Sastra Feminis Indonesia ~ Rizqi.Pdf

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Sastra Feminis Indonesia ~ Rizqi.Pdf Sastra Feminis Indonesia: Dulu dan Kini Oleh: Rizqi Handayani, MA. Pendahuluan Sepanjang perjalanan kesusastraan Indonesia1 yang dimulai sejak lahirnya bahasa Indonesia pada awal abad ke 20, khususnya setelah Bahasa Indonesia diikrarkan sebagai bahasa Nasional melalui Sumpah Pemuda pada tahun 1928, kesusastraan Indonesia selalu dikerumuni oleh para pengarang laki-laki. Bahkan, dunia kesusastraan menjadi sangat maskulin karena hanya dipenuhi dengan tulisan dari pengarang laki-laki dan tulisan pengarang laki-lakilah yang dibaca oleh khalayak masyarakat. Heryanto menyebut fenomena ini sebagai Phallic Esthetics yang menjadikan perempuan sebagai objek di dalam karya sastra (Heryanto, 1986: 37). Domestikasi perempuan dalam ranah domestik merupakan faktor dominan yang menyebabkan fenomena ini tumbuh subur. Di mana laki-laki lebih dekat dengan dunia publik dibandingkan perempuan sehingga laki-laki memiliki akses yang lebih besar untuk mengembangkan kemampuan diri mereka melalui dunia kepengarangan. Sementara itu, perempuan hanya berkutat di dunia domestik sehingga menghambat berkembangnya daya kreatifitas mereka. Namun, di tengah kesibukan para perempuan di dunia domestik, sebagian kecil dari pengarang perempuan di awal abad kedua puluh masih menyempatkan diri untuk menulis beberapa karya sastra. Misalnya Selasih atau Seleguri (L. 1909) yang menulis dua buah roman dan sajak-sajak yang berjudul Kalau Tak Untung (1933) dan Pengaruh Keadaan (1937), sementara sajak-sajaknya banyak dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe dan Pandji Poestaka. Selain Selasih, sempat juga muncul nama pengarang perempuan lainnya, Hamidah, yang menulis roman berjudul Kehilangan Mestika (1935) (Rosidi 1968: 55-56). Tema-tema yang diangkat oleh para pengarang perempuan tersebut merupakan tema-tema yang ringan tentang penderitaan dan kemelaratan hidup yang dihadapi kaum perempuan. Agaknya, tema-tema tentang kesedihan menjadi pilihan bagi pengarang perempuan masa itu, karena perempuan-perempuan tidak dapat menyuarakan penderitaan dan kemalangan hidup yang mereka alami secara gamblang. Para perempuan yang menulis prosa maupun puisi ini biasanya hanya muncul sebentar, dengan satu atau dua buah karya setelah itu tenggelam. Karena itulah pengarang-pengarang perempuan di masa-masa awal pertumbuhan tidak muncul kepermukaaan, bahkan layu sebelum berkembang. Di tengah sepinya karya sastra yang ditulis oleh para pengarang perempuan, maka para pengarang laki-laki mengisi kekosongan tersebut dengan berbagai tema tentang perempuan. Sayangnya, tulisan laki-laki tersebut masih berkelamin tunggal. Mereka mencitrakan tokoh perempuan sebagai the second sex, objek, dan pemanis dalam karya sastra, bahkan tidak jarang juga yang menggambarkan perempuan sebagai sosok yang lemah, pasif, dan tidak berdaya, yang menegaskan dominasi laki-laki atas perempuan dalam relasi sosial (Endraswara 2003: 143-145). Gaya penulisan laki-laki yang berbeda dengan gaya penulis perempuan pun sangat berpengaruh dalam menciptakan citra perempuan, karena menurut Cisoux tulisan yang dihasilkan oleh laki-laki mengakar pada libidonya (phallus), yang kemudian ia sebut sebagai phallogocentrict writing.2 Di mana perempuan selalu 1 Yang dimaksud dengan sastra Indonesia di sini adalah semua sastra yang ditulis dalam bahasa nasional Indonesia. Sementara itu, yang dimaksud dengan bahasa nasional Indonesia adalah bahasa Indonesia yang lahir pada awal abad kedua puluh melalui Sumpah Pemuda dan diakui sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia. Lihat penjelasan Ajib Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Bandung: Binatjipta, 1969), 10. 