library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
BAB IV
ANALISIS DATA
A. Arena Sastra Indonesia
DKJ lahir dan tumbuh di lingkungan kesusastraan Indonesia yang juga
sedang bertumbuh. Pertumbuhan sastra Indonesia bersamaan dengan
perkembangan kesadaran kebangasaan dan kesadaran nasional. Kesadaran
tersebut terus mengalami perkembangan sejak tercetusnya Sumpah Pemuda pada
28 Oktober 1928 yang menyatakan pengakuan atas satu tanah air, bangsa, dan
bahasa. Momentum tersebut menuntut bangsa Indonesia menentukan arah
kesatuan kebudayaannya. Berbagai pemikiran dan pandangan diungkapkan oleh
cendekiawan serta budayawan Indonesia ketika itu. Namun, konsep kebudayaan
yang paling menarik perhatian adalah pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana
(selanjutnya disebut STA). Orientasi Kebudayaan STA mengarah kepada
kebudayaan Barat. STA menyangsikan dan menolak nilai-nilai budaya tradisional
(Esten dalam Kratz, 2000:748-751). Hal tersebut terlihat dalam ungkapan STA:
“Zaman prae-Indonesia, zaman jahilliah Indonesia itu setinggi-tingginya dapat
menegaskan pemandangan dan pengertian tentang lahirnya zaman Indonesia,
tetapi jangan sekali-kali zaman Indonesia dianggap sambungan atau terusan yang
biasa daripadanya” (Alisjahbana dalam Mihardja, 1977:16).
Pada bagian lain STA juga mengungkapkan:
Pada pikiran saya pandu-pandu kebudayaan Indonesia harus bebas benar berdiri dari kebudayaan zaman prae-Indonesia. Perkataan bebas bukan
berarti tidak tahu seluk-beluknya, perkataan bebas hanya berarti tidak terikat. Sebabnya siapa yang belum dapat melepaskan dirinya dari kebudayaan Jawa akan berdaya upaya akan memasukkan semangat
23 library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id24
kejawaan ke dalam kebudayaan Indonesia, siapa yang belum terlepas dari
kebudayaan Melayu akan berdaya upaya memasukkan semangat kemelayuan ke dalam kebudayaan Indonesia dan demikian seterusnya (Alisjahbana dalam Mihardja, 1977:17).
STA pada intinya secara terus terang menegaskan bahwa kebudayaan
bangsa harus tumbuh mengarah ke Barat (Alisjahbana dalam Mihardja, 1977:19).
Pemikiran STA menunjukkan bahwa konsep kebudayaan Indonesia yang ingin
dibentuk dan dikembangkan ialah suatu bentuk kebudayaan baru dan tidak terikat
dengan nilai-nilai kebudayaan subkultur sebelumnya. Pemikiran tersebut
kemudian dilanjutkan oleh tokoh Angkatan 45. Di dalam manifesnya, seperti yang
tercantum dalam Surat Kepercayaan Gelanggang diungkapkan bahwa mereka
merupakan ahli waris kebudayaan dunia. Konsep kebudayaan dunia lebih
mendapatkan ruang daripada kebudayaan lama (Esten dalam Kratz, 2000:751-
752).
Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan pernyataan tegas atas
komitmen humanisme universal yang dicetuskan pada tahun 1949. Istilah
humanisme universal sebenarnya dibangun selama perdebatan tentang karya
Chairil Anwar. Pada 1951, H.B. Jassin, seorang kritikus sastra yang kemudian
terlibat erat dengan Manikebu, mendefinisikan humanisme universal untuk
merangkum pemikiran Chairil Anwar dan sastrawan lain Angkatan 45 (Foulcher
dalam Jones, 2015: 151).
Bertolak dari polemik kebudayaan tersebut, maka secara umum dapat
dikatakan bahwa kesusastraan Indonesia merupakan sebuah gambaran dari proses
pertemuan antara nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai baru dari kebudayaan baru
(Barat). Hampir seluruh roman Angkatan Balai Pustaka mengungkapkan masalah library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id25
feodalisme. Namun, pada Angkatan Pujangga Baru persoalannya mengacu pada
orientasi budaya masyarakat yang baru. Di dalam roman-roman Balai Pustaka,
masih dapat dirasakan ciri kolektivisme. Pada roman-roman Pujangga Baru ciri
tersebut berangsur-angsur longgar, sedangkan pada novel-novel Angkatan 45
tema-tema yang diangkat menjadi lebih personal (Esten dalam Kratz, 2000:756-
757).
Perkembangan selanjutnya, makin banyak kemunculan sastrawan yang
mengisi khazanah sastra Indonesia. Akan tetapi, rupanya sastrawan yang lahir
kemudian dan mendapati Indonesia sebagai sebuah entitas baru terpisah dari pre-
Indonesia tidak dapat setegar STA dalam membunuh masa lalu. Masa lalu tetap
menjadi bagian yang kukuh mengakar dalam kesadaran banyak orang. Sastrawan
seperti Rendra, Ajip Rosidi, Nugroho Notosusanto, Ramadhan K.H. pun mulai
menggali kembali “kehangatan” dari tradisi lokal. Namun, sebelum kegairahan
tersebut terbentuk dan membentuk diri, sastra Indonesia mesti berhadapan dengan
situasi politik yang “panas”. Para sastrawan tidak lagi mendapatkan ruang bebas
semenjak dicanangkannya politik sebagai panglima pada era Orde Lama. Ketika
itu, konsep realisme sosial dicanangkan oleh Lekra sebagai sebuah konvensi yang
mesti ditegakkan. Bahasa dijadikan budak atas politik sehingga mengalami
pemiskinan sedemikian rupa melalui rangkaian jargon-jargon yang sloganitis
(Sarjono, 2001:3-4).
Konsep kesenian Lekra mendapat tanggapan dari golongan non-Lekra.
Pada 17 Agustus 1963, muncul seniman-seniman muda yang melakukan
perlawanan terhadap Lekra dengan mengeluarkan pernyataan berupa Manifes
Kebudayaan. Manikebu menolak konsep politik adalah panglima dengan konsep library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id26
realisme sosialis yang diusungnya. Goenawan Mohammad, Arief Budiman, Boen
S. Oemarjati, dan Taufiq Ismail adalah beberapa seniman muda yang terlibat
menyuarakan Manifes Kebudayaan. Seniman tersebut melalui Manifes
Kebudayaan mengungkapkan konsep kesenian mereka, yaitu humanisme
universal dan pandangan mereka mengenai kebudayaan nasional (Sambodja,
2010:22-23).
Runtuhnya Orde Lama dan lahirnya Orde Baru disebut oleh Agus R.
Sarjono sebagai peluang bagi tradisi sastra Indonesia untuk dapat melanjutkan
perkembangannya yang sempat terputus karena situasi politik. Pada masa setelah
Orde Lama, tema sosial politik cenderung ditinggalkan karena para seniman pada
umumnya mengalami trauma dengan persoalan politik (Sarjono, 2001:5 dan 92).
Berbagai eksperimentasi estetis marak bermunculan dalam dunia sastra
Indonesia pada era 70-an. Hal tersebut disebabkan sastrawan pada masa itu
ditunjang oleh dukungan sarana fisik yang menunjang dengan hadirnya PKJ TIM.
Selain itu, surplus kreativitas dalam sastra era 70-an juga tidak dapat dilepaskan
dari lingkungan sosial politik Orde Baru yang pada awalnya menjanjikan
kebebasan (Sarjono, 2001:164-165). Kebebasan yang dimaksud ialah menyangkut
kesempatan berekspresi. Di awal masa pemerintahan Orde Baru, masyarakat
mendapat kesempatan untuk berkarya secara leluasa tanpa terbatasi oleh
kekuasaan politik seperti halnya kontrol Lekra pada era Orde Lama.
Bersamaan dengan awal kelahiran Orde Baru, lahir pula lembaga kesenian
bernama DKJ atas gagasan masyarakat seniman dan pemerintah DKI Jakarta di
bawah naungan Gubernur Ali Sadikin. Kemunculan DKJ pada tahun 1968 yang
kemudian dilengkapi oleh PKJ TIM berpengaruh terhadap perkembangan library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id27
kesusastraan Indonesia. Hadirnya lembaga dan wadah kegiatan kesenian telah
mendukung pesatnya perkembangan seni, khususnya bidang sastra. DKJ masuk
ke dalam arena sastra Indonesia sebagai fasilitator yang mampu mewadahi dan
mendukung maraknya semangat eksperimentasi ketika itu.
Pembentukan PKJ TIM merupakan contoh penting tentang pelembagaan
humanisme universal. Kaum humanisme universal mendominasi panitia formatur
AJ yang membentuk DKJ. Dewan pengurus harian DKJ kemudian bertugas
mengatur dan menjalankan PKJ TIM. Sesuai dengan prinsip humanisme
universal, para seniman menginginkan sebuah pusat kreativitas seni yang
kosmopolitan dan tanpa keharusan untuk tunduk dengan penindasan politik
(Jones, 2015:155). DKJ dan PKJ TIM merupakan implementasi dari kebebasan
yang diserukan masa-masa awal pemerintahan Orde Baru.
Perkembangan sastra Indonesia pada tahun 70-an mengalami kemajuan
yang pesat. Tampak pembaruan dalam berbagai bidang, seperti wawasan estetik,
pandangan, sikap hidup, dan orientasi budaya. Berbagai pembaruan tersebut
didukung oleh perkembangan penerbitan yang banyak muncul dan bebas
menampilkan hasil karya dalam berbagai bentuk (Rismawati, 2017:114-115).
Sastrawan Indonesia berusaha melakukan eksperimen dengan mencoba
beberapa kemungkinan bentuk dalam penulisan prosa, puisi dan drama.
Pengarang mulai berani memodifikasi cerpen menjadi menyerupai bentuk sajak
karena hanya terdiri dari satu sampai dua kalimat. Dalam bidang drama,
pengarang mulai menulis dan mempertunjukkan drama yang absurd. Dalam
bidang puisi, mulai muncul puisi kontemporer. Bahkan muncul puisi karya
Sutardji Calzoum Bachri yang menampilkan estetika eksentrik. Sutardji library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id28
membebaskan kata untuk membangkitkan kembali wawasan estetik mantra yang
sangat menekankan pada kekuatan kata-kata dan melahirkannya dalam wujud
improvisasi. Estetika Sutardji ini menuai banyak respon, baik pro maupun kontra.
Sutardji kemudian menulis kredo puisi yang dimuat pertama kali dalam majalah
sastra Horison pada Desember 1974 (Rismawati, 2017:114-115).
Peristiwa lain yang menarik pada tahun 70-an ialah pengadilan atas kasus
heboh sastra cerpen Langit Makin Mendung dan “Pengadilan Puisi Indonesia
Mutakhir”. Langit Makin Mendung adalah cerpen karya Kipanjikusimin yang
dimuat di majalah sastra Horison tahun 1968. Kasus yang menyeret redaktur
Horison, HB. Jassin tersebut bermula dari pencekalan dan penyitaan Langit Makin
Mendung dan Horison oleh Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara di Medan. Isi cerita
cerpen tersebut dituduh menghina Nabi Muhammad serta agama Islam. Muncul
reaksi dari berbagai pihak, termasuk Kipanjikusimin yang kemudian menyatakan
mencabut cerita pendeknya. Namun, pada tahun 1969-1970 HB. Jassin tetap
diadili oleh Pengadilan Negeri di Jakarta dan dijatuhi hukuman percobaan
(Rismawati, 2017:115-116).
Peristiwa berikutnya ialah pengadilan puisi yang diadakan di Bandung
pada tanggal 8 September 1974. Puisi Indonesia mutakhir diadili sebagai
terdakwa dengan hakim ketua Sanento Yuliman dibantu hakim anggota Darmanto
Jt dan Slamet Kirnanto sebagai Jaksa. Slamet Kirnanto mengungkapkan beberapa
tuntutan dan menyatakan "Saya mendakwa kehidupan puisi indonesia akhir-akhir
ini tidak sehat, tidak jelas dan brengsek!" Latar belakang tuntutan dalam
pengadilan tersebut adalah berasal dari ketidakpuasan terhadap kehidupan puisi
Indonesia pada saat itu. Ketidakpuasan tersebut diantaranya menyangkut library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id29
persoalan sistem penilaian terhadap puisi Indonesia, kritikus sastra Indonesia,
media yang memuat karya sastra Indonesia, dan beberapa penyair mapan
Indonesia. Namun, pada akhirnya pengadilan tersebut menolak tuntutan-tuntutan
yang dikemukakan dalam sidang (ensiklopedia.kemdikbud.go.id).
Beranjak ke tahun 80-an, Orde Baru sedang intensif melakukan
pembangunan. Pada masa tersebut ekonomi merupakan panglima sehingga semua
hal dijadikan pemerintah sebagai komoditas ekonomi. Hal-hal yang serba
sementara, profan, dan material segera menyerbu seluruh sendi kehidupan
masyarakat Indonesia. Masyarakat seolah dipaksa menjadi hedonis. Hal tersebut
terindikasi menjadi penyebab merebaknya karya sastra sufistik pada era 80-an.
Penyair menulis sajak-sajak sufi dalam rangka berhijrah dari wilayah serba
materialistis menuju wilayah yang lebih mengunggulkan spiritualitas (Sarjono,
2001:93).
Pada dasarnya kebangkitan umum sastra sufistik telah dimulai pada tahun
1970-an yang di antaranya dipelopori oleh Kuntowijoyo dan Sutardji (Hadi dalam
Salam, 2016:21). Sastra sufi pada tataran nilai tidak hanya merupakan wacana
gerakan kesusastraan, tetapi lebih luas sebagai wacana gerakan sosial dan politik.
Kemudian di atas itu, sastra sufi merupakan wacana gerakan budaya. Pesan
tersembunyi dari karya sastra yang dihasilkan sastra sufi berhadapan dengan
formasi ideologis di luar dirinya. Sebagai wacana, sufisme dianggap kandungan
terdalam ajaran Islam. Maka, berbicara tentang sastra sufi pada tingkatan tertentu
tidak dapat dilepaskan dari wacana keislaman secara umum (Salam, 2016:47-48).
Lingkungan sastra Indonesia tidak hanya dihadapkan pada pembangunan
besar-besaran. Sastra Indonesia era 80-an berada di lingkungan masyarakat yang library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id30
mengalami proses depolitisasi nyaris total. Penertiban terhadap berbagai aspek
kehidupan mulai dari dunia kampus, organisasi, media massa, bahkan PKJ TIM
dan segala kegiatannya dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Di tengah situasi
yang tidak bebas dan penuh pengawasan, para sastrawan 80-an dengan berbekal
landasan estetis era 70-an pun mengurung diri menulis dalam kesunyian
kehidupan bernegara (Sarjono, 2001:180-182).
Karya sastra yang lahir pada era 80-an dipengaruhi proses depolitisasi
tersebut. Karya sastra yang muncul kemudian menjadi tidak sesuai dengan realitas
sosial politik. Karya-karya sastra juga tidak menunjukkan kegelisahan atau
kesakitan kolektif masyarakat pada masa itu. Ancaman pembredelan terhadap
karya sastra dan faktor-faktor keamanan lainnya memicu perkembangan karya
sastra yang dianggap aman, seperti roman percintaan dan sastra populer.
Sastrawan yang menonjol dalam mengusung roman percintaan diantaranya ialah
Marga T. Kemudian, dominasi sastra pop ditandai oleh merebaknya novel populer
yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya dengan serial Lupus (Rismawati,
2017:133-134).
Sekitar pertengahan tahun 80-an juga muncul perbincangan mengenai
sastra kontekstual. Istilah sastra kontekstual pertama kali diperkenalkan oleh Ariel
Heryanto pada Saresehan Kesenian di Solo, 28-29 Oktober 1984. Menurut Ariel,
sastra kontekstual bukan merupakan jenis karya sastra, tetapi merupakan sejenis
pemahaman atas seluk-beluk kesusastraan dengan meninjau kaitannya dengan
konteks sosial historis kesusastraan yang bersangkutan (Rismawati, 2017:121).
Sastra kontekstual adalah gerakan kesusastraan yang bermula dari pemahaman
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id31
bahwa nilai-nilai sastra tidak mengenal universalitas. Nilai sastra tumbuh dan
berkembang sesuai waktu, tempat, dan peradabannya.
Pada tahun 80-an berkembang pula sastra yang mengusung lokalitas. Pada
dasarnya warna lokal dalam karya telah muncul sejak era 70-an dan terus
berkembang. Dari karya sastra yang mengolah warna lokal pada tahun 70 sampai
80an, dapat dikenali tentang beberapa hal. Pertama, mengangkat kekhasan atau
keunikan budaya menjadi latar cerita yang kemudian memunculkan eksotisme.
Kedua, menghadirkan ketegangan antara tradisi dan modernitas. Hal itu menjadi
penggambaran pergulatan manusia di tengah lingkungan budaya tradisinya yang
makin terkalahkan oleh arus modernisme. Tema gegar budaya menjadi ciri yang
menonjol pada karya sastra ketika itu (Noor, 2015).
Dalam arena sastra, entitas lokal dan global saling bernegosiasi dan
berdialektika. Universal dan lokal saling melengkapi antara satu dan lainnya.
Diungkapkan oleh Budi Darma bahwa sastra bersifat lokal karena tema universal
tidak mungkin berdiri di awang-awang, tetapi pasti berpijak pada ciri-ciri lokal
dan waktu. Sekelompok sastrawan yang mengusung warna lokal di antaranya
ialah Korrie Layun Rampan, Ahmad Tohari, Umar Kayam, Ajib Rosidi, dan Oka
Rusmini (Fajar, 2012).
Perkembangan selanjutnya di era 90-an, lingkungan politik perlahan mulai
berubah dengan tanda adanya kecenderungan pada keterbukaan. Berbagai
peraturan seperti pembredelan media mulai muncul secara jelas. Namun demikian,
pada tahun-tahun penghujung 90-an lingkungan politik yang dibangun Orde Baru
kembali menunjukkan sikap seperti yang terjadi pada era 80-an. Di antara situasi
tersebut, para sastrawan generasi 90-an muncul. Sebagian sastrawan melanjutkan library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id32
estetika sebelumnya, tetapi dengan latar sosial politik yang berbeda (Sarjono,
2001:189-190).
Pertengahan tahun 90-an muncul upaya revitalisasi sastra pedalaman yang
merupakan bentuk perlawanan atas dominasi pusat sastra (Fajar, 2012).
Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP) dirumuskan Kusprihyanto Namma. Agenda
kegiatan komunitas sastra tersebut adalah mencoba melakukan desentralisasi
sastra agar tidak terpusat di Jakarta. RSP juga menekankan bahwa media massa
cetak bukan satu-satunya medium sosialisasi sastra. RSP ingin membangun
jaringan di daerah dengan sosialisasi sastra (Setia, 2007:10).
Di nomor pertama majalah sastra Jurnal Revitalisasi Sastra Pedalaman
yang terbit awal tahun 1994, Kuspriyanto Namma menulis tentang daya dorong di
balik terbitnya jurnal tersebut. Daya tersebut ialah kekuasaan Jakarta sebagai
tempat kaum elite budaya Indonesia tinggal. Kaum elite dicurigai menguasai
media massa dan menggunakan kekuasaan untuk kepentingannya sendiri,
kemudian mengabaikan para pengarang di luar ibu kota (Derks dalam Foulcher
dan Tony, 2008:401).
Kegiatan RSP berlangsung tanpa restu dari pusat keunggulan dan otoritas.
RSP muncul dengan percaya diri dan kemudian meraih sukses. Meski diterbitkan
di sebuah tempat terpencil, Ngawi, dalam jumlah terbatas dan diproduksi dengan
sebuah komputer tua, nomor pertama jurnal RSP sangat cepat beredar luas melalui
tangan ke tangan. Dalam waktu singkat RSP telah mendapat perhatian,
didiskusikan dan dengan demikian dihidupkan oleh segala macam koran dan
mingguan daerah, bahkan nasional (Derks dalam Foulcher dan Tony, 2008:404-
405). library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id33
Pada karya puisi abad ke-20, hadir bekas-bekas tradisi puisi sufi secara
signifikan. Hal tersebut diperlihatkan oleh karya-karya Sanusi Pane dan Amir
Hamzah. Kedua penyair tersebut secara implisit dan eksplisit terpengaruh sufisme
Hamzah Fansuri. Misalnya seperti puisi Padamu Jua karya Amir Hamzah (Hadi
dalam Salam, 2004:49).
Sastrawan lain yang memperlihatkan jejak-jejak tradisi sufi ialah
Kuntowidjoyo, Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, dan Fudoli Zaini. Terutama
adalah Sutardji yang populer pada tahun 70-an dengan puisi mantranya. Sutardji
dengan arah yang berbeda ikut memberi jalan dan peluang bagi kehadiran dan
kegairahan lebih lanjut puisi-puisi sufi pada tahun 1980-an hingga 1990-an.
Seperti dalam karya puisi Sutardji, Sudah Waktu yang menyiratkan
keterpengaruhan terhadap ajaran atau wacana sufisme (Salam, 2004:50-51).
Munculnya sastra sufi di Indonesia tidak terlepas dari berbagai faktor
pendorong seperti kondisi sosial dan politik. Kehadiran puisi sufi abad ke-20
merupakan hasil tumpukan wacana yang tersimpan dalam proses panjang. Puisi
sufi menampilkan dirinya secara tidak sadar berkat terjadinya persaingan dan
pertaruhan dalam formasi sosial yang ada. Namun, pada tahun 1980-an hingga
1990-an puisi sufi secara relatif telah gagal mencatatkan diri dalam sejarah kanon
puisi modern Indonesia. Persaingan dalam praktik diskursif menyebabkan
identitas primordial puisi sufi kalah bersaing dengan praktik diskursif yang
berhasil dianggap lebih universal seperti praktik-praktik modernisme bahkan
posmodernisme. Dalam kasus Sutardji, yang lebih dikedepankan adalah gaya
mantranya dan bukan substansi sufistiknya. Demikian pula halnya penyair- library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id34
penyair yang dianggap terkemuka, bukan persoalan substansi gagasan yang
diangkat melainkan lebih pada cara ucap atau bentuk puisi (Salam, 2004:51-53).
