (penonton fanatik) Luambek,

sehingga dimana saja ada helat Luambek akan selalu dihadirinya.

3) Membina Rasa Persatuan

Selain hal di atas yang tidak kalah pentingnya sebagai

faktor eksternal dalam suatu helat Luambek adalah terbinanya rasa

persatuan masyarakat nagari atas semua lapisan, baik antara

sesama pemuka adat, antar generasi muda, ninik-mamak dengan

generasi muda.

2. Makna Pertunjukan Luambek

Makna yang terkandung dalam pertunjukan Luambek, dapat

ditinjau dari dua sudut pandang, yaitu makna denotatif dan makna

102

konotatif. Sehubungan dengan ini, dalam sebuah artikel yang berjudul

“Makna Denotatif dan Konotatif” menjelaskan bahwa:

Makna denotatif dan konotatif berkaitan dengan makna kata dan pemakaiannya dalam kehidupan berbahasa, baik lisan maupun tulisan. … Denotatif adalah makna kata sebenarnya, makna secara wajar, secara apa adanya atau disebut juga makna leksikal. … Konotatif adalah makna asosiasi yaitu makna yang timbul sebagai akibat dari sikap sosial, sikap pribadi, serta kriteria tambahan yang diberikan pada sebuah makna leksikal. … Jadi makna konotatif adalah makna tambahan, yaitu makna di luar makna sebenarnya atau makna kiasan. Dengan kata lain makna konotasi adalah makna kata yang bertautan dengan nilai rasa (Purwiati, 1995: 10).

Dengan demikian denotatif dimengerti sebagai makna harfiah yang

“sesungguhnya,” sementara itu konotasi mengacu pada makna yang

menempel pada makna leksikal tersebut. Atau bisa juga dianalogikan

bahwa makna yang sesungguhnya itu berada di dalam lapis denotasi, dan

makna yang mendalam terletak di dalam lapis konotasi.

Luambek sebagai seni pertunjukan tradisi menjadi bagian yang

integral dari kehidupan sosio-kultural masyarakat nagari Kepala Hilalang.

Dalam hal ini, helat nagari yang dimeriahkan dengen seni pertunjukan

Luambek atau yang disebut Alek Pauleh berfungsi sebagai wahana atau

wadah untuk msenciptakan kekuatan sosial masyarakat di nagari, sehingga

kesenian ini menjadi bahagian kehidupan berbudaya yang memiliki

keterkaitan langsung dengan struktur sosial masyarakat nagari.

Dalam Alek Pauleh terkandung nilai-nilai kemasyarakatan yang

memberi makna sosial, antara lain menambah semaraknya suatu

pelaksanaan upacara adat, meningkatkan hubungan silaturahmi antar

masyarakat dalam satu nagari, meningkatkan hubungan silaturahmi 103

pemuka adat dan masyarakat yang bertetangga, meningkatkan hubungan

silaturahmi antara mamak dengan kemenakan, memupuk rasa kebanggaan

bagi masyarakat nagari yang melaksanakan alek pauleh.

Berdasarkan uraian di atas, makna yang terkandung dalam tradisi

seni pertunjukan Luambek ditinjau dari dua sudut pandang “makna

denotatif dan makna konotatif.” Berikut ini, untuk dapat melihat makna

yang terkandung dalam seni pertunjukan Luambek menurut kedua sudut

pandang makna tersebut dapat dilihat dari dua aspek utama, yaitu syarat-

syarat pelaksanaan Alek Pauleh, dan prosedur pelaksanaan Alek Pauleh

yang harus dipenuhi untuk dapat melaksanakan Alek Pauleh, sebagai

berikut:

a. Makna Denotatif dan Konotatif Syarat-syarat Pelaksanaan Alek

Pauleh

Proses Alek Pauleh memiliki konsep spesifik yang lebih rumit

bila dibandingkan dengan resepsi upacara yang dimeriahkan dengan

genre kesenian tradisi lainnya. Melaksanakan Alek Pauleh diharuskan

untuk memenuhi syarat-syarat yang sudah ditetapkan oleh penghulu-

penghulu nagari. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk

pelaksanaan Alek Pauleh tdrsebut adalah 1) manggatok pinang, 2)

managakkan pauleh, 3) mamasang pakaian laga-laga/pauleh

(Wawancara dengan Nazaruddin Majolelo [57 tahun] pada tanggal 28

April 2010 di nagari Kepala Hilalang).

104

1) Manggatok Pinang

Manggatok pinang yaitu semacam musyawarah yang

melibatkan lembaga adat meliputi para Penghulu nagari beserta

Panungkek, Urang Tuo, Kapalo Mudo, termasuk Kerapatan Adat

Nagari dan Wali Nagari. Musyawarah ini pertama-tama

disampaikan oleh Kapalo Mudo kepada niniak mamak atau

Penghulu tentang latar-belakang proses munculnya gagasan untuk

mengadakan alek (helat) nagari.

Dalam kaitan ini, ada dua bentuk gagasan yang

melatarbelakangi dikabulkannya pertunjukan Luambek oleh ninik-

mamak yaitu: (1) gagasan yang bermula dari pembicaraan

masyarakat di warung-warung kopi yang berkeinginan untuk

mengadakan alek nagari (alek pauleh); (2) gagasan dari para

niniak mamak untuk mengadakan alek nagari (alek pauleh).

Biasanya rencana ini disampaikan oleh penggagas di atas

kepada Kapalo Mudo, dan Kapalo Mudo memusyawarahkan

kepada Penghulu, Panungkek dan Urang Tuo dalam suatu

musyawarah yang disebut ‘mamakan bungo pinang’. Musyawarah

ini dimulai oleh Kapalo Mudo memohon izin pada ninik-mamak

atau penghulu untuk mengadakan alek nagari (alek pauleh).

Setelah mendapat izin dari Niniak Mamak, musyawarah

dilanjutkan pada tingkat nagari yang melibatkan seluruh unsur

105

Kerapatan Adat Nagari, Wali nagari, pemuka masyarakat, Kapalo

Mudo, Urang Tuo, Anak Mudo, Bundo Kanduang, dan masyarakat

banyak. Musyawarah ini bertujuan untuk menentukan jadwal

pelaksanaan alek, bagaimana bentuk alek, kapan gotong royong

pembenahan laga-laga, kapan menjalankan undangan, kelompok-

kelompok Luambek nagari mana yang akan diundang, siapa yang

akan menjalankan undangan dan dengan berpakain apa, siapa yang

akan menyediakan makanan waktu alek, dan sebagainya. Di sini

jelas bahwa nilai musyawarah dan mufakat sangat dominan sebagai

simbol sosio-budaya.

Makna denotatif atau makna leksikal dari kata ‘manggatok

pinang’ atau disebut juga ‘mamakan bungo pinang’ adalah

memakan atau mengunyah-gunyah sejenis bahan makanan khusus

yang terdiri dari buah pinang muda, daun sirih, sadah dan gambir.

Semua bahan ini diramu menjadi satu dengan porsi ukuran

secukupnya dalam bungkusan daun sirih, lalu dimakan atau

dikunyah-kunyah sampai berupa serat sehingga menghasil air

merah.

Air itu ditelan yang memberikan dampak terhadap

kesehatan gigi dan penetralisir gula darah. Kegiatan seperti inilah

yang disebut dengan manggatok pinang yang selalu terjadi pada

setiap melaksanakan panggilan (mengundang secara adat) untuk

berbagai ragam upacara adat dalam kehidupan masyarakat nagari.

106

Makna konotatif dari peristiwa manggatok pinang atau

mamakan bungo pinang dalam konteks Luambek adalah suatu jenis

musyawarah yang dilakukan oleh para pemuka adat di nagari

Kelapa Hilalang dengan topik pembahasan tentang masalah usulan

atau permohonan masyarakat untuk mengadakan Alek Nagari yang

menampilkan kesenian Luambek yang dibawa Kapalo Mudo

kepada ninik-mamak.

2) Managakkan Laga-laga atau Pauleh

Sesuai dengan ketentuan adat, Luambek tidak boleh

ditampilkan di sembarang tempat, akan tetapi harus ditampilkan di

tempat khusus yang disebut laga-laga atau pauleh. Bujang (75

tahun) menjelaskan bahwa laga-laga atau pauleh dapat diartikan

sama, karena peuleh itu sesungguhnya adalah laga-laga. Namun

apabila dipahami secara konseptual, pauleh mengandung dua

pengertian yaitu secara harfiah dan secara makna. Secara harfiah

kata pauleh berasal dari kata ulas atau sambungan, dan dalam

konteks makna, bangunan pauleh adalah sambungan dari bangunan

laga-laga.

Dengan demikian, Laga-laga/pauleh adalah sebuah

bangunan berupa pondok yang mirip seperti pandopo tanpa

dinding, mempunyai tonggak 8 buah, berukuran sekitar 9 m x 8 m.

Lantainya terbuat dari anyaman bambu yang pemasangannya

107

ditinggikan lebih kurang 40 cm dari tanah, sedangkan atapnya

terbuat daun rumbia atau seng.

Lantai laga-laga/pauleh yang terbuat dari bambu anyaman

seperti krai rotan dan dijalin dengan tali nilon yang sengaja dibuat

tujuh baris jalinan yang disebut ‘balek’. Dalam permainan

Luambek, baris jalinan bagian tengah merupakan garis batas antara

pemain yang lalu (menyerang) dengan pemain yang maambek

(menangkis).

Makna denotatif dari managakkan laga-laga atau pauleh

adalah suatu kegiatan masyarakat nagari dalam mendirikan pentas

khusus untuk penampilan kesenian tradisional Luambek yang

termasuk bagian dari struktur pelaksanaan alek nagari atau alek

pauleh. Kegiatan mendirikan laga-laga/pauleh ini melibatkan

seluruh unsur masyarakat dalam kegiatan gotong royong yang

dikoordinir oleh Kapalo Mudo.

