BOOK CHAPTER CORPORATE PUBLIC RELATIONS

Editor Susanne Dida Priyo Subekti Syauqy Lukman Retasari Dewi FX Ari Agung Prastowo

i

Copyright @2017, Program Studi Hubungan Masyarakat Fikom UNPAD

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Cetakan 1, November, 2017 Diterbitkan oleh Unpad Press Graha Kandaga, Perpustakaan Unpad Lt 1 Jl. Raya Bandung Sumedang Km 21 Bandung 45363 e-mail : [email protected]/[email protected] http://press.unpad.ac.id Anggota IKAPI dan APPTI

Editor : Susanne Dida, Priyo Subekti, Syauqy Lukman, Retasari Dewi, FX Ari Agung Prastowo

Tata Letak : Dwiky Ifaldi Hakim Desainer Sampul : Syauqy Lukman

Perpustakaan Nasional : Katalo g Dalam Terbitan (KDT)

CORPORATE PUBLIC RELATIONS / Penulis/Editor Susanne Dida DKK, Penyunting, --Cet. 1– Bandung; Unpad Press; 461h.; 14,8 x 21 cm

ISBN: 978-602-439-244-4

I . CORPORATE PUBLIC RELATIONS II. Susanne Dida, Priyo Subekti, Syauqy Lukman, Retasari Dewi FX Ari Agung Prastowo

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Illahi Rabbi, atas semua limpahan ilmu, anugerah ide, serta kreativitas yang tiada tara untuk memberikan motivasi dan semangat dalam penyusunan Book Chapter 2017 : Nation Branding. Book Chapter ini memberikan pandangan sekilas tentang perkembangan fenomena Public Relations yang bermunculan disekitar corporate dan internet dalam beberapa tahun terakhir ini. Ekspansi global pada industri tidak hanya telah membawa Public Relations ke dalam fokus kajian yang tajam, tetapi juga memperjelas konteks dan posisi Public Relations pada prioritas korporasi lainnya. Pembaca dapat menyimak paparan para penulis pada Book Chapter ini, dari semua yangdipparkan para penulis di harapkan dapat memberikan inspirasi kepada para akademisi maupun praktisi tentang dinamika dunia Public Relations terkini. Tulisan-tulisan yang dipaparkan dalam Book Chapter ini antara lain : Isu Gender dalam Profesi PR , Implementasi Pencils of PR dalam Promosi Perpustakaan, Menyuguhkan Kampanye Gastro Diplomasi sebagai Upaya Nation Branding, Peran Agen Asuransi sebagai PR dan Marketing Communications di PT. Prudential Indonesia, PR sebagai Lembaga State of Being, Optimalisasi Digital PR dalam Diseminasi Dakwah New Media, Media Relations di Indonesia Torn Between Profession and Practice, Manjemen Reputasi melalui Gaya Kepemimpinan di Matahari Departemen Store, Manajemen Isu Corporate Communications Bio Farma menjadikan Isu sebagai Potensi. Upaya membranding korporasi tidak hanya selesai dengan kekuatan brand semata, namun lebih kepada bagaimana

iii kemampuan korporasi untuk mengelola kapasitas dan resources yang dimilikinya untuk menjadi suatu kekuatan strategis yang unggul dan potensial di masa yang akan datang. Kemampuan itu tidak hanya dengan kata-kata, symbol-simbol atau advertorial belaka, namun lebih kepada kemampuan manajerial komunikator yang kompeten dan mampu mengelola harmoni keragaman. Book Chapter ini merupakan kumpulan opini, gagasan, serta upaya kritis konstruktif para akademisi dan penggiat Public Relations yang selama ini tidak lelah untuk berkarya demi masa depan Public Relations. Kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penyusunan Book Chapter ini kami sampaikan terimakasih, permohonan maaf atas ketidak-sempurnanya Book Chapter ini. Kami berharap Book Chapter ini dapat menjadi spirit dan kontribusi bagi pengelolaan Branding Korporasi.

Bandung, November 2017

Lukiati Komala

iv

i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...... i ISU GENDER DALAM PROFESI PUBLIC RELATIONS DI INDONESIA ...... 10 PENDAHULUAN ...... 10 METODE PENELITIAN ...... 13 HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 13 SIMPULAN ...... 35 DAFTAR PUSTAKA ...... 37 IMPLEMENTASI PENCILS OF PUBLIC RELATIONS DALAM PROMOSI PERPUSTAKAAN ...... 41 PENDAHULUAN ...... 41 METODE PENELITIAN ...... 43 HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 43 SIMPULAN ...... 51 DAFTAR PUSTAKA ...... 52 MENYUGUHKAN KAMPANYE GASTRODIPLOMACY SEBAGAI UPAYA NATION BRANDING ...... 54 PENDAHULUAN ...... 54 SIMPULAN ...... 72 DAFTAR PUSTAKA ...... 73 PERAN AGEN ASURANSI SEBAGAI PUBLIC RELATIONS DAN MARKETING COMMUNICATIONS DI PT PRUDENTIAL INDONESIA ...... 76 PENDAHULUAN ...... 76

ii

METODE PENELITIAN ...... 79 HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 79 SIMPULAN ...... 85 DAFTAR PUSTAKA ...... 86 PUBLIC RELATIONS SEBAGAI LEMBAGA/STATE OF BEING ...... 87 PENDAHULUAN ...... 87 METODE PENELITIAN ...... 89 HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 90 SIMPULAN ...... 100 DAFTAR PUSTAKA ...... 101 STRATEGI MEDIA SOSIAL MARKETING COMMUNICATION RAMADA ENCORE BALI SEMINYAK ...... 102 PENDAHULUAN ...... 102 METODE PENELITIAN ...... 106 HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 107 SIMPULAN ...... 120 DAFTAR PUSTAKA ...... 122 OPTIMALISASI DIGITAL PUBLIC RELATIONS DALAM DISEMINASI DA’WAH PADA NEW MEDIA ...... 124 PENDAHULUAN ...... 124 METODE PENELITIAN ...... 131 HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 134 SIMPULAN ...... 141 DAFTAR PUSTAKA ...... 142 MEDIA RELATIONS IN INDONESIA: TORN BETWEEN PROFESSION AND PRACTICE... 144

iii

INTRODUCTION ...... 144 RESEARCH METHOD ...... 146 RESULT AND DISCUSSION ...... 147 CONCLUSION ...... 154 REFERENCES ...... 155 STUDI DESKRIPTIF TENTANG CITRA PELAYANAN RUMAH SAKIT DI KOTA MEDAN ...... 158 PENDAHULUAN ...... 158 METODE PENELITIAN ...... 163 HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 163 SIMPULAN ...... 167 DAFTAR PUSTAKA ...... 167 DISIPLIN VERIFIKASI WARTAWAN SITUS BERITA SUARA.COM ...... 168 PENDAHULUAN ...... 168 METODE PENELITIAN ...... 171 HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 176 SIMPULAN ...... 191 DAFTAR PUSTAKA ...... 192 IMPLEMENTASI MEDIA RELATIONS DALAM UPAYA MENJAGA CITRA POSITIF DI PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) DAERAH OPERASI 1 JAKARTA ...... 196 PENDAHULUAN ...... 196 METODE PENELITIAN ...... 202 HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 204 SIMPULAN ...... 210 DAFTAR PUSTAKA ...... 210

iv

PEMAHAMAN PENGELOLA UNIVERSITAS PADJADJARAN TERHADAP PELAKSANAAN PERGURUAN TINGGI NEGERI BERBADAN HUKUM (PTN BH) ...... 213 PENDAHULUAN ...... 213 METODE PENELITIAN ...... 216 HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 217 SIMPULAN ...... 220 DAFTAR PUSTAKA ...... 221 PUBLIC RELATIONS DAN KOMUNIKASI PELAYANAN ...... 223 PENDAHULUAN ...... 223 METODE PENELITIAN ...... 225 HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 226 SIMPULAN ...... 232 DAFTAR PUSTAKA ...... 233 KEBIJAKAN UPAH BURUH DAN DILEMA BURUH KONTRAK DI JAWA BARAT ...... 235 PENDAHULUAN ...... 235 METODE PENELITIAN ...... 239 HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 240 SIMPULAN ...... 245 DAFTAR PUSTAKA ...... 246 MANAJEMEN REPUTASI MELALUI GAYA KEPEMIMPINAN DI MATAHARI DEPARTMENT STORE ...... 248 PENDAHULUAN ...... 248 METODE PENELITIAN ...... 251 HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 252

v

SIMPULAN ...... 257 DAFTAR PUSTAKA ...... 257 KEGIATAN KEHUMASAN DALAM STRATEGI PEMASARAN MEDIA DALAM JARINGAN KOMPAS.COM ...... 259 PENDAHULUAN ...... 259 METODE PENELITIAN ...... 266 HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 266 SIMPULAN ...... 274 DAFTAR PUSTAKA ...... 275 REVOLUSI KIA SEBAGAI STRATEGI PENURUNAN ANGKA KEMATIAN ANAK ...... 277 PENDAHULUAN ...... 277 METODE PENELITIAN ...... 278 HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 281 SIMPULAN ...... 286 DAFTAR PUSTAKA ...... 287 STRATEGI ORGANISASI DALAM MEMELIHARA BESARAN BAGI PENINGKATAN REPUTASI ORGANISASI...... 288 PENDAHULUAN ...... 288 HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 289 Strategi ...... 296 SIMPULAN ...... 305 DAFTAR PUSTAKA ...... 306 MANAJEMEN ISU CORPORATE COMMUNICATIONS PT BIO FARMA MENJADIKAN ISU SEBAGAI POTENSI ...... 308 PENDAHULUAN ...... 308

vi

METODE PENELITIAN ...... 313 HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 313 SIMPULAN ...... 324 DAFTAR PUSTAKA ...... 326 PERAN PUBLIC RELATIONS DALAM MEMBENTUK OPINI PUBLIK PADA KASUS BAYI DEBORA DAN PELAYANAN RUMAH SAKIT MITRA KELUARGA KALIDERES ...... 328 PENDAHULUAN ...... 328 METODE PENELITIAN ...... 331 HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 332 SIMPULAN ...... 339 DAFTAR PUSTAKA ...... 339 PENCITRAAN: POSITIF ATAU NEGATIF? .. 341 PENDAHULUAN ...... 341 METODE PENELITIAN ...... 342 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 342 SIMPULAN ...... 350 DAFTAR PUSTAKA ...... 350 MEMBACA KEHIDUPAN PEREMPUAN INDONESIA DARI IKLAN KORAN SUNTING MELAYU ... 352 PENDAHULUAN ...... 352 METODE PENELITIAN ...... 359 HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 359 SIMPULAN ...... 361 DAFTAR PUSTAKA ...... 361 PROSES REBRANDING BEKASI SQUARE MENJADI REVO TOWN REBRANDING PROCESS OF BEKASI SQUARE BECOMES REVO TOWN363

vii

PENDAHULUAN ...... 363 METODE PENELITIAN ...... 367 HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 369 SIMPULAN ...... 374 DAFTAR PUSTAKA ...... 375 PROGRAM IMPLEMENTASI BUDAYA BARU DALAM PELAKSANAAN TRANSFORMASI BUDAYA PERUSAHAAN ...... 377 PENDAHULUAN ...... 377 METODE PENELITIAN ...... 379 HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 382 SIMPULAN ...... 390 DAFTAR PUSTAKA ...... 391 UPAYA PT. PELABUHAN TANJUNG PRIOK DALAM MENGENDALIKAN ISU KASUS DWELLING TIME ...... 393 PENDAHULUAN ...... 393 METODE PENELITIAN ...... 397 HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 398 SIMPULAN ...... 403 DAFTAR PUSTAKA ...... 404 GAGASAN KREATIF UPAYA PENGUATAN KODE ETIK PROFESI HUMAS ...... 405 PENDAHULUAN ...... 405 METODE PENELITIAN ...... 407 HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 407 SIMPULAN ...... 412 DAFTAR PUSTAKA ...... 413

viii

PUBLIC RELATIONS DAN PEMETAAN KETAHANAN ORANG TERDAMPAK PEMBANGUNAN JATIGEDE ...... 414 PENDAHULUAN ...... 414 METODE PENELITIAN ...... 416 HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 416 SIMPULAN ...... 419 DAFTAR PUSTAKA ...... 419 HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN MEDIA INSTAGRAM @goldensugar_id DENGAN PEMENUHAN KEBUTUHAN FOLLOWERS TERHADAP INFORMASI SEPUTAR PRODUK421 PENDAHULUAN ...... 421 METODE PENELITIAN ...... 424 HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 425 SIMPULAN ...... 431 DAFTAR PUSTAKA ...... 432 BRAND KNOWLEDGE PT. JASA MARGA (PERSERO) TBK. PADA PENGGUNA JALAN TOL ...... 433 PENDAHULUAN ...... 433 METODE PENELITIAN ...... 438 HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 440 SIMPULAN ...... 445 DAFTAR PUSTAKA ...... 447 MEDIA SOSIAL DAN KOMUNIKASI KRISIS: PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL OLEH PUBLIC RELATIONS DALAM KOMUNIKASI KRISIS449 PENDAHULUAN ...... 449

ix

METODE PENELITIAN ...... 451 HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 451 SIMPULAN ...... 459 DAFTAR PUSTAKA ...... 460

10

ISU GENDER DALAM PROFESI PUBLIC RELATIONS DI INDONESIA

Dio Herman Saputro, Satya Candrasari Institut Teknologi dan Bisnis Kalbis [email protected]

PENDAHULUAN Menurut Mansour Fakih dalam buku yang berjudul Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Fakih M. , 2001, p. 8) mendefinisikan gender sebagai perbedaan perilaku antara pria dan wanita yang dikontruksi secara sosial dan bukan kodrat dari Tuhan. Seperti yang diungkapkan dan dipertegas oleh Oakley seperti yang dikutip oleh (Fakih M. , 2002, p. 171) dalam buku yang berjudul Sex, Gender, and Soceity menekankan bahwa gender sebagai perbedaan sex bukan berdasarkan biologis dan juga bukan kodrat Tuhan. Gender dikontruksi lewat proses sosial budaya yang panjang . Contoh sederhana tentang gender dalam kehidupan sehari-hari misalnya laki-laki sejak kecil diajarkan untuk menjadi maskulin dengan atribut mainan mobil-mobilan, laki-laki harus menyukai warna biru, sedangkan wanita diharuskan bermain boneka, masak-masakan, dan menyukai warna pink. Hal-hal ini yang membuat gender terintenalisasi menjadi streotype antara pria dengan wanita. Pria harus kuat, tidak boleh menangis, sosok pemimpin, sementara wanita harus bicara lembut dan bertingkah laku feminim. Sejarah perkembangan gender menjadi ilmu pengetahuan seiring dengan timbulnya berbagai masalah yang kompleks akibat sistem partiarki seperti yang terjadi di Indonesia dan dunia serta tak lepas dari faktor histroris penjajahan, peradaban manusia, dan struktur budaya yang ada dalam masyarakat (Nadyazura, 2016).

11

Gender tidak hanya membincangkan soal streotype yang tidak adil antara pria dengan wanita namun juga masalah-masalah seperti kesehatan reproduksi, hak-hak asasi perempuan dan laki- laki, pernikahan dini, perdagangan manusia, citra perempuan dalam media massa, isu-isu feminisme dan diskriminasi gender dalam ekonomi, politik, budaya, isu-isu tentang lesbian, seksulitas dalam wacana periklanan dan dunia perfilman. Saat ini gender menjadi multidisplin ilmu yang bersinggungan dengan cabang ilmu-ilmu lainnya termasuk juga public relations. Kajian gender dalam perspektif penelitian public relations sudah banyak diteliti oleh beberapa peneliti di Eropa dan Amerika seperti (Verhoeven & Aarts, 2010), (Van & Elving, 2007), & (Tsetsura, 2014) dan di Indonesia sendiri menurut hasil catatan historis penelitian kajian ini pertama kali dilakukan oleh Deborah N. Simorangkir pada tahun 2009. Para peneliti membahas aspek gender dalam kehumasan ditinjau dari aspek kredibelitas PR perempuan dari gaya komunikasi kepemimpinan PR wanita, kelebihan aspek feminim dari praktisi PR wanita yang menguntungkan industri, dan dampak feminisasi pada praktisi PR. Public relations dilebeli sebagai profesi gender dan feminim terjadi sejak tahun 1990 (Verhoeven & Aarts, 2010). Bagaimana tidak, profesi ini kerap didominasi oleh perempuan ( (Grunig, Toth, & Hon, 2001) seperti yang ditulis oleh (Rea, 2002). Menurut survey dari PRSA, 70% anggota asosiasi hubungan masyarakat di Amerika kebanyakan adalah perempuan (Aldoory & Toth, 2002) & (Verhoeven & Aarts, 2010). Di Indonesia sendiri belum ada data yang resmi tentang rasio PR pria dan wanita di Indonesia pada 5 tahun terahir. Namun di Indonesia, profesi public relations sering dianggap profesi yang cocok untuk wanita (Simorangkir, 2009:1). Pendapat Simorangkir diperkuat dengan adanya fakta dari pada tahun n1990 MPR consultant menyatakan bahwa 12 dari 17 perusahaan PR di Indonesia dibawah

12 kepemimpinan perempuan (Warta Ekonomi, Edisi September, 1990). Banyaknya perempuan yang memilih untuk menjadi karena rintangan yang tidak sesulit profesi lainnya dan mereka dapat mencapai profesional status ( (Grunig, Toth, & Hon, 2001), dalam Simorangkir, 2009;5). Di Indonesia sendiri dipilihnya perempuan sebagai seorang PR karena wanita lebih sensitif, supel, dan persuasive daripada pria (Warta ekonomi, 1990). Persepsi perempuan sebagai sosok PR yang ideal karena perempuan dilabeli sebagai sosok yang empati, luwes, sosok pendengar yang baik, dan multi tasking (Probert, 1997) yang dimanfaatkan untuk kepentingan perusahaan sehingga wajah Public relations menjadi wanita (Rea, 2002). Fenomena feminisasi bukan semata-mata persoalan rasio antara pria dan wanita namun lebih mengarah pada hegemoni feminisme yang dimanfaatkan kaum kapitalis dalam mengkontruksi figur PR dalam dunia industri demi kepentingan bisnis. Feminisasi pada diri praktisi PR perempuan memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya praktisi PR perempuan dapat kesempatan berkarir yang sama dengan pria, mendapatkan remunerasi yang tinggi, dan jenjang karir yang menjanjikan. Disatu sisi wanita eksplotasi kecantikan, tubuh, dan seksualitas wanita serta perilaku yang komunal dan feminim dianggap keterampilan khusus bagi wanita yang memang natural (Wood, 2005), untuk memperlancar bisnis di dunia industri. Image profesi PR menjadi sosok yang lembut dari sekedar menanggung tanggung jawab yang berat sebagai fungsi menejemen di perusahaan (Toth, 2001). Tulisan ini mencoba mengkaji perkembangan isu gender dalam dunia kehumasan di Indonesia dilihat dari segi histroris, peran praktisi PR wanita dalam dunia industri, diskrimnasi gender, teori komunikasi gender dalam Public Relations, dan perkembangan riset-riset seputar isu gender dalam dunia public relations di Indonesia.

13

METODE PENELITIAN Untuk mengkaji perkembangan isu-isu gender dalam public relations di Indonesia lebih komprehensif dan mendalam maka pendekatan dalam paper ini melalui kualitatif. Adapun metode yang digunakan yaitu analisis sintesa kualitatif dengan mengumpulkan kajian teoritis yang relevan dengan penelitian ini kemudian diambil suatu kesimpulan. Teknik pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dengan literature review, observasi, dan wawancara dengan tiga orang praktisi PR.

HASIL DAN PEMBAHASAN Sejarah Historis dan Praktek Public Relations di Indonesia Menurut Putra (2008) mengutip dari buku Practising Public Relations yang ditulis oleh (Quarles & Rowlings, 1993), perkembangan sejarah teoritis dan praktek public relations terbagi atas lima periode. Periode pertama dimulai pada saat praktisi PR setuju apabila praktek modern sama usia dengan NKRI (Dahlan, Mei 1978, p. 7) & (Putra, 2008). Public relations menjadi figur yang sangat penting dalam propaganda deklrasi kemerdekaan Indonesia. Periode kedua prakek publik relations sudah mulai dipergunakan sebagai metode perencanaan operasional kegiatan komunikasi perusahaan seiring dengan tumbuhnya berbagai perusahaan multinasional yang mendirikan PR in House/divisi Humas internal seperti Garuda Indonesia, PT. Caltex. Pada periode ke dua ini aktivitas PR lebih banyak bergerak pada aktivitas publikasi. Peningkatan permintaanm perekrutan tenaga public relations di sejumlah perusahaan juga didorong pertumbuhan penanaman investor asing di Jakarta sebagai pusat bisnis serta berdirinya PERHUMAS dan BAKOHUMAS (Robinson, 1990), lihat (Putra, 2008). Periode ketiga tidak terlepas dari faktor sejarah perkembangan politik zaman Soeharto dan kebijakan publik

14 perekonomian yang menjadi cikal bakal perkembangan profesi dan kajian public relations di Indonesia. Periode keempat, banyak ageny/perusahaan PR berdiri seperti Fortune, berdirinya organisasi APRI (Asosiasi Perusahaan PR Indonesia), semakin banyaknya perusahaan yang didorong oleh kebijakan ekonpmi dan PR sudah mulai dipandang sebagai sebuah profesi dibuktikan dengan adanya makalah dari International Public Relations Association (IPRA) (dalam Putra, 2008). Pada periode ini terdapat sebuah survey dari MPR PR consultant yang menyatakan bahwa pada tahun 1994 38 dari 24 perusahaan PR dipimpin oleh wanita (MPR Consultant, (Putra, 2008). Ditambah lagi dengan pernyataan Khasali pakar menejemen komunikasi pada tahun 1994 juga ditemukan bahwa 12 dari perusahaan yang terdapat dalam list anggota APRI dibawah kepemimpinan wanita. Faktor pertimbangan yang menjadi alasan mengapa harus wanita sebab wanita lebih terampil bernegoisasi dan pandai membujuk klien dari pada pria (Warta Ekonomi, September, 1990). Hal ini yang kemudian menimpulkan persepsi dalam benak orang awam bahwa sosok PR adalah wanita yang kemudian menjadi cikal bakal feminisme dan kajian PR di Indonesia muncul. Wanita yang bekerja sebagai PR dinilai lebih cocok atas dasar alasan gender yang dikontruksi oleh masyarakat sosial budaya Indonesia. Persepsi PR sebagai profesi wanita akibat dari faktor historis yang salah tentang pemahaman PR. PR hanya dipandang sebagai sebuah profesi pemanis di perusahaan- perusahaan.

Peran Praktisi Public Relations Perempuan di dunia Industri di Indonesia Menurut Cultip dan Center (Broom & Sha, 2013, p. 55) dalam buku yang berjudul Cultip & Center’s Effective Public Relations mengidentifikasikan empat peran public relations dalam

15 perusahaan terdiri dari dari empat yakni; 1) Expert Prescriber adalah seseorang PR yang berperan sebagai konsultan yang bertanggung jawab untuk menganalisis masalah-masalah korporasi, merancang, dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan program PR di perusahaan. 2) Communication facilitator yaitu praktisi PR berperan sebagai penyedia informasi yang berkaitan dengan perusahaan untuk didistribusikan kepada audience. Seseorang praktisi PR yang berperan sebagai communication facilitator juga berfungsi sebagai penghubung, penterjemah, dan sebagai mediator antara organisasi atau perusahaan dengan audience. 3) Problem solving fascilitator yaitu ketika seseorang praktisi bekerja di perusahaan ia bekerja sama dengan pihak menejemen internal perusahaan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan antara komunikasi korporasi dengan siklus kehidupan perusahaan. 4) Communication tehnician yaitu seseorang praktisi PR yang tugasnya hanya menerima perintah dari atasan untuk menulis dan mengedit press release, merilis website dan annual report, mempersiapkan pidato, dan serangkaian pekerjaan pekerjaan teknis. Data penelitian dari Broom dan Dozier (Seperti yang disebutkan oleh Creedon, 1991, dalam (Kurnia & Putra, 2004) mengemukakan bahwa pada tahun 1979-1985, sebanyak 52% praktisi PR perempuan berperan sebagai teknisi komunikasi sedangkat yang menduduki sebagai menejer public relations hanya 19%. Hal ini menunjukkan bahwa memang profesi PR didominasi oleh wanita namun status dan peran mereka masih dibawah subdordinasi pria (Dozier & M, 1988). Di Kanada juga menunjukkan gelaja yang sama dimana PR wanita sebagaian besar mereka juga sebagai teknisi komunikasi hanya sedikit yang mendapatkan kesempatan untuk menjadi seorang manager. Di Indonesia sendiri kajian tentang korelasi pengaruh peran praktisi PR terhadap gender praktisi sudah pernah dilakukan oleh Deborah

16

N. Simorangkir pada tahun 2009. Secara kuantitaif menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan antara peran PR terhadap dominant gender mereka dalam organisasi namun secara kualitatif ternyata memiliki kolerasi yang kuat. Untuk mendapatkan kepatuhan dari bawahannya praktisi PR tidak selalu bersikap dan berperilaku sesuai dengan gender mereka. Proposisi ini diperoleh dari perspektif feminis radikal dan feminis liberal. Hasil observasi dan wawancara penulis dengan tiga praktisi PR konsultan ternyata membuktikan bahwa gender secara situasional masih mempengaruhi peran praktisi PR dalam perusahaan, misalnya ketika terjadi krisis yang ditampilkan sebagai pembicara adalah perempuan. Perusahaan percaya bahwa konsep feminimes seperti fisik yang menarik, wajah yang menawan dalam balutan make up, beratribut komunal yang secarea alami ada pada perempuan seperti tidak memikirkan diri sendiri (peka terhadap masalah-masalah yang dialami oleh orang lain), emosional, peduli, rendah hati, dan persuasif dapat membantu untuk mengubah persepsi publik dengan audience. Perempuan kredibelitas lebih dipercaya pria dibandingkan dengan pria (Verhoeven & Aarts, 2010). Walaupun demikian peran gender tersebut bersifat mencair dan tergantung kondisi dan situasi perusahaan apakah dalam keadaan kritis atau tidak. Jika perusahaan dalam keadaan sedang tidak krisis baik wanita dan pria berperilaku sesuai dengan gendernya. Wanita dapat bersikap seperti pria yaittu tegas dan rasional dalam mengambil keputusan saat krisis ataupun juga menonjolkan atribut komunal dalam siatusi tidak krisis. Terlihatnya indikasi keseteraan gender.

Teori-teori Gender Komunikasi Pada Studi Public Relations Isu-isu gender dan feminisme menjadi sangat krusial dalam studi public relations sehingga tidak mungkin figur public relations tidak dikonstruksi tanpa adanya sentuhan gender (Daymon & Demetrious, 2010). Dengan sentuhan gender dan

17 feminisme pemahaman profesi public relations sebagai profesi genderistik akan membawa pada arah pemahaman bagaimana gender ditransformasi, dieksekusi, dan serangkaian tantangan bagi praktisi PR perempuan dalam menghadapi masalah-masalah ketidakseteraan. Gender dalam kehumasan bukan hanya persoalan menjadi pria atau pun wanita namun penyangkut bagaimana praktek negoisasi, konstruksi peran, dan penampilan idemntitas gender maskulin atau feminim. Gender berubah menjadi problemtais karena menyangkut psikologi, perbedaan peran pria dan wanita yang disebabkan karena perbedaan budaya serta mengarah pada maskulinitas dan feminitas (Smith, 2009, dalam (Daymon & Demetrious, 2010). Kenyataan bagi orang yang tidak memiliki kawawasan tentang wacana gender maka sering kali gender disamakan dengan sex atau jenis kelamin. Kolerasio Gender dalam public relations merupakan cikal bakal dari pemikiran Anne Summer (1975 & 1994), seorang feminist dari Australia dalam buku yang berjudul “Damned Whores and God’s Police” yang secara garis besar memaparkan bahwa keterbatasan pilihan pada wanita karena polarisasi streotype seksualitas, wanita selalu dipandang dari segi perbedaan peran gender and ketidaksertaraan dalam hal sex. Perbedaan tersebut tidak kemungkinan disebabkan oleh semantik, sehingga gender perluh secara netral (1994, seperti yang dikutip oleh (Daymon & Demetrious, 2010). Pakar feminisme tidak hanya mengkaji masalah perbedaan gender, etnis, dan kelas namun juga feminisme itu sendiri. Pemahaman tentang kajian feminisme maka akan membantu dalam memahami dan menganalisis masalah- masalah gender dalam ruang lingkup public relations. Dibagian sub line ini penulis akan membahas kolerasi teoritis feminisme dan gender dengan public relations.

Feminisme Liberal dan Radikal

18

Feminisme dapat dipandang dan dipahami sebagai gerakan perjuangan yang fokus pada kesenjangan sosial, politik, dan ekonomi termasuk bentuk perlawanan melawan diskriminasi terhadap perempuan. Teori feminis sering dipergunakan untuk mengkaji masalah latar belakang kesejenjangan gender, keseteraan gender, dan identitas gender yang perlu dikritik. Moden feminisme sudah menikberatkan pada permasalahan seputar kesehatan reproduksi perempuan, aborsi, KDRT, tindakan kekerasan di tempat kerja, dan pemerkosaan. Menyangkut dunia industri para feminis juga masih memperjuangkan keadilan dalam gaji, remunerasi, dan kebebasan wanita dari diskriminasi (Simorangkir, 2010). Feminist yang manganut paham liberal memandang bahwa interaksi personal antara pria dan wanita sebagai awal proses transformasi masyarakat menuju keadilan gender. Menurut Hooks (1984) dalam buku yang berjudul Feminist Theory from margin to center memandang bahwa isu-isu yang diperjuangkan oleh para pengikut paham feminisme liberal adalah kekerasan seksual, repduktif, aborsi, voting, dan pendidikan. Perempuan diposisikan sosok yang setara dengan pria pada aspek pekerjaan untuk mendapatkan dan mencapai kesetaraan gender. Feminisme liberal mengavokasi kesetaraan perempuan dalam semuah aspek bidang personal, public, dan kehidupan professional karir. Ideologi feminis liberal menganspirasi wanita untuk mempunyai pilihan hidup dan kesetaraan sebelum hukum (Humm, 1995 seperti yang dikutip oleh (Daymon & Demetrious, 2010). Aliran feminsime liberal percaya bahwa sex biologis bukan hanya faktor yang mendefinisikan identitas sosial dan hak ekonomi pribadi. Feminist pada aliran ini Perkembangan feminis liberal juga muncul didorong oleh fenomena penindasan terhadap wanita yang berada dalam sistem partiarki kemudian dari situ menjadi etalase teori marxist. Aspek penindasan terhadap perempuan yang paling

19 diperjuakan dan disuarakan seperti pembagian status pembagian kerja sebagai sentral fitur kapitalisme (Naples, 2007, pp. 579-589). Selain feminisme liberal terdapat aliran feminisme radikal, para pengikut paham feminis radikal menekankan pada aspek hirarki seksis yang dipelopori oleh kaum kapitalis menjadi hal yang utama faktor menindasan terhadap perempuan. Feminisme radikal menilai bahwa penindasan dan ketidaksetaraan gender disebabkan oleh autoritas pria dan struktur kekuatan serta wanita menjadi sosok yang tidak memiliki kekuatan akibat dari penindasan yang terus menerus dan sistem dominasi yang berkembang terus menerus selama nilai sistem tersebut ada maka masyarakat tidak mampu untuk bereformasi dengan cara yang signifikan. Radikal feminisme menganggap bahwa kapitalisme sebagai hambatan dalam melawan menindasan terhadap perempuan seperti yang dikatakan oleh (Echol, 1990) yang memaparkan bahwa untuk melawan dominasi terhadap pergerakan kebebasan wanita dengan cara merekontruksi masyarakat untuk mencapai tujuan. Kelompok feminis radikal menolak feminis liberal mengenai perbedaan wanita daengan pria ditinjau dari segi essensial dan hidup pada sistem patriarki yang sudah tertanam sejak dulu. Penindasan terhadap wanita dapat dilihat menjadi hal yang utama, panjang, dan penindasan yang mendalam (Jagger, 1983). Menurut (Daymon & Demetrious, 2010) para feminis yang berada dalam aliran feminis radikal mengkritik feminis liberal bahwa pemikiran aliran feminis liberal terlalu sempit dan terisolasi dalam sistem parthiarki yang membuat wanita tidak dapat memihak sehingga hal ini menjadi sarana untuk mengsubordinasi wanita (Bryson, 2003:162). Teori feminis liberal dan radikal bertolak belakang dengan teori feminis postmodern, yang menentang esensialisme dan keterbatasan dalam memahami perempuan sebagai kelompok universal atau terpadu (Rosser, 2007). Dr. phill. Deborah N. Simorangkir, pernah menerapkan teori feminisme liberal dan

20 feminisme radikal pada penelitian yang mengkaji masalah feminisasi public relations di Jakarta pada tahun 2009, hasil pemikirannya bahwa terdapat tantangan bagi PR perempuan untuk menempati jabatan manegerial karena masih adanya sistem budaya parthiarki dalam perusahaan dan anggapan stereotype yang buruk tentang gaya kepemimpinan perempuan misalnya perempuan dianggap tidak mampu berakting seperti seorang pemimpin karena perempuan dinilai sebagai sosok yang emosional, tidak berfikir logis, dan lambat dalam pengambilan keputusan. Walaupun demuikian masih ada kesempatan dan peluang bagi praktisi perempuan untuk setara dengan praktisi PR pria dalam dunia industri bisnis sebab para praktisi PR perempuan menilai bahwa dunia industri membutuhkan mereka karena mereka memiliki kemampuan wajib yang harus ada dalam diri seorang praktisi PR perempuan yang tidak dimiliki oleh pria seperti kemampuan komunikasi yang handal dan menegerial skills, detailed oriented, tidak egosentris, dan lebih intuisi dari pada pria. Kemampuan PR perempuan tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis industri dan menunut wanita untuk setara dengan PR.

Teori Konstruksi Realitas Sosial dalam Public Relations. Perbedaan peran gender tak terlepas dari kontruksi masyarakat sosial budaya setempat oleh karena itu peran gender yang tidak adil dan menindas perempuan terhadap wanita agar bisa sejajar dengan pria dikritik oleh para feminis sehingga perlunya penulis menjabarkan pemikiran Peter L. Beger, seorang sosiolog, lewat karya ilmiah tentang teori kontruksi realitas sosial yang menjadi framework untuk menganalisis peran gender praktisi PR pria dengan wanita yang dikontruksi oleh perusahaan, industri, dan invidu PR itu sendiri. Teori kontruksi realitas sosial berfokus pada penafsiran pemaknaan yang dikontruksi dan implikasi teori ini ada pada aspek kehidupan organisasi (aturan, norma, dan nilai serta

21 perilaku organisasi yang diterima) ( (Little, Foss, & Oetzel, 2017, pp. 117-1118). Teori ini masuk dalam tradisi sosiokultur yang membahas mengenai pemaknaan penafsiran yang dikonstruki dalam pelaku sosial seperti organisasi, perusahaan, komunitas, dan kelompok sehingga hasilnya akan berdampak pada kehidupan organisasi. Penfasiran terhadap suatu makna secara langsung merupakan refleksi dari nilai, norma, budaya, dan praktek yang diterima dan titolak oleh seperti organisasi, perusahaan, komunitas, dan kelompok (Little, Foss, & Oetzel, 2017). Ada tiga aspek yang ditonjolkan dari tiga teori ini yaitu; 1)pengetahuan yang diperoleh dari analisis phenomenolog, maksud dari pernyataan ini adalah pengetahuan seseorang tentang sesuatu objek ditentukan oleh lingkungan sosial. Realitas sosial dikontruksi sosial budaya. 2) masyarakat sebagai kenyaataan objektif. Dalam pernyataan ini Individu melakukan eksternalisasi atau penguingkapan secara subjektivis melalui serangkai aktivitas. Aktivitas ini disebut dengan habitualisasi (Samuel, 2012) kemudian para pelaku aktivitas tersebut mengalami proses tipifikasi sehingga munculnya pranata sosial. Pranatas sosial diwariskan dari generasi ke generasi lain dan dan menjadi acuan pola tingkah laku yang diakui dan diterima oleh kelompok sosial setempat. Masyarakat menurut Berger adalah keseluruhan akumulasi pengalaman individu yang utuh. 3) masyarakat sebagai kenyataan subjektif. Point ketiga ini menurut pemikiran Berger dapat menjembatani antara fungsionalisme yang menjadi titik tolak masyarakat dan interaksionalisme yang merupakan titik tolak individu. Menurut Berger (dalam Samuel, 2012) setiap manusia yang dilahirkan dalam kondisi tabula rasa. Artinya perkembangan biologis dan psikologis bayi membantu melancarkan proses internalisasi yang membuat penyerapan realitas objektivif menjadi subjektif yang ada pada individu (Karman, 2015).

22

Dengan demikian internalisasi dapat didefinisikan sebagai proses penerimaan definisi situasi institusional. Internalisasi dikategorikan menjadi dua yakni primer dan sekunder. Primer menyangkut proses pengalaman individu untuk diterima menjadi anggota masyarakat pada fase kanak-kanak dan sekunder yang lebih memfokuskan diri pada proses pembelajaran pada aspek pembelajaran kognitif. Dari tahap internalisasi berkembang menjadi eksternalisasi yaitu ekspresi individu dalam kehidupan nyata. Dari tahapan eksternalisasi melahirkan proses objektivisasi yaitu aktivitas manusia yang dipersepsikan dan disebarluaskan kepada orang lain. Ketiga proses tersebut saling berkaitan satu sama lain, tidak bisa terpisahkan, dan terjadi secara dialektivis diri sendiri dengan masyarakat (lingkungan sosialkultural) ( (Karman, 2015) Oleh karena itu teori ini tak terlepas dari analisis sosiologis akibat buah dari proses penafsiran makna dari para aktor pelaku sosial dalam gejala sosial (Karman, 2015). Sehingga dapat disimpulakan beberapa inti pokok teori kontruksi realitas sosial menurut pemikiran Berger antara lain sebagai berikut: • Setiap manusia memiliki gugus makna dan hidup dalam kehidupan yang bermakna. • Makna yang dipahami oleh seseorang individu dapat dipahami oleh individu lain. • Makna dapat digunakan secara praktis dan sebagai panduan kehidupan sehari-hari. Makna dapat dibedakan menjadi dua yakni makna interaksi tatap muka dan surat kabar. Secara garis besar teori ini masyarakat dipandang sebagai realitas objektif dan subjektif, dimensi masyarakat objektif terdiri dari unsur insititusionalisasi dan legitimasi. Dalam aspek subjektivitas masyarakat menggunakan tahapan eksternalisasi, internalisasi, dan objektivisasi. Contoh kasus studi gender dalam

23 kehumasan dari perspektif pemikiran kontruksi sosial realitas yaitu Saputro (2016) pernah meriset tentang peran gender praktisi PR wanita dan pria yang dikontruksi oleh perusahaan tempat para praktisi (responden) bekerja. Metode yang digunakan adalah studi kasus dengan tipe embedded. Hasil studi menujukkan bahwa peran praktisi perempuan dalam perusahaan dikontruksi sebagai sosok penasehat perusahaan yang memiliki kepribadian yang maskulin, logis, rasional, pemimpin, dan sosok yang bisa diandalkan oleh perusahaan dan CEO. Wanita sudah dianggap setara dengan pria. Walaupun demikian gender masih mempengaruhi peran praktisi PR dalam organisasi misalnya ketika terjadi krisis yang tampil di depan publik adalah PR wanita yang humanis, persuasif, dan responsif. Dari tahap eksternalisasi, perusahaan swasta tempat mereka bekerja mensosialisasikan aturan main yang harus dijalankan oleh praktisi PR wanita dan pria termasuk cara berpakaian, berpenampilan, dan gaya berkomunikasi dengan pihak stakeholder internal dan eksternal. Kemudian dari segi internalisais mereka merefleksikan penampilan fisik mereka, gaya komunikasi mereka, dan kepribadian mereka sesuai dengan identitas brand perusahaan yang mereka wakili. Pada tahapan objektivisasi hasil identitas gender PR mereka disebarluaskan melalui berbagai aktivitas kehumusan yang kemudian menimbulkan persepsi apakah PR itu feminim atau maskulin. Teori ini terlalu kompleks menggambar fenomena kontruksi identitas gender pada praktisi PR dan perlunya teori komunikasi gender yang khusus mengkaji peran praktisi gender dari perspektif gender praktisi PR. Efek dari kontruksi gender berimbas pada power relation dan privilage antara pria dan wanita serta juga bagaimana kontruksi peran gender juga bagian dari permainan sosial, budaya, dan institusi praktisi tempat dimana PR wanita dan PR pria bekerja. Sebagai sebuah profesi, public relations yang menampilkan identitas umum dan realitas dapat dikontruksi dan dimanipulasi

24 untuk menghasilkan konsep hegomini yang kuat (Daymon & Demetrious, 2010), seperti misalnya bagaimana identitas feminisme pada praktisi PR dimanfaatkan dan dieksploitasi demi kepentingan bisnis. Walaupun demikian feminisme tidak selalu menguntungkan praktisi PR wanita (Simorangkir, 2009). Peran praktisi PR sebagai pekerja budaya dalam memproduksi dan reproduksi texts media dapat mengakibatkan representasi dan perkembangan norma sosial, nilai, dan kepercayaan, serta gender. Kolerasi gender dengan profesi public relations sangat kuat karena bidang pekerjaan ini didominasi oleh pandangan fungsionalist. Menurut Gideon (2009, seperti yang dikutip oleh (Daymon & Demetrious, 2010) pandangan fungsionalist dapat dipahami sebagai masalah dibawah posisi esensial konservatif seperti misalnya tantangan untuk mempercayai sebuah ide tradisi dan peran seks yang mengarah pada rendah status. Di Indonesia sendiri tidak dapat dipungkiri lagi praktisi PR banyak digeluti oleh wanita dan sulitnya bagi wanita untuk meraih posisi managerial serta lebih banyak wanita yang lebih bekerja sebagai teknisi dari pada managerial karena masih dipengaruhi oleh budaya feodalisme, partenalisme, dan primodarisme (Damayanti, 2015) dalam dunia industri. Partenalisme yang berarti asal bapak senang (karena rata-rata perusahaan dibawah kemepimpinan pria) mereka mencari sosok PR wanita yang feminim, cantik, dan berorientasi fisik serta posisi PR hanyalah dilihat dari sex and body untuk menyenangkan hati bos yang masih dalam lingkaran kepemimpinan partinalisme. Selain itu juga kebijakan penerapan budaya primordalisme dalam bisnis suatu industri perusahaan yang merekrut tenaga PR karena pertimbangan suku, agama, ras, puritanisme, dan non-puritanisme. Dari situ dapat dilihat masalah gender dalam public relations bukan hanya sekedar kolerasi gender sebagai refleksi penampilan dan negosiasi namun juga sebagai domain yang mengatur dan

25 identitas kekuatan kontruksi sebagai cerminan dari pendekatan fungsionalist yang sengaja menghindari refleksi yang lebih dalam dan cenderung mengabaikan masalah gender (Daymon & Demetrious, 2010). Masalah-masalah gender dalam kehumasan yang bisa dikembangkan oleh akademisi komunikasi gender, PR, dan praktisi PR di Indonesia mencakup kesenjangan gender dari segi gaji, kesempatan promosi pekerjaan, sex and body image, histroris perkembangan PR secara teoritris maupun praktic dan kesalahanpenggunaan istilah PR pada perusahaan yang masih menggap PR bukan fungsi menejemen, pengaruh peran gender terhadap praktek praktisi PR di Indonesia, diskriminasi gender, velvet ghetos, parternalisme dalam praktek kehumasan, glass ceiling, kolerasi gender praktisi PR dengan kelas, ras, seksualitas, dan keluar, hegemoni identitas gender melalui wacana dan produk tekstaul serta material, budaya organisasi dalam pembentukan citra diri profesi PR, komunikasi pendidikan dosen dengan mahasiswa pada jurusan hubungan masyarakat di universitas dalam mengedukasi isu gender dalam kehumasan serta marginisasi gender profesi PR yang merupakan kebijakan perusahaan, dan ideologi gender pada praktisi kehumasan. Untuk dapat mengkaji sejumlah problematis gender diatas dalam praktek kehumasan seorang peneliti harus mampu menganalisa pemaknaan gender dan bagaimana public relations dinegoisasi, produksi, dan distribusi (Daymon & Demtrious, 2010:4), serta ideologi yang dibawah oleh industri dalam rekontruksi figure gender seorang praktisi PR.

Teori Sosial Rules Public Relations Social rules theory diciptakan oleh Alice Eagly pada tahun 1987 seorang pakar sosilogi. Teori ini berfungsi untuk memahami mengapa gender merupakan fenomena penting dalam industri public relations, teori ini menjelaskan dari perspektif struktural mengapa individu bersikap sepantas seperti yang mereka

26 cerminkan dalam suatu system social mereka. Teori SRT adalah teori sosio psikilogis yang menjelaskan perbedaan sikap diantara pria dan wanita sebagai hasil dari streotype tentang gender yang menghasilkan aturan sosial yang kemudian diajarkan kepada anak- anak muda (Eagly A. , 1987). Gender merujuk pada peran pria dan wanita yang dibentuk sesuai oleh suatu masyarakat tertentu.Gender roles are “socially and culturally defined prescriptions and beliefs about the behaviour and emotions of men and women” (Anselmi & Law, 1998, p. 3). Menurut Eagly (1987), menawarkan penjelasan untuk perkembangan gender yang didasari pada sosialisasi. SRT suggests that the sexual division of labour and societal expectations based on stereotypes produce gender roles. Gender stereotypes vary on four dimensions: traits, role behaviours, physical characteristics and occupations (Deaux, 1983). Eagly (1987) mengembangkan teori ini pada tahun 1980 sebagai teori yang berkaitan dengan gender dan ditentukan apakah gender itu merujuk pada bilogi atau faktor sosial yang menentukan bagaimana orang bersikap. The theory explored the nature or nurture question. Even though earlier research addressed sex differences, their main focus was on biological differences and early childhood socialization (Dulin, 2007). Pada penelitian di tahun 1970an, teori ini telah kuat dikritisi karena ide mereka tentang perbedaan jenis kelamin, perkembangan topik pada teori ini lambat pada tahun 1980, Eagly telah mengabdikan dirinya untuk mengembangkan teori ini dan ia telah mempublikasi sebuah buku di tahun 1987 tentang teori ini. Perbedaan jenis kelamin menentukan perbedaan sikap sosial: interprestasi sosial. Eagly (1987) lebih lanjut mengexplorasi aturan sosial yang regulatif perilaku dalam kehidupan individu dewasa dan melanjutkan untuk memperlihtakan bagaimana teori perilaku sex-type dapat menjelaskan perbedaan diantara wanita dan pria.

27

Beberapa asumsi dasar teori ini adalah: 1) The social role theory posits that men and women behave differently in social situations and take different roles, because of the expectations society puts upon them (Eagly, 1987). 2) Social role theory used a structural approach to sex differences, rather than a cultural approach. In reality, structural pressures (family, organisations, and communities) have caused men and women to behave differently. These stereotypical gender roles are formed by social norms that apply to people of a certain category or social position. 3) According to Eagly (1997)), society has shared expectations about women and men. These expectations form female and male gender roles. Therefore, individuals tend to act the way that these roles imply and as a result, men and women learn different skills, thus perpetuating sex differences. 4) Eagly (1997), suggests that beliefs about the differences between men and women can be divided into two dimensions: communal and agentic. Bakan (1966) suggests that agentic qualities are manifested by self- assertion, self-expansion and the urge to master and be independent. Agentic qualities are often attributed to males. Communal qualities are manifested by selflessness, concern for others and emotional expressiveness, commonly associated with domestic activities, and for the most part associated with women. Eagly (1997) uses these dimensions to differentiate between males and females in work and family life. 5) Division of labour, according to Eagly (1987) is the cause of the differences between males and females, because women often assume responsibilities at home, and men often assume responsibilities outside the home. Division of labour gave rise to gender role expectations and sex-based skills and beliefs, which in effect produced differences in social behaviour among males and females. SRT implies that individuals might question the capacity of women in particular positions, such as leadership roles because of the stereotypical role expectation by society. Straker (2008) suggests three common patterns that correspond to the beliefs about gender. These are: women take on more domestic tasks; women and men often have different occupational roles; and in occupation, women often have lower status.

28

Beberapa penelitian menggunakan teori ini untuk menangani perbedaan jenis kelamin (sex) di beberapa area seperti agresif, menolong pria, gaya kepemimpinan, etika, dinamika streotype, effective parenting, parenting, emotional vulnerability and ethical decision-making ( (Dulin, 2007). Teori ini pernah didemontrasikan dalam penelitian Gyan (2014) di Ghana. Penelitian Gyan bertujuan untuk menganalisis pengaruh gender terhadap peran pekerjaan praktisi PR di Negara Ghana khsusnya di Ghana Commercial Bank, the Electoral Commission, dan the University of Ghana. Hasil peneliian Gyan menunjukkan bahwa praktisi PR wanita dan pria sama-sama melakukan peran yang sama. Baik sebagai menejerial maupun teknisi akan tetapi dalam melakukan peran sebagai teknisi komunikasi berdasarkan sesuai dengan gender mereka yang sesuai dengan ekspetasi social dan di Ghana posisi menejerial diberikan kepada praktisi PR wanita.

Glass Ceiling dan Isu Diskriminasi Gender Pada Profesi Public Relations Dalam profesi public relations terdapat istilah glass ceiling yang mendisikusikan tentang promosi jabatan praktisi PR wanita. Menurut Cultip, Center, & Broom (2000) dalam buku yang berjudul Effective Public Relations memaparkan bahwa praktisi public relations perempuan mengalami kesulitan untuk mendapatkan jabatan pekerjaan yang penting dalam menejemen perusahaan. Oleh karena itu mereka lebih banyak berperan sebagai teknisi yang berdampak pada penghasilan atau gaji pekerjaan tahunan mereka. Beberapa faktor penyebab terjadi penurunan status dan keterbatasan praktisi public relations perempuan dalam menjalakan perannya sebagai PR profesional di dunia industrui yakni; 1) faktor sosialisasi, 2) faktor pendidikan, dan 3) faktor kultural.

29

Pada faktor utama yaitu faktor sosialisasi tak terlepas dari posisi perempuan yang dipandang kurang penting dari pada pria yang dianggap lebih cocok memimpin perusahaan. Perempuan masih dilabeli sebagai sosok yang mencari pekerjaan yang aman dan terhindar dari pekerjaan yang menantang. Selain itu (Hon et al, 1992, lihat (Kurnia & Putra, 2004) menambahkan bahwa terdapat subjugasi sebagai konsekuensi dari dominasi perempuan yang bekerja sebagai PR di dunia industri sehingga mereka tidak mendapatkan kesempatan memperoleh gaji yang tinggi dan promosi jabatan bagi perempuan agar bisa setara dengan pria. Posisi seorang praktisi public relations dalam struktur organisasi menjadi dua yakni; 1) posisi PR yang posisinya berada di puncak yang memiliki kewenangan untuk membuat keputusan yang menyangkut tentang strategi siklus kehidupan perusahaan (Rachmadi, 1994); (Depari, 1994), & (Effendy, 1986). 2) posisi PR yang tidak harus ada dipuncak namun memiliki akses ke pemimpin puncak dalam mengkomunikasi kegiatan komunikasi korporasi (Putra, 1996). Posisi public relations dalam struktur organisasi perusahaan juga disebabkan oleh beberapa hal seperti pandangan pragtis terhadap PR, pandangan konservatif terhadap PR, idealistik PR dianggap melayani pelayanan informasi publik, pandangan netral, dan pandangan kritis (Grunig & White, 1992), lihat (Kurnia & Putra, 2004). Dipandangnya rendah posisi PR dalam struktur organisasi berdampak pada beberapa hal implikasi yakni pertama, peranan PR hanya sebagai teknisi dan pengambilan keputusan dipegang sepenuh kepada pemimpin puncak. Kedua, kemampuan PR hanya mengedepankan keterampilan teknisi komunikasi belum menyentuh aspek pengembangan karir PR di organisasi atau perusahaan seperti contoh jika seseorang praktisi sudah bersusia 45 tahun maka ia harus pindah ke divisi lain agar karir mencapai posisi puncak. Ketiga, terdapat variasi kegiatan PR namun tidak semua

30 jelas dan konsisten terhadap domain kegiatan PR (Kurnia & Putra, 2004).

Perkembangan Penelitian Kajian Gender dalam Ruang Lingkup Kehumasan Global dan Indonesia Peneliti menemukan sejumlah penelitian yang sudah pernah diterbitkan nasional dan internasional tentang gender dalam perspektif public relations dari berbagai negara. Dari penelusuran peneliti bahwa perlunya monitoring isu gender dalam dunia industri public relations. Karena telah menunjukkan gejala kesenjangan gender antara Pria dengan Wanita. Penelitian yang sudah memiliki keunikan tersendiri dan faktor budaya masing- masing negara mewarnai nuansa penelitian gender dalam perspektif public relations. Berikut rangkumannya:

Liz Yeoman, 2010. Soft Sell? Gendered Experience of Emotional Labour in UK public Relations Firms. Leed Metropolitan University: Prism 7 (4): http://www.prismjournal.org. Liz Yeoman, seorang akademisi di Leed Metropolitan pernah melakukan riset tentang Gendered Experience of Emosional Labour pada praktisi PR konsultan di firma PR di UK. Metode yang digunakan oleh Liz adalah fenomenologi. Penulis belum pernah mendengar jika metode fenomenologi dapat diterapkan dalam riset kehumasan. Riset Liz menggunakan emotional labour theory menurut Hochschild sebagai kerangka besar penelitian. Penelitian ini mencoba mengkaji bagaimana praktisi PR konsultan bernegoisasi profesional dan berhubungan baik dengan pihak klient, pihak media, dan kelega. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan mewawancarai 10 praktisi PR di Inggris. Hasil penelitian Liz menunjukkan bahwa konsep emosional labour yang melebur dalam nilai-nilai feminisme dimanfaatkan untuk

31 memenangkan klien dan menjaga hubungan baik dengan pihak eksternal. Nilai-nilai femenisme tersebut yang ada pada praktisi PR konsultan perempuan dieksploitasi oleh dunia industri. Penelitian ini mencoba menawarkan sebuah wacana profesional image PR tidak hanya dalam persepetif gender namun juga politik, dan perfomance yang natural dalam profesi PR.

Piet Voerhoeven dan Noelle Aarts, 2010. How European Public Relations Men and Women Perceive The Impact of Their Professional Activities. Universitas Amsterdam: Jurnal Internasional Prism 7 (4): http://www.prismjournal.org. Piet Voerhen dan Noelle Aarts adalah akademisi bidang public relations yang pernah melakukan penelitian tentang persepsi profesional image profesi Public Relations dari sudut pandang gender praktisi pria dan wanita. Penelitian mereka dikaji dengan pendekatan kuantitive dengan metode survey di European Communication. Teori yang mereka gunakan konse-konsep gender dalam public relations. Data dikumpulkan dengan kuosioner dan literature review. Hasil penelitian mereka mengungkapkan bahwa suara praktisi PR di sosial media lebih dipercaya oleh publik dibandingkan dengan wanita. Walaupun praktisi PR pria lebih unggul dalam aspek berfikir strategis dan pengambilan keputusan jika dibandingkan dengan wanita. Penelitian ini mencoba menawarkan pemikiran bahwa sosial media dapat memperkuat dan memberdayakan posisi praktisi PR wanita di dunia industri. Lebih lanjut, dalam riset ini streotype gender dan stigma pada level lokal sulit tidak akan bisa berubah kecuali jika pelaku organisasi mengubah pola pikir bahwa wanita wanita memiliki kekuatan yang sama dengan pria.

Deborah N. Simoramgkir, 2009. The Feminization of Public Relations in Indonesia. TU Ilmenau:Disertasi.

32

Tujuan dari disertasi Simorangkir pada tahun 2009 untuk menganalisis kolerasi antara gender praktisi PR di Indonesia dengan peran gender yang dominen pada praktisi PR di Indonesia. Simorangkir menggunakan role congruity theory oleh Eagly untuk mengkaji perbedaan yang diharapkan oleh orang lain antara PR pria dengan wanita dari prasangka yang merupakan harapan dari pelaku industi. Penelitian ini dikaji dengan pendekatan peneliti melalui metode ground reseach. Teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui wawancara dengan 53 praktisi PR di Jakarta sebagai pusat industri public relations. Hasil penelitian Simorangkir menunjukkan bahwa atribut komunal lekat dengan praktisi PR wanita sementara agentic lekat dengan praktisi PR pria. Pria dan wanita terkadang tidak selalu bertingkah laku sesuai dengan gendernya terutama ketika seorang praktisi PR wanita menduduki posisi menejerial. Terdapat pengaruh antara gender praktisi PR wanita dan pria dengan dominasi peran gender mereka dalam organisasi atau perusahaan tempat dimana mereka bekerja. Hastil studi feminisasi PR juga diperdalam dengan teori feminis liberal dan feminis radikal.

Nobertus Ribut Santoso, Studi Gender Pada Peram Public Relations Hotel Dalam Membina Hubungan Media. ICCIC Paper International Proceding. Program Studi Ilmu Komunikasi:Universitas Atma Jaya Katolik Yogyakarta. Tujuan penelitian Santoso untuk menganalisis peran public relations dalam menjalankan tugasnya sebagai media relations dalam perspektif gender. Penelitian Santoso dikaji dengan pendekatan kualitatif dan teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dengan PR praktisi hotel pria dan wanita. Hasil penelitian tidak ada perbedaan peran antara PR pria dengan wanita keduanya berperan sebagai figur yang sangat penting dalam menjalankan tugas sebagai media relations untuk menyampaikan informasi kepada

33 media. Baik praktisi PR pria dan wanita banyak bekerja di level teknis. Mereka sama-sama bekerja untuk mendapatkan publikasi tentang pemberitaan hotel tempat mereka bekerja dan pecintraan brand hotel yang mereka wakili. Hasil penelitiannya dari perspektif konsep empat peran public relations.

Novita Damayanti, Harti Yuwartui, & Dio H. Saputro, Gender Analysis of The Indonesian Public Relations. ICCIC Paper International Proceding Fakultas Ilmu Komunikasi:Universitas Prof. Dr. (Beragama). Tujuan dari penelitian untuk menganalisis preferensi gender pada praktisi public relations di Indonesia. Apakah profesi PR lebih dominan maskulin atau feminim. Metode yang digunakan oleh peneliti adalah fenomenologi dengan melakukan wawancara bersama 3 praktisi PR di Jakarta sebagai pusat bisnis dan perekonomian, partisipan observasi, dan literature review. Hasil penelusuran peneliti dilapangan bahwa profesi PR di Indonesia adalah profesi maskulin karena persepsi nara sumber yang memandang profesi PR lekat dengan karakter pria. Indikasi feminitas profresi PR yakni penampilan wanita, perasa, mudah bergaul, dan penolong. Para responden juga indikasi maskulin pada perilaku pria yang maskulin. Penelitian mereka mencoba menawarkan konseptual gender baru di kalangan profesi PR. Hasil temuan mereka dari kacamata teori genderlect styles theory dan social rules theory.

Novi Kurnia & I Gusti Ngurah Putra, Perempuan Dalam Dunia Public Relations. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Vol. 7, No. 3, hlm. 393-412. Penelitin ini bertujuan untuk mengkaji peran perempuan dalam dunia public relations. Pendekatan penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini yaitu kualitatif. Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui observasi, wawancara dengan 3 praktisi PR di industri perhotelan,

34 pemerintahan, dan perusahaan BUMN. Hasil temuan mereka mengemukakan bahwa praktisi PR perempuan di industri di Yogyakarta kesulitan untuk menduduki jabatan dan mendaptkan promosi jabatan. Hal itu disebabkan adanya kesalahpamahman tentang peran public relations dalam struktur organisasi tempat dimana mereka bekerja. Mereka juga menemukannya adanya indikasi diskrimininasi gender pada praktisi PR wanita. Diskriminasi gender yang ditemukan berupa adanya ditribusi family allowance. Hal itu didukung oleh budaya partiarki dan posisi wanita sebagai ibu dan istri dalam rumah tangga. Kebijakan perusaahaan menjadi salah satu faktor diskriminasi gender pada PR wanita.

HASIL OBSERVASI SAPUTRO DAN CANDRASARI 2016 Saputro dan Candrasari mencoba melakukan kegiatan observasi di rumah sakit untuk mencoba melakukan pemetaan gender praktisi PR dalam industri rumah sakit. RS. X merupakan rumah sakit swasta yang berada di wilayah DKI Jakarta. Rumah sakit ini memiliki humas seorang wanita, lulusan sarjana yang memiliki pengetahuan tantang kehumasan dan manajemen rumah sakit. Sebagai seorang praktisi humas rumah sakit memiliki tugas dan tanggung jawab untuk membantu mempromosikan rumah sakit, menjalin kerjasama dengan perusahaan-perusahaan di lingkungan sekitar rumah sakit, membantu menangani krisis yang terjadi di rumah sakit, dan melakukan komunikasi internal (menyampaikan informasi dari manajemen/top manajemen ke karyawan, begitu juga sebaliknya). Rumah sakit ini merekrut seorang wanita untuk menjadi humas karena wanita dianggap lebih mudah untuk bersosialisasi dengan orang-orang di lingkungan sekitar (interrnal maupun eksternal), lebih ‘luwes’ dalam mempromosikan product yang ditawarkan oleh rumah sakit kepada calon konsumen (kerjasama

35 dengan perusahaan, seperti: medical check up, dan paket pemeriksaan kesehatan, kerjasama dengan asuransi kesehatan). Jika dikaji dari peran PR, praktisi humas rumah sakit banyak melakukan pekerjaan teknis dimana PR menerima atasan perintah dari atasan untuk bernegoisasi dengan pihak stakeholder eksternal untuk menawarkan paket medical check up ke perusahaan, sebagai juru bicara dan penulis konten berita rumah sakit dalam aktivitas media relations, dan PR praktisi di rumah sakity yang didominasi oleh perempuan lebih banyak juga bertugas menjalin komunikasi/untuk menjaga hubungan internal dan eksternal agar tetap kondusif. PR pria tidak banyak yang berkecimpung di dunia industry rumah sakit. Preferensi gender ditentukan jenis industri, tugas dan peran PR dalam industri tersebut, dan kebijakan perusahaan serta posisi PR dalam hirarki struktur organisasi yang dipersepsikan oleh suatu pelaku industri.

SIMPULAN Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara maju dalam bidang keilmuan isu-isu gender dalam public relations. Dari hasil penelurusan penulis perlu ada monitoring gender pada profesi public relations di Indonesia. Karena sudah menujukkan adanya indikasi ketidakdilan gender yang dialami oleh praktisi PR terutama masalah famliy allwoance dan persoalan gaji karena akibat kebijikan perusahaan yang menyangkut usia, pengalaman atau beban kerja, dan status apakah perempuan tersebut sudah menikah atau belum. Selain itu juga Indonesia mengalami krsisi kepakaran dalam bidang isu gender dalam praktek kehumasan di Indonesia. Hasil karya ilmiah bernuasan gender dalam kehumasan jarang ditemukan. Di Amerika isu gender dalam praktek public relations sudah menjadi matakuliah tersendiri di ampuh oleh Prof. Dr. Katrina Tsetsura di Universitas Okhlahoma, Amerika Serikat. Beliau berhasil memaparkan proses kontruksi profesi PR sebagai

36 profesi wanita di Rusisia. Di Indonesia beberapa akademisi yang mendalami bidang gender dan PR tidak sebanyak dengan kajian PR pada umumnya seperti menejemen strategi, investor relations, media relations, Corporate Social Responsibility, dan community relations. Di Indonesia pada sejumlah perguruan tinggi swasta dan Ui belum banyak yang mengkaji isu gender dalam dunia kehumasan. Salah satu universitas yang mulai mengembangkan kajian isu gender dan PR adalah universitas Atma Jaya Yogyakarta. Gender dalam dunia Public Relations masih dipandang hanya sebatas masalah persepsi saja, rasio jenis kelamin antara praktisi PR wanita dengan pria, dan nasib PR wanita dan PR pria mendapatkan perusahaan yang mampu mensejaherahkan mereka. Padahal faktor struktur budaya nasional seperti sistem patriarki, isu etnis, gender, dan perilaku internal perusahaan sebagai cerminan budaya indonesia menjadi cikal bakal masalah gender dalam public relations seperti isu diskrminasi gender, dominasi gender, glass ceiling, perbedaan kepemimpinan PR wanita dan Pria dalam pengambilan keputusan terkait masalah-masalah komunikasi korporasi, dan kontruksi identitas gender praktisi yang mempengaruhi peran mereka dalam struktur organisasi. Disatu sisi juga Praktisi PR di Indonesia juga belum mendapatkan dan peka terhadap persoalan gender dan isu feminitas. Para praktisi PR menggangp sisi feministas mereka sebagai sisi kelebihan mereka untuk terus berkarir dan bertahan dalam eksistensi dunia industri sebagai seorang Praktisi PR. Tubuh dan fisik yang menarik, komunikatif, keibuan, ramah, dan pandai bernegoisasi menjadi indikator feminitas yang dimanfaatkan oleh perusahaan hingga mau tidak mau mereka banyak yang hanya berperan sebagai teknisi komunikasi sehingga mereka memiliki keterbatasan dalam menduduki posisi menejerial dan setara dengan Pria. Tidak bisa dipungkiri streotype gender yang negatif tentang PR misalnya

37 wajah seorang figure PR harus cantik, berkulit putih, berambut hitam, bermata lentik, dan bertubuh seperti model twiggy, komunikatif, dan bertaribut comunal. Hal ini yang menyebabkan perkembangan ilmu public relations baik secara teoritis dan praktis lambat di bandingkan dengan negara maju. Posisi PR bukan sebuah profesi yang bener-benar profesional melainkan sampul produk atau pemanis bagi organisasi yang memiliki tugas untuk merangkai kata-kata indah dan menyentuh tentang orangisasi tempat dimana ia bekerja. PR belum sepenuhnya sebagai fungsi menejemen.

DAFTAR PUSTAKA Aldoory, L., & Toth, E. L. (2002). Gender Discrepancies In A Gendered Profession: A Developing Theory For Public Relations. ournal of Public Relations Research, 14(2), 103-126. Anne, S. (1975 & 1994). Damned Whores and God’s Police. Virginia University : Penguin Books. Anselmi, D. L., & Law, A. L. (1998). Questions of Gender: Perspectives and Paradoxes. London: McGraw-Hill Higher Education. Broom, G. M., & Sha, B. L. (2013). Cultip and Center's Effective Public Relations (Eleventh Edition ed.). Edinburgh Gate: Pearson Education Limited. Dahlan, A. M. ( Mei 1978). ‘The State of Public Relations In Indonesia". Jakarta: Warta Perhumas. Damayanti, F. (2015). Peran Kepemimpinan Wanita dan Keterlibatannya Dalam Bidang Politik di Indonesia. Jurnal Aspirasi, 5(2 Febuari 2015), 1-12. Daymon, C., & Demetrious, K. (2010). Gender and Public Relations: Perpesctives, Aplication, and Question. Prism Journal, 7(4), 1-9. Retrieved from www.prismjournal.org Deaux, K. ,. (1983). Assessment of gender stereotypes: Methodology and components. American Psychology Asociation.

38

Depari, E. (1994). PR Dalam Dunia Usaha: Prospek, Peluang, dan Tantangan (Makalah Seminar PR). Jakarta. Dozier, & M, D. (1988). Breaking Public Relations Glass Ceiling. Public Relations Review, 13(3), 6-12. Dulin, M. A. (2007). A Lesson on Social role theory : An Example of Human Behaviour in The Social Enviroment Theory (Published PhD Disertattion). Texas: University of Texas. Eagly, A. (1987). Sex Diffences in Social Behaviour: A Social Role Interpretation . Hilldale, NJ: Erlbaum. Eagly, A. H. (1997). Sex Diffrences in Social Behaviour: Comparing Social Role Theory and Evaluationary. American Psyhology, 50, 1380-1883. Echol, A. (1990). Daring to be bad. Minesota: University of Minnesota Press. Effendy, O. U. (1986). Human Relations dan PR Dalam Management . Bandung: Alumni. Fakih, M. (2001). Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Fakih, M. (2002). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Grunig, A. L., Toth, C. L., & Hon, L. C. (2000). Feminist Values in Public Relations. Journal of Public Relations Research, 12(1), 49-68. Grunig, J. E., & White, J. (1992). The Effect of Worldviews on PR Theory and Practice. In J. Grunig, Excellence in Public Relations and Communication Management . Hillsdale: Lawrence Erlbaum. Grunig, L. A., Toth, E. L., & Hon, L. C. (2001). Women in Public Relations: How Gender Influences Practice . New York: Guiloford Press . Hon, L. C. (1992). Women in Public Relations Problems and Opportunities. In J. E. (Editor), Excellence in Public Relations and Communication. Hilsdale, New Jersy: Lawrence Erlbaum. Hooks, B. (1984). Feminist Theory: From Margin to Center. Cambrdige, MA: Sound End Press.

39

Jagger, A. (1983). Feminist Politics and human Nature. . Totoway, NJ: Rowman & Allenheld. Karman. (2015, Maret). Kontruksi Realitas Sosial Sebagai Gerakan Pemikiran (Sebuah Telaah Teoritis Terhadap Kontruksi Realitas Peter L Berger. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika, 5(3), 11-23. Kurnia, N., & Putra, I. G. (2004, Maret). Perempuan Dalam Dunia Public Relations [ Women in Public Relations World]. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 7(3), 394. Little, S. J., Foss, K. A., & Oetzel, J. G. (2017). Theories of Human Communication. Illionois: Waveland Press. Nadyazura. (2016, Febuary 1). Gender dan Perkembangan Peradaban. Retrieved from http://www.qureta.com/post/gender-dan-perkembangan- peradaban: http://www.qureta.com/post/gender-dan- perkembangan-peradaban Naples, N. (2007). Standpoint Epistemology and Beyond. In S. N. Hesse-Biber (Ed), Handbook of Feminist Research: Theory and Praxis. Thousand Oaks: Sage. Probert, B. (1997). Women’s Working Lives. In Hughes, K. (Ed). Contemporary Australian Feminism. Melbourne : Longman. Putra, I. G. (1996). Public Relations Practice in Indonesia: A Case Study of A Comercial Television Station and A State Univeristy (Unpublished MA Thesis). University of Canberra: Canberra. Putra, I. G. (2008, Maret). Konteks Historis Praktek Humas Di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 6(3), 178- 190. Quarles, J., & Rowlings, B. (1993). Practising Public Relations. Melbourne: Longman Chesire. Rachmadi, F. (1994). Public Relations dalam Teori dan Praktek. Jakarta : Gramedia. Rea. (2002). The Feminisation of Public Relations: What’s in it for the Girls. Australian and New Zealand Communication Asociation Conference . Gold Coast Queensland: Bond University .

40

Robinson, R. (1990). Power and Economy In Suharto's Indonesia. Journal of Contemporary Asia Publisher. Samuel, H. (2012). Peter L. Berger Sebuah Pengantar Ringkas. Depok: Kepik. Simorangkir, N. (2010). The Feminization of Public Relations in Indonesia:Roles Expectation and Prejudices. International Journal of Arts and Sciences, 3(15), 71 - 89. Simoramgkir, N. Deborah. 2009. The Feminization of Public Relations in Indonesia. TU Ilmenau: Phd Disertation.

Straker, D. (2008). Changing Minds, Persuasion Psychology. Great Britanian: Gower Publication. Toth, L. E. (2001). How Feminist Theory Advanced the Practice of Public Relations,” dalam R. L.Heath (ed)., Handbook of Public Relations. London: Sage Publications. Tsetsura, K. (2014). Constructing Public Relations As A Women Profession in Rusia. REVISTA INTERNACIONAL DE RELACIONES PUBLICAS, IV(8), 85-110. Retrieved from https://dialnet.unirioja.es/descarga/articulo/4853824.pdf Van, R., & Elving, W. (2007). Carrière in Communicatie [A career in communication]. Amsterdam: Boom. Verhoeven, P., & Aarts, N. (2010). How European Public Relations Men and Women Perceive The Impact of Their Professional Activities . Retrieved from http://www.prismjournal.org/fileadmin/Praxis/Files/Gend er/Verhoeven_Aarts.pdf: PRism 7 (4) http://www.prismjournal.org Wood, T. J. (2005). Gendered Lives: Communication, Gender, & Culture . Belmont: Thomson Wadsworth. Warta Ekonomi, 10 September 1990 (hal. 22-26 dan hal 29-30); 26 September 1994 (hal. 27-28)

41

IMPLEMENTASI PENCILS OF PUBLIC RELATIONS DALAM PROMOSI PERPUSTAKAAN

Neneng Komariah, Saleha Rodiah Universitas Padjadjaran [email protected]

PENDAHULUAN Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) era 2014-2016 Anies Baswedan “perpustakaan sebagai infrastruktur penunjang kebiasaan membaca di Indonesia keadaannya lebih baik daripada Jerman, Korea Selatan, Selandia Baru, dan negara lain di Eropa. Namun hasil penelitian Central Connecticut State University, Maret 2016 menunjukkan bahwa tingkat literasi di Indonesia masih sangat menyedihkan. Indonesia berada di posisi ke 60 dari 61 negara dengan tingkat literasi terbaik. ” (Zubaedah, 2016). Berita tersebut menggambarkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia masih rendah. Minat baca masyarakat yang rendah tentu saja akan merugikan perpustakaan sebagai institusi yang menyediakan sumber-sumber informasi atau bahan pustaka untuk dimanfaatkan atau dibaca oleh masyarakat. Investasi yang telah dilakukan untuk pembangunan gedung, pembelian koleksi, rekrutmen dan pelatihan staf perpustakaan akan menjadi sia-sia jika masyarakat tidak datang memanfaatkan layanan yang telah disediakan perpustakaan. Kenyataan di masyarakat menunjukkan meskipun pembangunan infrastruktur perpustakaan umum di beberapa daerah sudah relatif baik, namun masih banyak masyarakat yang belum mengetahui dan menyadari arti pentingnya perpustakaan bagi kehidupan sosial mereka. Sebagian besar masyarakat masih memandang perpustakaan hanya diperlukan oleh anak sekolah atau mereka yang sedang belajar. Para pedagang yang berjualan di

42 pasar, para pengemudi angkutan umum, bahkan para karyawan di berbagai institusi pemerintahan masih belum akrab dengan perpustakaan. Keadaan tersebut harus menjadi perhatian dan fokus pemikiran para pengelola perpustakaan. Perpustakaan harus melakukan berbagai kegiatan yang bersifat membuka dan mendekatkan diri pada masyarakat, agar mereka mengetahui dan memahami fungsi perpustakaan dan juga tertarik untuk mengunjungi dan memanfaatkan berbagai koleksi sumber informasi yang ada di perpustakaan. Selama ini banyak perpustakaan yang telah melakukan kegiatan promosi untuk memperkenalkan diri pada masyarakat. Namun masih banyak kegiatan promosi yang dilaksanakan hanya sekali-sekali dengan media promosi yang sederhana yang belum tentu sesuai dengan selera masyarakat. Dengan kata lain, banyak perpustakaan yang belum memiliki program promosi yang terintegrasi dan terencana dengan baik. Oleh karena itu sudah seharusnya perpustakaan menyelenggarakan kegiatan promosi yang bertujuan untuk lebih menguatkan keberadaannya, dan kegiatan tersebut harus sudah direncanakan dengan baik berdasarkan kaidah-kaidah ilmu pemasaran. Salah satu kegiatan yang merupakan bagian dari kegiatan pemasaran adalah public relations (PR) atau di Indonesia dikenal dengan hubungan masyarakat (humas). Pengertian humas menurut Denny Griswold (Wilcox, etall, 2006 dalam Ardianto, 2011: 6): public relations is the management function which evaluates public attitudes, identifies the policies and procedures of an individual or an organization with the public interest and plans and executes a program of action to earn public understanding and acceptance.” (Public Relations adalah fungsi manajemen yang mengevaluasi sikap publik, memperkenalkan berbagai kebijakan dan prosedur dari suatu individu atau organisasi berdasarkan kepentingan

43 publik, dan membuat perencanaan, serta melaksanakan suatu program kerja dalam upaya memperoleh pengertian dan pengakuan publik. Berdasarkan definisi dari Griswold dapat diketahui bahwa public relations merupakan usaha dari manajemen untuk memperoleh pengertian dan pengakuan publik. Usaha tersebut harus berdasarkan perencanaan yang mengacu pada sikap dan kepentingan publik yang menjadi target, sehingga usaha itu diharapkan akan berhasil karena sesuai dengan keinginan dan kebutuhan target. Public relations merupakan konsep yang sesuai untuk diimplementasikan dalam promosi perpustakaan, mengingat masih banyak masyarakat yang belum memahami fungsi perpustakaan untuk mereka. Dengan mengimplementasikan konsep public relations, manajemen suatu perpustakaan merencanakan promosi dengan diawali mengidentifikasi sikap dan keinginan publik/target, lalu mengkomunikasikan berbagai kegiatan dari perpustakaan yang sesuai dengan harapan mereka, sehingga diharapkan mereka menjadi paham dan mengakui pentingnya perpustakaan untuk mereka. Dan pada akhirnya mereka mau memanfaatkan perpustakaan.

METODE PENELITIAN Makalah ini menggunakan metode deskriptif analisis berdasarkan kajian pustaka. Pembahasan dimulai dengan gambaran tentang perpustakaan, teori dan konsep public relations, dan implementasi pencils of public relations dalam promosi perpustakaan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, yang dimaksud dengan perpustakaan adalah: “Institusi pengelola karya tulis, karya cetak

44 dan atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian informasi, dan rekreasi pemustaka”. Dengan demikian perpustakaan merupakan institusi yang sangat penting peranannya dalam pembangunan masyarakat terutama pembangunan sumberdaya manusia, karena di perpustakaan tersedia berbagai sumber ilmu pengetahuan yang siap untuk dimanfaatkan guna meningkatkan kecerdasan dan atau wawasan pengetahuan masyarakat. Oleh karena itu, idealnya perpustakaan merupakan tempat favourit untuk dikunjungi ketika masyarakat membutuhkan informasi, baik yang bersifat ilmiah maupun yang bersifat rekreatif. Namun kenyataannya masih banyak perpustakaan yang sepi pengunjung. Hal ini tentu saja akan sangat merugikan institusi perpustakaan, karena tujuan dibangunnya perpustakaan adalah untuk dimanfaatkan oleh masyarakat. Oleh karena itu pengelola perpustakaan harus berusaha mendekatkan diri pada masyarakat melalui berbagai cara. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melakukan kegiatan promosi atau pemasaran perpustakaan. Eileen Elliot de Saez penulis buku Marketing Cocepts for Libraries and Information Services menyatakan: the communication method that libraries and information centres will use as the major tool in their promotional mix will almost certainly be public relations. (Saez, 2002:79). Pernyataan ini menunjukkan bahwa perpustakaan harus mengimplementasikan public relations dalam proses promosinya. Selanjutnya Buchanan (dalam Karp, 2002:vii) menyatakan: “the role of marketing and public relations for the library in the 21st century is increasingly important as librarians seek new and more innovative ways to make their institutions relevant, competitive, and visible in the information marketplace.” Jadi melalui kegiatan pemasaran dan public relations perpustakaan

45 dapat lebih mendekatkan diri pada masyarakat yang menjadi sasaran layanannya. Bob Usherwood seorang pakar ilmu perpustakaan dalam bukunya The Visible Library: Public Relations for Public Librarian (1999) menjelaskan bahwa tujuan kegiatan public relation di perpustakaan adalah: (1) Achieving resources for library, maksudnya adalah kegiatan public relations bertujuan agar perpustakaan mendapatkan sumberdaya yang dibutuhkan seperti dana, fasilitas, sarana dan prasarana, staf yang berkualitas dsb. Melalui kegiatan public relations seperti lobbying dapat mengubah opini publik yang negatif terhadap perpustakaan. (2) Public image of library selama ini cenderung negatif, masyarakat banyak yang belum menyadari peran penting dari perpustakaan, sehingga melalui kegiatan public relations dapat dibangun citra yang positif tentang perpustakaan. (3) Internal public relations, yaitu kegiatan public relations yang ditujukan ke lingkungan internal perpustakaan. Melalui kegiatan public relations diharapkan staf perpustakaan memiliki rasa percaya diri bahwa dia orang yang cerdas dan profesi pustakawan adalah penting yang dapat membantu masyarakat mendapatkan sumber-sumber informasi yang mereka butuhkan. Diharapkan rasa percaya diri ini akan berdampak pada perilaku staf perpustakaan ketika memberikan layanan sehingga pengguna perpustakaan merasa nyaman dan puas. Dengan demikian manajemen perpustakaan harus melaksanakan kegiatan public relations sebagai upaya untuk membangun kepercayaan, meraih dukungan dan mendapatkan citra yang positif dari masyarakat. Phillip Kotler seorang guru pemasaran global dalam bukunya Mega Marketing (dalam Ruslan, 2000:12) memasukkan public relations sebagai salah satu komponen bauran pemasaran

46 modern, sehingga bauran pemasaran menjadi 6-Ps yaitu product, price, placement, promotion, power, public relations. Selanjutnya Thomas L. Harris (dalam Ruslan, 2000:13) mengembangkan konsep megamarketing menjadi konsep marketing public relations (MPR). Dari pendapat kedua pakar tersebut dikembangkan konsep bauran public relations yang secara lebih rinci dirumuskan dalam sebuah paradigma yang diberi nama pencils of public relations, yang terdiri dari publications, events, news, community involvement, identity media, social investment (social responsibility). Dengan demikian kegiatan public relations idealnya mencakup semua komponen pencils yang dipadukan sedemikian rupa dan dilaksanakan secara terintegrasi. Pencils of public relations dapat diimplementasikan dalam kegiatan promosi perpustakaan. Semua komponen dapat dipadukan sedemikian rupa dan dilaksanakan secara terintegrasi. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut: (1) Publications (publikasi), yaitu menyebarluaskan informasi melalui berbagai media tentang aktivitas perpustakaan yang harus diketahui oleh masyarakat. Misalnya perpustakaan dapat menerbitkan brosur yang berisi tentang profil perpustakaan yang meliputi lokasi, koleksi dan layanan yang tersedia, jam kerja layanan, tata cara memanfaatkan layanan, dsb. Selanjutnya perpustakaan dapat membuat laporan tahunan yang berisi kemajuan yang telah dicapai selama setahun; newsletter, buku tahunan, coprporate kits, dll. Publikasi dapat diterbitkan secara tercetak atau disajikan secara online pada web perpustakaan. Melalui publikasi diharapkan masyarakat mengetahui keberadaan perpustakaan dan memiliki kesan positif sehingga tertarik untuk memanfaatkan perpustakaan. (2) Event (penyelenggaraan acara), yaitu menyelenggarakan acara tertentu (special events) yang dipilih dalam waktu, tempat, dan obyek tertentu dengan tujuan untuk mempengaruhi opini masyarakat. Misalnya perpustakaan

47 menyelenggarakan acara lomba bercerita dengan tema tertentu, dan peserta lomba harus memilih tema yang bukunya disediakan di perpustakaan. Melalui acara ini masyarakat diajak untuk berpartisipasi dan sekaligus memanfaatkan perpustakaan. Di sisi lain perpustakaan dapat menjadi sponsor sebuah event yang diselenggarakan oleh pihak lain. Sebagai contoh perpustakaan menjadi sponsor event kemahasiswaan di kampus dengan kesepakatan bahwa logo/brand perpustakaan akan muncul di berbagai media promosi event tersebut, seperti brosur, spanduk, dll. Dalam hal ini tujuan yang ingin dicapai adalah agar perpustakaan menjadi lebih dikenal oleh masyarakat. (3) News (menciptakan berita), yaitu menulis berita berupa press release, news letter, atau dimuat dalam bulletin, dll. Penulisan berita akan membutuhkan kerjasama dengan pihak media massa agar berita yang telah dibuat dapat dimuat atau disebarluaskan melalui media massa, atau sekarang perpustakaan dapat juga menyebarluaskan berita melalui web yang dimilikinya. Topik berita adalah hal-hal yang dilaksanakan oleh perpustakaan yang menarik untuk diketahui oleh masyarakat. Misalnya peluncuran layanan baru, atau ada kunjungan seseorang yang dianggap penting (presiden, menteri, gubernur, dll) ke perpustakaan. (4) Community involvement (keterlibatan dalam masyarakat), yaitu melakukan kegiatan atau komunikasi dengan kelompok masyarakat tertentu di luar perpustakaan dengan tujuan untuk membina hubungan baik. Dalam hal ini diharapkan perpustakaan menunjukkan perhatian dan keterlibatan langsung dalam pembangunan masyarakat terutama masyarakat sekitar di mana perpustakaan berada. Sebagai contoh suatu perpustakaan perguruan tinggi yang terlibat dalam gerakan literasi masyarakat dengan memberikan sumbangan buku- buku. (5) Identity media, yaitu berbagai alat atau perlengkapan yang menunjukkan identitas lembaga. Misalnya logo, tag line, baju seragam pegawai, bentuk gedung, alat tulis, dll. Hal seperti ini

48 nampaknya belum banyak dilakukan oleh perpustakaan. Perpustakaan bisa membuat tagline yang menarik dan mudah diingat yang sesuai dengan jenis perpustakaannya. Staf perpustakaan dapat memakai baju seragam yang khas, sehingga akan nampak lebih rapi dan profesional. Perpustakaan dapat membuat merchandise yang ada identitas perpustakaannya, misalnya batas buku, buku catatan, dll. (6) Lobbying and negotiation, yaitu melakukan pendekatan secara pribadi dan bernegosiasi untuk membicarakan hal-hal penting dengan pihak tertentu untuk mencapai kesepakatan atau memperoleh dukungan, sehingga timbul situasi yang saling menguntungkan. Hal ini sering dilakukan dengan pihak pemerintah. Misalnya sebuah perpustakaan umum dapat melakukan lobbying dengan pihak pengambil kebijakan anggaran seperti DPR/DPRD agar perpustakaan mendapat perhatian. Perpustakaan dapat juga melakukan lobbying dengan pihak industri/perusahaan untuk mendapatkan dana/bantuan CSR sebagai upaya peningkatan perpustakaannya. (7) Social investment (tanggungjawab sosial), yaitu bagaimana lembaga dapat memberikan kontribusi sosial pada masyarakat sebagai bentuk tanggungjawab sosial. Sering disebut sebagai corporate social responsibility (CSR). Pada era sekarang CSR sering dilakukan oleh perusahaan/lembaga, karena pada umumnya kegiatannya berupa keterlibatan langsung pada kegiatan sosial masyarakat sehingga dapat langsung terlihat dan diketahui masyarakat. Sebagi contoh suatu perpustakaan dapat terlibat dalam penanggulangan bencana alam dengan membenahi kembali perpustakaan sekolah yang rusak dan memberikan sumbangan buku. Hal ini akan diketahui dan dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat yang berada di sekitar bencana. Disamping itu juga akan diberitakan melalui media massa sehingga masyarakat secara luas dapat mengetahui pula. Kegiatan ini merupakan usaha menciptakan citra positif perpustakaan yang

49 cukup efektif, karena masyarakat melihat secara langsung bukti yang telah dilakukan oleh perpustakaan. Implementasi pencils of public relations dalam promosi perpustakaan harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi perpustakaan yang bersangkutan. Hal ini penting untuk diperhatikan karena akan mempengaruhi penentuan skala prioritas dalam memilih komponen pencils of public relations yang akan diimplementasikan. Sebagai contoh, ada kemungkinan suatu perpustakaan mampu menerbitkan berbagai publikasi, menerbitkan berita, membuat berbagai identity media, tetapi belum mampu melaksanakan community involvement dan social investment. Aspek-aspek yang harus diperhatikan diantaranya adalah: (1) Jenis perpustakaan, hal ini akan berkaitan dengan masyarakat yang menjadi target layanan perpustakaan yang bersangkutan. Sebagai contoh, untuk perpustakaan perguruan tinggi dengan target pengguna adalah mahasiswa dan dosen, maka semua komponen pencils of public relations dapat diimplementasikan. Perpustakaan perguruan tinggi idealnya harus berusaha lebih serius dalam menarik minat target penggunanya untuk memanfaatkan perpustakaan, karena mereka termasuk kelompok masyarakat pengguna teknologi (internet) dalam mencari informasi. Oleh karena itu perpustakaan harus menawarkan sesuatu yang baru sebagi tempat yang nyaman dan menyenangkan untuk mencari informasi. Di sisi lain perpustakaan perguruan tinggi juga menjadi bagian dari pembangun reputasi bagi universitas sebagi lembaga yang menaunginya. Oleh karena itu perpustakaan harus memiliki program untuk masyarakat di luar kampus sebagai publik eksternal dari lembaga. Misalnya perpustakaan membantu gerakan literasi masyarakat sebagai bentuk community involvement. (2) Sumber daya yang dimiliki oleh perpustakaan yang bersangkutan. Sumberdaya yang dimaksud meliputi dana, fasilitas,

50 dan staf (sumberdaya manusia). Aspek dana yang tersedia sangat penting diperhatikan, karena semua kegiatan dalam rangka implementasi pencils of public relations akan membutuhkan dana. Adapun fasilitas yang sudah dimiliki perpustakaan harus sudah memenuhi standar fasilitas sebuah perpustakaan, bahkan sebaiknya sudah melebihi dari standar. Karena apabila fasilitas perpustakaan belum memadai, ketika pengguna perpustakaan datang mereka akan kecewa. Selanjutnya aspek staf perpustakaan merupakan sumberdaya yang sangat penting. Mereka harus berusaha agar perpustakaannya lebih dikenal baik oleh target pengguna maupun oleh masyarakat di luar kampus. Idealnya mereka harus memahami dan memiliki keahlian untuk berkomunikasi baik secara lisan maupun tertulis. Hal ini sangat dibutuhkan karena mereka harus mampu berkomunikasi secara efektif ketika melayani pengguna perpustakaan, dan harus mampu menulis ketika harus mengkomunikasikan keberadaan perpustakaannya pada masyarakat luas melalui media, baik melalui web perpustakaan maupun melalui media massa. Dengan demikian dibutuhkan kesiapan dari staf perpustakaan ketika akan mengimplementasikan pencils of public relations di perpustakaannya. (3) Dukungan dari lembaga penaung. Pada umumnya perpustakaan merupakan suatu unit kerja yang berada dalam suatu lingkungan kerja yang besar. Jadi perpustakaan berada di bawah lembaga penaung. Setiap kegiatan yang dilakukan oleh perpustakaan harus mendapat ijin dan dukungan dari lembaga penaungnya. Demikian pula halnya ketika perpustakaan akan melakukan promosi dalam hal ini mengimplementasikan pencils of public relations, maka harus mendapat dukungan dari lembaga penaung. Ada beberapa kegiatan seperti community involvement dan social investment dapat dilaksanakan oleh perpustakaan secara sinergi dengan kegiatan lembaga penaung. Bahkan dapat terjadi perpustakaan mewakili lembaga penaung. Misalnya ketika terjadi

51 bencana alam banjir di suatu wilayah yang menghancurkan sekolah berikut perpustakaannya, terdapat perpustakaan perguruan tinggi yang menangani dan membenahi kembali perpustakaan tersebut sekaligus menyumbangkan buku-buku baru. Kegiatan ini akan membangun reputasi tidak hanya perpustakaannya, tetapi juga perguruan tingginya.

SIMPULAN Perpustakaan merupakan suatu lembaga atau unit kerja yang memberikan layanan informasi kepada masyarakat. Oleh karena itu perpustakaan harus berusaha agar mendapat kepercayaan dan dukungan dari masyarakat agar tercipta citra yang positif, sehingga layanan yang disediakan dapat dimanfaatkan secara optimal. Dengan demikian perpustakaan membutuhkan public relations. Melalui kegiatan public relations diharapkan perpustakaan akan tetap eksis dan memiliki kekuatan sebagai pusat sumber- sumber informasi yang dapat diandalkan masyarakat. Meskipun di era sekarang informasi bisa diperoleh hanya melalui ujung jari, namun masyarakat akan tetap datang berkunjung ke perpustakaan, karena di sana ada lingkungan yang nyaman, staf yang ramah dan profesional yang bisa memenuhi kebutuhan intelektual dan juga kebutuhan emosional. Perpustakaan dapat mengimplementasikan pencils of public relations yang meliputi kegiatan publications, events, news, community envolvement, identity media, lobbying, social investment sebagai upaya mengkomunikasikan keberadaannya dan mendekatkan diri kepada masyarakat. Melalui berbagai kegiatan tersebut yang dilaksanakan secara terpadu dan terintegrasi, maka diharapkan masyarakat akan mengetahui dan menyadari bahwa perpustakaan merupakan tempat yang menyenangkan untuk dikunjungi ketika mereka membutuhkan informasi bahkan ketika

52 ingin mengisi waktu luang. Masyarakat harus percaya bahwa di perpustakaan mereka akan memperoleh apa yang dia butuhkan, apakah itu informasi, rekreasi atau sekedar ingin bertemu teman dan bercengkerama di sana. Perpustakaan harus memperhatikan beberapa aspek penting dalam mengimplementasikan pencils of public relations, yaitu aspek jenis perpustakaan, sumberdaya yang dimilki oleh perpustakaan, dan dukungan dari lembaga penaung dimana perpustakaan tersebut berada. Memperhatikan analisis di atas, maka disarankan bahwa sebaiknya perpustakaan menyelenggarakan pelatihan komunikasi untuk seluruh stafnya, agar staf perpustakaan memiliki keterampilan komunikasi, baik komunikasi antar pribadi (lobbying, negotiation), komunikasi tertulis (writing skills), maupun komunikasi di depan khalayak (public speaking). Selanjutnya staf perpustakaan juga diharapkan mempelajari ilmu public relations.

