1

PERBANDINGAN GAYA BAHASA DALAM NOVEL KARYA DAN NOVEL TELEGRAM KARYA PUTU WIJAYA: TINJAUAN STILISTIKA

TESIS

Disusun oleh

A. ARYANA

P1200215002

PROGRAM STUDI BAHASA PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018

2

PERBANDINGAN GAYA BAHASA DALAM NOVEL ATHEIS KARYA ACHDIAT KARTA MIHARDJA DAN NOVEL TELEGRAM KARYA PUTU WIJAYA: TINJAUAN STILISTIKA

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister Pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Program Studi Bahasa Indonesia

Disusun dan diajukan oleh

A. ARYANA P1200215002

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018 3

PERBANDINGAN GAYA BAHASA DALAM NOVEL ATHEIS KARYA ACHDIAT KARTA MIHARDJA DAN NOVEL TELEGRAM KARYA PUTU WIJAYA: TINJAUAN STILISTIKA

THE COMPARISON OF LANGUAGE STYLE IN NOVEL ATHEIS BY ACHDIAT KARTA MIHARDJA AND NOVEL TELEGRAM BY PUTU WIJAYA: A STYLISTIC APPROACH

TESIS

A. ARYANA P1200215002

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018 4

5

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : A. Aryana

Nomor Pokok : P1200215002

Program Studi : Bahasa Indonesia

Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa tesis yang saya tulis ini merupakan hasil karya sendiri, bukan pengambil alihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, 4 Januari 2018

Yang menyatakan,

A. Aryana

6

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt. yang senantiasa melimpahkan karunia dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Akhirnya tesis ini dapat dirampungkan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan akademis guna memeroleh gelar Magister Humaniora (M.Hum.) pada Program Studi Bahasa

Indonesia, Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin.

Dalam penyusunan tesis ini, penulis mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Sehingga, pada kesempatan ini dengan segala rasa hormat penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada Prof. Dr. Muhammad Darwis, M.S. sebagai pembimbing I dan

Dr. Hj. Nurhayati, M.Hum. sebagai pembimbing II yang telah menyumbangkan waktu, pikiran, dan tenaga dalam memberikan arahan, motivasi, dan petunjuk kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada tim penguji Prof. Dr. H. Tadjuddin Maknun, S.U., Dr.

Indriati Lewa, M.Hum., dan Dr. Prasuri Kuswarini, M.A. yang telah memberikan saran dan masukan kepada penulis untuk perbaikan tesis ini.

Terima kasih juga kepada Dr. Hj. Asriani Abbas, M.Hum., sebagai

Ketua Program Studi Bahasa Indonesia, dan segenap dosen pengajar pada Jurusan Program Studi Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana,

Universitas Hasanuddin, yang telah membekali peneliti berbagai pengetahuan selama masa perkuliahan sampai masa penyusunan tesis. 7

Ucapan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada suami penulis, Syamsul Alam, anak-anak, dan saudara-saudara penulis atas dukungan moril dan materil yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada sahabat seperjuangan Bahasa Indonesia Angkatan 2015 (Andi Yusdianti, Susiati,

Rima, Sumiaty, Risman Iye, Taufik, Sutrisno, Nur Sariati, Nur Rahma Al

Haqq, Raviqa, Ikos, Karim,) yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, terima kasih karena telah tulus memberikan semangat, motivasi kepada penulis, dan menjadi teman diskusi yang kritis. Semoga segala bantuan, masukan, motivasi, dan pengorbanan yang diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah Swt., dan semua yang telah diberikan kepada penulis dapat bernilai ibadah di sisi-Nya.

Sebagai manusia biasa, penulis pun tak lepas dari salah dan khilaf.

Oleh karena itu, saran, tanggapan, dan kritikan yang bersifat membangun untuk perbaikan tesis ini amat penulis harapkan. Harapan dari penulis semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.

Makassar,Januari 2018

Penulis 8

9

10

11

12

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I :Tabel Rekapitulasi Penggunaan Gaya Bahasa dalam Novel Atheis dan Novel Telegram

Lampiran II : Sinopsis Novel Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja

Lampiran III : Sinopsis Novel Telegram Karya Putu Wijaya

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sastra merupakan salah satu cabang kesenian. Dalam kaitannya dengan masyarakat, sastra adalah cermin kehidupan yang mampu memanfaatkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Sastra lahir dari perenungan-perenungan penciptanya tentang kehidupan secara mendalam sehingga secara langsung pencerminan tentang kehidupan pada era tersebut terlihat mencolok baik itu dari segi sosial, budaya maupun dari karakteristik gaya bahasa.

Sastra tidak hanya dinilai sebagai karya seni yang bersifat imajinatif, tetapi juga dianggap sebagai suatu kreativitas yang bermanfaat sebagai konsumsi intelektual pembaca. Selain itu, sastra juga mengandung unsur keindahan yang menumbuhkan perasaan khusus para penikmatnya.

Wujud ciptaan yang dapat membangun perasaan khusus tersebut salah satunya adalah bagaimana penggunaan bahasa dalam karya sastra itu dibungkus.

Setiap kali membicarakan karya sastra, kita tak bisa melepaskan diri dari medium karya sastra itu, yaitu bahasa. Karya sastra merupakan produk kebahasaan. Bahasa adalah satu-satunya alat yang digunakan dalam penciptaan karya sastra. Ide-ide yang dimiliki pengarang dituangkan dalam bentuk karya sastra dengan cara berbahasa yang

1 2

berbeda. Oleh pengarang, bahasa menjadi kekuatan dalam proses penciptaan karya. Dalam periode tertentu, gaya setiap genre sastra dari pengarang yang satu dan yang lain selalu berbeda.

Ratna (2009: 138) menyatakan bahwa salah satu fungsi periodisasi sastra Indonesia adalah menunjukkan perkembangan gaya itu sendiri.

Karya sastra, baik sebagai kualitas individual maupun komunal tidak statis. Karya sastra tidak lahir dari kekosongan, tetapi memiliki akar sosial.

Karya sastra tidak berkembang dalam dirinya sendiri. Struktur karya sastra berubah karena dievokasi oleh perkembangan masyarakat.

Pengarang secara totalitas memilih gaya terhadap karya sastra yang mereka tulis melalui proses imajinasi dan kreativitas, tetapi pemahaman secara sosial budaya menunjukkan bahwa pengarang dikondisikan oleh perilaku masyarakatnya. Misalnya, tidak ada sastra tanpa masyarakat dan para pengarang Minangkabau yang dengan penuh kesadaran bermaksud untuk menampilkan sistem matriarkhat.

Penelitian ini akan menganalisis dua novel yang berbeda masa, yaitu novel pada masa Angkatan 1945 yang diwakili oleh novel Atheis karya

Achdiat Karta Mihardja (1949) dan novel pada masa Angkatan 1966-

1970an yang diwakili oleh novel Telegram karya Putu Wijaya (1973).

Menurut Lukni (2010: 1), secara urutan waktu sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan, yaitu Angkatan Pujangga Lama, Angkatan

Sastra Melayu Lama, Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, 3

Angkatan 1945, Angkatan 1950-1960-an, Angkatan 1966–1970-an,

Angkatan 1980-1990-an, Angkatan Reformasi, Angkatan 2000-an.

Goatly (dalam Black, 2011: 195) menyatakan bahwa wacana selalu terjadi di dalam ruang sosial sehingga penafsiran terhadap teks sastra selalu memiliki hubungan dengan genre dan situasi sosial. Perbedaan dalam setiap angkatan berdampak pula pada karakteristik penggunaan gaya bahasa dalam karya sastra (puisi, drama, dan prosa).

Pengalaman hidup dan gejolak sosial, politik, dan budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan 1945. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya angkatan sebelumnya. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi . Sastrawan

Angkatan 1945 memiliki konsep seni yang diberi judul “Surat Kepercayaan

Gelanggang”. Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan Angkatan

1945 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani.

Pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Novel

Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia.

Seperti yang dijelaskan Teeuw (dalam Yudiono, 2007: 116-117) bahwa pembaharuan itu tidak terjadi secara tiba-tiba pada saat proklamasi. Selama masa pendudukan Jepang sudah terjadi tanda-tanda perubahan seperti diperlihatkan Chairil Anwar, , Usmar Ismail,

Achdiat Karta Mihardja tetapi tidak segera muncul ke permukaan karena tertekan oleh kekuasaan Jepang. 4

Angkatan 1945 lahir dalam suasana lingkungan yang sangat prihatin dan serba keras, yaitu lingkungan fasisme Jepang dan dilanjutkan peperangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Menurut Angelina

(2008: 1) ciri-ciri Angkatan 1945, yaitu terbuka; pengaruh unsur sastra asing lebih luas; corak isi lebih realis dan naturalis; individualisme sastrawan lebih menonjol, dinamis, dan kritis; penghematan kata dalam karya ekspresif; sinisme dan sarkasme; karangan prosa berkurang, puisi berkembang.

Kesusastraan pada Angkatan 1966-1970-an lebih didominasi oleh karya-karya yang beraliran realisme sosial. Tema-tema dalam karya sastra dalam masa ini berlatar revolusi, kehidupan pelacur, sosial, kejiwaan, dan keagamaan. Tema-tema tersebut lebih menekankan pada kritikan terhadap pemerintahan pada masa itu yang gagal dalam menyejahterakan rakyat Indonesia dan gagalnya menciptakan stabilitas keamanan di dalam negeri sehingga banyak daerah yang memberontak.

Menurut Teeuw (1980: 68) pengungkapan yang digunakan dalam

Angkatan 1966-1970-an adalah bersifat eufimisme yang memunculkan citra positif terhadap penguasa dengan menyembunyikan kenyataan yang menyakitkan, terjadinya bentuk-bentuk bahasa propaganda dalam rangka meyakinkan pihak lain terutama masyarakat. Eufemisme yang digunakan pada angkatan ini bertujuan untuk menutupi informasi yang sebenarnya sebagai selubung terhadap kenyataan yang jauh lebih mengecewakan. 5

Terlihat adanya kecenderungan perkembangan penggunaan gaya bahasa dalam karya sastra Angkatan 1945 yang cenderung bersifat sarkasme dan Angkatan 1966-1970-an yang bersifat eufimisme. Hal ini menunjukkan adanya perubahan penggunaan gaya bahasa dari masa ke masa. Perkembangan penggunaan gaya bahasa tersebut juga menunjukkan bahwa adanya kekhasan atau keunikan penggunaan gaya bahasa dalam setiap angkatan.

Keunikan bahasa yang digunakan oleh pengarang dari tiap angkatan mengundang ketertarikan peneliti untuk melihat karya sastra dari aspek gaya bahasa yang menjadi kekuatan dalam melahirkan suatu karya.

Apakah terdapat perbedaan yang signifikan dalam penggunaan gaya bahasa antara karya sastra angkatan 45 dan angkatan 66, atau tidak berbeda sama sekali. Oleh karena itu, penelitian perbandingan gaya bahasa dalam karya sastra angkatan 45 dan 66 bertujuan untuk menganalisis persamaan dan perbedaan gaya bahasa untuk mengetahui dinamika perkembangan penggunaan gaya bahasa melalui perbandingan novel Atheis (angkatan 45) dan novel Telegram (angkatan 66). Penelitian ini merupakan upaya awal untuk mengetahui perkembangan penggunaan gaya bahasa dari novel Atheis yang merupakan karya sastra angkatan 45 ke novel Telegram yang merupakan karya sastra angkatan 66.

Gaya bahasa merupakan refleksi dari logika seseorang atau pencerminan orang itu sendiri. Selain itu, gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang dalam karyanya juga mencerminkan karakteristik 6

pemakaian bahasa pada masa karya tersebut ditulis. Para pengarang membungkus bahasa dengan karakteristiknya masing-masing tetapi ada juga kekhasan secara universal karena dipengaruhi oleh masa atau era saat itu.

Nurgiyantoro (2002: 272) bahasa dalam seni sastra dapat disamakan dengan cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan unsur, bahan, alat, sarana yang diperoleh untuk dijadikan sebuah karya yang mengandung nilai lebih dari bahan itu sendiri. Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra. Apapun yang dikatakan pengarang atau sebaliknya ditafsirkan oleh pembaca, mau tidak mau harus bersangkut paut dengan bahasa. Para pengarang tersebut memanfaatkan bahasa untuk menghasilkan suatu efek yang menjelaskan apa yang berharga dalam kehidupan yang diceritakan oleh mereka. Bentuknya berupa rentetan kalimat dan ungkapan-ungkapan atau gaya bahasa. Oleh karena itu, kualitas sebuah karya sastra seperti novel ditentukan oleh bagaimana pengarang-pengarang tersebut membungkus penggunaan bahasa mereka khususnya gaya bahasa dalam karyanya.

Sastrowardoyo (1983: 158) menyebut novel Atheis suatu well made novel dengan kisah diakhiri dengan baik ketika tokoh Hasan meninggal.

Teeuw (1980: 272-275) menulis bahwa Atheis adalah roman pertama yang benar-benar menarik setelah perang kemerdekaan dan gaya penceritaan serupa dengan pergolakan masyarakat Indonesia pada saat itu. Atheis adalah novel Indonesia pertama yang menggunakan tiga gaya 7

naratif. Teeuw menulis bahwa gaya penceritaan dalam roman ini bersifat didaktis, yang dianggap sebagai suatu kekurangan. Namun, dia juga mencatat bahwa Achdiat Karta Miharja adalah anggota aliran sastra yang beranggapan bahwa sastra bertujuan untuk mendidik.

Novel Atheis karya Achdiat Karta Miharja merupakan novel yang menceritakan tentang pertentangan jiwa tokoh Hasan yang awalnya taat beragama, tetapi ketika tokoh Hasan tersebut pindah ke kota, keyakinan tokoh Hasan berubah karena dipengaruhi oleh paham marxisme. Cerita dalam novel Atheis mengambil latar tempat di Jawa pada suasana peperangan. Hal ini menunjukkan bahwa pengarang Achdiat Karta Miharja ingin menggambarkan fenomena sosial yang dialami oleh masyarakat pada masa itu. Pengaruh latar pada masa ini menimbulkan karakteristik penggunaan gaya bahasa dalam novel Atheis, yakni penggunaan gaya bahasa sarkasme.

Dua contoh penggunaan gaya bahasa dalam novel Atheis karya

Achdiat Karta Mihardja.

Contoh (1)

“Tapi itu hanya provokasi lidah busuk saja,” kata Rusli. (Miharja,1949: 35)

Contoh (2)

“Ah, tidak”, sahut Rusli tertawa menjawab pertanyaan tadi,” malah benar kata orang, kalau kita sedang mengumpat setan, terpijaklah ekornya. (Miharja,1949: 37)

8

Dua kutipan novel di atas akan dilihat perwujudan gaya bahasanya

(wujud kata/frasa dan kalimat). Pada contoh (1) terdapat penggunaan frasa nomina konkret berkelas kata organ tubuh, yakni lidah busuk yang mengandung gaya bahasa sarkasme. Makna frasa lidah busuk adalah perkataan yang buruk atau tidak baik. Frasa lidah busuk diasosiasikan dengan perkataan yang buruk karena memiliki sifat yang sama, yakni arti kata lidah menurut KBBI adalah perkataan, lisan, atau ujaran, sedangkan busuk adalah buruk, lapuk, dan rusak. Dapat dikatakan bahwa arti lidah busuk dalam konteks kutipan novel tersebut merupakan suatu perkataan yang tidak baik, yang tidak ada gunanya untuk didengar.

Pada contoh (2) terdapat kata nomina kelas kata insani, yakni setan yang menunjukkan penggunaan gaya bahasa sarkasme. Dalam konteks kutipan novel tersebut kata setan dalam pengertian tersebut sebagai penggoda jadi, Rusli menyindir Kartini sebagai wanita penggoda sama dengan setan. Menurut KBBI kata setan bermakna iblis atau makhluk halus yang kadang terlihat kadang juga tidak. Penyebutan setan dalam novel tersebut merupakan sindiran yang dituturkan oleh Rusli karena

Kartini secara tiba-tiba terlihat dalam pandangannya.

Novel Telegram karya Putu Wijaya merupakan novel yang mempunyai kualitas dengan karya yang telah diakui dalam berbagai penghargaan yang telah diraih. Novel yang ditulis Putu Wijaya saat berumurr 28 tahun ini pernah menyabet hadiah pertama mengarang roman DKI 1972. Para kritikus sastra seperti Mangunwijaya 9

(1988: 50) telah membuat esei tentang novel Telegram (1973) dan mengatakan bahwa novel tersebut merupakan karya yang matang dan dewasa dan bentuknya sangat berhasil. Sebagai seorang novelis, Putu

Wijaya menempatkan dirinya tidak jauh dari kelihaiannya sebagai penulis naskah drama. Dalam prosanya ia cenderung mempergunakan gaya atau metode objektif dalam pusat pengisahannya dan gaya stream of consciousness dalam pengungkapannya.

Sementara itu, Sumardjo (1983: 133) menyebut Putu Wijaya sebagai tokoh utama sastrawan Indonesia pada dasa warsa 1970-an.

Lebih lanjut Sumardjo mengatakan bahwa Putu Wijaya muncul dan berkembang dalam dekade itu. Dialah sastrawan paling produktif dan paling kreatif pada saat itu. Novel Putu Wijaya juga penuh potongan- potongan kejadian yang padat, intens dalam pelukisan, ekspresif bahasanya, dan disatukan oleh suasana tema.

Adapun novel Telegram karya Putu Wijaya menceritakan tentang tokoh Aku yang berasal dari Bali. Latar tempat penceritaan dalam novel

Telegram terjadi di Jakarta. Dalam novel Telegram, Putu Wijaya menggambarkan tokoh Aku sebagai cerminan manusia yang hidup pada era tahun 66-70an. Pada masa ini, kebebasan berpendapat ditekan oleh pemerintah. Hal inilah yang ingin ditunjukkan oleh Putu Wijaya melalui tokoh Aku bahwa masyarakat pada masa tersebut tidak memiliki kebebasan sehingga semua hal yang berkaitan dengan kehidupan harus dinyatakan secara tidak langsung. Dalam novel, penyataan kata atau 10

kalimat secara tidak langsung termasuk ke dalam bentuk gaya bahasa pengandaian atau perumpamaan.

Selanjutnya, dua contoh penggunaan gaya bahasa dalam novel

Telegram karya Putu Wijaya.

Contoh (1)

Anak yang bertingkah seperti orang dewasa itu sudah terlindung oleh sikapnya. (Wijaya, 1973: 48)

Contoh (2)

Masa kecil yang menggelepar-gelepar (Wijaya, 1973: 63)

Pada contoh (1) terdapat penggunaan kata berafiks ber-, yakni bertingkah yang mengandung gaya bahasa yang bersifat eufemisme.

Makna kata bertingkah adalah berlagak, sok, angkuh. Dalam konteks ini tokoh mengungkapkan kata bertingkah dengan tujuan memperhalus maksud ujarannya. Kata bertingkah mengalami substitusi dari konotasi negatif berlagak, sok, dan angkuh. Terlihat dalam KBBI arti kata bertingkah adalah bergaya, berkelakuan, dan sok.

Pada contoh (2) terdapat penggunaan kata ulang berimbuhan meng-, yakni kata mengelepar-gelepar yang mengandung gaya bahasa metafora yang bersifat eufemisme. Makna kata mengelepar-gelepar adalah berkelejat (bekelakuan manja, cengeng). Terlihat dalam KBBI arti kata mengelepar-gelepar adalah kejang-kejang, berkelojotan, dan mengelupur. Dalam konteks kalimat contoh (2) secara langsung sifat kata mengelepar-gelepar tersebut disamakan dengan sifat anak pada masa 11

kecil yang cengeng dan manja untuk menunjukkan kehidupan tokoh Aku pada masa kecilnya.

Dilihat dari dua contoh pada novel Atheis karya Achdiat Karta

Mihardja dan novel Telegram karya Putu Wijaya, tampak perbandingan antara kedua jenis novel tersebut, yakni novel Atheis dalam pengungkapannya menggunakan gaya bahasa yang bersifat sarkasme dengan pewujudannya menggunakan frasa nomina berkelas kata organ tubuh dan insani sedangkan novel Telegram pengungkapannya menggunakan gaya bahasa metafora yang bersifat eufemisme dengan pewujudannya menggunakan kata berafiks.

