Novel ATHEIS-Dewikz

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Novel ATHEIS-Dewikz Tiraikasih website http://kangzusi.com/ Karya : Achdijat Karta Mihardja Atheis Sumber DJVU : BBSC Ebook oleh : Dewi KZ Tiraikasih website http://kangzusi.com/ http://kang-zusi.info/ http://dewikz.byethost22.com/ http://ebook-dewikz.com/ http://tiraikasih.co.cc/ http://cerita-silat.co.cc/ Tiraikasih website http://kangzusi.com/ Riwayat Hidup Achdiat Karta MIhardja lahir di Cibatu, Garut, 6 Maret 1911. Tahun 1932 tamat dari Algemene Middelbare School "bagian Al di Solo. Ia juga mempelajari mistik (tarikat) aliran Kadariyah Naksabandiah dari Kiyai Abdullah Mubarak yang terkenal juga dengan nama Ajengan Gedebag. Kecuali itu belajar filsafat pada pater Dr. Jacobs S.J., dosen pada Universitas Indonesia, dalam Filsafat Thomisme. Tahun 1943 ia menjadi anggota redaksi Bintang Timur merangkap redaktur mingguan Peninjauan (bersama Sanusi Pane, Armin Pane, PF Dahler, Dr. Amir dan Dr. Ratulangi). Tahun 1937 pembantu harian Indie Bode dan Mingguan Tijdbeeld dan Zaterdag, juga sebentar bekerja di Aneta. Tahun 1938 jadi pimpinan redaksi tengah-bulanan Penuntun Kemajuan. Tahun 1941 jadi redaksi Balai Pustaka, sejak saat itu tumbuh minatnya kepada kesusastraan. Tahun 1943 menjadi redaksi dan penyalin di kantor pekabaran radio, Jakarta. Tahun 1946 jadi pimpinan umum mingguan Gelombang Zaman dan setengah mingguan berbahasa Sunda Kemajuan Rakyat. Tahun 1948 kembali jadi redaksi di Balai Pustaka. Pada tahun 1949 terbitlah roman Atheis-nya ini. Tahun 1951 bersama-sama Sutan Takdir Alisjahbana dan Dr. Ir. Sam Udin mewakili PEN Club Indonesia menghadiri Konperensi PEN Club International di Lausanne, Switserland. Saat itu ia juga mengunjungi Negeri Belanda, Inggris, Prancis, Jerman Barat, dan Roma. Tahun 1952 berkunjung ke Amerika dan Eropa Barat dengan tugas dari Dep. PP&K untuk mempelajari soal-soal pendidikan orang dewasa (termasuk penerbitan bacaan-bacaannya) dan 'university extension courses'. Kesempatan ini digunakan juga untuk mempelajari seni drama di Amerika Serikat. Tahun 1956 selama setahun Tiraikasih website http://kangzusi.com/ memperdalam bahasa Inggris serta sastranya di Sydney University dalam rangka Colombo Plan. Tahun 1960 menjabat Kepala Inspeksi Kebudayaan Djakarta Raya dan memberi kuliah pada FS-UI tentang Kesusastraan Indonesia Modern. Tahun 1961 menjabat sebagai Lektor Kepala pada Australian National University di Canberra, mengajar sastra Indonesia Modern dan bahasa Sunda. Sampai sekarang ia masih tinggal di Australia. Roman Atheis ini salah satu karya terpenting yang lahir dari tangan Achdiat K. Mihardja. Pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat kita yang terus berubah menjadi tema sentral roman ini. Masalah-masalah itu sampai sekarang masih relevan, walaupun roman ini telah berusia lebih 30 tahun dan telah mengalami cetakan yang ketujuh. BP—1.0021—90 ISBN 979 — 407 — 185 — 4 ATHEIS ATHEIS Roman oleh ACHDIAT K. MIHARDJA BALAI PUSTAKA Jakarta 1990 Perum Penerbitan dan Percetakan BALAI PUSTAKA BP No. 1725 Hal pengarang dilindungi undang-undang Cetakan kesatu — 1949 Tiraikasih website http://kangzusi.com/ Cetakan kedua — 1953 Cetakan ketiga — 1957 Cetakan keempat — 1960 Cetakan kelima — 1969 Cetakan keenam — 1976 Cetakan ketujuh — 1981 Cetakan kedelapan — 1983 Cetakan kesembilan — 1986 Cetakan kesepuluh — 1989 Cetakan kesebelas — 1990 808.83 Mih Mihardja, Achdial K. a Atheis : Roman / oleh Achdiat K Mihardja - cct -- Jakarta : Balai Pustaka, 1990 232 hal. : ilus. ; 21 cm. -- (Seri BP no. 1725) 1. Ceritera Roman. 