Sastra Feminis Indonesia ~ Rizqi.Pdf
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Sastra Feminis Indonesia: Dulu dan Kini Oleh: Rizqi Handayani, MA. Pendahuluan Sepanjang perjalanan kesusastraan Indonesia1 yang dimulai sejak lahirnya bahasa Indonesia pada awal abad ke 20, khususnya setelah Bahasa Indonesia diikrarkan sebagai bahasa Nasional melalui Sumpah Pemuda pada tahun 1928, kesusastraan Indonesia selalu dikerumuni oleh para pengarang laki-laki. Bahkan, dunia kesusastraan menjadi sangat maskulin karena hanya dipenuhi dengan tulisan dari pengarang laki-laki dan tulisan pengarang laki-lakilah yang dibaca oleh khalayak masyarakat. Heryanto menyebut fenomena ini sebagai Phallic Esthetics yang menjadikan perempuan sebagai objek di dalam karya sastra (Heryanto, 1986: 37). Domestikasi perempuan dalam ranah domestik merupakan faktor dominan yang menyebabkan fenomena ini tumbuh subur. Di mana laki-laki lebih dekat dengan dunia publik dibandingkan perempuan sehingga laki-laki memiliki akses yang lebih besar untuk mengembangkan kemampuan diri mereka melalui dunia kepengarangan. Sementara itu, perempuan hanya berkutat di dunia domestik sehingga menghambat berkembangnya daya kreatifitas mereka. Namun, di tengah kesibukan para perempuan di dunia domestik, sebagian kecil dari pengarang perempuan di awal abad kedua puluh masih menyempatkan diri untuk menulis beberapa karya sastra. Misalnya Selasih atau Seleguri (L. 1909) yang menulis dua buah roman dan sajak-sajak yang berjudul Kalau Tak Untung (1933) dan Pengaruh Keadaan (1937), sementara sajak-sajaknya banyak dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe dan Pandji Poestaka. Selain Selasih, sempat juga muncul nama pengarang perempuan lainnya, Hamidah, yang menulis roman berjudul Kehilangan Mestika (1935) (Rosidi 1968: 55-56). Tema-tema yang diangkat oleh para pengarang perempuan tersebut merupakan tema-tema yang ringan tentang penderitaan dan kemelaratan hidup yang dihadapi kaum perempuan. Agaknya, tema-tema tentang kesedihan menjadi pilihan bagi pengarang perempuan masa itu, karena perempuan-perempuan tidak dapat menyuarakan penderitaan dan kemalangan hidup yang mereka alami secara gamblang. Para perempuan yang menulis prosa maupun puisi ini biasanya hanya muncul sebentar, dengan satu atau dua buah karya setelah itu tenggelam. Karena itulah pengarang-pengarang perempuan di masa-masa awal pertumbuhan tidak muncul kepermukaaan, bahkan layu sebelum berkembang. Di tengah sepinya karya sastra yang ditulis oleh para pengarang perempuan, maka para pengarang laki-laki mengisi kekosongan tersebut dengan berbagai tema tentang perempuan. Sayangnya, tulisan laki-laki tersebut masih berkelamin tunggal. Mereka mencitrakan tokoh perempuan sebagai the second sex, objek, dan pemanis dalam karya sastra, bahkan tidak jarang juga yang menggambarkan perempuan sebagai sosok yang lemah, pasif, dan tidak berdaya, yang menegaskan dominasi laki-laki atas perempuan dalam relasi sosial (Endraswara 2003: 143-145). Gaya penulisan laki-laki yang berbeda dengan gaya penulis perempuan pun sangat berpengaruh dalam menciptakan citra perempuan, karena menurut Cisoux tulisan yang dihasilkan oleh laki-laki mengakar pada libidonya (phallus), yang kemudian ia sebut sebagai phallogocentrict writing.2 Di mana perempuan selalu 1 Yang dimaksud dengan sastra Indonesia di sini adalah semua sastra yang ditulis dalam bahasa nasional Indonesia. Sementara itu, yang dimaksud dengan bahasa nasional Indonesia adalah bahasa Indonesia yang lahir pada awal abad kedua puluh melalui Sumpah Pemuda dan diakui sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia. Lihat penjelasan Ajib Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Bandung: Binatjipta, 1969), 10. 2 Konsep ini diperkenalkan oleh Helene Cisoux (1937), ia menyerang budaya patriakal, khususnya digambarkan dengan oposisi biner (binary opposition) terhadap laki-laki, sehingga melahirkan pencitraan yang diskriminatif dan stereotype terhadap perempuan Berdasarkan perbedaan perspektif dalam melihat kenyataan sosial itulah, maka perlu dibedakan penulis perempuan dan penulis laki-laki. Menurut Maqdisy, ada perbedaan mencolok di antara gaya penulisan karya sastra yang ditulis oleh laki-laki dan perempuan. Di dalam karya sastra yang ditulis oleh perempuan mengandung unsur-unsur imaginasi dan gagasan yang tidak bisa ditemukan dalam karya sastra yang ditulis oleh laki-laki (Khamîs, 1997: 80). Menurutnya pula, perempuan memiliki pandangan yang lebih luas dalam menciptakan tema dan mamandangi kehidupan, bahkan tidak kalah menarik dengan cara laki- laki menciptakan karya sastra. Senada dengan hal tersebut Zhabiah Khamîs pun mengakui bahwa melalui karya sastra perempuan dapat mengeksplorasi berbagai permasalahan kehidupan yang ia alami, seperti pengalaman kehidupannya sehari-hari, relasi antara ia dan