Fenomena sosial pada contoh novel Atheis terlihat adanya penyebutan secara langsung kata atau frasa yang berkonotasi negatif

(kasar) kepada suatu hal atau benda. Hal tersebut karena dilatarbelakangi oleh keadaan sosial yang sangat keras pada masa Angkatan 1945, yakni keadaan pada lingkungan fasisme jepang, tokoh-tokoh dalam novel Atheis digambarkan dengan situasi pada masa penjajahan dan terpengaruh terhadap pemikiran barat. Adapun situasi sosial pada novel Telegram tampak adanya penggunaan kata yang halus atau tidak blak-blakan

(samar-samar) terhadap suatu hal atau benda. Hal ini karena dilatarbelakangi kondisi sosial yang buruk sehingga tampak penceritaan dalam karya sastra pada angkatan 1966-1970an ini menutupi informasi yang sebenarnya sebagai selubung terhadap kenyataan yang jauh lebih mengecewakan. 12

Penelitian ini akan mengungkap perbedaan dan persamaan gaya bahasa dalam novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja dan novel

Telegram karya Putu Wijaya. Penelitian ini penting untuk dilakukan mengingat beberapa hal; pertama, peneliti berusaha mengungkap perbedaan dan persamaan penggunaan gaya bahasa dalam karya sastra pada Angkatan 1945 dan Angkatan 1966-70an, sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dokumentasi perbandingan penggunaan gaya bahasa dalam karya sastra khususnya pada masa tahun 1945 dan tahun 1966-70an. Kedua, hasil penelitian perbandingan gaya bahasa yang digunakan pada Angkatan 1945 dan Angkatan 1966-70an ini juga diharapkan dapat menunjukkan perkembangan penggunaan gaya bahasa dari masa ke masa. Ketiga, dalam bidang pengajaran, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif bahan ajar sastra. Hasil penelitian ini dapat digunakan dalam menjelaskan keterkaitan antara ilmu bahasa dan ilmu sastra.

Adanya pergolakan sosial masyarakat dari dua angkatan tersebut menimbulkan perbedaan dan persamaan penggunaan gaya bahasa karya sastra dalam setiap angkatan tersebut. Hal ini menyebabkan terlihatnya perbedaan dan persamaan ciri karya sastra pada Angkatan 1945 dan

Angkatan 1966-70an. Berdasarkan fenomena kedua angkatan yang telah dipaparkan, peneliti tertarik untuk meneliti penggunaan gaya bahasa novel

Atheis karya Achdiat Karta Mihardja dan novel Telegram karya Putu

Wijaya. 13

B. Rumusan Masalah

Penelitian ini berfokus pada gaya bahasa. Dalam hal ini, penelitian dicurahkan pada perbedaan dan persamaan gaya bahasa. Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, masalah- masalah yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini sebagai berikut.

1. Bagaimanakah perbedaan pewujudan gaya bahasa dalam novel

Atheis karya Achdiat Karta Mihardja dan novel Telegram karya Putu

Wijaya?

2. Bagaimanakah persamaan pewujudan gaya bahasa dalam novel

Atheis karya Achdiat Karta Mihardja dan novel Telegram karya Putu

Wijaya?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian pada rumusan masalah, tujuan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Menganalisis perbedaan pewujudan gaya bahasa dalam novel Atheis

karya Achdiat Karta Mihardja dan novel Telegram karya Putu Wijaya.

2. Menganalisis persamaan pewujudan gaya bahasa dalam novel Atheis

karya Achdiat Karta Mihardja dan novel Telegram karya Putu Wijaya.

D. Manfaat Penelitian 14

Manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini, yaitu manfaat praktis dan manfaat teoretis. a. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

manfaat terhadap perkembangan ilmu sastra khususnya dalam

bidang stilistika. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi

bahan pengajaran apresiasi karya sastra di sekolah.

b. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan acuan

yang dapat bermanfaat untuk berbagai kepentingan khususnya di

bidang stilistika. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi

dokumentasi karakteristik dan perbandingan gaya bahasa dalam

karya sastra pada masa Angkatan 1945 dan Angkatan 1966-1970an.

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Hasil Penelitian

Penulis akan menguraikan beberapa penelitian yang berkaitan dengan gaya bahasa yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu dan memberikan gambaran mengenai perbedaan penelitian analisis gaya bahasa dalam novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja dan novel

Telegram karya Putu Wijaya. Adapun penelitian yang relevan adalah sebagai berikut.

Rahmawati (2012) meneliti “Gaya Bahasa Andrea Hirata dalam

Dwilogi Bulan: Kajian Stilistika. Hasil penelitiannya adalah menunjukkan kekhasan Andrea Hirata yang terlihat pada kemampuannya menggunakan pilihan leksikal dalam gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat. Andrea Hirata memperlihatkan kekhasannya dalam mendeskripsikan secara detail latar maupun penokohan. Penggunaan gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna meliputi gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa kiasan yang digunakan Andrea Hirata, antara lain perumpamaan (simile), alusio, personofokasi, ironi, dan sinisme.

Idris (2012), “Katakteristik Bentuk Kebahasaan Mantra: Kajian

Stilistika”. Hasil penelitiannya adalah mantra bernuansa sakral dan menemukan bentuk-bentuk gaya bahasa seperti (1) gaya bahasa

15 16

antiklimaks; (2) gaya bahasa klimaks; (3) gaya bahasa paralelisme; (4) gaya bahasa repetisi (epizeuksis, tautotes, anaphora, epistropa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis); (5) gaya bahasa aliterasi dan asonansi; (6) gaya bahasa kiasan simile, metafora, personifikasi, dan alusio.

Solihati (2013), “Diksi Puitis Kumpulan Cerpen Mengakar Ke Bumi

Menggapai Ke Langit Jilid 3 Karya ”. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui diksi puitis yang terdapat dalam cerita pendek karya Taufiq Ismail dengan asumsi adanya kemiripan antara cerpen dan puisi karya Taufiq Ismail yang bernapaskan perjuangan menumbangkan Orde Lama. Metode yang digunakan untuk mengkaji cerpen adalah metode deskriptif analisis dengan bentuk kumpulan data secara faktual yang terdapat dalam keempat cerpen yang ada dalam himpunan tulisan “Mengakar Ke Bumi Menggapai Ke Langit” Jilid 3 karya

Taufiq Ismail. Hasil kajian menunjukkan bahwa cerpen-cerpen Taufiq

Ismail menggunakan berbagai bentuk majas secara variatif untuk membangun karya cerpen yang utuh.

Listyorini (2013), “Karakteristik Gaya Bahasa Novel Atheis karya

Achdiat K. Mihardja dan Potensinya Sebagai Landasan Pengembangan

Bahan Ajar Bahasa Indonesia”. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mendeskripsikan jenis dan karakteristik penggunaan gaya bahasa dalam novel Atheis, serta penggunaan gaya bahasa sebagai landasan pengembangan bahan ajar Bahasa Indonesia. Pendekatan tersebut 17

menggunakan pendekatan kualitatif dengan data penelitian berupa paparan verbal tertulis yang mengandung gaya bahasa dalam novel

Atheis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam novel Atheis, gaya bahasa yang digunakan adalah gaya bahasa simile, metafora, personifikasi, hiperbola, metonimia, dan sinekdoke. Karakteristik gaya bahasa yang digunakan untuk tema, tokoh dan penokohan, dan latar banyak menggunakan gaya bahasa simile.

Dari hasil penelitian yang relevan di atas antara Rahmawati, Idris,

Solihati, dan Listyorini memiliki persamaan dan perbedaan dengan objek yang akan diteliti dalam penelitian ini. Adapun persamaan penelitian

Rahmawati, Idris, dan Solihati dengan penelitian ini adalah sama-sama mengkaji gaya bahasa. Adapun perbedaannya terletak pada objek penelitian, Rahmawati berobjek sama tetapi pada novel masa reformasi,

Idris berobjek pada mantra sedangkan Solihati berobjek pada cerpen pada masa Orde Baru. Adapun penelitian Listyorini, meskipun penelitian tersebut mengkaji gaya bahasa dalam novel Atheis yang juga merupakan objek kajian penelitian ini tetapi penelitian ini selain mencari karakteristik gaya bahasa Atheis , juga akan melakukan perbandingan gaya bahasa novel Atheis dengan novel lainnya untuk melihat bagaimana persamaan dan perbedaan karakteristik gaya bahasa karya sastra Angkatan 1945 dan

Angkatan 1966-70an.

18

B. Tinjauan Teori dan Konsep

1. Teori Stilistika

Secara harfiah, stlistika berasal dari bahasa Inggris: stylistics, yang berarti studi mengenai style „gaya bahasa‟ atau „bahasa bergaya‟. Adapun secara istilah, stilistika (stylistics) adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra (Abrams, 1979: 165-167).

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa stilistika adalah proses menganalisis karya sastra dengan mengkaji unsur-unsur bahasa sebagai medium karya sastra yang digunakan sastrawan sehingga terlihat bagaimana perlakuan sastrawan terhadap bahasa dalam rangka menuangkan gagasannya (subject matter).

Ratna (2009: 236) menyatakan bahwa stilistika merupakan ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek keindahannya. Bagi Simpson (2004: 2), stilistika adalah sebuah metode interpretasi tekstual karya sastra yang dipandang memiliki keunggulan dalam pemberdayaan bahasa.

Menurut Junus (1989: 17), hakikat stilistika adalah studi mengenai pemakaian bahasa dalam karya sastra. Kridalaksana (2011: 157) menyatakan bahwa stilistika (stilistics) adalah: (1) ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusastraan; (2) penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa. 19

Leech dan Short (1984: 13) menyatakan bahwa stilistika adalah studi tentang wujud performansi kebahasaan, khususnya yang terdapat dalam karya sastra. Menurut Chapman (1977: 15) stilistika bertujuan menentukan seberapa jauh dan dalam hal apa bahasa yang digunakan dalam sastra memperlihatkan penyimpangan, serta bagaimana pengarang menggunakan tanda-tanda linguistik untuk mencapai efek khusus.

Stilistika sebagai ilmu yang mengkaji penggunaan bahasa dalam karya sastra yang berorientasi linguistik dapat dilihat pada batasan stilistika berikut; Pertama, stilistika merupakan bagian linguistik yang menitikberatkan kepada variasi penggunaan bahasa dan kadangkala memberikan perhatian kepada penggunaan bahasa yang kompleks dalam karya sastra (Turner, 1977: 7), atau pendekatan linguistik yang digunakan dalam studi teks-teks sastra (Leech dan Short, 1984: 183). Kedua, stilistika dapat dikatakan sebagai studi yang menghubungkan antara bentuk linguistik dengan fungsi sastra (Leech dan Short, 1984: 4). Ketiga, stilistika adalah ilmu kajian gaya yang digunakan untuk menganalisis karya sastra (Kerismas, 1990: 3). Keempat, stilistika mengkaji wacana sastra dengan berorientasi linguistik dan merupakan pertalian antara linguistik dan kritik sastra.

Menurut Darwis (2002: 91), stilistika terbagi dua, yaitu stilistika linguistik dan stilistika sastra. Stilistika linguistik menekankan pada pentingnya menyodorkan fakta-fakta kebahasaan bukan untuk menilai segi estetika yang dikandungnya melainkan untuk menemukan ciri pribadi 20

atau ciri sosial penyair, sekurang-kurangnya menunjukkan adanya kontras antara bahasa puisi dan bahasa sehari-hari. Adapun stilistika sastra menekankan pada pentingnya pengungkapan nilai estetika karya sastra berdasarkan fakta-fakta kebahasaan yang sengaja dibuat berbeda dari bahasa yang berlaku umum dalam masyarakat.

Selain itu, Darwis (2009: 2) mengemukakan tentang stilistika linguistik, yakni berusaha menyingkapkan fakta-fakta linguistik untuk menjelaskan keberadaan dan keberbedaan penggunaan gaya bahasa antara pengarang yang satu dan pengarang yang lain (serangkaian ciri individual), antara kelompok pengarang yang satu dan kelompok pengarang yang lain (serangkaian ciri kolektif). Baik secara sinkronik maupun diakronik, atau menjelaskan perbedaan ragam bahasa karya sastra dengan ragam bahasa karya nonsastra dan stilistika sastra menjelaskan bagaimana menemukan fungsi sastra, yaitu memberikan efek estetika (puitis).

Pada mulanya stilistika tidak dimaksudkan sebagai studi gaya sastra melainkan untuk studi bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari- hari untuk memenuhi tujuan hidup. Pentingnya kajian linguistik dalam karya sastra dikemukakan oleh Culler (1975: 55), bahwa tugas kajian linguistik adalah memberikan bantuan dalam analisis sastra dengan memaparkan perlengkapan bahasa yang dimanfaatkan di dalam teks sastra dan diorganisasikan oleh pengarang. 21

Darwis (2009) dalam sebuah artikel jurnal yang berjudul “Kelainan

Ketatabahasaan dalam Puisi Indonesia: Kajian Stilistika” telah mengungkap bahwa kelainan-kelainan ketatabahasaan itu merupakan suatu strategi di dalam, dan/atau kalau dapat menghasilkan rima yang sesuai. Dengan cara demikianlah, bahasa puisi itu memiliki karakteristik tersendiri, berkontras dengan ragam bahasa nonsastra (bahasa publik), dan tidak terkesan klise. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kelainan ketatabahasaan tersebut ternyata berpola, yang berarti dilakukan sedemikian rupa sebagai realisasi kesanggupan ber(tata) bahasa, bukan akibat kelainan ataupun ketidakpedulian penyair terhadap kaidah-kaidah tata bahasa Indonesia. Salah satu pola yang pada penelitiannya ini adalah pola pelesapan yakni dilesapkannya afiks-afiks tertentu yang biasanya terdapat dalam penggunaan bahasa Indonesia sehari-hari. Afiks- afiks yang kerap dilesapkan, yaitu sufiks –I dan sufiks –kan.

Kajian Stilistika sebenarnya dapat ditujukan terhadap berbagai ragam penggunaan bahasa, tidak terbatas pada sastra saja tetapi biasanya stilistika lebih sering dikaitkan dengan bahasa sastra. Stilistika dapat dianggap menjembatani kritik sastra di satu pihak dan linguistik di pihak lain karena stilistika mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistik. Stilistika merupakan suatu ilmu yang di dalamnya juga mempelajari kata-kata berjiwa dan gaya bahasa yang terdapat dalam suatu karya sastra.

22

2. Gaya Bahasa a. Pengertian Gaya Bahasa

Beberapa pakar linguistik telah mencoba memberikan batasan mengenai gaya bahasa. Menurut Ahmadi (1990: 170) “gaya bahasa merupakan penggunaan bahasa yang istimewa, dan tidak dapat dipisahkan dari cara atau teknik seorang pengarang dalam merefleksikan

(memantulkan, mencerminkan) pengalaman, nilai-nilai kualitas kesadaran pikiran dan pandangan yang istimewa atau khusus”. Ahmadi membagi gaya bahasa menjadi dua, yaitu gaya bahasa penekanan yang terdiri dari

25 jenis gaya bahasa dan gaya bahasa perbandingan yang terdiri dari empat belas jenis. Lain halnya menurut Keraf (2010: 113) “gaya bahasa merupakan cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperhatikan ciri dan kepribadian penulis (pemakai bahasa)”.

Menurut Kridalaksana (2011: 76) gaya bahasa adalah pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis serta pemakaian ragam tertentu. Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2002: 276) gaya bahasa (style) adalah suatu hal yang pada umumnya tidak lagi mengandung sifat kontroversional, menyaran pada pengertian cara penggunaan bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu dan sebagainya. Menurut Jabrohim (2000: 102), gaya bahasa merupakan penggunaan bahasa sebagai media komunikasi secara khusus, yaitu penggunaan bahasa secara bergaya dengan tujuan ekspresifitas 23

pengucapan. Gaya bahasa meliputi seluruh unsur bahasa, yaitu intonasi, bunyi, kata, dan kalimat.

Sementara itu, Sudaryat (1986: 135) mengatakan bahwa gaya bahasa adalah pemakaian kata-kata kiasan dan perbandingan yang tepat untuk melukiskan sesuatu maksud untuk membentuk plastik bahasa.

Plastik bahasa adalah daya cipta pengarang dalam membuat cipta sastra dengan mengemukakan pemilihan kata yang tepat memungkinkan tenaga yang sesuai dengan buah pikiran dan perasaan yag terkandung dalam karya itu.

Sejalan dengan beberapa pendapat di atas, Luxemburg dkk. (1984:

105) menyatakan gaya bahasa adalah segala sesuatu yang memberikan ciri khas kepada sebuah teks atau menjadikan teks itu sebagai individu bila dibandingkan dengan teks-teks lain. Hartoko dan Rahmanto (1986:

137) mengemukakan bahwa gaya bahasa adalah cara yang khas dipakai seseorang untuk mengungkapkan diri (gaya pribadi). Cara mengungkapkan tersebut dapat berupa setiap aspek bahasa, pemilihan kata-kata, penggunaan kiasan, susunan kalimat, nada, dan sebagainya.

Menurut Keraf (2010: 113), gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).

Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur, 24

yaitu kejujuran, sopan santun, dan menarik (Tarigan, 1985: 5).

Sedangkan, menurut Pradopo (1993: 265) gaya bahasa adalah pemanfaatan atas kekayaan bahasa seseorang dalam bertutur atau menulis, lebih khusus adalah pemakaian ragam bahasa tertentu untuk memperoleh efek tertentu, yaitu efek estetis yang menghasilkan nilai seni.

Leech dan Short (1993: 31) menyimpulkan definisi gaya sebagai berikut; (1) gaya adalah cara bagaimana bahasa digunakan, yaitu tergolong kepada parole bukan kepada langue, (2) gaya terdiri dari pilihan yang dibuat oleh perlakuan bahasa, dan (3) sebuah gaya dibatasi oleh wilayah penggunaan bahasa (misalnya pilihan yang dibuat oleh pengarang tertentu, dalam genre tertentu, atau dalam teks tertentu).

Dari beberapa pendapat atau teori mengenai gaya bahasa yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah gaya dalam bertutur ataupun menulis dengan menggunakan kata-kata kias yang tidak memperlihatkan makna secara langsung tetapi secara tidak langsung.

Adapun beberapa pengertian gaya menurut Enkvis (dalam Junus,

1989: 5), yaitu; (1) gaya sebagai bungkusan, (2) gaya sebagai pilihan kemungkinan, (3) gaya sebagai serangkaian ciri pribadi, (4) gaya sebagai penyimpangan, (5) gaya sebagai sekumpulan ciri-ciri kolektif, (6) gaya sebagai hubungan antara satuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas dari pada kalimat. Penjelasan tentang gaya menurut

Enkvis tersebut akan diuraikan berikut. 25

(1) Gaya sebagai Bungkusan

Gaya yang membungkus inti pemikiran atau pernyataan yang telah ada sebelumnya; menyarankan bahwa pengertian gaya ini bermula dengan memisahkan:

(a) pikiran yang diucapkan, dan

(b) bungkusan atau cara menyampaikannya

Jadi, disitu ada hubungan antara signifiant (penanda) dan signifiaé

(petanda). Misal, lebih dahulu ada yang ditanda berupa dan pemuda berdatangan untuk memikat gadis itu. Kemudian, pikiran sebagai petanda itu dibungkus dengan pikiran sebagai penandanya dan kumbang berdatangan untuk menghisap madu bunga itu (pembungkus). Kalimat pembungkusnya tampak lebih indah dari pikiran yang diungkapkan (Junus,

1989: 6).

(2) Gaya sebagai Pilihan Kemungkinan

Pengertian ini menyarankan pernyataan umum (common sense), dikatakan gaya melibatkan pilihan. Tanpa pilihan tidak mungkin ada gaya.

Misalnya, ada beberapa pilihan untuk menyatakan sepasang kekasih dengan sepasang merpati, merpati dua sejoli, terbang dua sekawan

(Junus, 1989: 6).

(3) Gaya sebagai Serangkaian Ciri Pribadi

Pengertian ini menyarankan pernyataan seperti yang dikemukakan oleh Buffon “le style, c’est l’ homme meme” gaya adalah orang (penulis) 26

itu sendiri. Dengan demikian, seorang penulis akan menurunkan tanda tangannya pada setiap tulisannya (Junus, 1989: 7).

(4) Gaya sebagai Penyimpangan

Gaya bahasa itu merupakan penyimpangan dari norma dan bahwa ada alasannya mengapa penyimpangan-penyimpangan demikian itu terjadi (Junus, 1989: 7). Gaya dianggap sebagai pemakaian bahasa yang

“berbeda” dengan pemakaian bahasa biasa. Contoh bait sajak Chairil

Anwar,Ini muka penuh luka, Siapa punya?. Ucapan bahasa biasa akan berupa siapakah yang mempunyai muka yang penuh luka ini?.

(5) Gaya sebagai Sekumpulan Ciri-ciri Kolektif

Sekumpulan ciri-ciri kolektif ini menyarankan tidak ada gaya.

Semuanya sama saja dengan pemakaian bahasa biasa. Menurut Junus

(1989: 8), pengertian ciri kolektif atau gaya sosial tidak berhubungan dengan konsep tidak ada gaya. Hanya semua penulis dipahami menulis dengan menggunakan gaya yang sama. Misalnya, hanya ada kosakata yang hanya digunakan dalam karya sastra, penggunaan metafora atau metonimia “dianggap” tidak ada pada pemakaian bahasa biasa, dan sebagainya.