Penelitian Kesusastraan Indonesia dengan menggarisbawahi wacana
keislaman yang secara sangat signifikan memengaruhi perkembangan puisi
modern Indonesia kurang mendapat porsi layak. Hal tersebut terjadi karena
wacana teoritis dan perspektif dalam melihat perkembangan sastra modern
Indonesia secara mendasar masih dipengaruhi oleh peneliti Barat yang
berparadigma orientalis. Kemudian, secara sengaja atau tidak mengabaikan
pengaruh dan peran Islam dalam masyarakat Indonesia. Pada tingkat tertentu teori
dan perspektif Barat ikut bertanggung jawab terhadap peran Islam yang
terpinggirkan dalam konstelasi sejarah kebudayaan dan kesusastraan Indonesia
(Salam, 2004:7).
Pada masa Orde Baru, bentuk karya sastra cerpen lebih berkembang secara
pesat daripada puisi. Terjadi gempita penyair melalui terbukanya berbagai ruang
sastra di media massa. Namun, cerpen mendominasi kehidupan sastra prosa
melalui berbagai penerbitan media massa. Masa tersebut kemudian disebut
sebagai era sastra koran. Eksperimentasi estetis yang sempat ramai pada era 70-an
tidak lagi terlihat kuat. Tema-tema sosial politik juga mulai diangkat kembali baik
dalam bidang puisi maupun prosa. Kemudian, poin penting lain pada era
penghujung Orde Baru ialah munculnya novel Saman karya Ayu Utami. Novel
tersebut tidak lahir dari jalur koran, melainkan melalui lembaga kesenian DKJ
dengan PKJ TIM yang pada tempo hari menjadi basis dari sastrawan era 70-an
(Sarjono, 2001:193-194). library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id35
Kesusastraan Indonesia era 90-an dipengaruhi oleh semangat reformasi
yang terus disuarakan ketika itu. Puncaknya adalah ketika reformasi pada tahun
1998, kesusastraan Indonesia dialiri oleh semangat kebebasan yang deras. Proses
reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi
kelahiran karya-karya sastra puisi, cerpen, dan novel pada saat itu. Kebebasan
dalam semangat reformasi menuntut kebebasan menyuarakan pendapat dan
kebebasan bersastra. Semangat tersebut akhirnya menabrak norma-norma yang
berlaku sebelumnya. Hal-hal yang dianggap tabu seperti masalah seks dan
kelamin menjadi marak diperbincangkan dan diangkat ke dalam karya sastra. Hal
tersebut dapat dilihat di antaranya dalam karya-karya Ayu Utami, Fira Basuki,
Djenar Maesa Ayu, dan lain sebagainya (Sulaiman dan Febrianto, 2017:130).
Selain bentuk kesusastraan yang mengeksplorasi seksualitas secara besar-
besaran, di sisi lain muncul karya sastra dengan konsep penceritaan islami. Fiksi
Islami yang mengusung konsep sastra pencerahan dipelopori oleh Forum Lingkar
Pena (FLP) dan berhasil menjadi bacaan alternatif bagi masyarakat ketika itu.
Tokoh-tokoh FLP di antaranya ialah Asma Nadia, Pipiet Senja, dan
Habiburrahman El Shirazy (Sulaiman dan Febrianto, 2017).
Dalam perjalanan sastra Indonesia, periode sekitar reformasi merupakan
masa paling semarak dan luar biasa. Berbagai karya sastra muncul dengan tema
dan pengucapan yang beragam. Faktor utama yang memungkinkan sastra
Indonesia berkembang seperti itu adalah karena perubahan mendasar dalam sistem
pemerintahan (Sulaiman dan Febrianto, 2017). Sepanjang tahun 90-an,
kesusastraan Indonesia mengalami dinamika yang terbilang ekstrem. Di awal-
awal tahun 90-an, kesusastraan Indonesia masih berada di dalam kontrol library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id36
pemerintah otoriter Orde Baru. Namun, di tahun-tahun akhir 90-an, kesusastraan
Indonesia mendapatkan kebebasannya setelah terlepas dari Orde Baru.
Masa tersebut kemudian sering disebut sebagai angkatan 90-an atau
angkatan reformasi. Munculnya angkatan reformasi ditandai dengan maraknya
karya sastra yang bertemakan seputar reformasi. Sastrawan angkatan reformasi
merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an
seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Kesusastraan Indonesia era tersebut mencapai
bentuk dengan beberapa ciri-ciri, yakni bertemakan sosial-politik, penuh dengan
kebebasan ekspresi dan pemikiran, menampilkan sajak-sajak peduli bangsa dan
religius serta bernuansa sufistik. Bentuk tersebut seperti terlihat pada Puisi Pelo
karya Widji Thukul, Resonansi Indonesia karya Ahmodun Yosi Herfanda, Di
Luar Kota karya Acep Zamzam Noer, Abad yang Berlari karya Afrizal Malna,
dan Opera Kecoa karya N. Rianto (Rismawati, 2017:156-157).
B. Genealogi Dewan Kesenian Jakarta
1. Pendirian Dewan Kesenian Jakarta
Pembentukan DKJ tidak dapat dilepaskan oleh perkembangan dunia
politik dan kekuasaan ketika itu. Setelah Orde Lama berakhir, kemudian terbit
Orde Baru yang menghendaki berbagai perubahan aspek kehidupan ke arah
kemajuan. Salah satunya ialah aspek kebudayaan. Masyarakat seniman bersama
dengan pemerintah DKI Jakarta di bawah pimpinan Gubernur Ali Sadikin
menginisiasi pembentukan sebuah lembaga yang mengurus kehidupan library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id37
kebudayaan khususnya kesenian. Lembaga tersebut kemudian disebut sebagai
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Pembentukan DKJ diorientasikan terutama agar dapat berfungsi dan
berperan dalam pembentukan Jakarta sebagai pusat kebudayaan. Hal tersebut
diungkapkan oleh Ali Sadikin dalam sambutan di kediamannya saat pelantikan
anggota DKJ periode pertama pada 19 Juni 1968. Dikemukakan oleh Ali Sadikin
bahwa menjadikan Jakarta sebagai sebuah pusat kebudayaan adalah keharusan
karena Jakarta merupakan pintu gerbang Republik Indonesia. Jakarta dengan
empat juta penduduk ketika itu, munurut Ali Sadikin merupakan manifestasi dari
masyarakat Indonesia (Berita Yudha, 30 Juni 1968).
Secara garis besar, DKJ merupakan lembaga yang dibentuk dalam rangka
mendukung Jakarta sebagai pusat kebudayaan di masa depan. Bertolak dari hal
itu, dapat diketahui bahwa DKJ menyasar arena kebudayaan nasional. Seluruh
aspek DKJ sebagai organisasi kesenian yang memiliki visi dan misi diorientasikan
terhadap pemenangan kontestasi arena kebudayaan nasional. Arena tersebut di
dalamnya mencakup arena sastra Indonesia. Arena itu menjadi fokus utama
pembahasan sebagai struktur yang ditempati DKJ.
Secara hukum, DKJ merupakan sebuah lembaga resmi mitra kerja
gubernur DKI Jakarta yang bertugas untuk merumuskan kebijakan serta
merencanakan berbagai program guna mendukung kegiatan dan pengembangan
kehidupan kesenian di wilayah Jakarta. DKJ dikukuhkan pada tanggal 7 Juni 1968
oleh Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu, yaitu Ali Sadikin. Pembentukan DKJ
disahkan oleh Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta
No. Ib.3/2/19/1968 (dkj.or.id). library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id38
Tertulis dalam Pedoman Dasar Dewan Kesenian Jakarta (1968), DKJ
yang berdasarkan azas kebebasan manusia, khususnya di bidang penciptaan karya
seni memiliki tujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan penciptaan seni
kreatif dalam arti yang seluas-luasnya. Melalui hal itu, diharapkan terjadi
keseimbangan yang wajar antara kegiatan seni kreatif dan seni hiburan. Dalam
rangka mencapai tujuan tersebut DKJ melakukan beberapa usaha.
Pertama, mengadakan pendidikan, baik bagi calon seniman dalam bentuk
lembaga pendidikan, maupun bagi seniman profesional dalam bentuk diskusi,
sanggar karya dan sebagainya. Kedua, menghargai serta menyalurkan kerja seni
bermutu kepada masyarakat dalam bentuk pameran, pergelaran serta mendirikan
museum yang dengan begitu dapat memberi contoh dari manifestasi kesenian
terbaik Indonesia. Ketiga, mengadakan bimbingan apresiasi kepada masyarakat
melalui media massa, penerbitan khusus, ceramah serta usaha lain yang dianggap
perlu. Selebihnya, DKJ juga mengusahakan segala macam usaha lain yang sesuai
untuk tujuan tersebut. DKJ dalam rangka melaksanakan usaha untuk mencapai
tujuan di atas, akan bekerja sama dengan berbagai pihak, baik perorangan maupun
badan-badan kesenian yang ada, baik dalam maupun luar negeri, dengan
membuang segala prasangka yang sifatnya non-artistik.
Tugas dan fungsi DKJ adalah merumuskan kebijakan pembinaan dan
pengembangan kesenian di wilayah provinsi DKI Jakarta. Pembinaan tersebut
tercermin dalam program tahunan DKJ yang meliputi berbagai jenis kesenian,
baik tradisi maupun modern yang mencakup sastra, teater, film, tari, seni rupa,
dan musik (dkj.or.id)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id39
Sebagai sebuah institusi yang merupakan mitra kerja gubernur DKI
Jakarta, DKJ juga mengemban tugas untuk menyampaikan saran kepada gubernur
DKI Jakarta mengenai pembinaan dan pengembangan kesenian di Jakarta.
Mengingat DKJ berkedudukan di Jakarta sebagai ibu kota Negara Kesatuan
Republik Indonesia, maka DKJ juga mempunyai tugas memantau serta
memajukan kesenian di seluruh Indonesia, memperkenalkan kesenian Indonesia
ke dunia internasional, dan memperkenalkan kesenian negara-negara lain kepada
masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta.
Visi dan misi DKJ adalah ingin mendorong para seniman untuk
mengembangkan kreativitas dan penciptaaan karya seni. DKJ ingin menyalurkan
berbagai karya seni bermutu kepada masyarakat serta memelihara,
mengembangkan dan membangun kesenian di Jakarta. DKJ menjadi payung yang
mengayomi, memelihara dan menjembatani masyarakat seni dengan masyarakat
umum, agar Jakarta menjadi kota seni terdepan. Selain itu, DKJ juga
mengakomodasi terciptanya iklim inspiratif bagi para seniman agar dapat
mempersembahkan kreativitas kesenian yang bermutu (dkj.or.id).
Anggota DKJ berjumlah 25 orang dengan masa kepengurusan selama dua
tahun yang dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta di setiap periodenya.
Pemilihan anggota DKJ dilakukan secara terbuka, melalui tim formatur yang
terdiri atas beberapa ahli dan pengamat seni. Tim pemilih tersebut dibentuk oleh
AJ. Nama-nama calon diajukan dari berbagai kalangan masyarakat atau kelompok
seni. Anggota DKJ ialah para seniman dan pemikir seni-budaya yang kompeten di
bidangnya masing-masing danterbagi dalam 6 komite: Komite Film, Komite
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id40
Musik, Komite Sastra, Komite Seni Rupa, Komite Tari, dan Komite Teater
(dkj.or.id).
Kebijakan pengembangan kesenian tercermin dalam bentuk program
tahunan yang diajukan dengan menitikberatkan pada skala prioritas masing-
masing komite. Masing-masing komite di DKJ memiliki program tersendiri yang
biasa digelar rutin setiap tahunnya. Komite sastra mempunyai beberapa program
seperti sayembara penulisan novel/roman, sayembara naskah drama, pembacaan
puisi, musikalisasi puisi, pembacaan cerpen, diskusi sastra, peluncuran buku, dan
penerbitan buku sastra.
Komite musik memiliki program berupa pementasan musik, baik tradisi
maupun modern, festival musik, lomba mencipta lagu, lomba paduan suara,
festival keroncong, dan workshop. Jenis musik yang dipentaskan sangat beragam,
yakni jazz, klasik, musik bambu, dan lain-lain. Komite seni rupa memiliki agenda
program seperti pameran tunggal, pameran bersama, pameran biennale, trinale,
diskusi seni rupa, dan penerbitan buku seni rupa. Materi pameran beragam, yakni
berupa lukisan, grafis, patung, dan instalasi.
Komite tari memiliki program kegiatan seperti pentas tari, festival,
workshop, lomba, seminar, dan diskusi. Tari yang dipentaskan meliputi karya
maestro tari tradisi dan modern serta pula karya koreografer-koreografer muda
berbakat. Komite teater memiliki program kegiatan berupa pementasan teater,
pantomim, pertemuan teater, pentas monolog, lomba, diskusi, dan penerbitan
buku teater. Kelompok teater yang ditampilakan bervariatif, mulai dari kelompok
teater senior hingga kelompok teater potensial dari kalangan muda. Komite film
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id41
mempunyai program pemutaran film-film alternatif, ceramah dan diskusi, lomba
pembuatan film mini, lomba pembuatan film video, festival, dan workshop.
Dewan Kesenian Jakarta seperti yang disebutkan pada pasal 6 dalam SK
Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta No. Ib.3/2/19/1968 tentang
pembentukan Dewan Kesenian Jakarta, disebutkan bahwa DKJ juga merupakan
pengurus Pusat Kesenian Jakarta (PKJ). Disebutkan juga bahwa untuk dapat
menjalankan berbagai tugas sehari-hari, DKJ membentuk Dewan Pekerja Harian
(DPH) yang pemilihan, pengesahan, dan pemberhentian anggotanya dilaksanakan
oleh sidang paripurna DKJ. Penentuan DPH dimulai dari pemilihan satu atau
beberapa anggota DKJ sebagai formatur pembentuk DPH yang anggotanya dipilih
dari anggota-anggota DKJ. DPH memiliki tugas dan kewajiban atas pelaksanaan
tujuan DKJ. Di samping itu, DPH memiliki hak untuk mewakili DKJ, baik di
dalam maupun di luar kekuasaan yang bersangkutan dengan hukum.
Berikut adalah beberapa susunan pengurus Dewan Pekerja Harian dan
anggota DKJ dalam beberapa periode. Data berikut dikutip dari artikel “Hallo,
DKJ Baru” (Pelita, 7 Juni 1977) dan “DKJ Mulai Start” (Berita Minggu dan
Film, 1982).
Pengurus DKJ periode pertama (1968-1971) adalah Trisno Soemardjo
(meninggal dunia kemudian digantikan oleh Umar Kayam) selaku Ketua Dewan
Pekerja Harian, Arief Budiman sebagai Wakil Ketua I Dewan Pekerja Harian, D.
Djajakusuma sebagai Wakil Ketua II Dewan Pekerja Harian, Gajus Siagian
sebagai Wakil Ketua III Dewan Pekerja Harian, Pramana Padmodarmojo sebagai
Sekretaris I Dewan Pekerja Harian, D.A. Peransi sebagai Sekretaris II Dewan
Pekerja Harian, dan Taufiq Ismail sebagai Sekretaris Pelaksana. Anggotanya library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id42
meliputi, Goenawan Mohamad, Ajip Rosidi, Zaini, Teguh Karja, B. Brata S.,
Rudy Laban, B. Sitompul, Darsjaf Rahman, H. Misbach J. Biran, W. Sihombing,
Oesman Effendi, Asrul Sani, I Wajan Dija, Sjuman Djaya, Nj. S. Suleiman,
Adidharma, Iravati Sudiarso, dan Sardono W. Kusumo.
DPH DKJ periode kedua (1971-1972) adalah Umar Kayam menjabat
sebagai Ketua Dewan Pekerja Harian, D. Djajakusuma sebagai Wakil Ketua
Dewan Pekerja Harian, Ramadhan KH sebagai Sekretaris I Dewan Pekerja
Harian, dan Wahyu Sihombing sebagai Sekretaris II Dewan Pekerja Harian. Para
anggota meliputi Pramana Padmodarmojo, Arief Budiman, Taufiq Ismail,
Goenawan Mohamad, Ajip Rosidi, Zaini, Teguh Karja, Binsar Sitompul, Edy
Sedyawati, Frans Haryadi, Mus Mualim, H. Misbach J. Biran, Ali Audah, Sidi
Gazalba, Asrul Sani, Gayus Siagian, Sjuman Djaya, Surya Brata, Tuti Herati
Nurhadi, dan Iravati Sudiarso.
DPH DKJ periode ketiga (1973-1976) diketuai oleh tiga orang, yakni D.
Djajakusuma, Ajip Rosidi, dan Iravati Sudiarso, sedangkan sekretarisnya ialah
Wahyu Sihombing dan Ramadhan KH. Anggota periode tersebut adalah Zaini,
Alam Surawijaya, Goenawan Mohamad, Ali Audah, Umar Kayam, Nashar,
Taufiq Ismail, Pramana Pmd, Edy Sedyawati, Yulianti Parani, Syu’bah Asa,
Soemardjono, Nursamsu, Frans Haryadi, Hazil Tanzil, Suwandono, Binsar
Sitompul, Teguh Karya, Asrul Sani, dan Abbas Alibasyah.
DPH DKJ periode keempat (1977-1979) seperti halnya periode
sebelumnya yang dipimpin oleh tiga orang ketua, yakni Ajip Rosidi, Asrul
Sani, Iravati Sudiarso. Sekretaris periode ini juga ada dua orang, yaitu Alam
Surawijaya dan Sal Murgiyanto. Bertugas pula Ramadhan KH sebagai direktur library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id43
pelaksana. Anggota periode ini meliputi Ali Audah, Alfons Taryadi, Zaini,
Danarto, I Wayan Diya, H. Mahbub Djunaedi, Pramana Pmd, L. Manik, H.
Misbach Jusa Biran, Syu’bah Asa, Nursyamsu Nasution, Sapardi Djoko Damono,
Satyagraha Hurip, Singgih Wibisono, Slamet Abdul Syukur, Soemardjono,
Sukarno M. Noor, Wahyu Sihombing, dan Yulianti Parani.
Pengurus DKJ periode kelima (1982-1984) adalah Tuti Herati Nurhadi,
Subagio Sastrowardoyo, dan Sudarmadji yang bertindak selaku ketua dewan
pimpinan harian. Sal Murgiyanto MA dan Sukar Hardjana masing-masing sebagai
sekretaris I dan II. Komite seni rupa diketuai oleh Nashar dan beranggotakan
Suparto, Sudarmadji, serta Adi Mursjid. Komite sastra dipimpin oleh Abdul Hadi
WM dan beranggotakan Putu Wijaya, Abdurrachman Wahid, Subagio
Sastrowardoyo. Tuti Herati Nurhadi. Komite musik diketuai oleh Frans Haryadi
dan beranggotakan Binsar Sitompul, AS Pradjakusumah, Iravati M. Sudiarso, dan
Suka Hardjana. Komite tari dipimpin oleh Farida Faisol dan beranggotakan
Singgih Wibisono, T. Nazly, Sal Murgiyanto. Selanjutnya, ketua komite teater
adalah Putu Wijaya. Anggota komite tersebut meliputi Arifin C. Noor, SM Ardan,
Pandam Guritno, dan Hendro Mulyono. Terakhir ialah komite film yang dipimpin
oleh Ami Prijono. Anggotanya adalah Cristine Hakim, Arifin C. Noor, Putu
Wijaya, Abdurrachman Wahid, dan SM Ardan.
DKJ sebagai organisasi pro pemerintah terindikasi memiliki ideologi atau
konsep estetika yang tidak kontra dengan pemerintahan di atasnya. Seperti yang
telah dibahas sebelumnya, DKJ hadir pada masa permulaan Orde Baru yang
bertolak belakang dengan Orde Lama. Politik sebagai panglima pada masa Orde
Lama telah berakhir. Awal Orde Baru mengubah kehidupan kesenian di Indonesia library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id44
dengan menawarkan kebebasan berkreasi. DKJ yang lahir bersamaan dengan hal
tersebut mendapatkan kebebasan dalam praktik keseniannya.
Dari segi kepengurusan, tidak ditemui bekas anggota Lekra yang turut
mengampu DKJ. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa DKJ ingin membebaskan
diri dari cengkeraman politik yang menguasai ranah kesenian pada masa
sebelumnya melalui Lekra. Tokoh-tokoh anggota DKJ merupakan manifestasi.
Sebagai contoh, DKJ periode pertama dipimpin oleh Trisno Soemardjo yang
dahulu turut menandatangani Manifes Kebudayaan. Hal itu mengindikasikan
bahwa DKJ secara genetik tidak lahir dan diasuh oleh tokoh-tokoh “kiri”. Konsep
kesenian DKJ sebagai sebuah lembaga estetika sejak awal telah dibentuk menjadi
antitesis dari realisme sosialis Orde Lama dengan jargon politik adalah panglima.
DKJ sejak awal telah dipimpin dan di asuh oleh tokoh-tokoh intelektual
dan memiliki kedudukan dalam arena kebudayaan nasional pada umumnya, serta
arena sastra Indonesia pada khususnya. Dalam hal ini, Trisno Soemardjo adalah
tokoh berpendidikan tinggi yang tamat AMS. Trisno dikenal sebagai sastrawan,
pelukis, dan penerjemah ulung. Trisno bahkan pernah diberi gelar “Spesialis
Shakespeare” karena banyak menerjemahkan karya-karya Shakespeare. Bagi
Trisno Sumardjo, kesenian adalah segala-galanya. Kesenian bukan alat untuk
mengejar materi atau mencari nama baik. Trisno Sumardjo adalah pribadi yang
sederhana. Hal tersebut terlihat dalam karya-karya Trisno yang menurut A.Teeuw
mempunyai daya tarik dari segi kesederhanaannya
(badanbahasa.kemdikbud.go.id).
Trisno Sumardjo pernah memimpin penerbitan majalah di Solo dan
menjadi sekretaris Lembaga Kebudayaan Indonesia (1950-1955). TrisnoSumardjo library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id45
sejak tahun 1965 sampai akhir hayatnya berkali-kali terpilih sebagai sekretaris
umum Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional di Jakarta. Pengalaman
berorganisasi itu diperkaya dengan perjalanan ke luar negeri. Tahun 1952, Trisno
meninjau Amerika Serikat dan Eropa Barat selama enam bulan dengan beasiswa
Visittorship Rockefeller. Tahun 1957, Trisno mengunjungi Republik Rakyat Cina
sebagai ketua delegasi sastrawan. Tahun 1961, Trisno mengunjungi Amerika
Serikat lagi atas undangan State Departemen. Berkat dedikasi dan jasa dalam
mengembangkan kebudayaan Indonesia Trisno Sumardjo bersama dengan H.B.