DAFTAR PUSTAKA Ardianto, E. 2011. Handbook of Public Relations: Pengantar Komprehensif. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Elliot de Saez, E. 2002. Marketing Concepts for Libraries and Information Services. London: Facet Publishing. Harris, Thomas L. 1991. The Marketer’s Guide to Public Relations. New York: John Wiley. Karp, Rashelle S. Ed. 2002. Powerful Public Relations: A How-To Guide for Libraries. Chicago: American Library Association. Macnamara, J. 1992. Public Relations Handbook. Linfield: Archipelago Press. Ruslan, Rosady. 2000. Kiat dan Strategi Kampanye Public Relations. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

53

Usherwood, Bob. 1999. The Visible Library: Practical Public Relations for Public Librarians. London: Library Association. Zubaedah, Neneng. (2016, 5, 8). Pupuk Kebiasaan Membaca Sejak Dini. Koran Sindo. Hal. 5

54

MENYUGUHKAN KAMPANYE GASTRODIPLOMACY SEBAGAI UPAYA NATION BRANDING

Lucky Nugraha1, Nunik Maharani Hartoyo2 Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia1 Universitas Padjadjaran2 [email protected]

PENDAHULUAN Sejak pertengahan tahun 2016 Presiden Republik Indonesia menyatakan bahwa pemerintah akan membuat satu slogan untuk semua sektor sebagai upaya menciptakan citra nasional/nation branding (Indonesia Akan Punya "Nation Branding", 2016; Bahas Pencitraan, Jokowi Kritik Slogan Kementerian yang Berbeda-beda, 2016). Implementasi strategi nation branding ini ditegaskan kembali sekira sepekan kemudian oleh pemerintah Indonesia menyusul rilis Good Country Index 2016 yang menempatkan Indonesia pada posisi 77 dari 163 negara di dunia (The Jakarta Post, 2016). Menarik untuk disoroti, salah satu hal utama yang disoroti oleh Presiden dan para pembantunya adalah beragamnya slogan yang digunakan oleh berbagai Kementrian dan organisasi relevan di Indonesia dalam upaya nation branding Indonesia. Tiadanya keseragaman ide menunjukkan kompleksitas nation branding yang merangkum ide mengenai negara tidak hanya di level ideologi, namun juga di level praksis, dimana makna dan kenyataan empiris kebangsaan dinegosiasikan dan ditransformasi sedemikian rupa (Kaneva, 2011, p. 118). Kompleksitas ini lahir didorong oleh semakin tajamnya persaingan global dimana dalam dunia yang semakin terhubung, setiap negara berkompetisi untuk mendapatkan kepercayaan, penghormatan dan perhatian tidak hanya dari aktor-aktor negara,

55 namun juga dari entitas-entitas lain di luar negara seperti kalangan bisnis, turis, konsumen, media, lembaga-lembaga donor dan sebagainya. Karenanya, nation branding dapat menjadi salah satu alat strategis yang dapat meningkatkan daya saing negara di pasar global. Nation branding, dalam definisi Ying Fan (2010) adalah “a process by which a nation’s images can be created, monitored, evaluated and proactively managed in order to improve or enhance the country reputation among a target international audience.” Definisi ini menekankan pada pentingnya nation branding yang positif, memusatkan perhatian pada citra keseluruhan sebuah negara di panggung internasional baik dalam konteks politik, ekonomi dan budaya. Meski demikian, Simon Anholt (2009), pencetus konsep sekaligus salah satu ahli yang paling banyak dirujuk dalam konteks nation branding mengingatkan bahwa pemahaman dangkal mengenai nation branding dapat membawa masalah serius. Lebih jauh Anholt menyatakan bahwa nation branding dibentuk oleh opini publik internasional. Opini publik internasional inilah yang dapat membuat brand sebuah negara tereduksi sebagai lemah, simplistik, ketinggalan jaman, diwarnai stereotype yang tidak adil yang pada akhirnya dapat mengurangi daya kompetitif negara tersebut di dunia internasional. Karenanya, tugas besar setiap pemerintahan adalah membantu dunia internasional memahami kompleksitas, kekayaan serta keragaman negara yang sesungguhnya, dan tidak direduksir hanya sebagai sebuah brand. Salah satu strategi membangun nation brand yang mampu mempromosikan Indonesia di panggung internasional adalah melalui upaya diplomasi publik. Diplomasi publik menyediakan kesempatan untuk meningkatkan pengaruh dan membentuk agenda internasional yang dapat berdampak sangat besar dengan sumber daya yang terbatas (Chapple-Sokol, 2013). Apabila diplomasi

56 umumnya dilakukan dengan melibatkan komunikasi tingkat tinggi antara pemerintah dengan pemerintah (G2G), maka diplomasi publik adalah tindakan komunikasi antara pemerintah dan berbagai aktor lain non pemerintah dengan publik internasional (Rockower, 2014). Melalui diplomasi publik, sikap khalayak dapat dipengaruhi dan mempengaruhi pengembangan dan eksekusi berbagai kebijakan pemerintah utamanya di panggung internasional. Praktik diplomasi publik pada prinsipnya sama halnya dengan entitas bisnis yang memanfaatkan slogan untuk menggambarkan esensi produknya; negara pun seringkali menggunakan kata-kata, karya visual ataupun ide/konsep yang dapat menciptakan representasi spesifik atas imaji yang ingin disampaikannya (Wilson, 2013). Diplomasi publik sendiri memiliki beragam saluran dan bentuk dalam upaya menciptakan representasi spesifik yang diharapkan dapat meningkatkan citra positif negara di mata publik internasional. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, upaya nation branding harus mampu menggambarkan kekayaan, kompleksitas dan keragaman negara. Dalam konteks diplomasi publik, selama satu setengah dekade terakhir telah berkembang upaya nation branding melalui gastrodiplomacy. Gastrodiplomacy mengombinasikan diplomasi kuliner dan diplomasi budaya yang pada gilirannya mengedepankan kekayaan alam dan budaya yang melatarinya. Melalui gastrodiplomacy, diharapkan terjadi peningkatan public awareness mengenai kekayaan kuliner dan budaya tidak hanya kepada publik internasional, namun juga kepada publik domestik untuk menciptakan nation brand yang positif serta dapat meningkatkan citra negara di kancah internasional. Thailand adalah salah satu pionir dalam mengembangkan gastrodiplomacy, diikuti oleh beberapa negara Asia lainnya seperti Jepang, Korea Selatan, Malaysia dan Indonesia. Selain itu, negara di Amerika Selatan seperti Peru,

57

Libanon di Timur Tengah dan Ethiopia dari Afrika juga cukup berhasil dalam menggunakan gastrodiplomacy sebagai sarana nation branding yang efektif. Mengingat gastrodiplomacy adalah ranah yang relatif baru, yang digunakan untuk menjawab kebutuhan nation branding yang dikemukakan pertama kali oleh Simon Anholt di tahun 1996 (2009), Indonesia juga telah mulai melakukan eksplorasi penggunaan jalur kampanye gastrodiplomacy sebagai salah satu sarana melakukan nation branding. Meski demikian, belum adanya kampanye gastrodiplomacy yang komprehensif dan diinisiasi secara formal oleh pemerintah Indonesia, menyebabkan upaya gastrodiplomacy yang telah dilakukan masih bersifat sporadis dan belum dapat dikatakan terukur dan efektif. Sehubungan dengan hal tersebut, maka naskah ini akan mendiskusikan apa saja upaya konstruksi nation branding yang telah dilakukan Indonesia melalui kampanye gastrodiplomacy. Lebih lanjut, artikel ini juga berupaya mengidentifikasi beragam faktor yang dapat mendorong formulasi strategi nation branding melalui pengembangan kampanye gastrodiplomacy yang terencana efektif dan dapat memberikan hasil optimal. Upaya nation branding yang mengoptimalisasi kampanye gastrodiplomacy yang matang diharapkan dapat turut berkontribusi dalam membangun nation branding positif untuk meningkatkan nama baik dan rasa hormat dunia internasional terhadap Indonesia.

Nation Branding Sebagai Kerangka Konseptual Esensi nation branding adalah menyelaraskan citra negara dengan kenyataan. Hal ini utamanya penting bagi negara-negara yang telah mengambil berbagai langkah dramatis dalam sistem politik, ekonomi, sosial dan budaya, di mana citra eksternal seringkali tertinggal atau jauh berbeda dengan kenyataan realitas saat ini. Hasil penelusuran yang dilakukan oleh Ying Fan (2010)

58 menunjukkan bahwa setidaknya terdapat 5 perbedaan fokus dan tujuan nation branding, yakni (1) to remould national identitites; (2) to enhance nation’s competitiveness; (3) to embrace political, cultural, business and sport activities; (4) to promote economic and political interests at home and abroad; (5) to alter, improve or enhance a nation’s image or reputation. Meski dalam studi tersebut ditemukan beberapa konsep yang digunakan bersamaan dan sering saling dipertukarkan, seperti identitas nasional (national identity), nation branding dan citra negara (nation’s image), ketiganya memiliki konstruk yang berbeda. Karenanya, Fan menggarisbawahi bahwa nation branding memusatkan perhatian pada citra dan reputasi negara di mata dunia internasional serta berupaya mempersempit jarak antara citra atau persepsi eksternal dengan realitas yang ada. Relasi antara identitas nasional, nation branding dan citra negara disederhanakan oleh Fan dalam gambar berikut ini:

Gambar National Identity, Nation Branding & Nation's Image Sumber: Fan, Y. (2010, May). Branding the Nation: Towards a Better Understanding. Place Branding and Public Diplomacy, 6(2)

Meski memiliki iklan yang hebat, dengan logo atraktif dan disertai oleh slogan yang mudah diingat sering diasosiasikan dengan brand bereputasi kuat, nyatanya ketiga hal tersebut bukanlah faktor yang membuat positif atau negatifnya reputasi sebuah brand. Sebuah brand hanya akan menjadi kuat dan berhasil

59 apabila produk yang dihasilkannya dipercaya oleh publik. Kepercayaan adalah hasil dari banyak faktor lain seperti (1) angka penjualan yang tinggi, (2) akan memicu banyaknya konsumen yang memiliki pengalaman pribadi dalam menggunakan produk, (3) dimana produk tersebut berhasil memenuhi atau bahkan melebihi janji-janji penjualannya (Anholt, 2009). Demikian pula dengan nation branding. Tantangan terbesar nation branding adalah menghindari menggambarkan satu imaji atau pesan yang sama ke khalayak yang beragam di negara yang berbeda. Citra sebuah bangsa sangatlah kompleks dan cair sehingga upaya nation branding memerlukan komunikasi yang terkoordinasi dan konsisten dengan beragam pemangku kepentingan. Kenyataannya, hampir tidak mungkin memunculkan pesan inti yang sederhana mengenai sebuah negara yang dapat digunakan oleh berbagai sektor industri di berbagai negara. Karenanya, agar sebuah bangsa dapat mengubah citranya, maka pertama-tama bangsa tersebut perlu mengubah perilakunya. Setelahnya, hal yang tak kalah pentingnya adalah menyampaikan perubahan tersebut pada dunia internasional.

Makanan Sebagai Komunikasi Non Verbal Sejarah dunia telah mencatat peran signifikan kuliner dalam membentuk peradaban manusia. Makanan telah membangkitkan imajinasi yang mendorong penjelajahan wilayah- wilayah lain yang sebelumnya tidak terbayangkan; berkenalan dengan berbagai rempah dari belahan dunia lain yang dianggap eksotis; memantik perseteruan demi memperebutkan jalur-jalur rempah yang akhirnya melahirkan praktik-praktik kolonialisme, hingga menciptakan jalur perdagangan kuno yang menghubungkan Asia, Eropa, Afrika dan menjadi fondasi dasar perdagangan modern. Kehadiran makanan termanifestasi dalam ragam budaya, sejarah dan geografi peradaban yang menyebar melalui migrasi,

60 rute-rute perdagangan dan globalisasi. Makanan dan seluruh aspek yang terkait dalam aktivitas konsumsinya, diyakini sebagai sebuah aktivitas komunikasi non verbal yang menggambarkan bagaimana kita memaknai dunia di sekitar kita (Pham, 2013). Makan dan makanan dimaknai oleh sebagian orang sebagai lokus identitas, konformitas dan resistensi. Tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan untuk tetap hidup, makan dan makanan juga mengandung pernyataan politik, menjadi pengejawantahan identitas kelompok, dimana asal usul makanan seringkali menjadi sumber pertikaian (Greene & Cramer, 2011). Makanan, menurut Nevana Stajcic (2013), memiliki makna simbolis dimana kita menciptakan, mengelola dan mempertukarkan makna; merupakan praktik komunikatif untuk memahami budaya, ritual dan tradisi. Maka, tidak berlebihan saat Hillary Clinton (dalam Ruddy, 2014) di tahun 2013 menyatakan bahwa “food is the oldest form of diplomacy” dalam menggambarkan kekuatan makanan dalam praktik diplomasi sejak dahulu kala hingga kini. Banyak orang meyakini bahwa politik bisa memecah belah, namun makananlah yang dapat mempersatukan (Chapple-Sokol, 2013). Gastrodiplomacy bukanlah sebuah konsep baru, namun selama satu setengah dekade terakhir telah menjadi metode yang cukup efektif dimanfaatkan beberapa negara untuk hadir terlibat dan menarik perhatian komunitas dan kkalayak asing. Paul S. Rockower, tokoh penting dalam gastrodiplomacy mendefinisikan gastrodiplomacy sebagai “a means of which countries conduct cultural diplomacy through promotion of their cuisine” (2012). Meski beberapa ahli sering mempertukarkan istilah culinary diplomacy dan gastrodiplomacy, Rockower (2014) menjelaskan bahwa gastrodiplomacy menggunakan pendekatan holistik dalam meningkatkan awareness sekaligus mempengaruhi khalayak yang lebih luas; berbeda dengan pendekatan diplomasi kuliner yang berfokus pada penggunaan ragam masakan sebagai medium

61 meningkatkan diplomasi formal dalam acara-acara diplomatik resmi. Ia juga menegaskan bahwa gastrodiplomacy berbeda dengan food diplomacy yang dilakukan negara dengan memberikan bantuan pangan kepada komunitas internasional dalam situasi-situasi krisis dan bencana. Selama lebih dari satu dekade terakhir, terdapat peningkatan trend dimana negara menggunakan strategi food diplomacy dan gastrodiplomacy dengan tujuan melakukan nation branding. Dalam gastrodiplomacy, negara menggunakan makanan sebagai upaya mempromosikan budayanya, membangun citra positifnya, memperkenalkan industri makanannya pada khalayak global, menarik turis asing dan membangun hubungan dengan publik internasional yang lebih luas, dan tidak hanya terbatas pada kaum elite saja (Pham, 2013). Para aktor dalam gastrodiplomacy tidak hanya terbatas pada politisi, aktor-aktor negara dan para juru masaknya, namun juga berbagai pelaku industri makanan, celebrity chefs, agen-agen perjalanan, firma-firma Humas, praktisi diplomasi publik, media massa dan media sosial (Zhang, 2015). Gastrodiplomacy memungkinkan negara untuk tidak hanya memperkenalkan makanan pada publik internasional, namun membuka peluang untuk mengomunikasikan cita rasa, sejarah, budaya dan tata nilainya yang unik. Salah satu negara pionir yang hampir sinonim dengan gastrodiplomacy adalah Thailand. Sejak 2002, pemerintah Thailand telah melaksanakan “Global Thai Program” dan menjadikan Thailand sebagai negara yang secara resmi memulai praktik gastrodiplomacy. Kini, kampanye gastrodiplomacy Thailand bertajuk “Thailand, Kitchen of the World.” Melalui program kampanye gastrodiplomacy-nya, Thailand telah menjadi negara pertama yang berambisi meningkatkan jumlah restoran Thailand di seluruh dunia hingga 4 kali lipat. Pemerintah Thailand secara strategis menggunakan restoran-restoran Thai di seluruh

62 dunia sebagai sarana diplomasi publik informalnya (Pham, 2013). Melalui strategi sertifikasi yang ketat, berbagai restoran Thai di seluruh dunia berkompetisi untuk memenuhi standar yang telah ditetapkan pemerintah Thailand untuk mendapatkan pengakuan formal kualitas makanan dan pengalaman kuliner yang otentik. Beberapa kriteria yang dinilai dalam sertifikasi tersebut angtara lain kondisi restoran yang harus memenuhi standar kesehatan dan keselamatan, didekorasi khas sesuai gaya Thailand, telah beroperasi minimal setahun, mempekerjakan juru masak Thailand berpengalaman, dan juru masak utama harus telah mengikuti pelatihan khusus masakan Thailand. Selain itu, hingga derajat tertentu, restoran tersebut harus menggunakan bahan-bahan masakan asli Thailand dan menggunakan peralatan masak yang otentik. Kampanye ini kemudian berhasil meningkatkan daya saing industri makanan Thailand serta meningkatkan nilai ekspor bahan makanan mentah dan olahan Thailand yang dalam tahun 2012 saja meningkat hingga 5.3% (bangkokpost.com, 2012). Keberhasilan Thailand dalam upaya branding-nya membuat khalayak internasional kini tidak lagi mempersepsikan Thailand sebagai destinasi wisata sex, namun publik global kini mengasosiasikan Thailand dengan makanan Thai. Keberhasilan Thailand ini kemudian diikuti oleh beberapa negara lain dan memulai kampanye gastrodiplomacy versi masing- masing. Korea Selatan misalnya, pada tahun 2009 meluncurkan program “Hansik: Korean Cuisine to the World” berbiaya $44 juta (Chapple-Sokol, 2013). Program ini kemudian dijuluki sebagian orang sebagai "Diplomasi Kimchi.” Pemerintah Korea Selatan menyadari bahwa dengan mencicipi berbagai penganan dan ritual makan di kedai makanan asing, pengunjung layaknya memasuki portal penemuan dimana makanan memiliki konteks budaya dan sejarah; penemuan inilah yang akan menarik perhatian pengunjung untuk kemudian mencari tahu dan mengenal lebih lanjut. Melalui

63 kampanye gastrodiplomacy Hansik, pemerintah Korea Selatan secara terpusat menyusun 5 strategi besar yang akan dievaluasi pencapaiannya pada tahun 2017. Tujuan jangka panjang kampanye ini adalah untuk meningkatkan peluang kerja yang lebih besar di industri makanan internasional dengan mengekspor tenaga kerja ahli di bidang kuliner Korea, menjual berbagai produk pertanian dan makanan olahan produksi Korea serta meningkatkan brand nasional Korea Selatan. Untuk meraih khalayak luas, pemerintah Korea Selatan merangkul bintang pop Korea Psy sebagai duta yang membantu mempromosikan program tersebut. Strategi ini didasari oleh keyakinan pemerintah mengenai pentingnya menjaga visibilitas produk (dalam hal ini kuliner Korea) dalam rangka mencapai “stickiness factor”: diperlukan upaya tertentu yang dapat membangun momentum agar produk selalu melekat dalam ingatan (Pham, 2013; lihat juga Gladwell, 2000). Dengan mendukung restoran Korea di seluruh dunia dalam mempromosikan makanan Korea, pemerintah di Seoul memusatkan perhatian pada interaksi khalayak internasional dengan makanan tradisional Korea, menumbuhkan dan merawat hubungan jangka panjang antara khalayak dengan makanan Korea yang diharapkan dapat menimbulkan dan menjaga afirmasi publik internasional terhadap Korea sebagai brand yang bernilai tinggi, memiliki identitas yang unik dan memiliki peran “middle power” yang bereputasi baik di mata internasional. Semetara itu, pada tahun 2011 Malaysia telah memulai pendekatan gastrodiplomacy melalui Malaysia Kitchen Programme (MKP) yang dimotori oleh Malaysia External Trade Development (MATRADE Malaysia). Kampanye gastrodiplomacy Malaysia berfokus pada makanan multietnik yang halal dan segar. Pemerintah Malaysia mengembangkan panduan kampanye gastrodiplomacy yang cukup terstruktur dan mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk membiayai

64 promosi kuliner Malaysia. Promosi dilakukan dengan mendorong dibukanya restoran-restoran Malaysia di luar negeri dimana secara khusus Pemerintah Malaysia menyasar pasar di Inggris, Amerika Serikat, Australia dan China sebagai langkah strategis untuk menciptakan awareness. Selain itu, Pemerintah juga secara aktif membiayai berbagai festival kuliner dan menginisiasi peluncuran saluran masak memasak di televisi “Go Asean.”

Gambar Panduan strategi gastrodiplomacy Malaysia Sumber: Solleh, F. M. (2015, July). Gastrodiplomacy as a Soft Power Tool to Enhance Nation Brand. Journal of Media and Information Warfare, 7, 161-199

Meski menyadari bahwa proses nation branding memerlukan waktu, Pemerintah Malaysia melakukan berbagai upaya pemantauan perkembangan efektivitas kampanye gastrodiplomacynya melalui angka pergerakan nilai ekspor produk

65

Malaysia serta melalui liputan-liputan media massa mengenai makanan Malaysia (Solleh, 2015). Negara lain yang juga meluncurkan kampanye gastrodiplomacy adalah Peru dengan judul “Cocina Peruana Para El Mundo“ (Peruvian Cuisine for the World). Dalam kampanye ini, Peru juga berhasil mendaftarkan makanan nasionalnya sebagai “Intangible Cultural Heritage” UNESCO (lihat Wilson, 2013; Pham, 2013). Bahkan, salah satu tokoh utama gastrodiplomacy Peru, Gaston Acurio, seorang koki terkenal sekaligus pemilik beberapa restoran Peru di berbagai belahan dunia secara aktif menggunakan makanan sebagai caranya menyampaikan berbagai aspirasi politiknya serta mengadvokasi banyak pihak tentang implikasi politis makanan. Sebagai contoh, Acurio menyampaikan bahwa keberadaan restoran Peru yang tersebar di seluruh dunia akan membantu menciptakan rantai perdagangan yang memiliki nilai ekonomis bagi para petani kecil di pelosok Peru (Wilson, 2013).

Konteks Indonesia Hingga kini belum ada figur atau lembaga negara resmi yang mengambil insiatif untuk memimpin kampanye gastrodiplomacy Indonesia yang komprehensif. Kita telah menyaksikan berbagai upaya sporadis yang dilakukan berbagai lembaga/perangkat negara untuk memulainya. Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington DC, Amerika Serikat, misalnya, pada tahun 2008 telah menginisiasi promosi kuliner Indonesia di Amerika Serikat (Rockower, 2010). Sementara itu, pada tahun 2012 Kedutaan Besar Republik Indonesia yang berkedudukan di Berlin, Jerman, telah pula mengadakan Festival Kuliner Indonesia di beberapa hotel bintang lima di Berlin dan meluncurkan buku berjudul “From the Ambassador’s Kitchen.” Upaya lain yang dilakukan dalam konteks kampanye

66 gastrodiplomacy dieksekusi oleh Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dengan meluncurkan 30 Ikon Kuliner Indonesia pada bulan Desember 2012. Ini adalah langkah pertama yang diharapkan membuka jalan pengembangan kuliner Indonesia. Namun demikian, pergantian pemerintahan telah mengubah struktur organisasi Kementrian, dan program tersebut harus terpinggirkan tanpa adanya penjelasan yang memuaskan dari pihak Kementrian. Tidak ada alasan yang dapat menjustifikasi mengapa Indonesia tidak perlu mengembangkan kampanye gastrodiplomacy yang komprehensif, efektif dan agresif. Sejak abad ke-16 Indonesia telah terkenal dengan kekayaan alamnya baik di darat maupun laut, melimpahnya rempah-rempah yang menarik perhatian dunia Barat telah menjadi perebutan banyak pihak dan turut membuka jalur-jalur perdagangan. Baru-baru ini, Rendang terpilih sebagai salah satu makanan terlezat di dunia, sementara Lapis Legit terpilih sebagai salah satu kue nasional terlezat dunia. Selain Rendang dan Lapis Legit, makanan seperti Nasi Goreng, Sate dan bahkan Indomie telah menjadi makanan yang sangat populer di kalangan turis mancanegara serta penduduk dari negara- negara tetangga. Karenanya, dengan seluruh potensi yang ada, Pemerintah perlu menyatukan seluruh pemangku kepentingan dan memulai kampanye gastrodiplomacy yang dapat menjadi alat strategis untuk meningkatkan reputasi positif Indonesia di mata dunia. Untuk mengidentifikasi berbagai faktor penting dalam upaya gastridiplomacy Indonesia, perlu diidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang ada sebagai bahan memformulasikan kampanye gastrodiplomacy Indonesia. Analisis dengan menggunakan matriks SWOT akan menyinergikan peluang dan ancaman yang ada dengan mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki Indonesia. Berikut adalah identifikasi

67 beberapa faktor yang dapat turut berkontribusi positif dalam pengembangan kampanye strategi gastrodiplomacy Indonesia:

Tabel Identifikasi SWOT Key Success Factors Strength • Ragam variasi makanan • Kekayaan warisan budaya dalam setiap makanan • Dokumentasi resep makanan ikonik yang cukup baik Weakness • Belum adanya kampanye gastrodiplomacy yang terpusat • Tidak adanya standarisasi resep • Tidak adanya institusi yang menaungi • Tidak adanya fokus dan koordinasi terkait kekayaan kuliner Indonesia Opportunity • Pemerintah Indonesia memiliki 132 perwakilan resmi di seluruh dunia • Diaspora Indonesia yang semakin kuat • Meningkatnya trend kuliner internasional • Internet sebagai sarana penyebaran informasi dan gaya hidup Threat • Persaingan dengan negara tetangga yang memiliki keserupaan makanan • Produksi makanan yang belum terstandarisasi

Sebagaimana disampaikan sebelumnya, Indonesia memiliki kekayaan rempah yang luar biasa hingga mendorong berbagai bangsa untuk melakukan perdagangan dengan Indonesia.

68

Di sisi lain, Indonesia juga memiliki kelompok etnik yang sangat beragam dimana masing-masing kelompok etnik memiliki budaya, cara pandang dan hidup yang berbeda-beda. Kombinasi keduanya menciptakan ragam makanan yang sangat kaya dan kental dengan nilai-nilai budaya. Inilah salah satu faktor penting yang dapat dikedepankan dalam kampanye gastrodiplomacy. Lebih dari itu, di hampir seluruh belahan bumi, kita juga menyaksikan peningkatan ketertarikan publik akan berbagai produk kuliner yang mengejawantah dengan semakin bergairahnya sektor turisme kuliner, menjamurnya berbagai tayangan kuliner di media massa tradisional dan kontemporer. Makanan menjadi konten yang bernilai ekonomis dan semakin diminati. Kehadiran internet juga telah mempermudah banyak orang untuk mengenal berbagai kuliner asing dari berbagai negara. Namun demikian, setidaknya terdapat dua hal utama yang dapat mengancam efektivitas pengembangan kampanye gastrodiplomacy Indonesia. Pertama adalah kompetisi dari negara- negara tetangga yang memiliki tipe masakan yang hampir serupa. Sebagai contoh, Malaysia. Persamaan kelompok-kelompok etnik yang tinggal di Indonesia dan Malaysia membuat kedua negara memiliki tipe kuliner yang mirip sehingga perlu dikemas sedemikian rupa agar publik dapat dengan mudah mengenali kuliner Indonesia bukanlah kuliner Malaysia dan demikian pula sebaliknya. Tantangan lainnya adalah belum adanya standar tertentu dari otoritas resmi di Indonesia mengenai kualitas produk, standar pelayanan dan penyajian serta yang paling utama adalah otentisitas makanan ikonik Indonesia. Hal-hal tersebut dapat mengakibatkan kebingungan publik mengenai masakan khas Indonesia yang otentik. Belajar dari Thailand, misalnya, otoritas resmi Thailand telah menetapkan kriteria standar masakan khas Thailand dan telah pula berhasil menghasilkan banyak juru masak yang memiliki kualifikasi pendidikan kuliner Thailand. Strategi

69 lain yang dapat diambil untuk memecahkan persoalan ini dapat pula diadaptasi dari strategi Pemerintah Peru yang mendaftarkan makanan nasionalnya ke dalam daftar warisan kekayaan budaya UNESCO, yang pada gilirannya akan mengurangi kebingungan publik internasional mengenai kuliner Peru.

70

Tabel Formulasi Strategi Gastrodiplomacy

71

Kelemahan lain yang juga menghalangi kampanye gastrodiplomacy Indonesia yang efektif, adalah tidak adanya intitusi yang menjadi focal point untuk secara matang merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi kampanye gastrodiplomacy ini. Penjuru ini menjadi penting untuk merangkul berbagai pemangku kepentingan; tidak hanya lembaga- lembaga pemerintahan, namun juga hotel, restoran, pusat-pusat perbelanjaan, para juru masak, para gastronomer, universitas, pusat-pusat kebudayaan, komunitas diaspora Indonesia, dan lainnya. Langkah Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia yang mulai menggandeng universitas dalam membuat roadmap dan grand design gastrodiplomacy perlu diapresiasi dan perlu dinantikan hasilnya (Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia, 2016). Meski telah dimulai, namun berbagai inisiatif kampanye gastrodiplomacy yang telah dilakukan diharapkan tidak lagi bersifat sporadis, memiliki keseragaman cara pandang dan fokus

72 yang jelas dalam membangun nation branding Indonesia. Berbagai pemangku kepentingan perlu duduk bersama dan mulai memformulasikan strategi nation branding melalui kampanye gastrodiplomacy yang komprehensif dan terukur. Selain itu, pembuatan slogan, tagline atau kampanye gastrodiplomacy hanya akan bermakna dan memiliki manfaat apabila konsep nation branding yang melandasi dan menjadi tujuan utamanya terkonseptualisasi dengan baik, terukur dan dieksekusi dengan baik.

SIMPULAN Meski praktik gastrodiplomacy adalah praktik yang telah dilakukan sejak lama, terminologi gastrodiplomacy mendapatkan bentuk dan ruhnya dalam waktu kurang dari dua dekade terakhir. Beberapa negara telah berhasil memanfaatkan gastrodiplomacy sebagai sarana nation branding, meningkatkan citra positif negara di mata publik internasional menggunakan makanan dengan cita rasa, teknik, budaya dan sejarah otentiknya. Beberapa negara seperti Mexico, Italia ataupun Perancis, telah sejak lama menikmati ketenaran kulinernya di kancah global, namun beberapa negara lain perlu menciptakan strategi khusus. Thailand misalnya, berhasil mengubah persepsi publik internasional sebagai negara tujuan wisata seksual, menjadi negara yang dipersepsikan sebagai negara yang kaya, menggiurkan dan berbudaya. Indonesia, dalam hal ini, telah pula memulai beberapa inisiatif yang berada dalam jalur gastrodiplomacy untuk meningkatkan reputasi positifnya di mata publik internasional. Kekayaan kuliner Indonesia yang sarat dengan sejarah, budaya dan kekayaan etnik serta hasil alamnya, menjadikan kampanye gastrodiplomacy sebagai sarana nation branding yang tepat. Beberapa upaya gastrodiplomacy yang telah dilakukan berbagai pemangku kepentingan di masa lalu perlu diapresiasi, namun,

73 langkah-langkah yang diambil lembaga perwakilan Indonesia di luar negeri serta beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan kerjasama penelitian dengan pihak universitas hanyalah langkah awal. Diperlukan fokus, strategi komprehensif dan komando yang jelas agar Indonesia mampu memetik keberhasilan nation branding melalui jalur kampanye gastrodiplomacy yang berhasil sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah Thailand, Korea Selatan, atau bahkan Malaysia. Pelibatan seluruh pemangku kepentingan baik di dalam dan di luar negeri menjadi kunci penting keberhasilan. Karenanya, agar upaya nation branding dapat mencapai hasil optimal, Indonesia perlu mengubah cara pandang dan praktik-praktiknya, dan mengabarkannya pada dunia internasional melalui kampanye yang terfokus, terstruktur dan terukur.

DAFTAR PUSTAKA Anholt, S. (2009, January 16). Why Nation Branding Does Not Exist. http://kommunikationsmaaling.dk. Retrieved September 12, 2017, from http://kommunikationsmaaling.dk/artikel/why-nation- branding-does-not-exist/ bangkokpost.com. (2012, June 18). 'Thai Select' seal goes local. Bangkok Post. Retrieved September 12, 2017, from http://www.bangkokpost.com/print/298506/ Chapple-Sokol, S. (2013). Culinary Diplomacy: Breaking BRead to Win Hearts and Minds. The Hague JOurnal of Diplomacy, 8, 161-183. doi:10.1163/1871191X-12341244 Fan, Y. (2010, May). Branding the Nation: Towards a Better Understanding. Place Branding and Public Diplomacy, 6(2), 97-103. Retrieved September 13, 2017, from Brunel University London: http://bura.brunel.ac.uk/handle/2438/3496

74

Gladwell, M. (2000). The Tipping Point:How Little Things Can Make a Big Difference. Little Brown. Greene, C., & Cramer, J. (2011). Beyond Mere Sustenance: Food as Communication/Communication as Food. In J. Cramer, C. Greene, & L. Walters, Food as Communication, Communication as Food. New York: Peter Lang. Kaneva, N. (2011). Nation Branding: Toward an Agenda for Critical Research. International Journal of Communication, 5, 117-141. Retrieved from http://ijoc.org/index.php/ijoc/article/view/704/514 Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia. (2016, October 6). Gastrodiplomacy, Penjuru Diplomasi Ekonomi Indonesia. Retrieved September 12, 2017, from http://www.kemlu.go.id/id/berita/berita- perwakilan/Pages/Gastrodiplomacy,-Penjuru-Diplomasi- Ekonomi-Indonesia.aspx Kompas.com. (2016, September 29). Bahas Pencitraan, Jokowi Kritik Slogan Kementerian yang Berbeda-beda. (F. J. Kuwado, Ed.) Jakarta: Kompas.com. Retrieved September 13, 2017, from http://nasional.kompas.com/read/2016/09/27/15461271/b ahas.pencitraan.jokowi.kritik.slogan.kementerian.yang.be rbeda-beda Kompas.com. (2016, September 29). Indonesia Akan Punya "Nation Branding". Jakarta: Kompas.com. Retrieved September 13, 2017, from http://nasional.kompas.com/read/2016/09/27/19514661/in donesia.akan.punya.nation.branding. Pham, M. J. (2013). Food as Communication: A Case Study of SOuth Korea's Gastrodiplomacy. Journal of International Service, 22(1), 1-21. Retrieved September 12, 2017 Rockower, P. (2010, December 10). Why Not Feed Indonesia to the World? The Jakarta Globe. Retrieved September 12, 2017, from http://jakartaglobe.id/arhive/why-not-feed- indonesia-to-the-world/

75

Rockower, P. (2012). Recipes for Gastrodiplomacy. Place Branding and Public Diplomacy, 8(3), 235-246. doi:10.1057/pb.2012.17 Rockower, P. (2014, March 2). The State of Gastrodiplomacy. Public Diplomacy Magazine(11), pp. 11-15. Retrieved September 13, 2017, from http://www.publicdiplomacymagazine.com/the-state-of- gastrodiplomacy/#_edn2 Ruddy, B. (2014, March 2). Hearts, Minds, and Stomachs: Gastrodiplomacy and the Potential of National Cuisine in Changing Public Perception of National Image. Public Diplomacy Magazine(11). Retrieved September 12, 2017, from http://www.publicdiplomacymagazine.com/hearts- minds-and-stomachs-gastrodiplomacy-and-the-potential- of-national-cuisine-in-changing-public-perception-of- national-image/ Solleh, F. M. (2015, July). Gastrodiplomacy as a Soft Power Tool to Enhance Nation Brand. Journal of Media and Information Warfare, 7, 161-199. Retrieved from http://jmiw.uitm.edu.my/images/Journal/v7chapter5.pdf Stajcic, N. (2013). Understanding Culture: Food as a Means of Communication. Hemispheres: Studies on Cultures and Societies, 28. The Jakarta Post. (2016, October 6). Indonesia to implement national branding after low ranking. (D. Koswaraputra, Ed.) Jakarta. Retrieved September 13, 2017, from http://www.thejakartapost.com/news/2016/10/06/govt-to- implement-national-branding-after-low-ranking.html Wilson, R. (2013). Cocina Peruana Para El Mundo: Gastrodiplomacy, the Culinary Nation Brand, and the Context of National Cuisine in Peru. Exchange: The Journal of Public Diplomacy, 2(1), 13-20. Zhang, J. (2015). The Foods of the Worlds: Mapping and Comparing Contemporary Gastrodiplomacy Campaigns. International Journal of Communication, 9, 568-591.

76

PERAN AGEN ASURANSI SEBAGAI PUBLIC RELATIONS DAN MARKETING COMMUNICATIONS DI PT PRUDENTIAL INDONESIA

Moch. Armien Syifaa Sutarjo1, Purwanti Hadisiwi2 Universitas Padjadjaran [email protected]

PENDAHULUAN Beberapa waktu silam, publik dihebohkan oleh kasus peretasan official website Telkomsel oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Web resmi Telkomsel tersebut untuk beberapa waktu lumpuh dan tidak dapat diakses sama sekali. Tentu kasus ini menjadi viral dan menjadi sorotan publik karena status Telkomsel sebagai perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia. Namun, dengan pengalaman yang sudah teruji dan tim yang solid maka masalah tersebut dapat segera teratasi. Kasus yang menimpa Telkomsel tersebut tentu mau tidak mau, sedikit banyaknya mempengaruhi citra perusahaan itu sendiri. Pasca krisis yang terjadi pada perusahaan tersebut diperlukan langkah-langkah pemulihan yang mana dalam hal ini merupakan salah satu tugas seorang Public Relations (PR). Public relations (PR) sebuah perusahaan pada umumnya dihubungkan dengan kegiatan komunikasi untuk menjaga citra perusahaan dan membina hubungan baik dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) seperti yang diungkapkan Grunig dan Hunt (1984: 6, dalam Tench & Yeomans, 2006), mendefinisikan public relations sebagai manajemen komunikasi antara sebuah organisasi dan publiknya. Adapun istilah Stakeholders pada umumnya diterjemahkan sebagai

1 [email protected] 2 [email protected]

77 pemangku kepentingan berupa pihak-pihak atau kelompok- kelompok yang berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung terhadap eksistensi atau aktivitas perusahaan, dimana kelompok-kelompok tersebut dapat mempengaruhi perusahaan ataupun sebaliknya (Saidi, 2004 dalam Rosyida & Nasdian, 2011). Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa seorang public relations perusahaan erat kaitannya dengan kegiatan komunikasi yang dilakukan dengan para pemangku kepentingan (stakeholders), namun belakangan ini pada beberapa perusahaan peran seorang pubic relations mengalami perluasan, seperti yang diungkapkan Prindle (2011), peran pubic relations kini tidak hanya berhubungan dengan citra perusahaan namun juga seorang public relations berperan penting dalam kegiatan periklanan, dan aktivitas komunikasi pemasaran (marketing communications). Selanjutnya menurut Prindle, salah satu tujuan mengapa sebuah perusahaan menggunakan konvergensi komunikasi ini adalah sebuah bentuk efisiensi. Pada umumnya konsentrasi seorang pubic relations berbeda dengan seorang marketing communications dimana dalam kegiatannya, seorang marketing communications berkonsentrasi pada produk dan penjualan namun sesungguhnya public relations merupakan bagian dari marketing communications. Fill dan Jamieson (2006) mengemukakan bahwa secara tradisional public relations merupakan salah satu dari lima alat komunikasi pemasaran, dimana keempat alat lainnya adalah advertising, sales promotion, personal selling dan direct marketing. Terdapat berbagai macam definisi mengenai marketing communications, salah satunya adalah sebuah bentuk kegiatan promosi dimana kegiatan tersebut bertujuan untuk untuk menggunakan komunikasi untuk membujuk konsumen untuk membeli produk dan jasa. Selanjutnya kegiatan marketing communications ini terfokus pada produk dan komunikasi satu arah dan bersifat perspektif jangka pendek. (Fill & Jamieson,

78

2006). Berdasarkan penjelasan sebelumnya, fokus dari kegiatan marketing communications adalah pada produk dan bagaimana produk tersebut dapat terjual. Peran ganda yang diemban seorang public relations dapat kita temui di berbagai perusahaan besar, salah satunya di perusahaan asuransi jiwa PT Prudential Life Assurance. Prudential plc adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang asuransi jiwa dan jasa keuangan asal Inggris yang berdiri sejak tahun 1848 di London, Inggris. Prudential memiliki posisi yang sangat kuat pada 3 pasar dunia termasuk Asia. Pada tahun 1995, PT Prudential Life Assurance (Prudential Indonesia) resmi didirikan dan menginduk pada kantor regional Prudential Corporation Asia (PCA) yang berkedudukan di Hongkong (Company Profile, 2014). Pada perkembangannya, Prudential Life Assurance berhasil menjadi pemimpin pasar atau market leader dalam bidang asuransi jiwa dan jasa pengelolaan keuangan. Hal tersebut dibuktikan dengan berbagai penghargaan yang diterimanya dalam beberapa tahun berturut-turut, seperti Top Brand Award (2013), Excellent Service Experience Award (2013), Indonesia Brand Champion Award (2013), dll (Company Profile, 2014). Dengan berbagai kesuksesannya terutama di pasar Indonesia sehingga mampu menjadi pemimpin pasar, tentu Prudential Life Assurance memilik berbagai strategi untuk memaksimalkan pemasaran dan penjualannya. Dalam prakteknya, Prudential menggunakan paran agennya untuk menjalankan tugas sebagai seorang public relations sekaligus sebagai marketing communications dan juga tenaga pemasar. Dalam kegiatannya, seorang agen asuransi Prudential haruslah melakukan tiga kegiatan itu setiap harinya. Seorang agen Prudential harus mampu memenuhi target penjualan perusahaan juga harus mampu memberikan kesadaran dan informasi sejelas mungkin mengenai produk yang ditawarkan dan sepenting apa

79 produk asuransi yang ditawarkan bagi konsumen, dan di saat yang sama mereka harus mampu tetap menjaga reputasi perusahaan di saat terjadi berbagai penolakan dari calon konsumen atau nasabah dan di saat ada pengajuan klaim, karena tidak dipungkiri paradigma masyarakat Indonesia mengenai asuransi jiwa masih cenderung negatif. Penelitian ini bertujun untuk mengetahui bagaimana agen asuransi Prudential menjalankan perannya sebagai public relations dan sebagai marketing communications.

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan-pendekatan kualitatif, yang mana bertujuan untuk menyelidiki perilaku dan kebiasaan-kebiasaan manusia, dalam hal ini bagaimana mereka berkomunikasi satu sama lain, bagaimana mereka menyampaikan pesan, isyarat serta merepresentasikan hal-hal tertentu kepada orang lain. Creswell (2009), menyatakan bahwa metode kualitatif merupakan metode yang cocok digunakan untuk menyelidiki kebiasaan-kebiasaan manusia baik itu secara individu atau dalam kelompok. Kemudian, Mulyana (2001, hal: 150) menyatakan bahwa penelitian kualitatif bertujuan untuk mempertahankan bentuk dan isi perilaku manusia dan menganalisis kualitas- kualitasnya, alih-alih mengubahnya menjadi entitas kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Data diperoleh melalui kegiatan wawancara secara semi terstruktur kepada beberapa narasumber yang berupa agen asuransi Prudential.

HASIL DAN PEMBAHASAN Public relations dan marketing communications merupakan dua hal yang berbeda sekaligus saling tumpang tindih. Masing-masing memiliki tujuan dan fungsi yang berbeda, namun

80 koordinasi di antara keduanya dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi organisasi (Smith, 2005). Koordinasi antara kedua fungsi yakni public relations dan marketing communications ditemui dalam profesi seorang agen asuransi jiwa, khususnya agen Prudential Life Assurance. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, dalam menjalankan profesinya, seorang agen asuransi Prudential, mereka menjalankan peran ganda yakni sebagai public relations sekaligus marketing communications perusahaan. Dalam prosesnya untuk menjadi seorang agen asuransi Prudential secara resmi, seseorang harus mengikuti beberapa tahapan yakni pelatihan awal yang disebut dengan Faststart Training, lalu seorang calon agen harus mengikuti tes Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), guna mendapatkan lisensi keagenan yang resmi. Di dalam program pelatihan Faststart, berbagai pengetahuan dasar mengenai product knowledge, pengenalan nasabah dan dasar-dasar marketing diajarkan oleh para staf trainer. Sejak awal pelatihan, selain didukung oleh materi pelatihan yang juga mengandung unsur marketing, nampaknya mindset dan pemahaman para calon agen asuransi mengenai profesinya adalah kegiatan menjual produk asuransi, seperti yang dituturkan oleh narasumber Tan, “Awal gw terjun, selain gak paham soal asuransi, juga gak ada background marketing resmi, pengalaman cuma jualan-jualan gitu aja, kue, sayur, baju-baju gitu”.3

Dari pernyataan Tan di atas dapat dipahami bahwa sejak sangat awal profesi sebagai seorang agen asuransi lekat kaitannya dengan kegiatan berjualan produk asuransi. Hal senada

3 Wawancara dengan Tan pada 15 Juni 2017, pukul 21.20 WIB.

81 diungkapkan oleh Pambudi, seorang agen asuransi yang telah aktif sejak tahun 2012.

“Tentu ada keuntungan jika kita memiliki background marketing untuk menjadi financial planner/agen di Prudential, karena kita terbiasa berhadapan dengan calon nasabah, ...”4

Pambudi mengungkapkan bahwa seorang calon agen akan lebih mudah menjalankan profesinya jika ia telah memiliki latar belakang sebagai seorang tenaga pemasar karena menurutnya, hal tersebut dapat berguna ketika mereka menemui dan menghadapi calon nasabah. Namun, setelah menjalani profesinya untuk beberapa waktu, nampaknya mereka menyadari tugas lain sebagai seorang agen asuransi jiwa Prudential yakni menjadi seorang public relations yang baik dengan menjaga hubungan baik dengan nasabah salah satunya.

“Peran gw itu, sebagai ujung tombak perusahaan, penengah antara perusahaan dengan client, ‘mata’ nya perusahaan, orang kepercayaannya client”.5

Agen Asuransi Sebagai Public Relations Pada prakteknya, seorang agen asuransi menjalankan dua peran yakni sebagai public relations dan marketing communications perusahaan. Sebagai public relations, agen asuransi menjalankan peran yaitu sebagai communication manager sekaligus communication technician. Sebagai communication

4 Wawancara dengan Pambudi pada 15 Juni 2017, pukul 22.20 WIB. 5 Wawancara dengan Tan pada 15 Juni 2017, pukul 21.55 WIB.

82 manager, seorang agen lebih spesifik menjalankan perannya sebagai berikut: The expert prescriber. Ketika akan melakukan komunikasi dengan calon nasabah, seorang agen akan mencoba memetakan permasalahan atau dalam hal ini memetakan apa yang menjadi kebutuhan nasabah dengan mengidentifikasi produk asuransi Prudential apa yang sesuai dengan dengan nasabah atau calon nasabah, seperti yang disampaikan oleh Pambudi. “Yang perlu kita sampaikan kepada nasabah kita adalah financial planner dari Prudential, justru kita harus lebih banyak mendengar agar mendapatkan informasi dari nasabah dan kita bisa memberikan suggest terbaik buat nasabah dan produk yang tepat untuk di nasabah”. 6 The communication facilitator. Sebagai fasilitator dan penengah antara perusahaan dan nasabah, seorang harus mampu menengahi dan mencari jalan keluar yang baik bagi kedua pihak. Tan menyampaikan hal tersebut berdasarkan pengalaman pribadinya sebagai berikut, “Kalau sebagai penengah, kasusnya bukan saat klaim, saat ada kasus ribet yang harusnya menurut sistem gak bisa, tapi kita musti usahain itu bisa”. 7 The problem-solving process facilitator. Dalam melaksanakan perannya sebagai fasilitator dalam membantu menyelesaikan problem, umumnya kasus yang terjadi adalah penyelesaian dalam masalah klaim. Seorang agen asuransi harus siap dan sedia untuk membantu proses klaim nasabahnya, sebagaimanan disampaikan oleh Tan.

6 Wawancara dengan Pambudi pada 15 Juni 2017, pukul 23.08 WIB. 7 Wawancara dengan Tan pada 15 Juni 2017, pukul 22.16 WIB.

83

“Jaga kepercayaan mereka (nasabah), sebagai agen, gw gak Cuma ngurusin pas mereka setor duit (premi), tapi pas mereka butuh duit (klaim) pun gw ada”.8

Menjalankan perannya sebagai communication technician, seorang agen jelas menjalankannya dengan baik yakni menjalankan dan mengimplementasikan perencanaan-perencanaan yang dibuat seperti menyiapkan produk yang cocok dengan nasabah dan calon nasabah setelah mendapatkan informasi yang cukup mengenai nasabah dan calon nasabah tersebut.

Agen Auransi Sebagai Marketing Communications Dalam kegiatan pemasarannya, para agen memulainya dengan memberikan informasi selengkap mungkin mengenai asuransi jiwa. Hal-hal yang disampaikan kepada calon nasabah pada umumnya berupa betapa pentingnya asuransi jiwa bagi calon nasabah. Para agen menempatkan nasabah dan kebutuhannya sebagai pusat perhatian, sebagaimana disampaikan oleh Pambudi.

“Setelah kita memaparkan semua (produk), kita serahkan semua keputusan kepada calon nasabah dan kita hanya memberikan saran bahwa ini sangat penting bagi calon nasabah dan keluarga dan kita tanya pendapatnya. Terlepas dari mau atau tidaknya nasabah kita sudah memberikan info penting bagi nasabah bahwa pentingnya berasuransi”. 9

Selanjutnya para agen pula melakukan berbagai kegiatan promosi. Dari berbagai media promosi yang meliputi beberapa media seperti personal selling, direct marketing, advertisement, sales promotion (Kotler, 2008), di dalam penelitian hanya ditemui

8 Wawancara dengan Tan pada 15 Juni 2017, pukul 22.09 WIB. 9 Wawancara dengan Pambudi pada 15 Juni 2017, pukul 23.11 WIB

84 beberapa media promosi yang digunakan yakni personal selling dan direct marketing. Personal selling. Para agen pada umumnya banyak menggunakan media ini dengan mendatangi langsung para calon nasabahnya dengan terlebih dahulu membuat janji temu atau secara acak dan langsung (canvasing). Media ini dianggap sebagai cara yang paling ampuh karena bisnis ini merupakan bisnis asuransi yang tidak ada bentuk konkritnya sehingga calon nasabah harus bertemu dan bertatap muka langsung dengan agennya agar terbentuk satu kepercayaan terhadap agen tersebut. Direct marketing. Media ini biasanya digunakan para tenaga pemasar/ agen sebagai tahapan sebelum personal selling. Para agen biasanya menggunakan berbagai media untuk melakukan pendekatan awal dengan calon nasabahnya seperti melalui telepon atau media sosial. Dari kedua media promosi di atas, media personal selling melalui metode canvasing dianggap sebagai media yang paling efektif mendapatkan perhatian calon nasabah yang pada akhirnya memutuskan untuk mengikuti program asuransi jiwa Prudential yang ditawarkan, seperti yang dialami oleh Tan,

“Kan canvasing tuuuuh, nah main tembak kalo gw teh dari Pru, cerita kalo Pru teh punya program, nunggu respon dia gimana, nah dari situ bisa berkembang ke kasih pandangan gw, gak berhasil ke semua orang sih, Cuma rata-rata berhasil ke cewek lagi, ... yang paling banyak closing dari canvas”10

10 Wawancara dengan Tan pada 15 Juni 2017, pukul 22.45 WIB.

85

SIMPULAN Sebagai seorang agen asuransi, agen asuransi Prudential menjalankan profesinya dengan melakoni dua peran sekaligus yakni sebagai public relations dan marketing communications. Kedua peran yang berbeda tersebut dijalankan dengan sebaik- baiknya oleh para agen Prudential dimana sebagai seorang public relations, seorang agen Prudential mampu menjalankan perannya baik itu sebagai communication manager dengan ketiga tipe nya yakni, sebagai the expert prescriber yang mampu memetakan masalah dan kebutuhan nasabah, the fasilitator, sebagai sosok yang mampu menjadi penengah dan penyambung komunikasi antara nasabah dan perusahaan dan the problem-solving process facilitator, yakni sebagai sosok yang mampu menangani dan memberikan solusi jitu dalam memecahkan masalah yang dialami klien yang biasanya berupa permasalahan pengurusan klaim, dan communication technician dimana mereka bisa merencanakan program untuk nasabah dan mengeksekusinya dengan baik. Adapun sebagai seorang marketing communications, seorang agen lebih memilih untuk mengkomunikasikan produknya dengan memberikan edukasi mengenai pentingnya memiliki asuransi jiwa, tanpa ada unsur paksaan karena mereka meyakini apa yang disebut dengan tebar dan tuai. Meskipun saat itu calon nasabah belum bersedia untuk membeli produknya, agen asuransi jiwa Prudential meyakini bahwa yang terpenting adalah edukasi dan pengetahuan mengenai pentingnya asuransi jiwa bagi nasabah tersebut telah tersampaikan. Para agen asuransi tersebut pun menggunakan beberapa media promosi dalam memasarkan produknya yakni dengan menggunakan media personal selling dan direct marketing dimana metode canvasing menjadi metode yang paling efektif untuk menggaet minat calon nasabah hingga akhirnya berhasil untuk closing.

86

DAFTAR PUSTAKA Creswell, J. W. (2009). Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches (3rd Edition).SAGE Publications. Inc. Kotler, P., & Armstrong, G. (2008). Prinsip-prinsip Pemasaran Edisi 12. Jakarta: Penerbit Erlangga. Mulyana, D. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Bandung. Prindle, R. (2011). A Public Relations Role in Brand Messaging. International Journal of Business and Social Science, 32- 36. Pru Sales Academy. (2014). Company Profile. Jakarta: Prudential Life Assurance. Rosyida, I., & Nasdian, F. T. (2011). Partisipasi Masyarakat dan Stakeholder dalam Penyelenggaraan Program Corporate Social Responsibility (CSR) dan Dampaknya terhadap Komunitas Pedesaan. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia, 51-70. Smith, R. D. (2005). Strategic Planning for Public Relations. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Tench, R., & Yeomans, L. (2006). Exploring Public Relations. Essex: Pearson Education Limited.

87

PUBLIC RELATIONS SEBAGAI LEMBAGA/STATE OF BEING

Kokom Komariah, Yanti Setianti Universitas Padjadjaran [email protected]

PENDAHULUAN Kegiatan Public Relations (PR) dalam setiap organisasi atau lembaga, menjadi tanggung jawab para pengelola organisasi atau perusahaan tersebut. Akan tetapi, karena publik yang menjadi sasaran kegiatannya terlalu banyak jumlahnya, baik yang berada di dalam maupun di luar organisasi, maka dibentuklah bagian khusus untuk melaksanakan kegiatan itu yakni departemen/bagian PR atau Public Relations (PR) sebagai suatu lembaga, dan orang yang menjabatnya disebut PRO (public relations officer) atau petugas PR. Pentingnya bagian Public Relations dalam organisasi atau perusahaan, menurut Anggoro ada tiga faktor yang melatarbelakanginya, yakni “Pertama, cepatnya kemajuan teknologi, kedua pertumbuhan ekonomi, dan yang ketiga adalah kian hausnya masyarakat akan informasi yang akurat” (Anggoro, 2000: 57). Kehadirannya dibutuhkan karena PR merupakan satu elemen yang menentukan kelangsungan suatu organisasi secara positif. Arti penting PR sebagai sumber informasi terpecaya kian terasa pada era globalisasi dan ‘banjir informasi’ seperti saat ini. Dalam perkembangannya, bidang PR itu di setiap negara tidak sama baik dalam bentuk dan kualitasnya. Di negara-negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat, PR dalam struktur organigram ditempatkan di posisi puncak atau top manajemen. Di Indonesia, posisi atau kedudukan bagian PR belum identik dengan PR sebagaimana dipraktekan negara-negara maju. Menurut

88 perkiraan Onong U. Effendy ada dua kemungkinan yang menyebabkan terjadinya situasi seperti itu, yaitu “Manajemen belum mempercayai kemampuan Kahumas untuk menduduki posisi yang tinggi, atau Kahumas sendiri belum menujukkan bahwa ia mampu untuk menjadi staf pimpinan” (Effendy, 1992:34). Masalah penentuan posisi atau bagian pada suatu organisasi/perusahaan adalah masalah penstrukturan organisasi atau dikenal dengan istilah struktur organisasi. Dalam menentukan atau merancang struktur organisasi suatu perusahaan, tentunya tidak hanya sekedar formalitas dan terkesan sekedar meniru pada perusahaan yang sudah ada. Seharusnya perancangan struktur organisasi harus disesuaikan dengan besar kecilnya usaha, bidang usaha serta teknologi yang digunakan. Hasil penelitian Elizabeth Goenawan Ananto tahun 2004 tentang kondisi jabatan atau posisi PR di Indonesia, dari 245 perusahaan yang menjadi sampel penelitiannya menunjukkan : “ Ada 5 % pada jabatan vice president, 14 % director, 37 % manager, 8 % ass manager dan 36 % officer “(dalam Baik, Ridwan Nyak dan T, Irmulan Sati, 2004:7). Berdasarkan data tersebut, memberikan gambaran bahwa struktur organisasi perusahaan di Indonesia menempatkan PR pada posisi yang berbeda. Artinya adanya perbedaan pemahaman atau persepsi perusahaan tentang PR, hanya sebagian kecil saja yang menganggap PR sangat penting, tentunya menempatkan PR pada posisi top managemen, dan PR mempunyai kontribusi yang significant pada organisasi. Akan tetapi masih banyak juga perusahaan atau organisasi yang berpikir, bahwa PR tidak penting, menempatkan PR pada posisi level bawah dan PR kontribusinya dianggap kecil. Masalah posisi suatu bidang pada struktur organisasi tenntunya akan berpengaruh terhadap pola pembagian kerja,

89 rentang kendali, komunikasi, dan koordinasi. Dengan kata lain, struktur organisasi dapat menjadi pendorong dan penghambat kinerja, karena struktur organisasi menentukan proses kepemimpinan dan perilaku anggota organisasi, dapat menentukan kreatif tidaknya karyawan padahal kreatifitas diperlukan untuk dapat menghasilkan kinerja atau output yang lebih baik. Pentingnya struktur dalam organisasi, McPhee berpendapat, “Struktur merupakan sebuah karakteristik yang menentukan dari sebuah organisasi – ialah yang menyebabkan atau memungkinkan kualitas atmosfir, yang mendukung, kemantapan rutinitas yang membedakan pekerjaan dalam sebuah organisasi dari aktivitas-aktivitas dalam sebuah kelompok, sebuah mafia, sebuah masyarakat dan sebagainya (dalam Pace & Faules, 1998:317). Ananto berpendapat, bahwa di Indonesia, belum banyak dijumpai hasil penelitian mengenai posisi PR dalam organisasi. Kajian ilmiah serta literatur yang dapat menjelaskan peranan dan fungsi PR dalam organisasi masih sangat terbatas (dalam Baik, Ridwan Nyak dan T, Irmulan Sati, 2004:6). Kebanyakan penelitian PR dilakukan secara mikro untuk mengetahui efektifitas program yang dilakukan oleh lembaga atau organisasi. Tulisan ini bertujuan untuk membahas PR sebagai lembaga (state of being) yaitu mengenai kompleksitas, formalitas, dan sentralitas pekerjaan PR, yang berhasil penulis dapatkan atau ketahui dari hasil kajian pustaka.

METODE PENELITIAN Metode penulisan merupakan literature review, dengan analisis deskriptif. Literature review berisi ulasan, rangkuman, dan pemikiran tentang beberapa sumber pustaka (artikel, buku, informasi dari internet dan sebagainya) sesuai topik yang dibahas.

90

HASIL DAN PEMBAHASAN Kehadiran public relations (PR) pada suatu organisasi sudah tidak dapat dipungkiri lagi. Tidak ada catatan yang pasti mulai kapan PR sebagai lembaga (state of being) berkembang di Indonesia. Dari sejumlah literatur menyebutkan sejak berakhirnya perang dunia II, tepatnya pada dekade 1950-an. Effendy menjelaskan, yakni “Setelah kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949. Dimana dalam pembentukan pemerintahan, menetapkan kementrian /departemen Penerangan yang ‘berfungsi’ sebagai PR.” (Effendy, 1986:12) Menurut Baskin dan Aronoff, “Konteks PR sebagai ‘fungsi manajemen’ harus membantu organisasi dalam membangun filosofi-filosofi, mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan perusahaan, beradaptasi dengan lingkungannya dan bisa sukses dalam berkompetisi merebut sumber-sumber bagi kelangsungan hidup organisasi”(dalam Putra, 2000:9). Konsekuensi dari konsep ini adalah praktisi PR menjadi penasihat bagi manajemen atau fungsi PR secara struktural dalam organisasi merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari suatu kelembagaan atau organisasi dan sekaligus terkait langsung dengan fungsi top manajemen. Agar petugas PR dapat bekerja secara efektif dalam organisasi, Anggoro berpendapat : Seseorang yang menjabat sebagai manajer PR perlu diberi suatu porsi atau status jabatan resmi yang cukup tinggi sehingga setiap saat ia dapat berhubungan secara mudah dengan pihak manajemen, termasuk dengan para kepala bagian atau pimpinan semua departemen dari organisasi bersangkutan. Idealnya, manajer PR memiliki jabatan yang setara dengan direktur (Anggoro, 2000:111). Perbedaan (besar kecilnya) departemen PR/Humas di dalam organisasi atau perusahaan, menurut Anggoro bergantung pada tiga hal utama, yaitu : a) Ukuran/skala organisasi atau

91 perusahaan itu sendiri, b) Nilai atau arti penting fiungsi-fungsi humas di mata pihak manajemen atau pengelola (pemimpin) organisasi/perusahaan yang bersangkutan, dan c) Karakteristik khas kehumasan yang memang berbeda-beda bagi masing-masing organisai/perusahaan. (Anggoro, 2000:106) Penempatan departemen/bagian PR dalam struktur organisasi perusahaan ada yang di top manajemen, middle manajemen dan lower manajemen. Para teoretikus sependapat bahwa posisi ideal atau kedudukan PR pada struktur organisasi harus ditempatkan pada posisi yang strategis yaitu berada dalam top atau senior manajemen. Sebagaimana pendapat dari Sir Richard Branson yang dikutip Laksamana bahwa, Kami selalu menempatkan PR pada posisi strategis dalam manajemen saat pengambilan keputusan. Kami memandang PR bukan saja sebagai alat komunikasi dengan media, melainkan juga menjadi bagian penting dalam menumbuhkembangkan hubungan kami dengan pelanggan (Laksamana, 2014;11). Jadi orang-orang sukses di dunia menempatkan PR sebagai lini terdepan dalam perusahaannya. Mereka melihat pentingnya komunikasi PR demi menjaga unsur yang paling penting dalam sebuah korporasai, organisasi, dan brand reputation-nya. Pesatnya perkembangan studi Public Relations di Indonesia ternyata hanya sebatas menambah pengetahuan atau wawasan masyarakat akan ilmu/studi public relations saja, tetapi ternyata tidak atau belum merubah pemahaman dan clarity KPI (Key Performance Indicator) tentang pekerjaan PR-komunikasi. Misalnya, kejelasan antara sang CEO yang merupakan ‘key client’ (klien utama) dari PR eksekutif dan deliverables dari PR eksekutif itu sendiri (Laksamana, 2014:13). Lebih lanjut disinyalir oleh Laksamana, mengapa PR jarang ada di Ring 1 perusahaan? Jawabannya adalah bisa jadi PR tidak memberikan outputs dan outcomes yang sesuai dengan

92 ekspektasi CEO mereka (2014:15). Struktur ideal Fungsi PR/Komunikasi Korporat menurut Argenti (2010:58), sebagai berikut :

Kompleksitas pekerjaan bidang Public Relations (PR) Kekompleksitasan pekerjaan PR tersirat dari berbagai definisi PR, yang berhasil dirangkum oleh Laksamana (2014: 7-8): • Majelis dunia/Pertemuan Dunia Asosiasi Humas (1978), mendefiniskan praktik PR sebagai sebuah seni sekaligus ilmu sosial yang menganalisis berbagai kecenderungan, memperkirakan setiap kemungkinan konsekuensinya, memberi masukan dan saran-saran kepada para pemimpin organisasi, serta menerapkan program-program yang terencana untuk melayani kebutuhan organisasi dan kepentingan khalayaknya. • Public Relations Society of America (PRSA), mendefinisikan PR sebagai fungsi manajemen yang mengantisipasi, menganalisis, dan menafsirkan opini publik, sikap, dan isu; menyarankan manajemen di semua tingkatan dalam organisasi terkait dengan putusan kebijakan, rencana tindakan dan komunikasi dan mempertimbangkan efeknya terhadap masyarakat dan terhadap tanggung jawab organisasi sosial atau kewarganegaraan; meneliti, melaksanakan, mengevaluasi secara berkelanjutan, dan terlibat dalam perencanaan strategi untuk organisasi.

93

• Definisi lain dari PR sebagai manajemen reputasi, terungkap dari british Institute of Public Relations (IPR), PR adalah reputasi, hasil dari yang Anda lakukan, yang Anda katakan, dan yang orang lain katakan tentang Anda. Jadi praktek PR adalah disiplin yang memelihara reputasi dengan tujuan untuk mendapatkan pengertian dan dukungan serta mempengaruhi opini dan perilaku. • James E. Grunig, menjelaskan PR itu sendiri sebagai manajeman komunikasi antara organisasi dan publiknya. Petugas PR tersebut termanifestasikan dalam spesialisasi pekerjaan PR sebagaimana menurut Cutlip, Center dan Broom, ada sepuluh kategori yang mengikhtisarkan pekerjaan spesialis PR : 1) Menulis dan menyunting; 2) Menjadi penghubung media dan pemuatan; 3) Melakukan penelitian; 4) Mengatur manajemen dan administrasi; 5) Melakukan konseling; 6) Menyelenggarakan kegiatan khusus; 7) Berpidato; 8) Berproduksi; 9) Memberi pelatihan; 10) Melakukan kontak. (Cutlip, Center dan Broom, 2000:31) Faktor utama bagi public relations profesional, menurut Rumanti harus memiliki sifat, bakat, ketrampilan maupun kemampuan sebagai berikut: a) Kekuatan mempengaruhi orang lain. Seorang PR fungsionaris yang ideal selalu siap mengubah sikap dalam pelayanannya dan mempengaruhi pendapat orang lain untuk keuntungan kedua belah pihak; b) Mempunyai bakat berorganisasi. Seorang PR menuntut dan memerlukan bakat berorganisasi. Sangat penting baginya untuk memiliki kemampuan membuat perencanaan yang tepat untuk menentukan garis besar dalam suatu kegiatan tanpa mengabaikan detailnya. Bakat tersebut mutlak dan penting artinya bagi seorang PR; c) Sifat/sikap ekstrover. Bisa dan mampu serta terampil berkomunikasi dengan tepat, jelas, terbuka untuk macam-macam pokok pembicaraan dengan berbagai macam kelompok. Dalam kehidupan bersama dan

94 kerja sama bersifat terbuka serta lebih memikirkan orang lain.; d) Antusiasme. Seorang PR yang sukses, percaya terhadap organisasi atau perusahaan. Ia memiliki semangat dan percaya terhadap kelompok publiknya dan menyadari bahwa dengan antusiasme, seorang PR teracu untuk membuat organisasinya maju, berkembang, dan mampu bersaing; e) Mempunyai kemampuan untuk menganalisis. Kemampuan ini sangat penting bilama menghadapi masalah yang kompleks, diperjelas dengan menggunakan berbagai pertanyaan dan jawaban inti, sehingga sampai dengan masalah pokok; f) Mampu mendengarkan, melihat dan bersikap tenang. Rahasia, pengertian dan kemampuan mendengarkan merupakan bakat khusus yang sangat berharga bagi seorang PR ideal. Dengan pengertian/pemahaman yang benar, orang akan mampu bersifat benar pula; g) Keinginan untuk mengerti. Terdorong pada keinginan untuk mengetahui masalah yang sebenarnya, bisa mengolah, menganalisis dengan baik dan menggunakan sistem jurnalistik, dengan cara yang tepat bisa dipublikasikan, sesuai dengan profesi dan ciri khas seorang PR fungsionaris; h) Mampu mempertahankan dan mempertanggungjawabkan sesuatu secara benar. Artinya, bila terjadi suatu perencanaan baik yang mudah maupun yang sukar diwujudkan, tetap memiliki usaha ke dalam untuk memperjuangkan ide tersebut hingga terwujud. Di sini penting artinya suatu pendekatan yang benar-benar baik; i) Kemampuan menulis. Memang diakui tidak semua PR fungsionaris ahli dalam menulis dengan baik, jelas pokoknya, menggunakan tata bahasa yang tepat, mampu membuat konsep suatu perencanaan dengan tujuan primernya, mudah dimengerti, dan bisa dioperasionalkan; j) Diplomatis. Mampu bersikap dan bertindak, terampil berbicara dengan baik, cepat tanggap, peka, selalu siap dengan jawaban yang tepat, bijaksana, tutur katanya menarik, simpatik, dan terbuka. Bersikap diplomatis dalam menghadapi bermacam-macam situasi,

95 bahkan dalam situasi yang sangat kompleks sekalipun ia tetap mampu menampilkan diri sebagai seorang PR yang sukses dalam profesinya; k) Fleksibel. Seorang PR yang sukses dan profesional mampu menghadapi berbagai macam situasi dan perubahan, menyadari bahwa perubahan membawa perkembanagan. Ia akan mampu mengantisipasi dengan segala konsekuensinya dan memberi pelayanan dengan penuh tanggung jawab dalam situasi yang menyenangkan, sekaligus menciptakan suasana saling menerima, menghormati, dan mempercayai (Rumanti, 2002:211- 212). Dalam melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengan suatu pekerjaan baik tugas fungsionalnya yaitu menyelesaikan seluk beluk pekerjaan, atau pun tugas perilaku, kiranya sifat, bakat, kerampilan dan kemampuan itu harus dimiliki oleh petugas public relations (PRO).

Formalisasi Pekerjaan bidang Public Relations (PR) Formalisasi mengacu sejauh mana pekerjaan-pekerjaan di dalam organisasi dibakukan atau distandarlisasikan. Organisasi menggunakan formalisasi karena keuntungan yang diperoleh dari pengaturan perilaku para pegawai. Standarisasi perilaku akan mengurangi keanekaragaman. Dari berbagai literatur dijelaskan, suatu formalisasi itu tidak selalu harus tertulis, tetapi bisa saja tidak tertulis. Sehingga untuk mengukuran formalisasi dapat memperhatikan; dokumen resmi organisasi, sikap pegawai sampai pada tingkatan dimana prosedur pekerjaan diuraikan dan peraturan ditetapkan. Mengenai formalisasi, Haas dan Johnson mengemukakan beberapa batasan atas beberapa aspek yang dibahas dalam formalisasi, diantaranya adalah Peranan (role), aktivitas atau kegiatan yang dimainkan oleh karyawan dalam organisasi yang terdiri dari : a) kejelasan tentang kedudukan seseorang dalam

96 organisasi, b) ada atau tidaknya pembagian kerja secara tertulis (dalam Liliweri, 1997:115). Peranan petugas public relations yang dikembangkan oleh Bromm dan Smith ada empat peranan, yaitu : 1) Expert Preciber Communication; Petugas PR dianggap sebagai orang yang ahli. Dia menasihati pimpinan perusahaan/organisasi. 2) Problem solving process facilitator; yakni peranan sebagai fasilitator dalam proses pemecahan masalah. Pada peranan ini petugas PR melibatkan diri atau dilibatkan dalam setiap manajemen krisis. 3) Communication facilitator; sebagai fasilitator komunikasi antara perusahaan / organisasi dengan publik, sebagai penengah bila terjadi misscommunication. 4) Technician communication; petugas PR dianggap sebagai pelaksana teknis komunikasi. Dia menyediakan layanan di bidang teknis, sementara kebijakan dan keputusan teknik komunikasi mana yang digunakan bukan merupakan keputusan petugas PR, petugas PR hanya melaksanakannya (dalam Putra, 1999:14) Pada era transparansi ini menurut Nigel Doggett yang dikutip oleh Laksamana, bahwa fungsi PR menjadi sorotan, semakin terlihat peran seorang PR dalam menjalankan proses komunikasi (dalam Laksamana, 2014:5). Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam aspek komunikasi, sebagai fungsi manajemen yang strategis, PR juga terlibat dalam tanggung jawab dan daya tanggap dalam kebijakan dan informasi untuk kepentingan organisasi dan publiknya (Laksamana, 2014:7). Era profesionalisme saat ini melihat praktisi PR mulai mengontrol perkembangan PR, penggunaan dan praktiknya. Konsep keunikan dari PR ini bukanlah hal yang baru dan telah diungkapkan oleh Philip Lesly, “ Orang-orang PR selalu memiliki peran di tengah-tengah – antara klien, perusahaan, dan publiknya” (dalam Laksamana, 2014:7). Lebih jauh Laksamana menjelaskan bahwa, PR melibatkan penelitian dari semua stakeholders:

97 menerima informasi dari mereka, menyarankan manajemen mengenai sikap dan tanggapan mereka, membantu membuat kebijakan yang menunjukkan tanggung jawab dan perhatian kepada mereka, serta mengevaluasi secara terus menerus efektivitas dari seluruh program PR. Peran insklusif ini mencakup segala kegaitan yang berhubungan dengan memastikan dan mempengaruhi opini pribadi dan sekelompok orang. Ketika perusahaan atau organisasi menempatkan bagian PR pada posisi strategis dan memfungsikan PR sebagai sistem komunikasi dengan benar sebagai alat manajemen. Menurut survei-survei terakhir, lebih dari setengah Manajer PR mengawasi fungsi-fungsi komunikasi sebagai berikut :

Mengandalkan Penasihat PR: selain dalam Total (Presentase komunikasi internal/eksternal CEO) FUNGSI

Mengatur reputasi korporat 70,8% Merekrut bakal unggul 64,6 Meluncurkan produk baru 62,5 Mengembangkan strategi perusahaan 59,7 Hubungan dengan pimpinan komunitas 59,0 CSR (Tanggung Jawab Sosial 57,6 Perusahaan) 57,6 Menaikkan persepsi investor/analisis 55,6 persepsi 55,6 Mempertahankan bakat unngul 53,6 Isu hijau/ketahanan/lingkungan 50,7 Mengatasi krisis (penarikan produk, dll) Membentuk merek perusahaan (Argenti, 2010:61)

98

Sentralisasi atau desentralisasi kerja bidang Public Relations (PR) Seperti telah diuraikan sebelumnya, organisasi selain merupakan kumpulan orang, organisasi adalah sistem pengambilan keputusan dan pengolahan informasi. Organisasi mencapai tujuan melalui koordinasi dari usaha kelompok, pengambilan keputusan dan pengolahan informasi adalah yang utama agar koordinasi dapat terlaksana. Istilah sentralisasi mengacu kepada tingkat sejauhmana pengambilan keputusan dikonsentrasikan pada satu titik tunggal dalam organisasi. Untuk keperluan tersebut, maka sentralisasi dijelaskan Robbins secara lebih khusus, yaitu sebagai jenjang kepada siapa kekuasaan formal untuk membuat pilihan-pilihan secara leluasa dikonsentrasikan pada seorang individu, unit, atau tingkatan (biasanya berada tinggi pada organisasi), dengan demikian mengizinkan para pegawai (biasanya pada tingkat rendah dalan organisasi) untuk memberi masukan yang minimal ke dalam pekerjaan mereka (Robbins, 1994:118). Jadi konsep tersebut hanya mencakup wewenang formal, yaitu hak-hak yang melekat pada posisi seseorang. Biasanya, suatu organisasi dikatakan sentralistis jika manajemen puncak membuat keputusan-keputusan kunci organisasi dengan meminta sedikit masukan atau tanpa masukan sama sekali dari personel tingkat bawah. Sebaliknya, semakin banyak personel tingkat bawah yang memberikan masukan atau diberi kekuasaan memilih untuk membuat keputusan, maka desentralisasi suatu organisasi. Pada kondisi tertentu sentralisasi lebih disukai, yaitu jika suatu perspektif yang komprehensif dibutuhkan dalam suatu keputusan atau di mana suatu konsentrasi memberi penghematan yang cukup berarti, maka sentralisasi menawarkan keuntungan yang nyata. Sebagaimana dijelaskan Robbins, “ Manajer tingkat puncak jelas berada dalam posisi yang lebih baik untuk melihat

99 gambaran yang lebih besar. Hal ini memberi kepada mereka keuntungan dalam memilih tindakan yang akan konsisten dengan kepentingan yang paling baik bagi organisasi secara keseluruhan daripada hanya akan menguntungkan beberapa kelompok yang berkepentingan. Selanjutnya, aktivitas tertentu jelas akan dilaksanakan lebih efisien jika di’sentralisasi’ (Robbins, 1994:124) Diskusi ini membawa kepada kesimpulan, bahwa baik sentralisasi maupun desentralisasi dibutuhkan. Faktor-faktor situasional akan menentukan jumlah yang “tepat”. Oleh karenanya, perhatian harus dicurahkan untuk mengidentifikasi cara yang paling efektif untuk mengorganisasi pengambilan keputusan. Will Whitehorn sebagai Brand Development & Corporate Affairs Director of Virgin Group yang dikutip Laksamana, berpendapat bahwa, Kami selalu menempatkan posisi strategis dalam manajemen saat pengambilan keputusan. Kami memandang PR bukan saja sebagai alat komunikasi dengan media, melainkan juga menumbuhkan menjadi bagian penting dalam menumbuhkembangkan hubungan kami dengan pelanggan (2014:11). Sementara itu, di Indonesia pada umumnya departemen atau bagian PR belum berada pada posisi atau level pimpinan/manajemen atau masih jauh dari pengambilan keputusan, termasuk keputusan yang berhubungan dengan peran strategis PR. Data hasil penelitian diungkapkan oleh Elizabeth Goenawan Ananto, former President of Internastional Public Relations Association (IPRA) pernah menuliskan bahwa lebih dari 60% praktisi PR yang ada di Indonesia saat ini hanya memiliki kemampuan sebagai teknisi. Sementara Miranty Abidin, President Director Fortune, juga memberikan pendapat senada bahwa yang masih banyak itu berada di level teknisi dan manajer. Yang berpikir profesional itu belum banyak. Baru sekitar 20% dari praktisi PR

100 yang mempunyai fungsi korporat atau bisa memberikan advokasi (Laksamana, 2014:12). Tantangan-tantangan struktural yang sama masih ada saat ini, dan jawaban dari debat sentralisasi/desentralisasi sering bergantung pada ukuran perusahaan (skala besar atau kecil), penyebaran kantor-katornya, dan keanekargaman produk dan layanannya. Berdasarkan strukur ideal bagian PR yang telah dibahas sebelumnya, dalam beberapa kasus pengambilan keputusan/fungsi komunikasi yang diungkapkan oleh Argenti bahwa, fungsi komunikasi ini masih melapor kepada wakil direktur eksekutif (EVP) yang bertanggung jawab kepada administrasi.Orang ini juga memiliki tanggung jawab untuk area-area seperti SDM, keamanan, dsb. Dan bentuk ini dapat menimbulkan masalah –masalah luar biasa bagi fungsi komunikasi – terutama jika EVP ini memiliki sedikit pengetahuan tentang atau kurang tertarik kepada komunikasi. (Argenti, 2010:58)

SIMPULAN Public Relations (PR) sebagai sebuah lembaga (state of being) dalam struktur organisasi perusahaan ada yang di top manajemen, middle manajemen dan lower manajemen. Struktur organisasi ditentukan oleh tiga variabel kunci : kompleksitas, formalisasi, dan sentralisasi pekerjaan. Dalam kompleksitas pekerjaan, bagian PR mempunyai pekejaan yang sangat kompleks, tercermin dari definisi PR itu sendiri mulai PR sebagai seni, PR sebagai fungsi manajemen, PR sebagai manajemen reputasi, dan PR sebagai manajemen komunikasi. Dan dalam melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengan suatu pekerjaan baik tugas fungsionalnya yaitu menyelesaikan seluk beluk pekerjaan, atau pun tugas perilaku, kiranya sifat, bakat, kerampilan dan kemampuan itu harus dimiliki oleh petugas public relations (PRO).

101

Akan halnya formalisasi pekerjaan, bagian PR sudah terstandarisasi. Ada 4 (empat) jenis peran PR yaitu: 1).Expert Preciber Communication; 2) Problem solving process facilitator; 3) Communication facilitator; 4) Technician communication. Dari keempat peran tersebut, peranan yang dominan adalah sebagai teknisi komunikasi. Mengenai sentralisasi pekerjaan, sekalipun posisi PR dalam struktur organisasi berada di lini bawah, PR tetap harus mempunyai posisi strategis dalam pengambilan keputusan.

DAFTAR PUSTAKA Argenti, Paul A., 2010, Komunikasi Korporat (Corporate Communication), Jakarta, Penerbit Salemba Humanika Anggoro, M. Linggar, 2000, Teori & Profesi Kehumasan Serta Aplikasinya di Indonesia, Jakarta, Bumi Aksara Baik, Ridwan Nyak dan T, Irmulan Sati., (editor), 2004, Koalisi Dominan Refleksi Kritis Atas Peran dan Fungsi Public Relations Dalam Manajemen, Jakarta, BPP Perhumas Effendy, Onong Uchjana, 1992, Hubungan Masyarakat Suatu Studi Komunikologis, Bandung, PT Remaja Rosdakarya. Liliweri, Alo, 1997, Sosiologi Organisasi, Bandung, PT Citra Aditya Bakti Laksamana, Agung., 2014, What CEO wants from PR, Yogyakarta, B-First Pace, R Wayne., Faules, Don F., 1998, Editor : Deddy Mulyana, Komunikasi Organisasi Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan, Bandung, PT Remaja Rosdakarya Robbins, Stephen P., 1994, Teori Organisasi, Alih Bahasa: Jusuf Udaya., Jakarta, Arcan Robbins, Stephen P., dan Judge, Timothy., 2008, Perilaku organisasi, Jakarta, Salemba Empat Rumanti, Sr. Maria Assumpta., 2002, Dasar-dasar Public Relations Teori dan Praktik, Jakarta, PT. Gramedia Widiasarana

102

STRATEGI MEDIA SOSIAL MARKETING COMMUNICATION RAMADA ENCORE BALI SEMINYAK

Renata Anisa, Retasari Dewi Universitas Padjadajran [email protected]

PENDAHULUAN Tahun 2017 TripAdvisor website perjalanan dunia mengadakan survei “Travellers’ Choice Awards” yang dipilih berdasarkan ulasan jutaan travelers di dunia selama satu tahun di situs www.tripadvisor.com. Ada beberapa kategori dalam Travellers’ Choice Awards versi TripAdvisor seperti hotel, destinasi, pantai, landmark, taman hiburan, musium, maskapai penerbangan dan rumah liburan terfavorit. Dikutip dari press release yang dikeluarkan pada tanggal 21 Maret 2017 (Traveloka, 2017), Pulau Bali Indonesia dinyatakan sebagai pemenang pertama dalam kategori destinasi paling favorit. Ini merupakan prestasi yang luar biasa mengingat TripAdvisor adalah website perjalanan yang terbesar karena terdapat 465 juta ulasan seputar pariwisata, setiap bulannya situs ini rata-rata dikunjungi 390 juta pengunjung dalam 49 pasar diseluruh dunia. Destinasi favorit kedua dan seterusnya diduduki oleh London (Inggris), Paris (Perancis), Roma (Itali) New York (AS) dan sebagainya. Keberadaan situs perjalanan atau online travel agent (OTA) seperti TripAdvisor, Traveloka, Mr.Aladin, booking.com, Trivago dan lainnya saat ini sangat populer seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Aplikasi Traveloka misalnya yang terintegrasi dengan situs traveloka.com, telah diunduh lebih dari 10 juta orang di playstore. Kepopuleran yang didapat oleh situs perjalanan ini karena mereka memberikan

103 kemudahan untuk para wisatawan dalam melakukan pemesanan kamar hotel atau tiket perjalanan. Situs ini juga seringkali menjadi rujukan para wisatawan untuk berkunjung kesebuah daerah baru, memilih hotel dan tiket perjalanan karena ada fitur ulasan dan opini dari pengunjung situs yang lain. Opini dan tanggapan yang diberikan oleh pengunjung situs perjalanan tidak selamanya positif. Pihak yang diberikan tanggapan negatif pun tidak memiliki hak jawab atau mengkonfirmasi opini negatif yang terlanjur beredar di situs tersebut. Hal ini tentu berdampak pada branding perusahaan terutama hotel yang erat kaitannya dengan pelayanan. Untuk itu dibutuhkan media lain sebagai rujukan resmi bagi para konsumen dan calon konsumen potensial dalam memilih hotel. Media itu harus dapat menampilkan keunggulan dari hotel, dan memiliki fasilitas serta fitur yang tidak jauh berbeda dengan yang dimiliki oleh online travel agent.

Sumber: (Traveloka, 2017) Gambar Ulasan dari konsumen traveloka tentang sebuah hotel

104

Ramada Encore Bali Seminyak adalah hotel yang baru beroperasi tiga tahun yang lalu tepatnya September 2014. Sebagai hotel baru didaerah tujuan wisata favorit dunia, Ramada Encore Bali Seminyak harus menghadapi berbagai tantangan seperti banyaknya kompetitor yang sudah lebih dulu ada. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Bali (BPS Provinsi Bali, 2017), jumlah hotel di Bali terus bertambah dari tahun ketahun. Tahun 2011 jumlah hotel yang ada di Bali sebanyak 198 hotel dan di tahun 2015 jumlah itu bertambah menjadi 281 hotel, dimana 76 hotel diantaranya adalah hotel bintang empat seperti Ramada Encore Bali Seminyak. Dalam upaya membentuk brand awareness dan membangun hubungan dengan konsumennya, divisi Marketing Communication Hotel Ramada Encore Bali Seminyak menggunakan platform media sosial seperti Facebook, Instagram dan Twitter. Untuk itu peneliti tertarik meneliti lebih jauh mengenai, ”Bagaimana Strategi media sosial yang dilakukan oleh Hotel Ramada Encore Bali Seminyak?”. Tujuan dari penelitian ini yaitu: 1) Alasan penggunaan media sosial oleh Hotel Ramada Encore Bali Seminyak; 2) Proses penggunaan media sosial yang dilakukan oleh Hotel Ramada Encore Bali Seminyak; dan 3) Dampak dari penggunaan media sosial yang dilakukan oleh Hotel Ramada Encore Bali Seminyak. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa konsep dan teori yang menjadi landasan peneliti dalam melakukan penelitian.

Proses Public Relations Menurut Kasali dalam buku Manajemen Komunikasi, proses Public Relations sepenuhnya mengacu kepada pendekatan manajerial. Manajemen, dalam konteks strategi, mempunyai peran

105 untuk membantu perusahaan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dalam lingkungan usaha. Seperti yang terjadi di dunia perhotelan saat ini dimana marketing, advertising, publikasi dan branding tidak hanya dilakukan melalui media massa cetak dan elektronik tapi juga media sosial dan online travel agent (OTA). Dalam buku Effective Public Relations dari Cutlip, Center dan Brown proses Public Relations terdiri dari fact finding, planning, communicating dan evaluating (Cutlip, Center, & Brown, 1985, p. 4). Fact finding adalah proses pengumpulan data dan fakta terkait faktor-faktor yang perlu diketahui sebelum melaksanakan program. Planning terkait proses perencanaan program yang akan dilaksanakan. Communicating yang dimaksud dalam proses ini adalah bagaimana kegiatan itu dilaksanakan atau disampaikan. Dan evaluating adalah proses penilaian dari program yang dilaksanakan, proses ini amat penting karena hasilnya digunakan untuk merencanakan program PR selanjutnya.

Cyber PR Electronic Public Relations/Online Public Relations adalah inisiatif PR yang menggunakan media internet sebagai sarana publisitasnya (Onggo, 2004, p. 1). Popularitas internet dan kemampuannya untuk melakukan berbagai hal dapat dimanfaatkan oleh praktisi PR dalam membangun merek (brand) dan memelihara trust (kepercayaan). Jangkauan internet yang sangat luas, memudahkan PR dalam menjangkau publik yang lebih banyak. Kelebihan ini harus dapat dimanfaatkan PR untuk menjalin hubungan dan keterikatan dengan publik dalam hubungan yang interaktif.

106

Merek (Brand) American Marketing Association mendefinisikan merek sebagai nama, istilah, tanda, lambang, simbol, disain, atau kombinasi dari hal-hal tersebut. Tujuan pemberian merek adalah untuk mengidentifikasikan produk atau jasa dari salah sati penjual atau kelompok penjual yang dihasilkan sehingga berbeda dari para pesaing. ( (Kotler & Keller, 2009, p. 258) Sedangkan branding menurut Peter Montonya merupakan sebuah proses menciptakan identitas yang dikaitkan dengan persepsi emosi dan perasaan tertentu terhadap identitas tersebut. (Rampersad, 2008)

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi deskriptif. Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana strategi, proses, dan dampak penggunaan media sosial oleh Hotel Ramada Encore Bali Seminyak. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dan studi literatur. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat empiris (dapat diamati dengan panca indera sesuai dengan kenyataan), dengan pengamatan atas data tidak didasarkan pada ukuran-ukuran matematis yang terlebih dulu ditetapkan peneliti dan harus disepakati (direplikasi) oleh pengamatan lain, tetapi berdasarkan ungkapan subjek penelitian, sebagaimana yang dikehendaki dan dimaknai oleh subjek penelitian. Pendekatan kualitatif menggunakan konsep kealamiahan (kecermatan, kelengkapan, atau orisinalitas) data dan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Pendekatan kualitatif terutama layak untuk menelaah sikap atau perilaku dalam lingkungan yang agak artifisial, seperti dalam survei atau eksperimen. Peneliti kualitatif lebih menekankan proses dan makna ketimbang kuantitas, frekuensi atau intensitas

107

(yang secara matematis dapat diukur), meskipun peneliti tidak mengharamkan statistik deskriptif dalam bentuk distribusi frekuensi atau presentase untuk melengkapi analisis datanya (Mulyana, 2007:11). HASIL DAN PEMBAHASAN Hotel Ramada Encore Bali Seminyak adalah hotel Ramada Encore pertama di Indonesia. Ramada Encore adalah merek berlisensi dari hotel terbesar di dunia Wyndham Hotel Group (http://www.ramadaencorebaliseminyak.com/, 2017). Hotel bintang empat ini berada di daerah Seminyak Bali. Tantangan Hotel Ramada Encore Bali Seminyak selain banyaknya kompetitor adalah branding Ramada Encore dan Wyndham Hotel, group yang menaungi Ramada Encore di seluruh dunia, belum terlalu dikenal di Indoensia. Namun kita tidak bisa memungkiri potensi Bali sebagai daerah tujuan wisata favorit di Indonesia masih belum tergantikan. Tahun 2011 jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Bali sebanyak 2,8 juta orang, dan ditahun 2015 jumlah itu naik kurang lebih 70% menjadi 4 juta wisawatawan mancanegara. Peluang lain yang dimiliki Ramada Encore adalah hotel ini masih baru, dimana design bangunan, kamar dan fasillitas hotel lainnya masih terjaga dengan baik. Divisi yang bertugas mengelola media sosial di Hotel Ramada Encore Bali Seminyak adalah divisi marketing communication yang berada di bawah Department Sales and Marketing. Tugas utama dari divisi marketing communication adalah branding, promoting dan bertanggung jawab pada setiap marketing tools yang ada di hotel. Penelitian ini memfokuskan pada strategi public relations melalui penggunaan media sosial. Peneliti melakukan wawancara dengan Assistant Director of Marketing Hotel Ramada Encore Bali Seminyak, Umu Kulsum Sastroatmodjo dan melakukan observasi

108 terhadap akun media sosial resmi milik Hotel Ramada Encore Bali Seminyak. Berikut ini adalah akun media sosial yang dimiliki oleh Hotel Ramada Encore Bali Seminyak, Twitter https://twitter.com/encorebali

Sumber: Twitter (Ramada Encore Bali Seminyak, 2017) Gambar Tampilan Akun Twitter

Facebook pages https://www.facebook.com/ramadaencorebaliseminyak/

Sumber: Facebook (Ramada Encore Bali Seminyak, 2017) Gambar Tampilan Akun Facebook

Instagram https://www.instagram.com/ramadaencorebali/

109

Sumber: Intagram (Ramada Encore Bali Seminyak, 2017) Gambar Tampilan Akun Instagram

Dari hasil wawancara dan observasi peneliti menemukan bahwa : Alasan penggunaan media sosial oleh Hotel Ramada Encore Bali Seminyak. Untuk tujuan publikasi, advertising, marketing dan branding Hotel Ramada Encore Bali Seminyak menggunakan berbagai jenis media. Media elektronik (radio) dan media cetak (majalah dan surat kabar) digunakan untuk mempublikasikan event yang akan digelar. Jenis Above the Line Media ini digunakan agar dapat menjelaskan sebuah konsep atau ide meskipun tidak ada interaksi secara langsung dengan audience.

110

Sumber: Koleksi pribadi Umu Kulsum Gambar Pengguan media elektronik dan cetak oleh Marketing Communication

“Media cetak dan radio lokal, kita gunakan untuk promosiin spa, resto, dan event. Untuk luar Bali kita tekankan media sosial dan website, karena budget iklan untuk diluar negeri itu mahal dan bisa gede-gedean, sedangkan budget kita kan terbatas.” (Sastroatmodjo, 2017)

111

Begitu pernyataan Umu Kulsum ketika ditanya penggunaan media sebagai sarana branding Hotel Ramada Encore Bali Seminyak. Meski cukup efektif, pengunaan above the line media memerlukan biaya yang tidak sedikit dan jangkauan yang terbatas. Umu Kulsum tidak menampik kalau alasan utama penggunaan media sosial adalah karena media ini tidak berbayar. Kalaupun mengeluarkan biaya, hal ini digunakan untuk keperluan pembuatan konten bukan biaya publikasinya. Disamping itu media sosial bisa menjangkau khalayak yang lebih luas, karena market yang disasar Hotel Ramada Encore Bali Seminyak tidak hanya Indonesia tapi juga dunia.

Proses penggunaan media sosial yang dilakukan oleh Hotel Ramada Encore Bali Seminyak Fact Finding Fact finding atau pencarian data dan fakta yang dilakukan oleh Divisi Marketing Communication tidak melalui sebuah riset khusus. Namun, Hotel Ramada Encore Bali telah merumuskan beberapa hal sebagai landasan diantaranya, bahwa konsumen yang disasar melalui media sosialnya adalah kaum muda usia produktif, menengah ke atas dan cukup akrab dengan penggunaan teknologi komunikasi, hal ini dapat dilihat dari konten foto yang di tampilkan di akun Hotel Ramada Encore Bali Seminyak. Tujuan penggunaan media sosial selain potitioning dan branding adalah membangun hubungan dan keterikatan dengan para tamunya, hal ini dibuktikan dengan menampilkan foto dari akun media sosial tamu Hotel Ramada Encore Bali Seminyak.

112

Sumber: Instagram (Ramada Encore Bali Seminyak, 2017) Gambar Video dan Foto pengunjung yang ditampilkan kembali

Saat ditanya daerah asal mayoritas tamu hotel Umu Kulsum menjawab, “Tergantung season sih. Tapi pasar terbesar itu Australia, China, Indonesia, India dan UK.” (Sastroatmodjo, 2017) Seperti yang dikemukakan sebelumnya Ramada Encore merupakan brand hotel dunia, selain itu pulau Bali adalah destinasi wisata dunia, sehingga market yang disasar tidak hanya wisatawan

113

dalam negeri tapi juga wisatawan mancanegara. Dengan sumberdaya manusia dan sumber dana yang ada, divisi Marketing Communication dituntut untuk bisa menjangkau pasar yang luas, karena itu keberadaan media sosial dan online travel agent (OTA) harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Planning Divisi Marketing Communication Hotel Ramada Encore Bali Seminyak melakukan perencanaan konten secara khusus untuk media sosial, jika ada perubahan hotel atau penambahan fasilitas yang mereka miliki. Seperti melakukan photo tacking dengan photografer dan model profesional untuk mendapatkan hasil foto sesuai dengan yang ingin ditampilkan oleh management. Seperti yang disampaikan oleh Umu Kulsum, “Kita pakai photografer dan model profesional untuk dapat angle kamar yang nyaman, view pool yang luas dan massage yang nyaman.” (Sastroatmodjo, 2017)

Communicating Hotel Ramada Encore Bali Seminyak memposisikan dirinya sebagai hotel dengan fasilitas lengkap berada di daerah yang tenang jauh dari keramaian kota namun dekat dengan area wisata sehingga cocok untuk liburan maupun kepentingan bisnis. Untuk menampilkan image yang diinginkan maka konten yang ditampilkan di media sosial pun harus disesuaikan. Umu kulsum menyatakan target market Hotel Ramada Encore Bali Seminyak adalah dewasa muda, hal ini berpengaruh pada konten foto yang ditampilkan di media sosial, “Lihat saja disemua publikasi, kami hanya menampilkan gambar orang muda..” Begitupula dengan konten foto tamu yang ditampilakan kembali di media sosial resmi Ramada Encore Bali Seminyak,

114

“kalau foto tamunya menarik.. cocktail yang berjejer, view hotel yang bagus.. itukan bisa dipakai jualan.. jadi di regram.” (Sastroatmodjo, 2017)

Sumber: Instagram (Ramada Encore Bali Seminyak, 2017) Gambar Foto tamu hotel yang ditampilkan kembali diakun @ramadaencorebali

Alasan pemilihan platform twitter sebagai salah satu media branding Hotel Ramada Encore Bali Seminyak adalah karena penggunanya masih tinggi, meskipun pengikut twitter di hotel masih sedikit. Sedangkan untuk platform facebook saat ini pengunanya masih paling banyak dan fitur yang dimilikinya paling lengkap. Penggunan Instagram sebagai media branding juga banyak dilakukan oleh perusahaan dibidang perhotelan, hal ini karena Instagram meskipun fiturnya tidak selengkap facebook, tapi tetap dapat menampilkan gambar yang indah. Hal ini penting karena sebagai perusahaan jasa, hotel harus menampilkan fasilitas dan kenyamanan yang akan didapatkan pengunjung jika datang

115 kesana. Penggunaan beberapa platform ini menurut Umu Kulsum dikarenakan tidak semua pengikut Facebook juga pengikut Instagram atau Twitter, sehingga dengan penggunaan ketiganya membuat jangkauan publikasi semakin luas. Fitur tanda tagar yang populer digunakan di platform Instagram juga memberikan kemudahan pencarian yang secara tidak langsung menguatkan branding sebuah perusahaan. Hal ini digunakan juga oleh Hotel Ramada Encore Bali Seminyak, seperti tanda tagar #ramadaencorebaliseminyak #wyndham #seminyak #poolside #sunny #sun #tropical #vacation #leisure #trip #traveling #bali #holidayfun #cocktails #lovinglife #happy #funinthesun. Sedangkan alasan Marketing Communication Hotel Ramada Encore Bali kerap menampilkan kembali foto-foto para pengunjungnya dikatakan Umu Kulsum hal ini selain untuk membangun brand awareness juga untuk membangun engagement, “kan kalau di regram fotonya (tamu hotel) pada seneng, ada perhatian, jadi nanti mereka akan datang kesini lagi.” Selain menampilkan foto para tamu hotel, divisi Marketing Communication juga secara khusus menajalin komunikasi dengan membalas komentar, pesan, dan membangun hubungan dengan tanda like di Facebook atau tanda love di Instagram untuk para tamu hotel yang menggunakan tagar Ramada Encore Bali Seminyak. Untuk proses approval dari konten media sosial, Umu Kulsum memiliki tanggung jawab penuh pada konten dan maintaining semua akun media sosial milik Ramada Encore Bali Seminyak.

