library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB IV

ANALISIS DATA

A. Arena Sastra Indonesia

DKJ lahir dan tumbuh di lingkungan kesusastraan Indonesia yang juga

sedang bertumbuh. Pertumbuhan sastra Indonesia bersamaan dengan

perkembangan kesadaran kebangasaan dan kesadaran nasional. Kesadaran

tersebut terus mengalami perkembangan sejak tercetusnya Sumpah Pemuda pada

28 Oktober 1928 yang menyatakan pengakuan atas satu tanah air, bangsa, dan

bahasa. Momentum tersebut menuntut bangsa Indonesia menentukan arah

kesatuan kebudayaannya. Berbagai pemikiran dan pandangan diungkapkan oleh

cendekiawan serta budayawan Indonesia ketika itu. Namun, konsep kebudayaan

yang paling menarik perhatian adalah pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana

(selanjutnya disebut STA). Orientasi Kebudayaan STA mengarah kepada

kebudayaan Barat. STA menyangsikan dan menolak nilai-nilai budaya tradisional

(Esten dalam Kratz, 2000:748-751). Hal tersebut terlihat dalam ungkapan STA:

“Zaman prae-Indonesia, zaman jahilliah Indonesia itu setinggi-tingginya dapat

menegaskan pemandangan dan pengertian tentang lahirnya zaman Indonesia,

tetapi jangan sekali-kali zaman Indonesia dianggap sambungan atau terusan yang

biasa daripadanya” (Alisjahbana dalam Mihardja, 1977:16).

Pada bagian lain STA juga mengungkapkan:

Pada pikiran saya pandu-pandu kebudayaan Indonesia harus bebas benar berdiri dari kebudayaan zaman prae-Indonesia. Perkataan bebas bukan

berarti tidak tahu seluk-beluknya, perkataan bebas hanya berarti tidak terikat. Sebabnya siapa yang belum dapat melepaskan dirinya dari kebudayaan Jawa akan berdaya upaya akan memasukkan semangat

23 library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id24

kejawaan ke dalam kebudayaan Indonesia, siapa yang belum terlepas dari

kebudayaan Melayu akan berdaya upaya memasukkan semangat kemelayuan ke dalam kebudayaan Indonesia dan demikian seterusnya (Alisjahbana dalam Mihardja, 1977:17).

STA pada intinya secara terus terang menegaskan bahwa kebudayaan

bangsa harus tumbuh mengarah ke Barat (Alisjahbana dalam Mihardja, 1977:19).

Pemikiran STA menunjukkan bahwa konsep kebudayaan Indonesia yang ingin

dibentuk dan dikembangkan ialah suatu bentuk kebudayaan baru dan tidak terikat

dengan nilai-nilai kebudayaan subkultur sebelumnya. Pemikiran tersebut

kemudian dilanjutkan oleh tokoh Angkatan 45. Di dalam manifesnya, seperti yang

tercantum dalam Surat Kepercayaan Gelanggang diungkapkan bahwa mereka

merupakan ahli waris kebudayaan dunia. Konsep kebudayaan dunia lebih

mendapatkan ruang daripada kebudayaan lama (Esten dalam Kratz, 2000:751-

752).

Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan pernyataan tegas atas

komitmen humanisme universal yang dicetuskan pada tahun 1949. Istilah

humanisme universal sebenarnya dibangun selama perdebatan tentang karya

Chairil Anwar. Pada 1951, H.B. Jassin, seorang kritikus sastra yang kemudian

terlibat erat dengan Manikebu, mendefinisikan humanisme universal untuk

merangkum pemikiran Chairil Anwar dan sastrawan lain Angkatan 45 (Foulcher

dalam Jones, 2015: 151).

Bertolak dari polemik kebudayaan tersebut, maka secara umum dapat

dikatakan bahwa kesusastraan Indonesia merupakan sebuah gambaran dari proses

pertemuan antara nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai baru dari kebudayaan baru

(Barat). Hampir seluruh roman Angkatan mengungkapkan masalah library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id25

feodalisme. Namun, pada Angkatan Pujangga Baru persoalannya mengacu pada

orientasi budaya masyarakat yang baru. Di dalam roman-roman Balai Pustaka,

masih dapat dirasakan ciri kolektivisme. Pada roman-roman Pujangga Baru ciri

tersebut berangsur-angsur longgar, sedangkan pada novel-novel Angkatan 45

tema-tema yang diangkat menjadi lebih personal (Esten dalam Kratz, 2000:756-

757).

Perkembangan selanjutnya, makin banyak kemunculan sastrawan yang

mengisi khazanah sastra Indonesia. Akan tetapi, rupanya sastrawan yang lahir

kemudian dan mendapati Indonesia sebagai sebuah entitas baru terpisah dari pre-

Indonesia tidak dapat setegar STA dalam membunuh masa lalu. Masa lalu tetap

menjadi bagian yang kukuh mengakar dalam kesadaran banyak orang. Sastrawan

seperti Rendra, Ajip Rosidi, Nugroho Notosusanto, Ramadhan K.H. pun mulai

menggali kembali “kehangatan” dari tradisi lokal. Namun, sebelum kegairahan

tersebut terbentuk dan membentuk diri, sastra Indonesia mesti berhadapan dengan

situasi politik yang “panas”. Para sastrawan tidak lagi mendapatkan ruang bebas

semenjak dicanangkannya politik sebagai panglima pada era Orde Lama. Ketika

itu, konsep realisme sosial dicanangkan oleh Lekra sebagai sebuah konvensi yang

mesti ditegakkan. Bahasa dijadikan budak atas politik sehingga mengalami

pemiskinan sedemikian rupa melalui rangkaian jargon-jargon yang sloganitis

(Sarjono, 2001:3-4).

Konsep kesenian Lekra mendapat tanggapan dari golongan non-Lekra.

Pada 17 Agustus 1963, muncul seniman-seniman muda yang melakukan

perlawanan terhadap Lekra dengan mengeluarkan pernyataan berupa Manifes

Kebudayaan. Manikebu menolak konsep politik adalah panglima dengan konsep library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id26

realisme sosialis yang diusungnya. Goenawan Mohammad, Arief Budiman, Boen

S. Oemarjati, dan Taufiq Ismail adalah beberapa seniman muda yang terlibat

menyuarakan Manifes Kebudayaan. Seniman tersebut melalui Manifes

Kebudayaan mengungkapkan konsep kesenian mereka, yaitu humanisme

universal dan pandangan mereka mengenai kebudayaan nasional (Sambodja,

2010:22-23).

Runtuhnya Orde Lama dan lahirnya Orde Baru disebut oleh Agus R.

Sarjono sebagai peluang bagi tradisi sastra Indonesia untuk dapat melanjutkan

perkembangannya yang sempat terputus karena situasi politik. Pada masa setelah

Orde Lama, tema sosial politik cenderung ditinggalkan karena para seniman pada

umumnya mengalami trauma dengan persoalan politik (Sarjono, 2001:5 dan 92).

Berbagai eksperimentasi estetis marak bermunculan dalam dunia sastra

Indonesia pada era 70-an. Hal tersebut disebabkan sastrawan pada masa itu

ditunjang oleh dukungan sarana fisik yang menunjang dengan hadirnya PKJ TIM.

Selain itu, surplus kreativitas dalam sastra era 70-an juga tidak dapat dilepaskan

dari lingkungan sosial politik Orde Baru yang pada awalnya menjanjikan

kebebasan (Sarjono, 2001:164-165). Kebebasan yang dimaksud ialah menyangkut

kesempatan berekspresi. Di awal masa pemerintahan Orde Baru, masyarakat

mendapat kesempatan untuk berkarya secara leluasa tanpa terbatasi oleh

kekuasaan politik seperti halnya kontrol Lekra pada era Orde Lama.

Bersamaan dengan awal kelahiran Orde Baru, lahir pula lembaga kesenian

bernama DKJ atas gagasan masyarakat seniman dan pemerintah DKI di

bawah naungan Gubernur Ali Sadikin. Kemunculan DKJ pada tahun 1968 yang

kemudian dilengkapi oleh PKJ TIM berpengaruh terhadap perkembangan library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id27

kesusastraan Indonesia. Hadirnya lembaga dan wadah kegiatan kesenian telah

mendukung pesatnya perkembangan seni, khususnya bidang sastra. DKJ masuk

ke dalam arena sastra Indonesia sebagai fasilitator yang mampu mewadahi dan

mendukung maraknya semangat eksperimentasi ketika itu.

Pembentukan PKJ TIM merupakan contoh penting tentang pelembagaan

humanisme universal. Kaum humanisme universal mendominasi panitia formatur

AJ yang membentuk DKJ. Dewan pengurus harian DKJ kemudian bertugas

mengatur dan menjalankan PKJ TIM. Sesuai dengan prinsip humanisme

universal, para seniman menginginkan sebuah pusat kreativitas seni yang

kosmopolitan dan tanpa keharusan untuk tunduk dengan penindasan politik

(Jones, 2015:155). DKJ dan PKJ TIM merupakan implementasi dari kebebasan

yang diserukan masa-masa awal pemerintahan Orde Baru.

Perkembangan sastra Indonesia pada tahun 70-an mengalami kemajuan

yang pesat. Tampak pembaruan dalam berbagai bidang, seperti wawasan estetik,

pandangan, sikap hidup, dan orientasi budaya. Berbagai pembaruan tersebut

didukung oleh perkembangan penerbitan yang banyak muncul dan bebas

menampilkan hasil karya dalam berbagai bentuk (Rismawati, 2017:114-115).

Sastrawan Indonesia berusaha melakukan eksperimen dengan mencoba

beberapa kemungkinan bentuk dalam penulisan prosa, puisi dan drama.

Pengarang mulai berani memodifikasi cerpen menjadi menyerupai bentuk sajak

karena hanya terdiri dari satu sampai dua kalimat. Dalam bidang drama,

pengarang mulai menulis dan mempertunjukkan drama yang absurd. Dalam

bidang puisi, mulai muncul puisi kontemporer. Bahkan muncul puisi karya

Sutardji Calzoum Bachri yang menampilkan estetika eksentrik. Sutardji library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id28

membebaskan kata untuk membangkitkan kembali wawasan estetik mantra yang

sangat menekankan pada kekuatan kata-kata dan melahirkannya dalam wujud

improvisasi. Estetika Sutardji ini menuai banyak respon, baik pro maupun kontra.

Sutardji kemudian menulis kredo puisi yang dimuat pertama kali dalam majalah

sastra Horison pada Desember 1974 (Rismawati, 2017:114-115).

Peristiwa lain yang menarik pada tahun 70-an ialah pengadilan atas kasus

heboh sastra cerpen Langit Makin Mendung dan “Pengadilan Puisi Indonesia

Mutakhir”. Langit Makin Mendung adalah cerpen karya Kipanjikusimin yang

dimuat di majalah sastra Horison tahun 1968. Kasus yang menyeret redaktur

Horison, HB. Jassin tersebut bermula dari pencekalan dan penyitaan Langit Makin

Mendung dan Horison oleh Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara di Medan. Isi cerita

cerpen tersebut dituduh menghina Nabi Muhammad serta agama Islam. Muncul

reaksi dari berbagai pihak, termasuk Kipanjikusimin yang kemudian menyatakan

mencabut cerita pendeknya. Namun, pada tahun 1969-1970 HB. Jassin tetap

diadili oleh Pengadilan Negeri di Jakarta dan dijatuhi hukuman percobaan

(Rismawati, 2017:115-116).

Peristiwa berikutnya ialah pengadilan puisi yang diadakan di Bandung

pada tanggal 8 September 1974. Puisi Indonesia mutakhir diadili sebagai

terdakwa dengan hakim ketua Sanento Yuliman dibantu hakim anggota Darmanto

Jt dan Slamet Kirnanto sebagai Jaksa. Slamet Kirnanto mengungkapkan beberapa

tuntutan dan menyatakan "Saya mendakwa kehidupan puisi indonesia akhir-akhir

ini tidak sehat, tidak jelas dan brengsek!" Latar belakang tuntutan dalam

pengadilan tersebut adalah berasal dari ketidakpuasan terhadap kehidupan puisi

Indonesia pada saat itu. Ketidakpuasan tersebut diantaranya menyangkut library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id29

persoalan sistem penilaian terhadap puisi Indonesia, kritikus sastra Indonesia,

media yang memuat karya sastra Indonesia, dan beberapa penyair mapan

Indonesia. Namun, pada akhirnya pengadilan tersebut menolak tuntutan-tuntutan

yang dikemukakan dalam sidang (ensiklopedia.kemdikbud.go.id).

Beranjak ke tahun 80-an, Orde Baru sedang intensif melakukan

pembangunan. Pada masa tersebut ekonomi merupakan panglima sehingga semua

hal dijadikan pemerintah sebagai komoditas ekonomi. Hal-hal yang serba

sementara, profan, dan material segera menyerbu seluruh sendi kehidupan

masyarakat Indonesia. Masyarakat seolah dipaksa menjadi hedonis. Hal tersebut

terindikasi menjadi penyebab merebaknya karya sastra sufistik pada era 80-an.

Penyair menulis sajak-sajak sufi dalam rangka berhijrah dari wilayah serba

materialistis menuju wilayah yang lebih mengunggulkan spiritualitas (Sarjono,

2001:93).

Pada dasarnya kebangkitan umum sastra sufistik telah dimulai pada tahun

1970-an yang di antaranya dipelopori oleh Kuntowijoyo dan Sutardji (Hadi dalam

Salam, 2016:21). Sastra sufi pada tataran nilai tidak hanya merupakan wacana

gerakan kesusastraan, tetapi lebih luas sebagai wacana gerakan sosial dan politik.

Kemudian di atas itu, sastra sufi merupakan wacana gerakan budaya. Pesan

tersembunyi dari karya sastra yang dihasilkan sastra sufi berhadapan dengan

formasi ideologis di luar dirinya. Sebagai wacana, sufisme dianggap kandungan

terdalam ajaran Islam. Maka, berbicara tentang sastra sufi pada tingkatan tertentu

tidak dapat dilepaskan dari wacana keislaman secara umum (Salam, 2016:47-48).

Lingkungan sastra Indonesia tidak hanya dihadapkan pada pembangunan

besar-besaran. Sastra Indonesia era 80-an berada di lingkungan masyarakat yang library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id30

mengalami proses depolitisasi nyaris total. Penertiban terhadap berbagai aspek

kehidupan mulai dari dunia kampus, organisasi, media massa, bahkan PKJ TIM

dan segala kegiatannya dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Di tengah situasi

yang tidak bebas dan penuh pengawasan, para sastrawan 80-an dengan berbekal

landasan estetis era 70-an pun mengurung diri menulis dalam kesunyian

kehidupan bernegara (Sarjono, 2001:180-182).

Karya sastra yang lahir pada era 80-an dipengaruhi proses depolitisasi

tersebut. Karya sastra yang muncul kemudian menjadi tidak sesuai dengan realitas

sosial politik. Karya-karya sastra juga tidak menunjukkan kegelisahan atau

kesakitan kolektif masyarakat pada masa itu. Ancaman pembredelan terhadap

karya sastra dan faktor-faktor keamanan lainnya memicu perkembangan karya

sastra yang dianggap aman, seperti roman percintaan dan sastra populer.

Sastrawan yang menonjol dalam mengusung roman percintaan diantaranya ialah

Marga T. Kemudian, dominasi sastra pop ditandai oleh merebaknya novel populer

yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya dengan serial Lupus (Rismawati,

2017:133-134).

Sekitar pertengahan tahun 80-an juga muncul perbincangan mengenai

sastra kontekstual. Istilah sastra kontekstual pertama kali diperkenalkan oleh Ariel

Heryanto pada Saresehan Kesenian di Solo, 28-29 Oktober 1984. Menurut Ariel,

sastra kontekstual bukan merupakan jenis karya sastra, tetapi merupakan sejenis

pemahaman atas seluk-beluk kesusastraan dengan meninjau kaitannya dengan

konteks sosial historis kesusastraan yang bersangkutan (Rismawati, 2017:121).

Sastra kontekstual adalah gerakan kesusastraan yang bermula dari pemahaman

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id31

bahwa nilai-nilai sastra tidak mengenal universalitas. Nilai sastra tumbuh dan

berkembang sesuai waktu, tempat, dan peradabannya.

Pada tahun 80-an berkembang pula sastra yang mengusung lokalitas. Pada

dasarnya warna lokal dalam karya telah muncul sejak era 70-an dan terus

berkembang. Dari karya sastra yang mengolah warna lokal pada tahun 70 sampai

80an, dapat dikenali tentang beberapa hal. Pertama, mengangkat kekhasan atau

keunikan budaya menjadi latar cerita yang kemudian memunculkan eksotisme.

Kedua, menghadirkan ketegangan antara tradisi dan modernitas. Hal itu menjadi

penggambaran pergulatan manusia di tengah lingkungan budaya tradisinya yang

makin terkalahkan oleh arus modernisme. Tema gegar budaya menjadi ciri yang

menonjol pada karya sastra ketika itu (Noor, 2015).

Dalam arena sastra, entitas lokal dan global saling bernegosiasi dan

berdialektika. Universal dan lokal saling melengkapi antara satu dan lainnya.

Diungkapkan oleh Budi Darma bahwa sastra bersifat lokal karena tema universal

tidak mungkin berdiri di awang-awang, tetapi pasti berpijak pada ciri-ciri lokal

dan waktu. Sekelompok sastrawan yang mengusung warna lokal di antaranya

ialah Korrie Layun Rampan, Ahmad Tohari, Umar Kayam, Ajib Rosidi, dan Oka

Rusmini (Fajar, 2012).

Perkembangan selanjutnya di era 90-an, lingkungan politik perlahan mulai

berubah dengan tanda adanya kecenderungan pada keterbukaan. Berbagai

peraturan seperti pembredelan media mulai muncul secara jelas. Namun demikian,

pada tahun-tahun penghujung 90-an lingkungan politik yang dibangun Orde Baru

kembali menunjukkan sikap seperti yang terjadi pada era 80-an. Di antara situasi

tersebut, para sastrawan generasi 90-an muncul. Sebagian sastrawan melanjutkan library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id32

estetika sebelumnya, tetapi dengan latar sosial politik yang berbeda (Sarjono,

2001:189-190).

Pertengahan tahun 90-an muncul upaya revitalisasi sastra pedalaman yang

merupakan bentuk perlawanan atas dominasi pusat sastra (Fajar, 2012).

Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP) dirumuskan Kusprihyanto Namma. Agenda

kegiatan komunitas sastra tersebut adalah mencoba melakukan desentralisasi

sastra agar tidak terpusat di Jakarta. RSP juga menekankan bahwa media massa

cetak bukan satu-satunya medium sosialisasi sastra. RSP ingin membangun

jaringan di daerah dengan sosialisasi sastra (Setia, 2007:10).

Di nomor pertama majalah sastra Jurnal Revitalisasi Sastra Pedalaman

yang terbit awal tahun 1994, Kuspriyanto Namma menulis tentang daya dorong di

balik terbitnya jurnal tersebut. Daya tersebut ialah kekuasaan Jakarta sebagai

tempat kaum elite budaya Indonesia tinggal. Kaum elite dicurigai menguasai

media massa dan menggunakan kekuasaan untuk kepentingannya sendiri,

kemudian mengabaikan para pengarang di luar ibu kota (Derks dalam Foulcher

dan Tony, 2008:401).

Kegiatan RSP berlangsung tanpa restu dari pusat keunggulan dan otoritas.

RSP muncul dengan percaya diri dan kemudian meraih sukses. Meski diterbitkan

di sebuah tempat terpencil, Ngawi, dalam jumlah terbatas dan diproduksi dengan

sebuah komputer tua, nomor pertama jurnal RSP sangat cepat beredar luas melalui

tangan ke tangan. Dalam waktu singkat RSP telah mendapat perhatian,

didiskusikan dan dengan demikian dihidupkan oleh segala macam koran dan

mingguan daerah, bahkan nasional (Derks dalam Foulcher dan Tony, 2008:404-

405). library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id33

Pada karya puisi abad ke-20, hadir bekas-bekas tradisi puisi sufi secara

signifikan. Hal tersebut diperlihatkan oleh karya-karya dan Amir

Hamzah. Kedua penyair tersebut secara implisit dan eksplisit terpengaruh sufisme

Hamzah Fansuri. Misalnya seperti puisi Padamu Jua karya (Hadi

dalam Salam, 2004:49).

Sastrawan lain yang memperlihatkan jejak-jejak tradisi sufi ialah

Kuntowidjoyo, Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, dan Fudoli Zaini. Terutama

adalah Sutardji yang populer pada tahun 70-an dengan puisi mantranya. Sutardji

dengan arah yang berbeda ikut memberi jalan dan peluang bagi kehadiran dan

kegairahan lebih lanjut puisi-puisi sufi pada tahun 1980-an hingga 1990-an.

Seperti dalam karya puisi Sutardji, Sudah Waktu yang menyiratkan

keterpengaruhan terhadap ajaran atau wacana sufisme (Salam, 2004:50-51).

Munculnya sastra sufi di Indonesia tidak terlepas dari berbagai faktor

pendorong seperti kondisi sosial dan politik. Kehadiran puisi sufi abad ke-20

merupakan hasil tumpukan wacana yang tersimpan dalam proses panjang. Puisi

sufi menampilkan dirinya secara tidak sadar berkat terjadinya persaingan dan

pertaruhan dalam formasi sosial yang ada. Namun, pada tahun 1980-an hingga

1990-an puisi sufi secara relatif telah gagal mencatatkan diri dalam sejarah kanon

puisi modern Indonesia. Persaingan dalam praktik diskursif menyebabkan

identitas primordial puisi sufi kalah bersaing dengan praktik diskursif yang

berhasil dianggap lebih universal seperti praktik-praktik modernisme bahkan

posmodernisme. Dalam kasus Sutardji, yang lebih dikedepankan adalah gaya

mantranya dan bukan substansi sufistiknya. Demikian pula halnya penyair- library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id34

penyair yang dianggap terkemuka, bukan persoalan substansi gagasan yang

diangkat melainkan lebih pada cara ucap atau bentuk puisi (Salam, 2004:51-53).

