Simbolisme Religius dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari

M. Imam Sofwan Yahya Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Susastra, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas . Penerima Program Beasiswa Unggulan Kemdikbud 2011 Pos-el: [email protected]

Abstrak: Tulisan ini adalah analisis sastra pada novel Kubah karya Ahmad Tohari dengan menggunakan teori semiotik Charles Sanders Pierce. Analisis ini membahas aspek-aspek religius yang disimbolkan melalui tokoh dan latar. Hasil penelitian menunjukan bahwa tokoh Karman, Haji Bakir, dan Kastaghetek melambangkan sisi kemanusiaan dalam meraih kemuliaan individual dan sosial sedangkan Pegaten adalah nama desa yang menjadi simbol kearifan dan kesalehan komunal; bersaudara, ramah, tenggang rasa, dan tidak mengenal dendam kesumat. Kubah yang menjadi unsur tertinggi pada bangunan masjid merupakan simbol ekstase religius manusia dalam interaksi vertikal dan horisontal. Kata kunci: Semiotik, Charles Sanders Pierce, Ahmad Tohari, sufisme, religius .

Abstract: This article is a literary analysis on the novel Kubah by Ahmad Tohari by using semiotic theory of Charles Sanders Pierce. This analysis discusses the religious aspects which are symbolized through the characters and background. the results shows that the characters Karman, Hajj Bakir, and Kastaghetek symbolize the humanity in achieving individual and social glory, whereas Pegaten is the name of the village that became a symbol of communal wisdom and piety; brotherhood, friendly, sense of tolerance, no hatred. The dome (Kubah) which becomes the highest element of the mosque is a symbol of religious ecstasy of humans in their vertical and horizontal interaction.

Keywords: Semiotic, Charles Sanders Pierce, Ahmad Tohari, Sufism, Religious

Pendahuluan sering digunakan sastra menyebabkan puisi, cerpen, maupun novel, kadang Setiap karya yang dihasilkan oleh dipandang sebelah mata oleh banyak manusia tidak terlepas dari pengaruh kalangan karena sering dianggap tidak kondisi ruang dan waktu yang memberikan fakta-fakta empiris melingkupinya, tidak terkecuali karya kehidupan atau bersifat fiksi. sastra yang diramu dan diciptakan melalui spektrum bahasa. Sastra -baik puisi Ajidarma (2010:396-400) berpan- maupun prosa- merupakan salah satu dangan bahwa relasi fakta dan fiksi bentuk pengejewantahan bahasa. Bahasa hanyalah perbedaan dalam membingkai dalam lingkup sastra umumnya bersifat sebuah kenyataan atau memberi makna ambigu berbeda dengan media formal kepada dunia dan kehidupannya atau lebih yang harus menyampaikan bahasa dengan sederhananya hanya perbedaan format. jelas dan tidak bermakna ganda. Gaya Oleh karena itu, kenyataan yang bahasa informal, metaforis, dan alegoris dicerminkan oleh fakta maupun fiksi yang adalah suatu kenyataan dalam tanda petik karena keduanya hanyalah konstruksi Gramedia Pustaka Utama mencetak novel manusia, bukan kenyataan itu sendiri. ini sebanyak empat kali, yaitu tahun 1995, Jadi, fakta dan fiksi hanyalah bagian dari 2001, 2005, dan 2012. Yang menarik dari mata rantai komunikasi. Pendapat novel Kubah dalam menawarkan solusi Ajidarma ini sangat membantu dalam dalam meredam memori memilukan atas mengurai dan menilai karya sastra yang tragedi tersebut adalah dengan aspek- sering dipandang tidak faktual. Hal itu aspek religius, baik yang digambarkan menyiratkan sebuah makna penting yang dalam emosi keagamaan maupun ritus dan terkandung dalam karya sastra, yaitu upacara keagamaan, serta nilai dan ajaran kesetaraan fiksi dengan fakta dalam agama yang kemudian menjadi sikap merepresentasikan sebuah kenyataan masyarakat yang lebih mengedepankan karena bagaimanapun juga karya sastra kesatuan dalam kehidupan sosial. merupakan cermin sekaligus hasil kognitif Keempat sikap ini menurut dari serangkaian pengalaman kehidupan, Koentjoroningrat (1987: 145) merupakan baik individu maupun sosial yang cerminan dan komponen dari aspek religi. dirasakan dan ingin disampaikan oleh Emosi keagamaan individu merupakan pengarang kepada yang lain. Di samping unsur religi utama seseorang. Dimensi ini itu, karya sastra juga sebagai sarana merupakan komponen paling sakral penyampaian ide, gagasan, ataupun kritik karena Tuhan secara langsung terhadap lingkungan masyarakatnya berinteraksi dengan manusia sedangkan (Faruk, 2012: 5-6). nilai dan ajaran merupakan bentuk ketaatan dan ketulusan terhadap emosi Novel Kubah karya Ahmad Tohari keagamaan yang terjewantahkan dalam merupakan salah satu karya sastra yang interaksi vertikal yang terbangun dalam memadukan dua unsur di atas. Kubah ritus-ritus resmi agama, maupun mengolah fakta sejarah sosial yang pernah horisontal yang sekaligus merupakan menghiasi bangsa Indonesia, yaitu kondisi cermin dari penghayatan keyakinan politik 1960-an, khususnya 1965 yang tersebut dalam tataran kehidupan sosial. telah menjadi memori kolektif bangsa Lebih menarik lagi, dalam novel Kubah Indonesia, menjadi rangkaian kisah fiksi. keempat unsur religi tersebut dibangun Selain itu, Kubah juga tidak lepas dari ide dan dikembangkan melalui nama tokoh, ataupun gagasan dalam menanggapi tempat, serta bangunan. Karman, fenomena tersebut serta memberikan Kastagethek, Haji Bakir, Pegaten dan solusi dalam menyikapi memori yang Kubah merupakan simbol-simbol religi sangat memilukan bangsa, baik bagi personal sekaligus sosial yang tergambar korban maupun yang tertuduh sebagai dalam novel yang sudah diterbitkan dalam pelaku. Sikap penulis yang implisit dan bahasa Jepang dan mendapat penghargaan tergambar dalam novel ini pun mendapat dari Yayasan Buku Utama Kementrian P pengakuan dari dan K tahun 1981 ini. Oleh karena itu, seperti yang tertera di sampul cetakan tujuan utamanya adalah menjawab dan keempat tahun 2012. Menurut tokoh mengungkap makna atau pesan yang bangsa yang akrab dipanggil Gus Dur ini, tersirat pada lima simbol tersebut. novel “Kubah berisi gagasan besar rekonsiliasi pasca tragedi 1965 yang Sinopsis Novel Kubah ditulis paling awal, yakni 1979 dan terbit dua tahun kemudian.” Novel Kubah menceritakan tokoh Karman, seorang mantan tapol yang Novel Kubah sudah beberapa kali dibebaskan dan bermaksud kembali ke dicetak. Pertama kali diterbitkan oleh tengah-tengah masyarakatnya. Dalam Pustaka Jaya pada tahun 1980. Setelah itu perjalanan, benak pikiran dan hati