Kegiatan managakkan laga-laga/pauleh tidak saja

membuat bangunan laga-laga baru, adakalanya membenahi

bangunan laga-laga/pauleh yang sudah ada. Bangunan laga-

laga/pauleh baru adalah bangunan laga-laga/pauleh yang dibuat

khusus untuk alek nagari dan dibongkar kembali setelah helat

selesai. Sedangkan membenahi bangunan laga-laga/pauleh yang

sudah ada adalah memperbaiki atau mengganti bagian-bagian

bangunan yang rusak dan tetap berdiri setelah helat selesai.

108

Sesuai dengan tradisinya, setiap masyarakat nagari Kepala

Hilalang akan mengadakan helat nagari atau disebut juga Alek

Pauleh, selalu membuat sambungan di sekeliling bangunan laga-

laga dengan ukuran lebih kurang 2 meter. Pauleh ini sengaja

dibuat untuk tempat duduk Anak Mudo baik untuk Anak Mudo

Pangka (anak mudo yang mengadakan helat) maupun untuk tempat

duduk Anak Mudo Alek yang datang dari berbagai nagari yang

diundang.

Pemahaman dari sudut makna konotatif, bahwa pauleh

bermakna mengulas atau menyambungkan silaturrahmi antara

Niniak Mamak dengan anak kemenakannya, dengan sesama

penghulu, dan seluruh masyarakat nagari-nagari yang terlibat

dalam kegiatan Alek Pauleh tersebut. Laga-laga secara harafiah

berarti berlaga atau adu keterampilan atau adu kekuatan, dan secara

fisik laga-laga berarti bangunan tempat berlaga.

3) Memasang Pakaian Laga-laga/ Pauleh

Menurut ketentuan adat, setiap bangunan Laga-laga/Pauleh

yang telah selesai harus dilengkapi pula dengan pakaian laga-laga

(perlengkapan-perlengkapan dan perhiasan/pernak pernik). Adapun

perlengkapan-perlengkapan yang harus ada di laga-laga adalah

berupa kasur, tikar, lapiak balambak, carano, camin (kaca).

Selain itu, pakaian laga-laga yang harus dipasang ialah

berupa perhiasan-perhiasan dan pernak-pernik, seperti tabia, tirai

109

cancang, tirai kolam, marawa. Di halaman bangunan laga-

laga/pauleh juga diberi hiasan sesuai ketentuannya, seperti tabuah

larangan, payuang panji (di dalam terdapat keris, jangguik janggi,

tapuang pua, perisai). Semua perlengkapan dan pakaian laga-

laga/pauleh ini ditetapkan oleh niniak mamak yang telah diwarisi

secara turun temurun.

Di samping aturan tentang perlengkapan dan pakaian

tersebut di atas, juga ada atruran atau ketentuan yang berkaitan

dengan tempat duduk di laga-laga/pauleh yaitu:

a) Pada bagian depan tempat duduk Niniak Mamak Pangka

(NMP)

b) Pada bagian belakang tempat duduk Niniak Mamak Alek

(NMA)

c) Pada bagian tengah kiri dan kanan tempat duduk Janang (JN)

d) Pada bagian depan, kiri dan kanan sambungan laga-

laga/pauleh tempat duduk Anak Mudo Alek (AMA)

e) Pada bagian belakang sambungan laga-laga/pauleh tempat

duduk Anak MudoPangka.

(Wawancara dengan Nazaruddin Majolelo [57 tahun] pada tanggal

28 April 2010 di nagari Kepala Hilalang).

110

AMA

NMA

*******************************************

******************************************** AMA: VII KOTO‐NAN SABARIH

JN******************* ********************JN* AMA:

AMA: ********************************************

********************************************

NMP

AMP

Gambar 6 Tempat Duduk Di Pauleh/Laga-laga Keterangan: NMP : Niniak Mamak Pangka NMA : Niniak Mamak Alek AMP : Anak Mudo Pangka AMA : Anak Mudo Alek JN : Janang : CARANO

Sehubungan hal di atas, bahwa makna denotatif dari ‘mamasang

pakaian laga-laga/pauleh’ ialah suatu kegiatan untuk memberi dekorasi

laga-laga/pauleh dengan aneka perlengkapan dan perhiasan, serta pernak-

111

penik yang berbagai bentuk sehingga menambah indahnya bangunan pisik

laga-laga/pauleh tersebut.

Pada sisi lain, makna konotatif dari ‘mamasang pakaian laga-

laga/pauleh’, yaitu suatu kegiatan untuk menunjukkan rasa suka-cita

masyarakat nagari dalam melaksanakan helat nagari, sekaligus

menghormati para ninik-mamak dan pemain Luambek/Dampeang

Luambek dengan perlengkapan, perhiasan dan pernak-pernik yang

memiliki nilai secara adat.

b. Makna Denotatif dan Konotatif Prosedur Pelaksanaan Alek Pauleh

Selanjutnya dalam pelaksanaan Alek Pauleh, ditemui aturan

tentang urutan kegiatan dalam pelaksanaan Alek Pauleh yang dapat dilihat

dari urutan berikut ini.

1) Menyongsong Tamu

Secara denotatif bahwa ‘menyongsong tamu’ adalah suatu tata

cara menerima tamu dalam konteks helat nagari yang menampilkan

tradisi seni pertunjukan Luambek. Etika atau aturan menyongsong tamu

dalam aktivitas Alek Luambek atau Alek Pauleh harus sesuai dengan

ketentuan adat. Tamu yang datang biasanya dalam bentuk rombongan

kelompok nagarinya masing-masing yang terdiri dari Niniak Mamak,

Urang Tuo, dan Anak Mudo.

Rombongan tersebut memberi tahu kedatangannya dengan suatu

tanda yang disebut ‘sorak dampeang ayo-u’, dan dibalas oleh pihak

112

pelaksana helat juga dengan sorak dampeang ayo-u, selanjutnya Kapalo

Mudo Pangka atau pihak pelaksana helat, langung datang

menyongsong tamu dengan menyuguhkan ‘siriah paga’ atau sirih

selengkapnya dalan carano dengan cara ‘pasambahan’ (Pidato adat)

antara Kapalo Mudo Pangka dengan Kapalo Mudo Alek. Setiap

rombongan tamu (alek yang datang) selalu dinanti dengan cara yang

sama (Bakhtaruddin menyongsong tamu ketika Pengangkatan Penghulu

Dt. Rky. Mulie tanggal 30 September 2010).

Selanjutnya Kapalo Mudo Pangka membawa rombongan tamu

yang datang ke laga-laga/pauleh ke tempat duduk yang telah

ditentukan sesuai dengan strata masing-masing tamu tersebut.

Dari tatacara penyambutan tamu sebagaimana telah dikemukakan

di atas, terkandung makna konotatif yang secara simbolis

menggambarkan sikap dan tingkah laku suatu masyarakat dalam

menghargai dan memuliakan tamunya.

2) Minta Izin Memainkan Randai Luambek

Permohonan izin untuk memainkan Randai Luambek

disampaikan dalam bentuk pasambahan (pidato adat) oleh seorang

Kapalo Mudo si pangka (pihak pelaksana helat nagari). Unsur yang

terlibat dalam kegiatan ini adalah Kapalo Mudo Pangka, Nimiak

Mamak Pangka, dan Niniak Mamak Alek yang datang memenuhi

panggilan helat nagari tersebut.

113

Proses minta izin memainkan Randai Luambek dimulai oleh

Kapalo Mudo Pangka menyampaikan keinginan segala anak muda

untuk memainkan Randai Luambek, karena ini mohon izin dari Niniak

Mamak. Berikut ini dapat dilihat struktur pasambahan minta izin

memainkan Randai Luambek:

a) Kapalo Mudo Pangka mendatangkan sambah kepada Niniak

Mamak Pangka memohon izin agar diperbolehkan memainkan

Randai Luambek.

b) Niniak Mamak Pangka menyampaikan rundingan atau keinginan

Kapalo Mudo Pangka kepada Niniak Mamak Alek.

c) Niniak Mamak Alek menyampaikan rundingan tersebut kepada

sesama Niniak Mamak Alek yang datang dari berbagai nagari.

Niniak Mamak Alek minta minta kepada Niniak Mamak Pangka

untuk memusyawarahkan rundingan tersebut pada semua niniak

mamak yang hadir melalui ungkapan kata-kata pasambahan.

Setelah bermusyawarah, niniak mamak yang hadir

memperoleh kesepakatan untuk memberi izin kepada Anak Mudo

untuk memainkan Randai Luambek dan yang akan menyampaikan

kesepakatan itu diserahkan kepada niniak mamak pangka kepada

Kapalo Mudo Pangka.

Niniak mamak pangka menyampaikan bahwa seluruh

Niniak Mamak yang hadir telah sepakat memberi izin untuk

memainkan randai Luambek. Dengan demikian barulah dapat

114

dimulai pertunjukan Randai Luambek secara bergiliran sesuai

dengan urutan kedatangan kelompok Randai nagari yang

bersangkutan.

Pada kesempatan ini Kapalo Mudo Pangka juga meminta

kerelaan kepada seluruh Alek yang datang melalui Niniak Mamak

Alek (niniak mamak yang datang dari nagari-nagari yang

diundang), kalau sekiranya kelompok randai nagari-nagari yang

datang cukup banyak pada malam itu sehingga tidak sempat tampil

memainkan Randai Luambek karena keterbatasan waktu, maka

pihak sipangka minta kerelaan dan maaf kepada seluruh Alek yang

datang.

Perutnjukan Randai Luambek berlangsung sekitar pukul 10

malam sampai menjelang subuh. Proses pasambahan ini dapat

dilihat dari skema berikut:

KMP NMP NMA

NMA I NMA II NMA III

Gambar 7

Proses Pasambahan Minta Izin Memainkan Randai Luambek

115

Dilihat dari sudut makna denotatif bahwa ‘permohonan izin

untuk memainkan Randai Luambek’ merupakan sebuah etika seorang

pemuda yang diberi legalitas sebagai pemain Luambek yang

kepemilikan kesenian ini dipegang oleh ninik-mamak, karena kesenian

Luambek tidak bisa ditampilkan sebelum mendapat izin dari si pemilik

kesenian.