Penelitian Kesusastraan Indonesia dengan menggarisbawahi wacana

keislaman yang secara sangat signifikan memengaruhi perkembangan puisi

modern Indonesia kurang mendapat porsi layak. Hal tersebut terjadi karena

wacana teoritis dan perspektif dalam melihat perkembangan sastra modern

Indonesia secara mendasar masih dipengaruhi oleh peneliti Barat yang

berparadigma orientalis. Kemudian, secara sengaja atau tidak mengabaikan

pengaruh dan peran Islam dalam masyarakat Indonesia. Pada tingkat tertentu teori

dan perspektif Barat ikut bertanggung jawab terhadap peran Islam yang

terpinggirkan dalam konstelasi sejarah kebudayaan dan kesusastraan Indonesia

(Salam, 2004:7).

Pada masa Orde Baru, bentuk karya sastra cerpen lebih berkembang secara

pesat daripada puisi. Terjadi gempita penyair melalui terbukanya berbagai ruang

sastra di media massa. Namun, cerpen mendominasi kehidupan sastra prosa

melalui berbagai penerbitan media massa. Masa tersebut kemudian disebut

sebagai era sastra koran. Eksperimentasi estetis yang sempat ramai pada era 70-an

tidak lagi terlihat kuat. Tema-tema sosial politik juga mulai diangkat kembali baik

dalam bidang puisi maupun prosa. Kemudian, poin penting lain pada era

penghujung Orde Baru ialah munculnya novel Saman karya Ayu Utami. Novel

tersebut tidak lahir dari jalur koran, melainkan melalui lembaga kesenian DKJ

dengan PKJ TIM yang pada tempo hari menjadi basis dari sastrawan era 70-an

(Sarjono, 2001:193-194). library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id35

Kesusastraan Indonesia era 90-an dipengaruhi oleh semangat reformasi

yang terus disuarakan ketika itu. Puncaknya adalah ketika reformasi pada tahun

1998, kesusastraan Indonesia dialiri oleh semangat kebebasan yang deras. Proses

reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi

kelahiran karya-karya sastra puisi, cerpen, dan novel pada saat itu. Kebebasan

dalam semangat reformasi menuntut kebebasan menyuarakan pendapat dan

kebebasan bersastra. Semangat tersebut akhirnya menabrak norma-norma yang

berlaku sebelumnya. Hal-hal yang dianggap tabu seperti masalah seks dan

kelamin menjadi marak diperbincangkan dan diangkat ke dalam karya sastra. Hal

tersebut dapat dilihat di antaranya dalam karya-karya Ayu Utami, Fira Basuki,

Djenar Maesa Ayu, dan lain sebagainya (Sulaiman dan Febrianto, 2017:130).

Selain bentuk kesusastraan yang mengeksplorasi seksualitas secara besar-

besaran, di sisi lain muncul karya sastra dengan konsep penceritaan islami. Fiksi

Islami yang mengusung konsep sastra pencerahan dipelopori oleh Forum Lingkar

Pena (FLP) dan berhasil menjadi bacaan alternatif bagi masyarakat ketika itu.

Tokoh-tokoh FLP di antaranya ialah Asma Nadia, Pipiet Senja, dan

Habiburrahman El Shirazy (Sulaiman dan Febrianto, 2017).

Dalam perjalanan sastra Indonesia, periode sekitar reformasi merupakan

masa paling semarak dan luar biasa. Berbagai karya sastra muncul dengan tema

dan pengucapan yang beragam. Faktor utama yang memungkinkan sastra

Indonesia berkembang seperti itu adalah karena perubahan mendasar dalam sistem

pemerintahan (Sulaiman dan Febrianto, 2017). Sepanjang tahun 90-an,

kesusastraan Indonesia mengalami dinamika yang terbilang ekstrem. Di awal-

awal tahun 90-an, kesusastraan Indonesia masih berada di dalam kontrol library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id36

pemerintah otoriter Orde Baru. Namun, di tahun-tahun akhir 90-an, kesusastraan

Indonesia mendapatkan kebebasannya setelah terlepas dari Orde Baru.

Masa tersebut kemudian sering disebut sebagai angkatan 90-an atau

angkatan reformasi. Munculnya angkatan reformasi ditandai dengan maraknya

karya sastra yang bertemakan seputar reformasi. Sastrawan angkatan reformasi

merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an

seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Kesusastraan Indonesia era tersebut mencapai

bentuk dengan beberapa ciri-ciri, yakni bertemakan sosial-politik, penuh dengan

kebebasan ekspresi dan pemikiran, menampilkan sajak-sajak peduli bangsa dan

religius serta bernuansa sufistik. Bentuk tersebut seperti terlihat pada Puisi Pelo

karya Widji Thukul, Resonansi Indonesia karya Ahmodun Yosi Herfanda, Di

Luar Kota karya Acep Zamzam Noer, Abad yang Berlari karya Afrizal Malna,

dan Opera Kecoa karya N. Rianto (Rismawati, 2017:156-157).

B. Genealogi Dewan Kesenian Jakarta

1. Pendirian Dewan Kesenian Jakarta

Pembentukan DKJ tidak dapat dilepaskan oleh perkembangan dunia

politik dan kekuasaan ketika itu. Setelah Orde Lama berakhir, kemudian terbit

Orde Baru yang menghendaki berbagai perubahan aspek kehidupan ke arah

kemajuan. Salah satunya ialah aspek kebudayaan. Masyarakat seniman bersama

dengan pemerintah DKI Jakarta di bawah pimpinan Gubernur Ali Sadikin

menginisiasi pembentukan sebuah lembaga yang mengurus kehidupan library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id37

kebudayaan khususnya kesenian. Lembaga tersebut kemudian disebut sebagai

Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

Pembentukan DKJ diorientasikan terutama agar dapat berfungsi dan

berperan dalam pembentukan Jakarta sebagai pusat kebudayaan. Hal tersebut

diungkapkan oleh Ali Sadikin dalam sambutan di kediamannya saat pelantikan

anggota DKJ periode pertama pada 19 Juni 1968. Dikemukakan oleh Ali Sadikin

bahwa menjadikan Jakarta sebagai sebuah pusat kebudayaan adalah keharusan

karena Jakarta merupakan pintu gerbang Republik Indonesia. Jakarta dengan

empat juta penduduk ketika itu, munurut Ali Sadikin merupakan manifestasi dari

masyarakat Indonesia (Berita Yudha, 30 Juni 1968).

Secara garis besar, DKJ merupakan lembaga yang dibentuk dalam rangka

mendukung Jakarta sebagai pusat kebudayaan di masa depan. Bertolak dari hal

itu, dapat diketahui bahwa DKJ menyasar arena kebudayaan nasional. Seluruh

aspek DKJ sebagai organisasi kesenian yang memiliki visi dan misi diorientasikan

terhadap pemenangan kontestasi arena kebudayaan nasional. Arena tersebut di

dalamnya mencakup arena sastra Indonesia. Arena itu menjadi fokus utama

pembahasan sebagai struktur yang ditempati DKJ.

Secara hukum, DKJ merupakan sebuah lembaga resmi mitra kerja

gubernur DKI Jakarta yang bertugas untuk merumuskan kebijakan serta

merencanakan berbagai program guna mendukung kegiatan dan pengembangan

kehidupan kesenian di wilayah Jakarta. DKJ dikukuhkan pada tanggal 7 Juni 1968

oleh Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu, yaitu Ali Sadikin. Pembentukan DKJ

disahkan oleh Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta

No. Ib.3/2/19/1968 (dkj.or.id). library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id38

Tertulis dalam Pedoman Dasar Dewan Kesenian Jakarta (1968), DKJ

yang berdasarkan azas kebebasan manusia, khususnya di bidang penciptaan karya

seni memiliki tujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan penciptaan seni

kreatif dalam arti yang seluas-luasnya. Melalui hal itu, diharapkan terjadi

keseimbangan yang wajar antara kegiatan seni kreatif dan seni hiburan. Dalam

rangka mencapai tujuan tersebut DKJ melakukan beberapa usaha.

Pertama, mengadakan pendidikan, baik bagi calon seniman dalam bentuk

lembaga pendidikan, maupun bagi seniman profesional dalam bentuk diskusi,

sanggar karya dan sebagainya. Kedua, menghargai serta menyalurkan kerja seni

bermutu kepada masyarakat dalam bentuk pameran, pergelaran serta mendirikan

museum yang dengan begitu dapat memberi contoh dari manifestasi kesenian

terbaik Indonesia. Ketiga, mengadakan bimbingan apresiasi kepada masyarakat

melalui media massa, penerbitan khusus, ceramah serta usaha lain yang dianggap

perlu. Selebihnya, DKJ juga mengusahakan segala macam usaha lain yang sesuai

untuk tujuan tersebut. DKJ dalam rangka melaksanakan usaha untuk mencapai

tujuan di atas, akan bekerja sama dengan berbagai pihak, baik perorangan maupun

badan-badan kesenian yang ada, baik dalam maupun luar negeri, dengan

membuang segala prasangka yang sifatnya non-artistik.

Tugas dan fungsi DKJ adalah merumuskan kebijakan pembinaan dan

pengembangan kesenian di wilayah provinsi DKI Jakarta. Pembinaan tersebut

tercermin dalam program tahunan DKJ yang meliputi berbagai jenis kesenian,

baik tradisi maupun modern yang mencakup sastra, teater, film, tari, seni rupa,

dan musik (dkj.or.id)

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id39

Sebagai sebuah institusi yang merupakan mitra kerja gubernur DKI

Jakarta, DKJ juga mengemban tugas untuk menyampaikan saran kepada gubernur

DKI Jakarta mengenai pembinaan dan pengembangan kesenian di Jakarta.

Mengingat DKJ berkedudukan di Jakarta sebagai ibu kota Negara Kesatuan

Republik Indonesia, maka DKJ juga mempunyai tugas memantau serta

memajukan kesenian di seluruh Indonesia, memperkenalkan kesenian Indonesia

ke dunia internasional, dan memperkenalkan kesenian negara-negara lain kepada

masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta.

Visi dan misi DKJ adalah ingin mendorong para seniman untuk

mengembangkan kreativitas dan penciptaaan karya seni. DKJ ingin menyalurkan

berbagai karya seni bermutu kepada masyarakat serta memelihara,

mengembangkan dan membangun kesenian di Jakarta. DKJ menjadi payung yang

mengayomi, memelihara dan menjembatani masyarakat seni dengan masyarakat

umum, agar Jakarta menjadi kota seni terdepan. Selain itu, DKJ juga

mengakomodasi terciptanya iklim inspiratif bagi para seniman agar dapat

mempersembahkan kreativitas kesenian yang bermutu (dkj.or.id).

Anggota DKJ berjumlah 25 orang dengan masa kepengurusan selama dua

tahun yang dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta di setiap periodenya.

Pemilihan anggota DKJ dilakukan secara terbuka, melalui tim formatur yang

terdiri atas beberapa ahli dan pengamat seni. Tim pemilih tersebut dibentuk oleh

AJ. Nama-nama calon diajukan dari berbagai kalangan masyarakat atau kelompok

seni. Anggota DKJ ialah para seniman dan pemikir seni-budaya yang kompeten di

bidangnya masing-masing danterbagi dalam 6 komite: Komite Film, Komite

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id40

Musik, Komite Sastra, Komite Seni Rupa, Komite Tari, dan Komite Teater

(dkj.or.id).

Kebijakan pengembangan kesenian tercermin dalam bentuk program

tahunan yang diajukan dengan menitikberatkan pada skala prioritas masing-

masing komite. Masing-masing komite di DKJ memiliki program tersendiri yang

biasa digelar rutin setiap tahunnya. Komite sastra mempunyai beberapa program

seperti sayembara penulisan novel/roman, sayembara naskah drama, pembacaan

puisi, musikalisasi puisi, pembacaan cerpen, diskusi sastra, peluncuran buku, dan

penerbitan buku sastra.

Komite musik memiliki program berupa pementasan musik, baik tradisi

maupun modern, festival musik, lomba mencipta lagu, lomba paduan suara,

festival keroncong, dan workshop. Jenis musik yang dipentaskan sangat beragam,

yakni jazz, klasik, musik bambu, dan lain-lain. Komite seni rupa memiliki agenda

program seperti pameran tunggal, pameran bersama, pameran biennale, trinale,

diskusi seni rupa, dan penerbitan buku seni rupa. Materi pameran beragam, yakni

berupa lukisan, grafis, patung, dan instalasi.

Komite tari memiliki program kegiatan seperti pentas tari, festival,

workshop, lomba, seminar, dan diskusi. Tari yang dipentaskan meliputi karya

maestro tari tradisi dan modern serta pula karya koreografer-koreografer muda

berbakat. Komite teater memiliki program kegiatan berupa pementasan teater,

pantomim, pertemuan teater, pentas monolog, lomba, diskusi, dan penerbitan

buku teater. Kelompok teater yang ditampilakan bervariatif, mulai dari kelompok

teater senior hingga kelompok teater potensial dari kalangan muda. Komite film

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id41

mempunyai program pemutaran film-film alternatif, ceramah dan diskusi, lomba

pembuatan film mini, lomba pembuatan film video, festival, dan workshop.

Dewan Kesenian Jakarta seperti yang disebutkan pada pasal 6 dalam SK

Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta No. Ib.3/2/19/1968 tentang

pembentukan Dewan Kesenian Jakarta, disebutkan bahwa DKJ juga merupakan

pengurus Pusat Kesenian Jakarta (PKJ). Disebutkan juga bahwa untuk dapat

menjalankan berbagai tugas sehari-hari, DKJ membentuk Dewan Pekerja Harian

(DPH) yang pemilihan, pengesahan, dan pemberhentian anggotanya dilaksanakan

oleh sidang paripurna DKJ. Penentuan DPH dimulai dari pemilihan satu atau

beberapa anggota DKJ sebagai formatur pembentuk DPH yang anggotanya dipilih

dari anggota-anggota DKJ. DPH memiliki tugas dan kewajiban atas pelaksanaan

tujuan DKJ. Di samping itu, DPH memiliki hak untuk mewakili DKJ, baik di

dalam maupun di luar kekuasaan yang bersangkutan dengan hukum.

Berikut adalah beberapa susunan pengurus Dewan Pekerja Harian dan

anggota DKJ dalam beberapa periode. Data berikut dikutip dari artikel “Hallo,

DKJ Baru” (Pelita, 7 Juni 1977) dan “DKJ Mulai Start” (Berita Minggu dan

Film, 1982).

Pengurus DKJ periode pertama (1968-1971) adalah Trisno Soemardjo

(meninggal dunia kemudian digantikan oleh Umar Kayam) selaku Ketua Dewan

Pekerja Harian, Arief Budiman sebagai Wakil Ketua I Dewan Pekerja Harian, D.

Djajakusuma sebagai Wakil Ketua II Dewan Pekerja Harian, Gajus Siagian

sebagai Wakil Ketua III Dewan Pekerja Harian, Pramana Padmodarmojo sebagai

Sekretaris I Dewan Pekerja Harian, D.A. Peransi sebagai Sekretaris II Dewan

Pekerja Harian, dan Taufiq Ismail sebagai Sekretaris Pelaksana. Anggotanya library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id42

meliputi, Goenawan Mohamad, Ajip Rosidi, Zaini, Teguh Karja, B. Brata S.,

Rudy Laban, B. Sitompul, Darsjaf Rahman, H. Misbach J. Biran, W. Sihombing,

Oesman Effendi, Asrul Sani, I Wajan Dija, Sjuman Djaya, Nj. S. Suleiman,

Adidharma, Iravati Sudiarso, dan Sardono W. Kusumo.

DPH DKJ periode kedua (1971-1972) adalah Umar Kayam menjabat

sebagai Ketua Dewan Pekerja Harian, D. Djajakusuma sebagai Wakil Ketua

Dewan Pekerja Harian, Ramadhan KH sebagai Sekretaris I Dewan Pekerja

Harian, dan Wahyu Sihombing sebagai Sekretaris II Dewan Pekerja Harian. Para

anggota meliputi Pramana Padmodarmojo, Arief Budiman, Taufiq Ismail,

Goenawan Mohamad, Ajip Rosidi, Zaini, Teguh Karja, Binsar Sitompul, Edy

Sedyawati, Frans Haryadi, Mus Mualim, H. Misbach J. Biran, Ali Audah, Sidi

Gazalba, Asrul Sani, Gayus Siagian, Sjuman Djaya, Surya Brata, Tuti Herati

Nurhadi, dan Iravati Sudiarso.

DPH DKJ periode ketiga (1973-1976) diketuai oleh tiga orang, yakni D.

Djajakusuma, Ajip Rosidi, dan Iravati Sudiarso, sedangkan sekretarisnya ialah

Wahyu Sihombing dan Ramadhan KH. Anggota periode tersebut adalah Zaini,

Alam Surawijaya, Goenawan Mohamad, Ali Audah, Umar Kayam, Nashar,

Taufiq Ismail, Pramana Pmd, Edy Sedyawati, Yulianti Parani, Syu’bah Asa,

Soemardjono, Nursamsu, Frans Haryadi, Hazil Tanzil, Suwandono, Binsar

Sitompul, Teguh Karya, Asrul Sani, dan Abbas Alibasyah.

DPH DKJ periode keempat (1977-1979) seperti halnya periode

sebelumnya yang dipimpin oleh tiga orang ketua, yakni Ajip Rosidi, Asrul

Sani, Iravati Sudiarso. Sekretaris periode ini juga ada dua orang, yaitu Alam

Surawijaya dan Sal Murgiyanto. Bertugas pula Ramadhan KH sebagai direktur library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id43

pelaksana. Anggota periode ini meliputi Ali Audah, Alfons Taryadi, Zaini,

Danarto, I Wayan Diya, H. Mahbub Djunaedi, Pramana Pmd, L. Manik, H.

Misbach Jusa Biran, Syu’bah Asa, Nursyamsu Nasution, Sapardi Djoko Damono,

Satyagraha Hurip, Singgih Wibisono, Slamet Abdul Syukur, Soemardjono,

Sukarno M. Noor, Wahyu Sihombing, dan Yulianti Parani.

Pengurus DKJ periode kelima (1982-1984) adalah Tuti Herati Nurhadi,

Subagio Sastrowardoyo, dan Sudarmadji yang bertindak selaku ketua dewan

pimpinan harian. Sal Murgiyanto MA dan Sukar Hardjana masing-masing sebagai

sekretaris I dan II. Komite seni rupa diketuai oleh Nashar dan beranggotakan

Suparto, Sudarmadji, serta Adi Mursjid. Komite sastra dipimpin oleh Abdul Hadi

WM dan beranggotakan Putu Wijaya, Abdurrachman Wahid, Subagio

Sastrowardoyo. Tuti Herati Nurhadi. Komite musik diketuai oleh Frans Haryadi

dan beranggotakan Binsar Sitompul, AS Pradjakusumah, Iravati M. Sudiarso, dan

Suka Hardjana. Komite tari dipimpin oleh Farida Faisol dan beranggotakan

Singgih Wibisono, T. Nazly, Sal Murgiyanto. Selanjutnya, ketua komite teater

adalah Putu Wijaya. Anggota komite tersebut meliputi Arifin C. Noor, SM Ardan,

Pandam Guritno, dan Hendro Mulyono. Terakhir ialah komite film yang dipimpin

oleh Ami Prijono. Anggotanya adalah Cristine Hakim, Arifin C. Noor, Putu

Wijaya, Abdurrachman Wahid, dan SM Ardan.

DKJ sebagai organisasi pro pemerintah terindikasi memiliki ideologi atau

konsep estetika yang tidak kontra dengan pemerintahan di atasnya. Seperti yang

telah dibahas sebelumnya, DKJ hadir pada masa permulaan Orde Baru yang

bertolak belakang dengan Orde Lama. Politik sebagai panglima pada masa Orde

Lama telah berakhir. Awal Orde Baru mengubah kehidupan kesenian di Indonesia library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id44

dengan menawarkan kebebasan berkreasi. DKJ yang lahir bersamaan dengan hal

tersebut mendapatkan kebebasan dalam praktik keseniannya.

Dari segi kepengurusan, tidak ditemui bekas anggota Lekra yang turut

mengampu DKJ. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa DKJ ingin membebaskan

diri dari cengkeraman politik yang menguasai ranah kesenian pada masa

sebelumnya melalui Lekra. Tokoh-tokoh anggota DKJ merupakan manifestasi.

Sebagai contoh, DKJ periode pertama dipimpin oleh Trisno Soemardjo yang

dahulu turut menandatangani Manifes Kebudayaan. Hal itu mengindikasikan

bahwa DKJ secara genetik tidak lahir dan diasuh oleh tokoh-tokoh “kiri”. Konsep

kesenian DKJ sebagai sebuah lembaga estetika sejak awal telah dibentuk menjadi

antitesis dari realisme sosialis Orde Lama dengan jargon politik adalah panglima.

DKJ sejak awal telah dipimpin dan di asuh oleh tokoh-tokoh intelektual

dan memiliki kedudukan dalam arena kebudayaan nasional pada umumnya, serta

arena sastra Indonesia pada khususnya. Dalam hal ini, Trisno Soemardjo adalah

tokoh berpendidikan tinggi yang tamat AMS. Trisno dikenal sebagai sastrawan,

pelukis, dan penerjemah ulung. Trisno bahkan pernah diberi gelar “Spesialis

Shakespeare” karena banyak menerjemahkan karya-karya Shakespeare. Bagi

Trisno Sumardjo, kesenian adalah segala-galanya. Kesenian bukan alat untuk

mengejar materi atau mencari nama baik. Trisno Sumardjo adalah pribadi yang

sederhana. Hal tersebut terlihat dalam karya-karya Trisno yang menurut A.Teeuw

mempunyai daya tarik dari segi kesederhanaannya

(badanbahasa.kemdikbud.go.id).

Trisno Sumardjo pernah memimpin penerbitan majalah di Solo dan

menjadi sekretaris Lembaga Kebudayaan Indonesia (1950-1955). TrisnoSumardjo library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id45

sejak tahun 1965 sampai akhir hayatnya berkali-kali terpilih sebagai sekretaris

umum Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional di Jakarta. Pengalaman

berorganisasi itu diperkaya dengan perjalanan ke luar negeri. Tahun 1952, Trisno

meninjau Amerika Serikat dan Eropa Barat selama enam bulan dengan beasiswa

Visittorship Rockefeller. Tahun 1957, Trisno mengunjungi Republik Rakyat Cina

sebagai ketua delegasi sastrawan. Tahun 1961, Trisno mengunjungi Amerika

Serikat lagi atas undangan State Departemen. Berkat dedikasi dan jasa dalam

mengembangkan kebudayaan Indonesia Trisno Sumardjo bersama dengan H.B.

