NILAI SOSIAL DALAM NOVEL KUBAH KARYA AHMAD TOHARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA DI SMA

SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)

Oleh: Siti Humaeroh Miladiyah 109013000018

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH 2014

ABSTRAK

Siti Humaeroh Miladiyah, NIM: 109013000018. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul skripsi, “Nilai Sosial dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA”. Pembimbing: Novi Diah Haryanti, M.Hum.

Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra yaitu mengkaji hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, bagaimana hubungan itu terjadi, dan apa akibat yang ditimbulkan atas hubungan tersebut. Penelitian ini mendeskripsikan unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari, diantaranya: tema, tokoh dan penokohan, alur, latar (tempat, waktu, suasana, dan sosial), sudut pandang, dan gaya bahasa. Selain itu, hasil penelitian ini dapat menemukan nilai sosial yang terkandung dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari. Nilai sosial yang dimaksud yaitu hubungan manusia dengan masyarakat, diantaranya: nilai agama, musyawarah, gotong-royong, tolong menolong, saling memaafkan, kasih sayang, serta tanggung jawab. Nilai sosial ini merupakan ciri khas sifat masyarakat Pegaten yang ramah menerima kembali kehadiran sosok manusia yang pernah terjerumus ke dalam politik yang mengakibatkan dirinya diasingkan ke pulau buangan. Banyak hikmah yang dapat diambil dari kehidupan masyarakat Pegaten setelah menganalisis unsur intrinsik serta nilai sosial yang terkandung di dalamnya sehingga dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesiadi sekolah, dalam aspek membaca. Pada pembelajaran ini, kompetensi yang harus dicapai peserta didik ialahmemahami struktur dan kaidah teks novel baik melalui lisan maupun tulisan,dengan menjelaskan unsur-unsur intrinsik dalam novel serta menemukan nilai sosial dalam novel Kubah, sertamengembangkan sikap apresiatif dalam menghayati karya sastra.

Kata Kunci: nilai sosial,novel Kubah, Pegaten, Ahmad Tohari.

iii

ABSTRACT

Siti Humaeroh Miladiyah, NIM: 109 013 000 018. Department of Education and Literature, Faculty of Tarbiyah and Teaching, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. The title essay, "The Social Value of Work in Ahmad Tohari Novel Kubah and Implications of Learning Language and Literature in high school". Supervisor: Diah Novi Haryanti, M.Hum.

This study uses sociological approach to literature that examines the relationship between literature and society, how does it happen, and what the impact of the above relationships. This study describes the elements contained in the novel intrinsic Kubah by Ahmad Tohari, including: theme, character and characterization, plot, setting (place, time, atmosphere, and social), angle of view, and style. In addition, the results of this research can find the social values embodied in the novel by Ahmad Tohari Kubah. In addition, the results of this study also found that the values embodied in the novel by Ahmad Tohari Kubah, ie, social value. Social value is that human relationships with the community, including: religious values, consensus, mutual help, mutual help, mutual forgiveness, compassion, and responsibility. The social values are characteristic properties Pegaten friendly community receive the presence of the human figure ever fall into the resulting political exiles himself exiled to the island. Many of the lessons learned from public life Pegaten after analyzing the intrinsic elements as well as social values contained in it so it can be implied to learning English and Literature Indonesiadi school, in the aspect of reading. In this study, competency to be achieved learners ialahmemahami novel structures and rules text either through oral or written, to explain the intrinsic elements in the novel and find social value in the novel Kubah, appreciative attitude in living literature.

Keywords: social values, novel Kubah, Pegaten, Ahmad Tohari.

iv

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil „alamin, segala puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa akan segala sesuatu yang berada di seluruh alam raya, yang menciptakan kenikmatan dan memberikan rahmat serta karunia-Nya, sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.Salawat dan salam semoga senantiasa Allah SWT berikan kepada Nabi Muhammad SWA, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Dalam penyelesaian penelitian ini, penulis banyak menerima saran, petunjuk, bimbingan, dan masukkan dari berbagai pihak. Penulis berutang jasa kepada mereka yang telah mendampingi dalam proses penyelesaian skripsi sebagai tugas akhir menempuh S1. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Nurlena Rifa‟i, M.A, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dra. Mahmudah Fitriyah ZA,M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 3. Novi Diah Haryanti, M.Hum selaku dosen pembimbing skripsi,yang telah memberikan bimbingan, semangat, dan meminjamkan buku koleksi perpustakaan pribadi sebagai penunjang penelitian, sehingga peneliti yakin penelitian ini dapat terselesaikandengan baik. “Terima kasih, Bu. You are my inspiration.” 4. Ayahanda Nasrudin dan Ibunda Sopiah selaku orang tua penulis, serta keluarga besar penulis yang senantiasa mendoakan setiap saat, memberikan dorongan moral, serta memotivasi penulis, sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik. 5. Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah memberi ilmu pengetahuan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.

v

6. Teman-teman PBSI seperjuangan angkatan 2009, khususnya kelas Ayang dengan sabar selalu membantu dan memberi informasi kepada penulis. 7. Para sahabatku, diantaranya:Dini, Hasna, Windi, Yulia, Dewi, Nita, Ria, Wiwi yang tidak henti-hentinya selalu memberikan semangat kepada penulis serta membantu penulis dalam mencari referensi yang berkaitan dalam penelitian ini. 8. Terima kasih untuk Nuryahya, yang telah menyempatkan waktunya untuk menemani serta mengantar penulis dalam mencari referensi yang terkait dengan penelitian ini. 9. Teman seperjuanganku yaitu, Reni Rahmawati yang selalu memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. 10. Pimpinan dan karyawan perpustakaan FITK dan UIN Jakarta, yang telah memberikan kemudahan bagi peneliti dalam memperoleh bahan ataupun informasi. 11. Terima kasih pula kepada semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian penelitian ini. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian.

Jakarta, 6 Mei 2014

Penulis

vi

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ...... i LEMBAR PERNYATAAN ...... ii ABSTRAK ...... iii ABSTRACT ...... iv KATA PENGANTAR ...... v DAFTAR ISI ...... vii BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 3 C. Batasan Masalah ...... 4 D. Rumusan Masalah ...... 4 E. Tujuan Penelitian...... 4 F. Manfaat Penelitian...... 4 G. Metode Penelitian ...... 5

BAB II LANDASAN TEORI ...... 8 A. Pengertian Novel ...... 8 B. Unsur Intrinsik Novel ...... 9 1. Tema ...... 9 2. Alur ...... 11 3. Tokoh dan Penokohan ...... 12 4. Latar atau Setting ...... 13 5. Sudut Pandang ...... 15 6. Gaya Bahasa ...... 16 C. Pengertian Sosiologi Sastra ...... 17 D. Nilai Sosial dalam Karya Sastra ...... 20 1. Hakikat Nilai ...... 20 2. Hakikat Sosial ...... 21 3. Hakikat Nilai Sosial ...... 22 4. Macam-Macam Nilai Sosial ...... 23

vii

E. Hakikat Pembelajaran Sastra ...... 25 F. Penelitian yang Relevan ...... 26

BAB III PROFIL AHMAD TOHARI ...... 30 A. Biografi Ahmad Tohari ...... 30 1. Karya Ahmad Tohari ...... 32 2. Penghargaan yang Pernah Diraih ...... 33 B. Data Novel Kubah ...... 33 C. Sinopsis Novel Kubah ...... 34

BAB IV PEMBAHASAN ...... 37 A. Analisis Unsur Intrinsik dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari 37 1. Tema ...... 37 2. Alur ...... 38 3. Tokoh dan penokohan ...... 45 4. Latar ...... 58 5. Sudut Pandang ...... 68 6. Gaya Bahasa ...... 69 B. Nilai Sosial dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari ...... 71 1. Hubungan Manusia dengan Masyarakat ...... 73 2. Hasil Penemuan Nilai Sosial ...... 93 C. Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia101

BAB V PENUTUP ...... 104 A. Simpulan ...... 104 B. Saran ...... 105 DAFTAR PUSTAKA ...... 106

viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Karya sastra hadir sebagai wujud nyata imajinatif kreatif seorang sastrawan dengan proses yang berbeda antara pengarang yang satu dengan pengarang lain, terutama dalam penciptaan cerita fiksi. Proses tersebut bersifat individualis artinya cara yang digunakan oleh tiap-tiap pengarang dapat berbeda. Perbedaan itu meliputi beberapa hal diantaranya metode, munculnya proses kreatif, dan cara mengekspresikan apa yang ada dalam diri pengarang hingga bahasa penyampaian yang digunakan. Lahirnya sebuah karya sastra merupakan reaksi dari keadaan yang terjadi di lingkungan tempat karya sastra itu tercipta yang dihasilkan oleh seorang pengarang. Dalam menganalisis karya sastra, peneliti harus berangkat dari latar manusia yang digambarkan dalam karya sastra tersebut karena karya sastra merupakan gambaran kehidupan masyarakat serta jiwa tokoh yang hidup di suatu masa, tempat, dan bersifat fiksi. Melalui karya sastra sering diketahui keadaan, cuplikan-cuplikan kehidupan masyarakat, seperti dialami, dicermati, ditangkap, dan direka oleh pengarang.1Sastra dan masyarakat erat kaitannya karena pada dasarnya keberadaan sastra sering bermula dari persoalan dan permasalahan pada manusia serta lingkungannya. Kemudian, dengan adanya imajinasi yang tinggi seorang pengarang tinggal menuangkan masalah-masalah disekitarnya menjadi sebuah karya sastra. Salah satu karya sastra yang dapat dikaji dalam pembelajaran sastra, yaitu, novel. Novel dapat dikaji dari beberapa aspek, misal penokohan, isi, cerita, latar, alur dan makna. Salah satu ciri teks sastra yang multiinterpretasi membuat tanggapan pembaca terhadap satu novel yang sama tentu akan berbeda-beda sesuai dengan tingkat pemahaman dan daya imajinasi pembaca. Hal tersebut

1Riris K. Toha-Sarumpaet, Sastra Masuk Sekolah, (Indonesia Tera Anggota IKAPI: Magelang, 2002), h. 37.

1

2

membuat pengajaran sastra yang merupakan bagian dari pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah menjadi lebih menarik, terlebih jika guru mampu memilih bahan ajar yang pas untuk didiskusikan di kelas. Pengajaran apresiasi sastra di sekolah merupakan rangka memperkenalkan karya sastra kepada siswa. Hal tersebut bertujuan agar siswa memiliki kemampuan menghayati, memahami, dan menikmati serta menilai karya sastra yang dibacanya. Setelah usaha itu dilakukan siswa diharapkan dapat mengambil manfaat dari karya yang dibacanya. Siswa diharapkan akan meneladani sikap dan nilai-nilai kehidupan yang positif dari tokoh-tokoh yang ada di dalam karya satra itu. Salah satu yang dapat dipakai dalam pembelajaran sastra di sekolah ialah novel Kubah karya Ahmad Tohari. Novel Kubah berisikan tentang seorang aktivis politik yang sempat terjerumus ke jalan yang salah, yaitu tokoh Karman. Sewaktu kecil, hidup Karman sangat sederhana setelah ditinggal ayahnya untuk selamanya. Semasa kecilnya ia sudah diajarkan bekerja keras, sehingga untuk makan sehari- harinya ia harus bekerja pada keluarga Haji Bakir. Ketika dewasa ia dikenal sebagai sosok yang cerdas dan sangat berpotensi dalam bidang politik. Meskipun demikian, ia memiliki sifat mudah terpengaruh oleh orang lain. Hal tersebut menjadikannya terjerumus kejalan yang salah. Ia menjadi salah satu anggota PKI. Akibat perbuatannya tersebut, membuat dirinya diasingkan ke pulau Buangan. Selama dalam pengasingan Karman menyadari semua kesalahan yang telah dilakukannya itu. Sampai tibanya Karman dibebaskan dari pulau B, ia bermaksud pulang ke kampung halamannya, Pegaten. Namun, Karman ragu untuk pulang kembali ke Pegaten. Keraguan yang menghinggapi dirinya hilang seketika, ketika ia diterima kembali oleh masyarakat Pegaten. Hingga pada suatu ketika, Karman melihat masjid milik Haji Bakir telah usang dan terlihat sangat tua. Ia ingat dengan pendidikan keterampilan bertukang saat dia berada di penjara. Karman lalu menemui Haji Bakir, dan menawarkan diri untuk membangun kubah asalkan materialnya disediakan, dan Haji Bakir menyetujuinya. Hingga akhirnya proses pembuatan kubah dan perbaikan masjid itu selesai. Karman beserta yang 3

lainnya sangat puas. Setelah itu, Karman menjadi sosok manusia yang rajin ibadah. Ahmad Tohari merupakan salah satu sastrawan yang karyanya tidak terlepas dari latar pedesaan serta nilai agama dan nilai sosial di dalamnya. Latar pedesaan yang selalu dipakai dalam karyanya merupakan kekuatan bagi dirinya untuk menggambarkan bagaimana memainkan para tokoh dalam karyanya. Selain itu, dalam karyanya Ahmad Tohari selalu menggambarkan peristiwa G30S PKI, ia bercerita tentang anak desa yang terjun ke dalam partai komunis. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam salah satu karyanya yang berjudul Kubah. Bila dilihat dari segi unsur intrinsik serta nilai-nilai yang terkandung di dalam novel Kubah sangat menarik untuk dipelajari oleh siswa tingkat SMA. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk membuat penelitian yang berjudul “Nilai Sosial dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.”

B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka identifikasi masalah dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Siswa kesulitan menganalisis nilai sosial yang terkandung di dalam novel Kubah. 2. Siswa sulit membandingkanrelevansi antara novel Kubah dengan situasi masyarakat zaman sekarang. 3. Kurangnya minat baca siswa terhadap buku pembelajaran. 4. Siswa dituntut untuk memahami isi cerita novel Kubah. 5. Pembaca kesulitan dalam menganalisis konflik bathin tokoh Karman yang terlalu rumit. 6. Siswa kesulitan memahami unsur intrinsik teks. 7. Bahan ajar sastra di sekolah kurang variatif.

4

C. Batasan Masalah Berdasarkan banyaknya identifikasi masalah yang ada, maka penelitian ini hanya dibatasi pada: 1. Unsur intrinsik dalam novel Kubah, 2. Nilai sosial dalam novel Kubah dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di SMA.

D. Rumusan Masalah 1. Bagaimana unsur intrinsik dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari? 2. Bagaimana nilai sosial yang terkandung dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari? 3. Bagaimana implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia?

E. Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan unsur intrinsik dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari. 2. Mendeskripsikan nilai-nilai sosial dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari. 3. Mendeskripsikan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.

F. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi para pembaca, baik bersifat teori maupun praktis. Manfaat Teori: 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan perkembangan ilmu sastra, khususnya terkait nilai sosial karya sastra. 2. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk memperkaya penggunaan teori-teori sastra secara teknik analisis terhadap karya sastra. Manfaat Praktis: 5

1. Bagi pembaca penelitian ini dapat menambah minat baca dalam mengapresiasikan karya sastra. 2. Bagi peneliti, penelitian ini dapat mempermudah peneliti yang ingin mengambil novel Kubah sebagai bahan kajian untuk memperkaya wawasan sastra dan menambah khasanah penelitian sastra Indonesia sehingga bermanfaat bagi perkembangan sastra Indonesia.

G. Metode Penelitian Adapun metode penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat yang digunakan dalam penelitian ini tidak terikat pada suatu tempat karena objek yang dikaji berupa naskah (teks) novel. Artinya setiap tempat dapat digunakan jika memungkinkan dan mendukung untuk dilaksanakan penelitian. Waktu yang digunakan dalam penelitian mulai dari 15 Februari 2013 sampai dengan 4 Mei 2014. 2. Sumber Data Sumber data merupakan tempat ditemukannya data-data yang akan ditulis. Adapun sumber data dalam penelitian ini berupa sumber data tertulis yang terdapat pada novel Kubah karya Ahmad Tohari. Sumber data yang diperoleh yaitu berdasarkan cerita atau analisis tentang novel Kubah maupun analisis pengarang dengan karya-karyanya. 3. Teknik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data, penulis menggunakan teknik pustaka yaitu dengan menganalisis isi. Pada analisis ini peneliti menyimak kemudian mencatat dukomen-dokumen yang diambil dari data primer yang berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian. Datanya berupa novel, maka peneliti mencoba menelaah isi novel. Adapun langkah-langkah pengumpulan data dalam novel Kubah yaitu: 1. Membaca secara cermat novel Kubah karya Ahmad Tohari, 2. Menentukan unsur intrinsik dalam novel Kubah 6

3. Mencatat kalimat yang menggambarkan adanya nilai-nilai sosial dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari, 4. Menganalisis nilai-nilai sosial dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari. 4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data adalah proses mengatur urutan data menggolongkannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Kegiatan analisis data itu dilakukan dalam suatu proses. Proses berarti pelaksanaannya sudah mulai sejak pengumpulan data dilakukan dan dikerjakan secara itensif. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode pembacaan heuristik merupakan cara kerja yang dilakukan oleh pembaca dengan menginterprestasikan teks sastra secara referensial. Pembacaan heuristik juga dapat dilakukan secara struktural. Kerja heuristik menghasilkan pemahaman makna secara harfiah, makna tersurat.2 Tahap pertama analisis data dalam penelitian ini adalah pembacaan heuristik yaitu penulis menginterprestasikan teks novel Kubah melaui dengan membaca cermat dan teliti tiap kata, kalimat, ataupun paragraf dalam novel guna analisis unsur intrinsik. Selain itu, pembaca heuristik digunakan untuk menemukan nilai-nilai sosial dalam novel Kubah. Tahap kedua penulis melakukan pembacaan hermeneutik yakni dengan menafsirkan makna peristiwa atau kejadian-kejadian yang terdapat dalam novel Kubah hingga dapat menemukan nilai-nilai sosial dalam cerita tersebut. 5. Prosedur Penelitian Berikut merupakan prosedur penelitian dalam skripsi ini, yaitu: a. Pembacaan Data Pembacaan data dalam penelitian ini dengan menggunakan dua metode, yaitu heuristik dan humanistik. Kedua metode ini telah dijelaskan sebelumnya pada bagian Teknik Analisis Data.

2 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 32 7

b. Reduksi Data Pada langkah ini data yang diperoleh dicatat dalam uraian yang terperinci. Dari data-data yang sudah dicatat tersebut, kemudian dilakukan penyederhanaan data. Data-data yang dipilih hanya data yang berkaitan dengan masalah yang akan dianalisis, dalam hal ini tentang nilai-nilai sosial dalam novel Kubah. Informasi-informasi yang mengacu pada permasalahan itulah yang menjadi data dalam penelitian ini. c. Penyajian Hasil Identifikasi dan Klasifikasi Data Pada langkah ini data-data yang sudah ditetapkan kemudian disusun secara teratur dan terperinci agar mudah dipahami. Data-data tersebut kemudian dianalisis sehingga diperoleh deskripsi tentang nilai-nilai sosial pada novel Kubah karya Ahmad Tohari. BAB II LANDASAN TEORI

A. Pengertian Novel Kata novel berasal dari bahasa Latin novellas yang terbentuk dari kata novus berarti baru atau new dalam bahasa Inggris. Ada juga yang mengatakan bahwa novel berasal dari bahasa Itali novella artinya sama dengan bahasa Latin. Novel juga diartikan sebagai suatu karangan atau karya sastra yang lebih pendek daripada roman, tetapi jauh lebih panjang daripada cerita pendek, isinya hanya mengungkapkan suatu kejadian penting, menarik dari kehidupan seseorang (dari suatu episode). Perwatakan pelaku-pelakunya digambarkan secara garis besar saja, tidak sampai pada masalah yang sekecil-kecilnya. Kejadian yang digambarkan itu mengandung suatu konflik jiwa dan mengakibatkan adanya perubahan nasib.1 Novel (Inggris: novel) merupakan bentuk karya sastra sekaligus disebut fiksi, bahkan dalam perkembangannya, kemudian novel dianggap bersinonim dengan fiksi. Sebutan novel dalam bahasa Inggris—dan inilah yang kemudian masuk ke Indonesia—berasal dari bahasa Italia novella (dalam bahasa Jerman: novelle). Secara harfiah novella berarti „sebuah barang baru yang kecil‟, dan kemudian diartikan sebagai „cerita pendek dalam bentuk prosa.2 Ketika membaca novel hanya sebagian saja, hal seperti ini membuat si pembaca tidak akan dapat memahami keseluruhan makna cerita di dalam novel, selain itu juga dikarenakan novel tersebut memang sukar dipahami. Dengan demikian, novel hanya dapat lebih dipahami oleh pembaca yang melakukan suatu analisis ketika membacanya. Dalam hal ini, kegiatan menganalisis karya sastra hasilnya dapat digunakan untuk mencoba menerangkan peranan masing-masing unsur yang terdapat dalam cerita, seperti bagaimana kaitan unsur-unsur tertentu seperti penokohan, pelataran, penyudutan, dan sebagainya.

1 Wijaya dan Sri Wahyuningtyas, Pengantar Apresiasi Prosa, (Yuma Pustaka: Surakarta, 2010), h. 46 2Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Gadjah Mada Universty Press: Yogyakarta, 2000), h. 9

8 9

Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, berupa model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, kemudian dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain- lain. Dari semua itu tentu saja juga bersifat imajinatif.3 Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa novel adalah suatu cerita fiksi yang terdiri dari tokoh, tema, alur, latar. Novel merupakan bagian dari karya sastra yang berbentuk fiksi atau cerita rekaan, namun ada pula merupakan kisah nyata. Selain itu, novel merupakan sebuah cerita fiktif yang menggambarkan atau melukiskan kehidupan tokoh-tokohnya dengan menggunakan alur. Cerita fiktif tidak hanya sebagai cerita khayalan semata, tetapi pengarang menghasilkan sebuah imajinasi berupa realitas atau fenomena yang dapat dilihat dan dirasakan.

B. Unsur Intrinsik Novel Kajian intrinsik membatasi diri pada karya sastra itu sendiri, tanpa menghubungkan karya sastra dengan dunia di luar karya sastra itu. Dalam kajian intrinsik, sastra dianggap sebagai sebuah dunia otonom. Karena kajian intrinsik hanya memperhatikan karya sastra sebagai sebuah dunia otonom, maka yang dikaji adalah unsur-unsur sastra dalam karya sastra itu sendiri, antara lain adalah penokohan, konflik, latar, tema, dan hal-hal semacam itu. Kejayaan sebuah karya sastra, dengan demikian, ditentukan oleh keberhasilan pengarang dalam mengolah unsur-unsur sastra itu.4 Berikut ini merupakan uraian-uraian dari unsur intrinsik dalam novel: 1. Tema Tema merupakan sesuatu yang penting dalam suatu cerita karena tema merupakan inti cerita yang penting dalam suatu cerita karena tema merupakan inti cerita yang mendasari suatu cerita. Bertolak dari inti cerita, pengarang akan mengembangkan cerita menjadi suatu bentuk yang lebih

3 Ibid., h. 4 4 Budi Darma, Pengantar Teori Sastra, (Pusat Bahasa Depdiknas: Jakarta, 2004), h. 23

10

luas.5 Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperanan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannnya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya.6 Tema memiliki beberapa tingkatan menurut Shipley, diantaranya: pertama tema tingkat fisik (banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaan), kedua tema tingkat organik (menyangkut masalah seksualitas), ketiga tema tingkat sosial (manusia sebagai makhlik sosial), keempat tema tingkat egoik (manusia sebagai individu), kelima tema tingkat divine (masalah hubungan manusia dengan sang pencipta).7 Tema tingkat sosial yang merupakan manusia sebagai makhluk sosial. Kehidupan bermasyarakat yang merupakan tempat aksi dan interaksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan, konflik dan lain-lain yang menjadi objek pencarian tema. Masalah-masalah sosial itu antara lain berupa masalah ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan atasan-bawahan, dan berbagai masalah dan hubungan sosial lainnya yang biasanya muncul dalam karya yang berisi kritik sosial.8 Perlu diingat bahwa suatu novel akan dapat dianalisis dengan sejumlah besar tema yang berbeda atau bahkan saling terkait. Pembaca menentukan apa kekuatan dan kepentingan utama yang ada dalam novel tersebut. Artinya, dari sekian tema tersebut dapat ditarik agar ia memiliki tema besar yang dikandungnya. Kesimpulan dari berbagai pendapat di atas tema merupakan gagasan utama. Hampir semua gagasan yang ada dalam hidup ini bisa dijadikan tema, sekalipun dalam praktiknya tema-tema yang paling sering diambil

5 Sri Widati Pradopo, dkk, Struktur Cerita Rekaan Jawa Modern Berlatar Perang. hlm. 42 6 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (PT. Grasindo: Jakarta,2008), hlm. 161 7 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 80 8 Ibid., h. 81

11

adalah beberapa aspek atau karakter dalam kehidupan ini, seperti ambisi, kesetiaan, kecemburuan, frustasi, kemunafikan, ketabahan, dan sebagainya. 2. Alur Alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Ada beberapa pendapat tentang tahapan-tahapan peristiwa dalam suatu cerita. Tahapa-tahapan peristiwa tersebut antara lain: pengenalan, konflik, klimaks, penyelesaian.9 Penampilan peristiwa demi peristiwa yang hanya mendasarkan diri pada urutan waktu saja belum merupakan alur. Agar menjadi sebuah alur, peristiwa-peristiwa itu haruslah diolah dan disiasati secara kreatif, sehingga hasil pengolahan dan penyiasatannya itu sendiri merupakan sesuatu yang indah dan menarik, khususnya dalam kaitannya dengan karya fiksi yang bersangkutan secara keseluruhan. Kegiatan ini dilihat dari sisi pengarang, merupakan pengembangan plot atau dapat juga disebut sebagai pemplotan, pengaluran. Kegiatan pemplotan itu sendiri meliputi kegiatan memilih peristiwa yang akan diceritakan dan kegiatan menata (baca: mengolah dan menyiasati) peristiwa-peristiwa itu ke dalam struktur linear karya fiksi.10 Alur adalah suatu urutan cerita atau peristiwa yang teratur dan terorganisasi. Plot dalam pengertian ini dapat dijumpai dalam novel bukannnya dalam kehidupan yang sewajarnya. Hidup memiliki cerita, tetapi novel memiliki cerita dan plot. Sebagaimana dikatakan oleh E.M. Forster, cerita adalah pengisahan peristiwa-peristiwa yang disusun berdasar urutan waktu, sedangkan plot adalah pengisahan peristiwa-peristiwa dengan penekanan kepada kausalitas.11 Alur merupakan salah satu unsur yang penting dalam suatu novel atau karya sastra lainnya di samping tema, penokohan, latar, dan unsur lain. Dalam suatu karya sastra, hal tersebut sebagai alur tidak sama dengan apa

9 Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, (SINAR BARU). hlm. 83. 10 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 113. 11 Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi, (Ghalia Indonesia: Bogor, 2010), h. 68