Kemudian, bila dipandang dari sudut makna konotatifnya, bahwa

aktivitas ‘permohonan izin untuk memainkan Randai Luambek’ yang

disampaikan oleh Kapalo Mudo kepada ninik-mamak merupakan

sebuah simbol ketinggian nilai sosial yang dikandung oleh seni

pertunjukan Randai Luambek yang penampilan diproses melalui tata

cara yang santun pula.

3) Penyajian Randai Luambek

Sesuai dengan ketentuannya, penyajian Randai Luambek

dilakukan pada malam hari. Randai Luambek terbangun dari gerak

pencak silat yang dimainkan oleh 7 sampai 11 orang pemain laki-laki

dengan pola lantai melingkar, dan satu orang di antaranya bertugas

sebagai ‘tukang aliah’. Dia sekaligus bertindak memberi aba-aba

untuk menukar pola gerak yang telah dimainkan sebelumnya dengan

pola gerak berikutnya, kemudian diikuti oleh semua pemain randai.

Gerak-gerak Randai Luambek tersebut diiringi oleh musik vokal

dampeang.

116

Konsep pola lantai melingkar dalam pertunjukan Randai

Luambek melambangkan rangkaian persatuan, dan tukang aliah

melambangkan seorang imam yang diikuti oleh makmumnya. Kedua

perlambang ini menunjukkan makna denotatif yang dikandung oleh

Randai Luambek tersebut. Sedangkan dari sisi maknanya yang lebih

dalam (makna konotatif), bahwa pertunjukan Randai Luambek

merupakan simbolis dari sikap dan tingkah laku masyarakat dalam

kehidupan bermasyarakat yang mengutamakan rasa persatuan dan

kesatuan dan mematuhi aturan-paturan dari pemimpinnya.

4) Minta Izin Memainkan Luambek

Permohonan izin untuk memainkan Luambek dilaksanakan

sekitar pukul 10 pagi bertempat di Laga-laga/Pauleh. Permohonan izin

untuk memainkan Luambek juga disampaikan dalam bentuk pidato

adat Pasambahan yang dimulai oleh Kapalo Mudo Pangka. Unsur

yang terlibat dalam kegiatan ini adalah Kapalo Mudo Pangka, Nimiak

Mamak Pangka, dan Niniak Mamak Alek yang tadang.

Kapalo Mudo Pangka mendatangkan sambah kepada Niniak

Mamak Pangka tentang ‘ randai nan bajalan malam sudah selasai,

dan karena hari sudah siang, maka ia ingin meminjam suntiang niniak

mamak atau memainkan Luambek. Selanjutnya Niniak Mamak Pangka

menyampaikan dan memusyawarahkan permohonan tersebut kepada

Niniak Mamak Alek yang hadir. Karena Niniak Mamak Alek yang hadir

cukup banyak, maka Niniak Mamak Alek sesama Niniak Mamak Alek 117

melakukan musyawarah mencarai kata sepakat untuk menjawab

permohonan Kapalo Mudo Pangka, kegiatan ini disampaikan melalui

ungkapan tradisi dengan kata-kata ‘pasambahan’.

Setelah diperoleh kesepakatan oleh seluruh Niniak Mamak Alek

yang hadir, maka salah seorang dari Niniak Mamak Alek

menyampaikan kesepakatan tersebut kepada Niniak Mamak Pangka

dan menyerahkan untuk menyampaikan kesepakatan tersebut kepada

Niniak Mamak Pangka.

Selanjutnya Niniak Mamak Pangka menyampaikan kesepakatan

bahwa Niniak Mamak yang hadir telah sepakat meminjamkan ‘suntiang

niniak mamak’ kepada Kapalo Mudo Pangka. Seluruh Niniak Mamak yang

hadir sepakat untuk dapat meminjamkan suntiang niniak mamak dengan

syarat; ‘manyalang mangumbalikan, manjapuik maantakan’. Kapalo Mudo

Pangka menjawab “dengan insya allah kami kumbalikan” (Wawancara

dengan A.R. Dt. Bungsu [75 tahun] pada tanggal 28 April 2010 di nagari

Kepala Hilalang).

Suatu kesepakatan untuk menampilkan Luambek dalam helat

nagari tidak bisa disimpulkan secara gampang tanpa melalui

musyawarah kepada semua pimpinan adat yang hadir dalam

pelaksanaan acara tersebut. Artinya makna denotatif yang penting

dalam konteks permohonan izin untuk menampilkan kesenian

Luambek ini adalah pelaksanaan penampilan Luambek dalam helat

nagari selalu menjunjung tinggi azas musyawarah sehingga legalitas

118

pemuda sebagai pemain Luambek telah mendapat dukungan penuh dari

segala pihak.

Bagitu juga bila dipandang dari sudut makna konotatifnya,

bahwa aktivitas ‘permohonan izin untuk memainkan Luambek’ yang

disampaikan oleh Kapalo Mudo kepada ninik-mamak merupakan

sebuah simbol ketinggian nilai sosial yang dikandung oleh seni

pertunjukan Luambek yang penampilannya diproses melalui tata cara

yang santun dan beretika tinggi.

5) Memilih Janang

Sebelum penyajian Luambek dimulai, terlebih dahulu Niniak

Mamak Pangka musyawarah kecil dengan Niniak Mamak Alek untuk

mencari kesepakatan menunjuk Janang (wasit) untuk mengawasi

jalannya penyajian Luambek. Janang adalah orang yang bertugas

sebagai juri atau hakim permainan dan memilik hak untuk menegur

pemain Luambek yang melakukan kecurangan dalam bermain.

Janang terdiri dari dua orang pria yang telah memenuhi syarat-

syarat sesuai dengan ketentuan adat helat nagari dengan Luambek. Satu

orang dipilih dari kelompok penyelenggara helat dan satu orang lagi

dari kelompok peserta yang diundang.

Dalam konteks pertunjukan Luambek, orang yang dipilih menjadi

janang tidak bisa sembarangan, harus memiliki syarat berupa sifat-sifat

yang dalam ungkapan tradisional Minangkabau sebagai berikut:

119

a) tahu ereang jo garendeang, artinya mempunyai firasat yangn tajam terhadap gerak-gerik yang salah, dan tajam perasaan dalam memperhatikan sikap dan gtidak tanduk orangm lain; b) tahu jo salah dengan siliah, artinya mengetahui kesalahan yang sengaja dan yang tidak sengaja; c) tahu jo hino dengan mulie, artinya dapat membedakan sesuatu yang memberi malu dan yang memberi kemuliaan, atau tahu mengenai apa yang dapat merendahkan atau meninggikan kampung dan nagari; d) tahu jom ombak nan kabasabuang, artinya arif menilai sesuatu kejadian yang membahayakan dalam pertunjukan mLuambek; e) tahu jo karam nan kamanonggok, artinya arif dalam mengetahui sesuatu yang dapat mencelakakan diri, kampung atau nagari; f) bamato tajam, batalingo nyariang, artinya mempunyai penglihatan dan pendengaran yang tajam dan waspada; g) kok manyapo urang indak buliah barek sabalah, artinya bersifat adil dan tenggang rasa serta berani menegakkan keadilan dan kebenaran; h) kok tajadi silang jo salisiah, manitiak dari langik mambusek dari bumi, malang indak dapek ditulak mujue indak dapek diraiah, kok tasuo jo nan malang dilarai jo deta sarato siriah paga di tangahnyo, artinya bila terjadi pertengkaran atau silang sengketa dalam pertunjukan Luambek baik berupa protes dari penontgon atau dari pihak panitia dan pemain Luambek, maka janang harus sanggup bertindak sebagai hakim untuk mengatasi agar perdamaian dapat tercapai (Wawancara dengan D. Dt. Lelo Panjang [48 tahun] pada tanggal 25 April 2010 di nagari Kepala Hilalang).

Selanjutnya perlu dipahami bahwa apabila terjadi perselisihan

dalam pertunjukan Luambek, penonton tidak boleh menginjak lantai

laga-laga/pauleh, karena hanya janang dan Niniak Mamak silang nan

bapangka yang mutlak berhak untuk menyelesaikan perselisihan yang

terjadi. Bagi siapa saja yang melanggar peraturan yang berlaku dalam

kesenian Luambek dikenakan denda sebesar seratus liter beras dan satu

ekor kerbau.

Setelah janang yang dipilih memenuhi semua persyaratan yang

berlaku, maka barulah boleh ditampilkan Luambek yang rentangan 120

waktunya dimulai sekitar pukul 11.00 wib pagi sampai sore menjelang

magrib.

Segala bentuk etika dan aturan-aturan sebagaimana telah

dikemukakan di atas, merupakan gambaran tingkah laku masyarakat

pemilik kesenian Luambek. Etika yang berkaitan dengan urutan

pembicaraan dalam proses minta izin, terkandung makna simbolis

yang menunjukkan bahwa masyarakat menjunjung tinggi nilai-nilai

musyawarah, dan menghargai status seseorang dalam masyarakat.

Dalam hal ini, maksud kehadiran Janang dari sudut pandang

makna denotatif adalah suatu peristiwa penampilan Luambek sebagai

jenis kesenian adat yang dimiliki ninik-mamak seyogianya diwasiti

atau diserahkan memimpinnya kepada pakar Luambek itu sendiri

(janang), agar kehormatan seorang pemain dan nagarinya terhindar

dari malu. Sedangkan dari sudut makna konotatifnya, bahwa

penampilan Luambek terbangun dari suatu kedisiplinan ketat yang

tidak boleh sedikit pun dilanggar dalam permainannya, sehingga

kebesaran ninik-mamak dan kemuliaan pemuda, serta kebanggan

nagari masing-masing akan tetap terjaga.

6) Penyajian Luambek

Penyajian Luambek berupa gerak silat Luambek dimainkan oleh 2

orang laki-laki yang saling berhadapan, satu orang berperan sebagai

pelalu (penyerang) dan satu orang lagi berperan sebagai paambek

(penangkis). 121

Penyajian Luambek sama halnya dengan penyajian Randai

Luambek, yaitu sama-sama diiringi oleh musik vokal ‘dampeang,’

yaitu Dampeang Jantan dan Dampeang Batino. Dalam pertunjukan

Luambek gerak lalu dan gerak ambek hanya boleh dilakukan ketika

Dampeang Jantan dinyanyikan dan kedua pemain bisa saja melampaui

baris balek (baris anyaman latai laga-laga) bagian tengahnya. Namun

ketika Dampenag Batino dinyanyikan, pemain Luambek tidak boleh

melakukan gerak lalu dan ambek dan juga tidak boleh melewati baris

balek bagian tengah.

