Periodisasi Sastra Indonesia
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Load more
Recommended publications
-
Dari Kartini Hingga Ayu Utami: Memposisikan Penulis Perempuan Dalam Sejarah Sastra Indonesia
1 DARI KARTINI HINGGA AYU UTAMI: MEMPOSISIKAN PENULIS PEREMPUAN DALAM SEJARAH SASTRA INDONESIA Oleh Nurhadi Abstract There is an interesting phenomenon in the end of 20-th century and in the beginning of 21-th century in Indonesian literature history. That’s phenomenon are so many women writer whose productive in writing poetry or fiction. Is this a suddenly phenomenon? There is a series moment that couldn’t ignored, because there were some women writers in the beginning of Indonesian literary history, especially in 1920- ies, a milestone in modern Indonesian literary history. The modern Indonesian literary history itself is impact of acculturation by western culture. This acculturation appears in Kartini herself, a woman writer who never mention in history about her literature activity. Limitation to women writers in the past often interrelated by the edge of their role, for example, they were: never categorized as qualified literature writer, or as a popular writer, or just a peripheral writer, not as a prominent writer in their generation of writer. Is installation of Ayu Utami as a pioneer in novel genre in Indonesian 2000 Generation of Literature as one strategy of contrary to what happen recently? Apparently, the emergent of women writers weren’t automatically had relation by feminism movement. The writer who had struggle for Kartini’s history is Pramoedya Ananta Toer, a man writer. Key words: women writers, feminism, Indonesia literary history, the role of historical writing. A. PENDAHULUAN Memasuki tahun 2000 terjadi fenomena menarik dalam sejarah sastra Indonesia, khususnya ditinjau dari feminisme. Ayu Utami menerbitkan novel Saman pada 1998. -
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerajaan Koto Besar
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerajaan Koto Besar diperkirakan telah ada sejak akhir abad ke-17 Masehi.1 Koto Besar tumbuh dan berkembang bersama daerah-daerah lain yang berada di bekas wilayah Kerajaan Melayu Dharmasraya (Swarnabumhi).2 Daerah-daerah ini merupakan kerajaan kecil yang bercorak Islam dan berafiliasi dengan Kerajaan Pagaruyung, seperti Pulau Punjung yang dikenal sebagai camin taruih (perpanjangan tangan) Pagaruyung untuk daerah Hiliran Batanghari, serta penguasa lokal di ranah cati nan tigo, yaitu Siguntur, Sitiung dan Padang Laweh.3 Koto Besar menjadi satu-satunya kerajaan di wilayah ini yang tidak berpusat di pinggiran Sungai Batanghari.4 Lokasi berdirinya kerajaan-kerajaan tersebut merupakan daerah rantau dalam konsep alam Minangkabau.5 Pepatah adat Minangkabau mengatakan, 1 Merujuk pada tulisan yang tercantum pada stempel peninggalan Kerajaan Koto Besar yang berangkakan tahun 1697 Masehi. 2 Kerajaan Melayu Dharmasraya (Swarnabumhi) adalah sebuah kerajaan yang bercorak Hindu Buddha dan merupakan kelanjutan dari Kerajaan Melayu Jambi yang bermigrasi dari muara Sungai Batanghari. Kerajaan Melayu Dharmasraya hanya bertahan sekitar dua abad (1183 – 1347), setelah dipindahkan oleh Raja Adityawarman ke pedalaman Minangkabau di Saruaso. Bambang Budi Utomo dan Budhi Istiawan, Menguak Tabir Dharmasraya, (Batusangkar : BPPP Sumatera Barat, 2011), hlm. 8-12. 3 Efrianto dan Ajisman, Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Dharmasraya, (Padang: BPSNT Press, 2010), hlm. 84. 4 Menurut Tambo Kerajaan Koto Besar dijelaskan bahwa Kerajaan Koto Besar berpusat di tepi Sungai Baye. Hal ini juga dikuatkan oleh catatan Kontroler Belanda Palmer van den Broek tanggal 15 Juni 1905. Lihat, Tambo Kerajaan Koto Besar, “Sejarah Anak Nagari Koto Besar yang Datang dari Pagaruyung Minangkabau”. Lihat juga, “Nota over Kota Basar en Onderhoorige Landschappen Met Uitzondering van Soengei Koenit en Talao”, dalam Tijdschrift voor Indische, “Taal, Land en Volkenkunde”, (Batavia: Kerjasama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen dan Batavia Albrecht & Co., 1907), hlm. -
