PEMIMPIN NON MUSLIM DALAM PANDANGAN DKI (Studi Kasus Gubernur Non-Muslim di DKI Jakarta)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh : MUHAMAD ALI ZAKI NIM : 1113045000003

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017 M / 1438 H i ii iii ABSTRAK Muhamad Ali Zaki, Pemimpin Non-Muslim dalam Pandangan Nahdlatul Ulama DKI Jakarta (Studi Kasus Gubernur Non-Muslim di DKI Jakarta). Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta terhadap pemimpin non-Muslim baik itu pengurus pada tataran Tanfidziyah maupun Syuriyah. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif berupa kajian studi kasus (field research), sehingga metode pengumpulan data dengan cara interview atau wawancara dan ditambah dengan dokumen seperti buku, jurnal, skripsi, serta artikel. Adapun metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan politik. Sumber data primer penelitian ini adalah al-Qur’an dan Hadits serta hasil wawancara, sedangkan sumber data sekundernya adalah, buku, jurnal, serta artikel-artikel melalui informasi media internet. Temuan penelitian menunjukkan bahwa Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta, pada tataran Tanfidziyah maupun Syuriyah mayoritas menolak pemimpin non-Muslim dengan merujuk kepada hasil Putusan Muktamar Lirboyo 1999, hanya sebagian kecil pendapat yang membolehkan memilih non- Muslim dengan alasan bahwa dalam konteks Pilkada pemilihan Gubernur DKI Jakarta adalah prosesi pemilihan pemimpin yang lebih dilihat kinerja yang baik dan berintegritas tanpa melihat latar belakang agama. Paradigma berfikir ala integralistik masih cukup besar mempengaruhi pola pikir mayoritas pengurus PWNU DKI Jakarta, hal ini terbukti dengan pandangan bahwa seorang pemimpin memiliki fungsi menjalankan agama dan mengatur urusan politik, sehingga dalam menentukan sikap memilih pemimpin mempertimbangkan latar belakang agama. Paradigma pemikiran ala sekuleristik juga terlihat mempengaruhi sebagian kecil pengurus PWNU DKI Jakarta dalam menyatakan pandanganya terhadap pemimpin non-Muslim. Ini terbukti dengan adanya upaya untuk keluar dari lingkar agama dan lebih mengutamakan kinerja, integritas dan keadilan yang ada pada kepemimpinan non-Muslim. Kata kunci : Pemimpin Non-Muslim, Pilkada DKI Jakarta, Darurat, Nahdlatul Ulama DKI Jakarta Pembimbing : Dr. Khamami Zada, SH, MA, MDC Daftar pustaka : Tahun 1967 s.d 2015

iv ﺑِﺴْـــــــــﻢِ اﻟﻠﱠـــــــﻪِ اﻟﺮﱠﺣْﻤَـــــــﻦِ اﻟﺮﱠﺣِ ﻴــــــــﻢِ KATA PENGANTAR

Segala puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Tuhan semesta alam yang telah menciptakan manusia, alam semesta beserta hukum- hukumnya, dengan rahmat dan hidayah-Nya dan dengan segala pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dalam bentuk skripsi ini. Shalawat dan salam penulis kirimkan kepada junjugan kita, Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabat-sahabatanya, serta para pengikut-pengikutnya yang istiqomah hingga hari akhir kelak.

Skripsi ini berjudul “Pemimpin Non-Muslim dalam Pandangan

Nahdlatul Ulama DKI Jakarta”. Temuan ilmiah skripsi ini menunjukkan bahwa mayoritas pengurus Pwnu DKI Jakarta menolak pemimpin non-Muslim dengan merujuk kepada hasil Putusan Muktamar Lirboyo 1999, hanya sebagian kecil pendapat yang membolehkan memilih non-Muslim dengan alasan bahwa dalam konteks Pilkada pemilihan Gubernur DKI Jakarta adalah prosesi pemilihan pemimpin yang lebih dilihat kinerja yang baik dan berintegritas tanpa melihat agama dan keyakinan. Pemikiran ala klasik dan paradigma integralistik dominan mempengaruhi pemikiran pengurus PWNU DKI Jakarta, baik pada tataran

Tanfidzhiyah maupun Syuriyah.

Keberadaan skripsi ini dapat terselesaikan dengan berbagai kontribusi dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan tulus kepada:

v 1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang telah memberikan perhatian, dukungan, kontribusi

pemikiran dan pandangan terhadap upaya perkembangan mutu

mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada saat pelepasan KKN

2016, termasuk memberikan kontribusi positif kepada penulis secara

pribadi.

2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum, yang telah memberikan dukungan, perhatian, informasi terkait

penelitian dalam seminar-seminar dan kuliah umum yang khusus

diselenggarakan oleh Fakultas Syariah dan Hukum.

3. Ibu Dra. Hj. Maskufa, MA, Ketua Prodi Hukum Tata Negara (Siyasah)

yang telah memberikan dukungan, perhatian, kontribusi pemikiran,

catatan kritis serta saran terhadap draft proposal skripsi pada saat

seminar proposal skripsi.

4. Ibu Sri Hidayati, M.Ag, Wakil Ketua Prodi Hukum Tata Negara

(Siyasah) yang telah memberikan dukungan, kontribusi dan perhatian

lebih kepada seluruh mahasiswa Hukum Tata Negara, termasuk penulis

dalam proses penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak Dr. Khamami Zada, SH, MA, MDC, Pembimbing Skripsi, yang

telah meluangkan waktu, memberikan dukungan, memberikan

kontribusi pemikiran yang baru demi terselesainya skripsi ini. Beliau

sangat teliti, disiplin dan memiliki kepedulian tinggi atas penulis agar

selalu berusaha, bekerja keras, semangat, giat, tidak mudah putus asa,

vi dan kecermatan supaya terlahir hasil penelitian yang memiliki kualitas

terbaik. Beliau berpesan kalau dalam melakukan penelitian harus

menghasilkan karya yang baru dan keluar dari kebiasaan-kebiasaan

yang dilakukan oleh mahasiswa kebanyakan.

6. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, MA, Dosen Pembimbing

Akademik penulis yang telah memberikan dukungan dan konrtibusi

pemikiran terhadap draft proposal skripsi ini. Meskipun beliau memiliki

kesibukan yang luar biasa, tetapi masih menyempatkan hadir ke kampus

bertemu dengan penulis untuk memperlancar penyelesaian skripsi ini.

7. Bapak KH. Mahfudz Asirun, Rais Syuriyah Pwnu DKI Jakarta yang

telah meluangkan waktu kepada penulis untuk bisa diwancarai,

sehingga skripsi ini bisa terselesaikan.

8. Bapak KH. Dr. Samsul Ma’arif, Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU DKI

Jakarta yang telah meluangkan waktu kapan saja penulis inginkan untuk

wawancara, memberikan gambaran yang luas agar skripsi ini

teselesaikan dengan baik.

9. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Alm. Bakhtiar Tuangku Mudo dan

Ibunda Mariani, dengan ikhlas dan sabar mendoakan tiada henti untuk

penulis supaya sukses dalam menuntut ilmu. Meskipun ayahanda

sekarang tidak bisa menyaksikan penulis menyelesaikan studi strata satu

ini, maka keberhasilan ini penulis persembahkan untuk ayahanda

tercinta. Kepada brother and sister tercinta, Elvi Hendri Mardiyondri,

S.H.I, Mulyandri, S.Pd.i, Muhammad Ridwan, C. SH, Husni Fauziah,

vii Afifatul Husna, terima kasih atas dukungan, semangat, serta bantuanya

baik materil maupun materil.

10. Ustadz Andi Badren, S.Sy, yang telah memberikan saran dan masukan

terhadap kesuksesan penulisan skripsi ini, karena beliaulah memberikan

saran untuk mengangkat judul skripsi ini, serta juga membantu dalam

menerjemahkan kitab-kitab arab yang dikutip.

11. Ustadz Gustar Umam, S.s, yang telah ambil andil dalam proses

penyelesaian skripsi ini, ikut menerjemahkan kitab-kitab arab yang

dikutip, serta memotivasi penulis agar cepat-cepat diselesaikan.

12. Segenap rekan-rekan Hukum Tata Negara (Siyasah) Acep Mukhlis,

Dara Wahyuni dkk, Reza Fajri Hidayat, SH yang ikut membantu dalam

pengeditan skripsi ini, teman-teman seperjuangkan kosan al-Khilafah

Abel Herdi Deswan Putra dan Eric Hardiansyah yang keduanya calon

SH.

13. Segenap pihak yang memberikan kontribusi positif dalam bantuk

apapun, baik langsung maupun tidak langsung, baik moril maupun

materil kepada penulis, yang karena keterbatasan tidak dapat disebutkan

satu persatu.

Atas segala jasa dan bantuan dari semua pihak, penulis ucapkan terima kasih, semoga kontribusi mereka menjadi amal kebaikan di sisi Allah SWT, dan dipermudah segala urusannya. Penulis berharap, semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi segenap pihak. Amin Ya Rabb al-Alamin.

viii Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan- kekurangan. Untuk itu, saran dan kritikan yang kontruktif dari semua pihak sangat diharapkan oleh penulis. Atas saran dan kritikan tersebut, penulis ucapkan terima kasih.

Jakarta, 7 Juni 2017

Muhamad Ali Zaki

ix DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ...... i LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ...... ii LEMBAR PERNYATAAN ...... iii ABSTRAK ...... iv KATA PENGANTAR ...... v DAFTAR ISI ...... x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...... 1

B. Identifikasi Masalah ...... 11

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...... 12

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 13

E. Review Studi Terdahulu ...... 13

F. Metode Penelitian ...... 16

G. Sistematika Penulisan ...... 18

BAB II PEMIMPIN DALAM ISLAM

A. Pengertian, Syarat-Syarat dan Hukum Pemimpin dalam Islam ...... 20

B. Kepemimpinan Agama dan Politik ...... 32

C. Pandangan Para Ulama Klasik tentang Pemimpin Non-Muslim ...... 38

BAB III SEKILAS TENTANG NAHDLATUL ULAMA

A. Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama ...... 48

B. Garis Besar Pemikiran Nahdlatul Ulama ...... 53

C. Metode Penggalian Hukum Nahdlatul Ulama ...... 55

D. Pendekatan Dakwah Nahdlatul Ulama ...... 60

E. Nahdlatul Ulama dan Politik ...... 61

x BAB IV PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA DKI JAKARTA

TERHADAP PEMIMPIN NON MUSLIM

A. Pemimpin Non-Muslim dalam Putusan Muktamar Nahdlatul

Ulama Lirboyo Tahun 1999 ...... 64

B. Pro dan kontra Pemimpin Non-Muslim dalam Pandangan

PWNU DKI Jakarta ...... 71

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...... 85

B. Rekomendasi ...... 86

DAFTAR PUSTAKA ...... 87

LAMPIRAN ...... 92

xi BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama, sekaligus sebagai sebuah sistem kehidupan (way of life),

yaitu sistem yang menggabungkan antara ibadah dan siyasah (politik).1 Karena

peranannya dalam kehidupan manusia bukan sekedar untuk memberi petunjuk,

tetapi juga untuk memberikan pengaruh dan mengaplikasikan ajaran-ajarannya

dalam semua aspek kehidupan manusia. Menghindari kemungkinan lahirnya

konflik, pertikaian, penindasan, peperangan, dan pembunuhan atau pertumpahan

darah yang pada giliranya nanti bisa berimplikasi pada terjadinya kehancuran sendi-

sendi kehidupan serta agar kehidupan dalam masyarakat dapat berjalan dengan

baik, tertib, damai, teratur maka perlu dipilih seorang pemimpin yang akan

memandu rakyat menggapai segala manfaat sekaligus menghindarkan mereka dari

berbagai mafsadat.2

Seorang Muslim tidak dapat mengatur kehidupannya sesuai dengan aturan

Islam kecuali jika ada pemimpin yang melindunginya sehingga terjamin keamanan

diri dan agamanya. Itulah sebabnya kepemimpinan dalam Islam merupakan prinsip

yang sangat penting dan mendasar bahkan dikatakan sebagai kewajiban.3 Mahmud

1 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Kencana, 2014, Cet. Pertama) h. 150. Khamami Zada dan Arif Arofah, Diskursus Politik Islam, (Jakarta: LSIP, 2004), h. 1.

2 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006) h. 15.

3 Abdul Wahab Khallaf, Politik Hukum Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005) h. 59.

1 2

Abdul al-Majid al-Khalidi menjelaskan bahwa kewajiban mewujudkan kepemimpinan merupakan kewajiban dalam agama dan bagian aktifitas taqarrub untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karena perintah taat kepada pemimpin, itu juga merupakan perintah Allah untuk mewujudkan kepemimpinan, serta agama tidak akan tegak tanpa kepemimpinan.4 Sehingga lahir ungkapan dari Imam Al-

Ghazali yang menyatakan bahwa agama adalah asas sedangkan kekuasaan adalah penjaga, sesuatu yang tidak mempunyai asas akan runtuh dan sesuatu yang tidak mempunyai penjaga akan hilang.

Oleh karena itu, Islam memerintahkan untuk memilih seorang pemimpin yang benar-benar mengerti kondisi serta ajaran-ajaran yang diyakini oleh umat

Islam. Konsekuensinya adalah yang memimpin bagi umat Islam harus dari kalangan umat Islam sendiri, karena jika seorang pemimpin dari kalangan Muslim akan menjalankan hukum-hukum syara’ atau hukum Islam.5Muhammad Iqbal, menjelaskan kepemimpinan Islam mempunyai fungsi religius dan politik dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.6 Sehingga seorang pemimpin harus menjankan kepemimpinanya untuk mengurus urusan keduniaan umat dan menjalankan agama serta aturan agama Islam itu sendiri. Inilah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw dan diikuti oleh para khalifah Khulafa ar-Rasyidun.

4 Mahmud Abdul Majid al-Khalidi, Pilar-Pilar Sistem Pemerintahan Islam, (Bogor: Al- Azhar, 2013), Terj. Harits Abu Ulya, cet. 1, h. 410.

5 Mahmud Abdul Majid al-Khalidi, Pilar-Pilar Sistem Pemerintahan Islam, h. 411.

6 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. 150. 3

Hal yang menjadi alasan kepemimpinan umat Islam tidak boleh dipimpin oleh non-Muslim dalam pandangan fikih Klasik adalah, pertama karena non-Muslim tidak percaya terhadap kebenaran (agama) yang dianut oleh umat Islam, dan ketika berkuasa mereka bisa bertindak sewenang-wenang terhadap umat Islam, semisal mengusir umat Islam dari tanah kelahiranya, sebagaimana dulu non-Muslim pernah mengusir Nabi Muhammad SAW dari Makkah (QS al-Mumtahanah : 1). Kedua, non-Muslim sering mengejek dan mempermainkan agama yang dipeluk umat Islam

(QS al-Maidah : 57). Ketiga, non-Muslim tidak henti-hentinya menimbulkan kemudharatan bagi umat Islam, suka melihat umat Islam hidup susah dan mulut serta hati mereka menyimpan kebencian terhadap umat Islam (QS Ali Imran : 118).

Keempat, karena ketika telah berhasil menjadi penguasa atas umat Islam, non-

Muslim tidak akan memihak kepada kepentingan umat Islam (QS at-Taubah : 8), karena mereka tentu lebih memihak kepada kepentingan sesama non-Muslim.

Kelima, pada saat non-Muslim berkuasa, mereka dapat memaksa umat Islam untuk murtad dari agama Islam (QS Ali Imran :100). Maka dapat dikatakan bahwa non-

Muslim tidak layak dan haram untuk dijadikan pemimpin oleh umat Islam.7

Menjabatnya Basuki Tjahya Purnama menjadi Gubernur DKI Jakarta yang sebelumnya sebagai Wakil Gubernur menuai kontroversi dalam sebagian kalangan umat Islam khususnya yang tinggal di DKI Jakarta. Bila dilihat secara kasat mata ini adalah kecelakaan politik. Ini disebabkan terpilihnya Joko Widodo sebagai

Presiden RI yang pada sebelumnya menjabat Gubernur DKI Jakarta. Maka secara otomatis jabatan Gubernur digantikan oleh wakilnya, yaitu Basuki Tjahya Purnama.

7 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 71. 4

Jika Joko Widodo tidak mencalonkan diri sebagai presiden serta diperparah dengan terpilihnya menajadi presiden RI, tentu tidak terjadi kisruh pada umat Islam akibat

DKI Jakarta dipimpin oleh seorang yang beragama non-Muslim. Meskipun pada awalnya, ketika umat Islam mengetahui Wakil Gubenur DKI Jakarta adalah non-

Muslim juga terjadi penolakan, tetapi aksi itu tidak terlalu membesar.

Diskursus tentang pemimpin non-Muslim memang hal yang termasuk fenomenal dalam Islam. Pembahasan tentang pemimpin non-Muslim bukan hanya terjadi pada saat sekarang ini. Ulama-ulama dan intelektual Muslim sudah jauh- jauh hari sudah terlibat pembahasan tentang boleh atau tidaknya umat Islam dipimpin oleh orang non-Muslim. Meskipun diambil dari sumber yang sama yaitu al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW, tetap saja terjadi pro kontra. Tentu ini terjadi karena dipengaruhi oleh latar belakang keilmuan dan kepahaman mereka terhadap nash-nash agama serta kondisi sosial dan politik yang berkembang dalam dunia Islam.

Para ulama yang ada dalam fikih klasik mengharamkan atau melarang pemimpin non-Muslim terhadap umat Islam, mereka antara lain adalah, al-

Jashhash, al-Alusi, Ibn Arabi, Kiya al-Harasi, Ibnu Katsir, al-Shabuni , al-

Zamakhsyari, Ali al-Sayis, Thabathabai, al-Qurthubi, Wahbah al-Zuhaili, al-

Syaukani, at-Thabari, Sayyid Qutub, al-Mawardi, al-Juwaini, Abdul Wahab

Khallaf, Hasan al-Bana, al-Maududi dan Taqiyuddin an-Nabhani.8

Sedikit menyinggung pendapat ulama klasik seperti al-Jashshash berpendapat bahwa tidak boleh ada sedikit pun kesempatan dibuka oleh umat Islam bagi orang

8 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 79. 5

non-Muslim untuk berkuasa atas umat Islam, dan ikut campur dalam menangani sekecil apapun urusan internal umat Islam. Ibnu Katsir dalam menafsirkan salah satu ayat dalam al-Quran, yaitu surat Ali Imran ayat 28 mengatakan bahwa Allah melarang kepada hamba-hambanya yang beriman berteman akrab dengan orang- orang kafir atau menjadikanya sebagai pemimpin, dengan meninggalkan orang- orang yang beriman. Sebab jelas hal ini merupakan perwujudan cinta kasih umat

Islam terhadap non-Muslim. Siapa saja diantara umat Islam yang membangkang terhadap Allah dengan mengasihi musuh-musuh-Nya dan memusuhi para kekasih-

Nya, akan mendapatkan siksa-Nya.9

Dilarangnya umat Islam mengangkat non-Muslim menjadi pemimpin, dalam pandangan al-Zamakhsyari adalah logis, mengingat orang kafir adalah musuh umat

Islam. Pada prinsipnya tidak mungkin bagi seorang untuk mengangkat musuhnya menjadi pemimpinya.10Thabathabai juga mengatakan bahwa kaum kafir dalah musuh umat Islam. Senada dengan itu, Wahbah al-Zuhaili berpandangan bahwa

Allah melarang hambah-hambanya yang beriman untuk menjadikan orang-orang kafir menjadi pemimpin bagi umat Islam. Karena bila itu terjadi niscaya segala rahasia kaum muslimin dapat diketahui oleh non-Muslim.

Pembahasan tentang larangan non-Muslim dijadikan pemimpin untuk orang

Islam juga dibahas oleh ulama-ulama lainya seperti Ali as-Sayis, al-Juwaini, al-

Shabuni, al-Alusi, Sayyid Qutub, Hasan al-Bana serta Taqiyyuddin an-Nabhani.

Pada intinya menurut pandang para mereka bahwasanya Allah tidak membolehkan

9 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 97.

10 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 102. 6

umat Islam menjadikan orang-orang kafir atau non-Muslim dijadikan sebagai pemimpin umat Islam, karena dali-dalil tentang pelarangan ini jelas serta ayat-ayat

Al-Quran yang mengabarkan tentang hal itu sangat banyak melebihi perkara- perkara lain, seperti pembunuhan, zina, mencuri, minum khamar dan lain-lain.

Sedikit mengupas pandangan beberapa tokoh intelektual muslim liberal, mereka beranggapan bahwa non-Muslim boleh menjadi pemimpin untuk kaum

Muslimin. Mereka mencoba membongkar kekudusan Al-Quran dan Sunnah sebagaimana dalam pandangan ulama klasik yang mengharamkan pemimpin non-

Muslim. Serta beranggapan bahwa nash Al-Quran dan Hadits harus dapat dikontekstualisasikan sejalan dengan perkembangan sejarah umat Islam.11

Tokoh-tokoh yang yang membolehkan non-Muslim boleh memimpin kaum

Muslimin ini diantaranya, pertama Mahmoud Muhammad Thoha, intelektual muslim liberal asal Sudan, sorang insinyur, pendiri The Republican Brother, sebuah kelompok reformasi Islam di Sudan, pada tahun 1985 dieksekusi mati oleh Ja’far

Numeiri atas pandanganya yang menentang penerapan syariat Islam sebagai hukum di negara Sudan. Kedua, Abdullah Ahmed Al-Na’im, juga berkebangsaan Sudan, seorang ahli hukum, ia merupakan seorang murid Dari Mahmoud Muhammad

Thoha. Ketiga, Thariq Al-Bishri, intekektual Muslim liberal asal Mesir, seorang sejarawan. Keempat, Muhammad Sa’id Al-Ashmawi, intelektual Muslim asal

Mesir, seorang sarjana hukum yang mendapatkan penghargaan internasional dari komite pengacara untuk HAM yang berpusat di New York City.12

11 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 168.

12 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 140. 7

Salah satu pandangan Mahmoud Muhammad Thaha adalah, minoritas non-

Muslim memiliki persamaan hak dan status sebagaimana dinikmati oleh umat Islam termasuk menjadi seorang pemimpin. Menurutnya pandangan yang mengharamkan pemimpin non-Muslim (ulama klasik) tidak mampu memberikan representase demokratis yang proporsional kepada non-Muslim yang menjadi warga negara di negara mayoritas Muslim.13 Penulis melihat inti dari pandangan Mahmoud

Muhammad Thoha ini adalah bahwasanya non-Muslim memiliki peluang dan kesempatan yang sama dalam segala hal, sebagaimana peluang dan kesempatan yang diberikan kepada kaum mayoritas Muslim. Ketika kesempatan itu tidak dibuka peluangnya kepada non-Muslim, termasuk jadi pemimpin, maka ini akan menciderai ide kebebasan atau nilai demokrasi yang disanjung-sanjung.

Persamaan hak dalam setiap sistem demokrasi dianggap sebagai sebuah rukun inti, sebab ia mencakup hak-hak dan kebebasan-kebebasan mendasar bagi setiap individu.14 Maka termasuk di dalamnya hak berpoltik untuk dapat dipilih sebagai seorang pemimpin maupun hak untuk dapat memilih pemimpin yang sesui dengan pilihanya sendiri, tanpa unsur paksaan.

Terlepas dari pendapat yang menolak maupun yang membolehkan orang

Muslim dipimpin oleh non-Muslim sebagaimana yang sudah dipaparkan diatas, penulis merasa perlu mengkaji persoalan yang sama, seperti yang terjadi di DKI

Jakarta, di mana tejadi penolakan-penolakan dari sebagian umat Islam terhadap

13 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 140.

14 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, terj. Faturrahman A. Hamid, (Jakarta: Amzah, 2005), h. 228. 8

Gubernnur non-Muslim. Penolakan ini masih dilakukan dari hari-kehari bahkan semakin masif menjelang Pilkada DKI Jakarta. Aksi penolakan ini ada melalui turun ke jalan, membagikan selembaran, seminar-seminar, bahkan disapaikan pada saat ceramah dan khutbah pada shalat jumat. Yang apada intinya umat Islam diberikan sebuah arahan agar tidak memilih pemimpin yang non-Muslim.