(6) Gaya sebagai Hubungan antara Satuan Bahasa yang Dinyatakan dalam Teks yang Lebih Luas daripada Kalimat.

Berhubungan dengan gaya dan wacana. Pengertian wacana menurut Junus adalah pengucapan bahasa yang melebihi satu kalimat.

Dengan demikian, wacana lebih dekat kepada retorik. Wacana berbeda dengan teks, dipahami terikat pada unsur bahasa. Teks lebih luas 27

daripada hanya pemakaian unsur bahasa. Mungkin meliputi gambar ilustrasi atau informasi yang mungkin tidak bersifat bahasa. Wacana juga berbeda dari teks, mempunyai hubungan dengan genre. Mungkin orang berbicara tentang wacana puisi atau wacana novel. Wacana puisi mempunyai cara penulisan yang berbeda dengan wacana prosa (Junus,

1989: 9).

b. Jenis-jenis Gaya Bahasa

Pada hakekatnya, stilistika atau stile merupakan teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan disampaikan atau diungkapkan. Kajian stilistika ini berguna untuk dapat memahami dan mencermati hal-hal yang menjadi penandaan dalam karya sastra sekaligus dapat mengungkap ekspresif pengarang. Aminuddin

(1995: 247) membaginya ke dalam bentuk tiga analisis, yaitu (1) analisis tanda baca yang digunakan pengarang, (2) analisis hubungan antara sistem tanda dengan yang lainnya, dan (3) analisis kemungkinan terjemahan suatu tanda yang ditentukan serta kemungkinan bentuk ekspresi yang dikandungnya.

Gaya bahasa terbagi menjadi 2 jenis, yakni figure of thought atau tuturan yang terkait dengan pengolahan dan pembayangan gagasan.

Rethorical figure atau tuturan figuratif yang terkait dengan penataan dan pengurutan kata-kata dalam konstruksi kalimat (Aminudin, 1995: 249).

Gaya bahasa merujuk pada tuturan figuratif yang terkait dengan 28

pengolahan dan pembayangan gagasan. Pemajasan (figure of thought) merupakan teknik untuk pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak merujuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya.

Selanjutnya Keraf (2010: 115) membagi jenis-jenis gaya bahasa sebagai berikut:

(1) Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata

Dalam bahasa standar (bahasa baku) dapatlah dibedakan: gaya bahasa resmi (bukan bahasa resmi), gaya bahasa tak resmi, dan gaya bahasa percakapan.

(a) Gaya Bahasa Resmi

Gaya bahasa resmi adalah gaya dalam bentuknya yang lengkap, gaya yang dipergunakan dalam kesempatan-kesempatan resmi, gaya yang dipergunakan oleh mereka yang diharapkan mempergunakannya dengan baik dan terpelihara. Gaya bahasa resmi adalah bahasa dengan gaya tulisan dalam tingkat tertinggi, walaupun sering dipergunakan juga dalam pidato-pidato umum yang bersifat seremonial (Keraf, 2010: 117).

(b) Gaya Bahasa Tak Resmi

Gaya bahasa tak resmi juga merupakan gaya bahasa yang dipergunakan dalam bahasa standar, khususnya dalam kesempatan- kesempatan yang tidak formal atau kurang formal. Gaya ini biasanya dipergunakan dalam karya-karya tulis, buku pegangan, artikel-artikel 29

mingguan atau bulanan yang baik, dalam perkuliahan, editorial, dan sebagainya (Keraf, 2010: 118).

(c) Gaya Bahasa Percakapan

Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Namun di sini harus ditambahkan segi-segi morfologis dan sintaksis, yang secara bersama-sama membentuk gaya bahasa percakapan ini (Keraf, 2010: 120).

(2) Gaya Bahasa Bedasarkan Nada

Gaya bahasa dilihat dari segi nada yang terkandung dalam sebuah wacana, dibagi atas: gaya yang sederhana, gaya mulia dan bertenaga, serta gaya menengah. a) Gaya Sederhana

Gaya ini biasanya cocok untuk memberi intruksi, perintah, pelajaran, perkuliahan, dan sejenisnya. Sebab itu, untuk mempergunakan gaya ini secara efektif, penulis harus memiliki kepandaian dan pengetahuan yang cukup (Keraf, 2010: 121). b) Gaya Mulya dan Bertenaga

Gaya ini penuh dengan vitalitas dan biasanya dipergunakan untuk menggerakkan sesuatu. Menggerakkan sesuatu tidak saja dengan mempergunakan tenaga pembicara tetapi juga dapat mempergunakan nada keagungan dan kemuliaan. Nada yang agung dan mulia akan sanggup pula menggerakan emosi pendengar (Keraf, 2010: 122).

30

c) Gaya Menengah

Gaya menengah adalah gaya yang diarahkan kepada usaha untuk menimbulkan suasana senang dan damai karena tujuannya adalah menciptakan suasana senang dan damai, maka nadanya juga bersifat lemah-lembut, penuh kasih sayang, dan mengandung humor yang sehat

(Keraf, 2010: 122).

(3) Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat

Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat terdiri dari gaya bahasa klimaks, antiklimaks, paralelisme, antithesis, dan repetisi. a) Klimaks

Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan- urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya (Keraf, 2010: 124). Contoh sebagai berikut:

a. Dalam dunia perguruan tinggi yang dicengkram rasa takut dan rasa rendah diri, tidak dapat diharapkan pembaharuan, kebanggaan akan hasil-hasil pemikiran yang obyektif atau keberanian untuk mengungkapkan pendapat secara bebas.

b. Kesengsaraan membuahkan kesabaran, kesabaran pengalaman, dan pengalaman harapan. b) Antiklimaks

Antiklimaks dihasilkan oleh kalimat yang berstruktur mengendur.

Antiklimaks sebagai gaya bahasa merupakan suatu acuan yang gagasan- gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang 31

kurang penting. Antiklimaks sering kurang efektif karena gagasan yang penting ditempatkan pada awal kalimat sehingga pembaca atau pendengar tidak lagi memberi perhatian pada bagian-bagian berikutnya dalam kalimat itu (Keraf, 2010: 125), misalnya :

Ketua pengadilan negeri itu adalah seorang yang kaya, pendiam, dan tidak terkenal namanya (mengandung ironi). c) Paralelisme

Pararelisme merupakan suatu gaya yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata yang menduduki fungsi pragmatikal yang sama dalam sebuah kalimat atau klausa (Keraf, 2010:

126). Contoh sebagai berikut:

a. Kedengarannya memang aneh, dia merasa kesepian di tengah kota metropolitan ini.

b. Negara kita ini Negara hukum, semua yang salah harus ditindak tegas tanpa harus pandang bulu. d) Antitetis

Antitetis adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan- gagasan yang bertentangan, dengan memergunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan (Keraf, 2010: 126), misalnya:

Mereka sudah kehilangan banyak dari harta bendanya, tetapi mereka juga telah banyak memeroleh keuntungan daripadanya. e) Repitisi

Repitisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (Keraf, 2010: 127). Repetisi terbagi lagi menjadi 32

beberapa gaya yaitu epizeukis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalipsisi, dan anadiplosis.

(4) Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna

Berdasarkan langsung tidaknya makna yang terkandung dalam sebuah kata atau kelompok kata maka gaya bahasa dapat dibedakan atas dua bagian, yakni gaya langsung atau gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. a) Gaya Bahasa Retoris

Gaya bahasa retoris harus diartikan menurut nilai lahirnya. Tidak ada usaha menyembunyikan sesuatu di dalamnya (Keraf, 2010: 129).

Gaya bahasa retoris terdiri dari aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis atau preterisio, apostrof, asindeton, polisondeton, kiasmus, ellipsis, eufemisme, litotes, histeron, proteron, pleonasme dan tautologi, perifrasis, prolepsis atau antisipasi, erotesis atau pertanyaan retoris, silepsis dan zeugma, koreksio atau epanortosis, hiperbola, paradoks, dan oksimoron.

(1) Aliterasi

Aliterasi adalah gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Biasanya digunakan dalam puisi dan prosa untuk perhiasan atau untuk penekanan (Keraf, 2010: 130).

Contoh: Takut titik tumpah

Pada contoh ini perulangan konsonan ditunjukan sebagai perhiasan atau untuk memperoleh efek keindahan. 33

(2) Asonansi

Gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama disebut asonansi. Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang juga dalam prosa untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan (Keraf, 2010: 130).

Contoh : Ini muka penuh luka siapa punya

Perulangan bentuk vokal pada contoh ini menimbulkan efek keindahan.

(3) Anastrof (Inversi)

Anastrof (Inversi) adalah gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Gaya bahasa ini dipergunakan apabila predikat kalimat hendak lebih ditonjolkan atau dipentingkan dari pada subjeknya sehingga predikat terletak di depan subjeknya (Keraf, 2010: 130).

Contoh : Besar sekali gajinya.

Yang hendak lebih ditonjolkan dalam kalimat pada contoh ini adalah besarnya gaji.

(4) Apofasis (Preterisio)

Sebuah gaya dimana pengarang menegaskan sesuatu tetapi tampaknya menyangkal atau menyatakan sebaliknya disebut apofasis

(preterisio) (Keraf, 2010: 130).

Contoh : Saya tidak mau mengatakan dalam rapat ini bahwa Saudara telah menggelapkan uang jutaan rupiah.

Maksud dari dari contoh ini seolah-olah menutupi kesalahan orang lain tetapi pada kenyataannya mengungkap kejahatan orang itu. 34

(5) Apostrof

Apostrof adalah gaya bahasa yang terbentuk sebuah amanat yang disampaikan kepada sesuatu yang tidak hadir. Makna apostrof ialah berpaling atau berputar.

Seorang pembicara tiba-tiba mengarahkan ucapannya kepada sesuatu yang tidak hadir, kepada mereka yang sudah meninggal, atau kepada barang atau objek khayalan sehingga tampaknya ia tidak berbicara lagi pada hadirin (Keraf, 2010: 131).

Contoh :

Hai kamu dewa-dewa yang berada di surga, datanglah dan bebaskanlah kami dari penindasan ini!

Pembicara mengalihkan ucapannya kepada sesuatu yang tidak hadir karena tidak mungkin pembicara berbicara di depan dewa.

(6) Asindeton

Asindeton adalah penghilangan konjungsi (kata sambung) dalam frasa, klausa, atau kalimat, misalnya dalam kalimat “saya datang, saya lihat, saya menang”. Gaya bahasa asindeton bersifat padat dan mampat; kata-kata yang sederajat berurutan, atau klausa-klausa yang sederajat, tidak dihubungkan dengan kata sambung (Keraf, 2010: 131).

Contoh:

Kita berjuang dengan hati panas, kepala dingin.

Kata sambung yang dihilangkan dalam contoh ini adalah tetapi.

35

(7) Polisindenton

Polisindenton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari asindenton. Beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata-kata sambung (Keraf, 2010:

131).

Contoh:

Setelah pelajaran usai, maka berkemas-kemaslah murid- murid hendak pulang, karena jam pelajaran terakhir telah habis, lalu mereka berdoa dipimpin ketua kelas.

(8) Kiasmus

Kiasmus adalah gaya bahasa yang mengandung dua bagian, baik frasa maupun klausa yang sifatnya berimbang dan dipertentangkan satu sama lain. Tetapi, susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dangan frasa atau klausa lainya (Keraf, 2010: 132).

Contoh:

a. Uang itu sudah kutabung di bank, tak ada lagi uang di rumah.

b. Orang tuanya sudah tiada, berantakanlah kehidupannya.

(9) Elipsis

Elipsis merupakan gaya bahasa dengan menghilangkan satu kata atau lebih yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar (Keraf, 2010: 132).

Contoh:

Masihkah kau tak percaya bahwa dari segi fisik engkau tak apa-apa, badanmu sehat; tetapi psikis.

36

(10) Eufimismus

Eufimismus adalah gaya bahasa yang menggunakan sepatah atau sekelompok kata untuk menggantikan kata lain dengan maksud supaya terdengar lebih sopan, alat untuk menghindari diri dari yang dianggap bisa menyinggung perasaan orang lain. Gaya bahasa ini disebut juga gaya bahasa pelembut (Keraf, 2010: 132).

Contoh :

Karna selalu mendapat tekanan jiwa, ia berubah akal.

Maksud dari contoh ini untuk melembutkan kata gila

(11) Litotes

Gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri disebut litotes. Sesuatu hal dinyatakan kurang dari keadaan sebenarnya atau suatu pikiran dinyatakan dengan menyangkal lawan katanya (Keraf, 2010: 132).

Contoh :

Kedudukan saya ini tidak ada artinya sama sekali. Saya tidak akan merasa bahagia bila mendapat warisan Satu milyar rupiah.

(12) Histeron Proteron

Histeron Proteron adadah gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari urutan yang wajar, misalnya, menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa. Gaya bahasa ini juga disebut hiperbaton (Keraf, 2010: 133).

37

Contoh:

Kereta melaju dengan cepat di depan kuda yang menariknya.

Kalimat pada contoh ini sangat tidak logis sebab kereta letaknya di belakang kuda.

(13) Pleonasme

Pemakaian kata-kata lebih dari pada yang diperlukan dinamakan gaya bahasa pleonasme atau disebut juga gaya bahasa penegasan.

Pleonasme berasal dari kata pleonazein yang berarti 'lebih banyak dari yang diperlukan atau berkelimpahan‟ (Keraf, 2010: 133).

Contoh:

Dia naik ke atas.

Kata ke atas sebenarnya tidak perlu lagi dipakai karena kerja naik tujuannya selalu ke atas. Jadi, tidak ada orang yang naik ke bawah.

(14) Tautologi

Tautologi adalah gaya bahasa penegasan dengan mengulang beberapa kali sepatah kata dalam sebuah kalimat. Dapat pula mempergunakan beberapa kata yang bersinonim berturut-turut dalam sebuah kalimat sehingga disebut gaya bahasa sinonim karena menggunakan kata-kata yang bersinonim (Keraf, 2010: 134).

Contoh:

Sungai ini terlalu amat dalam sekali.

Kata terlalu, amat, dan sekali bersinonim.

38

(15) Perifrasis

Perifrasis atau perifrase adalah gaya bahasa penguraian atau pengungkapan yang panjang sebagai pengganti pengungkapan yang lebih pendek. Sepatah kata diganti dengan serangkai kata yang mengandung arti yang sama dengan kata yang diganti itu (Keraf, 2010:

134).

Contoh:

Ketika sang surya keluar dari peraduannya berangkatlah kami.

Kata ketika sang surya keluar dari peraduannya penguraian dari matahari terbit.

(16) Prolepsis atau Antisipasi

Prolepsis atau Antisipasi adalah gaya bahasa yang mempergunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau gagasan yang sebenarnya terjadi. Misalnya dalam melukiskan tentang terjadinya suatu kecelakaan pesawat terbang, sebelum sampai pada peristiwa kecelakaan itu sendiri, penulis sudah mempergunakan kata pesawat yang sial itu. Padahal kesialan baru terjadi kemudian (Keraf, 2010: 134).

Contoh:

Pesawat yang sial itu sempat mendarat sebelum akhirnya meledak.

39

(17) Erotesis atau Pertanyaan Retoris

Erotesis adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Dalam pertanyaan retoris terdapat asumsi bahwa hanya ada satu jawaban yang mungkin (Keraf, 2010: 134).

Contoh :

Siapa pula yang mau ditindas terus menerus?

Hanya ada satu jawaban yang mungkin atas pertanyaan tersebut, yaitu tidak ada.

(18) Silepsis

Silepsis adalah gaya dimana orang mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama. Konstruksi yang dipergunakan itu gramatikal benar tetapi secara semantik tidak benar (Keraf, 2010: 135).

Contoh :

Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya.

Konstruksi yang lengkap adalah kehilangan topi dan kehilangan semangat.

(19) Zeugma

Zeugma adalah gaya dimana orang mempergunakan dua konstruksi ratapan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata 40

lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama. Adapun, kata yang dipakai untuk membawahi kedua kata berikutnya, sebenarnya hanya cocok untuk salah satu dari pada (baik secara logis maupun gramatikal) (Keraf, 2010: 135).

Contoh:

Dengan membelalakan mata dan telinganya, ia mengusir orang itu.

Kata yang cocok untuk kalimat tersebut sebenarnya hanya membelalakan mata.

(20) Koreksio atau Epanortosis

Koreksio adalah suatu gaya yang berwujud, mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya (Keraf, 2010:

135).

Contoh:

Dia adalah kekasihku, eh bukan, kakakku.

(21) Hiperbola

Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal (Keraf, 2010: 136).

Contoh:

Larinya secepat kilat.

Terlalu berlebihan mengatakan ada orang yang berlari secepat kilat karena tidak mungkin hal itu terjadi.

41

(22) Paradoks

Paradoks adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan pengungkapan sesuatu seolah-olah berlawanan tetapi ada logikanya. Paradoks dapat juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena kebenarannya (Keraf, 2010: 136).

Contoh:

Di kota yang ramai ia merasa kesepian.

Pada kenyataannya memang banyak orang yang jiwanya kosong bisa merasa kesepian di tengah keramaian.

(23) Oksimoron

Suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek bertentangan disebut oksimoron. Dapat juga dikatakan bahwa oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan mempergunakan kata-kata yang berlawanan dalam frasa yang sama, dan sebab itu sifatnya lebih padat dan tajam dari paradoks (Keraf,

2010: 136).

Contoh:

Keramahtamahan yang bengis.

Jelas adanya suatu pertentangan yang tajam antara dua kata pada contoh tersebut. b) Gaya Bahasa Kiasan

Gaya bahasa kiasan ialah gaya yang dilihat dari segi makna tidak dapat ditafsirkan sesuai dengan kata-kata yang membentuknya. Makna 42

harus dicari di luar rangkaian kata atau kalimatnya. Gaya bahasa kiasan terdiri atas:

(1) Persamaan atau Simile

Simile adalah gaya bahasa yang menyatakan perbandingan yang bersifat eksplisit, yaitu menggunakan alat formal untuk menyatakan hubungan, seperti: bagai, laksana, ibarat, dan sebagainya. Simile langsung menyatakan sesuai sama dengan kata hal lain (Keraf, 2010:

138).

Contoh:

Bibirnya bagai delima merekah.

Kadang-kadang diperoleh persamaan tanpa menyebut objek pertama yang mau dibandingkan.

Contoh:

Bagai duri dalam daging.

Objek yang mau di bandingkan tanpa di sebutkan dalam contoh tersebut adalah pedih.

(2) Metafora

Gaya bahasa yang merupakan kiasan persamaan antara benda yang diganti namanya dengan benda yang menggantinya disebut metafora. Kedua benda yang diperbandingkan itu mempunyai persamaan sifat (Keraf, 2010: 139).

Contoh:

Matahari adalah raja siang. 43

Raja mempunyai sifat berkuasa. Sifat kuasa itu juga dimiliki oleh matahari.

Kalau matahari tidak ada, maka kehidupan pun tiada. Itulah sebabnya matahari yang bersinar pada waktu siang diumpamakan sebagai raja siang.

(3) Alegori

Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan. Gaya bahasa alegori melukiskan sesuatu dengan cara membandingkan sesuatu yang lain secara utuh (Keraf, 2010: 140).

Contoh :

"aduhai sungguh nasib ku", kata kumbang itu seraya berlinang-linanglah airmatanya. "Telah lama aku terbang melayang-layang, mengelilingi kuntum melati yang kecil molek dan menyerbak wangi itu. Hendak hinggap aku tidak berani, takut kalau-kalau badan tidak diterima".

Yang dimaksud kumbang dalam contoh ini adalah pemuda yang dimabuk cinta dan kuntum melati adalah Juwita yang menjadi idamannya.

(4) Parabel

Parabel adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menyebut cerita-cerita khayal dalam kitab suci yang bersifat alegoris untuk menyampaikan kebenaran moral atau spiritual (Keraf, 2010: 140).

Contoh: Cerita Ramayana yang didalamnya tersirat pesan bahwa yang benar akan terbukti kebenarannya.

(5) Fabel

Fabel adalah suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang dimana binatang-binatang bahkan makhluk-makhluk yang tidak 44

bernyawa bertindak seolah-olah sebagai manusia. Tujuan fabel ialah menyampaikan ajaran moral atau budi pekerti (Keraf, 2010: 140).

Contoh: Cerita "Si Kancil". dalam cerita si Kancil, binatang ini digambarkan bertindak seperti manusia. Ajaran moral yang disampaikan dalam cerita si

Kancil adalah agar manusia berlaku cerdik dan jujur.

(6) Personifikasi atau Prosopopoeia

Personifikasi adalah gaya bahasa yang melukiskan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah hidup, dapat bergerak. Personifikasi disebut juga penginsanan atau pengorangan

(Keraf, 2010: 140).

Contoh:

Nyiur melambai di tepi pantai.