Evaluating Marketing Communication Division Hotel Ramada Encore Bali Seminyak melakukan evaluasi bulanan terhadap semua platform media sosial yang mereka gunakan. Mereka melakukan

116 evaluasi berdasarkan peningkatan jumlah followers atau pengikut di akun twitter, instagram dan facebook, jumlah likes dan love, mentions, tagar, tag serta keterlibatan para followers dengan akun tersebut. Dalam hal ini, peningkatan jumlah followers menjadi target yang harus dicapai oleh divisi Marketing Communication setiap bulannya. “Ini grafik dari facebook page. Report lagi gak bagus re. Haha. Karena facebook like dan follower lagi turun. Tapi.. viewing dan engagement naik. Cukup bagus seimbang jadinya,” ujar Umu Kulsum sambil menunjukan beberapa grafik berikut ini.

117

Sumber: Instagram (Ramada Encore Bali Seminyak, 2017) Gambar Evaluasi dari akun Facebook @ramadaencorebali

118

Sumber: Instagram (Ramada Encore Bali Seminyak, 2017) Gambar Evaluasi dari akun Instagram @ramadaencorebali

Dampak dari penggunaan media sosial yang dilakukan oleh Hotel Ramada Encore Bali Seminyak. Penggunaan media sosial menurut Umu Kulsum memiliki dampak langsung dan dampak tidak langsung. Dampak langsung yang dirasakan adalah jumlah pengunjung yang melakukan pemesanan kamar melalui media sosial. Facebook page

119 menawarkan fasilitas fitur “pesan sekarang” untuk hotel yang memiliki akun facebook, Sehingga para pemilik akun facebook bisa melakukan pemesanan kamar melalui akun facebooknya secara langsung.

Sumber: Facebook (Ramada Encore Bali Seminyak, 2017) Gambar Fitur Pesan Sekarang dari Facebook

Dampak tidak langsung yang didapatkan dari penggunaan media sosial sebagai strategi komunikasi Hotel Ramada Encore Bali Seminyak adalah penguatan branding dan potitioning Ramada Encore Bali hal ini terlihat dari jumlah pengunjung yang memberikan ulasan positif di media sosial.

120

Sumber: Facebook (Ramada Encore Bali Seminyak, 2017) Gambar Komentar para pengunjung Ramada Encore di akun facebook

SIMPULAN Dari hasil penelitian dan pembahasan mengenai strategi media sosial yang dilakukan oleh Ramada Encore Bali dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Alasan penggunaan media sosial oleh Hotel Ramada Encore Bali Seminyak adalah karena biaya yang dikeluarkan untuk penguatan branding melalui media sosial dianggap lebih sedikit dengan jangkauan yang lebih luas dibandingkan dengan media konvensional; 2) Proses penggunaan media sosial sosial yang dilakukan oleh Hotel Ramada Encore Bali Seminyak, yang pertama adalah fact finding dengan menentukan sasaran dari media sosial yaitu dewasa muda, usia produktif, menengah ke atas dan cukup akrab dengan teknologi komunikasi

121 dan media sosial. Target sasaran adalah wisatawan lokal dan mancanegara. Tujuan penggunaan media sosial selain marketing dan branding adalah untuk membangun hubungan dan keterikatan dengan target sasaran. Sumber daya yang dimiliki perusahaan terbatas; Kedua adalah planning, perencanaan konten media sosial dilakukan secara khusus ketika ada perubahan bentuk dan penambahan fasilitas dari hotel; ketiga communicating, penyampaian informasi melalui media sosial Hotel Ramada Encore Bali Seminyak dengan memperhatikan platform media sosial yang digunakan, memaksimalkan aplikasi yang ada dimedia sosial tersebut, konten foto yang ditampilkan, keterangan foto, tanda tagar, dan membangun hubungan dengan para followers; yang terakhir adalah evaluating, proses ini dilakukan setiap bulan dan menjadi salah satu target pencapaian berupa bertambahnya pengikut di media sosial, dan hubungan yang terjadi bersama para pengikut akun Hotel Ramada Encore Bali Seminyak. 3) Ada dua dampak dari penggunaan media sosial yang dilakukan oleh Hotel Ramada Encore Bali Seminyak, pertama dampak langsung yaitu jumlah pengikut yang melakukan pemesanan kamar melalui media sosial. Kedua dampak tidak langsung yaitu penguatan branding dan potitioning yang terlihat dari bertambahnya jumlah followers dan komentar positif dari para pengikut akun media sosial tersebut. Penggunaan media sosial dinilai cukup efektif dalam menjangkau khalayak yang luas dan Branding Ramada Encore Bali Seminyak sebagai hotel pendatang baru. Adapun saran peneliti adalah: 1) Seiring perkembangan teknologi, khususnya media sosial, Hotel Ramada Encore Bali dapat menggunakan media sosial lainnya seperti youtube, path, tumbler, dan line sebagai media sosial yang diminati khalayak, sehingga dapat menjangkau khalayak yang lebih luas; 2) Hotel Ramada Encore Bali dapat memanfaatkan media sosial untuk membangun komunikasi dua arah dengan konsumen, seperti membuat program kompetisi foto,

122 give away, dan special rate untuk pemesanan melalui media sosial; 3) Hotel Ramada Encore Bali dapat merancang special event pada waktu tertentu yang ditujukan bagi konsumen dan potensial konsumen untuk meningkatkan loyalitas konsumen, ditengah perkembangan bisnis hotel yang semakin pesat.

DAFTAR PUSTAKA BPS Provinsi Bali. (2017, Agustus). Diambil kembali dari https://bali.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/169. Cutlip, S. M., Center, A. H., & Brown, G. M. (1985). Effective Public Relations 6th. ed. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall. Kasali, Rhenald. (1994). Management Public Relations, Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Grafiti Kotler, P., & Keller, K. L. (2009). Manajemen Pemasaran. Jilid I. Edisi ke-13. Jakarta: Erlangga. Mulyana, Deddy. & Solatun. 2007. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Nolte, Lawrence W dan Dannis L. Wilcox. (1984). Effective Publicity. USA: Willey & Sons Inc. Onggo, B. J. (2004). Cyber Public Relations. Jakarta: PT. Media ElexKomputindo (Gramedia Group). Ramada Encore Bali Seminyak. (2017, September 20). https://twitter.com/encorebali?lang=en. Diambil kembali dari Twitter. Ramada Encore Bali Seminyak. (2017, September 20). https://www.facebook.com/ramadaencorebaliseminyak/. Diambil kembali dari Facebook. Ramada Encore Bali Seminyak. (2017, September 20). https://www.instagram.com/ramadaencorebali/?hl=en. Diambil kembali dari Instagram.

123

Rampersad, H. K. (2008). Sukses Membangun Authentic Personal Branding Edidi Indonrsi. Jakarta: PPM. Sastroatmodjo, U. K. (2017, September 20). Strategi Media Sosial Marketing Communication Ramada encore Bali Seminyak. (Reta, & Renata, Pewawancara) Traveloka. (2017, September 26). www.traveloka.com. Diambil kembali dari https://www.traveloka.com/en/hotel/indonesia/ramada- encore-bali-seminyak--2000000396019?spec=27-9- 2017.29-9- 2017.2.1.HOTEL.2000000396019.Ramada%20Encore% 20Bali%20Seminyak%20,%20Seminyak,%20Bali,%20In donesia.1. TripAdvisor. (2017, Maret 21). www.tripadvisor.com. Diambil kembali dari https://tripadvisor.mediaroom.com/2017-03- 21-TripAdvisor-Announces-Top-Destinations-Around- the-Globe-in-2017-Travelers-Choice-Awards.

124

OPTIMALISASI DIGITAL PUBLIC RELATIONS DALAM DISEMINASI DA’WAH PADA NEW MEDIA

Muhammad Sufyan Abdurrahman Telkom University [email protected]

PENDAHULUAN Perkembangan teknologi dan informasi komunikasi (TIK) di Indonesia makin dapat dirasakan sejak hadirnya internet secara komersial sejak tahun 1994. Hal ini terbukti, antara lain, pada jumlah pengguna internet di Indonesia yang sejak tahun tersebut, terus mengalami kenaikan eksponensial. Hingga akhir tahun 2016 lalu, dengan merujuk hasil survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII), tercatat 132,7 juta pengguna internet di Indonesia atau sudah lebih dari 50% dari total penduduk Indonesia tahun 2016 sebanyak 256,2 juta jiwa. Pemutakhiran pemrosesan informasi melalui TIK dalam bentuk internet tersebut membuat banyak orang mendapatkan data- informasi, bahkan mengolah dan mengamplifikasikannya dengan sangat mudah. Terutama bagi para pengguna media sosial populer di tanah air, baik dalam bentuk jejaring sosial (Facebook, Youtube, Twitter, Instagram, dst) maupun pesan instan sosial (WhatsApp, BlackBerry Messenger, Line, dst). TIK telah nyata membuat cara berkomunikasi semakin beragam. Selain berkomunikasi menggunakan metode CMC (Computer Mediated Communication), juga memungkinkan terjadinya lompatan proses komunikasi dari sebelumnya. CMC secara terminologi dijelaskan Rulli Nasrullah (2014:79) sebagai suatu proses komunikasi manusia melalui komputer yang melibatkan khalayak, tersituasi dalam konteks tertentu dengan prosesnya tersebut memanfaatkan media untuk tujuan tertentu.

125

TIK dalam bentuk Internet melalui metode CMC mampu menyajikan pengalaman interaksi daring, yang mana tingkah laku manusia dan pertukaran pesan-pesan atau informasi yang disampaikan dimediasi melalui mesin. Maka, dalam berkomunikasi melalui medium internet ini, sama sekali tidak menampilkan komunikasi nonverbal secara langsung. Salah satu implementasi CMC adalah media baru (new media) dan atau media daring. Yakni media yang tersaji secara daring di situs web (website) internet (Romli, 2014: 30). Ini adalah media generasi ketiga setelah media cetak (printed media) --koran, tabloid, majalah, buku, dst--- serta media elektronik (electronic media) --radio, televisi, dan film/video (Romli, 2014: 30). Termasuk kategori media daring adalah portal, website (situs web, termasuk blog dan media sosial seperti Facebook dan Twitter), radio daring, TV daring, dan email. Dalam perspektif studi media atau komunikasi massa, new media menjadi objek kajian yang mengacu permintaan akses ke konten (isi/informasi) kapan saja, dimana saja, pada setiap perangkat digital serta umpan balik pengguna interaktif, partisipasi kreatif, dan pembentukan komunikasi sekitar konten media, juga aspek generasi real time (Romli, 2014: 31). Dalam bukunya Jurnalistik Daring: Panduan Praktis Mengelola Media Daring (2014), Romli menjelaskan karakteristik sekaligus keunggulan media daring dibandingkan media konvensional (cetak/elektronik) yang identik dengan karakteristik jurnalistik daring. Karakteristik-karakteristik tersebut antara lain; Multimedia (dapat memuat atau menyajikan berita/informasi dalam bentuk teks, audio,video, grafis, dan gambar secara bersamaan), Aktualitas (berisi info aktual karena kemudahan dan kecepatan penyajian); Cepat (begitu diposting atau diunggah, langsung bisa diakses semua orang); Update (pembaruan informasi dapat dilakukan dengan cepat baik dari sisi konten maupun

126 redaksional, misalnya kesalahan ketik/ejaan); Kapasitas luas (halaman web bisa menampung naskah sangat panjang); Fleksibilitas (pemuatan dan editing naskah bisa kapan saja dan dimana saja, juga jadwal terbit bisa kapan saja bisa, setiap saat); Luas (menjangkau seluruh dunia yang memiliki akses internet); Interaktif (dengan adanya fasilitas kolom komentar dan chat room); Terdokumentasi (informasi tersimpan di bank data/arsip dan dapat ditemukan melalui “link”, “artikel terkait”, dan fasilitas “cari”/search); dan Hyperlinked (terhubung dengan sumber lain/links yang berkaitandengan informasi tersaji). Pun demikian, menurut Walter (1996:84), tidak adanya konteks fisik dalam komunikasi melalui new media ini tidak akan berakibat fatal atau bahkan mempengaruhi pembangunan kesan ketika seseorang berkomunikasi di internet. Hal itu dikarenakan dua hal, pertama, tanda verbal dimana ketika sesorang termotivasi untuk membentuk sebuah kesan dan membangun hubungan di dunia maya, maka komunikator memanfaatkan segala sistem yang tersedia dalam medium internet untuk meyampaikan pesan atau perasaannya. Kedua, yaitu memperpanjang waktu, yaitu pertukaran informasi sosial melalui CMC lebih lambat dari pada face to face, sehingga kesan-kesan yang terbentuk menjadi berkurang. Namun hal tersebut belum dapat membuktikan bahwa hubungan yang terjadi melalui CMC lebih lemah dan rapuh dari pada hubungan yang lebih banyak memakai tanda nonverbal. Dalam menjalin hubungan komunikasi daring melalui new media tersebut, seseorang berkomunikasi melampaui batas ruang dan waktu. Ketika seseorang berkomunikasi secara daring, kesulitan-kesulitan seperti tidak dapat bertatap muka secara langsung, kurang dapat mengekspresikan emosi dan perasaan kepada lawan bicara, dan hal-hal lain mengenai hambatan dalam jarak dan kedekatan merupakan hal yang utama, namun dapat

127 ditunda wujudnya. Tetapi dalam komunikasi daring yang dilakukan jarak jauh seperti antar kota atau antar pulau, antar negara, bahkan antar benua, dapat menghemat biaya dan waktu yang dikeluarkan. Marc Smith (dalam Nasrullah 2014:80) menguraikan beberapa aspek dalam komunikasi di dunia cyber: 1) Komunikasi atau interaksi di dunia cyber tidak mensyaratkan keberadaan dan kesamaan antara pengguna (aspatial) media cyber selama fungsi interaksi melalui media cyber itu masih ada. Artinya, interaksi tidak harus terjadi dalam waktu yang sama, pengirim dan penerima pesan tidak harus berada di lokasi yang sama seperti yang terjadi pada komunikasi dua arah, baik komunikasi tatap muka atau melalui media telepon; 2) Di media cyber interaksi bisa dikondisikan. Komunikasi bisa terjadi dalam kondisi ruang dan waktu yang sama (synchronous) dan bisa juga berbeda (asynchronous); 3) Interaksi dalam dunia cyber pada kenyataannya terjadi melalui medium teks. Teks dalam bentuknya yang beragam dan juga melibatkan simbol (icons) menjadi medium yang digunakan dalam berkomuniksi. Di dunia cyber, ekspresi dan intonasi yang dilakukan pada komunikasi tatap muka diwakili oleh teks (the didactic expressions); 4) Interaksi yang terjadi tidak mengharuskan adanya kesamaan seperti status atau tingkat pengetahuan (astigmatic). Komunikasi teks di dunia cyber tidak juga melibatkan visualisasi para penggunanya sebagaimana di dunia nyata. Status sosial, pangkat, jabatan, dan sebagainya yang membuat stratifikasi dalam dunia nyata tidak berlaku di dunia cyber. New media pula yang saat ini menjadi salah satu opsi dalam penyebarluasan aktivitas da’wah (aktivitas komunikasi massa Islami berupa ceramah dalam seruan dari penceramah kepada komunikan) di Indonesia. Bahkan kecenderungannya, opsi tersebut kian hari kian meluas, massif, pilihan utama, sekaligus

128 berdampak luas dalam kehidupan ummat Islam khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Sekalipun antara komunikator dengan komunikan tidak saling mengenal, antara da’i (penceramah) dengan mad’u (komunikan/audiens) tak saling kenal dan berada dalam ruang dan waktu serupa, namun prinsip CMC yang terjadi di dalamnya, telah mampu menghadirkan aspatial; Fungsi interaksi tetap ada dan terjalin sekalipun tidak tercukupi syarat keberadaan dan kesamaan antara da’i dengan mad’u. Secara simultan, new media pun memungkinkan terjadinya astigmatic atau interaksi terjadi tidak mengharuskan adanya kesamaan status atau tingkat pengetahuan. Juga, tidak mensyaratkan adanya visualisasi langsung sebagaimana terjadi dalam da’wah konvensional. Hal menarik lainnya adalah bahwa interaksi pun bahkan bisa dilakukan dalam ruang dan waktu yang berbeda (asynchronous), yakni audiens bisa tetap memberikan respon pada konten da’wah yang sebenarnya sudah berlangsung. New media juga salah satu opsi diseminasi subtansi ajaran Islam. Baik dari sisi ketundukan penganutnya pada agama yang paling diridhoi-Nya (Qur’an Surat/QS Ali Imran:19), dari sisi kelengkapan segala urusan kehidupan (QS. Al-Baqarah: 208), dari sisi penyampaian informasi yang diperlukan dalam hidup (QS. Al- Maidah:3), dari sisi fungsi cahaya kehidupan (QS. Asy- Syu’ara:52-52), hingga landasan asal-tugas-tujuan hidup manusia (Ad-Dzariyat: 56 dan Al-Jatsiyah: 15). Prakteknya, praktek new media Islami di Indonesia ini belum sepenuhnya berjalan baik. Hal ini antara lain terlihat dari mayoritas new media yang diblokir pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informatika/Depkominfo pada 2016 lalu justru berasal dari media daring dengan konten Islam. Dipublikasikan Depkominfo, pada November 2016, pemblokiran laman yang dinilai menyebarkan kebencian dan radikalisme kala

129 itu antara lain dilakukan pada lemahirengmedia.com, portalpiyungan.com, suara-islam.com, beritaislam24h.com, bersatupos.com, pos-metro.com, jurnalmuslim.com, dan media- nkri.net. New media Islami, terutama pada platform CMC jejaring sosial dan pesan instan, malah kerap memunculkan wajah Islam yang tidak ramah, keras, kasar, tidak sejuk, sekaligus malah menjadi salah satu pemicu fragmentasi di masyarakat. Hal ini membuat pesan damai dan selamat dari konten ajaran Islam, yang disampaikan dalam belasan metode penyampaian pesan komunikasi Islam, menjadi tidak sampai dan sangat mungkin memunculkan antipasti. Dalam posisi demikian, dalam riset peneliti, muncul da’i muda di Indonesia yang mampu menyampaikan wajah Islam yang damai, teduh, ramah, padat ilmu, dan inten ber-da’wah dalam new media --terutama Facebook dan Youtube. Keduanya adalah Ustadz Abdul Somad (UAS), 40 tahun, dari Pekanbaru, Provinsi Riau, serta Ustad Adi Hidayat (UAH), 32 tahun, dari Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Keduanya mampu menyedot atensi warganet/netizen dan atau masyarakat Indonesia, yang antara lain terlihat dalam data penghitung performa media sosial dari pihak independen, www.socialblade.com. Hingga 19 September 2017, laman tersebut melansir channel Youtube yang biasa digunakan UAS, yakni Tafaqquh Online, sudah ditonton total akumulasi 16. 324. 898 kali dari 846 video ceramah UAS yang diunggah. Sementara channel Youtube yang biasa digunakan UAH, yakni Akhyar TV, sudah ditonton 777.368 kali hanya dari 33 video yang digunakan. Pada fanspage Facebook di tanggal serupa, UAS memiliki 381.015 untuk akun yang biasa digunakannya, @UstadzAbdulSomad sedangkan UAH memiliki 71.542 untuk

130 akun yang biasa digunakannya, @akhyartv. Demikian pula Instagram UAS dengan 319.893 follower, sementara UAH tidak menggunkan media sosial berbagai foto/video tersebut. Merujuk data angka tersebut, keduanya praktis mampu menjadi duta wajah Islam yang ramah, merangkul banyak lapisan, sekaligus diminati masyarakat Indonesia, khususnya warganet. Dengan kemasan yang menarik, tidak monoton, sekaligus menyebarkan nilai kebaikan ajaran Islam, terbangun opini sekaligus citra Islam yang baik sekaligus mengikis wajah keras dan radikal seperti dalam berbagai contoh new media sebelumnya. Karena itu, UAS dan UAH dengan pola komunikasi massa Islami yang dilakukannya di media baru tersebut efektif menerapkan cyber public relations Cyber Public Relations –-yang menurut Onggo (2004: 1) adalah inisiatif public relations (PR) yang menggunakan media internet/CMC sebagai sarana publisitasnya. Dalam Media Public Relations, Dasrun Hidayat memberi istilah cyber public relations dengan PR Digital, yakni cara kerja public relations yang menuntut kepiawaian menggunakan teknologi sebagai cara menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi yang serba canggih (2014: 95). Sama seperti kegiatan PR konvensional, mereka yang melakukan aktivitas PR Digital bertujuan menumbuhkan, memupuk, dan membangun hubungan antar para pihak. Dari sisi dampak, berkat fasilitasi TIK di dalamnya, PR digital memiliki jangkauan lebih cepat dan luas sehingga dampaknya pun cepat dirasakan jika dibandingkan aktivitas konvensional. Menurut Elvinaro Ardianto, situasi itu bisa tercipta karena teknologi telah mengubah pola komunikasi PR sebelumnya yang konvensional, seperti dari atas ke bawah, dan horisontal, menjadi pola yang lebih aktual setelah lahirnya internet (2002: 91).

131

Dalam penelitian kali ini, peneliti tertarik mengupas dua pertanyaan: Apa motivasi da’wah sekaligus penggunaan intensif CMC dan new media dari kedua obyek penelitian? Bagaimanakah optimalisasi digital public relations serta pola komunikasi massa yang dilakukan UAS dan UAS saat ber-da’wah melalui new media, sehingga bukan hanya diikuti banyak netizen, namun keduanya kini kerap disebut representasi citra Islam yang damai dan ramah?

METODE PENELITIAN Dalam metode penelitian, peneliti menetapkan desain penelitian kualitatif deskriptif dengan orientasi teoritis fenomenologi (gejala), terutama riset motivasi pendekatan non- disguised non-structure techniques. Penelitian bermaksud mencari jawaban tentang tingkah laku atau prilaku manusia, terutama kepada dua penceramah muda tersebut, dalam kebiasaan-kebiasaan mereka berceramah dengan menggunakan medium internet. Riset motivasi pendekatan non-disguised structure techniques juga berarti peneliti berusaha alasan-alasan obyek penelitian melakukan tindakan tertentu, khususnya da’wah di new media, dengan daftar pertanyaan tidak ditentukan sebelumnya dengan tujuan penelitian diungkapkan. Di lain pihak, dalam perpektif studi agama, orientasi teoritis fenomenologi tersebut dilakukan guna mencari jawaban atas gejala yang terpisah maupun satu kesatuan manusia, sehingga agama dapat dianggap sebagai jawaban yang melekat pada eksistensi manusia itu sendiri (Hidayatullah, 2011:98). Metode ini kualitatif deskriptif dengan orientasi teoritis fenomenologi (gejala) ini juga dipilih peneliti karena menjadi prosedur penelitian yang mampu menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati (Taylor, 1989:3). Metode ini sendiri berkaitan erat sifat unik dari realitas sosial dan dunia tingkah laku manusia

132 itu sendiri. Keunikannya bersumber dari hakikat manusia sebagai makhluk psikis, sosial, dan budaya yang mengaitkan makna dan interprestasi dalam bersikap dan bertingkah laku. Makna dan interprestasi itu sendiri dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan budaya. Kompleks sistem makna tersebut secara konstan digunakan seseorang dalam mengorganisasikan segenap sikap dan tingkah lakunya sehari-hari. (Faisal, 1990: 2) Dalam proses penelitian kualitatif ini, ada beberapa karakteristik yang dapat dirangkum dalam beberapa hal berikut ini: 1) Penelitian sebagai instrument penelitian. Peneliti adalah key instrument atau alat peneliti utama. Dialah yang memiliki otoritas untuk mengadakan sendiri pengamatan atau wawancara tak berstruktur. Atas dasar ini, hanya manusia sebagai instrumen yang dapat memahami makna interaksi antarmanusia, membaca gerak muka, menyelami perasaan dan nilai yang terkandung dalam ucapan dan perbuatan responden; 2) Mencari makna di belakang kelakuan dan perbuatan, sehingga dapat memahami kelakuan manusia dalam konteks yang lebih luas dan holistik, yang dipandang dari kerangka pemikiran dan perasaan responden; 3) Menonjolkan rincian kontekstual. Penelitian berupaya mengumpulkan dan mencatat data secara terperinci mengenai hal-hal yang bertalian dengan permasalahan yang sedang diteliti, misalnya mengenai respon like atau komentar saat ceramah dilakukan dengan metode Facebook Live dan atau Insta Story. Data tidak dipandang terpisah sendiri- sendiri, tetapi saling berkaitan dan merupakan suatu keseluruhan atau struktur; 4) Triangulasi. Data atau informasi dari satu pihak dicek kebenarannya dengan cara menguji keakuratan data tersebut dengan sumber lain yang setaraf dengan cara membandingkan data yang satu dengan yang lainnya, misalnya, dari pihak kedua, ketiga dan seterusnya dengan menggunakan metode yang berbeda. Tujuannya membandingkan informasi tentang hal yang sama yang diperoleh dari berbagai pihak, agar ada jaminan tingkat

133 kepercayaan terhadap data yang diajukan. Penggunaan metode ini memungkinkan terhindarnya aspek-aspek subjektivitas; 5) Mengutamakan perspektif emik. Artinya mementiingkan pandangan responden, yaitu bagaimana ia memandang dan menafsirkan dunia dari segi pendiriannya. Peneliti tidak memaksakan pandangan sendiri. Dengan kata lain, peneliti memasuki wilayah penelitian tanpa generalisasi, seakan-akan tidak mengetahui sedikit pun, sehingga dapat menaruh perhatian penuh terhadap konsep-konsep yang dianut partisipan; 6) Sampling yang purposive. Metodologi kualitatif tidak menggunakan sampling random dan tidak menggunakan populasi dan sampel yang banyak. Sampel yang digunakan biasanya sedikit dan dipilih menurut tujuan penelitian. Penelitian kualitatif sering berupa studi kasus multikasus; 7) Mengadakan analisis dari awal sampai akhir penelitian. Analisis dengan sendirinya timbul apabila seseorang bermaksud menafsirkan data yang diperolehnya. Sebenarnya, semua data atau semua deskripsi itu mengandung tafsiran. Namun, diadakan pembedaan antara data deskriptif dan data analisis atau tafsiran. Tujuan penelitian kualitatif bukanlah untuk menguji sebuah hipotesis atas dasar teori tertentu, melainkan untuk menemukan pola-pola yang mungkin dapat dikembangkan menjadi teori. Teori ini lambat laun mendapat bentuk tertentu berdasarkan analisis data yang kian bertambah selama berlangsungnya penelitian. Karenanya, yang ingin dicapai ialah teori grounded, yakni teori yang dilandaskan atas data. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi dan wawancara mendalam. Observasi dilakukan untuk mengumpulkan informasi berkenaan dengan upacara-upacara ritual, perilaku keagamaan, dan interaksi antar sesama penganut tarekat, atau antara penganut tarekat dengan orang yang bukan penganut tarekat. Dari setiap observasi, peneliti

134 menggali dan mengamati cultural meaning (makna budaya/nilai dalam peristiwa). Hal ini akan berhasil apabila peneliti mampu mengaitkan antara informasi yang diterima dengan konteks. Karena makna budaya dari suatu tindakan dapat diperoleh dari kaitan antara informasi dengan konteksnya. Wawancara mendalam ditujukan untuk menggali informasi lebih dalam mengenai pikiran serta perasaan responden dan untuk mengetahui lebih jauh bagaimana responden memandang dunia berdasarkan perspektifnya, atau pencairan informasi secara emic. Informasi emic ini diolah, ditafsirkan, dan dianalisi oleh peneliti sehingga melahirkan etic pandangan peneliti tentang data. Wawancara dilakukan dalam bentuk percakapan informasi dengan menggunakan lembaran berisi garis-garis besar tentang apa-apa yang akan ditanyakan, yaitu: 1) Pengalaman responden saat memberikan ceramah di new media; 2) Pendapat dan pandangan responden saat memberikan ceramah di new media.

HASIL DAN PEMBAHASAN Observasi kepada obyek penelitian secara intensif dilakukan peneliti selama bulan Ramadhan 1438 Hijriah, atau 25 Mei 2017 hingga 25 Juni 2017, dengan memantau fanspage Facebook dan saluran Youtube yang biasa digunakan Ustads Abdul Somad (UAS) dan Ustadz Adi Hidayat (UAH). Sementara wawancara mendalam dilakukan peneliti terhadap UAS pada Jumat siang, 14 Juli 2017, melalui saluran telepon serta kegiatan serupa terhadap UAH pada Ahad, 23 Juli 2017, secara tatap muka langsung selepas UAS ber-da’wah di Mesjid Arrahman, Kota Baru Parahyangan (KBP), Kab. Bandung Barat, Jawa Barat. Untuk pertanyaan pertama, apa motivasi da’wah sekaligus penggunaan intensif CMC dan new media dari kedua obyek penelitian, dihasilkan jawaban yang hampir sama dari keduanya.

135

UAS sebagai obyek pertama menyebutkan bahwa penggunaan new media sekaligus motivasinya menjadi da’i bersumber dari QS. Ali Imran 110 yang menyebutkan, “Ummat Islam adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia guna menyuruh kepada yang kebaikan, melarang yang buruk, serta beriman kepada Allah Swt.” Karenanya, bagi UAS, relatif tidak ada sesuatu yang benar-benar baru. 11 Selain mengamalkan ayat Al-Quran, dirinya juga mengaku intens menggunakan CMC dan new media karena kewajiban menyampaikan kebenaran dan mencegah kemunkaran ini adalah manunggal, satu kesatuan bagi setiap muslim di manapun. Secara spesifik, obyek pertama merujuk pendapat ulama besar Mesir, yakni Syeikh Umar Tilmisani, bahwa nahnu du’at qobla kulli sya'in (kita adalah da’i/penyeru kebaikan sebelum jadi apapun). Dari sisi praktek, CMC dan new media juga dinilainya memiliki kemiripan dengan praktek mencari ilmu yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, Sahabat Nabi, dan ulama besar tempo dulu. Yakni kerap menghimpun sekaligus mengkomparasikan berbagai sumber ilmu sebelum mengambil sebuah penilaian atas ilmu --seperti dahulu kerap dilakukan ulama besar sekaliber Imam Syafi'i dan Imam Nawawi. 12 Awal mula penggunaan new media, khususnya Youtube, bermula saat UAS memperoleh jadwal ceramah rutin di Mesjid Raya An-Nur, Pekanbaru, manakala mentornya yakni Dr. Mustafa

11 "Tidak ada hal baru (dalam ceramah saya), hanya melanjutkan perintah Allah Swt dan Rasul SAW. Bahwa kita ummat terbaik, yang diperintahkan untuk mengajak pada kebaikan dan mencegah kemunkaran. Sekalipun kita semua bermunajat, berdoa rame-rame, namun jika tak amar ma'ruf nahi munkar, maka doa takkan dikabulkan," kata UAS saat awal diwawancara peneliti. 12 "Masyarakat sekarang melihat ceramah yang putih, hitam, abu, ini sama dulu himpun banyak ayat sebelum tentukan dalil. Maka masyarakat pun akan lihat video yang satu dengan lainnya, Insya Allah ummat makin cerdas," sambung UAS, saat ditanya peneliti soal motivasi intensif penggunaan CMC dan new media.

136

Umar memiliki jadwal isi ceramah di Pekanbaru dua pekan serta dua pekan berikutnya di Malaysia. Obyek pertama penelitian ini diwariskan kebiasaan Dr. Mustafa Umar yang selalu mendokumentasikan ceramah tafsir Qur'an-nya di mesjid tersebut sejak awal. Seniornya itu berpikiran ke depan: Ingin membuat tafsir Al-Qur'an berbentuk video. Karenanya, ketika UAS menggantikan jadwal, rekaman pun terjadi jauh sebelum memuncaknya kanal media sosial (Youtube, Facebook, dan Instagram) seperti pada saat ini. Jadi, ini tidak dibuat dikhususkan untuk kondisi sekarang karena banyak bahan sudah banyak tersedia sekalipun viralitas konten baru terjadi beberapa saat terakhir. Menurutnya, dakwah ini tidak persis ditujukan untuk netizen, apalagi misalnya untuk generasi milenial yang pelaku aktif CMC sekaligus pengguna berat media sosial. Namun, ini kian membuktikan validnya ayat Qur'an, tentang hadirnya ajaran Islam (melalui para nabi dan rasul) dengan bahasa kaumnya sehingga dapat menjelaskan dengan baik kepada kaum tersebut seperti tertera dalam Surat Ibrahim ayat 4: Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.

Bahasa kaum di Indonesia, sambung UAS, yang efektif sekarang melalui media sosial, khususnya yang berbasis video seperti Youtube dan Facebook. Karena sejalan dengan Al-Qur’an, hasilnya pun sangat produktif karena di mata UAS, saat ini betapa banyak santri tanpa pesantren di sekitar kita, atau orang yang

137 dulunya malas ke mesjid, akhirnya tergugah shalat di mesjid setelah melihat video da’wah UAS. Sementara itu, obyek penelitian kedua yakni UAH menyebutkan, motivasi utamanya ber-da’wah semata karena mencari keridhoan Allah Swt.13 Khususnya dalam menunaikan apa yang dijanjikan-Nya, yakni siapa yang mengajar semata-mata karena Allah Swt, maka akan diberikan anugerah ilmu pengetahuan, sebagai berikut “……….Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah, 282). Di sisi lain, UAS justru tak memiliki motivasi penggunaan CMC dan media sosial dari awal. Tak pernah sekalipun sengaja mendesain dari awal agar eksis di hadapan warganet. Sekalipun kini videonya di Youtube secara akumulatif berkisar 3.000 buah, tak ada yang khusus dibuatnya sejak pertama mengisi kajian-kajian sekembalinya dari kuliah sarjana Islam di Islamic Call College Tripoli, Libya. Menurutnya, jangankan bermain Youtube, menggunakan akun personalnya sebatas di Facebook pun relatif jarang. Malah jadi terkaget-kaget karena pas berselancar di FB dan Instagram belakangan, banyak yang gunakan namanya lengkap dengan gelar dan aneka julukan. Kalaupun kini menjadi eksis, itu awalnya karena ada jama'ah yang merekam dan merasa kajiannya sangat bagus. Lalu minta izin untuk diunggah, dan kemudian banyak yang suka. Perpaduan niat mengajar semata ridho-Nya dan motivasi tak mendesain konten internet dari awal, menurut UAS, membuat

13 "Semuanya saya lakukan semata untuk mencari ridho Allah Swt. Saya ingin diri saya diridhoi, ummat diridhoi, bahkan negara pun klo diridhoi, sudah pasti tercapai baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur (negara yang baik dengan Rabb yang Pengampun, red)," katanya.

138 dirinya justru terkaget dan heran apa betul dirinya yang mengisi da’wah tersebut. Banyak kemudahan saat menerangkan di depan audiens, banyak kelancaran menjelaskan yang kadang dirinya tak mengerti bisa berlaku demikian. Motivasi lain saat da’wah menggunakan CMC dan new media adalah dirinya terbiasa menceritakan sebuah konten hingga tuntas. Tak mau ada celah kajian yang malah membuat masyarakat bingung. Maka itu, komprehensifitas adalah implementasi dari pola kajiannya. UAS mengaku ingin utuhkan seluruhnya saat ceramah, menurunkan seluruh dasar kajian hukum supaya sinergis, sekaligus menjaga agar kajian tidak melebar. Selanjutnya, untuk pertanyaan kedua: Bagaimanakah optimalisasi digital public relations serta pola komunikasi massa yang dilakukan UAS dan UAS saat ber-da’wah melalui new media, sehingga bukan hanya diikuti banyak netizen, namun keduanya kini kerap disebut representasi citra Islam yang damai dan ramah? Bagi UAH, alumni S1 Al-Azhar, Mesir serta S2 Dar Al- Hadits Al-Hassania Institute, Kerajaan Maroko tersebut, optimalisasi digital public relations dilakukan pembobotan materi. Apabila seniornya sesama lulusan Al-Azhar di Pekanbaru, Dr. Mustafa Umar, LC, MA, yang fokus membahas tafsir Al-Quran, terutama dari Tafsir Al-Ma'rifat, maka dirinya yang lulusan sekolah hadist utama di dunia tersebut, menjadikan hadist sebagai fokus subtansi da’wahnya. Strategi lain yang dilakukan adalah memberikan bobot konten dakwah kepada masyarakat maupun warganet yang disebutnya abu-abu dalam bersikap, atau mereka yang relatif masih meragu karena tidak pro sekaligus juga tidak kontra. Golongan yang abu-abu ini harus dicerdaskan dengan penjelasan komprehensif, sehingga tujuan akhir mengajak kebaikan dan mencegah kemunkaran melalui da’wah tetap terjaga.

139

Sebagai catatan, optimalisasi dan pola tersebut, porsinya jangan berlebihan. 14 Adapun untuk pola komunikasi, obyek penelitian pertama dengan jujur mengakui bahwa gaya tersebut berjalan natural. Tak dibuat-dibuat, tak pula menyamakan dengan seseorang, atau merujuk sejumlah video ustadz lainnya yang kerap dilihatnya, seperti Buya Yahya, Ustadz Idrus Romli, dan Ustadz Adi Hidayat. Bahkan, UAS tak pernah secara khusus belajar komunikasi massa Islami (da’wah). Saat kuliah di Mesir sejak 1998 lalu, sama sekali tak pernah ceramah.15 Gaya da’wah tak satupun yang ditirunya, namun gaya orasi ini diakuinya ada wasilah tetesan genetik dari kakeknya, Datuk Zakaria. Di kampung mesjid, hingga akhir hayatnya, kakek-nya konsisten menjadi khatib Shalat Jum'at di sela tugas keseharian sebagai petugas pencatat pernikahan. Lain halnya dengan UAH. Optimalisasi digital public relations dilakukan dengan membuat kru Akhyar.tv sejak November 2016, yang tugasnya mengikuti sekaligus menyiarkan langsung (streaming) kajian UAS melalui akun fanspage Facebook dan Youtube. Mad’u baik di dalam negeri maupun luar negeri bisa menontonya, sehingga dari semula tak menggarap sisi relasi publik tersebut, sejak akhir tahun memiliki kru sendiri yang berisikan sedikitnya lima orang videografer, editor, hingga tim teknis

14 "Begini, da’wah itu identiknya di mimbar, hanya ceramah. Identiknya juga amar ma'ruf, mengajak shalat saja. Namun jika ada kebathilan dilekatkan pada kita, maka menyingkap kebathilan itu adalah da’wah. Singkaplah dengan klarifikasi, dengan tabayyun, karena ketika orang benar namun diam saja, maka pihak yang bathil justru merasa benar," jelasnya, tegas. 15 "Waktu S2 di Maroko, sesekali saja mengisi ceramah dan khutbah Jum'at di KBRI. Begitu pulang ke Indonesia tahun 2008, di Pekanbaru, kita berguru [cara da’wah] kepada Ustadz Dr. Mustafa Umar, LC, MA, dan Ustadz Mawardi M. Saleh," katanya.

140 penyiaran. Hal ini dianggapnya penting terutama ketika tidak digarap sendiri digital public relations tersebut, maka video da’wah malah kerap dibenturkan, dibingkai tak pas, bahkan jadi sumber konflik dengan sesama penceramah. Di saat bersamaan, tak ada saluran komunikasi di antara mereka, sehingga mengesankan Islam yang retak dan terpecah belah. 16 Sementara dari pola komunikasi, sambung UAH, metode yang dilakukan adalah memaparkan skema sajian skematis penuh argumentatif. Ini pun disertai dengan pembahasan di papan tulis, sehingga budaya literasi sesungguhnya sedang kuat terjadi. Dalam belajar, sistematika itu dinilainya sangat penting. Bagaimana seorang da’i memahamkan mad’u, maka sajikan dengan jelas dan argumentatif. Jadi, berikan dasar yang baik, sehingga jamaah bisa amalkan dan bahkan menjawab ketika hal tersebut disoal. Selain itu, cara mengajar semacam itu merupakan bagian dari memastikan agar fokus audiens tidak keliru. Mereka tak salah memahami, karena faktanya tidak sedikit salah menyimpulkan setelah selesai belajar. Hal ini terjadi karena diawali kesulitan mengikuti materinya yang padat, sehingga ungkapan 'Hati-hati, pelan-pelan' selalu disampaikan olehnya. Bagi UAH, belajar materi umum saja bisa keliru, apalagi belajar agama. Maka, proses memokuskan menjadi titik tekannya. Termasuk kebiasannya menceritakan detil persis lokasi ayat Al- Qur’an saat berceramah. 17

16 "Agar luruskan lebih utuh, sekaligus memberi keteladan ke televisi lain, bahwa bisa kita bikin televisi dengan tujuan da’wah. Biayanya tak begitu mahal, tapi kru dekat dengan Allah SWT karena mereka menjaga shalatnya dan menjaga diri dari maksiat," katanya.

17 "Saya bukan ingin show off. Itu biar yang sedang belajar tidak cari-cari dimana ayat Qur'an setelah saya sebutkan, biar mereka tak kehilangan fokus cari lokasi karena bisa cepat buka dan temukan. Di momen tertentu, saya tak sebutkan lokasi persisnya,” jelasnya.

141

Dengan strategi tersebut, kajiannya cenderung selalu menyedot atensi. Dicontohkannya, di Way Halim, sebuah kecamatan di Lampung, yang awal mula da’wah-nya hanya dihadiri 40 orang. Setelah orang tahu cara kajiannya yang sistematis tadi, maka meningkat ratusan orang padahal kapasitas mesjid tak memadai. Setelah direnovasi hingga menampung 4.000 jama’ah, ternyata tetap saja tidak cukup menampung atensi. Hal ini yang membuat sudah 60 hingga 80 jadwal pengajian telah tercatatkan untuk tahun 2018. Di sisa enam bulan penghujung tahun ini, terutama mulai Kamis hingga Ahad, sulit berharap memperoleh jadwal pengajian dadakan dari UAH. Di sisi lain, jadwal ceramah UAS sendiri pun sudah padat terjadwalkan hingga 1 Syawal 1439 Hijriah mendatang.

SIMPULAN Dari dua perumusan masalah dalam latar belakang penulis, maka bisa dirangkum jawaban dari pembahasan sebagai berikut: Motivasi da’wah kedua obyek penelitian hampir sama yakni menyeru kepada yang kebaikan serta melarang kemunkaran sebagai bentuk iman sekaligus mencari ridho dan anugerah Allah Swt. Baik UAH dan UAS, dengan merujuk Al-Quran dan Hadist, menegaskan da’wah sebagai kewajiban yang satu kesatuan bagi setiap muslim di manapun. Adapun motivasi penggunaan intensif CMC dan new media dari kedua obyek penelitian relatif berbeda. Sebab, UAS masuk ke lingkungan yang memang mendesain dari awal merekam dalam bentuk seluruh ceramah guna membuat tafsir Al-Qur'an berbentuk video. Sementara UAH justru tak memiliki motivasi penggunaan CMC dan media sosial dari awal namun ada mad’u yang merekam dan merasa kajiannya sangat bagus lalu minta izin untuk diunggah dan kemudian banyak yang suka.

142

Optimalisasi digital public relations kedua obyek penelitian yang membuat keduanya kerap disebut representasi citra Islam yang damai dan ramah hampir sama. Yakni adanya pembobotan materi dengan kemasan konten berkualitas untuk CMC dan new media, keduanya kini memiliki kru khusus yang bertugas merekam sekaligus streaming saat ceramah berlangsung. Sedangkan pola komunikasi, perbedaan terjadi karena UAS cenderung memilih gaya natural tanpa meniru siapapun (terlebih UAS tak pernah khusus belajar komunikasi massa Islami, bahkan saat kuliah di Mesir tak pernah ber-da’wah) sementara UAH memilih pola memaparkan skema sajian skematis penuh argumentatif dengan titik tekan memastikan agar fokus audiens tidak keliru. Atas hasil tersebut, maka peneliti menarik simpulan: Efektivitas pola komunikasi massa Islam dalam bentuk da’wah akan terjadi bahkan mengalir dengan sendirinya seiring niat lurus menyeru kebaikan serta melarang kemunkaran sebagai bentuk iman sekaligus mencari ridho dan anugerah Allah Swt. Efektivitas pola komunikasi massa Islam dalam bentuk da’wah akan terjadi manakala optimalisasi digital public relations dilakukan yakni dengan pembobotan materi sekaligus pengemasan konten berkualitas untuk CMC dan new media, sekaligus penerapan pola komunikasi yang merujuk pada gaya preferensi dan natural seorang da’i.

DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’anul Karim. Ardianto, Elvinaro. (2002). Dasar-Dasar Public Relations. Bandung: Remaja Rosda Karya. Biagi, S. (2005). Media/Impact: an introduction to mass media. California: H. J. Allen.

143

Danandjaja. (2011). Peranan Humas dalam Perusahaan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hefni, Harjani. (2015). Komunikasi Islam. Jakarta: Kencana Prenada. Hidayat, Dasrun. (2014). Media Public Relations. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hidayatullah, Syarif. (2011). Studi Agama. Yogyakarta: Tiara Wacana. Kahmad, Dadang. (2011). Metode Penelitian Agama. Bandung: Pustaka Setia. Nasrullah, Ruli. (2014). Teori dan Riset Media Siber (Cybermedia). Jakarta: Kencana Prenada Romli, Asep Syamsul. (2014). Jurnalistik Daring: Panduan Praktis Mengelola Media Daring. Bandung: Remaja Rosda Karya. Depok: Rajawali Press. Ruslan, Rosady. (2003). Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi. Sumirat, Soleh dan Elvinaro Ardianto. 2002. Dasar-Dasar Public Relations. Bandung: Remaja Rosda Karya. Abdurrahman, Muhammad Sufyan. (2017, Juli). Detik.com, dikutip dari: http://news.detik.com/read/2017/07/18/102759/3563958/ 471/mengenal-dakwah-digital-ustadz-abdul-somad- pekanbaru https://news.detik.com/opini-anda/3573499/berawal-dari-mimpi- bertemu-rasul-dakwah-adi-hidayat-sesak-atensi https://news.detik.com/opini/d-3580081/menjejali-ilmu-agama- penuh-sistematis

144

MEDIA RELATIONS IN INDONESIA: TORN BETWEEN PROFESSION AND PRACTICE

Riniwaty Makmur, Evi Novianti Universitas Padjadjaran [email protected]

INTRODUCTION Some studies (Rofiudin, 2011; Isni, 2012; Pramesti, 2014; Nurjanah et al., 2015) found that media relations in Indonesia is still inseparable from practice of giving/ taking incentives. This issue apparently can be traced back to the 1940s era. According to Atmakusumah, former chairman of the Indonesian Press Council, the practice of giving incentive in cash or valuable goods to journalists had been happening since 1940s (Rofiudin, 2011: 40). Aceng Abdullah (1999: 45) stated that at the end of 1960s, going to a press conference would mean as receiving a piece of envelope (containing money). As time evolved, the practice of giving/ taking incentives that were initially optional seemed to turn into an obligation (Abdullah, 1999: 45). In Indonesia, media relations issue also has to cope with the fact that many journalists struggle with the economic situation due to underpaid wages. Even in a number of cities, media companies were found hiring journalists with very low-wages (AJI Indonesia, 2011; Pramesti, 2014). On the other hand, there are many cases where practitioners need to confront their management, who don’t understand how the media works and who do not accept any negative news18. In the management’s perspective, practitioners should be able to "block" negative news, no matter

18 Based on researcher’s experience and observation working in public relations field.

145 where the news came out. Negative news, even in the yellow newspaper19 may rise into an emergency situations for management who has "thin ear” (highly reactive or not able to cope with any negative news). Another challenge for media relations practice in Indonesia is the existence of fake journalists, or known by many names e.g. bodrek journalist20, envelope journalism, bogus journalist, no news reporter, WTS (journalists without newspapers) (Arismunandar, 2007; Rofiudin, 2011; Isni, 2012; Pramesti, 2014), whom are all money motivated (even blackmail) to derive from the news source21. Indonesian Press Council acknowledged this phenomenon22. It cannot be denied that the phenomenon rose due to the power to expose held by the media, as well as practice of envelope that has been widely recognized in Indonesia. The interelated situations, i.e. journalists’ low welfare, practice of giving/ taking incentives and high pressure for practitioners in getting good publicity, may create the opportunity and open the door in accomodating the interest of certain parties by the media. The purpose of this study is to better understand the current state of the media relations in Indonesia related to practice of providing/taking incentives and journalist and media

19 Yellow newspaper or yellow press is a type of journalism that does not report much real news with facts. It uses shocking headlines that catch people's attention to sell more newspapers. Yellow journalism might include exaggerating facts or spreading rumors. 20 Bodrek, is the headache medicine brand in Indonesia popular in1970s with its advertising jargon "came, attacked, and won." The journalists without newspapers have been known to come in group to an event organized by the PR, to get an envelope (containing money). So, they "come," "attack (ask for money)," and "win (get money). 21 Interview with the informant and document review found at http://dokumen.tips/documents/kode-etik-jurnalistik-aji.html. 22 Interview with the chairman of Indonesian Press Council on November 28, 2016.

146 independence in delivering news. While many studies on media relations focus on only PR side or Journalist side; this study explored both journalists and practitioners’ perception on the issue. The research questions in this study can be formulated as follows: 1) What and how is incentives in media relations activities arranged and how is it perceived in view of ethical roles? 2) How would the practice of provision of incentives in media relations activities impact the independence of journalists and the media in terms of news production? 3) How would the personal relationship between PR practitioners and journalists affect the independence of journalists in terms of news writing? As such, the theory of social exchange and symbolic interactionism are employed in explaining the phenomenon.

RESEARCH METHOD This research is a qualitative study, which attempts to capture people’s own meanings for their everyday behavior in a specific context. Subjects of the research are 12 PR practitioners and journalists (reporters or editors), who were selected using purposive technique. The criterion for selecting informant was that they had more than two-year of experience in their profession. Informants with experience in both journalism and public relations would be an advantage. Informants consist of six journalists, starting from journalists, editors up to the chief editor in the print media, radio and television, and six public relations practitioners in the private and government institutions from staff, senior staff up to head of PR department. Four people among PR practitioners have worked as journalist/ editor in the print media in Jakarta and Surabaya. These informants are based in the capital city of Jakarta; Bandung, West ; Surabaya, East Java; Pekanbaru, Riau; and Balikpapan, East Kalimantan respectively. In this paper, the authors use pseudonyms to protect the identities of the subjects.

147

Primary and secondary data were collected from February thru May 2016, and November 2016. Data were collected through semi structured interviews by email to all subjects, and followed by another email or phone call or face to face conversation (for subjects in Jakarta) when explanation/ clarification were needed. Given the sensitivity of the issue, email was considered more appropriate in allowing informants to answer the questions freely without the presence of the authors. Informants were asked a series of open-ended questions about their interactions with their counterpart (journalist/ practitioner), including their experience about incentives giving/ taking practice. The data gathered were analyzed, and the theme and pattern were identified to construct a picture of media relations practice. Additionally, secondary data were collected from relevant documents, such as articles in newspapers. One of authors also conducted participative observation, by working in media relations field such as performing news pitching and media-PR gathering events, in Jakarta and Bandung, Sukabumi & Garut (West Java) on April 2015 – February 2016. Researchers also interviewed Chairman of Indonesian Press Council and Chairman of Perhumas (Indonesian PR Association) to get more insights.

RESULT AND DISCUSSION The result provides useful and somewhat unexpected insights into the practice of media relations as described through the experience of both practitioners and journalists, and also Indonesian Press Council and Perhumas (Indonesian PR Associations). The practice of incentives giving/taking is consistent with previous researches; however the extensive type and amount revealed the fact that the practice involved a significant cost on the PR practitioners’ side. The type of incentives varies, and can be seen on Table 1.

148

Tabel Type of Incentives in Media Relations Practice

1. Money (Envelope) for attending events 2. Honor for interview 3. The Eid al-Fitr23 holiday bonus (THR) 4. Per diem for out of town/ overseas trip 5. Transport allowance for out of town trip 6. Transport allowance for overseas trip 7. Flight ticket 8. Taxi allowance in town 9. Transportation mode (vehicles) 10. Hotel accommodation 11. Souvenir (worth thousand up to million rupiah) 12. Entertainment (karaoke, team building, etc.) 13. Umrah24 (Unoffical Pilgrimage) 14. Dining

Source: interview

In general, all PR practitioners are on the same page about the practice of giving incentives in regard to media relations. They refer to the usual practice, and consider it as appropriate and common because for example, they are the organizer of a particular event. From PR practitioners’ point of view, they need those

23 Eid al-Fitr is an important religious holiday celebrated by Muslims worldwide that marks the end of Ramadan, the Islamic holy month of fasting (sawm) (https://en.wikipedia.org/wiki/Eid_al-Fitr). 24 The ʿUmrah is a pilgrimage to Mecca, Saudi Arabia, performed by Muslims that can be undertaken at any time of the year, in contrast to the Hajj (https://en.wikipedia.org/wiki/Umrah).

149 journalists to attend their event, and in return they provide envelope and or valuable goods, which relevant to social exchange argument that people try to predict the outcome of an interaction before it takes place (Griffin, 2012: 117). On the other hand, most journalists assume they deserve incentives to compensate their time to attend the event as implied in cost-reward concept in social exchange theory (Infante, Rancer and Womack, 1993: 297). Those PR practitioners and journalists, consciously or not, take incentives as one of benefits/exchanges in their interaction. This is considered as unfortunate because as social exchange theory implies, benefit can be offset by the news/ information feed or loyalty associated with a practitioner-journalist relationship (social rewards) and not necessarily by incentives (financial rewards) (Infante, Rancer and Womack, 1993: 297). Nevertheless, the under-average income received by most journalists inevitably cannot be denied as one of drivers of this situation. As one of journalists said, “I feel bad, but during the end of the month, I just take the envelope.” By the end of the month most employees usually start running out of money and any additional income would mean a lot. The research found out that not all media have clear policy in this matter. Some media companies prohibit their journalists from receiving any kind of incentives, but they are usually a very established media and their number is very limited. Some media do not regulate about whether their journalist may or may not receive any incentive. In this case, culture in the media, personal values of Editors, individual journalist’s personal values and values attached to the journalist organization where the journalist belongs, serve as code of ethics for a particular journalist (Shoemaker & Reese, 1996: 95), and will very much determine the judgment about incentives in media relations practice in the certain media organization.

150

Some individual journalists are strongly against this practice, some other accepts the incentives with cautions, and the rest just take what is provided. Many times it becomes a personal moral judgement for journalists. Journalist who is against this practice believes that giving incentive to journalists is PR’s way to influence media independency, hence it is not ethical. This is how a certain journalist defining the situation; as told by Mead (Mulyana, 2012:114) in interactionism symbolic theory, when facing a particular situation, our responses are not mechanical, or determined by outer forces; they depend on how we define the situation we are facing. On another hand, media independency is considered as undisturbed by the practice of incentives as it is secured by hierarchy within the media organization system. Indonesian Press Council supports this statement that independency is not necessarily compromised when journalists receive incentives. “It very much depends on personal values,” said the Chairman of the council25. Independency may mean media independency or journalist independency as individual. Media independency as institution (except for yellow press or media that operates deviating from the journalism code of ethics) will likely continue to exist despite media relations practices which are heavily laden with incentives. This is caused by; first, media has hierarchical system in determining how news worthy a story is, including editorial meeting. Thus, a decision on whether or not a story will be published is not made by a particular person, but is discussed during editorial meeting. Secondly, if a media company does not publish a certain story, it is possible that other media company will publish it. When that happens, especially if the story has a high news value, the former media company is regarded as

25 During an interview on November 28, 2016.

151

“beaten”. Thus, referring to Picture 1, it can be inferred that the outer circle has bigger “authority” in determining content of a story.

Picture Simple illustration on media hierarchy

Source: interview

However, judging from the above circle, media owner as the most powerful party might influence the news production (Kurniadi, 2013:139). At the individual level, intervention toward news production is likely to happen as well. “The level of influence will be aligned with the amount received in the envelope by particular journalist,” said one informant. Shoemaker & Reese (1996: 102) stated that whether communication workers can be influenced in producing media content or not, depends on their characteristic, personal and professional background, personal attitudes, and professional roles. In his study, Rofiuddin (2011: 62) stated that many journalists think that they are able to stay neutral and objective even though they receive envelope. Nevertheless,

152 according to Kovach and Rosenstiel (as cited in Rofiuddin, 2011: 62) independence is mostly about moral and mind. How can journalists be independent if they have received something from news sources? It seems clear that the way in which journalists define their jobs will affect the content they produce. Journalists who see themselves as neutral should write very different accounts of an event than those who see themselves as interpreters/ participants (Shoemaker & Reese, 1996: 101). PR practitioners interpret that the incentive giving practices is not to intervening news production, but they did not deny that it would support relationship building, which is in line with social exchange theory assumption. Social exchange theory assumes a balance (material, affective, and social) in interpersonal communication (Roloff, 1981; in Infante, Rancer and Womack, 1993: 297). Chairman of Indonesian PR Association also admitted that incentive giving is a mean to build good relationship with journalists. PR practitioners perceive that personal relations with journalist would provide leverage in getting opportunity to clarify/ explain or even revoke news to be published, especially one with negative tone. According to practitioners, this is one of the goals they want to achieve in conducting media relations activities, which also similar to assumptions in social exchange theory ((Infante, Rancer and Womack, 1993: 298; Griffin, 2012: 117). On the other hand, journalists consider personal relations as a way to get first hand information from practitioners, but at the same time drawing clear line between personal relations and their work. It seems that PR practitioners expect to gain influence from personal relationship to the news. This is similar to the findings in a study conducted by Shin & Cameron (2002), that PR practitioners perceive a greater influence of informal relation on the news than journalists. The “unbalance” expectation between PR practitioners

153 and journalists may also seem as a reflection of what Macnamara (2015: 5) described as a discourse of denial among journalists about using or being influenced by PR outputs, commonly referred to as “information subsidies“ (Gandy, 1982 as cited in Macnamara, 2015: 5). Journalists tend to deny that public relations activities have much influence on what they print, said Macnamara (2015: 5). Nevertheless, Journalists are aware that they need practitioners or leaders of an institution as news sources, hence maintaining a good relation is important. However in general, a good relation does not necessarily mean friends or personal relation for journalist. If a journalist happens to be friends with a PR practitioner, he or she should draw the line between work and play, and respect it. The level of relationship seems to be one of problems. How far can a personal relationship go? Interactionism symbolic theory stated that interaction has to be understood as a dynamic development process from a mutual coordination and role taking (Mulyana, 2012: 114; Wood, 2004: 92). Everyone’s behavior cannot be detached from others’ response, or patterns developed from their overall interaction. Eventually, media relations activities should be aimed at building personal relationship not merely based on a short-lived interest. But it is not as easy as it sounds in the situation faced by both: PR practitioners, with highly demanding management and journalists with pressure to produce valuable news and at the same time generate decent income. The relationship, although mutually beneficial, remains an adversarial relationship at its core; because journalists and PR practitioners are not in the same business and often do not have the same communication goals. Another unexpected result from the study is the fact that there are journalists who take advantage of incentives giving practice by being active than passive. Rather than passive (waiting

154 for the incentives disbursement), they actively propose to exchange good news with a certain program from practitioners. Study conducted by Retaduari & Ispandriarno26 on Journalists’ knowledge about code of ethics supported this finding. In her study, Pramesty (2014: 89) stated some reasons of this breaching behaviour. First, it’s about individual moral; second, background of each journalist will determine his/ her behaviour (unprofessional vs professional journalist). Third, no control mechanism toward free press (media people do not understand the term of ‘free press’). Fourth, there is no tradtion to honor code of ethics. Fifth, profession as journalist is regarded as a way to get money. Sixth, indecent wages received by most journalists, and seventh inappropriate social behaviour showed by community. Overall, the inter-relationship between PR and journalism is characterized by a more dependent PR to journalism than otherwise, which is consistent with previous study conducted by Supa and Zoch (2009). Knowing this kind of fraudulent practice should be useful for practitioners in advocating their Management on the strategy in dealing with the situation. Local Management may be aware about the phenomenon, but expatriate Management particularly who come from a country with better media system, may find it hard to understand.

CONCLUSION Building a solid personal relation is one of media relations principles. Unfortunately in pursuing the principle, media relations practice in Indonesia has been incentive-laden for many years. Most PR practitioners and journalists interpret media relationship based on real awards/ rewards they perceive to be received, as well

26 Derived from website http://e-journal.uajy.ac.id/4299/1/Jurnal- Elizabeth%20Elza%20ARd.pdf

155 as the costs associated with the relationship. Numerous factors have contributed to this practice, such as regulations of both companies where PR practitioner and journalist work, perception that giving/taking incentives is a common practice, justification to incentive as PR program, journalist’s low welfare, pressure to excell for PR practitioners, and journalists and PR practitioners’ professionalism and self concept related to incentives.

REFERENCES Abdullah, Aceng. (1999). Press Relations Kiat Berhubungan dengan Media Massa. Rosda. Agustin, Herlina et al. (2013). Pemetaan Kebutuhan Kualifikasi Jurnalis Pemula pada Industri Media Massa Di Indonesia. Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 1, No. 2, Desember 2013 hlm 141-154. AJI. (2011). Upah Layak Jurnalis. AJI Indonesia. Arismunandar, Satrio. (2007). Wawancara Serikat Pekerja Wartawan. Accessed from: http://satrioarismunandar6.blogspot.co.id/2007/02/wawan cara-serikat-pekerjawartawan.html Cutlip, Scott M., Center, Allen H., & Broom, Glen M. (2000). Effective Public Relations (Eight Edition). Prentice Hall International, Inc. Fisher, Caroline. (2015). Macnamara, Jim – Journalism & PR: Unpacking ‘Spin’, Stereotypes, and Media Myths, New York, Peter Lang Publishing, 2014 pp. 284, ISBN 978-1- 4331-2426-6. Media Journal Australian Edition. Current Issue – Volume 9 Issue 1-2015. Griffin, EM. (2012). A First Look at Communication Theory. Eight Edition. McGraw Hill. Infante, Dominic A., Rancer, Andrew S., &Womack, Deanna F. (1993). Building Communication Theory. Waveland Press, Inc.

156

Isni, Lusiana indira. (2012). Media Relations dan Kepuasan Wartawan atas Layanan Kehumasan di Kabupaten Brebes. Jurnal Ilmu Komunikasi Interaksi, Vol.1, No. 1 (2012). Johnston, Jane. (2013). Media Relations Issues & Strategies. Allen & Unwin. Kurniadi, Oji (2013). Budaya Jurnalistik di Metro TV. Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 1, No. 2, Desember 2013 hlm 133-140. Littlejohn, Stephen W. & Foss, Karen A. (2008). Theories of Human Communication. Ninth Edition.Thomson Wadsworth. Macnamara, Jim (2016, November 27). Journalism and PR: Beyond myths and stereotypes to transparency and management in the public interest. Accessed from internet. Macnamara, Jim. (2015). The continuing convergence of journalism and PR: New insights forethical practice from a three-country study of senior practitioners. Accessed from internet on November 27, 2016. Mulyana, Deddy. (2012). Cultures & Communication an Indonesian Scholar’s Perspective. PT Remaja Rosdakarya Bandung. Nurjanah, Adhianty et al. (2015). Wartawan dan Budaya Amplop (Budaya Amplop pada Wartawan Pendidikan dalam Kaitannya dengan Media Relations). Informasi Kajian Ilmu Komunikasi Volume 45. Nomor 1. Juni 2015 Pramesti, Olivia L. (2014). Penerapan Kode Etik di Kalangan Jurnalis. Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 11 No. 1 Juni 2014. Retaduari, Elizabeth Elza Astari & Ispandriarno, Lukas S. (tanpa tahun). Hubungan Keanggotaan Wartawan dalam Organisasi Pers dengan Pengetahuan tentang Kode Etik Jurnalistik (Studi Eksplanatif terhadap Wartawan Anggota PWI Cabang Yogyakarta). Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Accessed from internet. Rofiuddin, Muhammad. (2011). Menelusuri Praktik Pemberian Amplop kepada Wartawan di Semarang. Tesis Program

157

Magister Ilmu Komunikasi Universitas Semarang. Saragih, Sahala Tua. (2016, February 9). Wartawan Medsos. Pikiran Rakyat, p. 26. Shin, Jae-Hwa & Cameron, Glen T. (2002). Informal Relations: A Look at Personal Influence in Media Relations. Journal of Communication Management, Vol. 7, 3, 239-253. Shoemaker, Pamela J. & Reese, Stephen D. (1996). Mediating the Message; Theories of Influences on Mass Media Content. Second Edition. Longman Publishers USA. Supa, Dustin W.& Zoch, Lynn M. (2009). Maximizing Media Relations through a Better Understanding of the Public Relations-Journalist Relationship: A Quantitative Analysis of Changes Over the Past 23 years. Public Relations Journal Vol. 3, No. 4, Fall 2009. Theaker, Alison. (2001). The Public Relations Handbook. Routledge. Wood, Julia T. (2004). Communication Theories in Action an Introduction. Third Edition. Wadsworth.

158

STUDI DESKRIPTIF TENTANG CITRA PELAYANAN RUMAH SAKIT DI KOTA MEDAN

Nadra Ideyani Vita Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi “Pembangunan” Medan [email protected]

PENDAHULUAN Rumah sakit sebagai suatu lembaga yang memberi layanan kesehatan kepada masyarakat tentunya harus terus berbenah diri. Hal berbenah penting karena memberi pelayanan kesehatan terkait dengan kesembuhan dan keselamatan seorang pasien. Jika pelayanan dilakukan dengan tidak semestinya tentu akan terjadi hal yang membuat pasien atau masyarakat kecewa dan akan mencari jalan lain guna mendapatkan pelayanan kesehatan tersebut. Pelayanan secara sederhana dapat diartikan sebagai”melakukan sesuatu bagi orang lain”. Setidaknya ada tiga kata yang bisa mengacu pada istilah pelayanan tersebut, yaitu jasa, layanan dan servis. Sebagai jasa, servis umumnya mencerminkan produk tidak berwujud fisik (intangible) atau sector industry spesifik, seperti pendidikan, kesehatan, telekomunikasi, transportasi, asuransi, perbankan, perhotelan, konstruksi, perdagangan, rekreasi dan seterusnya. Sebagai layanan, menyiratkan segala sesuatu yang dilakukan pihak tertentu (individu maupun kelompok) kepada pihak lain (individu maupun kelompok). Arti pelayanan dan service lainnya adalah organisasi yang menyediakan sesuatu kepada publik atau melakukan sesuatu bagi pemerintah (Tjiptono: 2008: 1). Rumah sakit bila dikaitkan konsep pelayanan atau service maka dia termasuk pada industri, yaitu industri kesehatan. Dimana produk yang dilayankan kepada masyarakat adalah intangible

159

(produk tidak berwujud) tapi dapat dirasakan oleh para pengguna dalam hal ini pasien. Pelayanan rumah sakit yang baik dan profesional akan membuat suatu rumah sakit banyak dirujuk masyarakat. Sehingga rumah sakit tersebut dapat meraih keuntungan dan menjadi rumah sakit dengan citra yang positif. Situasi dan kondisi rumah sakit yang ada di Medan secara realita, masih belum mencapai kondisi yang maksimal pelayanannya. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya temuan dilapangan tentang kegagalan pihak medis dalam menangani penyakit dan keluhan pasien, dan banyaknya komplain dari warga kota Medan karena pelayanan yang tidak maksimal tersebut.“Salah satu kasus terjadinya malpraktik terhadap salah seorang pasien operasi di rumah sakit umum daerah Dr. Pirngadi di Medan yaitu terhadap nasib Anggirlan Nasution (11), hingga kini belum menemui titik terang. Padahal, pihak keluarga korban mengharapkan agar usus anaknya bisa tersambung lagi ke lubang anus. Di balik kasus dugaan malpraktik ini, pihak managemen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Pirngadi mencoba menghindar dari tanggungjawab, bahkan terkesan tak mau disalahkan. Mereka berkilah kalau operasi usus buntu Anggrilan Nasution pada 25 April 2015 silam, sudah sesuai standar operasional medis.”27 Upaya untuk memberikan pelayanan medis yang prima dan profesional sangat dibutuhkan pasien dan keluarganya, namun hal itu sepertinya masih sulit bisa didapat dirumah sakit kota Medan. Selain itu informasi tentang penyakit dan proses pengobatan selalu terkesan disembunyikan, sehingga pasien dan keluarga hanya bisa menerima tanpa bisa mengetahui tetang penyakitnya bahkan tindakan apa yang telah dilakukan dokter dan perawat terhadap penyakit yang dideritanya. Sudah seharusnya

27http://sumutpos.co/2017/02/14/rsud-dr-pirngadi-tak-mau-disalahkan/

160 tindakan medis yang diambil terhadap diri pasien itu harus disampaikan secara terbuka, minimal dengan keluarga pasien jika dokter takut pasien terganggu phisikis dari pasiennya tersebut. Jelasnya informasi yang disampaikan oleh dokter tentu akan membuat pasien bisa menerima resiko dan kenyataan akan penyakitnya. Dan pasien juga bisa memutuskan tindakan medis yang diambil bersama dokter dengan berdiskusi . Walaupun semua dokter yang menjalankan proses medisnya tetapi akibat dari kerja dokter tentunya pasien yang akan menerimanya. Jadi pasien harus mengetahui semua proses yang berlangsung terhadap dirinya. Idealnya komunikasi yang terjalin antara dokter dan pasien ada tigamodel yaitu : “1. Paternalistic Model (Patron-Client) model ini dokter mengendalikan aliran informasi kepada pasien dan memutuskan pengobatan. 2. Informed Model. Model yang menggambarkan dokter yang menyampaikan semua informasi yang diperlukan mengenai manfaat dan resiko berbagai pengobatan berdasarkan bukti yang sah kepada pasien dan pasien sendiri yang mempertimbangkan dan memutuskan apa yang terbaik baginya. 3. Shared Model, mengasumsikan bahwa dokter dan pasien membuat keputusan bersama, terutama mengenai pengobatan medis.” (Mulyana,2015: 25) Dilihat dari ke tiga model komunikasi tersebut akan menjadi menyenangkan bagi pasien dan dokter jika melaksanakan model yang ke tiga dimana dokter dan pasien sama-sama mengambil keputusan akan penanganan penyakit yang diderita si pasien berdasarkan paparan dari dokter, tentang penyakit pasien. Tapi putusan untuk proses pengobatannya akan dilakukan dokter tetapi pasien juga memahami bagaimana proses yang akan berlangsung dan apa yang menjadi efek dari proses pengobatan itu. Pelayanan ini tentu menjadi harapan dari pasien dan keluarganya, demikian juga dokter hal ini akan menekan suatu situasi yang menjadi masalah di akhir proses pengobatan.

161

Selain pelayanan dokter, perawat dan manajeman serta perangkat lainnya, pelayanan informasi di rumah sakit sangat dibutuhkan oleh pasien dan keluarga pasien untuk itu rumah sakit juga harus dapat menyiapkan berbagai informasi terkait yang dibutuhkan oleh pengguna dalam hal ini pasien dan keluarga. Sarana informasi di Rumah Sakit tentu sangat penting bagi pasien. Sebab dengan informasi, pasien dapat mengetahui, profil, kualitas hingga penanggungjawab layanan medis, seperti dokter yang bertugas.Dan, rumah sakit sekelas RSUD dr Pirngadi seharusnya menyediakan sarana informasi tersebut. Namun, berdasarkan pantauan Sumut Pos, Kamis (26/1), sarana informasi di rumah sekit milik Pemko Medan itu belum berfungsi dengan baik. Banyak papan informasi yang dibiarkan kosong, ataupun tidak di update.Salah satu contohnya, papan informasi layanan konsultasi yang berada di ruang poli rumah skit tersebut. Dari sejumlah list yang tersedia, tak satupun ada nama dokter yang dicantumkan.Begitupun, dengan papan informasi daftar nama dokter. Ada dokter yang sudah tidak bertugas lagi disana, namun namanya masih tercantum dan malah. Bahkan, dokter yang sudah pensiun pun namanya masih tetap dipampang.”Papan informasinya tidak update. Bahkan, ada dokter yang sudah pensiun, namun namanya masih tertera di papan informasi itu. Ini tentu sangat mengecewakan,” ucap seorang keluarga pasien, Tito Danto kepada Sumut Pos.Selain sarana informasi tersebut, Tito mengakui pelayanan medis yang diberikan belum dapat dikatakan memuaskan. Misalnya, seperti perawat yang masih kurang tanggap dalam menangani pasien.“Pelayanannya masih ada kekurangan, khususnya dari perawat ruangan seperti kurang tanggap. Ketika kita panggil perawat, mereka bukannya langsung datang ke ruangan untuk menangani,” ujarnya.Begitu juga dengan pelayanan dokter, Tito menilai sedikit cukup baik. Seperti waktu visit dokter yang tepat waktu, dan rutin langsung menanyakan keluhan kepada

162 pasien. “Kalau untuk pelayanan dokter cukup puas lah. Visitnya tepat waktu, mau bertanya kepada pasien masih adakah keluhan sakitnya,” sebut Tito saat menjaga anaknya.28 Berdasarkan tulisan yang ada di media merupakan gambaran seperti apa sebenarnya kondisi pelayanan rumah sakit yang ada di kota Medan. Situasi dan kondisi yang ada cukup membuat kuatir warga kota Medan, kalau dilihat dari sisi keberadaan rumah sakit tidak sedikit, karena dari jumlah rumah sakit kota Medan dapat dikatakan cukup banyak mengingat “jumlah rumah sakit di kota Medan ada 56 rumah sakit.”29 Tapi menjadi suatu pekerjaan rumah terhadap pengelola rumah sakit, bahwasanya rumah sakit yang ada dikota Medan harus dapat meningkatkan pelayanannya. Kalau tidak pasien akan mencari solusi dalam menjawab keluhan akan penyakit yang dideritanya keluar dari kota Medan, bahkan yang sudah menjadi hal biasa bagi warga kota Medan untuk pergi berobat keluar negeri terutama ke negeri tetangga yaitu rumah sakit yang ada di Penang. Kepergian warga kota Medan berobat ke Penang merupakan tamparan yang keras bagi pekerja medis dan rumah sakit. Sehingga ini menjadi hal yang perlu untuk dipelajari agar situasi dan kondisi ini tidak terus berlangsung. Keberangkatan warga kota Medan ke Penang sudah berlangsung cukup lama tetapi sepertinya tidak menjadi suatu yang belum mendapat jalan keluar. Herqunto dalam artikel ilmiahnya menyatakan” tidakkah dokter prihatin terhadap fenomena berbondong-bondongnya pasien dari Indonesia pergi berobat keluar negeri.”30 Berdasarkan pernyataan ini maka ada apa dengan pelayanan rumah sakit yang ada di Medan. Sehingga peneliti berkeinginan untuk menggali pelayanan

28http://sumutpos.co/2017/01/27/sarana-informasi-rsud-pirngadi-tak-berfungsi/# 29 PERSI Sumut. 2016 30 Herquntanto, Majalah Kedokteran Indonesia, Volume 59, Nomor;2, Februari;2009

163 rumah sakit dari pengalaman pasien yang berobat di rumah sakit Medan dengan menggunakan metode deskriptif.

METODE PENELITIAN Upaya untuk menggambarkan isu penelitian ini maka digunakanlah metode kualitatif deskriptif, dimana realitas sosial dipandang sebagai suatu yang utuh, dinamis, kompleks dan sarat dengan makna. Menggunakan penelitian kualitatif artinya menginginkan jawaban berkaitan dengan kualitas, nilai dan makna yang terdapat dalam fakta yang ada dilapangan. Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan kata-kata, kalimat dari individu, buku dan sumber lain. Oleh karena itu penelitian ini menggunakan wawancara mendalam dengan pasien atau keluarga pasien yang pernah berobat di rumah sakit kota Medan. Wawancara digunakan sebagai metode pengumpulan data agar peneliti mampu mengali informasi lebih dalam mengenai interpretasi individu yang diteliti (Martono, 2015:212). Guna mendapatkan mendapatkan data dari informan maka digunakan pemilihan informan melalui teknik purporsiv. Diambil 5 orang pasien atau keluarga pasien, 4 pasien yang pernah berobat di rumah sakit Medan dan 1 dari keluarga pasien yang pernah berobat. Ada pun yang menjadi lokasi penelitian ini adalah rumah sakit Dr. Pirngadi Medan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Citra pelayanan rumah sakit di Kota Medan. Rumah sakit merupakan suatu fasilitas industri kesehatan yang harus disiapkan oleh pemerintah dan swasta secara profesional. Sehingga suatu rumah sakit sudah dikelola dengan baik dan profesional maka pasien akan merasa aman dan nyaman untuk berobat dirumah sakit tersebut. Rumah sakit merupakan suatu industri yang menomor satukan pelayanan akan kepercayaan dari pengguna, karena

164 bagaimana pasien merasa aman dan nyaman kalau pasien sendiri tidak merasa percaya terhadap paramedis dan layanan yang diberikan. Karena layanan yang diberikan terkait dengan nyawa dan kesehatan seseorang. Oleh karena itu layanan yang baik dan profesional itu akan memunculkan suatu ke percayaan dari masyarakat. Berdasarkan data lapangan yang didapat dengan wawancara mendalam kepada 5 informan maka pengalaman yang mereka rasakan saat menjadi pasien di rumah sakit Dr. Pirngadi MT, HA , LP dan MF merasakan pelayanan yang belum maksimal di mulai dari mendapatkan no antrian untuk berkonsultasi yang panjang dan lama, kekurang ramahan dari petugas yang melayani, mulai dari administrasi dan perawat, ruangan rumah sakit yang tidak terlalu bersih, masih belum tertata dengan baik. Juga informasi tentang dokter yang akan melayani konsultasi juga tidak jelas akan waktu konsultasinya. Lalu saat pemeriksaan pasien berlangsung dokter utama atau senior didampingi mahasiswa calon dokter yang ramai sehingga suasana pemeriksaan menjadi tidak nyaman bagi pasien juga bagi dokter untuk melakukan pemeriksaan. Pelayanan untuk pengambilan obat pasien juga terkesan lambat dan mengantri cukup panjang. Sehingga pasien harus berlama-lama karena counter yang melayani tidak dibuka banyak, sehingga pasien harus mengantri untuk mendapatkan obatnya. Sedangkan menurut EV yang merupakan seorang keluarga pasien yang mendampingi adiknya untuk berobat menyatakan bahwa “akan bertambah sakitlah pasien kalau disuruh mengantri berlama- lama diruang tunggu yang sumpek karena ramainya orang diruang tersebut”. Seharusnya pihak rumah sakit segera mencari segera solusi untuk hal tersebut diatas, tetapi seperti belum menjadi prioritas dalam memberikan kenyamanan dan keamanan bagi pasien yang berobat di rumah sakit tersebut.

165

Interaksi yang terjadi dirumah sakit diantara pasien, keluarga pasien dan paramedis tentunya memberikan pengetahuan bagi mereka tentang pelayanan yang ada dirumah sakit tersebut. Ternyata untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang seharusnya dipercepat dan dimudahkan mengapa mesti diperlama. Hal ini terkadang menimbulkan perselisihan antara petugas dengan pasien. Dikarenakan komunikasi yang tidak berjalan dengan lancar diantara mereka. Tingkat pengetahuan yang tidak sama tentu menjadi salah satu hambatan memahami komunikasi diantara pasien, keluarga pasien dan petugas dirumah sakit. Oleh karena itu petugas rumah sakit harusnya mempunyai dasar memahami pengetahuan tentang bagaimana berkomunikasi dalam menghadapi pasien dan keluarganya. Seperti dipahami petugas harus berhadapan dengan pasien yang secara fisik sudah dinyatakan sakit tentu tidak sama cara berkomunikasinya dengan orang yang sehat sehingga dibutuhkan pengetahuan dalam berinteraksi diantara mereka. Adanya interaksi yang terjalin di rumah sakit antara petugas dengan pasien dalam menjalankan pelayanan kesehatan tentunya akan terbentuk opini. Opini terbentuk tergantung dari tingkat pemahaman pasien terhadap layanan yang dilakukan petugas rumah sakit. Dapat berupa opini yang positif tapi bisa juga opini yang negatif.Dan dari data yang ditemui dilapangan kelima informan menyatakan bahwa pelayanan di rumah sakit Dr. Pirngadi Medan masih sangat membutuhkan peningkatan layanan. Karena pelayanan belum berorientasi kepada pengguna dalam hal ini pasien. Karena ketidak puasan pasien sehingga muncul berita- berita terkait dengan pelayanan rumah sakit yang tidak profesional. Sehingga realitas yang ada dilapangan rumah sakit Dr. Pirngadi Medan belum menjalankan pelayanannya secara profesional dan maksimal. Jika ketidak puasan yang didapat pasien sekelas rumah sakit pemerintah besar seperti itu bagaimana lagi rumah sakit yang

166 kelasnya dibawah rumah sakit Dr. Pirngadi. Konstruksi yang terbangun citra pelayanan rumahsakit di kota Medan belum profesional, tidak mengherankan kalau banyak pasien kota Medan yang memiliki uang lebih atau memaksakan diri untuk pergi mendapatkan pelayanan kesehatan ke luar negeri. Kepercayaan dari masyarakat tentunya menjadi modal untuk mendapatkan opini dan gambaran dari pelayanan yang diberikan rumah sakit kepada pasien atau penggunanya. Jika masyarakat dalam hal ini pasien sudah tidak percaya tentunya citra pelayanan akan tidak baik dimata publiknya. Harapannya tentu citra yang terbentuk adalah citra yang diinginkan sesuai dengan pencapaian prestasi pelayanan manajemen (the wish image), tetapi itu belum bisa di raih oleh rumah sakit Dr Pirngadi. Citra pelayanan yang ada dirumah sakit Dr. Pirngadi Medan diteropong dengan menggunakan teori konstruksi sosial realitas dimana melalui teori ini peneliti mencoba menggambarkan seperti apa pengetahuan dari pasien dan petugas dirumah sakit dalam hal ini mulai dari dokter sampai kepada administrasi atau petugas yang memberikan layanan kesehatan kepada pasien. Kurangnya pengetahuan akan pelayanan dan komunikasi dalam menjalin hubungan diantara mereka akan membentuk opini yang kurang menguntungkan. Opini yang terbentuk kurang baik diantara publik tentu akan berdampak kepada citra pelayanan dari rumah sakit tersebut. Karena melalui opini yang ada tentu juga dibarengi dengan prilaku komunikasi diantara mereka dalam berkomunikasi. Oleh karena opini tersebut maka akan terkonstruksi citra pelayanan sesuai realitas yang ada, dalam hal ini rumah sakit Dr. Pirngadi Medan belum menjalankan fungsi pelayanannya secara prima dan profesional.

167

SIMPULAN Citra pelayanan rumah sakit akan terkonstruksi dengan baik bila fungsi pelayanan dapat dijalankan oleh semua unsur yang ada di rumah sakit. Orientasi yang dilakukan mengacu kepada pelayanan pasien, artinya ketepatan, kenyamanan dan keamanan pasien selalu diutamakan dan selalu menjaga kepercayaan di dalam memberikan pelayanan kesehatan, karena pelayanan dirumah sakit terkait dengan keselamatan dalam hal ini nyawa seseorang dan kesembuhan dari penyakit. Komunikasi yang terjalin akan mengkonstruksi semua realitas menjadi jelas kepada publik dalam hal ini pasien dan keluarganya.

DAFTAR PUSTAKA Astuti, Endang Kusuma, 2009, Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah Sakit, Bandung, Citra Aditya Bakti Kriyantono, Rachmat, 2014, Teori Public Relations Perspektif Barat dan Lokal Aplikasi Penelitian dan Praktik, Jakarta, Kencana Prenadamedia Group. Martono, Nanang, 2015, Metode Penelitian Sosial, Konsep-konsep Kunci, Jakarta,Raja Grafindo Persada Mulyana,Deddy, 2015, Komunikasi Lintas Budaya, Bandung, Remaja Rosdakarya Soemirat, Soleh, Ardianto, Elvinaro,2010, Dasar-dasar Public Relations, Bandung, Remaja Rosdakarya. Tjiptono, Fandy, 2008, Service Management Mewujudkan Layanan Prima, Yogyakarta, Andy. Herquntanto, Majalah Kedokteran, Volume 59, Nomor 2, Februari, 2009 http://sumutpos.co/2017/01/27/sarana-informasi-rsud-pirngadi- tak-berfungsi http://sumutpos.co/2017/02/14/rsud-dr-pirngadi-tak-mau- disalahkan Persi Sumut, 2016

168

DISIPLIN VERIFIKASI WARTAWAN SITUS BERITA SUARA.COM

Tsana Garini, Siti Karlinah [email protected] , [email protected]

PENDAHULUAN Seorang veteran pejuang kemerdekaan bernama Ilyaskarim sempat ramai diberitakan di media massa pada awal September 2016 setelah kediamannya di Rawajati, Jakarta Selatan, DKI Jakarta menjadi salah satu rumah yang digusur oleh pemerintah provinsi karena berada di jalur hijau. Pria usia 88 tahun ini menjadi topik pembicaraan akibat pengakuannya bahwa ia adalah salah satu pengibar bendera pusaka pertama di kediaman Soekarno pada 17 Agustus 1945. Sejumlah wartawan yang pada saat itu berada di lokasi penggusuran memutuskan untuk memberitakan tentang dirinya setelah mendengar pengakuan tersebut. Beberapa media daring bahkan televisi menyatakan dalam pemberitaan mereka bahwa seorang pengibar bendera pusaka pertama telah menjadi korban penggusuran di Rawajati dengan hanya mengandalkan pernyataan Ilyaskarim sebagai satu- satunya narasumber. Polemik mengenai kebenaran pengakuan Ilyaskarim mulai muncul ke permukaan tidak lama setelah namanya ramai dibicarakan di media massa dan sosial. Beberapa pihak meragukan pengakuan sang mantan pejuang setelah mengetahui bahwa pada tahun 2011 silam dirinya juga sempat ramai dibertikan media massa karena alasan serupa. Lima tahun lalu Ilyaskarim menjadi sorotan setelah dihadiahi sebuah unit apartemen oleh pihak Kalibata City sebagai penghargaan atas jasanya sebagai pengibar bendera pusaka pertama. Namun kabar tersebut segera dibantah oleh para sejarawan, termasuk Fadli Zon, yang menyatakan bahwa

169 berdasarkan bukti-bukti sejarah, sosok pengibar bendera bercelana pendek yang terekam di dokumentasi bukanlah Ilyaskarim. "Ini demi pelurusan sejarah. Kasihan kalau sejarah sampai dibelokkan. Dia bukan pengerek bendera, melainkan Suhud. Fakta sejarahnya ada dalam buku-buku yang saya simpan," ujar Fadli seperti dikutip Tribunnews pada Rabu, 24 Agustus 2011. Kembali ke tahun 2016, kabar mengenai Ilyaskarim pun menjadi pembicaraan di kantor Gubernur DKI Jakarta. Para wartawan menanyakan nasib veteran yang menjadi korban penggusuran di Rawajati, juga kebenaran pernyataan Ilyaskarim, baik kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) maupun Wakil Gubernur Djarot Saiful Hidayat. Akhirnya pada Minggu, 4 September 2016 Wakil Gubernur Djarot membuat pernyataan bahwa berdasarkan salinan surat dari Markas Besar Angkatan Darat Dinas Sejarah bernomor B/8/21IX/2011 perihal Pengibaran Bendera Merah Putih Pertama, Ilyaskarim bukanlah pengibar bendera pusaka pertama seperti yang diakuinya selama ini. Dilansir dari detik.com, surat yang ditujukan kepada Dewan Pimpinan Pusat Legiun Veteran Republik Indonesia (RI) ini ditandatangani oleh Kepala Dinas Sejarah Angkatan Darat Brigadir Jenderal TNI Marsono tertanggal 13 September 2011. "Jangan dong membelokkan sejarah. Janganlah buat kontroversi sejarah yang tidak benar. Apa lagi untuk mendapatkan fasilitas," kata Djarot di Balai Kota pada Selasa, 6 September 2016 seperti dikutip oleh Kompas.com. Dari kasus pemberitaan mengenai penggusuran dan pengakuan Ilyaskarim yang telah diceritakan di atas, muncul pertanyaan di benak peneliti: bagaimanakah disiplin verifikasi wartawan media massa, terutama situs berita daring, sehingga bisa terjadi penyebarluasan berita yang simpang-siur seperti ini? Terlebih lagi mengingat bahwa pengakuan Ilyaskarim yang pada

170 akhirnya terbukti tidak benar berdasarkan dokumen resmi tersebut berkaitan erat dengan sejarah Negara Indonesia. Verifikasi merupakan bagian terpenting dari pekerjaan wartawan. Pernyataan ini tertera dalam elemen ketiga jurnalisme yang dirumuskan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel: intisari jurnalisme adalah verifikasi (2003:87). Verifikasi sendiri berarti proses memeriksa atau memastikan kebenaran suatu hal atau laporan. Hal inilah yang membedakan jurnalisme dengan bentuk komunikasi lain seperti propaganda, fiksi, atau hiburan. Pentingnya disiplin verifikasi juga ditegaskan dalam Kode Etik Jurnalistik (selanjutnya disingkat KEJ) dan Pedoman Pemberitaan Media Siber (selanjutnya disingkat PPMS) yang merupakan landasan etika profesi bagi wartawan Indonesia, khususnya wartawan media daring. Penerapan disiplin verifikasi oleh para pelaku media ini berkaitan erat dengan hak setiap warga negara untuk mendapatkan informasi yang benar dan fungsi media massa itu sendiri. Dengan mempublikasikan informasi yang simpang-siur kebenarannya, media massa dapat dikatakan telah gagal menjalankan peranannya. Di antara berbagai media massa yang turut memberitakan tentang Ilyaskarim, peneliti terutama mempertanyakan disiplin verifikasi wartawan situs berita Suara.com karena beberapa alasan. Pertama, dari sekian banyak media dalam jaringan (daring) yang memberitakan tentang Ilyaskarim, Suara.com merupakan salah satu situs berita yang paling aktif membahas topik ini. Sejak 1-6 September 2016, Suara.com mempublikasikan total sembilan berita mengenai Ilyaskarim sehubungan dengan penggusuran dan pengakuannya sebagai pengibar bendera pusaka pertama, lebih banyak dari media daring lain yang rata-rata hanya mempublikasikan dua sampai tiga berita. Kedua, kebanyakan situs berita menyebut Ilyaskarim dengan sebutan “pria atau veteran yang mengaku sebagai pengibar

171 bendera pusaka pertama”. Kata “mengaku” digunakan karena tim redaksi belum dapat memastikan kebenaran pernyataan yang bersangkutan, namun Suara.com tanpa ragu-ragu menyebut Ilyaskarim sebagai pengibar bendera pusaka pertama di setiap pemberitaannya seakan-akan pengakuaanya tersebut telah terbukti sebagai fakta. Suara.com juga tidak terlihat melakukan perbaikan terhadap pemberitaannya bahkan setelah pengakuan Ilyaskarim terbukti tidak sesuai dengan sejarah. Ketiga, Suara.com merupakan salah satu situs berita yang cukup banyak dikonsumsi oleh pembaca Indonesia. Berdasarkan data situs pemeringkat website dunia Alexa per 18 Februari 2015, Suara.com dinyatakan sebagai situs berita paling populer nomor delapan di Indonesia, padahal media ini baru aktif beroperasi selama satu tahun sejak 11 Maret 2014. Walaupun Suara.com tidak berhasil mempertahankan posisinya sebagai 10 besar di tahun 2016 karena naiknya tingkat popularitas beberapa situs berita lain (Suara.com berada di urutan 13 pada Senin, 12 Desember 2016), menjadi bagian dari 10 besar situs berita paling populer di tahun pertama operasionalnya dapat dikatakan merupakan pencapaian besar. Popularitas situs ini pun kembali menguat di tahun 2017 di mana berdasarkan data terakhir (25 Februari 2017), Suara.com menduduki urutan 10 situs berita paling populer di Indonesia. Data di atas menunjukkan bahwa Suara.com merupakan situs berita yang cukup diminati oleh pengguna internet di Indonesia.

