Kritik Identitas Dalam Cerpen Bali Karya Putu Wijaya Dan Cerpen Majogjag Karya Djelantik Santha (Komang Wahyu Rustiani, I Gst Md Swastya Dharma Pradnyan)
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
: 32 WIDYACARYA Jurnal Pendidikan,: Jurnal Agama DanPendidikan, Budaya Agama Dan Budaya Vol 5, No 1, Maret 2021, pp 32-38 Volume 5, Nomor 1, Maret 2021, pp 32-38 p-ISSN : 2580-7544 e-ISSN : 2721-2394 Open Access: http://jurnal.stahnmpukuturan.ac.id/index.php/widyacarya/index KRITIK IDENTITAS DALAMp-ISSN CERPEN : 2580-7544 e -BALIISSN : 2721 KARYA-2394 PUTU WIJAYA DAN CERPEN MAJOGJAGOpen Access: KARYA http://jurnal.stahnmpukuturan.ac.id/index.php/widyacarya/index DJELANTIK SANTHA Komang Wahyu Rustiani1*, I Gst Md Swastya Dharma Pradnyan 2 1 2 Universitas Universitas Halu Oleo , Universitas Teknologi Indonesia Artikel Info Abstrak Cerpen merupakan salah satu wahana untuk menyampaikan Received: 2021-01-25 apresiasi bahkan kritikan oleh pengarang terhadap situasi sosial Revised : 2021-03-08 yang terjadi. Walaupun karya tersebut dalam teknik penceritaannya Accepted: 2021-03-10 menggunakan lintas bahasa namun, embrio latar belakang kehidupan pengarang tetap hadir membungkus makna bahasa disetiap skema alur yang membangun karya tersebut. Aspek Kata kunci: sosiologis memainkan perannya terhadap keadaan psikis pengarang Identitas, Bali, Majogjag, melalui sistem tanda bahasa dalam melahirkan sebuah cerpen. Hipersemiotika Terdapat dua orang tokoh sastrawan yakni Putu Wijaya dan Djelantik Santha dengan karyanya yaitu "Bali" dan "Majogjag". Aspek psikologis pengarang sangat lekat tercermin serta tertuang Keywords: pada kedua karya itu. Masing-masing pengarang memiliki style identity, Bali, Majogjag, berbeda sebagai kritikus mengenai keadaan Bali. Satu sisi Putu Hyper semiotic Wijaya seorang putra Bali berbicara Bali dari luar Pulau Bali, sementara Djelantik Santha juga seorang putra Bali mengangkat kasus sosial Bali dari dalam Pulau Bali. Tentunya, penelitian ini sangat menarik untuk dibahas karena menghadirkan tokoh sastra dengan paradigma multi interpretasi terhadap masyarakat Bali. Akhir-akhir ini perbincangan mengenai identitas merupakan salah satu tema sentral dalam kaitannya dengan arus globalisasi. Hal tersebut juga menjadi suatu wacana dalam cerpen "Bali" dan "Majogjag, terdapat perumusan kembali terkait degradasi identitas tokoh Bali terhadap identitas budaya lokal mereka. Adanya rekonstruksi ulang berdasarkan atas modifikasi beserta perubahan identitas yang dialami. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa Bahasa bukan menjadi pembatas dalam berkarya, begitupula aspek sosiologis lahiriah pengarang dalam proses modifikasi identitas sosial, melainkan upaya perumusan kembali terkait identitas tokoh dalam cerpen perspektif Hipersemiotika Abstract Short story is a medium of writers to articulate appreciation even critique toward social problems happen. Even though the story used narrative style of cross languages, the writer’s background still appeared inside the language meaning in every scheme plot of the story. Sociological aspect plays the role toward writers’ psychology through the language sign system in creating the short story. There are two Balinese writers, both are Putu Wijaya and Djelantik Santha with their short stories “Bali” and “Majogjag”. Both writers’ Psychology aspect was noticeably in their stories. Each writer has different style as critic about Bali condition. Putu Wijaya as a man of Bali talks about Bali condition from the outside of Bali Island. Djelantik Santha, on the other side, as a man of Bali talks about social problems from the inside of Bali Island. This paper, certainly, is interesting to discuss since present two Balinese writers with multiinterpretation paradigm toward Balinese people. * Kritik Corresponding Identitas dalam author: Cerpen Bali Karya Putu Wijaya dan Cerpen Majogjag Karya Djelantik Santha (Komang Wahyu Rustiani, I Gst Md Swastya Dharma Pradnyan) E-mail : [email protected] (Komang Wahyu Rustiani) Penerbit: STAHN Mpu Kuturan Singaraja : Jurnal Pendidikan, Agama Dan Budaya 33 Vol 5, No 1, Maret 2021, pp 32-38 I. PENDAHULUAN Istilah di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung, memberikan asumsi bahwa seseorang kurang berhak lagi terhadap segala bentuk kearifan yang diwarisinya sejak lahir. Berbagai penyesuaian harus dilakukan demi bertahan hidup. Akan tetapi, di tengah semangat juang yang berkobar dalam benak orang tersebut sesekali pasti bertanya-tanya, apakah revolusi budaya di tempat baru tidak melunturkan budaya nenek moyang ditanah kelahiran, atau masihkah dirinya dianggap sebagai putra asli tanah kelahiranya, fenomena di atas menjadi momok sehingga, kerap kali menghadirkan mimik negatif bagi masyarakat rantauan ketika kembali pulang untuk menjawab kerinduan tempat asalnya. Salah seorang sastrawan Bali bernama Putu Wijaya mengisyaratkan mengenai keadaan psikis seorang