Kata nyiur melambai pada contoh ini adalah personifikasi karena hanya manusia yang bisa melambai. Jadi, di sini pohon nyiur diumpamakan manusia.

(7) Alusio

Gaya bahasa yang mengias dengan mempergunakan peribahasa atau ungkapan-ungkapan yang sudah lazim ataupun menggunakan sampiran pantun yang isinya sudah umum diketahui disebut alusio (Keraf,

2010: 141).

Contoh:

a. Jangan seperti kura-kura dalam perahu. (maksudnya, pura-pura tidak tahu). 45

b. Keadaan ku seperti orang makan buah simalakama, jika dimakan ibu mati tidak dimakan bapak mati. (pilihan yang serba sulit dan tidak menguntungkan).

(8) Eponim

Eponim adalah melukiskan sesuatu dengan cara mengambil sifat yang dimiliki oleh nama-nama yang telah terkenal (Keraf, 2010: 141).

Contoh:

Maradona kita telah memasuki lapangan.

Maradona dalam contoh ini adalah nama pemain sepak bola terkenal yang digunakan untuk mengiaskan orang yang ahli sepak bola.

(9) Epitet

Epitet adalah semacam acuan yang menyatakan satu sifat atau ciri yang khusus dari suatu orang atau suatu hal. Keterangan itu merupakan suatu frasa deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu benda (Keraf, 2010: 141).

Contoh:

Lonceng pagi untuk ayam jantan.

Ayam jantan berkokok pada pagi hari. kokokan ayam jantan di ibaratkan sebagai lonceng.

(10) Sinekdoke

Sinekdoke berasal dari bahasa yunani synekdechesthai yang berarti menerima bersama-sama. Sinekdoke adalah gaya bahasa yang mempergunakan sebagian dari suatu hal untuk menyatakan keseluruhan 46

(pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte) (Keraf, 2010: 142).

Contoh:

Setiap kepala dikenakan sumbangan seratus rupiah. (pars prototo)

Yang dimaksud dengan kepala adalah orang dengan seluruh anggota badan, bukan hanya kepalanya saja.

Contoh:

Pertandingan sepak bola itu berakhir dengan kemenangan . (totum pro parte)

Yang dimaksud sebenarnya hanya kemenangan kesebelasan pemain dari medan.

(11) Metonimia

Metonimia adalah gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat (Keraf, 2010: 142).

Contoh:

Bapak sedang mengisap jarum..

Menghisap jarum ialah mengisap rokok merek jarum. nama jarum berasoosiasi denagn rokok.

(12) Antonomasia

Antonomasia merupakan sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epiteeta (julukan) untuk 47

menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri (Keraf, 2010: 142).

Contoh :

Si kurus itu sedang makan.

Kata si kurus bukan nama sebenarnya melainkan panggilan pada seseorang yang memiliki tubuh kurus.

(13) Hipalase

Hipalase adalah semacam gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu dipergunakan untuk menerangkan sebuah kata yang seharusnya dikenakan sebuah kata yang lain (Keraf, 2010: 142).

Contoh :

Ia berbaring di atas bantal yang gelisah.

Yang gelisah adalah manusianya, bukan bantal.

(14) Ironi

Ironi atau cemooh secara halus adalah gaya bahasa sindiran yang mengatakan sebaliknya dari yang sebenarnya. Kadang-kadang ironi hanya merupakan suatu olok-olok saja. Apakah itu sindiran atau gurauan dapat ditentukan oleh cara pembicara berkata ditentukan oleh situasi

(Keraf, 2010: 143).

Contoh :

"Keputusan anda sangat tepat!"

Kalimat tersebut menjadi ironi apabila sebenarnya keputusan yang diambil itu tidak tepat. 48

(15) Sinisme

Gaya bahasa sinisme juga gaya bahasa sindiran tetapi lebih kasar dari ironi (Keraf, 2010: 143).

Contoh :

"Harum benar bau badanmu, sim! kau belum mandi ya?

(16) Sarkasme

Sarcasm (inggris) adalah perkataan yang menyakitkan hati. Yang dimaksud dengan gaya bahasa sarkasme adalah gaya bahasa sindiran yang paling kasar. memaki orang dengan kata-kata kasar yang kasar dan tidak sopan. Gaya bahasa ini selalu akan menyakiti hati dan tidak enak didengar (Keraf, 2010: 143).

Contoh :

" Cih, mukamu yang seperti monyet itu, jijik aku melihatnya!"

(17) Satire

Kata Satire diturunkan dari kata satura yang berarti talam yang berisi macam-macam buah-buahan. Satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia. Tujuan utamanya adalah agar diadakan perbaikan.

Satire berbentuk uraian yang harus ditafsirkan lain dari makna permukaannya (Keraf, 2010: 144).

Contoh :

Kita sudah tak pernah bertegur sapa sejak curahan air dari atap rumahku jatuh di halaman rumahmu.

49

(18) Inuendo

Inuendo adalah pengungkapan yang bermaksud menyindir dengan cara mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Dengan kata lain, menyindir secara tidak langsung (Keraf, 2010: 144).

Contoh:

Setiap ada pekelahian, ia selalu terlibat karena ia agak senang berkelahi.

Maksud selalu terlibat berarti senang berkelahi, tetapi selanjutnya dikatakan dengan agak senang berkelahi sebagai pengecilan kenyataan.

(19) Antifrasis

Antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri, atau kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat, dan sebagainya (Keraf, 2010: 144).

Contoh:

Anda sangat baik (maksudnya agar orang jahat tidak mengganggu).

(20) Pun atau Paronomasia

Pun atau Paronomasia adalah kiasan dengan mempergunakan kemiripan bunyi. Ia merupakan permainan kata yang didasarkan pada kemiripan bunyi tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya (Keraf,

2010: 145).

Contoh :

Tanggal dua gigi saya tanggal dua. 50

Kata tanggal yang pertama menjelaskan waktu sedangkan kata tanggal yang kedua berarti lepas.

c. Fungsi Gaya Bahasa

Gaya bahasa merupakan bentuk retorik merupakan penggunaan kata-kata dalam berbicara dan menulis untuk mempengaruhi pembaca atau pendengar. Bertolak dari kenyataan tersebut, dapat dilihat fungsi gaya bahasa, yaitu sebagai alat untuk menyakinkan atau mempengaruhi pembaca atau pendengar. Disamping itu, gaya bahasa juga berkaitan dengan situasi dan suasana karangan. Maksudnya ialah gaya bahasa menciptakan keadaan suasana hati tertentu, misalnya kesan baik ataupun buruk, senang, tidak enak, dan sebagainya yang diterima pikiran dan perasaan karena pelukisan tempat, benda-benda, suatu keadaan atau kondisi tertentu (Ahmadi, 1990: 169).

Selain pendapat di atas, Tarigan (2009: 4) mengatakan bahwa dengan kata-kata belumlah begitu jelas untuk menerangkan sesuatu, oleh karena itu digunakan persamaan perbandingan serta kata-kata kias lainnya. Bertolak dari beberapa pendapat di atas, dapatlah dilihat fungsi gaya bahasa, yaitu sebagai alat untuk memperkuat efek terhadap gagasan yang disampaikan, alat untuk memperjelas sesuatu dan alat untuk menciptakan keadaan hati tertentu. 51

Berdasarkan beberapa pendapat tentang fungsi gaya bahasa yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan fungsi gaya bahasa sebagai berikut:

1) Gaya bahasa berfungsi sebagai alat untuk mempengaruhi atau

meyakinkan pembaca atau pendengar, maksudnya gaya bahasa

dapat membuat pembaca atau pendengar semakin yakin dan percaya

terhadap apa yang disampaikan penulis;

2) Gaya bahasa berfungsi sebagai alat untuk menciptakan keadaan

perasaan hati tertentu, maksudnya gaya bahasa dapat menjadikan

pembaca hanyut dalam suasana hati tertentu, misalnya kesan baik

atau buruk, senang, tidak enak, dan sebagainya setelah mengetahui

tentang apa yang disampaikan penulis;

3) Gaya bahasa berfungsi sebagai alat untuk memperkuat efek terhadap

gagasan yang disampaikan, maksudnya gaya bahasa dapat membuat

pembaca atau pendengar terkesan terhadap gagasan yang

disampaikan penulis atau pembicara.

Keraf (2010: 116) dalam karya sastra seperti novel, cerpen ataupun puisi, gaya bahasa mempunyai fungsi memberi warna pada karangan, seningga gaya bahasa mencerminkan ekspresi individual dan sebagai alat melukiskan sebuah cerita dan mengintensifkan penceritaan.

52

d. Pembentuk Gaya Bahasa

Bentuk gaya bahasa dalam novel Atheis karya Achdiat Karta

Mihardja dan Telegram karya Putu Wijaya dapat dilihat dari kategori sintaksis yaitu kata, frasa, kalimat, dan ungkapan. Pada dasarnya setiap piranti linguistik (kata, frasa, dan kalimat) apapun dapat berpotensi mengandung gaya bahasa dan dapat dilihat perbedaan antara kata yang mengandung gaya bahasa dengan kata biasa. Untuk pengungkapan bentuk gaya bahasa, maka akan digunakan teori sintaksis dari Ramlan.

1) Kata

Menurut Kridalaksana (2011: 110), kata adalah morfem atau kombinasi morfem yang oleh bahasawan dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas atau satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari morfem tunggal atau morfem gabungan. Kata tunggal atau morfem tunggal adalah kata yang berasal dari leksem tunggal setelah mengalami proses morfologi. Kata kompleks adalah kata yang sudah mengalami proses morfologis. Kata golongan ini dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) kata berimbuhan; (2) kata ulang; (3) kata majemuk. Kata berimbuhan adalah kata yang dibentuk dengan proses afiksasi, sedangkan kata ulang adalah kata yang dibentuk dengan proses reduplikasi. Menurut Kridalaksana (2009: 99) kata majemuk adalah gabungan morfem dasar yang seluruhnya berstatus sebagai kata yang mempunyai pola fonologis, gramatikal, dan semantik yang khusus menurut kaidah yang bersangkutan. 53

Kridalaksana (2009: 29) menggolongkan kelas kata menjadi tiga belas kata, yaitu verba (kata kerja), adjektiva (kata sifat), nomina (kata benda), pronomina (kata ganti), numeralia (kata bilangan), adverbia (kata keterangan), interogativa (kata tanya), demonstrativa (kata tunjuk), preposisi (kata depan), konjungsi (kata penghubung), artikula, kategori fatis, dan interjeksi (kata seru).

2) Frasa

Menurut Ramlan (2001: 18), frasa adalah satuan gramatik yang terdiri atas satu kata atau lebih dan tidak melampaui batas fungsi atau jabatan. Jadi, bisa disimpulkan bahwa frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang tidak melebihi satu batas fungsi.

Frasa terbagi atas beberapa jenis antara lain: (a) frasa nomina, yaitu inti frasa tersebut berupa kata benda (Ramlan, 2001:18). Misalnya: paku beton, ayam bakar, dan sebagainya. (b) frasa verba, yaitu inti frasa tersebut berupa kata kerja. Misalnya: bekerja keras, dan berlari pagi. (c) frasa adverbia, yaitu inti frasa tersebut berupa kata keterangan. Misalnya: kemarin sore, dan menjelang malam. (d) frasa preposisional, yaitu inti frasa tersebut berupa kata depan. Misalnya: di kampus, dari Makassar. (e) frasa numeral, yaitu inti frasa tersebut berupa kata bilangan. Misalnya: sebungkus nasi, dan seribu ikat. (f) frasa adjektiva, yaitu inti frasa tersebut berupa kata sifat. Misalnya: cantik sekali, dan amat baik.

54

3) Kalimat

Kalimat adalah satuan gramatik yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun dan naik. Dalam wujud lisan kalimat diucapkan dengan suara naik turun, keras lemah, disertai jeda, dan diakhiri intonasi naik dan turun. Sedangkan dalam wujud tulisan kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik

(.), tanya (?), atau seru (!).

Ramlan (2001: 23) kalimat berdasarkan bentuk sintaksisnya dibagi menjadi empat jenis yaitu:

(a) Kalimat Berita atau Deklaratif

Kalimat berita merupakan kalimat yang berisi pemberitaan. Kalimat berita diakhiri dengan intonasi netral dan nada turun. Dalam kalimat berita tidak ada unsur yang ditonjolkan. Kalimat berita jika ditulis dalam kalimat diakhiri tanda titik.

(b) Kalimat Tanya atau Interogatif

Kalimat tanya adalah kalimat yang berisi pertanyaan seseorang kepada orang lain dengan tujuan untuk memeroleh jawaban dari pihak yang ditanya. Ciri-ciri kalimat tanya adalah intonasi yang digunakan intonasi tanya, diakhiri dengan nada naik, sering menggunakan kata tanya, dapat pula menggunakan partikel tanya –kah. Fungsi partikel –kah tersebut untuk memperluas pertanyaan.

Kalimat tanya dibagi menjadi dua jenis, yaitu kalimat tanya biasa dan kalimat tanya retoris. Kalimat tanya biasa merupakan kalimat yang 55

membutuhkan jawaban dari lawan bicarany, sedangkan kalimat retoris adalah kalimat yang tidak membutuhkan jawaban dari lawan bicaranya karena si penanya sebenarnya sudah mengetahui jawabannya. Kalimat tanya retoris biasanya digunakan untuk menyindir, mengejek, atau mengungkapkan kemarahan.

(c) Kalimat Perintah atau Imperatif

Kalimat perintah adalah kalimat yang isinya menyuruh orang lain untuk melakukan sesuatu yang kita kehendaki. Ciri-ciri kalimat perintah adalah mempergunakan intonasi perintah, diakhiri dengan nada naik pada akhir kalimat. Kata kerja yang mendukung isi perintah biasanya merupakan kata dasar dan mempergunakan partikel pengeras –lah.

Dalam bentuk tulis kalimat perintah diakhiri dengan tanda seru (!). Kalimat perintah berisi permohonan, ajakan, larangan, ejekan, atau harapan.

(d) Kalimat Seruan atau Ekslamatif

Kalimat seruan berisi seruan terhadap sesuatu. Kalimat seru menggunakan intonasi yang menunjukkan keheranan, pujian, terkejut, takut, menyapa, atau menawarkan sesuatu. Kalimat seruan diakhiri dengan nada naik. Dalam bentuk tulisan kalimat seruan diakhiri tanda seru (!).

3. Novel a. Pengertian Novel

Kata novel berasal dari kata latin novellus yang diturunkan dari kata novies yang berarti baru. Dikatakan baru karena jika dibandingkan dengan 56

jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, maka novel muncul kemudian (Tarigan, 1984: 164).

Menurut Wolf (dalam Tarigan, 1984: 164), roman atau novel adalah sebuah eksplorasi atau suatu kronik penghidupan; merenungkan atau melukiskan dalam bentuk tertentu, pengaruh, ikatan, hasil, kehancuran, atau tercapainya gerak-gerik manusia. Batos (dalam Tarigan, 1984: 164) juga mengemukakan bahwa novel adalah sebuah roman pelaku-pelaku dengan waktu muda, mereka menjadi tua, mereka bergerak dari sebuah adegan ke adegan yang lain, dari suatu tempat ke tempat yang lain.

Sejalan dengan pernyataan di atas, Nurgiyantoro (2002: 4) berpendapat bahwa novel sebagai suatu karya fiksi yang pada prinsipnya menawarkan sebuah dunia yang berisi model kehidupan yang ideal, imajiner, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti alur, tokoh, penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Berdasarkan dari beberapa teori di atas maka dapat disimpulkan bahwa novel adalah suatu karya sastra bersifat fiksi yang memberikan kesan estetik, sehingga para pembaca mendapatkan kesan tertentu yang dapat membangkitkan gairah senang, sakit, sedih dan sebagainya.

b. Unsur-unsur Novel

Nurgiyantoro (2002: 23) mengelompokkan unsur-unsur pembangun sebuah novel yang kemudian membentuk sebuah totalitas di samping 57

unsur formal bahasa. Adapun pembagian unsur yang dimaksud adalah unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik.

1) Unsur Instrinsik

Unsur intrinsik (intrinsich) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri dari dalam. Artinya yang benar-benar ada di dalam karya tersebut. Unsur intrinsik inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik novel adalah unsur- unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat novel berwujud.

Sebaliknya, jika dilihat dari sudut pembaca, unsur-unsur intrinsik inilah yang akan dijumpai jika pembaca membaca novel (Nurgiyantoro, 2002:

23). Unsur-unsur intrinsik novel terdiri atas tema, cerita, plot/pemplotan, penokohan, pelataran, penyudut pandangan, dan bahasa.

Tema merupakan unsur intrinsik novel yang pertama. Menurut

Hartoko dan Rahmanto (1986: 142), tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan- persamaan atau perbedaan-perbedaan. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema mempunyai generalisasi yang umum, lebih luas, dan abstrak. Dengan demikian, untuk menemukan tema sebuah novel, ia 58

haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita.

Cerita adalah unsur intrinsik novel yang kedua. Cerita (story) merupakan suatu hal yang amat esensial dalam novel. Cerita memiliki peranan sentral. Dari awal hingga akhir karya itu yang ditemui adalah cerita (Nurgiyantoro, 2002: 90).

Nurgiyantoro (2002: 33-34) juga telah menegaskan bahwa cerita merupakan hal yang fundamental dalam novel. Tanpa unsur cerita, eksistensi sebuah novel tak mungkin berwujud, sebab cerita merupakan inti sebuah novel. Bagus tidaknya cerita yang disajikan, selain memotivasi seseorang untuk membacanya, juga akan mempengaruhi unsur-unsur pembangun yang lain. Forster (1970: 35) mengartikan cerita sebagai sebuah narasi berbagai kejadian yang sengaja disusun berdasarkan urutan waktu. Seperti halnya Abrams (1981: 61) juga memberikan pengertian cerita sebagai sebuah urutan kejadian yang sederhana dalam urutan waktu. Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2002: 91) mengartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang terjadi berdasarkan urutan waktu yang disajikan dalam sebuah karya fiksi.

Unsur intrinsik novel yang ketiga adalah plot/pemplotan. Plot merupakan unsur intrinsik yang penting, bahkan tak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi yang lain. Menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2002: 113), plot/pemplotan adalah cerita yang berisi urutan kejadian tetapi tiap 59

kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat. Peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.

Penokohan adalah unsur intrinsik novel yang keempat. Sama halnya dengan unsur plot/pemplotan, penokohan merupakan unsur intrinsik yang penting dalam novel. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Jones dalam Nurgiyantoro, 2002: 165). Adapun Stanton (dalam

Baribin, 1985: 54) menyatakan bahwa penokohan dalam novel biasanya dapat dipandang dari dua segi. Pertama, mengacu kepada orang atau tokoh yang bermain-main dalam cerita. Kedua, mengacu kepada pembauran dari minat, keinginan, emosi, dan moral yang membentuk individu yang bermain dalam suatu cerita.

Pelataran adalah unsur intrinsik novel yang kelima. Latar/pelataran mempunyai pengertian tempat, hubungan waktu, lingkungan sosial, dan tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1981:

175). Pelataran memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah, sungguh-sungguh ada, dan terjadi. Pembaca merasa dipermudah untuk “mengoperasikan” daya imajinasinya, di samping dimungkinkan untuk berperan serta secara iritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar. Pembaca dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar yang diceritakan sehingga merasa lebih akrab. 60

Pembaca seolah-olah merasa menemukan dalam cerita itu sesuatu yang sebenarnya menjadi bagian dirinya. Hal ini akan terjadi jika latar mampu mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengan penokohannya ke dalam cerita (Nurgiyantoro, 2002: 217).

Unsur intrinsik novel yang keenam adalah penyudut pandangan.

Penyudut pandangan, point of view, viewpoint, merupakan salah satu unsur intrinsik yang oleh Stanton digolongkan sebagai sarana cerita, literary device. Walau demikian, hal itu tidak berarti bahwa perannya dalam novel tidak penting. Penyudut pandangan pada hakekatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam karya fiksi atau novel milik pengarang, pandangan hidup, dan tafsirannya terhadap kehidupan. Namun, kesemuannya itu dalam karya fiksi atau novel disalurkan lewat penyudut pandangan tokoh, lewat kacamata tokoh cerita (Nurgiyantoro, 2002: 246-248).

Unsur intrinsik novel yang ketujuh adalah bahasa. Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra. Di pihak lain sastra lebih dari sekedar bahasa, deretan kata tetapi unsur “kelebihannya” itu pun hanya dapat diungkap dan ditafsirkan melalui bahasa. Jika sastra dikatakan ingin menyampaikan sesuatu, mendialogkan sesuatu, maka sesuatu tersebut hanya dapat dikomunikasikan lewat sarana bahasa. Oleh karena itu, bahasa mempunyai fungsi penting sebagai fungsi komunikatif dalam sastra (Nurgiyantoro, 2002: 1). Unsur instrinsik kedelapan adalah amanat, 61

yaitu pesan yang disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Amanat dirumuskan sendiri oleh pembaca. Sikap dan pengalaman pembaca sangat berpengaruh kepada amanat cerita.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa unsur intrinsik dalam sebuah novel merupakan hal yang sangat penting karena unsur-unsur tersebut merupakan pembangun dalam sebuah penceritaan.