2

Karman berkecamuk dengan segala religius masyarakat desa. Mereka berhasil kebimbangan dan ketakutan akan sikap membawa Karman ke “dunia lain” atas orang-orang Pegaten, desa tempat nama revolusi melawan kapitalis. tinggalnya sejak kecil sampai masa Walaupun demikian, Karman masih pengasingan ke pulau Buru. Selain itu, belum bisa masuk dalam jajaran kader secara psikis Karman juga dihinggapi rasa resmi partai karena masih memiliki rasa kecewa terhadap istrinya yang meminta keberpihakan terhadap negara juga sikap cerai agar bisa menikah dengan laki-laki kritis terhadap paham komunis serta lain daripada menunggu dirinya bebas, emosi keagamaan yang masih melekat lantaran suratan takdir tidak diketahui sehingga Karman hanya dijadikan sebagai pasti kapan dirinya kembali ke tengah- sekretaris yang menjadi kedok tengah keluarga. partai Triman di Pegaten.

Masa kecil Karman dihabiskan Pada tahun 1960-an kehidupan dalam keadaan yang malang. Setelah Pegaten sama dengan di daerah lainnya. ditinggal ayahnya, Karman diasuh oleh Keadaan ekonomi dan keamanan tidak ibunya dengan bantuan Hasyim, paman menentu. Sampai akhirnya terjadi suatu yang selalu mendorongnya untuk belajar kejadian yang mengguncang secara di lembaga formal pemerintah. Namun, nasional pada dini hari menjelang 1 sokongan finansial pamannya hanya bisa Oktober 1965. Partai Komunis yang dulu mengantarkanya menamatkan jenjang di atas angin menjadi pihak yang harus SMP saja walaupun sebenarnya Hasyim bertanggungjawab atas peristiwa berdarah ingin sekali membantu Karman sampai tersebut. Para kader partai, baik yang jenjang yang lebih tinggi. Akhirnya resmi terdaftar maupun tidak, dibersihkan Karman bekerja di keluarga Haji Bakir. oleh pemerintahan baru. Bahkan nasib Intensitas hubungan di masa kecil sangat menggariskan sebagian dari mereka berpengaruh dan menimbulkan harapan dengan kematian. Takdir lain berpihak dalam jiwa Karman kepada Rifah saat pada Karman, ia hanya diasingkan ke menginjak masa dewasa. Namun, takdir pulau Buru selama 12 tahun. menyuratkan jalan lain karena Rifah Sekembalinya ke kampung halaman, sudah dilamar oleh Abdul Rahman. masyarakat Pegaten tetap Walaupun Karman sudah bekerja sebagai memperlakukannya sebagaimana dahulu juru tulis di kecamatan, keadaan ini sangat kala seolah tidak ada khilaf dan salah. mengguncang dirinya yang siap melamar Karman pun menyadari kehidupannya Rifah sekaligus menimbulkan rasa dulu merupakan sebuah kekhilafan yang kecewa dan dendam dalam diri Karman segera harus ditebus. Kehidupan religus terhadap keluarga Haji Bakir yang Karman pun menjadi tumbuh kembali. menurutnya telah menolak dirinya Keikutsertaan Karman dalam membangun lantaran tidak setara dan sepadan. masjid Haji Bakir dengan membuat kubah merupakan bukti kesungguhannya dalam Keadaan Karman dimanfaatkan menata kembali kehidupannya menuju oleh Triman dan Margo yang sebelumnya yang lebih baik, bagi pribadi, keluarga telah mengetahui dan mengamati sosok maupun masyarakat Pegaten. Karman yang cerdas untuk dijadikan kader Partai Komunis dengan Semiotik C. S. Peirce memberinya “jasa” dengan melancarkan jalan mendapatkan pekerjaan di Istilah semiotik diperkenalkan kecamatan. Mereka pun mulai menghasut oleh linguis Amerika, Charles Sanders Karman dengan segala cara dan Peirce. Semiotik merupakan istilah lain menjauhkannya dari kehidupan sosial dan dari semiologi yang digunakan di negara-

3 negara berbahasa Inggris sedangkan pemaknaan tanda dalam pandangan Pierce semiologi digunakan oleh negara-negara tidak melulu harus dibatasi oleh berbahasa Prancis. Secara umum, kesepakatan sosial, melainkan proses semiologi dan semiotik adalah ilmu yang semiosis tersebut terus berlanjut dan tidak mempelajari tentang tanda. Walaupun terbatas. Jadi, interpretan dapat berubah antara keduanya memiliki perbedaan yang menjadi representamen baru yang tipis kedua istilah tersebut dipahami kemudian berproses mengikuti semiosis, sebagai sinonim saja. Kemunculan ilmu secara tidak terbatas. Dalam proses itu, tentang tanda sejatinya sudah diramalkan representamen berada di dalam kognisi, oleh linguis Swiss Ferdinad de Saussure sedangkan kadar penafsiran makin lama dalam bukunya Corus de linguistique menjadi makin tinggi (Hoed, 2001: 3-4, generale , dalam buku tersebut (Bertens, 20). 2006: 209) berpandangan bahwa bahasa Proses pemaknaan tanda versi merupakan sistem tanda yang Pierce melahirkan tiga jenis tanda, yaitu: mengekspresikan ide atau gagasan, dan ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda sendiri terdiri atas unsur-unsur yang tanda yang didasarkan pada hubungan membentuk dan kaidah yang berlaku kemiripan atau tiruan, baik kemiripan baginya. bentuk seperti peta dan lukisan relais, atau kemiripan tahapan seperti pangkat militer Pierce mengemukakan bahwa dan tanda pangkat, maupun kemiripan tanda adalah sesuatu yang mewakili sebagian seperti bunga mawar dan gadis. sesuatu. “Sesuatu” yang pertama Indeks adalah tanda yang dibangun pada merupakan aspek konkret atau yang dapat hubungan yang mempunyai jangkauan dicerna pancaindra, yang kemudian eksistensial atau keterkaitan, seperti setelah melalui proses mewakili “sesuatu” tingkah laku manusia yang menunjukan kedua yang terdapat dalam kognisi indeks sifat-sifatnya, asap menunjukan manusia. Pendapat Pierce tentang tanda indeks api, dan penunjuk jalan yang berbeda dengan teori Saussure yang merupakan indeks arah sedangkan simbol bersifat dikotomis dan struktural karena atau lambang adalah tanda yang didasari mengaitkan dua segi saja, penanda atas konvensi masyarakat, seperti bahasa, (signifiant ) dan petanda ( signifie ) atau rambu lalu lintas, dan sebagainya bentuk dan makna, serta hubungan bentuk (Zaimar, 2008: 5-6). dan makna berdasarkan konvensi sosial belaka. Tanda dalam pandangan Pierce Proses pemaknaan tanda yang bukanlah struktur, melainkan proses tidak terbatas dalam pandangan Pierce kognitif yang berasal dari apa yang dapat dikatakan sebagai perluasan ditangkap oleh pancaindra. Oleh karena sekaligus juga pengembangan atas itu, dalam teori semiotiknya Pierce determinisme signifiant dan signifie mengemukakan tiga istilah yang membuat Saussure karena semiotik model ini teorinya dikenal dengan sebutan semoitik memberikan ruang bagi si penerima atau trikotomis . Teori Pierce, “sesuatu” yang subjek untuk lebih bebas dan luas dalam konkret yang bisa ditangkap pancaindra memaknai tanda sesuai dengan ruang dan dinamakan dengan representamen , waktu yang dialaminya, tidak melulu sedangkan “sesuatu” yang ada dalam harus sesuai atau paksaan konvensi kognisi atau sesuatu yang diwakili disebut masyarakat. Oleh karena itu, semiotik obyek . Hal yang terakhir adalah Pierce bisa dikatakan sangat dekat dengan interpretan , yaitu tanda yang hadir dalam jargon salah satu tokoh poststrukturalis pikiran si penerima setelah terjadinya Prancis, Jacques Derrida (Lubis, 2011: proses hubungan dari representamen ke 90) yang mengatakan bahwa il n’y a pas objek yang disebut semiosis. Proses de hors-texte , tidak ada apa-apa di luar

