Dari Kartini Hingga Ayu Utami: Memposisikan Penulis Perempuan Dalam Sejarah Sastra Indonesia
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
1 DARI KARTINI HINGGA AYU UTAMI: MEMPOSISIKAN PENULIS PEREMPUAN DALAM SEJARAH SASTRA INDONESIA Oleh Nurhadi Abstract There is an interesting phenomenon in the end of 20-th century and in the beginning of 21-th century in Indonesian literature history. That’s phenomenon are so many women writer whose productive in writing poetry or fiction. Is this a suddenly phenomenon? There is a series moment that couldn’t ignored, because there were some women writers in the beginning of Indonesian literary history, especially in 1920- ies, a milestone in modern Indonesian literary history. The modern Indonesian literary history itself is impact of acculturation by western culture. This acculturation appears in Kartini herself, a woman writer who never mention in history about her literature activity. Limitation to women writers in the past often interrelated by the edge of their role, for example, they were: never categorized as qualified literature writer, or as a popular writer, or just a peripheral writer, not as a prominent writer in their generation of writer. Is installation of Ayu Utami as a pioneer in novel genre in Indonesian 2000 Generation of Literature as one strategy of contrary to what happen recently? Apparently, the emergent of women writers weren’t automatically had relation by feminism movement. The writer who had struggle for Kartini’s history is Pramoedya Ananta Toer, a man writer. Key words: women writers, feminism, Indonesia literary history, the role of historical writing. A. PENDAHULUAN Memasuki tahun 2000 terjadi fenomena menarik dalam sejarah sastra Indonesia, khususnya ditinjau dari feminisme. Ayu Utami menerbitkan novel Saman pada 1998. Sebuah novel yang banyak dibaca orang dan mendapat berbagai pujian. Almarhun Umar Kayam memuji pengarangnya sebagai penulis yang susah ditandingi penulis-penulis muda sekarang bahkan penulis tua pun, belum tentu bisa menandinginya. Begitu komentarnya pada bagian sampul belakang novel tersebut. Saman sendiri merupakan fragmen novelnya Laila Tak Mampir di New York yang memenangkan hadiah pertama dari sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998. Almarhum Y.B. Manguwijaya memuji novel ini sebagai novel yang spendid, novel yang dapat dinikmati dan berguna sejati bagi pembaca yang dewasa, bahkan amat dewasa, dan jujur, khususnya mengenai dimensi-dimensi politik, antropologi sosial dan teristimewa lagi agama dan iman. Lewat novel ini, Ayu Utami tidak hanya mendapat penghargaan di negerinya sendiri, negeri Belanda pun memberinya penghargaan. Meski banyak kritikus sastra memberinya pujian, tidak sedikit pula yang menilainya negatif. Kemunculannya yang tiba-tiba dalam dunia sastra layaknya buah karbitan saja. Para juri sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta mendapat sorotan tidak mengenakkan. Mereka dituduh sebagai pihak yang memblow-up novel tersebut. Terlepas dari berbagai kontroversi, Saman dan Ayu Utami telah menempatkan dirinya dalam mata rantai sejarah sastra Indonesia. Korrie Layun Rampan yang mencetuskan lahirnya Angkatan 2000 dalam sastra Indonesia tidak hanya menempatkan Ayu Utami sebagai salah satu eksponennya, tetapi malah menempatkannya sebagai tokoh pembaru dalam bidang novel. Pembaruan pada Saman terlihat dalam pola kolase yang meninggalkan berbagai warna yang dilahirkan oleh tokoh maupun peristiwa yang secara estetik menonjolkan kekuatan-kekuatan literer (Rampan, 2000:liii). Setelah Ayu Utami, kemudian muncul Dewi “Dee” Lestari dengan novelnya Supernova, terbit 2001. Sekiranya Angkatan 2000 versi Korrie Layun Rampan diterbitkan setelah terbitnya Supernova, Dewi Lestari pasti akan termasuk di dalamnya, meski mungkin tidak sebagai tokoh 2 pembaru. Mirip dengan Ayu Utami, Dewi Lestari juga baru pertama kali menerbitkan novelnya dan konon masih akan dilanjutkan dengan sekuelnya. Barangkali tidak ada novel yang mendapat sorotan, komentar atau pembicaraan sebanyak novel Supernova dalam sejarah sastra Indonesia. Hampir setiap koran dan majalah menurunkan artikel dan resensi novel ini, atau proses kreatif penulisnya. Sejumlah stasiun TV dan radio juga melakukan wawancara dengan Dewi Lestari. Selain itu, pengarang novel ini juga melakukan dialog ke berbagai kampus di sejumlah kota seperti Jakarta, Jogjakarta, Bandung, Solo, dan kota-kota besar lainnya. Dialog dengan dunia kampus ini merupakan salah satu promosi yang jitu terhadap buku yang diterbitkannya sendiri lewat Truedee Books sebagai penerbitnya. Novel ini menurut I. Bambang Sugiharto adalah sebuah petualangan intelektual yang menerabas segala sekat disipliner; semacam perselingkuhan visioner yang mempesona antara fisika, psikologi, religi, mitos, dan fiksi. Tak hanya menawan, begitu komentarnya dalam sampul buku