WIDYACARYA : Jurnal Pendidikan,: Jurnal Agama DanPendidikan, Budaya Agama Dan Budaya 32 Vol 5, No 1, Maret 2021, pp 32-38 Volume 5, Nomor 1, Maret 2021, pp 32-38 p-ISSN : 2580-7544 e-ISSN : 2721-2394 Open Access: http://jurnal.stahnmpukuturan.ac.id/index.php/widyacarya/index

KRITIK IDENTITAS DALAMp-ISSN CERPEN : 2580-7544 e -BALIISSN : 2721 KARYA-2394 PUTU WIJAYA DAN CERPEN MAJOGJAGOpen Access: KARYA http://jurnal.stahnmpukuturan.ac.id/index.php/widyacarya/index DJELANTIK SANTHA

Komang Wahyu Rustiani1*, I Gst Md Swastya Dharma Pradnyan 2

Universitas Universitas Halu Oleo 1, Universitas Teknologi 2

Artikel Info Abstrak

Cerpen merupakan salah satu wahana untuk menyampaikan Received: 2021-01-25 apresiasi bahkan kritikan oleh pengarang terhadap situasi sosial Revised : 2021-03-08 yang terjadi. Walaupun karya tersebut dalam teknik penceritaannya Accepted: 2021-03-10 menggunakan lintas bahasa namun, embrio latar belakang kehidupan pengarang tetap hadir membungkus makna bahasa disetiap skema alur yang membangun karya tersebut. Aspek Kata kunci: sosiologis memainkan perannya terhadap keadaan psikis pengarang Identitas, , Majogjag, melalui sistem tanda bahasa dalam melahirkan sebuah cerpen. Hipersemiotika Terdapat dua orang tokoh sastrawan yakni Putu Wijaya dan Djelantik Santha dengan karyanya yaitu "Bali" dan "Majogjag". Aspek psikologis pengarang sangat lekat tercermin serta tertuang Keywords: pada kedua karya itu. Masing-masing pengarang memiliki style identity, Bali, Majogjag, berbeda sebagai kritikus mengenai keadaan Bali. Satu sisi Putu Hyper semiotic Wijaya seorang putra Bali berbicara Bali dari luar Pulau Bali, sementara Djelantik Santha juga seorang putra Bali mengangkat kasus sosial Bali dari dalam Pulau Bali. Tentunya, penelitian ini sangat menarik untuk dibahas karena menghadirkan tokoh sastra dengan paradigma multi interpretasi terhadap masyarakat Bali. Akhir-akhir ini perbincangan mengenai identitas merupakan salah satu tema sentral dalam kaitannya dengan arus globalisasi. Hal tersebut juga menjadi suatu wacana dalam cerpen "Bali" dan "Majogjag, terdapat perumusan kembali terkait degradasi identitas tokoh Bali terhadap identitas budaya lokal mereka. Adanya rekonstruksi ulang berdasarkan atas modifikasi beserta perubahan identitas yang dialami. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa Bahasa bukan menjadi pembatas dalam berkarya, begitupula aspek sosiologis lahiriah pengarang dalam proses modifikasi identitas sosial, melainkan upaya perumusan kembali terkait identitas tokoh dalam cerpen perspektif Hipersemiotika Abstract Short story is a medium of writers to articulate appreciation even critique toward social problems happen. Even though the story used narrative style of cross languages, the writer’s background still appeared inside the language meaning in every scheme plot of the story. Sociological aspect plays the role toward writers’ psychology through the language sign system in creating the short story. There are two Balinese writers, both are Putu Wijaya and Djelantik Santha with their short stories “Bali” and “Majogjag”. Both writers’ Psychology aspect was noticeably in their stories. Each writer has different style as critic about Bali condition. Putu Wijaya as a man of Bali talks about Bali condition from the outside of Bali Island. Djelantik Santha, on the other side, as a man of Bali talks about social problems from the inside of Bali Island. This paper, certainly, is interesting to discuss since present two Balinese writers with multiinterpretation paradigm toward Balinese people.