1. Judul. II. Seri. ISBN 979 — 407 — 185 — 4 Perancang kulit: Supriyono Gambar dalam oleh S. Sutikho Kata Pengantar Tiraikasih website http://kangzusi.com/ Roman Atheis mengetengahkan perkembangan yang tipikal bagi masyarakat Indonesia sejak permulaan abad kedua puluh, yakni pergeseran gaya hidup yang tradisional ke gaya hidup yang modern. Pergeseran itu membawa serta perselisihan dan bentrokan antara paham-paham yang lama dengan yang baru, terjadi khususnya di lapangan sosial budaya dan politik. Perkembangan di dalam masyarakat itu tidak luput meninggalkan pengaruhnya kepada pengalaman batin manusia. Keresahan batin di tengah-tengah bergeloranya pertentangan paham di zaman penjajahan Belanda dan Jepang menjadi pokok perhatian roman ini. Atheis kini mengalami cetakan yang kesembilan. Hal itu menandakan betapa besar sambutan masyarakat pembaca kita terhadap karangan penulis terkenal Achdiat K. Mihardja. Kecuali itu, kita boleh berkesimpulan, bahwa penyajian tema dan struktur roman itu telah memenuhi harapan orang banyak akan hasil sastra yang bermutu. Balai Pustaka merasa gembira dapat menerbitkan kembali roman ini. Balai Pustaka Scanned book (sbook) dan pembuatan EBOOK ini hanya untuk pelestarian buku dari kemusnahan. DILARANG MENGKOMERSILKAN atau hidup anda mengalami ketidakbahagiaan dan ketidakberuntungan Bagian I Apa artinya sesal, kalau harapan telah tak ada lagi untuk memperbaiki segala kesalahan? Untuk menebus segala dosa? Tiraikasih website http://kangzusi.com/ Akan tetapi hilangkah pula sesal, karena harapan untuk menebus dosa itu telah hilang? Ah, bila demikian halnya, barangkali takkan seberat itu segala dosa menekan jiwa Kartini. Tapi tidakkah malah sebaliknya? Bahwa semakin hilang harapan, semakin berat pula sesal menekan? Sempoyongan Kartini keluar dari sebuah kamar dalam kantor Ken Peitai. *) Matanya kabur terpancang dalam muka yang pucat. Selopnya terseret-seret di atas lantai gedung yang seram itu. Tangan kirinya berpegang lemah pada pundak Rusli yang membimbingnya, sedang saya memegang lengan kanannya. Perempuan malang itu amat lemah dan lesu nampaknya, seolah-olah hanya seonggok daging layaknya yang tak berhayat diseret-seret di atas lantai. Serdadu-serdadu dan opsir-opsir Kenpei Jepang berkerumun-kerumun di gang-gang dan di ruangan-ruangan yang kami lalui. Semuanya kelihatannya sangat lesu juga. Serupa onggokan-ong-gokan daging juga yang tak berdaya apa-apa pula. Ada juga yang masih tertawa-tawa, seakan- akan tidak mau dipandang sebagai onggbkan daging yang tak berdaya. Akan tetapi terdengar tertawanya itu dibikin-bikin. Dua minggu yang lalu mereka itu masih merasa dirinya singa yang suka makan daging. Kini telah menjadi daging yang hendak dimakan singa. Mereka telah hancur kekuasaannya oleh tentara Sekutu dan Rusia. Ya, sic transit glofia mundi! Di dunia tiada yang tetap, tiada yang kekal, tiada yang abadi. Segala-gala serba berubah, serba bergerak, serba tumbuh dan mati. Yang abadi hanya yang Abadi, yang tetap hanya yang Tetap, yang kekal hanya yang Kekal. Tapi apakah yang demikian itu manusia tidak Tiraikasih website http://kangzusi.com/ mengetahuinya, sebab abadi, tetap, kekal itu adalah pengertian waktu, sedang waktu *) Polisi Militer Jepang Hidung terbenam dalam saputangannya yang basah.. adalah pengertian ukuran. Dan ukuran ditetapkan oleh manusia jua. Padahal manusia beranggapan, bahwa manusia ditetapkan oleh yang Abadi. ... Berpikir-pikir seperti saya jugakah singa-singa yang sekarang sudah menjadi onggok-onggok daging itu? Selop Kartini terseret-seret terus di atas lantai. Kami bertiga tidak berkata apa-apa. Terlalu terpukau rasanya oleh berita yang baru terdengar dua-tiga menit yang lalu itu. Terutama Kartini. Alon-alon Rusli membimbing perempuan yang lemah itu. Terseok-seok Kartini berjalan. Kepalanya tunduk. Hidung terbenam dalam saputangan yang basah karena air mata. Bahwasanya manusia hidup di tengah-tengah sesama mahluk-nya. Berbuat jasa atau dosa terhadap sesama hidupnya. Merasa bahagia, bila ia telah berjasa. Menebus dosa terhadap siapa ia berbuat dosa. Akan tetapi kepada siapakah ia harus