Dari Kartini Hingga Ayu Utami: Memposisikan Penulis Perempuan Dalam Sejarah Sastra Indonesia

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Dari Kartini Hingga Ayu Utami: Memposisikan Penulis Perempuan Dalam Sejarah Sastra Indonesia 1 DARI KARTINI HINGGA AYU UTAMI: MEMPOSISIKAN PENULIS PEREMPUAN DALAM SEJARAH SASTRA INDONESIA Oleh Nurhadi Abstract There is an interesting phenomenon in the end of 20-th century and in the beginning of 21-th century in Indonesian literature history. That’s phenomenon are so many women writer whose productive in writing poetry or fiction. Is this a suddenly phenomenon? There is a series moment that couldn’t ignored, because there were some women writers in the beginning of Indonesian literary history, especially in 1920- ies, a milestone in modern Indonesian literary history. The modern Indonesian literary history itself is impact of acculturation by western culture. This acculturation appears in Kartini herself, a woman writer who never mention in history about her literature activity. Limitation to women writers in the past often interrelated by the edge of their role, for example, they were: never categorized as qualified literature writer, or as a popular writer, or just a peripheral writer, not as a prominent writer in their generation of writer. Is installation of Ayu Utami as a pioneer in novel genre in Indonesian 2000 Generation of Literature as one strategy of contrary to what happen recently? Apparently, the emergent of women writers weren’t automatically had relation by feminism movement. The writer who had struggle for Kartini’s history is Pramoedya Ananta Toer, a man writer. Key words: women writers, feminism, Indonesia literary history, the role of historical writing. A. PENDAHULUAN Memasuki tahun 2000 terjadi fenomena menarik dalam sejarah sastra Indonesia, khususnya ditinjau dari feminisme. Ayu Utami menerbitkan novel Saman pada 1998. Sebuah novel yang banyak dibaca orang dan mendapat berbagai pujian. Almarhun Umar Kayam memuji pengarangnya sebagai penulis yang susah ditandingi penulis-penulis muda sekarang bahkan penulis tua pun, belum tentu bisa menandinginya. Begitu komentarnya pada bagian sampul belakang novel tersebut. Saman sendiri merupakan fragmen novelnya Laila Tak Mampir di New York yang memenangkan hadiah pertama dari sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998. Almarhum Y.B. Manguwijaya memuji novel ini sebagai novel yang spendid, novel yang dapat dinikmati dan berguna sejati bagi pembaca yang dewasa, bahkan amat dewasa, dan jujur, khususnya mengenai dimensi-dimensi politik, antropologi sosial dan teristimewa lagi agama dan iman. Lewat novel ini, Ayu Utami tidak hanya mendapat penghargaan di negerinya sendiri, negeri Belanda pun memberinya penghargaan. Meski banyak kritikus sastra memberinya pujian, tidak sedikit pula yang menilainya negatif. Kemunculannya yang tiba-tiba dalam dunia sastra layaknya buah karbitan saja. Para juri sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta mendapat sorotan tidak mengenakkan. Mereka dituduh sebagai pihak yang memblow-up novel tersebut. Terlepas dari berbagai kontroversi, Saman dan Ayu Utami telah menempatkan dirinya dalam mata rantai sejarah sastra Indonesia. Korrie Layun Rampan yang mencetuskan lahirnya Angkatan 2000 dalam sastra Indonesia tidak hanya menempatkan Ayu Utami sebagai salah satu eksponennya, tetapi malah menempatkannya sebagai tokoh pembaru dalam bidang novel. Pembaruan pada Saman terlihat dalam pola kolase yang meninggalkan berbagai warna yang dilahirkan oleh tokoh maupun peristiwa yang secara estetik menonjolkan kekuatan-kekuatan literer (Rampan, 2000:liii). Setelah Ayu Utami, kemudian muncul Dewi “Dee” Lestari dengan novelnya Supernova, terbit 2001. Sekiranya Angkatan 2000 versi Korrie Layun Rampan diterbitkan setelah terbitnya Supernova, Dewi Lestari pasti akan termasuk di dalamnya, meski mungkin tidak sebagai tokoh 2 pembaru. Mirip dengan Ayu Utami, Dewi Lestari juga baru pertama kali menerbitkan novelnya dan konon masih akan dilanjutkan dengan sekuelnya. Barangkali tidak ada novel yang mendapat sorotan, komentar atau pembicaraan sebanyak novel Supernova dalam sejarah sastra Indonesia. Hampir setiap koran dan majalah menurunkan artikel dan resensi novel ini, atau proses kreatif penulisnya. Sejumlah stasiun TV dan radio juga melakukan wawancara dengan Dewi Lestari. Selain itu, pengarang novel ini juga melakukan dialog ke berbagai kampus di sejumlah kota seperti