12

yang dikenal oleh orang awam sebagai cerita. Forster mengatakan bahwa sebuah cerita adalah suatu paparan peristiwa yang diatur menurut tahapan waktu. Alur di lain pihak, juga merupakan paparan peristiwa, tetapi tekanan jatuh pada hubungan sebab akibat. Rangkaian pola alur suatu cerita pada kenyataannya menampilkan susunan pola yang terdiri dari lima bagian.12 a) Situation: pengarang mulai melukiskan suatu keadaan. b) Generating Circumstances: peristiwa mulai bergerak. c) Rising Action: keadaan mulai memuncak. d) Climax: peristiwa-peristiwa mencapai puncaknya. e) Denouement: pengarang memberikan pemecahan soal bagi semua peristiwa. Sesungguhnya gambaran apa yang dimaksudkan dengan plot atau alur akan menjadi jelas kalau kita menyadari bahwa cerita cerpen maupun novel dapat digolongkan dalam beberapa jenis, seperti: cerita ide, cerbung, cerpen. Dapat disimpulkan dari berbagai pendapat bahwa plot atau alur adalah rangkaian kejadian dan perbuatan, rangkaian hal-hal yang diderita dan dikerjakan oleh pelaku-pelaku sepanjang novel yang bersangkutan. Plot atau alur merupakan struktur penyusunan kejadian-kejadian dalam cerita tapi yang disusun secara logis. 3. Tokoh dan Penokohan Tokoh cerita menurut Abrams adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti diekspresikan dalam ucapan dan dilakukan dalam tindakan.13 Penokohan adalah salah satu unsur yang penting dalam membina struktur. Penokohan sudah selayaknya ada dalam setiap cerkan, karena tanpa tokoh cerita tidak akan terbentuk. Stanton mengungkapkan bahwa kebanyakan cerita menampilkan satu tokoh utama yang berkaitan dengan setiap peristiwa yang terjadi dalam cerita. Dikatakan pula bahwa setiap pengarang ingin pembacanya memahami tokohnya dan

12 Sri Widati Pradopo, dkk, op. cit., h. 62—63 13 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 166

13

motivasi mereka melalui apa yang mereka katakan dan lakukan.14 Cerita dalam sebuah novel tidak akan ada tanpa tokoh yang menggerakkan cerita dan membentuk alur dengan segala macam permasalahan yang dialaminya. Hal ini menunjukkan bahwa tokoh merupakan hal penting dalam sebuah novel. Aspek penokohan dalam cerita sangatlah penting karena menggambarkan cara pengarang menampilkan tokoh. Penokohan berhubungan erat dengan perwatakan tokoh yaitu dari dokumen lain di luar karya sastra.15 Dengan kata lain, pembaca tidak perlu merujuk pada data di luar novel, karena segala perihal tokoh sudah dapat diketahui dari data yang ada dalam novel tersebut. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pengamatan mengenai tingkah laku tokoh dapat dihubungkan, dijelaskan, dan dipertimbangkan. Setelah itu dilakukan, barulah dapat diambil sebuah kesimpulan mengenai perwatakan tokoh dalam suatu novel. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh dalam cerita dapat didefinisikan sebagai subjek dan sekaligus objek peristiwa dan kejadian, pelaku dan sekaligus sasaran kedua hal tersebut. Tanpa tokoh, tidak akan tercipta peristiwa. Tokoh selalu mempunyai identitas, mempunyai watak tertentu, yang menentukan tindakannya dan sikapnya terhadap lingkungan di sekitarnya, baik yang berupa tokoh-tokoh lain maupun yang berupa lingkungan benda-benda alam dan benda-benda budaya. Seorang tokoh tidak dapat berdiri sendiri atau berkelakuan sendiri tanpa kehadiran tokoh lain. 4. Latar atau Setting Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat

14 Sri Widati Pradopo, dkk, op. cit., h. 84 15 Diah W indu Wulan, Aspek Keberagamaan Dengan Analisis Kata Hati Tokoh Utama Dalam Novel Atheis Dan Novel Kubah Serta Implikasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di SMA, h. 40

14

terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.16 Setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa.17 Membaca sebuah novel kita akan bertemu dengan lokasi tertentu seperti nama kota, desa, jalan, hotel, penginapan, kamar, dan lain-lain tempat terjadinya peristiwa. Di samping itu, kita juga akan berurusan dengan hubungan waktu seperti tahun, tanggal, pagi, siang, malam, pukul, saat bulan purnama, saat hujan gerimis diawal bulan, atau kejadian yang menyarankan pada waktu tipikal tertentu, dan sebagainya. 18 Secara terperinci bahwa latar suatu cerita mencakup hal-hal sebagai berikut:19 a) Tempat, baik tempat di dalam rumah maupun di luar rumah yang melingkupi pelaku atau tempat terjadinya peristiwa ataupun keseluruhan cerita. b) Lingkungan kehidupan yang berhubungan dengan tempat, seperti lingkungan pekerjaan dan sebagainya. c) Sistem kehidupan, seperti aturan-aturan dan tata cara yang mengatur kehidupan suatu lingkungan tertentu. d) Alat-alat atau benda-benda yang berhubungan dengan kehidupan atau lingkungan hidup tertentu. e) Waktu terjadinya peristiwa, seperti pagi, siang, sore, musim hujan, musim panas, atau juga periode sejarah tertentu. Kesimpulan dari keseluruhan kutipan-kutipan istilah latar atau setting ini berkaitan dengan elemen-elemen yang memberikan kesan abstrak tentang lingkungan, baik tempat maupun waktu, di mana para tokoh menjalankan perannya. Latar ini biasanya diwujudkan dengan menciptakan kondisi-kondisi yang melengkapi cerita. Baik dalam dimensi waktu maupun tempatnya, suatu latar bisa diciptakan dari tempat dan waktu imajiner atau pun faktual. Dan yang paling menentukan bagi keberhasilan suatu latar,

16 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 216. 17 Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, (SINAR BARU), h. 67 18 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 218. 19 Sri Widati, dkk, op. cit., h. 7.

15

selain deskripsinya, bagaimana novelis memadukan tokoh-tokohnya dengan latar di mana mereka melakoni perannya.

5. Sudut Pandang Dalam buku Teori Pengkajian Fiksi, terdapat tiga sudut pandang yakni sudut pandang persona ketiga “Dia”, sudut pandang persona pertama “Aku”, dan sudut pandang campuran. Sudut pandang orang ketiga terbagi menjadi dua, yaitu “Dia” mahatahu dan “Dia” terbatas (sebagai pengamat). Sudut pandang orang pertama dibagi menjadi dua, yakni “Aku” tokoh utama dan “Aku” tokoh tambahan.20 Siswanto menyatakan bahwa sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya mengenai tokoh, peristiwa, tempat, dan waktu dengan gayanya sendiri.21 Pusat pengisahan menerangkan “siapa yang bercerita”. Pusat pengisahan ini penting untuk memperoleh gambaran tentang kesatuan cerita. Dalam kesusastraan Indonesia, ada lima macam “pencerita”, yaitu: Pertama tokoh utama menuturkan ceritanya sendiri, kedua tokoh bawahan menuturkan cerita tokoh utama, ketiga pengarang sebagai pengamat (menuturkan cerita dari luar sebagai seorang observer), keempat pengarang analitik (menuturkan cerita tidak hanya sebagai seorang pengamat, tetapi berusaha juga menyelam ke dalam), kelima campuran antara (1) dan (4), yaitu cara melaksanakan cakapan batin. 22 Kesimpulan dari pendapat di atas sudut pandang adalah cara sebuah cerita dikisahkan. Segala sesuatu yang diceritakan menjadi kebebasan pengarang untuk berkreasi bahkan mampu memperlihatkan teknik pengarang dalam menggagas sesuatu. Sudut pandang dapat diketahui melalui unsur intrinsik lainnya, seperti percakapan antar tokoh, gerak-gerik tokoh, alur dalam cerita tersebut, dan gaya bahasa yang digunakan pengarang.

20 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 248. 21 Siswanto, op. cit., h. 151. 22 Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (UPI PRESS: Bandung, 2006), h. 47.

16

6. Gaya Bahasa Gaya adalah cara pengarang menggunakan bahasa.23 Aminuddin menyatakan bahwa gaya bahasa mengandung pengertian keindahan dan keharmonisan bahasa yang digunakan pengarang dalam menyampaikan cerita sehingga mampu menuansakan makna, menyentuh daya intelektual, dan mampu menggugah emosi pembaca.24 Semi menyatakan bahwa gaya penceritaan adalah tingkah laku pengarang dalam menggunakan bahasa yang menjadikan sastra hadir. Pada dasarnya karya sastra merupakan salah satu kegiatan pengarang yang membahas atau menuturkan sesuatu kepada orang lain.25 Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran, sopan-santun, dan menarik.26 Pada buku tentang pengajaran gaya bahasa ini, ada beberapa jenis gaya bahasa, diantaranya: majas hiperbola, personifikasi, dan klimaks. Majas hiperbola adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan jumlahnya, ukurannya atau sifatnya dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya.27 Majas personifikasi ialah jenis majas yang melekatkan sifat-sifat insani kepada benda yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak.28 Majas klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan- urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya.29

23 Wijaya Heru Santosa dan Sri Wahyuningtyas, Pengantar Apresiasi Prosa, (Yuma Pustaka: Surakarta, 2010), Cet. 1, h. 20. 24 Aminuddin, op. cit., h. 72. 25 Atar Semi, Anatomi Sastra, (tt.p.: Angkasa Raya, t.t.), h. 47. 26 Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Angkasa: Bandung, 2009), h. 5 27 Ibid., h. 55 28 Ibid., h. 17 29 Ibid., h. 79

17

Beberapa pendapat tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengertian gaya bahasa atau majas adalah cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan atau lisan. Gaya bahasa merupakan ciri khas si pengarang dalam menggunakan bahasa yang dipakai pada sebuah karyanya untuk menyampaikan sebuah pesan kepada si pembaca.

C. Pengertian Sosiologi Sastra Wellek Warren mengungkapkan bahwa sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Teknik-teknik sastra tradisonal seperti simbolisme dan matra bersifat sosial karena merupakan konvensi dan norma masyarakat. Lagi pula sastra “menyajikan kehidupan”, dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan dunia subjektif manusia. Penyair adalah warga masyarakat yang memiliki status khusus. Penelitian yang menyangkut sastra dan masyarakat biasanya terlalu sempit dan menyentuh permasalahan dari luar sastra. Sastra dikaitkan dengan situasi tertentu, atau dengan sistem politik, ekonomi, dan sosial tertentu. Penelitian dilakukan untuk menjabarkan pengaruh masyarakat terhadap sastra dan kedudukan sastra dalam masyarakat. 30 Sosiologi adalah telaah yang obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain—yang kesemuanya itu merupakan struktur sosial—kita mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat di tempatnya masing-masing.31 Sosiologi dan sastra memiliki objek yang sama yaitu manusia dalam masyarakat. Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan

30 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 1993), h. 109 31 Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas, (PPPB Depdikbud: Jakarta, 1978), h. 6

18

menghasilkan kebudayaan. Masyarakat juga merupakan kumpulan individu yang tinggal pada suatu wilayah. Sastra adalah lembaga sosial yang menampilkan gambaran kehidupan yang mencakup hubungan antarmasyarakat, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi di dalam batin seseorang. Selain itu pendekatan sosiologi ini pengertiannya mencakup berbagai pendekatan, masing-masing didasarkan pada sikap dan pandangan teoritis tertentu, namun semua pendekatan ini menunjukkan satu ciri kesamaan, yaitu mempunyai perhatian terhadap sastra sebagai institusi sosial yang diciptakan oleh sastrawan sebagai anggota masyarakat. Menurut Silbermann ada lima penelitian sosiologi sastra, yaitu: (a) Penelitian tentang pengaruh seni terhadap kehidupan seorang manusia, (b) Penelitian tentang perkembangan dan kepelbagaian sikap dan obyek sosial melalui seni, (c) Penelitian tentang pengaruh dari seni terhadap pembentukan kelompok, konflik-konflik di dalamnya dan sebagainya, (d) Penelitian tentang pembentukan pertumbuhan dan hilangnya lembaga artistik sosial, (e) Penelitian tentang faktor- faktor dan bentuk-bentuk tipikal dari organisasi sosial yang mempengaruhi seni.32 Pendekatan terhadap sastra mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra. Sejauh mana sastra dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakat. Dalam hubungan ini terutama harus mendapat perhatian adalah sifat seorang pengarang atau sastrawan sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus mempertimbangkan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat.33 Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan ini oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra. Istilah itu pada

32 Umar Junus, Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar, (PT Gramedia: Jakarta, 1985), h. 84 33 Jabrohim, Teori penelitian Sastra, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2012), h. 219

19

dasarnya tidak berbeda pengertiannya dengan sosiosastra, pendekatan sosiologis atau pendekatan struktural terhadap sastra. Sosiologi sastra dalam pengertian ini mencakup berbagai pendekatan, masing-masing didasarkan pada sikap dan pandangan teoritis tertentu.34 Karya sastra diciptakan oleh seorang pengarang untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Pengarang adalah anggota masyarakat yang terikat dengan status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium (alat): bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan itu sendiri sebagai suatu kenyataan sosial. Hal ini sejalan dengan pernyataan bahwa sastra adalah lembaga sosial karena sastra menampilkan gambaran kehidupan. Beberapa uraian di atas dapat disimpulkan masalah sosiologi sastra ada tiga hal yaitu: 1. Pengarang atau pencipta karya sastra dengan latar belakang kehidupannya dihubungkan dengan karya sastra yang dihasilkannya, 2. Karya sastra sebagai cermin masyarakat tempat karya sastra tersebut dihasilkan, jadi sebagai dokumen sosiobudaya, 3. Pembaca karya sastra, bagaimana pengaruh sebuah karya terhadap masyarakat pembacanya. Pernyataan di atas sebenarnya juga menyiratkan bahwa seorang penyair pada hakikatnya adalah seorang anggota masyarakat. Oleh karena itu ia terikat oleh status sosial tertentu. Itulah sebabnya sastra dapat dipandang sebagai institusi sosial yang menggunakan sarana bahasa. Bahasa itu sendiri merupakan produk sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dari pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang termasuk penyair dengan antarmasyarakat, dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang.

34 Ibid., h. 217

20

D. Nilai Sosial dalam Karya Sastra Nilai sosial yaitu nilai-nilai yang terkait dengan norma atau aturan dalam kehidupan bermasyarakat dan berhubungan dengan orang lain misalnya, saling memberi tenggang rasa saling menghormati pendapat orang lain. 1. Hakikat Nilai Nilai merupakan satu prinsip umum yang menyediakan anggota masyarakat dengan satu ukuran atau standar untuk membuat penilaian dan pemilihan mengenai tindakan dan cita-cita tertentu. Nilai adalah konsep, suatu pembentukan mental yang dirumuskan dari tingkah laku manusia. Nilai adalah persepsi yang sangat penting, baik dan dihargai.35 Kata nilai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga mempunyai arti sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Kata nilai diartikan sebagai harga, kadar, mutu, kualitas untuk mempunyai nilai. Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Nilai sebagai kualitas yang independen akan memiliki ketetapan yaitu tidak berubah yang terjadi pada objek yang dikenai nilai. Persahabatan sebagai nilai (positif/ baik) tidak akan berubah esensinya manakala ada pengkhianatan antara dua yang bersahabat. Artinya nilai adalah suatu ketetapan yang ada bagaimanapun keadaan di sekitarnya berlangsung. Penilaian dalam telaah sastra adalah penilaian yang didasarkan kriteria yang ada dan pembahasannya tidak dilandasi sikap apriori.36 Dengan demikian, hasil yang diberikan adalah hasil yang obyektif. Penilaian yang obyektif terhadap karya sastra itulah yang akan memacu pengarang untuk meningkatkan mutu karya sekaligus menumbuhkan kretivitasnya.

35 Mohamad Mustari, Nilai Karakter Refleksi untuk Pendidikan Karakter, (LaksBang PRESSindo: Yogyakarta, 2011), h. xiv 36 Zainuddin Fananie, Telaah Sastra, (Muhammadiyah University Press: Surakarta, 2001), h. 70

21

Kesimpulan dari pendapat diatas, nilai merupakan sesuatu yang dianggap berharga, dipergunakan sebagai landasan, pedoman atau pegangan seseorang dalam menjalankan sesuatu sebagai pengukuran terhadap apa yang telah dikerjakan atau diusahakan. Sesuatu yang bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. 2. Hakikat Sosial Sepanjang hayat masih di kandung badan, kita tidak akan lepas dari masyarakat, mencari nafkah, serta menerima pengaruh dari lingkungan sosial yang disebut masyarakat.37 Setiap orang ada dalam konteks sosial yang disebut masyarakat, ia akan mengenal orang lain, dan paling utama mengenal diri sendiri selaku anggota masyarakat. Menurut Paul Ernest bahwa sosial lebih dari sekedar jumlah manusia secara individu karena mereka terlibat dalam berbagai kegiatan bersama. Sedangkan, menurut Peter Herman Sosial adalah sesuatu yang dipahami sebagai suatu perbedaan namun tetap merupakan sebagai satu kesatuan.38 Kata sosialisasi berasal dari kata sosial. Kata “sosial” digunakan untuk menunjukan sifat dari makhluk yang bernama manusia. Sehinga munculah ungkapan “manusia adalah makhluq sosial”. Ungkapan ini berarti bahwa mnusia harus hidup berkelompok atau bermasyarakat. Mereka tidak dapat hidup dengan baik kalau tidak berada dalam kelompok atau masyarakat.39 Dengan kata lain untuk hidup secara memadai dia harus berhubungan dengan orang lain. Masing-masing manusia (orang) saling membutuhkan pertolongan sesamanya. Kesimpulan dari beberapa bendapat di atas, bahwa kata “sosial” tidak lepas dengan manusia dalam arti individu dan masyarakat dalam arti kelompok. Hidup dalam masyarakat yang bersosialisasi, mereka saling

37 Nursid Sumaatmadja, Manusia Dalam Konteks Sosial, Budaya, dan Lingkungan Hidup, (IKAPI: Bandung, 1996), h. 39 38 Carapedia, Pengertian dan Definisi Sosial Menurut Para Ahli, 2013, (http://Pengertian dan Definisi Sosial Menurut Para Ahli - Ilmu Pengetahuan - CARApedia.htm), diakses pada 19 September 2013. 39 “Pengertian Sosial”, 2013, (http://SOSIAL pengertian sosial.htm), diakses pada 19 September 2013.

22

membutuhkan satu sama lainnya. Manusia tidak akan bisa hidup sendiri, karena mereka saling membutuhkan pertolongan dengan masyarakat lainnya.

3. Hakikat Nilai Sosial Nilai sosial lebih ditekankan sebagai petunjuk arah demi tercapainya tujuan sosial masyarakat. Menurut Huky dalam Abdulsyani, ada beberapa fungsi umum nilai-nilai sosial, yaitu, pertama nilai sosial menyumbangkan seperangkat alat yang siap dipakai untuk menetapkan patokan sosial pribadi, grup atau kelompok. Kedua nilai sosial bisa mengarahkan atau membentuk cara berpikir dan bertingkah laku. Ketiga nilai sosial sebagai patokan bagi manusia dalam memenuhi peranan sosialnya. Keempat nilai sosial juga berfungsi sebagai pengawasan sosial, mendorong, menuntun, bahkan menekan manusia untuk berbuat baik. Kelima Nilai sosial berfungsi sebagai sikap solidaritas dikalangan masyarakat.40 Goldmann mendefenisikan novel sebagai cerita tentang suatu pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik yang dilakukan oleh seorang hero yang problematik dalam sebuah dunia yang juga terdegradasi.41 Dapat diartikan bahwa maksud dari nilai-nilai yang otentik itu adalah totalitas kehidupan. Nilai yang diacu dalam sastra adalah kebaikan yang ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan seseorang. Hal ini berarti bahwa dengan adanya berbagai wawasan yang dikandung dalam karya sastra khususnya novel akan mengandung berbagai macam nilai kehidupan yang akan sangat bermanfaat bagi pembaca. Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat.

40 Wahyu Saputra, “ Nilai-Nilai Sosial Dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer”, Skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Universitas Negeri Padang, Padang, 2012, h. 410, tidak dipublikasikan. 41 Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post- modernisme, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2012), h. 91

23

Kesimpulan dari beberapa pendapat di atas, dalam sebuah karya sastra pasti terkandung nilai-nilai kehidupan yang berlaku pada masyarakat di mana karya sastra tersebut diciptakan. Nilai-nilai tersebut menggambarkan norma, tradisi, aturan, dan kepercayaan yang dianut atau dilakukan pada suatu masyarakat. Nilai-nilai sosial mengacu pada hubungan individu dengan individu yang lain dalam sebuah masyarakat. Bagaimana seseorang harus bersikap, bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah, dan menghadapi situasi tertentu juga termasuk dalam nilai sosial. Dalam masyarakat Indonesia yang sangat beraneka ragam coraknya, pengendalian diri adalah sesuatu yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan masyarakat.

4. Macam-Macam Nilai Sosial Ada beberapa macam nilai sosial dalam masyarakat yang berfungsi sebagai sarana pengendalian dalam kehidupan bersama. Nilai tersebut sebagai nilai yang bersifat umum berlaku pada semua masyarakat. Adapun nilai sosial yang dimaksud, diantaranya: a. Agama Nilai sosial yang terkait dengan agama adalah tindakan- tindakan sosial yang terkait dengan tuntunan ajaran agama yang ada. Apakah seseorang menjalankan kewajiban agama secara benar dan baik ataukah ia tidak menjalan kewajiban keagamaannya secara baik. b. Musyawarah Musyawarah adalah proses pembahasan suatu persoalan dengan maksud mencapai keputusan bersama. Mufakat adalah kesepakatan yang dihasilkan setelah melakukan proses pembahasan dan perundingan bersama. Jadi musyawarah mufakat

24

merupakan proses membahas persoalan secara bersama demi mencapai kesepakatan bersama.42 c. Gotong-royong Gotong royong dapat diartikan sebagai aktivitas sosial, namun yang paling penting dalam memaknainya adalah menjadikannya filosofi dalam hidup yang menjadikan kehidupan bersama sebagai aspek yang paling penting.43 d. Tolong-menolong Tolong menolong merupakan kewajiban bagi setiap manusia, dengan tolong menolong dapat membantu orang lain dan jika kita perlu bantuan tentunya orangpun akan menolong. Dengan tolong menolong dapat membina hubungan baik dengan semua orang. Tolong menolong dapat memupuk rasa kasih sayang antar tetangga, antar teman, antar rekan kerja. Singkat kata tolong menolong adalah sifat hidup bagi setiap orang. e. Saling memaafkan Memohon dan memberi maaf dengan tulus sejatinya memiliki makna yang dalam, dengan saling memaafkan maka tidak ada lagi rasa dendam, sakit hati, marah dan sebagainya, yang ada adalah rasa suka cita penuh kebahagiaan dalam ketulusan cinta kasih, tidak ada lagi batas pemisah semua menyatu sebagai sesama manusia ciptaan Tuhan. f. Kasih sayang Rasa kasih sayang adalah rasa yang timbul dalam diri hati yang tulus untuk mencintai, menyayangi, serta memberikan kebahagian kepada orang lain , atau siapapun yang dicintainya. Kasih sayang diungkapkan bukan hanya kepada kekasih tetapi

42 Anonim, “musyawarah” di dalam http://cindycindyaritonang. Blogspot. com/2012/01/ pengertian - musyawarah.html (diunduh pada Minggu, 29 Juni 2014 pkl 20:00 WIB) 43 Anonim, “Gotong-royong” di dalam http://karakter0809.weebly.com/makna-gotong- royong.html (diunduh pada Minggu, 29 Juni 2014 pkl 20:00 WIB)

25

kasih kepada Allah, orang tua, keluarga, teman, serta makhluk lain yang hidup dibumi ini.44 g. Tanggung Jawab Tanggung jawab dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keadaan dimana wajib menanggung segala sesuatu, sehingga berkewajiban menanggung, memikul jawab, menanggung segala sesuatunya atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya.

E. Hakikat Pembelajaran Sastra Pembelajaran sastra merupakan bagian dari pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang diberikan di sekolah formal. “Belajar sastra pada dasarnya adalah belajar bahasa dalam praktek”. Belajar sastra harus selalu berpangkal pada realisasi bahwa setiap karya pada pokoknya merupakan kumpulan kata yang bagi siswa harus diteliti, ditelusuri, dianalisis, dan diintegrasikan.45 Sebagai sarana pendidikan, sastra memberi pelajaran tentang arti hidup bagi diri sendiri dan orang lain (humanitas). Sastra sebagai sarana pendidikan informal memberikan pengayaan tentang bagaimana memanfaatkan hidup tanpa menyia-nyiakannya.46 Sastra memperkaya kehidupan dan pengalaman kita di dalam usaha hidup bermasyarakat dalam hubungan sosial dengan orang lain dari berbagai tingkat dan status. Sastra bisa menjadi sarana pendidikan informal jika kita menganggapnya serius, bukan sekedar sarana pengisi waktu luang tetapi sarana pendidikan yang membawa melihat jauh ke masa depan. Sastra mampu memberikan manfaat lebih ketika kita mampu dari sekedar menjadi pembaca. Pembelajaran sastra akan memberikan dasar atau kriteria untuk dijadikan pegangan penilaian, di samping uraian-uraian mengenai nilai dalam karya yang sedang ditelaah. Dalam pembelajaran sastra, guru harus memperhatikan prinsip pembelajaran sastra. Mengenai hal ini dalam bukunya Djago Tarigan mengungkapkan: pertama

44 Anonim, “Kasih sayang” di dalam http://bima-san.blogspot.com/2013/10/pengertian- kasih-sayang.html (diunduh pada Minggu, 29 Juni 2014 pkl 21:00 WIB) 45 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Kanisius: Yogyakarta, 1988), h. 38 46 Nico A. Likumahua, Sastra Suatu Sarana Pendidikan Informal, (WS Press: Salatiga, 2001), h. 9

26

pembelajaran apresiasi sastra berfungsi meningkatkan kepekaan rasa pada budaya bangsa, khususnya bidang kesenian. Kedua pembelajaran apresiasi sastra memberikan kepuasan batin dan pengayaan pada karya estesis melalui bahasa. Ketiga Pembelajaran apreasiasi sastra bukan pengajaran tentang sejarah, aliran, dan teori tentang sastra. keempat Pembelajaran apresiasi sastra adalah pembelajaran untuk memahami nilai kemanusiaan dari karya sastra tersebut.47 Pembelajaran sastra tidak hanya menggali unsur-unsur intrinsik atau ekstrinsik saja tapi juga dapat digali berbagai pelajaran hidup dari karya sastra yang disampaikan pengarang melalui caranya yang khas. Cara penyampaian inilah yang membuat pengarang berbeda dengan penceramah. Konsekuensi model pembelajaran seperti itu, menuntut guru pandai melakukan pilihan atas karya- karya yang baik dan bermutu. Oleh karena itu, setiap guru atau calon guru bahasa dan sastra Indonesia wajib menyukai sastra dan membaca banyak karya sastra. Dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran sastra adalah untuk mengapresiasikan karya sastra dan memanfaatkan nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra tersebut.

F. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan ini disebut juga sebagai tinjauan pustaka. Tinjauan pustaka berfungsi untuk memberikan pemaparan tentang penelitian sebelumnya yang telah dilakukan. Kajian terhadap hasil penelitian sebelumnya ini hanya akan dipaparkan beberapa penelitian sejenis yang berkaitan dengan permasalahan nilai- nilai sosial. “Gaya Bahasa Kias dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari” oleh Verri Yuliyanto, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang 2012. Tujuan kajian ini mendeskripsikan jenis dan ciri gaya bahasa kias yang digunakan pada novel Kubah karya Ahmad Tohari dan mendeskripsikan kekuatan gaya bahasa kias dalam membangun tokoh, watak, penokohan, latar, dan amanat pada novel Kubah karya Ahmad Tohari. Kajian ini

47 Diah W indu Wulan, op. cit., h. 42.

27

menghasilkan 12 jenis dan ciri gaya bahasa kias yang terdapat dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari.48 Selanjutnya, tesis berjudul “Analisis Struktur dan Religiusitas dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari” oleh Shinta Dewi, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya 2011. Tesis dengan judul ”Analisis Struktur dan Religiusitas dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari” berisi analisis tentang unsur intrinsik yang membangun jalannya cerita, serta analisis tentang religiusitas yang terkandung di dalamnya. Sebelum melakukan analisis terhadap religiusitas, terlebih dahulu penulis menganalisis unsur intrinsik berupa tokoh dan penokohan, alur dan pengaluran, latar dan pelataran, serta tema dan amanat pada novel Kubah dengan menggunakan metode struktural. Untuk melakukan analisis terhadap religiusitas dalam novel Kubah, penulis tidak menggunakan metode khusus. Hanya dengan pemahaman mendalam tentang analisis unsur intrinsik yang telah dilakukan. Hasil analisis novel Kubah yang penulis dapatkan adalah novel Kubah sarat dengan ajaran agama Islam, baik ajaran tentang ketakwaan ataupun keimanan. Selain itu novel Kubah juga mengajarkan betapa pentingnya saling memaafkan terhadap kesalahan orang lain agar tercipta rasa solidaritas yang tinggi. Seperti halnya sikap pemaaf warga masyarakat Pegaten ketika menerima kehadiran Karman dari pengasingan. Masyarakat Pegaten sama sekali tidak menyimpan rasa dendam terhadap Karman dan kesalahannya pada masa lalu.49 Selanjutnya, skripsi berjudul “Analisis Pesan Moral dalam Novel Kubah karya Ahmad Tohari dan Aspek Pembelajarannya di SMP” oleh Sri Budi, mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah, Universitas Pancasakti Tegal 2011. Penelitian ini akan membahas pesan moral yang terdapat dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari, dengan rumusan masalah; Bagaimana pesan moral yang terkandung dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari? Tujuannya Mendeskripsikan pesan moral yang terkandung dalam novel Kubah

48 Verri Yuliyanto, Gaya Bahasa Kias Dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari, Skripsi pada Universitas Negeri Malang, Malang, 2012, tidak dipublikasikan. 49 Shinta Dewi, ANALISIS STRUKTUR DAN RELIGIUSITAS DALAM NOVEL KUBAH KARYA AHMAD TOHARI, pada tesis Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro, Semarang, 2011, tidak dipublikasikan.

28

karya Ahmad Tohari, dengan metode yang dipakai adalah penelitian kualitatif. Penelitian sastra dengan pendekatan struktural semiotik sesungguhnya dikarenakan bahwa karya sastra itu merupakan struktur tanda-tanda yang bemakna tanpa memperhatikan struktur karya sastra atau novel, tanda maka sulit dimengerti maknanya secara optimal. Berdasarkan analisis yang penulis lakukan, pesan moral dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari tidak lepas dari telaah heuristik untuk analisis awal dan dengan analisis hermeneutik untuk analisis lanjutan.50 Selanjutnya, tesis berjudul “Aspek Kejiwaan dan Nilai Pendidikan dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari (Pendekatan Psikologi Sastra dan Nilai Pendidikan)” oleh M. Riyanton, mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Solo, 2013. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan proses kreatif penulisan novel Kubah (2) mendeskripsikan struktur novel Kubah karya Ahmad Tohari, meliputi: tema, penokohan dan perwatakan, latar, alur (3) mendeskripsikan aspek kejiwaan yang terkandung dalam novel Kubah (4) mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Kubah. Bentuk penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan menggunakan metode content analysis.Sumber data penelitian ini adalah: (1) teks, yaitu novel Kubah (2) informan, yaitu Ahmad Tohari pengarang novel Kubah, (3) buku-buku referensi yang relevan. Penelitian ini mendapatkan simpulan bahwa (1) latar belakang pengarang dalam penciptaan novel sangat menentukan hasil karyanya dalam hal ini keadaan sekitar yang mempengaruhi proses kreatif novel Kubah (2) struktur meliputi tema, penokohan dan perwatakan, latar, alur (3) aspek kejiwaan, meliputi: perasaan dan emosi, konflik, persepsi, sikap, dan respons (3) Nilai-nilai pendidikan dalam novel Kubah adalah pendidikan agama, moral, dan sosial budaya.51 Penelitian sebelumnya membicarakan tentang analisis unsur intrinsik secara umum maupun secara khusus serta nilai yang terkandung dalam novel

50 Sri Budi, Analisis Pesan Moral dalam Novel Kubah karya Ahmad Tohari dan Aspek Pembelajarannya di SMP, pada skripsi Universitas Pancasakti Tegal , Tegal, 2011, tidak dipublikasikan. 51 M. Riyanto, Aspek Kejiwaan dan Nilai Pendidikan dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari (Pendekatan Psikologi Sastra dan Nilai Pendidikan), 2013 (http://Program Pascasarjana UNS Solo.htm)

29

Kubah terutama nilai pendidikan, nilai religius, dan aspek kejiwaan dalam novel Kubah. Sedangkan, penelitian saya ini mengangkat nilai sosial yang terkandung dalam novel Kubah melalui pendekatan Sosiologi Sastra.

BAB III PROFIL AHMAD TOHARI

A. Biografi Ahmad Tohari Ahmad Tohari lahir di Desa Tinggarjaya Kecamatan Jatilawang Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, pada 13 Juni 1948. Ia terlahir dari kalangan keluarga yang beragama Islam. Setelah tamat SMA tahun 1967, ia meneruskan kuliah di Fakultas Kedokteran Yarsi Jakarta. Kemudian, tahun 1970 ia menikah dan bekerja di BNI 46 Jakarta, kemudian pindah ke surat kabar harian merdeka, dan timbul perasaan jemu, maka kembalilah ia ke Banyumas mengikuti kuliah di Fakultas Ekonomi UNSUD Purwokerto, lantas pindah lagi ke Fakultas Sospol. Akan tetapi, ia merasa bosan juga dan akhirnya keluar, kemudian ia memilih mengasuh sebuah pesantren di Tinggarjaya, dan kini pindah lagi ke Jakarta, turut mengasuh majalah amanah.1 Ia pun pernah mengikuti International Writing Progam di Iowa City, Amerika Serikat (1990).2 Ahmad Tohari merasa bahagia, dua buah karyanya yang berjudul Kubah dan Ronggeng Dukuh Paruk mendapat tawaran dari Mr. Juji Imura, untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Juji Imura adalah direktur Imura Cultural Interprice, sebuah badan penerbitan yang berdomisili di Tokyo Jepang. Sebelum tawaran itu datang, novel Ronggeng Dukuh Paruk pernah diresensi oleh sebuah majalah Belanda. Resensi itu ditulis oleh H. I. Maier yakni salah seorang pengamat sastra Indonesia di Negara Kincir Angin menyimpulkan Ronggeng Dukuh Paruk adalah novel yang bertema manusiawi dan universal. Kemungkinan alasan seperti itulah yang mendorong orang Jepang untuk menerjemahkan karyanya. Novel Kubah diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 1981, oleh PT. Dunia Pustaka Jaya, dan pada tahun itu juga buku ini terpilih sebagai novel terbaik oleh Yayasan Buku Utama.3

1 Anonim, Ahmad Tohari Ronggeng Dukuh Paruk, (Eksponen: Jakarta, 1986), h. 8 2 Yudiono K. S, op, cit., h. 1—2 3 Anonim, Ahmad Tohar, (Mutiara: Jakarta, 1985), h. 34

30

31

Dick Hartoko mengatakan, bahwa Ahmad Tohari memiliki tiga ciri: pertama, dia orang Jawa, selain itu ia merupakan sastrawan santri. Kedua, dia amat dekat dengan alam desa, dan lahir dari pengamatan dan pengalaman sekelilingnya. Ketiga, alam baginya merupakan guru yang arif dan bijaksana.4 Ahmad Tohari sebagai sastrawan santri, memang teramat setia pada dunianya. Meski sudah bekerja cukup mapan sebagai redaktur di majalah Amanah Jakarta, tetapi pada 1992 ia tinggalkan. Ia kembali ke kampung desa Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, semata-mata supaya bisa secara total menulis.5 Proses menulis Ahmad Tohari adalah sebuah ketidaksengajaan. Ahmad Tohari mengatakan bahwa terpeleset menjadi seorang penulis, karena ia kehabisan biaya untuk melanjutkan kuliahnya di Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi, Jakarta. Tak lebih dua tahun sejak 1968 hingga 1970 ia merangkai keinginan menjadi seorang dokter, akan tetapi kendala ekonomi tak mewujudkan keinginan itu. Pada saat dalam keterdesakan ekonomi itu Ahmad Tohari sadar bila ia memiliki kemampuan menulis yang kelak bisa menjadi tumpuan hidupnya, maka mulailah merangkai berbagai tulisan berbentuk cerita pendek dan esai. Semua tulisan yang lahir dari tangannya, ia selalu menyisakan jejak. Ia selalu menyisipkan sebuah renungan moral untuk pembacanya.6 Sastrawan kelahiran 13 Juni 1948 ini, telah memilih kampung (kelahirannya) sebagai tempat menciptakan karya-karyanya. Ia memang selalu saja merasa sulit untuk menulis karya-karya kreatif dengan suasana kota. Maka, tidak mengherankan kalau hampir semua novel-novelnya berbicara tentang desa dan tentang orang-orang yang seperti belum terjamah modernisme. Kekuatan karya-karyanya ialah tentang deskripsi latar (pedesaan) tempat bermain tokoh- tokohnya.7

4 Anonim, Ahmad Tohari Ronggeng Dukuh Paruk, (Eksponen: Jakarta, 1986), h. 8 5 Anonim, Sang ‘Punokawan’ yang Holistik dari Tinggarjaya, (Media Indonesia: Jakarta, 1994), h. 4. 6 Anonim, “Ahmad Tohari Menatap Kota dengan Kacamata Wong Cilik”, (Mingguan Koran Tempo: Jakarta, 2002), h. 8 7 Ibid., h. 8. 32

Ahmad Tohari tidak dikenal sebagai pengarang yang karya-karyanya sudah mendunia, tetapi tetap saja dikenal sebagai seorang santri atau wartawan dengan kehidupan sehari-hari yang sederhana. Ternyata pandangan masyarakat seperti itu justru menguntungkan keberadaan dirinya, sebab kehidupan sehari-hari menjadi tetap lugas dan berjalan sebagaimana adanya, meskipun kadang-kadang dirasakan menghambat kesempatannya mengarang. Hambatan non teknis itu berkaitan dengan kesibukannya sebagai seorang warga masyarakat yang tidak terlepas dari kewajiban-kewajiban sosial. 8 Ahmad Tohari menikah 1970 dengan gadis idamannya Siti Syamsiah. Dia sekarang dikarunia lima orang anak dari hasil perkawinannya itu. Selain menulis novel dan cerpen, Ahmad Tohari juga menulis kolom tetap di majalah Panji Masyarakat Jakarta. Nama Ahmad Tohari dalam peta sastra Indonesia modern bukan lagi sebuah nama yang asing dan baru. Bahkan, ia seakan telah menjadi “cap” tersendiri bagi tema-tema yang berlatar pedesaan serta segala kompleksitas sosialnya.9 “Kalem dan bersahaja”, seperti kalimat-kalimat pendek dalam karya- karyanya adalah cermin diri Ahmad Tohari. Ia orang yang tidak munafik. Kendati dididik dalam lingkungan Islam yang ketat, ayahnya seorang kyai, ayah lima anak itu kenal betul kehidupan ronggeng yang bisa dikatakan menganut paham seks bebas, namun, yang menurun kepada dirinya adalah keronggengannya.10 Sebagai pengarang berlatar Jawa, dengan pemahaman dan penghayatannya sebagai bagian dari kesadarannya. Kenyataan seperti ini sama dengan apa yang dialami YB Mangunwijaya, Umar Kayam, dan Linus Suryadi Ag. yang hidup dalam konteks budaya yang sama dipahami dan dihayatinya. Ahmad Tohari mengatakan bahwa Jawa sebagai subsistem budaya nasional, relatif lebih kaya dan mapan dibandingkan dengan sub budaya lainnya.11 1. Karya Ahmad Tohari Berikut ini merupakan karya-karya Ahmad Tohari:

8 Yudiono K. S, op. cit., h. 8 9 Syahrial, Resensi Potret-Potret Ahmad, (Jakarta, 1989), h. 17 10 Anonim, Ahmad Tohari: Memangku Ronggeng, (Majalah Editor: jakarta, 1989). 11 Anonim, Gugatan Gaya Jawa Lebih Arif untuk Zaman Sekarang, (Suara Pembaruan: Jakarta, 1988), h. 8. 33

a. Novel-novel berwarna geger polotik 1965 (Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, Jantera Bianglala, Kubah, Lingkar Tanah Lingkar Air), b. Novel-novel berwarna korupsi sebagai dampak pembangunan (Di Kaki Bukit Cibalak, Berkisar Merah, Belantik, Orang-Orang Proyek), dan c. Cerpen-cerpen berwarna pelangi kehidupan sosial yang terkumpul dalam Senyum Karyamin dan Nyanyian Malam.12

2. Penghargaan yang Pernah Diraih Berikut ini merupakan beberapa karya Ahmad Tohari yang telah mendapat penghargaan: a. Karya-karya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa lain yaitu Ronggeng Dukuh Paruk dan Kubah akan diterbitkan dalam bahasa Jepang oleh Imura Cultural Co. Ltd, Tokyo, Jepang. b. Karya-karya yang pernah disiarkan melalui radio dan televisi yaitu Ronggeng Dukuh Paruk yang difilmkan oleh PT Gramedia dengan judul Darah Mahkota Ronggeng, 1983. c. Hadiah harapan Sayembara Cerpen Xincir Emas Radio Nederland, untuk cerpen Jasa-jasa Buat Sanwirya, 1977. d. Hadiah harapan lomba novel DKJ, untuk novel Di Kaki Bukit Cibalak.13 e. Pada tahun 1995 menerima Hadiah Sastra ASEAN.14

B. Data Novel Kubah Kubah adalah salah satu novel karya Ahmad Tohari yang diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta, tahun 1981.15 Novel ini pernah mendapatkan penghargaan dari Yayasan Buku Utama tahun 1981, serta telah diterbitkan dalam edisi bahasa Jepang. Novel Kubah diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama di Jakarta bulan Juni 1995 berisi 192 halaman. Kemudian novel

12 Yudiono K.S., op. cit., h. 176 13 Anonim, Achmad Tohari Novelis dari Desa Tinggarjaya, (Yudha Minggu: Jakarta, 1984), h. 4. 14 Yudiono K. S., op. cit., h. 2. 15 Hasanuddin WS, op. cit., h. 525. 34

ini mengalami cetak ulang pada tahun 2001 diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama berukuran 11 x 18 cm dengan ketebalan 190 halaman.16 Novel ini menceritakan seorang pemuda yang bergaul dengan orang- orang PKI, sehingga dia terhasut PKI. Latar tempat cerita ini tidak begitu jelas, namun terjadi di Indonesia pada masa pergolakan paham komunis pada tahun 1960-an. Tetapi dari nama-nama tokoh dalam novel ini diperkirakan latar tempat novel ini adalah suatu tempat di Jawa. Novel Kubah memiliki alur sorot balik atau flash back. Ceritanya diawali konflik batin Karman yang sudah meninggi, yakni bebasnya Karman dari penjara Pulau B. Kemudian, diceritakan dengan runtut progesif-kronologis. Dalam novel Kubah teknik pembalikan cerita dilakukan Karman dengan cara tokoh merenungkan kembali masa lalunya.

C. Sinopsis Novel Kubah Karman yang lahir di Desa Pegaten tahun 1935, sejak usia 12 tahun sudah ditinggal ayahnya, Pak Mantri. Mulai saat itulah, ia bersama ibu dan adik perempuan satu-satunya hidup dalam keadaan sengsara. Sebenarnya, Pak Mantri sendiri termasuk seorang Priyayi. Hanya ketika pada zaman Jepang, banyak orang kelaparan dan cuma makan ubi atau bongkol pisang, Pak Mantri merasa tidak layak menerima nasib seperti itu. Ia lebih suka menukar sawahnya dengan padi Haji Bakir, Hingga sawah Pak Mantri tak tersisa. Memasuki zaman perang kemerdekaan, sikap kepriyayian Pak Mantri tetap tak berubah. Maka ia memilih jadi recomba daripada ikut perang Gerilya. Di luar dugaan, ia malah ditangkap para pemuda pejuang. Bagi Karman, inilah awal kehidupan yang penuh derita. Ia mulai ikut membantu ibunya mencari singkong atau ubi, hanya agar keluarganya dapat mengisi perut. Melihat kehidupan Karman ini, Haji Bakir merasa kasihan. Karena pemuda itu sangat rajin dan jujur, taat beragama, dan saleh, haji Bakir dan istrinya sangat menyayanginya dan menganggapnya seperti anak mereka sendiri. Bahkan, mereka myekolahkan Karman di sekolah rakyat.

16 Yudiono K. S, op. cit., h. 53 35

Setamat dari sekolah rendah, Karman melanjutkan sekolahnya ke SMP atas biaya pamannya. Hasyim seorang mantan tentara Hisbullah. Namun, setamat dari SMP, ia tidak melanjutkan sekolahnya karena tidak mempunyai biaya. Sejak saat itu, dia hanya menganggur saja. Dalam keadaan menganggur itulah ia bertemu dengan Triman, seorang kader PKI yang menawarkan pekerjaan kepadanya. Pada suatu hari Karman bermaksud melamar Rifah. Namun, lamarannya ditolak oleh haji Bakir. Sebenarnya, penolakan lamaran Karman bukan karena haji Bakir membenci pemuda itu, melainkan karena Rifah telah dilamar oleh Abdul Rahman, seorang saudagar mutiara dari Pakistan. Karman merasa kecewa karena lamarannya ditolak. Berkat hasutan Triman dan Margo, pemuda itu menjadi benci terhadap keluarga haji Bakir. Setelah penolakan itu, Karman menjadi frustasi. Dalam keadaan demikian, Triman dan Margo dengan mudah dapat memasukkan ajaran-ajaran komunis pada dirinya. Hubungannya dengan orang-orang PKI semakin akrab. Akibat keakrabannya dengan orang-orang PKI, Karman mulai dijauhi oleh orang-orang yang sebelumnya mencintainya. Haji Bakir pun mulai menjauhinya karena ia sangat anti terhadap PKI. Itulah sebabnya, ketika Karman melamar Rifah untuk kedua kalinya, setelah suami Rifah meninggal dunia akibat kecelakaan, Haji Bakir menolaknya. Orang tua itu menolak lamaran Karman karena ia membenci tingkah lakunya yang telah berubah dari pemuda yang sopan santun dan taat beragama, menjadi orang yang meninggalkan ajaran agama, angkuh, dan sombong. Ia tidak ingin melihat anaknya menikah dengan orang yang berpaham komunis. Ketika ia bertemu dengan Marni, seorang gadis yang sangat mirip dengan Rifah, sikap Karman berbalik. Hubungan keduanya semakin akrab dan akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Dari pernikahan mereka, lahir anak perempuan bernama Tini. Kebahagiaan rumah tangga Karman tidak berlangsung lama. Akibat kegagalan dalam mendukung usaha PKI untuk mengambil alih kekuasaan negara, Karman dikejar-kejar pemerintah. Beberapa temannya, seperti Triman dan Margo ditangkap dan dihukum mati. Karman berhasil melarikan diri, namun tak lama kemudian, ia pun tertangkap. Ia tidak dihukum 36

mati, melainkan diasingkan disebuah penjara terpencil di Pulau Buru. Selama menjalani hukuman di Pulau Buru, Karman mulai menyadari perbuatannya yang salah. Dalam dirinya timbul penyesalan yang amat dalam. Timbulnya kesadaran dalam dirinya juga berkat usaha yang tak kenal lelah dari Kapten Somad. Seorang sipir penjara Pulau Buru, yang banyak memberikan bimbingan rohani kepada Karman. Dengan kesadaran penuh, bekas kader PKI itu datang ke desanya. Sementara masyarakat desa Pegaten menerimanya dengan ikhlas tanpa sedikitpun dendam. Penerimaan itu makin nyata ketika Tini (anaknya) menikah dengan Jabir (anak Rifah) yang tak lain adalah cucu Haji Bakir. Kemudian, kesadaran dan tekad Karman bertobat diwujudkan dengan dipersembahkannya sebuah kubah untuk Masjid di desa itu. Karman telah bertobat dan masyarakat menerimanya dengan sadar. BAB IV PEMBAHASAN

A. Analisis Unsur Intrinsik dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari Di bawah ini akan dipaparkan struktur novel Kubah karya Ahmad Tohari yang terdiri atas tema, tokoh, alur, latar (setting), sudut pandang, dan gaya bahasa. 1. Tema Pada analisis ini, dapat berangkat dari tema yang merupakan ide dasar sebuah cerita. Tema merupakan sesuatu unsur penting dalam suatu cerita karena tema merupakan inti cerita yang mendasari suatu cerita. Bertolak dari inti cerita, pengarang akan mengembangkan cerita menjadi suatu bentuk yang lebih luas.1Tema yang diangkat dari novel ini adalah insyafnya seorang ekstapol setelah mengalami berbagai gejolak kehidupan. Dilihat dari tema yang diangkat, isi cerita ini menggambarkan tokoh utama yang taat beragama hingga terjerumus ke dalam politik dan diakhiri dengan sebuah penyesalan. Tema ini menonjol ketika peristiwa bertemunya Karman dengan Kastagethek di Kali Sikura. Pertemuan inilah merupakan awal kesadaran Karman dalam kesalahannya terjerumus ke dalam politik. Hal ini dibuktikan dalam kutipan berikut: Dalam kesadaran ketika bayangan regu tembak sudah muncul di depan mata, Karman merasa sangat iri terhadap Kastagethek dengan segala perilakunya yang amat tenang, mengalir, dan pasrah. Karman dapat memastikan bahwa ketenangan hidup Kastagethek berkaitan dengan shalatnya, dengan zikirnya, dengan tasbihnya. ―Ah, ketiga ritus itu telah lama kuingkari dan kucampakkan.2

Dari kutipan diatas tergambar bagaimana Karman menyadari bahwa politik telah menjauhkan dirinya kepada tiga hal yang selama ini

1 Sri Widati Pradopo, dkk, op. cit., h. 42. 2Ahmad Tohari, Kubah, (PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 1995), h. 152.

37

38

ditinggalkannya, ketiga hal tersebut yaitu shalat, zikir, dan tasbih. Ketiga hal ini menurut Karman merupakan paket sebagai pegangan hidup dalam menjalani kehidupan yang tenang, mengalir, dan pasrah. Ia menyadari hidupnya yang kini berantakan, karena meninggalkan ketiga hal tersebut. Selain itu, tema ini dapat dibuktikan pula pada syair yang dilantunkan Kastagethek, syair tersebut mengingatkan Karman pada masa kecil sering melantunkan syair tersebut. Syair ini berjudul Sangkan- paraning dumadi; dari mana dan mau ke mana segala keterjadian. Aku mbiyen ora ana Saiki dadi ana Mbesuk maneh ora ana Padha bali marang rahmatullah

Dulu aku tiada Kini aku meng-ada Kelak aku lagi tiada Kembali ke rahmat ilahi3

Syair di atas menggambarkan pertobatan Karman dalam agamanya. Syair yang sering dilantunkan ketika ia bersama anak-anak kecil lainnya di serambi masjid Haji Bakir. Syair ini merupakan peringatan bagi umatNya bahwa sebagai manusia yang hidup di dunia akan kembali kepada asal- usul mereka diciptakan. Setelah analisis tema, peneliti akan menganalisis alur yang terdapat dalam novel Kubah.

2. Alur Alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Ada beberapa tahapan-tahapan peristiwa dalam suatu cerita. Tahapan-tahapan peristiwa tersebut antara lain: pengenalan, konflik, klimaks, penyelesaian.4

3Ibid., h. 152 4Aminuddin, op. cit., h. 83. 39

klimaks konflik leraian

pengenalan penyelesaian Alur dalam novel Kubah ini merupakan alur campuran, karena kisah awal menceritakan kebebasan tokoh Karman, kemudian mengisahkan kembali ke masa lalu sejak ia kecil sampai saat ia terjerumus ke dalam anggota PKI, dan berakhir pada kisah setelah ia diterima kembali oleh masyarakat Pegaten serta dipercaya dalam pembuatan kubah masjid. Berikut ini pemaparan alur dalam novel Kubah: a. Tahap Pengenalan Pada awal kisah ini pengarang mulai melukiskan suatu keadaan. Kisah ini berawal dari kebebasan tokoh Karman dari Markas Komando Distrik Militer (tempat Karman ditahan), hatinya bergetar-getar karena menerima surat pembebasan dirinya. Hal dapat dilihat dari kutipan berikut: Dia tampak amat canggung dan gamang. Gerak -geriknya serba kikuk sehingga mengundang rasa kasihan. Kepada Komandan, Karman membungkuk berlebihan. Kemudian dia mundur beberapa langkah, lalu berbalik. Kertas -kertas itu dipegangnya dengan hati-hati, tetapi tangannya bergetar. Karman merasa yakin seluruh dirinya ikut terlipat bersama surat-surat tanda pembebasannya itu. Bahkan pada saat itu Karman merasa totalitas dirinya tidak semahal apa yang kini berada dalam genggamannya.5

Kutipan di atas merupakan gambaran keadaan dan perasaan si Karman yang bertahun-tahun dalam penjaran serta pada akhirnya ia bebas dari tahanan tersebut. Kebebasan ini masih dibingungkan oleh Karman, ia masih tak percaya kertas yang berada digenggamannya itu sebagai tanda kebebasannya. Kutipan ini pula merupakan narasi yang diluncurkan oleh si pengarang sebagai kisah awal karyanya. Hal ini dapat dilihat pada episode pertama halaman tujuh sampai halaman delapan belas.