menebus dosanya, harus menyatakan sesalnya, pabila orang terhadap siapa ia berbuat dosa itu sudah tidak lagi, sudah meninggal dunia? Kepada Tuhan? Karena Tuhan adalah sumber segala cinta, yang melarang manusia berbuat dosa terhadap sesama mahkluk-nya? Tapi bagaimana caranya? Tiraikasih website http://kangzusi.com/ Kepada manusia-manusia lain? Karena manusia-manusia itu sama sependirian, bahwa berbuat dosa itu adalah suatu perbuatan yang dilarang? Tapi bagaimana pula caranya? Sesungguhnya, semua itu meminta cara. Meminta cara oleh karena hidup di dunia ini berarti menyelenggarakan segala perhubungan lahir-batin antara kita sebagai manusia dengan sesama mahluk kita, dengan Alam beserta Pencintanya. Dan penyelenggaraan semua perhubungan itu meminta cara. Cara yang sebaik-baiknya, seadil-adilnya, seindah-indahnya, setepat-tepatnya, tapi pun sepraktis-praktisnya dan semanfaat-manfaatnya bagi kehidupan segenapnya. Demikian saya berpikir sambil menopang Kartini yang lemas terseok-seok itu. Satu jam yang lalu,.......tidak! Bahkan lima menit yang lalu masih ada api harapan bernyala dalam hati Kartini, sekalipun hanya berkedip-kedip kecil seperti lilin tengah malam yang sedang tercekik lambat-lambat oleh gelita. Kini harapan itu sudah mati sama sekali. Sejak lima menit yang lalu. Tak ada lagi pegangan baginya. Kami meninggalkan gedung yang seram itu. Hampir terjatuh-jatuh Kartini ketika ia turun dari tangga gedung itu, jika kami berdua tidak menopangnya. Kami menginjak halaman. Terhuyung-huyung masih Kartini. Tergores-gores tanah bekas selop yang diseret-seret. Harapannya telah hilang sama sekali. Hilang menipis seperti uap. Habis tak berbekas. Hasan ternyata telah meninggal dunia. Beberapa menit yang lalu hal itu baru diketahui oleh Kartini. Rupanya badan Tiraikasih website http://kangzusi.com/ Hasan yang lemah berpenyakit tbc itu tidak sanggup mengatasi segala siksaan algojo-algojo Kenpei yang kejam itu. Di mana ia dikubur? Entahlah. Kapan tewasnya? Entahlah. Selaku orang sakit oleh seorang juru rawat,
Recommended publications
  • Perbandingan Gaya Bahasa Dalam Novel Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja Dan Novel Telegram Karya Putu Wijaya: Tinjauan Stilistika
    1 PERBANDINGAN GAYA BAHASA DALAM NOVEL ATHEIS KARYA ACHDIAT KARTA MIHARDJA DAN NOVEL TELEGRAM KARYA PUTU WIJAYA: TINJAUAN STILISTIKA TESIS Disusun oleh A. ARYANA P1200215002 PROGRAM STUDI BAHASA INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018 2 PERBANDINGAN GAYA BAHASA DALAM NOVEL ATHEIS KARYA ACHDIAT KARTA MIHARDJA DAN NOVEL TELEGRAM KARYA PUTU WIJAYA: TINJAUAN STILISTIKA TESIS Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister Pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Program Studi Bahasa Indonesia Disusun dan diajukan oleh A. ARYANA P1200215002 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018 3 PERBANDINGAN GAYA BAHASA DALAM NOVEL ATHEIS KARYA ACHDIAT KARTA MIHARDJA DAN NOVEL TELEGRAM KARYA PUTU WIJAYA: TINJAUAN STILISTIKA THE COMPARISON OF LANGUAGE STYLE IN NOVEL ATHEIS BY ACHDIAT KARTA MIHARDJA AND NOVEL TELEGRAM BY PUTU WIJAYA: A STYLISTIC APPROACH TESIS A. ARYANA P1200215002 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018 4 5 PERNYATAAN KEASLIAN TESIS Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : A. Aryana Nomor Pokok : P1200215002 Program Studi : Bahasa Indonesia Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa tesis yang saya tulis ini merupakan hasil karya sendiri, bukan pengambil alihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut. Makassar, 4 Januari 2018 Yang menyatakan, A. Aryana 6 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt. yang senantiasa melimpahkan karunia dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Akhirnya tesis ini dapat dirampungkan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan akademis guna memeroleh gelar Magister Humaniora (M.Hum.) pada Program Studi Bahasa Indonesia, Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin.