4 teks atau yang ada hanyalah tanda. melingkupi Karman juga sangat Maksudnya, teks atau tanda tidaklah mendukung tumbuh-kembangnya emosi menghadirkan suatu makna asli atau keagamaan ini. Pertama, karena Karman asumsi kebenaran murni yang hidup di keluarga dan desa yang menghadirkan sesuatu yang tidak hadir. penduduknya beragama Islam. Kedua, Pendapat ini memberikan ruang letak rumah yang dekat dengan masjid, penafsiran atas tanda atau teks dengan dan ketiga kedekatan Karman dengan Haji lebih bebas dan luas, tidak terikat dengan Bakir, tokoh agama di desanya. Ketiga satu pakem yang menjadi kelumrahan unsur ini membangun Karman kecil yang dalam sebuah komunitas sosial. religius secara individu maupun sosial, seperti yang tergambar dalam kutipan di Simbolisme Religius dalam bawah ini: Kubah Pohing yang selalu bangun lebih Novel Kubah kental dengan dulu mengguncang kaki teman- ajaran-ajaran Islam. Sebagaimana telah temannya, “He, bangun. Bang un! disinggung pada pendahuluan, keempat Nanti kalian diperciki air oleh komponen yang membangun sistem Haji Bakir!” begitu cara pohing religius dalam novel Kubah tergambarkan membangunkan Karman dan dengan jelas, terutama yang menyangkut selusin anak lainnya. emosi keagamaan dan nilai-nilai Islam .... dalam kehidupan sosial. Aspek ritus atau Demikian sumur masjid itu selalu upacara juga dapat ditelusuri dalam novel ramai oleh gurau anak-anak ini walaupun tidak sebanyak dan selagi fajar merekah di timur. segambalang kedua aspek sebelumnya. Hiruk-pikuk baru berakhir Empat komponen yang merupakan aspek apabila sembahyang subuh sudah religius dalam novel Kubah dimulai. Dan ketika jamaah yang direpresentasikan dalam nama tokoh, tua-tua masih berzikir sehabis desa, dan unsur bangunan. Dan ketiga hal sembahyang, anak-anak sudah ini disimbolkan pada Karman, Haji Bakir, bubar berhamburan. Mereka Kastagethek, Pegaten dan Kubah. kembali ke rumah masing-masing dengan gurauan yang gembira. Karman; Dimensi Kemuliaan (Tohari, 2012: 69-70). Manusia Fase kedua adalah masa Karman adalah tokoh utama dalam pergolakan emosi keagamaan Karman novel Kubah . Ia digambarkan sebagai saat menginjak dewasa. Kegelisahan ini tokoh yang mengalami fluktuasi emosi mengantarkannya sampai pada tahap keagamaan yang sekaligus berimbas pada penolakan dan pengingkaran atas perilaku religius dirinya, baik yang keberadaan Tuhan. Seperti di masa kecil, bersifat vertikal maupun horisontal. keadaan ini pun ditimbulkan oleh aspek Kondisi ini disebabkan oleh dua aspek, internal dan eksternal Karman. Karman kejiwaan Karman dan lingkungan. Sikap yang telah sukses mendapatkan pekerjaan religius Karman dapat dirangkum dalam sebagai juru tulis di kecamatan menjadi tiga fase, yaitu: masa kanak-kanak, masa terpukul dan kecewa karena pujaan hati dewasa, dan masa tua. Masa kanak-kanak Rifah yang hendak dipinangnya telah Karman merupakan tahap perkenalan dilamar oleh orang lain yang lebih tinggi terhadap Islam. Nilai dan ajaran Islam status sosialnya sehingga pinangan bagi anak-anak masih dijalankan dengan Karman pun ditolak oleh Haji Bakir, ayah semangat bermain. Lingkungan yang Rifah. Kondisi ini dimanfaatkan oleh