5Ahmad Tohari, op. cit., h, 7 40

b. Tahap Pemunculan Konflik Tahap pemunculan konflik dalam novel ini menggambarkan keraguan tokoh Karman ketika hendak pulang untuk menikmati kebebasannya setelah sekian lama berada dalam pengasingan di Pulau B (Buru). Dia ragu untuk pulang karena khawatir akan dicibir dan dibenci orang-orang sedesanya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Setelah berhasil mengedepankan gejolak perasaannya, Karman sadar bahwa dirinya sedang berada dalam perjalanan pulang yang panjang dari Pulau B. Pulang? Tanya Karman berkali-kali kepada dirinya sendiri. Pulang ke mana? Aku memang lahir di sana, di Pagetan. Di sana aku dibesarkan dan di sana aku pernah punya rumah, istri dan anak. Namun masih adakah semua itu? Dan, apakah kampungku, terutama orang-orang, mau menerima aku kembali? Sebuah letupan kekuatan tiba-tiba mengoyahkan hatinya.6

Keraguan dan kekhawatiran Karman dapat dimengerti, karena Karman sadar akan statusnya sebagai bekas tahanan politik yang baru saja dibebaskan dari Pulau B. Semua orang tahu bahwa Pulau B adalah tempat pengasingan para tahanan politik (orang-orang PKI), sehingga wajar kalau Karman punya kekhawatiran dirinya tidak akan diterima oleh orang-orang di desanya. Di tambah lagi istrinya yang sangat dicintainya sudah tidak bisa hidup bersama lagi karena sudah jadi istri orang. Karman teringat kembali kenangan ketika dia harus merelakan istrinya, Marni, untuk menikah dengan Parta, lelaki teman sekampung, sedangkan waktu itu dia sendiri masih berada di pengasingan. Meskipun diberi hak untuk kembali ke tengah pergaulan masyarakat, Karman sulit menghapus kekhawatirannya akan ditolak, dibenci, dan dikucilkan oleh masyarakat yang dahulu pernah dirongrongnya sendiri. Akan tetapi, tidak ada jalan lain kecuali harus melangkah pulang ke desanya, Pegaten. Kemudian dia memutuskan ke rumah Gono, saudara sepupunya yang tidak jauh dari pusat kota. Sambutan Bu Gono yang tulus merupakan isyarat awal tentang keikhlasan

6Ibid., h. 30 41

masyarakat menerima kembali orang-orang bekas PKI. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Mas Karman, saudaraku, tinggallah bersama kami di sini. Kau takkan menemukan apa-apa lagi di Pegaten. Rumahmu habis dimusnahkan, tanahmu habis terjual. Dan, oalah Gusti, Marni istrimu telah kawin lagi dan beranak pinak. Anakmu yang terkecil meninggal. Mas Karman, kau tak punya apa-apa lagi di Pegaten. Kau tak punya apa-apa lagi.7

Konflik awal yang dialami Karman yaitu ketika kisah ini mengingatkan kembali ke masa lalu di mana tokoh Marni yang tak lain adalah mantan istrinya meminta izin menikah dengan Parta teman sekampungnya. Karman pun harus merelakan sang istri untuk menikah lagi, karena pada saat itu posisi dirinya sedang berada di Pulau Buru (tahanan). Pada konflik awal ini merupakan kilas balik dari jalannya cerita dalam novel ini. Yang menguasai seluruh lamunan Karman adalah Parta, seorang teman sekampung. Tujuh tahun yang lalu, ketika Karman masih menjadi penghuni pulau buangan, Parta menceraikan istrinya dan kemudian mengawini Marni. Meskipun sudah punya tiga anak, Marni memang lebih cantik daripada istri Parta yang diceraikan. Hal ini tidak akan dibantah oleh siapa pun di Pegaten, tidak juga oleh Karman.8

Selanjutnya, konflik kedua yang dialami Karman ketika kehidupan semasa ia ditinggal oleh ayahnya dan hanya hidup dengan ibu beserta adiknya. Dalam kehidupan ini ia merasa sebagai pengganti ayahnya dan bertanggung jawab kepada keluarganya. Ia mesti mencari singkong atau ubi untuk makan ibu dan adiknya yang masih kecil. Sepeninggal ayahnya, Karman hidup hanya dengan ibu dan seorang adik perempuan yang masih kecil. Sebenarnya Karman mempunyai dua kakak lelaki. Tetapi keduanya meninggal dalam bencana kelaparan pada zaman Jepang. Keadaan keluarga Karman amat menyedihkan.9

7Ibid., h. 34 8Ibid., h. 12 9Ibid., h. 56 42

Dari kutipan di atas menggambarkan perubahan kehidupan Karman yang bermula hidup serba kecukupan sehingga harus menjalankan kepahitan hidup bersama keluarganya. Konflik ketiga yaitu, ketika Karman melamar Rif‘ah anak Haji Bakir tetapi ditolak oleh Haji Bakir lantaran Rif‘ah telah dilamar oleh pemuda lain. Pemuda tersebut bernama Abdul Rahman, ia adalah seorang santri dari sebuah pesantren di daerah Jawa Timur. Sebelumnya calon suami Rif‘ah sudah ditentukan oleh keluarga Haji Bakir. Sayangnya ada satu hal yang pasti tak disadari oleh Karman; Rifah sudah dilamar oleh pemuda lain.10 c. Tahap Klimaks Tahap klimaks dari alur novel Kubah ini berawal dari hasutan Margo dan Triman kepada Karman. Dua orang tersebut ingin menjauhkan Karman dengan Haji Bakir. Mereka memanfaatkan situasi seperti ini, karena orang tua Karman pernah memiliki satu hektar tanah yang saat ini sudah menjadi milik Haji Bakir. Masalah tanah ini menjadi senjata utama bagi Margo dan Triman untuk menghasut Karman, mereka memutar balikan fakta, bahwa tanah milik orang tua Karman telah dikuasai oleh Haji Bakir. Pada kenyataannya ketika ayah Karman masih hidup tanah tersebut sudah ditukar oleh bahan pangan untuk para tetangganya, itulah sebabnya tanah tersebut sudah sah dimiliki oleh Haji Bakir. Selain itu pula Margo serta Triman tidak begitu puas dalam menghasut Karman, mereka tidak tinggal diam serta selalu mencari cara agar hasutan untuk menjauhkan Karman dan Haji Bakir semakin kuat. Belum lama masalah tanah selesai, Karman melamar Rifah yang kedua kalinya, keadaan seperti ini sangat dimanfaatkan oleh Margo dan Triman. Karman pun harus menerima nasib yang sama saat melamar Rifah yang pertama, ia pun ditolak kembali oleh Haji Bakir dengan alasan sudah terlambat melamar Rifah. Haji Bakir yang sebelumnya sudah benci pada partai adalah salah satu alasan utama penolakan lamaran Karman. Akan

10Ibid., h. 76 43

tetapi Karman menganggapnya berbeda, ia beranggapan bahwa penolakan tersebut mengatasnamakan harta atau materi, karena sebelumnya suami Rifah adalah pemuda yang kaya, sedangkan dirinya hanya dari kalangan keluarga miskin. Akibat dendam terhadap Haji Bakir serta hasutan yang mempengaruhi pikiran Karman maka, ia sudah siap dengan keputusan untuk meninggalkan Pegaten atas rasa sakit hati dan merasa tidak berarti lagi tinggal di Pegaten tempat kelahirannya. Ia juga sampai hati meninggalkan ajaran agamanya, karena terlalu banyak hasutan yang diterima olehnya dari Margo dan Triman. Hasutan Margo dan Triman yang semakin menguasai pikiran Karman, membuat Karman semakin membenci masyarakat Pegaten terutama terhadap Haji Bakir. Karman pun berani berterus terang meninggalkan mesjid, meninggalkan peribadatan bahkan tentang agama, Karman sudah pandai mengutip kata-kata Margo, bahwa agama adalah candu untuk membius kaum tertindas.11

Kutipan di atas merupakan klimaks dari cerita novel Kubah karya Ahmad Tohari. Hal ini terlihat ketika Karman mulai berani meninggalkan kampungnya bahkan meninggalkan agamanya, di sinilah puncak kemarahan Karman serta hasutan yang diberikan oleh Margo. d. Tahap Peleraian Tahap peleraian alur dalam novel ini yaitu pelarian Karman untuk menyelamatkan diri dari kepungan polisi dan tentara akibat kebodohannya yang terjebak sebagai anggota partai. Karman berusaha pergi ke tempat yang dapat menyelamatkan dirinya dari kepungan polisi. Setiap kali ia selalu berpindah tempat yang menurut dirinya aman sebagai tempat untuk bersembunyi. Akan tetapi, ke mana pun ia bersembunyi tetap saja tertangkap oleh warga yang menemukannya. Dan tamat sudah kisah pelariaannya, karena seorang gembala kerbau melihat segala gerak-geriknya. Di siang itu beberapa orang

11Ibid., h. 94 44

pamong desa datang ke Astana Lopajang. Karman ditangkap dalam keadaan sakit payah. Boleh jadi karena keadaannya itulah orang tidak tega menghabisi nyawanya.12 e. Tahap Penyelesaian Pada tahap terakhir ini menceritakan kepulangan Karman ke Pegaten yang diterima kembali oleh masyarakat. Masyarakat pegaten menerima dan memaafkan atas semua kesalahan Karman di masa lalu, mereka tidak menyimpan dendam sedikit pun kepada bekas tahanan politik ini. Karman dijemput anaknya yang bernama Tini ke rumah Bu Mantri yang tak lain adalah ibunya sendiri. Pada tahap akhir ini pula menceritakan rencana pernikahan Tini anak Karman dan Marni dengan Jabir anak Rifah wanita yang pernah ia cintai. Tini bersama Jabir keluar dari rumah Bu Mantri. Mereka baru menjemput Karman dari kota. Ayah Tini yang baru pulang dari Pulau B itu sekarang berada di rumah Bu Mantri, nenek Tini.13

Rasa saling memaafkan yang dimiliki oleh masyarakat Pegaten ditunjukkan ketika Karman dipercaya untuk membangun kubah masjid milik Haji Bakir. Kubah yang dibuat Karman terlihat indah ketika sudah terpasang di atap bangunan masjid. Masyarakat Pegaten yang melihat kubah tersebut saling memuji atas apa yang telah dibuat oleh Karman. ―Luar biasa bagusnya,‖ kata seseorang ketika kubah masjid hasil kerja Karman selesai dipasang menjadi puncak bangunan mesjid.14

Kutipan di atas menggambarkan kepuasan masyarakat Pegaten atas kinerja Karman dalam pembuatan kubah di masjid Haji Bakir. Akhir kisah Karman, seorang bekas tahanan politik yang telah menemukan kesadaran hidupnya merupakan akhir jalannya cerita dalam novel Kubah ini. Kesadarannya yang telah hilang kini kembali lagi menjadi seorang taat beragama dan berguna bagi masyarakat di sekelilingnya.

12Ibid., h. 166 13Ibid., h. 167 14Ibid., h. 189 45

Berdasarkan paparan alur tersebut, tampak alur cerita menggunakan alur campuran.

3. Tokoh dan penokohan Cerita dalam sebuah novel tidak akan ada tanpa tokoh yang menggerakkan cerita dan membentuk alur dengan segala macam permasalahan yang dialaminya. Hal ini menunjukkan bahwa tokoh merupakan hal penting dalam sebuah novel. Aspek penokohan dalam cerita sangatlah penting karena menggambarkan cara pengarang menampilkan tokoh. Pada novel Kubah karya Ahmad tohari yang termasuk ke dalam tokoh utama yaitu, tokoh Karman. Tokoh Karman ini yang mengalami banyak konflik di dalamnya, karena tokoh Karman sebagai pusat yang diceritakan oleh Ahmad Tohari. Namun, terdapat pula tokoh tambahan yang membangun konflik tokoh Karman, diantaranya: Haji Bakir, Rif‘ah, Marni, Margo, Triman, Parta, Kastaghetek, Kapten Somad. a. Karman Karman adalah seorang bekas tahanan politik yang mengalami berbagai gejolak dalam hidupnya. Pada mulanya Karman merupakan anak dari kalangan keluarga keturunan Priyayi, ayahnya seorang mantri pasar. Akan tetapi, kepriayiyannya itu hilang ketika ayahnya dibawa oleh para pemuda pejuang dan tidak kembali lagi ke Pegaten. Pada novel Kubah ini, Karman di posisikan sebagai tokoh utama, karena ia selalu muncul dalam setiap episode dan peristiwa yang dialaminya. Apabila diurutkan peristiwa-peristiwa yang menimpa diri tokoh utamanya, yaitu Karman, dari masa kecil sampai ia bebas dari pengasingan Pulau Buangan dan kemudian diterima kembali oleh masyarakat, akan terlihat jalur perkembangan wataknya.15 Peristiwa pertama menggambarkan sikap Karman yang pasrah ketika harus

15 Anonim, Aspek Filosofis dalam Novel Kubah Ahmad Tohari, (Berita Buana: Jakarta, 1985). 46

merelakan istrinya menikah dengan orang lain pada saat dirinya berada di Pulau Buangan. ―Nah, baiklah. Marni kulepaskan walaupun hati dan jiwaku tak pernah menceraikannya. Takkan pernah!‖16

Kutipan di atas menunjukkan Karman yang berat hati dalam mengambil keputusan bahwa dirinya telah merelakan Marni dengan orang lain, walaupun sebenarnya Karman tidak pernah menceraikan Marni. Selanjutnya, peristiwa ketika Karman sedang berada di Pulau Buangan. Pada saat itu dirinya dalam keadaan sakit, karena lelah memikirkan yang sudah terjadi terhadap rumah tangganya. Hal ini menunjukkan sikap Karman yang pasrah dan mudah putus asa. ―Apa yang bisa saya harapkan sesudah saya sembuh? Rasanya saya sudah kehilangan tujuan. Kehilangan segala-gala. Hidup saya terasa sangat enteng. Dan kosong.‖17

Selanjutnya, sikap Karman dapat dilihat kembali ke masa kecilnya merupakan anak yang mandiri dan memiliki tanggung jawab terhadap keluarganya, karena ia telah ditinggal oleh ayahnya sekitar tahun 40-an. Sikap mandiri dan rasa tanggung jawab Karman dapat dilihat dari kutipan berikut: ―Tak pantas pada waktu panen seperti ini ibuku tak punya beras. Sebaiknya aku ikut menuai padi agar ibuku sempat merasakan nasi yang empuk.‖18

Pada di atas, menunjukkan bahwa sikap Karman sebagai anak yang memiliki rasa tanggungjawab dan sebagai tulang punggung keluarga setelah ditinggal oleh sang ayah. Terlihat jelas ketika musim panen tiba, bagaimana caranya pada musim panen saat ini ibu dan adiknya harus bisa memakan serta menikmati nasi yang didapatkannya dari hasil upah tuaian di sawah tetangganya. Ia memutuskan untuk

16Ahmad Tohari, op. cit., h. 16 17Ibid., h. 24 18Ibid., h. 63 47

menuai padi agar mendapatkan upah dari hasil tuain padi yang diperolehnya. Selanjutnya, sikap tanggungjawab Karman dapat dilihat ketika ia diberi pekerjaan oleh Haji Bakir untuk mengasuh Rifah anak bungsunya. Karman pun menjaga dan melindungi Rifah dengan baik. Karman maju melindungi Rifah yang menjerit dengan muka biru. Kedua tanduk binatang itu ditangkapnya. Karena tenaganya kalah kuat terayun-ayun oleh hempasan binatang yang marah itu.19

Kutipan di atas menggambarkan sosok Karman yang berani melawan amukan binatang bertanduk itu demi melindungi Rifah. Ia sama sekali tidak memikirkan dirinya dalam keadaan berbahaya karena menahan binatang yang sedang mengamuk itu.

Selain itu, Karman juga memiliki rasa peduli antarsesama. Ia tidak memandang kejelekan yang telah diperbuat oleh tetangganya, walaupun masyarakat Pegaten sangat menjunjung tinggi nilai moral dalam beragama. Hal ini terlihat ketika peristiwa yang terjadi pada saat penuaian padi di sawah Sanawi. Karena melihat Kinah masih berdiri menuai padi, Karman bertindak. Padi dan ani-ani diletakkannya di atas pematang. Kemudian secepatnya ia berlari. Ketika sampai tujuan, hal pertama yang dilakukannya adalah menyapu tubuh bayi Kinah dengan kain.20

Dari kutipan ini, terlihat bagaiman rasa kepedulian Karman terhadap tetangganya itu. Ia rela menghentikan penuaiannya demi menolong seorang anak bayi yang tidak lain merupakan anak tetangganya. Ketika yang lain sibuk dengan tuaian mereka, ia hanya seorang diri menolong bayi tersebut. Walaupun yang lainnya menyaksikan keadaan yang terjadi di sawah, mereka tidak bisa berbuat apa-apa dan tak ada satu orang pun yang mau menolong bayi Kinah

19Ibid., h. 62 20Ibid., h. 71 48

kecuali Karman. Mereka membenci perbuatan Kinah melahirkan seorang bayi, tetapi tak memiliki seorang suami. Hal ini disebabkan mereka benci dengan percabulan. Perubahan sikap Karman selanjutnya, ketika lamarannya ditolak oleh Haji Bakir. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: ―Seandainya keadaanku lebih baik daripada Abdul Rahman, barangkali Haji Bakir akan menghapus kata ‗terlambat‘ dan aku akan diterima menjadi menantunya. Pokoknya tidak adil.‖21

Dari kutipan di atas terlihat jelas bagaimana Karman menilai sosok Haji Bakir terhadap dirinya. Ia menjadi sosok yang selalu berburuk sangka terhadap orang disekitarnya.Ia merasa dari penolakan tersebut merupakan sebab dari kedudukan derajat yang harus berimbang diantara kedua belah pihak. Berhubung Karman dari kalangan keluarga kurang mampu, berbeda halnya dengan kedudukan pria pilihan Haji bakir yang merupakan dari kalangan keluarga terpandang di daerahnya. Hal ini, yang menyebabkan Karman berburuk sangka terhadap keputusan Haji Bakir. Sikap Karman selanjutnya yaitu sebagai seorang pendendam terhadap orang lain yang tidak disukainya. Hal ini dilihat ketika Karman dikecewakan oleh Haji Bakir yang selama ini telah menganggap dirinya sebagai keluarga sendiri. Rasa kecewa, marah, dan malu berbaur di hati Karman.Akibatnya ia mendendam dan membenci Haji Bakir. 22

Kutipan di atas menggambarkan bagaimana sosok Karman adalah manusia yang mudah kecewa, marah dan malu dengan sebuah perlakuan yang mungkin kurang berkenan di hatinya, yakni kekecewaan terhadap Haji Bakir. Sikap Karman yang jauh dari ajaran agama akibat dirinya mudah dipengaruhi oleh kawan partainya dapat dilihat kembali pada

21Ibid., h. 91 22Ibid., h. 91 49

alur klimaks ketika Karman sudah siap meninggalkan masjid serta desa Pegaten demi kepentingan partai. Hal ini dapat di lihat pada pemaparan alur klimaks. Selain itu, sikap Karman yang mudah terpengaruh dapat diakui oleh teman separtainya. Karman memiliki sifat terlalu perasa. Juga sedikit gampang terpengaruh, dan sewaktu-waktu bisa marah.23

Perubahan-perubahan sikap diri Karman yang akhirnya ia sadar kembali setelah mengalami berbagai gejolak dalam kehidupannya. Seperti yang sudah dipaparkan dalam analisis tema novel Kubah mengisahkan seorang bekas tahanan politik, tema tersebut telah membuktikan bahwa tokoh utama inilah yang menjadi pusat fokus dalam cerita Kubah. b. Haji Bakir Haji Bakir merupakan salah seorang tokoh agama dan orang terkaya di daerah Pegaten. Selain kaya, Haji Bakir termasuk orang yang sayang terhadap anak yatim dan peduli terhadap tetangganya. Hal ini dapat dibuktikan ketika iamenolong penderitaan keluarga Karman dari kemiskinan serta sulitnya mendapatkan makanan yang jarang ia temukan bersama ibu dan adiknya. Kemudian, Haji Bakir memberikan Karman pekerjaan pada saat dirinya masih kecil setelah sepeninggalan ayahnya. Ternyata keluarga Haji Bakir tidak pernah memperlakukan Karman sebagai pembantu rumah tangga yang sebenarnya. Anak itu diberi kesempatan menamatkan pendidikannya di sekolah rakyat yang sudah dua tahun ditinggalkannya. Pekerjaan yang diberikan kepada Karman adalah pekerjaan sederhana yang bisa diselesaikan oleh anak seusianya; mengantarkan makanan bagi orang yang sedang bekerja di sawah, menyapu rumah dan halaman, memelihara ikan di kolam dan melayani si manja Rifah.24

23Ibid., h. 102 24Ibid., h. 60 50

Kutipan di atas menggambarkan bahwa sikap Haji Bakir yang bijaksana dan tidak memberikan beban kepada anak yatim dalam memperoleh uang atau upah untuk keluarga. Haji Bakir menganggap Karman seperti keluarga sendiri, tidak menganggapnya sebagai pembantu di rumahnya, bahkan Karman diberikan pekerjaan yang ringan sesuai dengan usianya pada saat itu. Selain kutipan di atas ada juga kutipan lain yang menunjukkan tokoh Haji Bakir berikut adalah kutipannya. Dengan ijazah SMP ternyata Karman tidak mudah mendapatkan pekerjaan. Dua tahun dicari dan ditunggu, pekerjaan yang sangat diharapkan tak kunjung tiba. Untung Haji Bakir tetap bersedia memberinya kesibukan sehingga Karman tidak nganggur. Pak Haji sering meminta Karman mengantar bertruk-truk kelapa ke pabrik minyak.25

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa tokoh Haji Bakir begitu baik masih mau memberikan kesibukan kepada Karman agar tidak menganggur dan sering meminta pada Karman untuk mengangkut bertruk-truk kelapa ke pabrik minyak semasa Karman belum mendapatkan pekerjaan. Tokoh Haji Bakir dengan teknik dramatik sebagai tokoh yang baik, suka menolong, pemaaf dan bersahaja di masyarakat Pegaten, karena beliau tokoh ulama di daerah Pegaten. Haji Bakir termasuk orang yang bijaksana dalam mengambil keputusan. Hal ini, dapat dilihat jawaban Haji Bakir ketika Karman melamar Rifah yang kedua kalinya. Sulit sekali rasanya. Tetapi aku mempunyai pedoman yang teguh; aku hanya rela menjodohkan Rifah dengan laki-laki yang dapat membimbing Rifah di dunia sampai ke akhirat. Kulihat keadaanmu telah jauh berubah. Kini rasanya kau bukan laki-laki yang cocok dengan persyaratan yang kumaksud. Bagiku setiap orang sama derajatnya selagi penilaian itu tidak menyangkut iman dan takwa kepada Tuhan.26

25Ibid., h. 75 26Ibid., h. 121 51

Kutipan di atas menjelaskan maksud dari penolakan Haji Bakir terhadap Karman. Haji Bakir sadar bahwa anak didiknya itu telah banyak berubah berbeda ketika sebelum Karman terjun ke politik. Oleh karena itu, Haji Bakir menolak lamaran Karman, ia hanya ingin anaknya memiliki suami yang dapat membimbingnya di dunia dan akhirat. Selain memiliki sifat yang baik, tokoh Haji Bakir termasuk ke dalam pembangun konflik tokoh utama. Tokoh Karman yang pernah dikecewakan oleh Haji Bakir karena telah menolak lamaran untuk meminang putrinya itu, membuat tokoh utama membenci Haji Bakir. Hal ini, merupakan salah satu gejolak batin yang dialami Karman. c. Marni Marni merupakan gadis cantik yang telah memikat hati Karman ketika ia sedang patah hati dan sakit hati terhadap Haji Bakir karena telah menolak lamarannya. Pada akhirnya Karman bertemu Marni dan meminang Marni untuk dijadikan seorang istri. Marni termasuk seorang istri yang setia ketika suaminya sedang berada di Pulau Buangan. Mula-mula Marni menolak kawin lagi meski sudah lima tahun ditinggal suami. Betapapun, tekad Marni saat itu, ia akan menunggu suaminya kembali. ―Siapa tahu, suamiku masih hidup. Dan perasaanku mengatakan, entah kapan dia akan kembali.‖27

―...... istrimu lumayan setia karena tahan tidur sendiri selama lima tahun.‖28

Dari kedua kutipan di atas menggambarkan sosok Marni yang setia dan teramat sayang terhadap suaminya. Ia rela menunggu suaminya datang kembali untuk tinggal bersama dirinya dan anak-anak. Walaupun seiring jalannya waktu, kesetiaan yang dimiliki Marni tidak berlangsung lama karena melihat kondisi kehidupan ekonominya

27Ibid., h. 13 28Ibid., h. 15 52

bersama anak-anak. Marni yang didesak oleh sanak keluarganya untuk menikah lagi agar dapat memenuhi kebutuhan ekonomi dirinya beserta ketiga anaknya yang masih kecil-kecil. Hal seperti ini membuat dirinya bingung antara menerima lamaran dari orang lain atau lebih memilih setia dan menanti kedatangan suaminya kembali. Setelah dipikirkan matang-matang oleh Marni dan akhirnya ia pun menerima pendapat dari keluarganya untuk menikah lagi.

Selain itu, Marni termasuk orang yang bijak sebagai orang tua ketika berhadapan dengan anaknya. Untung ibu yang bijak itu bisa mengalihkan perhatian Tini.29

Dari kutipan di atas menggambarkan sosok Marni yang bijaksana dalam mencari perhatian anaknya. Walaupun keadaan apapun Marni tetap berusaha untuk menjadi ibu yang baik dan adil bagi anak- anaknya. Kutipan lain yang dapat menunjukkan sosok Marni dapat ditemukan pada kutipan berikut. Di kamar persalatan Marni berusaha mencari kesadaran tertinggi agar bisa berdekat-dekat dengan Tuhan. Ia bersimpuh dan merasa begitu kecil dan lemah. Namun dalam kesadaran akan ditempuhnya. ‖Besok, aku akan bertawakal; membiarkan apa yang harus terjadi, terjadilah.‖30

Kutipan di atas menunjukkan bagaimana sosok Marni selalu berserah diri kepada Allah SWT sebagai tempat dirinya mengadu dan bersimpuh sebagai seorang hamba. Apapun yang akan terjadi padanya esok ia serahkan hanya pada Allah SWT semata. Kutipan-kutipan di atas mencerminkan tokoh Marni sebagai seorang yang sudah matang, tetapi masih cantik. Marni mempunyai lekuk di sudut bibir yang

29Ibid., h. 45 30Ibid., h. 50 53

menarik, ramping, berlengan kecil, bersuara bening, serta selalu tampak tenang, selalu berserah diri kepada Allah, tabah dan lembut. Hubungan Marni dengan konflik batin Karman yaitu ketika Marni sudah matang dengan keputusannya untuk menikah dengan orang lain. Hal ini, yang membuat jiwa Karman terguncang dan jatuh sakit ketika berada di Pulau Buangan. d. Parta Parta adalah teman sekampung Karman, ia juga yang telah menikahi istrinya. Parta juga merupakan tokoh tambahan yang membangun konflik tokoh utama. Hal ini dapat dilihat ketika Parta berencana untuk menikahi Marni. Hati Karman menjadi gelisah bahkan membuat dirinya jatuh sakit. Rencana Parta untuk menikahi Marni, dikarenakan gadis ini lebih cantik dari istri pertamanya, sehingga sampai hati Parta menceraikan istri pertamanya itu. Dapat disimpulkan atas kejadian ini, Parta merupakan orang yang memanfaatkan keadaan. Kecantikan Marni adalah sebab utama mengapa Parta sampai hati melepas istri pertamannya.31

Apabila dilihat dari kutipan di atas, Parta merupakan sosok yang hanya melihat dari segi fisik pendamping hidupnya. Ia merupakan pria yang tidak setia terhadap istri sebelumnya. Meskipun demikian, Parta termasuk pria yang bertanggung jawab terhadap Marni. Hal ini, dapat dilihat dari kutipan berikut: Pada dasarnya Parta bukan suami yang mengecewakan Marni, kecuali penyakit asma yang dideritanya serta sikapnya terhadap Rudio.32

Kutipan di atas menggambarkan sosok Parta yang bertanggung jawab sehingga tidak pernah mengecewakan Marni. Akan tetapi, di sisi lain Parta termasuk orang tua yang tidak adil terhadap anak tirinya.