Jakarta, Jogjakarta, Bandung, Solo, dan kota-kota besar lainnya. Dialog dengan dunia kampus ini merupakan salah satu promosi yang jitu terhadap buku yang diterbitkannya sendiri lewat Truedee Books sebagai penerbitnya. Novel ini menurut I. Bambang Sugiharto adalah sebuah petualangan intelektual yang menerabas segala sekat disipliner; semacam perselingkuhan visioner yang mempesona antara fisika, psikologi, religi, mitos, dan fiksi. Tak hanya menawan, begitu komentarnya dalam sampul buku Supernova, novel tersebut juga penting. Seperti halnya Saman, Supernova juga mendapat kritikan yang tidak selamanya positif. Terlepas dari semua pro-kontra atas novel Dewi Lestari ini, pemunculannya di berbagai media dan forum serta banyak “dikonsumsi” pembacanya, telah menempatkannya dalam rangkaian sejarah sastra. Nama Dewi Lestari kini dikukuhkan tidak sebagai penyanyi tetapi juga sebagai pengarang handal seperti halnya Ayu Utami. Dua pengarang wanita ini telah memiliki nama besar dalam bidang sastra meskipun kala itu novel yang mereka tulis masing-masing baru satu. Kini masing-masing telah menuliskan sekuelnya: Saman dengan Larung, dan Supernova dengan Akar-nya. Waktulah yang akan menentukan apakah Ayu Utami (alumnus Sastra Rusia, UI-Jakarta, kelahiran 1968) dan Dewi Lestari (alumnus Ilmu Politik, Universitas Katolik Parahyangan-Bandung, kelahiran 1976) akan tetap eksis dalam dunia sastra ataukah bakal tenggelam setelah muncul sekejap? Mereka masih cukup muda untuk berkarya di masa datang. Yang perlu digarisbawahi, kini kedua pengarang perempuan ini seakan-akan telah menggeser dominasi pengarang laki-laki selama ini, pada awal abad ke-21. Seperti telah diketahui bersama, selain kedua penulis perempuan tersebut, ada sederet penulis perempuan lain, sebut saja misalnya: Jenar Mahesa Ayu, Nova Riyanti Yusuf, Fira Basuki, Dewi Sartika, Dinar Rahayu, Abidah El Khalieqy, Dianing Widya Yudhistira, Dorothea Rosa Herliany, Endang Susanti Rustamaji, Helvy Tiana Rosa, Lea Pamungkas, Mona Sylviana, Nenden Lilis A., Omi Intan Naomi, Rainy M.P. Hutabarat, Rani Rachmani Moediarta, Rayni N. Massardi, Sirikit Syah, Taty Haryati, Ulfatin Ch., Zoya Herawati, dan lain-lain. Dalam artikel ini akan diuraikan sejumlah hal yang terkait dengan pengarang perempuan dalam sejarah sastra Indonesia. Secara lebih eksplisit, artikel ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan pengarang-pengarang perempuan Indonesia yang berkiprah pada masa awal sejarah sastra Indonesia hingga periode tahun 1960-an; (2) mendeskripsikan pengarang- pengarang perempuan Indonesia yang menonjol pada periode 1970—1980-an dalam sejarah sastra Indonesia; (3) mendeskripsikan pengarang-pengarang perempuan Indonesia pada awal abad ke-21 dalam sejarah sastra Indonesia; (4) mendeskripsikan ketidaktampakan atau kurang berperannya pengarang perempuan Indonesia dalam kasus awal sejarah sastra Indonesia; dan (5) mendeskripsikan peran diskursif macam apakah yang melandasi “pengecilan” peran pengarang perempuan pada masa awal sejarah sastra Indonesia. Adapun metode penelitian yang ditempuh dalam artikel ini yaitu berupa studi historis atas peran pengarang perempuan dalam sejarah sastra indonesia. Dengan demikian, artikel ini merupakan hasil penelitian dokumentatif atas fenomena-fenomena tersebut. Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini yaitu: (1) mengumpulkan data-data dokumentasi yang 3 terkait dengan tujuan penelitian; (2) memilah dan membuat kategori data penelitian yang terkait dengan tujuan penelitian; (3) menganalisis dan menginterpretasikan temuan data dengan teknik validitas semantis dan reliabilitas intra-rater; (4) menyimpulkan dan melaporkan hasil temuan penelitian. B. TONGGAK-TONGGAK PENGARANG PEREMPUAN Seperti telah diketahui, dalam rentang sejarah sastra Indonesia, dunia sastra Indonesia selalu didominasi pengarang laki-laki. Meski sejak kemerdekaan mulai banyak bermunculan penulis-penulis perempuan, kedudukan dan karya-karya mereka masih tenggelam di bawah bayang-bayang pengarang laki-laki. Atau bisa jadi “ketidakmunculan” pengarang perempuan tersebut tanpa sengaja telah ditenggelamkan oleh para kritikus sastra yang notabene juga kaum laki-laki. Kecurigaan semacam inilah yang ditengarai oleh para kritikus sastra feminis atas ketidakseimbangan antara pengarang laki-laki dengan pengarang perempuan, ketidakseimbangan pembicaraan antara karya-karya penulis laki-laki dengan penulis perempuan dalam dunia sastra di berbagai negara termasuk dalam sastra Indonesia (Djajanegara, 2000: 12). Jika diperhatikan lebih jauh, sebenarnya pengarang perempuan telah ada sejak dulu. Novel modern yang pertama di dunia, Genji Monogatari, yang ditulis pada tahun 1000 di Jepang merupakan karya seorang wanita, Murasaki Shikibu yang hidup pada 975—1015 (Shikibu, 1992:xxii). Karya sastra Bugis La Galigo yang berbentuk puisi (terpanjang di dunia, tebalnya 7000 halaman, lebih tebal daripada Iliad dan Odysea atau Mahabarata dan Ramayana) ditulis pada abad ke-19 di bawah pengayom seni seorang wanita, Siti Aisyah We Tenriolle (Rampan, 1984:13). 