Demikian pula untuk memahami dan mengapresiasikan gaya bahasa novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja dan Telegram karya

Putu Wijaya, gaya pembungkusan bahasa yang digunakan oleh pengarang-pengarang tersebut akan terlihat karakteristik stile bahasa pada masa Angkatan 1945 dan Angkatan 1966-1970-an.

2) Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya satra tetapi sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walau demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkan. Pemahaman unsur ekstrinsik suatu karya, bagaimanapun, akan membantu dalam hal pemahaman makna karya itu mengingat bahwa karya sastra tak muncul dari situasi kekosongan budaya. 62

Sebagaimana halnya unsur instrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah unsur. Unsur-unsur yang dimaksud antara lain keadaan subjektivitas individu yang memiliki sikap, keyakinan, pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya tulisnya.

C. Kerangka Pikir

Penelitian ini berpijak pada kajian stilistika yang mengkaji tentang ilmu gaya bahasa atau cara-cara khas yang diungkapkan dengan cara tertentu dalam suatu karya sastra. Fokus penelitian ini adalah penggunaan gaya bahasa dalam novel Atheis karya Achdiat Karta

Mihardja dan novel Telegram karya Putu Wijaya dengan menggunakan teori gaya bahasa dari Keraf dan Nurgiantoro, untuk mendeskripsikan perbedaan dan persamaan gaya bahasa dalam kedua novel tersebut.

Hasil pendeskripsian gaya bahasa dari tiap novel akan memunculkan perbedaan dan persamaan pewujudan gaya bahasa. Untuk lebih jelasnya, alur dan sistematika penelitian ini akan tergambarkan pada bagan kerangka pikir berikut.

63

Gaya Bahasa dalam Novel Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja dan Novel Telegram Karya Putu Wijaya

Pewujudan Gaya Bahasa

Perbedaan Pewujudan Gaya Persamaan Pewujudan Gaya Bahasa dalam Novel Atheis Bahasa dalam Novel Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja Karya Achdiat Karta Mihardja dan Novel Telegram Karya Putu dan Novel Telegram Karya Putu Wijaya Wijaya

Perbedaan dan Persamaan Pewujudan Gaya Bahasa dalam Novel Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja dan Novel Telegram Karya Putu Wijaya

64

D. Definisi Operasional

1. Gaya bahasa adalah pilihan kata, frasa, atau kalimat yang

digunakan pengarang untuk menyatakan sesuatu dengan cara

yang khas. Pemilihan kata, frasa, atau kalimat tersebut bertujuan

untuk memperoleh efek tertentu atau efek estetis.

2. Pewujudan gaya bahasa adalah cara atau perbuatan mewujudkan

suatu gaya bahasa. Pewujudan gaya bahasa tersebut ditandai

oleh piranti linguistik yang mengandung gaya bahasa dalam tataran

kata, frasa, dan kalimat.

3. Perbedaan pewujudan gaya bahasa adalah hal yang berlainan atau

tidak sama dalam pewujudan gaya bahasa.

4. Persamaan pewujudan gaya bahasa adalah hal yang sama atau

serupa dalam pewujudan gaya bahasa.

65

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan stilistika. Endaswara (2003: 124) menyatakan bahwa penelitian kualitatif dilakukan dengan tidak mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antara konsep yang dikaji secara empiris.

Penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang mengidentifikasi, mengklasifikasi, menganalisis data yang telah diperoleh, dan pendeskripsiannya berupa penggambaran bahasa sebagaimana adanya (Sudaryanto, 1993: 62). Pendekatan stilistika digunakan untuk membahas dan membandingkan penggunaan gaya bahasa secara faktual yang terdapat dalam novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja dan novel

Telegram karya Putu Wijaya.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data penelitian ini adalah novel Atheis karya Achdiat Karta

Mihardja terbitan Pusat Bahasa, cetakan kelima (2010) dan novel

Telegram karya Putu Wijaya terbitan Balai Pustaka, cetakan pertama,

Jakarta (1973).

65 66

Jenis data dalam penelitian ini adalah data tertulis, yaitu gaya bahasa dalam novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja terbitan dan novel

Telegram karya Putu Wijaya.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Sudaryanto (1993: 36) mendefinisikan populasi sebagai jumlah keseluruhan pemakaian bahasa tertentu yang tidak diketahui batas- batasnya akibat dari banyaknya orang yang memakai (di sepanjang hidup penutur-penuturnya) dan luasnya daerah serta lingkungan pemakaian.

Ringkasnya, populasi pemakaian bahasa, baik yang akan dipilih maupun tidak dipilih untuk dianalisis. Oleh karena itu, populasi data penelitian ini adalah keseluruhan kalimat yang mengandung gaya bahasa dalam novel

Atheis karya Achdiat Karta Mihardja dan Telegram karya Putu Wijaya.

2. Sampel

Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara purposif. Purposif merupakan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu yang dipilih secara sengaja sesuai kebutuhan dalam membahas atau menganalisis permasalahan mengingat keterbatasan waktu yang ada dan kemampuan penulis. Sutopo (2002: 36) mengatakan bahwa pilihan sampel diarahkan pada sumber data yang dipandang memiliki data penting yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Adapun sampel yang digunakan dalam penelitian ini, 67

yaitu tiga data gaya bahasa pada masing-masing gaya bahasa yang digunakan dalam novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja dan Telegram karya Putu Wijaya.

Contoh kalimat :

 Ada kereta yang memekik, masuk ke dalam stasiun. (Wijaya, 1973: 49)  Aku jadi teringat masa lampau. Sambil memegang susunya, aku selalu merasa dibakar sunyi, kalau ia menggangguku dengan menceritakan saat-saat kematiannya. (Wijaya, 1973: 64)  Di jalan menjerit suara mobil pemadam kebakaran (Wijaya, 1973: 67)

D. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah metode simak. Menurut Mahsun (2013: 242) metode simak adalah metode yang digunakan untuk memperoleh data dengan melakukan penyimakan terhadap penggunaan bahasa. Teks dalam novel Atheis karya Achdiat

Karta Mihardja dan Telegram karya Putu Wijaya disimak dan diamati untuk mencari penggunaan majas yang terdapat dalam novel Atheis karya

Achdiat Karta Mihardja dan Telegram karya Putu Wijaya, kemudian ditandai, serta didokumentasikan untuk diinventarisasikan sebagai data dalam penelitian ini. Adapun teknik yang digunakan untuk melengkapi metode simak tersebut adalah teknik catat.

Teknik catat adalah teknik yang digunakan untuk mencatat data yang ditemukan. Teknik catat merupakan teknik yang digunakan untuk mencatat beberapa bentuk yang relevan bagi penelitian yang bersumber 68

dari penggunaan bahasa secara tertulis (Mahsun, 2013: 127). Teks novel

Atheis karya Achdiat Karta Mihardja dan Telegram karya Putu Wijaya dibaca, kemudian menandai kata-kata dalam teks novel yang mengandung majas. Semua data yang telah ditandai dalam novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja dan Telegram karya Putu Wijaya, selanjutnya disalin dalam kartu data untuk dianalisis.

Contoh kartu data :

No Kalimat Kutipan Kata Gaya Bahasa

1 Ada kereta yang memekik, Memekik personifikasi masuk ke dalam stasiun. (Wijaya, 1973: 49)

2 Aku jadi teringat masa dibakar sunyi Metafora lampau. Sambil memegang susunya, aku selalu merasa dibakar sunyi, kalau ia menggangguku dengan menceritakan saat-saat kematiannya. (Wijaya, 1973: 64)

3 Di jalan menjerit suara Menjerit personifikasi mobil pemadam kebakaran (Wijaya, 1973: 67)

69

E. Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul, langkah yang ditempuh selanjutnya adalah menganalisis data tersebut berdasarkan prinsip-prinsip analisis data deskriptif kualitatif. Penerapan langkah-langkah tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Identifikasi Data

Gaya bahasa yang terdapat dalam novel Atheis karya Achdiat

Karta Mihardja dan Telegram karya Putu Wijaya, diidentifikasi

berdasarkan jenis gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan dan

dijadikan data dalam penelitian ini.

2. Klasifikasi Data

Data-data yang diidentifikasi sebelumnya, diklasifikasikan

berdasarkan permasalahan yang ada, yakni persamaan dan

perbedaan pewujudan kategori kata yang membangun gaya bahasa

dalam novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja dan novel Telegram

karya Putu Wijaya.

3. Analisis Data

Data yang telah diklasifikasi, dianalisis dengan mendeskripsikan

secara mendetail persamaan dan perbedaan pewujudan gaya

bahasa.

4. Penyimpulan Hasil Analisis

Dalam tahap ini data-data yang dikumpulkan, disimpulkan sesuai

dengan tujuan penelitian, yaitu untuk pendeskripsian perbedaan 70

pewujudan gaya bahasa dalam novel Atheis dan novel Telegram, dan persamaan pewujudan gaya bahasa dalam novel Atheis dan novel

Telegram. Hasil penyimpulan tersebut pada akhirnya menjelaskan persamaan dan perbedaan gaya bahasa dalam novel Atheis karya

Achdiat Karta Mihardja dan novel Telegram karya Putu Wijaya.

71

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan hasil penelitian gaya bahasa yang terdapat dalam novel Atheis dan novel Telegram. Penelitian pewujudan gaya bahasa dalam novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja dan novel

Telegram karya Putu Wijaya merupakan upaya menelusuri pewujudan gaya bahasa (analisis jenis gaya bahasa dan kelas kata) yang digunakan dalam novel untuk mengungkap persamaan dan perbedaan gaya bahasa dalam novel Angkatan 1945 yang diwakili oleh novel Atheis dan novel

Angkatan 1966-70an yang diwakili oleh novel Telegram. Analisis perbandingan tersebut dapat berupa persamaan dan perbedaan gaya bahasa antara kedua novel. Pengamatan terhadap persamaan dan perbedaan gaya bahasa yang digunakan dalam novel Atheis dan novel

Telegram dilakukan dengan menganalisis novel berdasarkan jenis gaya bahasa.

Jenis gaya bahasa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jenis gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yang terdiri atas gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa retoris terdiri atas gaya bahasa aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis, apostrof, asidenton, polisidenton, kiasmus, elipsis, eufemismus, litotes, histeron proteron, pleonasme dan tautologi, perifrasis, prolepsis, erotesis, silepsis, koreksio, hiperbol, paradoks, dan oksimoron. Gaya bahasa Kiasan terdiri atas gaya

71 72

bahasa simile, metafora, alegori, personifikasi, alusio, eponim, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, satire, inuendo, antifrasis, paronomasia. Adapun pembentuk gaya bahasa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kata, frasa, dan kalimat yang mewujudkan gaya bahasa retoris dan kiasan dalam novel Atheis dan novel Telegram.

Mengingat fokus penelitian ini adalah mengungkap perbandingan gaya bahasa dalam novel Atheis dan novel Telegram, maka gaya bahasa yang diperbandingkan dalam penelitian ini adalah gaya bahasa yang ditemukan dalam novel Atheis dan novel Telegram. Hanya gaya bahasa yang terdapat dalam kedua novel tersebutlah yang diperbandingkan dalam penelitian ini.

Berdasarkan penelitian, pewujudan gaya bahasa dalam novel Atheis dan novel Telegram dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4. Perbandingan pewujudan gaya bahasa

No Jenis Majas Wujud Wujud dalam Novel Atheis dalam Novel Telegram

1 Hiperbola Verba dasar Verba transitif Meng- 2 Simile Nomina konkret Nomina konkret

3 Metafora Nomina konkret Nomina konkret 4 Personifikasi Verba transitif meng- Verba transitif meng- 5 Antonomasia Kata adjektiva Kata adjektiva 6 Sarkasme Kata adjektiva - 7 Metonimia Nomina konkret Nomina konkret

Berikut merupakan pemaparan hasil penelitian yang telah dilakukan.

73

A. Perbedaan Pewujudan Gaya Bahasa dalam Novel Atheis dan Novel Telegram

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat enam gaya bahasa yang ditemukan dalam novel Atheis dan novel Telegram. Dalam novel Atheis jenis gaya bahasa yang ditemukan adalah hiperbola, simile, metafora, personifikasi, antonomasia, dan sarkasme. Dalam novel

Telegram antara lain hiperbola, simile, metafora, personifikasi, antonomasia, dan metonimia.

Perbedaan pewujudan gaya bahasa terdapat dalam gaya bahasa hiperbola. Dalam novel Atheis pewujudan gaya bahasa hiperbola diwujudkan dengan verba dasar, sedangkan pewujudan gaya bahasa hiperbola dalam novel Telegram diwujudkan dengan verba transitif meng-.

Terdapat pula perbedaan dalam penggunaan jenis gaya bahasa dari kedua novel tersebut, yaitu dalam novel Atheis ditemukan gaya bahasa sarkasme tetapi dalam novel Telegram. Berikut merupakan pemaparan hasil penelitian yang telah dilakukan;

1. Hiperbola

Gaya bahasa hiperbola ditandai dengan pernyataan yang mengandung makna yang membesar-besarkan ukuran atau suatu hal.

Dalam novel Atheis dan novel Telegram, gaya bahasa hiperbola cenderung diwujudkan dengan verba tetapi dalam novel Atheis gaya bahasa hiperbola diwujudkan dengan verba dasar, misalnya kata tumpah, pecat, sedangkan dalam novel Telegram diwujudkan dengan verba transitif meng-kan, misalnya kata menghidupkan, menenggelamkan. Hal 74

tersebut berarti pewujudan gaya bahasa hiperbola dalam novel Atheis lebih sederhana sedangkan pewujudan gaya bahasa hiperbola dalam novel Telegram lebih kompleks atau kreatif.

Berikut merupakan contoh gaya bahasa hiperbola dalam novel

Atheis.

(1) Tiba-tiba dari tikungan Tuindorp, datanglah sebuah mobil sedan. Lampunya menyorot besar. Tumpah seluruh cahayanya kepada kami. aku serasa ditelanjangi. (Miharja, 1949: 86)

(2) Serasa hendak pecah dadaku, karena keriangan mendengar ajakan Rusli itu. (Miharja, 1949: 90)

(3) Mungkin dalam mata orang yang kolot dan konservatif, ia seolah-olah seorang wanita yang sudah pecat imannya. (Miharja, 1949: 35)

Kata tumpah pada kalimat (1), kata pecah pada kalimat (2), dan kata pecat pada kalimat (3) menjadi penanda gaya bahasa hiperbola pada kalimat-kalimat tersebut. Ketiga kata tersebut termasuk dalam kategori kelas kata verba dasar. Kata tumpah pada kalimat (1) memberi kesan yang melebih-lebihkan pada sorotan lampu mobil. Kata pecah pada kalimat (2) memberi kesan yang berlebihan pada keadaan atau perasaan subjek. Serta kata pecat pada kalimat (3) memberi kesan yang berlebihan pada keadaan iman seseorang.

Kata tumpah pada kalimat (1) untuk memaknai lampu mobil yang bersinar menunjukkan kesan yang berlebihan. Kata tumpah yang berarti tercurah keluar dari tempatnya tentang barang cair, barang yang berderai- derai, dan sebagainya (KBBI IV, 2008: 1499). Namun, penggunaan kata 75

tumpah pada kalimat tersebut membuat pembaca memvisualisasikan cahaya lampu sorot mobil tersebut tumpah. Padahal seperti yang diketahui secara umum, cahaya lampu sorot mobil identik dengan kata bersinar keluar (memancar).

(1) Tiba-tiba dari tikungan Tuindorp, datanglah sebuah mobil sedan. Lampunya menyorot besar. Bersinar seluruh cahayanya kepada kami. aku serasa ditelanjangi. (Miharja, 1949: 86)

Adanya penggunaan kata tumpah yang diidentikkan dengan cahaya lampu sorot mobil menunjukkan bahwa pengarang novel Atheis memperluas makna bersinar yang sebenarnya berarti memancar (tentang sinar); bercahaya (KBBI IV, 2008: 1311).

Kata pecah pada kalimat (2) memiliki makna terbelah menjadi beberapa bagian, retak atau rekah (KBBI IV, 2008: 1033). Kata pecah memiliki padanan bahasa sehari-hari, yaitu kata retak. Penggunaan kata pecah pada kalimat (2) tersebut menunjukkan bahwa pengarang novel

Atheis ingin memvisualisasi hati yang retak. Pilihan kata pecah pada contoh tersebut memberi kesan bahwa tokoh dalam novel mengalami kegembiraan yang amat sangat sehingga seakan-akan dada tokoh pecah.

Pada kalimat (3), kata pecat yang menjadi penanda gaya bahasa hiperbola dalam kalimat tersebut berarti melepaskan; mengeluarkan; membebaskan; mengabaikan (KBBI IV, 2008: 1034), sehingga maksud dari kata pecat dalam kalimat untuk menunjukkan keadaan iman tokoh, yang dalam konteks kalimat adalah untuk menunjukkan tokoh cerita yang sudah mengabaikan Tuhan sehingga imannya sudah rusak atau tidak 76

beriman lagi. Adapun padanan kata pecat pada kalimat (3) dalam bahasa sehari-hari adalah kata rusak untuk menunjukkan keadaan iman subjek pada kalimat tersebut. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengarang novel Atheis cenderung menggunakan kata verba dasar untuk memberi kesan visualisasi pada benda atau hal-hal yang ingin diterangkan.

Adapun contoh yang menunjukkan pewujudan gaya bahasa hiperbola dalam novel Telegram sebagai berikut;

(4) Ia mengguncang tanganku... (Wijaya, 1977: 99).

(5) Dokter Syubah, menghidupkan aku kembali. Setelah memeriksa bintik-bintik yang misterius itu, ia hanya menyangka aku kena alergi (Wijaya, 1977: 85).

Pada contoh kalimat (4), penanda majas hiperbola adalah kata mengguncang. Kata mengguncang yang berarti menggoyangkan kuat- kuat; menggerak-gerakkan hingga berguncang (KBBI IV, 2008: 1440) termasuk dalam kelas kata verba. Kata mengguncang yang diidentikkan dengan peristiwa menyebabkan sesuatu menjadi tidak tetap; tidak aman, tetapi dalam kalimat (4) dimaknai sebagai peristiwa atau sesuatu yang dapat dilakukan oleh tangan. Oleh karena itu, penggunaan kata mengguncang yang diidentikkan dengan tangan dalam kalimat (4) memberi kesan melebihkan fungsi atau hal yang dapat dilakukan oleh tangan.

Pada contoh kalimat (5), majas hiperbola ditandai dengan kata menghidupkan pada kalimat Dokter Syubah, menghidupkan aku kembali. 77

Kata menghidupkan berarti menjadikan (membuat, menyebabkan) hidup

(KBBI IV, 2008: 497). Penggunaan kata menghidupkan pada contoh kalimat (5) tersebut memberi kesan berlebihan, mengingat konteks pada kalimat (5) adalah tindakan dokter yang memberi obat kepada pasiennya.

Pengarang novel Telegram menyamakan tindakan dokter yang memberi obat kepada pasiennya dengan tindakan menghidupkan orang. Dalam contoh gaya bahasa hiperbola novel Telegram, fungsi imbuhan meng-kan adalah sebagai pembentuk kata kerja transitif.

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa dalam novel Atheis, pengarang cenderung menggunakan kelas kata verba dasar untuk menjadi penanda gaya bahasa hiperbola sedangkan dalam novel

Telegram pengarang cenderung menggunakan kelas kata verba transitif meng-kan untuk mewujudkan gaya bahasa hiperbola. Adapun makna kata-kata yang menjadi penanda gaya bahasa dalam konteks contoh kalimat memberi kesan yang melebih-lebihkan pada makna tindakan dan benda yang melekat pada kata penanda gaya bahasa hiperbola tersebut.

2. Sarkasme

Gaya bahasa sarkasme dalam novel Atheis diwujudkan dengan kelas kata adjektiva, yaitu kata gila. Gaya bahasa sarkasme hanya ditemukan dalam novel Atheis. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan bahasa dalam novel Atheis cenderung lebih kasar jika 78

dibandingkan dengan novel Telegram. Berikut merupakan contoh gaya bahasa sarkasme dalam novel Atheis:

(6) Gila dia! Kafir dia! Murtad dia! Pikirku. Hampir-hampir keluar kata-kata pikiran itu. (Miharja, 1949: 87)

Sarkasme ialah suatu acuan yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Gaya bahasa sarkasme akan selalu menyakiti hati dan kurang enak didengar. Pada contoh kalimat (6), gaya bahasa sarkasme ditandai dengan Gila dia!. Kata Gila berarti sakit ingatan (kurang beres ingatannya); sakit jiwa (sarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal)

(KBBI IV, 2008: 601). Kata Gila dalam konteks contoh di atas bermaksud untuk menyatakan kemarahan tokoh Hasan pada tokoh Rusli yang telah menyinggung kepercayaan tokoh Hasan.