31Ibid., h. 13 32Ibid., h. 40 54

Selain itu, Parta digambarkan sebagai sosok pria yang penyakitan, ia menderita sakit asma. Berdasarkan paparan tersebut tampak kemunculan Parta pada cerita memunculkan konflik pada diri Karman. hadirnya orang ketiga dalam rumah tangga Karman dan Marni membuat rumah tangga mereka hancur. Marni menulis surat pada Karman dan memintanya untuk melepas Marni. e. Margo Margo merupakan seorang kader partai yang menghasut pikiran Karman. Ia sangat pandai dalam berbicara tentang politik sehingga banyak orang terjebak oleh hasutannya untuk masuk ke dalam anggota partai yang dianutnya. Ia selalu memanfaatkan keadaan untuk keberhasilan rencananya itu. Karman yang mengalami berbagai gejolak batinnya itu dengan mudah terhasut oleh ajakan Margo. Ia juga yang telah memisahkan Karman dari lingkungannya. Selain itu pula Margo yang membuat Karman membenci Haji Bakir dan menjauhkan Karman dari ajaran agamanya akibat masuk ke dalam anggota Partai. Karman sudah pandai mengutip kata-kata Margo, bahwa agama adalah candu untuk membius kaum tertindas.33

Selain itu, Margo memiliki sifat yang cerdik dan ulet. Akibat kecerdikan yang ia miliki, dimanfaatkannya untuk kepentingan partai. Cerdik dan ulet serta sangat gemar membaca buku atau brosur yang menyangkut partainya. Ia pun berlangganan Harian Merah, sebuah organ partai yang sangat dibanggakannya.34

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Margo sebenarnya orang yang terpelajar, selain itu ia juga menjadi seorang guru di Pegaten. Rekan-rekan separtai biasa memanggilnya dengan panggilan Kawan Margo, karena ia salah seorang kader pilihan di partainya. Dia adalah seorang yang cerdik dan ulet serta gemar membaca buku atau brosur

33Ibid., h. 94 34Ibid., h. 76 55

yang menyangkut partainya, bahkan dia berlangganan Harian Merah kebanggaannya. Hubungan antara Margo dengan Karman adalah kawan separtai. Dari partailah tokoh Margo dimunculkan sebagai tokoh yang membangun tokoh utama. Margo dihadirkan untuk menghasut pikiran Karman, sehingga Karman memiliki konflik yang cukup berat dengan masyarakat Pegaten terutama terhadap Haji Bakir. Hasutan demi hasutan membuat konflik Karman ini mencapai klimaks dengan pelariannya dari masyarakat Pegaten dan Haji Bakir. f. Triman Triman adalah seorang terpelajar sama halnya dengan Margo teman separtainya. Ia bekerja sebagai kepala Kantor penerangan. Berikut merupakan kutipan tentang sosok Triman: Satu hal yang Kawan Margo ketahui, pengaruh Kawan Triman terhadap Camat. Meskipun Kawan Triman hanya seorang kepala Kantor Penerangan tingkat kecamatan, wibawanya cukup besar. Camat yang sok ningrat dan bersikap asal tahu beres itu sering menggunakan Kawan Triman untuk menutupi semua kekurangannya. Dan di sana peran Kawan Triman tidak mencolok sebab dia tidakdikenal sebagai orang kita, melainkan orang Partindo.35

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Triman mrmpunyai pengaruh dan wibawa cukup besar di kecamatan, meskipun Trimanhanya pekerja kantor penerangan. Triman tidak terlalu mencolok sebagai partai Komunis, tetapi melainkan orang Partindo. Tokoh Triman digambarkan oleh pengarang sebagai seorang lelaki yang terpelajar, ia bekerja sebagai kepala Kantor Penerangan, ramah tapi dia seorang yang licik dan mempunyai pengaruh di kantor kecamatan. Hubungan Triman dengan Karman sama seperti Margo sebagai teman separtai. Ia disebut sebagai tokoh yang membantu untuk membangun konflik tokoh utama, karena peranannya sama halnya

35Ibid., h. 79 56

dengan Margo. Kelicikan yang dimiliki keduanya merupakan untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu menjauhkan Karman dari lingkungan masyarakat Pegaten dan Haji Bakir semata-mata hanya demi kepentingan partainya. g. Kastaghetek Kastaghetek adalah manusia bebas yang menyadari ketergantungannya dengan masyarakat, alam dan Tuhan. Kastaghetek seorang rakyat biasa, tukang rakit, namun seorang sosok manusia yang mengerti peranannya sebagai makhluk Tuhan. Kastaghetek yang lugu dan tidak mengerti politik, ternyata dapat menangkap makna eksistensi manusia, dengan mendendangkan lagu religi. Aku mbiyen ora ana Saiki dadi ana Mbesuk maneh ora ana Padha bali marang rahmatullah

Dulu aku tiada Kini aku meng-ada Kelak aku lagi tiada Kembali ke rahmat ilahi36

Lirik lagu di atas sebelumnya telah tercantum pada analisis tema. Pentingnya lagu ini muncul kembali untuk menemukan watak seorang Kastaghetek. Dengan munculnya tembang di atas, tergambar sikap Kasta yang religi dan pasrah kepada Tuhan akan kehidupan yang dijalaninya. Sikap hidup seperti itulah yang justru memungkinkan hadirnya keselarasan, keharmonisan, dan kebahagiaan. Pengarang memunculkan tokoh Kastaghetek sebagai tokoh tambahan yang membantu kesadaran Karman akan kesalahan di masa lalunya. Sikap hidup Kastaghetek yang lugu, bersahaja, dan tahu akan keberadaan dirinya sebagai makhluk Tuhan secara tidak langsung mempengaruhi Karman dan seolah-olah membawa nurani dan akalnya

36Ibid., h. 152 57

untuk berpikir tentang eksistensi dirinya. Sehingga secara otomatis timbul getar-getar suara hati dalam diri Karman untuk mencari jawabannya ke arah yang lebih baik. h. Kapten Somad Kapten Somad adalah seorang perwira yang bertugas membina kehidupan rohani para tahanan. Perwira ini memiliki sikap yang tegas, bijaksana, disiplin, baik, teliti dalam menjalankan tugasnya serta perhatian terhadap para tahanan salah satunya kepada Karman. Ketika Karman jatuh sakit di dalam tahanan yang selalu mengurusi dan memberikan perhatian kesehatan kepadanya yaitu Kapten Somad. Kebetulan Kapten Somad diberikan tugas untuk memperhatikan kondisi Karman, perhatiannya yang sangat teliti dapat membantu kesembuhan Karman. Beberapa saat kemudian Kapten Somad itu berbalik menuju dipan tempat Karman terbaring. Bagaimanapun, wajahnya tetap jernih dan tersenyum. Perwira yang baik itu tahu mengambil sikap yang benar dalam segala keadaan. Dengan gaya seoranga ayah, Kapten Somad meraba dahi Karman sambil berkata, ―Ya, ya, Karman aku mengerti. Aku dapat merasakan penderitaanmu.‖37

Kutipan di atas menunjukkan sikap tokoh Kapten Somad yang sabar, penuh kasih sayang, perhatian, pengertian, serta bijaksana. Selain itu ia juga selalu memberikan nasihat-nasihat yang sangat menjiwai hati Karman. Dalam keterpurukan kehidupan Karman yang sulit untuk bangkit lagi, Kapten Somad selalu memberikan semangat untuk memotivasi Karman agar bangkit kembali. Kapten Somad pula yang membantu Karman agar kembali ke ajarannya sebelum ia masuk sebagai anggota politik. Sehingga Karman telah sadar dari kesalahannya di masa lalu, perubahan seperti ini ia bawa pulang kembali ke lingkungan masyarakat Pegaten.

37Ibid., h. 21 58

―Dan yang pasti, sikap putus asa tidak pernah menjadi jawaban yang benar. Tidak pernah!‖38 ―Bila kau dapat menyingkirkan angan-angan untuk berputus asa, kau akan sampai pada jalan yang terbaik.‖39

Selain kutipan di atas, terdapat pula kutipan bahwa Kapten Somad menasehati Karman dengan memberikan pencerahan bahwa yang dapat menyembuhkan jiwa Karman adalah berawal dari kepercayaan. Kepercayaan yang selama ini ia hilangkan selama menjadi seorang atheis akibat mengikuti partai komunis. ―Ya, kepercayaan bahwa ada kekuatan besar yang berkuasa atas dirimu. Kekuatan itu mengatasi apa saja yang ada padamu.‖40

Tokoh Kapten Somad dimunculkan oleh pengarang sebagai tokoh tambahan yang dapat membantu menyembuhkan kejiwaan tokoh utama dalam menghadapi gejolak hidupnya. Peranan Kapten Somad hampir sama dengan Kastaghetek yaitu, menawarkan dan mengajak Karman untuk merenungkan apa dan siapa dirinya. Di sini nasehat Kapten Somad menawarkan kepada Karman suatu perenungan ke arah kebaikan.

4. Latar Latar dalam novel ini terbagi menjadi empat, diantaranya: latar tempat, latar waktu, latar suasana, dan latar sosial. Berikut merupakan pemaparan latar: a. Latar Tempat Latar tempat yang terdapat dalam novel Kubah ini, hanya diambil dua tempat, yaitu Pegaten dan pulau Buangan. Kedua tempat ini sangat bersejarah bagi kehidupan serta peristiwa yang dialami tokoh utama. Desa pegaten disebut sebagai tempat bersejarah bagi tokoh utama, karena di dalamnya menggambarkan kehidupan serta

38Ibid., h. 21 39Ibid., h. 22 40Ibid., h. 25 59

keadaan yang terjadi di desa Pegaten. Selanjutnya, Pulau Buangan merupakan tempat kedua yang telah disinggahi oleh tokoh utama akibat kesalahan di masa lalunya. Berikut pemaparan desa Pegaten dan pulau Buangan: 1. Pegaten Desa Pegaten adalah sebuah nama desa tempat Karman dilahirkan dan dibesarkan sebelum ia diasingkan ke Pulau Buru dan kembali lagi ke desa Pegaten. Cerita-cerita yang terdapat dalam novel ini pun seringkali menceritakan tentang keadaan desa Pegaten dan masyarakat yang hidup di dalamnya. Desa Pegaten yang kecil itu dibatasi oleh Kali Mudu di sebelah barat. Bila datang hujan, sungai itu berwarna kuning tanah. Tetapi pada hari-hari biasa air di Kali Mudu bening dan sejuk. Di musim kemarau Kali Mudu berubah menjadi selokan besar penuh pasir dan batu.41

Kutipan di atas merupakan ciri-ciri keadaan yang terdapat di desa Pegaten. Kali Mudu merupakan salah satu sungai yang berada di wilayah desa Pegaten. Selain itu, tergambar pula keadaan sungai yang setiap musimnya sewaktu-waktu akan berubah keadaan airnya. Selain itu terdapat pula kutipan yang menunjukan bahwa desa Pegaten inilah merupakan tempat kelahiran Karman, serta tempat ayahnya bekerja sebagai gurbemen. Diceritakan pula mata pencaharian masyarakat Pegaten tidak jauh dari seorang petani. Karman lahir di Pegaten pada tahun 1935. Ayahnya seorangmantri pasar di sebuah kota kecamatan. Waktu itu gaji seorang mantri pasar bisa diandalkan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Hampir semua warga desa Pegaten adalah petani. Maka ayah Karman sangat bangga akan jabatannya sebagai pegawai gubermen.42

41Ibid., h. 36 42Ibid., h. 54 60

Selain tempat kelahiran serta tempat tinggal Karman, desa Pegaten juga memiliki sebuah tradisi yang tak bisa ditinggalkan kesempatannya yang biasa dilakukan oleh para tetangganya yaitu menuai padi pada saat musim panen tiba. Hampir musim panen. Anak-anak di Pegaten mulai meniup-niup puput. Di pagi hari burung-burung gelatik dan murai terbang berkelompok – kelompok menuju sawah. Musim ini panenan baik. Orang-orang yang tidak mempunyai sawah ikut senang. Mereka ikut menuai. Dari hasil tuaian itu mereka berhak atas sepertujuh seperdelapan bagian. Sebagiannya menjadi hak pemilik sawah.43

Kutipan di atas menggambarkan kehidupan masyarakat Pegaten pada saat musim panen tiba. Mereka berlomba-lomba menuai padi agar mendapatkan upah dari hasil tuaiannya tersebut. Tak seorang pun melewatkan kesempatan seperti ini, demi dapat memakan nasi yang empuk mereka rela seharian menuai padi di sawah para tetangga. Selain itu, tidak hanya orang tua saja yang sibuk menuai, bahkan anak-anak pun sibuk bermain dengan meniup-niupkan puput. Musim panen ini merupakan musim yang sangat istimewa bagi masyarakat Pegaten. Hal ini dapat diakui oleh Bu Haji Bakir. Perempuan itu sadar bahwa masa panen adalah masa istimewa bagi semua anak kampung. Maka Karman diberinya kesempatan ikut terjun ke sawah untuk melaksanakan kepentingan sendiri.44

Bagi diri Karman desa Pegaten banyak mengisahkan kenang-kenangan di masa lalunya. Di sinilah ia dilahirkan, bekerja di rumah Haji Bakir, banyaknya konflik yang dialaminya, terjerumusnya ke dalam partai komunis, belajar mandiri setelah ditinggal oleh ayahnya, bergaul dengan masyarakat Pegaten terutama budaya yang sudah menjadi tradisi pada saat musim

43Ibid., h. 63 44Ibid., h. 63—64 61

panen tiba, serta diterimanya kembali tinggal di desa ini. Pada akhirnya desa Pegaten pula yang telah menerima Karman tinggal kembali di desa ini sehingga ia dipercaya membuat sebuah kubah untuk masjid milik Haji bakir. Hal ini, dapat dilihat pada alur akhir cerita novel Kubah ini.

2. Maluku Utara (Pulau Buangan) Maluku Utara merupakan tempat kedua yang sangat bersejarah bagi Karman selain Pegaten. Di tempat inilah Karman menyadari kekhilafan yang telah diperbuatnya. Karman ditahan karena kesalahannya yang telah mengikuti anggota Partai Komunis Indonesia selama berteman dengan Margo dan Triman. Berikut kutipan yang menunjukkan bahwa Pulau Buangan tepatnya berada di Maluku Utara: Jabir memang tak urusan dengan kenyataan ayah Tini seorang penghuni pulau tahanan, jauh di Maluku Utara.45

Di tempat ini pula Karman bertemu dengan Kapten Somad yang telah menyadarkan dirinya dari ajaran atheis. Ada seorang perwira yang karena pembawaan pribadi serta tugasnya harus memperhatikan Karman. Dia adalah Kapten Somad, perwira yang bertugas membina kehidupan rohani para tahanan.46

Kutipan di atas menggambarkan kehidupan di penjara tidak hanya sekedar ditahannya para ekstapol, tetapi adanya siraman rohani yang diberikan oleh salah satu petugas tahanan yaitu, Kapten Somad. Pulau Buangan ini merupakan tempat bersejarah bagi diri Karman, karena selama ia ditahan di Pulau Buangan banyak pelajaran yang ia tangkap. Selain siraman rohani yang diterimanya dari Kapten Somad, ia juga belajar bagaimana menjadi seorang

45Ibid., h. 38 46Ibid., h. 18 62

tukang. Pekerjaan seperti inilah ia bawa ke Pegaten sehingga dirinya dipercaya dan diterima kembali oleh masyarakat Pegaten akan perubahannya itu. Pada kesempatan yang istimewa bagi Karman, ia menyanggupi untuk membuat kubah masjid Haji Bakir. Ketika tinggal dalam pengasingan Karman pernah belajar mematri dan mengelas.47 ―Beruntung,‖ sambung yang lain, ―kita mendapatkan Karman kembali. Kalau tidak, niscaya kita tidak bisa bersembahyang di dalam masjid sebagus ini.‖48 b. Latar Waktu Latar waktu yang pertama terjadi pada Oktober 1965. Pada saat itu terjadi kegegeran, peristiwa ini menyebabkan seseorang di asingkan ke Pulau Buangan. Selain itu, merupakan sebuah peristiwa terpisahnya antara anak dengan ibu, suami dengan istri, anak dengan ayah yang dicintainya.Kegegeran ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Geger Oktober 1965 sudah dilupakan orang juga di Pegaten. Orang-orang yang mempunyai sangkut paut dengan peristiwa itu, baik yang pernah ditahan atau tidak, telah menjadi warga masyarakat yang taat. Tampaknya mereka ingin disebut sebagai orang yang sungguh-sungguh menyesal karena telah menyebabkan guncangan besar di tengah kehidupan masyarakat. Bila ada perintah kerja bakti, merekalah yang paling dulu muncul. Sikap mereka yang demikian itu cepat mendatangkan rasa bersahabat diantara sesama warga desa Pegaten.49

Latar waktu selanjutnya yaitu pada permulaan tahun ajaran baru, tahun 1950. Pada tahun ini, Hasyim yang tak lain adalah paman dari Karman merencanakan untuk menyekolahkan keponakannya itu. Karman pun di ambil kembali oleh keluarganya dari Haji Bakir, dan beliau pun tidak dapat menolak keputusan keluarga Karman yang ingin menyekolahkannya ke tingkat menengah. Karman merasa menjadi anak yang paling bahagia, karena ia bisa melanjutkan sekolahnya ke

47Ibid., h. 187 48Ibid., h. 189 49Ibid., h. 36 63

tingkat SMP. Selain itu, Karman pun menjadi anak Pegaten pertama yang menempuh pendidikan sampai ke tingkat menengah. Hal ini dapat dibuktikan dengan: Karman merasa menjadi anak yang paling berbahagia di dunia. Pada permulaan tahun ajaran baaru tahun1950, Karman sudah menjadi seorang murid SMP di sebuah kota kabupaten yang terdekat. Karman menjadi anak Pegaten pertama yang menempuh pendidikan sampai ke tingkat menengah.50

Latar waktu selanjutnya adalah awal tahun enam puluhan. Pada tahun enam puluhan ini keadaan ekonomi masyarakat Pegaten sangat krisis. Keadaan alam pun sangat tidak mendukung untuk hasil panen mereka. Hanya singkong kukus yang dapat mereka makan. Kesulitan seperti ini membuat masyarakat Pegaten terserang penyakit busung lapar. Mereka jarang menemukan makanan yang lebih baik lagi untuk dikonsumsi. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut: Yang terjadi di Pegaten pada awal tahun enam puluhan, sama seperti yang terjadi dimana-mana. Boleh jadi orang-orang tidak senang mengingat masa itu kembali karena kepahitan hidup yang terjadi waktu itu.51

Latar waktu selanjutnya adalah bulan Agustus tahun 1977. Pada tahun ini, merupakan tahun kebebasan Karman dari Pulau Buru. Walaupun sudah beberapa tahun yang lalu Karman meninggalkan desa kelahirannya, akan tetapi, nama Pegaten tidak mengalami perubahan dan entah sampai kapan nama Pegaten ini dilestarikan sebagai nama desa tempat ia tinggal. Dari dulu desa itu bernama Pegaten, juga pada bulan Agustus 1977 dan entah sampai kapan lagi. Tadi malam ada hujan walaupun sebentar. Cukuplah untuk melunturkan debu yang melapisi dedaunan. Tanah berwarna coklat kembali setelah beberapa bulan memutih karena tiada kandungan air.52

50Ibid., h. 74 51Ibid., h. 132 52Ibid., h. 167 64

Bulan Agustus ini pula Tini dan Jabir menyambut kedatangan Karman serta menjemputnya ke kota. Karman yang telah dijemput oleh anak dan calon menantunya itu, kini tinggal di rumah Bu Mantri, ibunya sendiri (nenek dari Tini). c. Latar Suasana Latar suasana yang pertama adalah gembira dan bercampur dengan kepedihan. Kabar yang sudah ditunggu-tunggu sekian lamanya walaupun hanya melalui sepucuk surat. Hal ini terjadi ketika Marni mengirimkan surat kepada Karman, saat Karman berada di Pulau Buru. Surat tersebut berisikan bahwa Marni meminta izin nikah lagi dengan Parta teman sekampung Karman. Mendapatkan surat dari seorang istri yang terpisah beberapa tahun lamanya merupakan suatu kegembiraan bagi seorang suami. Akan tetapi, dibalik surat tersebut ada suatu kepedihan bagi si suami yang masih mengharapkan istrinya untuk setia walaupun jarak ribuan kilometer telah memisahkan keduanya. Dapat dibayangkan betapa hancurnya hati serta jiwa Karman terguncang mendengar kabar tersebut, hal ini membuat diri Karman hilang semangat sehingga dirinya jatuh sakit di Pulau Buru. Semakin hari semakin terguncang hatinya ketika teman-temannya mengejek curhatannya tentang Marni, karena menurut mereka Karman bernasib sama dengan teman-temannya itu bahwa sama-sama ditinggal nikah dengan orang lain. Apalagi dengan keadaan wajah Marni yang cantik merupakan sebab orang lain terpikat dengan kecantikannya itu. Waktu menerima surat dari Marni itu, di Pulau Buru, mula- mula Karman merasa sangat gembira. Surat dari istri yang terpisah ribuan kilometer adalah sesuatu yang tidak ternilai harganya bagi seorang suami yang sedang jauh terbuang. Sebelum membaca surat itu, sudah terbayang oleh Karman lekuk sudut bibir Marni yang bagus; suaranya yang lembut, atau segala tingkah lakunya yang membuktikan Marni adalah perempuan yang bisa jadi penyejuk hati suami. Tetapi selesai membaca surat itu, Karman mendadak merasa sulit bernapas. Padang datar yang kerontang dan penuh kerikil seakan mendadak tergelak di hadapannya. Padang yang sangat 65

mengerikan, asing, dan Karman merasa seorang diri. Keseimbangan batin Karman terguncang keras. Semangat hidupnya nyaris runtuh.53

Latar suasana selanjutnya adalah peristiwa yang menegangkan. Hal ini terjadi ketika lamaran Karman ditolak oleh Haji Bakir, keadaan seperti ini sangat dimanfaatkan oleh Margo dan Triman untuk menghasut Karman terhadap Haji Bakir. Hasutan demi hasutan telah menguasai diri Karman, sehingga ia tidak mendengarkan alasan kenapa penolakannya ditolak oleh Haji Bakir. Pada lamaran yang kedua kalinya pun Karman ditolak oleh tuan tanah ini, seperti biasanya keadaan inilah dimanfaatkan kembali oleh kedua orang partai tersebut. Bukan hanya persoalan lamarannya untuk meminang Rifah, tetapi ada persoalan lain pula yaitu Margo dan Triman menghasut masalah tanah milik Pak Mantri yang dulu dijual kepada Haji Bakir. Margo dan Triman menghasut pikiran Karman bahwa sawah milik ayahnya itu telah dikuasai oleh Haji Bakir, namun, pada kenyataannya tidak seperti itu. Namun, hasutan yang diterima oleh Karman sudah menguasai dirinya,sehingga akhirnya Karman merasa dendam kepada Haji Bakir. Terbukti dengan: Rasa kecewa, marah, dan malu berbaur dihati Karman. Akibatnya, ia mendendam dan membenci Haji Bakir. Karman memulai dengan enggan bertemu, bahkan enggan menginjak halaman rumah orang tua Rifah. Sembahyang wajib ia tunaikan di rumah. Dan ia memilih tempat yang lain bila menunaikan sembahyang Jumat.54

Kutipan di atas menggambarkan apa yang dilakukan Karman semata-mata hanya untuk membalas dendam. Ia merasa disakiti atau dizholimi oleh Haji Bakir dan keluarganya. Dengan meninggalkan sembahyang wajib dan meninggalkan masjid Haji Bakir merupakan suatu kepuasan bagi diri Karman dalam membalas dendamnya itu.