anak-anaknya khususnya anak perempuannya, serta relasi antara ia dan para lelaki di sekelilingnya, baik dengan ayah, suami maupun anak-laki-lakinya. (Khamîs, 1997: 15-20) Pergumulan emosi yang terjadi selama hubungan tersebut menyeruakkan sebuah emosi yang hanya bisa diungkapkan oleh penulis perempuan, begitu pun sebaliknya. Showalter menyebut karya sastra yang ditulis oleh perempuan ini sebagai gynosentric.3 Tulisan perempuan yang dimaksud Showalter sebagai gynosentric bukan hanya saja tulisan dalam bidang sastra akan tetapi semua tulisan perempuan yang meliputi sejarah, cerita, tema-tema, genre dan struktur tulisan yang ditulis oleh penulis perempuan (Humm (terj.), 2002: 193). Dengan karakteristik yang khas dari gynosentric dan phallogosentric maka lahirlah istilah sastra feminis sebagai genre sastra yang berkembang di akhir abad kedua puluh. Ibrâhîm Mahmûd Khalîl mengklasifikasikan sastra feminis (al-adab al-nisâ’î) ke dalam dua kategori, yaitu: pertama, karya sastra baik prosa maupun puisi yang dibuat oleh penulis perempuan yang mengilustrasikan penilaiannya tentang dirinya sendiri, pandangannya terhadap laki-laki, serta keterkaitannya dengan laki-laki, atau yang menceritakan tentang pengalaman dan perjalanan hidup seorang perempuan, baik fisik maupun mental, dan atau problem pribadi sebagai seorang perempuan. Kedua, sastra yang ditulis laki-laki namun di dalamnya membicarakan perempuan serta bagaimana ia memperlakukan perempuan dalam karyanya tersebut (Khalîl 2003: 134-135). Dengan pengertian ini maka sastra feminis Indonesia meliputi semua karya sastra berbahasa Indonesia, baik prosa maupun puisi yang ditulis baik oleh laki-laki dan perempuan yang mengilustrasikan penilaiannya tentang perempuan serta keterkaitannya dengan laki-laki, menceritakan tentang pengalaman dan perjalanan hidup seorang perempuan, serta yang berbicara mengenai ideologi feminis di dalam karyanya tersebut. Permasalahan selanjutnya yang ingin dipaparkan dalam tulisan ini adalah menelusuri jejak kepengarangan perempuan di Indonesia dan perkembangan sastra feminis Indonesia sejak zaman Balai Pustaka hingga sekarang. Hal ini dilakukan mengingat minimnya tulisan bahasa patriakal yang dikenal dengan istilah “phallosentris” yaitu struktur bahasa yang berpusat pada phallus. Konsep ini berbicara mengenai oposisi biner (biner opposition) yang mengidentikkan laki-laki dengan kualitasnya yang baik, aktif, kuat, rasional, dll. Sedangkan perempuan diidentikkan dengan kualitasnya yang buruk, pasif, lemah, irasional, dan sebagainya. Suma Riella Rusdiarti, Helene Cisoux; Penggagas “Ecriture Feminine” dalam Apsanti Djokosujatno (ed.), Wanita dalam Kesusatraan Prancis, (Magelang: Indonesiatera, 2003), h. 168. 3 Gynosentric adalah keyakinan bersama terhadap perspektif yang berpusat pada perempuan dan organisasi social yang “perempuan-sentris”. Aktivitas gynosentric meliputi serangkaian kekuatan perempuan yang bisa dieksplorasi dan digali, seperti kekuatan erotisme perempuan. Pembahasan yang mendalam mengenai gynocritics dan gynosentric bisa ditemukan dalam buku Elaine Showalter, The New Feminist Criticism: Essays on Women, Literature and Theory, (New York: Pantheon, 1986) dan Toward a Feminist Poetics in Women Writing and Writing about Women, M. Jocabus (ed.), (London: Croom Helm, 1979). Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (terj.), h. 193. yang mengulas tentang peran pengarang perempuan dalam kancah kesusastraan Indonesia dari awal abad kedua puluh hingga memasuki era kontemporer. B. Menyoal Sastra Feminis Perbincangan tentang sastra feminis selalu menarik karena hingga saat ini definisi mengenai sastra feminis pun masih ramai diperdebatkan. Definisi mengenai sastra feminis yang cukup jelas disampaikan oleh Ibrâhîm Mahmûd Khalîl. Menurutnya sastra feminis adalah semua sastra yang termasuk ke dalam dua kategori berikut, yaitu: pertama, karya sastra baik prosa atau pun puisi yang dibuat oleh penulis perempuan yang mengilutrasikan penilaiannya tentang dirinya sendiri, pandangannya terhadap laki-laki, serta keterkaitannya dengan laki-laki, atau yang menceritakan tentang pengalaman dan perjalanan hidup seorang perempuan, baik fisik maupun mental, dan atau problem pribadi sebagai seorang perempuan. Kedua, sastra yang ditulis laki-laki namun di dalamnya membicarakan perempuan serta bagaimana ia memperlakukan perempuan dalam karyanya tersebut (Khalîl, 2003: 134-135). Dari definisi yang dikemukannya, jelas bahwa sastra feminis bukan hanya sastra yang ditulis oleh perempuan, tapi juga penulis laki-laki yang memiliki perhatian khusus terhadap idelogi gender. Bagaimanapun, kelahiran sastra feminis tidak dapat terlepas dari perkembangan dari gerakan feminis yang mempersoalkan tentang kesadaran gender, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan. Paham feminis yang mulai merebak di tahun 1960-an ini