Paper the Idea of Ethnicity in Indonesia
Paper The idea of ethnicity in Indonesia by Zane Goebel© (La Trobe University / Tilburg University) [email protected] © September 2013 1 THE IDEA OF ETHNICITY IN INDONESIA Zane Goebel, La Trobe University/Tilburg University Abstract Ethnicity is now a ubiquitous social category in Indonesia which typically points to a community living in a particular region of Indonesia who speaks a particular language. Even so, this was not always the case. In this paper I look at the genesis and circulation of the idea of ethnicity from early colonial times until the late 2000s and how it has become intimately linked with language. In doing so, I take inspiration from scholarship in the broad area of language ideologies coming from linguistic anthropology. I will be especially concerned with describing how schooling and bureaucratic practices and policies, political discourses, mass media and nation building activities have contributed to the linking of region, linguistic form, and person to form the idea of ethnicity. Keywords: Ethnicity; Indonesia; Language 1 Introduction With some 17000 islands, all of the world’s major religions, around 1000 communities with over 400 languages, and a large portion of the world’s biodiversity, the archipelago nation of Indonesia is often talked about as one of the world’s most diverse nations. Even so, this diversity has been ordered through the social category of ethnicity. Ethnicity is now a ubiquitous social category, which either points to Chineseness (e.g. Coppel, 1983; Purdey, 2006) or more commonly a community living in a particular region of Indonesia who speak a particular regional language (bahasa daerah). -
Melahirkan Sastra Indonesia …………
POTRET SASTRA INDONESIA Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) POTRET SASTRA INDONESIA Penulis : Drs. Harjito, M.Hum Editor : Dra. Sri Suciati, M.Hum. IKIP PGRI Semarang Press, 2007 vi, 102 / 16 X 24,5 cm ISBN: 978 – 602 – 8047 – 01 - 2 Hak cipta, 2007 Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku dengan cara apa pun termasuk menggunakan mesin fotokopi tanpa seizin penerbit. 2007 POTRET SASTRA INDONESIA IKIP PGRI Semarang Press Prakata Puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Bijaksana. Akhirnya, penulis dapat menyelesaikan dan menerbitkan buku ini. Buku ini berisi tentang sejarah sastra Indonesia. Terbagi atas sebelas bab, buku ini diawali dengan pembahasan tentang sastra lama dan foklor. Bab berikutnya berisi tentang sastra Indonesia dan sastra daerah. Bab-bab berikutnya membahas tentang periode Balai Pustaka hingga Periode Pasca 66. Sejarah adalah sesuatu yang bergerak dan selalu akan terus bergerak. Menulis sejarah sastra Indonesia adalah menuliskan sesuatu yang terus bergerak. Yang patut disadari adalah pada saat menuliskan sejarah, selalu dibutuhkan jarak waktu antara peristiwa dan penulisannya. Hal ini dilakukan agar terdapat jarak pandang dan objektivitas dalam memandang sebuah peristiwa, termasuk perisiwa dalam kesastraan. Tidak mudah menulis tentang sejarah sastra, terutama sejarah sastra Indonesia. Selalu ada keberpihakan atas satu peristiwa dan mengabaikan sudut pandang yang lain. Dalam satu sisi, itulah kelemahan penulis. Di sisi lain, di situlah secara sadar atau tidak penulis berdiri -