53Ibid., h. 14 54Ibid., h. 91 66

Selanjutnya, latar suasana dalam novel ini adalah mengharukan. Suasana mengharukan dalam novel ini ketika Marni menjenguk Karman di rumah Bu Mantri. Hati Marni yang merasa bingung harus bagaimana setelah ia bertemu Karman, rasa rindu dan bimbang menjadi satu. Di satu sisi ia rindu kepada Karman yang telah meninggalkannya selama beberapa tahun, di sisi lain juga ia harus memikirkan perasaan Parta yang telah menjadi suaminya selama Karman berada di Pulau Buru hingga sampai sekarang ini. Ketika mereka dipertemukan kembali di rumah Bu Mantri suasana mengharukan itu pun terjadi, diantara keduanya terlihat saling menahan rasa rindu yang teramat sangat setelah sekian lama berpisah. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Orang tak usah mencari kata-kata yang berlebihan, karena yang kemudian terjadi memang sulit dilukiskan dengan bahasa. Perempuan-perempuan yang menahan isak. Lelaki-lelaki yang tiba-tiba jadi gagu. Dan suasana mendadak bisu tetapi penuh haru-biru.55

Latar suasana yang terakhir adalah suatu kehormatan dan kebanggaan bagi diri Karman, ia merasa hidupnya berarti kembali untuk masyarakat disekitarnya. Masyarakat Pegaten yang sangat memiliki sikap solidaritas tinggi, membuat kesalahan Karman di masa lalu telah dimaafkan. Sikap pemaaf yang dimiliki masyarakat Pegaten telah dibuktikan ketika Karman dipercaya untuk membuat bangunan kubah di masjid milik Haji Bakir. Tetapi Karman menganggap pekerjaan membuat kubah itu sebagai kesempatan yang istimewa.56 d. Latar Sosial Latar sosial dalam novel Kubah ini disesuaikan dengan keadaan sosial tempat dan waktu yang digambarkan dalam cerita. Di dalam novel ini pengarang menampilkan latar sosial mengenai kehidupan

55Ibid., h. 175 56Ibid., h. 188 67

masyarakat Pegaten yang masih menggunakan sistem perjodohan. Apabila dilihat pada zaman sekarang kemungkinan sangat tipis adanya sistem perjodohan seperti yang dilakukan oleh keluarga Haji Bakir ketika menjodohkan Rifah dengan Abdul Rahman seorang pemuda santri disebuah pesantren daerah Jawa Timur. Calon suami Rifah telah ditemukan oleh keluarga Haji Bakir. Pemuda itu sedang belajar di sebuah pesantren di Jawa Timur, dan boleh jadi Rifah pun belum tahu apa-apa tentang perjodohannya.57

Kutipan di atas menunjukkan latar sosial masih adanya gambaran sistem perjodohan yang dilakukan keluarga Haji Bakir terhadap putrinya, Rifah. Apabila dikaitkan dengan zaman sekarang, bisa saja yang menggunakan sistem perjodohan hanyalah di tempat- tempat terpencil pedalaman, jika memiliki anak gadis para orang tua menjodohkan anaknya dengan pria pilihan mereka bukan pilihan sang anak. Selain latar sosial yang menggunakan sistem perjodohan di dalam Novel Kubah ini, ada pula latar sosial pada zaman PKI. Hal ini berkaitan pada latar waktu 1965 terjadinya kegegeran yang merugikan masyarakat Pegaten sehingga menyebabkan seseorang masuk ke dalam tahanan politik. Berikut ini kutipan yang menggambarkan adanya latar sosial yang lain dalam novel Kubah: Di Madiun, September 1948 terjadi pemberontakan besar. Makar itu dikobarkan untuk merobohkan Republik yang baru berusia tiga tahun, dan menggantinya dengan sebuah pemerintahan komunis. Namun makar yang meminta ribuan korban itu gagal. Para pelaku yang tertangkap diadili dan dihukum mati.58

Kutipan di atas menunjukkan adanya latar sosial di mana masih ada pemberontakan besar. Banyaknya para korban yang berjatuhan

57Ibid., h. 76 58Ibid., h. 76 68

pada pemberontakan ini. Peristiwa ini menggambarkan para PKI berusaha untuk merobohkan sistem pemerintahan Republik yang masih sangat muda dengan merubahnya menjadi sistem pemerintahan komunis. Latar sosial selanjutnya, dapat dilihat pada latar tempat bagaimana kehidupan serta keadaan di daerah Pegaten. Kekompakan masyarakat Pegaten pada saat musim panen tiba berlomba-lomba menuai padi di sawah para tetangga demi mendapatkan nasi untuk mereka makan. Latar sosial yang terakhir dalam novel Kubah yaitu, diterimanya kembali kehadiran Karman di Pegaten dari pengasingan. Masyarakat Pegaten telah memaafkan semua kesalahan Karman di masa lalu. Karman dipercaya untuk membuat kubah di masjid Haji Bakir, hal ini membuktikan bahwa masyarakat Pegaten telah memaafkan kesalahannya. Keinginan Karman mendapat sambutan. Hasyim menjual tiga ekor kambing untuk membeli bahan-bahan pembuat kubah serta biaya sewa alat-alat las dan patri.59

5. Sudut Pandang Sudut pandang dalam sebuah cerita merupakan dari posisi mana sebuah cerita dilihat. Sudut pandang berkaitan dengan siapa yang membawakan cerita atau narator. Hal ini terkait pula dengan di mana seorang pengarang memposisikan dirinya dalam cerita. Penggunaan sudut pandang yang tepat, membuat cerita menjadi lebih kuat dalam segi penyampaian dan mencapai tujuan yang diharapkan. Dalam novel Kubah ini menggunakan sudut pandang orang ketiga dia maha tahu, karena dalam novel ini pun tampak diawali pada bagian pertama dengan sudut pandang dia maha tahu. Dari sudut pandang orang ketiga dia serba tahu ini, mengetahui segala hal yang terjadi pada setiap tokoh yang terdapat dalam cerita, baik dari segi peristiwa, perasaan,

59Ibid., h. 189 69

pikiran, maupun pandangan setiap tokoh terhadap berbagai hal. Terlihat di awal kisah pengarang memposisikan dirinya sebagai narator, dapat dilihat dari kutipan berikut: Dia tampak amat canggung dan gamang. Gerak -geriknya serba kikuk sehingga mengundang rasa kasihan. Kepada Komandan, Karman membungkuk berlebihan. Kemudian dia mundur beberapa langkah, lalu berbalik. Kertas -kertas itu dipegangnya dengan hati- hati, tetapi tangannya bergetar. Karman merasa yakin seluruh dirinya ikut terlipat bersama surat-surat tanda pembebasannya itu. Bahkan pada saat itu Karman merasa totalitas dirinya tidak semahal apa yang kini berada dalam genggamannya.60

Kutipan di atas menggambarkan suasana dan keadaan yang dialami tokoh utama setelah dibebaskan dari Pulau Buangan. Dari episode ke episode hingga akhir cerita Ahmad tohari memposisikan dirinya sebagai orang ketiga dia maha tahu. Hal ini dapat dilihat dalam setiap cerita novel Kubah, Ahmad Tohari selalu menyebutkan nama para tokoh atau menggunakan kata ganti: ia, dia, mereka. Selain itu, ia sering menyebutkan nama tokoh utama dalam cerita ini.

6. Gaya Bahasa Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran, sopan-santun, dan menarik.61 Gaya bahasa yang digunakan oleh Ahmad Tohari tidak terlepas dari gaya bahasa kias, sama halnya seperti pengarang lainnya. Gaya bahasa yang digunakan Ahmad Tohari antara lain mengunakan majas hiperbola, personifikasi, dan klimaks. Diantara ketiga majas ini, Ahmad Tohari lebih banyak menggunakan majas personifikasi yang menggunakan

60 Ibid., h. 7 61 Henry Guntur Tarigan, op. cit., h. 5 70

alam sebagai benda hidup. Berikut merupakan penjabaran hasil penelitian gaya bahasa dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari: a. Hiperbola Ahmad Tohari menyisipkan majas hiperbola dalam novel Kubah menggambarkan keadaan gejolak batin yang dialami Karman ketika mendapatkan surat dari Marni. Jiwanya terguncang, seakan-akan Karman merasa sesak nafas mendengar berita tersebut. Padang datar yang kerontang dan penuh kerikil seakan mendadak tergelak di hadapannya. Padang yang sangat mengerikan, asing, dan Karman merasa seorang diri.62

Dari kutipan di atas, tergambar bagaimana kata-kata tersebut sangat menakutkan atau dibuat pernyataan berlebih-lebihan dengan maksud memberikan penekanan pada keadaan yang dialami Karman. b. Personifikasi Analisis novel Kubah, Ahmad Tohari juga menyisipkan beberapa majas personifikasi, diantaranya terdapat pada kutipan berikut: Terik matahari langsung menyiram tubuhnya begitu Karman mencapai tempat terbuka di halaman gedung. Panas. Rumput dan tanaman hias yang tak terawat tampak kusam dan layu. Banyak daun dan rantingnya yang keing dan mati. Debu mengepul mengikuti langkah-langkah lelaki yang baru datang dari Pulau B itu.63

Majas personifikasi pada kutipan di atas, menggambarkan matahari seolah-olah seperti benda hidup. Pada kenyataannya matahari tidak dapat menyiram, melainkan teriknya menyinari tubuh seseorang, sehingga tubuh yang dimaksud mengeluarkan keringat akibat sinar yang dipancarkan oleh matahari. Majas personifikasi dapat dilihat pula pada bagian yang mengisahkan sekelompok burung dengan para penuai padi. Berikut kutipannya:

62 Ahmad Tohari, op. cit.., h. 14 63 Ibid., h. 7 71

Burung branjangan terbang tinggi mengitari para penuai yang sedang sibuk memotong tangkai bulir-bulir padi. Suaranya renyah. Unggas itu terkenal pintar menirukan suara burung- burung yang lain. Segumpal awan tiba-tiba mengelilingi matahari. Sejuk, walaupun sejenak.64

Kutipan di atas menggambarkan kegiatan antara sekelompok burung dengan sekelompok para penuai yang terjadi di sawah. Suara burung diibaratkan seperti rasa mengunyah makanan, suara renyah disini maksudnya yaitu, suara yang nyaring.

c. Klimaks Majas klimaks digunakan Ahmad Tohari pada bagian nasehat yang diberikan Kapten Somad terhadap Karman. Bila kau dapat menyingkirkan angan-angan untuk berputus asa, kau akan sampai pada jalan yang terbaik.65

Kutipan di atas mengarahkan Karman agar tidak menjadi manusia yang mudah berputus asa. Ungkapan di atas mengandung susunan yang semakin lama semakin mengandung penekanan. Majas klimaks ini dapat dilihat dari kata awal ―bila‖, yang berarti merupakan syarat jika ingin mencapai tujuan, dan kata ―menyingkirkan‖ yang berarti merupakan suatu ajakan. Dengan demikian, gaya bahasa yang paling dominan dipakai oleh Ahmad Tohari yaitu, majas personifikasi. Ahmad tohari seorang penulis desa selalu menggambarkan keadaan alam yang ia ibaratkan sebagai benda hidup. Oleh karena itu, majas personifikasi ini merupakan salah satu ciri khas gaya penulisan Ahmad Tohari.

B. Nilai Sosial dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari Novel Kubah karya Ahmad Tohari ini menceritakan pertobatan seseorang yang terjerumus ke dalam anggota PKI. Gambaran pertobatan yang dilakukan tokoh Karman merupakan isyarat bahwa para anggota

64 Ibid., h. 67 65 Ibid., h. 22 72

ekstapol hanya mungkin dapat diterima masyarakat jika mereka menunjukkan pertobatannya lewat amal perbuatan yang baik. Gerakan 30 September yang merupakan tragedi nasional itu, memang sulit untuk dilupakan. Namun, tidak pada tempatnya jika masyarakat menolak mereka yang sungguh-sungguh sudah insyaf dan hendak bertobat. Selain itu, novel Kubah karya Ahmad Tohari mengisahkan kehidupan yang terdapat dalam masyarakat Pegaten. Bisa dibilang masyarakat Pegaten sangat terbelakang dalam hal pendidikan, hanya beberapa orang saja yang bisa melanjutkan sekolah. Namun, hal seperti ini tidak menjadi masalah bagi mereka. Mata pencaharian masyarakat Pegaten mayoritas sebagai seorang petani, mereka bekerja di sawah-sawah para tetangga. Maka, setiap musim panen tiba mereka selalu mengisi waktu dengan berlomba-lomba menuai padi agar mendapatkan upah berupa beras. Selain tradisi penuaian padi, ada pula tradisi yang tidak bisa ditinggalkan oleh anak-anak masyarakat Pegaten, hal ini dapat dilihat ketika menceritakan tokoh utama semasa kecil. Anak-anak di Pegaten lebih senang tidur di masjid milik Haji Bakir ketimbang di rumah masing-masing. Sewaktu subuh tiba mereka berkumpul di pancuran air wudhu untuk bersih- bersih sebelum melaksanakan salat. Hal seperti ini, menggambarkan masyarakat Pegaten yang bernuansa religi. Ada pula tradisi masyarakat Pegaten yang sangat tipis kemungkinan untuk dilakukan pada masa sekarang. hal ini dapat dilihat kembali pada latar sosial yang menjelaskan adanya sistem perjodohan contohnya pada keluarga Haji Bakir. Apabila dilihat dari latar tempat dan latar belakang pengarang, nama Pegaten berada di daerah pulau Jawa. Hal ini, dapat dilihat dari tembang yang menggunakan bahasa Jawa. ―Aku mbiyen ora ana Saiki dadi ana Mbesuk maneh ora ana Padha bali marang rahmatullah.‖66

66 Ibid., h. 152 73

Tembang ini muncul kembali pada analisis nilai sosial kebudayaan masyarakat Pegaten, untuk membuktikan latar belakang kehidupan Ahmad Tohari sebagai orang yang dibesarkan dalam lingkungan Jawa berpengaruh dengan munculnya filsafat Jawa yang terkandung dari tembang tersebut. Bila saja Ahmad Tohari bukan suku Jawa, ia mungkin tidak akan menangkap makna yang terkandung dari tembang tersebut sehingga ia tidak akan mencantumkan dalam karya-karyanya. Wawasan imajinasi dan pengalamannya tidak terlepas dari aspek sosial budaya yang melingkupinya ataupun ideologi yang dianutnya.67 Maksud adanya hubungan latar belakang Ahmad Tohari dengan karya sastra yaitu, bahwa karya sastra bukan salinan biografi Ahmad Tohari. Melainkan, karya sastra hanyalah imajinasi penulis, tetapi secara tidak sadar mungkin latar belakang kehidupan pengarang ikut mempengaruhi, dan kehidupan yang sejak kecil melingkari kehidupan pengarang karyanya.68 Dari berbagai pendapat di atas, menunjukkan adanya kaitan antara pengarang dengan latar belakang kehidupannya. Maka, dalam analisis nilai sosial masyarakat Pegaten penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra yakni, berkaitan dengan mempertimbangkan segi-segi kemayarakatan yang ada dalam karya sastra. Di dalam sebuah karya sastra pasti terkandung nilai- nilai kehidupan yang berlaku pada masyarakat di mana karya sastra tersebut diciptakan. Nilai-nilai tersebut menggambarkan norma, tradisi, aturan, dan kepercayaan yang dianut atau dilakukan pada suatu masyarakat. Dalam melakukan analisis ini, penulis membaginya berdasarkan nilai sosial yang terdapat di masyarakat Pegaten. Berikut pemaparannya: 1. Hubungan Manusia dengan Masyarakat Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku dan tata cara hidup sosial. Hal ini berkaitan erat dengan karya sastra, karena karya sastra dapat pula bersumber dari kenyataan-kenyataan yang terjadi di masyarakat. Nilai tersebut mencakup kebutuhan hidup

67 Anonim, Sastra Religius Ahmad Tohari dalam Ideologi Islam. (Harian Republika: Jakarta, 2003). 68 Ibid. 74

bersama, seperti kasih sayang, kepercayaan, pengakuan, dan penghargaan. Nilai sosial yang dimaksud adalah kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Nilai dalam karya sastra, nilai sosial dapat dilihat dari cerminan kehidupan masyarakat yang diinterpretasikan sehingga diharapkan mampu memberikan peningkatan kepekaan rasa kemanusiaan. Pentingnya berhubungan baik dengan tetangga maupun orang lain dapat mempererat tali silaturahmi antarsesama. Berbuat baik terhadap orang lain akan membuat hidup terasa tenang dan tentram. Ini merupakan nilai sosial yang patut untuk dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak hikmah yang dapat diambil dari nilai sosial hubungan antara manusia dengan masyarakat. Seperti halnya di dalam novel Kubah, banyak peristiwa yang perlu diteladani untuk setiap manusia yang merupakan makhluk sosial. Manusia tidak akan bisa hidup sendiri tanpa kehadiran orang lain di sekitarnya. Suatu saat pasti akan membutuhkan pertolongan dari orang lain. Pentingnya hidup bermasyarakat maupun bertetangga, adalah untuk bersosialisasi, karena hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial. Seperti halnya yang terjadi di masyarakat Pegaten yang memiliki sikap kebersamaan dalam lingkungan sekitar. Hal ini dapat dilihat dari tradisi-tradisi serta kehidupan yang dijalani oleh masyarakat Pegaten. Masyarakat Pegaten bisa dikatakan sangat terbelakang dalam hal pendidikan, namun mereka merupakan orang-orang yang wajib dikagumi, lantaran sifat pemaaf masyarakat sangat berarti bagi Karman yang merupakan tokoh utama pada novel Kubah ini. Hubungan antara manusia dengan masyarakat pada novel Kubah dapat di tunjukkan dari kehidupan yang terjadi di Pegaten, diantaranya: a. Agama Nilai-nilai sastra religius yang tampak dalam novel-novel Ahmad Tohari sangat terasa dipengaruhi oleh kehidupan kesehariaanya yang bernafaskan ideologi Islam, sehingga unsur 75

keagamaannya adalah Islami. Pada analisis ini dilihat dari tokoh utama yang menggambarkan pertaubatannya dengan cara membuat kubah, kemudian menempelkan sebuah nasihat dari Kapten Somad yang merupakan referensi utama dari Al-Qur‘an. Leher kubah dihiasi kaligrafi dengan teralis. Empat ayat terakhir dari surat Al-Fajr terbaca di sana: Hai jiwa yang teduh dan tentram, kembalikan engkau kepada-Ku. Maka masuklah barisan hamba-hamba-Ku dan temuilah kedamaian abadi Surga-Ku.69

Dari kutipan di atas, tergambar bagaimana Karman ingin sungguh-sungguh bertobat dari kesalahan di masa lalu. Ia mencantumkan empat ayat surat Al-Fajr pada bagian leher kubah yang dibuatnya. Peristiwa di atas juga menampakkan unsur religi, hal ini tampak adanya keinginan Karman untuk mendapatkan kembali kepercayaan dari masyarakat, juga kesadaran Karman untuk mengangkat kembali martabatnya sebagai manusia dengan langkah pertamanya membuat kubah untuk masjid di desanya. Selain kutipan di atas, terdapat pula kutipan yang menunjukkan adanya hubungan manusia dengan Tuhan. Kutipan berikut dilihat dari nasihatnya Kapten Somad untuk Karman yang sedang merenungkan kesalahannya di masa lalu. Kesalahan tersebut berawal dari politik yang membuat dirinya jauh dari kepercayaan, yakni agama. Berikut kutipannya: Yah dengarlah apa yang kumaksud dengan syarat itu. Untuk mendasari upaya penyembuhan jiwamu kau harus memulai dari kepercayaan. Ya kepercayaan. 70

Keyakinan atau yakin merupakan kunci segalanya dalam ajaran Islam. Dalam ajaran Islam disebutkan bahwa keyakinan merupakan puncak dari segala keimanan atau Iman. Oleh karena itu

69 Ahmad Tohari, op. cit., h.189 70 Ibid., h. 25 76

keyakinan merupakan kunci dari segala aktifitas yang kaitannya hablumminallah (hubungan manusia dengan Allah). Selain itu, ada pula tradisi yang biasa dilakukan anak-anak Pegaten, yaitu, tidur di mesjid Haji Bakir. Menjelang subuh, sumur mesjid Haji Bakir selalu ramai dengan gurauan atas kejahilan anak- anak yang iseng kepada teman-temannya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Demikianlah sumur mesjid itu selalu ramai oleh gurau anak-anak selagi fajar merekah di timur. Hiruk-pikuk baru berakhir apabila sembahyang subuh sudah dimulai. Dan ketika jamaah yang tua-tua masih berzikir sehabis sembahyang, anak-anak sudah bubar berhambura. Mereka kembali ke rumah masing-masing dengan gurauan yang gembira.71

Kutipan di atas didasari oleh ajaran Islam yang mencerminkan adanya konsep ideologi Islam yang dianut si pengarang, dalam hal ini Ahmad Tohari sendiri. Bahwa kehidupan Ahmad Tohari sebagai orang Jawa dilatarbelakangi unsur-unsur budaya Jawa dan kehidupan yang sejak kecil telah akrab dengan surau dan masjid.72 Selanjutnya, terdapat pula peristiwa yang menunjukkan bahwa manusia tidak bisa terlepas menggantungkan dirinya kepada Tuhan. Hal ini terlihat pada sosok Kastaghetek, yaitu, seorang manusia bebas yang ditemukan Karman ketika dalam pelariannya. Pertemuan inilah yang merupakan awal kesadaran Karman dalam melakukan kesalahannya selama ini. Hal seperti ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Dalam kesadaran ketika bayangan regu tembak sudah muncul di depan mata, Karman merasa sangat iri terhadap Kastagethek dengan segala perilakunya yang amat tenang, mengalir, dan pasrah. Karman dapat memastikan bahwa ketenangan hidup Kastagethek berkaitan dengan shalatnya,

71 Ibid., h. 64 72 Anonim, Sastra Religius Ahmad Tohari dalam Ideologi Islam. (Harian Republika: Jakarta, 2003). 77

dengan zikirnya, dengan tasbihnya. ―Ah, ketiga ritus itu telah lama kuingkari dan kucampakkan.73

Sebelumnya kutipan di atas sudah terdapat pada analisis tema. Kutipan ini diambil kembali untuk menunjukkan kekuatan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Ketenangan hidup seorang kastaghetek, lantaran ia menyadari bahwa dirinya sebagai makhluk Tuhan yang tak bisa meninggalkan perintah-Nya dalam keadaan apapun. Sikap hidup seperti inilah, justru lebih memungkinkan hadirnya keselarasan, keharmonisan, dan lebih jauh lagi kebahagiaan di balik kemiskinan yang dijalaninya. Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan hubungan manusia dengan Tuhan dilihat dari kesungguhan Karman dalam bertaubat atas kesalahannya di masa lalu yang telah meninggalkan ajaran agamanya. Selanjutnya dilihat dari tradisi anak-anak yang biasa menginap di masjid dan melaksanakan salat subuh berjamaah. Hal ini membuktikan bahwa pentingnya membiasakan anak-anak untuk beribadah sejak dini, karena agama merupakan pedoman hidup manusia. Selanjutnya yang terakhir menggambarkan adanya interaksi manusia dengan Tuhannya melalui salat serta zikir.

b. Musyawarah Masyarakat Pegaten memiliki suatu ciri khas jika ingin melakukan sesuatu. Setiap kegiatan yang ada di desa Pegaten, masyarakat selalu bermusyawarah terlebih dahulu untuk kepentingan bersama. Kekompakan masyarakat Pegaten sangat terlihat ketika adanya kegiatan-kegiatan yang menyangkut keharmonisan dan kenyamanan warga sekitar. Hal ini dapat dilihat kembali dengan latar belakang Ahmad Tohari yang tidak bisa jauh dari kehidupan mesjid atau surau. Salah satu contoh kegiatan musyawarah yang mereka lakukan ketika mengadakan kegiatan perbaikan mesjid Haji

73Ahmad Tohari, op. cit., h. 152 78

Bakir. Tokoh utama dalam novel Kubah ini ikut serta dalam kegiatan musyawarah yang dilaksanakan oleh warga. Menurut Karman yang merupakan tokoh utama, ini kesempatan istimewa baginya, agar dapat membuktikan kesungguhannya dalam bertaubat. Berikut kutipan yang merupakan salah satu hasil musyawarah masyarakat Pegaten: Para jamaah sepakat hendak memugar mesjid itu. Pikiran demikian makin mendesak karena jumlah jamaah terus bertambah banyak. Tanpa membentuk sebuah panitia, pekerjaan itu dimulai. Semua orang mendapat bagian menurut kecakapan masing- masing.‖74

Kutipan di atas menggambarkan bagaimana kekompakan yang terjadi di Pegaten. Pada saat Keadaan terdesak pun mereka melaksanakan tugas yang menjadi bagiannya masing-masing, walaupun tanpa adanya pembentukan panitia. Selain itu, Karman yang ingin membuktikan pertobatannya menawarkan diri untuk membuat sebuah bangunan kubah di mesjid Haji Bakir. Keputusan Karman ini dapat disetujui oleh masyarakat sebagai pembuktian bahwa dirinya telah diterima kembali. Karman memberanikan diri meminta bagiaannya. Ia menyanggupi membuat kubah yang baru bila tersedia bahan dan perkakasnya. Ketika tinggal dalam pengasingan Karman pernah belajar mematri dan mengelas. Keinginan Karman mendapat sambutan.75

Kutipan di atas menggambarkan keberanian Karman meminta haknya untuk membuat kubah, karena sebelumnya ia telah mendapatkan ilmu yang berkaitan dengan hal arsitektur sewaktu masih dalam tahanan. Keinginan Karman pun disambut baik oleh warga. Nilai sosial yang terkandung di dalamnya yaitu, suatu

74 Ahmad Tohari, op. cit., h. 187 75 Ibid., h. 187 79

penghargaan dari masyarakat Pegaten untuk Karman dipercaya dalam membuat kubah mesjid Haji Bakir. Musyawarah yang sering dilakukan dalam masyarakat Pegaten tidak hanya sekedar membicarakan kegiatan kerja bakti di desanya. Namun, terdapat pula sistem perjodohan yang masih kental dilakukan oleh masyarakat Pegaten, yakni, mengharuskan mereka berunding untuk kelancaran rencana masa depan anak-anaknya. Hal seperti ini dapat dilihat dari keluarga Haji Bakir ketika melamarkan cucunya, yaitu Jabir untuk meminang Tini yang merupakan anak dari pasangan Karman dengan Marni. Karman yang kebetulan belum lama pulang dari pengasingannya mendapatkan kabar gembira bahwa keluarga Haji Bakir akan datang ke rumah Bu Mantri. Kedatangan keluarga Haji Bakir ini membuktikan bahwa kegiatan musyawarah tidak hanya ketika ingin melakukan kerja bakti, melainkan hal apapun dapat dimusyawarahkan. Berikut kutipan musyawarah yang di lakukan keluarga Haji Bakir dengan keluarga Karman: Tengah malam perundingan itu berakhir. Semua pihak bangkit dari tempat duduk dengan rasa lega dan puas. Sebelum meninggalkan rumah Bu Mantri, Ibu Haji Bakir menyerahkan kain kebaya untuk diberikan kepada Tini sebagai tanda pengikat. Telah disepakati pula hari dan bulan untuk melaksanakan perkawinan antara Tini dan Jabir.76

Kutipan di atas menggambarkan adanya musyawarah yang dilakukan oleh keluarga Haji Bakir dengan keluarga Karman. mereka berunding untuk menentukan tanggal serta bulan yang baik untuk pernikahan Jabir dengan Tini. Selain itu istri Haji Bakir memberikan kebaya kepada Tini sebagai tanda pengikat bahwa dirinya telah dipinang oleh Jabir. Namun, bila dilihat dalam kehidupan zaman sekarang bisa dikatakan hal tersebut merupakan pertunangan antara si pria dan wanita yang saling mencintai, tetapi

76 Ibid., h. 185 80

pada zaman sekarang mereka menggunakan cincin sebagai tanda pengikat si wanita. Mungkin dalam tradisi masyarakat Pegaten menggunakan apa saja yang dapat digunakan sebagai tanda pengikat dalam sebuah hubungan. Dari analisis musyawarah di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan musyawarah yang dilakukan oleh masyarakar Pegaten bukan hanya untuk merencanakan kegiatan gotong-royong maupun sejenisnya, akan tetapi ditunjukkan pula oleh keluarga Haji Bakir dengan keluarga besar Karman ketika melakukan perjodohan serta menentukan tanggal pernikahan untuk Jabir dan Tini. c. Kegiatan Gotong-Royong Kegiatan gotong royong bisa terjadi di manapun dan kapanpun, termasuk pada zaman sekarang kegiatan gotong royong masih dijalankan oleh masyarakat perkampungan, tidak seperti masyarakat perkotaan yang sudah sangat jauh dalam hal kebersamaan. Bila di daerah perkampungan biasanya warga menjalankan gotong-royong pada saat hari Kemerdekaan tiba, tepatnya 17 Agustus. Selain itu, pada setiap hari-hari besar contohnya, menyambut hari raya Idul Fitri dan Idul Adha serta Maulid Nabi, tradisi seperti ini selalu dijalankan oleh warga kampung. Namun, contoh dalam novel Kubah tradisi kegiatan gotong-royong dilakukan ketika memperbaiki mesjid Haji Bakir. Hal ini dapat dilihat kembali dalam kegiatan musyawarah masyarakat Pegaten. Selain itu, kegiatan gotong royong yang sudah menjadi tradisi dalam masyarakat Pegaten yaitu, ketika musim panen tiba. Semua warga turun langsung ke sawah para tetangga, dan tugas pemilik sawah hanya memberikan upah atas hasil tuaian warga. Masyarakat Pegatenlah yang diberi kesempatan untuk menikmati nasi hasil tuaian mereka. 81

