BAB IV ANALISIS DATA A. Arena Sastra Indonesia
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB IV ANALISIS DATA A. Arena Sastra Indonesia DKJ lahir dan tumbuh di lingkungan kesusastraan Indonesia yang juga sedang bertumbuh. Pertumbuhan sastra Indonesia bersamaan dengan perkembangan kesadaran kebangasaan dan kesadaran nasional. Kesadaran tersebut terus mengalami perkembangan sejak tercetusnya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 yang menyatakan pengakuan atas satu tanah air, bangsa, dan bahasa. Momentum tersebut menuntut bangsa Indonesia menentukan arah kesatuan kebudayaannya. Berbagai pemikiran dan pandangan diungkapkan oleh cendekiawan serta budayawan Indonesia ketika itu. Namun, konsep kebudayaan yang paling menarik perhatian adalah pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana (selanjutnya disebut STA). Orientasi Kebudayaan STA mengarah kepada kebudayaan Barat. STA menyangsikan dan menolak nilai-nilai budaya tradisional (Esten dalam Kratz, 2000:748-751). Hal tersebut terlihat dalam ungkapan STA: “Zaman prae-Indonesia, zaman jahilliah Indonesia itu setinggi-tingginya dapat menegaskan pemandangan dan pengertian tentang lahirnya zaman Indonesia, tetapi jangan sekali-kali zaman Indonesia dianggap sambungan atau terusan yang biasa daripadanya” (Alisjahbana dalam Mihardja, 1977:16). Pada bagian lain STA juga mengungkapkan: Pada pikiran saya pandu-pandu kebudayaan Indonesia harus bebas benar berdiri dari kebudayaan zaman prae-Indonesia. Perkataan bebas bukan berarti tidak tahu seluk-beluknya, perkataan bebas hanya berarti tidak terikat. Sebabnya siapa yang belum dapat melepaskan dirinya dari kebudayaan Jawa akan berdaya upaya akan memasukkan semangat 23 library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id24 kejawaan ke dalam kebudayaan Indonesia, siapa yang belum terlepas dari kebudayaan Melayu akan berdaya upaya memasukkan semangat kemelayuan ke dalam kebudayaan Indonesia dan demikian seterusnya (Alisjahbana dalam Mihardja, 1977:17). STA pada intinya secara terus terang menegaskan bahwa kebudayaan bangsa harus tumbuh mengarah ke Barat (Alisjahbana dalam Mihardja, 1977:19). Pemikiran STA menunjukkan bahwa konsep kebudayaan Indonesia yang ingin dibentuk dan dikembangkan ialah suatu bentuk kebudayaan baru dan tidak terikat dengan nilai-nilai kebudayaan subkultur sebelumnya. Pemikiran tersebut kemudian dilanjutkan oleh tokoh Angkatan 45. Di dalam manifesnya, seperti yang tercantum dalam Surat Kepercayaan Gelanggang diungkapkan bahwa mereka merupakan ahli waris kebudayaan dunia. Konsep kebudayaan dunia lebih mendapatkan ruang daripada kebudayaan lama (Esten dalam Kratz, 2000:751- 752). Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan pernyataan tegas atas komitmen humanisme universal yang dicetuskan pada tahun 1949. Istilah humanisme universal sebenarnya dibangun selama perdebatan tentang karya Chairil Anwar. Pada 1951, H.B. Jassin, seorang kritikus sastra yang kemudian terlibat erat dengan Manikebu, mendefinisikan humanisme universal untuk merangkum pemikiran Chairil Anwar dan sastrawan lain Angkatan 45 (Foulcher dalam Jones, 2015: 151). Bertolak dari polemik kebudayaan tersebut, maka secara umum dapat dikatakan bahwa kesusastraan Indonesia merupakan sebuah gambaran dari proses pertemuan antara nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai baru dari kebudayaan baru (Barat). Hampir seluruh roman Angkatan Balai Pustaka mengungkapkan masalah library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id25 feodalisme. Namun, pada Angkatan Pujangga Baru persoalannya mengacu pada orientasi budaya masyarakat yang baru. Di dalam roman-roman Balai Pustaka, masih dapat dirasakan ciri kolektivisme. Pada roman-roman Pujangga Baru ciri tersebut berangsur-angsur longgar, sedangkan pada novel-novel Angkatan 45 tema-tema yang diangkat menjadi lebih personal (Esten dalam Kratz, 2000:756- 757). Perkembangan selanjutnya, makin banyak kemunculan sastrawan yang mengisi khazanah sastra Indonesia. Akan tetapi, rupanya sastrawan yang lahir kemudian dan mendapati Indonesia sebagai sebuah entitas baru terpisah dari pre- Indonesia tidak dapat setegar STA dalam membunuh masa lalu. Masa lalu tetap menjadi bagian yang kukuh mengakar dalam kesadaran banyak orang. Sastrawan seperti Rendra, Ajip Rosidi, Nugroho Notosusanto, Ramadhan K.H. pun mulai menggali kembali “kehangatan” dari tradisi lokal. Namun, sebelum kegairahan tersebut terbentuk dan membentuk diri, sastra Indonesia mesti berhadapan dengan situasi politik yang “panas”. Para sastrawan tidak lagi mendapatkan ruang bebas semenjak dicanangkannya politik sebagai panglima pada era Orde Lama. Ketika itu, konsep realisme sosial dicanangkan oleh Lekra sebagai sebuah konvensi yang mesti ditegakkan. Bahasa dijadikan budak atas politik sehingga mengalami pemiskinan sedemikian rupa melalui rangkaian jargon-jargon yang sloganitis (Sarjono, 2001:3-4). Konsep kesenian Lekra mendapat tanggapan dari golongan