MASALAH HIBRIDITAS DAN AMBIVALENSI DALAM NOVEL KARYA SELASIH DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA DI SMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh

Nurlaily Hanifah Amalia

1111013000106

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2018

ABSTRAK

Nurlaily Hanifah Amalia, 1111013000106, ”Masalah Hibriditas dan Ambivalensi dalam Novel Kalau Tak Untung karya Selasih dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah , Dosen Pembimbing Ahmad Bahtiar, M.Hum. Sebagai perempuan pertama yang menerbitkan novel di , karya Selasih patut untuk dijadikan penelitian pascakolonial dengan melihat dari jejak kependidikan dalam novel Kalau Tak Untung. Selasih selama hidupnya mengabdikan diri pada dunia pendidikan dan ikut dalam perjuangan emansipasi perempuan dan pergerakan nasionalisme. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana perubahan sosial dan membahas kisah percintaan antara kedua tokoh utama yang terdapat dalam novel Kalau Tak Untung guna menambah wawasan sejarah dan meningkatkan rasa nasionalisme. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Adapun hasil pembahasan menggunakan pendekatan pascakolonial dari analisis tokoh, yaitu: 1) pada tokoh Masrul terlihat munculnya hibriditas dan ambivalensi psikologi pada perbedaan latar tempat; 2) pada tokoh Rasmani terlihat munculnya hibriditas dan ambivalensi pada lingkungan masyarakat Minangkabau; 3) pada tokoh Muslina terlihat munculnya ambivalensi psikologis, mimikri, hibriditas dan hegemoni yang terjadi karena pengaruh kehidupan sosialnya; 4) pada tokoh Ibu Masrul terlihat munculnya ambivalensi karena pandangan Timur yang diyakininya. Kesimpulannya, setiap tokoh mengalami permasalahan sosial dengan balutan kisah percintaan yang berbeda status sosial sehingga menjadikan novel ini merupakan wacana kolonial yang dengan penulisan struktural yang padu. Nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam novel dapat menjadi bahan dan media pembelajaran untuk menyadarkan peserta didik akan sejarah sosial.

Kata Kunci :Pascakolonial, ambivalensi, hibriditas, hegemoni, mimikri, pembelajaran sastra, Kalau Tak Untung, Selasih.

i

ABSTRACT

Nurlaily Hanifah Amalia, 1111013000106, “Hybridity and Ambivalence Problem in Selasih’s Kalau Tak Untung and It's Implication on Learning in Senior High School. Department of and Literature, Faculty of Tarbiyah and Teaching, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, 2018. Advisor: Ahmad Bahtiar, M.Hum. As the first woman to publish a novel at Balai Pustaka, Selasih's work deserves to be used as a postcolonial research by looking at the educational traces in the novel Kalau Tak Untung. Selasih during his life devoted himself to the world of education and participated in the struggle for women's emancipation and the movement of nationalism. The purpose of this study was to see how social change and discuss the love story between the two main characters contained in the novel Kalau Tak Untung in order to add historical insight and increase a sense of nationalism. The method used is descriptive qualitative. The results of the discussion using a postcolonial approach from the character analysis, namely: 1) the Masrul figure shows the emergence of hybridity and psychological ambivalence on the differences in the setting of the place; 2) the physical figure shows the emergence of hybridity and ambivalence in the Minangkabau society; 3) the Muslina figure shows the emergence of psychological ambivalence, mimicry, hybridity and hegemony that occur because of the influence of his social life; 4) the figure of Mrs. Masrul shows the emergence of ambivalence because of the Eastern views which she believes. In conclusion, each character experiences social problems with a different love story with social status, making this novel a colonial discourse with coherent structural writing. Life values contained in the novel can be material and learning media to make students aware of social history.

Key Word : Postcolonial, , ambivalen, hybridity, hegemony, mimicry, literary learning, Kalau Tak Untung, Selasih.

ii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya, serta kesehatan jasmani dan rohani kepada penulis sehingga diberi kemudahan untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul "Analasis Pascakolonial dalam Novel Kalau Tak Untung Karya Selasih dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA". Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad Saw. Beserta para keluarga dan sahabatnya.

Penulisan skripsi ini ditujukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kepentingan pembacanya.

Dalam proses penulisan skripsi ini tentu saja tidak terlepas dari nasihat, saran dan motivasi dari berbagai pihak yang dengan ketulusan hati mau membantu dan membimbing penulis. Dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguuruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; 2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang mempermudah dan memberikan motivasi dalam proses penulisan skripsi ini; 3. Toto Edidarmo, MA., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang mempermudah dalam segala proses administrasi; 4. Ahmad Bachtiar, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu untuk penulis dalam proses bimbingan skripsi, sabar

iii

dalam membimbing dan memberikan masukan untuk referensi tulisan hingga akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik; 5. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia khususnya dan dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan ilmu kepada penulis dalam menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah; 6. Kedua orangtua tercinta yaitu Sri Hastuti dan Tino Ali Susanto yang telah merawat, membimbing, tidak henti-hentinya memberikan doa dan dorongan baik moril dan materil. Dengan usaha dan kerja keras mereka berhasil membuat ketiga anaknya mendapat gelar sarjana dengan pendidikan yang hanya mereka dapatkan sampai SMA. Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tanda bakti; 7. Kakak-kakak tercinta, yaitu Martina Eka Suryastuti, S.Pd dan Yusuf Marsudi Rahman, S.Tek yang telah memberikan motivasi dan arahan sehingga skripsi ini terselesaikan; 8. Bibi saya tercinta Niniek Sugiyono dan Ibu Jujuk yang memberikan semangat, kasih sayang dan kepercayaan kepada penulis bahwa penulis dapat menyelesaikan skripsi ini; 9. Sahabat "Tante Rempong", Ade Nurfadillah, Maisyah Rahmanita Putri, Marcita Fajarwati, Septi Liawati, dan Tasmiyatun Hasanah yang sejak awal perkuliahan menjadi tempat berkeluh kesah, memberikan keceriaan, suka duka, saling mendukung dan mendoakan hingga akhir masa perjuangan; 10. Teman-teman yang memberikan semangat satu sama lain, Mohammad Salma, Marissa Rizqi, Adi Alvian, Endah Sri Rahayu, Rahma Rahayu Mustika, Dinny Laras Safitri, dan Amalia Rosyidah; 11. Teman-teman PPKT di SMP Darul Ma'arif Jakarta yang telah bekerja sama dengan kompak selama praktik mengajar, Maisyah, Eva, Ervi, dan Karima; 12. Teman-teman Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2011, khususnya PBSI C yang selalu kompak dan semangat dan Keluarga besar Teater Syahid yang telah memberikan penulis pelajaran dan pengalaman berharga dalam dunia teater; iv

Terima kasih pula kepada pihak-pihak yang telah memudahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga limpahan rahmat Allah, terhikmat kepada kita semua. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran untuk menjadi lebih baik.

Ciputat, 27 Juni 2018

Nurlaily Hanifah Amalia

v

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

ABSTRAK ...... i

ABSTRACT ...... ii

KATA PENGANTAR ...... iii

DAFTAR ISI ...... vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Identitas Masalah ...... 4 C. Pembatasan Masalah ...... 4 D. Rumusan Masalah ...... 4 E. Tujuan Penelitian ...... 4 F. Manfaat Penelitian ...... 5 G. Metode Penelitian ...... 6 H. Sumber Data ...... 7 I. Teknik Pengumpulan Data ...... 7 J. Teknik Analisis Data ...... 8

BAB II KAJIAN TEORI

A. Hakikat Pascakolonial ...... 9 B. Hakikat Novel ...... 13 C. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ...... 25 D. Penelitian yang Relevan ...... 28

BAB III BIOGRAFI, PANDANGAN PENGARANG DAN SINOPSIS

A. Biografi Selasih ...... 30

B. Pandangan Hidup Selasih ...... 33 C. Sinopsis Novel Kalau Tak Untung Karya Selasih ... 35

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Unsur Intrinsik Novel Kalau Tak Untung Karya Selasih ...... 38 B. Analisis Pascakolonial Novel Kalau Tak Untung Karya Selasih ...... 82 C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ...... 91 BAB V PENUTUP A. Simpulan ...... 95

B. Saran ...... 96

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

LEMBAR UJI REFERENSI

PROFIL PENULIS

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Keterikatan karya sastra akan latar sosial seorang pengarang tidak akan lepas dari latar sosial karya sastranya pula. Tidak lepas pula untuk penulisan karya sastra pada awal sejarah novel Indonesia. Pada tahun 1930, penulis asalah Barat mendominasi hingga 57% dari keseluruhan penulis di Indonesia saat itu.1 Namun hal nyata lainnya hanya terdapat tiga nama penulis yang muncul, yaitu Selasih, Hamidah, dan Suwarsih yang tentunya memasukkan tokoh protagonisnya adalah perempuan. Membicarakan tahun 1930an, novel yang paling terkenal pada saat itu adalah Siti Nurbaya karya dan karya Abdul Moeis. Ketenaran karya mereka merupakan pembuktian dari data di atas. Namun dalam penelitian ini, objek yang digunakan yaitu novel Kalau Tak Untung karya Selasih yang merupakan penulis perempuan pertama Indonesia. Novel ini menceritakan percintaan dua orang anak yang bersahabat sejak kecil, sama-sama sekolah, dan sama-sama pula hidup tak berkecukupan. Hingga saat dewasa, Masrul dipindahkan bekerja di luar daerah dan membuat hubungan dirinya dengan Rasmani menjadi renggang. Di sinilah awal konflik muncul, dari perjodohan Masrul dengan Aminah, keraguan Masrul mengambil keputusan, dan penyesalan yang disajikan dengan menggunakan alur maju. Novel Kalau Tak Untung merupakan karya yang diterbitkan Balai Pustaka. Novel-novel hasil keluaran Balai Pustaka memiliki ciri khas tentang kisah percintaan yang tak sampai. Namun pembawaan cerita antara penulis pria dan penulis perempuan akan terlihat perbedaan, di mana cerminan dari tokoh dari yang mereka tulis akan menjadi cerminan pandangan hidup sang penulis.

1 Jacob Sumardjo, Pengantar Novel Indonesia, (, PT. Citra Aditya Bakti, 1991), h. 97. 1 2

Novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan menceritakan secara terbuka bagaimana kehidupan tokoh utama pria mereka. Samsul dalam Siti Nurbaya dan Hanafi dalam Salah Asuhan. Samsul masuk ke militer koloni dan Hanafi yang membuang identitasnya sebagai masyarakat Timur. Namun dalam Kalau Tak Untung, tokoh utamanya, Masrul, tidak mengalami perubahan seekstrim itu, namun dirinya berusaha lepas dari ikatan budaya daerahnya dengan memilih perempuannya sendiri untuk dinikahi. Dan hal ini didukung dalam latar cerita yang berbeda antara di kota dan di desa. Perubahan sosial yang terjadi dalam Kalau Tak Untung menjadikan penulis menggunakan teori pascakolonial dengan pembahasan hibriditas dan ambivalensi. Hibriditas dalam humaniora berarti hubungan dua kebudayaan dengan identitas yang berbeda, sedangkan ambivalensi sikap medua atau berlawanan terhadap situasi yang sama dan digunakan untuk menjelaskan keragaman pilihan dalam pembentukan suatu identitas.2 Hibriditas dan ambivalensi tokoh dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih, menjadi dasar penelitian penulis dengan menggunakan pendekatan pascakolonial dengan melihat kondisi dan kecenderungan masyarakat yang melihat pendidikan dari kacamata adat dan modern Penelitian ini cenderung lebih kepada perbedaan derajat antara pria dari keluarga mampu dengan gadis dari keluarga miskin. Hingga pada akhirnya kedua tokoh ini berusaha untuk melakukan pembentukan diri karena pengaruh sosial di lingkungannya. Jika dihubungkan dengan pembelajaran sastra, siswa akan belajar mengkritisi sastra dengan melibatkan unsur-unsur budaya sesuai dengan kemampuan siswa yang bertujuan agar siswa lebih percaya diri dalam mengeluarkan pendapat. Maka dari itu, penulis mengangkat hibriditas dan ambivalensi selain sebagai penelitian diharapkan pada pembelajaran sastra

2 Nyoman Kutha Ratna, Postkolonialisme Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 440, 447.

3

mampu memberikan rasa keingintahuan kepada siswa dengan membaca cerita tetapi juga mendapatkan ilmu sejarah di dalamnya. Selain itu diharapkan pula dapat mengubah perilaku dan pandangan hidup mereka setelah memahami dengan baik akan berharganya menjadi merdeka. Tentunya diharapkan hasil dari pelajaran ini mampu membuat siswa, peneliti, dan pengajar menjadi sadar akan nilai nasionalisme dan nilai pendidikan yang terkandung dalam karya sastra. Hal ini mempermudah siswa untuk mengetahui situasi dan keadaan pada masa sebelum merdeka dalam bentuk karya sastra. Untuk mencapai nilai-nilai tersebut, pasti memiliki masalah yang sering terjadi dalam proses belajar mengajar. Masalah dalam pembelajaran menjadi hal yang terelakkan jika kita memandang dari segi pendidikan di Indonesia yang tidak mengalami banyak perubahan dari masa penjajahan hingga sekarang dengan beberapa kali adanya perubahan kurikulum. Turunnya minat siswa dapat dikarenakan kondisi kelas yang tidak efisien untuk belajar, lingkungan sekitar sekolah, dan terutama sifat siswa sendiri yang malas untuk belajar hingga minat untuk belajar menjadi lemah. Hasilnya adalah nilai yang menurun dan semangat belajar siswa yang ikut menurun pula. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah bagi para pengajar untuk meningkatkan minat belajar siswa tentunya dengan tidak melupakan dasar keterampilan berbahasa, yakni menyimak, berbicara, membaca dan menulis dengan mengharapkan adanya perubahan akibat adanya stimulus dan respon. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis akan menganalisis unsur pembangun cerita intrinsik, hibriditas dan ambivalensi, lalu mengimplikasikannya dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dengan objek penelitian novel Kalau Tak Untung karya Selasih. Dengan demikian, penulis memilih judul: "Masalah Hibriditas dan Ambivalensi dalam Novel Kalau Tak Untung karya Selasih dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA."

4

B. Identifikasi Masalah

Pengidentifikasian masalah berdasarkan uraian latar belakang adalah sebagai berikut: 1. Belum adanya analisis novel Kalau Tak Untung karya Selasih terkait hibriditas dan ambivalensi. 2. Kurangnya sikap nasionalisme dan cinta tanah air dalam diri siswa. 3. Kurangnya minat siswa terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah pada analisis hibriditas dan ambivalensi dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih, kemudian diimplikasikan kepada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.

D. Rumusan Masalah

Agar permasalahan pada penelitian ini menjadi jelas dan terarah, perlu adanya rumusan masalah. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana analisis hibriditas dan ambivalensi dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih? 2. Bagaimana implikasi tentang sejarah kolonial dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

5

1. Mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih 2. Mendeskripsikan analisis hibriditas dan ambivalensi dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih 3. Mendeskripsikan implikasi novel Kalau Tak Untung karya Selasih pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dibagi atas dua manfaat, yakni: 1. Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya penelitian dalam bidang sastra Indonesia dan memperkaya ilmu pengetahuan dalam perkembangan sastra Indonesia. 2. Manfaat Praktis a. Guru Bahasa Indonesia Guru Bahasa Indonesia dapat mengetahui perkembangan terbaru tentang ilmu kesusastraan, kebahasaan, dan banyaknya metode yang dapat digunakan untuk menganalisis suatu karya dan dapat menjadi bahan ajar dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. b. Siswa Siswa diharapkan dapat memahami pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dan mengambil amanat dari setiap materi yang telah diberikan lalu mengaplikasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu siswa juga diharapkan menjadi lebih teliti dengan berlatih mendeskripsikan sebuah sastra secara mendetail, yang kelak akan berguna saat ujian dalam semua mata pelajaran.

6

c. Peneliti Manfaat antar peneliti agar dapat membandingkan antara hasil skripsi yang satu dengan yang lainnya. Dapat juga sebagai bahan referensi untuk penelitian yang relevan dan juga untuk menambah wawasan dalam penelitian skripsi terutama dalam sastra dengan memiliki subjek dan objek penelitian yang sama.

G. Metode Penelitian

Latar belakang dan masalah yang muncul dalam penelitian ini adalah analisis pasckolonial yang terdapat pada novel sebelum kemerdekaan. Analisis pascakolonial dapat dikatakan merupakan penelitian sosial yang masuk ke dalam metode kualitatif. Penelitian kualitatif sifatnya deskriptif analitik. Data yang diperoleh seperti hasil pengamatan, hasil wawancara, hasil pemotretan, analisis dokumen, catatan lapangan, disusun peneliti di lokasi penelitian, tidak dituangkan dalam bentuk dan angka-angka. Peneliti melakukan analisis data dengan pola atas dasar data aslinya dan hasilnya berupa pemaparan mengenai situasi yang diteliti dan disajikan dalam bentuk uraian naratif.3 Dalam penelitian ini, data diperoleh dari analisis dokumen. Dokumen adalah segala sesuatu materi dalam bentuk tertulis yang dibuat oleh manusia. Dokumen yang dimaksud segala cararan baik dalam kertas maupun elektronik yang dapat berupa buku, artikel media massa, catatan harian, manifesto, undang- undang, notulen, blog, halaman web, foto, dan lainnya.4 Maka metode penelitian yang digunakan dala penelitian ini adalah dokumentasi. Penulis melakukan penelitian ini menggunakan analisis kualitatif karena penulis menghadapi teks karya sastra yang menggunakan bahasa sebagai media

3 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 87. 4 Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar, (Jakarta: PT. Indeks, 2012), h. 61.

7

penyalurnya. Dalam bahasa itu sendiri terdapat makna-makna yang tersirat dari sebuah teks. Berdasarkan pengertian, dapat disimpulkan bahwa metode kualitatif adalah metode penelitian yang menggunakan data secara langsung, bersifat induktif dan deskriptif. Terhubung dengan analisis hibriditas dan ambivalensi yang termasuk ke dalam penelitian sosial memiliki tujuan penelitian sebagai gambaran, ringkasan berbagai kondisi dan situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian.

H. Sumber Data

Sumber data untuk penelitian ini terdapat dua sumber, yaitu data primer dan data sekunder. a. Sumber data primer Sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel Kalau Tak Untung karya Selasih diterbitkan oleh Balai Pustaka, cetakan kedua puluh dua pada tahun 2001 dengan tebal halaman 156. b. Sumber data sekunder Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa buku, artikel, jurnal, dan beberapa penelitian yang relevan yang berupa skripsi dan tesis bersumber dari media elektronik resmi melalui universitas dan lembaga tertentu yang berhubungan dengan analisis ini.

I. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis dalam penelitian novel Kalau Tak Untung karya Selasih, yaitu: Pertama, penulis membaca, mempelajari, mendalami, mencari sumber referensi melalui internet, dan menulis data yang memiliki keterkaitan dengan penelitian.

8

Kedua, beberapa sumber tertulis digunakan sesuai dengan masalah dan tujuan pengkajian sastra dalam hal pascakolonial secara mendalam. Fokus data yang dicatat adalah unsur intrinsik novel dan data yang terkait dengan masalah hibriditas dan ambivalensi dalam novel Kalau Tak Untung.

J. Teknik Analisis Data

Terdapat beberapa tahap yang digunakan untuk menganalisis data, yakni: a. Menganalisis novel Kalau Tak Untung karya Selasih dengan menggunakan analisis struktural untuk mengetahui unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel. b. Menguraikan cerita dari novel Kalau Tak Untung karya Selasih dan menganalisisnya menggunakan sosiologi sastra yang secara khusus berkaitan dengan menggunakan pendekatan pascakolonial hibriditas dan ambivalensi. c. Mengimplikasikan novel Kalau Tak Untung karya Selasih pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dengan menghubungkan pembelajaran yang berada di luar sekolah atau dengan mata pelajaran yang lainnya.

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Hakikat Pascakolonial Teori pascakolonial adalah sebuah istilah bagi sekumpulan strategi teoretis dan kritis yang digunakan untuk meneliti kebudayaan (kesusastraan, politik, sejarah, dan seterusnya) dari koloni-koloni negara-negara Eropa dan hubungan negara-negara itu dengan belah dunia sisanya. Meskipun tidak mempunyai aliran dan metode yang tunggal, teori pascakolonial mempunyai kesamaan dalam asumsi-asumsi berikut: (a) mempertanyakan efek negatif dari apa yang justru dianggap bermanfaat kekuasaan imperial itu seperti pernyataan mengenai hadiah peradaban, warisan sastra Inggris, dan sebagainya; (b) mengangkat isu-isu seperti rasisme dan eksploitasi, dan (c) mempersoalkan posisi subjek kolonial dan pascakolonial.1 Pascakolonial dalam kajian sastra merupakan strategi bacaan yang menghasilkan pertanyaan-pertanyaan yang bisa membantu mengidentifikasi adanya tanda-tanda kolonialisme dalam teks-teks kritis maupun sastra, dan menilai sifat dan pentingnya efek-efek tekstual dari tanda-tanda dan efek-efek kolonialisme dalam sastra. Menurut Moore dan Gilbert dalam Martono menjelaskan bahwa secara umum teori pascakolonial yang lahir pada paruh kedua abad ke-20 sering disebut sebagai metode dekonstruksi terhadap model berpikir dualis (biner) yang membedakan antara “Timur” dan “Barat.2 Teori Orientalisme merupakan dasar dari teori pascakolonial karena pembahasan dalam teori tersebut membicarakan hal-hal tentang kepenjajahan milik Eropa atas banyak negara. Maka dari itu, Said, sang penemu teori, mengkategorikan Eropa sebagai sisi Barat dengan kemajuan pemikiran dan teknologi yang lebih maju dibandingkan dengan Timur.

1 Faruk, Pasca-kolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 14 2 Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Postmodern dan Postkolonial, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 103.

9 10

Teori pascakolonial mencakup tiga kemungkinan pilihan perhatian, yaitu: (a) pada kebudayaan masyarakat-masyarakat yang pernah mengalami penjajahan Eropa, baik berupa efek penjajahan yang masih berlangsung sampai pada masa pascakolonial maupun kemungkinan transformasinya ke dalam bentuk-bentuk yang disebut neokolonialisme (internal maupun global), (b) repons perlawanan atau wacana tandingan dari masyarakat terjajah maupun yang lainnya terhadap penjajahan itu, tanpa menghilangkan perhatian pada kemungkinan adanya ambiguitas atau ambivalensi, dan (c) segala bentuk marginalitas yang diakibatkan oleh segala bentuk kapitalisme.3 Ambivalensi adalah ekspresi dari upaya kami untuk mempertahankan kebiasaan yang bertahan lama dan terawat baik dalam menghadapi situasi baru yang menimbulkan sikap yang berbeda secara radikal yang terkadang berlawanan. Meskipun emosi, keinginan, dan sikap bisa ambivalen, contoh ambivalensi paling jelas adalah yang mengekspresikan konflik dalam memilih antara apa yang dilihat sebagai dua tindakan yang diinginkan tetapi tidak kompatibel. Ambivalensi itu khas dan paling jelas secara sadar dialami, tetapi dapat dikaitkan dengan seseorang yang tidak menyadari kondisinya dan yang bahkan mungkin menolaknya.4 Artinya, ambivalence berpengaruh pada keinginan manusia itu sendiri dalam menyikapi situasi yang berbeda dengan menerimanya atau menolaknya. Ambivalensi akan terdapat pilihan untuk pembentukan identitas, yang umumnya terjadi adalah peniruan dari keinginan untuk memiliki kualitas kehidupan dalam bermasyarakat yang lebih baik, sehingga mimikri ini terjadi. Konsep mimikri dalam pascakolonial itu berasal dari Bhabha. Mimikri merupakan bentuk-bentuk peniruan, penyesuaian terhadap etika dan kategori ideal Eropa, seolah-olah sebagai sesuatu yang universal. Teori ini diambil oleh Bhabha dari perdebatan Plato dan Aristoteles perihal mimesis. Arti mimesis tidak jauh berbeda dari mimikri, yakni peneladanan, pembayangan, peniruan terhadap dunia empiris melalui kata-kata, bunyi, pikiran, tingkah laku, dan

3 Faruk, Op. Cit., h. 15. 4 Amelie Rorty, The Ethics of Collaborative Ambivalence, (USA: Springer, Journal of Ethics Vol. 18 No. 4, December 2014), p. 392. 11

berbagai perwujudan aktivitas kultural.5 Mimikri adalah sebuah pengejekan karena kaum Timur yang tidak akan pernah mereproduksi secara tepat nilai- nilai yang mereka ambil dari Barat, mimikri selalu menghasilkan salinan yang kabur (blurred copy) dengan konsep almost the same, but not quite atau almost the same, but not white.6 Faruk menegaskan bahwa ambivalensi dari sikap mimikri, yaitu seolah- olah ingin menyerupai, tetapi sesungguhnya memanfaatkannya sebagai bentuk penentangan. Melalui konsep ambivalensi Bhabha melihat adanya proses yang kompleks terkait bagaimana yang dominan ‘memandang’ yang subordinat, begitupula sebaliknya serta bagaimana yang subordinat mengganggu pengetahuan diskriminatoris sebagai basis relasi kuasa melalui mimikri yang dipenuhi keselipan. Meskipun Bhabha banyak menggunakan wacana yang dikonstruksi dalam teks-teks sastra, pemikiran-pemikiran yang ia hasilkan sangat kontekstual untuk membaca kondisi dan persoalan budaya kontemporer di mana perbedaan dan pertemuan antarkelompok ras maupun etnis berlangsung dalam atmosfer sosial yang semakin kompleks, baik dalam ruang transnasional—khususnya terkait migrasi—maupun nasional.7 Sikap mendua atau berlawanan terhadap situasi8 ketika aspek negatif dan positif hadir bersamaan dan ketidaknyamanan terbesar saat menentukan keputusan dengan sadar merupakan definisi ambivalensi psikologi. Namun sesungguhnya, konsep mimikri merupakan dasar sebuah hibriditas. Ella Shohat dalam Loomba menyatakan untuk mengkaji tentang hibriditas, dapat dilakukan pengkajian tentang asimilasi paksaan, penolakan diri yang diinternalisasi, kooptasi politis, konformisme sosial, peniruan kultural, dengan transendensi kreatif.9 Hibriditas merupakan tanda

5 Nyoman Kutha Ratna, Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 451-452. 6 Homi K. Bhabha. The Location of Culture, (New York, Routledge, 1994), h. 89. 7 Ikwan Setiawan, Membaca Budaya bersama Bhabha: Ambivalensi, Hibriditas, dan Keliatan Kultural, dalam http://ikwansetiawan.web.unej.ac.id/2015/04/27/membaca-budaya- bersama-bhabha-ambivalensi-hibriditas-dan-keliatan-kultural/#_ftn2 diunduh pada 27 April 2015. 8 Nyoman Kutha Ratna, Op. Cit., h. 440. 9 Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonial, (Yogyakarta: PT. Buku Seru, 2016), h. 263. 12

produktivitas kuasa kolonial, pergeserannya memaksa dan menentukan; ia adalah sebutan bagi pembalikan strategis dari proses dominasi melalui pengingkaran (yakni, produksi identitas diskriminatoris yang mengamankan identitas ‘murni’ dan orisinil dari kekuasaan).10 Tanda hibriditas dari pergesaran yang memaksa dapat melahirkan konstruksi budaya nasional bangsa Timur sangat mungkin terjadi hibridisasi kultural dan hibriditas budaya yang mewarnai kehidupan mereka di masa kolonial maupun pascakolonial. “hibridisasi kultural” bisa didefinisikan sebagai sebuah proses kultural yang ditandai dengan usaha-usaha untuk memadukan dua budaya atau lebih ke dalam sebuah bentuk budaya yang tetap bersandar pada budaya lokal tetapi tidak sepenuhnya, mengambil yang asing tetapi juga tidak sepenuhnya. Sedangkan “hibriditas kultural” merupakan sebuah realitas dari produksi budaya yang mengambil beberapa unsur dari dua atau lebih budaya yang bisa menciptakan bentuk baru atau memperbarui budaya yang sudah ada.11 Sehingga, hibriditas merupakan percampuran dua budaya yang menghasilkan budaya baru dengan memperbaharui budaya lama atau menghilangkan sebagian unsur budaya lama dan ditambah unsur budaya baru. Setelah hibriditas, terdapat analisis lainnya yang merupakan pilihan dari keberagaman pilihan dari tindak meniru yang disebut identitas. Teori identitas adalah teori yang dicetuskan oleh Frantz Fanon, pria yang lahir dari keluarga percampuran kulit hitam dan putih. Konsep identitas memiliki makna yang luas. Castells menjelaskan, identitas adalah sumber pemaknaan dan pengalaman seseorang. Identitas merupakan proses pembentukan makna yang didasarkan pada sebuah atribut budaya tertentu, atau seperangkat atribut kultural, yang diprioritaskan di atas sumber-sumber pemaknaan lain. Identitas bersifat jamak dan bukan tunggal, dan tidak sama dengan peran atau seperangkat peran, identitas berfungsi untuk menata dan mengelola makna, sementara peran menata fungsi-fungsi. Gugus identitas merupakan sumber-

10 Homi K. Bhabha, Op. Cit., h. 112. 11 Ikwan Setiawan, Hibriditas Budaya dalam Lintasan Perspektif 1 dalam http://matatimoer.or.id/2016/12/11/hibriditas-budaya-dalam-lintasan-perspektif/ diunduh pada 11 Desember 2016. 13

sumber makna bagi dan oleh aktor yang dibentuk melalui proses bernama individualisasi. Identitas erat kaitannya dengan proses internalisasi nilai-nilai, norma-norma, tujuan-tujuan, ide-ide. Pada hakikatnya, identitas dibedakan menjadi dua, yaitu identitas individu dan identitas kolektif. Ada tiga bentuk dan asal-usul identitas; identitas yang sah (legitimizing identity), identitas perlawanan (resistance identity), dan identitas proyek (project identity).12 Hal ini menyatakan dengan jelas bahwa identitas juga mencakup perihal otoritas kekuasaan. Selain identitas, terdapat juga permasalahan hegemoni. Menurut Miliband Beberapa literatur tentang Gramsci telah menafsirkan gagasan hegemoni sebagai "kesadaran salah" ideologis atau gagasan Weberian tentang "legitimasi." Menurut penafsiran-penafsiran ini, kelas dominan memperoleh persetujuan dari kelas-kelas bawahan melalui "suatu proses indoktrinasi masif" atau "dominasi ideologis atas kelas-kelas bawahan" atau "produksi kesadaran palsu yang tak berkesudahan" atau "mistifikasi ideologis". Hegemoni, yaitu, mengatur persetujuan massa bawahan, didasarkan pada kemampuan kelompok sosial untuk mewakili kepentingan universal seluruh masyarakat. Mewakili kepentingan universal tidak dapat dicapai dengan penanaman ideologis atau marche de dupes, tetapi dengan merealisasikan kepentingan massa bawahan "secara konkret". Tidak ada ideologi yang dapat melakukan fungsi koordinasi kepentingan konkrit antara kelas dominan dan kelompok bawahan kecuali jika divalidasi oleh materialisasi.13 Dapat disimpulkan bahwa hegemoni merupakan teori dominasi terhadap kelas lain dengan alasan perbedaan status sosial sehingga dominasi dianggap sebagai sebuah kebenaran alamiah pada seluruh masyarakat.