2 Konsep ini diperkenalkan oleh Helene Cisoux (1937), ia menyerang budaya patriakal, khususnya digambarkan dengan oposisi biner (binary opposition) terhadap laki-laki, sehingga melahirkan pencitraan yang diskriminatif dan stereotype terhadap perempuan Berdasarkan perbedaan perspektif dalam melihat kenyataan sosial itulah, maka perlu dibedakan penulis perempuan dan penulis laki-laki. Menurut Maqdisy, ada perbedaan mencolok di antara gaya penulisan karya sastra yang ditulis oleh laki-laki dan perempuan. Di dalam karya sastra yang ditulis oleh perempuan mengandung unsur-unsur imaginasi dan gagasan yang tidak bisa ditemukan dalam karya sastra yang ditulis oleh laki-laki (Khamîs, 1997: 80). Menurutnya pula, perempuan memiliki pandangan yang lebih luas dalam menciptakan tema dan mamandangi kehidupan, bahkan tidak kalah menarik dengan cara laki- laki menciptakan karya sastra. Senada dengan hal tersebut Zhabiah Khamîs pun mengakui bahwa melalui karya sastra perempuan dapat mengeksplorasi berbagai permasalahan kehidupan yang ia alami, seperti pengalaman kehidupannya sehari-hari, relasi antara ia dan anak-anaknya khususnya anak perempuannya, serta relasi antara ia dan para lelaki di sekelilingnya, baik dengan ayah, suami maupun anak-laki-lakinya. (Khamîs, 1997: 15-20) Pergumulan emosi yang terjadi selama hubungan tersebut menyeruakkan sebuah emosi yang hanya bisa diungkapkan oleh penulis perempuan, begitu pun sebaliknya. Showalter menyebut karya sastra yang ditulis oleh perempuan ini sebagai gynosentric.3 Tulisan perempuan yang dimaksud Showalter sebagai gynosentric bukan hanya saja tulisan dalam bidang sastra akan tetapi semua tulisan perempuan yang meliputi sejarah, cerita, tema-tema, genre dan struktur tulisan yang ditulis oleh penulis perempuan (Humm (terj.), 2002: 193). Dengan karakteristik yang khas dari gynosentric dan phallogosentric maka lahirlah istilah sastra feminis sebagai genre sastra yang berkembang di akhir abad kedua puluh. Ibrâhîm Mahmûd Khalîl mengklasifikasikan sastra feminis (al-adab al-nisâ’î) ke dalam dua kategori, yaitu: pertama, karya sastra baik prosa maupun puisi yang dibuat oleh penulis perempuan yang mengilustrasikan penilaiannya tentang dirinya sendiri, pandangannya terhadap laki-laki, serta keterkaitannya dengan laki-laki, atau yang menceritakan tentang pengalaman dan perjalanan hidup seorang perempuan, baik fisik maupun mental, dan atau problem pribadi sebagai seorang perempuan. Kedua, sastra yang ditulis laki-laki namun di dalamnya membicarakan perempuan serta bagaimana ia memperlakukan perempuan dalam karyanya tersebut (Khalîl 2003: 134-135). Dengan pengertian ini maka sastra feminis Indonesia meliputi semua karya sastra berbahasa Indonesia, baik prosa maupun puisi yang ditulis baik oleh laki-laki dan perempuan yang mengilustrasikan penilaiannya tentang perempuan serta keterkaitannya dengan laki-laki, menceritakan tentang pengalaman dan perjalanan hidup seorang perempuan, serta yang berbicara mengenai ideologi feminis di dalam karyanya tersebut. Permasalahan selanjutnya yang ingin dipaparkan dalam tulisan ini adalah menelusuri jejak kepengarangan perempuan di Indonesia dan perkembangan sastra feminis Indonesia sejak zaman Balai Pustaka hingga sekarang. Hal ini dilakukan mengingat minimnya tulisan bahasa patriakal yang dikenal dengan istilah “phallosentris” yaitu struktur bahasa yang berpusat pada phallus. Konsep ini berbicara mengenai oposisi biner (biner opposition) yang mengidentikkan laki-laki dengan kualitasnya yang baik, aktif, kuat, rasional, dll. Sedangkan perempuan diidentikkan dengan kualitasnya yang buruk, pasif, lemah, irasional, dan sebagainya. Suma Riella Rusdiarti, Helene Cisoux; Penggagas “Ecriture Feminine” dalam Apsanti Djokosujatno (ed.), Wanita dalam Kesusatraan Prancis, (Magelang: Indonesiatera, 2003), h. 168. 