Sawerigading, Vol. 26, No. 2, Desember 2020:

SAWERIGADING

Volume 26 No. 2, Desember 2020 Halaman 149—161

BERTUKAR TANGKAP DENGAN RAJA PENYAIR PUJANGGA BARU: PENGARUH TERHADAP CHAIRIL ANWAR (Seizing Words with the King of the New Writer: The Influence of Amir Hamzah on Chairil Anwar)

Dipa Nugraha Universitas Muhammadiyah Surakarta Jalan A. Yani, Pabelan, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Pos-el: [email protected] (Naskah Diterima Tanggal: 10 November 2020; Direvisi Akhir Tanggal 23 November 2020; Disetujui Tanggal; 24 November 2020)

Abstract This article aims to describe the influence of the poem “Padamu Jua” by Amir Hamzah on two poems written by Chairil Anwar, “Di Mesjid” dan “Doa.” It is a qualitative study. The study was conducted using close reading. The result of the analysis showed that Chairil Anwar useds symbolic expressions from Amir Hamzah’s poem. Nevertheless, Chairil Anwar transformeds these symbolic expressions creatively based on his situation in adaptation with his situation when making his poems. The poems where analysed in this study showed a distance issue between the poets and their God. Keywords: Amir Hamzah, Chairil Anwar, close reading, intertextuality, creative process

Abstrak Artikel penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pengaruh sajak “Padamu Jua” karya Amir Hamzah yang tampak di dalam dua sajak karya Chairil Anwar yang berjudul “Di Mesjid” dan “Doa.” Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pembacaan cermat (close reading). Hasil pembacaan cermat menunjukkan bahwa meski kedua sajak Chairil Anwar yang menjadi objek pembacaan menunjukkan jejak pengaruh ekspresi simbolik Amir Hamzah namun Chairil Anwar secara kreatif mentransformasikan ekspresi simbolik tersebut sesuai dengan situasinya. Sajak-sajak yang dianalisis juga menunjukkan adanya masalah jarak antara kedua penyair dengan Tuhan. Kata kunci: Amir Hamzah, Chairil Anwar, pembacaan cermat, intertekstualitas, proses kreatif

PENDAHULUAN kekagumannya kepada Amir Hamzah. Ia Dua penyair besar Indonesia, Amir memuji Amir Hamzah sebab memberikan Hamzah dan Chairil Anwar, memang gaya baru kepada ekspresi susastra di dalam tidak pernah tidak menarik untuk terus bahasa Indonesia. Sementara itu, pengaruh diperbincangkan. Keduanya telah dicatat dan terhadap perkembangan revolusioner bahasa mendapat tempat masing-masing di dalam dan sastra Indonesia adalah sesuatu yang sejarah sastra Indonesia. Chairil Anwar dilekatkan Teeuw (2013: 152) atas diri Chairil di dalam sebuah tulisannya, sebagaimana Anwar sedangkan Amir Hamzah disebut oleh dikutip oleh Kratz (1999: 261), menyatakan Sutherland (1968: 122) sebagai penyair terbaik Indonesia di masa kolonial Belanda yang

149 Sawerigading, Vol. 26, No. 2, Desember 2020: 149—161 memiliki pengaruh terhadap penyair-penyair dengan keadaan mereka dan mendapati jarak Indonesia yang muncul kemudian. Ini artinya antara diri mereka dengan Tuhan yang tetap bahwa baik Amir Hamzah maupun Chairil tidak dapat direngkuh. Raffel (1966: 146) juga Anwar, meski keduanya diletakkan di dalam mempunyai pendapat yang mirip mengenai periode sastra yang berbeda menurut tolok ukur sajak Chairil Anwar, “Di Mesjid.” Sajak ini norma-norma umum dalam sastra seperti yang menunjukkan konflik atas pemberontakan di dilakukan oleh Rosidi (1991: 12) atau berdasar dalam jiwa yang ingin percaya tetapi tidak momentum besar sosial-politik layaknya mau menyerahkan diri kepada Tuhan. Tiwon dikerjakan oleh Yudiono K.S. (2010: 50–51), (1992: 15–17) juga membicarakan kedua sajak memiliki pengaruh besar pada perkembangan ini dalam konteks jarak antara penyair dengan awal bahasa Indonesia dan sastra modern Tuhannya. Dapat disimpulkan dari pendapat Indonesia. ketiga kritikus sastra tersebut bahwa hubungan Telah banyak tulisan yang membicarakan kedua penyair dengan Tuhan mereka adalah pengaruh Amir Hamzah, Raja Pujangga Baru, intim sekaligus kompleks. Sedangkan sajak terhadap Chairil Anwar. Sylvia Tiwon (1992: “Padamu Jua” karya Amir Hamzah, justru 12–16) misalnya menunjukkan adanya pengaruh mengingatkan Teeuw (2013: 155) pada sajak dan suara Amir Hamzah dalam sajak Chairil “Doa” milik Chairil Anwar lewat penggunaan Anwar yang berjudul “Sajak Putih” melalui secara optimal dominasi urutan suara vokal u-a penggunaan frasa seperti sepi menyanyi, meriak di dalam menciptakan nada sajak. muka air kolam, dan malam dalam mendoa. Pengaruh Amir Hamzah terhadap Chairil Frasa-frasa ini mengingatkan pada sajak-sajak Anwar juga dibahas oleh Johns di dalam Amir Hamzah seperti “Kenang-kenangan” tulisannya yang berjudul “Amir Hamzah: Malay dan “Naik-naik.” Sajak “Sorga” mengarahkan Prince, Indonesian Poet” (1979a). Menurut kepada sajak Amir Hamzah yang berjudul Johns (1979a: 138–139), sajak “Padamu Jua” “Turun Kembali.” Ada godaan untuk cenderung karya Amir Hamzah sebagai sumber inspirasi kepada kenikmatan duniawi dibandingkan sajak “Doa” milik Chairil Anwar. Bagian segala tawaran akan keindahan surgawi. “Kaulah kandil kemerlap/Pelita jendela di Meski demikian, Chairil Anwar menghadirkan malam gelap” milik Amir Hamzah telah antithesis poetika dan menyodorkan ketegangan membuka jalan bagi kelahiran ekspresi Chairil antara poetika tradisional dengan poetika yang Anwar “CajaMu panas suci/tinggal kerdip lilin baru. Ia menghadirkan kontras pada bentuk dikelam sunyi.” struktur, kesopanan, epitet yang berbeda Pengaruh Amir Hamzah kepada Chairil dibandingkan dengan pengaruh tradisional Anwar dibahas juga oleh Al-Ma’ruf (2005). yang masih tampak di dalam karya-karya para Menurutnya (2005: 85), sajak Chairil Anwar penyair Pujangga Baru seperti Amir Hamzah. yang berjudul “Doa” mendapatkan inspirasinya Harry Aveling (2014) pun turut dari sajak Amir Hamzah “Padamu Jua”. Lepas membandingkan Amir Hamzah dan Chairil dari perdebatan di dalam menempatkan Amir Anwar melalui hal yang lebih spesifik yaitu Hamzah sebagai penyair sufistik (Daud, 2007; penyair dan hubungannya dengan Tuhan. Pada Kratz, 1999: 263; Mahmud, 2005) kecuali sajak Amir Hamzah “Padamu Jua” berbunyi hanya sebagai seorang penyair Muslim yang “Engkau pelik menarik ingin/Serupa dara di terkadang menunjukkan ekspresi religiusitasnya balik tirai”, sedangkan Chairil Anwar dalam saja sebagai seorang humanis Muslim (Johns, “Di Mesjid” menulis “Satu menista lain gila.” 1979b: 154, 156), Al Ma-ruf percaya bahwa Dengan menggunakan sajak “Padamu Jua” sajak ‘Padamu Jua” bernuansa sufistik sebab dan “Di Mesjid,” Aveling (2014: 246–249) berhasil mempertemukan dimensi sastra dan menunjukkan bahwa kedua penyair frustasi dimensi keagamaan. Dengan pijak argumen