* Kritik Corresponding Identitas dalam author: Cerpen Bali Karya Putu Wijaya dan Cerpen Majogjag Karya Djelantik Santha (Komang Wahyu Rustiani, I Gst Md Swastya Dharma Pradnyan) E-mail : [email protected] (Komang Wahyu Rustiani) Penerbit: STAHN Mpu Kuturan Singaraja

: Jurnal Pendidikan, Agama Dan Budaya 33 Vol 5, No 1, Maret 2021, pp 32-38

I. PENDAHULUAN Istilah di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung, memberikan asumsi bahwa seseorang kurang berhak lagi terhadap segala bentuk kearifan yang diwarisinya sejak lahir. Berbagai penyesuaian harus dilakukan demi bertahan hidup. Akan tetapi, di tengah semangat juang yang berkobar dalam benak orang tersebut sesekali pasti bertanya-tanya, apakah revolusi budaya di tempat baru tidak melunturkan budaya nenek moyang ditanah kelahiran, atau masihkah dirinya dianggap sebagai putra asli tanah kelahiranya, fenomena di atas menjadi momok sehingga, kerap kali menghadirkan mimik negatif bagi masyarakat rantauan ketika kembali pulang untuk menjawab kerinduan tempat asalnya. Salah seorang sastrawan Bali bernama Putu Wijaya mengisyaratkan mengenai keadaan psikis seorang rantauan dalam sebuah cerpen yang berjudul Bali. Bagi pembaca, karya beliau merupakan sebuah "mirror On the Lamp" atau lebih dikenal dengan bayangan kehidupan yang dialami pengarang. Sosok sastrawan Bali kelahiran 1944 lebih dikenal di luar pulau Bali terutama di (Wijaya, 2004: 211). karya beliau banyak menginspirasi seniman-seniman muda, serta sanggar-sanggar teater di Jawa mengakui kredibilitas beliau dibidang seni pertunjukan, bahkan beliau dianggap sebagai bapak drama di Indonesia. Selain sebagai tokoh seniman teater beraliran realis, tulisan-tulisan beliau juga sering diadopsi oleh beberapa sanggar, karena sebagian besar menggambarkan ikhwal konflik kehidupan. Kepiawaian dalam menulis mengantarkan beliau pada berbagai penghargaan. Namun, uniknya sebagian besar karya beliau berbahasa Indonesia padahal secara implisit dari segi tema menandakan ulasan ceritanya mengisahkan tentang adat, tradisi dan budaya kehidupan di Bali. Berbeda halnya dengan seorang pengarang sastra modern yang lahir dan besar di Bali, tepatnya desa Selat Kabupaten Karangasem tahun 1941. Adapun sosok pengarang senior yang bernama Djelantik Santha. Karya-karya beliau sebagian besar mencerminkan kehidupan pulau kelahirannya dalam Bahasa Bali secara spesifik. Beberapa karyanya juga mendapat penghargaan terutama tulisan dengan judul "Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang" bergendre Novel termuat dalam Majalah Suara Saking Bali. Pada era 70-an ide dan gagasan beliau sangat kental perihal identitas pernikahan beda kasta. Masa itu status sosial masih sangat sensitif untuk diperdebatkan serta pernikahan lintas kasta sangat tabu untuk dilanggar. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya penanda tokoh-tokoh yang terlibat selalu digugurkan saat adanya konflik percintaan beda kasta. Cerpen Bali mencerminkan sebuah teror mental bagi pembaca, karena pertanyaan- pertanyaan yang dihadirkan memberikan ruang penafsiran terhadap identitas ke-Bali-an seseorang, akibat dari memudarnya interaksi bahkan melampaui batas-batas sosial kemasyarakatan. Menurut Piliang, (2011:109) lenyapnya batas-batas sosial dikarenakan era globalisasi dan abad virtual menjadikan konsep-konsep sosial seperti integerasi, kesatuan, persatuan, nasionalisme dan solidaritas, tampak semakin kehilangan realitas sosialnya dan akhirnya menjadi mitos. Selain faktor perkembangan teknologi menjelang abad ke-21, masyarakat juga secara tidak langsung diarahkan lebih intens melakukan komunikasi melalui virtual, karena dunia sedang dilanda pandemi. Pemerintah berupaya memutus mata rantai penyebaran virus dengan jalan memberikan himbauan sosial distancing demi keselamatan warga. Demi eksistensi interaksi sosial, masyarakat harus siap mengadakan penyesuaian budaya virtual dengan merumuskan kembali tatanan nilai-nilai dan norma-norma sosial, sehingga degradasi budaya lokal tidak terjadi secara ekstrim dan setidaknya marwah dari identitas budaya lokal masih melekat dalam proses interaksi virtual. Bahkan, Pemerintah Bali melalui Majelis Desa Adat menghimbau warganya agar melakukan upacara keagamaan secara sederhana. Kemudian timbul pertanyaan apakah masyarakat pada era new normal masih berhak untuk menyandang identitas budayanya di masa lampau, hal tersebut menjadi perdebatan dalam sebuah cerpen Karya Putu Wijaya yang berjudul "Bali". Selanjutnya cerpen "Majogjag" belum jauh mengalami transformasi dari Hipogram karya- karya Djelantik Santha terdahulu. Beliau masih sarat mempertontonkan adegan perbedaan identitas