Dalam penyajian Luambek tidak boleh melakukan serangan pada

saat lawan (penangkis) memiliki balabek (perisai penangkis), dan

penyerang mesti memberitahu lawan apabila terdapat posisinya yang

bisa diserang. Dalam hal ini, makna denotatif yang dikandung

penyajian Luambek ada unsur sportivitas yang tinggi melebihi

sportivitas peraturan olah raga di dunia.

Seterusnya penyajian Luambek dalam konteks makna konotatif

Luambek, bahwa tidak boleh sesuka hati memasuki suatu nagari orang

lain di daerah Pariaman; atau dengan perkataan lain, bahwa seseorang

harus memiliki etika yang baik, sopan dan santun dalam memasuki

nagari lain, karena nagari-nagari itu dijaga secara adat. Hal ini

disimbolkan dalam bentuk balek laga-laga (baris anyaman balek

bagian tengah) atau baris balek nomor lima dari tujuh baris anyaman

(lihat gambar bagan tempat duduk di pauleh/laga-laga).

122

C. Pembahasan

1. Eksistensi Seni Pertunjukan Luambek

Seni pertunjukan Luambek dalam kehidupan masyarakat nagari

Kepala Hilalang, ternyata sampai saat ini masih eksis dan fungsional

dalam kehidupan sosial masyarakatnya. Sistem pengelolaannya berjalan

dengan baik karena didukung oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama

dapat dilihat dari keikutsertaan struktur sosial nagari yang bersinergi

dengan struktur organisasi kesenian tradisional Luambek itu sendiri. Baik

struktur sosial nagari, struktur organisasi Luambek, termasuk bundo

kanduang dan masyarakat umum lainnya terlihat saling mendukung untuk

erksisnya seni pertunjukan Luambek. Ini terjadi tentu karena adanya

kesadaran seluruh lapisan masyarakat terhadap lingkungan sosial serta

kesadaran terhadap lingkungan budayanya.

Pernyataan di atas dapat dilihat ketika pemberian jabatan

Penghulu kepada seseorang dari suatu suku, pemberian jabatan kepada

seseorang untuk menjadi Kapalo Mudo maupun jabatan untuk menjadi

Muncak Buru adalah diseremonikan dalam bentuk upacara helat nagari

yang menghadirkan seni pertunjukan Luambek. Di samping itu, untuk

meresmikan balai adat, kantor pemerintahan, pasar, juga lebih cendrung

dimeriahkan dengan upacara helat nagari yang menghadirkan seni

pertunjukan Luambek. Memperhatikan kondisi demikian, berati seni

pertunjukan Luambek menempati posisi penting dalam berbagai upacara

budaya yang dihidupi masyarakat nagari sebagai pendukung utama,

123

sehingga seni pertunjukan Luambek eksis dan fungsional dalam kehidupan

sosial masyarakat nagari Kepala Hilalang.

Sejalan dengan apa yang dikemukakan Hasan (2005) bahwa dari

sudut ilmu sosiologi eksistensi ini sangat berkaitan dengan manusia dan

keberadaannya di dalam lingkungan sosial, sedangkan dari sudut ilmu

antropologi berkaitan antar hubungan manusia dengan lingkungan

budayanya. Dalam kaitan ini, eksistensi seni pertunjukan Luambek dalam

masyarakat nagari Kepala Hilalang sangat tergantung pada bagaimana

kesadaran masyarakatnya terhadap lingkungan sosialnya dan hubungan

masyarakat dengan lingkungan budayanya. Hal ini berarti bahwa

eksistensi seni pertunjukan Luambek dalam kehidupan sosial masyarakat

nagari Kepala Hilalang sangat berkaitan dengan keberadaan manusia di

dalam lingkungan masyarakatnya dan berkaitan dengan bagaimana

kesadaran manusia terhadap lingkungan budayanya.

Pembahasan terhadap eksistensi seni pertunjukan Luambek dalam

kehidupan masyarakat nagari Kepala Hilalang dilakukan melalui dua sudut

pandang, yaitu dari sudut pandang ‘sruktur sosiaal masyarakat nagari dan

struktur organisasi Luambek. Eksistensi tersebut dapat dilihat dari

bagaimana kesadaran masyarakat dalam memfungsikan kesenian tradisi

khususnya Luambek dalam berbagai kegiatan budayanya. Dalam hal ini,

pembahasan masalah eksistensi tersebut menggunakan teori

fungsionalisme struktural, karena keberadaan kesenian Luambek sangat

terkait dengan struktur sosial masyarakat.

124

Sejalan dengan pendapat Redcliffe-Brown, struktur masyarakat

yang dimaksud di sini adalah struktur-struktur sosial yang terintegrasi dan

norma-norma yang ada mengendalikan para anggota mereka. Dalam

kaitan ini masyarakat nagari Kepala Hilalang adalah masyarakat yang

dalam kehidupannya sehari-hari dikendalikan oleh aturan atau norma-

norma adat dan norma-norma agama Islam. Dalam ungkapan adat

Minangkabau dinyatakan “adaik basandi syarak, syarak basandi

kitabullah” (adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah).

Struktur sosial masyarakat yang dibahas dalam konteks tulisan ini

adalah struktur masyarakat yang berkaitan dengan keberadaan kesenian

Luambek sebagai salah satu kesenian tradisi Minangkabau yang hidup dan

berkembang dalam masyarakat nagari Kepala Hilalang. Adapun struktur

masyarakat yang dimaksud adalah struktur sosial yang terdiri dari suku-

suku, penghulu suku, panungkek sebagai wakil dan pembantu penghulu,

labai yang mengurus hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan, dan

Urang Tuo suku-suku yang ada dan struktur organisasi Luambek.

Redcliffe-Brown memperkenalkan gagasan “struktur” di bidang

antropologi, … berpendapat bahwa “struktur adalah tatanan fakta: sesuatu

yang dilekatkan orang ketika mengamati sesuatu masyarakat tertentu”.

….. Bagi Redcliffe-Brown, struktur adalah “cara yang sering digunakan

individu untuk memahami dan mengasosiasikan dirinya sendiri dalam

suatu masyarakkat. Oleh karenanya setiap struktur bersifat khas, dan tidak

dapat diterjemahkan ke dalam struktur lain” (Paz, 1997: 7-8). Sehubungan

125

dengan struktur sosial nagari dan struktur organisasi Luambek merupakan

struktur khusus yang secara tradisi berfungsi dalam pengelolaan seni

pertunjukan Luambek.

Sebagaimana pendapat Redcliffe-Brown yang dikutip Yitno (1993:

9) menyatakan bahwa lembaga-lembaga juga dipandang sebagai struktur-

struktur, yang merupakan bagian dari struktur yang lebih luas. Struktur

yang lebih luas merupakan keseluruhan sehingga membentuk apa yang

disebut masyarakat, disebut sebagai struktur sosial. Di dalam struktur

sosial yang lebih luas akan dijumpai struktur-struktur yang lebih kecil.

Dalam struktur yang lebih kecil itu sering juga dijumpai struktur yang

lebih kecil lagi, begitu seterusnya. Keberadaan struktur-struktur itu,

ternyata saling terkait secara fungsional.

Uraian di atas juga sejalan dengan teori struktural fungsional yang

lebih menghasilkan satu perspektif yang menekankan harmoni dan regulasi

karena dibangun atas dasar sejumlah asumsi-asumsi homeostatik yang

dapat dikemukakan lebih jauh sebagai berikut: (a) masyarakat harus dilihat

sebagai suatu tim kompleks, terdiri dari bagian-bagian yang saling

berhubungan dan saling tergantung, dan setiap bagian tersebut

berpengaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian lainnya; (b) setiap

bagian dari sebuah masyarakat eksis karena bagian teresebut memiliki

fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas masyarakat

secara keseluruhan; karena itu, eksistensi itu bagian tertentu dari

masyarakat dapat diterangkan apabila fungsinya bagi masyarakat sebagai

126

keseluruhan dapat diidentifikasikan; (c) semua masyarakat mempunyai

mekanisme untuk mengintegrasikan diri; sekalipun integrasi social tidak

pernah tercapai secara sempurna, namun system social senantiasa akan

berproses ke arah itu; (d) perubahan dalam system social umumnya terjadi

secara gradual, melalui proses penyesuaian, dan tidak terjadi secara

revolusioner; (e) factor penting yang mengintegrasikan masyarakat adalah

adanya kesempatan di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai

kemasyarakatan tertentu; (f) masyarakat cendrung mengarah pada suatu

keadaan equilibrium atau homeostatis (Maliki (2004: 45-46).

Struktur sosial masyarakat dalam kaitannya dengan kesenian

Luambek dilakukan berdasarkan pada teori fungsional struktural Redclife-

Brown, dengan mengkaitkan kajian terhadap kesenian Luambek dengan

lembaga-lembaga yang ada, yaitu lembaga adat, lembaga keagamaan, dan

lembaga pendidikan yaitu struktur sosial masyarakat yang meliputi niniak

mamak atau penghulu-penghulu suku, panungkek sebagai wakil penghulu,

labai dan urang tuo. Dalam hal ini niniak mamak dan panungkek berkaitan

dengan lembaga adat, labai berkaitan dengan lembaga keagamaan, dan

urang tuo sebagai penasehat berkaitan dengan lembaga kependidikan. Di

samping itu juga mengkaitkan dengan peranan bundo kanduang, yang

merupakan suatu lembaga bagi golongan perempuan menurut adat

Minangkabau. Hakimi (1991: 75) menyatakan bahwa Bundo kanduang

berarti ibu sejati yang memiliki sifat-sifat keibuan dan kememimpinan.