Terjadinya penolakan-penolakan yang terhadap Gubernur non-Muslim di

DKI Jakarta tidak hanya dilakukan oleh individu-individu. Penolakan-penolakan terhadap pemimpin non-Muslim ini dilakukan juga oleh ormas-ormas Islam yang menyatakan sikap haram memilih pemimpin non-Muslim, sebut saja seperti Hizbut

Tahrir dan Front Pembela Islam. Dalam kedua ormas ini tidak ada perbedaan pendapat satu dengan yang lain terhadap pemahaman larangan memilih pemimpin non-Muslim. Kedua ormas ini sudah mulai dari bereaksi setelah bangku

Gubernur ditinggalkan oleh Joko Widodo yang terpilih serta diangkat menjadi

Presiden RI. Setelah bangku Gubernur DKI Jakarta ditinggal oleh Joko Widodo maka secara otomatis yang menggantikan baliau adalah wakilnya, yaitu Basuki

Tjahya Purnama alias Ahok yang beragama non-Muslim. Bahkan Majelis Ulama

Indonesia sebagai lembaga yang diduduki oleh ulama-ulama yang kompeten dalam keislaman terang–terangan mengeluarkan fatwa bahwa umat Islam dilarang memilih pemimpin non-Muslim. MUI menegaskan bahwa seorang Muslim harus memilih pemimpin Muslim.15

15 http://m.republika.co.id./berita/pemilu/hot-politic/14/03/21n2siql-mui-muslim-jangan- memilih-pemimpin-nonmuslim. Diakses pada tanggal 26 April 2017. 9

Kemudian dari pada itu sebagai ormas Islam yang memiliki masa terbesar di

Indonesia,16 yaitu Nahdaltul Ulama (NU) belum menyatakan sikap secara keorganisasian terhadap polemik Gubernur non-Muslim di DKI Jakarta, baik itu pernyataan dibolehkan atau tidak dibolehkan, meskipun secara individu, tokoh- tokoh Nahdlatul Ulama mengeluarkan pendapat terhadap Gubernur non-Muslim.

Pandangan para tokoh-tokoh ini pun secara kasat mata terlihat berbeda antara satu dengan yang lain. Ada di antara tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama yang mengambil sikap netral terhadap persoalan Gubernur non-Muslim, ada juga tokoh yang melarang memilih Gubernur non-Muslim dan ada juga membolehkan bahkan mendukungnya.

Salah satu tokoh Nahdlatul Ulama yang melarang memilih pemimpin non-

Muslim adalah KH. Shalahuddin Wahid (Gus Sholah), ia merupakan adik kandung dari KH. (Gus Dur). Ia menegaskan bahwa keputusan

Muktamar lembaga tertinggi Nahdaltul Ulama melarang Muslim memilih pemimpin non-Muslim.17 Pendapat ini berdasarkan keputusan Muktamar ke-30

Nahdlatul Ulama di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, 21-17 November 1999.

Di samping itu, tokoh Nahdlatul Ulama yang membolehkan pemimpinn non-

Muslim adalah Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya PBNU, yang juga dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rumadi Ahmad. Rumadi menjelaskan bahwa kepemimpinan dan pemilu selalu jadi masalah bagi pemilih

16 Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU Buku I: Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah, (Surabaya: Khalista, 2007), cet. Ke- 1, h. 11

17 www.jurnalmuslim.com. Diakses pada tanggal 26 April 2017, pukul 21. 30 wib. 10

beragama Islam, sebab ada teks yang mengaturnya. Ia berpendapat bahwasanya teks itu pula yang dijadikan rujukan dan senjata untuk keuntungan politik. Bahkan lebih lanjut konteks dibalik teks ini adalah peperangan pada masa lampau. Menurut

Rumadi, bagi orang Nahdlatul Ulama tidak ada lagi peperangan, karena sekarang masa perdamaian. Maka jika merujuk kepada ayat tersebut untuk keharaman pemimpin non-Muslim itu tidak relevan.18 Ini hanya sebagian kecil contoh perbedaan pendapat yang terjadi di tubuh Nahdlatul Ulama.

Dengan adanya perbedaan pendapat yang kontra ini, penulis merasa bahwa ini perlu dikaji dan diteliti lebih mendalam untuk menemukan titik temu persoalan.

Bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama terhadap persoalan pemimpin non-

Muslim, dan apa penyebab muncul perbedaan pendapat di antara tokoh-tokoh

Nahdlatul Ulama sediri. Padahal seharusnya sebuah organisasi memiliki tata aturan yang disebut dengan AD/ART yang menjadi acuan organisasi dalam menetapkan suatu persoalan dan harus diikuti oleh semua anggota. Terlebih lagi di DKI Jakarta penduduknya merupakan mayoritas beragama Islam, bahkan ormas Islam terbesar di Indonesia ini memiliki massa yang banyak di DKI. Dengan adanya perbedaan pendapat diantara tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama terhadap pemimpin non-Muslim, menurut penulis tentu memberikan efek kebingungan kepada umat Islam DKI

Jakarta, terutama massa Nahdlatul Ulama.

18http://megapolitan.kompas.com/read/2016/09/15/16462071/pbnu.merujuk.ke.fatwa.199 9.tentang.pemimpin.non-muslim diakses pada tanggal 26 April 2017, pukul 21.00 wib. 11

Dengan melihat latar belakang di atas, maka penulis terdorong dan

termotivasi untuk melakukan penelitian, dengan judul “Pemimpin Non Muslim

dalam Pandangan Nahdlatul Ulama DKI Jakarta”. Penelitian ini adalah studi

kasus terhadap Gubernur non-Muslim di DKI Jakarta.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah penulis paparkan di atas,

maka dapat diidentifikasikan menjadi beberapa poin berikut ini:

1. Bagaimana pengaplikasian konsep pemahaman fikih klasik dengan realita

politik kekinian yang ada di Indonesia?

2. Bagaimana Konstitusi Negara Republik Indonesia dalam mengatur hak warga

negara untuk menjadi seorang pemimpin atau pejabat negara?

3. Bagaimana pandangan HAM (Hak Asasi Manusia) terhadap problematika

pemimpin non-Muslim di negeri mayoritas pemeluk Islam?

4. Apakah faktor pendukung terpilihnya pemimpin non-Muslim di negeri

mayoritas Islam?

5. Bagaimana pandangan konsep negara modern terhadap pemimpin non-

Muslim?

6. Sejauh mana pengaruh ormas Islam moderat dan ormas Islam fundamental

dalam mengedukasi mayarakat Islam DKI Jakarta terhadap pemimpin non-

Muslim?

7. Bagaimana peran strategis yang seharusnya diambil oleh ormas Islam dan

Mejelis Ulama Indonesia terkait pemimpin non-Muslim di negeri mayoritas

Islam? 12

8. Bagaimana peran pemerintah dalam menindak lanjuti kasus pemimpin non-

Muslim yang menjadi pelemik dalam masyarakat Muslim di DKI Jakarta?

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Pembahasan tentang pemimpin non-Muslim ini sangat luas dan menuai

berbagai macam pro dan kontra, karena setiap orang memiliki pandangan berbeda

dan penafsiran berbeda terhadap nash Al-Quran maupun hadits tentang perkara ini.

Dengan luasnya kajian terhadap pemimpin non-Muslim dan tidak mungkin dapat

dipecahkan dalam satu penelitian kali ini, maka perlu dibuat batasan masalah, yakni

masalah yang menuntut adanya pemecahan dengan segera dan berada dalam

jangkauan peneliti dari sudut ilmu pengetahuan, waktu dan biaya serta fasilitas-

fasilitas lainya. Pembahasan ini terfokus pada pandangan Nahdlatul Ulama pada

tataran Pengurus Wilayah Provinsi DKI Jakarta, yaitu Syuriyah yang terdiri dari

ulama pilihan serta berfungsi sebagai pembina, pengendali, pengawas dan penentu

kebijakan dalam organisasi Nadhlatul Ulama dan Tanfidziyah sebagai pelaksana

dari kebijakan yang dikeluarkan oleh Syuriyah.

2. Perumusan Masalah

Melihat judul penelitian tersebut maka penulis perlu membuat rumusan

masalah yang dianggap penting yang akan dicari jawabanya dalam penelitian ini.

Rumusan masalahnya adalah bagaimana pandangan Nahdaltul Ulama DKI Jakarta

tentang pemimpin non-Muslim? 13

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti, yaitu

untuk mengetahui pandangan Nahdlatul Ulama DKI Jakarta terhadap pemimpin

non-Muslim.

2. Manfaat Penelitian

Adapun dari segi manfaat yang hendak dicapai penulis dalam penulisan ini

adalah sebagai berikut:

a. Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk memberikan informasi dan

kontribusi bagi kalangan intelektual, akademisi dan masyarakat umum

yang ingin tahu lebih lanjut tentang bagaimana pemahaman Nahdlatul

Ulama terhadap pemimpin non-Muslim

b. Secara penelitian, tulisan ini juga bertujuan untuk menambah khazanah

keilmuan, terutama politik Islam bagi mahasiswa/mahasiswi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya

Fakultas Syariah dan Hukum.

E. Review Studi Terdahulu

Penulis menemukan beberapa judul penelitian yang sebelumnya pernah

ditulis dan berkaitan dengan judul skripsi yang penulis teliti ini. Dari beberapa

penelitian sebelumnya, penelitian tersebut memiliki berbagai perbedaan antara

judul, batasan masalah, pokok permasalahan, serta sudut pandang dengan skripsi

penulis. Adapun penelitian yang ada sebelumnya adalah sebagai berikut: 14

Mujar Ibnu Syarif dalam bukunya yang berjudul “Presiden Non Muslim Di

Negara Muslim: Tinjauan dari Prespektif Politik Islam dan Relevansinya dalam

Konteks Indonesia”, menjelaskan panjang lebar mengenai kontroversi mengenai presiden non-Muslim di negara mayoritas Islam, serta mengemukakan kelompok yang pro dan kontra terhadap pemimpin non-Muslim. Pada akhirnya penulis mencoba menarik konteks dan relevansi pemimpin non-Muslim di Indonesia.19

M. Suryadinata dalam “Kepemimpinan non-Muslim dalam Al-Quran:

Analisis terhadap Penafsiaran FPI Mengenai Ayat Pemimpin non-Muslim”, menjelaskan penafsiran FPI terhadap ayat-ayat pemimpin non-Muslim, yaitu melarang memilih pemimpin non-Muslim. Kemudian juga dijelaskan penafsiran

FPI terhadap ayat-ayat mengenai ketaatan terhadap pemimpin atau pemerintah non-

Muslim. Dalam tulisan ini juga menjelaskan penafsiran FPI dalam kaca mata

Khaled Abou el-Fadl dan Abdullah Saeed. Di akhir tulisan ini penulis mnyimpulkan bahwa FPI cendrung tekstualis dalam menafsirkan ayat Al-Quran tanpa memperhatikan makna lain serta percaya pada teks semata.20

Wahyu Naldi dalam “Penafsiran terhadap Ayat-Ayat Larangan Memilih

Pemimpin non-Muslim dalam Al-Quran: Studi Komparasi antara M.Quraish

Shihab dan Sayyid Qutub”, menjelaskan persamaan dan perbedaan penafsiaran M.

Quraish Shihab dengan Sayyid Qutub serta relevansinya terhadap konteks

19 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, Buku oleh dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Tahun 2006.

20 M. Suryadinata, “Pemimpin Non-Muslim Dalam Al-Quran: Analisis Terhadap Penafsiran FPI Mengenai Ayat Pemimpin Non-Muslim”, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Ilmu Ushuluddin, Vol. 2, No. 3, Tahun 2015. 15

Indonesia. Akhir dari tulisan ini, penulis menyimpulkan bahwa Sayyid Qutub lebih kepada pergerakan yang dibungkus dengan bahasa sastra dan cendrung tegas bahkan keras serta menafsirkan ayat-ayat Al-Quran cendrung tekstualis. Dibanding dengan Quraish Shihab lebih terbuka, penuh toleran serta memahi ayat-ayat Al-

Quran lebih holistik dan kontekstualis.21

Marzuki dalam “Memilih Pemimpin yang Benar Perspektif Islam”, menjelaskan bahwa jika calon pemimpin semuanya Muslim, maka yang dipilih adalah yang terbaik. Jika calon pemimpin dari Muslim buruk dan ada calon pemimpin yang baik tapi non-Muslim, maka harus memilih pemimpin Muslim walaupun buruk, karena dalam pandangan Islam kedua calon memiliki kekurangan

(tidak baik), sehingga yang dipilih adalah yang minim kekuranganya dengan pertimbangan bahwa membuat orang buruk menjadi baik lebih mudah dibanding membuat orang non-Muslim menjadi Muslim. Namun jika semua calon pemimpin non-Muslim, maka harus ada patokanya, kalau untuk kemaslahatan individu maka golput lebih baik, namun jika untuk kemaslahatan bersama (bangsa dan negara) maka pilihlah salah satu calon non muslim tersebut.22

21 Wahyu Naldi, “Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Larangan Memilih Pemimpin Non- Muslim Dalam Al-Quran: Studi Komparatif M. Quraish shihab dan Sayyid Qutub”, Skripsi Jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun 2015.

22 Marzuki, “Memilih Pemimpin Yang Benar Perspektif Islam”, Artikel dosen PKN dan Hukum Universitas Negeri Yogyakarta. 16

Meskipun pada penelitian-penelitian yang terdahulu membahas tentang tema

pemimpi non-Muslim, namun penelitian ini penulis fokus meneliti bagaimana

pandangan PWNU DKI Jakarta terhadap pemimpin non-Muslim, dan juga

penelitian ini adalah fokus pada konteks pilkada DKI Jakarta. Sehingga penelitian

memiliki perbedaan dengan penelitian sebelumnya pada tataran masalah dan objek

yang menjadi kajian.

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian yang penulis lakukan ini, penulis memaparkan hasil

penelitian ini secara kualitatif dengan data yang diperoleh terkait bagaimana

pandangan Nahdlatul Ulama DKI Jakarta terhadap pemimpin non-Muslim dengan

studi kasus Gubernur non-Muslim yang terjadi di DKI Jakarta.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan politik.

Proses pergantian kekuasan atau pemilihan pemimpin merupakan aktifitas politik

bernegara serta tidak terlepas dari unsur kepentingan, maka penulis akan

memaparkan bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama DKI Jakarta dalam

memandang soal kepemimpinan non-Muslim dalam konteks perpolitikan yang

sedang berkembang di negara Indonesia.

2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data

Sumber data yang digunakan adalah studi lapangan (field research), yaitu

suatu cara pendekatan dengan cara terjun langsung ke lapangan untuk mendapatkan

data yang dibutuhkan. Untuk menambah data yang dibutuhkan, penulis mencoba

menggunakan tiga sumber data, yaitu: 17

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama dan

otentik, yaitu hasil dari wawancara dengan Pengurus Wilayah Nahdlatul

Ulama (PWNU) DKI Jakarta pada tataran ulama Tanfidziyah dan

Syuriyah, yaitu Samsul Ma’arif Sebagai Wakil Tanfidziyah dan Mahfudz

Asirun sebagai Rais Syuriyah. b. Data Sekunder

Data sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer yaitu Al-Quran dan Hadits, tulisan-tulisan, baik

dalam bentuk buku, jurnal, artikel maupun melalui informasi media

internet. c. Data Tersier

Data tersier adalah data yang memberikan petunjuk maupun arahan

terhadap data-data primer dan sekunder, yaitu berupa kamus ilmiah dan

buku pedoman penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Wawancara

Wawancara merupakan salah satu metode dalam pengumpulan data untuk

dapat memperoleh data & informasi dari narasumber secara lisan. Adapun

Proses wawancara dilakukan dengan cara tatap muka secara langsung

dengan narasumber, dalam hal ini wawancara dengan PWNU DKI Jakarta 18

baik Tanfidziyah maupun Syuriyah. Dalam proses wawancara interviewer

mengajukan beberapa pertanyaan, baik dengan meminta penjelasan atau

jawaban dari pertanyaan yang diberikan dan membuat catatan mengenai

hal-hal yang diungkapkan kepadanya.

b. Dukumen

Pengumpulan data yang diambil dari sejumlah besar fakta dan data

tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Seperti buku-buku,

jurnal, skripsi, artikel, maupun catatan-catatan.

3. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, penulis mengumpulan data-data yang diperlukan

dengan metode wawancara dan pengumpulan dokumen-dokumen dalam

meneliti bagaimana perspektif Nahdlatul Ulama DKI Jakarta terhadap pemimpin

non-Muslim.

Adapun dalam menganalisa data-data tersebut penulis menggunakan

metode deskriptif kualitatif yaitu tekni analisa data di mana penulis mengolah

dan memaparkan data-data yang diperoleh dari lapangan sehingga terlahirlah

sebuah kesimpulan yang memang dapat dipertanggung jawabkan secara

akademis.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok

penulisan proposal skripsi ini dan supaya memudahkan para pembaca dalam

mempelajari tata urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika

penulisan ini sebagai berikut: 19

BAB I Pendahuluan

Pada bab ini penulis membahas Latar Belakang, Pembatasan dan

Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Studi

Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II Kepemimpin dalam Islam

Pada bab II ini penulis membahas Pengertian, Hukum dan Syarat-

Syarat Pemimpin Dalam Islam, Kepemimpinan Agama dan Politik,

Pandangan Para Ulama Klasik tentang Pemimpin Non-Muslim.

BAB III Sekilas Tentang Nahdlatul Ulama

Pada bab III ini penulis membahas Sejarah Lahirnya Nahdlatul

Ulama, Garis Besar Pemikiran Nahdlatul Ulama, Metode

Penggalian Hukum Nahdlatul Ulama, Pendekatan Dakwah

Nahdlatul Ulama, Nahdlatul Ulama dan Politik.

BAB IV Pemahaman Nahdlatul Ulama Tentang Pemimpin Non-Muslim

Pada bab IV ini penulis akan memaparkan pandangan Nahdlatul

Ulama DKI Jakarta terhadap pemimpin non-Muslim.

BAB V Penutup

Pada bab IV ini penulis menguraikan kesimpulan dari bab-bab

sebelumnya serta memberikan rekomendasi mengenai pandangan

Nahdlatul Ulama DKI Jakarta terhadap pemimpin non-Muslim. BAB II KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM

A. Pengertian Pemimpin, Hukum dan Syarat Pemimpin dalam Islam

1. Pengertian Pemimpin dalam Islam

Definisi tentang pemimpin memiliki banyak variasi dan banyak yang

mencoba untuk mendefinisikan. Diantara lain, pemimpin adalah orang yang

memiliki segala kelebihan dari orang-orang lain. Pemimpin dalam pandangan orang

kuno adalah mereka yang dianggap paling pandai tentang berbagai hal yang ada

hubunganya kepada kelompok dan pemimpin harus pandai melakukanya (pandai

berburu, cakap dan pemberani berperang).1

Kata pemimpin dan kepemimpinan merupakan suatu kesatuan kata yang tidak

dapat dipisahkan baik secara struktur maupun fungsinya. Pemimpin dan

kepemimpinan adalah satu kesatuan kata yang mempunyai keterkaitan, baik dari

segi kata maupun makna. Maka pembahasan tentang masalah kepemimpinaan

sudah banyak dibahas tentang kepribadian dan sifat seorang pemimpin mulai dari

zaman Nabi hingga saat ini.2

Istilah kepemimpinan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari

kata “pimpin” yang mempunyai arti “dibimbing”. Sedangkan katra pemimpin itu

sendiri mempunyai makna orang yang memimpin.3 Sedangkan kepemimpinan

ditinjau dari segi bahasa, berasal dari leadership (kepemimpinan) yang berasal dari

1 Ngalim Purwanto dkk, Administrasi Pendidikan, (Jakarta: Mutiara, 1984), h. 38.

2 Ghalia Indonesia, Pemimpin dan Kepemimpinaan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1948), h.7.

3 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 967.

20 21

kata leader (pemimpin). Kata ini muncul sekitar tahun 1300-an. Sedangkan kata leadership muncul kemudian sekitar tahun 1700-an. Hingga pada tahun 1940-an, kajian tentang kepemimpinan didasarkan pada teori sifat. Teori ini terbatas hanya mencari sifat-sifat kepribadian, sosial, fisik atau intelektual yang membedakan antara pemimpin dan bukan pemimpin.4 Artinya, kepemimpinan itu dibawa sejak lahir atau bakat bawaan seseorang.

Siti Patimah, dengan mengutip pandangan Syarifuddin yang juga mengambil pendapat Rahman menjelaskan bahwa kerangka dasar dalam memahami konsep dasar dari berbagai teori kepemimpina menyebutkan bahwa sebutan kepemimpinan dalam khazanah Islam yaitu: khalifah, imam, dan wali.5 Pemimpin adalah seseorang yang diberi kedudukan tertentu dan bertindak sesuai dengan kedudukannya tersebut. Dalam konteks khalifah Allah SWT berfirman:

وَإِذْ ﻗَﺎلَ رَﺑﱡﻚَ ﻟِﻠْﻤَﻼَﺋِﻜَﺔِ إِﱐﱢ ﺟَﺎﻋِﻞُ◌ُ ﰲِ اﻷَرْضِ ﺧَﻠِﻴﻔَﺔً ﻗَﺎﻟُﻮا أَﲡَْﻌَﻞُ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻣَ ﻦ ﻳـُﻔْﺴِﺪُ ﻓِﻴﻬَﺎ وَﻳَﺴْﻔِﻚُ اﻟﺪﱢﻣَﺂءَ وَﳓَْﻦُ ﻧُﺴَﺒﱢﺢُ ﲝَِﻤْﺪِكَ وَﻧـُﻘَﺪﱢسُ ﻟَﻚَ ﻗَﺎلَ إِﱐﱢ أَﻋْﻠَﻢُ ﻣَﺎ ﻻَ ﺗـَﻌْﻠَﻤُﻮنَ (اﻟﺒﻘﺮة: ٠٣) Artinya: Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat:"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata:"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau". Rabbberfirman:"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (QS. al-Baqarah: 30)

4 Veithzal Rivai, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, (Jakarta: Raja Grafindo, 2003), h. 8

5 Siti Patimah, Manajemen Kepemimpinan Islam, (Bandung: Alfabeta Bandung, 2015), Cet. Pertama, h. 37 22

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah SWT menjadikan manusia sebagai khalifah atau pemimpin. Manusia diberikan amanah oleh Allah SWT untuk mengatur jagad raya ini, sedangkan makhluk Allah yang bernama malaikat merasa khawatir terhadap kepemimpinan manusia. Allah SWT berfirman “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Maka seorang pemimpin haruslah mempunyai ilmu khusus yang harus dimilikinya sehingga tidak akan mencelakakan dirinya dan orang lain.6

Kepemimpinan dalam Islam merupakan usaha menyeru manusia kepada amar ma’ruf nahi munkar, menyeru manusia untuk berbuat kebaikan dan mencegah manusia berbuat keburukan. Kepemimpinan Islam adalah perwujudan dari keimanan dan amal shaleh. Oleh karena itu, seorang pemimpin yang mementingkan kepentingan dirinya, kelompok, keluarga, kedudukan, dan hanya bertujuan untuk kebendaan, penumpukan harta, bukanlah kepemimpinan Islam7 yang sebenarnya, meskipun pemimpin tersebut beragama Islam dan berlabelkan Islam.

Di dalam Islam pemimpin kadang-kadang disebut imam, terkadang disebut khalifah. Secara harfiah, imam berasal dari kata amma, ya’ummu yang artinya menuju, menumpu, dan meneladani. Ini berarti seorang imam atau pemimpin harus harus selalu di depan guna memberi keteladanan atau kepeloporan dalam segala bentuk kebaikan. Disamping itu, pemimpin disebut juga dengan khalifah yang berasal dari kata khalafa yang berarti di belakang, karenanya khalifah dinyatakan

6 Siti Patimah, Manajemen Kepemimpinan Islam, h. 38.

7 Siti Patimah, Manajemen Kepemimpinan Islam, h. 38. 23

sebagai pengganti, karena mememang pengganti itu di belakang atau datang sesudah yang digantikan.

