MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK ------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 88/PUU-XIV/2016

PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG KEISTIMEWAAN DAERAH ISTIMEWA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN DPR, AHLI DPD, DAN AHLI PBNU (VIII)

J A K A R T A

RABU, 8 FEBRUARI 2017

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 88/PUU-XIV/2016

PERIHAL

Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta [Pasal 18 ayat (1) huruf m] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

PEMOHON

1. Raden Mas Adwin Suryo Satrianto 2. Supriyanto 3. Anggiastri Hanantyasari Utami, dkk

ACARA

Mendengarkan Keterangan DPR, Ahli DPD, dan Ahli PBNU (VIII)

Rabu, 8 Februari 2017 Pukul 11.12 – 13.41 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Pusat

SUSUNAN PERSIDANGAN

1) Arief Hidayat (Ketua) 2) Aswanto (Anggota) 3) I Dewa Gede Palguna (Anggota) 4) Manahan MP Sitompul (Anggota) 5) Suhartoyo (Anggota) 6) Wahiduddin Adams (Anggota) 7) Maria Farida Indrati (Anggota)

Hani Adhani Panitera Pengganti

i Pihak yang Hadir:

A. Pemohon:

1. Ninuk Sumaryani Widyantoro 2. Raden Mas Adwin Suryo Satrianto 3. Bambang Prajitno Soeroso 4. Anggiastri Hanantyasari Utami

B. Kuasa Hukum Pemohon:

1. Irmanputra Sidin 2. Iqbal Tawakal Pasaribu 3. Agustjar 4. Alungsyah 5. Victor Santoso Tandiasa

C. Pemerintah:

1. Hotman Sitorus 2. Wahyu Jaya 3. Surdiyanto

D. DPD:

1. Intsiawati Ayus 2. Gusti Kanjeng Ratu Hemas

E. Ahli dari DPD:

1. Aan Eko Widiarto 2. Marzuki Wahid

F. Pihak Terkait:

1. Adjie Bantjono (PBNU) 2. Abdul Muhaimin (PBNU) 3. Sri Sultan Hamengku Buwono X

G. Kuasa Hukum Pihak Terkait:

1. Syamsudin Slawat (PBNU)

H. Ahli Pihak Terkait:

1. Purwo Santoso (PBNU) 2. Gusti Bendoro Pangeran Haryo Yudhaningrat (PBNU)

ii SIDANG DIBUKA PUKUL 11.12 WIB

1. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Bismillahirrahmaanirrahiim. Sidang dalam Perkara Nomor 88/PUU- XIV/2016 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum.

KETUK PALU 3X

Saya cek kehadirannya. Dari Pemohon siapa yang hadir? Silakan.

2. KUASA HUKUM PEMOHON: IRMAN PUTRA SIDIN

Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb.

3. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Waalaikumsalam wr. wb.

4. KUASA HUKUM PEMOHON: IRMAN PUTRA SIDIN

Kami Kuasa Hukum, Irman Putra Sidin, Iqbal Tawakal Pasaribu, Victor Tandiasa, Agustjar, dan Alungsyah hadir dan didampingi oleh Prinsipal, Ibu Ninuk Sumaryani, Mas Raden Adwin Suryo Satrianto, Bapak Bambang Soeroso, dan Ibu Anggi Utami. Terima kasih, Yang Mulia.

5. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Dari DPR tidak hadir. Dari DPD yang hadir siapa?

6. DPD: INTSIAWATI AYUS

Terima kasih, Ketua. Kami sampaikan yang hadir adalah Intsiawati Ayus didampingi bersama dengan Gusti Kanjeng Ratu Hemas sebagai Pimpinan DPD di sebelah kami. Nanti kami menghadirkan Saksi Ahli, Aan Eko Widiarto dan K. H. Dr. Marzuki Wahid. Demikian, Pimpinan.

7. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih, Ibu. Dari Pemerintah yang mewakili Presiden?

1 8. PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS

Terima kasih, Yang Mulia. Pemerintah hadir, saya Hotman Sitorus bersama Surdiyanto dan Wahyu Jaya. Terima kasih, Yang Mulia.

9. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Pihak Terkait dari LBH PBNU?

10. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SYAMSUDIN SLAWAT (PBNU)

Terima kasih, Yang Mulia. Sebelumnya perlu kami jelaskan bahwa sebelum ini Kuasa Hukum dari Pihak Terkait itu diserahkan kepada Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum PBNU, namun kemudian disubstitusikan kepada ART and Partner Law Firm. Jadi, mulai hari ini saya dalam posisi sebagai Kuasa Substitusi dari LPBH PBNU.

11. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Oh, baik. Ada surat anu … surat kuasa substitusinya sudah ada?

12. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SYAMSUDIN SLAWAT (PBNU)

Sudah saya serahkan ini.

13. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Oke.

14. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SYAMSUDIN SLAWAT (PBNU)

Tambahan, Yang Mulia.

15. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya?

16. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SYAMSUDIN SLAWAT (PBNU)

Kebetulan juga hadir di persidangan ini Prinsipal dari Pihak Terkait, Pak H. Bantjono dan H. Abdul Muhaimin. Demikian, Yang Mulia. Oh, maaf, ada lagi, Yang Mulia.

2 17. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ini untuk seterusnya, ya, jadinya, ya?

18. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SYAMSUDIN SLAWAT (PBNU)

Ya, kuasa ini untuk sepenuhnya (…)

19. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Kuasa substitusi … hanya untuk satu keperluan di sidang sekarang atau selanjutnya?

20. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SYAMSUDIN SLAWAT (PBNU)

Sepenuhnya, jadi selanjutnya.

21. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Kalau begitu bukan kuasa substitusi, tapi penggantian, ya?

22. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SYAMSUDIN SLAWAT (PBNU)

Ya, penggantian, semacam itu.

23. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Nanti kita lihat apakah surat kuasa substitusi sudah tepat, nanti kita lihat.

24. KUASA HUKUM PEMOHON: IQBAL TAWAKAL PASARIBU

Izin, Yang Mulia, kami dari Pemohon, Yang Mulia. Ingin memastikan apakah kapasitas Pihak Terkait ini mendapatkan surat substitusi atau penggantian karena itu dua hal yang berbeda.

25. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Makanya itu nanti akan kita cek itu. Di sini hanya penerima kuasa … pemberi kuasa substitusi dan penerima kuasa substitusi, bukan penggantian.

26. KUASA HUKUM PEMOHON: IQBAL TAWAKAL PASARIBU

Artinya hanya untuk sidang sekali ini saja?

3 27. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Untuk sekali ini saja.

28. KUASA HUKUM PEMOHON: IQBAL TAWAKAL PASARIBU

Oke. Siap, Yang Mulia.

29. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Kalau mau berarti ini setiap kali sidang harus dibuat, kalau penggantian satu kali bisa untuk selamanya.

30. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SYAMSUDIN SLAWAT (PBNU)

Dalam surat kuasa substitusi disebutkan, jadi substitusi sepenuhnya, artinya bahwa sudah menyerahkan sepenuhnya kepada apa … ART and Partner Law firm untuk mewakili Pihak Terkait dalam persidangan-persidangan di dalam perkara ini.

31. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Frasa sepenuhnya itu bisa sepenuhnya untuk hari ini atau bagaimana penafsirannya, bisa macam-macam?

32. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SYAMSUDIN SLAWAT (PBNU)

Ya, dalam … dalam (…)

33. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Apa tidak di anu sajalah, bukan anu, tapi surat kuasa penggantian begitu, bukan substitusi. Nanti coba dianukan, ya.

34. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SYAMSUDIN SLAWAT (PBNU)

Baik, Yang Mulia, baik.

35. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik.

4 36. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SYAMSUDIN SLAWAT (PBNU)

Kemudian, juga kami informasikan untuk persidangan hari ini berdasarkan ketetapan dari Majelis Hakim pada persidangan sebelumnya bahwa kami diberikan kesempatan untuk menghadirkan Ahli, yaitu Prof. Jawahir Thontowi dengan Prof. Purwo Santoso, namun karena kebetulan Prof. Jawahir Thontowi tidak bisa hadir pada hari ini karena bertepatan juga ada kegiatan lain, maka yang kami hadirkan adalah Prof. Purwo Santoso dengan Gusti Yudhaningrat sebagai Ahli dalam persidangan kali ini.

37. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Tapi untuk anu … Prof. Jawahir jadi, atau tidak, atau cukup tertulis?

38. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SYAMSUDIN SLAWAT (PBNU)

Kalau diperkenankan untuk persidangan selanjutnya kami hadirkan.

39. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Sidang selanjutnya kayaknya sudah yang terakhir ini. Kalau begitu kita anukan jalan keluar, supaya tertulis saja, ya.

40. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SYAMSUDIN SLAWAT (PBNU)

Baik, Yang Mulia.

41. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Nanti kita tunggu bersama kesimpulan nanti.

42. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SYAMSUDIN SLAWAT (PBNU)

Baik.

43. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Dari Pihak Terkait Keraton Yogya, Ngarso Dalem, silakan. Agenda kita untuk mendengarkan keterangan ahli yang diajukan oleh DPD dan ahli Pihak Terkait dari PBNU, silakan untuk maju ke depan diambil sumpahnya terlebih dahulu, Pak Aan, Pak K. H. Dr. Marzuki. Pak Aan dan Pak anu … sudah diambil sumpah, ya? Yang lalu, ya? Sama Pak

5 Marzuki, ya. Berarti kalau begitu yang belum Prof. Dr. Purwo Santoso dan Kanjeng Gusti Bendoro Pangeran Haryo Yudhaningrat. Silakan. Mohon berkenan Pak Wahiduddin. Beliau berdua beragama Islam.

44. HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS

Baik. Pada Ahli Pihak Terkait untuk mengikuti lafal yang saya tuntunkan. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.”

45. PARA AHLI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH:

Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.

46. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, terima kasih. Silakan kembali ke tempat terlebih dahulu. Silakan, Rohaniwan. Terima kasih. Kita dengarkan keterangan Ahli dari DPD, Pak Aan atau Pak K. H. Marzuki terlebih dahulu? Silakan dari DPD. Pak Aan dahulu. Silakan, Pak Aan. Waktunya maksimal 15 menit, nanti kita lanjutkan dengan diskusi.

47. AHLI DARI DPD: AAN EKO WIDIARTO

Kepada Yang Mulia Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Yang Mulia Wakil Ketua, dan seluruh Anggota Majelis Hakim MK. Yang Terhormat Pemerintah, DPD, Pihak Terkait, dan Kuasa Hukum. Bapak, Ibu, Hadirin sekalian yang saya hormati. Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera bagi kita semua. Om swastiastu. Berlatar belakang sebagai pengajar legislative drafting yang pada saat penyusunan RUU tentang Daerah Istimewa Yogyakarta diminta Komite I DPD RI menjadi Tim Penyusun RUU DIY, saya dalam persidangan ini akan memberikan keterangan Ahli dengan memfokuskan pada tiga aspek. Pertama, pergulatan proses pembahasan rancangan undang- undang. Yang kedua, ratio legis pengaturan RUU Keistimewaan DIY di DPD RI. Dan yang ketiga, analisis Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang atau UU KDIY dalam perspektif ilmu perundang-undangan.

