Perbandingan Gaya Bahasa Dalam Novel Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja Dan Novel Telegram Karya Putu Wijaya: Tinjauan Stilistika

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Perbandingan Gaya Bahasa Dalam Novel Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja Dan Novel Telegram Karya Putu Wijaya: Tinjauan Stilistika 1 PERBANDINGAN GAYA BAHASA DALAM NOVEL ATHEIS KARYA ACHDIAT KARTA MIHARDJA DAN NOVEL TELEGRAM KARYA PUTU WIJAYA: TINJAUAN STILISTIKA TESIS Disusun oleh A. ARYANA P1200215002 PROGRAM STUDI BAHASA INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018 2 PERBANDINGAN GAYA BAHASA DALAM NOVEL ATHEIS KARYA ACHDIAT KARTA MIHARDJA DAN NOVEL TELEGRAM KARYA PUTU WIJAYA: TINJAUAN STILISTIKA TESIS Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister Pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Program Studi Bahasa Indonesia Disusun dan diajukan oleh A. ARYANA P1200215002 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018 3 PERBANDINGAN GAYA BAHASA DALAM NOVEL ATHEIS KARYA ACHDIAT KARTA MIHARDJA DAN NOVEL TELEGRAM KARYA PUTU WIJAYA: TINJAUAN STILISTIKA THE COMPARISON OF LANGUAGE STYLE IN NOVEL ATHEIS BY ACHDIAT KARTA MIHARDJA AND NOVEL TELEGRAM BY PUTU WIJAYA: A STYLISTIC APPROACH TESIS A. ARYANA P1200215002 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018 4 5 PERNYATAAN KEASLIAN TESIS Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : A. Aryana Nomor Pokok : P1200215002 Program Studi : Bahasa Indonesia Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa tesis yang saya tulis ini merupakan hasil karya sendiri, bukan pengambil alihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut. Makassar, 4 Januari 2018 Yang menyatakan, A. Aryana 6 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt. yang senantiasa melimpahkan karunia dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Akhirnya tesis ini dapat dirampungkan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan akademis guna memeroleh gelar Magister Humaniora (M.Hum.) pada Program Studi Bahasa Indonesia, Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin. Dalam penyusunan tesis ini, penulis mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Sehingga, pada kesempatan ini dengan segala rasa hormat penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada Prof. Dr. Muhammad Darwis, M.S. sebagai pembimbing I dan Dr. Hj. Nurhayati, M.Hum. sebagai pembimbing II yang telah menyumbangkan waktu, pikiran, dan tenaga dalam memberikan arahan, motivasi, dan petunjuk kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada tim penguji Prof. Dr. H. Tadjuddin Maknun, S.U., Dr. Indriati Lewa, M.Hum., dan Dr. Prasuri Kuswarini, M.A. yang telah memberikan saran dan masukan kepada penulis untuk perbaikan tesis ini. Terima kasih juga kepada Dr. Hj. Asriani Abbas, M.Hum., sebagai Ketua Program Studi Bahasa Indonesia, dan segenap dosen pengajar pada Jurusan Program Studi Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana, Universitas Hasanuddin, yang telah membekali peneliti berbagai pengetahuan selama masa perkuliahan sampai masa penyusunan tesis. 7 Ucapan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada suami penulis, Syamsul Alam, anak-anak, dan saudara-saudara penulis atas dukungan moril dan materil yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada sahabat seperjuangan Bahasa Indonesia Angkatan 2015 (Andi Yusdianti, Susiati, Rima, Sumiaty, Risman Iye, Taufik, Sutrisno, Nur Sariati, Nur Rahma Al Haqq, Raviqa, Ikos, Karim,) yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, terima kasih karena telah tulus memberikan semangat, motivasi kepada penulis, dan menjadi teman diskusi yang kritis. Semoga segala bantuan, masukan, motivasi, dan pengorbanan yang diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah Swt., dan semua yang telah diberikan kepada penulis dapat