Perempuan Dan Agama Dalam Novel Indonesia
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
JURNAL STUDI GENDER & ANAK PEREMPUAN DAN AGAMA DALAM NOVEL INDONESIA Maman S. Mahayana*) *) Penulis adalah dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok. Sekarang dia menjadi dosen tamu (Visiting Professor) pada Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul. Abstract: In Indonesian literature, there have emerged novelist women who give much influence. Along time, they through development, both on theme and structure of those texts. Recently, however, precisely post-New order era, Indonesian novelist women haven't yet come out from their own problems. They still emphasize gender problems that became issue as struggle against male establishment. These struggles realized at questioning to religion and culture. These two domain became their criticism target because both made women imprisoned at their own life. Keywords: women, Novel, literary, culture, and religion. A. PENGANTAR “Kebangkitan Novelis Pria”, demikian judul berita Harian Republika yang mewartakan pengumuman Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2006 (18 Maret 2007, hal. B10). Rupanya, judul berita itu hendak menegaskan kembali pernyataan Ketua DKJ, Marco Kusumawijaya, “Kenyataan ini sekaligus menepis anggapan masa depan sastra Indonesia berada di bawah dominasi penulis perempuan.” Sebelumnya, harian Seputar Indonesia (11 Maret 2007, hal. 13), menulis judul “Jeda Dominasi Sastra Hawa” yang pemberitaannya tidak jauh berbeda. Di sana, juga dikutip pernyataan Ketua DKJ. Menurutnya, dominasi kaum laki-laki dalam perhelatan kali ini sekaligus menepis anggapan bahwa masa depan sastra Indonesia sangat bergantung pada kaum perempuan.1 Jika benar pernyataan itu, sebagaimana yang dikutip kedua surat kabar itu, maka secara subjektif, penulis menangkap kesan adanya masalah yang bukan jatuh pada segi kualitas, melainkan pada persoalan gender. Seolah-olah, kiprah kaum perempuan dalam kesusastraan Indonesia –dan mungkin juga dalam bidang lain—dipandang sebagai ancaman akan posisi—dominasi (baca: kekuasaan) laki-laki. Seolah-olah lagi, isu penting sastra Indonesia adalah perkara gender, dan bukan kualitas. Bagi penulis, judul berita dan pernyataan di atas merepresentasikan kondisi sebenarnya sebagian besar sikap dan pandangan kaum lelaki dalam berhadapan dengan perempuan. Mengapa persoalan gender yang dijadikan isu, dan bukan peningkatan kualitas? Dalam sistem sastra,2 pengarang –sebagai penghasil karya, penerbit atau media massa sebagai lembaga yang memungkinkan karya sastra itu diproduksi dan direproduksi, dan pembaca sebagai pihak yang memberi makna atas karya—diyakini tidak berdiri sendiri, melainkan hadir saling mempengaruhi. Oleh karena itu, dilihat dari perspektif sistem sastra, judul berita dan pernyataan itu, bersifat ideologis. Dalam hal ini, yang dimasalahkan bukan teks sebagai objek kajian, melainkan sistem pengarang dan lebih khusus lagi, terkait perkelaminannya. Demikianlah, dalam sistem sastra, jika teks itu sendiri tidak diterjemahkan secara tekstual, melainkan secara kontekstual, yang digantungkan pada kecenderungan memasalahkan gender, maka sangat mungkin tafsir atas teks berikut pemaknaan dan penilaiannya akan mengandung kecenderungan itu. Dalam hal ini, unsur di luar teks, tidak jarang ikut mempengaruhi pemaknaan seseorang atas tafsir dan nilai teks ketika berbagai kepentingan hadir di sana. Oleh sebab itu, teks pada akhirnya tidak dapat Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto YINYANG ISSN: 1907-2791 Vol.5 No.1 Jan-Jun 2010 pp.65-87 JURNAL STUDI GENDER & ANAK dilepaskan dari konteks yang melatarbelakangi dan melatardepaninya. Ini pula yang terjadi dalam teks sastra Indonesia modern; dalam hampir sepanjang usianya yang mencapai satu abad lamanya. Perlu dicatat bahwa kesusastraan Indonesia –seperti juga bahasa Indonesia—lahir dan bergulir melalui tiga jalur perkembangan. Pertama, melalui penerbit swasta, terutama penerbit yang dikelola golongan peranakan Tionghoa. Berdasarkan catatan Claudine Salmon,3 perkenalan yang lebih awal golongan masyarakat ini dengan alat cetak memungkinkan mereka dapat mendirikan usaha penerbitan yang menerbitkan buku, majalah, dan surat kabar.4 Belakangan, golongan pribumi juga mencoba usaha penerbitan ini. Di Medan, misalnya, Hamka dan Helmi Yunan Nasution coba menerbitkan majalah Pedoman Masjarakat (1935). Beberapa karya Hamka pada awalnya dipublikasikan melalui majalah ini. Sutan Takdir Alisjahbana, juga mendirikan penerbit Dian Rakyat. Penerbit inilah yang kemudian menerbitkan novel Belenggu karya Armijn Pane.5 Kedua, melalui media massa –surat kabar dan majalah. Dalam buku-buku sejarah sastra Indonesia, hampir tidak pernah tercatat karya sastra yang dipublikasikan atau diterbitkan di media massa sebagai bagian dari khazanah