3 Gynosentric adalah keyakinan bersama terhadap perspektif yang berpusat pada perempuan dan organisasi social yang “perempuan-sentris”. Aktivitas gynosentric meliputi serangkaian kekuatan perempuan yang bisa dieksplorasi dan digali, seperti kekuatan erotisme perempuan. Pembahasan yang mendalam mengenai gynocritics dan gynosentric bisa ditemukan dalam buku Elaine Showalter, The New Feminist Criticism: Essays on Women, Literature and Theory, (New York: Pantheon, 1986) dan Toward a Feminist Poetics in Women Writing and Writing about Women, M. Jocabus (ed.), (London: Croom Helm, 1979). Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (terj.), h. 193. yang mengulas tentang peran pengarang perempuan dalam kancah kesusastraan Indonesia dari awal abad kedua puluh hingga memasuki era kontemporer. B. Menyoal Sastra Feminis Perbincangan tentang sastra feminis selalu menarik karena hingga saat ini definisi mengenai sastra feminis pun masih ramai diperdebatkan. Definisi mengenai sastra feminis yang cukup jelas disampaikan oleh Ibrâhîm Mahmûd Khalîl. Menurutnya sastra feminis adalah semua sastra yang termasuk ke dalam dua kategori berikut, yaitu: pertama, karya sastra baik prosa atau pun puisi yang dibuat oleh penulis perempuan yang mengilutrasikan penilaiannya tentang dirinya sendiri, pandangannya terhadap laki-laki, serta keterkaitannya dengan laki-laki, atau yang menceritakan tentang pengalaman dan perjalanan hidup seorang perempuan, baik fisik maupun mental, dan atau problem pribadi sebagai seorang perempuan. Kedua, sastra yang ditulis laki-laki namun di dalamnya membicarakan perempuan serta bagaimana ia memperlakukan perempuan dalam karyanya tersebut (Khalîl, 2003: 134-135). Dari definisi yang dikemukannya, jelas bahwa sastra feminis bukan hanya sastra yang ditulis oleh perempuan, tapi juga penulis laki-laki yang memiliki perhatian khusus terhadap idelogi gender. Bagaimanapun, kelahiran sastra feminis tidak dapat terlepas dari perkembangan dari gerakan feminis yang mempersoalkan tentang kesadaran gender, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan. Paham feminis yang mulai merebak di tahun 1960-an ini
Recommended publications
  • Dari Kartini Hingga Ayu Utami: Memposisikan Penulis Perempuan Dalam Sejarah Sastra Indonesia
    1 DARI KARTINI HINGGA AYU UTAMI: MEMPOSISIKAN PENULIS PEREMPUAN DALAM SEJARAH SASTRA INDONESIA Oleh Nurhadi Abstract There is an interesting phenomenon in the end of 20-th century and in the beginning of 21-th century in Indonesian literature history. That’s phenomenon are so many women writer whose productive in writing poetry or fiction. Is this a suddenly phenomenon? There is a series moment that couldn’t ignored, because there were some women writers in the beginning of Indonesian literary history, especially in 1920- ies, a milestone in modern Indonesian literary history. The modern Indonesian literary history itself is impact of acculturation by western culture. This acculturation appears in Kartini herself, a woman writer who never mention in history about her literature activity. Limitation to women writers in the past often interrelated by the edge of their role, for example, they were: never categorized as qualified literature writer, or as a popular writer, or just a peripheral writer, not as a prominent writer in their generation of writer. Is installation of Ayu Utami as a pioneer in novel genre in Indonesian 2000 Generation of Literature as one strategy of contrary to what happen recently? Apparently, the emergent of women writers weren’t automatically had relation by feminism movement. The writer who had struggle for Kartini’s history is Pramoedya Ananta Toer, a man writer. Key words: women writers, feminism, Indonesia literary history, the role of historical writing. A. PENDAHULUAN Memasuki tahun 2000 terjadi fenomena menarik dalam sejarah sastra Indonesia, khususnya ditinjau dari feminisme. Ayu Utami menerbitkan novel Saman pada 1998.