127

Dalam kehidupan bermasyarakat ke empat unsur (niniak mamak

atau penghulu, panungkek, labai, urang tuo) dan bundo kanduang adalah

struktur kepemimpinan nagari, sangat memegang peranan penting. Empat

unsur tersebut masing-masing mempunyai tugas dan fungsi yang berbeda,

namun masing-masingnya saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu

sama lainnya atau merupakan satu kesatuan.

Niniak mamak atau penghulu merupakan struktur social menurut

adat Minangkabau yang bertanggung jawab terhadap warga persukuannya

secara khusus, dan terhadap masyarakat nagari, serta adat Minangkabau

secara umum. Di samping itu, posisinya juga sebagai pemilik kesenian

Luambek, sehingga ia mengemban tanggung jawab ganda yaitu terhadap

kelestarian adat nagari dan adat yang berhubungan dengan tradisi

Baluambek. Niniak mamak di sini bertanggung jawab memberi

pengetahuan tentang norma-norma adat yang berlaku di nagari Kepala

Hilalang (Minangkabau) khususnya kepada yang ingin belajar Luambek.

Dalam aktivitas Baluambek, labai setiap suku berperan dalam

mendidik mental dan spritual kelompok Luambek, karena setiap yang ingin

belajar Luambek, selain harus memahami norma adat juga harus

memahami ajaran agama Islam.

Urang Tuo adalah seseorang yang berpengalaman dengan hukum

adat serta syariah. Ia memegang peranan penting sebagai penasehat, pai

tampek batano, pulang tampek mangadu baik masalah yang berthubungan

dengan adat, agama, termasuk seni pertunjukan Luambek. Baik urang tuo

128

dari masing-masing suku maupun urang tuo yang dipilih khusus untuk

mengurus hal-hal yang berhubungan dengan kesenian Luambek bertugas

menjaga agar norma-norma yang terdapat dalam kehidupan masyarakat

dan dalam kesenian Luambek tidak mudah dirasuki oleh norma-norma lain

yang tidak sesuai dengan “adat bersendi syarak, syarak bersendi

Kitabullah”.

Dalam konteks kesenian Luambek, Bundo Kanduang sangat

memegang peranan penting dalam mengarahkan anak laki-lakinya untuk

mengikuti kegiatan kesenian Luambek, sehingga secara berangsur angsur

anak-anak tersebut setidaknya dapat memahami norma-norma yang

berlaku dalam kesenian Luambek. Dengan memahami norma-norma

tersebut berarti mereka sudah mempunyai bekal pengetahuan baik di

bidang adat maupun agama Islam.

Di samping itu, dalam upacara Alek Pauleh, bundo kanduang

sangat memegang peranan penting dalam menyiapkan segala kebutuhan

makan dan minum baik untuk tamu maupun untuk panitia pelaksana alek

(helat). Ketika Alek Pauleh Tinggi, sesuai dengan ketentuan adatnya para

bundo kanduang khususnya istri penghulu-penghulu yang ada di nagari

juga menyiapkan jamba yang berisi nasi dan sambal serta nasi kunyit di

tulang tinggi, sebagai tanda bahwa helat tersebut diprakarsai oleh

penghulu. Apabila salah satu di antara unsur-unsur sosial tersebut tidak

menjalankan tugas dan fungsinya, maka segala sesuatu yang akan

129

dilaksanakan dalam masyarakat tidak dapat tercapai, termasuk pelaksanaan

kesenian Luambek.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa dengan berfungsinya struktur

sosial masyarakat yang telah dikemukakan di atas, maka kesenian

Luambek sebagai salah satu kesenian tradisi dapat pula berfungsi dalam

kehidupan sosial masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan

Redcliffe-Brown bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial

masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-

individu dapat berganti setiap saat. Ini dapat dibuktikan dengan adanya

pergantian jabatan seperti jabatan penghulu dengan adanya upacara

pengangkatan penghulu, pergantian jabatan Kapalo Mudo dengan adanya

upacara pengangkatan Kapalo Mudo. Brown menyatakan bahwa fungsi

merupakan sumbangan satu bagian aktivitas masyarakat kepada

keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatynya. Adapun

tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi

internal, seperti yang diuraikannya berkut ini.

Bay the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes to the total activity of which it is a part. The function of a particular social usage is the contribution it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social syatem ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistensy, i.e. without producing persistent conflicts which can neither be resolved nor regulated (1952: 181).

'Fungsi' menurut definisi di sini yang ditawarkan adalah kontribusi

yang kegiatan parsial dengan membuat aktivitas total yang menjadi 130

bagiannya. Fungsi dari penggunaan sosial tertentu merupakan

kontribusi itu dibuat untuk kehidupan sosial total sebagai fungsi sistem

sosial total. Pandangan seperti menyiratkan bahwa syatem sosial ...

memiliki jenis kesatuan, tertentu yang dapat kita bicarakan sebagai satu

kesatuan fungsional. Kita mungkin mendefinisikan sebagai kondisi di

mana semua bagian dari sistem sosial bekerja sama dengan tingkat yang

cukup harmoni atau consistensy internal, yaitu tanpa menghasilkan

konflik persistent (keras) yang tidak dapat diatasi atau diatur (1952:

181).

Selaras dengan pandangan Brown, seni tradisi khususnya kesenian

Luambek bisa dianggap sebagai bagian dari struktur sosial masyarakat.

Seni pertunjukan Luambek adalah salah satu bagian aktivitas yang dapat

menyumbang kepada keseluruhan aktivitas, yang pada masanya

berfungsi bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat

penggunanya. Fungsinya lebih jauh adalah untuk mencapai harmoni

dan konsitensi internal. Pencapaian kondisi itu, dilatar belakangi oleh

berbagai kondisi sosial dan budaya masyarakat.

Selanjutnya, berkaitan dengan struktur organisasi Luambek yaitu

berkaitan dengan struktur dari kesenian itu sendiri yang pada

prinsipnya juga merupakan bagian dari struktur nagari. Struktur

Luambek tersebut terdiri dari bagian-bagaian atau komponen-komponen

yang satu sama lain saling terkait. Adapun bagian-bagian atau

komponen-komponen tersebut berhubungan dengan struktur organisasi

131

Luambek meliputi Niniak mamak, Urang Tuo, Kapalo Mudo dan Anak

Mudo.

Perlu dipahami bahwa struktur organisasi Luambek itu sendiri tidak

terlepas dari struktur sosial nagari, karena kesenian Luambek adalah

bahagian dari struktur nagari. Struktur organisasi Luambek terdiri dari

unsur Niniak Mamak, Urang Tuo, Kapalo Mudo, dan Anak Mudo.

Sehubungan dengan Niniak Mamak, ia adalah figur utama yang

berperan sebagai pemilik kesenian Luambek, maka ia sangat

menentukan keberadaan Luambek dari segala segi, sebab baik nagari

dan penghulu-penghulu nagari tergantung pada berhasil atau tidaknya

Niniak Mamak memelihara kesenian Luambek dan membina Kapalo

Mudo, dan Anak mudo sebagai figur yang diberinya kepercayaan di

bidang kesenian Luambek.

Urang Tuo yang dimaksud di sini bukanlah karena tua umur, tetapi

pengalamannya memahami konsep sosial masyarakatnya, dan

kemampuannya dalam berbagai keterampilan tradisional, baik dari segi

kepandaian lahir maupun bathin. Baik dalam aktivitas pembinaan dan

latihan Luambek, maupun untuk kegiatan penampilan di nagari sendiri

atau pergi manapa ke nagai lain, di sini Urang Tuo sangat memegang

peranan penting terutama memberi petunjuk dan nasehat kepada Kapalo

Mudo maupun Anak Mudo. Petunjuk dan nasehat itu berupa peringatan

agar dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kegiatan Baluambek, para

Anak Mudo dan Kapalo Mudo harus selalu tetap waspada dan jangan

132

sampai lupa akan diri dan jangan sombong. Biasanya sebelum

penampilan Luambek, terlebih dahulu Urang Tuo telah mempersiapkan

semacam ramuan obat tradisi untuk para pemain Luambek (Anak Mudo)

dan Kapalo Mudo.

Dalam masyarakat nagari Kepala Hilalang Kapalo Mudo

merupakan figur utama dalam pengelolaan dan melestarikan Luambek.

Karena Kapalo Mudo mengemban tugas dan tanggung jawab yang

diberi oleh Niniak Mamak untuk mengelola dan melestarikan kesenian

Luambek. Karena keberadaan Luambek dalam suatu masyarakat nagari

di wilayah rantau Pariaman khususnya nagari Kepala Hilalang

merupakan simbol status nagarinya masing-masing.

Anak Mudo adalah bagian dari struktur masyarakat nagari yang

dalam konteks Baluambek ia berperan sebagai pemain Luambek yang

mewakili nagarinya. Ia memikul tanggung jawab yang cukup berat,

karena buruk baik nagari yang diwakilinya sangat tergantung pada

kepiawaiannya dalam bermain. Dalam memikul tanggung jawab ini, ia

selalu berusaha mempertahankan harga diri dan martabat penghulu

nagari yang diwakilinya.

Dengan demikian dapat dilihat bahwa dalam kehidupan sosial

masyarakat nagari Kepala Hilalang, Luambek dipandang oleh

masyarakatmya sebagai kesenian yang tinggi adatnya. Kepemilikan

kesenian Luambek, berhubungan langsung dengan struktur sosial adat

di nagari. Lembaga adat Niniak Mamak di nagari yang anggotanya

133

terdiri dari para penghulu suku (pemuka adat) dari setiap suku di nagari

berposisi sebagai pemilik kesenian Luambek. Namun, praktisi

Baluambek dilegalisasikan kepada para pemuda di nagari yang telah

mendapat pendidikan adat dan agama sebagai syarat menjadi pemain

Luambek; maksudnya tidak boleh sembarang pemuda sebagai pelaku

pertunjukan Luambek. Bahkan segala aktivitas yang berkenaan dengan

pertunjukan Luambek juga tidak boleh dilaksanakan tanpa terlebih

dahulu mendapat izin dari niniak mamak. Pelaksanaan minta izin ini

harus melalui prosedur sesuai aturan yang telah ditetapkan oleh niniak

mamak. Sesuai dengan ketentuannya, semua aktivitas baluambek, baik

proses latihan maupun pertunjukannya dikoordinir oleh seorang ketua

pemuda yang ditunjuk secara adat disebut Kapalo Mudo.