B. Hakikat Novel 1. Pengertian Novel

12 Nanang Martono, Op. Cit., h. 118-119. 13 Im Hyuk Baek, Hegemony and Counter-Hegemony in Gramsci at Journal Asian Perspective, (USA: Lynne Rienner Publishers, Vol 15 No. 1, Spring-Summer 1991), p. 124. 14

Sebagai genre sastra termuda, novel telah banyak menarik perhatian dan minat banyak kalangan. Banyak pertanyaan tentang apa maksud dari novel itu sendiri, tetapi terdapat juga problematis yang terjadi, kesulitan itu muncul sebagai akibat beberapa faktor. Dari perspektif historis, novel memiliki garis perkembangan yang membentang ke belakang, ke tradisi- tradisi fiksi pendahulunya.14 Kata novel berasal dari kata Latin novellus yang diturunkan pula dari kata novies yang berarti “baru”. Dikatakan baru karena kalau dibandingkan dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, maka jenis novel ini muncul kemudian. Menurut Robert Lindell dalam Henry Guntur Tarigan, novel Inggris yang pertama sekali lahir adalah Famela pada tahun 1970.15 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa pengertian novel yaitu karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjokan watak dan sifat setiap pelaku. Namun pengertian novel yang dipahami banyak orang adalah suatu karya fiksi yang berupa kisah atau cerita yang melukiskan tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa rekaan, di mana bentuk pengungkapannya dengan cara langsung, tanpa rima dan irama yang teratur. Dengan pengertian novel yang telah dijelaskan di atas dapat dikatakan bahwa dalam setiap novel akan menghadirkan permasalahan yang biasanya digambarkan dengan mendetail dan berisikan suatu keadaan yang kompleks yang dialami oleh tokoh utama. Hal ini sesuai dengan penjelasan Burhan Nurgiyantoro yang menyatakan bahwa novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks.16

14 Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi: Sebuah Pengantar, (: Ghalia Indonesia, 2010), h. 1-3. 15 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1991), h. 164. 16 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2015), h. 13. 15

Meskipun novel merupakan karya fiksi yang lahir dari imajinasi dengan berlandaskan kehidupan penulis atau dengan melakukan penelitian tidak akan menghilangkan tujuan dari novel itu sendiri yaitu untuk menghibur segala kalangan.

2. Unsur-unsur Intrinsik Novel Unsur pembangun sebuah karya sastra terbagi dua, yakni unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur yang akan dibahas adalah unsur intrinsik yang memiliki pengertian unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita.17 Menurut Junus dalam Siswanto, pendekatan objektif adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya pada karya sastra. Pembicaraan kesusastraan tidak akan ada bila tidak ada karya sastra. Karya sastra menjadi sesuatu yang inti. Dan memahami unsur sistem di dalam karya sastra disebut intrinisik.18 Sesungguhnya tidak ada perbedaan antara pendekatan struktural, objektif, dan intrinsik. Ketiganya sama-sama mengkaji sastra berdasarkan karya sastranya. Unsur intrinsik terbagi atas tema, tokoh, penokohan, alur (plot), latar cerita (setting), sudut pandang, dan moral. a. Tema Dalam setiap cerita fiksi tentu akan terdapat unsur makna. Permasalahannya, makna khusus mana yang dapat dinyatakan sebagai tema atau makna mana yang dapat dianggap makna pokok sekaligus tema pokok cerita. Untuk menentukannya, perlu memiliki kejelasan pengertian makna pokok atau tema itu sendiri. Hartoko dan Rahmanto dalam Burhan menjelaskan tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan. Sedangkan Baldic dalam Burhan pula mengungkapkan bahwa tema adalah gagasan abstrak utama yang terdapat

17 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit, h. 30. 18 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 183 dan 188. 16

dalam sebuah karya sastra atau yang secara berulang-ulang dimunculkan baik secara eksplisit maupun implisit lewat pengulangan motif. Keduanya defiisi tersebut secara makna tidak berbeda namun dapat saling melengkapi. Jadi, tema adalah gagasan (makna) dasar umum yang menopang sebuah karya sastra sebagai struktur semantis dan bersifat abstrak yang secara berulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya dilakukan secara implisit.19 Untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema sebagai makna utama sebuah karya fiksi tidak (secara sengaja) disembunyikan karena inilah yang ditawarkan kepada pembaca. Namun tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya akan "tersembunyi" di balik cerita yang mendukungnya.20 Tema yang pada hakikatnya merupakan makna yang dikandung cerita atau secara singkat dikatakan sebagai makna cerita dalam sebuah karya fiksi yang mungkin terdiri lebih dari satu interprestasi menyebabkan tidak mudahnya menentukan tema pokok cerita atau tema mayor (artinya: makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gaagasan dasar umum karya itu). Menentukan tema pokok sebuah cerita merupakan aktivitas mengidentifikasi, memilih, mempertimbangkan,d an menilai, di antara sejumlah makna yang ditafsirkan ada dikandung oleh karya yang bersangkutan. Makna pokok cerita tersirat dalam sebagian besar, untuk tidak dikatakan dalam keseluruhan cerita, bukan makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita dapat diidetifikasi sebagai makna bagian, makna tambahan. Makna-makna tambahan ini yang disebut tema-tema tambahan, atau tema minor. Dengan demikian, banyak sedikitnya makna tambahan yang dapat ditafsirkan dari sebuah cerita novel. Penafsiran makna harus dibatasi pada makna-makna yang terlihat

19 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 115-116. 20 Ibid., h. 116. 17

menonjol, di samping mempunyai bukti-bukti konkret yang terdapat pada karya yang dapat dijadikan dasar untuk mempertanggungjawabkannya.21 Tema dalam karya sastra merupakan hal yang penting karena selain mengetahui isi cerita, dapat pula untuk penelitian dengan menggunakan yang sama. Dengan begitu akan terlihat makna apa saja yang terkandung di balik cerita yang telah ditulis oleh seorang pengarang. Untuk menentukan tema, tentu akan meneliti cerita secara menyeluruh dari isi cerita, tokoh, latar, dan lainnya sehingga dapat menentukan tema yang tepat untuk karya sastra tersebut. b. Tokoh Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tokoh adalah rupa (wujud dan keadaan), pemegang peran (peran uama) dalam roman atau drama. Aminuddin mengatakan dalam Siswanto, tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara menampilkan tokoh disebut penokohan. Menurut Sudjiman dalam Siswanto, tokoh dapat dibedakan atas; (a) tokoh primer (tokoh utama), (b) tokoh sekunder (tokoh bawahan), (c) tokoh komplementer (tambahan).22 Sedangkan Nurgiyantoro membagi beberapa jenis pembedaan tokoh berdasarkan sudut pandang dan tinjauan, yaitu sebagai berikut: 1) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan. Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita, dan sebaliknya, ada tokoh-tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan dengan porsi penceritaan yang relatif pendek. Tokoh yang disebutkan pertama disebut main character, sedangkan yang kedua disebut peripheral character.

21 Burhan Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 135. 22 Wahyudi Siswanto, Teori Pengantar Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 143. 18

2) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis. Jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot dapat dibedakan adanya tokoh utama dan tokoh tambahan, dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan antagonis. Pembedaaan antara protagonis-antagonis dengan utama-tambahan lebih bersifat penggradasian. 3) Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat. Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks atau tokoh bulat (complex atau round character). Pembedaan tersebut berasal dari Foster dalam bukunya Aspects of the Novel yang terbit pertama kali tahun 1927. Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas kepribadian tertentu, satu sifat-watak yang tertentu saja. Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. 4) Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang. Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh cerita dalam sebuah novel, tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh statis, tak berkembang (static character) dan tokoh berkembang (developing character). Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peistiwa yang terjadi. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan dan perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan. 5) Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral. Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap (sekelompok) manusia dari kehidupan nyata, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh tipikal (typical character) dan tokoh netral (neutral character). Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan 19

keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya. Tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri.23 Dalam penelitian ini, semua tokoh dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih akan dimasukkan ke dalam jenis-jenis tokoh yang telah disebutkan di atas. Hal ini berguna untuk mempermudah penelitian dengan mengelompokkan tokoh dalam cerita dengan memperhatikan unsur pembangun sastra yang lainnya.

c. Alur Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan saksama dan menggerakkan jalan cerita melalui kerumitan ke arah klimaks dan penyelesaiannya. Menurut Abrams dalam Siswanto, alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.24 Sedangkan Burhan Nurgiyantoro membedakan tahapan plot menjadi lima bagian. Kelima tahapan itu adalah sebagai berikut: (1) Tahap situation: tahap penyituasian, tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahapan ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberi informasi awal, dan lain-lain yang terutama, berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya. (2) Tahap generating circumstances: tahap pemunculan konflik, masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik, dan konflik itu sendiri akn berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Tahap pertama dan kedua pada pembagian ini, tampaknya berkeseuaian dengan tahap awal pada penahapan.

23 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkaji Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2015), h. 258-274. 24 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 159. 20

(3) Tahap rising action: tahap peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan dengan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi, internal dan eksternal, atau keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antara kepentingan masalah dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari. (4) Tahap climax: tahap klimaks, konflik dan atau pertentangan yang terjadi, yang dilakukan dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja semakin lebih dari satu klimaks, atau paling tidak, dapat ditafsirkan demikian. Tahap ketiga dan keempat pembagian ini tampaknya berkesesuaian dengan tahap tengah penahapan. (5) Tahap denouement: tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi jalan keluar, cerita diakhiri. Tahap ini berkesesuaian dengan tahap akhir.25 Kelima tahap ini digunakan selain mempermudah penelitian, juga untuk mengetahui alur cerita dari novel yang akan di teliti yakni, Kalau Tak Untung, apakah masuk ke dalam alur maju progresif atau regresif flashback. d. Latar Cerita Latar cerita atau setting menurut Aminuddin dalam Siswanto sebagai latar peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologi. Abrams mengemukakan latar cerita adalah tempat umum (general local),

25 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 209-210. 21

waktu kesejarahan (historical time), dan kebiasaan masyarakat (social circumtances) dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat.26 Burhan membagi unsur latar menjadi tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. a. Latar Tempat Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritaakn dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat-tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata, misalnya Magelang. Tempat dengan inisial tertentu, biasanya berupa huruf awal (kapital) nama suatu tempat, juga menyaran pada tempat tertentu, tetapi pembaca harus memperkirakan sendiri, misalnya desa B dipergunakan dalam Bawuk. Latar tempat tanpa nama jelas biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu, misalnya desa, sungai, jalan, dan sebagainya. b. Latar Waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah "kapan" terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah "kapan" tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Untuk masalah waktu dalam karya naratif, kata Genetta dapat bermakna ganda: di satu pihak menyaran pada waktu penceritaan, waktu penulisan cerita, dan di pihak lain menunjuk pada waktu dan urutan waktu yang terjadi dan dikisahkan dalam cerita. c. Latar Sosial Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang

26 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 149. 22

diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual seperti dikemukakan sebelumnya. Di samping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas.27 Dengan adanya latar cerita, sastrawan dapat menggunakannya untuk mengembangkan cerita dan penggambaran peristiwa yang telah atau sedang terjadi. Pembaca dapat menggunakan imajinasinya dengan terarah sesuai cerita. e. Titik Pandang/Sudut Pandang Pengertian point of view atau sudut pandang adalah hubungan yang terdapat antara sang pengarang dengan alam fiktif ceritanya, ataupun antara sang pengarang dengan pikiran dan perasaan para pembacanya. Seorang pengarang haruslah dapat menjelaskan kepada pembaca bahwa dia selaku narator atau pencerita mempunyai tempat berpijak tertentu dalam hubungannya dengan cerita itu. Ada yang membuat pembagian sudut pandang dalam fiksi atas 3 bagian penting, yaitu: 1) The First Person Narrator. Cerita itu dapat diceritakan oleh salah satu seorang tokoh dalam cerita itu. pencerita itu dapat pula salah seorang dari tokoh-tokoh utama atau orang lain selain dari pada yang telah kita sebut tadi. Pencerita seperti itu tentu saja takkan dapat meresapi pikiran dan perasaan orang lain atau pelaku lain dalam cerita itu. 2) The Omniscient View. Seorang narator luaran dapat diberi kekuasaan untuk meresapkan dan mencerminkan pikiran dan

27 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 314-325. 23

perasaan tokoh utama. Dalam hal ini dia disebut sebagai pencerita orang ketiga atau omniscient narrator. 3) The Objective Point of View. Seorang tukang cerita yang berada di luar cerita itu hanya melaporkan apa yang dilakukan dan diucapkan oleh pelaku, dan sama sekali tidak ada mencerminkan apa yang mereka pikirkan atau rasakan. Di sini pencerita memberi kebebasan penuh kepada para pembaca merasakan dan memikirkan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh para pelaku. Dengan kata lain: pengevaluasian diserahkan sepenuhnya pada para pembaca.28 Dengan mengetahui sudut pandang yang digunakan oleh pengarang, akan mempermudah penelitian melihat dari sudut pandang mana cerita dalam novel diungkap, apakah dari penulis yang serba tahu atau dari tokoh utama sebagai pencerita.

f. Gaya Bahasa Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra. Di pihak lain sastra lebih sekedar bahasa, deretan kata, namun unsur “kelebihannya” itu pun hanya dapat diungkapkan dan ditafsirkan melalu bahasa. Jika bahasa dikatakan ingin menyampaikan sesuatu, sesuatu tersebut hanya dapat dikomunikasikan lewat sarana bahasa. Bahasa dalam sastra pun mengemban fungsi utamanya, yaitu komunikatif.29 Dan bahasa memiliki keragamanan yang akan menjadi ciri khas untuk mengetahui masa penulisan sebuah karya sastra. Abrams yang dikutip dalam Burhan Nurgiyantoro, stile, (style, gaya bahasa), adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Stile ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti

28 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1993), h. 140. 29 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2013), h. 364. 24

pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi, dan lain-lain.30 Stile merupakan teknik pemilihan ungkapan kebahasan yang dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan dan sekaligus untuk mencapai efek keindahan. Sebuah stile adalah sebuah pilihan bentuk berbagai aspek kebahasaan. Artinya, ada bentuk-bentuk yang dipilih, dan dari sekian bentuk yang ada, pilihan yang terpilih adalah bentuk yang terbaik.31 Gaya bahasa yang baik akan membuat menarik isi dari sebuah cerita dengan gaya penulisan dan penceritaan yang terlihat dari ungkapan bahasa pilihan, yang dalam penelitian ini terdapat dalam novel Kalau Tak Untung. Tentunya gaya bahasa akan mendukung pula penelitian ekstrinsik yang digunakan dalam penelitian ini. g. Moral Kenny dalam Burhan menyatakan, moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya, makna yang disarankan lewat cerita. Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangan tentang nilai- nilai kebenaran. Adakalanya, moral diidentikkan pengertiannya dengan tema. Namun tema bersifat lebih kompleks daripada moral di samping tidak memiliki nilai langsung sebagai saran yang ditujukan kepada pembaca. Dengan demikian, moral dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam bentuk yang sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral. Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dan pesan-pesan moral yang disampaikan atau diamanatkan. Moral dalam karya sastra dapat dipandang sebagai amanat, pesan, message.32

30 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 369 31 Ibid., h. 370. 32 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 429-430. 25

Terkait dalam pendidikan, moral terbagi atas tiga komponen yang harus dikembangkan, yaitu: 1. Pengetahuan tentang moral (moral knowing) terkait ranah kognitif yang meliputi kesadaran moral, pengetahuan nilai-moral, pandangan ke depan, penalaran moral, pengambilan keputusan dan pengetahuan diri 2. Perasaan tentang moral (moral feeling) terkait dengan ranah sikap yang meliputi kata hati, rasa percaya diri, empati, cinta kebaikan, pengendalian diri, dan kerendahan hati 3. Perbuatan moral (moral action) terkait dengan ranah psikomotorik yang meliputi kompetensi, kemauan dan kebiasaan bertindak. 33 Jenis ajaran moral sendiri mencakup masalah yang bersifat tidak terbatas yang mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan manusia yang dapat dibedakan ke dalam persoalan hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial dan lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Hal ini menjadikan pesan moral berwujud moral religius, bersifat keagamaan, dan kritik sosial.34

C. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Seperti pendapat Horatius, bahwa fungsi sastra adalah dulce et utile. Artinya dalam sebuah karya harus memiliki nilai ektetis dan edukasi. Nilai estetis lebih kepada intrinsik, sedangkan edukasi terdeskripsikan lewat filosofi kata dan pesan untuk pembaca. Keduanya saling keterkaitan, tanpa adanya nilai estetis, maka fungsi sastra sebagai edukasi tidak akan terlalu diminati, begitu pun sebaliknya. Dalam pembelajaran bahasa yang terpadu didasarkan pada tiga prinsip utama, yaitu: (1) anak adalah pembelajar yang konstruktif yang secara aktif membangun makna; (2) bahasa adalah sistem makna yang dikomunikasikan dan diekspresikan di lingkungan sosial; (3) pengetahuan ada dalam pikiran

33 Ibid., h. 438-439 34 Ibid., h. 441-446. 26

individu yang diorganisasikan dan dibangun melalui interaksi sosial yang senantiasa berubah dalam kehidupan.35 Berlandaskan ketiga prinsip di atas, tentu akan ada tujuan pembelajaran. Mata pelajaran Bahasa Indonesia memiliki tujuan agar peserta didik memiliki kemampuan seperti: 1) berkomunikasi secara efektif dan efisien sesu ai dengan etika yang berlaku, 2) menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia, 3) memahami dan menggunakan bahasa Indonesia dengan tepat dan kreatif, 4) untuk meningkatkan intelektual serta kematangan emosional dan sosial, 5) untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, 6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khasanah budaya dan intelektual.36 Tujuan itu dijabarkan ke dalam kompetensi mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis sastra. Kemampuan mendengarkan sastra meliputi kemampuan mendengarkan, memahami, dan mengapresiasi ragam karya sastra (puisi, prosa dan drama), baik karya asli atau karya sanduran/terjemahan. Kemampuan berbicara sastra meliputi kemampuan membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra sesuai dengan isi dan konteks lingkungan dan budaya. Kemampuan membaca sastra meliputi kemampuan membaca dan memahami berbagai jenis dan ragam karya sastra, serta mampu melakukan apreisasi secara tepat. Kemampuan menulis sastra meliputi kemampuan mengekspresikan karya sastra yang diminati dalam bentuk sastra tulis yang kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan ragam sastra yang sudah dibaca.37 Di Indonesia, secara bertahap kurikulum akan terus ditingkatkan dengan terus mengikuti perkembangan pendidikan di dunia. Setiap kompetensi, strategi, metode dan teknik pengajaran akan terus ditingkatkan, baik dari guru maupun dari siswa. Saat ini, Kurikulum 2013 memiliki karakteristik yang berbeda jika dibandingkan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

35 Dindin Ridwanuddin, Bahasa Indoensia, (Jakarta: UIN Press, 2015), h. 36. 36 Dindin Ridwanuddin, Bahasa Indonesia, (Jakarta: UIN Press, 2015), h. 124. 37 Wahyudi Siswanro, Op. Cit., h. 171. 27

(KTSP). Di Kurikulum 2013 sudah tidak terdapat Standar Kompetensi, tapi diganti menjadi Kompetensi Inti (KI), yang merupakan gambaran secara kategorial mengenai kompetensi dalam aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan (kognitif dan psikomotor). Selain itu terdapat aspek kompetensi sikap yang terbagi atas sikap spiritual dan sikap sosial. Sikap spiritual, yaitu menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. Sikap sosial, yaitu menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, santun, peduli, bertanggung jawab, responsif dan proaktif. Dalam penelitian ini, Kompetensi Inti (KI) untuk pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia mengenai informasi dan analisis dalam cerita sejarah dengan Kompetensi Dasar (KD) yang harus dipenuhi oleh siswa adalah menganalisis kebahasaan cerita dan atau novel sejarah. Untuk memenuhi Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) diperlukan indikator yang harus dicapai oleh siswa, yakni mampu menunjukkan sikap positif pada saat berdiskusi, mengidentifikasikan karakteristik novel sejarah, menganalisis unsur cerita novel sejarah, dan menganalisis nilai-nilai cerita sejarah. Untuk memenuhi Kompetensi Dasar tesebut, guru memerlukan pendekatan yang diperlukan dalam proses belajar mengajar seperti halnya menyusun strategi, metode, dan model pembelajaran. Terdapat empat strategi dasar dalam pembelajaran yang meliputi: 1. Mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku dan kepribadian anak didik sebagaimana yang diharapkan 2. Memilih sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat 3. Memilih dan menetapkan prosedur, metode dan teknik belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif sehingga dapat dijadikan pegangan oleh guru dalam menunaikan kegiatan mengajarnya 4. Menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria serta standar keberhasilan sehingga dapat dijadikan 28

pedoman oleh guru dalam melakukan evaluasi hasil belajar mengajar yang selanjutnya akan dijadikan umpan balik buat penyempurnaan sistem instruksional yang bersangkutan secara keseluruhan.38 Setelah strategi, sebuah metode dibutuhkan pengajar untuk mengajarkan kompetensi tertentu pada peserta didik. Metode dalam dunia pengajaran memiliki definisi sebagai rencana penyajian bahan yang menyeluruh dengan urutan yang sistematis berdasarkan pendekatan tertentu.39 Macam-macam metode pembelajaran, yaitu: 1) metode proyek/unit, 2) metode eksperimen, 3) metode tugas, 4) metode diskusi, 5) metode sosiodrama, 6) metode demonstrasi, 7) metode problem solving, 8) metode karyawisata, 9) metode tanya jawab, 10) metode latihan, dan 11) metode ceramah.40 Dengan menyusun rencana pembelajaran dengan baik, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia akan mudah untuk diajarkan dan mudah untuk dipahami oleh peserta didik dengan harapan kompetensi mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis dapat diserap oleh peserta didik.

D. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan berfungsi untuk memberikan pemaparan tentang penelitian sebelumnya yang telah dilakukan. Penulis melakukan peninjauan dengan menggunakan media elektronik resmi Perpustakaan Universitas Gajah Mada Yogyakarta dan Universitas Sumatera Utara. Dalam hal ini penulis tidak menemukan judul skripsi, tesis, dan disertasi yang sama dengan yang penulis kaji. Pada bagian ini akan dipaparkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya sebagai berikut. Judul tesis untuk penelitian yang relevan pertama adalah “Independensi Perempuan sebagai Second Sex dalam Mansfield Park Karya Jane Austen dan Kalau Tak Untung Karya Selasih”. Penelitian ini dilakukan oleh Risza

38 Djamarah dan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), h. 5. 39 Subana dan Sunarti, Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia, (Bandung: Pusaka Setia, 2011), h. 20. 40 Djamarah dan Zain, Op. Cit., h. 82-97. 29

Dwiputri, mahasiswa Ilmu Sastra, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta pada tahun 2016. Penelitian dua karya ini membahas tentang perlakuan diferensiasi secara tidak langsung diterima karena tidak memiliki independensi atas diri mereka sendiri. Dengan beranjak dari asumsi bahwa perempuan mampu keluar dari ranah domestiknya dan turut mengambil bagian dalam ranah publik dengan bergerak menggunakan pendekatan feminisme, novel Mansfield Park karya Jane Austen dan Kalau Tak Untung karya Selasih memiliki potensi yang dimaksud. Penelitian ini mengemukakan bahwa perempuan tidak memiliki kuasa atas dirinya dan kebebasan untuk menentukan hidupnya tidak peduli dalam latar budaya apa dia dibesarkan, patriarkat dan matriarkat sama-sama melihat perempuan sebagai makhluk kelas dua. Namun dalam dua novel, masing-masing pengarang berusaha mengkritik masyarakat yang menjadikan perempuan sebagai objek penindasan ekonomi dan patriarki dengan memperlihatkan bahwa perempuan bisa berubah menjadi individu yang bebas berpikir. Dengan latar tempat dan lingkungan yang berbeda, tapi terdapat kesimpulan yang sama bahwa perempuan dapat terbebas dari otoritas laki-laki dan menghilangkan posisi inferior dan status sebagai warga kelas dua jika mereka mau membantah dan melawan usaha-usaha yang menempatkan mereka di bawah kekuasaan laki-laki. Penelitian di atas menggunakan objek penelitian yang sama karya Selasih yang berjudul Kalau Tak Untung. Tesis tersebut membahas perihal patriarki wanita yang terjadi di lingkungan Minangkabau dan negara Inggris. Inti dari tesis tersebut memiliki persamaan tentang emansipasi wanita. Dan disertasi menggunakan subjek penelitian yang sama, yaitu pascakolonial. Beberapa dari poin penelitiannya sama dengan penulis, namun penelitian ini menggunakan objek penelitian yang berbeda. Sebagai roman yang menggunakan latar tahun 1930-an, menjadikan penulis termotivasi untuk mengetahui konflik perihal kolonial yang terjadi pada masa itu untuk dianalisis.

BAB III

BIOGRAFI, PANDANGAN PENGARANG DAN SINOPSIS

A. Biografi Selasih

Selasih merupakan nama samaran yang dimiliki oleh Sariamin Ismail. Lahir pada tanggal 31 Juli 1909 di kota Pajang, Sinurut, Sumatra Barat. Desa ini berada dalam onderafdeling Ophir Talakmau yang beribukotakan Talu. Talu terbagi atas dua kelarasan, yaitu Talu dan Sinurut. Putri dari pasangan Lau dan Sari Uyah. Ayahnya bergelar Datuk Raja Malintang.1 Beliau telah tutup usia pada tanggal 15 Desember 1995 di Pekanbaru pada usia 86 tahun. Pendidikan yang ditempuh pada tahun 1921 tamat SD 5 tahun (Gouverenment School). Tahun 1925 tamat Meisjes Normaal School (MNS). Dirinya memiliki pengalaman kerja pada tahun 1925 menjadi guru di Bengkulu, kemudian diangkat sebagai kepala sekolah. Pada tahun 1930, dirinya pindah ke Padangpanjang. Dirinya mengajar di Meisyesleer School dan Diniah School. Dirinya juga aktif sebagai ketua Serikat Kaum Ibu Sumatra Cabang Padangpanjang, pengurus PNS (Pengawas Daerah Karesidenan Sumatra Barat), dan pengurus Meisyekring.2 Lalu, setelah delapan setengah tahun berada di Padangpanjang, dirinya memutuskan pindah pada tahun 1939 ke Aceh dan pada tahun 1941 pindah ke Kuantan. Selasih selama itu terus-menerus mengabdikan dirinya bekerja dalam bidang pendidikan (guru). Selain mengajar Bahasa Belanda, pada tahun 1956 dirinya mengajar di SMA negeri dan swasta. Dia juga banyak mengadakan pertunjukakan sandiwara bertendens di Kuantan, Pekan Baru dan Tanjung Pinang. Setelah bekerja selama 34 tahun, dirinya memutuskan pada tahun 1968 untuk menikmati masa pensiunnya.3

1 Dra. Marleily Asmuni. H. Sariamin Ismail. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), h. 17 2 Dra. Marleily Asmuni, Op. Cit., h. 58 3 Selasih, Kalau Tak Untung, (Jakarta: PT. Balai Pustaka, 2001), sampul belakang.