    [Show full text]
  • An Example of Popular Indonesian Fiction in the First Quarter of the Century
    SAIR NONA FIENTJE DE FENIKS An Example of Popular Indonesian Fiction in the First Quarter of the Century CYRIL WILLIAM WATSON If one reads any of · the standard accounts of the development o{ modern Indonesian literature, whether those written by foreign scholars or by Indonesians themselves/ one is liable to get an exceptionally distorted picture of what reading material was available and what the readership of this material was, particularly for the period before the Second World War. The reason for this is that standard accoupts have concentrated almost exclusively on works published by the official colonial publisher Balai Pustaka or produced by B. P. staff and, at least as far as prose is concerned, have ignored other' publications. There are various reasons far this, but perhaps the most important is the influence exerted by Professor A. Teeuw, the pioneer2 in the field of modern Indonesian literary studies. Since his early work V ooltooid V oorspel ( 1950) which was the outcome of a course of lectures on modern Indonesian literature duri:qg which, as he himself admits, he was reading the literature for the first time and simply keeping himself a little way in front of his students, Professor Teeuw has delimited the field of research and his example has been followed without much questioning by subsequent writers such as H. B. J assin and Professor A. Johns. Professor Teeuw can hardly be blamed for what has occurred since he painstakingly dealt with all the ma- terial that was at hand to him. I don't think he himself realised when he came to write what is often taken to be the.
    [Show full text]
  • Novel Layar Terkembang Karya Sutan Takdir Alisjah- Bana Dan Novel Belenggu Karya Armijn Pane
    ADVERBIA DALAM NOVEL ANGKATAN PUJANGGA BARU: NOVEL LAYAR TERKEMBANG KARYA SUTAN TAKDIR ALISJAH- BANA DAN NOVEL BELENGGU KARYA ARMIJN PANE Weni Susanti, Agustina, Ngusman Program Studi Sastra Indonesia FBS Universitas Negeri Padang Jln. Prof. Dr. Hamka Air Tawar Padang, 25131. Sumatera Barat email: [email protected] Abstract This study was conducted to describe (1) the type of abreviation and (2) the formation of abreviation in the weekly newspaper of Padang Ekspres in Janu- ary 2018. This research type is qualitative research by using descriptive me- thod. This research data is a kind of abreviation (abbreviations, acronyms, fragments, contractions, and symbols) that exist in the news sentences of the weekly newspaper Padang Ekspres January 2018. The data sources of this re- search in the newspaper Padang Ekpres Weekly edition in January 2018. Based on the results of data analysis obtained two research findings. First, the type of abreviation in the weekly newspaper Padang Ekspres January 2018, found five types of abreviation, namely (a) abbreviation, (b) acronym, (c)fragments, (d) contractions, and (e) symbols. Second, the formation of ab- reviation in the weekly newspaper Padang Ekspres January 2018, consists of four processes. (a) The formation of abbreviations consisting of: the first let- ters of each component; first letters with conjunction, preposition, reduplica- tion, articulation and word; first letters; and first and third letter. (b) The for- mation of acronyms and contractions consisting of: the first syllabus of each component; first of each component, first two letters of each component, the first three letters of each component, the first two letters of the first two and the first two letters of the second component together with the deletion; and the sequence of various letters and syllables difficult to formulate.