Kritik Identitas dalam Cerpen Bali Karya Putu Wijaya dan Cerpen Majogjag Karya Djelantik Santha (Komang Wahyu Rustiani, I Gst Md Swastya Dharma Pradnyan)

: Jurnal Pendidikan, Agama Dan Budaya 34 Vol 5, No 1, Maret 2021, pp 32-38

kasta dan ras. Akan tetapi, awal cerita mengalami perluasan konflik dari perbedaan penggunaan komunikasi antar generasi yang mengindikasikan lunturnya identitas ke-Bali-an hingga mencangkup perbedaan Agama. Menurut Jonathan Rutherford, Identitas merupakan satu mata rantai masa lalu dengan hubungan-hungan sosial kultural, dan ekonomi di dalam ruang dan waktu satu masyarakat, sesekali identitas tersebut mengkristal atau mengalami kebuntuan maka saat itu ia akan dipelihara dan dimodifikasi atau bahkan diubah melalui hubungan-hubungan sosial dimasa sekarang, dengan demikian akan sangat ditentukan oleh perubahan pola sosial (Piliang, 2011:367), sehingga dapat diinterpretasikan bahwa identitas merupakan ikhtisar dari masa lalu yang disesuaikan berdasarkan semangat jiwa zaman. Berdasarkan uraian di atas, maka akan dilakukan analisis dua buah cerpen dengan bahasa dan latar belakang pengarang berbeda walaupun asalnya sama berasal dari pulau Bali, akan tetapi dalam karyanya mengangkat isu tentang konflik identitas perspektif Hipersemiotika.

II PEMBAHASAN Hipersemiotika merupakan sebuah paradigma tentang tanda ketika kehadiran makna melampaui batas interpretasi yang mewakili penanda tersebut (Piliang, 2012-249:261). Apabila demikian dapat dinterpretasikan bahwa, dalam sistem produksi tanda pembaca lebih leluasa dalam memaknai sebuah tanda sehingga proses pemaknaan bersifat multi interpretable, karena kehadiran makna bersifat dinamis. Berbeda dengan konsep para pemikir-pemikir semiotika di era Ferdinand de Saussure. Proses semiosis Saussure lebih sistematis mengadirkan keterkaitan hubungan antar tanda. Ketika bunga mawar dmaknai sebagai sebuah penanda cinta, maka makna bunga akan mati sampai di sana, kemudian menutup ruang interpretasi baru akibat dari sebuah kesepakatan bersama. Hipersemiotika menolak matinya makna, oleh karenanya penanda tersebut akan dimaknai kembali atau dalam dunia konsep penandaan Hipersemiotika dikatakan pendaur ulangan makna sebagai proses ragam interpretasi sesuai perkembangan zaman. Bunga mawar disimbolkan sebagai tanda cinta pada zaman dulu saat berhubungan dengan ketulusan perasaan. Namun, di era sekarang apabila seseorang memberikan bunga mawar kepada pasangannya sistem produksi tanda akan mengalami pergerakan ke arah multi interpretasi mengenai ketulusan perasaan. Di sinilah letak paradigma Hipersemiotika menjalankan perannya untuk mendaur ulang kembali makna tersebut. Berbagai pertanyaan akan timbul mengenai konsep tentang cinta, apakah cinta tulus, cinta palsu, cinta buta atau adakah ideologi di balik pemberian bunga tersebut, yang berfungsi untuk menghegemoni seseorang agar sifat buruknya dapat tertutupi. Uraian di atas memberikan gambaran kepada pembaca, tentang konsep dasar Hipersemiotika yang akan diulas lebih lanjut pada bahasa dalam karya sastra berbentuk cerpen. Wacana Identitas menjadi tema sentral yang diangkat dalam anisis ini, karena berbagai data terindikasi mengacu pada wacana tersebut. Akan tetapi, perlu dilakukan pengujian lebih mendalam agar paradigma Hipersemiotika mampu memainkan perannya dalam proses sistem produksi tanda pada setiap objek yaitu kata itu sendiri.