150 Sawerigading, Vol. 26, No. 2, Desember 2020: Dipa Nugraha, Bertukar Tangkap dengan Raja... yang sama, ia juga menempatkan sajak “Doa” melebur dengan cakrawala-cakrawala yang sebagai sajak sufistik. Al Ma-ruf (2005: 84-86) ditawarkan oleh teks-teks sebelumnya untuk meyakini bahwa kedua sajak kental dengan dapat melahirkan sesuatu yang baru ciptaannya nilai transendental dan kemungkinan terilhami melalui pembacaan cermat (Elkad-Lehman & atau mempunyai hipogram ayat 35 dari surah Greensfeld, 2011: 262; Schleicher, 2007: 17). An-Nur dari dalam Alquran. Lagi pula, teks yang berasal dari kata latin Dari beberapa pembahasan mengenai textus yang berarti tenunan mengisyaratkan pengaruh Amir Hamzah kepada Chairil Anwar, pesan bahwa teks adalah sebuah situs atau terdapat beberapa sajak yang telah diulas oleh tempat berlangsungnya dialog di dalam teks kritikus sastra sebelumnya terkait dengan nuansa dan dengan teks-teks di luar teks, interior religiusitas kedua penyair. Sajak-sajak karya dan eksterior (Hartman, 1992: 296–298). Amir Hamzah tersebut adalah “Padamu Jua” dan Oleh sebab itu, interpretasi atas sebuah teks “Turun Kembali” sedangkan sajak-sajak karya meniscayakan perambahan pada teks-teks yang Chairil Anwar adalah “Doa”, “Di Mesjid”, dan hadir sebelumnya. “Sorga”. Dari kelima sajak ini, sajak “Padamu Usaha perambahan pada teks-teks Jua” karya Amir Hamzah serta dua sajak Chairil sebelumnya dalam rangka menciptakan Anwar, “Doa” dan “Di Mesjid”, adalah sajak- interpretasi yang lebih dalam atas sebuah teks sajak yang paling banyak mendapatkan ulasan memerlukan teknik pembacaan tertentu, yaitu dari kritikus sastra terkait keterkaitan kedua pembacaan cermat. Pembacaan cermat atau penyair. Namun, dari beberapa ulasan yang ada close reading adalah praktik ketat dan penuh mengenai ketiga sajak tersebut, belum pernah konsentrasi di dalam pembacaan seolah proses ada kajian yang membahas keterkaitan ketiga pembacaan seperti sebuah proses penelusuran sajak secara utuh. Penelitian ini hendak membaca dan penciptaan kembali teks. Pembacaan ketiga sajak ini dalam rangka mendeskripsikan cermat tidak beroposisi dengan pembacaan pengaruh sajak “Padamu Jua” karya Amir jauh (distant reading) tetapi berlawanan Hamzah yang tampak atau muncul di dalam dua dengan pembacaan biasa atau pembacaan yang sajak karya Chairil Anwar yang berjudul “Di longgar (Culler, 2010: 20; Hancher, 2016: 125). Mesjid” dan “Doa.” Pembacaan cermat adalah aktivitas membaca teks dengan perhatian pada penyingkapan atau KERANGKA TEORI eksplikasi makna dari sebuah teks di dalam Di dalam usaha menggali makna teks, mengekspresikan ide, imaji, emosi (Howe, pembacaan selalu menempatkan situasi yang 2009: 1). Ia adalah cara membaca teks dengan melibatkan tiga suara yang berdialog yaitu detail dan intim untuk menangkap makna pengarang, pembaca, dan konteks. Teks yang dikandungnya (Culler, 2010). Ia adalah memediasi pengarang dan pembaca sementara usaha menjelaskan bagaimana sebuah teks bisa teks juga menjadi penengah dari konteks memiliki makna tertentu, bukan hanya kepada pengarang dan konteks pembaca (Schleicher, apa makna teks (Couey & James, 2018: 1). 2007: 11). Berkaitan dengan hal tersebut, konsep Pembacaan cermat pada sajak intertekstualitas yang digaungkan pertama kali adalah pembacaan yang ditujukan kepada oleh Julia Kristeva bisa mendapatkan tempatnya penyingkapan makna-makna dari sebuah (Elkad-Lehman & Greensfeld, 2011). sajak dari kekompleksan materi dan proses Melalui proses pembacaan dan penafsiran penyusunannya hingga hadir ke hadapan berkerangka pandangan intertekstualitas, pembaca sebagai sebuah arena bertemunya teks yang muncul belakangan berada dalam suara pengarang di dalam mengungkapkan dialog dengan teks-teks yang muncul lebih perasaannya, komunikasi dengan dunia, dulu sebab bagaimanapun seorang pengarang keterikatan diri sunyi pengarang dengan