Kondisi sebagaimana dikemukakan di atas, terlihat adanya sinergi

ninik-mamak (pemuka adat) dengan generasi muda yang digambarkan

dalam sebuah ungkapan, bahwa tradisi Luambek adalah “suntiang

niniak mamak, pamenan anak mudo” (mahkota adat para ninik-mamak

dan permainan anak muda). Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa

kesenian Luambek menjadi simbol status yang paling tinggi dalam

kehidupan sosio-budaya masyarakat Nagari Kepala Hilalang khususnya

dan daerah rantau Pariaman umumnya. Dengan demikian, niniak

mamak mengemban tanggung jawab ganda terhadap pelestarian adat

nagari dan pelestarian etika yang berhubungan dengan tradisi

baluambek yang terakumulasi dalam aturan atau syarat-syarat

134

pelaksanaannya, sebagaimana telah dikemukakan pada bagian

terdahulu.

Luambek sebagai tradisi seni pertunjukan rakyat merupakan

bagian yang integral dari kehidupan sosio-kultural masyarakat nagari

Kepala Hilalang khususnya dan nagari-nagari di daerah Pariaman

umumnya. Alek pauleh berfungsi sebagai wahana atau wadah untuk

menciptakan kekuatan sosial sebuah masyarakat tradisi di nagari,

sehingga kesenian ini menjadi bahagian kehidupan berbudaya yang

memiliki keterkaitan langsung dengan struktur sosial masyarakat di

nagari.

Dengan demikian, hikmah atau nilai sosial utama dari pelaksanaan

Luambek adalah mempererat hubungan silaturrahmi antar masyarakat di

nagari lokasi pelaksanaan pertunjukan Luambek, sekaligus memupuk

silaturrahim antar masyarakat nagari yang berbeda. Melalui konteks

pertunjukan Luambek akan terbangun komunikasi antara Ninik Mamak

dengan masyarakatnya, dan timbulnya rasa sosial dari masyarakat

nagari.

Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa faktor yang menyebabkan

eksisnya seni pertunjukan Luambek dalam kehidupan masyarakat nagari

Kepala Hilalang adalah:

1) Faktor status luambek sebagai suntiang niniak mamak

135

2) Faktor struktur sosial masyarakat nagari dan struktur organisasi

Luambek, masih menjalankan tugas dan tanggung jawabnya masing-

masing.

3) Faktor tempat pertunjukan yang disebut laga-laga atau pauleh,

dimiki oleh setiap nagari dan masih digunakan sebagai tempat

latihan dan tempat pertunjukan Luambek

4) Faktor pertunjukan, kesenian Luambek masih eksis dan dfungsional

dalam upacara helat nagari, seperti upacara pengangkatan penghulu,

pengangkatan Kapalo Mudo, pengangkatan muncak buru, peresmian

Balai Adat, peresmian pasar, peresmian kator pemerintahan,

peresmian laga-laga, dan juga masih giat memenuhi undangan

nagari lain yang lazim disebut dengan ‘manapa’ yaitu membawa

rombongan Luambek ke nagari yang mengundang.

2. Makna Pertunjukan Luambek bagi Masyarakat

a. Makna Prosedur Pelaksanaan Alek Pauleh

Aspek makna dalam pertunjukan Luambek merupakan suatu

fenomena budaya. Kajian ini akan memberikan analisis dan

pemahaman tentang Luambek sebagai salah satu unsur dari kebudayaan

masyarakat Minangkabau yang mencerminkan prilaku, tradisi dan

pandangan hidup masyarakat, sebagaimana yang dikemukakan Clifford

Geertz bahwa kebudayaan adalah sistem pemaknaan yang dimiliki

136

bersama, karena itu merupakan hasil dari proses sosial dan bukan

proses perorangan (1973: 39).

Tradisi seni pertunjukan Luambek merupakan simbol yang

memiliki hubungan konseptual dengan masyarakat dan lingkungannya.

Simbol seni adalah pernyataan kehendak manusia mengenai sesuatu

dalam bentuk atau wujud karya seni, dan mempunyai arti sesuai dengan

maksud dari pernyataan itu. Dari segi fungsi sosialnya, daya tarik

pertunjukan rakyat terletak pada kemampuannya sebagai pembangun

dan pemelihara solidaritas kelompok (Kayam, 1977: 6 dalam Kayam,

dkk, editor Ahimsa, 2000: 340).

Kehadiran pertunjukan Luambek dalam berbagai upacara helat

nagari merupakan simbol adat dan simbol nagari, sekaligus berfungsi

untuk meningkatkan hubungan silaturahmi anggota masyarakat nagari,

dan menunjukkan status nagari beserta penghulunya. Dalam hal ini

pertunjukan Luambek dibangun dari kekuatan-kekuatan simbol sebagai

tempat bersemayamnya nilai-nilai sosial-kemasyarakatan masyarakat

nagari, sekaligus refleksi dari ketahanan adat-istiadat, sehingga

kehadiran Luambek pada berbagai upacara helat nagari menjadi

bermakna bagi masyarakatnya.

Pertunjukan Luambek dalam konteks Alek Pauleh mengandung

nilai-nilai kemasyarakatan yang memberikan makna sosial sebagai

berikut: 1) alek pauleh dipandang sebagai acara keramaian untuk

“menambah semaraknya suatu pelaksanaan seremoni upacara adat”; 2)

137

menempatkan alek pauleh sebagai simbol sosio-budaya yang berfungsi

untuk meningkatkan “hubungan silaturahmi antar masyarakat dalam

satu nagari”; 3) menempatkan Luambek sebagai simbol sosio-budaya

yang berfungsi untuk meningkatkan “hubungan antar pemuka adat dan

masyarakat nagari yang bertetangga;” 4) suatu aktivitas yang berfungsi

untuk “meningkatkan gengsi suatu upacara” yang sedang dilaksanakan,

sehingga pelaksanaan seremoni upacara tersebut dirasakan lebih total

sebagai upacara yang beradat; 5) Keberadaan kesenian Luambek

berperan untuk “memupuk rasa kebanggaan bagi masyarakat nagari”

yang melaksanakan alek pauleh terhadap masyarakat nagari lainnya di

daerah Pariaman.

Berbicara tentang makna, sesungguhnya dalam pertunjukan

Luambek, sangat sarat dengan simbol-simbol yang mengandung makna

filisofi bagi masyarakatnya. Misalnya di halaman bangunan laga-

laga/pauleh ditempatkan payuang panji yang berisi jangguik janggi,

tapuang pua, pertisai, padang pacabuik, pada langit-langit laga-

laga/pauleh dipasang tabia, tirai cindai dan tirai kolam, lantai laga-

laga/pauleh terdiri dari tujuh baris anyaman (balek) yang kesemuanya

mempunyai makna. Di samping itu juga dapat dilihat dari kepemilikan

Luambek sebagai suntiang niniak mamak, syarat-syarat pelaksanaan

helat, seperti mamakan bungo pinang, managakkan pauleh/laga-laga,

dan etika-etika lainnya yang harus dipenuhi, semuanya merupakan

simbol-simbol yang penuh dengan makna bagi masyarakat pemiliknya.

138

Namun pada saat ini peneliti belum memfokuskan perhtian pada

simbol-simbol dan makna tersebut.

Pada kesempatan ini peneliti lebih memfokuskan perhatian pada

makna dari simbol-simbol gerak lalu dan gerak ambek dalam

pertunjukan Luambek dan makna yang terdapat dalam prosedur

pelaksanaan helat, dan Luambek sebagai simbol status nagari.

a. Makna Simbol gerak lalu dan ambek

Dalam melakukan gerak lalu dan gerak ambek kedua pemain

tidak boleh melakukan kontak fisik atau bersinggungan. Gerak-gerak

yang bergaya pencak dilahirkan melalui simbol-simbol gerak.

Gerak lalu dan ambek dilakukan oleh kedua pemain secara

bergantian mengadu keterampilan menyerang dan menangkis dalam

bentuk simbol-simbol gerak. Dalam hal ini kedua pemain adu

keterampilan mempertahan simbol kebesaran penghulu nagarinya

masing-masing melalui simbol-simbol gerak yaitu:

1) gerak lalu batuah (menebas dengan tangan) yang bertujuan untuk

mengambil deta (destar) atau saluak penghulu. Apabila destar itu

berhasil dirampas, ini mengandung makna bahwa masyarakat

nagari dan penghulu nagari kehilangan predikat dan harga dirinya.

Gerak lalu batuah ini yang harus ditangkis dengan gerak ambek

batuah pula.

139

2) gerak lalu ujuang guntiang yang bertujuan untuk menggunting atau

merampas pakaian yang dipakai lawan. Apabila kain pakaian

berhasil dirampas ini mengandung makna bahwa penghulu dan

nagari yang diwakilinya akan mendapat malu atau kehilangan

harga diri. Gerak lalu ujuang guntiang ditangkis dengan ambek

ujuang guntiang.

3) gerak lalu kaluang yang bertujuan untuk mengungkung atau

mematikan langkah lawan. Apabila tidak bisa ditangkis ini

mengandung makna bahwa penghulu dan nagari yang diwakilinya

mendapat malu karena tidak dapat bergerak atau berbuat apa-apa

dalam masyarakat. Gerak lalu kaluang harus ditangkis dengan

gerak ambek kaluang.

4) gerak lalu simbue yang bertujuan membuka ikat piggang, buah

baju dan mengambil keris lawan. Apabila gerk lalu ini tidak bisa

dihambat ini mengandung makna bahwa penghulu dan nagarinya

mendapat malu yang amat sangat, karena secara simbolis ikat

pinggang, buah bajunya sudah terbuka serta keris sebagai senjata

pusakanya juga sudah diambil lawan. Gerak lalu simbue ini

ditangkis dengan gerak ambek simbue.

