Juli 2019 Deskripsi Fisik Tokoh Novel Layar Terkembang Karya STA Dan

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Juli 2019 Deskripsi Fisik Tokoh Novel Layar Terkembang Karya STA Dan Jurnal Kata (Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya) Juli 2019 Deskripsi Fisik Tokoh Novel Layar Terkembang Karya STA dan Belenggu Karya AP Oleh Kahfie Nazaruddin Iing Sunarti Nola Miranda Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung Email : [email protected] Abstract This research was aimed to describe the physical description of the main characters in the novel of Layar Terkembang by Sutan Takdir Alisjahbana and Belenggu by Armijn Pane and their use as teaching material in high school. This research used descriptive qualitative method. The results of this study indicate the physical description of the main characters in the novel Layar Terkembang and Belenggu in terms of accelerating the presentation of characters, which are presented gradually, the method of presenting characters is presented analytically, types of descriptions use subjective descriptions, and descriptions of symbolic signs. The results of this study are teaching materials that can be used in novel learning in 12th grade high school even semester in order to make the students understand that a character is as one of the intrinsic elements found in the novel Layar Terkembang by Sutan Takdir Alisjahbana and Belenggu by Armijn Pane with Basic Competence 3.9 Analyzing content and language Feature of the novel. Keywords: physical description of characters, novels, and teaching material Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan deskripsi fisik tokoh utama dalam novel Layar Terkembang Karya Sutan Takdir Alisjahbana dan Belenggu Karya Armijn Pane dan pemanfaatannya sebagai materi ajar di SMA. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan deskripsi fisik tokoh utama dalam novel Layar Terkembang dan Belenggu ditinjau dari akselerasi penyajian tokoh yaitu disajikan secara berangsur, metode penyajian tokoh disajikan secara analitik, jenis deskripsi menggunakan deskripsi subjektif, dan deskripsi jenis tanda simbolik. Hasil penelitian ini berupa materi ajar yang dapat digunakan dalam pembelajaran novel di SMA kelas 12 semester genap yang bertujuan agar siswa mampu memahami tokoh sebagai salah satu unsur intrinsik yang terdapat pada novel Layar Terkembang Karya Sutan Takdir Alisjahbana dan Belenggu Karya Armijn Pane dengan Kompetensi Dasar 3.9 Menganalisis isi dan kebahasaan novel. Kata kunci: deskripsi fisik tokoh, novel, dan materi ajar Prodi Pend.Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung Halaman 1 Jurnal Kata (Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya) Juli 2019 1. PENDAHULUAN Deskripsi fisik mengenai bentuk fisik seseorang yaitu bertujuan untuk Sastra berasal dari (Sanskerta: memberikan gambaran yang sejelas- shastra) ialah kata serapan bahasa jelasnya tentang keadaan tubuh Sanskerta sastra yang berarti teks seorang tokoh, sehingga para yang mengandung instruksi atau pembaca dapat memperoleh pedoman. Dari kata dasar sas yang gambaran yang jelas mengenai orang berarti instruksi atau ajarann. Dalam itu dan dapat mengenal tokohnya bahasa Indonesia kata ini biasa kembali apabila ia menjumpainya digunakan untuk merujuk kepada pada suatu kesempatan kelak (Keraf, kesusastraan atau sebuah jenis tulisan 2017:149). yang memiliki arti atau keindahan tertentu (Agni, 2009: 4). Penggambaran tokoh dalam novel, biasanya didukung oleh tema dalam Karya yang termasuk dalam kategori cerita tersebut. Menurut Stanton sastra yaitu novel, cerita/cerpen (dalam Nurgiyantoro, 2007: 70) tema (tertulis/ lisan), syair, pantun, ialah makna sebuah cerita yang sandiwara/drama, dan secara khusus menerangkan sebagian lukisan/kaligrafi (Agni, 2009: 5). besar unsurnya dengan cara yang Salah satu bentuk karya sastra ialah