    [Show full text]
  • 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerajaan Koto Besar
    BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerajaan Koto Besar diperkirakan telah ada sejak akhir abad ke-17 Masehi.1 Koto Besar tumbuh dan berkembang bersama daerah-daerah lain yang berada di bekas wilayah Kerajaan Melayu Dharmasraya (Swarnabumhi).2 Daerah-daerah ini merupakan kerajaan kecil yang bercorak Islam dan berafiliasi dengan Kerajaan Pagaruyung, seperti Pulau Punjung yang dikenal sebagai camin taruih (perpanjangan tangan) Pagaruyung untuk daerah Hiliran Batanghari, serta penguasa lokal di ranah cati nan tigo, yaitu Siguntur, Sitiung dan Padang Laweh.3 Koto Besar menjadi satu-satunya kerajaan di wilayah ini yang tidak berpusat di pinggiran Sungai Batanghari.4 Lokasi berdirinya kerajaan-kerajaan tersebut merupakan daerah rantau dalam konsep alam Minangkabau.5 Pepatah adat Minangkabau mengatakan, 1 Merujuk pada tulisan yang tercantum pada stempel peninggalan Kerajaan Koto Besar yang berangkakan tahun 1697 Masehi. 2 Kerajaan Melayu Dharmasraya (Swarnabumhi) adalah sebuah kerajaan yang bercorak Hindu Buddha dan merupakan kelanjutan dari Kerajaan Melayu Jambi yang bermigrasi dari muara Sungai Batanghari. Kerajaan Melayu Dharmasraya hanya bertahan sekitar dua abad (1183 – 1347), setelah dipindahkan oleh Raja Adityawarman ke pedalaman Minangkabau di Saruaso. Bambang Budi Utomo dan Budhi Istiawan, Menguak Tabir Dharmasraya, (Batusangkar : BPPP Sumatera Barat, 2011), hlm. 8-12. 3 Efrianto dan Ajisman, Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Dharmasraya, (Padang: BPSNT Press, 2010), hlm. 84. 4 Menurut Tambo Kerajaan Koto Besar dijelaskan bahwa Kerajaan Koto Besar berpusat di tepi Sungai Baye. Hal ini juga dikuatkan oleh catatan Kontroler Belanda Palmer van den Broek tanggal 15 Juni 1905. Lihat, Tambo Kerajaan Koto Besar, “Sejarah Anak Nagari Koto Besar yang Datang dari Pagaruyung Minangkabau”. Lihat juga, “Nota over Kota Basar en Onderhoorige Landschappen Met Uitzondering van Soengei Koenit en Talao”, dalam Tijdschrift voor Indische, “Taal, Land en Volkenkunde”, (Batavia: Kerjasama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen dan Batavia Albrecht & Co., 1907), hlm.
    [Show full text]
  • Periodisasi Sastra Indonesia
    PERIODISASI SASTRA INDONESIA 1. Zaman Peralihan Zaman ini dikenal tokoh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Karyanya dianggap bercorak baru karena tidak lagi berisi tentang istana danraja-raja, tetapi tentang kehidupan manusia dan masyarakat yang nyata, misalnya Hikayat Abdullah (otobiografi), Syair Perihal Singapura Dimakan Api, Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jedah. Pembaharuan yang ia lakukan tidak hanya dalam segi isi, tetapi juga bahasa. Ia tidak lagi menggunakan bahasa Melayu yang kearab-araban. Ciri-ciri : a. individualis dan tidak anonym lagi b. progresif, tetapi masih tradisional dal;am bentuk dan bahasanya c. menulis apa yang dilihat dan dirasakan d. sudah mulai masyarakat sentris e. temanya tentang kisah perjalanan, biografi, adat- istiadat, dan didaktis Hasil karya sastra pada zaman ini antara lain: . Kisah Abdullah ke Malaka Utara . Perjalanan Abdullah ke Kelantan dan Tenggano . dan Hikayat Abdullah . Hikayat Puspa Wiraja . Hikayat Parang Punting . Hikayat Langlang Buana . Hikayat Si Miskin . Hikayat Berma Syahdan . Hikayat Indera Putera . Hikayat Syah Kobat . Hikayat Koraisy Mengindera . Hikayat Indera Bangsawan . Hikayat Jaya Langkara . Hikayat Nakhoda Muda . Hikayat Ahmad Muhammad . Hikayat Syah Mardan . Hikayat Isma Yatim . Hikayat Puspa Wiraja . ANGKATAN BALAI PUSTAKA Angkatan Balai Pustaka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun 1920, yang dikeluarkan oleh penerbit “Bali Pustaka”. Prosa (roman, novel,cerpen, dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam, hikayat, dan kazhanah sastra di Indonesia pada masa ini Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan sastra melayu rendah yang tidak menyoroti pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam 3 bahasa yaitu bahasa Melayu tinggi, bahasa Jawa, dan bahasa Sunda, dan dalam jumlah yang terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak, dan bahasa Madura.