1. Lintasan Pengarang-Pengarang Perempuan Indonesia Seperti telah dikemukakan di atas, dalam sejarah sastra Indonesia, tidak banyak pengarang perempuannya, begitu juga karya-karya yang mereka hasilkan. Pada periode atau angkatan Balai Pustaka hanya ada Hamidah yang menulis Kehilangan Mestika yang terbit pada 1935. Nama
Recommended publications
  • Katalog-Lontar-2019 Prev.Pdf
    2019 LONTAR CATALOGUE 2019 THE LONTAR FOUNDATION Since its establishment in 1987, the Lontar Foundation of Jakarta has carried on its shoulders the mission of improving international awareness of Indonesian literature and culture, primarily throught the publication of Indonesian literary translations. Lontar’s Publications Division, the backbone of the organization, has the significant task of determining which literary works are to be translated so as to reflect Indonesia’s cultural wealth. The Lontar Foundation publishes books under four imprints: Lontar, BTW, Amanah, and Godown. All titles released prior to 2002 (when Godown and Amanah were established) carried the Lontar imprint. TABLE OF CONTENTS Titles released under the Lontar imprint are primarily translations of Indonesian literature. (Exceptions include large-format books that embody Lontar’s mission of enhancing international knowledge of Indonesian culture.) Most Lontar titles are intended for general THE LONTAR FOUNDATION AND ITS IMPRINTS i reading pleasure and for use in teaching courses on Indonesian literature and culture. Lontar TITLES 2 The Modern Library of Indonesia 2 Historical Anthologies 11 Titles in the BTW series—with “BTW” standing for “by the way,” as Other Literary Translations 13 in “by the way, have you heard about such and such an author?”— Special Publications 15 feature work by new and emerging Indonesian writers. This series of Wayang Educational Package 16 mini-books is aimed at publishers, editors, and literary critics. BTW BOOKS SERIES #1 18 Under its Amanah imprint, Lontar publishes Indonesian-language BTW BOOKS SERIES #2 23 titles that Lontar itself has put together in the course of developing an English-language publication.
    [Show full text]
  • Pramoedya's Developing Literary Concepts- by Martina Heinschke
    Between G elanggang and Lekra: Pramoedya's Developing Literary Concepts- by Martina Heinschke Introduction During the first decade of the New Order, the idea of the autonomy of art was the unchallenged basis for all art production considered legitimate. The term encompasses two significant assumptions. First, it includes the idea that art and/or its individual categories are recognized within society as independent sub-systems that make their own rules, i.e. that art is not subject to influences exerted by other social sub-systems (politics and religion, for example). Secondly, it entails a complex of aesthetic notions that basically tend to exclude all non-artistic considerations from the aesthetic field and to define art as an activity detached from everyday life. An aesthetics of autonomy can create problems for its adherents, as a review of recent occidental art and literary history makes clear. Artists have attempted to overcome these problems by reasserting social ideals (e.g. as in naturalism) or through revolt, as in the avant-garde movements of the twentieth century which challenged the aesthetic norms of the autonomous work of art in order to relocate aesthetic experience at a pivotal point in relation to individual and social life.* 1 * This article is based on parts of my doctoral thesis, Angkatan 45. Literaturkonzeptionen im gesellschafipolitischen Kontext (Berlin: Reimer, 1993). I thank the editors of Indonesia, especially Benedict Anderson, for helpful comments and suggestions. 1 In German studies of literature, the institutionalization of art as an autonomous field and its aesthetic consequences is discussed mainly by Christa Burger and Peter Burger.