Jassin mendapatkan Satya Lencana Kebudayaan dari Pemerintah Republik

Indonesia. Pemberian penghargaan tersebut bertepatan dengan peringatan Hari

Kebangkitan Nasional pada tanggal 20 Mei 1969 (badanbahasa.kemdikbud.go.id).

Senada dengan Ali Sadikin, Trisno Soemardjo berpendapat bahwa Jakarta

memiliki potensi yang mestinya telah membawanya menjadi pusat kebudayaan.

Potensi tersebut merujuk pada 70% kekayaan nasional yang berada di Jakarta. Ibu

kota memiliki warga-warga terbaik dalam segi ilmu dan pendidikan. DKI Jakarta

merupakan pusat pemerintahan, pergaulan, perdagangan, lalu lintas hubungan

internasional, serta pusat kesenian baik modern, klasik maupun tradisional.

“Jantung” Jakarta sebagai pusat kebudayaan telah terbentuk. Namun, “wajah”

sebagai sebuah pusat kebudayaan belum terbentuk (Berita Yudha, 30 Juni 1968).

2. DKJ dengan PKJ TIM dan LPKJ

Di tahun pertama, DKJ bersama gubernur DKI Jakarta mendirikan pusat

kesenian Jakarta sebagai tempat utama dilaksanakannya program-program DKJ.

Pada tanggal 10 November 1968, berdirilah Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id46

Marzuki (PKJ TIM) di Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat. Di PKJ TIM berbagai

kesenian dipergelarkan. Dari tempat ini pula lahir berbagai jenis kesenian

Indonesia modern. Di kalangan masyarakat luas, PKJ TIM populer sebagai wadah

kesenian yang melaksanakan acara-acara seni hasil desain DKJ (Kompas, 20 Mei

1980). Maksudnya ialah, acara-acara kesenian yang ditampilkan di PKJ TIM telah

ditentukan oleh DKJ sebelumnya sebagai pengelola resmi. Melalui otoritasnya,

DKJ dapat menentukan konsep kesenian yang ingin ditampilkan kepada

masyarakat luas.

Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin melihat bahwa kota metropolitan

seperti Jakarta akan menjadi tempat yang kering dan miskin budaya jika tidak

terdapat kehidupan dan pendidikan seni (ikj.ac.id). Atas kesadaran DKJ dalam hal

pentingnya pendidikan bagi pengembangan kesenian, maka diselenggarakan

pendidikan seni dengan mendirikan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta

(LPKJ) di tahun 1970. Pada bulan Juni 1970, kampus LPKJ di lingkungan PKJ

TIM diresmikan oleh presiden pada waktu itu, yakni Soeharto.

LPKJ merupakan tempat bagi seniman muda dan orang yang berminat

menjadi seniman profesional dididik dan dibina. LPKJ berperan dalam melahirkan

seniman, desainer, pemusik, sineas dan berbagai tenaga profesional seni yang

menghidupkan kegiatan budaya, kegiatan sosial dan kegiatan industri di Jakarta

(ikj.ac.id). DKJ melalui LPKJ, dapat dikatakan berperan besar atas pembinaan

tunas-tunas muda penggerak kehidupan kesenian Indonesia. Hal tersebut

dikarenakan dekan dan dosen LPKJ sebagian besar merupakan anggota DKJ.

Sisanya, dekan dan dosen disinyalir ditempati oleh orang-orang yang memiliki

kedekatan hubungan dengan DKJ (Ranggalawe, 1970). library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id47

Pada masa itu, seiring program pembinaan kesenian DKJ mulai berjalan,

PKJ TIM mulai ramai dengan berbagai pergelaran kesenian. Di sisi lain, LPKJ

juga mulai menyelenggarakan pendidikan seni. Pada tahun 1985 LPKJ

dikembangkan menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan masih eksis hingga

saat ini. Perkembangan PKJ TIM dan LPKJ yang baik tersebut berpengaruh

terhadap kehidupan kesenian Indonesia, khususnya Jakarta. Perkembangan

tersebut pada akhirnya menunjang eksistensi DKJ dan berakumulasi menjadi

modal untuk dapat meraih posisi mapan dalam arena sastra yang diperjuangkan.

3. DKJ dan Akademi Jakarta (AJ)

Akademi Jakarta (AJ) merupakan lembaga kehormatan di bidang

kesenian. AJ dikukuhkan pada 24 Agustus 1970 dan berkedudukan di DKI

Jakarta. Disebutkan dalam pasal 5 (1968), bahwa AJ merupakan dewan

kehormatan seniman atau budayawan dengan anggota berjumlah sepuluh orang.

Masa kedudukan AJ adalah seumur hidup selama kesehatannya masih baik,

berusia empat puluh tahun ke atas, dan dipilih dari seluruh Indonesia. Syarat

keanggotaan AJ ialah para seniman atau budayawan yang telah berprestasi di

salah satu bidang seni atau budaya secara bermutu dan berkelanjutan di samping

juga merupakan seorang pemikir kebudayaan secara umum.

Dalam pembentukan anggota yang pertama kali, susunan AJ dipilih oleh

DKJ. Baru kemudian untuk selanjutnya, AJ memilih sendiri anggotanya apabila

terdapat anggota AJ yang mengundurkan diri. Tokoh-tokoh yang pernah duduk

sebagai anggota AJ diantaranya adalah A.D. Pirous, Ahmad Syafii Maarif, Ajip

Rosidi, Amrus, Endo Suanda, Goenawan Mohammad, H.B. Jassin, H. Misbach library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id48

Yusa Biran, Ignas Kleden, Irawati M. Sudiarso, Koesnadi Hardjasumantri,

Mochtar Pabottingi, Natalsya, Nh. Dini, Nono Anwar Makarim, Rosihan Anwar,

Saini K.M, Sardono W. Kusumo, Slamet Abdul Syukur, Sitor Situmorang, Sutan

Takdir Alisjahbana, Tatik Maliyati W.S, Taufik Abdullah, Toety Heraty N.

Rooseno, dan Rendra (Yudiono K.S, 2010:215).

Peranan AJ adalah menjadi semacam tempat bertanya dalam pengelolaan

kebudayaan. Menurut Sutan Takdir Alisjahbana, AJ berfungsi mencari teknik

yang tepat untuk mengarahkan kebudayaan. Namun demikian, AJ memiliki tugas

pokok yang lebih konkret seperti memilih calon anggota DKJ, memantau

perkembangan kesenian, dan memberikan Anugerah Seni (Kompas, 20 Mei

1980).

Hubungan antara AJ dan DKJ tidak dapat dilepaskan satu sama lain.

Hubungan keduanya lebih dari sekadar dalam hal penentuan anggota AJ atau

DKJ. Penentuan strategi kebudayaan pada umumnya dan kesenian pada

khususnya menjadi proyek yang dikerjakan DKJ dan AJ. Hal itu menunjukkan

bahwa pada dasarnya DKJ bersama AJ mengembangkan suatu konsep estetika.

Konsep tersebut menjadi jiwa dalam karya-karya kesenian DKJ, baik yang

ditampilkan melalui PKJ TIM maupun tidak. Konsep tersebut pada akhirnya

menjadi representasi yang dominan, dinilai benar, dan alamiah. Secara sadar atau

tidak konsep tersebut ditanamkan dalam pikiran masyarakat. Konsep yang

berhasil diterima oleh masyarakat luas kemudian akan berpengaruh dalam struktur

arena. Pada dasarnya pengembangan strategi kebudayaan tersebut merujuk pada

praktik kekerasan simbolis.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id49

4. Sayembara-Sayembara DKJ

Konsistensi pemunculan karya DKJ tidak dapat dilepaskan dari

penyelenggaraan sayembara karya yang telah digelar di tahun-tahun awal lembaga

ini berdiri. Tahun 1974 adalah kali pertama penyelenggaraan Sayembara

Mengarang Roman DKJ. Sejak itu, ajang tersebut kemudian digelar sekali sampai

tahun 1980. Pada akhir tahun 1980 DKJ memutuskan untuk menghentikan

sayembara menulis roman. Salah satu alasannya, sebagaimana yang diungkapkan

oleh Ketua Komite Sastra DKJ pada saat itu, Abdul Hadi WM, sayembara

menulis roman DKJ makin mengalami kemerosotan mutu (DKJ, 2016:48).

Sebagai ganti sayembara roman yang dihentikan untuk sementara waktu,

DKJ menyelenggarakan program pemberian hadiah untuk buku sastra terbaik.

Buku sastra yang dipilih meliputi novel, kumpulan puisi, kumpulan esai/kritik,

dan kumpulan cerpen. Namun, DPH-DKJ tahun 1981 tidak berhasil melaksanakan

program tersebut, dan baru terlaksana pada tahun 1982. Gelaran Hadiah Sastra

kemudian digelar berturut-turut mulai dari tahun 1982 sampai 1984. Sayembara

Mengarang Roman DKJ sendiri kemudian baru muncul lagi tahun 1997 yang

masa lombanya digelar sampai tahun 1998 (DKJ, 2016:48).

Di setiap penyelenggaraan, baik sayembara mengarang ataupun hadiah

sastra dipilih beberapa pemenang yang akan ditentukan oleh dewan juri yang

berbeda tiap tahunnya. Menurut catatan penyelenggaraan sayembara, tidak di

setiap ajang yang digelar memunculkan pemenang. Dalam hal ini, faktor dewan

juri sangat menentukan keputusan yang dihasilkan. Dewan juri berbeda-beda

sehingga memiliki prosedur tersendiri dalam melakukan penilaian. Pada akhirnya,

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id50

standar penilaiannya kemungkinan besar berlaianan antar juri satu dengan yang

lain (Sinar Harapan, 14 Desember 1974).

Dikemukakan oleh dewan juri sayembara roman DKJ periode pertama

bahwa ada beberapa kriteria penilaian yang dijadikan acuan dalam penenentuan

karya terbaik. Pembicaraan mengenai sastra tidak dapat dilepaskan dengan isi dan

bentuk karya. Keduanya harus seimbang dalam sebuah karya atau dalam kata lain,

isi dan bentuk harus sepadan. Isi akan merepresentasikan tingkat kematangan jiwa

pengarang sementara teknik bercerita akan membantu pengarang menemukan

bentuk yang sepadan dengan isi. Bahasa sebagai sarana komunikasi merupakan

aspek penting dari isi. Hal tersebut tidak dapat diabaikan sebab sastra memegang

peranan penting dalam perkembangan bahasa. Bagi dewan juri, bahasa adalah

nilai intrinsik dalam karya sastra dan bukan nilai ekstrinsik (Sinar Harapan, 14

Desember 1974).

Pada penyelenggaraan sayembara roman DKJ untuk kali pertama, tidak

ditemukan, baik pemenang I, II, maupun III. Menurut dewan juri yang terdiri dari

Umar Kayam, Boen S. Oemarjati, Sapardi Djoko Damono, S. Effendi, dan Mh.

Rustandi Kartakusuma, karya yang masuk umumnya lemah dari sudut isi. Jiwa

pengarang dinilai belum mencapai kematangan tertentu. Dewan juri menghormati

kebebasan pengarang untuk menciptakan neologisme serta mengakui licentia

poetica. Namun demikian, kebebasan berbahasa tersebut memiliki batas yang

ditentukan oleh kodrat bahasa sebagai sarana pengungkapan individu dan sarana

komunikasi komunitas. Dalam hal ini, pengarang peserta sayembara banyak yang

melanggar batas tersebut sehingga berakibat fatal. Bahasa yang digunakan

menjadi tidak dapat dimengerti, kabur, dan tidak logis. Tidak sedikit pula karya library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id51

yang justru terkesan dibuat-buat gayanya, tidak wajar, dipaksakan, terlalu

bombastis sehingga tidak sesuai bahkan bertolak belakang dengan isi cerita (Sinar

Harapan, 14 Desember 1974).

Pada akhirnya, dari 64 naskah yang masuk dan 59 yang memenuhi syarat

administrasi, dewan juri memilih lima pemenang dengan hadiah penghargaan

masing-masing sebesar Rp. 75.000,-. Mereka adalah Iskasiah Sumarto

(Yogyakarta) dengan karya Astiti Rahayu, Mahbub Djunaidi (Jakarta) dengan

karya Dari Hari Ke Hari, Aspar Paturusi (Ujung Pandang) dengan karya berjudul

Arus, Suparto Brata (Surabaya) dengan karya Sisa-Sisa Hari Kemarin, dan C.M.

Nas (Jakarta) dengan karya berjudul Qisas (DKJ, 2016:35).

Dari Hari Ke Hari karya Mahbub Djunaidi dinilai memiliki nilai intrinstik

dan ekstrinsik. Nilai ekstrinsik mendapat perhatian penting dari dewan juri. Dalam

karya tersebut, nilai ekstrinsiknya ialah kesaksian literer atas peristiwa revolusi

1945. Kesaksian tersebut memberi sumbangan kesadaran sejarah, kesadaran

kebangsaan, dan berkontribusi dalam pewarisan nilai-nilai 45 (Sinar Harapan, 14

Desember 1974).

Di dalam penyelenggaraan sayembara mengarang roman yang kedua juga

belum menghasilkan juara I sebagai pemenang. Namun, berbeda dengan

penyelenggaraan sebelumnya, di tahun ini dewan juri yang terdiri dari Mh.

Rustandi Kartakusuma, Jakob Sumardjo, Lukman Ali, Boen S. Oemarjati, Sapardi

Djoko Damono mempunyai peraih hadiah utama dan hadiah penghargaan. Hadiah

utama meliputi juara II dan III sementara hadiah penghargaan meliputi beberapa

juara harapan (DKJ, 2016:37).

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id52

Dalam “Penjelasan Dewan Juri Sayembara Roman Dewan Kesenian

Jakarta 1975” dikemukakan bahwa hadiah penghargaan diberikan kepada karya-

karya yang berhasil memenuhi unsur bentuk novel konvensional meskipun masih

terdapat beberapa kelemahan teknis. Namun, karya-karya terpilih meliputi

Perjalanan karya Silia Saraswati (Ujung Pandang), Raumanen karya Mariane

Kattopo (Jakarta), dan Arlinah karya Suwarsih Djojopuspito, telah berhasil

menyajikan suatu bentuk cerita utuh. Cerita tersebut dapat dinikmati, memberikan

sugesti, dan terkadang menawarkan masalah kehidupan yang penting untuk

diperhatikan. Beberapa masalah kehidupan telah ditinjau secara matang dan

dewasa, tetapi perlu semacam usaha penyusunan ulang bentuk karya untuk

memperbaiki penyampaian cerita (Sumardjo, 1975).

Dalam kelompok pemenang hadiah utama, bentuk karya sudah tidak

bermasalah. Terdapat kesatuan integral antara unsur-unsur novel. Sasaran utama

untuk dapat memenangkan hadiah utama adalah keunikan karya dan kebaruannya

yang menunjukkan kreativitas pengarang. Selain itu, dasar penilaiannya ialah

merujuk pada konsistensi penyajian ide ke dalam karya yang utuh dan organis.

Berdasarkan hal itu, terpilih Stasiun karya Putu Wijaya sebagai juara II dan

Tawakal karya Ramadhan KH sebagai juara III (Sumardjo, 1975).

Putu Wijaya dalam karyanya menukik ke daerah kesadaran manusia

sebelum terwujud dalam tindakan-tindakan. Di dalam karyanya tersebut, Putu

Wijaya mencoba bentuk baru yang merupakan konsekuensi logis dari

permasalahan yang diangkat. Di sisi lain, Ramadhan KH menggarap masalah

tumbangnya nilai-nilai sosial dan moral di Indonesia akibat kondisi ekonomi yang

belum mapan. Persoalan tersebut diungkapkan dalam bentuk novel konvensional. library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id53

Pada dasarnya keduanya berhasil mencapai bentuk yang dipilih. Namun, Stasiun

lebih unik, khas, serta menampilkan kesatuan organis dan kebaruan yang orisinal

(Sumardjo, 1975).

Pada tahun 1976, panitia menerima naskah sebanyak 43 buah yang

kemudian dinilai oleh tim dewan juri yang meliputi H.B. Jassin, Ali Audah, Mh.

Rustandi Kartakusuma, Dodong Djiwapradja, dan M. Saleh Saad. Tidak ada karya

yang dinobatkan sebagai juara pertama. Pemenang oleh dewan juri diputuskan

hanya mencapai juara II yang diraih oleh Upacara karya Korrie Layun Rampan.

Juara III dimenangkan oleh Kowil Daeng Nyonri (Sinansari Ecip) dengan karya

Pembayaran. Hadiah penghargaan diraih oleh Keluarga Permana karya

Ramadhan KH (DKJ, 2016:39).

Selain mengumumkan pemenang-pemenang tersebut dewan juri juga

memberi rekomendasi atas beberapa karya yang dinilai layak untuk diterbitkan.

Karya-karya tersebut ialah Mata-Mata karya Suparto Brata, Di Atasnya

Pepuingan karya Tri Rahayu Prihatmi, Jatuhnya Benteng Batu Putih karya

Mohayus Abukomar, Maryati dan Kawan-kawannya karya Suwarsih

Djojopuspito, Keok karya Putu Wijaya, Jembatan karya Ediruslan P. Amanriza,

Gumam karya Darman Moenir, dan Warisan karya Chairul Harun (DKJ,

2016:39).

Tim dewan juri dalam sayembara tahun 1977 terdiri dari Dodong

Djiwapradja, Boen S. Oemarjati, M. Saleh Saad, B.H. Hoed, dan Rusman

Sutiasumarga. Dewan juri memutuskan bahwa dari total 43 karya yang masuk,

tidak ada yang meraih juara I maupun juara III, sementara untuk juara II diraih

oleh dua karya, yakni Jantan karya Eyha (Edijushanan) dan Tiga Lagu Dolanan library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id54

karya Ismail Marahimin. Untuk hadiah harapan diraih oleh Aku Bukan Komunis

karya Yudhistira Ardi Noegraha, Nahkoda karya Ediruslan P. Amanriza, dan

Stasiun Bukit Gundul karya Arswendo Atmowiloto (DKJ, 2016:41).

Di tahun 1978 naskah yang masuk menurun drastis, yakni hanya sebanyak

26 buah. Oleh dewan juri yang meliputi Rusman Sutiasumarga, Mh. Rustandi

Kartakusuma, S.I. Poeradisastra, dan Sugiarta Sriwibawa memutuskan bahwa

tidak ada pemenang pada sayembara kali ini. Tidak ada juara I, II, III, maupun

juara harapan. Namun, dewan juri memutuskan memberikan hadiah perangsang

kreasi dengan hadiah sebesar Rp. 30.000,- kepada Di Kaki Bukit Cibalak karya

Ahmad Tohari (Purwokerto), Ke Langit karya Ediruslan P. Amanriza

(Pekanbaru), Sebuah Piala dan Sebuah Kemiskinan karya Utoyo Dimyati (Pati),

Wajah-wajah di Guntingan Koran karya A.G. Mustapa (Gorontalo), Kabut yang

Tidak Berkesudahan karya B. Simanjuntak, dan Wanita Itu adalah Ibu karya Sori

Siregar (Selangor) (DKJ, 2016:43).

Sayembara Mengarang Roman DKJ 1979 hanya diikuti oleh 21 naskah.

Naskah-naskah tersebut kemudian dinilai oleh Rusman Sutiasumarga, Dodong

Djiwapradja, dan Dami N. Toda sebagai dewan juri. Diputuskan tidak ada juara I,

II, dan III. Namun, dewan juri memberi hadiah penghargaan kepada Tilpon karya

Sori Siregar, Sahabat karya Putu Wijaya, Koyan karya Ediruslan Pe Amanriza,

Srigala karya Suryadi WS, dan Cak Qadar karya S. Tiono Sunaatmadja. Masing-

masing pemenang tersebut mendapat hadiah sebesar Rp. 75.000,-. Selain itu,

dewan juri juga memberikan rekomendasi kepada naskah Koran karya Nurinwa

Ki S. Hendrowinoto dan Bukit Matahari karya Wunulde Saffinal sebagai karya

yang layak untuk diterbitkan (DKJ, 2016:45). library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id55

Di dalam surat keputusan tertanggal 23 Februari 1981, dewan juri

memutuskan tiga pemenang utama Sayembara Penulisan Naskah Roman DKJ

1980, yakni Bako karya Darman Moenir (Padang), Harapan Hadiah Harapan

karya Nasjah Djamin (Yogyakarta), dan Olenka karya Budi Darma (Surabaya).

Masing-masing pemenang mendapatkan hadiah sebesar Rp. 200.000,-. Tiga

pemenang tersebut terpilih dari total 25 naskah masuk dan 23 naskah yang

memenuhi syarat. Dewan juri yang melakukan penilaian ialah Ali Audah, Sapardi

Djoko Damono, Dami N. Toda, dan Toeti Heraty Noerhadi (DKJ, 2016:47).

Selain pemenang utama tersebut dia atas, dewan juri juga memutuskan

lima pemenang harapan yang masing-masing mendapatkan hadiah sebesar Rp.

50.000,-. Pemenang-pemenang tersebut meliputi Den Bagus karya Sudarmono K

(Surabaya), Dicari Hari yang Cerah karya E. Nohbi (Jakarta), Ketika Lampu

Berwarna Merah karya Hamsad Rangkuti (Jakarta), Merdeka karya Putu Wijaya,

Panggil Aku Sakai karya Ediruslan P. Amanriza (DKJ, 2016:47).

Seperti yang telah diulas sebelumnya. Pada akhir tahun 1980 DKJ

memutuskan untuk menghentikan sayembara menulis roman karena karya-karya

yang ada dinilai tengah mengalami kemerosotan mutu. DKJ kemudian

menyelenggarakan program Hadiah Sastra untuk menggantikan sayembara

menulis roman yang dihentikan sementara.