2. Syarat- Syarat Pemimpin dalam Islam

Sebelum lebih jauh membahas tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang pemimpin dalam perspektif Islam, penulis ingin menjelaskan secara singkat tentang istilah pemimpin yang ada dalam al-Qur’an. Dalam buku al-Qur’an dan Kenegaraan:Tafsir al-Qur’an Tematik, kata pemimpin dalam al-Qur’an terdapat dalam enam macam, yaitu khalifah, amir, ulul amr, imam,sultan, mulk, dan awliya.8 Semua kata tersebut memiliki makna yang sepadan, tapi sekaligus perbedaan dari segi penafsiran atau penjelasan. Oleh karena itu, penulis hanya fokus kepada pembahasan kepemimpinan dalam Islam.

Dalam al-Qur’an dan Sunnah, ditemukan sebelas (11) syarat pemimpin dalam

Islam sebagaimana yang dijelaskan oleh Mujar Ibnu Syarif.9 Namun dalam tulisan ini penulis hanya menjelaskan enam syarat yang paling dominan atau yang utama.

Keenam syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut: pertama, harus beragama

Islam. Syarat ini antara lain ditemukan dalam ayat 59 surat al-Nisa yang berbunyi sebagai berikut:

ﻳَﺎأَﻳـﱡﻬَﺎ اﻟﱠﺬِﻳﻦَ ءَاﻣَﻨُﻮا أَﻃِﻴﻌُﻮا اﷲَ وَأَﻃِﻴﻌُﻮا اﻟﺮﱠﺳُﻮلَ وَأُوْ ﱃِ اْﻷَﻣْﺮِ ﻣِﻨﻜُ ﻢْ (اﻟﻨﺴﺎء : ٩٥)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan ulil amri (pemimpin) dari kalanganmu sendiri”(Q.S. al-Nisa : 59 ).

8 Muhammad Abd al-Jawwad, Trik Cerdas Memimpin Cara Rasulullah, ter. Abdurrahman Jufri, (Solo: Pustaka Iltizam, 2009), h. 10.

9 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006) h. 33. 24

Syarat pemimpin harus beragama Islam itu, disimpulkan dari kata “minkum” yang termaktub pada akhir ayat di atas, yang oleh para pendukung syarat ini (ﻣِﻨﻜُﻢْ ) selalu ditafsirkan menjadi “minkum ayyuhalmuslimun”, yang berarti dari kalanganmu sendiri wahai orang-orang Muslim.

Senada dengan ayat di atas, Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Janganlah kamu mencari penerangan dari api kaum Musyrik”. (HR. al-

Nasa’i).

Kata nar (api) yang termaktub dalam hadits di atas merupakan simbol kekuatan10 atau kekuasaan yang tidak boleh diberikan umat Muslim kepada non-

Muslim. Sehingga dari hadits diatas juga dapat disimpulkan bahwa yang boleh menjadi penguasa atas umat Muslim hanyalah orang-orang Muslim juga, bukan orang-orang non-Muslim.

Syarat harus beragama Islam ini sangat penting dipenuhi oleh seorang pemimpin Islam, mengingat salah satu tugas utamanya adalah menerapkan syariat

Islam. Adalah suatu hal yang tidak logis bila tugas yang sangat penting ini diserahkan kepada non-Muslim, yang tidak percaya kepada syariat Islam.11 Maka secara otomatis penerapan syariat Islam akan sangat sulit untuk terealisasi serta semua kepentingan-kepentingan umat Islam akan sangat sulit untuk diwujudkan.

Justru kepentingan-kepentingan dari kalangan merekalah yang akan diutamakan.

10 Abdurrahman al-Baghdadi, Islam Menolak Bantuan Militer Negara Kafir, (Surabaya: Suara Bersama, 1990), h. 58.

11 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 34. 25

Kedua, harus seorang laki-laki. Syarat ini dapat ditemukan dalam surat al-

Nisa ayat 34 yang berbunyi sebagai berikut:

اﻟﺮﱢﺟَﺎلُ ﻗـَﻮﱠاﻣُ ﻮنَ ﻋَﻠَﻰ اﻟﻨﱢﺴَﺂءِ (اﻟﻨﺴﺎء ٤٣) Artinya: “kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita,...”(Q.S. al- Nisa : 34). Senada dengan ayat di atas Nabi Muhammad SAW bersabda:

ﻟﻦ ﻳﻔﻠﺢ ﻗﻮم وﻟّﻮااﻣﺮﻫﻢ اﻣﺮأة. (اﻟﺒﺨﺎرى ) Artinya: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang mengangkat seorang wanita sebagai pemimpinya”. (H.R. Bukhari). Hadits yang disebut di atas pertama kali dipopulerkan oleh Abu Bakrah, seorang mantan budak yang dihadapkan pada suatu kondisi yang sangat sulit, dimana ia dituntut untuk memilih antara mendukung Ali, Khalifah keempat dan suami Fatimah, anak kesayangan Nabi, atau mendukung Aisyah, istri Nabi, dan putri Abu Bakar, Khalifah pertama. Dalam posisi sulit ini, ketika dikonfirmasi

Aisyah mengenai bagaimana sikapnya yang sesungguhnya terhadap perjuangan

Aisyah dalam melakukan oposisi terhadap kekuasaan Khalifah Ali Bin Abi Thalib.

Secara diplomatis ia menjelaskan sikapnya dengan menyitir hadis tersebut.12

Sedikitnya ada empat alasan wanita tidak bisa menjadi seorang pemimpin.

Pertama, secara fitrah wanita dianggap tidak bisa memainkan peran politik semisal mengatur negara dan menjadi kepala pemerintah. Kedua, wanita dianggap tidak akan sanggup berkompetisi dengan pria. Ketiga, wanita memiliki kekurangan akal dan agama.13 Keempat, asumsi teologis bahwa wanita diciptakan lebih rendah dari

12 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 34-35.

13 Siti Patimah, Manajemen Kepemimpinan Islam, h. 65. 26

pada laki-laki.14 Menurut Mujar Ibnu Syarif, sepertinya alasan keempatlah yang menjadi dominan pengaruhnya.

Ketiga, harus sudah dewasa. Syarat ini dapat ditemukan dalam surat al-Nisa ayat 5 yang berbunyi sebagai berikut:

وَﻻَﺗـُﺆْﺗُﻮا اﻟﺴﱡﻔَﻬَﺂءَ أَﻣْﻮَاﻟَﻜُﻢُ اﻟﱠﱵِ ﺟَﻌَﻞَ اﷲُ ﻟَﻜُﻢْ ﻗِﻴَﺎﻣًﺎ وَارْزُﻗُﻮﻫُﻢْ ﻓِﻴﻬَﺎ وَاﻛْﺴُﻮﻫُﻢْ وَﻗُﻮﻟُﻮا ﳍَُﻢْ ﻗـَﻮْﻻً ﻣﱠﻌْﺮُوﻓًﺎ (اﻟﻨﺴﺎء : ٥ ) Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan,...(Q.S. al-Nisa : 5). Ayat di atas memberikan alasan kepada wali yatim agar jangan menyerahkan harta anak yatim yang berada di bawah pengampuanya untuk dikelolanya sendiri sebelum ia dewasa.15 Sebab sudah pasti anak yatim tersebut tidak akan mampu mengelola sendiri hartanya. Maka dari itu bila mengelola hartanya sendiri seorang yang belum dewasa dilarang, maka tentu ia lebih tidak diperbolehkan lagi untuk mengatur atau memimpin pemerintahan yang jauh lebih sulit dibanding mengatur dan mengelola sendiri harta kekayaanya. Kelompok Syiah Rafidhah yang membolehkan seorang yang belum dewasa menjadi pemimpin pemerintahan menurut Ibn Hazm, jelas merupakn pendapat yang keliru. Sebab seseorang yang belum dewasa masih belum terkena khitab untuk menjalankan tugas-tugas agama, sementara pemimpin pemerintahan sudah terkena khitab untuk menjalankan ajaran- ajaran agama.16

14 Asghar Ali Enginer, Hak-Hak Perempuan Dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 2.

15 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 36.

16 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 36. 27

Keempat, harus adil. Syarat ini antara lain dapat ditemukan dalam surat Shad ayat 26 yang berbunyi sebagai berikut:

ﻳَﺎدَاودُ إِﻧﱠﺎ ﺟَﻌَﻠْﻨَﺎكَ ﺧَﻠِﻴﻔَﺔً ﰲِ اْﻷَرْضِ ﻓَﺎﺣْﻜُﻢ ﺑـَﲔَْ اﻟﻨﱠﺎسِ ﺑِﺎﳊَْﻖﱢ وَﻻَﺗـَﺘﱠﺒِﻊِ اﳍَْﻮَى ﻓـَﻴُﻀِﻠﱠﻚَ ﻋَﻦ ﺳَﺒِﻴﻞِ اﷲِ (ص : ٢٦ ) Artinya: “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. (Q.S. Shad: 26). Senada dengan ayat diatas, Nabi Muhammad SAW bersabda:

ﻣَﺎ ﻣِﻦْ ﻋَﺒْﺪٍ ﻳَﺴْﺘـَﺮْﻋِﻴﻪِ اﻟﻠﱠﻪُ رَﻋِﻴﱠﺔً ﳝَُﻮتُ ﻳـَﻮْمَ ﳝَُﻮتُ وَﻫُﻮَ ﻏَﺎشﱞ ﻟِﺮَﻋِﻴﱠﺘِﻪِ إِﻻﱠ ﺣَﺮﱠمَ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ اﳉَْﻨﱠﺔَ (اﻟﺒﺨﺮى ﻣﺴﻠﻢ) Artinya: “Tiada seorang yang diamanati oleh allah memimpin rakyat kemudian ketika ia mati ia masih menipu rakyatnya, melainkan pasti allah mengharamkan baginya surga.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ciri-ciri pemimpin yang adil menurut al-Jurjani sebagaimana penulis kutip dalam buku Mujar Ibnu Syarif ialah ia selalu menjauhkan diri dari dosa-dosa besar dan juga tidak terus menerus melakukan dosa kecil, memihak kebenaran, dan selalu menghindari perbuatan-perbuatan hina. al-Mawardhi juga menyatakan pemimpin yang adil adalah pemimpin yang yang selalu berkata benar, jujur, bersih dari hal- hal yang diharamkan, menjauhi perbuatan dosa, tidak peragu, mampu mengontrol emosinya diwaktu senang dan di saat marah, dan selalu menonjolkan sikap ksatria baik dalam soal agama maupun dunia.

Menurut al-Ghazali pemimpin yang adil adalah pemimpin yang mengasihi rakyatnya, tidak menambah ataupun mengurangi hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan, selalu menetapi jalan kebenaran, memiliki rasa malu, murah hati, berani meluruskan buahnya yang berbuat zalim, tidak sombong dan pemarah, tidak 28

akan senang hidup bahagia sendiri sementara rakyatnya menderita, hidup sederhana dan tidak pamer kemewahan. Serta yang terakhir akan menindak siapapun yang melanggar hukum.17

Makna kata adil sebagaimana yang dijelaskan di atas, lazim juga digunakan sebagai makna kata taqwa dan wara, sehingga pemimpin yang yang adil dapat juga disebut pemimpin yang bertaqwa dan wara, atau bisa juga disebut pemimpin yang berakhlak mulia. Sedangkan lawan kata adil adalah zalim, yang berarti seseorang yang selalu berlaku buruk, suka menindas, senang berbuat aniaya, atau bertindak sewenang-wenang.18

Kelima, harus pandai menjaga amanah dan profesional. Syarat ini dapat ditemukan dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 55 :

ﻗَﺎلَ اﺟْﻌَﻠْﲏِ ﻋَﻠَﻰ ﺧَﺰَاﺋِﻦِ اْﻷَرْضِ إِﱐﱢ ﺣَﻔِﻴﻆٌ ﻋَﻠِﻴﻢ (ﻳﺴﻒ : ٥٥) Artinya: “Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan". (Q.S. Yusuf : 55). Tentang hal ini Nabi Muhammad SAW juga bersabda, yang artinya :

Artinya: “Apabila suatu urusan dipercayakan kepada seseorang yang bukan ahlinya, maka tunggulah waktu kehancuran”(HR. Bukhari). Pemimpin yang pandai menjaga amanah adalah pemimpin yang bertanggung jawab dan selalu berusaha dengan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk menunaikan dengan baik semua tugas dan kewajiban yang diembankan kepadanya.

Sedangkan seorang pemimpin yang profesional adalah seorang pemimpin yang

17 Al-Ghazali, Etika Berkuasa Nasehat-Nasehat Imam Al-Ghazali, terj. Arif D. Iskandar dari al-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Mulk, (Bandung: Pustaka Hidayat, 1998), h. 23-54.

18 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 39. 29

betul-betul memiliki keahlian, kecakapan, dan kemampuan untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang pemimpin.19

Dalam Surat Yusuf ayat 55 diatas seorang pemimpin yang pandai menjaga amanah dan profesional itu disebut dengan istilah “hafizhun ‘alim”. Istilah ini merupakan sifat yang dimiliki oleh Nabi Yusuf, yang ketika memimpin di Negeri

Mesir, ternyata benar-benar terbukti tampil sebagai pemimpin yang pandai menjaga amanah dan profesional, sehingga Negeri Mesir menuju puncak kemakmuran keadilan dan kesejahteraan.

Keenam, harus kuat atau harus sehat fisik dan mental, dapat dipercaya, berilmu atau memiliki wawasan yang luas. Syarat ini dapat ditemukan dalam al-

Qur’an suarat al-Qashash ayat 26 dan surat al-Baqarah ayat 247, yang berbunyi sebagai berikut:

إِنﱠ ﺧَﻴـْﺮَ ﻣَﻦِ اﺳْﺘَﺄْﺟَﺮْتَ اﻟْﻘَﻮِيﱡ اْﻷَﻣِﲔُ (اﻟﻘﺼﺺ : ٦٢) Artinya: “Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”(Q.S. al- Qashash : 26). إِنﱠ اﷲَ اﺻْﻄَﻔَﺎﻩُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ وَزَادَﻩُ ﺑَﺴﻄَﺔً ﰲِ اﻟْﻌِﻠْﻢِ وَاﳉِْﺴْﻢِ (اﻟﺒﻘﺮة : ٧٤٢)

Artinya: “Sesungguhnya Allah telah memilihnya (Thalut) menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa"(Q.S. al- Baqarah : 247). Syarat kekuatan atau kesehatan fisik antara lain, dapat mengakomodasi pengertian, harus lengkap anggota tubuhnya atau tidak cacat fisik, semisal tidak buntung tangan ataupun kakinya, tidak buta, tuli, bisu, lumpuh, dan gangguan kesehatan yang bisa menjadi kendala baginya dalam bertugas. Sedangkan syarat

19 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 40. 30

keilmuan meliputi dua macam ilmu. Pertama, ilmu-ilmu syariat atau ilmu-ilmu agama, seperti ilmu al-Qur’an, ilmu Hadits, ilmu Bahasa Arab, ilmu Fikih dan

Ushul Fikih serta ilmu Nasakh dan Mansukh. Kedua, ilmu-ilmu umum, seperti ilmu politik, ilmu tata negara, ilmu ekonomi serta ilmu umum lainya yang dipergunakan untuk kelancarannya dalam memimpin pemerintahan.

3. Hukum Mengangkat Pemimpin dalam Islam

Mayoritas ulama mengatakan bahwa mengangkat pemimpin untuk mengurus umat itu hukumnya wajib. Kewajiban ini kewajiban ini bersandar kepada beberapa alasan.20 Pertama, konsensus sahabat atas adanya figur seorang pemimpin, sehingga para sahabat mendahulukan pembaiatan Abu Bakar atas pemakaman

Rasulullah SAW. Kedua, bahwa menegakkan hukuman dan benteng kekuasaan itu wajib, dan jika ada sesuatu perkara tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu tersebut, maka sesuatu itu menjadi wajib. Ketiga, bahwa dalam kepemimpinan akan menarik kemanfaatan dan menolak kerusakan dan ini hukumnya wajib berdasarkan dalil ijma’.

Sebagian umat Islam berpendapat bahwa kewajiban itu adalah menurut pendekatan rasio dengan alasan bahwa setiap umat pasti membutuhkan kekuatan untuk mengatur peraturan dan mengatur individu, karena keberadaan seorang hakim merupakan kebutuhan kehidupan sosial manusia. Sebaliknya sebagian umat

Islam beranggapan bahwa mengangkat pemimpin itu merupakan kewajiban berdasarkan syariat, karena telah ada ijma sahabat dan tabi’in mengenai hal itu.21

20 Abdul Wahhab Khallaf, Politik Hukum Islam, Cet. Pertama, h. 38-39.

21 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 27 31

Menurut teori yang benar adalah bahwa kedua pendapat ini dapat di konklusikan dan mungkin di kompromikan, karena tidak ada penghalang bahwa kepemimpinan itu merupakan tuntutan. Dan untuk menegakkan undang-undang serta melindungi individual, maka hukum telah menetapkan sebagai penguat atas tuntutan rasio, sehingga pendekatan rasio dan hukum dapat dikompromikan tentang kewajiban mengangkat pemimpin. Hanya saja akan berperan sebagai penegak secara mutlak. Sedangkan hukum mengantarkan idealisme yang tinggi, sehingga dalam kepemimpinan akan menjadi kuat jika ada hubungan masyarakat dan tidak ada unsur paksaan. Sedangkan yang dikehendaki hukum adalah mencapai kehidupan individual yang sempurna sebagaimana yang dikehendaki akal.22

Berbeda dari pendapat yang diatas segelintir individu dari kalangan

Mutazilah, yakni Abu Bakar al-Asham, Hisyam Ibnu Amr al-Futi dan dari kalangan

Khawarij (yakni sekte Najdah), Athiyah Ibn Amr23, menurut mereka memilih pemimpin itu tidak wajib dilakukan, yang wajib hanyalah memberi informasi tentang hukum, dan bila umat telah sadar atas keadilan dan pelaksanaan hukum

Allah SWT maka tidak dibutukan figur pemimpin dan tidak wajib memilih pemimpin.

Bahkan lebih mendetail lagi, mereka mengemukan tujuh argumentasi tidak wajib adanya pemimpin.24 Pertama, pengangkatan seorang pemimpin bertentangan

22 Abdul Wahhab Khallaf, Politik Hukum Islam, h. 39.

23 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008), h. 100.

24 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, h. 101-102. 32

dengan egalitarianisme, sebab posisis manusia itu sama. Kedua, dengan

diangkatnya seorang pemimpin, maka terjadi kontradiksi antara kewajiban mentaati

pemimpin dengan hak kebebasan berpendapat. Ketiga, pengangkatan seorang

pemimpin itu menafikan hak untuk mendapatkan kemerdekaan. Keempat,

pengangkatan seorang pemimpin dapat menimbulkan perpecahan. Kelima,

pemimpin yang terpilih itu tidak terpelihara dari dosa. Keenam, akan mendapatkan

kesulitan untuk berhubungan dengan seorang pemimpin dalam urusan duniawi.

Ketujuh, untuk dapat menjadi pemimpin banyak kriteria yang sult dipenuhi.

Ibnu Khaldun berkomentar dalam kitab Muqaddimah, sebagian manusia

keliru yang mengatakan bahwa menegakkan pemimpin itu tidak wajib, baik

menurut pendekatan akal maupun syara’.25 Beliau juga menjelaskan bahwasanya

faktor munculnya pendapat yang mengatakan pemimpin tidak wajib adalah karena

mereka yang berpendapat demikian kecewa pada raja atau kepala negara di zaman

mereka yang sering bertindak sewenang-wenang dan menyalahgunakan jabatanya

untuk mengejar materi duniawi tanpa mengindahkan aturan syariat. Padahal yang

semestinya dilakukan adalah adalah mengutuk penyelewengan yang dilakukan oleh

seorang pemimpin, bukan menolak keberadaan seorang pemimpin.26

B. Kepemimpinan Agama dan Politik

Karena persoalan kepemimpinan tentu sangat erat kaitanya dengan urusan

kenegaraan atau aktifitas politik dan merupakan instrumen yang tidak terpisahkan

dari praktek bernegara, maka perlu dilihat bagaimana kaitan antara agama dan

25 Abdul Wahhab Khallaf, Politik Hukum Islam, h. 39.

26 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 20-21. 33

negara (politik), sehingga bisa tergambar sebuah pola tentang relasi atau hubungan agama dan politik, baik itu saling berkaitan maupun tidak berkaitan antara satu dengan yang lain. Jika dilihat dari teori politik, para sosiolog teoritis politik Islam merumuskan beberapa teori perihal relasi agama dan negara. Teori-teori tersebut secara garis besar dapat dibedakan menajadi tiga bagian paradigma27 pemikiran yaitu paradigma integralistik, paradigma simbiotik dan paradigma sekuleristik.28

1) Paradigma Integralistik

Paradigma ini memecahkan masalah dengan mengemukakan konsep bersatunya agama dan negara. Agama Islam dan negara tidak dapat dipisahkan.

Wilayah agama juga meliputi politik atau negara. Oleh karena itu, dalam pandangan paradigma ini, negara merupakan lembaga politik serta keagamaan. Pemerintahan berjalan atas dasar “kedaulatan ilahi”, karena pada dasarnya teori ini mengatakan bahwa kedaulatan berasal dari tuhan.29

Diantara tokoh-tokoh yang yang termasuk kedalam kategori pendukung pemikiran seperti ini adalah Syeikh Hasan Albana, Rasyid Ridha, Sayyid Qutub dan Abu al-A’la al-Maududi.30 Pendapat ini juga dipakai oleh kelompok Syiah, hanya saja Syiah menyebut negara dengan imamah.

27 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, paradigma berarti model dalam teori ilmu pengetahuan, kerangka berfikir. Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 828.

28 Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 100.

29 Din Syamsuddin, Etika dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos, 2002), h. 58.

30 Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 1. 34

Maka dapat dipahami bahwa paradigma pemikiran seperti ini asumsinya ditegakkan diatas pemahaman bahwa Islam adalah satu agama sempurna yang menpunyai kelengkapan ajaran disemua sisi kehidupan manusia, termasuk dalam hal praktek bernegara. Oleh karena itu umat Islam berkewajiban menjalankan sistem politik Islam sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan al-Khulafa Arrasyidin. Paradigma ini menghendaki agar negara menjalankan dwi fungsi secara bersamaan, yaitu lembaga politik dan keagamaan. Alhasil, penyelenggaraan suatu pemerintahan tidak berdasarkan kedaulatan rakyat melainkan merujuk kepada kedaulatan tuhan, sebab yang memiliki kedaulatan hakiki ada pada tuhan. Pandangan ini mengilhami pemikiran dan gerakan fundamentalisme.31

Penulis melihat pandangan paradigma ini dalam hal kepemimpinan beranggapan bahwa tidak ada pemisahan anatara pemimpin agama dan pemimpin politik. Karena Nabi Muhammad SAW pada masa kepemimpinanya diakui sebagai pemimpin agama yaitu seorang utusan Allah dan juga dipilih dan diakui sebagai pemimpin politik atau kepala negara pada masa Negara Madinah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin di dalam Islam memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu pemimpin agama dan pemimpin politik. Pemimpin agama yang dimaksud adalah pemimpin dipilih bedasarkan tuntunan agama dan pemimpin itu juga dituntut menjalankan aturan agama Islam. Maka dalam menjalankan aturan agama Islam tersebut tentu teraplikasi dalam sebuah pemerintahan bernegara,

31 Zuly Qodir, Syariah Demokratik: Pemberlakuan Syariah Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 35. 35

karena hukum-hukum yang ada dalam Al-Quran dan Hadits ada yang bersifat publik yang pelaksanaanya membutuhkan peran sebuah negara.

2) Paradigma Simbiotik

Menurut paradigma ini, agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Maka dalam hal ini, agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spritual.32

Menurut paradigma ini pembentukan sebuah negara Islam dalam pengertianya yang formal dan ideologis tidaklah penting. Pandangan ini beranggapan bahwa yang terpenting adalah bahwa negara karena posisinya bisa menjadi instrumental dalam merealisasikan ajaran-ajaran agama dan menjamin tumbuhnya nilai-nilai dasar. Maka dengan demikian tidak ada alasan teologis untuk menolak gagasan politik mengenai kedaulatan ditangan rakyat, negara dan bangsa sebagai unit teritorial yang sah, dan prinsip-prinsip umum teori politik modern lainya. Atau dengan kata lain, tidak ada landasan kuat untuk meletakkan Islam dalam posisi yang bertentangan dengan sistem politik modern.