6 Yang Mulia Majelis Hakim MK. Pertama tentang pergulatan proses. Pemikiran pembentukkan Rancangan Undang-Undang tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta di DPD terjadi saat DPD berinisiasi mengajukan RUU tentang Daerah Istimewa Yogya pada tahun 2010. Judul tersebut berbeda dengan judul Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Undang-Undang atau UU KDIY, yakni Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Bagi DPD, dalam kalimat, “Daerah Istimewa Yogyakarta,” sudah terkandung sifat keistimewaan sehingga tidak perlu diulang. Baru pada Januari 2011, DPD menerima pengajuan RUU dari pemerintah dengan judul RUU Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Apakah DPD menyetujui bahwa sultan harus pria sebagaimana tersirat dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY dan tersurat seperti yang dinyatakan Ketua Panja Komisi II DPR RI pembahasan RUU KDIY dalam persidangan MK tanggal 30 Januari 2017? Atas pertanyaan ini ada dua jawaban, Yang Mulia. Pertama, dari aspek prosedural. Alih-alih DPD menyetujui bahwa sultan harus pria, DPD diajak dalam pengambilan keputusan saja, tidak. Memang Ahli Abdul Hakim Naja menerangkan bahwa DPD ikut menyetujui bahwa makna dari Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY adalah sultan harus pria sebagaimana sudah kita dengarkan bersama. Waktu itu dilakukan penyisiran, kemudian atas nama kecamatan timus dan timsin juga sudah dihadirkan DPD. DPD di situ disebutkan diundang, yang artinya diberi ruang terlibat dalam timus dan timsin. Persoalannya, dari seluruh keanggotaan timus dan timsin, DPD tidak masuk dan diundang pun tidak. DPD tidak terlibat di situ. Disebutkan dilakukan penyisiran. Mengapa harus susah-susah menyisir? Mengapa tidak langsung saja kalau memang kesepakatannya harus pria, maka dalam salah satu syarat cagub dan cawagub harus pria. Mengapa tidak disebutkan salah satu seperti itu? Kemudian, apakah juga benar ketika Ahli Abdul Hakim Naja menyatakan DPD terlibat dalam seluruh proses pembahasan RUU? Karena pada waktu disebutkan bahwa Komisi II-lah yang mengimplementasikan pertama kali Putusan MK tentang DPD 9 ... tahun 1992 ... maaf, Nomor 92 Tahun 2012. Majelis Hakim Yang Mulia. Analisis saya sebagai Ahli menyaksikan kebenaran keterangan ahli dimaksud karena keterlibatan DPD dalam pembahasan RUU KDIY secara penuh sampai akhirnya setuju bahwa sultan itu harus pria. Putusan MK Nomor 92 Tahun 2012 mengukuhkan wewenang konstitusional DPD untuk ikut seluruh dalam proses pembahasan RUU itu baru selesai dibacakan pada tanggal 20 Maret 2013, pukul 15.20 WIB. Sedangkan Undang-Undang KDIY disahkan presiden pada hari Jumat ...

7 pada hari Jumat pada tanggal ... pada tahun 2013. Maka dalam konteks ... maaf, Undang-Undang KDIY itu disahkan presiden pada tahun 2012. Maka dari itu, apakah mungkin putusan MK yang dibacakan pada tahun 2013, kemudian berlaku pada tahun 2012? Jelas ini kemustahilan konstitusional. Bahkan DPD mulai panda ... melalui pandangannya, pandangan pendapat DPD ketika RUU dibahas tanggal 2 Februari 2011 itu DPD melakukan protes atas pembonsaian “DPD” yang dilakukan oleh DPR. Di sana disebutkan dalam pandangan pendapat DPD sebagaimana juga terlampir, dalam pendapat saya atau keterangan saya ini. Bahwa DPD mengatakan, “Ini adalah suatu keterpaksaan hukum DPD ikut dalam pembahasan RUU KDIY.” Mengapa? Karena menurut Undang- Undang MD3 yang berlaku pada saat itu, DPD hanya punya wewenang menyampaikan pandangan, pendapat, serta menyampaikan pendapat mini. DPD sama sekali tidak dilibatkan dalam proses pembahasan DIM. Inilah yang kemudian menjadi kemustahilan. DPD juga tidak dilibatkan dalam proses Panja II Komisi DPR RI pada tanggal 29 sampai dengan tanggal 30 September 2011 di Bogor. Padahal, ada salah satu materi yang krusial dihadirkan atau dihasilkan dalam rapat tersebut, yakni disadari bahwa secara umum persyaratan kepala daerah tidak membedakan gender, tetapi secara khusus Sultan itu adalah pria. Itu kesimpulan sebagaimana juga kemarin sudah kita dengarkan bersama. Kesimpulannya. Dari sisi prosedural, secara prosedur DPD tidak ikut dan tidak dilibatkan dalam pembahasan lebih lanjut RUU KDIY sampai memutuskan sultan itu adalah pria sebagai salah satu hasilnya. Yang kedua, Yang Mulia, dari sisi substantif, yang ini juga sekaligus menjadi rasio legis pengajuan RUU dari DPD. Melalui pandangan pendapat DPD yang dibacakan di raker dengan DPR dan pemerintah tanggal 2 Februari 2011, politik hukum DPD atas pengaturan Keistimewaan DIY sangat jelas. Bahwa prinsip yang dianut adalah pengakuan atau pengukuhan (recognition) dan penghormatan (respectation) Daerah Istimewa Yogyakarta. DPD RI berpandangan bahwa pelestarian keistimewaan tidak saja menjadi keniscayaan sejarah dan konstitusi, melainkan merupakan fakta politik dan empiris yang tidak mudah dihapuskan oleh kondisi zaman yang berubah. Vide pandangan pendapat DPD halaman 5. Pertanyaannya, apakah dengan politik hukum DPD yang mengedepankan recognition dan respectation tersebut selaras dengan hasil Rapat Panja Komisi II DPR RI RUU Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang dilakukan di Bogor bulan September 2011, yakni secara khusus sultan itu adalah pria? Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Dalam pembahasan RUU DIY di internal DPD yang saya ikuti maupun dari dokumen pembahasan RUUK DIY di DPR sepanjang melibatkan DPD, saya tidak menemukan materi pembicaraan sultan itu adalah pria. Fokus materi pembahasan