Hampir musim panen. Anak-anak di Pegaten mulai meniup-niup puput. Di pagi hari burung-burung gelatik dan murai terbang berkelompok-kelompok menuju sawah. Musim panen baik. Orang-orang yang tidak mempunyai sawah ikut senang. Mereka ikut menuai. Dari hasil tuaian itu mereka berhak atas sepertujuh atau seperdelapan bagian. Selebihnya menjadi hak pemilik sawah.77

Kutipan di atas menggambarkan suasana yang terjadi ketika musim panen. Masyarakat Pegaten bergotong royong menuai padi di sawah tetangga. Musim ini bukan hanya sekedar suatu kebahagiaan bagi si pemilik sawah, tetapi bagi warga yang tidak memiliki sawah pun ikut senang menyambut musim panen. Hal ini suatu kesempatan mereka untuk mendapatkan nasi atau beras. Bukan hanya sekedar orang dewasa saja yang ikut terjun langsung ke sawah, melainkan Karman pun yang merupakan anak kecil pada saat itu ikut serta di dalamnya. Berikut kutipannya: ―Tak pantas pada waktu panen seperti ini ibuku tak punya beras. Sebaiknya aku ikut menuai padi agar ibuku sempat merasakan nasi yang empuk.‖78

Kutipan di atas sebelumnya sudah tercantum pada analisis tokoh utama untuk mengetahui watak si tokoh. Namun, untuk kali ini kutipan di atas sebagai gambaran bahwa Karman ikut serta dalam penuaian padi pada saat musim panen. Selain itu, terdapat pula kutipan bahwa Karman ikut serta dalam gotong royong yang diadakan warga untuk membersihkan sumur mesjid Haji Bakir. Berikut kutipannya: Karman sungguh-sungguh telah berbaur kembali dengan tiap gerak kehidupan di Pegaten. Ia tampak pada tiap kenduri yang diadakan orang, ia ikut kerja bakti membersihkan saluran irigasi yang sudah dibangun di desa itu. Dan Karman merasa bangga sekali ketika ia diberi kesempatan memperbaiki sumur mesjid Haji Bakir.79

77 Ibid., h. 63 78Ibid., h. 63 79 Ibid., h. 179 82

Kutipan di atas menggambarkan bahwa Karman selalu siap siaga menjalankan gotong-royong yang diadakan oleh masyarakat Pegaten walaupun dirinya belum lama kembali ke desa Pegaten. Kutipan di atas dapat pula dikaitkan dengan sikap pemaaf masyarakat Pegaten, karena rasa pemaaf inilah yang membuat Karman diberi kesempatan untuk ikut serta dalam kegiatan kerja bakti memperbaiki sumur mesjid milik Haji Bakir. Dari analisis di atas, dapat disimpulkan kegiatan gotong royong ini di tunjukan ketika memperbaiki mesjid Haji Bakir dan sumur mesjid Haji Bakir. Selain itu, ditunjukkan pula pada saat musim panen, seluruh warga Pegaten yang tidak memiliki sawah bersama-sama menuai padi di sawah tetangga mereka.

d. Tolong-Menolong Sikap tolong-menolong ini sangat penting bagi siapa pun, karena pada dasarnya manusia terkadang butuh pertolongan terhadap orang disekitarnya. Sebagai manusia yang beriman maka wajib menolong antar sesama. Jiwa penolong yang ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari sangat membantu kebahagiaan orang lain. Inilah pentingnya hidup bermasyarakat, karena saling melengkapi di saat saling membutuhkan satu sama lainnya. Di dalam novel Kubah sikap saling menolong terlihat ketika si tokoh utama menolong anak tetangganya yang sedang digerumuti semut merah pada saat orang- orang sibuk menuai padi di sawah. Ketika sampai tujuan, hal pertama yang dilakukannya adalah menyapu tubuh bayi kinah dengan kain. Karman tahu bayi itu masih kelenger. Kulitnya yang sudah membiru tampak bentol-bentol. Karman panik. Tetapi Karman inget di sekolah ia pernah lihat gurunya melakukan gerakan membuat napas buatan. Karman mencoba menirukan gurunya dan berhasil. Bayi Kinah bisa mengembalikan napas lalu kembali menjerit.80

80 Ibid., h.71 83

Kutipan di atas menjukkan rasa iba Karman terhadap bayi Kinah yang sedang dipenuhi semut pada tubuhnya. Karman cepat- cepat menolong bayi Kinah dan menghentikan kegiatan tuaiannya tersebut. Ketika dalam keadaan panik Karman teringat ilmu yang di ajarkan gurunya bagaimana cara membuat napas buatan, dan hal itu pun dilakukan Karman demi menolong bayi Kinah. Kemudian Karman pun berhasil mengembalikan napas bayi Kinah yang sebelumnya tidak mengeluarkan suara. Nilai sosial dari kisah ini yaitu, jiwa penolong Karman yang membantu bayi kinah dari serangan semut merah. Pada novel ini, menjelaskan pula sikap penolong Bu Haji Bakir sebelum memberikan pekerjaan kepada Karman, terlebih dahulu ia di bawa ke rumah Haji Bakir oleh putrinya, yaitu, Rifah. Ibu Haji Bakir merasa iba melihat keadaan Karman dan adiknya yang sudah lama tidak menemukan nasi untuk di makan. Kemudian, melihat keadaan seperti itu Bu Haji Bakir memberinya dua piring nasi untuk Karman dan adiknya. Diam-diam Bu Haji Bakir memperhatikan Karman dan adiknya. Kedua anak yatim itu makan dengan sangat lahap. Mungkin mereka sudah beberapa bulan hanya bertemu singkong dan kini mereka menghadapi sepiring nasi.81

Kutipan di atas, menggambarkan betapa pedulinya Bu Haji Bakir terhadap Karman dan adiknya. Karman sangat menikmati sepiring nasi yang telah disediakan oleh Bu Haji Bakir untuk dirinya, karena sejak di tinggal oleh ayahnya ia hanya bertemu dengan singkong. Berkat keluarga Haji Bakir lah ia menemukan kembali sepiring nasi yang selama beberapa bulan ini tidak pernah ia makan selain singkong. Selain memberikan makan, sikap tolong-menolong ini terlihat pula pada tokoh Haji Bakir yang merupakan warga Pegaten. Ketika

81 Ibid., h. 59 84

Karman masih kecil dan belum memiliki pekerjaan, kehidupannya dibantu oleh Haji Bakir. Haji Bakir memberikan pekerjaan kecil- kecilan kepada Karman sesuai dengan usianya pada saat itu. Selalu ada pekerjaan kecil-kecilan yang bisa dikerjakan Karman sementara anak itu momong adiknya. Dengan memberi pekerjaan kecil, Bu Haji bermaksud mendidik Karman bekerja sehingga ia tidak terbiasa bergantung kepada pemberian orang.82

Kutipan di atas, selain menggambarkan rasa sayang keluarga Haji Bakir terhadap Karman, kutipan tersebut menggambarkan jiwa penolong keluarga Haji Bakir terhadap Karman yang pada saat itu menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Karman diberi pekerjaan kecil-kecilan oleh Bu Haji Bakir. Pekerjaan tersebut tidak terlalu berat untuknya, jadi ia bisa sambil mengasuh adiknya yang masih kecil. Bu Haji Bakir membantunya agar menjadi anak yang tidak selalu bergantung terhadap bantuan dari orang lain. Pada novel Kubah ini, menonjolkan jiwa penolong Karman terhadap Rifah yang merupakan anak Haji Bakir. Hubungan keduanya sebagai pengasuh dan anak asuh. Karman sebagai pengasuh mengorbankan dirinya untuk keselamatan Rifah yang merupakan anak asuhnya. Sifat tersebut juga bertujuan untuk membangun sikap saling peduli dan saling peka antar sesama. Hal ini terbukti pada kutipan ketika Karman masih kecil ia pernah mengorbankan nyawanya demi menolong Rifah yang hampir diterjang Kambing milik Haji Bakir. Karman maju melindungi Rifah yang menjerit dengan muka biru. Kedua tanduk binatang itu ditangkapnya. Karena tenaganya kalah kuat Karman terayun-ayun oleh empasan binatang yang marah itu.83

Kutipan di atas menggambarkan pengorbanan Karman terhadap anak asuhnya itu, ia tidak memikirkan keselamatan untuk

82 Ibid., h. 59 83 Ibid., h. 62 85

dirinya sendiri. Tenaga Karman kalah kuat oleh binatang yang sedang mengamuk itu sehingga tubuhnya terpontang panting. Hal ini membuktikan nilai sosial yang terkandung yaitu berkorban untuk orang lain tanpa memikirkan diri sendiri. Selain itu, dapat dilihat pada tahap akhir cerita novel ini terdapat bukti bahwa Karman menolong masyarakat dalam pembuatan kubah masjid Haji Bakir. Pembuatan kubah ini kesempatan yang istimewa baginya, karena ini menyangkut untuk mendapatkan kepercayaan warga terhadap dirinya bersungguh- sungguh ingin bertaubat. Selain itu, pembuatan kubah ini merupakan kepentingan bersama dalam kekhusyu‘an beribadah...... Bahkan dengan menyanggupi pekerjaan itu ia hanya ingin memberi jasa. Bagaimana juga sepulang dari pengasingan ia merasa ada yang hilang pada dirinya. Ia ingin memperoleh kembali bagian yang hilang itu. Bila ia mendapat memberi sebuah kubah yang bagus kepada orang- orang Pegaten, ia berharap akan memperoleh apa yang hilang itu.84

Kutipan di atas menggambarkan keinginan Karman yang sungguh-sungguh ingin menolong memperbaiki kubah masjid Haji Bakir. Selain itu, ia ingin mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat Pegaten. Karman ingin membuktikan bahwa seorang bekas tahanan masih bisa melakukan sesuatu yang berharga bagi orang-orang disekitarnya. Dari kutipan-kutipan di atas nilai sosial yang terkandung dalam novel Kubah yaitu, saling tolong menolong terhadap sesama. Hal ini membuktikan bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri, melainkan suatu saat nanti mereka akan membutuhkan pertolongan dari masyarakat di sekitarnya. Kesimpulan dari analisis ini, sikap tolong menolong ditunjukkan pada tokoh Karman ketika menolong anak Kinah yang

84 Ibid., h. 188 86

sedang dikerubungi semut merah. Selain itu, sikap tong menolong ini ditunjukkan pada keluarga Haji Bakir yang merasa kasihan terhadap Karman, sehingga ia memberikan Karman pekerjaan kecil-kecilan. Sikap tolong menolong terdapat pada tokoh Bu Haji Bakir yang memberikan makanan kepada Karman dan adiknya. e. Saling Memaafkan Memaafkan kesalahan orang lain sangat penting, selain menambah pahala dapat pula menjalin silaturahmi yang baik. Sikap saling memaafkan ini akan membuat hidup terasa tenang dan tentram. Di dalam novel Kubah menceritakan tokoh Karman yang menjadi sasaran sebagai pembuat kesalahan terhadap masyarakat Pegaten. Kesalahan Karman yang sulit dimaafkan itu dengan mudahnya dan ramahnya masyarakat Pegaten menerima maaf dari Karman. Masyarakat Pegaten yang cinta perdamaian telah ikhlas memaafkan kesalahan Karman. Selain Gono yang sudah memaafkan kesalahan Karman selama ini, ternyata masyarakat serta para tetangga-tetangga Karman telah memaafkannya juga. Hal ini terlihat ketika Karman kembali tinggal di Pegaten, ia diajak bermusyawarah untuk perbaikan bangunan mesjid milik Haji Bakir dan dipercaya untuk membuat kubah. Bila dikaitkan dengan alur yang sudah dipaparkan sebelumnya, akan terlihat awal mula Karman diterima kembali ke lingkungan Pegaten, berawal dari keluarga yang dengan ramahnya mengajak Karman tinggal bersama dengan sanak keluarga. Cerita seperti ini menunjukkan bahwa masyarakat Pegaten memiliki rasa saling memaafkan, walaupun pada kenyataan zaman sekarang sangat sulit memaafkan kesalahan orang lain yang sebelumnya dapat merugikan masyarakat sekitar. 87

Penerimaan kembalinya Karman dari Pulau B, pada mulanya terlihat ketika Karman menghadapi gejolak perasaan takut tidak diterima kembali oleh lingkungannya, dan pada saat itu ia memutuskan untuk pulang terlebih dahulu ke rumah saudara sepupunya yaitu Gono. Hal seperti ini menandakan bahwa kesalahan Karman telah dimaafkan oleh keluarganya sendiri. Mas Karman, saudaraku, tinggallah bersama kami di sini. Kau takkan menemukan apa-apa lagi di Pegaten. Rumahmu habis dimusnahkan, tanahmu habis terjual. Dan, oalah Gusti, Marni istrimu telah kawin lagi dan beranak pinak. Anakmu yang terkecil meninggal. Mas Karman kau tak punya apa-apa lagi di Pegaten. Kau tak punya apa-apa lagi.85

Kutipan di atas menggambarkan kepedulian Gono terhadap Karman yang merupakan seorang bekas tahanan politik. Gono merasa kasihan terhadap diri Karman yang sekarang sudah tidak memiliki apa-apa lagi di Pegaten. Hal ini menunjukkan sikap Gono sebagai masyarakat Pegaten yang memiliki rasa pemaaf serta peduli terhadap seorang bekas tahanan. Selain itu, Karman pun telah menyadari kesalahanya, hal ini terdapat pula nilai sosial pada diri Karman ketika ia mengakui kesalahannya terhadap orang lain yang dulu pernah menganggap dirinya sebagai keluarga sendiri. Karman menyadari kesalahannya di masa lalu, setelah ia kembali ke Pegaten ia meminta maaf kepada masyarakat terutama terhadap Haji Bakir. ―Begitu Haji Bakir masuk ke rumah Bu Mantri itu, Karman berlari menjemputnya, lalu menjatuhkan diri. Dengan bertumpu kepada kedua lututnya, Karman memeluk orang tua itu pada pinggangnya. Ia menangis seperti anak kecil. Haji Bakir yang merasa tidak bisa berbuat apa-apa membiarkan Karman memuaskan tangisnya.‖86

Kutipan di atas menggambarkan penyesalan Karman akan kesalahannya terhadap Haji Bakir di masa lalu. Karman meminta

85 Ibid., h. 34 86 Ibid., h. 174 88

maaf terhadap Haji Bakir serta istrinya. Betapa menyesalnya Karman sewaktu di masa lalu telah memusuhi orang yang selama ini telah membantu kehidupan keluarganya. Ia memeluk kedua orang tua tersebut sambil menangis seperti anak kecil. Selain keluarga, terdapat pula bukti bahwa masyarakat Pegaten telah memaafkan kesalahan Karman. Hal ini dapat dibuktikan ketika Karman pulang ke rumah ibunya, banyak para tetangga yang datang menjenguk Karman. Di rumah orangtuanya, Karman sedang dirubung oleh para tamu, tetangga-tetangga yang sudah amat lama ditinggalkan. Ia merasa heran dan terharu, ternyata orang-orang Pegaten tetap pada watak mereka yang asli. Ramah, bersudara, dan yang penting gampang melupakan kesalahan orang lain.87

Kutipan di atas menunjukkan watak yang dimiliki oleh masyarakat Pegaten. Ramah, bersaudara, dan gampang melupakan kesalahan orang lain merupakan ciri-ciri sifat masyarakat Pegaten. Watak inilah yang membuat Karman terharu setelah sekian lamanya ia meninggalkan Pegaten, namun tidak ada perubahan pada diri masyarakat Pegaten. Selain itu, terdapat pula keyakinan masyarakat Pegaten yang menilai Karman bertobat dengan sungguh-sungguh. Hal ini dapat dilihat kembali pada bagian ketika ia di ajak bermusyawarah dan dipercaya dalam pembuatan kubah serta mendapat pujian dari masyarakat ketika melihat hasil kubah yang sudah terpampang di atap mesjid Haji Bakir. ―Luar biasa bagusnya,‖ kata seseorang ketika kubah mesjid hasil kerja Karman selesai dipasang menjadi puncak bangunan mesjid. ―Beruntung,‖ sambung yang lain, ―kita mendapatkan Karman kembali. Kalau tidak, niscaya kita tidak bisa bersembahyang di dalam mesjid sebagus ini.‖88

87 Ibid., h. 173 88 Ibid., h. 189 89

Nilai sosial yang terkandung di dalamnya yaitu, rasa pemaaf masyarakat Pegaten terhadap kesalahan Karman di masa lalu, mereka tidak menaruh dendam kepada Karman. Kesimpulan dari analisis ini menunjukkan jiwa pemaaf masyarakat Pegaten sangat berarti bagi diri Karman. Masyarakat Pegaten memaafkan kesalahan Karman ditunjukkan dengan cara ia diterima kembali tinggal di Pegaten. Selain itu, Karman dipercaya untuk membuat kubah mesjid Haji Bakir.

f. Kasih Sayang Kasih sayang pada novel ini dilihat dari tokoh Haji Bakir yang sangat menyayangi anak yatim, salah satunya yaitu Karman. Karman yang telah ditinggal oleh ayahnya sejak kecil, tetapi ia mendapatkan kasih sayang oleh keluarga Haji Bakir. Haji Bakir telah menganggap Karman sebagai keluarga sendiri bukan sebagai pembantu rumah tangga di rumahnya. Ternyata keluarga Haji Bakir tidak pernah memperlakukan Karman sebagai pembantu rumah tangga yang sebenarnya. Anak itu diberi kesempatan menamatkan pendidikannya di sekolah rakyat yang sudah dua tahun ditinggalkannya. Pekerjaan yang diberikan kepada Karman adalah pekerjaan sederhana yang bisa diselesaikan oleh anak seusianya.89

Kutipan di atas menggambarkan sosok Haji Bakir yang memberikan kasih sayangnya terhadap Karman dengan cara menganggap Karman sebagi keluarganya. Selain itu, Haji Bakir memberikan pekerjaan yang dapat diselesaikan oleh anak seusia Karman, ia tidak memberatkan Karman dalam masalah pekerjaan. Haji Bakir membiarkan Karman melanjutkan sekolahnya yang sudah dua tahun terputus. Sikap Haji Bakir inilah menunjukkan nilai sosial yang terdapat dalam novel Kubah, yaitu menyayangi anak yatim. Haji

89 Ibid., h. 60 90

Bakir merupakan warga dari desa Pegaten. Kembali ke latarbelakang Ahmad Tohari yang bernafaskan islami. Tokoh Haji Bakir digambarkan sebagai sosok manusia yang berlatarkan Islam sebagai pedoman hidupnya. Islam mengajarkan umatnya agar tidak menghardik anak yatim. Rasa kasih sayang dalam novel ini, di tunjukkan pula pada tokoh Hasyim, yaitu paman Karman yang merupakan adik dari ibunya. Hasyim sangat kasihan melihat penderitaan hidup kakaknya itu. Pada akhirnya hasyim membantu kakaknya, yaitu Bu Mantri memberikan modal untuk berdagang nasi rames. Selain memberikan modal, Hasyim berniat untuk menyekolahkan keponakannya itu. Dan karena kasihan melihat kehidupan Bu Mantri, Hasyim memberi kakaknya itu modal buat berdagang nasi rames. Hasyim juga pergi menemui Haji Bakir untuk berbicara tentang Karman. kemenakannya ini diminta kembali ke rumah orang tuanya karena akan di sekolahkan ke tingkat lanjutan.90

Kutipan di atas menunjukkan kasih sayang yang dimiliki Hasyim terhadap keluarganya. Hasyim tidak hanya sekedar menganggap Karman sebagai keponakan, melainkan menganggap Karman sebagai anaknya sendiri. Rasa kasih sayang yang diberikan terhadap Bu Mantri, yakni kakaknya sendiri di tunjukkan dengan memberinya modal untuk berdagang nasi rames. Selain itu, kasih sayang terhadap Karman di gambarkan dengan menyekolahkannya ke tingkat yang lebih tinggi. Kasih sayang yang Karman terima tidak hanya dari orang- orang terdekat saja, melainkan dari masyarakat pun ia mendapatkan kasih sayang. Hal ini terbukti ketika ia pulang dari pengasingan, masyarakat Pegaten tidak menaruh dendam sedikitpun terhadap dirinya. Walaupun secara logika kesalahan tersebut sangat sulit untuk dimaafkan dalam kehidupan zaman sekarang ini.

90 Ibid., h. 74 91

Ia merasa heran dan terharu, ternyata orang-orang Pegaten tetap pada watak mereka yang asli. Ramah, bersaudara, dan yang penting; gampang melupakan kesalahan kesalahan orang lain. Padahal yang sangat dikhawatirkan oleh Karman adalah sikap membenci dan dendam yang mungkin diterimanya begitu ia muncul kembali di Pegaten.91

Kutipan di atas menggambarkan betapa beruntung menjadi diri Karman yang merupakan bagian dari masyarakat Pegaten. Ia tinggal di lingkungan yang sangat menyayangi dirinya walaupun dirinya pernah melakukan kesalahan di masa lalu. Setelah kepulangannya dari pengasingan, banyak warga yang menengok Karman ke rumah Bu Mantri. Hal ini menunjukkan bahwa sikap masyarakat Pegaten selain pemaaf, tetapi memiliki sikap kasih sayang dan peduli antar sesama tanpa memikirkan dendam di masa lalu. Berdasarkan analisis nilai sosial bagian kasih sayang, dapat disimpulkan bahwa rasa kasih sayang dalam novel ini ditunjukkan pada keluarga Haji Bakir yang tidak pernah menganggap Karman sebagai pembantu rumah tangga, melainkan menganggapnya sebagai keluarga sendiri. Selain Haji Bakir, rasa kasih sayang ini ditunjukkan pada tokoh pamannya Karman, yaitu Hasyim, yang ingin menyekolahkan Karman ke tingkat lanjutan. Paman Hasyim menganggap Karman sebagai anaknya sendiri.

g. Tanggung Jawab Pada novel Kubah terdapat sosok manusia yang bertanggung jawab untuk dirinya sendiri sebagai suami, anak, maupun seorang pekerja. Berikut kutipan manusia yang bertanggung jawab sebagai seorang suami.

91 Ibid., h. 173 92

―Ah suami muda itu masuk kembali ke rumah dan keluar lagi dengan sebuah golok di tangan. Tanpa pikir macam-macam, pohon yang tak seberapa besar itu ditebangnya. Tumbang.‖92

Kutipan di atas menceritakan Karman sebagai seorang suami bertanggung jawab kepada istrinya yang sedang ngidam. Ketika istrinya mengidam ingin makan buah kedondong, maka Karman mencari akal bagaimana ia harus mendapatkan kedndong dari pohonnya, pada akhirnya Karman pun mengambil cara untuk menebang pohon tersebut, karena ia tidak bisa memanjat pohon. Hal ini membuktikan rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap dirinya sendiri sebagai suami. Masih menceritakan tokoh utama yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri sebagai seorang anak. Hal ini dapat dilihat kembali pada analisis penokohan yang telah dipaparkan sebelumnya. Terbukti bahwa Karman merupakan anak yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap ibu serta adiknya, sewaktu kecil ia hidup menderita setelah sepeninggalan ayahnya pada zaman Jepang. Hanya Karmanlah yang bisa diandalkan oleh keluarganya, karena kakaknya pun sudah meninggal. ―Maka Karman yang masih bocah biasa mengumpulkan singkong dari ladang orang dan dibawa pulang sebagai bahan makanan. Singkong direbus, ditanak, atau malah singkong cukup dibenam dalam api sampai empuk. Semuanya cukup buat mengganjal perut Karman bersama ibu dan adiknya.‖93

Kutipan di atas menggambarkan betapa pahitnya kehidupan Karman sewaktu kecil. Usia masih kecil harus memikirkan makan sehari-hari untuk ibu dan adiknya. Hal ini membuktikan bahwa nilai yang terkandung di dalamnya yaitu, walaupun usia masih dini tidak harus bergantung kepada orang tua, tetapi berusaha belajar mandiri dan bisa bertanggung jawab kepada diri sendiri sebagai anak.

92 Ibiid., h. 52 93 Ibid., h. 57 93

Selain itu, dalam novel Kubah menggambarkan sosok Karman yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri dengan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Hidup di tengah-tengah masyarakat yang tertinggal jauh dalam hal pendidikan, namun itu semua tidak menjadi halangan Karman dalam semangatnya untuk melanjutkan sekolah. ―Karman merasa menjadi anak yang paling berbahagia di dunia. Pada permulaan tahun ajaran baaru tahun 1950, Karman sudah menjadi seorang murid SMP di sebuah kota kabupaten yang terdekat. Karman menjadi anak Pegaten pertama yang menempuh pendidikan sampai ke tingkat menengah.‖94

Kutipan di atas menggambarkan kegembiraan Karman, karena bisa melanjutkan sekolah SMP. Karman merupakan seorang anak dari desa Pegaten yang bisa melanjutkan sekolah ketimbang teman-teman di sekitarnya. Nilai sosial yang terkandung yaitu, kesadaran Karman sebagai anak berkewajiban untuk melanjutkan sekolah. Selain itu, jiwa Karman dalam semangatnya untuk sekolah dan menghargai pamannya yang telah membiayainya sekolah. Karman menyadari bahwa sekolah akan membantunya menjadi lebih baik lagi untuk masa depannya.