Tampaknya al-Mawardhi (w. 1058 M), seorang teoritikus politik Islam terkemuka, bisa dimasukkan sebagai salah satu kelompok pendukung paradigma ini. Sebab dalam kitabnya yang mashur, al-Ahkam al-Shultaniyah, ia mengatakan:

32 Din Syamsuddin, Etika dalam Membangun Masyarakat Madani, h. 60. 36

lembaga kepala negara dan pemerintahan diadakan sebagai pengganti fungsi kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia.33

Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktifitas yang berbeda, namun mempunyai hubungan simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian. Maka dalam rangka hubungan simbiotik ini, Ibnu

Taimiyah dalam As-Siyasah Asy-Syar’iyyah juga mengatakan: sesungguhnya adanya kekuasaan yang mengatur urusan manusia merupakan kewajiban agama yang terbesar, sebab tanpa kekuasaan negara, agama tidak bisa berdiri tegak.34

Maka dapat disimpulkan bahwasanya paradigma simbiotik beranggapan bahwa agama dan negara berhubungan secara simbiotik. Dalam kerangka ini, agama membutuhkan negara, karena dengan adanya negara agama dapat berkembang. Sebaliknya negara membutuhkan agama, karena agama menyediakan seperangkat nilai dan etika untuk menuntun perjalanan kehidupan bernegara.

Paradigma ini berusaha keluar dari belenggu dua sisi yang berseberangan, yaitu integralistik dan sekuleristik. Alhasil, paradigma ini melahirkan gerakan medernisme dan neomodernisme.35

33 Imam Al-Mawardhi, Hukum Tatanegara dan Kepemmpinan dalam Takaran Islam, terj. Abdul Hayyie Al-Kattani, Kamaluddin Nurdin, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 15.

34 Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, Pokok-Pokok Pedoman dalam Bernegara, terj. Hendri Laoust, (Bandung: CV Diponegoro, 1967), h. 162-210.

35 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 11. 37

3) Paradigma sekuleristik

Paradigma ini menolak kedua paradigma yang sudah dijelaskan sebalumnya.

Sebagai gantinya, paradigma sekuleristik mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara. Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak pendasaran urusan negara kepada Islam, atau paling tidak menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu dari sebuah negara.

Sebuah artikel tentang kepemimpinan agama dan politik memuat sebuah tulisan pandangan Syafiq Hasyim Wakil Ketua Lembaga Perguruan Tinggi

Nahdlatul Ulama (LPTNU) menyatakan bahwa kepemimpinan (politik) tidak bisa disamakan dengan kepemimpinan agama. Tugas pemimpin adalah menegakkan keadilan dan tidak bisa disandera dengan kepentingan primordial. Ia menjelaskan bahwa maqashidus syariah dalam konsep negara adalah manifestasi ilahiah di muka bumi, maka norma yang harus diusung adalah keadilan, cinta kasih dan kebersamaan. Ditegaskan bahwa keadilan tidak boleh memihak baik faktor agama suku, dan keyakinan.36

Lebih lanjut Syafiq menegaskan, konteks memilih pemimpin adalah kinerja dan gagasan dalam mamajukan bangsa. Persoalan pemerintah adalah persoalan masyarakat. Kepemimpinan dipilih berdasarkan sejauh mana ia mampu menyejahterakan dan mewujudkan keadilan sosial. Penulis melihat bahwa dalam kasus kepemimpinan pandangan ini adalah paradigma berfikir secara sekuleristik atau pemisahan doktrin agama dengan aktifitas politik.

36 www.nuonline.com. Berita diakses pada 20 April 2017 38

C. Pandangan Para Ulama Klasik tentang Pemimpin Non-Muslim

Para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidak bolehnya seorang non-

Muslim menjadi pemimpin bagi orang-orang Muslim. Maka secara global

pendapat-pendapat ini dapat dipetakan menjadi 2 kelompok berikut ini:

1. Kelompok Yang Menolak Pemimpin Non-Muslim

Kelompok yang termasuk menolak pemimpin non-Muslim antara lain adalah,

al-Jashsash, al-Alusi, Ibn Arabi, Kiya al-Harasi, Ibn Katsir, al-Shabuni, al-

Zamakhsyari, Ali al-Sayis, Thabathabai, al-Qurthubi, Wahbah al-Zuhaili, al-

Syaukani, al-Thabari, Sayyid Quthub, al-Mawardi, al-Juwaini, Abdul Wahhab

Khallaf, Muhammad Dhiya al-Din al-Rais, Hasan al-Bana, Hasan Ismail Hudaibi,

al-Maududi, dan Taqi al-Din al-Nabhani.37

al-Jashshash berpendapat bahwasanya tidak boleh ada sedikitpun kesempatan

dibuka oleh orang Islam untuk orang kafir berkuasa atas mereka, serta ikut campur

dalam menangani sekecil apapun urusan intern umat Islam. Dia mendasarkan

pendapatnya pada surat Ali Imran ayat 28 yang berbunyi sebagai berikut:

ﻻَ ﻳـَﺘﱠﺨِﺬِ اﻟْﻤُﺆْﻣِﻨُﻮنَ اﻟْﻜَﺎﻓِﺮِﻳﻦَ أَوْﻟِﻴَﺂءَ ﻣِﻦ دُونِ اﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﲔَ وَﻣَﻦ ﻳـَﻔْﻌَﻞْ ذَﻟِﻚَ ﻓـَﻠَﻴْﺲَ ﻣِ ﻦَ اﷲِ ﰲِ ﺷَﻲْءٍ إِﻵﱠ أَن ﺗـَﺘـﱠﻘُﻮا ﻣِﻨـْﻬُﻢْ ﺗـُﻘَﺎةً وَﳛَُﺬﱢرُﻛُﻢُ اﷲُ ﻧـَﻔْﺴَﻪُ وَإِﱃَ اﷲِ اﻟْﻤَﺼِﲑُ (اﻟﻌﻤﺮان : ٨٢) Artinya: “Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” (Q.S. Ali Imran : 28). Pada ayat ini dia memberikan cacatan bahwanya ayat ini dan ayat-ayat yang

lain yang memiliki isi yang senada denganya, maka ada petunjuk bahwa dalam hal

37 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 79. 39

apapun orang kafir tidak boleh berkuasa atas umat Islam. Dengan keyakinan seperti itulah, al-Jashshash tidak hanya melarang umat Islam mengangkat non-Muslim menjadi pemimpin, tapi juga tidak boleh melibatkan non-Muslim dalam segala urusan umat Muslim, sekalipun ada pertalian darah dengannya.38 Maka dari itu, seorang pria non-Muslim, tidak punya hak untuk mengurus dan menikahkan putra kandungnya yang Muslim karena alasan beda agama.

Menurut al-Shabuni, yang dimaksud dengan ayat-ayat yang isinya senada dengan surat Ali Imran ayat 28 apada kutipan pendapat al-Jashshash di atas adalah ayat 51 surat al-Maidah, ayat 1 surat al-Mumtahanah, ayat 57 surat al-Maidah, ayat

118 surat Ali Imran, dan ayat 22 surat al-Mujadilah.39 Selain ayat-ayat sebagaimana menurut al-Shabuni diatas, Wahbah al-Zuhaili menambahkan tiga ayat yang senada dengan pendapat al-Jashshash diatas, yaitu ayat 144 surat al-Nisa, ayat 73 surat al-

Anfal, dan ayat 71 surat at-Taubah. Sedangkan Muhammad al-Ghazali dan Sayyid

Qutub masing-masing menambahkan satu ayat, yaitu ayat 8 surat at-Taubah dan ayat 100 surat Ali Imran. Serta Mujar Ibnu Syarif menambahkan satu ayat lagi yaitu ayat 141 surat a-Nisa.40

Menurut Mujar Ibnu Syarif kedua belas ayat yang disebutkan di atas, meskipun memiliki redaksi yang berbeda satu sama lain, namun mengacu kepada satu inti persoalan yang sama. Yang pada intinya adalah umat Islam dilarang untuk

38 Abu Bakar Ahmad Ibn Ali al-Razy al-Jashshash, AhkamAl-Qur’an, (Al-Qahirah: Syirkah Maktabah Wa Mathba’ah, t.th), jilid 2, h. 290

39 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 80.

40 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 81. 40

memilih non-Muslim menjadi pemimpin baik secara eksplisit maupun secara implisit, terutama dipilih sebagai pemimpin negara atau pemimpin pemerintahan.

Ibn Arabi berpendat bahwasanya ayat 28 surat Ali Imran merupakan ketentuan umum bahwa orang Islam tidak boleh mengambil orang kafir sebagai pemimpinya, sekutunya untuk melawan musuh, menyerahkannya suatu amanat, atau menjadikanya teman kepercayaan.41 Kiya al-Harasi juga berpandangan bahwa ayat 28 surat Ali Imran itu merupakan dalil mengenai tidak bolehnya menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin orang-orang Islam atau bersikap lemah lembut kepada meraka. Serta Ibnu Katsir menyatakan, bahwa ayat 28 surat Ali Imran merupakan larangan Allah kepada hambanya yang beriman, berteman akrab dengan orang-orang kafir atau menjadinya sebagai pemimpinya, dengan meninggalkan orang-orang yang beriman. Sebab ini merupakan wujud cinta kasih kepada orang- orang kafir. Namun Ibnu Katsir memberikan keringanan jika di beberapa negara dan dalam beberapa kesempatan tertentu seorang Muslim takut terhadap kejahatan orang-orang kafir, maka ia diberi keringanan untuk bertaqiyyah di hadapan mereka, namun hanya secara zahirnya saja, tidak dalam batin dan niatnya. Ibnu Katsir mendasarkan pendapatnya ini kepada hadits yang artinya sebagai berikut:42

“Sesungguhnya kami (sering) tersenyum di hadapan beberapa kaum, sedangkan (sebenarnya) hati kami mengutuknya”.(H.R. al-Bukhari).

41 Abu Bakar Muhammad Ibn Abdillah, Ahkam al-Quran, (Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyyah, 1988), jilid 2, h. 138-139.

42 Imam Abi al-Fida al-Hafidz Ibn Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Quran al-Azhim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), jilid 1, hal. 439. Lihat juga Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 98. 41

Selain hadits di atas, Ibn Katsir mendasarkan pendapatnya pada surat an-Nahl ayat 106 yang berbunyi sebagai berikut:

ﻣَﻦ ﻛَﻔَﺮَ ﺑِﺎﷲِ ﻣِﻦ ﺑـَﻌْﺪِ إِﳝَﺎﻧِﻪِ إِﻻﱠ ﻣَﻦْ أُﻛْﺮِﻩَ وَﻗـَﻠْﺒُﻪُ ﻣُﻄْﻤَﺌِﻦﱞ ﺑِﺎْﻹِﳝَﺎنِ وَﻟَﻜِﻦ ﻣﱠﻦ ﺷَ ﺮَحَ ﺑِﺎﻟْﻜُﻔْﺮِ ﺻَﺪْرًا ﻓـَﻌَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﻏَﻀَﺐٌ ﻣﱢﻦَ اﷲِ وَﳍَُﻢْ ﻋَﺬَابٌ ﻋَﻈِﻴﻢُ (اﻟﻨﺤﻞ :٦٠١) Artinya: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orangyang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (Q.S. an-Nahl : 106). Menurut al-Zamakhsyari adalah logis dilarangnya umat Islam mengangkat non-Muslim menjadi pemimpin karena mengingat orang-orang kafir adalah musuh umat Islam, dan pada prinsipnya memang tidak akan pernah terjadi seseorang mengangkat musuhnya sebagai pemimpinya. Bila orang Islam mengangkat orang- orang kafir sebagai pemimpinya maka hal tersebut menurut Ali al-Sayis berarti umat Islam memandang bahwasanya jalan yang ditempuh orang kafir tersebut baik.

Hal ini tidak boleh terjadi, sebab dengan meridhai kekafiran berarti seseorang telah kafir.43

Mengangkat orang-orang kafir sebagai pemimpin umat Islam, dalam pandangan Thabathabai lebih berbahaya dari pada kekafiran kaum kafir dan kemusyrikan kaum musyrik. Kaum kafir itu adalah musuh umat Islam, dan bila musuh itu telah diambil sebagai teman, maka kala itu ia telah berubah menjadi musuh dalam selimut yang jauh lebih sulit untuk dihadapi ketimbang musuh yang

43 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 102. 42

nyata-nyata berada diluar lingkungan umat Islam. Hal ini tegas Thabathabai tidak boleh terjadi, sebab bila tidak, maka umat Islam akan mengalami kehancuran.44

Berbeda dengan al-Alusi, al-Jashshash, dan al-Shabuni, Wahbah al-Zuhaili menyatakan yang dilarang hanyalah menyerahkan jabatan-jabatan publik yang strategis, mulia, dan terhormat semisal kepala negara kepada orang kafir. Di luar itu, semisal menjadi sektretaris negara ataupun jabatan-jabatan kurang strategis lainya, dapat diserahkan kepada non-Muslim. Berbeda dengan al-Zuhaili, Ibn Arabi menyatakan melarang umat Islam menjadikan orang kafir dalam segala posisi, baik sebagai kepala negara maupun jabatan publik lainya. Pendapat Ibn Arabi ini merujuk kepada kebijakan politik Umar Ibn Khattab yang mengirimkan surat perintah kepada Abu Musa al-Asy’ari untuk memecat sektretaris pribadinya yang non-Muslim.45

Dari urain di atas sudah tergambar jelas bahwasanya mayoritas ulama melarang umat Islam memilih orang kafir sebagai pemimpin. Dilarangnya orang

Islam untuk mengangkat orang kafir sebagai pemimpin didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki isi yang senada antara satu dengan yang lain. Wahbah al-

Zuhaili berpendapat yang dilarang hanyalah menyerahkan jabatan-jabatan publik yang strategis, mulia, dan terhormat (semisal kepala negara) kepada orang kafir, sedangkan Ibn Arabi dan ulama lainya melarang orang kafir diangkat sebagai pemimpin baik sebagai kepala negara maupun posisi strategis publik lainya. Namun

44 Al-Sayyid Muhammad Husein al-Thabathabai, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut: Muassasah al-A’lami li al-Mathbu’at, 1972), jilid 3, h. 103.

45 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, hal. 105-106. 43

secara garis besar para ulama melarang menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin atas orang Islam.

2. Kelompok Pendukung Pemimpin Non-Muslim

Kelompok kedua ini terdiri dari beberapa intelektual Muslim liberal yang menawarkan ijtihad politik baru yang mendukung pemimpin non-Muslim atas orang Islam. Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah Mahmoud Muhammad

Thaha, Abdullah Ahmad an-Na’im, Thariq al-Bishri, Asghar Ali Enginer dan

Muhammad Sa’id al-Ashmawi. Kelima tokoh ini dilihat dari latar belakang keilmuanya mayoritas tidak berdasarkan keilmuan syariah, mereka berlatar belakang sebagai insinyur, sejarawan serta sarjana hukum.46

Menurut Mahmoud Thoha, non-Muslim memiliki persamaan hak dan status sebagaimana yang dinikmati oleh umat Islam, termasuk menjadi pemimpin.47

Menurutnya, pandangan fikih klasik yang mendiskriminasikan non-Muslim didasarkan kepada ayat-ayat Madaniyyah yang memang sarat dengan aura diskriminatif, bukan didasarkan kepada ayat-ayat Makiyyah yang menekankan martabat yang inheren pada seluruh umat manusia, tanpa membedakan jenis kelamin, keyakinan, keagamaan, ras dan lain-lain. Untuk menghilangkan diskriminasi terhadap non-Muslim, kata Thaha, ayat-ayat Madaniyyah yang dimasa klasik digunakan sebagai argumentasi teologis untuk mendiskriminasikan non-

46 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 140.

47 Carolyne Fluehr Lobban, Melawan Ekstrimisme Islam: Kasus Muhammad Sa’id al- Ashmawi, Kata Pengantar dalam Muhammad Sa’id al-Ashmawi, Jihad Melawan Islam Ekstrim, terj. Hery Haryanto Azumi dari Againts Islamic Extrimism, (Depok: Desantara, 2002), cet. 2, h. 14. 44

Muslim, harus segera dicabut.48 Sebagai gantinya, ayat-ayat Makiyyah yang dulu dicabut digunakan kembali sebagai basis hukum Islam modern. Sejalan dengan itu,

Thaha menawarkan sebuah konsep naskh baru yang sangat berbeda dengan konsep naskh lama. Teori naskh lama yang menganggap bahwa ayat-ayat Madaniyyah menghapus ayat-ayat Makiyyah, kata Thaha harus dibalik, yakni bahwa ayat

Makiyyah yang justru menghapus ayat Madaniyyah.49

Lebih lanjutnya, bagi Thaha ayat-ayat Makiyyah adalah sentral bagi ajaran

Islam. Ayat inilah yang akan mampu memberikan kebebasan yang sebenarnya dan kesetaraan yang sungguh-sungguh bagi umat manusia tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, agama, dan keyakinan, sehingga toleransi dapat dijunjung tinggi.

Thaha berpendapat bahwa pemahaman baru terhadap al-Qur’an yang diperkenalkannya adalah pesan kedua Islam (the second massage of Qur’an), sehingga pembaharuan hukum Islam harus ditempuh dengan memberlakukan teori evolusi hukum Islam.50

Mengomentari pandangan fikih klasik yang melarang pemimpin non-

Muslim, Ahmad an-Na’im juga menyatakan, semua umat Islam generasi awal sudah benar ketika menafsirkan al-Qur’an dan Hadis dengan menerima diskriminasi berdasarkan agama dalam konteks histori ketika itu. Argumentasinya

48 Abdullah Ahmad al-Na’im, Dekonstruksi Syariah, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrany dari Toward An Islamic Reformation Civil Liberties Human Rights And Internasional Law, (Yogyakarta: LKIS, 1994), h. 48 dan 88.

49 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 141.

50 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 143. 45

karena sejak masa-masa pembentukan syariah belum ada konsepsi Hak-Hak Asasi

Manusia Internasional di dunia ini. Sejak abad ke-7 hingga abad ke-20, kata an-

Naim adalah suatu hal yang normal di seluruh dunia untuk menentukan status dan hak-hak seseorang berdasarkan agama.51 Akan tetapi, ini tidak dimaksudkan untuk menyatakan bahwa untuk saat ini hal tersebut masih bisa dibenarkan.

Mengingat pendapat yang menolak pemimpin non-Muslim dibenarkan oleh konteks historis yang ada dimasa lalu, maka selesailah sudah pembenaran itu sekarang, sebab konteks historis yang ada sekarang ini sudah berbeda sama sekali dengan konteks historis yang ada dimasa lalu. Setelah dikenal konsepsi hak-hak asasi universal, kata an-Na’im diskriminasi atas dasar agama itu melanggar penegakkan HAM. Kaum absolutis yang hidup di masa kontemporer, seperti al-

Maududi, Javid Iqbal, dan Hasan Turabi, yang masih saja menolak pemimpin non-

Muslim, adalah disebabkan karena mereka memandang aturan syariat yang melarang umat Islam memilih pemimpin non-Muslim bersifat permanen. Padahal sesungguhnya hal itu bersifat temporer (sementara).52

Pemikiran politik Islam klasik yang menolak pemimpin non-Muslim, kata an-

Na’im, sekalipun dijabarkan dari sumber-sumber wahyu fundamental Islam, al-

Qur’an dan Sunnah, sesungguhnya bukanlah wahyu, tetapi tidak lebih dari sekedar produk penafsiran manusia atas sumber-sumber tersebut. Karena produk itu lahir

51 Abdullah Ahmad al-Na’im, Dekonstruksi Syariah, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrany dari Toward An Islamic Reformation Civil Liberties Human Rights And Internasional Law, h. 282 .

52 Abdullah Ahmad al-Na’im, Dekonstruksi Syariah, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrany dari Toward An Islamic Reformation Civil Liberties Human Rights And Internasional Law, h. 220. 46

sesuai dengan kondisi historisnya sendiri, yang berbeda dengan kondisi saat ini.

Maka dari itu diskriminasi berdasarkan agama sebagaimana lazimnya berlaku di masa Klasik, secara moral tertolak dan secara politik sudah tidak dapat diterima lagi.53

Di masa kontemporer saat ini, kata an-Na’im ayat-ayat yang melarang umat

Islam memilih pemimpin non-Muslim adalah tidak relevan lagi digunakan. Sebagai gantinya, yang perlu ditonjolkan adalah ayat-ayat Makiyyah yang mengajarkan persamaan universal seluruh umat manusia, tanpa memandang agama yang dipeluknya. Selain menganjurkan umat Islam untuk meninggalkan ayat-ayat

Madaniyyah yang berisi pesan-pesan diskriminatif terhadap non-Muslim, an-

Nai’im juga menyarankan agar umat Islam dimasa kontemporer sekarang ini berpegang kepada prinsip resiprositas, yaitu prinsip timbal balik yang sama menghargai kepercayaan orang lain.54

Senada dengan pendapat yang dikutip di awal, Muhammad Sa’id al-Ashmawi juga membolehkan non-Muslim menjadi pemimpin bahkan di negeri mayoritas

Muslim sekalipun. Argumentasiya karena ayat-ayat al-Qur’an yang melarang umat

Islam memilih pemimpin non-Muslim bersifat temporer. Ayat-ayat tersebut hanya berlaku pada masa Nabi Muhammad SAW di Madinah yang pada saat itu sedang perang dengan orang kafir. Kerena kondisi seperti masa Nabi ini tidak ada lagi pada

53 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 146.

54 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 146-148. 47

masa sekarang, maka larangan itu tidak berlaku lagi.55 Lebih lanjut, al-Ashmawi beranggapan bahwa pendapat yang melarang memilih pemimpin non-Muslim, adalah pendapat anti demokrasi, salah, dan tidak sesuai dengan era modern.

55 Muhammad Sa’id al-Ashmawi, Jihad Melawan Islam Ekstrim, ter. Hery Haryanto Azumi dari Againts Islamic Extremism, (Depok: Desantara, 2002), cet. 1, h. 181. BAB III SEKILAS TENTANG NAHDLATUL ULAMA

1. Sejarah Berdiri Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama atau yang disingkat NU, artinya kebangkitan ulama. Sebuah

organisasi yang didirikan oleh para ulama pada tanggal 31 Januari 1926 M/ 16

Rajab 1344 H di Surabaya.1 Organisasi ini merupakan salah satu organisasi terbesar

di Indonesia dewasa ini. Nahdlatul Ulama mempersatukan solidaritas ulama

tradisional dan para pengikut mereka yang berpaham salah satu dari empat mazhab

fikih Sunni, terutama Mazhab Syafi’i. Basis sosial Nahdlatul Ulama dari dahulu

hingga kini masih berada di pesantren.2

Sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama terbilang cukup unik, karena di samping

pengaruh politik etis yang diterapkan Belanda dalam konteks perjuangan

mewujudkan kemerdekaan3, juga karena reaksi terhadap situasi perkembangan

umat Islam di dunia. Saat itu terjadi perubahan mendasar sistem ketatanegaraan di

Turki dan Jazirah Arab4, sehingga angin perubahan itu menghembuskan angin

pembaharuan walaupun berbeda substansi.

1 Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU Buku I: Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah, (Surabaya: Khalista, 2007), cet. Pertama, h. 1-2.

2 Ibnu Hazen dkk, 100 Ulama dalam Lintas Sejarah Nusantara, (Jakarta: Lembaga Ta’mir Mesjid PBNU), h. 3.

3 Laode Ida, Anatomi Konflik NU, Elit Islam dan Negara, (Jakarta: Sinar Harapan), h. 9- 16.

4 Arief Mudatsir Mandan, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2008), cet. Ke-1, h. 2.

48 49

Pembaharuan di Turki terjadi dengan sangat dramatik. Kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan yang agamis beralih menjadi sekuler. Ini terjadi ketika

Musthafa Kemal Attartuk memperoklamasikan berdirinya Republik Turki pada

Tanggal 29 Oktober 1923. Pada tahap selanjutnya, Kemal Attartuk menghapus

Kekhilafahan Dinasti Ottoman yang diakui oleh seluruh dunia Islam pada tanggal

3 Maret 1924. Dengan berkiblat ke Barat, Kemal Attartuk memerintahkan untuk menghapus semua yang berbau Islam. Hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah diganti dengan sumber hukum perdata adopsi dari Swiss. Sedangkan hukum pidana diadopsi dari hukum pidana Italia.5

Perubahan dramatis dan radikal yang terjadi di Turki berpengaruh kepada kehidupan kemasyarakatan dan keagamaan di Mesir. Pro kontra terhadap sepak terjang Kemal Attartuk pun terjadi di Mesir. Salah seorang ulama, Ali Abd al-Raziq dengan tegas membenarkan dan mendukung langkah-langkah pembaharuan yang dilakukan oleh Musthafa Kemal Attartuk. Lain halnya dengan Komite Khilafah di

Mesir. Komite ini menanggapi serius dihapuskanya Kekhilafahan Ottoman.