    [Show full text]
  • SITOR SITUMORANG Pcnerima Hadiah Sastra Asia Tenggara 2006 Awardee of the S.E.A
    3 .44 ~ s- SASTRAWAN INDONESIA INDONESIAN WRITER Sas trawan Indonesia Indonesian Writer SITOR SITUMORANG Pcnerima Hadiah Sastra Asia Tenggara 2006 Awardee of the S.E.A. Write Award 2006 -----~-- --- PEttPIJSTA:G\,..N FUSAT BA~ ASA " "ARTEr..' CN "E.,m,o:;CA , • r Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional National Language Center Ministry of National Education Jakarta 2006 TSBN 979 685-580 1 f L\K CTPTA DILTNDUNGLUNl.l.l~ .~-Y~H::>ANC I v ... T BAHASi\ tJo. lndul; . w261>-(, Tgi ~1A Ttd. ·-- -- Isi buku ini, baik sebagian maupun selunihnya, <lilarang dipcrbanyak dalam bcntuk apa pun tanpa izin tcrtulis clan pcncrbit, kccuali dalam hal pcngutipan untuk kcpcrluan penulisan artikel atau karangan ilmiah. 1\ 0 f'ill1 o/this book. ma)' be copied or reprodlfced wilholfl wrille11 pmm>..-lrm/ivm the publfrher, except.for research and sdenli/i<' wrili1(~ purposes. IV PUS.\T B.\1-L\S.\ DEP:\RTE;\IEN PENDIDIK..\N N.\SI()J\;_\1. Buku im di~u s nn dan disunung oleh J J. Rizal dan Pnh Sulurto dcngan bantuan John .\IcGlyn (Yayasan Lontar), 1·ang telah menglZlnkan penerbitan kembali terjemahan bahasa Iny.,gns sejumlah s:11ak Sitor S1tumorang dalam buku To Lot•e. To lfa11der. 1lie l'nefr)' o(\L!or 1·11umo ra1{~ (Lontar Fow1dation, 1996) dan meneqemahkan heberapa >;11a k barn clan kumpulan Biksu Tak Berjubah (Komumtas Rambu, 211tq) Selatn John i\IcGlyn, Harn- :\vcling 1uga terhbar dengan mcncqcmakan ccrpen S1tor S1tumorang yang bequdul "!bu Pcrgt kc Sorga" Buku 1111 disusun dalam rangka penyerahan Had1ah Sastra The SI: \ Wnte .\ward 2006 oleh Putra Mahkota Kerajaan Thailand Y.1ng .\lulrn \'a1iralongkom, tanggal 8 Oktober 2006, d1 Bangkok.
    [Show full text]
  • Periodisasi Sastra Indonesia
    PERIODISASI SASTRA INDONESIA 1. Zaman Peralihan Zaman ini dikenal tokoh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Karyanya dianggap bercorak baru karena tidak lagi berisi tentang istana danraja-raja, tetapi tentang kehidupan manusia dan masyarakat yang nyata, misalnya Hikayat Abdullah (otobiografi), Syair Perihal Singapura Dimakan Api, Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jedah. Pembaharuan yang ia lakukan tidak hanya dalam segi isi, tetapi juga bahasa. Ia tidak lagi menggunakan bahasa Melayu yang kearab-araban. Ciri-ciri : a. individualis dan tidak anonym lagi b. progresif, tetapi masih tradisional dal;am bentuk dan bahasanya c. menulis apa yang dilihat dan dirasakan d. sudah mulai masyarakat sentris e. temanya tentang kisah perjalanan, biografi, adat- istiadat, dan didaktis Hasil karya sastra pada zaman ini antara lain: . Kisah Abdullah ke Malaka Utara . Perjalanan Abdullah ke Kelantan dan Tenggano . dan Hikayat Abdullah . Hikayat Puspa Wiraja . Hikayat Parang Punting . Hikayat Langlang Buana . Hikayat Si Miskin . Hikayat Berma Syahdan . Hikayat Indera Putera . Hikayat Syah Kobat . Hikayat Koraisy Mengindera . Hikayat Indera Bangsawan . Hikayat Jaya Langkara . Hikayat Nakhoda Muda . Hikayat Ahmad Muhammad . Hikayat Syah Mardan . Hikayat Isma Yatim . Hikayat Puspa Wiraja . ANGKATAN BALAI PUSTAKA Angkatan Balai Pustaka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun 1920, yang dikeluarkan oleh penerbit “Bali Pustaka”. Prosa (roman, novel,cerpen, dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam, hikayat, dan kazhanah sastra di Indonesia pada masa ini Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan sastra melayu rendah yang tidak menyoroti pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam 3 bahasa yaitu bahasa Melayu tinggi, bahasa Jawa, dan bahasa Sunda, dan dalam jumlah yang terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak, dan bahasa Madura.