Pengembangan Wisata Sastra Siti Nurbaya
B U K U P A N D U A N PENGEMBANGAN WISATA SASTRA SITI NURBAYA Ferdinal, Donny Eros, Gindho Rizano L P T I K U N I E R S I T A S A N D A L A S BUKU PANDUAN PENGEMBANGAN WISATA SASTRA SITI NURBAYA Drs. Ferdinal, MA, PhD Donny Eros, SS, MA Gindho Rizano, SS, MHum Lembaga Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (LPTIK) Universitas Andalas BUKU PANDUAN PENGEMBANGAN WISATA SASTRA SITI NURBAYA Penyusun Drs. Ferdinal, MA, PhD Donny Eros, SS, MA Gindho Rizano, SS, MHum Layout Multimedia LPTIK Unand Ilustrasi Cover Sampul Novel Siti Nurbaya Terbitan Balai Pustaka (Dihimpun dari berbagai sumber) Penerbit Lembaga Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (LPTIK) Universitas Andalas Alamat: Gedung Perpustakaan Lantai Dasar, Kampus Universitas Andalas Limau Manis, Padang, Sumatera Barat. Email: [email protected] Web: lptik.unand.ac.id ISBN 978-602-5539-45-9 Cetakan Pertama, 2019 Hak cipta pada penulis Isi diluar tanggung jawab penerbit KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya, buku saku Model Pengembangan Wisata Sastra Siti Nurbaya Kota Padang ini dapat diterbitkan. Publikasi Buku Panduan Pengembangan Wisata Sastra Siti Nurbaya ini merupakan hasil dari penelitian dengan judul Model Pengembangan Wisata Sastra Siti Nurbaya di Padang Sumatra Barat. Publikasi ini memuat data yang menggambarkan kondisi wisata Siti Nurbaya Padang tahun 2018. Publikasi ini menyajikan informasi mengenai wisata sastra Siti Nurbaya, atraksi wisata Siti Nurbaya, dan model pengembangan wisasta Sastra Siti Nurbaya. Secara lebih detil, buku saku pengembangan wisata sastra Siti Nurbaya ini memberikan gambaran tentang potensi dan model pengembangan wisata Siti Nurbaya menuju wisata sastra. -
Film Dua Garis Biru Perspektif Pemangku Adat Minangkabau Di Nagari Talago Gunung Kecamatan Barangin Kota Sawahlunto Skripsi D
FILM DUA GARIS BIRU PERSPEKTIF PEMANGKU ADAT MINANGKABAU DI NAGARI TALAGO GUNUNG KECAMATAN BARANGIN KOTA SAWAHLUNTO SKRIPSI Ditulis Sebagai Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Konsentrasi Broadcasting Oleh: MUHAMMAD IQBAL NIM. 1730302029 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BATUSANGKAR 2021 ABSTRAK Muhammad Iqbal, Nim 1730302029, Judul Skripsi “Film Dua Garis Biru Perspektif Pemangku Adat Minangkabau di Nagari Talago Gunung Kecamatan Barangin Kota Sawahlunto”. Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar. Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah Film Dua Garis Biru Perspektif Pemangku Adat Minangkabau di Nagari Talago Gunung Kecamatan Barangin Kota Sawahlunto. Tujuan pembahasan ini adalah untuk mengetahui persepsi pemangku adat Minangkabau di Nagari Talago Gunung Kecamatan Barangin Kota Sawahlunto terhadap maksud, penonton film setelah menonton film Dua Garis Biru. Sebagaimana pada saat ini film berperan sebagai media dalam menyampiankan pesan, makna dan informasi kepada penontonnya Penelitian ini dilakukan di Nagari Talago Gunung Kecamatan Barangin Kota Sawahlunto menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode penelitian analisis deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu teknik analisis data dengan pendekatan analisis metode desain deskriptif (descriptive design), langkah-langkah pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, -
Analisa of Social Science and Religion Volume 01 No