    [Show full text]
  • ASPECTS of INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE in the 1930S
    PUDJANGGA BARU: ASPECTS OF INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE IN THE 1930s Heather Sutherland Pudjangga Baru, the "New Writer," was a cultural periodical put out in the colonial capital of Batavia by a group of young Indonesian intellectuals from 1933 until the invasion of the Netherlands Indies by Japan in 1942.1 In Bahasa Indonesia, the term pudjangga means "literary man, man of letters; author, poet; linguist, philologist."2 34 The choice of this term for the title of the monthly was no doubt also influenced by an awareness of its historical connotations, for the word can be traced back through such Old Javanese forms as bhujanga to an original Sanskrit root associated with sacred and priestly learning. It implied nobility and integrity as well as literary ability; and it is therefore no accident that the writings appearing in it claimed high idealism and a sense of mission. The purpose proclaimed by Pudjangga Baru became more fervent as the years passed. In the beginning, it described itself simply as a literary, artistic, and cultural monthly. At the start of its third year it declared itself a "bearer of a new spirit in literature, art, culture, and general social affairs."^ At the beginning of its fifth year it claimed to be the "leader of the new dynamic spirit to create a new culture, the culture of Indonesian unity."1* In 1928, when the second All-Indonesia Youth Congress swore the famous oath to work for "one fatherland, one people, and one language" Pudjangga Baru pledged itself to work for the development of the national language and also to strive for a national culture, adding "one culture" to its 1.
    [Show full text]
  • Unsur Postkolonial Dalam Novel Atheis Karya Achdiat K. Mihardja
    UNSUR POSTKOLONIAL DALAM NOVEL ATHEIS KARYA ACHDIAT K. MIHARDJA Oleh: Vivi Yunita1, Yasnur Asri2, Afnita3 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Universitas Negeri Padang email: [email protected] ABSTRACT The purpose of this study was to describe postcolonial component which was hegemony and mimicry that was experienced by characters in Atheis novel from Achdiat K. Mihardja. Data of study were characters utterance, display of narrator and acting of the characters in the novel. The primary source of data was texts from Atheis novel by Achdiat K. Mihardja. Data were collected by using qualitative decriptive which was read and written into inventaritation data from and analyzing data based on postcolonial theory. The fiding of the study showed postcolonial component in the novel, they were hegemony and mimicry. Five ideologies that were showed hegemony, languange mimicry and culture that was exeperienced by the characters in Atheis novel from Achdiat K. Mihardja. Kata kunci: postcolonial; hegemoni; mimikri; atheis A. Pendahuluan Perkembangan kesusastraan di Hindia Belanda sampai pada periode awal kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari pengaruh kekuasaan Kolonial Belanda. Hal ini dapat diketahui dari pendirian Balai Pustaka. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:582) mengartikan kolonialisme sebagai penguasaan oleh suatu negara atas daerah atau bangsa lain dengan maksud untuk memperluas negara itu. Sebagai lembaga penerbitan milik pemerintah kolonial, Balai Pustaka berusaha mempromosikan pengguasaan bahasa melayu tinggi yang dipelopori oleh Ch. Van Ophuysen Balai Pustaka sebelum sumpah pemuda pada tahun 1928, tidak memberi ruang bagi karya yang tidak menggunakan bahasa yang telah dibakukan oleh ahli bahasa pada masa itu. Balai Pustaka tidak mau menerbitkan karya-karya yang berunsur agama, juga karya-karya yang berpandangan politik yang bersebrangan dengan pemerintah kolonial.