METODE PENELITIAN Etika pada dasarnya merupakan dialektika antara kebebasan dan tanggung jawab, antara tujuan yang hendak dicapai dan cara untuk mencapai tujuan itu. Ia berkaitan dengan penilaian tentang perilaku benar atau tidak, yang baik atau yang tidak baik, yang pantas atau tidak pantas, yang berguna atau tidak berguna, dan yang harus dilakukan atau tidak harus dilakukan (Amir, 1999:

172

37). Etika menulis di media massa sering kali disebut etika jurnalistik, yaitu etika yang mengatur para pelaku media massa, termasuk wartawan Suara.com yang merupakan subjek penelitian ini. Verifikasi yang merupakan pembahasan utama penelitian ini adalah bagian dari etika jurnalistik yang berarti proses memeriksa atau memastikan kebenaran suatu hal atau laporan. Disiplin verifikasi tercermin dalam praktik kerja wartawan seperti mencari saksi peristiwa, membuka sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta pendapat dari banyak pihak. Verifikasi berfokus untuk menceritakan apa yang terjadi sebenar-benarnya (Mulkan, 2013: 30). Elemen ketiga jurnalisme yang dirumuskan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menyatakan bahwa intisari jurnalisme adalah verifikasi (2003:87). Artinya, verifikasi merupakan bagian terpenting dari pekerjaan wartawan. Hal inilah yang membedakan jurnalisme dengan bentuk komunikasi lain seperti propaganda, fiksi, atau hiburan. Penerapan disiplin verifikasi oleh para pelaku media massa berkaitan erat dengan hak setiap warga negara untuk mendapatkan informasi yang benar dan fungsi media massa itu sendiri. Karenanya pentingnya disiplin verifikasi tidak hanya ditekankan dalam elemen-elemen jurnalisme yang merupakan prinsip dasar wartawan internasional, namun juga dalam berbagai regulasi yang mengatur etika jurnalistik di Indonesia yakni Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS). Dalam pasal 3 KEJ dinyatakan bahwa: Pasal 3 Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

173

Penafsiran  Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi.  Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.  Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.  Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Pentingnya disiplin verifikasi bagi wartawan, khususnya wartawan media daring, kembali ditekankan dalam butir kedua PPMS yang berbunyi:

Verifikasi dan keberimbangan berita Pada prinsipnya setiap berita harus melalui verifikasi. a. Berita yang dapat merugikan pihak lain memerlukan verifikasi pada berita yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan. b. Ketentuan dalam butir (a) di atas dikecualikan, dengan syarat:  Berita benar-benar mengandung kepentingan publik yang bersifat mendesak;  Sumber berita yang pertama adalah sumber yang jelas disebutkan identitasnya, kredibel dan kompeten;  Subyek berita yang harus dikonfirmasi tidak diketahui keberadaannya dan atau tidak dapat diwawancarai;  Media memberikan penjelasan kepada pembaca bahwa berita tersebut masih memerlukan verifikasi

174

lebih lanjut yang diupayakan dalam waktu secepatnya. Penjelasan dimuat pada bagian akhir dari berita yang sama, di dalam kurung dan menggunakan huruf miring. c. Setelah memuat berita sesuai dengan butir (c), media wajib meneruskan upaya verifikasi, dan setelah verifikasi didapatkan, hasil verifikasi dicantumkan pada berita pemutakhiran (update) dengan tautan pada berita yang belum terverifikasi. Teori dan regulasi-regulasi yang dijabarkan di atas akan digunakan oleh peneliti untuk menganalisis hasil penelitian ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Robert K. Yin dalam bukunya Studi Kasus: Desain & Metode mendefinisikan studi kasus sebagai suatu inkuiri empiris yang (2014: 18): • menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, bilamana: • batasan-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas; dan di mana: • multisumber bukti dimanfaatkan. Yin melanjutkan bahwa secara umum, studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan how (bagaimana) atau why (mengapa), bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata. Faktor-faktor yang disebutkan oleh Yin tersebut sangat sesuai dengan penelitian ini di mana pertanyaan penelitian berkenaan dengan bagaimana dan mengapa, peneliti tidak memiliki kontrol terhadap kasus yang akan diselidiki, dan fokus

175 penelitian terletak pada fenomena kehidupan nyata yang belum lama ini terjadi. Oleh sebab itu peneliti menyimpulkan bahwa pendekatan yang paling sesuai untuk digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan studi kasus, khususnya studi kasus intrinsik oleh Robert E. Stake yang ditempuh bila peneliti ingin memahami suatu kasus yang khusus secara lebih baik. Hal ini dilakukan bukan karena kasus tersebut mewakili kasus lain atau karena menggambarkan ciri/masalah tertentu, namun lebih karena kekhususan dan keunikannya. Tujuan dari dilaksanakannya studi kasus intrinsik bukanlah untuk memahami konstruksi abstrak atau fenomena yang umum, bukan juga untuk merumuskan teori baru, namun dilakukan karena ada ketertarikan intrinsik peneliti terhadap kasus tertentu (dalam Denzin dan Lincoln, 2009: 301). Teknik pengumpulan data yang akan digunakan oleh peneliti meliputin wawancara mendalam dan studi dokumentasi atau rekaman arsip. Wawancara mendalam dilakukan untuk menggali informasi dari subjek penelitian yakni pihak redaksi Suara.com yang terlibat langsung dalam proses pembuatan dan pemuatan berita mengenai Ilyaskarim di situs tersebut serta narasumber-narasumber relevan lainnya. Berikut adalah daftar narasumber yang diwawancarai oleh peneliti: Dian Rosmala Reporter Suara.com yang bertugas meliput dan menulis berita penggusuran di Rawajati, termasuk berita mengenai Ilyaskarim; Siswanto Koordinator liputan Suara.com yang melakukan komunikasi dengan reporter di lapangan dan merupakan salah satu editor yang memeriksa berita tentang Ilyaskarim serta mengunggahnya ke situs; Pebriansyah Ariefana

176

Asisten redaktur Suara.com, salah satu editor yang juga memeriksa berita tentang Ilyaskarim serta mengunggahnya ke situs bersama dengan Siswanto; M. Zein Al-Faqih Ahli hukum pers dari Universitas Padjadjaran yang dapat memberikan pandangan mengenai kasus yang dibahas dalam penelitian ini dari sudut pandang hukum pers yang berlaku; dan Nezar Patria Anggota Dewan Pers yang berperan mengawasi pelaksanaan KEJ oleh lembaga pers. Mengikuti model Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2015: 89-99), proses analisis data dalam penelitian ini pertama- tama akan dilakukan dengan mereduksi seluruh data yang terkumpul melalui cara merangkum dan memisahkan data-data yang relevan. Data-data yang telah dipisahkan tersebut kemudian akan dipaparkan dalam bentuk narasi. Setelah melalui proses analisis, peneliti akan menarik simpulan dari data yang telah dipaparkan tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN Proses produksi berita mengenai pengakuan Ilyaskarim sebagai pengibar bendera pusaka pertama di situs berita Suara.com diawali dengan pertemuan Dian Rosmala selaku reporter dan salah satu korban penggusuran bernama Ilyaskarim di pemukiman Rawajati pada 1 September 2016. Berbeda dengan korban penggusuran lainnya, Ilyaskarim memiliki latar belakang yang unik. Warga setempat mengenalnya sebagai veteran yang juga merupakan mantan pengibar bendera pusaka pertama. Dengan pertimbangan bahwa kisah penggusuran Ilyaskarim mengandung nilai berita human interest yang tinggi, Dian memutuskan untuk mewawancarai dan menulis berita tentang dirinya. Pada awalnya ia mengaku antara percaya dan tidak percaya

177 dengan pengakuan Ilyaskarim karena memang berdasarkan catatan sejarah dan pemberitaan-pemberitaan media sebelumnya yang pernah ia baca, beberapa pihak telah menyatakan keraguan terhadap kebenaran pengakuannya sebagai pengibar bendera pusaka pertama. Namun setelah melihat bukti-bukti berupa piagam TNI, foto, dan beberapa dokumen lain yang ditunjukkan oleh Ilyaskarim, Dian mulai memercayai pernyataannya. Selain itu Ilyaskarim juga dapat bertutur dengan terstruktur dan nampak tidak kesulitan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh reporter sehingga cerita yang disampaikannya terdengar semakin meyakinkan. “Pada saat itu dia memperlihatkan dokumen-dokumen, dia sebagai mantan prajurit Siliwangi atau prajurit PETA gitu. Dia jelaskan pada waktu itu, dia tunjukkan foto-fotonya, dia tunjukkan data-datanya. Kemudian dia juga menjelaskan siapa saja orang-orang yang terlibat di pengibaran bendera itu. Kalau terkait percaya dan tidak percaya, saat itu saya percaya. Sesuai dengan data-data yang dia tunjukkan. Itu piagam bukan piagam pengibar bendera ya, tapi piagam sebagai prajurit. Dokumen bahwa dia sebagai verteran saya yakin asli karena ada stempelnya.31”. Setelah selesai menulis berita, seperti biasa Dian mengirimkannya ke alamat email redaksi Suara.com untuk kemudian diperiksa oleh para editor sebelum diunggah ke situs. Editor yang bertugas untuk memeriksa berita yang dikirim oleh Dian pada saat itu adalah Siswanto dan Pebriansyah Ariefena. Memiliki penilaian yang sama dengan Dian, Siswanto dan Pebriansyah juga merasa bahwa kisah penggusuran Ilyaskarim ini layak untuk dipublikasikan karena nilai berita human interest yang

31 Wawancara dengan reporter Suara.com Dian Rosmala pada Selasa, 25 April 2017.

178 dikandungnya. Nilai berita human interest memang seringkali dimuat oleh Suara.com bila ada aspek-aspek dalam peristiwa yang dapat mengungkap sisi emosional. Sebelum mengunggahnya ke situs, Siswanto mengaku sempat menghubungi Dian untuk memastikan kebenaran berita yang ditulis dan apakah pernyataan Ilyaskarim sebagai narasumber dapat dipercaya. “Waktu itu ngontak. Ku tanya, ‘Yan, ini bener nggak nih? Apa yang membuat lo yakin kalau dia salah satu pelaku sejarah pada saat itu?’. ‘Dia nunjukin ini bang, sertifikat kalau dia itu anggota TNI yang adalah pelaku sejarah pada waktu itu’. Pada waktu itu kita percaya. Selain fakta statement – kan ada tuh fakta pernyataan, fakta riset, dan fakta pengamatan. Nah, selain fakta pernyataan kan kita dapat fakta dokumen itu. Ada fakta dokumen yang ditunjukan dan waktu itu bukan fotokopi itu. Berwarna32”.

Siswanto dan Pebriansyah mengaku bahwa bukti berupa dokumen-dokumen yang ditunjukkan oleh Ilyaskarim merupakan hal paling utama yang membuat mereka yakin bahwa apa yang disampaikannya adalah fakta. Artinya Ilyaskarim tidak sekedar melontarkan pernyataan, melainkan pernyataan tersebut juga didukung oleh bukti-bukti dokumen yang ditunjukkannya. Mereka beranggapan bahwa upaya verifikasi dalam kasus ini telah dilakukan oleh Dian selaku reporter di lapangan dengan memeriksa dokumen-dokumen tersebut secara langsung. Percaya dengan kemampuan Dian untuk mengenali dokumen asli terbitan negara, editor berhasil diyakinkan bahwa Ilyaskarim memang benar adalah pengibar bendera pusaka pertama seperti pengakuannya. “Si Rosmala ini wartawan yang sering meliput keamanan dan

32 Wawancara dengan koordinator liputan Suara.com Siswanto pada Selasa, 25 April 2017.

179 pertahanan, jadi dia tahu bahwa dokumen itu dikeluarkan oleh otoritas negara, menyatakan bahwa si ini ikut dalam perjuangan, ini adalah mantan anggota TNI, veteran, kayak gitulah,33” ujar Pebriansyah. Setelah memastikan bahwa pernyataan Ilyaskarim dapat dipercaya, Siswanto dan Pebriansyah selaku editor mengunggah enam berita yang ditulis oleh Dian mengenai Ilyaskarim sehubungan dengan penggusuran kediamannya di Rawajati. Tidak seperti beberapa media lain yang hanya menyebut Ilyaskarim sebagai veteran atau pria yang mengaku sebagai pengibar bendera pusaka pertama, dalam keenam berita yang dimuat di Suara.com dinyatakan dengan jelas dan tegas bahwa Ilyaskarim adalah pengibar bendera pusaka pertama seakan-akan informasi tersebut merupakan fakta yang telah terbukti kebenarannya. Dian beralasan bahwa hal tersebut dilakukannya karena ia yakin dengan hasil liputan yang ia dapat. Para editor juga yakin dengan hasil liputan reporternya, karenanya mereka tidak ragu untuk memuat berita yang menyebut Ilyaskarim sebagai pengibar bendera pusaka pertama, berbeda dengan beberapa media lain yang masih menggunakan kata “mengaku”. Keesokan harinya pada 2 September 2016 Suara.com memuat berita berjudul “Ahok Cari Tahu Benarkah Ilyaskarim Pengibar Bendera Pusaka” yang ditulis oleh Dwi Bowo Raharjo selaku reporter yang bertugas di Balai Kota DKI Jakarta. Dalam berita itu dijelaskan bahwa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tengah mencari informasi mengenai apakah benar Ilyaskarim merupakan salah satu dari dua orang pengibar bendera pusaka pertama pada 17 Agustus 1945. Baik menurut Dian, Siswanto, maupun Pebriansyah, bertanya kepada pihak lain (dalam kasus ini pemerintah provinsi DKI Jakarta) merupakan tahapan

33 Wawancara dengan asisten redaktur Suara.com Pebriansyah Ariefana pada Selasa, 25 April 2017.

180 selanjutnya yang dilakukan setelah berita dimuat dan bukan merupakan bagian dari verifikasi yang telah mereka lakukan sebelumnya. Selain kepada pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Siswanto mengaku tidak menugaskan reporternya untuk melakukan konfirmasi kepada pihak lain. “Waktu itu kan sudah dapat keterangan Ilyas, lihat dokumen, dan keterangan Djarot. Ketika kasus penggusuran dan lagi rame-ramenya, data yang didapat waktu itu dianggap sudah mencukupi34,” ujarnya. Empat hari kemudian pada 6 September 2016, Suara.com memuat berita berjudul “Wagub DKI Pastikan Ilyaskarim Bukan Pengibar Bendera Pusaka” yang juga ditulis oleh Dwi Bowo Raharjo. Dalam berita tersebut dijelaskan bahwa Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat menyatakan bahwa berdasarkan salinan surat dari Markas Besar Angkatan Darat Dinas Sejarah, Ilyaskarim bukan merupakan pengibar bendera pusaka pertama seperti pengakuannya. Berita tersebut juga merupakan berita terakhir mengenai Ilyaskarim yang dimuat oleh Suara.com. Tidak ada berita baru maupun berita perbaikan setelah berita ke-9 mengenai Ilyaskarim tersebut dimuat.

34 Wawancara dengan koordinator liputan Suara.com Siswanto pada Minggu, 9 Juli 2017.

181

Bagan Timeline berita tentang Ilyaskarim yang dimuat di Suara.com

Baik Siswanto maupun Pebriansyah menegaskan bahwa berita tentang pernyataan Djarot bukan merupakan berita klarifikasi. Berita yang dimaksud tidak dimuat dalam rangka memperbaiki berita-berita yang telah diterbitkan sebelumnya, melainkan dimuat sebagai upaya cover both side bagi dua pihak yang melontarkan dua pernyataan berbeda. Pada intinya selain memuat berita tentang Ilyaskarim yang mengaku sebagai pengibar bendera pusaka pertama, Suara.com juga memberikan ruang untuk Djarot yang menyangkal pengakuan tersebut. Karenanya pihak redaksi Suara.com menilai mereka tidak memiliki kewajiban untuk melakukan apapun terkait ralat berita. Pihak Suara.com tidak menganggap pernyataan Djarot sebagai berita klarifikasi karena menurut mereka tidak ada yang benar-benar tahu mengenai kebenaran sejarah. Siapa saja aktor yang terlibat dalam proses pengibaran bendera pusaka pertama sampai sekarang masih menjadi perdebatan. Oleh sebab itu pernyataan Djarot yang berdasar pada surat Markas Besar Angkatan Darat Dinas Sejarah juga belum tentu benar sesuai dengan fakta. Ketiga narasumber yang peneliti wawancara sama-

182 sama menyatakan bahwa mereka tidak bisa percaya begitu saja dengan dokumen sejarah karena kenyataannya banyak kebenaran sejarah di Indonesia yang juga masih simpang-siur. Pebriansyah juga menekankan bahwa kebenaran sejarah bukan merupakan kebenaran tunggal. “Mungkin saja salah karena TNI ini dapetnya dari mana? Kalau ngomongin sejarah Indonesia kan juga nggak ada sejarah yang bener-bener.. kayak PKI salah atau nggak sih? Kamu perlu tahu bahwa masalah siapa yang mengibarkan bendera itu belum terungkap juga. Apakah Ilyaskarim ini bohong? Kalau Djarot yang ngomong bohong ya itu omongan Djarot. Apakah itu kebenaran yang terakhir? Karena dalam jurnalistik ini nggak ada kebenaran yang tunggal. Kebenaran sejarah itu bukan kebenaran yang matematis, bukan kayak berita ekonomi. Umumnya produk jurnalistik itu nggak ada kebenaran tunggal, jadi omongan Djarot bisa aja salah. Media itu nggak seperti jaksa atau polisi yang ‘oke lo salah, lo di penjara’. Atau media-media, ‘Ilyaskarim bohong nih’ terus berita dihapus.”35

Hal serupa juga dilontarkan oleh Dian mengenai pernyataan pihak ketiga dan sumber-sumber tidak langsung lainnya: “Kita tidak bisa percaya 100% sama tulisan orang yang ada di buku-buku sejarah karena mereka juga bukan pelaku sejarahnya. Mereka cuma mengumpulkan data kemudian menulis. Jauh sebelum Djarot menyatakan itu, mungkin di berita tahun 2009, Fadli Zon juga sudah menyatakan. Cuma pertanyaannya gini, yang benar Fadli Zon atau

35 Wawancara dengan asisten redaktur Suara.com Pebriansyah Ariefana pada Selasa, 25 April 2017.

183

Ilyaskarim? Kan kita nggak tahu. Fadli Zon bukan pelaku sejarah, Ilyaskarim mengaku sebagai pelaku sejarahnya. Siapa kira-kira yang lebih valid? Fadli Zon itu ya dia memang sejarawan, mengambil studi sejarah kan. Tapi dia mengambil data-data dari orang lain juga. Sementara Ilyaskarim mengaku sebagai pelaku sejarah.”36

Ahli hukum pers M. Zein Al-Faqih menyatakan bahwa sulit untuk menilai penerapan disiplin verifikasi wartawan karena regulasi hukum terkait etika jurnalistik seperti Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers, KEJ, dan PPMS hanya dibuat untuk mengatur cara kerja wartawan secara umum. Bila dilihat dari regulasi yang mengatur mengenai disiplin verifikasi di atas, tidak ada pasal atau butir yang benar-benar menjelaskan apa yang dimaksud dengan verifikasi. Dalam KEJ hanya dinyatakan bahwa wartawan wajib menguji informasi dengan melakukan check and recheck, namun dengan metode seperti apa check and recheck tersebut harus dilakukan tidak dijelaskan secara pasti. Karenanya dalam kasus pemberitaan mengenai penggusuran dan pengakuan Ilyaskarim ini mungkin saja pemeriksaan data dan fakta merupakan metode yang dipilih oleh pihak redaksi Suara.com dalam rangka melakukan upaya verifikasi. Menurut Zein, tidak ada yang salah dengan penggunaan metode tersebut asalkan pelaksanaannya sesuai dengan prosedur. “Di dalam hukum pers kita kan memang diatur secara umum bahwa pers harus memberitakan dengan akurat. Akurat itu kan mungkin yang mereka tempuh melalui penelusuran data dan fakta, kemudian wawancara narasumber untuk mengklarifikasi data. Mungkin itu metode yang mereka pilih dalam kerangka itu. Sepanjang

36 Wawancara dengan reporter Suara.com Dian Rosmala pada Selasa, 25 April 2017.

184

prosedur yang dilakukan benar tidak ada masalah sih ya. Maksudnya prosedur bahwa ini ditujukan untuk mendapatkan informasi yang benar.”37

Nyatanya ada masalah pada prosedur pemeriksaan data yang dilaksanakan oleh Suara.com. Pihak redaksi menyatakan bahwa dokumen yang meyakinkan mereka bahwa pengakuan Ilyaskarim dapat dipercaya adalah piagam TNI yang menunjukkan bahwa Ilyaskarim benar merupakan veteran. Setelah melihat piagam tersebut secara langsung, Dian Rosmala selaku reporter yang bertugas menilai bahwa piagam TNI tersebut benar keasilannya karena terdapat stempel dan tanda tangan dari pemerintah. Bukti tersebutlah yang membuat Dian sampai pada simpulan bahwa pernyataan Ilyaskarim dapat dipercaya. Masalahnya menurut Zein, piagam TNI yang ditunjukkan oleh Ilyaskarim mungkin dapat membuktikan bahwa ia adalah mantan anggota TNI, namum piagam tersebut belum dapat membuktikan bahwa ia adalah pengibar bendera pusaka pertama yang merupakan konteks utama yang dipertanyakan dalam kasus ini. Oleh sebab itu penggunaan piagam TNI sebagai bukti bahwa Ilyaskarim benar adalah benar pengibar bendera pusaka pertama bisa dikatakan tidak tepat. ”Isunya kan dia sebagai pengibar bendera pusaka. Kalau sebagai TNI dan dia bisa membuktikan dengan dokumen- dokumen dan hal-hal lainnya sih itu nggak masalah. Tapi kalau isunya kemudian adalah dia mengatakan bahwa dia adalah mantan pengibar bendera pusaka dan itu yang menjadi concern, itu yang harus dibuktikan. Harus ada pendukung-pendukung yang dapat membuktikan atau

37 Wawancara dengan ahli hukum pers M. Zein Al-Faqih pada Rabu, 17 Mei 2017.

185

kalau dalam istilah ilmiah evidensi yang membuktikan bahwa dia memang seorang pengibar bendera pusaka.”38

Hal serupa dinyatakan oleh anggota Dewan Pers Nezar Patria. Bukti keras atau hard evidence yang menunjukkan bahwa Ilyaskarim memang benar merupakan pengibar bendera pusaka seperti yang diakuinya tidak ditemukan dalam kasus ini karena piagam TNI yang dianggap oleh pihak redaksi Suara.com sebagai hard evidence ternyata merupakan bukti yang tidak pada tempatnya. “Hard evidence adalah surat tugas langsung dari panglima TNI, presiden, panitia, atau siapapun kepada Ilyaskarim untuk mengibarkan bendera. Kalaupun tidak ada suratnya mungkin dalam bentuk lisan aja, tapi ada saksinya. Kalaupun nggak ada saksinya ada fotonya yang bisa dijadikan alat bukti. Kalau itupun nggak ada mungkin kajian yang dilakukan oleh TNI segala macem belakangan mengeluarkan surat, ini simpulannya.”39

Nezar juga menekankan bahwa verifikasi yang dimaksud Suara.com telah mereka lakukan dalam kasus ini sebenarnya baru pada tahap prosedural, belum sampai pada tahap menguji otensitas dokumen yang dilakukan untuk mencari tahu kebenaran. Padahal tidak cukup bagi wartawan untuk sekedar melihat dokumen yang ditunjukkan oleh narasumber sebagai bukti. Verifikasi yang sesungguhnya adalah mencari tahu apakah dokumen tersebut benar bisa dijadikan bukti dengan menguji otensitasnya.

38 Wawancara dengan ahli hukum pers M. Zein Al-Faqih pada Rabu, 17 Mei 2017. 39 Wawancara dengan anggota Dewan Pers Nezar Patria pada Selasa, 23 Mei 2017.

186

“Masalah yang lebih pokok bukan soal prosedur ‘saya melihat surat itu’. Itu ya betul, memang Anda haru lihat surat itu, tapi langkah selanjutnya adalah membuktikan otensitas dokumen. Verifikasi yang dilakukan baru pada tahapan verifikasi prosedural, tapi belum sampai pada substansi untuk menguji. Piagam TNI itu otentik atau nggak? Artinya apakah dokumen itu benar dikeluarkan oleh TNI atau tidak.”40

Otensitas dokumen tidak dapat dibuktikan begitu saja oleh wartawan dengan melakukan penilaian sendiri seperti yang dilakukan oleh Dian. Menurut Nezar, pendapat pihak redaksi Suara.com bahwa mereka yakin piagam TNI yang ditunjukkan Ilyaskarim benar keasliannya karena terdapat stempel dan tanda tangan pemerintah tidak dapat dikatakan sebagai upaya verifikasi. Bila mereka benar ingin melakukan verifikasi dalam rangka mencari tahu otensitas piagam tersebut, hal yang seharusnya dilakukan adalah menanyakannya secara langsung kepada TNI selaku organisasi yang mengeluarkan dokumen tersebut. “Dia bilang yakin? Dia salah besar. Itu verifikasi yang konyol dan tolol. Yang benar adalah kita menguji sendiri dokumen itu. Kalau memang dikeluarkan oleh TNI, coba pergi ke markas besar TNI. Tanya ke lembaga yang mengeluarkan surat-surat seperti itu di TNI, siapa? Cek nomer suratnya, sama nggak? Ada nggak arsipnya di TNI? Kan bisa aja dicek. Kalau itu nggak dilakukan ya belum selesai verifikasinya berita sudah ditulis.”41

40 Wawancara dengan anggota Dewan Pers Nezar Patria pada Selasa, 23 Mei 2017. 41 Wawancara dengan anggota Dewan Pers Nezar Patria pada Selasa, 23 Mei 2017.

187

Dalam PPMS dinyatakan bahwa pada prinsipnya setiap berita harus melalui verifikasi. Verifikasi terutama harus dimuat pada tulisan yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan ketika berita yang dimaksud dapat merugikan pihak lain. Namun ketentuan tersebut dikecualikan dengan beberapa syarat sebagai berikut: 1) Berita benar-benar mengandung kepentingan publik yang bersifat mendesak; 2) Sumber berita yang pertama adalah sumber yang jelas disebutkan identitasnya, kredibel dan kompeten; 3) Subyek berita yang harus dikonfirmasi tidak diketahui keberadaannya dan atau tidak dapat diwawancarai; 4) Media memberikan penjelasan kepada pembaca bahwa berita tersebut masih memerlukan verifikasi lebih lanjut yang diupayakan dalam waktu secepatnya. Penjelasan dimuat pada bagian akhir dari berita yang sama, di dalam kurung dan menggunakan huruf miring. Dalam butir pertama disebutkan bahwa verifikasi tidak harus dimuat pada tulisan yang sama bila berita yang dimaksud benar-benar mengandung kepentingan publik yang bersifat mendesak. Pihak redaksi Suara.com sendiri menilai bahwa peristiwa penggusuran dan pengakuan Ilyaskarim bersifat mendesak untuk segera diberitakan karena berkaitan dengan momentum penggusuran yang terjadi pada hari itu. Selain itu, kabar mengenai Ilyaskarim juga telah tersebar di media sosial sehingga Suara.com selaku media massa merasa harus segera mempublikasikan berita yang dapat dipercaya untuk mengakhiri kebingungan di kalangan masyarakat. Namun Nezar Patria selaku anggota Dewan Pers tidak sependapat. Menurutnya, berita tentang penggusuran dan pengakuan Ilyaskarim sama sekali tidak mengandung unsur kepentingan publik yang bersifat mendesak. “Nggak ada, ukuran keterdesakannya apa? Emergensinya apa? Apakah itu mengakibatkan banyak orang terancam jiwanya? Apakah itu mengakibatkan kerugian negara

188

begitu besar? Apakah ini ancaman pernyakit yang menyebar luas? Itu kriteria-kriteria keterdesakan. Ilyaskarim benar veteran atau bukan? Setelah mereka melakukan verifikasi baru bisa diputuskan mendesak atau nggak.”42

Selain bila berita benar-benar mengandung kepentingan publik yang bersifat mendesak, verifikasi juga tidak harus dimuat pada tulisan yang sama bila sumber berita pertama adalah sumber berita yang jelas disebutkan identitasnya, kredibel, dan kompeten. Sayangnya butir tersebut juga tidak berlaku dalam kasus ini karena kredibilitas Ilyaskarim sebagai satu-satunya narasumber masih dipertanyakan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dokumen-dokumen yang ditunjukkan oleh Ilyaskarim sebagai bukti ternyata tidak dapat mendukung pengakuannya sebagai pengibar bendera pusaka pertama. Karena pengakuannya masih mungkin benar dan mungkin tidak, Zein menyatakan bahwa dalam kasus ini Ilyaskarim tidak dapat disebut sebagai narasumber yang kredibel. Berdasarkan penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada alasan bagi pihak redaksi Suara.com untuk menunda upaya verifikasi dalam memberitakan mengenai penggusuran dan pengakuan Ilyaskarim. Artinya, verifikasi harus dilakukan sebelum berita diterbitkan dan proses verifikasi yang dimaksud memang benar dilakukan sebagai upaya pencarian kebenaran. Seperti yang dinyatakan oleh pihak redaksi Suara.com, alasan mereka memuat berita pernyataan Djarot Saeful Hidayat bahwa Ilyaskarim bukanlah pengibar bendera pusaka pertama adalah sebagai upaya cover both side, bukan klarifikasi. Menurut Zein, konfirmasi kepada pihak lain dalam kasus ini mungkin dilakukan oleh pihak

42 Wawancara dengan anggota Dewan Pers Nezar Patria pada Selasa, 23 Mei 2017.

189

Suara.com untuk sekedar menghindari permasalahan kode etik. Padahal seharusnya seperti tanggung jawab pers yang diatur oleh hukum, wartawan berkewajiban untuk melakukan pemberitaan yang akurat dengan tujuan memberikan informasi yang benar kepada masyarakat. “(Cover both side) mungkin itu yang sedang dilaksanakan oleh mereka sehingga mereka nanti tidak terkena permasalahan Kode Etik Jurnalistik. Tapi yang kita ingin cari tahu kan kebenarannya ini seperti apa. Seyogyanya pers ini kan menuntun kita pada informasi yang paling sahih, paling benar. Berimbangnya sudah, tinggal bagaimana mengakurasinya, kemudian membawa masyarakat kepada informasi yang akurat dan itu tanggung jawab pers yang diatur dalam Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.”43

Masih menurut Zein, konfirmasi kepada TNI atau sejarawan sebenarnya sangat bisa dilakukan oleh pihak redaksi Suara.com dalam kasus ini karena dapat dilakukan secara menyusul, tinggal masalah niat atau tidaknya pihak redaksi yang bersangkutan. Sayangnya selain bertanya kepada pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, redaksi Suara.com tidak berusaha untuk mencari informasi dari pihak lain seperti TNI atau sejarawan. Nezar Patria dan M. Zein Al-Faqih sepakat bahwa berdasar pada PPMS, verifikasi dalam kasus ini boleh saja dimuat di berita selanjutnya, namun keraguan terhadap pengakuan Ilyaskarim berdasarkan catatan sejarah seharusnya sudah ditulis sejak berita pertama. Dengan demikian pembaca yang hanya membaca sepotong berita tetap mendapat perspektif bahwa kebenaran pernyataan Ilyaskarim masih dalam perdebatan.

43 Wawancara dengan ahli hukum pers M. Zein Al-Faqih pada Rabu, 17 Mei 2017.

190

“Bisa saja di berita selanjutnya tapi di berita yang pertama sudah dijelaskan bahwa ada versi lain dari TNI yang mengatakan bahwa pengibar bendera adalah Suhud dan TNI mempunyai bukti-bukti soal itu. Dari berita pertama harus sudah disebutkan, jangan satu sumber saja. Lebih lengkapnya ditulis lagi di artikel lain. Apa menurut versi TNI itu. Jadi ketika orang membaca satu potong berita itu, dia pun sudah dapat perspektif kalau ini kemungkinan kontroversial44”. Dalam butir (c) dan (d) PPMS juga dinyatakan bahwa: c.) Media memberikan penjelasan kepada pembaca bahwa berita tersebut masih memerlukan verifikasi lebih lanjut yang diupayakan dalam waktu secepatnya. Penjelasan dimuat pada bagian akhir dari berita yang sama, di dalam kurung dan menggunakan huruf miring. d.) Setelah memuat berita sesuai dengan butir (c), media wajib meneruskan upaya verifikasi, dan setelah verifikasi didapatkan, hasil verifikasi dicantumkan pada berita pemutakhiran (update) dengan tautan pada berita yang belum terverifikasi. Nezar menekankan bahwa seperti yang tertera pada butir (4c), pihak redaksi Suara.com seharusnya menyatakan bahwa berita yang bersangkutan masih memerlukan verifikasi lebih lanjut dan akan memuatnya dalam waktu secepatnya. Secepatnya berarti pada kesempatan pertama wartawan bisa mendapatkan verifikasi tersebut. Dapat dilihat dari hasil wawancara peneliti dengan narasumber bahwa pihak redaksi Suara.com merasa mereka tidak harus melakukan hal-hal yang diatur dalam butir verifikasi dan keberimbangan berita di atas karena upaya verifikasi telah mereka lakukan. Oleh sebab itu pihak redaksi tidak memuat pemberitahuan

44 Wawancara dengan anggota Dewan Pers Nezar Patria pada Selasa, 23 Mei 2017.

191 bahwa berita mengenai Ilyaskarim yang dimaksud masih memerlukan verifikasi lebih lanjut. Selain itu juga tidak ada tautan langsung dari satu berita ke berita lain yang merupakan pemutakhiran dari berita sebelumnya, melainkan hanya dengan sistem tag. Berdasarkan analisis peneliti yang telah dijabarkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa dalam kasus ini verifikasi belum dilakukan oleh pihak redaksi Suara.com. Oleh sebab itu bila mereka memang ingin segera menaikkan berita mengenai Ilyaskarim, pihak redaksi memiliki kewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam butir (c4) dan (d) di atas.

SIMPULAN Wartawan Suara.com belum memenuhi etika jurnalistik terkait disiplin verifikasi yang diatur dalam KEJ dan PPMS dalam memberitakan tentang pengakuan veteran Ilyaskarim sebagai pengibar bendera pusaka pertama karena walaupun proses liputan telah dilaksanakan sesuai dengan kebijakan redaksi, upaya verifikasi yang dilakukan oleh wartawan Suara.com dalam kasus ini baru sampai pada tahap prosedural. Piagam TNI yang ditunjukkan oleh Ilyaskarim sebagai pendukung dari pernyataannya juga tidak tepat untuk digunakan sebagai hard evidence. Proses verifikasi dalam kasus ini tidak dapat ditunda karena berita tidak mengandung kepentingan publik yang bersifat mendesak, sumber berita pertama bukan merupakan sumber yang kredibel dan kompeten, serta Suara.com tidak memberikan penjelasan kepada pembaca bahwa berita tersebut masih memerlukan verifikasi lebih lanjut.

192

DAFTAR PUSTAKA Ardianto, Elvinaro, dkk. 2012. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar (Edisi Revisi). Bandung: Refola Offset. Creswell, John W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing. Among Five Tradition. London: Sage Publications. Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel. 2003. Sembilan Elemen Jurnalisme. Jakarta: Pantau. Kusumaningrat, Hikmat dan Purnama Kusumaningrat. 2006. Jurnalistik (Teori dan Praktik). Bandung: Remaja Rosdakarya. Margianto, Heru J. dan Asep Syaefullah. 2014. Media Online: Pembaca, Laba, dan Etika. Jakarta: AJI. McQuil, Denis. 2011. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Salemba Humanika. Mulkan, Dede. 2013. Pengantar Ilmu Jurnalistik: Untuk Pemula yang Menyukai Dunia Jurnalistik. Bandung: Arsad Press. Mulyana, Deddy. 2010. Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nasrullah, Rulli. 2014. Teori dan Riset Media Siber (Cybermedia). Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. Nurudin. 2009. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: Rajawali Pers. Romli, Asep Syamsul M. 2012. Jurnalistik Online: Panduan Praktis Mengelola Media Online. Bandung: Nuansa Cendikia. S, Inung Cahya. 2012. Menulis Berita di Media Massa. Yogyakarta: PT Citra Aji Parama. Sugiyono. 2015. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit Alfabeta. Suhandang, Kustadi. 2010. Pengantar Jurnalistik: Seputar Organisasi, Produk & Kode Etik. Bandung: Penerbit NUANSA. Shoemaker, Pamela J dan Stephen D. Reese. 1996. Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content. New York: Longman Publisher.

193

Sumadiria, AS Haris. 2006. Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature: Panduan Praktis Jurnalis Profesional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Sutopo, HB. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press. Ward, Mike. 2002. Journalism Online. Oxford: Focal Press. Widarmanto, Tjahjono. 2015. Pengantar Jurnalistik: Panduan Awal Penulis dan Jurnalis. Yogyakarta: Araska. Yin, Robert K. 2014. Studi Kasus, Desain dan Metode. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Yosef, Jani. 2009. To Be a Journalist: Menjadi Jurnalis TV, Radio, dan Surat Kabar yang Profesional. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Jurnal Juditha, Christiany. 2013: Akurasi Berita dalam Jurnalisme Online (Kasus Dugaan Korupsi Mahkamah Konstitusi di Portal Berita Detiknews). Jurnal Pekommas, Vol. 16 No. 3. Kurnia, Novi. 2005: Perkembangan Teknologi Komunikasi dan Media Baru: Implikasi Terhadap Teori Komunikasi. Jurnal Komunikasi Mediator, Vol. 6 No.2.

Skripsi Djarat, Alexander Aprita Ermando. 2016. Verifikasi Pemberitaan Media Online: Studi Kasus Proses Penerapan Pedoman Pemberitaan Media Siber Pemberitaan Florence Sihombing di Detik.com dan Kompas.com Periode Agustus – September 2014. S1 Skripsi Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Juliana, Rina Adha (2013) Disiplin Verifikasi Wartawan Kompas.com: Studi Kasus Terhadap Penerapan Disiplin Verifikasi Wartawan Situs Berita Kompas.com dalam Pemberitaan Kasus Tindak Kekerasan yang Melibatkan Siswa SMAN 6 Jakarta. S1 Skripsi Universitas Padjadjaran.

Diktat

194

Saragih, S. Sahala Tua, Pengantar Penulisan Berita, Diktat Kuliah, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Jatinangor, 1999.

Website http://dewanpers.or.id/peraturan/detail/190/kode-etik-jurnalistik Kode Etik Jurnalistik (KEJ) diakses Kamis, 6 Oktober 2016 pukul 22.25 WIB. http://dewanpers.or.id/pedoman/detail/167/pedoman- pemberitaan-media-siber Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS) diakses Kamis, 6 Oktober 2016 pukul 22.42 WIB. http://www.merriam-webster.com/dictionary/verify diakses Kamis, 6 Oktober 2016 pukul 21.58 WIB. http://www.romelteamedia.com/2014/04/media-online- pengertian-dan.html “Media Online: Pengertian dan Karakteristik” diakses Senin, 12 Desember 2016 pukul 11.09 WIB. https://upp.polkam.go.id/2015/uu-nomor-14-tahun-2008-tentang- keterbukaan-informasi-publik/ Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik diakses Rabu, 15 Maret 2017 pukul 23.12 WIB https://www.komisiinformasi.go.id/regulasi/download/id/140 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers diakses Rabu, 15 Maret 2017 pukul 23.26 WIB http://www.alexa.com/topsites/countries;1/ID diakses Senin, 12 Desember 2016 pukul 11.00 WIB. http://www.remotivi.or.id/kupas/245/Hierarki-Pengaruh-dalam- Mediasi-Pesan diakses Selasa, 11 Juli 2017 pukul 12.53 WIB.

Situs Berita https://beritagar.id/artikel/berita/ilyas-karim-dan-polemik- pengibar-bendera-pusaka “Ilyaskarim dan Polemik Pengibar Bendera Pusaka” diakses Kamis, 20 Oktober 2016 pukul 5:29 WIB.

195 http://megapolitan.kompas.com/read/2011/08/17/14383849/Kado. Apartemen.bagi.Pengibar.Pertama “Kado Apartemen Bagi Pengibar Pertama” diakses Senin, 12 Desember 2016 pukul 10.45 WIB. http://jambi.tribunnews.com/2016/09/03/ilyas-karim-bukan- pengibar-sang-saka-pertama?page=all “Ilyaskarim Bukan Pengibar Bendera Sangsaka Pertama” diakses Senin, 12 Desember 2016 pukul 10.27 WIB. http://news.detik.com/berita/3290736/wagub-djarot-nyatakan- ilyas-karim-bukan-pengibar-bendera-pusaka “Wagub Djarot Nyatakan Ilyas Karim Bukan Pengibar Bendera Pusaka” diakses Jumat, 7 Oktober 2016 pukul 5.51 WIB. http://nasional.kompas.com/read/2016/09/06/15264501/djarot.seb ut.cerita.tentang.ilyas.karim.sebagai.pembelokan.sejarah “Djarot Sebut Cerita Tentang Iyaskarm Sebagai Pembelokan Sejarah” diakses Senin, 12 Desember 2016 pukul 10.35 WIB. https://kitabisa.com/proklamasi?ref=d696&utm_source=direct&ut m_medium=usershare&utm_campaign=userreff “Bantu H Ilyaskarim, Veteran yang Rumahnya Digusur” diakses Kamis, 22 Februari 2017 pukul 15.06 WIB. http://news.okezone.com/read/2011/08/25/337/496292/kedepanny a-berhati-hatilah-dalam-mengungkap-sejarah “Kedepannya, Berhati-hatilah dalam Mengungkap Sejarah” diakses Rabu, 15 Maret 2017 pukul 20.39 WIB. https://news.detik.com/berita/3290719/keluarga-pengerek- bendera-saat-proklamasi-ilyas-karim-tak-terlibat- pengibaran “Keluarga Pengerek Bendera Saat Proklamasi: Ilyas Karim Tak Terlibat Pengibaran” diakses Rabu, 15 maret 2017 pukul 20.47 WIB. http://www.suara.com/pages/tentangkami diakses Jumat, 7 Oktober 2016 pukul 6.08 WIB

196

IMPLEMENTASI MEDIA RELATIONS DALAM UPAYA MENJAGA CITRA POSITIF DI PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) DAERAH OPERASI 1 JAKARTA

Risma Kartika, Nimas Milangeni Universitas Pancasila [email protected], [email protected]

PENDAHULUAN Perkembangan era globalisasi saat ini membawa semakin banyak organisasi baik profit maupun non-profit, pemerintahan maupun luar pemerintahan, yang memiliki bidang Public Relations atau Hubungan Masyarakat di dalam struktur organisasinya. Hal ini berarti keberadaan Humas semakin diakui atau mendapat tempat dalam suatu organisasi atau perusahaan. Pentingnya keberadaan Humas dalam sebuah organisasi atau perusahaan terus meningkat pemahamannya. Keberadaan Humas di sini berfungsi sebagai mediator yang menjembatani kepentingan organisasi atau perusahaan dengan masyarakat atau publiknya. Terlebih dengan berkembanganya teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat dalam hal penyampaian pesan atau memenuhi kebutuhan akan sebuah informasi. Hal tersebut berdampak pada kritisnya pola pikir masyarakat pada umumnya. Sadar akan kondisi ini sebuah organisasi atau perusahaan dituntut untuk lebih peka dan kreatif terhadap pengelolaan informasi kepada masyarakat. Seperti Ardianto (2014:106) yang menyatakan, analogi seorang Humas itu satu kaki berada di organisasi atau perusahaan dan satu kakinya lagi berada di publik, artinya kaki seorang Humas harus merentang. Instansi atau organisasi bergantung pada informasi agar dapat berfungsi dengan efektif dan mencapai tujuan instansi atau

197 organisasi yang mengharuskannya untuk memperoleh informasi baik dari sumber internal maupun eksternal. Dengan demikian maka kegiatan Humas terbagi atas dua hal, yaitu internal Humas dan eksternal Humas (West dan Turner, 2013:23). Humas sering dikaitkan perannya dalam hubungan dengan media yang sering diartikan berperan menyebarluaskan berbagai informasi dan pendapat (Morisan, 2010:1). Hubungan dengan media tersebut merupakan salah satu bentuk kegiatan ekstenal Humas, yaitu media relations. Dari pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa Humas modern adalah Humas yang mampu memanfaatkan media dengan baik untuk mendukung kesuksesan perusahaan (Nurudin, 2008:6). Kebanyakan orang menetapkan apa yang baik dan tidak baik itu berdasarkan informasi dari media sebagaimana kita tidak akan bisa mengamati realitas dunia hanya dengan mata dan telinga tetapi juga mengandalkan pihak ketiga, yaitu media massa. Adanya aktivitas yang harmonis dengan media merupakan bagian dari fungsi Humas, khususnya sebagai alat pendukung atau media kerja sama untuk kepentingan publikasi mengenai perusahaan. Aktivitas ini dilakukan demi kelancaran komunikasi Humas dengan publik sebagai sasarannya. Media Relations ini mengambil tempat yang penting dalam kinerja harian praktisi Humas. Hubungan praktisi Humas dengan media harus didasari kepercayaan dan kepentingan yang bersifat menguntungkan. Oleh karena itu, hal yang harus dijaga adalah hubungan harmonis antara keduanya. Dimana keduanya mempunyai kepentingan yang berbeda sesuai dengan tuntutan profesi masing-masing, di satu sisi Humas sebagai sumber berita atau informasi sedangkan media adalah pihak yang menyiarkan informasi tersebut. Seperti kutipan Saputra dan Nasrullah (2011:125) berikut ini: Aktivitas Humas berada pada kata manajemen relasi dan

198 komunikasi yang berujung pada terciptanya hubungan baik dengan berbagai pihak untuk meningkatkan pencitraan perusahaan. Baik untuk tujuan komunikasi dua arah, membangun hubungan baik, maupun komunikasi persuasif searah, yang pada akhirnya bertujuan untuk membangun rasa saling pengertian, menghargai, dukungan yang baik hingga menciptakan citra yang positif. Pencitraan yang terbentuk dengan baik akan memberikan dampak yang baik untuk mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh perusahaan. Definisi di atas menjelaskan bahwa hubungan media (media relations) merupakan salah satu bagian dari kegiatan Humas. Apa yang menjadi tujuan Humas juga menjadi tujuan media relations, dengan kata lain media relations menjadi faktor penentu utama “hidup matinya” Humas. Terlebih lagi tujuan media relations tidak sekadar memberikan informasi tetapi juga menciptakan citra positif perusahaan (Nurudin, 2008:13). Peran Humas dalam media relations di sini tidak mudah, meskipun saling menguntungkan, pada intinya tetap sering terjadi tujuan komunikasi yang berbeda atau berseberangan antara pihak media dengan pihak perusahaan (Cutlip, Center, dan Broom, 2011:305). Dalam praktiknya, Humas dengan media massa bekerja dalam hubungan saling tergantung dan saling membantu, terkadang bermusuhan, terkadang bekerja sama demi kepentingan masing-masing. Setiap waktu bila dibutuhkan, Humas lah yang harus siap tampil di hadapan umum dan “mendorong” pimpinan untuk tetap pada posisinya. Bahkan saat terjadi krisis perusahaan, Humas sebagai “juru bicara” perusahaan harus berhati-hati dalam menyampaikan informasi dan memiliki pengetahuan yang kuat mengenai masalah yang sedang menjadi sorotan. Dalam mengangani berita negatif pun Humas harus menanamkan bahwa berita negatif tidak selalu negatif, melainkan berita yang memacu

199 perusahaan untuk lebih giat lagi mengembangkan perusahaan kearah yang lebih baik, baik instansi pemerintahan maupun perusahaan swasta. Hal tersebut bukanlah hal yang mudah, terlebih sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dimana terdapat peran pemerintah di dalamnya. Menurut UU RI No.19 Tahun 2003, BUMN adalah badan usaha yang baik seluruh maupun sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara, dimana melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang terpisahkan (www.bumn.go.id). Seperti PT. Kereta Api Indonesia (KAI) merupakan perusahaan yang harus siap dikejar pers karena bergerak di bidang fasilitas, pelayanan umum, dan berhubungan dengan kepentingan hidup orang banyak. BUMN memiliki peran yang sangat penting dalam menghasilkan berbagai macam barang dan jasa untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Peran taktis Humas BUMN adalah berupaya memberikan pesan-pesan atau informasi yang efektif kepada masyarakat sebagai khalayak sasarannya. Sedangkan secara strategis Humas BUMN berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan, dalam memberikan sumbang saran, gagasan, dan ide yang kreatif serta cemerlang untuk menyukseskan program kerja lembaga bersangkutan, hingga mampu menunjang keberhasilan pembangunan nasional jangka panjang serta mendorong melalui kerja sama dan mendapat dukungan masyarakat (Ruslan, 2011:111). Terkait dengan yang dikatakan Ruslan di atas, Humas PT. KAI Daerah Operasi 1 Jakarta terbagi atas dua bagian, yaitu internal dan eksternal. Dimana pembagian kerja tersebut menunjukkan upaya untuk memberikan pesan-pesan atau informasi yang efektif kepada masyarakat sebagai khalayak atau publik sasarannya yang terbagi atas internal dan eksternal. Dengan menyadari peranan media dalam program dan kegiatan Humas

200 sangat penting, maka PT. KAI Daop 1 menjalin hubungan baik dengan media massa melalui kegiatan eksternal Humas, yaitu media relations. PT. KAI sedang berada pada puncak kejayaannya, terutama pada perkembangan sarana dan prasarana juga pelayanan pada kereta lintas Jawa dan Kereta Rel Listrik Jabodetabek atau Commuterline. Sesuai data yang dicantumkan di situs resmi PT. KAI, yaitu www.kereta-api.co.id, sudah sejak masa jabatan Ignasius Jonan yang sekarang menjadi Menteri Perhubungan Republik Indonesia, tahun 2010 PT. KAI melakukan reformasi dan evolusi besar. Sesuai data yang di dapat hingga kini, persero yang meraup 160 juta pengguna jasa transportasi per tahun ini (researchgate.net, diakses pada 7 November 2015). Sebagai operator tunggal perkeretaapian khususnya pulau Jawa dan Sumatera (Bisnis Indonesia, 23 November 2015), PT. KAI telah menerima banyak penghargaan baik dalam maupun luar negeri. Hal tersebut merupakan pencapaian besar yang tidak mudah sebab sebelumnya citra perkeretaapian Indonesia adalah buruk. Seperti kutipan berikut ini: Menurut Lozier, diperlukan waktu yang tidak sedikit untuk membentuk sebuah citra. Citra akan mampu terlihat atau terbentuk melalui strategi komunikasi yang tepat. Proses pembentukan citra dimulai dari penerimaan secara fisik masuk ke saringan perhatian dan dari situ menghasilkan pesan yang dapat dimengerti atau dilihat yang kemudian berubah menjadi persepsi dan akhirnya citra (Khadijah, 2006:1). Di atas kejayaannya, PT. KAI tetap saja masih sering menerima kritik dan tanggapan bernada miring dari publik. Baik itu mengenai pelayanan hingga proyek-proyek baru PT. KAI. Terlebih dengan beberapa musibah yang dialami PT. KAI sepanjang tahun 2015. Perusahaan yang menyediakan jasa transportasi publik ini

201 harus bertanggung jawab dengan keselamatan dan kenyamanan penumpangnya. Di dalam melayani pelanggan maupun calon pelanggan dan harus siap dengan segala opini maupun kritik dari mereka. Terlebih mengatasi kendala alam yang dapat menjadikan sumber kecelakaan sebagaimana jalur kereta berada di daratan maka tidak mustahil longor, banjir, terleburnyanya rel karena panas, dan sebagainya, dapat menyerang berjalannya kegiatan perkeretaapian, dan lain-lain. Bahkan mengembangkan transportasi di negara seperti proyek kereta cepat, ada saja komentar negatif atau kritik tajam dari masyarakat. Di sinilah Humas harus siap menghadapi publik. Humas PT. KAI Daop 1 selalu melakukan analisis berita di media massa. Setiap hari selalu ada berita mengenai PT. KAI, baik media cetak maupun digital, dari berita yang menyangkut PT. KAI, opini tokoh masyarakat, hingga surat pembaca. Selain itu, Humas PT. KAI Daop 1 juga sering menerima kedatangan pers untuk wawancara atau peliputan baik di dalam ruang kantor maupun di luar lapangan. Meskipun tugas yang diemban Humas PT. KAI Daop 1 cukup besar sebagaimana Daop 1 Jakarta memegang wilayah Jabodetabek, dimana tidak hanya satu kota tetapi lima. Hal itu berarti Humas harus pandai berhubungan dengan berbagai media massa dari berbagai kota lingkungan operasional. Implementasi tahapan media relations didukung dengan aktivitas media relations di dalamnya akan membantu perusahaan dalam mencapai dan menjaga citra positif. Seperti yang dinyatakan Yulianita (2003:7) tujuan media relations adalah untuk memperoleh dan meningkatkan citra yang baik dari publik eksternal terhadap organisasi/instansi/perusahaan serta untuk mendapatkan kepercayaan dan penilaian yang positif dari publiknya dan bila perlu memperbaiki citra tersebut (Sari, 2014:5). Berdasarkan penjelasan di atas maka pelaksanaan media

202 relations pada Unit Humas PT. KAI Daop 1 Jakarta merupakan hal yang menarik untuk diteliti karena dengan menyadari dan mengetahui pentingnya posisi Humas sebagai “tameng” di pada masa apapun khususnya masa-masa terjadinya indicator-indikator krisis, informasi benar-benar harus sampai kepada publik dengan baik demi menjaga citra positif perusahaan.

METODE PENELITIAN Paradigma merupakan cara dasar untuk mempersepsi, berpikir, menilai, dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang visi realitas (Harmon, 1970 di kutip Moleong, 2013:49). Penelitian ini menggunakan paradigma post-positivisme. Menurut Salim (2006:70), cara pandang aliran post-positivisme ini melihat realitas sebagai hal yang memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam. Post-positivisme menganggap bahwa suatu kebenaran tidak dapat ditangkap apabila peneliti berada di belakang layar tanpa terlibat dengan objeknya secara langsung. Aliran ini menegaskan bahwa peneliti harus bisa bersifat netral, dengan ini tingkat subjektivitas setidaknya dapat dikurangi. Oleh karena itu, peneliti menggunakan paradigma post- positivisme sebab peneliti mengamati objek-objek yang terkait dengan realitas melalui observasi dan wawancara kemudian membangunnya menjadi sebuah data yang valid. Paradigma ini dianggap tepat untuk digunakan karena menempatkan posisi peneliti setara atau sedapat mungkin masuk menjadi bagian dari Humas PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasional 1 Jakarta, lalu memahami implementasi media relations dan mengonstruksikannya. Pendekatan pada penelitian ini ialah kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara

203 kuantifikasi lainnya (Moleong, 2013:6). Dalam penelitian kualitatif besaran populasi atau sampling tidak menjadi tolak ukur, bahkan populasi atau samplingnya sangat terbatas. Sesuai dengan paradigma di atas, menurut Sugiyono (2014:15), metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berdasarkan pada filsafat post-positivis. Metode tersebut digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah (sebagai lawannya dalah eksperimen) dimana peneliti sebagai instrument kunci, pengambilan sampel sumber dan data dilakukan secara purposive dan snowball, teknik pengumpulan data dilakukan dengan triangulasi analisis data bersifat induktif / kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan pada makna daripada generalisasi. Jadi, fenomena yang diteliti dalam penelitian ini ialah implementasi media relations dalam upaya menjaga citra positif perusahaan. Dengan kata lain, peneliti menggambarkan bagaimana implementasi media relations yang dijalankan dalam upaya menjaga citra positif di PT. KAI Daop 1 Jakarta dengan menyajikan data-data hasil penelitian dan menjelaskannya tanpa mencari hubungan atau hipotesis maupun prediksi. Penelitian tentang implementasi media relations Humas PT. KAI Daop 1 Jakarta dalam membangun citra positif perusahaan ini bersifat deskriptif. Penelitian bertujuan menggambarkan dan menjelaskan masalah yang diteliti. Penelitian ini akan menyajikan data-data yang terdapat di lapangan. Data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Data tersebut mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, video tape, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya (Moleong, 2013:11). Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2013:4), menyatakan bahwa metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang

204 menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Peneliti menganggap jenis penelitian deskriptif ini sesuai dengan pembahasan penelitian yang bertujuan menggambarkan dan menjelaskan lebih dalam mengenai implementasi media relations dalam upaya menjaga citra positif di PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasional 1 Jakarta. Penelitian ini tidak mencari dan menjelaskan hubungan, tidak menguji, atau membuat prediksi.

HASIL DAN PEMBAHASAN Citra positif yang dimiliki oleh PT. Kereta Api Indonesia (Persero) mampu menyediakan pelayanan yang profesional dan inovatif kepada publik. Media massa merupakan publik ekstenal bagi perusahaan. Jadi, di dalam media relations PT. Kereta Api Indonesia (Persero) melayani media dengan profesional dan inovatif pula. Di dalam menciptakan dan membina hubungan yang baik dan harmonis dengan publik perusahaan tentu diharapkan dapat membawa keuntungan dan rasa saling pengertian antar kedua belah pihak. Seperti halnya praktisi Humas yang bertugas untuk menjaga komunikasi yang baik dan harmonis dengan publiknya agar dapat menciptakan hubungan kerja sama yang baik, melakukan media relations. Media relations sebagai salah satu kegiatan eksternal yang dijalankan untuk membina dan mengembangkan hubungan baik dengan media massa. Humas membutuhkan media massa untuk menginformasikan pesan yang berhubungan dengan perusahaan ke khalayak. Pesan atau informasi tersebut berpengaruh terhadap pandangan masyarakat ke perusahaan (Iriantara, 2005:155) PT. Kereta Api Indonesia (Persero) membutuhkan jembatan yang kokoh untuk menghubungkan antara perusahaan

205 dengan publiknya, yaitu Humas. Sebagai Badan Usaha Milik Negara, dimana terdapat peran pemerintah di dalamnya, Humas harus benar-benar menjaga nama baik perusahaan dengan sebagaimana sedikit banyak menjaga nama baik pemerintahan pula. Terlebih lagi Daerah Operasi 1 yang berpusat di Jakarta mengemban beban paling berat di antara Daerah Operasi lainnya. Sebagaimana cakupan PT. KAI Daop 1 terhitung nasional dan dengan masyarakat yang lebih kritis juga daerah yang paling memiliki kompleksitas juga kemajemukan yang tertinggi. Oleh karena itu, PT. KAI Daop 1 membuat bagian eksternal Humas secara struktural melihat pentingnya pembagian fokus tugas Humas kepada publiknya. Di dalam implementasi kegiatan media relations, bagian Humas PT. KAI Daop 1 melakukan tahapan media relations yang sesuai dengan konsep media relations menurut Iriantara (2005:77), yaitu mengelola relasi, mengembangkan strategi, dan mengembangkan jaringan. Pertama, Humas PT. KAI Daop 1 mengelola relasi dengan berbagai media massa, baik cetak, elektronik, hingga digital. Humas PT. KAI Daop 1 tidak hanya mengelola relasi dengan wartawannya saja secara pribadi tetapi juga dengan media massa sebagai institusinya. Tim media, yaitu tim Eksternal Humas itu sendiri menjalankan komunikasi yang intens kepada pihak media massa dengan prinsip take and give. Tidak hanya bagian manajemen Eksternal Humas saja yang bertugas menjalin relasi tetapi juga Internal Humas. Pada dasarnya semua praktisi Humas harus bisa melakukan kegiatan media relations seperti yang tercantum pada tupoksi. Agar hubungan tercipta dengan baik antara pihak media massa dengan perusahaan, hubungan harus berlandaskan empati dan simpati antar manusia sebagai kawan bukan lawan. Jadi, hubungan antar manusia di sini pun merupakan

206 keutamaan terciptanya hubungan yang baik, yang pada akhirnya akan menjadi saling menguntungkan. Kedua, Humas PT. KAI Daop 1 Jakarta mengembangkan strategi dengan cara mengembangkan materi PR/Humas untuk media massa yang selalu didasarkan pada perkembangan zaman. PT. KAI Daop 1 Jakarta juga mengembangkan kompetensi diri petugas Humasnya. Misalnya seperti melakukan pelatihan- pelatihan jurnalistik maupun fotografi. Hal tersebut sesuai dengan citra positif yang dimiliki oleh PT. KAI (Persero), yaitu mampu menyediakan pelayanan yang profesional dan inovatif kepada media massa. Dalam hal ini, mengembangkan materi dan kompetensi petugas Humas termasuk kedalam bentuk professional perusahaan. Kemudian juga dengan melakukan pengembangan strategi yang didasarkan pada perkembangan zaman maka itu termasuk ke dalam bentuk inovatif perusahaan. Ketiga, Humas PT. KAI Daop mengembangkan jaringan dengan melakukan hubungan dengan organisasi kewartawanan maupun dengan orang dari profesi lain yang berasal dari luar organisasi yang berkenaan memperluas jaringan dengan dunia media massa. Namun kurang menjalankan hubungan dengan pure organisasai kewartawanan. Organisasi-organisasi tersebut seperti Forum Komunikasi Pecinta Kereta Api, Forkomas, PERHUMAS, Humas Kemenhub, Kementerian BUMN, dan beberapa perusahaan BUMN lain, hingga Rail Fans. Rail Fans adalah organisasi pecinta kereta api yang diresmikan oleh PT. KAI. Humas sangat menjalin keakraban dengan anggota-anggota Rail Fans, seperti saat mereka mengadakan sosialisasi atau acara lainnya, Humas senantiasa memberikan sumbangan dana dan meliput acaranya juga. Di antara anggota Rail Fans juga terdapat insan media, yaitu jurnalis atau wartawan. Dengan berhubungan dengan organisasi di luar perusahaan yang erat kaitannya dengan memperluas jaringan dengan dunia

207 media massa, Humas PT. KAI Daop 1 bertujuan untuk menciptakan Branch Company yang baik. Meskipun tidak mengadakan perekrutan terhadap insan media atau jurnalis-jurnalis ke dalam struktur organisasi Humas itu sendiri. Sebagaimana alasannya adalah karena BUMN atau PT. KAI memiliki peraturan sendiri dalam perekrutan pegawai, tidak sesembarangan merekrut. Implementasi media relations yang dijalankan oleh Humas PT. KAI Daop 1 Jakarta juga didukung oleh aktivitas media relations yang sesuai dengan konsep aktivitas media relations dari Ardianto dan Soemirat (2005:128). Aktivitas tersebut adalah press conference, press briefing, press tour, press release, special event, press lunch, dan press interview. Press conference atau konferensi pers dilakukan Humas PT. KAI Daop 1 ketika membutuhkan media-media massa untuk menginformasikan suatu kebijakan terbaru, isu yang sedang diangkat, serta kegiatan atau event yang sedang dijalankan oleh perusahaan menyangkut perkeretaapian. Konferensi pers yang pasti rutin dilakukan adalah ketika Hari-Hari Besar Nasional, seperti Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru. Pada Hari-Hari Besar Nasional tersebut volume pengguna transportasi kereta akan melonjak naik disebabkan oleh keliburannya maupun promo- promo tiket dari PT. KAI. Sehingga Humas memerlukan adanya konferensi pers untuk memberikan informasi sekaligus kepada kelompok media mengenai situasi besar pada hari besar tersebut. Press briefing dilakukan Humas PT. KAI Daop 1 dengan maksud agar informasi yang diberikan tersampaikan dengan fokus tidak keluar dari isu yang sedang diprogramkan untuk dipublikasikan. Kegiatan yang bertujuan untuk efisiensi dan efektifitas pemberian informasi ini juga dilakukan secara rutin saat melakukan peliputan atau di dalam konferensi pers. Press tour dilakukan Humas PT. KAI Daop 1 secara rutin beberapa tahun belakangan ini. Hal tersebut sudah termasuk

208 keuntungan sebab tidak semua Daerah Operasi dapat mengadakan press tour. Press tour dilakukan dengan tujuan memberikan wawasan mengenai perkeretaapian atau PT. KAI kepada wartawan. Terlebih lagi setiap tahunnya sering diadakan rolling jobdesk pada media massa, yang otomatis wartawan sebelumnya akan digantikan dengan yang lainnya yang belum pernah berhubungan dengan Humas PT. KAI Daop 1. Akan tetapi press tour belum ditetapkan menjadi kegiatan wajib setiap tahunnya, melainkan sesuai kebijakan atau gaya kerja masing-masing pemimpin Humas. Dalam hal ini, SM Humas PT. KAI Daop 1, Bambang, memiliki kebijakan dimana press tour harus diadakan paling tidak setahun sekali. Itu pun dapat terlaksana jika dananya disetujui oleh pimpinan PT. KAI. Berbeda dengan di daerah operasi lain yang sulit sekali mendapat dana untuk acara-acara sesuai gaya kepemimpinan masing-masing daerah. Press release dapat diberikan saat ada acara/event tertentu terlebih lagi saat press conference oleh Humas PT. KAI Daop 1. Press release juga dapat diberikan secara tidak langsung, yaitu saat tidak diperlukan pertemuan tetapi hanya membagikan rilisnya kepada pihak media massa melalui email, SMS, dan WhatsApp dengan format tulisan yang sama dan harus mengandung unsur 5W+1H. Press release diberikan juga saat interview yang dilakukan ada isu terkait angka untuk menjaga agar tidak ada kesalahan nominal yang disampaikan ke masyarakat maka Humas PT. KAI Daop 1 memastikannya dengan memberikan dalam bentuk tulisan. Special event yang diadakan PT. KAI Daop 1 mengundang awak media secara resmi baik individu maupun redaksional. Di dalam special event tersebut awak media dapat juga melakukan peliputan ataupun interview. Undangan atas special event pun tidak dibeda-bedakan melainkan semua media yang berhubungan

209 dengan Humas PT. KAI Daop 1 kecuali wartawan-wartawan “bodrek”. Press lunch dilaksanakan oleh Humas PT. KAI Daop 1 sebagai sarana untuk menjaga hubungan baik dengan awak media massa. Kegiatan tersebut sering dilakukan, seperti sengaja melakukan konferensi pers di rumah makan dan men-treat awak media dengan jamuan makan siang di tempat tersebut. Press interview adalah kegiatan yang selalu ada setiap harinya tidak mengenal tempat dan waktu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ini merupakan prinsip wajib bagi Humas PT. KAI Daop 1 untuk melayani pertanyaan interview wartawan media massa. Humas PT. KAI Daop 1 Jakarta menyadari bahwa media relations menopang keberhasilan program Humas PT. KAI sebagaimana Humas BUMN yang memiliki peran pemerintah dalam menyampaikan kebijakan-kebijakan terkait pula. Melalui aktivitas media relations di atas, perusahaan dapat menjalin hubungan yang saling menguntungkan atau kerja sama yang baik dengan media sebagai jembatan informasi dan persepsi dengan publik. Namun aktivitas press tour merupakan aktivitas baru di Humas PT. KAI Daop 1. Aktivitas ini baru diterapkan dalam beberapa tahun belakangan ini saja. Implementasi media relations pada PT. KAI Daerah Operasi 1 Jakarta dilakukan oleh Humas untuk menjaga citra positif perusahaan. Apa yang diberitakan atau diinformasikan oleh media dapat mempengaruhi pendangan publik terhadap objek pemberitaan, dalam hal ini PT. KAI. Dengan kata lain, baik buruknya citra PT. KAI ditentukan oleh pemberitaan atau informasi terkait perusahaan yang ada pada media massa.

210

SIMPULAN Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil penelitian yang berjudul Implementasi Media Relations dalam Upaya Menjaga Citra Positif di PT. KAI Daerah Operasi 1 Jakarta, kesimpulan yang peneliti peroleh adalah sebagai berikut: Implementasi media relations yang dilakukan oleh PT. KAI Daop 1 Jakarta sudah dijalankan dengan sebagaimana mestinya sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan oleh Humas PT. KAI Daop 1 Jakarta. Implementasi media relations Humas PT. KAI Daop 1 Jakarta juga sesuai dengan konsep Iriantara, yaitu “mengelola relasi, mengembangkan strategi, dan mengembangkan jaringan.” Namun Humas PT. KAI Daop 1 Jakarta kurang mengimplementasikan tahap mengembangkan jaringan di dalam media relations bila dibandingkan dengan mengelola relasi dan mengembangkan strategi. Aktivitas media relations yang dijalankan oleh Humas PT. KAI Daop 1 Jakarta sudah dijalankan dengan sebagaimana mestinya sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan oleh Humas PT. KAI Daop 1 Jakarta. Aktivitas media relations seperti, press conference, press briefing, press tour, press release, special event, press lunch, dan press interview sesuai dengan konsep Ardianto dan Soemirat. Namun aktivitas press tour merupakan aktivitas baru di Humas PT. KAI Daop 1. Aktivitas ini baru diterapkan dalam beberapa tahun belakangan ini saja. Kemudian implementasi ketujuh aktivitas media relations yang dilakukan oleh Humas PT. KAI Daop 1, lebih banyak kepada press conference, press briefing, dan press interview.

DAFTAR PUSTAKA Ardianto, Elvinaro. 2014. Hand Book of Public Relations. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

211

Cangara, H. Hafied. 2013. Perencanaan dan Strategi Komunikasi. Depok: PT. Rajagrafindo Persada. Cutlip, Scott. M., Allen H. Center, & Glen M. Broom. 2011. Effective Public Relations. Jakarta: Kencana. Danandjaja. 2011. Peran Humas Dalam Perusahaan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Iriantara, Yosal. 2005. Media Relations-Konsep, Pendekatan, dan Praktik. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Kriyantono, Rachmat. 2010. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana. ______. 2008. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Prenada Media Group. Moleong, Lexy. J. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nurudin. 2008. Hubungan Media-Konsep dan Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Nova, Firsan. 2011. Crisis Public Relations. Jakarta: Rajawali Press. Partao, Zainal Abidin. 2006. Media Relations-Strategi Meraih Dukungan Publik. Jakarta: PT Percetakan Penebar Swadaya. Ruslan, Rosady. 2010. Manajemen Public Relations dan Media Komunikasi: Konsepsi dan Aplikasi. Jakarta: Rajawali Pers. ______. 2010. Metode Penelitian: Public Relations dan Komunikasi. Jakarta: Rajawali Pers. ______. 2011. Etika Kehumasan. Jakarta: Rajawali Pers. Saputra, Wahidin & Rulli Nasrullah. 2011. Public Relations 2.0. Jakarta: Gramata Publishing. Salim, Agus. 2006. Teori Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. Soemirat, Soleh dan Elvinaro Ardiyanto. 2010. Dasar–Dasar Public Relations. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R & D. Bandung: Alfa Beta. Wardhani, Diah. 2008. Media Relations-Sarana Membangun Reputasi Organisasi. Yogyakarta: Graha Ilmu. West, Richard & Lynn H. Turner. 2013. Pengantar Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika.

212

Website: bumn.go.id (diakses pada 5 September 2015 pukul 20:00 WIB) www.kereta-api.co.id (diakses pada 5 September 2015 pukul 20:00 WIB) www.kompasiana.com (diakses pada 6 September 2015 pukul 15:15 WIB) www.okezone.com (diakses pada 4 November 2015 pukul 14:00 WIB) www.researchgate.net (diakses pada 7 November 2015 pukul 21:00 WIB)

Media Cetak: Bisnis Indonesia, 23 November 2015

213

PEMAHAMAN PENGELOLA UNIVERSITAS PADJADJARAN TERHADAP PELAKSANAAN PERGURUAN TINGGI NEGERI BERBADAN HUKUM (PTN BH)

Feliza Zubair, Ade Kadarisman, Retasari Dewi Universitas Padjadjaran [email protected]

PENDAHULUAN Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTNBH) adalah salah satu konsep penyelenggaraan perguruan tinggi dimana secara umum konsep ini membuat Perguruan Tinggi negeri mempunyai otonomi lebih untuk mengatur diri mereka sendiri dan memiliki keleluasaan dalam menyelenggarakan rumah tangganya. PTN Badan Hukum merupakan solusi yang dipilih pemerintah untuk memberikan kejelasan status bagi PTN yang dulu menyandang predikat BHMN. Istilah perguruan tinggi berbadan hukum ini pertama kali disebutkan dalam pasal 65 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 2012, bahwa penyelenggaraan otonomi perguran tinggi dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh menteri kepada PTN dengan menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan pendidikan tinggi bermutu. Dengan status PTNBH maka perguruan tinggi negeri akan lebih leluasa menyelenggarakan pendidikan tinggi secara otonom agar dapat menghasilkan pendidikan tinggi yang bermutu. PTNBH diatur sebagai salah satu bentuk sistem perguruan tinggi dalam pasal 76 UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dimana perguruan tinggi mmemperoleh kemandirian dalam pengelolaan perguruan tinggi yang meliputi bidang keuangan, sarana prasarana dan ketenagakerjaan.

214

Saat ini, sudah ada 11 perguruan tinggi negeri yang memiliki status PTNBH termasuk Universitas Padjadjaran, namun dalam penerapannya masih banyak menimbulkan berbagai permasalahan, antara lain kurangnya pemahaman nilai/hakekat/norma tentang perubahan, masih rancunya persepsi aplikasi PTNBH sehingga rentan terhadap penyalahgunaan wewenang dan aturan. Belum adanya manajemen/ pengelolaan komunikasi publik yang dapat membangun kesamaan pemahaman publik tentang manfaat perubahan tersebut, tidak hanya pada tingkat perguruan tinggi akan tetapi juga pada tingkatan pemerintah dan lembaga legislatif. Terjadinya beberapa kasus akibat penterjemahan “otonomi” yang kurang tepat sering merugikan pihak stakeholder. Misalnya kasus pada Universitas Indonesia, otonomi pengelolaan keuangan mengakibatkan tingginya SPP yang harus dibayar mahasiswa sehingga menimbulkan demo yang menolak kenaikan SPP tersebut. Beberapa point dalam UU No.12 tahun 2012 pasal 63 menegaskan bahwa PTN badan hokum dapat mengatur dirinya sendiri dalam menentukan segala kebijakannya, pembangunan badan usaha, serta diharuskannya fungsi akuntabilitas serta transparansi terutama perihal dana. Namun hal tersebut bukan berarti menciptakan komersialisasi pendidikan dan harus menaikkan SPP karena pada pasal 4 dijelaskan bahwa PTNBH harus menyelenggarakan fungsi pendidikan tinggi yang terjang kau oleh masyarakat. Pentingnya kesamaan persepsi dalam menterjemahkan setiap butir aturan dan perundang undangan dalam pengelolaan PTNBH membuat pentingnya mengutamakan komunikasi publik di perguruan tinggi. Semua aktivitas pendidikan tinggi bersifat pelayanan, seperti mulai dari seputar penerimaan mahasiswa baru, pelayanan kegiatan pembelajaran dan aktivitas kemahasiswaan, pengembangan dan kesiap terapan teknologi hingga pengabdian

215 kepada masyarakat. Permasalahannya adalah publik yang dilayani dalam dunia pendidikan tinggi beragam karakteristik, kepentingan dan kebutuhannya. Di setiap perguruan tinggi pihak yang bertanggung jawab dalam membangun relasi dengan publik biasanya adalah unit kerja kehumasan atau komunikasi public, dalam keberhasilan kegiatannya perlu dilakukan riset untuk mendapatkan gambaran atau profil khalayak. Hal ini akan sangat membantu pimpinan universitas ketika mengambil kebijakan atau mendesain program untuk kemudian diterjemahkan dalam hal teknis nantinya. Penelitian ini merupakan langkah awal bagi pembenahan kebijakan universitas di dalam melaksanakan konsep PTNBH untuk kemudian mengkomunikasikan kebijakan-kebijakan yang telah disepakati melalui komunikasi publik yang tepat. Komunikasi publik sendiri merupakan suatu kegiatan penyampaian pesan kepada sejumlah orang yang berada dalam suatu organisasi atau diluar organisasi, baik secara langsung (tatap muka) ataupun bermedia.Tujuannya adalah untuk memberikan informasi kepada sejumlah besar orang yang berkepentingan (publik) serta menjalin hubungan yang baik antara organisasi/perusahaan dengan seluruh pubiknya baik di dalam maupun di luar perusahaan. Universitas Padjadjaran merupakan salah satu perguruan tinggi yang telah menerapkan konsep PTNBH namun dalam pelaksanaannya masih mengalami berbagai pemasalahan. Permasalahan ini muncul karena persepsi para pengelola PTN yang berbeda-beda, akibatnya sering timbul pro dan kontra antara dimana peneliti ingin mengetahui Mengapa Unpad menerapkan PTN BH; Bagaimana pemahaman pengelola Unpad terhadap penerapan PTNBH; Bagaimana pemahaman mahasiswa Unpad terhadap PTN BH.

216

Penelitian ini menggunakan teori Konstruksi sosial atas realitas (Social Construction of Reality) dari Peter.L.Berger dan Thomas Luckman. Teori ini menganggap bahwa realitas sosial eksis dengan sendirinya dan struktur dunia sosial bergantung pada manusia yang menjadi subjeknya (Kuswarno,2009:11). Berkaitan dengan pelaksanaan PTN BH di Universitas Padjadjaran maka teori Konstruksi sosial dapat menjelaskan perilaku repetitive pengelola dan stakeholder dalam penerapan PTN BH tersebut.

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan paradigma interpretif konstruktifistik yang bertujuan untuk memahami tentang mengapa Unpad menerapkan PTN BH;Bagaimana pemahaman pengelola Unpad terhadap penerapan PTNBH; Bagaimana pemahaman mahasiswa Unpad terhadap PTN BH . Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Melalui pendekatan studi kasus peneliti akan melakukan pendekatan dari berbagai sisi yang menjadi ciri khas dari studi ini. Studi kasus adalah bentuk penelitian yang mendalam tentang suatu aspek lingkungan sosial termasuk manusia didalamnya (Nasution ,1991 : 45). Dalam penelitian ini digunakan studi kasus karena objek penelitian yang dikaji merupakan system yang unik, spesifik dan khusus, yaitu perguruan tinggi berbadan hukum yang melakukan kegiatannya sebagai bentuk tanggung jawab institusi terhadap publik namun didasari oleh kesadaran institusi dalam menyelenggarakan konsep “otonomi” secara tepat. Untuk memperoleh gambaran tentang bagaimana pemahaman Pengelola Universitas Padjadjaran terhadap Pelaksanaan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH), objek dipilih dengan teknik purposive sampling yaitu Universitas Padjadjaran dan subjek penelitian atau nara sumber

217 adalah pelaksana fungsi kehumasan yaitu Direktur Tata Kelola. Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara, observasi dan studi pustaka. Untuk validasi atau uji keabsahan data digunakan tehnik trianggulasi sumber yang memilih stakeholder sebagai trianggulator pada penelitian ini, yaitu Ketua Bem Universitas Padjadjaran

HASIL DAN PEMBAHASAN Menurut Wikipedia (2012), Perguruan tinggi adalah satuan pendidikan penyelenggara pendidikan tinggi. Peserta didik perguruan tinggi disebut mahasiswa, sedangkan tenaga pendidik perguruan tinggi disebut dosen. Menurut Raillon dalam Syarbaini (2009), perguruan tinggi adalah sebuah alat kontrol masyarakat dengan tetap terpeliharanya kebebasan akademis terutama dari campur tangan penguasa. Universitas Padjadjaran berdiri sejak 11 September tahun 1957 dengan salah satu misinya adalah menjadi perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan sesuai tuntutan massyarakat pengguna perguruan tinggi. Menyelenggarakan pendidikan tinggi yang berdaya saing internasional dan relevan dengan tuntutan pengguna jasa pendidikan tinggi dalam memajukan perkembangan intelektual dan kesejahteraan masyarakat. Menyelenggarakan pengelolaan pendidikan yang profesional dan akuntabel untuk meningkatkan citra perguruan tinggi; Membentuk insan akademik yang menjunjung tinggi keluhuran budaya lokal dan budaya nasional dalam keragaman budaya dunia.(sumber:www.unpad.ac.id) Unpad secara resmi menjadi PTN Badan Hukum melalui Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2014 pada Oktober 2014. Perguruan tinggi negeri badan hukum, disingkat PTN BH adalah

218 perguruan tinggi negeri yang didirikan oleh pemerintah yang berstatus sebagai badan hukum publik yang otonom. Penetapan PTN-BH dilakukan dengan peraturan pemerintah Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, sedangkan penetapan PTN-BLU (Badan Layanan Umum) dilakukan dengan Keputusan Menteri Keuangan atas usul Menteri Ristek dan Dikti PTN BH memiliki otonomi luas dalam hal akademik. Salah satunya, PTN juga dapat membuka dan menutup program studi di perguruan tingginya. PTN- BH merujuk pada pasal 25 butir 4 PP no. 4 tahun 2014, PTN BH berwenang menetapkan, mengangkat, membina dan memberhentikan tenaga tetap Non- PNS. PTN Badan Hukum menetapkan tarif biaya pendidikan berdasarkan pedoman teknis penetapan tarif yang ditetapkan menteri. Dalam penetapan tarif, PTN Badan Hukum wajib berkonsultasi dengan menteri. Tarif biaya pendidikan ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayai mahasiswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pihak pengelola Universitas Padjadjarabn masih belum sepenuhnya memahami keberadaan PTNBH, sehingga terjadi dilema diantara para pengelola dalam penerapan PTNBH. Hal ini disebabkan belum maksimalnya sosialisasi yang dilakukan pihak perguruan tinggi. Latar belakang Unpad menerapkan PTNBH berbeda dengan beberapa perguruan tinggi negeri lain yang telah lebih dahulu menerapkan PYNBH. Unpad adalah merupakan salah satu PTN yang “terpilih” menjadi pengelola PTN BH dikarenakan reputasi Unpad sendiri yang telah memenuhi kriteria dan layak menyelenggarakan PTN BH. Ini merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan bagi Unpad.

219

Peresmian Tata Kelola Universitas Padjadjaran oleh Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI dilaksanakan awal Januari 2016. Event ini menandai berarti mendapatkan kepercayaan pengelolaan otonomi perguruan tinggi dari pemerintah. Kepercayaan ini bukan sekadar memberikan otonomi pengelolaan, tetapi harus mampu meningkatkan kualitas institusi. Hal ini melatar belakangi berbagai perubahan dan penyesuaian oleh pengelola Unpad antara lain implemenrtasi Organisasi dan Tata Kerja baru. Pemahaman pengelola dalam hal ini salah satu nara sumber penelitian antara lain Direktur Tata Kelola dan Komunikasi Publik Unpad bahwa dengan status PTNBH Universitas padjadjadjaran memperoleh kepercayaan dalam mengelola otonomi perguruan tinggi dari pemerintah, Ini merupakan tanggung jawab yang harus diwujudkan kedalam bentuk-bentuk perbaikan dan pembenahan institusi. Rektor Unpad menekankan agar peran PTNBH ini dapat bergulir, beliau memahami PTNBH sebagai bentuk kepercayaan terhadap Unpad yang harus disambut dengan sepenuh hati. Untuk itulah diciptakan perangkat kerja yang dapat memfasilitasi pelaksanaan tugas sehingga kinerja mampu memenuhi target. Pemahaman stakeholder khususnya mahasiswa terhadap pengelolaan PTNBH di Unpad tergambar dari pernyataan yang disampaikan oleh ketua Bem Unpad Novri Firmansyah bahwa, “……yang berubah tentang otonominya. Jadi kalau ptnbh itu punya otoritas sendiri. Universitas punya menentukan kebijakan- kebijakan non akademiknya sendiri. Kemudian dia juga diharuskan mengelola dana sendiri”. Saat ini menurutnya saat ini Unpad masih dalam tahap pembenahan, namun seperti juga pada setiap pembenahan pasti ada yang dikorbankan, Novri merasa saat ini mahasiswa yang menjadi korban.

220

Dalam pembahasan tampak persepsi yang berbeda muncul akibat kurangnya komunikasi publik yang dilaksanakan Unpad terkait berbagai perubahan kebijakan setelah PTN BH. Bahkan pihak stakeholder khususnya mahasiswa Unpad mengetahui tentang PTNBH dari media sosial dan hasil mediasi dengan pihak “luar”, dalam hal ini persatuan Bem PTNBH. Hal ini menimbulkan berbagai prasangka dan kecurigaan pihak mahasiswa bahwa PTNBH malah merupakan politik yang lebih menguntungkan pihak universitas dan pemerintah. Berdasarkan kenyataan sosial, unsur terpenting dalam konstruksi sosial adalah masyarakat. Yang di dalamnya terdapat aturan-aturan atau norma, baik itu norma adat, agama, moral dan lain-lain yang akan membentuk sebuah struktu sosial yang besar atau suatu institusi dalam penlitian ini PTN BH. Struktur sosial atau institusi itu merupakan bentuk yang mapan yang diikuti oleh kalangan luas. Dalam penelitian ini teori konstruksi sosial menjelaskan perilaku repetitif dalam komunikasi publik/interaksi PTN BH, tipe-tipe komunikasi publik/interaksi yang diterapkan pihak Unpad. Pihak stakeholder salah satunya mahasiswa mengganggap bahwa interaksi terkait PTNBH masih sangat kurang.

SIMPULAN Latar belakang Unpad menerapkan PTNBH berbeda dengan beberapa perguruan tinggi negeri lain yang telah lebih dahulu menerapkan PYNBH. Unpad adalah merupakan salah satu PTN yang “terpilih” menjadi pengelola PTN BH dikarenakan reputasi Unpad sendiri yang telah memenuhi kriteria dan layak menyelenggarakan PTN BH. Ini merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan bagi Unpad. Pemahaman pengelola dalam hal ini salah satu nara sumber penelitian antara lain Direktur Tata Kelola dan

221

Komunikasi Publik Unpad bahwa dengan status PTNBH Universitas padjadjadjaran memperoleh kepercayaan dalam mengelola otonomi perguruan tinggi dari pemerintah, Ini merupakan tanggung jawab yang harus diwujudkan kedalam bentuk-bentuk perbaikan dan pembenahan institusi. Pemahaman stakeholder khususnya mahasiswa terhadap pengelolaan PTNBH di Unpad bahwa ptnbh itu punya otoritas sendiri. Universitas punya menentukan kebijakan-kebijakan non akademiknya sendiri, juga diharuskan mengelola dana sendiri. Saat ini menurutnya saat ini Unpad masih dalam tahap pembenahan, namun seperti juga pada setiap pembenahan pasti ada yang dikorbankan, Novri merasa saat ini mahasiswa yang menjadi korban. Persepsi yang berbeda muncul akibat kurangnya komunikasi publik yang dilaksanakan Unpad terkait berbagai perubahan kebijakan setelah PTN BH Bahkan pihak stakeholder khususnya mahasiswa Unpad mengetahui tentang PTNBH dari media sosial dan hasil mediasi dengan pihak “luar”, sehingga perlu ditingkatkan kegiatan komunikasi public terkait PTNBH dan berbagai kebijakannya. Unpad sebaiknya menggunanakan semyua kemungkinan media yang ada untuk menjalin saling pengertian dengan semua pihak dalam pengelolaan PTNBH ini, sesuai teori Konstruksi Atas Realitas maka dasar persamaan persepsi adalah akibat interaksi yang intensif dan terus-menerus.

DAFTAR PUSTAKA Ardianto Elvinaro. 2010. Metodologi Penelitian Untuk Public Relations.Bandung: Simbiosa Sobur. Alex. 2001. Etika Pers Profesionalisme Dengan Nuran. Bandung: Humaniora Utama Pers Cangara. H. Hafied. 2008. Pengantar Ilmu Komunikasi edisi Revisi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

222

Christenson,james.A. dan Robinson. W. 1989. Community Development in Perspektif, ISU Press. Iowa Denzin, N.K. dan Y.S. 1998. The landscape of Qualitative Reseach: Theories and Issues. London: Sage Publication Dariyatno dkk. 2009. Handbook of Qualitative Research in Norman.k.Denzin and Yvonna S.Lincoln. Edisi Berbahasa Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Effendy. Onong Uchjana. 1989. Kamus Komunikasi. Bandung: Mandar Maju Effendy, Onong Uchjana. 2000. Dinamika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Iriantara, yosal. 2004. Community Relations konsep dan Aplikasinya. Bandung: Simbiosa Rekatama Media Jefkins, Frank. 1992. Hubungan Masyarakat. Jakarta: Intermasa Kotler, Philip. 2002. Dasar-dasar Pemasaran. Jakarta: Prenhallindo Kriyantoro, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi Jakarta: Kencana Prenada Media Grup Mulyana, Deddy. 2014. Cultures and Communication. Bandung: Rosda

223

PUBLIC RELATIONS DAN KOMUNIKASI PELAYANAN

Tresna Wiwitan, Nurrahmawati, ME. Fuady [email protected] , [email protected]

PENDAHULUAN Realitas yang terjadi saat ini Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Jawa Barat perlu kerja keras dalam upaya meningkatkan jumlah mahasiswa. Pemerintah provinsi jawa barat memberikan ‘kebebasan’ kepada perguruan tinggi negeri (PTN) untuk membuka kampus di daerah, misalkan; ITB membuka kampus di Jatinangor dan di kota Cirebon, Unpad membuka kampus di kabupaten Pangandaran. Selain itu ada PTS di daerah yang beralih status menjadi PTN, misalkan; Universitas Siliwangi Tasikmalaya menjadi PTN. Fenomena ini mempersempit ruang gerak dan pangsa pasar PTS yang berada di Jawa Barat. Edi Suwandi Hamid, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi), menilai, akan banyak perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) gulung tikar akibat tak siap menghadapi persaingan global."Tak menutup kemungkinan ada PTN maupun PTS yang gulung tikar karena tak siap dengan gempuran universitas dari negara lainnya saat MEA diberlakukan," kata Edi. Menurutnya, perguruan tinggi di Indonesia harus mempersiapkan diri dengan meningkatkan kualitas. 45 Berdasarkan fenomena tersebut, PTS harus melakukan peningkatan berbagai kualitas, baik dalam sumber daya manusia, modal, riset, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), dan lain-lainnya. Aspek-aspek tersebut juga dapat tercermin bagaimana PTS dalam memberikan pelayanannya kepada publik

45 www.harianterbit.com Kamis, 23 Oktober 2014.

224 eksternal. Setiap penyelenggara perguruan tinggi swasta hendaknya memberikan pelayanan yang excelent, prima, dan seluruh pelayanan terbaiknya kepada para calon mahasiswa yang diharapkan akan mendaftar dan memasuki PTS. Hal ini juga terkait dengan roda keberlangsungan PTS dimana sebagian besar pemasukannya bersumber dari mahasiswa. Carlzon (Saleh, 2010: 2) menyatakan, salah satu cara untuk menciptakan pasar yang baru adalah dengan melakukan kegiatan pelayanan komunikasi kepada masyarakat. Kegiatan pelayanan merupakan kegiatan sadar yang dilakukan oleh seseorang dalam memenuhi kebutuhan orang lain dengan cara yang terbaik. Saat ini perkembangan jaman mengarah pada keterbukaan, mondial, dan demokratis. Paradigma lama dalam penyelenggaraan organisasi, baik pemerintah maupun swasta yang mengandalkan kewenangan, dan cenderung mengabaikan kualitas dan kuantitas pelayanan sudah selayaknya ditinggalkan. Carlzon menamakan abad ini sebagai “abad pelanggan”, abad dimana para pengguna jasa diposisikan ditempat terhormat. Calon mahasiswa baru, yaitu para siswa lulusan sekolah lanjutan atas, merupakan sasaran utama dari Penyelenggara PTS yang diposisikan sebagai calon pelanggan, tentunya harus diberikan service yang berkualitas. Dengan kualitas pelayanan yang baik diharapkan tercipta hubungan saling pengertian yang harmonis, sehingga tercipta citra yang positif tentang PTS. Menurut Jose M. Pina (2004:8), salah satu aspek yang mepengaruhi pembentukan citra lembaga adalah service quality, yang merupakan penilaian secara global yang berkenaan dengan superioritas suatu jasa. Citra PTS dibentuk melalui pengalaman, pandangan, sikap dan keyakinan kolektif mengenai PTS, termasuk pengalaman berinteraksi secara langsung dan tidak langsung dalam pelayanan penerimaan calon mahasiswa. Dengan demikian citra

225

PTS yang baik dapat terbentuk dengan terpenuhinya harapan calon mahasiswa atas kualitas pelayanan yang baik. Standar komunikasi pelayanan penerimaan mahasiwa baru (PMB) ditetapkan oleh lembaga pendidikan dan disepakati oleh publik internal dalam upaya mengatur bagaimana seharusnya komunikasi pelayanan PMB dilakukan. Sifat standar komunikasi pelayanan ini harus bersifat fleksibel professional dan diterapkan secara adil pada setiap calon mahasiswa, serta tidak terlepas dari identitas lembaga.

METODE PENELITIAN Metode studi kasus adalah sutu eksplorasi atas sebuah "bounded system" atau sebuah kasus (atau banyak kasus) pada kurun waktu tertentu melalui pengumpulan data mendalam secara terperinci, melibatkan sumber-sumber informasi yang kaya dalam konteks (Creswell, 2012 : 61). Menurut Elvinaro (2010:64), studi kasus merupakan tipe pendekatan dalam penelitian yang menelaah satu kasus secara intensif, mendalam, mendetail, dan komprehenesif. Stake dalam Creswell (2012:20), studi kasus merupakan strategi penelitian di mana didalamnya peneliti menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses, atau sekelompok individu. Kasus-kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti menumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan. Berdasarkan fenomena yang ada di lapangan maka tim peneliti menggunakan pendekatan studi kasus mengenai standar komunikasi pelayanan di perguruan tinggi swasta. Penelitian ini termasuk dalam desain multi kasus karena unit analisisnya lebih dari satu, yaitu kualitas pelayanan penerimaan mahasiswa baru di Universitas Gunadarma, Universitas Islam Bandung, dan Universitas Muhammadiyah Cirebon. Pemilihan objek penelitian

226 dilakukan secara purposif berdasarkan akreditasi perguruan tinggi, PTS yang berakreditasi A, B, dan C.

HASIL DAN PEMBAHASAN Standar Komunikasi Pelayanan di Universitas Gunadarma, Universitas Islam Bandung (Unisba), dan Universitas Muhammadiyan Cirebon (UMC) Universitas Gunadarma Komunikasi pelayanan penerimaan mahasiswa baru (PMB) di Universitas Gunadarma dilakukan oleh mahasiswa tingkat akhir dan alumni yang menjadi panitia PMB dengan melalui seleksi yang dilakukan bagian sekretaiat Rektor. Universitas Gunadarma merupakan perguruan tinggi yang berbasis teknologi, sehingga berbagai aktivitas perguruan tinggi dilakukan dengan menggunakan teknologi, termasuk PMB. Website merupakan salah satu media yang digunakan untuk memberikan informasi mengenai PMB. Pendaftaran mahasiswa baru tidak mengenal sistem gelombang, tetapi dimulai pada bulan Februari dan berakhir apabila kuota mahasiswa sudah terpenuhi. Test ujian saringan tidak mengenal jadual tetapi disesuaikan dengan kuota yang telah ditetapkan. Penerimaan mahasiswa baru (PMB) dilakukan memalui empat jalur, yaitu pendaftaran jalur reguler, reguler online, PMDK online, dan PMDK melalui sekolah (reguler), selain itu ada jalur khusus beasiswa. Mekanisme pendaftaran secara reguler di mulai dari bagian informasi, kemudian membeli formulir prndaftaran. Sedangkan pendaftaran secara online, dimulai dengan membuka website, lakukan pendaftaran sesuai dengan alur pendaftaran di website Gunadarma. Petugas PMB tidak boleh berbelit-belit ketika memberikan informasi harus jelas, ramah untuk meminimalisir terjadinya masalah pada pendaftaran.

227

Gambar Alur Pendaftaran di Universitas Gunadarma

Universitas Islam Bandung (Unisba) Komunikasi pelayanan penerimaan mahasiswa baru (PMB) Unisba dilakukan oleh panitia PMB yang terdiri dari karyawan bagian humas, akademik, keuangan, pusat pengolahan data (puslahta), dan bagian kemahasiswaan. Panitia dipilih oleh ketua panitia, dengan dasar yang terpilih merupakan karyawan yang komunikatif. Setiap tahun bagian kepegawaian melakukan pelatihan public relations dan kualitas pelayan prima untuk para karyawan secara bergiliran. Standar komunikasi pelayanan PMB di Unisba hampir sama dari tahun ke tahun, namun diupayakan ada kenaikan kepuasan pelayanan komunikasi yang diterina oleh calon mahasiswa. Mekanisme komunikasi pelayanan PMB Unisba dilakukan secara online, namun Unisba tetap membuka layanan pendaftaran di kampus dengan tujuan untuk membantu calon mahasiswa melakukan pendaftaran secara online. Pendftaran dimulai dengan membeli formulir melalui bank BRI syariah, kemudian memperoleh password dan user name, log in. Pendaftaran secara online ini dapat difasilitasi oleh petugas PMB di kampus Unisba, dengan mendapatkan informasi mengenai fakultas-fakultas yang ada di Unisba.

228

Gambar Alur Pendaftaran PMB Unisba

Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC) Komunikasi pelayanan penerimaan mahasiswa baru (PMB) UMB dilakukan oleh panitia yang berjumlah empat orang dan ditunjuk langsung oleh Rektor. Panitia PMB dibantu oleh mahasiswa yang mendapatkan beasiswa bidik misi dan pelajar yang melakukan kerja lapangan. Segmentasi calon mahasiswa UMC berasal dari kota Cirebon, kabupaten Cirebon, kabupaten Kuningan, kabupaten Majalangka, dan kabupaten Indramayu. Pendaftaran PMB dilakukan secara manuan, belum online. Strategi pelayanan PMB UMC mengandalkan sistem “one day service”. Dimana calon mahasiswa melakukan pendaftaran, ujian, wawancara, dan pengumuman penerimaan dilakukan dalam satu hari. Strategi inilah yang menjadi andalan komunikasi pelayanan PMB UMC. Mekanisme komunikasi pelayanan PMB dimulai dari pendaftaran dengan mengisi formulir, mengumpulkan persyaratan, ujian tertulis, wawancara, dan pengumuman kelulusan.