Keseriusan komite tersebut ditunjukkan dengan upaya untuk memparakasai

Muktamar Islam Sedunia dengan agenda pembentukan Khilafah dunia Islam. Umat

Islam Indonesia pun diundang untuk berpartisipasi dalam mukmatar ini.6

Sayangnya, dengan alasan keamanan mukatamar ini batal dilaksanakan.

5 Arief Mudatsir Mandan, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah, h. 2.

6 Arief Mudatsir Mandan, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah, h. 2-3. 50

Di Jazirah Arab, semakin lemahnya Dinasti Ottoman akibat kekalahan pada

Perang Dunia I mendorong Syarif Makkah, Husein II memproklamirkan kemerdekaan Arabia dan menangkat dirinya sebagai raja. Wilayah Hijaz ini selama empat abad menjadi salah satu provinsi Kekhilafahan Ottoman. Namun kekuasaan

Husein II tidak bertahan lama. Abdul Aziz Ibn Sa’ud (1880-1953) dari Nejd berhasil merebut Hijaz dengan bekerjasama dengan Syeikh Muhammad Abdul

Wahab yang kemudian hari dikenal dengan pendiri aliran Wahabi. Aliran Wahabi ini bertujuan untuk melakukan pemurnian paham tauhid umat Islam. Dengan dalih ini, Abdul Aziz Ibn Sa’ud dengan segera memusnahkan semua hal yang dipandang sebagai bid’ah dan kurafat. Kubah diatas makam Husein bin Ali menjadi korban dan makam orang-orang suci dihilangkan. Bahkan kiswah penutup Ka’bah diturunkan karena dianggap bid’ah.7

Imbas berbagai perkembangan mutakhir di negara-negara pusat Islam dunia itu, di Indonesia tercermin dari dibentuknya Al-Islam, pada tahun 1921, dipelopori oleh Sarekat Islam dan didukung oleh Muhammadiyah, dua organisasi yang sangat menonjol sebagai gerakan pembaharuan Islam. Al-Islam cukup berperan mewakili umat Islam Indonesia. Dalam kongres ke-I Cirebon atas prakasa Bratanata (ketua

SI) antara lain memutuskan dibentuknya Komite Al-Islam pusat dan Sunoso (ketua

SI Garut) dipilih sebagai ketua. Kongres ke-2 di Garut menghasilkan pengesahan peraturan Komite Al-Islam.8

7 Arief Mudatsir Mandan, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah, h. 3.

8 Djawahi Hadikusumo, Matahari-Matahari Muhammadiyah, (Yogyakarta: T.pn, jilid 1, 1975), h. 56. 51

Setahun setelah Raja Abdul Aziz Ibn Sa’ud menancapkan kekuasaanya di

Hijaz, dan memantapkan gerakan Wahabi, ia mengirimkan undangan kepada umat

Islam di seluruh dunia untuk menghadiri Muktamar al-Alam al-Islami (Muktamar

Islam Sedunia) di Makkah tanggal 1 Juni 1926. Undangan kepada umat Islam

Indonesia segera ditangani oleh Komite Khilafah Pusat ( dibentuk 4 Oktober 1924 di Surabaya). Komite kemudian memanggil Al-Islam untuk mengadakan kongres membicarakan undangan tersebut.9

Dalam kongres ke-5 Al-Islam yang kemudian dilangsungkan di Bandung bulan Februari 1926, K.H. Abdul Wahab Chasbullah atas nama para ulama tradisional menyampaikan sejumlah usul untuk diperjuangkan dalam muktamar di

Makkah. Usul terpenting adalah agar Raja Abdul Aziz Ibn Sa’ud tetap menghormati kebiasaan-kebiasaan agama yang telah menjadi tradisi. Kebiasaan-kebiasaan itu antara lain membangun kuburan, memelihara makam orang-orang suci, membaca doa-doa ajaran mazhab seperti dalailul khairat.10

Pendapat yang berkembang dalam kongres ini ternyata tidak dapat menerima usul para ulama tradisional tersebut, sehingga K.H. Wahab Chasbullahh dan ulama tradisinal meninggalkan arena sidang. Muktamar terus berlangsung dan memutuskan dua orang akan mewakili umat Islam Indonesia, masing-masih H.

Oemar Said Tjokroaminoto (Sarekat Islam) dan K.H. Mas Mansur

(Muhammadiyah). Apa yang berkembang dalam kongres ke-5 Al-Islam secara

9 Arief Mudatsir Mandan, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah, h. 5.

10 Basit Adnan, Kemelut di NU Antara Kiyai dan Politik, (Solo: CV Mayasari, 1982), cet. Pertama, h. 12. 52

substansi menunjukkan terjadinya kristalisasi dalam kehidupan umat Islam

Indonesia, yaitu adanya kutub pendukung gerakan pembaharuan dan kutub kaum tradisionalis (pesantren).11

Kekecewaan Kiai Wahab Chasbullah dan kawan-kawan terhadap kongres ke-

5 Al-Islam berlanjut dengan menyatakan mengundurkan diri dari Komite Khilafah.

Kiai Wahab dan kawan-kawan sepakat untuk melanjutkan perjuangan ulama dan membentuk wadah baru bagi pendukung ahlussunnah wal jama’ah. Akhirnya dibentuk Comite Meremboek Hidjaz (Komite Hijaz) yang diketuai oleh Hasan

Gipo, dibantu Saleh Sjamil (wakil ketua), Moehammad Shadiq Setijo (sekretaris), dan Abdoel Halim (wakil sekretaris). K.H. Abdul Wahab Chasbullah, K.H.

Masjhoeri, K.H. Cholil menjadi penasehat.12

Pada tanggal 31 Januari 1926 K.H. Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) dan K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) dari Pondok Pesantren

Tebuireng, Jombang (Jawa Timur) mengundang sejumlah ulama, untuk mengadakan rapat pertama Komite Hijaz. Rapat pertama Hijaz menghasilkan dua keputusan penting. Pertama, mengirim delegasi ke Mekah untuk bertemu langsung dengan Raja Abdul Aziz Ibn Sa’ud, menyampaikan usul seperti yang diutarakan

K.H. Abdul Wahab Chasbullah dalam Muktamar Al-Islam di Bandung. Kedua, membentuk suatu jam’iyyah sebagai wadah persatuan para ulama dan tugas memimpin umat menuju tercapainya izzul islam lil alamin (kejayaan Islam dan

11 Arief Mudatsir Mandan, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah, h. 5.

12 Arief Mudatsir Mandan, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah, h. 6. 53

umatnya) menuju rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam). Pada tanggal 16

Rajab 1344 H bertepatan dengan 31 Januari 1926 inilah wadah jam’iyyah yang

kemudian bernama Nahdlatul Ulama secara resmi terbentuk dan pada tanggal

tersebut selalu diperingati sebagai hari lahir Nahdlatul Ulama.13

Rapat Komite Hijaz tersebut menjadi peristiwa sangat bersejarah dan

bermakna monumental. Komite Hijaz merupakan embrio Nahdlatul Ulama.

Kehadiran wadah Nahdlatul Ulama sudah dinantikan oleh pengikut paham

ahlussunnah wal jamaah. Empat tahun kemudian Nahdlatul Ulama mendapat

pengakuan dari Gubernur Hindia Belanda, 6 Februari 1930. Kepengurusan

Nahdlatul Ulama dibentuk menyusul kelahiranya itu terdiri dari dua badan, yaitu

Syuriah dan Tanfidziyyah.

2. Garis Besar Pemikiran Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama mendasarkan paham keagamaanya kepada sumber ajaran

Islam: al-Qur’an, Sunnah, Ijma (kesepakatan para sahabat dan ulama), dan Qiyas

(analogi).

Dalam memahami dan menafsirkan ajaran Islam dari sumbernya diatas,

Nahdlatul Ulama mengikuti paham Ahlussunnah Wal Jamaah dan menggunakan

jalan pendekatan mazhab14:

13 Arief Mudatsir Mandan, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah, h. 6-7.

14 As’ad Said Ali, Pergolakan di Jantung Tradisi, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008), h. 24-30. 54

a. Dalam bidang aqidah, Nahdaltul Ulama mengikuti paham ahlusunnah wal

jamah yang dipelopori oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu

Mansur al-Maturidi.

b. Dalam bidang fikih, Nahdlatul Ulama mengikuti jalan pendekatan (madzhab)

salah satu dari madzhab Imam Abu Hanifah an-Nu’man, Imam Malik Bin

Anas, imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal.

c. Dalam bidang tasawuf, Nahdlatul Ulama mengikuti antara lain Imam Junaidi

al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali serta imam-imam lainya.

Selanjutnya kontruksi tauhid, fikih, dan tasawuf tersebut dirumuskan menjadi etika sosial. Kontruksi penting dari hal ini adalah prinsip-prinsip dasar kalangan nahdliyyin dalam kehidupan kemasyarakatan, yang dirumuskan sebagai berikut:15

a. Sikap tawassuth dan i’tidal (moderat dan adil)

b. Sikap tasamuh (toleran terhadap perbedaan)

c. Sikap tawazun (seimbang)

d. Amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kebaikan mencegah kemungkaran)

Nahdlatul Ulama mengikuti pendirian, bahwa Islam adalah agama fitrah yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia. Paham keagamaan yang dianut Nahdlatul Ulama bersifat menyempurnakan nilai-nilai baik yang sudah ada dan menjadi milik serta ciri-ciri suatu kelompok manusia seperti suku maupun bangsa dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut.16

15 As’ad Said Ali, Pergolakan di Jantung Tradisi, h. 31.

16 Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU Buku I: Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah, h. 12. 55

3. Metode Penggalian Hukum Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama sebagai Ijtima’iyyah sekaligus gerakan Diniyah Islamiyah,

sejak awal berdirinya telah menjadikan Ahlussunah wal Jama’ah sebagai basis

teologi. Sejalan dengan mayoritas ulama, Nahdlatul Ulama mendasarkan paham

keagamaanya kepada empat pilar sumber ajaran Islam yaitu, al-Qur’an, hadist,

ijma’ dan qiyas.17

Sebagai implikasi dari pemahaman terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah,

maka dalam memahami dan meninstimbatkan hukum Nahdlatul Ulama mengikuti

salah satu dari empat mazhab. Maka dalam hal ini, Nahdlatul Ulama mengikuti

Mazhab Syafii yang dikenal moderat. Bahkan dewasa ini berlakunya ajaran tersebut

menjadi tujuan organisasi dan mengusahakannya di tengah-tengah kehidupan

beragama masyarakat Indonesia dengan memelihara ukhuwah islamiyyah.18Ini

disebabkan oleh beberapa hal berikut:19 Pertama, madzhab fikih yang dominan

sejak masa awal Islam di Nusantara adalah madzhab Syafi’i. Kedua, pengalaman

sejarah berabad-abad dari umat Islam di Indonesia menunjukkan bahwa fikih Islam

versi mazhhab Syafi’i lebih cocok diterapka di Indonesia.

Selain dengan dua alasan yang dijelaskan diatas, ditambah pula dengan

adanya semacam kode etik bermadzhab yang tidak diperkenkan talfiq (pemaduan

antara dua madzhab dalam dua masalah yang masih dalam satu paket amalan),

17 M. Mansyur Amin, Dialog Penmikiran, Islam dan Realitas Empirik, (Yogyakarta: LKPSM NU DIY, 1993), h. 163

18 Rozikin Daman, Membidik NU: Dilema Percaturan Politik NU Pasca Khittah, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), h. 65-67

19 M. Mansyur Amin, Dialog Penmikiran, Islam dan Realitas Empirik, h. 164 56

sehingga membuat nahdlatul ulama semakin mantap dalam mengedepankan madzhab Syafi’i.20

Kecendrungan Nahdlatul Ulama dalam mengadopsi madzhab Syafi’i ini dapat dilihat dari rujukan yang dipakai oleh komisi bahtsul masail dalam mempertimbankan suatu persoalan. Antara lain kitab al-Umm, Mukhtasar al-

Muzani, al-Wahi al-Kabir, al-Musnad, ar-Risalah, dan sebagainya. Kitab-kitab ini di lingkungan Nahdlatul Ulama dikenal dengan sebutan al-Kutub al-Mu’tabarah.21

Jika dalam kitab-kitab ini tidak ditemukan jawaban atas persoalan yang ada, maka dipakai kitab-kitab dari madzhab yang lain.

Selain itu perlu diketahui bahwa Nahdlatul Ulama dikenal dengan bermadzhab qauly, yaitu mengambil langsung pendapat-pendapat dari kitab fikih sebagai rumusan hukum Islam. Sepintas memang anakronis, bagaimana mungkin menjawab persoalan kontemporer dengan solusi masa lalu, dimana masalah itu belum muncul.22 Dalam hubungan ini maka tidak ada menjadi keraguan tentang latar belakang mnculnya rumusan itu dan bagaimana pula proses metodologi yang dilalui yang tentu saja menyangkut masalah-masalah dasar dan perangkat kaidah hukum Islam baik berupa qawa’id fiqhiyyah maupun qawaid ushuliyah (ushul fikih).23

20 Mansyur Amin, Dialog Penmikiran, Islam dan Realitas Empirik, h. 164.

21 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 175.

23 Mansyur Amin, Dialog Penmikiran, Islam dan Realitas Empirik, h. 165. 57

Sebelum dibahas tentang bagaimana tentang metodologi penggalian hukum oleh Nahdlatul Ulama , maka seyogyanya diketahui dahulu tentang istilah-istilah berikut ini:24

1. Bermadzhab qauly adalah mengikuti pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam

lingkungan suatu madzhab.

2. Bermadzhab secara manhaji adalah bermadzhab dengan mengikuti jalan

pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh Imam madzhab.

3. Istinbath adalah mengeluarkan hukum syara dari dalilnya dengan qawaid

ushuliyah dan qawaid fiqhiyyah.

4. Qauli adalah pendapat Imam madzhab.

5. Wajah adalah pendapat ulama Imam madzhab.

6. Taqrir jami’i adalah upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap

satu diantara qaul/wajah.

7. Ilhaqi adalah menyamakan hukum sesuatu kasus/masalah yang belum dijawab

oleh kitab dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab

(menyamakan dengan pendapat yang sudah jadi).

Untuk menentukan hukum secara optimal serta selaras dengan kehendak syariat dan umat, alhasil disusunlah sistem pengambilan keputusan bahtsul masail diniyah Nahdlatul Ulama sebagai berikut: a. Prosedur Penjawaban Masalah

24 KH. Masyhuri, Masalah Keagamaan: Hasil Muktamar dan Munas Ulama NU, (Surabaya: Dinamika Press, 1997), h. 364 58

Keputusan bahtsul masail di lingkungan Nandlatul Ulama dibuat dalam

rangka bermadzhab kepada salah satu dari empat madzhab yang disepakati dan

mengutamakan bermadzhab qauli. Oleh kerena itu prosedur penjawaban

masalah disusun sebagai berikut:25

1. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan di sana

terdapat hanya satu qaul/wajah, maka dipakai qaul/wajah sebagaimana

diterangkan dalam ibarat tersebut.

2. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan disana lebih

dari satu qaul/wajah, maka dilakukan taqrir jama’i untuk memilih satu

qaul/wajah.

3. Dalam qaus tidak ada qaul/wajah sama sekali yang meberikan penyelesain,

maka dilakukan prosedur ilhaqul masai’il binadhairiha secara jama’i oleh

para ahli.

4. Dalam kasus tidak ada qaul/wajah sama seklai dan tidak mungkin dilakukan

ilhaqi, mak bisa dilakukan istinbath jama’i dengan prosedur bermadzhab

secara manhaji oleh para ahli. b. Hierarki dan Sifat Keputusan Bahtsul Masail

1. Seluruh keputusan bahtsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulama yang

diambil dengan prosedur yang telah disepakati dalam keputusan ini maka

baik diselenggrakan di dalam ataupun di luar organisasi mempunyai

kedudukan yang sederajat dan tidak saling membatalkan.

25 Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama di Bandar Lampung, (Jakarta: Lajnah Ta’lif Wanasyr PBNU, 1992), h. 5-6 59

2. Suatu hasil keputusan bahtsul masail dianggap mempunyai kekuatan daya

ikat lebih tinggi setelah disahkan oleh Pengurus Besar Syuriyah Nahdlatul

Ulama tanpa harus menunggu Munas Ulama maupun Muktamar.

3. Sifat keputusan bahtsul masail tigkat Munas dan Muktamar adalah:

a) Mengesahkan rancangan keputusan yang telah dipersiapkan sebelumnya.

b) Diperuntukkan bagi keputusan yang dinilai akan mempunyai dampak

yang luas dan segala bidang.

Adapun cara pelaksanaan pemilihan qaul/wajah, ilhaqi dan istinbath juga dicantumkan dalam hasil Munas Lampung tahun 1997, yaitu:26

1. Prosedur pemilihan qaul/wajah

a. Ketika dijumpai qaul/wajah dalam satu masalah yang sama maka

dilakukankan usaha memilih salah satu pendapat.

b. Pemilihan salah satu pendapat dilakukan dengan:

1) Mengambil pendaat yang lebih maslahat atau yang lebih kuat

2) Sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan Muktamar Nahdlatul

Ulama 1, bahwa perbedaan pendapat diselesaikan dengan memilih:

a) Pendapat yang disepakati oleh Asy-Syaikhani (an-Nawawi dan Rafi’i).

b) Pendapat yang dipegangi oleh an-Nawawi saja

c) Pendapat yang dipegangi oleh al-Rifa’i saja

d) Pendapat yang didukung oleh ayoritas ulama

e) Pendapat ulama yang terpandai

26 Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama di Bandar Lampung, h. 5- 6 60

f) Pendapat ulama yang paling wara’

2. Prosedur ilhaqi

Dalam hal ketika suatu masalah belum dipecahkan dalam kitab dimana

masalah tersebut diselesaikan dengan prosedur ilhaq al-masail bil nadhairihi

secara jama’i. Ilhaq dilakukan denan memperhatikan mulhaq bih, mulhaq ilaihi

dan wajhul ilhaq oleh para mulhiq yang ahli.

3. Prosedur istinbath

Dalam hal ketika tidak mungkin dilakukan ilhaq karena tidak adanya ilhaq

bih dan wajhul ilhaq sama sekali dalam kitab, maka dilakukan istinbath secara

jama’i, yaitu memperhatikan qawaid ushuliyah dan qawaid fiqhiyah oleh para

ahlinya.

4. Pendekatan Dakwah Nahdlatul Ulama

Dalam pendekatan dakwahnya Nahdlatul Ulama banyak mengikuti dakwal

model Walisongo, yaitu menyesuaikan dengan budaya masyarakat setempat dan

tidak mengandalkan kekerasan.27 Budaya yang berasal dari suatu daerah ketika

Islam belum datang bila tidak bertentangan dengan agama, maka akan terus

dikembangkan dan dilestarikan. Sementara budaya yang jelas bertentangan

denggan agama ditinggalkan.

Karena identiknya gaya dakwah ala Walisongo itu, nama Walisongo melekat

erat dalam jam’iyyah Nahdlatul Ulama, sehingga dimasukan ke dalam bintang

27 Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU Buku I: Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah, h. 12. 61

sembilan lambang Nahdlatul Ulama. Maka secara garis besar pendekatan

kemasyarakatan Nahdlatul Ulama dikategorikan kedalam tiga bagian28:

a. Tawassuth dan I’tidal, yaitu sikap moderat yang berpijak pada prinsip

keadilan serta berusaha menghindari segala bentuk pendekatan dangan

tatharruf (ekstrim).

b. Tasamuh, yaitu sikap toleran yag berisikan perhargaan terhadap perbedaan

pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat.

c. Tawazun, yaitu sikap seimbang dalam berkhidmat demi terciptanya

keserasian hubungan anatara sesama manusia dan antara manusia dengan

Allah SWT.

Karena prinsip dakwah yang model Walisongo itu, Nahdlatul Ulama dikenal

sebagai pelopor Islam moderat. Kehadirannya bisa diterima oleh semua kelompok

masyarakat. Bahkan sering berperan sebagai perekat bangsa.

5. Nahdlatul Ulama dan Politik

Perjuangan memeperoleh kemerdekaan Indonesia merupakan orientasi

berbagai organisasi pergerakan dan keagamaan, tak terkecuali Nahdlatul Ulama.

Realitas inilah yang agaknya memaksa Nahdlatul Ulama untuk bergulat di ranah

politik, bukan hanya berkutat pada kegiatan sosial semata. Persentuhan dengan

berbagai organisasi pergerakan pun tak terelakkan. Terutama dengan organisasi

dengan basis agama Islam, seperti Muhammadiyah, PSII, Persatuan Umat Islam

(PUI), Al-Islam dan Al-Irsyad.29

28 Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU Buku I: Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah, h. 13. 29 Basit Adnan, Kemelut di NU Antara Kiyai dan Politik, h. 12. 62

Kesadaran akan pentingnya persatuan dalam perjuangan mewujudkan kemerdekaan mendorong berbagai organisasi Islam tersebut bersatu padu untuk membentuk sebuah wadah bernama Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang berdiri pada tanggal 21 September 1937.30 Eksistensi MIAI pasca penjajahan

Belanda masih diakui oleh Jepang. Berbagai kebijakan Jepang banyak yang menguntungkan umat Islam. Untuk lebih mengarah pada tujuan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman, MIAI kemudian diubah menjadi Majellis Syura

Muslimin Indonesia yang disingkat dengan Masyumi. Salah seorang pelopornya adalah Abdul Wahid Hasyim.

Pada perkembangan selanjutnya terjadi perbedaan pendapat dalam tubuh

Masyumi. Ketidaksepahaman kebijaksanaan politik menghadapai Belanda dalam perjanjian Linggarjati dan Renvile dan konflik sekitar distribusi kekuasaan membuat Masyumi goyah.31 Nahdlatul Ulama yang dari awal ingin menjadi tulang punggung partai Masyumi mencabut dukunganya dan mendirikan partai sendiri.

Keluarnya Nahdlatul Ulama ini dituangkan dalam surat keputusan Muktamar ke-

19 yang berlangsung di Palembang pada 28 April-1 Mei 1952. Pada muktamar itulah Nahdlatul Ulama secara resmi menjadi partai politik32

30 M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1994), h. 99.

31 Arief Mudatsir Mandan, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah, h. 16.

32 Arief Mudatsir Mandan, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah, h. 16-17. 63

Perjalanan Nahdlatul Ulama di ranah politik mengukir sejarah monumental.

Pemilu pertama yang diselenggrakan pada tahun 1995 adalah momen show of force bagi Nahdlatul Ulama. Dengan dukungan kader-kader muda berkualitas, Nahdlatul

Ulama menduduki posisi tiga besar, setelah PNI dan Masyumi. Keberhasilan ini menjadikan Nahdlatul Ulama kembali diperhitungkan dalam kancah perpolitikan di

Indonesia. Pada era inilah, tepatnya malui Musyawarah Nasional Ulama pada tahun

1957, Nahdlatul Ulama mengeluarkan fatwa waliyyu al-amri adh-dharuri bisyaukah untuk pemerintahan Presiden Soekarno. Derap langkah Nahdlatul Ulama pun semakin mantap dan diperhitungkan. Pada masa pergolakan, yakni tahun 1960- an, Nahdlatul Ulama mengambil peran signifikan dalam proses menyelamatkan bangsa dan negara. Sumbangan terbesar Nahdlatul Ulama ditunjukan dengan peran signifikannya dalam penumpasan pemberontakan G 30 S PKI. 33

33 Arief Mudatsir Mandan, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah, h. 17. BAB IV PEMIMPIN NON MUSLIM DALAM PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA DKI JAKARTA

A. Pemimpin Non-Muslim dalam Putusan Muktamar Lirboyo Tahun 1999

Aksi penolakan-penolakan yang dilakukan oleh sebagian ormas-ormasi Islam

terhadap pemimpin Gubernur non-Muslim di DKI Jakarta dan di kota-kota lain di

Indonesia semakin masif dilakukan menjelang Pilkada pemilihan Gubenur dan

Wakil Gubernur DKI Jakarta. Hal yang malatarbelakangi aksi penolakan-penolakan

ini adalah adanya pemahaman dari sebagin umat Islam terhadap larangan

mengangkat pemimpin non-Muslim di dalam Al-Quran. Salah satu ormas Islam,

yaitu FPI memahami bahwa ayat-ayat yang melarang mengangkat pemimpin non-

Muslim adalah bersifat mutlak dan tidak bisa ditawar lagi.