    [Show full text]
  • Pengembangan Wisata Sastra Siti Nurbaya
    B U K U P A N D U A N PENGEMBANGAN WISATA SASTRA SITI NURBAYA Ferdinal, Donny Eros, Gindho Rizano L P T I K U N I E R S I T A S A N D A L A S BUKU PANDUAN PENGEMBANGAN WISATA SASTRA SITI NURBAYA Drs. Ferdinal, MA, PhD Donny Eros, SS, MA Gindho Rizano, SS, MHum Lembaga Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (LPTIK) Universitas Andalas BUKU PANDUAN PENGEMBANGAN WISATA SASTRA SITI NURBAYA Penyusun Drs. Ferdinal, MA, PhD Donny Eros, SS, MA Gindho Rizano, SS, MHum Layout Multimedia LPTIK Unand Ilustrasi Cover Sampul Novel Siti Nurbaya Terbitan Balai Pustaka (Dihimpun dari berbagai sumber) Penerbit Lembaga Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (LPTIK) Universitas Andalas Alamat: Gedung Perpustakaan Lantai Dasar, Kampus Universitas Andalas Limau Manis, Padang, Sumatera Barat. Email: [email protected] Web: lptik.unand.ac.id ISBN 978-602-5539-45-9 Cetakan Pertama, 2019 Hak cipta pada penulis Isi diluar tanggung jawab penerbit KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya, buku saku Model Pengembangan Wisata Sastra Siti Nurbaya Kota Padang ini dapat diterbitkan. Publikasi Buku Panduan Pengembangan Wisata Sastra Siti Nurbaya ini merupakan hasil dari penelitian dengan judul Model Pengembangan Wisata Sastra Siti Nurbaya di Padang Sumatra Barat. Publikasi ini memuat data yang menggambarkan kondisi wisata Siti Nurbaya Padang tahun 2018. Publikasi ini menyajikan informasi mengenai wisata sastra Siti Nurbaya, atraksi wisata Siti Nurbaya, dan model pengembangan wisasta Sastra Siti Nurbaya. Secara lebih detil, buku saku pengembangan wisata sastra Siti Nurbaya ini memberikan gambaran tentang potensi dan model pengembangan wisata Siti Nurbaya menuju wisata sastra.
    [Show full text]
  • Skripsi Sastra, Sastra Indonesia, Fib, Unpad
    SKRIPSI SASTRA, SASTRA INDONESIA, FIB, UNPAD NO NPM NAMA JUDUL BID KAJIAN 1. 180110160060 PARANTI SIMBOL-SIMBOL CELENG DALAM NOVEL MENYUSU CELENG SASTRA KARYA SINDHUNATA SEBAGAI KRITIK TERHADAP PEMERINTAH:PENDEKATAN SEMIOTIKA CHARLES SANDERS PEIRCE 2. 180110150086 NIKITA REMIGIA PUTRI ANALISIS BENTUK, MAKNA, DAN FUNGSI ONOMATOPE SASTRA PUJIYANTO PADA KOMIK TERJEMAHAN CODE BREAKER VOLUME SATU KARYA AKIMINE KAMIJYO 3. 180110150078 HELMI AFAN FAHMI DAMPAK KONFLIK AGRARIA TERHADAP KONDISI PSIKOLOGIS SASTRA TOKOH UTAMA DALAM NOVEL DAWUK KARYA MAHFUD IKHWAN 4. 180110150058 RISWANTO GENDER DALAM PERSPEKTIF KEBUDAYAAN DAYAK BENUAQ SASTRA DALAM NOVEL UPACARA KARYA KORRIE LAYUN RAMPAN 5. 180110150051 JULISA YARNI REPRESENTASI REMAJA TAHUN 1990-AN DAN 2000-AN SASTRA DALAM NOVEL DILAN 1990 KARYA PIDI BAIQ DAN JOMBLO KARYA ADHITYA MULYA 6. 180110150038 LUKMAN HADI RAHMAN INDONESIA PERIODE ORDE BARU PADA NOVEL ORANG- SASTRA ORANG PROYEK KARYA AHMAD TOHARI 7. 180110150012 DZIKRI MAULANA A PENGARUH MODERNISASI PADA MASYARAKAT TORAJA SASTRA MELALUI REPRESENTASI TOKOH DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG 8. 180110140086 IRFAN HADI NUGRAHA ASPEK BIOGRAFIS ACHDIAT KARTA MIHARDJA DALAM NOVEL SASTRA MANIFESTO KHALIFATULLAH SKRIPSI SASTRA, SASTRA INDONESIA, FIB, UNPAD 9. 180110140071 RIZKA KHAERUNNISA MOBILITAS SOSIAL DALAM INDUSTRI KRETEK SASTRA PADA NOVEL GADIS KRETEK KARYA RATIH KUMALA DAN NOVEL SANG RAJA KARYA IKSAKA BANU 10. 180110140070 IHFA FIRDAUSYA DEKONSTRUKSI PENGGAMBARAN PEREMPUAN DALAM SASTRA EMPAT CERPEN INTAN PARAMADITHA DALAM ANTOLOGI KUMPULAN BUDAK SETAN 11. 180110140060 MUHAMAD RIZQI KECEMASAN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL DAN SENJA PUN SASTRA HIDAYAT TURUN KARYA NASJAH DJAMIN 12. 180110140044 SUCI PURNAMA PERMASALAHAN SOSIAL DALAM NOVEL DAWUK : KISAH SASTRA CAHYANI KELABU DARI RUMBUK RANDU KARYA MAHFUD IKHWAN 13.
    [Show full text]