Jassin mendapatkan Satya Lencana Kebudayaan dari Pemerintah Republik
Indonesia. Pemberian penghargaan tersebut bertepatan dengan peringatan Hari
Kebangkitan Nasional pada tanggal 20 Mei 1969 (badanbahasa.kemdikbud.go.id).
Senada dengan Ali Sadikin, Trisno Soemardjo berpendapat bahwa Jakarta
memiliki potensi yang mestinya telah membawanya menjadi pusat kebudayaan.
Potensi tersebut merujuk pada 70% kekayaan nasional yang berada di Jakarta. Ibu
kota memiliki warga-warga terbaik dalam segi ilmu dan pendidikan. DKI Jakarta
merupakan pusat pemerintahan, pergaulan, perdagangan, lalu lintas hubungan
internasional, serta pusat kesenian baik modern, klasik maupun tradisional.
“Jantung” Jakarta sebagai pusat kebudayaan telah terbentuk. Namun, “wajah”
sebagai sebuah pusat kebudayaan belum terbentuk (Berita Yudha, 30 Juni 1968).
2. DKJ dengan PKJ TIM dan LPKJ
Di tahun pertama, DKJ bersama gubernur DKI Jakarta mendirikan pusat
kesenian Jakarta sebagai tempat utama dilaksanakannya program-program DKJ.
Pada tanggal 10 November 1968, berdirilah Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id46
Marzuki (PKJ TIM) di Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat. Di PKJ TIM berbagai
kesenian dipergelarkan. Dari tempat ini pula lahir berbagai jenis kesenian
Indonesia modern. Di kalangan masyarakat luas, PKJ TIM populer sebagai wadah
kesenian yang melaksanakan acara-acara seni hasil desain DKJ (Kompas, 20 Mei
1980). Maksudnya ialah, acara-acara kesenian yang ditampilkan di PKJ TIM telah
ditentukan oleh DKJ sebelumnya sebagai pengelola resmi. Melalui otoritasnya,
DKJ dapat menentukan konsep kesenian yang ingin ditampilkan kepada
masyarakat luas.
Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin melihat bahwa kota metropolitan
seperti Jakarta akan menjadi tempat yang kering dan miskin budaya jika tidak
terdapat kehidupan dan pendidikan seni (ikj.ac.id). Atas kesadaran DKJ dalam hal
pentingnya pendidikan bagi pengembangan kesenian, maka diselenggarakan
pendidikan seni dengan mendirikan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta
(LPKJ) di tahun 1970. Pada bulan Juni 1970, kampus LPKJ di lingkungan PKJ
TIM diresmikan oleh presiden pada waktu itu, yakni Soeharto.
LPKJ merupakan tempat bagi seniman muda dan orang yang berminat
menjadi seniman profesional dididik dan dibina. LPKJ berperan dalam melahirkan
seniman, desainer, pemusik, sineas dan berbagai tenaga profesional seni yang
menghidupkan kegiatan budaya, kegiatan sosial dan kegiatan industri di Jakarta
(ikj.ac.id). DKJ melalui LPKJ, dapat dikatakan berperan besar atas pembinaan
tunas-tunas muda penggerak kehidupan kesenian Indonesia. Hal tersebut
dikarenakan dekan dan dosen LPKJ sebagian besar merupakan anggota DKJ.
Sisanya, dekan dan dosen disinyalir ditempati oleh orang-orang yang memiliki
kedekatan hubungan dengan DKJ (Ranggalawe, 1970). library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id47
Pada masa itu, seiring program pembinaan kesenian DKJ mulai berjalan,
PKJ TIM mulai ramai dengan berbagai pergelaran kesenian. Di sisi lain, LPKJ
juga mulai menyelenggarakan pendidikan seni. Pada tahun 1985 LPKJ
dikembangkan menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan masih eksis hingga
saat ini. Perkembangan PKJ TIM dan LPKJ yang baik tersebut berpengaruh
terhadap kehidupan kesenian Indonesia, khususnya Jakarta. Perkembangan
tersebut pada akhirnya menunjang eksistensi DKJ dan berakumulasi menjadi
modal untuk dapat meraih posisi mapan dalam arena sastra yang diperjuangkan.
3. DKJ dan Akademi Jakarta (AJ)
Akademi Jakarta (AJ) merupakan lembaga kehormatan di bidang
kesenian. AJ dikukuhkan pada 24 Agustus 1970 dan berkedudukan di DKI
Jakarta. Disebutkan dalam pasal 5 (1968), bahwa AJ merupakan dewan
kehormatan seniman atau budayawan dengan anggota berjumlah sepuluh orang.
Masa kedudukan AJ adalah seumur hidup selama kesehatannya masih baik,
berusia empat puluh tahun ke atas, dan dipilih dari seluruh Indonesia. Syarat
keanggotaan AJ ialah para seniman atau budayawan yang telah berprestasi di
salah satu bidang seni atau budaya secara bermutu dan berkelanjutan di samping
juga merupakan seorang pemikir kebudayaan secara umum.
Dalam pembentukan anggota yang pertama kali, susunan AJ dipilih oleh
DKJ. Baru kemudian untuk selanjutnya, AJ memilih sendiri anggotanya apabila
terdapat anggota AJ yang mengundurkan diri. Tokoh-tokoh yang pernah duduk
sebagai anggota AJ diantaranya adalah A.D. Pirous, Ahmad Syafii Maarif, Ajip
Rosidi, Amrus, Endo Suanda, Goenawan Mohammad, H.B. Jassin, H. Misbach library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id48
Yusa Biran, Ignas Kleden, Irawati M. Sudiarso, Koesnadi Hardjasumantri,
Mochtar Pabottingi, Natalsya, Nh. Dini, Nono Anwar Makarim, Rosihan Anwar,
Saini K.M, Sardono W. Kusumo, Slamet Abdul Syukur, Sitor Situmorang, Sutan
Takdir Alisjahbana, Tatik Maliyati W.S, Taufik Abdullah, Toety Heraty N.
Rooseno, dan Rendra (Yudiono K.S, 2010:215).
Peranan AJ adalah menjadi semacam tempat bertanya dalam pengelolaan
kebudayaan. Menurut Sutan Takdir Alisjahbana, AJ berfungsi mencari teknik
yang tepat untuk mengarahkan kebudayaan. Namun demikian, AJ memiliki tugas
pokok yang lebih konkret seperti memilih calon anggota DKJ, memantau
perkembangan kesenian, dan memberikan Anugerah Seni (Kompas, 20 Mei
1980).
Hubungan antara AJ dan DKJ tidak dapat dilepaskan satu sama lain.
Hubungan keduanya lebih dari sekadar dalam hal penentuan anggota AJ atau
DKJ. Penentuan strategi kebudayaan pada umumnya dan kesenian pada
khususnya menjadi proyek yang dikerjakan DKJ dan AJ. Hal itu menunjukkan
bahwa pada dasarnya DKJ bersama AJ mengembangkan suatu konsep estetika.
Konsep tersebut menjadi jiwa dalam karya-karya kesenian DKJ, baik yang
ditampilkan melalui PKJ TIM maupun tidak. Konsep tersebut pada akhirnya
menjadi representasi yang dominan, dinilai benar, dan alamiah. Secara sadar atau
tidak konsep tersebut ditanamkan dalam pikiran masyarakat. Konsep yang
berhasil diterima oleh masyarakat luas kemudian akan berpengaruh dalam struktur
arena. Pada dasarnya pengembangan strategi kebudayaan tersebut merujuk pada
praktik kekerasan simbolis.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id49
4. Sayembara-Sayembara DKJ
Konsistensi pemunculan karya DKJ tidak dapat dilepaskan dari
penyelenggaraan sayembara karya yang telah digelar di tahun-tahun awal lembaga
ini berdiri. Tahun 1974 adalah kali pertama penyelenggaraan Sayembara
Mengarang Roman DKJ. Sejak itu, ajang tersebut kemudian digelar sekali sampai
tahun 1980. Pada akhir tahun 1980 DKJ memutuskan untuk menghentikan
sayembara menulis roman. Salah satu alasannya, sebagaimana yang diungkapkan
oleh Ketua Komite Sastra DKJ pada saat itu, Abdul Hadi WM, sayembara
menulis roman DKJ makin mengalami kemerosotan mutu (DKJ, 2016:48).
Sebagai ganti sayembara roman yang dihentikan untuk sementara waktu,
DKJ menyelenggarakan program pemberian hadiah untuk buku sastra terbaik.
Buku sastra yang dipilih meliputi novel, kumpulan puisi, kumpulan esai/kritik,
dan kumpulan cerpen. Namun, DPH-DKJ tahun 1981 tidak berhasil melaksanakan
program tersebut, dan baru terlaksana pada tahun 1982. Gelaran Hadiah Sastra
kemudian digelar berturut-turut mulai dari tahun 1982 sampai 1984. Sayembara
Mengarang Roman DKJ sendiri kemudian baru muncul lagi tahun 1997 yang
masa lombanya digelar sampai tahun 1998 (DKJ, 2016:48).
Di setiap penyelenggaraan, baik sayembara mengarang ataupun hadiah
sastra dipilih beberapa pemenang yang akan ditentukan oleh dewan juri yang
berbeda tiap tahunnya. Menurut catatan penyelenggaraan sayembara, tidak di
setiap ajang yang digelar memunculkan pemenang. Dalam hal ini, faktor dewan
juri sangat menentukan keputusan yang dihasilkan. Dewan juri berbeda-beda
sehingga memiliki prosedur tersendiri dalam melakukan penilaian. Pada akhirnya,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id50
standar penilaiannya kemungkinan besar berlaianan antar juri satu dengan yang
lain (Sinar Harapan, 14 Desember 1974).
Dikemukakan oleh dewan juri sayembara roman DKJ periode pertama
bahwa ada beberapa kriteria penilaian yang dijadikan acuan dalam penenentuan
karya terbaik. Pembicaraan mengenai sastra tidak dapat dilepaskan dengan isi dan
bentuk karya. Keduanya harus seimbang dalam sebuah karya atau dalam kata lain,
isi dan bentuk harus sepadan. Isi akan merepresentasikan tingkat kematangan jiwa
pengarang sementara teknik bercerita akan membantu pengarang menemukan
bentuk yang sepadan dengan isi. Bahasa sebagai sarana komunikasi merupakan
aspek penting dari isi. Hal tersebut tidak dapat diabaikan sebab sastra memegang
peranan penting dalam perkembangan bahasa. Bagi dewan juri, bahasa adalah
nilai intrinsik dalam karya sastra dan bukan nilai ekstrinsik (Sinar Harapan, 14
Desember 1974).
Pada penyelenggaraan sayembara roman DKJ untuk kali pertama, tidak
ditemukan, baik pemenang I, II, maupun III. Menurut dewan juri yang terdiri dari
Umar Kayam, Boen S. Oemarjati, Sapardi Djoko Damono, S. Effendi, dan Mh.
Rustandi Kartakusuma, karya yang masuk umumnya lemah dari sudut isi. Jiwa
pengarang dinilai belum mencapai kematangan tertentu. Dewan juri menghormati
kebebasan pengarang untuk menciptakan neologisme serta mengakui licentia
poetica. Namun demikian, kebebasan berbahasa tersebut memiliki batas yang
ditentukan oleh kodrat bahasa sebagai sarana pengungkapan individu dan sarana
komunikasi komunitas. Dalam hal ini, pengarang peserta sayembara banyak yang
melanggar batas tersebut sehingga berakibat fatal. Bahasa yang digunakan
menjadi tidak dapat dimengerti, kabur, dan tidak logis. Tidak sedikit pula karya library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id51
yang justru terkesan dibuat-buat gayanya, tidak wajar, dipaksakan, terlalu
bombastis sehingga tidak sesuai bahkan bertolak belakang dengan isi cerita (Sinar
Harapan, 14 Desember 1974).
Pada akhirnya, dari 64 naskah yang masuk dan 59 yang memenuhi syarat
administrasi, dewan juri memilih lima pemenang dengan hadiah penghargaan
masing-masing sebesar Rp. 75.000,-. Mereka adalah Iskasiah Sumarto
(Yogyakarta) dengan karya Astiti Rahayu, Mahbub Djunaidi (Jakarta) dengan
karya Dari Hari Ke Hari, Aspar Paturusi (Ujung Pandang) dengan karya berjudul
Arus, Suparto Brata (Surabaya) dengan karya Sisa-Sisa Hari Kemarin, dan C.M.
Nas (Jakarta) dengan karya berjudul Qisas (DKJ, 2016:35).
Dari Hari Ke Hari karya Mahbub Djunaidi dinilai memiliki nilai intrinstik
dan ekstrinsik. Nilai ekstrinsik mendapat perhatian penting dari dewan juri. Dalam
karya tersebut, nilai ekstrinsiknya ialah kesaksian literer atas peristiwa revolusi
1945. Kesaksian tersebut memberi sumbangan kesadaran sejarah, kesadaran
kebangsaan, dan berkontribusi dalam pewarisan nilai-nilai 45 (Sinar Harapan, 14
Desember 1974).
Di dalam penyelenggaraan sayembara mengarang roman yang kedua juga
belum menghasilkan juara I sebagai pemenang. Namun, berbeda dengan
penyelenggaraan sebelumnya, di tahun ini dewan juri yang terdiri dari Mh.
Rustandi Kartakusuma, Jakob Sumardjo, Lukman Ali, Boen S. Oemarjati, Sapardi
Djoko Damono mempunyai peraih hadiah utama dan hadiah penghargaan. Hadiah
utama meliputi juara II dan III sementara hadiah penghargaan meliputi beberapa
juara harapan (DKJ, 2016:37).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id52
Dalam “Penjelasan Dewan Juri Sayembara Roman Dewan Kesenian
Jakarta 1975” dikemukakan bahwa hadiah penghargaan diberikan kepada karya-
karya yang berhasil memenuhi unsur bentuk novel konvensional meskipun masih
terdapat beberapa kelemahan teknis. Namun, karya-karya terpilih meliputi
Perjalanan karya Silia Saraswati (Ujung Pandang), Raumanen karya Mariane
Kattopo (Jakarta), dan Arlinah karya Suwarsih Djojopuspito, telah berhasil
menyajikan suatu bentuk cerita utuh. Cerita tersebut dapat dinikmati, memberikan
sugesti, dan terkadang menawarkan masalah kehidupan yang penting untuk
diperhatikan. Beberapa masalah kehidupan telah ditinjau secara matang dan
dewasa, tetapi perlu semacam usaha penyusunan ulang bentuk karya untuk
memperbaiki penyampaian cerita (Sumardjo, 1975).
Dalam kelompok pemenang hadiah utama, bentuk karya sudah tidak
bermasalah. Terdapat kesatuan integral antara unsur-unsur novel. Sasaran utama
untuk dapat memenangkan hadiah utama adalah keunikan karya dan kebaruannya
yang menunjukkan kreativitas pengarang. Selain itu, dasar penilaiannya ialah
merujuk pada konsistensi penyajian ide ke dalam karya yang utuh dan organis.
Berdasarkan hal itu, terpilih Stasiun karya Putu Wijaya sebagai juara II dan
Tawakal karya Ramadhan KH sebagai juara III (Sumardjo, 1975).
Putu Wijaya dalam karyanya menukik ke daerah kesadaran manusia
sebelum terwujud dalam tindakan-tindakan. Di dalam karyanya tersebut, Putu
Wijaya mencoba bentuk baru yang merupakan konsekuensi logis dari
permasalahan yang diangkat. Di sisi lain, Ramadhan KH menggarap masalah
tumbangnya nilai-nilai sosial dan moral di Indonesia akibat kondisi ekonomi yang
belum mapan. Persoalan tersebut diungkapkan dalam bentuk novel konvensional. library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id53
Pada dasarnya keduanya berhasil mencapai bentuk yang dipilih. Namun, Stasiun
lebih unik, khas, serta menampilkan kesatuan organis dan kebaruan yang orisinal
(Sumardjo, 1975).
Pada tahun 1976, panitia menerima naskah sebanyak 43 buah yang
kemudian dinilai oleh tim dewan juri yang meliputi H.B. Jassin, Ali Audah, Mh.
Rustandi Kartakusuma, Dodong Djiwapradja, dan M. Saleh Saad. Tidak ada karya
yang dinobatkan sebagai juara pertama. Pemenang oleh dewan juri diputuskan
hanya mencapai juara II yang diraih oleh Upacara karya Korrie Layun Rampan.
Juara III dimenangkan oleh Kowil Daeng Nyonri (Sinansari Ecip) dengan karya
Pembayaran. Hadiah penghargaan diraih oleh Keluarga Permana karya
Ramadhan KH (DKJ, 2016:39).
Selain mengumumkan pemenang-pemenang tersebut dewan juri juga
memberi rekomendasi atas beberapa karya yang dinilai layak untuk diterbitkan.
Karya-karya tersebut ialah Mata-Mata karya Suparto Brata, Di Atasnya
Pepuingan karya Tri Rahayu Prihatmi, Jatuhnya Benteng Batu Putih karya
Mohayus Abukomar, Maryati dan Kawan-kawannya karya Suwarsih
Djojopuspito, Keok karya Putu Wijaya, Jembatan karya Ediruslan P. Amanriza,
Gumam karya Darman Moenir, dan Warisan karya Chairul Harun (DKJ,
2016:39).
Tim dewan juri dalam sayembara tahun 1977 terdiri dari Dodong
Djiwapradja, Boen S. Oemarjati, M. Saleh Saad, B.H. Hoed, dan Rusman
Sutiasumarga. Dewan juri memutuskan bahwa dari total 43 karya yang masuk,
tidak ada yang meraih juara I maupun juara III, sementara untuk juara II diraih
oleh dua karya, yakni Jantan karya Eyha (Edijushanan) dan Tiga Lagu Dolanan library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id54
karya Ismail Marahimin. Untuk hadiah harapan diraih oleh Aku Bukan Komunis
karya Yudhistira Ardi Noegraha, Nahkoda karya Ediruslan P. Amanriza, dan
Stasiun Bukit Gundul karya Arswendo Atmowiloto (DKJ, 2016:41).
Di tahun 1978 naskah yang masuk menurun drastis, yakni hanya sebanyak
26 buah. Oleh dewan juri yang meliputi Rusman Sutiasumarga, Mh. Rustandi
Kartakusuma, S.I. Poeradisastra, dan Sugiarta Sriwibawa memutuskan bahwa
tidak ada pemenang pada sayembara kali ini. Tidak ada juara I, II, III, maupun
juara harapan. Namun, dewan juri memutuskan memberikan hadiah perangsang
kreasi dengan hadiah sebesar Rp. 30.000,- kepada Di Kaki Bukit Cibalak karya
Ahmad Tohari (Purwokerto), Ke Langit karya Ediruslan P. Amanriza
(Pekanbaru), Sebuah Piala dan Sebuah Kemiskinan karya Utoyo Dimyati (Pati),
Wajah-wajah di Guntingan Koran karya A.G. Mustapa (Gorontalo), Kabut yang
Tidak Berkesudahan karya B. Simanjuntak, dan Wanita Itu adalah Ibu karya Sori
Siregar (Selangor) (DKJ, 2016:43).
Sayembara Mengarang Roman DKJ 1979 hanya diikuti oleh 21 naskah.
Naskah-naskah tersebut kemudian dinilai oleh Rusman Sutiasumarga, Dodong
Djiwapradja, dan Dami N. Toda sebagai dewan juri. Diputuskan tidak ada juara I,
II, dan III. Namun, dewan juri memberi hadiah penghargaan kepada Tilpon karya
Sori Siregar, Sahabat karya Putu Wijaya, Koyan karya Ediruslan Pe Amanriza,
Srigala karya Suryadi WS, dan Cak Qadar karya S. Tiono Sunaatmadja. Masing-
masing pemenang tersebut mendapat hadiah sebesar Rp. 75.000,-. Selain itu,
dewan juri juga memberikan rekomendasi kepada naskah Koran karya Nurinwa
Ki S. Hendrowinoto dan Bukit Matahari karya Wunulde Saffinal sebagai karya
yang layak untuk diterbitkan (DKJ, 2016:45). library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id55
Di dalam surat keputusan tertanggal 23 Februari 1981, dewan juri
memutuskan tiga pemenang utama Sayembara Penulisan Naskah Roman DKJ
1980, yakni Bako karya Darman Moenir (Padang), Harapan Hadiah Harapan
karya Nasjah Djamin (Yogyakarta), dan Olenka karya Budi Darma (Surabaya).
Masing-masing pemenang mendapatkan hadiah sebesar Rp. 200.000,-. Tiga
pemenang tersebut terpilih dari total 25 naskah masuk dan 23 naskah yang
memenuhi syarat. Dewan juri yang melakukan penilaian ialah Ali Audah, Sapardi
Djoko Damono, Dami N. Toda, dan Toeti Heraty Noerhadi (DKJ, 2016:47).
Selain pemenang utama tersebut dia atas, dewan juri juga memutuskan
lima pemenang harapan yang masing-masing mendapatkan hadiah sebesar Rp.
50.000,-. Pemenang-pemenang tersebut meliputi Den Bagus karya Sudarmono K
(Surabaya), Dicari Hari yang Cerah karya E. Nohbi (Jakarta), Ketika Lampu
Berwarna Merah karya Hamsad Rangkuti (Jakarta), Merdeka karya Putu Wijaya,
Panggil Aku Sakai karya Ediruslan P. Amanriza (DKJ, 2016:47).
Seperti yang telah diulas sebelumnya. Pada akhir tahun 1980 DKJ
memutuskan untuk menghentikan sayembara menulis roman karena karya-karya
yang ada dinilai tengah mengalami kemerosotan mutu. DKJ kemudian
menyelenggarakan program Hadiah Sastra untuk menggantikan sayembara
menulis roman yang dihentikan sementara.