non-Lekra. Pada 17 Agustus 1963, muncul seniman-seniman muda yang melakukan perlawanan terhadap Lekra dengan mengeluarkan pernyataan berupa Manifes Kebudayaan. Manikebu menolak konsep politik adalah panglima dengan konsep library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id26 realisme sosialis yang diusungnya. Goenawan Mohammad, Arief Budiman, Boen S. Oemarjati, dan Taufiq Ismail adalah beberapa seniman muda yang terlibat menyuarakan Manifes Kebudayaan. Seniman tersebut melalui Manifes Kebudayaan mengungkapkan konsep kesenian mereka, yaitu humanisme universal dan pandangan mereka mengenai kebudayaan nasional (Sambodja, 2010:22-23). Runtuhnya Orde Lama dan lahirnya Orde Baru disebut oleh Agus R. Sarjono sebagai peluang bagi tradisi sastra Indonesia untuk dapat melanjutkan perkembangannya yang sempat terputus karena situasi politik. Pada masa setelah Orde Lama, tema sosial politik cenderung ditinggalkan karena para seniman pada umumnya mengalami trauma dengan persoalan politik (Sarjono, 2001:5 dan 92). Berbagai eksperimentasi estetis marak bermunculan dalam dunia sastra Indonesia pada era 70-an. Hal tersebut disebabkan sastrawan pada masa itu ditunjang oleh dukungan sarana fisik yang menunjang dengan hadirnya PKJ TIM. Selain itu, surplus kreativitas dalam sastra era 70-an juga tidak dapat dilepaskan dari lingkungan sosial politik Orde Baru yang pada awalnya menjanjikan kebebasan (Sarjono, 2001:164-165). Kebebasan yang dimaksud ialah menyangkut kesempatan berekspresi. Di awal masa pemerintahan Orde Baru, masyarakat mendapat kesempatan untuk berkarya secara leluasa tanpa terbatasi oleh kekuasaan politik seperti halnya kontrol Lekra pada era Orde Lama. Bersamaan dengan awal kelahiran Orde Baru, lahir pula lembaga kesenian bernama DKJ atas gagasan masyarakat seniman dan pemerintah DKI Jakarta di bawah naungan Gubernur Ali Sadikin. Kemunculan DKJ pada tahun 1968 yang kemudian dilengkapi oleh PKJ TIM berpengaruh terhadap perkembangan library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id27 kesusastraan Indonesia. Hadirnya lembaga dan wadah kegiatan kesenian telah mendukung pesatnya perkembangan seni, khususnya bidang sastra. DKJ masuk ke dalam arena sastra Indonesia sebagai fasilitator yang mampu mewadahi dan mendukung maraknya semangat eksperimentasi ketika itu. Pembentukan PKJ TIM merupakan contoh penting tentang pelembagaan humanisme universal. Kaum humanisme universal mendominasi panitia formatur AJ yang membentuk DKJ. Dewan pengurus harian DKJ kemudian bertugas mengatur dan menjalankan PKJ TIM. Sesuai dengan prinsip humanisme universal, para seniman menginginkan sebuah pusat kreativitas seni yang kosmopolitan dan tanpa keharusan untuk tunduk dengan penindasan politik (Jones, 2015:155). DKJ dan PKJ TIM merupakan implementasi dari kebebasan yang diserukan masa-masa awal pemerintahan Orde Baru. Perkembangan sastra Indonesia pada tahun 70-an mengalami kemajuan yang pesat. Tampak pembaruan dalam berbagai bidang, seperti wawasan estetik, pandangan, sikap hidup, dan orientasi budaya. Berbagai pembaruan tersebut didukung oleh perkembangan penerbitan yang banyak muncul dan bebas menampilkan hasil karya dalam berbagai bentuk (Rismawati, 2017:114-115). Sastrawan Indonesia berusaha melakukan eksperimen dengan mencoba beberapa kemungkinan bentuk dalam penulisan prosa, puisi dan drama. Pengarang mulai berani memodifikasi cerpen menjadi menyerupai bentuk sajak karena hanya terdiri dari satu sampai dua kalimat. Dalam bidang drama, pengarang mulai menulis dan mempertunjukkan drama yang absurd. Dalam bidang puisi, mulai muncul puisi kontemporer. Bahkan muncul puisi karya Sutardji Calzoum Bachri yang menampilkan estetika eksentrik. Sutardji library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id28 membebaskan kata untuk membangkitkan kembali wawasan estetik mantra yang sangat menekankan pada kekuatan kata-kata dan melahirkannya dalam wujud improvisasi. Estetika Sutardji ini menuai banyak respon, baik pro maupun kontra. Sutardji kemudian menulis kredo puisi yang dimuat pertama kali dalam majalah sastra Horison pada Desember 1974 (Rismawati, 2017:114-115). Peristiwa lain yang menarik pada tahun 70-an ialah pengadilan atas kasus heboh sastra cerpen Langit Makin Mendung dan “Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir”. Langit Makin Mendung adalah cerpen karya Kipanjikusimin yang dimuat di majalah sastra Horison tahun 1968. Kasus yang menyeret redaktur Horison, HB. Jassin tersebut bermula dari pencekalan dan penyitaan Langit Makin Mendung dan Horison oleh Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara di Medan. Isi cerita cerpen tersebut dituduh menghina Nabi Muhammad serta agama Islam. Muncul reaksi dari berbagai pihak, termasuk Kipanjikusimin yang kemudian menyatakan mencabut cerita pendeknya. Namun, pada tahun 1969-1970 HB. Jassin tetap diadili oleh Pengadilan Negeri di Jakarta dan dijatuhi hukuman percobaan (Rismawati, 2017:115-116). Peristiwa