  • Heirs to World Culture DEF1.Indd
    14 The capital of pulp fiction and other capitals Cultural life in Medan, 1950-1958 Marije Plomp The general picture of cultural activities in Indonesia during the 1950s emanating from available studies is based on data pertain- ing to the nation’s political and cultural centre,1 Jakarta, and two or three other main cities in Java (Foulcher 1986; Rhoma Dwi Aria Yuliantri and Muhidin M. Dahlan 2008). Other regions are often mentioned only in the framework of the highly politicized debate on the outlook of an Indonesian national culture that had its origins in the 1930s (Foulcher 1986:32-3). Before the war, the discussions on culture in relation to a nation were anti-colonial and nationalistic in nature, but after Independence the focus shifted. Now the questions were whether or not the regional cul- tures could contribute to a modern Indonesian national culture, and how they were to be valued vis-à-vis that national culture. What cultural life in one of the cities in the outer regions actually looked like, and what kind of cultural networks – national, trans- national and transborder – existed in the various regions has yet to be researched. With this essay I aim to contribute to a more differentiated view on the cultural activities in Indonesia in the 1950s by charting a part of the cultural world of Medan and two of its (trans)national and transborder cultural exchange networks in the period 1950- 1958. This time span covers the first eight years of Indonesia as an independent nation until the start of the insurrection against the central army and government leaders by North Sumatran army commander Colonel Maludin Simbolon on 22 December 1958 (Conboy 2003:37-51).
    [Show full text]
  • Mistikisme Dalam Dua Fiksi Indonesia Putri Karya Putu Wijaya Dan Rangda Karya Sunaryono Basuki Ks: Sensibilitas Lokal Terhadap Budaya Bali
    MISTIKISME DALAM DUA FIKSI INDONESIA PUTRI KARYA PUTU WIJAYA DAN RANGDA KARYA SUNARYONO BASUKI KS: SENSIBILITAS LOKAL TERHADAP BUDAYA BALI Gde Artawan Universitas Pendidikan Ganesha, Bali [email protected] Abstrak Makalah ini bertujuan secara umum mengetahui bagaimana representasi mistikisme dua sastrawan Bali dalam fiksi (novel) dan mengetahui bagaimanakah sensibilas lokalnya,khususnya nilai kultural Bali. Dalam makalah ini dikemukakan dua karya novel para sastrawan terkemuka Bali, yaitu novel Putri karya Putu Wijaya dan novel Rangda karya Sunaryono Basuki Ks. Dua pengarang ini dalam novelnya merepresentasikan interaksi masyarakat Bali dengan berbagai persoalannya.Dalam represeentasinya ada muatan sosiokultural yang muncul khususnya menyangkut ranah dalam konteks pembicaraan tentang mistikisme. Hal ini tentu tidak muncul sedemikian rupa karena sastra lahir bukan dari kekosongan budaya.Baik Putu Wijaya, maupun Sunaryono Basuki,Ks, yang nota bene meliliki latar sosiokultural berbeda, mampu mengungkap segi mistik dalam novelnya dengan sensibilitas yang memadai. Makalah ini diharapkan mampu memberi gambaran salah satu kehidupan sosiokultural Bali dalam novel sebagai rerferensi tekstual bahwa pada karya fiksi pun entitas kultural dapat dirunut. Dua fiksi (novel) Indonesia, Putri karya Putu Wijaya dan Rangda karya Sunaryono Bauki Ks secara alegoris menuturkan tentang adanya kepercayaan terhadap kekuatan supranatural yang melekat pada sebagian masyarakat Bali.Sensibilitas kedua pengarang terhadap sosiokultural Bali cukup memadai. Kata kunci
    [Show full text]
  • PDF Van Tekst