Gambar Alur Pendaftaran PMB UMC

229

Customer Relationship Management (CRM) dalam Komunikasi Pelayanan Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) Standar komunikasi pelayanan yang ditetapkan oleh lembaga merupakan hasil kesepakatan dengan seluruh publik internal dalam upaya memberikan pelayanan kepada publik. Sifat standar komunikasi pelayanan harus bersifat fleksibel professional dan diterapkan secara adil kepada setiap orang yang membutuhkan layanan. Maka dari itu standar komunikasi pelayanan PMB PTS harus diketahui oleh publik internal dan terpampang dengan jelas di area pelayanan oleh semua pihak yang berkepentingan terhadap perguruan tinggi. Standar komunikasi pelayanan ini harus dipahami bersama dan dilaksanakan secara professional oleh setiap petugas yang memberikan pelayanan sehingga dapat menciptakan kesan (citra) positif terhadap lembaga. Dalam konteks penelitian ini, alur pendaftaran mahasiswa baru di perguruan tinggi harus digambarkan dan dideskripsikan secara jelas di website dan tempat pendaftaran. Untuk pendaftaran secara online di Universitas Gunadarma dan Unisba tidak hanya dideskripsikan tetapi harus digambarkan dalam bentuk diagram alir untuk proses pendaftaran (flowchart) di website dan tempat pendaftaran. Untuk pendaftaran PMB secara manual di UMC, proses pendaftaran dalam bentuk diagram alir harus ditempelkan ditempat pendaftaran. Standar komunikasi pelayanan PMB merupakan salah satu upaya untuk menjalin hubungan baik dengan calon mahasiswa. Ada beberapa alasan mengapa perguruan tinggi harus melakukan hubungan baik dengan calon mahasiswa: 1) Untuk mengetahui kebutuhan dan harapan berdasarkan sudut pandang calon mahasiswa sehingga akan memudahkan untuk menyusun strategi pelayanan; 2) Mendorong tingkat loyalitas pelanggan terhadap jasa layanan yang diberikan oleh perguruan tinggi; 3) Untuk meningkatkan pertumbuhan jangka panjang dan profitabilitas

230 perguruan tinggi melalui pengertian yang lebih baik terhadap kebiasaan calon mahasiswa. Pada dasarnya, konsep CRM mucul berdasarkan konsep relationship marketing. Apabila dalam relationship marketing lembaga berusaha untuk menjalin hubungan dengan seluruh pihak yang berkepentingan dalam lembaga, maka CRM menekankan pada sisi pelanggan saja (Saleh, 2010:50). Pelanggan yang dimaksud bukan hanya kepentingan pelanggan eksternal melainkan juga pelanggan internal, yaitu karyawan. Tujuan utama yang ingin dicapai strategi CRM adalah untuk mengembangkan hubungan yang menguntungkan dengan pelanggan. Tujuan CRM ini selaras dengan lingkup public relations dalam suatu organisasi, yaitu membina hubungan baik dengan pelanggan. Keberadaan public relations (PR) dalam suatu lembaga menurut F. Rachmadi (1996:21), bahwa: “public relations menumbuhkan dan mengembangkan hubungan baik antara organisasi/lembaga dengan publiknya, intern maupun ekstern dalam rangka menanamkan pengertian, menumbuhkan motivasi dan partisipasi publik dalam upaya menciptakan iklim pendapat (opini publik) yang menguntungkan lembaga/organisasi”. Komponen keberhasilan CRM menurut Anton dan Petouhoff (Saleh, 2010:52) ditentutakan oleh tiga faktor utama, yaitu: 1) People (manusia), sikap dan kemampuan dari orang yang merespon adanya CRM; 2) Process (proses), proses perusahaan telah diidentifikasi untuk mengaktifkan atau memastikan bahwa tujuan CRM terpenuhi-ini termasuk interaksi transaksional dengan pelanggan; 3) Technology (teknologi), teknologi akan memampukan fungsi yang diinginkan untuk praktek CRM. Dalam konteks penelitian ini komponen keberhasilan CRM pada komunikasi pelayanan PMB di PTS ditentukan oleh faktor:

231

People (manusia), panitia PMB yang menjadi frontliner dalam PMB menjadi faktor utama dalam mengelola hubungan atau relasi dengan calon mahasiswa. Frontliner harus mempunyai kemampuan ‘personal touch’ dalam upaya melakukan pendekatan secara personal dan semangat untuk lebih proaktif mengenal calon mahasiswa agar lebih memuaskan mereka. Perguruan tinggi swasta yang menerapkan konsep CRM harus menempatkan panitia PMB yang dapat menjelaskan dan menanamkan nilai-nilai mengenai pentingnya membina hubungan dengan calon mahasiswa. Maka dari itu PTS harus secara kontinyu memberikan pelatihan pelayanan prima kepada karyawan dan khususnya kepada panitia PMB, dalam upaya menanamkan kesadaran karyawan dan nilai-nilai tentang pentingnya memberikan pelayanan terbaik kepada stakeholders, bukan karena tugas tatapi suatu keharusan sebagai bagian dari ibadah habluminanas. Process (proses), yaitu sistem atau prosedur yang membantu panitia PMB untuk dapat menjalin hubungan dekat dengan calon mahasiswa. Kebijakan PTS harus mampu mendukung implemetasi CRM dalam kegiatan PMB, tahapan pada proses CRM meliputi: a) Identifikasi, PTS harus memiliki analisa yang cukup kuat melalui riset yang dilakukan Humas PTS terhadap calon mahasiswa yang mempunyai kontibusi besar terhadap perguruan tinggi. 2) Diferensiasi, yaitu proses memilah calon mahasiswa berdasarkan demografi, tingkahlaku, dan ekspektasi, misalkan informasi mengenai kota/kabupaten mana saja yang menjadi wilayah target PTS, dan sekolah mana saja yang memberikan kontribusi besar terhadap PTS. 3) Interkasi (komunikasi), menjalin interaksi secara kontinyu dengan calon mahasiswa dan sekolah-sekolah. Komunikasi yang dilakukan bisa secara langsung (komunikasi personal dan kelompok) atau menggunakan media massa dan media sosial.

232

Technology (teknologi), teknologi diperkenalkan untuk membantu, mempercepat dan mengoptimalkan faktor manusia dan proses dalam aktivitas CRM. Dalam konteks penelitian ini teknologi membantu calon mahasiswa yang tidak daftar secara manual (reguler) atau diluar kota untuk mendaftar secara online. Selain itu peran teknologi dalam CRM adalah membangun database calon mahasiswa mulai dari sistem operasi hingga transaksi. Universitas Gunadarma dan Unisba sudah menggunakan teknologi dalam komunikasi pelayanan PMB, dimana calon mahasiswa bisa mendaftar secara online, sedangkan UMC belum menggunakan pendaftaran secara online. Tresna Wiwitan dan Neni Yulianita dalam jurnal Mediator, menyatakan bahwa: “dalam upaya meningkatkan jumlah mahasiswa baru Perguruan Tinggi Islam Swasta (PTIS) antara lain meningkatkan kualitas akademik dan mutu pelayanan” 46. Artinya apabila dihubungkan dengan konsep CRM, maka meningkatkan mutu pelayanan ini berkaitan dengan mutu pelayanan people, process, dan technology. Untuk saat ini sudah seharusnya PTS meningkatkan komunikasi pelayanan publik dalam upaya menciptakan citra yang baik (good image) dan membangun kepercayaan (trust) untuk membina hubungan baik dengan publik. Citra yang positif dan kepercayaan ini menjadi faktor utama bagi perguruan tinggi untuk tetap bertahan dan dipercaya oleh masyarakat.

SIMPULAN Komunikasi pelayanan PMB di Universitas Gunadarma menggunakan sistem reguler, online, PMDK online, dan reguler. Unisba komunikasi pelayanan PMB menggunakan sistem online,

46Strategi ‘Marketing Public Relations’ Perguruan Tinggi Islam Swasta: Peluang dan Tantangan di Era MEA. Jurnal Mediator Vo. 10. No. 1. Juni 2017.

233 pendaftaran di kampus masih diadakan dalam upaya membantu calon mahasiswa untuk memberikan informasi dan membantu calon mahasiswa untuk mendaftar secara online. Komunikasi pelayanan PMB di UMC menggunakan sistem manual dengan teknik ‘one day service’, yaitu mendaftar, ujian test tertulis, wawancara, dan pengumuman kelulusan dilakukan dalam satu hari. Customer Relationship Managemenet (CRM) merupakan salah satu strategi komunikasi pelayanan yang dapat diterapkan atau diaplikasikan PTS dalam membina hubungan baik dengan calon mahasiswa. CRM merupakan upaya untuk memberikan pelayanan terbaik dan membina hubungan yang baik dengan calon mahasiswa. Ada tiga faktor yang mempengaruhi keberhasilan CRM dalam komunikasi pelayanan PMB di PTS, yaitu people, process, dan technology. Strategi CRM sangat berkaitan dengan keberadaan PR (Humas) dalam suatu lembaga dimana PR mengembangkan dan membina hubungan baik dengan publik, internal dan eksternal dalam upaya menciptakan citra yang baik (good image) dan menumbuhkan kepercayaan (trust) masyarakat kepada perguruan tinggi.

DAFTAR PUSTAKA Ardianto, Elvinaro. 2010, Metode Penelitian untuk Public Relations Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung. Simbiosa Rekatama Media. Creswell. W John. 2012. Research Design Pendekatan, Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed, Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Creswell W John. 2013. Qualitative Inquiry & Research Design; Choosing Among Five Approaches. California. SAGE Publications. Kotler, Philip. 2005. Manajemen Pemasaran. Jilid 1. Jakarta. PT INDEKS.

234

Saleh, Akh, Muwafik. 2010. Public Service Communication: Praktik Komunikasi dalam Pelayanan Publik. Malang. UMM Press. Soemirat, Soleh dan Elvinaro Ardianto. 2002. Dasar-dasar Public Relations. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. Wilcox L. Dennis, Ault H. Philip & Agee. K Warren. 2006. Public Relations Strategi dan Taktik, Terjemahan Rosa Kristiwati. Batam. Interaksara. Wiwitan, Tresna dan Yulianita, Neni. 2017. Strategi “Marketing Public Relations’ Perguruan Tinggi Islam Swasta: Peluang dan Tantangan di Era MEA. Jurnal Mediator Voume 10. Nomor 1. Tahun 2017.

235

KEBIJAKAN UPAH BURUH DAN DILEMA BURUH KONTRAK DI JAWA BARAT

Prijana Universitas Padjadjaran [email protected]

PENDAHULUAN Isu utama yang diusung para buruh melakukan mogok antara lain masalah alih daya ( outsourcing ) dan penjanjian kerja waktu tertentu ( kontrak ) yang tersurat melalui UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 59 dan pasal 64, 65 dan 66. Semenjak Undang-undang ini diberlakukan, gelombang unjuk rasa buruh yang menuntut revisi belum juga diakomodir dan dilakukan (semenjak 2004). Di luar pasal-pasal tersebut menurut kaum buruh masih banyak pasal yang masih harus diperbaiki, namun pihak pengusaha dan pemerintah tampaknya revisi tersebut belum bisa dilakukan, mengingat hadirnya para investor luar negeri lebih utama dan penting daripada persoalan-persoalan yang sedang dihadapi kaum buruh. Di tengah-tengah tekanan global dengan adanya pasar bebas dan kebutuhan pemerintah untuk mengundang investor menanam saham atau membangun perusahaan, telah membuat sulitnya pemerintah untuk bersikap di antara dua tekanan yakni kaum buruh dan pengusaha. Persoalan krusial terjadi bukan hanya di tataran substansi dan mekanisme di lapangan, namun sudah menyangkut cara berpikir dan kesadaran semua elemen pelaku produksi antara buruh, pengusaha dan pemerintah. Berbagai fakta dan sejarah kehidupan buruh seakan menjadi bukti betapa dalam relasi kerja dan relasi sosial kaum buruh terus dipinggirkan dan menjadi objek pemilik modal untuk memeras dan mengeruk keuntungan materi sebanyak mungkin. Realitas kehidupan kaum

236 buruh yang belum layak seakan harus berhadapan dengan minimnya pemahaman dan kesadaran para pengusaha yang seringkali berkolaborasi dengan elite birokrasi, termasuk memanfaatkan kelemahannya. Tentang alih daya dan buruh kontrak dalam implementasinya dipandang kaum buruh telah merugikan mereka dalam menjalankan pekerjaannya. Beberapa persoalan yang sering dialami buruh kontrak antara lain: kaum buruh dengan status perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT/kontrak) tidak mendapatkan lagi hak atas uang pesangon, uang penghargaan serta uang ganti rugi jika di PHK, kemudian tidak mendapat jaminan sosial (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK); Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT) maupun Jaminan Kematian (JK), dan hampir semua buruh kontrak jangka pendek (PKWT-Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) tidak mendapatkan THR, kalaupun ada jauh di bawah aturan. Di samping itu mereka juga tidak mendapatkan tujangan-tunjangan ataupun bonus, bahkan buruh dengan status PKWT dipaksa untuk bekerja lebih keras agar bisa di perpanjang kontrak kerjanya. Demikian halnya dengan masalah alih daya ( outsourcing ) pekerjaan ke pihak lain, dalam implementasinya masih memiliki kelemahan yang dianggap kaum buruh telah merampas hak-hak normatif mereka. Berdasarkan data hasil investigasi yang di lakukan oleh DPP-GSBI (2011) menunjukkan bahwa buruh kontrak dan alih daya ( outsourcing ) mengalami peningkatan rata-rata sebesar 5 % tiap tahunnya. Pada tahun 2010 saja jumlah buruh kontrak dan outsourcing di Indonesia diperkirakan mencapai 66,425%, disini sektor yang paling banyak menggunakan sistem kerja kontrak dan outsourcing adalah sbb: pertama, sektor industri jasa (satpam, cleaining service, ritel, perbankkan dlsb) jumlahnya mencapai 85 %; Kedua: sektor industri garment, tekstil dan sepatu jumlahnya

237 diperkirakan mencapai 65%, sektor industri metal dan elektronik diperkirakan sekitar 60,7%, Sektor Industri dasar dan pertambangan diperkirakan mencapai 55%. Data ini lebih besar bila dibandingkan dengan data yang pernah di keluarkan oleh Bank dunia dan ILO pada akhir tahun 2010. Data Bank Dunia dan Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization/ILO) menunjukkan bahwa jumlah pekerja atau buruh berstatus tetap hanya tinggal 35 % dari 33 juta buruh formal di Indonesia. Padahal, lima tahun lalu jumlahnya pada kisaran 70%, artinya sebanyak 65% adalah buruh dengan status outsourcing dan buruh kontrak. Posisi dilematis dan tantangan berat tentu berada dipihak pemerintah, khususnya para elite di Kementras atau para pegawai di bawahnya telah melakukan langkah-langkah strategis dalam menjalankan tugas? Sudahkah Kementrans dan seluruh jajarannya menjadi fasilitator dan wasit yang adil? Ataukah sebaliknya? Mereka sama-sama menjadi penyulut semakin kisruh dan tidak jelasnya pelaksanaan UU ketenagakerjaan? Jika menurut berbagai temuan, satu pihak lahirnya UU No.13 tahun 2003 diharapkan mampu mengakomodir kepentingan buruh dan pengusaha, namun di sisi lain tuntutan buruh untuk menghapus dan atau merevisi UU mendapat tekanan kuat dari para pengusaha. Jika tidak ingin para investor atau calon investor hengkang. Berharap kaum buruh memahami situasi ini seakan sulit dan anti klimak. Para buruh menganggap berada pada posisi yang dirugikan hak- haknormatifnya maupun berbagai tunjangan lainnya. Pemerintah seakan menjadi sasaran puncak segala persaoalan yang dihadapi yakni kepentingan kaum buruh dan pengusaha. Penegakan kepastian hukum oleh aparat pemerintah tentang UU ketenagakerjaan seringkali dilemahkan oleh ketidakberdayaan mereka jika berhadapan dengan para pemilik modal. Berbagai praktik pelanggaran peraturan perundang-

238 undangan bukan hanya bermasalah dalam perumusan dan implementasinya, juga peraturan daerah yang dibuat seringkali tumpang tindih antara satu dinas dengan dinas lainnya. Bahkan pihak pengusaha selalu merasa telah banyak keluar uang untuk berbagai urusan, pelayanan, perijinan dan lain sebagainya. Bahkan keluarnya satu perda (peraturan daerah) identik dengan keluarnya sejumlah uang yang besar dan memberatkan pengusaha. Demikian halnya, dengan pelaksanaan pasal tentang buruh kontrak dan alih daya pekerja, dinas terkait lebih banyak ‘menutup mata’ terhadap berbagai pelanggaran daripada melaporkan keadaan yang sesungguhnya. Ujung-ujungnya tentu pola kongkalikong, butuh sama butuh atau tahu sama tahu yang menjadi tradisi laten. Demikian halnya dengan pengusaha, dengan berbagai alasan atas berbagai fakta yang terus menerus membebani biaya produksi dan kelangsungan berusahanya, tidak bisa menyerah begitu saja. Kehadiran buruh kontrak dan alih daya bisa disiati dengan berbagai cara termasuk pengetatan atau efisiensi biaya. Sehingga buruh kontrak dan alih daya menjadi cara terbaik dalam melancarkan dan melanjutkan usahanya. Bahkan ditemukan ada perusahaan yang dinyatakan bangkrut oleh pengadilan, karena karyawannya adalah karyawan tetap. Bahkan sudah menjadi pendapat umum, bahwa UU yang dibuat itu untuk dilanggar atau disiasati. Lemahnya penegakan dan pengawasan hukum oleh aparat terkait. Apalagi ada asumsi bahwa semakin tingginya pengangguran dan SDM yang kurang terampil, tentunya menjadi alasan bagi pengusaha untuk bertindak semaunya dalam memperlakukan buruh (termasuk eksploitasi dan diskriminatif), termasuk rekayasa berbagai pengeluaran bagi meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Bahkan komentar pengusaha terhadap aksi unjuk rasa buruh dinilai sangat merugikan dan para buruh dianggap tidak tahu diri. Benar bahwa pengusaha adalah sumber mata pencaharian, namun sampai kapan hubungan buruh-pengusaha

239 menjadi hubungan yang konfliktual dan penuh prasangka. Dan terus menjadi bom waktu dalam relasi kerja dan relasi sosial. Para buruh sadar bahwa dirinya dan pengusaha adalah aset yang berharga yang harus dijaga bersama, namun hubungan tersebut masih bias dan ambigu, karena dipenuhi dengan berbagai prasangka buruk di kedua belah pihak. Buruh menilai bahwa prngusaha tidak memiliki niat untuk mewujudkan hidup para buruh yang layak sebagai manusia. Penghitungan upah minimum baik fisik maupun kebutuhan hidup yang layak misalnya, seringkali dinilai para buruh penuh dengan rekayasa, termasuk survai harga pasar bahan-bahan pokok yang menjadi elemen dalam menentukan upah minimum, benar-benar mencari harga yang sangat minim dengan kualitas barang yang rendah dan termurah. Kaum buruh masih menilai bahwa pengusaha selalu melemahkan dan menghisap keringat mereka untuk meraih keuntungan maksimal, termasuk dengan memberlakukan buruh kontrak dan alih daya. Kaum buruh pun harus menyadari bahwa dalam aksi unjuk rasa tidak hanya merugikan langsung secara ekonomis, namun pencitraan negatif kiprah dan sosok buruh akan semakin menguat, bahkan para investor pun semakin khawatir dengan fenomena ini. Alih-alih unjuk rasa yang selalu menampilkan kekerasan sosial dan simbolik.

METODE PENELITIAN Metode yang digunakan adalah analisis data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat, beberapa wawancara dengan pihak Dinas tenaga kerja dan trasmigrasi Jawa Barat, dan analisis kritis dengan metode falsifikasi Karl Popper yang ditampilkan dalam bentuk tampilan data tunggal, atau yang dikenal dengan analisis positivis klasik, melalui parameter proporsi.

240

Data sekunder dikumpulkan melalui data-data statistik untuk 5 (lima) tahun terakhir, khususnya yang menyangkut jumlah penduduk, ketenagakerjaan, dan beberapa data tentang perkembangan industri di Jawa Barat. Beberapa data dikompilasi sampai ditemukannya data-data yang berkaitan satu sama lainnya, sesuai kebutuhan penelitian. Data-data yang berkaitan dengan ketenagakerjaan dianalisis dengan cara-cara baru, bukan dengan cara-cara baku. Demikian juga dengan konsep-konsep mulai dikembangkan untuk diperoleh fakta-fakta baru yang lebih dianggap lebih aktual.

HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Usia Kerja Menurut Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja di Jawa Barat Profil usia kerja penting dikemukakan secara gamblang sebagai bagian tak terpisahkan dari data usia produktif Jawa Barat. Persoalan data ini menjadi penting tatkala kita akan memotret profil usia kerja produktif yang berkaitan dengan perkembangan demofrafi penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah. Dalam pendekatan yang dibangun secara spesifik seperti yang sering dicermati saat ini, yang dimaksud usia kerja adalah mereka yang masuk kedalam Angkatan kerja dan Bukan Angkatan kerja. Suatu pendekatan yang bisa berakibat bias tatkala kita akan membangun suatu analisis kritis. Secara terminologi spesifik, usia kerja produktif Jawa Barat dibagi menjadi sbb: Angkatan kerja dan bukan Angkatan kerja. Menurut data terakhir diketahui bahwa Angkatan kerja di Jawa Barat berjumlah 22.332.813 jiwa ( duapuluh dua juta tigaratus tigapuluh dua ribu delapan ratus tigabelas ). Jika saat ini penduduk Jawa Barat diperkirakan sudah mencapai angka 46 juta ( empapuluh enam juta) jiwa, maka jumlah Angkatan kerja di Jawa Barat diperkirakan menembus angka 48%. Sementara mereka yang

241 bukan Angkatan kerja berjumlah 11.466.286 jiwa ( sebelas juta empat ratus enam puluh enam ribu dua ratus delapan puluh enam ) atau mencapai 24%. Seperti yang terlihat pada tabel sbb :

TABEL PROFIL USIA KERJA PENDUDUK JAWA BARAT MENURUT ANGKATAN KERJA DAN BUKAN ANGKATAN KERJA

( Sumber: BPS & Dinaskertrans Jabar, diolah,2016 )

Jika digabungkan antara jumlah Angkatan kerja dan bukan Angkatan kerja, maka jumlah usia kerja produktif Jawa Barat mencapai 33.799.099 jiwa ( tiga puluh tiga juta tujuh ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan puluh sembilan ) atau hampir 74% dari jumlah penduduknya. Suatu angka yang fantastis, artinya Jawa Barat sudah masuk pada bonus demografi, yakni jumlah usia produktif lebih besar daripada usia non-produktif. Seperti yang terlihat pada tabel sbb:

242

TABEL GAMBARAN USIA PRODUKTIF DAN NON-PRODUKTIF JAWA BARAT

( Sumber : BPS & Dinaskertrans Jabar, diolah, 2016 )

Jumlah Usia Kerja Potensial di Jawa Barat Dalam Angkatan kerja Jawa Barat diketahui mereka yang masuk dalam katagori usia kerja berjumlah 20.456.889 jiwa ( duapuluh juta empatratus limapuluh enam ribu delapanratus delapanpuluh sembilan ) atau mencapai 44,47%. Dari mereka yang termasuk katagori kerja masih dibagi lagi menjadi sbb: bekerja penuh waktu (PKWTT) dan bekerja tidak penuh waktu (PKWT). Jumlah bekerja penuh waktu (PKWTT) mencapai 16.042.518 jiwa ( enambelas juta empatpuluh dua ribu limaratus delapanbelas ) atau mencapai 78,42% dari angkatan kerja Jawa Barat, atau selebihnya dapat dikatakan 21,58% adalah PKWT (kontrak), seperti yang terlihat pada tabel sbb:

243

TABEL PERBANDINGAN JUMLAH TENAGA KERJA PENUH WAKTU ( PKWTT ) DAN TENAGA KONTRAK ( PKWT )

( Sumber : BPS & Dinaskertrans Jabar, diolah, 2016 )

Jumlah Potensial Pekerja Semu di Jawa Barat Jika kita mengelompokkan katagori-katagori usia kerja selain mereka yang termasuk sebagai pekerja penuh waktu, maka kita akan menemukan katagori-katagori yang kalau boleh kita namakan sebagai pekerja semu. Disini pekerja semu yang dimaksud adalah mereka yang termasuk bukan Angkatan kerja, kemudian pekerja tidak penuh waktu, dan penganggur terbuka. Jika kita jumlahkan, itu artinya adalah pekerja semu yang jumlahnya mencapai 17.756.581 jiwa ( tujuhbelas juta tujuhratus limapuluh enam ribu limaratus delapanpuluh satu) atau mencapai 39% dari jumlah penduduk Jawa Barat. Seperti yang terlihat pada tabel sbb :

244

TABEL JUMLAH POTENSIAL PEKERJA SEMU DI JAWA BARAT

( Sumber : BPS & Dinaskertrans Jabar, diolah, 2016 ) Disini artinya Jawa Barat masih memiliki kerawanan kerja yang cukup tinggi, yakni mencapai 39% dari jumlah penduduknya. Potensi pengangguran atau putus hubungan kerja dapat diperkirakan juga cukup tinggi. Jumlah potensial pekerja semu ini akan terus menghantui Jawa Barat, walaupun seolah potret tenaga kerja Jawa Barat menunjukkan posisi yang aman.

Upah Kerja (Umk) Kota/Kabupaten yang Tergolong Tinggi di Jawa Barat Kota/Kabupaten di Jawa Barat yang tergolong memiliki upah kerja tinggi diantaranya Kota Bandung, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kabupaten Purwakarta, Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Karawang. Kota/Kabupaten tersebut memiliki pertumbuhan upah kerja sbb: Kenaikan UMK Kota Bandung per tahunnya 13% - 15% ; Kota Bogor, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Purwakarta UMK per tahunnya relatif stabil ; dan Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang kenaikan UMK per tahunnya pada kisaran 12,5% - 12,6%. Sementara upah kerja menurut SK GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 561/KEP.1322-BANGSOS/2015 sbb: untuk

245

UMK Kota Bandung Rp 2.628.940 ; UMK Kota Bogor Rp 3.022.265 ; UMK Kabupaten Bogor Rp 2.960.325 ; UMK Kabupaten Purwakarta Rp 2.927.990 ; UMK Kota Depok Rp 3.045.180 ; UMK Kota Bekasi Rp 3.327.160 ; UMK Kabupaten Bekasi Rp 3.261.375 ; dan UMK Kabupaten Karawang Rp 3.330.505. UMK tertinggi dari delapan Kota/Kabupaten di Jawa Barat adalah UMK Kabupaten Karawang, disusul UMK Kota Bekasi, dan disusul UMK Kabupaten Bekasi.

SIMPULAN Pada tahun 2017 UMK Kabupaten Karawang diperkirakan mencapai Rp 4.215.170 (empat juta duaratuslimabelasribu seratustujuhpuluh), UMK Kota Bekasi diperkirakan mencapai Rp 4.210.936 (empatjuta duaratussepuluhribu sembilanratustigapuluhenam), dan UMK Kabupaten Bekasi diperkirakan mencapai Rp 4.127.676 (empatjuta seratusduapuluhtujuh enamratustujuhpuluhenam). Usia kerja Jawa Barat pada tahun 2016 diperkirakan mencapai 20.456.889 jiwa atau 44,47% dari jumlah penduduknya. Sementara jumlah pekerja semu mencapai 17.756.581 jiwa atau mencapai 39% dari jumlah penduduknya. Disini tampak perlu kehati-hatian mengenai data jumlah penduduk yang bekerja di Jawa Barat, yang seolah-olah jumlah pekerja PKWTT lebih besar dibandingkan dengan jumlah pekerja PKWT. Jawa Barat memiliki terminologi mengenai usia kerja produktif, yakni angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja Jawa Barat tahun 2016 mencapai 48% dari jumlah penduduk Jawa Barat. Sementara jumlah bukan angkatan kerja mencapai 24% dari jumlah penduduk Jawa Barat. Hal artinya usia kerja produkrif di Jawa Barat sesungguhnya sudah mencapai 72% dari jumlah penduduk, atau dapat dikatakan bahwa Jawa Barat

246 sudah masuk kepada bonus demografi, yakni usia produktif lebih tinggi dibandingkan usia non-produktif.

DAFTAR PUSTAKA Babbie, E. (1986) : ‘The Practice of Social Research’, fourth edition, Wadsworth Publishing Co, Belmont, California. Priyatna, Soeganda (2002) ; ‘Buruh, Politik, dan Max Havelar’, Pusat pengkajian komunikasi dan pembangunan, Bandung. Paul Krugman ( 2007 ) dalam Suwandi, 2015 ; ‘Gerakan Buruh dan MEA 2015’, artikel populer. Rasjidi, Lili (1991) ; ‘Manajemen Riset Antar-disiplin’, Rosdakarya, Bandung. R. Herlambang (2015), website ; voaindonesia.com. , Imam (1983) ; ‘Pengantar Hukum Perburuhan’, Jambatan, Jakarta. Santoso, Sugeng (2015), website ; cifesinstitute.com. Sudjana, (2005) ; ‘Metode Statistika’, Jakarta. (1977) ; ‘Hubungan Perburuhan Pancasila’, DPP FBSI.

Sumber- Sumber Lain: Undang-undang Dasar RI. 1945 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 Tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang cacat. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 Tentang Pelarangan dan

247

Tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

248

MANAJEMEN REPUTASI MELALUI GAYA KEPEMIMPINAN DI MATAHARI DEPARTMENT STORE

Yanuar Clinton, Purwanti Hadisiwi Universitas Padjadjaran [email protected]

PENDAHULUAN Matahari telah hadir di kancah ritel Indonesia selama hampir enam dekade. Gerai pertamanya, yang merupakan toko pakaian untuk anak-anak, dibuka pada 24 Oktober 1958 di Pasar Baru, Jakarta. Sejak itu, Matahari terus berkembang menjadi perusahaan nasional, membuka department store modern pertama di Indonesia pada tahun 1972 dan mendirikan basis konsumen setia di seluruh Indonesia. Dengan jaringan 142 gerai di 66 kota, Matahari menyediakan lapangan pekerjaan bagi 50.000 orang di Indonesia dan mendapatkan 80% produk pembelian langsung dan konsinyasi dari sekitar 850 pemasok lokal. Di tahun 2009, Perseroan melakukan spin off dari PT Matahari Putra Prima Tbk (MPP) untuk membentuk entitas baru, yakni PT Matahari Department Store Tbk (Matahari). Asia Color Company Limited, anak Perseroan CVC Capital Partners Asia Pacific III L.P. dan CVC Capital Partners Asia Pacific III Parallel Fund – A, L.P. (bersama “CVC Asia Fund III”) menjadi pemegang saham mayoritas Matahari pada bulan April 2010. Saham Matahari yang ditawarkan kepada publik oleh Asia Color Company Limited dan PT Multipolar Tbk pada tahun 2013 menarik perhatian dunia dan meningkatkan kepemilikan publik atas Perseroan dari 1,85% menjadi 47,35% per 28 Maret 2013. Kegiatan ini tidak hanya meningkatkan profil Perseroan di Indonesia dan seluruh dunia, tetapi juga memperkuat likuiditas

249 perdagangan sahamnya di Bursa Efek Indonesia, memperluas akses pembiayaan dari pasar domestik dan internasional serta meningkatkan potensi dalam memperoleh pengenaan tarif pajak yang lebih rendah sesuai peraturan perpajakan di Indonesia. Antara Maret 2014 hingga Februari 2015, Asia Color Company Limited mengurangi kepemilikan saham Perseroan, dan per 28 Februari 2015, Asia Color Company tercatat memiliki 2,00% saham Perseroan, sementara PT Multipolar Tbk memiliki 20,48% dan publik 77,52%. Pada bulan Mei 2016, Asia Color Company Limited melepaskan kepemilikan saham Perseroan sehingga pada saat ini pemegang saham Perseroan adalah PT Multipolar Tbk sebesar 20,48% dan publik sebesar 79,52%. Pada tanggal 6 September 2016, PT Multipolar Tbk mengurangi kepemilikian saham Perseroan sehingga pemegang saham Perseroan pada saat ini adalah PT multipolar Tbk sebesar 17,48% dan Publik sebesar 82,52%. Menyadari potensi perdagangan elektronik / e-commerce untuk memperluas usaha Perseroan ke seluruh Indonesia, Matahari melaksanakan hak opsinya untuk membeli 2.631.580 saham PT Global Ecommerce Indonesia (GEI) atau merepresentasikan 2,5% dari total saham GEI. Pada 16 Desember 2015, sehubungan dengan kenaikan modal saham GEI yang telah ditempatkan dan disetor penuh, maka saham GEI yang dimiliki oleh Perseroan terdilusi menjadi 1,99%. Pada tanggal 30 Desember 2015, Perseroan kembali melaksanakan hak opsi untuk membeli 4.404.700 saham, sehingga total saham GEI yang dimiliki Perseroan menjadi 7.036.200 atau 5,16% dari total saham GEI. Pada 20 Januari 2016, Perseroan melaksanakan tambahan hak opsi untuk membeli 7.864.075 (tujuh juta delapan ratus enam puluh empat ribu tujuh puluh lima) saham GEI, menjadikan total saham yang dimiliki Perseroan sebesar 10,33%. Saham tersebut kemudian terdilusi menjadi 10% setelah seluruh pemegang hak opsi melaksanakan

250 hak opsinya, sehingga per tanggal 29 Januari 2016, Perseroan memiliki 10% dari total saham GEI47. Sebagai perusahaan ritel besar dengan 142 gerai di 66 kota di seluruh Indonesia, Matahari membagi perusahaannya dalam beberapa regional guna pembagian pusat kepemimpinan dalam beberapa bagian regional. Salah satunya, yaitu Regional Jakarta 2 yang dipimpin oleh Regional Manager, Linda Napitupulu, menjadi fokus penelitian mengenai gaya kepemimpinan Matahari Dept. Store. Matahari Regional Jakarta 2 sendiri saat ini terdiri dari 17 toko yang tersebar di Jakarta dan Kalimantan. Dalam keberlangsungan kehidupan organisasi atau perusahaan dari dulu hingga sekarang, penting rasanya untuk memiliki suatu bentuk kepemimpinan yang efektif dan efisien bagi organisasi atau perusahaan. Setiap bentuk organisasi berbeda-beda dan tentunya gaya pimpinan yang diperlukan dan cocok juga berbeda-beda pula. Kepemimpinan memiliki definisi secara luas sebagai proses mempengaruhi dalam memotivasi anggota untuk mencapai tujuan organisasi, memperbaiki kelompok, dan budaya organisasi. Mempengaruhi interpretasi peristiwa-peristiwa para anggota, pengaturan dan aktivitas dalam organisasi guna mencapai tujuan atau sasaran, memelihara hubungan kerja dalam oganisasi dan memperoleh dukungan dari orang diluar kelompok (Rivai, 2008: 3). Kepemimpinan merupakan sesuatu yang diwujudkan lewat gaya kerja atau cara bekerja sama dengan orang lain secara konsisten. Melalui apa yang dikatakan , diperbuat, seseorang membantu orang lainnya untuk memperoleh hasil yang dinginkan. Cara seseorang berbicara kepada yang lainnya dan cara seseorang bersikap di depan orang lain merupakan gaya kerja (Pace & Faules, 2015: 276).

47 http://www.matahari.co.id/about . Diakses pada tanggal 11 Juni 2017, pukul 18:47 WIB.

251

Tujuan kepemimpinan adalah membantu orang menegakkan kembali, mempetahankan dan meningkatkan motivasi mereka. Jadi, pemimpin adalah orang yang membantu orang lain untuk memperoleh hasil-hasil yang dituju. Pemimpin bertindak dengan cara memperlancar produktivitas, moral, respon, kecakapan kerja yang berkualitas, komitmen, efisiensi, kepuasan, kehadiran, dan kesinambungan dalam organisasi (Pace & Faules, 2015: 276). Pemimpin pada dasarnya memiliki perilaku yang berbeda dalam memimpin anggotanya. Perilaku para pemimpin sering disebut dengan istilah gaya kepemimpinan (leadership style). Gaya kepemimpinan adalah cara pemimpin dalam memengaruhi bawahannya yang dinyatakan dalam pola tingkah laku atau kepribadian. Usaha dalam menyamakan persepsi diantara pemimpin dan anggota yang akan dipengaruhi menjadi sangat penting. PT Matahari Department Store Tbk Regional Jakarta 2, sebagai sebuah bentuk organisasi yang besar dan memiliki cukup banyak SDM didalamnya, tentu menarik untuk dibahas bentuk kepemimpinannya. Peneliti memfokuskan penelitian pada lingkup Matahari Dept.Store Regional Jakarta 2, guna melihat bentuk gaya kepemimpinan yang diterapkan dalam mempertahankan reputasi perusahaan.

METODE PENELITIAN Pendekatan penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. yang berorientasi pada gejala-gejala yang bersifat alamiah. Dikarenakan orientasinya demikian, maka sifatnya naturalistik dan mendasar sehingga harus terjun di lapangan. Penelitian seperti ini bertujuan untuk memandang apa yang sedang terjadi dalam dunia tersebut dan melekatkan temuan- temuan yang diperoleh di dalamnya (Bungin, 2001: 82).

252

Dalam penelitian ini digunakan metode analisis kualitatif dengan format deskriptif. Penelitian deskriptif yaitu mengumpulkan data dari faktor-faktor yang ada menjadi pendukung pada objek penelitian, kemudian dianalisa untuk dicari peranannya (Arikunto, 2010: 151). Pada penelitian digunakan teknik pengumpulan data, guna mendapatkan data yang valid, yaitu wawancara yang dilakukan secara mendalam.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dari penelitian ini didapat melalui wawancara langsung dengan pimpinan Regional Manager Jakarta 2 Matahari Department Store, yaitu Linda Napitupulu, dan beberapa kepala toko atau Store Manager, yaitu Hadi Fattah, Leo Agung, dan Enrico Tobing. Wawancara yang dilakukan dengan Linda Napitupulu dimaksudkan untuk mengetahui gaya kepemimpinan di Regional Jakarta 2 yang dipimpinnya, serta pada kepala toko atau Store Manager sebanyak tiga orang sebagai bentuk konfirmasi atas gaya kepemimpinan yang ada. Berdasarkan wawancara mendalam yang telah dilakukan, diperoleh gambaran bahwa gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh Linda Napitupulu terlihat dari penyebutan kata “tim” untuk menyebutkan karyawan yang berada dibawah kepemimpinannya. Hal ini menunjukkan penghargaan yang tinggi kepada karwayawannya yang dianggapnya memiliki kedudukan yang setara dalam bekerja untuk memajukan perusahaan. Seperti yang dinyatakan oleh demokratis. Hal ini cukup menarik melihat bentuk jaringan organisasi yang besar seperti Matahari Regional Jakarta 2 dikelola dengan bentuk kepemimpinan yang demokratis, yang notabene melingkupi 17 toko Matahari yang memiliki ratusan karyawan. Salah satu hal kecil yang menjadi ciri dari kepemimpinan yang demokratis ini adalah kepedulian dari pemimpin dan

253 anggotanya. Dalam budaya organisasinya, pimpinan tidak menyebut karyawan dalam tingkatan dibawahnya sebagai bawahan, tapi dengan sebutan tim. Satu sama lain menganggap bahwa mereka adalah satu tim atau rekan kerja. Seperti yang ada dalam ciri gaya kepemimpinan demokratis, beberapa ciri yang menjadi perbedaan gaya demokratis dengan gaya kepemimpinan lainnya hampir ada dalam tubuh Matahari Regional Jakarta 2, antara lain (Robbins, 2003:168) : 1) Kebijakan terjadi pada kelompok diskusi dan keputusan diambil dengan dorongan dan bantuan pemimpin. 2) Segala bentuk keputusan atau kegiatan rencana didiskusikan. 3) Memperhatikan bawahan atau tim dalam mencapai tujuan organisasi. 4) Penekanan pada bawahan/tim dan tugas. 5) Pemimpin objektif dalam pemberian reward dan punishment dan menempatkan dirinya setara dengan yang lainnya. Selain itu, hal yang membentuk peneliti bisa mengambil kesimpulan bahwa gaya kepemimpinan demokratis merupakan gaya kepemimpinan yang digunakan dan dianggap efektif dalam Matahari Regional Jakarta 2 ini terlihat dari hasil wawancara yang memenuhi beberapa indikator gaya kepemimpinan demokratis, yaitu fokus pada bawahan atau tim (pengawasan yang wajar, menghargai ide, perhatian pada tim), suasana yang bersahabat antara pimpinan dan tim, adaptasi pada kondisi, teliti dengan keputusan yang diambil, kemudian selain fokus pada tim juga fokus ada pengarahan tugas yang diberikan, pengambilan keputusan bersama, dan mendorong peningkatan keterampilan dari bawahan/tim.

Fokus pada Tim Dalam penuturannya, Linda Napitupulu selaku yang berada dalam puncak kepemimpinan Regional Jakarta 2 Matahari Department Store menyampaikan bahwa beliau dalam memimpin

254 seluruh timnya mengutamakan suasana yang bersahabat. “Saya mengutamakan suasana yang bersahabat, karena di dalam toko banyak tim ya, sehingga tidak boleh otoriter dan selalu minta pendapat dari tim,” ungkap Linda Napitupulu. Dalam membentuk keputusan yang akan diambil, Linda mengutamakan untuk meminta pendapat dari timnya dan tentunya segala keputusan tersebut harus sesuai dan mengikuti Standar Operasional Prosedur (SOP) yang sudah ada. Kemudian masih dalam proses pengambilan keputusan, pimpinan memberikan wewenang pada setiap kepala toko atau pemimpin toko sebagai bentuk pimpinan lanjutan untuk membuat beberapa keputusan dalam toko jika dibutuhkan, asalkan sesuai dengan SOP yang sudah ada, hal ini juga dikarenakan banyaknya toko yang tersebar dalam berbagai wilayah, sehingga untuk beberapa bentuk keputusan diserahkan dan dipercayakan pada pimpinan toko yang tentunya harus juga mendiskusikan keputusan tersebut kepada tim, dan terkadang juga pada pimpinan regional. “Pengambilan keputusan bisa saja dilakukan oleh setiap leader dari masing- masing divisi pekerjaan yg tentunya dikoordinasikan terlebih dahulu kepada bagian-bagian terkait dan divalidasi oleh pimpinan dengan pedoman mengutamakan kepentingan perusahaan,” jelas Enrico Tobing, sebagai salah satu Store Manager Matahari Department Store. Bentuk komunikasi yang ada dalam tim Regional Jakarta 2 ini juga terjadi secara dua arah dan juga vertikal yang menunjukkan bahwa tim dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Pemimpin juga menjalankan budaya yang sudah dibentuk oleh Matahari, yaitu mengutamakan perhatian pada kesejahteraan atau fokus pada tim dalam kepentingan tujuan organisasi. Hal ini dikarenakan Matahari, dalam kasus ini Regional Jakarta 2, mengutamakan kerjasama tim dalam mencapai tujuan organisasi. Pimpinan percaya bahwa karyawan atau tim yang diberikan

255 perhatian dan dihargai, maka juga akan memberikan kinerja yang maksimal dan tentunya berdampak baik juga bagi perusahaan. Bentuk penghargaan atau pujian yang diberikan oleh pimpinan bisa bersifat lisan atau dalam bentuk hadiah. Untuk penghargaan yang sudah menjadi standar yang didapatkan, antara lain bonus insentif, yang terdiri dari insentif tahunan dan triwulan, kemudian berbagai penghargaan seperti Best Store Manager, Best Regional Manager, dan berbagai award lainnya yang mempunyai hadiah dan penghargaannya masing-masing.Tak hanya itu saja, berbagai bentuk peningkatan motivasi kerja dan penghargaan pada karyawan atau tim juga diberikan dalam bentuk rekreasi atau jalan- jalan atau biasa disebut gathering yang terdiri dari berbagai bentuk pula, ada gathering toko, regional, dan juga jalan-jalan untuk beberapa orang terpilih atau berprestasi ke luar negeri setiap tahunnya. Dengan berbagai bentuk penghargaan dan bonus tersebut, tentunya menunjukkan bentuk kepemimpinan perusahaan yang memberikan perhatian pada timnya. Selain itu bentuk pemenuhan kebutuhan kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya juga dijamin oleh perusahaan. Hal ini tentunya membuat karyawan merasa dihargai dan mengembangkan potensinya dalam bekerja. Kemudian seperti yang disampaikan oleh Pimpinan dan konfirmasi yang diberikan oleh timnya, dalam membangun suasana yang bersahabat dan membentuk kedekatan antara pimpinan dan tim, dilakukan dalam berbagai hal dan dianggap oleh pimpinan sebagai suatu hal yang sangat penting bagi kekompakan dan keberhasilan dalam mencapai tujuan perusahaan. “Kami punya banyak sistem yang membangun kedekatan tim, seperti makan bersama, dan juga ada tabungan bersama untuk acara pergi atau jalan-jalan bersama yang setiap bulan rutin dikumpulkan. Kadang juga kita bercanda bersama, tidak selalu harus bicara mengenai pekerjaan, dan ya kami itu sudah seperti bentuk kekeluargaan,”

256 jelas Linda Napitupulu sebagai Regional Manager atau pimpinan Regional Jakarta 2. Dari beberapa penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa Matahari Department Store Regional Jakarta 2 memiliki fokus pada tim atau bawahan yang merupakan salah satu indikator utama dari gaya kepemimpinan demokratis.

Fokus pada Pengawasan dan Pemberian Tugas Sebuah bentuk kepemimpinan demokratis yang memberi kepercayaan dan perhatian pada bawahan atau tim tentunya juga memperhatikan pengawasan dan pemberian tugas, hal ini ditujukan untuk hasil yang baik agar tujuan organisasi tercapai, sesuai dengan poin dari ciri gaya kepemimpinan demokratis yang fokus pada bawahan dan tugas. Dalam hal tugas, Matahari Department Store Regional Jakarta 2 dalam pimpinan Linda Napitupulu ini memiliki bentuk pemberian tugas rutin dalam pemberian laporan toko, yang utamanya merupakan pencapaian penjualan setiap toko yang ada. Kemudian pengawasan kerja setiap toko juga dipantau dan dilaporkan lewat grup WhatsApp, personal, BlackBerry Messenger, Email, dan juga ada rapat koordinasi yang dilakukan secara rutin. Dalam pengawasannya juga, pimpinan seringkali melakukan visit ke toko secara periodic atau dalam acara-acara khusus. “Adanya report atau laporan rutin dan fungsi evaluasi untuk mengecek setiap progress pekerjaan, penanganan pekerjaan dan kendala-kendala yang dihadapi, hal itu menjadi penugasan dan bentuk pengawasan dari pimpinan,” jelas Leo Agung, salah satu Store Manager Matahari Department Store. Dengan bentuk pengawasan dan pemberian tugas yang dilakukan lewat evaluasi rutin setiap pemberian laporan, menunjukkan proses penugasan dilakukan secara rutin dan ketat. Setiap toko diwajibkan memberikan laporan setiap hari dan

257 minggunya kepada pimpinan yang nantinya akan selalu dilakukan evaluasi dan bentuk pemberian tugas dalam evaluasi tersebut. Tentunya dalam pemberian tugas tersebut dan juga dalam pencarian solusi dalam hal kendala atau hambatan tugas di musyawarah atau dibicarakan terlebih dahulu kepada tim sebelum diambil keputusan akhir.

SIMPULAN Dari hasil dan pembahasan diatas, dapat diambil kesimpulan yang menjelaskan bahwa gaya kepemimpinan demokratis merupakan gaya kepemimpinan yang diusung dan dianggap efektif di dalam Matahari Department Store Regional Jakarta 2. Hal tersebut terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan tingginya penekanan kepemimpinan pada bawahan/tim. Kepemimpinan yang berfokus pada tim dan pengawasan serta pemberian tugas menjadi indikator atau ciri dari kepemimpinan demokratis. Dengan kinerja kepemimpinan yang baik menjadikan Public Relations lebih strategis dalam melakukan komunikasi, baik ke internal maupun eksternal yang pada gilirannya dapat menguasai krisis yang tidak jarang menerpa dan berhasil mempertahankan reputasi perusahaan.

DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta, Bungin, Burhan. 2001. Metodologi Penelitian Sosial: Format- format Kuantitatif dan Kualitatif. Surabaya: Airlangga University Press. Pace, R. Wayne, & Faules, Don F. 2015. Komunikasi Organisasi: Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Robbins, Stephen P, 2003. Perilaku Organisasi, Jilid 2. Jakarta : PT. Indeks Kelompok Gramedia.

258

Rivai, Veithzal. 2008. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Siagian P. Sondang. 2002. Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta : Rineka Cipta. Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sumber Internet http://www.matahari.co.id/about . Diakses pada tanggal 11 Juni 2017, pukul 18:47 WIB. https://edadae.wordpress.com/2016/05/24/catatan-kuliah- ringkasan-makalah-manajemen-reputasi/ http://rahmadpersada.blogspot.co.id/2016/05/manajemen- reputasi.html

259

KEGIATAN KEHUMASAN DALAM STRATEGI PEMASARAN MEDIA DALAM JARINGAN KOMPAS.COM

Sahat Sahala Tua Saragih, Herlina Agustin, Dandi Supriadi Universitas Padjadjaran [email protected]

PENDAHULUAN Perkembangan teknologi media komuniasi saat ini telah banyak mempengaruhi bisnis media massa. Setelah menurunnya bisnis media cetak yang kehilangan pasar akibat kemunculan media digital, kini ancaman serupa muncul untuk media online atau dalam jaringan (daring), yang harus bersaing dengan format komunikasi terpopuler di dunia, yaitu media sosial (medsos). Pada tanggal 26 Agustus 2016, Media Indonesia menurunkan berita berjudul “Nasib Media Daring Suram” (Kremer, 2016). Berita ini memuat pendapat Sabam Sinaga, Redaktur Senior Media Indonesia dan anggota Dewan Pers Indonesia yang berbicara dalam acara “Bimbingan Teknis Jurnalisme Online pada Era Digital” di Jakarta. Menurutnya, media daring di Amerika Serikat sudah kalah bersaing karena masyarakat mulai beralih ke medsos dan aplikasi telepon seluler (ponsel) pintar. Untuk mengetahui berita-berita aktual, hanya tinggal sebagian kecil khalayak yang masih mencari dan memperolehnya di media daring. Banyak media daring di negara-negara maju mulai goyah. Bahkan beberapa memutuskan untuk berhenti total karena tidak dapat bertahan dari gempuran medsos. Masa depan jurnalisme media daring juga dibayangi ketidakpastian. Pebisnis media daring kini berjuang menemukan model bisnis agar tetap bertahan, karena iklan yang menjadi sumber utama pendapatan ternyata tersedot

260

ke Facebook dan Google (Sabam Sinaga dalam Kremer, 2016). Kecenderungan khalayak untuk lebih memilih menggunakan saluran medsos dan aplikasi ponsel pintar dalam mencari informasi mengakibatkan kredibilitas media daring pun menurun. Informasi di medsos seringkali dinilai lebih aktual dan orisinal daripada hasil liputan wartawan media daring. Hal yang cukup absurd, mengingat informasi yang disebarkan di medsos pun banyak yang diambil dari situs media pemberitaan konvensional. Di lain pihak, perkembangan partisipasi publik dalam dunia jurnalistik juga semakin meningkat. Budaya konvergensi dan multimedia semakin mempermudah khalayak dalam mengakses informasi melalui saluran sosialnya masing-masing. Janet Kolodzy (2012: 1) menilai bahwa khalayak dari golongan generasi muda sekarang telah beralih dari media tradisional ke saluran digital, media sosial, bahkan situs agregasi. Warga yang dahulu dianggap pasif sekarang dengan mudah dapat mengakses informasi dari jaringan sosial mereka sendiri, sehingga telah memindahkan kekuasaan pembuat berita dari jurnalis konvensional ke tangan khalayak (Witschge, 2012: 117). Situasi ini jelas merupakan tantangan tersendiri bagi pebisnis media daring. Dalam strategi bertahan hidup di era medsos ini, salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan citra perusahaan dalam upaya mempertahankan eksistensi khalayaknya serta menjaring khalayak baru. Dengan kata lain, diperlukan upaya yang berhubungan dengan aktivitas kehumasan yang disinergikan dengan kegiatan pemasaran media untuk meningkatkan pendapatan sebagai modal menghadapi persaingan. Lalu bagaimana kondisi ini mempengaruhi bisnis media daring di Indonesia? Salah satu media daring populer di Indonesia yang saat ini tengah menghadapi tantangan ini adalah Kompas.com. Saat ini, Kompas.com masih eksis menyebarkan

261 berita melalui situs webnya. Namun selain itu, Kompas.com juga memiliki aktivitas pemasaran tersendiri di dunia medsos dalam format yang berbeda dengan induk bisnisnya. Apakah Kompas.com telah melakukan aktivitas kehumasan dalam strategi pemasarannya? Hal tersebut akan diungkap dalam tulisan deskriptif kualitatif tentang upaya Kompas.com mempertahankan eksistensinya di tengah persaingan melawan keberadaan medsos ini. Media sosial (medsos) dapat didefinisikan sebagai media atau wadah yang menggunakan internet untuk berinteraksi secara sosial. Pada medsos, informasi menjadi komoditas dan bernilai sebagai bentuk baru kapitalisme (Nasrullah, 2015: 19). Informasi yang dipertukarkan pada semua bentuk medsos ini kemudian membentuk sebuah pola yang dapat digunakan untuk mempelajari penggunanya. Medsos memiliki karakter sebagai user generated content yaitu penggunaan konten yang sepenuhnya milik pengguna Dalam dunia bisnis, sering kali konten yang dibuat pengguna dapat lebih efektif dalam mendorong penjualan daripada konten yang dibuat pebisnis tersebut. Selain itu, medsos sangat terbuka dengan penyebaran informasi yang digunakan oleh penggunanya. Pertama, informasi disebarkan melalui kontennya yang tidak hanya diproduksi oleh khalayak pengguna tetapi juga didistribusikan secara manual oleh pengguna lain. Yang kedua adalah penyebaran melalui perangkat. Hampir semua platform medsos memiliki tombol “share” yang berfungsi menyebarkan konten ke media internet lainnya (ibid : 31-33). Salah satu media daring yang sukses memanfaatkan medsos adalah Buzzfeed, media informasi hiburan dan berita yang didirikan oleh Jonah Peretti pada tahun 2006. Pada tahun 2015, Buzzfeed menjadi situs web informasi dengan konten yang paling banyak dibagikan di dunia maya. Pada masa itu, Buzzfeed yang

262 sangat aktif melakukan kampanye di Facebook, Twitter, Instagram, dan medsos lainya dikunjungi sekitar 200 juta pengunjung dari seluruh dunia dan videonya mendapat 750 juta penonton tiap bulannya. Kepopuleran medsos dalam menyebarkan informasi tentu menjadi tantangan tersendiri bagi kelangsungan media lain, terutama bisnis media pemberitaan daring. Dalam derajat yang berbeda, persaingan ini juga terjadi di Indonesia, negara dengan penduduk yang sangat aktif berkomunikasi melalui medsos. Data riset dari We are Sosial menunjukkan bahwa pengguna medsos di Indonesia pada bulan Januari 2017 mencapai 106 juta orang dari 262 juta total populasi penduduk Indonesia atau sekitar 40%.

Gambar Jumlah pengguna media digital di Indonesia pada tahun 2017 (We Are Sosial Singapore, 2017) Sementara itu, Global Web Index (GWI) mencatat di tahun 2016, Indonesia berada dalam urutan ketujuh dunia dalam daftar pengguna medsos terlama setiap harinya.

263

Gambar Lama waktu rata-rata menggunakan media sosial setiap hari di tahun 2016. Sumber: Global Web Index 2016 (Kemp, 2017) Hal ini menunjukkan betapa medsos telah menjadi saluran komunikasi populer di Indonesia, yang digunakan secara aktif oleh khalayak. Data ini juga memperlihatkan bagaimana kerasnya persaingan yang dihadapi oleh media daring untuk merebut perhatian khalayak dari kesibukan menggunakan medsos. Berkaitan dengan hal itu, Sabam Sinaga menyatakan bahwa kondisi media daring di Indonesia mungkin dapat menjadi lebih parah daripada yang dialami media daring di negara-negara maju, karena media daring di Indonesia menganut jurnalisme umpan klik atau clickbait journalism yang ia katakan merupakan versi baru koran kuning. “Lama kelamaan para pembaca jadi muak dan menyadari jebakan-jebakan klik yang disajikan media daring” (Sabam Sinaga dalam Kremer, 2016). Sebutan clickbait journalism menjadi populer karena banyak penulis berita daring memasang strategi dengan membuat judul yang membuat pembaca. Judul-judul clickbait biasanya dapat dikenali dari bentuknya yang berupa pertanyaan, kata-kata seru, atau kata-kata sensasional. Nilay Patel, acting managing editor

264 dari Vox menyatakan bahwa sering kali judul tersebut mengecewakan pembacanya karena harapannya tidak dipenuhi oleh isi berita (Beaujon, 2014). John Prior, salah satu kontributor Urban Dictionary, menjelaskan bahwa pembuat judul clickbait seringkali dibayar oleh pengiklan, di mana ia akan meningkatkan pendapatannya berdasarkan banyaknya orang yang mengklik judul tersebut (Prior, 2012). Pada bulan Agustus 2014, Facebook memutuskan untuk menolak strategi clickbait yang dianggap merugikan khalayak dengan memasang algoritma khusus untuk mencegah menyebarnya judul-judul clickbait (Somaiya, 2014). Namun pada bulan April 2017, pendiri Facebook Mark Zuckerberg masih menunjukkan kekhawatirannya. Ia menyatakan bahwa timnya menemukan banyak bias konfirmasi yang menjadi viral, salah satunya muncul dalam bentuk clickbait (Manjoo, 2017). Artinya, upaya yang dibangun selama tiga tahun belum menunjukkan hasil, di mana clickbait masih mewarnai dan menurunkan citra positif media daring. Di tengah persaingan bisnis media daring dan medsos, peran kehumasan menjadi penting dalam peningkatan citra. Dunia medsos bisa sangat kejam dan tanpa perasaan dalam menilai dan menjatuhkan seseorang atau suatu organisasi, terutama jika menyangkut sensasi dan isu-isu yang bombastis. Media daring tetap harus mampu menjaga citranya dalam menerapkan idealisme yang diusungnya, walaupun juga harus berjuang untuk mempertahankan hidupnya. Salah satu upaya kehumasan yang mendukung kemampuan bertahan hidup adalah aktivitas citra organisasi atau organizational image building. Joseph Eric Massey (2003) dari California State University mengungkapkan bahwa organizational image management merupakan model dari sebuah proses di mana sebuah organisasi mencoba untuk membangun, memelihara, dan

265 dalam beberapa kasus memperoleh kembali gambaran tentang dirinya di mata para stakeholders, yaitu para konsumen atau pengguna jasa organisasi tersebut. Image atau citra itu sendiri merupakan sesuatu yang “diproyeksikan” oleh organisasi tersebut yang kemudian “diterima dan diinterpretasi” oleh pihak lain (Cheney & Vibbert, 1987: 176). Dengan demikian, dalam praktiknya citra organisasi dibangun dan dilestarikan oleh kedua belah pihak, baik oleh organisasi yang bersangkutan maupun oleh para stakeholders. Dengan sifat alamiahnya yang dialogis inilah, sebuah organisasi harus mampu untuk berkomunikasi secara strategis dalam membangun citranya (Massey, 2003: 10-11). Perlu juga diperhatikan bahwa citra organisasi memiliki hubungan timbal balik yang independen dengan reputasi organisasi tersebut. Hubungan antara citra dan reputasi digambarkan Gotsi and Wilson (2001: 28) sebagai berikut: Citra perusahaan yang terbangun di mata stakeholders dapat dipengaruhi oleh evaluasi mereka terhadap perusahaan secara keseluruhan, termasuk reputasinya, sementara pada saat yang sama reputasi perusahaan dapat sangat dipengaruhi oleh citra yang terbangun dari hari ke hari oleh stakeholders. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa reputasi lebih dinamis daripada citra, namun juga lebih kuat pengaruhnya bertahan di mata stakeholders. Pembangunan citra sebenarnya tidak berdasar hanya pada reputasi yang sudah dimiliki sebelumnya, karena citra bergantung kepada persepsi stakeholders pada saat proses pembangunan citra berlangsung. Namun tetap saja citra dapat dipengaruhi oleh reputasi yang sudah ada.

266

METODE PENELITIAN Riset dalam tulisan ini menggunakan metodologi deskriptif kualitatif, yang mengangkat fenomena dalam bingkai analisis deskriptif. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan komponen Kompas.com yang relevan kemudian dianalisis menggunakan literatur untuk mendapatkan pemecahan masalah dari fenomena yang ada. Menurut Creswell (2013: 4-5), penelitian kualitatif merupakan cara untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang berasal dari masalah sosial. Gaya penelitian kualitatif adalah induktif, berfokus terhadap makna individual, dan menerjemahkan kompleksitas suatu persoalan. Sementara Alwasilah (2011, dalam Putri 2016), mengajukan penelitian kualitatif sebagai berikut: 1) Pemahaman makna. Merujuk pada perspektif partisipan (kognisi, afeksi, dan lain-lain); 2) Pemahaman konteks tertentu. Peneliti kualitatif lazimnya berkonsentrasi pada sejumlah orang atau situasi yang relatif sedikit dan khas; 3) Identifikasi fenomena dan pengaruh yang tidak terduga 4) Kemunculan teori berbasis data atau grounded theory; 5) Pemahaman proses. Proses yang membantu perwujudan fenomena adalah yang paling berkesan, bukannya fenomena itu sendiri; 6) Penjelasan sababiyah (causal explanation). Penjelasan ini sebenarnya lebih merupakan ciri penelitian kuantitatif, tetapi pada intinya yakni mencari tahu sejauh mana kejadian-kejadian saling berhubungan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Fenomena bertahan hidup yang dilakukan media daring saat ini salah satunya dialami oleh Kompas.com, sebuah media yang berada di bawah naungan Kompas Media Group. Secara sejarah, grup Kompas memang terlihat sangat berupaya keras dalam mengantisipasi kehadiran perkembangan teknologi media. Kompas.com sendiri berawal dari upaya tersebut.

267

Berdasarkan informasi sejarah perusahaan yang dapat ditemukan di situs webnya, Kompas.com pada awalnya didirikan sebagai divisi pendukung Harian Umum Kompas, media cetak andalan Kompas Media Group. Di tahun 1995, saat media daring mulai menggeliat di Indonesia, Kompas memerlukan dukungan untuk mempertahankan eksistensinya dengan membentuk Kompas Online yang merupakan wadah publikasi bentuk digital dari terbitan Kompas versi cetak. Kompas Online ini kemudian diambil alih oleh Kompas Cyber Media (KCM) menjadi sebuah media daring yang berdiri sendiri di luar manajemen media cetak Kompas dan dapat memproduksi berita sendiri. Namun perkembangan teknoogi media menuntut KCM untuk kembali bersinergi dengan seluruh komponen grup, sehingga pada tahun 2008 memutuskan untuk membuat sebuah mega portal berita yang menangani berbagai format multimedia, baik teks maupun video, untuk berbagai platform digital. Mega portal inilah yang kemudian dikenal sebagai Kompas.com. Dengan kolaborasi seperti ini, diharapkan Kompas.com akan berkembang menjadi media daring yang canggih dengan mengintegrasikan berbagai sumber yang ada, termasuk bersaing dengan penetrasi medsos. Namun demikian, gempuran media sosial ternyata terlampau besar untuk dihadapi dengan cara-cara konvensional. News Managing Editor Kompas.com, Tri Wahono, mengakui bahwa kehadiran medsos dalam satu hal dapat memperkaya pengetahuan khalayak karena informasi dapat diambil dari berbagai sumber. Namun dari segi bisnis media, hal ini merupakan ancaman terutama untuk perusahaan media konvensional, walaupun telah mengembangkan media daring sendiri. Dulu media cetak merasa terancam kehilangan audience karena digempur oleh media digital. Sekarang, media online pun digempur oleh aplikasi media sosial yang memiliki audience lebih banyak. Mau tidak mau, media

268

online harus mengejar tempat di mana audience mencari informasi, seperti Facebook atau Line. Ini fakta yang harus kita hadapi, kecuali kalau media dapat menemukan teknologi lain yang lebih efisien menemukan audience yang jumlahnya sama besar (Tri Wahono, wawancara 14 April 2016). Kondisi seperti ini membuat perusahaan harus memikirkan cara untuk melakukan strategi pemasaran untuk mempertahankan khalayak yang ada, sekaligus menjaring khalayak baru dari generasi saat ini yang sudah sangat dekat dengan penggunaan medsos. Diperlukan pula upaya kehumasan untuk mempertahankan image perusahaan sebagai sumber informasi terpercaya dan selalu aktual. Ini menjadi hal yang penting, mengingat khalayak berpotensi untuk menilai media konvensional tidak lagi memiliki kredibiltas sebagai sumber informasi. Atas alasan inilah, Kompas.com membentuk divisi khusus yang bertugas memonitor dan memanfaatkan aktivitas medsos untuk kepentingan bisnis perusahaan yang bernama Divisi Media Sosial di tahun 2013. Perlahan namun pasti, upaya tersebut memberikan hasil positif dalam mendongkrak jumlah pengunjung situs web Kompas.com. Menurut Teguh Widiantoro, Strategic Partner Development Superintendent dari Kompas.com, di tahun 2013 besarnya traffic pengunjung langsung situs Kompas.com hanya 5%. Sisanya kebanyakan melihat berita Kompas dari medsos tanpa masuk ke situs web. Dengan latar belakang data ini, Divisi Media Sosial kemudian gencar melakukan strategi baru dalam memanfaatkan medsos, yaitu dengan cara berpromosi sambil membagikan judul berita disertai tautan yang membawa pembaca kembali ke situs web Kompas.com. Hasilnya, setelah dua tahun melakukan promosi, di tahun 2015 hampir 30% pembaca Kompas.com masuk ke situs web melalui tautan di sosmed, di

269 samping para pembaca setia yang langsung mengakses situs web tanpa perantara media lain. Upaya ini kemudian dinilai kurang maksimal, karena dalam perkembangannya penyedia layanan medsos juga mengembangkan fitur yang memungkinkan mereka dapat mempublikasikan berita juga. Trend di medsos berkembang menjadi bukan hanya untuk tempat berbagi aktivitas pribadi saja tetapi sudah menjadi platform informasi tersendiri. Sebagai contoh, di tahun 2016 Facebook meluncurkan fasilitas instant article, layanan yang memudahkan penggunanya menemukan dan membaca berita yang biasanya sulit dibuka di situs web berita biasa. Kemudian di aplikasi ponsel pintar, layanan obrolan Line juga meluncurkan Line Digest yang menyediakan artikel-artikel yang mudah diakses. Dalam berbagai perkembangan tersebut, khalayak sudah tidak lagi membaca artikel di situs web, melainkan langsung pergi ke platform yang biasa mereka akses. Mengantisipasi hal tersebut, Kompas.com memutuskan untuk mengganti Divisi Media Sosial menjadi divisi yang tidak hanya menangani promosi saja, melainkan lebih kompleks terlibat dalam perkembangan teknologi medsos. Di awal tahun 2016, Divisi Media Sosial berubah menjadi Strategic Partner Development, yang memungkinkan Kompas.com untuk menjalin kerjasama dengan penyedia layanan medsos dan menjadi content distributor di sana. Divisi ini kemudian membuat versi artikel instan (instant article) yang berisi berita-berita pilihan dari redaksi Kompas.com namun dengan format yang lebih familiar dengan aplikasi medsos. Upaya ini dirasakan berhasil untuk meningkatkan tingkat keterbacaan berita Kompas.com sekaligus menjaring pembaca berusia di bawah 24 tahun, yaitu generasi digital native yang memang sudah mengenal teknologi digital sepanjang hidupnya.

270

Setelah tidak lagi melakukan promosi melainkan sudah content distribution, tingkat keterbacaan instant article kami di medsos bisa dikatakan sudah sama dengan versi desktopnya. Untuk pembaca di atas usia 24, masih ada yang membaca berita dari website Kompas.com. Namun untuk pembaca muda di bawah 24, dapat dikatakan tidak ada yang dengan sengaja membuka website Kompas.com selain dari share di medsos (Teguh Widiantoro, wawancara 15 April 2016). Langkah ini tentu saja mengandung risiko semakin menjauhkan khalayak dari penyedia berita utama Kompas.com. Untuk menjaga hal tersebut, tim Strategic Partner Development melakukan pembatasan dan seleksi artikel Kompas.com mana saja yang dapat dibagikan ke medsos. Beberapa rubrik tidak dilepaskan ke medsos, melainkan harus diakes melalui situs web. Seperti contohnya rubrik Visual Interaktif Kompas (VIK). Selain karena format VIK yang panjang dan mengandung animasi yang sulit masuk ke dalam format medsos, rubrik ini juga memiliki kekhasan dalam bercerita tentang satu permasalahan. Amir Sodikin, Assistant Managing Editor Kompas.com yang membawahi tim VIK menyatakan bahwa VIK adalah; …proyek multimedianya Kompas.com untuk meramu sebuah isu, baik itu isu aktual atau yang bersifat timeless. Formatnya lebih ke bertutur, dalam, naratif. Ini dibuat sebagai jawaban atas kritik bahwa online itu adalah jurnalisme yang tergesa-gesa, karena tidak sempat mendudukkan persoalan dengan gamblang. Kita jawab kritikan tersebut dengan membuat program multimedia yang memuat perspektif khas Kompas (Amir Sodikin, wawancara 15 April 2016). Selain VIK, Kompas.com juga menahan rubrik Kolom untuk tidak dibagikan di medsos. Kolom bersifat opiniatif sehingga

271 penulisnya harus jelas teridentifikasi. Apabila Kolom tersebut dibaca melalui situs web, maka akan terlihat siapa penulisnya, sementara di medsos tidak. Untuk produk-produk semacam ini, tim Strategic Partner Development tetap menyebarkan teasernya di medsos dengan maksud menarik minat pembaca, karena penulis- penulis di Kolom memang terkenal dan banyak yang mau membaca. Dalam membuat instant article maupun teaser, Kompas.com memberi kebebasan kepada tim Strategic Partner Development untuk membuat judul dan lead sendiri. Namun demikian, setiap hari selalu diadakan rapat bersama redaksi dengan tujuan mendapatkan saran dan umpan balik (feedback) tentang kualitas judul dan lead yang dibuat. Dalam hal ini pihak redaksi berupaya menjaga jangan sampai suatu berita dipromosikan terlalu berlebihan. Hal ini sering memicu perbedaan pendapat, karena menurut tim medsos, mereka tidak bisa bicara secara naratif seperti halnya di media pemberitaan biasa. Pemilihan katanya harus dibuat lebih bombastis. Itu sebabnya tim harus mengganti judul berita aslinya, dan biasanya kurang disukai tim redaksi. Bukan saja karena kualitas berbahasa yang berbeda, namun juga terdapat potensi untuk melakukan praktik clickbait karena terlalu ingin menarik perhatian pengguna medsos. Berdasarkan aktivitas pemasaran Kompas.com melalui divisi Strategic Partner Development ini, dapat dikatakan bahwa perusahaan ini tengah melakukan upaya kehumasan dalam rangka mempertahankan khalayak sekaligus nama baiknya. Dengan melibatkan diri di dunia medsos, Kompas.com telah melakukan upaya image building di hadapan khalayaknya. Aktivitas ini memperlihatkan bahwa Kompas.com tengah merasa keberadaannya di dunia daring terancam. Bukan saja karena masalah teknis di mana khalayak lebih menyukai untuk mengakses medsos, namun juga masalah menurunnya kredibilitas sebagai

272 media pemberitaan yang berpengalaman dan terpercaya. Tidak dapat dipungkiri, semakin jarang khalayak berhubungan dengan satu media, tingkat keterpercayaannya pun semakin hilang. Walaupun sesungguhnya medsos yang banyak diakses itu mendapatkan informasinya dari situs web berita seperti Kompas.com, namun tidak menjadi jaminan kredibilitas media yang bersangkutan akan meningkat. Hal itu karena saat generasi pengguna medsos melihat ada informasi hangat di lini masanya, apalagi banyak dishare oleh teman-temannya, akan langsung diklik tanpa peduli lagi sumber informasinya dari media apa. Kehadiran Kompas.com secara langsung di medsos sebagai content distributor menyebabkan pengguna medsos langsung menemukannya di lini masa sebagai bagian dari informasi itu sendiri. Dengan demikian, diharapkan image perusahaan Kompas.com sebagai penyedia informasi menjadi tertanam dalam memori para pengakses medsos. Selain itu, keberadaan tombol share di medsos menjadi andalan tersendiri bagi Kompas.com untuk melebarkan kampanye image buildingnya ke khalayak luas. Secara tidak langsung, Kompas.com telah memanfaatkan khalayak medsos untuk menjadi agen kehumasannya. Upaya image building lainnya adalah kebijakan Kompas.com untuk memperbolehkan tim Strategic Partner Development membuat judul dan kepala berita sendiri. Di sini Kompas.com terlihat ingin menampilkan diri sebagai media yang mengikuti perkembangan zaman serta selera pengguna medsos. Namun demikian, Kompas.com juga berupaya untuk mempertahankan citranya sebagai media terpercaya dengan tidak melakukan praktik clickbait journalism. Kompas.com tampak tidak mengapresiasi media daring yang terbiasa melakukan clickbait. Bukan saja karena potensinya untuk merugikan khalayak, praktik tersebut merupakan hal yang tidak sesuai dengan prinsip

273 jurnalisme dalam melayani hak khalayak untuk tahu (right to know). Di samping upaya image building dan strategi bertahan hidup Kompas.com melawan gempuran medsos yang cukup menunjukkan hasil positif ini, terdapat potensi permasalahan yang harus segera diperhatikan oleh pihak perusahaan. Seperti yang dibahas sebelumnya, kemapanan posisi Kompas.com sebagai content distributor di medsos juga berpotensi untuk semakin menjauhkan khalayak dari situs web utamanya. Hal ini menjadi kontraproduktif dalam upaya image building Kompas.com. Alih- alih mendukung eksistensinya di dunia daring, Kompas.com malah berpotensi menghilangkan kemungkinan khalayak untuk tetap mengaksesnya. Nama Kompas.com mungkin akan tetap dikenal di dunia medsos, namun induk utama dari bisnis media ini akan kehilangan tempat. Ini merupakan hal yang negatif dalam bisnis media. Upaya Kompas.com dalam mempertahankan eksistesinya dengan tidak membagikan beberapa rubriknya ke medsos kemungkinan dapat mengatasi masalah ini di masa sekarang. Namun Kompas.com perlu memperhitungkan perkembangan teknologi medsos yang terus mengejar selera pasar dan memberikan fitur-fitur yang memudahkan penggunanya. Apabila pada saatnya medsos menyediakan fitur yang memungkinkan pembaca mengakses format artikel yang kompleks seperti VIK, maka situs web akan kehilangan kelebihannya dan pembaca akan sepenuhnya meninggalkan situs web yang sebenarnya merupakan identitas dan kekuatan utama Kompas.com. Bila tidak diantisipasi dengan cepat, upaya bertahan hidup di dalam dunia daring akan sirna.

274

SIMPULAN Kehadiran medsos dengan segala karakternya telah mengubah budaya hidup masyarakat secara global. Dalam konteks bisnis media daring, medsos menjadi pesaing yang sangat kuat dan berpotensi merebut khalayak dan pasar media daring konvensional. Namun demikian, media daring dapat memanfaatkan keberadaan medsos menjadi salah satu kanal untuk penyebaran produknya dan meraih kue iklan yang terserap media lain. Medsos dapat pula digunakan sebagai media kegiatan kehumasan oleh media daring untuk memperkuat citra perusahaannya. Dalam fenomena yang terjadi di media daring Kompas.com, bagian pemasaran media kini menjadi bagian yang terlibat dalam pembuatan konten dalam rangka memperkuat citra perusahaan di medsos. Mereka harus mencermati konten mana yang bakal banyak disukai, kemudian menyeleksi berita-berita di situs web utama yang dapat disebarkan di medsos dengan format tersendiri. Aktivitas ini terbukti dapat membuat performa media daring Kompas.com mendapat perhatian dari khalayak sehingga citra perusahaan dapat dipertahankan. Namun hal ini membuat media harus mengubah lagi konsep konsep ideal yang selama ini diusungnya. Untuk tetap mengedepankan idealisme, media harus pandai-pandai menyeimbangkan karakter pembaca media sosial dengan tujuan ideal. Hal ini tidak mudah dilakukan namun perlu. Selain itu, aktivitas pemasaran yang dibarengi dengan pembangunan citra ini juga berpotensi menjadi kontraproduktif. Di balik kemapanan eksistensi perusahaan media di medsos, ada kemungkinan bisnis utama Kompas.com di bidang media daring akan tergeser bahkan mati. Khalayak dapat beralih untuk mengakses konten yang didistribusikan di medsos daripada mengakses langsung ke sumber aslinya. Dengan demikian, pendapatan iklan di media daring Kompas.com akan kembali

275 beralih ke medsos. Hal tersebut dapat berarti kematian bisnis media daring tersebut. Walaupun pada saat ini eksistensi media daring Kompas.com masih dapat dipertahankan karena memiliki konten khas yang hanya dapat diakses di situs webnya, bagian pemasaran harus cermat mengawasi perkembangan media sosial yang ada. Perkembangan teknologi harus diantisipasi, karena dapat saja di masa depan seluruh format konten berita media daring dapat diakses lebih mudah melalui kanal medsos. Bila itu terjadi, Kompas.com akan kehilangan kelebihannya sebagai penyedia konten yang lebih lengkap daripada medsos.

DAFTAR PUSTAKA Beaujon, A. (2014). “The real problem with clickbait”, Poynter, 16 Juli 2014, diambil dari https://www.poynter.org/news/real-problem-clickbait Cheney, G., & Vibbert, S. L. (1987), “Corporate Discourse: Public relations and issue management”, dalam F. M. Jablin, L. L. Putnam, K. H. Roberts, & L. W. Porter (Ed.), Handbook of Organizational Communication: An Interdisciplinary Perspective, Newbury Park, CA: Sage. Garbett, T. (1988), How to build a corporation’s identity and project its image, Lexington, MA: Lexington Books. Gotsi, M., & Wilson, A. M. (2001). “Corporate reputation: Seeking a definition”, Corporate Communications, 6(1), pp. 24-30 Kemp, S. (2017). Digital in 2017: Global overview (special report), 24 Januari 2017, diambil dari https://wearesosial.com/special-reports/digital-in-2017- global-overview Kolodzy, J. (2012). Practicing convergence journalism. New York Routledge. Kompas.com, About us, PT. Kompas Cyber Media, diambil dari http://inside.kompas.com/about-us Kremer, H. (2016). “Nasib media daring suram”, Media Indonesia, 26 Agustus 2016, diambil dari

276

http://mediaindonesia.com/news/read/63555/nasib-media- daring-suram/2016-08-26 Manjoo, F. (2017). “Can facebook fix its own worst bug?”, The New York Times, 25 April 2017, diambil dari https://www.nytimes.com/2017/04/25/magazine/can- facebook-fix-its-own-worst-bug.html?mcubz=1 Massey, J.E. (2003), “A Theory of Organizational Image Management: Antecedents, Processes & Outcomes”, Paper, dipresentasikan pada the International Academy of Business Disciplines Annual Conference, Orlando, April, 2003 Nasrullah, R. (2015), Media Sosial, Perspektif Komunikasi Budaya dan Sosioteknologi, Simbiosa Rekatama Media, Bandung Prior, J. (2012). “Clickbait”, Urban Dictionary, 30 Oktober 2012, diambil dari http://www.urbandictionary.com/define.php?term=click+ bait Putri, B.U. (2016), “Kontra-Hegemoni Wacana Ekofeminisme dalam Film Samin vs Semen”, Skripsi, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Indonesia Somaiya, R. (2014). “Facebook takes steps against ‘click bait’ articles”, The New York Times, 25 Agustus 2014, diambil dari https://www.nytimes.com/2014/08/26/business/media/fac ebook-takes-steps-against-click-bait- articles.html?action=click&contentCollection=Media&m odule=RelatedCoverage®ion=Marginalia&pgtype=art icle We Are Sosial Singapore (2017). Digital in 2017: Southeast Asia, 26 Januari 2017, diambil dari https://www.slideshare.net/wearesosialsg/digital-in-2017- southeast-asia Witschge, T. (2012). “Changing audiences, changing journalism?”. dalam Lee-Wright, P., Phillips, A., & Witschge, T. (Ed.), Changing journalism. London: Routledge.

277

REVOLUSI KIA SEBAGAI STRATEGI PENURUNAN ANGKA KEMATIAN ANAK

Jenny Ratna Suminar, Purwanti Hadisiwi, Nindi Aristi Universitas Padjadjaran [email protected]

PENDAHULUAN Angka kematian anak di NTT dalam rentang empat tahun terakhir (2010 - 2014) menunjukkan tren yang negatif. Khususnya terjadi di Kabupaten Sumba Timur dimana data statistik Kabupaten Sumba Timur menunjukkan total angka kematian anak (meliputi angka kematian bayi dan angka kematian balita) pada tahun 2013 sebesar 42 kasus, sedangkan pada tahun 2014 sebesar 218 kasus. Hal ini merupakan kondisi yang sangat mengejutkan sekaligus merisaukan. Di tengah upaya pemerintah pusat untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup anak, masih banyak daerah dengan tren kematian anak yang begitu tinggi. Bappenas dalam Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia tahun 2015 menyebutkan bahwa tingginya kematian anak pada usia hingga satu tahun, yaitu sepertiganya, terjadi dalam satu bulan pertama setelah kelahiran dan sekitar 80 persen kematian neonatal ini terjadi pada minggu pertama. Hal tersebut menunjukkan masih rendahnya status kesehatan ibu dan anak khususnya pada masa persalinan dan segera sesudahnya; serta perilaku (baik yang bersifat preventif maupun kuratif) ibu hamil dan keluarga serta masyarakat yang bersifat negatif bagi perkembangan kehamilan sehat, persalinan yang aman dan perkembangan dini anak. Upaya pemeliharaan kesehatan anak ditujukan untuk mempersiapkan generasi yang akan datang yang sehat, cerdas, dan

278 berkualitas serta untuk menurunkan angka kematian anak. Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak janin masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun. Upaya kesehatan anak antara lain diharapkan mampu menurunkan angka kemarian anak. Indikator angka kematian yang berhubungan dengan anak yakni Angka Kematian Neonatal (AKN), Angka Kematian Bayi (AKB), dan Angka Kematian Balita (AKABA). Perhatian terhadap upaya penurunan angka kematian neonatal (0-28 hari) menjadi penting karena kematian neonatal memberi kontribusi terhadap 59% kematian bayi (Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014). Kondisi ini membuat Kabupaten Sumba Timur menjadi sorotan baik di tingkat lokal maupun nasional bahkan internasional sebagai daerah yang sangat memerlukan penanganan khusus berkenaan dengan data angka kematian anak. Sorotan ini tentunya membuat penilaian yang kurang baik masyarakat terhadap Kabupaten Sumba Timur secara umum yang selanjutnya berimplikasi pada kinerja instansi terkait dengan masalah angka kematian anak khusunya Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Timur sebagai leading sector. Untuk hal inilah menjadi penting bagaimana upaya pemerintah kabupaten Sumba Timur khususnya Dinas Kesesehatan melakukan berbagai upaya sebagai strategi penurunan angka kematian anak yang sekaligus membangun citra positif pemerintahan. Ada tiga tujuan yang diharapkan diperoleh dari penelitian dilakukan, yaitu: untuk mengetahui bagaimana strategi dinas kesehatan dalam menekan angka kematian anak; Bagaimana strategi dinas kesehatan Kabupaten Sumba Timur dilakukan; Mengapa strategi tersebut yang dilakukan.

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan tradisi studi kasus sebagaimana dijelaskan Creswell

279 mengemukakan karakteristik dari suatu studi kasus di antaranya: (1) mengidentifikasi “kasus” untuk suatu studi; (2) Kasus tersebut merupakan sebuah “sistem yang terikat” oleh waktu dan tempat; (3) Studi kasus menggunakan berbagai sumber informasi dalam pengumpulan datanya untuk memberikan gambaran secara terinci dan mendalam tentang respons dari suatu peristiwa. Selanjutnya Creswell mengungkapkan bahwa apabila kita akan memilih studi untuk suatu kasus, dapat dipilih dari beberapa program studi atau sebuah program studi dengan menggunakan berbagai sumber informasi yang meliputi: observasi, wawancara, materi audio- visual, dokumentasi dan laporan. Oleh karena itulah, penelitian ini akan melalukan wawancara dengan berbagai sumber, memanfaatkan dokumen-dokumen yang relevan selain melakukan observasi lapangan sebagai teknik pengumpulan datanya. Pendekatan kualitatif digunakan karena pada penelitian ini peneliti tidak bermaksud untuk mengukur secara angka-angka dan statistik sebuah fenomena, melainkan untuk memahami karakter dari fenomena tersebut. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Miller (2002: 69): Qualitative methods of research are valuable when we wish not to count or measure phenomena but to understand the caracter of experience, particularly how people perceive and make sense of their experience. This involves interpreting meaning and other unobservable dimensions of communication. metode penelitian studi kasus yang menurut K Yin merupakan strategi yang tepat untuk penelitian yang memiliki pertanyaan how atau why dengan ruang lingkup berbagai bidang seperti: • penelitian kebijakan, ilmu politik, dan administrasi umum; • psikologi masyarakat dan sosiologi; • studi-studi organisasi dan manajemen;

280

• penelitian perencanaan tata kota dan regional, seperti studi lingkungan; • dll.

Selanjutnya Robert K. Yin (2003: 18) menyatakan bahwa studi kasus merupakan studi inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tidak nampak dengan tegas dan dimana multisumber bukti dimanfaatkan. Senada dengan Yin, Mulyana (2001: 201) mengatakan bahwa studi kasus merupakan uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program atau situasi sosial. Pada penelitian studi kasus berupaya menelaah sebanyak mungkin data mengenai subyek yang diteliti. Metode yang acapkali digunakan adalah wawancara, pengamatan, penelaahan dokumen, dan data apa pun untuk menguraikan suatu kasus secara terinci. Peneliti studi kasus berupaya menelaah sebanyak mungkin data mengenai subyek yang diteliti. Alih-alih menelaah sejumlah kecil variabel dan memilih suatu sampel besar yang memiliki populasi, peneliti secara seksama dan dengan berbagai cara mengkaji sejumlah besar variabel mengenai suatu kasus. Sebagai salah satu metode kualitatif, Lincoln dan Guba (dalam Mulyana, 2001: 201) mengemukakan beberapa karakteristik studi kasus yang dianggap sebagai kelebihan, yaitu: a) Studi kasus merupakan sarana utama bagi peneliti emik, maksudnya menyajikan pandangan subyek yang diteliti; b) Studi kasus merupakan sarana efektif untuk menunjukkan hubungan antara peneliti dan responden; c) Studi kasus terbuka bagi penilaian atas konteks yang turut berperan bagi pemaknaan atas fenomena dalam konteks tersebut.

281

Teknik Pengumpulan Data Data penelitian dikumpulkan dengan berbagai teknik, yaitu wawancara dan observasi lapangan. Ada pun wawancara dengan berbagai narasumber, yaitu:

No Nama Jabatan Usia Lokasi 1 dr. Kepala Dinas - Kantos dinas Chrisnawan Kesehatan Kesehatan Try Kabupaten Kabupaten Haryantana Sumba Timur Sumba Timur, Waingapu 2 dr. Rambu Dokter - Kantor Ana Puskesmas Puskesmas Waingapu 3 Bidan Bidan 34 Waingapu Merpaty Puskesmas Kota Wally 4 Bidan Yublina Bidan Polindes 36 Pandawai 5 Abe Lina Masyarakat 25 Waingapu Bianco 6 Prigita Masyarakat 36 Kambera 7 Agustina Masyarakat 34 Lewa Rambol

HASIL DAN PEMBAHASAN Angka kematian anak yang ditunjukkan oleh Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKBA) merupakan indikator yang lazim digunakan untuk menentukan derajat kesehatan masyarakat, baik pada tatanan provinsi maupun nasional, khususnya derajat kesehatan masyarakat suatu daerah tertentu. Meskipun angka kematian anak secara nasional pada

282 tahun 2015 telah menunjukkan tren yang positif, namun variasi angka kematian anak antar provinsi masih sangat besar. NTT termasuk salah satu provinsi dengan tingkat variasi angka kematian anak yang besar, khususnya Kab. Sumba Timur. Tantangan utama yang harus dihadapi untuk menekan angka kematian anak, seperti yang dilaporkan dalam Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia tahun 2015, adalah bagaimana memperbaiki perilaku keluarga dan masyarakat, terutama perilaku hidup bersih dan sehat, termasuk upaya mencari pelayanan kesehatan serta memperbaiki akses, memperkuat mutu manajemen terpadu penyakit bayi dan balita, memperbaiki kesehatan lingkungan termasuk air bersih dan sanitasi, pengendalian penyakit menular, dan pemenuhan gizi yang cukup. Untuk dapat memperbaiki perilaku keluarga dan masyarakat, terutama perilaku hidup bersih dan sehat, termasuk upaya mencari pelayanan kesehatan serta memperbaiki akses masyarakat terhadap informasi kesehatan di Kab. Sumba Timur maka dibutuhkan literasi kesehatan. Tingkat literasi kesehatan masyarakat Kab. Sumba Timur sangat berperan besar terhadap upaya perbaikan perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat. Tingkat literasi kesehatan masyarakat yang tinggi dapat membantu masyarakat memperbaiki perilaku hidup bersih dan sehat yang pada gilirannya berkontribusi dalam menekan angka kematian anak. Membangun literasi kesehatan masyarakat perlu penggerak serta sokongan kuat pihak pemerintah hal ini berangkat dari kondisi masyarakat pada umumnya di Kabupaten Sumba Timur yang tingkat pendidikan, kondisi ekonomi yang masih terbatas. Ini artinya pemerintah setempat melalui leading sector- nya Dinas Kesehatan menjadi sangat penting melakukan terobosan

283 serta gerakan-gerakan yang aktif untuk menyikapi kondisi tren angka kematian anak yang kurang baik ini. Revolusi KIA sebetulnya merupakan strategi yang menjadi kebijakan bersama di tingkat provinsi Nusa Tenggara Timur dimana secara nasional provinsi NTT memiliki angka kematian yang relatif tinggi jika dibandingkan provinsi lainnya. Strategi Revolusi KIA sebagai salah satu bentuk upaya percepatan penurunan kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir dengan cara-cara yang luar biasa melalui persalinan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai dan siap 24. Berbagai upaya yang selama ini telah banyak dilakukan belum mampu mengangkat posisi NTT di mata nasional, sehingga harus diupayakan mengatasi masalah ini dengan cara-cara yang luar biasa, termasuk di Kabupaten Sumba Timur (wawancara dengan kepala dinas kesehatan Kabupaten Sumba Timur) Melalui strategi Revolusi KIA ini berbagai program dilakukan seperti fasilitas kesehatan yang memadai dan siap 24 jam adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang siap memberikan pelayanan 24 jam serta memenuhi standar dari setiap aspek, yang meliputi:

- Aspek SDM (Sumber Daya Manusia); - Aspek Peralatan; - Aspek Obat, Bahan dan Perbekalan Kesehatan; - Aspek Bangunan; - Aspek Sistem (termasuk Standard Operating Procedure/SOP, Prosedur Tetap/ Protap dan Sistem Rujukan); - Aspek Penganggaran.

Secara operasional di lapangan strategi Revolusi KIA ini dilakukan berdasarkan kondisi realitas yang terjadi. Dalam catatan

284 peneliti ada empat hal masalah yang menonjol di Kabupaten Sumba Timur ini, yaitu: Kondisi geografis; Kondisi ekonomi masyarakat pada umumnya; Budaya yang memiliki nilai-nilai yang dianut secara turun temurun; dan Daya jangkau Fasilitas Kesehatan. (hasil observasi selama penelitian lapangan Juli 2017) Berdasarkan keempat hal inilah yang juga disampaikan oleh Kepala Dinas Kabupaten Sumba Timur dan dokter Puskesmas serta bidan desa bahwa banyak masyarakat yang perlu pertolongan kesehatan atau persalinan perlu ditempuh dengan kondisi jalan yang sulit dijangkau dengan ambulas atau kendaraan roda empat. Dengan kondisi tanah yang tidak datar serta hamparan tanah bergelombang diperlukan kendaraan seperti motor trail untuk bisa menemui masyarakat. Akses jalan yang seperti inilah yang banyak ditemui petugas kesehatan di Kabupaten Sumba Timur di samping kondisi ekonomi masyarakat yang juga kurang baik dimana masalah kesehatan belum menjadi prioritas jika kondisinya belum mendesak. Fenomena persalinan dengan bantuan dukun beranak masih ada karena keberadaannya yang dekat dengan masyarakat. Hal ini tentu saja sebagai bagian dari persoalan daya jangkau serta kondisi ekonomi masyarakat yang masih terbatas. Hal menarik lainnya adalah mengenai budaya setempat yang cukup kuat dianut masyarakat. Sebagaimana ditemui di lapangan ada pasangan laki-laki dan perempuan yang secara hukum pemerintahan belum menikah tapi mereka hidup satu rumah dan memiliki anak, hal ini terjadi karena secara adat mereka diberikan toleransi hidup bersama namun belum bisa diresmikan termasuk terdaftar resmi sesuai undang-undang perkawinan karena secara adat budaya ada yang belum terselesaikan persyaratan sebuah perkawinan adat mereka (Budaya Mrapu). Kondisi ini membuat beberapa di antara mereka menjadi sungkan atau malu jika ada masalah dengan kesehatan mendatangi puskesmas.

285

Revolusi KIA melakukan terobosan yang sangat luar biasa dalam menghadapi kondisi geografis, ekonomi dan budaya di Kabupaten sumba Timur ini. Kepala Dinas Kesehatan beserta dengan seluruh jajarannya terutama di ujung tombak seperti para dokter puskesmas, bidan desa sadar betul bahwa sorotan kurang baik mengenai kondisi angka kematian anak yang beberapa tahun ini meningkat perlu dijawab dengan kinerja yang luar biasa. Fasilitas kesehatan seperti ruang rawat inap di puskesmas yang siap melayani 24 jam, fasilitas kendaraan untuk menjangkau masyarakat di daerah sulit seperti motor untuk bidan desa, mobil enam gardan yang bisa menembus lokasi tanah bergelombang di setiap puskesmas. Di samping itu para bidan desa yang melakukan jemput bola dengan cara mendatangi ibu-ibu hamil atau keluarga dengan anak balita untuk melakukan monitoring kesehatan. Dibentuknya Pondok Bersalin Desa (Polindes) di setiap desa di bawah kendali seorang bidan desa dilakukan secara rurin pemeriksaan kehamilan dan anak balita bahkan mereka melakukan bekerja sama dengan dukun beranak untuk menjadi informan puskesmas atau polindes. Hal menarik kerjasama dengan dukun beranak ini adalah dijadikannya para dukun beranak sebagai informan jika ada ibu hamil atau anak balita yang memerlukan penanganan. Kepada dukun beranak sebagai informan ini diberikan insentif berupa uang manakala mereka memberikan informasi. Rupanya cara ini membuat para dukun beranak diberi peran dan merasa tidak disingkirkan menjadikan kerjasama ini saling menguntungkan. Keberadaan bidan desa di sekitar masyarakat serta adanya fasilitas puskesmas yang lebih baik menjadikan masyarakat mudah untuk mengakses pelayanan kesehatan terutama ibu hamil dan anak. Terobosan ini menuai hasil yang menggembirakan, menurut dr. Chrisnawan Try Haryantana sebagai kepala dinas Kesehatan

286

Kabupaten Sumba Timur sejak 2015 telah terjadi penurunan angka kematian anak dengan data dari BPS. Strategi Revolusi KIA ini bukan hanya berlaku di wilayah Kabupaten Sumba Timur namun juga berlaku di seluruh wilayah Provinsi NTT. Selain pemberian jaminan kesehatan bagi Ibu dan anak, program kesehatan lain yang dilakukan adalah melalui kerjasama pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Australia melalui departemen of foreign affairs and trade (DFAT) bersepakat untuk bekerjasama melalui beberapa program seperti program kemitraan untuk kesehatan ibu dan bayi baru lahir (AIPMNH) sejak tahun 2009 lalu di Nusa Tenggara Timur guna memperkuat sistem kesehatan sehingga kuaitas pelayanan kesehatan untuk masyarakat khususnya bagi Ibu dan anak meningkat. Upaya penurunan angka kematian anak di Kabupaten Sumba Timur yang kini telah membuahkan hasil walau belum menyamai angka standar nasional telah mampu memberikan penilaian yang positif dari masyarakat. Beberapa ibu hamil yang berasal dari Kecamatan Pandawai, Kambera, Waingapu Kota menyatakan rasa senang dan bersyukur terhadap layanan kesehatan ibu hamil dan anak yang dilakukan tim kesehatan baik dari fasilitas juga sikap bidan dan dokter yang ada di puskesmas maupun polindes. Pernyataan masyarakat mengenai layanan kesehatan ini merupakan indikator kinerja pekerja bidang kesehatan sudah baik yang diperkuat data menurunnya angka kematian anak. Kinerja ini merupakan bukti nyata dari upaya meningkatkan citra positif dari pemerintah Kabupaten Sumba Timur khususnya bidang kesehatan.

SIMPULAN Simpulan dari penelitian ini adalah: 1) Kabupaten Sumba Timur menerapkan strategi Revolusi KIA sebagai upaya penurunan angka kematian anak; 2) Strategi Revolusi KIA

287 dilakukan sebagai terobosan untuk menurunkan angka kematian anak berdasarkan kondisi geografis, kondisi ekonomi dan nilai budaya yang ada di Kabupaten Sumba Timur; 3) Strategi Revolusi KIA yang dilakukan dengan pendekatan yang ada merupakan hal yang tepat karena dapat menurunkan angka kematian anak; 4) Upaya penurunan angka kematian anak yang dilakukan pemerintah Kabupaten Sumba Timur merupakan kinerja yang baik sehingga mampu memberikan penilaian citra positif.