Penyelenggaraan Hadiah Sastra 1982 berhasil mengumpulkan 62 buku
yang memenuhi syarat untuk dinilai oleh dewan juri. Rinciannya adalah 24 novel,
18 kumpulan cerpen, 12 kumpulan esai/kritik, dan 10 kumpulan puisi. Dewan juri
yang bertugas ialah Boen S. Oemarjati, Umar Kayam, dan Taufiq Ismail. Mereka
kemudian memutuskan bahwa tidak ada pemenang untuk kategori novel dan library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id56
kumpulan puisi. Untuk kategori kumpulan kritik/esai diraih oleh Sastra dan
Religiositas karya YB Mangunwijaya, sedangkan untuk kategori kumpulan cerpen
dimenangkan oleh Adam Ma’rifat karya Danarto (DKJ, 2016:49).
Di tahun berikutnya, Hadiah Sastra kembali digelar. Di tahun 1983, Boen
S. Oemarjati, Umar Kayam, dan Ayatroehadi sebagai tim dewan juri menilai
sebanyak 57 buku yang memenuhi syarat. Buku tersebut terdiri dari 29 novel 8
kumpulan cerpen, 10 kumpulan puisi, dan 10 kumpulan esai. Hasil penilaian
dewan juri memutuskan bahwa tidak ada pemenang untuk kategori kumpulan
cerpen. Untuk kategori novel diraih oleh Olenka karya Budi Darma, Perahu
Kertas karya Sapardi Djoko Damono untuk kategori puisi, dan Sastra Hindia
Belanda dan Kita karya Subagio Sastrowardoyo untuk kategori kumpulan esai.
Masing-masing pemenang tersebut mendapatkan hadiah sebesar Rp. 400.000,-
(DKJ, 2016:51).
Sebanyak 12 novel, 10 kumpulan puisi, 6 kumpulan cerpen, dan 9
kumpulan esai/kritik dinilai oleh dewan juri Hadiah Sastra 1984 yang terdiri dari
Boen S. Oemarjati, Ignas Kleden, dan Abdul Hadi WM. Penilaian dewan juri
hanya menghasilkan satu pemenang, yakni untuk kategori kumpulan esai/kritik
yang diraih oleh Hamba-hamba Kebudayaan karya Dami N. Toda. Sama seperti
pada penyelenggaraan di tahun sebelumnya, pemenang kemudian mendapatkan
hadiah sebesar Rp. 400.000,-. Meskipun tidak ada pemenang untuk kategori
kumpulan puisi, kumpulan cerpen, dan novel, dewan juri memberikan
penghargaan kepada buku puisi karya Afrizal Malna yang berjudul Abad yang
Berlari dan Satu Milyar Satu karya Eka Budianta (DKJ, 2016:53).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id57
Setelah tahun 1984, DKJ juga mengehentikan penyelenggaraan program
Hadiah Sastra. Namun, di sisi lain DKJ juga belum kembali menyelenggarakan
Sayembara Mengarang Roman DKJ. Bertahun-tahun DKJ mengalami
kekosongan. Persoalan kemerosotan mutu yang menjadi penyebab kelesuan karya
peserta sayembara DKJ pada penghujung tahun 70-an tampaknya sudah semakin
tidak relevan. Di luar DKJ, kesusastraan Indonesia terus mengalami
perkembangan sesuai kondisi yang ada.
Pada tahun 80-an merebak karya-karya roman percintaan dan sastra pop.
Selain itu, merbak pula sastra koran sebagai alternatif wadah berekspresi sebab di
tahun tersebut hanya ada satu majalah sastra, yakni Horison dan majalah
kebudayaan, yaitu Basis. Di masa tersebut hingga tahun 90-an sastra koran
berkembang pesat. Koran menjadi salah satu saluran bagi pengarang untuk dapat
mengaktualisasikan diri. Media massa terbitan pusat Jakarta masih menjadi
primadona. Koran nasional terbitan Jakarta dinilai menjadi media yang memiliki
nilai simbolis tertinggi.
Di sisi lain muncul perlawanan dari daerah. Perlawanan tersebut mewujud
melalui munculnya agenda revitalisasi sastra pedalaman. Gerakan yang muncul
pertama kali di Ngawi tersebut merupakan bentuk perlawanan terhadap kekuatan
pusat Jakarta yang mendominasi. Revitalisasi sastra pedalaman cukup menarik
perhatian dan pamor daerah perlahan-lahan pun mulai mengalami peningkatan
meski masih belum dapat mengalahkan pusat. Dalam hal ini, DKJ terindikasi
menerima dampak. DKJ tanpa kegiatan sayembara semakin kehilangan
eksistensinya dalam arena kesusastraan Indonesia. Terlebih lagi PKJ TIM sudah
dicabut hak pengelolaannya dari DKJ memperburuk pergerakannya sebagai agen. library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id58
Di penghujung Orde Baru, DKJ baru kembali muncul dengan sayembara
roman. Di tengah situasi masyarakat yang sedang tidak kondusif, DKJ bangkit
dan berhasil menarik perhatian masyarakat melalui karya pemenang utama,
Saman karya Jambu Air (Ayu Utami). Selain karya tersebut cukup kontroversial
dari segi estetika yang diusung, Saman juga berhasil mengukir sejarah baru dalam
catatan penyelenggaraan sayembara roman. Untuk pertama kalinya sayembara
roman DKJ menghasilkan juara pertama.
Pada perhelatan Sayembara Mengarang Roman DKJ 1997-1998, sebanyak
70 naskah diterima panitia. Sayembara tersebut mensyaratkan tema bebas dan
mengandung unsur kebaharuan. Dewan juri yang menjadi tim penilai ialah
Sapardi Djoko Damono, Faruk H.T., dan Ignas Kleden. Pemenang lain, juara II
diraih Dikalahkan Sang Sapurba karya Ruslan Pe Amanriza, juara III diraih Api
Awan Asap karya Korrie Layun Rampan, juara harapan I diraih Prosesi karya
Zora Herawati, dan juara harapan II diraih Hempasan Gelombang karya Taufik
Ikram Jamil. Masing-masing pemenang tersebut mendapatkan hadiah sebesar Rp.
7.500.000,- (juara I), Rp. 6.000.000,- (juara II), Rp. 4.500.000,- (juara III), Rp.
3.000.000,- (juara harapan I), dan Rp. 1.500.000,- (juara harapan II) (DKJ,
2016:55).
Pada dasarnya, DKJ juga aktif mengadakan sayembara dalam bidang lain.
Misalnya, Sayembara Penulisan Sandiwara Indonesia DKJ. Ajang tersebut pada
1972 atau di tahun pertamanya digelar mendapatkan sambutan yang cukup baik
dari masyarakat. Hal itu terlihat dari antusiasme peserta yang mengirimkan
naskah untuk dinilai oleh Asrul Sani, Goenawan Mohammad, dan Teguh Karya
sebagai dewan juri. Tercatat sebanyak 50 naskah masuk ke panitia dan setelah library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id59
melalui seleksi administrasi, sebanyak 46 naskah dinyatakan lolos. Namun,
sayembara tersebut baru menghasilkan pemenang harapan dengan hadiah sebesar
Rp. 75.000,- dan pemenang hadiah perangsang dengan hadiah sebesar Rp.
50.000,-. Nama-nama yang berhasil meraih hadiah tersebut ialah Akhudiyat
dengan naskah berjudul Graffito, Kuntowidjojo dengan naskah Tidak Ada Waktu,
dan Arswendo Atmowiloto dengan naskah Penantang Tuhan sebagai pemenang
harapan. Untuk pemenang hadiah perangsang meliputi Pangeran Sunten Dajaya
oleh Saini KM, Mimi, Pelacurku karya Jasso Winarto, Topeng karya Ikranegara,
Matahari Bersinar Lembayung karya N. Riantarno, Ketika Bumi Tidak Beredar
karya Frans Rahardjo, dan Bayiku yang Pertama karya Arswendo Atmowiloto
(Nusantara, 29 Desember 1972).
5. Kegiatan-Kegiatan Lain
DKJ tidak hanya eksis melalui berbagai sayembara yang digelarnya secara
rutin di setiap tahunnya. DKJ juga aktif menawarkan berbagai kegiatan kesenian
lain kepada masyarakat luas. Kegiatan-kegiatan tersebut di antaranya ialah Pesta
Seni DKJ. Acara tersebut merupakan agenda tetap setahun sekali yang telah
digelar sejak 1968. Pesta seni DKJ mengusung konsep kontemporer yang menjadi
jawaban atau respons dari seniman-seniman tentang kreativitas dan pertumbahan
kegiatan dalam masyarakat (Kami, 9 Desember 1970).
Kegiatan lainnya ialah pembacaan puisi di PKJ TIM. Bahkan disebutkan
dalam sebuah artikel bahwa di sepanjang tahun 70-an sampai awal 80-an disebut-
sebut sebagai masa subur pembacaan puisi di PKJ TIM (Merdeka, 29 Agustus
1993). Pada tahun 1973 DKJ juga memiliki program pekan teater tradisional yang library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id60
diselenggarakan bekerja sama dengan Direktorat Kesenian. Ada pula pementasan
musik di PKJ TIM, hasil kerjasama DKJ dengan sekolah musik di Surabaya
(Berita Buana, 8 Maret 1973).
Beberapa contoh kegiatan tersebut merepresentasikan keragaman kesenian
yang ditawarkan DKJ. Mulai dari kesenian kontemporer hingga tradisional
dihadirkan DKJ melalui berbagai pentas di PKJ TIM. Tidak diketahui secara
spesifik kriteria kontemporer dan tradisional yang dihadirkan DKJ ketika itu.
Namun, dari program kegiatan tersebut dapat diketahui bahwa setidaknya DKJ
ingin mengakomodasi beragam bentuk kesenian. DKJ seolah ingin mencitrakan
diri sebagai lembaga yang terbuka dengan perkembangan kesenian modern, tetapi
tetap melestarikan seni tradisional. Kesenian tradisional seringkali dipahami
sebagai akar kebudayaan bangsa. Kemudian, mengakomodasi aneka jenis
kesenian berarti pula meraih massa yang lebih luas lagi.
Golongan remaja yang jarang diperhatikan juga tidak terlepas dari
penanganan dari DKJ. Pada tahun 1972 DKJ menggarap secara khusus kegiatan
kesenian bagi kalangan remaja. Kegiatan tersebut bertajuk “Remaja dan Seni”
yang diprogramkan dalam rangka menghimpun potensi-potensi remaja dari
berbagai cabang kegiatan kesenian. Program yang bertujuan untuk membina,
menampung, serta meningkatkan kesenian di kalangan remaja tersebut dipusatkan
kegiatannya di Gelanggang Remaja (Kompas, 25 Januari 1972). Salah satu
perkembangan dari program kesenian untuk remaja tersebut, yakni pada tahun
1976 tercatat ada sepuluh grup teater remaja Jakarta yang dibina oleh DKJ.
Kelompok-kelompok binaan DKJ tersebut melakukan pementasan di Gelanggang
Remaja Jakarta (Sinar Harapan, 3 Maret 1976). library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id61
Sembagai lembaga yang memiliki otoritas atas PKJ TIM, DKJ terbilang
tidak anti dalam bersinggungan dengan kegiatan yang berkaitan bahkan
bernafaskan agama. DKJ dengan demikian dapat dipandang telah menjadikan PKJ
TIM sebagai wadah yang mampu mengakomodasi berbagai kepentingan dari
beragam kalangan masyarakat. Pada tahun 1973 DKJ menyelenggarakan diskusi
tentang nilai-nilai agama dalam sastra di PKJ TIM. Kegiatan tersebut
diselenggarakan dalam rangka memperingati HUT ke-28 Departemen Agama.
Dalam acara tersebut diundang tokoh-tokoh sastra, seniman, dan budayawan
terkemuka (Angkatan Bersenjata, 29 Desember 1973).
Di tahun yang sama DKJ juga menggelar kegiatan puitisasi Alquran di
PKJ TIM. Kegiatan tersebut bekerjasama dengan Pembina MTQ DKI Jaya dan
Direktorat Penerangan Agama. Acara yang digelar pada tanggal 21 Oktober
tersebut diselenggarakan dalam rangka menyambut Nuzul Alquran. DKJ terlihat
begitu hati-hati dalam menyelenggarakan kegiatan tersebut mengingat umat Islam
sangat peka terhadap seni budaya. Namun, diharapkan kegiatan itu dapat
membuka jalan untuk mendekatkan apresiasi umat Islam terhadap seni budaya
(Pedoman, 31 Oktober 1973).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id62
Gambar 1: Liputan kegiatan Puitisasi Alquran di PKJ TIM (Pedoman, 31 Oktober
1973).
Perkembangan kegiatan DKJ selanjutnya ialah meski bertempat di Jakarta,
kegiatan DKJ tidak terbatasi. Maksudnya, DKJ tidak hanya menampilkan
kesenian asal Jakarta dan tidak melulu hanya mendukung pelaku seni Jakarta.
Salah satu program kegiatan DKJ pada tahun 1976 misalnya. DKJ bekerja sama library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id63
dengan Lingkar Mitra Budaya dalam rangka menyambut HUT Jakarta ke 449 dan
Sewindu PKJ TIM menyelenggarakan acara pementasan kesenian rakyat.
Acara tersebut dibuka untuk umum secara gratis. Beragam kesenian
tradisional asal berbagai daerah ditampilkan dalam acara tersebut. Kesenian
seperti tanjidor, keroncong tugu, jatilan, kuda lumping, orkes melayu, doger,
wayang kulit betawi, cokek, wayang golek, randai, gambang kromong, gambang
racak, lagu-lagu rakyat batak, dan topeng betawi ditampilkan di Teater Halaman
dan halaman parkir depan PKJ TIM. Di samping menampilkan kesenian
tradisional tersebut, pada acara yang digelar beberapa hari itu diselenggarakan
pula pameran tentang gambaran kehidupan kaki lima sejak subuh hingga tengah
malam oleh mahasiswa arsitektur dari Usaksi, Atma Jaya, dan Jaya Baya.
Pameran tersebut bertempat di Ruang Pameran PKJ TIM dan dibuka secara
langsung oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin (Suara Karya, 12 Juni 1976).
Pada tahun 1995 DKJ bekerja sama dengan Yayasan Gelanggang Bakti
menyelenggarakan pagelaran Kesenian Aceh dari Singkil, Aceh Selatan yang
didukung oleh 90 pemain. Acara tersebut digelar di Graha Bhakti Budaya PKJ
TIM selama tiga hari. Latar belakang pelaku kesenian yang turut serta sangat
beragam mulai dari pelajar, buruh, petani, tukang becak, dan nelayan. Kesenian
Aceh menampilkan berbagai tarian, syair, dan ada pula gerak musik (Suara
Karya, 29 Juli 1995). Selain itu, acara-acara lain yang pernah digelar di PKJ TIM
antara lain Pertemuan Sastrawan (1972, 1974), Diskusi Kritik Sastra (1974),
Festival Desember 1975, Penyair Muda di Depan Forum (1976), Lomba Baca
Puisi DKJ 1980, Temu Kritikus dan Sastrawan 1984 (Yudiono K.S, 2010:217).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id64
Kegiatan DKJ tidak juga hanya terbatas pada kegiatan-kegiatan yang
sifatnya pertunjukan. Selain ada kegiatan pembinaan seni, seperti pembinaan
terhadap kelompok-kelompok teater remaja, ada pula kegiatan pembinaan lain
yang dilakukan oleh DKJ. Disebutkan oleh Irawati Sudiarso bahwa sejak tahun
1972 DKJ memiliki program pembinaan seni. Diungkapkan bahwa “DKJ
berpendapat adalah lebih tepat jika bukan hanya sistem lomba saja yang
diperkenalkan dalam dunia penciptaan musik, tapi dilakukan sistem penunjukan
komponis-komponis tertentu dengan disertai bantuan finansial secukupnya,
kreativitas itu bisa dirancang.” Dari komite sastra, Ramadhan KH
mengungkapkan pula bahwa disediakan sejumlah tunjangan untuk para sastrawan
yang dinilai potensial, tetapi memiliki kesulitan keuangan agar dapat melanjutkan
kerja kesenian mereka. Pada intinya, DKJ tidak hanya sekadar menyelenggarakan
perlombaan, khususnya dalam bidang sastra dan musik. Namun, DKJ juga
melakukan penunjukan (order) terhadap seniman potensial untuk diberi bantuan
finansial demi menunjang proses kesenian mereka sehingga otomatis berarti pula
menggalakkan kreativitas seni (Kompas, 29 November 1972).
6. Estetika DKJ
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) seperti yang tercermin pada pembahasan
dalam subbab sebelumnya, sejak awal didirikan oleh masyarakat seniman telah
aktif menyelenggarakan kegiatan kesenian melalui berbagai program kerja yang
telah disusun setiap tahun. Mulai dari pesta seni hingga sayembara mengarang
secara rutin telah digelar oleh DKJ sedari tahun-tahun awal lembaga non-
pemerintah tersebut beroperasi. library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id65
Pada saat itu, DKJ tumbuh di era dunia sastra dan seni pada umumnya
yang semarak oleh berbagai eksperimentasi estetis. Hal itu tidak terlepas dari
dukungan sarana fisik yang menunjang para sastrawan era tahun 70-an. Dukungan
tersebut tidak lain ialah karena bentuk transformasi Jakarta, pembangunan Taman
Ismail Marzuki (TIM) sebagai pusat kesenian, yang masih dilengkapi dengan
masih eksisnya majalah sastra budaya yang berwibawa, yaitu Horison dan Budaja
Djaja. Selain itu, keruntuhan Orde Lama yang kemudian digantikan Orde Baru
disebut-sebut oleh Agus R. Sarjono (2001:165-166) memungkinkan dunia sastra
pasca-Manikebu berpeluang melanjutkan kembali perkembangan tradisi sastranya
yang sempat terputus. Runtuhnya Orde Lama otomatis mengakhiri dominasi
Lekra dalam dunia kesusastraan Indonesia. Masa pencekalan Orde Lama atas
karya-karya Manikebu melalui Lekra telah berakhir.
Manikebu (Manifest Kebudayaan) merupakan pernyataan pendirian, cita-
cita, dan politik kebudayaan (Hastuti, 2009). Manikebu muncul sebagai reaksi
atas dasar kekhawatiran manifestan atas dominasi dan intimidasi Lekra terhadap
non-Lekra. Pengaruh manifest kebudayaan bagi sejarah kesusastraan Indonesia
memang tidak sedikit. Pada saat itu dapat dikatakan kesusastraan Indonesia
terbagi ke dalam dua kubu, yakni kubu Lekra dan non-Lekra. Lekra yang
mengusung konsep “politik adalah panglima” dan “realisme sosialis”, sedangkan
Manikebu mengusung konsep kesenian “humanisme universal” sebagai antitesis
konsep yang diusung oleh Lekra (Sambodja, 2010:22-23).
Di dalam sebuah artikel yang termuat dalam buku Politik dan
Postkolonialitas di Indonesia (Barry dalam Susanto, 2003:326), dikatakan bahwa
suatu karya sangat dipengaruhi oleh metode berkaryanya. Realisme sosialis library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id66
berkecenderungan menundukkan kegiatan serta pemikiran artistik di bawah
politik. Di sisi lain, humanisme universal membebaskan diri dari komando politik.
Konsepsi estetika DKJ ditelusuri dengan menengok lebih dalam atas
karya-karya DKJ dari waktu ke waktu. Karya-karya tersebut ialah yang muncul
sejak awal hingga tahun 90-an atau pada masa penghujung era orde baru. Di
tengah hiruk pikuk iklim kehidupan kesusastraan tahun 70-an yang memasuki
suasana kreatif, inovatif, dan baru (Angkatan Bersenjata, 29 Agustus 1990).
Namu, tidak menutup kemungkinan pula akan ditengok segi estetis DKJ selain
melalui karya sastranya. Bisa melalui karya-karya atau kegiatan bidang lain yang
tentu saja masih termasuk bentuk kesenian. Oleh karena dalam setiap karya seni
memiliki sifat estetis atau nilai keindahan. Kandungan estetis dalam karya sastra
sifatnya menentukan sebab akan mempunyai kekuasaan, wibawa, serta pengaruh
yang kuat (Merdeka, 23 Desember 1990).
1974 menjadi tahun pertama DKJ memunculkan karya melalui ajang
sayembara mengarang roman. Dari segi tema pada sekitar tahun itu, atau sejak
tahun 1964 sampai tahun 1970-an, novel di ranah kesusastraan Indonesia diwarnai
dengan tema-tema politik dan kritik sosial atas kehidupan politik pada masa
tersebut. Di sekitar tahun sekian pula, novel dengan latar revolusi cukup
berlimpah. Hal tersebut tentu tidak dapat dilepaskan dari peristiwa revolusi
sebagai sumber cerita yang tidak ada habisnya untuk diolah dan diangkat oleh
para pengarang ketika itu (Mahayana, 2007:41-45).
Dari Hari ke Hari karya Mahbub Djunaidi yang memenangkan sayembara
mengarang roman DKJ pada 1974 yang kemudian terbit pada 1975 merupakan
salah satu karya yang mengangkat peristiwa revolusi. Namun, karya ini disebut library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id67
oleh Maman S. Mahayana (2007:43-44) sebagai karya yang cukup memiliki
kekhasan daripada karya sejenisnya yang juga mengangkat peristiwa revolusi ke
dalam novel ketika itu. Dari Hari ke Hari dinilai khas karena novel tersebut
disajikan dengan cara yang penuh “kelakar”.
Pada masa awal DKJ melahirkan karya, dunia kesusastraan juga tengah
ramai membicarakan bentuk sastra baru. Kemunculan bentuk sastra baru
Indonesia ketika itu, kemudian disebut sebagai sastra kontemporer yang
kehadirannya membawakan bentuk pembaruan-pembaruan.
Dari tahun ke tahun, kehadiran beberapa karya DKJ disebut-sebut telah
menjadi karya yang membawakan pembaruan dalam dunia sastra Indonesia.
Karya-karya DKJ dapat dikatakan banyak yang mengarah pada sastra
kontemporer. Sebagai contoh ialah karya Stasiun karya Putu Wijaya dan
Raumanen karya Mariane Kattopo yang muncul sebagai pemenang pada 1975.