kesusastraan Indonesia. Jika mencermati media massa yang terbit pada awal abad ke-20 (1906—1928), tidak dapat dinafikan bahwa sesungguhnya pada masa itu telah berlahiran para penulis wanita.6 Ketiga, melalui penerbitan Balai Pustaka. Mengingat Balai Pustaka merupakan lembaga kolonial (Belanda), maka buku-buku yang diterbitkan lembaga itu isinya harus sejalan dengan kebijaksanaan politik kolonial. Pendirian Balai Pustaka sendiri memang dimaksudkan untuk menangkal pengaruh bacaan yang diterbitkan pihak partikulir atau penerbit swasta yang dikatakannya sebagai “Saudagar kitab yang kurang suci hatinya.”7 Muncullah cap “bacaan liar” yang sengaja dilekatkan pada buku-buku terbitan pihak partikulir itu. Melalui perkembangan lewat jalur Balai Pustaka inilah, kesusastraan Indonesia begitu kuat menanamkan pengaruhnya, terutama dalam sistem pengajaran di sekolah.8 B. MASA PENERBITAN BALAI PUSTAKA Pengaruh Balai Pustaka yang begitu luas dan kokoh itu, ternyata tidak diikuti oleh jumlah pengarang dan jumlah buku yang diterbitkannya. Dalam hal ini, secara kuantitatif, jumlah buku, terutama novel yang diterbitkan pihak swasta berikut pengarangnya, masih jauh lebih banyak dibandingkan buku dan pengarang Balai Pustaka.9 Di antara sejumlah sastrawan Balai Pustaka yang muncul pada masa itu, tercatat tiga pengarang wanita, yaitu Paulus Supit, Selasih (=Sariamin =Seleguri), dan Hamidah (=Fatimah Hasan Delais). Kecuali novel Paulus Supit, Kasih Ibu (1932), Selasih, Kalau tak Untung (1933) dan Hamidah, Kehilangan Mestika (1935), seperti juga tema umum novel terbitan Balai Pustaka masa itu, yakni mengangkat tema berkisar pada persoalan percintaan yang tidak berjalan mulus dan perkawinan yang gagal. Tema lain yaitu penderitaan yang dihadapi kaum wanita akibat perbuatan laki-laki yang ingkar janji. Dalam novel mereka, tokoh utama perempuan, jatuh sebagai pecundang. Akan tetapi, di dalam novel Kasih Ibu, Paulus Supit menggambarkan tokoh ibu –yang janda— berhasil mengantarkan anak-anaknya meraih sukses sebagai guru. Dari sekitar 80-an novel yang diterbitkan Balai Pustaka (1920–1941), hanya novel Kasih Ibu karya Paulus Supit itulah yang menggambarkan tokoh perempuan tidak jatuh sebagai pecundang. Bahkan, berkat keberhasilan tokoh ibu itu pula, masyarakat di desanya mulai menyadari pentingnya arti pendidikan. Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto YINYANG ISSN: 1907-2791 Vol.5 No.1 Jan-Jun 2010 pp.65-87 JURNAL STUDI GENDER & ANAK Apabila dilihat dari ketiga jalur perkembangan sastra Indonesia, seperti yang disebutkan di atas, kehadiran pengarang perempuan ramai terjadi justru di luar Balai Pustaka.10 Akan tetapi, lantaran Balai Pustaka didukung keuangan pemerintah, menjadi bahan bacaan di berbagai peringkat sekolah, dan pendistribusian buku-bukunya melalui perpustakaan-perpustakaan keliling sampai ke pelosok desa, maka pengaruhnya jauh lebih luas dan mengakar. Sastra Indonesia pada akhirnya seperti dikembangkan hanya oleh peranan Balai Pustaka.11 Dua novel yang terbit pada zaman Jepang, Cinta Tanah Air (Balai Pustaka, 1944) karya Nur Sutan Iskandar, dan Palawija (Balai Pustaka, 1944) karya Karim Halim, agaknya mewakili gambaran umum kesusastraan Indonesia pada masa itu. Dalam dua novel itu, kita akan melihat, betapa hampir semua tokoh wanitanya, tidak hanya memperlihatkan semangat membela Tanah Air, tetapi juga ikut terjun membantu perjuangan di medan pertempuran. Tokoh-tokoh ibu, istri, atau anak perempuan, nyaris semuanya digambarkan sebagai pendorong semangat para pejuang. Bahkan, dalam novel Palawija, peristiwa perkawinan tokoh Sumardi –guru, pribumi—dan Sui Nio, gadis keturunan Tionghoa, seperti hendak memperlihatkan pentingnya berbagai suku bangsa menyatu dalam semangat bangsa Asia dan dalam usaha membela Perang Asia Raya.12 Novel terbitan Balai Pustaka sebelum merdeka, secara tematik, tidak ada yang menyinggung persoalan agama. Meski begitu, citra Islam yang dilekatkan pada tokoh haji dan pemuka adat digambarkan begitu negatif. Sementara itu, gambaran tokoh perempuan, kecuali dalam Kasih Ibu karya Paulus Supit dan novel yang terbit pada zaman Jepang, sebagian besar jatuh sebagai pecundang yang kalah oleh perbuatan brengsek tokoh laki-laki. C. SEUSAI INDONESIA MERDEKA Selepas merdeka, jumlah pengarang wanita mulai bertambah. Beberapa di antaranya patut pula diperhitungkan. Arti Purbani (istri Husein Djajadiningrat) mengawali periode ini lewat novelnya Widiyawati (1949). Ceritanya sendiri sebenarnya agak bertele-tele lantaran hampir semua tokoh dalam novel itu diungkapkan panjang lebar. Meskipun begitu, titik pusatnya jatuh pada tokoh utama Widi- yawati (Widati) yang harus berhadapan dengan tradisi keluarganya, yang kukuh berpegang pada adat kebangsawanannya. Pengarang-pengarang wanita lainnya, di antaranya Luwarsih Pringgoadisuryo, Titis Basino, Th. Sri Rahayu Prihatmi,