Penyelenggaraan Hadiah Sastra 1982 berhasil mengumpulkan 62 buku

yang memenuhi syarat untuk dinilai oleh dewan juri. Rinciannya adalah 24 novel,

18 kumpulan cerpen, 12 kumpulan esai/kritik, dan 10 kumpulan puisi. Dewan juri

yang bertugas ialah Boen S. Oemarjati, Umar Kayam, dan Taufiq Ismail. Mereka

kemudian memutuskan bahwa tidak ada pemenang untuk kategori novel dan library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id56

kumpulan puisi. Untuk kategori kumpulan kritik/esai diraih oleh Sastra dan

Religiositas karya YB Mangunwijaya, sedangkan untuk kategori kumpulan cerpen

dimenangkan oleh Adam Ma’rifat karya Danarto (DKJ, 2016:49).

Di tahun berikutnya, Hadiah Sastra kembali digelar. Di tahun 1983, Boen

S. Oemarjati, Umar Kayam, dan Ayatroehadi sebagai tim dewan juri menilai

sebanyak 57 buku yang memenuhi syarat. Buku tersebut terdiri dari 29 novel 8

kumpulan cerpen, 10 kumpulan puisi, dan 10 kumpulan esai. Hasil penilaian

dewan juri memutuskan bahwa tidak ada pemenang untuk kategori kumpulan

cerpen. Untuk kategori novel diraih oleh Olenka karya Budi Darma, Perahu

Kertas karya Sapardi Djoko Damono untuk kategori puisi, dan Sastra Hindia

Belanda dan Kita karya Subagio Sastrowardoyo untuk kategori kumpulan esai.

Masing-masing pemenang tersebut mendapatkan hadiah sebesar Rp. 400.000,-

(DKJ, 2016:51).

Sebanyak 12 novel, 10 kumpulan puisi, 6 kumpulan cerpen, dan 9

kumpulan esai/kritik dinilai oleh dewan juri Hadiah Sastra 1984 yang terdiri dari

Boen S. Oemarjati, Ignas Kleden, dan Abdul Hadi WM. Penilaian dewan juri

hanya menghasilkan satu pemenang, yakni untuk kategori kumpulan esai/kritik

yang diraih oleh Hamba-hamba Kebudayaan karya Dami N. Toda. Sama seperti

pada penyelenggaraan di tahun sebelumnya, pemenang kemudian mendapatkan

hadiah sebesar Rp. 400.000,-. Meskipun tidak ada pemenang untuk kategori

kumpulan puisi, kumpulan cerpen, dan novel, dewan juri memberikan

penghargaan kepada buku puisi karya Afrizal Malna yang berjudul Abad yang

Berlari dan Satu Milyar Satu karya Eka Budianta (DKJ, 2016:53).

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id57

Setelah tahun 1984, DKJ juga mengehentikan penyelenggaraan program

Hadiah Sastra. Namun, di sisi lain DKJ juga belum kembali menyelenggarakan

Sayembara Mengarang Roman DKJ. Bertahun-tahun DKJ mengalami

kekosongan. Persoalan kemerosotan mutu yang menjadi penyebab kelesuan karya

peserta sayembara DKJ pada penghujung tahun 70-an tampaknya sudah semakin

tidak relevan. Di luar DKJ, kesusastraan Indonesia terus mengalami

perkembangan sesuai kondisi yang ada.

Pada tahun 80-an merebak karya-karya roman percintaan dan sastra pop.

Selain itu, merbak pula sastra koran sebagai alternatif wadah berekspresi sebab di

tahun tersebut hanya ada satu majalah sastra, yakni Horison dan majalah

kebudayaan, yaitu Basis. Di masa tersebut hingga tahun 90-an sastra koran

berkembang pesat. Koran menjadi salah satu saluran bagi pengarang untuk dapat

mengaktualisasikan diri. Media massa terbitan pusat Jakarta masih menjadi

primadona. Koran nasional terbitan Jakarta dinilai menjadi media yang memiliki

nilai simbolis tertinggi.

Di sisi lain muncul perlawanan dari daerah. Perlawanan tersebut mewujud

melalui munculnya agenda revitalisasi sastra pedalaman. Gerakan yang muncul

pertama kali di Ngawi tersebut merupakan bentuk perlawanan terhadap kekuatan

pusat Jakarta yang mendominasi. Revitalisasi sastra pedalaman cukup menarik

perhatian dan pamor daerah perlahan-lahan pun mulai mengalami peningkatan

meski masih belum dapat mengalahkan pusat. Dalam hal ini, DKJ terindikasi

menerima dampak. DKJ tanpa kegiatan sayembara semakin kehilangan

eksistensinya dalam arena kesusastraan Indonesia. Terlebih lagi PKJ TIM sudah

dicabut hak pengelolaannya dari DKJ memperburuk pergerakannya sebagai agen. library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id58

Di penghujung Orde Baru, DKJ baru kembali muncul dengan sayembara

roman. Di tengah situasi masyarakat yang sedang tidak kondusif, DKJ bangkit

dan berhasil menarik perhatian masyarakat melalui karya pemenang utama,

Saman karya Jambu Air (Ayu Utami). Selain karya tersebut cukup kontroversial

dari segi estetika yang diusung, Saman juga berhasil mengukir sejarah baru dalam

catatan penyelenggaraan sayembara roman. Untuk pertama kalinya sayembara

roman DKJ menghasilkan juara pertama.

Pada perhelatan Sayembara Mengarang Roman DKJ 1997-1998, sebanyak

70 naskah diterima panitia. Sayembara tersebut mensyaratkan tema bebas dan

mengandung unsur kebaharuan. Dewan juri yang menjadi tim penilai ialah

Sapardi Djoko Damono, Faruk H.T., dan Ignas Kleden. Pemenang lain, juara II

diraih Dikalahkan Sang Sapurba karya Ruslan Pe Amanriza, juara III diraih Api

Awan Asap karya Korrie Layun Rampan, juara harapan I diraih Prosesi karya

Zora Herawati, dan juara harapan II diraih Hempasan Gelombang karya Taufik

Ikram Jamil. Masing-masing pemenang tersebut mendapatkan hadiah sebesar Rp.

7.500.000,- (juara I), Rp. 6.000.000,- (juara II), Rp. 4.500.000,- (juara III), Rp.

3.000.000,- (juara harapan I), dan Rp. 1.500.000,- (juara harapan II) (DKJ,

2016:55).

Pada dasarnya, DKJ juga aktif mengadakan sayembara dalam bidang lain.

Misalnya, Sayembara Penulisan Sandiwara Indonesia DKJ. Ajang tersebut pada

1972 atau di tahun pertamanya digelar mendapatkan sambutan yang cukup baik

dari masyarakat. Hal itu terlihat dari antusiasme peserta yang mengirimkan

naskah untuk dinilai oleh Asrul Sani, Goenawan Mohammad, dan Teguh Karya

sebagai dewan juri. Tercatat sebanyak 50 naskah masuk ke panitia dan setelah library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id59

melalui seleksi administrasi, sebanyak 46 naskah dinyatakan lolos. Namun,

sayembara tersebut baru menghasilkan pemenang harapan dengan hadiah sebesar

Rp. 75.000,- dan pemenang hadiah perangsang dengan hadiah sebesar Rp.

50.000,-. Nama-nama yang berhasil meraih hadiah tersebut ialah Akhudiyat

dengan naskah berjudul Graffito, Kuntowidjojo dengan naskah Tidak Ada Waktu,

dan Arswendo Atmowiloto dengan naskah Penantang Tuhan sebagai pemenang

harapan. Untuk pemenang hadiah perangsang meliputi Pangeran Sunten Dajaya

oleh Saini KM, Mimi, Pelacurku karya Jasso Winarto, Topeng karya Ikranegara,

Matahari Bersinar Lembayung karya N. Riantarno, Ketika Bumi Tidak Beredar

karya Frans Rahardjo, dan Bayiku yang Pertama karya Arswendo Atmowiloto

(Nusantara, 29 Desember 1972).

5. Kegiatan-Kegiatan Lain

DKJ tidak hanya eksis melalui berbagai sayembara yang digelarnya secara

rutin di setiap tahunnya. DKJ juga aktif menawarkan berbagai kegiatan kesenian

lain kepada masyarakat luas. Kegiatan-kegiatan tersebut di antaranya ialah Pesta

Seni DKJ. Acara tersebut merupakan agenda tetap setahun sekali yang telah

digelar sejak 1968. Pesta seni DKJ mengusung konsep kontemporer yang menjadi

jawaban atau respons dari seniman-seniman tentang kreativitas dan pertumbahan

kegiatan dalam masyarakat (Kami, 9 Desember 1970).

Kegiatan lainnya ialah pembacaan puisi di PKJ TIM. Bahkan disebutkan

dalam sebuah artikel bahwa di sepanjang tahun 70-an sampai awal 80-an disebut-

sebut sebagai masa subur pembacaan puisi di PKJ TIM (Merdeka, 29 Agustus

1993). Pada tahun 1973 DKJ juga memiliki program pekan teater tradisional yang library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id60

diselenggarakan bekerja sama dengan Direktorat Kesenian. Ada pula pementasan

musik di PKJ TIM, hasil kerjasama DKJ dengan sekolah musik di Surabaya

(Berita Buana, 8 Maret 1973).

Beberapa contoh kegiatan tersebut merepresentasikan keragaman kesenian

yang ditawarkan DKJ. Mulai dari kesenian kontemporer hingga tradisional

dihadirkan DKJ melalui berbagai pentas di PKJ TIM. Tidak diketahui secara

spesifik kriteria kontemporer dan tradisional yang dihadirkan DKJ ketika itu.

Namun, dari program kegiatan tersebut dapat diketahui bahwa setidaknya DKJ

ingin mengakomodasi beragam bentuk kesenian. DKJ seolah ingin mencitrakan

diri sebagai lembaga yang terbuka dengan perkembangan kesenian modern, tetapi

tetap melestarikan seni tradisional. Kesenian tradisional seringkali dipahami

sebagai akar kebudayaan bangsa. Kemudian, mengakomodasi aneka jenis

kesenian berarti pula meraih massa yang lebih luas lagi.

Golongan remaja yang jarang diperhatikan juga tidak terlepas dari

penanganan dari DKJ. Pada tahun 1972 DKJ menggarap secara khusus kegiatan

kesenian bagi kalangan remaja. Kegiatan tersebut bertajuk “Remaja dan Seni”

yang diprogramkan dalam rangka menghimpun potensi-potensi remaja dari

berbagai cabang kegiatan kesenian. Program yang bertujuan untuk membina,

menampung, serta meningkatkan kesenian di kalangan remaja tersebut dipusatkan

kegiatannya di Gelanggang Remaja (Kompas, 25 Januari 1972). Salah satu

perkembangan dari program kesenian untuk remaja tersebut, yakni pada tahun

1976 tercatat ada sepuluh grup teater remaja Jakarta yang dibina oleh DKJ.

Kelompok-kelompok binaan DKJ tersebut melakukan pementasan di Gelanggang

Remaja Jakarta (Sinar Harapan, 3 Maret 1976). library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id61

Sembagai lembaga yang memiliki otoritas atas PKJ TIM, DKJ terbilang

tidak anti dalam bersinggungan dengan kegiatan yang berkaitan bahkan

bernafaskan agama. DKJ dengan demikian dapat dipandang telah menjadikan PKJ

TIM sebagai wadah yang mampu mengakomodasi berbagai kepentingan dari

beragam kalangan masyarakat. Pada tahun 1973 DKJ menyelenggarakan diskusi

tentang nilai-nilai agama dalam sastra di PKJ TIM. Kegiatan tersebut

diselenggarakan dalam rangka memperingati HUT ke-28 Departemen Agama.

Dalam acara tersebut diundang tokoh-tokoh sastra, seniman, dan budayawan

terkemuka (Angkatan Bersenjata, 29 Desember 1973).

Di tahun yang sama DKJ juga menggelar kegiatan puitisasi Alquran di

PKJ TIM. Kegiatan tersebut bekerjasama dengan Pembina MTQ DKI Jaya dan

Direktorat Penerangan Agama. Acara yang digelar pada tanggal 21 Oktober

tersebut diselenggarakan dalam rangka menyambut Nuzul Alquran. DKJ terlihat

begitu hati-hati dalam menyelenggarakan kegiatan tersebut mengingat umat Islam

sangat peka terhadap seni budaya. Namun, diharapkan kegiatan itu dapat

membuka jalan untuk mendekatkan apresiasi umat Islam terhadap seni budaya

(Pedoman, 31 Oktober 1973).

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id62

Gambar 1: Liputan kegiatan Puitisasi Alquran di PKJ TIM (Pedoman, 31 Oktober

1973).

Perkembangan kegiatan DKJ selanjutnya ialah meski bertempat di Jakarta,

kegiatan DKJ tidak terbatasi. Maksudnya, DKJ tidak hanya menampilkan

kesenian asal Jakarta dan tidak melulu hanya mendukung pelaku seni Jakarta.

Salah satu program kegiatan DKJ pada tahun 1976 misalnya. DKJ bekerja sama library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id63

dengan Lingkar Mitra Budaya dalam rangka menyambut HUT Jakarta ke 449 dan

Sewindu PKJ TIM menyelenggarakan acara pementasan kesenian rakyat.

Acara tersebut dibuka untuk umum secara gratis. Beragam kesenian

tradisional asal berbagai daerah ditampilkan dalam acara tersebut. Kesenian

seperti tanjidor, keroncong tugu, jatilan, kuda lumping, orkes melayu, doger,

wayang kulit betawi, cokek, wayang golek, randai, gambang kromong, gambang

racak, lagu-lagu rakyat batak, dan topeng betawi ditampilkan di Teater Halaman

dan halaman parkir depan PKJ TIM. Di samping menampilkan kesenian

tradisional tersebut, pada acara yang digelar beberapa hari itu diselenggarakan

pula pameran tentang gambaran kehidupan kaki lima sejak subuh hingga tengah

malam oleh mahasiswa arsitektur dari Usaksi, Atma Jaya, dan Jaya Baya.

Pameran tersebut bertempat di Ruang Pameran PKJ TIM dan dibuka secara

langsung oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin (Suara Karya, 12 Juni 1976).

Pada tahun 1995 DKJ bekerja sama dengan Yayasan Gelanggang Bakti

menyelenggarakan pagelaran Kesenian Aceh dari Singkil, Aceh Selatan yang

didukung oleh 90 pemain. Acara tersebut digelar di Graha Bhakti Budaya PKJ

TIM selama tiga hari. Latar belakang pelaku kesenian yang turut serta sangat

beragam mulai dari pelajar, buruh, petani, tukang becak, dan nelayan. Kesenian

Aceh menampilkan berbagai tarian, syair, dan ada pula gerak musik (Suara

Karya, 29 Juli 1995). Selain itu, acara-acara lain yang pernah digelar di PKJ TIM

antara lain Pertemuan Sastrawan (1972, 1974), Diskusi Kritik Sastra (1974),

Festival Desember 1975, Penyair Muda di Depan Forum (1976), Lomba Baca

Puisi DKJ 1980, Temu Kritikus dan Sastrawan 1984 (Yudiono K.S, 2010:217).

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id64

Kegiatan DKJ tidak juga hanya terbatas pada kegiatan-kegiatan yang

sifatnya pertunjukan. Selain ada kegiatan pembinaan seni, seperti pembinaan

terhadap kelompok-kelompok teater remaja, ada pula kegiatan pembinaan lain

yang dilakukan oleh DKJ. Disebutkan oleh Irawati Sudiarso bahwa sejak tahun

1972 DKJ memiliki program pembinaan seni. Diungkapkan bahwa “DKJ

berpendapat adalah lebih tepat jika bukan hanya sistem lomba saja yang

diperkenalkan dalam dunia penciptaan musik, tapi dilakukan sistem penunjukan

komponis-komponis tertentu dengan disertai bantuan finansial secukupnya,

kreativitas itu bisa dirancang.” Dari komite sastra, Ramadhan KH

mengungkapkan pula bahwa disediakan sejumlah tunjangan untuk para sastrawan

yang dinilai potensial, tetapi memiliki kesulitan keuangan agar dapat melanjutkan

kerja kesenian mereka. Pada intinya, DKJ tidak hanya sekadar menyelenggarakan

perlombaan, khususnya dalam bidang sastra dan musik. Namun, DKJ juga

melakukan penunjukan (order) terhadap seniman potensial untuk diberi bantuan

finansial demi menunjang proses kesenian mereka sehingga otomatis berarti pula

menggalakkan kreativitas seni (Kompas, 29 November 1972).

6. Estetika DKJ

Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) seperti yang tercermin pada pembahasan

dalam subbab sebelumnya, sejak awal didirikan oleh masyarakat seniman telah

aktif menyelenggarakan kegiatan kesenian melalui berbagai program kerja yang

telah disusun setiap tahun. Mulai dari pesta seni hingga sayembara mengarang

secara rutin telah digelar oleh DKJ sedari tahun-tahun awal lembaga non-

pemerintah tersebut beroperasi. library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id65

Pada saat itu, DKJ tumbuh di era dunia sastra dan seni pada umumnya

yang semarak oleh berbagai eksperimentasi estetis. Hal itu tidak terlepas dari

dukungan sarana fisik yang menunjang para sastrawan era tahun 70-an. Dukungan

tersebut tidak lain ialah karena bentuk transformasi Jakarta, pembangunan Taman

Ismail Marzuki (TIM) sebagai pusat kesenian, yang masih dilengkapi dengan

masih eksisnya majalah sastra budaya yang berwibawa, yaitu Horison dan Budaja

Djaja. Selain itu, keruntuhan Orde Lama yang kemudian digantikan Orde Baru

disebut-sebut oleh Agus R. Sarjono (2001:165-166) memungkinkan dunia sastra

pasca-Manikebu berpeluang melanjutkan kembali perkembangan tradisi sastranya

yang sempat terputus. Runtuhnya Orde Lama otomatis mengakhiri dominasi

Lekra dalam dunia kesusastraan Indonesia. Masa pencekalan Orde Lama atas

karya-karya Manikebu melalui Lekra telah berakhir.

Manikebu (Manifest Kebudayaan) merupakan pernyataan pendirian, cita-

cita, dan politik kebudayaan (Hastuti, 2009). Manikebu muncul sebagai reaksi

atas dasar kekhawatiran manifestan atas dominasi dan intimidasi Lekra terhadap

non-Lekra. Pengaruh manifest kebudayaan bagi sejarah kesusastraan Indonesia

memang tidak sedikit. Pada saat itu dapat dikatakan kesusastraan Indonesia

terbagi ke dalam dua kubu, yakni kubu Lekra dan non-Lekra. Lekra yang

mengusung konsep “politik adalah panglima” dan “realisme sosialis”, sedangkan

Manikebu mengusung konsep kesenian “humanisme universal” sebagai antitesis

konsep yang diusung oleh Lekra (Sambodja, 2010:22-23).

Di dalam sebuah artikel yang termuat dalam buku Politik dan

Postkolonialitas di Indonesia (Barry dalam Susanto, 2003:326), dikatakan bahwa

suatu karya sangat dipengaruhi oleh metode berkaryanya. Realisme sosialis library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id66

berkecenderungan menundukkan kegiatan serta pemikiran artistik di bawah

politik. Di sisi lain, humanisme universal membebaskan diri dari komando politik.

Konsepsi estetika DKJ ditelusuri dengan menengok lebih dalam atas

karya-karya DKJ dari waktu ke waktu. Karya-karya tersebut ialah yang muncul

sejak awal hingga tahun 90-an atau pada masa penghujung era orde baru. Di

tengah hiruk pikuk iklim kehidupan kesusastraan tahun 70-an yang memasuki

suasana kreatif, inovatif, dan baru (Angkatan Bersenjata, 29 Agustus 1990).

Namu, tidak menutup kemungkinan pula akan ditengok segi estetis DKJ selain

melalui karya sastranya. Bisa melalui karya-karya atau kegiatan bidang lain yang

tentu saja masih termasuk bentuk kesenian. Oleh karena dalam setiap karya seni

memiliki sifat estetis atau nilai keindahan. Kandungan estetis dalam karya sastra

sifatnya menentukan sebab akan mempunyai kekuasaan, wibawa, serta pengaruh

yang kuat (Merdeka, 23 Desember 1990).

1974 menjadi tahun pertama DKJ memunculkan karya melalui ajang

sayembara mengarang roman. Dari segi tema pada sekitar tahun itu, atau sejak

tahun 1964 sampai tahun 1970-an, novel di ranah kesusastraan Indonesia diwarnai

dengan tema-tema politik dan kritik sosial atas kehidupan politik pada masa

tersebut. Di sekitar tahun sekian pula, novel dengan latar revolusi cukup

berlimpah. Hal tersebut tentu tidak dapat dilepaskan dari peristiwa revolusi

sebagai sumber cerita yang tidak ada habisnya untuk diolah dan diangkat oleh

para pengarang ketika itu (Mahayana, 2007:41-45).

Dari Hari ke Hari karya Mahbub Djunaidi yang memenangkan sayembara

mengarang roman DKJ pada 1974 yang kemudian terbit pada 1975 merupakan

salah satu karya yang mengangkat peristiwa revolusi. Namun, karya ini disebut library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id67

oleh Maman S. Mahayana (2007:43-44) sebagai karya yang cukup memiliki

kekhasan daripada karya sejenisnya yang juga mengangkat peristiwa revolusi ke

dalam novel ketika itu. Dari Hari ke Hari dinilai khas karena novel tersebut

disajikan dengan cara yang penuh “kelakar”.

Pada masa awal DKJ melahirkan karya, dunia kesusastraan juga tengah

ramai membicarakan bentuk sastra baru. Kemunculan bentuk sastra baru

Indonesia ketika itu, kemudian disebut sebagai sastra kontemporer yang

kehadirannya membawakan bentuk pembaruan-pembaruan.

Dari tahun ke tahun, kehadiran beberapa karya DKJ disebut-sebut telah

menjadi karya yang membawakan pembaruan dalam dunia sastra Indonesia.

Karya-karya DKJ dapat dikatakan banyak yang mengarah pada sastra

kontemporer. Sebagai contoh ialah karya Stasiun karya Putu Wijaya dan

Raumanen karya Mariane Kattopo yang muncul sebagai pemenang pada 1975.