    [Show full text]
  • Abstrak-Feminist-Voice-In-The-Works
    Journal of International Women's Studies Volume 19 | Issue 2 Article 15 Jan-2018 Feminist Voice in the Works of Indonesian Early Woman Writers: Reading Novels and Short Stories by Suwarsih Djojopuspito Aquarini Priyatna Follow this and additional works at: http://vc.bridgew.edu/jiws Part of the Women's Studies Commons Recommended Citation Priyatna, Aquarini (2018). Feminist Voice in the Works of Indonesian Early Woman Writers: Reading Novels and Short Stories by Suwarsih Djojopuspito. Journal of International Women's Studies, 19(2), 230-243. Available at: http://vc.bridgew.edu/jiws/vol19/iss2/15 This item is available as part of Virtual Commons, the open-access institutional repository of Bridgewater State University, Bridgewater, Massachusetts. This journal and its contents may be used for research, teaching and private study purposes. Any substantial or systematic reproduction, re-distribution, re-selling, loan or sub-licensing, systematic supply or distribution in any form to anyone is expressly forbidden. ©2018 Journal of International Women’s Studies. Feminist Voice in the Works of Indonesian Early Woman Writers: Reading Novels and Short Stories by Suwarsih Djojopuspito1 By Aquarini Priyatna2 Abstract Suwarsih Djojopuspito is among the most important early Indonesian women/feminist writers. This research intends to emphasize her rightful position among the first Indonesian feminist writers. Focusing on her very important novel Manusia Bebas (published originally in Dutch as Buiten het Gareel in 1940)3, one collection of short stories, Empat Serangkai (1954), and a novel written in Sundanese, Marjanah (1959), I argue that feminist spirits and ideas actually have existed and been elaborated in works by women writers in the era prior to the Indonesian New Order (1966-1998) as exemplified by Suwarsih’s works.
    [Show full text]
  • Melahirkan Sastra Indonesia …………
    POTRET SASTRA INDONESIA Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) POTRET SASTRA INDONESIA Penulis : Drs. Harjito, M.Hum Editor : Dra. Sri Suciati, M.Hum. IKIP PGRI Semarang Press, 2007 vi, 102 / 16 X 24,5 cm ISBN: 978 – 602 – 8047 – 01 - 2 Hak cipta, 2007 Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku dengan cara apa pun termasuk menggunakan mesin fotokopi tanpa seizin penerbit. 2007 POTRET SASTRA INDONESIA IKIP PGRI Semarang Press Prakata Puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Bijaksana. Akhirnya, penulis dapat menyelesaikan dan menerbitkan buku ini. Buku ini berisi tentang sejarah sastra Indonesia. Terbagi atas sebelas bab, buku ini diawali dengan pembahasan tentang sastra lama dan foklor. Bab berikutnya berisi tentang sastra Indonesia dan sastra daerah. Bab-bab berikutnya membahas tentang periode Balai Pustaka hingga Periode Pasca 66. Sejarah adalah sesuatu yang bergerak dan selalu akan terus bergerak. Menulis sejarah sastra Indonesia adalah menuliskan sesuatu yang terus bergerak. Yang patut disadari adalah pada saat menuliskan sejarah, selalu dibutuhkan jarak waktu antara peristiwa dan penulisannya. Hal ini dilakukan agar terdapat jarak pandang dan objektivitas dalam memandang sebuah peristiwa, termasuk perisiwa dalam kesastraan. Tidak mudah menulis tentang sejarah sastra, terutama sejarah sastra Indonesia. Selalu ada keberpihakan atas satu peristiwa dan mengabaikan sudut pandang yang lain. Dalam satu sisi, itulah kelemahan penulis. Di sisi lain, di situlah secara sadar atau tidak penulis berdiri
    [Show full text]