Dapat ditambahkan di sini, bahwa menurut masyarakatnya

apabila gerak-gerak lalu sebagaiman dikemukakan di atas, tidak bisa

dihambat atau ditangkis oleh pasangan bermain, maka orang itu

disebut ‘buluih’ atau kalah; konsep buluih di sini mengandung makna

140

mendapat malu. Dalam hal ini yang mendapat malu bukan hanya

sipemain yang ‘buluih’ saja akan tetapi juga penghulu dan nagari yang

diwakilinya.

Selanjutnya dilihat dari gerak lalu dan ambek yang telah

dikemukakan di atas, mengandung makna filosofi bagi masyaraktnya

yaitu bahwa dalam kehidupan sehari-hari apabila sesuatu masalah atau

rundingan datang secara adat, harus dinanti secara adat, dan apabila

datang secara agama dinanti pula secara agama, artinya dalam

menyelesaikan persoalan, apabila datang secara baik-baik maka harus

ditanggapi secara baik-baik pula.

b. Makna Syarat-syarat Pelaksanaan Alek Peuleh

Makna yang terkandung dalam kegiatan mamakan bungo pinang

adalah bahwa untuk melakukan suatu kegiatan harus dimusyawarahkan

dengan kata-kata dan tutur bahasa yang indah. Hal ini menunjukkan

bahwa dalam syarat-sarat pelaksanaan Luambek terlihat adanya unsur

pendidikan tentang perilaku dan etika berbicara dalam suatu forum

yang harus saling menghargai.

Makna yang terkandung dalam kegiatan managakkan pauleh

adalah bahwa adanya suatu keinginan atau harapan yang tulus dari

pelaksana helat untuk dikunjungi oleh sanak keluarga sebanyak

banyaknya, sehingga perlu dipersiapkan suatu tempat khusus untuk

sanak keluarga tersebut. Dengan berkumpulnya sanak keluarga di

141

pauleh tersebut, maka terjadilah interaksi sehingga hubungan

silaturrahmi antar mereka menjadi meningkat.

Pada sisi lain, kegiatan memasang pakaian laga-laga

mengandung makna bahwa helat yang diadakan adalah helat yang

beradat, yang disimbolkan dengan beberapa jenis paakaian laga-laga

seperti tabia, tirai cancang pada langit-langit lagap-laga yang disebut

juga dengan titai niniak mamak, tirai kolam atau tirai anak mudo.

Simbol ini merupakan tanda yang menunjukkan tempat duduk niniak

mamak dan tempat duduk anak mudo. Sedangkan simbol lainnyaa dari

pakaian laga-laga adalah sebagai tanda yang menunjukkan besar atau

kecilnya helat apakah helat yang diadakan Alek Pauleh Tinggi ataukah

Alek Pauleh Lumpuah.

Segala aturan dan etika dalam musyawarah minta izin

pelaksanaan helat mengandung makna yang menunjukkan bahwa

masyarakat menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah.

c. Makna Prosedur Pelaksanaan Helat

Memperhatikan tatacara penyambutan tamu sebagaimana telah

dikemukakan pada bagian terdahulu, terkandung makna simbolis yang

menggambarkan sikap dan tingkah laku suatu masyarakat dalam

menghargai dan memuliakan tamunya.

Segala bentuk etika dan aturan-aturan musyawarah minta izin

memain Randai Luambek dan Luambek, adalah merupakan gambaran

142

tingkah laku masyarakat pemilik kesenian Luambek. Etika yang

berkaitan dengan urutan pembicaraan dalam proses minta izin,

terkandung makna simbolis yang menunjukkan bahwa masyarakat

menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah, dan menghargai status

seseorang dalam masyarakat.

Selanjutnya ditinjau dari konsep pola lantai melingkar dalam

pertunjukan Randai Luambek melambangkan rangkaian persatuan,

sedangkan tukang aliah melambangkan seorang imam yang diikuti oleh

makmumnya. Dalam hal ini, pada pertunjukan Randai Luambek

terkandung makna simbolis yang menunjukkan bahwa sikap dan

tingkah laku masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat

mengutamakan rasa persatuan dan kesatuan dan mematuhi peraturan-

paraturan dari pemimpinnya.

143

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Eksistensi seni pertunjukan Luambek baik ditinjau dari faktor

internal maupun dari faktor eksternal dalam kehidupan sosial masyarakat

nagari Kepala Hilalang sangat tergantung pada keberfungsian struktur

sosial masyarakat dan struktur keorganisasian Luambek itu sendiri.

Keberfungsian struktur sosial masyarakat nagari dan struktur organisasi

Luambek membuat seni peretunjukan Luambek eksis dalam kehidupan

sosial masyarakat nagari Kepala Hilalang.

Kehadiran pertunjukan Luambek dalam berbagai upacara helat

nagari merupakan simbol adat dan simbol nagari, sekaligus berfungsi

untuk meningkatkan hubungan silaturahmi anggota masyarakat nagari,

dan menunjukkan status nagari beserta penghulunya. Dalam hal ini

pertunjukan Luambek dibangun dari kekuatan-kekuatan simbol sebagai

tempat bersemayamnya nilai-nilai sosial-kemasyarakatan masyarakat

nagari, sekaligus refleksi dari ketahanan adat-istiadat, sehingga

kehadiran Luambek pada berbagai upacara helat nagari menjadi

bermakna bagi masyarakatnya.

Dengan demikian, ada beberapa faktor penyebab eksisnya seni

pertrunjukan Luambek dalam kehidupan masyarakat nagari Kepala

Hilalang yaitu Luambek dipandang sebagai kesenian adat dengan

ungkapan ‘Luambek Suntiang Niniak Mamak, dalam pengelolaan sehari-

144

hari Luambek mempunyai organisasi yang kuat, setiap nagari

mempunyai laga-laga/pauleh tempat khusus untuk tempat latihan

sekaligus untuk pertunjukan,

Ditinjau faktor syarat-syarat pelaksanaan alek pauleh dan

prosedur pelaksanaan alek pauleh, terkandung makna denotatif dan

makna konotatif yang menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah, nilai-

nilai sosial-kemasyarakatan, adat istiadat dan menghargai status

seseorang dalam masyarakat.

B. Saran

Berdasarkan hasil temuan-temuan penelitian di lapangan, maka

pada kesempatan ini peneliti mengajukan saran kepada:

1. Masyarakat nagari Kepala Hilalang agar tetap mempertahankan tradisi

seni pertunjukan Luambek terutama dalam konbteks alek nagari atau

alek pauleh. Di samping itu juga agar tetap aktif dalam memenuhi

undangan nagari lain untuk memainkan Luambek.

2. Struktur sosial masyarakat nagari dan struktur sosial organisasi

Luambek agar tetap menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing

terutama dalam pembinaan dan pengelolaan seni pertunjukan

Luambek.

3. Bagi lembaga pendidikan kesenian seperti ISI Padangpanjang agar

dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai dokumentasi dan

inventarisasi yang dapat digunakan sebagai bahan literatur.

145

4. Bagi peneliti yang ingin melakukan penelitian lanjutan agar dapat

memperluas permasalahan dan memperdalam pengkajian terhadap

seni pertunjukan Luambek, karena kesenian ini sangat sarat dengan

nilai, norma, dan makna bagi masyarakatnya.

146

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa Putra, Heddy Shri (ed). 2000. Ketika Orang Jawa Nyeni. Yogyakarta: Galang Press.

------. 2001. Strukturalisme Levi-Straus Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press.

Brandon, James. 1989. Seni Pertunjukan di Asia Tenggara, Terjemahan Soedarsono. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia.

Brown, Redcliffe. 1952. Structure and Function in Primitive Society. New York: The Free Press.

Desmawardi. 2000. “Baburu Babi Suntiang Niniak Mamak Pamenan Dek Nan Mudo” Makalah. Yogyakarta: UGM.

------. 2005. “Maulud Nabi: Tradisi Ritual Keagamaan dan Seni Di Pariaman Sumatera Barat”. Laporan Penelitian. Padangpanjang: STSI Padangpanjang.

…………….. 2010. “Nyanyian Religius Mend’a Suatu Aktivitas Masyarakat Terhadap Seni Nuansa Islam di Kabupaten Padang P{ariaman Sumatera Barat”. Laporan Penelitian. Padangpanjang: STSI Padang Panjang.

Daeng, Hans J. 2000. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Hakimi, Idrus Dt Rajo Penghulu. 1987. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minqangkabau. Bandung: Rosda.

Hasan, Fuad. 2005. Berkenalan Dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya.

Henslin, James M. 2006. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. Jakartra: Erlangga.

Johnson, Doyle Paul. 1990. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. 147

------.1991. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Universitas Indonesia.

Kaplan, David. 1999. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelaajar.

LKAAM. 1987. Adat Minangkabau (Sejarah dan Budaya). Padang: LKAAM.

Lauer, Robert H. 2003. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakartra: Rineka Cipta.

Manggis, M. Rasyid Dt. Rajo Penghulu. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta: Mutiara.

Miles dan Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia.

Maleong, Lexy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rordakarya.

Maliki, Zainuddin. 2004. Narasi Agung Tiga Teori Sosial Hegemonik. Surabaya: Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat.

Navis, A.A. 1984. Alam Takambang Jadi guru : Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta : Grafiti Press.

Paz, Octavio. 1997. Levi-Straouss Empu Antropologi Struktural. Yogyakarta: LKiS.

Poloma, Margaret M. (1994). Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Pelly, Usman. (1994). Teori-Teori Sosial Budaya. Jakarta: Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kerja Kependidikan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud.

Piaget, Jean. 1995. Strukturalisme. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Permas, Achsan; 2003. Manajemen Organisasi seni Pertunjukan. Jakarta: Penerbit PPM.

Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan Dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Petaka Pelajar.

Ritzar, George. 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: CV Rajawali. 148

Roho, Bernard. 2007.Teori Sosiologi Moidern. Jakarta: Prestasi Pustakakarya.

------. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.

Stoner, James Af dan Sirait Alfonsus. 1996. (terjemahan). Jakarta: Erlangga.