ISSN : 2502 – 5465 / e-ISSN: 2443 – 3859 Accredited by LIPI Number: 543/AU1/P2MI-LIPI/06/2013 JournalAnalisa of Social Science and Religion Volume 01 No. 01 June 2016 Analisa is a peer-reviewed journal published by Office of Religious Research and Development Ministry of Religious Affairs Semarang Indonesia. It specializes in these three aspects; religious life, religious education, religious text and heritage. Analisa aims to provide information on social and religious issues through publication of research based articles and critical analysis articles. Analisa has been published twice a year in Indonesian since 1996 and started from 2016 Analisa is fully published in English as a preparation to be an international journal. Since 2015, Analisa has become Crossref member, therefore all articles published by Analisa will have unique DOI number. Advisory Editorial Koeswinarno Religious Research and Development, Ministry of Religious Affairs, Semarang, Indonesia Editor in Chief Sulaiman Religious Research and Development, Ministry of Religious Affairs, Semarang, Indonesia International Editorial Board Florian Pohl, Emory University, United State of America Alberto Gomes, La Trobe University, Melbourne Australia Nico J.G. Kaptein, Leiden University, Leiden the Netherlands David Martin Jones, University of Queensland, Brisbane Australia Patrick Jory, University of Queensland, Brisbane Australia Dwi Purwoko, The Indonesian Institute of Science, Jakarta Indonesia Heddy Shri Ahimsa, Gajah Mada University, Yogyakarta Indonesia Irwan Abdullah, -
Keunikan Budaya Minangkabau Dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka Dan Strategi Pemasarannya Dalam Konteks Masyarakat Ekonomi Asean
KEUNIKAN BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK KARYA HAMKA DAN STRATEGI PEMASARANNYA DALAM KONTEKS MASYARAKAT EKONOMI ASEAN Deri Rachmad Pratama1, Sarwiji Suwandi2, Nugraheni Eko Wardani3 Magister Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Sebelas Maret ([email protected]), ([email protected]), ([email protected]) Abstrak Indonesia sudah bergabung dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sejak 31 Desember 2015. Ini menjadi salah satu peluang Indonesia untuk mempromosikan budaya yang dimilikinya ke luar negeri secara lebih mudah. Salah satu budaya tersebut adalah budaya Minangkabau yang tercermin dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka. Pengenalan budaya melalui novel ke luar negeri dapat meningkatkan wisatawan ke Indonesia khususnya Sumatera Barat sebagai latar novel tersebut. Hal ini bisa memberikan kontribusi untuk ekonomi Indonesia. Tujuan penelitian mendeskripsikan dan menjelaskan budaya Minangkabau yang terdapat dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka serta pemasarannya dalam konteks MEA. Penelitian ini dikaji dengan pendekatan antropologi sastra. Datanya berupa dialog atau narasi yang mengandung budaya Minangkabau. Ada tiga wujud kebudayaan yang terdapat dalam novel ini. Ketiga wujud kebudayaan itu ialah (1) wujud kebudayaan berupa norma dan peraturan, (2) wujud kebudayaan berupa aktivitas dan tindakan masyarakat, dan (3) wujud kebudayaan berupa benda-benda hasil karya manusia. Strategi pemasaran budaya Minangkabau dalam novel ini dapat dilakukan dengan cara adaptasi novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka kedalam bahasa Inggris atau berbagai bahasa di negara ASEAN. Kata kunci: keunikan, budaya Minangkabau, novel tenggelamnya kapal van der wijck, MEA Pendahuluan Karya sastra mengandung beragam makna. Karya ini tidak hanya terfokus kepada strukturalisme saja, tetapi masih banyak hal yang membangun terbentuknya karya sastra tersebut. -
Sastra Feminis Indonesia ~ Rizqi.Pdf