DAFTAR PUSTAKA Bell, Lauren Cohen, et all. 2008. Perspective on Political Communication: A Case Approach. USA: Pearson. Creswell, John W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design. California: Sage. Hernandez, Lyla M. 2013. Health Literacy: Improving Health, Health Systems, and Health Policy Around The World, Workshop Summary. Washington DC: The National Academies Press. Liliweri, Alo. 2009. Dasar-Dasar Komunikasi Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mulyana, Deddy, 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung, Remaja Rosdakarya. Miller, Katherine. 2002. Communication Theories: Perspective, Processes, and Contexts, USA: McGraw Hill. Nurkhasanah. 2015. Hubungan Antara Tingkat Literasi Kesehatan dengan Self Efficacy pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di Kabupaten Sleman. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Schiavo, Renata. 2014. Health Communication: Theory and Practice. San Fransisco: Jossey- Bass. Yin, Robert K., 2001, Case Study Research Design and Methods. Washington: COSMOS Corporation

288

STRATEGI ORGANISASI DALAM MEMELIHARA BESARAN BAGI PENINGKATAN REPUTASI ORGANISASI

Rd. Funny Mustikasari Elita Universitas Padjadjaran [email protected]

PENDAHULUAN Rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) ketiga (2015-2019) memantapkan pembangunan secara menyeluruh dan berkesinambungan dengan menekakan pada pembangunn keunggulan kompetitif perekonomian dengan berbasis pada sumber daya alam (SDA) yang tersedia, sumber daya manusia yang bekualitas serta kemampuan iptek. Kemenristek dikti mengambil pilar kelima dan keduabelas dari 12 pilar pembentuk daya saing pada World Economic Forum (WEF). Pilar kelima tentang pendidikan dan pelatihan pendidikan tinggi dan pilar keduabelas adalah inovasi dalam upaya mendukung daya saing. Berdasarkan kedua pilah yang diemban kemenristek dikti maka Universitas Padjadjaran dituntut harus mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mampu menghasilkan produk inovasi dan teknologi serta sumber daya manusia yang cerdas serta terampil dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan menjaga nama baik universitas serta dapat memberikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Kebijakan internal Universitas Pdadjaran disusun berdasarkan rencna strategis untuk mewujudkan visi misi dan tujuan serta sasaran yang dapat memberikan kepuasan terhadap stakeholder internal maupun eksternal. Bentuk kebjakan pendidikan tinggi di Universitas Padjadjaran memuat konsepsi

289 yang menyeluruh untuk mengelola, mengembangkan dan memberdayakan sumber daya yang dimiliki. Restrukturisasi dilakukan secara maraton, sejak mendapatkan status PTNBH. Struktur organisasi disusun dan dikembangkan berjalan secara simultan dengan proses evaluasinya sehingga tahun struktur 2015 diubah pada tahun 2016. Perubahan struktur ini adalah upaya untuk mendapatkan bentuk tata kelola yang sesuai dengan perubahan yang ada di lingkungan kemenristek dikti serta iklim pendidikan di Asean serta Eropa.

HASIL DAN PEMBAHASAN Strategi Organisasi mempertahankan Reputasi Organisasi Strategi untuk mempertahankan reputasi organisasi dilakukan oleh Universitas Padjadjaran di tengah peran dan persaingan dunia pendidikan. Dalam praktiknya tidaklah berjalan mulus. Jones (1998:201) mendefiniskan strategi organisasi sebagai pola spesifik dan keputusan-keputusan atau tindakan yang diambil oleh manajer untuk menggunakan keterampilan dan kemampuannya dalam rangka mencapai keunggulan bersaing dan mengungguli pesaing. Selanjutnya Robbins (1990:134) strategi didefinisikan sebagai penentuan tujuan dasar jangka panjang dan sasaran sebuah perusahaan, dan penerimaan dan serangkaian tindakan serta alokasi dan sumber-sumber yang dibutuhkan untuk melaksanakan tujuan tersebut. Setiap organisasi dalam mempertahankan reputasi hendaklah memiliki strategi jangka panjang, jangka menengah dan strategi jangka pendek. Menjaga dan meningkatkan reputasi organiasi merupakan suatu perjalanan panjang bagi organisasi. Reputasi ibarat pohon yang tumbuh dari benih, perlu dirawat diawal kehidupan organisasi, perlu ditumbuhkan tunas-tunas perusahaan, variasi produk ibaran kuncup daun baru. Organisasi harus mengembangkan suatu strategi dengan tujuan untuk meningkatkan

290 nilai yang diciptakan untuk stakeholder. Dengan demikian melalui strategi ini, suatu organisasi akan dapat menggunakan dan mengembangkan kompetensi intinya untuk mendapatkan keunggulan sehingga dapat menciptakan keuntungan dari sumber daya yang langka dan memiliki daya saing. Strategi bisa direncanakan terlebih dahulu. Namun strategi juga dapat berevolusi sesuai kebutuhan perusahaan. Dalam Robbins (135,1990), ada dua pandangan mengenai strategi yaitu : Planning Mode (Model Perencanaan). Model ini menjelaskan bahwa strategi, sebagai sebuah model perencanaan atau kumpulan pedoman eksplisit yang dikembangkan sebelumnya. Para manajer mengidentifikasikan arah tujuan mereka, kemudian mengembangkan rencana yang sistematis dan terstruktur untuk mencapai hal itu. Berikutnya adalah Evolutionary Mode (Model Evolusioner), model ini berpandangan bahwa strategi tidak selalu harus merupakan rencana yang dipikirkan secara matang dan sistematis. Strategi bahkan berkembang dari waktu ke waktu sebagai pola dan arus keputusan yang bermakna.

Jenis - Jenis Strategi Ada dua jenis strategi menurut Robbins, yaitu: Corporate -level strategy yang mencoba menjawab pertanyaan, bidang bisnis apakah yang harus digeluti. Selain itu, strategi ini juga menentukan peran yang harus dilakukan masing-masing bisnis di dalam organisasi. Berikutnya adalah Business-level strategy yang mana strategi ini mencoba mencari jawaban terhadap pertanyaan bagaimana seharusnya dapat bersaing di dalam masing-masing bisnis. Sedangkan Jones (203-225;1997) merinci strategi menjadi tiga jenis, yaitu : Functional Level Strategy yaitu strategi dalam level fungsional ini merupakan rencana dari tindakan untuk memperkuat fungsi dan sumber daya organisasi seperti

291 kemampuan berkoordinasi agar tercipta kompetensi inti. Untuk memperkuat ketrampilan dan sumber daya mereka, manajer fungsional melatih dan mengembangkan bawahannya untuk menjamin bahwa organisasi memiliki ketrampilan yang sesuai atau melebihi pesaingnya. Bagian lainnya dari tugas seorang manajer fungsional adalah menyaring dan mengatur lingkungan fungsional untuk meyakinkan bahwa organisasi mengetahui apa yang terjadi di dalam maupun di luar wilayahnya. Tujuan dari strategi masing- masing fungsi adalah untuk menciptakan kompetensi utama yang memberikan keunggulan kompetitif bagi organisasi. Untuk mendapatkan keunggulan kompetitif tersebut, suatu organisasi harus mampu untuk melakukan setidaknya salah satu dari strategi ini yaitu: melakukan kegiatan fungsional dengan biaya yang rendah dibanding pesaing atau melakukan kegiatan fungsional dengan membedakan barang dan jasa dibanding pesaingnya. Setiap fungsi dalam organisasi dapat membangun kompetensi inti yang memungkinkan organisasi untuk menciptakan keunggulan berupa penurunan biaya atau membedakan produk mereka secara jelas dibandingkan pesaingnya. Kekuatan dari fungsi kompetensi inti tidak hanya tergantung pada fungsi sumber dayanya, tetapi juga kemampuannya untuk mengkoordinasi penggunaan sumber- sumber tersebut. Menurut teori kontigensi, desain organisasi harus memungkinkan setiap fungsi untuk membangun struktur yang cocok dengan sumber daya manusia dan sumber daya tekniknya. Kesuksesan riset dan pengembangan (research and development) mencerminkan kemampuan para ahli R&D untuk mengaplikasikan keahlian pengetahuan mereka untuk melahirkan inovasi terbaru dan mengkombinasikan antara aktivitas dengan sumber daya teknik yang tersedia, sehingga menghasilkan jasa/produk baru yang kompetitif. Jasa/Produk yang kompetitif inilah yang kan memperkuat reputasi organisasi ibarat pohon yang sudah berbuah,

292 dimana buahnya berkualitas sangat baik. Daft mengembangkan struktur organisasi untuk strategi pada functional level. Dalam strategi ini, masing-masing level organisasi diberi wewenang yang berbeda-beda. Pada departemen riset dan pengembangan (R&D), struktur yang digunakan adalah organic structure, bentuk organisasinya tetap (flat organization), pengambilan keputusan terdesentralisasi dan mutual adjustment. Kondisi ini berbeda dengan departemen manufaktur. Dimana strukturnya mekanis, organisasinya panjang (tall organization), keputusan tersentralisasi dan ada standirasasi yang tegas. Bentuk yang kedua adalah Bussiness Level Strategy yaitu strategi yang merupakan rencana untuk mengkombinasikan kompetensi inti fungsional sehingga organisasi memiliki keunggulan bersaing di wilayahnya. Tugas manajer atau pengelola pada bussiness level adalah memilih dan mengatur wilayah pada organisasinya yang memberikan nilai melalui penggunaan sumber daya dan kemampuan koordinasi untuk mencapai keunggulan bersaing. Pada waktu suatu organisasi memilih wilayahnya, ada dua landasan yang dapat memposisikan organisasi itu sendiri untuk bersaing dengan pesaingnya, yaitu: Low bussiness Level Strategy dan Differentiation Bussiness Level Strategy. Low Bussiness Level Strategy yaitu rencana dimana suatu organisasi memproduksi harga dan pelayanan yang rendah untuk semua pelanggan satu lagi adalah Defferentiation Bussiness Level Strategy dimana suatu organisasi memproduksi harga dan kualitas produk yang tinggi, untuk segmen pasar tertentu. Low Cost Strategy berkaitan dengan kebutuhan untuk mengontrol dari dekat aktivitas fungsionalnya untuk memonitor dan menurunkan biaya dari pengembangan produknya/jasanya. Manufaktur dan manajemen dari material, merupakan fungsi utama dari organisasi untuk menciptakan strategi berbiaya rendah tersebut. Seringkali karena pengembangan produk/jasa membutuhkan biaya yang

293 mahal, maka beberapa organisasi memutuskan untuk menunggu pengembangan produk baru/ jasa baru sampai ada kebutuhan dari konsumen. Organisasi low-cost ini, seringkali meniru produk- produk yang berbeda dan selalu selangkah di belakang, untuk menjaga biaya yang mereka keluarkan agar tetap rendah. Konsekuensinya, struktur organisasinya menjadi mekanis dan lebih sederhana. Keputusan dalam pengambilan keputusan pun lebih tersentralisasi. Produk/jasa yang dihasilkan pun umumnya tidak begitu beragam. Sedangkan pada differentiation strategy, perusahaan bersaing pada lingkungan yang kompleks dan tidak stabil. Untuk itu, dibutuhkan bermacam-macam produk/jasa yang dapat memuaskan kebutuhan beragam konsumen. Selain itu persaingan antar produsen menuntut perusahaan agar lebih inovatif dalam menciptakan produk baru/jasa baru. Strategi ini membutuhkan struktur organisasi yang kompleks dan organik. Selain itu, dalam pengambilan keputusan pun lebih terdesentralisasi dibandingkan low cost strategy. Strategi yang ketiga adalah Corporate Level Strategy yaitu rencana yang menggunakan dan mengembangkan kompetensi inti sehingga organisasi mampu untuk melindungi dan memperbesar wilayah serta memperluas wilayah baru. Strategi ini mencoba menjawab pertanyaan seputar bidang bisnis yang harus digeluti. Corporate level strategy menentukan peran yang harus dilakukan masing-masing bisnis dalam organisasi. Yang termasuk Corporate Level Strategy adalah Vertical Integration dan Related Difersification. Vertical integration dilakukan dengan cara mendirikan atau mengambil alih pemasok atau backward vertical integration atau distributornya disebut dengan forward vertical integration. Related Diversification dilakukan dengan cara memanfaatkan satu atau lebih keunggulan inti yang ada untuk menciptakan keunggulan bersaing dengan biaya rendah atau diferensiasi pada wilayah baru. Unrelated Diversification

294 dilakukan bilamana organisasi memasuki wilayah baru yang tidak berhubungan dengan wilayah inti. Struktur organisasi yang tepat harus dipilih pada tingkat korporat untuk merealisasikan nilai yang disesuaikan dengan strategi yang digunakan apakah integrasi vertikal atau diversifikasi yang berhubungan atau tidak berhubungan. Ada beberapa macam struktur multidivisional, masing-masing disesuaikan dengan manfaat yang dihubungkan dengan strategi yang digunakan. Organisasi yang menggunakan strategi diversifikasi yang tidak berhubungan mencoba untuk menciptakan nilai dengan membeli beberapa bisnis, merestrukturisasi bisnis tersebut dan kemudian mengaturnya lebih efisien. Organisasi dengan strategi ini lebih baik menggunakan struktur konglomerat. Biaya Birokratis dihubungkan dengan diversifikasi yang berhubungan (apakah pada struktur multidivisional atau struktur matriks multidivisional) lebih besar dibandingkan dengan integrasi vertikal atau diversifikasi yang tidak berhubungan. Biaya birokasi akan meningkat sebagai ukuran dari staf korporat dan jumlah waktu yang dihabiskan oleh manajer divisional dan manajer korporat dalam berkoordinasi dengan divisi lain. Dimensi strategis teori organisasi menurut Robbins (1990) terdiri dari Inovasi yaitu strategi yang mengutamakan penemuan baru dalam produk maupun jasa. Diferensiasi Pemasaran yaitu strategi untuk menciptakan perilaku setia pelanggan (loyalty behavior), dengan memenuhi kebutuhan tertentu secara khusus. Breadth merujuk pada luasnya pasar yang dilayani perusahaan: variasi pelanggan, luas geografis dan jumlah produk. Cost control yaitu strategi yang memperhatikan sejauh mana organisasi mengontrol biaya secara ketat, tidak membuat inovasi atau biaya pemasaran yang tidak dibutuhkan dan memotong harga penjualan sebuah produk dasar.

295

Raymond Miles dan Chailes Snow dalam Robbins (1990) mengklasifikasikan organisasi berdasarkan tingkat sejauh mana mereka mengubah produk atau pasarnya ke dalam salah satu dan keempat jenis strategi: defenders, prospector, analyzers, dan reactors. Defender Stabilitas dengan cara memproduksi hanya sejumlah produk terbatas yang ditujukan pada suatu segmen yang sempit dan seluruh pasar yang potensiaL Prospectors Hampir kebalikan dari defenders, kekuatan prospectors adalah menemukan dan mengeksploitasi produk baru dan peluang pasar. Dalam kegiatannya inovasi mungkin Iebih penting daripada keuntungan besar. Analyzers Mengkombinasi kedua strategi tersebut di defender dan prospectors, dengan cara meminimalkan resiko dan memaksimalkan peluang untuk memperoleh laba. Strategi mereka adalah hanya akan bergerak ke produk baru atau pasar baru, setelah keberhasilannya dibuktikan oleh prospectors. Reactor Dimaksudkan untuk menjelaskan pola-pola yang tidak konsisten dan tidak stabil yang timbul jika salah satu dan ketiga strategi lainnya dikejar secara tidak benar.

296

Tabel Strategi berdasarkan pendapat Miles dan Snow Strategi Tujuan Lingkungan Karakteristik Struktural Defender Stabilitas dan Stabil Kontrol ketat, efisiensi pembagian kerja yang ekstensif, formalisasi tinggi, terpusat Analyzer Stabilitas dan Perubahan Kontrol cukup efisiensi terpusat, kontrol ketat atas aktivitas yang ada, kontrol agak lepas untuk usaha baru Prospector Fleksibilitas Dinamis Struktur lepas, pembagian kerja rendah, formalisasi rendah, desentralisasi Sumber : Robbins, (147,1990).

Upaya mempertanyakan tingkat keleluasan yang dimiliki para manajer akan mengalami faftor keterlambatan saat manajemen mengimplementasikan sebuah strategi baru, sering kali perubahan tidak terjadi saat itu juga. Hal ini menunjukkan bahwa sering kali ada kelambatan struktur menanggapi perubahan dalam strategi.

297

Analisis Restrukturisasi Universitas Padjadjaran dalam Menjaga Reputasi Strategi bisa mempengaruhi struktur dan juga dapat memotivasi atau menghalangi bahkan tindakan strategis, selain itu juga menghambat pilihan strategis. Misalnya, keputusan strategis yang dibuat pada struktur yang dilakukan oleh Universitas Padjadjaran secara sentralisasi biasanya idenya kurang bervariasi dan mungkin akan lebih konsisten sesudah jangka waktu tertentu dibandingkan organisasi yang didesentralisasi di mana masukan tersebut kemungkinan besar akan bermacam-macam jenisnya dan orang-orang akan memberikan masukan pun berubah, tergantung pada situasinya. Berikut adalah dalil-dalil efek struktur organsasi terhadap proses pengambilan keputusan dari Robins

Kompleksitas Bersamaan dengan meningkatnya tingkat kompleksitas, maka demikian pula kemungkinan bahwa :  Para anggota organisasiyang pada awalnya terekspos pada stimulus tidak mengakui hal tersebut sebagai sesuatu yang strategis atau mengabaikannya karena adanya preferensi yang sempit.  Sebuah keputusan harus memuaskan sejumlah hambatan; sehingga berkurang kemungkinan bahwa keputusan dibuat untuk mencapai tujuan tingkat organisasi  Kegiatan strategis menjadi hasil dari suatu proses internal mengenai tawar menawar politis dan gerakan hanya akan berjalan sedikit demi sedikit;  Bias-bias yang disebabkan oleh persepsi sempit dari para anggota akan merupakan hambatan utama terhadap keseluruahn proses pengambilan keputusan yang

298

strategis. Pada umumnya, integrasi keputusan akan berubah menjadi rendah.

Formalisasi Bersamaan dengan meningkatnya tingkat formalisasi, maka akan terjadi kemungkinan bahwa :  Proses pengambilan keputusan yang strategis akan dimulai hanya sebagai tanggapan terhadap masalah atau kritis yang terlihat pada variabel-varaibel yang dimonitor oleh sistem yang formal.  Keputusan diambil untuk mencapai tujuan yang tepat tetapi juga bersifat memperbaiki, sedangkan cara akan menggantikan tujuan.  tindakan strategis merupakan hasil proses organisasi yang distandarisasi, dan gerakannya hanya sedikit demi sedikit, dan  Tingkat kecermatan yang dicapai dalam proses organisasi yang distandarisasi menjadi hambatan utama terhadap proses pengambilan keputusan strategis yang menyeluruh. Integrasi keputusan bersifat lanjutan.

Sentralisasi Bersamaan dengan meningkatnya tingkat sentralisasi, maka demikian pula kemungkinan bahwa :  Proses pengambilan keputusan yang strategi akan dimulai hanya oleh beberapa orang yang dominan, dan merupakan hasil dari perilaku yang proaktif dan yang mencari peluang;  Proses pengambilan keputusan berorientasi pada tujuan yang positif yang tetap ada meskipun ada perubahan yang cukup menyolok dalam cara-caranya.

299

 Tindakan strategis merupakan hasil dari pilihan rasional yang diinginkan dan pergerakan merupakan titik tolak yang penting dari strategi yang berlaku  Keterbatasan kognitif dari top manajemen menjadi penghambat utama terhadap proses strategis yang menyeluruh. Integrasi dari keputusan akan relatif tinggi. Sumber: Robins (156:1990)

Cara tersebut di atas dilakukan oleh Universitas Pajadjaran sejak berubah bentuk dari BLU menjadi PTNBH. Para pimpinan puncak melakukan restrukturisasi yang diperbaharui setiap tahun untuk mendapatkan bentuk struktur organisasi yang tepat. Strategi dilakukan dengan tahapan tengah antara karakteristik unik dan sebuah institusi tempat organisasi beroperasi dan struktur yang digunakan untuk mencapai keterkaitan. Kebanyakan institusi pendidikan dalam bidang tertentu mempunyai kesamaan, akibatnya strategi yang digunakan cenderung mempunyai elemen yang sama. Hasilnya, institusi organisaasi dalam kategori tersebut cenderung mempunyai struktur yang sama. Seperti halnya antara struktur organisasi Universitas Indonesia dengan srtuktur organisasi Universitas Padjadjaran ada kemiripan dalam rancangan struktur organisasinya dari segi ukuran untuk menentukan besaran. Dalam teori organisasi yang dikemukakan oleh Daft (1986), besaran (size) didefinisikan sebagai ukuran terhadap jumlah pegawai, sebab pegawai merepresentasikan besarnya sistem sosial yang berlaku. Ukuran lainnya untuk menentukan besaran adalah total penjualan dan jumlah aset yang juga menggambarkan dimensi ekonomi dibandingkan dimensi sosial. Pentingnya besaran sebagai sebuah determinan struktur, salah satunya dikemukakan oleh Peter Blau dalam Robbins (1994) bahwa besaran (size) adalah kondisi paling penting yang mempengaruhi struktur organisasi. Meningkatnya besaran

300 mendorong deferensiasi struktural tetapi dengan tingkat yang menurun. Peningkatan dalam besaran organisasi diikuti dengan penambahan yang mula-mula cepat dan kemudian peningkatan yang sedikit demi sedikit dari cabang-cabang lokal yang menjadi tempat penyebaran agen-agen tersebut secara spasial, jumlah kedudukan resmi yang mencerminkan pembagian kerja, jumlah tingkat vertikal dalam hirarki, jumlah divisi fungsional pada kantor pusat dan jumlah seksi per divisi. Selain Blau, pendapat kuat lainnya tentang besaran imperative (size imperative) dikemukakan pula oleh Meyer. Berbeda dengan Blau, Meyer mengungkapkan bahwa hubungan antara besaran dan dimensi struktural tidak mengimplikasikan hubungan timbal balik. Kesimpulan ini ditelurkan lewat sebuah penelitian terhadap Departemen Keuangan Amerika Serikat selama lima tahun. Hasilnya, Meyer mengakui pentingnya dampak besaran terhadap karakteristik lain dari organisasi. Besaranlah yang menyebabkan struktur organisasi, bukan sebaliknya. Selain itu, dampak variabel lain yang mempengaruhi struktur akan menghilang bila besaran tersebut dikontrol. Pendapat Blau, tidak diterima begitu saja oleh ilmuwan lainnya. Berbagai kajian untuk membuktikan kebenaran pendapat tersebut pun dilakukan oleh sekelompok ahli. Akhirnya, bukti sementara mengindikasikan bahwa besaran yang mempengaruhi struktur hanya terjadi pada organisasi yang didukung oleh para manajer profesional saja. Sebaliknya pada organisasi yang dikontrol oleh pemilik, ternyata kondisi ini tidak berlaku. Salah satu ahli yang berbeda pendapat dengan Blau adalah Chris Argyris. Menurut Argyris, besaran mungkin ada kaitannya dengan struktur tapi tidak dapat dikatakan bahwa besaran menyebabkan struktur. Ia mempertanyakan ukuran-ukuran yang digunakan dalam data Blau dan menyatakan bahwa organisasi pemerintah adalah khas. Maksudnya, organisasi pemerintah

301 memiliki anggaran yang terbatas, batasan geografis yang jelas, jumlah staf yang telah ditetapkan sebelumnya dan dipengaruhi oleh peraturan. Pertentangan antara pengaruh besaran terhadap struktur organisasi memang tak mudah untuk diakhiri. Namun dari serangkaian penelitian yang telah diungkapkan oleh para ahli, maka akan terlihat pola yang lebih jelas. Besaran tidak menentukan keseluruhan desain struktur, tetapi penting untuk meramalkan beberapa dimensi struktur. Dalam organisasi pemerintahan seperti Universitas Padjadjaran, besaran mempengaruhi kompleksitas tetapi pada tingkat yang menurun. Sedangkan dalam organisasi bisnis dengan keleluasaan manajer yang lebih besar, struktur menyebabkan besaran. Jika para manajer mempunyai kebebasan, mereka dapat memilih untuk membuat struktur mereka menjadi lebih kompleks. Ini disebabkan karena makin banyak aktivitas dan penambahan jumlah personalia. Besaran juga menimbulkan diferensiasi, sebaliknya diferensiasi yang meningkat juga akan memperbesar besaran (Robbins, 1995). Sedangkan dalam Daft (1986) dikemukakan bahwa besaran sebuah organisasi berbanding lurus dengan kompleksitasnya. Pada organisasi yang besar, jumlah departemen dan jenis pekerjaan juga akan makin besar pula. Saat organisasi berkembang, maka akan mengubah struktur departemen perusahaan. Makin berkembang sebuah departemen, maka makin sulit untuk mengelolanya. Untuk itu, biasanya departemen akan dipecah menjadi dua atau lebih dengan jenis pekerjaan yang lebih terspesialisasi. Selain itu, makin besar perusahaan maka makin banyak pula jumlah pegawai yang dipekerjakan dan makin banyak departemen baru. Rantai wewenang pun akan makin panjang pula. Besaran dan Formalisasi Makin besar organisasi, maka makin diformalisasi pula perilakunya. Selain itu, makin banyak pula perilaku yang akan

302 berulang, akhirnya manajemen termotivasi untuk menghadapinya secara lebih efisien melalui standarisasi (Robbins, 1995). Daft (1986) juga mengungkapkan pendapat serupa. Makin besar organisasi, maka akan makin formal. Formalisasi yang dimaksud mencakup kebijakan-kebijakan manual dalam perusahaan, aturan, prosedur, arahan, gambaran kerja dan aturan tertulis lainnya. Saat organisasi menjadi besar, maka hubungan yang terjalin pun makin formal dan impersonal. Para manajer akan bekerja sesuai dengan standar yang telah diterapkan oleh perusahaan. Demikian pula kondisi ini terjadi di Universitas Padjadjaran.

Besaran dan Desentralisasi Pada perusahaan-perusahaan besar, akan terjadi desentralisasi dalam pengambilan keputusan. Bukan perkara mudah bagi seorang pemimpin puncak untuk memutuskan begitu banyak kebijakan seorang diri saja. Untuk itu, akan terjadi pelimpahan wewenang sesuai dengan keahlian di departemen masing-masing. Tentu saja, agar sesuai dengan arah perusahaan, desentralisasi harus sesuai dengan aturan yang telah dirumuskan oleh perusahaan (Daft, 1986). Organisasi besar lebih banyak membutuhkan pegawai administrasi dan teknis dibanding perusahaan yang lebih kecil. Hal ini disebabkan karena makin banyak jumlah pekerjaan administratif yang harus dilakukan pada perusahaan besar, seperti surat menyurat, merevisi aturan manual perusahaan, dan menyimpan file-file. Sedangkan pekerjaan yang bersifat teknis antara lain seperti di bagian keuangan, mesin, dan pekerjaan lain dengan tingkat ketrampilan yang tinggi (Daft, 1986).

Ukuran Organisasi. Apakah semakin besar ukuran organisasi akan semakin baik bagi institusi atau organisasi? Sebuah pertanyaan yang cukup

303 menggelitik. Jawabnya, belum tentu. Makin besar organisasi, maka kompleksitasnya akan makin tinggi, makin formal dan makin terdesentralisasi. Pada organisasi besar seperti Universitas Padjadjaran (dengan jumlah pegawai lebih dari 3500 orang), penambahan pegawai tidak terlalu berdampak langsung terhadap struktur perusahaan. Sebaliknya, pada organisasi yang kecil, perubahan besar akan memberikan dampak yang cukup besar. Akan terjadi perubahan yang mencolok jika sebuah organisasi kecil menambah jumlah pegawainya hingga dua kali lipat. Masalah-masalah khusus yang berhubungan dengan besaran organisasi di Universitas Padjadjaran diantaranya adalah bagaimana pengaruh meningkatnya jumlah dosen terhadap pegawai administratif dan staf pendukungnya. Menurut Parkinson, jumlah pejabat dalam sebuah organisasi dan jumlah pekerjaan yang harus dilakukan sama sekali tidak saling berhubungan. Pandangan Parkinson memacu sejumlah penelitian mengenai apa yang sekarang disebut komponen administratif yang tidak mempunyai definisi yang disepakati secara universal. Beberapa contoh dapat menjelaskan tentang komponen administratif antara lain • Rasio antara manajer dan para pegawai • Proporsi dari manajer lini dan staf pendukungnya terhadap personalia operasional dan produksinya • Staf versus lini dengan staf yang merupakan komponen administratif • Semua pegawai dalam organisasi yang berkaitan dengan aktivitas pendukung. Jadi pegawai bagian pemeliharaan, supir, pegawai kantin, pembantu dalam bidang administrasi dan sebagainya termasuk dalam komponen administratif, tanpa penduli apakah mereka dipekerjakan secara langsung dalam divisi staf atau administrasi umum. Mereka yang memberi kontribusi secara tidak langsung pada pencapaian tujuan organisasi, baik bagian operasional atau

304 manajer, menjadi bagian dari komponen administratif. Inilah yang kemudian menjadi definisi kerja di organisasi. Tesis dari Parkinson mengatakan bahwa pada dasarnya akan terdapat hubungan yang positif antara besaran organisasi dan komponen administratif. Pada saat besaran organisasi berkembang, komponen administratif relatif bertambah secara tidak proporsional. Diluar data empiris, kelihatannya lebih masuk akal untuk mengharapkan komponen administratif menurun pada saat besaran meningkat, atas dasar asumsi mengenai efisiensi dari economics of scale yang menyarankan bahwa jika sebuah organisasi tumbuh, harus ada pengurangan proporsi pegawai yang dialokasikan untuk aktivitas tidak langsung, seperti pada kajian Rumah Sakit Veteran Administration menemukan bahwa komponen administratif berkurang saat besaran organisasi meningkat. Hal ini disimpulkan sebagai akibat hilangnya kontrol pada tingkatan hirarki dari economics of scale dengan ukuran yang besar. Dalam argumentasi Argumentasi Curvilinear, dikemukakan bahwa hubungan besaran komponen administratif tidak linear, tetapi merupakan curvilinear, yaitu komponen administratifnya lebih besar bagi organisasi yang lebih kecil, dan lebih besar dibandingkan organisasi yang sedang. Pada saat organisasi keluar dari kategori yang kecil, mereka merasakan keuntungan dari economics of scale. Tetapi ketika mereka menjadi besar, mereka akan kehilangan keuntungan dan menjadi kompleks sehingga membutuhkan peningkatan yang cukup mencolok dari komponen administratifnya untuk memungkinkan koordinasi dan kontrol. Teori organisasi tidak hanya dapat diterapkan pada perusahaan besar saja, melainkan pula pada perusahaan kecil. Desain struktural yang tepat penting jika sebuah perusahaan kecil ingin berhasil, namun ia menghadapi masalah yang berbeda

305 dengan organisasi yang besar, sehingga kita dapat mengharapkan adanya prioritas yang berbeda yang ditujukan kepada masalah teori organisasi oleh para manajer bisnis kecil.

Masalah yang Segi Kepentingannya menurun pada perusahaan kecil cenderung: • Mempunyai tingkat diferensiasi horisontal, vertikal dan spatial minimal • Kebanyakan dicirikan oleh formalisasi yang rendah dan sentralisasi yang tinggi (dapat dilihat dari kontril yang diperoleh dalam pengambilan keputusan). • Spesialisasi intern yang lebih sedikit (jika dibutuhkan, biasanya dibeli dari luar). • Menstimuli inovasi, mengelola konflik dan budaya organisasi.

Masalah yang Segi Kepentingannya Meningkat Masalah teori organisasi yang lebih penting bagi organisasi yang kecil adalah kontrol dan pertanggungjawaban. Sebagai pengganti formalisasi, kontrol dilakukan melalui pengawasan dan observasi langsung. • Perusahaan kecil juga cenderung untuk mencapai efisiensi tinggi, dengan menekankan pada pemilihan desain struktural yang tepat. • Terjadi ketergantungan yang cukup tinggi terhadap lingkungannya.

SIMPULAN Untuk menarik kesimpulan yang praktis dari penelaahan tentang penyelidikan tentang komponen administratif hanya dapat dijawab melalui lebih banyak penelitian. Orang mengajukan argumentasi bahwa alat pengukur yang lebih baik adalah

306 kompleksitas, teknologi dan lingkungan dan apakah organisasi itu sedang mundur atau sedang tumbuh. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa terdapat economics of scale yang bekerja untuk mengurangi besaran relatif dari komponen administrasi pada saat besaran organisasi meningkat. Selain itu, disimpulkan pula bahwa besaran bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi komponen administrasi. Faktor lain tidak diragukan lagi mencakup jenis organisasi, lingkungan dan teknologi, kompleksitas dan apakah organisasi tersebut sedang mengalami pertumbuhan atau sedang menurun. Organisasi kecil berbeda dengan organisasi yang lebih besar, dengan perhatian dan prioritas yang berbeda pula. Organisasi kecil mempunyai masalah unik yang membutuhkan pemecahan struktural yang unik pula. Restrukturisasi organisasi adala bagian dari organisasi untuk menjaga sustainabilitas dan menjaga reputasi organisasi agar dapat bertahan dalam persaingan dan meningkatkan peran di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA Daft, Richard L (1998) “ Organization Theory and Design” Sixth Edition. South-Western Collage Publishing, USA Drucker, Peter F (1998) “ Innovation and Entrepreneurship” Harper & Ron Publisher, New York. Jones, Gareth R. 1994, Organization Theory, Text and Cases, Second Edition. Addision-Wesley Longman Publishing Company, Inc, Unitet State of America. Jones, Gareth R. 1998. Organizational Theory, Text and Cases. Second Edition. Addison-Wesley Longman Publishing Company, Inc. United States of America. Robbins, Stephen P. 1990. Organization Theory, Structure, design and Applications. Third Edition. Prentice-Hall International, Inc. United States of America.

307

Robbin, Stephen P (1994) “Organization Theory, Structure, Design and Application”, Third Edition, Prenctice-Hall International, Inc.USA.

308

MANAJEMEN ISU CORPORATE COMMUNICATIONS PT BIO FARMA MENJADIKAN ISU SEBAGAI POTENSI

Khansa Adila Khairunnisa, Susie Perbawasari, Heru Ryanto Universitas Padjadjaran [email protected]

PENDAHULUAN Masyarakat Indonesia dibuat gempar dengan temuan vaksin palsu yang beredar di 28 sarana kesehatan ditanah air. Fakta ini terungkap setelah Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri membekuk Rita Agustina dan Hidayat Taufiqurahman pada Selasa, 21 Juni 2016 lalu. Hasil penyelidikan mengungkapkan peredaran vaksin palsu ini telah tersebar ke berbagai daerah di Indonesia. Bisnis vaksin palsu telah dilakukan selama 13 tahun sejak 2003. Menurut I Gusti Ayu Adhi Aryapatni sebagai Kepala Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) DIJ yang dilansir pada kesmas-id.com dan juga dari featured news pada laman Bio Farma.co.id, dapat disimpulkan bahwa vaksin merupakan produk yang tidak dapat diperjualbelikan secara bebas. Vaksin hanya bisa didapatkan dari tenaga ahli kesehatan, dimana tenaga ahli kesehatan tersebut hanya bisa mendapatkan vaksin melalui distributor resmi yang telah terdaftar. Vaksin juga butuh penanganan secara khusus pada saat didistribusikan, yaitu melalui Sistem Rantai Dingin (Cold Chain System) agar tetap terjaga kualitasnya. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan imunisasi, sarana kesehatan hanya bisa mengambil vaksin dari jalur resmi. Jalur resmi yang dimaksudkan berasal dari produsen dan distributor vaksin yang sudah terdaftar.

309

Vaksin dapat dikategorikan palsu atau asli setelah melalui pemeriksaan isi atau kandungan oleh pihak badan BPOM. Melalui pemeriksaan, diketahui vaksin palsu tersebut berisi bahan yang sudah dicampur dengan bahan antibiotik lainnya. Terdapat juga vaksin palsu yang berasal dari pembuangan limbah (kemasan sisa vaksin) yang tak sesuai prosedur dari sarana kesehatan. Botol maupun kemasan bekas ini dapat ‘didaur ulang’ untuk vaksin palsu. Produk-produk palsu pada umumnya seringkali memiliki bentuk dan fisik yang sama dengan produk aslinya, tetapi memiliki komposisi dan kualitas yang tidak memenuhi ketentuan persyaratan dari Badan POM. Sebagai produsen vaksin besar dan satu-satunya di dalam negeri, Bio Farma merasa memiliki tanggung jawab untuk mengedukasi masyarakat tentang vaksin. Bio Farma sudah seharusnya tidak bersikap acuh dengan kemunculan isu vaksin palsu di Indonesia. Isu datang dengan tiba-tiba dan efek kemunculannya pun tidak dapat di prediksi dengan pasti. Isu sangat rentan berpotensi menjadi sebuah krisis jika tidak ditangani dengan baik. Alih-alih sebuah perusahaan tidak bersentuhan langsung dengan sebuah isu, namun memiliki keterkaitan, dapat menyebabkan efek kepada perusahaan tersebut. Isu vaksin palsu rentan sekali ‘menyenggol’ kelangsungan vaksinasi di Indonesia, dan Bio Farma sebagai produsen vaksin satu-satunya di Indonesia akan terkena dampak. Seperti ditemukannya banyak pertanyaan ataupun laporan bersifat keluhan dari masyarakat kepada Bio Farma mengenai vaksin palsu. Menurut Nurlaela Arief, Kepala Komunikasi Perusahaan PT Bio Farma, strategi kehatia-hatian yang dimaksud adalah berhati-hati dalam langkah memanajemen isu. Apakah sudah diperlukan sebuah tindakan untuk merespon isu, ataukah harus menahan diri sebagai tindakan preventif (pencegahan). Dikarenakan sebuah isu merupakan hal yang rentan untuk berubah

310 menjadi krisis, maka langkah selanjutnya yang diambil menentukan bagaimana isu tersebut dan perusahaan itu berjalan. Sedangkan strategi Narasi Tunggal ialah penyampaian pesan yang dilakukan dari suatu pihak (/orang) kepada pihak lainnya, lalu dari pihak ke dua diteruskan pesan kepada pihak ke tiga dan seterusnya dengan suatu cara agar pesan tidak mengalami distorsi komunikasi. Berdasarkan hasil wawancara pra riset dengan Edwin Pringadi (Kepala Eksternal Komunikasi Perusahaan, perusahaan membuat tim secara mendadak untuk memanajemen isu vaksin palsu. Bagian lain tidak akan berbicara dahulu sebelum bagian dari komunikasi perusahaan yang berbicara terlebih dulu. Perlunya mengidentifikasi adalah mencari tahu, apakah ada vaksin Bio Farma di dalam produk vaksin palsu tersebut. Hasilnya adalah terdapat vaksin Bio Farma di dalam vaksin palsu tersebut yang telah dioplos. Selanjutnya dilakukan konferensi pers. Konferensi Pers termasuk salah satu bentuk dari media handling. Bio Farma melakukan Press Conference dua kali. Pertama, Bio Farma sendiri. Kedua, Bio Farma bersama dengan BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan) di kantor Bio Farma, Pasteur Bandung. Press Conference dilakukan untuk mengklarifikasikan bahwa vaksin Bio Fara ditemukan di TKP. Namun setelah diuji, tidak ada produk vaksin Bio Farma yang dipalsukan (adanya dioplos untuk pemalsuan vaksin asing). Bio Farma juga mengedukasi masyarakat mengenali vaksin melalui media sosial yaitu twitter. Terdapat dua jenis talkshow dalam manajemen isu tersebut. Pertama, ketika media datang dan bertanya kepada Bio Farma perihal isu vaksin palsu. Kedua, Bio Farma diundang pada talkshow di beberapa media televisi nasional. Talkshow juga menjadi kesempatan untuk mengklarifikasi pertanyaan-pertanyaan masyarakat mengenai vaksin palsu. Media relations yang dilakukan Bio Farma pada manajemen isu kali ini ialah press tour / tur media. Bio Farma

311 mengundang wartawan dari media-media untuk kunjungan ke perusahaan. Pada Press Tour dapat menjadi sebuah kesempatan bagi perusahaan untuk menjelaskan bagaimana perusahaan berjalan, dan juga bagaimana pembuatan produk vaksin. Juga penjelasan-penjelasan lainnya yang dapat membantu membentuk pemahaman bagaimana produksi, distribusi, dan kemasan vaksin asli terkait isu vaksin palsu, agar dapat membedakan seperti apa vaksin asli, vaksin palsu. Perusahaan juga melakukan media monitoring. Tujuan aktivitas monitoring seperti ini adalah untuk menemukan (to dettect) dan mengantisipasi / mencegah (to detter). Monitoring dilakukan secara terus menerus dan merekam / mencatatnya secara terstruktur. Motif sebuah kegiatan monitoring didasari oleh keinginan untuk mencari hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa atau kejadian baik menyangkut siapa, mengapa bisa terjadi, sumberdaya publik yang berkaitan, kebijakan dan dampak apa yang terjadi atau harus diantisipasi serta hal-hal lain yang berkaitan. Media monitoring dalam manajemen isu kali ini berguna untuk mengetahui berita-berita apa saja tentang isu vaksin palsu di Indonesia yang terkait dengan perusahaan. Pada umumnya, kasus-kasus produk yang dipalsukan berdampak negatif pada pendapatan perusahaan yang disebabkan menurunnya angka penjualan. Biasanya pada pemalsuan produk, jika isu tidak dapat diolah dengan baik, maka akan berimbas pada perusahaan khusnya dengan penurunan penjualan. Namun walaupun PT. Bio Farma terkena dampak isu vaksin palsu, namun reputasi Bio Farma tetap terjaga. Jikalau Bio Farma tidak dapat menangani isu mengenai vaksin dengan baik, masyarakat dapat berkurang kepercayaannya terhadap vaksin, dimana hal tersebut dapat mengurangi permintaan pasar. Namun dalam kasus ini, justru permintaan pasar akan vaksin, terutama vaksin tersebut malah naik angkanya. Minimnya

312 pengetahuan masyarakat mengenai vaksin, menyebabkan simpang siur informasi. Bio Farma perlu memberikan informasi pada masyarakat, dan juga mengkonfirmasi pada badan-badan yang berwenang untuk membantu kasus isu vaksin palsu di Indonesia. Kepala bagian Corporate Communication Bio Farma, Neneng Nurlaela menuturkan48 beberapa langkah manajemen isu yang dilakukan Bio Farma seperti yang telah dijelaskan beberapa di atas, yaitu, mengidentifikasi isu, identifikasi fakta media, media monitoring, media relations, media handling, sampai dengan evaluasi. Evaluasi dalam proses manajemen isu vaksin palsu Bio Farma, adalah memonitoring apakah masih terdapat media mainstream yang memberitakan mengenai isu tersebut yang juga terkait dengan Bio Farma. Tidak adanya lagi pemberitaan mengenai vaksin palsu di media-media mainstream, baik di tv, koran, atau online, menandakan manajemen isu sudah dapat berakhir. Isu memanas pada saat bulan Juni sampai seminggu sebelum lebaran. Lalu setelah lebaran, memanas isu tol brexit. Isu tersebut menjadi sebuah pengalihan isu dari isu vaksin palsu yang disebut dengan “natural spinning”. Dalam perspektif public relations, nama Bio Farma mengalami peningkatan dalam hal awareness di masyarakat Indonesia, karena dari banyaknya masyarakat yang menganggap bahwa Bio Farma merupakan perusahaan farmasi, kini menjadi lebih banyak masyarakat yang mengetahui bahwa Bio Farma merupakan perusahaan produsen vaksin dan anti sera, bukan farmasi yang memproduksi obat-obatan. Peneliti ingin mengungkap bagaimana tahapan manajemen isu perusahaan dalam merespon isu vaksin palsu yang ada di Indonesia tersebut secara lebih mendalam.

48 Wawancara dengan Neneng Nurlaela, Kepala bagian Komunikasi Perusahaan PT Bio Farma, 08 November 2016, di Kantor PT Bio Farma, Pasteur, Bandung

313

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan sajian informasi berupa data kualitatif. Penelitian ini menggunakan paradigman positivisme. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, studi pustaka, dan wawancara. Teknis analisis data untuk data kualitatif menggunakan reduksi data, data display (penyajian data), conclusion drawing / verification dari Miles & Huberman. Teknik validasi dan kebasahan data menggunakan Triangulasi sumber data.

HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap Identifikasi Pada kasus isu vaksin palsu awalnya tidak ada yang mengetahui produk-produk siapa kah yang dipalsukan. Sudah sewajarnya produsen-produsen vaksin memperhatikan isu tersebut dari awal, untuk bersiap-siap jika ada produknya yang dipalsukan ataupun tidak. Salah satu karyawan Corporate Communications PT Bio Farma melalui hubungan kerja dengan karyawan pada produsen lain, yang pada awal mulanya telah mengetahui isu tersebut sebelum mencuat ke media. Oleh karena itu, Corporate Communications PT Bio Farma melakukan beberapa langkah atau upaya dalam mengidentifikasi atau mengenali isu vaksin palsu lebih lanjut beserta identifikasi sejauh apa dampak yang dapat ditimbulkan terhadap kepentingan perusahaan. Pada tahap identifikasi isu, public relations wajib mengenali terlebih dahulu terkait dengan isu-isu yang diasumsikan dapat atau akan memberikan pengaruh terhadap organisasi. Sebelum mengenali dan mencari isu, perusahaan harus memahami terlebih dahulu hal-hal yang dapat dikatakan menjadi sebuah isu atau sebuah krisis. Harisson (2008: 550) memberikan definisi bahwa isu adalah “berbagai perkembangan, biasanya di dalam

314 arena publik, yang jika berlanjut dapat secara signifikan memengaruhi kepentingan jangka panjang organisasi.” Chase (1984: 38) mendefinisikan isu sebagai permasalahan yang belum terselesaikan dan karenanya perlu keputusan cepat untuk mengatasinya. Merujuk kepada pengertian isu menurut Harrison dan Chase maka dapatdiketahui bahwa isu berawa dari permasalahan yang berkembang di publik yang jika berkelanjutan akan mempunyai potensi memengaruhi kepentingan organisasi dan harus segera diatasi. Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan, dalam hal ini Corporate Communications PT Bio Farma telah memahami bahwa dengan adanya kasus isu vaksin palsu di Indonesia memiliki potensi. Walaupun yang pada awalnya belum diketahui apakah potensinya negatif (jika produk dipalsukan) ataukah potensi positif (produk tidak dipalsukan). Hal ini didasari oleh langkah yang dilakukan perusahaan setelah mengetahui adanya sebuah temuan vaksin palsu yang beredar di masyarakat bahkan di Indonesia yang menjadi isu untuk kemudian di cari tahu sejauh mana keterkaitan isu dengan perusahaan dan kemungkinan dapat memberikan pengaruh terhadap perusahaan. Isu tidak selalu memiliki potensi negatif, namun dapat berpotensi positif, juga sesuai dalam tulisan Harrison (2008), yang mendeskripsikan isu secara aspek dampak. Berdasarkan aspek dampak, isu terbagi dua jenis, yaitu defensive dan offensive issues. 1) Defensive issues adalah isu-isu yang membuat cenderung memunculkan ancaman terhadap organisasi, karenanya organisasi harus mempertahankan diri agar tidak mengalami kerugian reputasi. Contohnya: isu-isu tentang pembatasan impor bahan baku dari luar negeri yang dilakukan pemerintah, isu kandungan lemak babi dalam produk atau isu diskriminasi pekerja; 2) Offensive issues adalah isu-isu yang dapat digunakan untuk meningkatkan reputasi perusahaan. Isu tentang tingginya biaya pendidikan dapat

315 dikelola dengan membuat program kepedulian social pemberian Beasiswa. (Kriyantono, 2015: 158) Tahapan identifikasi isu yang dilakukan oleh Corporate Communications PT Bio Farma adalah media monitoring di media massa dan juga melihat berita mengenai industri bisnis mereka atau industri yang menjadi ranah atau dunia perusahaan, yaitu industri vaksin. PT Bio Farma yang memang sudah secara rutin dilakukan, untuk dapat terus mengontrol dan mengetahui topik atau isu aktual yang tengah berkembang. Media monitoring yang dilakukan oleh PT Bio Farma yang juga dibantu oleh jasa media monitoring sedikit banyak dapat membantu perusahaan untuk mencari dan mengenali isu-isu aktual. Pada tahap identifikasi isu, perusahaan Pada tahap identikasi isu, Corporate Communications PT Bio Farma tidak hanya terfokus kepada media massa sehingga identifikasi isu yang dilakukan tidak hanya berdasarkan dari media monitoring. Terdapat upaya lain untuk mengetahui lebih lanjut mengenai temuan vaksin palsu yaitu dengan memantau ke tempat- tempat yang menyelidiki kasus isu vaksin palsu tersebut seperti hasil lab. Dimana dalam Fact finding dilakukan pencarian fakta. Hal ini merupakan bentuk fact finding yang juga merupakan salah satu proses dalam manajemen public relations. Menurut Scott M. Cutlip & Allen H. Center proses manajemen public relations sepenuhnya mengacu kepeda pendekatan manajerial. Proses perencanaan ini dapat dilakukan melalui “Empat tahapan atau langkah-langkah pokok” yang menjadi landasan acuan untuk pelaksanaan program kerja Kehumasan. Salah satunya ialah Fact Finding: Mendefinisikan permasalahan yang dilakukan melalui penelitian dengan menganalisa situasi berupa pemahaman, opini, sikap dan perilaku publik terhadap lembaga. Secara umum, kegiatan memonitor lingkungan dapat dilakukan oleh public relations untukmengetahui peristiwa- peristiwa yang dapat berpotensi memengaruhi aktivitas organisasi,

316 disebut dengan “the-early-warning”. Aktivitas tersebut, mencakup antara lain tracking opini publik, termasuk mengklipping pemberitaan media massa dan menggelar diskusi publik. Cara ini diharapkan organisasi mempunyai kemampuan untuk memprediksi tentang apa yang terjadi di masa depan. (Kriyantono, 2015: 151) Jika mengacu kepada apa yang dikatakan oleh Kriyantono, maka PT Bio Farma sudah melakukan salah satu aktivitas “the- early-warning”, yaitu media monitoring untuk dapat meprediksi tentang apa yang terjadi di masa depan.

Tahap Evaluasi dan Analisis Isu Tujuan tahap ini adalah mengetahui isu sebenarnya, penyebabnya, dan dari mana sumbernya. Menganalisa situasi saat ini akan menentukan intensitas isu yang tengah berlangsung. Riset aplikasi tentang hubungan isu terhadap perusahaan harus ditargetkan pada para pembentuk opini dan penanggungjawab media. Tahap riset dan Analisa awal ini akan membantu mengidentifikasi apa yang dikatakan oleh para individu dan kelompok berpengaruh tentang issu-issue dan memberikan ide yang jelas pada manajemen tentang asal serta perkembangan issue- issue tersebut. (Johnston, 2007; Regester & Larkin, 2008; Seitel, 2001) dalam Kriyantono (2012: 166-167). Secara umum, harus dilihat bagaimana dampak isu tersebut terhadap organisasi dengan melihat posisi perusahaan pada saat ini serta kekuatan dan kelemahannya dalam memposisikan diri untuk berperan dalam pembentukan isu akan membantu untuk memberikan fokus yang jelas bagi tahap perencanaan tindakan. Sebagai Public relations juga perlu menganalisa untuk dapat memperkirakan, dimanakah posisi perusahaan dalam isu vaksin palsu. Jika produk tidak dipalsukan setelah ditemukannya keberadaan produk di TKP, lalu dilakukan hasil uji, apakah

317

Dalam penelitian di tahap ini, Corporate Secretary PT Bio Farma mengelompokkan berita, apakah berita membahas mengenai industri vaksin dan isu vaksin palsu, ataukah juga menyebut dan membahas PT Bio Farma. Analisis berita untuk mencari tahu adakah nama Bio Farma muncul dalam pemberitaan, dan jika muncul, apakah tone berita positif, negatif, atau netral. Dalam mengkategorikan Corporate communications dalam hal ini dibantu juga oleh hasil analisa media monitoring oleh konsultan. Selanjutnya mengklasifikasikan media berdasarkan kecepatan media dalam menyebarkan berita. Seperti media online lebih cepat untuk menyebarkan berita secara luas dibandingkan media cetak.

Tahap Perumusan Program Corporate Communications PT Bio Farma tidak merumuskan program secara khusus. Program atau kegiatan yang dilakukan seperti konferensi pers, talkshow, sebagai bentuk respons terhadap isu vaksin palsu. Pemberian respons dalam manajemen isu diartikan sebagai penyampaian posisi / sikap organisasi terhadap isu, Dalam hal ini, program-program yang dirumuskan akan diaplikasikan untuk mempresentasikan tujuan- tujuan dan opini organisasi terhadap isu tersebut. (Kriyantono, 2015 :184) Setelah menganalisis penyebab isu pada tahapan analisis isu sebelumnya, dalam konteks isu vaksin palsu di Indonesia, Corporate Communications PT Bio Farma telah menyadari bahwa perusahaan sebagai produsen lokal vaksin di Indonesia juga perlu merespons isu dengan memberikan sikap keprihatinan dan juga mendukung dalam penyelidikan vaksin palsu. Namun dalam hal ini, PT Bio Farma tidak dapat memberikan pesan tersebut secara gamblang. Melainkan melalui campaign yang sifatnya menyerukan sebagai representasi tujuan dan opini perusahaan terhadap isu yaitu mengajak peduli terhadap vaksin asli dan juga

318 terhadap kekebalan tubuh anak-anak yang menjadi korban vaksin palsu. Untuk mendukung suksesnya perencanaan program harus dimonitor setiap langkahnya dengan teliti. Dibutuhkan persiapan dan dukungan lanjutan untuk memastikan hasil yang baik dari perencanaan. Beberapa ahli PR menyebutkan tahapan agar perencanaan PR dapat sukses sepereti: (Cutlip, Center, & Broom, 2006: 371-382); 1) Menulis Skenario Perencanaan; bagian terpenting dari proses ini adalah “memikirkan problem” dan terlibat dalam “pemikiran sistematis” Herman Khan (1979), dalam (Cutlip, Center, & Broom, 2006: 371); 2) Mengantisipasi Bencana dan Krisis: mengantisipasi hal terburuk yang mungkin menimpa organisasi penting karena ada masanya semua perusahaan pasti akan mengalami krisis. Pencegahan krisis berarti mengimplementasikan pendekatan sistem terbuka untuk PR sehingga fungsi itu dapat melakukan pemeriksaan lingkungan untuk mengidentifikasi isu potensial sebelum isu itu berkembang menjadi krisis; 3) Membentuk pusat informasi; tiga poin penting dalam merencanakan pusat informasi pertama, pusat ini harus diakui sebagai pusat informasi dimana informasi mengalir dari organisasi ke publik. Kedua, membagi pusat informasi ini menjadi dua bagian yaitu respons dan koordinasi dengan internal organisasi. Ketiga, kredibilitas yang mapan; 4) Penganggaran; dalam merencanakan anggaran kegiatan seorang praktisi PR harus memperhatikan biaya dari suatu yang akan dibutuhkan Program-program seperti media gathering, media tour dan factory visit (press tour Bio Farma), press release sudah pernah dilakukan sebelumnya namun dapat dilakukan kembali secara spontan apabila dibutuhkan. Program-program dari media relations dibutuhkan untuk menjaga hubungan baik dengan media dan mengusahakan agar informasi yang terbit sesuai dengan harapan perusahaan. Program temu pemred (pemimpin redaksi) PT

319

Bio Farma juga bertujuan agar perusahaan dapat menjelaskan posisi mereka berdasarkan data dan fakta sehingga kedepannya pemberitaan yang muncul sesuai dengan kondisi perusahaan. Dimana pada isu vaksin palsu tersebut PT Bio Farma hanya sebagai produsen vaksin lain yang barang produksinya ditemukan di TKP sebagai referensi pembuatan produk oleh oknum, namun setelah hasil lab, tidak dipalsukan, maka posisi perusahaan ialah sebagai kompetitor dari perusahaan lain yang sejenis. Dalam manajemen isu tahap ini melibatkan pembuatan keputusan-keputusan dasar tentang respon organisasi. Pada dasarnya, setiap isu memerlukan “ posisi/sikap.” Ada beberapa alternatif sikap yang bisa diambil oleh organisasi, yang dapat bersifat reaktif, adaptif atau dinamis menurut Regester & Larkin (2008; 66-67), ada tiga strategi yang dapat direncanakan dalam membuat manajemen isu : • Reactive Change Strategy adalah strategi berdasarkan ketidakinginan organisasi untuk berubah dengan tetap menekankan pada perilaku sebelumnya. Menurut strategi ini, kebijakan organisasi selama ini sudah efektif menghadapi isu yang terjadi. • Adaptive Change Strategy adalah strategi terbuka terhadap perubahan, mengantisipasi perubahan dan menawarkan dialog konstruktif untuk menggapai kompromi dan akomodasi. • Dynamic response strategy adalah strategi yang mengantisipasi dan berusaha membentuk arah pembuatan kebijakan publik dengan menentukan bagaimana kampanye terhadap isu dilaksanakan. Strategi ini menjadikan organisasi ini pemimpin menuju perubahan.

Melihat perencanaan yang dilakukan oleh PT Bio Farma maka jenis perencanaan yang mereka lakukan adalah adaptive

320 change strategy karena PT Bio Farma secara terbuka beradaptasi dengan isu. Program-program yang dirancang oleh PT Bio Farma adalah upaya media relations untuk merespon isu. Berbicara mengenai media relations Cutlip, Center & Broom (2006: 310 – 313) membuat pedomaan untuk hubungan media yang baik yaitu: 1) Sampaikan dengan jujur ; asset penting dari praktisi dalam menghadapi media adalah kredibilitas. Kredibilitas harus didapatkan biasanya setelah beberapa waktu sehingga jika praktisi jujur dengan berita yang buruk maka mereka akan lebih mungkin dipercaya di saat memberitakan berita baik. Prinsip dasar lainnya adalah bahwa praktisi tidak dapat mendukung satu media dan mengabaikan media lain, berita harus disebarkan ke semua media yang relevan secepat mungkin, dan membiarkan media menentukan kapan ia akan berhenti menerima informasi; 2) Beri layanan ; cara paling cepat untuk mendapatkan kerjasama dengan jurnalis adalah memberi mereka berita dan gambar yang layak,menarik dan baru sesuai keinginan mereka dan dalam bentuk yang bisa mereka gunakan dengan mudah; 3) Jangan merengek atau mengomel ; jangan mengemis agar kepada media agar berita anda dimuat atau mengeluh mengenai pemberitaan berita. Apabila praktisi menekan atau mengancam media akan ada kemungkinan media tersebut justru akan memberitakan sikap tidak professional perusahaan anda; 4) Jangan minta untuk membungkam suatu media; 5) Jangan banjiri media.

Tahap Pelaksanaan Program Dalam tahap ini perusahaan harus memutuskan kebijakan yang mendukung pendekatan untuk merespons isu. Oleh karena itu semua bagian organisasi harus disinkronisasikan satu sama lain. Dengan kata lain dibutuhkan koordinasi yang baik antar management.

321

Berikut adalah program-program yang telah dilaksanakan oleh PT Bio Farma dalam merespon isu yang sedang berkembang. Peneliti dalam tahap ini membagi menjadi dua, yaitu melalui media massa dan media sosial. Program-program yang melalui media massa : Program-program dibawah ini ialah kegiatan yang dilakukan berhubungan dengan media, dimana tidak dapat dikendalikan langsung oleh Corporate Communications PT Bio Farma. Namun publikasi melalui perantara yaitu media (Wartawan, dll).

Program yang bersifat dadakan atau spontan seperti konferensi pers dan talkshow Konferensi pers atau jumpa pers dilaksanakan dua kali oleh PT Bio Farma. Konferensi pers (press conference) adalah sebuah pertemuan para jurnalis yang sengaja berkumpul untuk mendapatkan informasi perihal topik yang tengah dibicarakan. Biasanya acara ini diselenggarakan secara mendadak dan tempatnyapun seadanya (Jefkins, 1996: 119). Talkshow Bio Farma bersama pihak-pihak lain di acara Tv CNN dan juga ILC (Indonesia Lawyrer’s Club) merupakan acara bincang-bincang yang menyampaikan beberapa informasi dan mendiskusikan topil . Juga (biasanya) diselingi beberapa isian menarik seperti musik, lawakan, kuis, dan lain-lain.

Program media relations seperti media gathering, media tour & factory visit, temu pemred. Temu pemred atau pemimpin redaksi juga merupakan bagian dari media handling. Pada media gathering, tujuan utama adalah untuk menjaga kedekatan dengan teman-teman di media. Kegiatan ini memang telah dilakukan secara rutin namun dapat dilaksanakan kembali jika dibutuhkan. Peneliti menilai hal ini sebagai tindakan positif

322 dengan menunjukan konsistensi kepada media untuk tetap menjalin hubungan baik yang dapat memberikan dampak yang baik. Dengan mengundang media-media dalam acara ‘Media Tour to Bio Farma’ yang berisikan Media tour & factory visit juga bertujuan untuk membangun hubungan baik. Namun dalam kegiatan ini, dengan datangnya media ke perusahaan dan juga ke tempat pembuatan vaksin (pabrik) maka segala informasi yang mungkin dibutuhkan oleh media atau ingin disampaikan oleh perusahaan memiliki kesempatan atau waktu untuk menyampaikannya. ‘Temu pemred’atau bertemu dengan pemimpin redaksi, yaitu dengan mengundang beberapa pemimpin redaksi media untuk dapat bertemu dan melakukan presentasi atau penjabaran dari sudut pandang perusaahaan. Hal ini juga sebagai usaha lobi kepada media agar pesan yang ingin disampaikan perusahaan melalui media dapat disampaikan dengan baik dan benar.

Program yang melalui media sosial: Media sosial menggunakan akun aktif dimana menjadi media (saluran) yang dapat dikendalikan langsung oleh Corporate Communications PT Bio Farma Campaign #PeduliVaksinAsli; Campaign dengan hastag (#) Peduli Vaksin Asli merupakan campaign yang dilakukan PT Bio Farma dalam mengajak masyarakat untuk peduli dengan vaksin asli. Dimana tujuannya adalah untuk merespons isu vaksin palsu dengan tidak menyebutkan ‘vaksin palsu’, tetapi dengan mengangkat ‘vaksin asli’. Dari upaya-upaya yang telah dilakukan, pada dasarnya untuk membangun hubungan baik dengan media. Karena idealnya dalam kegiatan public relations membutuhkan hubungan yang baik dan selaras dengan media (media massa).

323

Tahap Evaluasi Program Untuk menilai apakah upaya untuk merespons isu erjalan dengan baik dan sesuai dengan tujuan, maka diperlukan program- program riset. Metodenya sama seperti riset yang tersebut pada tahapan pertama di atas, karena proses public relations adalah proses yang berkesinambungan. Dalam hal ini proses public relations adalah proses yang dimulai dan diakhiri dengan riset (continuing circle process). (Kriyantono, 2015: 187) Evaluation adalah suatu upaya megevaluasi, menilai dan menganalisis kembali kegiatan komunikasi yang telah dilakukan maupun sebagai evaluasi untuk kegiatan komunikasi berikutnya. Proses evaluasi ini juga dapat berlangsung meski kegiatan komunikasi itu sendiri sedang berlangsung. (Rosmawaty, 2010:23- 24). Paine (2002) dalam Watson dan Noble (2005:183) menyatakan bahwa ada 3 element untuk mengukur efektifitas evaluasi kegiatan public relations: 1) Mengukur Outputs dan efektifitas proses: memonitor media dengan terus menerus untuk menentukan apakah key message telah disampaikan dan kepada siapa key message tersebut telah tersampaikan; 2) Mengukur Dampak (Impact) : untuk melihat apakah pesan yang disampaikan memiliki efek yang diinginkan, dan apakah dapat menggoyangkan opini publik; 3) Mengukur Hasil (Outcomes) : apakah krisis tersebut memiliki pengaruh dengan reputasi, penjualan, karyawan, shareholder, dll. Evaluasi dalam manajemen isu menurut para praktisi (seperti Johnston, 2007: Regester & Larkin, 2008: Seitel, 2001) dalam Kriyantono (2012:168) adalah mengukur apakah program- program tersebut berjalan sesuai tujuan-tujuan organisasi. Untuk menilai apakah upaya merespons isu-isu yang berkembang berjalan dengan baik, maka diperlukan program-program riset.

324

Dari penjabaran tersebut dapat dilihat bahwa evaluasi yang harusnya dilakukan adalah evaluasi per program manajemen isu bukan secara keseluruhan. Cutrlip, Center, dan Broom (2009: 419- 429) juga mendukung pendapat tersebut dalam pemaparan mereka mengenai tingkatan dan langkah evaluasi yang dijabarkan sebagai berikut : 1) Preparation evaluation : menilai kecukupan informasi latar belakang yang digunakan sebagai dasar dalam perencanaan program; 2) Implementation evaluation : Menghitung apa yang sudah dilakukan oleh PRO dalam implementasi program contohnya adalah penghitungan jumlah pesan yang telah terkirim dan terdistribusikan (dokumentasi berapa banyak release, features, surat, penerbitan, pengumuman, dll yang telah diproduksi dan didistribusi); 3) Impact evaluation : Bertujuan untuk mengetahui sejauh mana outcome yang dinyatakan dalam tujuan program untuk masing-masing publik sasaran atau bisa juga dengan melihat apa yang dipelajari oleh publik dari program yang sudah dijalankan perusahaan. Evaluasi setelah melaksanakan program menjadil hal yang penting untuk dilakukan mengingat tanpa adanya evaluasi, maka organisasi tidak dapat mengetahui dampak yang dihasilkan dari upaya atau program yang telah dilaksanakan. Namun berdasarkan hasil penelitian, Corporate communications PT Bio Farma dalam evaluasi hanya bersandarkan pada anggapan yang dirasakan dilihat melalui hasil media monitoring pada akhir masa isu, bukan melalui pengukuran yang terarah mengenai respons media, pemahaman publik, keterlibatan publik, dan lain-lain. Hal-hal tersebut ditujukan untuk mengukur hasil dari program atau kegiatan yang telah dilaksanakan.

SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada sebelumnya, maka diperoleh simpulan mengenai

325 manajemen isu yang dilakukan oleh Corporate Communications PT Bio Farma sebagai upaya memanajemen isu vaksin palsu di Indonesia. Manajemen isu yang dilakukan Corporate Communications PT Bio Farma adalah sebagai berikut: Tahap pertama dalam proses manajemen isu adalah identifikasi isu. Hal yang dilakukan oleh Corporate Communications PT Bio Farma dalam tahap ini adalah dengan mencari isu aktual terkait ranah perusahaan khususnya sector vaksin, lalu mengenali isu tersebut. Melalui media monitoring mencari dan mengenali isu dilakukan secara lebih terarah dibandingkan hanya dari mouth-to mouth rekan sesama produsen vaksin. Perusahaan selain mengidentifikasi isu melalui media monitoring, juga dari banyaknya pertanyaan yang masuk dari masyarakat mengenai isu vaksin palsu di Indonesia. Tahap kedua adalah tahap evaluasi dan analisis isu. Corporate Communications PT Bio Farma dalam tahap ini menganalisis keterkaitan isu dengan perusahaan dan dampak yang ditimbulkan, juga apakah ada pemberitaan mengenai PT Bio Farma dan apa hasilnya. Selain itu, dilakukan pengklasifikasian media berdasarkan kecepatan menaikkan berita. Dari analisa yang didapat melalui media monitoring yang telah dilakukan, pemberitaan terhadap PT Bio Farma netral. Evaluasi isu tidak dilakukan setelah mengetahui hasil bahwasannya produk vaksin perusahaan tidak dipalsukan. Namun tetap diperlukan perhatian terhadap isu vaksin palsu sebagai peran produsen vaksin milik lokal satu-satunya di Indonesia yang juga dibawah naungan pemerintah. Tahap ketiga adalah tahap perumusan program. Dalam tahap ini Tidak adanya perumusan program dalam manajemen isu kali. Hal-hal yang dijelaskan pada tahapan ini hanya sebagai perencanaan tujuan dari kegiatan komunikasi yang terdapat pada manajemen isu untuk menyampaikan fakta dan juga sebagai peran produsen vaksin dengan menggunakan campaign. Strategi

326 komunikasinya yaitu jujur dan terbuka dengan menyampaikan fakta, namun tidak digembor-gemborkan. Hanya sebagai bentuk dalam menyikapi isu vaksin palsu yang ada di Indonesia. Tahap keempat adalah tahap pelaksanaan program. Program-program yang dilaksanakan adalah program-program yang bersifat urgensi dan juga kegiatan komunikasi lainnya dengan memanfaatkan media relations yang sudah terjalin sebelumnya untuk menyampaikan fakta secara eksplisit dan juga melalui campaign pada account aktif perusahaan dengan peran kepedulian terhadap isu atau fenomena yang terjadi. Jalur komunikasi atau koordinasi ketika menjalankan kegiatan komunikasi menggunakan strategi Narasi Tunggal dimana dilakukannya penyatuan frame agar pesan yang ingin dikomunikasikan tidak mengalami distorsi. Komunikasi integrasi baik dengan pihak internal dan eksternal. Tahap terakhir dalam proses manajemen isu adalah evaluasi program. Media monitoring menjadi tolak ukur utama dalam tahap evaluasi isu. Namun evaluasi selain dari hasil media monitoring, tidak ada pengukuran secara sistematis dan terukur, hanya berdasarkan apa yang dilihat dan dirasakan terhadap fenomena.

DAFTAR PUSTAKA Anggoro, Wahyu. 2013. Manajemen Isu di PT Pertamina Persero Marketing Operation Region II Palembang. Studi Kasus Terkait Kelangkaan Bahan Bakar Minyak. Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Skripsi. Arief, N. Nurlaela. 2016:7. Health Communication on The Importance of Vaccines (Case Study on Media Coverage of The Counterfeited Vaccine in Indonesia). Jurnal Komunikasi Kesehatan. Ayu Ratnasari, Inmas. 2016. “Manajemen Isu CORPORATE SECRETARY PT. Pelabuhan Tanjung Priok Dalam Kasus Dwelling Time (Studi Deskriptif Mengenai Manajemen Isu

327

Sebagai Upaya Pemulihan Citra Positif dalam Kasus Dwelling Time yang terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok). Program Studi Ilmu Hubungan Masyarakat.Fakultas Ilmu Komunikasi. Universitas Padjadjaran. Skripsi Jefkins, Frank.1998. Public Relations. Fifth Edition. Terjemahan Indonesia. Jakarta: Erlangga. Morissan. 2008. Manajemen Public Relations : Strategi Menjadi Humas Profesional. Jakarta : Kencana. Hlm 25-27. Prayudi. 2008. Manajemen Isu Pendekatan Public Relations. Yogyakarta : Piss Printing. Rachmat Kriyantono, Public Relations, Issue & Crisis Management : Pendekatan Critical Public Relations, Etnografi Kritis & Kualitatif. Jakarta: Kencana, 2012. Regester, Michael dan Larkin, Judy. 2003. Risk Issue and Crisis Management In Public Relations. New Delhi: Crest Publishing House. Rosady, Ruslan. 1999. Manajemen Humas dan Manajemen Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Soleh Soemirat, dan Ardianto. 2002. Dasar - Dasar Public Relations. Bandung : PT Remaja Rosda Karya.

328

PERAN PUBLIC RELATIONS DALAM MEMBENTUK OPINI PUBLIK PADA KASUS BAYI DEBORA DAN PELAYANAN RUMAH SAKIT MITRA KELUARGA KALIDERES

Yustikasari Universitas Padjadjaran [email protected]

PENDAHULUAN Kasus Bayi Debora dan RS Mitra Keluarga Kalideres Jakarta Barat Rumas Sakit (RS) Mitra Keluarga Kalideres menanyakan kepemilikan BPJS kepada keluarga bayi Tiara Debora Simanjorang setelah melakukan tindakan gawat darurat selama dua jam di IGD. Hal tersebut diketahui dari kronologi kejadian yang disampaikan oleh pihak RS Mitra Keluarga Kalideres. Berdasarkan kronologi tersebut, dr Irene yang saat itu bertugas baru menanyakan perihal kepemilikan BPJS kepada ibu Debora pada pukul 05.30 WIB setelah pihak RS menawarkan perawatan di PICU. Bayi Debora sendiri sudah masuk ke IGD sejak pukul 03.40 WIB Setelah disetujui oleh ibu Debora, kemudian dr Irene menganjurkan untuk memberi solusi rujuk ke rumah sakit dengan kerja sama BPJS. Keluarga bayi Debora setuju dan dr Irene kemudian membuat surat rujukan. "Karena kami tahu ruang PICU sulit sekali didapatkan, saat itu kami baru tahu dia punya BPJS, dengan semangat tidak memberatkan sambil menstabilkan di IGD kami beri saran untuk persiapan, seandainya stabil ruang PICU sudah tersedia," ujar juru bicara RS Mitra Keluarga dr Nurvantina Pandina di kawasan , Jumat (22/9/2017).

329

Nurvantina mengatakan RS Mitra Keluarga Kalideres sampai saat ini memang belum bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Namun, lanjutnya pihak RS Mitra Keluarga Kalideres telah mengajukan kerja sama tersebut pada 25 Mei 2017. "25 Mei sudah mengajukan kerja sama dengan BPJS, sampai saat ini masih menunggu, pada saat kejadian statusnya belum bekerja sama," kata Nurvantina. Terkait saran untuk dipindahkan ke PICU, menurut Nurvantina dilakukan sebagai langkah antisipasi jika nantinya kondisi Debora sudah stabil.

Tak Pernah Stabil Namun, kata Nurvantina selama di IGD kondisi Debora tidak pernah stabil sampai akhirnya meninggal dunia di IGD. Lebih lanjut, Nurvantina menuturkan kematian Debora bukan dikarenakan pembiaran yang dilakukan oleh RS Mitra Keluarga Kalideres. Nurvantina menjelaskan selama 6,5 jam berada di IGD, segala tindakan medis sudah dilakukan untuk bayi Debora, mulai dari memasang infus, kompresi jantung, memasang selang nafas dan lain sebagainya. Ia juga menampik anggapan jika bayi Debora meninggal lantaran tidak bisa dirawat di PICU akibat kurangnya uang muka yang harus dibayarkan oleh keluarga Debora. "Ruang PICU bukan ruang intensif gawat darurat. Ruang PICU adalah perawatan lanjutan yang diberikan kepada pasien apabila kondisi stabil. Sejak kedatangan bayi Debora tidak stabil sehingga tidak layak dipindahkan ke ruang PICU," tutur Nurvantina. Kematian bayi Debora ini sempat menjadi perbincangan berbagai pihak. Banyak pihak yang menduga kematian bayi Debora disebabkan oleh lambannya penanganan yang dilakukan oleh RS Mitra Keluarga Kalideres. (Dikutip dari Sumber

330 https://cnnindonesia,com. Diakses 20 September 2017 pukul 13:21 WIB ) Kematian bayi Debora memasuki babak baru. Dinas Kesehatan DKI Jakarta memberikan sanksi kepada Rumah Sakit (RS) Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Barat. “Rumah Sakit Mitra Keluarga dikenai sanksi penghentian operasional,” kata Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Koesmedi Priharto, Senin, 25 September 2017. Sanksi itu akan dicabut setelah manajemen rumah sakit memenuhi dua syarat yang telah diputuskan Dinas kesehatan. Syarat pertama adalah PT Ragam Sehat Multifita, sebagai pengelola RS Mitra Keluarga Kalideres, dalam waktu sebulan harus merestrukturisasi pimpinan rumah sakit sesuai standar kompetensi. Syarat kedua, RS Mitra Keluarga Kalideres harus segera lulus akreditasi rumah sakit, paling lambat enam bulan setelah surat keputusan ditetapkan. “Jika kedua syarat itu tidak dipenuhi dalam waktu yang ditetapkan, RS Mitra Keluarga Kalideres akan kami tutup,” ujarnya. Koesmedi menegaskan, sambil memenuhi dua syarat itu, RS Mitra Keluarga Kalideres tetap bisa melayani pasien seperti biasa. Alasannya rumah sakit itu dibutuhkan masyarakat. “Belum kami tutup karena rumah sakit tersebut satu-satunya yang ada di daerah itu. Kalau ditutup orang mau berobat ke mana,” ucapnya. Menurut Koesmedi, keputusan itu diambil berdasarkan hasil audit tim investigasi yang dibentuk Dinas Kesehatan DKI Jakarta, menyusul meninggalnya bayi Debora di rumah RS Mitra Keluarga Kalideres. (Dikutip dari Sumber : https://www.tempo.co.id diakses 26 september 2017 pukul 09: 37WIB) Dengan pemberitaan di berbagai media mengenai kasus bayi Debora dan RS Mitra Keluarga Kalideres Jakarta Barat

331 sehingga banyak memancing berbagai pihak dan bereaksi untuk memperbincangkan dan turut berkomentar mengenai kasus tersebut. Seperti diketahui kekuatan terbesar dari pencipta opini publik adalah media. Melalui pemuatan pemberitaan tentang kasus bayi Debora di Media sehingga menciptakan opini publik yang beredar di masyarakat berkaitan dengan kasus tersebut. Apalagi opini yang berkembang dimasyarakat berkaitan dengan kasus tersebut telah menciptakan opini yang negative mengenai pelayaman di lembaga Rumah Sakit tersebut Di sinilah sebenarnya peran Public Relations yang harus mampu mengendalikan situasi serta memiliki agenda tersendiri untuk dapat menggiring opini publik di masyarakat sesuai dengan yang diinginkan dengan bantuan media. Dalam hal ini seorang Public Relations harus memiliki kemampuan taktis untuk dapat menciptakan opini publik yang positif terhadap lembaga/perusahaan.

METODE PENELITIAN Penulisan paper ilmiah ini menggunakan pendekatan metode kualitatif. dengan pendekatan deskriptif. Penelitian kualitatif memungkinkan peneliti mempelajari isu-isu tertentu secara mendalam dan mendetil karena pengumpulan datanya tidak dibatasi dengan penggunaan kategori-kategori tertentu saja (Poerwandari, 2017) Moloeng (2007) mngungkapkan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subyek penelitian seperti prilaku,motivasi,persepsi,tindakan, dan lain-lain secara holistic dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada satu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan metode ilmiah. Menurut Sugiyono (2014:22) metode deskriptif ialah :

332

Metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis hasil penelitian tetapi tidak digunakan untuk suatu kesimpulan yang luas.

Dari pengertian diatas dapat difahami bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena pada subyek penelitian secara deskriptif,dalam konteks alamiah, dengan pengumpulan data secara triangulasi, analisis databersifat induktif dan memanfaatkan berbagai metode ilmiah yang ada dengan penulis sebagai instrument kunci.

HASIL DAN PEMBAHASAN Seperti yang telah di sampaikan sebelumnya bahwa dengan merebaknya pemberitaan di Media mengenai kasus yang menimpa Bayi Debora di RS Mitra Keluarga Kalideres Jakarta Barat sehingga menimbulkan opini publik yang kurang baik di masyarakat mengenai pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit tersebut. Dalam hal ini dimana fungsi dan peran Public Relations Rumah Sakit itu, saat kasus tersebut mencuat di masyarakat? Sebelum menjawab pertanyaan ini,penulis akan memaparkan mengenai Fungsi dari Public Relations Fungsi atau peranan adalah harapan public terhadap apa yang seharusnya dilakukan oleh Public Relations sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang PR. Jadi Public Relations dikatakan berfungsi apabila ia mampu melakukan tugas dan kewajibannya dengan baik, berguna atau tidak dalam menunjang tujuan perusahaan dan menjamin kepentingan public (Kriyantono, 2008 : 21). Menurut Edward L Bernays dalam Hermawan (2012 : 157), Public relations memiliki fungsi sebagai berikut : a) Memberikan penerangan kepada public; b) Melakukan persuasi kepada public untuk mengubah sikap dan tingkah laku public; c)

333

Upaya untuk menyatukan sikap dan perilaku suatu lembaga sesuai dengan sikap dan perbuatan masyarakat atau sebaliknya. Sementara menurut pakar Humas Internasional, Cutlip & Center and Canfield fungsi PR adalah : 1) Menunjang aktivitas utama manajeman dalam mencapai tujuan bersama ( fungsi melekat pada manajemen lembaga/organisasi); 2) Membina hubungan yang harmonis antara badan/organisasi dengan publiknya yang merupakan khalayak sasaran; 3) Mengidentifikasikan segala sesuatu yang berkaitan dengan opini, persepsi dan tanggapan masyarakat terhadap badan/organisasi yang di wakilinya atau sebaliknya; 4) Melayani keinginan publiknya dan memberikan sumbang saran kepada pimpinan manajemendemi tujuan dan manfaat bersama; 5) Menciptakan komunikasi dua arah timbale balik dan mengatur arus informasi, publikasi serta pesan dari badan/organisasi ke publiknya atau sebaliknya demi tercapainya citra positif bagi kedua belah pihak ( Ruslan, 2012 : 19) Didalam buku Hermawan (2012 : 157) di sampaikan bahwa terdapat tiga sifat khusus yang dimiliki seorang Public Relations yang berpengaruh dengan fungsi Public Relations yaitu: a) Kredibilitas yang tinggi, pesan yang di sampaikan oleh seorang Public Relations mengandung arti yang dapat lebih dipercaya dan otentik dibandingkan informasi yang di dapat dari iklan; b) Kemampuan seorang Public Relations yang sudah memiliki target terhadap konsumen yang sebelumnya tidak terpikirkan; c) Dramatisasi, Public Relations memiliki kemampuan untuk mendramatisasi suatu perusahaan atau produk. Setelah membahas tiga sifat khusus yang masih memiliki kaitan dengan fungsi public relations, berikut adalah bagian lain dari fungsi Public Relations sebagai berikut (Hermawan, 2012: 158) : a) Hubungan Pers, mempersiapkan informasi yang layak untuk diberikan kepada masyarakat melalui media massa agar

334 masyarakat dapat tertarik terhadap informasi mengenai produk, jasa, organisasi dan hal lain; b) Publisitas Produk, aktivitas ini meliputi berbagai upaya untuk mempublikasikan produk-produk tertentu; c) Komunikasi korporat, aktivitas ini meliputi komunikasi internal eksternal serta mempromosikan pemahaman tentang organisasi; d) Melobi, merupakan suatu usaha kerjasama dengan orang-orang yang memilikijabatan penting di Negara, misalnya seperti pejabat pemerintah dan pembuat undang-undang sehingga perusahaan memiliki pegangan orang-orang penting yang akan membantu memberikan informasi-informasi yang lebih berharga dan juga dapat membantu dalam mengambil suatukeputusan; e) Konseling, aktivitas ini dilakukan dengan jalan memberikan saran dan pendapat kepada manajemen mengenai posisi dan citra perusahaan

Peran Public Relations Peran PR menurut Dozier and Broom dalam suatu organisasi dapat dibagi ke dalam empat kategori: 1) Penasehat ahli (Expert Prescriber), seorang PR yang berpengalaman dan berdedikasi tinggi dapat membantu dalam pemecahan masalah dengan memberikan solusi pada manajemen atas dalam upaya penyelesaian masalah hubungan dengan public; 2) Fasilitator Komunikasi (Communication Fasilitator) , PR dapat bertindak sebagai pihak ke tiga yakni komunikator atau mediator yang menyampaikan harapan dan keimginan perusahaan. Di pihak lain, komunikai juga berlangsung timbale balik dengan peran PR menyampaikan keinginan, kebijakan dan harapan perusahaan kepada masyarakat; 3) Fasilitator Proses PemecahanMasalah ( Problem Solving Process Fasilitator), PR dapat membantu pimpinan organisasi baik sebagai penasihat hingga mengambil tindakan ataupun keputusan dalam menghadapi persoalan dan krisis; 4) Teknisi Komunikasi (Communication Technician),

335

Peranan teknisi komunikasi menjadikan PR sebagai pihak yang menyediakan layanan teknis komunikasi. (Ruslan, 2012 : 20-21)

Opini Publik dan Pembentukan Opini Publik Untuk dapat memahami apa dan bagaimana opini publik terbentuk dalam kasus bayi Debora ini, maka terdapat beberapa konsep mengenai opini publik dan pembentukan opini publik akan penulis sampaikan. Memahami opini seseorang apalagi opini publik bukanlah suatu hal yang sederhana. Pembentukan opini publik dibentuk oleh public yang selektif karena itu untuk setiap masalah selalu ada publiknya sendiri-sendiri, karena opini publik mempunyai kaitan yang erat dengan pendirian (attitude). Suatu sikap atau attitude menurut Cutlip dan Center adalah kecenderungan untuk memberikan respon terhadap suatu masalah dalam situasi tertentu (Sastropoetro, 1990 :40). Opini publik menurut Wiliam Albig adalah suatu jumlah dari pendapat individu-individu yang diperoleh melalui perdebatan dan opini publik merupakan hasil interaksi antar individu dalam suatu public. Emory S Bogardus dalam The Making of Public Opinion mengatakan bahwa opini publik merupakan hasil pengintegrasian pendapat berdasarkan diskusi dalam masyarakat demokratis (Olli, 2007 : 20). Definisi Opini Publik dari Cutlip, Center&Broom, 2000 : 265) adalah sebagai berikut: It occurs within groups of communicating people, who together determine what the issue is, why it is a cause for public concern, and what can be done about it, While the process unquestionably involves private cognition, individuals thought about a social issue are largerly dependent for both form and content on public discussion. This is why communication is so often metaphorically

336

equated with externalized cognition : Communication requires “thinking together”.

Konsep pemting yang dapat dilihat disini ialah bahwa opini publik merefleksikan sebuah proses yang dinamis dari komunikasi interpersonal dan komunikasi bermedia pada isu-sis diantara kelompok-kelompokdan kolektivitas orang-orang yang memiliki kapasitas untuk melakukan tindakan dengan cara yang sama. Berpikir bersama-sama (thinking together) selalu membawa pada tindakan bersama (acting together), menjadi sebuah alasan yang riil dalam memahami opini publik. Apabila konsep tentang opini publik ini dikaitkan dengan bayi Debora, maka akan kita temukan adanya perolehan dukungan maupun simpati atas kasus yang dialami oleh kedua orang tua Debora. Dukungan diberikan oleh pihak Dinas Kesehatan DKI Jakarta yang membentuk tim Investigasu dengan melakukan audit medic.Dalam investigasi tersebut, Dinas Kesehatan DKI mengumpulkan semua pihak terkait kejadian bayi Debora hingga meninggal dunia. Selain pihak Dinas Kesehatan DKI, Kasus ini pun di soroti oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) melalui Menteri Yohana dengan membentuk tim untuk melakukan koordinasi dengan kementrian- kmentrian terkait terutama kesehatan yang menangani rumah sakit, sehingga diharapkan di seluruh Indonesia kasus seperti Debora tidakakan terulang kembali. Selain itu Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (KomNas PA) Arist Merdeka Sirait juga menyampaikan bahwa kasus kematian terhadap bayi Debora tidak didiamkan dan ia mendorong pihak keluarga untuk melaporkan kasus tersebut pada pihak yang berwajib. Sementara itu Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Sitti Hikmawati menemui orang tua bayi Debora dan Komisioner KPAI menilai bahwa

337 kejadian yang telah menimpa bayi Debora diduga murni adanya diskriminasi karena adanya pembiaran dan pembedan perlakuan kepada anak. Disini nampak jelas bahwa pihak-pihak tersebut menyampaikan opininya atau menyampaikan pemikirannya secara bersama-sama (thinking together) terhadap kejadian tersebut. Diskusi public, mencakup pemikiran-pemikiran individu ini juga terus diberitakan oleh media massa. Bahkan media massa yang menyediakan kolom komentar juga dapat melihat banyaknya simpati public yang disampaikan pada bayi Debora. Media dalam pemberitaan kasus bayi Debora sesungguhnya telah masuk dalam area turut menentukan isu untuk public. Media telah ikut menggiring serta mengarahkan public untuk memikirkan isu yang harus di didiskusikan dan dipikirkan bersama bahkan jika memungkinkan akan berlanjut pada tahap tindakan bersama (acting together) yang dilakukan oleh public. Pemilihan isu yang ditampilkan melalui media ini yang dikenal sebagai Agenda Setting. Dengan melihat pembentukan opini publik dikaitkan dengan peran Public Relations Pada Kasus Bayi Debora dan Pelayanan Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, dalam hal ini Public Relations sebagai sumber informasi harus dapat dan mampu mengendalikan situasi yang ada serta mampu memiliki agenda sendiri dalam menggiring opini publik di masyarakat sesuai debgan tujuan yang diinginkan dengan bantuan dari pihak media. Dalam hal ini kemampuan taktis seorang PR harus mampu di tunjukan dengan menciptakan opini publik yang positif. Dalam hal ini berkaitan dengan bagaimana seorang PR melakukan penggunaan media secara tepat diantaranya melakukan pemilihan media-media mana yang akan diajak bekerjasama dan dapat sejalan dengan tujuan lembaga, organisasi/perusahaan.

338

Dalam kasus bayi Debora pihak Public Relations Rumah sakit Mitra Keluarga sedianya harus mampu berperan sebagai satu, Penasehat ahli (Expert Prescriber), serta mampu membantu dalam pemecahan masalah yang sedang dihadapi dengan memberikan solusi pada manajemen atas dalam upaya penyelesaian masalah hubungan dengan public. Selain itu dalam hal ini Public Relatiosn RS Mitra keluarga juga sekaligus berperan sebagai dua, Fasilitator Komunikasi (Communication Fasilitator), ia berperan sebagai pihak ke tiga yakni komunikator atau mediator yang menyampaikan harapan dan keimginan perusahaan. Di pihak lain, komunikasi yang dilakukan harus berlangsung timbal balik dengan peran PR menyampaikan keinginan, kebijakan dan harapan perusahaan kepada masyarakat. Peran Public Relations dalam hal ini juga harus mampu menggaet lawannya yaitu pihak media dengan bertindak sebagai negosiator yang handal, dimana ia dapat mempengaruhi, memenangkan dan memberikan suatu keputusan bahwa informasikan yang berasal darinya dan informasi yang ia inginkan yang harus ditampilkan di media. Peran ketiga, yaitu sebagai Fasilitator Proses Pemecahan Masalah (Problem Solving Process Fasilitator), PR mampu membantu pimpinan organisasi baik sebagai penasihat hingga mengambil tindakan ataupun keputusan dalam menghadapi persoalan dan krisis yang tengah dihadapi. Dengan melakukan peran Public Relations secara optimal, diharapkan opini publik yang berkembang berkenaan dengan kasus bayi Debora ini dapat meminimalisir opini yang cenderung negative di masyarakat. Selain itu Public Relations dan pihak media adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan dan saling membutuhkan sehingga bagi keduanya diperlukan adanya komitmen untuk selalu menjaga hubungan yang baik.

339

SIMPULAN Opini Publik menentukan penilaian dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap suatu organisasi / perusahaan. Sehingga sudah seharusnya Public Relations mampu berperan secara aktif dan optimal dengan menciptakan kegiatan komunikasi yang dapat mengcounter pemberitaan yang berkembang luas di masyarakat berkenaan dengan kasus yang menimpa bayi Debora.dan RS Mitra Keluarga Kalideres Jakarta Barat. Dengan berfungsinya peran Public Relations secara benar terutama saat mengalami krisis berupa kasus, dalam menciptakan relasi yang baik antara organisasi dengan publiknya akan sangat berguna sebagai bahan masukan bagi organisasi yang bersangkutan sehingga dapat mengembalikan citra yang positif serta terjadi saling pengertian dengan public secara umum.

DAFTAR PUSTAKA Hermawan, Agus. 2012. Komunikasi Pemasaran. Jakarta : Erlangga Kriyantono, Rahmat.2008. Public Relations Writing : Teknik Produksi media Public Relations dan publisitas korporat. Jakarta : Kencana Prenada Moeleong, Lexi.2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya Olli, Helena. 2007. Opini Publik. Jakarta : Indeks Poerwandari, Kristi E.20017. Pendekatan Kualitatif Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta : LPSP3UI Ruslan. Rosady. 2012. Manajemen Public Relations dan Media Komunikasi Konsepsi dan Aplikasi. Jakarta : Rajawali Press Sastropoetro, Santoso. 1990.Komunikai Sosial. Bandung : Remaja Rosdakarya

340

Sugiono, 2014. Metode Penelitian Pendidikan. Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif.dan R&D. Bandung: Alfabetha

Website www.cnnindonesia.com www.tempo.co.id

341

PENCITRAAN: POSITIF ATAU NEGATIF?

Siti Karlinah Universitas Padjadjaran [email protected]

PENDAHULUAN Kata pencitraan dalam beberapa tahun terakhir dan sampai saat ini telah meramaikan judul-judul berita juga artikel media massa di Indonesia. Pencitraan dipilih para pelaku media sebagai judul berita untuk menarik perhatian khalayak, karena pencitraan digunakan oleh berbagai sumber berita yang umumnya adalah para politisi untuk menilai pihak lain yang berseberangan. Penulis kutip beberapa judul berita terkait pencitraan sebagai berikut: “Anies Baswedan Sebut Blusukan Jokowi Sebagai Pencitraan”49; “Pencitraan dibalik Walk Out di Rapat hak Angket KPK”50; “Prabowo: Kirim Bantuan ke Rohingya itu Pencitraan”51; “Setnov Dinilai Sengaja Sebar Foto di RS untuk Pencitraan”52. Ada pula kata pencitraan yang tidak tertera dalam judul, namun terkandung dalam tubuh berita ketika Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid mengomentari kehadiran Presiden Joko Widodo dalam acara pembukaan rakernas Pro-Jokowi, yang intinya bahwa seharusnya Jokowi fokus membuktikan janji kampanye “...... Menghadirkan program program, realisasi program, bukan sekedar janji dan pencitraan.”53 Menilik pada judul-judul dan pernyataan di atas, nampak jelas bahwa kata pencitraan memiliki konotasi yang negatif, karena

49 Merdeka.com, 19 Desember 2013. 50 CNN Indonesia, 30 April 2017. 51 detikNews, 16 September 2017. 52 Republika.co.id, 02 September 2017. 53 detikNews.com, 06 September 2017.

342 memperlihatkan adanya ketidaksetujuan, ketidakpatutan, atau sesuatu yang tidak pada tempatnya, serta muatan suatu kritik dari satu pihak kepada pihak lainnya. Sementara secara konseptual pencitraan yang berasal dari konsep dasar “citra” atau image adalah konsep yang netral, seperti dikemukakan oleh Kasali, bahwa “citra adalah kesan yang timbul karena pemahaman atas sesuatu’(1994:28). Mengapa konsep “citra” berubah makna menjadi tidak netral, dan faktor apa yang menyebabkannya? Untuk mengungkap fenomena tersebut, penulis menganggap penting melakukan penelitian dengan fokus: ”Bagaimana para akademisi memaknai citra dan pencitraan?”Penentuan para akademisi yang penulis pilih sebagai individu-individu yang melakukan konstruksi atas makna pencitraan, karena penulis asumsikan bahwa mereka memiliki seperangkat pengetahuan yang memenuhi kriteria dapat memberikan jawaban yang komprehensif .

METODE PENELITIAN Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengungkap dan medeskripsikan makna citra dan pencitraan, maka penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis. Teknik pengumpulan data utama adalah wawancara mendalam yang dilakukan terhadap para informan yang dipilih secara purposif, yakni lima orang para akademisi di Fakultas ilmu Komunikasi yang merepresentasikan empat program studi, yakni Jurnalistik, Ilmu Komunikasi, Hubungan Masyarakat dan manajemen Komunikasi. Teknik pengumpulan data lainnya berupa observasi dan studi kepustakaan.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sejalan dengan tujuan penelitian, maka bahasan hasil penelitian penulis bagi menjadi dua bagian, yakni makna citra dan makna pencitraan.