151 Sawerigading, Vol. 26, No. 2, Desember 2020: 149—161 hal yang dikaguminya, yang terikat dengan cermat bisa dan seringkali dilakukan secara konteks sejarah dan budaya (Piette, 2013: berulang pada bagian yang sama untuk menapis 238–239). Secara umum, pembacaan cermat pesan penting dan atau yang dibutuhkan bukanlah sebuah teori (McCall, 2017) namun yang dapat ditemukan di dalam sebuah teks. ia adalah sebuah alat di dalam menggali makna Pembacaan cermat merupakan teknik baca teks. Ia menjadi alat yang dapat dipergunakan yang lazim diterapkan di dalam beberapa kajian untuk menyibak signifikansi secara politik sastra (Culler, 2010). Di dalam penelitian ini atau budaya dari sebuah teks, tegangan, dan kegiatan eksplorasi, penapisan, dan analisis kontradiksi di dalam teks, dan menempatkannya komparatif teks-teks yang ada dalam kerangka ke dalam konteks praktik budaya, artistik, dan intertekstualitas dilakukan bersamaan dalam sosial (Nicholson, 2017: 183–184). proses pembacaan cermat. Dalam rangka melihat pengaruh Amir Hamzah atas Chairil Anwar, pembacaan PEMBAHASAN cermat dilakukan. Operasi pembacaan antara Sebelum mulai pembahasan sajak karya Amir Hamzah yang dianggap memiliki “Padamu Jua,” berikut ini adalah teks lengkap pengaruh terhadap Chairil Anwar dibedah secara sajak Amir Hamzah yang berjudul “Padamu cermat dengan merujuk pada sesuatu yang ada Jua”: di dalam teks dan hal-hal yang berada di luar teks. Jika penciptaan teks atau karya adalah Padamu Jua usaha menenun teks-teks sumber inspirasi, pembacaan dan analisis melalui pembacaan Habis kikis cermat melakukan praktik yang sama, yaitu Segala cintaku hilang terbang menelusuri, melacak, menenun teks-teks yang Pulang kembali aku padamu berserakan untuk menghasilkan teks artikel ini. Seperti dahulu Kaulah kandil kemerlap METODE Pelita jendela di malam gelap Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Melambai pulang perlahan Penelitian kualitatif adalah penelitian yang Sabar, setia, selalu melibatkan peneliti (peneliti tidak terisolasi dari Satu kasihku objek kajiannya). Peneliti menjadi instrumen Aku manusia primer penelitian sebab ia berperan sebagai Rindu rasa seseorang yang mendesain dan menjalankan Rindu rupa penelitian sekaligus menjadi orang yang sama yang menghadirkan data (Johnson-Bailey Di mana engkau & Ray, 2008: 226, 229–230). Objek kajian Rupa tiada penelitian ini adalah sajak “Padamu Jua” karya Suara sayup Amir Hamzah serta dua sajak Chairil Anwar, Hanya kata merangkai hati “Doa” dan “Di Mesjid.” Teknik yang dipakai di dalam analisis adalah teknik pembacaan cermat Engkau cemburu (close reading). Engkau ganas Teknik pembacaan cermat adalah Mangsa aku dalam cakarmu teknik membaca teks yang dilakukan dengan Bertukar tangkap dengan lepas memberikan tanda pada bagian dari teks yang Nanar aku, gila sasar dianggap penting dan memberikan catatan- Sayang berulang padamu jua catatan atas badan teks (Jänicke, Franzini, Engkau pelik menarik ingin Cheema, & Scheuermann, 2015). Pembacaan Serupa dara di balik tirai

152 Sawerigading, Vol. 26, No. 2, Desember 2020: Dipa Nugraha, Bertukar Tangkap dengan Raja...

Kasihku sunyi Jawa sepeninggal ayahnya, memanggil Amir Menunggu seorang diri Hamzah pulang dan meminta ia menikahi Lalu waktu—bukan giliranku anaknya Tengku Puteri Kamiliah. “Padamu Mati hari—bukan kawanku Jua” adalah sajak yang menceritakan gundah Sajak ini berada di kumpulan sajak gulana hati Amir Hamzah. Momen “pulang aku . Kumpulan sajak ini muncul kembali aku padamu seperti dahulu” adalah sesudah beberapa minggu Amir Hamzah momen saat Amir Hamzah memulangkan mengisolasi diri di pondoknya di Jalan Sabang segala masalah kepada kehendak yang kuasa , sebelum ia berangkat pulang ke tetapi juga dapat diartikan sebagai momen Langkat untuk dinikahkan dengan Tengku terpuruk untuk kali kedua untuk bersimpuh Puteri Kamiliah (Mahmud, 2005: 39). Di kepada Tuhan setelah sebelumnya ia dulu dalam bait pertama sajak ini, Amir Hamzah pernah bersimpuh pasrah atas hilangnya Aja menyatakan telah habis segala kisah cintanya Bun dari rengkuhannya. dengan orang-orang yang dicintainya Aja Bun Dua baris pertama dari bait kedua “Kaulah dan Ilik Sundari (lih. Mahmud, 2005: 34–39). kandil kemerlap/Pelita jendela di malam gelap” Sebelumnya ia telah kehilangan Aja Bun, sajak “Padamu Jua” menurut Al-Ma’ruf (2005: sepupu yang dicintainya. Aja Bun menikah 85) kemungkinan terinspirasi dari sebagian ayat dengan Tengku Husin Ibrahim di tahun 1929 35 surat An-nur: “Allah adalah cahaya langit ketika Amir Hamzah masih bersekolah di Solo. dan bumi. Perumpamaan cahaya (Allah) adalah Cinta Amir Hamzah kepada Aja Bun ini begitu seperti rongga dalam dinding. Dalam rongga itu dalamnya sebagaimana pernah diutarakan ada pelita. Pelita itu dalam bola kaca.” kepada sahabatnya Saidi Husny di tahun 1934 Sementara itu menurut Johns, dua baris ketika keduanya bercengkerama di kos Amir ini terlihat merupakan pengaruh dari Rav-Das. Hamzah di Jakarta sebagaimana tertuang di Sebelum Amir Hamzah menulis sajak-sajak dalam buku Kenangan Masa: Mengenang untuk Nyanyi Sunyi sekitar tahun 1935, di Pribadi Pudjangga Amir Hamzah (1969). Aja tahun 1934 ia telah mempersiapkan Setanggi Bun diminta menikah dengan Tengku Husin Timur yang berisi terjemahan sajak-sajak Ibrahim, kakak Amir Hamzah, yang baru saja penyair dari Timur. Salah satu sajak yang ia menduda. Selain itu, saat itu terlalu banyak terjemahkan adalah sajak Rav-Das yang ia beri anak bangsawan berusaha meminang Aja Bun. judul “Nyanyian Rav-Das.” Di dalam sajak ini, Amir Hamzah baru tahu bahwa Aja Bun sudah terdapat baris: “Jika Engkau kandil, ya Rabbi/ menikah ketika ia pulang liburan ke Sumatera Aku sumbu di dalamnya.” Begitu juga dengan di pertengahan 1929 (Tim Tempo, 2017). kebisuan Tuhannya di dalam sajak-sajak Amir Amir Hamzah kemudian menemukan Hamzah, sebagaimana di dalam “Padamu Jua”, pengganti Aja Bun. Ia bertemu dengan Ilik mendapatkan kesepadanannya di dalam sajak Sundari saat keduanya bersekolah di AMS di yang Amir Hamzah terjemahkan di dalam Solo. Jalinan percintaan keduanya berlanjut Setanggi Timur dengan judul “Nyanyian Kabir meskipun keduanya sudah lulus dari AMS di 1” melalui baris: “Hendaklah tuan selalu bisu tahun 1933 dan berpisah kota. Amir Hamzah selaku batu/Hatiku, aduh hatiku?” (Johns, melanjutkan studi di Sekolah Hakim Tinggi di 1979b: 165–170). Jakarta, sedangkan Ilik Sundari melanjutkan Pendapat Johns terlihat lebih kuat studi ke Sekolah Guru di Majalengka. Pada dibandingkan pendapat Al-Ma’ruf. Ada bagian tahun 1935, Amir Hamzah untuk kali kedua penting yang belum dapat dijelaskan oleh Al- harus kehilangan kekasih hatinya. Ia harus Ma’ruf terkait dengan kajian intertekstualitas berpisah dengan Ilik Sundari. Sultan Langkat yaitu diksi kandil dan lilin berkenaan dengan yang membiayai Amir Hamzah bersekolah di cahaya oleh kedua penyair dan masalah jarak