bernilai ibadah di sisi-Nya. Sebagai manusia biasa, penulis pun tak lepas dari salah dan khilaf. Oleh karena itu, saran, tanggapan, dan kritikan yang bersifat membangun untuk perbaikan tesis ini amat penulis harapkan. Harapan dari penulis semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amin. Makassar,Januari 2018 Penulis 8 9 10 11 12 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran I :Tabel Rekapitulasi Penggunaan Gaya Bahasa dalam Novel Atheis dan Novel Telegram Lampiran II : Sinopsis Novel Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja Lampiran III : Sinopsis Novel Telegram Karya Putu Wijaya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra merupakan salah satu cabang kesenian. Dalam kaitannya dengan masyarakat, sastra adalah cermin kehidupan yang mampu memanfaatkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Sastra lahir dari perenungan-perenungan penciptanya tentang kehidupan secara mendalam sehingga secara langsung pencerminan tentang kehidupan pada era tersebut terlihat mencolok baik itu dari segi sosial, budaya maupun dari karakteristik gaya bahasa. Sastra tidak hanya dinilai sebagai karya seni yang bersifat imajinatif, tetapi juga dianggap sebagai suatu kreativitas yang bermanfaat sebagai konsumsi intelektual pembaca. Selain itu, sastra juga mengandung unsur keindahan yang menumbuhkan perasaan khusus para penikmatnya. Wujud ciptaan yang dapat membangun perasaan khusus tersebut salah satunya adalah bagaimana penggunaan bahasa dalam karya sastra itu dibungkus. Setiap kali membicarakan karya sastra, kita tak bisa melepaskan diri dari medium karya sastra itu, yaitu bahasa. Karya sastra merupakan produk kebahasaan. Bahasa adalah satu-satunya alat yang digunakan dalam penciptaan karya sastra. Ide-ide yang dimiliki pengarang dituangkan dalam bentuk karya sastra dengan cara berbahasa yang 1 2 berbeda. Oleh pengarang, bahasa menjadi kekuatan dalam proses penciptaan karya. Dalam periode tertentu, gaya setiap genre sastra dari pengarang yang satu dan yang lain selalu berbeda. Ratna (2009: 138) menyatakan bahwa salah satu fungsi periodisasi sastra Indonesia adalah menunjukkan perkembangan gaya itu sendiri. Karya sastra, baik sebagai kualitas individual maupun komunal tidak statis. Karya sastra tidak lahir dari kekosongan, tetapi memiliki akar sosial. Karya sastra tidak berkembang dalam dirinya sendiri. Struktur karya sastra berubah karena dievokasi oleh perkembangan masyarakat. Pengarang secara totalitas memilih gaya terhadap karya sastra yang mereka tulis melalui proses imajinasi dan kreativitas, tetapi pemahaman secara sosial budaya menunjukkan bahwa pengarang dikondisikan oleh perilaku masyarakatnya. Misalnya, tidak ada sastra Balai Pustaka tanpa masyarakat dan para pengarang Minangkabau yang dengan penuh kesadaran bermaksud untuk menampilkan sistem matriarkhat. Penelitian ini akan menganalisis dua novel yang berbeda masa, yaitu novel pada masa Angkatan 1945 yang diwakili oleh novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja (1949) dan novel pada masa Angkatan 1966- 1970an yang diwakili oleh novel Telegram karya Putu Wijaya (1973). Menurut Lukni (2010: 1), secara urutan waktu sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan, yaitu Angkatan Pujangga Lama, Angkatan Sastra Melayu Lama, Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, 3 Angkatan 1945, Angkatan 1950-1960-an, Angkatan 1966–1970-an, Angkatan 1980-1990-an, Angkatan Reformasi, Angkatan 2000-an. Goatly (dalam Black, 2011: 195) menyatakan bahwa wacana selalu terjadi di dalam ruang sosial sehingga penafsiran terhadap teks sastra selalu memiliki hubungan dengan genre dan situasi sosial. Perbedaan dalam setiap angkatan berdampak pula pada karakteristik penggunaan gaya bahasa dalam karya sastra (puisi, drama, dan prosa). Pengalaman hidup dan gejolak sosial, politik, dan budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan 1945. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya angkatan sebelumnya. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan Angkatan 1945 memiliki konsep seni yang diberi judul “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan Angkatan 1945 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani. Pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Novel Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia. Seperti yang dijelaskan Teeuw (dalam Yudiono, 2007: 116-117) bahwa pembaharuan itu tidak terjadi secara tiba-tiba pada saat proklamasi. Selama masa pendudukan Jepang sudah terjadi tanda-tanda perubahan seperti diperlihatkan Chairil Anwar, Idrus, Usmar Ismail, Achdiat Karta Mihardja tetapi tidak segera muncul ke permukaan karena tertekan oleh kekuasaan Jepang. 4 Angkatan 1945 lahir dalam suasana lingkungan yang sangat prihatin dan serba keras, yaitu lingkungan fasisme Jepang dan dilanjutkan peperangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Menurut Angelina (2008: 1) ciri-ciri Angkatan 1945, yaitu terbuka; pengaruh unsur sastra asing lebih luas; corak isi lebih realis dan naturalis; individualisme sastrawan lebih menonjol, dinamis, dan kritis; penghematan kata dalam karya ekspresif; sinisme dan sarkasme; karangan prosa berkurang, puisi berkembang. Kesusastraan pada Angkatan 1966-1970-an lebih didominasi oleh karya-karya yang beraliran realisme sosial. Tema-tema dalam karya sastra dalam masa ini berlatar revolusi, kehidupan pelacur, sosial, kejiwaan, dan keagamaan. Tema-tema tersebut lebih menekankan pada kritikan terhadap pemerintahan pada masa itu yang gagal dalam menyejahterakan rakyat Indonesia dan gagalnya menciptakan stabilitas keamanan di dalam negeri sehingga banyak daerah yang memberontak. Menurut Teeuw (1980: 68) pengungkapan yang digunakan dalam Angkatan 1966-1970-an adalah bersifat eufimisme yang memunculkan citra positif terhadap penguasa dengan menyembunyikan kenyataan yang menyakitkan, terjadinya bentuk-bentuk
Recommended publications
  • Bertukar Tangkap Dengan Lepas
    Sawerigading, Vol. 26, No. 2, Desember 2020: SAWERIGADING Volume 26 No. 2, Desember 2020 Halaman 149—161 BERTUKAR TANGKAP DENGAN RAJA PENYAIR PUJANGGA BARU: PENGARUH AMIR HAMZAH TERHADAP CHAIRIL ANWAR (Seizing Words with the King of the New Writer: The Influence of Amir Hamzah on Chairil Anwar) Dipa Nugraha Universitas Muhammadiyah Surakarta Jalan A. Yani, Pabelan, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Indonesia Pos-el: [email protected] (Naskah Diterima Tanggal: 10 November 2020; Direvisi Akhir Tanggal 23 November 2020; Disetujui Tanggal; 24 November 2020) Abstract This article aims to describe the influence of the poem “Padamu Jua” by Amir Hamzah on two poems written by Chairil Anwar, “Di Mesjid” dan “Doa.” It is a qualitative study. The study was conducted using close reading. The result of the analysis showed that Chairil Anwar useds symbolic expressions from Amir Hamzah’s poem. Nevertheless, Chairil Anwar transformeds these symbolic expressions creatively based on his situation in adaptation with his situation when making his poems. The poems where analysed in this study showed a distance issue between the poets and their God. Keywords: Amir Hamzah, Chairil Anwar, close reading, intertextuality, creative process Abstrak Artikel penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pengaruh sajak “Padamu Jua” karya Amir Hamzah yang tampak di dalam dua sajak karya Chairil Anwar yang berjudul “Di Mesjid” dan “Doa.” Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pembacaan cermat (close reading). Hasil pembacaan cermat menunjukkan bahwa meski kedua sajak Chairil Anwar yang menjadi objek pembacaan menunjukkan jejak pengaruh ekspresi simbolik Amir Hamzah namun Chairil Anwar secara kreatif mentransformasikan ekspresi simbolik tersebut sesuai dengan situasinya.