Gaya bahasa sarkasme hanya ditemukan dalam novel Atheis, sedangkan dalam novel Telegram tidak ditemukan data gaya bahasa sarkasme. Dalam novel Atheis, pengarang cenderung menggunakan kelas kata adjektiva untuk mewujudkan penanda gaya bahasa sarkasme.

Penanda gaya bahasa sarkasme dalam novel Atheis yang berupa kata adjektiva berubah fungsi menjadi julukan untuk mencela. Selain itu, kata atau julukan yang menjadi penanda gaya bahasa sarkasme dalam novel

Atheis juga berfungsi sebagai pemberi keterangan atau memberi kesan tertentu untuk memaknai sifat-sifat tokoh cerita yang diberi julukan atau sindiran. 79

Data gaya bahasa sarkasme tidak ditemukan dalam novel

Telegram. Hal tersebut menunjukkan bahwa perbedaan penggunaan gaya bahasa pada novel Atheis dan novel Telegram, ditandai dengan adanya gaya bahasa sarkasme dalam novel Atheis, namun tidak ada dalam novel

Telegram.

B. Persamaan Pewujudan Gaya Bahasa dalam Novel Atheis dan Novel Telegram

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat empat gaya bahasa baik dalam novel Atheis maupun dalam novel Telegram yang memiliki kesamaan pewujudan gaya bahasa. Keempat gaya bahasa tersebut, yaitu metafora, simile, personifikasi, dan antonomasia. Berikut penjelasan keempat gaya bahasa tersebut.

1. Metafora

Gaya bahasa metafora baik dalam novel Atheis maupun novel

Telegram cenderung diwujudkan dengan kelas kata nomina konkret, misalnya kata buaya, bunga, dan lukisan. Hal ini berarti baik dalam novel

Atheis maupun dalam novel Telegram pewujudan gaya bahasa metafora tidaklah berbeda. Berikut merupakan contoh gaya bahasa metafora dalam novel Atheis.

(7) dua minggu yang lalu mereka masih merasa dirinya singa yang suka makan daging (Miharja, 1949: 1) (8) tapi sejurus kemudian muka-muka kuning bermata sipit itu berpaling lagi dengan tak acuh. (Miharja, 1949: 5) 80

(9) takut kalau-kalau aku akan menjadi buaya atau akan tersesat ke jalan pelacuran (Miharja, 1949: 21)

Kata singa pada kalimat (7) yang menjadi penanda gaya bahasa metafora dalam kalimat tersebut berarti binatang buas, bentuknya hampir sama dengan macan (KBBI IV, 2008: 419). Namun dalam konteks kalimat

(7), kata singa berarti sifat berani yang menggambarkan sifat para sekutu tokoh Rusli, yaitu para serdadu-serdadu dan opsir-opsir Kenpei Jepang.

Pada kalimat (8), frasa muka-muka kuning menjadi penanda gaya bahasa metafora. Kata muka berarti bagian depan kepala dari dahi atas sampai ke dagu dan antara telinga yang satu dan telinga yang lain (KBBI

IV, 2008: 41). Namun pada konteks kalimat (8), kata muka yang dirangkaikan dengan kata kuning secara harfiah berarti orang-orang yang memiliki wajah berwarna kuning. Dalam konteks kalimat (8), frasa muka- muka kuning berarti serdadu-serdadu dan opsir-opsir Kenpei Jepang.

Pada contoh (9), kata buaya berarti binatang melata berdarah dingin bertubuh besar dan berkulit keras, bernapas dengan paru-paru, hidup di air (KBBI IV, 2008: 301). Namun, dalam konteks kalimat (9), kata buaya memiliki makna orang yang berbahaya, buas; orang jahat atau penjahat, sehingga kata buaya dalam kalimat (9) merupakan metafora dari kata penjahat. Pengarang novel Atheis menyamakan binatang buaya dengan penjahat. Penyamaan subjek buaya dan penjahat menunjukkan bahwa pengarang ingin menunjukkan sifat tokoh yang seperti penjahat.

Adapun gaya bahasa metafora dalam novel Telegram cenderung diwujudkan dengan kelas kata nomina, seperti pada contoh berikut: 81

(10) Kenapa tidak. Kita ini bunga. Masih segar dipuja-puja, kalau sudah layu dibuang”. (Wijaya, 1977: 34) (11) Lukisan Pointilisme itu sudah mulai mengabur (Wijaya, 1977: 86) (12) Aku menikmati keadaan sekeliling dengan hati yang dingin (Wijaya, 1977: 143)

Gaya bahasa metafora dalam kalimat (10) ditandai dengan penggunaan kata bunga yang berarti bagian tumbuhan yang akan menjadi buah biasanya elok warnanya dan harum baunya; gambar hiasan; tambahan untuk memperindah; tanda-tanda baik (KBBI IV, 2008: 222).

Namun, dalam konteks kalimat tersebut, kata bunga berarti sesuatu yang dianggap elok atau cantik. Kata bunga pada kalimat tersebut merupakan metafora seorang gadis yang dianggap elok atau cantik.

Pada kalimat (11), gaya bahasa metafora ditandai dengan kata lukisan yang berarti gambar. Kata lukisan berarti hasil melukis; gambaran yang indah-indah; uraian yang melukiskan sesuatu (KBBI IV, 2008: 846).

Namun dalam konteks kalimat tersebut, frasa lukisan pointilisme merupakan metafora dari keadaan yang dialami oleh tokoh yang sebelumnya tubuh tokoh Aku penuh dengan bintik merah seperti lukisan pointilisme. Pengarang menyamakan lukisan pointilisme yang abstrak dengan bintik merah yang muncul di tubuh tokoh Aku.

Pada kalimat (12) yang menjadi penanda gaya bahasa metafora adalah frasa hati yang dingin. Kata hati berarti organ badan yang berwarna kemerah-merahan di bagian kanan atas rongga perut; jantung; sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian (KBBI IV, 2008: 82

487). Namun dalam konteks kalimat (12) hati yang dingin berarti perasaan tidak peduli yang dirasakan oleh tokoh Aku. Frasa hati yang dingin merupakan metafora dari perasaan yang dialami oleh subjek. Frasa Hati yang dingin dalam contoh mengandung arti tidak peduli akan keadaan sekitar.

Dari pemilihan kata sebagai penanda gaya bahasa, novel Telegram pemilihan kata penanda gaya bahasanya cenderung lebih beragam dibandingkan dengan novel Atheis. Hal tersebut terlihat pada penggunaan kata sebagai penanda gaya bahasa metafora dalam novel Atheis, sedangkan dalam novel Telegram penanda gaya bahasa metafora lebih beragam dengan penggunaan kata dan frasa.

2. Simile

Gaya bahasa simile dalam novel Atheis dan novel Telegram diwujudkan dengan kata terbanding nomina konkret, misalnya kata kucing, berlian, dan katak. Alat formal atau piranti linguistik yang menandai gaya bahasa simile baik dalam novel Atheis maupun dalam novel Telegram ditandai dengan kata seperti. Oleh karena itu, terdapat kesamaan pewujudan gaya bahasa baik dalam novel Atheis maupun dalam novel

Telegram. Beberapa contoh gaya bahasa simile dalam novel Atheis dapat dilihat sebagai berikut.

(13) Tapi dalam pada itu aku tetap meruncingkan pula telingaku untuk maksud kunjunganku itu. Seperti kucing yang sabar menunggu-nunggu kesempatan 83

untuk menyergap tikus yang sedang diintainya… (Miharja, 1949: 64) (14) Kebenaran dan kesempurnaan tersembunyi di dalam timbunan soal-soal itu, seperti berlian dalam timbunan rumput dan sampah yang berbukit-bukit besarnya. (Miharja, 1949: 71) (15) aku tak bisa mengekang pikiran dan khayal dan kenangan yang licin seperti belut itu menerobos lagi…(Miharja, 1949: 43) Contoh (13), (14), dan (15) menunjukkan gaya bahasa simile. Hal tersebut ditandai oleh kata seperti. Contoh (13) menunjukkan perbandingan antara kalimat aku tetap meruncingkan pula telingaku untuk maksud kunjunganku itu dengan kucing yang sabar menunggu-nunggu kesempatan untuk menyergap tikus yang sedang diintainya. Pembanding pada contoh (13) adalah kata Aku sedangkan yang menjadi terbanding adalah kata kucing. Kata aku pada contoh (13) yang berarti kata ganti orang pertama yang berbicara atau yang menulis; diri sendiri; saya (KBBI

IV, 2008: 32). Dalam konteks kalimat (13), kata Aku dideskripsikan dapat meruncingkan telinga atau dapat mendengar dengan sangat baik. Kata kucing yang berarti binatang mamalia pemakan daging yang berukuran kecil sampai sedang (KBBI IV, 2008: 748), yang dalam konteks kalimat

(13) menjadi kata terbanding dari kata aku. Kedua kalimat memperlihatkan pertalian maksud yang sama, yaitu ingin memperoleh sesuatu yang diinginkannya.

Pada contoh (13), topik utama terdapat dalam kalimat pembanding, yaitu aku tetap meruncingkan pula telingaku untuk maksud kunjunganku itu. Untuk memperkuat kesan yang menyatakan keseriusan tindakan 84

tokoh Aku dalam mendengarkan sesuatu, pengarang novel Atheis menambahkan kalimat terbanding yaitu kucing yang sabar menunggu- nunggu kesempatan untuk menyergap tikus yang sedang diintainya, sehingga fungsi kalimat terbanding dalam contoh (13) adalah memperjelas makna atau memperkuat kesan kalimat pembanding.

Contoh (14) menunjukkan perbandingan dua kalimat yang berbeda tetapi dianggap mempunyai maksud yang sama, yaitu kebenaran dan kesempurnaan tersembunyi di dalam timbunan soal-soal itu dengan berlian dalam timbunan rumput dan sampah yang berbukit-bukit besarnya.

Kata kebenaran berarti keadaan yang cocok dengan hal yang sesungguhnya (KBBI IV, 2008: 168), sedangkan kata kesempurnaan berarti hal atau keadaan yang sempurna (KBBI IV, 2008: 1265) dideskripsikan tersembunyi atau dirahasiakan (KBBI IV, 2008: 1261).

Adapun kata berlian berarti intan yang diasah baik-baik (KBBI IV, 2008:

180), yang dalam konteks kalimat (14) menjadi pembanding kata kebenaran dan kesempurnaan. Perbandingan antara kalimat pembanding dan terbanding menciptakan makna kesempurnaan seseorang tersembunyi dari segala perilakunya. Pengarang novel Atheis pada contoh

(14) ingin menunjukkan bahwa kebenaran dan kesempurnaan sama nilainya seperti berlian sehingga penggunaan kata berlian sebagai kata terbanding memperluas makna dari kata pembanding yaitu kebenaran dan kesempurnaan. 85

Pada contoh (15) terlihat adanya dua hal yang berbeda tetapi dianggap mempunyai kesamaan. Hal tersebut dapat dilihat pada kalimat aku tak bisa mengekang pikiran dan khayal dan kenangan yang licin dengan belut itu menerobos lagi. Kata kenangan yang menjadi pembanding dalam contoh (15) berarti sesuatu yang membekas dalam ingatan; kesan; kesan dalam ingatan (KBBI IV, 2008: 496) dibandingkan atau diibaratkan sebagai belut yang berarti ikan air tawar dan payau, berbentuk memanjang mencapai 100 cm, hidup di dasar perairan tropis dan berlumpur, tersebar di perairan singai dan lembah wilayah Asia (KBBI

IV, 2008: 463). Kedua kalimat tersebut diasosiasikan karena kenangan dalam konteks kalimat contoh (15) selalu muncul timbul tenggelam dalam pikiran tokoh cerita sehingga kenangan tersebut dianggap menyerupai belut. Pada contoh (15), pengarang cenderung menggunakan gaya bahasa simile untuk mendefinisikan kalimat pembanding dengan kalimat terbanding, sehingga kalimat pembanding aku tak bisa mengekang pikiran dan khayal dan kenangan yang licin didefinisikan oleh kalimat terbanding belut itu menerobos lagi.

Adapun beberapa contoh pewujudan gaya bahasa simile dalam novel Telegram dapat dilihat sebagai berikut.

(16) Kita memerlukan keyakinan seperti Mishima, seorang pengarang yang membunuh diri tanpa faktor lain kecuali keinginannya memenuhi target. (Wijaya, 1977: 17)

(17) “Aku mengembara sendirian sejak tadi seperti Asrul Sani mengembara mencari Tuhan” (Wijaya, 1977: 31) 86

(18) Betapa menakjubkannya kalau tiba-tiba teringat bahwa seringkali kalimat-kalimat itu telah melompat dari mulut kita seperti katak, tanpa kita kehendaki sendiri. (Wijaya, 1977: 60)

Contoh (16), (17), dan (18) menunjukkan gaya bahasa simile dengan penanda gaya bahasa kata seperti. Contoh (16) menunjukkan perbandingan dua kalimat yang berbeda tetapi dianggap mempunyai maksud yang sama, yaitu kita memerlukan keyakinan dengan Mishima, seorang pengarang yang membunuh diri tanpa faktor lain kecuali keinginannya memenuhi target. Kata keyakinan yang menjadi pembanding dalam contoh (16) berarti kepercayaan yang sungguh- sungguh (KBBI IV, 2008: 1566) dibandingkan dengan kata Mishima yang merupakan seorang pengarang. Kedua kalimat tersebut bermakna menumbuhkan keyakinan dalam diri dan fokus untuk mencapai sesuatu yang diinginkan. Pengarang novel Telegram dalam contoh (16) cenderung mendefiniskan pembanding dengan kalimat terbanding sehingga kalimat kita memerlukan keyakinan sebagai pembanding didefinisikan dengan kalimat terbanding Mishima, seorang pengarang yang membunuh diri tanpa faktor lain kecuali keinginannya memenuhi target.

Demikian pula pada contoh (17) terlihat adanya dua hal yang berbeda tetapi dianggap mempunyai kesamaan. Hal tersebut dapat dilihat pada kalimat Aku mengembara sendirian sejak tadi dengan Asrul Sani mengembara mencari Tuhan. Kedua kalimat tersebut diasosiasikan karena kegiatan subjek yang mengembara disamakan dengan Asrul Sani yang mengembara mencari Tuhan. Pada contoh (17), pengarang novel 87

Telegram kembali mendefinisikan kalimat pembanding dengan pengandaian kalimat terbanding sehingga kalimat pembanding Aku mengembara sendirian sejak tadi didefinisikan seperti Asrul Sani mengembara mencari Tuhan yang menjadi kalimat terbanding.

Pada contoh (18), kata kalimat yang berarti kesatuan ujar yang mengungkapkan suatu konsep pikiran dan perasaan; perkataan (KBBI IV,

2008: 609) dianggap mempunyai kesamaan dengan katak yang berarti binatang amfibi pemakan serangga yang hidup di air tawar atau di daratan; hendak menyamai orang besar atau kaya; sombong; congkak; sangat gaduh (KBBI IV, 2008: 634), sehingga digunakannya kata kalimat sebagai pembanding dan kata katak sebagai terbanding menunjukkan makna bahwa kalimat atau ucapan itu seperti katak yang gaduh. Pada contoh (18), fungsi kalimat terbanding adalah memperjelas makna atau memperkuat kesan kalimat pembanding.

Simile adalah gaya bahasa perbandingan yang bersifat eksplisit, yang langsung meyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, diperlukan upaya yang secara eksplisit untuk menunjukkan kesamaan itu, yaitu dengan penggunaan kata-kata: seperti, bagaikan, laksana, dan sebagainya. Pada novel Atheis dan novel Telegram, penggunaan alat formal untuk menyatakan gaya bahasa simile hanya kata seperti.

Secara umum baik dalam novel Atheis maupun dalam novel

Telegram terlihat bahwa pengarang berusaha menarik perhatian pembacanya dengan menggunakan perbandingan-perbandingan atau 88

gaya bahasa perbandingan tentang suatu hal. Gaya bahasa simile yang digunakan Achdiat Karta Miharja dan Putu Wijaya dalam novelnya berfungsi sebagai alat untuk memperkuat efek terhadap gagasan yang disampaikan. Gaya bahasa dapat membuat pembaca atau pendengar terkesan terhadap gagasan yang disampaikan penulis. Selain itu, gaya bahasa simile dalam novel juga berfungsi sebagai alat untuk menciptakan keadaan perasaan hati tertentu. Penggunaan gaya bahasa simile juga menunjukkan bahwa pengarang ingin memperlihatkan „sudut pandang‟ yang lain tentang suatu hal dengan memperbandingkan hal tersebut dengan hal lainnya.

3. Personifikasi

Gaya bahasa personifikasi baik dalam novel Atheis maupun dalam novel Telegram cenderung diwujudkan dengan kelas kata verba transitif meng-, misalnya kata menepuk, memecah, menekan. Dalam novel Atheis, gaya bahasa personifikasi terlihat dalam kalimat berikut:

(19) Kadang-kadang piring seng jatuh, bergelemprang suaranya menepuk ketenangan masa subuh yang masih sunyi (Miharja, 1949: 14).

(20) Kerikil berkerecek di bawah bakiakku memecah kesunyian malam (Miharja, 1949: 80).

(21) Kelesuan yang selama itu menekan jiwaku, sekarang sudah tidak ada lagi (Miharja, 1949: 91).

Personifikasi mengandung suatu unsur persamaan. Jika metafora dan simile membuat perbandingan antara suatu hal dengan hal lainnya, 89

maka personifikasi hal yang diperbandingkan adalah benda-benda mati yang diinsankan atau hal yang dibandingkan seolah-olah berwujud seperti manusia. Pada kalimat (19), kata suara yang berarti bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia; bunyi binatang, alat perkakas, dan sebagainya; ucapan (perkakas); bunyi bahasa (KBBI IV, 2008: 1145), dipersonifikasikan dapat menepuk. Pada kalimat (20), kata kerikil yang berarti butiran batu yang lebih besar daripada pasir (KBBI IV, 2008: 680) dipersonifikasikan dapat memecah keadaan sunyi. Serta pada kalimat

(21), kata kelesuan yang berarti kekurangan tenaga; kehilangan semangat

(KBBI IV, 2008: 821), dipersonifikasi dapat menekan jiwa. Dari ketiga contoh di atas terlihat bahwa benda-benda yang seolah-olah dapat melakukan sesuatu, atau nomina tak bernyawa (suara, kerikil, dan kelesuan), dipersonifikasi dapat melakukan tindakan menepuk, memecah, dan menekan.

Berdasarkan struktur bahasa yang membentuk, majas personifikasi dibentuk oleh kata dengan konstruksi terbanding dan pembanding.

Konstruksi terbanding dibentuk oleh nomina tak bernyawa (suara, kerikil, dan kelesuan). Sedangkan konstruksi pembanding dibentuk oleh verba berafiks meng- (menepuk, memecah, dan menekan).

Adapun pewujudan gaya bahasa personifikasi dalam novel

Telegram yang diwujudkan dengan kelas kata verba transitif meng- dapat dilihat pada contoh berikut:

90

(22) Matahari memaksa diri memanjat langit (Wijaya, 1977: 44). (23) Ada kereta yang memekik, masuk ke dalam stasiun (Wijaya, 1977: 49). (24) …. seringkali kalimat-kalimat itu telah melompat dari mulut kita (Wijaya, 1977: 60). Majas personifikasi ditandai dengan adanya persamaan antara suatu hal, yang dalam hal ini benda mati, dengan hal yang diperbandingkan. Pada contoh kalimat (22), matahari yang berarti benda angkasa yang merupakan titik pusat tata surya (KBBI IV, 2008: 887) dipersonifikasikan dapat memanjat. Pada contoh kalimat (23), kereta yang berarti kendaraan yang beroda dua atau empat (KBBI IV, 2008: 679) dipersonifikasikan dapat memekik. Pada kalimat (24), kata kalimat yang berarti kesatuan ujar yang mengungkapkan suatu konsep pikiran dan perasaan; perkataan (KBBI IV, 2008: 609) dipersonifikasikan dapat melompat. Sehingga, dari contoh majas personifikasi di atas terlihat bahwa kelompok benda mati (matahari, kereta, dan kalimat) dilukiskan dapat melakukan perbuatan atau tindakan (memanjat, memekik, dan melompat). Dari segi struktur kebahasaan, majas personifikasi ditandai oleh kata kerja atau verba berafiks dengan pembanding kata nomina.