Namun ada juga ormas Islam, yaitu Nahdlatul Ulama yang tidak

menyuarakan pandanganya akan larangan memilih pemimpin non-Muslim atau

melakukan aksi penolakan seperti yang dilakukan FPI dan ormas lainya yang

menolak pemimpin non-Muslim. Sudah barang tentu ini menjadi tanda tanya dari

umat Islam termasuk dari warga Nahdliyin sendiri, bagaimana sikap dan pandangan

Nahdlatul Ulama terhadap pemimpin non-Muslim. Ketika Nahdlatul Ulama tidak

menentukan sikap larangan atau kebolehan memilih pemimpin non-Muslim maka

warga umat Islam atau warga Nahdliyin DKI Jakarta akan kebingungan untuk

menentukan pilihanya pada Pilkada pemilihan Gubernur di DKI Jakarta.

Menjelang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di DKI Jakarta,

pertarungan memperebutkan pemilih berlangsung sangat keras. Salah satu yang

suara yang diperebutkan adalah massa dari kalangan nahdliyin atau warga

64 65

Nahdlatul Ulama di DKI Jakarta. Suara massa Nahldatul Ulama memang menjadi rebutan, karena salah satu karakteristik warga Nahdlatul Ulama adalah petronase santri-kiai yang kuat. Apa yang menjadi keputusan kiai biasanya selalu diamini sebagai kebenaran oleh santri. Karena itu dalam pandangan politisi, dengan mendekati kiai Nahdlatul Ulama, diharapkan warganya akan mengikuti.1

Jauh sebelum isu pemimpin non-Muslim pada Pilkada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubenur di DKI Jakarta, ternyata Nahdlatul Ulama sudah memiliki keputusan terkait memberikan kekuasaan kenegaraan kepada non-Muslim, termasuk hal kepemimpinan. Pembahasan tantang pandangan Nahdlatul Ulama terhadap pemimpin non-Muslim ada pada hasil Muktamar ke-30 tahun 1999 di

Lirboyo. Dengan adanya pertanyaan bagaiman hukum memberikan urusan kenegaraan kepada non-Muslim. sehingga lahirlah keputusan bahwa melarang memberikan urusan kenegaraan kepada non-Muslim kecuali dalam keadan darurat.2Keputusan inilah yang menjadi rujukan bagi warga Nahdliyin dalam menetukan pilihan Gubernur pada Pilkada DKI Jakarta.

Maka kaitanya dengan persoalan mengangkat pemimpin non-Muslim, keadaan darurat yang dimaksud ada tiga poin. Pertama dalam bidang-bidang yang tidak bisa diatangani sendiri oleh orang Islam secara langsung atau tidak langsung.

Karena faktor kemampuan. Kedua, dalam bidang-bidang yang ada orang Islam berkemampuan untuk menangani, tetapi terdapat indikasi kuat bahwa yang

1 https://nusantara.news/dukungan-pkb-terhadap-ahok-pembangkangan-santri-kepada- kiai. Berita diakses pada 20 April 2017.

2 Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-30 tanggal 21-27 November di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur. 66

bersangkutan khianat. Ketiga, sepanjang penguasaan urusan kenegaraan kepada non-Muslim itu nyata membawa manfaat. Dengan catatan bahwsanya orang non-

Muslim yang dimaksud adalah berasal dari kalangan ahlu dzimmah dan harus ada mekanisme kontrol yang efektif.3

Dalam kaidah fikih ada kaidah yang berbunyi Adh-Dharuratu Tubihu

Mahzhurat (keadaan darurat memperbolehkan melakukan yang dilarang). Adh-

Dharurat adalah jamak dari kata dharurah, yang secara bahasa diartikan keadaaan yang sangat sulit dan merupakan ism mashdar dari kata al-idhthirar. Misalnya dikatakan Hamalatni adh-dharurarh ala kadza wa kadza (kesulitan itu membuatku melakukan begini dan begitu).4

Adh-Dharurah dalam istilah syariat Islam adalah keadaan yang memaksa untuk melakukan apa yang dilarang oleh syariat Islam. Sebagian fukaha mendefenisikan bahwa ia adalah keadaan seseorang yang sampai pada batas yang apabila dia tidak melakukakan apa yang dilarang, maka dia binasa atau hampir mati.

Sedangkan defenisi al-manzhurat adalah segala sesuatu yang dilarang oleh syariat

Islam, atau sesuatu yang diharamkan oleh syariat Islam.5

Kitab-kitab yang dipakai oleh Nadhlatul Ulama untuk menjadi rujukan dalam menetapkan tentang larangan memberikan kekuasaan kenegaraan kepada non-

3 Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-30 tanggal 21-27 November di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur.

4 Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz: 100 Kaidah Fikih dalam Kehidupa Sehari-Hari, terj. Muhyiddin Mas Rida, (Jakarta: Al-Kautsar, 2008), h. 108.

5 Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz: 100 Kaidah Fikih dalam Kehidupa Sehari-Hari, h. 108- 109. 67

Muslim dan dibolehkan dalam kodisi darurat adalah kitab-kitab Mu’tabarah, antara lain, pertama kitab at Tuhfah li-Ibnu Hajar al-Haitsamiy, dalam kitab ini dijelaskan bahwasanya orang Islam tidak boleh meminta bantuan kepada orang kafir dzimmi atau lainya kecuali jika sudah sangat terpaksa. Didalam kitab itu juga dijelaskan menurut dhahir pendapat mereka, bahwa meminta bantuan kepada orang kafir tersebut tidak diperbolehkan walupun dalam kedaan darurat. Namun dalam penutup disebutkan tentang kebolehan meminta bantuan jika memang darurat.6

Dalam kitab al-Syarwani ‘Alat Tuhfah, dijelaskan bahwa jika suatu kepentingan mengharuskan penyerahan sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan oleh orang lain dari kalian umat Islam atau tampak adanya penghianatan pada si pelaksana dari kalangan umat Islam dan aman ditangan kafir dzimmi, maka boleh menyerahkanya karena dharurat. Namun demikian, bagi pihak yang menyerahkan harus ada pengawasan terhadap orang kafir tersebut dan mampu mencegahnya dari adanya gangguan terhadap siapapun dari kalangan umat Islam.7

Dalam tataran fikih siyasah, Nahdlatul Ulama mengambil pertimbangan hukum dari kitab al-Ahkam As-Sulthaniyyah Imam al-Mawardhi. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwasanya Imam al-Mawardhi berpendapat tentang Wazir

Tanfidz yang tidak diisyaratkan harus Muslim, sehingga menguasai hukum-hukum

6 Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-30 tanggal 21-27 November di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur.

7 Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-30 tanggal 21-27 November di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur. 68

syar’i pun tidak harus dipenuhi. 8 Penulis melihat bahwa pernyataan ini memiliki isyarat bahwa tidak mutlak orang non-Muslim dilarang diberikan jabatan kekuasaan kenegaraan.

Rais Syuriyah Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta Mahfudz

Asirun juga menyatakan bahwa kondisi yang dikatakan dharurat adalah ketika di suatu negara mayoritas orang kafir kemudian orang Islam sedikit, dan kalau tidak memilih terancam, dalam kondisi ini boleh memilih pemimpin yang non-Muslim tersebut secara zahirnya saja, namun bathinya tidak.9 Atau dengan kata lain sebagaimana yang dijelaskan oleh Mujar Ibnu Syarif, diberi dispensasi untuk bertaqiyyah dihadapan orang-orang kafir secara zahir, tidak dalam bathin dan niat.

Ini juga pendapat dari ulama klasik seperti Ibnu Katsir, al-Jashshash, Ali al-Sayis dan Wabah al-Zuhaili.10 Ini dilakukan hanya demi alasan keselamatan agama dan jiwa .

Dalam hasil muktamar dijelaskan bahwa orang non-Muslim yang diberikan keuasaan itu harus dari kalangan ahlul zhimmah. Menurut Mahfudz Asirun Pada dasarnya sekarang tidak ada lagi kaum ahlul dzimmah. Karena pada teori dalam fikih, ahlul dzhimmah adalah orang non-Muslim yang hidup di negara Islam yang

8 Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-30 tanggal 21-27 November di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur. Lihat juga Al-Mawardhi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, terj. Fadli Bahri, (Jakarta: Darul Falah, 2006), h. 47-48 .

9 Wawancara dengan KH. Mahfud Asirun An-Nadawy (Rais Syuriyah PWNU DKI Jakarta) pada tanggal 24 April 2017 pukul 22.07 wib.

10 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006) h. 97. 69

dikenakan pajak (membayar jizyah) dan tunduk pada aturan yang diberlakukan oleh pemerintahan Islam.11 Hanya saja jika implikasinya pada konteks kekinian atau lebih khusus pada konteks keindonesia, maka orang non-Muslim yang disebut dengan ahlul dhimmah adalah yang dilindungi oleh negara dan mematuhi aturan yang ada di negara Indonesia.

Lebih lanjut Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU DKI Samsul Ma’arif menjelaskan bahwa tidak semua teori di dalam fikih itu diterapkan sama persis dengan zaman dulu. Karena sekarang teori yang berkembang adalah teori kebangsaan dan demokrasi, warga negara tidak dikualifikasi berdasarkan agama, ras, dan golongan.12 Hak dan kewajiban warga negara sama dalam konteks hukum, termasuk dalam membayar pajak. Jadi teori zaman dulu orang Islam wajib bayar zakat, non-Muslim bayar pajak, tapi teori ini tidak diterapkan dalam kondis negara

Indonesia. Jadi Samsul Maarif menyatakan, kafir dzimmi itu adalah orang non-

Muslim yang taat dalam perundang-undangan, bisa mencontohkan kerukunan dalam beragama, tidak melakukan perlawanan, saling menghormati kehidupan beragama.13Jadi penulis melihat bahwa dalam konteks kekinian dan keindonesian perihal ahlul dzimmah ini sangat erat kaitanyat dengan dinamika perkembangan sosial politik yang terjadi di negeri Muslim.

11 Wawancara dengan KH. Mahfud Asirun An-Nadawy (Rais Syuriyah PWNU DKI Jakarta) pada tanggal 24 April 2017 pukul 22.07 wib.

12 www.nu.or.id. Berita diakses pada 20 April 2017

13 Wawancara dengan Samsul Ma’arif (Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU DKI Jakarta), pada tanggal 03 Mei 217 pukul 05.53 Wib. 70

Ketika kekuasaan urusan kenegaraan diberikan kepada non-Muslim, maka dalam keputusan muktamar itu harus ada mekanisme kontrol yang efektif. Maka inilah tugas para ulama. Para ulama berkewajiban memberikan masukan dan saran kepada pemerintah. Karena umara dan ulama dalam sebuah negara harus saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Baik dan buruknya sebuah negara serta masyarakat yang dipimpin tergantung bagaimana keharmonisan hubungan antara ulama dan umara.14Hubungan ini bukan hanya hubungan silaturrahim dan sebagainya, tetapi lebih kepada hubungan politis yang terkait dengan kebijakan- kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah harus ada peran ulama.

Ketika dalam kondisi umat Islam sudah terlanjur dipimpin oleh non-Muslim, maka umat Islam harus menerima kepemimpinan itu. Tetapi tidak mutlak menerima dengan sepenuh hati. Umat Islam boleh menerima secara zahirnya saja, sedangkan dalam bathin tetap menolak terhadap pemimpin non-Muslim tersebut.15 Kerena kalau berontak, syarat-syaratnya dirasa belum cukup, maka lebih diutamakan keselamatan dari pada pertumpahan darah.

Terkait polemik pemilihan Gubernur DKI Jakarta, salah satu badan otonom dari Nahdlatul Ulama, GP Anshor membuat bahtsul masail dengan hasil bahwa umat Islam dibolehkan mengangkat pemimpin non-Muslim,16 karena dianggap

14 Wawancara dengan KH. Mahfud Asirun An-Nadawy (Rais Syuriyah PWNU DKI Jakarta) pada tanggal 24 April 2017 pukul 22.07 wib.

15 Wawancara dengan KH. Mahfud Asirun An-Nadawy (Rais Syuriyah PWNU DKI Jakarta) pada tanggal 24 April 2017 pukul 22.07 wib.

16http://m.tribunnews.com/nasional/2017/03/12/boleh-memilih-pemimpin-non-muslim- hasil-keputusan-bahtsul-masail-gp-ansor. Berita diakses pada 20 April 2017. 71

dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), setiap warga negara

bebas menetukan pilihan politiknya dalam memilih pemimpin tanpa memandang

latar belakang agama yang dianutnya. Lebih lanjut dinyatakan bahwa terpilihnya

non-Muslim di dalam kontestasi politik berdasarkan konstitusi adalah sah, baik

secara konstitusi maupun agama.

Menanggapi hasil bahtsul masail GP Anshor tersebut, Rais Syuriyah

Nahdlatul Ulama DKI Jakarta Mahfudz Asirun menegaskan bahwa hasil bahtsul

masail yang diselenggarakan tersebut tidak bisa dijadikan dalil dan tidak bisa

membatalkan hasil Muktamar. Karena dalam pembahasan muktamar dibahas oleh

ulama Nahdlatul Ulama berskala nasional se-Indonesia, dan mereka memang

memiliki keilmuan yang mumpuni dalam hal tersebut. Sehingga keputusan hasil

muktamar ini tetap dipakai sampai sekarang untuk dijadikan rujukan oleh ulama-

ulama Nahdlatul Ulama dalam menghukumi polemik pemimpin non-Muslim.17

B. Pro dan Kontra Pemimpin Non Muslim dalam Pandangan PWNU DKI

Jakarta

Dalam konteks pemilihan Gubenur DKI Jakarta, Mahfudz Asirun memahami

bahwasanya umat Islam dilarang memberikan kekuasan kepada non-Muslim

kecuali dalam kondisi darurat aja, seperti keputusam Muktamar.18 Selagi masih ada

calon pemimpin dari yang muslim kenapa harus memilih pemimpin yang non-

17 Wawancara dengan KH. Mahfud Asirun An-Nadawy (Rais Syuriyah PWNU DKI Jakarta) pada tanggal 24 April 2017 pukul 22.07 wib.

18 http://m.tribunnews.com/metropolitan/2017/04/16pwnu-jakarta-memilih-pemimpin- muslim-sesuai-muktamar-lirbooyo. Berita diakses pada 30 Mei 2017. 72

Muslim, karena kondisi dharurat belum dipenuhi dalam konteks pemilihan

Gubernur di DKI Jakarta. Alhasil Mahfudz Asirun menegaskan dukunganya serta menyerukan agar umat Islam nahdliyin DKI memilih pemimpin yang Muslim dan beriman.19Lebih lanjut meskipun atasan atau bawahanya mungkin saja mengatakan bahwa Nahdlatul Ulama mendukung non-Muslim, yang jelas Rais Syuriyah

Nahdlatul Ulama DKI tidak mendukung gubernur non-Muslim. Mahfudz Asirun menyampaikan ini karena merasa kewajiban dan merasa terpanggil, jangan sampai warga Nahdliyin mendukung dan memilih Gubenur non-Muslim.

Mahfudz Asirun menambahkan bahwa, PWNU DKI Jakarta tidak mau neko- neko, dan seharusnya bersikap sami’na wa atho’na dengan keputusan dan ketetapan yang disepakati syuriyah dan sesepuh ulama seluruh Indonesia. Karenanya, ia menilai ini harus menjadi keputusan bagi warga Nahdlatul Ulama atau Nahdliyin.

Hasil muktamar itu menjadi panduan terbaik bagi warga Nahdlatul Ulama dan umat

Islam.20

Lebih lanjut Mahfudz Asirun menjelaskan bahwa sebagai ormas Islam terbesar, Nahdlatul Ulama harus menentukan sikap walaupun secara struktural tidak berpolitik praktis. Maka dari itu warga Nahdlatul Ulama harus diarahkan dan diberi pilihan arah memilih mereka. Pada dasarnya Nahdlatul Ulama sebenarnya

19 http://m.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2016/08/12/99237/kh-mahfudz-asirun- nu-dki-dukung-gubernur-muslim-beriman.html. Diakses pada 30 Mei 2017.

20 http://m.tribunnews.com/metropolitan/2017/04/16pwnu-jakarta-memilih-pemimpin- muslim-sesuai-muktamar-lirbooyo. Diakses pada 30 Mei 2017. 73

sudah mengetahui mengenai keputusan Muktamar Lirboyo, sehingga tidak perlu ditafsirkan yang memang sudah final.21

Penulis melihat bahwa di samping alasan Mahfudz Asirun menolak Gubernur non-Muslim dengan rujukan putusan Muktamar Lirboyo, ada sisi lain yang bersifat politik yang cukup mempengaruhi pernyataanya tersebut. Sebagaimana yang dikabarkan oleh salah satu media massa elektronik bahwa Mahfudz Asirun menggunakan hak politiknya mendukung calon gubernur Muslim yaitu Anis

Baswedan pada putaran kedua pilkada pemilihan Gubernur DKI Jakarta.22 Namun, perlu diketahui bahwa pada pilkada putaran pertama, Mahfudz Asirun tidak mendeklarasikan dukungan kepada Anis Baswedan.

Meskipun Nahdlatul Ulama tidak berpolitik praktis, sebagaimana yang

Mahfudz Asirun tegaskan, namun ia pribadi sebagai Rais Syuriyah PWNU DKI mendeklarasikan dukungannya kepada calon Gubernur Muslim Anis Baswedan.

Penulis melihat bahwa, meskipun Mahfudz Asirun mendeklrasikan dukunganya bukan mewakili PWNU DKI Jakarta secara keseluruhan. Pernyataan ini cukup mempengaruhi pilihan warga nahdliyin dan umat Islam DKI umumnya dalam menentukan hak poilitik mereka, karena ia merupakan seorang tokoh serta Rais

Syuriyah PWNU DKI Jakarta.

21 http://m.republika.com.id/berita/nasional/politik/17/04/16/oogk1f385-patuhi-muktamar- lirboyo-pwnu-dki-serukan-nahdliyyin-pilih-gubernur-seiman. Diakses pada tanggal 30 Mei 2017.

22 http://m.republika.co.id/berita/nasional/politik/17/04/14/ood9ix284-secara-kultural-nu- dki-mendukung-penuh-aniessandi. Diakses pada tanggal 5 Juni 2017. Lihat juga berita di http://pilkada.tempo.co/read/news/2017/04/16/348866456/rais-syuriyah-nu-dki-jakarta-dukung- anies-sandi. 74

Wakil Ketua Tanfidziyah Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta

Munahar Mukhtar ketika mengomentari acara Istighosah Kebangsaan Nahdliyin

DKI Jakarta yang dihadiri oleh calon Gubernur non-Muslim Basuki Tjahya

Purnama menegaskan bahwa acara tersebut tidak mencerminkan sikap politik

Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta. Ia menegaskan bahwa acara tersebut digelar tanpa sepengetahuan pengurus dan bukan acara PWNU DKI

Jakarta.23 Lebih lanjut Munahar Mukhtar membantah PWNU dan warga Nahdliyin mendukung calon Gubenur non-Muslim.24

Munahar Mukhtar menegaskan bahwa warga Nahdliyin masih sakit hati dengan perlakuan Basuki Tjahya Purnama dan penasehat hukumnya terhadap Rais

Aam PBNU KH. Ma’ruf Amin pada sidang kasus penodaan agama oleh calon

Gubernur non-Muslim tersebut. PWNU DKI juga mendukung pernyataan tegas

Ketua Tanfidziyyah PBNU Said Aqil Siradj yang menyatakan Basuki Tjahya

Purnama bersalah terhadap Rais Aam PBNU. Munahar memastikan telah mengantongi nama-nama pengurus yang hadir dalam acara istigosah tesebut dan telah melaporkan nama-nama itu ke PBNU serta akan memberi sanksi tegas.25

Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta juga resmi megeluarkan maklumat yang melarang pengurus dan warga Nahdliyin memilih calon Gubernur non-Muslim di Pilkada DKI Jakarta. Menurut Munahar maklumat ini jauh lebih

23 https://m.detik.com/news/berita/d-3414804/kata-ahok-soal-istigasah-nahdliyin-yang- disoal-pwnu-dki . Diakses pada 30 Mei 2017.

24 http://tirto.id/disebut-dukung-ahok-pwnu-dki-masih-sakit-hati-cirJ. Diakses pada 30 Mei 2017.

25 http://tirto.id/disebut-dukung-ahok-pwnu-dki-masih-sakit-hati-cirJ. Diakses pada 30 Mei 2017. 75

tegas dibandingkan dengan maklumat bersifat himbauan yang dikeluarkan PBNU.

Ia kembali menegaskan bahwa seluruh warga Nahdliyin DKI Jakarta tidak boleh memilih calon Gubernur non-Muslim karena telah menyakiti hati Rais Aam.26

Dari penyataan Munahar Mukhtar ini dapat dilihat bahwa keputusan untuk menolak calon gubernur non-Muslim di samping pertimbangan putusan Muktamar

Lirboyo, ada faktor lain yang ikut mempengaruhi. Faktor yang mempengaruhi

Munahar Mukhtar dan PWNU DKI Jakarta adalah faktor primordial kultural

Nahdlatul Ulama, yaitu Munahar tidak bisa menerima tindakan tidak pantas dan intimidasi calon gubernur non-Muslim DKI terhadap Rais Aam PBNU KH. Ma’ruf

Amin pada persidangan kasus penodaan agama oleh calon gubernur non-Muslim tersebut.

Hal senada juga disampaikan oleh Wakil Majelis Syura PWNU DKI Yusuf

Aman mengatakan bahwa Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta memutuskan tidak akan memberikan dukungan kepada Basuki Tjahya Purnama dalam pemilihan Gubenur DKI Jakarta. Ia menjelaskan bahwa masyarakat harus dibantu dibukakan hatinya, agar mengetahui kondisi pemerintahan yang seutuhnya, bukan hanya sepotong-sepotong, dan masyarakat harus mulai diajak untuk berfikir kritis.27 Ia juga menjelaskan bahwa PWNU tentu tidak masuk ke wilayah politik praktis, karena memang secara struktural Nahdlatul Ulama tidak boleh berpolitik,

26 http://tirto.id/disebut-dukung-ahok-pwnu-dki-masih-sakit-hati-cirJ. Diakses pada 30 Mei 2017.

27 http://m.forum.detik.com/umat-islam-bersatu-nahdlatul-ulama-dki-tolak-ahok-di- pilkada-2017-t1386847.html. Diakses pada 30 Mei 2017. 76

tetapi secara kultural suara arus bawah Nahdlatul Ulama menolak calon Gubernur non-Muslim.28

Sebagaimana yang dikabarkan oleh salah satu media massa, bahwa Yusuf

Aman menyatakan miris dengan jalannya pemerintahan di lingkungan pemerintahan DKI, di mana menurutnya pola kepemimpinan yang dijalankan begitu gaduh dan jauh dari kesejukan. Oleh karena itu ia menegaskan bahwa situasi politik di ibu kota memang mebutuhkan perhatian dari semua pihak. Karenanya

Yusuf meminta agar kedepan masyarakat DKI bersatu padu dan sama-sama berfikir bagaimana membangun Jakarta yang lebih baik kedepanya.29

Hal yang menjadi perhatian penulis adalah pernyataan ini dikeluarkan oleh

Yusuf Aman ketika sela-sela silaturrahmi DPD Partai Gerindra DKI Muhammad

Taufik dengan Pimpinan Pengurus Harian PWNU DKI Jakarta. Perlu diketahui bahwa Partai Gerindara adalah salah satu partai besar pendukung calon Gubernur

Muslim di Pilkada DKI Jakarta. Penulis melihat bahwa pernyataan ini sarat akan muatan politik dan kepentingan, karena secara tidak langsung partai politik justru mengharapkan dukungan itu. Ditambah lagi dengan sikap Yusuf Aman yang tidak sungkan mengamini statemen ketua DPD Gerindara DKI yang berkeyakinan bahwa warga nahdliyin DKI tidak akan mendukung calon Gubernur non-Muslim.