8 yang menjadi concern DPD adalah persoalan mendesak yang dihadapi masyarakat Yogya, yakni instrumen hukum yang legitimate untuk mengakui, mengukuhkan recognition principal, dan menghormati respectation Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY ini mendudukkan daerah DIY sebagai daerah istimewa. Hanya saya problemnya dalam undang-undang ini tidak ada mekanisme yang kemudian menerjemahkan lebih lanjut bagaimana keistimewaan itu? Apa urusan istimewa yang ada dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950? Dari sinilah kemudian DPD berpikiran bahwa perlu adanya legitimasi Keistimewaan Yogyakarta agar keistimewaan tersebut tidak hanya menjadi ruang kosong yang akan mengganggu kestabilan Daerah Istimewa Yogyakarta pada khususnya maupun kestabilan nasional pada umumnya. Sehingga, Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogya di DPRD maupun terkait dengan gubernur waktu itu yang terjadi pemilihan di DPRD tahun 1998, tidak akan kembali terulang pada pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dalam waktu yang akan datang. Mengapa DPD mengambil garis politik recognition principal dan res … respectation keistimewaan DIY? Hal ini didasari kesadaran bahwa status istimewa yang melekat pada Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan bagian integral dalam sejarah pendirian Indonesia. Pilihan untuk menjadi bagian Indonesia merupakan refleksi filosofis Kesultanan, Paku Alaman, dan masyarakat Yogya secara keseluruhan. Sesungguhnya, setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, meskipun Yogya bisa saja menjadi sebuah negara yang merdeka dan berdiri sendiri, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII dengan jiwa kebangsaan dan persatuannya memilih memutuskan untuk menjadi bagian tak terpisahkan dari Indonesia. Masing-masing tokoh ini secara terpisah, tetapi dengan format dan isi yang sama mengeluarkan amanat tertanggal 5 September 1945 yang kemudian dikukuhkan dengan Piagam Kedudukan Presiden RI tertanggal 19 Agustus 1945 yang diserahkan tanggal 6 September 1945. Menyatakan bahwa integrasi Yogya ke dalam NKRI dengan memilih status keistimewaan. Majelis Hakim Yang Mulia. Pertanyaan berikutnya adalah apa implikasi dari politik hukum DPD tersebut terhadap substansi RUU KDIY? Secara fungsi, UU KDIY seharusnya berfungsi sebagai living constitution bagi rakyat dan daerah Yogya. UUK DIY menjadi dokumen yang mampu hidup sepanjang masa agar dapat diterapkan sesuai dengan kehendak kehidupan rakyat Yogyakarta berdasarkan zaman masing-masing generasi. Dengan demikian, hal-hal yang bersifat paugeran keraton, negara tidak perlu ikut campur, bahkan juga tidak perlu masuk dalam materi muatan undang-undang. Paugeran keraton dalam sejarahnya tidak statis, namun dinamis. Telah terjadi beberapa perubahan paugeran yang sangat fundamental