Adapun makna kata penanda gaya bahasa personifikasi memberi perluasan makna pada kata nomina yang terdapat dalam contoh, misalnya kata matahari yang dirangkaikan dengan kata memanjat memberi perluasan makna pada kata memanjat yang biasanya identik dengan pohon atau tembok. 91

4. Antonomasia

Gaya bahasa antonomasia dalam novel Atheis dan novel Telegram diwujudkan dengan kelas kata adjektiva, misalnya kata curiga, kecewa, tua. Dalam novel Atheis pewujudan gaya bahasa antonomasia terlihat dalam contoh berikut:

(25) Pak Curiga sedang bicara, tegas suaranya, matanya berkedip-kedipan atau memicing sebelah, kadang- kadang suaranya berdesis-desis berbisik (Miharja, 1949: 58).

(26) Mas Dongkol memberengut seperti jeruk masam, meludah-ludah, menyikut ke kiri menyikut ke kanan, merajuk-rajuk (Miharja, 1949: 58).

(27) Nona Kecewa berkecak-kecak dalam mulutnya sambil menggigit-gigit ujung saputangannya (Miharja, 1949: 58).

(28) Empo Marah membentak-bentak dan merentak-rentak kakinya dengan menyingsingkan kainnya sedikit ke atas (Miharja, 1949: 58).

(29) Siti cemburu menggaung-gaung seperti anjing melolong-lolong di malam purnama (Miharja, 1949: 58).

Pada contoh kalimat (25), majas antonomasia ditandai oleh kata curiga yang melekat pada panggilan Pak yang berarti orang tua laki-laki atau ayah; orang yang dipandang sebagai orang tua atau orang yang dihormati kesatuan ujar yang mengungkapkan suatu konsep pikiran dan perasaan; perkataan (KBBI IV, 2008: 138). Pada contoh kalimat (26), majas antonomasia ditandai dengan pemberian julukan dongkol pada kata mas yang merupakan sapaan untuk saudara tua laki-laki atau laki-laki 92

yang dianggap lebih tua kesatuan ujar yang mengungkapkan suatu konsep pikiran dan perasaan; perkataan (KBBI IV, 2008: 881). Pada contoh kalimat (27), majas antonomasia ditandai oleh kata kecewa yang melekat pada kata nona yang berarti sebutan bagi anak perempuan atau wanita yang belum menikah (KBBI IV, 2008: 967). Pada contoh kalimat

(28), majas antonomasia ditandai dengan penggunaan kata marah yang melekat pada kata empo yang berarti kakak perempuan; sapaan untuk orang perempuan yang lebih tua (KBBI IV, 2008: 370). Serta pada contoh kalimat (29), majas antonomasia ditandai dengan penggunaan kata cemburu pada nama siti yang merupakan salah satu nama tokoh dalam novel Atheis.

Penggunaan kata curiga, dongkol, kecewa, marah, dan cemburu yang menandakan majas antonomasia, menunjukkan bahwa pengarang pada novel Atheis cenderung menggunakan kata sifat untuk mendeskripsikan orang (pak, mas, nona, empo, dan siti). Penggunaan kata sifat tersebut dapat bertujuan untuk mendeskripsikan sifat yang melekat pada diri tokoh dalam novel tersebut. Sedangkan, untuk struktur kebahasaan yang membentuk majas antonomasia terlihat bahwa dalam contoh cenderung berstruktur kata sifat yang melekat pada kata benda.

Pengarang dalam novel Atheis cenderung menggunakan gaya bahasa antonomasia untuk mejelaskan sifat tokoh cerita dalam novel.

Dalam novel Telegram, majas antonomasia ditunjukkan oleh kalimat berikut : 93

(30) Siang itu banyak yang periksa sehingga aku terpaksa melewatkan waktu dengan Max Tua tukang parker. Ia sudah lupa padaku, tetapi pura-pura saja ingat (Wijaya, 1977: 54). (31) Kantor sudah sepi. Kujumpai Pak Tua sedang mandi. Dua orang reporter masih bergulat dengan mesin tik mengejar dead-line. (Wijaya, 1977: 62). (32) Sayup-sayup terdengar suara sirine. Pak Tua berhenti bercerita. Aku keluar dari pikiranku. Pada saat itu lampu mati. Di jalan menjerit suara mobil pemadam kebakaran. “Kebakaran!” teriak Pak Tua (Wijaya, 1977: 67).

Majas antonomasia adalah gaya bahasa yang biasanya berwujud kata sifat, kata benda, atau frasa yang biasa digunakan untuk meremehkan atau menghina orang atau benda. Pada contoh kalimat (30), majas antonomasia ditandai oleh kata Tua yang melekat pada nama Max.

Pada contoh kalimat (31), majas antonomasia ditandai oleh kata Tua pada panggilan pak yang berarti orang tua laki-laki atau ayah; orang yang dipandang sebagai orang tua atau orang yang dihormati kesatuan ujar yang mengungkapkan suatu konsep pikiran dan perasaan; perkataan

(KBBI IV, 2008: 138). Serta pada contoh kalimat (32), majas antonomasia juga ditandai oleh kata Tua yang melekat pada nama atau panggilan pak yang berarti orang yang dipandang sebagai orang tua atau orang yang dihormati kesatuan ujar yang mengungkapkan suatu konsep pikiran dan perasaan (KBBI IV, 2008: 138).

Penggunaan kata Tua sebagai penanda majas antonomasia dalam novel Telegram menunjukkan bahwa pengarang novel tersebut cenderung menggunakan kata sifat tua untuk memberi identifikasi kepada subjek 94

(Max, Pak). Untuk struktur kebahasaan yang membentuk majas antonomasia dalam novel Telegram, terlihat bahwa majas antonomasia berstruktur kata sifat yang melekat pada kata benda. Penggunaan kata sifat sebagai penanda gaya bahasa antonomasia bertujuan untuk mendeskripsikan sifat yang melekat pada tokoh dalam novel tersebut.

5. Metonimia

Pewujudan gaya bahasa metonimia dalam novel Telegram diwujudkan dengan kelas kata nomina konkret, misalnya kata garuda, gambir, dan benson. Adapun dalam novel Atheis juga diwujudkan dengan kelas kata nomina konret seperti; Lux, pomade, sigaret, dan haseline.

Penggunaan gaya bahasa metonimia dalam novel Atheis dan Telegram menunjukkan bahwa pengarang mulai cenderung mempergunakan ikon atau merek tertentu untuk menyatakan benda yang memiliki pertalian yang sangat dekat dengan benda yang ingin dinyatakan. Berikut merupakan contoh gaya bahasa metonimia dalam novel Telegram:

(33) Aku meneguk coca-cola, sambil menghembus- hembuskan asap rokok Benson (Wijaya, 1977: 5). (34) Pukul sembilan atau pukul sepuluh malam, masih ada Garuda yang terbang ke Denpasar kalau tohh diniatkan begitu (Wijaya, 1977: 46). (35) Kami sampai di Gambir dengan selamat. Untung kereta api BIMA terlambat empat jam karena ada perbaikan jembatan di Jawa Tengah (Wijaya, 1977: 47). (36) Seluruh tubuh rasanya seperti barusan dilindas stoom (Wijaya, 1977: 61). 95

(37) Aku menghisap Benson yang kelima (Wijaya, 1977: 118). Pada contoh kalimat (33) di atas, majas metonimia ditandai dengan penggunaan kata coca-cola. Kata coca-cola merupakan merek minuman bersoda produksi coca-cola comp sehingga penggunaan kata coca-cola menunjukkan bahwa tokoh sedang meminum minuman bersoda. Pada contoh kalimat (34), majas metonimia ditandai dengan penggunaan kata garuda. Kata Garuda dalam kalimat tersebut merujuk pada nama salah satu maskapai penerbangan di Indonesia. Penggunaan kata Garuda dalam kalimat tersebut menunjukkan nama pesawat atau maskapai penerbangan yang akan dipakai tokoh Aku untuk pulang ke kampung halamannya. Pada contoh kalimat (35), majas metonimia ditandai dengan penggunaan kata Gambir. Kata gambir pada kalimat tersebut merujuk pada nama stasiun kereta api di Jakarta, sehingga dalam konteks kalimat kata gambir digunakan pengarang untuk menunjukkan setting atau latar tempat kejadian di dalam novel. Pada contoh kalimat (36), majas metonimia ditandai dengan penggunaan kata stoom. Kata stoom pada kalimat tersebut merujuk pada alat yang digunakan untuk meratakan jalanan. Pada contoh kalimat (37), kata Benson menjadi penanda majas metonimia. Kata benson pada kalimat tersebut merujuk pada nama rokok yang ada di Indonesia.

Adapun contoh gaya bahasa metonimia dalam novel Atheis dapat dilihat dalam kalimat berikut: 96

(38) Maka ucapan "mataku seperti lengket" dari mulut Rusli itu pun, malah hanya menimbulkan asosiasi pikiran kepada rambutnya saja yang lengket karena tebalnya pomade. (Miharja, 1949: 81) (39) Kulit mukanya yang agak kasar itu sekarang menjadi halus nampaknya karena memakai "Hazeline Snow". (Miharja, 1949: 81) (40) Wangi "Soir de Paris" terhambur, ketika sapu tangan itu terayun dari sakunya ke leher. (Miharja, 1949: 109) (41) "Mari merokok!" (riang tersenyum menyodorkan sebuah selapa dari perak bakar yang berisi sigaret Mascot dan cerutu. Kemudian sambil bangkit)... (Miharja, 1949: 119)

Pada kalimat (38) yang menjadi penanda gaya bahasa metonimia adalah kata pomade. Kata pomade merek produk perawatan rambut.

Pada kalimat (39) yang menjadi penanda gaya bahasa metonimia adalah kata hazeline yang dalam konteks kalimat tersebut merupakan nama produk untuk kulit. Penanda gaya bahasa metonimia dalam contoh kalimat

(40) adalah kata Soir de Paris yang merupakan merek parfum. Pada contoh kalimat (41) kata sigaret Mascot menjadi penanda gaya bahasa metonimia. Kata sigaret Mascot merupakan merek rokok.

Berdasarkan struktur kebahasaan yang membentuk, majas metonimia ditandai dengan penggunaan kata yang merujuk pada nama merek minuman, maskapai penerbangan, nama stasiun kereta api, nama alat, nama rokok, nama produk perawatan rambut, nama parfum, dan produk perawatan kulit. Bentuk kata yang digunakan sebagai penanda majas metonimia adalah kata yang termasuk dalam kelas kata nomina dasar. Kecenderungan penggunaan nama merek dagang, nama alat, dan 97

nama maskapai penerbangan menunjukkan bahwa pengarang novel

Atheis dan Telegram ingin memberikan gambaran atau visualisasi lebih jelas mengenai barang atau benda yang digunakan, yang dibicarakan, atau yang didatangi oleh tokoh cerita dalam novel, sehingga penggunaan merek dagang, nama maskapai penerbangan, dan nama alat yang menjadi penanda gaya bahasa metonimia dalam novel Atheis dan

Telegram bertujuan untuk memberi penjelasan atau petunjuk yang lebih rinci.

Persamaan pewujudan gaya bahasa antonomasia dalam novel

Atheis dan novel Telegram diwujudkan dengan kelas kata nomina konkret. Kelas kata nomina konkret pada novel Atheis dan novel Telegram diwujudkan dengan kata yang menunjukkan nama merek dagang, nama maskapai penerbangan, dan nama alat. Hal tersebut menunjukkan bahwa pewujudan gaya bahasa antonomasia dalam novel Atheis dan novel

Telegram terdapat persamaan.

98

BAB V

PENUTUP

A. SIMPULAN

Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu; (1) untuk mendeskripsikan perbedaan pewujudan gaya bahasa dalam novel Atheis dan novel

Telegram; dan (2) mendeskripsikan persamaan pewujudan gaya bahasa dalam novel Atheis dan novel Telegram. Hasil penelitian pada bab sebelumnya menunjukkan bahwa pengarang dalam novel Atheis dan

Telegram menggunakan diksi dari kategori kata tertentu untuk mewujudkan gaya bahasa dalam kedua novel tersebut.

Perbedaan pewujudan gaya bahasa dalam novel Atheis dan novel

Telegram terdapat dalam gaya bahasa hiperbola. Gaya bahasa hiperbola dalam novel Atheis diwujudkan dengan verba dasar misalnya kata tumpah, pecah, dan pecat, sedangkan dalam novel Telegram diwujudkan dengan verba transitif meng- misalnya kata menghidupkan. Hal ini berarti pewujudan gaya bahasa hiperbola dalam novel Atheis lebih sederhana, sedangkan dalam novel Telegram lebih kreatif.

Untuk penggunaan gaya bahasa sarkasme dalam novel Atheis

(karya sastra Angkatan 1945) menunjukkan bahwa bahasa sastra pada karya sastra Angkatan 1945 cenderung lebih kasar jika dibandingkan dengan bahasa karya sastra Angkatan 1966-70an (dalam novel

Telegram).

98 99

Persamaan pewujudan gaya bahasa dalam novel Atheis dan novel

Telegram terdapat pada gaya bahasa metafora, simile, personifikasi, antonomasia, dan metonimia. Gaya bahasa metafora dalam novel Atheis dan novel Telegram diwujudkan dengan kelas kata nomina konkret, misalnya kata buaya, bunga, dan lukisan. Gaya bahasa simile baik dalam novel Atheis maupun dalam novel Telegram diwujudkan dengan kelas kata nomina konkret misalnya kata kucing, berlian, dan katak. Alat formal atau piranti linguistik ditandai dengan kata seperti. Gaya bahasa personifikasi dalam novel Atheis dan novel Telegram diwujudkan dengan kelas kata verba intransitif meng- misalnya kata memecah, memanjat, dan melompat, serta gaya bahasa antonomasia baik dalam novel Atheis maupun dalam novel Telegram diwujudkan dengan kata adjektiva misalnya kata curiga, kecewa, dan tua. Gaya bahasa metonimia baik dalam novel Atheis maupun dalam novel Telegram diwujudkan dengan kels kata nomina konkret, misalnya pomade, hazeline, dan garuda. Hal ini berarti corak bahasa atau pola bahasa dalam novel Atheis dan novel

Telegram tidak jauh berbeda, sehingga tidak ada dinamika perubahan gaya bahasa yang signifikan.

B. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap penggunaan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna dalam novel Atheis dan novel Telegram, terlihat bahwa dalam novel Atheis 100

penggunaan gaya bahasa yang paling dominan adalah metafora, sedangkan dalam novel Telegram penggunaan gaya bahasa yang paling dominan adalah simile. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian

Listyorini (2013) yang menyatakan bahwa gaya bahasa yang paling banyak dalam novel Atheis adalah gaya bahasa simile. Oleh karena itu, bagi peneliti yang tertarik meneliti gaya bahasa dapat menganalisis novel

Atheis dari perspektif lainnya, misalnya menganalisis gaya bahasa novel

Atheis berdasarkan pilihan kata ataupun struktur kalimatnya.

Untuk peneliti selanjutnya yang ingin meneliti perbandingan gaya bahasa antara karya sastra Angkatan 1945 dan karya sastra Angkatan

1966-70an, sebaiknya menambah objek penelitian dari pengarang lainnya. Penambahan objek penelitian tersebut dilakukan agar data yang diperbandingkan semakin banyak. Melalui penelitian tersebut akan terlihat ciri kolektif gaya bahasa karya sastra pada Angkatan 1945 dan karya sastra Angkatan 1966-70an. Dalam bidang pengajaran sastra, penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai rujukan informasi mengenai pola penggunaan gaya bahasa dalam novel Atheis karya Achdiat Karta Miharja dan novel Telegram karya Putu Wijaya. Namun bagi peneliti selanjutnya yang tertarik menganalisis objek kajian dengan pendekatan yang sama, harus menambahkan objek kajian atau karya sastra dari Achdiat Karta

Miharja dan Putu Wijaya yang lainnya untuk melihat ciri pribadi kedua pengarang tersebut.

101

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1979. The Mirror and The Lamp, Romantic Theory and The Critical Tradition. London New York: Oxford University Press.

. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Ahmadi, M. 1990. Dasar-dasar Komposisi Bahasa Indonesia. Malang: Yayasan Asah Asih Asuh.

Angelia, Fiona. 2008. Periodesasi Sastra Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Baribin, Raminah. 1985. Teori Apresiasi Prosa Fiksi. Semarang: IKIP Negeri Press.

Black, Elizabeth. 2011. Stilistika Pragmatik. : Pustaka Pelajar.

Chaer, Abdul. 2012. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Chapman. 1977. The Behaviour and Design of Stell Structures. Madison: University of Wisconsin. Culler, Jonathan. 1975. Structuralist Poetic: Structuralisme Linguistic and The Study of Literature. London: Routhledge & Kegan Paul. Darwis, Muhammad. 2002. “Pola-pola gramatikal dalam penulisan puisi Indonesia.” Jurnal ilmiah nasional terakreditasi DIKTI. Linguistik Indonesia, Volume 20, No.1. . 2009. “Kelainan Ketatabahasaan dalam Puisi Indonesia: Kajian Stilistika”. Diunduh pada pukul 09.00, tanggal 10 Desember 2017 pada situs www.respository.unhas.ac.id.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra (Epistemologis, Model, Teori dan Aplikasi). Yogyakarta: PN. Pustaka Widyatama.

Forster, E.M. 1970. Aspect The Novel. Harmondswort: Penguin Book.

Hartoko, Dick dan Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Idris. 2012, “Katakteristik Bentuk Kebahasaan Mantra: Kajian Stilistika”. Tesis. Makassar: Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

101 102

Imron, Ali. 2009 . Stilistika, Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Solo: Cakra Books.

Jabrohim. 2000. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

Junus, Umar. 1989. Stilistika satu pengantar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia.

Kenny, William. 1966. How to Analyze Fiction. New York: Monarch Press.

Keraf, Gorys. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Kerismas. 1990. Perbincangan Gaya Bahasa Sastera. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Kridalaksana, Harimurti. 2009. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

. 2011. Kamus Linguistik. Edisi Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Kuntjara, Esther. 2004. Gender, Bahasa, dan Kekuasaan. Jakarta:BPK Gunung Mulia.

Leech, Geoffrey N. dan Michael H. Short. 1984. Gaya dalam Cereka; Penerapan Linguistik dalam Prosa Cereka Inggris (diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Umar Junus). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.

Listyorini, Endang Mawawati. 2013. Karakteristik Gaya Bahasa Novel Atheis Karya Achdiat K. Mihardja dan Potensinya Sebagai Landasan Pengembangan Bahan Ajar Bahasa Indonesia. Tesis. Universitas Negeri Malang.

Luxemburg, Jan Van; Mieke Ball dan Willem G. Westeijn. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Penerjemah: Dick Hartoko. Jakarta: PT. Gramedia.

Mahsun. 2013. Metode Penelitian Bahasa (Tahapan Strategi, Metode dan Tekniknya). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Mangunwijaya, Y.B. 1988. Sastra dan Religisitas. Yogyakarta: Kanisius.

Mihardja, Achdiat Karta. 2010. Atheis . Jakarta: Pusat Bahasa.

Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 103

Rahmawati. 2012 “Gaya Bahasa Andrea Hirata dalam Dwilogi Padang Bulan: Kajian Stilistika”. Tesis. Makassar: Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Ramlan. 2001. Tata Bahasa Indonesia Penggolongan Kata. Yogyakarta: Andi Offet.

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Santosa, Puji dkk. 2008. Kritik Sastra. Yogyakarta: Elmatera.

Sastrowardoyo, Subagio. 1983. Sastra Hindia Belanda dan Kita. Jakarta: Balai Pustaka.

Simpson, Paul. 2004. Stylistics: A Resource Book for Students. England: Psychology Press.

Solihati, Nani. 2013. “Diksi Puitis Kumpulan Cerpen Mengakar Ke Bumi Menggapai Ke Langit Jilid 3 Karya Taufiq Ismail”. Jurnal Stilistika, 81-88.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sudaryat, Ndang. 1986. Ringkasan Bahasa Indonesia. : Ganeca Exact.

Sugondo, Dendy (pimpinan redaksi), dkk. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sumardjo, Jakob. 1983. Pengantar Novel Indonesia. Jakarta: Karya Unipress.

Sutopo, H.B. 2002. Pengantar Penelitian Kualitatif. : Universitas Sebelas Maret Press.

Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

. 2009. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.

Teeuw, A. 1980. Sastra Baru Indonesia. Ende: Nusa Indah.

Trudgill, Peter. 2003. ,Glossary of Sociolinguistics. Edinburg-.Edinburg University Press. 104

Turner, Victor. 1977. The Ritual Process: Structure and Anti-Structure. Ithaca: Cornel University Press.

Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1988. Teori Kesusastraan. Diterjemahkan oleh Melanie Budianta. Jakarta: Gramedia.

Widdowson, H.G. 1997. Stilistika dan Pengajaran Sastra. Penerjemah: Sudijah. : Airlangga University Press.

Wijaya, Putu. 1973. Telegram. Jakarta: Pustaka Jaya.