153 Sawerigading, Vol. 26, No. 2, Desember 2020: 149—161 antara kedua penyair dengan Tuhan untuk dapat sebagaimana terjemahan Amir Hamzah atas menyebut adanya pengaruh ayat tertentu di sajak Rav-Das ini yakni “Jika Engkau kandil, dalam Alquran dan kehadiran nuansa sufistik. ya Rabbi/Aku sumbu di dalamnya” dan “Kasih Justru, dapat dilihat bahwa sajak-sajak yang mengikat aku dan Engkau, Tuhanku/Bebat lain Amir Hamzah baca dan terjemahkan di dalam telah kuputuskan.” Setanggi Timur terlihat telah mempengaruhi Di bait ketiga dan keempat, Amir Hamzah ekspresi poetik dan proses kreatif Amir Hamzah. menyatakan bahwa dia adalah manusia yang Diksi dan nada ungkapan Amri Hamzah di rindu rasa dan rindu rupa. Setiap kali ia pulang dalam sajak “Padamu Jua” menunjukkan (bersimpuh, pasrah) menghadap Tuhannya, ia kemiripan dengan baris-baris dalam Setanggi tidak pernah bisa menemukan rupa Tuhannya. Timur. Terpengaruh dengan bacaan dan kerja Ungkapan ini mirip dengan baris-baris di dalam terjemahan, hal yang sama sebenarnya kita “Nyanyian Kabir 1.” Amir Hamzah berniat dapati di dalam diri Chairil Anwar (Jassin, bertemu, tetapi yang ditemuinya hanyalah bisik 1956). Meski demikian, pada diri Amir Hamzah keluh kesahnya. terdapati sebuah ekspresi yang merefleksikan Di bait kelima, muncul baris-baris: dunia Amir Hamzah, dalam “situasi penyair “Engkau cemburu/Engkau ganas/Mangsa sendiri,” seperti ungkapan yang dipakai oleh aku dalam cakarmu/Bertukar tangkap dengan H.B. Jassin (1956: 24) di dalam membela lepas.” Johns (1979b: 171) berpendapat bahwa otentisitas beberapa sajak Chairil Anwar. baris-baris ini mirip dengan bunyi di dalam Baris kedua adalah ungkapan yang Keluaran 20: 4 dan Deuteronomy 4: 24. Di ditujukan kepada Tuhan. Amir Hamzah dalam membaca baris-baris ini, pendapat Johns melambangkan Tuhan sebagai kandil kemerlap mengenai Keluaran 20: 4 tampaknya tidak yang menjadi pelita karena cahayanya relevan hanya dari ditemukannya istilah Tuhan menyeruak ke luar jendela di malam gelap. yang pencemburu. Deuteronomy 4: 24 justru Tuhan seperti cahaya kepada Amir Hamzah dapat memberikan petunjuk mengenai bait yang pulang kembali. Dalam malam yang gelap, ini dan bait sebelumnya dari sajak “Padamu cahaya yang menyeruak dari jendela sebuah Jua.” Dari Deuteronomy 4: 24 kemudian rumah akan membantu seseorang yang hendak Deuteronomy 4: 7 dan 12 mengenai Tuhan yang pulang untuk mengenali rumah yang hendak dekat setiap kali dipanggil dan pernah hadir ditujunya. Cahaya dari lambaian api yang melalui suara namun tidak ada rupa, menjadikan membakar sumbu kandil ini sabar dan setia bait ini dan bait sebelumnya menjadi utuh seolah bergerak perlahan melambai mengajak artinya. Johns tidak membicarakan mengenai dirinya pulang. Amir Hamzah mengerti bahwa ayat-ayat tersebut. Dia hanya fokus pada Tuhan bagaimanapun ia tidak bisa kecuali untuk yang pencemburu saja dan menyatakan ada memasrahkan diri kepada Tuhan. pengaruh Kristen di dalam baris sajak Amir Ekspresi “Kaulah kandil kemerlap” di Hamzah “Engkau cemburu”. Benar bahwa dalam sajak Amir Hamzah ini bisa dijejerkan Amir Hamzah pernah bersekolah di sekolah dengan ekspresi yang dipakai oleh Rav-Das di Kristen dan tentu Bibel bukan sesuatu yang dalam “Nyanyian Rav-Das” namun keduanya asing bagi dirinya. Akan tetapi, jika hanya mempunyai arti yang berbeda. Dalam sajak mengikuti arah fokus pembicaraan Johns pada Amir Hamzah, Tuhan adalah seperti cahaya Tuhan yang pencemburu, di dalam tradisi yang selalu memberi panduan kepada rumah. Islam bisa kita temui istilah al-Ghayyur, Tuhan Tuhan selalu ada di sana untuk memberikan cemburu pada manusia sebab cinta-Nya jikalau petunjuk di malam yang gelap, sedangkan manusia melanggar aturan Tuhan. Oleh sebab di dalam “Nyanyian Rav-Das,” ada nuansa itulah, Deuteronomy 4: 7 dan 12 bersama mistik persatuan antara Gusti dengan Diri Deuteronomy 4: 24 hingga gambaran besar