5

Triman dan Margo untuk mengajak keingkaran, hati nurani serta akal Karman menjadi bagian dalam Partai budinya telah tertutup. Inilah Komunis yang sebelumnya telah memberi cikal bakal kesesatan Karman.” jasa dengan menjadikan Karman sebagai ... juru tulis di kecamatan. Pemberontakan “Aku sudah dewasa, Paman. Karman tidak saja terhadap ritus dan Benar, aku mengaku telah Paman keyakinan, tetapi merembet kepada aspek beri biaya. Kalau paman sosial. Hubungan dengan Haji Bakir yang menghendaki segala biaya itu dulu diposisikan sebagai bapak menjadi kembali, pasti akan kubayar.” pihak musuh karena menurutnya telah (Tohari, 2012: 109-110). berbuat tidak adil dengan menolak lamarannya. Interaksi dengan Hasyim Pergolakan politik 1965 dan pamannya pun menjadi renggang dan jauh setelahnya menjadi titik balik emosi karena sikap Karman yang melecehkan keberagamaan tokoh Karman. Sikap agama dan Haji Bakir yang dianggapnya pemberontakan dirinya terhadap agama sebagai seorang kapitalis. Semua sikap berangsur-angsur melunak dan padam Karman ini disebabkan kedekatannya seiring dengan pelarian dirinya dari dengan ajaran komunis yang disusupkan kejaran aparat pemerintah terhadap para oleh Triman dan Margo yang mengangap kader Partai Komunis yang resmi maupun agama sebagai candu yang tidak. Kemanapun tupai berlari akhirnya meninabobokan para kaum miskin dalam jatuh juga, begitu juga dengan Karman. Ia menghadapi kaum kapitalis karena bersembunyi ke berbagai tempat namun mereka harus pasrah akan takdir yang akhirnya tertangkap juga, dan kemudian diterimanya dalam kemiskinan. Sikap diasingkan ke pulau Buru. Pengasingan Karman ini sangat gamblang ini merupakan tempaan bagi diri Karman, tergambarkan dalam kutipan berikut: sekaligus memberikannya ruang kontemplasi yang lebih jauh dalam Hanya setahun sejak melihat segala fenomena kehidupan, perkenalannya dengan kelompok terutama yang berkaitan dengan Margo, perubahan besar terjadi keyakinan dan ketuhanan. Secara sadar pada diri Karman. Ia menjadi Karman mengakui dalam dirinya bahwa: sinis. Segala sesutau apalagi yang ...kehadiran Tuhan tetap terasa menyangkut Haji Bakir selalu pada dirinya. Karman tak ditanggapi dengan prasangka berhasil memaksa dirinya buruk. Karman pun mulai berani percaya bahwa Tuhan sama berterus terang meninggalkan dengan omong kosong. Dan masjid, meninggalkan bahwa pada kenyataanya, peribadatan. Bahkan tentang walaupun ia lama bergabung agama, Karman sudah pandai dengan partai komunis, Karman mengutip kata-kata Margo, sebenarnya ingin dipahami bahwa agama adalah candu melalui jalur yang lain. untuk membius kaum tertindas. (Tohari, 2012: 27). (Tohari, 2012: 103). Kesadaran dan tumbuh Hasyim menutup muka dengan kembalinya emosi keagamaan Karman kedua tangannya. Tiga kali menjadi nyata saat dibebaskan dari Pulau beristighfar, belum cukup Buru. Shalat yang telah lama menenangkan perasaannya. ditinggalkan, ia laksanakan dengan tenang “Luar biasa,” pikirnya. “Hati dan khusyuk saat dalam perjalanan kemenakanku telah penuh dengan kembali ke kampung halaman. Jabat

6 tangan dan senyuman dari para jamaah kembali ke jalur yang sudah digariskan yang ditemuinya seolah menjadi isyarat Tuhan sehingga predikat manusia paling diterimanya kembali dalam masyarakat mulia yaitu manusia yang bertakwa masih walaupun mereka tidak mengenal sama bisa diraih oleh mereka. sekali siapa dia sebenarnya. Kehawatiran Karman terhadap penolakan masyarakat Nama Karman yang merupakan desanya menjadi sirna saat ia mendapat kata yang berasal dari bahasa Arab (Ali & penerimaan yang hangat para penduduk Muhdlor: 1502-3) ka-ro-ma yang berarti Pegaten, terutama Haji Bakir yang dahulu mulia, agung, dan berharga, tokoh sangat dibencinya. Sikap para penduduk Karman yang menata emosi keagamaanya pegaten yang ramah dan pemaaf ini pula kembali sehingga dapat meraih yang menjadikan Karman kembali ke kemuliaan, baik dalam pandangan Tuhan jalan Islam, baik dalam ritus dan nilai- maupun masyarakat sekelilingnya. Salah nilainya. satu proses dalam meraih kemuliaan tersebut adalah kesadaran akan sifat Fluktuasi emosi keagamaan dan kehambaan seorang manusia di hadapan aplikasi nilai dan ajaran Islam yang Tuhan. Walaupun dalam proses tersebut dialami oleh tokoh Karman merupakan manusia akan terjatuh ke dalam lubang fitrah makhluk yang bernama manusia. kesalahan-kesalahan, tetapi pintu Manusia merupakan makhluk yang paling kesadaran akan tetap terbuka dengan sempurna penciptaannya dalam Islam adanya keyakinan yang teguh dan yang berbeda dengan makhluk hidup mendalam. Tokoh Karman mempelajari lainnya. Manusia diberikan akal untuk hal tersebut dari sosok manusia yang berpikir, juga dianugerahi hati untuk dalam masyarakat dianggap hina. Status menghayati. Kesempurnaan manusia sosialnya berada dalam urutan paling bukan ditunjukan oleh kelebihan, rendah. Namun, itu semua tidak kebaikan dan ketiadaan kesalahan, tetapi membuatnya merasa kecil di hadapan juga kekurangan, keburukan dan adanya manusia lainnya, malah menjadikannya kesalahan merupakan cara lain dalam sadar akan kedudukan dirinya di hadapan membentuk manusia yang sempurna Sang Pencipta. Tokoh yang tersebut, yang pada akhirnya diharapkan mempengaruhi Karman tersebut adalah akan membawanya ke jalan yang diridai Kastagethek. oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Kastaghetek; Potret Tokoh Karman merupakan Kehambaan Manusia gambaran manusia yang berusaha dalam mencapai titik kemuliaan. Manusia dalam Di saat Karman masih berpegang mencapai derajat tersebut akan jatuh teguh pada jargon agama adalah candu bangun dalam kesalahan dan kebaikan, dan masih dalam pelarian karena dikeja- keburukan dan kebenaran. Manusia kejar oleh aparat, ideologi komunis adalah tempatnya khilaf dan salah, dan itu tersebut dibenturkan dengan tokoh merupakan hal yang ditolerir dalam Islam Kastagethek yang hanya bekerja sebagai dengan melakukan pertaubatan yang total, pencari ikan di sungai dengan rakit sebagai mana firman Allah swt. dalam bambu. Pekerjaannya adalah warisan surah Al-Baqarah ayat 222 yang berbunyi turun temurun dari ayah dan kakeknya. “Sungguh, Allah menyukai orang yang “Kehinaan” Kastagethek tidak hanya tobat dan menyukai orang yang terlihat dari mata pencaharian saja, tetapi menyucikan diri. ” Derajat kemuliaan juga dari perawakannya yang tidak manusia pun tetap terbuka bagi para termasuk dalam kriteria ideal seorang pembuat salah atau pendosa dengan syarat laki-laki. Tubuhnya kecil dan berkulit