Dari sebuah artikel diungkapkan pandangan Teeuw tentang Stasiun. Karya
tersebut dianggap sebagai karya yang membawakan sebuah pembaruan, terutama
dalam teknik penyampaian cerita karena merupakan restorasi terhadap bentuk-
bentuk penceritaan dongeng. Restorasi menyarankan ungkapan dari keinginan dan
kerinduan pada norma yang sudah hilang atau tidak lagi berlaku. Ditilik dari segi
tema, novel karya Putu Wijaya tersebut menyiratkan kesunyian dan perasaan
keterasingan. Dalam cerita itu digambarkan seorang tua yang merasa disihkan
oleh masyarakatnya. Tema alienasi, kesunyian dan keterasingan merupakan tema
yang dominan dalam novel-novel nonkonvensional, seperti dalam Ziarah karya
Iwan Simatupang (ensiklopedia.kemdikbud.go.id).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id68
Di sisi lain, Raumanen merupakan salah satu novel yang disebut memiliki
andil dalam perkembangan sastra era tahun 1970-an. Dikatakan demikian sebab
novel tersebut berani mengangkat tema dan permasalahan yang pada masanya
dianggap tabu untuk dibicarakan, yakni misalnya tentang persoalan kesukuan dan
seks bebas (Palupi, 2010:xiii).
Tahun 1976, muncul novel Upacara karya Korrie Layun Rampan. Daya
tarik novel ini berasal dari aspek lokalitasnya. Aspek tersebut pada awal 1970-an
merupakan sesuatu yang baru dalam dunia sastra Indonesia. Sisi lain yang
menarik dari Upacara ialah bahwa penulisnya mampu menghindar dari
kecenderungan untuk menciptakan karya kitsch (kajiansastra.com).
Karya lain yang juga mengangkat aspek lokalitas di dalamnya ialah novel
Tiga Lagu Dolanan (terbit dengan judul Dan Perang Pun Usai) karya Ismail
Marahimin dan Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari. Masing-masing
muncul sebagai salah satu pemenang sayembara roman pada tahun 1977 dan
1978. Diungkapkan oleh Mihar Harahap dalam sebuah artikel bahwa kekuatan
novel Tiga Lagu Dolanan terletak pada cerita yang terkait dengan penguasaan
latar daerah, sejarah dan sosial dalam penceritaannya (2015). Sementara itu, daya
tarik Di Kaki Bukit Cibalak terletak pada pengangkatan realita sosial, khususnya
aspek kemiskinan sebuah masyarakat desa yang tinggal di wilayah Banyumas
(Adi, 2010)
Tahun 1979, Telepon karya Sori Siregar yang menyampaikan kritik sosial
atas kehidupan sosial masyarakat ibukota menjadi salah satu pemenang
sayembara di tahun tersebut. Telepon dinilai Korrie Layun Rampan menarik
karena mengangkat persoalan psikologi yang dikisahkan dalam cerita secara library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id69
sederhana. Namun, kesederhanaan itu menarik karena dibawakan oleh
pengarangnya yang berusaha membaurkan antara kenyataan dan kesemuan,
khayalan dengan fakta (Sudewa, 2014:25).
Pada tahun 1980, karya yang muncul sebagai pemenang di antaranya ialah
Bako karya Darman Moenir dan Olenka karya Budi Darma. Karya pertama, Bako
mengungkapkan pemberontakan atas adat istiadat di Minangkabau. Dikemukakan
oleh Maman S. Mahayana bahwa novel tersebut dari segi bentuk menampilkan
sebuah pembaruan dan dari segi isi mengandung peristiwa fragmentaris yang
mengungkapkan tentang tradisi dan adat istiadat dalam masyarakat matrilineal,
baik positif maupun negatif. Syarifudin Arifin berpendapat bahwa Bako
merupakan novel kedua yang membicarakan masalah Minangkabau pada
dasawarsa delapan puluh setelah novel Warisan karya Chairul Harun
(ensiklopedia.kemdikbud.go.id).
Olenka mendapat sambutan yang baik karena dianggap membawa
pembaruan terutama dalam teknik penceritaannya. Diungkapkan oleh Setyagraha
Hoerip bahwa Budi Darma dalam Olenka memperhatikan dan menjaga bahasa
yang digunakan di dalam novelnya. Budi Darma melahirkan kata-kata dengan
bebas, cekatan, seolah tanpa dipikirkan lagi, kemudian meluncur lancar. Di
samping itu, hal yang mencolok adalah Budi Darma tidak sungkan menggunakan
istilah bahasa Jawa tanpa mempertimbangkan pembaca non-Jawa. Budi Darma
dalam novel Olenka yang juga meraih Hadiah Sastra DKJ tahun 1983 tersebut
menyoroti masalah dosa sebagai tanggung jawab pribadi masing-masing manusia.
Tokoh-tokoh dalam novelnya tidak lagi terikat pada formalitas agama, sebab hati
nurani merupakan ukuran keimanan seseorang (ensiklopedia.kemdikbud.go.id). library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id70
Karya yang dianggap mengandung pembaruan juga muncul pada salah
satu pemenang dalam gelaran Hadiah Sastra 1982 kategori kumpulan cerpen,
yakni Adam Ma’rifat karya Danarto. Adam Ma’rifat dianggap sebagai sebuah
karya yang membawakan visi mistisisme baru di dalam ranah kesusastraan
Indonesia (Fananie dalam Satoto dan Fananie, 2000:18).
Tahun 1984, karya puisi Abad yang Berlari karya Afrizal Malna didaulat
sebagai karya yang mendapatkan penghargaan oleh dewan juri. Menurut Agus R.
Sardjono berdasarkan telaah yang telah dilakukannya atas puisi-puisi awal Afrizal
Malna, kumpulan puisi Abad yang Berlari menunjukkan pergumulan penyair
dengan estetika persajakan yang ada sebelumnya dan mencoba meluncur keluar
daripadanya. Puisi-puisi Afrizal Malna dinilai oleh Korrie Layun Rampan
merupakan sebuah pembaruan dari struktur puisi Chairil Anwar dan Sutardji
Calzoum Bachri yang dianggap sebagai arus utama perpuisian sebelumnya. Karya
Afrizal Malna secara monolit dianggap Korrie sebagai puncak pencapaian bahasa
dan pengucapannya (Sadewa dalam buruan.co).
Karya DKJ baru muncul lagi hampir di penghujung tahun 1990-an, yakni
pada 1997-1998 DKJ yang kembali dengan format sayembara mengarang roman.
Gelaran sayembara pada tahun tersebut memunculkan karya pemenang di
antaranya ialah Saman karya Ayu Utami dan Api Awan Asap karya Korrie Layun
Rampan. Keduanya sama-sama mengangkat isu tentang perempuan atau
feminisme.
Dalam sejarah penyelenggaraan sayembara mengarang, novel Saman
karya Ayu Utami dapat dikatakan sebagai karya yang paling menarik perhatian
masyarakat penikmat sastra secara luas. Di ujung surutnya eksistensi DKJ dengan library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id71
hilangnya pemunculan karya melalui sayembara-sayembaranya selama beberapa
waktu, ditambah kekacauan kondisi politik pada tahun-tahun akhir masa Orde
Baru, DKJ memunculkan karya pemenang yang estetikanya di luar dugaan.
Novel Saman menunjukkan kemampuan penulisnya dalam mengadopsi
semangat sastra koran yang marak ketika itu, dan sekaligus juga mampu
meloloskan diri dari jerat serta kecenderungan utama format koran. Dunia wanita
dan berbagai persoalan psikologis, seks, dan sosial politik Indonesia diangkat
dengan cara enteng khas remaja, lugas, dan tanpa kompleksitas intelektual yang
dibuat-buat. Gaya pengisahan populer, tema-tema politik aktual, dan problem
perempuan yang tengah menghangat, berhasil membuka peluang novel tersebut
untuk membangun komunikasi akrab dengan publik pembaca. Selain itu,
kemenangannya dalam sayembara novel DKJ, ditambah meriahnya pembesaran
media berhasil membuat peluang mempublik Saman mengalami pelipatgandaan
yang luar biasa (Sarjono, 2001:195).
Secara keseluruhan, dari perjalanan karya yang bermunculan dapat
dikatakan bahwa konsep kesenian DKJ tidak menunjukkan kecenderungan arah
pada konsep realisme sosialis. Karya-karya DKJ tidak mencerminkan
kecenderungan yang mengusung segi artistiknya di bawah politik. Konsep estetika
DKJ terbebas dari komando politik. Konsep estetika DKJ mengarah pada
humanisme universal dengan konsepsi romantisme Barat. Humanisme universal
di sini mengacu pada konsep Manikebu.
Pada dasarnya, ketika tantangan radikal menguat pada tahun 1960-an,
konsep humanisme universal menjadi sedikit berbeda dengan konsep yang
muncul pada tahun 1945-an. Hal tersebut tampak pada pernyataan “otonomi library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id72
seniman sebagai individu, bebas dari keterlibatan politik, adalah prasyarat untuk
pencapaian estetika yang sejati” yang menjadi jargon seniman liberal penolak
Lekra (Foulcher dalam Jones, 2015:151-152).
Di sisi lain, karya-karya DKJ juga merepresentasikan perkembangan
bentuk sastra kontemporer oleh karena karya-karyanya sering dianggap sebagai
sesuatu yang baru dan nonkonvensional. Karya-karya DKJ dari waktu ke waktu
juga tidak sedikit yang menampilkan bentuk-bentuk pembaruan dari bentuk
kesusastraan Indonesia pada masa sebelumnya.
Dari segi tema karya-karya DKJ cukup bervariasi. Kisaran temanya cukup
luas, yakni mulai dari tema-tema tentang lokalitas, kritik sosial, keterasingan,
ketuhanan sampai mengenai persoalan feminisme. Berbagai tema tersebut
ditampilkan dalam aliran ekspresionisme, romantik, surealisme, idealisme,
mistisisme, simbolik, dan psikologisme.
7. Modal-Modal DKJ
a. Modal ekonomi
1) Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM)
Tercantum dalam SK Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota
Jakarta No. Ib.3/2/19/1968 tentang pembentukan Dewan Kesenian Jakarta
yang disebutkan dalam pasal 4 tentang kekayaan, bahwa “Modal pertama
Dewan Kesenian Jakarta terdiri dari Pusat Kesenian Jakarta, milik
pemerintah DKI. Jakarta, yang dikuasakan oleh gubernur kepada Dewan
Kesenian Jakarta.”
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id73
PKJ yang memakai nama almarhum Ismail Marzuki, seorang
komponis Indonesia terkenal asal Jakarta sebagai penghargaan atas jasa-
jasanya ini resmi dibuka pada 10 November 1968 atau tepat pada Hari
Pahlawan XXIII dengan menggelar acara Pesta Seni yang berlangsung
sampai tanggal 17 November. PKJ TIM terletak di jalan Cikini Raya No.
73, Jakarta Pusat. Kompleks PKJ ini didirikan di atas tanah seluas 6.400
m² di area bekas kompleks kebun binatang yang kini telah dipindahkan ke
Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan (Merdeka, 28 Februari 1973).
Sumber lain bahkan ada yang menyebutkan bahwa luas area PKJ TIM
mencapai kurang lebih delapan hektar (Merdeka, 16 Juli 1989).
PKJ TIM merupakan wadah dari berbagai kegiatan kesenian baik
lokal maupun internasional, yang meliputi berbagai jenis seperti sastra,
teater, musik, tari, seni rupa, film, dan lain sebagainya. Untuk menampung
dan menunjang aneka ragam kegiatan tersebut, PKJ TIM memiliki
berbagai sarana bangunan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat,
meliputi Teater Besar (kapasitas sekitar 1000 penonton), Teater Terbuka
(kapasitas sekitar 3000 penonton), Teater Tertutup (kapasitas sekitar 400
penonton), Teater Halaman, Ruang Tari Huriah Adam, ruang Pusat Seni
Grafis (Grafnic Center), ruangan pameran, sanggar belakang, sanggar
baru, serta Planetarium. Di bagian belakang taman juga masih terdapat
bangunan yang terutama diperuntukkan untuk menampung kegiatan
Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) dan Bengkel Kerja. Teater
Besar sendiri terdiri dari tiga lantai. Di lantai dasar difungsikan sebagai
area bioskop TIM. Di lantai dua terdiri dari kantor Dewan Pekerja Harian library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id74
(DPH) DKJ, perpustakaan, LPKJ, Cinematheque, dan Badan Penerbit
Pustaka Jaya. Untuk lantai tiga, penggunaannya difungsikan untuk
menampung berbagai kegiatan LPKJ. Sehari-hari, Teater Besar digunakan
untuk kegiatan komersial. Namun, setidaknya sebulan sekali gedung ini
digunakan untuk beragam program kesenian, baik yang diselenggarakan
oleh oleh rombongan kesenian lokal maupun asing (Merdeka, 16 Juli
1989).
2) Dana Subsidi Pemerintah
Selain mendapatkan hak pengelolaan PKJ TIM, DKJ juga
mendapatkan anggaran dana dari pemerintah DKI Jakarta. Tidak diketahui
jumlah pasti nominal anggaran dana yang diberikan pemerintah DKI
setiap tahunnya kepada DKJ. Namun, pada sekitar tahun 70-an, DKJ
dikabarkan mendapat dana subsidi dari pemerintah DKI Jakarta sebesar
Rp. 200 juta rupiah setiap tahunnya. Dana tersebut belum termasuk
bantuan berupa fasilitas yang pada tahun 1976 diperkirakan telah
mencapai senilai Rp. 1,5 milyar. Sebagai perbandingan, gubernur DKI
Jakarta ketika itu, Ali Sadikin mengungkapkan bahwa anggaran dana
untuk Dinas Kebudayaan DKI Jakarta hanya sekitar Rp. 30 juta rupiah per
tahunnya (Kompas, 20 Juli 1976). Pada perkembangannya, tidak diketahui
jumlah pasti nominal anggaran yang dialokasikan pemerintah terhadap
DKJ di masa-masa berikutnya. Namun, bertolak dari informasi awal pada
tahun 70-an dan kegiatan yang berjalan normal tanpa isu kendala dana
pada tahun 90-an, dapat diperkirakan bahwa DKJ masih mendapatkan
anggaran yang layak. library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id75
3) Sponsor (Kerja Sama)
DKJ dalam operasi pelaksanaan program-programnya tidak hanya
bergantung pada pemasukan serta fasilitas dari PKJ TIM dan dana dari
pemerintah DKI Jakarta. Modal ekonomi DKJ juga meliputi hubungan
kerjasama dengan pihak ketiga atau dapat disebut sebagai sponsor. Seperti
kegiatan pekan teater tradisional pada tahun 1973 yang diadakan oleh DKJ
bekerjasama dengan Direktorat Kesenian. Pada 1974, DKJ mengadakan
acara seminar puisi Indonesia dan Amerika yang merupakan hasil kerja
sama dengan majalah sastra Horison (Yayasan Indonesia). Pada 1976 DKJ
juga bekerjasama dengan Lingkar Mitra Budaya, menyelenggarakan
Pementasan Kesenian Rakyat. Pada 1995 DKJ bekerjasama dengan
Yayasan Gelanggang Bakti mementaskan acara Kesenian Aceh. Kerja
sama semacam itu menjadi modal ekonomi tersendiri bagi DKJ. Hubungan
dengan sponsor dari segi ekonomi tentunya menguntungkan DKJ sebab
biaya operasional atas suatu kegiatan tidak sepenuhnya ditanggung oleh
DKJ apabila kegiatan tersebut merupakan hasil bekerjasama dengan pihak
ketiga atau sponsor.
4) Hibah
Tidak jarang DKJ mendapatkan bantuan semacam hibah baik
dalam bentuk barang maupun uang. Pada tahun 1972, DKJ menerima dua
buah buku penting tentang seni lukis serta sejumlah slide reproduksi dari
lukisan-lukisan karya Van Gogh, Mondrian, dan Karel Appel. Reproduksi
beberapa lukisan tersebut kemudian dipamerkan di TIM. Selain itu, di
tahun yang sama DKJ mendapatkan mesin percetakan yang diserahkan library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id76
secara simbolis oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin (Indonesia Raya,
21 April 1972). Mesin percetakan tersebut sebenarnya merupakan hasil
tukar tanda mata yang dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta dengan
walikota Amsterdam. Mesin percetakan yang diserahkan langsung oleh
Walikota Amsterdam, Dr. I. Samkalden kepada pemerintah DKI tersebut
kemudian diteruskan diberikan kepada DKJ melalui Gubernur Ali Sadikin
(Pedoman, 13 April 1972).
DKJ melalui TIM juga pernah mendapatkan bantuan karpet balet.
Karpet balet yang dibeli dan didatangkan langsung dari Perancis tersebut
dihibahkan oleh Kedutaan Besar Perancis. Proses pendatangan karpet
tersebut juga melibatkan bantuan dari Yayasan Pembina Pendidikan Adik
Irma bekerja sama dengan maskapai penerbangan nasional Garuda
Indonesia (Suara Pembaruan, 19 Oktober 1993).
Hibah dalam bentuk uang juga diterima secara tidak langsung oleh
DKJ melalui TIM. Dikabarkan bahwa media Tempo melalui Yayasan Jaya
Raya memiliki dana tahunan untuk menyumbang TIM sebesar Rp 100 juta
per tahun. Dana tersebut dibebaskan penggunaannya, atau dalam kata lain
dapat dimanfaatkan untuk membiayai berbagai program acara kesenian
sesuai kebutuhan (Republika, 28 November 1994).
b. Modal kultural-sosial
Sebagai lembaga yang beroperasi sebagai mitra kerja gubernur
DKI Jakarta, DKJ mewujud sebagai sebuah lembaga yang memiliki
semacam lisensi terpercaya. Terutama dalam kaitannya dengan
membangun hubungan yang menguntungkan dengan pihak-pihak lain library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id77
dalam berbagai skala. Sebagai lembaga resmi yang hampir keseluruhan
dana operasionalnya didukung oleh pemerintah DKI Jakarta, maka tidak
mengherankan apabila di setiap tahunnya DKJ memiliki program kegiatan
jelas. Tidak hanya jelas, tetapi DKJ dengan program kerjanya dari tahun
ke tahun mampu menyuguhkan kegiatan yang konsisten, berkelanjutan,
dan dengan terbuka menyasar beragam kalangan secara luas. DKJ yang
berpusat di PKJ TIM pun menjadi sebentuk wadah dan fasilitator kesenian
masyarakat Jakarta pada khususnya dan masyarakat Indonesia, bahkan
asing pada umumnya.
Sejak awal didirikan DKJ diisi oleh orang-orang yang kompeten
dalam bidang kesenian, bidang sastra khususnya. Komite sastra dari tahun
ke tahun senantiasa diisi oleh sastrawan-sastrawan produktif, terkemuka,
dan namanya tercatat dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Bahkan dapat
dibilang hampir seluruh sastrawan senior Indonesia pernah terlibat dengan
DKJ, baik sebagai pengurus, anggota DKJ, AJ, LPKJ, tamu acara DKJ,
maupun yang secara khusus berkegiatan kesenian di DKJ. Sebagai contoh
ialah Umar Kayam, Gunawan Mohammad, Ajip Rosidi, Asrul Sani,
Sjuman Djaya, Ramadhan KH, Arief Budiman, Taufiq Ismail, Tuti Herati,
Sapardi Djoko Damono, Danarto, Subagio Sastrowardoyo, Abdul Hadi
WM, Putu Wijaya, Arifin C. Noor, dan lain sebagainya.
DKJ tidak jarang menggelar acara kolaborasi yang bekerjasama
dengan pihak lain. Pihak-pihak lain tersebut misalnya adalah Direktorat
Kesenian, Yayasan Gelanggang Bakti, Lingkar Mitra Budaya, majalah
sastra Horison (Yayasan Indonesia), dan sebagainya. Tidak berhenti di library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id78
situ, DKJ membuka hubungan tidak terbatas pada pihak-pihak lokal saja.
DKJ juga membuka diri bahkan mengambil inisiatif dalam membuka
hubungan kerja sama dengan pihak luar negeri.
Pada tahun 1973 untuk pertama kalinya DKJ berkorespondensi
dengan Pusat Kesenian Filipina (Cultural Centre of the Philippines) yang
berlokasi di Manila, Filipina. DKJ bekerjasama dengan Pusat Kesenian
Filipina dalam bentuk pertukaran acara dan rombongan kesenian (Harian
Angkatan Bersenjata, 22 Desember 1973). Setahun berikutnya DKJ
mengajak negara-negara ASEAN untuk menyelenggarakan pertunjukan
dan pameran. Ajakan tersebut dilayangkan kepada Malaysia, Singapura,
Filipina, dan Thailand (Angkatan Bersenjata, 13 Maret 1974 dan Berita
Yudha, 16 Maret 1974).
Hubungan DKJ dengan pihak luar negeri makin meluas. Pada
tahun 1974 DKJ mengembangkan hubungan kerja sama dengan negara
eropa, yakni Belanda. Kerja sama tersebut DKJ jalin dengan Direktur
Kunstsichting Rotterdam, Avd Staag (Angkatan Bersenjata, 1 Februari
1974).
Selain Belanda, DKJ juga mengadakan hubungan dengan Amerika
Serikat dan juga Perancis. Khusus untuk Belanda, hubungan baik kedua
pihak pada dasarnya telah dirintis sejak tahun 1971. Namun, baru beberapa
tahun kemudian hubungan tersebut makin berkembang. Perkembangan
signifikan itu terlihat dari terlibatnya sastrawan Indonesia dalam kegiatan
Poetry Reading di Amsterdam yang diwakili oleh Taufiq Ismail pada
tahun 1973, dan WS Rendra serta Gunawan Mohammad untuk tahun library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id79
1974. Bentuk dari hasil kerjasama dengan pihak Belanda juga terlihat
dalam bidang penerjemahan karya, seperti karya Multatuli dan beberapa
penulis Belanda. Penerbit Pustaka Jaya pada tahun 1974 juga menerbitkan
lima buku terjemahan dari bahasa Balanda yang salah satu diantaranya
ialah kumpulan sajak. Di bidang film, DKJ memperluas jaringannya
dengan bekerjasama dengan pihak Film Academy Amsterdam. Selain itu,
DKJ juga berkesempatan mengirimkan salah satu anggotanya, yakni
Misbach Yusa Biran untuk belajar sinematografi di Belanda. Kerja sama
DKJ juga merambah bidang seni rupa. Kerja sama tersebut ialah dalam
bentuk pertukaran pelukis untuk masing-masing dapat belajar di Belanda
dan Indonesia (Angkatan Bersenjata, 4 Februari 1974).
c. Modal simbolis
DKJ merupakan lembaga resmi mitra kerja gubernur DKI Jakarta
yang dibentuk oleh masyarakat seniman. DKJ merupakan sebuah lembaga
independen yang sekaligus juga dinaungi oleh pemerintah. Pemerintah
yang menaungi adalah pemerintah DKI Jakarta. Lokasi DKJ beserta pusat
kegiatannya berada di Jakarta, tepatnya di PKJ TIM yang bertempat di
kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Lembaga tersebut dipayungi dan dukung
oleh pemerintahan DKI Jakarta. Selain itu, kedudukannya pun berada di
pusat ibu kota. Poin utama gengsi sosial DKJ adalah berkaitan dengan
nama besar kota DKI Jakarta.
