DEMOKRASI DALAM PANDANGAN

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos.)

Diajukan Oleh: Ato Sugiarto 103033227781

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH 1430 H./2010 M.

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 27 Januari 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos.) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, 27 Januari 2010

Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Idris Thaha, M.Si. Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag. NIP: 19660805 200112 1 001 NIP: 19690210 199403 2 004

Anggota

Dra. Haniah Hanafie, M.Si. M. Zaki Mubarok, M.Si. NIP: 19610524 200003 2 002 NIP: 19730927 200501 1 008

DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos.)

Oleh Ato Sugiarto NIM: 103033227781

Di Bawah Bimbingan

Idris Thaha, M.Si. NIP: 19660805 200112 1 001

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H./2010 M.

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 16 Desember 2009

Ato Sugiarto

ABSTRAK

Ato Sugiarto Demokrasi dalam Pandangan Abdurrahman Wahid

Demokrasi Pancasila yang digulirkan Orde Baru secara sederhana digambarkan Abdurrahman Wahid sebagai “demokrasi seolah-olah”. Seolah-olah demokrasi padahal di dalamnya semua komponen demokrasi ditelikung dan dibendung. Orde Baru telah menjadikan Pancasila sebagai quasi ideologi apologetik untuk membungkus praktik kekuasaan tiranik dengan nilai-nilai demokrasi yang Pancasilais hingga melahirkan Otoritarianisme penafsiran yang kemudian menjadikan Pancasila sebagai milik mutlak dari pemerintah, dan demokrasipun menjelma formalisme prosedural yang despotik. Dari ruang inilah gagasan demokrasi Abdurrahman Wahid lahir. Sebagai antitesa dari demokrasi Pancasila a la Orde Baru yang secara concern beliau perjuangkan. Baginya, demokrasi yang hanya bertumpu pada institusionalisasi; trias politica, pemilu, Komnas HAM dan seterusnya belum bisa menjamin terpenuhinya rasa keadilan, persamaan hak serta kebebasan. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana seharusnya demokrasi diaplikasikan dalam pandangan Abdurrahman Wahid. Dari penelitian ini kemudian diketahui bahwa konstitusionalisasi demokrasi melalui upaya mewujudkan kedaulatan hukum merupakan prasyarat utama bagi demokrasi. Elemen penting lainnya yang merupakan pilar demokrasi baginya adalah pentingnya penegakan Hak Asasi Manusia, peningkatan kesejahteraan rakyat, penghargaan terhadap pluralitas dan pemberdayaan masyarakat sipil. Kelima hal inilah yang pada akhirnya harus kita perjuangkan secara konsisten demi terwujudnya keadilan, persamaan hak dan kebebasan sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945.

v vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Shalawat serta salam saya haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang saya beri berjudul “Demokrasi dalam Pandangan Abdurrahman Wahid”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam- dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu baik materil maupun moril dalam penyusunan skripsi ini taerutama kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Bachtiar Effendi, MA. selaku Dekan Fakultas ISIP (Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Idris Thaha, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan masukan-masukan kritik maupun saran yang sangat berarti bagi penulis, serta kesabarannya memberikan waktu untuk membimbing penulis 3. Seluruh dosen dan staf akademik prodi Pemikiran Politik Islam Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Ayahanda Bapak Rusman, dan ibunda Sarah yang senantiasa membasahi kedua lisannya dengan curahan do’a bagi keberhasilan penulis meraih cita dan harapan, pula tidak penulis lupakan H. Muhammad Salam serta keluarga yang telah membantu mengarahkan penulis untuk tetap fokus dalam menyusun skripsi ini. 5. Ketua Yayasan Citra Nurul Falah dan seluruh dewan guru di Sekolah Citra Alam Ciganjur yang telah memberikan fasilitas yang digunakan penulis demi lancarnya penyusunan skripsi ini. 6. Seluruh teman-teman alumni Pesanten Luhur Sabilussalam terutama: Jang opik dari Karawang, Yazid dari Sukabumi, Fa’ri dari Cimone, wa Ucup vii

dari Tasikmalaya, Ujang dan Sugih dari Bogor, Istiyanti, Alfine Harista Dewi, yang telah memberikan kontribusinya dalam penyusunan skripsi ini.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca yang ingin mempelajari lebih jauh tentang pemikiran kenegaraan Adurrahman Wahid tentang demokrasi.

Jakarta, 5 Maret 2010

Ato Sugiarto

viii

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...... i KATA PENGANTAR ...... ii DAFTAR ISI ...... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ...... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 4

D. Tinjauan Pustaka ...... 5

E. Metode Penelitian ...... 6

1. Pendekatan Penelitian ...... 6

2. Sumber Data ...... 7

3. Analisis Data ...... 7

4. Sistematika Penulisan ...... 7

BAB II TEORI DEMOKRASI: SEBUAH KERANGKA KONSEPTUAL A. Definisi dan Parameter Demokrasi ...... 11

B. Demokrasi: Ide dan Realitas Politik ...... 17

C. Varian-varian Demokrasi ...... 24

1. Demokrasi Konstitusional ...... 24

2. Demokrasi Rakyat ...... 27

3. Demokrasi Pancasila ...... 29

BAB III BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID A. Pesantren: Dunia Pergumulan Intelektual ...... 31

B. Dari Memimpin NU Hingga Menjadi Presiden RI ...... 36

ix

C. Perjuangan Kultural: Pemikiran dan Aksi Politik ...... 40

BAB IV PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG DEMOKRASI A. Pilar-pilar Demokrasi ...... 45

1. Kedaulatan Hukum ...... 45

2. Penegakan Hak Asasi manusia ...... 50

3. Peningkatan Kesejahteraan Rakyat ...... 55

4. Penghargaan terhadap Pluralitas ...... 58

5. Pemberdayaan Masyarakat Sipil ...... 50

B. Relasi Islam dan Demokrasi ...... 63

C. Analisis Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Demokrasi ...... 70

BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan ...... 73

2. Saran ...... 75

DAFTAR PUSTAKA

Bab 01

Pemikiran Politik Gus Dur

Membicarakan pemikiran politik Gus Dur, tidak bisa terlepas dari kenyataan bahwa Ia berada pada posisi beyond the symbols1. Berbagai macam simbol atau peran melekat pada dirinya. Hal ini disebabkan oleh pemahaman Gus Dur sendiri terhadap realitas sosial yang multi dimensi, sehingga tanggapan atas realitas tersebut tidak bisa bersifat monolitik. Secara psikologis, Gus Dur besar diantara “tiga dunia”; yakni pertama, dunia pesantren yang penuh dengan ortodoksi, berstruktur hirarkis, feodal dan serba mengedepankan etika formal. Kedua, dunia Timur Tengah yang terbuka dan keras, dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasional dan sekular (Al-Zastrouw, 1999: 32).

Dari kompleksitas kepribadian inilah, terbentuk perspektif pemikiran dan perhatian yang multi dimensi. Mulai dari revivalisme pesantren, kritik pragmatisme pembangunan, pembaruan pemikiran agama, pribumisasi Islam, penjagaan budaya, sistem politik demokratis, dsb. Disisi lain berbagai peran yang bisa saling berlawanan satu sama lain yakni kyai, ketua ormas tradisional, pemikir liberal- humanis, politisi, aktivis LSM, budayawan, dan Presiden RI, membuat Gus Dur tak bisa lepas dari kontradiksi. Contoh, ketika sebagai presiden dari kalangan muslim malah mengusulkan diperbolehkannya lagi ajaran komunisme berkembang, padahal sebagai presiden apalagi muslim, ia seharusnya tetap mengubur ideologi “sesat” yang dikutuk kaum muslim dan bersifat traumatik dalam rekaman sejarah orang , semuanya terjadi karena Gus Dur selain berperan sebagai presiden-kyai, juga seorang pemikir humanis.

Dalam Teologi Politik Gus Dur (2004), Listiyono Santoso menelusuri pemikiran politik Gus Dur dari perspektif paradigma teologinya. Pengambilan angle (sudut pandang) ini merupakan penggambaran pemikiran demokrasi Gus Dur ketika berhadapan dengan isu relasi antara agama dan negara. Karena dalam kehidupan demokratisasi terlebih Indonesia, keinginan untuk menyatukan agama dengan

1 Meminjam judul buku Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, Tim INCReS, Bandung : INCReS, 2000.

1 negara pada tataran formal state merupakan kegelisahan sepanjang masa, meskipun sejak Proklamasi 1945, Indonesia oleh beberapa founding fathers (termasuk agamawan) sudah final merumuskan bentuk negara Indonesia adalah nation state berdasarkan azas pluralisme Pancasila.

Gus Dur dalam hal ini memaklumi kegelisahan tersebut. Menurutnya, keinginan sebagian muslim untuk menjadikan Islam sebagai azas negara dikarenakan Islam sendiri merupakan agama hukum. Sebuah agama hukum haruslah menentukan dengan rinci hubungan antara negara dan hukum itu sendiri, agar ajaran Islam yang berupa hukum-hukum agama itu bisa terlaksana dalam kehidupan.

Gus Dur sendiri menurut Listiyono juga setuju dengan penyatuan agama dengan negara, makanya pemikiran politik Gus Dur (dan seluruh concern pemikirannya) bersifat teologis. Hanya saja, penyatuan agama dan negara bagi penganut Islam substantif ini tidak bersifat formal, sebab Islam tidak mengenal doktrin tentang negara, tetapi sebagai agama, Islam merupakan landasan keimanan warga negara dan pemberi motivasi spiritual dalam menjalankan negara. Pemikiran Gus Dur ini memiliki kecenderungan kepada sekularisasi politik yang lebih mengartikan adanya prinsip membedakan, bukan memisahkan agama dengan politik sebagaimana prinsip sekularisme murni.

Bagi Gus Dur (1999: 186), yang profan diprofankan, yang sakral disakralkan, tidak dicampur-adukkan secara a-rasional dan a-histories. Itulah sebabnya Gus Dur lebih mencita-citakan “Republik Bumi” yang dipertahankan sampai ke sorga, daripada “Kerajaan Tuhan” di bumi. Gus Dur kemudian tidak menginginkan idealisasi negara dari perspektif Islam, melainkan lebih menekankan aspek praktis dan substansial dari negara itu sendiri, dalam perspektif Islam. Dalam hal ini, mekanisme demokrasi kemudian menjadi kaidah konstitutif yang mutlak. Sehingga ketika ada tuntutan penerapan syari’ah Islam pada level hukum nasional, maka harus dikembalikan kepada UUD 1945, yang didalamnya menyerahkan segala pengaturan ketata-negaraan kepada kedaulatan rakyat melalui perwakilannya (L Santoso, 193-199).

2 Penelusuran pemikiran relasi agama dan negara Gus Dur juga dilakukan oleh Fahrurroji M Bukhori (2003) dalam Membebaskan Agama dari Negara : Komparasi Abdurrahaman Wahid dan Ali Abd Raziq. Dalam buku ini, pemikiran Gus Dur dikategorikan masuk dalam perspektif fungsionalisme struktural a la sosiolog Talcolt Parson, yang menyatakan bahwa hubungan antara agama dan negara bersifat fungsional. Seperti kita tahu, bahwa teori fungsionalisme berangkat dari konsep struktur organisme yang masing organnya mempunyai fungsi tertentu. Organisme biologis tersebut baru bisa aktif secara maksimal ketika masing organ berfungsi secara proporsional.

Maka, untuk mencapai harmonisasi antara fungsi agama dan negara, haruslah tercipta sebuah kecocokan antara keduanya, baik pada level nilai, kultur masyarakat, dan struktur negara. Sayangnya, diantara organ tersebut, sering mengalami disfungsi, dan inilah yang mengakibatkan disharmoni. Dari sini Gus Dur kemudian menyimpulkan bahwa, hubungan agama dan negara bisa harmonis ketika masuk dalam relasi yang substantif. Sementara Ali Abd Raziq dicover oleh Fahrurroji dari metode analisis wacananya Nasr Hamid Abu Zaid, yang menggunakan analisa hermeneutik dalam mengkritisi teks-teks keagamaan yang sering dijadikan rujukan oleh kaum formalisme Islam dalam melegitimasi “jihad” daulah Islamiyyah-nya (Fahrurroji M B, 2003 : 107-114).

Salah satu hasil riset yang menarik tentang discourse politik Gus Dur adalah yang dilakukan oleh H Fuad Anwar yang dibukukan dalam Melawan Gus Dur (2004). Riset tentang gaya komunikasi dan kepemimpinan Gus Dur ini diawali dengan pembahasan demokratisasi dalam tubuh “Republik Gus Dur” yang menuai fenomena “perlawanan” terhadap Gus Dur.

Ada tiga kasus perlawanan terhadap Gus Dur. Pertama, perlawanan beberapa kyai NU terhadap pencalonan Gus Dur sebagai presiden RI dalam Pemilu 2004, karena faktor gangguan kesehatan mata. Para kyai tersebut menggunakan kaidah fiqh yang terkodifikasi dalam kitab al-ahkam al-shulthaniyyah milik al-Mawardi yang menyatakan salah satu syarat kepemimpinan adalah kesehatan fisik. Pada perkembangan selanjutnya, para kyai ini masuk dalam gerbong pendukung cawapres KH Hasyim Muzadi yang memang seorang pelawan Gus Dur, terlebih

3 ketika Ketum PBNU tersebut tidak direstui Gus Dur untuk “menikah” dengan Megawati. Kedua, perlawanan Syaifullah Yusuf dalam interuksi reposisi jabatannya sebagai Sekjen PKB, dan ketiga, kegagalan tokoh-tokoh besutan Gus Dur dalam pemilihan gubernur Jawa Timur, bupati Lumajang dan bupati Jombang. Ada ketidaksingkronan antara interuksi Gus Dur dengan kesepakatan pengurus PKB level wilayah yang membuat jago dari PKB gagal meraih kursi.

Point gaya komunikasi politik Gus Dur terdapat pada pencoveran dengan menggunakan analisa sosilogis a la teori Dramaturgi. Teori ini merupakan konsep interaksi kontemporer dari Erving Goffman dalam The Presentational of Selfin Every Day Life. Teori ini melihat gaya manuver politik Gus Dur sebagai trik seorang aktor sekaligus sutradara dalam sebuah pertunjukan drama. Ketika Gus Dur melontarkan wacana yang kontroversial dan bersifat teatris-simbolik, Gus Dur sebenarnya sedang berada di atas “panggung depan”, dengan target penciptaan kesan simbolik kepada para “penonton”, padahal the true reality yang dimaksudkan oleh Gus Dur berada pada “panggung belakang” di mana skenario drama digodog (H Fuad Anwar, 2004: 50-55).

Gaya komunikasi seperti ini memang khas a la Gus Dur. Pada era perang terhadap otoritarianisme Orba, gaya zig-zag dengan lontaran-lontaran simbolik dan tak langsung, terbukti sangat manjur untuk menyerang, bertahan, kemudian “menghilang”, sehingga seringkali Soeharto kecele ketika menghadapi manuver pionner Fordem Demokrasi tersebut. Hanya saja gaya “menyerang tak langsung” ini dikritik oleh James Cladd (2000) sebagai gaya politik kuno yang tidak relevan lagi untuk “permainan” politik kontemporer. Namun bagaimanapun gaya komunikasi politik Gus Dur ini telah berhasil menjadikan wacana demokrasi sebagai “hantu” bagi rezim Soeharto, sekaligus mampu menjaga NU agar tetap survive dalam keadaan ketertindasan politik.

Rahim pemikiran Situasi ketika pemikiran Gus Dur dilahirkan adalah era developmentalisme yang merupakan varian ekonomi-politik dari agenda modernisasi. Kondisi politik saat itu memang dilematis, akibat strategi depolitisasi Islam oleh Orde Baru (Orba). Namun, kondisi tersebut ternyata membuahkan blessing in disguise (hikmah

4 tersembunyi), yakni terbukanya ruang bagi transformasi Islam kultural, dalam hal ini pembaruan pemikiran Islam.

Secara sosiologis, era developmentalisme (khususnya dekade 1970-an) telah banyak melakukan perubahan basis masyarakat, yang pada akhirnya menciptakan perubahan pada ranah struktural, hubungan Islam dan negara. Jika pada Orde Lama, negara selalu dibuat was-was dengan aspirasi politik Islam (Piagam Jakarta), maka pada era Orba, Islam dan pemerintah berada dalam hubungan simbiosis mutualisme. Satu sisi, Islam kultural mencoba memberikan legitimasi teologis atas ideologi tunggal Pancasila, berbarengan dengan terbukanya akses bagi santri kelas menengah untuk memasuki jabatan strategis baik dalam pemerintahan, birokrasi dan bisnis. Lahirlah birokratisasi Islam dan Islamisasi birokrasi, yang menandai pudarnya dikotomi santri-priyayi Geertzian, akibat mobilisasi pendidikan tinggai kaum santri (priyayinisasi santri).

Seperti kita tahu, mainstream sosio-politik Orde Baru adalah penerimaannya terhadap gagasan-gagasan pembangunan (development), yang merupakan konsep ekonomi-politik tertua di Barat. Elemen sentral dari perspektif ini adalah metafora pertumbuhan (growth), yakni pertumbuhan yang terwujud dalam organisme, laiknya konsep organisme fungsional Parsonian. Pembangunan, sesuai dengan metafora ini dihayati sebagai organik, imanen, terarah, kumulatif, evolutif, tak bisa berbalik, dan bertujuan.

Dalam konsep modernizing paradigm ini, pembangunan dilihat dari perspektif evolusioner, sehingga keadaan keterbelangan (under developed) dipetakan dalam berbagai perbedaan yang bisa dilacak, antara bangsa kaya dan miskin. Lahirlah term Dunia Ketiga, yang menjadi trade mark negara-negara baru pasca-kolonialisme, yang miskin, tradisional, dan terbelakang, sehingga membutuhkan uluran tangan kemajuan dan pembangunan dari negara maju (eks-kolonialis). Pembangunan dengan demikian menjembatani jurang-jurang perbedaan tersebut melalui proses peniruan (imitative process), dimana bangsa yang kurang berkembang, secara perlahan mengadopsi kualitas dari bangsa-bangsa industri.

5 Sejak awal 1970-an, pendukung utama paradigma modernisasi ini adalah kalangan menengah kota yang disebut Liddle sebagai secular modernizing intellectual. Dengan meminjam perspektif ilmu-ilmu sosial layaknya karya Herb Feith, Geertz, Edward Shils, Fred Riggs, Eisanstadt, Rostow, dsb, mereka mencoba mempengaruhi iklim intelektual dimasa pasca-Soekarno dengan slogan-slogan modernisasi dan pembangunan. Inti dari ideologi pembangunan (isme) tersebut adalah perbedaan yang tajam antara masyarakat modern dengan tradisional. 2

Secara struktural, sebuah masyarakat modern lebih terdiferensiasi, kendati terintegrasi, dimana ikatan-ikatan sekular maupun sekunder, mengontrol atas ikatan suci dan primer. Sementara itu, masyarakat tradisional hanya memiliki sedikit struktur otonom, dimana ikatan kekeluargaan dan agama sangat dominan. Meminjam dikotomi Weberian, masyarakat modern lebih menggunakan rasionalitas instrumental yang memiliki tujuan dan metode pencapaiannya, sementara masyarakat tradisional masih terjebak dalam rasionalitas nilai, dimana tujuan dari perilaku sosial dilandaskan pada nilai (tradisi-agama) yang magis, dan tentunya tidak manageable. Pada tataran politis, modernisasi kemudian menciptakan “kemajemukan fungsional yang bertata nilai” (fungtional valuational pluralism). 3 Yakni kemajemukan fungsional yang mengakui agama, hanya sebagai salah satu nilai, diantara sekian banyak bidang kehidupan lain, semisal pemerintahan, ekonomi, birokrasi, filsafat, ideologi, estetika, dan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Agama, dalam hal ini berarti tidak memilki legitimasi fungsional bagi jalannya pemerintahan, sebab berbagai fungsi sudah diambil alih oleh lembaga- lembaga rasional dengan manajemen berdasarkan filsafat sekular.

Disinilah Orde Baru melakukan proyek de-Islamisasi besar-besaran, sebagai satu tahapan utama bagi depolitisasi secara keseluruhan. Rehabilitasi Masyumi tidak diberikan, sementara partai-partai Islam diikat kedalam PPP, yang sudah terkondisikan sebagai partai pemerintah. Nama PPP (Partai Persatuan Pembangunan) pun merupakan kompromi politik yang bersifat pragmatis, yakni antara terma “persatuan” (ummah) dengan kata “pembangunan”. Hal ini sudah mengindikasikan pelunakan ideologi Islam oleh ideologi pembangunanisme.

2 Fachry Ali, Akomodasi Non-Politik Islam Indonesia dalam Struktur Orde Baru, Prisma 3, Maret 1991 hlm 87-90 3 Donald E Smith, Agama dan Modernisasi Politik, Jakarta : CV Rajawali, 1985, hlm. 16-17

6

Memang, hubungan Orde Baru dengan Islam mengalami naik-turun. Pada awal rezim tersebut berdiri, Islam menjadi satu ekstrim kanan bersandingkan dengan komunisme. Hal ini tentu merupakan prasyarat logis dari orientasi ekonomisme yang dipilih Orba, sebab pembangunanisme mensyaratkan “matinya ideologi”. Dalam strukturnya, pembangunan tidak hanya mensyaratkan berlakunya doktrin evolusionisme : bergantinya masyarakat agraris kepada masyarakat industri, namun juga menghendaki lunturnya pertarungan politik berdasarkan ideologi, sehingga energi negara tidak terserap habis untuk mengatasi konflik, tetapi secara maksimal mengejar surplus ekonomi tingkat tinggi, berdasarkan industrialisasi dan perdagangan global. Inilah resiko demokrasi, dimana pertarungan berdasarkan idealisme aliran, harus dikubur, diganti dengan kompetisi rasional dalam parlemen, melalui mekanisme partai, pemilu, dan kompromi politik.

Dalam kaitan ini, paradigma pembangunanisme telah mengadopsi berbagai “ketakutan” sosiologis terhadap agama. Diberbagai literatur teoritis, hubungan agama dan modernisasi, hampir bisa kita pastikan “ketakutan” tersebut. Bryan S Turner, misalnya selain mendefinisikan agama sebagai bentuk ikatan (cement) sosial yang menciptakan kohesi sosial ditengah potensi konfliktual, juga melihat agama sebagai “racun sosial” yang akan memaksa konflik kepentingan diantara kelompok yang saling bertentangan. Demikian juga Smith yang melihat terjadinya konflik antara otoritas agama versus negara, jika agama hendak memperluas pengaturan sosialnya. Semakin “gemuk” agama dalam sistem sosio-politik, maka semakin lebarlah potensi konflik tersebut. 4

Hal ini seperti kita tahu, adalah ekses hegemoni sekularisasi. Tentu kitapun mafhum dengan ramalan Weber yang memperlihatkan “keangkuhan” rasionalisasi dalam mengganti segala bentuk sentimen ideologis, tradisi, dan komunalisme. Tuah agama, dalam abad rasionalisasi telah digantikan oleh kecanggihan ilmu spesialis sebagai perubahan otoritas dari rasionalitas nilai kepada rasionalitas instrumental. 5 Apalagi jika kita menyaksikan kekuatan kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang pasti akan menghancurkan dasar-dasar kebudayaan. Schumpeter menyatakan,

4 DE Smith (ed), Religion, Politics and Social Change, The Free Press, 1971, hlm 1-2 5 M Rusli Karim, Agama, Modernisasi dan Sekularisasi, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994, hlm 9-21

7 meskipun kapitalisme berdiri diatas nilai-nilai tradisional, semisal moral agama, namun ia memiliki potensi “penghancur kreatif” yang makin memperlemah tradisi dan oleh karena itu akan merontokkan susunan penopangnya, untuk kemudian berdiri tegak diatas kredibilitasnya sendir

Dari sinilah Orde Baru kemudian menggerakkan politik integrasi. Yakni sebuah paradigma yang berhasrat untuk menyatukan semua komponen masyarakat dalam suatu sistem politik nan stabil. Hal ini merupakan inti paradigma politik Orde Baru, di mana pembangunan pada level politik, selalu membutuhkan integrasi pada level sosial. Ini terjadi karena pemercepatan pembangunan ekonomi tidak akan berhasil, jika pada level masyarakat, konflik baik atas nama agama, ideologi, paham kelompok, dsb berbenturan. Satu hal yang terjadi pada era Soekarno, di mana politik menjadi panglima, sehingga benturan ideologi menjadi sesuatu yang niscaya.

Paradigma integrasi ini berangkat dari konsepsi sistem yang melihat kehidupan sebagai kesatuan jaringan struktur yang saling melengkapi, menuju tujuan politik nan baku. Seperti tubuh biologis, kehidupan politik dilihat sebagai kesatuan sel-sel; budaya, agama, ormas, ideologi, dan segenap elemen kultural masyarakat, yang mengabdi pada tujuan utama sistem politik. Dalam hal ini, tujuan itu telah diarahkan kepada pembangunan ekonomi, karena dengan tujuan inilah Orde Baru membedakan dirinya dengan Orde Lama, yang lebih menjadikan pembangunan politik sebagai tujuan pemerintahan. Dalam model itu, politik menjadi panglima, di mana kemajemukan ideologi politik diakomodir dalam suatu model demokrasi terpimpin yang sentralistik. Ini yang membuat orientasi ekonomi terbengkalai, sehingga kelahiran Orde Baru terbebani oleh inflasi ekonomi yang tidak stabil. Soeharto hadir untuk membalik situasi itu, yakni super-ordinasi pembangunan ekonomi atas pergulatan politik ideologis, yang nyata membawa Indonesia pada konflik sektarian melelahkan. Setidaknya inilah legitimasi yang diciptakannya, sehingga masyarakat diharapkan percaya bahwa lahirnya Orde Baru, membawa perbaikan bagi kondisi bangsa yang tercarut oleh marut perbenturan politik era Soekarno.

Hal inilah yang dalam domain agama melahirkan paradigma integratif, di mana agama hanya dilihat sebagai unsur pemersatu masyarakat. Ia mengacu pada

8 kesadaran kolektif (collective solidarity) dari sosiologi Durkheim yang menempatkan agama sebagai lapisan nilai penjaga konsensus moral. Bagi pendekatan ini, agama kemudian menjelma common denominator (sebutan bersama) bagi kesepakatan masyarakat.

Paradigma ini yang dikritik Gus Dur, karena dalam sejarah, selain memainkan peran integrasi, agama terlebih menggerakkan transformasi. Sejak Islam hadir misalnya, agama ini telah mengamanatkan pembaruan struktur sosial yang egaliter, melampaui kapitalisme feodal dari elite Mekkah. Cara pandang integrasi kemudian menjebak agama, dan elemen kultural lainnya dalam suatu gerak statis legitimatif atas kekuasaan yang ada.

Dari keyakinan akan pembaruan inilah, Gus Dur kemudian menambatkan basis politiknya pada level kultural. Artinya, domain pemikiran politik beliau lebih berangkat dari kekuatan budaya, serta orientasi kebudayaan, dibanding kepercayaan akan institusi. Hal ini wajar, sebab sejak awal, Gus Dur dan masyarakat nahdliyin lahir dalam rengkuhan kultur, yang otonom, sekaligus mampu mempengaruhi supra-kultur secara umum. Kepercayaan terhadap kultur ini pada akhirnya akan menjadikannya sebagai penggerak counter-hegemony, menandingi hegemoni negara. Jadi, Gus Dur bisa disandingkan dengan Gramsci yang melihat budaya sebagai elemen penggerak perubahan politik. Satu hal yang membuatnya melakukan kritik atas Marxisme, yang hanya menempatkan kultur sebagai bias dari basis struktur ekonomi.

Inilah yang membuahkan orientasi kultural dari demokrasi Gus Dur. Artinya, demokrasi bukan pergulatan institusional atau teortisnya yang terpenting. Tetapi praktik demokratisasi pada level budaya. Kebudayaan demokratislah yang diperjuangkan Gus Dur, karena tanpa hal itu, demokrasi bahkan menjadi kekerasan simbolik (symbolic violence), di mana negara mempraktikkan penindasan dengan bersembunyi dalam lembaga-lembaga demokrasi.

Orientasi kultural ini pula yang membuat Gus Dur tidak melakukan revolusi, karena bagi masyarakat Sunni, muara perjuangan politik adalah kemashlahatan umat yang terwakili, bukan terpuaskannya idealisme ideologis. Tentu hal ini

9 kemudian membutuhkan suatu pendekatan pergerakan, yang Gus Dur sebut sebagai sosio-kultural. Pendekatan ini merujuk pada kebutuhan melakukan pembaruan, bukan pada supra-struktur politik, tetapi pada pelaksanaan nilai dalam sub-sistem.6 Semisal Pancasila, di mana Gus Dur tidak hendak menggantikannya dengan ideology Islam. Pancasila sebagai supra-struktur negara tidak diganti, karena yang terpenting adalah penjagaan atas pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam praksis politik. Gerak sosio-kultural kemudian turun ke bumi, untuk menggerakkan kesadaran masyarakat agar mampu hidup dalam potensi internal kebudayaannya. Artinya, pendekatan sosio-kultural memiliki dua gerak: kritik atas penyimpangan nilai pada supra-struktur politik, sembari melakukan pendampingan masyarakat bawah, guna menggali kemandirian masyarakat yang telah disediakan oleh basis kultur.

Pemikiran politik Gus Dur juga berangkat dari paradigma pembaruan sosial. Paradigma ini mengacu pada kebutuhan untuk melakukan modernisasi, bukan dari ruang luar kesadaran masyarakat, tetapi berangkat dari potensi internal rakyat. Satu hal yang kemudian menjadi kritik atas pendekatan pembangunanisme yang memaksakan modernisasi sembari abai terhadap tradisi masyarakat.

Dalam pergulatan modernitas dan tradisi, persoalan yang sering muncul adalah problem akulturasi. Disini, proses “pembumian” nilai-nilai modernitas yang hegemonik, haruslah menciptakan identifikasi terhadap wilayah, serta siapa agen perubahan yang harus dirangkul guna menggerakkan berbagai proyek kemajuan. Disisi lain, dari pihak masyarakat Dunia Ketiga sendiri haruslah melakukan identifikasi diri, terhadap segenap kekuatan serta kelemahan: apakah tradisi bisa beradaptasi, atau bahkan melakukan perlawanan dengan modernitas?

Berangkat dari sinilah, perdebatan siapakah “manusia dan kebudayaan Indonesia” lahir. Dalam kaitan ini, Gus Dur kemudian memberikan tiga model pemikiran tentang tipologi manusia pribumi beserta segala tradisinya. Pertama, pandangan yang menilai manusia Indonesia sebagai bangsa malas, bersikap pasif dihadapan tantangan modernisasi, dan paling jauh tidak mampu melakukan sesuatu

6 Abdurrahman Wahid, Pengembangan Masyarakat Melalui Pendekatan Keagamaan, dalam Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta: Leppenas, 1981, h., 8-9

10 yang berarti atas prakarsa sendiri. Para kritikus sosial ini kemudian menyalahkan hidup tradisional yang sudah berlangsung ratusan tahun, struktur pemerintahan yang tidak demokratis, keterbelakangan dalam segala bidang, serta kekuatan politik begitu mutlak dari elite yang mampu memperoleh begitu banyak hasil dari karya yang tidak sebanding artinya dengan kedudukan yang mereka pegang.7

Pandangan ini yang diwakili oleh para penulis (literati) tua, semisal Sutan Takdir Alisjahbana, berangkat dari satu kritik atas adaptasi masyarakat terhadap modernitas yang hanya terhenti pada “produk”, tanpa mampu menjadikan nilai- nilai kebudayaan modern sebagai mentalitas dan sikap hidup. Bagi Sutan, modernitas adalah suatu kebudayaan yang mempunyai susunan nilai-nilainya sendiri. Ia menentukan etik maupun disiplin kelakuan manusia berdasarkan satu paradigma dan tujuan hidup. Disinilah makna kebudayaan modern menemu ruang, yakni sebuah kebudayaan rasional dimana progresifitas sains dan ekonomi menggantikan ekspresifitas agama dan seni, guna mencapai tata aturan hukum alam serta keuntungan atau utilitas yang sebesar-besarnya.

Dalam kebudayaan modern, ilmu (alam) dan ekonomi kemudian melahirkan industrial civilization, melalui penciptaan teknologi, sehingga hubungan raisonalitas instrumental antara kedua hal itu menjadi satu kesatuan organik yang tidak dapat terpisah. Hanya saja substansi dari modernitas ini, menurut Sutan banyak disalah pahami, dengan hanya mengacu pada berbagai ekses negatif kebudayaan modern seperti yang terlihat dalam hiburan dangkal penuh sex dan kekerasan, sikap individualisme dan anarki yang tidak memperdulikan masyarakat, kerusakan moral, hilangnya agama, dst. Padahal berbagai “sisi gelap” ini merupakan luapan kebebasan dari sebagian masyarakat modern guna mengatasi kebosanan kehidupan yang monoton dalam industrialisasi.8 Dari sinilah para kritikus semacam Sutan, atau Mochtar Lubis kemudian mengkritik mental manusia Indonesia, yang gagal dalam menemukan “ruh” modernitas semisal ketidakmampuan bangsa dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta ketiadaan disiplin kerja penuh efisiensi, seperti yang dikehendaki kebudayaan modern.

7 Abdurrahman Wahid, Nilai-nilai Indonesia, Apakah Keberadaannya Kini? Dalam Prisma, No 11, November 1981, h., 3 8 Sutan Takdir Alisjahbana, Pembangunan Kebudayaan Indonesia di Tengah Laju Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Prisma 11, November 1981, h., 23-24

11

Kritik serupa juga dilontarkan oleh SI Poeradisastro. Dalam makalah, Kebudayaan Indonesia di Pusaran Arus Sejarah, sejarawan kawakan ini juga mengkritik “mental agraris” dimasyarakat perkotaan Indonesia, yang secara material telah mengalami industrialisasi, namun secara mental masih tetap bersekukuh dengan kultur pertanian. Hal inilah yang menurutnya telah menimbulkan mental “mengais sampah” modernitas berupa ekses hedonistik dari budaya konsumen dan hiburan. Paparnya:

“Di dalam setiap perjumpaan unsur-unsur kebudayaan, ada dua hal yang mudah diterima, yakni yang bermanfaat dan menyenangkan indria (convenient to the senses). Yang menyenangkan dan merayu indria ini pada umumnya justru yang buruk dan merusak atau setidak-tidaknya dangkal. Bukan yang terbaik yang dipasarkan dan dipromosikan di Indonesia dari Eropa, Amerika, Hongkong dan Taiwan, melainkan sebaliknya sampah dan buih yang hanyut dipermukaan gelombang. Di dalam tabrakan kebudayaan (clash of cultures) ini kita adalah pihak yang rugi. Kegemaran mengais sampah ini tak terbatas pada golongan menengah dan atas saja, melainkan melalui tempat persewaan video-tapes telah mulai menjalar ke kalangan rakyat jelata, misalnya anak muda putus sekolah. Tapi konsumerisme yang menyertai hidup memburu kesenangan keseharian ini tetap merupakan sosis yang diikatkan di ujung cambuk kereta anjing, yang takkan pernah terjangkau.” 9

Pandangan kedua tentang manusia dan nilai-nilai Indonesia lahir dari sikap yang sangat mengidealisir nilai-nilai luhur bangsa, serta meletakkan kesemua nilai tersebut pada kedudukan yang sangat diagungkan, sebagai prinsip pengarah yang telah membawa bangsa kepada kejayaan kemerdekaan, dan dengan sendirinya harus akan membawa bangsa pada upaya tak berkeputusan untuk emncapai masyarakat yang adil dan makmur. Prinsip ini mengambil bentuk “sikap bijaksana” seperti “keserasian tanpa menghilangkan kreativitas perorangan”, kesediaan berkurban untuk mengurbankan kepentingan sendiri demi kepentingan orang lain, melakukan banyak hal untuk orang lain tanpa mengharapkan imbalan (sepi ing

9 SI Poeradisastra, Kebudayaan Indonesia di Pusaran Arus Sejarah, Prisma 11, November 1981, h., 30

12 pamrih, rame ing gawe), kesabaran dihadapan kesulitan dan penderitaan, dst. Karena adanya sikap demikian bijaksana dalam dirinya, bangsa Indonesia menjadi bangsa pecinta damai, sopan kepada orang lain tanpa sedikitpun menyerahkan diri kepada akibat-akibat koruptif dari modernisasi, giat berkarya tetapi memiliki akar yang dalam pada kehidupan yang kaya dengan refleksi dan meditasi, serta sabar tetapi tekun dalam membangun masyarakat adil di masa depan. Walaupun bertentangan satu sama lain, semua nilai diatas telah menjadi bahan kontemplasi paling intensif dalam penyiapan dan penyelenggaraan indoktrinasi falsafah negara Pancasila, penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengmalan Pancasila).

Pada titik inilah negara, sebagai representasi paling sah bagi nilai-nilai Indonesia, kemudian mengambil langkah “pengamanan” atas Pancasila, agar tidak terjadi penyimpangan penafsiran baik oleh lawan politik (political adversaries) maupun musuh politik (political enemies). “Pengamanan” Pancasila sebagai ideologi negara ini senantiasa mengambil bentuk penguasaan aparat pemerintah dan kelengkapan negara, serta mendayagunakannya bagi perumusan “penafsiran yang benar” atas ideologi negara.10 Proses ini, yang oleh Gus Dur disebut sebagai “rekayasa sosial” guna penurunan “suhu ideologi”11 menemu ruang misalnya dalam penolakan (atas nama) Pancasila oleh para pejabat negara, terhadap liberalisme, baik dalam bentuk sistem demokrasi maupun filsafat hidup.

Penolakan yang tidak terbatas pada retorika seremoni negara, namun telah termaktub dalam P4 ini mengacu pada sifat “tidak Indonesia” dalam liberalisme, semisal budaya politik bersaing asal bersaing saja, yang dianggap membahayakan pandangan integralistik Pancasila, karena langkanya keseimbangan antara hak perorangan dengan hak kolektif. Demokrasi liberal juga ditolak karena mendukung kontradiksi dan instabilitas politik, sementara Demokrasi Pancasila justru mendukung proses kesatuan dalam keragaman. Dari sini Pancasila kemudian dibedakan melalui idealisasi nilai-nilai Indonesia. Dikatakanlah bahwa persaingan dibolehkan, bahkan didorong, guna memungkinkan tercapainya kemajuan. Namun persaingan harus dilangsungkan secara penuh kesopanan, dipenuhi suasana saling memberi dan menerima. Yang menang tokh akan mewakili kepentingan semua

10 Abdurrahman Wahid, Agama, Ideologi, dan Pembangunan, Prisma 11, November 1980, h., 14 11 Abdurrahman Wahid, Reideologisasi dan Retradisionalisasi dalam Politik, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta:LKiS, 2000, h., 28

13 pihak, melalui keputusan berdasarkan konsensus. Dengan ungkapan lain, berbeda dengan liberalisme, Pancasila melihat budaya persaingan sebagai bagian dari proses pencapaian konsensus yang berwatak integralisitik.12

Pandangan ketiga datang dari kaum akademisi. Pandangan ini tidak mengacu pada perdebatan kaum “pelap-lap” versus kritkus tradisi, melainkan berangkat dari satu postulat akademis, bahwa demi ditemukannya nilai-nilai Indonesia, maka kita harus menggunakan kaidah ilmiah guna menemukan orientasi hidup masyarakat secara empiris dan objektif. Dalam hal ini Gus Dur melihat adanya transformasi dalam metodologi riset sosial-budaya yang mengarah pada pemahaman unsur- unsur kehidupan masyarakat, lebih koheren. Bagi Gus Dur, pendekatan positivistik dalam antropologi a la Clyde Kluckhohn telah membuat pemecahan berbagai aspek sosio-budaya kedalam wilayah riset yang terpecah. Hal ini misalnya tercermin dalam premis antropologis milik Prof. Koentjaraningrat yang melihat orientasi tertentu masyarakat, seperti mentalitas tradisional berupa ketundukan terhadap priyayi keraton, sebagai penghambat pembangunan. Kelemahan pendekatan ini Gus Dur temukan dalam ketidakmampuan peneliti untuk menangkap “..konflik apakah yang dibutuhkan untuk mengarahkan kembali sebuah nilai yang dianggap negatif terhadap pembangunan, agar mengikuti jejak nilai lain yang dianggap positif bagi pembangunan?” Dari sinilah Gus Dur kemudian mengamini sebuah transformasi metodologis bagi tercapainya riset kebudayaan yang komprehensif dan mampu masuk dalam “pergulatan sosial” masyarakat.

Panggung politik Sampai disini, Gus Dur masih “membumikan” pemikiran ideal demokrasinya kedalam gerakan civil society melalui NU, Fordem dan aktivitas

12 Sayangnya, dalam real politics masih banyak terjadi kontradiksi. Pada satu sisi, pelaksanaan nilai- nilai Pancasila ternyata belum sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat. Bahkan dalam banyak kasus, persaingan politik dalam masyarakat masih mencerminkan “persaingan bebas tanpa konsensus” a la liberalisme. Parahnya, kekisruhan tersebut ditambah melalui intervensi pemerintah dalam proses pergulatan politik sipil, seperti yang terlihat dalam intervensi negara pada berbagai suksesi partai politik (era Orba: PDI-PPP). Demikian juga dari sisi pemerintah, belum tercipta tolok ukur penerapan demokrasi integralisitik, sehingga perilaku politik yang masih jauh dari harapan Pancasila masih belum terdeteksi. Permasalahan bertambah ketika hubungan antara liberalisme dan Pancasila juga belum dirumuskan secara komprehensif dengan mengajak berbagai kekuatan bangsa. Faktanya, setiap gerakan, pandangan, dan kritik yang dilakukan masyarakat, akan selalu dianggap subversif, ketika pandangan tersebut tidak sesuai dengan penafsiran pemerintah atas Pancasila. Lihat Abdurrahman Wahid, Pancasila dan Liberalisme, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara, 2001, h., 63-68

14 kecendekiawanannya. Hingga kemudian, moment reformasi menjadi fase bagi Gus Dur untuk “membelokkan” strategi gerakannya kepada politik praktis dengan mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dilahirkan dari rahim NU.

Banyak yang mempertanyakan pilihan Gus Dur ini, terlebih dari kalangan anak muda yang telah menjelma gerbong intelektualisme baru NU pasca Khittah 26. Kebingungan tersebut muncul karena Gus Dur selama menjabat PBNU selalu menggelorakan gerakan unpolitical politics 13(berpolitik tanpa politik), yakni gerakan kultural sebagai oposisi bagi politik praktis14. Manifesto Khittah 26 merupakan usahanya untuk mengembalikan NU kepada jalur civil society yang sebelumnya telah dibelokkan oleh kaum politisi NU.

Pilihan Gus Dur untuk terjun dipolitik praktis memang merupakan langkah kontradiktif. Sebab paradigma antara aktivis pergerakan dengan politisi jelas berbeda dan cenderung berseberangan. Memang keduanya sama-sama praksis. Jika merunut kepada konsep Bassam Tibi tentang pembaruan Dunia Ketiga, maka Gus Dur sebagai aktivis atau intelektual organik, telah melakukan kerja transformatif yang tidak berhenti pada “pembaruan wacana” (layaknya intelektual liberal murni) akan tetapi melanjutkannya kepada kerja praksis yang masuk dalam kantong- kantong kebudayaan masyarakat awam.

Sementara kerja politisi, jika merujuk pada konsep politik konvensional seperti batasan klasik oleh Lasswell (1958) yang mendefinisikan politik sebagai “siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana”, atau jika meminjam istilah yang diselalu dipakai Gus Dur sendiri untuk mendefinisikan politik, yakni politic is the art of possibility (politik adalah seni kemungkinan), maka praktik politik adalah bagaimana membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, sehingga tolok ukurnya bukan idealitas tetapi kemungkinan dari realitas. Disinilah kemudian “permainan” menjadi rule of the game, apalagi jika melihat budaya politik Indonesia yang dikuasai oleh paradigma Machiavellian yakni struggle to power (perebutan kekuasaan), maka

13 Ulil Abshar-Abdalla, Partai, Civic Education dan Wilayah “Netral Politik”, Tashwirul Afkar, Edisi No 4/1999, hlm. 51 14 Term inilah yang kini sudah tidak berlaku lagi, sebab pasca lengsernya Soeharto, Gus Dur menjadi politisi lewat PKB, apalagi pasca lengser kepresidenan, Gus Dur terlihat total masuk dalam politik praktis.

15 kerja politisi jelas kontradiktif dengan idealisme pergerakan kaum aktivis yang berangkat dari ideal untuk ideal.

16

Bab 02 Kritik Demokrasi Institusional

Pemikiran kenegaraan Gus Dur berangkat dari keprihatinan filosofis, atas otoritarianisme negara. Satu hal yang lahir dari kritik pendekatan state centered terhadap konstitusi. Dalam perspektif ini, konstitusi dilihat sebagai payung legitimatif atas gerak kekerasan negara. Hal ini memang sesuai dengan konsepsi negara modern yang menempatkan institusi politik tertinggi ini sebagai pemegang sah hegemoni kebenaran, dan oleh karenanya berhak menggunakan kekerasan.

Dalam kaitan ini negara kemudian memiliki dua macam kekerasan. Pertama, kekerasan represif yang diperankan oleh militer, polisi, UU, peradilan, dan penjara. Wujud kekerasan ini hingga ke relung fisik, sejak dari penyiksaan, pemenjaraan, hingga pembunuhan, sering atas nama UU. Kedua, kekerasan koersif yang mengacu pada kekuasaan negara untuk membentuk masyarakat sesuai dengan standar nilainya. Aparat yang lebih kultural ini diperankan oleh lembaga pendidikan, departemen kesehatan, kementerian agama, sistem pemilu, dsb yang merupakan mekanisme reproduktif untuk menjaga stabilitas sistem politik.1 Kekerasan tetap terjadi, karena masyarakat sering dijebak dalam ketidaksadaran akan hak fundamentalnya, karena mereka sudah mapan merasuk dalam sistem.

Pada titik ini, concern Gus Dur lebih pada lapis pertama, yakni kecenderungan negara untuk menjadikan konstitusi sebagai pembenar praktik dominatif. Tentu hal ini bermasalah karena sejak awal, konstitusi dilahirkan dalam rangka kontrak sosial, di mana pemerintah sebenarnya lebih merupakan pelayan bagi kebutuhan masyarakat. Melalui kontrak sosial, rakyatlah yang menjadi majikan, sehingga konstitusi dibentuk demi menjamin amanat tersebut terlaksana, minus praktik koruptif. Ini merupakan kemajuan sistem politik yang tidak lagi menjadikan monarkhi dan feodalisme sebagai mekanisme bermasyarakat, karena dalam sistem tersebut tidak terdapat kesetaraan antara raja dan rakyat. Konstitusi dilahirkan, selain untuk membangun sistem internal kenegaraan (Trias Politica), juga terlebih untuk membatasi kewenangan negara, sehingga amanat rakyat tidak terberangus oleh kesewenangan tanpa batas.

1 Jens Bartelson, The Critique of the State, UK: Cambridge University Press, 2001, h., 114-116

1 Bagi Gus Dur, konstitusi harus dikembalikan pada akar filosofis tersebut. Ia tidak lagi menjelma pelindung konstitusional bagi penindasan negara, tetapi sebaliknya, menjelma advokasi bagi ketertindasan rakyat oleh negara yang terlindungi oleh konstitusi. Inilah perebutan tafsir politik itu, di mana Gus Dur tengah memberikan tafsir populis dan anti-negara atas konstitusi. Deskripsinya :

Konstitusi pada hakikatnya mengatur tentang kekuasaan dan hubungan kekuasaan di dalam negara, memberi batas tegas pada wewenang kekuasaan negara, dan sekaligus meneguhkan hak-hak warganegaranya, berikut menjamin perlindungan baginya. Kita ingin memberikan penekanan pada segi ini, yaitu bahwa konstitusi justru diadakan untuk menjamin warganegara dari kemungkinan kesewenang- wenangan kekuasaan negara. Ini didasarkan faham bahwa pemegang kekuasaan memang bisa menyalahgunakan kekuasaan.

Cara mendekati seperti ini, berlainan dengan kebiasaan yang melihat konstitusi sebagai sumber pemberi kekuasaan pada negara; membuka kemungkinan untuk memahami bahwa kekuasaan negarapun bisa bertindak ‘inkonstitusional’, yaitu ketika ia bertindak melampaui batas kewenangan yang ditetapkan dalam konstitusi. Sehingga suatu pelanggaran atau pengingkaran hak-hak warganegara, bahkan sekadar penghambatannya oleh kekuasaan negara, baik melalui keputusan pejabat ataupun peraturan perundang-undangan sekalipun, tidak lain adalah perbuatan inkonstitusional. Tetapi soalnya, siapa atau badan apa yang akan menilai konstitusionalitas suatu keputusan, kebijaksanaan atau peraturan?

Soal yang pelik ini, yang selain bersifat legal juga terutama politis, tidak akan dapat kita bahas pemecahannya sekarang. Hanya tentu kita dengan yakin dapat mengatakan, bahwa termasuk dalam proses demokratisasi ialah usaha untuk menegakkan peradilan yang bebas (independent judiciary), juga berwenang mengadili gugatan pelanggaran hak konstitusi warganegara, dan menciptakan suatu instansi penguji kesesuaian peraturan perundang-undangan dengan konstitusi (judicial review), apakah itu Mahkamah Agung atau suatu mahkamah konstitusi tersendiri. 2

2Abdurrahman Wahid, Forum Demokrasi, Sebuah Pertanggungjawaban, sumber tak terlacak, h., 3-5

2

Menarik di sini karena pada dekade 1990 tersebut, Gus Dur sudah meniscayakan urgensi suatu Mahkamah Konstitusi (MK). Satu hal yang kini terealisir, tetapi tetap dengan fungsi berbeda. Apa yang diharapkan Gus Dur adalah mahkamah konstitusi yang menjadi pembela rakyat dari penindasan konstitusional negara. Ini merupakan paradigma kritis atas kecenderungan proseduralisme demokrasi, yang sayangnya masih terjadi pada Mahkamah Konstitusi kita saat ini. Artinya, wewenang MK yang terbatas pada pemberi fatwa atas perselisihan lembaga-lembaga tinggi negara, tentu tidak cukup memenuhi harapan Gus Dur di atas. Bagaimanapun, wewenang tersebut tetap berkutat pada “negara untuk negara” (state qua state), bukan perlindungan kosntitusional dari penindasan konstitusi. Hal ini memang dilematis, karena situasi politik saat itu, yakni totaliterisme Orde Baru, membuat Gus Dur perlu memikirkan alternatif sistem politik. Negara Orde Baru adalah negara Leviathan, yang merasa bertanggungjawab atas ketertiban politik, dan tentu juga moral, sehingga perlu untuk menancapkan “cengkeraman politik” nya, di segenap lini kehidupan.

Secara garis besar, konsepsi konstitusi Gus Dur yang anti-otoritarianisme negara ini merupakan komitmen kritis beliau atas keterjebakan prosedur demokrasi. Ya, tentu kita tahu, kecermelangan demokrasi yang membuatnya menjadi “terbaik dari yang terburuk” adalah kemampuannya untuk menciptakan prosedur politik rasional dan demokratis. Hal ini berangkat dari keprihatinan akan potensi konflik ideologis antar kelompok politik, yang pasti tidak kondusif bagi sebuah pemerintahan. Di sini prosedur demokrasi, baik berupa pemisahan dan pemilahan kekuasaan antara parlemen, eksekutif, dan yudikatif; konstitusi dasar, metode perumusan undang-undang regulasi publik, penempatan wakil kelompok dalam sistem multi partai, hingga yang prosedur yang paling menentukan, yakni pemilu, menjadi praktik politik modern minus konflik dan kecenderungan koruptif.

Demokrasi lahir dari alas pikir ini, mengingat praktik politik tradisional yang masih meniscayakan keterwakilan ideologis. Satu hal yang dirasa akan menghambat pembuatan kebijakan publik (public policy) rasional, yang tentu mensyaratkan absennya emosi kelompok. Ini terjadi karena pembuatan kebijakan publik berada dalam ruang publik (public sphere). Yakni sebuah ruang bersama, tempat semua masyarakat merumuskan kepentingan bersama, bukan kepentingan kelompok. Dalam ruang ini, masing kelompok harus melunakkan kepentingan golongan, dan secara bersama-sama merumuskan apa yang sering disebut sebagai agama publik (public religion), berupa keadilan, kesetaraan

3 hukum, pemerataan ekonomi, dsb. Demokrasi masuk dalam ruang ini, dengan mencipatakan mekanisme dan prosedur rasional, di mana konflik ideologi diganti oleh konsensus (atau sering menyimpang menjadi kompromi) rasional.