Dari sebuah artikel diungkapkan pandangan Teeuw tentang Stasiun. Karya

tersebut dianggap sebagai karya yang membawakan sebuah pembaruan, terutama

dalam teknik penyampaian cerita karena merupakan restorasi terhadap bentuk-

bentuk penceritaan dongeng. Restorasi menyarankan ungkapan dari keinginan dan

kerinduan pada norma yang sudah hilang atau tidak lagi berlaku. Ditilik dari segi

tema, novel karya Putu Wijaya tersebut menyiratkan kesunyian dan perasaan

keterasingan. Dalam cerita itu digambarkan seorang tua yang merasa disihkan

oleh masyarakatnya. Tema alienasi, kesunyian dan keterasingan merupakan tema

yang dominan dalam novel-novel nonkonvensional, seperti dalam Ziarah karya

Iwan Simatupang (ensiklopedia.kemdikbud.go.id).

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id68

Di sisi lain, Raumanen merupakan salah satu novel yang disebut memiliki

andil dalam perkembangan sastra era tahun 1970-an. Dikatakan demikian sebab

novel tersebut berani mengangkat tema dan permasalahan yang pada masanya

dianggap tabu untuk dibicarakan, yakni misalnya tentang persoalan kesukuan dan

seks bebas (Palupi, 2010:xiii).

Tahun 1976, muncul novel Upacara karya Korrie Layun Rampan. Daya

tarik novel ini berasal dari aspek lokalitasnya. Aspek tersebut pada awal 1970-an

merupakan sesuatu yang baru dalam dunia sastra Indonesia. Sisi lain yang

menarik dari Upacara ialah bahwa penulisnya mampu menghindar dari

kecenderungan untuk menciptakan karya kitsch (kajiansastra.com).

Karya lain yang juga mengangkat aspek lokalitas di dalamnya ialah novel

Tiga Lagu Dolanan (terbit dengan judul Dan Perang Pun Usai) karya Ismail

Marahimin dan Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari. Masing-masing

muncul sebagai salah satu pemenang sayembara roman pada tahun 1977 dan

1978. Diungkapkan oleh Mihar Harahap dalam sebuah artikel bahwa kekuatan

novel Tiga Lagu Dolanan terletak pada cerita yang terkait dengan penguasaan

latar daerah, sejarah dan sosial dalam penceritaannya (2015). Sementara itu, daya

tarik Di Kaki Bukit Cibalak terletak pada pengangkatan realita sosial, khususnya

aspek kemiskinan sebuah masyarakat desa yang tinggal di wilayah Banyumas

(Adi, 2010)

Tahun 1979, Telepon karya Sori Siregar yang menyampaikan kritik sosial

atas kehidupan sosial masyarakat ibukota menjadi salah satu pemenang

sayembara di tahun tersebut. Telepon dinilai Korrie Layun Rampan menarik

karena mengangkat persoalan psikologi yang dikisahkan dalam cerita secara library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id69

sederhana. Namun, kesederhanaan itu menarik karena dibawakan oleh

pengarangnya yang berusaha membaurkan antara kenyataan dan kesemuan,

khayalan dengan fakta (Sudewa, 2014:25).

Pada tahun 1980, karya yang muncul sebagai pemenang di antaranya ialah

Bako karya Darman Moenir dan Olenka karya Budi Darma. Karya pertama, Bako

mengungkapkan pemberontakan atas adat istiadat di Minangkabau. Dikemukakan

oleh Maman S. Mahayana bahwa novel tersebut dari segi bentuk menampilkan

sebuah pembaruan dan dari segi isi mengandung peristiwa fragmentaris yang

mengungkapkan tentang tradisi dan adat istiadat dalam masyarakat matrilineal,

baik positif maupun negatif. Syarifudin Arifin berpendapat bahwa Bako

merupakan novel kedua yang membicarakan masalah Minangkabau pada

dasawarsa delapan puluh setelah novel Warisan karya Chairul Harun

(ensiklopedia.kemdikbud.go.id).

Olenka mendapat sambutan yang baik karena dianggap membawa

pembaruan terutama dalam teknik penceritaannya. Diungkapkan oleh Setyagraha

Hoerip bahwa Budi Darma dalam Olenka memperhatikan dan menjaga bahasa

yang digunakan di dalam novelnya. Budi Darma melahirkan kata-kata dengan

bebas, cekatan, seolah tanpa dipikirkan lagi, kemudian meluncur lancar. Di

samping itu, hal yang mencolok adalah Budi Darma tidak sungkan menggunakan

istilah bahasa Jawa tanpa mempertimbangkan pembaca non-Jawa. Budi Darma

dalam novel Olenka yang juga meraih Hadiah Sastra DKJ tahun 1983 tersebut

menyoroti masalah dosa sebagai tanggung jawab pribadi masing-masing manusia.

Tokoh-tokoh dalam novelnya tidak lagi terikat pada formalitas agama, sebab hati

nurani merupakan ukuran keimanan seseorang (ensiklopedia.kemdikbud.go.id). library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id70

Karya yang dianggap mengandung pembaruan juga muncul pada salah

satu pemenang dalam gelaran Hadiah Sastra 1982 kategori kumpulan cerpen,

yakni Adam Ma’rifat karya Danarto. Adam Ma’rifat dianggap sebagai sebuah

karya yang membawakan visi mistisisme baru di dalam ranah kesusastraan

Indonesia (Fananie dalam Satoto dan Fananie, 2000:18).

Tahun 1984, karya puisi Abad yang Berlari karya Afrizal Malna didaulat

sebagai karya yang mendapatkan penghargaan oleh dewan juri. Menurut Agus R.

Sardjono berdasarkan telaah yang telah dilakukannya atas puisi-puisi awal Afrizal

Malna, kumpulan puisi Abad yang Berlari menunjukkan pergumulan penyair

dengan estetika persajakan yang ada sebelumnya dan mencoba meluncur keluar

daripadanya. Puisi-puisi Afrizal Malna dinilai oleh Korrie Layun Rampan

merupakan sebuah pembaruan dari struktur puisi Chairil Anwar dan Sutardji

Calzoum Bachri yang dianggap sebagai arus utama perpuisian sebelumnya. Karya

Afrizal Malna secara monolit dianggap Korrie sebagai puncak pencapaian bahasa

dan pengucapannya (Sadewa dalam buruan.co).

Karya DKJ baru muncul lagi hampir di penghujung tahun 1990-an, yakni

pada 1997-1998 DKJ yang kembali dengan format sayembara mengarang roman.

Gelaran sayembara pada tahun tersebut memunculkan karya pemenang di

antaranya ialah Saman karya Ayu Utami dan Api Awan Asap karya Korrie Layun

Rampan. Keduanya sama-sama mengangkat isu tentang perempuan atau

feminisme.

Dalam sejarah penyelenggaraan sayembara mengarang, novel Saman

karya Ayu Utami dapat dikatakan sebagai karya yang paling menarik perhatian

masyarakat penikmat sastra secara luas. Di ujung surutnya eksistensi DKJ dengan library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id71

hilangnya pemunculan karya melalui sayembara-sayembaranya selama beberapa

waktu, ditambah kekacauan kondisi politik pada tahun-tahun akhir masa Orde

Baru, DKJ memunculkan karya pemenang yang estetikanya di luar dugaan.

Novel Saman menunjukkan kemampuan penulisnya dalam mengadopsi

semangat sastra koran yang marak ketika itu, dan sekaligus juga mampu

meloloskan diri dari jerat serta kecenderungan utama format koran. Dunia wanita

dan berbagai persoalan psikologis, seks, dan sosial politik Indonesia diangkat

dengan cara enteng khas remaja, lugas, dan tanpa kompleksitas intelektual yang

dibuat-buat. Gaya pengisahan populer, tema-tema politik aktual, dan problem

perempuan yang tengah menghangat, berhasil membuka peluang novel tersebut

untuk membangun komunikasi akrab dengan publik pembaca. Selain itu,

kemenangannya dalam sayembara novel DKJ, ditambah meriahnya pembesaran

media berhasil membuat peluang mempublik Saman mengalami pelipatgandaan

yang luar biasa (Sarjono, 2001:195).

Secara keseluruhan, dari perjalanan karya yang bermunculan dapat

dikatakan bahwa konsep kesenian DKJ tidak menunjukkan kecenderungan arah

pada konsep realisme sosialis. Karya-karya DKJ tidak mencerminkan

kecenderungan yang mengusung segi artistiknya di bawah politik. Konsep estetika

DKJ terbebas dari komando politik. Konsep estetika DKJ mengarah pada

humanisme universal dengan konsepsi romantisme Barat. Humanisme universal

di sini mengacu pada konsep Manikebu.

Pada dasarnya, ketika tantangan radikal menguat pada tahun 1960-an,

konsep humanisme universal menjadi sedikit berbeda dengan konsep yang

muncul pada tahun 1945-an. Hal tersebut tampak pada pernyataan “otonomi library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id72

seniman sebagai individu, bebas dari keterlibatan politik, adalah prasyarat untuk

pencapaian estetika yang sejati” yang menjadi jargon seniman liberal penolak

Lekra (Foulcher dalam Jones, 2015:151-152).

Di sisi lain, karya-karya DKJ juga merepresentasikan perkembangan

bentuk sastra kontemporer oleh karena karya-karyanya sering dianggap sebagai

sesuatu yang baru dan nonkonvensional. Karya-karya DKJ dari waktu ke waktu

juga tidak sedikit yang menampilkan bentuk-bentuk pembaruan dari bentuk

kesusastraan Indonesia pada masa sebelumnya.

Dari segi tema karya-karya DKJ cukup bervariasi. Kisaran temanya cukup

luas, yakni mulai dari tema-tema tentang lokalitas, kritik sosial, keterasingan,

ketuhanan sampai mengenai persoalan feminisme. Berbagai tema tersebut

ditampilkan dalam aliran ekspresionisme, romantik, surealisme, idealisme,

mistisisme, simbolik, dan psikologisme.

7. Modal-Modal DKJ

a. Modal ekonomi

1) Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM)

Tercantum dalam SK Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota

Jakarta No. Ib.3/2/19/1968 tentang pembentukan Dewan Kesenian Jakarta

yang disebutkan dalam pasal 4 tentang kekayaan, bahwa “Modal pertama

Dewan Kesenian Jakarta terdiri dari Pusat Kesenian Jakarta, milik

pemerintah DKI. Jakarta, yang dikuasakan oleh gubernur kepada Dewan

Kesenian Jakarta.”

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id73

PKJ yang memakai nama almarhum Ismail Marzuki, seorang

komponis Indonesia terkenal asal Jakarta sebagai penghargaan atas jasa-

jasanya ini resmi dibuka pada 10 November 1968 atau tepat pada Hari

Pahlawan XXIII dengan menggelar acara Pesta Seni yang berlangsung

sampai tanggal 17 November. PKJ TIM terletak di jalan Cikini Raya No.

73, Jakarta Pusat. Kompleks PKJ ini didirikan di atas tanah seluas 6.400

m² di area bekas kompleks kebun binatang yang kini telah dipindahkan ke

Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan (Merdeka, 28 Februari 1973).

Sumber lain bahkan ada yang menyebutkan bahwa luas area PKJ TIM

mencapai kurang lebih delapan hektar (Merdeka, 16 Juli 1989).

PKJ TIM merupakan wadah dari berbagai kegiatan kesenian baik

lokal maupun internasional, yang meliputi berbagai jenis seperti sastra,

teater, musik, tari, seni rupa, film, dan lain sebagainya. Untuk menampung

dan menunjang aneka ragam kegiatan tersebut, PKJ TIM memiliki

berbagai sarana bangunan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat,

meliputi Teater Besar (kapasitas sekitar 1000 penonton), Teater Terbuka

(kapasitas sekitar 3000 penonton), Teater Tertutup (kapasitas sekitar 400

penonton), Teater Halaman, Ruang Tari Huriah Adam, ruang Pusat Seni

Grafis (Grafnic Center), ruangan pameran, sanggar belakang, sanggar

baru, serta Planetarium. Di bagian belakang taman juga masih terdapat

bangunan yang terutama diperuntukkan untuk menampung kegiatan

Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) dan Bengkel Kerja. Teater

Besar sendiri terdiri dari tiga lantai. Di lantai dasar difungsikan sebagai

area bioskop TIM. Di lantai dua terdiri dari kantor Dewan Pekerja Harian library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id74

(DPH) DKJ, perpustakaan, LPKJ, Cinematheque, dan Badan Penerbit

Pustaka Jaya. Untuk lantai tiga, penggunaannya difungsikan untuk

menampung berbagai kegiatan LPKJ. Sehari-hari, Teater Besar digunakan

untuk kegiatan komersial. Namun, setidaknya sebulan sekali gedung ini

digunakan untuk beragam program kesenian, baik yang diselenggarakan

oleh oleh rombongan kesenian lokal maupun asing (Merdeka, 16 Juli

1989).

2) Dana Subsidi Pemerintah

Selain mendapatkan hak pengelolaan PKJ TIM, DKJ juga

mendapatkan anggaran dana dari pemerintah DKI Jakarta. Tidak diketahui

jumlah pasti nominal anggaran dana yang diberikan pemerintah DKI

setiap tahunnya kepada DKJ. Namun, pada sekitar tahun 70-an, DKJ

dikabarkan mendapat dana subsidi dari pemerintah DKI Jakarta sebesar

Rp. 200 juta rupiah setiap tahunnya. Dana tersebut belum termasuk

bantuan berupa fasilitas yang pada tahun 1976 diperkirakan telah

mencapai senilai Rp. 1,5 milyar. Sebagai perbandingan, gubernur DKI

Jakarta ketika itu, Ali Sadikin mengungkapkan bahwa anggaran dana

untuk Dinas Kebudayaan DKI Jakarta hanya sekitar Rp. 30 juta rupiah per

tahunnya (Kompas, 20 Juli 1976). Pada perkembangannya, tidak diketahui

jumlah pasti nominal anggaran yang dialokasikan pemerintah terhadap

DKJ di masa-masa berikutnya. Namun, bertolak dari informasi awal pada

tahun 70-an dan kegiatan yang berjalan normal tanpa isu kendala dana

pada tahun 90-an, dapat diperkirakan bahwa DKJ masih mendapatkan

anggaran yang layak. library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id75

3) Sponsor (Kerja Sama)

DKJ dalam operasi pelaksanaan program-programnya tidak hanya

bergantung pada pemasukan serta fasilitas dari PKJ TIM dan dana dari

pemerintah DKI Jakarta. Modal ekonomi DKJ juga meliputi hubungan

kerjasama dengan pihak ketiga atau dapat disebut sebagai sponsor. Seperti

kegiatan pekan teater tradisional pada tahun 1973 yang diadakan oleh DKJ

bekerjasama dengan Direktorat Kesenian. Pada 1974, DKJ mengadakan

acara seminar puisi Indonesia dan Amerika yang merupakan hasil kerja

sama dengan majalah sastra Horison (Yayasan Indonesia). Pada 1976 DKJ

juga bekerjasama dengan Lingkar Mitra Budaya, menyelenggarakan

Pementasan Kesenian Rakyat. Pada 1995 DKJ bekerjasama dengan

Yayasan Gelanggang Bakti mementaskan acara Kesenian Aceh. Kerja

sama semacam itu menjadi modal ekonomi tersendiri bagi DKJ. Hubungan

dengan sponsor dari segi ekonomi tentunya menguntungkan DKJ sebab

biaya operasional atas suatu kegiatan tidak sepenuhnya ditanggung oleh

DKJ apabila kegiatan tersebut merupakan hasil bekerjasama dengan pihak

ketiga atau sponsor.

4) Hibah

Tidak jarang DKJ mendapatkan bantuan semacam hibah baik

dalam bentuk barang maupun uang. Pada tahun 1972, DKJ menerima dua

buah buku penting tentang seni lukis serta sejumlah slide reproduksi dari

lukisan-lukisan karya Van Gogh, Mondrian, dan Karel Appel. Reproduksi

beberapa lukisan tersebut kemudian dipamerkan di TIM. Selain itu, di

tahun yang sama DKJ mendapatkan mesin percetakan yang diserahkan library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id76

secara simbolis oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin (Indonesia Raya,

21 April 1972). Mesin percetakan tersebut sebenarnya merupakan hasil

tukar tanda mata yang dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta dengan

walikota Amsterdam. Mesin percetakan yang diserahkan langsung oleh

Walikota Amsterdam, Dr. I. Samkalden kepada pemerintah DKI tersebut

kemudian diteruskan diberikan kepada DKJ melalui Gubernur Ali Sadikin

(Pedoman, 13 April 1972).

DKJ melalui TIM juga pernah mendapatkan bantuan karpet balet.

Karpet balet yang dibeli dan didatangkan langsung dari Perancis tersebut

dihibahkan oleh Kedutaan Besar Perancis. Proses pendatangan karpet

tersebut juga melibatkan bantuan dari Yayasan Pembina Pendidikan Adik

Irma bekerja sama dengan maskapai penerbangan nasional Garuda

Indonesia (Suara Pembaruan, 19 Oktober 1993).

Hibah dalam bentuk uang juga diterima secara tidak langsung oleh

DKJ melalui TIM. Dikabarkan bahwa media Tempo melalui Yayasan Jaya

Raya memiliki dana tahunan untuk menyumbang TIM sebesar Rp 100 juta

per tahun. Dana tersebut dibebaskan penggunaannya, atau dalam kata lain

dapat dimanfaatkan untuk membiayai berbagai program acara kesenian

sesuai kebutuhan (Republika, 28 November 1994).

b. Modal kultural-sosial

Sebagai lembaga yang beroperasi sebagai mitra kerja gubernur

DKI Jakarta, DKJ mewujud sebagai sebuah lembaga yang memiliki

semacam lisensi terpercaya. Terutama dalam kaitannya dengan

membangun hubungan yang menguntungkan dengan pihak-pihak lain library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id77

dalam berbagai skala. Sebagai lembaga resmi yang hampir keseluruhan

dana operasionalnya didukung oleh pemerintah DKI Jakarta, maka tidak

mengherankan apabila di setiap tahunnya DKJ memiliki program kegiatan

jelas. Tidak hanya jelas, tetapi DKJ dengan program kerjanya dari tahun

ke tahun mampu menyuguhkan kegiatan yang konsisten, berkelanjutan,

dan dengan terbuka menyasar beragam kalangan secara luas. DKJ yang

berpusat di PKJ TIM pun menjadi sebentuk wadah dan fasilitator kesenian

masyarakat Jakarta pada khususnya dan masyarakat Indonesia, bahkan

asing pada umumnya.

Sejak awal didirikan DKJ diisi oleh orang-orang yang kompeten

dalam bidang kesenian, bidang sastra khususnya. Komite sastra dari tahun

ke tahun senantiasa diisi oleh sastrawan-sastrawan produktif, terkemuka,

dan namanya tercatat dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Bahkan dapat

dibilang hampir seluruh sastrawan senior Indonesia pernah terlibat dengan

DKJ, baik sebagai pengurus, anggota DKJ, AJ, LPKJ, tamu acara DKJ,

maupun yang secara khusus berkegiatan kesenian di DKJ. Sebagai contoh

ialah Umar Kayam, Gunawan Mohammad, Ajip Rosidi, Asrul Sani,

Sjuman Djaya, Ramadhan KH, Arief Budiman, Taufiq Ismail, Tuti Herati,

Sapardi Djoko Damono, Danarto, Subagio Sastrowardoyo, Abdul Hadi

WM, Putu Wijaya, Arifin C. Noor, dan lain sebagainya.

DKJ tidak jarang menggelar acara kolaborasi yang bekerjasama

dengan pihak lain. Pihak-pihak lain tersebut misalnya adalah Direktorat

Kesenian, Yayasan Gelanggang Bakti, Lingkar Mitra Budaya, majalah

sastra Horison (Yayasan Indonesia), dan sebagainya. Tidak berhenti di library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id78

situ, DKJ membuka hubungan tidak terbatas pada pihak-pihak lokal saja.

DKJ juga membuka diri bahkan mengambil inisiatif dalam membuka

hubungan kerja sama dengan pihak luar negeri.

Pada tahun 1973 untuk pertama kalinya DKJ berkorespondensi

dengan Pusat Kesenian Filipina (Cultural Centre of the Philippines) yang

berlokasi di Manila, Filipina. DKJ bekerjasama dengan Pusat Kesenian

Filipina dalam bentuk pertukaran acara dan rombongan kesenian (Harian

Angkatan Bersenjata, 22 Desember 1973). Setahun berikutnya DKJ

mengajak negara-negara ASEAN untuk menyelenggarakan pertunjukan

dan pameran. Ajakan tersebut dilayangkan kepada Malaysia, Singapura,

Filipina, dan Thailand (Angkatan Bersenjata, 13 Maret 1974 dan Berita

Yudha, 16 Maret 1974).

Hubungan DKJ dengan pihak luar negeri makin meluas. Pada

tahun 1974 DKJ mengembangkan hubungan kerja sama dengan negara

eropa, yakni Belanda. Kerja sama tersebut DKJ jalin dengan Direktur

Kunstsichting Rotterdam, Avd Staag (Angkatan Bersenjata, 1 Februari

1974).

Selain Belanda, DKJ juga mengadakan hubungan dengan Amerika

Serikat dan juga Perancis. Khusus untuk Belanda, hubungan baik kedua

pihak pada dasarnya telah dirintis sejak tahun 1971. Namun, baru beberapa

tahun kemudian hubungan tersebut makin berkembang. Perkembangan

signifikan itu terlihat dari terlibatnya sastrawan Indonesia dalam kegiatan

Poetry Reading di Amsterdam yang diwakili oleh Taufiq Ismail pada

tahun 1973, dan WS Rendra serta Gunawan Mohammad untuk tahun library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id79

1974. Bentuk dari hasil kerjasama dengan pihak Belanda juga terlihat

dalam bidang penerjemahan karya, seperti karya Multatuli dan beberapa

penulis Belanda. Penerbit Pustaka Jaya pada tahun 1974 juga menerbitkan

lima buku terjemahan dari bahasa Balanda yang salah satu diantaranya

ialah kumpulan sajak. Di bidang film, DKJ memperluas jaringannya

dengan bekerjasama dengan pihak Film Academy Amsterdam. Selain itu,

DKJ juga berkesempatan mengirimkan salah satu anggotanya, yakni

Misbach Yusa Biran untuk belajar sinematografi di Belanda. Kerja sama

DKJ juga merambah bidang seni rupa. Kerja sama tersebut ialah dalam

bentuk pertukaran pelukis untuk masing-masing dapat belajar di Belanda

dan Indonesia (Angkatan Bersenjata, 4 Februari 1974).

c. Modal simbolis

DKJ merupakan lembaga resmi mitra kerja gubernur DKI Jakarta

yang dibentuk oleh masyarakat seniman. DKJ merupakan sebuah lembaga

independen yang sekaligus juga dinaungi oleh pemerintah. Pemerintah

yang menaungi adalah pemerintah DKI Jakarta. Lokasi DKJ beserta pusat

kegiatannya berada di Jakarta, tepatnya di PKJ TIM yang bertempat di

kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Lembaga tersebut dipayungi dan dukung

oleh pemerintahan DKI Jakarta. Selain itu, kedudukannya pun berada di

pusat ibu kota. Poin utama gengsi sosial DKJ adalah berkaitan dengan

nama besar kota DKI Jakarta.