  • Pengembangan Wisata Sastra Siti Nurbaya
    B U K U P A N D U A N PENGEMBANGAN WISATA SASTRA SITI NURBAYA Ferdinal, Donny Eros, Gindho Rizano L P T I K U N I E R S I T A S A N D A L A S BUKU PANDUAN PENGEMBANGAN WISATA SASTRA SITI NURBAYA Drs. Ferdinal, MA, PhD Donny Eros, SS, MA Gindho Rizano, SS, MHum Lembaga Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (LPTIK) Universitas Andalas BUKU PANDUAN PENGEMBANGAN WISATA SASTRA SITI NURBAYA Penyusun Drs. Ferdinal, MA, PhD Donny Eros, SS, MA Gindho Rizano, SS, MHum Layout Multimedia LPTIK Unand Ilustrasi Cover Sampul Novel Siti Nurbaya Terbitan Balai Pustaka (Dihimpun dari berbagai sumber) Penerbit Lembaga Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (LPTIK) Universitas Andalas Alamat: Gedung Perpustakaan Lantai Dasar, Kampus Universitas Andalas Limau Manis, Padang, Sumatera Barat. Email: [email protected] Web: lptik.unand.ac.id ISBN 978-602-5539-45-9 Cetakan Pertama, 2019 Hak cipta pada penulis Isi diluar tanggung jawab penerbit KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya, buku saku Model Pengembangan Wisata Sastra Siti Nurbaya Kota Padang ini dapat diterbitkan. Publikasi Buku Panduan Pengembangan Wisata Sastra Siti Nurbaya ini merupakan hasil dari penelitian dengan judul Model Pengembangan Wisata Sastra Siti Nurbaya di Padang Sumatra Barat. Publikasi ini memuat data yang menggambarkan kondisi wisata Siti Nurbaya Padang tahun 2018. Publikasi ini menyajikan informasi mengenai wisata sastra Siti Nurbaya, atraksi wisata Siti Nurbaya, dan model pengembangan wisasta Sastra Siti Nurbaya. Secara lebih detil, buku saku pengembangan wisata sastra Siti Nurbaya ini memberikan gambaran tentang potensi dan model pengembangan wisata Siti Nurbaya menuju wisata sastra.
    [Show full text]
  • EMPOWERING WOMEN THROUGH ISLAM: FATAYAT NU BETWEEN TRADITION and CHANGE Downloaded from MONIKA ARNEZ1 University of Hamburg
    Journal of Islamic Studies 21:1 (2010) pp. 59–88 doi:10.1093/jis/etp025 EMPOWERING WOMEN THROUGH ISLAM: FATAYAT NU BETWEEN TRADITION AND CHANGE Downloaded from MONIKA ARNEZ1 University of Hamburg http://jis.oxfordjournals.org/ INTRODUCTION The Muslim mass organizations (ormas), the modernist Muhammadiyah and the traditionalist Nahdlatul Ulama (NU), have been playing an important role in Indonesian civil society and politics since their at Staats - und Universitaetsbibliothek Hamburg on September 13, 2012 foundation. Kiai Haji Ahmad Dahlan established Muhammadiyah in Kauman, Yogyakarta, in 1912, at a time when civil associations and political organizations were emerging nationwide in Indonesia. The Muhammadiyah has a predominantly urban, middle-class base through- out Indonesia. As Muhammad Fuad observes, it was Dahlan’s concern with the poverty and backwardness of the people of the Netherlands East Indies, the majority of whom belonged to the Islamic umma, which led him to the fields of education and health.2 He was interested in issues such as reform of Islamic law and the introduction of modern education. In addition, kiai Dahlan’s revolutionary social treatment of women should be highlighted. He considered women as independent human beings, responsible and accountable for their own deeds in the same fashion as men, and that they should be given access to and opportunity to acquire religious knowledge.3 Aisyiyah, the women’s branch of 1 Author’s note: I would like to thank Prof. Susanne Schro¨ ter and three anonymous reviewers for their thoughtful comments on an earlier version of this paper. My thanks also to Jeff Lucash for editing this article.