sederhana. Tema menurut Stanton novel. Novel merupakan lebih kurang bersinonim dengan ide pengungkapan dari hasil atau nilai- utama (central idea) dan tujuan nilai kehidupan manusia (dalam utamanya (central purpose). Tema jangka yang lebih panjang) dan dapat dipandang sebagai dasar cerita, terjadi konflik-konflik yang akhirnya gagasan umum sebuah karya novel, menyebabkan terjadinya perubahan sehingga untuk menggambarkan jalan hidup antara para pelakunya. tokoh dalam sebuah cerita, pembaca Menurut Jassin (dalam Faruk, 1997: harus mengetahui terlebih dahulu 265) novel ialah cerita mengenai tema dalam cerita tersebut, karena salah satu episode dalam kehidupan tema landasan untuk membahas manusia, suatu kejadian yang luar deskripsi fisik tokoh agar biasa dalam kehidupan itu, sebuah penggambaran tentang tokoh yang kritis yang memungkinkan terjadinya dilakukan oleh pengarang sampai perubahan nasib pada manusia. kepada pembaca. Novel ditulis oleh pengarang sebagai Penggambaran tokoh dalam sebuah bentuk pengungkapan realitas karya fiksi berupa prosa dapat dilihat kehidupan manusia. Ada 2 unsur dari dua segi yakni yang pertama pokok yang membangun sebuah adalah dari segi tradisioal dan kedua karya sastra (novel), yaitu unsur yakni dari segi pihak naratif. Secara intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur tradisional terdapat dua cara yakni intrinsik novel meliputi alur, tema, berangsur dan seketika dan segi amanat, latar, sudut pandang, gaya pihak naratif terdapat dua cara juga bahasa, tokoh dan penokohan, yakni ekspositoris/analitik dan sedangkan unsur ekstrinsik novel dramatik. Cara berangsur ialah cara meliputi nilai religius, psikologi, yang dipilih oleh penulis untuk politik, moral, sosial budaya, dan menyajikan tokoh dalam novel lain-lain (Nurgiyantoro, 2007: 10). secara perlahan, maksudnya ialah Prodi Pend.Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung Halaman 2 Jurnal Kata (Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya) Juli 2019 tokoh digambarkan oleh penulis deskripsi fisik yang digambarkan sedikit demi sedikit tetapi terdapat di oleh penulis (Rozelle, 2015: 2). awal hingga akhir cerita, sehingga Tokoh dapat dikenalkan dengan dua cara pertama ini lebih menyerupai cara yakni disebutkan namanya dan kehidupan manusia yang sebenarnya. dideskripsikan fisiknya atau sifat- Pada cara pertama kita seperti sifatnya. Melalui deskripsi (harus mengenal orang sedikit demi sedikit terurai) dan penyebutan (tidak dan pemahaman kita mengenai dideskripsikan) dan yang paling mereka dibangun melalui banyak mudah di deskripsikan di awal cerita pertemuan kecil dan observasi ialah deskripsi fisik tokoh. Deskripsi (Macauley, 1987: 88-89). Cara fisik tokoh dalam sebuah karya fiksi seketika adalah cara yang dipilih itu penting guna membuat pembaca penulis untuk menggambarkan tokoh mengenal tokoh tokoh utama dalam sejak awal cerita saja, sehingga novel. pembaca akan lebih cepat mengenal tokoh yang dimaksud. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah satuan-satuan Teknik ekspositoris/analitik dan bahasa yang menggambarkan teknik dramatik merupakan deskripsi fisik tokoh tersebut. Fisik penyajian tokoh secara langsung dan yang dimaksud adalah semua yang tidak langsung. Teknik berasal dari tubuh, yang dikenakan ekspositoris/analitik ialah pelukisan oleh tokoh, dan segala sesuatu yang tokoh cerita dilakukan dengan dapat ditangkap oleh panca indra. memberikan deskripsi, uraian, atau Teknik pelukisan fisik tokoh adalah penjelasan secara langsung. Teknik keadaan fisik seseorang yang dramatik kedirian tokoh ditampilkan merujuk pada watak tokoh dapat melalui berbagai aktivitas yang digunakan teori simbol dan indeks, dilakukan, baik secara verbal yakni deskripsi berdasarkan jenis maupun nonverbal. Indentifikasi tanda. Jenis tanda indeks terjadi tokoh menjadi penting bagi penulis apabila deskripsi fisik yang novel