rantauan dalam sebuah cerpen yang berjudul Bali. Bagi pembaca, karya beliau merupakan sebuah "mirror On the Lamp" atau lebih dikenal dengan bayangan kehidupan yang dialami pengarang. Sosok sastrawan Bali kelahiran 1944 lebih dikenal di luar pulau Bali terutama di Jakarta (Wijaya, 2004: 211). karya beliau banyak menginspirasi seniman-seniman muda, serta sanggar-sanggar teater di Jawa mengakui kredibilitas beliau dibidang seni pertunjukan, bahkan beliau dianggap sebagai bapak drama di Indonesia. Selain sebagai tokoh seniman teater beraliran realis, tulisan-tulisan beliau juga sering diadopsi oleh beberapa sanggar, karena sebagian besar menggambarkan ikhwal konflik kehidupan. Kepiawaian dalam menulis mengantarkan beliau pada berbagai penghargaan. Namun, uniknya sebagian besar karya beliau berbahasa Indonesia padahal secara implisit dari segi tema menandakan ulasan ceritanya mengisahkan tentang adat, tradisi dan budaya kehidupan di Bali. Berbeda halnya dengan seorang pengarang sastra modern yang lahir dan besar di Bali, tepatnya desa Selat Kabupaten Karangasem tahun 1941. Adapun sosok pengarang senior yang bernama Djelantik Santha. Karya-karya beliau sebagian besar mencerminkan kehidupan pulau kelahirannya dalam Bahasa Bali secara spesifik. Beberapa karyanya juga mendapat penghargaan terutama tulisan dengan judul "Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang" bergendre Novel termuat dalam Majalah Suara Saking Bali. Pada era 70-an ide dan gagasan beliau sangat kental perihal identitas pernikahan beda kasta. Masa itu status sosial masih sangat sensitif untuk diperdebatkan serta pernikahan lintas kasta sangat tabu untuk dilanggar. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya penanda tokoh-tokoh yang terlibat selalu digugurkan saat adanya konflik percintaan beda kasta. Cerpen Bali mencerminkan sebuah teror mental bagi pembaca, karena pertanyaan- pertanyaan yang dihadirkan memberikan ruang penafsiran terhadap identitas ke-Bali-an seseorang, akibat dari memudarnya interaksi bahkan melampaui batas-batas sosial kemasyarakatan. Menurut Piliang, (2011:109) lenyapnya batas-batas sosial dikarenakan era globalisasi dan abad virtual menjadikan konsep-konsep sosial seperti integerasi, kesatuan, persatuan, nasionalisme dan solidaritas, tampak semakin kehilangan realitas sosialnya dan akhirnya menjadi mitos. Selain faktor perkembangan teknologi menjelang abad ke-21, masyarakat juga secara tidak langsung diarahkan lebih intens melakukan komunikasi melalui virtual, karena dunia sedang dilanda pandemi. Pemerintah berupaya memutus mata rantai penyebaran virus dengan jalan memberikan himbauan sosial distancing demi keselamatan warga. Demi eksistensi interaksi sosial, masyarakat harus siap mengadakan penyesuaian budaya virtual dengan merumuskan kembali tatanan nilai-nilai dan norma-norma sosial, sehingga degradasi budaya lokal tidak terjadi secara ekstrim dan setidaknya marwah dari identitas budaya lokal masih melekat dalam proses interaksi virtual. Bahkan, Pemerintah Bali melalui Majelis Desa Adat menghimbau warganya agar melakukan upacara keagamaan secara sederhana. Kemudian timbul pertanyaan apakah masyarakat pada era new normal masih berhak untuk menyandang identitas budayanya di masa lampau, hal tersebut menjadi perdebatan dalam sebuah cerpen Karya Putu Wijaya yang berjudul "Bali". Selanjutnya cerpen "Majogjag" belum jauh mengalami transformasi dari Hipogram karya- karya Djelantik Santha terdahulu. Beliau masih sarat mempertontonkan adegan perbedaan identitas Kritik Identitas dalam Cerpen Bali Karya Putu Wijaya dan Cerpen Majogjag Karya Djelantik Santha (Komang Wahyu Rustiani, I Gst Md Swastya Dharma Pradnyan) : Jurnal Pendidikan, Agama Dan Budaya 34 Vol 5, No 1, Maret 2021, pp 32-38 kasta dan ras. Akan tetapi, awal cerita mengalami perluasan konflik dari perbedaan penggunaan komunikasi antar generasi yang mengindikasikan lunturnya identitas ke-Bali-an hingga mencangkup perbedaan Agama. Menurut Jonathan Rutherford, Identitas merupakan satu mata rantai masa lalu dengan hubungan-hungan sosial kultural, dan ekonomi di dalam ruang dan waktu satu masyarakat, sesekali identitas tersebut mengkristal atau mengalami kebuntuan maka saat itu ia akan dipelihara dan dimodifikasi atau bahkan diubah melalui hubungan-hubungan sosial dimasa sekarang, dengan demikian akan sangat ditentukan oleh perubahan pola sosial (Piliang, 2011:367), sehingga dapat diinterpretasikan bahwa identitas merupakan ikhtisar dari masa lalu yang disesuaikan berdasarkan semangat jiwa zaman. Berdasarkan uraian di atas, maka akan dilakukan analisis dua buah cerpen dengan bahasa dan latar belakang pengarang berbeda walaupun asalnya sama berasal dari pulau Bali, akan tetapi dalam karyanya mengangkat isu tentang konflik identitas perspektif Hipersemiotika. II PEMBAHASAN Hipersemiotika merupakan sebuah paradigma tentang tanda ketika kehadiran makna melampaui batas interpretasi yang mewakili