343

Merujuk pada wawancara mendalam terhadap lima orang informan akademisi, terdapat beragam makna citra, seperti beberapa pernyataan berikut :”... Citra adalah realitas tentang seseorang berkaitan dengan apa yang ada di kepala orang, pandangan orang, apa yang terekam adalah picture in someone head/anyone head.”54 “Citra merupakan kumpulan pengetahuan, persepsi, pengalaman seseorang tentang suatu realitas lembaga atau organisasi, citra itu kan the picture in our head kata Schramm, sehingga gambaran dalam kepala itu merupakan ending dari sebuah realitas besar”55. Beberapa informan mengemukakan bahwa citra itu penting dalam hidup, seperti dikemukakan oleh tiga informan berikut :”.. Citra sangat penting karena akan menentukan bagaimana dia akan berhubungan dengan orang lain. Citra juga merupakan modal sosial untuk mempermudah interaksi dengan orang lain, citra adalah kredibilitas, citra sebagai reputasi, Ketika citranya buruk, maka reputasinya buruk, sehingga akan mempersempit peluang bagi seseorang untuk bekerjasama, membangun hubungan, mengembangkan jejaring dan memanfaatkan berbagai sumber yang ada di sekitarnya.”56Namun demikian sebaliknya, pernyataan informan 4 ini melihat citra sebagai suatu yang berkonotasi negatif, yakni :”...citra sendiri kan menguatkan pada tataran performance luar, tidak substantif, terlalu mengandalkan rekayasa penampilan, sehingga seringkali apa yang ditampilkan tidak sesuai dengan hakekatnya....Nah itu maknanya ada rekayasa-rekayasa, manipulasi, simbol, tanda yang ditampilkan supaya terkesannya baik.”57 Bila citra dikaitkan dengan lembaga, maka citra seseorang itu penting, seperti pernyataan informan 5 :” ...Citra yang paling penting dalam hidup

54 Informan 5, wawancara tanggal 24September 2017 55 Informan 4, wawancara tanggal 24 September 2017 56 Informan 5, wawancara tanggal 24 September 2017. 57 Informan 4, wawancara tanggal 24 September

344 adalah citra seseorang, karena lembaga adalah sebuah benda mati, yang merepresentasikan lembaga itu adalah anggota-anggotanya. Jadi bila DPR dan KPK citranya hebat itu karena para anggotanya hebat dan sebaliknya”58Informan 5 menambahkan:”...Coba sekarang kita bicara UNJ..yang merusak reputasi UNJ adalah bukan lembaganya tapi individu-individunya, jadi citra individu harus dijaga”59 Pernyataan ini bisa diperkuat oleh pendapat informan 4, bahwa :”.. Ada istilah bahwa seorang karyawan itu menjadi duta perusahaan ya.. dimanapun, karena kan karyawan itu bagian dari perusahaan, apalagi pimpinannya, jadi tidak bisa dipisahkan antara lembaga dengan anggota.”60 Data hasil penelitian memperlihatkan keragaman makna pencitraan sebagaimana dikemukakan oleh para informan, sebagai berikut : “..Setiap person itu akan selalu punya jarak antara dirinya sebagai manusia dan kemudian apa yang dia pertontonkan ke publik. Yang dia dipertontonkan ke publik adalah yang theatre yang kadang juga tidak disadari dia ingin menampilkan nya ke publik”61.“...Pencitraan adalah kemampuan memanaj kesan”62.”...Pencitraan selalu berkonotasi positif dan pencitraan selalu terbawa oleh konteks lingkungan dimana seseorang berkembang. Dalam konteks jabatan, pencitraan itu mewakili struktur karena ada beban sosial”.63”... Pencitraan adalah upaya untuk memperbaiki diri. Pencitraan adalah sebagai pintu masuk bagi seseorang untuk membentuk realitas yang baru, yang lebih positif, yang lebih bagus. Ketika orang sudah terbentuk realitasnya menjadi orang yang bagus, reputasi, dan citranya pasti bagus...itu yang harus dipelihara. Karena citra itu seharusnya

58 Informan 5, awancara tanggal 24 September 2017. 59 Ibid 60 Informan 4, wawancara tanggal 24 September 2017. 61 Informan 3, wawancara tanggal 23 September 2017. 62 Informan 1, wawancara tanggal 22 September 2017. 63 Informan 2, wawancara tanggal 22 September 2017.

345 merepresentasikan keadaan nyatanya, bukan sesuatu yang direkayasa sedemikian rupa.”64

Pencitraan Untuk Keberadaan/Eksistensi Dari beragam makna tentang pencitraan yang dikemukakan oleh para informan, penulis dapat mengangkat makna yang menonjol, bahwa pencitraan adalah sebuah upaya seseorang agar diakui keberadaannya /eksis, seperti pernyataan berikut :”.. pencitraan adalah sebagai suatu pembeda antara dirinya dengan orang lain, sehingga ketika seseorang sadar akan pencitraan, maka dia akan mengeksplorasi apa yang membuat dirinya punya pembeda. Dengan kata lain, pencitraan adalah sebuah upaya untuk mengelola kesan agar eksis”65Pernyataan ini sejalan dengan pendapat informan 2, bahwa :”...Pencitraan adalah memvisualisasikan sesuatu yang baik untuk terlihat baik di depan orang /khalayak. Pencitraan adalah sesuatu yang muncul, suatu yang hadir, dan dikemas tergantung kita mau mencitrakan apa.”66 Seseorang ada atau eksis adalah ketika seseorang itu diakui keberadaannya, dimana keberadaannya tersebut dilihat dari apa yang ditampilkan seperti pernyataan informan 5 berikut :”... .orang itu hadir ngga di hadapan kita ? kalau orang itu ga hadir di hadapan kita kan menjadi tidak ada, tidak eksis, termasuk citranya juga ga ada. Nah..kalau tiba-tiba orang ini dicitrakan sebagai orang yang peduli, orang yang hadir , sekali lagi kalau buat saya ..kalau itu menjadi upaya bagi seseorang untuk menyelaraskan antara gambaran di kepala orang dengan perilakunya, dengan kenyataannya , jadi pencitraan itu merupakan pintu masuk bagi seseorang untuk membentuk realitas baru yang lebih positif, yang lebih bagus, jadi jembatan , jadi representasi yang real dari realitas,

64 Informan 5, wawancara tanggal 24 September 2017. 65 Informan 1, wawancara tanggal 22 September 2017 66 Informan 2, wawancara tanggal 22 September 2017

346 jadi citra itu langsung terkoneksi dengan realitasnya bener2 sama, ...nah itu bagus ! dan memang harusnya begitu...”67

Pencitraan Berkonotasi Negatif Tidak Sejalan antara Pengkomunikasian dengan Tindakan Pencitraan memiliki konotasi negatif ketika terdapat kesenjangan atau ketidaksinkronan antara sesuatu yang diungkapkan secara verbal dengan perilaku atau tindakannya. Hal ini tergambar pada pernyataan-pernyataan berikut :”...pencitraan itu bisa negatif ketika apa yang dikatakan, apa yang menjadi slogannya tidak sesuai dengan perilakunya, atau panggung depan dan panggung belakangnya ‘jomplang’bila merujuk pada Teori Dramaturgi Goffman ”68. Menurut informan 3, pencitraan memiliki konotasi negatif itu sama dengan stigma, dimana stigma muncul karena masyarakat sudah menyadari ada jarak antara apa yang ditampilkan dan apa yang kemudian janji2nya dalam kampanye tidak sesuai dengan kenyataannya, atau tidak sesuai dengan apa yang dilakukan. Informan 3 menambahkan, bahwa “...stigma pencitraan punya konsekuensi buruk banget buat kondisi politik di Indonesia, karena membuat masyarakat menjadi sangat anti politik, bahwa kalo ngomongin politik pasti korup “69Demikian pula menurut informan 4, bahwa pencitraan itu cenderung negatif karena terlalu banyak pejabat, politisi yang terlalu jauh dari kenyataannya dari yang ditampilkannya. itu...perlu diluruskan. Informan 4 menambahkan :”...coba kita lihat para pejabat dan politisi yang korup itu ketika digiring ke penjara malah senyum- senyum. Pencitraan selalu manupilatif dalam bidang politik. Jadi Politikus pencitraannya negatif ketika yang ditampilkan tidak sesuai dengan kenyataan dalam dirinya, tidak

67 Informan 5, wawancara tanggal 24 september 2017. 68 Informan 1, wawancara tanggal 22 September 2017 69 Informan 3, wawancara tanggal 23 September 2017

347 sesuai dengan yang ditampilkan, ada sedikit distorsi pencitraan itu”70. Begitu pula menurut informan 5, bahwa :”...Pencitraan negatif ketika sesuatu yang tidak etis, buruk tapi dibikin bagus”71 . Informan 4 mengemukakan makna pencitraan melalui perbandingan dengan istilah spin doctor ,”... Dalam public relations ada yang disebut spining doctor.. , keduanya sama manipulasi tanda, ingin tampil seolah baik, sengaja merekayasa simbol, tapi spin doctor tidak ada unsur kebohongan, kalau pencitraan ada unsur kebohongan”72 Fenomena pencitraan sangat erat dengan teori Dramaturgi dari Erving Goffman yang mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Upaya itu disebut sebagai “pengelolaan kesan” (impression management), yakni teknik-teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. (Mulyana, 2006 : 112). Terkait dengan para politisi, maupun para pejabat pemerintah, maka mereka telah memainkan panggung depan (front stage), atau wilayah depan (front region), yakni wilayah dalam peristiwa sosial tertentu yang memungkinkan dirinya menampilkan peran formalnya. Pada Era perkembangan teknologi, maka wilayah depan bisa direpresentasikan dan diwujudkan dengan menggunakan sarana baru yakni media sosial. Begitu pula di era keterbukaan ini, semua orang berhak menjadi kepala daerah, dan harus memanage dirinya, maka eseorang yang tadinya tidak eksis menjadi eksis, dan pengelolaan panggung depannya secara masif tersebar di media sosial, sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Halimatusa’adah (2013), bahwa media sosial merupakan media

70 Informan 4, wawancara tanggal 23 September 2017 71 Informan 5, wawancara tanggal 24 September 2017 72 Informan 4, wawancara tanggal 24 September 2017.

348 alternatif yang efektif digunakan oleh para politisi dalam melakukan pencitraan”.

Pencitraan Menurut Pihak “Lawan” Pencitraan berkonotasi negatif ketika ungkapan pencitraan dikemukakan oleh pihak “lawan”, pesaing atau pihak yang kontra terhadap individu yang dengan sadar atau tidak sadar melakukan pencitraan. Contohnya adalah apapun yang dilakukan Jokowi untuk mereka yang pro jokowi... akan dipersepsi bagus. Mereka sadar bahwa itu adalah pencitraan yang tidak memiliki makna negatif. Akan tetapi tindakan Jokowi di mata Prabowo dipersepsi sebagai pencitraan yang memiliki makna negatif, karena seakan tindakan tersebut lebih kepada mencari popularitas, mencari dukungan, dan mencari simpati masyarakat. Begitu pula sebaliknya. , apapun langkah Prabowo di mata pro Jokowi, apapun langkahnya dipersepsi kurang tepat. Menurut informan 3, :”...pencitraan dipersepsi berbeda, permasalahannya adalah stigma yang bekerja pada konteks politik. Stigma pada citra yang ihkwal awalnya adaalah keberjarakan antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan, masyarakat tidak punya kebiasaan untuk melakukan aksi politik, dan kemudian menuntut hak politik kita bahwa apa yang dia utarakan adalah janji politik yang harus diamalkan. dan para politikus itu tidak punya keterbiasaan untuk mempertanggungjawabkan yang pernah diutarakan . Itu yang kemudian memperparah kondisi dan kemudian membuat masyarakat menjadi anti politik”73 . Berdasarkan uraian hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa makna citra dan pencitraan yang dikemukakan oleh para informan, berkonotasi positif, satu informan dengan latar belakang keilmuan Public realtions, telah memaknai konsep citra dan

73 Informan 3, wawancara tanggal 23 September 2017.

349 pencitraan berkonotasi negati, seperti apa yang dikemukakan oleh Carl Botan (1993) dalam Heat (2005 :406), yakni “...that the most common definition of image was that of a manipulated representation of an organization that lacked substance or accuracy. This can be termed the shallow use of image representing style over substance. An image was something that an organization or even a nation tried to fabricate. The image was based on what the organization said about itself, not what the organization actually did. (Heat, 2005 : 406). Merujuk pada definisi citra/image yang dikemukakan oleh Botan, maka citra berkonotasi negatif karena ada unsur manipulatif dan tidak akurat, maka letak perbedaannya adalah pada pihak subyek. Citra pada bagian pertama menyangkut individu, sementara citra pada bagian kedua adalah menyangkut organisasi, dimana untuk organisasi selalu sengaja “membangun citra” untuk kepercayaan dari para stakeholders. Stakeholders selalu membandingkan antara kata dan perbuatan untuk mengevaluasi image. Bila terdapat ketidaksinkronan, tidak sinkron (match,) maka stakeholders memberi image negatif organisasi.(Heat, 2005 : 406) .”The deeper view of image that looked at it as a process and premised it on matching words and action is tarnished by the legacy of the shallow view of image. Hence practitioners and reserchers moved to the term reputation to reflect the deeper view of image” (Coombs dalam Heath, 2005 : 407). Dengan demikian dapat digambarkan bahwa dalam konteks Indonesia citra telah dimaknai sebagai reputasi, kredibilitas sebagaimana dikemukakan oleh informan, maka dalam konteks public relations para praktisi dan penelitinya telah memilih terminologi reputasi untuk mengganti kata citra .

350

SIMPULAN Pencitraan telah dimaknai berbeda antara informan para akdemisi komunikasi dengan akademisi public relations, dimana bagi pihak pertama pencitraan berskonotasi positif, sementara bagi pihak kedua pencitraan berkonotasi negatif. Bagi informan akademisi ilmu komunikasi, pencitraan bisa berkonotasi negatif ketika terdapat kesenjangan antara pesan yang dikomunikasikannya dengan tindakannya, dan ketika pencitraan itu dievaluasi oleh “lawan” politiknya. Pada Era perkembangan teknologi, maka wilayah depan bisa direpresentasikan dan diwujudkan dengan menggunakan sarana baru yakni media sosial. Begitu pula di era keterbukaan ini, semua orang berhak menjadi kepala daerah, dan harus memanage dirinya, maka eseorang yang tadinya tidak eksis menjadi eksis, dan pengelolaan panggung depannya secara masif tersebar di media sosial.

DAFTAR PUSTAKA Heat, Robert L.2005. Encyclopedia of Public Relations. Volume 1.London : sage Publications, Inc. Infante, Dominic A., Rancer, Andrew S., Womack, Deanna F. 1993. Building in Communication Theory. Second Edition. USA: Waveland Press, Inc. Kasali, Rhenald. 1994. Manajemen Public Relations. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti. Mulyana, Deddy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Debord,Guy., Society of the Spectacle. https://www.marxists.org/reference/archive/debord/society. htm Diakses 28 September 2017

351

Halimatusa’diah. Pemanfaatan Media Sosial dalam Pencitraan Politisi. Perspektif Teori Uses and Gratification. http://ejournal.bsi.ac.id/assets/files/jurnal_Komunikasi_201 3 Maret_IV_No I_09.pdf Diakses 27 September 2017 Hendrastomo, Grendi. Demokrasi dan Politik Pencitraan Perang Iklan Politik Menuju Demokratisasi di Indonesia. Staff.uny.ac.id/sites/default/files/13231574/demokrasi.pdf Diakses 29 September 2017. Gackowski, Tomasz. University of Warsaw.Political Image as The Substance of the Political Communication in the Era of Post- Politics.www.ojcmt.net/articles/34/344.pdf diakses 29 September 2017. Sutikna, Nana. Pencitraan : Sebuah Tinjauan Filsafat Komunikasi. http://komunikasi.unsoed.ac.id/sites/default/files/43.nana% 20sutikna-unsoed.pdf. Diakses 27 September 2017

352

MEMBACA KEHIDUPAN PEREMPUAN INDONESIA DARI IKLAN KORAN SUNTING MELAYU

Maimon Herawati Universitas Padjadjaran [email protected]

PENDAHULUAN Sejarah membuktikan peran penting perempuan Indonesia berakar jauh sebelum negara Indonesia berdiri. Kerajaan Nusantara memiliki daftar panjang ratu atau sultanah. Mereka juga memiliki prestasi yang mencatatkan nama mereka sejajar dengan lelaki pemimpin. Ratu Kalinyamat, Jepara, misalnya bersama dengan Raja Johor mengusir pasukan Portugis (Hayati, 200.). Selain Ratu Kalinyamat, kerajaan Nusantara lain yang dipimpin perempuan adalah Majapahit (Ratu Tribuana Tungga Dewi), (Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin), Ternate (Ratu Siti Aisyah We Tenriolle), Kutai (Ratu Aji Sitti) dan masih banyak lagi (Poesponegoro, 1992). Perempuan di Indonesia juga tercatat dalam sejarah berperan penting dalam sejarah militer Nusantara. Tradisi sejarah oral Aceh menjelaskan peran figur pahlawan perempuan seperti Laksamana Keumalahayati (1600-an), pemimpin armada perang Inong Balee yang mengusir armada Belanda De Houteman (1599) dan Van Caerden (1601) (Laksamana Keumalahayati). Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia mencatat nama pemimpin militer seperti , Cut Meutia, Pocut Baren. Di bidang politik, Indonesia memiliki sosok seperti Rangkayo , penulis dan aktivis kemerdekaan yang merupakan perempuan pertama dipenjara Belanda dengan dianggap menumbuhkan semangat perlawanan. Masih banyak nama perempuan di berbagai bidang yang menunjukkan

353 perempuan Indonesia sejak sebelum berdirinya negara Indonesia telah setara dan sejajar dengan lelaki. Hal menarik lainnya, di Nusantara media pertama yang diterbitkan perempuan dan ditujukan untuk perempuan, Sunting Melayu, hadir jauh lebih lama dibanding koran pertama perempuan Amerika yang dikelola perempuan, The Lily. Koran yang terbit untuk komunitas Temperance ini terbit pada 1849-1853, sedang Sunting Melayu terbit pada 1912-1921 (Fitriyanti, 2001). Rentang terbit ini menunjukkan stamina organisasi media perempuan di Indonesia lebih kuat dibanding Amerika. Asumsi yang muncul, melihat peran perempuan Indonesia dalam sejarah Nusantara dan perkembangan media khusus perempuannya, perempuan Indonesia memiliki tingkat kesetaraan dengan lelaki yang jauh lebih bagus dan lebih awal daripada perempuan Barat. Perempuan Indonesia yang berada di ranah publik jauh lebih banyak daripada perempuan Barat. Ini tentu saja mengubah sejarah dan wacana feminisme di Nusantara dan dunia. John Hartley mengatakan media adalah ranah publik (1992). Media adalah tempat di mana wacana dipertukarkan dan didiskusikan sehingga mengerucut pada kesepakatan bersama. Dengan demikian menjadi menarik untuk memetakan apa saja yang ditampilkan dan didiskusikan dalam Koran Sunting Melayu untuk memahami ranah publik seperti yang telah tercipta pada masa kolonialisme dalam perspektif perempuan. Sampai saat ini belum ada penelitian yang mengolah kekayaan pengetahuan feminis Indonesia yang luar biasa ini secara komprehensif. Jika dibandingkan dengan feminis Barat, kajian analisis data media sudah banyak dilakukan misal Victoria Joanne Rowan (1999) yang meneliti perempuan, koran, dan budaya literatur urban di Paris, Rennes, dan Lyon rentang 1780-1800 atau Sarah Pedersen (2004) yang fokus meneliti surat-surat perempuan pada koran harian di Aberdeen, Skotlandia untuk mengetahui isu

354 apa saja yang dibahas perempuan pada rentang penerbitan koran 1900-1918. Padahal, jika dibandingkan dengan Perancis atau Inggris, Indonesia 1900-an bisa jadi lebih kaya akan konten media perempuan untuk perempuan. Penelitian ini bermaksud menjawab knowledge blank spot ini dengan fokus pada gambaran kehidupan perempuan Indonesia melalui iklan yang dimuat di Sunting Melayu. Ada beberapa penelitian terdahulu tentang isu perempuan dalam media. Sarah Pedersen, ‘Within their Sphere? Women’s correspondence to Aberdeen daily newspaper 1900-1918’, memetakan motivasi dan agenda perempuan koresponden di Koran-koran daerah Aberden, Skotlandia. Penelitian ini mengambil surat-surat perempuan pada dua redaksi koran local Aberdeen, Aberdeen Daily Journal, dan Aberdeen Free Press. Perempuan koresponden Aberdeen dalam surat mereka mengangkat isu pekerjaan sukarelawan terutama yang terkait perempuan dan anak. Sebagian kecil mereka menyembunyikan identitas saat mendiskusikan isu sensitive seperti gerakan suffragette (pemberdayaan perempuan) atau standar seksual berbeda antara perempuan dan lelaki. Victoria Joanne Rowan, ‘La Citoyenne Bien Renseignee: Women, the Newspaper Press and Urban Literary Culture in Paris, Rennes and Lyon 1780-1800’meneliti tentang media massa revolusi yang menjadi kenderaan untuk perluasan informasi komunitas. Penelitian ini mendapatkan bahwa perempuan yang melek literasi menggunakan koran local untuk menyampaikan opini mereka tentang berbagai hal, mencari jawaban untuk pertanyaan mereka, dan meluruskan informasi salah tentang mereka. Penelitian ini membandingkan penggunaan media lokal ini oleh perempuan sebelum dan sesudah revolusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun berbagai elemen sebelum revolusi

355 tetap ada dalam media, terdapat perubahan budaya yang memengaruhi bahasa jurnalistik dan subjek yang didiskusikan. Joanna Marian Shearer, ‘Marianne’s Chroniclers: The Political Journalism of Selected Female Writers of the First Wolrd War, meneliti bagaimana perempuan-perempuan jurnalis pada PD1, mempengaruhi representasi perempuan dalam berita pada media massa mainstream nasional Perancis. Penelitian ini menggunakan berbagai sumber seperti arsip koran, teks biografi, dokumen hokum, transkrip wawancara. Joanna menggunakan analisis tekstual dengan memperhatikan konteks sejarah. Hasil penelitian Joanna menunjukkan perubahan focus pemberitaan perempuan jurnalis tentang perempuan: dari focus pada tubuh perempuan kepada imaji perempuan untuk propaganda politik. Ranah Publik dan Surat Kabar

Jurgan Habermas mendefenisikan ranah publik sebagai komunitas virtual yang tidak harus hidup di lokasi yang tertentu. Dalam bentuk idelnlya, ranah publik terdiri dari ‘pribadi-pribadi yang berkumpul sebagai publik dan menyampaikan kebutuhan masyarakat pada negara’. Ada beberapa hal yang akan mempengaruhi bekerhasilan ranah publik, yaitu akses yang luas, kebebasan dari tekanan siapapun, tidak ada hirarki, taat aturan, dan kualitas partisipasi (Rutherford, 2000: 18). Jika awalnya Habermas meneliti kafe-kafe sebagai bentuk ranah publik, John Hartley mengatakan peran kafe ini digantikan media massa seperti koran, televisi, dan radio. Media massa bisa menjadi ranah publik jika masyarakat dapat memberikan pendapat dan komentranya terhadap suatu persoalan di tengah masyarakat. Sepanjang media massa menjadi medium percakapan, aksi komunikasi, dan kemungkinan konsensus, maka media menjadi elemen penting ranah publik, yaitu ranah kehidupan sosial di mana opini publik terbentuk. Semua masyarakat bisa mengakses ranah

356 publik ini. Pembentukan ranah publik dimulai ketika individu- individu berkumpul membentuk lembaga publik. Koran Sunting Melayu hadir sebagai sarana komunikasi perempuan Melayu pada 1912 dahulu. Terbit pertama kali pada Sabtu, 10 Juli 1912 dengan redaktur Zubaidah Ratna Juwita dan Siti Rohana Kudus. Sunting Melayu terbit sekali ‘selapan hari’, dengan biaya langganan setahun sebanyak 1.80 Gulden. Sunting Melayu juga menerima pemesanan dari luar Hindia Nedherland dengan menambahkan ongkos kirim. Isi Sunting Melayu sebagian besar tulisan Rohana Kudus tentang perempuan. Rohana saat penerbitan Koran ini, mengajar di sekolah khusus perempuan, Kerajinan Amai Setia yang didirikan Rohana sendiri. Rohana mengajarkan membaca, menulis, ilmu agama, kerajinan tangan pada perempuan Koto Gadang, Bukittinggi. Sambil mengajar, Rohana juga rutin menulis. Rohana tidak ingin tulisannya hanya dia sendiri yang membaca. Dia ingin gagasannya dibaca lebih banyak orang. Dari situlah muncul gagasan Rohana untuk menerbitkan koran khusus perempuan. Dia mengirim surat bantuan pada Sutan Maharaja, Pemimpin Redaksi Kora Utusan Melayu. Sutan Maharaja menyambut gagasan Rohana. Rohana ditawari halaman khusus dalam Koran Utusan Melayu. Rohana meminta Koran terpisah khusus perempuan. Sutan Maharaja meluluskan permintaan Rohana. Sunting Melayu juga menerima tulisan kontributor perempuan, seperti tulisan berjudul ‘Kepandaian Perempuan di Sarilamak’ yang menyampaikan keadaan perempuan di negeri Sarilamak.

357

Sunting Melayu Edisi ke-5, 3 Agustus 1912

Sebagai media perempuan yang dikelola perempuan, Sunting Melayu menciptakan ranah publik baru yang digunakan untuk mendapatkan konsensus perempuan terkait isu-isu keperempuanan. Sunting Melayu memiliki keragaman tulisan yang tinggi. Selain berita, koran ini juga memuat karya fiksi seperti puisi. Tulisan opini juga ada, Dalam bentuk sederhana, Sunting Melayu juga mempublikasikan iklan berbayar.

358

(Iklan Sunting Melayu)

Berbicara tentang iklan, praktik periklanan, dan masyarakat, iklan yang terbaik ialah yang menangkap kecendrungan, persepsi, dan perilaku individu yang akan mengkonsumsi iklan. Kenderungan, persepsi, dan perilaku individu sangat dipengaruhi nilai budaya masyakarat tempat individu berada. Dengan demikian, logis jika dikatakan budaya masyarakat mempengaruhi iklan (Quigley, de Luque & House, 2012). Oleh karena itu, membaca iklan yang dimuat media masa Kolonial sangat mungkin menjelaskan budaya masyarakat pada masa itu. Iklan Sunting Melayu akan membangun salah satu pecahan gambar dan narasi terkait perempuan Minangkabau secara umum, dan Indonesia secara khusus tentang apa-apa yang sekiranya media (Sunting Melayu) anggap penting, menarik, dan perlu bagi perempuan.

359

METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan ialah metode deskriptif dengan teknik analisis isi. Penelitian deskriptif menurut Isaac dan Michael bertujuan untuk melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik bidang tertentu secara faktual dan cermat (Rakhmat, 1991:22). Teknik analisis isi dijelaskan Berelson sebagai teknik penelitian untuk melukiskan isi komunikasi secara objektif, sistematis, dan kuantitatif. Analisis isi pada dasarnya merupakan satu tatacara menyandi pernyataan atau tulisan agar diperoleh ciri-ciri atau sifat tertentu melalui operasionalisasi variable. Masalah metodologis yang dihadapi saat melakukan penelitian dengan teknik analisis isi adalah dalam pemilihan satuan analisis, konstruksi kategori, penarikan sampel isi, dan reliabilitas koding (Stempel III, 1989).

HASIL DAN PEMBAHASAN Advertising yang dimuat Sunting Melayu berdasarkan frekuensi pemuatan ialah terbanyak iklan kain, sulam, dan tenun. Iklan kain ini hampir separuh total iklan. Pada edisi tahun perama, iklan kain mayoritas berasal dari usaha tenun, sulam dari Barat seperti Silungkang, Bukittinggi, dan Sawahlunto. Pada edisi tahun kedua dan selanjutnya, iklan kain mayoritas berasal dari luar Sumatra Barat seperti Yogya, Pekalongan. Iklan kedua terbanyak yakni 12% ialah emas yang dipromosikan pengusaha asal Sumatra Barat. Tidak ada pengiklan emas dari luar Sumatra Barat. Iklan yang frekuensinya sama dengan iklan emas ialah iklan terkait kesehatan. Berikutnya, iklan barang-barang impor dari Eropa sebanyak 10%. Sisanya iklan tembakau, rumah makan, penggilingan tepung, tukang gambar, lelang barang gadai, kertas music, dan undangan rapat organisasi.

360

Melihat jenis advertising yang ditujukan pada perempuan Minangkabau secara khusus dan perempuan Indonesia secara umum pada jaman Kolonial, nampak bahwa kain adalah komoditi yang paling banyak ditawarkan. Wajar karena kebutuhan kedua terpenting adalah sandang, setelah pangan. Iklan ini mendukung asumsi bahwa kehidupan perempuan Indonesia pada jaman Kolonial sebagian besarnya masih tentang berbagai hal yang menyangkut ranah domestik, dalam hal ini pakaian. Berikutnya terbanyak kedua ialah iklan emas. Emas pada masa Kolonial menyimbolkan tabungan masa depan dan kekayaan. Pada jaman Kolonial, bahkan sampai saat ini, emas dalam kehidupan perempuan Minangkabau sangat penting karena terkait dengan jaminan kesejahteraan kehidupan. Emas tidak sekedar perhiasan, tapi utamanya ialah sarana menabung. Tradisi membeli atau menjual emas pada kalangan perempuan Minangkabau biasanya terkait dengan masa panen atau bertanam. Emas menjadi ukuran penghitungan transaksi ekonomi dan pertanian. Gadai tanah pertanian menggunakan ukuran emas (Satu emas/saameh adalah 2,5 gram emas). Dari iklan emas ini, bisa dibaca bahwa kehidupan perempuan Minangkabau dan Indonesia secara umum memiliki peran penting dalam kestabilan ekonomi keluarga. Selain iklan emas, iklan kesehatan juga menduduki peringkat kedua terbanyak. Ini menarik karena dari iklan ini bisa dibaca bahwa kesadaran kesehatan perempuan Indonesia sudah terbangun. Penawaran iklan terkait kesehatan terbanyak memang minyak penyembuh berbagai penyakit, artinya masih dalam ranah self healing, dan membentuk kesan bahwa perempuan Indonesia memiliki perhatian baik terhadap kesehatan keluarganya. Iklan yang lumayan tinggi frekuensinya ialah iklan produk impor Eropa. Jika barang impor mendapat frekuensi iklan lumayan banyak seperti itu, artinya perempuan pembaca Sunting Melayu diasumsikan pengiklan sebagai kalangan yang akan tertarik dan

361 mampu membeli barang-barang impor. Di sisi lain, ini juga menunjukkan kehidupan yang‘modern style’pada zamannya.

SIMPULAN Kehidupan perempuan Indonesia yang dibaca dari iklan pada Koran Sunting Melayu pada era Kolonial berkisar pada pemenuhan kebutuhan sandang keluarga, penjagaan kesehatan keluarga, dan kestabilan ekonomi keluarga. Iklan barang impor yang cukup sering menunjukkan gaya hidup moderen yang terhubung dengan dunia global. Walaupun didikte oleh nilai tradisional dan kolonialisme yang meletakkan perempuan pada ranah domestik, kehidupan perempuan Indonesia sudah mencapai dunia yang jauh lebih luas dari rumah berbatas dinding tempat aktivitas mereka sehari-hari melalui Koran Sunting Melayu.

DAFTAR PUSTAKA Laksamana Keumalahayati. Aceh, Pemprov Aceh. Ahira, A. "Tokoh wanita yang menginspirasi (Inspiring Women)." 2011, from http://www.anneahira.com/tokoh-wanita.htm. Fitriyanti (2001). Roehana Koeddoes, Perempuan Sumatera Barat (Rohana Kudus, West Sumatera Woman). Jakarta, Jurnal Perempuan Indonesia. Hartley, J. (1992). The Politics of Pictures: The creation of the public in the age of popular media. New York, Routledge. Hayati, C. (2007). Ratu Kalinyamat. Jepara, Penerbit Jeda. Luviana (2012). Jejak Jurnalis Perempuan Pemetaan kondisi kerja jurnalis perempuan di Indonesia (Indonesian Female Journalist, Their Working Condition). Jakarta, Aliansi Jurnalis Independen. Pedersen, S. (2004) Within their sphere? Women’s correspondence to Aberdeen daily newspaper, 1900-1918. Ph.D Theses, Robert Gordon University.

362

Poesponegoro, M. D. N., N (1992). Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta, Balai Pustaka. Quigley, N.R., Sully de Luque, M. & House, R.J. (2012). Project GLOBE and cross-cultural advertising research: developing a theory driven-approach. In S.Okasaki (Ed). Handbook of Research on International Advertising. Cheltenham, UK, Edward Elgar Publishing. Rakhmat, J. (1999). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung, Remaja Rosdakarya. Rowan, V.J. (1999) La Citoyenne Bien Renseignee: women, the Newspaper Press and Urban Literary Culture in Paris, Rennse and Lyon 1780-1800, Ph.D Theses, University of Warwick. Rutherford, Paul. (2000) Endless Propaganda. Toronto, University of Toronto Press. Stempel, G.H., (1989). Content analysis. In G.H. Stempel III & Bruce H. Westley (Eds.), Research methods in mass communication. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall. Whitcher, R. S. (2005). The Effects Of Western Feminist Ideology On Muslim Feminists. San Diego, Usa, Naval Postgraduate School. Master Degree.

363

PROSES REBRANDING BEKASI SQUARE MENJADI REVO TOWN REBRANDING PROCESS OF BEKASI SQUARE BECOMES REVO TOWN

Tika Widianingsih, Rosnandar Romli, Yustikasari Universitas Padjadjaran [email protected]

PENDAHULUAN Saat ini perkembangan industri semaki pesat, khususnya industri dibidang retail dan tekstil. Banyak pergantian manajeman dan perubahan dari segala aspek disetiap perusahaan yang disebabkan persaingan industri yang sangat kompetitif. Hal ini juga di alami oleh perusahaan retail yang berdiri sejak tahun 2008 yaitu mal Bekasi Square. Berdiri di atas lahan seluas 4Ha, dengan NLA (Net Lettable Area) 40,000m² Bekasi Square terletak di daerah Selatan Bekasi, dekat dengan pintu tol Bekasi Barat dan visibility, dimana terlihat jelas dari tol (Jakarta – Cikampek). Bekasi Square yang memiliki dua stakeholder yaitu Gunung Sewu Grup dan PT Kilap Propertindo, pada tahun 2013 PT Farpoint mengakuisisi dengan modal awal 100 M dan membeli empat tenant dari investor lain. Faktor utama mengapa PT Farpoint mengakuisisi Bekasi Square yaitu perkembangan kota Bekasi yang cukup pesat serta potensinya dengan pasar yang luas, faktor kedua adalah lahannya luas sekitar 4 hektar dan lokasinya staretgis. Bagus untuk perkembangan jenis properti komersial lainnya. Dimasa modern saat ini ketatnya pesaingan bisnis membuat perubahan perilaku konsumen sangat mempengaruhi sebuah perusahaan, hal ini juga yang dirasakan oleh Bekasi Square. Costumer mulai memilih kemana mereka akan belanja, dengan beberapa faktor seperti harga, jenis barang, dan kenyamanan. Maka dari itu salah satu cara untuk mempertahankan sebuah brand yang

364 mempresentasikan image perusahaan yaitu dengan cara merebranding, Bekasi Square dengan format manajeman baru melakukan rebranding total yang dimulai dari fasad gedung, tenantcy mix dan zoning, pergantian target pasar, dan penempatan tenant sesuai kategori perlantai. Alasan yang mendasari perusahaan untuk melakukan proses rebranding, baik secara keseluruhan ataupun pada brand yang dimilikinya, dapat disebabkan oleh beberapa hal. Antara lain, untuk memodifikasi citra perusahaan atau brand tersebut, adanya perubahan struktur organisasi, perubahan strategi perusahaan atau munculnya faktor-faktor dari lingkungan eksternal yang menuntut perusahaan untuk melakukan aksi perubahan. (Muzellec, Doogan & Lambkin, 2003, hal.33-34). Dalam kasus Bekasi Square, alasan dasar yang membuat perusahaan melaukan proses rebranding yaitu karena adanya perubahan struktur organisasi, dan persaingan industri yang semakin kekat mengakibatkan Bekasi Square mengalami penurunan pengunjung secara perlahan. Maka dari itu pada tahun 2015 Bekasi Square mulai melakukan proses rebranding dengan melakukan empat tahap yaitu repositioning, renaming, redesigning, dan relaunching. Pada tahap awal Bekasi Square merubah fasad gedung di barengi dengan pergantian nama menjadi Revo Town. Re.vo memiliki arti revolution, sedangkan Town mepresentasikan sebagai tempat “a melting pot” untuk teman dan keluarga yang diharapkan kembali menjadi kebanggaan warga Bekasi. Pada tahap repositioning manajeman memulai dengan pembangunan fasad yang dirubah total, setelah itu mengganti segmentasi pasar yang semula untuk umum saat ini dikerucutkan menjadi khusus ibu-ibu tanpa menyampingkan produk anak-anak, remaja, dan laki-laki. Tahap terakhir dari proses repositioning yaitu penyusunan tenants sesuai kategori disetiap lantainya dan begabungnya Matahari Depatmen Store sebagai anchor tenant.

365

Tahap berikutnya yaitu renaming, saat pembangunan fasad mal, Bekasi Square telah menemtukan nama baru yaitu Revo Town hal ini dilakukan karena manajeman ingin memaksimalkan proses rebranding maka dari itu semua aspek akan dirubah, dengan mengganti nama berganti juga tagline menjadi ‘Simply a place for togetherness and family quality time’. Sejalan dengan tahapan renaming Bekasi Square yang telah berganti nama menjadi Revo Town juga merubah total design logo, atribut, hingga marchendise. Hal yang unik dari logo saat ini yaitu warna dan gradasi sama dengan design mal yaitu garis-garis. Sedangkan sebelumnya berupa kastil dengan tulisan berwarna warni. Kali ini Revo Town hanya memberikan dua warna saja yaitu orange dan kuning yang mengartikan semangat baru, dan hangat. Melengkapi seluruh rangkain rebranding ini, Bekasi Square yang berubah menjadi Revo Town pertama kali memperkenalkan dirinya kepada publik pada September 2015 dengan mengadakan acara soft launching, yang dibuka dengan datangnya Matahari Departmen Store dan press confrence oleh jajaran direksi. Tidak hanya itu, pada 19 Mei 2016 Revo Town menggelar acara grand launching bertajuk “Colourful Celebration in Town” di main atrium Revo. Acara ini turut dihadiri oleh Walikota Bekasi, Dr. H. Rahmat Effendi, penyewa tenant, dan 200 tamu undangan lainnya yang dihibur dengan penampilan tarian tradisional Jawa Barat, Gambang Kromong, pemutaran video animasi yang menceritakan perjalanan metamorfosa mal, serta pemukulan drum Taiko sebagai simbolis peluncuran wajah baru mal. Hal ini merupakan tahap terakhir dari tahap rebranding, yaitu relaunching. Proses rebranding yang dilakukan Bekasi Square menjadi Revo Town dilatar belakangi pergantian manajeman dan ingin merubah image kearah yang lebih baik. Dahulu Bekasi Square merupakan mal yang memiliki ruko-ruko yang kurang tertata dengan design mal berupa castil yang berwarna putih gading. Kini

366 setelah menjadi Revo Town mal tersebut bertransformasi menjadi mal retail textil modern yang siap bersaing di dunia industri khususnya Kota Bekasi dan Jakarta. Langkah awal Revo Town dengan membuat target pengunjung di pertengahan tahun 2016 mencapai 300.000 pengunjung setiap bulannya. Namun ketika masa transisi Bekasi Square menjadi Revo Town, mal ini mengalami penurunan konsumen seperti yang diberitakan oleh salah satu media elektronik GoBekasi.co.id:

Tahun lalu jumlah pengunjungnya mencapai 10.000 orang pada hari biasa atau weekday. Sedangkan akhir pekan atau weekend bisa mencapai 13.000-an. Namun jelang lebaran tahun ini jumlah pengunjung hanya berkisar 5.000-6.000 pada weekday dan 7.000-8.000 pada weekend.74

Merujuk pada penjelasan proses rebranding Bekasi Square menjadi Revo Town, meskipun secara abstrak kita mengetahui bahwa pengelolaan sebuah brand memiliki keterkaitan yang erat dengan dunia pemasaran ataupun periklanan, namun proses tersebut juga mampu ditunjang oleh peran ‘kehumasan’ di dalamnya. Antara lain, menciptakan strategi pembentukan brand (positioning, nama, nilai dan identitas brand lainnya), memperkenalkan brand dan mengurus citra, membangun komunitas brand, membuat program loyalitas terhadap brand dan juga rebranding. Selain itu, penelitian ini dapat menambah wawasan dan inspirasi dalam penerapan ilmu PR kedepannya, khususnya literatur rebranding, dan dengan berlandaskan jurnal Corporate

74 http://gobekasi.pojoksatu.id/2016/05/19/bekasi-square-resmi-berganti- menjadi-revo-town/

367

Rebranding – An Exploratory Review, Laurent Muzellec, Manus Doogan, dan Mary Lambkin (2003) mengenai proses rebranding menjadi dasar penulis menyusun penelitian mengenai Proses rebranding Bekasi Square menjadi Revo Town. Berdasarkan permasalahan dan alasan yang telah dijelaskan diatas, penulis tertarik untuk mengetahui sebenarnya proses rebranding Bekasi Square menjadi Revo Town yaitu melalui proses repositioning, renaming, redesigning, dan relaunching agar dapat meningkatkan kualitas pengunjung, menaikan kelas perusahaan, dan membuat masyarakat aware tentang keberadaan Revo Town. Penulis mengambil metode penelitian deskriptif dengan penyajian data kualitatif mengenai proses rebranding yang dijalankan oleh divisi Media Relations dan Advertising and Promotions.

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan paradigma positivisme, karena paradigma positivisme menganggap realitas itu sebagai sesuatu yang empiris atau benar -benar nyata (fakta sosial) dan dapat diobservasi. Dalam meneliti, peneliti dan obyek yang diteliti bersifat independen dan saling tidak berinteraksi. Menurut positivistik, fenomena sosial dipahami dari perspektif luar berdasarkan teori-teori yang ada. Keyakinan dasar dalam aliran ini berakar pada paham ontologi realisme bahwa realitas berada dalam kenyataan dan berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah suatu pendekatan yang mencakup skala kecil tetapi terletak dalam suatu kerangka konseptual yang luas, mendalam, dan intensif, yang menghasilkan gambaran deskriptif yang mendetil. Metode penelitian pada naskah artikel menjelaskan jenis penelitian, subjek dan objek penelitian, waktu dan lokasi penelitian, instrumen

368 penelitian, cara pengambilan sampel, pengumpulan data, dan analisis data. John Creswell mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai sebuah proses penelitian yang mengeksplorasi masalah sosial dan manusia. Dimana penulis mengembangkan sebuah gambaran yang kompleks dan menyeluruh, menganalisa kata-kata, melaporkan secara detail pandangan responden dan melakukannya dalam sebuah setting penelitian yang naturalis. (Creswell, 1998: 15). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, mengidentifikasikan masalah atau memeriksa kondisi dan praktikpraktik yang berlaku. Pada penelitian ini peneliti menggunakan purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2011, hal. 126). Pertimbangan tertentu ini misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi objek atau situasi sosial yang diteliti. Subjek penelitian ini adalah pihak-pihak yang bertanggung jawab dan terlibat langsung dalam proses Rebranding Bekasi Square menjadi mal Revo Town. Peneliti menentukan subjek atau informan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu atas dasar kesesuaian dan pengetahuan atas permasalahan dan tujuan penelitian (Kriyantono, 2008 :154). Peneliti membatasi jumlah informan sampai menemukan data jenuh. Data jenuh adalah ketika pertanyaan yang sama diajukan pada siapapun informannya, kapan, dan dimanapun, menghasilkan jawabannya yang sama. Berikut orang-orang yang berperan sebagai penggangas proses Rebranding Bekasi Square menjadi mal Revo Town yang sekaligus menjadi subjek penelitian dalam penelitian ini, yaitu

369

Hargo Dwi Hendriyanto, Yuliawan Kristian, Hylda Syifa, dan Rini Juwita. Objek penelitian ini adalah proses terbentuknya mal Revo Town yang bermula dari akui sisi PT Kilap Propertindo dan Gunung Sewu oleh PT Farpoint sebagai upaya dari proses rebranding Bekasi Square menjadi mal Revo Town. Objek penelitian ini adalah proses rebranding mal Bekasi Square menjadi mal Revo Town. Dimana proses rebranding yang dilakukan melalui empat tahap, yaitu repositioning, renaming, redesigning, dan relaunching. Proses Rebranding Bekasi Square menjadi Revo Town ini memakan waktu yang cukup panjang, dimana proses rebranding tercetus pada Februari tahun 2015, setahun setelah PT Farpoint menjadi salah satu pemengang saham terbesar di Bekasi Square. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut: (1) observasi, (2) wawancara, (3) studi pustaka, (4) dokumentasi. Sedangkan utuk teknik analisa data yaitu: (1) reduksi data, (2) penyajian data, (3) penarikan kesimpulan dan verivikasi. Terakhir teknik validitas dan keabsahan data terbagi menjadi tiga teknik antara lain: (1) member check, (2) triangulasi, (3) menggunakan bahan referensi. Penelitian ini berlangsung awal November 2016 hingga April 2017 dimana peneliti memperoleh data-data akhir untuk mengakhiri penelitian mengenai proses rebranding Bekasi Square menjadi Revo Town dan penelitian ini berlangsung di kantor manajemen Revo Town, Jalan Jend Kav. 1, Bekasi Barat, Kota Bekasi, Jawa Barat.

HASIL DAN PEMBAHASAN Proses rebranding Bekasi Square yang menjadi Revo Town ini memakan waktu yang cukup panjang, dimana proses

370 rebranding tercetus pada tahun 2014 Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Hylda Syifa Media Relations Revo Town ”Jadikan tahun 2013 PT Farpoint bergabung dengan kita, Farpoint ini yang manajemennya Gunung Sewu. Jadi Gunung Sewu itu direksi-direksi manajemen kemudian menunjuk Far Poin untuk terlibat disini dalam artian mereka menjadi stakeholders disini, kemudian si Farpoint ini bersinergi bersama kita. Kota Bekasi ini sudah semakin maju sudah banyak hotel, kemudian banyak tempat-tempat olahraga, disini juga banyak mal tempat berbelanja jadi tingkat kompetisi di Bekasi juga cukup tinggi ya. Beranjakdari alasan seperti itu kita memustuskan untuk mengganti nama, mengganti segmen, kemudia kita melakukan tenantcy mix dan zoning nya itu kita rubah, termasuk gedungnya juga kita rebuild. Semuanya, hampir semuanya kita rubah.”75

Akhirnya, awal Februari 2014 dengan persiapan, pertimbangan, dan persetujuan manajemen, maka proses rebranding di jalankan. Proses ini dimulai dari perombakan total fasad gedung yang semula berwarna krem atau putih gading dengan latar belakang kastil, kini dirubah menjadi mal dengan konsep persegi panjang dengan latar belakang dominan abu-abu ditambah dengan garis berwarna orange dan kuning kemudian di tengahnya terdapat sebuah kaca transparan dengan atap yang tumpuannya berbentuk V. Dalam tahapan repositioning penelitian ini menggunakan artikel Brand Repositioning: When Does Your Business Need it?, (Cheryl Isen, 2012) mengungkapkan 6 alasan untuk mereposisi suatu brand, dikarenakan: (1) Kompetitor telah merebut

75 Wawancara dengan Hylda Syifa Media Relations Revo Town, Senin 24 April 2017

371 positioning brand kita, (2) Positioning brand awal menjadi membingungkan, (3) Perusahaan bernuansa baru dengan keunggulan kompetitif yang eksklusif, (4) Adanya perubahan strategi perusahaan dalam lini bisnis seperti akuisisi atau perkembangan dengan target market baru, (5) Kompetitor perusahaan mengubah permainan, perubahan trend tidak bisa dihindari. Saatnya memikirkan kembali untuk merubah positioning brand, (6) Adanya perubahan yang siginifikan pada struktur perusahaan. Selain itu penelitian ini juga menggunaka tahapan repositioning dari artikel (Pollack. J Gregory, 2008) dari Marketing Profs dengan judul power of brand repositioning four phase process. Maka hasil penelitian pada tahap repositioning yang pertama adalah menentukan status merk Revo Town melakukan penetapan tujuan yaitu menjadi mal retail di bidang textil tanpa menyampingkan kebutuhan lain seperti elektronik, makanan, ataupun entertainmant. Dalam kasus ini Revo Town menambahkan beberapa tenants textil tanpa mengurangi jumlah tenants yang telah ada sebelumnya. Revo Town memilih Matahari Departmen Store menjadi anchor tenant, karena sebelum melakukan Rebranding Revo Town atau biasa di sebut Bekasi Square tidak memilki anchor tenant. Kedua yaitu memperoleh pemahaman yang jelas mengenai perusahaan dan merek, pada tahapan ini Revo Town tidak melakukan survey kepada pengunjung selain itu pengunjung juga tidak tahu mengenai perubahan target market yang ada di Revo Town karena memang belum ada perubahan secara signifikan mengenai pergantian tenant atau penambahan tenants padahal dalam media sosial Revo Town telah menggembor-gemborkan beberapa tenants yang akan bergabung namun kenyataanya hingga proses rebranding usai tenants tersebut tidak ada. Tahapan ketiga yaitu lakukan analisa persiangan industri, pada tahapan ini Revo

372

Town sudah menambahkan pesaingnya karena target market berubah meka pesaingnya pun ditambahkan menjadi lebih banyak salah satunya pasar Tanah Abang, pasar Mayestik, dan Mal Metropolitan. Terakhir tahap kaji sejarah pennjualan merek/perusahaan. Pada tahap ini Revo Town melakukannya dengan cara menambah tenants, menaikan kelas perusahaan, merubah segmen pasar dengan cara mengkerucutkan, dan merubah susuanan dan bentuk mal. Selain itu Revo Town juga sepakat untuk menaikan kelas costumernya sesuai dengan target usia berkisar 25tahun-65tahun yang disasarnya saat ini yaitu lebih kepada ibu- ibu dengan status perekonomian menengah. Pada tahap renaming menjadi tahapan di mana nama baru menjadi media mengirimkan sinyal kuat kepada seluruh stakeholder bahwa perusahaan atau brand melakukan perubahan strategi, perubahan fokus, atau perubahan struktur kepemilikan. (Kapferer, 2002). Bekasi Square yang sudah ada sejak tahun 2008 berganti menjadi Revo Town pada tahun 2014 dan dipublikasikan pada September 2015 upaya yang dilakukan pada tahap ini yaitu membuat akrilik logo dan nama baru di sejumlah tempat, mengubah visualisasi nama depan mal, mengubah atribut perusahaan seperti kaos, topi, dan ID Card, mempublikasikan melalui media sosial, release, media cetak, dan elektronik.

sumber: Revo Town’s Website Gambar Fasad Mal Bekasi Square Menjadi Revo Town

373

Selanjutnya tahap redesigning, difokuskan pada perubahan estetika brand dan elemen tangible seperti logo, jingle, iklan, atau elemen visual lain yang mencitrakan posisi brand. (Murphy and Rowe, 1988; Schmitt and Simonson, 1997). Redesigning ini dilakukan ini dilakukan melalui pada semua elemen dari livery organisasi seperti alat tulis, brosur, iklan, laporan tahunan, kantor, dan truk pengiriman, yang terlihat manifestasi dari posisi yang diinginkan perusahaan. Pada tahap ini Revo Town sudah melakukan dengan sempurna terlihat bahawa Revo Town melakukan dua kali perubahan logo agar masyarakat sebelumnya paham bahwa Bekasi Square sudah berganti nama. Selain itu Revo Town juga membuat sebuah event yang menggunakan logo sementara.

Sumber: Revo Town’s Website Gambar Design Logo Revo Town Saat Ini

Sumber: Revo Town’s Facebook Account

374

Gambar Design Logo Revo Town Sementara

Pada tahap redesigning semua sudah di lakukan sempurna hanya sayang Revo Town tidak belajar dari Bekasi Square. Seharusnya pada tahapan ini Revo Town sudah memiliki jingle tetapi kenyataanya baik itu Revo Town ataupun Bekasi Square tidak memiliki jingle perusahaan. Terakhir tahapan relaunching yang dilakukan Revo Town terbagai menjadi dua bagian yaitu soft launching dan grand launching. Pada tahap soft launching di adakan press confrence dan pembukaan Matahari Departmen Store yang diadakan pada bulan September 2015, delapan bulan kemudian tepatnya 19 Mei 2016 Revo Town melakukan grand launching yang bertema “Colourful Celebration in Town” di main atrium Revo. Acara ini turut dihadiri oleh Walikota Bekasi, Dr. H. Rahmat Effendi, penyewa tenant, dan 200 tamu undangan lainnya yang dihibur dengan penampilan tarian tradisional Jawa Barat, Gambang Kromong, pemutaran video animasi yang menceritakan perjalanan metamorfosa mal, serta pemukulan drum Taiko sebagai simbolis peluncuran wajah baru mal. Selain itu terdapat hiburan-hiburan musik dan yang utama adalah event cosplay yang di hadiri pencinta anime Jepang. Tak lupa juga tenant lain berpartisipasi dalam grand launching Revo Town dengan cara memberi potongan harga saat midnight sale. Pada tahapan ini Revo Town kurang melakukanya secara maksimal karena acara yang dibuat kurang sesuai dengan target pasar yang di usung yaitu ibu-ibu.

SIMPULAN Bedasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang sudah diuraikan simpulan dari penelitian “Proses Rebranding Bekasi Square menjadi Revo Town” adalah proses rebranding yang dilakukan sudah cukup baik hanya saja melewatkan beberapa tahap

375 dan terlalu menggembor-gemborkan yang sebenarnya belum terrelaisasikan. Hal ini berdampak ada ekspektasi masyarakat mengenai Revo Town yang tidak sesuai dengan kenyataanya. Saran dalam penelitian ini seharusnya Revo Town melakukan analisa kepada costumer, apa yang sebenarnya costumer butuhkan dan harapkan dari Revo Town. Selain itu Revo Town seharusnya belajar dari perusahaan sebelumnya yang tidak memiliki jingle pada tahap redesigning dan seharusnya Revo Town juga membuat sebuah jingle untuk salah satu identitas perusahaan.

DAFTAR PUSTAKA Corstjens, Marcel and Doyle, Peter. 1989. Evaluating alternative retail repositioning strategies, Journal Marketing Science Vol. (8). No.2. Creswell, John W. 2009. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed Edisi Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cutlip, Scott M, Allen H. Center, & Glen M. Broom. 2011. Effective Public Relations, Edisi Kesembilan. Jakarta: Prenada Media Group. Fox, Jeffrey J. 2007. Strategenius. Jakarta: Daras Books. Gregory Pollack. 2008. The Power of Brand Repositioning: A Four-Phased Process. MarketingProfs Herdiansyah, Haris. 2012. Metodelogi Penelitian Untuk Ilmu-Ilmu Sosial, Cetakan Ketiga. Jakarta: Salemba Humanika. http://isenandco.com/wp-content/uploads/2012/08/7-2012-Brand- repositioning-how-to-decide-when.pdf http://www.marketingprofs.com/8/power-of-brand-repositioning- four-phased-process-pollack.asp Inform Publication. Daly, Aidan dan Moloney, Deirdre. 2004. Managing corporate Rebranding, Irish Marketing Review Vol. 17 (1/2). Mercury Publication. Isen, Cheryl. July 2012. Brand repositioning: When Does Your Business Need It?. Puget Sound: Business Journal.

376

Kriyantono, Rachmat. 2008. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Mizan. Kotler, Philip dan Keller, Kevin Lane. 2007. Manajemen Pemasaran Edisi 12. Jakarta: PT.Indeks Muzellec, L; Doogan, M; and Lambkin, M. 2003. Corporate Rebranding – An Explanatory Review, Irish Marketing Review. Vol (6). No.2. Mercury Publication. Nykiel, Ronald A. 2007. Handbook of Marketing Research Methodologies for Hospitality and Tourism. New York: Haworth Press, Inc. Ries, Al & Trout, Jack. 2001. Positioning: The Battle For Your Mind. Jakarta: PT. Salemba Emban Patria. Soemanagara, Rd. 2006. Strategic Marketing Communication: Konsep Strategis dan Terapan. Bandung: Alfabeta. Sugiyono, Prof. Dr. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta. Suyanto, M. 2004. Analisis & Desain Aplikasi Multimedia untuk Pemasaran. Yogyakarta: Penerbit Andi. Tench, Ralph and Liz Yeomans. 2006. Exploring Public Relations. Prentie Hall – Financial Times. Turley, L and Moore, P. 1995. Brand name strategies in the service sector, Journal of Consumer Marketing. Vol. 12. No.4.

Laporan wawancara Hylda Syifa (2017, 24 April). Personal Interview.

Majalah Online CR (2016, Mei). Bekasi Square resmi berganti nama menjadi Revo Town http://gobekasi.pojoksatu.id/2016/05/19/bekasi-square- resmi-berganti-menjadi-revo-town/

377

PROGRAM IMPLEMENTASI BUDAYA BARU DALAM PELAKSANAAN TRANSFORMASI BUDAYA PERUSAHAAN

Susie Perbawasari, Heru Ryanto Universitas Padjadjaran. [email protected], [email protected]

PENDAHULUAN PT Dahana (Persero)---populer dengan sebutan Dahana-- -selaku salah satu perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan suatu perusahaan yang bergerak di bidang produksi bahan peledak. Menurut sejarah perusahaan, Dahana pada awal pendiriannya merupakan perusahaan monopoli, yang keberadaannya dimulai dengan pembangunan pabrik dinamit (NG based) pada tahun 1966 di lingkungan pangkalan TNI-AU Tasikmalaya. Ketika peraturan pemerintah tentang anti monopoli berlaku serta memasuki era reformasi, PT Dahana (Persero) tidak bisa lagi menjadi perusahaan monopoli, karena bermunculan perusahaan-perusahaan sejenis yang bergerak di bidang bahan peledak, hal ini menyebabkan tingkat persaingan yang semakin tinggi. Dalam upaya menghadapi hal tersebut, perusahaan berupaya beradaptasi dengan lingkungan eksternal dengan melakukan transformasi budaya. Upaya untuk melaksanakan transformasi budaya perusahaan tidak terlepas dari upaya pimpinan untuk membina bawahannya, para karyawan secara individual dalam membina dirinya sendiri maupun karyawan dalam kelompoknya. Demikian pula PT Dahana (Persero) yang sedang melakukan transformasi budaya perusahaan, semua pimpinan dan seluruh karyawan terlibat dalam upaya-upaya yang bisa memperlancar transformasi budaya.

378

Budaya berfungsi sebagai perekat yang menyatukan organisasi. Jika organisasi memiliki budaya yang kuat, organisasi dan karyawannya akan memiliki perilaku yang seiring dan sejalan. Jika organisasi memiliki budaya yang lemah, organisasi tidak akan didukung oleh para anggotanya, hal ini akan berpengaruh negatif terhadap organisasi. Budaya menjadi kendala manakala nilai-nilai yang dimiliki bersama tidak sejalan dengan nilai-nilai yang dapat meningkatkan efektivitas organisasi. Jika ini terjadi pada suatu perusahaan, maka tugas- tugas tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Hal ini akan mengakibatkan kurangnya motivasi atau semangat kerja, timbul kecurigaan-kecurigaan, komunikasi kurang lancar, lunturnya loyalitas atau kesetiaan pada tugas utamanya dan komitmen karyawan pada perusahaan. Budaya yang kuat memberi karyawan pengertian akan tujuan, dan membuat mereka berpikiran positif terhadap perusahaan. Mereka mengerti apa yang ingin dicapai perusahaan dan bagaimana cara membantu perusahaan mencapai tujuan. Guna mendapatkan budaya yang kuat, PT Dahana (Persero) merumuskan nilai budaya baru yang bisa lebih beradaptasi dengan lingkungan. Nilai-nilai budaya baru merupakan hasil perumusan bersama yang membandingkan antara hasil survey persepsi yang merupakan das sein (existing values) dengan visi, misi, tujuan, strategi & sasaran perusahaan yang merupakan das sollen (expected values).Hasil perbandingan antara das sein dan das sollen terdapat kesenjangan artinya harus ada nilai yang dihilangkan, nilai yang dipertahankan, dan nilai baru yang ditambahkan.Berdasarkan rumusan dan atas kesepakatan bersama, maka terciptalah 7 Nilai Utama (Primary Values) yang merupakan nilai budaya baru perusahaan. Tujuh nilai budaya tersebut adalah nilai yang diyakini dan merupakan pedoman untuk berpikir dan bertindak bagi semua karyawan dalam

379

bekerja untuk mencapai tujuan/misi perusahaan. Nilai budaya baru ini diimplementasikan melalui berbagai program yang dapat mendukung pemahaman karyawan tentang esensi yang terkandung dalam tujuh nilai budaya perusahaan.

METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan jenis penyajian data kualitatif. Menurut Isaac dan Michael (dalam Rakhmat 2009;22), metode deskriptif bertujuan melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu secara faktual dan cermat. Moleong (2004: 11) menjelaskan bahwa dalam metode deskriptif, data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal itu disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif, selain itu, semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Oleh karena itu, peneliti hanya memaparkan dan menggambarkan situasi yang ada di lapangan sesuai keadaan yang ada agar menghasilkan data yang objektif. Pada penelitian ini, data dikumpulkan melalui kegiatan wawancara semiterstruktur dengan menggunakan pedoman wawancara kepada key informant yang memenuhi kriteria peneliti, observasi partisipan pasif dan studi kepustakaan. Teknik menentukan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik Purposive sampling (sampel bertujuan), karena pemilihan individu didasari pertimbangan bahwa individu tersebut dianggap khas (typical) sebagai subjek penelitian. Informasi diperoleh dari orang-orang yang dapat diyakini memang mengetahui persoalan yang diteliti, dan ini berarti adalah para pemuka, pemimpin, atau tokoh-tokoh dari kelompok-kelompok masyarakat yang sedang diteliti yang notabene adalah orang-orang yang kaya informasi berkenaan

380 dengan persoalan-persoalan yang sedang diteliti. (Pawito. 2007: 88-89). Dalam penelitian ini yang menjadi informan adalah mereka yang terlibat dalam proses transformasi budaya perusahaan. Pihak-pihak yang terlibat adalah Tim Pengembangan dan Implementasi Budaya yang terdiri atas Agent of Change (AOC) dan Champion, yang dibentuk berdasarkan Perintah Direksi PT Dahana (Persero), serta karyawan.

Konseptual Menurut Robbins (2001:525), budaya organisasi merupakan sistem makna bersama terhadap nilai-nilai primer yang dianut bersama dan dihargai organisasi, yang berfungsi menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi lainnya, menciptakan rasa identitas bagi para anggota organisasi, mempermudah timbulnya komitmen kolektif terhadap organisasi, meningkatkan kemantapan sistem sosial, serta menciptakan mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu membentuk sikap dan perilaku para anggota organisasi. Budaya organisasi mencakup semua simbol (tindakan, rutinitas, percakapan, dan seterusnya) dan makna-makna yang dilekatkan orang pada simbol-simbol ini. Makna dan pemahaman budaya dicapai melalui interaksi yang terjadi antarkaryawan dan pihak manajemen. (dalam West & Turner. 2007: 316-317) J.P. kotter and J.L. Heskett dalam bukunya Corporate Culture and Performance, budaya perusahaan adalah nilai dan praktik yang dimiliki bersama di seluruh kelompok dalam suatu perusahaan, sekurang-kurangnya dalam manajemen senior. Budaya dalam suatu organisasi terdiri dari nilai yang dianut bersama dan norma perilaku kelompok. (Pabundu Tika. 2006:6)

381

Transformasi budaya Perubahan budaya organisasi diperlukan ketika nilai-nilai yang dianut sudah tidak sesuai lagi dengan lingkungan. Apabila terjadi perubahan lingkungan, maka melakukan perubahan budaya merupakan suatu keharusan bila kita tidak ingin tertinggal dalam perkembangan. Perubahan budaya di satu sisi dapat meningkatkan kinerja karyawan, namun di sisi lain dapat dapat merugikan bila tidak dipersiapkan dan dikelola dengan benar, serta bila tidak didukung oleh orang-orang yang ada di dalamnya. Namun, apabila tidak melakuan perubahan budaya organisasi, sedangkan lingkungan berubah, sudah dapat dipastikan akan mengalami kegagalan. Paling tidak perubahan harus dilakukan untuk dapat mempertahankan diri dari tekanan persaingan. Melakukan suatu transformasi budaya tidaklah mudah karena biasanya orang tidak mudah untuk melakukan suatu perubahan dan akan mempertahankan budaya lama yang sudah dianggap baik dan benar. Melakukan perubahan budaya berarti melakukan perubahan pola pikir dan melakukan interaksi di antara mereka. Transformasi budaya bukannya mudah atau merupakan proyek jangka pendek. Mengubah budaya organisasi tradisional menjadi budaya dengan kualitas baru bisa memerlukan waktu lebih dari lima tahun. Selain itu memerlukan monitoring kemajuannya secara periodik karena apabila tidak dilakukan dapat lebih mudah dan cepat untuk mengalami kemunduran. Perubahan budaya merupakan proses reorganisasi penataan kembali nilai-nilai, sikap, norma perilaku, dan gaya manajemen. (Wibowo, 2010: 223) Carol Lavin Bernick (2002: 125) juga menyatakan bahwa perubahan terhadap budaya organisasi diperlukan apabila perusahaan menghadapi kenyataan bahwa penjualan mendatar dan lingkungan kompetitif bisnis sulit (dalam Wibowo, 2010: 228-229).

382

Implementasi Budaya Perusahaan Implementasi dalam Kamus besar Bahasa Indonesia berarti pelaksanaan atau penerapan. (Poerwadarminto. 1990:327). Istilah implementasi biasanya dikaitkan dengan suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Kamus Webster, merumuskan secara pendek bahwa to implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carryingout (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu) to give practical effect to (menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu). Pengertian tersebut mempunyai arti bahwa untuk mengimplementasikan sesuatu harus disertai sarana yang mendukung yang nantinya akan menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu itu. Dalam mengimplementasikan nilai-nilai budaya, perusahaan dibantu oleh manajemen puncak sebagai agen perubahan Agent of Change (AOC) dan Champion yang merupakan kepanjangan tangan dari AOC berusaha sebaik mungkin dalam melaksanakan program-program budaya agar hasilnya memberi dampak positif terhadap karyawan. Karyawan yang mempunyai perilaku dan tindakan yang baik, berdampak terhadap perusahaan, karena tindakan karyawan mencerminkan budaya perusahaan dan budaya perusahaan merupakan identitas perusahaan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsep nilai budaya baru yang dibentuk perusahaan merupakan nilai-nilai yang dianggap sesuai dengan tujuan perusahaan yang akan membatasi atau menuntun perilaku karyawan dalam menjalankan tugasnya supaya tujuan perusahaan dapat tercapai. Untuk itu perlu diimplementasikan melalui program-program yang sesuai dengan ketujuh nilai budaya tersebut yaitu Nasionalisme (Nationalism), Kepemimpinan (Leadership),

383

Amanah dan Pelayanan (Trustworthy and Service), Profesionalisme (Professionalism), Inovatif (Innovative), Keunggulan (Advantage), dan Aliansi/Global (Alliances/Global) Dalam melakukan transformasi budaya, PT Dahana (Persero) membentuk Agent of Change sebagai agen yang bertugas mengimplementasikan nilai-nilai budaya baru yang sudah sesuai dengan visi, misi, dan tujuan perusahaan, dimana nilai-nilai tersebut berperan penting terhadap kinerna perusahaan, Menurut Deal & Kennedy (1982) Corporate Culture membahas bagaimana kandungan budaya- nilai-nilai, lambang, ritus, dan ritual – dapat berpengaruh terhadap kinerja keseluruhan sebuah perusahaan (dalam Pace & Faules. 1993: 89). Nilai budaya baru ini diimplementasikan melalui berbagai program yang dapat mendukung pemahaman karyawan tentang esensi yang terkandung dalam tujuh nilai budaya perusahaan. Upaya AOC dalam mengoperasionalisasikan program-program tersebut dibantu oleh Champion yang merupakan kepanjangan tangan dari AOC. Pesan-pesan yang disampaikan dalam program-program implementasi budaya baru ini berkaitan dengan tujuh nilai budaya yang telah ditetapkan oleh perusahaan dan disampaikan oleh komunikator yang kredibel. Dalam proses komunikasi seorang komunikator akan sukses apabila ia berhasil menunjukkan source credibility, artinya menjadi sumber kepercayaan bagi komunikan. (Effendy. 2000:305). Komunikator dalam implementasi ini adalah orang-orang yang dipilih perusahaan yaitu AOC dan Champion yang dianggap mempunyai kredibilitas yang tinggi. Program- program yang dilaksanakan adalah program yang ditujukan untuk dapat menumbuhkan rasa kompetitif seluruh karyawan yakni program-program yang dilombakan (Program Kompetisi); program yang bertujuan untuk pembinaan (Program Pembinaan); serta program pendidikan dan pengembangan diri (Program Pendidikan)

384

Program Kompetisi Program kompetisi adalah program-program yang dilombakan, dimana pelaksanaannya didasarkan pada penilaian baik berupa penilaian terhadap individu maupun penilaian terhadap satuan kerja tertentu sehingga terpilih yang terbaik. Banyak program-program perusahaan yang ditujukan untuk kepentingan karyawan, salah satunya adalah KTTI (Karyawan Teladan Tahun Ini) dan program penilaian satuan kerja adalah 5R (Ringkas, Rapih, Resik, Rawat, Rajin) Program KTTI ini merupakan program penghargaan kepada karyawan yang levelnya masih dibawah yaitu eselon 4 ke bawah, pemenangnya mendapat reward dari yang hanya mendapat piagam penghargaan dan ballpoint sampai mendapatkan hadiah yang dianggap sangat berarti bagi karyawan, yaitu melaksanakan ibadah haji atau promosi kenaikan jabatan. Prosesnya berawal dari pengajuan karyawan terbaiknya oleh setiap satuan kerja, yang selanjutnya diajukan untuk dinilai oleh pimpinan. Mereka yang telah terpilih menjadi karyawan teladan dan mendapatkan reward merupakan suatu kebanggan bagi mereka meskipun hanya mendapat piagam dan ballpoint saja, yang membanggakan mereka adalah penghargaan tersebut diberikan oleh Direktur Utama dan diserahkan pada acara khusus penganugerahan penghargaan, bisa duduk berdekatan dengan Direksi, makan dengan Direksi, menyampaikan pidato, sehingga dia merasa dihargai betul sebagai orang Dahana dan terutama bisa dijadikan teladan bagi karyawan lain. Program yang termasuk pada kategori program kompetisi lain adalah program 5R (Ringkas, Rapih, Resik, Rawat, Rajin) yaitu program tentang kebersihan lingkungan tempat kerja yang biasa diperlombakan antarunit kerja secara rutin sehingga kebersihan lingkungan tetap terjaga. Program 5R merupakan

385 program Short Term Winyang dibuat oleh AOC yang bertujuan untuk mengubah sesuatu dalam jangka waktu yang relatif tidak begitu lama tetapi memperoleh hasil yang langsung bisa terlihat. Program 5R ini diharapkan dapat merubah perilaku karyawan yang tadinya tidak terlalu memperhatikan kebersihan dan kerapihan lingkungan menjadi lebih memperhatikan kebersihan dan kerapihan dimulai dari lingkungan unit kerjanya. Kebersihan lingkungan ini perlu diciptakan dan dipertahankan bersama sehingga membentuk suatu pemahaman bersama mengenai kebersihan lingkungan ini. Salah satu asumsi dasar dari Teori Budaya Organisasi menyatakan “Anggota organisasi menciptakan dan mempertahankan perasaan yang dimiliki bersama mengenai realitas organisasi, yang berakibat pada pemahaman yang lebih baik mengenai nilai-nilai sebuah organisasi.” (West & Turner. 2007: 319). Dengan lingkungan yang bersih dan ruangan yang tertata rapi menunjukkan bahwa perusahaan tidak hanya mementingkan keuntungan semata tetapi peduli terhadap lingkungan untuk kenyamanan semua orang tidak hanya karyawan tapi seluruh stakeholder perusahaan.

Program Pembinaan Program implementasi budaya baru perusahaan yang dilakukan oleh PT Dahana (Persero) tidak hanya program-program yang dipertandingkan, ada juga program-program yang bertujuan untuk menunjang pembinaan karyawan sehingga karyawan memiliki keterampilan tertentu sesuai dengan yang diharapkan oleh perusahaan. Adapun program-program tersebut adalah DBBI, P5M, dan English day, dimana temanya bisa 7 nilai budaya atau tema lain. Program DBBI (Duduk Bersama Berbagi Ilmu) adalah program berbagi ilmu yang merupakan forum pertukaran informasi yang membahas masalah internal perusahaan atau masalah apapun

386 untuk kepentingan perusahaan, tujuannya adalah untuk memperoleh pemahaman bersama mengenai informasi yang diperoleh seorang karyawan yang kemudian membagikannya kepada karyawan lain. “Pemaknaan bersama, pemahaman bersama, dan perasaan bersama semuanya merupakan cara yang berbeda dalam menjelaskan budaya. Dalam membicarakan budaya sebenarnya membicarakan sebuah proses pembentukan realitas yang memungkinkan manusia melihat dan memahami kejadian, tindakan, objek, ucapan, atau situasi tertentu dalam cara-cara yang berbeda. Pola-pola pemahaman ini juga memberikan sebuah dasar untuk membuat perilaku seseorang berarti dan pantas.” (dalam Littlejohn. 2009: 383). Yang menyampaikan informasi dalam program ini, bisa dari AOC maupun dari karyawan yang disampaikan kepada karyawan lain. Informasi yang disampaikan adalah informasi apapun, baik yang menyangkut tujuh nilai budaya ataupun informasi yang berkaitan dengan pekerjaan. Proses komunikasi terjadi ketika seorang komunikator, dalam hal ini AOC atau karyawan lain yang telah mengikuti pelatihan, menyampaikan pesan kepada komunikan (karyawan lain), diharapkan terjadinya feedback sehingga terjadi interaksi yang bersifat sirkuler. Menurut Noe dan Mondy (1993:235), budaya organisasi adalah sistem dari shared values, keyakinan dan kebiasaan-kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur formalnya untuk mendapatkan norma-norma perilaku. Karyawan yang telah mendapatkan ilmu atau pengetahuan hasil dari pelatihan, seminar, dan sebagainya, terutama yang menyangkut masalah internal, harus diinformasikan lagi kepada karyawan lain melalui program ini. Program ini merupakan program tempat berbagi dan bertukar pengetahuan, sehingga membuat karyawan memiliki pengetahuan yang lebih luas tidak hanya ilmu yang berkaitan dengan bidangnya saja tetapi dapat ilmu dari bidang lain, sehingga tidak membosankan. DBBI merupakan sarana yang tepat untuk

387 menyosialisasikan 7 nilai budaya. Pada acara ini dibahas salah satu nilai budaya yang disampaikan oleh orang yang tujuk AOC atau salah seorang dari AOC Budaya perusahaan diimlpementasikan pula melalui program P5M (pertemuan lima menit) yang dibahas adalah masalah pekerjaan dan kendala-kendalanya. Mengatasi dan menanggulangi masalah pekerjaan adalah upaya untuk melakukan integrasi internal. Schein (1992:221) mendefinisikan “budaya organisasi sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalahnya yang timbul akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan dengan cukup baik, sehingga perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, memikirkan dan merasakan berkenaan dengan masalah-masalah tersebut.” Program ini dilakukan secara intensif karena diselenggarakannya setiap hari atau satu minggu, tetapi bisa saja hanya satu bulan sekali tergantung pada satuan kerjanya masing- masing yang dibimbing oleh AOC. AKH sebagai Champion dari satuan kerja Logistik menyatakan bahwa di tempatnya P5M ini dilaksanakan tiap minggu dengan dibimbing oleh AOC. Sementara ERN Champion dari satuan kerja K3LH dan Teknologi menyatakan bahwa di tempatnya kegiatan ini dilaksanakan tiap hari. Program lain untuk pelatihan yang sifatnya short term adalah English dayprogram ini bertujuan untuk melatih keterampilan berbahasa Inggris. Program ini dilaksanakan setiap hari Kamis, mengingat pada hari Kamis karyawan sama-saman melakukan kegiatan olah raga, pada saat itu biasanya karyawan berkumpul dan berbincang-bincang dengan menggunakan bahasa Inggris. Bagi yang belum terbiasa berbicara bahasa Inggris, ini

388 merupakan kesempatan untuk berlatih berbicara memakai bahasa Inggris meskipun tidak harus full menggunakan bahasa Inggris semua, tetapi boleh campur-campur dengan bahasa Indonesia atau bahkan bahasa Sunda, yang penting mempunyai keberanian untuk berbicara. Thomas M. Scheidel mengemukakan bahwa kita berkomunikasi terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial dengan orang lain di sekitar, dan untuk mempengaruhi orang lain untuk merasa, berpikir, atau berperilaku seperti yang kita inginkan. Namun tujuan dasar kita berkomuniaksi adalah untuk mengendalikan lingkungan fisik dan psikologis kita. (dalam Mulyana. 2000: 4) English day berlangsung tidak full satu hari tetapi dimulai pukul 07.00 sampai dengan pukul 12.00, jadi hanya setengah hari. Menurut DBP memakai bahasa Inggris pada hari Kamis ini tidak hanya sebatas berbincang-bincang saja, tetapi presentasipun menggunakan bahasa Inggris, tetapi yang dibahasnya yang ringan- ringan. Program English day bertujuan untuk mengasah keterampilan komunikasi bagi seluruh karyawan dengan menggunakan bahasa asing dalam upaya mencapai tujuan perusahaan yang tercermin dalam visi perusahaan yaitu menjadi pemain global (adaptasi eksternal). Littlejohn mengatakan bahwa budaya organisasi adalah sesuatu yang dihasilkan melalui interaksi sehari-hari dalam organisasi---bukan hanya tugas pekerjaan, tetapi semua jenis komunikasi. (Littlejohn. 2009: 384).

Program Pendidikan Program yang termasuk dalam kategori program pendidikan yaitu, assessment, outbond, rapat dan kepengurusan AOC. Program-program tersebut bertujuan untuk mendidik seluruh karyawan yang terlibat dalam implementasi budaya perusahaan, baik AOC, Champion, maupun karyawan lain yang tidak terlibat dalam kepengurusan AOC maupun Champion.

389

Dalam upaya implementasi budaya perusahaan, PT Dahana (Persero) melaksanakan program assessment dan outbound yang bertujuan untuk menggembleng karyawan supaya memiliki jiwa kepemimpinan sesuai dengan salah satu nilai budaya yang dianut perusahaan yaitu Leadership , hal ini dianggap penting terutama bagi AOC yang bertanggung jawab sebagai agen perubahan budaya. Penentuan AOC diseleksi dengan ketat, karena sebagai agen perubahan AOC harus mampu menggulirkan, menyosialisasikan, bahkan menjadi figur perubahan budaya, tetapi yang mengaplikasikannya adalah semua pihak. Setelah terbentuk AOC, tugas AOC selanjutnya adalah untuk menyosialisasikan nilai budaya baru kepada seluruh karyawan, yang pada pelaksanaannya dibantu oleh Championyang berfungsi sebagai kepanjangan tangan dari AOC. Kepengurusan AOC merupakan suatu program yang tujuannya untuk melatih karyawan supaya bisa mengemukakan pendapat, bisa menghadapai orang dengan berbagai karakter, dan bisa memimpin orang bahkan mungkin yang dipimpin itu adalah pimpinannya bila dilihat secara struktural. Hal tersebut dikemukakan oleh YNR. Sementara YR mengatakan bahwa rapat AOC selain melatih karyawan untuk menjadi pemimpin, juga untuk membangun pola perilaku karyawan yang sesuai dengan nilai budaya yang dianut oleh perusahaan. Menurut Noe dan Mondy (1993:235), budaya organisasi juga mencakup nilai-nilai dan standar-standar yang mengarahkan perilaku pelaku organisasi dan menentukan arah organisasi secara keseluruhan. Jadi, AOC sebagai leader harus bisa mengubah diri sendiri dan mengubah orang lain, juga harus bisa menyamakan persepsi, seperti yang diutarakan oleh DBP. Rapat dan kepengurusan AOC selain sebagai ajang pembelajaran, yang utamanya adalah sebagai agen perubahan budaya perusahaan, perubahan ini tidak hanya bagi orang lain tetapi yang utama

390 adalah bagi dirinya sendiri. Program ini digilir dalam waktu tiga bulan sekali, sehingga setiap AOC akan kebagian menjadi ketua pengurus yang harus menciptakan program-program untuk mengimplementasikan nilai budaya perusahaan. Dengan berbagai program, AOC yang terdiri dari orang- orang yang berasal dari top manajemen dan midle manajemen diharapkan dapat menjadi agen perbahan budaya perusahaan yang bertugas menyosialisasikan dan mengaplikasikan budaya perusahaan, sehingga pada akhirnya semua lapisan berubah dan melaksanakan nilai-nilai yang telah disepakati bersama. J.P. kotter and J.L. Heskett menjelaskan bahwa budaya perusahaan adalah nilai dan praktik yang dimiliki bersama di seluruh kelompok dalam suatu perusahaan, sekurang-kurangnya dalam manajemen senior. Budaya dalam suatu organisasi terdiri dari nilai yang dianut bersama dan norma perilaku kelompok. (dalam Pabundu Tika. 2006:6)

SIMPULAN Dalam upaya implementasi budaya baru, PT Dahana (Persero) membentuk Agent of Change (AOC) sebagai agen yang bertugas mengimplementasikan nilai-nilai budaya baru yang sudah sesuai dengan visi, misi, dan tujuan perusahaan serta melaksanakan berbagai program yang dikategorikan menjadi tiga jenis program yaitu Program Kompetisi, Program Pembinaan, dan Program Pendidikan Program Kompetisi adalah program-program yang dilombakan, dimana pelaksanaannya didasarkan pada penilaian baik berupa penilaian terhadap individu maupun penilaian terhadap satuan kerja. Yang termasuk ke dalam Program Kompetisi adalah KTTI (Karyawan Teladan Tahun Ini) dan program 5R (Ringkas, Rapih, Resik, Rawat, Rajin)

391

Program implementasi budaya baru tidak hanya program- program yang dipertandingkan, ada juga program-program yang bertujuan untuk menunjang pembinaan karyawan sehingga karyawan memiliki keterampilan, yang termasuk Program Pembinaan yaitu DBBI, P5M, dan English day. Sementara program yang termasuk dalam kategori Program Pendidikan yaitu assessment, outbond, serta kepengurusan AOC. Program-program tersebut bertujuan untuk mendidik seluruh karyawan yang terlibat dalam implementasi budaya perusahaan, baik AOC, Champion, maupun karyawan lain yang tidak terlibat dalam kepengurusan AOC maupun Champion. Program-program diimplementasikan dengan melibatkan berbagai pihak yang terdiri dari orang-orang yang berasal dari top manajemen dan midle manajemen yang diharapkan dapat menjadi agen perubahan budaya yang bertugas menyosialisasikan dan mengaplikasikan budaya perusahaan, sehingga pada akhirnya semua lapisan berubah dan melaksanakan nilai-nilai yang telah disepakati bersama. Program-program tersebut dilaksanakan untuk mendukung pemahaman karyawan tentang esensi yang terkandung dalam tujuh nilai budaya perusahaan yaitu Nasionalisme (Nationalism), Kepemimpinan (Leadership), Amanah dan Pelayanan (Trustworthy and Service), Profesionalisme (Professionalism), Inovatif (Innovative), Keunggulan (Advantage), dan Aliansi/Global (Alliances/Global). Upaya AOC dalam mengoperasionalisasikan program-program tersebut dibantu oleh Champion yang merupakan kepanjangan tangan dari AOC.

DAFTAR PUSTAKA Effendy, Onong Uchyana. 2000. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Littlejohn, Stephen W. 2009. Teori Komunikasi. Theoris of Human Communication. Jakarta: Salemba Humanika.

392

Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy. 2000. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya Pabundu Tika, Moh. 2006. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan. Jakarta: Bumi Aksara Pace dan Faules. 2001. Komunikasi Organisasi. Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan. Bandung: Remaja Karya Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS. Rakhmat, Jalaluddin. 2009. Metode Penelitian Komuinkasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Robbins, Stephen P., (2001), Organizational Behavior, New Jersey: Pearson Education International West, Richard and Lynn H. Turner. 2007. Introducing Communication Theory: Analisys and Application. New York: Mc Graw Hill. Wibowo. 2010. Budaya Organisasi. Sebuah Kebutuhan untuk Meningkatkan Kinerja Jangka Panjang. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

393

UPAYA PT. PELABUHAN TANJUNG PRIOK DALAM MENGENDALIKAN ISU KASUS DWELLING TIME

Trie Damayanti, Iriana Bakti Universitas Padjadjaran [email protected]

PENDAHULUAN PT. Pelabuhan Tanjung Priok adalah sebuah perusahaan yang sudah lama berdiri sejak tahun 1960an. Perusahaan ini adalah perusahaan yang mencoba melayani para pebisnis dan masyarakat umum yang menggunakan pelabuhan sebagai tempat untuk mengantar kan barang untuk eksport maupun import. Meskipun PT. Pelabuhan Tanjung Priok telah berdiri sejak lama, perusahaan ini tidak terlepas dari modernisasi di dalam upaya melayani kliennya. Kepadatan arus keluar/masuk barang yang terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok menyebabkan sebuah permasalahan di Pelabuhan Tanjung Priok muncul, yaitu terkait dengan waktu bongkar muat (dwelling time) yang mulai mencuat ke publik pada pertengahan tahun 2015 ini. Kasus dwelling time yang muncuat ke permukaan publik tersebut diiringi oleh pemberitaan negatif di banyak media massa yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Pemberitaan negatif tersebut menyebutkan bahwa dwelling time yang terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok merupakan kesalahan dan tanggung jawab dari PT. Pelabuhan Tanjung Priok. Padahal fakta yang didapat bahwa PT. Pelabuhan Tanjung Priok hanya merupakan operator atau penyedia jasa bagi para pelanggan pelabuhan dan terdapat delapan lembaga/instansi yang seharusnya bertanggungjawab penuh terhadap kasus dwelling time yang terjadi.

394

Pemberitaan negatif terkait dwelling time yang menjadi pemberitaan hangat di media massa selama 2,5 bulan membuat citra positif PT. Pelabuhan Tanjung Priok yang selama ini berusaha dibangun menjadi tercoreng. Pasalnya banyak dari publik yang memiliki persepsi negatif terhadap PT. Pelabuhan Tanjung Priok. Persepsi negatif tersebut pada akhirnya menimbulkan opini negatif publik yang didapati oleh pihak perusahaan. Publik menilai bahwa banyak terdapat sindikat mafia ataupun dugaan kasus korupsi yang dilakukan oleh petugas-petugas yang ada di Pelabuhan Tanjung Priok dibalik adanya kasus dwelling time, seperti apa yang selama ini diberitakan oleh banyak media massa. Mendapati opini public yang negative terhadap PT. Pelabuhan Tanjung Priok, corporate secretary perusahaan mencoba melakukan upaya mengendalikan isu tersebut agar tidak berubah menjadi krisis yang akan merugikan perusahaan tersebut, tetapi upaya yang dilakukan sejak tahun 2015 ini tidak membuahkan hasil yang cukup baik terbukti dengan tetap beredarnya pemberitaan negative terkait dengan dwelling time di pelabuhan sampai dengan tahun ini. Berdasarkan permasalahan tersebut, focus dalam penelitian ini adalah: bagaimana upaya PT. Pelabuhan Tanjung Priok dalam mengendalikan kasus dwelling time. Isu adalah peristiwa yang terjadi di luar kendali perusahaan, yang memiliki dampak pada tujuan strategis perusahaan, core-business-nya dan keberadaan perusahaan yang mungkin memerlukan respons tertentu dari perusahaan. (Nova, 2012: 272). Chase (1984: 38) mendefinisikan isu sebagai “an unsettled matter which is ready for decision.” Isu sebagai permasalahan yang belum terselesaikan dan karenanya perlu keputusan cepat untuk mengatasinya. Kemudian Harrison (2008: 550) memberikan definisi bahwa isu adalah “berbagai perkembangan, biasanya di dalam arena publik, yang jika berlanjut

395 dapat secara signifikan memengaruhi kepentingan jangka panjang organisasi.” (Kriyantono, 2015: 150-151) Isu yang tidak dimanajemen dengan baik berpotensi menjadi penyebab krisis. Tugas utama public relations adalah membantu manajemen untuk memanajemen isu sehingga dapat mencegah terjadinya krisis. Karena itu organisasi semestinya memberikan posisi penting bagi public relations dengan menempatkan sebagai anggota tim manajemen isu. Tim ini bertanggung jawab membantu organisasi mengidentifikasi, menganalisis, dan memanajemen isu-isu sosial, budaya, politik, ekonomi, dan lingkungan hidup yang berpotensi memengaruhi aktivitas organiasi. Public relations dapat dipercaya sebagai manajer isu sehingga mereka mempunyai wewenang yang lebih luas dalam proses pengambilan keputusan. (Kriyantono, 2015: 152) Menurut Chase, prinsip pokok manajemen isu adalah mensyaratkan adanya perubahan fundamental dalam cara berpikir manajemen dan perlu pendekatan baru dalam struktur manajemen, yaitu lebih mengadopsi cara berpikir outside-in thinking. Manajemen isu dilakukan untuk dapat mengambil kapasitas untuk memahami, memobilisasi, mengkoordinasikan, dan mengarahkan semua strategi dan fungsi perencaan kebijakan, dan semua kemampuan public relations dan public affairs, melalui pencapaian sebuah tujuan yaitu sebuah sarana mewujudkan kebijakan publik yang positif pada tujuan organisasi dan kepentingan publik. Manajemen isu dapat dilakukan sebagai sebuah keputusan dalam membuat strategi aksi yang efektif untuk menjawab permasalahan atau isu yang sedang terjadi. (Kriyantono, 2015: 173) Semua litelatur yang membahas isu dan krisis, seperti Harrison (2008); Gaunt & Ollenburger (1995); Jaques (2010); Regester & Larkin (2008); dan Seitel (2001) menyarankan organisasi lebih proaktif untuk memonitor dan selanjutnya

396 mengidentifikasi isu. Secara umum, manajemen isu mempunyai manfaat yang besar bagi eksistensi organisasi, yaitu menyeleksi isu, Menentukan strategi untuk merespons isu sebelum isu berkembang menjadi krisis yang mempunyai dampak besar bagi organisasi, dan mencari peluang untuk reposisi organisasi. Pada tahap mengidentifikasi isu public relations harus mengenali terlebih dahulu isu-isu yang dinilai dapat memberikan dampak dan pengaruh bagi organisasi. Proses identifikasi dalam tahap ini dapat menggunakan beberapa cara, yaitu Polling opini, menggelar FGD dengan para pemuka pendapat, monitoring berita- berita media, penyediaan kotak opini untuk menampung opini publik internal, secara aktif melakukan “management by wakling around”, me-monitor dan menjalin relasi melalui dunia maya (internet). (Kriyantono, 2015: 181-183) Tahap identifikasi isu akan membantu organisasi untuk mencari dan mengenali isu aktual yang sedang berkembang di masyarakat, khususnya adalah isu-isu yang berkaitan dengan perusahaan. Terlebih jika dilakukan secara berkelanjutan, akan membantu organisasi Pada tahap evaluasi dan anaisis isu-isu, merupakan upaya yang mencakup menganalisis penyebab isu dan kemungkinan dampak yang ditimbulkannya terhadap organisasi. Tujuan dari tahap ini adalah untuk mengetahui isu sebenarnya, penyebabnya, dan darimana sumbernya. Proses analisis yang dilakukan dalam tahap ini diperkuat dengan riset yang bertujuan untuk mengidentifikasi opini-opini yang dimiliki oleh opinion leader yang berpengaruh di masyarakat terkait dengan isu yang terjadi. Harrison (2008: 559), pada tahap ini dapat dibuat beberapa faktor penilaian seperti kevalidan peristiwa/penyebab, dorongan emosional, momentum isu, keterkaitan dengan isu lainnya, kekuatan koalisi dari pembela/pendukung isu, kemampuan dari pendukung, termasuk kemampuan mobilisasi dan membentuk

397 opini publik, kepentingan media, tingkatan isolasi dari suatu isu, seberapa luas terpaan pada organisasi, potensi negatif atau positif. (Kriyantono, 2015: 184)

METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah penelitian yang hanya memaparkan situasi atau peristiwa. Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. Ciri lain metode deksriptif ialah titik berat pada observasi dan suasana alamiah (naturalistis setting). Peneliti bertindak sebagai pengamat. Dalam arti ia hanya membuat kategori perilaku, mengamati gejala, dan mencatatnya dalam buku observasinya. Peneliti terjun ke lapangan tanpa dibebani atau diarahkan oleh teori. Ia tidak bermaksud menguju teori. Ia bebas mengamati dan menjelajah objeknya. (Rakhmat, 2009: 25) Subjek dalam penelitian ini adalah corporate secretary PT. Pelabuhan Tanjung Priok, dengan sampel yang digunakan secara purposive. Lokasi penelitian dilakukan di PT. Pelabuhan Indonesia II. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui wawancara terstruktur dengan menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis untuk kemudian ditanyakan kepada informan yang telah ditentukan. Kemudian observasi partisipatif pasif dengan mendatangi tempat kegiatan orang yang diamati, tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut. Lalu dengan memanfaatkan studi pustaka melalui buku- buku, literatur, referensi, artikel, internet, serta sumber-sumber bacaan lain yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

398

HASIL DAN PEMBAHASAN Berita yang mencuat terkait dengan dwelling time ini sangat banyak, salah satu contohnya adalah yang dimuat oleh bisnis.liputan6.com:

Pada laman ini diberitakan: Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Pemilik Pelayaran Nasional Indonesia atau Indonesian National Shipowners Association (INSA) meminta pemerintah memprioritaskan kelancaran layanan bongkat muat petikemas di pelabuhan sebagai dasar evaluasi sistem logistik nasional. Dengan memprioritaskan kelancaran layanan bongkat muat petikemas, waktu tunggu atau dwelling time akan berkurang sesuai target pemerintah. Ketua Indonesian National Shipowners Association (INSA) Carmelita Hartoto menjelaskan, INSA mendukung upaya pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap layanan di pelabuhan, terutama di Pelabuhan Tanjung Priok, yang bertujuan untuk menekan biaya logistik. “Kami sebagai pengguna jasa pelabuhan mendukung upaya pemerintah, karena yang menjadi prioritas adalah kelancaran

399 layanan bongkar muat petikemas,” paparnya seperti ditulis, Minggu (25/9/2017).

BACA JUGA • Aksi Mogok Pekerja JICT Bikin Dwelling Time Kembali Molor • 11 Proyek Ini Jadi Fokus Pembangunan Kementerian Perhubungan • Data Otoritas Pelabuhan Diminta Jadi Patokan Dwelling Time Menurut dia, evaluasi itu akan meliputi peningkatan pelayanan pelabuhan, pemangkasan biaya, serta percepatan kegiatan bongkar muat. Carmelita menegaskan, INSA juga sedang mempelajari usulan pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan yang akan mewajibkan pelabuhan bongkar muat bekerja tujuh hari dalam seminggu. “Sejauh ini pelayanan bongkar muat di pelabuhan masih oke, termasuk upaya kontigensi sewaktu ada aksi mogok serikat pekerja PT JICT. Pengalihan ke pelabuhan lain juga patut diapresiasi,” ujarnya. Seperti diketahui, saat terjadi aksi mogok SP JICT, layanan bongkat muat petikemas dialihkan ke New Priok Container Terminal One (NPCT1), Terminal Peti Kemas (TPK) Koja, Terminal 3 Pelabuhan Tanjung Priok, dan Terminal Mustika Alam Lestari (MAL). “Concern kami agar tidak ada konflik dan layanan bongkat muat lancar, itu yang mesti diprioritaskan,” ucapnya.76 Berita ini hanya satu dari sekian banyak berita yang dimuat di pemberitaan nasional menyangkut dwelling time.

76 http://bisnis.liputan6.com/read/3106550/pelayanan-tanjung-priok-dievaluasi- ini-permintaan-pengusaha

400

Menurut definisi World Bank (2011), pengertian dwelling time adalah waktu yang dihitung mulai dari suatu petikemas (kontainer) dibongkar dan diangkat (unloading ) dari kapal sampai petikemas tersebut meninggalkan terminal pelabuhan melalui pintu utama. Proses dwelling time di pelabuhan terbagi atas tiga tahap, yaitu ; pre-clearance, customs clearance, dan post-clearance. Tiap tahapan berbeda institusi yang menanganinya. Pre-clearance adalah proses peletakan petikemas di tempat penimbunan sementara (TPS) di pelabuhan dan penyiapan dokumen pemberitahuan impor barang (PIB).77 Dwelling time di Indonesia menurut catatan Bank Dunia memang sudah terjadi percepatan yang semula 5-6 hari, sekarang sudah mendekati 3 hari, meskipun dinilai belum mampu menyelesaikan persoalan logistic di dalam negeri. Penurunan dwell time bertujuan agar alur logistic menjadi lancer dan mampu menurunkan iaya yang selama ini dianggap mencekik kalangan dunia usaha, khususnya ekspor impor.78 Dari beberapa contoh pemberitaan inilah Corporate Secretary PT. Pelabuhan Tanjung Priok melakukan berbagai upaya dalam mengendalikan isu. Tahap identifikasi Isu adalah tahap pertama yang dilakukan oleh corporate secretary PT. Pelabuhan Tanjung Priok. Hal-hal yang dapat diketahui dalam melakukan tahap ini adalah: PT. Pelabuhan Tanjung Priok mengenali dan mencari isu aktual yang sedang berkembang di masyarakat melalui media massa karena PT. Pelabuhan Tanjung Priok memaknai media massa sebagai tolok ukur suatu isu dapat lebih besar jika media sudah memberi perhatian lebih kepada suatu isu tersebut dan mem- blow up-nya secara besar-besaran.