Soekanto, Soejono. 1993. Babarapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sedyawati, Edi. 1981: Pertumbuhan Seni pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.

------, 1986. Talcot Parsons, Fungsionalisme Imperatif. Jakarta: CV Rajawali.

Salmurgiyanto dkk (ed). 2003. Mencermati Seni Pertunjukan Perspektif Kebudayaan, Ritual, Hukum. Surakarta: The Ford Foundation & Program Pasca Sarjana STSI Surakarta.

Yogi, A. Rivai. 1980. Sastra Minang. Jakarta: Mutiara.

Yitno, Amin. 1993. “Fungsionalisma Dalam Penelitian Sosial dan Budaya”. Makalah. Surtakarta: STSI Surakarta.

Yunus, Umar.1971. Kebudayaan Minangkabau, dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Kolentjaraninggrat (ed). Jakarta: Djembatan.

Zahara Kamal. 2001. “Nyanyian Religius Dalam Ratik Tulak Bala Di Desa Tarok Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam Kab. Padang Pariaman. Padang Panjang”. Laporan Penelitian. STSI Padang Panjang.

149

Lampiran 1

Tabel Suku, Penghulu dan Perangkatnya Dalam Wilayah Nagari Kepala Hilalang

No Suku Penghulu Panungkek Labai Urang Tuo Jambak Mansyur Rky. Mulie Z. Bgd. Alam A.Lb. Imam Basa Syofyan Dt. Tuo B.Dt. Rajo Mangkuto Idrus Bdr Sati M. Lb. Bdr B.Dt.Bdr.Sati R.Dt.R.Mulie Nan Adi A.Bgd Nan Ilyas Lb.Kali N. St. Marajo Mudo Mudo Basa 2. Tanjung Rasydi Dt.Majo Indo R. Ajung Sati J. Lb. Mangkuto UT.Dt. RajoPenghulu Mawardi Dt. Sati Bakar Bgd.Sati Bakar Lb. Zulkirman Majo Sati Barahim Asril Dt. Lenggang St Basa Lb. Basa M. Lenggang Basa Basa Sy.Dt. Rangkai Putih N.Angke Nan Sy.Lb. Bandaro RT.Dt. Bth Mudo NanHitam D. Dt . Lelo Panjang 3. Guci Sy. Dt. Tianso Kamar Sidi Ali Lb. Marajo D. St Malano Marajo Dt. Pangulu Basa Rajo Sutan Lb. Basa Yahya Dt. Bagindo H.Bagindo Sy. Lb. Sutan Z. M. St. Bagindo Malano 4. Koto Sy.Dt.PandukoSinaro Jalius St. Panduko Sy. Lb. Rajo Syofyan Pdk. Rajo M.Dt.Tumangguang Anwar St. Bgd. Nurdin Lb. Bgd. St.Tumangguang Dt.Majo Lelo St. Malaut Lb. Majo Lelo Majolelo Syawal Dt. Kayo D. Bgd. Sati A. Lb. Jalelo AB St Marlaut Dt. Nan Sati Bgd Jalelo Lb. Sutan Bgd. Jalelo Yauza Dt.Pdk.Sati Yurnalis Bgd. Sati Zaidin H. Dt Mudo D. St. Tanameh M. Lb. Mudo D.Bgd.Tanameh Z.Dt.Pdk Nan Mudo D. Malano Rajo N. Lb.Malano Sy. Malano Kali A.R.Dt Bungsu Tarmizi Bgd M.Lb Malano B.St. Sati Alam Bungsu Pakiah L.A.Dt. Rk Basa M. Bgd Basa B. Lb. Basa AS Angke Basa 5. Panyalai Sy.Dt Maninjun Sy.Bgd.Batuah H.Lb. Sinaro Dt.Sinaro Nan Hitam M.Jamil Dt. A.Z.Sidi Rajo M.Lb Pito Sati Anas M. Dt Gadang Tanpatiah Z.Dt Tumbijo Kh. St.Marlaut M. Lb.Bagindo A. T Sumber: Kantor KAN Nagari Kepala Hilalang

150

Lampiran 2.

Struktur Organisasi KAN Nagari Kepala Hilalang

WAKIL KETUA KAN

M. DT. SATI

BENDAHARA SEKRETARIS

MJ.DT TANPATIAH D. DT . LELO PANJANG

SEKSI PUSAKO SEKSI SENI SEKSI EKONOMI BUDAYA ADAT DAN SAKO/ PRADILAN DAN SURAT PEMBANGUNAN

NAGARI Z.H. DT. MUDO SY. DT. RANGKAI SY.DT. PANDUKO PUTIAH SINARO

Sumber: Kantor KAN Nagari Kepala Hilalang

151

Lampiran 3

Dokumentasi Alek Pauleh Tinggi

Gambar Laga-laga dan Perlengkapan Alek Pauleh Tinggi Foto Dokumentasi: Asril

Gambar Pakaian Laga-laga ‘Tabie dan Tirai. Pada Langit-langit Laga-Laga Foto Dokumentasi :Irfan

152

Gambar Tabuah Larangan Di Halaman Depan Laga-Laga Alek Pauleh Tinggi Foto Dokumentasi : Asril

Gambar Musik Gandang Tambua Mengarak Rombongan Buru Babi Foto Dokumentasi: Asril

153

Gambar Fenomena saat Alek Pauleh Tinggi Foto dokumentasi : Asril

Gambar Pertunjukan Tari Cindai oleh dua orang Penghulu Foto Dokumentasi: Asril

154

Gambar Pertunjukan Randai Luambek Foto Dokumentasi: Asril

Gambar Bundo Kanduang Mengantar Jamba ke Laga-Laga Foto Dokumentasi : Asril

155

Gambar Makan Bajamba di Laga-laga Foto Dokumentasi: Hanefi

Gambar Siriah Carano Di Depan Niniak Mamak Foto Dokumentasi : Asri

156

Lampira 4

Dokumentasi Alek Pauleh Lumpuah

Gambar Laga-laga Alek Pauleh Lumpuah Foto Dokumen: Irfan Kurniawan

Gambar Kegiatan Pasambahan Minta izin Memainkan Luambek Foto Dokumen: Irfan Kurniawan

157

Gambar salag seorang Pemain Luambek Menyalami Penghulu Untuk Memainkan Luambek Foto Dokumen: Irfan Kurniawan

Gambar dua orang Anak Mudo Memainkan Luambek Foto Dokumen: Irfan Kurniawan

158

Lampiran 5

Dokumentasi Gerak Lalu dan Ambek

Gambar Gerak Lalu Ujuang Guntiang Foto Dokumentasi: Hanefi

Gambar Gerak Lalu Simbua Foto Dokumentasi: Henefi 159

Gambar Gerak Lalu Batuah Foto Dokumentasi: Henefi

160

Lampiran 6

Teks Dampeang Luambek

Teks Dampeang Jantan 1

Ai dampeang oi, olai yo yaknga olai yo daknganga, “Ayo u“ Ampeang ngo o oi ngo o oi yak ngangadau oi, danga yaknga ongok ngo ngonak kanduang dodok do ei Dodok jakngak ngak ngak ngamang, ngamang oi tajolak, oi rang jolekan ei antah, “Antah-antah ei antah“ Dagang oi yakngak nga ngongoi, adau lah kanadau ei komah, oi adau juo ei ala, “Hei yo alah-ok ngangayo-ok ngongo hai“

Teks Dampeang Jantan 2

Ai jawek lah salam, olai yoi yok ngongoi kumbak ngakngali saknganga, „“Ayo u“ Alam oi yak ngadau ei nge e ei nge e ei, danga yaknga ei ngo ngongo nak kanduang dodok do ei Dodok jaknga nga-ngamang, ngamang oi tajolak, ongok ngongo ngolah, oi rang jolehkan ei alah, “A ntah- , oi antah“ Dagang ei eiyak nganga ngongomah, adau lah kanadau kokngoimah, ei adau juo ei alah, “Ei yo alah, ok ngangayo, ok ngongohai“

Teks Dampeang Jantan 3

Iyo oi aie asin, olai yoi yokngongo oi hulunyo mak nganga, “Ayo u“ Anih ei yok ngongo, kanduang talido do ngodo Danga oi dak nganga nganga ngamang, dibaliak kaknga ngampuangyak tak ngangah, oi koto ngaknga ngambang oi antah, “Antah-antah, oi antah“ Dagang oi yok ngongo ngoyah, alun barakngak ngak ngalun, oi kumpai rakngak ngalun ok ngongolah, “Iyo alah, ok nganga yo, ok ngongo hai“

Teks Dapeng Jantan 4

Iyo tujuah musim, olai yo yak nganga oi lamo manak nganga, „“Ayo u“ Angih oi yoyok ngongo ngongak, kanduang talido do ngodo Danga oi daknganga ngangamang, takngangah kak ngangandunag saknganga ngangayang lambek dakngangatang ngok ngoi antah, „“A ntah-antan, oi antah“ Dagang oi yok ngongo ngong ngoyah, anyik silongok ngodang oi tabiang daknganga ai yak ngongolah, „“Iyo Alah, o nganga yo, okngongohai.

161

Teks Dampeang Batino 1

Ai ai yak ngalai, tadangak ngampeang oi Ai ngok ngongoi, ai ngongok ai ngok yak nga ai ngo ngongoi Dodok lai kanik ngik ngiro ngok ngongoi ngok ngoi, ai ngongoi Ai ngok ngongok ai yak ngak ai dak nganga ai ton oi, olai yoi ladakngak ngampeang oi

Teks Dampeang Batino 2

Ai ai yak ngalai, tadangak ngampeang oi Ai ngok ngongoi, ai ngongok ai ngok yak nga ai ngo ngongoi Dodok lai kanik ngik ngiro ngok ngongoi ngok ngoi, ai ngongoi Ai ngok ngongok ai yak ngak ai dak nganga ai ton oi, olai yoi ladakngak ngampeang oi

162

Lampiran 7

Notasi Dampeang Luambek

Notasi Dampeang Jantan

163

Notasi Dampeang Batino

164

Notasi Dampeang Jantan

165

Lampiran 8

Peta Kabupaten Padang Pariaman

166