154 Sawerigading, Vol. 26, No. 2, Desember 2020: Dipa Nugraha, Bertukar Tangkap dengan Raja... dari kisah dalam Deuteronomy 4 mengenai tahu bahwa permintaannya hanya relevan Tuhan berbicara kepada Musa menjadi penting manakala ia hidup sebab ketika hari kematian di dalam memaknai bait empat dan lima. itu datang padanya segala sesuatu yang Amir Hamzah memanggil Tuhannya namun diinginkannya di dunia seperti perempuan- bukan hanya tidak ada rupa, melainkan juga perempuan cantik yang menawan hatinya kehadiran-Nya melalui suara pun tidak ada. (Aja Bun dan Ilik Sundari) dan keinginan Yang ada hanyalah suara sayup miliknya sendiri melihat rupa Tuhan menjadi bukan hasrat memanggil Tuhan. yang dimintakan lagi. Sesudah mati, kalau Baris-baris “Engkau ganas/Mangsa salih, tentu keinginan-keinginan tersebut sudah aku dalam cakarmu/Bertukar tangkap dengan pasti oleh Tuhan diberi. Sekilas sajak ini bisa lepas” menampilkan keluh kesah Amir didapati telah memberikan pengaruh kepada Hamzah kepada Tuhan. Ia tahu bahwa ia tidak sajak berjudul “Sorga” karya Chairil Anwar. mungkin lepas dari kuasa Tuhan, selalu dalam Hanya pada Chairil Anwar, harapan mengenai cengkeraman Tuhan. Dalam baris-baris ini pula, kebahagiaan dengan perempuan-perempuan ia mengeluhkan betapa dirinya lemah lewat cantik yang diinginkan di dunia tidak hendak ungkapan “Engkau ganas” ketika hidupnya disamakan dengan bidadari-bidadari cantik mengalami pemberian ujian “bertukar tangkap yang diberikan sebagai ganjaran di surga. Bait dengan lepas.” Dari dua cinta yang pernah terakhir sajak Amir Hamzah dan bait terakhir ia peroleh, pada akhirnya keduanya kandas sajak Chairil Anwar berkata tentang keinginan sehingga akibatnya adalah sesuatu yang dapat akan perempuan yang dikenal sekarang ditemui pada bait berikutnya. dimintakan muncul di dunia bukan untuk nanti Bait berikutnya adalah ungkapan Amir sesudah kematian. Hamzah pada situasi yang dihadapinya. Ia Sajak berikutnya yang akan dibahas merasa terpukul sehingga nanar (bingung, adalah sajak yang berjudul “Di Mesjid” marah, limbung). Ia menjadi gila sasar karya Chairil Anwar. Sajak ini menurut (setengah gila, seperti gila). Namun, ia sadar Hutagalung (1971: 41) dianggap sebagai sajak bahwa bagaimanapun juga ia tidak bisa yang “mengedjek dan memusuhi Tuhan”, kecuali mengembalikan segala sesuatu kepada sedangkan Aveling (2014) dan Raffel (1966) Tuhannya. Bagaimanapun juga, Tuhan menurut justru berkeyakinan bahwa sajak ini malah Amir Hamzah adalah zat yang pelik (amat indah, menunjukkan aspek religiusitas dari Chairil rumit) membuat dirinya selalu mengharapkan Anwar. Walaupun masa kecil Chairil Anwar untuk dapat bertemu seperti dara yang berada dengan masjid mesra hanya dalam urusan azan di balik tirai. subuh dalam rangka membangunkan neneknya Di bait terakhir, Amir Hamzah masih agar bangun di saat subuh sehingga bersegera menunggu jawaban langsung dari Tuhan namun menanak nasi untuknya (Tim Tempo, 2016), belum juga jawaban itu datang kepadanya. ketika dewasa pun Chairil sendiri bukan orang Ia menunggu seorang diri, bernyanyi dalam yang tidak pernah pergi ke masjid. Ia pernah kesunyian. Ia sadar bahwa waktu terus berjalan menyatakan di dalam pidatonya tanggal 1 Juli dan bukan ia yang menggilirkan. Amir Hamzah 1943 sebagai seseorang yang bila singgah ke menginginkan Tuhan menjawabnya di dunia masjid tidak hanya di pekarangannya saja. dan bukan sesudah kematian itu datang Sajak “Di Mesjid” yang bertanggal 29 Mei kepadanya. Sebagaimana ia tuangkan hasrat ini 1943 ini adalah sajak yang diciptakan Chairil di dalam bait terakhir sajaknya yang berjudul Anwar dari inspirasi yang muncul ketika ia “Hanya Satu” di dalam Nyanyi Sunyi: Hanya menginap di rumah kakeknya Haji Adenan di satu kutunggu hasrat/Merasa dikau dekat rapat/ Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Saat Serupa Musa di pucuk tursina. Amir Hamzah itu bulan Ramadan, Chairil Anwar menjalankan

155 Sawerigading, Vol. 26, No. 2, Desember 2020: 149—161 puasa Ramadan dan mengerjakan salat di Amir Hamzah tidak terdapat adanya latar yang masjid (Sutjianingsih, 2009: 78). spesifik. Apa yang dibicarakan oleh Tiwon Sebagaimana pembahasan sajak Amir berkenaan dengan pengaruh ekspresi Amir Hamzah sebelumnya yang menempatkan si aku Hamzah saat bernyanyi kepada Tuhannya di dalam sajak sebagai Amir Hamzah, sajak “Di “Nanar aku, gila sasar” di dalam sajak ini Mesjid” juga akan meletakkan Chairil Anwar memang tampak jelas di dalam ekspresi Chairil sebagai si aku di dalam sajak. Berikut ini adalah Anwar saat menyeru Tuhannya: “Satu menista sajak “Di Mesjid”: lain gila.” Pertemuan Amir Hamzah dengan Di Mesjid Tuhannya juga menyodorkan gambaran yang berbeda dibandingkan pertemuan Chairil Kuseru saja Dia Anwar dengan Tuhannya. Amir Hamzah Sehingga datang juga menggambarkan dirinya di dalam pertemuan tersebut sebagai hamba yang menunggu Kami pun bermuka-muka jawaban dari Tuhan, sedangkan Chairil Anwar Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada mendeskripsikan dirinya sebagai hamba gila Segala daya memadamkannya. yang dinista Tuhan. Meski demikian, kedua sajak menunjukkan suasana religius. Bersimpah peluh diri yang tak bisa Di dalam sajak Chairil, bisa didapati diperkuda pengaruh Islam. Di dalam tradisi Islam, Ini ruang perintah ibadah salat adalah perintah bertemu Gelanggang kami berperang dengan Tuhan dalam waktu yang ditentukan. Saat salat diselenggarakan berjemaah di Binasa-membinasa masjid, ibadah salat dilengkapi dengan seruan Satu menista lain gila memanggil nama Allah, azan. Begitu juga di dalam ritual salat, nama Tuhan diseru berulang Aveling (2014), Raffel (1966), dan Tiwon kali. Meskipun antara Chairil Anwar dan Amir (1992) membicarakan sajak ini dalam konteks Hamzah menggambarkan momen pertemuan kepelikan jarak antara hamba dengan Tuhannya, dengan Tuhan, salat di mesjid yang melibatkan antara si aku Chairil Anwar dengan Tuhannya. “Kuseru saja Dia” berbeda dengan bermunajat Saya sepakat bahwa sajak ini berbicara tentang “Suara sayup/Hanya kata merangkai hati.” jarak. Tiwon (Tiwon, 1992: 15) menyebut Di dalam tradisi Islam, ibadah salat bahwa di dalam sajak “Di Mesjid,” kata- mempunyai dimensi transendental bahwa kata Chairil menciptakan imaji Tuhan sesuai Tuhan seolah-olah dapat dilihat (Masroom, bayangannya sebagaimana terdapat di dalam Muhamad, & Panatik, 2013) dan praktik sajak-sajak Amir Hamzah dan bagian “kami sengguk tangis atas kehadiran Tuhan dalam berperang” hingga “satu menista lain gila” di salat yang dideskripsikan dengan bergemuruh dalam sajak ini membawa pada alegori yang di dalam dada (Kharisman, 2015: 281). Momen terdapat di dalam sajak Amir Hamzah “Engkau saat Tuhan hadir di dalam diri seorang manusia, cemburu/Engkau ganas/Mangsa aku dalam di dalam ekspresi tradisi Islam, adalah dada. cakarmu.” Dada atau hati di dalam tradisi Islam merupakan Sajak ini terlihat menceritakan suatu tempat menampung rasa sakit tersiksa dosa, momen ketika Chairil Anwar berada di dalam berkehendak, atau menolak (Latif, 2014: masjid. Namun, jika dicermati Chairil Anwar 82). Gemuruh di dalam dada Chairil Anwar menceritakan suatu momen yang berbeda begitu kuatnya, ia berusaha sekuat tenaga dengan momennya Amir Hamzah di dalam untuk memadamkannya. Hal ini disampaikan sajak “Padamu Jua.” Ada latar masjid di dalam dengan kalimat bahwa sesudah Tuhan hadir “Ia sajak Chairil Anwar, sedangkan di dalam sajak