Di balik DKJ, ada banyak tokoh-tokoh seniman terkemuka,

khususnya sastrawan-sastrawan senior Indonesia yang menjadi aset bagi

DKJ. Sejumlah tokoh sastrawan kawakan seperti telah disebutkan library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id80

sebelumnya tidak dapat dilepaskan dengan citra DKJ yang menjadi

semakin prestisius. Pada dasarnya beberapa sastrawan besar karena DKJ,

namun tidak dapat dipungkiri pula bahwa DKJ juga besar karena para

sastrawan yang menggarapnya. Tidak berhenti di situ, jaringan DKJ juga

terbilang luas. Selain memiliki hubungan yang dekat dengan pekerja-

pekerja seni se-Indonesia, DKJ juga memiliki hubungan kerja sama

dengan pihak-pihak lain non-individu baik dalam skala nasional maupun

internasional.

DKJ selama bertahun-tahun telah melaksanakan beragam program

kegiatan secara konsisten dan berkelanjutan. Terutama agenda kegiatan

sayembara mengarang roman DKJ yang prestisius. Dapat dikatakan bahwa

sayembara ini prestisius sebab tidak mesti ada pemenang yang muncul

dalam periode-periode penyelenggaraannya. Artinya, standar para dewan

juri sayembara DKJ dapat dikatakan sulit dipuaskan. Poin semacam ini

justru menunjukkan bahwa DKJ memiliki selera dan standarnya sendiri.

C. Pertukaran Modal Simbolis dan Pencapaiannya

Arena estetika sastra Indonesia merupakan sebuah struktur yang ditempati

oleh agen-agen. Keberadaan modal dan pemanfaatannya oleh pemilik modal,

yakni agen yang bersangkutan sangat diperlukan untuk dapat eksis di dalam

struktur tersebut. Dalam hal ini, DKJ menjadi salah satu agen yang

mempertarungkan modal-modal miliknya untuk meraih dan mempertahankan library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id81

posisi di dalam arena. Modal ekonomi, modal kultural-sosial, serta modal

simbolis berakumulasi dan mengalami pertukaran. Hal itu menunjukkan lintasan

trajektori DKJ dan kemudian menjadi poin yang menentukan posisi dan eksistensi

DKJ di dalam struktur arena. Seluruh modal dan pertukarannya dimanfaatkan

sesuai habitus untuk merancang beragam program kegiatan dengan skema yang

mendukung eksistensinya. Pemanfaatan modal melalui strategi-strategi diulas di

bawah ini dalam beberapa bagian.

1. Posisi Strategis Geografis dan Sosiografis DKJ

Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) merupakan sebuah lembaga resmi yang

memiliki kedudukan administratif. Secara administratif DKJ berkedudukan di

DKI Jakarta. Lokasi DKJ tepatnya berada di dalam kompleks PKJ TIM yang

terletak di jalan Cikini Raya No. 73, Menteng dan masuk wilayah Jakarta Pusat.

Pada zaman Hindia Belanda, wilayah tersebut dahulunya oleh pihak

kolonial disebut dengan nama Batavia Centrum. Sebelum seorang Belanda, Jan

Pieterzoon Coen menamai dengan Batavia Centrum, wilayah tersebut disebut oleh

pribumi Jayakarta. Penggantian nama tersebut oleh J.P. Coen bersamaan dengan

keputusannya menjadikan Jayakarta sebagai pusat perdagangan dan kekuasaan

Belanda di Hindia Belanda (jakarta.go.id).

Pada zaman dahulu wilayah Jakarta Pusat merupakan kawasan penting

karena menjadi area pusat perdagangan dan kekuasaan pemerintahan Belanda. Hal

itu tidak jauh berbeda saat era pasca kemerdekaan, tepatnya pada masa Orde Baru.

Jakarta pusat merupakan kota administrasi DKI Jakarta. Apabila

mempertimbangkan segi titik lokasi, secara fisik posisi DKJ berada di jalur library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id82

strategis sebab terletak di wilayah pusat pemerintahan DKI Jakarta. Wilayah

Jakarta Pusat diantaranya meliputi wilayah pusat pemerintahan, jalur protokol,

kantor perwakilan negara-negara asing, kantor-kantor pemerintahan maupun

swasta, pusat perdagangan, kantor bank-bank pemerintah maupun swasta, dan

berbagai obyek vital lainnya (Budhisantoso, dkk:18).

Jakarta adalah kota urban dan metropolitan. Kedudukan Jakarta sebagai

ibu kota NKRI menjadikan gengsi tersendiri yang menarik minat banyak orang

datang ke Jakarta yang tampak menjanjikan (Rahmatulloh, 2017:54).

Jakarta secara geografis terletak di tepi laut Jawa di sebelah pantai utara

bagian barat Pulau Jawa yang tepatnya biasa disebut Teluk Jakarta. Keberadaan

Teluk Jakarta membuat kota Jakarta disebut juga sebagai kota pelabuhan.

Menurut sejarahnya, di masa lalu sejak zaman Fatahillah, Jakarta disebut sebagai

Sunda Kelapa yang merupakan sebuah kota pelabuhan penting. Bahkan pelabuhan

Tanjung Priok merupakan pelabuhan terpenting karena fungsinya yang besar

sebagai pintu gerbang utama negara. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa posisi

geografis Jakarta sangat stategis karena terletak di posisi silang dalam jalur lalu

lintas internasional. Hal tersebut menjadikan Kota Jakarta sebuah titik pertemuan

pengaruh sosial-budaya, politik, dan ekonomi dari negara-negara lain. Selain itu,

Jakarta juga menjadi tempat percampuran, pembauran maupun benturan dari

aneka ragam bangsa dan suku bangsa dengan latar kebudayaan yang berbeda

(Budhisantoso, dkk:5-6).

Jakarta pada masa Orde Baru merupakan pusat impian masyarakat

Indonesia akan modernitas. Kota Jakarta menjadi titik pusat perkembangan

kemajuan ekonomi yang menarik minat orang banyak untuk datang dan mengadu library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id83

nasib (Kurnia, 2016:1). Urbanisasi ke Jakarta menduduki urutan paling tinggi di

antara kota-kota lain di Indonesia. Menurut catatan kasar Pemda DKI Jakarta

menunjukkan bahwa pada tahun 1980 terdapat kurang lebih sebanyak 904.546

orang penduduk musiman di Jakarta (Budhisantoso, dkk:9).

Tidak hanya menjanjikan dari sisi ekonomi, Jakarta juga menjadi tujuan

masyarakat berbondong-bondong datang untuk meraih eksistensi dalam dunia

politik, bahkan sosial dan kultural. Jakarta amat terbuka, terlebih lagi masa Orde

Baru atau minimal di era awalnya, disebut-sebut sebagai periode yang relatif lebih

memberikan peluang bagi pertumbuhan dan perkembangan budaya, termasuk di

dalamnya perkembangan budaya massa apabila dibandingkan dengan zaman

sebelumnya (Budiman, 2002:141).

Jakarta yang ketika itu tengah mentransformasikan diri dari sebuah

kampung besar menuju status metropolitan tidak melupakan pembangunan dalam

bidang kesenian. Di antara proses pembangunan besar-besaran hotel, gedung

bertingkat, dan pusat hiburan malam, jasa Orde Baru adalah dibangunnya PKJ

TIM. Pusat kesenian tersebut dibangun di kawasan yang mudah dikunjungi,

representatif, dan dikelola oleh para seniman sendiri dengan dana mencukupi oleh

pemerintah daerah (Sarjono, 2001:165).

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa segi geografis maupun

sosiografis DKJ amat menguntungkan lembaga tersebut dalam rangka meraih

eksistensinya di dalam arena estetika sastra. DKJ memanfaatkan keuntungan

tersebut sebagai modal yang mendukungnya untuk dapat meraih simpati dan

partisipasi dari masyarakat dengan beragam latar belakang.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id84

Secara fisik, DKJ sama sekali tidak terletak di pinggiran kota bahkan

pelosok. DKJ terletak di pusat kota yang ramai dengan kemudahan akses. Untuk

mencapai DKJ di PKJ TIM dan mengikuti kegiatan kesenian di sana bukan

merupakan sesuatu yang sulit dan memerlukan usaha besar bagi masyarakat

ketika itu. Pusat kegiatan DKJ yang terletak di perbatasan antara perumahan

rimbun di Menteng untuk golongan kaya di masa penjajahan dengan kampung-

kampung padat di sepanjang sungai Ciliwung, membuat PKJ TIM dengan cepat

tumbuh pesat dengan berbagai kegiatan kesenian. Selain itu, PKJ TIM juga

menjadi tempat berlangsungnya pertunjukan-pertunjukan yang mendapat tepukan

meriah serta menjadi pusat pameran di ibu kota (Hill, 2011:163).

Secara sosial, Jakarta yang sangat majemuk, kompleks, dan dinamis

dengan limpahan massa juga sangat menguntungkan. Jumlah penduduk yang

banyak itu dimanfaatkan DKJ dengan cara menggelar berbagai acara seni.

Program kegiatan kesenian DKJ sengaja dirancang dengan konsep yang dapat

dinikmati masyarakat seluas-luasnya. Kegiatan kesenian tersebut misalnya acara

pentas kesenian rakyat, pekan teater, pembacaan puisi, dan lain sebagainya.

Kemudahan akses dan daya tarik kota, bahkan sebuah pusat kota

memberikan keuntungan besar bagi DKJ. Keuntungan tersebut secara langsung

maupun tidak, berpengaruh terhadap daya tarik DKJ dan program keseniannya di

PKJ TIM itu sendiri. Oleh karena aksesnya yang mudah, orang tidak akan malas

datang menonton acara-acara kesenian DKJ di PKJ TIM. Orang juga akan merasa

senang berlatih seni atau sekadar berkunjung ke PKJ TIM, sebab secara tidak

langsung pusat kota merupakan sebentuk simbol gengsi sosial yang dapat

menunjang eksistensi seseorang bila membuat wilayah tersebut menjadi lokasinya library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id85

bergaul sehari-hari. Ditambah lagi dengan adanya jumlah massa, baik yang tetap

maupun musiman yang banyak.

PKJ TIM yang diisi dengan berbagai kegiatan program DKJ dari waktu ke

waktu makin ramai dan dikenal masyarakat luas. Bahkan pada tahun 1972,

menurut sebuah artikel berjudul “Perkembangan TIM Cukup Gembirakan” jumlah

penonton di PKJ TIM setiap bulannya rata-rata mencapai 50.000 orang (Merdeka,

Selasa 5 Desember).

Latar belakang DKJ yang berada di pusat kota serta kebijakan sentralisasi

hasil pencanangan pemerintah Orde Baru sangat menguntungkan bagi DKJ

dengan PKJ TIM-nya. Posisi DKJ pada masa Orde Baru pun secara mantap

mendominasi arena sastra Indonesia. DKJ tidak hanya menjadi basis sastrawan di

kota pada era tersebut. Namun, DKJ di PKJ TIM juga menjadi sebuah ikon dan

orientasi bagi sastrawan daerah untuk mendapatkan pengakuan dalam arena sastra

Indonesia yang dikuasai DKJ.

Dapat melakukan pentas di PKJ TIM merupakan suatu bentuk kebanggan

tersendiri. DKJ membagikan modal simbolisnya terhadap seniman-seniman yang

diizinkan naik pentas di PKJ TIM. DKJ bukan tidak membuka kesempatan

seniman umum bahkan seniman daerah untuk tampil di PKJ TIM. DKJ

memberikan kesempatan kepada siapapun yang dinilai kompeten meski dalam

porsi yang terbatas. Terbatasnya kesempatan tersebut adalah usaha DKJ untuk

memelihara modal simbolisnya.

Pada dasarnya DKJ bukan merupakan lembaga atau organisasi kesenian

nasional. Namun, posisinya yang strategis di Jakarta dan nama besarnya sebagai

lembaga kesenian terpandang di ibu kota telah berpengaruh besar terhadap library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id86

rangsangan dan gairah kesenian, termasuk kesusastraan di berbagai daerah. Maka

dari itu tidak mengherankan apabila kemudian DKJ dan PKJ TIM dipandang

orang banyak sebagai cerminan dinamika kesenian nasional (Yudiono K.S,

2010:218).

2. Afiliasi DKJ dengan Pemerintah

DKJ lahir dari tuntutan masyarakat seniman di Indonesia yang

menginginkan sebuah pusat kebudayaan dengan sebuah dewan kesenian nasional

sebagai pengelolanya. Keinginan tersebut bersambut baik sebab sejalan dengan

gubernur DKI Jakarta ketika itu. Ali Sadikin dengan dorongan praktis, semangat

modernisasi serta adanya minat terhadap kebudayaan menjadi salah satu sosok

potensial pendukung perubahan dan pembangunan sosial yang cepat pada tahun-

tahun awal Orde Baru. Kemudian lahirlah DKJ dan PKJ TIM pada tahun 1968

(Hill, 2011:163).

DKJ sebagai sebuah lembaga kesusastraan resmi yang memiliki landasan

hukum sah merupakan sebuah modal. SK Gubernur tentang pembentukan DKJ

No. Ib.3/2/19/1968 merupakan modal kultural-sosial. SK tersebut melegitimasi

asal-usul DKJ yang pada akhirnya mempengaruhi terhadap kewajiban dan

kewenangan dalam operasinya sehari-hari. Dalam hal ini, sebagai lembaga

pembina kesenian DKJ memiliki legitimasi untuk mencitrakan dan menggiring

masa depan kesusastraan Indonesia sesuai dengan selera serta standar artistik DKJ

sendiri. Pengaruh yang besar dan dominan ini merupakan modal simbolis sebagai

hasil dari nama besar gubernur dan pemerintah DKI Jakarta sebagai otoritas di

atas DKJ. library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id87

SK Gubernur juga menjadi modal ekonomi DKJ karena darinya DKJ

mendapat hak pengelolaan atas PKJ TIM yang memiliki fasilitas terbaik. Seperti

adanya Teater Besar dengan kapasitas mencapai sekitar 1000 penonton, Teater

Terbuka dengan kapasitas mencapai sekitar 3000 penonton, dan berbagai fasilitas

lain yang menunjang kesenian. Selain itu DKJ juga mendapatkan anggaran dana

dari pemerintah yang tidak sedikit jumlahnya. Di sekitar tahun 70-an, DKJ

dikabarkan mendapat dana subsidi dari pemerintah DKI Jakarta sebesar Rp. 200

juta rupiah setiap tahunnya. Tidak hanya dana sebesar itu, DKJ juga memperoleh

bantuan berupa fasilitas yang pada tahun 1976 diperkirakan telah mencapai senilai

Rp. 1,5 milyar. Alokasi bantuan dana dan fasilitas tersebut terbilang besar

khususnya apabila diperbandingkan dengan jumlah anggaran dana untuk Dinas

Kebudayaan DKI Jakarta. Ali Sadikin mengungkapkan bahwa anggaran dana

Dinas Kebudayaan DKI Jakarta ketika itu yang hanya sekitar Rp. 30 juta rupiah

per tahunnya (Kompas, 20 Juli 1976).

Di tahun-tahun awal DKJ yang sekaligus pula menjadi tahun-tahun awal

masa pemerintahan Orde Baru, DKJ mendapatkan dukungan penuh dari

pemerintah. Dalam hal ini hubungan baik DKJ dengan pihak pemerintah terjalin

dengan baik melalui Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin.

Gubernur Ali Sadikin dalam pidatonya ketika acara pembukaan TIM

menyatakan bahwa politik tidak boleh turut campur tangan ke dalam PKJ TIM.

Ali Sadikin juga menegaskan bahwa politik tidak boleh turut andil dalam pusat

kesenian tersebut seperti halnya yang terjadi pada masa sebelum kudeta pada

tahun 1965 silam (Jones, 2015:260). Namun demikian, DKJ sebagai lembaga

yang bergerak di bawah naungan pemerintah tentu aktivitasnya tidak akan serta- library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id88

merta terlepas bebas begitu saja. Sebagaimana hubungan kedua belah pihak yang

berafiliasi, tentu ada bentuk bentuk intervensi dari pihak yang lebih tinggi

posisinya, dalam hal ini maksudnya ialah pemerintah DKI Jakarta. Afiliasi dengan

gubernur dan pemerintahannya selain menjadi modal DKJ, juga akan sangat

mempengaruhi kinerja dan performa DKJ itu sendiri. Hal tersebut kemudian akan

berdampak pada hasil yang akan dicerna masyarakat luas sebagai penikmat

kesenian produk DKJ.

Di tahun-tahun awal afiliasi DKJ dengan pemerintah DKI Jakarta di

bawah kepemimpinan Ali Sadikin, dapat dikatakan DKJ dapat melaksanakan

tugasnya dan berkembang sedemikian rupa tanpa ada banyak gesekan di sana-sini.

DKJ dan AJ tunduk di bawah intervensi DKI Jakarta di bawah pemerintahan Ali

Sadikin. Namun di dalam praktiknya, Provinsi DKI Jakarta dan kedua lembaga

tersebut umumnya memiliki hubungan kerja yang baik selama masa pemerintahan

Gubernur Ali Sadikin. Intervensi Ali Sadikin seperti salah satunya ialah

pengangkatan Direktur Dinas Kebudayaan Provinsi DKI menjadi pengurus DKJ

masih berterima bagi DKJ (D.T. Hill 1993, dalam Jones 2015:261).

Dukungan Ali Sadikin untuk DKJ juga terlihat dari keinginannya agar PKJ

TIM dijadikan monumen nasional dalam bidang kebudayaan dan kesenian. PKJ

TIM dicanangkan Ali Sadikin menjadi satu-satunya pusat kesenian yang ada di

Jakarta. Melalui hal tersebut, DKJ mendapat kesempatan untuk menukar modal

sosialnya sebagai pengelola PKJ TIM, dengan modal simbolis kewibawaan pusat

kesenian tersebut yang telah digadang-gadang oleh gubernur.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id89

Gambar 2: Liputan tentang pencanangan TIM sebagai monumen nasional dalam bidang kebudayaan dan kesenian (Merdeka, 19 Maret 1977).

Situasi kemudian berubah setelah pensiunnya Ali Sadikin di tahun 1977.

Ketika itu, terjadi ketegangan antara pemerintah DKI Jakarta dengan DKJ dan AJ

dikarenakan meningkatnya intervensi pemerintah DKI Jakarta. Tahun-tahun

krusial adalah antara tahun 1977 dan 1991. Pada saat itu, DKJ dan TIM sangat

merasakan ketegangan antara aspirasi para seniman untuk kebebasan berekspresi

secara penuh dan kehendak dari negara yang sangat menghendaki intervensi

agresif (Jones, 2015:261)

Ali Sadikin sendiri menyebut masa pemerintahan Gubernur Tjokropranolo

merupakan awal mula penurunan PKJ TIM. Gubernur Ali juga melontarkan kritik library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id90

terhadap pemerintah DKI Jakarta ketika itu. Menurutnya pemerintah DKI Jakarta

tidak mencarikan uang untuk mengembangkan PKJ TIM. Namun, justru

memanfaatkan PKJ TIM sebagai alat untuk mendapatkan uang (Chudori 1990,

dalam Jones 2015:261).

Serangkaian perubahan dalam peraturan provinsi yang mengurangi

otonomi DKJ mencerminkan ketegangan antara DKJ termasuk juga AJ dengan

pemerintah DKI Jakarta. Pada tahun 1973, DKJ dipaksa untuk berkonsultasi

dengan AJ dan diharuskan pula untuk bertanggung jawab kepada AJ menyangkut

semua kegiatannya. Pada tahun 1986, DKJ diharuskan bertanggung jawab kepada

gubernur untuk penyelenggaraan segala kegiatan dan manajemennya. Selain itu

DKJ juga diharuskan berkonsultasi dan bertanggung jawab kepada AJ untuk

arahan artistiknya. Perubahan terbesar untuk DKJ terjadi pada tahun 1991 ketika

tanggung jawab atas pengelolaan PKJ TIM dicabut dari DKJ dan kemudian

diberikan kepada Yayasan Kesenian Jakarta (Jones, 2015:261).

Afiliasi dan kedekatan hubungan dengan pemerintah merupakan modal

sosial yang dimanfaatkan DKJ untuk terus mendapat dukungan modal ekonomi.

Modal ekonomi tersebut penting karena menjadi sumber yang dimanfaatkan DKJ

untuk melaksanakan berbagai strategi demi meraih dan mengamankan posisi

dalam arena sastra. Oleh karena itu, DKJ tidak pernah benar-benar

mengonfrontasi pemerintah secara langsung meski terjadi perselisihan dan

ketidakcocokan antar keduaya. Persoalan seperti intervensi besar-besaran

terhadap lembaga sampai pencabutan pengelolaan atas PKJ TIM dihadapi DKJ

dengan hati-hati.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id91

Pada perkembangannya, usaha dan strategi tersebut tidak sia-sia.