7 gelap (Tohari, 2012: 162). Kehinaan dan Karman- yang selalu mengajak kaum kemiskinan yang dialami oleh proletar untuk berjuang melawan para Kastagethek tidak menyurutkan dirinya kapitalis yang seolah menjadi musuh untuk terus patuh dan taat terhadapa mereka, juga menjauhi agama yang telah ajaran Islam, agama yang dianutnya, dan melemahkan mereka dalam melawan para juga sangat menerima keadaannya karena feodal. Gerak dan perbuatan Kastagethek itu merupakan garis takdir yang harus yang tenang dan nerimo ini tidak luput diterima dengan tulus. Sikap dari perhatian Karman yang sedang keberagamaan Kastagethek sangat kuat. sembunyi tidak jauh dari perahu Walaupun harus mencari ikan di waktu Kastagethek, sehingga Karman pun malam, ajaran Islam yang bersifat sunah berasumsi bahwa ketenangan hidup pun ia laksanakan, yaitu shalat tahjjud dan Kastagethek hadir disebabkan shalat dan berzikir di tengah manusia yang pulas zikirnya. tidur. Tidak hanya itu, kedalaman penghayatan Kastagethek terhadap Emosi keberagamaan Kastagethek keyakinan yang dianutnya seolah sudah yang diikuti dengan pelaksanaan nilai- diraih dan dirasakannya. nilai dan ajaran-ajaran Islam ini juga tidak datang begitu saja. Berbeda dengan Di puncak malam yang amat Karman yang saat dewasa mulai tergoda hening, seorang diri Kastagethek dengan gemerlap dunia. Masa kecil menegakkan shalat. Zikirnya Kastagethek juga sama dengan Karman khusyuk. Dipandang dari yang riang dan gembira melakukan ketinggian langit, Kasta larut ajaran-ajaan agama. Bedanya Kastagethek dalam tasbih semesta. Bersama tidak mengalami perubahan saat ia dengan air Kali Sikura yang menginjak usia dewasa dan tua. mengalir hening, bersama dengan Pengalaman masa kecilnya tentang bebatuan yang membisu di tebing hakikat manusia masih melekat sampai lubuk, dan bersama serangga masa tua, hal itu tergambarkan dalam yang berderik hampir tak syair yang sering dilantunkannya semasa terdengar, Kastagethek kecil dahulu. Karman juga mengalami hal menyekutukan pujian terhadap tersebut saat akan melaksanakan shalat Gusti Kang Akarya Jagat, Tuhan Maghrib di masjid Haji Bakir. Syair yang mencipta alam; Gusti, tersebut yaitu: Engkaulah yang terpuji dan suci dari segala prakira dan Aku mbiyen ora ana syakwasangka. Saiki dadi ana (Tohari, 2012: 167) Mbesuk maneh ora ana Padha bali marang rahmatullah Kutipan di atas memberikan (Tohari, 2012: 169) gambaran jelas bagaimana derajat keyakinan seorang Kastagethek. Sikap keberagamaan Kastagethek Keyakinannya seperti ideologi para sufi tidak menyangkut hal-hal vertikal saja, yang tidak lagi memandang gemerlap dan tetapi juga horisontal sesama manusia. kemegahan dunia sebagai tujuan utama, Karman yang sangat kelaparan disuguhi tetapi ketenangan, ketersambungan dan nasi dan panggang lele oleh Kastagethek. kebersamaan dengan Tuhan dan alam Selain itu, Karman pun diberi ikan untuk menjadi puncak kenikmatan yang selalu sarapan pagi bersama istrinya. Sikap diidam-idamkan. Sikap Kastagethek ini kemanusiaan ini tentu sangat menyentuh sangat bertentangan dengan ideologi hati seorang komunis ‘bimbang’ seperti komunis -seperti yang dianut oleh Karman (Tohari, 2012: 179). Sikap

8

Kastagethek sangat berbeda dengan yang akan berdampak pada sikap manusia orang-orang yang ditemuinya di masjid terhadap sesama mahluk khususnya saat akan pulang ke kampung halaman. sesama umat manusia seperti yang Mereka tidak tahu siapa sebenarnya tersiratkan pada Haji Bakir, tokoh agama Karman, tetapi Kastagethek sangat tahu desa Pegaten. siapa dirinya. Kesadaran Kastagethek tentang hakikat manusia tidak Haji Bakir; Perpaduan Religius- membuatnya pilah-pilih dalam bergaul Kapitalis-Sosialis dan berbuat kebajikan kepada siapapun. Haji Bakir merupakan tokoh Kastagethek merupakan rangkaian moderat dalam novel Kubah . Ia juga dari dua kata, yaitu kasta dan gethek. memiliki peran penting dalam kehidupan Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kasta personal dan sosial Karman. Ia adalah (Depdiknas, 2005: 512) berarti golongan sosok pengganti ayah bagi Karman. (tingkat atau derajat) manusia dalam Selain itu, Haji Bakir juga merupakan masyarakat beragama Hindu sedangkan orang terpandang dan dihormati gethek yang berasal dari bahasa jawa masyarakat desa karena sikap dermawan kuno (Depdiknas, 2005: 362) mempunyai dan religiusnya. Titel haji yang disandang arti rakit dari bambu. Gethek dalam Haji Bakir benar-benar menjadi simbol Bausastra Jawa Indonesia (Atmodjo, perilaku dalam interaksi kesehariannya. 1981: 142) gethek berarti pagar dari Haji sendiri merupakan bentuk ibadah bambu. Sedangkan dalam Kamus Lengkap murni yang menuntut totalitas Jawa Indonesia (Utomo, 2009: 105) penghambaan seorang muslim. Haji gethek memiliki arti galah, balai-balai, adalah ibadah tiga aspek yang harus atau rakit, yang sering diikuti oleh kata dipenuhi seorang muslim, yaitu rohani, prau gethek yang artinya perahu kecil jasmani, dan duniawi (harta). Oleh memakai galah, rakit dari bambu/pohon karena itu, setiap muslim yang telah pisang. Nama ini dalam semiotik Pierce menunaikan ibadah haji merupakan merupakan ikon manusia dalam manusia yang telah menyempurnakan kehidupan. Kastagethek merupakan kewajiban ibadah formal yang nilai perlambangan sikap penerimaan atas esensinya harus terpatri dalam perilaku suratan takdir sebagai manusia yang sehari-hari, baik dalam interaksi vertikal dianggap kecil atau hina, namun juga kepada Tuhan, maupun horisontal kepada derajat manusia itu seperti getek atau rakit sesama mahluk, khususnya sesama yang harus terus dikayuh dalam pencarian manusia. hakikat dirinya dan juga kehidupan. Benturan yang menyebabkan kerusakan Menurut Jurjawi (1926: 235-9) rakit -mengingat rakit hanyalah kumpulan ritual-ritual ibadah dalam Islam bambu, bukan perahu modern seperti mengharuskan kehadiran aspek spiritual sekarang ini.- merupakan hal biasa dalam atau rohani, namun ibadah haji memiliki mengarungi sungai dan harus segera keistimewaan tersendiri, yaitu ibadah dibenahi agar dapat terus berlayar sampai yang harus ditunjang oleh kesehatan tujuan yang diharapkan. Seperti itu juga badan dan harta. Ibadah badani-hartawi manusia, dalam mengarungi sungai atau ini merupakan wujud rasa syukur kepada lautan kehidupan manusia akan sering Tuhan atas nikmat dan anugerah terjatuh ke dalam lubang kesalahan dan keduanya. Aspek moral dan etika terbentur tembok kekhilafan berkali-kali. merupakan tujuan utama dari rentetan Semua itu merupakan proses perjalanan ritual ibadah haji yang simbolis, seperti manusia dalam menemukan jati dirinya di kain ihram merupakan simbol, baik secara hadapan Sang Pencipta alam semesta vertikal maupun horisontal, yaitu sebagai