30 31

Dirinya pernah mengatakan alasan dirinya menggunakan nama Selasih. Selasih adalah tumbuh-tumbuhan kecil berbunga kuning, hidup di pinggir jalan. Karena kecilnya tumbuhan tersebut kurang mendapat perhatian, malah terkadang diinjak-injak orang. Padahal selasih memiliki manfaat yang dapat dijadikan obat-obatan. Karena tertarik pada falsafah pohon kecil itu dirinya mengambil nama selasih sebagai nama samarannya.4 Adapun nama pena lainnya, yaitu Seleguri. Alasannya diambil nama Seleguri juga karena seluguri adalah nama tumbuh-tumbuhan kecil yang berbunga berwarna kuning yang tumbuh di semaksemak dan jarang diperhatikan orang. Akar dari tumbuhan ini juga dapat dipakai sebagai obat. Mungkin alasan dirinya tidak menggunakan nama tumbuh-tumbuhan yang terkenal karena dirinya pemalu dan tidak mau menonjolkan diri.5 Kecintaannya pada dunia tumbuhanlah yang menginspirasinya untuk menggunakan nama-nama tersebut. Bahkan setelah pensiun dari dunia pendidikan, dirinya mengabdikan dirinya pada taman kecil yang ada dirumahnya. Dirinya juga melayani siapapun yang ingin membeli tanamannya. Selain Selasih dan Seleguri, Sariamin juga menggunakan beberapa nama samaran untuk mencegah kemungkinan ia ditangkap oleh pihak yang berwewenang akibat tulisan-tulisannya. Ia akhirnya lebih dikenal dengan nama Selasih, nama yang ia gunakan dalam novel pertamanya. Sejumlah nama samaran lain yang pernah ia gunakan yaitu, Sri Gunung, Sri Tanjung, Ibu Sejati, Bundo Kanduang, dan Mande Rubiah. Dirinya juga aktif dalam kegiatan politik seperti Gerakan Indonesia Merdeka.dan di zaman PRRI, Sariamin Ismail sempat juga mendekam dalam penjara selama tiga tahun, atau tepatnya dari awal Februari 1960 hingga akhir November 1962.6 Ia menerbitkan novel pertamanya, Kalau Tak Untung pada tahun 1933, yang menjadikannya sebagai novelis perempuan pertama dalam sejarah Indonesia. Diterbitkan oleh Balai Pustaka milik pemerintah, konon inspirasi

4 Zarnas, Pengarang Wanita Pertama Selasih alias Sariamin Ismail, (Jakarta: Koran . Kamis, 23 Mei 1977), h. 18 k. 1. 5 Dra. Marleily Asmuni, Op. Cit. h. 56. 6 Koran berita tertanggal Jakarta, 19 Desember 1985. 32

novel ini adalah dari beberapa kejadian nyata yang terjadi di sekitarnya. Yaitu tunangan yang menikahi wanita lain, dan kisah dua sahabat kecilnya yang saling jatuh cinta namun tak bisa bersatu.7 Setelah novel pertamanya sukses mengangkat namanya, pada tahun 1937, dia kembali menerbitkan novel lagi dengan judul Pengaruh Keadaan. Sebagai pengarang, Sariamin mengaku pernah mengalami masa ‘mandul’ dalam arti tidak berkarya. Dan itu cukup lama, yakni dari tahun 1942 sampai dengan 1970, di mana perhatiannya banyak tertumpu pada rumah tangga dan dunia pendidikan atau sekolah yang dibinanya. Sebagai pendidik ia telah mengajar sejak tahun 1925 hingga masa pensiunnya 1968. Namun meskipun telah menulis kembali sejak tahun 1976 atas saran menantunya lantaran namanya sudah mulai dilupakan orang, baru tahun 1981 lah bukunya Panca Juara diterbitkan oleh Balai Pustaka.8 Agaknya meskipun demikian Selasih beruntung, karena pada tahun yang sama, ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu masih Daoed Yoesoef datang ke Pekanbaru, Sariamin diminta datang ke Guest-House untuk berbincang dengannya. Di situlah Daoed mengusulkan agar Sariamin lebih gencar lagi menulis. Akhirnya beberapa bulan kemudian dirinya dihubungi oleh Drs. Aliudin Mahyudin dari Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, membawa beberapa naskah sandiwara yang pernah ia pentaskan di Riau. Di antaranya: Harapan Ibu di Teluk Kuantan, Nahkoda Lancang, Fragmen Bunda Kandung dan Rancak di Labuah. Namun karena naskahnya berbentuk seloka, dirinya diminta agar mau mengubahnya menjadi bentuk prosa. Honor yang didapatkan dari menulis naskah tidaklah sedikit, kemudian pada tahun 1983, menyusul bukunya yang berjudul Bujang Piaman dan Puti Mambang Laut yang ditulisnya dalam dialek Melayu-Minang. Melihat penerimaan dan hasil penulisan untuk proyek Departemen Pendidikan dan Kebudayaan itulah akhirnya Selasih semakin terangsang untk

7 Maman S. Mahayana, dkk, Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern, (Jakarta: Grasindo, 1995, h. 37-38. 8 Marleily Asmuni, Op. Cit., h. 63-64. 33

menulis lebih banyak lagi naskah. Dua romannya dalam dialek Minang Rangkiang Luluih dan Si Kukuk Kakek telah diterima, dalam rencana akan diterbitkan kembali oleh Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. Di samping itu, tiga naskah lainnya, yakni Kembali ke Pangkuan Ayah, Musibah Membawa Bahagia dan Cerita Kak Murai telah di kirim ke penerbit PT. Mutiara, Jakarta. Namun hanya Cerita Kak Murai saja yang telah diterbitkan.9

B. Pandangan Hidup Selasih Selasih atau Sariamin selama hidupnya pernah menjadi anggota dari beberapa organisasi, misalnya Gerakan Ingin Merdeka, Indonesia Muda, dan dirinya juga pernah menjadi ketua Jong Islamten Bond Dames Afdeling cabang . Tak salah jika dirinya memiliki keinginan besar untuk menyampaikan kemerdekaan. Tak jarang dirinya diincar oleh polisi mata-mata Belanda atas karyanya yang menggunakan banyak nama samaran tersebut. Sepanjang hasil karyanya, tidak jarang terlihat bahwa tulisan Selasih masih memiliki bahasa kias, perempuan, dan bahkan pepatah. Alasannya karena dirinya meyakini bahwa mempertahankan bahasa Indonesia asli yang berumpun dengan bahasa Melayu merupakan hal yang patut dilakukan oleh setiap pengarang pada masa itu. Selain itu dirinya merasa memasukkan rasa pendidikan dan adat istiadat Timur asli kepada pembaca merupakan hal yang wajib dilakukan Pada tahun 1989 di sebuah artikel dirinya menyebutkan bahwa bahasa Melayu saat itu sudah jarang digunakan. Hal ini terjadi karena saat itu banyak anak muda menggunakan kata-kata yang biasa digunakan oleh orang Jakarta. Kata sebuah, sebutir, sehelai, seekor, dan seterusnya diganti dengan satu. Tak heran jika beberapa naskah yang menggunakan bahasa seperti ‘nggak, ogah, li, gue’ tidak diterima oleh penerbit karena dianggap kata-kata tersebut tidak

9 Anonim, Sariamin Ismail: Pengarang Wanita Angkatan Balai Pustaka, (Jakarta: Pelita, 15 Januari 1986, h. 7, k. 1-9. 34

sopan apalagi jika naskah tersebut akan dicetak secara massal.10 Tentu hal ini akan membuat penerbit malu menerbitkannya. Pandangan ini mungkin disebabkan karena dirinya adalah seorang guru yang mengajar selama 43 tahun dan mengetahui seluk-beluk dunia penerbitan. Dalam novel Kalau Tak Untung ini, Selasih menggunakan tema kehidupan manusia yang penuh dengan penderitaan dan kemelaratan. Penggunaan tema ini bukan tanpa alasan. Dalam acara sastra pada Selasa, 12 September 1972 di Taman Ismail Marzuki dirinya menyatakan tentang kebenciannya pada Pemerintah ketika itu yang dirasa sewenang-wenang, seperti: pengambilan tanah-tanah di Sumatra Barat untuk kolonisasi, pengambilan gedung sekolah untuk asrama polisi, pengambilan tanah dan hak- hak rakyat untuk jalan raya tanpa ganti rugi, dan sebagainya. Tema ini diangkat karena menurutnya dengan menggunakan novelnya, dirinya dapat menyadarkan kepada para pembaca Indonesia kala itu untuk membuka mata pada ketidakadilan yang telah diterima oleh masyarakat bawah atas tindakan pemerintah dengan novel sebagai medianya. Selain itu, juga terdapat tema di mana Selasih mengkritisi perihal tradisi daerah antara tradisi yang patut diikuti dan harus ditinggalkan. Lalu pandangan yang sangat menggambarkan dirinya adalah tentang perempuan. Tak jarang Selasih mengusung tema dengan tokoh perempuan yang berpendidikan dan berkepribadian keras dalam meraih cita-citanya. Jika Selasih mengusung tema ini karena jiwa bebas yang dimilikinya dengan memiliki keinginan keras bahwa perempuan juga bisa meraih apa yang meraka inginkan. Inilah yang menjadi bukti bahwa Selasih berusaha mengeluarkan pendapat dan pikirannya dalam novel sebagai wanita terpelajar. Terlebih Selasih tidak menyukai adanya perbedaan antara laki-laki dengan perempuan. Hingga terjadi satu kejadian dia menuntut kesamaan gaji guru perempuan dengan guru laki-laki pada masa itu.

10 Sariamin Ismail, Surat Terbuka dari Ibu Sariamin Ismail (Selasih/Seleguri), (Riau: Harian Haluan, 20 November 1989), h. 7, k 6-7. 35

Selain itu, dirinya juga berpandangan bahwa perempuan yang tidak berpakaian sopan, tidak berperilaku baik, dan bertutur kata buruk akan menjadikan nilai Timur yang sudah melekat pada Indonesia akan menghilang. Ini dibuktikan dengan dukungan Selasih dalam mempertahankan tata bahasa Austronesia karena dirasanya sangat sesuai dengan puisi.11 Hal ini didasari karena kecintaan Selasih pada bahasa tanah air. Namun sekalipun Selasih memiliki jiwa ketimuran, bukan berarti dirinya menyukai semua adat istiadat Sumatra sepenuhnya. Dirinya tidak menyukai pernikahan dengan sepupu dekat semata-mata untuk mempertahankan kekayaan dengan pernikahan antarsaudara.

C. Sinopsis Cerita Kalau Tak Untung merupakan cerita dua orang sejoli yang sampai akhir cerita tidak dapat bersama dengan berbagai halangan. Cerita dimulai dari kehidupan keluarga Rasmani. Ayahnya seorang datuk dan bekerja sebagai petani, ibunya adalah seorang ibu rumah tangga dan membantu suaminya bertani namun memiliki kerja selingan seperti menerima jasa cuci baju, sedangkan Dalipah adalah kakak pertamanya yang berhenti sekolah karena biaya tidak mencukupi dan akhirnya membantu ibunya mencari pemasukan lebih. Di mata masyarakat sekitar, Rasmani terlihat seperti anak manja. Saat kecil, Rasmani mandi selalu dimandikan oleh ibunya, makan selalu disiapkan oleh Dalipah, dan berangkat ke sekolah selalu diantar. Sampai suatu hari ibunya mengantar Rasmani ke sekolah dan bertemu dengan Masrul. Masrul menawarkan diri untuk berangkat dan pulang sekolah bersama dengan Rasmani pada Ibu Rasmani, akhirnya Rasmani selalu berangkat dan pulang sekolah bersama Masrul. Seiring berjalannya waktu, Rasmani dan Masrul menjalin persahabatan selama beberapa tahun. Sampai suatu hari Masrul mendapatkan pekerjaan menjadi juru tulis di Painan. Ibu Masrul tidak rela melepas anaknya merantau

11 Redaksi Harian Haluan, Surat Terbuka dari Ibu Sariamin Ismail, (: Harian Haluan, 20 November 1989), h. 7 klm. 6-7. 36

tanpa seorang istri dan Ibu Masrul mengajukan syarat bahwa Masrul harus menikah dengan Aminah terlebih dahulu. Tapi Masrul menolak karena Aminah buta huruf. Alhasil, dia membujuk ibunya untuk mengajari Aminah membaca, menulis, dan lainnya, lalu dua tahun kemudian Masrul berjanji akan menikahi Aminah. Ibunya pun setuju dengan permintaan Masrul. Setelah di Painan, Masrul mengirim surat ke Rasmani dengan berisikan permohonan agar Rasmani mau mengajari Aminah membaca, menulis, dan lainnya. Rasmani yang membaca surat tersebut merasa terbebani karena sejak kecil, Aminah selalu merendahkan keluarganya karena keluarga Rasmani miskin. Dengan perasaan gundah, Rasmani menerima permintaan Masrul. Pada awal keberadaannya di Painan, Masrul sering menulis surat ke Rasmani. Sampai akhirnya Masrul dikenalkan dengan Muslina, perempuan yang sangat cantik, dan menikahinya. Tapi pada hari pernikahannya, orangtua Masrul tidak hadir karena kecewa pada anaknya yang tidak bisa menepati janji untuk menikahi Aminah. Masrul tidak menyangka bahwa sesungguhnya dirinya telah dijebak oleh keluarga Muslina. Reputasi Muslina sudah terkenal buruk dan mengharuskannya untuk menikah secepatnya. Selama perjalanan kehidupan pernikahan Masrul dan Muslina, setiap harinya diisi dengan pertengkaran. Hal ini dikarenakan Muslina tidak puas dengan kinerja Masrul yang tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Bahkan sekalipun Masrul sudah bekerja lembur (overwerk) dan memiliki pekerjaan sampingan. Sering kali Muslina melampiaskan kemarahannya pada Masrul dengan tidak memasak makanan untuk Masrul, menghinanya, bahkan memukulnya. Masrul menyadari dirinya telah jarang mengirim surat ke Rasmani karena sibuk pekerjaan dan rumah tangganya. Suatu hari Masrul mengirim surat pada Rasmani yang menanyakan pendapat Rasmani perihal perceraian dirinya dengan Muslina. Dan Rasmani menjawab bahwa dia menentang dan kecewa jika Masrul ingin menceraikan Muslina. Sesuai keinginan Rasmani, Masrul bertahan. Tapi saat usia pernikahan mereka memasuki tahun ketiga, Masrul dan Muslina bercerai. 37

Saat itu, Masrul memutuskan untuk berhenti bekerja dan kembali ke kampung halamannya. Sesampainya di Bonjol, Masrul mendatangi rumah Rasmani untuk berjumpa. Setelah beberapa hari di Bonjol, Masrul memutuskan untuk merantau lagi dan kali ini dia pergi ke . Masrul mengajak Rasmani untuk ikut bersamanya, tapi Rasmani menolaknya karena dirinya berpikir pasti berat rasanya menghidupi dua orang di daerah asing. Akhirnya Masrul pergi ke Medan seorang diri. Suatu hari Masrul menerima surat dari Muslina yang meminta rujuk padanya karena anak dan ayahnya sakit-sakitan, dan ibunya telah meninggal dunia. Setelah menerima surat tersebut, Masrul memberitahukan hal tersebut kepada Rasmani. Tentu saja isi surat tersebut membuat Rasmani terkejut. Rasa putus asa merenggut dirinya hingga akhirnya Rasmani jatuh sakit dan meninggal dunia. Masrul yang hanya mengetahui Rasmani sakit, terlambat satu hari sampai di Bonjol karena Rasmani telah tiada. Masrul merasa menyesal karena surat terakhir yang dikirimnya telah menyebabkan Rasmani mengalami penderitaan.

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Unsur Intrinsik Novel Kalau Tak Untung Karya Selasih Unsur pembangun dalam sebuah novel memiliki penjelasan dengan terperinci dan kompleks jika dibandingkan karya sastra lainnya. Dimulai dengan perkenalan tokoh, lalu menceritakan situasi dan kondisi dari tokoh utama, proses menuju konflik, pemunculan konflik dan sampai akhirnya mencapai penyelesaian yang entah berakhir bahagia atau menyedihkan semua itu merupakan kesinambungan dari cerita novel yang kompleks. Terlebih dengan didukungnya unsur pembangun yang berasal dari penulisnya yang menambahkan nilai kompleks sebuah novel. Salah satu unsur pembangun yang akan digunakan dalam penelitian sastra ini adalah unsur intrinsik. Unsur intrinsik adalah penilitian yang dilakukan dengan mengacu pada novel tersebut, yang artinya merupakan sebuah peneilitian yang objektif. Di bawah ini akan dijelaskan unsur intrinsik novel Kalau Tak Untung karya Selasih.

1. Tema Tema merupakan salah satu unsur pembangun dalam sebuah cerita yang tidak hanya dituliskan secara tersurat atau terlihat jelas, tetapi tema dapat tersirat dalam berbagai kutipan dialog antar tokoh. Untuk menentukan tema dalam novel tidak dapat ditentukan hanya dengan membaca sepotong cerita, tetapi harus membaca keseluruhan cerita dan memahami secara mendalam. Hal ini dikarenakan tema memiliki sifat yang luas, di mana tema dalam sebuah novel ide atau gagasan secara keseluruhan yang dicakup menjadi kesatuan. Selasih seringkali mengangkat cerita tentang ketidakadilan yang diterima oleh masyarakat bawah, kehidupan masyarakat bawah yang melarat dan menderita, perempuan yang berpendidikan dan berkepribadian keras dalam meraih cita-citanya. Namun khusus untuk novel Kalau Tak Untung ini dirinya terispirasi dari kehidupan seseorang yang dekat dengannya dan menjadikannya

38 39

sebuah novel yang kompleks akan cerita percintaannya. Kisah percintaan yang menyedihkan, memilukan dan jujur yang terlihat dengan jelas dalam novel Kalau Tak Untung karyanya ini menjadikannya terkenal pada tahun 1930-an dengan penerbit Balai Pustaka. Kisah percintaan yang merupakan ciri dari penerbitan Balai Pustaka merupakan tema yang umum pada tahun 1920- 1930an, meskipun isi dari cerita berbeda-beda. Secara teori diketahui bahwa terdapat dua macam tema yang secara umum diketahui, yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayor adalah gagasan umum suatu karya, sedangkan tema minor adalah gagasan atau makna tambahan yang terdapat dibagian-bagian tertentu dalam cerita. Tema mayor dalam novel Kalau Tak Untung adalah perbedaan status sosial yang mengakibatkan gagalnya percintaan para tokoh. Naik turunnya kisah percintaan para tokoh akan mempengaruhi analisis ambivalensi. "Tapi aku membunuh orang yang mencintaiku..."1 Terlihat pada ungkapan oleh tokoh utama, Masrul, bahwa cinta dirinya dengan Rasmani tidak dapat disatukan. Karena halangan dan keegoisan Masrul yang lebih memilih perempuan lain untuk dijadikan istri. Sehingga saat dirinya memutuskan kembali pada Rasmani, semuanya terlambat, Rasmani telah meninggal. Tema minor dalam novel Kalau Tak Untung yakni perihal perempuan dan pria dalam memperjuangkan pemikirannya dan keinginannya untuk lepas dari kondisi sosial mereka yang tidak mendukung. “Ibu, saya belum hendak beristri, saya baru berumur sembilan belas tahun. Lagi pula kata orang yang pandai-pandai dalam bukunya tak baik kawin berfamili. Acap kali anak orang yang kawin sekaum itu, dungu atau mudah jadi gila atau tak sempurna bahagian tubuhnya. Kalau tak di anak itu benar, di keturunannya terjadi yang seperti itu.” 2

Pembuktian dia atas merupakan hasil pemikiran salah satu tokoh, yaitu Masrul dalam memandang kaumnya. Hal ini mencerminkan pandangan sang pengarang terhadap lingkungan sosialnya. Namun dalam cerita, tokoh Masrul

1 Sariamin Ismail, Kalau Tak Untung, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 156. 2 Sariamin Ismail, Op. Cit, h. 31. 40

mendapatkan “hukuman” atas kedurhakaannya dengan tidak mendengar orangtuanya, yang sampai akhirnya hukuman terakhirnya adalah ketidakmampuannya dalam menentukan pilihan hingga akhirnya kematian Rasmani menjadi hukuman terbesarnya. Namun, selain itu juga terlihat adanya tema minor lainnya pada penelitian ini, yakni gegar budaya. Ambivalensi identitas, di mana tokoh dalam cerita ingin menjadi manusia yang mampu mengubah kehidupan lamanya dengan kehidupan yang diinginkannya. Kutipan di atas merupakan salah satu sikap ambivalensi Masrul untuk mencegah dirinya menikah dengan Aminah dengan memberikan ilmu sains pada ibunya. Terlihat pendidikan yang diterima Masrul membuatnya mengeluarkan pendapatnya itu untuk keluar dari pemikiran konservatif yang dimiliki oleh ibunya. Dapat disimpulkan bahwa perjalanan sang tokoh utama dalam percintaan merupakan jalan yang panjang dan menjadikan dirinya menyesali setiap langkah egois yang diambilnya. Namun Selasih sedikit mengangkat hal tentang keegoisan manusia yang ingin hidup bebas dengan aturannya sendiri dan mengangkat permasalahan tersebut dengan menyertakan adanya unsur pascakolonial membuat menarik pembahasan yang akan dilakukan dalam penelitian ini.

2. Tokoh dan Penokohan Tokoh dalam novel memiliki peranan penting sebagai pemaparan cerita dalam sebuah cerita yang menjelaskan runtutan kejadian yang dialami tokoh dalam novel. Dalam novel Kalau Tak Untung, tokoh utamanya adalah Masrul dan Rasmani. Mereka memiliki peranan penting dalam memapaparkan jalan cerita. Selain itu juga terdapat beberapa tokoh tambahan seperti Dalipah, Ibu Masrul, Orangtua Rasmani, Muslina, dan Aminah. Namun yang akan dibahas hanyalah tokoh Dalipah dan Ibu Masrul. a. Masrul Masrul merupakan salah satu dari tokoh utama di dalam novel Kalau Tak Untung. Masrul merupakan anak tunggal dari Datuk Marojo. Masrul 41

hidup di sebuah rumah yang sederhana, meskipun untuk golongan orang Painan, orangtua Masrul termasuk keluarga berkecukupan. Hal ini terlihat dari cara berpakaiannya. ...diperbaikinya letak jas dan celananya, diperbaiki letak kopaih suteranya, dan barulah ia berjalan pergi ke kantor.3

Meskipun sederhana, namun terlihat bahwa jas yang dimiliki Masrul menandakan dirinya berasal dari keluarga yang mampu dengan tidak meninggalkan cirinya sebagai orang muslim dengan kopiahnya. Lalu, ciri fisik yang dituliskan oleh pengarang dalam novel Kalau Tak Untung adalah usia Masrul yang berkisar antara 19-24 tahun. “Ibu, belumlah saya akan beruban dalam umur dua puluh dua tahun, kecuali kalau rambut saya dapat penyakit dan Aminah belum akan tua berumur tujuh belas tahun. Tetapi kalau Ibu minta kurang juga, biarlah saya berjanji dua tahun.” 4

Dari kutipan di atas Masrul berusia 19 tahun dengan sifat penyabar dan patuh pada orangtuanya. Tipikal seorang pria yang tidak mau memperpanjang masalah dan lebih memilih untuk mengalah mencerminkan diririnya memiliki budi pekerti yang baik meskipun dirinya anak tunggal dari keluarga yang berkecukupan. Namun hal itu berubah yakni saat dirinya mulai merantau ke Painan sebagai juru tulis. Tokoh Masrul mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan peristiwa dan plot. Masrul bekerja menjadi magang jurutulis di kantor negeri selama hampir tiga tahun, dan dia mendapatkan beslit (surat tugas) di Painan. Di sinilah awal konflik batin Masrul di mulai. Ibu Masrul berkeinginan untuk menikahkan Masrul terlebih dahulu sebelum pergi ke Painan. Perempuan yang dinikahkannya adalah Aminah yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Masrul. Namun beberapa kali menolak permintaan ibunya dengan alasan sebagai berikut:

3 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 111. 4 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 36 42

“Begini Ibu,” kata Masrul menahan hatinya dan berbuat seperti orang yang sabar benar, “biarlah saya pergi seorang diri sekarang. Pertama saya terpaksa lekas berangkat, kata induk semang saya harus di minggu ini juga. Jadi kalau akan berhelat pula dahulu, tentu tergesa-gesa benar, Ibu juga yang akan payah. Kedua si Aminah masih kecil, belum mungkin dibawa merantau. Ketiga gaji saya masih sedikit, belum cukup untuk saya sendiri apalagi untuk berdua.” 5

Akhirnya Masrul meminta dua tahun untuk menyiapkan diri Aminah, karena dia tidak ingin memiliki istri yang tidak bisa membaca, menulis, melakukan pekerjaan rumah, dan menjahit. Dan ibunya setuju. Setelah mendekati dua tahun Masrul di Painan, dia berkenalan dengan Ayah Muslina yang dikenalkan oleh Mak Sawiah, induk semangnya Masrul. Ayah Muslina berkeinginan untuk menikahkan putrinya dengan Masrul. Masrul sendiri tahu bagaimana rupa Muslina yang cantik nan rupawan, kecantikannya pun sudah terkenal di Painan. Namun dia juga memiliki janji kepada ibunya untuk menikahi Aminah setelah dua tahun. Masrul meminta pendapat Rasmani atas keraguannya dengan mengumpamakan dirinya dalam suratnya bahwa teman karibnya sedang mengalami kesulitan dalam menentukan pendamping hidupnya. Dan Masrul mendapatkan jawaban seperti ini: “Jadi Kakanda, sahabat Kakanda harus berhati-hati benar dalam pemilihannya, kalau sebenarnya ia tak bermaksud akan beristri dua-tiga, dan hendak beruntung kemudian hari, alangkah buruknya, jika ia sekarang merusakkan hati tunangannya, sedang ia sendiri tak mendapat bahagia yang dikejar itu .... Kakanda, bahagia adalah barang yang tak dapat dilihat dengan mata hanya dirasa ....” 6

Pada awalnya Masrul berkeinginan untuk menuruti nasihat dari Rasmani. Namun Masrul mengingat wajah Muslina yang rupawan lagi dan saat mengunjungi rumahnya, nasihat dari Rasmani hilang. “Bodoh benar aku tak mengharakan kurnia Tuhan, tak memungut durian runtuh,” pikir Masrul dalam hatinya.7

5 Sariamin Ismail, Op. Cit, h. 37. 6 Sariamin Ismail, Op. Cit, h. 76. 7 Sariamin Ismail, Op. Cit, h. 79. 43

Akhirnya, Masrul memutuskan untuk menikahi Muslina. Lalu dia memberi kabar ke orangtuanya bahwa dia akan menikahi perempuan pilihannya sendiri dan menolak untuk menikahi Aminah. Ibunya membalas dengan kekesalan dan kecewa terhadap putranya tersebut karena menikahi perempuan lain tanpa persetujuan orangtuanya. “... Bapakmu marah, sebab engkau melampauinya; ia merasa kelangkahan, sebab itu ia tak hendak membuat surat itu dan lain-lain.” 8

Ini adalah awal pembuktian dari sifat Masrul berubah menjadi egois akan keinginannya sendiri dan mudah terhasut. Perkembangan negatif ini terjadi karena keinginan Masrul untuk memiliki istri yang cantik dan yang dipikirnya memiliki budi pekerti yang baik dari keluarga terhormat. Namun akibat yang terjadi adalah saat pernikahan mereka dilangsungkan, Masrul merasa asing saat menyadari akan akibat pernikahan yang tidak direstui oleh orangtuanya dengan tidak ada kerabat yang datang di hari pernikahannya. Perubahan berlanjut pada kehidupan pernikahan Masrul. “Ke kedai kopi,” pikirnya sambil meraba sakunya. “Cukup untuk dua, tiga botol bir.” Sambil berpikir demikian ditujukannya langkahnya ke sebuah kedai kopi. Di situ dilihatnya beberapa orang minum. Dengan tak mengacuhkan orang itu, dimintanya sebotol bir.” 9