Hanya saja, potensi demokratis dari proseduralisme politik telah ditelikung oleh dirinya sendiri, akibat pendekatan yang terlalu mengacu pada institusi. Hal ini wajar, sebab epos politik modern adalah epos tentang implementasi filsafat politik ke ranah praksis. Jadi, masyarakat politik modern berusaha membumikan ajaran filosofis tentang apa yang baik dan buruk dalam politik, melalui pembentukan berbagai institusi politik yang secara legal kemudian dinamai konstitusi. Sayang, pada titik ini muncul permasalahan, karena gerak substantif dari filsafat politik tidak begitu mudah terwadahi dalam pelembagaan politik. Artinya, institusi seperti parlemen misalnya, tidak serta-merta mampu menjalankan fungsi keterwakilan yang merupakan esensi dari demokrasi. Representativeness dalam praktiknya telah tertelikung oleh lembaga perwakilan politik, sehingga banyak aspirasi rakyat yang hanya terhenti pada pembuatan undang-undang. Dalam kaitan ini, Gus Dur menyatakan:

Dalam keadaan efektif, lembaga-lembaga demokrasi memang dibutuhkan untuk mekanisme demokrasi. Tetapi bukan berarti bahwa proses demokrasi cukup disalurkan dalam lembaga-lembaga itu saja. Hak rakyat untuk menyatakan dan menyatukan pendapatnya secara langsung tetap merupakan bagian terpenting dalam mekanisme demokrasi. Keadaan yang kita saksikan sekarang, sayangnya, adalah terbalik. Sekalipun lembaga-lembaga demokrasi kurang berfungsi tetapi ia malah dijadikan alibi (bukti) adanya demokrasi, sambil menjadikan lembaga-lembaga itu satu-satunya tempat yang sah bagi pemberian izin melakukan kegiatan pencetusan aspirasi rakyat. Seolah-olah dengan membuat badan- badan, dengan sendirinya jiwa demokrasi menjadi ada dan hidup. Ini adalah cara pandang yang sempit mengenai “demokrasi institusional”. Dengan akibat, dimana seharusnya aspirasi yang menentukan jenis dan watak lembaga yang dibutuhkan, namun yang terjadi ialah lembaga-lembaga (institusi) telah membatasi aspirasi yang dimungkinkan. 3

3 Lihat Gus Dur Dimaki, Gus Dur Disegani, Forum Keadilan, Nomor 02, 14 Mei 1992

4 Dalam situasi seperti inilah Gus Dur kemudian mencetuskan istilah “demokrasi seolah-olah”. Jadi, seolah-olah demokratis padahal sebenarnya tidak ada praktik demokrasi. Ini terjadi karena bahkan terbentuknya institusi dan konstitusi dijadikan alibi bahwa demokrasi telah terlaksana. Ini merupakan kekerasan simbolik, di mana negara hendak menutup kesadaran kritis masyarakat atas penyimpangan kekuasaan dari sang penguasa. Dengan adanya MPR dan DPR, pemerintah menyatakan bahwa aspirasi rakyat telah tertampung dalam proses legislasi. Dengan adanya Mahkamah Agung dan lembaga peradilan, seakan rasa keadilan rakyat telah terpenuhi. Dengan adanya Komnas HAM, persoalan hak asasi manusia seolah telah teradvokasi pemerintah.4 Dalam kenyataannya, khususnya pada era Soeharto di mana Gus Dur untuk pertama kali mencetuskan istilah “demokrasi seolah-olah” tersebut, segenap lembaga politik itu hadir bersama dengan praktik negara yang anti aspirasi, timpang keadilan, serta haus darah kemanusiaan.

Kritik terhadap institusionalisme demokrasi ini Gus Dur gerakkan, karena sejak Orde Baru, budaya politik kita telah mengalami birokratisasi. Satu hal yang memang menjadi ciri khas dari negara modern (nation state). Di sini birokratisasi dimaknai sebagai proses rasionalisasi politik yang mengarah pada penggunaan teknokrasi; sebuah teknologi administratif, yang membentuk sistem politik dalam struktur integratif nan hirarkis. Birokrasi oleh karenanya sering disebut sebagai kerajaan pejabat (officialdom), karena jangkauan politiknya yang ekslusif, hanya mengacu pada usaha reproduksi kekuasaan.

Dalam kaitan ini terdapat beberapa ciri birokrasi, yang pada satu titik, membuat Gus Dur harus mengritiknya. Pertama, keterjebakan administratif. Memang pada satu sisi, administrasi memberikan kemudahan teknis bagi perumusan masalah sosial yang kompleks. Namun, ia kemudian melakukan penyederhanaan (simplifikasi) dengan memasukkan berbagai persoalan sosial kemanusiaan, ke dalam kategori-kategori verbal yang anti-empati.

Ini yang melahirkan sifat kedua, yakni struktur hirarkis. Sebagai sebuah sistem, ia membentuk diri (self organizing) dalam struktur hirarkis yang selalu terkontrol. Hal ini berangkat dari kebutuhan sistem untuk menstabilkan dirinya. Inilah yang menimbulkan jenjang otoritas dalam pengaturan problem kemanusiaan. Akhirnya watak anti-kemanusiaan lahir, karena logika hirarki hanya mengenal penungguan, pelemparan, dan pemaksaan otoritas. Seorang

4 Abdurrahman Whid, Membangun Demokrasi, Bandung: Rosdakarya, 1999, h., 82-88

5 kepala sub-divisi misalnya, tak bisa segera menangani soal mendesak kemanusiaan, karena ia harus menunggu keputusan pimpinan yang sering lebih menyibukkan diri dalam persoalan simbolis politis.5 Dari sini terlihat jelas, bahwa birokratisasi tidak hanya berhenti pada teknokrasi pemerintahan, tetapi birokratisasi kehidupan itu sendiri. Tutur Gus Dur:

Ketika bahasa misalnya, yang merupakan alat berpikir diposisikan sebatas technically oleh para penentu “policy bahasa”, maka ia merupakan birokratisasi alat berpikir, dan pada akhirnya birokratisasi proses berpikir itu sendiri. 6

Pada titik ini, Gus Dur telah menembakkan keprihatinan filosofisnya atas hubungan negara dan proses budaya yang timpang. Ini terjadi karena hegemoni negara yang menggurita, merasuk ke segenap lini kehidupan. Negara pada era Orde Baru adalah “negara gurita” yang terlalu melakukan intervensi atas segenap sektor hidup. Satu hal yang kemudian mencipta birokratisasi tersebut, karena misalnya seperti kasus policy bahasa di atas, negara kemudian hanya melihat persoalan bahasa, yang seharusnya menjadi persoalan budaya keilmuan, menjadi murni persoalan teknik dan kebijakan politik. Hal ini bukanya tak beresiko, karena dengan cara demikian, negara telah mengambil alih persoalan budaya yang seharusnya menjadi milik masyarakat sipil, menjadi sah milik negara. Persoalan yang muncul kemudian adalah, bukan hanya keterjebakan terhadap birokratisasi bahasa yang membuat produksi ilmu bahasa bersifat stagnan, tetapi terlebih penggunaan bahasa demi kekuasaan negara. Proses ini terjadi melalui penciptaan berbagai eufimisme politik, di mana penghalusan bahasa merupakan strategi untuk menyembunyikan kekerasan dan penindasan HAM.

Secara makro, struktur yang dihadapi Gus Dur memang merujuk pada watak politik negara-sentris. Sebuah situasi di mana negara ada untuk dirinya, dan melingkupi segenap unsur sosio-kultur-politik, untuk dirumuskan sesuai dengan kepentingan penguasa. Ini yang melahirkan hegemoni Orde Baru itu. Pada tataran ideologis, Orde Baru menancapkan sentralitasnya melalui azas tunggal Pancasila, di mana segenap ideologi lain: komunisme, marheinisme, dan Islam, diberangus untuk diganti dengan keseragaman penafsiran monolitik atas Pancasila.

5 Peter M. Blau, Marshall W. Meyer, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Jakarta: Pustakaraya, 2000, h., 22-38 6 Abdurrahman Wahid, Negara dan Kebudayaan, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Depok: Desantara, 2001, h., 4

6

Pada level sosial, Orde Baru telah melakukan reproduksi sosial melalui restrukturisasi lembaga politik serta reorientasi nilai-nilai budaya. Ini yang melahirkan sekularisasi melalui pelucutan orientasi agama dalam partai politik. Atas nama pembangunan dan sistem politik modern, maka segenap aktivitas politik harus sepi dari sentimen keagamaan, sehingga Islam Yes, Partai Islam No! menjadi slogan sakral yang menjelma syarat bagi boleh tidaknya warga negara berpartisipasi dalam politik. Proses ini bukan tidak beresiko karena ia berarti suatu pemangkasan nilai-nilai politik, yang seharusnya dilindungi oleh UU. Ini terbukti ketika Orde Baru runtuh, maka segenap sentimen politik Islam lahir kembali meramaikan pentas politik nasional. Satu hal yang menggambarkan bahwa sekularisasi era Soeharto bukanlah murni kesadaran politik masyarakat muslim, tetapi suatu represi politik yang berangkat dari kepentingan negara. Pada level inilah, kolaborasi antara birokrat, militer, dan teknokrat, menjelma piramida birokratisasi, di mana ilmu pengetahuan digunakan sebagai mesin politik untuk merubah struktur masyarakat, agar sesuai dengan kepentingan negara.7 Pada tahap ini, negara telah berkembang begitu kuat bersamaan dengan melemahnya masyarakat sipil, sehingga baik pada tataran strategi politik maupun alternatif pemikiran, masyarakat berada dalam sub-ordinasi.

Dalam hal ini, Gus Dur kemudian menggunakan model hegemoni Gramscian sebagai pergerakan politiknya. Seperti kita tahu, hegemoni merupakan konsep pergerakan rakyat yang menjadikan budaya sebagai elemen vital. Artinya, dimensi supra-struktur; ideologi, kultur, tradisi, pemikiran, dst yang oleh Marxisme ortodoks hanya merupakan “bias” dari infrastruktur ekonomi, digerakkan untuk melakukan transformasi politik.8 Hal ini bisa dilakukan melalui penggalian potensi transformatif dari elemen kultural, dalam kasus Gus Dur, tradisi agama. Jadi pada level ini, Gus Dur sebagai pemimpin muslim tradisional telah menghadapkan dua gerbong besar; hegemoni negara vis a vis counter- hegemony NU. Gerbong muslim tradisional ini mampu menjadi oposisi kultural, karena sifatnya yang oleh Gus Dur disebut sebagai sub-kultur.

Posisi ini mengacu pada sifat pesantren yang menjadi sub-sistem dari sistem budaya secara umum. Ia terpisah dan oleh karenanya mampu independen, tetapi sekaligus bisa mempengaruhi perubahan sistem umum. Hal ini

7 M. AS Hikam, Negara, Masyarakat Sipil dan Gerakan Keagamaan dalam Politik Indonesia, jurnal Prisma 3, Maret 1991, h., 75-81 8 Robert Bocock, Hegemoni, Yogyakarta: Jalasutra, 2007, h., 17-54

7 memang wajar, mengingat pesantren sejak awal merupakan kerajaan kecil (pesisiran) yang menjadi penyeimbang bagi kerajaran Hindu-Jawa pedalaman. Sejak awal, model otoritas budaya dari kyai, mampu menciptakan sistem kepemimpinan alternatif dari model otoritas politik raja. Bahkan pada satu sisi, otoritas budaya memiliki “cengkeraman politik” lebih kuat, karena ketundukan santri terhadap kyai bukan semata ketundukan politik, tetapi terlebih ketundukan spiritual. Dalam situasi ini, kohesifitas politik akan lebih kuat karena ia lahir dari sifat sukarela, tanpa paksaan, represif maupun koersif. Kepemimpinan kyai ini kemudian ditopang oleh sistem nilai unik, serta cara hidup khas kaum santri, yang pada level politik telah membentuk pemerintahan sendiri berbasis paguyuban.9 Ini yang membuat pada satu titik, masyarakat pesantren dan juga NU, tidak membutuhkan negara. Satu hal yang kemudian membuat ormas Islam ini mampu menjadi oposisi atas negara.

Di sini Gus Dur kemudian menciptakan hegemoni melalui dua pergerakan. Pertama, dengan mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) dekade awal 1990. Forum ini merupakan “markas” para cendekia dan aktivis pro-demokrasi, guna mengelaborasi, merumuskan, serta “menyentakkan” berbagai ide dan kritik demokratis, terhadap penyelewengan negara. Sebagai forum urun rembug dan critical discourse, Fordem tidak merasa melakukan makar, sebab kritisisme mereka masih terbatas pada pembentukan opini, belum menjelma gerakan subversif. Hanya saja, betapapun masih sebatas opini, Fordem yang merengkuh segenap elemen aktivis dari purnawirawan jendral, cendekiawan, seniman, aktivis, hingga artis, tsb telah membuat “denyut” status quo kekuasaan berdetak kencang. Hasilnya, halal bi halal Fordem Mei 1992 di Taman Ismail Marzuki, “dibredel” aparat, dengan alasan perizinan. Gus Dur-pun tidak jadi membacakan pernyataan Tumbuhkan Kembali Daya Kritis Masyarakat, sebab aparat terlanjur mencurigainya sebagai sebuah langkah awal propanganda politik. 10

Kedua, NU. Pada level ini, Gus Dur telah melakukan transformasi paradigmatis, dengan mengadopsi kritik teologi transformatif terhadap gerakan Neo-Marxis, yakni ketidakmampuan dalam melihat agama sebagai potensi pergerakan berbasis budaya. Merujuk pada Gueterez, 11 Gus Dur kemudian

9Abdurrahman Wahid, Pesantren sebagai Subkultur, dalam Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta: LKiS, 2001, h., 7-11 10 Gus Dur dan Suksesi, Forum Keadilan No 02, 14 Mei 1992 11 Abdurrahman Wahid, Jangan Paksakan Paradigma Luar terhadap Agama, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogya : LKiS, 2000, hlm 178-179

8 menjadikan basis primordialisme massa konon 30 juta, berjalinan dengan ketundukan religius baik kepada jam’iyyah, kyai, maupun Islam.

Disinilah perlawanan Gus Dur-NU telah menciptakan posisi dilematis bagi Soeharto. Satu sisi, Gus Dur dan NU dibutuhkan negara sebagai penyeimbang radikalisme Islam, sehingga negara kemudian membutuhkan kekuatan NU. Namun, sisi lain, pergerakan “kaum sarungan” ini terbukti sering membuat “merah telinga” kekuasaan. Satu momen besar yang menjadi rujukan sejarah, adalah ketika sebagai Ketum PBNU, Gus Dur menggelar Rapat Akbar dalam rangka Harlah ke-68 NU, pada 1 Maret 1992. 12 Terdapat sekitar 150.000 warga nahdliyyin memenuhi stadion utama Senayan Jakarta, dengan satu tujuan : menegaskan kembali kesetiaan NU terhadap Pancasila dan UUD 45 sebagai ideologi dan falsafah hidup bangsa.

Kenapa penegasan kesetiaan terhadap Pancasila dimunculkan kembali? Bukankah hal tersebut sudah diselesaikan NU pada Muktamar ke-27 1984 ? Dalam kaitan inilah, Gus Dur menggunakan konsep hegemoni Gramsci guna melawan praktik hegemonik negara. Melalui penegasan kembali, kesetiaan Pancasila, Gus Dur telah menciptakan war of positions dengan melakukan “perebutan simbolik” atas legitimasi Pancasila. Secara strategis, Gus Dur telah menghancurkan monopoli penafsiran negara atas “teks” Pancasila. Hasilnya, muncullah tafsir populis atas Pancasila dari NU guna mengkritik penyelewengan politik yang dilakukan negara atas Pancasila. Langkah inilah yang membuat Soeharto tidak berkutik, sebab Gus Dur dalam melakukan kritik, melandaskan diri pada kesetiaan dan nilai luhur Pancasila. Satu hal berbeda dengan nasib gerakan Islamis dan komunis yang dengan gampang dibrangus karena di cap, anti- Pancasila.

Demikian juga pada tataran praktis, pernyataan setia terhadap Pancasila, merupakan penolakan secara halus atas “pemaksaan” Soeharto agar segenap ormas mendukung pencalonannya kembali sebagai presiden pada Pemilu 1992. Muhammadiyah sudah melakukan dukungan tersebut. Sementara NU, merujuk pada Khitttah 26, tetap berusaha membersihkan diri dari politisasi negara. Penolakan terhadap pencalonan Soeharto juga disebabkan kritisisme atas praktik “demokrasi seolah-olah” yang dilakukan negara. Gus Dur secara lantang menyebut situasi demokrasi Orde Baru hanya “seolah-olah”, sebab tatanan

12 Douglas E Ramage, Pemahaman Abdurrahman Wahid tentang Pancasila dan Penerapannya, dalam Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, Ellyasa KH Dharwis (ed), Yogya : LKiS, 1997, hlm 101-124

9 politik hanya dilandaskan pada manipulasi institusional dan prosedural (pemilu), tetapi kebudayaan demokratis semisal kebebasan berpendapat dan berserikat diberangus secara “tenang tapi mencekam”. 13

Dari sini kita kemudian faham bahwa meskipun Gus Dur mengritik institusionalisme demokrasi, tetapi Ia tetap menggunakan konstitusi sebagai alat dan legitimasi bagi kritik tersebut. Dalam hal ini Gus Dur sepertinya melakukan pemilahan antara institusi politik dan konstitusi. Yang pertama murni pengejawantahan nilai dan cita politik dalam lembaga modern. Pelembagaan politik dibutuhkan guna menjembatani ide filosofis tentang moral, tujuan, kebaikan, dan idealitas politik kepada pelaksanaan di masyarakat.14 Ketika masyarakat modern sudah menjadikan pemisahan kekuasaan fungsional, antara pemimpin eksekutif, parlemen sebagai wakil kedaulatan rakyat, dan yudikatif sebagai otoritas hukum, maka lembaga Trias Politica dibentuk untuk merealisasikan cita-cita tersebut.

Hanya dalam perkembangannya, institusi politik saja tidak cukup, karena ia kemudian tereduksi dalam praktik politik. Pendekatan politik tidak lagi cukup dengan hanya mendirikan lembaga demi perealisaian ide politik. Lembaga, bagaimanapun hanya mesin yang digerakkan oleh aktor politik, yakni manusia yang tentu memiliki hasrat, kepentingan, dan kecenderungan koruptif. Apalagi politik tidak lagi dimaknai sebagai cara untuk mengatur tata masyarakat demi kesejahteraan bersama. Politik kini lebih dimaknai sebagai the art of possibility; tentang siapa mendapatkan apa dengan cara bagaimana. Politik kini tidak lagi menjadi moral Platonis; ia kini tergerak di dalam dan melalui kekuasaan. Pergeseran dari politik moral menjadi politik kekuasaan inilah yang akhirnya menjadikan cita-cita normatif dan lembaga politik yang didirikan untuk cita itu menjadi absurd dan politis. Ini terjadi ketika bukannya nilai moral yang mengendalikan kesewenangan, selayak kelahiran filsafat politik Abad Pencerahan. Tetapi nilai-nilai moral itu yang dijadikan alat bagi pencapaian dan pelanggengan kekuasaan. Pada titik ini, institusi politik sebagai media realisasi cita-cita politik menjadi tak efektif lagi.

13 Abdurrahman Wahid, Negeri Ini Kaya dengan Calon Presiden, Forum Keadilan, No 02, 14 Mei 1992. Lihat juga wawancara Matra, “Saya Ini Makelar Akhirat: Abdurrahman Wahid, Tentang pemilu, Apel 2 Juta umat, dan Suksesi”, Maret 1992, wawancara Forum Keadilan No 8, Tahun II, 5 Agustus 1993, “Saya Menangisi Nasib Rakyat”. 14 David E. Apter, Pengantar Anasila Politik, Jakarta: LP3ES, 1985, h., 392

10 Dari fakta inilah menjadi wajar jika Gus Dur kemudian melakukan kritik atas institusionalisme politik. Satu langkah antara yang membuatnya memilih konstitusi sebagai alat pergerakannya. Konstitusi di sini terposisi melampaui institusi DPR, MA, Presiden, dan segenap departemen pemerintah. Bagaimanapun berbagai isntitusi tersebut merupakan pelaksana partikular dari konstitusi dasar, yakni UUD 45. Gus Dur memilih ruang ini, karena UUD merupakan landasan dan kesepakatan filosofis dari pendiri bangsa dan segenap komponen hukum untuk merumuskan garis besar haluan negara. Konstitusi tekstual ini menjadi penting, karena ia memberikan hak-hak politik bagi warga negara yang dijamin sebagai bangunan dari konstitusi itu sendiri. Satu hal yang pada tataran praktis kemudian diselewengkan oleh para penyelenggara negara demi kepentingan politiknya. Hal ini pula yang membuat Gus Dur lebih menekankan gerak sipil dari pergerakan konstitusional. Artinya, pelaksanaan konstitusi secara benar ternyata tidak bisa diharapkan lahir dari negara. Maka, ia harus digerakkan oleh elemen sipil, yang secara esensial hidup dalam sebuah keadaban politik. Tuturnya:

Situasi ini membutuhkan kemauan berbagai kelompok aktivis dalam isu-isu hak asasi manusia, lingkungan hidup, hak kaum minoritas, pemerataan konsumen, keselamatan kerja, dan sebagainya. Kalangan publik yang semakin meluas yang menaruh perhatian pada isu-isu tersebut, membentuk pendukung utama bagi upaya-upaya untuk mengoperasionalisasikan UUD 1945 dalam praktik. Pendukung ini, yang kini tumbuh dengan cepat di Indonesia, membentuk sektor pelopor yang menggerakkan seluruh masyarakat ke arah baru pemerintahan berdasarkan hukum di masa depan, karena perjuangan mereka sepenuhnya tergantung pada penerapan yang adil dan jujur dari undang- undang yang ada, serta pengundangan undang-undang yang lebih baik.

Pada gilirannya, dua hal tersebut sepenuhnya tergantung pada keinginan politik kalangan yang berkuasa untuk melaksanakan konstitusi secara konstitusi. Dengan demikian, masa depan konstitusionalisme dan sifat kepolitikan di Indonesia terjalin di dalam karya-karya berbagai kelompok aktivis di luar pemerintahan, yang bertindak sebagai katalisator bagi perubahan mendasar dalam berbagai sector kehidupan, melalui peningkatan secara langsung maupun tidak langsung kesadaran akan pemerintahan berdasarkan hukum.15

15 Abdurrahman Wahid, The Future of Constitutionalism and the Nature of the Polity: the Case of Indonesia’s 1945 Constitution, A working paper for the Asian Regional Institute of the American

11

Dari paparan ini jelas, bahwa konstitusi menjadi faktor terpenting bagi konsepsi negara Gus Dur. Urgensitas faktor ini terdapat pada kebutuhan akan pemerintahan yang berlandaskan supremasi hukum. Hanya saja, konstitusionalisme Gus Dur sering tak berbanding lurus dengan kepentingan negara. Satu hal yang Gus Dur gerakkan melalui “ekstra perlemen” masyarakat sipil, di mana para pejuang demokratisasi menjadi pengontrol pelaksanaan negara. Satu hal yang Gus Dur lanjutkan dalam Kepresidenan ke-4 RI, yang sayangnya menjadi bumerang bagi pemerintahannya. Keinginan Gus Dur untuk membuat “negara ramping” justru menjadi pemicu pada singkatnya kekuasaan beliau, sebab logika penguatan masyarakat dengan kekuasaan negara tentu bertentangan. Gus Dur ketika “menjadi negara” bahkan hendak mengurangi kekuasaan negara atas masyarakat. Satu gerak yang tentu tak di inginkan oleh segenap kekuatan politik dari negara, yang akhirnya mampu menurunkan Gus Dur dari tampuk kekuasaan.

Council of Learned Societies, Comparative Constitutionalism Project, being held in collaboration with the Law and Society Trust, Sri Lanka. February 23-27, 1989, Chiangmai, Thailand, h., 10-11

12 Bab 03

Pemikiran Politik Islam Gus Dur

Secara paradigmatik, pemikiran politik Islam Gus Dur berangkat dari kaidah fiqh yang berbunyi: tashharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuuthun bil mashlahah (kebijakan seorang pemimpin terkait dengan kemashlahatan rakyat). Kenapa dirujukkan pada kaidah ini? Karena bagi muslim, praktik politik terkait dengan amanah, yang tidak hanya mengacu pada kontrak sosial dalam demokrasi, tetapi pertanggungjawaban manusia atas posisi khalifah, langsung dihadapan Tuhan. Kemashlahatan rakyat menjadi pijakan dan arah utama, karena Islam menganut prinsip keadilan (al-‘adalah), yang oleh Gus Dur ditempatkan sejajar bersama dengan demokrasi (syura) dan persamaan (al-musawah).1 Tanpa adanya keadilan, sebuah kepemimpinan politik, cacat di mata agama, dan oleh karena itu, halal untuk dilawan, apalagi ketika ketidakadilan itu mrembet pada penyimpangan syar’i.

Dalam hal inilah, Gus Dur dan NU tidak menambatkan tujuan politiknya kepada negara Islam. Kenapa? Karena menjadikan Islam sebagai tujuan, akan terjebak pada cita-cita semu, yang menyebabkan perjuangan menjadi simbolis. Ini yang dialami para “pembela Islam”, seperti yang terjadi pada perdebatan Piagam Jakarta di negeri kita. Bagi mereka, yang dinamakan dakwah Islam haruslah secara letterlijk memasukkan kata-kata Islam atau syari’at kedalam konstitusi negara, seperti yang termaktub dalam konstitusi Saudi Arabia, Iran, dan Pakistan. Dari sini perjuangan menjadi simbolis, dimana tegaknya Islam dimaknai sebagai tersebarnya “lautan jilbab”, dan segala aturan formal akhlak Islam. Hal ini tentu telah melahirkan agama hipokrit, dimana pelaksanaan ibadah harus melalui pemaksaan politik, sehingga ia murni bersifat publik tanpa adanya kesunyian transendental.

Dari sini Gus Dur kemudian melakukan rekonstruksi kedalam, atas bangunan intelektualisme Islam. Ini urgen, sebab perumusan ulang pemikiran Islam merupakan ruang yang tak tergarap dari kebangkitan Islam tersebut, yang karena tak masuk dalam geliat intelektualisme, maka ia terjebak dalam perjuangan

1 Abdurrahman Wahid, Islam dan Titik Tolak Etika Pembangunan, makalah seminar pesantren dan pembangunan, Berlin Barat, Juli 1987

1 formalistik.2 Arah ini yang membedakan Gus Dur dengan para “pembela Islam”. Bagi Gus Dur dan kalangan NU, Islam terlebih adalah soal penguasaan metodologi keilmuan. Fakta ini searah dengan proses islamisasi awal abad ke-19, ketika jaringan ulama jawi membawa pembaruan pemikiran Islam, dari Mekkah, ke Nusantara. Inilah cikal bakal pesantren, yang akhirnya melahirkan kekayaan ilmu ‘alat, sehingga bagi muslim santri, keberislaman, terutama adalah penguasaan dan aplikasi dari manhaj al-fikr, sehingga Islam mampu menanggapi perubahan zaman.3 Satu hal yang berbeda dengan kalangan fundamentalis, yang hanya menjadi konsumen pemikiran dan produk hukum Islam, sehingga Islam kemudian menjelma “senjata sudah jadi”, dan siap dilawankan dengan apapun.

Pada titik inilah kita akan mengenal konsep kosmopolitanisme dan universalisme Islam milik Gus Dur. Konsepsi ini mengacu pada usaha untuk merumuskan bagaimana pemahaman terhadap ajaran Islam harus bersifat terbuka dengan pemikiran lain. Hanya saja keterbukaan ini bukanlah suatu adaptasi radikal terhadap Barat, tetapi sebuah keterbukaan pemikiran yang ditujukan untuk penggerakan perubahan struktural demi tata hidup berkeadilan.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai atau berada pada titik optimal, manakala tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum muslimin dan kebebasan berfikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-muslim). Kosmopolitanisme yang seperti itu adalah kosmopolitanisme yang kreatif, karena di dalamnya warga masyarakat mengambil inisiatif untuk mencari wawasan terjauh dari keharusan berpegang pada kebenaran. Situasi kreatif yang memungkinkan pencarian sisi-sisi paling tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan, situasi cair yang memaksa universalisme ajaran Islam untuk terus-menerus mewujudkan diri dalam bentuk-bentuk nyata, bukannya hanya dalam postulat-postulat spekulatif belaka. 4

2 Abdurrahman Wahid, Kebangkitan Islam sebagai Titik Tolak Kebangkitan Umat, makalah diskusi Training HMI Badko Jawa Barat, di Cimacan, 16 Februari 1981 3 Abdurrahman Wahid, Principle of Pesantren Education, makalah the Pesantren Education Seminar, Berlin, oleh TU Berlin dan FNS, Juli 9-12 1987, h., 4 4 Abdurrahman Wahid, Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam, Pelita, 26 Januari 1988, h., 8

2 Sikap kosmopolitan ini dilandasi oleh keyakinan akan sifat keterbukaan Islam. Secara tekstual, keyakinan tersebut didapatkan pada penafsiran Gus Dur terhadap konsep kesempurnaan Islam yang termaktub dalam Surah al-Maidah (5):3, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam menjadi agama bagimu”. Ayat ini kemudian ditafsiri oleh banyak ulama sebagai penanda bagi kesempurnaan Islam dalam segenap bidang, baik agama, sistem masyarakat, serta sistem negara. Bagi Gus Dur, sebaliknya. Konsep kesempurnaan Islam terdapat pada sifatnya yang terbuka untuk menerima masukan dari sistem lain, selama tidak bertentangan dengan aqidah. Potensi Islam kemudian terdapat pada keterbukaan bagi pengembangan wawasan baru secara terus-menerus dalam menjawab tantangan zaman. Dalam hal ini, substantifisme dalam Islamlah yang membuka ruang bagi keterbukaan tersebut, bukan rumusan-rumusan detail formalnya.

Hal sama terlihat dari ketidaksetujuan Gus Dur terhadap pemasukan orang Yahudi dan Nasrani sebagai kafir : suatu kelompok yang memusuhi Islam. Jika al- Qur’an dikaji secara mendalam, akan didapatkan bahwa konsep kafir hanya merujuk pada kelompok yang menolak Tuhan, sementara ahli kitab, dilihat masih memilki konsep ketuhanan, sehingga tidak bisa dimasukkan dalam kekafiran. Dalam hal ini, Gus Dur kemudian melakukan pembedaan antara definsi “tegas” sebagai sebuah sikap teologis, dengan tindakan “tegas” sebagai laku kekerasan. Penegasan ini dianggap penting dalam menafsiri ayat asyidda’u ‘ala al-kuffar ruhama’u bainahum (bersikap tegas diantara orang-orang kafir dan orang yang santun mengasihi diantara sesama mereka) (QS al-Fath, 48:29). Atas dasar inilah, tidak heran jika Gus Dur akrab dengan non-muslim dan terlibat dalam berbagai pembelaan atas diskriminasi minoritas yang dialami umat Kristen dan Konghucu.

Dalam kaitan ini, Gus Dur telah melakukan rekonstruksi terhadap penafsiran firman Allah Swt, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka” (QS al-Baqarah, 2:120). Ketidaksenangan Yahudi-Nasrani dalam ayat ini dianggap sebagai hal yang wajar, karena umat Islampun pasti memiliki sikap seperti itu. Menurut Gus Dur, pihak yang tidak rela (walan tardha) bukan hanya non-muslim, tetapi juga pihak muslim, sebab masing agama memiliki truth claim yang absolut dan tidak menerima kebenaran dari pihak

3 lain. Sementara kalimat ‘anka bukan bermakna wahai kamu (Muhammad), melainkan berarti kebenaran yang dibawa, yakni Islam. Dengan penafsiran ini, Gus Dur tidak memiliki kecurigaan terhadap non-muslim, dan secara terbuka melakukan kerjasama dengan mereka dalam urusan sosio-kemasyarakatan.

Dari sini, kosmopolitanisme Islam kemudian Gus Dur kaitkan dengan terma universalisme Islam, sehingga keduanya menjadi satu kesatuan: aplikasi dari ajaran Islam yang universal, tidak akan terjadi tanpa watak terbuka terhadap peradaban lain, yang membuat Islam bersikap secara kosmopolitan. Dua titik ini adalah inti mekanisme dialektik dari pemikiran Islam Gus Dur. Lihat saja betapa tinggi kepercayaannya terhadap kosmopolitanisme Islam, yang Ia lihat sudah terjadi sejak awal pengorganisasian Nabi Muhammad SAW di Negara Madinah, hingga munculnya para ensiklopedis muslim awal, semisal Al-Jahiz di abad ketiga Hijri.

Watak terbuka ini memiliki sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, serta terciptanya heterogenitas politik. Kosmopolitanisme ini juga menampakkan diri dalam kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad, baik terhadap sisa-sisa peradaban Yunani kuno, Persia, hingga peradaban India. Islam dalam sejarahnya telah berdialog dengan peradaban sekular dan mistik, dimana filsafat dan gnostisisme telah menyumbang kontribusi besar bagi rasionalitas dan arah sufisme. Ini yang melahirkan filsafat Islam, serta kecenderungan mistis dalam tasawuf, yang sering dirujukkan pada kalangan Syi’ah. Kemampuan Islam dalam berdialog ini menunjukkan sikap terbuka dari metode pemikiran dan kelentukan esoteris, sehingga segenap peradaban yang cenderung tidak searah dengan peradaban fiqh, bisa diterima dan akhirnya membentuk peradaban Islam tersendiri.

Pada titik ini, watak kosmopolitan berfungsi sebagai perluasan aplikatif, serta prasyarat kondusif bagi terealisasinya ajaran universal dari Islam. Universalisme ini merupakan penggalian Gus Dur atas ajaran-ajaran orisinil, yang memiliki keperdulian mendalam terhadap nasib kemanusiaan serta keadilan sosial, dan oleh karenanya, ia memiliki keluasan batas pada tataran universal. Secara sistematis Gus Dur mendapatkan universalisme Islam tersebut didalam berbagai jaminan dasar Islam atas ketinggian martabat manusia, yang meliputi; pertama, jaminan atas

4 keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani diluar ketentuan hukum. Jaminan ini dengan sendirinya mengharuskan pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan adil kepada semua warga tanpa terkecuali, sesuai dengan hak masing-masing. Hanya dengan kepastian hukumlah sebuah masyarakat mampu mengembangkan wawasan persamaan hak dan derajat antara sesama warga, sehingga ia mampu menjamin terwujudnya keadilan sosial, yang oleh Gus Dur ditempatkan sebagai pandangan hidup paling jelas dari universalitas Islam.

Kedua, jaminan atas keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama. Jaminan ini kemudian melandasi hubungan antarwarga masyarakat berdasarkan sikap saling menghormati, yang akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar. Jaminan ini begitu penting, mengingat kecenderungan negara yang bahkan sering melakukan pengaturan represif atas kebebasan beragama. Ini terjadi karena kalangan ulama birokrat yang dengan sengaja menggunakan politik sebagai pembenar dan pemaksa bagi klaim kebenaran keagamaan mereka, melindas berbagai keyakinan keagamaan pihak lain yang bertentangan dengan tafsir resmi.

Ketiga, jaminan atas keselamatan keluarga dan keturunan, yang akan menampilkan sosok moral, baik moral dalam arti kerangka etis maupun kesusilaan. Kesucian keluarga dilindungi, karena keluarga merupakan ikatan sosial paling dasar, karenanya tidak boleh dijadikan ajang manipulasi dalam bentuk apapun oleh sistem kekuasaan yang ada. Keempat, jaminan keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, serta jaminan atas keselamatan profesi yang merupakan sarana bagi berkembangnya hak-hak individu secara wajar dan proporsional dalam kaitannya dengan hak-hak masyarakat atas individu.

Dari mekanisme dialektik antara kosmopolitanisme Islam disatu sisi, dengan universalisme Islam yang merujuk pada berbagai jaminan atas hak-hak dasariah manusia, maka tujuan utama dari Gus Dur adalah perubahan sosial menuju pada struktur politik yang lebih berkeadilan. Artinya, usaha untuk membuat Islam lebih terbuka dengan peradaban lain, yang tentunya memiliki konsekuensi penghapusan sikap-sikap ekslusif dan melihat Islam sebagai satu-satunya kebenaran, serta penggerakan perubahan sosial demi pengangkatan martabat manusia.

5

Pemikiran tentang keadilan politik ini memang merupakan juluran historis dan kultural, yang lahir dari corak keberpihakan populis budaya pesantren. Hal ini bisa kita lihat, misalnya dalam tradisi tasawuf pesantren, yang tidak merujuk pada pencapaian kesatuan mistik antara makhluk dengan khalik, seperti dilakukan para sufi falsafi kalangan Syi’ah. Tasawuf di pesantren lebih mengacu pada tasawuf ‘amali, dimana praktik ibadah melalui penekanan fadloil al-‘amal sebagai pencapaian sufistik. Corak ini memiliki dampak yang akhirnya bersifat sosial, karena terma ‘amal tersebut, tidak hanya bersifat individual, tetapi terlebih harus mampu memberikan kemashlahatan bagi orang sekitar. Tengoklah pemaknaan kalangan pesantren atas perintah jihad dalam kitab I’anatut Thalibin , yang bukan lagi ditafsiri sebagai “perang suci” (holy war), tetapi kewajiban penyediaan makanan, pakaian, dan tempat bagi kaum miskin.5 Sikap ini memang kontekstual dengan posisi pesantren, yang merupakan lembaga pendidikan masyarakat bawah.

Sifat populis ini diperkuat oleh peran kyai sebagai cultural broker. Peran yang dilihat oleh antropolog Clifford Geertz ini, menggambarkan posisi kyai yang tidak terbatas pada pengajar agama, tetapi juga penyaring budaya (dari luar), plus komunikator budaya, yang berfungsi sebagai pendamping atas beberapa persoalan kultural masyarakat, semisal konsultasi nikah, perdagangan, waris, dsb. Hal ini yang membuahkan kharisma, sehingga masukan dan ajaran kyai, diterima masyarakat, sebagai representasi dari “jawaban Tuhan”.6 Kebersamaan kyai dengan masyarakat, yang dilambari oleh keprihatinan agama inilah, yang membuahkan orientasi populis, sehingga tujuan politik bagi Islam, harus mengacu pada arah keadilan.

Pada level praktis, hal inilah yang membuahkan magnet dan basis politik, begitu mengakar dikalangan nahdliyyin, yang tidak selalu merujuk pada pendaulatan Islam sebagai ideologi politik, tetapi lebih kepada Islam sebagai modal politik. Modal ini tercipta karena keberislaman yang mengakar hingga relung budaya, sehingga apa yang dilakukan dan diperintahkan kyai, bukan hanya terhenti pada perintah normatif, tetapi telah merasuk sebagai “kenyamanan kultural”, dimana muslim nahdliyyin merasakan kedamaian batin dalam patronase budaya.

5 Abdurrahman Wahid, Pengembangan Masyarakat Melalui Pendekatan Keagamaan, dalam Muslim di Tengah Pergumulan,Jakarta: Leppenas, 1981, h., 6 6 Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, USA: Basic Books, 1973, h., 142-150

6 Hal ini kemudian memudahkan para politisi NU untuk memobilisir massa politik, hanya berlandaskan dukungan kyai, baik yang individual maupun pemimpin sebuah pesantren.7 Walaupun magnet politik ini kedepan cenderung mendapat tantangan, khususnya oleh pemilihan presiden langsung yang menggunakan kecanggihan politik media massa, namun kekuatan ini tetaplah mengakar, karena bagi sebagian muslim, keseharian mereka tetap berada dalam “rengkuhan” kyai.

Menariknya, dukungan kuat berdasar keagamaan ini tidak kemudian membuahkan orientasi Islamis dikalangan kyai, tetapi tetap bergerak dalam koridor negara-bangsa yang menjadikan cita-cita demokrasi dan keadilan sebagai tujuan utama. Pertanyaannya, bagaimana para kyai, dan tentu juga Gus Dur, tidak menjadikan “pembelaan Islam” sebagai tujuan dari politik Islamnya? Jawaban atas tanya ini akan membawa kita pada dataran kultural dari pemikiran beliau, yakni pribumisasi Islam. Kenapa? Karena dalam pemikiran inilah, Gus Dur telah menyelesaikan ketegangan antara agama dan budaya, yang merupakan penyebab bagi usaha formalisasi budaya Arab atas tradisi Islam di Indonesia.

Hal ini berangkat dari kenyataan, bahwa pribumisasi Islam merupakan proses dialog, akomodasi, dan akulturasi antara Islam yang universal, dengan tradisi pra- Islam yang lokal, dalam hal ini Hindu-Budha. Kedua budaya tersebut bisa bersatu, karena menurut Gus Dur, meskipun Islam sebagai agama tetap independen dari budaya, dikarenakan sifat doktrinalnya, namun Islam sebagai praktik masyarakat, tetap bisa memanifestasi dalam bentuk budaya.8 Inilah yang melahirkan Tari Seudati Aceh, Wayang Jawa, Ludruk Surabaya, dsb, yang pada awal, tidak berangkat dari tradisi Islam, tetapi Hindu.

Wayang sendiri merupakan epos budaya Hindu, mampu diakulturasikan dengan ajaran Islam, semisal ajaran Dewa Ruci Sunan Kalijaga dan Kyai Mutamakkin Kajen. Dalam ajaran ini, konsepsi tasawuf martabat tujuh (maraatib al- sab’ah), disatukan dengan perjalanan mistik Sang Bima dalam mencari “air kehidupan”, dalam diri Dewa Ruci yang sebenarnya merupakan personifikasi mistis dari dirinya sendiri. Akulturasi ini disempurnakan oleh penyediaan akomodatif dari

7 Dr. Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, Yogyakarta: LKiS, 2004, h., 28-47 8 Abdurrahman Wahid, Agama dan Tantangan Kebudayaan, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara, 2001, h., 79-90

7 hukum Islam, sehingga hukum adat bisa menjadi pijakan bagi syari’at (al-‘adah al- muhakkamah).

Berangkat dari metode pengembangan nash dan kaidah fiqh dalam Pribumisasi Islam inilah, maka kitapun menjadi mafhum kenapa muslim NU tidak begitu mengalami kegelisahan keagamaan yang bersifat formalistik. Hal tersebut tentu berbeda dengan kehidupan beragama Persis, Majelis Mujahidin, Hizbut Tahrir, Front Pembela Islam, Jaringan Islam Liberal, dsb. Bagi pihak ini, perdebatan antara mana Islam yang otentik, dan mana yang bid’ah atau bahkan sistem kafir menjadi tema utama proses keber-Islaman.9 Meminjam konsep Oliver Roy, ada sebuah “kegagalan komparatisisme” antara kesejarahan Islam dengan manifestasi simbolik peradaban non-Islam,10 sehingga sebagian muslim tidak menemukan berbagai kultur sinkretik mistis Jawa misalnya, atau struktur nation state Barat, sehingga terjadilah ketegangan antara Islam dan budaya, layaknya digambarkan Gus Dur.

Keberhasilan Pribumisasi Islam dalam menciptakan rekonsiliasi agama-budaya ini, tidak secara otomatis mematikan berbagai proses pembaruan dan perubahan dikalangan muslim. Hal ini dilandaskan pada fakta bahwa melalui pengembangan nash lewat ushul fiqh dan qawa’idul fiqh, muslim “pribumi” mampu menciptakan apa yang digambarkan Gus Dur sebagai perubahan yang fundamentil, perlahan, rumit dan mendalam, sehingga hanya orang yang dapat mengamati secara hati-hati dan teliti yang dapat mengetahui perubahan tersebut.

Fakta ini sekaligus menciptakan counter discourse terhadap berbagai pendekatan studi agama “miring”, yang menyatakan, dari sekian produk budaya, agamalah yang paling sulit mengalami perubahan. Secara sosiologis hal ini tidak valid, sebab sejarah membuktikan betapa pergumulan konversi didalam agama Nusantara, sejak datangnya Hindu-Budha, yag merubah animisme, kemudian diubah lagi oleh kedatangan Islam bersamaan kolonialisme Belanda-Kristen, dsb membuktikan agama lebih mudah bertransformasi, sementara sistem budaya semisal teknologi dan mata pencaharian mengalami perubahan secara lamban. Kasus gagalnya sekularisasi Attaturk Turki tentunya disebabkan peminggiran Islam

9 Bahtiar Effendy, Islam in Contemporary Indonesian Politics, Jakarta: Ushul Press, 2006, h., 132-140 10 Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik, Jakarta: Serambi, 1992, h., 14-20

8 sebagai potensi perubahan, sebuah kasus yang berbeda ketika kita melihat keberhasilan Jepang dalam revolusi teknologinya karena Jepang mampu menggunakan agama Shinto sebagai penggerak pembangunan.

Keberhasilan Islam dalam “merubah dirinya sendiri” juga meruntuhkan tesis Snouck Hurgronje yang menyatakan umat beragama dipaksa meninjau kembali isi dari kekayaan akidah dan agamanya, oleh berbagai perubahan sosial yang melingkupi. Hal ini sekali lagi bertentangan dengan fakta historis dimana perubahan agama tidak dipaksa oleh perubahan dari luar, melainkan sebaliknya, perubahan inheren didalam agama kemudian menciptakan transformasi sosio-politik.

Hanya saja, proses perubahan atau pembaruan pemahaman terhadap ajaran agama, tidak selalu mewujud dalam tujuan dan operasionalisasi yang tunggal, layaknya gerakan “kembali kepada ajaran yang benar” yang kemudian di kotakkan kedalam al-Qur’an dan Hadist. Proses ini sering disebut Islam modernis, merujuk pada Muhammadiyah, Persis, Wahabisme, dsb. Standar kemajuan kemudian menciptakan oposisi biner dengan model Islam yang sinkretik, berbau klenik, mistik dan takhayul. Pada perkembangannya, “pembaharuan kedalam” dengan pembersihan al-Qur’an-Hadist dari kultur mistik tersebut dilambari dengan “pembaruan keluar” oleh Muhammad Abduh melalui gerakan rasionalisasi yang merupakan adaptasi dari gerakan Reformasi Gereja Martin Luther. Sempurnalah tujuan pembaruan ajaran agama dalam meminggirkan apa yang sering disebut sebagai Islam tradisional, yakni golongan muslim yang sinkretik dalam tradisi dan ritual agama, serta mistis dan irrasional dalam proses berpikir.

Atas dasar kecenderungan inilah, Gus Dur kemudian memberikan gambaran lain terhadap penafsiran kembali ajaran agama. Deskripsi beliau :

Proses pemahaman baru atas ajaran agama tidak selalu diikuti oleh munculnya organisasi gerakan reformasi. Ia dapat tumbuh dalam suatu group keagamaan tanpa munculnya beberapa eksponen pembaharu dalam paham-pahamnya, atau justru lalu ia mengambil bentuk memperkuat posisi group keagamaan yang lama itu dalam

9 dalam usaha menghadapi group baru yang akan mengancam eksistensi atau dominasinya. 11

Keberhasilan pembaruan tanpa puritanisasi disebabkan oleh adanya titik tolak yang berangkat dari tradisi, serta orientasi keumatan. Artinya, tujuan pengembangan pemahaman nash, bukan an sich untuk nash, namun demi penjagaan kebutuhan umat agar tidak terjadi instabilitas akibat perubahan nilai-nilai antara “yang baru” dan “yang lama”. Hal ini tentu berbeda dengan orientasi ideologis kaum Islamis yang berangkat dari “pembelaan” Islam demi Islam melalui manifestasi Negara Islam dan formalisasi syari’ah.

Disinilah pendekatan sosio-kultural dipilih Gus Dur. Pendekatan ini merujuk pada perbaikan bersifat sub-sistemik dengan tetap menjaga keutuhan struktur makro yang sudah established. Memang terdengar a-heroik, dan sekadar “tambal sulam”. Namun pilihan ini dilakukan Gus Dur dan para ulama NU, demi tetap menjaga ketenangan serta kekukuhan kehidupan masyarakat pada level struktural. Secara strategis, pendekatan ini mencoba memberikan jawaban terhadap pertanyaan: apa yang harus dilakukan Islam ? tanpa menjebak umat dalam keterkungkungan jihad simbolik formalistik dalam Islam. Hal ini disebabkan sebuah premis, bahwa masyarakat bawah tidak selalu menunggu produk formalistik hukum Islam untuk menentukan apa yang harus mereka lakukan. Dari sini, Gus Dur kemudian menetapkan prioritas agenda pada pembentukan etika baru masyarakat, sebagai perwujudan esensi Islam minus formalisasi. Lahirlah “pembaruan kultural” dengan menciptakan operasionalisasi melalui pengembangan pemahaman nash, serta akulturasi budaya guna mengantarkan umat kepada tiga nilai dasar Islam : keadilan, persamaan, dan demokrasi (syura).

Pada tataran ini, peran kyai sebagai religious elite memegang posisi vital. Hal tersebut dikarenakan pengembangan pemahaman ajaran agama terkait dengan kebutuhan para kyai sebagai pemimpin masyarakat untuk mengendalikan berbagai perubahan nilai kemasyarakatan.

11 Abdurrahman Wahid, Penafsiran Ulang terhadap Ajaran Agama, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2000,, h., 75

10 Tentu saja mereka tidak menerima begitu saja semua perubahan yang terjadi diluar. Sebagai pemimpinan masyarakat, para kyai akan berusaha mengendalikan dan mengarahkan perubahan itu sesuai dengan prinsip-prinsip seleksi, mana yang baik buat masyarakat diambil, sedangkan yang dianggap merugikan atau merusak tatanan sosial serta bertentangan dengan ajaran agama akan ditolak. Disini, pola penolakan para kyai diusahakan “sehalus” mungkin agar tidak terjadi “ledakan” emosi keagamaan yang eksplosif (semisal penolakan Kartosuwiryo atas nation state Indonesia yang melahirkan pemberontakan) melalui proses seleksi yang bersifat menerima dan menolak (change and continuity). Proses tersebut secara indah dirumuskan dalam kaidah “memelihara warisan lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik” (al-muhafadhatu alal-qadimis shalih ma’al-akhdzi bil jadidil-ashlah).

Secara sistematis, pribumisasi Islam kemudian mengarahkan orientasinya kepada “tujuan besar” Islam, yang oleh Gus Dur didasarkan pada tiga nilai; demokrasi, keadilan sosial, dan persamaan dimuka undang-undang. Ketiga nilai dasar ini kemudian dioperasionalisasikan melalui rumusan kaidah fiqh tasharruful imam ‘ala ra’iyyahtihi manuthun bil mashlahah (tindakan pemegang kekuasaan rakyat ditentukan oleh kemashlahatan dan kesejahteraan mereka) seperti dijelaskan diatas. Jadi, cita-cita utama Islam sudah jelas, yakni Islam mengakomodasi segala kenyataan yang ada, sepanjang membantu dan mendukung kemashlahatan rakyat. Prinsip ini harus mewarnai segala wujud, baik bentuk kelembagaan maupun produk hukum.

Dari sinilah arah politik Gus Dur tidak bersifat simbolis-formalis, karena pada level budaya, Islam telah lama melerai ketegangan simbolis, antara teks normatif, dengan realitas sosial yang berubah. Artinya, bagi para penggerak formalisme politik Islam, baik ranah struktural (Negara Islam) maupun kultural (syari’atisasi budaya), proses dakwah Islam adalah proses penakhlukkan budaya non-Islam, oleh teks normatif agama. Hal ini terjadi karena keyakinan Khawarijian bahwa laa hukma illa Allah: tiada hukum selain hukum Allah. Penafsiran tekstual ini yang membuat mereka menolak demokrasi, karena sistem politik ini dianggap tidak merepresentasikan hukum Allah, tetapi kontrak sosial antar-manusia. Pada aras struktural, kelahiran negara-bangsa (nation state) juga menjadi ancaman bagi sistem Islami, karena bentuk negara modern ini yang memecah konsep ummat, dimana hanya ada satu otoritas global, yakni khilafah, yang menjadi bentuk imperium Islam.

11 Lahirlah utopia khilafah Islamiyah, yang oleh Hizbut Tahrir dijadikan “obat penawar” dari “penyakit” demokrasi. Kesemua gerak ini berangkat dari ketegangan yang tak terselesaikan, antara agama dan budaya. Satu situasi yang tak selesai, karena mereka tidak mampu melihat agama pada level antropomorfisme, dimana agama telah bergulat dalam perilaku dan sistem sosial, sehingga membentuk sistem budaya.

Dari sinilah salah paham itu terjadi. Yakni pada penolakan simbolis atas kelemahan struktural dari sebuah sistem politik. Artinya, kelompok seperti Hizbut Tahrir lebih memahami kelemahan demokrasi, menurut pandangan agama, bukan melalui tandingan sistem politik nan rasional. Seharusnya, jika kontrak sosial, legitimasi publik, dan sistem perwakilan dihujat, karena memiliki beberapa kelamahan, solusi atas semua itu tidak semudah dicarikan dalam agama. Kenapa? Karena kedua hal itu berbeda: sistem politik berangkat dari kebutuhan masyarakat untuk mengontrol kekuasaan, sementara agama mengacu pada ketundukan dan arah berserah kepada Tuhan. Pembeda dari batasan ini terletak dalam posisi dan entitas kekuasaan yang melampaui apapun, termasuk agama. Ini yang membuat khilafah misalnya, tidak berarti mampu meredam nafsu kekuasaan, karena bagaimanapun, ia telah menjadi “kursi panas”, tempat sebuah kaum memiliki kemampuan memaksa atas kaum lainnya. Ini terjadi dalam sejarah pembunuhan khulafa al-rasyidin, yang membuktikan bahkan pemerintahan Islampun tak luput dari “kutukan Ken Arok” tersebut.

Pada titik ini Gus Dur kemudian tidak ingin terjebak dalam bentuk negara, karena yang terpenting bagi suatu pemerintahan adalah berbagai infra-struktur yang melandasinya. Infra-struktur itu meliputi pelaksanaan hukum, sifat keterbukaan berpendapat, inklusifitas sirkulasi kekuasaan, pembagian wewenang yang jelas, moderatisme budaya, serta ketegasan seorang pemimpin. Berbagai keadaan ini murni persoalan “duniawi” yang harus diselesaikan secara rasional, dengan mengedepankan dialog publik yang setara. Satu hal yang tidak akan bisa dilakukan oleh bentuk negara ideologis, selayak negara Islam, komunisme, Fasisme, dsb yang lebih mengedepankan prasangka kelompok tertentu dalam menangani persoalan masyarakat. Cita-cita Islamis atas sebuah negara hanya akan menempatkan kebutuhan real masyarakat, dalam belenggu ideologi yang sering berangkat dari emosi kesejarahan sektarian tertentu.

12

Namun, peminggiran orientasi ideologis tersebut, tidak kemudian membuyarkan prinsip dasar Islam tentang praktik pemerintahan. Hal ini yang membuktikan, bahwa serasional apapun konsep politik kaum muslim, ia tetap berangkat dari logika dan prinsip keagamaan. Berbagai prinsip tersebut mengacu pada hubungan antara individu warga negara dengan keniscayaan otoritas, yang oleh Islam diatur secara seimbang. Baik hak individu warga masyarakat maupun pentingnya kekuasaan efektif ditangan pemerintah, sama-sama memiliki dasar tekstual. Ayat al-Qur’an menentukan kewajiban melakukan syura (permusyawaratan), yang diandaikan menjadi wahana penyaluran aspirasi individu. Baik dalam tingkat mikro maupun makro, kewajiban melaksanakan permusyawaratan adalah bagian pokok dari budaya politik yang diinginkan al- Qur’an. Bahkan demikian jauh hak individu dijaga, sehingga tampak agak anarkis (Sabda Rasulullah, Tiada ketundukan kepada mahkluk, termasuk yang paling berkuasa sekalipun, dalam hal yang menentang ketentuan Allah).