2.1 Kritik Identitas Cerpen "Bali" Karya Putu Wijaya Sesuai dengan style Putu Wijaya, pola penulisan beliau ketika melahirkan karya selalu mempertontonkan kejutan-kejutan adegan disetiap episodenya dan terkadang tidak terpikirkan oleh pembaca. Seperti ungkapan awal pada cerpen "Bali". Paragraf awal telah memunculkan konflik batiniah mengenai perdebatan jati diri berdasarkan kutipan di bawah ini, Kutipan, 1.1 "Apa yang menyebabkan seseorang menjadi orang Bali? Agama? Tanah kelahiran? Tempat tinggal?

Kritik Identitas dalam Cerpen Bali Karya Putu Wijaya dan Cerpen Majogjag Karya Djelantik Santha (Komang Wahyu Rustiani, I Gst Md Swastya Dharma Pradnyan)

: Jurnal Pendidikan, Agama Dan Budaya 35 Vol 5, No 1, Maret 2021, pp 32-38

Kumpulan persoalan di atas, seluruhnya secara umum mewakili jati diri orang Bali. Bagi Pembaca jika melihat kata Agama dari sudut pandang arti, maka sudah tentu Agama yang dimaksud adalah masyarakat Bali yang menganut Agama Hindu atau dapat dikatan seorang agamais. Fenomena tersebut dibuktikan dengan mayoritas dari penduduk pulau Bali menganut Agama Hindu. Bagi pengarang walaupun hanya menyebutkan Agama saja, bukan berarti secara kontekstual makna yang dituju adalah Agama Hindu secara definitif sebagai penanda identitas orang Bali. Melainkan, karena sebagian besar masyarakat Bali menjungjung religiusitas dalam artian kehidupan sosialnya masih lekat dengan prosesi upacara keagamaan. Covarrubias, (2014:298) menjelaskan bahwa, Agama Hindu di Bali tidak seutuhnya menganut Hiduisme India, segala bentuk aktivitas upacara keagamaan dianggap Agama Bali karena sistem kepercayaan masyarakatnya berbeda dengan di India, sekalipun dari segi tattwa beberapa mengadopsi filsafat Hindu di India, pada kenyataannya dari segi pemujaan secara etika dan upacara diwarisi secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Jadi Agama merupakan sebuah tanda jika dilihat dari perspektif Hipersemiotika memungkinkan terjadinya pendaur ulangan makna dengan melampaui batas yang ditandainya (Hypersign) Piliang, (2012:282), Agama mengalami proses produksi tanda yaitu Agama Hindu yang berkembang di Bali sesuai dengan kearifan lokal masyarakat Bali. Selain itu, untuk mempertanyakan sebuah identitas tidak cukup hanya mengacu pada indikator Agama saja, karena dewasa ini, di Bali telah terjadi migrasi penduduk secara masif, terdapat pula masyarakat minoritas pemeluk Agama berbeda yang diakui oleh Negara sesuai dengan falsafah Pancasila. Selanjutnya Tanah Kelahiran, persepsi awal tanda tersebut menunjukan kelahiran warga pribumi sebagai pewaris tanah kelahirannya beserta budaya yang dimiliki. Pengarang mengangkat isu Tanah Kelahiran, karena periodisasi mengenai kelahiran seseorang, termasuk sulit untuk diidentifikasi kemudian dijadikan salah satu syarat untuk menggap bahwa orang tersebut warga pribumi atau pendatang. Secara histori, sebelum zaman belanda, masa pemerintahan raja-raja, masyarakat yang kini dianggap orang Bali masih menyimpan misteri untuk diungkap dalam konteks identitas pada cerpen tersebut. Karena, secara spesifik sejak kapan nenek moyang orang Bali lahir di Bali belum diketahui secara pasti. Sejarah menjelaskan dalam "History of Java" dulunya pulau Bali masih bersatu dengan Jawa begitu halnya dalam Mitos juga disebutkan bahwa seorang Pendeta Suci (Danghyang