Bertahun-tahun kemudian DKJ masih mendapat posisi istimewa bagi pemerintah

meskipun hubungan dengan gubernur dan pemerintah DKI Jakarta pada

khususnya tidak begitu baik. Hal tersebut terlihat salah satunya dari peran yang

diberikan kepada DKJ dari pemerintah pusat. Pada tahun 1993 Presiden Soeharto

menginginkan pembentukan dewan kesenian di setiap provinsi. Peran dewan

kesenian di setiap daerah tersebut tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri

(Inmendagri) No. 5A/1993 tanggal 27 Februari 1993 tentang pembentukan dewan

kesenian di seluruh propinsi se-Indonesia. Poin menarik pada bagian ini ialah

bahwa DKJ ditetapkan dalam peraturan tersebut sebagai konsultan resmi untuk

setiap rencana membangun fasilitas dewan kesenian yang baru (Jones, 2015:264).

Selain masih mendapatkan posisi strategis, DKJ juga masih mendapatkan

modal simbolis dari hasil pertukaran modal sosialnya dengan PKJ TIM. Sejarah

masa lalu DKJ yang membawa kejayaan bagi PKJ TIM tidak serta merta terhapus

begitu saja meski hak pengelolaannya telah dicabut. Di dalam pandangan

masyarakat, sampai tahun 90-an PKJ TIM dan DKJ tetap merupakan satu

kesatuan yang menjadi maskot atas dominasi pusat.

3. DKJ dalam Bingkai Tokoh-Tokoh Kesusastraan Indonesia

DKJ selama ini bekerja untuk menciptakan dan mempertahankan sebuah

masyarakat seni yang hidup di kota. Lembaga tersebut diisi oleh berbagai seniman

terpandang yang disegani dalam bidangnya masing-masing mulai dari penulis,

pengamat budaya, musisi, penari, dan pelukis terkenal. Anggota-anggota tersebut

diangkat oleh Akademi Jakarta (AJ) yang merupakan sekelompok pengamat library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id92

budaya dan intelektual. Tokoh AJ adalah figur-figur terkenal seperti penyair

Goenawan Mohamad, penulis NH Dini, dan Taufik Abdullah (dkj.or.id).

Sejak awal didirikan, tidak dipungkiri bahwa DKJ diisi dan diurus oleh

tokoh-tokoh kenamaan Indonesia, khususnya tokoh dalam bidang kesusastraan.

Seperti telah diungkapkan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa hampir seluruh

sastrawan senior Indonesia pernah terlibat dengan DKJ, baik sebagai anggota

DKJ, AJ, LPKJ, tamu acara DKJ, maupun yang secara khusus berkegiatan

kesenian di DKJ. Sebut saja Umar Kayam, Goenawan Mohammad, Ajip Rosidi,

Asrul Sani, Sjuman Djaya, Ramadhan KH, Arief Budiman, Taufiq Ismail, Tuti

Herati, Sapardi Djoko Damono, Danarto, Subagio Sastrowardoyo, Abdul Hadi

WM, Putu Wijaya, Arifin C. Noor, dan lain sebagainya. Menurut catatan,

pimpinan DKJ juga bukanlah orang sembarangan. Mereka adalah Trisno

Sumardjo (1968-1969), Umar Kayam (1969-1972), Ajib Rosidi (1973-1981),

Salim Said, Sulebar M. Sukarman, dan N. Riantiarno. Kesemuanya adalah tokoh-

tokoh yang pernah memimpin DKJ sejak awal didirikan hingga tahun 1990-an

(Yudiono K. S., 2010:215).

Para tokoh senior dan berpengalaman tentunya memiliki kredibilitas yang

tinggi. Oleh karena itu, tokoh-tokoh kawakan yang memenuhi DKJ merupakan

modal sosial. Tidak hanya itu, tokoh-tokoh tersebut juga merupakan modal

simbolis bagi DKJ. Kredibilitas para tokoh otomatis menunjang kredibilitas DKJ.

DKJ kemudian tidak semata-mata hanya diisi oleh para tokoh terkemuka. DKJ

juga dibingkai oleh pamor dan eksistensi para tokoh yang telah malang melintang

di dalam dunia kesusastraan Indonesia.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id93

Hal tersebut sangat menguntungkan bagi DKJ dan lembaga ini

memanfaatkanya untuk semakin memantapkan diri dalam mendominasi arena

sastra Indonesia. Melalui ketokohan yang ada, DKJ dapat membangun jaringan

yang luas dan menguntungkan. Sebagai contoh, PKJ TIM yang dikelola DKJ

dikabarkan mendapatkan sumbangan dana tahunan dari Tempo melalui Yayasan

Jaya Raya. Sumbangan yang ditujukan untuk membantu pembiayaan berbagai

program kesenian di PKJ TIM tersebut berjumlah seratus juta (Harian Republika,

Senin 28 November 1994). Pendiri Tempo sendiri salah satunya ialah Goenawan

Mohammad yang telah terlibat dengan DKJ bahkan sejak awal lembaga tersebut

didirikan. Goenawan Mohammad pernah menjadi anggota DKJ dan pernah pula

duduk sebagai anggota AJ. Kedekatan hubungan antara Goenawan Mohammad

dengan DKJ tersebut dapat menjadi sebuah indikasi peran yang kemudian

menghasilkan aliran dana sumbangan dari Tempo. Hal tersebut adalah contoh

modal sosial dan simbolis yang pada akhirnya terindikasi menghasilkan modal

ekonomi.

Contoh lain dapat ditilik dari kegiatan seminar Puisi Indonesia dan

Amerika hasil kerja sama DKJ dengan majalah sastra Horison (Yayasan

Indonesia). Acara tersebut digelar pada tahun 1974 dan terindikasi terselenggara

salah satunya karena ada kedekatan hubungan antara DKJ dengan tokoh-tokoh

Horison yang diantaranya ialah Mochtar Lubis, Taufiq Ismail, Arief Budiman,

dan H.B. Jassin yang kesemuanya pernah terlibat aktif di DKJ atau AJ. Tanpa

tokoh-tokoh yang terindikasi menjadi semacam “penghubung” tersebut, pada

dasarnya tidak mustahil bagi DKJ untuk menjalin kerjasama dengan pihak-pihak

lain. Namun, dengan adanya ketokohan yang membingkai sekaligus mengisi DKJ, library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id94

kerja sama semacam itu menjadi lebih efisien. Hal tersebut merupakan sebuah

keuntungan yang mendukung pergerakan DKJ dalam perjuangan di arena sastra

Indonesia.

Diungkapakan oleh Sutardji Calzoum Bachri (Kompas, 7 Juni 2002)

bahwa DKJ perlu dan penting dibentuk dengan para anggota yang penuh dengan

ketokohan kuat, berwibawa, dan mendapat dukungan dari seluruh komunitas seni

di Jakarta. Oleh karena dengan demikian, DKJ di antaranya dapat bekerja sama

dengan berbagai komunitas seniman untuk menjalankan misinya dalam melayani

kebutuhan seni bagi penduduk Jakarta. Aktivitas DKJ tidak sekadar mengisi acara

untuk gedung-gedung PKJ TIM, tetapi memenuhi kebutuhan penduduk terhadap

seni dan keinginan seniman Jakarta untuk menampilkan karya-karyanya (Bachri,

2007:315).

Secara umum, sebenarnya antara DKJ dan tokoh-tokoh anggotanya saling

berbagi modal simbolis. Mayoritas dari anggota DKJ merupakan tokoh-tokoh

yang telah mapan dan diakui dalam arena. Tokoh-tokoh yang telah diungkapkan

sebelumnya seperti Umar Kayam, Goenawan Mohammad, Ajip Rosidi, Taufiq

Ismail, Sapardi Djoko Damono, Danarto, Subagio Sastrowardoyo, Abdul Hadi

WM, dan lain sebagainya adalah sastrawan-sastrawan mapan. Tokoh-tokoh

tersebut mendominasi dan menjadi simbol atas kekuatan pusat. Estetika karya-

karyanya banyak diikuti pengarang-pengarang dari berbagai daerah di luar

Jakarta.

Karya Linus Suryadi AG di Yogyakarta memiliki gaya pengucapan liris

seperti yang dikembangkan Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohammad, dan

Abdul Hadi WM. Dalam penelitian Bakdi Soemanto, Linus Suryadi menulis sajak library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id95

Malam Begitu Dingin, Kabut pun Tiba yang dinilai melanjutkan konvensi sajak

Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi karya Goenawan Mohammad

(Anwar, 2013).

Tidak hanya Linus Suryadi AG, Iman Budhi Santosa di awal

kepenyairannya juga dinilai memiliki gaya ekspresi yang dekat dengan gaya

Sapardi Djoko Damono. Hal tersebut kuat ditandai oleh imajinasi, melodi, dan

emosi seperti dalam puisi Iman Budhi Santosa yang berjudul Di Depan Masjid

(Suryadi dalam Anwar, 2013).

Dapat diketahui bahwa karya-karya tokoh DKJ dijadikan induk bagi

sastrawan daerah. Estetika yang diusung tokoh-tokoh DKJ tersebut dijadikan

pintu gerbang bagi sastrawan daerah untuk dapat masuk ke arena sastra nasional

melalui penulisan karya dengan estetika yang sejiwa. Hal tersebut bermakna besar

bagi DKJ. Estetika yang disebarkan dan dijadikan acuan di daerah merupakan

manifestasi dari konsepsi estetika DKJ.

Sastrawan daerah yang menginduk pada estetika tersebut berarti secara

tidak langsung telah terdominasi dan mendukung konsepsi estetika DKJ. Hal

demikian itu dimanfaatkan DKJ selain untuk mengukuhkan dominasi estetikanya,

juga sekaligus untuk melanggengkan dominasi pusat. Semakin daerah terpacu

untuk menginduk pada gejala yang ada di pusat, maka kekuasaan Jakarta akan

semakin langgeng. Langgengnya sentralisasi kekuasaan tersebut merupakan

modal simbolis bagi DKJ. Modal tersebut dapat ditukar kembali menjadi

kekuasaan yang lebih dominan lagi dalam arena sastra Indonesia.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id96

4. DKJ, Pembina dan Pengayom Seniman

Besarnya peran sastrawan yang menjadi tokoh-tokoh DKJ dalam

menyebarkan konsepsi estetika membuat DKJ menaruh perhatian khusus

terhadapnya. Perhatian tersebut ditunjukkan melalui strategi dalam rangka

membangun hubungan baik. Hubungan yang baik dengan seniman atau sastrawan

dapat dimulai dari berbagai cara. Para sastrawan pada dasarnya juga merupakan

agen yang juga berjuang di arena kesusastraan Indonesia. Namun, oleh karena

DKJ merupakan agen yang berbentuk lembaga maka bentuk perjuangannya

berbeda dengan agen individu.

Sebagai institusi, DKJ menempatkan diri sebagai wadah yang menaungi

dan mendukung agen-agen lain, yakni dalam hal ini para sastrawan. Dukungan

tersebut nantinya tidak semata-mata sebatas menguntungkan sastrawan-sastrawan.

Namun, pada dasarnya dukungan tersebut menguntungkan DKJ akibat dari

hubungan baik dan keterikatan yang muncul dari pihak-pihak bersangkutan.

DKJ dengan modal ekonominya yang besar, memilih mendukung dan

secara tidak langsung menarik hubungan dengan sastrawan melalui program

pembinaan seni. Program tersebut telah dilaksanakan DKJ sejak tahun 1972.

Program pembinaan seni pada intinya melakukan penunjukan (order) terhadap

sastrawan terpilih dan seniman lain yang dinilai potensial untuk kemudian

diberikan bantuan finansial dalam rangka menunjang proses kesenian mereka.

Harapannya apabila proses kesenian mereka didukung, kreativitas seni mereka

dapat dipacu. Diungkapkan oleh Ramadhan KH dalam rangka mewakili komite

sastra, bahwa disediakan sejumlah tunjangan yang diperuntukkan kepada para

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id97

sastrawan yang dianggap potensial, tetapi memiliki kesulitan keuangan agar dapat

melanjutkan kerja kesenian mereka (Kompas, Selasa 29 November 1972).

Melalui program pembinaan seni tersebut, DKJ membangun hubungan

baik dengan para sastrawan dan seniman umum. Hhal itu merupakan strategi DKJ

untuk menempatkan diri sebagai lembaga yang lebih dari sekadar penyedia ruang

seni melalui PKJ TIM. DKJ menjadikan dirinya sebagai pengayom bagi agen lain

dengan membuat program yang mampu mendukung iklim produktivitas atas

kreativitas sastrawan. Program tersebut secara tidak langsung mampu mengikat

tokoh-tokoh untuk setia dalam mendukung DKJ. Dalam kenyataan, pembicaraan

mengenai tokoh-tokoh tersebut diharapkan akan secara otomatis terkait dengan

DKJ. Pada dasarnya, di sini DKJ berhasil menempatkan diri sebagai fasilitator

yang memiliki kekuatan untuk dapat melegitimasi eksistensi agen lain di

bawahnya dalam arena sastra Indonesia. Agen tersebut meliputi individu-individu,

para sastrawan yang ditunjuk, dipilih, dan yang kemudian diberi dukungan

finansial.

5. Sayembara Mengarang Roman Tonggak Eksistensi DKJ

Selama bertahun-tahun sejak awal didirikan, sayembara mengarang roman

menjadi program tahunan DKJ yang mampu menarik perhatian dan menjaring

partisipasi masyarakat dalam jangkauan lebih luas dibandingkan program-

program lainnya. Pasalnya, sayembara yang digelar secara rutin setahun sekali

tersebut, dibuka untuk masyarakat Indonesia dari seluruh pelosok negeri. Bahkan

di periode awal penyelenggaraan, sayembara ini telah mengundang banyak

peminat. library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id98

Gambar 3: Liputan tentang sayembara DKJ (Kompas, 29 Maret 1973).

Program kegiatan nasional bergengsi dengan hadiah yang besar dan dewan

juri dari tokoh sastra terkenal semacam ini merupakan salah satu bentuk

pemanfaatan DKJ atas modal ekonomi dan simbolis. Penyelenggaraan Sayembara

Roman telah berpengaruh besar terhadap gairah kepengarangan nasional. Berkat

ajang tersebut, berbagai daerah di luar Jakarta juga menikmati rangsangan seni

DKJ. Buku-buku pengarang dari berbagai daerah di Indonesia yang kemudian

tersebar luas ke seluruh penjuru telah memperkaya khasanah kesusastraan

Indonesia (Yudiono K.S, 2010: 218). library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id99

Sayembara mengarang roman sangat besar maknanya bagi DKJ sebagai

agen di dalam arena kesusastraan Indonesia. Secara kuantitas, sayembara ini

secara berkelanjutan terus diselenggarakan. Pada era Orde Baru, ajang ini

merupakan alternatif yang secara konsisten berperan menjadi wadah penyaluran

kreativitas masyarakat Indonesia. Namun demikian, penyelenggaraan sayembara

tersebut bukan tanpa misi tertentu. Sayembara mengarang roman bermakna besar

bagi eksistensi DKJ.

Menurut Zurmailis dan Faruk tentang sayembara mengarang yang

diadakan DKJ adalah sebagai berikut:

Dalam bidang kesusastraan, sayembara penulisan novel menjadi labor bagi proyek eksperimentasi sastra DKJ. Melalui syarat dan aturan main, lembaga menuntut kepatuhan total setiap peserta yang terlibat dalam permainan, kepada hukum-hukum baru yang mereka pilih dengan bebas, yang menjadi jalan bagi independensi mereka untuk menciptakan apa yang dinamakan Bourdieu sebagai ‘Republik Sastra’ (Zurmailis dan Faruk, 2017:66).

Dapat ditangkap bahwa kehadiran sayembara mengarang roman

merupakan sesuatu yang sangat penting. Melalui sayembara mengarang roman,

DKJ membangun sebuah standar atau model seninya sendiri sesuai dengan

estetika yang menjadi acuannya. Standar tersebut menjadi sebentuk penentu atas

eksistensi DKJ di dalam arena kesusastraan Indonesia. Pengaruh dan dominasi

DKJ dalam arena sastra Indonesia dapat dilihat jejaknya dari seberapa besar

dukungan atas estetika yang diusungnya.

Secara sederhana, ketika mengadakan sayembara, pada dasarnya DKJ

akan melahirkan dua hal, yakni pengarangnya dan karya. Pengarang serta karya

ini setelah dimunculkan penyelenggara lomba sebagai karya pemenang

sayembaranya, perannya kemudian menjadi representasi dan wujud eksistensi library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id100

agen yang melahirkannya. Dari segi pengarang, melalui sayembara roman, DKJ

telah mengukuhkan kehadiran sejumlah sastrawan sekaliber Korie Layun

Rampan, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Budi Darma, Ayu Utami dan lainnya sebagai

sosok-sosok sastrawan yang cukup diperhitungkan di tanah air (Sarumpaet 2006,

dalam Zurmailis dan Faruk, 2017:47).

Akumulasi modal DKJ pada dasarnya dipertaruhkan dalam program

tersebut. Program sayembara mengarang sangat berpengaruh terhadap DKJ dalam

kaitan dengan pencapaiannya sebagai agen yang mampu mempengaruhi konsep

estetika seni agen-agen lain di dalam struktur arena kesusastraan Indonesia.

Pencapaian tersebut akan sangat bergantung terhadap kemampuan DKJ dalam

memaksakan dan membuat agen lain menerima kemudian mengikuti standar

konsep estetikanya. Dalam kata lain, keberhasilan DKJ bergantung pada

kesuksesannya menanamkan standar konsep yang dianutnya terhadap agen lain di

dalam struktur kesusastraan.

Dari segi karya, model karya DKJ bersumber dari eksperimen dan aliran

baru seni di Eropa dan Amerika. Keduanya menganut aliran filsafat

eksistensialisme. Konsep estetika Barat tersebut merupakan bentuk penentangan

atas konsep realisme sosialis yang jejaknya masih hadir di arena kesusastraan

Indonesia. Sayembara pun menjadi penting artinya sebagai sarana untuk

memantau dan menjangkau sejauhmana pertarungan di arena telah dimenangkan

(Zurmailis dan Faruk, 2017:66).

Sayembara mengarang roman yang kemudian di akhir orde baru dikenal

sebagai sayembara penulisan novel, telah dimulai sejak 1974. Namun demikian,

DKJ baru memperlihatkan hasil tujuh tahun kemudian dengan memunculkan tiga library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id101

karya sebagai pemenang utama meski tanpa peringkat pada penyelenggaraan

sayembara tahun 1980. Ketiga karya pemenang utama tersebut meliputi Bako

karya Darman Moenir, Harapan Hadiah Harapan karya Nasjah Djamin, dan

Olenka karya Budi Darma. Posisi tersebut belum pernah dapat dicapai oleh karya-

karya peserta sayembara sebelumnya. Maka, keberadaan pemenang tersebut juga

bermakna bahwa menurut pandangan DKJ telah terjadi peningkatan kualitas karya

(Zurmailis dan Faruk, 2017:66-67).

Oleh karena itu, bukan hal yang mengherankan apabila tidak di setiap

periode penyelenggaraan sayembara, DKJ menemukan pemenang. Bahkan hampir

setiap penyelenggaraanya DKJ seringkali tidak memiliki pemenang, terutama

pemenang pertama. Dalam kata lain, tidak setiap periode penyelenggaraan

sayembara standar DKJ terpenuhi. Standar penilaian DKJ karya peserta menjadi

sangat penting karena berkaitan dengan perjuangan eksistensi atas estetika yang

diusungnya.

Selain itu, makna dari tingginya standar penilaian yang sebenarnya sangat

bergantung terhadap masing-masing dewan juri merupakan sebuah strategi.

Semakin sulit suatu kompetisi untuk dapat dimenangkan, maka perlombaan

tersebut akan semakin menarik dan menantang. Sekali ada pemenang, maka efek

yang ditimbulkan akan luar biasa. Hal itu telah terbukti dengan Saman yang

dimunculkan DKJ sebagai pemenang pertama sayembara roman tahun 1997/1998.

Kehebohan ketika itu tidak hanya berasal dari pencetakan sejarah sayembara DKJ

yang pada akhirnya memiliki pemenang pertama. Namun, dari estetika yang

dimunculkan dalam karya. DKJ sengaja mendaulat karya dengan estetika

“eksentrik” yang tidak umum ketika itu sebagai sebuah strategi. Reaksi besar pun library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id102

muncul dalam masyarakat. Berbagai dukungan baik pro maupun kontra menjadi

perdebatan. Strategi DKJ berhasil mencuri perhatian masyarakat untuk

mengembalikan posisi DKJ di dalam arena tahun 90-an yang sempat melemah.

Dari strategi tersebut, DKJ dapat mengumpulkan modal simbolis sebanyak-

banyaknya.

Melalui sayembara roman, DKJ melakukan langkah-langkah strategis

dalam rangka mencitrakan diri sebagai sebuah lembaga dengan otoritas dan hak

untuk menentukan karya sastra yang baik. Seiring berjalannnya waktu, sayembara

roman DKJ berhasil menjadi media untuk mengesahkan karya-karya yang

dianggap memiliki nilai estetika terbaik. Di sini, pada dasarnya kekerasan

simbolis tengah berperan besar. Melalui sayembara roman, DKJ membiarkan

karya-karya pemenang yang dimunculkannya menjadi representasi dominan. DKJ

menggiring opini masyarakat tentang standar karya sastra yang berkualitas

melalui ajang sayembara tersebut sehingga kualitas karya pemenang sayembara

DKJ dianggap benar dan alamiah. Kemudian pada akhirnya kualitas karya

tersebut tertanam dalam pikiran dan dijadikan masyarakat sebagai standar yang

umum.

Sayembara roman membuat realita DKJ di era Orde Baru menjadi eksis.

Mengingat, pada era tersebut iklim tengah berpihak kepada DKJ, sebab Lekra

yang mengusung realisme sosialis telah tumbang. Selain itu, akumulasi modal

ekonomi dan simbolis DKJ yang besar sanggup membuat DKJ dapat membuat

skema dan strategi sedemikian rupa melalui ajang sayembara mengarang roman

untuk dapat mendominasi struktur. Pendominasian dilakukan dengan

menyebarkan preferensi model estetikanya kepada khalayak luas, yakni seluruh library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id103

masyarakat Indonesia yang tidak lain juga merupakan agen-agen di dalam struktur

arena kesusastraan Indonesia.