Kutipan di atas menceritakan saat Masrul mulai memasuki usia 23 tahun, setelah hampir tiga tahun jalinan rumahtangganya dengan Muslina berlangsung. Pada usia ini, Masrul berubah menjadi sering menghibur diri dengan bir dan dirinya juga menjadi kasar dan mudah tersinggung. Seperti halnya dia dalam kutipan berikut: “Dengan panas dan kesal hati yang tak tertahan-tahan, dihelakannyalah alas meja itu, sehingga semua yang di atasnya jatuh ke lantai dan hancur luluh” 10

8 Sariamin Ismail, Op. Cit, h. 85. 9 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 97. 10 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 100. 44

Hal ini terjadi karena Masrul telah lelah dengan kehidupan pernikahan yang dia jalani setelah mengetahui bahwa istrinya materialistik dan penuntut. Padahal dirinya telah mengambil dua pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan Muslina dan anaknya. Hingga akhirnya memutuskan dirinya dan Muslina untuk bercerai. Dari perubahan sifat dan sikap inilah yang membuktikan bahwa tokoh Masrul masuk ke dalam kategori tokoh dinamis. Selain masuk ke dalam tokoh dinamis, Masrul juga masuk ke dalam kategori tokoh bulat yang kompleks. Dirinya yang patuh pada orangtua, sesungguhnya dengan pendidikan yang dimilikinya menjadikan dirinya pribadi yang modern. Hal ini menjadikan Masrul keluar dari tokoh tipikal dengan cara berpikirnya yang maju dengan ketidakinginannya untuk menikah dengan seseorang yang merupakan sepupu jauhnya. Namun karena sifat peragu yang dimilikinya, membuat dirinya tidak dapat menyatakan secara langsung akan ketidaksetujuannya akan aturan pernikahan adat yang dipegang teguh ibunya. Dalam hubungannya dengan tema, tokoh Masrul dihadapkan pada pilihan perempuan untuk dijadikan istri yang pada awalnya menyetujui perjodohannya dengan Amniah, menikah dengan Muslina, dan pilihan terakhirnya Rasmani. Sikap ambigu yang dialami Masrul sebelum menentukan pilihannya pada Muslina memperlihatkan psikologi Masrul yang lemah. Selain itu, jika melihat dari cara berpakaian, ujaran dan perilakunya menjelaskan bahwa penulisan karakter Masrul melalui teknik dramatik, yaitu penampilan tokoh cerita secara tidak langsung.Hal ini menjadikan Masrul merupakan tokoh utama (protagonis) dinamis yang kompleks. b. Rasmani Rasmani merupakan tokoh utama kedua. Alasan dirinya menjadi tokoh utama kedua adalah karena dari awal cerita dikisahkan tentang kehidupan Rasmani sejak kecil dan sampai akhir cerita dirinya meninggal 45

dengan alur maju. Rasmani adalah anak kedua dari pasangan Datuk Sinaro dan Jaura. Keluarga Rasmani masuk ke dalam golongan masyarakat rendah. Orangtuanya adalah buruh tani dari lahan yang tidaklah besar. Karena pendapatan mereka yang rendah, Dalipah harus putus sekolah dan menjadikan Rasmani sekolah. Hal ini dikarenakan adik mereka lahir dan tidak ada biaya untuk membayar sekolah mereka berdua, alhasil, Dalipah mengalah. Rasmani mengetahui beban apa yang akan dipikulnya kelak dan menerimanya. Ciri fisik yang terlihat dalam cerita hanyalah usia Rasmani yang terlihat pada kutipan berikut. Rasmani ketika itu berumur lima belas tahun lebih.11 Kisaran usia Rasmani dalam cerita adalah 15-20 tahun menurut waktu cerita. Dilihat dari keseluruhan penuturan tentang Rasmani, dikatakan dia adalah anak yang giat belajar demi menjadi guru yang merupakan cita- cita Rasmani dan menjadikan kehidupan keluarganya menjadi lebih baik jika dirinya bekerja sebagai seorang guru. Namun masyarakat sekitar melihat Rasmani sebagai anak yang manja. Alasan dari manja itu karena saat Rasmani kecil dia terbiasa bangun tidur dibangunkan, mandi dimandikan, makan disediakan, dan bahkan ke sekolah juga di antar oleh orangtuanya. Meskipun sesungguhnya Rasmani anak yang sederhana meskipun dia jarang berada di sawah untuk membantu orangtuanya. Dalam cerita, Rasmani telah menaruh hati pada Masrul sejak lama namun Masrul tidak menyadarinya. Sampai akhir cerita cintanya selalu bertepuk sebelah tangan. Rasmani juga sabar dan tabah saat mendengar berita bahwa Masrul akan dinikahkan dengan Aminah. Bahkan saat Masrul meminta Rasmani untuk mengajari Aminah untuk bisa membaca dan menulis. “Akan diterimanyakah permintaan Masrul itu? Ia, Rasmani akan mengajar Aminah? Aminah tunangan Masrul? Ia yang selalu dipandang rendah oleh kaum Aminah? Aminah anak orang kaya yang selalu mencemoohkannya?” 12

11 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 21, 12 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 48. 46

Meskipun dalam hati Rasmani berkata demikian, dia tidak bisa menolak. Dia harus mengajar seorang perempuan yang sama-sama berusia lima belas tahun tapi dari keluarga sosial lebih tinggi darinya. Namun Rasmani teringat akan jasa Masrul yang menjadikannya guru bantu membuat Rasmani dengan berat menerima permintaan Masrul sebagai tanda balas jasa. Rasmani tahu akan hutang budi, jadi tidak mungkin permintaan Masrul ditolaknya meskipun itu menyakitkan untuk hatinya. Tapi saat hampir dua tahun berjalan, Masrul menanyakan perihal menentukan istri pada Rasmani. "...Istri akan berleluasa, dan hendak berkuasa dalam sekalian hal. Suami akan tertindis dan tak dapat melakukan keberaniannya. Dalam hal ini kedua belah pihak takkan merasa bertuntung dan akan terjadi perceraian." 13

Namun semua nasihatnya diabaikan Masrul dan dia menikah dengan Muslina. Sejak hari itu hingga dirinya menginjak usia 20 tahun, Rasmani giat menjadi guru sekolah negeri di Bukittinggi. Hingga surat dari Masrul datang yang berkeluh-kesah dan keinginannya bercerai dengan Muslina, tapi Rasmani melarangnya. "Pikiran adinda, tak ada hak Kakanda akan meninggalkan istri Kakanda itu, kalau ia sendiri tak minta tinggal. Kesalahannya itu, suatu hal yang dapat berubah." 14

Bukan tanpa alasan Rasmani berubah menjadi mendukung hubungan tersebut. Rasmani mengkhawatirkan nasib Muslina yang akan menjadi janda dengan seorang anak yang harus diurusnya, jika Masrul memutuskan untuk bercerai. Alasan lainnya, Rasmani takut akan menjadi bahan perbincangan orang sekitar bahwa dirinya menjadi pemicu rusaknya jalinan rumah tangga Masrul dengan Muslina dan mereka berasal dari status ekonomi sosial yang berbeda. Maka saat Masrul melamarnya beberapa minggu setelah perceraiannya, Rasmani menolaknya.

13 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 75. 14 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 119. 47

Dari awal hingga akhir cerita, terlihat bahwa psikologi tokoh Rasmani lemah terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan Masrul mempengaruhi kondisi fisiknya. Pengarang menjadikan Rasmani sebagai tokoh yang statis dengan pembuktian adalah dari awal cerita sampai akhir cerita Rasmani masih mencintai tokoh Masrul bahkan sampai ajal menjemputnya. Dari seluruh kutipan di atas terlihat bahwa karakter Rasmani dinyatakan dengan jalan pikirannya menjadikan penampilan tokoh Rasmani diceritakan dengan teknik dramatik pula. Kaitan tokoh Rasmani dengan tema adalah dirinya tidak dapat memiliki Masrul karena Rasmani berasal dari keluarga miskin dan harus berjuang keras untuk menaikkan derajatnya di mata masyarakat sekitar. Namun usahanya terasa sia-sia saat mengetahui Masrul menikah dengan perempuan rantau. Kesedihannya membuat Rasmani berpikir dirinya harus bertahan hidup demi keluarganya dan ini terlihat dari kesungguhannya dalam mempertahankan pekerjaannya sebagai guru karena cintanya pada Masrul terhalang status sosial, kedua hal ini akan mempengaruhi analisis hibriditas dan ambivalensi tokoh Rasmani. Kesimpulannya, tokoh Rasmani pada novel Kalau Tak Untung merupakan pejuang dalam meraih cinta dan pekerjaannya dengan kerendahan hati yang dimilikinya. Tokoh Rasmani merupakan tokoh utama (protagonis) tambahan yang masuk ke dalam kategori tokoh statis, di mana dirinya tidak mengalami perubahan akan perasaan cintanya pada Masrul meski beberapa kali mengecewakannya dan karakter tokoh Rasmani dalam novel Kalau Tak Untung dideskripsikan secara tak langsung oleh penulis. c. Muslina Diceritakan tokoh Muslina adalah istri dari tokoh utama, yaitu Masrul yang muncul pada bagian ke tujuh, di mana Masrul melihat sosok Muslina di beranda (teras rumah) rumah induk semangnya. Terdapat sedikit pencirian fisik dari tokoh Muslina ini. 48

... Muka itu diganti-ganti oleh sebuah muka yang lain. Muka yang berwarna kuning langsat yang dihiasi mata sebagai bintang timur, hidung yang sebagai dasun tunggal, yang selalu menunjukkan kegagahan dan kelebihannya.15

Selain itu, ciri fisik lainnya seperti usia terlihat pula pada kutipan berikut. Dengan tak diketahuinya, matanya terus saja melihat anak itu. Dikira-kiranya umur anak itu tak kurang dari enam belas tahun dan dilihat pakaiannya serta angkuhnya berjalan, nyatalah ia anak orang baik-baik di situ dan anak yang bersekolah jua. 16

Kisaran umur Muslina dalam cerita adalah 16-20 tahun menurut waktu cerita, dapat dilihat bahwa usia Rasmani dengan Muslina sama. Selain itu pernyataan di atas menjelaskan pula bahwa Muslina seperti gadis yang berasal dari keluarga yang cukup berada. Muslina merupakan putri tunggal dari seorang guru gedang (guru besar) di Painan. Awalnya demi mendapatkan Masrul, dia selalu bersikap baik dan lemah lembut. Namun itu semua hanyalah hasutan namun pada kenyataannya sikapnya sangatlah berbeda. “Anak itu bertunangan dengan dokter yang baik tampannya, dan khabarnya senegeri dengan dia. Dokter itu tergila-gila kepadanya, ia pun suka kepada dokter itu. Tetapi dalam pada itu ia bersahabat dengan seorang anak sekolah Mulo. Maklumlah anak muda-muda bersahabat. Namanya jadi buruk, sehingga terdengar oleh tunangannya dan familinya. Meskipun tunangannya itu mulanya tak mau menerima anak engku guru lagi, sehingga pertunangan itu diputuskan. Sudah itu ia bertunangan dengan sahabat itu. Famili si sahabat pun tak mau menerimanya meskipun dijadikan perkara oleh engku guru menurut adat. Orang menang, sehingga persahabatan itu pun putus...”17

Kutipan di atas adalah cerita tentang kehidupan percintaan Muslina dengan beberapa pria sebelum Masrul. Hal ini terjadi karena Muslina berusaha menaikkan derajatnya lagi dengan bergaul dengan orang MULO.

15 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 63. 16 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 53. 17 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 95. 49

Kutipan di atas juga menyatakan bahwa penulisan karakter Muslina dideskripsikan secara tidak langsung melalui percakapan orang lain. "...Laki-laki tak berperasaan! Anak istrinya ditinggalkannya, ia pergi mencari pelesiran di luar rumah, sepanjang jalan raya. Tak tahu berterima kasih. Harta orang dihabiskan. Sudah licin semuanya!"18 Kutipan di atas merupakan kutipan salah satu pertengkaran yang terjadi pada kehidupan pernikahan Masrul dan Muslina. Hal ini terjadi karena Muslina merasa kecewa dan marah terhadap Masrul karena membuatnya hidup kekurangan dan membuatnya katarsis terhadap Masrul dengan cara menghinanya. Di usia 19 tahun yang menyatakan telah tiga tahun pernikahan, selama itu tidak ada perubahan pada sikap kasarnya Muslina. Meski beberapa kali berbaikan dengan Masrul, Muslina akan kembali mempermasalahkan hal yang sama. Dengan pernyataan di atas menjadikan Muslina masuk ke dalam kategori tokoh yang terbuka dengan pembuktian dan penjelasan di atas yang ditunjukkan dalam penyampaian rasa kecewa dan amarahnya dengan tidak ragu-ragu dia ungkapkan dalam novel ini. Maka tokoh Muslina dapat dikategorikan sebagai tokoh statis dengan perilaku buruknya. Namun terdapat hal yang tidak dapat dipungkiri dengan kehadiran tokoh Muslina menjadi tokoh pendukung Masrul karena terjadi perubahan perilaku Masrul dalam cerita dari perkenalannya dengan Muslina hingga pernikahannya. Hubungan tokoh Muslina dengan tema, tokoh Muslina merupakan orang ketiga yang berada diantara hubungan Masrul dengan Rasmani dengan starus sosial yang lebih tinggi daripada mereka. Dengan status sosialnya menjadikan Muslina ingin bergaul dengan masyarakat sosial yang lebih tinggi lagi dnegan menjalin hubungan dengan anak yang bersekolah di Mulo, sekolah bangsawan pribumi. Bukannya mendapatkan anak tersebut, reputasinya yang malah tercemar. Dalam hal ini terlihat bahwa Muslina mengalami gegar budaya. Dari seluruh pemaparan di atas dapat dinyatakan bahwa Musllina merupakan tokoh statis antagonis dengan karakternya yang

18 Sariamin Ismail, Op. Cit.,h. 101 50

superior dan hal ini berkaitan dengan analisis hegemoni dan mimikri pada penelitian ini. d. Ibu Masrul Ibu Masrul merupakan tokoh tambahan dalam novel Kalau Tak Untung yang mendukung adanya keberadaan tokoh Masrul dan Rasmani. Digambarkan sosok Ibu Masrul adalah perempuan yang menyayangi putra semata wayangnya dan memiliki sifat bahwa segala sesuatu yang ada dipikiran dan benaknya adalah mutlak benar misalnya dalam menjodohkan putranya dengan gadis pilihannya, Aminah. "Apalagi yang engkau cari? Si Aminah cukup bagusnya, cakap dan pandai bekerja, ia anak orang kaya, anak mamakmu darah daging Ibu."19

Selain karena keinginan sendiri, dia tidak ingin anaknya menikah dengan Rasmani, gadis yang status sosialnya berbeda dengan Masrul. Alasan lainnya dia juga takut anaknya menikah dengan perempuan lain di Painan. Nyatanya, Masrul memang memilih perempuan lain. “... Benar ia anak datuk dan kemanakan juga dari bapakmu, tapi tak patut engkau naik ke rumah itu. Tak seperti itu tempat dudukmu. Lagi pula Rasmani tak tahu sebuah juga, manja tak berketentuan. Semua orang mengatakan mereka tak tahu diuntung. Saya suka pada mereka hanya karena baik budinya dan pandai ia membawakan diri. Orang tua Rasmani tentu tak lupa memikat-mikat kamu, supaya mau jadi menantunya dan engkau tentu buta dan pekak karena mulut manis orang” 20

Ibu Masrul merasa memiliki status sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang tua Rasmani dengan perkataannya yang “tak seperti itu rumah dudukmu.” Bahkan di kalimat selanjutnya dirinya lebih memandang rendah orang tua Rasmani karena menurutnya mereka hanyalah

19 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 30-31. 20 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 31.

51

rakyat miskin penjilat yang ingin menghasut putranya. Hal ini menyatakan bahwa dirinya menjunjung tinggi derajat sosial. Sifat-sifat yang terlihat dengan jelas dalam novel seperti keras kepala, memandang rendang orang, dan tidak mau mengakui kesalahannya. Sikap superior yang ditunjukkan oleh Ibu Masrul, sama dengan Muslina dalam hal status sosial. Meskipun pada akhirnya dirinya menyadari bahwa segala prasangka yang dia dapatkan dari perkataan orang-orang dari lingkungannya adalah salah perihal keluarga Rasmani. Ibu Masrul menjadi tokoh pendukung keberadaan tokoh Masrul karena memberikan tekanan pada Masrul perihal janji untuk menikahi Aminah. Tokoh Ibu Masrul sendiri masuk ke dalam tokoh dinamis. Hal ini ditunjukkan dari ketidaksukaannya pada Rasmani menjadi menyukainya dan menyadari kekeraskepalaannya. Dalam kaitannya dengan tema, Ibu Masrul merupakan salah satu tokoh yang membuat hubungan Masrul dan Rasmani tidak bisa bersatu dengan memandang status sosial Rasmani yang rendah. Namun sikap feodalisme yang ditunjukkan oleh Ibu Masrul berubah setelah melihat ketulusan Rasmani mengajari Aminah. "Jika tak mau benar kepada Aminah, Rasmani baik juga rasanya, dari mengambil orang lain, anak rantau," katanya dalam surat. "Apalagi bunda sudah tahu benar perangai anak itu sekarang. Sangat tahu ia akan diri dan sangat hormat. Pendeknya banyak benar kebaikannya, makin lama makin kelihatan." 21

Melihat dari kutipan di atas terlihat bahwa Ibu Masrul menentang pernikahan Masrul dengan Muslina karena tidak tahu secara langsung bagaimana rupa Muslina dan Rasmani dapat pula jadi pilihan Masrul. Dalam hal ini terlihat perubahan pemikiran Ibu Masrul yang tidak menerima hubungan anaknya dengan Rasmani dulu berubah menjadi mendukung. Kesimpulannya, Ibu Masrul merupakan tokoh pendukung keberadaan tokoh Masrul, Rasmani dan Muslina. Dirinya merupakan tokoh tritagonis di saat

21 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 85. 52

seluruh keluarga kecewa dan marah pada Masrul dan tidak menjawab surat dari Masrul, hanya Ibu Masrul dari pihak keluarga yang membalas surat putranya dan memberi izin pernikahan Masrul dengan Muslina meskipun dengan perasaan kecewa. Selain itu, Ibu Masrul juga termasuk ke dalam kategori tokoh dinamis pada cara pandangnya ke Rasmani. e. Dalipah Dalipah merupakan tokoh tambahan dalam novel Kalau Tak Untung, dia adalah kakak dari Rasmani. Di gambarkan sosok Dalipah merupakan seorang kakak yang menyayangi adiknya, Rasmani. “Dalipah pergi ke dapur, diambilnya garam sedikit, digilingnya halus-halus dan digaraminya nasi Rasmani. Iba benar rupanya hati Dalipah melihat adiknya makan dengan garam itu, tetapi apakah yang akan dikatakannya, suatu pun tak ada yang dapat diberikannya untuk pemakan nasi oleh adiknya itu ...” 22 Dalipah juga seorang kakak yang dekat dengan Masrul, bahkan Masrul sudah menganggap Dalipah adalah seorang kakak perempuan baginya. Dalipah berhubungan dekat dengan Rasmani. Segala keluh kesah, bahkan kisah percintaannya dengan Masrul diceritakannya ke Dalipah. Bahkan sampai saat terakhir, surat yang dituliskan oleh Rasmani untuk Masrul dititipkan pada Dalipah. Karakter tokoh Dalipah merupakan tokoh tambahan yang memiliki kasih sayang terhadap keluarganya. Terbukti dengan rasa kasih sayangnya terhadap Rasmani yang selalu menemani sampai ajal menjemputnya dan rasa kasihan terhadap orangtuanya yang tidak bisa meneruskan biaya sekolahnya. Dengan sifatnya itu menunjukkan Dalipah termasuk ke dalam tokoh statis dan pendukung keberadaan tokoh Rasmani dari awal hingga akhir cerita. Kaitannya dengan tema, dirinya mendukung hubungan percintaan Rasmani dengan Rasmani meskipun dirinya mengetahui perbedaan status yang menghalangi mereka karena dirinya juga mengetahui kedekatan

22 Sariamin Ismail, Op. Cit, h.10. 53

Masrul dengan Rasmani sejak kecil. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut. Dalipah mengetahui perasaan adiknya ketika itu, sebab itu ia berdiri pula dan pergi ke dapur akan menolong Rasmani.23 Namun tokoh Dalipah tidak terlihat bahwa dirinya mendukung hubungan antara Masrul dengan Muslina. Dalam cerita, tidak terlihat ciri fisik Dalipah, namun terlihat cara pandang Dalipah yang berbeda, hal ini terlihat dalam kutipan berikut. "Masih ingat saya bagaimana ejekan orang ketika Dalipah berumur tujuh belas tahun belum juga kawin. Ketika ia bersuami tepat besar umurnya delapan belas tahun, dikatakan orang ia anak dara tua. Tetapi saya dan mamakmu tak hendak menghiraukan percakapan seperti itu." 24 Kutipan di atas menjadikan Dalipah memiliki karakter yang penyabar dan tidak terpengaruh dengan pendapat lingkungan sekitarnya. Dalipah merupakan tokoh tambahan tritagonis di mana dirinya menjadi penghubung akhir antara Rasmani dengan Masrul dengan memberikan surat terakhir milik Rasmani. Hal ini menjadikan Dalipah merupakan tokoh statis dalam hal mendukung hubungan Masrul dengan Rasmani. Tokoh Dalipah merupakan pendukung keberadaan tokoh Rasmani dan Masrul.

3. Alur atau Plot Burhan Nurgiyantoro menyebutkan bahwa alur sebuah prosa dapat diketahui dari berbagai hubungan wacana naratif dengan peristiwa-peristiwa cerita ke dalam bentuk yang terorganisasikan. Rangkaian peristiwa membentuk sebab-akibat yang secara kronologis sesuai dengan balutan penceritaan yang sederhana. Di bawah ini akan dijelaskan lebih rinci mengenai peristiwa dengan menggunakan tahapan alur, mulai dari tahap penyituasian, tahap pemunculan konflik, tahap peningkatan konflik, tahap klimaks dan tahap penyelesaian. a. Tahap Penyituasian Pada permulaan cerita, pengarang menuliskan tentang kehidupan sehari-hari dari keluarga kecil milik tokoh utama kedua, yaitu Rasmani.

23 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 25. 24 Sariamin Ismail, Op. Cit. h. 25. 54

“Rasmani, Mani! Bangun Nak, bangunlah, hari telah tinggi, engkau akan pergi ke sekolah,” demikian terdengar seru seorang ibu yang sedang menyapu membersihkan rumah kecilnya. 25

Penyituasian kehidupan dari keluarga miskin yang mengawali hari dengan bekerja membersihkan rumah yang secara umum tentu dilakukan oleh setiap keluarga. Setelah itu terdapat peristiwa awal pertemuan antara Rasmani dan Masrul. Disituasikan dalam novel bahwa Rasmani dan Masrul adalah sepupu jauh yang dikenalkan oleh ibu Rasmani. Sejak saat perkenalan itu, Rasmani dan Masrul akhirnya mereka menjadi bersahabat dan dekat. Makin lama makin kariblah persahabatan mereka itu. Masrul merasa canggung kalau tak bersama dengan Rasmani, demikian juga sebaliknya.26

Persahabatan yang mereka jalin dengan adanya hubungan keluarga menjadikan orang-orang di Bonjol mengganggap bahwa persahabatan mereka wajar. Pemaparan yang singkat ini menjelaskan setting tempat kedua tokoh utama dibesarkan di desa yang nyaman dan memiliki keramahtamahan terhadap tetangga maupun antar saudara. Penyituasian ini membuat beberapa pembaca mungkin berpikir bahwa tahap ini sedikit terlalu singkat. Hubungan tahap penyituasian ini dengan tema adalah awal pertemuan antara Rasmani dengan Masrul ketika mereka masih sekolah sebelum adanya pandangan akan status sosial. Pada tahap ini dapat dinyatakan sebagai awal pertemuan antara kedua tokoh utama yaitu Masrul dan Rasmani hingga mereka menjadi sahabat dekat. b. Tahap Pemunculan Konflik Pada pemunculan konflik di awal, terjadi loncatan waktu di mana Masrul telah berusia sembilan belas tahun, dan sudah magang menjadi jurutulis di sebuah kantor negeri. Sedangkan Rasmani berusia lima belas tahun dan sudah magang menjadi seorang guru.

25 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 9. 26 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 19. 55

Hari itu Masrul mendatangi rumah Rasmani untuk bertemu dengan orangtua Rasmani yang masih merupakan Mamak dan Etek Masrul, dengan tujuan untuk memberikan berita bahwa dirinya mendapatkan surat tugas dari Padang untuk pindah kerja ke Painan. Namun ada permasalahan yang menyertai, yaitu keinginan ibunya untuk membawa Aminah ke Painan, artinya dirinya diharapkan untuk menikah terlebih dahulu sebelum berangkat ke Painan. “Tentang rupanya itu tak tahu saya, Etek, tak pernah saya melihat kebagusannya. Boleh jadi sebab saya tak tahu mana yang dikatakan orang bagus. Masak ajar kata Etek, bagaimanakah orang yang dikatakan masak ajar? Barangkali artinya: ia tak perlu diajar lagi? Diletakkan huruf sebesar-besar induk kerbau di hadapannya takkan dapat dibacanya.”27

Masrul yang memiliki pandangan modern, tentu menginginkan seorang yang berpendidikan meskipun hanya bisa membaca dan menulis. Pandangan ini juga dimiliki oleh Ibu Rasmani. Tapi Aminah tidak dapat membaca dan menulis yang menjadikan nilai negatif untuknya. Baik Mamak dan Eteknya mengusulkan untuk menerima keinginan ibunya itu namun hati Masrul ragu untuk menjadikan Aminah sebagai istrinya, sedangkan di sisi lain Rasmani bersembunyi untuk mengeluarkan tangisannya. Pria yang selama ini dicintainya telah dijodohkan dengan Aminah. Sejak pulang dari rumah Rasmani, Masrul terus-menerus mendapat tekanan dari ibu kandungnya untuk segera menikahkan Aminah. Lelah dengan paksaan ibunya, akhirnya Masrul setuju untuk menikah dengan Aminah namun dengan menetapkan syarat-syarat bahwa Aminah harus bisa membaca, menulis, merajut, dan sebagainya. Setelah dua tahun dirinya akan menikahkan Aminah. Ini adalah pemunculan konflik tahap pertama. Pemunculan konflik tahap kedua terjadi saat Masrul telah pindah ke Painan dan tinggal di tempat seperti indekos atau pemondokan. Masrul kenal dekat dengan induk semangnya. Suatu hari dirinya dikenalkan pada seorang Engku Guru gedang (besar) yang memiliki seorang putri yang cantik jelita dan

27 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 27. 56

menginginkan Masrul sebagai suami bagi putrinya. Terlihat pada ujaran istri Engku Guru gedang di bawah ini. “Sudah dua kali orang disuruh Engku Guru gedang datang kemari, tetapi rupanya belum dapat Engku memutuskan. Karena anak kami telah besar, tak dapatlah kami menanti lama, itulah saya datang sendiri akan menanyakan pikiran Engku...”28 Masrul sendiri bukanlah pria munafik yang tidak melihat kecantikan dari putri Guru Gedang itu, menggugah hati Masrul karena kerupawanan Muslina. Demi kepentingan putrinya, orang tua Muslina mendatangi Masrul ke pemondokannya dan berbicara serius untuk mendapat jawaban dari Masrul tentang keinginan orang tua Muslina untuk menikahkan Masrul dengan putri semata wayangnya itu. Pada tahap pemunculan konflik ini, hubungannya dengan tema adalah terlihat usaha Masrul untuk lepas dari ikatan pernikahan dengan Aminah, perempuan yang dijodohkan olehnya dengan perkenalan dan pertemuannya keluarga Muslina. Masrul dihadapkan oleh pilihan antara Muslina, Aminah atau Rasmani dengan latar sosial yang berbeda-beda. c. Tahap Peningkatan Konflik Di tahap peningkatan konflik ini adanya keraguan dalam diri Masrul akan dirinya sendiri. Tahapan ini berkembang menjadi pertentangan yang terjadi pada diri Masrul. Muka Rasmani terbayanglah pula di matanya, kemudian muka Aminah dan sebentar lagi muka Muslina, kembang yang amat bagus itu.29

Keraguan ini memicu Masrul menulis surat kepada Rasmani dan menanyakan perkara ini dengan mengarang cerita bahwa temannya yang sedang mengalami permasalahan tersebut, tapi Rasmani tahu bahwa Masrul berbohong. Rasmani pun menuliskan balasan untuk mengikuti permintaan orangtuanya untuk menikah dengan wanita yang telah dijodohkannya.