13 Bab 04 Gus Dur dan Negara Islam

Hubungan antara negara dan agama selalu ambivalen. Ia terdebat dalam benturan politico-jurisprudentik antara struktur negara-bangsa (nation state) yang menganut hukum alam (natural law), dengan agama (Islam) yang memiliki struktur hukum transferensial (teks suci).

Keduanya selalu berbenturan. Satu hal yang dilihat Gus Dur bahkan tidak menyentuh jantung dari persoalan kenegaraan. Ini terjadi karena di dalam dirinya, masalah negara memiliki ruang politis material yang menuntut pendekatan multi- sektoral, terkait kondisi structural yang membuat negara efektif dalam menjalankan amanat publik. Sementara di sisi lain, tuntutan politik Islam lebih didorong oleh jihad ideologis yang sayangnya bersifat sectarian, karena masing umat Islam memiliki ragam penafsiran berbeda, terkait bagaimana menempatkan agama dalam hidup berbangsa.

Dalam Jurnal Prisma edisi No. 11, November 1980, Gus Dur memberikan gambaran problematik, hubungan antara agama, sebagai ideologi, yang harus berhadapan dengan Pancasila sebagai ideologi negara. Tema Agama, Ideologi dan Pembangunan ini menjadi penting, sebab Orde Baru pada awal agenda pembangunannya, telah memosisikan secara dikotomis antara agama sebagai ideologi politik dengan kepentingan pembangunan ekonomi yang tentunya mensyaratkan “matinya ideologi”.

Makna urgen dari makalah ini juga terdapat dalam fungsi penjelas, dimanakah posisi Gus Dur: apakah dalam gerbong modernisasi yang berarti meminggirkan agama demi kelancaran percepatan ekonomi, ataukah salah satu dari bagian gerakan agama yang saat itu dipasung oleh negara, dalam arti Gus Dur adalah bagian dari Islam politik? Posisi agama dan Gus Dur sebagai pemikir Islam dalam pergulatan represifitas negara, yang hendak dikupas di tulisan ini, dengan harapan memberikan satu informasi pemikiran Gus Dur, kaitannya dengan bagaimanakah sikap ideal

1 yang harus dimiliki antara agama dan negara, agar tidak terjadi perbenturan yang tentunya merugikan nilai-nilai yang dijunjung oleh kedua faktor tersebut.

Gus Dur mengawali analisanya dengan memberikan gambaran atas fakta ketegangan agama dan negara. Secara abstraktif, Gus Dur menemukan banyak bukti yang menunjukkan besarnya hambatan dalam proses pembangunan, karena terjadinya kesalahpahaman yang sangat besar antara pihak penanggungjawab ideologi negara dan pimpinan gerakan keagamaan dikalangan negara-negara yang sedang berkembang. Kesalahpahaman ini sudah begitu jauh sehingga kehidupan politik di negara yang sedang berkembang menjadi labil. Tenaga sangat besar ditujukan hanya untuk membatasi gerakan keagamaan, yang dianggap mengganggu lancarnya pembangunan. Dalam perjalanannya, proses penghambatan ini malah menciptakan kelambatan kalau tidak boleh dikatakan menghentikan sama sekali, roda pembangunan. Gus Dur kemudian melihat terciptanya strategi ganda oleh negara, dalam menghambat “gangguan” gerakan keagamaan tersebut. Di satu pihak, gerakan keagamaan “dijinakkan” dengan bantuan negara untuk keperluan ritual, sedang dipihak lain terjadi upaya pemojokan gerakan agama yang memiliki aspirasi politis dan berwatak korektif terhadap pemerintah. Upaya pemojokan ini biasanya dilakukan melalui penciptakan gerakan keagamaan tandingan dengan fasilitas besar, dari negara. Dalam istilah Gus Dur, negara menghambat gerakan keagamaan, melalui politik “memotong baja harus dengan baja”.

Pada sisi lain, radikalisme yang dimiliki oleh gerakan keagamaan terbentuk dari besarnya persepsi akan konsolidasi ideologi negara sebagai “kerugian” bagi nilai-nilai transendental yang mereka yakini. Hal ini disebabkan oleh kesibukan negara dalam menciptakan infrastruktur rasional dan teknik yang efisien, sehingga aspirasi transendental diatas terabaikan. Sebagian karena oportunisme politik, dan sebagian lagi karena ketidakmampuan membuka cakrawala politik yang dapat diterima oleh semua kalangan. Persepsi akan “kerugian” nilai-nilai transendental ini kemudian melahirkan “konsolidasi spiritual” yang menemukan ketetapan pendirian gerakan keagamaan, dalam berbagai sumber ajaran agama, sehingga apapun yang mereka yakini, memiliki keabadian dan kelanggengan cita-cita. Konsep kesyahidan (martyrdom) mendudukkan akibat penindasan fisik dalam kerangka perjuangan suci,

2 yang tentunya berbeda dengan apa yang dimaksudkan oleh aparat yang melakukan penindasan tersebut.

Pada tataran kultur politik, ketegangan antara pemegang ideologi negara vis a vis gerakan keagamaan ini terkonstruk oleh strategi represif dari Orde Baru dalam “mengamankan” proyek pembangunan. Oleh Frans Seda, kultur politik Orde Baru (Orba) dilihat sebagai “kebudayaan ekonomi” yang tentunya lebih berorientasi pada mengejar performance (performance oriented) atau prestasi, serta hasil sebesar dan secepat mungkin.1 Satu orientasi yang berbeda dengan Orde Lama, yang menjadikan politik sebagai panglima, sementara ekonomi (hanya) menjadi faktor penunjang. Dalam orientasi ini, Orba mendambakan satu pengamanan, yakni sebuah penyiapan situasi dan kondisi politik yang aman untuk prestasi serta penertiban terhadap akibat-akibat negatif dari performance tersebut, baik secara preventif maupun represif. Dalam fakta politik, kaitan antara performance dan pengamanan dapat berlangsung dengan tempo yang makin hangat. Makin tinggi performance atau prestasi yang ditargetkan, makin ketat pula pengamanan yang harus dilakukan. Demikian sebaliknya, performance akan semakin ditingkatkan untuk membenarkan pengamanan politik yang dilakukan. Perkembangan secara spiral ini diharuskan sebab suatu pola pembangunan yang didasarkan pada mengejar prestasi tidak akan bisa mandeg, sebab mandeg berarti mundur dan hancur. Dalam hal inilah Orba melalui strategi Trilogi Pembangunan baik lewat statement resmi maupun dalam real politics menunjukkan orientasi performance dengan suatu pengamanan stabilitas politik sebagai penunjangnya.

Pada titik inilah kesulitan saling memahami antara ideologi negara dengan aspirasi keagamaan menemu ruang. Hal ini disebabkan oleh situasi labil negara- negara yang baru berdiri dalam membentuk ideologinya. Apalagi ketika sistem politik yang dianut merupakan adaptasi secara kasar dari kultur politik “luar”, sehingga adaptasi tersebut kemudian berbenturan dengan kultur politik dimasyarakatnya sendiri. Dalam kaitan ini, negara kemudian mengambil strategi “tawar menawar yang sepi” dengan satu target, yakni stabilitas politik yang disebabkan kemampuan hegemonik ideologi negara dalam “menertibkan” ideologi alternatif dari masyarakat. Deskripsi Gus Dur:

1 Frans Seda, Orde Baru dan Kultur Politiknya, Prisma, No. 11, November 1980, h., 3-4

3

“Segera setelah tercapainya penyelesaian formal berupa ideologi negara yang dinamai Pancasila, perbenturan masih berlanjut dalam bentuk upaya “pengamanan” Pancasila itu sendiri, dari kemungkinan “penyimpangan” oleh pihak lawan politik. Upaya ini terutama ditumpukkan pada tindakan politik untuk menguasai aparat pemerintahan dan kelengkapan negara. Baik di masa perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan (1945-1949), masa demokrasi liberal (1959-1966) maupun di masa Orde Baru sejak 1966. “Pengamanan” ideologi negara dari kemungkinan “salah penafsiran” senantiasa mengambil bentuk dalam pendayagunaan aparat negara bagi perumusan “penafsiran yang benar” atas ideologi negara, semisal melalui penataran P4. Kasus perkembangan Pancasila sebagai ideologi negara bukanlah kasus unik. Di banyak negara, pertumbuhan awal dari ideologi negara dan proses pemantapannya mengambil bentuk dialog intensif antara pihak yang berbeda pendapat… Tetapi, dialog tersebut ada pula yang mengambil bentuk proses “tawar-menawar yang sepi” (silent bargainings), seperti yang berlangsung di negeri kita. Proses tolak-angsur (tug-of-war) antara aspirasi theologies dan aspirasi sekularis yang berlangsung di negeri kita ini adalah bagian dari jalannya “tawar-menawar yang sepi” itu”. 2

Tentu dari sini kita menjadi faham, kenapa Gus Dur menolak negara Islam. Bukannya beliau tidak setuju dengan konsepsi tersebut, tetapi cita negara Islam di negeri ini bersifat diskontekstual, karena dalam real politics, persoalan sebenarnya adalah pergulatan antara kepentingan negara yang hendak menundukkan ideologi Islam. Artinya, perdebatan teoritis seputar Islam versus negara-bangsa, tidak relevan karena yang terjadi lebih kepada pergulatan politik antara rezim negara yang selalu memanfaatkan agama.

Di sini kita mafhum bahwa Gus Dur merupakan salah satu pioneer dari penerima konsep dan bentuk negara-bangsa, yang secara otomatis menolak penyatuan antara agama dan negara. Tentu pada terma ini, Gus Dur bisa dimasukkan kedalam gerbong sekularisasi, bersama dengan Cak Nur. Hanya saja, konsep sekularisasi yang mensyaratkan disfungsionalisasi otoritas agama, karena

2 Abdurrahman Wahid, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Prisma No. 11, November 1980, h., 13-14

4 telah diganti dengan otoritas administratif sekular, sebenarnya tidak cukup mampu menggambarkan detail perbedaan didalam konsep pemisahan agama-negara.

Hal ini berangkat dari satu postulat, bahwa terma sekularisasi lebih mengedepankan aspek “tujuan ideologis” dimana para konseptor negara-bangsa memiliki tujuan ideologis yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan paradigma keagamaan ideologis. Maka tak bisa dihalangi, Islam sebagai cita-cita politik harus dipinggirkan, agar cita-cita masyarakat sekular bisa terwujud. Sejauh pembacaan terhadap pemikiran Gus Dur, terma sekularisasi semacam ini menurut penulis tidak relevan ketika disematkan kepada pemikiran Gus Dur. Kenapa? Karena perumusan sistem negara berdasarkan agama ternyata tidak betul-betul relevan bagi kebutuhan akan pemenuhan hak-hak bernegara dari masyarakat. Hal ini dilandaskan Gus Dur pada berbagai kondisi dan syarat faktual bagi berfungsinya sistem negara yang betul-betul mampu memenuhi kesejahteraan rakyat. Tuturnya:

Dengan melihat unsur-unsur yang diperlukan bagi sebuah upaya rekonstruksi teori kenegaraan dari sudut pandangan kontemporer saat ini, tampak bahwa lahan bagi upaya rekonstruksi serupa dari sudut pandangan Islam, tidak begitu menguntungkan. Solidaritas massa, bila digerakkan oleh semangat keagamaan, saat ini cenderung menjadi momok bagi pengembangan pluralitas budaya yang diperlukan bagi komunikasi eksternal kaum muslimin sendiri. Kesenjangan budaya (cultural lag) yang diderita oleh elit keagamaan ummat Islam, baik para ulama, cendekiawan maupun tokoh organisasi massa, cenderung untuk menolak setiap pemecahan masalah dalam kerangka sikap inklusivistik. Demikian juga, kehidupan spiritual kaum muslimin, yang sangat tipis kadar kontemplasinya karena didorong oleh kebutuhan pencarian ‘pemecahan praktis’ (hulul ‘amaliyah, implementable solutions), sangat sedikit memberikan peluang untuk kiprah pemikiran yang berwawasan sangat jauh.3

3 Abdurrahman Wahid, Masih Relevankah Teori Kenegaraan Islam? Tinjauan Kontemporer Atas Prinsip-Prinsip Rekonstruksinya, makalah pada Diskusi Konsep Negara Islam, FH-UII, Yogyakarta, 7 Februari 1988, h., 4

5 Dari paparan ini jelas terlihat bahwa ketidaksetujuan Gus Dur terhadap teori kenegaraan Islam, serta usaha rekonstruksi atasnya, bukan semata disebabkan oleh sistem Islam itu sendiri, tetapi sebuah fakta historis yang memperlihatkan bahwa gelora pengislaman negara, ternyata hanya memasukkan Islam kedalam fanatisme ideologis, yang tentunya tidak berperan sebagai agama an sich.4 Bagi Gus Dur, fanatisme ini telah melahirkan dua sikap yang sama-sama “membahayakan” Islam sebagai agama. Disatu sisi, Islam telah dijadikan alternatif ideologis berupa doktrin politik: Islam sebagai solusi, yang tentunya menyimpan potensi konflik dengan “solusi lain” yang ditempatkan sebagai “jahiliyah modern”. Alih-alih menciptakan mashlahat, gelora serba alternatif ini pasti akan menggeret massa kedalam pertarungan ideologis, sering dengan ceceran darah sesama muslim.

Di sisi lain, Islam kemudian hanya dijadikan suplemen bagi proyek pemerintah non-Islam yang melahirkan satu politisasi agama, bisa melalui praktik birokratisasi, atau bahkan pemanfaatan suara untuk melegitimasi kebijakan pemerintah. Kedua posisi ini tentu menjadi penodaan bagi konsep Islam sendiri, yang sebenarnya penuh dengan cita-cita tentang keadilan serta kesejahteraan masyarakat.

Fakta inilah yang membuat Gus Dur, apatis dengan usaha rekonstruksi teori kenegaraan Islam, dikarenakan berbagai problem kontemporer yang tidak akan bisa diselesaikan hanya oleh batasan konseptual dari perpolitikan agama. Berbagai problem tersebut merujuk pada bagaimana pelembagaan institusi pemerintah dibentuk: apakah menganut sistem sentralisasi ataukah desentralisasi? Jenis hukum formal yang mana, yang akan ditetapkan sebagai sistem hukum nasional, mengingat terdapatnya potensi meniadakan konsep “hukum lain”, demi kemapanan satu konsep hukum tertentu? Masyarakat seperti apa yang akan dibangun: masyarakat tertutup yang menghambat proses distribusi kekuasaan, ataukah masyarakat terbuka? Hingga model kebudayaan seperti apa yang akan dituju, apakah kebudayaan monolitik yang tidak menenggang perbedaan, atau sebuah perhargaan atas dinamika pluralitas? Berbagai problem real yang terdapat baik dalam struktur kenegaraan, maupun kultur masyarakat inilah yang membuat rumus teori negara Islam menjadi irrelevant, sebab Gus Dur melihat pengatasnamaan agama dalam

4 Abdulkadir Kurdi, The Islamic State, New York: Mansell Publishing Limited, 1984, h., 41-45

6 politik, tiada bedanya dengan segregasi ideologis berbagai isme yang menjadikan kekuasaan ideologinya sebagai tujuan utama pendirian negara, bukannya realisasi keadilan sosial.

Pada titik ini Gus Dur kemudian merumuskan berbagai prinsip kenegaraan modern, yang tidak harus terkait dengan teori sistem kenegaraan tertentu, termasuk sistem Islami. Prinisp tersebut antara lain; (1) sistem pemerintahan yang secara universal memberikan kedudukan sama di muka hokum, tanpa melihat asal-usul agama, etnis, bahasa, budaya, maupun keyakinan politiknya. (2) sistem perwakilan berdasarkan ketentuan satu-orang-satu-suara (one man one vote), yang akan menjamin kedaulatan rakyat yang tidak akan tertandingi sistem perwakilan terbatas manapun, (3) hukum nasional yang berlaku untuk semua warganegara, yang diramu dari unsur-unsur hukum agama, disamping sumber lain, sedangkan materi hukum agama yang tidak masuk dalam kodifikasi hukum formal (undang-uandang) berfungsi sebagai etik masyarakat (menjadi fiqh atau hokum agama Islam), (4) jaminan penuh akan kebebasan berpendapat, berserikat dan menguasai hak milik, (5) pembagian kewenangan legislatif, eksekutif, yudikatif, dimana tidak ada satu pihak mencampuri otoritas pihak lain, (6) jaminan untuk mengembangkan keyakinan agama serta menyebarkan ajaran spiritualitas tanpa ada pembatasan, selama tidak menjurus kriminalitas, (7) jaminan akan kebebasan melakukan kegiatan ilmiah, perlindungan hukum atas karya-karya ilmiah, dari tindakan sepihak oleh semua otoritas, termasuk otoritas agama, diluar saluran pengadilan.5

Pada ranah praksis, hal inilah yang membuat Gus Dur, sebagai Ketum PBNU saat itu, menerima azas tunggal Pancasila, sebagai azas organisasi masyarakat, karena disamping hal tersebut merupakan keberpihakan dari ormas-ormas untuk mencoba keluar dari kepentingan sektarian, menuju pada kepentingan nasional,6 juga dikarenakan oleh keyakinan bahwa Pancasila tidak akan mengganti posisi Islam sebagai aqidah. Keyakinan tersebut berangkat dari satu positioning Islam dalam kehidupan bangsa, yang oleh Gus Dur ditempatkan pada, pertama, sebagai etika sosial, dimana Islam mampu mengarahkan dan membentuk moralitas publik, dan

5 Lihat Wahid, Masih Relevankah Teori Kenegaraan Islam, h., 5 6 Abdurrahman Wahid, Peranan Organisasi Kemasyarakatan dalam Pembangunan Politik: sebuah Telaah Awal, dalam Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam, Arifin Junaidi (penyunting), Edisi terbatas, 1991, h., 57

7 kedua melalui penerapan hukum Islam secara partikular didalam struktur hukum nasional, salah satunya melalui Departemen Agama, meskipun lembaga ini ternyata terjebak dalam birokratisasi dan tidak mampu melakukan pengaturan konflik internal gerakan Islam, sehingga mengalami kegagapan ketika harus berhadapan dengan dilema Islam dan modernitas.

Penerimaan Gus Dur atas nama (NU) memang bersifat historis. Kesejarahan tersebut menemu ruang dalam penerimaan NU atas bentuk negara-bangsa, yang mengindikasikan “selesainya” perdebatan pada level struktur kenegaraan untuk kemudian lebih mengembangkan perdebatan pada wilayah aplikasi dari eksistensi kenegaraan demi kesejahteraan rakyat.

Dimulai sejak Muktamar tahun 1935 di Banjarmasin, NU sudah membuktikan watak moderasinya melalui pemberian status wilayah Hindia-Belanda sebagai dar al- Islam (negeri muslim) meskipun struktur negara yang ada adalah negara kolonial- sekular. Penerimaan ini berangkat dari argumentasi, bahwa negara menjamin kebebasan umat muslim dalam melakukan praktik ibadah, disamping argumen historis yang menggambarkan kesejarahan kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, yang hingga kini masih memberikan bekas kultural dalam tradisi keagamaan dan kekuasaan muslim Nusantara. Konsekuensi dari penerimaan ini adalah, wajibnya umat muslim untuk mempertahankan wilayah tersebut dari penjajahan, sehingga sejak saat itu, perlawanan terhadap kolonialisme selalu mengemuka, baik yang dilatarbelakangi oleh berbagai kebijakan anti-Islam dari pemerintah Belanda, maupun fatwa Resolusi Jihad Kyai Hasyim Asy’ari, untuk mempertahankan kemerdekaan pada Oktober 1945.

Dari momen sejarah ini, maka tanggapan Islam atas bangunan negara-bangsa, menemu pada dua ruang. Pertama, Islam mensyaratkan kebebasan bagi kaum muslim untuk melaksanakan ajaran agama, sebagai conditio sine qua non bagi penerimaan Islam atas eksistensi negara tersebut. Kedua, Islam membiarkan hal-hal yang berhubungan dengan bentuk negara, sistem pemerintahan, orientasi warga negara dan ideologi politik, ditentukan oleh proses sejarah. Dengan demikian, pola yang berkembang adalah wawasan kebangsaan yang dijalin dengan orientasi cukup

8 kuat, sehingga keduanya tidak saling menolak, tetapi saling mendukung dalam batas dan ruang yang ditentukan secara proporsional.

Dalam kaitan inilah, Gus Dur kemudian menggambarkan modal besar dari sistem keagamaan NU yang membuatnya moderat dalam berhubungan dengan negara-bangsa. Sistem keagamaan ini merujuk pada kesatuan antara tiga komponen utama Islam, yakni tauhid, fiqh, dan tasawuf. Dalam berfiqh, muslim NU tidak hanya mengembangkan produk hukum agama yang diambil dari literatur fiqh dalam sekala massif, namun juga cara-cara menyusun pemikiran hukum (legal maxim, qawa’idul fiqh), guna menentukan bentuk akhir keputusan hukum, jika latar belakang masalahnya tengah mengalami perubahan.

Disinilah dinamika pengambilan hukum Islam menjadi dinamis, karena NU mampu merumuskan kembali setiap permasalahan hukum berdasarkan perubahan konteks masyarakat. Pemikiran metodologis hukum agama ini kemudian diberi bobot spiritualitas melalui tasawuf dalam pengamalan ajaran agama sehari-hari, melalui rangkaian ritual yang memungkinkan penyiraman jiwa, yang berfungsi memperdalam bobot kearifan spiritual, sebagai pendalaman bagi kecenderungan legal formalistik dari corak keagamaan serba fiqh. Dari ketaatan terhadap hukum agama, dibarengi dengan pengamalan ajaran agama secara sufistik ini, maka muslim NU kemudian memiliki bobot ketauhidan yang kuat, sehingga agama mampu membentuk pandangan dunia yang bulat dan utuh, baik dalam lanskap duniawi maupun ukhrawi.

Dari sistem keagamaan fiqh-sufistik inilah, NU kemudian merumuskan hubungan moderat antara Islam dan negara modern, sehingga pada satu titik, Islam tidak kehilangan relevansi bagi kehidupan kekinian, sekaligus Islam tidak kehilangan dirinya dalam struktur kebudayaan sekular yang dibawa oleh modernitas tersebut. Elaborasi Gus Dur:

Pendekatan serba fiqh atas masalah-masalah kenegaraan itulah yang membuat NU relatif lebih mudah menerima ketentuan pemerintah tentang asas Pancasila dalam kehidupan organisasi. Dalam pandangan fiqh asas Pancasila adalah salah satu dari sekian buah persyaratan bagi keabsahan negara Republik Indonesia; hal itupun bukannya persyaratan keagamaan sama

9 sekali. Dengan sendirinya tidak ada alasan apapun untuk menolaknya, selama ia tidak berfungsi menggantikan kedudukan agama dalam kehidupan berorganisasi yang bersangkutan.

Dengan meletakkan kunci masalah pada pengesahan oleh hukum fiqh, NU mampu melakukan sebuah proses penyesuaian dengan tuntutan sebuah negara modern, walaupun dalam aspek kenegaraan, pandangan serba fiqh itu juga sering merupakan hambatan bagi pemegang pemerintahan.. Namun, itu tidak berarti jalannya pemerintahan juga lalu terlepas sama sekali dari kendali keagamaan. Bahkan oleh NU diajukan tuntutan agar kebijaksanaan pemerintah senantiasa disesuaikan kepada ketentuan fiqh.. seperti kaidah “kebijaksanaan kepala pemerintahan harus mengikuti kesejahteraan rakyat” (tasharruful imam ‘alarra’iyyah manutun bil mashlahah).7

Dengan menggunakan fiqh sebagai tolok ukur keabsahan negara, maka NU kemudian tidak mempermasalahkan bentuk formal pemerintahan, selama perilaku kelembagaan negara masih sesuai dengan batas-batas yang digariskan oleh fiqh. Dari sinilah muncul kritik partikular atas penyimpangan yang dilakukan oleh sub- sistem atau pemegang kekuasaan, tidak kemudian menjadikan NU menolak secara total bentuk pemerintahan, melainkan memperbaikinya secara kasuistik dan gradual.

Pemikiran kenegaraan (Islam) Gus Dur ini, memang terkait dengan situasi politik pembangunan yang digerakkan oleh Orde Baru, di mana Gus Dur harus cerdas menempatkan diri. Satu situasi yang merujuk pada sekularisasi di satu sisi, dan kebangkitan Islam di sisi lain, yang pada akhir pemerintahan Soeharto malah diberi angin. Tentu, Gus Dur tidak gamang, dan dengan sigap melakukan rekonstruksi hubungan antara Islam dan negara, yang pada saat itu menjelma titik tengkar.

Titik tengkar ini mengacu pada pertanyaan: haruskah Islam menolak Pancasila, karena ideologi ini bersifat “tidak Islami”? Tanya ini kemudian menciptakan pembelahan pemaknaan atas hubungan Islam dan politik. Satu pihak, Islam dipandang sebagai political, dimana arti kejayaannya disematkan dalam totalitas

7 Abdurrahman Wahid, NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2000, h., 157-159

10 sistemik, melalui pendaulatan syari’at sebagai konstitusi negara. Lahirlah Piagam Jakarta yang diharapkan menjadi payung konstitusional bagi penerapan hukum Islam di semua lini kehidupan publik. Sementara itu di pihak lain, Islam tidak dimaknai sebagai “yang politik”, tetapi lebih kepada “yang kultural”. Pemaknaan ini berdampak pada posisi politik Islam, yang tidak harus menjelma supra-struktur negara, tetapi sub-struktur dalam bangunan tubuh negara-bangsa.

Gus Dur masuk dalam gerbong ini. Yakni, dalam penempatan Islam yang mengacu pada dua hal. Pertama, pemosisian hukum Islam kedalam sub-sistem hukum nasional. Hal ini dilandasi oleh kaidah fiqh: ma laa yudraku kulluhu laa yutraku julluhu (apa yang tidak bisa didapat semuanya, jangan ditinggal prinsip dasarnya). Bagi Islam (Sunni), jika konstitusi negara tidak bisa berdasarkan Islam, mengingat pluralitas bangsa, maka penanganan persoalan mu’amalah haruslah tetap ditangani oleh hukum Islam. Dari sini keberadaan Kementarian Agama dan Peradilan Agama menjadi penting demi menjaga otoritas fiqh agar tetap dipegang oleh para ulama. Tentu posisi minimalis ini tidak berhenti dengan sendirinya, karena setelah hukum Islam terposisikan dalam sub-struktur negara, ia kemudian digerakkan sebagai etik sosial pada ranah masyarakat, juga negara. Gus Dur mendefinisikan etik sosial ini sebagai fungsi komplementer dari Islam, dimana agama memiliki kewajiban untuk menyempurnaan tata politik.8 Dalam praktik, proses penyempurnaan ini kemudian melahirkan etos kritik, di mana Islam mampu menyediakan alternatif dari pembangunan, jika arah kebijakan negara, dirasa menyimpang dari nilai-nilai dasar yang dianut oleh Islam.

Dalam kaitan inilah, praktik pembangunan bahkan telah melahirkan, apa yang disebut Gus Dur sebagai penanganan non-religius atas kehidupan beragama. Artinya, apa yang dimaksud pemerintah dengan pengaturan kehidupan beragama, ternyata hanya bersifat artifisial, institusionalis, dan event oriented, daripada penelaahan problem fundamental umat beragama.9 Hal ini digerakkan melalui pemberian dana bagi perayaan keagamaan serta pembentukan birokrasi agama, yang bahkan telah menjebak keberislaman formalistik. Kecenderungan ini lahir dari

8 Abdurrahman Wahid, Pengembangan Masyarakat Melalui Pendekatan Keagamaan, dalam Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta: Leppenas, 1981, h., 8-9 9 Abdurrahman Wahid, Pergumulan Islam dengan Masalah-masalah Pembangunan, dalam Muslim Ditengah Pergumulan, Jakarta: Leppenas, 1981, h., 90

11 paradigma pembangunanisme, yang menempatkan agama, sebagai satu unsur sosial yang harus memperkuat kebijakan ekonomi negara. Inilah yang terjadi, dan menempatkan Islam, jika tidak sebagai “ekstrim kanan” yang tersanding dengan “ekstrim kiri”, maka posisi Islam yang hanya dijadikan legitimasi kekuasaan. Dua posisi sama sulit, karena pembangunan yang mensyaratkan konflik, dan oleh karenanya wajib meminggirkan Islam ideologis, dengan satu usaha politisasi Islam non-politik, yang telah mencerabut agama ini dari fungsi vitalnya.

Penobatan Islam sebagai legitimasi pembangunan tersebut dilakukan pemerintah dalam dua fase, jika merujuk pada pergulatan Gus Dur. Fase pertama merujuk pada revisi pandangan modernis negara atas tradisi pesantren, di mana pembangunan sudah tak lagi menempatkan tradisi ini sebagai penghambat modernisasi, tetapi sebaliknya, ia dilihat sebagai basis budaya, tempat pemerintah mensosialisasikan agenda pembangunan. Pendekatan ini memang bersifat instrumentalis, karena hanya melihat pesantren sebagai alat, dikarenakan watak kulturalnya yang mengakar dengan masyarakat.10 Dengan modal budaya kuat, yakni kemenyatuan tradisi Islam dan lokalitas, ditambah patronase perlindungan kyai atas warga sekitar, pesantren dilihat mampu menjadi ruang komunikasi yang efektif, dimana peran kyai sebagai komunikator budaya, akan mampu menjembatani pemerintah dan masyarakat dalam sosialisasi kebijakan pembangunan.

Inilah yang dikritik Gus Dur, karena alih-alih pemerintah bisa, dan berempati dengan tata nilai pesantren, pendekatan instrumentalis ini hanya menempatkan pesantren secara pragmatis, minus kesadaran nilai.11 Ketiadaan kesadaran inilah yang dikritik Gus Dur, sehingga ia kemudian mewacanakan sub-kultur pesantren, sebagai usaha untuk menggambarkan sistem nilai muslim tradisional tersebut. Bentuk sub-kultur inilah yang menempatkan pesantren sebagai sub-budaya nan unik (dan karenanya pemerintah harus hati-hati), tetapi sekaligus mampu mempengaruhi sistem secara keseluruhan, dan oleh karena itu, ia tidak hanya berperan sebagai “corong kebijakan”, namun bahkan mampu melakukan koreksi

10 MM. Billah, Dari Paradigma instrumentalistis ke Paradigma Alternatif, Jurnal Pesantren, No. 3/Vol. V/1988, Jakarta: P3M, h., 10-14 11 Abdurrahman Wahid, Culture Oriented Development Policies and Programs; the Case of Pesantren in Indonesia, makalah dalam International Conference on Interactions of Development and Culture: from Dilemmas to Oppoetunities, oleh Fredrich Naumann Foundation dan International University Foundation, Bonn, 29 Juni-3 Juli 1987, h., 4

12 atas pembangunan. Dari sini Gus Dur kemudian menggerakkan pengembangan masyarakat melalui pesantren, salah satunya dengan mendirikan P3M. Melalui gerak ini, Gus Dur dan kalangan NU menggali potensi sosio-ekonomi masyarakat, sehingga ketergantungan atas pembangunan negara bisa diminimalisir.

Fase kedua penggunaan Islam sebagai legitimasi terjadi ketika negara mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang oleh Gus Dur dilihat sebagai penodaan komitmen awal terhadap demokrasi. Hal ini terjadi, dan dikritik Gus Dur, karena “kemesraan” NU dengan negara terjadi, ketika pemerintah sepakat untuk tidak memberi ruang bagi ekslusifitas Islam.12 Ini yang melahirkan dekonfessionalisme Islam: ruang publik dinetralisir dari kecenderungan sektarian agama yang tentunya akan menjebak penanganan politik dalam segregasi kelompok. Sayang, komitmen awal ini telah ternoda, dan pemerintah dengan sengaja memediasi birokratisasi Islam, dengan mengakomodir kecenderungan islamisasi baik ranah ritual kenegaraan, pengatahuan, dan ruang politik.

Satu hal yang dikhawatirkan Gus Dur, karena pendirian ICMI berarti pemberian political opportunity atas ekslusifitas Islam, yang bahkan Gus Dur nisbatkan pada geliat Aljazaer, dimana kaum fundamentalis bergolak.13 ICMI menurut Gus Dur akan menyemai benih Islamisme politik, di mana kepentingan demokratisasi pada aras kebangsaan, akan direbut oleh kepentingan golongan Islamis. Ini tentu langkah mundur, karena sejak awal pembangunan, bentuk politik sekular sebetulnya ideal, karena melakukan minimalisasi atas potensi ideologis dari gerakan Islam. Ruang publik yang netral ini, pada dekade 1990 telah dikacaukan lagi oleh Soeharto, yang memang pada saat itu telah kehilangan sebagian basis politik militernya, dan oleh karena itu membutuhkan perangkulan massa Islam, demi kelangsungan kekuasaan.

Dalam kaitan inilah, pemikiran Islam Gus Dur berusaha melakukan penyaringan, counter discourse, dan penjelasan kesejarahan atas bangunan Islam di

12 Douglas E. Ramage, Democratisation, Religious Tolerance and Pancasila: The Political Thought of Abdurrahman Wahid, dalam Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia, Greg Barton, Greg Fealy (ed), Australia: Monash ASIA Institute, 1996, h., 235 13 Adam Schwarz, A Nation in Waiting, Indonesia’s Search for Stability, Australia: Allen & Unwin 9 Atchison Street, 1999, h., 186-187

13 Indonesia, yang tidak selalu besifat legitimatif. Hal ini dilakukan Gus Dur melalui rekonstruksi metode pemikiran (hukum) Islam, untuk menggali potensi transformatif, agar Islam bisa kompatibel dengan perubahan sosial yang terjadi. Tentu harus ada kompromi, semisal akomodasi Islam terhadap ideologi negara, dengan catatan, masing pihak mampu memberikan kontribusi berdasar kesamaan nilai universal, seperti nilai-nilai yang Gus Dur tarik dari titik sama antara Islam dan Pancasila:

Pancasila harus diuji, apakah mampu atau tidak mewujudkan prinsip-prinsip kenegaraan dan kebangsaan yang dituntut oleh Islam. Pancasila harus mengembangkan wawasan yang demokratis, menganut faham perlakuan sama dimuka undang-undang dan memperjuangkan keadilan. Demikian pula, Pancasila harus mengembangkan watak kehidupan yang berorientasi pada pelaksanaan kedaulatan hukum secara tuntas, menghargai kebebasan berpendapat dan menjamin kebebasan berserikat. Itulah kunci diperoleh lima buah jaminan dasar yang diberikan oleh Islam kepada warga masyarakat; jaminan dasar atas keselamatan fisik, keyakinan agama, kesucian keluarga, harta milik pribadi, dan keselamatan profesi. 14

Hal inilah yang dilakukan Gus Dur, yakni mengangkat perbedaan partikular kepada persamaan cita-cita universal, yakni kemanusiaan dan keadilan. Struktur politik demokratis kemudian menjadi syarat utama, di mana Islam harus melakukan rekonstruksi atas bangunan doktrinalnya, jika ia ingin menggerakkan perubahan masyarakat. Inilah letak pemikiran Islam beliau, karena tanpa pembenahan ke dalam, Islam bahkan sering dijadikan penghambat bagi demokratisasi. Tetapi juga sebaliknya, tanpa orientasi demokratis, pembenahan dalam tubuh Islam, hanya akan menciptakan konflik internal umat Islam, karena masing pihak terjebak dalam klaim kebenaran penafsirannya.

14 Wahid, Islam, Ideologi,dan Etos Nasional sumber tak terlacak, h., 3

14 Bab 05

Gus Dur dan Syari’at Islam

Dalam pergulatan syari’at Islam, sering terlihat bahwa Gus Dur cenderung menentang hal tersebut. Syari’at Islam yang oleh sebagian pihak harus dilegalkan melalui peraturan negara, bagi Gus Dur merupakan tindakan ngoyo-woro, karena pada level tindakan, ia sudah dipraktikkan pada ranah budaya.

Ini yang menandai perbedaan pendekatan, antara dakwah institusionalis versus dakwah budaya. Pada poin dakwah pertama, Islam harus diinstitusionalkan, karena kelompok ini memahami kejayaan Islam berada dalam aktivitas politik. Lahirlah pandangan “islamisasi dari atas”, dimana untuk mengislamkan masyarakat, maka struktur pemerintahan harus di Islamkan terlebih dahulu. Hal berbeda dengan poin dua, yang lebih mendekati Islam dari bawah. Yakni sebuah gerak budaya yang berangkat dari kemenjadian manifestasi Islam, baik melalui akulturasi dengan tradisi lokal, maupun akomodasi hukum Islam dengan hukum adat. Pendekatan ini percaya bahwa Islam terutama adalah budaya, dan bukan politik. Kenapa? Karena agama adalah persoalan keyakinan, dan keyakinan adalah persoalan kesadaran. Memaksa kesadaran dengan “pentung politik” hanya akan membuahkan represi, atau politisasi, sehingga praktik keberagamaan tidak murni lahir dari kesadaran batiniyah tetapi lebih kepada luapan politik atau bahkan ideologi.

Apa yang diperjuangkan Gus Dur, ketika beliau menentang formalisasi syari’at adalah sebuah ajakan kepada umat Islam, untuk lebih memikirkan kepentingan dan kebutuhan real masyarakat, semisal ketidakadilan ekonomi, kecurangan hukum, keterbelakangan pendidikan, dsb yang akan terpinggirkan oleh agenda simbolis penerapan fiqh dalam undang-undang yang sebenarnya merupakan dagangan dan kerjaan sebagian elite muslim, tanpa melakukan klarifikasi secara massal, apakah benar segenap umat muslim Indonesia membutuhkan hal itu, sebagai kebutuhan nyata sehari-hari kehidupannya?

1 Pada titik ini, Gus Dur memang sering membuat emosi keagamaan sebagian (gerakan) muslim, meluap untuk kemudian ditembakkan kearah kontroversi yang diciptakan beliau. Kontroversi? Sebenarnya tidak juga, karena apa yang dilontarkan Gus Dur berangkat dari landasan pemikiran dan kaidah agama yang kuat. Misalnya pada tahun 1989, ketika Gus Dur memperbolehkan penggantian assalamu’alaikum sebagai salam komunikasi, dengan kalimat “selamat pagi..” dikarenakan pandangan dinamis demi lancarnya hubungan sesama manusia, khususnya untuk menjembatani perbedaan dengan non-muslim. Jadi yang diganti bukan salam di sholat, tetapi hanya dalam pergaulan. Demikian juga ketika gagasan pribumisasi Islam diluncurkan, yang merupakan mekanisme fiqhiyah untuk mengakomodasi adat oleh syari’at, dilandasi oleh kaidah pembuatan hukum (qawaidul fiqh) dimana adat bisa dijadikan landasan hukum (al-‘adah al-muhakkamah).1 Hal ini terkait dengan kebutuhan akan Islam Indonesia yang harus melepaskan diri dari “penjajahan budaya” Arabisme, dimana kekayaan adat hendak dihancurkan oleh simbol-simbol budaya Arab.

Simbolisasi inilah yang melahirkan formalisasi, dimana bukan hanya syari’at harus dilembagakan dalam undang-undang negara, melainkan pengotakan mana “yang Islam” dan mana yang bukan bagian dari Islam. Fakta kemudian menggambarkan penciutan makna Islam hanya sebatas literalisme ayat al-Qur’an dan fiqh sebagai produk hukum, yang tidak dikontekstualisasi dalam rentang waktu serta ruang yang berbeda. Ketika Gus Dur membela Ahmadiyah dan pluralisme dari fatwa haram MUI, maka Gus Dur berpijak dari “bumi” Indonesia yang bukan Negara Islam, sehingga berbagai kelompok keyakinan telah dijaga oleh konstitusi berdasarkan kesadaran pluralitas yang tinggi. Gus Dur secara individu (teologis) juga melihat Ahmadiyah bukan bagian dari kelompok Islam yang disahkan oleh ortodoksi hukum, tetapi sebagai bagian dari kemajemukan bangsa, maka Gus Dur membela hak kelompok (minoritas) tersebut, karena keberadaan mereka telah di akui oleh legitimitas negara.

Kasus serupa layaknya yang terjadi pada saat ini adalah pembelaan Gus Dur terhadap ancaman pembredelan tabloid Monitor awal 1990, dikarenakan Arswendo

1 Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Depok: Desantara, 2001, h., 117

2 Atmowiloto (cerpenis Kristen) membuat angket asal-asalan tentang tokoh terpopuler menurut masyarakat, yang ternyata menempatkan Nabi Muhammad pada posisi ke- 11, jauh dibawah Soeharto yang menempati posisi pertama. Hal ini kontan membuat sebagian umat Islam mengecam pemihakan tersebut, karena Gus Dur dianggap malah mendukung kelompok Katolik yang ada dibelakang Monitor. Gus Dur sendiri bukannya tidak marah, tetapi beliau berpikir bahwa Nabi tidak akan terendahkan hanya karena angket semacam itu. “Setiap hari, satu miliar manusia mengucap shalawat kepada Nabi”, tegasnya.

Pada kasus Monitor, permasalahannya sederhana saja: kesembronoan dan kepekaan berlebihan. Kesembronoan dilakukan oleh tabloid Monitor, yang melakukan polling pendapat tanpa memikirkan akibatnya. Kepekaan berlebihan datang dari umat, dalam hal ini kebetulan umat Islam. Akibat dari angket sembrono ini adalah munculnya ranking tidak menguntungkan bagi Nabi Muhammad Saw. Namun bagi Gus Dur, hal ini sebenarnya hanya kesembronoan dari sebuah tabloid, yang seharusnya tidak ditanggapi secara emosional oleh umat Islam. Apalagi ketika penyelesaiannya kemudian berakibat fatal, yakni pembredelan tabloid Monitor oleh pemerintah berdasarkan tuntutan sebagian gerakan Islam. Hal ini tentu satu noda yang sangat tragis dan membahayakan masa depan demokrasi, karena emosi politik dari gerak keagamaan telah “berselingkuh” dengan negara, yang melahirkan otoritarianisme kekuasaan.2 Melalui kasus ini, sebagian gerakan Islam kanan hendak membanting arah politik, melalui pembuktian bahwa Soeharto merupakan “pembela Islam” serta pelawan kaum non-muslim.3 Inilah yang disayangkan Gus Dur, karena bangunan demokratisasi yang memiliki posisi lebih penting, ternyata tergerus oleh emosi sesaat umat beragama, padahal bangunan itulah yang dalam jangka panjang akan melindungi masyarakat dari diktatorisme negara.

Pertanyaan yang muncul, kenapa Gus Dur melawan tuntutan pembredelan yang merupakan aspirasi sebagian kelompok Islam? Bukankah ini merupakan bukti bahwa Ketua PBNU (saat itu) tersebut tidak merasakan “sakit hati” umat Islam? Persoalannya adalah, umat Islam yang mana, dan Islam menurut siapa? Inilah yang menjadi titik perbedaan sekaligus titik berangkat, karena sebagai pemimpin jama’ah

2 Abdurrahman Wahid, “Ta’ziah” untuk Monitor, sumber tak terlacak 3 Lihat Robert W. Hefner, Civil Islam, Islam dan Demokratisasi di Indonesia, Jakarta: ISAI-TAF, 2001, h., 273-276

3 Islam (terbesar) moderat di Indonesia, Gus Dur harus tetap menjaga keharmonisan hubungan antar-agama, ditengah gejolak ekslusifitas beragama yang hanya mementingkan golongan yang sebenarnya minoritas. Minoritas dalam arti, bahwa sebagian umat muslim tidak selalu bersikap reaksioner ketika bagian dari keyakinannya terusik, karena terdapat pertimbangan yang lebih matang, semisal kebutuhan untuk tidak menciptakan konflik antar-agama.

Ekslusifitas agama, dimana penafsiran terhadap Islam sudah dirasuki oleh kepentingan politik tertentu, sungguh mengusik Gus Dur karena hal tersebut akan mengancam sendi utama kehidupan berbangsa, yang tidak harus kembali pada trauma pertarungan ideologi era Orde Lama, tetapi sudah harus berpikir untuk bekerja bersama demi memenuhi kebutuhan nyata masyarakat. Hal inilah yang membuat Gus Dur menolak untuk menjadi bagian dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), karena organ yang didirikan oleh “negara Soeharto” pada 1 Oktober 1991 ini, hanya ingin memanfaatkan peluang negara untuk mengegoalkan agenda islamisasi yang berangkat dari keyakinan serta kepentingan segolongan komunitas Islam.4 Islamisasi ditentang Gus Dur karena hanya menyentuh pada perwujudan simbol-simbol agama tanpa masuk dalam substansi permasalahan rakyat seperti ketidakdilan ekonomi, diktatorisme politik, keterbelakangan pendidikan, pengangguran, dsb. Terlebih ketika sektarisnisme tersebut kemudian semakin memperuncing titik perbedaan bahkan dengan sesama muslim, yang akhirnya menimbulkan benturan antarkeyakinan beragama.

Hal yang sama terjadi pada pembelaan Gus Dur atas penulis buku Satanic Verses : Salman Rushdie pada tahun 1987, yang telah di fatwa mati in absentia oleh pemimpin spiritual Iran, Ayatullah Khomeini. Buku ini juga melukai hati umat Islam karena didalamnya memuat penghujatan terhadap Nabi Muhammad beserta keluarganya, sehingga segenap muslim melakukan protes dan mengutuk buku tersebut. Gus Dur berbalik arah, dengan menyatakan bahwa umat Islam boleh membaca buku itu sampai habis, dan sang penulis tidak perlu dihukum mati. Gus Dur berpandangan, mungkin saja orang lalu bisa murtad setelah membaca buku itu,

4 Lihat Douglas E. Ramage, Democratisation, Religious Tolerance and Pancasila: The Political Thought of Abdurrahman Wahid, dalam Greg Barton, Greg Fealy (ed), Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia, Australia: Monash ASIA Institute, 1996, h., 230

4 tetapi bukan salah bukunya, melainkan pada dasarnya orang tersebut memang berpotensi untuk murtad. Hukuman buat Rushdie? “Kita serahkan kepada Allah”.

Gus Dur sendiri pada titik ini sebenarnya menyayangkan sikap umat muslim yang begitu mudah tersulut emosi keagamaannya, tanpa memiliki kehendak untuk memahami lebih dalam permasalahan yang sebenarnya kompleks. Tutur beliau:

Dari kasus novel Ayat-Ayat Setan itu lalu menjadi jelas bagi kita, bahwa kepekaan orang Islam memang sangat tinggi, kalau ada sesuatu mengenai keyakinan mereka. Emosi tampaknya adalah “ukuran dominan” bagi mereka, termasuk yang paling terpelajar dan selama ini berpretensi “menjunjung kebebasan” sekalipun.

Atas pertanyaan mereka, “dapatkah atas nama kebebasan dibenarkan penghinaan terhadap Islam”, sebenarnya dapat diberikan jawaban: justru inti kebebasan berpendapat adalah sikap mempertahankan hak berbicara paling gila sekalipun. Kalau ukuran itu tidak digunakan, pada analisa terakhir Islam memang tidak menerima kebebasan berpendapat sebagai sebuah prinsip. Dan bisakah demokrasi benar-benar tegak dalam lingkup tatanan pemikiran seperti itu?

Sebab dari kepekaan sangat tinggi itu adalah perbenturan antara nilai-nilai normatif yang dianut kaum muslimin, dan pandangan hidup serba pragmatik yang dikembangkan oleh peradaban Barat. Jadi kemelut yang terjadi sebenarnya adalah kelanjutan kisah dialog Islam dan Barat yang sudah berlangsung berabad-abad dan belum tampak akan selesai. Pandangan hidup serba normatif, yang muncul dalam kecenderungan legal-formalistik sangat kuat di kalangan luas kaum muslimin, berbenturan dengan pandangan pragmatik yang bersumber pada pendekatan empirik yang masih dangkal.

Dari kasus Ayat-Ayat Setan harus ditarik hikmah adanya sisi lemah dari budaya Barat. Tiadanya mekanisme kontrol sosial di luar pengadilan, untuk mencegah penghinaan kepada keyakinan (dan

5 kebenaran agama). Namun, adanya sisi lemah itu justru harus mendorong dialog lebih jauh, yang menggunakan penalaran, tentunya. Dari dialog itulah budaya Barat akan mengembangkan mekanisme kontrol sosial terhadap moral dalam jangka panjang. 5

Dari uraian ini jelas, bahwa hal yang dikritik Gus Dur bukanlah Islam itu sendiri, yang terkonstruk dalam tindak kekerasan. Gus Dur dalam hal ini jelas melakukan kritik atas dua sikap sekaligus: budaya Barat yang tidak memiliki mekanisme kontrol atas praktik penghinaan agama, layaknya kasus Ayat-Ayat Setan Salman Rushdie. Atas nama kebebasan, Barat kemudian membiarkan saja penghinaan terhadap keyakinan agama, yang tentunya akan menyakiti emosi keagamaan umat muslim. Namun sikap reaksioner dari emosi keagamaan ini juga dikritik Gus Dur, karena ia bahkan memperlihatkan kelemahan diri, serta ketidakmampuan melihat suatu hal dengan jernih. Jika umat Islam tersulut emosinya, maka Barat akan tertawa, sebab nyatalah klaim mereka selama ini, bahwa umat Islam adalah umat terbelakang yang belum mampu berpikir secara rasional, tetapi emosional. Hanya saja, kehendak Gus Dur untuk mendudukkan persoalan secara proporsional tersebut, tidak bisa dipahami sebagian muslim, sehingga seolah- olah Ia dimasukkan kedalam pembela peradaban Barat yang hendak menghancurkan Islam.

Hal yang sama juga terjadi pada fatwa haram atas diri Gus Dur yang dilancarkan oleh seorang muballigh Kernolong, Jakarta, yakni Habib Jamalullail. Pasalnya, sebagai Ketua PBNU, Gus Dur telah membuka Malam Puisi Yesus Kristus yang diadakan umat Kristen di Jakarta, guna mengisi seremoni peringatan kelahiran Yesus. Kata Gus Dur, malam puisi tersebut bukan acara ibadah. Bahkan seorang muslim yang masuk gereja ketika penghuninya sedang beribadah, tidak haram. Asal saja, muslim itu tidak ada kaitannya dengan peribadatan tadi. Tak kurang dari tujuh kali Gus Dur menjelaskan sikapnya, hingga Habib Jamalullail berkirim surat, minta agar polemik diakhiri.6

5 Lihat Abdurrahman Wahid, Hikmah Kasus “Ayat-Ayat Setan”, sumber tak terlacak, h., 1-3 6 Assalamu’alaikum-Monitor, majalah Editor, No 15/Thn. IV/22 Desember 1990

6 Tidak berhenti sampai disini. Pada era reformasi, isu kristenisasi Gus Dur mencuat lagi, melalui fitnah bahwa Gus Dur telah di baptis ketika menghadiri sebuah perayaan umat Kristen. Kontan Gus Dur menangkis fitnah tersebut, dan kemudian menuding bahwa hal itu merupakan politisasi menjelang pemilihan umum oleh beberapa aktor partai politik yang hendak menjatuhkannya. Hal ini melengkapi tuduhan serupa, ketika sebagai Presiden ke-4 RI, Gus Dur mengucapkan assalamu’alaikum pada umat Kristen dan menyatakan bahwa jika umat Islam konsisten dengan tradisi Maulud Nabi Muhammad, maka seharusnya mereka juga menghormati perayaan Natal yang merupakan perayaan kelahiran Nabi Isa. Fitnahpun bertubi-tubi, dengan satu tuduhan bahwa Gus Dur telah menyamakan antara Islam dengan Kristen, yang menurut teologi memang diharamkan.7 Padahal berbagai pernyataan tersebut lahir dari posisi Gus Dur sebagai seorang presiden yang harus memperlebar ruang persamaan antara pemeluk agama, demi terjaganya harmonisasi kehidupan bangsa. Tekanan yang hendak dinyatakan Gus Dur adalah, sudah saatnya antar-umat beragama memperlebar jurang perbedaan, karena pembangunan masyarakat membutuhkan kesatuan langkah, sehingga hal-hal yang lebih bermanfaat bagi rakyat tidak terbengkalai, dan bahkan mengalami konflik berdarah seperti yang terjadi dibeberapa daerah rawan konflik.

Kepentingan Negara Dari segenap gelaran diatas, maka yang digelisahkan Gus Dur adalah satu, yakni penjadian agama sebagai politik. Hal ini telah berakibat pada terbentuknya sektarianisme kelompok yang memaksakan klaim kebenarannya atas kelompok lain. Sementara disisi lain, agama kemudian menjelma negara, dengan satu politisasi, yang bahkan menguntungkan negara dan meminggirkan potensi umat Islam. Hal ini terjadi dengan jihad penerapan syari’at pada level negara. Memang dalam diskursus syari’at Islam, orientasi legalitas politik tidak melulu mengacu kepada otoritarianisme negara yang menancapkan hegemoninya, katakanlah melalui penegakan syari’at Islam. Dalam perjalanannya, kita malah menemukan hal sebaliknya, yakni terjadinya tuntutan penegakan syari’at, dikarenakan negara tidak mengakomodir dan bahkan meminggirkannya, dengan satu pertimbangan ideologis. Hanya saja, “dalam diri” gelora penegakan syari’at tersebut sebenarnya telah menjelma satu paradigma sarwa negara, yang menjadikan eksistensi negara sebagai

7 Lihat Hartono Ahmad Jaiz, Jejak Tokoh Islam dalam Kristenisasi, Jakarta: Darul Falah, 2004, h., 62

7 causa prima keterpinggiran syari’at, dan oleh karenanya, syari’at harus menjelma negara, dalam arti institusi politik yang memiliki otoritas hukum untuk memaksakan jalannya ideologi keagamaan. Inilah “syari’at politik” itu yang tidak mampu mengandaikan kemanfaatan syari’at selain dalam domain pengundang- undangan institusi politik.

Sebelum beranjak kesana, terlebih dahulu kita akan mengelaborasi konsepsi Gus Dur atas struktur inheren dalam syari’at serta posisi fungsionalnya dalam masyarakat muslim. Hal ini urgen guna menemukan satu titik pergulatan maknawi yang membuat muslim hingga sekarang masih menjadikan syari’at sebagai salah satu pusat perdebatan pemikiran dan praktik politik Islam.