Konsepsi estetika yang dituangkan dalam karya-karya pemenang

sayembara roman berhasil menjadi standar dan acuan. DKJ melalui sayembara

roman juga menjadi wadah pengukuhan kelahiran sastrawan Indonesia. Melalui

sayembara yang diadakan secara rutin tersebut, diungkapkan oleh Zurmailis dan

Faruk bahwa DKJ memegang peranan penting. DKJ menentukan sistem dan

reproduksi tata estetik di ranah kesusastraan Indonesia. Selain itu, diungkapkan

juga bahwa “DKJ berkontribusi dalam membangun kaidah, aturan dan susunan

dalam kaitannya dengan ekspresi maupun penilaian tentang keindahan melalui

rangkaian prosedur dari perangkat unsur yang saling berkaitan dalam produksi

sastra” (2017:47).

6. Hiruk Pikuk Kegiatan DKJ di PKJ TIM

Antara DKJ dan PKJ TIM tidak dapat dilepaskan kehadirannya satu sama

lain. Secara fisik DKJ berkedudukan di PKJ TIM dan secara sosial DKJ

menyelenggarakan hampir semua program kegiatannya di PKJ TIM. DKJ pulalah

yang diberi tanggung jawab oleh pemerintah untuk mengelola PKJ TIM sejak

pusat kesenian itu didirikan hingga tahun 1991. Dapat dikatakan bahwa DKJ

memiliki andil besar atas kepopuleran dan keramaian PKJ TIM.

PKJ TIM sejak awal berdiri dengan segera menjadi tempat pertunjukan

paling menonjol di Indonesia. PKJ TIM menjadi tuan rumah bagi lebih banyak

pertunjukan dan penonton daripada yang diselenggarakan di tempat lain di

Indonesia pada era 70-an. PKJ TIM menjadi tempat dilangsungkannya berbagai library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id104

festival dan konferensi nasional, teater paling populer, pertunjukan tari, diskusi

seni dan budaya yang diliput secara luas (Jones, 2015:155).

DKJ sendiri bahkan telah produktif mengadakan beragam kegiatan di PKJ

TIM sejak tahun-tahun awal lembaga dan pusat kesenian tersebut didirikan.

Berbagai kegiatan sastra yang terselenggara di PKJ TIM pada tahun-tahun

tersebut antara lain Pertemuan Sastrawan yang dilaksanakan pada tahun 1972 dan

1974, Diskusi Kritik Sastra di tahun 1974, Festival Desember 1975, Penyair

Muda di Depan Forum pada tahun 1976, Lomba Baca Puisi DKJ 1980, Temu

Kritikus dan Sastrawan 1984, Sayembara Penulisan Roman, Sayembara Naskah

Drama, dan berbagai acara lain seperti pembacaan puisi, pementasan teater.

Program Festival Desember 1975 sendiri meliputi acara Pekan Musik, Tari,

Teater Tradisi, Pesta Puisi, Diskusi dan Pameran Lukisan Seniman Muda

Indonesia, Sayembara Karya Tari Tingkat DKI Jakarta, Sayembara Penari

Tingkat DKI Jakarta, Sayembara Komposisi Musik Remaja, Sayembara

Komposisi Musik Kamar, Sayembara Film Mini, Seyembara Penulisan Roma, dan

Sayembara Festival Teater Remaja DKI Jakarta.

Di dalam program kegiatan yang berlangsung dari akhir November 1975

hingga Januari 1976 tersebut tercatat untuk pertama kalinya acara Pesta Puisi

dihadiri oleh sejumlah penyair dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan program

kegiatan pembacaan puisi oleh para penyair tersebut tidak hanya berlangsung di

PKJ TIM. Namun, juga di seluruh Gelanggang Remaja di Jakarta. Ketika itu

Emha Ainun Nadjib dan Sumardi tampil sebagai pengulas sajak-sajak, sedangkan

para penyair yang hadir dan membacakan sajak antara lain adalah Abdul Hadi

W.M., Darmanto Jatman, Hamid Jabbar, Hijaz Yamani, Chairul Harun, Leon library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id105

Agusta, Linus Suryadi AG, Mansur Samin, Piek Ardijanto Soeprijadi, Sapardi

Djoko Damono, Slamet Kirnanto, Taufiq Ismail, Wing Kardjo, Yunus Mukri Adi,

Yudhistira Ardi Nugraha (Yudiono K.S, 2010:217-218).

Berbagai kegiatan kesenian pada umumnya dan kesusastraan pada

khususnya sengaja dirancang mutunya oleh DKJ. Bahkan kemudian di masyarakat

berkembang anggapan bahwa siapa yang tampil atau ditampilkan di PKJ TIM

berarti memiliki mutu dan prestasi tinggi (Yudiono K.S, 2010: 217). PKJ TIM

memang memiliki kecenderungan berfokus pada bentuk-bentuk “modern” dan

“tinggi” yang menarik bagi elite metropolitan. DKJ dan PKJ TIM menumbuhkan

dan mengembangkan versi tertentu dari ekspresi seni dan kelompok khusus

seniman (David Hill 1993, dalam Jones, 2015:260-261). Namun kemudian yang

terjadi pada akhirnya DKJ tidak hanya berhasil menarik minat kesenian para elite

metropolitan. Lebih luas, ternyata aneka kegiatan hasil rancangan DKJ yang

ditampilkan di PKJ TIM menarik bagi masyarakat luas dari berbagai kalangan di

seluruh pelosok negeri.

Pada perkembangannya, DKJ menjadi semacam figur penting yang

dijadikan tolok ukur atas standar kesenian. Berkat kegiatan-kegiatan terkonsep

yang terus meramaikan PKJ TIM, DKJ berhasil menempatkan dirinya sebagai

panutan. Dalam hal ini peranan media massa cukup besar. Ketika itu, kegiatan

kesenian di PKJ TIM dengan sendirinya terpublikasikan lewat media massa

kemudian dijadikan acuan model kegiatan di berbagai daerah di luar Jakarta

(Yudiono K.S, 2010:217).

DKJ berhasil menjadikan PKJ TIM sebagai wadah yang terbuka dan

mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat luas. Hal itu dapat dicapai library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id106

karena DKJ menerapkan strategi lembaga yang menempatkannya sebagai

pengayom masyarakat untuk dapat berkesenian secara leluasa. Keleluasaan

tersebut diskenario oleh DKJ yang aktif menyelenggarakan berbagai kegiatan seni

mulai dari konsep lokal atau tradisional, modern atau kontemporer sampai seni

yang berkaitan dengan ranah agama seperti kegiatan islami. Contoh konkret dari

pencapaian tersebut ialah PKJ TIM berhasil menunjang kehadiran dan kreativitas

sastrawan khususnya era 70-an. Pada perkembangannya, meskipun PKJ TIM

mengalami surut pada tahun 90-an, namun modal sosial sebagai basis sastrawan

pada era 70-an tidak luntur begitu saja. Modal tersebut masih melekat dan

menjadi wibawa tersendiri bagi PKJ TIM bersama dengan DKJ.

D. DKJ dalam Arena Sastra Indonesia

Selama era Orde Baru, DKJ telah mengalami pergulatan yang panjang.

Sebagaimana agen pada umumnya, eksistensi DKJ dalam arena sastra Indonesia

pun tidak luput dari pasang surut. Mengingat perjuangan sebuah agen di dalam

arena tidak hanya berhenti dalam mencapai posisi yang mapan, tetapi juga mesti

berjuang mempertahan posisi, bahkan meluaskan pengaruh dan dominasi. Sebagai

agen, posisi DKJ dalam arena sastra Indonesia bergantung pada hasil

perjuangannya dalam mempertaruhkan modal-modal yang dimiliki. Pencapaian

posisi dalam arena merupakan hasil pertaruhan modal dalam medan perjuangan.

Di bagian ini, pencapaian-pencapaian DKJ tersebut akan diuraikan secara

kronologis sehingga dapat diketahui perkembangan posisi yang berhasil diraih.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id107

Masa kelahiran dan pertumbuhan yang hampir berbarengan dengan Orde

Baru membuat agen ini tidak dapat dilepaskan dari dinamika kehidupan politik

ketika itu. Maka, pembahasan dalam uraian ini dibagi ke dalam beberapa bagian

yang sarat dengan pembabakan politis pada masa Orde Baru.

1. Masa Awal (1970-an)

Sejak awal mula DKJ memulai pergulatan pada tahun 70-an, lembaga

sastra tersebut berhasil menempati posisi strategis dalam arena. Dukungan Orde

Baru dengan kebijakan sentralistik serta modal-modal yang dimanfaatkan

semaksimal mungkin menggunakan berbagai strategi, berhasil membawa DKJ

dengan PKJ TIM menjadi pusat yang mendominasi arena sastra Indonesia. Pada

masa tersebut, antara DKJ dan PKJ TIM mejadi sesuatu yang tidak terpisahkan

ketika membicarakan kekuatan pusat Jakarta.

Hubungan DKJ dengan pemerintah yang diwakili oleh Gubernur DKI

Jakarta, Ali Sadikin merupakan sebuah hubungan harmonis dan ideal seperti

keinginan DKJ. Hubungan tersebut menunjang kebebasan DKJ dalam melakukan

pergerakan untuk meraih posisi dalam arena sastra Indonesia. Selama bertahun-

tahun DKJ menjaga posisinya dengan terus menyelenggarakan berbagai program

kegiatan kesenian yang diharapkan mampu menarik dan memancing kreativitas

masyarakat luas. Kesenian di PKJ TIM didesain DKJ sedemikian rupa agar

mencitrakan keterbukaan. Hal itu dilakukan dalam rangka meraih simpati dari

masyarakat yang luas tersebut. DKJ tidak hanya menggiring massa dengan

penerapan kekerasan simbolis pada sayembara sebagai bentuk penyebaran

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id108

konsepsi estetika yang diusungnya. DKJ melakukan strategi pengakomodasian

berbagai kepentingan melalui penyelanggaraan kesenian di PKJ TIM.

Gambar 4: Artikel penegasan tentang PKJ TIM yang tidak dibangun hanya untuk

masyarakat golongan tertentu (Pos Kota, 20 Maret 1974).

Di awal masa Orde Baru, lembaga tersebut mendapatkan masa

kejayaannya. Pada masa-masa tersebut, DKJ berhasil menjadi basis bagi

sastrawan Angkatan 70-an dalam berkarya. Di sisi lain, DKJ memupuk modal

sosial dan simbolis melalui usahanya dalam membangun hubungan dengan

lembaga kesenian asing.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id109

Gambar 5: Artikel tentang perkembangan hubungan antara DKJ dengan Belanda (Kompas, 4 Februari 1974).

Di sekitar sepuluh tahun pertama eksistensi DKJ dalam struktur arena

sastra Indonesia, lembaga tersebut telah berhasil mengukir posisi yang mapan.

Kehadirannya sebagai pengayom dan pembina seni telah mewadahi kreativitas

sastrawan dan seniman pada umumnya dalam berkesenian. Berkat

kemampuannya dalam mewadahi agen-agen lain, DKJ pun berperan sebagai

induk yang mendominasi. Berkat program sayembara roman dan dukungan

program-program seni rancangan DKJ yang ditampilkan di PKJ TIM, lembaga

seni tersebut memiliki kekuatan estetika. Konsepsi estetika DKJ dengan

romantisme Barat khas humanisme universal banyak diikuti dan dijadikan kanon

estetika yang berlaku. Pencapaian tersebut didapatkan dari kekerasan simbolis library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id110

sebagai hasil dari habitus dan modal yang dikerahkan DKJ dapat selinear dengan

struktur arena sastra Indonesia.

2. Masa Pertengahan (1980-an)

Pencapaian posisi agen tidak abadi. Tahun-tahun lesu ditambah situasi

politik yang tidak mendukung pada akhirnya datang menghampiri DKJ. Pada

dasarnya menurunnya tingkat kekondusifan arena sastra telah menurun sejak akhir

tahun 70-an. Namun, hal tersebut memuncak pada tahun 80-an.

Pergantian pemerintahan daerah dan berbagai pembatasan pemerintah

pusat menekan DKJ pada era 80-an. Dampak paling signifikan terhadap DKJ yang

paling terlihat adalah memburuknya hubungan dengan gubernur-gubernur setelah

Ali Sadikin. Selain itu, munculnya masalah internal DKJ dan vakumnya

sayembara mengarang roman DKJ yang sebelumnya selalu rutin diadakan setiap

tahun akibat penurunan kualitas karya. Masa tersebut adalah masa-masa redup

bagi DKJ. Pada masa pertengahan Orde Baru DKJ diindikasikan mengalami

penuaan akibat pertarungan yang terus menerus dilakukannya dalam arena sastra.

Krisis melanda, DKJ mendapatkan kritik dari sana dan sini.

DKJ mendapat berbagai macam tudingan dan aliran krisis kepercayaan

dari masyarakat. Perlawanan dari luar kutub DKJ dan PKJ TIM terutama berasal

dari daerah-daerah yang selama ini terdominasi oleh kekuatan sentral Jakarta.

Kritik dan sorotan terhadap DKJ pada masa itu mencuat dalam berbagai media

massa. Beberapa di antaranya tampak dalam gambar artikel di bawah ini.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id111

Gambar 6: Artikel yang memuat kritikan dari Emha Ainun Nadjib dan Linus Suryadi AG terhadap DKJ. Keduanya merupakan tokoh Persada Studi Klub (PSK) yang berbasis di Yogyakarta (Merdeka, 3 November 1983).

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id112

Tidak hanya DKJ, PKJ TIM juga mendapatkan sorotan serta perlawanan.

Pada masa-masa tersebut, hak pengelolaan PKJ TIM sudah tidak berada di bawah

DKJ. Namun, oleh karena catatan sejarah antara DKJ dan PKJ TIM yang telah

demikian dekat dan pembicaraannya saling terkait satu sama lain, maka hal

tersebut tetap berpengaruh.

Gambar 7: Artikel gugatan dari daerah terkait dengan barometer teater dalam

arena sastra Indonesia (Merdeka, 30 Juni 1985). library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id113

Gambar 8: Tulisan mengenai PKJ TIM yang menanggung tantangan sebagai pusat pembinaan dan pengembangan seni budaya (Berita Buana, 5 November 1985). library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id114

Di masa pertengahan Orde Baru yang serba materialis, DKJ tidak hanya

dihadapkan dengan “serangan” dari luar “pagar” PKJ TIM. Namun, DKJ juga

mendapat kritikan dari pihak yang sama-sama menjadi aktor dalam kubu yang

sama, yakni di pusat dominasi. Hal itu seperti terlihat dalam kritik Sutardji

Calzoum Bachri berikut.

Gambar 9: Liputan hasil wawancara Danarto terhadap Sutardji Calzoum Bachri di PKJ TIM yang menyoroti persoalan krisis kepercayaan dengan DKJ dan AJ

(Zaman, 27 April 1980).

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id115

Sorotan terhadap DKJ dan PKJ TIM merupakan goncangan yang

berpengaruh terhadap penyusutan modal simbolis. Namun demikian, sejarah

pencapaian posisi mereka dalam struktur tidak lantas terhapus dan menjadi tidak

bermakna begitu saja. “Pendatang baru” yang menggugat DKJ tidak kemudian

dapat dikatakan telah memenangkan pertarungan dalam arena dan mengalahkan

agen DKJ. Hal itu dikarenakan, DKJ masih berusaha bertahan dengan

memanfaatkan sisa-sisa modal yang ada meski sayembara roman sebagai tonggak

eksistensinya dalam arena sastra terpaksa vakum pada tahun 80-an untuk

sementara waktu. Selain itu, gegap gempita kritikan yang riuh diserukan dalam

berbagai media nasional memiliki sisi positif.

Keramaian itu mengindikasikan bahwa DKJ dipandang sebagai lembaga

yang mengemban tugas berat bagi masyarakat banyak. Oleh karena itu, kritikan-

kritikan yang muncul dapat dimaknai sebagai wujud harapan besar yang pada

dasarnya digantungkan di “pundak” DKJ. Dalam kata lain, terlepas dari

perlawanan dan pertarungan merupakan hakikat kehidupan dalam arena

pergulatan, agen DKJ tampak memikul kepercayaan bagi masyarakat luas dengan

beragam kepentingan yang berharap dan berkeinginan untuk dapat diakomodasi

oleh lembaga tersebut tanpa membuatnya menjadi inferior atau terdominasi.

3. Masa Penghujung (1990-an)

Di tahun 90-an, suasana arena sastra dan arena kekuasaan politik masih

“panas”. Gejolak masih bermunculan termasuk hadirnya jurnal revitalisasi sastra

pedalaman yang juga berniat melawan sentralisasi pusat dengan DKJ, PKJ TIM,

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id116

dan media nasional terbitan Jakarta sebagai maskotnya. Sebagaimana agen, DKJ

terus berjuang mempertahankan posisinya dalam arena sastra Indonesia.

Setelah mencoba bertahan dan mengganti sayembara roman menjadi

program Hadiah Sastra yang berlangsung pada tahun 1982, 1983, 1984, DKJ

akhirnya kembali dengan membuat gebrakan pada penghujung masa Orde Baru.

Pada tahun 1998 untuk pertama kalinya dalam sejarah penyelenggaraan

sayembara roman, DKJ memunculkan juara pertama yang diraih oleh Saman

karya Ayu Utami. Karya tersebut sukses membuat perhatian masyarakat kembali

mengarah kepada DKJ.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id117

Gambar 10: Artikel yang memuat penggalan ulasan tentang Saman karya Ayu

Utami (Media Indonesia, 1 Agustus 2004).

Di tengah kelesuan sastra Indonesia, Saman dimunculkan DKJ dan

berhasil mendapatkan sambutan yang begitu ramai. Saman dapat dikatakan

sebagai titik balik atas kembalinya DKJ ke posisinya semula yang sempat

meredup dan mengalami penuaan. Terlebih lagi hal itu dibarengi dengan

lengsernya Orde Baru digantikan era Reformasi yang membuka kebebasan

masyarakat dan DKJ pada khususnya. Di era 90-an, terutama setelah lepasnya

Orde Baru dan munculnya kesempatan atas kebebasan berkesenian, DKJ pun

mulai memperjuangkan kembali posisinya di dalam arena sastra Indonesia.

Pemanfaatan atas modal-modal DKJ mulai kembali maksimal dalam

mendukung perjuangan DKJ di arena sastra Indonesia. Meski hak atas PKJ TIM

telah dicabut dari DKJ, namun pusat keseian tersebut telah telanjur melekat

dengan sosok DKJ. Kebesaran PKJ TIM tetap menjadi aset bagi DKJ. Selain itu,

mayoritas aktivitas kesenian DKJ juga tidak kemudian berpindah. DKJ tetap

berbasis di PKJ TIM meski tidak seramai era 70-an.DKJ tetap memanfaatkan PKJ

TIM untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan kesenian sesuai porsi yang

dimiliki sebagai strategi untuk mempertahankan eksistensi. Krisis sebelum yang

terjadi sebelumnya tidak begitu saja mematikan DKJ. DKJ bertahan dari penuaan

yang dihadapinya dan terus melakukan pergerakan dalam merebut dominasinya

dalam arena sastra Indonesia. Di pertengahan tahun 90-an DKJ melalui tokoh-

tokohnya berperan dalam semacam gerakan perlawanan terhadap kekuasaan yang

tidak sehat ketika itu. Kekhawatiran terulangnya penghapusan kebebasan

berpendapat yang sesuai hukum seperti pada masa demokrasi terpimpin library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id118

menggerakkan budayawan dan sastrawan untuk mendeklarasikan “Peryataan

Mei”.

Gambar 5: Liputan deklarasi “Pernyataan Mei” di PKJ TIM pada tanggal 12 Mei 1995 (Merdeka, 13 Mei 1995).

“Pernyataan Mei” diindikasikan menjadi bentuk partisipasi DKJ atas

perlawanan terhadap politik dan pemerintah yang merenggut kebebasan

berekspresi ketika itu. Perlawanan tersebut diwakili oleh tokoh-tokoh DKJ seperti

Goenawan Mohammad, Arif Budiman, HB Jassin, dan lain sebagainya yang

terlibat dalam menginisiasi dan mendeklarasikan “Pernyataan Mei”. Dalam hal ini

terlihat bahwa pada dasarnya DKJ yang pro pemerintah juga memiliki sikap

mendua. Meski dengan cara yang tetap hati-hati dan tanpa mengonfrontasi secara

langsung, DKJ tetap mengambil peran dalam perjuangan kemerdekaan

berekspresi. Hal itu dapat dipahami sebagai strategi DKJ untuk turut menentukan

iklim yang kondusif dalam berkesenian di masa depan. Selain itu, partisipasi library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id119

tersebut juga merupakan wujud pencitraan diri sebagai lembaga yang berpihak

kepada masyarakat.

Di sisi lain pada era 90-an, DKJ juga tidak lepas dari sorotan dan kritik.

DKJ kerap kali disinggung memiliki hubungan dekat dengan agen lain, yakni

TUK atau KUK yang baru terbentuk pada tahun 1994. Kedekatan hubungan

tersebut terindikasi dari munculnya Saman dengan pengarangnya, yakni Ayu

Utami yang merupakan anggota KUK. Pada era berikutnya bahkan Ayu Utami

masuk sebagai pengurus DKJ. Hal tersebut dinilai kubu Saut Situmorang, dkk

sebagai sebuah aksi pengambilan alih dan penyebaran konsep kebudayaan KUK

yang dinilai sebagai agen imperialis dan pintu penjajahan bidang kebudayaan

Indonesia melalui DKJ.

Pada intinya, di penghujung Orde Baru dan di kemungkinan besar juga di

era setelahnya, DKJ menghadapi tudingan atas kuatnya pengaruh KUK dalam

DKJ. Pengaruh tersebut muncul dari tokoh-tokoh DKJ yang diduduki oleh orang-

orang yang merupakan tokoh KUK seperti Goenawan Mohammad dan Ayu

Utami. Namun demikian, meski orientasi DKJ disebut-sebut sebagai Barat yang

sering mendapat tudingan pengaruh dari agen lain seperti KUK yang imperialis,

DKJ tetap eksis. DKJ masih menjadi wadah besar yang memiliki posisi penting di

arena sastra Indonesia. Dominasi DKJ terutama berasal dari pemanfaatan modal-

modalnya yang ditukarkan untuk meraih modal simbolis dengan merintis kembali

sayembara roman pada tahun 1997-1998.