28 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 65. 29 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 68. 57

Sesaat Masrul memikirkan dan menyetujui saran dari Rasmani, namun tak ayal Masrul masih memikirkan Muslina yang cantik rupawan itu menginginkan menikah dengannya. Sampai Masrul dibutakan oleh kelebihan yang dimiliki oleh Muslina dalam kutipan berikut. "Bodoh benar aku tak menghargakan kurnia Tuhan, tak memungut durian runtuh", pikir Masrul dalam hatinya. 30

Terlihat pada kutipan di atas keraguan Masrul menghilang dan dirinya memutuskan untuk memilih Muslina dan secara langsung Masrul menolak perjodohan dirinya dengan Aminah. Demi kesopanan, Masrul menuliskan surat permohonan maaf pada orangtuanya, Aminah dan keluarganya, dan pada Rasmani pula. Alasannya karena pertama Masrul tahu Rasmani mencintainya yang terlihat dari surat-suratnya. Tentu saja surat yang Masrul kirimkan ke orangtuanya dan orangtua Aminah membuat mereka marah karena mereka merasa 'kelangkahan' atau jika dipaparkan dengan bahasa yang mudah dipahami adalah rasa direndahkan karena Masrul memilih menikah dengan orang lain padahal dirinya yang sudah berjanji namun mengingkar. Namun sebagai orangtua, Masrul mendapatkan restu orangtuanya meskipun dengan setengah hati bersama perasaan kecewa mereka pada putra tunggalnya itu. Setelah pernikahan terlaksana, Masrul memiliki penyesalan akibat dari keegoisannya tersebut dengan memilih istri di luar keinginan orang tuanya. Hai alangkah bagus pakaianmu... alangkah tampan gayanya engkau sebagai mempelai ... tetapi siapa melihat itu? ... Mana ibumu ... mana ayahmu ... mana ninik mamakmu yang akan tersenyum melihat engkau turun tangga? Hai mana ipar besanmu yang akan menganggu dan mengucapkan gurau sendanya ... 31 Dirinya menyadari bahwa pernikahan diam-diam yang dilaksanakan itu tidak ada satu pun keluarga Masrul yang datang di hari pernihakannya dan pada saat terakhir, Masrul berpikir mungkin akan baik jadinya jika dia memilih Rasmani. Bila Masrul berkehendak pasti orangtuanya akan menerima. Pada bab sepuluh ini merupakan bagian dalam novel yang menyatakan bahwa tokoh

30 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 79. 31 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 87. 58

Masrul masuk ke dalam kategori tokoh dinamis. Dengan penulisan cerita lewat tokoh Masrul dan Rasmani memperlihatkan gegar budaya yang dialami tokoh Masrul karena perbedaan latar cerita yang akan dijelaskan pula dalam analisis hibriditas dan ambivalensi. Kaitan dengan tema, di tahap ini memperlihatkan Masrul memilih perempuan dari status sosial dan pendidikan yang lebih tinggi darinya terlebih Muslina lebih cantik dibandingkan Aminah dan Rasmani. Selain itu, kenaifan Masrul yang menganggap keluarga Muslina adalah keluarga terhormat juga menjadi salah satu alasan dirinya memilih Muslina pula. Namun di lain pihak, Rasmani merasa sedih dan kecewa karena Masrul melanggar janji dan mengabaikan amanat darinya. d. Tahap Klimaks Pada tahap klimaks ini adalah tentang kesengsaraan dan penderitaan yang dialami tokoh utama dengan jalan kehidupan yang dipilihnya beserta dengan usahanya untuk lepas dari penderitaannya tersebut. Tahap ini diawali pada saat terdapat dua orang sedang membicarakan tentang Masrul dan Muslina. Bagian tersebut diketahui bahwa nama baik Muslina telah tercemar dan keluarganya menjebak Masrul agar mau menikah dengan Muslina. Hal ini terlihat pada kutipan di bawah ini. “Engku itu betul-betul telah masuk perangkap. Engku guru gedang dan istrinya orang yang manis mulut benar. Dengan mudah ia menjalankan taktiknya, sehingga seorang kena jeratnya.” 32

Loncatan waktu tiga tahun dengan memperlihatkan pernikahan Muslina dengan Masrul telah memasuki tahun ketiga dan telah memiliki seorang putra. Kehidupan pernikahan yang diidamkan Masrul menjadi keluarga yang harmonis berubah menjadi bencana bagi Masrul. Perempuan yang dikira Masrul berpendidikan tinggi, nyatanya adalah seorang istri yang tidak lulus sekolah dengan nama buruk menyertainya karena saat dirinya sudah

32 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 94. 59

mempunyai tunangan seorang dokter, dia berani untuk menjalin hubungan dengan pria lain.33 Dari masalah inilah orang tua Muslina menghasut Masrul untuk menikah dengan putri mereka. “Pulang. Ah, mengapa aku pulang, hari baru pukul tengah sebelas?” “Ke kedai kopi,” pikirnya sambil meraba sakunya. “Cukup untuk dua, tiga botol bir.” Sambil berpikir demikian ditujukannya langkahnya ke sebuah kedai kopi.34

Kehidupan Masrul telah berubah setelah menikah dengan mengabaikan waktu pulang, bahkan dirinya meminum minuman haram hanya untuk ketenangan dirinya. Tidak hanya itu, dirinya juga mengabaikan sholat yang dahulu sangat rajin dilakukannya. Hal ini dikarenakan dirinya merasa tertekan dengan kehidupan rumah tangganya bersama Muslina. Istri yang dianggapnya alim ternyata mampu untuk memukul dirinya dengan kayu, mengeluarkan kata keji bahkan mengumpat dan menyumpah. Terlebih dirinya selalu dipandang rendah oleh istrinya itu, hal ini terjadi karena rumah dan segala perabotan yang berada di rumah yang membeli adalah mertua Masrul. Sebagai kepala rumah tangga, di mata Muslina, Masrul merupakan pria yang tidak bisa diharapkan. Masrul terus ke meja makan dan istrinya ke bilik tidur. Tetapi apakah yang didapati Masrul di atas meja itu? Cambung nasi, piring sambal semuanya tertelengkup. Meja dan alasnya telah sekotor-kotornya. Dengan panas dan kesal hati yang tak tertahan-tahan, dihelakannya alas meja itu, sehingga semua yang diatasnya jatuh ke lantai dan hancur luluh.35

Kutipan di atas memperlihatkan karakter sifat Masrul menjadi mudah tersulut amarah, dan sisi lain Muslina yang terbiasa hidup serba ada dan tidak terbiasa untuk hidup hemat, memberikan peringatan untuk Masrul karena tidak mampu memenuhi kebutuhan dirinya dan putranya. Masrul bahkan sudah mengambil dua pekerjaan dan memberikan sebagian besar gajinya pada

33 Lihat catatan kaki nomor 17. 34 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 97. 35 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 100. 60

Muslina namun bagi Muslina semua itu masih belum cukup dan menuduh Masrul tidak memberi semua gajinya dan menghabiskannya untuk berjudi. Lelah bertengkar, Masrul memutuskan untuk keluar rumah dan berjalan sampai ke tepi laut dan tidur di bangku panjang di sekitarnya. Bangun ke esokan paginya dan berangkat ke kantor dengan menggunakan pakaian yang sama. Siang harinya, Muslina mendatangi kantor Masrul dengan membawakan makanan dan meminta maaf pada Masrul, tapi itu hanya berlaku untuk beberapa hari dan Muslina akan kembali berperilaku kasar lagi padanya. Karena kekesalan hati dan kecewa, kata-katanya pun tak ditahannya lagi, bahkan berani ia menampar istrinya, kalau istrinya marah-marah dan mencaci-caci dia. Sehingga acap kalilah terjadi perkelahian di antara keduanya, yang belum pernah terjadi sampai waktu itu.36

Sebagai pria, ayah dan kepala keluarga, tentu Masrul memiliki harga diri dan kehadiran dirinya dalam rumah tangganya dihormati. Kenyataannya psikologis seorang pria memiliki harga diri yang tinggi karena ingin dihormati oleh anak dan istrinya. Masrul merasa harga dirinya terhina membuatnya memilih untuk menceraikan Muslina. Pada tahap klimaks ini, terlihat kestatisan tokoh Muslina dengan perlakuannya terhadap Masrul. Selain itu, kedinamisan tokoh Masrul juga terlihat pada tahap ini karena pengaruh kehidupan pernikahannya dan tekanan dari keadaan sekitarnya. Jika berkaitan dengan tema, pada tahap klimaks ini Masrul mengalami masa di mana dirinya menyesal telah memilih Muslina sebagai istrinya dengan melihat dari status sosial Muslina yang lebih tinggi dari Rasmani. Pada tahap ini Rasmani memiliki perubahan pandangan saat dirinya tidak menyetujui pernikahan Masrul dengan Muslina, menjadi mendukung saat Masrul mulai meragu dengan pernikahannya dan ingin menceraikan Muslina. Hal ini Rasmani lakukan karena selain mengkhawatirkan Muslina dan anaknya, dirinya juga mengetahui bahwa percintaannya dengan Masrul tidak akan pernah ada karena status sosialnya yang berada di bawah Masrul.

36 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 119. 61

e. Tahap Penyelesaian Di tahap penyelesaian ini kedua tokoh utama bertemu kembali. Pada tahap ini dengan jelas menyatakan bahwa Masrul mengetahui Rasmani mencintainya, begitu pun sebaliknya. Namun sayang takdir berkata lain. Setelah bercerai, Masrul memutuskan untuk kembali ke kampungnya dan tinggal bersama ibunya sampai dirinya mendapat pekerjaan di tempat lain. Selama tinggal di rumah orang tuanya, Masrul menjalin hubungan kembali dengan Rasmani dengan sering berkunjung ke rumah Rasmani. Tak lama kemudian Masrul mendapatkan pekerjaan di Medan, Masrul memutuskan membutuhkan tempat yang berbeda untuk menenangkan jiwanya dan menjauhi Padang sebagai tempat untuk mencari pekerjaan karena di sana dirinya mengingat penderitaan yang telah dialaminya. ”Biarlah abang berkata terus terang, buka kulit tampak isi, supaya lekas kita sampai kepada yang dimaksud. Mani, jika baik untung abang, jika takdirnya abang dapat pekerjaan yang sesuai dengan abang, maukah engkau menurutkan abang ke Medan?”37

Masrul menginginkan Rasmani ikut dengannya ke Medan, namun di tolak. Rasmani tidak menginginkannya karena dirinya tidak terbiasa hidup berumahtangga, Rasmani lebih suka mengajar. Terlebih Rasmani pikir jika Masrul menginginkan dirinya untuk ikut ke Medan hanya semata-mata merasa kasihan kepadanya karena dahulu cinta yang telah lama diberikannya dihiraukan oleh Masrul, Rasmani memilih menolaknya. Selain itu, Rasmani juga takut akan terlihat seperti perusak rumah tangga Masrul oleh orang sekitar. Hal itu terlihat pada kutipan berikut. “Ah apa salahnya kau kuterima saja, permintaan Bang Masrul. Bukankah orang kampungku sendiri tahu bahwa pertalian kami telah lama, telah dari kecil. Apa pusingku dengan percakapan orang lain yang tak kukenal .... Mengapa aku harus menderita seumur hidup, sedang aku tak bersalah.” 38

Permasalahan status sosial mereka yang tidak sederajat, membuat takut Rasmani akan pandangan masyarakat sekitar jika dirinya dan Masrul menikah,

37 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 135. 38 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 126 62

bukan hanya keluarganya yang akan dicerca, tapi keluarga Masrul juga. Menerima penolakan tersebut, akhirnya Masrul memutuskan untuk berangkat ke Medan sendiri. Tiap pekan Masrul dan Rasmani saling mengirimkan surat. Dari saat Masrul hanya menjadi pembantu temannya yang telah bekerja tetap Tapi di surat-surat Masrul tidak menyinggung soal permintaannya dia kepada Rasmani untuk tinggal bersamanya. Surat yang Masrul kirim juga mulai dingin. Hal ini membuat Rasmani kecewa dan kehilangan kepercayaan. Sampai akhirnya dirinya memiliki penyakit jantung saat dia menerima surat dari Masrul. “Sampai sekarang kakanda belum mendapat pekerjaan yang berarti. Tetapi itu belum mengapa, bukankah engkau masih mau menanti? Ada lagi yang menghalangi maksud kita. Kakanda mendapat surat dari Muslina minta kembali pada kakanda, mengatakan anak kami sakit-sakit dan ibunya telah meninggal.”39

Masrul mengirimkan surat permohonan maaf karena ternyata selama berbulan-bulan Masrul berpikir untuk kembali kepada Muslina karena ayah mertua sakit-sakitan dan ibu mertua telah meninggal. Selesai membaca surat tersebut, Rasmani kehilangan harapannya. Tiga hari kemudian dirinya jatuh sakit, namun menjadi lebih baik saat Dalipah pulang ke rumah. Saat itulah Rasmani menerima surat lagi dari Masrul. Tertulis dalam surat Masrul bahwa dirinya berbohong pada surat sebelumnya karena dia belum mendapat keputusan sebagai pekerja tetap dan membuatnya ragu untuk membawa Rasmani untuk tinggal bersamanya di Medan. Berita baik ini malah membuat Rasmani sakit parah. Surat yang membawa kabar baik itu, rupanya lebih mengejutkan Rasmani dan lebih merusakkan jantungnya yang telah luka itu, dari surat yang dahulu. Karena sesudah ia membaca surat itu ia jatuh pingsan, dan di hari yang berturut penyakitnya bertambah keras, sehingga mendatangkan cemas kepada orang yang berkelilingnya. Sesudah beberapa hari ia sakit keras itu, dibuatlah surat oleh Dalipah. 40

39 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 142. 40 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 145. 63

Setelah mendapat surat dari Dalipah, Masrul pulang namun dirinya telat satu hari karena Rasmani telah meninggal. Masrul menyesal karena tidak datang lebih cepat, jika dia datang sehari sebelumnya, mungkin dirinya masih bisa berjumpa dengan Rasmani. Masrul merasa ketiadaan Rasmani di dunia ini adalah sebagai hukuman yang harus diterimanya karena menyia-nyiakan Rasmani yang selama ini sudah mencintainya. Penyelesaian cerita Kalau Tak Untung ini penulis menjelaskan secara tersirat bahwa nasib kedua tokoh tersebut “Tak Beruntung”. Masrul yang telah menghamburkan hidupnya dengan berlandaskan keegoisan membuatnya tidak mendapatkan perempuan yang mencintainya, sedangkan Rasmani juga tidak beruntung karena dirinya tidak bisa memiliki pria yang dicintainya dan terus-menerus merasa kecewa pada Masrul. Hubungan tahap penyelesaian ini dengan tema terlihat pada kisah cinta Rasmani dan Masrul yang hingga akhir tak dapat bersama karena satu alasan, yakni status sosial. Setelah melakukan penelitian tahap demi tahap cerita, maka dapat disimpulkan bahwa penulisan cerita novel Kalau Tak Untung ini menggunakan alur maju progresif karena peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis. Secara runtut cerita dimulai dari tahap awal, tengah dan akhir dengan penyelesaian cerita yang tertutup, artinya keadaan akhir sebuah cerita fiksi sudah selesai. Namun bukti adanya kedinamisan pada beberapa tokoh yang dipengaruhi oleh perubahan sosial, baik itu tradisi maupun lingkungan akan menjadi analisis pada penelitian ini.

4. Latar atau Setting Sebuah cerita fiksi akan menampilkan secara garis besar kehidupan tokoh-tokoh dalam suatu karya fiksi yang secara mengalir masuk ke dalam permasalahan kehidupan tokoh-tokoh tersebut. Tentunya permasalahan tersebut memiliki landasan seperti halnya di mana, kapan, dan pada kondisi sosio-budaya apa yang dipaparkan. Keberadaan latar akan memperjelas akan adanya kesan realistis suatu karya sastra kepada pembaca. Di bawah ini adalah 64

analisis latar novel Kalau Tak Untung karya Selasih dengan menggunakan teori Burhan Nurgiyantoro. a. Latar waktu Latar waktu dalam novel Kalau Tak Untung ini tidak memperlihatkan peristiwa sejarah secara tertulis dalam cerita. Namun dari gaya bahasa dan penggunaan bahasa lampau menjadikan ciri bahwa cerita ini ditulis pada zaman kolonial. Meskipun begitu, ada bukti penggambaran yang menjadikan latar waktu terlihat dalam cerita. “... Tetapi dalam pada itu ia bersahabat dengan seorang anak sekolah Mulo. Maklumlah anak muda-muda bersahabat ...” 41

Penyebutan adanya sekolah MULO di dalam cerita menjadikan latar waktu cerita Kalau Tak Untung ini terjadi sebelum perang terjadi, di mana saat itu pemerintahan masih dikuasai oleh koloni. Seperti yang diketahui, sekolah MULO (Meeruitgebreid lager Onderwijs) didirikan pada tahun 1914 untuk orang-orang Indonesia golongan atas, orang-orang Cina, dan orang-orang Eropa yang telah menyelesaikan sekolah dasar mereka. Jika disetarakan dengan pendidikan sekarang, sekolah MULO sama dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP).42 Dari mengetahui latar waktu ini, kita dapat mengetahui tentang cara berpikir orang zaman dahulu perihal penduduk desa tidak tertarik pada pendidikan yang lebih tinggi dan jarang yang kuat membayar uang sekolah karena keterbatasan materi yang hanya cukup untuk menghidupi kehidupan. Kemudian terdapat latar lainnya yang terdapat dalam novel Kalau Tak Untung ialah: “Rasmani, Mani! Bangun Nak, bangunlah, hari telah tinggi, engkau akan pergi ke sekolah,” demikian terdengar seru seorang ibu yang sedang menyapu membersihkan rumah kecilnya. 43

41 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 95. 42 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Terj. dari A History of Modern Inonesia since 1200 Third Edition oleh Satrio Wahono, Bakar Bilfagih, dkk, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007), h. 333. 43 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 9 65

Selasih menggunakan penggambaran latar waktu yang berfungsi untuk memberikan kesan terhadap suasana cerita dalam novel. Seperti halnya pada kutipan di atas yang menggambarkan latar pada pagi hari yang identik dengan kesan semangat untuk memulai hari dan terasa tepat untuk permulaan pada sebuah cerita.. Pada suatu petang Rasmani tinggal seorang diri di rumah. Dia gelisah, hatinya tak senang dan darahnya gedebak-gedebur. Bermacam-macam pikiran memenuhi kepalanya. 44

Gambar kerisauan tercermin pada waktu petang hari. Perpaduan antara gelap dan terangnya langit menjadi perumpamaan waktu yang tepat untuk memberikan kesan perasaan akan terjadinya sesuatu hal yang besar yang berawal dari kecurigaan atau perasaan lainnya. Hari bagus cuaca terang. Bulan memancarkan cahayanya dengan lemah ke seluruh bumi. Langit bersih, seawan pun tak kelihatan, cakrawala ditaburi oleh bintang yang indah itu. Alam hening sebagai tidur bersama makhluk yang menghentikan lelah pada malam yang tenang itu. 45

Selain pagi hari, pengunaan latar waktu pada malam hari seperti menggambarkan kepedihan dan penyesalan seperti saat Masrul harus tidur di kursi taman karena bertengkar dengan Muslina atau saat malam ketika Masrul mengetahui Rasmani telah tiada untuk memperjelas perasaan pilu yang dialami tokoh. Dapat dilihat dari waktu cerita Selasih menggunakan waktu yang cukup panjang yakni kurang lebih selama 5 tahun. Namun yang diperlihatkan hanyalah kejadian-kejadian yang ingin ditunjukkan dan menggunakan hampir sepanjang hayat tokoh Rasmani dengan siasat teknik penceritaan yang dibuat padat. Durasi cerita dibagi dalam beberapa babak, dari segi tokoh Masrul, yakni ketika dirinya berusia 19 tahun, 21 tahun, dan 24 tahun. Kaitannya dengan tema memperlihatkan perkembangan dari pemikiran tiap tokoh dengan pengalaman mereka masing-masing. Perkembangan ini akan mempengaruhi analisis hibriditas dan ambivalensi.

44 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 37. 45 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 106. 66

b. Latar tempat

Latar selanjutnya yakni latar tempat yang sebagian besar digambarkan di Sumatra Barat. Latar tempat ini sama dengan tempat di mana Selasih lahir hingga tahun 1925. Beberapa tempat lainnya merupakan tempat yang pernah ditinggali oleh sang pengarang.

"Di Bonjol. Engku, sebuah kampung kecil di antara Bukittinggi dengan Lubuksikaping" 46 Bukti di atas memberitahukan tempat Masrul berasal yang menjadi lokasi awal dimulainya cerita. Tempat Masrul dan Rasmani tumbuh bersama sejak kecil. Melihat pada kutipan, dapat diketahui sebagian besar cerita berlatar di Sumatera.

"Di Painan, Mak. Tak jauhkah itu pada pikiran Mamak?"47 Kota berikutnya yang disebutkan sesuai dengan alur cerita adalah Painan, tempat Masrul merantau dan bertemu dengan Muslina. Di mana kegalauan Masrul untuk memilih Aminah dan Muslina untuk dijadikan istrinya.

"... Kota Padang yang tadinya hiruk-pikuk telah mulai hening."48 Kota selanjutnya adalah Padang, di mana Masrul dan Aminah menjalani kehidupan rumah tangga mereka yang berakhir perceraian. Setelah perceraian bagi Masrul kota Padang merupakan kota yang penuh dengan tekanan batin sehingga Masrul memilih untuk menghindari kota Padang karena akan mengingatkannya pada pernikahannya yang tidak harmonis. Justru terlihat melelahkan jiwa dan raganya.

"Kusangka Bang Masrul telah di Medan dan tak akan pernah bertemu lagi dengan saya seumur hidup" 49 Pelarian Masrul ke Medan berdasarkan pada keinginannya memulai kehidupan yang baru bersama Rasmani. Namun Rasmani menolaknya karena

46 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 99. 47 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 23. 48 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 97. 49 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 134. 67

dirinya takut akan memiliki nasib yang sama dengan Muslina dan ditinggal oleh Masrul, terlebih di kota yang tidak Rasmani kenal. Bahkan sanak saudara pun tak ada. Pada akhirnya Masrul pergi sendiri ke Medan. Melihat dari perpindahan latar tempat dari satu kota ke kota lainnya terlihat mempengaruhi kondisi psikologi Masrul yang memperlihatkan perubahan cara berpikir ketika dirinya jauh dari orangtua hingga akhirnya dia memilih perempuan dari status sosial yang lebih tinggi darinya,50 sehingga hal ini akan berpengaruh pada analisis hibriditas dan ambivalensi.

c. Latar sosial Latar terakhir yakni latar sosial yang sejak awal hingga akhir cerita berlatar sosial masyarakat Sumatera. Dalam latar sosial ini Selasih membuat dua masyarakat sosial yang berbeda. "... Si Aminah cukup bagusnya, cakap dan pandai bekerja, ia anak orang kaya, anak mamkmu darah daging ibu." 51 Pernikahan dengan saudara sepupu menjadi hal yang wajar terjadi pada saat itu. Selain orangtua sudah kenal satu sama lain, mereka juga mempertahankan garis keturunan dan warisan keluarga. Namun hal ini ditentang oleh pandangan Masrul.52 Kenyataannya, pernikahan yang masih merupakan saudara dekat akan meningkatkan kemungkinan cacat pada anak mereka kelak. Semakin mirip DNA yang dimiliki pasangan akan semakin besar kerusakan gen yang sama.53 Nilai sosial satu ini erat dengan adat Minangkabau dan Selasih menentang nilai adat ini dan menuangkannya dalam pemikiran Masrul. Hal ini dilakukan semata-mata ingin menyadarkan masyarakat Minangkabau saat itu bahwa belajar membaca dan menulis merupakan hal penting untuk memperluas wawasan mereka. Selain pernikahan, terdapat sosial lainnya yang menunjukkan bahwa latar Minangkabau sangat kental dalam novel Kalau Tak Untung. Seperti

50 Lihat halaman 57-59. 51 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 31 52 Lihat catatan kaki nomor 2. 53 Teguh Haryo Sasongko, Bolehkah menikah dengan sepupu? dalam https://health.detik.com/konsultasi-genetika/1874259/bolehkah-menikah-dengan-sepupu diunduh pada Kamis, 22 Maret 2012 pukul 11.53 WIB. 68

halnya merantau yang dilakukan oleh Masrul yang berawal dari Painan, Padang, dan Medan. Hal ini merupakan tradisi yang sudah umum terdengar oleh orang Indonesia, bahwa merantau merupakan proses interaksi masyarakat Minangkabau dengan dunia luar. Selain itu, terdapat beberapa kata atau panggilan terhadap saudara yang digunakan masyarakat Minang yang berbeda dengan bahasa Indonesia pada umumnya. Seperti halnya bahasa Jawa, panggilan untuk paman tertua itu Pak De. Dalam bahasa Minang, menggunakan kata Mamak untuk mengacu pada paman dari keluarga ibu. Kewajiban Mamak pada kemenakan sendiri sama seperti kewajiban ibu pada anaknya karena bertujuan untuk mempertahankan harta pustaka keluarga. Sedangkan panggilan untuk Etek, ditujukan pada saudara perempuan ibu atau istri dari Mamak. Karena pernikahan di Minang antar sepupu menjadikan ruang lingkup keluarga mereka kecil dibandingkan pernikahan berbeda adat. Harta pusaka itu dapat berupa perhiasan, rumah, ataupun tanah. Orang Minang berpegang teguh bahwa harta pusaka harus dijaga dan itu merupakan tugas Mamak tertua dan Mamak lainnya, seperti dalam pepatah patah tumbuah hilang baganti, harto pusako dijago juo. Jika tak dapat menjaganya atau menjualnya, akibatnya seumur hidup dan keturunannya akan sengsara. Kaitannya dengan tema, latar sosial dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran tokoh dalam hal waktu dan tempat, sehingga menjadikan tokoh berusaha beradaptasi dengan setiap lingkungan yang berbeda. Tanpa disadari, usaha untuk diakui di lingkungan asing membuat tokoh mengambil keputusan yang keliru. Usaha dan keputusan akan menajdi dasar analisis hibriditas dan ambivalensi dalm penelitian ini. Dapat disimpulkan, bahwa latar atas tiga, yakni dari latar waktu yang terlihat dari segi pendidikan, latar tempat di Sumatera Barat, dan latar sosial Minang yang dipengaruhi latar waktu dan latar tempat. Dengan adanya latar sebagai atmosfer cerita, mampu mendeskripsikan suasana ceria, romanik, sedih dan lainnnya dengan imajinasi dan kepekaan emosional. Hal ini berfungsi mendukung elemen-elemen cerita yang lain untuk memperoleh efek yang mempersatukan. 69

d. Sudut Pandang atau Titik Pandang Sudut pandang berkaitan dengan siapa yang membawakan cerita atau narator. Pengarang menceritakan peristiwa dengan menggunakan sudut pandangnya dengan pemilihan sudut pandang yang tepat akan menjadikan cerita menjadi lebih kuat dalam segi penyampaian dan keterikatan, sehingga tujuan yang diharapkan dari pengarang pada pembaca dapat tersampaikan. Dalam novel Kalau Tak Untung pengarang menggunakan sudut pandang orang ketiga atau omniscient narrator. Hal ini dibuktikan dengan penyebutan nama tokoh dalam teks narasi dalam novel dan tertulisnya isi dari pikiran pada setiap tokoh. Surat Rasmani tak dibalasnya. Dalam hatinya, “Sudahlah, ini yang disukai Rasmani rupanya, ini tandanya ia cinta, ia berkehendak aku melarat, ia beringin aku menderita, ia mau aku terperosok ke lubang dalam, ke jurang kesengsaraan ....”54

Dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga ini, pengarang lebih bebas menggambarkan tokoh-tokohnya dan menceritakan segala bentuk peristiwa yang ada dalam cerita dengan mengetahui segala isi pemikiran dari setiap tokohnya. Pengarang menggunakan sudut pandang ini dengan tujuan membuat pembaca mengetahui mengetahui isi pikiran setiap tokoh dan mengetahui setiap peristiwa yang dialami tokoh utama tanpa ada yang terlewatkan. Dengan demikian sudut pandang orang ketiga memberikan pembaca cerita yang utuh yang merupakan kelebihan dari penggunaan sudut pandang orang ketiga. Kaitannya dengan tema adalah sudut pandang memudahkan pembaca untuk mengetahui setiap karakter dan pola berpikir tokoh dalam novel Kalau Tak Untung dengan sudut pandang orang ke tiga yang digunakan oleh Selasih. Meskipun sudut pandang ini memudahkan menceritakan fisik, hati dan pemikiran tokoh, meskipun teknik ini bersifat natural tapi juga tidak natural karena realita kehidupan tidak ada yang bersifat mahatahu.