Yudiono, K.S. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo.

105

LAMPIRAN I

106

Tabel Rekapitulasi Penggunaan Gaya Bahasa dalam Novel Atheis dan Novel Telegram

Jumlah data No Jenis Gaya Bahasa Novel Novel Atheis Telegram 1. Hiperbola 30 3

2. Simile 29 17

3. Metafora 40 12

4. Personifikasi 10 14

5. Metonimia 18 6

6. Antonomasia 6 3

7. Sarkasme 1 0

Jumlah 134 55

Setelah melakukan analisis terhadap novel Atheis dan novel

Telegram, berdasarkan tabel di atas penggunaan gaya bahasa lebih banyak digunakan dalam novel Atheis yakni 134 kalimat.

107

LAMPIRAN II

108

SINOPSIS

Dalam novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja menceritakan tentang perjalanan hidup seseorang bernama Hasan yang lahir dari 109

sebuah keluarga yang sangat taat kepada agamanya, yaitu Islam. Hasan adalah anak tunggal dari pensiunan manteri guru yang tinggal di lereng gunung Telaga Bodas di tengah-tengah pegunungan priangan yang indah bernama kampung panyeredan di wilayah Bandung yang pada waktu itu masih dalam keadaan dijajah pemerintahan Jepang.

Sejak kecil Hasan dididik dengan cara Islam. Ayahnya Raden

Wiradikarta menginginkan Hasan menjadi anak yang baik, sopan, berilmu, dan berakhlak sholeh. Oleh karena itu, walaupun Hasan masih kecil tetapi dia sudah menunjukkan pribadi Islam yang taat. Hasan selalu patuh kepada semua peraturan kedua orang tuanya.

Kedua orang tua Hasan semakin bangga melihat Hasan tumbuh dewasa dengan kadar keimanan yang cukup tinggi. Kebahagiaan dan kebanggaannya bertambah ketika Hasan berniat untuk pergi memperdalam ilmu tarekat pada kiayi Mahmud seperti yang dilakukan oleh kedua orang tuanya dulu. Keimanannya semakin meningkat setelah

Hasan menimba ilmu di sana dan mengamalkannya dalam setiap langkah hidupnya. Setelah Hasan merasa cukup dengan ajaran-ajaran dari kiayi

Mahmud dan orang tuanya, maka setelah ia sekolah, Hasan pun bekerja di sebuah kantor milik Jepang. Kini Hasan harus terpisah dengan kedua orang tuanya karena pekerjaannya berada di daerah yang jauh dari desa tempat kelahirannya dulu. Walaupun Hasan jauh dari kedua orang tuanya dan bekerja pada orang-orang Jepang tetapi Hasan masih memegang teguh agamanya dan masih menjadi pribadi dengan keimanan yang kuat. 110

Suatu ketika, Hasan sedang bekerja pada loketnya, Hasan bertemu sahabat lamanya bernama Rusli, dia teman kecil Hasan yang telah meraih kesuksesan dan memiliki pengalaman hidup yang luas. Dalam waktu yang bersamaan, Rusli mengenalkan seorang perempuan bernama Kartini yang bersamanya pada waktu itu kepada Hasan. Ketiganya saling bercakap-cakap sampai pada titik kesimpulan bahwa Hasan disuruh berkunjung kerumah Rusli yang tidak jauh dari perumahan yang ditempati

Hasan. Hasan pun sering datang ke rumah Rusli dan Kartini pun selalu ada di sana. Hasan sangat senang bertemu dengan sahabat lamanya itu, ditambah lagi dengan adanya Kartini yang menurut Hasan adalah sesosok perempuan yang sangat mirip dengan Rukmini, kekasihnya dulu pada waktu di kampung. Baginya Kartini adalah jelmaan yang dikirim Tuhan untuk menggantikan Rukmini yang telah pergi dari kehidupannya.

Meskipun Hasan bahagia dengan sahabat lamanya itu tetapi semua kebahagiaan itu belum cukup karena ternyata kedua temannya itu mempunyai keyakinan yang berbeda dengan dirinya. Mereka beranggapan bahwa sebenarnya Tuhan itu tidak ada. Hal itulah yang membuat Hasan berniat untuk mengislamkan kedua temannya itu tetapi niat baiknya itu semakin terkikis oleh kebaikan Rusli dan Kartini. Hasan sedikit melalaikan niat awalnya itu karena sering berdiskusi tentang berbagai hal dengan Rusli ataupun Kartini. Walaupun niat Hasan mulai luntur tetapi dia masih taat pada ajaran Agamanya. Selain berkunjung ke rumah Rusli, Hasan pun sering diajak pergi ke restoran oleh Rusli dan 111

Kartini. Mereka selalu pergi bertiga hingga perasaan lain pun datang kepada Hasan untuk Kartini. Kartini pun menerima perasaan Hasan. Sejak saat itu mereka semakin dekat dan akrab tetapi sering pula Hasan berfikir, mengeluh, hatinya bimbang, terombang-ambing antara dua pilihan. Tetap berada di jalan yang telah diajarkan oleh orang tuanya sejak kecil, yaitu jalan agama atau memasuki dunia yang baru saja ia kenal dari sahabatnya Rusli dan Kartini namun telah menariknya dengan kuat menjadi seorang Atheis.

Kehadiran Kartini mengubah seluruh hidup Hasan. Hasan berusaha menyesuaikan diri dengan pergaulan Kartini dan paham yang diyakininya.

Hasan mengalami berbagai konflik yang menyebabkan pertentangan hebat di dalam batinnya. Masalah meruncing ketika muncul Anwar, seorang seniman dan sekaligus teman Rusli, Anwar dikenalkan Rusli kepada Hasan dan Kartini ketika mereka berada di sebuah restoran. Sejak saat itu Hasan telah mengetahui bahwa Anwar menaruh hati kepada

Kartini. Mengetahui keadaan seperti itu, akhirnya Hasan menikahi Kartini yang sudah menjadi cita-citanya dari sejak ia mengenalnya. Awalnya,

Hasan ingin menuntun istrinya itu menjadi seorang muslimah dengan satu keyakinan dalam rumah tangga yang baru saja ia masuki. Namun, semua harapan itu hilang ketika Kartini sering meninggalkan rumah setelah beberapa bulan pernikahan. Hal itu terjadi karena satu permasalahan antara Kartini dengan orang tua Hasan yang memang dari semula tidak pernah menyetujui pernikahan mereka karena Kartini seorang Atheis. 112

Kebahagiaan hidup rumah tangga Hasan dengan Kartini tidak berlangsung lama. Rumah tangga yang semula diselimuti kabahagiaan harus berakhir dengan perceraian. Anwar yang anarkis individualistis, menumbuhkan percik-percik bara di hati Hasan. Hasan pun menceraikan

Kartini karena dia beranggapan bahwa Kartini telah berselingkuh dengan

Anwar. Kartini selalu pergi dengan Anwar ketika meninggalkan rumah.

Dalam benak Hasan, Anwar-lah penyebab putusnya hubungan dengan sang istri. Anwar pula yang acap kali menggelitik kecemburuannya.

Betapapun, pandangan Anwar terhadap Kartini amat patut dicurigai, begitu munurut Hasan.

Bersamaan dengan itu, perasaan berdosa Hasan terhadap ayahnya, bagaimanapun tidak lepas sama sekali. Lebih dari itu, kenangan masa kecil, terutama dongeng tentang siksa-siksa neraka, semakin menghantui dirinya. Ia dikejar kegelisahan, ketakutan, dan perasaan berdosa. Dengan sendirinya, semua itu tambah meruwetkan kehidupan rumah tangganya. Sampai pada puncaknya, Hasan dan Kartini menggambil keputusan langkah dramatis: cerai! Maka, berakhirlah kehidupan rumah tangga Hasan Kartini.

Di pihak Hasan, keputusan itu ternyata tidaklah membawa ketenangan bagi jiwanya. Ketakutan, kecemasan, dan bayangan siksaan neraka terus saja menghantui. Ia makin gelisah. Rasa bersalah, berdosa, menyesal, takut, khawatir, dan macam-macam tekanan batin, tambah akrab dengan jalan pikiran serta makin menggerogoti kesehatan fisiknya. 113

“Sudah jatuh, tertimpa tangga pula,” begitulah nasib yang dialami Hasan.

Saat ia menderita tekanan batin yang hebat, ayahnya meninggal. Hal yang memberatkan Hasan sebenarnya bukan semata-mata soal kematian, melainkan kenyataan bahwa permintaan maafnya ditolak ayahnya, justru menjelang orang tua itu mengembuskan napasnya yang terakhir.

Begitulah pemikiran Hasan yang pada saat itu keadaannya yang sedang sakit TBC. Hasan sangat sedih dan menyesal karena dia sudah melukai hati kedua orang tuannya dengan menjadi Atheis dan menikahi

Kartini yang akhirnya Ayah Hasan harus meninggal dunia dengan membawa penyesalan yang mendalam karena perbuatan anaknya,

Hasan. Hasan sangat menyesal dengan apa yang telah dipilih dalam hidupnya, dengan penyakit TBC yang dideritanya ditambah dengan penyesalan yang sangat dalam maka Hasan pun semakin lemah dan harapannya telah kosong.

Sementara perasaan Hasan hanyut dalam kegalauan yang tak kunjung reda, selama itu pula berusaha mencari kebenaran yang nyata mengenai keimanannya. Sejumlah teori yang pernah di kemukakan Rusli dan Anwar, dirasakannya semakin menyesatkan, terlebih lagi pandangan- pandangan Anwar. Maka, Hasan tidak dapat berbuat lain dari berusaha membalas dendam kepada Anwar, biang keladinya. Semua itu akibat tingkah laku Anwar, ia pula harus menanggung akibatnya. Demikian dendam Hasan makin menggumpal. Atas keputusan ini, akhirnya Hasan, 114

tanpa menghiraukan keadaan sekelilingnya, keluar mencari Anwar.

Semakin keras nafsunya untuk membuat perhitungan terhadap Anwar, semakin bergegas pula langkah kakinya. Pada saat yang bersamaan, gaung sirene tanda bahaya udara meraung-raung memecahkan kegelapan malam. Namun, Hasan tak peduli. Ia terus melangkah; dan langkah itu berhenti ketika Hasan merasakan sebuah peluru menembus dadanya. Badan yang lemah itu berguling-guling sebentar di atas aspal, bermandi darah. Kemudian dengan bibir bergegas berkata “Allahu Akbar”, tak bergerak lagi…

115

LAMPIRAN III

116

SINOPSIS

117

Dalam novel Telegram karya Putu Wijaya ini menceritakan tentang tokoh Aku yang merasa mendapatkan sebuah kiriman telegram.

Menurutnya, mendapatkan sebuah telegram merupakan malapetaka baginya. Malapetaka di sini dimaksudkan dengan bencana, berita buruk, kematian, sakit, kecelakaan, dan kabar yang lainnya. Telegram baginya selalu berisikan tentang hal-hal buruk.

Cerita dari novel ini berawal dari tokoh Aku asal Bali yang tinggal di

Jakarta . Ia tinggal bersama seorang anak yang ia asuh bernama Sinta. Ia juga bekerja sebagai wartawan. Tokoh Aku ini merasa ia akan mendapatkan sebuah telegram dari kampung halamannya, Bali. Tokoh

Aku merasa sangat takut. Seperti yang dianggapnya, telegram baginya hanyalah hal-hal buruk atau malapetaka. Namun, ia sekarang tidak bisa berbuat apa-apa lagi, karena telegram yang ia dapat kini yang dikirim oleh saudara tirinya itu sekarang sedang berada di genggamannya. Seperti yang ia tahu, isi dari telegram itu tidak lain adalah berisikan tentang ibunya yang meninggal dunia.

Seperti itulah tokoh Aku itu berkhayal. Seakan-akan apa yang ada dalam pikirannya menjadi nyata. Mendapat telegram itu, maka ia diharuskan pulang, mengurus rumah tangga, mengurus penguburan ibunya (upacara ngaben), mengurus tanah berhektar-hektar yang ada di

Denpasar, mengurus tiga rumah beserta isinya, membagi harta warisan serta semua urusan lain yang menjadi tanggung jawabnya. Memang sebagai anak yang paling tua, ia harus berperan sebagai kepala keluarga. 118

Apa yang dia pikirkan tentu sangat membebani pikirannya. Ia tentu sangat merasa keberatan dengan semua tugas-tugas yang dipikulnya.

Apalah dikata, sebagai anak tertua mau tak mau harus ia lakukan semua pekerjaan itu. Tokoh Aku tengah merasakan dilema. Semua itu membebani pikirannya. Di tengah ia telah merasakan dilema, Sinta yang tak lain adalah anak angkat dari tokoh Aku, tengah menanyakan kerisauan yang tengah dihadapi tokoh Aku itu. Sinta menanyakan apa sebenarnya isi telegram itu. tokoh Aku terpaksa berbohong kepada Sinta.

Ia tak ingin membebani pikiran anak angkatnya itu. Maka tokoh Aku berkata bahwa pamannya yang dari Surabaya akan datang ke Jakarta.

Sinta telah siap untuk pergi ke stasiun, pakaiannya resmi dan mengenakan sepatu. Tiba di stasiun, saat mereka menunggu kedatangan kereta Bima yang terlambat, tiba-tiba Sinta memberikan sesuatu padanya. Sinta memberikannya sebuah telegram yang tercecer dari saku tokoh Aku semalam.

Karena mereka berdua telah mengetahui isi telegram itu, maka mereka berdua segera mempersiapkan segala sesuatu untuk pergi ke

Bali. Namun, apa yang terjadi sungguh di luar dugaan. Dari luar, ibu kandung Sinta datang untuk mengambil Sinta dari tangannya. Ibu kandung Sinta meminta Sinta kembali untuk merawatnya. Namun, tentu tokoh Aku menolak. Ia bersusah payah membesarkan Sinta yang dulu telah dibuang oleh ibunya. tokoh Aku juga tidak mau egois, memang ia yang membesarkan Sinta selama sepuluh tahun lamanya dengan 119

keadaan yang seadanya dan semuanya serba terbatas. Akan tetapi, tokoh Aku mengatakan akan menyerahkan semua keputusannya kepada

Sinta. Sinta sendiri yang akan memilih, baik dirawat oleh ibu kandungnya ataupun tetap kepada tokoh Aku itu.

Belum lagi masalah perebutan Sinta yang belum kelar, timbul lagi masalah. tokoh Aku itu merasa kondisi tubuhnya tidak sehat. Ia merasa gemetaran dan demam tinggi. Tokoh Aku takut jika ia merasakan sakit itu, akibat penyakit yang ditularkan Nurma, wanita penghibur yang pernah digaulinya. Sebab, temannya pun mengalami hal yang sama. Dan teman tokoh Aku melahirkan anaknya dalam kondisi cacat. Tokoh Aku memutuskan untuk pergi ke dokter. Sekembalinya dari dokter, tokoh Aku melanjutkan aktifitasnya untuk pergi bekerja. Penjaga kantor, langsung memberitahu kepada tokoh Aku bahwa ada orang yang ingin bertemu dengan tokoh Aku. Penjaga itu berkata, ia sudah tiga kali datang dan ingin bertemu dengan dirinya. Tokoh Aku tak ingin bertemu dengan tamu- tamunya karena sudah pasti tamu itu ingin bercakap-cakap atau membawa berita cukup penting. Terlalu mengambil resiko kalau harus menjumpainya. Walau tamu itu akan membawa berita gembira, mereka tidak akan memperbaiki suasana. Untuk menghindari tamu itu, tokoh Aku pergi ke rumah temannya untuk tidur di sana. Sewaktu sampai di rumah temannya, tokoh Aku menumpang untuk tidur. Pukul enam ia bangun, tanpa mandi atau cuci muka ia langsung pergi ke kantor untuk menyelesaikan cover story tentang Bali. Banyak yang ingin ditulisnya 120

tentang Bali, tapi ia tak bisa mengemukakan gagasan tanpa bukti-bukti nyata.

Rupanya seseorang telah menulis sesuatu untuk menuangkan isi hati ibu pada anaknya. Ia membeberkan isi hatinya dan menyinggung bahwa kakak tokoh Aku semakin hari semakin galak dan menekan batinnya. Di akhir surat, ibunya mengatakan bahwa ia tidak menuntut apa- apa kalau memang tidak ada biaya, asal keluarganya diikut sertakan dalam barisan penguburan. Serta tidak boleh dilupakan hubungan kekeluargaan itu, walaupun sang ibu nanti sudah pergi. Tak terbayangkan bagaimana hidup tanpa ibunya.

Tokoh Aku menanggalkan pakaiannya. Temperatur tubuhnya mungkin sekitar 39 derajat celcius. Setiap saat ia bergetar menahan gigil yang menusuk dari dalam. Mungkin malaria yang pernah didapatnya di

Singaraja kumat lagi. Ia berjalan melewati meja para direktur, ia jelajahi seluruh isi tubuhnya untuk mengetahui seluk-beluknya. Dikenakan pakaiannya kembali dengan perasaan sedikit malu. Tokoh Aku memasuki ruang perpustakaan yang tentu sedikit hangat dengan harapan akan bisa memperoleh keringat.

Paginya ia mengetahui bahwa seluruh tubuhnya penuh bintik-bintik merah. Penjaga kantor menyuruhnya untuk menanggalkan baju. Mula- mula ada keinginan untuk pergi ke rumah sahabatnya, tapi tatkala istrinya mengandung, diurungkan. Terlalu berbahaya kalau sampai menular.

Tatkala penjaga kantor bermaksud menjamah tokoh Aku, iapun langsung 121

melarangnya. Dokter Syubah telah memeriksa bintik-bintik yang misterius itu, ia hanya menyangka tokoh Aku kena alergi. Kematian rasanya terlempar jauh kembali. Rupanya memang tidak terlalu mudah melepaskan hidup.

Tokoh Aku dan Sinta sepakat untuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk berangkat ke Bali. Namun, sebelum mereka keluar rumah, tokoh Aku melihat barang-barang yang sangat banyak yang ada di atas meja mereka. Tokoh Aku melihat ada baju untuk anak perempuan, untuk tokoh Aku, makanan, dan lainnya. Tokoh Aku bertanya pada bibi, dengan keadaan marah, bibi yang ketakutan itu akhirnya menjawab bahwa semua barang-barang itu dari ibu kandung Sinta. Ibu kandung

Sinta datang dan meminta anaknya dari tokoh Aku. Sudah tentu permintaan itu ditolak tetapi ibunya Sinta bersikeras sehingga antara tokoh Aku dan ibu Sinta menyerahkan pilihan itu pada Sinta.

Bayangan-bayangan itu menyebabkan tokoh Aku tidak bisa lagi membedakan antara dunia nyata dan khayalannya. Ia mengalami krisis kejiwaan seperti halnya orang gila. Tokoh Aku sudah tidak dapat membedakan mana yang khayalan semata dan dunia nyata. Bahkan ia pernah bertanya kepada tukang rokok yang di mana ia biasa membeli sebuah rokok di sana. Tokoh Aku bertanya apakah dia itu gila atau waras.

Karena seringkali tokoh Aku itu sadar bahwa yang berkecamuk dalam dirinya hanyalah khayalan semata dari rasa khawatirnya. Namun kesadaran itu kembali hilang. Ia masuk kembali ke dunia khayalannya itu, 122

di mana ia pernah berpisah dengan Rosa. Rosa adalah kekasihnya.

Padahal Rosa hanyalah kekasih khayalan tokoh Aku saja. Seperti halnya apa yang ia khayalkan tentang telegram yang ditakutinya sebagai malapetaka buat sang lelaki.

Akibat khayalan itu, tokoh Aku kemudian betul-betul bingung dengan apa yang dialaminya. Tokoh Aku mengalami krisis kejiwaan seperti halnya orang gila. Ia tak dapat membedakan lagi antara yang nyata dan mana yang khayalan semata. Tokoh Aku kadang tersadar dari khayalannya itu. Namun kemudian masuk kembali dalam khayalannya itu.

Dalam khayalannya, tokoh Aku dan Sinta bersiap-siap berangkat ke Bali.

Ia telah memesan tiket pesawat sehingga mereka tinggal berangkat saja.

Tiba-tiba, di tengah-tengah khayalannya itu pintu rumahnya diketuk. Ia bangkit untuk membuka pintu. Ternyata, bibi pemilik kontrakan telah berada di muka rumahnya dan memberika sepucuk surat. Dengan cepat, tokoh Aku membuka telegram yang isinya sudah bisa ia tebak.

Telegram yang baru diterima dari pemilik kontrakan itu benar. Telegram itu tak lain berisikan tentang kematian ibunda tokoh Aku. Kali ini, berita tentang kematian ibunda tokoh Aku adalah kenyataan. Bukan khayalan semata. Seperti kisah-kisah sebelumnya yang diceritakan oleh novel ini hanyalah khayalan semata tokoh Aku.