Supernova, novel tersebut juga penting. Seperti halnya Saman, Supernova juga mendapat kritikan yang tidak selamanya positif. Terlepas dari semua pro-kontra atas novel Dewi Lestari ini, pemunculannya di berbagai media dan forum serta banyak “dikonsumsi” pembacanya, telah menempatkannya dalam rangkaian sejarah sastra. Nama Dewi Lestari kini dikukuhkan tidak sebagai penyanyi tetapi juga sebagai pengarang handal seperti halnya Ayu Utami. Dua pengarang wanita ini telah memiliki nama besar dalam bidang sastra meskipun kala itu novel yang mereka tulis masing-masing baru satu. Kini masing-masing telah menuliskan sekuelnya: Saman dengan Larung, dan Supernova dengan Akar-nya. Waktulah yang akan menentukan apakah Ayu Utami (alumnus Sastra Rusia, UI-Jakarta, kelahiran 1968) dan Dewi Lestari (alumnus Ilmu Politik, Universitas Katolik Parahyangan-Bandung, kelahiran 1976) akan tetap eksis dalam dunia sastra ataukah bakal tenggelam setelah muncul sekejap? Mereka masih cukup muda untuk berkarya di masa datang. Yang perlu digarisbawahi, kini kedua pengarang perempuan ini seakan-akan telah menggeser dominasi pengarang laki-laki selama ini, pada awal abad ke-21. Seperti telah diketahui bersama, selain kedua penulis perempuan tersebut, ada sederet penulis perempuan lain, sebut saja misalnya: Jenar Mahesa Ayu, Nova Riyanti Yusuf, Fira Basuki, Dewi Sartika, Dinar Rahayu, Abidah El Khalieqy, Dianing Widya Yudhistira, Dorothea Rosa Herliany, Endang Susanti Rustamaji, Helvy Tiana Rosa, Lea Pamungkas, Mona Sylviana, Nenden Lilis A., Omi Intan Naomi, Rainy M.P. Hutabarat, Rani Rachmani Moediarta, Rayni N. Massardi, Sirikit Syah, Taty Haryati, Ulfatin Ch., Zoya Herawati, dan lain-lain. Dalam artikel ini akan diuraikan sejumlah hal yang terkait dengan pengarang perempuan dalam sejarah sastra Indonesia. Secara lebih eksplisit, artikel ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan pengarang-pengarang perempuan Indonesia yang berkiprah pada masa awal sejarah sastra Indonesia hingga periode tahun 1960-an; (2) mendeskripsikan pengarang- pengarang perempuan Indonesia yang menonjol pada periode 1970—1980-an dalam sejarah sastra Indonesia; (3) mendeskripsikan pengarang-pengarang perempuan Indonesia pada awal abad ke-21 dalam sejarah sastra Indonesia; (4) mendeskripsikan ketidaktampakan atau kurang berperannya pengarang perempuan Indonesia dalam kasus awal sejarah sastra Indonesia; dan (5) mendeskripsikan peran diskursif macam apakah yang melandasi “pengecilan” peran pengarang perempuan pada masa awal sejarah sastra Indonesia. Adapun metode penelitian yang ditempuh dalam artikel ini yaitu berupa studi historis atas peran pengarang perempuan dalam sejarah sastra indonesia. Dengan demikian, artikel ini merupakan hasil penelitian dokumentatif atas fenomena-fenomena tersebut. Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini yaitu: (1) mengumpulkan data-data dokumentasi yang 3 terkait dengan tujuan penelitian; (2) memilah dan membuat kategori data penelitian yang terkait dengan tujuan penelitian; (3) menganalisis dan menginterpretasikan temuan data dengan teknik validitas semantis dan reliabilitas intra-rater; (4) menyimpulkan dan melaporkan hasil temuan penelitian. B. TONGGAK-TONGGAK PENGARANG PEREMPUAN Seperti telah diketahui, dalam rentang sejarah sastra Indonesia, dunia sastra Indonesia selalu didominasi pengarang laki-laki. Meski sejak kemerdekaan mulai banyak bermunculan penulis-penulis perempuan, kedudukan dan karya-karya mereka masih tenggelam di bawah bayang-bayang pengarang laki-laki. Atau bisa jadi “ketidakmunculan” pengarang perempuan tersebut tanpa sengaja telah ditenggelamkan oleh para kritikus sastra yang notabene juga kaum laki-laki. Kecurigaan semacam inilah yang ditengarai oleh para kritikus sastra feminis atas ketidakseimbangan antara pengarang laki-laki dengan pengarang perempuan, ketidakseimbangan pembicaraan antara karya-karya penulis laki-laki dengan penulis perempuan dalam dunia sastra di berbagai negara termasuk dalam sastra Indonesia (Djajanegara, 2000: 12). Jika diperhatikan lebih jauh, sebenarnya pengarang perempuan telah ada sejak dulu. Novel modern yang pertama di dunia, Genji Monogatari, yang ditulis pada tahun 1000 di Jepang merupakan karya seorang wanita, Murasaki Shikibu yang hidup pada 975—1015 (Shikibu, 1992:xxii). Karya sastra Bugis La Galigo yang berbentuk puisi (terpanjang di dunia, tebalnya 7000 halaman, lebih tebal daripada Iliad dan Odysea atau Mahabarata dan Ramayana) ditulis pada abad ke-19 di bawah pengayom seni seorang wanita, Siti Aisyah We Tenriolle (Rampan, 1984:13). 1. Lintasan Pengarang-Pengarang Perempuan Indonesia Seperti telah dikemukakan di atas, dalam sejarah sastra Indonesia, tidak banyak pengarang perempuannya, begitu juga karya-karya yang mereka hasilkan. Pada periode atau angkatan Balai Pustaka hanya ada Hamidah yang menulis Kehilangan Mestika yang terbit pada 1935. Nama