    [Show full text]
  • BAB IV ANALISIS DATA A. Arena Sastra Indonesia
    library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB IV ANALISIS DATA A. Arena Sastra Indonesia DKJ lahir dan tumbuh di lingkungan kesusastraan Indonesia yang juga sedang bertumbuh. Pertumbuhan sastra Indonesia bersamaan dengan perkembangan kesadaran kebangasaan dan kesadaran nasional. Kesadaran tersebut terus mengalami perkembangan sejak tercetusnya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 yang menyatakan pengakuan atas satu tanah air, bangsa, dan bahasa. Momentum tersebut menuntut bangsa Indonesia menentukan arah kesatuan kebudayaannya. Berbagai pemikiran dan pandangan diungkapkan oleh cendekiawan serta budayawan Indonesia ketika itu. Namun, konsep kebudayaan yang paling menarik perhatian adalah pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana (selanjutnya disebut STA). Orientasi Kebudayaan STA mengarah kepada kebudayaan Barat. STA menyangsikan dan menolak nilai-nilai budaya tradisional (Esten dalam Kratz, 2000:748-751). Hal tersebut terlihat dalam ungkapan STA: “Zaman prae-Indonesia, zaman jahilliah Indonesia itu setinggi-tingginya dapat menegaskan pemandangan dan pengertian tentang lahirnya zaman Indonesia, tetapi jangan sekali-kali zaman Indonesia dianggap sambungan atau terusan yang biasa daripadanya” (Alisjahbana dalam Mihardja, 1977:16). Pada bagian lain STA juga mengungkapkan: Pada pikiran saya pandu-pandu kebudayaan Indonesia harus bebas benar berdiri dari kebudayaan zaman prae-Indonesia. Perkataan bebas bukan berarti tidak tahu seluk-beluknya, perkataan bebas hanya berarti tidak terikat. Sebabnya siapa yang belum dapat melepaskan dirinya dari kebudayaan Jawa akan berdaya upaya akan memasukkan semangat 23 library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id24 kejawaan ke dalam kebudayaan Indonesia, siapa yang belum terlepas dari kebudayaan Melayu akan berdaya upaya memasukkan semangat kemelayuan ke dalam kebudayaan Indonesia dan demikian seterusnya (Alisjahbana dalam Mihardja, 1977:17). STA pada intinya secara terus terang menegaskan bahwa kebudayaan bangsa harus tumbuh mengarah ke Barat (Alisjahbana dalam Mihardja, 1977:19).
    [Show full text]
  • CHAIRIL ANWAR: the POET and Hls LANGUAGE
    VERHANDELINGEN VAN HET KONINKLIJK INSTITUUT VOOR TAAL-, LAND- EN VOLKENKUNDE 63 CHAIRIL ANWAR: THE POET AND HlS LANGUAGE BOBN S. OBMARJATI THB HAGUB - MARTINUS NIJHOFF 1972 CHAIRIL ANWAR So here I am, in the middle way, having had twenty years - Twenty years largely wasted, the years of l'entTe deux guerres - Trying to leam to use words, and every attempt Is a wholly new start, and a different kind of failure Because one has only learnt to get the better of words For the thing one no longer has to say, or the way in which One is no longer disposed to say it. And so each venture Is a new beginning, a raid on the inarticulate With shabby equipment always deteriorating In the genera! mess of imprecision of feeling, Undisciplined squads of emotion ............................. (T. S. Eliot, East CokeT V) To my parents as a partial instalment in return for their devotion To 'MB' with love and in gratitude for sharing serenity and true friendship with me VERHANDELINGEN VAN HET KONINKLIJK INSTITUUT VOOR T AAL-, LAND- EN VOLKENKUNDE 63 CHAIRIL ANWAR: THE POET AND HlS LANGUAGE BOEN S. OEMARJATI THE HAGUE - MARTINUS NIJHOFF 1972 I.S.B.N.90.247.1508.3 T ABLE OF CONTENTS ACKNOWLEDGEMENTS VII PREF ACE IX INTRODUCTION . XIII 1. The Japanese Occupation: The Break with the Past XIII 2. The Situation respecting the Indonesian Language . XIV 3. The Situ at ion in respect of Indonesian Literature XVI 4. Biographical Data . XX LIST OF ABBREVIA TIONS AND SYMBOLS . XXVII CHAPTER I: LANGUAGE AND POE TRY 1.