    [Show full text]
  • Pramoedya's Developing Literary Concepts- by Martina Heinschke
    Between G elanggang and Lekra: Pramoedya's Developing Literary Concepts- by Martina Heinschke Introduction During the first decade of the New Order, the idea of the autonomy of art was the unchallenged basis for all art production considered legitimate. The term encompasses two significant assumptions. First, it includes the idea that art and/or its individual categories are recognized within society as independent sub-systems that make their own rules, i.e. that art is not subject to influences exerted by other social sub-systems (politics and religion, for example). Secondly, it entails a complex of aesthetic notions that basically tend to exclude all non-artistic considerations from the aesthetic field and to define art as an activity detached from everyday life. An aesthetics of autonomy can create problems for its adherents, as a review of recent occidental art and literary history makes clear. Artists have attempted to overcome these problems by reasserting social ideals (e.g. as in naturalism) or through revolt, as in the avant-garde movements of the twentieth century which challenged the aesthetic norms of the autonomous work of art in order to relocate aesthetic experience at a pivotal point in relation to individual and social life.* 1 * This article is based on parts of my doctoral thesis, Angkatan 45. Literaturkonzeptionen im gesellschafipolitischen Kontext (Berlin: Reimer, 1993). I thank the editors of Indonesia, especially Benedict Anderson, for helpful comments and suggestions. 1 In German studies of literature, the institutionalization of art as an autonomous field and its aesthetic consequences is discussed mainly by Christa Burger and Peter Burger.
    [Show full text]
  • INDO 7 0 1107139648 67 76.Pdf (387.5Kb)
    THE THORNY ROSE: THE AVOIDANCE OF PASSION IN MODERN INDONESIAN LITERATURE1 Harry Aveling One of the important shortcomings of modern Indonesian literature is the failure of its authors, on the whole young, well-educated men of the upper and more modernized strata of society, to deal in a convincing manner with the topic of adult heterosexual passion. This problem includes, and partly arises from, an inadequacy in portraying realistic female char­ acters which verges, at times, on something which might be considered sadism. What is involved here is not merely an inability to come to terms with Western concepts of romantic love, as explicated, for example, by the late C. S. Lewis in his book The Allegory of Love. The failure to depict adult heterosexual passion on the part of modern Indonesian authors also stands in strange contrast to the frankness and gusto with which the writers of the various branches of traditional Indonesian and Malay litera­ ture dealt with this topic. Indeed it stands in almost as great a contrast with the practice of Peninsular Malay literature today. In Javanese literature, as Pigeaud notes in his history, The Literature of Java, "Poems and tales describing erotic situations are very much in evidence . descriptions of this kind are to be found in almost every important mythic, epic, historical and romantic Javanese text."^ In Sundanese literature, there is not only the open violence of Sang Kuriang's incestuous desires towards his mother (who conceived him through inter­ course with a dog), and a further wide range of openly sexual, indeed often heavily Oedipal stories, but also the crude direct­ ness of the trickster Si-Kabajan tales, which so embarrassed one commentator, Dr.