karena indentifikasi tokoh digambarkan oleh pengarang tidak harus disampaikan oleh penulis merujuk pada watak tokoh, secepat-cepatnya dan semudah- sedangkan jenis tanda simbol terjadi mudahnya terjadi ketika novelnya apabila deskripsi fisik yang dibaca oleh pembaca, artinya novelis digambarkan oleh pengarang harus menulis novelnya begitu rupa merujuk pada watak tokoh agar pembaca secepat mungkin (Nazaruddin, 2015: 23). mampu mengindentikkan dirinya pada tokoh-tokoh tersebut. Peneliti menggunakan 2 novel dalam penelitian ini, yaitu Layar Salah satu caranya adalah dengan Terkembang Karya Sutan Takdir membuat tokoh tersebut semenarik Alisjahbana yang diterbitkan oleh mungkin bagi pembaca sehingga Balai Pustaka pada tahun 1936 dan tokoh tersebut harus dikenalkan novel Belenggu Karya Armijn Pane secepatnya oleh novelis pada yang diterbitkan pertama kali oleh pembaca, agar pembaca mampu Poedjangga Baroe pada tahun 1940 merasakan menjadi tokoh tersebut sebagai sumber data dalam penelitian dan menikmati bacaannya melalui ini. Prodi Pend.Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung Halaman 3 Jurnal Kata (Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya) Juli 2019 Novel Layar Terkembang merupakan Penelitian sejenis sebelumnya telah Karya Sutan Takdir Alisjhabana. dilakukan oleh 1) Ria Anggraini Sutan Takdir Alisjahbana ialah (2014) dari Universitas Lampung sastrawan pada era Poedjangga dengan judul skripsi “Deskripsi Latar Baroe pada tahun 1933 sampai 1942 dan Fungsinya dalam Novel Cinta di Sutan Takdir Alisjahbana sebagai dalam Gelas dan Implikasinya pada salah satu pendiri Poedjangga Baroe. Pembelajaran Sastra di SMA”. Karya-karya dari Sutan Takdir Penelitian tersebut meneliti tentang Alisjhabana yang menjadi inspirasi deskripsi latar, perbedaannya dengan bagi generasi muda. Salah satu penelitian ini yaitu terletak pada karyanya yang terkenal yang objeknya, penelitian ini fokus pada dihasilkan oleh Sutan Takdir deskripsi fisik tokoh dan pemanfaatannya sebagai materi ajar di Alisjahbana ialah novel Layar SMA, Pada penelitian sebelumnya Terkembang
Recommended publications
  • Pramoedya's Developing Literary Concepts- by Martina Heinschke
    Between G elanggang and Lekra: Pramoedya's Developing Literary Concepts- by Martina Heinschke Introduction During the first decade of the New Order, the idea of the autonomy of art was the unchallenged basis for all art production considered legitimate. The term encompasses two significant assumptions. First, it includes the idea that art and/or its individual categories are recognized within society as independent sub-systems that make their own rules, i.e. that art is not subject to influences exerted by other social sub-systems (politics and religion, for example). Secondly, it entails a complex of aesthetic notions that basically tend to exclude all non-artistic considerations from the aesthetic field and to define art as an activity detached from everyday life. An aesthetics of autonomy can create problems for its adherents, as a review of recent occidental art and literary history makes clear. Artists have attempted to overcome these problems by reasserting social ideals (e.g. as in naturalism) or through revolt, as in the avant-garde movements of the twentieth century which challenged the aesthetic norms of the autonomous work of art in order to relocate aesthetic experience at a pivotal point in relation to individual and social life.* 1 * This article is based on parts of my doctoral thesis, Angkatan 45. Literaturkonzeptionen im gesellschafipolitischen Kontext (Berlin: Reimer, 1993). I thank the editors of Indonesia, especially Benedict Anderson, for helpful comments and suggestions. 1 In German studies of literature, the institutionalization of art as an autonomous field and its aesthetic consequences is discussed mainly by Christa Burger and Peter Burger.
    [Show full text]
  • INDO 7 0 1107139648 67 76.Pdf (387.5Kb)
    THE THORNY ROSE: THE AVOIDANCE OF PASSION IN MODERN INDONESIAN LITERATURE1 Harry Aveling One of the important shortcomings of modern Indonesian literature is the failure of its authors, on the whole young, well-educated men of the upper and more modernized strata of society, to deal in a convincing manner with the topic of adult heterosexual passion. This problem includes, and partly arises from, an inadequacy in portraying realistic female char­ acters which verges, at times, on something which might be considered sadism. What is involved here is not merely an inability to come to terms with Western concepts of romantic love, as explicated, for example, by the late C. S. Lewis in his book The Allegory of Love. The failure to depict adult heterosexual passion on the part of modern Indonesian authors also stands in strange contrast to the frankness and gusto with which the writers of the various branches of traditional Indonesian and Malay litera­ ture dealt with this topic. Indeed it stands in almost as great a contrast with the practice of Peninsular Malay literature today. In Javanese literature, as Pigeaud notes in his history, The Literature of Java, "Poems and tales describing erotic situations are very much in evidence . descriptions of this kind are to be found in almost every important mythic, epic, historical and romantic Javanese text."^ In Sundanese literature, there is not only the open violence of Sang Kuriang's incestuous desires towards his mother (who conceived him through inter­ course with a dog), and a further wide range of openly sexual, indeed often heavily Oedipal stories, but also the crude direct­ ness of the trickster Si-Kabajan tales, which so embarrassed one commentator, Dr.
    [Show full text]
  • Figurative Language in Amir Hamzah's Poems
    Novia Khairunnisa, I Wy Dirgeyasa, Citra Anggia Putri Linguistica Vol. 09, No. 01, March 2020, (258-266) FIGURATIVE LANGUAGE IN AMIR HAMZAH’S POEMS 1 2 3 NOVIA KHAIRUNISA . I WY DIRGEYASA , CITRA ANGGIA PUTRI 123 UNIVERSITAS NEGERI MEDAN Abstract This study dealt with figurative language in Amir Hamzah’s selected poems. The objective of this study were to investigate the types of figurative language found in Amir Hamzah’s selected poems and to find out the literal meaning of figurative language found. This study was conducted by using qualitative method to solve the problems. The data of this study were phrases and sentences contained figurative language in the poems. The sources of data were six poems poems which had multiple series taken from Amir Hamzah’s Poetry Anthology of Buah Rindu. The data were selected by using random sampling technique. For collecting the data, this study used documentary technique, and the instruments of data were documentary sheets. The data were analyzed by using descriptive qualitative method. The findings of this study are there twenty two figurative languages found as follows, three figurative language of metaphor (13.63%), seven figurative language of hyperbole (31.81%), five figurative language of personification (22.72%) and seven figurative language of simile (31.83%). The literal meaning of figurative language found in Amir Hamzah’s poems were basically was about the love story of Amir himself and also talking about his longing to his mother. Keywords : Figurative Language, Figure of Speech, Poem INTRODUCTION Poem is a literary work in patterned language. It can also be said as the art of rhythmical composition.
    [Show full text]
  • Stephen Sherlock
    centre for democratic institutions www.cdi.anu.edu.au CDI Policy Papers on Political Governance 2009/01 Indonesia’s 2009 Elections: The New Electoral System and the Competing Parties Stephen Sherlock Introduction Indonesia in 2009 is entering into its third democratic elections since the fall of the authoritarian Suharto regime in 1998. The literature on the previous two elections, in 1999 and 2004, tended to focus on issues of democratic principle, such as whether the elections would be free and fair and conducted without violence, the attitude of the military and whether the losers would 2009/01 accept the decision of the electorate. There were also questions about the capacity of election administrators to deal with the logistical problems of conducting elections in a huge and geographically dispersed country like Indonesia. These questions have now largely been answered in a positive way. Not only have there been two successful rounds of nation- wide elections, but there have also been successive regional executive The CDI Policy Paper elections for provincial governors and district heads since 2004. And series focuses on despite controversy about aspects of the electoral system, various disputed pressing issues of political governance results and criticism of the quality of electoral administration, Indonesia in the Asia-Pacific now has a functioning and tested system of democratic elections. It has region. The series certainly not been affected by the “democratic rollback” that has struck publishes original papers commissioned some democratising countries (Diamond 1997, 1999, 2008) that appeared by CDI, each of which to be part of a wave of democratisation in the last part of the twentieth deal with important century (Huntington 1991).
    [Show full text]
  • Novel ATHEIS-Dewikz
    Tiraikasih website http://kangzusi.com/ Karya : Achdijat Karta Mihardja Atheis Sumber DJVU : BBSC Ebook oleh : Dewi KZ Tiraikasih website http://kangzusi.com/ http://kang-zusi.info/ http://dewikz.byethost22.com/ http://ebook-dewikz.com/ http://tiraikasih.co.cc/ http://cerita-silat.co.cc/ Tiraikasih website http://kangzusi.com/ Riwayat Hidup Achdiat Karta MIhardja lahir di Cibatu, Garut, 6 Maret 1911. Tahun 1932 tamat dari Algemene Middelbare School "bagian Al di Solo. Ia juga mempelajari mistik (tarikat) aliran Kadariyah Naksabandiah dari Kiyai Abdullah Mubarak yang terkenal juga dengan nama Ajengan Gedebag. Kecuali itu belajar filsafat pada pater Dr. Jacobs S.J., dosen pada Universitas Indonesia, dalam Filsafat Thomisme. Tahun 1943 ia menjadi anggota redaksi Bintang Timur merangkap redaktur mingguan Peninjauan (bersama Sanusi Pane, Armin Pane, PF Dahler, Dr. Amir dan Dr. Ratulangi). Tahun 1937 pembantu harian Indie Bode dan Mingguan Tijdbeeld dan Zaterdag, juga sebentar bekerja di Aneta. Tahun 1938 jadi pimpinan redaksi tengah-bulanan Penuntun Kemajuan. Tahun 1941 jadi redaksi Balai Pustaka, sejak saat itu tumbuh minatnya kepada kesusastraan. Tahun 1943 menjadi redaksi dan penyalin di kantor pekabaran radio, Jakarta. Tahun 1946 jadi pimpinan umum mingguan Gelombang Zaman dan setengah mingguan berbahasa Sunda Kemajuan Rakyat. Tahun 1948 kembali jadi redaksi di Balai Pustaka. Pada tahun 1949 terbitlah roman Atheis-nya ini. Tahun 1951 bersama-sama Sutan Takdir Alisjahbana dan Dr. Ir. Sam Udin mewakili PEN Club Indonesia menghadiri Konperensi PEN Club International di Lausanne, Switserland. Saat itu ia juga mengunjungi Negeri Belanda, Inggris, Prancis, Jerman Barat, dan Roma. Tahun 1952 berkunjung ke Amerika dan Eropa Barat dengan tugas dari Dep.
    [Show full text]
  • Menulis Belenggu
    Ersis Warmansyah Abbas MenulisMenulis Menghancurkan BelengguBelenggu Penerbit: WAHANA Jaya Abadi Kompleks Puri Asri Blok D-48 Padasuka Telepon 022-88884477 bandung Sampul Dalam iii Menulis Menghancurkan Belenggu Ersis Warmansyah Abbas Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Setting/Layout : Ersis Warmansyah Abbas Desain Sampul : Ersis Warmansyah Abbas Pemeriksa Aksara : Risna Warnidah Cetakan Pertama : Juni 2015 Sanksi Pelanggaran Pasal 72: Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu bulan dan/atau dengan paling sedikit Rp1.000.000.00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). iv Sampul Dalam Kattta Pengantar KUNGKUNGAN. Menulis dipastikan menjadi keinginan banyak orang, tetapi tidak sedikit yang kecewa, karena tidak semudah yang dibayangkan. Berbagai hambatan kemudian menjadi belenggu sehingga menulis menjadi susah dan menyusahkan. Padahal, bahwa sesungguhnya, menulis tidak sesusah yang dibayangkan, menulis itu mudah, sangat mudah malahan. Ya, menulis menjadi sesuatu yang mudah dan memudahkan manakala (calon) penulis berhasil mematahkan belenggu-belenggu menulis yang membalut mindset sehingga menjadi mental block. Karena itu, manakala seseorang berkehendak menulis dia harus ”membereskan” dirinya, membebaskan diri dari belenggu-belenggu menulis.
    [Show full text]
  • Perbandingan Gaya Bahasa Dalam Novel Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja Dan Novel Telegram Karya Putu Wijaya: Tinjauan Stilistika
    1 PERBANDINGAN GAYA BAHASA DALAM NOVEL ATHEIS KARYA ACHDIAT KARTA MIHARDJA DAN NOVEL TELEGRAM KARYA PUTU WIJAYA: TINJAUAN STILISTIKA TESIS Disusun oleh A. ARYANA P1200215002 PROGRAM STUDI BAHASA INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018 2 PERBANDINGAN GAYA BAHASA DALAM NOVEL ATHEIS KARYA ACHDIAT KARTA MIHARDJA DAN NOVEL TELEGRAM KARYA PUTU WIJAYA: TINJAUAN STILISTIKA TESIS Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister Pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Program Studi Bahasa Indonesia Disusun dan diajukan oleh A. ARYANA P1200215002 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018 3 PERBANDINGAN GAYA BAHASA DALAM NOVEL ATHEIS KARYA ACHDIAT KARTA MIHARDJA DAN NOVEL TELEGRAM KARYA PUTU WIJAYA: TINJAUAN STILISTIKA THE COMPARISON OF LANGUAGE STYLE IN NOVEL ATHEIS BY ACHDIAT KARTA MIHARDJA AND NOVEL TELEGRAM BY PUTU WIJAYA: A STYLISTIC APPROACH TESIS A. ARYANA P1200215002 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018 4 5 PERNYATAAN KEASLIAN TESIS Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : A. Aryana Nomor Pokok : P1200215002 Program Studi : Bahasa Indonesia Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa tesis yang saya tulis ini merupakan hasil karya sendiri, bukan pengambil alihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut. Makassar, 4 Januari 2018 Yang menyatakan, A. Aryana 6 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt. yang senantiasa melimpahkan karunia dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Akhirnya tesis ini dapat dirampungkan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan akademis guna memeroleh gelar Magister Humaniora (M.Hum.) pada Program Studi Bahasa Indonesia, Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin.
    [Show full text]
  • INDO 23 0 1107118712 39 58.Pdf (950.7Kb)
    PERCEPTIONS OF MODERNITY AND THE SENSE OF THE PAST: INDONESIAN POETRY IN THE 1920s Keith Foulcher Nontraditional Malay poetry in Indonesia, the forerunner of "modern Indonesian poetry," is generally said to have begun in the decade be­ tween 1921 and 1931 in the publications of three young Dutch-educated Sumatrans, Muhammad Yamin (born in Sawahlunto, Minangkabau, 1903), Rustam Effendi (born in Padang, 1903), and Sanusi Parid (born in Muara Sipongi, Tapanuli, 1905). Through their writing of Western-influenced poetry in Malay or Bahasa Indonesia, all three saw themselves as con­ tributing to the birth of a modern Sumatran (later Indonesian) culture, the basis of a new Sumatran (later Indonesian) nation. As such, they were among those who laid the foundation of the cultural nationalism which in the repressive conditions of the 1930s came to represent an alternative to the overtly political expression of Indonesian national­ ism . In the following pages, I wish to suggest (1) that through their writing Yamin, Rustam, and Sanusi all articulated a cultural stance which involved both a response to what they knew of European culture and their sense of an indigenous cultural heritage; (2) that there were important differences between the stances of Yamin and Rustam in this regard; and (3) that the poetry of Sanusi Pan6, evolving out of Yarnin's, established an approach to modernity which became the conventional stan­ dard for the burgeoning "Indonesian" poets of the 1930s. * * * CINTA Galiblah aku duduk bermenung Melihatkan langit penuh cahaya Taram-temaram bersuka raya Melenyapkan segala, fikiran nan renung. Apa dikata hendak ditenung Hatiku lemah tiada bergaya Melihatkan bintang berseri mulia Jauh di Sana di puncak gunung.
    [Show full text]
  • Novel Layar Terkembang Karya Sutan Takdir Alisjah- Bana Dan Novel Belenggu Karya Armijn Pane
    ADVERBIA DALAM NOVEL ANGKATAN PUJANGGA BARU: NOVEL LAYAR TERKEMBANG KARYA SUTAN TAKDIR ALISJAH- BANA DAN NOVEL BELENGGU KARYA ARMIJN PANE Weni Susanti, Agustina, Ngusman Program Studi Sastra Indonesia FBS Universitas Negeri Padang Jln. Prof. Dr. Hamka Air Tawar Padang, 25131. Sumatera Barat email: [email protected] Abstract This study was conducted to describe (1) the type of abreviation and (2) the formation of abreviation in the weekly newspaper of Padang Ekspres in Janu- ary 2018. This research type is qualitative research by using descriptive me- thod. This research data is a kind of abreviation (abbreviations, acronyms, fragments, contractions, and symbols) that exist in the news sentences of the weekly newspaper Padang Ekspres January 2018. The data sources of this re- search in the newspaper Padang Ekpres Weekly edition in January 2018. Based on the results of data analysis obtained two research findings. First, the type of abreviation in the weekly newspaper Padang Ekspres January 2018, found five types of abreviation, namely (a) abbreviation, (b) acronym, (c)fragments, (d) contractions, and (e) symbols. Second, the formation of ab- reviation in the weekly newspaper Padang Ekspres January 2018, consists of four processes. (a) The formation of abbreviations consisting of: the first let- ters of each component; first letters with conjunction, preposition, reduplica- tion, articulation and word; first letters; and first and third letter. (b) The for- mation of acronyms and contractions consisting of: the first syllabus of each component; first of each component, first two letters of each component, the first three letters of each component, the first two letters of the first two and the first two letters of the second component together with the deletion; and the sequence of various letters and syllables difficult to formulate.
    [Show full text]
  • ASPECTS of INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE in the 1930S
    PUDJANGGA BARU: ASPECTS OF INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE IN THE 1930s Heather Sutherland Pudjangga Baru, the "New Writer," was a cultural periodical put out in the colonial capital of Batavia by a group of young Indonesian intellectuals from 1933 until the invasion of the Netherlands Indies by Japan in 1942.1 In Bahasa Indonesia, the term pudjangga means "literary man, man of letters; author, poet; linguist, philologist."2 34 The choice of this term for the title of the monthly was no doubt also influenced by an awareness of its historical connotations, for the word can be traced back through such Old Javanese forms as bhujanga to an original Sanskrit root associated with sacred and priestly learning. It implied nobility and integrity as well as literary ability; and it is therefore no accident that the writings appearing in it claimed high idealism and a sense of mission. The purpose proclaimed by Pudjangga Baru became more fervent as the years passed. In the beginning, it described itself simply as a literary, artistic, and cultural monthly. At the start of its third year it declared itself a "bearer of a new spirit in literature, art, culture, and general social affairs."^ At the beginning of its fifth year it claimed to be the "leader of the new dynamic spirit to create a new culture, the culture of Indonesian unity."1* In 1928, when the second All-Indonesia Youth Congress swore the famous oath to work for "one fatherland, one people, and one language" Pudjangga Baru pledged itself to work for the development of the national language and also to strive for a national culture, adding "one culture" to its 1.
    [Show full text]
  • BAB IV ANALISIS DATA A. Arena Sastra Indonesia
    library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB IV ANALISIS DATA A. Arena Sastra Indonesia DKJ lahir dan tumbuh di lingkungan kesusastraan Indonesia yang juga sedang bertumbuh. Pertumbuhan sastra Indonesia bersamaan dengan perkembangan kesadaran kebangasaan dan kesadaran nasional. Kesadaran tersebut terus mengalami perkembangan sejak tercetusnya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 yang menyatakan pengakuan atas satu tanah air, bangsa, dan bahasa. Momentum tersebut menuntut bangsa Indonesia menentukan arah kesatuan kebudayaannya. Berbagai pemikiran dan pandangan diungkapkan oleh cendekiawan serta budayawan Indonesia ketika itu. Namun, konsep kebudayaan yang paling menarik perhatian adalah pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana (selanjutnya disebut STA). Orientasi Kebudayaan STA mengarah kepada kebudayaan Barat. STA menyangsikan dan menolak nilai-nilai budaya tradisional (Esten dalam Kratz, 2000:748-751). Hal tersebut terlihat dalam ungkapan STA: “Zaman prae-Indonesia, zaman jahilliah Indonesia itu setinggi-tingginya dapat menegaskan pemandangan dan pengertian tentang lahirnya zaman Indonesia, tetapi jangan sekali-kali zaman Indonesia dianggap sambungan atau terusan yang biasa daripadanya” (Alisjahbana dalam Mihardja, 1977:16). Pada bagian lain STA juga mengungkapkan: Pada pikiran saya pandu-pandu kebudayaan Indonesia harus bebas benar berdiri dari kebudayaan zaman prae-Indonesia. Perkataan bebas bukan berarti tidak tahu seluk-beluknya, perkataan bebas hanya berarti tidak terikat. Sebabnya siapa yang belum dapat melepaskan dirinya dari kebudayaan Jawa akan berdaya upaya akan memasukkan semangat 23 library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id24 kejawaan ke dalam kebudayaan Indonesia, siapa yang belum terlepas dari kebudayaan Melayu akan berdaya upaya memasukkan semangat kemelayuan ke dalam kebudayaan Indonesia dan demikian seterusnya (Alisjahbana dalam Mihardja, 1977:17). STA pada intinya secara terus terang menegaskan bahwa kebudayaan bangsa harus tumbuh mengarah ke Barat (Alisjahbana dalam Mihardja, 1977:19).
    [Show full text]
  • CHAIRIL ANWAR: the POET and Hls LANGUAGE
    VERHANDELINGEN VAN HET KONINKLIJK INSTITUUT VOOR TAAL-, LAND- EN VOLKENKUNDE 63 CHAIRIL ANWAR: THE POET AND HlS LANGUAGE BOBN S. OBMARJATI THB HAGUB - MARTINUS NIJHOFF 1972 CHAIRIL ANWAR So here I am, in the middle way, having had twenty years - Twenty years largely wasted, the years of l'entTe deux guerres - Trying to leam to use words, and every attempt Is a wholly new start, and a different kind of failure Because one has only learnt to get the better of words For the thing one no longer has to say, or the way in which One is no longer disposed to say it. And so each venture Is a new beginning, a raid on the inarticulate With shabby equipment always deteriorating In the genera! mess of imprecision of feeling, Undisciplined squads of emotion ............................. (T. S. Eliot, East CokeT V) To my parents as a partial instalment in return for their devotion To 'MB' with love and in gratitude for sharing serenity and true friendship with me VERHANDELINGEN VAN HET KONINKLIJK INSTITUUT VOOR T AAL-, LAND- EN VOLKENKUNDE 63 CHAIRIL ANWAR: THE POET AND HlS LANGUAGE BOEN S. OEMARJATI THE HAGUE - MARTINUS NIJHOFF 1972 I.S.B.N.90.247.1508.3 T ABLE OF CONTENTS ACKNOWLEDGEMENTS VII PREF ACE IX INTRODUCTION . XIII 1. The Japanese Occupation: The Break with the Past XIII 2. The Situation respecting the Indonesian Language . XIV 3. The Situ at ion in respect of Indonesian Literature XVI 4. Biographical Data . XX LIST OF ABBREVIA TIONS AND SYMBOLS . XXVII CHAPTER I: LANGUAGE AND POE TRY 1.
    [Show full text]