156 Sawerigading, Vol. 26, No. 2, Desember 2020: Dipa Nugraha, Bertukar Tangkap dengan Raja... bernyala-nyala dalam dada” padahal tadi Chairil sajak, Amir Hamzah di “Padamu Jua” dan Anwar tidak begitu berniat untuk khusyuk salat Chairil Anwar di “Di Mesjid.” Kedua-duanya (Kuseru saja Dia [mengikuti kumpulan jemaah mengalami rasa frustasi. Meski demikian, ada ini]). perbedaan di antara kedua sajak. Di dalam Pada bait satu baris “Bersimpuh peluh sajak Amir Hamzah, frustasi tersebut muncul diri yang tidak bisa diperkuda,” Chairil Anwar justru ketika Tuhan dianggap tidak “hadir” menceritakan apa yang dialaminya. Ia tidak untuk memberikan jawaban atas gundah gulana kuasa untuk melawan. ini berlanjut pada pada yang dialami Amir Hamzah. Amir Hamzah bait berikutnya. Baris “Ini ruang/Gelanggang menginginkan kata-kata langsung dari Tuhan kami berperang” bisa dimaknai dengan dua yang hadir sebagaimana terjadi pada Musa, cara. Ruang bisa berarti ruang di rongga dada sedangkan frustasi yang dialami oleh Chairil namun juga bisa berarti ruang masjid. Begitu Anwar justru muncul dari kehadiran Tuhan juga dengan kata “kami,” bisa diartikan perang yang membuatnya berperang antara rasa ingin di dalam diri Chairil Anwar yang berada di mendekat dengan rasa berjarak. antara mendekat dan menolak, antara berbuat Sajak Chairil Anwar “Doa” adalah sajak takwa atau patuh dengan berbuat maksiat yang diselesaikan oleh Chairil Anwar pada atau fujur (Miskahuddin, 2016). Perang ini 13 November 1943. Teks utuh sajak tersebut adalah usaha memadamkan gemuruh di dalam adalah sebagai berikut. dadanya oleh sebab pertemuan ini. Namun “kami” di dalam sajak ini juga bisa dimaknai Doa jemaah yang hadir bersama Chairil Anwar saat itu. Tiap anggota jemaah salat di ruang masjid Kepada pemeluk teguh saat itu sebenarnya sedang berperang di dalam diri mereka masing-masing. Tuhanku Kemudian di bait terakhir, sajak ini Dalam termangu kembali kepada diri Chairil Anwar. Ia tidak Aku masih menyebut namaMu mendapati dirinya sebagai orang yang baik. Biar susah sungguh Perang di dalam dirinya yang terjadi di momen mengingat Kau penuh seluruh salat yang seharusnya membuat dirinya mendekat, tidak berhasil membuat Chairil CayaMu panas suci Anwar dekat. Keadaan ini dimetaforakan tinggal kerdip lilin di kelam sunyi dengan ungkapan “binasa membinasa.” Dalam Tuhanku keadaan itu, ia sadar bahwa ia dinista untuk aku hilang bentuk mempunyai perasaan tidak bisa juga mendekat. remuk Konflik batin ini membuat Chairil Anwar merasa seperti sudah gila. Ini mengingatkan Tuhanku kepada lagu grup musik pop kasidah Bimbo yang berjudul “Tuhan” (1975, 1977) yang juga aku mengembara di negeri asing muncul dari tradisi Islam mengenai dada atau Tuhanku hati sebagai peraduan dari perang antara rasa di pintuMu aku mengetuk mendekat atau berjarak dengan Tuhan. aku tidak bisa berpaling. Sajak “Padamu Jua” dengan sajak “Di Sajak berjudul “Doa” ini dapat dan Mesjid” memiliki pertautan yang unik. Di satu sering dibandingkan dengan sajak “Padamu sisi, bisa didapati bahwa kegilaan yang hadir Jua” karya Amir Hamzah. Selain Al-Ma’ruf di dalam kedua sajak hanya sama di dalam (2005) yang percaya bahwa kedua sajak saling bentuk ekspresi dan suasana si aku di dalam