28 http://www.jurnalmuslim.com/2016/pwnu-dki-jakarta-warga-nu-jakarta-tolak-ahok- menjadi-gubernur-di-pilgub-2017.html?m=1. Diakses pada 31 Mei 2017.

29 http://m.forum.detik.com/umat-islam-bersatu-nahdlatul-ulama-dki-tolak-ahok-di- pilkada-2017-t1386847.html. Diakses pada 5 Juni 2017. 77

Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU DKI Jakarta Samsul Ma’arif juga mengatakan bahwa Nahdlatul Ulama sudah lama memiliki keputusan haram memilih pemimpin non-Muslim, sebagaimana yang tercantum di dalam hasil

Muktamar Lirboyo Tahun 1999. Menurut Samsul Ma’arif, keputusan bahtsul masail Nahdlatul Ulama itu satu tingkatan dengan fatwa MUI. Hanya saja istilah yang dipakai berbeda, jika di MUI disebut dengan fatwa kalau di Nahdlatul Ulama disebut dengan keputusan bahtsul masail.30

Lebih lanjut Samsul Ma’arif menjelaskan bahwa keputusan bahtsul masail hasil muktamar tesebut disepakati oleh para kiai di Syuriyah Nahdlatul Ulama dan para kiai-kiai yang lain dan menjadi pegangan bagi warga Nahdlatul Ulama. Ia menegaskan bahwa jika ada orang Nahdlatul Ulama yang justru memilih pemimpin non-Muslim, berarti ia tidak mengikuti hasil muktamar. Namun Samsul menekankan harus memilih pemimpin Muslim, karena masih ada calon pemimpin yang Muslim. Memilih pemimpin non-Muslim hanya boleh jika tidak ada calon pemimpin Muslim.31

Dalam konteks pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta,

Samsul Ma’arif menambahkan secara institusional Nahdlatul Ulama tidak mendukung salah satu calon. Namun, sesuai dengan pandangan Rais Aam PBNU, pengecualian kondisi dharurat dalam hasil Muktamar Lirboyo tersebut tidak

30 http://www.wartapilihan.com/nu-dki-haram-pilih-pemimpin-non-muslim/. Diakses pada 31 Mei 2017.

31 http://www.wartapilihan.com/nu-dki-haram-pilih-pemimpin-non-muslim/. Diakses pada 31 Mei 2017. 78

berlaku di Pilkada DKI Jakarta, karena masih adanya calon gubernur yang

Muslim.32

Berbeda dengan pendapat-pendapat sebelumnya Katib Syuriyah PWNU DKI

Jakarta Ahmad Zahari menghimbau agar masyarakat memilih pemimpin yang sesuai dengan keinginan hati nuraninya, bukan berdasarkan desakan atau anjuran siapa pun, apalagi bersifat memaksa. Sementara itu terkait isu agama yag sering dimainkan dalam Pilkada DKI Jakarta, ia hanya meyakini bahwa ajaran agama selalu menganjurkan pada kebaikan, tetapi harus dipisahkan dengan memilih pemimpin dalam konteks Pilkada di Indonesia, sebab persoalan pilihan tergantung pada individu masing-masing.33

Sedangkan terkait tempat ibadah yang dijadikan sebagai ajang kampanye dan menyerang mereka yang berbeda penafsiran dalam kebolehan memilih pemimpin non-Muslim, Ahmad Zahari mengingatkan bahwa rumah ibadah adalah tempat umum sehingga sebaiknya tidak digunakan sebagai sarana melakukan orasi politik, terlebih khutbah keagamaan yang bersifat takfiri dan bernada kebencian. Masjid adalah untuk rumah bersama, siapa saja tidak hanya untuk satu pengikut atau pendukung calon Gubernur. Ia mengimbau kalau dalam msjid mestinya umum-

32 http://m.suara.islam.com/read/kabar/nasional/21759/NU-DKI-Tegaskan-Pemimpin- Kenegaraan-tidak-Boleh-Non-Muslim. Diakses pada 31 Mei 2017.

33 http://www.nu.or.id/post/read/76582/imbauan-pwnu-dki-jakarta-terkait-pilkada. Diakses pada 31 Mei 2017. 79

umum saja (khutbah), karena tidak hanya satu orang atau kelompok. Khutbah keagamaan jangan dijadikan alat kampanye kebencian untuk yang berbeda.34

Senada dengan pandangan Ahmad Zahari, Wakil Katib Syuriyah PWNU DKI

Jakarta Taufik Damas menyatakan bahwa, larangan memilih pemimpin berbeda keyakinan sebenarnya hanya persepsi sebagian orang yang meyakini bahwa umat

Islam tidak boleh memilih pemimpin dari non-Muslim. Tidak semua umat Islam berfikiran seperti itu, karena kalau berbicara landasan teologisnya pun masih menjadi perdebatan.

Para pendiri negara ini telah sepakat bahwa Pancasila dan UUD 1945 sudah menjadi acuan kehidupan bagi bangsa dan negara Indonesia. Dalam artian setiap orang menyadari bahwa siapapun yang hidup di bumi pertiwi, meski berbeda agama dan suku, berhak menjadi calon pemimpin di Indonesia, baik sebagai Bupati,

Gubernur maupun Presiden. Dalam Undang-undang di Negara Indonesia tidak ada aturan yang menyatakan bahwa memilih pemimpin harus yang beragama Islam atau larangan memilih pemimpin non-Muslim.35

Labih lanjut Taufik Damas mengatakan bahwa ada sebagian orang beranggapan tidak boleh memilih pemimpin kafir, namun argumen tersebut dinilai kontroversial. Pada dasarnya arti kafir merupakan kalimat yang jika dibicarakan mengandung makna yang masih kontroversi. Ada sebagain orang yang mengatakan kafir itu adalah orang di luar Islam, tetapi kalau kembali kepada Al-Quran,

34 http://www.nu.or.id/post/read/76582/imbauan-pwnu-dki-jakarta-terkait-pilkada. Diakses pada 31 Mei 2017.

35 http://kabarinews.com/video-tidak-memilih-pemimpin-non-muslim-hanya-pandangan- sebagian-kaum-muslim/89662. Diakses pada 31 Mei 2017. 80

mengkaji kalimat kafir dengan berbagai defenisinya tidak selamanya mengacu kepada orang yang-orang yang di luar Islam, tetapi lebih mengacu kepada sifat orang-orang agama apapun. Taufik menjelaskan bahwa kafir itu adalah sifat orang yang menutupi kebaikan dan kebenaran, kemudian dia melakukan itu demi keuntungan pribadi atau kelompok, maka itulah orang-orang kafir. Menurut Taufik, dalam Al-Quran sendiri dinyatakan bahwa orang non-Muslim, seperti Kristen dan

Yahudi disebut ahlul kitab.36

Dalam konteks pemilihan Gubernur DKI Jakarta, Taufik Damas menekankan bahwa tidak benar klaim yang menyatakan semua warga Nahldatul Ulama di

Jakarta tidak memilih dan mendukung calon Gubernur non-Muslim. Ia berpendapat bahwa memilih Gubernur itu berdasarkan pada penilaian atas kinerja, komitmen dan integritas. Menurut dia, Basuki Tjahya Purnama sudah menyatakan dirinya sebagai pemimpin yang menunjukkan kinerja baik, komitmen dan integritas sebagai pengganti Gubernur sebelumnya. Ia menegaskan bahwa tidak semua menolak Gubernur non-Muslim, tetapi yang nyaring suaranya adalah yang menolak.37

Dua tokoh yang membolehkan memilih pemimpin non-Muslim sebagaimana yang penulis paparkan diatas secara politik tidak diragukan lagi bahwa mereka memang pendukung setia Basuki Tjahya Purnama. Tidak dapat dipungkiri bahwa

36 http://kabarinews.com/video-tidak-memilih-pemimpin-non-muslim-hanya-pandangan- sebagian-kaum-muslim/89662. Diakses pada 31 Mei 2017.

37 http://www.infomenia.net/2016/08/ungkapan-tokoh-nu-ini-mengejutkan.html?m=1. Diakses pada 31 Mei 2017. 81

ketika terjadi kasus penistaan agama yang dilakukan oleh calon Gubernur non-

Muslim tersebut, Taufik Damas merupakan koordinator Posko Relawan Nusantara

(RelaNU) yang merupakan garda terdepan pembela calon Gubernur non-Muslim tersebut. Serta hal yang terpenting adalah Taufik Damas merupakan penulis dari buku saku yang berjudul “7 Dalil Umat Islam DKI dalam Memilih Gubernur”, isi dari buku itu adalah dukungan dan kebolehan memilih Gubernur non-Muslim.38 Di sini terlihat bahwa ada unsur kepentingan yang tentu tidak dapat penulis sebutkan, karena indikasi-indikasi untuk itu terlihat dari pembelaan dan dukungan Taufik

Damas terhadap calon gubernur non-Muslim tersebut.

Pada satu sisi dari urain tentang pandangan PWNU DKI tentang hukum memilih pemimpin non-Muslim di atas terlihat bahwa mayoritas pengurus PWNU

DKI dalam menentukan sikapnya masih merujuk kepada hasil putusan Muktamar

Lirboyo. Hanya sebagian kecil saja yang tidak mengikuti putusan hasil muktamar, karena dalam konteks Pilkada DKI Jakarta pilihan terhadap seorang pemimpin itu dikembalikan kepada pemilih sendiri, tidak boleh dipaksa untuk memilih terhadap satu calon dan pemimpin dipilih berdasarkan kineja, komitmen dan integritas, bukan latar belakang agama. Penulis juga melihat bahwa pengaruh pemikiran gaya

Klasik masih mempenguruhi pola pemikiran atau pandangan mayoritas pengurus

PWNU DKI tentang larangan memilih pemimpin non-Muslim.

Paradigma pemikiran ala integralistik masih terlihat dan besar pengaruhnya serta dipertahankan dalam menghukumi status hukum memilih pemimpin non-

38 http://bpt-network.com/berita/detail/relanu-bagikan-buku-saku-7-dalil-gubernur- kepada-relawan-basuki-djarot-35050. Diakses pada tanggal 30 Mei 2017. 82

Muslim. Terlihat dari pernyataan mayoritas pengurus PWNU DKI yang masih melihat latar belakang agama dan keyakinan, bukan melihat kinerja dan nilai-nilai keadilan iniversal. Meskipun sebagin kecil dari pengurus PWNU DKI yang mencoba keluar dari lingkaran agama dan lebih melihat nilai-nilai kebaikan dan keadilan yang ada pada kepemimpinan non-Muslim.

Paradigma pemikiran ala sekuleristik dalam hal kepemimpinan terlihat mempengaruhi sebagian kecil pemikiran pengurus Nahdlatul Ulama DKI. Ini terlihat ketika usaha untuk membedakan antara kepemimpinan agama dan politik, karena dalam konteks Pilkada DKI Jakarta umat Islam hanya dihadapkan memilih pemimpin dalam tataran pemerintahan daerah atau gubernur bukan memilih pemimpin seperti halnya Khalifah atau Imam yang mempunyai dan menjalankan misi keagamaan, sehingga masyarakat dihimbau untuk memilih pemimpin sesuai dengan keinginan dan hati nurani pemilih. Desakan dengan latar belakang agama dan anjuran ataupun paksaan untuk memilih salah satu calon Gubernur tentu mencederai kebebasan dan sistem demokrasi yang diterapkan di negara Indonesia.

Namun, suatu hal yang menjadi cacatan adalah jika merujuk kepada AD/ART

Nahdlatul Ulama, ditemukan bahwa pada bab dua bagian pembahasan pedoman, aqidah dan asas,39 pada pasal 6 dijelaskan bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, Nahdlatul Ulama berasaskan kepada Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 19945. Dalam hal ini penulis bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa Nahdlatul Ulama dalam memahami kehidupan berbangsa dan

39 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Lembaga Ta’lif wan Nasyar PBNU, 2015), cet. ke- 2, h. 38. 83

bernegara serta pandangan politiknya cendrung lebih mengarah kepada paradigma berfikir ala simbiotik. Namun, dari pandangan politik tokoh-tokoh PWNU DKI

Jakarta terhadap pemimpin non-Muslim terlihat tidak singkron antara asas kebangsaan organisasi Nahdlatul Ulama dengan realita pemikiran tokoh-tokoh

Nahdlatul Ulama. Ini terbukti ada sebagian pengurus PWNU DKI yang cendrung berfikir mengarah kepada paradigma integralistik dan sebagian yang lain mengarah kepada paradigma pemikiran sekuleristik.

Dalam konteks Indonesia yang plural serta menjunjung tinggi setiap hak dan kewajiban warga negara di dalam konstitusi, tentunya secara bijak fatwa atau hasil putusan muktamar tentang larangan memilih pemimpin non-Muslim tentu dianggap tidak pas oleh sebagian kalanganan sehingga perlu ditinjau ulang lagi. Jika isu agama ini terus bergulir dalam setiap aktifitas perpolitikan tentu akan mencederai nilai-nilai pluralisme yang selama ini dijaga.

Penulis juga melihat dari perbedaan pendapat tentang larangan memilih pemimpin non-Muslim ini memang lahir dari berbeda penafsiran tentang kondisi darurat sebagaimana yang terdapat di dalam hasil putusan Muktamar Lirboyo.

Ketika dihadapkan dengan realita politik kekinian yang ada di Indonesia termasuk pilkada pemilihan Gubernur di DKI Jakarta, maka akan muncul penafsiran berbeda tentang aplikasi makna dharurat, tentu dipengaruhi beberapa hal seperti perbedaan wawasan keilmuan dan kepentingan-kepentingan yang muncul dari aktifitas politik ini. Sehingga Mahfudz Asirun dan Samsul Ma’arif serta tokoh yang menolak pemimpin non-Muslim menegaskan bahwa kondisi dharurat sebagaimana yang 84

dijelaskan dalam hasil putusan Muktamar Lirboyo belum terpenuhi dalam konteks

Pilkada DKI Jakarta, karena masih ada calon Gubernur DKI Jakarta yang Muslim.

Terlepas dari pro dan kontra yang terjadi di tubuh PWNU DKI Jakarta tentang larangan memilih pemimpin non-Muslim seperti yang penulis jabarkan sebelumnya, hemat penulis hal terpenting yang menjadi catatan bahwasanya dalam dunia politik semua kemungkinan bisa terjadi. Ini terbukti meskipun Nadhlatul

Ulama sudah memiliki tuntunan dan merupakan putusan tertinggi dalam menentukan larangan terhadap hukum memilih pemimpin non-Muslim sebagaimana yang terdapat dalam putusan Muktamar Lirboyo 1999, ternyata masih ada juga warga nahdliyin yang tidak berpedoman dan merujuk kepada hasil putusan muktamar tersebut. Hasil putusan muktamar tersebut hanya menjadi alat legitimasi terhadap dua kubu yang berkepentingan, baik kubu yang pro maupun yang kontra.

Hasil putusan muktamar bagi kubu yang berpandangan dilarang memilih pemimpin non-Muslim menjadi pembenaran sikap politik mereka terhadap dukungan dan jagoan mereka pada kontestasi pemilihan pemimpin, termasuk pemilihan Gubernur. Namun bagi kubu yang membolehkan memilih pemimpin non-Muslim, hasil putusan muktamar dianggap tidak relevan lagi dengan konteks kekinian politik era modern, kalaupun hasil putusan muktamar tersebut dianggap masih berfungsi, tapi penafsiran terhadap hasil putusan muktamar itu di kondisikan penafsiranya dengan kepentingan mareka. Ini mengindikasikan bahwa agama atau hasil putusan Muktamar tersebut bisa saja dijadikan alat politik pembenaran kepentingan antara satu kubu dengan kubu yang lain. Putusan muktamar dalam aplikasi konteks perpolitikan ril seolah-olah menjadi dua sisi hal yang berbeda, 85

karena hal yang membuatnya berbeda adalah penafsiran terhadap hasil putusan itu yang berada pada dua sisi kubu yang berseberangan. BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Mayoritas pengurus Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI

Jakarta menolak pemimpin non-Muslim dan menyerukan agar tidak memilih calon

Gubernur non-Muslim pada Pilkada DKI Jakarta. Pandangan ini merujuk kepada

hasil putusan Muktamar Lirboyo 1999 yang melarang mengangkat pemimpin non-

Muslim kecuali dalam kondisi dharurat. Mayoritas pengurus PWNU DKI

beranggapan bahwa pada konteks Pilkada DKI Jakarta, kriteria-kriteria dharurat

belum terpenuhi. Hanya sebagian kecil dari Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama

(PWNU) yang membolehkan memilih Gubernur non-Muslim.

Pengaruh pemikiran ala klasik dan paradigma pemikiran integralistik masih

sangat dominan dalam corak berfikir mayoritas pengurus PWNU DKI Jakarta baik

Tanfidziyah maupun Syuriyah. Ini terbukti dengan melihat latar belakang agama

dan keyakinan masih sangat menonjol dan dominan pengaruhnya dalam

menentukan memilih seorang pemimpin, sehingga mayoritas pengurus PWNU DKI

menolak umat Muslim dipimpin oleh Gubernur yang non-Muslim. Pemikiran ala

sekuleristik juga terlihat mempengaruhi corak berfikir sebagian kecil pengurus

PWNU DKI Jakarta, dengan cara keluar dari lingkaran agama dan keyakinan dan

lebih mengedepankan serta mengutamakan kepada kinerja, integritas dan keadilan

yang terdapat di dalam kepemimpinan non-Muslim.

Dalam konteks pilkada pemilihan Gubernur DKI Jakarta ada motif lain yang

cukup mempengaruhi pandangan pengurus PWNU DKI dalam mengemukakan

86 87

pandanganya terhadap pemimpin non-Muslim, yaitu dipengaruhi oleh kepentingan

politik. Terbukti ada dua kubu yang berseberangan dalam memahami larangan

memilih pemimpin non-Muslim, kubu yang melarang memilih pemimpin non-

Muslim yaitu dengan dalih ada larangan sebagaimana hasil putusan muktamar, di

kubu yang lain memandang bahwa putusan muktamar tidak relevan digunakan pada

konteks pilkada DKI Jakarta, kalaupun masih memakai hasil putusan muktamar,

namun dikondisikan dengan penafsiran mereka sendiri. Artinya tidak murni kubu

yang menolak pemimpin non-Muslim karena motif agama, namun dipengaruhi oleh

banyak faktor, antara lain kepentingan politik.

B. Rekomendasi

1. Kepada tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama seharusnya mengikuti putusan tertinggi

organisasi, termasuk pada tataran pengurus wilayah, sehingga diupayakan

mengesampingkan perbedaan-perbedaan pendapat antara satu dengan yang lain,

agar tercapai persatuan umat Islam.

2. Kepada warga nahdliyin dan umat Islam DKI Jakarta harus bisa bersikap

bijaksana dan mengambil hikmah serta mengikuti pendapat yang sesuai dengan

hati nurani. Masyarakat diharapkan tidak melakukan aktifitas-aktifitas yang bisa

merugikan diri sendiri dan orang lain, karena mendukung salah satu pendapat.

3. Pemerintah harus aktif dalam mengedukasi dan menangani persoalan perbedaan

pendapat tentang pemimpin non-Muslim tersebut, agar tidak terjadi gesekan-

gesekan yang terlalu jauh di dalam tubuh umat Islam, khususnya yang

berdomisili di DKI Jakarta. DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Al-Qur’an al-Karim

Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

Abdillah, Abu Bakar Muhammad, Ahkam al-Quran, Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyyah, 1988.

Abdul Majid al-Khalidi, Mahmud Pilar-Pilar Sistem Pemerintahan Islam, Terj. Harits Abu Uly, Bogor: Al-Azhar, 2013.

Adnan, Basit, Kemelut di NU Antara Kiyai dan Politik, Solo: CV Mayasari, 1982, cet. Ke-1.

Ali, As’ad Said, Pergolakan di Jantung Tradisi, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008.

Amin, M. Mansyur, Dialog Penmikiran, Islam dan Realitas Empirik, Yogyakarta: LKPSM NU DIY, 1993.

Ashmawi, al, Muhammad Sa’id, Jihad Melawan Islam Ekstrim, ter. Hery Haryanto Azumi dari Againts Islamic Extremism, Depok: Desantara, 2002, cet. Ke-1.

Baghdadi, al, Abdurrahman, Islam Menolak Bantuan Militer Negara Kafir, Surabaya: Suara Bersama, 1990.

Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.

Daman, Rozikin, Membidik NU: Dilema Percaturan Politik NU Pasca Khittah, Yogyakarta: Gama Media, 2001.

Dimasyqi, al, Imam Abi al-Fida al-Hafidz Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-Azhim, Beirut: Dar al-Fikr, 1992.

Enginer, Asghar Ali, Hak-Hak Perempuan Dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Fadeli, Soeleiman, Mohammad Subhan, Antologi Nu Buku I: Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah, Surabaya: Khalista, 2007, Cet. Ke- 1.

Ghazali, al, Etika Berkuasa Nasehat-Nasehat Imam al-Ghazali, terj. Arif D. Iskandar dari al-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Mulk, Bandung: Pustaka Hidayat, 1998.

88 89

Hadikusumo, Djawahi, Matahari-Matahari Muhammadiyah, Yogyakarta: T.pn, 1975.

Haidar M. Ali, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1994.

Hazen, Ibnu, dkk, 100 Ulama dalam Lintas Sejarah Nusantara, Jakarta: Lembaga Ta’mir Mesjid PBNU.

Ida, Laode, Anatomi Konflik NU, Elit Islam dan Negara, Jakarta: Sinar Harapan, T,th.

Indonesia, Ghalia, Pemimpin dan Kepemimpinaan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1948.

Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Kencana, 2014, Cet. Ke-1.

Jashshash, al, Abu Bakar Ahmad Ibn Ali al-Razy, Ahkam al-Qur’an, Al-Qahirah: Syirkah Maktabah Wa Mathba’ah, jilid 2, t.th.

Jawwad, al, Muhammad Abd, Trik Cerdas Memimpin Cara Rasulullah, ter. Abdurrahman Jufri, Solo: Pustaka Iltizam, 2009.

Khaliq, Farid Abdul, Fikih Politik Islam. Terj. Faturrahman A, Hamid, Jakarta: Amzah, 2005.

Khallaf, Abdul Wahab, Politik Hukum Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005.

Lobban, Carolyne Fluehr, Melawan Ekstrimisme Islam: Kasus Muhammad Sa’id al-Ashmawi, Kata Pengantar dalam Muhammad Sa’id al-Ashmawi, Jihad Melawan Islam Ekstrim, terj. Hery Haryanto Azumi dari Againts Islamic Extrimism, Depok: Desantara, 2002, cet. Ke-2.

Mandan, Arief Mudatsir, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah, Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2008.

Masyhuri, Masalah Keagamaan: Hasil Muktamar dan Munas Ulama NU, Surabaya: Dinamika Press, 1997.

Mawardhi, al, Hukum Tatanegara Dan Kepemmpinan dalam Takaran Islam, terj. Abdul Hayyie Al-Kattani, Kamaluddin Nurdin, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.

Na’im, al, Abdullah Ahmad, Dekonstruksi Syariah, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrany dari Toward An Islamic Reformation Civil Liberties Human Rights And Internasional Law, Yogyakarta: LKIS, 1994. 90

Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.

Patimah, Siti, Manajemen Kepemimpinan Islam, Bandung: Alfabeta Bandung, 2015, Cet. Ke-1.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama, Jakarta: Lembaga Ta’lif wan Nasyar PBNU, 2015.

Purwanto, Ngalim, dkk, Administrasi Pendidikan, Jakarta: Mutiara, 1984.

Qodir, Zuly, Syariah Demokratik: Pemberlakuan Syariah Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Rivai, Veithzal, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, Jakarta: Raja Grafindo, 2003.

Syadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1993.

Syamsuddin, Din, Etika dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos, 2002.

Syarif, Mujar Ibnu, Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Erlangga, 2008.

------, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006.

Taimiyah, Taqiyuddin Ibnu, Pokok-Pokok Pedoman dalam Bernegara, terj. Hendri laoust, Bandung: CV Diponegoro, 1967.

Thabathabai, al, al-Sayyid Muhammad Husein, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Beirut: Muassasah al-A’lami li al-Mathbu’at, 1972.

Zada, Khamami, dan Arif Arofah, Diskursus Politik Islam, Jakarta: LSIP, 2004.

------, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Jakarta: Teraju, 2002.

Zaidan, Abdul Karim, Al-Wajiz: 100 Kaidah Fikih Dalam Kehidupa Sehari-Hari, terj. Muhyiddin Mas Rida. Jakarta: Al-Kautsar, 2008. 91

JURNAL

Suryadinata, M, “Pemimpin Non-Muslim dalam Al-Quran: Analisis Terhadap Penafsiran FPI Mengenai Ayat Pemimpin Non-Muslim”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, 2015, Vol. 2, No. 3.

SKRIPSI

Naldi, Wahyu, “Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Larangan Memilih Pemimpin Non-Muslim Dalam Al-Quran: Studi Komparatif M. Quraish Shihab dan Sayyid Qutub”, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun 2015.

WAWANCARA

Wawancara pribadi dengan KH. Mahfud Asirun An-Nadawy, sebagai Rais Syuriyah Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta pada tanggal 24 April 2017.

Wawancara pribadi dengan Samsul Ma’arif, sebagai Wakil Ketua Tanfidziyah Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta, pada tanggal 03 Mei 2017.

PUTUSAN

Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-30 tanggal 21-27 November 1999 di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur.

Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama di Bandar Lampung, Jakarta: Lajnah Ta’lif Wanasyr PBNU, 1992.

ARTIKEL http://bpt-network.com/berita/detail/relanu-bagikan-buku-saku-7-dalil-gubernur- kepada-relawan-basuki-djarot-35050. Diakses pada 31 Mei 2017. http://kabarinews.com/video-tidak-memilih-pemimpin-non-muslim-hanya- pandangan-sebagian-kaum-muslim/89662. Diakses pada 31 Mei 2017. http://m.forum.detik.com/umat-islam-bersatu-nahdlatul-ulama-dki-tolak-ahok-di- pilkada-2017-t1386847.html. Diakses pada 5 Juni 2017. http://m.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2016/08/12/99237/kh-mahfudz- asirun-nu-dki-dukung-gubernur-muslim-beriman.html. Diakses pada 30 Mei 2017. http://m.republika.co.id./berita/pemilu/hot-politic/14/03/21n2siql-mui-muslim- jangan-memilih-pemimpin-nonmuslim. Diakses pada tanggal 26 April 2017. 92

http://m.republika.co.id/berita/nasional/politik/17/04/14/ood9ix284-secara- kultural-nu-dki-mendukung-penuh-aniessandi. Diakses pada tanggal 5 Juni 2017. http://pilkada.tempo.co/read/news/2017/04/16/348866456/rais-syuriyah-nu-dki- jakarta-dukung-anies-sandi. Diakses pada tanggal 5 Juni 2017. http://m.republika.com.id/berita/nasional/politik/17/04/16/oogk1f385-patuhi- muktamar-lirboyo-pwnu-dki-serukan-nahdliyyin-pilih-gubernur-seiman. Diakses pada tanggal 30 Mei 2017. http://m.suara.islam.com/read/kabar/nasional/21759/NU-DKI-Tegaskan- Pemimpin-Kenegaraan-tidak-Boleh-Non-Muslim. Diakses pada 31 Mei 2017. http://m.tribunnews.com/metropolitan/2017/04/16pwnu-jakarta-memilih- pemimpin-muslim-sesuai-muktamar-lirbooyo. Diakses pada 30 Mei 2017. http://m.tribunnews.com/nasional/2017/03/12/boleh-memilih-pemimpin-non- muslim-hasil-keputusan-bahtsul-masail-gp-ansor. Diakses pada 20 April 2017. http://megapolitan.kompas.com/read/2016/09/15/16462071/pbnu.merujuk.ke.fatw a.1999.tentang.pemimpin.non-muslim. Diakses pada tanggal 26 April 2017. http://tirto.id/disebut-dukung-ahok-pwnu-dki-masih-sakit-hati-cirJ. Diakses pada 30 Mei 2017. http://www.infomenia.net/2016/08/ungkapan-tokoh-nu-ini- mengejutkan.html?m=1. Diakses pada 31 Mei 2017. http://www.jurnalmuslim.com/2016/pwnu-dki-jakarta-warga-nu-jakarta-tolak- ahok-menjadi-gubernur-di-pilgub-2017.html?m=1. Diakses pada 31 Mei 2017. http://www.nu.or.id/post/read/76582/imbauan-pwnu-dki-jakarta-terkait-pilkada. Diakses pada 31 Mei 2017. http://www.wartapilihan.com/nu-dki-haram-pilih-pemimpin-non-muslim/. Diakses pada 31 Mei 2017. https://m.detik.com/news/berita/d-3414804/kata-ahok-soal-istigasah-nahdliyin- yang-disoal-pwnu-dki . Diakses pada 30 Mei 2017. https://nusantara.news/dukungan-pkb-terhadap-ahok-pembangkangan-santri- kepada-kiai. Diakses pada 30 Mei 2017. LAMPIRAN 1 Transkip Hasil Wawancara Melalui Telepon pada Tanggal 24 April 2017 Pukul 22.07. WIB

Nama : KH. Mahfudz Asirun an-Nadhawy Jabatan : Rais Syuriyah PWNU DKI Jakarta 1. Bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama secara keorganisasian terhadap pemimpin non-Muslim? Itu ada pada Muktamar ke-30 di Lirboyo Tahun 1999, yang menghasilkan jawaban bagaimana hukum menyerahkan urusan kenegaraan kepada non- Muslim, maka jawabanya orang Muslim dilarang menyerahkan urusan kenegaraan kepada non-Muslim, kecuali pada kondisi darurat. 2. Bagaimana kriteria-kriteria yang dikatakan sebagai kondisi darurat? Darurat misalnya, negara itu mayoritas orang kafir kemudian orang Islam sedikit, dan kalau tidak memilih terancam, maka itu boleh memilih non- Muslim secara zahirnya, namun bathinya tidak. Darurat juga dalam kondisi urusan-urusan yang tidak bisa ditangani oleh orang Muslim, sebagai contoh jika naik pesawat pilotnya kan kafir dan orang Muslim gak ada yang bisa, itu tidak apa-apa. 3. Bagaimana kaitanya dengan menyerahkan urusan kenegaraan kepada orang non-Muslim, apakah contoh itu relevan? Sama saja. 4. Jika dalam konteks pemilihan Gubernur DKI, pendukung Ahok berdalih dengan alasan mendukung Ahok karena NU tidak melarang secara mutlak memilih pemimpin non-Muslim, apakah itu bisa dibenarkan? Bagaimana tanggapanya? Tidak dibenarkan, karena di Jakarta mayoritas Muslim, dan tidak ada larang memilih Gubernur Muslim, ini berdasarkan arahan hasil muktamar yang ke- 30 itu, yang dirujuk dari al-Qur’an dan Hadits dan kalam-kalam ulama. 5. Dalam bahsul masail hasil dari muktamar ke-30 itu dijelaskan bahwasanya dalam keadaan darurat urusan kenegaraan boleh diberikan kepada non-Muslim, dalam bahsul masail itu ada catatan bahwasanya hanya boleh diberikan kepada ahlul zhimmah dan harus ada mekanisme kontrol yang efektif, siapakah yang dikatakan ahlul zhimmah dalam konteks Indonesia dan siapa yang mengontrolnya? Tidak ada ahlul zhimmah, jadi orang kafir yang ada di Indonesia bukan kafir zhimmah, karena kafir zhimmah itu adalah asalnya orang kafir yang tinggal di bumi Muslim kemudian, mereka dikenakan pajak jiwa, ia mengikuti aturan-aturan Islam. Maka di Indonesia bukan kafir zhimmi, namun diberlakukanya seperti zhimmi dalam hal perlindungan oleh negara. Yang

93 94

mengontrol ulama, karena pada dasarnya ulama perencana dan pengontrol, umara sebagai pelaksana. Namun dalam penerapan di Indonesia terkadang ulama ditinggalkan jalan bareng dalam membangun negara, malah terkadang ulama yang memberi fatwa itu dikucilkan, pada konsepnya seperti itu, jadi walaupun tidak bisa dilaksanakan semuanya, ya jangan ditinggal semuanya. Andaikan orang kafir itu sudah terlanjur memegang kekuasaan maka harus dikontrol, namun apakah pemerintah mendengarkan kontrol? Maka pada tataran konsep ulama dan umara harus bersatu, manakala ulama dan umara baik, maka masyarakat pun baik. Namun pada praktik pada hal tertentu saja ulama diajak bicara.

6. Dalam konstitusi RI yaitu UUD 1945 tidak melarang pemimpin non- Muslim, Bagaimana tanggapanya? Kalau bertentangan antara hukum posistif dengan al-Qur’an maka kita athi ‘ullah wa athi ‘urrasul. Kalau ada pertentang mak baliknya ke al-Qur’an. Maka dalam konteks pemimpin non-Muslim harus kembali kepada al-Qur’an. Apapun omongan ataupun alasan yang bertentang dengan al-Qur’an, maka kembali ke al-Qur’an. Jadi ada akal ada al-Qur’an, jika ada pertentang dengan al-Qur’an maka kalah akal. Akal itu pada dasarnya memperkuat al- Qur’an, bukan melemahkan al-Qur’an. Misalnya bagaiman perempuan 1 banding 2 dengan laki-laki dalam hal harta warisan, kalau pakai akal seharusnya perempuan lebih banyak, karera dia lemah atau gak kuat mencari nafkah, dibandingkan laki-laki mempunyai tenaga yang kuat untuk mecari nafkah, maka seyogyanya perempuan lebih banyak, maka ini akal yang bertentangan dengan al-Qur’an. Maka akal yang mendukung al-Qur’an adalah karena laki-laki wajib memberikan nafkah, tempat tinggal, inilah namanya akal mendukung al-Qur’an. Namun jika kita belum bisa menerapkan dan mengamalkan maka berdosa, kalau menolak hukum al- Qur’an maka kafir. Dalam hal kepemimpinan non-Muslim, maka berdosa, terkait siapa hal yang berdosa apakah pemerintah karena ulama sudah menyampaikan, maka mungkin saja dosanya berbeda-beda. Jadi pada intinya jika menolak al-Qur’an satu ayat pun kafir, jika belum bisa mengamalkan berdosa. Tugas ulama hanya menyampaikan, pelaksana adalah penguasa. Dalam hadits man raa munkaran munkaran fal yugaiyruh biyadihi, ini penguasa, faillam yastati babilisasni adalah ulama. 95

7. Bagaimana pandangan NU terhadap agama dan politik dalam konteks Indonesia? Tidak saja Nahdlatul Ulama, majelis ulama juga berpandangan bahwasanya agama tidak bisa dipisahkan dari politik, kedua nya harus bersatu. Jangankan perkara pemimpin, ke wc saja bawa agama. Maka pertanyaanya kenapa menyerahkan persoalan kepemimpinan tidak pakai agama?. Tidak ada disyariatkan dalam Islam pemisahan antara agama dan politik. Baik persoalan kecil maupun besar, itu semuanya ibadah. Pada intinya agama tidak bisa dipisahkan dengan negara. Ulam dan umara harus bersatu. 8. Bagaimana pandangan bapak terhadap pernyataan segelintir orang yang beranggapan bahwa dalam konteks Indonesia hanya memilih pemimpin pemerintahan, seperti kepala daerah bukan pemimpin agama? Itu bukan dalil, itu hanya pernyataan orang yang punya kepentingan saja. yang jadi dalil adalah al-Qur’an dan hadits. Apakah ketika dipimpin oleh orang Islam tidak akan damai? Islam itu mengajarkan damai. Hukum negara ada yang sesuai dengan syara’ dan ada yang tidak sesuai. Jika tidak sesuai kita tidak bisa mengikuti. Kalaupun sudah terjadi pemimpin itu kafir, secara bathin kita tidak menerima walaupun secara zhahir menerima. Kerena kalau berontak, syarat-syaratnya belum cukup, lebih diutamakan keselamatan dari pada pertumpahan darah. 9. Kenapa terjadi perbedaan pendapat dalam tubuh NU antar satu dengan yang lain terhadap pemimpin non-Muslim? Ini di pengaruhi oleh keduniaan, kalau mereka taat kepada ulama, yang ulama ini adalah waratsatul anbiya, kenapa harus dibikin-bikin lagi bahsul masail yang bertentangan dengan hasil muktamar. Hasil muktamar itu adalah hasil dari perkumpulan ulama seluruh Indonesia, sedangkan bahsul masail yang dilakukan oleh Anshor ini hanya dilakukan oleh beberapa orang saja, dan juga keulamaannya tidak kelihatan serta dalil-dalil yang digunakan tidak bisa diterima, maka ini dibuat hanya ada maksud-maksud keduniaan berupa kepentingan. 10. Terkait kepemimpinan Ahok di Jakarta, Apakah NU menolak karena memamg murni karena agamanya atau karena gaya kepemimpinanya? Saling menyatu, karena kalau orang kafir itu pasti sombong, karena sama Allah saja berani apa lagi sama orang. Maka alasan utama adalah karena kafirnya. Jadi kafirnya yang dimaksud. Meskipun ada sikap-sikap baiknya. Cuma kalau ada yang menyematkan kata adil kepada orang kafir, itu tidak pas. Karena mungkin secara lughah adil tapi secara syar’i tidak. 11. Terkait surat al-Maidah ayat 51, apakah dalam pandangan NU diartikan pemimpin? NU tidak punya pandangan, itu sudah sudah jelas dalam Kitab Tafsir, salah satunyan Ibnu Katsir. Meskipun dalam kitab tafsir itu artinya pertemanan, 96

maka mafhumnya menjadikan teman saja tidak boleh apalagi menyerahkan kekuasaan. Karena lebih utama lagi, karena kebijakan ditangan dia. 12. Terkait dengan ayat dilarang mengangkat orang kafir menjadi pemimpin adalah pada waktu berperang, sedangkan kita sekarang tidak pada masa perang, maka sah sah aja mengangkat orang kafir sebagai pemimpin. Bagaimana tanggapan bapak? Perang itu ada yang pakai senjata,dan ada yang perang tidak pakai senjata, sebagai contoh yang sebelumnya dilapangan boleh bikin peringatan maulid, namun dilarang, yang tadinya di kecematan ada pengajian, sekarang dilarang. Yang awal nya pemimpin- tingkat desa Muslim diganti dengan kafir. 13. Bagaimana tanggapan bapak terhadap HAM, apakah pelarangan pemimpin non-Muslim tidak bertentang dengn HAM? HAM ada yang sesuai dengan ajara Islam, ada yang tidak sesuai dengan syariat. Sebagai contoh misalkan laki laki kawin dengan laki-laki, perempuan kawin dengan perempuan, mereka minta pengakuan, apakah itu HAM? Maka ini bertentanga dengan al-Qur’an. Ada al-Qur’an ada HAM, jika berentanggan syariat yang dipakai. Maka terkait dengan memilih pemimpin non-Muslim itu murni dilarang. Karena ada mutawalil mutlak dan mutwalil khusus. Maka orang yang menyerahkan kepemimpin mutlak kepada non Muslim, maka bisa mengelurkan dia dari Islam. Kalau yang mutawalil khasah seperti menyerahkan masalah nahkoda, siapa yang bisa silahkan, itu khusus, hanya pada hal yang tidak bisa kita lakukan, maka boleh diberikan kepada non-Muslim. Yang bisa mengeluarkan seseorang dari Islam karena mutawalil mutlak, menyerahkan mutlak, ridha dengan dia. Karena perkara kepemimpinan ini termasuk bagian dari agama, maka tidak boleh memberikanya kepada orang kafir. 97

LAMPIRAN 2 Transkip Hasil Wawancara Melalui Telepon pada Tanggal 3 Mei 2017 Pukul 05.53. WIB

Nama : Dr. KH. Samsul Ma’arif Jabatan : Wakil Tanfidziyah PWNU DKI Jakarta 1. Terjadi perbedaan pendapat antara tokoh satu dengan yang lain dalam tubuh NU tentang pemumpin non-Muslim. Bagaimana sebenarnya pandangan Nahdlatul Ulama tentang pemimpin non-Muslim? Harus dibedakan antara keputusan organisasi NU dengan pandapat-pendapat para tokoh-tokoh atau ulama-ulama NU. Pertama saya akan memulai dari keputusan organisasi dulu. Memang dalam organisasi pernah dibahas pada Muktamar Lirboyo Tahun 1999 tentang menyerahkan kekuasaan kenegaraan kepada non-Muslim, termasuk menyerahkan urusan kepemimpinan. Pada saat itu konteksnya adalah pemilihan ketua DPR/MPR. Sehingga dihasilkan dari bahtsul masail itu adalah melarang menyerahkan urusan kenegaraan kepada non-Muslim, kecuali dalam keadaan darurat. Kedua pendapat pribadi ulama-ulama atau kiai-kiai memang ada polaisasi perbedaan secara pribadi- pribadi tentang mengangkat pimpinan. Pimpinan itu apakah hanya terbatas kepada pemilihan Presiden atau semua pemimpin, maka yang dimaksud dengan pimpinan itu siapa, ini nantinya yang menjadi perdebatan di masing- masing orang. Dikalangan ulama NU sendiri bahwa meyakini ayat tentang pelarangan menjadikan orang kafir menjadi wali, itu dari aspek pendekatan tafsir berbeda-beda. Itu tidak qath’i, artinya kata auliya itu sudah menjadi makna musytarak atau makna ganda. Pertama kalimat auliya, itu apakah diartikan pemimpin atau diartikan lain sepeti penolong, teman setia. Oleh karena itu ketika ada kalimat musytarak, pasti disitu terjadi perbedaan, tidak bisa dikatakan ayat itu qat’iy atau pasti. Kedua makna kafir, terminologi kafir dalam al-Qur’an maknanya banyak, apakah orang kafir itu dikendaki orang selain Islam, atau orang kafir Quraiys yang penyembah berhala, sedangan penyebutan orang Nashrani dan Yahudi menggunakan terminologi ahlul kitab. Sebagai contoh al-Qur’an membolehkan menikahi wanita ahlul kitab dan memakan sembelihan ahlul kitab. Kata untuk Yahudi dan Nashrani ini tidak disebut kafir, sebagimana kafir Makah penyembah berhala. Menikahi orang kafir tidak boleh dan memakan sembelihan orang kafir tidak boleh dimakan. Meskipun dalam hal menikahi perempuan ahlul kitab ada juga perbedaan, tetapi ada peluang, seperti ulama Hanafi membolehkan menikahi wanita ahlul kitab (Yahudi Nashrani). Maka makna sebutan kafir itu terjadi perbedaan pendapat. Apalagi dalam kontek kekinian, misalnya pemimpin 98

sekarang itu perwilayah, berbeda dengan zaman dulu yang mempunyai otoritas penuh. Sedangkan di Indonesia, pemimpin tidak satu satunya. Ada level nasional, ada provinsi. tidak hanya ada Gubernur tapi ada DPR yang mengontrol. Jadi ada eksekutif, legislatif dan ada yudikatif. Inilah salah satu penyumbang perbedaan pendapat. Sehingga dari kiai NU, khusunya di Jakarta ada yang membolehkan, yang membolehkan juga ada dua bagian, ada yang mebolehkan karena beda penafsiran, dan ada yang membolehkan tetap mengacu kepada hasil muktamar karena dipandang termasuk kepada kondisi darurat. Ada pandangan bahwasanya calon yang dari Nashrani lebih menguntungkan jika berhubungan dengan NU, sementara pasangan yang Muslim dianggap yang didukung oleh partai yang dalam tanda kutip, Seperti partai PKS, dianggap tidak menguntungkan kepentingan NU. Walaupun ini alasan-alasan yang kurang bisa diterima, karena alasan ini berupa dugaan. Namun ini terjadi digunakan sebagai alasan oleh beberapa utadz dan kiai Jakarta, kenapa medukung Ahok. Ini pandangan saya pribadi terhadap kiai Jakarta yaa!. Tentang beda penafsiran anda bisa cek dari tafsir-tafsir klasik non-Indonesia, maupun tafsir orang Indonesia, seperti Quraisy Shihab tentang makna auliya, tafsir Idris, maka muncul perbedaan pendapat. 2. Bagaimana Kaitan Agama dan Negara (Politik) Dalam Pandangan NU? Jika merujuk kepada teori politik, ada tiga: pertama agama dan negara adalah satu kesatuan, agama dan agama dipisah, agama menjadi moral berpolitik. Maka NU berada dalam posisi agama menjadi moral berpolitik atau agama dan negara saling mendukung, agama harus diberikan pujakan dasar moral berpolitik. Tetapi juga ada orang NU yang beranggapan bahwa agama dan negara satu kesatuan, bagi warga NU pandangan berpolitiknya berbeda beda, pada kesimpulan orang NU masuk pada dua teori pertama, bukan ketiga yang memisahkan agama dengan negara. PAN dan PKB, agama dan negara bukan satu kesatuan, tapi agama menjadi pijakan moral berpolitik. Politik itu tidak hitam putih. 3. Apa alasan PBNU tidak menolak secara terang-terangan pemimpin non- Muslim, seperti sebagian ormas-ormas Islam lain? NU menjadikan hasil muktamar sebagai pedoman untuk memilih, tetapi dalam praktek menghargai proses demokrasi. Ketika aturan mengatakan non- Muslim boleh menjadikan pemimpin dan non-Muslim memjadi pemenangnya, kita harus menghormati, bahwa itu adalah hasil putusan yang harus dihormati dan diberi peluang untuk memimpin. Tidak boleh diturunkan, karena menurunkan pemimpin yang terpilih itu juga sebagai perbuatan dosa, secara konstitusi melarang dan ajaran agama apapun melarang. Maka kita harus mengambil darul mafasid muqaddam ala jalbil mashalih (mencegah kerusakan diupayakan lebih dahulu sebelum upaya mendapatkan manfaat ). 99

Kedua pemimpin di negara ini ada masanya dan waktunya. Tentang hal ini ada hikmahnya, umat Islam bersatu, bahwa ada kesadaran akan pentingnya pemimpin Muslim, karena pemimpin Muslim secara umum menguntungkan umat Islam, ada keinginan umat Islam untuk mentelaah kitab sucinya. Karena pemimpin di Indonesia dibatasi waktu, maka NU tidak menolak itu, NU menjadikan sebuah pelajaran berpolitik, bahwa kedepan perlu perbaikan- perbaikan. Karaena ideal itu harus berproses. Dengan adanya kasus Ahok ini adalah proses untuk mendapatkan pemimpin yang ideal kedepanya. Kenapa ada ahok, ya proses saja. 4. Dalam putusan muktamar, keadaan darurat boleh memberikan kekuasaan kepada non-Muslim, yaitu kafir dzimmi, pada konteks Indonesia, siapa yang dikatakan ahlul dzhimmah? Warga negara yang baik dan yang taat hukum. Orang non-Muslim yang bisa diajak kerja sama dan taat kepada aturan-aturan. Jadi begini, konteksnya berbeda negara dulu, sistem kengaraan pun sudah berbeda, maka tidak semua teori didalam fikih itu diterapka sama persis dengan zaman dulu. Karena sekarang adalah teori kebangsaan, misalkan hak kewajiban warga negara sama dalam konteks hukum termasuk dalam membayar pajak sama. Jadi teori zaman dulu orang Islam wajib bayar pajak, non-Muslim bayar pajak, tapi teori inikan tidak diterapkan dalam kondisi negara kita. Jadi dalam pandangan saya jika teori kafir dzimmi itu, ya orang Muslim yang taat dalam perundang- undangan, bisa mencontohkan kerukunan dalam beragama, tidak melakukan perlawanan, saling menghormati kehidupan beragama. Jadi dalam konteks kekinian, keindonesian terkait dengan dinamika politik.