Secara konseptual Gus Dur memaknai syari’at atau hukum Islam, selain mengandung pengertian hal-hal yang lazimnya dikenal sebagai bidang juridis, juga meliputi soal-soal liturgi dan ritual keagamaan, etika dari cara bersopan-santun hingga kepada spekulasi estetis dari para mistikus (mutasawwifin) yang terhalus, soal-soal perdata urusan perorangan (perkawinan dan bagi waris) hingga urusan perniagaan dan moneter, soal-soal pidana dari penetapan bukti dan saksi hingga pada penetapan hukuman mati untuk suatu tindak pidana, soal-soal ketatanegaraan dari penunjukan kepala pemerintah hingga pengaturan hubungan internasional antara bangsa-bangsa muslim dan bangsa lain, serta seribu masalah lain yang menyangkut keseluruhan aspek kehidupan. Karenanya, apa yang secara sederhana disebut sebagai hukum Islam, sebenarnya lebih tepat dinamai keseluruhan tata kehidupan dalam Islam: the science of all things, human and divine (pengetahuan tentang semua hal, baik yang bersifat manusiawi maupun ketuhanan).

Karena kedudukannya yang sedemikian memusat, syari’at tidak hanya turut menentukan pandangan hidup dan tingkah laku para pemeluk agama itu saja, tetapi ia justru menjadi penentu utama bagi pandangan hidup yang dimaksud. Faktor- faktor lain, seperti gerakan tasawuf dan sebagainya, harus mendapatkan keabsahan legitimatif dari syari’at. Apakah ia dihalalkan atau diharamkan. Betapa banyak aspek kehidupan yang disaring, ditolak dan kemudian dihancurkan oleh hukum Islam, membuktikan dengan jelas betapa pentingnya kedudukan yang dipegangnya, sebagai pemberi legitimasi.

8

Dalam kaitan ini, Gus Dur kemudian membagi tiga wilayah yang menjadi “kekuasaan” hukum Islam hingga era sekarang. Pertama, turut menciptakan tata- nilai yang mengatur kehidupan umat muslim, minimal dengan menetapkan apa yang harus dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenan dan larangan agama. Keseluruhan pandangan hidup umat Islam ditentukan oleh tanggapan masing-masing atas tata-nilai tersebut, yang pada gilirannya memberikan pengaruh atas segi-segi pilihan kehidupan yang lain. Kedua, dengan melalui proses yang berlangsung lama, banyak keputusan hukum dari hukum Islam telah diserap dan menjadi bagian hukum positif yang berlaku. Manifestasi dari penyerapan ini antara lain dapat dilihat pada berlakunya hukum perkawinan dan waris Islam di beberapa negara, termasuk Indonesia. Di Mesir, unsur-unsur hukum Islam diserap hingga bahkan oleh hukum pidana dan hukum acara (murafa’at) modern. Ketiga, dengan masih adanya golongan yang memiliki aspirasi teokratis di kalangan umat Islam, penerapan hukum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan yang memiliki appeal cukup besar, dan dengan demikian ia menjadi bagian dari manifestasi kenegaraan Islam yang masih harus ditegakkan dimasa depan, betapa jauhnya pun masa depan itu sendiri berada dalam perspektif sejarah.

Tetapi, kedudukan yang sedemikian penting dan menentukan itu ternyata sebagian besar kini merupakan proyeksi teoritis belaka, sebagai semacam fosilisasi yang hampir selesai. Disana-sini masih didapati bekas-bekasnya, tetapi hampir semua manifestasi praktisnya masih ada, hukum Islam mengalami proses irrelevansi secara berangsur-angsur tetapi pasti. Soal-soal perdata telah banyak dipengaruhi, diubah dan didesak oleh hukum perdata modern. Ketentuan-ketentuan pidananya hampir secara keseluruhan diganti oleh hukum pidana modern. Tinggal soal-soal ibadat yang masih mendapat tempat sepenuhnya dalam kehidupan, itupun dalam kadar dan intensitas yang semakin berkurang, dan bergantung pada kemauan perorangan muslim.

Hal ini diperparah dengan satu fakta bahwa kecenderungan memanifestasikan hukum Islam telah terjebak dalam posisi “pos penjagaan” yang bersifat apologetik, hanya menganjurkan pelarangan, serta tuntutan terhadap wujud masyarakat Islam yang utopis, layaknya civitas Dei (kota Tuhan) yang hanya dihuni para malaikat.

9 Disisi lain, hukum Islam juga terjebak dalam ketercerabutan sejarah, sehingga meskipun memiliki sejarah sendiri (tarikh al-tasyri’), ia tidak memasukkan diri kedalam sejarah besar peradaban dunia yang terus berubah dan maju.8 Hukum, dalam teori Islam klasik, adalah kehendak Tuhan yang diwahyukan, sebuah sistem yang disusun secara ketuhanan, mendahului dan tidak didahului oleh negara Islam, menguasai dan tidak dikuasai oleh masyarakat Islam. Karena memisahkan diri dari perkembangan sejarah inilah, hukum Islam mengalami kegagapan dalam merumuskan sebuah tanggapan atas permasalahan yang timbul belakangan.

Pada level institusional, kecenderungan untuk memaksakan paradigma civitas Dei syari’at ini, bahkan sejak berdirinya negara-bangsa Republik Indonesia telah mengalami berbagai kekalahan struktural. Hal ini terjadi karena negara sekular mampu menancapkan hegemoni, dimana aspirasi Islamisme, dipaksa untuk mendekam dalam kesepakatan diam. Maka konsensus nasional bernama Pancasila, yang menegasikan konstitusi Islam, sekaligus hukum Islam, hingga sekarang masih dalam penolakan latent dan kaum Islamis tetap saja berusaha, jika tidak mampu mengubah pada level supra-struktur, maka mikro-politik yang harus di-Islamkan, salah satunya melalui syari’atisasi Peraturan Daerah. Inilah buah dari kekecewaan, yang menurut Husein Umar, Ketua KISDI sekaligus Sekjen DDII, disebabkan oleh pengkhianatan kaum nasionalis, khususnya Soekarno yang konon hendak menjadikan Piagam Jakarta sebagai “jiwa UUD 45”. Namun, retorika Soekarno pada momen Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut, dirasa manipulatif dan hanya ingin “memeti-eskan” syari’at Islam dalam eufimisme politik yang tiada nyata jluntrung- nya.

Dari sinilah lahir satu dialektika politik yang ambigu. Satu sisi, kaum Islamis sebenarnya hanya menomorsatukan politik, dan menjadikan agama sebagai legitimitas orientasi kekuasaan. Hal ini bisa kita baca dari argumen para pejuang Piagam Jakarta yang menyatakan, bahwa termaktubnya “tujuh kata syari’at” dalam UUD, adalah langkah bagi terciptanya payung konstitusional, sehingga aspirasi politik mereka dapat terlindungi.

8 Abdurrahman Wahid, Menjadikan Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2000, h., 38-47

10 Namun disisi lain, para “pembela Islam” tersebut tidak menyadari kepentingan negara dalam pemberlakuan syari’at. Sayangnya, penolakan Islamis terhadap akomodasi terbatas negara terhadap hukum Islam, tidak disertai oleh kritisisme rasional, dengan mengedepankan prospek penegakan hukum secara nasional, minus hegemoni negara. Tetapi bolak-balik berkutat dalam gelora ideologis, sehingga solusi yang ditawarkan, bukan membatasi intervensi negara dalam urusan agama, tetapi malah melakukan penambahan bobot sarwa-negara dalam syari’at. Inilah nalar naïf-irrasional dari Islamisme. Yakni ketika sekularisasi telah dilakukan negara dengan meminggirkan politik Islam, maka Islamisme, melawan negara. Tetapi, bukannya mengeliminir “hawa jahat” totalitarianisme negara yang mengobok-obok kehidupan beragama. Kaum Islamis malah hendak memaksakan pelaksanaan kehidupan beragama, melalui “palu represif” negara.

Kritik ini memang mengena tepat pada jantung permasalahan formalisasi Islam. Artinya, gelora penegakan agama melalui negara sudah terbentur oleh penegasian terhadap kemurnian agama itu sendiri, karena normativisme berangkat dari kebebasan untuk mencari serta menjalankan kebenaran. Sementara negara, berangkat dari kewenangan politik yang memiliki hak sah untuk melakukan pemaksaan legitimate. Posisi negara akhirnya “diatas” agama, karena ia berhak menentukan satu unsur dalam ajaran agama mana, yang harus “disimpan”, dan aturan mana yang bisa dikeluarkan. Inilah yang membahayakan, yakni bersatunya otoritas politik dengan otoritas transendental, karena tiba-tiba saja para politisi- birokrat berhak mengatasnamakan Tuhan dalam menerapkan aturan politiknya.

Dalam lekuk sejarah kita, hal ini pernah terjadi, yakni ketika Orde Baru pada pertengahan pendulum rezimnya telah melakukan akomodasi terhadap beberapa elemen syari’at, yang sayangnya tetap tidak bisa melegakan hati para pejuang syari’at. Hal ini dikarenakan akomodasi negara masih bersifat terbatas, yakni pada ruang hukum privat, berupa hukum Islam tentang keluarga, waris, pernikahan, wakaf, serta beberapa pengaturan ibadah semisal haji dan zakat. Akomodasi atas wilayah privat ini dirasa tidak mencukupi, dan memang dilihat sebagai kesengajaan politik guna mengeliminir wilayah publik syari’at yang akan memungkinkan terjadinya islamisasi baik masyarakat maupun negara. Syari’at publik tersebut

11 meliputi simbolisasi Islam (jilbab), pelaksanaan hukum pidana, serta islamisasi konstitusi. 9

Dalam pelaksanaannya, Orde Baru sengaja meminggirkan ketiga macam syari’at publik ini, dengan mengakomodir syari’at privat yang tidak memiliki muatan ideologis. Adapun akomodasi structural atas hukum Islam tersebut meliputi; UU No 1/1974 tentang Perkawinan, UU Pendidikan Nasional tahun 1989, UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam (1991), diubahnya kebijakan jilbab di sekolah (1991), keputusan bersama tingkat menteri berkenaan dengan Bazis (1991), dihapuskannya SDSB (1993), serta UU No 17/1999 tentang Pelaksanaan Haji dan UU No 38/1999 tentang Zakat.

Sebenarnya jika mengacu pada berbagai produk hukum diatas, syari’at bisa dikatakan telah tegak, karena beberapa permasalahan yang diaturnya memang permasalahan yang sudah diatur oleh fiqh. Hal inilah yang membuat organisasi semisal NU menerima akomodasi terbatas tersebut, karena keilmuan fiqh telah diberi ruang di dalam sistem hukum nasional. Dengan kata lain, penegakan syari’at oleh pemerintah diruang terbatas, adalah penegakan yang realistis dan rasional ditengah perubahan kebutuhan umat yang tidak seluruhnya bisa ditangani oleh korpus klasik hukum Islam. Hanya saja, akomodasi tersebut tidaklah bebas kepentingan. Tidak ada “makan siang” gratis dalam politik. Ia selalu bersifat manipulatif dengan muatan kepentingan kekuasaan yang selalu lebih determinan. Fakta ini bisa kita temukan, dalam sebuah konstruk sosio-politik Orde Baru yang tengah menggerakkan perubahan masyarakat kearah “kemajuan”, dimana stabilitas dan unifikasi politik menjadi pra-syarat utama, tak terkecuali legislasi hukum Islam.

Setidaknya ada beberapa kepentingan negara dalam hal ini. Pertama, ambisi untuk menciptakan unifikasi sistem hukum nasional. Berangkat dari klaim nasionalisme dan integrasi negara-bangsa, Orde Baru kemudian berhasrat menyatukan partikularisme perbedaan sistem hukum menjadi satu kodifikasi tunggal. Hal ini kemudian disahkan oleh GBHN 1973, 1978, 1983, dan 1988. Namun ditengah jalan, ambisi penyatuan hukum ini kemudian “dilengkapi” oleh perlunya akomodasi ekslusif atas sistem hukum tertentu untuk memenuhi kebutuhan khusus

9 Bahtiar Effendy, Islam in Contemporery Indonesian Politics, Jakarta: Ushul Press, 2006, h., 179-182

12 sebuah masyarakat, dalam hal ini Islam. Jadi ada inkonsistensi disini. Satu sisi negara hendak berdiri diatas berbagai perbedaan sistem hukum demi nasionalitas, namun disisi lain, memberi ruang istimewa bagi pemenuhan hukum Islam, yang tentunya menimbulkan complaint dari warga non-muslim. Kasus UU tentang Peradilan Agama menjadi bukti. Pada satu titik negara telah merenggut pluralitas praktik peradilan agama yang sebelum 1989, bebas dilaksanakan masyarakat secara beragam.

Dititik lain, negara menorehkan rasa “warga nomor dua” di kalangan non- muslim, karena yang disebut agama dalam peradilan agama, atau juga Departemen Agama, ternyata tereduksi sebatas kebutuhan umat Islam. Demikian yang terjadi dengan KHI, yang memang memiliki tujuan “menghapus perbedaan pengambilan keputusan hukum untuk kepentingan keadilan sosial dan kepastian hukum”. KHI secara de-facto telah mengebiri jaminan pluralitas sistem mazhab yang dijamin oleh syari’at itu sendiri, meskipun ia tidak memiliki sanksi mengikat, karena hanya berupa petunjuk pengambilan hukum bagi para hakim dalam peradilan agama.

Kedua, rekayasa budaya. Ini memang menjadi trade mark Orde Baru karena sebagai sebuah rezim yang memiliki kepentingan politik ekonomi, lebih dominan dibanding rezim sebelumnya, harus membutuhkan gerak politik lebih sinergik dalam setiap lini. Rekayasa budaya berangkat dari kebutuhan pengondisian kultural bagi mulusnya jalan pembangunan ekonomi, termasuk didalamnya, restrukturisasi budaya agama, karena dalam masyarakat Dunia Ketiga, agama masih menjadi sistem makna, baik sebagai sistem kognitif masyarakat untuk memaknai realitas, maupun sebagai media politik penguasa untuk melakukan perubahan. Dalam kaitan inilah UU Perkawinan menemu ruang. Yakni sebagai media stabilisasi populasi penduduk agar kondusif bagi pemercepatan pembangunan ekonomi. UU Perkawinan (dan juga program Keluarga Berencana) yang membatasi arbitrase perceraian, poligami, serta perkawinan usia dini, ternyata berhasil mengontrol pertumbuhan populasi penduduk, sehingga sesuai dengan pra-syarat bagi modernisasi ekonomi.

Ketiga, pengungkapan simbolis bahwa Orde Baru akomodatif dan memenuhi kebutuhan umat Islam. Ini merupakan strategi politik untuk memperkuat legitimasi,

13

Syari’at Gus Dur Pada titik inilah, pendekatan kultural atas pelaksanaan syari’at, sesuai dengan perjuangan Gus Dur, yang “menerapkan” syari’at bukan pada level negara, tetapi pada ranah tindakan budaya. Maksud Gus Dur dalam hal ini adalah, jika pada level struktural, persoalan hukum Islam di negara-bangsa, haruslah diawali dengan pengembalian wewenang pembuatan hukum kepada konstitusi sah negara yang berupa hukum nasional, karena struktur masyarakat Indonesia yang plural. Dalam kaitan ini tidak berarti beliau anti terhadap syari’at, karena sejak kelahiran NU, syari’at Islam bahkan telah ditegakkan dalam dua ranah kehidupan sekaligus. Pertama, ketaatan moralitas fiqh dalam kehidupan sehari-hari, dimana setiap perilaku muslim dibatasi oleh aturan yang termaktub dalam kekayaan literatur kitab kuning.

Pada titik ini, ketaatan terhadap syari’at tersebut kemudian dilambari oleh kedalaman penghayatan tasawuf akhlaqi milik al-Ghazali, sehingga disiplin legal formal dari hukum Islam, tidak bersifat kaku dan dangkal, melainkan ditindaklanjuti oleh sebuah perjalanan spiritual, yang membuat muslim pada satu titik tegas ketika berhadapan dengan halal-haram, namun pada saat bersamaan juga berperilaku sabar dan mengembalikan semuanya kepada Allah, sehingga mampu bersikap lembut, dan menghargai perbedaan antar-sesama. Penegakan syari’at Islam

10 Lihat Arskal Salim dan Azyumardi Azra, Negara dan Syariat dalam Perspektif Politik Hukum Indonesia, dalam Jaringan Islam Liberal, Syariat Islam, Pandangan Muslim Liberal, Jakarta: JIL-TAF, 2003, h., 63-71

14 pada level pertama inilah yang membuahkan kekayaan keilmuan Islam klasik di pesantren, serta melahirkan ulama-ulama besar Nusantara.

Kedua, penegakan syari’at pada level perundang-undangan, sebagai bagian dari sistem hukum nasional. Lahirlah Departemen Agama dan Kompilasi Hukum Islam, yang secara sah merupakan “otoritas syari’at” guna melakukan pengaturan terhadap beberapa unsur kehidupan muslim, agar sesuai dengan “aturan Islam”, atau dalam hal ini fiqh.

Hal ini sesuai dengan pola politik Sunni, yang sebenarnya cenderung membuat pemilahan antara otoritas politik (khalifah) dengan otoritas publik, yang diperankan oleh ulama, terkhusus para faqih. Pemilahan ini berangkat dari kebutuhan tata dunia bagi stabilitas tata ibadah (nizam al-dunya syarthu lin nizam al-din), sebagaimana dinyatakan al-Ghazali. Dari sinilah kepemimpinan politik dibutuhkan, sebatas jika ia mampu memperlancar pengaturan fiqh atas ruang publik muslim, karena yang terpenting bagi kalangan Sunni adalah penerapan hukum Islam pada level mu’amalah. Ini yang melahirkan waliyyul amri al-dlaruuri bi al-syaukah (pemimpin darurat yang memiliki otoritas) pada era Soekarno, dimana para ulama nahdliyyin, melakukan legitimasi fiqhiyyah atas pemerintahan RI, dengan target, teraturnya pelaksanaan hukum Islam, khususnya tauliyah: pengangkatan wali hakim dalam pernikahan perempuan yang tak memiliki wali sedarah.11

Jadi jelas, Gus Dur dan kyai NU juga memiliki keprihatinan untuk menegakkan aturan Islam pada level pemerintahan. Hanya saja, karena didasari oleh kesadaran akan struktur negara-bangsa yang telah memiliki konstitusi hukum sendiri, maka penegakan tersebut tidak perlu bersifat menyeluruh layaknya dalam Negara Islam, selain karena keterbatasan hukum Islam dalam menghadapi problem masyarakat modern, juga kekhawatiran terciptanya konflik, seperti yang terjadi dengan ketidaksetujuan umat non-muslim atas Piagam Jakarta. Tuturnya:

Dalam memahami hubungan antara agama dan negara itu lalu menjadi jelas bagi kita, bahwa Indonesia telah mencapai kemajuan

11 Asep Taufik Akbar, Akar-akar Pergumulan Kelahiran Konsep Wali al-Amr al-Dlarury bi al- Syaukah, Tashwirul Afkar, Jakarta: Lakpesdam, h., 84-100

15 pesat dalam pemikiran keagamaan maupun kenegaraannya. Ideologi negara Pancasila telah didudukkan secara tepat oleh kaum muslimin, yaitu menjadi landasan konstitusional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sedangkan Islam menjadi aqidah dalam kehidupan kaum muslimin. Antara ideologi sebagai landasan konstitusional tidak dipertentangkan dengan agama, tidak menjadi penggantinya dan tidak diperlakukan sebagai agama. Dengan demikian, secara teoritik tidak akan diberlakukan undang-undang maupun peraturan lain yang bertentangan dengan ajaran agama di negeri ini.

Secara keseluruhan, Islam lalu berfungsi dalam kehidupan bangsa dalam dua bentuk. Bentuk pertamanya adalah sebagai akhlaq masyarakat (etika sosial) warga masyarakat, sedangkan bentuk kedua adalah partikel-partikel dirinya yang dapat dituangkan melalui proses konsensus (Undang-undang 1/1974 tentang Perkawinan, UU Peradilan Agama 7/1989, sebagai contoh). Dengan mengakui wewenang hukum Islam untuk mengatur kehidupan warga negara, melalui ‘filter’ berupa Hukum Nasional, watak kehidupan bernegara dan berbangsa lalu terhindar dari orientasi sekular, seperti yang dikhawatirkan dapat terjadi bila diikuti pendapat Ali Abrurraziq. Situasi seperti ini memang tidak sepenuhnya memuaskan bagi mereka yang menghendaki pelaksanaan ajaran Islam secara utuh sebagai produk legislatif formal, atau dengan istilah lain menghendaki pelaksanaan sepenuhnya Hukum Islam dalam kehidupan bernegara. Bagi pandangan ini, memang tidak akan ada yang memuaskan selain berdirinya sebuah Negara Islam, sedangkan dalam kenyataan yang dapat kita dirikan adalah Republik Indonesia. 12

Pada titik ini Gus Dur melakukan kritik atas pemikiran sekular Ali Abdurraziq. Dalam hal ini, kritik Gus Dur merujuk pada langkah Abdurraziq yang mengeyampingkan sisi normatif dari Islam, yang telah meletakkan demikian banyak ketentuan terkait dengan kehidupan masyarakat, dalam bentuk hukum agama (fiqh).

12 Abdurrahman Wahid, Islam, Ideologi dan Etos Nasional Indonesia, dalam Universalisme Islam & Kosmopolitanisme Peradaban Islam, Arifin Junaidi (ed), edisi terbatas, 1991, h. 19-20

16 Dari fiqh ini lalu dikembangkan wawasan hukum kenegaraan yang dikenal dengan Hukum Islam, seringkali dikenal dengan nama syari’ah. Hanya saja menurut Gus Dur, Abdurraziq kemudian melihat negara sebagai instrumen yang terpisah dari hukum agama, dan dengan demikian secara praktis memperkenalkan gagasan negara sekular. Dalam negara seperti ini, hukum agama tidak memperoleh tempat, karena hukum yang diberlakukan adalah hukum nasional. Islam dilepaskan dari fungsi normatifnya, dan tinggal berfungsi filosofis belaka, yakni sebagai dasar negara, dan dengan demikian tidak memperoleh keabsahan sebagai sumber hukum yang bersifat langsung.

Demikian juga, meskipun Gus Dur menerima Pancasila sebagai landasan konstitusional negara, namun beliau tetap memberikan catatan prasyarat bagi ideologi negara tersebut. Catatan ini mengacu pada pengujian, apakah Pancasila mampu atau tidak, mewujudkan prinsip-prinsip kenegaraan dan kebangsaan yang di tuntut Islam, semisal berbagai nilai utama Islam, yakni keadilan (‘adalah), persamaan (musawah), dan demokratisasi (syura). Dalam hal ini Pancasila harus mengembangkan wawasan kehidupan demokratis, menganut paham perlakuan sama di muka undang-undang, serta memperjuangkan keadilan. Pancasila harus mengembangkan watak kehidupan yang berorientasi peda pelaksanaan kedaulatan hukum secara tuntas, menghargai kebebasan berpendapat dan menjamin kebebasan berserikat. Inilah yang menurut Gus Dur merupakan kunci yang dapat disumbangkan Islam kepada ideologi bangsa, Pancasila. Kunci ini diperoleh dari lima buah jaminan dasar yang diberikan oleh Islam kepada warga masyarakat; jaminan dasar akan keselamatan fisik, keyakinan agama, kesucian keluarga, harta milik pribadi, dan keselamatan profesi.13

Pertanyaannya, kenapa beberapa pihak masih melihat Gus Dur, anti terhadap penegakan syari’at Islam? Inilah persoalan perbedaan sudut pandang itu, yang lahir dari perbedaan latar belakang dan orientasi keislaman. Bagi Gus Dur yang sejak lahir telah bersentuhan dan “mengalami” syari’at, maka Islam dirasakan sebagai sesuatu yang kultural, dimana ajaran Islam telah menjadi bagian dari tradisi keseharian sehingga akhirnya membentuk identitas diri. Sementara itu, sebagian

13 Wahid, Islam, Ideolog, h., 18-20

17 muslim yang ngotot untuk menformalkan syari’at, memang cenderung berlatarbelakang tekstual dalam memahami agama.

Artinya, Islam bagi muslim model ini, tidak (mau) diakulturasikan dengan tradisi yang telah ada di masyarakat, semisal akulturasi antara (budaya) Islam dengan (budaya) Hindu-Jawa. Konsekuensinya, Islam sebagaimana adanya di Arab, tetap dipaksakan kedalam struktur kebudayaan muslim Indonesia yang nota bene telah memiliki kesejarahan pra-Islam. Jadi, inti dari formalisasi syari’at sebenarnya memiliki dua poin. Pertama, Arabisasi simbol-simbol budaya Islam, dimana tradisi asli masyarakat Indonesia hendak diganti dengan tradisi muslim Arab. Lahirlah penggantian sebutan kyai menjadi ustadz, arsitektur masjid bersusun tiga (meru) menjadi masjid kubah, pengharaman tahlil, ziarah wali, hingga legalisasi jilbab dengan menggunakan “polisi syari’at” atas “moral aurat” masyarakat Indonesia yang tentu berbeda dengan Arab. Kedua, penggunaan produk hukum Islam, kepada konteks masyarakat yang tentunya sudah berbeda dengan masyarakat klasik ketika hukum tersebut dibuat. Pada titik inilah penguasaan Gus Dur atas kaidah pembuatan hukum Islam (qawaidul fiqh), membuatnya mampu melakukan revisi terhadap hukum Islam, guna mengakomodir perubahan konteks, sehingga tidak secara taqlid memaksakan produk hukum, atas nama syari’at.

Kalau begitu, apakah memang benar, Gus Dur tidak membela Islam? Jika Islam yang dimaksud adalah sebuah ideologi politik, dimana ia berambisi untuk menguasai pada tataran institusi ataupun simbolisasi politik, maka benar, Gus Dur tidak membela Islam model ini. Kenapa? Karena Islam yang telah berorientasi pada “menguasai”, ia bukan agama lagi, tetapi sudah sebagai ideologi, yang mensyaratkan (keharusan) adanya musuh, dan oleh karena itu, si musuh haruslah dimusnahkan. Inilah embrio dari kekerasan yang dilakukan atas nama Islam. Non- muslim dianggap kafir, lalu halal darahnya. Pluralisme dilihat sebagai penyamaan semua agama, dimana sebagian muslim itu merasa terancam klaim “paling benar” Islamnya, hingga berbagai pembrangusan budaya lokal, oleh Islam (Arab), karena budaya yang “tidak serba Arab” tersebut, bukan dianggap sebagai bagian dari Islam.

Hal ini disebut Gus Dur sebagai “krisis identitas”, dimana perjuangan Islam yang digerakkan bersifat “pinggiran”, tanpa menyentuh persoalan utama yang

18 didera oleh masyarakat. “Pinggiran” yang dimaksud adalah penegakan dan pembelaan Islam pada tataran simbolis semisal pewajiban jilbab sebagai indikator ketaatan syari’at, praktik ekonomi berdasarkan konsep Islam, atau pengharaman hal-hal yang merupakan perbedaan furu’iyah diantara sesama umat muslim, dsb. Gerakan Islam model ini mengklaim telah merasakan “kesakitan” Islam atas dominasi kehidupan modern, sehingga pembelaanpun dialamatkan kepada “Islam”.

Pada titik ini, Gus Dur melihat fenomena diatas sebagai bagian dari “kebangkitan Islam”. Hal ini merujuk pada pola responsi umat Islam dalam menghadapi penetrasi budaya Barat, baik kultural maupun politik. Berbagai nilai westernis semisal materialisme dan individualisme dianggap mengancam nilai-nilai Islam. Individualisme mengancam konsep kesatuan umat, sementara materialisme mengikis spiritualitas. Perbenturan nilai kemudian terjadi, yang sayangnya menempatkan posisi muslim dalam sikap bertahan (defense mechanism). Artinya, sebagian umat Islam model ini hanya melakukan penolakan atas nilai-nilai Barat, guna menjaga otentisitas nilai Islam, sembari melakukan sikap pengagungan diri terhadap sejarah masa lalu.14

Bagi Gus Dur, yang tidak mengalami “krisis identitas”, karena sejak awal islamisasi Nusantara, Islam Indonesia telah mampu merasuk kedalam identitas kebudayaan Hindu-Jawa, sehingga membentuk identitas muslim Indonesia, persoalan utama dalam perjuangan Islam, bukanlah pembelaan terhadap Islam itu sendiri, tetapi pembelaan atas keterbelakangan, dan keterpinggiran umat Islam, serta manusia pada umumnya, berdasarkan kekuatan nilai-nilai utama (welstanchaung) Islam. Nilai-nilai atau perjuangan utama Islam ini Gus Dur rumuskan dalam tiga cita-cita besar, yakni keadilan, persamaan, dan demokrasi. Keadilan menyangkut keseimbangan sosio-ekonomi yang mensyaratkan terciptanya distribusi ekonomi secara merata, sehingga tidak hanya segelintir elite yang menikmatinya. Hal ini dilakukan Gus Dur misalnya dengan mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) saat menjabat Ketum PBNU tahun 1989, dengan target pemberian kredit pada usaha kecil kerakyatan. Kalau dari sudut pandang yang sempit, pasti yang diperdebatkan adalah haramnya bunga bank, namun karena mashlahah rakyat yang diutamakan, maka perdebatan fiqhiyah itu diselesaikan dalam forum kajian hukum Islam (bahstul

14 Abdurrahman Wahid, Mengapa Mereka Marah, Tempo, 20 Juni 1981

19 masail), sehingga agenda distribusi ekonomi ke rakyat itu terus berjalan. Nilai persamaan Gus Dur lihat sebagai konsekuensi dari bangunan kebangsaan yang telah ada sejak nenek moyang, sehingga siapapun, baik muslim maupun non-muslim, rakyat atau pejabat, harus mendapatkan perlindungan dan perlakuan adil di hadapan hukum.

Sementara itu demokrasi mengacu pada proses demokratisasi, dimana masyarakat bisa secara bebas mengekspresikan aspirasi dan menuntut haknya, berhadapan dengan negara yang sering bersifat totaliter seperti era Orde Baru. Satu hal yang penting dicatat disini adalah, bahwa meskipun nilai-nilai demokrasi, persamaan, keadilan, atau pluralisme bukan khas milik Islam, tetapi milik kemanusiaan secara universal, namun oleh Gus Dur, nilai-nilai tersebut tetap dirujukkan pada kekayaan keilmuan Islam. Pada titik inilah Gus Dur kemudian membedakan antara nilai Barat dengan nilai Islam, karena misalnya seorang muslim sejati pasti anti-kapitalisme karena terdapat syari’at zakat. Sedangkan kecenderungan teologi Kristen (Protestan) dalam masyarakat Barat telah dijadikan spirit penggerak etos kapitalisme. Perjuangan demokrasinya pun tidak serta-merta bisa dicap sebagai sekularisme, karena meski Gus Dur tidak setuju pada penyatuan agama-negara, namun sejarah Orde Baru membuktikan, bahwa Gus Dur menjadikan (gerakan) Islam (NU) untuk melawan hegemoni negara. Ini artinya, yang ditolak Gus Dur adalah penyatuan din wa daulah karena sering menjebak pada manipulasi agama demi politik.

Jadi terang disini, bahwa Gus Dur merupakan gerak pembela Islam. Namun bukan Islam yang telah menjadi ideologi politik, karena politik Islam model ini hanya membenturkan umat dalam pertikaian tak berkesudahan: saling caci, saling mengklaim paling Islam, saling fatwa haram, hingga praktik pengeboman massal, yang kesemuanya sangat ditentang oleh Islam. Islam selain menyediakan tahapan syari’at, juga mewajibkan umatnya untuk masuk lebih dalam ke tataran hakikat dan ma’rifat. Di sinilah unsur fiqhiyah dan tekstualisme kitab suci telah dimaknai secara sufistik, sehingga mustahil orang disebut muslim ketika ia mencaci sesama saudaranya. Pembelaan Islam yang menggunakan kekerasan dan perusakan, oleh karenanya bukan bagian dari Islam, karena ia telah melanggar perintah utama Allah untuk menyampaikan dakwah secara bijak dan penuh dengan hikmah. Apa yang

20 didengang-dengungkan sebagai Islam dengan membawa parang, pedang, caci maki, fatwa haram, dsb sebenarnya bukanlah Islam sebagai agama, tetapi Islam sebagai kepentingan politik, atau bahkan keterpinggiran bathiniyah yang tidak mampu menyikapi arus modernisasi dengan bijak, karena keringnya hati-hati itu dari baluran kesejukan dzikir dan kholwat yang sebenarnya menjadi esensi dari Islam.

Satu titik idealitas konsepsi Islam, dan penurunan praksis pada level sistem sosial, juga dilakukan Gus Dur terkait dengan gagasan ekonomi Islam. Jika dalam domain negara Islam, Gus Dur membenturkan idealitas nilai Islam dengan pra- syarat struktural sebuah negara, maka dalam ekonomi Islam, Gus Dur mengajukan tiga komponen dalam melihat gagasan tersebut, yakni visi, mekanisme pengaturan ekonomi, dan capaian perangkat yang telah dicapai.

Dilihat dari visinya, apa yang disebut ekonomi Islam berangkat dari nilai luhur akan persamaan antara sesama umat manusia. Martabat yang dimiliki manusia itu dengan sendirinya tidak boleh dilecehkan oleh hawa nafsu, keserakahan dan eksploitasi. Karenanya, manusia dilindungi dari praktik manipulatif tersebut, baik secara perorangan warga negara, maupun kolektif.

Bentuk-bentuk perlindungan itu bersifat normatif, seperti larangan memakan dan mengusahakan barang riba, larangan melakukan penimbunan barang dan manipulasi harga, larangan mengurangi upah dan kompensasi lain bagi pekerja. Dengan demikian, modal tidak diperbolehkan bergerak terlepas dari acuan moral: menyejahterakan taraf hidup manusia, bukannya menyengsarakan taraf hidup seorang wargapun dalam kehidupan masyarakat.

Untuk memungkinkan terwujudnya wawasan egaliter ideal itu, ditampilkan pola hubungan kerja dan transaksi yang berwatak saling menguntungkan antara pemilik modal, pengelola usaha dan pekerja. Berbagai istilah seperti mudarabah, salam, murabahah, qirad dsb lalu digali dari khasanah fiqh. Dengan cara demikian, maka dilakukan eliminasi atas praktik seperti pembungaan uang, penimbunan barang, spekulasi surat berharga, dsb. Kesemua praktik itu dinilai secara normatif, sebagai bagian manipulatif dan eksploitatif dari kapitalisme, pengandaian yang sebenarnya justru menunjukkan pengambilan sikap dari sosialisme.

21

Disisi lain, visi yang dikembangkan adalah pemunculan pelaku ekonomi yang memiliki prakarsa pribadi untuk mencari untung (profit motive) dan jaminan akan keselamatan milik pribadi (al-milk al-fardi) dari pengambilalihan penguasa tanpa melalui proses hukum. Kecenderungan meniadakan harta benda milik pribadi oleh negara dinilai sebagai sesuatu yang bertentangan dengan adagium utama Marxisme, yang melandasi sosialisme, yaitu pemilikan alat produksi oleh masyarakat secara kolektif. Diharapkan dengan mengambil pola normatif yang baik dalam kombinasi dengan hak perorangan untuk memupuk kekayaan, akan diperoleh keseimbangan antara kebutuhan perorangan warga masyarakat, dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri secara kolektif. Dengan indah, Islam mempertemukan dua jenis kebutuhan itu dalam sebuah tindakan yang sekaligus dijadikan salah satu pilar Islam: zakat. Ini yang membuat konsepsi Islam unik, jika dibandingkan dengan kapitalisme dan sosialisme.15

Hanya sayang, visi ideal ini masih terantuk pada tataran mekanisme dan capaian perangkat ekonomi, yang hingga saat ini masih menggunakan ekono-metri kapitalisme. Artinya, gagasan ekonomi Islam yang kini digerakkan kaum Islamis tak jauh beda dengan utopia negara atau khilafah Islam. Kesamaannya terletak pada pembenturan nilai atas kelemahan sistemik dari kapitalisme, sehingga satu sisi, konsepsi tandingan bernama ekonomi Islam hanya terhenti pada level nilai normatif tanpa operasionalisasi praksis.16 Hal ini kemudian melahirkan, apa yang disebut Gus Dur sebagai “kapitalisme termodifikasi”, karena operasionalisasi nilai Islam yang masih menggunakan teknik modern. Ini yang melahirkan kapitalisasi simbol agama, dimana industri ekonomi telah memanfaatkan sentimen keagamaan demi menjajakan produk agar lebih dekat dengan perasaan masyarakat. Satu hal yang telah terjadi dan tidak disadari oleh para “pembela Islam” tersebut.

Pada satu titik inilah, Gus Dur kemudian bersikap empatik terhadap fundamentalisme Islam. Kenapa? Sebab sikap bertahan terhadap perubahan nilai- nilai yang dibawa modernitas, sebenarnya tidak bisa disalahkan, karena ia hanya merupakan akibat, bukan sebab. Disini bukanlah kecaman terhadap fanatisme

15 Abdurrahman Wahid, Ekonomi Islam: Baru Sebuah Impian dan Utopia, sumber tak terlacak, h., 1-2 16 Bahtiar Effendy, Islam in Contemporary Indonesian Politics, Jakarta: Ushul Press, 2006, h., 108

22 beragama yang harus dilakukan, karena fanatisme merupakan usaha kaum muslim untuk menjaga kepenuhan identitas keislamannya berhadapan dengan serangan luar. Yang harus dilakukan dalam hal ini adalah sikap empatik, berusaha memahami kenapa sampai terjadi fanatisme, namun tidak kemudian terjebak dalam sikap fanatis.17 Dalam hal ini Gus Dur bahkan melakukan kritik atas penamaan sikap fanatik dalam Islam, melalui terma fundamentalisme Islam. Hal ini disebabkan, selain terma fundamentalisme yang lahir bukan dari kesejarahan Islam, melainkan pergulatan umat Kristen, gerak pembelaan kaum muslim terhadap cara hidup Islami tidak melulu bisa disebut sebagai bagian dari fundamentalisme. Tutur Gus Dur:

Sekumpulan aturan baru tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan mulai diterima, yang mencerminkan kesadaran mendalam dari imperatif-imperatif suatu “moralitas pribadi yang islami”. Diatas segala-galanya, berbagai upaya tersebut menunjukkan kelangsungan hidup Islam sebagai daya pendorong yang kuat guna menemukan solusi atas persoalan-persoalan yang tampaknya tak dapat ditelusuri dari negara-negara modern, termasuk yang ada di kawasan ini. Sejauh usaha-usaha tersebut merupakan upaya untuk menghidupkan kembali nilai-nilai Islam, tanpa sama sekali menghentikan proses modernisasi di seluruh kawasan, maka tidak mungkin menerapkan cap Fundamentalisme terhadap mereka. Sekadar penegasan ulang ajaran- ajaran Islam dalam menghadapi tekanan modernisasi belum cukup untuk menjadi dasar tuduhan “Fundamentalisme Islam”.

Tetapi fakta bahwa mayoritas pemuda muslim sekedar mengikuti jalur penegasan ulang Islam, dan jalan sangat selektif, tidak boleh membuat kita melupakan berbagai gerakan sporadis di antara mereka yang pandangan dan sikapnya benar-benar fundamentalistik. Kelompok-kelompok tersebut menolak keabsahan pemerintahan nasional yang ada (dan mereka memilih tinggal di komune kecil untuk mempraktekkan “kemerdekaan” mereka dari pemerintahan tersebut), keabsahan ortodoksi kemapanan Islam di negara mereka masing-

17 Abdurrahman Wahid, Kebangkitan Islam sebagai Fenomena Sosio-Kultural, Kompas, 3 Februari 1991

23 masing, keabsahan ideologi nasional masing-masing negara mereka, dan tentu saja keabsahan partisipasi muslim dalam politik nasional. 18

Dari sini terlihat jelas, bahwa sebagai muslim, Gus Dur memahami posisi Islam dan umat Islam ditengah proses gempuran zaman. Hal ini yang membuat Gus Dur mencoba membedakan “kebangkitan Islam” pada tataran kultural, yang Ia sebut sebagai retradisionalisasi Islam atau Islam sebagai “ideologi kultural”. Islam model ini merupakan respon umat muslim atas penetrasi kultur Barat yang dianggap mengancam spiritualitas dan simbol-simbol budaya Islam. Maka lahirlah serangan balik kultural, mewujud dalam peneguhan kembali berbagai simbol tradisi Islam yang mencoba merengkuh religiusitas umat dengan kesatuan kultur Islam.19 Selama gerak ini tidak mengarah pada dampak politik, berupa agenda penggantian supra- struktur negara, hingga penggunaan kekerasan atas nama Islam, maka geliat semacam ini tidak bisa dimasukkan dalam terma fundamentalisme Islam, yang patut di waspadai.

Hanya saja, ketika ia tengah mengarah kepada gerakan struktural, yang sebenarnya berangkat dari ketidakmampuan sebagian muslim dalam meletakkan aspirasi politik, ekonomi, budaya, dan pendidikan kedalam bangunan negara modern, maka ia harus diwaspadai karena sudah mendorong arah sektarian dan kekerasan. Pada titik ini, ketidakmampuan beradaptasi dengan struktur modern, telah membuat muslim fundamentalistik tersebut mengalami “krisis identitas”, karena mereka mencari kekalahan “aspek luar” (material) kepada kesalahan dan sekaligus solusi “aspek dalam” (spiritual). Kekalahan muslim pada tataran sosio- politik, kemudian dilihat sebagai kekalahan spiritual, dan oleh karenanya, spiritualitas Islam tersebut lalu diangkat pada tataran materialisme-struktural untuk menandingi struktur modernitas. Satu langkah yang menurut Gus Dur berakibat fatal, karena telah menyeret agama ke dalam politik duniawi.

18 Abdurrahman Wahid, Islamic Fundamentalism: A Shoutheast Asian Perspective, 19 Abdurrahman Wahid, Reideologisasi dan Retradisionalisasi dalam Politik, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2000, h., 29-31

24

25 Bab 06 Gus Dur dan Kultur Demokratis

Studi tentang demokratisasi di Indonesia memang tengah mengalami pergeseran paradigma. Jika era Orde Baru, para peneliti terkonstruk dalam pendekatan konsolidasi demokrasi pasca revolusionerisme Orde Lama, maka pasca Orba, paradigma bergeser ke ranah transitologi. Melalui optik ini, kehidupan politik dilihat dari pertanyaan, apakah demokrasi sudah mengalami konsolidasi pasca- otoritarianisme negara ataukah telah terjebak pada zona abu-abu demokrasi?

Transitologi berangkat dari prinsip dasar Machiavelli tentang ketidakpastian (uncertainly) dan sebuah nasehat (maxim), bahwa tidak ada yang lebih sulit dilaksanakan, atau diragukan keberhasilannya, atau lebih berbahaya dikelola, daripada memperkenalkan sistem baru. Ini yang menjadikan transisi bahkan sudah dianggap mati pada tataran paradigmatik (the end of transition paradigm), dikarenakan kecenderungan negara pasca otoritarianisme, yang gagal mengalami konsolidasi demokrasi.

Sementara itu, konsolidologi berangkat dari kebutuhan untuk memetakan ketidakpastian politik tersebut, kedalam berbagai struktur baku yang mengikat arus destabilisasi politik kepada stabilitas demokrasi. Hal ini tidak hanya terhenti pada level metodologis, tetapi sekaligus “pengikatan institusional” pada praktik politik, sehingga searah dengan prosedur dan proses demokrasi.

Mengacu pada Juan J. Linz dan Alfred Stepan, maka terdapat kesatuan prasyarat politik yang mengindikasikan bahwa demokrasi sudah terkonsolidasi. Pertama, rezim pasca-otoriter tidak menggunakan sumber daya politik untuk menciptkan rezim non-demokratis. Persoalan ini urgen, namun ambigu, karena tidak selalu masa transisi menuju pada konsolidasi demokrasi. Bisa saja yang terjadi adalah “demokrasi hibrida”: proses politik tidak memenuhi syarat minimum demokrasi, namun tidak kembali kepada status quo ante. Atau bisa muncul demokrasi tak terkonsolidasi (unconsolidated democracy), yakni ketika rezim sudah

1 terlembaga dalam prosedur demokrasi, namun tidak mengalami konsekuensi dan keuntungan yang seharusnya ditawarkan demokrasi.

Kedua, secara kultural, mayoritas masyarakat tetap menerima demokrasi sebagai sistem terbaik meskipun situasi ekonomi-politik tak menentu. Persetujuan mayoritas ini dibarengi oleh terisolasinya “musuh-musuh demokrasi”, yang meskipun menolak, tetapi tetap bisa menyuarakan perbedaannya. Hal ini berangkat dari watak demokrasi yang pada satu sisi kukuh menjaga otentisitas nilai, namun sisi lain harus menyediakan “ruang bebas” bagi sang musuh sebagai konsistensi atas kebebasan yang dibelanya.

Ketiga, jika kekuatan politik, baik pemerintah maupun non-pemerintah mampu melakukan kontestasi dan konflik, dalam ketundukan konstitusional yang dibentuk melalui proses demokratis. Inilah esensi demokrasi, karena sebagai sistem modern, ia harus membangun landasan institusional untuk menjaga carut-marut pertarungan politik, yang bisa meruntuhkan demokratisasi.1

Hanya saja, proses transisi demokrasi ini ternyata “diculik” oleh sebuah hukum besi yang merujuk pada oligarki. Hukum ini telah mendaulat institusi politik, khususnya negara dan partai sebagai agen utama demokrasi, padahal didalam institusi tersebut terdapat musuh utama demokrasi, yakni oligarki. Hukum besi ini berangkat dari keniscayaan objektif, dimana secara ontologis, organisasi (birokrasi) telah melahirkan konservatisisme dalam tubuh institusi politik. Ia menciptakan kepentingan sendiri, melindas kepentingan rakyat atau cita ideal, bahkan melalui sarana dan modal-modal demokrasi. Oligarki mengandaikan proses elitisasi dan ekslusifisme kekuasaan yang dilahirkan oleh struktur objektif birokrasi politik, yang terdapat disegenap organisasi modern, baik partai maupun negara.

Hal ini bisa kita lihat dalam beberapa hal. Pertama, doktrin cara menjadi tujuan. Partai sebagai sarana dan mekanisme bagi artikulasi politik rakyat, ternyata telah menjadi tujuan itu sendiri. Ia telah melokalisir fungsi tersebut dalam representasi kepentingan anggota partai, demi individu politisi dan kemapanan

1 Juan J. Linz et al., Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat, Bandung: Mizan, 2001, h., 25-29

2 kekuasaan partai. Partai kemudian kehilangan fungsi perantara (brokerage), dimana amanat kepentingan konstituen, terbentur oleh institusionalisasi kepentingan politis.

Kedua, elitisasi negara. Ketika struktur birokrasi politik telah memisahkan partai dari konstituen, maka kekuasaan negarapun mengerucut dalam ekslusifitas elite. Ini yang tiba-tiba saja menjauhkan (janji manis) presiden dari rakyat pemilihnya. Presiden, sang pemegang amanat rakyat itu, tiba-tiba saja tak kuasa melakukan perubahan fundamental demi keadilan dan kesejahteraan, karena langkah yang selalu terbentur baik oleh kerumitan sistemik, “birokrasi gemuk”, serta jeratan kepentingan partai, seperti dalam Kabinet (koalisi) Indonesia Bersatu, dimana SBY sebagai pemimpin pilihan (langsung) rakyat, ternyata harus lebih memperhitungkan kepentingan partai, demi kelanggengan kuasa. Maka lahirlah tragi-komedi selayak pepatah Italia : “Si cambia il maestro di capella, ma la musica e sempre quella” (dirigen boleh berganti, namun musik tetap sama).2

Ketiga, dominasi kepentingan partai. Seharusnya pemerintahan SBY sangat kuat, karena didukung oleh 410 kursi (76,4%) kekuatan di parlemen, dengan proporsi partai non-pemerintah hanya 130 kursi (23,6%). Namun sayang, kekuatan koalisi tersebut harus dibayar mahal oleh presiden dengan memberikan 18 (dari 36) jabatan dalam kabinet kepada kader partai. Jika “kue” ini tidak memuaskan, maka partaipun bergolak sehingga proses reshuffle sering menjadi tambal sulam kekuasaan antara presiden dan partai. Hal ini sebenarnya hendak dibatasi oleh parlemen melalui RUU Kementerian Negara. RUU ini merupakan realisasi dari amandemen kedua UUD 45 pada Sidang MPR 2001 yang mengamanatkan agar pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang. Satu langkah yang kemudian ditolak oleh “partai presiden” (pada era Megawati, F- PDIP, era sekarang, Fraksi Partai Demokrat) dengan argumen terlalu mencampuri hak prerogatif presiden. Padahal, selain hendak menggerakkan reformasi birokrasi dan efiensi anggaran, RUU ini juga akan “menyelamatkan” presiden dari desakan kepentingan partai.

2 Lihat Robert Michels, Hukum Besi Oligarki, dalam Ichlasul Amal (ed), Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996, h., 35-44

3 Hal ini tentu bertentangan dengan landasan politik modern yang telah menganut pluralisme politik. Dalam paradigma ini, interaksi politik tidak lagi bersifat oposisi biner selayak perjuangan kelas, dimana kelas sosial terbelah menjadi penindas dan tertindas. Pada domain ini, instrumen utama perubahan sosial adalah ideologi. Dalam pluralisme, kelas dikotomik buyar, menjadi satuan kelompok majemuk yang telah menggantikan ideologi dengan pragmatisme: ide politik berguna sejauh bermanfaat secara praktis.3 Dari sinilah muncul parlemen sebagai ruang publik dimana partai politik tidak lagi tergulat dalam benturan ideologis, melainkan “perjamuan makan siang” dalam kompromi politik.

Jika partai politik menjadi “makin lama makin realistis” (des passion realites), dan ia memang merupakan pra-kondisi dari demokrasi, apakah dengan demikian pragmatisme serta politik kompromis bisa dilihat sebagai mekanisme modernisasi politik? Agak dilematis memang. Satu sisi gagasan tentang ruang publik (public sphere) mensyaratkan terpinggirnya berbagai motivasi sektarian dan ideologis, demi terbukanya dialog rasional dengan tingkat otonomi individu yang tinggi. Dari sini kita bisa mafhum kenapa sekularisasi diperlukan, ketika “cahaya publik” dijejali totalisme agama, dan oleh karenanya menyilaukan rasionalitas publik. Namun disisi lain, konsep ruang publik juga sebenarnya mensyaratkan terkontrolnya interaksi minus ideologi itu oleh institusionalisme politik, yang menurunkan keagungan hak politik kepada “bumi” pertanggungjawaban publik. Kebebasan, dalam politik modern, telah dibatasi oleh konstitusionalisme.

Satu hal yang menambah dilema dalam discourse ini adalah, fakta kultural bahwa budaya politik masyarakat berkembang yang merujuk pada sistem politik tradisional berbasis keagamaan. Ia yang akhirnya harus membuat sekularisasi berpikir ulang, karena ternyata disetiap lekuk tindakan politik, masyarakat Timur tak bisa lepas dari motivasi religius, baik berupa primordialisme agama, Islam ideologis, hingga mistifikasi “angan-angan sosial” berupa kharisma dan “ajaran keramat”. Ini yang membuat kultur partai politik Indonesia selalu mengelompok dalam tipologi sektarian; nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa, Islam, komunisme, dan sosialisme demokrat. Masing aliran tetap berangkat dari religion as

3 Lihat Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, h., 141-147

4 a political system, ideologi kelas, manipulasi kharisma tokoh, sampai satu titik, Islamisme. Apa yang dicita-citakan pluralisme politik, dimana segenap partai menanggalkan “baju radikal” untuk terjun bersama ke penanganan kebijakan publik secara rasional, sering terganjal, tidak hanya oleh “jihad kelompok” melainkan terlebih langkah manipulatif yang menelikung jihad tersebut demi kepentingan politis.

Persoalan yang patut diangkat disini adalah, bagaimana memilah sekaligus menyatukan berbagai komponen permasalahan tersebut dalam proporsionalisme, yang tidak hanya mengacu pada modernitas politik, tetapi juga sadar akan fakta kulturalisme politik, khususnya bagi masyarakat kita. Jika dipetakan, problem ini bisa mengelompok pada beberapa hal. Pertama, bagaimana kita mendefinisikan “kemauan” ruang publik yang mensyaratkan politik minus ideologi dan primordialisme keagamaan. Kedua, bagaimana pula kita mengemas kemustahilan itu, dalam sebuah rasionalitas komunikatif “masyarakat post-sekular”, dimana sektarianisme partai politik diletakkan justru dalam domain pluralisme politik, yang diatur oleh ruang publik. Ketiga, hal ini mensyaratkan penataan konstitusi yang akan mengikat pertarungan kompromistik tersebut, dalam aturan main, yang tidak hanya memungkinkan kebijakan publik tetap bisa lahir, namun juga pembangunan state building demi cita negara modern.

Keempat, dan yang terpenting: meluruskan kembali historisitas perjalanan budaya dan sistem partai politik, dimana pragmatisme serta kompromi politik, dianggap sebagai pra-kondisi bagi terbentuknya sistem politik modern. Demokrasi mengganti pertarungan dengan perdebatan rasional kompromistik. Apakah ia merupakan degradasi dari idealisme the political (perjuangan politik), ataukah pengaturan modern, karena pemerintahan hanya membutuhkan teknokrasi, bukan filsafat atau bahkan ideologi? Pada titik inilah, konsep dan gerak demokratisasi Gus Dur menjadi relevan. Ini terjadi karena satu sisi, Gus Dur tetap bisa membawa politik keagamaan di ruang publik, tidak untuk menutupnya dalam ghirrah jihad totalitas Islam. Agama bagi Gus Dur adalah penyempurna demokrasi, karena ia memberikan landasan moral bagi praktik politik. Hal saya dengan gerak demokrasinya yang tidak terjebak pada institusionalisme prosedural, karena yang

5 terpenting bagi demokrasi, bukanlah efektifitas pemerintah, tetapi terlebih sebuah gerak kultur demokratis.