Di balik DKJ, ada banyak tokoh-tokoh seniman terkemuka,
khususnya sastrawan-sastrawan senior Indonesia yang menjadi aset bagi
DKJ. Sejumlah tokoh sastrawan kawakan seperti telah disebutkan library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id80
sebelumnya tidak dapat dilepaskan dengan citra DKJ yang menjadi
semakin prestisius. Pada dasarnya beberapa sastrawan besar karena DKJ,
namun tidak dapat dipungkiri pula bahwa DKJ juga besar karena para
sastrawan yang menggarapnya. Tidak berhenti di situ, jaringan DKJ juga
terbilang luas. Selain memiliki hubungan yang dekat dengan pekerja-
pekerja seni se-Indonesia, DKJ juga memiliki hubungan kerja sama
dengan pihak-pihak lain non-individu baik dalam skala nasional maupun
internasional.
DKJ selama bertahun-tahun telah melaksanakan beragam program
kegiatan secara konsisten dan berkelanjutan. Terutama agenda kegiatan
sayembara mengarang roman DKJ yang prestisius. Dapat dikatakan bahwa
sayembara ini prestisius sebab tidak mesti ada pemenang yang muncul
dalam periode-periode penyelenggaraannya. Artinya, standar para dewan
juri sayembara DKJ dapat dikatakan sulit dipuaskan. Poin semacam ini
justru menunjukkan bahwa DKJ memiliki selera dan standarnya sendiri.
C. Pertukaran Modal Simbolis dan Pencapaiannya
Arena estetika sastra Indonesia merupakan sebuah struktur yang ditempati
oleh agen-agen. Keberadaan modal dan pemanfaatannya oleh pemilik modal,
yakni agen yang bersangkutan sangat diperlukan untuk dapat eksis di dalam
struktur tersebut. Dalam hal ini, DKJ menjadi salah satu agen yang
mempertarungkan modal-modal miliknya untuk meraih dan mempertahankan library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id81
posisi di dalam arena. Modal ekonomi, modal kultural-sosial, serta modal
simbolis berakumulasi dan mengalami pertukaran. Hal itu menunjukkan lintasan
trajektori DKJ dan kemudian menjadi poin yang menentukan posisi dan eksistensi
DKJ di dalam struktur arena. Seluruh modal dan pertukarannya dimanfaatkan
sesuai habitus untuk merancang beragam program kegiatan dengan skema yang
mendukung eksistensinya. Pemanfaatan modal melalui strategi-strategi diulas di
bawah ini dalam beberapa bagian.
1. Posisi Strategis Geografis dan Sosiografis DKJ
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) merupakan sebuah lembaga resmi yang
memiliki kedudukan administratif. Secara administratif DKJ berkedudukan di
DKI Jakarta. Lokasi DKJ tepatnya berada di dalam kompleks PKJ TIM yang
terletak di jalan Cikini Raya No. 73, Menteng dan masuk wilayah Jakarta Pusat.
Pada zaman Hindia Belanda, wilayah tersebut dahulunya oleh pihak
kolonial disebut dengan nama Batavia Centrum. Sebelum seorang Belanda, Jan
Pieterzoon Coen menamai dengan Batavia Centrum, wilayah tersebut disebut oleh
pribumi Jayakarta. Penggantian nama tersebut oleh J.P. Coen bersamaan dengan
keputusannya menjadikan Jayakarta sebagai pusat perdagangan dan kekuasaan
Belanda di Hindia Belanda (jakarta.go.id).
Pada zaman dahulu wilayah Jakarta Pusat merupakan kawasan penting
karena menjadi area pusat perdagangan dan kekuasaan pemerintahan Belanda. Hal
itu tidak jauh berbeda saat era pasca kemerdekaan, tepatnya pada masa Orde Baru.
Jakarta pusat merupakan kota administrasi DKI Jakarta. Apabila
mempertimbangkan segi titik lokasi, secara fisik posisi DKJ berada di jalur library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id82
strategis sebab terletak di wilayah pusat pemerintahan DKI Jakarta. Wilayah
Jakarta Pusat diantaranya meliputi wilayah pusat pemerintahan, jalur protokol,
kantor perwakilan negara-negara asing, kantor-kantor pemerintahan maupun
swasta, pusat perdagangan, kantor bank-bank pemerintah maupun swasta, dan
berbagai obyek vital lainnya (Budhisantoso, dkk:18).
Jakarta adalah kota urban dan metropolitan. Kedudukan Jakarta sebagai
ibu kota NKRI menjadikan gengsi tersendiri yang menarik minat banyak orang
datang ke Jakarta yang tampak menjanjikan (Rahmatulloh, 2017:54).
Jakarta secara geografis terletak di tepi laut Jawa di sebelah pantai utara
bagian barat Pulau Jawa yang tepatnya biasa disebut Teluk Jakarta. Keberadaan
Teluk Jakarta membuat kota Jakarta disebut juga sebagai kota pelabuhan.
Menurut sejarahnya, di masa lalu sejak zaman Fatahillah, Jakarta disebut sebagai
Sunda Kelapa yang merupakan sebuah kota pelabuhan penting. Bahkan pelabuhan
Tanjung Priok merupakan pelabuhan terpenting karena fungsinya yang besar
sebagai pintu gerbang utama negara. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa posisi
geografis Jakarta sangat stategis karena terletak di posisi silang dalam jalur lalu
lintas internasional. Hal tersebut menjadikan Kota Jakarta sebuah titik pertemuan
pengaruh sosial-budaya, politik, dan ekonomi dari negara-negara lain. Selain itu,
Jakarta juga menjadi tempat percampuran, pembauran maupun benturan dari
aneka ragam bangsa dan suku bangsa dengan latar kebudayaan yang berbeda
(Budhisantoso, dkk:5-6).
Jakarta pada masa Orde Baru merupakan pusat impian masyarakat
Indonesia akan modernitas. Kota Jakarta menjadi titik pusat perkembangan
kemajuan ekonomi yang menarik minat orang banyak untuk datang dan mengadu library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id83
nasib (Kurnia, 2016:1). Urbanisasi ke Jakarta menduduki urutan paling tinggi di
antara kota-kota lain di Indonesia. Menurut catatan kasar Pemda DKI Jakarta
menunjukkan bahwa pada tahun 1980 terdapat kurang lebih sebanyak 904.546
orang penduduk musiman di Jakarta (Budhisantoso, dkk:9).
Tidak hanya menjanjikan dari sisi ekonomi, Jakarta juga menjadi tujuan
masyarakat berbondong-bondong datang untuk meraih eksistensi dalam dunia
politik, bahkan sosial dan kultural. Jakarta amat terbuka, terlebih lagi masa Orde
Baru atau minimal di era awalnya, disebut-sebut sebagai periode yang relatif lebih
memberikan peluang bagi pertumbuhan dan perkembangan budaya, termasuk di
dalamnya perkembangan budaya massa apabila dibandingkan dengan zaman
sebelumnya (Budiman, 2002:141).
Jakarta yang ketika itu tengah mentransformasikan diri dari sebuah
kampung besar menuju status metropolitan tidak melupakan pembangunan dalam
bidang kesenian. Di antara proses pembangunan besar-besaran hotel, gedung
bertingkat, dan pusat hiburan malam, jasa Orde Baru adalah dibangunnya PKJ
TIM. Pusat kesenian tersebut dibangun di kawasan yang mudah dikunjungi,
representatif, dan dikelola oleh para seniman sendiri dengan dana mencukupi oleh
pemerintah daerah (Sarjono, 2001:165).
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa segi geografis maupun
sosiografis DKJ amat menguntungkan lembaga tersebut dalam rangka meraih
eksistensinya di dalam arena estetika sastra. DKJ memanfaatkan keuntungan
tersebut sebagai modal yang mendukungnya untuk dapat meraih simpati dan
partisipasi dari masyarakat dengan beragam latar belakang.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id84
Secara fisik, DKJ sama sekali tidak terletak di pinggiran kota bahkan
pelosok. DKJ terletak di pusat kota yang ramai dengan kemudahan akses. Untuk
mencapai DKJ di PKJ TIM dan mengikuti kegiatan kesenian di sana bukan
merupakan sesuatu yang sulit dan memerlukan usaha besar bagi masyarakat
ketika itu. Pusat kegiatan DKJ yang terletak di perbatasan antara perumahan
rimbun di Menteng untuk golongan kaya di masa penjajahan dengan kampung-
kampung padat di sepanjang sungai Ciliwung, membuat PKJ TIM dengan cepat
tumbuh pesat dengan berbagai kegiatan kesenian. Selain itu, PKJ TIM juga
menjadi tempat berlangsungnya pertunjukan-pertunjukan yang mendapat tepukan
meriah serta menjadi pusat pameran di ibu kota (Hill, 2011:163).
Secara sosial, Jakarta yang sangat majemuk, kompleks, dan dinamis
dengan limpahan massa juga sangat menguntungkan. Jumlah penduduk yang
banyak itu dimanfaatkan DKJ dengan cara menggelar berbagai acara seni.
Program kegiatan kesenian DKJ sengaja dirancang dengan konsep yang dapat
dinikmati masyarakat seluas-luasnya. Kegiatan kesenian tersebut misalnya acara
pentas kesenian rakyat, pekan teater, pembacaan puisi, dan lain sebagainya.
Kemudahan akses dan daya tarik kota, bahkan sebuah pusat kota
memberikan keuntungan besar bagi DKJ. Keuntungan tersebut secara langsung
maupun tidak, berpengaruh terhadap daya tarik DKJ dan program keseniannya di
PKJ TIM itu sendiri. Oleh karena aksesnya yang mudah, orang tidak akan malas
datang menonton acara-acara kesenian DKJ di PKJ TIM. Orang juga akan merasa
senang berlatih seni atau sekadar berkunjung ke PKJ TIM, sebab secara tidak
langsung pusat kota merupakan sebentuk simbol gengsi sosial yang dapat
menunjang eksistensi seseorang bila membuat wilayah tersebut menjadi lokasinya library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id85
bergaul sehari-hari. Ditambah lagi dengan adanya jumlah massa, baik yang tetap
maupun musiman yang banyak.
PKJ TIM yang diisi dengan berbagai kegiatan program DKJ dari waktu ke
waktu makin ramai dan dikenal masyarakat luas. Bahkan pada tahun 1972,
menurut sebuah artikel berjudul “Perkembangan TIM Cukup Gembirakan” jumlah
penonton di PKJ TIM setiap bulannya rata-rata mencapai 50.000 orang (Merdeka,
Selasa 5 Desember).
Latar belakang DKJ yang berada di pusat kota serta kebijakan sentralisasi
hasil pencanangan pemerintah Orde Baru sangat menguntungkan bagi DKJ
dengan PKJ TIM-nya. Posisi DKJ pada masa Orde Baru pun secara mantap
mendominasi arena sastra Indonesia. DKJ tidak hanya menjadi basis sastrawan di
kota pada era tersebut. Namun, DKJ di PKJ TIM juga menjadi sebuah ikon dan
orientasi bagi sastrawan daerah untuk mendapatkan pengakuan dalam arena sastra
Indonesia yang dikuasai DKJ.
Dapat melakukan pentas di PKJ TIM merupakan suatu bentuk kebanggan
tersendiri. DKJ membagikan modal simbolisnya terhadap seniman-seniman yang
diizinkan naik pentas di PKJ TIM. DKJ bukan tidak membuka kesempatan
seniman umum bahkan seniman daerah untuk tampil di PKJ TIM. DKJ
memberikan kesempatan kepada siapapun yang dinilai kompeten meski dalam
porsi yang terbatas. Terbatasnya kesempatan tersebut adalah usaha DKJ untuk
memelihara modal simbolisnya.
Pada dasarnya DKJ bukan merupakan lembaga atau organisasi kesenian
nasional. Namun, posisinya yang strategis di Jakarta dan nama besarnya sebagai
lembaga kesenian terpandang di ibu kota telah berpengaruh besar terhadap library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id86
rangsangan dan gairah kesenian, termasuk kesusastraan di berbagai daerah. Maka
dari itu tidak mengherankan apabila kemudian DKJ dan PKJ TIM dipandang
orang banyak sebagai cerminan dinamika kesenian nasional (Yudiono K.S,
2010:218).
2. Afiliasi DKJ dengan Pemerintah
DKJ lahir dari tuntutan masyarakat seniman di Indonesia yang
menginginkan sebuah pusat kebudayaan dengan sebuah dewan kesenian nasional
sebagai pengelolanya. Keinginan tersebut bersambut baik sebab sejalan dengan
gubernur DKI Jakarta ketika itu. Ali Sadikin dengan dorongan praktis, semangat
modernisasi serta adanya minat terhadap kebudayaan menjadi salah satu sosok
potensial pendukung perubahan dan pembangunan sosial yang cepat pada tahun-
tahun awal Orde Baru. Kemudian lahirlah DKJ dan PKJ TIM pada tahun 1968
(Hill, 2011:163).
DKJ sebagai sebuah lembaga kesusastraan resmi yang memiliki landasan
hukum sah merupakan sebuah modal. SK Gubernur tentang pembentukan DKJ
No. Ib.3/2/19/1968 merupakan modal kultural-sosial. SK tersebut melegitimasi
asal-usul DKJ yang pada akhirnya mempengaruhi terhadap kewajiban dan
kewenangan dalam operasinya sehari-hari. Dalam hal ini, sebagai lembaga
pembina kesenian DKJ memiliki legitimasi untuk mencitrakan dan menggiring
masa depan kesusastraan Indonesia sesuai dengan selera serta standar artistik DKJ
sendiri. Pengaruh yang besar dan dominan ini merupakan modal simbolis sebagai
hasil dari nama besar gubernur dan pemerintah DKI Jakarta sebagai otoritas di
atas DKJ. library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id87
SK Gubernur juga menjadi modal ekonomi DKJ karena darinya DKJ
mendapat hak pengelolaan atas PKJ TIM yang memiliki fasilitas terbaik. Seperti
adanya Teater Besar dengan kapasitas mencapai sekitar 1000 penonton, Teater
Terbuka dengan kapasitas mencapai sekitar 3000 penonton, dan berbagai fasilitas
lain yang menunjang kesenian. Selain itu DKJ juga mendapatkan anggaran dana
dari pemerintah yang tidak sedikit jumlahnya. Di sekitar tahun 70-an, DKJ
dikabarkan mendapat dana subsidi dari pemerintah DKI Jakarta sebesar Rp. 200
juta rupiah setiap tahunnya. Tidak hanya dana sebesar itu, DKJ juga memperoleh
bantuan berupa fasilitas yang pada tahun 1976 diperkirakan telah mencapai senilai
Rp. 1,5 milyar. Alokasi bantuan dana dan fasilitas tersebut terbilang besar
khususnya apabila diperbandingkan dengan jumlah anggaran dana untuk Dinas
Kebudayaan DKI Jakarta. Ali Sadikin mengungkapkan bahwa anggaran dana
Dinas Kebudayaan DKI Jakarta ketika itu yang hanya sekitar Rp. 30 juta rupiah
per tahunnya (Kompas, 20 Juli 1976).
Di tahun-tahun awal DKJ yang sekaligus pula menjadi tahun-tahun awal
masa pemerintahan Orde Baru, DKJ mendapatkan dukungan penuh dari
pemerintah. Dalam hal ini hubungan baik DKJ dengan pihak pemerintah terjalin
dengan baik melalui Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin.
Gubernur Ali Sadikin dalam pidatonya ketika acara pembukaan TIM
menyatakan bahwa politik tidak boleh turut campur tangan ke dalam PKJ TIM.
Ali Sadikin juga menegaskan bahwa politik tidak boleh turut andil dalam pusat
kesenian tersebut seperti halnya yang terjadi pada masa sebelum kudeta pada
tahun 1965 silam (Jones, 2015:260). Namun demikian, DKJ sebagai lembaga
yang bergerak di bawah naungan pemerintah tentu aktivitasnya tidak akan serta- library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id88
merta terlepas bebas begitu saja. Sebagaimana hubungan kedua belah pihak yang
berafiliasi, tentu ada bentuk bentuk intervensi dari pihak yang lebih tinggi
posisinya, dalam hal ini maksudnya ialah pemerintah DKI Jakarta. Afiliasi dengan
gubernur dan pemerintahannya selain menjadi modal DKJ, juga akan sangat
mempengaruhi kinerja dan performa DKJ itu sendiri. Hal tersebut kemudian akan
berdampak pada hasil yang akan dicerna masyarakat luas sebagai penikmat
kesenian produk DKJ.
Di tahun-tahun awal afiliasi DKJ dengan pemerintah DKI Jakarta di
bawah kepemimpinan Ali Sadikin, dapat dikatakan DKJ dapat melaksanakan
tugasnya dan berkembang sedemikian rupa tanpa ada banyak gesekan di sana-sini.
DKJ dan AJ tunduk di bawah intervensi DKI Jakarta di bawah pemerintahan Ali
Sadikin. Namun di dalam praktiknya, Provinsi DKI Jakarta dan kedua lembaga
tersebut umumnya memiliki hubungan kerja yang baik selama masa pemerintahan
Gubernur Ali Sadikin. Intervensi Ali Sadikin seperti salah satunya ialah
pengangkatan Direktur Dinas Kebudayaan Provinsi DKI menjadi pengurus DKJ
masih berterima bagi DKJ (D.T. Hill 1993, dalam Jones 2015:261).
Dukungan Ali Sadikin untuk DKJ juga terlihat dari keinginannya agar PKJ
TIM dijadikan monumen nasional dalam bidang kebudayaan dan kesenian. PKJ
TIM dicanangkan Ali Sadikin menjadi satu-satunya pusat kesenian yang ada di
Jakarta. Melalui hal tersebut, DKJ mendapat kesempatan untuk menukar modal
sosialnya sebagai pengelola PKJ TIM, dengan modal simbolis kewibawaan pusat
kesenian tersebut yang telah digadang-gadang oleh gubernur.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id89
Gambar 2: Liputan tentang pencanangan TIM sebagai monumen nasional dalam bidang kebudayaan dan kesenian (Merdeka, 19 Maret 1977).
Situasi kemudian berubah setelah pensiunnya Ali Sadikin di tahun 1977.
Ketika itu, terjadi ketegangan antara pemerintah DKI Jakarta dengan DKJ dan AJ
dikarenakan meningkatnya intervensi pemerintah DKI Jakarta. Tahun-tahun
krusial adalah antara tahun 1977 dan 1991. Pada saat itu, DKJ dan TIM sangat
merasakan ketegangan antara aspirasi para seniman untuk kebebasan berekspresi
secara penuh dan kehendak dari negara yang sangat menghendaki intervensi
agresif (Jones, 2015:261)
Ali Sadikin sendiri menyebut masa pemerintahan Gubernur Tjokropranolo
merupakan awal mula penurunan PKJ TIM. Gubernur Ali juga melontarkan kritik library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id90
terhadap pemerintah DKI Jakarta ketika itu. Menurutnya pemerintah DKI Jakarta
tidak mencarikan uang untuk mengembangkan PKJ TIM. Namun, justru
memanfaatkan PKJ TIM sebagai alat untuk mendapatkan uang (Chudori 1990,
dalam Jones 2015:261).
Serangkaian perubahan dalam peraturan provinsi yang mengurangi
otonomi DKJ mencerminkan ketegangan antara DKJ termasuk juga AJ dengan
pemerintah DKI Jakarta. Pada tahun 1973, DKJ dipaksa untuk berkonsultasi
dengan AJ dan diharuskan pula untuk bertanggung jawab kepada AJ menyangkut
semua kegiatannya. Pada tahun 1986, DKJ diharuskan bertanggung jawab kepada
gubernur untuk penyelenggaraan segala kegiatan dan manajemennya. Selain itu
DKJ juga diharuskan berkonsultasi dan bertanggung jawab kepada AJ untuk
arahan artistiknya. Perubahan terbesar untuk DKJ terjadi pada tahun 1991 ketika
tanggung jawab atas pengelolaan PKJ TIM dicabut dari DKJ dan kemudian
diberikan kepada Yayasan Kesenian Jakarta (Jones, 2015:261).
Afiliasi dan kedekatan hubungan dengan pemerintah merupakan modal
sosial yang dimanfaatkan DKJ untuk terus mendapat dukungan modal ekonomi.
Modal ekonomi tersebut penting karena menjadi sumber yang dimanfaatkan DKJ
untuk melaksanakan berbagai strategi demi meraih dan mengamankan posisi
dalam arena sastra. Oleh karena itu, DKJ tidak pernah benar-benar
mengonfrontasi pemerintah secara langsung meski terjadi perselisihan dan
ketidakcocokan antar keduaya. Persoalan seperti intervensi besar-besaran
terhadap lembaga sampai pencabutan pengelolaan atas PKJ TIM dihadapi DKJ
dengan hati-hati.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id91
Pada perkembangannya, usaha dan strategi tersebut tidak sia-sia.