    [Show full text]
  • Book Reviews - Matthew Amster, Jérôme Rousseau, Kayan Religion; Ritual Life and Religious Reform in Central Borneo
    Book Reviews - Matthew Amster, Jérôme Rousseau, Kayan religion; Ritual life and religious reform in Central Borneo. Leiden: KITLV Press, 1998, 352 pp. [VKI 180.] - Atsushi Ota, Johan Talens, Een feodale samenleving in koloniaal vaarwater; Staatsvorming, koloniale expansie en economische onderontwikkeling in Banten, West-Java, 1600-1750. Hilversum: Verloren, 1999, 253 pp. - Wanda Avé, Johannes Salilah, Traditional medicine among the Ngaju Dayak in Central Kalimantan; The 1935 writings of a former Ngaju Dayak Priest, edited and translated by A.H. Klokke. Phillips, Maine: Borneo Research Council, 1998, xxi + 314 pp. [Borneo Research Council Monograph 3.] - Peter Boomgaard, Sandra Pannell, Old world places, new world problems; Exploring issues of resource management in eastern Indonesia. Canberra: Centre for Resource and Environmental Studies, Australian National University, 1998, xiv + 387 pp., Franz von Benda-Beckmann (eds.) - H.J.M. Claessen, Geoffrey M. White, Chiefs today; Traditional Pacific leadership and the postcolonial state. Stanford, California: Stanford University Press, 1997, xiv + 343 pp., Lamont Lindstrom (eds.) - H.J.M. Claessen, Judith Huntsman, Tokelau; A historical ethnography. Auckland: Auckland University Press, 1996, xii + 355 pp., Antony Hooper (eds.) - Hans Gooszen, Gavin W. Jones, Indonesia assessment; Population and human resources. Canberra: Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University, 1997, 73 pp., Terence Hull (eds.) - Rens Heringa, John Guy, Woven cargoes; Indian textiles in the East. London: Thames and Hudson, 1998, 192 pp., with 241 illustrations (145 in colour). - Rens Heringa, Ruth Barnes, Indian block-printed textiles in Egypt; The Newberry collection in the Ashmolean Museum, Oxford. Oxford: Clarendon Press, 1997. Volume 1 (text): xiv + 138 pp., with 32 b/w illustrations and 43 colour plates; Volume 2 (catalogue): 379 pp., with 1226 b/w illustrations.
    [Show full text]
  • Analisis Karakter Kebangsaan Chairil Anwar Sebagai Pelopor Angkatan 45 Character Analysis of the National Character of Chairil A
    ANALISIS KARAKTER KEBANGSAAN CHAIRIL ANWAR SEBAGAI PELOPOR ANGKATAN 45 CHARACTER ANALYSIS OF THE NATIONAL CHARACTER OF CHAIRIL ANWAR AS A FORCE PIONEER 45 Desy Rahmadani1, Anny Wahyuni2, Budi Purnomo3 1,2,3 Pendidikan Sejarah, Universitas Jambi, Indonesia 1Email: [email protected] Abstrak : Perkembangan zaman menyebabkan timbulnya degradasi moral serta karakter bangsa yang dikhawatirkan semakin memudar. Karakter kebangsaan atau dapat diartikan sebagai sikap cinta tanah air sangat perlu ditanamkan dalam diri setiap individu. Chairil Anwar menuaikan sejarah kehidupannya dalam dunia sastra dan juga sebagai sosok pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tujuan ditulisnya artikel ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana karakter kebangsaan dari seorang Chairil Anwar sebagai pelopor angkatan 45 dan figur Chairil dalam kesusastraan. Penulisan artikel ini menggunakan metode penelitian sejarah dengan kajian literature, dengan menggunakan metode penelitian sejarah dan kajian literature ini penulis menarik kesimpulan bahwasanya analisis Karakter Kebangsaan Chairil Anwar Sebagai Pelopor Angkatan 45 banyak tercermin dalam sajak-sajak dan hasil karya kesusastraannnya. Kata kunci: Karakter kebangsaan, Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45 Abstract : The times have caused moral degradation and the nation's character is feared to fade away. National character, or it can be interpreted as an attitude of love for the country, really needs to be instilled in each individual. Chairil Anwar adjusts the history of his life in the world of literature and is also a hero who fought for Indonesian independence. The purpose of writing this article is to describe the national character of Chairil Anwar as a pioneer of generation 45 and Chairil's figure in literature. Writing this article using historical research methods with literature review, using historical research methods and literature review, the writer draws the conclusion that the analysis of Chairil Anwar's National Character as a Pioneer of Generation 45 is reflected in many of his poems and literary works.