Nirartha) dikatakan memisahkan Pulau Jawa dengan Bali. Ketika Jawa jatuh ke tangan kerajaan Islam, saat itulah penduduk Jawa memutuskan untuk pindah ke Bali (Covarrubias, 2011:3-5). Pemilihan diksi estetis dipergunakan oleh Putu Wijaya, untuk mengkritisi indikator sebuah identitas. Tanah kelahiran mengalami dimensi perubahan makna melampaui batas-batas indikasi yang mewakili tanda Identitas, ragam interpretasi muncul, saat tanda tersebut tidak mampu membuktikan batas realitas fenomena bahwa berbagai etnis bertahun-tahun telah lahir di Bali. Seperti orang berkulit putih bermata sipit yang dianggap sebagai orang Cina. Berikutnya Tempat tinggal, secara administratif tempat tinggal megacu pada alamat seseorang (Poerwadarminta, 1985:28). Seperti yang diketahui bahwa seseorang yang memiliki rumah di desa sebuah pulau maka, alamat yang tercantum pada kartu identitasnya yakni alamat tempat tinggalnya secara kedinasan. Selain itu, dari tatanan bentuk, rumah orang Bali dibangun sesuai struktur rumah adat ke-Bali-an. Seperti terdapat bangunan dengan istilah Bale Daja, Bale Delod, Bale Dangin sesuai dengan fungsi sosial kemasyarakatan mereka. Adanya kata alamat sebagai representasi dari tempat tinggal, menyebabkan kerancuan faktor penentu identitas seseorang. Karena dalam catatan kedinasan lambat laun alamat asal seseorang tak akan terdeteksi dalam cacatan administrasi Negara. Seperti contoh, Orang [A] alamat asalnya di Bali, kemudian ia melakukan transmigrasi ke Kalimantan kemudian bertahun-tahun tinggal di sana maka selanjutnya, alamat yang tertera pada kartu identitasnya yaitu Kalimantan. Oleh karenanya, Hak Orang [A] secara administrasi kedinasan akan hilang di tempat tinggal asalnya. Kutipan 1.2

Kritik Identitas dalam Cerpen Bali Karya Putu Wijaya dan Cerpen Majogjag Karya Djelantik Santha (Komang Wahyu Rustiani, I Gst Md Swastya Dharma Pradnyan)

: Jurnal Pendidikan, Agama Dan Budaya 36 Vol 5, No 1, Maret 2021, pp 32-38

Apakah aku bukan orang Bali, karena aku tidak memakai kain? Ke mana-mana aku memakai celana jins dan sepatu kets.

Kata Kain, Celana Jins dan Sepatu Kets pada kutipan di atas dipilih oleh pengarang untuk membangun wacana identitas lebih khusus. Ketiga kata tersebut dianggap sangat jauh bila disandingkan dengan pakaian orang Bali. Telah diketahui bahwa budaya pakaian orang Bali memakai kamben, kebaya, dan udeng. Covarrubias, (2011:114-115) menjelaskan biasanya pakaian lelaki dan perempuan terdiri atas sebuah baju, kamben yang dibuat dari bahan tenunan tangan (bagi perempuan menggunakan rok dalam atau tapih, dan selembar ikat kepala yang dinamakan udeng untuk laki-laki. Mode baru memperkenalkan semacam kelas baru. Generasi muda yang anggun merasa unggul dan beremansipasi dari kelas petani yang bergaya kuno mengenakan pakaian melayu bahkan bergaya orang Eropa seperti menambahkan jas dan sepatu kulit untuk menambah eleganitas penampilan kaum muda. Selain itu, sebagai tuntutan pekerjaan juga mendukung perubahan seseorang dalam berpenampilan, seperti pekerja kantoran, pengusaha, dan yang lainnya. Sebagai pulau dengan tujuan wisatawan asing generasi muda Bali lebih intens bersosialisasi dengan orang Eropa yang pada jangka lama akan menentukan mode bagi penduduk yang lain. Perlu diakui bahwa modernisasi menyamarkan identitas seseorang dari segi cara berpakaian.