Bertahun-tahun kemudian DKJ masih mendapat posisi istimewa bagi pemerintah
meskipun hubungan dengan gubernur dan pemerintah DKI Jakarta pada
khususnya tidak begitu baik. Hal tersebut terlihat salah satunya dari peran yang
diberikan kepada DKJ dari pemerintah pusat. Pada tahun 1993 Presiden Soeharto
menginginkan pembentukan dewan kesenian di setiap provinsi. Peran dewan
kesenian di setiap daerah tersebut tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri
(Inmendagri) No. 5A/1993 tanggal 27 Februari 1993 tentang pembentukan dewan
kesenian di seluruh propinsi se-Indonesia. Poin menarik pada bagian ini ialah
bahwa DKJ ditetapkan dalam peraturan tersebut sebagai konsultan resmi untuk
setiap rencana membangun fasilitas dewan kesenian yang baru (Jones, 2015:264).
Selain masih mendapatkan posisi strategis, DKJ juga masih mendapatkan
modal simbolis dari hasil pertukaran modal sosialnya dengan PKJ TIM. Sejarah
masa lalu DKJ yang membawa kejayaan bagi PKJ TIM tidak serta merta terhapus
begitu saja meski hak pengelolaannya telah dicabut. Di dalam pandangan
masyarakat, sampai tahun 90-an PKJ TIM dan DKJ tetap merupakan satu
kesatuan yang menjadi maskot atas dominasi pusat.
3. DKJ dalam Bingkai Tokoh-Tokoh Kesusastraan Indonesia
DKJ selama ini bekerja untuk menciptakan dan mempertahankan sebuah
masyarakat seni yang hidup di kota. Lembaga tersebut diisi oleh berbagai seniman
terpandang yang disegani dalam bidangnya masing-masing mulai dari penulis,
pengamat budaya, musisi, penari, dan pelukis terkenal. Anggota-anggota tersebut
diangkat oleh Akademi Jakarta (AJ) yang merupakan sekelompok pengamat library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id92
budaya dan intelektual. Tokoh AJ adalah figur-figur terkenal seperti penyair
Goenawan Mohamad, penulis NH Dini, dan Taufik Abdullah (dkj.or.id).
Sejak awal didirikan, tidak dipungkiri bahwa DKJ diisi dan diurus oleh
tokoh-tokoh kenamaan Indonesia, khususnya tokoh dalam bidang kesusastraan.
Seperti telah diungkapkan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa hampir seluruh
sastrawan senior Indonesia pernah terlibat dengan DKJ, baik sebagai anggota
DKJ, AJ, LPKJ, tamu acara DKJ, maupun yang secara khusus berkegiatan
kesenian di DKJ. Sebut saja Umar Kayam, Goenawan Mohammad, Ajip Rosidi,
Asrul Sani, Sjuman Djaya, Ramadhan KH, Arief Budiman, Taufiq Ismail, Tuti
Herati, Sapardi Djoko Damono, Danarto, Subagio Sastrowardoyo, Abdul Hadi
WM, Putu Wijaya, Arifin C. Noor, dan lain sebagainya. Menurut catatan,
pimpinan DKJ juga bukanlah orang sembarangan. Mereka adalah Trisno
Sumardjo (1968-1969), Umar Kayam (1969-1972), Ajib Rosidi (1973-1981),
Salim Said, Sulebar M. Sukarman, dan N. Riantiarno. Kesemuanya adalah tokoh-
tokoh yang pernah memimpin DKJ sejak awal didirikan hingga tahun 1990-an
(Yudiono K. S., 2010:215).
Para tokoh senior dan berpengalaman tentunya memiliki kredibilitas yang
tinggi. Oleh karena itu, tokoh-tokoh kawakan yang memenuhi DKJ merupakan
modal sosial. Tidak hanya itu, tokoh-tokoh tersebut juga merupakan modal
simbolis bagi DKJ. Kredibilitas para tokoh otomatis menunjang kredibilitas DKJ.
DKJ kemudian tidak semata-mata hanya diisi oleh para tokoh terkemuka. DKJ
juga dibingkai oleh pamor dan eksistensi para tokoh yang telah malang melintang
di dalam dunia kesusastraan Indonesia.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id93
Hal tersebut sangat menguntungkan bagi DKJ dan lembaga ini
memanfaatkanya untuk semakin memantapkan diri dalam mendominasi arena
sastra Indonesia. Melalui ketokohan yang ada, DKJ dapat membangun jaringan
yang luas dan menguntungkan. Sebagai contoh, PKJ TIM yang dikelola DKJ
dikabarkan mendapatkan sumbangan dana tahunan dari Tempo melalui Yayasan
Jaya Raya. Sumbangan yang ditujukan untuk membantu pembiayaan berbagai
program kesenian di PKJ TIM tersebut berjumlah seratus juta (Harian Republika,
Senin 28 November 1994). Pendiri Tempo sendiri salah satunya ialah Goenawan
Mohammad yang telah terlibat dengan DKJ bahkan sejak awal lembaga tersebut
didirikan. Goenawan Mohammad pernah menjadi anggota DKJ dan pernah pula
duduk sebagai anggota AJ. Kedekatan hubungan antara Goenawan Mohammad
dengan DKJ tersebut dapat menjadi sebuah indikasi peran yang kemudian
menghasilkan aliran dana sumbangan dari Tempo. Hal tersebut adalah contoh
modal sosial dan simbolis yang pada akhirnya terindikasi menghasilkan modal
ekonomi.
Contoh lain dapat ditilik dari kegiatan seminar Puisi Indonesia dan
Amerika hasil kerja sama DKJ dengan majalah sastra Horison (Yayasan
Indonesia). Acara tersebut digelar pada tahun 1974 dan terindikasi terselenggara
salah satunya karena ada kedekatan hubungan antara DKJ dengan tokoh-tokoh
Horison yang diantaranya ialah Mochtar Lubis, Taufiq Ismail, Arief Budiman,
dan H.B. Jassin yang kesemuanya pernah terlibat aktif di DKJ atau AJ. Tanpa
tokoh-tokoh yang terindikasi menjadi semacam “penghubung” tersebut, pada
dasarnya tidak mustahil bagi DKJ untuk menjalin kerjasama dengan pihak-pihak
lain. Namun, dengan adanya ketokohan yang membingkai sekaligus mengisi DKJ, library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id94
kerja sama semacam itu menjadi lebih efisien. Hal tersebut merupakan sebuah
keuntungan yang mendukung pergerakan DKJ dalam perjuangan di arena sastra
Indonesia.
Diungkapakan oleh Sutardji Calzoum Bachri (Kompas, 7 Juni 2002)
bahwa DKJ perlu dan penting dibentuk dengan para anggota yang penuh dengan
ketokohan kuat, berwibawa, dan mendapat dukungan dari seluruh komunitas seni
di Jakarta. Oleh karena dengan demikian, DKJ di antaranya dapat bekerja sama
dengan berbagai komunitas seniman untuk menjalankan misinya dalam melayani
kebutuhan seni bagi penduduk Jakarta. Aktivitas DKJ tidak sekadar mengisi acara
untuk gedung-gedung PKJ TIM, tetapi memenuhi kebutuhan penduduk terhadap
seni dan keinginan seniman Jakarta untuk menampilkan karya-karyanya (Bachri,
2007:315).
Secara umum, sebenarnya antara DKJ dan tokoh-tokoh anggotanya saling
berbagi modal simbolis. Mayoritas dari anggota DKJ merupakan tokoh-tokoh
yang telah mapan dan diakui dalam arena. Tokoh-tokoh yang telah diungkapkan
sebelumnya seperti Umar Kayam, Goenawan Mohammad, Ajip Rosidi, Taufiq
Ismail, Sapardi Djoko Damono, Danarto, Subagio Sastrowardoyo, Abdul Hadi
WM, dan lain sebagainya adalah sastrawan-sastrawan mapan. Tokoh-tokoh
tersebut mendominasi dan menjadi simbol atas kekuatan pusat. Estetika karya-
karyanya banyak diikuti pengarang-pengarang dari berbagai daerah di luar
Jakarta.
Karya Linus Suryadi AG di Yogyakarta memiliki gaya pengucapan liris
seperti yang dikembangkan Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohammad, dan
Abdul Hadi WM. Dalam penelitian Bakdi Soemanto, Linus Suryadi menulis sajak library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id95
Malam Begitu Dingin, Kabut pun Tiba yang dinilai melanjutkan konvensi sajak
Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi karya Goenawan Mohammad
(Anwar, 2013).
Tidak hanya Linus Suryadi AG, Iman Budhi Santosa di awal
kepenyairannya juga dinilai memiliki gaya ekspresi yang dekat dengan gaya
Sapardi Djoko Damono. Hal tersebut kuat ditandai oleh imajinasi, melodi, dan
emosi seperti dalam puisi Iman Budhi Santosa yang berjudul Di Depan Masjid
(Suryadi dalam Anwar, 2013).
Dapat diketahui bahwa karya-karya tokoh DKJ dijadikan induk bagi
sastrawan daerah. Estetika yang diusung tokoh-tokoh DKJ tersebut dijadikan
pintu gerbang bagi sastrawan daerah untuk dapat masuk ke arena sastra nasional
melalui penulisan karya dengan estetika yang sejiwa. Hal tersebut bermakna besar
bagi DKJ. Estetika yang disebarkan dan dijadikan acuan di daerah merupakan
manifestasi dari konsepsi estetika DKJ.
Sastrawan daerah yang menginduk pada estetika tersebut berarti secara
tidak langsung telah terdominasi dan mendukung konsepsi estetika DKJ. Hal
demikian itu dimanfaatkan DKJ selain untuk mengukuhkan dominasi estetikanya,
juga sekaligus untuk melanggengkan dominasi pusat. Semakin daerah terpacu
untuk menginduk pada gejala yang ada di pusat, maka kekuasaan Jakarta akan
semakin langgeng. Langgengnya sentralisasi kekuasaan tersebut merupakan
modal simbolis bagi DKJ. Modal tersebut dapat ditukar kembali menjadi
kekuasaan yang lebih dominan lagi dalam arena sastra Indonesia.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id96
4. DKJ, Pembina dan Pengayom Seniman
Besarnya peran sastrawan yang menjadi tokoh-tokoh DKJ dalam
menyebarkan konsepsi estetika membuat DKJ menaruh perhatian khusus
terhadapnya. Perhatian tersebut ditunjukkan melalui strategi dalam rangka
membangun hubungan baik. Hubungan yang baik dengan seniman atau sastrawan
dapat dimulai dari berbagai cara. Para sastrawan pada dasarnya juga merupakan
agen yang juga berjuang di arena kesusastraan Indonesia. Namun, oleh karena
DKJ merupakan agen yang berbentuk lembaga maka bentuk perjuangannya
berbeda dengan agen individu.
Sebagai institusi, DKJ menempatkan diri sebagai wadah yang menaungi
dan mendukung agen-agen lain, yakni dalam hal ini para sastrawan. Dukungan
tersebut nantinya tidak semata-mata sebatas menguntungkan sastrawan-sastrawan.
Namun, pada dasarnya dukungan tersebut menguntungkan DKJ akibat dari
hubungan baik dan keterikatan yang muncul dari pihak-pihak bersangkutan.
DKJ dengan modal ekonominya yang besar, memilih mendukung dan
secara tidak langsung menarik hubungan dengan sastrawan melalui program
pembinaan seni. Program tersebut telah dilaksanakan DKJ sejak tahun 1972.
Program pembinaan seni pada intinya melakukan penunjukan (order) terhadap
sastrawan terpilih dan seniman lain yang dinilai potensial untuk kemudian
diberikan bantuan finansial dalam rangka menunjang proses kesenian mereka.
Harapannya apabila proses kesenian mereka didukung, kreativitas seni mereka
dapat dipacu. Diungkapkan oleh Ramadhan KH dalam rangka mewakili komite
sastra, bahwa disediakan sejumlah tunjangan yang diperuntukkan kepada para
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id97
sastrawan yang dianggap potensial, tetapi memiliki kesulitan keuangan agar dapat
melanjutkan kerja kesenian mereka (Kompas, Selasa 29 November 1972).
Melalui program pembinaan seni tersebut, DKJ membangun hubungan
baik dengan para sastrawan dan seniman umum. Hhal itu merupakan strategi DKJ
untuk menempatkan diri sebagai lembaga yang lebih dari sekadar penyedia ruang
seni melalui PKJ TIM. DKJ menjadikan dirinya sebagai pengayom bagi agen lain
dengan membuat program yang mampu mendukung iklim produktivitas atas
kreativitas sastrawan. Program tersebut secara tidak langsung mampu mengikat
tokoh-tokoh untuk setia dalam mendukung DKJ. Dalam kenyataan, pembicaraan
mengenai tokoh-tokoh tersebut diharapkan akan secara otomatis terkait dengan
DKJ. Pada dasarnya, di sini DKJ berhasil menempatkan diri sebagai fasilitator
yang memiliki kekuatan untuk dapat melegitimasi eksistensi agen lain di
bawahnya dalam arena sastra Indonesia. Agen tersebut meliputi individu-individu,
para sastrawan yang ditunjuk, dipilih, dan yang kemudian diberi dukungan
finansial.
5. Sayembara Mengarang Roman Tonggak Eksistensi DKJ
Selama bertahun-tahun sejak awal didirikan, sayembara mengarang roman
menjadi program tahunan DKJ yang mampu menarik perhatian dan menjaring
partisipasi masyarakat dalam jangkauan lebih luas dibandingkan program-
program lainnya. Pasalnya, sayembara yang digelar secara rutin setahun sekali
tersebut, dibuka untuk masyarakat Indonesia dari seluruh pelosok negeri. Bahkan
di periode awal penyelenggaraan, sayembara ini telah mengundang banyak
peminat. library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id98
Gambar 3: Liputan tentang sayembara DKJ (Kompas, 29 Maret 1973).
Program kegiatan nasional bergengsi dengan hadiah yang besar dan dewan
juri dari tokoh sastra terkenal semacam ini merupakan salah satu bentuk
pemanfaatan DKJ atas modal ekonomi dan simbolis. Penyelenggaraan Sayembara
Roman telah berpengaruh besar terhadap gairah kepengarangan nasional. Berkat
ajang tersebut, berbagai daerah di luar Jakarta juga menikmati rangsangan seni
DKJ. Buku-buku pengarang dari berbagai daerah di Indonesia yang kemudian
tersebar luas ke seluruh penjuru telah memperkaya khasanah kesusastraan
Indonesia (Yudiono K.S, 2010: 218). library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id99
Sayembara mengarang roman sangat besar maknanya bagi DKJ sebagai
agen di dalam arena kesusastraan Indonesia. Secara kuantitas, sayembara ini
secara berkelanjutan terus diselenggarakan. Pada era Orde Baru, ajang ini
merupakan alternatif yang secara konsisten berperan menjadi wadah penyaluran
kreativitas masyarakat Indonesia. Namun demikian, penyelenggaraan sayembara
tersebut bukan tanpa misi tertentu. Sayembara mengarang roman bermakna besar
bagi eksistensi DKJ.
Menurut Zurmailis dan Faruk tentang sayembara mengarang yang
diadakan DKJ adalah sebagai berikut:
Dalam bidang kesusastraan, sayembara penulisan novel menjadi labor bagi proyek eksperimentasi sastra DKJ. Melalui syarat dan aturan main, lembaga menuntut kepatuhan total setiap peserta yang terlibat dalam permainan, kepada hukum-hukum baru yang mereka pilih dengan bebas, yang menjadi jalan bagi independensi mereka untuk menciptakan apa yang dinamakan Bourdieu sebagai ‘Republik Sastra’ (Zurmailis dan Faruk, 2017:66).
Dapat ditangkap bahwa kehadiran sayembara mengarang roman
merupakan sesuatu yang sangat penting. Melalui sayembara mengarang roman,
DKJ membangun sebuah standar atau model seninya sendiri sesuai dengan
estetika yang menjadi acuannya. Standar tersebut menjadi sebentuk penentu atas
eksistensi DKJ di dalam arena kesusastraan Indonesia. Pengaruh dan dominasi
DKJ dalam arena sastra Indonesia dapat dilihat jejaknya dari seberapa besar
dukungan atas estetika yang diusungnya.
Secara sederhana, ketika mengadakan sayembara, pada dasarnya DKJ
akan melahirkan dua hal, yakni pengarangnya dan karya. Pengarang serta karya
ini setelah dimunculkan penyelenggara lomba sebagai karya pemenang
sayembaranya, perannya kemudian menjadi representasi dan wujud eksistensi library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id100
agen yang melahirkannya. Dari segi pengarang, melalui sayembara roman, DKJ
telah mengukuhkan kehadiran sejumlah sastrawan sekaliber Korie Layun
Rampan, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Budi Darma, Ayu Utami dan lainnya sebagai
sosok-sosok sastrawan yang cukup diperhitungkan di tanah air (Sarumpaet 2006,
dalam Zurmailis dan Faruk, 2017:47).
Akumulasi modal DKJ pada dasarnya dipertaruhkan dalam program
tersebut. Program sayembara mengarang sangat berpengaruh terhadap DKJ dalam
kaitan dengan pencapaiannya sebagai agen yang mampu mempengaruhi konsep
estetika seni agen-agen lain di dalam struktur arena kesusastraan Indonesia.
Pencapaian tersebut akan sangat bergantung terhadap kemampuan DKJ dalam
memaksakan dan membuat agen lain menerima kemudian mengikuti standar
konsep estetikanya. Dalam kata lain, keberhasilan DKJ bergantung pada
kesuksesannya menanamkan standar konsep yang dianutnya terhadap agen lain di
dalam struktur kesusastraan.
Dari segi karya, model karya DKJ bersumber dari eksperimen dan aliran
baru seni di Eropa dan Amerika. Keduanya menganut aliran filsafat
eksistensialisme. Konsep estetika Barat tersebut merupakan bentuk penentangan
atas konsep realisme sosialis yang jejaknya masih hadir di arena kesusastraan
Indonesia. Sayembara pun menjadi penting artinya sebagai sarana untuk
memantau dan menjangkau sejauhmana pertarungan di arena telah dimenangkan
(Zurmailis dan Faruk, 2017:66).
Sayembara mengarang roman yang kemudian di akhir orde baru dikenal
sebagai sayembara penulisan novel, telah dimulai sejak 1974. Namun demikian,
DKJ baru memperlihatkan hasil tujuh tahun kemudian dengan memunculkan tiga library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id101
karya sebagai pemenang utama meski tanpa peringkat pada penyelenggaraan
sayembara tahun 1980. Ketiga karya pemenang utama tersebut meliputi Bako
karya Darman Moenir, Harapan Hadiah Harapan karya Nasjah Djamin, dan
Olenka karya Budi Darma. Posisi tersebut belum pernah dapat dicapai oleh karya-
karya peserta sayembara sebelumnya. Maka, keberadaan pemenang tersebut juga
bermakna bahwa menurut pandangan DKJ telah terjadi peningkatan kualitas karya
(Zurmailis dan Faruk, 2017:66-67).
Oleh karena itu, bukan hal yang mengherankan apabila tidak di setiap
periode penyelenggaraan sayembara, DKJ menemukan pemenang. Bahkan hampir
setiap penyelenggaraanya DKJ seringkali tidak memiliki pemenang, terutama
pemenang pertama. Dalam kata lain, tidak setiap periode penyelenggaraan
sayembara standar DKJ terpenuhi. Standar penilaian DKJ karya peserta menjadi
sangat penting karena berkaitan dengan perjuangan eksistensi atas estetika yang
diusungnya.
Selain itu, makna dari tingginya standar penilaian yang sebenarnya sangat
bergantung terhadap masing-masing dewan juri merupakan sebuah strategi.
Semakin sulit suatu kompetisi untuk dapat dimenangkan, maka perlombaan
tersebut akan semakin menarik dan menantang. Sekali ada pemenang, maka efek
yang ditimbulkan akan luar biasa. Hal itu telah terbukti dengan Saman yang
dimunculkan DKJ sebagai pemenang pertama sayembara roman tahun 1997/1998.
Kehebohan ketika itu tidak hanya berasal dari pencetakan sejarah sayembara DKJ
yang pada akhirnya memiliki pemenang pertama. Namun, dari estetika yang
dimunculkan dalam karya. DKJ sengaja mendaulat karya dengan estetika
“eksentrik” yang tidak umum ketika itu sebagai sebuah strategi. Reaksi besar pun library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id102
muncul dalam masyarakat. Berbagai dukungan baik pro maupun kontra menjadi
perdebatan. Strategi DKJ berhasil mencuri perhatian masyarakat untuk
mengembalikan posisi DKJ di dalam arena tahun 90-an yang sempat melemah.
Dari strategi tersebut, DKJ dapat mengumpulkan modal simbolis sebanyak-
banyaknya.
Melalui sayembara roman, DKJ melakukan langkah-langkah strategis
dalam rangka mencitrakan diri sebagai sebuah lembaga dengan otoritas dan hak
untuk menentukan karya sastra yang baik. Seiring berjalannnya waktu, sayembara
roman DKJ berhasil menjadi media untuk mengesahkan karya-karya yang
dianggap memiliki nilai estetika terbaik. Di sini, pada dasarnya kekerasan
simbolis tengah berperan besar. Melalui sayembara roman, DKJ membiarkan
karya-karya pemenang yang dimunculkannya menjadi representasi dominan. DKJ
menggiring opini masyarakat tentang standar karya sastra yang berkualitas
melalui ajang sayembara tersebut sehingga kualitas karya pemenang sayembara
DKJ dianggap benar dan alamiah. Kemudian pada akhirnya kualitas karya
tersebut tertanam dalam pikiran dan dijadikan masyarakat sebagai standar yang
umum.
Sayembara roman membuat realita DKJ di era Orde Baru menjadi eksis.
Mengingat, pada era tersebut iklim tengah berpihak kepada DKJ, sebab Lekra
yang mengusung realisme sosialis telah tumbang. Selain itu, akumulasi modal
ekonomi dan simbolis DKJ yang besar sanggup membuat DKJ dapat membuat
skema dan strategi sedemikian rupa melalui ajang sayembara mengarang roman
untuk dapat mendominasi struktur. Pendominasian dilakukan dengan
menyebarkan preferensi model estetikanya kepada khalayak luas, yakni seluruh library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id103
masyarakat Indonesia yang tidak lain juga merupakan agen-agen di dalam struktur
arena kesusastraan Indonesia.