9 penghambaan total kepada Tuhan dan Bakir seorang yang peduli akan keadaan interaksi sesama manusia dengan sosial sekitarnya, dan Karman yang hidup menyisihkan tempelan perbedaan. Karena berkecukupan semenjak ditinggal sang hal tersebut di atas, Haji Bakir benar- ayah termasuk orang yang merasakan benar memahami nilai-nilai spiritual haji sikap sosialis keluarga Haji Bakir. Bu dan mempraktikkannya dalam kehidupan Haji Bakir selalu memberikan perhatian sehari-hari sehingga menjadikannya tokoh kepada Karman semenjak kecil. Saat agama yang disegani di kalangan masyarakat umum memakan singkong masyarakat Pegaten. Seperti halnya juga sebagai makanan pokok, Karman masjid yang dibangun Haji Bakir, menerima kemurahan Bu Haji Bakir yang merupakan perwujudan akan sikap memberinya makan nasi (Tohari, 2012: keberagamaan yang tertanam dalam 63). dirinya. Masjid tersebut menjadi titik Sikap sosialis keluarga Haji Bakir temu antara emosi keberagamaan semakin dirasakan Karman saat ia diberi indivdual sekaligus sosial Haji Bakir dan pekerjaan-pekerjaan ringan, yaitu juga masyarakat Pegaten. menyalakan lampu, menyapu lantai masjid, memberi makan ikan di kolam, Haji Bakir tidak hanya terpandang dan mengangkut hasil panen kelapa yang dalam hal keagamaan, tetapi juga pada bertujuan agar Karman tidak merasa sisi duniawi. Ia adalah pengusaha dengan tergantung terhadap pemberian orang lain. kekayaan pertanian yang melimpah. Hasil Hal inilah yang menyebabkan Karman kebun kelapa Haji Bakir disuplai ke seolah sudah menjadi bagian dari keluarga pabrik-pabrik minyak (Tohari, 2012: 64, Haji Bakir pribadi (Tohari, 2012: 64, 84). 82), selain itu pula memiliki areal Selain itu, keluarga Haji Bakir persawahan dan kolam ikan (Tohari, memberikan kesempatan kepada Karman 2012: 85). Kekayaan yang dimiliki Haji untuk melajutkan pendidikan formalnya Bakir membuat Karman menjadi benci yang sempat tertunda karena masalah saat ia masih menjadi anggota Partindo finansial (Tohari, 2012: 65). yang berhaluan komunis. Orang seperti Haji Bakir dalam pandangan Karman Sikap personal dan sosial Haji merupakan prototipe kapitalis yang hanya Bakir tetap menjadi bahan cemoohan dan meraup keuntungan dengan memeras cacian orang-orang seperti Karman saat kaum lemah. Kasus yang menimpa orang masih aktif sebagai anggota Partindo yang tua Karman saat musim paceklik di berhaluan sosialis-revolusioner. Karman Pegaten yang membarter setengah hektar berpendapat Haji Bakir adalah wujud sawahnya dengan padi Haji Bakir satu ton nyata dari candu agama di Pegaten serta menjadi sebuah contoh akan praktik sikap kedermawanannya hanyalah bentuk kapitalisme yang diperangi Karman, kemunafikan dari ekspolitasi para walaupun sejatinya hal tersebut atas kapitalis terhadap pekerja dengan desakan pribadi dari ayah Karman yang memberikan imbalan yang tidak seimbang tidak mau mengganti nasi dengan ubi atas jerih payah dan keringat yang karena gengsi status sosial (Tohari, 2012: dikeluarkan (Tohari, 2012: 101, 106-7). 58-60, 108-9). Walaupun pandangan Karman -saat masih berhaluan komunis- terhadap Haji Bakir Kekayaan yang dimiliki Haji negatif, tetapi karakter Haji Bakir dalam Bakir tidak membuat dirinya seperti Kubah memberikan gambaran akan anggapan yang dituduhkan Karman, sinergi tiga aspek yang sering menjadi kapitalis yang mengekspolitasi dipertentangkan, yaitu agama, kapitalis, kaum proletar. Namun, anugerah harta dan sosialis. Seorang yang taat beragama melimpah itu menjadikan pribadi Haji seolah tidak boleh menjadi kaya atau

10 mempunyai modal karena hanya akan Indonesia (Zoetmulder, 1995: 801) pegat menjadikannya seorang kapitalis yang memiliki arti putus, terpotong, selesai, menindas kaum buruh dan tidak tamat, atau sempurna. Seluruh arti kata mempunyai rasa kepedualian sosial. Hal yang disematkan kepada pegat memiliki ini seolah mendapat bantahan dari sosok kemiripan dan persamaan makna yang Haji Bakir, dengan sikap religiusnya tetap mengarah pada perubahan dari suatu memiliki sikap kepedulian sosial terhadap kondisi menuju yang baru sebagai akibat sesama dengan topangan harta melimpah. dari peristiwa masa lalu yang tidak selaras Ketiga aspek ini juga berperan penting atau tidak cocok. dalam membangun karakter desa Pegaten yang tidak sekadar nama, tetapi juga Dari dulu desa itu bernama menyimpan makna religus dan sosial yang Pegaten, juga pada bulan Agustus dianut masyarakatnya. 1977 dan entah sampai kapan lagi. Tadi malam ada hujan Pegaten; Dimensi Religius Sosial walaupun sebentar. Cukuplah untuk melunturkan debu yang Pegaten merupakan latar tempat melapisi dedaunan. Tanah dominan yang menjadi muara peristiwa berwarna cokelat kembali setelah dan interaksi para tokoh dalam novel beberapa bulan memutih karena Kubah , tidak terkecuali Karman yang tiada kandungan air. lahir, tumbuh, dan mengalami pergolakan (Tohari, 2012: 186) di Pegaten. Penamaan desa dengan Pegeten sepertinya bukan tanpa Kutipan di atas merupakan perhitungan atau perencanaan dari pernyataan metaforis dalam pengarang novel Kubah . Pegaten penggambaran kondisi desa Pegaten yang memiliki makna tertentu atau dalam pernah mengalami masa-masa ‘berdebu’, istilah Pierce dinamakan objek setelah yaitu tragedi 1965, yang meyebabkan melalui proses penafsiran yang disebut suasana masyarakat yang penuh gairah interpretan. Proses pemaknaan Pegaten ini laksana hijaunya dedaunan menjadi suram tidak serta merta tanpa landasan atau dan buram. Lebih-lebih hal itu dasar, tetapi dalam teks Kubah sendiri mencerabut kesuburan jiwa-jiwa terdapat beberapa kode yang berkaitan masyarakat Pegaten, yang seperti tanah erat sehingga Pegaten menyimpan makna subur dan kaya akan air menjadi kering yang terhubung dengan tragedi 1965. kerontang dan dipenuhi keretakan antar Karena itu, Pegaten dalam istilah Pierce komponen masyarakat. Namun, lantaran dapat dikatakan sebagai ikon yang ‘siraman hujan’ dalam bentuk sikap -sikap memiliki kaitan dengan sesuatu yang lain, kemanusiaan masyarakat Pegaten, semua yaitu gagasan rekonsiliasi sosial atas hal tersebut mampu terhapus dan hilang tragedi 1965 seperti yang dikemukakan sehingga individu-individu menjadi oleh Abdurrahman Wahid pada berbaur dan saling berinteraksi seperti pendahuluan di atas. halnya dedaunan yang menghijau yang dialiri zat kesuburan tanah. Itulah karakter Secara terminologi, Pegaten desa Pegaten yang digambarkan dalam berasal dari akar kata pegat yang diakhiri novel Kubah . Semangat memperbaiki sufiks -en yang memiliki muatan perintah. kondisi sosial merupakan sumber utama Pegat dalam Kamus Jawa Kuna Indonesia dalam membangun semangat (Mardiwarsito, 1990: 417) berarti putus, kebersamaan komunal. Semangat inilah selesai, tamat, patah, penggal, potong, yang dimiliki oleh setiap anggota cegat, pecah, cerai dan pisah. Sama masyarakat Pegaten, seperti yang halnya dalam Kamus Jawa Kuna tercermin dalam kutipan di bawah ini:

11

Ia merasa heran dan terharu, kesempatan memperbaiki sumur ternyata orang-orang Pegaten di masjid Haji Bakir. tetap pada watak mereka yang (Tohari, 2012: 199) asli. Ramah, bersaudara, dan yang penting: gampang Kutipan di atas memberikan melupakan kesalahan orang lain. gambaran karakter masyarakat yang juga Padahal yang sangat dimiliki Karman, yang melupakan dan dihawatirkan oleh Karman meninggalkan hal-hal yang tidak sejalan adalah sikap membenci dan dengan semangat masyarakat dendam yang mungkin sekelilingnya, sehingga Karman pun dapat diterimanya begitu ia muncul kembali berbaur dan melebur dengan kembali di Pegaten. masyarakat Pegaten dengan mengikuti (Tohari, 2012: 193) acara dan kegiatan yang diadakan. Salah satu kegiatan tersebut adalah renovasi Sudah tiga bulan Desa Pegaten Masjid Haji Bakir. Kegiatan sosial seperti menerima kembali seorang ini, membuat sikap Karman tidak lagi warganya yang selama dua belas individualis seperti saat bergabung tahun tinggal di pengasingan. dengan Partindo, yang menganggap diri Pegaten yang lugu, Pegaten yang dan kelompoknya sebagai otoritas tidak mengenal rasa kesumat. Dia kebenaran yang revolusionaris. Renovasi membuka pintu yang lapang bagi Masjid Haji Bakir menumbuhkan Karman untuk menata kembali kesadaran Karman akan kedudukannya martabat dirinya di tengah sebagai individu dan mahluk sosial. pergaulan sesama warga desa. Kesadaran Karman tersebut terbangun (Tohari, 2012: 199) melalui semangat-semangat religus yang mengajak manusia selalu memperbaiki Kata pegat yang menjadi akar interaksi vertikal kepada Tuhan, dan nama Pegaten memiliki korelasi yang erat horisontal kepada sesama mahluk, dengan dua kutipan di atas. Karakter terutama manusia. Titik balik kesadaran masyarakat Pegaten seolah sejalan dengan Karman di atas disimbolkan dengan nama desa yang didiaminya. Pegaten kubah yang dibuat sendiri oleh Karman. tidak sekedar nama, melainkan juga menyimpan semangat masyarakatnya Kubah; Ekstase Religiusitas untuk melupakan hal yang memilukan atau kesalahan yang telah lalu sehingga Perjalanan emosi keagamaan mudah untuk memaafkan dan menerima Karman yang naik turun berakhir dengan kembali manusia yang pernah terlupa khusnul khotimah. Tempaan dan liku-liku dengan segala kesalahan dan kekhilafan kehidupan yang dialaminya menggugah seperti yang pernah dialami oleh Karman. kesadaran religius yang pernah hilang saat masa dewasa. Godaan duniawi yang Karman sungguh-sungguh telah berupa jabatan, uang, dan pengetahuan berbaur kembali dengan tiap melupakan hakikat dirinya dan gerak kehidupan di Pegaten. Ia hubungannya dengan masyarakat. Namun, tampak pada tiap kenduri yang malapetaka 1965 memberi sinyal lain ke diadakan orang, ia ikut kerja dalam jiwa Karman terutama saat melihat bakti membersihkan saluran kesederhanaan dan keteguhan sikap irigasi yang sudah dibangun di Kastagethek, seorang proletar yang desa itu. Dan Karman merasa ditemuinya dalam pelarian. Ideologi bangga sekali ketika ia diberi ‘agama adalah candu’ yang menjadi landasan gerakan yang diikutinya seolah

12 mendapat kritikan dari seorang yang pembuatan kubah masjid, Karman harkat martabatnya tidak dihiraukan mengerjakannya dengan kehati-hatian dan masyarakat. Agama dalam pandangan ketelitian tinggi. proletar tersebut memberikan kedamaian dan ketenangan hidup. Bukan seperti Ia menggabungkan kesempurnaan anggapan ideologi Karman yang menuduh teknik, keindahan estetika, serta agama sebagai racun revolusi dalam ketekunan. Hasilnya adalah melawan penindas kapitalis yang sebuah mahkota yang sempurna. materialistis. Bahkan tidak hanya itu, Tidak ada kerutan-kerutan. dalam pandangan Kastagethek agama Sampai sambungan terpatri rapi. juga menjadi dorongan untuk merekatkan Kerangkanya kokoh dengan interaksi horisontal sesama manusia tanpa pengelasan seksama. Leher kubah harus membeda-bedakan status sosialnya. dihiasi kaligrafi dengan teralis. Empat ayat terakhir Surat Al-Fajr Saat telah kembali ke kampung terbaca di sana. halaman di Pegaten, masyarakat tidak (Tohari, 2012: 210). mempermasalahkan status Karman yang mantan tahanan politik. Hal ini Kutipan di atas tidak saja menyiratkan bahwa masyarakat yang menunjukan kreatifitas dan keahlian mengelilingi Karman sangat menghargai Karman dalam mengelas dan mematri. sisi kemanusiaan sesama manusia, mahluk Namun, proses pembuatan kubah masjid yang kadang salah kadang benar. Sikap yang dilakukan Karman merupakan tanda masyarakat Pegaten tidak bertepuk akan kesadaran Karman dalam sebelah tangan karena Karman pun mengarungi kehidupan. Perpaduan teknik, menyadari bahwa ada yang salah dalam estetika, dan ketekunan mempunyai dirinya selama bergabung dengan keterkaitan erat dengan perjalanan kelompok Triman dan Margo. Karman manusia dalam mencapai kemuliaan di pun membuka diri dalam pergaulan dan mata Tuhan. Teknik merupakan simbol ikut serta dalam segala aktivitas pengetahuan tentang sesuatu dan juga masyarakat Pegaten. Salah satunya adalah dalam implementasinya. Estetika ikut serta dalam perbaikan masjid Haji merupakan kesadaran yang akan Bakir yang dulu pernah menjadi musuh membawa sesuatu tersebut kepada taraf ideologi komunisnya. Sikap ini yang lebih tinggi, tidak hanya sesuai merupakan pancaran dari emosi dengan prosedur belaka. Ketekunan keagamaan Karman dalam tataran sosial adalah sikap pengharapan ( roja ) yang masyarakat Pegaten. Pilihan Karman pun terus hadir. Dalam dua unsur sebelumnya, tertuju pada pembuatan kubah. Pilihan manusia hanyalah sebagai pelaksana saja membuat kubah masjid menjadi muara dan memungkinkan akan timbulnya akumulasi kesadaran religius sekaligus kesalahan dan kecacatan sehingga dengan harapan Karman yang telah lama ketekunan, kesempurnaan susuatu mengalami fluktuasi dan tempaan godaan tersebut akan menjadi hal yang sangat kehidupan duniawi. memungkinkan untuk diraih.

Kubah adalah unsur bangunan Paragraf terakhir dari novel Kubah masjid yang tertinggi. Kubah menjadi ciri di bawah ini memberikan gambaran khas pada bentuk arsitek yang berada di tentang makna kubah yang menjadi puncak atas tempat ibadah umat Islam. mahkota tempat suci umat Islam. Kubah Karman yang sejak kecil akrab dengan merupakan manifestasi dari masjid seolah menemukan kembali esensi kesempurnaan jiwa seorang manusia bangunan tersebut sehingga dalam dalam menjalani kehidupan di atas muka

13 bumi. Kesempurnaan tersebut terbentuk akan hak dan kewajiban masing-masing. dalam jiwa kemanusian yang Walaupun tragedi memilukan pernah memanusiakan manusia, yang menyadari terjadi di antara warganya. Pegaten tetap hakikat kedudukan manusia yang menjadi desa yang ramah, tenggang rasa merupakan tempatnya salah dan lupa, dan dan saling memaafkan tanpa peduli apa hanyalah hamba Pencipta alam semesta. yang sudah terjadi. Sikap religius, baik Inilah yang mulai dirasakan Karman individual maupun sosial yang setelah lama jiwanya ditempa dan dibina, ditunjukkan tiga tokoh dan juga baik secara personal maupun komunal, masyarakat Pegaten merupakan bentuk dalam pencarian jati diri seorang muslim, usaha dalam meraih kesempurnaan hidup yang harus menjaga keserasian interaksi sebagai manusia, dan kubah merupakan vertikal dan horisontal dalam kehidupan. simbol atas pencapaian kesadaran individual dan sosial tersebut, terutama Oh, kubah yang sederhana itu! tokoh Karman dalam menjalani Dalam kebisuannya, mahkota kehidupan personal dan komunal, masjid itu terus interkasi vertikal maupun horisontal. mengumandangkan janji akan memberikan hak asasi kepada Daftar Pustaka setiap manusia yang sadar akan kemanusiaannya. Dan Karman Ajidarma, Seno Gumira. 2010. Trilogi merasa tidak terkecuali. Insiden; Saksi Mata; Jazz, Parfum (Tohari, 2012: 211). & Insiden; Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara. Yogyakarta: Bentang Pustaka. Simpulan Ali, Atabik., dan Muhdlor, Ahmad Zuhdi. Kamus Kontemporer Arab- Novel Kubah karya Ahmad Tohari Indonesia . Yogyakarta: Multi Karya sarat dengan aspek-aspek religius, Grafika. ﻛﻞ ﺍﺑﻦ ﺁﺩﻡ » .terutama yang meyangkut nilai dan ajaran Aqil, Abdul ‘Aziz bin Abdullah . ﺣﺪﻳﺚ «ﺧﻄﺎء، ﻭﺧﻴﺮ ﱠﺍﻟﺨﻄﺎﺋﻴﻦ ّﺍﻟﺘﻮﺍﺑﻮﻥ Islam yang metafisik dan sosial. Emosi keagamaan tokoh utama menjadi bukti [26 Karman yang sejenak memberontak atas Maret 2013 – 10:24]. nama komunisme dan getol Atmodjo, S. Prawiro. 1981. Bausastra memperjuangkan hak-hak dan keadilan Jawa Indonesia . : Gunung bagi kaum proletar. Kastagethek adalah Agung. representasi manusia yang menyadari Bertens, K. 2006. Filsafat Barat akan kehambaan diri di hadapan sang Kontemporer jilid II Prancis . pencipta, sekaligus juga mewakili Jakarta: PT. Gramedia Pustaka kembalinya kesadaran Karman akan Utama. eksistensi manusia di hadapan Tuhan. Haji Bakir adalah tokoh agama Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa dan pengusaha yang mampu Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. menggabungkan aspek religus dan Faruk. 2012. Pengantar Sosiologi Sastra, duniawi menjadi kesalehan individual dan dari Strukturalisme Genetik sampai sosial, sehingga tidak ada pertentangan Post-modernisme (Cetakan Kedua). antara agama, harta, dan sikap sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. khususnya di desa Pegaten. Pegaten Hoed, Benny H. 2011. Semiotika dan adalah lambang kesalehan sosial yang Dinamika Sosial Budaya (Edisi seluruh elemen masyarakatnya tahu diri Kedua). Depok: Komunitas Bambu.

14

Jurjawi, Ali Ahmad. 1926. Hikmat at- Tohari, Ahmad. 2012. Kubah . Jakarta: Tasyri’ wa Falsafatuhu (vol. 1). PT. Gramedia Pustaka Utama. Kairo: Yusufiyah. Utomo, Sutrisno Sastro. 2009. Kamus Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan, Lengkap Jawa Indonesia . Mentalitas dan Pembangunan . Yogyakarta: Kanisius. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Zaimar, Okke K.S. 2008. Semiotik dan Utama. Penerapannya dalam Karya Sastra. Lubis, Yusuf Akhyar. 2011. Teori dan Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Konsep Penting Filsafat Ilmu dan Pendidikan Nasional. Metodelogi Ilmu Pengetahuan Zoetmulder, P.J. 1995. Kamus Jawa Sosial Budaya Kontemporer. Kuna-Indonesia . (Darusuprapta dan Depok: Departemen Filsafat Sumarti Suprayitna, Penerjemah). Universitas Indonesia Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mardiwarsito, L. 1990. Kamus Jawa Kuna Indonesia . Flores: Nusa Indah.

15