54 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 124. 70

e. Gaya Bahasa (Stile) Stile atau gaya bahasa menunjuk pada pengertian cara penggunaan bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu, dan sebagainya. Penulisan cerita Selasih, penggunaan kata yang lugas namun bermakna akan memberitahukan gambaran perasaan setiap tokoh yang tentu tidak lepas dari ciri khas diksi Minangkabau. ... Dengan tak disangka-sangkanya bercucurlah air matanya, berbagai-bagai hal mengharubiru kepalanya. Hatinya pedih, dadanya sempit. Terbayang-bayang di matanya hidupnya semasa kecil. Orangtuanya mempunyai sawah berbidang- bidang, ternak berkandung, batang kelapa tak terhitung, tebat ikan segenap penjuru...55

Kutipan di atas merupakan perbandingan kehidupan Ibu Rasmani di masa kecilnya dengan kehidupannya sekarang yang hidup kekurangan karena semua harta benda milik orangtuanya telah dijual oleh saudaranya. Pemilihan kata seperti tebat ikan segenap penjuru yang artinya segala rezeki sudah di tangan. Penggunaan bahasa Minangkabau tidak hanya terlihat di latar, namun juga dialog tokoh dengan kosa kata melayu yang memiliki makna tertentu di dalamnya. Nilai estetika Melayu dalam mengungkapkan gagasannya akan mempengaruhi pembaca dengan dasar penyusunan wacana yang efektif. Pemilihan ungkapan bahasa yang mewakili sesuatu untuk diungkapkan akan mencapai efek keindahan sebuah karya sastra. Pemilihan ungkapan tersebut akan dijelaskan dalam bentuk analisis permajasan agar mempermudah pengelompokkan kosa kata. Dalam novel Kalau Tak Untung terdapat beberapa permajasan di antaranya. 1. Sarkasme Menurut Burhan Nurgiyantoro, sarkasme digunakan untuk menyindir atau mengkritik sesuatu secara terus terang dan tajam.56 Penggunaan majas ini dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut:

55 Sariamin Ismail, Op. Cit.,h. 12 56 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995), h. 404 71

"Ibu, saya belum hendak beristri, saya baru berumur sembilan belas tahun. Lagi pula kata orang yang pandai- pandai dalam bukunya tak baik kawin berfamili. Acap kali anak orang yang kawin sekaum itu, dungu atau mudah jadi gila atau tak sempurna bahagian tubuhnya. Kalau tak di anak itu benar, di keturunannya terjadi seperti itu." 57 Kata dungu, gila, dan tak sempurna bahagian tubuhnya merupakan kritikan tajam yang secara terus terang dilontarkan oleh Masrul yang menentang pernikahan antar saudara sepupu. Meskipun secara tidak langsung Selasih juga menentang pernikahan ini dan berusaha menyadarkan masyarakat Minangkabau sebaiknya dihindari. “... Benar ia anak datuk dan kemanakan juga dari bapakmu, tapi tak patut engkau naik ke rumah itu. Tak seperti itu tempat dudukmu." 58 Ketamakan manusia terjadi hanya jika seseorang telah merasa dirinya lebih istimewa dibandingkan yang lainnya. Hal ini dinyatakan oleh Ibu Masrul bahwa Masrul tidak seharusnya berada di rumah yang jauh dari standar kekayaannya. Ini menyindir secara langsung bahwa rumah Rasmani yang kecil dan sederhana, tidak pantas untuk Masrul kunjungi.59 Selain itu, Ibu Masrul juga mengkritik Rasmani yang terlalu di manja dan mencaci orangtua Rasmani dengan terang-terangan. Ketinggian hati yang dimiliki oleh kaum yang cukup berada membuat mereka seringkali memandang rendah dan bersikap curiga terhadap kaum miskin. Kritikan Selasih yang sampai sekarang masih sering terjadi dalam kehidupan sekarang, di mana orang kaya akan merasa risih atau enggan berada di satu ruangan dengan orang yang terlihat kumuh dan miskin.

2. Ironi

57 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 31. 58 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 31. 59 Lihat catatan kaki nomor 20. 72

Menurut Burhan, ironi digunakan untuk menyindir atau mengkritik sesuatu secara halus atau intensitasnya rendah.60 Ironi akan berhasil jika pembaca sadar akan maksud yang tersembunyi di balik rangkaian kata-kata seperti kutipan berikut: “Napasnya tak sampai ke bibir karena menghayun cangkul dan membajak, tetapi anaknya dimanjakannya. Anak-anak yang sebesar Dalipah dan Rasmani masih juga belum pandai ke sawah ke ladang. Duduk menggoyang kaki di sekolah. Apa benar yang akan ditulis dibacanya nanti. Tak macam anak-anaknya itu akan jadi istri demang nanti. Berupa tidak, berharta tidak...”61

Pada kutipan di atas secara tidak langsung Selasih mengkritik pemikiran kuno dengan mengucapkan hal yang sebaliknya, yakni sekolah bukanlah hal yang percuma meskipun pada akhirnya seorang perempuan akan berakhir menjadi ibu rumah tangga yang akan mengurus keluarganya. Sindiran karena kekurangan yang dimiliki keluarga Rasmani tidak menghilangkan semangat orangtuanya untuk menyekolahkan anak-anaknya agar dapat membaca dan menulis. Kenyataannya, kesadaran akan pendidikan pada tahun itu sulit untuk ditegakkan karena hasil yang diutamakan, bukan proses tanpa mengetahui hasil akhir dari perjuangan sebuah proses. 3. Hiperbola Hiperbola dimaksudkkan untuk melebihkan sesuatu yang dimaksudkan dibandingkan makna yang sebenarnya dengan maksud untuk menekankan penuturannya. Penggunaan hiperbola dapat dilihat dalam kutipan: ”... mulanya adinda tak percaya, karena tak adinda sangka Kakanda akan selemah itu, dapat digoda setan, ditewaskan iblis.” 62

Kutipan di atas merupakan isi surat dari Rasmani kepada Masrul saat Masrul meminta pendapat tentang kehidupan rumah tangganya, yang

60 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit, h. 404. 61 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 14. 62 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 123. 73

bukan seperti dirinya impikan, dengan memiliki istri berpendidikan dan hidup berumahtangga yang sakinah. Pernyataan “digoda setan, ditewaskan iblis” adalah penekanan dari Rasmani untuk menyatakan kehidupan Masrul yang berantakan karena hawa nafsu belaka. Diksi yang digunakan Selasih pada bagian ini untuk penekanan konflik yang sedang dialami Masrul dalam kehidupan dirinya yang telah lepas dari disiplin agama yang dimilikinya.. 4. Simile Simile menunjuk pada adanya perbandingan yang langsung dan eksplisit, lazimnya menggunakan kta-kata tertentu yang berfungsi sebagai penanda keeksplisitan pembandingan, misalnya kata-kata seperti, bagai, bagaikan, sebagai, laksana, mirip, dan sebagainya.63 Penggunaan simile dalaptdilihat di sebagian besar novel. Salah satunya adalahs ebagai berikut: “Si Aminah tak kecil lagi, umumnya telah empat belas tahun, lagi pula ia berpaham, tak lonjak kemari lompat ke sana, sebagai anak sekolah seperti Rasmani adikmu itu.” 64

Kutipan di atas merupakan perkataan Ibu Masrul yang membandingkan Aminah yang sama usianya dnegan Rasmani, namun bagi Masrul terdapat perbedaan diantara mereka. Rasmani tahu huruf dan pandai membuat pakaian, dan lain-lain, sednagkan Aminah tidak tahu huruf dan menganggap tahu cara berumahtangga dan tahu adat istiadat itu cukup. Pada kutipan di sini digunakan untuk penyituasian atas tekanan yang dialami oleh Masrul untuk bertunangan dengan Aminah atas desakan ibunya. f. Moral

Pada novel Kalau Tak Untung, pengarang menggambarkan tema tentang percintaan yang dalam antara Masrul dan Rasmani dengan

63 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 400. 64 Sariamin Ismail, Op, Cit, h. 35. 74

menggunakan gaya bahasa Minangkabau. Diungkapkan dalam cerita sifat dan tingkah laku tokoh-tokoh terdapat makna kehidupan yang menjadi pesan aau amanat penting bagi pembaca agar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari- hari seperti yang terlihat pada kutipan di bawah ini:

Itulah juga kelakuanmu yang tak dapat engkau ubah-ubah, yang sunah engkau perlukan, yang wajib engkau tinggalkan. Apakah kata mamakmu nanti kalau diketahuinya ia telah kelangkahan. Kita tinggal di kampung, adat kampung yang akan diturut, jangan diperturutkan kehendak hati saja. 65 Jadi Kakanda, sahabat Kakanda harus berhati-hati benar dalam pemilihannya, kalau sebenarnya ia tak bermaksud akan beristri dua-tiga, dan endak beruntung kemudian hari, alangkah buruknya, jika ia sekarang merusakkan hati tunangannya, sedang ia sendiri tak mendapat bahagia yang dikejar itu .... Kakanda, bahagia adalah barang yang tak dapat dilihat dengan mata hanya dirasa ....66 Dari kutipan-kutipan di atas dapat dilihat bahwa kisah dalam novel ini memberikan kita banyak pelajaran. Bagaimana kehidupan bermasyarakat, perihal menghormati orangtua, janji yang sepatutnya ditepati, dan tentang mengambil keputusan dengan melihat segala sesuatunya dengan sudut pandang baik buruk. Novel Kalau Tak Untung bercerita tentang seorang tokoh pria yang menghadapi masalah tentang kehidupan percintaannya dan penyesalannya dalam menentukan pilihan yang menjadikan dirinya mengalami penderitaan. Penderitaan yang pertama adalah kehidupan rumah tangga yang dijalaninya selama tiga tahun dengan Muslina dan cintanya yang kandas. Dari Rasmani, terlihat bahwa dirinya tidak menyukai Masrul yang ingkar akan janjinya pada keluarga dan Aminah. Jika dikelompokkan ke dalam tiga moral, maka moral feeling terlihat dari pengendalian diri dan cinta kebaikan yang tercermin pada Rasmani saat dirinya menerima untuk mengajari Aminah untuk membaca, menulis, merajut dan lainnya. Dalam moral knowing terlihat pada kompetensi tokoh Masrul saat dirinya bercerai dengan Muslina

65 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 84. 66 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 75-76. 75

karena ingin memiliki kewenangan atas harga dirinya sendiri dan moral intelligence terlihat pada tokoh Rasmani dan Masrul yang bertindak sesuai dengan keinginan mereka. Hal ini terlihat pada peristiwa dalam cerita saat Rasmani bekerja sebagai pengajar di saat kaum sekitarnya mengejek dan menghinanya, sedangkan Masrul mengambil keputusannya sendiri saat menentukan gadis yang dinikahinya. Dari setiap kejadian yang diungkapkan pada ketiga moral di atas dapat diketahui bahwa amanat dari novel Kalau Tak Untung adalah rasa empati terhadap sesama, mampu mengontrol diri dalam menentukan pilihan, rasa hormat pada orangtua, kebaikan hati, dan keadilan dalam menepati janji. Kaitan dengan tema, amanat yang diungkapkan merupakan hasil dari jalan cerita baik secara langsung maupun tidak langsung dan dari segala kesalahan yang dilakukan Masrul menjadi pelajaran untuk melihat isi cerita dari segi negatif dan positifnya. Pesan tersirat lainnya adalah tentang perjuangan feminisme Rasmani dan usaha Masrul untuk lepas dari hegemoni akan dibahas pada analisis dalam penelitian ini.

B. Analisis Hibriditas dan Ambivalensi Novel Kalau Tak Untung Karya Selasih Analisis berikutnya digunakan penulis untuk melihat perubahan sosial yang terjadi pada zaman yang sama dengan pembuatan novel Kalau Tak Untung karya Selasih ini. Meskipun diketahui perubahan sosial terdapat perspektif klasik, modern, posmodern, dan pascakolonial, penulis lebih cenderung menggunakan pascakolonial dalam penelitian ini. Secara garis besar analisis ini ditunjukkan oleh tokoh-tokoh dalam novel Kalau Tak Untung ini yang lebih cenderung untuk melakukan pembahasan mengenai permasalahan adat dan percintaan antara Masrul dan Rasmani. Penulis dalam analisis ini mencoba untuk menganalisis hibriditas dan ambivalensi yang terjadi dalam novel Kalau Tak Untung. Di awal cerita, pengarang menggambarkan salah satu tokoh utama hidup dalam garis kemiskinan yang bahkan untuk memiliki lauk dalam 76

makanan mereka sudah merupakan sebuah kenikmatan yang jarang terjadi. Kakak perempuannya juga harus putus sekolah karena orangtuanya tidak sanggup untuk membayar sekolah untuk kedua putrinya. Sedangkan tokoh utama yang satunya lagi hidup dengan serba berkecukupan dari pendidikan hingga status sosial. Secara simbolik, sejak awal penulisan sang pengarang menjelaskan keadaan masyarakat hidup di garis dan masyarakat dengan kehidupan yang serba berkecukupan. Namun perlakuan baik sang tokoh utama pria ke tokoh utama wanita yang seolah-olah tidak memandang kemiskinan sebagai garis pembatas mereka. Pernyataan di atas dapat masuk ke dalam kategori dalam perubahan sosial, pascakolonial. Teori ini mempelajari banyak masalah yang dihadapi negara-negara Timur akibat penjajahan negara-negara Barat dengan mencoba mengajukan beberapa kritik mengenai hegemoni dan dominasi Barat yang terjadi pada negara Timur.67 Untuk mempelajari masalah dalam pascakolonial, peneliti memasukkan beberapa teori untuk analisis hibriditas dan ambivalensi yang telah dijelaskan pada kajian teori di penelitian ini.

1. Masrul Awal mula penelitian pascakolonial pada tokoh Masrul adalah membahas analisis hibriditas. “Ibu, saya belum hendak beristri, saya baru berumur sembilan belas tahun. Lagipula kata orang yang pandai- pandai dalam bukunya tak baik kawin berfamili. Acap kali anak orang yang kawin sekaum itu, dungu atau mudah jadi gila atau tak sempurna bahagian tubuhnya. Kalau tak di anak itu besar, di keturunannya terjadi yang seperti itu.”68

Pada kutipan di atas merupakan salah satu contoh dari hibriditas yang terjadi karena tradisi. Namun adanya penelitian yang dilakukan oleh peneliti Eropa. Pemikiran modern yang ditunjukkan oleh Masrul secara

67 Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial: Perspeftif Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), h. 101. 68 Sariamin Ismail, Kalau Tak Untung, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 31. 77

langsung mematahkan budayanya sendiri, perihal perkawinan antarsepupu. Namun, pemikiran modern yang dimiliki Masrul mendapat pertentangan dari ibunya sendiri yang masih memegang teguh tradisi. “... Tak baik kawin berfamili katamu? Ayahmu saudara sepupu ibu yang kandung. Mengapa engkau tak dungu atau bercacat? Entah kalau sudah berubah akalmu sekarang!”69

Dengan latar tahun 1900-an, memang tidak dipungkiri bahwa kekuasaan perihal perkawinan masih dimenangkan oleh tradisional. Hal ini terjadi karena kurangnya kepedulian akan integritas pendidikan dan menganggap bahwa budaya tradisional adalah yang terbaik. Tapi pengarang memiliki pendapat berlainan dengan pemandangan tradisional yang dimiliki ibu Masrul. Selasih membuktikan ketidaksetujuan pernikahan antarsepupu dengan menjadikan Masrul menikah dengan perempuan lain, meskipun bukan dengan Rasmani. Selain permasalahan di atas, seperti yang diketahui bahwa hibriditas juga mencakup tentang kajian asimilasi paksaan, pembauran dua budaya yang dilakukan dengan paksa dan disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk budaya baru. Hal ini dapat terjadi pada perkawinan antara kelompok yang berbeda budaya. "Ketika helat dilangsungkan terasa benar oleh Masrul bagaimana kawin di rantau, karena seorang pun tak ada kaum keluarganya yang hadir, sebagai ia telah terbuang dari kampung, hidup sebatangkara, tidak beribu-bapak, bersanak- bersaudara."70

Alasan kenapa hal ini masuk ke dalam pembauran yang dipaksakan karena Masrul dihasut oleh orangtua Muslina agar mau menikah dengannya. Muslina juga ikut andil dalam hal ini dengan merayu Masrul. Dengan persetujuan dari orangtua Masrul, yang terpaksa, akhirnya Masrul dan Muslina menikah. Hal-hal seperti gangguan atas asimilasi ini terjadi sesudah pernikahan berlangsung, seperti rasa sesal Masrul menikah dengan perempuan yang tidak seperti dia pikir. Lalu tekanan mental sebagai

69 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 31. 70 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 85-86. 78

golongan minor karena gangguan dari diskriminator, orangtua Muslina dan Muslina sendiri karena selama pernikahan mereka berlangsung, Masrul tidak memberikan hasil yang memuaskan bagi mereka. Seperti yang telah dibahas pada intrinsik, tokoh Masrul masuk ke dalam kategori tokoh utama yang dinamis.71 Perubahan identitas yang terjadi pada Masrul terjadi karena beberapa keadaan dan perubahan tersebut akan dianalisis. Melalui jalinan tokoh dan peristiwa, terlihat bahwa novel Kalau Tak Untung memperlihatkan latar masyarakat yang berada di masa koloni. Jika melihat dari alur, perubahan Masrul berawal dari dirinya pindah ke Painan dan menikah dengan Muslina. Ambivalensi psikologi yang dialami oleh tokoh utama Masrul, demikian pula dengan tokoh-tokoh lain, menunjukkan dengan jelas maksud dari pengarang untuk melepaskan diri dari masalah adat dan kawin paksa. Cara yang dilakukan oleh Masrul agar lepas dari jeratan kawin paksa, Selasih menghadirkan tokoh Muslina di tengah cerita. Saat itu Masrul yang tengah terikat janji untuk menikah dengan Aminah melihat tawaran dari Engku Guru gedang seperti jalan keluar dari konservatif adat yang dipaksakan dan memilih untuk menikah dengan Muslina yang berpendidikan lebih tinggi daripada Aminah. Namun Masrul memberikan alasan pada orangtuanya karena tak baik menikah sedarah seperti kutipan di bawah ini. “...Tetapi rupanya setelah anakanda pikir panjang-lebar dan anakanda menung-menungkan dalam dua tahun, tak dapat rasanya anakanda menepati janji anakanda itu. Banyak benar alangannya pada anakanda, tak sebuah dua buah, apalagi menurut kata orang pandai-pandai dalam bukunya, tak baik kawin sedarah.”72

Pada akhirnya, Masrul menggunakan alasan yang sama untuk lepas dari tanggungjawabnya untuk menikahi Aminah. Inilah kompleksitas tokoh Masrul akan sifat pemberontaknya namun berkedok pria baik-baik dan penurut. Namun hibriditas juga dapat terjadi pada Masrul karena perbedaan latar. Berpindahnya Masrul dari Bonjol, Painan, dan Padang,

71 Lihat unsur intrinsik tokoh Masrul 72 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 82. 79

memperlihatkan bahwa karakter Masrul berubah sesuai dengan pindanya Masrul dari satu daerah ke daerah lain. "Maaf saya Mak, lama benar Mamak saya biarkan menanti. Karena mandi dan sembahyang, tak tahu saya waktu telah berjalan juga."73

Kutipan di atas adalah kutipan di mana Masrul telah berada di Painan. Di kota ini, Masrul yang baru beberapa bulan pindah, perilaku dirinya masih mengikuti saat seperti dirinya di Bonjol. Sering mengirim kabar ke Bonjol dan sembahyang tidak terlewatkan. Namun setelah pertemuannya dengan Muslina, membuat Masrul terpesona melihat kecantikan Muslina. Begitu ada kesempatan untuk menikahi perempuan yang lebih baik, Masrul memutuskan pertunangannya dengan Aminah dan memberitahukan tentang pernikahannya pada orangtuanya lewat surat. Karena Masrul sadar, jika dirinya pulang ke Bonjol orangtuanya akan memaksakan dirinya untuk menikah dengan Aminah. Hibriditas Masrul dalam menentukan yang terbaik bagi dirinya adalah dengan memilih Muslina yang masuk ke dalam kajian pembauran dua budaya. Setelah perhelatan berlangsung, Masrul dan Muslina pindah ke Padang. Siapa sahabat saya di Padang ini? Apa kesukaan dan kesenangan orang lain yang dapat saya turut?74

Di kota Padang ini adalah tempat Masrul dan Muslina menetap setelah menikah. Karakteristik Masrul yang rajin beribadah mulai menghilang, namun keramahan dalam dirinya masih tertanam. Rasa lelah karena pernikahannya dengan Muslina yang jauh dari kata harmonis, membuat Masrul selalu ingin menjauh dari rumah. Seperti pergi minum bir, menonton komidi gambar, atau hanya sekedar berjalan di tepi pantai. Karena perbedaan antara desa dan kota, Masrul terpengaruh dengan lingkaran sosial di Padang. "Istrinya yang disangkanya berpaham dahulu,… sekarang memukulnya dengan kayu, mengerluarkan perkataan keji,

73 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 65. 74 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 103. 80

mengumpat, dan menyumpah. Dan hal itu bukanlah sekali diperbuatnya."75

Kutipan di atas adalah saat Masrul merenungkan dirinya di sebuah bar di Padang. Saat merenung, Masrul menyadari perubahan apa yang telah terjadi pada dirinya saat sebelum menikah dengan sesudah menikah. Hingga akhirnya, dengan kebebasan sebagai pria dalam memilih, Masrul memutuskan untuk bercerai dengan Muslina demi kebaikan dirinya, Muslina dan anaknya. Ambivalensi psikologis Masrul membuatnya memilih untuk kembali kepada dirinya sebelum menikah dengan kembali ke kampung halamannya di Bonjol. Hal ini menyatakan bahwa perbedaan latar tempat menjadikan adanya perubahan adaptasi Masrul terhadap lingkungan tempat dirinya berada. Ambivalensi tokoh Masrul yang awalnya menikahi Muslina karena kenaifan dari sudut pandang feodalismenya justru kembali memilih Rasmani yang telah dia kenal baik sejak kecil. Pemikiran almost the same but not quite menjadikan Masrul tidak akan dapat menyamai baik gaya hidup dan pemikiran Muslina yang sejak kecil terbiasa hidup di kota. Jika melihat pada kenyataan, pada masa politik etis berlangsung beberapa masyarakat terjajah belajar ke luar negeri, setelah mengenyam pendidikan di Eropa untuk berusaha membangun persamaan, pihak Belanda berusaha menghambat persamaan tersebut dengan memberlakukan politik identitas atau sering dikenal juga dengan devide et impera, di mana ada pembatas antara kaum bangsawan, kaum terpelajar dan rakyat jelata menjadi kesenjangan sosial yang nyata. Kembalinya Masrul kepada Rasmani memperlihatkan meskipun Masrul pindah tempat dan menikah dengan perempuan rantau, hati dan kakinya masih berpijak di bumi tempat dirinya dilahirkan. Secara eksplisit, pesan Selasih seperti menyatakan meskipun banyak hal yang dapat diambil dari budaya koloni yang maju, ambillah budaya yang diperlukan untuk memajukan bangsa Indonesia.

75 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 99. 81

Kaitannya dengan tema, tokoh Masrul mengalami gegar budaya saat dirinya berpindah tempat dari desa ke kota76 dengan pemahaman bahwa perempuan kota yang memiliki pemikiran modern seperti dirinya lebih baik daripada perempuan desa yang bodoh dan status sosial yang lebih rendah darinya. Hal ini terjadi karena Masrul berpegang teguh ingin memiliki yang sederajat dengannya dan itu tidak ditemukan dalam diri Aminah dan Rasmani tapi ditemukannya pada Muslina sehingga Masrul. Kesimpulannya, tokoh Masrul merupakan tokoh yang memiliki pemikiran yang modern namun memiliki budi pekerti tradisional. Untuk mematahkan pemikiran konservatif, dirinya memutuskan untuk menikah dengan Muslina dan hal ini menjadikan dirinya mengalami ambivalensi psikologi karena keragaman pilihan yang dimilikinya. Setelah itu karena kenaifan dirinya yang melihat kebaikan Muslina dari rupanya saja, menjadikan dirinya mengalami hegemoni selama pernikahan.

2. Rasmani Dalam novel Kalau Tak Untung terdapat tiga perempuan yang dijodohkan oleh Masrul dan ketiganya memiliki pandangan atau ideologi hidup yang berbeda atas perempuan tradisional dan perempuan modern. Pengimajinasian perempuan tradisional, yakni Aminah. Dirinya dibesarkan dengan pandangan ‘warisan’ sebagai perempuan yang pintar memasak, bertani, dan bercengkerama dengan keluarga dan tetangga. Dengan mencerminkan ‘kodrat’ perempuan dalam pandangan masyarakat Sumatra pada umumnya. Perempuan tradisional dengan pemikiran modern, yakni Rasmani. Dirinya dibesarkan dengan pandangan modern yang dimiliki orangtuanya namun masih berpegang teguh pada sikap Timur. Terakhir, perempuan dengan pemikiran dan gaya hidup yang modern yakni Muslina yang akan dianalisis setelah Rasmani. Terdapat satu tokoh yang berjuang untuk kesetaraaan antara kaum pria dan perempuan yang sudah dia miliki dalam novel Kalau Tak Untung

76 Lihat unsur intrinsik latar tempat pada halaman 60,. 82

ini. Setelah membaca novel ini, akan terlihat jelas bagaimana sifat dan sikap Rasmani yang merupakan contoh gadis modern pada masa itu, merupakan salah satu upaya Selasih mencoba menyadarkan pentingnya keberadaan seorang wanita dan kesetiannya pada satu orang. Rasmani merupakan tokoh protagonis tambahan dalam novel ini.77 Penelitian pascakolonial yang akan dibahas pertama adalah hibriditas sosial. Dalipah pergi ke dapur, diambilnya garam sedikit, digilingnya halus-halus dan digaraminya nasi Rasmani. 78

Seperti yang terlihat pada kutipan di atas, kehidupan keluarga Rasmani berada di garis kemiskinan. Namun hal ini tidak membuat orangtua Rasmani putus harapan agar anak-anaknya mampu membaca dan meulis. Selain untuk memperbaiki menaikkan tingkat sosial, mereka juga menginginkan agar anaknya tidak akan hidup miskin seperti mereka. Hidup dengan sudut pandang tersebut menjadikan Rasmani semangat untuk sekolah meskipun untuk makan sehari-hari sudah sulit. Pilihannya adalah ikut bekerja seperti Dalipah membantu di sawah atau belajar untuk menjadi guru demi memperbaiki derajat sosial keluarganya. Karena rendahnya pendapatan ekonomi, keluarga Rasmani mendapatkan penindasan dengan stigma dari lingkungan sekitarnya yang memiliki pandang konservatif dan berusaha untuk mempertahankannya. Usaha Rasmani dengan sekolah agar menjadi orang yang berpendidikan dengan kenyataan dirinya dari rakyat miskin dan dari lingkungan konservatif menjadikan usaha Rasmani ini hibridisasi kultural. Dalam hal ini, Gloria Jospeh memiliki ungkapan untuk keluarga Rasmani, yakni lapisan Sisyphus yang terdiri dari orang-orang yang terus- menerus membanting tulang pada dasar dari lapisan sosio-ekonomis rendah.79 Usaha Rasmani untuk mengubah nasibnya, dirinya bekerja keras untuk bekerja sebagai guru. Nyatanya, Perubahan memang terjadi karena diberlakukannya politik etis pada tahun 1920-an sehingga merubah rakyat

77 Lihat unsur intrinsik tokoh Rasmani. 78 Sariamin Ismail,Op. Cit., h. 10. 79 Ania Loomba, Op. Cit., h. 340. 83

terbelakang menjadi berpengetahuan dalam bidang pendidikan yang menyebabkan timbulnya generasi baru dengan memiliki pandangan yang modern. Namun tidak semua nyatanya menjelang akhir pemerintan Belanda (sensus tahun 1930) menyatakan hanya 6/7% pribumi yang melek huruf.80 Dari data tersebut dapat diasumsikan bahwa adat, budaya dan tradisi masih mempengaruhi kehidupan sehari-hari pada masa itu. Hal ini menjadikan mulai munculnya kaum terpelajar dan pergerakan nasionalisme juga yang mulai menyebar, tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan juga ikut berpartisipasi di dalamnya seperti yang tercermin pada tokoh Rasmani. Dalam masalah percintaan, terdapat ambivalensi dalam tokoh Rasmani. Dari awal hingga akhir cerita terlihat jelas bahwa cinta Rasmani hanya tertuju pada satu orang, Masrul. Pria yang telah dikenalnya sejak kecil perlahan membuat dirinya memiliki perasaan yang lebih dari seorang abang pada Masrul. Surat-menyurat yang sering mereka lakukan ketika Masrul di luar kota memperlihatkan kedekatan mereka. Satu sama lain menyadari bahwa perasaan mereka terbalaskan, namun kenyataan tidak berpihak karena kedudukan sosial Rasmani berada di bawah kedudukan sosial Masrul. “Ah apa salahnya kau kuterima saja, permintaan Bang Masrul. Bukankah orang kampungku sendiri tahu bahwa pertalian kami telah lama, telah dari kecil. Apa pusingku dengan percakapan orang lain yang tak kukenal .... Mengapa aku harus menderita seumur hidup, sedang aku tak bersalah.” 81 Kutipan di atas adalah angan-angan Rasmani ketika dirinya mungkin dapat bersatu dengan Masrul. Namun rasa takut juga terasa dijiwanya akan pandangan orang lain pada hubungan mereka. Belum nama baik keluarga Rasmani ikut dipertaruhkan karena orang akan berpikir bahwa Rasmani merupakan penyebab rusaknya hubungan rumah tangga Masru dan Muslina karena kebersamaan mereka yang tepat setelah Masrul bercerai dengan Muslina.