    Over Multatuli. Delen 24-25 bron Over Multatuli. Delen 24-25. Huis aan de Drie Grachten, Amsterdam 1990 Zie voor verantwoording: https://www.dbnl.org/tekst/_ove006199001_01/colofon.php Let op: werken die korter dan 140 jaar geleden verschenen zijn, kunnen auteursrechtelijk beschermd zijn. i.s.m. 3 [Nummer 24] Sitor Situmorang Multatuli en de Indonesische cultuur Een terugblik op zijn Sumatraanse periode In 1972 kwam Multatuli's Max Havelaar voor het eerst uit in het modern Indonesisch. In zijn voorwoord bij die uitgave schreef de toenmalige Indonesische minister van onderwijs, Mashuri, over de betekenis van de Havelaar en Multatuli's optreden in de beginfase van de nationalistische beweging omstreeks de eeuwwisseling. Hij beschouwde het boek ook als een belangrijk sociaal-historisch document, daarbij doelend op de geschiedenis van het Nederlandse kolonialisme en de reactie daarop van Indonesische kant in de tweede helft van de 19e eeuw. Tegen het einde van de 19e eeuw was de Havelaar voor een groot deel van de eerste generatie van de westers opgeleide Indonesische intelligentsia op Java een eye-opener voor de realiteit van het koloniale bestel, en tevens een aanklacht tegen de eigen medeplichtigheid daaraan. De meeste, zo niet alle leden van die intelligentsia, kwamen namelijk voort uit de inheemse bestuursaristocratie, de priaji's, de klasse waartoe ook de Boepati van Lebak, Kartanegara, behoorde. Juist in de tijd dat men nieuwe westerse liberale en democratische ideeën opdeed, gaf de Havelaar nog een impuls tot een kritische kijk op de eigen medeverantwoordelijkheid in het systeem, en uiteraard op het systeem zelf. Dit leidde tot culturele bezinning, tot vragen over de eigen Adat, het geheel van ongeschreven regels waarop de traditionele maatschappij verondersteld werd te rusten, ook in de koloniale situatie.
    [Show full text]
  • Sastra Feminis Indonesia ~ Rizqi.Pdf
    Sastra Feminis Indonesia: Dulu dan Kini Oleh: Rizqi Handayani, MA. Pendahuluan Sepanjang perjalanan kesusastraan Indonesia1 yang dimulai sejak lahirnya bahasa Indonesia pada awal abad ke 20, khususnya setelah Bahasa Indonesia diikrarkan sebagai bahasa Nasional melalui Sumpah Pemuda pada tahun 1928, kesusastraan Indonesia selalu dikerumuni oleh para pengarang laki-laki. Bahkan, dunia kesusastraan menjadi sangat maskulin karena hanya dipenuhi dengan tulisan dari pengarang laki-laki dan tulisan pengarang laki-lakilah yang dibaca oleh khalayak masyarakat. Heryanto menyebut fenomena ini sebagai Phallic Esthetics yang menjadikan perempuan sebagai objek di dalam karya sastra (Heryanto, 1986: 37). Domestikasi perempuan dalam ranah domestik merupakan faktor dominan yang menyebabkan fenomena ini tumbuh subur. Di mana laki-laki lebih dekat dengan dunia publik dibandingkan perempuan sehingga laki-laki memiliki akses yang lebih besar untuk mengembangkan kemampuan diri mereka melalui dunia kepengarangan. Sementara itu, perempuan hanya berkutat di dunia domestik sehingga menghambat berkembangnya daya kreatifitas mereka. Namun, di tengah kesibukan para perempuan di dunia domestik, sebagian kecil dari pengarang perempuan di awal abad kedua puluh masih menyempatkan diri untuk menulis beberapa karya sastra. Misalnya Selasih atau Seleguri (L. 1909) yang menulis dua buah roman dan sajak-sajak yang berjudul Kalau Tak Untung (1933) dan Pengaruh Keadaan (1937), sementara sajak-sajaknya banyak dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe dan Pandji Poestaka. Selain Selasih, sempat juga muncul nama pengarang perempuan lainnya, Hamidah, yang menulis roman berjudul Kehilangan Mestika (1935) (Rosidi 1968: 55-56). Tema-tema yang diangkat oleh para pengarang perempuan tersebut merupakan tema-tema yang ringan tentang penderitaan dan kemelaratan hidup yang dihadapi kaum perempuan. Agaknya, tema-tema tentang kesedihan menjadi pilihan bagi pengarang perempuan masa itu, karena perempuan-perempuan tidak dapat menyuarakan penderitaan dan kemalangan hidup yang mereka alami secara gamblang.