Sastra Feminis Indonesia: Dulu dan Kini Oleh: Rizqi Handayani, MA. Pendahuluan Sepanjang perjalanan kesusastraan Indonesia1 yang dimulai sejak lahirnya bahasa Indonesia pada awal abad ke 20, khususnya setelah Bahasa Indonesia diikrarkan sebagai bahasa Nasional melalui Sumpah Pemuda pada tahun 1928, kesusastraan Indonesia selalu dikerumuni oleh para pengarang laki-laki. Bahkan, dunia kesusastraan menjadi sangat maskulin karena hanya dipenuhi dengan tulisan dari pengarang laki-laki dan tulisan pengarang laki-lakilah yang dibaca oleh khalayak masyarakat. Heryanto menyebut fenomena ini sebagai Phallic Esthetics yang menjadikan perempuan sebagai objek di dalam karya sastra (Heryanto, 1986: 37). Domestikasi perempuan dalam ranah domestik merupakan faktor dominan yang menyebabkan fenomena ini tumbuh subur. Di mana laki-laki lebih dekat dengan dunia publik dibandingkan perempuan sehingga laki-laki memiliki akses yang lebih besar untuk mengembangkan kemampuan diri mereka melalui dunia kepengarangan. Sementara itu, perempuan hanya berkutat di dunia domestik sehingga menghambat berkembangnya daya kreatifitas mereka. Namun, di tengah kesibukan para perempuan di dunia domestik, sebagian kecil dari pengarang perempuan di awal abad kedua puluh masih menyempatkan diri untuk menulis beberapa karya sastra. Misalnya Selasih atau Seleguri (L. 1909) yang menulis dua buah roman dan sajak-sajak yang berjudul Kalau Tak Untung (1933) dan Pengaruh Keadaan (1937), sementara sajak-sajaknya banyak dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe dan Pandji Poestaka. Selain Selasih, sempat juga muncul nama pengarang perempuan lainnya, Hamidah, yang menulis roman berjudul Kehilangan Mestika (1935) (Rosidi 1968: 55-56). Tema-tema yang diangkat oleh para pengarang perempuan tersebut merupakan tema-tema yang ringan tentang penderitaan dan kemelaratan hidup yang dihadapi kaum perempuan. Agaknya, tema-tema tentang kesedihan menjadi pilihan bagi pengarang perempuan masa itu, karena perempuan-perempuan tidak dapat menyuarakan penderitaan dan kemalangan hidup yang mereka alami secara gamblang. -
Membayangkan Indonesia Dari Novel-Novel Antaretnis Dan Antaragama Periode 1920-An Hingga 1970-An
MEMBAYANGKAN INDONESIA DARI NOVEL-NOVEL ANTARETNIS DAN ANTARAGAMA PERIODE 1920-AN HINGGA 1970-AN IMAGINE INDONESIA FROM INTERETHNIC AND INTERRELIGIOUS NOVELS PERIOD 1920’S TO 1970’S Dwi Rahariyoso Jalan Cipto Mangun Kusumo 59, Ponorogo, Jawa Timur Pos-el: [email protected] Telepon 085643728390 Abstrak Penelitian ini menguraikan persoalan perkawinan antaretnis dan antaragama yang terdapat dalam novel Indonesia periode 1920-an hingga 1970-an. Pengelompokan kategori novel berdasarkan genre yang terdapat dalam novel-novel yang mempunyai kapasitas dalam membahas tema perkawinan antaretnis dan antaragama. Melalui genre yang dimunculkan dalam novel, pola dan bentuk struktur penceritaan bisa dicermati secara saksama. Kategori antaretnis dan antaragama dalam novel periode 1920-an hingga 1970-an mengindikasikan bahwa kesadaran tentang multikulturalisme, pluralitas, dan kebangsaan sebagai sebuah gagasan penting bagi jati diri bangsa Indonesia. Semangat kebangsaan yang penuh kebhinekaan telah menjadi isu sentral yang dikembangkan oleh pengarang pada periode tersebut melalui kisah-kisah percintaan (roman) kaum muda dalam novel Indonesia modern. Kata kunci: antaretnis, antaragama, genre, pola, roman, kebangsaan, pluralitas, multikulturalisme, toleransi, Indonesia Abstract Husband research outlines the issue of inter-ethnic and inter-religious marriages are hearts novel Indonesia the 1920’s period until 1970's. Novel category grouping by genre what are hearts novel-novel that had the capacity hearts discuss the theme of interethnic and inter-religious marriages. The hearts raised through a new genre, patterns and The narrative structure can be observed carefully. Category interethnic and interreligious new hearts 1920’s period until 1970's indicated that awareness about multiculturalism, pluralism, and nationality AS an idea essentials personal identity of the Indonesian nation. -