    [Show full text]
  • Plagiat Merupakan Tindakan Tidak Terpuji
    PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI WACANA KEBUDAYAAN INDONESIA PADA MASA PERGERAKAN KEMERDEKAAN: POLEMIK KEBUDAYAAN (1935 – 1939) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Oleh: Flavianus Setyawan Anggoro NIM: 054314005 PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2011 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI ii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI iii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI MOTTO “Selalu Memandang Ke Depan adalah Sebuah Pilihan Hidup” (NN) iv PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI HALAMAN PERSEMBAHAN Skripsi ini Aku Persembahkan untuk: Yang Maha Penyayang Kedua Orangtua Ku Adik Ku Teodosia Marwanti Ety dan Gabriel Aprisriwanto Serta semua orang yang menyayangiku v PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI vi PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI ABSTRAK (Indonesia) Skripsi berjudul “Wacana Kebudayaan Indonesia Pada Masa Pergerakan Kemerdekaan: Polemik Kebudayaan (1935 – 1939)” ini merupakan suatu telaah Ilmu Sejarah terhadap pewacanaan kebudayaan yang pernah terjadi di Indonesia. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis:1) latar belakang munculnya peristiwa Polemik Kebudayaan, 2) dinamika
    [Show full text]
  • Masculine Language in Indonesian Novels: A
    HUM ANIORASupriyadi - Masculine Language In Indonesian Novels VOLUM E 26 No. 2 Juni 2014 Halaman 225-234 M ASCULINE LANGUAGE IN INDONESIAN NOVELS: A FEM INIST STYLISTIC APPROACH ON BELENGGU AND PENGAKUAN PARIYEM Supriyadi* ABSTRAK Novel Belenggu karya Armijn Pane yang terbit pertama kali pada tahun 1938 dan novel lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG yang terbit pada tahun 1980 menarik untuk dikaji dari aspek kebahasaannya, khususnya ketika dihubungkan dengan masalah gender dan tradisi patriarkhis. Dalam hal ini, pendekatan yang tepat untuk menganalisisnya ialah pendekatan stilistika feminis menurut Sara Mills karena pendekatan ini menganalisis karya sastra dari segi bahasa dan kemudian dihubungkan dengan konteks kehidupan masyarakat ketika karya sastra itu diterbitkan. Hasil yang didapatkan ialah novel Belenggu dan novel lirik Pengakuan Pariyem pada dasarnya menggunakan bahasa laki-laki ketika novel itu dihubungkan dengan masalah gender dan tradisi patriarkhis. Bahasa laki-laki ini meliputi pilihan kata dan frase, pilihan klausa dan kalimat, dan pilihan wacananya. Secara kontekstual, novel Belenggu merupakan tanggapan pengarang terhadap kondisi perempuan tahun 1930-an yang mulai menyadari kedudukannya dalam posisi yang inferior terhadap laki-laki. Novel Belenggu merupakan kritik pengarang (yang merepresentasikan laki-laki) yang menilai bahwa kedudukan perempuan sebaiknya seperti semula: tinggal di rumah, mendukung kerja suami, mengurusi rumah tangga, dan lain-lain. Sementara itu, novel lirik Pengakuan Pariyem melihat bahwa hubungan laki-laki dengan perempuan merupakan hubungan yang saling memerlukan meskipun perempuan tetap bekerja dalam lingkungan rumah tangga, sedangkan laki- laki juga tetap bekerja di luar. Kata Kunci: bahasa laki-laki, kontekstual, patriarkhis, stilistika feminis ABSTRACT Belenggu is a novel written by Armijn Pane in 1938, whereas Pengakuan Pariyem is a lyrical novel written by Linus Suryadi AG that published in 1980.