    [Show full text]
  • Nilai Moral Dalam Naskah Drama Cipoa Karya Putu Wijaya Dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia Di Sma
    NILAI MORAL DALAM NASKAH DRAMA CIPOA KARYA PUTU WIJAYA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) Oleh : Shidqi Dhaifan Riadhi 1111013000099 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI NILAI MORAL DALAM NASKAH DRAMA CIPOA KARYA PUTU WIJAYA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) Oleh Shidqi Dhaifan Riadhi 1111013000099 Mengetahui Dosen Pembimbing Rosida Erowati, M. Hum NIP. 19771030 200801 2 009 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 ABSTRAK Shidqi Dhaifan Riadhi (NIM:1111013000099). “Nilai Moral dalam Naskah Drama Cipoa Karya Putu Wijaya dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Rosida Erowati, M.Hum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai moral yang terdapat dalam naskah drama Cipoa karya Putu Wijaya yang diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran di sekolah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan mimetik yang menitikberatkan kajiannya pada hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra. Berdasarkan temuan dan hasil analisis yang dilakukan terhadap naskah drama ini, diketahui bahwa naskah drama Cipoa memuat nilai moral melalui interaksi maupun tingkah laku dari setiap tokoh yang ada.
    [Show full text]
  • Kritik Identitas Dalam Cerpen Bali Karya Putu Wijaya Dan Cerpen Majogjag Karya Djelantik Santha (Komang Wahyu Rustiani, I Gst Md Swastya Dharma Pradnyan)
    : 32 WIDYACARYA Jurnal Pendidikan,: Jurnal Agama DanPendidikan, Budaya Agama Dan Budaya Vol 5, No 1, Maret 2021, pp 32-38 Volume 5, Nomor 1, Maret 2021, pp 32-38 p-ISSN : 2580-7544 e-ISSN : 2721-2394 Open Access: http://jurnal.stahnmpukuturan.ac.id/index.php/widyacarya/index KRITIK IDENTITAS DALAMp-ISSN CERPEN : 2580-7544 e -BALIISSN : 2721 KARYA-2394 PUTU WIJAYA DAN CERPEN MAJOGJAGOpen Access: KARYA http://jurnal.stahnmpukuturan.ac.id/index.php/widyacarya/index DJELANTIK SANTHA Komang Wahyu Rustiani1*, I Gst Md Swastya Dharma Pradnyan 2 1 2 Universitas Universitas Halu Oleo , Universitas Teknologi Indonesia Artikel Info Abstrak Cerpen merupakan salah satu wahana untuk menyampaikan Received: 2021-01-25 apresiasi bahkan kritikan oleh pengarang terhadap situasi sosial Revised : 2021-03-08 yang terjadi. Walaupun karya tersebut dalam teknik penceritaannya Accepted: 2021-03-10 menggunakan lintas bahasa namun, embrio latar belakang kehidupan pengarang tetap hadir membungkus makna bahasa disetiap skema alur yang membangun karya tersebut. Aspek Kata kunci: sosiologis memainkan perannya terhadap keadaan psikis pengarang Identitas, Bali, Majogjag, melalui sistem tanda bahasa dalam melahirkan sebuah cerpen. Hipersemiotika Terdapat dua orang tokoh sastrawan yakni Putu Wijaya dan Djelantik Santha dengan karyanya yaitu "Bali" dan "Majogjag". Aspek psikologis pengarang sangat lekat tercermin serta tertuang Keywords: pada kedua karya itu. Masing-masing pengarang memiliki style identity, Bali, Majogjag, berbeda sebagai kritikus mengenai keadaan Bali. Satu sisi Putu Hyper semiotic Wijaya seorang putra Bali berbicara Bali dari luar Pulau Bali, sementara Djelantik Santha juga seorang putra Bali mengangkat kasus sosial Bali dari dalam Pulau Bali. Tentunya, penelitian ini sangat menarik untuk dibahas karena menghadirkan tokoh sastra dengan paradigma multi interpretasi terhadap masyarakat Bali.
    [Show full text]