Pribumisasi demokrasi Melakukan kajian tentang pemikian demokrasi (sekaligus praksis politik) Gus Dur selalu menarik. Penelitian ini menjadi suatu kajian kontekstual dan kontradiktif, mengingat term pemikiran ideal seorang intelektual organik, cenderung kontras dengan praksis politik, seorang politisi yang sedang bergumul dalam sebuah moment liberalisasi politik, di mana nalar politisi pasca runtuhnya Orde Baru tersebut, telah tervirus oleh paradigma Machiavellian4 yang menganggap tujuan utama dan supreme body segala aktivitas politik adalah kekuasaan.

Kecenderungan untuk kontradiksi disebabkan karena demokrasi sendiri adalah sebuah teks yang menyediakan diri untuk multi-interpretable. Adanya dualisme antara demokrasi sebagai sebuah sistem pemikiran dan ideologi Barat an sich, yang pasca Perang Dunia II dideklarasikan oleh Francis Fukuyama sebagai the last man in the end of history5, sebagai sistem dunia terbaik setelah runtuhnya komunisme, dengan demokrasi sebagai nilai-nilai universal mengenai kebebasan (freedom), persamaan (equality), pluralisme, dst menjadikan teks demokrasi bisa ditafsiri secara sepihak sesuai dengan beragamnya kepentingan.

Kasus seperti Demokrasi Terpimpinnya Soekarno yang malah bertentangan dengan pemerintahan liberal-parlementer, dengan mengembalikan komando secara mutlak kepada presiden, merupakan pelencengan besar-besaran dari konstitusi demokrasi yang meniscayakan adanya keseimbangan antara trias politica. Demikian juga dengan Demokrasi Pancasila Soeharto yang jelas-jelas menentang liberalisme secara serampangan, dengan menjadikan Pancasila sebagai quasi ideologi apologetik untuk membungkus praktik kekuasaan tiranik dengan nilai-nilai demokrasi yang Pancasilais. Otoritarianisme penafsiran kemudian menjadikan Pancasila sebagai

4 Politik menghalalkan segala cara a la Machiavelli, digambarkan sebagai Chiron, makhluk berkepala manusia dan berbadan kuda dalam mitos yunani kuno. Penguasa politik haruslah berkepribadian ganda, yakni melakukan politik kebinatangan untuk menghabisi lawan, namun juga berbuat baik guna mendapatkan simpati politis. 5 Dalam deklarasi the end of history, Francis Fukuyama menjelma sebuah legitimasi dari universaalisasi demokrasi secara “tekstual”. Demokrasi sejati adalah liberalisme. Padahal fakta mengatakan, bahwa adaptasi oleh Dunia Ketiga terhadap demokrasi, sangat dinamis dan kontekstual yang dalam satu sisi malah menimbulkan perlawanan terlebih dari fundamentalisme Islam.

6 milik mutlak dari pemerintah, dan demokrasipun menjelma formalisme prosedural yang despotik.

Dalam “permainan” politik, teks demokrasi juga sering ditafsirkan secara manipulatif sesuai dengan kepentingan politis. Apalagi dalam kebudayaan politik yang sudah sampai pada penggunaan “politik citra” (politics of image), sehingga melihat fenomena politik, berarti melihat kesan yang diciptakan komunikator politik, yang tidak selalu sesuai dengan realitas sesungguhnya.

Disinilah wacana politik kontemporer menemukan ruangnya. Layaknya kaum post-strukturalis seperti Michel Foucault yang mendefiniskan politik bukan sebagai hakikat kedaulatan (Plato, Aristoteles), kontrak sosial (JJ Rousseau, John Lokce), lembaga-lembaga politik (Montequieu), pertarungan kelas (Karl Marx), akan tetapi berbicara politik adalah berbicara tentang relasi antar kekuasaan yang plural, dengan hubungan kompleksitasnya6. Berkaitan dengan hal ini, maka politik adalah kegiatan manipulasi kesan, atau yang disebut Gilles Deleuze dalam in Logics of Sense (1990) sebagai imagologi, yakni strategi politik melalui teknologi citra (televisi, iklan, dsb) untuk menciptakan kesan tertentu terhadap sebuah partai atau seorang tokoh politik. Imagologi ini berangkat dari keadaan diskontinuitas antara political image dengan real politics7.

Demokrasi sebagai teks kemudian dimanipulasi untuk menciptakan konstruksi realitas sosial (social construction of reality)8, dengan menciptakan “realitas simbolik” yang sebenarnya merupakan second reality (realitas kedua) dari keadaan yang sesungguhnya. Demokrasi tidak hanya terjebak kepada “demokrasi seolah-olah” karena hanya mengandalkan proseduralisme formal, akan tetapi ia menjelma simbol suci yang digunakan para politisi untuk membungkus dirinya agar terlihat layak menaiki kursi kepemimpinan nasional.

6 Haryatmoko, Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan, Basis No 01-02, tahun ke-51, Januari-Februari 2002 7 Yasraf Amir Piliang, Simulakra Politik, Kompas 1 November 2003 8 Teori Konstruksionisme Sosial diperkenalkan oleh Peter Berger yang menyatakan bahwa realitas terbentuk dari hasil komunikasi, sehingga tidak ada realitas hakiki, karena semua merupakan konstruk yang bersifat relatif dan bahkan manipulatif.

7 Pada titik ini, menarik jika memetakan pemikiran demokrasi Gus Dur yang beranjak dari nalar pribumisasi. Sebagai seorang intelektual yang dilahirkan dalam atmosfir tradisionalisme, Gus Dur tentunya menolak untuk menyerahkan dirinya secara kaaffah kepada sistem nilai demokrasi liberal yang secara ideologis bersifat a- histories. Hal ini merupakan permasalahan umum pemikir Dunia Ketiga yang menurut Donal’d Smith (1987)9, harus melakukan adaptasi paradigmatik dengan konsep nilai dari luar (Barat). Pergerakan politik Dunia Ketiga menurut Smith masih menggunakan konsep politik tradisi keagamaan, yakni penggunaan agama sebagai kekuatan pembangunan politik, sehingga masyarakat politik (polity) identik dengan masyarakat agama (religious community).

Disini Gus Dur menyelamatkan tradisi lokal masyarakat dari proses yang disebut oleh VS Naipul dalam Beyond Belief sebagai ikonoklasme, yaitu sebuah penghancuran terhadap “tradisi kecil” (little tradition) oleh “tradisi tinggi” (high tradition)10. Demokrasi liberal yang lahir dari rahim kritik teologi Katolik, yang kemudian beranak pinak kepada sekularisme, rasionalisme, dan individualisme, dianggap Gus Dur tidak cocok dengan konteks ke-Indonesiaan yang bersifat komunalistik, religius, dan tradisional. Sehingga, ketika masyarakat negara berkembang menelan mentah-mentah liberalisme, akan berakibat “terlahapnya” kultur orinisinil dari masyarakat, meski Gus Durpun tetap memandang urgensitas liberalisme sebagai nilai falsafi yang menjunjung tinggi hak dasar manusia, kedaulatan hukum, persamaan, pluralisme, dst yang sesungguhnya termuat dalam tujuan luhur Pancasila11.

Pemikiran demokrasi Gus Dur, seperti disebutkan Mun’im DZ (2004) beranjak dari nalar pribumisasi. Nalar inilah yang menjadi landasan berfikir dari segala pembacaan Gus Dur terhadap realitas dan berbagai pemikiran dari “luar pribumi”. Hal ini terlihat dari penolakan Gus Dur terhadap konsep demokrasi prosedural (procedural democracy), ketika pada dekade 1990-an ia melontarkan istilah “demokrasi

9 Donald Eugene Smith, Religion and Political Development (Boston, Massachusetts, Little, Brown and Company, 1970), hlm. 26-27 10 Penyelamatan terhadap tradisi lokal, memang sudah menjadi trade mark Islam a la NU, yang melakukan akulturasi budaya antara Islam universal dengan tradisi lokal Jawa-Hindu. 11 Abdurrahman Wahid, Pancasila dan Liberalisme, Kompas, 21 Juli 1987

8 seolah-olah”12 sebagai kritik terhadap praktik demokrasi Orde Baru yang hanya melandaskan praktik politik kepada berdirinya institusionalisme ; trias politica, UU, dan pemilu, sementara keadilan, persamaan hak, kebebasan berpendapat dst yang menjadi elemen substantif dari demokratisasi tidak terlaksana, bahkan cenderung mengalami pembungkaman.

Dari penolakan terhadap paham institusionalisme13 dalam demokrasi, Gus Dur kemudian menekankan pada aspek insfrastruktur demokrasi, yakni budaya keadaban (civic culture) yang menopang terjadinya demokratisasi, baik oleh negara kepada rakyat maupun sebaliknya. Konsep Gus Dur ini searah dengan demokratisasi a la Robert W Hefner14 yang mendefinisikan demokrasi sebagai apa yang difikirkan masyarakat tentang demokrasi itu sendiri. Artinya, segala kelembagaan demokrasi seperti parlemen, pemerintah eksekutif, hukum, dan pers, tidak akan mampu dan bahkan bisa menjadi musuh dari demokrasi, ketika demokrasi belum mampu merasuk dalam relung budaya masyarakat15.

Landasan berfikir inilah yang membuat Gus Dur concern terhadap pemberdayaan civil society dalam tubuh besar jama’ah NU. Gus Dur menjadikan NU sebagai eksperimentasi penciptaan “kantong-kantong” masyarakat sipil, seperti penciptaan lembaga-lembaga a la NGO di NU, penguatan tradisi lokal masyarakat, serta penumbuhan gelombang intelektualisme anak muda NU. NU kemudian menjelma kekuatan civil society yang berhadapan vis a vis negara, meskipun dengan gaya “dansa gengsi”16, serta mampu melaksanakan civic education (pendidikan sipil) kepada 40 juta warganya.

Dari sinilah Gus Dur kemudian menempatkan diri dalam posisi sebagai intelektual organik, yakni seorang aktivis yang melandaskan pergerakannya kepada

12 Wawancara dengan Abdurrahman Wahid, Forum Keadilan, No 02, 14 Mei 1992 13 Penolakan institisionalisme dilakukan Gus Dur, hampir disemua lini gerakannya. Mulai dari penempatan kekuatan jama’ah di banding jam’iyyah (organisasi) di NU, perlawanan penerapan syari’at Islam yang ingin melembagakan nilai-nilai keislaman dalam sebuah “lembaga” syari’at, sampai kepada penguatan masyarakat sipil agar tidak didominasi oleh otoritarianisme negara. 14 Konsep Hefner tentang Civil Islam, yang menyatakan bahwa dalam Islam sebetulnya terdapat potensi bagi terbentuknya masyarakat sipil, sama dengan perspektif “kulturalisme” Islam-nya Gus Dur, yang menggunakan agama sebagai potensi besar bagi penguatan civil society. 15 Abdurrahman Wahid, Mendesentralisasikan Kebudayaan Bangsa, Jawa Pos, 9 November 1991 16 Robin L Bush, Ambigu-Ambigu di Balik “Republik” NU, dalam Geger di “Republik” NU (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 1999), hlm. xvii-xxi

9 sistem pemikiran tertentu yang menjadi paradigma dan ideologi bagi tindakan praksisnya. Gus Dur pun mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) sebagai realisasi dari konsep masyarakat sipil yang bertugas menciptakan counter balancing (kekuatan penyeimpang) bagi dominasi negara. Tercatat dekade 1990-an, Fordem banyak mengalami pembrangusan aktivitas oleh rezim Soeharto karena kritisismenya17.

Dalam hal ini, Gus Dur menjadikan Pancasila sebagai point of view bagi pergerakan demokrasinya, baik ketika berhadapan dengan monopoli ideologi oleh negara, maupun dengan ideologisasi Islam kaum skripturalis. Ketika negara menciptakan hegemoni ideologi dengan menciptakan azas tunggal Pancasila, Gus Dur kemudian “merebut” Pancasila dari rezim Orde Baru yang telah melakukan monopoli dengan membrangus ideologi selain Pancasila, serta menciptakan penafsiran sepihak dan memaksakannya melalui represifitas birokrasi dan militer. Ketika Orba mengharamkan Marxisme-Leninisme hidup di Indonesia, demikian juga dengan Islam ideologis, lewat penggantian azas Islam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan Pancasila, Gus Dur menggunakan pengakuan pluralisme dari Pancasila untuk menghantam balik totaliterisme Pancasila a la Soeharto.

Memang sepribumi apapun demokrasi Gus Dur, ia tetap menggunakan parameter asli demokrasi (liberal), yakni konstitusi. Azas negara yang merupakan landasan konstitusional demokrasi modern tersebut, digunakannya sebagai bumerang untuk mengkritik manipulasi demokrasi yang dilakukan pemerintah. Hal ini juga terlihat dalam praktik kenegaraanya ketika menjabat Presiden ke-4 RI. Gus Dur berulang menggunakan konstitusi sebagai argumen penyeimbang bagi serangan-serangan lawan politiknya. Bahkan Dekrit Presiden kontroversial yang dideklarasikan untuk membekukan parlemen menjelang kejatuhannya, merupakan kekokohan memegang prinsip konstitusi.

17 Salah satunya adalah moment pelarangan acara halal bihalal Fordem di Taman Ismail Marzuki, Mei 1992. Sementara Rapat Akbar NU tidak terkena pemberangusan.

10 Sebagai intelektual muslim yang oleh Greg Barton dikategorikan sebagai kaum neo-modernisme Islam18, Gus Dur menambatkan “perahu” ideologi kenegaraannya kepada Pancasila. Konsep ini sebagai anti tesa terhadap gerakan kaum Islamis yang ingin menjadikan Islam sebagai azas negara, baik dengan target negara Islam (al- daulah al-Islamiyyah) maupun memasukkan hukum Islam kedalam hukum positif melalui isu pewajiban syari’at Islam. Sekilas Gus Dur terlihat memihak kepada sekularisme yang mengharamkan campur tangan agama dalam mengelola negara, tetapi jika ditelusuri, Gus Dur sebenarnya seorang aktivis yang “berideologikan” Islam. Gus Dur dalam setiap pemikiran dan gerakan selalu menjadikan Islam sebagai pedoman, namun penggunaan Islam disini bukanlah secara formal-politis dengan melembagakannya, melainkan sebagai substansi moral dalam sebuah gerakan kultural. Islam kemudian menjadi elemen komplementer, bukan sebagai pengganti ideologi resmi negara19.

Demokrasi Gus Dur Dalam setiap kesempatan di era Orde Baru dahulu, Gus Dur selalu mengumandangkan istilah “demokrasi seolah-olah”. Pengumandangan itu tentu bukan asal kumandang, tetapi merupakan lontaran politik strategis yang dibarengi oleh kedalaman refleksif pada level filsafat politik. Demokrasi kemudian menjelma critical discourse (kritik wacana) atas manipulasi negara yang mencipta monolitisisme penafsiran demokrasi, minus penghargaan terhadap “suara lain” dari masyarakat sipil.

Apa maksud “demokrasi seolah-olah”? Yakni sebuah situasi dimana demokrasi telah terjebak dalam institusionalisme politik; ada eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tetapi minus pemberian hak warga negara yang dijamin oleh nilai- nilai demokrasi. Berpolitik kemudian terbentur oleh dinding birokratisme politik, yang menghambat perealisasian hak asasi manusia, hanya dilembar perundang- undangan, minus praktik di lapangan. Inilah keterjebakan terhadap proseduralisme itu, yang memang menjadi kekuatan utama demokrasi.

18 Belakangan, tipologi tersebut banyak dikritik, khususnya penyamaan antara konsep Gus Dur dengan Cak Nur. Kritik mengemuka karena terdapat perbedaan orientasi, modernisme Gus Dur berangkat dan demi pemulihan tradisi, sementara Cak Nur lebih condong berorientasi kedapa modernisme Barat. 19 Hal tersebut dibuktikan Gus Dur, lewat penerimaan NU atas azas Pancasila pada Muktamar ke-27.

11 Seperti kita tahu, demokrasi menjadi sistem terbaik dari yang terburuk, karena ia memberikan mekanisme tidak hanya pembuatan keputusan publik, tetapi juga pengelolaan konflik sektarian. Konsensus rasional telah mengganti gontok-gontokan ideologis yang dibawa oleh masing kelompok kepentingan. Pada level makro, demokrasi kemudian menyediakan pemilu sebagai media efektif bagi sirkulasi kepemimpinan politik, sehingga kelemahan sebuah rezim bisa dianulir melalui penggantian kepemimpinan nasional lima tahun sekali secara egaliter, dimana setiap warga negara berhak berkontestasi. Hanya saja, terkhusus era Soeharto, proseduralisme ini menjadi sesuatu yang semu, karena segegap-gempita apapun pemilu, presiden terpilih tetap sama, yakni Sang Bapak Pembangunan. Inilah yang membuat Gus Dur melontarkan wacana diatas, karena seolah-olah demokratis, tetapi sebenarnya tidak demokratis.20 Seolah-olah ada proses pergantian kepemimpinan politik, tetapi nyata tidak. Seolah-olah ada perwakilan rakyat, tetapi DPR hanya menjadi stempel pemerintah.

Ini yang membuat Gus Dur selalu mengutip satu kaidah fiqh yang berbunyi, tasharrufful imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bil mashlahah. Keputusan dan keabsahan seorang pemimpin atas rakyat harus terkait langsung dengan kemashlahatan rakyat. Kenapa kaidah ini selalu beliau utarakan? Apa kaitannya dengan hidup bangsa kita, dan bagaimana ia dipraktikkan oleh Gus Dur sendiri sebagai seorang pemimpin?

Ternyata setelah penulis rasakan, kaidah itu sangat dalam maknanya, terlebih ketika pemerintah kita doyong arah kebijakannya. Doyong berarti berat sebelah, bukan kearah rakyat, tapi kearah kepentingan elite politik yang berada dilingkaran kekuasaan. Kenapa ini bisa terjadi, padahal sistem pemilu kita sudah lebih mendekatkan calon pemimpin dengan konstituennya? “Lha itu khan hanya prosedur saja saudara-saudara, “ kata Gus Dur. Sebagai prosedur, meski pemilu sudah bersifat langsung, namun ia tak menjamin, pemimpinnya bisa amanah dan betul-betul dekat dengan rakyat, baik secara politik, batin, apalagi kebijakan. Sistem pemilu langsung kita hanya menyediakan medan perang rimba antar-partai dan politisi untuk berebut simpati rakyat, tentu dengan strategi kampanye yang sering lebih dekat kepada iklan, daripada sosialisasi dan pendidikan politik. Iklan dalam

20 Lihat Abdurrahman Wahid, Demokrasi, dalam Membangun Demokrasi, Bandung: Rosdakarya, 1998, h., 82-85

12 artian, apa yang dihidangkan pada saat kampanye, hanya merupakan kamuflase, tiupan palsu dari kenyataan, lewat propaganda di media massa maupun televisi.

Ini yang membuat demokrasi kita “seakan-akan”. Seakan demokrasi, tapi sebenarnya tidak. Ini jelas terlihat, dan Gus Dur melihatnya pada keterjebakan hidup politik kita dalam lembaga. Memang ada lembaga perwakilan, ada lembaga hukum, ada lembaga sosial, ada lembaga pendidikan, ada pemerintah. Tapi siapa yang menjamin bahwa segenap lembaga itu bisa menjadi saluran aspirasi rakyat? Siapa yang menjamin DPR kita bisa turun kebawah, mendengar dan mengumpulkan permasalahan rakyat dalam UU? Siapa yang menjamin, lembaga pengadilan kita tidak terongrong tikus-tikus mavia peradilan? Kalau kita melihat semua ini, sering lembaga itu malah menjadi penghambat dari aspirasi rakyat, dan yang namanya perwakilan hanya terbatas pada mewakili golongan, partai, dan elite politik.

Makanya penulis tidak heran, kalau Gus Dur kemudian lebih memilih “budaya demokrasi”. Jadi bukan lembaga politik yang menjadi tolok ukur berjalannya demokrasi, tetapi perilaku, baik dari pemimpin, aparat, hingga rakyat, yang mencerminkan perilaku demokratis. Ini dibuktikan Gus Dur dengan membuka kran kebebasan pers, sebab pada zaman Pak Harto, kran inilah yang macet, dan koar-koar tentang demokrasi menjadi sumir, karena nyatanya, rakyat tidak diperbolehkan mendapatkan informasi secara bebas. Ini juga yang membuat Gus Dur menghilangkan kesangaran Istana Negara, karena bagaimana bisa demokratis, bagaimana bisa menjadi pemerintahan rakyat, jika istana presiden saja dijaga begitu ketat menyeramkan, sehingga rakyat lebih cenderung takut, daripada merasa terayomi.

Sayangnya sekarang ini, kesangaran pemerintah itu sudah kembali lagi. Memang, ia tak seseram tongkat-bedil Soeharto (alm), karena pemerintahan SBY bisa memberikan senyum manis dihadapan rakyat. Tapi senyum manis ini, seperti kritik Megawati (5/2/08) kemarin, bahwa pemerintahan SBY-JK bergerak seperi tari poco- poco, maju selangkah mundur selangkah. Meskipun penulis tak sepenuhnya setuju dengan kritik itu, tetapi ia menjadi gambaran dari suasana batin rakyat yang tak kunjung menemukan arah perubahan yang lebih baik.

13 Hal ini juga merupakan kelemahan demokrasi. Kenapa? Karena demokrasi telah memberikan ruang politik yang terlalu lunak, dengan kemungkinan kompromi yang begitu luas. Hal ini akan bermasalah ketika tuntutan rakyat yang terkait dengan kebutuhan mendasar akhirnya terhenti dikesepakatan “bawah meja” antar pemimpin, yang lebih mementingkan kebutuhan kelompok dan diri, daripada tuntutan yang sungguh perlu tersebut. Apalagi demokrasi kita bersifat multi-partai, sehingga wajar saja ketika Soekarno membubarkan parlemen tahun 1957, karena menurutnya sifat banyak partai dalam demokrasi kita hanya akan melahirkan tubrukan kepentingan.

Gus Dur sendiri tidak serta menerima demokrasi tanpa syarat. Sistem demokrasi yang akhrinya menjadikan politik sebagai tujuan politik itu sendiri, ditolak habis-habisan oleh beliau. Ini dilakukan karena bagaimanapun mulia, demokrasi tetap sebatas cara dan pra-syarat. Cara untuk membuka sirkulasi kepemimpinan secara damai, dan pra-syarat bagi tegaknya cita-cita tata masyarakat oleh rakyat.21 Disini demokrasi, kata Gus Dur, memang menjadi tolok ukur, apakah pembangunan selaras dengan kebutuhan masyarakat, atau sebaliknya? Apa yang terjadi dengan pemerintahan Orde Baru, dimana ekonomi tumbuh pesat, tapi mengorbankan hak asasi manusia, merupakan bukti, bahwa demokrasi memang menjadi batas, apakah kebijkan pemerintah telah lurus atau melenceng.

Hanya saja, ditengah situasi yang konon lebih demokratis, demokrasi dalam artian pemilu tidaklah mencukupi, apalagi dibarengi oleh kecurangan seperti yang terjadi dengan penggagalan pencalonan Gus Dur dalam Pemilu 2004, lewat alasan kesehatan. Demokrasi model ini, tidak memenuhi pra-syaratnya sendiri, yakni hak setiap warga negara untuk terlibat dalam pemerintahan. Ini cacat demokrasi, karena hukum tidak dijadikan alat pengerem kekuasaan, tetapi sebaliknya, alat pengelus dan pemulus syahwat kekuasaan, tanpa mengindahkan moral demokrasi itu sendiri. Orang tentu sinis, “Lebih baik kita hidup dizaman Orde Baru, karena pemimpin yang tegas, walau sadis, tetap bisa menjamin harga beras dan minyak, bisa terjangkau. Sekarang, katanya demokrasi, pemimpin dipilih rakyat, tapi harga sembako naik, tak kunjung usai”. Sinisme ini akan terus menjadi jangongan

21 Abdurrahman Wahid, Demokrasi Harus Diperjoangkan, Tempo, 12 Agustus 1978

14 masyarakat di angkruk ronda, ketika pemerintah tidak jeli dalam memilah, ini kepentingan pribadi, ini kepentingan bersama.

Lalu apa yang kemudian tersisa, ketika demokrasi hanya menjadi milik elite? Lha ini yang dikritik oleh Gus Dur. Elite sebenarnya wakil, dan bahkan pelayan bagi masyarakat. Ini arti penting demokrasi itu, karena tanpa perwakilan, aspirasi rakyat tak bisa tersampaikan dalam pengambilan kebijakan. Tapi sekali lagi sayang, cara demokratis ini telah dinodai oleh cacat demokrasi itu, karena perwakilan malah semakin menjauhkan rakyat dari kebijakan pro-rakyat. Kenapa semua ini bisa terjadi? Karena lingkaran kepentingan elite kita, tak jauh dari masalah “pemerintahan dari aku, oleh aku, dan untuk aku”. Bukan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat!

Pada titik inilah, jika Gus Dur ditanya, kenapa beliau membidani Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), maka sederhana jawabnya: hendak menegakkan moralitas politik. Kenapa? Karena banyak dari politisi kita hanya mementingkan perut dan kelompok sendiri, bukan bangsa dan masyarakat.

Tetapi apakah semudah itu membuat kinerja politisi dan partai politik sesuai dengan akhlak yang karimah? Tentu tidak sederhana jawabannya. Dibutuhkan kesungguhan hati untuk tetap berpegang teguh pada “kekosongan niat”. Nasehat yang sering beliau tuturkan pada penulis, “Kita harus bisa mengubur diri dalam bumi kekosongan”. Satu nasehat kesukaan, yang beliau ambil dari hikmah Al-Hikam: Idfin wujudaka fi ardli al-khumuli (pendamlah dirimu dalam bumi kekosongan).22

Tentu secara sekilas tidak masuk akal nasehat ini. Lha bagaimana tidak. Orang yang masuk dunia politik, ia seolah masuk dalam rimba raya, tempat banyak pihak memperebutkan kekuasaan. Disana lalu lintas sosial tak beda dengan kemacetan Jakarta: jalan “sebiji jagung”-pun tetap diperebutkan demi sampai tujuan. Ini malah diminta agar “kosong” dalam niat, bagaimana bisa?

Dari tanda tanya yang masygul itu, penulis baru menyadari apa yang dimaksud Gus Dur. Ternyata, ini merupakan teori politik paling canggih yang

22 Ibnu ‘Athaillah al-Sakandary, Matan al-Hikam, Kediri: Pesantren Lirboyo, h., 1

15 membuat aktivis politik tidak termakan oleh politik itu sendiri. Teori ini berangkat dari apa yang disebut Gus Dur zaman Soeharto dulu sebagai un political politics : berpolitik “tanpa politik”. Maksudnya? Jelas kita tahu bahwa politik sebenarnya merupakan cara menata masyarakat agar mampu memenuhi kebutuhan fundamen manusia, yakni sandang, pangan, papan. Orang-orang pinter menambahkan poin kebutuhan yang lebih soft dan beradab, seperti hak bebas bicara, berorganisasi, termasuk mengritik pemerintah. Satu kondisi yang sering disebut dengan demokrasi.

Ini yang hilang dari budaya politik kita, karena politik sebagai cara, malah berubah menjadi tujuan. Partai yang seharusnya menjadi “bus kopaja” tempat mengangkut aspirasi rakyat, malah menjelma “mobil” (sewaan lagi), untuk mengantar kepentingan orang-perorang yang berada dalam kepengurusan partai. Ini yang dikritik oleh Gus Dur, berlandas moralitas publik yang diakui agama.

Tetapi pertanyaannya, bagaimana menerapkan “kekosongan” itu dalam tubuh partai yang sudah menjadi kerajaan tersendiri? Kerajaan yang memisahkan politisi dengan warga yang diwakilinya? Kecurigaan dan sikap apatis dari rakyat atas partai begitu akut, padahal kita tahu sistem demokrasi menempatkan partai politik sebagai kendaraan utama bagi pergantian kepemimpinan. Tanpa partai rakyat tidak memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam politik. Tanpa partai, orang tidak bisa mengelola perbedaan melalui cara yang diakui oleh konstitusi. Tanpa partai, kelompok kepentingan dan organisasi kemasyarakatan tidak bisa membungkus cita- cita kelompoknya dalam lembaga yang sah secara politik. Partai, seperti “taubat sambal”, dibenci tetapi dicintai.

Dari sinilah kata Gus Dur, posisi kepemimpinan ulama dalam politik menjadi hal yang tak bisa ditawar. Apa maksud kepemimpinan ulama? Jelas, moralitas jawabnya. Yakni sebuah moral yang sudah tertata, di godog di kawah condrodimuko, untuk zuhud dan tidak gumunan melihat kemilau dunia. Kenapa ini penting? Karena prinsip ora gumunan membuat seseorang tidak terlena dengan “kursi empuk” jabatan yang sebenarnya amanah. Agar para pekerja politik tidak mencari kerjaan dipolitik, karena politik bukan lapangan kerja tempat para pengangguran mengais rezeki. Politik adalah kerja untuk menciptakan kesejahteraan bersama, sehingga Gus Dur

16 selalu meyakini bahwa keabsahan penguasa atas rakyat tergantung pada komitmen terhadap kesejahteraan (tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bil mashlahah).23

Ini yang membuat “kosong” itu menjadi berisi. Kalau tidak kosong bagaimana bisa berisi, kalau tidak berisi bagaimana bisa “kosong”? Artinya, kemampuan untuk mengosongkan batin dari kesemrawutan niat, membuat Gus Dur kuat dalam menghadapi badai politik apapun. Ketika beliau diangkat sebagai Presiden ke-4 RI, ketika para pendukung di Poros Tengah berbalik menyerang. Ketika harus lengser dari tahta negara, dan ketika pencalonan kembali pada Pemilu 2004 dihalangi lewat alasan kesehatan. Kalau tidak “kosong”, bagaimana seseorang bisa tetap survive menghadapi hempasan tersebut. Karena secara alamiah, orang mungkin bisa kuat menahan lapar, tetapi sering terkecoh ketika kekenyangan.

Apalagi satu sikap yang dimiliki Gus Dur, yakni tidak takut “terasing sendiri”, betul-betul menjadikan kekuatan batin sebagai kekuatan utama dalam berpolitik (dalam artian luas). Gus Dur sering dicemooh, dikafirkan, dan ditinggalkan orang- orang yang dibesarkannya. Tetapi beliau lepas begitu saja, karena secara batiniah, tak merasa apa-apa dan tak memiliki kepentingan apa-apa.

Ini yang membedakan orang “kosong”, dengan orang yang sejak awal memang penuh dengan kepentingan, dan kebingungan. Banyak orang yang datang ke Gus Dur karena alasan-alasan struktural. Ingin nyalon Bupati, Gubernur, Ketua NU, anggota legislatif, bisnis lancar, jadi pengurus partai, pengurus yayasan, dsb. Ini yang malah membutakan mata, bahwa Gus Dur selain bisa dimintai “surat sakti”, beliau terlebih seorang kyai, dalam artian seorang sepuh yang sebenarnya risih dengan banyaknya sabetan kepentingan. Seorang kyai selalu berusaha membersihkan diri. Seorang yang selalu tersenyum dan berkata nggeh kepada setiap bentuk orang yang mengadu, bahkan kepada seorang tua biasa yang datang hanya ingin nyucup tangan. Gus Dur diposisikan hanya sebagai “tanda tangan”, dan ketika ia sudah tak terpakai, maka ditinggallah sang kyai yang sebenarnya setelah memberi, tak menghitung lagi apa yang telah terberi. Kadang penulis melihat hal ini, dan melihat betapa kenyamanan batin Gus Dur agak terganggu. Tetapi bagaimana lagi. Hal itu

23 Abdurrahman Wahid, Islam, Ideologi dan Etos Nasional Indonesia, dalam Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam, Arifin Junaidi (penyunting), Edisi terbatas, 1991, h., 20

17 sudah menjadi pilihan beliau sebagai pemimpin, pengayom, dan benteng tempat banyak pihak menyandarkan kepenatan.

Jika renungan ini diarahkan pada level negara, pasti lebih sulit lagi aplikasinya. Seperti penulis bilang diawal esai ini, bahwa corak kepemimpinan dalam lembaga politik kita masih bersifat kerajaan. Dari sini bisa ditarik benang merah, bahwa pada level budaya, etika pemimpin kita masih bak raja. Minta dilayani, di subyo-subyo, dan yang terpenting, terasing dari masyarakat. Rakyat dalam hal ini terasa semakin jauh dengan para wakil yang dipilihnya. Ini bukan semata kesalahan para pemimpin, tetapi juga kultur politik kita yang birokratis (jika era Pak Harto bersifat militer) di tambah “kecambah” partai pasca Reformasi, yang menumbuhkan “bau politis” dalam pengaturan pemerintahan.

Gus Dur pernah menjadi “korban” situasi seperti ini, dimana bandul politik yang pada pemerintahan Pak Harto bersifat berat-eksekutif (executive heavy) menjadi legislative heavy pada era Gus Dur. Pemerintahan disesaki oleh kepentingan partai politik yang berkuasa diparlemen, menjelma kerajaan oligarkis para politisi oportunis, sehingga segenap kebijakan Gus Dur selalu ditangkap dan disambut sebagai lemparan “bola panas”. Segenap kebijakan yang berangkat dari kedalaman pemikiran, tentang masa depan demokratisasi, kemandirian masyarakat, “pengecilan tubuh” negara, pengembalian militer ke barak, nasionalisme ekonomi, dsb ditangkap oleh legislatif sebagai ruang politis untuk menjatuhkan presiden. Dalam hal ini, Gus Dur berada pada posisi “penuh” sekaligus “kosong”. Gus Dur menghadapi situasi ini sebagai negarawan yang mementingkan nasib bangsa, konstitusi, dan masyarakat, berarti beliau “penuh”. Tetapi beliau juga tidak hendak melakukan kompromi politik dengan lawan-kawan partai politik, yang menggambarkan kekosongan batin dari ketakutan tidak mendapatkan dukungan politis. Dan inilah yang terjadi: Gus Dur terlempar dari carut-marut perebutan kekuasaan, karena pilihan “kosong” nya. Andai Gus Dur tidak “kosong”, maka beliau pasti lebih mementingkan terjaganya kekuasaan meski dengan resiko “menjual” idealisme politik kepada para “koboi Senayan”.

Resiko pahit inilah yang membuat banyak pihak takut “untuk kosong”. Gus Dur sering bilang, bahwa situasi ini bisa tercapai, manakala seorang manusia

18 mampu berada di antara ketegangan ekstrim: menjadi hamba Allah (‘abdullah) yang menyerahkan hidupnya pada Sang Khalik (bukan pada partai, presiden, pemilu, atau sekadar atasan kantor), yang merupakan titik pijakan nol dalam hidup. Untuk menuju kerja maksimal 100% guna menunaikan tugas suci manusia sebagai “wakil Allah” (khalifah) di muka bumi. Dari sini orang dituntut untuk bekerja sampai tetesan keringat terakhir, tetapi setelah itu harus kembali pada kesunyian batin, tempat kawulo lan Gusti bercengkrama dalam ruang kosong, tak diketahui manusia, tak digubris siapa-siapa. O, jadi ini yang menjadi kekuatan Gus Dur, kenapa beliau tetap saja bergerak dan bekerja untuk masyarakat, entah itu pakai embel-embel presiden atau tidak. Satu kekuatan yang membutuhkan kekuatan untuk memilih dan memilikinya.

Jika merunut sejarah, kekuatan ini sebenarnya dimiliki oleh budaya politik kita zaman kerajaan. Dahulu sebelum terbentuk pemerintahan Belanda, budaya politik para raja kita mengacu pada “politik kosong” ini, yang merupakan hasil dari martabat kerajawian. Martabat ini bisa dikatakan mampu menyatukan antara etos brahmana atau resi, dengan etos pemimpin politik. Satu posisi yang saat ini sering disebut sebagai negarawan. Budaya kerajawian kita bisa mencapai hal itu, karena bagi masyarakat Nusantara, politik dimaknai sebagai sesuatu yang suci, sakral. Ini yang membedakan dengan praktik politik kita sekarang, yang telah ternodai oleh limbah budaya Barat. Memang, dalam masyarakat Eropa, demikian tandas Gus Dur, budaya politik sudah bisa rasional. Hanya rasional mereka dilambari oleh sikap masyarakat yang sejak awal tidak hidup dalam keseharian sakral. Beda dengan kita. Masyarakat kita masih bersifat religius, sehingga tidak sepenuhnya rasional. Ini yang akhirnya melahirkan “wilayah abu-abu”, sehingga yang sampai dikita hanya “limbah” dari budaya Barat.

Coba saja lihat, betapa pemimpin kita hanya berlomba menguasai pertarungan pemilu yang tanpa nilai. Paling nilai-nilai seperti keadilan, nasionalisme-religius, Islam, dan kesejahteraan, hanya dijadikan jargon kampanye. Para pemimpin kita tidak mencoba meneladani “politik kosong” dari raja-brahmana dalam sejarah kita, yang tidak semata-mata menjadikan politik sebagai ajang menguasai, tetapi terlebih, tugas suci untuk meratakan kesejahteraan. Kesucian tugas ini yang menempatkan pemimpin, tidak hanya bertanggungjawab kepada pemilih, apalagi kepada ketua

19 partai, tetapi terutama kepada Tuhan, dan panggilan suci. Nah, memang, sikap ini berulang kali mensyaratkan keberanian, bahkan untuk menghilangkan keinginan menguasai (will to power). Keberanian yang tentu tidak menguntungkan, ketika politik dimaknai sebagai ajang “manusia adalah serigala bagi yang lainnya”: homo homini lupus.

Sayangnya, di era Pasca-Reformasi ini situasi telah berubah. Ketika zaman Orde Baru, kekuatan politik terbelah jelas: negara vis a vis masyarakat sipil. Saat ini peta tersebut telah membuyar. Negara kini hanya menjelma ruang bebas, tempat berbagai kontestasi kepentingan bertubrukan, berkompromi, dan seringnya meminggirkan substansi perjuangan politik yang menjadi cita utama peruntuhan Orde Baru.

Lalu dimanakah Gus Dur? Gus Dur tetap konsisten, meski strategi perjuangan telah berubah. Di era “negara untuk negara” (state qua state) itu, Gus Dur bersama dengan NU menggerakkan oposisi kultural. Terma oposisi kultural ini merujuk pada perang posisi (war of position) dimana Gus Dur dan NU melakukan tandingan budaya atas hegemoni negara. Ini terjadi karena Orde Baru tidak selalu memaksakan kekuasaannya secara represif, tetapi juga persuasif. Contohnya kebijakan azas tunggal Pancasila. Kebijakan ini merupakan usaha negara untuk menerapkan ketunggalan makna atas ideologi negara, sehingga dengan ketunggalan tersebut negara bisa melakukan represi normatif atas gerakan ideologis yang mengancam stabilitas penguasa.

Menanggapi ini NU kemudian mengambil stategi “menelikung lewat dalam”. Artinya, melalui penerimaan atas azas tunggal tersebut, sembari dibarengi dengan keluarnya NU dari PPP, maka dua kemanfaatan tercapai. Pertama, dengan menerima Pancasila, maka NU berhak melakukan penafsiran tersendiri atas ideologi negara tersebut, guna menyeimbangi penafsiran a la negara. Penyeimbangan ini penting, karena ditangan gerakan masyarakat, Pancasila bisa menjadi legitimasi vis a vis negara. Satu hal yang dengan sengaja ditutup oleh negara, karena penafsiran Pancasila oleh masyarakat, pastilah akan berhadapan dengan penafsiran resmi

20 negara.24 Ketika NU dan Gus Dur menerima, untuk menafsir ulang Pancasila, maka negara tidak bisa menghantam NU karena yang dibela sama-sama ideologi negara. Kedua, dengan keluarnya NU dari PPP, maka ia mampu penuh sebagai oposisi kultural, karena jama’ah wa jam’iyyah diniyyah ini tidak terikat dalam struktur formal politik negara.25 Formalisme politik ini yang akan memenjarakan NU dalam aturan, batasa, dan pendisiplinan (disciplinary) negara.

Inilah hakikat demokrasi menurut Gus Dur. Yakni dalam sebuah perjuangan panjang tanpa henti untuk terlibat dalam penyeimbangan kekuasaan negara. Demokrasi bagi Gus Dur tidak terbatas pada institusi dan prosedur politik, yang cenderung hanya menjadi media bagi hasrat politik untuk masuk dalam ruang kekuasaan. Ontologi demokrasi Gus Dur tidak terhenti pada individualisme, tetapi lebih kepada demokrasi deliberatif yang menurunkan idealisme doktrinal politik, kepada realitas pembuatan keputusan publik yang tergelut dalam debat rasional baik dari pemerintah dan rakyat. Satu hal yang selama ini tidak pernah terjadi, karena demokrasi yang terjadi di Indonesia masih menganut pada republikanisme semu,26 dimana partisipasi politik diterjemahkan pada pembentukan berbagai lembaga politik, minus keberpihakan rakyat.

Bagi Gus Dur, persoalan demokrasi bukanlah persoalan teori; apakah dia dari Barat atau asli karya Indonesia? Pendebatan demokrasi pada level teoritis, akan menutup satu fakta, bahwa melampaui segalanya, demokrasi haruslah diperjuangkan. Demokrasi disini kemudian dimaknai sebagai proses, tempat warga negara berusaha mendapatkan haknya kembali, setelah sekian lama tercuri oleh praktik politik anti-demokrasi.

Hal inilah yang membuat Gus Dur bahkan memasukkan demokrasi (syura) sebagai salah satu nilai utama dalam Islam, persamaan (musawah) dan keadilan (‘adalah). 27Terma syura disamakan dengan demokrasi, karena ia memberikan

24 Abdurrahman Wahid, Agama, Ideologi dan Pembangunan, jurnal Prisma 11,November 1980, h., 14 25 Douglas E Ramage, Pemahaman Abdurrahman Wahid tentang Pancasila dan Penerapannya, dalam Era Paska Asas Tunggal, dalam Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LKiS, 1997, h., 101- 106 26 David Held, Models of Democracy, Jakarta: Akbar Tanjung Institute, 2006, h., 24-35 27 Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Depok: Desantara, 2001, h., 131-132

21 landasan normatif, dimana Islam mewajibkan pembahasan kolektif atas permasalahan publik. Ini terjadi pada sirkulasi kepemimpinan muslim awal pasca- Nabi, ketika Abu Bakar terpilih secara aklamasi melalui bai’at. Ketiadaan kepastian dari Nabi atas pengganti kekhalifahan telah membuktikan bahwa kepemimpinan Islam bersifat demokratis, karena ia diserahkan kepada kehendak publik.

Penaubatan demokrasi sebagai nilai utama (Welstanchauung) Islam didasarkan pada satu postulat kekuatan agama dalam perubahan sosial. Gus Dur menyebutnya sebagai gerakan keagamaan berwawasan struktural.28 Gerak ini dilakukan Islam sejak kelahirannya, dimana ia melakukan koreksi atas praktik kapitalisme-feodal yang terjadi di masyarakat Mekkah. Dalam kaitan ini, gerakan agama tidak harus menjadi candu Marxian, yang melegitimasi atau meninabobokkan kaum mustadl’afin dari penindasan. Gerak agama juga tidak boleh bersifat reformatif, dengan hanya melakukan perbaikan pada level permukaan pemerintah, minus kritisisme pada aras struktural.29 Ini yang mengharuskan Islam meminjam nilai-nilai dari demokrasi, karena dengan demokrasi, umat Islam bisa terlibat dalam perjuangan untuk mengembalikan “suara rakyat” kepada dirinya sendiri. Satu hal yang telah dicuri oleh praktik kekuasaan, atas nama proseduralisme dan institusionalisme demokrasi.

28 Lihat Abdurrahman Wahid, Republik Bumi di Surga, Sisi Lain Motif Keagamaan di Kalangan Gerakan Masyarakat, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2000, h., 175 29 Lihat Abdurrahman Wahid, Agama dan Demokratisasi, dalam Membangun Demokrasi, Bandung: Rosdakarya, 1998, h., 30-35

22 Bab 07 Dekonstruksi Negara Gus Dur

Memang, menjadikan Gus Dur sebagai presiden, ibarat memasukkan mutiara ke dalam karung sempit. Demikian keluh Romo Mudji Sutrisno. Resikonya, kalau bukan mutiara yang lecet, maka karung tersebut yang mengalami kerusakan, akibat tidak mampu memuatnya. 1 Hal inilah yang terjadi dengan masa kepresidenan Gus Dur, yakni tidak memadainya bangunan politik negara, serta konstalasi demokrasi, yang membuat berbagai ide demokratisasi belum sepenuhnya bisa direalisasikan, dan bahkan menjadikan Gus Dur sebagai “tumbal” nya.

Artinya, sebagai presiden, Gus Dur tetap membawa paradigma “radikalisme” aktivis pro-demokrasi, yang tentunya selalu berhadapan dengan konsepsi negara. Dalam perspektif aktivisme, negara harus diminimalisir dari kehidupan masyarakat, jika sebuah tatanan demokrasi hendak titegakkan. Meskipun dalam hal ini, Gus Dur tidak menggunakan radikalisme anarkhis dalam melihat hubungan antara negara dan masyarakat. Sebab, sebagai pemimpin organisasi massa Islam terbesar, pergerakan yang dilakukannya mengambil metode evolusi : merubah sub-sistem sembari menjaga supra sistem yang sudah menjadi kesepakatan bersama. Pada tataran inilah kita menjadi mafhum, kenapa Gus Dur menerima Pancasila sebagai ideologi negara (bukan Piagam Jakarta), guna dijadikan “boomerang” untuk mengkritik penyelewengan negara atas nilai-nilai Pancasila.

Era kepresidenan Gus Dur bisa disebut sebagai era “negara emoh negara”. Hal ini bisa dilihat dari berbagai gebrakan kebijakan yang mengarah pada satu paradigma, meminimalkan peran negara atas masyarakat, sehingga sebagai struktur kekuasaan, ia tidak lagi menjadi penentu hegemonik, melainkan sebatas fasilitator. Dalam hal ini, Gus Dur bisa dikaji melalui perspektif Marxian atau bahkan anarkisme evolusioner, yang melihat “peminggiran” intervensi negara sebagai syarat mutlak bagi terciptanya masyarakat sipil demokratis, independen, dan mampu menggali potensi untuk menyelesaikan permasalan sendiri.

1 Ahmad Suaedy dan Ulil Abshar Abdalla (ed), Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid, Yogyakarta : LKiS, 2000, hlm 27

1 Tentu, pemikiran seperti ini bukan dadakan, pasca beliau menjabat kepala negara, melainkan sebuah keberlanjutan konsentrasi pergerakan yang telah tergerak, sejak Gus Dur belum “menjadi negara”. Dalam satu artikel, Negara dan Kebudayaan, 2 Gus Dur mencoba memisahkan terma kebudayaan, sebagai kehidupan manusiawi dengan negara yang merupakan penjelmaan struktur kekuasaan. Jika kebudayaan menjadi bagian dari negara, maka tunggulah saat terjadinya pemasungan kreativitas manusia melalui birokratisasi kebudayaan. Resikonya sangat berbahaya. Kebudayaan yang merupakan segenap nilai dan system tata atur kehidupan masyarakat, kemudian “dikotakkan” sebatas seni, untuk “dibonsai” kedalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Birokratisasi tersebut akan menciptakan benturan kebudayaan, antara pendekatan represif kekuasaan versus pendekatan kultural masyarakat, dimana kebebasan kreatif masyarakat dibatasi oleh institusi politik yang tentunya jauh dari perhitungan

Satu hal yang nyata, bahwa pemerintahan Gus Dur adalah pemerintahan dekonstruktif. Satu gerak politik, di mana Gus Dur bahkan bukan seorang politikus yang memobilisir kekuatan dan legitimasi politik demi stabilitas kuasanya. Yang terjadi, Gus Dur tetap seorang Ketua Pokja Forum Demokrasi, yang merealisasikan gagasan anarkis tentang minimalisasi peran negara demi kuatnya masyarakat sipil. Gus Dur telah “mengecilkan tubuh negara” yang selama dua rezim otoritarian Orla- Orba, menggelembung kemana-mana, melampaui batas konstitusi, menyesak- desakkan keringat kecut dan muka penuh amarah di ruang publik, tempat segenap kekuatan masyarakat terkebiri. Apa yang diperjuangkan Gus Dur adalah suatu cita- cita utopis tentang menguatnya masyarakat, yang mensyaratkan debirokratisasi dan demiliterisasi. Ini yang esensial dan akhirnya menjadi bumerang, sebab saat itu, bahkan hingga sekarang, kondisi struktural dan kultural tidak mengizinkan.

Setidaknya ada beberapa kebijakan yang diambil pemerintahan Gus Dur guna “membebaskan” masyarakat dari totalitarianisme negara. Pertama, pembubaran Departemen Sosial (Depsos) dan Departemen Penerangan (Deppen). Kebijakan ini berangkat dari fakta politik, bahwa ketika negara (Orde Baru) memiliki jangkauan tak terbatas, maka persoalan sosio-kultural yang sebenarnya menjadi unsur utama

2 Abdurrahman Wahid, Negara dan Kebudayaan, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Depok : Desantara, 2001 hlm 3-5

2 penjamin free public sphere menjadi terbungkam. Deppen terbukti telah menjadi otoritas kekuasaan yang menentukan mana informasi yang boleh disebarkan, dan mana informasi yang subversive.

Hal ini membawa konsekuensi terpasungnya kekebasan pers, yang seharusnya menjadi satu pilar demokratisasi. Layaknya catatan David T Hill (1994) dimana beberapa media yang nakal dan cenderung kritis semisal Sinar harapan, Duta Masyarakat, Indonesia Raya, Abadi, Pedoman, Harian KAMI, dst selalu dibayangi pembredelan tanpa adanya proses peradilan. Hingga decade 1990, Deppen telah menyempurnakan diri sebagai “Sang raja Breidel” yang menelan korban Tabloit Detik, Editor, dan Majalah Tempo. Demikian juga posisi Depsos yang selama Orde Baru terbukti menjadi sarang subur bagi kleptokrasi dan KKN, disebabkan mekanisme birokrasi yang “gemuk”, serta arah kelembagaan yang tidak jelas, sebab secara real culture, masyarakat melalui berbagai ormas dan LSM, sebenarnya mampu me-manage pelayanan sosialnya sendiri, tanpa bantuan dari institusi politik yang amat birokratis.

Ketiga, demiliterisasi. Hal ini dilakukan Gus Dur dengan menciptakan reposisi militer yang selama Orba mengalami dwi-fungsi. Hasilnya, April 2000, TNI memutuskan meninggalkan peran sosio-politik, untuk konsentrasi dalam bidang pertahanan. Hengkangnya TNI dari politik telah menciptakan paradigma baru supremasi sipil atas militer, sehingga aparat represif ini tidak disalahgunakan penguasa. Langkah penghapusan dwi-fungsi TNI tersebut segera ditindaklanjuti oleh Gus Dur dengan melakukan pemisahan TNI-Polri, berdasarkan Keppres No 89/2000. Pemisahan ini menjadi langkah awal dari demiliterisasi pelayanan dan keamanan masyarakat, yang menjadi tugas utama Polri. Pada tataran manajerial, Gus Dur kemudian menyempurnakan supremasi sipil tersebut melalui perumusan TNI di bawah Departemen Pertahanan (Dephan). Perumusan ini diharapkan mampu mendorong terciptanya defense management based on civilization authority, sebab TNI sebagai pemegang komando lapangan, diatur dalam administrasi Dephan yang dipegang oleh sipil. Sayang, hingga Gus Dur lengser, perumusan tersebut belum dituntaskan.

3 Pada tataran supra-struktur politik, Gus Dur juga menciptakan “terapi kejut” guna “mencuci” kesadaran sejarah masyarakat. Salah satu yang kemudian mengundang kontroversi adalah ide pencabutan TAP MPRS No XXV/1966 tentang pelarangan ajaran Marxisme dan Leninisme. Hal ini dilakukan pada batasan wacana, sebab presiden tidak memiliki otoritas. Motivasi yang melatarbelakangi ide tersebut jelas, yakni membersihkan beban sejarah dari dendam dan trauma masa lalu, sebab TAP tersebut telah bersifat diskriminatif dengan menciptakan berbagai pemberangusan gerakan “kiri”, serta “mengutuk” anak cucu PKI dalam isolasi politik. Ide pencabutan juga berangkat dari fakta, bahwa sekuat apapun sebuah ajaran di larang, ia akan tetap “menelusup” kedalam relung kesadaran masyarakat.

Pembelaan terhadap minoritas juga dilakukan Gus Dur dengan mencabut Inpres No 14/1967 tentang agama yang sah, dan agama yang terlarang. Melalui Keppres No 6/2000, Gus Dur telah menghancurkan otoritarianisme negara atas kebebasan beragama. Hasilnya, Konghucu dan etnis Cina menikmati kebebasan ekspresif atas kebuadayaan keagamaannya. Pada level inilah, denegaraisasi agama, Gus Dur gerakkan, sebagai praksis politik atas gagasan kemandirian agama dari negara. Sayang, pada pemerintahan Megawati, kemandirian tersebut ditutup kembali, dengan dicanangkannya RUU Kerukunan Umat Beragama, yang memasung agama hanya dalam lima agama sah. Hal ini menjadi arus balik pengaturan agama oleh “agama negara”, yang menahbiskan epos double otoritarianisme antara politik negara dan politik agama.