Konsepsi estetika yang dituangkan dalam karya-karya pemenang
sayembara roman berhasil menjadi standar dan acuan. DKJ melalui sayembara
roman juga menjadi wadah pengukuhan kelahiran sastrawan Indonesia. Melalui
sayembara yang diadakan secara rutin tersebut, diungkapkan oleh Zurmailis dan
Faruk bahwa DKJ memegang peranan penting. DKJ menentukan sistem dan
reproduksi tata estetik di ranah kesusastraan Indonesia. Selain itu, diungkapkan
juga bahwa “DKJ berkontribusi dalam membangun kaidah, aturan dan susunan
dalam kaitannya dengan ekspresi maupun penilaian tentang keindahan melalui
rangkaian prosedur dari perangkat unsur yang saling berkaitan dalam produksi
sastra” (2017:47).
6. Hiruk Pikuk Kegiatan DKJ di PKJ TIM
Antara DKJ dan PKJ TIM tidak dapat dilepaskan kehadirannya satu sama
lain. Secara fisik DKJ berkedudukan di PKJ TIM dan secara sosial DKJ
menyelenggarakan hampir semua program kegiatannya di PKJ TIM. DKJ pulalah
yang diberi tanggung jawab oleh pemerintah untuk mengelola PKJ TIM sejak
pusat kesenian itu didirikan hingga tahun 1991. Dapat dikatakan bahwa DKJ
memiliki andil besar atas kepopuleran dan keramaian PKJ TIM.
PKJ TIM sejak awal berdiri dengan segera menjadi tempat pertunjukan
paling menonjol di Indonesia. PKJ TIM menjadi tuan rumah bagi lebih banyak
pertunjukan dan penonton daripada yang diselenggarakan di tempat lain di
Indonesia pada era 70-an. PKJ TIM menjadi tempat dilangsungkannya berbagai library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id104
festival dan konferensi nasional, teater paling populer, pertunjukan tari, diskusi
seni dan budaya yang diliput secara luas (Jones, 2015:155).
DKJ sendiri bahkan telah produktif mengadakan beragam kegiatan di PKJ
TIM sejak tahun-tahun awal lembaga dan pusat kesenian tersebut didirikan.
Berbagai kegiatan sastra yang terselenggara di PKJ TIM pada tahun-tahun
tersebut antara lain Pertemuan Sastrawan yang dilaksanakan pada tahun 1972 dan
1974, Diskusi Kritik Sastra di tahun 1974, Festival Desember 1975, Penyair
Muda di Depan Forum pada tahun 1976, Lomba Baca Puisi DKJ 1980, Temu
Kritikus dan Sastrawan 1984, Sayembara Penulisan Roman, Sayembara Naskah
Drama, dan berbagai acara lain seperti pembacaan puisi, pementasan teater.
Program Festival Desember 1975 sendiri meliputi acara Pekan Musik, Tari,
Teater Tradisi, Pesta Puisi, Diskusi dan Pameran Lukisan Seniman Muda
Indonesia, Sayembara Karya Tari Tingkat DKI Jakarta, Sayembara Penari
Tingkat DKI Jakarta, Sayembara Komposisi Musik Remaja, Sayembara
Komposisi Musik Kamar, Sayembara Film Mini, Seyembara Penulisan Roma, dan
Sayembara Festival Teater Remaja DKI Jakarta.
Di dalam program kegiatan yang berlangsung dari akhir November 1975
hingga Januari 1976 tersebut tercatat untuk pertama kalinya acara Pesta Puisi
dihadiri oleh sejumlah penyair dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan program
kegiatan pembacaan puisi oleh para penyair tersebut tidak hanya berlangsung di
PKJ TIM. Namun, juga di seluruh Gelanggang Remaja di Jakarta. Ketika itu
Emha Ainun Nadjib dan Sumardi tampil sebagai pengulas sajak-sajak, sedangkan
para penyair yang hadir dan membacakan sajak antara lain adalah Abdul Hadi
W.M., Darmanto Jatman, Hamid Jabbar, Hijaz Yamani, Chairul Harun, Leon library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id105
Agusta, Linus Suryadi AG, Mansur Samin, Piek Ardijanto Soeprijadi, Sapardi
Djoko Damono, Slamet Kirnanto, Taufiq Ismail, Wing Kardjo, Yunus Mukri Adi,
Yudhistira Ardi Nugraha (Yudiono K.S, 2010:217-218).
Berbagai kegiatan kesenian pada umumnya dan kesusastraan pada
khususnya sengaja dirancang mutunya oleh DKJ. Bahkan kemudian di masyarakat
berkembang anggapan bahwa siapa yang tampil atau ditampilkan di PKJ TIM
berarti memiliki mutu dan prestasi tinggi (Yudiono K.S, 2010: 217). PKJ TIM
memang memiliki kecenderungan berfokus pada bentuk-bentuk “modern” dan
“tinggi” yang menarik bagi elite metropolitan. DKJ dan PKJ TIM menumbuhkan
dan mengembangkan versi tertentu dari ekspresi seni dan kelompok khusus
seniman (David Hill 1993, dalam Jones, 2015:260-261). Namun kemudian yang
terjadi pada akhirnya DKJ tidak hanya berhasil menarik minat kesenian para elite
metropolitan. Lebih luas, ternyata aneka kegiatan hasil rancangan DKJ yang
ditampilkan di PKJ TIM menarik bagi masyarakat luas dari berbagai kalangan di
seluruh pelosok negeri.
Pada perkembangannya, DKJ menjadi semacam figur penting yang
dijadikan tolok ukur atas standar kesenian. Berkat kegiatan-kegiatan terkonsep
yang terus meramaikan PKJ TIM, DKJ berhasil menempatkan dirinya sebagai
panutan. Dalam hal ini peranan media massa cukup besar. Ketika itu, kegiatan
kesenian di PKJ TIM dengan sendirinya terpublikasikan lewat media massa
kemudian dijadikan acuan model kegiatan di berbagai daerah di luar Jakarta
(Yudiono K.S, 2010:217).
DKJ berhasil menjadikan PKJ TIM sebagai wadah yang terbuka dan
mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat luas. Hal itu dapat dicapai library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id106
karena DKJ menerapkan strategi lembaga yang menempatkannya sebagai
pengayom masyarakat untuk dapat berkesenian secara leluasa. Keleluasaan
tersebut diskenario oleh DKJ yang aktif menyelenggarakan berbagai kegiatan seni
mulai dari konsep lokal atau tradisional, modern atau kontemporer sampai seni
yang berkaitan dengan ranah agama seperti kegiatan islami. Contoh konkret dari
pencapaian tersebut ialah PKJ TIM berhasil menunjang kehadiran dan kreativitas
sastrawan khususnya era 70-an. Pada perkembangannya, meskipun PKJ TIM
mengalami surut pada tahun 90-an, namun modal sosial sebagai basis sastrawan
pada era 70-an tidak luntur begitu saja. Modal tersebut masih melekat dan
menjadi wibawa tersendiri bagi PKJ TIM bersama dengan DKJ.
D. DKJ dalam Arena Sastra Indonesia
Selama era Orde Baru, DKJ telah mengalami pergulatan yang panjang.
Sebagaimana agen pada umumnya, eksistensi DKJ dalam arena sastra Indonesia
pun tidak luput dari pasang surut. Mengingat perjuangan sebuah agen di dalam
arena tidak hanya berhenti dalam mencapai posisi yang mapan, tetapi juga mesti
berjuang mempertahan posisi, bahkan meluaskan pengaruh dan dominasi. Sebagai
agen, posisi DKJ dalam arena sastra Indonesia bergantung pada hasil
perjuangannya dalam mempertaruhkan modal-modal yang dimiliki. Pencapaian
posisi dalam arena merupakan hasil pertaruhan modal dalam medan perjuangan.
Di bagian ini, pencapaian-pencapaian DKJ tersebut akan diuraikan secara
kronologis sehingga dapat diketahui perkembangan posisi yang berhasil diraih.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id107
Masa kelahiran dan pertumbuhan yang hampir berbarengan dengan Orde
Baru membuat agen ini tidak dapat dilepaskan dari dinamika kehidupan politik
ketika itu. Maka, pembahasan dalam uraian ini dibagi ke dalam beberapa bagian
yang sarat dengan pembabakan politis pada masa Orde Baru.
1. Masa Awal (1970-an)
Sejak awal mula DKJ memulai pergulatan pada tahun 70-an, lembaga
sastra tersebut berhasil menempati posisi strategis dalam arena. Dukungan Orde
Baru dengan kebijakan sentralistik serta modal-modal yang dimanfaatkan
semaksimal mungkin menggunakan berbagai strategi, berhasil membawa DKJ
dengan PKJ TIM menjadi pusat yang mendominasi arena sastra Indonesia. Pada
masa tersebut, antara DKJ dan PKJ TIM mejadi sesuatu yang tidak terpisahkan
ketika membicarakan kekuatan pusat Jakarta.
Hubungan DKJ dengan pemerintah yang diwakili oleh Gubernur DKI
Jakarta, Ali Sadikin merupakan sebuah hubungan harmonis dan ideal seperti
keinginan DKJ. Hubungan tersebut menunjang kebebasan DKJ dalam melakukan
pergerakan untuk meraih posisi dalam arena sastra Indonesia. Selama bertahun-
tahun DKJ menjaga posisinya dengan terus menyelenggarakan berbagai program
kegiatan kesenian yang diharapkan mampu menarik dan memancing kreativitas
masyarakat luas. Kesenian di PKJ TIM didesain DKJ sedemikian rupa agar
mencitrakan keterbukaan. Hal itu dilakukan dalam rangka meraih simpati dari
masyarakat yang luas tersebut. DKJ tidak hanya menggiring massa dengan
penerapan kekerasan simbolis pada sayembara sebagai bentuk penyebaran
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id108
konsepsi estetika yang diusungnya. DKJ melakukan strategi pengakomodasian
berbagai kepentingan melalui penyelanggaraan kesenian di PKJ TIM.
Gambar 4: Artikel penegasan tentang PKJ TIM yang tidak dibangun hanya untuk
masyarakat golongan tertentu (Pos Kota, 20 Maret 1974).
Di awal masa Orde Baru, lembaga tersebut mendapatkan masa
kejayaannya. Pada masa-masa tersebut, DKJ berhasil menjadi basis bagi
sastrawan Angkatan 70-an dalam berkarya. Di sisi lain, DKJ memupuk modal
sosial dan simbolis melalui usahanya dalam membangun hubungan dengan
lembaga kesenian asing.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id109
Gambar 5: Artikel tentang perkembangan hubungan antara DKJ dengan Belanda (Kompas, 4 Februari 1974).
Di sekitar sepuluh tahun pertama eksistensi DKJ dalam struktur arena
sastra Indonesia, lembaga tersebut telah berhasil mengukir posisi yang mapan.
Kehadirannya sebagai pengayom dan pembina seni telah mewadahi kreativitas
sastrawan dan seniman pada umumnya dalam berkesenian. Berkat
kemampuannya dalam mewadahi agen-agen lain, DKJ pun berperan sebagai
induk yang mendominasi. Berkat program sayembara roman dan dukungan
program-program seni rancangan DKJ yang ditampilkan di PKJ TIM, lembaga
seni tersebut memiliki kekuatan estetika. Konsepsi estetika DKJ dengan
romantisme Barat khas humanisme universal banyak diikuti dan dijadikan kanon
estetika yang berlaku. Pencapaian tersebut didapatkan dari kekerasan simbolis library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id110
sebagai hasil dari habitus dan modal yang dikerahkan DKJ dapat selinear dengan
struktur arena sastra Indonesia.
2. Masa Pertengahan (1980-an)
Pencapaian posisi agen tidak abadi. Tahun-tahun lesu ditambah situasi
politik yang tidak mendukung pada akhirnya datang menghampiri DKJ. Pada
dasarnya menurunnya tingkat kekondusifan arena sastra telah menurun sejak akhir
tahun 70-an. Namun, hal tersebut memuncak pada tahun 80-an.
Pergantian pemerintahan daerah dan berbagai pembatasan pemerintah
pusat menekan DKJ pada era 80-an. Dampak paling signifikan terhadap DKJ yang
paling terlihat adalah memburuknya hubungan dengan gubernur-gubernur setelah
Ali Sadikin. Selain itu, munculnya masalah internal DKJ dan vakumnya
sayembara mengarang roman DKJ yang sebelumnya selalu rutin diadakan setiap
tahun akibat penurunan kualitas karya. Masa tersebut adalah masa-masa redup
bagi DKJ. Pada masa pertengahan Orde Baru DKJ diindikasikan mengalami
penuaan akibat pertarungan yang terus menerus dilakukannya dalam arena sastra.
Krisis melanda, DKJ mendapatkan kritik dari sana dan sini.
DKJ mendapat berbagai macam tudingan dan aliran krisis kepercayaan
dari masyarakat. Perlawanan dari luar kutub DKJ dan PKJ TIM terutama berasal
dari daerah-daerah yang selama ini terdominasi oleh kekuatan sentral Jakarta.
Kritik dan sorotan terhadap DKJ pada masa itu mencuat dalam berbagai media
massa. Beberapa di antaranya tampak dalam gambar artikel di bawah ini.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id111
Gambar 6: Artikel yang memuat kritikan dari Emha Ainun Nadjib dan Linus Suryadi AG terhadap DKJ. Keduanya merupakan tokoh Persada Studi Klub (PSK) yang berbasis di Yogyakarta (Merdeka, 3 November 1983).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id112
Tidak hanya DKJ, PKJ TIM juga mendapatkan sorotan serta perlawanan.
Pada masa-masa tersebut, hak pengelolaan PKJ TIM sudah tidak berada di bawah
DKJ. Namun, oleh karena catatan sejarah antara DKJ dan PKJ TIM yang telah
demikian dekat dan pembicaraannya saling terkait satu sama lain, maka hal
tersebut tetap berpengaruh.
Gambar 7: Artikel gugatan dari daerah terkait dengan barometer teater dalam
arena sastra Indonesia (Merdeka, 30 Juni 1985). library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id113
Gambar 8: Tulisan mengenai PKJ TIM yang menanggung tantangan sebagai pusat pembinaan dan pengembangan seni budaya (Berita Buana, 5 November 1985). library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id114
Di masa pertengahan Orde Baru yang serba materialis, DKJ tidak hanya
dihadapkan dengan “serangan” dari luar “pagar” PKJ TIM. Namun, DKJ juga
mendapat kritikan dari pihak yang sama-sama menjadi aktor dalam kubu yang
sama, yakni di pusat dominasi. Hal itu seperti terlihat dalam kritik Sutardji
Calzoum Bachri berikut.
Gambar 9: Liputan hasil wawancara Danarto terhadap Sutardji Calzoum Bachri di PKJ TIM yang menyoroti persoalan krisis kepercayaan dengan DKJ dan AJ
(Zaman, 27 April 1980).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id115
Sorotan terhadap DKJ dan PKJ TIM merupakan goncangan yang
berpengaruh terhadap penyusutan modal simbolis. Namun demikian, sejarah
pencapaian posisi mereka dalam struktur tidak lantas terhapus dan menjadi tidak
bermakna begitu saja. “Pendatang baru” yang menggugat DKJ tidak kemudian
dapat dikatakan telah memenangkan pertarungan dalam arena dan mengalahkan
agen DKJ. Hal itu dikarenakan, DKJ masih berusaha bertahan dengan
memanfaatkan sisa-sisa modal yang ada meski sayembara roman sebagai tonggak
eksistensinya dalam arena sastra terpaksa vakum pada tahun 80-an untuk
sementara waktu. Selain itu, gegap gempita kritikan yang riuh diserukan dalam
berbagai media nasional memiliki sisi positif.
Keramaian itu mengindikasikan bahwa DKJ dipandang sebagai lembaga
yang mengemban tugas berat bagi masyarakat banyak. Oleh karena itu, kritikan-
kritikan yang muncul dapat dimaknai sebagai wujud harapan besar yang pada
dasarnya digantungkan di “pundak” DKJ. Dalam kata lain, terlepas dari
perlawanan dan pertarungan merupakan hakikat kehidupan dalam arena
pergulatan, agen DKJ tampak memikul kepercayaan bagi masyarakat luas dengan
beragam kepentingan yang berharap dan berkeinginan untuk dapat diakomodasi
oleh lembaga tersebut tanpa membuatnya menjadi inferior atau terdominasi.
3. Masa Penghujung (1990-an)
Di tahun 90-an, suasana arena sastra dan arena kekuasaan politik masih
“panas”. Gejolak masih bermunculan termasuk hadirnya jurnal revitalisasi sastra
pedalaman yang juga berniat melawan sentralisasi pusat dengan DKJ, PKJ TIM,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id116
dan media nasional terbitan Jakarta sebagai maskotnya. Sebagaimana agen, DKJ
terus berjuang mempertahankan posisinya dalam arena sastra Indonesia.
Setelah mencoba bertahan dan mengganti sayembara roman menjadi
program Hadiah Sastra yang berlangsung pada tahun 1982, 1983, 1984, DKJ
akhirnya kembali dengan membuat gebrakan pada penghujung masa Orde Baru.
Pada tahun 1998 untuk pertama kalinya dalam sejarah penyelenggaraan
sayembara roman, DKJ memunculkan juara pertama yang diraih oleh Saman
karya Ayu Utami. Karya tersebut sukses membuat perhatian masyarakat kembali
mengarah kepada DKJ.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id117
Gambar 10: Artikel yang memuat penggalan ulasan tentang Saman karya Ayu
Utami (Media Indonesia, 1 Agustus 2004).
Di tengah kelesuan sastra Indonesia, Saman dimunculkan DKJ dan
berhasil mendapatkan sambutan yang begitu ramai. Saman dapat dikatakan
sebagai titik balik atas kembalinya DKJ ke posisinya semula yang sempat
meredup dan mengalami penuaan. Terlebih lagi hal itu dibarengi dengan
lengsernya Orde Baru digantikan era Reformasi yang membuka kebebasan
masyarakat dan DKJ pada khususnya. Di era 90-an, terutama setelah lepasnya
Orde Baru dan munculnya kesempatan atas kebebasan berkesenian, DKJ pun
mulai memperjuangkan kembali posisinya di dalam arena sastra Indonesia.
Pemanfaatan atas modal-modal DKJ mulai kembali maksimal dalam
mendukung perjuangan DKJ di arena sastra Indonesia. Meski hak atas PKJ TIM
telah dicabut dari DKJ, namun pusat keseian tersebut telah telanjur melekat
dengan sosok DKJ. Kebesaran PKJ TIM tetap menjadi aset bagi DKJ. Selain itu,
mayoritas aktivitas kesenian DKJ juga tidak kemudian berpindah. DKJ tetap
berbasis di PKJ TIM meski tidak seramai era 70-an.DKJ tetap memanfaatkan PKJ
TIM untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan kesenian sesuai porsi yang
dimiliki sebagai strategi untuk mempertahankan eksistensi. Krisis sebelum yang
terjadi sebelumnya tidak begitu saja mematikan DKJ. DKJ bertahan dari penuaan
yang dihadapinya dan terus melakukan pergerakan dalam merebut dominasinya
dalam arena sastra Indonesia. Di pertengahan tahun 90-an DKJ melalui tokoh-
tokohnya berperan dalam semacam gerakan perlawanan terhadap kekuasaan yang
tidak sehat ketika itu. Kekhawatiran terulangnya penghapusan kebebasan
berpendapat yang sesuai hukum seperti pada masa demokrasi terpimpin library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id118
menggerakkan budayawan dan sastrawan untuk mendeklarasikan “Peryataan
Mei”.
Gambar 5: Liputan deklarasi “Pernyataan Mei” di PKJ TIM pada tanggal 12 Mei 1995 (Merdeka, 13 Mei 1995).
“Pernyataan Mei” diindikasikan menjadi bentuk partisipasi DKJ atas
perlawanan terhadap politik dan pemerintah yang merenggut kebebasan
berekspresi ketika itu. Perlawanan tersebut diwakili oleh tokoh-tokoh DKJ seperti
Goenawan Mohammad, Arif Budiman, HB Jassin, dan lain sebagainya yang
terlibat dalam menginisiasi dan mendeklarasikan “Pernyataan Mei”. Dalam hal ini
terlihat bahwa pada dasarnya DKJ yang pro pemerintah juga memiliki sikap
mendua. Meski dengan cara yang tetap hati-hati dan tanpa mengonfrontasi secara
langsung, DKJ tetap mengambil peran dalam perjuangan kemerdekaan
berekspresi. Hal itu dapat dipahami sebagai strategi DKJ untuk turut menentukan
iklim yang kondusif dalam berkesenian di masa depan. Selain itu, partisipasi library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id119
tersebut juga merupakan wujud pencitraan diri sebagai lembaga yang berpihak
kepada masyarakat.
Di sisi lain pada era 90-an, DKJ juga tidak lepas dari sorotan dan kritik.
DKJ kerap kali disinggung memiliki hubungan dekat dengan agen lain, yakni
TUK atau KUK yang baru terbentuk pada tahun 1994. Kedekatan hubungan
tersebut terindikasi dari munculnya Saman dengan pengarangnya, yakni Ayu
Utami yang merupakan anggota KUK. Pada era berikutnya bahkan Ayu Utami
masuk sebagai pengurus DKJ. Hal tersebut dinilai kubu Saut Situmorang, dkk
sebagai sebuah aksi pengambilan alih dan penyebaran konsep kebudayaan KUK
yang dinilai sebagai agen imperialis dan pintu penjajahan bidang kebudayaan
Indonesia melalui DKJ.
Pada intinya, di penghujung Orde Baru dan di kemungkinan besar juga di
era setelahnya, DKJ menghadapi tudingan atas kuatnya pengaruh KUK dalam
DKJ. Pengaruh tersebut muncul dari tokoh-tokoh DKJ yang diduduki oleh orang-
orang yang merupakan tokoh KUK seperti Goenawan Mohammad dan Ayu
Utami. Namun demikian, meski orientasi DKJ disebut-sebut sebagai Barat yang
sering mendapat tudingan pengaruh dari agen lain seperti KUK yang imperialis,
DKJ tetap eksis. DKJ masih menjadi wadah besar yang memiliki posisi penting di
arena sastra Indonesia. Dominasi DKJ terutama berasal dari pemanfaatan modal-
modalnya yang ditukarkan untuk meraih modal simbolis dengan merintis kembali
sayembara roman pada tahun 1997-1998.