80 Nyoman Kutha Ratna, Poskolonialisme Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 321. 81 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 126 84

"Kalau ada orang meminta engkau, engkau terimalah, mudah-mudahan berbahagia hidupmu. Allah memelihara engkau, dna menolong engkau karena hatimu suci dan tawaal. Amin-amin!"82

Setelah kepergian Masrul ke Medan, mereka masih saling berkirim surat. Namun isi surat di atas menjadi pemicu sakit Rasmani. Putusnya harapan akan jalinan cinta mereka yang naik-turun merupakan pembuktian lain akan ketakutannya. Karena dalam surat itu Masrul berbohong bahwa Muslina memintanya kembali menjadi suaminya agar Rasmani mau menerima pria yang ingin menikahinya. Tapi surat bahagia selanjutnya malah semakin memperparah sakitnya Rasmani. "Apabila engkau datang, Rasmani? Bersama ini kakanda buat surat kepada orang tua kakanda menyuruh meminta Adinda kepada mamak dan etek."83

Bagi orang yang memiliki penyakit jantung dan masih dalam kondisi yang tidak stabil, rasa bahagia dan sedih yang drastis dapat mempengaruhi jantungnya. Hingga akhirnya Rasmani meninggal dunia. Dari surat gila dan surat bahagia yang dituliskan oleh Masrul merupakan alat untuk menyampaikan yang hendak dicetuskan oleh Selasih bahwa nasib manusia, jalan hidup manusia, ditentukan oleh peruntungan.84 Namun di sisi lain, sebagai penulis perempuan pada masa itu dengan halus meneriakkan emansipasi dan protes terhadap tradisi-tradisi kaku yang membelenggu mereka.85 Hal ini sesuai dengan ideologi hidup Selasih yang menginginkan perempuan bebas dari tradisi kaku untuk menentukan jalan hidup yang mereka pilih. Sebagai tokoh utama tambahan, tokoh Rasmani menunjukkan hubungan dengan pascakolonialnya dari perjuangannya sebagai guru dari lingkungan sekitarnya yang masih memegang teguh tradisi dan adat yang kaku, menjadikan dirinya korban hegemoni dari dominasi kelas sosial yang

82 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 143. 83 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 145. 84 Sri Rahayu Prihatmi, Pengarang-Pengarang Wanita Indonesia, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977), h. 23. 85 Ibid., h. 86. 85

berpengaruh di lingkungan sekitarnya. Karena pengaruh orangtuanya yang memiliki pandangan yang berbeda pada umumnya, memandang bahwa pendidikan merupakan hal yang penting untuk anak mereka, yang membuat Rasmani mampu memperjuangkan haknya meskipun dirinya bukanlah dari keluarga yang berada. “Seperti Kakanda ketahui, sudah hampir dua tahun adinda menjadi guru sekolah negeri. Menurut peraturan kalau sudah selama itu adinda boleh turut dalam ujian guru batu. Sebab itu sekarang adinda belajar, Kakanda tolonglah adinda dengan doa, mudah-mudahan lulus adinda dalam ujian itu.” 86

Meskipun Rasmani memiliki pemikiran modern, dirinya tidak melepaskan identitas dirinya yang memegang teguh nilai-nilai Timur yang sudah melekat pada dirinya sejak kecil. Kaitannya dengan tema, Rasmani merupakan representasi percampuran antara kaum Barat dan kaum Timur dengan pemikiran modern, namun memiliki budi pekerti santun orang Timur (hibridisasi kultural) dan perjuangan emansipasi perempuan dari hegemoni stigma dalam usahanya merubah pandangan masyarakat sekitarnya bahwa perempuan juga mampu menghasilkan uang yang sama jumlahnya dengan pria yakni dengan menjadi guru. Melihat perjuangan emansipasi Rasmani dalam dunia pendidikan seperti cerminan dari perjuangan Selasih secara nyata. Selasih memperjuangkan persamaan gender di Sumatra dengan menjadi ketua Sarekat Kaum Ibu Sumatera Cabang Padangpanjang.87 Kesimpulannya adalah tokoh Rasmani memperlihatkan hubungannya dengan hibriditas dan ambivalensi dalam usaha untuk memiliki kehidupan yang lebih baik dengan memperjuangkan kaum perempuan dari hegemoni lingkungan konservatif dan cinta yang berbeda status sosial. Meski, telah dijelaskan dalam analisis, keluarga Rasmani

86 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 76. 87 Marleily Asmuni, H. Sariamin Ismail, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), h. 58. 86

berasal dari keluarga miskin yang Jospeh masukkan ke dalam lapisan Sisyphus.

3. Muslina Dalam novel Kalau Tak Untung, Muslina menjadi peran utama dalam kaitannya dengan analisis pascakolonial karena dalam satu tokoh Muslina dapat menganalisis pascakolonial dengan hampir seluruh teori yang akan digunakan dalam penelitian ini. Hal pertama yang akan dibahas adalah gaya hidup tokoh Muslina. Lahir dan besar dari keluarga mampu menjadikan Muslina hidup dengan berkecukupan. Terlebih dirinya merupakan anak tunggal. Pendidikan yang didapatkannya juga yang terbaik menjadikan orangtuanya membebaskan anaknya dalam pergaulan. Maka dari itu Muslina bergaul dengan anak sekolah Mulo di saat dirinya telah ditunangkan oleh seorang dokter.88 Usaha Muslina untuk menyesuaikan dirinya dengan etika dan kategori ideal Eropa dengan meniru aktivitas kultural yakni dengan bergaul bersama anak sekolah Mulo. Dengan latar belakang yang dimilikinya, bukan hal yang sulit bagi Muslina untuk menginginkan status sosial yang lebih tinggi lagi, meskipun dalam keadaan dirinya sedang bertunangan dengan orang lain. Perilaku Muslina yang mendekati dan bergaul dengan temannya itu terlihat seperti dirinya menentang akan kawin paksa yang telah direncanakan oleh orangtuanya. Itu memperlihatkan bahwa Muslina dapat mengendalikan pilihannya sendiri, berbeda dengan Masrul dan Rasmani. Pemikirian Muslina yang modern ini diperngaruhi oleh orangtua dan lingkungan pergaulannya yang berbeda dengan Masrul yang hidup di desa. Lalu saat pernikahan dirinya dengan Masrul memperlihatkan bahwa Muslina juga mengalami hibriditas perbauran dua budaya. Hal ini dilakukan karena Muslina tidak ada cara lain selain menikah dengan orang yang belum mengetahui tentang reputasinya yang hancur karena pertunangannya dengan dokter putus dan keluarga anak yang bersekolah di Mulo juga menolak

88 Lihat catatatn kaki nomor 17 87

Muslina, maka dari itu Muslina dan keluarganya menjadikan Masrul sebagai target mereka untuk dijadikan suami untuk Muslina. Hal ini menjadikan Muslina mengalami ambivalensi saat dirinya mengharapkan status sosial yang tinggi dengan berusaha bergaul dengan bangsawan Eropa dan sederajatnya, namun kenyataannya reputasi dirinya menjadi hancur karena pandangan masyarakat sekitar perihal keburukan sifatnya dan mempermalukan nama baik keluarga. Saat dirinya menikah dengan Masrul menjadikan dirinya merasa turun derajatnya. Kesombongan status sosial yang dimiliki oleh Muslina menjadikan dirinya representasi kaum orientalis. Doktrin orientalisme, baik secara teoretis maupun praktis, kedudukan bangsa Barat sebagai laki-laki, bangsa Timur sebagai perempuan merupakan hal yang tak mungkin diubah. Implikasinya dalam novel Kalau Tak Untung ini ditulis dengan terbalik. Bangsa Timur dicerminkan oleh Masrul, bangsa Barat dicerminkan oleh Muslina. Hal ini terlihat pada kutipan berikut. “... Tak sebesar minang, sebesar rambut dibelah tujuh barang pembelianmu di rumah ini, semuanya pembelian bapak saya. Untuk pengisi perut saja tak cukup gajimu.” 89

Dengan kutipan di atas, pengarang ingin menunjukkan kepada pembaca akan kuatnya pengaruh diskursif orientalisme terhadap pandangan, sikap dan perilaku masyarakat terjajah yang bekerja secara hegemonik, tercermin pada tokoh Muslina sebagai perantara dari pemikiran pengarang. Sebagai tokoh tambahan (antagonis), Muslina memiliki ambivalensi psikologis paling besar dalam cerita yang terjadi saat dirinya merasa superior karena tumbuh besar dalam lingkungan masyarakat menengah ke atas. Jika melihat dari segi tema, Muslina merupakan penyaji cerita yang terlihat secara jelas akan adanya oposisi antara status sosial tinggi dan rendah. Sedangkan dari segi penokohan, peristiwa inti atau klimaks pada tokoh utama Masrul adalah Muslina yang menjadi pemicu utama perubahan pada diri Masrul dan menjadikan Muslina representasi Barat.

89 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 101. 88

Gaya hidup Muslina yang terbilang cukup mewah, justru memberatkan Masrul karena pendapatannya tidaklah sebanyak pendapatan seorang dokter. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, Masrul menjadi korban akan sikap hegemoni Muslina yang tidak puas dengan penghasilan yang didapatkan suaminya. Tidak puas dengan kehidupan pernikahan yang tidak seperti yang dirinya inginkan, Muslina melakukan tindakan katarsis pada Masrul semata-mata karena dirinya kesal karena hidup kekurangan. Tindakan katarsis yang Muslina lakukan pada Masrul dengan memanfaatkan kelemahan materil Masrul dan memanfaatkan kelebihan orangtuanya untuk menekan psikologi Masrul. “Apakah yang telah kauperbuat? Mengapa kaupecahkan piring-piring itu? bukankah tak belianmu itu? barang yang kita beli yang akan dipecah-pecah, tetapi jangan harta orang lain. 90

Namun Muslina juga mengalami hibriditas karena perbedaan latar saat dirinya dan Masrul pindah tempat tinggal dari Painan ke Padang. Kutipan di atas adalah saat Muslina dan Masrul telah berada di Padang. Di sini Muslina memperlihatkan sikap superiornya pada Masrul dengan menghina tentang pekerjaannya yang gajinya tak seberapa itu. Muslina merasa bahwa segala harta benda di rumah mereka merupakan pemberian dari orangtuanya menjadi faktor pendukung sikap tersebut. Hal ini kemungkinan terjadi karena Muslina jauh dari orangtuanya dan menjadikan dirinya mampu berlaku kasar pada Masrul dengan membentak bahkan memukulnya sebagai pelampiasan kecemasannya hidup miskin karena selama hidupnya Muslina selalu hidup mampu.91 Kesimpulan yang dapat diambil dari analisis ini, tokoh Muslina merupakan representasi dari kaum Barat. Superioritas yang dimilikinya membuat dirinya mampu untuk bersikap kasar (katarsis) pada Masrul sebagai pelepasan atas rasa cemas dan kecewa karena kehidupan pernikahan

90 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 101. 91 Lihat catatan kaki nomor 75. 89

yang tidak sesuai dengan keinginannya. Analisis pascakolonial terhadap tokoh Muslina terlihat munculnya mimikri, hibriditas, dan hegemoni.

4. Ibu Masrul Dalam novel Kalau Tak Untung Ibu Masrul merupakan tokoh tambahan. Analisis pertama yang akan dibahas perihal ambivalensi. Seperti yang telah dibahas dalam unsur intrinsik tokoh, Ibu Masrul yang memiliki pandangan hidup konvensional, berbanding terbalik dengan Masrul. Bahkan sekalipun Masrul berusaha memberikan pandangan modern terhadap ibunya, dirinya akan tetap memilih untuk mempertahankan pandangannya tersebut. "Itulah juga kelakuanmu yang tak dapat engkau ubah-ubah yang sunah engkau perlukan, yang wajib engkau tinggalkan. Apakah kata mamakmu nanti kalau diketahuinya ia telah kelangkahan. Kita tinggal di kampung, adat kampung yang akan diturut, jangan diperturutkan kehendak hati saja."92

Pandangan lingkungan konservatif ini yang memimpin kelas sosial di Bonjol sehingga menjadi halangan akan keinginan Rasmani untuk bekerja sebagai guru dan hubungan percintaan antara Masrul yang terpisah karena status sosial. Dengan begitu Ibu Masrul memperlihatkan bahwa dirinya merupakan representasi dari kaum Timur yang berpegang teguh mempertahankan tradisi dan adat budaya lokal yang sudah turun-temurun. Dominasi sosial Ibu Masrul terlihat dari caranya memandang kaum rendah, pernikahan dengan sepupu, menentang pemikiran modern, dan pandangan tentang perempuan tradisional yang harus bisa mengurus rumah tangga dan tahu bersosialisasi dengan lingkungan sekitar tanpa pendidikan resmi.93 Dominasi ini yang membuat Rasmani takut untuk menerima Masrul karena Ibu Masrul dan masyarakat Bonjol akan lebih merendahkan keluarganya yang miskin, dengan demikian akan terlihat bahwa Rasmani merupakan korban hegemoni. Seperti yang diketahui bahwa hegemoni adalah

92 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 30. 93 Lihat unsur intrinsik Ibu Masrul pada halaman 52. 90

representasi-representasi kultural yang menekankan superioritas Barat ketimbang Timur, namun hal ini dapat juga terbalik, karena adanya ketidakstabilan hegemoni menjadikan kaum Timur menyerang balik atau meresistensi melalui penguatan budaya nasional mereka.94 Selain keteguhan identitas, juga terdapat ambivalensi psikologi pada Ibu Masrul yang menjadi awal perkara kehidupan percintaan Masrul. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Ibu Masrul menginginkan anaknya untuk menikah dengan Aminah yang merupakan keponakannya.95 Alasannya karena Ibu Masrul ingin anaknya sudah memiliki status menikah saat Masrul merantau ke Painan. Namun ada alasan lain yang terlihat pada kutipan di bawah ini. "Jangan engkau menjawab juga lagi, ada-ada saja yang engkau sebut. Tahu saya yang di hatimu, engkau hendak memulangi anak Datuk Sinaro sahabatmu itu. Saya suka kepada anak itu, tetapi tak suka saya ia menjadi istrimu."96

Keinginan Ibu Masrul untuk menikahkan anaknya dengan Aminah karena dirinya takut jika Masrul akan menikah dengan Rasmani yang memiliki status sosial yang rendah meskipun budi pekerti keluarga Rasmani baik. Hal ini berhubungan dengan tema mayor novel Kalau Tak Untung, yakni adanya penghalang atas hubungan percintaan Masrul dan Rasmani karena perbedaan status sosial, pemicunya adalah Ibu Masrul. Namun ekspektasi Ibu Masrul, tidak sesuai dengan realita yang ada. Untuk menghindari menikah dengan perempuan pilihan ibunya dan larangan untuk menikah dengan perempuan yang dicintainya, akhirnya Masrul memilih perempuan lain untuk dinikahinya. Kesimpulannya yang dapat diambil dalam analisis ini, Ibu Masrul merupakan representasi dari kaum Timur yang menjadi penghalang akan percintaan kedua tokoh utama dan hal ini terlihat pada analisis ambivalensi.

94 Ikwan Setiawan, Hibriditas Budaya dalam Lintasan Perspektif 1 dalam http://matatimoer.or.id/2016/12/11/hibriditas-budaya-dalam-lintasan-perspektif/ diunduh pada 11 Desember 2016. 95 Lihat catatan kaki nomor 19. 96 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 31. 91

Demikian analisis hibriditas dan ambivalensi dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih dengan analisis pada setiap tokohnya. Hasil analisisnya adalah: 1) pada tokoh Masrul terlihat munculnya hibriditas dan ambivalensi psikologi pada perbedaan latar tempat; 2) pada tokoh Rasmani terlihat munculnya hibriditas dan ambivalensi pada lingkungan masyarakat Minangkabau; 3) pada tokoh Muslina terlihat munculnya ambivalensi psikologis, mimikri, hibriditas dan hegemoni yang terjadi karena pengaruh kehidupan sosialnya; 4) pada tokoh Ibu Masrul terlihat munculnya ambivalensi karena pandangan Timur yang diyakininya. Secara keseluruhan, analisis pascakolonial mempelajari dan mencari tentang sesuatu hal yang tertulis dalam sebuah wacana laten dan mampu mengungkapkannya dengan teori. Dari seluruh analisis di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa novel Kalau Tak Untung ini setiap tokoh dalam cerita masing-masing mengalami perubahan sosial pascakolonialisme pada tahap alur yang hampir bersamaan pada peningkatan konflik dan klimaks dengan balutan kisah percintaan yang berbeda status sosial sehingga menjadikan novel ini merupakan wacana kolonial yang dengan penulisan struktural yang padu dengan penyajian cerita dan teknik penulisan yang baik.

C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Karya sastra selain sebagai hiburan, peran lainnya adalah sebagai bahan pelajaran. Berbagai ilmu dapat disandingkan dengan karya sastra seperti ilmu pengetahuan alam, ilmu pendidikan, ilmu hukum, ilmu sosial, dan lain sebagainya. Salah satunya adalah ilmu sejarah. Namun untuk mengajarkan karya sastra membutuhkan kreativitas pengajar agar kegiatan belajar menjadi lebih menarik. Untuk menyampaikan pembelajaran sesuai dengan tujuan pembelajaran membutuhkan pendekatan pembelajaran. Sesuai dengan kurikulum 2013 yang mengarahkan peserta didik mencari tahu dengan observasi bukan diberitahu. Maka pendekatan yang tempat untuk 92

pembelajaran unsur pembangun sastra dan kebahasaan adalah pendekatan saintifik. Dindin mengatakan pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif mengonstruk konsep hukum atau prinsip melalui tahapan-tahapan mengamati, merumuskan masalah, mengajukan atau merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan bebagai teknik, menganalisis data, menarik kesimpulan dan mengkomunikasikan konsep.97 Kaitannya dengan pembelajaran sastra di sekolah adalah agar peserta didik mampu memperoleh nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam bahan ajar utama sastra, yakni karya sastra. Menurut Wahyudi Siswanto dengan pendidikan sastra peserta didik diajak secara langsung untuk membaca, memahami, menganalisis dan menikmati karya sastra. Pendidikan ini kan mengembangkan kemampuan berpikir, sikap, dan keterampilan peserta didik.98 Untuk mempermudah pemahaman kepada peserta didik, terdapat cara untuk mengaplikasikan pembelajaran sastra. Selain pendekatan, hal lain yang harus diperhatikan adalah strategi untuk menjalankan pendekatan pembelajaran. Strategi yang mendukung pendekatan saintifik adalah inquiry. Karena strategi inquiry memperoleh informasi pembelajaran melalui observasi atau pengamatan. Dengan bahan bacaan peserta didik yang hanya satu novel, maka metode yang akan digunakan adalah penugasan secara individu. Hal ini dikarenakan pembelajaran dengan materi unsur pembangun sastra merupakan pembelajaran yang telah dipelajari oleh peserta didik saat menduduki bangku SMP dan SMA kelas satu dan dua. Dengan pembelajaran berpusat pada peserta didik, maka peran guru hanya sebagai pendamping atau sebagai sumber pembelajaran alternatif jika peserta didik tidak mampu menemukan jawaban yang peserta didik inginkan. Salah satu karya yang cocok untuk dijadikan bahan pembelajaran adalah

97 Dindin Ridwanuddin, Bahasa Indonesia, (Jakarta: UIN Press, 2015), h. 20. 98 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 168-169. 93

novel Kalau Tak Untung karya Selasih. Dengan novel ini peserta didik akan mempelajari dan memahami secara keseluruhan materi pembelajaran unsur intrinsik dan ekstrinsik, dan kebahasaan. Selain itu peserta didik diharapkan mampu menghubungkan nilai ekstrinsik novel dengan implementasi kehidupan sekarang. Alasan novel Kalau Tak Untung karya Selasih ini dipilih karena novel ini merupakan novel perempuan pertama Indonesia dan diterbitkan oleh Balai Pustaka, penerbit resmi milik pemerintahan saat itu. Nilai-nilai yang terkandung dalam novel tersebut adalah nilai kemanusiaan, persahabatan, pengorbanan, perjuangan perempuan, dan sebagainya untuk ditanamkan kepada peserta didik. Peserta didik pun akan memahami bahwa karya sastra khususnya karangan sastrawan sebelum kemerdekaan punya sisi lain yang dapat dibahas dan dipelajari dengan cermat. Media pembelajaran ini dapat diterapkan pada Kurikulum 2013 Edisi Revisi 2016. Berdasarkan silabus Bahasa Indonesia kelas XII SMA semester satu terdapat Kompetensi Dasar (3.3) yang menuntut peserta didik untuk mengidentifikasi informasi yang mencakup orientasi, rangkaian kejadian yang saling berkaitan, komplikasi dan resolusi dalam cerita sejarah lisan atau tulis. Dan Kompetensi Dasar (3.4) yang menuntut peserta didik dapat menganalisis kebahasaan cerita atau novel sejarah. Dengan pendekatan dan metode yang dibahas di atas serta Kompetensi Dasar tersebut maka dapat dilangsungkan kegiatan belajar mengajar dengan memberikan penugasan secara individu dengan menggunakan novel Kalau Tak Untung karya Selasih. Semua ini harus diupayakan agar peserta didik mampu menguasai materi dengan baik dan tujuan pembelajaran tercapai. Untuk mencapai tujuan pembelajaran mengenai novel, peserta didik akan menguasai empat keterampilan berbahasa, yakni menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Sekitar dua mingu sebelum materi pembelajaran ini diberikan, peserta didik sudah diberi tugas untuk membaca novel Kalau Tak Untung karya Selasih. Hal ini dilakukan untuk mempermudah peserta didik menganalisisnya. Saat kegiatan belajar mengajar berlangsung, peserta didik 94

diharapkan menyimak penjelasan dari guru terkait langkah-langkah menganalisis unsur intrinsik novel. Setelah menerima informasi, peserta didik merumuskan masalah dan menganalisa data dengan keterkaitan unsur intrinsik (karakter tokoh, tema, alur, latar, dan gaya bahasa) pada novel Kalau Tak Untung karya Selasih sesuai dengan soal yang diberikan. Setelah menyelesaikan analisisnya, peserta didik akan mampu menarik kesimpulan dan mampu mengkomunikasikan hasil dari analisis yang peserta didik pelajari dengan menggunakan empat keterampilan berbahasa yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Peserta didik dapat berkomunikasi atau berdiskusi dengan teman lainnya untuk mendapatkan konsep dan pembahasan yang tepat untuk materi pembelajaran unsur pembangun sastra dan kebahasaan. Dengan unsur intrinsik, peserta didik akan dapat belajar sastra sekaligus mengetahui pembelajaran sejarah Indonesia dari pengamatan yang mereka lakukan. Dengan demikian terbukti bahwa sastra tidak hanya sebagai hiburan namun juga sebagai pembelajaran. Selain itu, peserta didik diharapkan mampu untuk mengambil pesan dan amanat yang terkandung dalam novel Kalau Tak Untung dan dijadikan pembelajaran dalam keseharian peserta didik dengan perjuangan yang tergambar dalam perilaku dan pikiran tokoh utama.

BAB V PENUTUP

A. Simpulan Berdasarkan hasil analisis tentang "Analisis Pascakolonial dalam Novel Kalau Tak Untung karya Selasih dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA", maka dapat disimpulkan, yakni: 1. Novel Kalau Tak Untung karya Selasih merupakan novel sosial dan sejarah yang mengisahkan kehidupan sebelum kemerdekaan dengan sudut pandang feminis. Tema besar novel ini, yakni perihal perjuangan perempuan dan pria dalam memperjuangkan pemikirannya dan keinginannya dalam kondisi sosial mereka yang tidak mendukung. Tema tambahan yang mendukung analisis yakni kenaifan identitas yang terdapat pada beberapa tokoh. Alur cerita menggunakan alur maju yang tersusun secara progresif. Terdapat banyak tokoh dalam novel, namun tokoh yang dominan keberadaannya adalah Masrul dan Rasmani yang merupakan tokoh utama (protagonis) cerita, sedangkan Muslina merupakan tokoh tambahan antagonis, lalu Dalipah, Ibu Masrul, Orangtua Rasmani, dan Aminah merupakan tokoh pendukung keberadaan kedua tokoh utama. Latar tempat keseluruhan berada di wilayah Sumatra Barat dengan nama daerah yakni, Bonjol, Painan, Padang, dan Bukittinggi. Sementara latar waktu yang terjadi dalam cerita adalah sebelum tahun 1930-an. Seluruh peristiwa dikisahkan berdasarkan sudut pandang orang ketiga serba tahu dengan bahasa yang jelas, santun, dan Melayu, serta gaya bahasa sarkasme, ironi dan hiperbola. Perubahan sosial pascakolonial yang terjadi dalam novel Kalau Tak Untung terdapat pada beberapa bagian pembahasan dari segi tokoh, yaitu: : 1) pada tokoh Masrul terlihat munculnya hibriditas dan ambivalensi psikologi pada perbedaan latar tempat; 2) pada tokoh Rasmani terlihat munculnya hibriditas dan ambivalensi pada lingkungan masyarakat Minangkabau; 3) pada tokoh Muslina terlihat munculnya ambivalensi psikologis, mimikri, hibriditas dan hegemoni yang terjadi karena pengaruh kehidupan sosialnya; 4)

95

96

pada tokoh Ibu Masrul terlihat munculnya ambivalensi karena pandangan Timur yang diyakininya. Kesimpulannya, setiap tokoh mengalami perubahan sosial pascakolonialisme pada tahap alur yang hampir bersamaan pada peningkatan konflik dan klimaks dengan balutan kisah percintaan yang berbeda status sosial sehingga menjadikan novel ini merupakan wacana kolonial yang dengan penulisan struktural. 2. Implikasi dari perubahan sosial yang terdapat dalam novel Kalau Tak Untung dipraktikkan dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA kelas XII semester ganjil. Berdasarkan kurikulum 2013 dengan Kompetensi Dasar yang ingin dicapai dalam kegiatan pemebelajaran yakni KD 3.3 tentang mengidentifikasi informasi yang mencakup orientasi, rangkaian kejadian yang saling berkaitan, komplikasi dan resolusi dalam cerita sejarah lisan atau tulis dan 3.4 tentang menganalisis kebahasaan cerita atau novel sejarah. Dengan novel Kalau Tak Untung sebagai media pembelajaran, peserta didik diharapkan memahami realita kehidupan sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan, sekaligus untuk menambah pengetahuan tentang perjuangan bangsa Indonesia. Hal demikian dimaksudkan untuk menanamkan sikap sosial dan kesadaran diri peserta didik terhadap bangsa dan negara sebagai insan yang cinta tanah air, jujur, mandiri, bertanggung jawab, betoleransi, serta menghargai dan keberagaman sosial.