2. Hasil Penemuan Nilai Sosial dalam Novel Kubah Setelah melakukan analisis isi yang berkaitan dengan nilai sosial dalam novel Kubah, dapat dibuat tabel untuk mempermudah memperoleh hasil penghitungan nilai sosial yang paling dominan dicantumkan oleh pengarang dalam karyanya: No. Kategori Teks Novel Jumlah 1. Agama 1. ―Leher kubah dihiasi kaligrafi dengan 4 teralis. Empat ayat terakhir dari surat Al-Fajr terbaca di sana: Hai jiwa yang teduh dan tentram, kembalikan engkau

94Ibid., h. 74 94

kepada-Ku. Maka masuklah barisan hamba-hamba-Ku dan temuilah kedamaian abadi Surga-Ku.” (Toh, 1995: 189) 2. “Yah dengarlah apa yang kumaksud dengan syarat itu. Untuk mendasari upaya penyembuhan jiwamu kau harus memulai dari kepercayaan. Ya kepercayaan.‖ (Toh, 1995: 25) 3. ―Demikianlah sumur mesjid itu selalu ramai oleh gurau anak-anak selagi fajar merekah di timur. Hiruk-pikuk baru berakhir apabila sembahyang subuh sudah dimulai. Dan ketika jamaah yang tua-tua masih berzikir sehabis sembahyang, anak-anak sudah bubar berhambura. Mereka kembali ke rumah masing-masing dengan gurauan yang gembira.‖ (Toh, 1995: 64) 4. ―Dalam kesadaran ketika bayangan regu tembak sudah muncul di depan mata, Karman merasa sangat iri terhadap Kastagethek dengan segala perilakunya yang amat tenang, mengalir, dan pasrah. Karman dapat memastikan bahwa ketenangan hidup Kastagethek berkaitan dengan shalatnya, dengan zikirnya, dengan tasbihnya. ―Ah, ketiga ritus itu telah lama kuingkari dan kucampakkan.‖ (Toh, 1995: 152) 95

2. Musyawarah 1. ―Para jamaah sepakat hendak memugar 3 mesjid itu. Pikiran demikian makin mendesak karena jumlah jamaah terus bertambah banyak. Tanpa membentuk sebuah panitia, pekerjaan itu dimulai. Semua orang mendapat bagian menurut kecakapan masing-masing.‖ (Toh, 1995: 187) 2. ―Karman memberanikan diri meminta bagiaannya. Ia menyanggupi membuat kubah yang baru bila tersedia bahan dan perkakasnya. Ketika tinggal dalam pengasingan Karman pernah belajar mematri dan mengelas. Keinginan Karman mendapat sambutan.‖ (Toh, 1995: 187) 3. ―Tengah malam perundingan itu berakhir. Semua pihak bangkit dari tempat duduk dengan rasa lega dan puas. Sebelum meninggalkan rumah Bu Mantri, Ibu Haji Bakir menyerahkan kain kebaya untuk diberikan kepada Tini sebagai tanda pengikat. Telah disepakati pula hari dan bulan untuk melaksanakan perkawinan antara Tini dan Jabir.‖ (Toh, 1995: 185) 3. Gotong Royong 1. ―Hampir musim panen. Anak-anak di 3 Pegaten mulai meniup-niup puput. Di pagi hari burung-burung gelatik dan murai terbang berkelompok-kelompok menuju sawah. Musim panen baik. 96

Orang-orang yang tidak mempunyai sawah ikut senang. Mereka ikut menuai. Dari hasil tuaian itu mereka berhak atas sepertujuh atau seperdelapan bagian. Selebihnya menjadi hak pemilik sawah.‖ (Toh, 1995: 63) 2. ―Tak pantas pada waktu panen seperti ini ibuku tak punya beras. Sebaiknya aku ikut menuai padi agar ibuku sempat merasakan nasi yang empuk.‖ (Toh, 1995: 63) 3. ―Karman sungguh-sungguh telah berbaur kembali dengan tiap gerak kehidupan di Pegaten. Ia tampak pada tiap kenduri yang diadakan orang, ia ikut kerja bakti membersihkan saluran irigasi yang sudah dibangun di desa itu. Dan Karman merasa bangga sekali ketika ia diberi kesempatan memperbaiki sumur mesjid Haji Bakir.‖ (Toh, 1995: 179) 4. Tolong Menolong 1. ―Ketika sampai tujuan, hal pertama 5 yang dilakukannya adalah menyapu tubuh bayi kinah dengan kain. Karman tahu bayi itu masih kelenger. Kulitnya yang sudah membiru tampak bentol- bentol. Karman panik. Tetapi Karman inget di sekolah ia pernah lihat gurunya melakukan gerakan membuat napas buatan. Karman mencoba menirukan 97

gurunya dan berhasil. Bayi Kinah bisa mengembalikan napas lalu kembali menjerit.‖ (Toh, 1995: 71) 2. ―Diam-diam Bu Haji Bakir memperhatikan Karman dan adiknya. Kedua anak yatim itu makan dengan sangat lahap. Mungkin mereka sudah beberapa bulan hanya bertemu singkong dan kini mereka menghadapi sepiring nasi.‖ (Toh, 1995: 59) 3. ―Selalu ada pekerjaan kecil-kecilan yang bisa dikerjakan Karman sementara anak itu momong adiknya. Dengan memberi pekerjaan kecil, Bu Haji bermaksud mendidik Karman bekerja sehingga ia tidak terbiasa bergantung kepada pemberian orang.‖ (Toh, 1995: 59) 4. ―Karman maju melindungi Rifah yang menjerit dengan muka biru. Kedua tanduk binatang itu ditangkapnya. Karena tenaganya kalah kuat Karman terayun-ayun oleh empasan binatang yang marah itu.‖ (Toh, 1995: 62) 5. ―...... Bahkan dengan menyanggupi pekerjaan itu ia hanya ingin memberi jasa. Bagaimana juga sepulang dari pengasingan ia merasa ada yang hilang pada dirinya. Ia ingin memperoleh kembali bagian yang hilang itu. Bila ia mendapat memberi sebuah kubah yang 98

bagus kepada orang-orang Pegaten, ia berharap akan memperoleh apa yang hilang itu.‖ (Toh, 1995: 188) 5. Saling Memaafkan 1. ―Mas Karman, saudaraku, tinggallah 4 bersama kami di sini. Kau takkan menemukan apa-apa lagi di Pegaten. Rumahmu habis dimusnahkan, tanahmu habis terjual. Dan, oalah Gusti, Marni istrimu telah kawin lagi dan beranak pinak. Anakmu yang terkecil meninggal. Mas Karman kau tak punya apa-apa lagi di Pegaten. Kau tak punya apa-apa lagi.‖ (Toh, 1995: 34) 2. ―Di rumah orangtuanya, Karman sedang dirubung oleh para tamu, tetangga-tetangga yang sudah amat lama ditinggalkan. Ia merasa heran dan terharu, ternyata orang-orang Pegaten tetap pada watak mereka yang asli. Ramah, bersudara, dan yang penting gampang melupakan kesalahan orang lain.― (Toh, 1995: 173) 3. ―Luar biasa bagusnya,‖ kata seseorang ketika kubah mesjid hasil kerja Karman selesai dipasang menjadi puncak bangunan mesjid. ―Beruntung,‖ sambung yang lain, ―kita mendapatkan Karman kembali. Kalau tidak, niscaya kita tidak bisa bersembahyang di dalam mesjid sebagus ini.‖ (Toh, 1995: 189) 99

4. ―Begitu Haji Bakir masuk ke rumah Bu Mantri itu, Karman berlari menjemputnya, lalu menjatuhkan diri. Dengan bertumpu kepada kedua lututnya, Karman memeluk orang tua itu pada pinggangnya. Ia menangis seperti anak kecil. Haji Bakir yang merasa tidak bisa berbuat apa-apa membiarkan Karman memuaskan tangisnya.‖ (Toh, 1995: 174) 6. Kasih Sayang 1. ―Ternyata keluarga Haji Bakir tidak 3 pernah memperlakukan Karman sebagai pembantu rumah tangga yang sebenarnya. Anak itu diberi kesempatan menamatkan pendidikannya di sekolah rakyat yang sudah dua tahun ditinggalkannya. Pekerjaan yang diberikan kepada Karman adalah pekerjaan sederhana yang bisa diselesaikan oleh anak seusianya.‖ (Toh, 1995: 60) 2. ―Dan karena kasihan melihat kehidupan Bu Mantri, Hasyim memberi kakaknya itu modal buat berdagang nasi rames. Hasyim juga pergi menemui Haji Bakir untuk berbicara tentang Karman. kemenakannya ini diminta kembali ke rumah orang tuanya karena akan di sekolahkan ke tingkat lanjutan.‖ (Toh, 1995: 74) 3. ―Ia merasa heran dan terharu, ternyata orang-orang Pegaten tetap pada watak 100

mereka yang asli. Ramah, bersaudara, dan yang penting; gampang melupakan kesalahan kesalahan orang lain. Padahal yang sangat dikhawatirkan oleh Karman adalah sikap membenci dan dendam yang mungkin diterimanya begitu ia muncul kembali di Pegaten.‖ (Toh, 1995: 173) 7. Tanggung Jawab 1. ―Ah suami muda itu masuk kembali ke 3 rumah dan keluar lagi dengan sebuah golok di tangan. Tanpa pikir macam- macam, pohon yang tak seberapa besar itu ditebangnya. Tumbang.‖ (Toh, 1995: 52) 2. ―Maka Karman yang masih bocah biasa mengumpulkan singkong dari ladang orang dan dibawa pulang sebagai bahan makanan. Singkong direbus, ditanak, atau malah singkong cukup dibenam dalam api sampai empuk. Semuanya cukup buat mengganjal perut Karman bersama ibu dan adiknya.‖ (Toh, 1995: 57) 3. ―Karman merasa menjadi anak yang paling berbahagia di dunia. Pada permulaan tahun ajaran baaru tahun 1950, Karman sudah menjadi seorang murid SMP di sebuah kota kabupaten yang terdekat. Karman menjadi anak Pegaten pertama yang menempuh pendidikan sampai ke tingkat menengah.‖ (Toh, 1995: 74) 101

Bila dilihat dari tabel di atas, terlihat jelas bahwa nilai sosial yang paling dominan pada penelitian ini yaitu sikap tolong menolong masyarakat Pegaten. Selain itu, sikap tolong menolong ini merupakan ciri khas yang biasa dimiliki oleh masyarakat pedesaan apalagi dalam kehidupan bertetangga. Pada intinya manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain di sekitarnya. Dari hasil analisis ini pula terlihat jelas bahwa Ahmad Tohari sebagai pengarang novel Kubah ini merupakan seorang sastrawan yang tidak terlepas dari alam pedesaan serta menggambarkan watak masyarakat pedesaan dalam karyanya.

C. Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Pada umumnya pelajaran bahasa Indonesia di sekolah SMA memiliki satu materi ajar yang berkaitan dengan apresiasi sastra. Apresiasi sastra di sekolah berkaitan dengan pengkajian terhadap sastra berupa puisi, prosa, dan drama. Salah satunya yaitu novel yang merupakan bagian dari prosa. Selama ini pengkajian terhadap novel yang dilakukan di sekolah hanya membahas bagian-bagian tertentu saja. Pada hakikatnya pembelajaran apresiasi sastra ialah memperkenalkan kepada siswa tentang nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah karya sastra. Siswa diajak untuk menghayati pengalaman-pengalaman yang tergambar di dalam karya sastra. Pembelajaran apresiasi sastra bertujuan mengembangkan kepekaan siswa terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra. Nilai tersebut misalnya nilai sosial yang terefleksi dalam sebuah karya sastra. Pembahasan mengenai novel Kubah ini berkaitan dengan pengajaran sastra di sekolah SMA, yakni, terdapat di kurikulum 2013 dengan kompetensi dasar yaitu Menunjukkan perilaku jujur, peduli, santun, tanggung jawab dalam penggunaan bahasa Indonesia untuk memahami dan menyajikan hasil analisis teks novel serta memahami struktur dan kaidah teks novel baik melalui lisan maupun tulisan. Pada analisis terhadap struktur novel dapat dijadikan bahan ajar untuk kompetensi dasar yang berkaitan dengan pemahaman serta pengetahuan dan 102

penerapannya. Pemahaman tersebut mengenai keterkaitan antarunsur dalam novel ini dapat memberikan pengetahuan kepada siswa mengenai analisis struktur novel secara lebih mendalam. Melalui analisis keterkaitan antarunsur dalam novel, siswa diarahkan untuk membaca lebih teliti agar mempermudah menemukan bagian unsur intrinsik di dalamnya. Siswa harus berpikir secara kritis ketika menganalisis makna yang terkandung dalam novel. Proses mencari keterkaitan antarunsur dalam novel, siswa harus mampu menghubungkan setiap unsur cerita yang telah dianalisisnya sehingga cerita dapat diterima secara baik. Kaitan dengan pengajaran sastra di sekolah guru perlu memahami bahwa tujuan pengajaran sastra di sekolah di arahkan pada aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), psikomotorik (keterampilan). Ranah kognitif dalam pembelajaran sastra ini, yaitu, respons yang diberikan peserta didik dalam bentuk pemahaman setelah membaca sebuah karya sastra. Selanjutnya guru dapat menilai pemahaman siswa dengan cara mengetahui pengetahuan yang diperoleh setelah membaca. Ranah afektif dalam pembelajaran sastra terkait dengan perubahan sikap siswa terhadap karya sastra yang telah dibacanya. Dalam ranah ini, guru diharuskan memperhatikan peserta didik setelah membaca karya sastra, apakah peserta didik merasa antusias dalam karya yang dibacanya atau tidak, apakah peserta didik mengalami perubahan setelah membaca karya sastra. Selanjutnya, ranah psikomotorik terkait dengan keterampilan peserta didik setelah diberikan penerapan nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra pada kehidupan sehari-hari. Lewat karya sastra seperti novel Kubah ini, diharapkan siswa mempunyai pengetahuan berkenaan dengan nilai sosial dan menumbuhkan kreativitas dan minat siswa untuk belajar sastra, serta mampu mengembangkan kepekaan siswa terhadap nilai sosial. Nilai sosial dalam novel Kubah ini sangat penting untuk diteladani oleh siswa dikehidupannya sehari-hari. Nilai sosial tersebut salah satunya yaitu, sifat saling memaafkan yang dimiliki oleh masyarakat Pegaten. Pada dasarnya, siapapun yang melakukan kesalahan maka ia wajib untuk meminta maaf, dan sebaliknya 103

sebagai orang yang merasa dirinya menjadi korban, maka ia wajib untuk memaafkannya. Betapa mulianya hati mereka yang dengan mudahnya memaafkan seorang bekas tahanan politik. Jiwa solidaritas yang tinggi membuat mereka datang ke rumah orang tua Karman hanya sekedar ingin melihat keadaan Karman setelah sekian lama mendekap di tahanan. Sikap seperti inilah yang mesti ditanamkan untuk semua orang terutama terhadap pelajar. BAB V PENUTUP

A. Simpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap novel Kubah karya Ahmad Tohari, maka penulis dapat menyimpulkan hal sebagai berikut: 1. Peneliti menganalisis unsur intrinsik yang meliputi: Tema yang terkandung di dalamnya yaitu insyafnya seorang bekas tahanan politik. Alur dalam novel Kubah ini merupakan alur campuran. Tokoh utama dalam novel Kubah ini yaitu, tokoh Karman. Tokoh tambahan, diantaranya: Haji Bakir, Rif’ah, Marni, Margo, Triman, Parta, Kastaghetek, Kapten Somad. Latar yang dipakai dalam novel Kubah ini, diantaranya: latar tempat, latar waktu, latar suasana, dan latar sosial. Sudut pandang dalam novel Kubah ini menggunakan orang ketiga dia maha tahu. Gaya bahasa yang digunakan Ahmad Tohari antara lain mengunakan majas hiperbola, personifikasi, dan klimaks. 2. Nilai sosial dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari berkaitan dengan kehidupan yang terjadi di dalam masyarakat Pegaten. Nilai sosial tersebut, yaitu, Hubungan manusia dengan masyarakat yang digambarkan ketika seseorang berguna bagi lingkungannya, nilai sosial ini, diantaranya: agama, musyawarah, gotong-royong, tolong-menolong, saling memaafkan, kasih sayang, tanggung jawab. 3. Implikasi Pembahasan mengenai novel Kubah ini berkaitan dengan pengajaran sastra di sekolah SMA, yakni, terdapat di kurikulum 2013 dengan kompetensi dasar yaitu Menunjukkan perilaku jujur, peduli, santun, tanggung jawab dalam penggunaan bahasa Indonesia untuk memahami dan menyajikan hasil analisis teks novel serta memahami struktur dan kaidah teks novel baik melalui lisan maupun tulisan.

104 105

B. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan perlunya pemahaman terhadap nilai-nilai sastra yang bermanfaat bagi kehidupan. Agar seni sastra, khususnya apresiasi novel dapat bermanfaat dan digemari oleh semua pihak, perlu dilakukan apresiasi karya sastra. Hal itu karena karya sastra banyak mengandung ajaran moral, kesadaran akan pengalaman hidup. Selain itu, sebagai pendidik sebaiknya mengajarkan kepada peserta didik agar mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra. Ketika proses belajar mengajar, hendaknya guru bidang studi Bahasa Indonesia memilih karya sastra yang tepat. Salah satunya karya sastra yang baik untuk dikaji yaitu, novel Kubah. Hal ini, dikarenakan dalam novel Kubah terkandung nilai sosial yang mengajarkan bagaimana manusia berhubungan dengan Tuhan, manusia berhubungan dengan masyarakat, manusia berhubungan dengan dirinya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. tt.p: Sinar Baru, t.t. Aziez, Furqonul., and Hasim, Abdul. Menganalisis Fiksi. Bogor: Ghalia Indonesia, Cet. 1, 2010. Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: PPPB Depdikbud, 1978. Darma, Budi. Pengantar Teori Sastra. jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas. 2004. Fananie, Zainuddin. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press, Cet. 2, 2001.

Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post- modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Jabrohim. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012.

Junus, Umar. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia, 1985.

K.S., AHMAD TOHARI Karya dan Dunianya. Jakarta: PT Grasindo. 2003.

______, Pengkajian Kritik Sastra Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo. 2009.

Likumahua, Nico A. Sastra Suatu Sarana Pendidikan Informal. Salatiga: Widya Sari Press. 2001.

Mustari, Mohamad. Nilai Karakter Refleksi untuk Pendidikan Karakter. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo. 2011.

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian fiksi. Yogyakarta:Gajah Mada Press. 2000.

Pradopo, Sri Widati, dkk. Struktur Cerita Rekaan Jawa Modern Berlatar Perang. Jakarta: Depdikbud, Cet. 1, 1988. Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra (Pegangan Guru Pengajar Sastra). Yogyakarta: Kanisius. 1989.

106 107

Santosa, Wijaya Heru., and Wahyuningtyas, Sri. Pengantar Apresiasi Prosa. Surakarta: Yuma Pressindo, Cet. 1, 2010. Saputra, Wahyu. “ Nilai-Nilai Sosial Dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer”, Skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Universitas Negeri Padang, Padang, 2012, tidak dipublikasikan. Sarumpaet, Riris K. Toha. Sastra Masuk Sekolah. Magelang: Indonesia Tera Anggota IKAPI, 2002.

Semi, M. Attar. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.

Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. 2008.

Sumaatmadja, Nursid. Manusia Dalam Konteks Sosial, Budaya, dan Lingkungan Hidup. Bandung: CV. Alfabeta, Cet. 1, 1996.

Syahrial, Resensi Potret-Potret Ahmad. Jakarta: PDS H.B. Jassin, 1989. Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa. 2009.

Tohari, Ahmad. Kubah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Cet. 1, 1995.

Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993. Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: UPI PRESS, 2006. Wijaya dan Sri Wahyuningtyas. Pengantar Apresiasi Prosa. Surakarta: Yuma Pustaka, 2010. WS, Hasanuddin. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu. 2009.

Wulan, Diah Windu. “Aspek Keberagamaan Dengan Analisis Kata Hati Tokoh Utama Dalam Novel Atheis Dan Novel Kubah Serta Implikasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di SMA”, skripsi pada Uiversitas Negri Jakarta, Jakarta, 2004. Anonim. Achmad Tohari Novelis dari Desa Tinggarjaya. Jakarta: Yudha Minggu, 1984.

108

______. Ahmad Tohari. Jakarta: Mutiara, 1985. ______. Ahmad Tohari Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Eksponen, 1986. ______. Sang ‘Punokawan’ yang Holistik dari Tinggarjaya. Jakarta: Media Indonesia, 1994. ______. Ahmad Tohari Menatap Kota dengan Kacamata Wong Cilik. Jakarta: Mingguan Koran Tempo, 2002. ______. Ahmad Tohari: Memangku Ronggeng. Jakarta: Majalah Editor, 1989. ______. Gugatan Gaya Jawa Lebih Arif untuk Zaman Sekarang. Jakarta: Suara Pembaruan, 1988. ______. Aspek Filosofis dalam Novel Kubah Ahmad Tohari. Jakarta: Berita Buana, 1985. ______. Sastra Religius Ahmad Tohari dalam Ideologi Islam. Jakarta: Harian Republika, 2003. Carapedia, Pengertian dan Definisi Sosial Menurut Para Ahli, 2013, (http://Pengertian dan Definisi Sosial Menurut Para Ahli - Ilmu Pengetahuan - CARApedia.htm). diakses pada 19 September 2013. “Pengertian Sosial”, 2013, (http://SOSIAL pengertian sosial.htm). diakses pada 19 September 2013.

LAMPIRAN

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

Satuan Pendidikan : SMA Kelas/Semester : XII/2 Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia Topik : Komunikasi dalam Kehidupan Alokasi Waktu : 2 jam pelajaran

A. Kompetensi Inti 1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. 2. Menghayati dan mengamalkan perlaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan proaktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia. 3. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan mintanya untuk memecahkan masalah. 4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan.

B. Kompetensi Dasar 1. Menunjukkan perilaku jujur, peduli, santun, tanggung jawab dalam penggunaan bahasa Indonesia untuk memahami dan menyajikan hasil analisis teks novel. 2. Memahami struktur dan kaidah teks novel baik melalui lisan maupun tulisan. 3. Mengembangkan sikap apresiatif dalam menghayati karya sastra.

C. Indikator 1. Memiliki sikap tanggung jawab peduli, responsif, dan santun dalam menggunakan bahasa Indonesia untuk menganalisis teks novel baik melalui lisan maupun tulisan. 2. Menganalisis struktur dan kaidah teks novel baik melalui lisan maupun tulisan. 3. Mampu mengembangkan sikap apresiatif dalam menghayati karya sastra.

E. Tujuan Pembelajaran 1. Setelah proses pembelajaran siswa memiliki sikap tanggung jawab, peduli, responsif, dan santun dalam menggunakan bahasa Indonesia untuk menganalisis novel baik melalui lisan maupun tulisan. 2. Siswa mampu menganalisis struktur teks novel dalam bahasa Indonesia secara lisan maupun tulisan. 3. Siswa mampu mengembangkan sikap apresiatif dalam menghayati karya sastra.

1. Materi Pembelajaran 1. Penjelasan mengenai struktur teks novel  Tema  Tokoh dan Penokohan  Alur  Latar tempat, waktu, suasana, dan sosial.  Sudut pandang dan penyudutpandangan.  Gaya bahasa 2. Interpretasi makna teks novel  Membaca teks novel  Menulis hasil analisis teks novel  Menyampaikan hasil analisis teks novel secara lisan.

2. Alokasi waktu 2 x 45 Menit

3. Strategi/Metode/Pendekatan Pembelajaran Metode: eksplorasi, elaborasi, konfirmasi.

4. Kegiatan Pembelajaran

KEGIATAN DESKRIPSI KEGIATAN ALOKASI WAKTU Pendahuluan 1. Siswa merespon salam dan 15 pertanyaan dari guru berhubungan dengan kondisi dan pembelajaran sebelumnya. 2. Siswa menerima informasi tentang keterkaitan pembelajaran sebelumnya dengan pembelajaran yang akan dilaksanakan. 3. Siswa menerima informasi kompetensi, materi, tujuan, dan langkah pembelajaran yang akan dilaksanakan.

Inti 60 Mengamati:  Membaca teks tentang struktur dan kaidah teks novel.  Mencermati uraian yang berkaitan dengan struktur dan kaidah teks novel.

Mempertanyakan  Tanya jawab tentang hal-hal yang berhubungan dengan isi bacaan.

Mengeksplorasi:  Mencari dari berbagai sumber informasi tentang struktur dan kaidah teks novel.

Mengasosiasikan:  Mendiskusikan tentang struktur dan kaidah teks novel.  Menyimpulkan hal-hal terpenting

dalam struktur dan kaidah teks novel.

Mengomunikasikan:  Menuliskan laporan kerja kelompok tentang struktur dan kaidah teks novel.  Membacakan hasil kerja kelompok di depan. kelas, dan siswa lain memberikan tanggapan.  Menginterpretasi makna teks novel baik secara lisan maupun tulisan.

Kegiatan Penutup  Siswa bersama guru menyimpulkan 15 pembelajaran  Siswa melakukan refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilakukan.  Siswa dan guru merencanakan tindak lanjut pembelajaran untuk pertemuan selanjutnya.

5. Sumber/Media Pembelajaran a. Sumber : Buku teks bahasa Indonesia SMA Kelas XII. Buku referensi lain yang menunjang materi struktur dan kaidah teks novel. Novel Kubah karya Ahmad Tohari. b. Media : Teks novel.

6. Penilaian Proses dan Hasil Belajar Indikator Pencapaian Kompetensi Teknik Penilaian Bentuk Instrumen a. Menggunakan bahasa Indonesia Penilaian Observasi Lembar penilaian sesuai dengan kaidah dan konteks sikap untuk mempersatukan bangsa.

b. Memiliki sikap tanggung jawab 1. Penilaian Observasi 1. Tes tertulis. peduli, responsif, dan santun dalam kinerja penulisan menggunakan bahasa Indonesia laporan. untuk menganalisis teks novel melalui lisan maupun tulisan dengan kreatif. c. Menganalisis struktur dan kaidah teks novel dalam bahasa bahasa

Indonesia baik secara lisan maupun tulisan.

d. Mengembangkan sikap apresiatif 1. Latihan 1. Lembaran dalam menghayati karya sastra. menginterpretasi tugas latihan. makna teks novel.

7. Pedoman Penskoran 1. Jelaskan tema dalam teks novel dengan menyertakan kutipannya! No Nama Kelompok Aspek Skor Tepat dan disertai kutipan. 5 Tepat dan tidak disertai kutipan. 4 Kurang tepat dan disertai kutipan. 3 Kurang tepat dan tidak disertai 2 kutipan.

2. Jelaskan tokoh dan penokohan dalam teks novel dengan menyertakan kutipannya! No. Nama Kelompok Aspek Skor Tepat dan disertai kutipan. 5 Tepat dan tidak disertai kutipan. 4 Kurang tepat dan disertai kutipan. 3 Kurang tepat dan tidak disertai 2 kutipan.

3. Jelaskan bagaimana alur dalam teks novel dengan menyertakan kutipannya! No. Nama kelompok Aspek Skor Tepat dan disertai kutipan 5 Tepat dan tidak disertai kutipan 4

Kurang tepat dan disertai kutipan 3 Kurang tepat dan tidak disertai 2 kutipan

4. Jelaskan macam-macam latar dalam teks novel dengan menyertakan kutipannya! No. Nama kelompok Aspek Skor Tepat dan disertai kutipan 5 Tepat dan tidak disertai kutipan. 4 Kurang tepat dan disertai kutipan. 3 Kurang tepat dan tidak disertai 2 kutipan.

5. Jelaskan bagaimana sudut pandang dan penyudutpandangan dalam teks novel dengan menyertakan kutipannya!. No. Nama kelompok Aspek Skor Tepat dan disertai kutipan. 5 Tepat dan tidak disertai kutipan. 4 Kurang tepat dan disertai kutipan. 3 Kurang tepat dan tidak disertai 2 kutipan.

Jakarta, 15 April 2014

Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia

BIOGRAFI PENULIS

Siti Humaeroh Miladiyah, atau biasa dipanggil Mila. Dia adalah anak pertama dari tiga bersaudara, lahir di Tangerang, 29 September 1990 dari pasangan Bapak Nasruddin dan Ibu Sopiah. Gadis berzodiak Libra ini menuntaskan pendidikan dasarnya di SDN Priyang II Tangerang, lalu melanjutkan sekolahnya di Mts. Raudlatu Irfan, Tangerang. Kemudian melanjutkan ke MA Daarut Tafsir, Bogor. Setelah itu melanjutkan jenjang pendidikan S1 di salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia yaitu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2009. Semasa kuliah, ia bekerja sebagai tenaga pendidik di salah satu tempat bimble daerah Pondok Betung, Bintaro. Gadis berdarah sunda ini memiliki hobi membuat kaligrafi. Beberapa penghargaan telah diraihnya semenjak duduk di kelas VII MTs. Selain itu, ia juga sebagai pengajar kaligrafi disalah satu TPA daerah Tangerang Selatan. Gadis yang sangat mencintai keluarga ini memiliki pandangan hidup “Innallaha Ma’ash Shoobiriin”.