157 Sawerigading, Vol. 26, No. 2, Desember 2020: 149—161 berkaitan sebab ada kemungkinan mendapatkan sebelumnya dapat ditemukan di dalam sajak inspirasi dari salah satu ayat di dalam Alquran “Di Mesjid.”Tambahan pula, ada bagian lain sebagaimana sudah diulas sebelumnya, Abdul yang tidak pernah dibicarakan dari pengaruh Hadi WM dengan argumen yang berbeda sajak “Padamu Jua” milik Amir Hamzah menunjukkan bahwa kedua sajak justru terlihat kepada sajak “Doa”-nya Chairil Anwar. Baris- saling terkait dari ekspresi simbolik tentang baris “aku mengembara di negeri asing” dan “di “kandil” di sajak “Padamu Jua” yang muncul pintuMu aku mengetuk” mempunyai referensi sebagai “lilin” di dalam sajak “Doa.” Abdul pada sajak “Suara Malam” yang diciptakan Hadi WM (1983) secara retoris bertanya tentang Chairil Anwar di bulan Februari 1943 yang betapa jelasnya sajak Amir Hamzah “Padamu di bait penutupnya terdapati baris-baris “Ya Jua” memberi jejak pengaruh dalam proses Allah! Badanku terbakar – segala samar./Aku kreatif Chairil Anwar menulis sajaknya “Doa.” sudah melewati batas./Kembali? Pintu tertutup Pengamatan yang sama juga dikemukakan dengan keras.” Sedangkan ekspresi di dalam oleh Balfas. Di dalam pembacaannya atas kedua sajak Amir Hamzah melalui “Kaulah kandil sajak ini, ia (1976: 83-84) menggunakan istilah kemerlap/Pelita jendela di malam gelap” yang yang sedikit berbeda, tetapi esensinya sama dapat menuntun seseorang untuk kembali dengan apa yang diyakini oleh Abdul Hadi WM. pulang ke rumah, di dalam sajak Chairil Anwar Tampak bahwa Chairil Anwar meminjam ide muncul dalam bentuk “CayaMu panas suci/ dan imaji mengenai Tuhan di dalam baris sajak tinggal kerdip lilin di kelam sunyi.” Chairil Amir Hamzah “Kaulah kandil kemerlap/Pelita Anwar di awal tahun 1943 mengalami sesuatu jendela di malam gelap” yang mempengaruhi yang dianggapnya jauh dari rumah. Sesuatu munculnya baris-baris “cayaMu panas suci/ yang jika rujukkan pada sajak di bulan yang tinggal kerdip lilin di kelam sunyi”. sama, “Tak Sepadan,” memberikan petunjuk Sebelum pembicaraan mengenai bait-bait pada kisah cinta yang membuatnya tersiksa di dalam sajak “Doa” dimulai, perlu dicatat seperti Ahasveros, merasa berdosa, badannya bahwa sajak ini mempunyai catatan Kepada seolah merasa terbakar, terpanggang seolah- pemeluk teguh. Selain tanggal sajak yang jelas olah tinggal rangka saja, atau hilang bentuk terdapati atas sajak ini yaitu 13 November 1943 remuk di dalam sajak “Doa” ini oleh cahaya yang memberikan gambaran bahwa sajak ini Tuhan yang panas suci. Cahaya itu masih ada ditulis beberapa bulan sesudah sajak “Di Mesjid” meskipun “tinggal kerdip di kelam sunyi.” dan pidato Chairil Anwar di bulan Juli di tahun Cahaya dalam sajak “Doa” bukan hanya yang sama mengenai pertemuan dengan Tuhan sebagai sesuatu yang mensucikan sebagaimana di masjid. Sajak ini diperuntukkan kepada tradisi poetika Timur mengasosiasikan api pemeluk teguh dan menggunakan karakter dengan penyucian diri. Dalam sajak “doa,” yang berbicara di dalam sajak dalam bentuk cahaya adalah sesuatu yang menuntun pulang. “aku.” Lepas dari kisah hidup Chairil Anwar Pengaruh cahaya yang menuntun pulang di yang disebut bohemian, Chairil Anwar lewat dalam “Padamu Jua” karya Amir Hamzah sajak “doa” hendak memberikan pernyataan muncul di dalam sajak ini. Chairil Anwar bahwa ia adalah seorang pemeluk teguh. merasa bahwa apa pun yang telah terjadi pada “Padamu Jua,” sajak “Doa” tidak secara dirinya dan apa yang dilihat atas dirinya di spesifik menyebutkan latar tempat. Kedua hadapan Tuhan seperti terlihat di dalam sajak sajak jelas memiliki nuansa religius, tetapi ada “Di Mesjid” yaitu sebagai seorang hamba yang berbeda dari kedua sajak ini. Pengaruh yang dinista, bagaimana pun juga, tidak bisa penggunaan ekspresi simbolik “Padamu Jua” membuatnya meninggalkan Tuhan. Episode- dapat dilihat di dalam “Doa,” tetapi sajak “Doa” episode kehidupan Chairil Anwar yang penuh memiliki gaung situasi Chairil Anwar yang dengan romantika dan percintaan yang selalu

158 Sawerigading, Vol. 26, No. 2, Desember 2020: Dipa Nugraha, Bertukar Tangkap dengan Raja... kandas, seperti Amir Hamzah, seperti terpotret kandil, lilin,caya yang terdapati di dalam kedua lain di dalam sajak-sajak Chairil Anwar yang sajak, penelitian ini menunjukkan bahwa bernada pemberontakan, keterasingan, dan apa yang ditangkap oleh Amir Hamzah dari hal-hal yang melampaui batas. Sajak-sajak ekspresi simbolis dalam sajak-sajak penyair tersebut memberikan situasi dan gambar benak Timur yang ia baca dan terjemahkan untuk Chairil Anwar yang tersiksa pada tindakan- kemudian dipergunakan di dalam proses kreatif tindakan yang membuatnya jauh dari Tuhan yang mengekspresikan situasi dirinya dalam namun ia sadar bagaimanapun juga ia tidak perjalanan selanjutnya ditangkap oleh Chairil bisa berpaling. Hal ini tampak di dalam detik- Anwar untuk menjadi bahan di dalam proses detik akhir kehidupan Chairil Anwar. Tak jemu kreatif yang menggambarkan situasi Chairil ia menyebut-nyebut nama Tuhan (Aspahani, Anwar. Chairil Anwar bertukar tangkap dengan 2016: 274–275). Pulang, ia kembali mengetuk Amir Hamzah di dalam proses kreatif penciptaan pintu ampunan Tuhan. sajak-sajaknya. Tentu saja, artikel ini turut Pembacaan atas sajak-sajak tadi juga pula menunjukkan perbedaan situasi Amir dapat memberikan perspektif lain di dalam Hamzah dengan Chairil Anwar sebagaimana membaca ulang sajak “Aku” yang diciptakan tergambarkan di dalam ketiga sajak yang di bulan Maret 1943 terkait dengan istilah dibahas. Termasuk juga telah dibahas bahwa “binatang jalang” dan “dari kumpulan sajak-sajak tersebut menunjukkan adanya isu terbuang.” Meski benar bahwa Chairil Anwar jarak antara kedua penyair dengan Tuhan. mempunyai sajak-sajak yang menyuarakan nasionalisme, sajak “Aku” atau diterbitan lain DAFTAR PUSTAKA diberi judul sebagai “Semangat” bukanlah Al-Ma’ruf, A. I. (2005). Intertekstualitas puisi sajak nasionalisme. Peluru yang menembus “Padamu Jua” Amir Hamzah dan puisi kulit tetapi tetap meradang menerjang, tentu “Doa” Chairil Anwar: Menelusuri cahaya saja terinspirasi dengan situasi revolusi saat itu Al-Qur’an dalam puisi sufistik Indonesia. (bdk. Balfas, 1976: 84) sebagai sebuah metafora Kajian Linguistik dan Sastra, 17(32), tidak putusnya semangat di dalam menjalani 75–87. hidup. Namun, “Aku ini binatang jalang/Dari Aspahani, H. (2016). Hidup hanya Menunda kumpulan terbuang” jika dibaca cermat dengan Kekalahan. In Chairil Anwar (pp. 271– menggunakan referen-referen situasi Chairil 292). Jakarta: GagasMedia. Anwar melalui biografi dan sajak-sajak lainnya Aveling, H. (2014). The person and religious sebagaimana telah dilakukan oleh artikel ini, ada poetry in Malay. Malay Literature, 27(2), kecenderungan mengarahkan kepada suatu hal 242–262. yang melampaui batas yang dilakukan Chairil Balfas, M. (1976). Modern Anwar yang sempat membuatnya mengalami in brief. In Literaturen, Abschnitt 1 (pp. konflik batin yang kuat. Konflik batin yang 41–116). Leiden, Koln: E.J. Brill. terkait dengan percintaan sebagaimana Amir Couey, J. B., & James, E. T. (2018). Introduction. Hamzah pernah nyanyikan dalam kesunyian. In J. B. Couey & E. T. James (Eds.), Biblical Poetry and the Art of Close PENUTUP Reading (pp. 1–12). Cambridge, NY: Pembacaan cermat atas sajak “Padamu Cambridge University Press. Jua” karya Amir Hamzah dan dua sajak karya Culler, J. (2010). The closeness of close reading. Chairil Anwar yang berjudul “Di Mesjid” ADE Bulletin, 149, 20–25. dan “Doa” menunjukkan adanya pengaruh Daud, H. (2007). Amir Hamzah seorang penyair Amir Hamzah atas Chairil Anwar. Alih-alih mistik. Logat: Jurnal Ilmiah Bahasa dan menunjuk pada penggunaan ekspresi simbolik Sastra, III (1), 39–45.