    [Show full text]
  • Archipel, 98 | 2019 the Particle Pun in Modern Indonesian and Malaysian 2
    Archipel Études interdisciplinaires sur le monde insulindien 98 | 2019 Varia The particle pun in modern Indonesian and Malaysian La particule pun en indonésien et malaisien modernes Henri Chambert-Loir Electronic version URL: https://journals.openedition.org/archipel/1361 DOI: 10.4000/archipel.1361 ISSN: 2104-3655 Publisher Association Archipel Printed version Date of publication: 3 December 2019 Number of pages: 177-238 ISBN: 978-2-910513-82-5 ISSN: 0044-8613 Electronic reference Henri Chambert-Loir, “The particle pun in modern Indonesian and Malaysian”, Archipel [Online], 98 | 2019, Online since 11 December 2019, connection on 21 September 2021. URL: http:// journals.openedition.org/archipel/1361 ; DOI: https://doi.org/10.4000/archipel.1361 This text was automatically generated on 21 September 2021. Association Archipel The particle pun in modern Indonesian and Malaysian 1 The particle pun in modern Indonesian and Malaysian La particule pun en indonésien et malaisien modernes Henri Chambert-Loir INTRODUCTION 1 This article aims to analyse the functions and values of the particle pun in modern Indonesian and Malaysian, using quantitative evidence based on a corpus built for this purpose. 2 The particle pun is much less used in modern language than it was in ancient literature. The differences between modern and classical Malay are not only of frequency but of function too. Pun is only one particle in the system of Malaysian-Indonesian grammar and one understands that it cannot receive more than a summary treatment in handbooks. But the result is a treatment that is insufficient or even neglectful and often misleading. It transpires that the analysis of the functions and meanings of pun depends largely on the intuition and impressions of the various authors.
    [Show full text]
  • Masalah Hibriditas Dan Ambivalensi Dalam Novel Kalau Tak Untung Karya Selasih Dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia Di Sma
    MASALAH HIBRIDITAS DAN AMBIVALENSI DALAM NOVEL KALAU TAK UNTUNG KARYA SELASIH DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) Oleh Nurlaily Hanifah Amalia 1111013000106 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 ABSTRAK Nurlaily Hanifah Amalia, 1111013000106, ”Masalah Hibriditas dan Ambivalensi dalam Novel Kalau Tak Untung karya Selasih dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dosen Pembimbing Ahmad Bahtiar, M.Hum. Sebagai perempuan pertama yang menerbitkan novel di Balai Pustaka, karya Selasih patut untuk dijadikan penelitian pascakolonial dengan melihat dari jejak kependidikan dalam novel Kalau Tak Untung. Selasih selama hidupnya mengabdikan diri pada dunia pendidikan dan ikut dalam perjuangan emansipasi perempuan dan pergerakan nasionalisme. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana perubahan sosial dan membahas kisah percintaan antara kedua tokoh utama yang terdapat dalam novel Kalau Tak Untung guna menambah wawasan sejarah dan meningkatkan rasa nasionalisme. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Adapun hasil pembahasan menggunakan pendekatan pascakolonial dari analisis tokoh, yaitu: 1) pada tokoh Masrul terlihat munculnya
    [Show full text]
  • Contemporary Art’: Propositions of Critical Artistic Practice in Seni Rupa Kontemporer in Indonesia
    CONTEXTUALIZING ‘CONTEMPORARY ART’: PROPOSITIONS OF CRITICAL ARTISTIC PRACTICE IN SENI RUPA KONTEMPORER IN INDONESIA A Dissertation Presented to the Faculty of the Graduate School of Cornell University in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Doctor of Philosophy by Amanda Katherine Rath January 2011 © 2011 Amanda Katherine Rath CONTEXTUALIZING ‘CONTEMPORARY ART’: PROPOSITIONS OF CRITICAL ARTISTIC PRACTICE IN SENI RUPA KONTEMPORER IN INDONESIA, 1973-1994 Amanda Katherine Rath, Ph. D. Cornell University 2011 This dissertation contends with the development of seni rupa kontemporer (contemporary art) between 1973 and 1993, with certain case studies extending to the late 1990s. I offer a history and genealogy of concepts of critical artistic practice, examining to what purpose strategies of a contemporary art have been put and from what conditions they emerged. I examine how these have been interpreted to possess criticality in Indonesia. Taking the controversial curatorial essay published for the 9th Jakarta Biennale of Art (1993) as a catalyst rather than as a point of reference, I rethink the possibility and value of a construct of an avant-garde and postmodern in seni rupa kontemporer.I propose a kind of avant-garde without modernism’s tradition of transgressive poetics. The mode of marginality I have in mind is a critical position possible only on this side of the political sea change and depoliticization of the cultural field in Indonesia after 1965. This entails tracing shifting notions of art’s and artistic autonomy, which were largely dependent upon the relation art had with politics and the spheres in which artistic practice was seen to reside.
    [Show full text]