77 satyanusa.blogspot.co.id/2015/08/dwelling-time-dan-permasalahannya.html 78 https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/3223886/ini-catatan-bank- dunia-untuk-dwell-time-di-tanjung-priok

401

PT. Pelabuhan Tanjung Priok melakukan media monitoring yang dikerjakan oleh salah seorang staff Corporate Secretary PT. Pelabuhan Tanjung Priok untuk mengetahui secara lebih detail terkait media apa saja yang mengangkat kasus dwelling time, jumlah media, dan nada pemberitaan, baik di media cetak maupun online. Untuk mempermudah proses media monitoring, perusahaan menggunakan jasa konsultan. Belum adanya person in charge yang dikhususkan untuk melakukan media monitoring secara terfokus dan continue, namun pada saat isu kasus dwelling time berkembang di media massa, terdapat beberapa orang mahasiswa intern yang bertugas melakukan media monitoring. Sehingga pemberitaan pada saat itu cukup banyak pemberitaan yang terekam oleh perusahaan. Terkait dengan monitoring isu yang dilakukan melalui media sosial yang didapati adanya beberapa komen-komen negatif dan profokator yang menambah besar isu, namun perusahaan tidak terlalu fokus terhadap media sosial ini karena dianggap sebagai akibat dari blow up media.

Sumber: hasil penelitian Bagan Proses Identifikasi Isu kasus Dwelling Time

402

Tahap selanjutnya adalah tahap evaluasi dan analisis Isu yang dilakukan corporate secretary. Pada tahapan ini bisa diketahui PT. Pelabuhan Tanjung Priok melakukan beberapa hal: PT. Pelabuhan Tanjung Priok mengevaluasi penyebab isu dwelling time berkembang dan mencuat ke permukaan publik yang kemudian diketahui adalah hasil dari blow up media. Menganalisis mengapa media menaruh perhatian besar terhadap isu kasus dwelling time yang kemudian diketahui karena adanya kepentingan di balik isu tersebut seperti kepentingan politik, pribadi maupun golongan sehingga isu dwelling time ini mempunyai news value yang cukup besar bagi media. Namun, PT. Pelabuhan Tanjung Priok tidak secara khusus melakukan analisis terhadap sumber dan penyebab datangnya isu. Hal ini dikarenakan PT. Pelabuhan Tanjung Priok sudah mengetahui tentang hal-hal itu sebelum isu berkembang sedemikian rupa menjadi perhatian publik. Analisis yang dilakukan PT. Pelabuhan Tanjung Priok terkait dengan dampak dari pemberitaan negatif di media massa terhadap perusahaan dan didapati pengaruh bagi perusahaan yaitu menurunnya kepercayaan publik terhadap perusahaan dan menurunnya citra positif perusahaan di mata publik. Hal inilah yang menjadi dasar bagi perusahaan dalam menyatakan keseriusan perusahaan untuk merespons isu dwelling time ini sekaligus untuk memulihkan citra positif Pelabuhan Tanjung Priok.

403

Sumber: peneliti Bagan Proses evaluasi dan analisis Isu kasus Dwelling Time

SIMPULAN Hal yang dilakukan oleh Corporate Secretary PT. Pelabuhan Tanjung Priok dalam tahap identifikasi isu yaitu mengenali dan mencari isu aktual terkait perusahaan hanya melalui media monitoring. Perusahaan menggunakan media massa sebagai tolok ukur dalam mengidentifikasi isu, termasuk isu dwelling time. Berdasarkan media monitoring yang dilakukan, didapati banyaknya pemberitaan negatif terkait kasus dwelling time. Media sosial tidak menjadi fokus perusahaan, walaupun ditemukan beberapa komentar negatif dari pengguna facebook terkait dengan isu dwelling time. Corporate Secretary PT. Pelabuhan Tanjung Priok dalam tahap evaluasi dan analisis isu menganalisis dampak yang ditimbulkan dari isu dwelling time terhadap perusahaan melalui kesempatan yang dimiliki perusahaan untuk berkomunikasi

404 dengan publik. Didapati telah memberikan pengaruh terhadap menurunnya citra positif perusahaan karena persepsi dan opini buruk publik terhadap perusahaan. Namun perusahaan tidak melakukan evaluasi dan analisis secara terkhusus dan sistematis terhadap sumber dan penyebab isu dwelling time karena merupakan isu lama dan perusahaan telah mengetahuinya sebelum media mem-blow up isu.

DAFTAR PUSTAKA Kriyantono, R. (2015). Public Relations, Issue, & Crisis Management . Jakarta: Kencana Predana Media Group. Rakhmat, J. (2009). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset. http://bisnis.liputan6.com/read/3106550/pelayanan-tanjung-priok- dievaluasi-ini-permintaan-pengusaha satyanusa.blogspot.co.id/2015/08/dwelling-time-dan- permasalahannya.html https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/3223886/ini- catatan-bank-dunia-untuk-dwell-time-di-tanjung-priok

405

GAGASAN KREATIF UPAYA PENGUATAN KODE ETIK PROFESI HUMAS

Anwar Sani, Muhammad Nur Hakim, FX Ari Agung Prastowo Universitas Padjadjaran [email protected]

PENDAHULUAN Dalam melaksanakan peran dan kegiatan utamanya sesuai dengan profesi, pengetahuan atau keahlian yang disandangnya, para profesional tidak terlepas dari etika profesi yang berkaitan dengan kode etik perilaku (code of conduct) dan kode etik profesi sebagai standar moral. Kode etik profesi, adalah kode perilaku yang ditetapkan dan dapat diterima oleh kelompok profesi yang menjadi pedoman “bagaimana seharusnya” (das sollen) berperilaku dalam menjalankan (das sein) profesi tersebut secara etis (A. Muhammad, 1997:143). Berbicara tentang kode etik, penerapan kode etik sebagai pedoman (guideline) bagi suatu profesi dalam menjalankan peran dan fungsinya bukan lagi menjadi suatu keharusan, namun sebuah kebutuhan demi menjaga citra serta profesionalitas profesi tersebut. Tak terkecuali bagi profesi humas (publicrelations). Howard Stephenson dalam bukunya Hand Book of Public Relations (1971) mengatakan bahwa definisi profesi humas adalah “The practice of skilledart or service based on training, a body of knowledge, adherence to agree on standard of ethics.” Maka dari itu, sebelum membangun citra yang positif bagi organisasi yang diwakilinya, seorang humas seyogyanya dapat terlebih dahulu membentuk dan menjaga citra positif profesinya dengan menjadikan kode etik profesi humas sebagai pedomannya. Survey yang dilakukan PRSA tahun 2000 (Seitel 2004:132), terhadap sekitar 1700 eksekutif PR dari berbagai perusahaan dan

406 organisasi di Amerika Serikat menyatakan bahwa 25% praktisi PR dalam aktivitasnya telah melakukan ‘kebohongan’; 39% secara berlebihan melanggar ‘kepercayaan’; 44% merasa ragu apakah telah bekerja sesuai kode etik. Fakta ini secara tidak langsung menimbulkan pertanyaan, bagaimana dengan pelaksanaan kode etik humas di negara berkembang seperti Indonesia jika berkaca dari apa yang terjadi di negara maju seperti Amerika Serikat. Isu akan pelanggaran kode etik humas yang tak jarang dilakukan oleh humas pada akhirnya menuntut akan suatu penegakan kode etik profesi humas yang lebih tegas. Permasalahan muncul ketika profesi humas tercatat sebagai satu dari tiga profesi dalam rumpun komunikasi yang belum memiliki payung hukum. Tidak adanya sebuah regulasi yang kuat terutama dalam hal ketersediaan payung hukum profesi humas ini berimplikasi pada tidak adanya badan publik yang mengawasi dan menegakkan kode etik humas menjadikan penerapannya kurang maksimal. Belum lagi, keterbatasan ruang gerak lembaga profesi humas dalam menegakkan kode etik serta minimnya partisipasi masyarakat dalam mengawasi kinerja humas menambah daftar masalah penegakan kode etik profesi humas. Secara garis besar kode etik profesi humas yang tercantum di IPRA mencakup butir-butir pokok sebagai Standard Moral of Public Relations sebagai berikut: (1) kode perilaku; (2) kode moral; (3) menjunjung tinggi standar moral; (4) memiliki kejujuran yang tinggi; (5) mengatur secara etis mana yang boleh diperbuat dan tidak boleh diperbuat oleh Profesional PR/Humas. Kemudian, seiring berjalannya waktu dan atas kesadaran akan isu pelanggaran dan penegakkan kode etik, setiap lembaga profesi humas Indonesia membentuk dewan kehormatan dan dewan pengawas sebagai otoritas dalam menindaklanjuti setiap bentuk pelanggaran etika yang dilakukan masing-masing anggota lembaga profesi tersebut. Sayangnya, peran dewan kehormatan dan dewan

407 pengawas belum berfungsi sebagaimana mestinya. Selain karena tidak memiliki dasar hukum yang kuat dalam memberikan sanksi terhadap pelanggaran kode etik, dewan kehormatan dan dewan pengawas lembaga profesi juga hanya akan bekerja apabila terdapat pengaduan dari masyarakat tentang pelanggaran etika yang dilakukan oleh anggota lembaga profesi bersangkutan. Minimnya pengetahuan masyarakat tentang profesi humas juga menambah permasalahan sulitnya menegakkan kode etik profesi humas karena laporan akan pelanggaran kode etik humas tidak dikontrol langsung oleh masyarakat.

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan studi deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Penelitian deskriptif hanya memaparkan suatu situasi atau peristiwa. Penelitian ini tidak mencari suatu hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi (Ardianto, 2011:49).

HASIL DAN PEMBAHASAN Pada tahun 1965, dalam pertemuan Asosiasi Humas Internasional (IPRA) di Athena, Yunani telah diterbitkan Code of Athens atau International Code of Ethics untuk mempertegas kode perilaku praktisi humas dari kode etik IPRA (IPRA Code of Conduct), dan pada November 1991, selain kode etik IPRA juga. ditetapkan IPRA Nairobi Code For Communication On Environment and Development. Sadar akan pentingnya kode etik bagi profesi humas, lembaga profesi humas di Indonesia baik dari kalangan pemerintah atau non pemerintah seperti Bakohumas (Badan Koordinasi Kehumasan Pemerintah), Perhumas (Perhimpunan Humas Indonesia), APPRI (Asosiasi Jasa Konsultan

408

Humas), H-3 (Himpunan Humas Hotel) dan Forkomas (Forum Komunikasi Humas) sudah membentuk kode etik profesi humas yang tentunya diratifikasi dari kode etik IPRA. Kode etik adalah standar moral bagi setiap profesi yang dituangkan secara formal, tertulis dan normatif (Rosady Ruslan, 2007:52). Sejak tahun 1961, 1993, hingga sekarang profesi humas dunia dan Indonesia telah diikat oleh kode etik. Namun, pada implementasinya, penegakan kode etik masih kurang maksimal dan menemui sejumlah kendala. Salah satu yang menjadi alasan kurang maksimalnya penerapan kode etik profesi humas adalah kurang optimalnya penanaman kode etik humas bagi para pelaku humas. Mengatasi pelanggaran dan lemahnya penegakan kode etik profesi humas di Indonesia, dapat dilakukan dengan menyusun rencana strategis penegakan kode etik. Rencana strategis tersebut terdiri dari: (1) penguatan dasar hukum yang mengatur kegiatan profesi humas; dan (2) membentuk suatu badan publik bagi profesi humas. Melalui gagasan ini, potensi penegakan kode etik profesi humas akan berkembang dan diharapkan berjalan dengan optimal. Dari optimalnya penegakan kode etik, profesi humas akan dapat bertindak sesuai dengan aturan standar yang harus dilakukan profesi tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa humas merupakan profesi, dimana suatu profesi memiliki aturan atau kode etik untuk menguji profesionalitas profesi tersebut, tidak jauh berbeda dengan profesi yang berada di bidang komunikasi lainnya, yaitu jurnalistik. Jurnalistik memiliki kode etik yang telah berlandaskan dasar hukum seperti yang tertera pada UU No. 40 tahun 1999 tentang pers dan badan yang mengawasi yaitu Dewan Pers. Undang-undang tersebut mengatur tentang kegiatan profesi jurnalis dan juga mengikat profesi jurnalistik, sehingga apabila terjadi pelanggaran, sanksi yang diberikan akan jelas. Seperti contoh kasus dugaan adanya sejumlah wartawan yang

409 meminta hak istimewa terkait pemberitaan pembelian saham penawaran umum perdana (IPO) PT Krakatau Steel (Tempo, 2010). Setelah menerima pengaduan dan melakukan penyelidikan, dewan Pers menyatakan bahwa kasus tersebut terbukti mengandung unsur pelanggaran kode etik jurnalistik dan wartawan yang bersangkutan pun langsung diberi sanksi berupa pemecatan. Pun begitu dengan manfaat yang didapat bagi profesi jurnalistik dengan adanya badan publik seperti dewan pers. Dewan pers selain menjadi otoritas yang mengatur kegiatan profesi jurnalistik, juga menjadi muara yang dapat digunakan masyrakat dalam menyampaikan aduan berupa pelanggaran yang dilakukan para jurnalis. Dewan pers juga dapat menjadi lembaga “watch dog” yang mengawasi para jurnalis dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Oleh sebab itu, diharapkan dari adanya gagasan yang diajukan, profesi humas akan memiliki kekuatan resmi yang mendukung penegakan kode etik profesi humas dan mencegah terjadinya pelanggaran seperti apa yang digambarkan pada kasus pelanggaran kode etik oleh profesi jurnalistik di atas. Pada akhirnya, adanya penegakan kode etik yang tegas nantinya dapat menjadi motivasi atau acuan untuk profesi humas di Indonesia agar dapat membuktikan profesionalitasnya serta diakui keberadaannya oleh masyarakat Indonesia. Melihat kompleksnya permasalahan yang menyangkut profesi humas, terlebih dalam hal penegekan kode etik profesi, menuntut perlu adanya rencana strategis dalam penegakan kode etik profesi humas di Indonesia yang lebih jelas dan tegas. Dengan menitikberatkan pada aspek hukum dan etik dalam hal penegakan kode etik profesi humas, gagasan rencana strategis tersebut dapat termanifestasikan melalui dua bentuk gagasan yakni Penguatan regulasi dalam hal ini dengan mengeluarkan dasar hukum yang mengatur tentang kegiatan dan profesi humas oleh pemerintah

410

Indonesia, sehingga profesi humas sebagai satu dari tiga profesi dalam rumpun komunikasi memiliki dasar dan payung hukum yang kuat dalam mengatur tindak tanduk kegiatan dan profesi humas itu sendiri. Suatu badan publik yang secara khusus mengatur tentang kegiatan dan penegakan kode etik profesi humas, dimana nantinya badan publik ini dapat menjadi muara akan setiap pengaduan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh praktisi humas untuk ditindak lanjuti serta diawasi langsung oleh masyarakat. Adapun mekanisme dalam mewujudkan dua gagasan tersebut dapat dilakukan melalui penjabaran strategi dan taktik yang memerhatikan aspek keilmuan public relations, pertama Gathering, pihak lembaga profesi bersama para praktisi dan akademisihumas dapat terus menjalin pertemuan dalam bentuk gathering informal ataupun membentuk semacam forum dalam bentuk focus groupdiscussion, dimana pertemuan tersebut dilakukan secara berkelanjutandengan membahas serta memformulasikan bentuk ajuan dan strategi kedepan dalam membahas penguatan regulasi melalui dasar hukum yang mengatur profesi humas. Kedua Government Relations, pihak lembaga profesi dapat menjalin hubungandengan pemerintah maupun legislatif dengan menginisiasi sebuah diskusi atau hearing secara berkelanjutan terkait urgensi dasar hukum yang mengatur profesi humas. Ketiga Media Relations, pihak-pihak yang telah disebutkan di atas dapat secaraintens bekerjasama dengan media guna mempublikasikan ataupun memuat berita terkait urgensi dasar hukum profesi humas. Langkah ini dapat dimanfaatkan sebagai bentuk diseminasi informasi kepada masyarakat mengenai profesi humas, juga secara tidak langsung menyampaikan pesan kepada pemerintah maupun DPR akan kebutuhan dasar hukum yang mengatur profesi humas. Konsolidasi, setelah nantinya dasar hukum mengenai profesi humas disahkan, maka pihak-pihak terkait seperti lembaga profesi,

411 praktis humas, akademisi humas, pemerintah, dan lainnya dapat melakukan konsolidasi menindak lanjuti dasar hukum tersebut. Terutama membuat tim adhoc yang akan memformulasikan badan publik profesi humas. Adapun pihak-pihak yang dianggap mampu merealisasikan gagasan tersebut beserta perannya adalah sebagai berikut:

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) Sebagai pihak yang bertugas membuat dan menetapkan undang-undang, peran DPR-RI sangat dibutuhkan dalam merumuskan dan menetapkan undang-undang sebagai dasar hukum yang mengatur profesi humas untuk disahkan nantinya.

Pemerintah Republik Indonesia Pemerintah RI melalui Presiden RI dapat mengeluarkan keputusan presiden (Keppres) yang mengatur kegiatan profesi humas sebagai opsi belum dapat dikeluarkan dan disahkannya undang-undang oleh DPR-RI.

Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo RI) Kementrian komunikasi dan informatika RI sebagai kementrian yang mengatur profesi bidang komunikasi dapat mengeluarkan peraturan menteri (permen) sebagai opsi regulasi lainnya dalam mengatur kegiatan profesi humas.

Lembaga Profesi Humas Lembaga profesi humas dapat berperan sebagai “ujung tombak” dalam memperjuangkan dasar hukum profesi humas ke pihak pemerintah eksekutif dan legislative

412

dengan membawa argument-argumen pendukunga akan urgensi diperlukannya penguatan regulasi melalui dasar hukum tersebut. Selain itu, lembaga profesi juga dapat menjadi pihak yang terus menanamkan pemahaman akan pentingnya mematuhi kode etik bagi para anggotanya menjalankan tugas dan fungsinya sebagai humas, serta secara aktif memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai kegiatan profesi humas.

Praktisi, Akademisi, dan Stakeholders Profesi Humas Para praktisi, akademisi, dan stakeholders profesi humas lainnya dapat membantu lembaga profesi dalam mengkaji urgensi penguatan regulasi dalam bentuk dasar hukum bagi profesi humas. Selain itu, nantinya perwakilan dari pihak- pihak tersebut dapat membentuk suatu komisi adhoc dalam merumuskan badan publik yang mengatur kegiatan profesihumas nantinya. Masyarakat Masyarakat dapat menjadi pihak yang lebih proaktif mengawasi kinerja humas dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Jika terjadi pelanggaran etika, maka masyarakat dapat melaporkan pelanggaran tersebut untuk ditindaklanjuti oleh pihak yang berwenang.

SIMPULAN Belum maksimalnya penegakan kode etik profesi humas, menjadi alasan kuat lahirnya gagasan berupa rancangan strategis penegakan kode etik profesi humas di Indonesia ini. Pada dasarnya, sangat dibutuhkan kesadaran dan pemahaman yang sama dari setiap pihak terkait akan urgensi mengatasi permasalahan- permasalahan yang menyangkut profesi humas terutama dalam hal penegakan kode etik profesi. Melalui perencanaan yang runut dan

413 sistematis diharapkan penguatan regulasi dalam bentuk dasar hukum yang mengatur profesi humas serta pembentukan badan publik sebagai otoritas penegakan kode etik profesi humas dapat diwujudkan. Penguatan regulasi melalui pembentukan dasar hukum yang mengatur profesi humas dan pembentukan badan publik sebagai otoritas penegakan kode etik bagi profesi humas merupakan dua tujuan awal yang dapat menjadi batu loncatan menyongsong era profesi humas yang lebih profesional. Melalui pemanfaatan aspek keilmuan public relations, strategi serta taktik gathering, government relations, media relations, dan konsolidasi adalah langkah-langkah dalam bagian rencana strategis mewujudkan dua gagasan utama tersebut.

DAFTAR PUSTAKA Ardianto, Elvinaro. 2011. Handbook of Public Relations. Bandung: Simbiosa Rekatama. Effendy, Onong Uchjana. 2002. Hubungan Masyarakat. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Maulana, Reza dan Heru Triyono. 2010. Skandal Saham, Dewan Pers TemukanPelanggaran Kode Etik. Diakses dari:http://www.tempo.co/read/news/2010/12/01/17329 5994/Skandal-Saham-Dewan-Pers-Temukan- Pelanggaran-Kode-Etik pada 28 Maret 2015 Ruslan, Rosady. Etika Kehumasan. 2007. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada

Sumber Lainya: http://www.ipra.org/about/ipra-codes http://www.ipra.org/about/history http://www.kpi.go.id/index.php/undang-undang http://www.perhumas.or.id/?page_id=24

414

PUBLIC RELATIONS DAN PEMETAAN KETAHANAN ORANG TERDAMPAK PEMBANGUNAN JATIGEDE

Agus Rahmat, Lukiati Komala, Kokom Komariah Universitas Padjadjaran [email protected]

PENDAHULUAN Salah satu yang menarik dari tulisannya Joelle Wiley Castelli dalam Government Public Relations: A Quantitative Assessment of Government Public Relations Practitioner Roles and Public Relations Model Usage (2007) terkait dengan Humas Pemerintah adalah humas pemerintah memberikan umpan balik kepada administrator pemerintah sehingga program Humas dan kebijakan dapat dimodifikasi, dalam konteks seperti ini tepat jika hubungan masyarakat artikan sebagaimana dikemukakan Castelli (2007) bahwa hubungan masyarakat usaha aktif untuk memulihkan dan memelihara rasa memiliki masyarakat. Salah satu program menarik dalam memulihkan dan memelihara warga masyarakat adalah program untuk orang-orang terdampak pembangunan Jatigede di Kabupaten Sumedang. Kajian di wilayah ini dianggap sebagai hal menarik terkait dengan beberapa pertimbangan, pertama kesimpulan Arundhati yang diperoleh dari pengalaman pembangunan waduk di India, apa yang dikemukakan Arundhati pada intinya adalah semua proyek pembangunan waduk selalu meninggalkan orang-orang yang tergusur dan dihancurkan kehidupannya, Arundhati dalam Nurjaman (2015), padahal nilai moral yang paling layak bagi dari humas pemerintah adalah melakukan kebaikan bagi sebagian besar orang (Bowen;2011).

415

Kedua, Hubungan masyarakat merupakan alat penting dalam pemerintahan, seperti alat-alat lain dalam administrasi publik, akan tetapi sering kali alat penting ini kekurangan data. oleh karenanya menurut Lee (2002) dalam Castelli (2007) menjadi tidak heran jika pada akhirnya kegiatan humas pemerintah tidak menjadi kegiatan yang benar-benar tepat. Ketiga, hubungan masyarakat tidak hanya mendengarkan masyarakat agar lebih menyesuaikan diri dengan kepentingan mereka seperti yang dilakukan perusahaan, akan tetapi humas pemerintah juga berfokus pada pemenuhan kebutuhan masyarakat, Peruzzo (2009) dalam Liu & Lavenshus (2010). Berdasar pada beberapa fakta lapangan dan pertimbangan dari pemikiran ahli maka menjadi pertanyaan adalah apa yang harus dilakukan humas pemerintah supaya kebutuhan orang terdampak pembangunan Jatigede bisa terlayani dengan mendekati ketepatan yang tingga hingga pada akhirnya orang terdampak tidak mempersepsi diri sebagai orang-orang yang tergusur dan dihancurkan kehidupannya oleh pembangunan waduk Jatigede? Matthew White (2013), dalam Social Mapping: What Is It and Why Should We Care?, menyatakan bahwa pemetaan berpotensi memberi dampak yang besar, Joseph Fiksel (2013) upaya perencanaan ketahanan menganjurkan dengan dimulai dari dimulai dari penilaian ketahanan saat ini. Berdasarkan pemikiran White dan Fiksel maka disimpulkan bahwa salah satu jawaban atas pertanyaan apa yang harus dilakukan untuk orang terdampak pembangunan waduk Jatigede adalah pemetaan atas ketahanan orang terdampak. Berdasarkan deskripsi sebagaimana diungkap sebelumnya maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketahanan masyarakat terdampak pembangunan Jatigede.

416

METODE PENELITIAN Sesuai dengan tujuan penelitian, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Berdasarkan atas pertimbangan atas tingkat usia, dan pendidikan maka pengumpulan data dilakukan melalui wawancara terstruktur pada orang terdampak pembangunan Jatugede saat ini terbagi menjadi dalam dua kelompok, yaitu orang-orang yang mengikuti pola relokasi (dalam satu tempat/wilayah yang disediakan pemerintah) selanjutnya disebut dengan relokasi, dan orang-orang terdampak yang pemukiman kembali melalui pola sisipan (mencari tempat dan membangun sendiri tempat tinggal baru, hingga ia berada dalam sebuah masyarakat yang sudah lama). Pengolahan data dilakukan melalui Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) atau Paket Statistik untuk Ilmu Sosial.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengolahan data atas tingkat resiliensi orang terdampak pembangunan Jatigede di wilayah Relokasi hasilnya menunjukan bahwa nilai rerata adalah 2,38, sementara nilai rerata pada wilayah kajian hanya mencapai 1,75. Data ini menunjukan bahwa tingkat resiliensi orang terdampak lebih tinggi mereka yang berada di daerah relokasi. Untuk Aspek keterkaitan antara pendidikan dengan dengan tingkat ketahanan pada daerah relokasi hasil perhitungan menunjukan bahwa nilai Asymp. Sig.2 mencapai 0,386 dibanding dengan nilai α 0,05 maka dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan orang terdampak tidak memiliki kaitan dengan tingkat resiliensi orang terdampak di daerah relokasi. Hasil pengolahan data atas keterkaitan pendidikan dengan tingkat ketahanan di daerah sisipan nilai Asymp. Sig.2 mencapai 0,214 sedangkan nilai α 0,05, ini bisa diartikan bahwa untuk tingkat resiliensi dari orang-

417 orang terdampak pembangunan Jatigede ternyata tidak memiliki kaitan dengan pendidikan. Kajian atas asal daerah atau tempat dari mana orang terdampak berasal dengan tingkat resiliensi di wilayah relokasi menunjukan hasil perhitungan menunjukan bahwa nilai Asymp. Sig 0,00, nilai ini lebih kecil dibanding dengan α (0,05) ini berarti bahwa untuk orang terdampak wilayah relokasi ada beda ketahanan orang terdampak dengan asal daerah. Hal yang sama juga terjadi dalam wilayah sisipan karena hasil perhitungan menunjukan bahwa nilai Asymp. Sig adalah 0,03 dan nilai α 0,05. Kaitan atas jumlah anggota keluarga dengan ketahanan orang terdampak diwilayah relokasi menunjukan hasil bahwa nilai Asymp. Sig 0,043, nilai ini lebih besar dari α sebesar 0,05. Kondisi ini bisa diartikan bahwa ada beda antara jumlah keluarga dengan tingkat ketahanan, hal ini berbeda dengan hasil perhitungan di daerah sisipan yang menunjukan bahwa nilai Asymp. Sig 0,521 sedangkan nilai α 0,05 artinya untuk orang terdampak yang ada di daerah sisipan jumlah anggota keluarga tidak memiliki kaitan dengan ketahanan. Berdasar termuan di lokasi penelitian, nampak ada beberapa hal yang menarik, pertama terkait dengan tingkat ketahanan, bahwa ketahanan lebih tinggi berada dalam masyarakat yang berada di daerah relokasi. Sakdapolrak (2012) menulis bahwa Jaringan sosial memainkan peran kunci dalam membangun dan mempertahankan ketahanan sosial, lebih tegas lagi pemikiran Blane (2011) yang berpendapat bahwa hubungan sosial merupakan jantung bagi ketahanan terutama pada usia lebih tua. Berdasar pemikiran ini maka hipotesis yang muncul adalah jaringan sosial diantara orang-orang pendatang (satu nilai / kesamaan nasib) lebih cepat tercipta dibanding dengan jaringan sosial yang terbantuk diantara pendatang dengan penduduk asli.

418

Temuan menunjukan bahwa pendidikan tidak memiliki beda dengan ketahanan sosial. Menarik mengungkap kembali pemikiran Folke (2006) dalam Severi (2012) bahwa ketahanan sosial terkait dengan cara untuk memahami sistem interaksi dinamis antara manusia dan lingkungan. Dilihat dari lingkungan, daerah wilayah relokasi merupakan lingkungan hutan milik perhutani sementara lingkungan daerah sisipan merupakan daerah pertanian yang kebanakan merupakan milik para petani kecil. di dua lokasi ini tidak ada industri atau perkantoran, dengan kata lain lingkungan tempat pemukiman orang terdampak tidak ada pekerjaan yang menuntut pendidikan formal, selain tenaga dan keahlian. Oleh karena itu temuan penelitian yang menunjukan bahwa ketahanan orang-orang di wilayah ini tidak memiliki kaitan pendidikan merupakan hal yang bisa dipahami. Menarik apa yang ditulis Takahashi (2005) bahwa keterikatan, kepercayaan, cinta, hubungan dekat, sebagai hubungan interpersonal yang memenuhi kebutuhan kita akan interaksi emosional dengan orang lain, oleh karena itu, hubungan ini memberi fungsi psikologis seperti: (a) mencari kedekatan; (b) menerima dukungan emosional; (c) menerima kepastian untuk perilaku dan / atau keberadaan; (d) menerima dorongan dan bantuan; (e) berbagi informasi dan pengalaman, dan (f) memberi pengasuhan. Dan hubungan semacam ini adalah hasil dari hubungan interpersonal yang lama, Agishtein, Claudia Brumbaugh (2013). Temuan terakhir penelitian adalah ada beda jumlah anggota kepala keluarga dengan ketahanan. Walaupun tidak konsisten akan tetapi beberapa hasil peneliti menunjukan bahwa jumlah anggota keluarga memiliki kaitan dengan keberdayaan, salah satunya adalah penelitian Santosh Kumar dan kawan-kawan (2010) demikian juga dengan penelitiannya Bossard & Boll, 1956; Burgess & Cottrell, 1939; Christensen & Philbrick, 1952; Hawkes,

419

Burchinal, & Gardner , 1958; Landis, 1954; Nye, 1951, 1958; Rainwater, 1960; Reed, 1947; Willie & Weinandy, 1963 dalam Wilkinson (1999). Berdasarkan temuan beberapa penelitian tersebut nampak bahwa hasil penelitian ini memiliki kesejalanan dengan temuan-temuan tadi.

SIMPULAN Berdasar kajian atas tingkat resiliensi maka, beberapa hal yang sebaiknya jadi rekomendasi humas pemerintah untuk menghindarkan persepsi orang terdampak pembangunan waduk jati gede adalah menyelenggarakan pendidikan yang bersifat keterampilan (pendidikan non-formal), selain itu yang tidak kalah penting untuk dilakukan adalah mempercepat terciptanya hubungan afektif diantara orang terdampak dengan penduduk yang menjadi daerah sisipan.

DAFTAR PUSTAKA Castelli, Joelle Wiley, "Government Public Relations: A Quantitative Assessment of Government Public Relations Humasactitioner Roles and Public Relations Model Usage" (2007). Graduate Theses and Dissertations. http://scholarcommons.usf.edu/etd/3839 Claudia Severi, Cosimo Rota, and Cesare Zanasi, The Resilience Approach Contribution to Rural Communities Social Assessment for Social Sustainability Based Strategies mplementation, Int. J. Food System Dynamics 3 (1), 2012 David Blane, Richard D Wiggins, Scott M Montgomery, Zoe Hildon, Gopalakrishnan Netuveli, Resilience at older ages: the importance of social relations and implications for policy, 2011 Fatih Ozbay; Douglas C. Johnson; Eleni Dimoulas, Morgan; Dennis Charney,; And Steven Southwick, Social

420

Support And Resilience To Stress: From Neurobiology To Clinical Practice. (2007) Frankenberger, T., Mueller M., Spangler T., and Alexande, Community Resilience: Conceptual Framework and Measurement Feed the Future Learning Agenda, Usaid, 2013 Joshua F. Cabell 1 and Myles Oelofs, An Indicator Framework for Assessing Agroecosystem Resilience, Ecology and Society Journal of Social, Evolutionary, and Cultural Psychology, , Evolutionary, and Cultural Psychology, Cultural Variation In Adult Attachment: The Impact Of Ethnicity, Collectivism, And Country Of Origin, Peryl Agishtein, Claudia Brumbaugh, Journal of Social, 2013 Keiko Takahashi, Toward a Life Span Theory of, Close Relationships: The Affective Relationships Human Development 2005;48:48–66 Liu, B. F., & Levenshus, A. B. (2010). Public relations HUmasofessionals’ perspectives on the communication challenges and opportunities they face in the public sector. HUMASism 7(1): http://www.HUmasismjournal.org Matthew White, Social Mapping: What Is It and Why Should We Care? Rockenbauch, T., and P. Sakdapolrak.. Social networks and the resilience of rural communities in the Global South: a critical review and conceptual reflections. Ecology and Society 22(1) 2017. Santosh Kumar Kaushal1 and Y K Singh Socio-economic Correlates of Women Empowerment, Indian Res. J. Ext. Edu. 10 (2), May, 2010 Social Resilience The Value of Social Fitness With an Application to the Military, John T. Cacioppo, Harry T. Reis, Alex J. Zautra, American Psychologist, 2011.

421

HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN MEDIA INSTAGRAM @goldensugar_id DENGAN PEMENUHAN KEBUTUHAN FOLLOWERS TERHADAP INFORMASI SEPUTAR PRODUK GOLDEN SUGAR PATISSIER

Amarita Andiani, Yanti Setianti, Lilis Puspitasari Universitas Padjadjaran [email protected]

PENDAHULUAN Bisnis kuliner merupakan bisnis yang sedang berkembang di Indonesia pada saat ini. Munculnya berbagai makanan yang unik, adanya wisata kuliner, dan tren kuliner sebagai gaya hidup masyarakat, menjadi bukti bahwa bisnis ini berkembang dengan pesat. Persaingan adalah imbas dari pesatnya persaingan bisnis kuliner. Persaingan di dunia usaha kuliner semakin hari semakin ketat. Untuk menghadapi persaingan ini diperlukan inovasi baru dalam mempromosikan produk yang dijual. “Pada triwulan I tahun 2016, pertumbuhan industri mamin (makanan dan minuman) sebesar 7,55 persen atau lebih tinggi dibandingkan periode sama tahun 2015 yang mencapai 7,54 persen. Bahkan, kinerja industri mamin tersebut melampaui pertumbuhan industri non migas pada triwulan I tahun 2016 sebesar 4,46 persen.” (Kemenperin, 2016)

422

Dalam mempromoskan suatu produk, sekarang ini sudah lebih mudah dengan kehadiran internet terutama media sosial. Media sosial seperti instagram, line, facebook ataupun twitter biasanya dijadikan media untuk memperlihatkan barang, produk, atau jasa yang ditawarkan sebuah toko online. Hal ini merupakan kemudahan dan kelebihan dari toko online untuk mempermudah konsumennya dalam melihat dan mendapatkan informasi mengenai produk. Salah satu toko online khususnya kuliner yang saat ini sedang berkembang ada Golden Sugar Patissier. Penggunaan Instagram ini menurut Public Relations Golden Sugar untuk membantu dan mempermudah pelanggannya dalam mendapatkan informasi mengenai produknya. Pemenuhan kebutuhan akan informasi tersebut didapatkan oleh para pelanggan Golden Sugar Patissier melalui akun instagram @goldensugar_id. Akun ini terlihat sudah maksimal karena penjualan yang meningkat sejak menggunakan Instagram ini. Pada awalnya saat menggunakan blogspot, facebook dan twitter sebagai media

423 promosi. Dalam akun facebook terlihat kurangnya feedback dari para konsumen, begitupun dengan twitter yang dalam akun ini memiliki 545 followers. Selain itu, dalam blogspot Golden Sugar Patissier pun tidak memiliki komen sama sekali pada tiap postingan. “Instagram merupakan media sosial kedua yang paling banyak digunakan setelah Facebook yaitu sebesar 69,21%. Instagram adalah sebuah aplikasi yang memungkinkan pengguna mengambil foto, menerapkan filter digital, dan membagikannya ke berbagai layanan jejaring sosial, termasuk milik Instagram sendiri. Menurut survey JakPat, pengguna Instagram di Indonesia menggunakan aplikasi ini untuk mencari informasi produk toko online, meme dan menggugah foto-foto liburan dan wisata.”79

Namun walaupun pelanggan memiliki keyakinan terhadap apa saja konten yang disajikan dalam Instagram @goldensugar_id, ternyata masih terdapat pelanggan yang merasa tidak puas terhadap konten yang disajikan di dalam Instagram itu. Konten yang disajikan dianggap tidak sesuai dengan harapan yang dia bayangkan sebelumnya. Salah satu ketidakpuasan itu adalah mengenai kesenjangan informasi yang terdapat dalam Instagram @goldensugar_id. Informasi yang diberikan akun @goldensugar_id dianggap belum memenuhi keinginan pelanggan. Ketidakpuasan pelanggan ini pun menjadi suatu hal yang fatal bagi Golden Sugar sendiri, mengingat media sosial Instagram merupakan media informasi, komunikasi dan promosi yang digunakan. Selain itu, media sosial juga menjadi ujung tombak bagi Golden Sugar dalam menjalani bisnisnya.

79 Diakses dari situs wearesocial.com pada 12 Agustus 2016 pukul 18:00

424

Pemenuhan kebutuhan informasi bagi followers merupakan hal yang penting bagi suatu perusahaan atau bisnis sekalipun, karena media Instagram @goldensugar_id adalah salah satu cara untuk mencapai tujuan public relations yaitu menjembatani informasi terhadap publik. Apalagi dilihat dari tujuan utama penggunaan media Instagram ini pun untuk memberikan informasi yang dibutuhkan kepada publik salah satunya mengenai produk yang ditawarkan dan juga sebagai media promosi, yang pada kenyataannya belum terpenuhi. Dengan kebutuhan informasi yang terpenuhi oleh pelanggan/followers nya dalam akun @goldensugar_id, Golden Sugar akan dengan mudah diketahui oleh orang banyak karena informasi dari pelanggan sebelumnya. Hal itulah yang diharapkan Golden Sugar untuk akun tersebut dalam menjadikannya media informasi, promosi dan komunikasi. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai sejauh mana hubungan antara penggunaan media instagram @goldensugar_id dengan pemenuhan kebutuhan followers terhadap informasi seputar produk Golden Sugar Patissier. Peneliti menggunakan Teori Uses and Gratifications di dalam penelitian ini karena teori tersebut memiliki asumsi teoretis yang berhubungan dengan latar belakang penelitian.

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan korelasional. Metode korelasional memiliki tujuan untuk meneliti sejauh mana variasi pada satu faktor berkaitan dengan variasi faktor lain (Rakhmat, 2012: 27). Metode korelasional adalah kelanjutan dari metode deskriptif, dimana peneliti menghimpun data, menyusun secara

425 sistematis faktual dan cermat dan kemudian menjelaskan hubungan antara dua variabel, menguji hipotesis dan melakukan prediksi. Dalam penelitian ini, hubungan yang dicari adalah hubungan antara variabel penggunaan media Instagram @goldensugar_id dengan pemenuhan kebutuhan followers terhadap informasi seputar produk Golden Sugar Patissier. Untuk menguji hubungan dari kedua variabel tersebut, yaitu penggunaan media Instagram @goldensugar_id sebagai variabel X dan pemenuhan kebutuhan followers sebagai variabel Y yang akan diuji melalui pengolahan statistik. Populasi adalah keseluruhan objek atau fenomena yang diriset. Menurut (Sugiyono, 2014: 80) menyebut populasi sebagai wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh periset untuk dipelajari. Populasi dalam penelitian ini adalah followers/pengikut dari akun instagram @goldensugar_id. Jumlah followers akun instagram @goldensugar_id mencapai 54.100 followers.80 Pada penelitian ini, teknik sampling yang digunakan adalah sampel acak sederhana (Simple Random Sampling).

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui hubungan antara penggunaan media instagram @goldensugar_id (X) dengan pemenuhan kebutuhan followers terhadap informasi seputar produk Golden Sugar Patissier dalam akun instagram @goldensugar_id (Y). Penelitian ini dilakukan dengan metode korelasional untuk mencari hubungan diantara masing-masing variabel. Sampel dari penelitian ini adalah 96 orang followers akun

80 Sumber dari akun instagram @goldensugar_id hingga 24 oktober 2016

426 instagram @goldensugar_id yang ditentukan dengan Simple Random Sampling. Untuk lebih memudahkan dalam mengetahui hubungan antar variabel/sub variabel penelitian dapat dilihat dari tabel rangkuman di bawah ini.

Sumber: Pengolahan Data 2016 Tabel Hubungan Variabel/Sub Variabel Penelitian

Penelitian ini mengacu kepada teori Uses and Gratifications oleh Katz, Gurevitch, dan Haas. Teori ini membahas bagaimana khalayak secara aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuhannya. Dari sini timbul istilah uses and gratifications, penggunaan dan pemenuhan kebutuhan. Karena penggunaan

427 media hanyalah salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan psikologis, efek media dianggap sebagai situasi ketika kebutuhan itu terpenuhi. (Rakhmat, 2012 65) Berdasarkan hasil rekapitulasi analisis korelasional, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara penggunaan media instagram @goldensugar_id dengan pemenuhan kebutuhan followers terhadap informasi seputar produk Golden Sugar Patissier memiliki hubungan yang kuat. Hal ini dapat dilihat dari thitung yang lebih besar dari ttabel yang artinya semua variabel penggunaan media dengan pemenuhan kebutuhan followers terhadap informasi seputar produk Golden Sugar Patissier dari hasil hipotesis penelitian menyatakan Ho ditolak dan H1 diterima yang berarti signifikan. Adanya hubungan yang rendah tapi pasti antara Jumlah waktu yang digunakan dengan Kebutuhan Kognitif yang berarti bahwa semakin seseorang mengakses akun instagram @goldensugar_id maka semakin bertambah pula pengetahuannya mengenai produk Golden Sugar dan lainnya. Hal ini bisa disebabkan para followers jarang mengakses instagram @goldensugar_id untuk mencari informasi, karena biasanya mereka akan mengakses apabila mereka membutuhkan untuk membeli produk atau melihat produk saja. Selain itu, didalam akun tersebut hanyalah informasi mengenai produk saja yang ditampilkan. Adanya hubungan yang cukup berarti antara Jumlah waktu yang digunakan dengan Kebutuhan Afektif. Hal ini menunjukan bahwa semakin sering followers mengakses akun instagram @goldensugar_id maka mereka akan merasa semakin puas karena kebutuhan akan informasinya terpenuhi. Kebutuhan informasi yang dimaksud disini adalah informasi mengenai produk Golden Sugar Patissier beserta detail produknya seperti rasa, harga, dan cara pemesanannya. Hal ini menunjukkan bahwa seringnya

428 followers mengakses akun instagram @goldensugar_id cukup berkaitan dengan kepuasan followers terhadap informasi mengenai Golden Sugar Patissier. Adanya hubungan yang cukup berarti antara Jumlah waktu yang digunakan dengan Kebutuhan Integrasi Personal. Hal ini menunjukkan bahwa semakin sering seseorang mengakses akun instagram @goldensugar_id maka ia akan semakin percaya terhadap informasi tentang Golden Sugar Patissier termasuk produknya. Kepercayaan itu timbul karena mereka merasakan produk Golden Sugar itu sendiri setelah mengakses lalu memesan produk tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa frekuensi followers dalam mengakses instagram @goldensugar_id cukup berkaitan dengan rasa percaya mereka terhadap produk Golden Sugar Patissier. Adanya hubungan cukup berarti antara Jumlah waktu yang digunakan dengan Kebutuhan Integrasi Sosial menunjukkan bahwa semakin followers mengakses akun instagram @goldensugar_id maka semakin erat hubungan followers dengan followers lain, temannya atau dengan keluarganya. Hubungan tersebut timbul karena seringnya mereka berkomunikasi termasuk untuk membicarakan seputar produk Golden Sugar Patissier. Hal ini menunjukkan bahwa frekuensi followers dalam mengakses instagram @goldensugar_id cukup berkaitan dengan hubungan mereka dengan followers lainnya maupun temannya. Adanya hubungan yang rendah tapi pasti antara Jumlah waktu yang digunakan dengan Kebutuhan Pelepasan menunjukkan bahwa semakin sering followers mengakses akun instagram @goldensugar_id maka followers akan semakin terhibur. Hal ini disebabkan informasi dalam akun instagram @goldensugar_id hanya mengenai produk dan seputarnya. Maka dari itu followers bisa saja menemukan titik jenuh, bosan, dan tidak bisa melepas stress saat mengaksesnya.

429

Adanya hubungan yang rendah tapi pasti antara Isi pesan dalam akun instagram @goldensugar_id dengan Kebutuhan Kognitif yang mengartikan bahwa semakin inovatif sebuah pesan maka pengetahuan akan semakin bertambah. Hal ini disebabkan karena informasi yang disampaikan cenderung sama, kurang detail, dan kurang menarik, oleh karena itu followers kurang tertarik. Adanya hubungan yang cukup berarti antara Isi pesan dalam akun instagram @goldensugar_id dengan Kebutuhan Afektif yang menunjukan bahwa semakin lengkap dan bermacam isi pesan yang disampaikan dalam akun instagram @goldensugar_id maka followers akan semakin puas dalam megaksesnya. Hal ini menunjukan bahwa isi postingan dalam instagram @goldensugar_id cukup berkaitan dengan kepuasan followers. Adanya hubungan yang cukup berarti antara Isi pesan dalam akun instagram @goldensugar_id dengan Kebutuhan Integrasi Personal yang mengartikan bahwa semakin lengkap dan bermacam isi pesan yang disampaikan dalam akun instagram @goldensugar_id maka followers akan semakin percaya untuk membeli dan menggunakan produk Golden Sugar Patissier. Adanya hubungan yang cukup berarti antara Isi pesan dalam akun instagram @goldensugar_id dengan Kebutuhan Integrasi Sosial yang mengartikan bahwa semakin lengkap dan bermacam isi pesan yang disampaikan dalam akun instagram @goldensugar_id maka followers akan semakin mudah untuk berkomunikasi dengan sesama followers @goldensugar_id ataupun teman lainnya. Adanya hubungan yang rendah tapi pasti antara Isi pesan dalam akun instagram @goldensugar_id dengan Kebutuhan Pelepasan menunjukkan bahwa semakin lengkap dan bermacam isi pesan yang disampaikan dalam akun instagram @goldensugar_id maka followers akan terhibur akan informasi tersebut. Hal ini

430 disebabkan oleh isi informasi yang terdapat dalam akun tersebut hanya mengenai produk saja, sehingga followers dapat bosan dengan hal itu. Adanya hubungan yang rendah tapi pasti antara Hubungan individu dengan isi media dengan Kebutuhan Kognitif. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya akun instagram @goldensugar_id maka followers lebih mengetahui mengenai informasi produk dan bagaimana cara untuk mendapatkannya. Hubungan yang rendah tapi pasti ini bisa disebabkan oleh kurangnya inovasi dalam postingan akun yang hanya membicarakan produk saja. Followers menginginkan proses membuat kue tersebut sebagai postingan foto dalam akun instagram @goldensugar_id. Adanya hubungan yang cukup berarti antara Hubungan individu dengan isi media dengan Kebutuhan Afektif menunjukkan bahwa dengan adanya akun instagram @goldensugar_id maka followers telah puas dengan informasi didalamnya sehingga mengunakan akun tersebut dalam mencari informasi seputar produk Golden Sugar Patissier. Adanya hubungan yang cukup berarti antara Hubungan individu dengan isi media dengan Kebutuhan Integrasi Personal. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya akun instagram @goldensugar_id maka followers menjadi lebih percaya dalam menggunakan produk Golden Sugar Patissier karena memiliki sumber informasi yang terpercaya dengan produk yang berkualitas. Adanya hubungan yang cukup berarti antara Hubungan individu dengan isi media dengan Kebutuhan Integrasi Sosial. Hal ini mengartikan bahwa dengan adanya akun instagram @goldensugar_id maka followers dapat berinteraksi lebih baik lagi dengan sesama followers akun tersebut ataupun teman dan keluarganya. Informasi yang disampaikan dalam akun tersebut mengenai produk, cara pemesanan, dan lainnya dapat dijadikan

431 untuk bertukar informasi seputar produk atau lainnya yang disampaikan kepada teman atau keluarganya. Adanya hubungan yang cukup berarti antara Hubungan individu dengan isi media dengan Kebutuhan Pelepasan menunjukkan bahwa dengan adanya akun instagram @goldensugar_id maka followers dapat menghilangkan stress serta menjadi media hiburan bagi mereka. Hal ini didukung juga oleh postingan foto produk dalam akun instagram @goldensugar_id yang cenderung berwarna-warni sehingga dapat menarik perhatian.

SIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah Hubungan antara penggunaan media instagram @goldensugar_id memiliki hubungan yang kuat dengan pemenuhan kebutuhan followers terhadap informasi seputar produk Golden Sugar Patissier dalam akun instagram @goldensugar_id. Hal ini dapat dilihat dari jumlah waktu yang digunakan, isi pesan dalam akun instagram @goldensugar_id, dan hubungan individu dengan isi media terhadap kebutuhan kognitif, afektif, integrasi personal, integrasi sosial, dan pelepasan sehingga didapatlah pemenuhan kebutuhan followers terhadap informasi seputar Golden Sugar Patissier. Dari hal tersebut followers memiliki pemenuhan kebuthan terhadap informasi yang tersedia di dalam akun instagram @Goldensugar_id karena sesuai dengan informasi yang mereka butuhkan mengenai Golden Sugar Patissier. Walaupun terdapat hubungan antara hubungan individu dengan isi media dengan kebutuhan integrasi sosial, namun ada baiknya jika promosi yang dilakukan dalam akun instagram @goldensugar_id lebih baik lagi seperti memberikan diskon, promo ataupun bonus bagi pelanggannya. Hal ini dilakukan agar terdapat lebih banyak lagi followers yang menjadikan

432

DAFTAR PUSTAKA Effendy, O. U. (2009). Dinamika Komunikasi. Jakarta: Rosdakarya. Hidayat, D. (2014). Media Public Relations : Pendekatan Studi Kasus, Cyber Public Relations, Sebagai Metode Kerja PR Digital. Sleman, Yogyakarta: Graha Ilmu. Kriyantono, R. (2009). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana. McQuail, D. (2011). Teori Komunikasi Massa McQuail edisi 6. Jakarta: Salemba Humanika. Nasrullah, R. (2015). Media Sosial Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Rakhmat, J. (2012). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

433

BRAND KNOWLEDGE PT. JASA MARGA (PERSERO) TBK. PADA PENGGUNA JALAN TOL

Della Septania, Diah Fatma Sjoraida, Syauqy Lukman Universitas Padjadjaran [email protected]

PENDAHULUAN PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. merupakan salah satu perusahaan BUMN yang menguasai pasar Jalan Tol di Indonesia. Jasa Marga merupakan salah satu perusahaan yang sekaligus menjadi brand sebuah jalan tol. Menurut MIM Academy dalam bukunya Brand Operation (2010: 60), Brand menjadi elemen yang penting bagi perusahaan. Brand bukan hanya sebuah nama, logo, atau simbol, tetapi memiliki peranan yang jauh lebih besar daripada itu. Brand dapat berperan sebagai payung representasi produk barang atau jasa yang ditawarkan. Merek atau brand penting bagi perusahaan untuk menunjukkan nilai produk yang ditawarkan ke pasar, namun merek tidak berarti jika tidak memiliki ekuitas yang kuat bagi pasar. Jasa Marga merupakan sebuah brand yang cukup kuat, hal tersebut dibuktikan berdasarkan hasil wawancara yang menyatakan bahwa Jasa Marga membangun dan mengelola sekitar lebih dari 60% Jalan Tol di Indonesia. Dari hasil kuesioner yang disebar kepada 21 pengguna Jalan Tol, sebanyak 18 orang sudah mengetahui bahwa Jasa Marga sebagai perusahaan BUMN di bidang Jalan tol. Hal tersebut menujukkan bahwa pengguna jalan tol sudah mengenal Jasa Marga. Namun, brand tidak cukup hanya mengenal saja tetapi pengguna jalan tol perlu mengetahui brand lebih jauh lagi agar perusahaan tersebut memiliki brand equity yang baik.

434

Berdasarkan konsep perspektif CBBE (Customer Based Brand Equity) oleh Keller (2013), brand knowledge atau pengetahuan akan merek adalah kunci untuk menciptakan brand equity. Jadi, apabila perusahaan ingin membuat brand equity yang kuat maka perlu dilihat sejauh mana pengetahuan pengguna jalan tol terhadap Jasa Marga. Berdasarkan hasil wawancara, pengetahuan yang perlu diketahui pengguna jalan itu banyak tetapi yang dirasa penting adalah pengguna jalan harus tahu produk apa saja yang dihasilkan Jasa Marga, layanan serta fasilitas yang diberikan Jasa Marga untuk kenyamanan pengguna jalan. Namun, berdasarkan hasil pra-riset masih banyak pengguna jalan tol yang pengetahuannya masih kurang terhadap Jasa Marga. Salah satu masalah kurangnya pengetahuan pengguna Jalan Tol terhadap Jasa Marga adalah masih adanya pengguna Jalan Tol yang mengeluh kepada Jasa Marga tetapi di Jalan Tol yang bukan dikelola oleh Jasa Marga. Salah satu contoh Jalan Tol yang tidak dibangun dan dikelola oleh Jasa Marga adalah Tol Cipali (Cikopo-Palimanan).

Gambar Hasil pra riset Pengetahuan tentang jalan tol Cipali

Peneliti telah melakukan pra riset kepada beberapa pengguna jalan tol yang berumur 20-25 tahun, bahwa dari 21 orang yang ditanya mengenai Jalan Tol Cipali, sebanyak 71,4%

435 menyatakan bahwa Cipali dikelola dan dibangun oleh Jasa Marga. Hal tersebut membuktikan bahwa lebih banyak yang belum mengetahui Jalan Tol yang dibangun dan dikelola oleh Jasa Marga. Contoh lain kurangnya pengetahuan pengguna jalan tol kepada Jasa Marga adalah banyak pengguna jalan tidak mengetahui Call Center Jasa Marga. Call Center tersebut merupakan nomor untuk meminta bantuan di jalan tol atau berupa pengaduan.

Gambar Hasil pra riset Pengetahuan tentang call center Jasa Marga

Dari data hasil survey kepada 21 pengguna jalan tol, hanya 2 orang yang mengetahui Call Center Jasa Marga yaitu 14080. Padahal pemberitahuannya sudah dilakukan dengan media luar ruang dan media sosial Jasa Marga. Hal tersebut menunjukkan masih kurangnya pengetahuan pengguna jalan tol. Dari beberapa contoh masalah dan data survey yang sudah dilakukan peneliti, menurut hasil pra riset kepada pengguna jalan tol, brand knowledge Jasa Marga masih rendah. Selain itu, karena belum ada penelitian sejenis yang meneliti hal yang serupa maka alasan peneliti melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana brand knowledge Jasa Marga pada pengguna jalan tol Purbaleunyi berdasarkan konsep Costumer Based Brand Equity

436

(CBBE) yang dikemukakan oleh Keller. Dalam bukunya, Strategic Brand Management, Keller (2013) menyebutkan bahwa Brand knowledge memiliki 2 komponen yaitu brand awareness dan brand image. Kedua komponen tersebut yang nantinya akan dijadikan indikator bagaimana brand knowledge Jasa Marga pada pengguna jalan tol di Purbaleunyi, di mana penelitian ini berusaha untuk mengetahui brand awareness dan brand images Jasa Marga pada pengguna jalan tol Purbaleunyi.

Definisi Customer Based Brand Equity Konsep CBBE (customer-based brand equity) merupakan suatu konsep brand equity dengan pendekatan melalui perspektif konsumen, baik konsumen yang sifatnya individu atau organisasi. Dasar dari konsep CBBE adalah bahwa kekuatan merek terletak pada apa yang pelanggan telah pelajari, rasa, lihat, dan dengar tentang merek sebagai hasil dari pengalaman mereka dari waktu ke waktu. Brand knowledge merupakan kunci untuk membangun ekuitas merek, karena menciptakan efek yang berbeda-beda dapat mendorong ekuitas merek (Keller, 2013: 71). Apa yang pemasar inginkan adalah cara bagaimana pengetahuan merek ada dalam ingatan konsumen. Berdasarkan model memori jaringan asosiatif, pengetahuan merek terdiri dari node merek dalam ingatan dengan berbagai asosiasi terkait dengan hal itu. Pengetahuan merek memiliki dua komponen: kesadaran merek (brand awareness) dan citra merek (brand image) (Keller, 2013: 72). Brand Awareness berkaitan dengan kemampuan konsumen untuk mengidenfikasi suatu merek dalam kondisi yang berbeda (Keller, 2013: 72). Dengan kata lain, brand awareness merupakan kemampuan konsumen untuk mengingat merek dalam ingatannya, sehingga nantinya dapat menentukan merek tersebut termasuk dalam kategori produk tertentu. Brand Awareness terdiri

437 dari brand recognition and brand recall: (Keller, 2013:73); 1) Brand recognition adalah kemampuan pelanggan mengidentifikasi merek yang disebutkan. Dengan kata lain, pengenalan merek mengharuskan konsumen membedakan merk dengan benar seperti yang pernah dilihat atau didengar sebelumnya; 2) Brand recall adalah kemampuan pelanggan mengingat merek saat diberi kategori produk. Dengan kata lain, brand recall mengharuskan konsumen mengingat merek dengan benar. Selain brand awareness, dimensi dari pengetahuan tentang customer based brand equity adalah citra dari sebuah merek. Citra dapat dianggap sebagai jenis asosiasi yang muncul di benak konsumen ketika mengingat sebuah merek tertentu. Asosiasi tersebut dapat muncul dalam bentuk pemikiran atau citra tertentu yang dikaitkan kepada suatu merek, sama halnya ketika kita berpikir mengenai orang lain (Shimp, 2003: 12). Sedangkan menurut Keller (2013), brand images didefinisikan sebagai persepsi tentang sebuah merek yang tercermin dari asosiasi merek yang dimiliki dalam memori konsumen. Berikut adalah jenis asosiasi merek yang mungkin ada di dalam memori konsumen untuk mengukur brand images (Keller, 2013) Setiap merek memiliki atribut, atribut adalah fitur yang mendeskripsikan ciri dari sebuah produk atau layanan. Atribut dibedakan menjadi 2 yaitu; (Keller, 2013:4) 1) product-related attributes, yang di definisikan sebagai komposisi fisik dari produk atau persyaratan layanan, seperti warna, design, ukuran. Sedangkan, 2) non product-related attributes di definisikan sebagai aspek eksternal dari produk atau layanan yang berhubungan dengan minat konsumsi seperti, harga (price), penampilan produk (packaging), pemakai (user imagery), dan citra penggunaan (usage imagery). Selain atribut, merek juga memiliki serangkaian manfaat. Manfaat adalah nilai pribadi dan makna yang melekat

438 pada atribut produk atau layanan. Manfaat dibagi menjadi 3 yaitu, manfaat fungsional (functional benefits), manfaat pengalaman (experiential benefits), dan manfaat simbolis (symbolic benefits) (Keller, 2013). Terakhir adalah sikap merek (brand attitudes). Sikap merek didefinisikan sebagai keseluruhan evaluasi konsumen terhadap merek. Sikap merek penting karena serinng menjadi dasar perilaku konsumen. Evaluasi konsumen terhadap merek tertentu ini di mulai dari sangat jelek sampai sangat bagus. Sikap terhadap merek didasarkan pada skema tentang merek tersebut yang telah tertanam dibenak konsumen.

METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan data kuantitatif. Metode penelitian deskriptif ini adalah metode yang hanya memberikan gambaran atau deksripsi tentang variable dari sebuah fenomena yang diteliti. Variabel yang diteliti bisa satu, dua, tiga, atau lebih (Ardianto, 2011: 48). Analisis yang digunakan dalam metode deskriptif kuantitatif hanya menggunakan analisis statistik deskriptif dalam bentuk tabel tunggal dan tabel silang. Tabel silang pada penelitian ini bukan berfungsi untuk melihat adanya hubungan antar variabel, melainkan hanya untuk melihat apakah ada kecenderungan hubungan antar sub variabel dengan data responden yang diteliti saja. Metode penelitian jenis ini tepat dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan nyata yang sekarang berlangsung. Populasi dalam penelitian ini adalah pengguna jalan tol Purbaleunyi. Populasi yang diambil dalam penelitian merupakan populasi yang tidak dapat di definiskan karena pengguna jalan tol jumlahnya banyak dan jika dilihat dari data, data yang ada

439 merupakan data jumlah transaksi bukan jumlah kendaraan yang melalui jalan tersebut. Teknik sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuota sampling yang merupakan bagian dari sampel non- probabilitas. Sampel non-probabilitas merupakan penarikan sampel tidak penuh dilakukan dengan menggunakan hukum probabilitas, artinya bahwa tidak semua unit populasi memiliki kesempatan untuk dijadikan sampel penelitian. Hal ini dikarenakan sifat populasi itu sendiri yang heterogen (Bungin, 2005: 119). Sampel kuota merupakan teknik sampling yang dilakukan tidak mendasarkan diri pada strata atau daerah, tetapi mendasarkan diri pada jumlah yang sudah ditentukan. Dalam mengumpulkan data, peneliti menghubungi objek yang memenuhi persyaratan ciri-ciri populasi, tanpa menghiraukan dari mana asal tersebut asalkan masih dalam populasi (Arikunto, 2013: 184). Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 220 orang. Tujuan metode pemilihan sampel secara tidak acak berdasarkan kuota umumnya untuk menaikkan tingkat representatif sampel penelitian. Pengambilan sampel kuota dapat dianggap sebagai bentuk sampling bertingkat proprsional, dimana proporsi orang yang telah ditentukan diambil sampel dari kelompok yang berbeda berdasarkan kenyamanan. Kenyamanan yang ditawarkan dalam usaha, biaya, dan waktu sehingga membuat teknik sampel kuota menarik untuk penelitian (Sekaran dan Bougie, 2014: 253). Teknik pengumpulan data menggunakan angket, wawancara, observasi, dan studi pustaka. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif adalah analisis yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi (Sugiyono, 2016: 147). Rumus validitas yang digunakan adalah rank

440 spearman dan rumus reliabilitas menggunakan rumus spearman- brown. Hasil dari uji validitas menunjukkan pertanyaan sudah valid dan uji reliabilitas menunjukkan bahwa variabel yang digunakan dalam penelitian ini sudah layak.

HASIL DAN PEMBAHASAN Brand Awareness

No Jawaban F %

1 Tinggi 51 23.2 2 Sedang 152 69.1 3 Rendah 17 7.7 Jumlah 220 100 Sumber : Pengolahan Data 2017

Berdasarkan hasil diatas, responden cenderung menjawab Brand Awareness dalam kategori sedang. Data diatas menunjukkan bahwa responden menilai brand awareness Jasa Marga sudah cukup baik. Karena responden menilai berada pada kategori sedang menuju tinggi. Hal ini berarti pengguna Jalan Tol Purbaleunyi telah mengetahui apa itu Jasa Marga dan sudah dapat mengingat kembali Jasa Marga jika diberi stimulus terkait identintas dan produk perusahaan. Menurut David Aaker, Brand Awareness merupakan kemampuan dari pelanggan potensial untuk mengenali atau mengingat bahwa suatu merek termasuk ke dalam kategori produk tertentu (MIM Academy, 2010: 64). Dari pernyataan diatas dapat diketahui bahwa brand awareness suatu merek dikatakan sudah baik ketika pelanggan atau konsumen dapat mengenali atau mengingat suatu merek dengan baik. Setiap item pernyataan brand

441 awareness yang ada di kuesioner bertujuan untuk mengetahui apakah pengguna Jalan Tol sudah aware dengan Jasa Marga. Jika dilihat dari hasil kategori diatas, brand awareness pengguna Jalan Tol Purbaleunyi terhadap Jasa Marga menunjukkan bahwa pengetahuan terkait Jasa Marga cukup baik. Namun, dilihat dari item pernyataan masih ada pernyataan yang jawabannya menunjukkan bahwa pengguna jalan tol Purbaleunyi pengetahuannya masih rendah terhadap Jasa Marga. Misalnya, masih banyak pengguna jalan tol Purbaleunyi yang setuju bahwa Jasa Marga membangun dan mengelola seluruh jalan tol di Indonesia, padahal hanya sekitar 60% saja. Selain itu, masih banyak yang setuju bahwa Jasa Marga yang membangun dan mengelola jalan tol Cipali, padahal yang membangun dan mengelola jalan tol Cipali adalah perusahaan swasta. Lalu, masih banyak pengguna jalan tol yang tidak mengetahui warna logo Jasa Marga. Brand Image • Aspek Atribut No Jawaban f % 1 Tinggi 32 14.5 2 Sedang 95 43.2 3 Rendah 93 42.3 Jumlah 220 100 Sumber : Pengolahan Data 2017

Data diatas menunjukkan bahwa pengetahuan responden yang dilihat dari brand image aspek atribut ini sudah cukup baik, karena responden yang termasuk dalam kategori sedang sebanyak 95 orang. Namun tidak sedikit pula responden yang termasuk dalam kategori rendah, yaitu 93 orang hanya selisih dengan kategori sedang. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa tidak

442 sedikit responden yang belum mengatahui dengan baik atribut dari produk atau layanan yang dimiliki Jasa Marga. Setiap merek memiliki atribut, atribut adalah fitur yang mendeskripsikan ciri dari sebuah produk atau layanan (Keller, 2013:4). Ketika pengetahuan akan atribut dari suatu produk atau layanan sudah baik, maka dapat dikatakan bahwa merek tersebut memiliki nilai yang baik. Namun, data diatas tidak menunjukkan hal tersebut. Data diatas menunjukkan lebih banyak responden yang masuk dalam kategori sedang ke tinggi. Walaupun yang termasuk dalam kategori rendah jumlahnya juga cukup banyak. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan responden terkait atribut Jasa Marga belum sesuai dengan yang diharapkan oleh Jasa Marga. • Aspek Manfaat No Jawaban f % 1 Tinggi 45 20.5 2 Sedang 155 70.5 3 Rendah 20 9.1 Jumlah 220 100 Sumber : Pengolahan Data 2017

Responden cenderung menjawab brand image aspek manfaat dalam kategori sedang. Manfaat adalah nilai pribadi dan makna yang melekat pada atribut produk atau layanan (Keller, 2013:4). Manfaat dirasakan langsung oleh pengguna Jalan Tol Purbaleunyi terkait atribut dari produk dan layanan Jasa Marga. Berdasarkan data diatas, responden yang merasakan manfaat produk dan layanan Jasa Marga cenderung ke dalam kategori sedang ke tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa manfaat yang dihasilkan dari produk dan layanan Jasa Marga di jalan tol Purbaleunyi sudah cukup baik. • Aspek Sikap Merek

443

No Jawaban f % 1 Tinggi 56 25.5 2 Sedang 161 73.2 3 Rendah 3 1.4 Jumlah 220 100 Sumber : Pengolahan Data 2017 Responden cenderung menjawab brand image aspek brand attitudes dalam kategori sedang. Brand attitudes atau sikap terhadap suatu merek menunjukkan bagaimana sikap pengguna jalan tol Purbaleunyi terhadap produk dan layanan Jasa Marga khususnya pada ruas jalan tol Purbaleunyi. Hasil dari data diatas menunjukkan bahwa sikap responden terhadap suatu merek masuk ke dalam kategori sedang ke tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa sikap pengguna Jalan Tol Purbaleunyi terhadap produk dan layanan Jasa Marga sudah baik karena yang masuk ke dalam kategori rendah hanya 3 orang. Namun, memang ada item pernyataan yang menunjukkan pernyataan rasa tidak kecewa terhadap layanan Jasa Marga. Secara keseluruhan brand image Jasa Marga pada pengguna jalan tol Purbaleunyi berada dalam kategori sedang atau cukup baik.

No Jawaban f % 1 Tinggi 37 16.8 2 Sedang 130 59.1 3 Rendah 53 24.1 Jumlah 220 100 Sumber : Pengolahan Data 2017

444

Brand image merupakan salah satu variabel dari brand knowledge. Secara keseluruhan brand image yang dinilai dari pengguna jalan tol Purbaleunyi terhadap Jasa Marga sudah cukup baik. Hal tersebut dibuktikan dengan jawaban responden yang cenderung dalam kategori sedang. Secara keseleruhan brand image Jasa Marga sudah cukup baik, namun pada kondisi tertentu memang masih perlu adanya perbaikan agar pengguna Jalan Tol Purbaleunyi tetap nyaman berada di Jalan Tol dan nantinya citra yang di dapat oleh Jasa Marga menjadi positif.

Brand Knowledge No Jawaban f % 1 Tinggi 37 16.8 2 Sedang 131 59.5 3 Rendah 52 23.6 Jumlah 220 100 Sumber : Pengolahan Data 2017

Secara keseluruhan, data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar dari responden memiliki pengetahuan yang cukup baik terhadap Jasa Marga atau dalam kategori sedang. Hal tersebut dilihat dari hasil penjumlahan jawaban responden menggunakan norma kelompok dan didapat hasil keseluruhan bahwa sebanyak 131 orang berada di kategori sedang. Menurut bapak Panji, brand knowledge itu penting karena dianggap sebagai dasar dari pengguna jalan untuk memilih suatu produk atau layanan. Dengan begitu, Jasa Marga masih harus memberikan informasi agar nantinya antara perusahaan dengan pengguna jalan tol Purbaleunyi bisa saling memahami dengan alasan dibalik permasalahan yang dikeluhkan kepada Jasa Marga, khususnya pada fasilitas, produk dan layanan.

445

SIMPULAN Dari hasil penelitian dan analisis data yang diperoleh langsung dapat disimpulkan bahwa: Brand awareness pengguna jalan tol Purbaleunyi terhadap Jasa Marga berada dalam kategori sedang. Hal ini terlihat dari bagaimana pengguna jalan tol Purbaleunyi telah mengetahui apa itu Jasa Marga dan sudah dapat mengingat kembali Jasa Marga jika diberi stimulus terkait identintas dan produk perusahaan. Namun, peneliti juga menemukan temuan bahwa masih banyak pengguna jalan tol Purbaleunyi yang setuju dengan pernyataan jalan tol Cipali dibangun dan dikelola oleh Jasa Marga. Lalu, masih banyak pengguna jalan tol yang setuju Jasa Marga membangun dan mengelola seluruh jalan tol di Indonesia, namun pada kenyataannya hanya 60% jalan tol di Indonesia dibangun dan dikelola oleh Jasa Marga. Selain itu peneliti juga menemukan masih banyak pengguna jalan tol Purbaleunyi yang belum aware dengan warna logo Jasa Marga. Brand image pengguna jalan tol Purbaleunyi terhadap Jasa Marga berada pada kategori sedang. Secara keseleruhan brand image Jasa Marga sudah cukup baik, namun pada kondisi tertentu memang masih perlu adanya perbaikan agar pengguna Jalan Tol Purbaleunyi tetap nyaman berada di Jalan Tol dan nantinya citra yang di dapat oleh Jasa Marga menjadi positif. Brand image dibagi menjadi 3, yaitu atribut, manfaat, dan evaluasi sikap. Berikut hasil dari setiap sub variabel dari brand image: Atribut Berdasarkan hasil penelitian, secara keseluruhan pengetahuan pengguna jalan tol Purbaleunyi terhadap atribut Jasa Marga khususnya produk dan layanan di ruas Purbaleunyi berada dalam kategori sedang. Hal tersebut di karenakan adanya pengguna jalan tol Purbaleunyi yang tidak menganggap bahwa pengetahuan

446 akan produk dan layanan Jasa Marga sebagai hal yang penting. Misalnya, masih banyak responden yang tidak mengetahui layanan konstruksi zero potholes. Selain itu, masih banyak pengguna jalan tol Purbaleunyi yang belum mengetahui mobile apps Jasa Marga yaitu JMCARe. Namun, jika dilihat respon berdasarkan pekerjaan, frekuensi melalui jalan tol Purbaleunyi dan jenis kendaraan yang digunakan, aspek atribut lebih cenderung dalam kategori sedang ke rendah.

Manfaat Berdasarkan aspek ini, secara keseluruhan pengetahuan pengguna jalan tol Purbaleunyi terhadap manfaat yang dirasakan dari produk dan layanan Jasa Marga di ruas Purbaleunyi berada dalam kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa pengguna jalan tol Purbaleunyi sudah cukup baik dalam menilai manfaat yang didapat. Namun, masih banyak juga responden yang menilai jalan tol Purbaleunyi keadaannya belum baik.

Sikap Merek (brand attitudes) Berdasarkan aspek ini, secara keseluruhan evaluasi sikap pengguna jalan tol Purbaleunyi terhadap produk dan layanan Jasa Marga di ruas Purbaleunyi berada dalam kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa sikap pengguna jalan tol Purbaleunyi dalam menilai produk dan layanan yang dimiliki Jasa Marga sudah cukup baik. Namun, masih banyak responden yang merasa terganggu dengan perbaikan jalan di ruas tol Purbaleunyi Walaupun ada beberapa item pernyataan yang memang hasilnya belum sesuai dengan apa yang diharapkan dan memang sesuai dengan fakta di lapangan dan sesuai dengan masalah yang disampaikan oleh bapak Panji Satriya seperti kondisi jalan yang belum sesuai, dan kurangnya pengetahuan terhadap produk dan layanan yang dimiliki Jasa Marga. Namun secara keseluruhan

447 brand knowledge Jasa Marga pada pengguna Jalan Tol Purbaleunyi cukup baik, karena jawaban responden masuk dalam katgori sedang ke rendah. Menurut bapak Panji, brand knowledge dianggap penting karena dianggap sebagai dasar dari pengguna jalan untuk memilih suatu produk atau layanan. Dengan begitu, Jasa Marga masih harus memberikan informasi agar nantinya antara perusahaan dengan pengguna jalan tol Purbaleunyi bisa saling memahami dengan alasan dibalik permasalahan yang dikeluhkan kepada Jasa Marga, khususnya pada fasilitas, produk dan layanan.

DAFTAR PUSTAKA Ardianto, Elvinaro. Q Anees, Bambang. (2011). Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung : Simbiosa Rekatama Media. Arikunto, Suharsimi. (2013). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta Bungin, Bungin. (2005). Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta : Kencana Indriantoro, Nur. Supomo, Bambang. (1999). Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi dan Manajemen. Yogyakarta : BPFE Keller, Kevin. (2013). Strategic Brand Management. Pearson Markplus. (2010). The Official MIM Academy Coursebook Brand Operation. Jakarta : Esensi. Sekaran, Uma. Bougie, Roger. (2014). Research Methods for Business : a Skill-Building Approach. Italy Shimp. Terence. (2003). Periklanan Promosi Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu. Jakarta : Erlangga Sugiyono. (2016). Metode Penlitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D . Bandung : Alfabeta.

Sumber Internet : Keller, Kevin (2013). Conceptualizing, Measuring, and Managing Customer Based Brand Equity. Jurnal American Marketing Association. Diakses pada tanggal 19 April

448

2017 dari https://www.jstor.org/stable/1252054?seq=1#page_scan_t ab_contents

Sumber lain : Annual Report Jasa Marga tahun 2015

449

MEDIA SOSIAL DAN KOMUNIKASI KRISIS: PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL OLEH PUBLIC RELATIONS DALAM KOMUNIKASI KRISIS

Heru Ryanto Budiana, Susie Perbawasari Universitas Padjadjaran [email protected]

PENDAHULUAN Krisis mendominasi liputan pemberitaan dalam berbagai media, baik elektronik maupun online setiap hari, termasuk di Indonesia. Krisis bisa terjadi pada semua jenis dan isu, mulai dari krisis sosial, budaya, politik, ekonomi, agama, keamanan, lingkungan, bencana alam, kriminalitas dan masih banyak lainnya. Krisis dapat menjadi ancaman signifikan terhadap keberlangsungan roda organisasi, sebagaimana digambarkan oleh Fearn-Banks (2011:2), sebagai kejadian besar yang berpotensi negatif dan mempengaruhi organisasi, perusahaan, industri, publik, produk, layanan, atau nama baik. Sebuah krisis mengganggu bisnis normal transaksi dan terkadang bisa mengancam eksistensi organisasi. Krisis bisa menjadi pemogokan, terorisme, kebakaran, boikot, gangguan produk, kegagalan produk, atau banyak peristiwa lainnya. Senada dengan pendapat diatas Coombs (2007), menjelaskan bahwa krisis dapat menciptakan tiga ancaman yang saling terkait: (1) keamanan publik, (2) kerugian finansial, dan (3) kerugian reputasi. Semua krisis dapat mengancam serta merusak reputasi sebuah organisasi. Sebuah krisis mencerminkan buruknya sebuah organisasi dan akan merusak reputasi sampai tingkat tertentu. Ketiga ancaman ini saling terkait, sebuah krisis dapat membuat kerugian finansial dan reputasi sementara reputasi memiliki dampak finansial pada organisasi.

450

Organisasi apapun bentuknya baik swasta maupun pemerintahan tidak ada yang kebal terhadap krisis. Penyebab krisis sangat beragam dengan dampak yang beragam pula bagi sebuah organisasi, bergantung pada berbagai faktor. Salah satu faktor penting dalam menghadapi dampak krisis adalah kesiapan menghadapi krisis, karena bisa jadi sebuah krisis yang dianggap kecil dapat menjadi persoalan besar dan berdampak serius bagi kelangsungan organisasi ketika salah dalam menyikapinya. Krisis tidak bisa dipredikasi kehadirannya, yang terpenting bagi sebuah organisasi adalah mempersiapkan manajemen krisis dalam rangka mengelola krisis dan memasukkan faktor komunikasi sebagai bagian penting dalam penyelesaian krisis, sehingga krisis tidak menjadi berlarut-larut dan bertambah parah. Kesuksesan menangani krisis salah satunya adalah mengendalikan arus informasi oleh organisasi kepada publiknya, disinilah peran penting public relations dalam sebuah organisasi. Komunikasi krisis menjadi tanggung jawab public relations dan mereka dapat menggunakan cara berkomunikasi dengan seluruh publiknya melalui media sosial. Sosial media dalam penggunaannya dalam komunikasi krisis telah banyak dikaji oleh para peneliti, seperti; Veil, Buehner, & Palenchar (2011), Ward (2011), Wigley & Zhang (2011), Crawford, Kate, & Shaw, Frances (2013), Kelly (2014), Graham, Avery, & Park (2015) dan masih banyak lainnya. Berbagai penelitian tersebut menunjukkan betapa pentingnya media sosial digunakan dalam komunikasi krisis. Era digital saat ini, krisis bisa muncul kapanpun khususnya secara online. Public relations dalam sebuah organisasi dituntut untuk selalu siap kapanpun, mereka harus mulai memasukkan media sosial ke dalam perencanaan krisis yang dibuat. Media sosial tidak hanya dapat membantu public relations ketika krisis muncul

451 di Internet, namun juga dapat membantu organisasi dalam mengendalikan situasi dan merespons krisis lainnya. Media sosial bisa menjadi media yang ampuh dalam komunikasi krisis jika public relations dapat mengoptimalkannya. Kajian ini akan mencoba menelusuri secara literatur bagaimana bagaimana public relations dalam sebuah organisasi menggunakan media sosial dalam komunikasi krisis.

METODE PENELITIAN Kajian ini menggunakan metode kualitatif dengan desain deskriptif, yaitu penelitian yang memberi gambaran secara cermat mengenai individu atau kelompok tertentu tentang keadaan dan gejala yang terjadi, dimana dalam penelitian ini menggunakan penelusuran literatur baik buku, hasil penelitian terdahulu maupun jurnal yang terkait dengan objek kajian. Melalui analisis deskriptif akan didapatkan gambaran yang jelas mengenai model konseptual penggunaan media sosial oleh public relations dalam komunikasi krisis.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengertian Krisis, Manajemen Krisis dan Komunikasi Krisis Penelitian tentang krisis sangat banyak dan beragam, sehingga perlu dilakukan pendefinisian krisis untuk membantu menetapkan bataan krisis yang dimaksud dalam artikel ini, termasuk juga tentang manajemen krisis dan komunikasi krisis, dimana menurut Coombs (2010:17), bahwa ketiganya tidak dapat dipisahkan dan saling terkait. Definisi krisis lanjut menurut Coombs (2010:19), adalah “persepsi dari peristiwa yang tak terduga yang dapat mengancam pemangku kepentingan dan secara serius mempengaruhi organisasi kinerja dan secara berdampak negatif “.

452

Manajemen krisis dalam sebuah organisasi merupakan salah satu fungsi penting, kegagalan manajemen krisis dapat berdampak serius bagi pemangku kepentingan, kerugian bagi organisasi, atau mengakhiri eksistensi sebuah organisasi tersebut. Sebagaimana dikatakan Fearn-Banks (2011:2), bahwa manajemen krisis adalah proses perencanaan strategis suatu krisis atau titik balik negatif, sebuah proses yang berupaya menimalisir risiko dan ketidakpastian dari krisis yang memungkinkan organisasi tetap terkendali. Senada dengan pendapat Banks diatas, Coombs (2010:20), mendefinisikan manajemen krisis sebagai “Seperangkat faktor yang dirancang untuk menanggulangi krisis dan meminimalisir kerusakan yang mungkin ditimbulkan ”. lebih lanjut dikatakan “manajemen krisis berusaha untuk mencegah atau mengurangi dampak negatif dari sebuah krisis sehingga melindungi organisasi, pemangku kepentingan, dan / atau industri dari kerusakan”. Komunikasi krisis dikatakan Coombs (2010:20), sebagai pengumpulan, pengolahan, dan penyebarluasan informasi yang dibutuhkan untuk mengatasi situasi krisis. Dalam pra-krisis, komunikasi krisis berkisar mengumpulkan informasi tentang risiko krisis, membuat keputusan tentang bagaimana mengelola potensi krisis, dan melatih orang-orang yang akan dilibatkan dalam proses manajemen krisis. Pelatihan meliputi tim krisis anggota, juru bicara krisis, dan setiap individu yang akan membantu dengan tanggapan. Komunikasi krisis meliputi pengumpulan dan pengolahan informasi untuk pembuatan keputusan tim krisis seiring dengan penciptaan dan diseminasi pesan krisis kepada orang-orang di luar tim. Pasca krisis melibatkan pembedahan upaya manajemen krisis, mengkomunikasikan perubahan yang diperlukan pada individu, dan memberikan tindak lanjut krisis pesan sesuai kebutuhan

453

Sedangkan komunikasi krisis menurut Fearn-Banks (2011:2), adalah dialog antara organisasi publiknya baik sebelum, selama maupun setelah krisis. Dialog yang dirancang untuk meminimalkan turunnya image dari organisasi ketika terkena krisis. Manajemen krisis yang efektif mencakup komunikasi krisis yang tidak hanya bisa meringankan atau menghilangkan krisis tapi juga terkadang bisa mendatangkan organisasi tersebut memiliki reputasi yang lebih positif daripada sebelum krisis. Hal ini tidak terlepas menurut Fearn-Banks (2011:2), dari peran public relations yang proaktif dalam membangun hubungan dengan publiknya, sehingga dapat mencegah krisis atapun publik mendukung saat terjadi krisis.

Public Relations dan Media Sosial dalam Komunikasi Krisis Potensi kerusakan yang besar pada sebuah organisasi akibat ketidakmampuan menangani krisis, melahirkan kesadaran akan pentingnya peran public relations dalam komunikasi krisis untuk mengantisipasi dan merespon krisis. Seorang public relations dituntut menggunakan berbagai strategi, teknik tertentu dalam melakukan komunikasi krisis untuk menghindari atau mengurangi dampak krisis yang mungkin timbul, salah satu nya adalah memanfaatkan secara optimal penggunaan media sosial. Revolusi digital yang salah satunya ditandai dengan perkembangan pesat media sosial telah mengubah cara manusia dalam berkomunikasi. Masyarakat saat ini lebih lapar akan informasi dibandingkan dengan masa sebelumnya, hal ini dikarenakan menurut Matejic (2015:4). Pertama, masyarakat saat ini cenderung menginginkan informasi secara instan, cepat, ringkas dan real time. Kedua, masyarakat saling berbincang apa saja saat ini di media sosial. Ketiga, pada dasarnya masyarakat memiliki suara. Keempat, masyarakat juga memiliki pengaruh dan Kelima,

454 masyaraat saat ini cenderung tidak membutuhkan media berita untuk menghasilkan berita. Penggunaan media sosial dalam komunikasi krisis memberikan berbagai keuntungan, sebagaimana dikemukan oleh (White, 2011), bahwa terdapat beberapa manfaat menggunakan media sosial dalam menyebarkan informasi penting selama krisis, antara lain; (1) sebagian besar masyarakat saat ini menggunakan media sosial, (2) sebagai cara yang baik dalam mendistribusikan informasi, (3) informasi dapat menjangkau lebih banyak orang, (4) memberi tanggapan dengan segera kepada sejumlah besar orang, (5) mendistribusikan survei kapan saja agar memperoleh umpat balik dengan cepat, dan (6) manajemen krisis dapat menggunakan semua sumber daya di media sosial untuk menciptakan sarana komunikasi yang nyaris tak terbatas. Peran Public relations yang sangat penting bagi sebuah organisasi dalam meminimalisir dampak krisis sebagaimana telah diuraikan diatas melalui komunikasi krisis dengan mengoptimalkan media sosial, dalam praktik nya dapat menggunakan rumusan yang disusun oleh Wendling, Radisch, & Jacobzone (2013:17-25), dalam kertas kerja nya, meliputi:

Raising public awareness about risks and crises Salah satu tugas penting public relations adalah meningkatkan kesadaran berbagai pihak tentang risiko dan krisis. Melalui penggunakan media sosial, terutama dimasa pra-krisis sebagai strategi dalam memperkenalkan kepada khalayak khususnya akun-akun media sosial resmi yang digunakan organsisasi, seperti Twitter ataupun Facebook. Hal ini diharapkan menjadikan publik terbiasa merujuk ke sumber resmi akun media sosial dari organisasi.

455

Surveillance, monitoring, situation awareness and early warning system Informasi melalui media sosial dapat menjadi cara untuk lebih mengenal dan memahami secara akurat apa yang terjadi saat terjadi krisis. Karena arus informasi bisa sangat meluas, maka dapat memanfaatkan perangkat teknologi dan relawan. Mengkombinasikan antara teknologi dan relawan dapat menghasilkan praktik yang sangat inovatif seperti Volunteer Technology Communities (VTC). Fenomena ini bisa berkembang karena perkembangan aplikasi semakin meningkat, juga karena umumnya relawan sangat terorganisir yang dapat membantu memberikan informasi terkait krisis yang sangat dibutuhkan public relations.

Improving preparedness Media sosial dapat digunakan public relations dalam meningkatkan kesiapsiagaan. Komunikasi yang dibangun melalui media sosial dengan publiknya memungkinkan terjadinya pertukaran informasi secara lebih intens dan bersifat langsung, sehingga arus infromasi menjadi lebih cepat tanpa kendala birokrasi.

Providing information and warning Media sosial bisa menjadi cara untuk memberikan informasi dan instruksi, dengan alert real time dan peringatan. Public relations yang berpengalaman dalam menggunakan media sosial dapat menyampaikan peringatan darurat dan memberikan rekomendasi dengan tetap berpegang pada fakta dan dilakukan dengan seobjektif mungkin. Kebutuhan berkomunikasi tidak hanya kepada mereka yang terkena dampak secara langsung dari krisis tersebut, tetapi

456 juga harus memperhitungkan mereka tidak terkena langsung dengan tetap memberikan informasi. Melibatkan orang-orang yang tidak terkena langsung menjadi bagian dari strategi komunikasi untuk membangun hubungan dalam jangka panjang, memperbaiki pengetahuan mereka tentang krisis, dan untuk memperoleh mobilisasi dari mereka. Public relations dan manajemen bersatu dalam pengelolaan krisis komunikasi sehingga melahirkan kondisi dinamis yang sangat penting dalam memberikan informasi dengan baik.

Improving crisis response through mobilising volunteers Public relations dapat menggunakan media sosial untuk memobilisasi relawan baik selama maupun setelah krisis. Media sosial mengubah risiko dan komunikasi krisis saat mereka memberdayakan dan menghubungkan sejumlah besar dari relawan Pemerintah tidak bisa lagi memfokuskan risikonya dan komunikasi krisis semata-mata pada bagaimana caranya banyak untuk berbagi dan bagaimana mengemasnya. Sebaliknya, mereka menghadapi sejumlah besar warga, relawan, profesional, yang dapat saling bertukar informasi penting, dan merespons baik secara lokal maupun lokal melalui tindakan jarak jauh Pejabat pemerintah perlu mempertimbangkan perubahan besar dalam risikonya dan strategi komunikasi, dan menjadi kekuatan kemudi untuk sumber bantuan yang sangat kuat ini, informasi dan energi.

Identifying survivors and victims Public relations dapat menggunakan media sosial untuk mengidentifikasi korban, baik yang selamat maupun yang meninggal dengan bantuan masyarakat, pemerintah, aparat dan juga relawan, walaupun tentu harus ada penyeleksian atau cross

457 check data, dan berhati-hati dalam mempublikasikan korban baik selamat maupun meninggal tersebut.

Managing reputational effects Berbagai rumor kerap muncul dalam sebuah krisis, baik yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, atau bahkan dari pemberitan para wartawan yang tidak berdasarkan data akurat. Melalui penggunakan media sosial, Public relations dapat berkomunikasi dengan seluruh stakeholders maupun masyarakat umum dalam mengimbangi berbagai informasi yang bersifat rumor tersebut. Menjadi catatan dalam hal ini, penting bagi public relations untuk senantiasa terbuka terhadap berbagai keluhan dan kritik, dan merespon nya dengan cara yang tepat. public relations bekerja dengan memberikan tweet positif dan postingan penting lainnya di media sosial sebagai bentuk kehadiran organisasi dalam krisis tersebut serta tidak membiarkan situasi menjadi lebih buruk dan terkendali, yang dapat terjadi sewaktu-waktu dengan sangat cepat. Media sosial digunakan tidak hanya untuk berkomunikasi tapi juga untuk mendengarkan.

Providing incentives to collect funding and support Public relations dalam pengelolaan komunikasi krisis dapat juga meggunakan media untuk penggalangan dana dan dukungan. Lebih penting sebetulnya adalah mengetahui lebih spesifik apa yang dibutuhkan dan sebaiknya penggalangan dana tidak dilakukan selama fase krisis; akan lebih efisien dilakukan pada fase pasca krisis, ketika membutuhkan pemulihan dan itupun dilakukan jika dirasa memang sangat dibutuhkan.

458

Learning from the crisis ex post Media sosial dapat digunakan setelah krisis dalam rangka memfasilitasi proses pembelajaran serta sebagai bahan penelitian terkait krisis. Beberapa situs web dapat membantu menyimpan catatan, arsip, tweets, yang menghubungkannya dengan timeline dan mapping krisis. Penelitian tersebut dapat menjadi masukan penting bagi perbaikan dalam melakukan komunikasi krisis dimasa-masa mendatang.

Improving partnerships and cooperation between national and international players, between public and private actors Meningkatkannya kerjasama dan kemitraan antar organisasi baik dalam level lokal, nasional dan internasional, maupun antara organisasi dengan berbagai lapisan masyarakat dalam penanganan krisis menjadi modal berharga bagi organisasi dalam membangun sinergisistas dimasa mendatang.

Building trust Penggunaan media sosial dalam komunikasi krisis oleh public relations dapat membangun kepercayaan dari publiknya. Studi menunjukkan bahwa semakin banyak publik yang terlibat dengan organisasinya secara online, maka akan semakin meningkat kepercayaan publik terhadap organsasi tersebut.

Enhancing recovery management Media sosial dapat digunakan untuk meningkatkan manajemen pemulihan dengan dua cara: melalui pengiriman informasi tentang rekonstruksi dan pemulihan serta melalui penyediaan manajemen stres. Media sosial dapat berperan setelah krisis dalam meningkatkan pemulihan dan rekonstruksi. Rencana komunikasi harus terstruktur sesuai dengan fase krisis, dan karena

459 tidak mungkin menghentikan media sosial, maka harus memastikan kontinuitas penggunaan media sosial dalam siklus manajemen resiko.

SIMPULAN Hasil kajian ini tidak untuk mengeneralisasir namun memberikan wawasan tentang bagaimana public relations dalam sebuah organisasi menggunakan media sosial dalam komunikasi krisis. Tidak ada sebuah organisasi yang kebal terhadap krisis, krisis dapat terjadi sewaktu-waktu tanpa dapat diprediksi kapan munculnya, apalagi di era online saat ini. Komunikasi krisis menjadi penting dalam meminimalisir dampak krisis bagi organisasi, disinilah peran public relations dalam melakukan komunikasi krisis baik sebelum, selama ataupun sesudah krisis dengan membangun komunikasi yang baik dengan publiknya, hal itu dapat dilakukan dengan mengoptimalkan keberadaan media sosial yang notabene telah menjadi media komunikasi utama bagi sebagian besar publiknya dalam memperoleh informasi. Public relations menggunakan media sosial dalam komunikasi krisis, dapat menggunakan rumusan yang dikemukan oleh Wendling, Radisch, & Jacobzone (2013), yaitu untuk; Raising public awareness about risks and crises, Surveillance, monitoring, situation awareness and early warning system, Improving preparedness, Providing information and warning, Improving crisis response through mobilising volunteers, Identifying survivors and victims, Managing reputational effects, Providing incentives to collect funding and support, Learning from the crisis ex post, Improving partnerships and cooperation between national and international players, between public and private actors, Building trust dan Enhancing recovery management.

460

DAFTAR PUSTAKA Coombs, W. T. (2007). Crisis Management and Communications. Retrieved September 29, 2017, from http://www.instituteforpr.org/crisis-management-and- communications/ Coombs, W. T. (2010). Parameters for Crisis Communication. In W. T. Coombs & S. J. Holladay (Eds.), The Handbook of Crisis Communication. Malden: Wiley-Blackwell. Crawford, Kate, & Shaw, Frances (2013) Social media and its impact on crisis communication: Case studies of Twitter use in emergency management in Australia and New Zealand. In ICA Regional Conference : Communication and Social Transformation, 8-10 November 2013, Shanghai, China. Fearn-Banks, K. (2011). Crisis communications: a casebook approach (4th ed.). New York: Routledge. Graham, M. W., Avery, E. J., & Park, S. (2015). The role of social media in local government crisis communications. Public Relations Review, 41(3), 386–394. Retrieved from http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S036381 1115000077 Kelly, W. (2014). Social Media : An Effective Tool for Risk and Crisis Communication ? San Jose State University. Matejic, N. (2015). Social Media Rules of Engagement: why your online narrative is the best weapon during a crisis. Melbourne: John Wiley & Sons Australia, Ltd. Veil, S. R., Buehner, T., & Palenchar, M. J. (2011). A Work-In- Process Literature Review: Incorporating Social Media in Risk and Crisis Communication. Journal of Contingencies and Crisis Management, 19(2), 110–122. https://doi.org/10.1111/j.1468-5973.2011.00639.x Ward, C. (2011). Social Media And Crisis Communication: Are Organizations Using Social Media In Times Of Crisis? Ball State University, Muncie, Indiana. Wendling, C., Radisch, J., & Jacobzone, S. (2013). The Use of Social Media in Risk and Crisis Communication (No. 24). Paris.

461

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1787/5k3v01fskp9s-en White, C. (2011). Social Media, Crisis Communication and Emergency Management: Leveraging Web 2.0 Technologies. New York: CRC Press. Wigley, S., & Zhang, W. (2011). A Study of PR Practitioners’ Use of Social Media in Crisis Planning. Public Relations Journal, 5(3), 1–16. https://doi.org/1942-4604