    [Show full text]
  • Stephen Sherlock
    centre for democratic institutions www.cdi.anu.edu.au CDI Policy Papers on Political Governance 2009/01 Indonesia’s 2009 Elections: The New Electoral System and the Competing Parties Stephen Sherlock Introduction Indonesia in 2009 is entering into its third democratic elections since the fall of the authoritarian Suharto regime in 1998. The literature on the previous two elections, in 1999 and 2004, tended to focus on issues of democratic principle, such as whether the elections would be free and fair and conducted without violence, the attitude of the military and whether the losers would 2009/01 accept the decision of the electorate. There were also questions about the capacity of election administrators to deal with the logistical problems of conducting elections in a huge and geographically dispersed country like Indonesia. These questions have now largely been answered in a positive way. Not only have there been two successful rounds of nation- wide elections, but there have also been successive regional executive The CDI Policy Paper elections for provincial governors and district heads since 2004. And series focuses on despite controversy about aspects of the electoral system, various disputed pressing issues of political governance results and criticism of the quality of electoral administration, Indonesia in the Asia-Pacific now has a functioning and tested system of democratic elections. It has region. The series certainly not been affected by the “democratic rollback” that has struck publishes original papers commissioned some democratising countries (Diamond 1997, 1999, 2008) that appeared by CDI, each of which to be part of a wave of democratisation in the last part of the twentieth deal with important century (Huntington 1991).
    [Show full text]
  • Novel ATHEIS-Dewikz
    Tiraikasih website http://kangzusi.com/ Karya : Achdijat Karta Mihardja Atheis Sumber DJVU : BBSC Ebook oleh : Dewi KZ Tiraikasih website http://kangzusi.com/ http://kang-zusi.info/ http://dewikz.byethost22.com/ http://ebook-dewikz.com/ http://tiraikasih.co.cc/ http://cerita-silat.co.cc/ Tiraikasih website http://kangzusi.com/ Riwayat Hidup Achdiat Karta MIhardja lahir di Cibatu, Garut, 6 Maret 1911. Tahun 1932 tamat dari Algemene Middelbare School "bagian Al di Solo. Ia juga mempelajari mistik (tarikat) aliran Kadariyah Naksabandiah dari Kiyai Abdullah Mubarak yang terkenal juga dengan nama Ajengan Gedebag. Kecuali itu belajar filsafat pada pater Dr. Jacobs S.J., dosen pada Universitas Indonesia, dalam Filsafat Thomisme. Tahun 1943 ia menjadi anggota redaksi Bintang Timur merangkap redaktur mingguan Peninjauan (bersama Sanusi Pane, Armin Pane, PF Dahler, Dr. Amir dan Dr. Ratulangi). Tahun 1937 pembantu harian Indie Bode dan Mingguan Tijdbeeld dan Zaterdag, juga sebentar bekerja di Aneta. Tahun 1938 jadi pimpinan redaksi tengah-bulanan Penuntun Kemajuan. Tahun 1941 jadi redaksi Balai Pustaka, sejak saat itu tumbuh minatnya kepada kesusastraan. Tahun 1943 menjadi redaksi dan penyalin di kantor pekabaran radio, Jakarta. Tahun 1946 jadi pimpinan umum mingguan Gelombang Zaman dan setengah mingguan berbahasa Sunda Kemajuan Rakyat. Tahun 1948 kembali jadi redaksi di Balai Pustaka. Pada tahun 1949 terbitlah roman Atheis-nya ini. Tahun 1951 bersama-sama Sutan Takdir Alisjahbana dan Dr. Ir. Sam Udin mewakili PEN Club Indonesia menghadiri Konperensi PEN Club International di Lausanne, Switserland. Saat itu ia juga mengunjungi Negeri Belanda, Inggris, Prancis, Jerman Barat, dan Roma. Tahun 1952 berkunjung ke Amerika dan Eropa Barat dengan tugas dari Dep.