2.2 Kritik Identitas Cerpen "Majogjag" Karya Djelantik Santha Sebagai sastrawan yang lahir dan hidup di Bali Djelantik Santha memandang degradasi Identitas ke-Bali-an melalui sistem komunikasi. Eksistensi Bahasa Bali kembali mendapat perhatian Pemerintah melalui Pergub No 20 Tahun 2013, isinya mewajibkan setiap satuan pendidikan dasar dan menengah khususnya di Bali untuk mengajarkan Bahasa, Aksara dan Sastra Bali minimal 2 jam pelajaran per minggu. Berikut kutipan yang dimaksud, Kutipan 2.1 “Ento suba ané nikaanga tekén Gusti Mangku i tuni semengan. Raganné masadu marasa nyelsel ngelah oka dadua pada wikan nyastra lan mabasa Bali, Kawi, nanging tusing nyidang ngurukang oka padidi mabasa Bali.

Terjemahan, Itulah yang dibicarakan oleh Gusti Mangku tadi pagi, beliau mengadu merasa menyesal mempunyai dua anak padahal beliau pintar dalam sastra dan berbahasa Bali, Kawi, namun tidak mampu melatih anaknya berbahasa Bali.

Kutipan di atas mengisyaratkan bahwa, sebagai orang Bali wajib untuk melestarikan eksistensi Bahasa Bali yang telah diwarisi sebagai Bahasa Ibu secara turun temurun. Bahasa Bali kembali mendapat perhatian oleh misionaris-misionaris pemuda Bali, melalui Penyuluh Bahasa Bali dan para relawan Bahasa, beserta Kaum Akademis dengan jalan membuat konten-konten kreatif untuk menarik minat belajar anak-anak. Untuk upaya itu, memang patut diberikan apresiasi, sehingga beberapa lomba menyangkut Bahasa Bali telah dilaksanakan oleh Pemerintah beserta lembaga terkait pada acara Bulan Bahasa di Bulan Pebruari. Terkait dengan wacana identitas, ulasan mengenai upaya peletarian Bahasa sangat mendukung kuatnya identitas orang Bali, akan tetapi makna identitas tidak sampai di sana. Karena Bahasa Bali tidak hanya dilestarikan oleh orang Bali, terdapat guru kelas pada sekolah dasar yang notabena warga minoritas berasal dari Jawa bahkan tidak menganut kepercayaan Hindu Bali sangat fasih berbahasa Bali serta mampu menulis Aksara Bali. Selain guru, adapula beberapa Bule yang sudah lama menetap di Bali, mereka juga fasih dalam Berbahasa Bali sesuai dengan tata cara berbahasa (anggah-ungguh).

Kritik Identitas dalam Cerpen Bali Karya Putu Wijaya dan Cerpen Majogjag Karya Djelantik Santha (Komang Wahyu Rustiani, I Gst Md Swastya Dharma Pradnyan)

: Jurnal Pendidikan, Agama Dan Budaya 37 Vol 5, No 1, Maret 2021, pp 32-38

Hipersemiotika kembali menandai makna tanda yaitu berbahasa Bali bukan sebagai faktor identik penentu identitas orang Bali. Siapapun yang berkeinginan ikut meletarikan budaya Bali mempelajari Bahasa Bali ke depan kepunahan Bahasa sedikit demi sedikit akan dapat teratasi. Menurut Barker, (2003:133), identitas merupakan sebuah deskripsi, tidak ada identitas tunggal yang bertindak sebagai yang total-menyeluruh, melainkan pelbagai identitas yang bergeser seturut bagaiman subjek dikenali atau direpresentasikan. Ringkasnnya, kita dibentuk oleh mosaik kemajemukan identitas. Ulasan berikutnya seperti halnya cerpen karya Putu Wijaya, tokoh dalam cerpen ini memperdebatkan mengenai masalah Agama. Namun, tetap dengan gaya beliau selalu menghadirkan konflik pernikahan beda kepercayaan. Seperti pada kutipan sebagai berikut, Kutipan, 2.2 Tekan tiangé mulih sujatinné lakar morahan yén kayang lulusé ené tiang payu ngantén ajak gélan tiangé Setyowati. Nanging ia sing nyak magama Hindu. Yén dadi cara Jawa, tiang ajakina milu gaman raganné.