Masih banyak usaha-usaha pemerintahan Gus Dur dalam “membebaskan” masyarakat dari totalitarianisme negara. Dari kebijakan yang bersifat dekonstruktif, Gus Dur juga mengimbanginya melalui kebijakan rekonstruktif, yakni dengan menumbuhkan potensi masyarakat yang selama Orba belum tergali. Misalnya, pendirian Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman, guna memperkuat kontrol masyarakat atas pelaksanaan hukum aparat negara. Pada tataran ekonomi, Gus Dur juga mendirikan Departemen Eksplorasi Kelautan dan Perikanan, sebagai satu usaha menuju pembangunan ekonomi berbasis maritim. Pada tataran global, Gus Dur telah memprakarsai Poros Asia-Afrika pada KTT G-15 Mei 2001, guna

4 melakukan counter balancing atas dominasi negara maju terhadap negara berkembang. 3

Sayangnya, berbagai kebijakan radikal demokratisasi tersebut berjalan dalam sebuah konstruk pertarungan politik, antara Gus Dur dengan politisi partai dalam parlemen. Para politisi sejak dini sudah “mencari-cari” titik lemah kebijakan Gus Dur guna menjatuhkan kepresidenan yang konstitusional tersebut. Semisal ide Gus Dur tentang pencabutan TAP MPRS No XXV/1966. Meski ide itu baru sampai tahap wacana, namun para “koboi senayan” kemudian memelintirnya demi keuntungan politik. Sejarah kepresidenan Gus Dur adalah sejarah tenggelamnya ide dan kebijakan besar tentang deskralisasi negara, demiliterisasi, dan penciptaan ruang publik masyarakat sipil, dikarenakan nafsu perebutan kekuasaan antara partai politik, yang melembaga dalam konflik legislatif vs eksekutif.

Konflik tersebut diawali oleh ketidakrelaan F-PDI P dan F-PG atas pemecatan Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla dari jabatan kementrian. Meski pemecatan ini merupakan hak prerogatif presiden, namun DPR kemudian mempermasalahkannya dengan mengajukan hak interpelasi guna meminta keterangan kenapa Gus Dur mencopot dua menetri tersebut. Konflik mengemuka, ketika dalam klarifikasi, Gus Dur malah menempatkan interpelasi dalam lanskap perdebatan konstitutif, yakni mengenai sah tidaknya hak interpelasi itu. Gus Dur kemudian merujuk pada fakta historisitas konstitusi, bahwa hak interpelasi hanya diatur dalam UU No 4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR/DPRD. Sayangnya, hak tersebut tidak mendapatkan dasar legitimatif dari UUD 45, sebab sistem pemerintahan bersifat presidensial. Dalam sistem ini, presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen, sehingga DPR tidak berhak mengajukan hak interpelasi.

Hal yang sama terjadi pada kasus hak angket guna penyelidikan keterlibatan Gus Dur dalam kasus dana Yanatera Bulog dan Bantuan Sultan Brunei. Terdapat cacat hukum, karena pembentukan Panitia Khusus (Pansus) didasarkan pada UU No 6/1954 yang merujuk pada sistem pemerintahan parlementer dengan payung UUD RIS 1950. Pasca Dekrit Soekarno 1959, maka konstitusi dikembalikan kembali kepada

3 A. Muhaimin Iskandar, Gus Dur yang Saya Kenal, Yogyakarta: LKiS, 2002, h., 15-30

5 sistem presidensial dan UUD 45, sehingga dengan sendirinya hak angket tersebut telah gugur. Memang pada Agustus 2000, MPR telah melakukan amandemen UUD 45 dengan memberikan hak angket bagi parlemen. Namun pada saat pemerintahan Gus Dur, hak tersebut belum dijabarkan dalam UU, sehingga statusnya masih “ditangguhkan”. 4

Model manipulasi seperti inilah yang dilakukan para politisi Senayan. Semisal pemelintiran dari temuan Pansus Bulog-Brunei gate, bahwa Gus Dur “patut diduga” terlibat, kemudian dipelintir menjadi “sungguh-sungguh” terlibat. Penyimpangan terjadi dalam dua hal. Pertama, wewenang Pansus yang sebenarnya hanya melakukan penyelidikan terhadap fakta dan data, namun meluas kepada pemberian fatwa. Kedua, tidak dilibatkannya lembaga pengadilan dalam mengusut dugaan keterlibatan Gus Dur. Berdasarkan pemelintiran fakta inilah, DPR kemudian mengajukan memoradum bagi terselenggaranya Sidang Istimewa MPR.5

Celakanya, motivasi awal, yakni penyelidikan kasus Bulog-Brunei gate, kemudian mengalami penyimpangan terhadap kinerja pemerintah. Satu fakta penyimpangan besar-besaran, sebab pansus tidak berhak melakukan penilaian terhadap kinerja eksekutif. Demikian juga ketika MPR mempercepat pelaksanaan SI, dari 1 Agustus menjadi 21 Juli 2001, argumen yang diberikan sangat bias dan inskonstitusional, yakni penyimpangan presiden karena mengganti Kapolri tanpa persetujuan DPR. Akhirnya pada 21 Juli 2001, SI MPR digelar, dan Gus Dur pun dikudeta secara inskonstitusional, tanpa adanya pembuktian secara yuridis atas berbagai tuduhan korupsi dana Yanatera Bulog. Secara dramatis, Gus Dur kemudian mengakhiri konflik kepentingan ini dengan memberlakukan Maklumat Preisiden 22 Juli 2001, sebagai counter discourse terhadap tata pemerintahan yang timpang, sebab real konstitusi menetapkan sistem presidensial, sehingga parlemen tidak berhak menjatuhkan presiden, demikian sebaliknya.

Tragedi yang menimpa kepresidenan Gus Dur ini merupakan pertanda bahwa demokrasi kita belum terkonsolidasi. Ini terlihat dari ketidakmampuan konstitusi dalam mengatur konflik antar lembaga tinggi negara. Sentralisasi politik yang telah

4 Greg Barton, Biografi Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2003 h., 353-360 5 Syamsuddin Haris, Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia, Studi Kasus Pemerintahan Abdurrahman Wahid, Jakarta: Grafiti, 2007, h., 129-156

6 diruntuhkan oleh Reformasi 1998 tidak membuahkan kesadaran demokratis, di mana segenap masyarakat politik mematuhi aturan main demokrasi. Yang terjadi sebaliknya; setiap pihak kini telah memanfaatkan ruang kebebasan demi kepentingan golongan sendiri. Di sini negara kemudian ditempatkan dalam domain pluralisme politik. Dalam perspektif ini, negara menjadi bebas nilai; ia hanya ruang politik yang bebas untuk diperebutkan oleh siapapun, tentu dengan meminjam sumber daya politik yang disediakan oleh negara. Situasi ini yang menciptakan “negara untuk negara”, yang sayangnya terbangun bahkan oleh masyarakat politik, yang pada era otoritarianisme Orde Baru, menjadi gerbong utama masyarakat sipil.

Tragedi kudeta konstitusional yang terjadi pada kepresidenan Gus Dur menunjukkan prematurnya tanggung jawab politik yang teremban akibat keberhasilan reformasi. Inilah yang melahirkan homo homini lupus, yang sayangnya tidak terjadi dalam masyarakat, tetapi bergulat di dalam dan melalui negara. Di sini negara tidak lagi menjelma ruang publik di mana segenap kelompok melunakkan kepentingannya untuk bersama memikirkan persoalan publik. Negara dalam situasi ini telah dijadikan ruang sumber daya demi kepentingan politik kelompok dan individu, yang tragisnya akan semakin memperkuat negara itu sendiri. Dari sini menjadi mafhum kenapa berbagai agenda besar yang dicanangkan Gus Dur menjadi kandas tengah jalan. Tentu, kepentingan kelompok, dan kepentingan stabilitas sistem negara yang tidak menginginkannya.

7 Daftar Pustaka

Abdurrahman Wahid 1981. Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta: Leppenas ………………………… 2000. Prisma Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: LKiS ……………………….. 2001. Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren. Yogyakarta: LKiS ……………………….. 1999. Membangun Demokrasi, Bandung: Rosdakarya …………………………2001. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan. Depok: Desantara …………………………1991. Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam. Edisi terbatas ………………………. Islamic Fundamentalism: A Southeast Asian Perspective. sumber tak terlacak ……………………….. Culture Oriented Development Policies and Programs: The Case of Pesantren in Indonesia, makalah International Conference on “Interactions of Development and Culture: from Dilemmas to Opportunities”, oleh Fredrich Naumann Foundation dan International University Foundation, Konigswinter/Bonn, 29 Juni-3 Juli 1987

……………………….. The Future of Constitutionalism and the Nature of the Polity: the Case of Indonesia’s 1945 Constitution, A working paper for the Asian Regional Institute of the American Council of Learned Societies, Comparative Constitutionalism Project, being held in collaboration with the Law and Society Trust, Sri Lanka. February 23-27, 1989, Chiangmai, Thailand …………………………. Principle of Pesantren Education, makalah the Pesantren Education Seminar, Berlin, oleh TU Berlin dan FNS, Juli 9-12 1987 ………………………. Masih Relevankah Teori Kenegaraan Islam? Tinjauan Kontemporer Atas Prinsip-Prinsip Rekonstruksinya, makalah pada Diskusi Konsep Negara Islam, FH- UII, Yogyakarta, 7 Februari 1988 …………………………. Forum Demokrasi, Sebuah Pertanggungjawaban. Sumber tak terlacak ………………………….. Ekonomi Islam: Baru Sebuah Impian dan Utopia, sumber tak terlacak

Abdulkadir Kurdi, The Islamic State, New York: Mansell Publishing Limited, 1984 Adam Schwarz, A Nation in Waiting, Indonesia’s Search for Stability, Australia: Allen & Unwin 9 Atchison Street, 1999 Bahtiar Effendy, Islam in Contemporery Indonesian Politics, Jakarta: Ushul Press, 2006 Donald Eugene Smith, Religion and Political Development, Boston, Massachusetts, Little, Brown and Company, 1970 DE Smith (ed), Religion, Politics and Social Change, The Free Press, 1971 David Held, Models of Democracy, Jakarta: Akbar Tanjung Institute, 2006 Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, Yogyakarta: LKiS, 2004 Greg Barton, Greg Fealy (ed), Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia, Australia: Monash ASIA Institute, 1996 Geger di “Republik” NU, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 1999 Hartono Ahmad Jaiz, Jejak Tokoh Islam dalam Kristenisasi, Jakarta: Darul Falah, 2004 Ichlasul Amal (ed), Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996 Juan J. Linz et al., Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat, Bandung: Mizan, 2001 Jaringan Islam Liberal, Syariat Islam, Pandangan Muslim Liberal, Jakarta: JIL-TAF, 2003

1 Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 M Rusli Karim, Agama, Modernisasi dan Sekularisasi, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994 Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik, Jakarta: Serambi, 1992 Peter M. Blau, Marshall W. Meyer, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Jakarta: Pustakaraya, 2000 Robert W. Hefner, Civil Islam, Islam dan Demokratisasi di Indonesia, Jakarta: ISAI-TAF, 2001 Robert Bocock, Hegemoni, Yogyakarta: Jalasutra, 2007 Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam, dari Indonesia hingga Nigeria, Ciputat: Alvabet, 2004

Frans Seda, Orde Baru dan Kultur Politiknya, Prisma, No. 11, November 1980 SI Poeradisastra, Kebudayaan Indonesia di Pusaran Arus Sejarah, Prisma 11, November 1981 Sutan Takdir Alisjahbana, Pembangunan Kebudayaan Indonesia di Tengah Laju Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Prisma 11, November 1981 Asep Taufik Akbar, Akar-akar Pergumulan Kelahiran Konsep Wali al-Amr al-Dlarury bi al-Syaukah, Tashwirul Afkar, Jakarta: Lakpesdam NU Fachry Ali, Akomodasi Non-Politik Islam Indonesia dalam Struktur Orde Baru, Prisma 3, Maret 1991 M. Ishom El Saha, M. Ag, Epistemologi Hukum Islam Perspektif NU, jurnal Tashwirul Afkar Edisi No. 12/2002, Jakarta: Lakpesdam NU M. AS Hikam, Negara, Masyarakat Sipil dan Gerakan Keagamaan dalam Politik Indonesia, jurnal Prisma 3, Maret 1991 Haryatmoko, Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan, Basis No 01-02, tahun ke-51, Januari-Februari 2002

Ahmad Suaedy dan Ulil Abshar Abdalla (ed), Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid, Yogya : LKiS, 2000 A. Muhaimin Iskandar, Gus Dur yang Saya Kenal, Yogyakarta: LKiS, 2002 Greg Barton, Biografi Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2003 Syamsuddin Haris, Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia, Studi Kasus Pemerintahan Abdurrahman Wahid, Jakarta: Grafiti, 2007 Tim INCReS, Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, Bandung : INCReS, 2000.

2

3 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Nama K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)1 diakui atau tidak merupakan salah satu sosok intelektual yang sangat berpengaruh dan diperhitungkan di kancah politik nasional, hal ini dikarenakan salah satu concern pemikiran politiknya adalah tentang demokrasi. Aksi pemikiran dan gerakan sosial yang selama ini dimainkannya tidak pernah bergeser dari gagasan besarnya untuk menciptakan demokratisasi dalam masyarakat. Penerimaan konsep demokrasi menurutnya merupakan pilihan logis sebagai salah satu dimensi dalam ajaran

Islam.

Gagasannya tentang demokrasi sebenarnya sudah muncul sejak Orde Baru berkuasa, lahirnya lembaga-lembaga demokrasi pada era Orde Baru yang keberadaannya diakui olehnya sebagai mekanisme demokrasi merupakan indikasi penerimaannya terhadap konsep demokrasi. Namun, kemudian ia menempatkan demokrasi institusional ini sebagai kritik dengan istilah yang ia lontarkan sebagai

“demokrasi seolah-olah”. Baginya, demokrasi ala Orde Baru terjebak pada institusi dan prosedur politik. Artinya, institusi dan prosedur yang semestinya

1 Lahir pada 4 Agustus 1940 di Denanyar, Jombang. Merupakan anak pertama dari enam bersaudara. Terlahir dengan nama Abdurrahman Ad-Dakhil, dia adalah putra tokoh terkenal K. H. Abdul Wahid Hasyim, putra K. H. Hasyim Asy’ari buah perkawinannya dengan Ny. Hj. Solehah, putra K. H. Bisri Syamsuri, salah seorang pendiri NU, pendiri pondok pesantren Denanyar sekaligus pernah menjabat sebagai Rois ‘Aam Syuriah PBNU setelah K. H. Abdul Wahab Hasbullah. Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, (Jogjakarta: AR-RUZZ, 2004), cet, I h. 68.

1

2

ditempatkan sebagai mekanisme demokratis ternyata menjadi tujuan di dalam dirinya sendiri.2

Hal inilah yang menjadi dasar kritiknya, yakni sebuah situasi, dimana

lembaga demokrasi bahkan menjadi penghambat aspirasi atau hak demokratis.

Jadi, bukan hanya lembaga-lembaga tersebut kurang berfungsi sebagai penyalur

kedaulatan rakyat, ia bahkan menghambat kedaulatan tersebut, karena

memposisikan diri sebagai ruang sah bagi demokrasi. Situasi seperti ini tentu

mencederai hakikat demokrasi, karena eksisitensi lembaga politik yang

sebenarnya terposisi sebagai media perwakilan.

Dari kritik atas keterjebakan institusional ini, ia kemudian menambatkan

solusi praksisnya pada konstitusi. Hal ini lahir dari kesadaran diskursif, bahwa

selain lembaga politik, demokrasi juga terbentuk oleh konstitusi. Bahkan

konstitusilah yang menjadi landasan normatif bagi demokrasi. Inilah yang

merupakan landasan dasar pemahaman dan pemikirannya tentang demokrasi.

Dalam tataran praktis, sebagai wujud keprihatinan atas realitas politik

yang terjadi pada saat itu3, Gus Dur dan kawan-kawan4 membentuk sebuah forum

2 Dengan adanya DPR, MPR pemerintah menyatakan bahwa aspirasi rakyat telah tertampung dalam proses legislasi. Dengan adanya Mahkamah Agung dan lembaga peradilan, seakan rasa keadilan rakyat telah terpenuhi. Dengan adanya Komnas HAM, persoalan hak asasi manusia seolah telah teradvokasi pemerintah. Baca, Abdurrahman Wahid, Membangun Demokrasi, (Bandung: Rosdakarya, 1999), h. 82-88. 3 Secara faktual, latar belakang yang melingkupi pemikiran dan gerakan politik Abdurrahman Wahid adalah otoritarianisme Orde Baru. Sebuah pemerintahan yang menjadikan institusi demokrasi sebagai pemberangus hakikat demokrasi. Inilah yang akhirnya melahirkan kritik atas pendekatan state centered. Dalam prespektif ini, konstitusi dilihat sebagai payung legitimatif atas gerak kekerasan negara. Sebagai contoh, presiden tidak menanggapi dua surat Ketua Komisi HAM guna membicarakan kondisi dan kasus pelanggaran berat HAM tahun 1997- 1998. Kasus penculikan aktifis dibiarkan mengambang. Presiden jarang bicara jelas soal pelanggaran berat HAM dan penyelesaiannya. Baca, Chris Siner Key Timu, “Selesaikan Pelanggaran Berat HAM”, artikel diakses pada 11 Juli 2009 dari http://www.depkumham.go.id/NR/rdonlyres/9AF30E4B-81FD-4F9F-97CE- 5D9E6273602D/0/selesaikanpelanggaranham.pdf

3

yang dinamakannya sebagai Forum Demokrasi. Menurutnya, forum ini dibentuk sebagai upaya menumbuhkan prilaku demokrasi yang lebih penting dari lembaga demokrasi. Sementara demokrasi itu sendiri, menurutnya, memiliki komponen yang sangat luas dan itu merupakan komponen yang dicita-citakan Forum

Demokrasi, yakni tegaknya kedaulatan hukum, perlakuan yang sama di depan undang-undang, kebebasan berpendapat; kebebasan berserikat, sikap saling hormat dan menghargai antara golongan yang berbeda-beda, serta terbukanya peluang yang sama bagi setiap warga negara untuk mengabdi kepada negara dan bangsa ini melalui jalan yang dipilih masing-masing.

Memahami pemikiran dan gagasannya merupakan kajian yang sangat menarik, terlepas dari persoalan di atas, ia merupakan sosok intelektual yang secara serius menekuni berbagai bacaan yang dianggap berat sekalipun. Bacaan yang mendalam atas berbagai karya pemikir-pemikir besar adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan intelektualitasnya. Di samping itu pula, ia merupakan sosok yang mengagumi jiwa kebangsaan para pejuang kemerdekaan Indonesia.

Gus Dur menulis,5

“….Dalam politik saya mengagumi Bung Karno untuk semangat kebangsaanya, kecintaanya kepada bangsa ini begitu kelihatan. Bung Hatta saya kagumi untuk sikap demokratisnya, dia betul-betul seorang demokrat, kompeten, kemampuannya tinggi. Syahrir untuk pandangannya yang jauh ke depan. Agus Salim, Tan Malaka dengan kerakyatannya. Dia tidak mengenal putus asa untuk memperjuangkan rakyat.”

4 Forum ini dibentuk pada tanggal 16-17 Maret 1991 di desa Cibeureum, Bogor. Diantara tokoh yang hadir pada pertemuan tersebut adalah Bondan Gunawan, Sutjipto Wirosardjono, Aswab Mahasin, Eko Tjokrodjojo, YB Mangunwijaya, Todung Mulya Lubis, Rahman Tolleng, Kristiya Kartika, Marsilam Simanjuntak, Mimis Sasmoyo, Djohan Effendi, Jaelani Ishaq, Gaffar Rahman, Daniel Dhakidae, dan Mudji Sutrisno. Lihat “Abdurrahman Wahid dkk Bentuk Forum Demokrasi”, Kompas, 4 April 1991, h. 1 dan 5. 5 Abdurrahman Wahid, Tabayun Gus Dur; Pribumisasi Islam Hak minoritas Reformasi Kultural, (Yogyakarta: LKis, 1998), cet. Ke-II, h. 166.

4

Referensi yang demikian kuat dalam dirinya membuat dia mampu memberikan analisis-analisis terhadap berbagai problem sosial politik dan keagamaan secara rasional dan cerdas. Atas dasar inilah skripsi ini disusun, yakni untuk mengetahui sejauh mana ide atau gagasan demokrasi yang dilontarkan Gus

Dur serta aplikasinya dalam pentas politik nasional.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, terdapat permasalahan yang layak untuk dikaji, diantaranya :

1. Bagaimana demokrasi difahami dan diaplikasikan dalam konteks

Indonesia, khususnya pada masa Orde Baru?

2. Faktor apa saja yang mengindikasikan sebuah pemerintahan dikategorikan

sebagai pemerintahan yang demokratis dalam pandangan Gus Dur?

3. Upaya apa saja yang telah dilakukan Gus Dur dalam membangun

demokrasi?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dan kegunaan penyusunan skripsi ini adalah :

1. Tujuan

a. Untuk menjelaskan secara rinci pokok pemikiran Abdurrahman Wahid

tentang demokrasi.

b. Untuk mengetahui apa saja yang telah diupayakan Abdurrahman

Wahid dalam membangun demokrasi.

5

c. Untuk menemukan pembenaran tradisi demokrasi dalam ajaran Islam

menurut pandangan Abdurrahman Wahid.

2. Manfaat

a. Penyusunan skripsi ini diharapkan mampu memberikan kontribusi

positif dalam menemukan bentuk demokrasi -yang paling tidak- ideal

untuk saat ini, serta upaya apa saja yang harus dilakukan baik jangka

pendek maupun jangka panjang.

b. Sebagai bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut terutama yang

berminat dibidang politik ke-Indonesiaan.

D. Tinjauan Pustaka

Sejauh penelusuran penulis terhadap karya ilmiah yang ada, setidaknya terdapat beberapa tulisan yang selaras dengan bahasan dalam topik skripsi ini, seperti:

1. Asep Hikmatillah, Kontroversi Kebijakan Politik Abdurrahman Wahid pada

Era Reformasi, 2006: studi ini menitikberatkan pada kebijakan-kebijakan

politik yang diambil Abdurrahman Wahid ketika menjabat Presiden RI ke-4,

apakah akan membawa perubahan yang lebih baik dengan mengeluarkan

kebijakan yang berpolemik dan kontroversial, atau sebaliknya. Adapun

kebijakan itu antara lain; pencabutan TAP MPR tentang pelarangan ajaran

Komunisme, Marxisme, Leninisme; penghapusan Departemen Sosial dan

6

Departemen Penerangan; penghapusan Badan Pemantapan Stabilitas Nasional

(Bakortanas) dan Lembaga Penelitian Khusus (Litsus).

2. Anshori, Hubungan Sipil-Militer dalam Transisi Demokrasi: Studi Pemikiran

Gus Dur, 2006: studi ini menjelaskan tentang bagaimana seharusnya

menempatkan hubungan sipil-militer dalam sebuah negara yang mengalami

transisi demokrasi paskan jatuhnya Presiden Soehart, hal inni dikarenakan pada

masa itu posisi terbut akan menentukan jalannya proses demokratisasi di

Indonesia terutama masalah kehanan negara RI.

3. Supriyadi, Peran Politik Gus Dur dalam Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),

2008: kajian ini berangkat dari opini bahwa PKB adalah Gus Dur, dan bukan

sebaliknya Gus Dur milik PKB, hal ini menimbulkan anggapan bahwa PKB

sangat bergantung pada Gus Dur yang dijadikan panutan dan rujukan oleh

banyak orang dalam menjelaskan persoalan-persoalan umat dan bangsa, baik

itu menyangkut persoalan agama, budaya dan politik hingga ia mendapatkan

penghargaan Nasional maupun Internasional dalam memperjuangkan

demokrasi dan menegakkan HAM.

4. Warno, Pandangan Abdurrahman Wahid terhadap Pancasila sebagai Dasar

Negara, 2009: kajian ini dilakukan untuk menjawab persoalan hubungan antara

agama dan negara dalam pandangan Abdurrahman Wahid, hal ini dilakukan

untuk menemukan makna Pancasila dalam konteks Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang terdiri dari banyak suku, ras, agama serta budaya.

Keempat judul diatas merupakan hasil karya yang berbentuk skripsi mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat jurusan Pemikiran Politik Islam UIN

7

Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, penulis juga banyak menemukan buku yang menjelaskan tentang pemikiran dan gerakan yang dilakukan oleh Gus Dur, baik tulisan-tulisan pribadi seperti: Membangun Demokrasi, Bandung:

Rosdakarya, 1996, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta: Grasindo,

1999, Islam, Negara dan Demokrasi, Jakarta: Erlangga, 1999, Tabayun Gus Dur:

Pribumisasi Islam Hak Minoritas Reformasi Kultural, Yogyakarta, LKis, 1998.

Selain itu, pemikiran Gus Dur pula telah banyak dikaji para akademisi dan

peneliti, baik dari dalam maupun luar negeri. Kajian yang ada, misalnya

membandingkan beberapa tokoh Indonesia, antara Abdurrahman Wahid dan M.

Amien Rais6, serta antara Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish

Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat.7 Adapun kajian yang secara spesifik ditujukan kepada pemikiran Gus Dur sangat banyak jumlahnya.8

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

6 Misalnya karya Aris Saefullah, Gus Dur vs Amien Rais: Dakwah Kultural-Struktural, Yogyakarta: Laelathinkers, Mei 2003, karya suntingan Arif Affandi, Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, serta karya Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais Tentang Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. 7 Lihat, karya Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat, Bandung, Zaman Wacana Mulia, 1998, cet. Ke-I. 8 Ahmad Suaedy dan Ulil Abshar Abdala, (ed), Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid, Yogyakarta: LKis, 2000, Arsyil A’la Al Maududi, Rakyat Indonesia Menggugat Gus Dur, Yogyakarta: Wihdah Press, 2000, Al Zastrauw Ng, Gus Dur Siapa Sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan Gus Dur, Jakarta: Erlangga, 1999, Hartono Ahmad Jaiz, Bahaya Pemikiran Gus Dur II: Menyakiti Hati Umat, Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 2000, Laode Ida dan A. Thantowi Jauhari, Gus Dur diantara Keberhasilan dan Kenestapaan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004, cet. ke-I.

8

Dalam karya ilmiah, metode penelitian merupakan hal yang harus dipegang untuk mencapai hasil yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Metode dibutuhkan agar penelitian yang dilakukan terlaksana dengan teratur sesuai dengan prosedur keilmuan yang berlaku. Untuk mencapai maksud ini, maka secara metodologis penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif-analitis.

Pendekatan penelitian kualitatif ini didasarkan pada pertimbangan untuk menjawab masalah dan tujuan penelitian, yaitu tentang demokrasi dalam pandangan K. H. Abdurrahman Wahid.

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini, sumber data yang bersifat primer adalah buku-buku atau karya ilmiah yang memuat gagasan atau ide tentang demokrasi dari

Abdurrahman Wahid. Data ini di dukung pula oleh karya para ahli baik melalui buku maupun karya ilmiah mereka yang mengkaji gagasan dan pemikiran

Abdurrahman Wahid.

3. Analisis Data

Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan dengan cara memeriksa seluruh data yang terkumpul untuk dipilih berdasarkan sub-sub pokok bahasan dalam proses penelitian deskriptif-analisis

9

Adapun dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku,

“Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Desertasi), yang diterbitkan oleh Ceqda, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2006.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penyusun menyusunnya ke dalam lima bab.

BAB I yaitu pendahuluan yang menjadi landasan dasar penyusunan skripsi ini.

Dengan membaca bab pertama ini akan dapat diperoleh gambaran apa sebenarnya yang melatarbelakangi perlunya pembahasan mengenai demokrasi dalam pandangan K. H. Abdurrahman Wahid serta signifikansinya terhadap khazanah pemikiran yang telah ada. Dalam bab ini dipaparkan mulai dari latar belakang masalah, sampai munculnya pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka, pendekatan dan metode yang digunakan dalam penelitian ini serta sistematika penulisan.

Selanjutnya BAB II, membahas tentang gambaran umum mengenai demokrasi sebagai kerangka teori dalam sebuah pemahaman yang meliputi: pengertian, batasan dan parameter demokrasi, demokrasi antara idea dan realitas serta beberapa varian demokarsi. Penjelasan ini penyusun anggap perlu untuk mengetahui apa sesungguhnya makna yang terkandung dalam demokrasi.

Pada BAB III, akan di bahas tentang biografi K. H. Abdurrahman Wahid yang meliputi latar belakang keluarga, pendidikan serta aktivitas kesehariannya, pemikiran dan aksinya di pentas politik nasional. Hal ini penyusun anggap penting dikarenakan untuk mengetahui secara komprehensif gagasan dan pemikiran yang

10

dilontarkan Abdurrahman Wahid, terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana situasi dan kondisi lingkungan yang telah membentuk dirinya.

Selanjutnya BAB IV, berisi unsur terpenting demokrasi dalam pemikiran

K. H. Abdurrahman Wahid yang meliputi: kedaulatan hukum, pengakuan Hak

Asasi Manusia, meningkatkan kesejahteraan sosial, pemberdayaan masyarakat sipil dan penghargaan terhadap pluralitas. Pembahasan dilanjutkan dengan melakukan analisis kritis terhadap pemikirannya.

BAB V, berisi tentang kesimpulan dan memuat tanggapan serta saran- saran penulis yang berhubungan dengan obyek studi yang diambil oleh penulis.

Bab ini sekaligus disertai dengan daftar pustaka.

BAB II

TEORI DEMOKRASI:

SEBUAH KERANGKA KONSEPTUAL

Dalam upaya memahami detil pemikiran dan gagasan Gus Dur tentang demokrasi, akan dijelaskan terlebih dahulu beberapa teori demokrasi yang telah dikemukakan oleh para teoritisi ilmu sosial. Hal ini dimaksudkan selain untuk memberikan pemahaman yang komprehensif, juga untuk menemukan korelasi antara teori dengan praktik demokrasi yang selama ini diperjuangkannya.

Betapapun Gus Dur tidak memberikan penjelasan tentang demokrasi secara definitif sebagaimana telah dijelaskan pada BAB I, namun terdapat beberapa doktrin tetap yang disepakati Gus Dur dalam kaitannya dengan demokrasi, seperti keadilan, persamaan, musyawarah dan pluralitas.

Pada bab ini akan dijelaskan secara singkat sejarah, pengertian, parameter dan konsep serta varian demokrasi9 yang digunakan sebagai acuan untuk mengetahui gagasan demokrasi dalam pandangan Gus Dur yang akan di bahas secara lebih rinci pada BAB IV.

A. Definisi dan Parameter Demokrasi

Sejarah peristilahan “demokrasi” dapat ditelusuri jauh ke belakang.

Konsep ini ditumbuhkan pertama kali dalam praktek negara-kota Yunani dan

9 Pada pembahasan tentang varian demokrasi, penulis berupaya untuk menjelaskan bahwa gagasan dan pemikiran Gus Dur tentang demokrasi tidak masuk pada kategori demokrasi rakyat atau demokrasi liberal, melainkan lebih mengarah pada upaya memaknai demokrasi pancasila secara lebih paripurna sebagaimana akan dijelaskan pada BAB IV.

11

12

Athena (450 SM dan 350 SM). Dalam tahun 431 SM, Pericles, seorang agamawan ternama dari Athena, mendefinisikan demokrasi dengan mengemukakan beberapa kriteria: Pertama, pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat yang penuh dan langsung. Kedua, kesamaan di depan hukum. Ketiga, pluralisme, yaitu penghargaan atas semua bakat, minat, keinginan dan pandangan. Keempat, penghargaan atas suatu pemisahan dan wilayah pribadi untuk memenuhi dan mengekspresikan kepribadian individu. Dalam zaman yang sama kita pun dapat berkenalan dengan pemikiran politik Plato, Aristoteles, Polybius, dan Cicero10 – untuk menyebut sebagian diantara jajaran pemikir masa itu- yang juga meletakkan dasar-dasar dari pengertian demokrasi.

Dalam perkembangannya kemudian, pertumbuhan istilah demokrasi mengalami masa subur dan pergeseran ke arah pemoderenan pada masa kebangunan kembali dan renaissance. Dalam masa ini muncul pemikiran- pemikiran besar tentang hubungan antara penguasa atau negara di satu pihak dengan rakyat di pihak lain. Yaitu pemikiran baru dan mengejutkan tentang kekuasaan dari Niccolo Machiavelli (1469-1527), serta pemikiran tentang kontrak sosial dan pembagian kekuasaan dari Thomas Hobbes (1588-1679), Jhon Locke

(1632-1704), Montesquieu (1689-1755) dan Jean Jacques Rousseau (1712-

1778).11 Pemikiran-pemikiran dari sejumlah nama besar tersebut telah memberikan sumbangan yang penting bagi pendefinisian kembali demokrasi.

10 Sukron Kamil, MA., Islam & Demokrasi: Telaah Konseptual & Historis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), cet. Ke-1, h. 1-2. Lihat Pula Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan Amien Rais (Jakarta: Teraju, 2005), h. 19-24. 11 Kamil, MA., Islam & Demokrasi, h. 8-10.

13

Satu hal yang kita baca dari berbagai studi penelusuran istilah demokrasi adalah bahwa demokrasi tumbuh sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Semakin tinggi tingkat kompleksitas kehidupan masyarakat maka semakin rumit dan tidak sederhana pula demokrasi didefinisikan. Salah satu hasil akomodasi pendefinisian demokrasi terhadap tingkat perkembangan masyarakat adalah semakin tergesernya kriteria partisipasi langsung rakyat dalam formulasi kebijakan -yang menjadi kriteria pertama Pericles- oleh model perwakilan.

Dalam kerangka perkembangan ini, kita dapat menelusuri berbagai pendefinisian demokrasi sebagai sebuah idea politik modern melalui paparan berikut ini.

Robert A. Dahl dalam studinya yang terkenal mengajukan lima kriteria demokrasi sebagai sebuah idea politik. Yaitu: Pertama, persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat. Kedua, partisipasi efektif yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif. Ketiga, pembeberan kebenaran yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara logis. Keempat, kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan ekslusif bagi masyarakat untuk menyatukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga yang mewakili masyarakat. Kelima, pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat mencakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum. Dalam definisinya ini tampak bahwa Dahl mementingkan keterlibatan masyarakat dalam

14

proses formulasi kebijakan, adanya pengawasan terhadap kekuasaan dan dijaminnya persamaan perlakuan negara terhadap semua warga negara sebagai unsur-unsur pokok demokrasi.12

Masih dalam kerangka pendefinisian demokrasi yang bersifat umum dan menyeluruh, Amien Rais memaparkan adanya sepuluh kriteria demokrasi, yaitu:

(1) partisipasi dalam pembuatan keputusan, (2) persamaan di depan hukum, (3) distribusi pendapatan secara adil, (4) kesempatan pendidikan yang sama, (5) empat macam kebebasan, yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan persurat-kabaran, kebebasan berkumpul dan kebebasan beragama, (6) ketersediaan dan keterbukaan informasi, (7) mengindahkan fatsoen (tatakrama politik), (8) kebebasan individu, (9) semangat kerjasama, dan (10) hak untuk protes.13

Kriteria yang lebih menyeluruh diajukan oleh Gwendolen M. Carter dan

Jhon H. Herz, keduannya mengkonseputalisasikan demokrasi sebagai pemerintahan yang dicirikan oleh dijalankannya prinsip-prinsip berikut: (1) pembatasan terhadap tindakan pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi individu dan kelompok dengan jalan menyusun pergantian pimpinan secara berkala, tertib dan damai melalui alat-alat perwakilan yang efektif, (2) adanya sikap toleransi terhadap pendapat yang berlawanan, (3) persamaan di depan hukum yang diwujudkan dengan sikap tunduk kepada rule of law tanpa membedakan kedudukan politik, (4) adanya pemilihan yang bebas dengan disertai

12 Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol (Jakarta: Rajawali Pers, 1985), h. 10-11. 13 Amien Rais, “Demokrasi dan Proses Politik”, dalam pengantar buku Demokrasi dan Proses Politik (Jakarta: LP3ES, 1986), h. xvi-xxi.

15

adanya model perwakilan yang efektif, (5) diberinya kebebasan berpartisipasi dan beroposisi bagi partai politik, organisasi kemasyarakatan, masyarakat dan perseorangan serta prasarana pendapat umum semacam pers dan media massa, (6) adanya penghormatan terhadap hak rakyat untuk menyatakan pandangannya betapapun tampak salah dan tidak populernya pandangan itu, (7) dikembangkannya sikap menghargai hak-hak minoritas dan perorangan dengan lebih mengutamakan penggunaasn cara-cara persuasi dan diskusi dari pada koersi dan represi.14 Sedangkan Clark D. Neher melihat demokrasi dari sudut jaminan terhadap pluralisme, bagi Neher, demokrasi adalah suatu sistem politik yang di dalamnya terdapat jaminan bagi setiap elemen pluralitas untuk mengekspresikan kepentingannya dengan disertai tetap terjaganya kestabilan dan kelangsungan sistem politik tersebut. 15

Sementara itu, Phillipe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl mendefinisikan demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah diminta tanggung jawab atas tindakan-tindakan di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka yang terpilih.16 Pengertian ini menekankan adanya tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Adapun definisi demokrasi menurut David Bheetam adalah sebuah cara pengambilan keputusan menyangkut aturan dan kebijakan yang mengikat secara

14 Gwendolen M. Carter dan Jhon H. Herz, “Peran Pemerintah dalam Masyarakat Masa Kini” dalam Miriam Budiardjo, ed., Masalah Kenegaraan (Jakarta: Gramedia, 1982), h. 86-87. 15 Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi a la Orde Baru: Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional (Bandung: Rosdakarya, 2000), cet. ke-II, h. 10. 16 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 73-74.

16

kolektif, yang dikenai kontrol dari rakyat. Jadi menurutnya tatanan yang paling demokratis adalah yang memungkinkan seluruh anggota kolektivitas menikmati hak yang setara dan efektif untuk ikut ambil bagian secara langsung dalam pengambilan keputusan semacam itu. Elemen kunci dari definisi ini adalah kontrol masyarakat dan kesetaraan politis.17

Dalam bahasa yang lebih rinci, Sukron Kamil mendefinisikan demokrasi sebagai suatu sistem politik dimana pemilu yang jujur dan adil serta accuntability sebagai intinya. Artinya bahwa dalam demokrasi rakyat berdaulat, tetapi karena ketidakmungkinan rakyat menjalankan kedaulatannya sendiri dalam negara nasional yang mempunyai wilayah luas, berbeda dengan city state Athena, maka kedaulatannya diserahkan kepada wakilnya di parlemen (lembaga perwakilan rakyat) lewat pemilu yang jujur dan adil. Selanjutnya mengingat dalam demokrasi pemilu merupakan mekanisme kontrol rakyat, maka wakil-wakil rakyat itu dipaksa untuk bertanggung jawab jika ia ingin dipilih kembali. Dalam hal ini, demokrasi memang menjunjung tinggi mayoritas, tetapi bukanlah mayoritasisme.

Dalam demokrasi mesti tercakup kompromi yang adil yang tidak mengganggu kepentingan minoritas yang paling fundamental. Demokrasi adalah majority rule, minority right.18 Pengertian ini kemudian dikuatkan oleh Denny Gahral Adian, yang mengatakan demokrasi adalah sebentuk prosedur yang memaksa kerja sama politik secara konstitusional19. Prosedur demokrasi tidak membiarkan satu

17 Andres Uhlin, Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), h. 11. 18 Syukron Kamil, MA., Islam & Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 195. 19 Yakni konstitusi yang berbasiskan hak-hak demokratis, prosedur yang meminimalisasi dominasi, habitus nondominasi dalam kultur politik.

17

kelompok memaksakan satu artikulasi politiknya. Ia juga tidak mengejar kehendak umum. Prosedur demokratis memaksa berbagai kelompok dengan ambisi masing-masing mencapai apa yang dalam teori permainan (game theory) disebut saddle point. Semua kelompok yang terlibat dipaksa untuk sampai pada titik tawar maksimal yang mana mereka tak bisa menawar lebih dari itu.20

Dalam definisi-definisi demokrasi tersebut di atas, para ahli politik tersebut tampaknya mementingkan atau mendahulukan keterlibatan rakyat dalam proses pengambilan keputusan atau kebijakan politik. Rakyat (warga negara) juga harus mengawasi jalannya keputusan (kekuasaan) dan mendapat jaminan persamaan perlakuan dalam pengambilan keputusan. Dengan kata lain, sekalipun terminologi demokrasi memiliki banyak batasan pengertian, namun batasan yang dikemukakan para pakar politik tersebut tampak menemukan titik temu yang sama. Yaitu, bahwa demokrasi memiliki doktrin dasar yang tidak pernah berubah.

Doktrin tersebut adalah adanya keikutsertaan anggota masyarakat, yaitu partisipasi rakyat dalam menyusun agenda politik yang dijadikan landasan pengambilan keputusan.21

B. Demokrasi; Idea dan Realitas Politik

Demokrasi memiliki dua komponen dasar: substantif dan prosedural.

Komponen pertama adalah landasan normatif yang bermuatan seperangkat nilai- nilai dasar bagi suatu tatanan (sistem) kehidupan politik dan ketatanegaraan yang keberadaanya mutlak diperlukan serta membedakannya dengan sistem yang lain.

20 Donny Gahral Adian, “Mengingatkan Demokrasi,” Kompas, 31 Agustus 2006, h. 6. 21 Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan Amien Rais (Jakarta: Teraju, 2005), cet. ke-1, h. 32

18

Komponen kedua adalah seperangkat tata cara yang dipergunakan agar sistem tersebut dapat bekerja secara optimal dalam suatu konteks masyarakat tertentu.

Jika komponen yang pertama pada hakekatnya bersifat universal dan permanen, maka komponen kedua bersifat kontekstual dan bentuknya terus menerus mengalami perkembangan serta terbuka (open-ended). Kendati keduanya tak dapat dipisahkan, namun kedua elemen tersebut dapat dibedakan satu dari yang lain.

Dalam kerangka ini kita membutuhkan definisi yang operasional dan dapat menterjemahkan demokrasi sebagai ideologi politik ke dalam kriteria-kriteria praktek politik –terlepas dari tahap transformasi atau gelombang mana demokrasi itu berada sebagaimana dinyatakan Roberth A. Dahl maupun Samuel P.

Huntington.22

Pertama, partisipasi politik yang luas dan otonom dari seluruh elemen masyarakat. Pembatasan partisipasi adalah sebuah praktek anti-demokrasi.

Praktek politik demokrasi juga mensyaratkan adanya partisipasi politik yang luas, dalam arti tidak ada pembatasan dan ekslusifitas dalam penentuan sumber-sumber rekrutmen politik dan tidak ada pula ekslusifitas dalam formulasi kebijakan- kebijakan politik.

Kedua, sirkulasi kepemimpinan politik secara efektif dan kompetitif.

Praktek demokrasi mensyaratkan adanya jaminan mekanisme sirkulasi kepemimpinan politik yang diadakan secara berkala, selektif, kompetitif dan melibatkan keseluruhan elemen masyarakat dalam prosesnya. Baik keberkalaan,

22 Lihat Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengeritiknya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), h. x. dan Samuel P. Hantington, Gelombang Demokratisasi Ketiga (Jakarta: Pustaka Grafiti Utama, 1995), h. 4.

19

selektivitas maupun sifat kempetitif dan sirkulasi kepemimpinan politik merupakan kriteria-kriteria operasional yang amat penting.

Ketiga, kontrol terhadap kekuasaan yang efektif. Sentralisasi kekuasaan dan akumulasi kekuasaan yang senjang adalah kondisi anti-demokrasi. Kontrol terhadap kekuasaan ini dinilai efektif manakala ia dijalankan baik oleh kelembagaan politik formal di tingkat supra struktur (semacam parlemen atau legislatif dan yudikatif), maupun kelembagaan politik di tingkat infra struktur

(semacam media masa, partai politik, organisasi sosial kemasyarakatan, dan lain- lain). Di sampang itu, masyarakat secara perseorangan dan kelompok tak- terorganisasi juga diberikan keleluasaan untuk mengontrol kekuasaan. Dalam kerangka ini, oposisi adalah prasyarat demokrasi yang penting.

Keempat, kompetisi politik yang leluasa dan sehat dalam suasana kebebasan. Kompetisi ini meliputi kompetisi antar-elemen masyarakat, elemen masyarakat dengan elemen negara, antar-elemen-elemen di dalam negara, secara leluasa dan sehat. Dalam kerangka ini, perbenturan kepentingan dan nilai politik dimungkinkan terjadi sejauh tidak menjadikan kehancuran bagi sistem politik.

Lain halnya dengan Nurcholish Madjid. Dalam upayanya menterjemahkan demokrasi sebagai ideologi politik ke dalam kriteria praktek politik, ia kemudian menempatkannya dalam bahasa budaya, menurutnya demokrasi bukanlah kata benda, tetapi lebih merupakan kata kerja, sebagai proses demokratisasi.

Demokrasi adalah suatu kategori dinamis. Ia senantiasa bergerak atau berubah.

Kadang negatif (mundur), kadang positif (berkembang maju). Oleh karena itu, dengan mengutip Willy Eichler, ideolog Partai Sosial Demokrat Jerman, jelasnya

20

kemudian, demokrasi akhirnya menjadi sama dengan proses demokratiasasi.

Sebab itu, suatu negara atau masyarakat dapat disebut demokratis, jika padanya terdapat proses-proses perkembangan menuju keadaan yang lebih baik dalam melaksanakan HAM dan menjunjung tinggi nilai keadaban atau civility

(madaniah) dalam bentuk keterikatannya pada supremasi hukum dan peraturan.

Demokrasi dalam hal ini adalah proses melaksanakan nilai-nilai civility dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Demokrasi adalah proses menuju dan menjaga civil society (masyarakat madani) yang menghormati dan berupaya merealisasikan nilai-nilai demokrasi sebagai way of life-nya.23 Yang dimaksud dengan civil society di sini, pengertianya, bersifat elektik. Yakni sebagaimana definisi Muhammad AS. Hikam, wilayah-wilayah kehidupan yang terorganisasi dan bercirikan antara lain; keterikatan pada norma-norma atau nilai hukum yang diakui, kesukarelaan, keswasembadaan, keswadayaan, dan kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara.24 Masyarakat yang demikian itulah sebagai rumah bagi demokrasi. Demokrasi tidak akan tumbuh tanpa adanya masyarakat yang demikian.

Berikut ini beberapa nuktah penting pandangan hidup demokratis, berdasarkan bahan-bahan yang sedikit banyak telah berkembang, baik secara teoritis maupun praktis di negara-negara demokratis yang cukup mapan:25

Pertama, prinsip kesadaran kemajemukan. Yang dimaksud dengan kesadaran akan kemajemukan (pluralisme) ini tidak hanya suatu kesadaran pasif

23 Nurcholish Madjid, “Transisi ke Demokrasi” dalam Fatsoen Tekad No. 16/th. I, 15-21 Februari 1999. 24 Muhammad AS. Hikam, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 3. 25 Nurcholish Madjid, “Membangun Rumah bagi Demokrasi Indonesia”, Madani Edisi I, 11-18 Maret 1999.

21

akan kenyataan pluralisme, teapi lebih dari itu. Yaitu disertai dengan usaha aktif untuk menjaga, menumbuhkan dan mengembangkan segi positif dari pluralisme ini untuk memperkaya proses-proses berbangsa dan bernegara, untuk suatu tujuan kebersamaan yang lebih tinggi. Prinsip ini secara jelas mengemukakan bahwa suatu titik temu bersama sangat diperlukan untuk mewujudkan cita-cita kebangsaan bersama.

Kedua, prinsip musyawarah. Musyawarah dalam bahasa Arab bermakna saling memberi isyarat. Dengan keinsyafan ini berarti bahwa ada kedewasaan dengan tulus menerima kemungkinan untuk berkompromi, bahkan kalah suara.

Semangat yang mendasari keinsyafan ini menuntut agar setiap orang menerima kemungkinan terjadi “partial functioning of ideals”- pandangan dasar bahwa belum tentu dan tidak harus, seluruh keinginan atau pikiran seseorang atau kelompok akan diterima dan dilaksanakan sepenuhnya. Inilah bentuk kompromi atau ishlah yang perlu dijunjung dalam suatu masyarakat yang sedang menuju ke demokrasi. Prinsip ini menuntut kedewasaan dalam mengemukakan pendapat, menerima perbedaan pendapat, dan kemungkinan mengambil pendapat yang lebih baik. Prinsip musyawarah ini juga menentang monolitisme dan absolutisme.

Ketiga, prinsip cara haruslah sesuai dengan tujuan. Prinsip ini mengemukakan dasar bahwa suatu tujuan yang baik haruslah diabsahkan dengan kebaikan cara yang ditempuh untuk meraihnya. Penerapan prinsip ini menuntu suatu standar moral politik yang tinggi. Dengan kata lain, demokrasi tidak terbayang tanpa akhlak. Demokrasi juga membutuhkan tingkat kepercayaan yang

22

tinggi, yang membebaskan seseorang atau kelompok dari kekhawatiran yang berlebihan terhadap orang atau kelompok lain.

Keempat, prinsip pemufakatan yang jujur, ini adalah buah dari penerapan permusyawaratan yang jujur dan sehat. Dengan begitu, prinsip ini sebenarnya menolak jenis-jenis pemufakatan yang dicapai melalui perekayasaan, manipulasi, atau taktik-taktik yang sesungguhnya hanya curang, cacat dan sakit, bahkan mengkhianati nilai dan semangat demokrasi itu sendiri, yang menuntut ketulusan dalam proses sosial, di mana perlu pembebasan diri dari vested interest (egoisme) yang sempit.

Kelima, prinsip pemenuhan kehidupan ekonomi dan perencanaan sosial budaya. Prinsip ini sangat penting bagi terrealisasinya kehidupan demokrasi. Ada indikasi langsung antara kemakmuran dan kehidupan demokrasi. Karena itu, penting sekali suatu perencanaan pemenuhan kehidupan ekonomi rakyat, dan pemenuhan hak-hak sosial politik yang check list-nya adalah nilai-nilai kemanusiaan yang universal, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Keenam, prinsip kebebasan nurani (freedom of conscience). Ini adalah prinsip dasar dalam politik yang merupakan nilai-nilai asasi dalam demokrasi.

Prinsip ini memperkuat egalitarianisme dan tingkah laku penuh percaya diri pada itikad baik orang dan kelompok lain. Dengan demikian, prinsip ini meneguhkan pandangan manusia yang positif dan optimis, yang akan medorong kerjasama antar warga masyarakat dan saling mempercayai itikad baik masing-masing, kemudian jalinan dukung-mendukung secara fungsional antara berbagai unsur kelembagaan kemasyarakatan yang ada, yang merupakan segi penunjang efisiensi

23

untuk demokrasi. Maka atas dasar kebebasan nurani ini pula, pada dasarnya demokrasi menolak suatu masyarakat yang terpecah belah.

Ketujuh, prinsip perlunya pendidikan demokrasi. Ini adalah hal yang sangat mendasar. Mengingat demokrasi, seperti yang telah disinggung, merupakan kata kerja sebagai proses menuju dan mempertahankan demokrasi, maka demokrasi bukanlah suatu yang akan terwujud bagaikan jatuh dari langit, melainkan menyatu dengan pengalaman nyata, usaha dan elsperimentasi kita sehari-hari.

Kriteria-kriteria operasional itulah yang dapat dijadikan ukuran minimal bagi praktek demokrasi. Dengan praktek politik yang menjamin terlaksananya kriteria tersebut, maka apa yang disebut Dahl sebagai keunggulan proses demokrasi dapat terbentuk.26 Yaitu: (1) demokrasi meningkatkan kebebasan dalam bentuk yang tidak dapat dilakukan oleh alternatif lain manapun, yakni kebebasan penentuan nasib sendiri secara individual maupun bersama, serta kebebasan dalam tingkat otonomi moral; (2) demokrasi meningkatkan perkembangan manusia, dalam hal kemampuannya untuk menentukan nasibnya sendiri, pemilikan otonomi moral dan pertanggungjawaban terhadap pilihan yang diambilnya; dan (3) demokrasi merupakan cara yang paling pasti yang dapat digunakan manusia untuk melindungi dan memajukan kepentingan dan kebaikan yang sama-sama mereka miliki dan orang lain. Kerangka konseptual seperti tergambar di atas menjadi pegangan Gus Dur dalam mengungkapkan

26 Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengeritiknya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), jilid 2, h. 167-168.

24

pemikirannya tentang demokrasi -sebagaimana akan dibahas pada bab selanjutnya.

C. Varian-varian Demokrasi

Keadaan kultural dan sejarah yang berbeda dari masing-masing negara, serta perbedaan penekanan pada kebebasan atau persamaan, segi formal atau segi materil dari demokrasi yang diutamakan menyebabkan tidak ada dua negara di dunia ini yang betul-betul sama dalam mengartikan dan melaksanakan demokrasi.

Tetapi dari sekian banyak ide atau praktek tentang demokrasi paling tidak dapat diketengahkan dua faham yang paling penting yaitu demokrasi konstitusional dan demokrasi rakyat dan ditambah aliran ketiga yaitu demokrasi pancasila yang dianut di Indonesia.

1. Demokrasi Konstitusional

Demokrasi ini sering juga disebut demokrasi liberal,27 model demokrasi ini memiliki akar-akar doktrinal dalam liberalisme Jhon Locke, Rousseau,

Montesquieu, Jhon Stuart Mill, Jeremy Beetham dan lain-lain. Demokrasi ini merupakan demokrasi yang didasarkan pada kebebasan atau individualitas.

Menurut Hans Kelsen, salah seorang pelopor dari aliran ini, negara yang tidak menjamin kebebasan anggota masyarakatnya bukanlah negara demokrasi. Karena

27 Sistem ini muncul karena adanya ketidakpuasan di kalangan rakyat akan kekuasaan gereja yang jumud dan anti pembaharuan. Selain itu sistem politik pada masa itu memberikan kesempatan pada kalangan aristokrat, tuan tanah, bangsawan kerajaan memiliki kekuasaan yang besar tanpa batas, sehingga hak-hak dasar rakyat tidak terpenuhi. Lahirnya liberalisme berawal dari negara-negara Eropa Barat pada abad ke 15 dan 16. Baca Prof. Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), cet. ke-19. h. 53-55.

25

itu dia membedakan dua macam negara yaitu negara bebas dan negara yang tidak bebas. Ciri khas dari demokrasi konstitusional ini ialah bahwa pemerintahnya terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Cara yang terbaik membatasi kekuasaan pemerintah tersebut ialah melalui suatu konstitusi. Konstitusi menjamin hak-hak asasi warga negaranya dan menyelenggarakan kekuasaan negara sedemikian rupa sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi oleh legislatif (Parlemen) dan kekuasaan Yudikatif

(lembaga hukum yudikatif).