159 Sawerigading, Vol. 26, No. 2, Desember 2020: 149—161

Elkad-Lehman, I., & Greensfeld, H. (2011). research methods (pp. 226–230). Los Intertextuality as an interpretative method Angeles, London, Delhi, Singapore: in qualitative research. Narrative Inquiry, SAGE Publications. 21(2), 258–275. K.S., Y. (2010). Pengantar Sejarah Sastra Hancher, M. (2016). Re: Search and Close Indonesia. Jakarta: Grasindo. Reading. In Debates in the Digital Kharisman, A. U. (2015). Fiqh Bersuci Humanities 2016 (pp. 118–138). dan Sholat sesuai Tuntunan Nabi. University of Minnesota Press. Probolinggo: Pustaka Hudaya. Hardjakusumah, S. (1975). Tuhan (“Pop Kratz, E. U. (1999). Amir Hamzah “Raja” Qasidah” album released in cassette Penyair Melayu. Wacana, 1(2), 261–273. format). Jakarta: Remaco. Latif, U. (2014). Al-Qur’an sebagai sumber Hardjakusumah, S. (1977). Tuhan (“Bimbo rahmat dan obat penawar (syifa’) bagi Qasidah” album released in vinyl LP manusia. Jurnal Al-Bayan: Media Kajian format). Kuala Lumpur: Hup Hup Sdn. dan Pengembangan Ilmu Dakwah, Bhd. 21(30), 77–88. Hartman, D. K. (1992). Intertextuality and Mahmud, D. (2005). Amir Hamzah sebagai reading: The text, the reader, the penyair dan pengembangan bahasa author, and the context. Linguistics and Indonesia, satu bandingan. In T. Amir Education, 4(3), 295–311. Hamzah (pp. 31–44). : Balai Howe, E. A. (2009). Close Reading: An Bahasa Sumatera Utara, Departemen Introduction to Literature. New York: Pendidikan Nasional. Pearson. Masroom, M. N., Muhamad, S., & Panatik, S. Hutagalung, M. S. (1971). Memahami dan (2013). Iman, Islam dan Ihsan: Kaitannya Menikmati Puisi. Djakarta: Badan dengan Kesihatan Jiwa. Penerbit Kristen. McCall, J. (2017). Close Reading: The Theory Jänicke, S., Franzini, G., Cheema, M. F., & Which is Not One. Early Modern Culture, Scheuermann, G. (2015). On Close and 12 (1), 7. Distant Reading in Digital Humanities: Miskahuddin. (2016). Spiritualisme dan A Survey and Future Challenges. EuroVis Perubahan Sosial dalam Al-Qur’an. Al- (STARs), 83–103. Mu‘Ashirah, 13(1), 22–33. Jassin, H. B. (1956). Chairil Anwar; Pelopor Nicholson, H. (2017). Close reading. Research Angkatan 45. Satu Pembitjaraan. in Drama Education: The Journal of Djakarta: Gunung Agung. Applied Theatre and Performance, 22(2), Johns, A. H. (1979a). Amir Hamzah: Malay 183–185. Prince, Indonesian Poet. In Cultural Piette, A. (2013). Contemporary Poetry and options and the role of tradition (pp. Close Reading. In The Oxford Handbook 124–140). Canberra: Australian National of Contemporary Poetry (ed. by Peter University Press. Robinson) (pp. 230-245). Oxford: Oxford Johns, A. H. (1979b). Cultural Options and The University Press. Role of Tradition: Fecundation of a new Raffel, B. (1966). Chairil Anwar - Indonesian Malay poetry. In Cultural options and the Poet. The Literary Review, 10(2), 133– role of tradition (pp. 141–187). Canberra: 157. Australian National University Press. Rosidi, A. (1991). Ikhtisar Sejarah Sastra Johnson-Bailey, J., & Ray, N. M. (2008). Indonesia. Bandung: Binacipta. Diversity Issues. In L. M. Given (Ed.), The Sage encyclopedia of qualitative

160 Sawerigading, Vol. 26, No. 2, Desember 2020: Dipa Nugraha, Bertukar Tangkap dengan Raja...

Schleicher, M. (2007). Intertextuality in the Tim Tempo. (2016, August 21). Pustaka Impian Tales of Rabbi Nahman of Bratslav: a Taeh Baruah. Majalah Tempo, 62–63. Close Reading of Sippurey Ma’asiyot. Tim Tempo. (2017, August 14). Cinta pertama Leiden, Boston: Brill. bikin sakit hati. Majalah Tempo, p. 5. Sutherland, H. (1968). Pudjangga Baru: Retrieved from https://majalah.tempo. Aspects of Indonesian Intellectual Life in co/read/laporan-utama/153802/cinta- the 1930s. Indonesia, 6(6), 106–127. pertama-bikin-sakit-hati?read=true Sutjianingsih, S. (2009). Chairil Anwar: Hasil Tiwon, S. (1992). Ordinary songs: Chairil Karya dan Pengabdiannya (S. Sjafei Anwar and traditional poetics. Indonesia & F. Burhan, Eds.). Jakarta: Direktorat Circle. School of Oriental & African Jenderal Sejarah dan Purbakala, Studies. Newsletter, 20(58), 3–18. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. WM, A. H. (1983, June). Chairil Anwar, Amir Teeuw, A. (2013). Modern Indonesian Hamzah, dan tradisi puisi Indonesia. Literature. Dordrecht: Springer Horison, 273–282. Netherlands.

161