Terjemahan, Saya datang kesini untuk memberitahukan apabila nanti lulus, saya akan menikah dengan pacar saya Setyowati, Namun ia tidak mau menganut kepercayaan hindu, jika boleh seperti Jawa, saya diajak ikut sesuai dengan kepercayaan yang ia anut.

Konflik Agama sering kali memecah belah persatuan dan kesatuan, terutama Negara dengan penduduk beraneka ragam Agama. Salah satu contoh yaitu, Negara Republik Indonesia, seyogyanya perbedaan kepercayaan digunakan sebagai media untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan, bagi oknum yang ingin memecah belah persatuan warga Negara, Agama dijadikan sebagai alat dikait- kaitkan dengan suku, ras, dan etnis sebagai identitas seseorang.

III. PENUTUP Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pada cerpen "Bali" dan Majogjag" persoalan Agama, Bahasa, Tempat Tinggal, Pakaian perlu dijelaskan kembali sebagai tanda yang merujuk mengenai Orang Bali. Perspektif Hipersemiotika membuka ruang tanpa batas realitas bagi pembaca untuk mereinterpretasi kembali makna. Identitas dibayangkan sebagai sesuatu yang universal seyogyanya perlu dipahami secara kompleks sehingga mampu mewakili makna tanda secara menyeluruh. Identitas tidak akan merampas Hak seseorang atas tanah asalnya melainkan bila dipandang lebih luas bahwa, seseorang hanya kehilangan Hak administrasi kedinasannya. Kemudian mengenai Pengarang, walaupun beliau-beliau merupakan sastrawan kelahiran sama namun berbeda tempat tinggal, mereka memiliki paradigma tentang situasi yang terjadi di Pulau Bali. Hanya saja, style mereka menyampaikan melalui karya berbeda. Putu Wijaya berasumsi bahwa siapapun yang tinggal di Bali memiliki andil dan bertanggung jawab atas kemajuan serta kedamaian Bali kedepan tanpa mempermasalahkan identitas. Sedangkan, Djelantik Santha secara tersirat menyampaikan ide dan gagasannya bahwa sebuah kedamaian dan kemajuan Bali secara masif sangat perlu dicontohkan dari putra yang lahir di Bali.

DAFTAR PUSTAKA

Barker, Chris. 2003. Kamus Kajian Budaya. : PT Kanisius.

Covarrubias, Miguel. 2014. Pulau Bali: Temuan yang Menakjubkan. Denpasar: Udaya University Press.

Kritik Identitas dalam Cerpen Bali Karya Putu Wijaya dan Cerpen Majogjag Karya Djelantik Santha (Komang Wahyu Rustiani, I Gst Md Swastya Dharma Pradnyan)

: Jurnal Pendidikan, Agama Dan Budaya 38 Vol 5, No 1, Maret 2021, pp 32-38

Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Bandung: Pustaka Matahari.

. 2012. Semiotika dan HiperSemiotika: Kode, gaya & matinya makna. Bandung: Pustaka Matahari.

Poerwadarminta, W.J.S. 1985. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Wijaya, Putu. 2004. Kumpuluan Cerpen; BALI. Jakarta: Kompas. https://www.suarasakingbali.com/2016/02/igg-djelantik-santha_96.html https://jdih.baliprov.go.id/produk-hukum/peraturan/abstrak/22214

Kritik Identitas dalam Cerpen Bali Karya Putu Wijaya dan Cerpen Majogjag Karya Djelantik Santha (Komang Wahyu Rustiani, I Gst Md Swastya Dharma Pradnyan)