Setidaknya terdapat empat prinsip yang terkandung dalam demokrasi liberal. Pertama, kebebasan individual (individual freedom). Dalam demokrasi liberal, kebebasan individual menempati posisi terpenting sebab kebebasan merupakan nilai dasar manusia. Dengan memiliki kebebasan, individu akan menemukan jati dirinya sebagai manusia yang kreatif, kaya inisiatif, kritis dan lain-lain. Kebebasan dalam pengeritan demokrasi liberal bukanlah kebebasan yang tanpa batas (total freedom) untuk melakukan apapun yang dikehendaki individu. Kebebasan individu dapat dibenarkan atau ditolelir sejauh kebebasan itu tidak mengganggu atau mengancam kebebasan individu lain dalam masyarakat.

Kedua, kontrak sosial. Menurut Michael Margolis, kontrak sosial merupakan suatu pandangan politik yang sangat liberal. Dalam bentuknya yang paling revolusioner menurut Margolis kontrak sosial menekankan hak-hak warga negara dan memberikan pembenaran politis bagi pembentukan lembaga-lembaga yang dibentuk atas kehendak rakyat. Di sisi lain, dalam bentuknya yang

26

konservatif kontrak sosial menekankan arti pentingnya kepentingan-kepentingan komunitas, sikap-sikap moderat dan gradualisme.

Ketiga, demokrasi liberal menganut prinsip pasar bebas (free market society). Dalam demokrasi ini segala sesuatu yang dianggap mempengaruhi kehidupan individu atau rakyat banyak ditentukan sepenuhnya oleh negosiasi atau bargaining, proses tawar menawar dari individu atau masyarakat bersangkutan.

Keputusan-keputusan penting ditentukan oleh pasar secara bebas. Dalam bidang ekonomi misalnya, produk-produk konsumtif ditentukan sepenuhnya oleh mekanisme pasar bebas.

Keempat, demokrasi liberal mengakui eksistensi pluralitas sosio-kultural dan politik masyarakat. Perbedaan pandangan, ideologi dan prinsip-prinsip hidup

(way of life) dianggap sebagai suatu kewajaran. Pengakuan terhadap pluralitas itu tercermin dari sistem kepartaian yang dianut negara-negara demokrasi liberal.

Umumnya negara-negara itu menganut sistem multi-partai (multi-party system) atau sistem dua partai (two party system). Dalam dua sistem kepartaian pertama secara implisit mengandung unsur pengakuan terhadap pluralitas sosio-kultural dan politik masyarakat, sedangkan dalam sistem partai tunggal cenderung menunjukkan penolakan terhadap keanekaragaman itu.

Dengan adanya lebih dari satu partai, secara implisit juga menunjukkan bahwa individu diberikan kebebasan untuk menjadi anggota, aktivis, atau

27

memberikan suara kepada satu diantara beberapa partai yang ada dalam pemilihan umum.28

2. Demokrasi Rakyat

Banyak nama yang sering diberikan pada demokrasi tipe ini, yaitu demokrasi proletar, demokrasi komunis, marxis komunisme atau demokrasi

Sovyet. Tokoh dari aliran ini antara lain Robert Owens, Saint Simon, Fourier dan yang terpenting adalah Karl Marx. Masyarakat yang dicita-citakan oleh Marx adalah masyarakat komunis yaitu masyarakat yang tidak ada kelas sosial dimana manusia dibebaskan dari keterikatannya kepada milik pribadi dan tidak ada eksploitasi, penindasan dan paksaan, tetapi anehnya untuk mencapai masyarakat yang bebas dari paksaan itu perlu melalui jalan paksaan serta kekuatan yaitu dengan perebutan kekuasaan oleh kaum buruh dari tangan kapitalis. Ucapan Marx tentang ini ialah kekerasan adalah bidan dari setiap masyarakat lama yang sedang hamil tua dengan masyarakat baru. Demokrasi rakyat (totalliterisme komunis) oleh M. Carter dicirikan oleh dorongan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka dan suatu pimpinan yang merasa dirinya paling tahu mengenai cara-cara menjalankan kebijaksanaan pemerintah, dan yang menjalankan kekuasaan melalui suatu elit yang kekal.

Selain apa yang telah dikemukakan di atas, demokrasi komunis memiliki ciri-ciri lainnya. Demokrasi ini bersifat masyarakat anti pasar. Dalam masyarakat anti pasar, tidak diperkenankan kebebasan bernegosiasi sesuatu yang

28 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), cet. ke-II. h. 317- 318.

28

memperngaruhi dan menentukan kehidupan individu dalam masyarakat.

Hubungan-hubungan sosial, keagamaan, ekonomi dan politik diatur oleh negara.

Di bidang perekonomian, harga semua produk tidak ditentukan oleh pasar atau keputusan-keputusan hasil negosiasi, melainkan oleh negara. Kecendrungan ini menimbulkan ciri lain dari demokrasi komunis, yaitu adanya maksimalisasi peran negara. Jadi, moralitas ditentukan oleh negara. Maksimalisasi peranan negara menimbulkan kecendrungan lain dalam negara demokrasi komunis, yaitu kurang diakuinya privatisasi dan kebebasan sektor-sektor swasta (non-negara) untuk mengembangkan diri. Hak-hak privat dan dominasi sektor swasta dianggap kejahatan sosial dan dianggap sumber berbagai ketimpangan sosial ekonomi.29

Pembatasan partisipasi politik merupakan ciri lain demokrasi komunis.

Dalam negara komunis partisipasi politik hanya ditolelir sejak ia mendukung kekuasaan rezim yang berkuasa. Partisipasi politik yang berbeda dengan aspirasi pemerintah dianggap sebagai kegiatan ilegal dan kegiatan subversif. Karena partisipasi politik diperkenankan sejauh dimaksudkan untuk mendukung penguasa, maka terdapat kecendrungan dimana partisipasi di negara-negara demokrasi komunis lebih bersifat partisipasi yang dimobilisasi. Kegiatan politik bukanlah merupakan partisipasi yang benar-benar muncul karena kesadaran diri, otonom dan sukarela.

Demokrasi komunis juga kurang mengenal kebebasan pers, sebab pers atau media masa sepenuhnya berada di bawah kontrol kekuasaan. Pers hanya diperkenankan menyuarakan aspirasi, program dan cita-cita elit penguasa. Maka

29 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), cet. ke-II. h. 313.

29

dalam demokrasi komunis, pers tidak bisa disebut sebagai pilar keempat (the fourth pillar) demokrasi sebab pers, misalnya, tidak bisa secara bebas menyuarakan pandangan, aspirasi, gagasan dan penyelewengan kekuasaan negara.

Ciri umum lainnya dari negara yang menganut demokrasi komunis adalah digunakannya sistem partai tunggal dominan (one party system). Di negara demokrasi komunis tidak dikenal persaingan atau kompetisi partai-partai seperti yang terdapat dalam demokrasi liberal. Sebab hanya ada satu partai yang berkuasa. Kalaupun ada partai-partai lainnya, pada umumnya lemah dan tidak memiliki kekuasaan politik yang memungkinkan mereka bernegosiasi dengan partai negara yang dominan.30

3. Demokrasi Pancasila

Dalam demokrasi pancasila kebebasan individu tidak bersifat mutlak, tetapi harus diselaraskan dengan tanggung jawab sosial. Di dalam kebebasan itu harus selalu melekat tanggung jawab terhadap kepentingan umum dan kepentingan bersama. Dalam demokrasi pancasila keuniversalan cita-cita demokrasi dipadukan dengan cita hidup bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan. Dengan demikian dalam sistem dan mekanisme demokrasi pancasila tidak akan terjadi “dominasi mayoritas” maupun “tirani minoritas”, sebab konsep mayoritas dan minoritas tidak selaras dengan semangat kekeluargaan.

30 Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, h. 314.

30

Selanjutnya pembagian demokrasi bisa pula dilihat dari sisi pelaksanaannya. Menurut Inu Kencana, pembagian itu terdiri dari dua model yaitu demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi tidak langsung (indirect democracy). Demokrasi langsung terjadi bila rakyat mewujudkan kedaulatannya pada suatu negara dilakukan secara langsung. Pada demokrasi langsung lembaga legislatif hanya berfungsi sebagai lembaga pengawas jalannya pemerintahan, sedangkan pemilihan lembaga eksekutif dilakukan rakyat secara langsung melalui pemilu. Begitu juga pemilihan anggota parlemen atau legislatif.

Demokrasi tidak langsung terjadi bila untuk mewujudkan kedaulatan rakyat tidak secara langsung berhadapan dengan pihak eksekutif, melainkan melalui lembaga perwakilan. Pada demokrasi tidak langsung lembaga parlemen dituntut kepekaan terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam hubungannya dengan pemerintah atau negara.31

31 Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), h. 122.

BAB III

BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID

Memahami gagasan dan pemikiran seorang tokoh, tidak akan tercapai tanpa mengetahui sosoknya terlebih dahulu secara lebih dekat. Karena bagaimanapun, faktor keluarga, kondisi sosial, pendidikan dan pergaulan merupakan hal terpenting untuk mengetahui munculnya gagasan dan pemikiran dari tokoh tersebut.

Maka untuk memenuhi dan melengkapi hal tersebut di atas, pada bab ini akan dibahas biografi singkat Gus Dur yang meliputi latar belakang keluarga, pendidikan, jabatan yang pernah disandangnya serta pola perjuangannya dalam konteks demokrasi di pentas politik nasional.

A. Pesantren: Dunia Pergumulan Intelektual

Abdurrahman Ad-dakhil Bin Wahid Hasyim Bin Hasyim Asy’ari,32 demikian nama lengkap dari Abdurrahman Wahid yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur, adalah sosok yang lahir dan berkembang dari suatu kombinasi personal yang tidak lazim, sebagian juga karena faktor-faktor lingkungan, setidaknya dari latar belakang keluargannya. Sosok yang pernah menjadi presiden RI ini lahir di Desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada 4

Agustus 1940. Ia adalah putra dari mantan Menteri Agama RI pertaman, KH.

Wahid Hasyim, dengan Ny. Hj. Solehah, dan merupakan titisan langsung dari para

32 Arsyil A’la Al Maududi (peny), Rakyat Indonesia Menggugat Gus Dur (Yogyakarta: Wihdah Press, 2000), h xi.

31

32

kyai besar di Jawa.33 Kakek dari ayahnya KH. Hasyim Asy’ari adalah ulama besar pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur dan pernah memangku jabatan Rais Akbar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Sementara itu, kakek dari pihak ibunya, KH. Bisri Syamsuri, juga pengasuh Pondok Pesantren di Denanyar, Jombang dan pernah memangku jabatan

Rais `Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Kedua kakek Abdurrahman Wahid inilah yang merupakan tokoh dan kiai cikal bakal pendiri organisasi keagamaan

Nahdlatul Ulama (NU), di samping KH. Abdul Wahab Hasbullah.34

Latar belakang keluarga yang demikian membuat ia secara genetik utamanya berasal dari tradisi pesantren dan merupakan keturunan darah biru.

Meminjam terminologi Clifford Geertz, Abdurrahman Wahid tergolong sebagai seorang santri dan priyai sekaligus dalam tipologi masyarakat Jawa. Dalam geneologi yang demikian, tidak diragukan lagi bahwa ia berada pada posisi inti dalam kosmologi dan emosi komunitas -meminjam istilah Gaffar Karim- masyarakat NU.35

Gus Dur lahir dan berkembang dalam tradisi pesantren dimana terdapat relasi yang cukup unik antara kyai dan santri. Menurut Zubaidi Habibullah A., siapapun yang pernah mengenyam pendidikan pesantren akan menemukan model hubungan feodal antara kiai dan santrinya. Dalam tradisi pesantren, santri akan merasa takut berhadapan dengan kiainya. Jangankan duduk dalam satu forum, berpapasan dengan kiainya lebih sering menghindar. Bahkan, santri mempunyai

33 Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), jilid V, h. 161. 34 A. Gaffar Karim, Metamorfosis Nahdlatul Ulama: Politisasi Islam Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 95. 35 Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004), h. 68.

33

ketaatan yang cukup kuat terhadap apapun yang dikatakan oleh kiai. Ketaatan ini kemudian sering disalahfahami oleh orang luar pesantren yang cenderung menganggapnya sebagai ketaatan yang negatif, Karena dianggap berlebihan dan fanatik. Meskipun sebenarnya ketaatan yang dipresentasikan oleh para santri terhadap kiai di pesantren tetap berpijak pada berbagai kajian-kajian kitab-kitab klasik (kitab kuning) yang banyak di baca dan dipahami oleh kalangan pesantren.

Artinya, ketaatan yang dipresentasikan oleh kalangan santri terhadap kiai bukanlah ketaatan buta, sebagaimana yang selama ini dipahami, tetapi sebuah ketaatan pada ‘otoritas keilmuan’.36

Demikian kuatnya posisi Abdurrahman Wahid di tengah keunikan tradisi pesantren tersebut, sesungguhnya tidak pernah membuatnya ‘terninabobokan’.

Berbagai bentuk pemikirannya justru menunjukkan indikasi yang kuat untuk melampaui sekat-sekat tradisi yang selama ini menjadi basis intelektualitasnya.37

Bahkan pemikirannya seringkali dianggap lebih modern daripada para pemikir yang selama ini dianggap atau menganggap sebagai pemikir modern. Tidak berlebihan bila Greg Barton memasukkan Abdurrahman Wahid sebagai salah satu pemikir neo-modernis di samping Nurcholish Madjid, Djohan Effendy dan

Ahmad Wahib.

36 Santoso, Teologi Politik Gus Dur, h. 69. 37 Dengan pengetahuan yang dimilikinya, ia telah menulis ratusan artikel di berbagai media masa, baik di Indonesia maupun luar negeri. Bunga Rampai Pesantren (1979) dan Muslim di Tengah Pergumulan (1981) adalah karya-karya yang menjadikan sosok Abdurrahman Wahid dikenal dengan keintelektualannya. Di samping yang telah disebutkan di atas, ada juga Islam, the State and Development in Indonesia (Islam, Negara dan Pembangunan di Indonesia) dan Ethical Dilemmas of Development in Asia (Dilema Etis Pembangunan di Asia) adalah salah satu karya ilmiah Abdurrahman Wahid dalam bahasa Inggris.

34

Sejak kecil Abdurrahman wahid sudah diberi pengetahuan dan pendalaman agama serta perasaan tanggung jawab terhadap Nahdlatul Ulama. Di ambang usianya yang masih sangat muda (12 tahun),38 perasaan tanggung jawab ini secara dramatis semakin menguat ketika harus menyaksikan kematian ayahnya dalam kecelakaan mobil.

Upaya pengenalan terhadap dunia luar atau sejumlah kelompok sosial sudah diterapkan oleh kedua orangtuanya baik sebelum maupun sesudah ayahnya meninggal, yaitu secara periodik Abdurrahman kecil dititipkan dalam asuhan seorang warga Jerman, teman baik ayahnya yang telah memeluk agama Islam.

Pada waktu itulah ia pertama kali diperkenalkan dengan musik klasik Eropa yang kemudian menjadi kegemarannya.

Setamat Sekolah Dasar di Jakarta tahun 1953, Abdurrahman Wahid melanjutkan pendidikannya pada Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta dan lulus tahun 1957, sambil sesekali belajar mengaji pada KH. Ali

Maksum di Krapyak, walaupun ia sendiri tinggal di rumah pemimpin modernis,

KH. Junaid, seorang ulama yang merupakan anggota Majelis Tarjih

Muhammadiyah.

Pendidikan keagamaan selanjutnya diasah di beberapa pondok pesantren

Nahdlatu ‘Ulama terkemuka, antara lain di pesantren Tegalrejo, Magelang dengan menyelesaikan waktu belajarnya kurang dari separuh waktu santri pada umumnya

(1957-1959). Dari tahun 1959 hingga 1963, ia belajar di Mu’allimat Bahrul

38 Angka ini diambil dari pengakuan Abdurrahman Wahid dalam Tabayun Gus Dur: Pribumisasi Islam Hak Minoritas Reformasi Kultural (Yogyakarta: LKiS, 1998), h. 152. Berbeda dengan yang dijelaskan oleh Greg Barton dalam Greg Barton dan Greg Fealy (ed), Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara (Yogyakarta: LKiS, 1997), h. 163, A. Gaffar Karim, dan beberapa tokoh lainnya menyebutkan angka 13.

35

‘Ulum, pesantren Tambakberas, Jombang, Jawa Timur kepada KH. Wahab

Hasbullah. Berikutnya ia kembali ke Yogyakarta untuk mondok di pesantren

Krapyak, dan tinggal di rumah pemimpin Nahdlatul ‘Ulama terkemuka KH. Ali

Ma’shum. Setelah itu, ia memperdalam ilmu-ilmu Islam dan sastra Arab di

Universitas al-Azhar, Kairo (Mesir), kemudian pindah ke Fakultas Sastra

Universitas Baghdad (Irak) antara tahun 1966 sampai 1970.39 Di Irak Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak pernah ia dapatkan di Mesir. Di sana ia merasa menemukan gairah intelektualnya kembali dengan menekuni buku- buku besar karya sarjana orientalis Barat. Di samping itu, hal yang menarik lagi adalah perpustakaan universitas yang penuh buku-buku mengenai Indonesia.

Setelah menyelesaikan studinya di Baghdad tahun 1970, Gus Dur berharap dapat mendaftar di salah satu perguruan tinggi di Eropa. Ia merancang perjalanan untuk melakukan penjajakan mengunjungi universitas Kohln, Heidelberg, Paris, dan Leiden. Di setiap tempat tersebut Gus Dur melakukan penjajakan, karenanya ia menjadi pelajar keliling, berjalan dari satu universitas ke universitas lain.

Akhirnya ia menetap di Belanda dan tinggal di sana selama enam bulan. Selama tinggal di Belanda, Gus Dur mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Organisasi ini sampai sekarang masih hidup.

Perjalanan panjangnya di luar negeri berakhir pada Juni 1971 ketika ia dipanggil pulang ke Jombang.

Pada tahun 1972, dengan bekal ijazah S1 dari Universitas Baghdad, ia diangkat menjadi seorang dosen merangkap sebagai Dekan pada Fakultas

39 Greg Barton dan Greg Fealy (ed), Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara (Yogyakarta: LKiS, 1997), h. 163.

36

Ushuluddin di Universitas Hasyim Asy’ari (Unhas) Jombang. Bersamaan dengan itu, untuk menguji intelektualitasnya dan mengembangkan pemikiran sosial politiknya, Gus Dur banyak menulis di berbagai media masa nasional.40

B. Dari Memimpin NU Hingga Menjadi Presiden RI

Bila melihat sepak terjang Gus Dur sekembalinya dari pengembaraanya menuntut ilmu di Timur Tengah dan Barat sampai dengan sekarang ini, rasanya tidak keliru kiai Wahid memberi nama Abdurrahman ad-Dakhil. Karena Gus Dur saat ini telah menjadi “penakluk”. Bukan saja karena geneologi pesantren yang dimilikinya, akan tetapi juga karena kedalaman ilmunya, sehingga mampu membaca situasi yang sedang berkembang.

Kedalaman keilmuannya itulah yang mendorong KH. Yusuf Hasyim, pamannya, agar Gus Dur bersedia membantu Pondok Pesantren Tebuireng, ini ia jalani hingga tahun 1980. selama periode itu secara teratur ia semakin terlibat dalam kepengurusan NU dengan menjabat Wakil Katib Awal Syuriyah PBNU.

Dari sini, ia mulai sering diundang diskusi-diskusi keagamaan dan kepesantrenan di berbagai tempat baik dalam maupun luar negeri. Gus Dur pun kemudian terlibat dan terjun di dunia LSM, menjadi tenaga pengajar pada program training-training, termasuk untuk tenaga Protestan.41

40 Dalam catatan Hairus Salim dan Nuruddin Amin, Gus Dur pertama kali muncul dalam pentas nasional pada awal 1970-an, tepatnya 1973, ketika salah satu tulisannya mengenai dunia pesantren muncul di media masa ibu kota berpengaruh (Kompas) pada 26 November 1973 yang berjudul “Pesantren dalam Kesusasteraan Indonesia”. Baca H. Fuad Anwar, Melawan Gus Dur (Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2004), h. 9. 41 Tim INCReS, Beyond the Symbol: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), h. 20.

37

Di kapal besar NU, melalui tawaran pemikirannya yang brilian tentang

“kembali ke khittah 1926” dengan meninggalkan gelanggang politik praktis, Gus

Dur pada tahun 1984 terpilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahlul hilli wal

`aqdi, yang diketuai KH. R. As’ad Syamsul Arifin, untuk menduduki jabatan

Ketua Umum PBNU dalam muktamar ke-27 NU di Pondok Pesantren Salafiyah,

Sukorejo, Situbondo.42

Terpilihnya Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU selama tiga periode bukan berarti perjalanan yang mulus tanpa hambatan. Sifat dan sikapnya yang kontroversial dan sering dinilai aneh tidak jarang membawa sikap kontra dari beberapa ulama atau kalangan dalam NU sendiri. Wacana khittah NU dengan keluar dari PPP yang dibawanya dan kalangan muda saat itu menjadikan rasa

“marah” bagi ulama-ulama lain terutama yang terlibat dalam partai politik di PPP seperti Idham Chalid, ketua tanfidziyah sebelumnya.

Pada masa kepemimpinannya, Gus Dur membawa NU dalam suasana dinamis, penuh nuansa wacana dan kritik. Kritik-kritik pedas yang dilontarkannya kepada pemerintah membawa dampak yang serius terhadap hubungan NU dengan pemerintah, imbasnya hasil muktamar NU tahun 1994 di Cipasung tidak

“direstui” pemerintahan Soeharto.43

Dalam upayanya menegakkan demokrasi di Indonesia, pada masa kepemimpinannya Gus Dur melakukan hegemoni terhadap pemerintahan Soeharto melalui dua pergerakan sekaligus. Pertama, dengan mendirikan Forum Demokrasi

(Fordem) pada dekade awal 90-an. Forum ini merupakan “markas” para cendekia

42 H. Fuad Anwar, Melawan Gus Dur (Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2004), h. 10. 43 Aris Saefulloh, Gus Dur vs Amien Rais: Dakwah Kultural-Struktural (Yogyakarta: Laelathinkers, 2003), h. 71.

38

dan aktifis pro-demokrasi, guna mengelaborasi, merumuskan berbagai ide dan kritik demokratis, terhadap penyimpangan dan penyelewengan negara. Sebagai forum urun rembug dan kritik discourse, Fordem tidak merasa melakukan makar, sebab kritisisme mereka masih terbatas pada pembentukan opini, belum menjelma gerakan subversif. Hanya saja, betapapun masih sebatas opini, Fordem yang merengkuh segenap elemen aktivis dari purnawirawan jendral, cendekiawan, seniman, aktivis, hingga artis, tsb sangat membuat “denyut” status quo kekuasaan berdetak kencang. Hasilnya, halal bi halal Fordem Mei 1992 di Taman Ismail

Marzuki, “dibredel” aparat, dengan alasan perizinan. Gus Dur-pun tidak jadi membacakan pernyataan Tumbuhkan Kembali Daya Kritis Masyarakat, sebab aparat keburu mencurigainya sebagai sebuah langkah awal propanganda politik. 44

Kedua, NU. Pada level ini, Gus Dur telah melakukan transformasi paradigmatis, dengan mengadopsi kritik “teologi pembebasan” terhadap gerakan

Neo-Marxis, yakni ketidakmampuan dalam melihat agama sebagai potensi pergerakan berbasis budaya. Merujuk pada Gueterez, 45 Gus Dur kemudian menjadikan basis primordialisme massa konon 30 juta, berjalinan dengan ketundukan religius baik kepada jam’iyyah, kyai, maupun Islam.

Di sinilah perlawanan Gus Dur-NU telah menciptakan posisi dilematis bagi

Soeharto. Satu sisi, Gus Dur dan NU dibutuhkan negara sebagai penyeimbang radikalisme Islam, sehingga negara kemudian membutuhkan kekuatan NU.

Namun, di sisi lain, pergerakan “kaum sarungan” ini terbukti sering membuat

44 Gus Dur dan Suksesi, Forum Keadilan No 02, 14 Mei 1992. 45 Abdurrahman Wahid, Jangan Paksakan Paradigma Luar terhadap Agama, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta : LKiS, 2000), h. 178-179.

39

“merah telinga” kekuasaan. Satu momen besar yang menjadi rujukan sejarah, adalah ketika sebagai Ketum PBNU, Gus Dur menggelar Rapat Akbar dalam rangka Harlah ke-68 NU, pada 1 Maret 1992.46 Terdapat sekitar 150.000 warga

Nahdliyyin memenuhi stadion utama Senayan Jakarta, dengan satu tujuan: menegaskan kembali kesetiaan NU terhadap Pancasila dan UUD 45 sebagai ideologi dan falsafah hidup bangsa.

Kenapa penegasan kesetiaan terhadap Pancasila dimunculkan kembali?

Bukankah hal tersebut sudah diselesaikan NU pada Muktamar ke-27 1984? Dalam kaitan inilah, Gus Dur menggunakan konsep hegemoni Gramsci guna melawan praktik hegemonik negara. Melalui penegasan kembali, kesetiaan Pancasila, Gus

Dur telah menciptakan war of positions dengan melakukan “perebutan simbolik” atas legitimasi Pancasila. Secara strategis, Gus Dur telah menghancurkan monopoli penafsiran negara atas “teks” Pancasila. Hasilnya, muncullah tafsir populis atas Pancasila dari NU guna mengkritik penyelewengan politik yang dilakukan negara atas Pancasila. Langkah inilah yang membuat Soeharto tidak berkutik, sebab Gus Dur dalam melakukan kritik, melandaskan diri pada kesetiaan dan nilai luhur Pancasila. Hal ini berbeda dengan nasib gerakan Islamis dan komunis yang dengan gampang dibrangus karena di cap anti-Pancasila.

Demikian juga pada tataran praktis, pernyataan setia terhadap Pancasila, merupakan penolakan secara halus atas “pemaksaan” Soeharto agar segenap ormas mendukung pencalonannya kembali sebagai presiden pada Pemilu 1992.

Muhammadiyah sudah melakukan dukungan tersebut. Sementara NU, merujuk

46 Douglas E. Ramage, “Pemahaman Abdurrahman Wahid tentang Pancasila dan Penerapannya”, dalam Ellyasa KH Dharwis, ed., Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil (Yogyakarta: LKiS, 1997), h. 101-124.

40

pada Khitttah 26, tetap berusaha membersihkan diri dari politisasi negara.

Penolakan terhadap pencalonan Soeharto juga disebabkan kritisisme atas praktik

“demokrasi seolah-olah” yang dilakukan negara. Gus Dur secara lantang menyebut situasi demokrasi Orde Baru hanya “seolah-olah”, sebab tatanan politik hanya dilandaskan pada manipulasi institusional dan prosedural (pemilu), tetapi kebudayaan demokratis semisal kebebasan berpendapat dan berserikat dibrangus secara “tenang tapi mencekam”.47

Itulah potret peran politik Gus Dur yang mengantarkannya pada tampuk kepresidenan ke-4 RI48 yang merupakan kesinambungan atas pergerakan civil society vis a vis Soeharto melalui momen reformasi yang meletus akibat “kudeta massa” mahasiswa pada mei 1998 dan merupakan titik kulminasi dari sekian rentetan perlawanan kultural yang dilakukan aktifis pro-demokrasi, termasuk Gus

Dur.

C. Perjuangan Kultural: Pemikiran dan Aksi Politik

Oleh karena suatu sistem erat kaitannya dengan budaya masyarakat, maka satu-satunya jalan menyelamatkan kualitas demokrasi adalah melalui perjuangan kultural. Yaitu perjuangan yang termanifestasi dalam gerakan moral yang mengarahkan masyarakat ke arah nilai yang sesuai dengan substansi dan tujuan

47 Abdurrahman Wahid, “Negeri ini Kaya dengan Calon Presiden,” Forum Keadilan, No II, 14 Mei 1992. Lihat juga wawancara Gatra, “Saya ini Makelar Akhirat: Abdurrahman Wahid, Tentang pemilu, Apel 2 Juta umat, dan Suksesi”, Maret 1992, wawancara Forum Keadilan No 8, Tahun II, 5 Agustus 1993, “Saya Menangisi Nasib Rakyat”. 48 Setelah sebelumnya MPR menolak laporan pertanggungjawaban Habibie -wakil presiden yang menggantikan Soeharto.

41

demokrasi. tentu semuanya harus beroperasi dalam bingkai kebangsaan dan kenegaraan sebagaimana termuat dalam Pancasila.

Perjuangan kultural berbeda dengan perjuangan politik yang bersifat struktural. Jika perjuangan struktural selalu dikaitkan dengan konsep, ide bahkan jabatan, dan akuisisi kekuasaan (acquisition of power) serta bagi-bagi kekuasaan, maka perjuangan kultural lebih kepada pemberdayaan politik yang menempatkan posisinya sebagai kekuatan kontrol atas proses demokratisasi yang datang dari kelompok civil society dan berperan dalam mencerdaskan dan memberdayakan masyarakat.

Perjuangan kultural yang dilakukan Gus Dur ini tampak menonjol ketika ia menjadi ketua umum PBNU49 dan aktif di berbagai LSM, dimana ia tampil sebagai seorang pemikir yang kerap memperjuangkan demokrasi. ia mengungkapkan pentingnya reformasi progresif yang tidak hanya dibutuhkan sesaat, namun istiqomah dan harus menjadi proses yang berjalan terus-menerus.50

Sebagai pimpinan NU, Gus Dur merupakan tokoh yang paling gigih memperjuangkan tumbuhnya keharmonisan hubungan antar-agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini terlihat misalnya pada pembelaannya atas penulis buku Satanic Verses: Salman Rushdie pada tahun 1987 serta penolakannya untuk menjadi bagian dari Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia

49 Salah satu upaya ril yang dilakukan dalam upaya peningkatan taraf hidup rakyat adalah membangun kerjasama antara NU dengan Bank Summa dalam pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) guna memberikan kredit usaha kecil dan menengah kepada masyarakat. Baca “Nahdlatul Ulama “Go Warga,” Tempo, 9 Juni 1990, h. 58. Pada awal 2006, terdapat 2300 BPR yang berperasi di seluruh Indonesia, namun jumlah itu menyusut hingga menjadi 2000 pada akhir 2006 dan terus berkurang tinggal 1767. BPR Nusumma adalah proyek ekonomi NU yang kurang berhasil, meskipun tidak gagal total. 50 Arif Saefulloh, Gus Dur vs Amien Rais: Dakwah Kultural-struktural (Yogyakarta: Laelathinkers, 2003), h. 136.

42

(ICMI). Hal ini dilakukannya dalam upaya menumbuhkan budaya demokrasi dari bawah. Baginya kebebasan berpendapat adalah sikap mempertahankan hak berbicara paling gila sekalipun. Mengenai penolakannya menjadi anggota ICMI, adalah dikarenakan kekhawatiran akan terjadinya eklusifitas agama tertentu – dalam hal ini Islam- atas agama lain. Karena hal tersebut hanya akan mengancam sendi utama kehidupan berbangsa, yang tidak harus kembali kepada pertarungan ideologi era Orde Lama, tetapi sudah harus berpikir untuk bekerja sama demi memenuhi kebutuhan utama masyarakat.

Sisi lain yang tidak kalah penting dikedepankan dalam konstelasi pemikiran dan aksi politik Gus Dur adalah pandangannya tentang nilai kemanusiaan. Pandangan ini telah menjadi titik tolak dalam menelusuri alur atau paradigma pemikirannya. Baginya, penghayatan atas nilai-nilai kemanusiaan merupakan inti ajaran agama. Tanpa nilai-nilai tersebut, dunia hanya dipenuhi oleh berbagai bentuk kekerasan dan konflik sosial. Penekanan pada pemahaman ini memberikan pendasaran bagi sikap humanisme yang hendak dibangun oleh

Gus Dur.

Humanisme dalam konteks ini adalah adanya penghargaan yang cukup tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang secara inhern melekat dalam diri manusia. Penghargaan ini berimplikasi pada diberikannya ruang yang ‘longgar’ atas kebebasan bertindak dan berpikir bagi setiap orang sesuai dengan kualitas nilai kemanusiaanya. Kondisi ini sangat lekat dalam aksi dam pikiran Gus Dur.

Pembelaanya terhadap Arswendo Atmowiloto dalam kasus heboh Monitor, dukungannya terhadap agama Kong Hu Cu agar dimasukkan sebagai agama resmi

43

yang diakui negara, pendirian Forum Demokrasi, pembelaanya terhadap Jamaah

Ahmadiyah adalah rentetan panjang penolakannya terhadap perlakuan tidak adil terhadap minoritas, yang menurutnya bertentangan dengan ajaran agama yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan.

Kecintaanya yang mendalam terhadap kemanusiaan membuat Gus Dur sangat terkenal dalam melakukan pembelaan terhadap berbagai bentuk penindasan dan kekerasan, atas nama apapun, terlebih atas nama agama. Ukuran (nilai) kemanusiaan ini baginya merupakan bentuk pengakuan atas mertabat kemanusiaan yang harus di junjung tinggi, kapanpun, di manapun bahkan oleh siapapun. Nilai kemanusiaan menjadi semacam common platform bagi bertemunya segala bentuk perbedaan yang melatarbelakanginya, baik suku, bahasa, ras maupun agama.51

Komitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan seolah menjadi komitmen yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Baginya, penegakan nilai kemanusiaan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran agama. Dalam salah satu tulisannya tampak mempunyai semangat yang besar untuk memberikan pemahaman baru tentang pentingnya penegakkan nilai kemanusiaan. Berbagai bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan justru banyak terjadi di negara-negara yang menganggap dirinya sebagai pejuang bagi hak asasi manusia

(HAM). Adanya peperangan yang melanda negara-negata di dunia ini adalah wujud dari meningkatnya kekerasan dalam setiap penyelesaian masalah. Kekrasan

51 Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004), h. 102-104.

44

–disadari atau tidak- adalah bagian dari upaya pereduksian HAM dalam tingkatan

apapun.52

52 Baca Abdurrahman Wahid, “Mencari Prespektif Baru dalam Penegak Hak-hak Asasi Manusia” dalam Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 2000), cet. ke-II, h. 85-97.

BAB IV

PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID

TENTANG DEMOKRASI

Setelah memahami beberapa teori demokrasi yang telah dijelaskan pada

BAB II dan mengenal lebih dekat sosok Abdurrahman Wahid (Gus Dur) baik latar belakang keluarga, pendidikan, jabatan yang pernah disandangya serta pola perjuangannya di pentas politik nasional sebagaimana dijelaskan pada BAB III, maka dalam bab ini akan dijelaskan secara lebih rinci pokok-pokok gagasan dan pemikirannya tentang demokrasi yang diharapkan dapat memberikan penjelasan secara komprehensif.

A. Pilar-pilar Demokrasi

1. Kedaulatan Hukum

Sebuah pemerintahan terbentuk melalui perjanjian yang mengikat antar seluruh warga negara tanpa kecuali demi terwujudnya keadilan, keamanan dan kesejahteraan seluruh warga negara. Perjanjian itu dilahirkan dalam bentuk yang kita kenal dengan konstitusi. Konstitusi berperan sebagai pedoman yang mengarahkan seluruh komponen bangsa guna mencapai cita-cita bersama. Dalam sebuah tulisannya Gus Dur menulis:

“Konstitusi pada hakekatnya mengatur tentang kekuasaan dan hubungan kekuasaan di dalam negara, memberi batas tegas pada wewenang kekuasaan negara, dan sekaligus meneguhkan hak-hak warganegaranya, berikut menjamin perlindungan baginya. Keberadaan konstitusi juga dimaksudkan untuk menjamin warganegara dari kemungkinan kesewenang-wenangan kekuasaan negara. Hal ini didasarkan pada

45

46

pemahaman bahwa pemegang kekuasaan memang bisa menyalahgunakan kekuasaan.”53

Dalam tulisannya yang lain, beliau mengatakan bahwa kedaulatan hukum merupakan hal terpenting yang perlu diperjuangkan seluruh komponen masyarakat tanpa terkecuali. Hal ini dimaksudkan agar kebutuhan minimal masyarakat yang berupa terpenuhinya kebutuhan pokok sehari-hari bagi “orang kecil”. Sebaliknya, bila kebutuhan minimal itupun tidak dapat dijamin, sudah tentu orang mencari “jalan pintas”: korupsi, manipulasi dan pelanggaran.54

Baginya, memahami hukum haruslah dilihat dari fungsinya, yakni untuk menciptakan rasa takut akan hukuman jika kejahatan dilakukan –fungsi psikologis yang berwatak preventif . Lex talionis, hukum berbalasan, bukanlah jiwa pelaksanaan hukum pada masa modern ini. Tidak seperti zaman pemerintahan imperial Romawi atau sistem hukum pra modern lainnya.55 Hal inilah yang merupakan dasar pemahaman Gus Dur tentang makna pentingnya kedaulatan hukum bagi tegaknya demokrasi di negeri kita.

Dalam berbagai tulisannya tentang pentingnya kedaulatan hukum, Gus

Dur mengajukan beberapa solusi alternatif untuk segera dilakukan dalam upaya mewujudkannya. Ia menulis,

“….Hanya tentu kita dengan yakin dapat mengatakan, bahwa termasuk dalam proses demokratisasi ialah usaha untuk menegakkan peradilan yang bebas (independent judiciary), juga berwenang mengadili gugatan pelanggaran hak konstitusi warganegara, dan menciptakan suatu instansi penguji kesesuaian peraturan perundang-undangan dengan konstitusi

53 Abdurrahman Wahid, Forum Demokrasi: Sebuah Pertanggungjawaban, sumber tak terlacak, h. 3-5. Lihat pula Syaiful Arif, Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif: Sebuah Biografi Intelektual (Depok: Kukusan, 2009), h. 270. 54 Baca, Abdurrahman Wahid, “Menunggu Setan Lewat,” Tempo, 10 Maret 1984. 55 Wahid, “Menunggu Setan Lewat,” Tempo, 10 Maret 1984.

47

(judicial review), apakah itu Mahkamah Agung atau suatu mahkamah konstitusi tersendiri.”56

Menarik di sini karena pada dekade 1990 tersebut, Gus Dur sudah meniscayakan urgensi suatu Mahkamah Konstitusi (MK). Satu hal yang kini terealisir, tetapi tetap dengan fungsi berbeda. Apa yang diharapkan Gus Dur adalah mahkamah konstitusi yang menjadi pembela rakyat dari penindasan konstitusional negara. Ini merupakan paradigma kritis atas kecenderungan proseduralisme demokrasi, yang sayangnya masih terjadi pada Mahkamah

Konstitusi kita saat ini.57

Artinya, wewenang MK yang terbatas pada pemberi fatwa atas perselisihan lembaga-lembaga tinggi negara, tentu tidak cukup memenuhi harapan

Gus Dur di atas. Bagaimanapun, wewenang tersebut tetap berkutat pada “negara untuk negara” (state qua state), bukan perlindungan konstitusional dari penindasan konstitusi. Hal ini memang dilematis, karena situasi politik saat itu, yakni totaliterisme Orde Baru, membuat Gus Dur perlu memikirkan alternatif sistem politik. Negara Orde Baru adalah negara Leviathan, yang merasa bertanggungjawab atas ketertiban politik, dan tentu juga moral, sehingga perlu untuk menancapkan cengkeraman politiknya, di segenap lini kehidupan.

Betapapun demikian, berdasarkan kutipan tulisan tersebut di atas, menurut penulis, Gus Dur mengajukan dua solusi konkrit untuk mewujudkan kedaulatan hukum, diantaranya:

56 Wahid, Forum Demokrasi. h. 2. 57 Chatibul Umam Wiranu, Filsafat Negara Gus Dur, (Naskah Buku, Maret 2009), h.3. Tulisan ini bisa pula di akses di http://www.khatibul-umam.com

48

1. Menegakkan peradilan yang bebas (independent judiciary)

Konstitusi menurut Gus Dur, berfungsi tidak hanya mengatur kekuasaan di dalam negara, lebih dari itu ia memberikan batas tegas pada wewenang kekuasaan negara di satu sisi, dan di sisi lain konstitusi meneguhkan hak-hak warganegaranya serta memberikan perlindungan baginya. Oleh karena itu, untuk menghindari segala tindakan inkonstitusional, baik melalui keputusan pejabat ataupun peraturan perundang-undangan perlu ditegakkan sebuah peradilan yang bebas.58

Argumen diatas pula diperkuat oleh pakar hukum tatanegara Prof. Dr.

Jimly Asshiddiqie, SH. Baginya, adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak

(idependent and impartial judiciary) ini mutlak harus ada dalam setiap negara hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik Karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislatif ataupun dari kalangan masyarakat dan media masa. Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali kepada kebenaran dan keadilan.

Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undang-

58 Abdurrahman Wahid, Forum Demokrasi: Sebuah Pertanggungjawaban, sumber tak terlacak, h. 3-5. Lihat pula Syaiful Arif, Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif: Sebuah Biografi Intelektual (Depok: Kukusan, 2009), h. 270.

49

undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.59

2. Adanya instansi yang melakukan kajian tentang kesesuaian peraturan

perundang-undangan dengan konstitusi (judicial review)

Instansi ini diharapkan akan menjamin terpenuhinya hak-hak warganegara sekaligus memberikan perlindungan kepada warganegara dari berbagai penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan negara. Lebih jauh beliau menjelaskan:

“Konstitusi pada hakekatnya mengatur tentang kekuasaan di dalam negara. Memberi batas tegas pada wewenang kekuasaan negara, dan sekaligus meneguhkan hak-hak warganegaranya, berikut perlindungan baginya. Kita ingin memberikan penekanan pada segi ini, yaitu bahwa konstitusi justru diadakan untuk menjamin warganegara dari kemungkinan kesewenang- wenangan kekuasaan negara. Ini didasarkan faham bahwa pemegang kekuasaan memang bisa menyalahgunakan kekuasaan. Cara mendekati seperti ini;- berlainan dengan kebiasaan yang melihat konstitusi sebagai sumber “pemberi kekuasaan pada negara”-, membuka kemungkinan untuk memahami bahwa kekuasaan negarapun bisa bertindak ‘inkonstitusional’, yaitu ketika ia bertindak melampaui batas kewenangan yang ditetapkan dalam konstitusi. Sehingga suatu pelanggaran atau pengingkaran hak-hak warganegara, bahkan sekedar penghambatannya oleh kekuasaan negara, baik melalui keputusan pejabat ataupun peraturan perundang-undangan sekalipun, tidak lain adalah perbuatan inkonstitusional.”60

Pentingnya Mahkamah Konstitusi (constitutional couts) ini adalah dalam upaya memperkuat sistem ‘cheks and balances’ antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja dipisah-pisahkan untuk menjamin atas demokrasi. misalnya, mahkamah ini diberi fungsi untuk melakukan pengujian atas konstitusionalitas undang-undang yang nerupakan produk lembaga legislatif, dan memutus

59 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., “Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer.” Simbur Cahaya No. 25 Tahun IX Mei 2004. Bisa pula diakses melalui www.fh.unsri.ac.id/old_version/CITANEGARAHUKUMINDONESIA.doc 60 Wahid, Forum Demokrasi: Sebuah Pertanggungjawaban. Sumber tak terlacak.

50

berkenaan dengan berbagai bentuk sengketa antar lembaga negara yang mencerminkan cabang-cabang kekuasaan negara yang di pisah-pisahkan.

Keberadaan mahkamah konstitusi ini di berbagai negara demokrasi dewasa ini dianggap penting dan karena itu dapat ditambahkan menjadi satu pilar baru bagi tegaknya negara hukum modern.61

Dengan uraian di atas menjadi jelaslah bahwa yang dimaksud dengan penegakkan hukum atau kedaulatan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegak hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang- undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di samping mengukuhkan dan menjamin hak warganegaranya dari segala bentuk ketidakadilan.

2. Penegakan Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.62

61 Asshiddiqie, SH., “Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer,” h. 3. 62 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1 tentang HAM.

51

Komitmen Gus Dur dalam upaya membangun demokrasi pada ranah penegakan Hak Asasi Manusia tidak diragukan lagi. Ini terbukti dari rentetan pembelaannya terhadap minoritas yang termarjinalkan baik oleh negara maupun oleh masyarakat sekalipun. Pembelaannya terhadap Arswendo Atmowiloto dalam kasus Monitor, dukungannya terhadap agama Kong Hu Cu agar dimasukkan sebagai agama resmi negara, pendirian Forum Demokrasi, pembelaannya terhadap

Inul Daratista, serta pembelaannya terhadap Jama’ah Ahmadiyah merupakan contoh nyata kepeduliannya terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Bagi Gus Dur, penghargaan yang tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan telah melekat dalam diri manusia sejak ia dilahirkan, hal ini berimplikasi pada diberikannya ruang yang longgar atas kebebasan bertindak dan berpikir bagi setiap orang sesuai dengan kualitas nilai kemanusiaannya.

Komitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan seolah menjadi komitmen yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Baginya, penegakan nilai kemanusiaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran agama. Tanpa nilai terebut, dunia hanya dipenuhi oleh berbagai bentuk kekerasan dan konflik sosial. Dalam salah satu tulisannya yang berjudul Mencari Prefektif Baru dalam

Penegakan Hak-hak Asasi Manusia, beliau tampak mempunyai semangat yang besar untuk memberikan pemahaman baru tentang pentingnya penegakan nilai kemanusiaan. Itulah sebabnya secara tegas ia menolak segala bentuk kekerasan, apapun dalihnya. Kekerasan, utamanya yang seringkali diakibatkan dalam ssetiap peperangan misalnya, merupakan pengingkaran atas HAM. Dengan lugas beliau menjelaskan:

52

“Hak-hak asasi manusia harus diwujudkan dalam kemampuan menghindarkan umat manusia secara keseluruhan dari kehancuran, dan dengan demikian usaha-usaha perdamaian melalui pelucutan senjata menjadi bagian pokok dari hak asasi manusia.”63

Kemudian dalam melihat hubungan antara Islam dan Pancasila sebagai dasar negara, beliau mendasarkan hubungannya pada hubungan simbiotik fungsional, dimana Pancasila dan Islam sama-sama memiliki konsep aplikatif tentang pengangkatan harkat dan martabat kemanusiaan. Ungkap beliau:

“Pancasila harus mengembangkan wawasan kehidupan yang demokratis, menganut faham perlakuan sama di muka undang-undang dan memperjuangkan keadilan. Demikian pula, pancasila harus mengembangkan watak kehidupan yang berorientasi pada pelaksanaan kedaulatan hukum secara tuntas, menghargai kebebasan berpendapat dan menjamin kebebasan berserikat. Inilah kunci yang dapat disumbangkan Islam kepada ideologi negara. Kunci ini diperoleh dari lima jaminan dasar yang diberikan oleh Islam kepada masyarakat; jaminan keselamatan fisik, keyakinan agama, kesucian keluarga, harta milik pribadi dan keselamatan profesi.”64

Pada tulisannya yang lain, Gus Dur menjelaskan secara panjang lebar tentang lima prinsip dasar yang diberikan Islam sebagai tolak ukur penegakan

Hak Asasi Manusia. Prinsip pertama, keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum. Prinsip ini mengandung arti bahwa pelaksanaan suatu pemerintahan harus berdasar aturan hukum yang menjamin perlakuan yang sama kepada setiap warga negara tanpa kecuali sesuai dengan hak-hak mereka dipandang perlu. Prinsip ini tidak disangsikan lagi sama dengan

63 Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LkiS, 2000), hal 78. 64 Abdurrahman Wahid, Islam, Ideologi dan Etos Nasional Indonesia, dalam Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam (Depok: Desantara, 2001), hal. 179.

53

deklarasi universal hak asasi manusia yang menilai keadilan, kesamaan dan demokrasi sebagai norma fundamental dalam kebijakan yang demokratis.65

Prinsip kedua, keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama. Dalam pandangan Gus Dur, kebebasan khusus ini bahkan melingkupi keyakinan karena Islam menghargai perbedaan agama dan tidak mengakui baik pemaksaan (coercion) ataupun keharusan (compulsion) dalam persoalan agama, termasuk konversi (conversion) keagamaan. Lebih jauh beliau mengatakan,

“Demikian juga, jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan antarwarga masyarakat atas dasar sikap saling menghormati, yang akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar”.66

Prinsip ketiga, keselamatan keluarga dan keturunan. Prinsip ini merupakan fondasi etis dan moral yang di atasnya menurut pandangan Islam, suatu masyarakat yang baik dapat diwujudkan. Hal itu karena dalam Islam kesucian keluarga merupakan dasar bagi kehidupan masyarakat dan oleh karenanya, sudah seharusnya keluarga dibebaskan dari manipulasi oleh pihak luar, baik dari masyarakat maupun negara. Menurutnya, di dalam keluargalah bahwa individu memulai mengeksplorasi kebebasannya untuk memilih dan mempertanyankan, termasuk kebebasan untuk mempertanyakan keyakinan agamanya. Keluargalah yang pertama kali memberikan kesempatan kepadanya untuk menentukan pilihan- pilihan yang akan mempengaruhi masa depannya. Akhirnya, keluargalah yang

65 Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan (Depok: Desantara, 2001), h. 180. Lihat Pula Muhammad A.S. Hikam, Islam, Demokrasi dan Pemberdayaan Civil Society (Jakarta: Erlangga, 2000), h. 29. 66 Wahid, Pergulatan Negara, h. 181.

54

mampu melestarikan keberadaan kohesi sosial dengan mengintegrasikan anggotanya ke dalam unit sosial yang lebih besar.67

Prinsip keempat, keselamatan harta benda dan milik pribadi diluar prosedur hukum. Prinsip ini sangat krusial dalam kaitannya dengan pembentukan masyarakat modern, modernisasi telah mengakibatkan diferensiasi peranan dan fungsi sebagaimana halnya proses individualisasi dalam masyarakat. Perlindungan hak-hak individu vis-à-vis sosial, secara bertahap, menjadi satu dari sekian banyak kebutuhan yang muncul dalam kehidupan modern. Suatu pembedaan yang tegas antara sisi publik dan privat diperlukan, sebab kalau tidak pelanggaran hak-hak individu atas nama kepentingan publik/umum akan terjadi. Salah satu solusinya adalah mengakui gagasan milik pribadi. Melalui hak inilah individu dapat menjalankan kebebasan pribadinya dan mengembangkan potensi dirinya sendiri.

Dan juga tindakan-tindakan itu masih berada di dalam batasan-batasan yang dibentuk oleh masyarakat yang lebih luas.

Prinsip kelima, berhubungan dengan prinsip yang keempat yakni keselamatan profesi. Hal ini menyiratkan bahwa dalam hal kebebasan individu,

Islam membuka pintu bagi individu anggota masyarakat untuk memilih pilihan yang dianggap relevan dengan kehidupan seseorang. Prinsip ini secara jelas menghargai hak seseorang untuk mencapai suatu tujuan sebagai suatu cara mengekspresikan diri.

Berdasarkan lima prinsip tersebut di atas, sangatlah jelas bahwa terdapat ruang bagi kaum muslim untuk bekerja sama dengan yang lain dalam

67 Hikam, Islam, Demokrasi dan Pemberdayaan Civil Society, h. 30.

55

mengembangkan hak asasi manusia, khususnya dalam bidang-bidang yang mereka dapat bersepakat. Dapat disimpulkan bahwa jika kaum muslim mampu mengembangkan program-program dan tindakan-tindakan berdasar prinsip- prinsip tersebut mereka akam mampu mengatasi problem yang amat menekan di bidang hak asasi manusia di sebagian besar negara-negara Islam.68

3. Peningkatan Kesejahteraan Rakyat

Jika demokrasi politik berlangsung di tengah kesenjangan ekonomi yang tajam antara yang kaya dengan yang miskin, maka (sebagaimana teori determinisme) yang kaya-lah yang menguasai demokrasi itu. Selanjutnya, demokrasi hanya dijadikan alat bagi kelas kaya untuk mempertahankan posisinya.

Kelas miskin hanya dijadikan obyek dalam proses politik, dan seringkali menjadi obyek penindasan kelas kaya terhadap kelas miskin. Maka prasyarat yang harus dipenuhi adalah terciptanya demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan69 baik konsepsi maupun aplikasinya. Demikian pandangan Gus Dur tentang demokrasi dalam kaitannya dengan kesejahteraan rakyat.

Sebagaimana diketahui, tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) adalah mewujudkan “kesejahteraan rakyat” atau dalam bahasa pembukaan UUD 1945 kata kesejahteraan tersebut dirumuskan dengan ungkapan

68 Hikam, Islam, Demokrasi dan Pemberdayaan Civil Society, h. 31. 69 Ekonomi kerakyatan (demokrai ekonomi) adalah suatu sistem ekonomi yang menjamin keterlibatan rakyat sebagai subyek yang mengendalikan jalannya roda ekonomi negara, atau suatu perekonomian yang menjamin dilakukannya “produksi oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau kepemilikan rakyat”. Disebut juga demokrasi ekonomi, karena sistem ini mengacu pada pasal 33 UUD 1945. Zaenal Ma’arif, “Ekonomi Kerakyatan di Tengah Arus Kapitalisme Global,” Artikel di akses pada 27 Oktober 2009 di //http.www.scribd.com/doc/19094274/Kwik- kian-gie.

56

lain, yaitu dengan istilah “masyarakat adil dan makmur”. Bagi Gus Dur, upaya ini memiliki persamaan dengan prinsip maslahah dalam Islam. Kaidah yang seringkali ia gunakan adalah tasharruf al-imâm ‘alâ arra’iyyah manûtun bi al- maslahah (kebijaksanaan dan tindakan Imam (pemimpin) harus terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin). Maka menjadi jelaslah bahwa upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat menjadi bagian integral perjuangan Islam.70

Dalam Islam, masalah kecukupan jelas ada aturannya, yaitu mencapai perolehan yang tinggi tanpa mencegah orang lain mencapai hal sama. Kesamaan hak ini perlu mendapat tekanan, karena dalam konsep kapitalisme klasik tidak pernah dipikirkan tentang gairah mencapai hal yang maksimal, namun senantiasa manusia lain menjadi korban.71 Bila dalam kenyataanya kemudian manusia tidak bernasib sama, maka negara berkewajiban menyediakan kompensasi bagi warga negara yang “kalah” dalam bentuk kecukupan minimal.72

Dalam pandangan Gus Dur, hal pertama yang harus dilakukan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat adalah perubahan orientasi ekonomi kita yang tadinya terlalu melayani kepentingan orang-orang kaya, atas kerugian orang- orang miskin. Perubahan orientasi ekonomi itu terletak pada dua bidang utama, yaitu pertolongan kepada UKM, Usaha Kecil dan Menengah yang dijalankan

70 Dalam hal ini Gus Dur tidak sepakat dengan gagasan ekonomi Islam yang terlalu memfokuskan pada aspek-aspek normatif, dan kurang mempedulikan aplikasinya dalam praktek, yang justru diperlukan bagi implementasi nilai-nilai tersebut di masyarakat. Fokus kajian ekonomi Islam menurutnya lebih banyak diarahkan pada persoalan sekitar bunga bank, asuransi dan sejenisnya. Baca M. Syafi’i Anwar, “Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Membingkai Pemikiran Politik KH. Abdurrahman Wahid,” dalam pengantar Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara, Demokasi (Jakarta: the Wahid Institute, 2006), h. xxvi. 71 Ayat yang dikutip Gus Dur dalam menjelaskan hal ini adalah QS. Surat at-Takasur [120]: Ayat 1-2. 72 Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi (Jakarta: the Wahid Institute, 2006), h. 172.