Kaba: an Unfinished (His-) Story *
Southeast Asian Studies, Vol. 32, No.3, December 1994 Kaba: An Unfinished (His-) Story * Umar JUNUS ** Background Information The word kaba, 'kabar' in Malay, is derived from the Arabic khabar 'news'. It is synonym ous with Malay 'berita' - barito in traditional Minangkabau but berita in presentday colloquial Minangkabau. However, in a kaba there is an expression: tibo di langit tabarito, jatuah ka bumi jadi kaba [reaching the heaven it becomes a barito, falling to earth it becomes a kabaJ, thus both are regarded as two distinct terms. It is simply taken for granted that a barito is different from a kaba. As it is taken for granted that everybody knows what a kaba is, it is assumed that they should know what a barito is. If a kaba, semiotically, has (+), a barito would have (-), or vice versa, but in fact, nobody bothers to define barito. A kaba is a traditional Minangkabau literary genre. As far as the story is con cerned, it is similar to hikayat, a genre in Malay or carito/curito 'story' - cerita in Malay. Because of this, J. L. van den Toorn published Kaba Sutan Manangkerang [1885J and Kaba Manjau Ari [1891] as 'hikayat'. A kaba is usually understood as a curito, or the terms are used simultaneously to become kaba curitoY However, technically or stylistically, there are some literary devices differentiating a kaba from a hikayat or cerita. The units in a hikayat or cerita are linguistic units-sentences and paragraphs. A kaba unit, on the other hand, is neither a linguistic nor a poetic unit 2 although it is related to both, or it is simply something between the two. -
Politik Pencitraan Dan Polemik Sosial-Politik Minangkabau Dalam Perspektif Karya Sastra
Politik Pencitraan dan Polemik ... POLITIK PENCITRAAN DAN POLEMIK SOSIAL-POLITIK MINANGKABAU DALAM PERSPEKTIF KARYA SASTRA Yerri Satria Putra Pendahuluan Bagi sebagian orang, istilah sastra politik apalagi sebagai genre sastra mungkin masih menjadi kontroversi. Alasannya karena istilah tersebut dinilai jauh dari prinsip-prinsip sastra yang selama ini mereka yakini sebagai suatu opsi yang berdiri sendiri. Ariel Heryanto dalam tulisannya menyebutkan bahwa kontroversi mengenai genre sastra politik ini masih ditolak oleh kalangan sastrawan yang menganut sastra universal yang pandangannya paling berpengaruh. Mereka menganut prinsip sastra yang terbebas dari politik karena sastra merupakan seni yang lahir dari batin sastrawan. Bagi mereka, satu-satunya ideologi kepenyairan adalah universalisme, sedangkan tanah airnya adalah kehidupan dan kemanusiaan itu sendiri. Sebagaimana yang disebutkan oleh Geoge Orwell bahwa pengarang hanya harus terlibat pada satu hal saja: sastra dan biarkanlah sosiolog yang berkompeten berbicara soal-soal sosial. Namun demikian, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengenai istilah ini, pertama, sastra merupakan seni yang lahir dari dinamika sosial. Dalam bahasa, Hippoyte Taine (1766-1817), peletak dasar sosiologi sastra modern, sastra dipengaruhi oleh ras, momen, dan lingkungan. Kedua, diakuinya relasi sastra dan politik secara akademik dalam literatur sosiologi sastra. Selain Taine, ada banyak ahli sastra yang mengembangkan teorinya. Diantaranya adalah Diana Laurenson (1972) dengan teori patronasenya. Sebelumnya,