    [Show full text]
  • ASPECTS of INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE in the 1930S
    PUDJANGGA BARU: ASPECTS OF INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE IN THE 1930s Heather Sutherland Pudjangga Baru, the "New Writer," was a cultural periodical put out in the colonial capital of Batavia by a group of young Indonesian intellectuals from 1933 until the invasion of the Netherlands Indies by Japan in 1942.1 In Bahasa Indonesia, the term pudjangga means "literary man, man of letters; author, poet; linguist, philologist."2 34 The choice of this term for the title of the monthly was no doubt also influenced by an awareness of its historical connotations, for the word can be traced back through such Old Javanese forms as bhujanga to an original Sanskrit root associated with sacred and priestly learning. It implied nobility and integrity as well as literary ability; and it is therefore no accident that the writings appearing in it claimed high idealism and a sense of mission. The purpose proclaimed by Pudjangga Baru became more fervent as the years passed. In the beginning, it described itself simply as a literary, artistic, and cultural monthly. At the start of its third year it declared itself a "bearer of a new spirit in literature, art, culture, and general social affairs."^ At the beginning of its fifth year it claimed to be the "leader of the new dynamic spirit to create a new culture, the culture of Indonesian unity."1* In 1928, when the second All-Indonesia Youth Congress swore the famous oath to work for "one fatherland, one people, and one language" Pudjangga Baru pledged itself to work for the development of the national language and also to strive for a national culture, adding "one culture" to its 1.
    [Show full text]
  • Film Dua Garis Biru Perspektif Pemangku Adat Minangkabau Di Nagari Talago Gunung Kecamatan Barangin Kota Sawahlunto Skripsi D
    FILM DUA GARIS BIRU PERSPEKTIF PEMANGKU ADAT MINANGKABAU DI NAGARI TALAGO GUNUNG KECAMATAN BARANGIN KOTA SAWAHLUNTO SKRIPSI Ditulis Sebagai Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Konsentrasi Broadcasting Oleh: MUHAMMAD IQBAL NIM. 1730302029 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BATUSANGKAR 2021 ABSTRAK Muhammad Iqbal, Nim 1730302029, Judul Skripsi “Film Dua Garis Biru Perspektif Pemangku Adat Minangkabau di Nagari Talago Gunung Kecamatan Barangin Kota Sawahlunto”. Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar. Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah Film Dua Garis Biru Perspektif Pemangku Adat Minangkabau di Nagari Talago Gunung Kecamatan Barangin Kota Sawahlunto. Tujuan pembahasan ini adalah untuk mengetahui persepsi pemangku adat Minangkabau di Nagari Talago Gunung Kecamatan Barangin Kota Sawahlunto terhadap maksud, penonton film setelah menonton film Dua Garis Biru. Sebagaimana pada saat ini film berperan sebagai media dalam menyampiankan pesan, makna dan informasi kepada penontonnya Penelitian ini dilakukan di Nagari Talago Gunung Kecamatan Barangin Kota Sawahlunto menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode penelitian analisis deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu teknik analisis data dengan pendekatan analisis metode desain deskriptif (descriptive design), langkah-langkah pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi,
    [Show full text]
  • Keunikan Budaya Minangkabau Dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka Dan Strategi Pemasarannya Dalam Konteks Masyarakat Ekonomi Asean
    KEUNIKAN BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK KARYA HAMKA DAN STRATEGI PEMASARANNYA DALAM KONTEKS MASYARAKAT EKONOMI ASEAN Deri Rachmad Pratama1, Sarwiji Suwandi2, Nugraheni Eko Wardani3 Magister Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Sebelas Maret ([email protected]), ([email protected]), ([email protected]) Abstrak Indonesia sudah bergabung dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sejak 31 Desember 2015. Ini menjadi salah satu peluang Indonesia untuk mempromosikan budaya yang dimilikinya ke luar negeri secara lebih mudah. Salah satu budaya tersebut adalah budaya Minangkabau yang tercermin dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka. Pengenalan budaya melalui novel ke luar negeri dapat meningkatkan wisatawan ke Indonesia khususnya Sumatera Barat sebagai latar novel tersebut. Hal ini bisa memberikan kontribusi untuk ekonomi Indonesia. Tujuan penelitian mendeskripsikan dan menjelaskan budaya Minangkabau yang terdapat dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka serta pemasarannya dalam konteks MEA. Penelitian ini dikaji dengan pendekatan antropologi sastra. Datanya berupa dialog atau narasi yang mengandung budaya Minangkabau. Ada tiga wujud kebudayaan yang terdapat dalam novel ini. Ketiga wujud kebudayaan itu ialah (1) wujud kebudayaan berupa norma dan peraturan, (2) wujud kebudayaan berupa aktivitas dan tindakan masyarakat, dan (3) wujud kebudayaan berupa benda-benda hasil karya manusia. Strategi pemasaran budaya Minangkabau dalam novel ini dapat dilakukan dengan cara adaptasi novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka kedalam bahasa Inggris atau berbagai bahasa di negara ASEAN. Kata kunci: keunikan, budaya Minangkabau, novel tenggelamnya kapal van der wijck, MEA Pendahuluan Karya sastra mengandung beragam makna. Karya ini tidak hanya terfokus kepada strukturalisme saja, tetapi masih banyak hal yang membangun terbentuknya karya sastra tersebut.
    [Show full text]
  • Women's Perspective on Love, Loyalty, and the Other Woman In
    Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 424 3rd International Conference on Language, Literature, Culture, and Education (ICOLLITE 2019) Women’s Perspective on Love, Loyalty, and the Other Woman in Indonesian literature Yasnur Asri Yenni Hayati, Muhammad Adek Indonesia Language Education Study Program Indonesian Literature Universitas Negeri Padang Universitas Negeri Padang Padang, Indonesia Padang, Indonesia [email protected] [email protected] Abstract—This paper tries to see how women writers see only considered as lowly or petty works, which will never be topics of love, loyalty, and the other woman through literary aligned with the writings produced by male writers (Suryaman, works spread across the periods in Indonesian literature. The Wiyatmi, & Liliani, 2011). Therefore, one of the long-term data in this study were taken from short stories written by visions of feminist literary critics is to explore, study, and various female authors published in 1940-2000 which were select the potential and unique women works and writers to be assembled in a collection of Dunia Perempuan short stories. Data compiled into their own literary canon. were discussed by using the theory of Gynocritics and analyzed with the content analysis method. Based on the results of data At the beginning of the development of literature in analysis, it was found that female authors tend to assume that Indonesia, the authors were introduced to the public and love and loyalty are the most important thing in their lives, studied extensively is only limited to male authors. In fact, particularly in their marriage lives. Moreover, they do not literary works written by women have existed since the associate the other woman who is present in the midst of their beginning of the development of literature in Indonesia.
    [Show full text]
  • 7 a Bridge to the Outside World Literary Translation in Indonesia
    7 A bridge to the outside world Literary translation in Indonesia, 1950-1965 Maya H.T. Liem Literary translation has played an important role in the cultural development of new states.1 In the case of Indonesia in the period between 1950 and 1965, matters related to culture figured promi- nently in the efforts of both government and civil society to con- struct a national identity for Indonesia as a modern, independent nation free from Dutch colonialism. Both internally and in the eyes of the world at large, cultural identity was seen as the mark of a strong and established state, and in the building of culture, the development of a national literature was an area that attracted sig- nificant attention. Models of literary expression were often drawn from foreign sources, and this meant that a large number of Indo- nesian writers found themselves engaged in the business of liter- ary translation. It is noteworthy that throughout this period, the Indonesian government itself took no active role in sponsoring literary translation, leaving this aspect of cultural traffic between Indonesia and the outside world entirely in the hands of writer/ translators as individuals. The Cold War context in which the literary translations of this period took place meant that translation was not only an opening to the outside world on the part of Indonesian writer/translators themselves. It was also a means by which foreign powers were able to spread the cultural principles and ideologies that underlay their attempts to gain political advantage and influence in the newly emerging states of the post-war era.
    [Show full text]