57

dengan pemberian kredit yang berbunga sangat rendah sebagai modal pembentukan UKM tersebut serta upaya mengatasi kemiskinan. Kedua langkah ini harus disertai pengawasan yang ketat, disamping liku-liku birokrasi, yang memang merupakan hambatan tersendiri bagi upaya memberikan kredit murah untuk menolong UKM. Padahal saat ini, apapun yang dilakukan untuk menolong keduanya, selalu menghadapi hambatan.73

Perubahan orientasi ekonomi itu berarti juga perubahan tekanan dalam ekonomi kita. Jika sebelumnya penekanan pada bidang ekspor, yang hasilnya dalam bentuk pajak- sangat sedikit kembali ke kas pemerintah, karena begitu banyak keringanan untuk kalangan eksportir. Maka, selanjutnya justru harus diutamakan perluasan pasaran di dalam negeri secara besar-besaran.

Untuk itu, tiga hal sangat diperlukan, yaitu: pertama, peningkatan pendapatan masyarakat guna menciptakan kemampuan daya beli yang besar.

Kedua, pengerahan industri guna menghidupkan kembali penyediaan barang untuk pasaran dalam negeri. Ketiga, independensi ekonomi dari yang sebelumnya tergantung kepada tata niaga internasional.74

Pada tulisan yang lain, Gus Dur mengakui keterbatasannya dalam memahami sebuah perekonomian, namun demikian ia memahami dua hal yang menurutnya merupakan hal yang fundamental, yakni pertama, ekonomi adalah pemenuhan kebutuhan manusia, dan ia memiliki mekanisme sendiri. Selebihnya, haruslah dirumuskan oleh para ahli ekonomi, dan mereka harus mempertimbangkan kaitan sebuah perekonomian dengan hal-hal lain dalam

73 Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. 207 74 Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. 162

58

kehidupan seperti, politik, hukum, teknologi, pasar, agama dan lain-lain. Dengan kata lain, kebijakan ekonomi (economic policy) tidak pernah sepenuhnya dapat diterapkan, sehingga harus selalu diingat keterkaitan ekonomi dengan hal-hal lain dalam kehidupan sebuah negara. Kedua, sebuah perekonomian tidak pernah terlepas dari perdagangan atau transaksi, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional, dengan demikian tidak pernah ada tempat untuk memisahkan perekonomian kita sendiri dari perekonomian global.

Oleh karenanya, globalisasi ekonomi merupakan suatu hal yang niscaya selagi menghilangkan sifat eksploitatif perusahaan-perusahaan besar atas perekonomian negara berkembang. Dengan pendekatan non-eksploitatif semacam itu, tidak dibenarkan adanya perkembangan pasar tanpa campur tangan pemerintah, minimal untuk terjadinya eksploitasi itu sendiri.75

4. Penghargaan terhadap Pluralitas

Pemikiran tentang pluralisme sejalan dengan spirit demokrasi, bahkan makin memperkokoh. Keduanya tidak bertentangan, bahkan saling menguatkan.

Namun ancaman kegagalan sebagai sebuah bangsa majemuk akan muncul tatkala ada perilaku berbagai kelompok yang mendiskreditkan kelompok minoritas agama, etnik, ras dan golongan.

Untuk memahami peranan dominan Gus Dur di ranah pluralisme, tiga faktor dominan dapat dipergunakan menakar peranannya, mengapa ia begitu tegar mempromosikan pluralisme di Indonesia. Pertama, keyakinannya pada nilai-nilai

75 Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. 188-190.

59

universal dalam Islam yang menjamin hak-hak semua warga negara. Hal ini beliau jelaskan:

“Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting, yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Rangkaian ajaran yang meliputi berbagai bidang, seperti hukum agama (fiqh), keimanan (tauhid), etika (akhlak, seringkali disempitkan oleh masyarakat hingga menjadi hanya kesusilaan belaka), dan sikap hidup, menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan (al-insaniyyah). Prinsip-prinsip seperti persamaan derajat di muka hukum, perlindungan warga masyarakat dari kelaliman dan kesewenang-wenangan, penjagaan hak-hak mereka yang lemah dan menderita kekurangan dan pembatasan atas wewenang para pemegang kekuasaan, semuanya jelas menunjukkan kepedulian di atas.”

Kedua, menjunjung tinggi nilai kosmopolitan, bahwa semua individu dan kelompok dalam sebuah negara memiliki 'tempatnya' sendiri, dan paksaan kelompok mayoritas adalah sebuah malapetaka bagi pluralisme dan demokrasi.

Dalam kaitan ini, terma kosmopolitan ini Gus Dur kaitkan dengan universalime

Islam, sehingga keduanya menjadi satu kesatuan: aplikasi dari ajaran Islam yang universal tidak akan terjadi tanpa watak terbuka terhadap peradaban lain yang membuat Islam bersikap kosmopolitan. Watak terbuka ini memiliki sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, dan terciptanya heterogenitas politik. Dengan lugas beliau menjelaskan:

“Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai atau berada pada titik optimal manakala tercapai kesimbangan antara kecendrungan normatif kaum muslimin dan kebebasan berfikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non- muslim).”76

76 Abdurrahma Wahid, Universalime Islam dan Komopolitanisme Peradaban Islam dalam Pergulatan Negara, agama dan Kebudayaan (Desantara: Depok, 2000), hal. 186.

60

Ketiga, meyakini dan mengakui akan adanya perbedaan dengan tulus, merupakan faktor yang membuatnya memiliki integritas lintas etnik, agama, ras dan golongan. Harus diakui, berdirinya negara Indonesia ini, adalah disebabkan oleh adanya kesadaran berbangsa daripada faktor ideologi Islam, dan inilah kenyataan yang harus diterima secara obyektif. Karena itulah dia berpendapat bahwa ajaran Islam lebih baik ditempatkan sebagai komponen yang membentuk dan mengisi kehidupan bermasyarakat warga negara kita.

Jadi jelaslah, masalah pluralisme adalah masalah bagaimana kaum Muslim

(sebagai mayoritas) mengadaptasikan diri mereka dengan realitas dunia modern.

Hal ini pasti akan melibatkan masalah-masalah bagaimana mereka memandang dan menilai sejarah Islam, dan bagaimana mereka melihat dan menilai perubahan dan keharusan membawa masuk nilai-nilai Islam yang normatif dan universal ke dalam dialog dengan realitas ruang dan waktu.

5. Pemberdayaan Masyarakat Sipil

Keberadaan sebuah civil society dalam masyarakat modern tentu tak lepas dari hadirnya komponen-komponen struktural dan kultural yang inhern di dalamnya. Komponen pertama termasuk terbentuknya negara yang berdaulat, berkembangnya ekonomi pasar, tersedianya ruang publik yang bebas, tumbuh dan berkembangnya kelas menengah serta keberadaan organisasi-organisasi dalam masyarakat. Pada saat yang sama, civil society akan berkembang dan menjadi kuat apabila komponen-komponen kultural yang menjadi landasannya juga kuat.

Komponen tersebut adalah pengakuan terhadap HAM dan perlindungan

61

atasnya, khusunya hak berbicara dan berorganisasi, sikap toleran antar individu dan kelompok dalam masyarakat, adanya tingkat kepercayaan publik yang tinggi terhadap pranata-pranata sosial dan politik, serta kuatnya komitmen terhadap kemandirian pribadi dan kelompok.

Dalam merealisasikan gagasannya tentang urgensi pemberdayaan masyarakat sipil, ia kemudian mendirikan Forum Demokrasi (Fordem).77 Forum ini diharapkan dapat menjadi counter balancing (kekuatan penyeimbang) atas dominasi negara. Hal ini beliau jelaskan:

“Perhatian dan kepentingan para peserta dan pendukung Forum Demokrasi adalah keutuhan bangsa Indonesia, yang ingin selalu dijaga, sambil tetap bergerak dalam proses menuju masyarakat yang lebih dewasa dan lebih maju. Disadari, bahwa ternyata perikehidupan kebangsaan yang utuh itu hanya bisa tercapai dan tumbuh dalam suasana yang demokratis. Atau sebaliknya, suasana tidak adanya demokrasi, suasana kurang kebebasan, justru akan menjadi sumber tumbuhnya sikap-sikap curiga-mencurigai, sikap mementingkan golongan atau kelompok sendiri, dan sikap meninggalkan norma-norma dan acuan umum untuk kemudian menggunakan nilai masing-masing dalam mengukur segalanya.”78

Tidak sampai disitu, Gus Dur masih “membumikan” pemikiran ideal demokrasinya kedalam gerakan civil society melalui NU dan aktivitas kecendikiawanannya. Hingga akhirnya menjadi fase bagi Gus Dur untuk

“membelokkan” strategi gerakannya kepada politik praktis dengan mendirikan

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dilahirkan dari rahim NU.

Banyak yang mempertanyakan pilihan Gus Dur ini, terlebih dari kalangan anak muda yang telah menjelma gerbong intelektualisme baru NU pasca Khittah

26. Kebingungan tersebut muncul karena Gus Dur selama menjabat PBNU selalu

77 Forum ini didirikan pada 16-17 Maret 1991 di Desa Cibeurum, Bogor. 78 Abdurrahman Wahid, Forum Demokrasi, Sebuah Pertanggugjawaban. Sumber tak terlacak. Hal 1.

62

menggelorakan gerakan unpolitical politics79 (berpolitik tanpa politik), yakni gerakan kultural sebagai oposisi bagi politik praktis80. Manifesto Khittah 26 merupakan usahanya untuk mengembalikan NU kepada jalur civil society yang sebelumnya telah dibelokkan oleh kaum politisi NU.

Pilihan Gus Dur untuk terjun dipolitik praktis memang merupakan langkah kontradiktif. Sebab paradigma antara aktivis pergerakan dengan politisi jelas berbeda dan cenderung berseberangan. Memang keduanya sama-sama praksis.

Jika merunut pada gerak pembaruan Dunia Ketiga, maka Gus Dur sebagai aktivis atau intelektual organik, telah melakukan kerja transformative yang tidak berhenti pada “pembaruan wacana” (layaknya intelektual liberal murni) akan tetapi melanjutkannya kepada kerja praksis yang masuk dalam kantong-kantong kebudayaan masyarakat awam.

Sementara kerja politisi, jika merujuk pada konsep politik konvensional seperti batasan klasik oleh Lasswell (1958) yang mendefinisikan politik sebagai

“siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana”, atau jika meminjam istilah yang diselalu dipakai Gus Dur sendiri untuk mendefinisikan politik, yakni politic is the art of possibility (politik adalah seni kemungkinan), maka praktik politik adalah bagaimana membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, sehingga tolok ukurnya bukan idealitas tetapi kemungkinan dari realitas. Di sinilah kemudian “permainan” menjadi rule of the game, apalagi jika melihat budaya politik Indonesia yang dikuasai oleh paradigma Machiavellian yakni struggle to

79 Ulil Abshar-Abdalla, Partai, Civic Education dan Wilayah “Netral Politik”, Tashwirul Afkar, Edisi No 4/1999, hal. 51 80 Term inilah yang kini sudah tidak berlaku lagi, sebab pasca lengsernya Soeharto, Gus Dur menjadi politisi lewat PKB, apalagi pasca lengser kepresidenan, Gus Dur terlihat total masuk dalam politik praktis.

63

power (perebutan kekuasaan), maka kerja politisi jelas kontradiktif dengan idealisme pergerakan kaum aktivis yang berangkat dari ideal untuk ideal.

Jadi, peran politik yang mengantarkan Gus Dur pada tampuk kepresidenan ke-4 RI, merupakan kesinambungan atas pergerakan civil society vis a vis

Soeharto. Artinya, moment Reformasi yang meletus akibat “kudeta massa” mahasiswa pada Mei 1998, merupakan titik kulminasi dari sekian rentetan

“perlawanan kultural” yang dilakukan para aktivis pro-demokrasi, termasuk Gus

Dur.

B. Islam dan demokrasi

Pemikiran demokrasi Gus Dur juga mengalami pergulatan dengan diskursus

Islam. Ini terjadi karena Gus Dur seorang intelektual muslim, dan pernah memimpin jam’iyyah Islam terbesar, yakni NU. Posisi inilah yang membuat pemikiran demokrasinya, mau tidak mau harus bersinggungan dengan dua kutub pemikiran Islam, apakah menolak demokrasi, ataukah menerimanya.

Seperti kita ketahui bersama, Gus Dur tidak konsen pada perdebatan teoritis tentang demokrasi. Kenapa? Karena yang terpenting dalam demokrasi ialah menggerakkannya. Perdebatan teoritis akan cenderung melupakan satu fakta, bahwa demokrasi, melebihi pro-kontra, terlebih harus diwujudkan pada tataran kehidupan. Pemikiran seperti ini bisa dipahami, karena setting pemikirannya yang berada di bawah cengkeraman otoritarianisme negara. Jadi segenap pertanyaan apakah demokrasi yang merupakan produk Barat cocok dengan dunia Timur?

Atau apakah demokrasi yang menganut kedaulatan rakyat searah dengan

64

kedaulatan Tuhan dalam Islam? Segenap pertanyaan tersebut musti dijawab, tetapi jangan sampai melupakan kebutuhan mendasar, yakni mewujudkan politik demokratis, vis a vis keangkuhan kekuasaan.

Dari sini kita menjadi faham, kenapa Gus Dur menolak negara Islam.

Bukannya beliau tidak setuju dengan konsepsi tersebut, tetapi cita negara Islam di negeri ini bersifat diskontekstual, karena dalam real politics, persoalan sebenarnya adalah pergulatan antara kepentingan negara yang hendak menundukkan ideologi

Islam. Artinya, perdebatan teoritis seputar Islam versus negara-bangsa, tidak relevan karena yang terjadi lebih kepada pergulatan politik antara rezim negara yang selalu memanfaatkan agama.

Di sini kita mafhum bahwa Gus Dur merupakan salah satu pioneer dari penerima konsep dan bentuk negara-bangsa, yang secara otomatis menolak penyatuan antara agama dan negara. Tentu pada terma ini, Gus Dur bisa dimasukkan kedalam gerbong sekularisasi, bersama dengan Nurcholis Madjid

(Cak Nur). Hanya saja, konsep sekularisasi yang mensyaratkan disfungsionalisasi otoritas agama, karena telah diganti dengan otoritas administratif sekular, sebenarnya tidak cukup mampu menggambarkan detail perbedaan di dalam konsep pemisahan agama-negara.

Hal ini berangkat dari satu postulat, bahwa terma sekularisasi lebih mengedepankan aspek “tujuan ideologis” di mana para konseptor negara-bangsa memiliki tujuan ideologis yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan paradigma keagamaan ideologis. Maka tak bisa dihalangi, Islam sebagai cita-cita politik harus dipinggirkan, agar cita-cita masyarakat sekular bisa terwujud. Sejauh

65

pembacaan terhadap pemikiran Gus Dur, terma sekularisasi semacam ini menurut penulis tidak relevan ketika disematkan kepada pemikiran Gus Dur. Hal ini dikarenakan perumusan sistem negara berdasarkan agama ternyata tidak betul- betul relevan bagi kebutuhan akan pemenuhan hak-hak bernegara dari masyarakat. Hal ini dilandaskan Gus Dur pada berbagai kondisi dan syarat faktual bagi berfungsinya sistem negara yang betul-betul mampu memenuhi kesejahteraan rakyat. Tuturnya:

“Dengan melihat unsur-unsur yang diperlukan bagi sebuah upaya rekonstruksi teori kenegaraan dari sudut pandangan kontemporer saat ini, tampak bahwa lahan bagi upaya rekonstruksi serupa dari sudut pandangan Islam, tidak begitu menguntungkan. Solidaritas massa, bila digerakkan oleh semangat keagamaan, saat ini cenderung menjadi momok bagi pengembangan pluralitas budaya yang diperlukan bagi komunikasi eksternal kaum muslimin sendiri. Kesenjangan budaya (cultural lag) yang diderita oleh elit keagamaan ummat Islam, baik para ulama, cendekiawan maupun tokoh organisasi massa, cenderung untuk menolak setiap pemecahan masalah dalam kerangka sikap inklusivistik. Demikian juga, kehidupan spiritual kaum muslimin, yang sangat tipis kadar kontemplasinya karena didorong oleh kebutuhan pencarian ‘pemecahan praktis’ (hulul ‘amaliyah, implementable solutions), sangat sedikit memberikan peluang untuk kiprah pemikiran yang berwawasan sangat jauh.”81

Dari paparan ini jelas terlihat bahwa ketidaksetujuan Gus Dur terhadap teori kenegaraan Islam, serta usaha rekonstruksi atasnya, bukan semata disebabkan oleh sistem Islam itu sendiri, tetapi sebuah fakta historis yang memperlihatkan bahwa gelora pengislaman negara, ternyata hanya memasukkan Islam ke dalam

81 Abdurrahman Wahid, Masih Relevankah Teori Kenegaraan Islam? Tinjauan Kontemporer Atas Prinsip-Prinsip Rekonstruksinya, makalah pada Diskusi Konsep Negara Islam, FH-UII, Yogyakarta, 7 Februari 1988, h., 4

66

fanatisme ideologis, yang tentunya tidak berperan sebagai agama an sich.82 Bagi

Gus Dur, fanatisme ini telah melahirkan dua sikap yang sama-sama

“membahayakan” Islam sebagai agama. Di satu sisi, Islam telah dijadikan alternatif ideologis berupa doktrin politik: Islam sebagai solusi, yang tentunya menyimpan potensi konflik dengan “solusi lain” yang ditempatkan sebagai

“jahiliyah modern”. Alih-alih menciptakan maslahat, gelora serba alternatif ini pasti akan menggeret massa ke dalam pertarungan ideologis, sering dengan ceceran darah sesama muslim.

Di sisi lain, Islam kemudian hanya dijadikan suplemen bagi proyek pemerintah non-Islam yang melahirkan satu politisasi agama, bisa melalui praktik birokratisasi, atau bahkan pemanfaatan suara untuk melegitimasi kebijakan pemerintah. Kedua posisi ini tentu menjadi penodaan bagi konsep Islam sendiri, yang sebenarnya penuh dengan cita-cita tentang keadilan serta kesejahteraan masyarakat.

Fakta inilah yang membuat Gus Dur, apatis dengan usaha rekonstruksi teori kenegaraan Islam, dikarenakan berbagai problem kontemporer yang tidak akan bisa diselesaikan hanya oleh batasan konseptual dari perpolitikan agama. Berbagai problem tersebut merujuk pada bagaimana pelembagaan institusi pemerintah dibentuk: apakah menganut sistem sentralisasi ataukah desentralisasi? Jenis hukum formal yang mana, yang akan ditetapkan sebagai sistem hukum nasional, mengingat terdapatnya potensi meniadakan konsep “hukum lain”, demi kemapanan satu konsep hukum tertentu? Masyarakat seperti apa yang akan

82 Abdulkadir Kurdi, The Islamic State, New York: Mansell Publishing Limited, 1984, h., 41-45

67

dibangun: masyarakat tertutup yang menghambat proses distribusi kekuasaan, ataukah masyarakat terbuka? Hingga model kebudayaan seperti apa yang akan dituju, apakah kebudayaan monolitik yang tidak menenggang perbedaan, atau sebuah perhargaan atas dinamika pluralitas? Berbagai problem real yang terdapat baik dalam struktur kenegaraan, maupun kultur masyarakat inilah yang membuat rumus teori negara Islam menjadi irrelevant, sebab Gus Dur melihat pengatasnamaan agama dalam politik, tiada bedanya dengan segregasi ideologis berbagai isme yang menjadikan kekuasaan ideologinya sebagai tujuan utama pendirian negara, bukannya realisasi keadilan sosial.

Pada titik ini Gus Dur kemudian merumuskan berbagai prinsip kenegaraan modern, yang tidak harus terkait dengan teori sistem kenegaraan tertentu, termasuk sistem Islami. Prinsip tersebut antara lain; (1) sistem pemerintahan yang secara universal memberikan kedudukan sama di muka hukum, tanpa melihat asal-usul agama, etnis, bahasa, budaya, maupun keyakinan politiknya. (2) sistem perwakilan berdasarkan ketentuan satu-orang-satu-suara (one man one vote), yang akan menjamin kedaulatan rakyat yang tidak akan tertandingi sistem perwakilan terbatas manapun, (3) hukum nasional yang berlaku untuk semua warganegara, yang diramu dari unsur-unsur hukum agama, disamping sumber lain, sedangkan materi hukum agama yang tidak masuk dalam kodifikasi hukum formal (undang- uandang) berfungsi sebagai etik masyarakat (menjadi fiqh atau hukum agama

Islam), (4) jaminan penuh akan kebebasan berpendapat, berserikat dan menguasai hak milik, (5) pembagian kewenangan legislatif, eksekutif, yudikatif, dimana tidak ada satu pihak mencampuri otoritas pihak lain, (6) jaminan untuk

68

mengembangkan keyakinan agama serta menyebarkan ajaran spiritualitas tanpa ada pembatasan, selama tidak menjurus kriminalitas, (7) jaminan akan kebebasan melakukan kegiatan ilmiah, perlindungan hukum atas karya-karya ilmiah, dari tindakan sepihak oleh semua otoritas, termasuk otoritas agama, diluar saluran pengadilan.83

Pada ranah praksis, hal inilah yang membuat Gus Dur, sebagai Ketua

Umum PBNU saat itu, menerima azas tunggal Pancasila, sebagai azas organisasi masyarakat, karena di samping hal tersebut merupakan keberpihakan dari ormas- ormas untuk mencoba keluar dari kepentingan sektarian, menuju pada kepentingan nasional,84 juga dikarenakan oleh keyakinan bahwa Pancasila tidak akan mengganti posisi Islam sebagai aqidah. Keyakinan tersebut berangkat dari satu positioning Islam dalam kehidupan bangsa, yang oleh Gus Dur ditempatkan pada, pertama, sebagai etika sosial, di mana Islam mampu mengarahkan dan membentuk moralitas publik, dan kedua melalui penerapan hukum Islam secara partikular di dalam struktur hukum nasional, salah satunya melalui Departemen

Agama, meskipun lembaga ini ternyata terjebak dalam birokratisasi dan tidak mampu melakukan pengaturan konflik internal gerakan Islam, sehingga mengalami kegagapan ketika harus berhadapan dengan dilema Islam dan modernitas.

Penerimaan Gus Dur atas nama NU memang bersifat historis. Kesejarahan tersebut menemu ruang dalam penerimaan NU atas bentuk negara-bangsa, yang

83 Lihat Wahid, Masih Relevankah Teori Kenegaraan Islam, h., 5 84 Abdurrahman Wahid, Peranan Organisasi Kemasyarakatan dalam Pembangunan Politik: sebuah Telaah Awal, dalam Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam, Arifin Junaidi (penyunting), Edisi terbatas, 1991, h., 57

69

mengindikasikan “selesainya” perdebatan pada level struktur kenegaraan untuk kemudian lebih mengembangkan perdebatan pada wilayah aplikasi dari eksistensi kenegaraan demi kesejahteraan rakyat.

Dimulai sejak Muktamar tahun 1935 di Banjarmasin, NU sudah membuktikan watak moderasinya melalui pemberian status wilayah Hindia-

Belanda sebagai dar al-Islam (negeri muslim) meskipun struktur negara yang ada adalah negara kolonial-sekular. Penerimaan ini berangkat dari argumentasi, bahwa negara menjamin kebebasan umat muslim dalam melakukan praktik ibadah, disamping argumen historis yang menggambarkan kesejarahan kerajaan-kerajaan

Islam Nusantara, yang hingga kini masih memberikan bekas kultural dalam tradisi keagamaan dan kekuasaan muslim Nusantara. Konsekuensi dari penerimaan ini adalah, wajibnya umat muslim untuk mempertahankan wilayah tersebut dari penjajahan, sehingga sejak saat itu, perlawanan terhadap kolonialisme selalu mengemuka, baik yang dilatarbelakangi oleh berbagai kebijakan anti-Islam dari pemerintah Belanda, maupun fatwa Resolusi Jihad Kyai Hasyim Asy’ari, untuk mempertahankan kemerdekaan pada Oktober 1945.

Dari momen sejarah ini, maka tanggapan Islam atas bangunan negara- bangsa, menemu pada dua ruang. Pertama, Islam mensyaratkan kebebasan bagi kaum muslim untuk melaksanakan ajaran agama, sebagai conditio sine qua non bagi penerimaan Islam atas eksistensi negara tersebut. Kedua, Islam membiarkan hal-hal yang berhubungan dengan bentuk negara, sistem pemerintahan, orientasi warga negara dan ideologi politik, ditentukan oleh proses sejarah. Dengan demikian, pola yang berkembang adalah wawasan kebangsaan yang dijalin

70

dengan orientasi cukup kuat, sehingga keduanya tidak saling menolak, tetapi saling mendukung dalam batas dan ruang yang ditentukan secara proporsional.

C. Analisis Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Demokrasi

Secara faktual, latar belakang yang melingkupi pemikiran dan gerakan politik Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah otoritarianisme pemerintahan Orde

Baru. Sebuah pemerintahan yang menjadikan institusi demokrasi sebagai pemberangus hakikat demokrasi. Artinya, institusi dan prosedur yang semestinya ditempatkan sebagai mekanisme demokratis ternyata menjadi tujuan di dalam dirinya sendiri. Dari realitas politik inilah gagasan demokrasi Gus Dur lahir.

Dengan menjadikan demokrasi institusional sebagai kritik dengan istilah yang ia lontarkan sebagai “demokrasi seolah-olah”, Gus Dur kemudian menambatkan solusi praksisnya pada dua ranah sekaligus, struktural dan kultural.

Pada ranah struktural, Gus Dur menggagas pentingnya kedaulatan hukum yang diwujudkan dengan upaya menegakkan peradilan yang bebas dan menggagas lahirnya Mahkamah Konsitusi, penegakan Hak Asasi Manusia dan peningkatan kesejahteraan rakyat melalui pemberdayaan ekonomi rakyat. Ketiga hal ini diharapkan akan mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi selluruh rakyat Indonesia.

Pada ranah kultural, Gus Dur menggagas pentingnya penghargaan terhadap pluralitas sebagai wujud penghargaan terhadap keragaman budaya, bahasa serta agama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pemberdayaan masyarakat sipil yang pada akhirnya diharapkan akan mampu

71

melakukan mekanisme kontrol terhadap kekuasaan sebagai mekanisme demokrasi.

Dari penolakan terhadap paham institusionalisme dalam demokrasi, Gus

Dur kemudian menekankan pada aspek infrastruktur demokrasi, yakni budaya keadaban (civic culture) yang menopang terjadinya demokratisasi, baik oleh negara kepada rakyat maupun sebaliknya. Konsep Gus Dur ini mengarah pada definisi demokrasi sebagai apa yang dipikirkan masyarakat tentang demokrasi itu sendiri. Artinya, segala kelembagaan demokrasi seperti parlemen, pemerintah ekskutif, hukum, dan pers, tidak akan mampu dan bahkan bisa menjadi musuh dari demokrasi, ketika demokrasi belum mampu merasuk dalam relung budaya masyarakat.

Landasan seperti inilah yang membuat Gus Dur Concern terhadap pemberdayaan civil society dalam tubuh besar jama’ah Nahdlatul Ulama (NU).

Gus Dur menjadikan NU sebagai eksperimentasi penciptaan “kantong-kantong” masyarakat sipil, seperti penciptaan lembaga-lembaga ala NGO di NU, penguatan tradisi lokal masyarakat, serta penumbuhan gelombang intelektualisme anak muda

NU. Organisasi ini kemudian menjelma menjadi kekuatan civil society yang berhadapan vis a vis negara.

Gus Dur selalu menjadikan Pancasila sebagai point of view dalam semua aksi dan pemikirannya, baik ketika berhadapan dengan monopoli idiologi oleh negara, maupun dengan ideiologisasi Islam kaum skriptualis. Ketika negara menciptakan hegemoni ideologi dengan menciptakan azas tunggal Pancasila, Gus

Dur kemudian “merebut” Pancasila dari rezim Orde Baru yang telah melakukan

72

monopoli dengan memberagus ideologi selain Pancasila, serta menciptakan penafsiran sepihak dan memaksakannya melalui represifitas birokrasi dan militer.

Ketika Orba mengharamkan Marxisme-Leninisme hidup di Indonesia, demikian juga dengan Islam ideologis, lewat penggantian azas Islam Partai Persatuan

Pembangunan (PPP) dengan Pancasila, Gus Dur menggunakan pengakuan pluralisme dari Pancasila untuk menghantam balik totalisme Pancasila a la

Soeharto.

Memang, sepribumi apapun demokrasi Gus dur, ia tetap menggunakan parameter asli demokrasi (liberal), yakni konstitusi. Azas negara yang merupakan landasan konstitusional demokrasi modern tersebut, digunakannya sebagai bumerang untuk mengkritik manipulasi demokrasi yang dilakukan pemerintah.

Hal ini juga terlihat dalam praktik kenegaraanya ketika menjabat Presiden RI ke-

4. Ia berulang kali menggunakan konstitusi sebagai argument penyeimbang bagi serangan-serangan lawan politiknya. Bahkan Dekrit Presiden kontroversial yang dideklarasikan untuk membekukan parlemen menjelang kejatuhannya, merupakan kekokohannya memegang prinsip konstitusi.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Praktik demokrasi yang telah berlangsung beberapa dekade di Tanah Air ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia, khususnya kalangan Muslim, telah melakukan ‘uji coba’ untuk mewujudkan demokrasi. Perjalanan dan perkembangan demokrasi di Indonesia berlangsung fluktuatif. Kadang sesuai dengan jalur demokrasi yang sebenarnya, dan kadang pula menyimpang dari jalan demokrasi yang sesungguhnya. Namun yang jelas, Indonesia telah berusaha mengalami dan merasakan ‘pahit-manis’ nikmatnya berdemokrasi. Dalam wacana demokrasi, nama Abdurrahman Wahid merupakan salah satu tokoh yang ikut mewarnai wacana demokrasi di Indonesia.

Dari seluruh pembacaan Abdurrahman Wahid terhadap konsep demokrasi, baginya tidaklah penting bagaimana demokrasi tersebut didefinisikan, tapi sebaliknya, bagaimana demokrasi itu bisa berjalan. Konsep kedaulatan hukum, penegakan Hak Asasi Manusia, Peningkatan kesejahteraan rakyat, pentingnya pemahaman tentang pluralitas serta pemberdayaan masyarakat sipil baginya merupakan elemen-elemen terpenting yang harus terpenuhi dalam mewujudkan pemerintahan demokratis. Dalam konteks ini pula, agama (Islam) tidak harus dijadikan sebagai tujuan perjuangan politik secara formal, tetapi lebih diarahkan kepada prilaku sosial yang menjunjung tinggi nilai keadilan, persamaan dan demokrasi sebagaimana terebut diatas. Hal ini dikarenakan untuk menemukan

73

74

format perjuangan seluruh elemen negara dan masyarakat bangsa secara bersama- sama guna mencapai cita-cita bersama sebagaimana tertulis dalam Undang- undang Dasar 1945.

Akhirnya, merujuk kepada Abdurrahman Wahid bukan berarti mengikuti segenap pikiran dan tindakannya, tapi hanya mendukung referensi pemikiran yang diwakili olehnya yaitu: kebangsaan, sekularisasi, demokrasi, dan transformasi sosial. Keberpihakan kepada Abdurrahman Wahid adalah keberpihakan pada level sistem pemikirannya dan bukan pada level aksi dan kebijakannya sebagai aplikasi terhadap sistem tersebut. Kita berpihak pada gagasannya tentang negara kebangsaan, dan bukan negara Islam atau model negara “Piagam Jakarta”, di mana ia sering mengutip ajaran Soekarno dan Renan tentang makna berbangsa.

Kita juga berpihak pada Abdurrahman Wahid ketika berbicara tentang desentralisasi dan minimalisasi peran negara menjadi “negara pengurus dan fasilitator”, bukan negara penguasa seperti di masa Orde Baru. Maka, kita mendukung kebijakannya membubarkan Departemen Penerangan, Departemen

Sosial, dan Kementrian Pemuda dan Olahraga. Tapi kita perlu menentang beberapa kebijakannya yang bertentangan dengan sistem pemikiran yang diwakilinya. Misalnya mempertahankan keberadaan Departemen Agama, dan

Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan. Soalnya urusan agama dan perempuan adalah urusan masyarakat, dan bukan urusan negara. Padahal dulu kalangan NU dikenal gencar mengkritik keberadaan Departemen Agama yang dinilai diskriminatif terhadap agama diluar Islam dan bahkan menindas agama- agama lokal. Tapi, karena sekarang yang malah menggarap Departemen Agama

75

adalah orang-orang NU, maka suara-suara pembubaran yang pernah dilontarkannya pun jadi terlupakan.

B. Saran

Dari pembacaan atas gagasan dan pemikiran Gus Dur, secara kritis, tampak ada beberapa pertanyaan yang layak diajukan padanya. Pertama, dalam banyak hal, beliau masih menyisakan berbagai bentuk penjelasan yang belum tuntas. Berbagai tulisannya tidak lebih dari sekedar kumpulan perenungan yang bersifat kasuistik dan hanya dituliskan dalam empat sampai delapan halaman. Hal ini meskipun di satu sisi merupakan kelebihannya dalam pembacaan atas realitas yang terjadi, namun di sisi lain persoalan kenegaraan dan kebangsaan merupakan contoh kasus yang bersifat mendasar dan oleh karenanya perlu dilakukan pembahasan yang panjang dan menyeluruh. Oleh karena itu masih diperlukan kajian akademik atas pemikiran Gus Dur agar dapat ditindaklanjuti kebenarannya serta merumuskannya kembali secara lebih sistematis dan komprehensif.

Kedua, bila melihat kekukuhan Gus Dur “menjadi negara” untuk yang kedua kalinya menurut penulis sangatlah dilematis. Ini dikarenakan ia telah terjebak dalam pluralisme politik. Satu kondisi paska otoritarianisme yang memposisikan negara secara bebas nilai, di mana ia hanya ruang terbuka untuk menampung dan oleh karenanya menyediakan diri untuk diperebutkan berbagai kepentingan. Hal ini berakibat pada pergeseran pola perjuangan, dari kultural menuju struktural partai politik yang tentunya diarahkan untuk menguasai atau setidaknya menghadapi negara. Maka sebagai konsekuensinya, ia akan kehilangan

76

basis kulturalnya. Satu hal yang tidak sepenuhnya bisa disediakan partai politik karena memang infrastrukturnya berbeda. tetapi untuk membuktikan kebenarannya, perlu penelitian lebih lanjut.

Ketiga, ketika kita bermufakat untuk menjadikan pancasila sebagai dasar negara kita, maka keragaman bangsa Indonesia menjadi penting untuk dipertimbangkan dalam upaya memahami teks-teks keagamaan agar senantiasa mampu merespon tuntutan sejarah. Oleh karena itu, reinterpetasi atau pemahaman kembali terhadap teks-teks keagamaan diperlukan untuk selalu menjaga relevansi teks tersebut dengan realitas sosial yang terus berubah. Hal inilah yang perlu menjadi perhatian kita bersama, baik saat ini maupun di masa yang akan datang.

77

DAFTAR PUSTAKA

A. Dahl, Robert. Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol. Jakarta: Rajawali Press, 1985. − − − − −. Demokrasi dan Para Pengeritiknya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992. A’la Al Maududi, Arsyil. Rakyat Indonesia Menggugat Gus Dur. Yogyakarta: Wihdah Press, 2000. Abdillah, Maskuri. Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999. Affandi, Arif. Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Al Zastrauw Ng. Gus Dur Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan Gus Dur. Jakarta: Erlangga, 1999. Anwar, Fuad. Melawan Gus Dur. Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2004. Arif, Syaiful. Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif: Sebuah Biografi Intelektual. Depok Kukusan, 2009. AS. Hikam, Muhammad. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES, 1996. − − − − −. Islam, Demokrasi dan Pemberdayaan Civil Society. Jakarta: Erlangga, 2000. Asshiddiqie SH., Jimly. “Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer.” Simbur Cahaya No. 25, Mei 2004. Barton, Greg dan Greg Fealy, ed. Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara. Yogyakarta: LKiS, 1997. Budiarjo, Miriam, ed. Masalah Kenegaraan. Jakarta: Gramedia, 1982. − − − − −. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998. Djamaluddin Malik, Dedi dan Idi Subandy Ibrahim. Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholis Madjid, Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998. Huntington, Samuel, P.. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: Pustaka Grafiti Utama, 1995. Ida, Laode dan A. Thantowi Jauhari. Gus Dur diantara Keberhasilan dan Kenestapaan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.

78

Kamil, Sukron, MA. Islam & Demokrasi: Telaah Kondeptual & Historis. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002. Karim, A. Gaffar. Metamorfosis Nahdlatul Ulama: Politisasi Islam Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995. K. H. Dharwis, ed. Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: LKiS, 1997. Ma’arif, Zaenal. “Ekonomi Kerakyatan di Tengah Arus Kapitalisme Global,” Artikel di akses pada 27 Oktober 2009 di //http.www.scribd.com/doc/19094274/Kwik-kian-gie. Madjid, Nurcholish. “Membangun Rumah bagi Demokrasi Indonesia.” Madani Edisi I, Maret 1999. − − − − −. “Transisi ke demokrasi.” dalam Fatsoen Tekad No. 16/th. I, 15-21 Februari 1999. Masdar, Umaruddin. Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1999. Noor, Irfan. “Jaringan Pondok Pesantren Se-kalimantan Selatan: Sebuah Usaha Menegakkan Pilar Masyarakat Sipil,” artikel diakses pada 10 September 2009 di //http:www.scribd.com/doc/7850893/Pesantren-Dan-Masyarakat- Sipil Rais, Amien. Demokrasi dan Proses Politik. Jakarta: LP3ES, 1986. Saefullah, Aris. Gus Dur vs Amien Rais: Dakwah Kultural-Struktural. Yogyakarta: Laelathinkers, 2003. Saefulloh Fattah, Eep. Pengkhianatan Demokrasi a la Orde Baru: Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional. Bandung: Rosdakarya, 2000. Santoso, Listiyono. Teologi Politik Gus Dur. Yogyakarta: AR-RUZZ, 2004. Siner Key Timu, Cris. “Selesaikan Pelanggaran Berat HAM.” Artikel diakses pada 11 Juli 2009 dari http://www.dephumkam.go.id./NR/rdonlyres/9AF30E4B-81FD-4F9F- 97CE-5D9E6273602D/0/selesaikanpelanggaranham.pdf Suaedy, Ahmad dan Ulil Abshar Abdala. Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LKiS, 2000. Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004. Thaha, Idris. Demokrasi Religius: Pemikiaran Politik Nurcholish Madjid dan Amien Rais. Jakarta: Teraju, 2005. Tim ICCE UIN Jakarta. Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000.

79

Tim INCReS. Beyond the Symbol: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000. Tim Penyusun Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996. Uhlin, Andres. Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia. Bandung: Mizan, 1998. Wahid, Abdurrahman. Membangun Demokrasi. Bandung: Rosdakarya, 1999. − − − − −. Tabayun Gus Dur: Pribumisasi Islam Hak Minoritas Reformasi Kultural. Yogyakarta: LKiS, 1998. − − − − −. Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta, LKiS, 2000. − − − − −. Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan. Depok, Desantara, 2001. − − − − −. Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: LKiS, 1999. − − − − −. Islamku, Islam anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara, Demokasi.Jakarta: the Wahid Institute, 2006. − − − − −. “Negeri Ini Kaya dengan Calon Presiden.” Forum Keadilan No. II 14 Mei 1992. − − − − −. “Menunggu Setan Lewat.” Tempo, 10 Maret 1984. Waluyo, Endri. “Abdurrahman Wahid: Telaah Atas Ide Neo-modernisme.” Artikel diakses pada 15 Oktober 2009 dari http://katakanhanyasatu.blogspot.com.

Wiranu, Chatibul Umam. Filsafat Negara Gus Dur. Naskah Buku, Maret 2009.

MAJALAH/KORAN Tempo, 10 Maret 1984, 9 Juni 1990. Forum Keadilan, No. II, Mei 1992. Kompas, Kamis, 4 April 1991.

Filsafat Negara Gus Dur Teori dan Praksis Kenegaraan KH Abdurrahman Wahid

Daftar Isi Pendahuluan I. Pemikiran Politik Gus Dur - Rahim pemikiran - Panggung politik II. Kritik Demokrasi Institusional III. Pemikiran Politik Islam Gus Dur IV. Gus Dur dan Negara Islam V. Gus Dur dan Syari’at Islam - Kepentingan negara - Syari’at Gus Dur VI. Gus Dur dan Kultur Demokratis - Pribumisasi demokrasi - Demokrasi Gus Dur VII. Dekonstruksi Negara Gus Dur Penutup Daftar Pustaka

1 Pendahuluan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melebihi apapun adalah seorang negarawan. Beliau boleh saja disebut sebagai cendekiawan muslim, budayawan, politisi. Namun segenap modal budaya tersebut Ia gerakkan untuk menjaga titik keseimbangan negara-bangsa. Apalagi segenap perjuangan saat Orde Baru telah terbayar melalui Kepresidenan ke-4 RI, di mana beliau mampu mewujudkan eksperimentasi kenegaraannya, yang lahir dari keprihatinan atas otoritarianisme politik Orde Baru.

Meskipun umur kepresidenanya tak lama. Tetapi kita tetap bisa menemukan garis merah konsepsional dari segenap kebijakan politik yang konon sering kontroversial. Dalam hal ini, studi tentang filsafat negara Gus Dur menjadi titik muara, karena ia tidak hanya merujuk pada domain politik, tetapi terlebih budaya. Dalam discourse negara, pemikiran Gus Dur bisa diletakkan secara menyeluruh, sebab sejak Orde Baru hingga sekarang, titik bidik Gus Dur adalah negara, tepatnya oposisi terhadap negara, bahkan ketika ia “menjelma negara”. Sayangnya, ketiadaan perumusan sistemik, serta pengangkatan Gus Dur pada level politik budaya, akan meniadakan gerak dan watak Gus Dur yang sejak awal sudah political. Politik dalam arti keberpihakan, politik dalam arti pengarahan praktik politik oleh sebuah pemikiran.

Hal ini nyata, sebab jauh sebelum Gus Dur menjadi presiden, Ketua PBNU, dan oposisi utama Soeharto, ia terlebih adalah cendekiawan sosial yang merumuskan kritik budaya dalam jurnal Prisma (LP3ES). Gus Dur sejak awal kedatangan ke Indonesia pasca studi di Baghdad adalah sosok sadar ideologi. Hal ini menjadi nyata, selayak kerja awal yang merujuk pada kritik atas pola pembangunan Orde Baru yang hanya mengacu pada pemercepatan ekonomi, minus pemerataan kesejahteraan.

Studi ini juga hendak menekankan proses transformasi hubungan antara negara dan masyarakat pasca Reformasi 1998. Fokusnya melingkup pada era pemerintahan Gus Dur, di mana pada lanskap politik, arus transisi tengah menjelma radikalisme demokrasi, sementara pada level tindakan politik mencerminkan dekonstruksi fundamental atas pemusatan negara terhadap masyarakat. Sebagai studi era transisi, kajian ini hendak mempermasalahkan, apakah berbagai komponen politik dan budaya pada saat itu, telah mampu menyediakan ruang bagi konsolidasi demokrasi? Dan sejarahpun menjawab, orde Gus Dur terjungkal oleh konspirasi partai, yang lahir dari legislative heavy. Apa yang dilihat para peneliti sebagai bentuk demokrasi pasca-otoritarianisme sungguh tak terlihat dengan jelas. Apakah era itu memang hanya menyediakan gerak transisional, kembali ke status quo, demokrasi hibrida, atau unconsolidated democracy?

Satu hal yang pasti, bahwa pemerintahan Gus Dur adalah pemerintahan dekonstruktif. Satu gerak politik, dimana Gus Dur bahkan bukan seorang politikus yang memobilisir kekuatan dan legitimasi politik demi stabilitas kuasanya. Yang terjadi, Gus Dur tetap seorang Ketua Pokja Forum Demokrasi, yang merealisasikan gagasan anarkis tentang minimalisasi peran negara demi kuatnya masyarakat sipil. Gus Dur telah “mengecilkan tubuh negara” yang selama dua

2 rezim otoritarian Orde Lama dan Orde Baru, menggelembung kemana-mana, melampaui batas konstitusi, menyesak-desakkan keringat kecut dan muka penuh amarah di ruang publik, tempat segenap kekuatan masyarakat terkebiri. Apa yang diperjuangkan Gus Dur adalah suatu cita-cita utopis tentang menguatnya masyarakat, yang mensyaratkan debirokratisasi dan demiliterisasi. Ini yang esensial dan akhirnya menjadi bumerang, sebab saat itu, bahkan hingga sekarang, kondisi struktural dan kultural tidak mengizinkan.

Memang berbagai kebijakan tersebut bahkan menjadi bumerang bagi pemerintahan Gus Dur, karena disatu sisi menciptakan destabilisasi politik, karena berjuta rakyat pegawai negeri yang harus menganggur sebab bubarnya beberapa departemen. Sementara disisi lain, para politisi partai memanfaatkan kebijakan dekonstruktif itu untuk menurunkan popularitas presiden. Satu hal yang kemudian bisa dinikmati hingga sekarang adalah buyarnya dwi-fungsi ABRI, sehingga militer semaksimal mungkin bisa dikembalikan ke baraknya. Hal yang berbeda dengan peniadaan batasan hanya lima agama, yang sayangnya dihapus oleh kepemimpinan Megawati sehingga sekarang diksriminasi agama tetap terjadi.

Hanya yang patut diangkat, dan menjadi concern kajian ini adalah, segenap lanskap pemikiran Gus Dur pada tataran abstraksi ideal, mengenai hubungan terbaik antara negara dan masyarakat. Ini yang menjadi arah gerakannya sejak era Orde Baru, dan hingga sekarang tetap menjelma problem tak terselesaikan. Pertanyaan yang muncul adalah, kenapa Gus Dur anti terhadap birokratisasi budaya yang seharusnya menjadi hak milik masyarakat? Apakah memang posisi negara yang begitu hegemonik, patut diamini sebagai keniscayaan evolusi masyarakat modern, sehingga potensi kemandirian “memerintah” dari masyarakat sendiri terbungkam? Berhakkah negara, pada tataran real melakukan pembunuhan atas manusia demi stabilitas politik? Berhakkah negara mengobok-obok kebebasan beragama dan berpikir, melalui otoritarianisme otoritas pengetahuan, entah melalui korpus KUHP ataupun lembaga MUI? Dimanakah posisi kajian hubungan negara dan masyarakat dalam studi dan proses demokrasi, sehingga seakan hal ini menghilang dalam arus reformasi pasca Leviathanisme negara?

Hal sama juga terjadi pada pertanyaan, kenapa Gus Dur menolak negara Islam? Apakah dengan demikian Ia tidak memiliki kehendak untuk memperjuangkan terbentuknya masyarakat berdasar nilai-nilai Islam? Tanya ini urgen sebab sikap keberislaman Gus Dur tentu mewakili sikap NU, dan mayoritas Islam di negeri ini. Pandangan Gus Dur mengenai hubungan antara Islam dan negara menjadi penting, sebab hingga saat ini, ada saja pihak yang hendak mempermasalahkanya dalam suatu perjuangan ideologis. Dalam kaitan ini, sikap Gus Dur sebagai gerbong tradisionalisme Islam tentu berbeda dengan pihak yang sama menolak negara Islam. Bagaimanapun Gus Dur dan NU bukanlah penganut sekularisasi. Sebagai agama hukum (religion of law), masyarakat sarungan ini memiliki kaidah pemikiran metodologis (qawa’idul manhajiyah) yang berangkat dari logika ushul fiqh. Ini yang menjadikan kaum nahdliyin tidak bisa melepaskan pendekatan dan pandangan agama dalam setiap keputusan politiknya.

3 Berbagai tanda tanya inilah yang hendak dicarikan jawabannya, dalam pemikiran Gus Dur, baik pada level intelektualisme, maupun praksis Kepresidenan ke-4 RI. Pada lanskap makro, tulisan ini juga hendak mencari jawab, kenapa transisi era Gus Dur bisa berakhir dengan hegemoni politisi partai dalam legislative heavy sehingga berbagai agenda besar perubahan politik yang tengah Gus Dur gerakkan, kandas ditengah jalan.

4 Penutup

Sisi positif dari pemikiran negara Gus Dur adalah wataknya yang anti totalitarianisme. Watak ini tetap menempatkan negara sebagai media capaian politik di mana kesejahteraan rakyat menemu prioritas. Hal ini yang membuat negara bukan untuk negara sendiri. Ia hanya menjadi alat bagi tujuan politik, yakni pensejahteraan masyarakat.

Dari posisi ini, negara kemudian dibatasi ke(se)wenangannya. Ini lahir dari kesadaran, bahwa sebagai alat politik, negara telah memiliki nyawa sendiri yang cenderung otoriter dan koruptif. Definisi negara modern yang menempatkan keabsahan penggunaan kekerasan menjadi bukti, bahwa melalui otoritas sentralnya, negara tetap berpotensi melaksanakan kejahatan. Kesadaran ini yang melingkupi Gus Dur, bukan hanya karena Ia lahir dalam pergulatan politik otoritarianisme Orde Baru. Melampaui hal itu, kecurigaan Gus Dur merupakan warisan kultural dari domain sub-kultur pesantren. Sebagai sub-kultur, masyarakat santri sudah terbiasa bermasyarakat tanpa negara.

Ini terjadi karena internal sistem sosialnya merujuk pada otoritas budaya, sehingga ia independen dari otoritas politik milik negara. Dari otonomi sub-kultur ini, masyarakat santri kemudian cenderung anti-birokrasi. Satu hal yang menjadi elemen utama hukum besi oligarki, yang membuat negara totaliter. Keprihatinan Gus Dur terletak di sini, yakni dalam domain birokratisasi kehidupan yang telah menjauhkan cita pengaturan publik (public regulation) dari empati kemanusiaan. Oleh birokrasi, manusia menjadi mesin minus perasaan, dan sebagai kaum tradisi yang biasa hidup bebas secara kultural, Gus Dur tentu alergi dengan hal ini.

Dari birokratisasi, kritik Gus Dur tertuju pada kekerasan negara. Satu kekerasan yang digerakkan atas nama konstitusi. Menariknya, meskipun Gus Dur mengritik dan berhasrat untuk “mengecilkan tubuh” negara, tapi mantan Presiden ke-4 RI ini, tetap menjadikan konstitusi untuk melawan negara. Inilah perlawanan simbolis itu, di mana Gus Dur telah melakukan de-monolitisisme tafsir atas konstitusi. Tentu ini merupakan gerakan filosofis, karena Gus Dur telah membongkar keterjebakan institusionalisme politik, dan mengembalikan segenap

1 lembaga politik tersebut kepada cita filosofisnya. Artinya, apa yang saat ini disebut sebagai konstitusi, ternyata lebih menjelma pelencengan: ide filosofis tentang kedaulatan rakyat, telah dikebiri oleh lembaga politik yang didirikan untuk mewujudkan cita tersebut.

Gerak konstitusional Gus Dur ini wajar, sebab cara berpikir Sunni yang merujuk pada kaidah metodologis (qawa’id al-manhajiyah) dari rasionalitas hukum Islam. Model berpikir inilah yang mampu menempatkan Pancasila sebagai “bangunan rumah”, sementara Islam sebagai “rumah tangga” kaum muslim. Dari sini mafhum kenapa Gus Dur tetap berpegang pada konstitusi dan UUD 45, karena sejak awal, masyarakat Sunni adalah masyarakat yang mendasarkan pembentukan pola kemasyarakatan pada supremasi hukum. Satu hal yang telah dilakukannya, melalui penempatan hukum Islam, sebagai sub-sistem hukum nasional. Pola pemikiran seperti inilah yang akhirnya membuat Gus Dur tidak menjadikan hukum Islam sebagai alternatif dari konstitusi negara, melainkan sebagai suplemen: penyempurna tata politik, di mana syari’at mampu melakukan kritik atas penyimpangan sosial yang sering menempatkan negara sebagai faktor utama.

Memang saat ini Gus Dur tengah berusaha untuk mengarahkan gerak negara melalui prosedur demokrasi: partai. Kita bisa memahami langkah ini sebagai penggarapan tugas yang belum selesai, karena kepresidenan beliau yang terkudeta secara konstitusional. Hingga saat ini, Ketua Umum Dewan Syura Partai Kebangkitan Bangsa ini tetap berkehendak untuk mengembalikan arah dari pembangunan nasional, yang menurutnya tidak mengacu pada pemerataan social, tetapi hanya mengerucut pada kepentingan segelintir elite. Satu hal yang memang membutuhkan negara untuk mengarahkannya. Namun bahkan dalam titik inilah muncul kontradiksi. Hal ini terjadi pada perbedaan antara kritik demokrasi institusionalnya yang meniscayakan posisi “luar negara”, dengan keterlibatannya dalam partai yang cenderung prosedural. Hanya memang, sebagai pihak yang berpijak pada undang-undang, maka Gus Durpun mendasari keterlibatan dalam prosedur demokrasi ini, karena hanya partailah yang secara sah menjadi alat partisipasi politik.

2

3