    [Show full text]
  • Menulis Belenggu
    Ersis Warmansyah Abbas MenulisMenulis Menghancurkan BelengguBelenggu Penerbit: WAHANA Jaya Abadi Kompleks Puri Asri Blok D-48 Padasuka Telepon 022-88884477 bandung Sampul Dalam iii Menulis Menghancurkan Belenggu Ersis Warmansyah Abbas Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Setting/Layout : Ersis Warmansyah Abbas Desain Sampul : Ersis Warmansyah Abbas Pemeriksa Aksara : Risna Warnidah Cetakan Pertama : Juni 2015 Sanksi Pelanggaran Pasal 72: Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu bulan dan/atau dengan paling sedikit Rp1.000.000.00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). iv Sampul Dalam Kattta Pengantar KUNGKUNGAN. Menulis dipastikan menjadi keinginan banyak orang, tetapi tidak sedikit yang kecewa, karena tidak semudah yang dibayangkan. Berbagai hambatan kemudian menjadi belenggu sehingga menulis menjadi susah dan menyusahkan. Padahal, bahwa sesungguhnya, menulis tidak sesusah yang dibayangkan, menulis itu mudah, sangat mudah malahan. Ya, menulis menjadi sesuatu yang mudah dan memudahkan manakala (calon) penulis berhasil mematahkan belenggu-belenggu menulis yang membalut mindset sehingga menjadi mental block. Karena itu, manakala seseorang berkehendak menulis dia harus ”membereskan” dirinya, membebaskan diri dari belenggu-belenggu menulis.
    [Show full text]
  • A. Teeuw Modern Indonesian Literature Abroad In
    A. Teeuw Modern Indonesian literature abroad In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 127 (1971), no: 2, Leiden, 256-263 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com10/01/2021 02:40:28AM via free access MODERN INDONESIAN LITERATURE ABROAD I n recent years a growing interest in modern Indonesian literature Jl has become manifest outside Indonesia. It may be useful to give a short survey of such materials as have come to my notice, even though this survey is of necessity incomplete. First of all it should be mentioned that literary, cultural and scholarly journals and magazines have discovered modern Indonesian literature and regularly or incidentally publish translations of poetry, short stories, essays etc. The well-known journal INDONESIA, issued half-yearly by the Modern Indonesia Project of Cornell University, has published a number of Indonesian stories in English translation, for example Idrus' stories Fujinkai and Och... Och ... Och (vol. 2) and Surabaja (vol. 5), Ajip Rosidi's stories Among the Family (vol. 1) and A Japanese (vol. 6), while Heather Sutherland (vol. 6) and Harry Aveling (vol. 7) con- tributed essays on modern literature. Another magazine which deserves to be mentioned as an interesting effort to make available to a wider audience modern literary and other cultural products from Southeast Asia including Indonesia is TENGGARA (tenggara means Southeast). So far five issues have come out, .the latest one bearing the year 1969. Another volume, containing Southeast Asian plays, has been announced. Several short stories, poems and essays on Indonesian literature have been published so far.