B. Saran Berdasarkan analisis dan simpulan yang telah diuraian, ada beberapa saran diajukan penulis, yakni: 1. Guru dalam pembelajaran sastra sudah semestinya memaksimalkan proses pembelajaran dengan memilihkan karya sastra yang bermutu. Meningkatkan minat baca peserta didik untuk mengetahui dan membandingkan kehidupan dahulu dan sekarang yang terdapat di dalam karya sastra dengan hal-hal di kehidupan nyata. Salah satu karya sastra dapat dijadikan rujukan dalam pembelajaran adalah novel Kalau Tak Untung karya Selasih. 97

2. Peserta didik dalam proses pembelajarannya diharapkan sungguh-sungguh memahami isi cerita novel, sehingga dapat mengambil hal-hal positif dan menerapkannya di dalam kehidupan nyata. Dari realitas dan permasalahan yang terjadi pada tokoh Masrul memiliki sisi positif dan negatif yang dapat dijadikan panutan dan untuk dihindari atau dijauhkan. DAFTAR PUSTAKA

Anonim, "Sariamin Ismail: Pengarang Wanita Angkatan Balai Pustaka", Pelita Jakarta, 15 Januari 1986.

Asmuni, Marleily. H. Sariamin Ismail. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984.

Aziez, Furqonul dan Abdul Hasim. Menganalisis Fiksi: Sebuah Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.

Baek, Im Hyuk. Hegemony and Counter-Hegemony in Gramsci at Journal Asian Perspective. USA: Lynne Rienner Publishers, Vol 15 No. 1, Spring-Summer 1991.

Budi, Langgeng Sulistyo . "Kisah di Balik Arsip: Kesepakatan Bidang Ekonomi dalam KMB dan Pasang Surut Hubungan Indonesia-Belanda", Majalah Arsip edisi 61, Jakarta, Mei-Agustus 2013.

Budianta, Melanie. Membaca Postkolonial (di) Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 2008.

Budiman, Manneke. Sastra Indonesia Modern Kritik Postolonial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.

Djamarah dan Zain. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta, 2013.

Faruk. Belenggu Pasca-kolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Foulcher , Keith dan Tony Day. Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial, Terj. dari Clearing a Space: postkolonial readings of modern Indondesian literature oleh Koesalah Soebagyo Toer dan Monique Soesman . Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.

Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik. Jakarta: Bumi Aksara, 2013.

Hasan, M. Zaini. Karakteristik Penelitian Kualitatif dalam buku Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh, 1990.

Homi K. Bhabha. The Location of Culture. New York, Routledge, 1994.

Loomba, Ania.Kolonialisme/Pascakolonial. Yogyakarta: PT. Buku Seru, 2016.

Mahayana, Maman S., dkk, Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern. Jakarta: Grasindo, 1995.

Martono, Nanang. Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Postmodern, dan Postkolonial. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2015.

Prihatmi, Sri Rahayu. Pengarang-Pengarang Wanita Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya, 1977

Ratna , Nyoman Kutha. Sastra dan Cultural Studies: Representatif Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

-----. Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

-----. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Redaksi Harian Haluan, "Surat Terbuka dari Ibu Sariamin Ismail", Harian Haluan Padang, 20 November 1989.

Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Terj. dari A History of Modern Inonesia since 1200 Third Edition oleh Satrio Wahono, Bakar Bilfagih, dkk. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007.

Ridwanuddin, Dindin. Bahasa Indoensia. Jakarta: UIN Press, 2015.

Sariamin Ismail, "Surat Terbuka dari Ibu Sariamin Ismail (Selasih/Seleguri)", Harian Haluan Riau, 20 November 1989

Sarosa, Samiaji. Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar. Jakarta: PT. Indeks, 2012.

Sasongko, Teguh Haryo."Bolehkah menikah dengan sepupu? ". https://health.detik.com, 22 Maret 2012.

Selasih. Kalau Tak Untung. Jakarta: PT. Balai Pustaka, 2001.

Setiawan, Ikwan. Hibriditas Budaya dalam Lintasan Perspektif 1 dalam http://matatimoer.or.id/2016/12/11/hibriditas-budaya-dalam-lintasan-perspektif/ diunduh pada 11 Desember 2016.

Setiawan, Ikwan. Membaca Budaya bersama Bhabha: Ambivalensi, Hibriditas, dan Keliatan Kultural, dalam http://ikwansetiawan.web.unej.ac.id/2015/04/27/membaca-budaya-bersama- bhabha-ambivalensi-hibriditas-dan-keliatan-kultural/#_ftn2 diunduh pada 27 April 2015.

Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Grasindo, 2008.

Subana dan Sunarti, Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia.Bandung: Pusaka Setia, 2011.

Sungkowati, Yulitin. Ambivalensi dalam Mencari Sarang Angin dalam Jurnal Humaniora Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada. Volume 22, No. 1 Februari 2010.

Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa, 1991.

Zarnas. "Pengarang Wanita Pertama Selasih alias Sariamin Ismail", Koran Jakarta, Kamis, 23 Mei 1977.

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

(RPP)

Satuan Pendidikan : SMA Al-Kautsar Jakarta

Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia

Kelas / Semester : XII/1

Materi Pokok : Mengidentifikasi Informasi dalam Cerita Sejarah

Alokasi Waktu : 4 x 40 menit (2 pertemuan)

A. Kompetensi Inti KI 1 : Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnyadengan mematuhi norma-norma bahasa Indonesia serta mensyukuri dan mengapresiasi keberadaan bahasa dan sastra Indonesia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. KI 2 : Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan menunjukkan sikap pro-aktif sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam kehidupan sosial secara efektif dengan memiliki sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia serta mempromosikan penggunaan bahasa Indonesia dan mengapresiasi sastra Indonesia. KI 3 : Memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi tentang pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahu tentang bahasa dan sastra Indonesia serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian bahasa dan sastra yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks). KI 4 : menunjukkan keterampilan menalar, mengolah, dan menyaji secara efektif kreatif, produktif, kritis, mandiri, kolaboratif, komunikatif, dan solutif dalam ranah abstrak terkait dengan pengembangandari pelajaran, serta mampu melaksanakan tugas spesifik di bawah pengawasan langsung.

B. Kompetensi Dasar 2.1 Memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang memiliki kemantapan kedudukan, fungsi, dan kaidah 2.2 Meningkatkan perilaku jujur, tanggung jawab, dan disiplin dalam menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kedudukan, fungsi, dan kaidah-kaidahnya 2.3 Mengembangkan sikap ingin tahu dalam memahami kaidah bahasa Indonesia 2.4 Mengembangkan sikap apresiatif dalam menghayati karya sastra 3.3 Mengidentifikasi informasi yang mencakup orientasi, rangkaian kejadian yang saling berkaitan, komplikasi dan resolusi dalam cerita sejarah lisan atau tulis. 3.4 Menganalisis kebahasaan cerita atau novel sejarah

C. Indikator - Siswa mampu mendeskripsikan isi dari cerita sejarah - Siswa mampu menganalisis unsur-unsur intrinsik - Siswa mampu menganalisis unsur ekstrinsik dan kebahasaan

D. Tujuan Pembelajaran - Siswa dapat menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya - Siswa dapat menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tangung jawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya - Siswa dapat memahami pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya - Siswa dapat mengidentifikasi informasi pada struktur dan teks cerita sejarah - Siswa dapat mengidentifikasi informasi nilai-nilai cerita (novel) sejarah dengan menggunakan struktur isi cerita dan struktur luar cerita - Siswa dapat mengidentifikasi unsur kebahasaan cerita (novel) sejarah.

E. Materi Pembelajaran Fakta • Banyak karya sastra yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Beberapa diantaranya terdapat karya sastra yang diciptakan oleh masyarakat Sumatera Barat. • Ciri utama karya sastra terbitan Balai Pustaka adalah waktu terbitan yang berkisar di tahun 1900-an hingga 1930-an. Konsep • Struktur isi cerita prosa atau roman, fakta cerita (alur, penokohan, latar), sarana sastra (pusat pengisahan, konflik) • Struktur luar cerita yang berhubungan dengan nilai moral Prinsip • Karakteristik unsur intrinsik • Karakteristik unsur ekstrinsik Prosedur • Analisis unsur intrinsik dan ekstrinsik

F. Metode Pembelajaran • Pendekatan : scientific • Strategi : inquiry • Teknik : gallery walk • Metode : penugasan.

G. Sumber dan Media Pembelajaran Sumber : • Bahasa Indonesia 3 untuk Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah kelas XII karya Sri Suwarni dan Esti Suryani, terbitan PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri 2017.

• Teori Pengkajian Fiksi karya Burhan Nurgiyantoro, terbitan Gadjah Mada University, Edisi Revisi 2013. • Novel Kalau Tak Untung karya Selasih, terbitan Balai Pustaka 2001

H. Kegiatan Pembelajaran

ALOKASI TAHAP KEGIATAN GURU WAKTU

Pertemuan ke 1

PEMBUKA ¾ Siswa merespon salam dan pertanyaan dari guru 10 menit berhubungan dengan kondisi dan pembelajaran sebelumnya ¾ Siswa menerima informasi tentang keterkaitan

pembelajaran sebelumnya dengan pembelajaran yang akan dilaksanakan. ¾ Siswa menerima informasi kompetensi, materi, tujuan, manfaat, dan langkah pembelajaran yang akan dilaksanakan

INTI Mengamati

¾ Siswa menerima instruksi dari guru untuk membaca novel yakni: Kalau Tak Untung karya Selasih. 60 menit ¾ Secara individu siswa mengidentifikasi isi dari cerita atau novel sejarah yang telah dibacanya dan mengurutkan peristiwa dan menyampaikan permasalahan yang menimbulkan konflik

Menanya ¾ Siswa dapat bertanya perihal pembelajaran yang masih belum dipahami. ¾ Guru dapat menunjuk salah satu anggota tiap kelompok untuk menceritakan kembali isi novel yang telah dibaca. ¾ Siswa ditugaskan: • untuk mencari teori unsur-unsur pembangun sastra (tema, alur, latar, penokohan, sudut pandang, gaya bahasa dan pesan) dengan data yang mendukung. • menjelaskan unsur intrinsik (tema, latar, sudut pandang, alur, penokohan, sudut pandang, gaya bahasa dan pesan) pada novel Kalau Tak Untung karya Selasih dengan data yang mendukung.

Mengeksplorasi ¾ Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencari referensi dari berbagai sumber yang dapat dipercaya ¾ Siswa mencoba merumuskan unsur intrinsik sastra yang dikajinya dan menganalisis setiap unsur dengan mengaitkan pada novel Kalau Tak Untung karya Selasih

Mengasosiasi ¾ Siswa mendeskripsikan hasil dari kegiatan mengamati dan mengumpulkan informasi. ¾ Siswa menyimpulkan dan mengestimasikan tambahan analisis pada konsep yang dibacanya atas dasar kajian sastra yang dibahas Mengkomunikasikan ¾ Siswa diharapkan menyampaikan hasil dari dari kesimpulan analisisnya (bisa dipilih dan ditunjuk guru) ¾ Melaporkan hasil penelitian baik secara tertulis tentang unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih.

PENUTUP ¾ Bersama-sama siswa menyimpulkan secara 10 menit keseluruhan isi cerita dan analisis unsur intrinsik dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih ¾ Siswa berdoa untuk menutup kegiatan pembelajaran.

Pertemuan ke 2

PEMBUKA ¾ Siswa merespon salam dan pertanyaan dari guru 10 menit berhubungan dengan kondisi dan pembelajaran sebelumnya ¾ Siswa menerima informasi tentang keterkaitan

pembelajaran sebelumnya dengan pembelajaran yang akan dilaksanakan. ¾ Siswa menerima informasi kompetensi, materi, tujuan, manfaat, dan langkah pembelajaran yang akan dilaksanakan Catatan: contoh karya sastra yang digunakan Kalau Tak Untung karya Selasih digunakan sebagai stimulan dengan pertanyaan untuk memasuki kegiatan inti

INTI Mengamati

¾ Siswa menerima instruksi dari guru mengingat isi dari novel Kalau Tak Untung karya Selasih 60 menit ¾ Secara individu siswa mengidentifikasi isi dari cerita atau novel sejarah yang telah dibacanya dan menyebutkan nilai-nilai ekstrinsik dan kebahasaannya.

Menanya ¾ Siswa dapat bertanya perihal pembelajaran yang masih belum dipahami. ¾ Guru dapat menunjuk salah satu anggota tiap kelompok untuk menceritakan kembali isi novel yang telah dibaca. ¾ Siswa ditugaskan: • untuk mencari teori nilai-nilai ekstrinsik dan mengelompokkan kalimat dengan data yang mendukung. • menjelaskan unsur ekstrinsik dan menganalisis kebahasaan pada novel Kalau Tak Untung karya Selasih dengan data yang mendukung.

Mengeksplorasi

¾ Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencari referensi dari berbagai sumber yang dapat dipercaya ¾ Siswa mencoba merumuskan unsur ekstrinsik sastra yang dikajinya dan menganalisis setiap unsur dengan mengaitkan pada novel Kalau Tak Untung karya Selasih ¾ Siswa mencoba menganalisis kebahasaan dengan mengaitkan pada novel Kalau Tak Untung karya Selasih

Mengasosiasi ¾ Siswa mendeskripsikan hasil dari kegiatan mengamati dan mengumpulkan informasi. ¾ Siswa menyimpulkan dan mengestimasikan tambahan analisis pada konsep yang dibacanya atas dasar kajian sastra yang dibahas ¾ Siswa menyimpulkan dan mengelompokkan kebahasaan yang dianalisisnya dengan menggunakan konsep dan cerita yang dibacanya.

Mengkomunikasikan ¾ Siswa diharapkan menyampaikan hasil dari dari kesimpulan analisisnya (bisa dipilih dan ditunjuk guru) ¾ Melaporkan hasil penelitian baik secara tertulis tentang unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih.

PENUTUP ¾ Bersama-sama siswa menyimpulkan secara 10 menit keseluruhan hasil analisis unsur ekstrinsik dan kebahasaan dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih ¾ Siswa berdoa untuk menutup kegiatan pembelajaran.

I. Penilaian Proses dan Hasil Belajar Teknik Tugas: dan • Siswa diminta membaca novel Kalau tak Untung karya Selasih Bentuk • Siswa diminta untuk menceritakan kembali isi cerita yang telah dibacanya, yaitu Kalau Tak Untung karya Selasih • Secara individu siswa memahami unsur intrinsik (tema, alur, latar, penokohan, sudut pandang, dan pesan) yang terdapat dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih • Secara individu siswa memahami unsur ekstrinsik (pendidikan, politik, moral, dll) yang terdapat dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih • Siswa diminta mengungkapkan pengetahuan mereka tentang sejarah sebelum masa kemerdekaan Observasi kinerja: • Setiap siswa memberikan analisisnya dan dapat memberikan tambahan untuk siswa yang lainnya dengan mendiskusikannya bersama Tes Lisan: • Siswa mampu: 1. Menceritakan kembali isi cerita/novel Kalau Tak Untung karya Selasih 2. Menjelaskan konsep unsur pembangun sastra 3. Menjelaskan konsep kebahasaan Tes Tulis: • Siswa menjawab pertanyaan: 1. Jelaskan unsur intrinsik dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih 2. Jelaskan kebahasaan dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih

Tangerang, 26 Juni 2018 Mengetahui, Kepala Sekolah Guru Bahasa Indonesia

...... NIP./NIK. NIP./NIK.

Uraian Materi

Sastra

Sebutan novel berasal dari bahasa Italia novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle). Secara harfiah novella berarti 'sebuah barang baru yang kecil', dan kemudian diartikan sebagai 'cerita pendek dalam bentuk prosa'. Dewasa ini istilah novella dan novelle mengandung pengertian yag sama dnegan istilah Indonesia 'novelet' (Inggris novelette), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Namun novel merupakan sebuah cerita yang panjang dan terdiri dari ratusan halaman.1

Dalam setiap terbentuknya novel terdapat dua unsur utama, yakni unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik yaitu hal-hal yang membangun karya sastra itu dari dalam. Unsur ekstrinsik, yaitu hal-hal yang memengaruhi karya sastra yang berasal dari luar. Berikut unsur instrinsik karya sastra:

1. Tema adalah gagasan (makna) dasar umum yang menopang sebuah karya sastra sebagai struktur semantis dan bersifat abstrak yang secara berulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya dilakukan secara eksplisit.2 Untuk menemukan tema dalam sebuah karya sastra tidaklah mudah karena tema bersembunyi di balik cerita. Penafsiran tema harus dilakukan berdasarkan fakta yang dapat diawali dengan memahami cerita, mencari kejelasan ide-ide pewatakan, peristiwa-peristiwa konflik, dan latar. Penafsiran dapat dimulai dengan memahami tokoh, terutama tokohutama. Para tokoh utama biasanya "dibebani" tugas membawakan tema, hal ini berguna untuk memahami keadaan. Selanjutnya adalah memahami alur cerita dengan menemukan, memahami, dan menafsirkan konflik, khususnya konflik utama, yang menentukan arah plot. Konflik merupakan salah satu unsur plot yang penting kehadirannya. Konflik sebuah novel biasanya cukup banyak, maka yang harusditemuka adalah konflik utama. Jika konflik utama berhasil ditemukan, secara garis besar cerita fiksi yang bersangkutan sudah dapat dipahami karena menjadi hal utama untuk menentukan tema sebuah sastra.

1 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 2013), Edisi Revisi, h. 11-12.

2 Ibid., h. 115. 2. Alur/Plot merupakan cerinan atau bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir, berasa, dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan. Namun, tidak semua tingkah laku kehidupan manusia mengandung plot. Kejadian, perbuatan, atau tingkah laku kehidupan manusia bersifat plot jika bersifat khas, mengandung unsur konflik,saling berkaitan, dan bersifat dramatik.3 Terdapat dua cara yang digunakan untuk menyusun bagian- bagian cerita. Pertama, penulis dapat menyusun tema, mulai dari tahap pengenalan sampai tahap penyelesaian atau yang kedua, yaitu penulis atau pengarang menyusun peristiwa secara acak/tidak berurutan yang biasanya juga disebut dengasn alur sorot balik (flashback). Adapun tahapan dalam alur maju, yaitu:

a. Memulai dengan melukiskan keadaan (situation) b. Mulai bergerak (generating circumtanses) c. Keadaan mulai memuncak (rising action) d. Mencapai titik klimaks (climax) e. Pemecahan masalah atau penyelesaian masalah (denouement)4 3. Latar atau setting yang dapat disebut juga landas tumpu, menunjuk pengertian pada tempat, hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial-budaya. Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu berhubugan dengan masalah 'kapan' terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi yang biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Sedangkan, latar sosial-budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks dengan berupa kebiasaan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual. Di samping itu, latar sosial-budaya juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas.5

3 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 169. 4 Sri Suwarni dan Esti Suryani, Bahasa Indonesia 3 untuk SMA dan MA, (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2017), h. 58. 5 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 314-322 4. Tokoh adalah istilah yang merujuk pada si pelaku atau pada orangnya, sedangkan watak, perwtak, karakter, menunjukkan pada sifat dan sikap dari seorang tokoh. Penokohan karakter dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penokohan langsung dan penokohan tidak langsung. Penokohan langsung yaitu pengarang menyebutkan secara langsung sifat atau sikap si tokoh dalam sebuah cerita sehingga pembaca tidak perlu menyimpulkan perwatakan dari tokoh tersebut. Penokohan tidak langsung adalah penokohan yang pengarangnya tidak menyebutkan secara langsung sifat si tokoh melauinkan melalui tingkah laku tokoh, sikap tokoh, ucapan tokoh, maupun gerakan fisik tokoh, dalam hal ini pembaca harus menyimpulkan sendiri perwatakan dari tokoh tersebut. Tokoh meliputi seluruh tokoh yang diceritakan, sedangkan penokohan merupakan karakter dari para tokoh. 5. Sudut pandang (point of view) merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Sudut pandang cerita secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua macam: persona pertama (first-person) dengan gaya 'aku', dan persona ketiga (third-person), gaya 'dia'. Jadi sudut pandang 'aku' dan 'dia', dengan berbagai variasinya, sebuah cerita dikisahkan. 6. Gaya bahasa (stile) adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Pada hakikatnya gaya bahasa merupakan teknik pemilihan ungkapan kebahasan yang dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan dan sekaligus untuk mencapai efek keindahan. 7. Pesan atau amanat merupakan ide terpenting yang dituangkan dalam novel untuk disampaikan kepada pembaca. Pesan atau amanat ditemukan melalui narasi pengarang atau dialog atartokoh.

Unsur ekstrinsik merupakan latar belakang dan sumber informasi bagi karya sastra dan tidak dapat diabaikan karena mempunyai nilai, arti, dan pengaruhnya. Walaupun penting, unsur-unsur ekstrinsik tidak menjadi dasar eksistensi sebuah karya. Eksistensi karya sastra terletak pada unsur intrinsiknya tanpa mengabaikan unsur ekstrinsiknya. Nilai-nilai ekstrinsik secara umum yang sering dimunculkan dalam karya sastra berbentuk teks cerita (novel) sejarah seperti nilai pendidikan, nilai politik, nilai patriotik, dan nilai moral. Unsur ekstrinsik berkaitan dengan kehidupan pribadi pengarang atau dapat berupa hasil dari penelitian untuk menjadi dasar isi cerita dalam karyanya.

Kebahasaan Untuk dapat memahami kebahasaan dalam teks novel, akan lebih baik jika mencermati kata maupun kalimat yang terdapat dalam teks. Jenis kalimat yang digunakan, yaitu: 1. Kalimat simpleks adalah kalimat yang memiliki konjungsi koordinatif atau kata penghubung koordinatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua unsur kalimat atau lebih yang kedudukannya setara atau sederajat. Misalnya: penanda hubungan penambahan (dan), penanda hubungan pendampingan (serta), penanda hubungan pemilihan (atau), penanda hubungan pertentangan (padahal, sedangkan, bahkan, namun) 2. Kalimat kompleks adalah kalimat yang terdiri lebih dari satu aksi, peristiwa, atau keadaan sehingga mempunyai lebih dari satu verba umum (kata yang menggambarkan keadaan, proses, atau perbuatan) dalam lebih dari satu struktur. Di dalam teks tanggapan kritis ditandai dengan adanya kalimat kompleks (kalimat majemuk), baik kalimat majemuk setara ataupun kalimat majemuk bertingkat.

Rubrik Instrumen a. Penilaian Sikap

LEMBAR PENGAMATAN OBSERVASI

Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia Kelas/Program : XII Kompetensi : 3.3 Mengidentifikasi informasi yang mencakup orientasi, rangkaian kejadian yang saling berkaitan, komplikasi dan resolusi dalam cerita sejarah lisan atau tulis. 3.4 Menganalisis kebahasaan cerita atau novel sejarah

Materi : - Unsur intrinsik dan ekstrinsik. - Kebahasaan

Sikap Pribadi Sikap Ilmiah No Jumlah Nama Siswa Jujur Displ Tgjwb Kritis Objek Toleransi Nilai Skor (1) (2) (3) (4) (5) (6)

1 Alimar Syahreza 4 4 3 4 3 3 21

Keterangan pengisian skor: 4. Sangat baik 3. Baik 2. Cukup 1. Kurang

Nilai : Nilai Skor x 100 24 b. Tes Lisan No Aspek Penilaian Bobot Nilai 1 Menceritakan kembali isi novel 5 a. Sesuai (5) b. Kurang Sesuai (3) c. Tidak Sesuai (1) 2 Kemampuan mengetahui teori 5 instrinsik dan ekstrinsik a. Tepat (5) b. Kurang Tepat (3) c. Tidak Tepat (1) 3 Kemampuan teori kebahasaan 5 a. Tepat (5) b. Kurang Tepat (3) c. Tidak Tepat (1)

Nilai = jumlah skor yang diperoleh x 100 Skor maksimal (15)

Soal

1. Sebutkan dan jelaskan unsur intrinsik (tema, tokoh, alur, latar dan pesan) dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih! 2. Sebutkan unsur ekstrinsik yang terdapat dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih!

Jawaban 1. Unsur intrinsik No Unsur Intrinsik Penjelasan 1 Tema Tema mayor adalah tentang ketidakberuntungan dua insan dalam percintaan. Mereka saling mencintai namun sayang halangan selalu hadir untuk mempersatukan mereka. Tema minor dalam novel yakni perihal perjuangan perempuan dan pria dalam memperjuangkan pemikirannya dan keinginannya dalam kondisi sosial mereka yang tidak mendukung akan hal itu. 2 Alur Maju a. Tahap Penyituasian Penyituasian dalam novel adalah menggambarkan lingkungan tempat kedua tokoh utama ini dibesarkan di sebuah desa yang nyaman dan memiliki keramahtamahan terhadap tetangga maupun saudara yang tidak memandang latar belakang ekonomi yang berbeda. b. Tahap Pemunculan Konflik Terjadi saat Masrul telah pindah ke Painan dan tinggal di tempat seperti indekos atau pemondokan. Masrul kenal dekat dengan induk semangnya. Suatu hari dirinya dikenalkan pada seorang Engku Guru gedang (besar) yang memiliki seorang putri yang cantik jelita dan menginginkan Masrul sebagai suami bagi putrinya. c. Tahap Peningkatan Konflik Adanya keraguan dalam diri Masrul akan dirinya sendiri. Tahapan ini berkembang menjadi pertentangan yang terjadi pada diri Masrul. Masrul menikahi Muslina d. Tahap Klimaks Pada tahap klimaks ini adalah tentang kesengsaraan dan penderitaan yang dialami tokoh utama dengan jalan kehidupan yang dipilihnya e. Tahap Penyelesaian Penyelesaian cerita Kalau Tak Untung ini penulis menjelaskan secara tersirat bahwa nasib kedua tokoh tersebut “Tak Beruntung”.

3 Latar - Latar waktu: terjadi sebelum tahun 1930-an. Terdapat juga keterangan waktu hari seperti pagi, siang, sore dan malam. - Latar tempat di Painan, Bonjol, Padang dan Bukitting - Latar sosial-budaya: Minangkabau 4 Tokoh - Masrul merupakan tokoh utama pria yang memiliki karakter tokoh dinamis. Sepanjang cerita, perjalanan hidup Masrul yang memiliki perubahan paling banyak. Perilaku yang dahulu berbudi pekerti berubah menjadi suka minum dan berjudi, bahkan melupakan shalat. - Rasmani merupakan tokoh utama perempuan yang memiliki ciri tokoh statis. Sepanjang cerita, Rasmani bertepuk sebelah tangan dengan Masrul. Sifat Rasmani merupakan pribadi yang santun dan terpelajar - Muslina merupakan tokoh pendukung keberadaan dan perubahan yang terjadi pada tokoh Masrul. Sifat Muslina diceritakan ringan tangan dan ringan tangan - Dalipah merupakan tokoh pendukung keberadaan Rasmani dan juga kakak dari Rasmani. Sifat dan karakter dalam cerita dia merupakan kakak yang sayang pada adiknya dan rendah hati. - Ibu Masrul merupakan tokoh pendukung keberadaan tokoh Masrul yang memiliki ciri tokoh dinamis karena ketidaksukaannya pada Rasmani berubah setelah mengenal Rasmani lebih dekat. Sifat yang diceritakan dia seorang ibu yang sayang pada putranya namun kelemahannya dia termakan omongan orang sekitarnya - Aminah merupakan tokoh pendukung keberadaan Rasmani dan Masrul. Sifat dan karakter Aminah juga sama dengan Ibu Masrul yang mudah termakan omongan orang sekitarnya. 5 Pesan Pesan yang dapat diambil adalah menghormati orangtua, janji yang sepatutnya ditepati, dan tentang mengambil keputusan dengan melihat segala sesuatunya dengan sudut pandang baik buruk.

2. Unsur ekstrinsik Nilai pendidikan yang dapat dipetik dengan membandingkan pendidikan pada masa sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan. Kesulitan untuk mendapatkan pendidikan dasar hingga harus jalan jauh tanpa kendaraan dan sekolah sepenuhnya berada di bawah kekuasaan penjajah

Nilai sosial yang terlihat jelas adalah pejuangan persamaan gender dari kekangan peraturan adat yang menyulitkan perempuan untuk meraih apa yang mereka inginkan. Pemahaman kehidupan sosial yang terjadi pada sekitar tahun 1930-an yang tanpa disadari masih berada dalam kuasa penjajah.

BIOGRAFI PENULIS

Nurlaily Hanifah Amalia lahir di Jakarta, 03 Desember 1993. Anak ketiga dari pasangan Tino A.S dan Sri Hastuti ini memulai pendidikan di SD 03 Pagi Jakarta Selatan (sekarang 01 Pagi) lalu memilih melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 12 Jakarta. Kemudian ia melanjutkan ke sekolah kejuruan di SMK Negeri 28 Jakarta jurusan Akomodasi Perhotelan dan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi yakni di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sejak kecil penulis tidak lepas dari dunia seni tari, namun memasuki dunia kuliah penulis mulai mencoba dunia teater dan pentas dengan judul Syekh Siti Jenar dengan sutradara Arie F Batubara bersama UKM Teater Syahid. Pementasan berikutnya penulis mencoba menjadi sutradara dalam pementasan CIPOA karya Putu Wijaya yang diselenggarakan oleh jurusan PBSI (Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia).