<<

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah Pada pertengahan tahun 2013, masyarakat dihibur dengan kehadiran salah satu film animasi karya Universal Studios dan Entertainment, yaitu 2. Film ini bercerita mengenai pria bernama Gru, yakni seorang mantan penjahat yang menyesuaikan diri dengan kehidupan keluarga dan mencoba peruntungan di bisnis selai. Suatu hari, sebuah laboratorium rahasia dicuri, sehingga sebuah kelompok bernama Anti-Villain League merekrut Gru untuk melakukan penyelidikan. Dalam melakukan aksi tersebut, Gru tidak sendiri. Ia dibantu oleh para , yaitu makhluk kecil yang berwarna kuning (iMDb, 2013). Film ini mampu menerima ulasan positif dari para kritikus atas alur cerita yang lucu dan tampilan visual yang menarik. Dilansir dari situs , film Despicable Me 2 mampu meraih 76% suara dan nilai rata-rata sebesar 6,7/10 dari 164 ulasan (RottenTomatoes, 2013). Salah seorang kritikus memberi penilaian, yaitu, “Despicable Me 2 menawarkan berbagai tayangan visual yang baru dan sejumlah hal lucu”. Hal ini terlihat dari pernyataan yang ia katakan, yakni “Despicable Me 2 offers plenty of eye-popping visual inventiveness and a number of big laughs.” Film ini pun mampu mencapai skor “A” dari audiens berdasarkan polling yang dilakukan oleh CinemaScore (Finke, 2013). Oleh karena itu, tak mengherankan bila film ini pun mampu meraih penghasilan yang besar. Pada Februari 2014, film Despicable Me 2 telah memperoleh $970.761.885 atas penayangan film ini di seluruh dunia (BoxOfficeMojo, 2013). Film yang dibuat dengan anggaran sejumlah $76.000.000 ini pun menjadi film dengan keuntungan terbesar dalam 100 tahun sejarah Universal Studios (Szalai, 2013). Selain itu, hal ini pun menjadikan film tersebut sebagai film animasi dengan penghasilan terbesar di tahun 2013 (BoxOfficeMojo, 2013). Pencapaian yang diperoleh oleh film Despicable Me 2 ini dapat disebabkan oleh beberapa hal. Salah satunya adalah film Despicable Me 2 ini dinilai sebagai film yang jenius dan menyenangkan karena dapat menyajikan alur cerita

1

Universitas Kristen Petra mengenai peran orang tua tunggal dan pengaruh hal tersebut pada anak-anak (Winston, 2013). Selain itu, film ini pun menyajikan cerita mengenai bagaimana seseorang harus membuat pilihan dalam menghadapi hal yang baik dan buruk, serta bagaimana kondisi seseorang bila berada di bawah suatu pengaruh. Alur cerita yang disajikan pun bagus, serta ditutup dengan akhir cerita yang mengandung pesan moral. Seluruh hal tersebut dihadirkan dengan humor dari para tokoh dalam film ini, sehingga film ini pun menjadi film keluarga yang menyenangkan. Hal ini turut menjadikan film Despicable Me 2 dinilai lebih baik daripada film Despicable Me pertama (Winston, 2013). Tidak tertinggal pula figur penting dalam film ini yang begitu menarik perhatian audiens, sehingga film Despicable Me 2 pun dapat memperoleh pencapaian yang besar. Ia adalah minions. Bahkan, muncul istilah Minions Fever dan Minions Madness di masyarakat karena popularitas dari minions tersebut (Sugiartoputri, 2013). Keberadaan minions dalam film ini sangat memikat perhatian audiens karena kelucuannya, sehingga banyak produsen merchandise tertarik untuk membuat para minions tersebut “hidup” dengan memproduksi aneka peralatan tulis, boneka, karpet, dan miniatur minions (Republika, 2013). Tidak ketinggalan pula, salah satu restoran fast food bahkan menjadikan mainan berupa minions sebagai bonus pembelian paket hemat mereka (MovieFreak, 2013). Sebenarnya, paket hemat itu ditujukan untuk anak-anak, namun justru orang dewasa yang mendominasi pembelian paket hemat ini demi memburu koleksi minions yang ditawarkan. Sampai-sampai, muncul ulasan yang mempertanyakan bahwa Minions Fever tersebut meningkatkan gaya hidup konsumtif karena uang dan waktu seseorang dapat tersita demi mengumpulkan Minions The Series yang dikeluarkan oleh restoran fast food tersebut (Sugiartoputri, 2013). Tak cukup sampai di situ, pada Juni 2013, dengan mengambil tokoh minions sebagai tokoh utama, GameLoft, salah satu perusahaan game meluncurkan permainan yang berbasis di Android dan iOS, yang berjudul Despicable Me : Minions Rush. Permainan ini terus diminati, hingga pada November 2013, ia telah mengalami updated version sampai 1.4.0 (iTunes, 2013). Kemudian, minions fever yang belum usai pun tampak dalam ajang Canstruction ke-21 yang berlangsung di New York pada November 2013. Minions tidak tertinggal untuk

2

Universitas Kristen Petra hadir pada ajang tersebut dalam wujud yang terbuat dari kaleng makanan. Dalam ajang itu, seluruh karya peserta memang wajib terbuat dari makanan kaleng (Jawa Pos, 2013). Sebenarnya, siapa itu minions? Makhluk apakah ia? Apa yang membuat minions begitu menarik di mata masyarakat? Minions adalah makhluk kecil berbentuk seperti kapsul dan berkaca mata tebal. Ciri khas fisik dari para minions ini serupa, namun terdapat beberapa hal yang membedakan satu minions dengan yang lain, yakni tinggi badan, jumlah mata, kebulatan tubuh, helai rambut, dan pakaian (Tempo, 2013). Minions pun suka berbicara dengan bahasa yang aneh (Toshio, 2013). Bahasa dengan aksen aneh yang dilontarkan oleh minions itu seakan telah menjadi daya tarik tersendiri dalam film Despicable Me 2. Minions sebagai anak buah Gru itu justru menuai lebih banyak penggemar daripada tokoh utama film Despicable Me 2. Tak ayal, tokoh ini pun tengah dibuatkan sebuah film yang akan dirilis pada tahun 2015, yakni Minions, dimana minions tersebut akan tampil sebagai peran utama (Tempo, 2013). Begitu populernya minions ini dapat dikarenakan oleh karakternya yang unik dan lucu. Mereka adalah makhluk yang ramah, namun bersedia membantu sebuah rencana jahat. Minions pun merupakan kelompok yang gemar bekerja, solid, dan loyal pada Gru. Selain itu, mereka pun memiliki pemikiran yang sederhana dan kepolosan yang aneh. Tingkah laku mereka pun seringkali mengundang tawa (HanyaLewat, 2013). Dalam film ini, mereka sering bertingkah lucu dengan menggunakan wig, gaun, pakaian pelayan, kostum putri, dan lain-lain (Fuchs, 2013). Minions pun ditunjukkan mampu melakukan pekerjaan apa saja, baik itu yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, seperti menidurkan anak, membersihkan rumah, memadamkan api, dan sebagainya. Hal ini seolah memperlihatkan bahwa minions dapat menjadi apapun yang mereka inginkan. Terlebih, mereka seolah tidak mempunyai batasan terhadap keinginan mereka untuk menjadi seperti apa karena mereka tidak diciptakan dengan jenis kelamin dan gender yang jelas. Hal ini bermaksud bahwa jenis kelamin minions itu tidak ditunjukkan secara fisik, serta telah terjadi kombinasi atau pencampuran peran gender pada minions, yakni laki-laki dan perempuan. Hal ini menyebabkan beberapa blog dan situs internet lain pun sampai membahas minions itu memiliki

3

Universitas Kristen Petra gender apa. Sebagai contoh, Fuchs dalam popmatters.com mengatakan bahwa minions adalah gay. Lebih tepatnya, sebagian dari mereka. Ini tidak berarti bahwa minions tahu apa itu jenis kelamin. Sebaliknya, mereka adalah keluarga yang sama-sama tidak berjenis kelamin, beberapa mengenakan wig dan gaun, bahkan pakaian seorang pelayan Perancis, entah karena itu menyenangkan atau sesuai dengan penugasan saat ini (seperti menyedot debu). Hal ini ditunjukkan oleh pernyataan, sebagai berikut ”And one more thing: the minions are gay. More accurately, a few of them are. This isn’t to say the minions are sexual or know what sex is. Rather, they’re a same-non-sexed family, some donning wigs and dresses and even a French maid’s outfit, whether because it’s fun or to fit the current assignment (say, vacuuming) (Fuchs, 2013).” Di sisi lain, dalam flickfilosopher.com, Johanson memberi komentar, yaitu, “Mungkin minions tidak memiliki gender. Tapi hal ini tidak menghalangi, jika nama bergender diterapkan kepada mereka, Gru akan memiliki sesuatu untuk memanggil mereka bahwa beberapa dari mereka akan mendapatkan nama wanita.” Hal ini terlihat dari pernyataan yang berbunyi, “Perhaps the Minions have no gender themselves. But that does preclude -- if gendered names are to be applied to them so that Gru will have something to call them -- that some of them would have gotten female names.” Pernyataan ini ditambah oleh Nate, yaitu, “Mungkin saja, Gru sebagai seorang laki-laki, dan tak mengetahui apa gender dari minions, memberikan mereka nama laki-laki.” Hal ini ditunjukkan dengan pernyataan, “It is possible that Gru, being a male and not knowing the gender of the minions, gave them a male name anyway (FlickFilosopher, 2010).” Keadaan gender pada tokoh minions tersebut menghadirkan suatu fenomena baru, dimana terdapat tokoh animasi dengan keadaan pencampuran peran gender, serta jenis kelamin yang tidak ditunjukkan secara fisik. Fenomena ini tampak dalam film animasi, yang merupakan salah satu media komunikasi massa. Media film turut dibangun dengan beragam tanda, yang bertujuan untuk menggambarkan suatu maksud tertentu (Sobur, 2006). Film dipahami sebagai suatu representasi budaya. Sebab, film digunakan sebagai cerminan untuk melihat bagaimana sebuah budaya bekerja atau hidup di dalam suatu masyarakat (Mahariana, 2010, p.21). Dalam buku Cultural Studies Theory and Practice (2004), Chris Barker

4

Universitas Kristen Petra menjelaskan bahwa representasi diartikan sebagai bagaimana dunia dikonstruksikan secara sosial, lalu disajikan kepada kita, dan turut kita konstruksikan di dalam pemaknaan tertentu (p.8). Dalam konteks penelitian ini, peneliti mengambil film animasi, dimana ada konstruksi yang diangkat dalam film animasi tersebut, yaitu gender. Permasalahan gender dalam film animasi tersebut, dalam konteks penelitian ini adalah film Despicable Me 2, ditunjukkan dengan kehadiran tokoh animasi yang memiliki keadaan pencampuran peran gender, serta jenis kelamin yang tidak ditunjukkan secara fisik. Bila ditarik lebih dalam, keadaan tersebut timbul dalam suatu fenomena, yakni pergerakan dan perubahan kontruksi gender. Fenomena ini pun menunjukkan bahwa ada pemahaman gender yang kurang tepat sesuai pengertian gender yang sesungguhnya. Gender dibentuk berdasarkan konstruksi sosial, namun justru dipandang sebagai kodrat atas ketentuan biologis. Gender sendiri berarti suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan, yang dikonstruksi secara sosial dan kultural (Fakih, 1997, p.7). Oleh karena itu, pada penelitian ini, konstruksi gender sendiri diartikan sebagai keadaan gender yang direkayasa secara sosial, yang dibentuk oleh aktor-aktor sosial, dengan tujuan untuk membuat dunia lebih bermakna, dan menghadirkan dunia itu secara bermakna kepada orang lain (Hall, 1997, p.25). Sebelum kehadiran tokoh animasi dengan keadaan pencampuran peran gender tersebut, telah tercipta tokoh-tokoh animasi dengan konstruksi gender yang berbeda-beda dalam film animasi. Konstruksi gender dalam film animasi telah muncul sejak lama. Konstruksi tersebut mengalami pergerakan dan perubahan, yang selalu memiliki kaitan dengan konteks sosial dan budaya yang ada di masyarakat. Pergerakan dan perubahan tersebut pun berjalan hingga menjadi seperti saat ini, yakni konsep pencampuran peran gender, serta jenis kelamin yang tidak ditunjukkan secara fisik. Konsep gender dan jenis kelamin dalam film animasi dimulai ketika film produksi Disney diluncurkan, yakni sejak tahun 1937, ketika film animasi Snow White and the Seven Dwarfs muncul. Dalam sebuah analisis bertitel Images of Couples and Families in Disney Feature-Length Animated Films. American Journal of Family Therapy (2003), diuraikan bahwa film produksi Disney

5

Universitas Kristen Petra menerapkan beberapa tema mengenai tokoh perempuan, antara lain: (1). Penampilan seorang perempuan lebih dihargai daripada intelektualitas. (2). Perempuan adalah sosok yang tidak berdaya dan perlu dilindungi. (3). Perempuan adalah orang yang mengurus kebutuhan rumah tangga dan bertujuan untuk menikah. Hal ini seolah menunjukkan bahwa kedudukan wanita berada di bawah pria. Bila mengaitkan representasi laki-laki dan perempuan dalam film Disney tersebut dengan konteks sosial yang ada di masyarakat, ternyata ditemukan bahwa terdapat kepercayaan budaya patriarki pada tahun 1940an, yang menentukan peran laki-laki dan perempuan di masyarakat, sehingga budaya ini pun muncul dalam film Disney (O’Brien, 1996, p.155-183). Kemudian, konstruksi gender pada tokoh dalam film animasi mengalami pergerakan seiring timbulnya konsep kesetaraan gender di masyarakat, dimana tokoh wanita mampu melakukan apa yang dikerjakan oleh pria, begitu juga sebaliknya. Seperti pada tahun 1995, muncul film Toy Story, dimana Andy, sang tokoh utama gemar bermain boneka, meskipun terdapat sebuah stereotip di masyarakat yang menyatakan bahwa bermain boneka merupakan salah satu ciri feminin (Santrock : 2003, p.374). Selain itu, muncul film The Incredibles pada tahun 2004 dan Brave pada tahun 2012, dimana sang tokoh wanita dalam film tersebut turut berperan sebagai pahlawan atau superhero. Pada film Brave, Merida, sang tokoh utama digambarkan memiliki kemampuan memanah yang lebih baik daripada laki-laki. Ia berbeda dengan kisah dongeng putri sebelumnya, dimana tokoh perempuan itu cenderung pasif dan menunggu aksi pangeran untuk menyelamatkannya (Larsen, 2012). Film ini ingin menunjukkan tengah timbulnya female empowerment dan gender equality dalam masyarakat. Menurut Kearns (2012), film ini pun ingin menampilkan kendala patriarki, yang seharusnya, laki- laki dan perempuan mampu menjadi diri sendiri. Pergerakan konstruksi gender dalam film animasi tersebut tak lepas dari konteks sosial yang ada. Hal tersebut dapat terlihat dari beberapa hal. Pertama, benda dan mainan anak-anak yang tak dibedakan lagi dari warna, yaitu biru untuk laki-laki dan pink untuk perempuan. Kedua, pekerjaan laki-laki dan perempuan tak dibentuk lagi di usia muda. Ketiga, tak ada lagi perbedaan bagi laki-laki dan perempuan dalam dunia olahraga. Sebab, sebelumnya, terdapat persepsi olahraga,

6

Universitas Kristen Petra yaitu olahraga bagi laki-laki mengandung kompetisi dan agresivitas, seperti pada sepak bola, sedangkan olahraga bagi perempuan lebih menunjukkan kecantikan dan estetika, seperti pada menari. Saat ini, banyak perempuan berpartisipasi pada olahraga yang “maskulin”, sedangkan laki-laki juga melakukan aktivitas yang “feminin” (Bautista, 2013). Pergerakan konstruksi gender tersebut pun berlanjut hingga saat ini, dimana hadir suatu konsep pencampuran peran gender, serta jenis kelamin yang tidak ditunjukkan secara fisik. Hal ini bermaksud bahwa secara fisik, tokoh tersebut tidak tampak jelas memliki jenis kelamin apa, namun mampu melakukan pekerjaan apa saja, dan tidak dibatasi oleh konsep peran gender yang ada di masyarakat saat ini. Sebenarnya, keadaan tokoh animasi yang memiliki konsep pencampuran peran gender, serta jenis kelamin yang tidak ditunjukkan secara fisik, namun dapat melakukan banyak pekerjaan ini bukan pertama kali dihadirkan oleh minions dalam film Despicable Me 2. Dari film animasi yang pernah tayang di layar lebar, dengan tokoh utama atau tokoh pembantu yang memiliki konsep kombinasi peran gender, serta jenis kelamin yang tidak ditunjukkan secara fisik, peneliti mengambil tokoh Spongebob dalam film The SpongeBob SquarePants Movie (2004) sebagai contoh pembanding dalam penelitian ini. Dalam film The SpongeBob SquarePants Movie, tokoh Spongebob hadir sebagai tokoh utama. Tokoh ini cukup berbeda dibandingkan dengan tokoh lain dalam film tersebut. Sebab, Spongebob adalah makhluk hidup berupa sebuah spons laut, dimana ia mempunyai jenis kelamin ganda atau hermafrodit. Hal ini berbeda dibandingkan dengan teman-teman Spongebob dalam film tersebut, yakni Patrick Star, seekor bintang laut, Squidward Tentacles, seekor cumi-cumi, Mr. Krab, seekor kepiting, dan Sandy Cheeks, seekor tupai. Teman-teman Spongebob tersebut merupakan hewan-hewan yang memiliki satu jenis kelamin yang jelas. Akan tetapi, di samping perbicangan itu, film ini cenderung menggambarkan Spongebob sebagai laki-laki. Hal tersebut dapat diketahui dari suara dan pakaian yang dikenakan oleh Spongebob. Hal ini pun menimbulkan perbincangan di dunia maya, berkaitan dengan jenis kelamin dan gender dalam film Spongebob. Hal yang justru menarik perhatian untuk diperbincangkan oleh netizen adalah keadaan gender yang kurang seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam film tersebut.

7

Universitas Kristen Petra Beberapa artikel menyebutkan bahwa tokoh laki-laki tampil dominan dalam film The SpongeBob SquarePants Movie, sedangkan tokoh perempuan yang menonjol dalam film itu hanya terdapat satu, yaitu Sandy (Smith, 2009). Bila pergerakan konstruksi gender tersebut dikaitkan dengan konteks sosial yang ada, maka dalam artikel berjudul So Why Does Gender Matter? dijelaskan bahwa saat ini, konteks sosial mengenai peran gender menunjukkan pemikiran baru, bahwa laki-laki dan perempuan dapat melakukan banyak hal yang sama, karena itu gender bukan hal yang terlalu berarti lagi kini. Tidak ada salah satu yang lebih baik daripada yang lain, namun mereka hanya berbeda. Otak laki-laki dan perempuan disebut berbeda, yakni dalam melihat dunia dan kehidupan, baik itu secara kiasan dan harfiah (Robbins-Reeves, 2011). Lalu, di antara tokoh utama atau tokoh pembantu dalam film animasi yang pernah tayang di layar lebar, yang memiliki konsep pencampuran peran gender, serta jenis kelamin yang tidak ditunjukkan secara fisik, mengapa tokoh minions dalam film Despicable Me 2 yang mampu menarik perhatian peneliti untuk membahas gender? Hal yang menjadi pembeda antara minions dengan tokoh dalam film animasi lain adalah minions termasuk makhluk ciptaan baru yang terbentuk, bukan dari makhluk hidup yang telah ada, seperti tikus, spons laut, atau hewan lain. Bisa dilihat bahwa tokoh minions ini adalah bentuk pengembangan lanjut dari tokoh Spongebob, dimana tokoh ini tidak memiliki jenis kelamin tertentu. Minions adalah makhluk berbentuk kapsul yang menjadi “hidup”. Hal ini merupakan sebuah bentuk inovasi karena benda mati diciptakan menjadi tokoh animasi yang hidup. Sementara itu, peneliti melihat bahwa keadaan minions yang tidak memiliki jenis kelamin tertentu itu turut mendobrak atau membongkar konsep gender tradisional. Sebab, konsep gender tradisional menjelaskan bahwa gender dipahami sebagai serangkaian tindakan yang cenderung diharapkan dari individu berdasarkan jenis kelamin yang ia miliki (O’Brien, 2009. p.371). Bila minions tercipta tanpa jenis kelamin yang jelas atau tidak diketahui, peran gender minions pun menjadi buram atau kurang jelas. Karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana konstruksi gender pada tokoh minions yang diangkat dalam film ini.

8

Universitas Kristen Petra Selain itu, minions pun berbeda dari Spongebob karena minions bukan tokoh utama dalam film yang dimainkan. Ia adalah tokoh pendukung, namun sangat menarik atensi dari audiens. Pada tahun 2013, minions menjadi begitu booming dalam film Despicable Me 2 (Sugiartoputri, 2013), sehingga hal ini sampai menimbulkan perbincangan mengenai penggambaran minions sebagai sosok yang tidak mempunyai batasan untuk melakukan pekerjaan apapun, baik itu yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Selain itu, keadaan konstruksi gender telah menjadi isu sosial yang mampu membuat audiens memberi atensi lebih tehadap gender dari tokoh minions tersebut, dimana konstruksi itu mencakup nilai-nilai sosial budaya yang menentukan peran perempuan dan laki-laki dalam kehidupan pribadi dan bidang masyarakat (Idrus, 2011). Hal yang telah peneliti kemukakan di atas menunjukkan bahwa tokoh minions menarik untuk diteliti, berkaitan dengan potret gender yang ia angkat, terutama di tengah keadaan pergerakan konstruksi gender yang ada di film animasi saat ini. Sejak film Brave muncul, konstruksi gender mulai bergerak ke arah kesetaraan gender, namun saat ini, mulai muncul ungkapan mengenai perlukah kita masih melihat gender tertentu dari seseorang. Dari film Brave, kaum feminis pun turut bergerak untuk mengajak para perempuan melakukan identifikasi diri, terutama ketika ia merasa tidak sesuai dengan bingkai gender tradisional. Hal ini merupakan suatu perubahan alami yang cair, yang menantang setiap orang untuk berani membuat pilihan sesuai yang ia mau, baik itu menjadi laki-laki atau perempuan, dan maskulin atau feminin (McFadden, 2012). Dalam film Despicable Me 2, bagaimana konstruksi gender yang ditunjukkan oleh minions, selaku makhluk baru yang menjadi objek dalam penelitian ini? Apa latar belakang yang ada di balik konstruksi itu dan konteks sosial yang berada pada masyarakat hingga terciptalah tokoh minions itu? Bagaimana kaitan konstruksi gender pada minions dan konteks sosial yang ada di masyarakat? Sebaliknya, bila minions tidak membawa suatu konstruksi gender yang baru, lalu bagaimana konstruksi gender yang ada di film ini, yang mungkin telah ada di film animasi lain? Bagaimana kaitan konstruksi gender itu dengan minions, serta terdapat kaitan yang masih sesuaikah dengan konteks sosial saat ini? Untuk mengetahui hal tersebut, maka melalui penelitian ini, peneliti ingin

9

Universitas Kristen Petra mengetahui bagaimana konstruksi gender pada tokoh minions dalam film Despicable Me 2. Terlebih, belum ada penelitian sejenis yang menjadikan minions sebagai objek penelitian yang berkaitan dengan gender. Dalam penelitian ini, peneliti perlu melakukan interpretasi terhadap tanda- tanda yang dibangun dalam film Despicable Me 2 tersebut. Sebab, dalam sebuah film, akan digunakan tanda-tanda yang menggambarkan suatu maksud tertentu (Sobur, 2006). Oleh karena itu, peneliti pun akan menggunakan pendekatan kualitatif, dengan analisis semiotika. Semiotika merupakan studi tentang tanda dan bagaimana tanda tersebut bekerja. Semiotika memiliki tiga bidang studi utama, yaitu tanda, kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda, dan kebudayaan dimana kode dan tanda bekerja (Fiske, 2004). Analisis semiotika yang peneliti gunakan adalah yang dimiliki oleh John Fiske. John Fiske menjelaskan bahwa semiotika adalah studi mengenai pertandaan dan makna dari sistem tanda. Semiotika adalah sebuah ilmu mengenai tanda, yakni bagaimana makna itu dibangun dalam teks media. Semiotika pun ia jelaskan sebagai suatu studi mengenai bagaimana tanda dari berbagai jenis karya dalam masyarakat, yang mengandung makna (Fiske, 2004, p.282). Penelitian yang diangkat oleh peneliti ini berbeda dengan penelitian terdahulu yang memiliki kaitan dengan gender dan film animasi. Sebagai contoh, pada penelitian berjudul Konten Male Gender Role dalam Film Animasi Walt Disney, metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah analisis isi, yang berbeda dengan metode yang akan peneliti gunakan, yaitu semiotika. Subjek pada penelitian tersebut pun cukup banyak, yakni beberapa film animasi Walt Disney, yang diteliti dengan pendekatan kuantitatif, sedangkan peneliti hanya mengambil satu subjek, yaitu film Despicable Me 2, yang akan peneliti dalami dengan pendekatan kualitatif.

1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini ialah “Bagaimana konstruksi gender pada tokoh minions dalam film Despicable Me 2?”

10

Universitas Kristen Petra 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan dalam penelitian ini ialah mengetahui konstruksi gender pada tokoh minions dalam film Despicable Me 2.

1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat, baik secara akademik dan praktis, antara lain: 1.4.1. Manfaat Akademik 1. Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan untuk mahasiswa dan praktisi ilmu mengenai konstruksi gender. Sebab, saat ini, konstruksi gender telah dapat ditemui di media apa saja, termasuk film animasi. Secara akademis, wawasan mengenai metode semiotika yang digunakan untuk meneliti konstruksi gender ini pun dapat bertambah. 2. Mahasiswa dan praktisi ilmu pun dapat semakin membuka mata dan meningkatkan wawasan mengenai konteks sosial dan budaya yang terdapat di masyarakat saat ini, dimana kelompok-kelompok gender tengah memperjuangkan suatu hak untuk memperoleh keadaan yang bebas dan setara, terutama di media massa. 1.4.2. Manfaat Praktis 1. Audiens diharapkan lebih dapat memandang suatu film animasi melalui konteks sosial yang ada, karena suatu film dapat timbul untuk menyimpan pesan dan maksud tertentu atas situasi di masyarakat. 2. Melalui penelitian ini, peneliti berharap bahwa para praktisi dalam industri perfilman pun memperoleh masukan mengenai topik gender yang diangkat dalam sebuah film, supaya konstruksi gender dalam film tidak stagnan.

1.5. Batasan Masalah Dalam penelitian ini, peneliti memilih film Despicable Me 2 sebagai subjek penelitian, dimana tokoh minions dalam film tersebut yang menjadi fokus penelitian ini. Tokoh minions tersebut akan diteliti dalam hal konstruksi gender,

11

Universitas Kristen Petra dengan menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengkaji konstruksi gender pada tokoh minions dalam film Despicable Me 2 tersebut secara mendalam. Metode yang digunakan pun adalah metode semiotika milik John Fiske untuk mengetahui pertandaan dan makna dari sistem tanda pada film Despicable Me 2. Pada proses analisis, peneliti akan melakukan interpretasi terhadap scene yang memiliki relevansi dengan konstruksi gender dan minions dalam film tersebut.

1.6. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari lima bab, dimana dalam masing-masing bab, terdapat sub-sub bab, yang disusun secara bertahap dan berkesinambungan untuk mendukung isi dari setiap bab. Sistematika penulisan dalam penelitian ini pun disusun sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Pada bab pertama ini, terdapat bahasan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah, dan sistematika penelitian, yang menjelaskan alasan dan tujuan dari penelitian ini. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab kedua ini akan berisi teori-teori yang menunjang penelitian ini, seperti teori mengenai media massa dan konstruksi sosial, film sebagai produk repressentasi kebudayaan, dan lain-lain. Selain itu, dibahas pula nisbah antar konsep dan kerangka pemikiran yang akan digunakan oleh peneliti sebagai dasar dalam melakukan penelitian ini. BAB III METODOLOGI PENELITIAN Dalam bab ketiga ini, terdapat tahap-tahap yang akan dijalani oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini. Tahap-tahap tersebut meliputi definisi konseptual, jenis penelitian yang akan digunakan, metode yang dipakai, subjek dan objek penelitian, unit analisis, bagaimana teknik pengumpulan data, dan bagaimana teknik menganalisis dan interpretasi data yang diperoleh nanti.

12

Universitas Kristen Petra BAB IV ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA Bab keempat ini membahas mengenai gambaran umum dari objek penelitian, yakni minions dalam film Despicable Me 2, yang berkaitan dengan konstruksi gender. Kemudian, bab ini pun berisi temuan, analisis, dan interpretasi data, yakni deskripsi dan paparan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti mengenai konstruksi gender pada tokoh minions dalam film Despicable Me 2. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab kelima ini akan berisi kesimpulan dari hasil analisis yang telah dilakukan oleh peneliti. Kemudian, dari kesimpulan tersebut pun ditarik saran-saran yang berkaitan dengan analisis yang telah peneliti lakukan untuk penelitian-penelitian sejenis yang akan dilakukan nanti.

13

Universitas Kristen Petra