    [Show full text]
  • An Example of Popular Indonesian Fiction in the First Quarter of the Century
    SAIR NONA FIENTJE DE FENIKS An Example of Popular Indonesian Fiction in the First Quarter of the Century CYRIL WILLIAM WATSON If one reads any of · the standard accounts of the development o{ modern Indonesian literature, whether those written by foreign scholars or by Indonesians themselves/ one is liable to get an exceptionally distorted picture of what reading material was available and what the readership of this material was, particularly for the period before the Second World War. The reason for this is that standard accoupts have concentrated almost exclusively on works published by the official colonial publisher Balai Pustaka or produced by B. P. staff and, at least as far as prose is concerned, have ignored other' publications. There are various reasons far this, but perhaps the most important is the influence exerted by Professor A. Teeuw, the pioneer2 in the field of modern Indonesian literary studies. Since his early work V ooltooid V oorspel ( 1950) which was the outcome of a course of lectures on modern Indonesian literature duri:qg which, as he himself admits, he was reading the literature for the first time and simply keeping himself a little way in front of his students, Professor Teeuw has delimited the field of research and his example has been followed without much questioning by subsequent writers such as H. B. J assin and Professor A. Johns. Professor Teeuw can hardly be blamed for what has occurred since he painstakingly dealt with all the ma- terial that was at hand to him. I don't think he himself realised when he came to write what is often taken to be the.
    [Show full text]
  • An Analysis on the Translation of Indonesian Passive Voice in “Atheis”, a Translated Novel by R.J. Maguire Zazim Ristasari K
    An analysis on the translation of Indonesian passive voice in “atheis”, a translated novel by R.J. Maguire Zazim Ristasari K.2202546 SEBELAS MARET UNIVERSITY CHAPTER I INTRODUCTION A. Research Background People need language as an instrument of communication to express what they want, need, and feel. Samsuri (1991, p. 4) states that language is a tool that is used by people to express their thoughts, feelings, their willing and their behaviors; a tool that is used to influence and to be influenced. As a means of communication, language has an important role in all aspects of human life, such as science, technology, politics, trade, and religion. It is proved that translation is very important since people cannot understand the message of the scientific literature whose languages are not their mother tongue or their first languages. Connecting with this, Hartoko in Widyamartaya states “Kebutuhan menerjemahkan buku bukanlah tanda keterbelakangan, justru sebaliknya tanda keterbukaan, tanda kegiatan hendak ikut serta dalam tukar-menukar informasi (2003: p. 9). That is why there must be an effort to develop translation activities. It can be the translation of foreign languages into Indonesian or from Indonesian into other languages especially English. There are many requirements that must be fulfilled by a translator in order to make the translation good and understandable. The translator has to have: (1) complete knowledge of the source language (SL), (2) complete knowledge of the target language (TL), (3) an intimate acquaintance with the subject matter, and (4) complete knowledge of translation theory (Nida: 1964, p. 145). The needs of translated books, especially English, become wider in order to support the development of science and technology in developing country such as Indonesia.
    [Show full text]
  • ASPECTS of INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE in the 1930S
    PUDJANGGA BARU: ASPECTS OF INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE IN THE 1930s Heather Sutherland Pudjangga Baru, the "New Writer," was a cultural periodical put out in the colonial capital of Batavia by a group of young Indonesian intellectuals from 1933 until the invasion of the Netherlands Indies by Japan in 1942.1 In Bahasa Indonesia, the term pudjangga means "literary man, man of letters; author, poet; linguist, philologist."2 34 The choice of this term for the title of the monthly was no doubt also influenced by an awareness of its historical connotations, for the word can be traced back through such Old Javanese forms as bhujanga to an original Sanskrit root associated with sacred and priestly learning. It implied nobility and integrity as well as literary ability; and it is therefore no accident that the writings appearing in it claimed high idealism and a sense of mission. The purpose proclaimed by Pudjangga Baru became more fervent as the years passed. In the beginning, it described itself simply as a literary, artistic, and cultural monthly. At the start of its third year it declared itself a "bearer of a new spirit in literature, art, culture, and general social affairs."^ At the beginning of its fifth year it claimed to be the "leader of the new dynamic spirit to create a new culture, the culture of Indonesian unity."1* In 1928, when the second All-Indonesia Youth Congress swore the famous oath to work for "one fatherland, one people, and one language" Pudjangga Baru pledged itself to work for the development of the national language and also to strive for a national culture, adding "one culture" to its 1.
    [Show full text]