9 karena menyangkut sistem pemerintahan Keraton Ngayogyakarta. Saya mengidentifikasi ada sekitar empat perubahan yang terjadi di Keraton Yogyakarta yang itu sangat fundamental. Yang pertama, mulai dari berubahnya bentuk pemerintahan. Setidaknya sampai tahun 1792 Kesultanan Yogyakarta itu adalah merdeka, bahkan berdampingan dengan VOC. Ketika Raffles datang terjadi problem … pro … problem karena pada waktu itu terjadi kooptasi, sehingga pada waktu itu ada Pepatih Dalem yang dikontrol oleh Residen. Kemudian, selepas Perang Diponegoro tahun 1983 … tahun 1830, Kesultanan Yogyakarta bahkan menjadi bagian protektorat dari Kerajaan Belanda dengan status zelfbestuurende landschappen. Ini semua adalah perubahan-perubahan, bahkan perubahan yang mendasar pada pemerintahannya. Dan ketika masuk kemerdekaan, status merdeka yang disandang tahun 1792 itu kemudian terintegrasi menjadi sebuah daerah administrasi di bawah NKRI. Inilah perubahan itu yang pertama. Yang kemudian juga perubahan di sistem peradilan. Saya tidak akan membacakan satu per satu di sini karena ini sudah tertulis. Saya akan pada fokusnya bahwa ada beberapa per … perubahan-perubahan sampai penghapusan peradilan yang terjadi pada Kesultanan Yogyakarta. Kemudian juga gelar sultan. Tahun 1749, tahun 1755, dengan sultan yang sama, itu dilakukan perubahan. Maret … 7 Maret 1989 juga ada perubahan gelar sultan. 30 April 2015 juga terjadi perubahan gelar sultan. Ini juga perubahan-perubahan yang terjadi. Yang terakhir adalah berubahnya tata cara penentuan sultan. HB I sampai dengan HB IV yang menentukan sultan yang bertakhta adalah kedaulatan Keraton. Setelah Pemerintah Hidia-Belanda ada syarat … setelah adanya Pemerintah Hindia-Belanda, ada syarat perjanjian politik yang dinamakan kontrak politik bagi calon sultan yang akan ditakhtakan. Perjanjian ini berlakukan terhadap Sultan Hamengku Buwono V sampai dengan Sultan Hamengku Buwono IX. Kontrak politik terakhir dibuat pada 18 Maret 1940 antara Gubernur Hindia-Belanda untuk DIY, Lucien Adam dengan HB IX. Waktu itu, untuk belanja dan mengurus keperluan istana, setiap tahun sultan mendapat uang ganti rugi yang disebut daftar sipil. Yang ditentukan dalam kontak politik yang dibuat sultan yang ditakhtakan. Dengan demikian, sultan benar-benar tersingkir dari Pemerintahan Nagari dan hanya berperan di istana saja. Pertanyaannya yang kemudian agak menyedihkan, apakah setelah kemerdekaan Indonesia, maka Pemerintah Indonesia menentukan sultannya akan bertakhta sebagaimana dilakukan oleh Hindia-Belanda? Adanya syarat khusus mempunyai saudara kandung, mempunyai istri, mempunyai anak, apakah ini yang dinamakan kontrak politik ala Indonesia? Majelis Hakim MK Yang Mulia, persoalan berikutnya adalah apa kalau maksud pembentuk Undang-Undang DPR atas keberadaan Pasal

10 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang KDIY, bermakna seorang Calon Gubernur DIY harus pria, maka konstitusional berdasarkan tarif … maaf, berdasarkan tafsir original intens versi Panja II DPR, meskipun tafsir ini juga dibantah oleh presiden melalui keterangannya bahwa tidak harus pria karena ada frasa antara lain yang bermakna fakultatif, terkonfirmasi bahwa cagub, cawagub harus pria. Lebih dari itu, pria tersebut harus mempunyai pendidikan, saudara kandung, mempunyai anak. Norma undang-undang yang semacam itu apakah konstitusional? Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 008/PUU-II/2014 halaman 26 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar. Sehingga dengan sendirinya, melarang diskriminasi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 20 … Pasal 28 … Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2). Jadi, adanya diskriminasi berdasarkan etnik, agama, suku, ras, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik tidaklah subur dan dilarang di Indonesia. Ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf m terhadap kata frasa saudara kandung, istri, dan anak sesungguhnya telah memasuki ranah internal kesultanan dan merupakan syarat gender untuk menduduki jabatan publik. Artinya, pasal a quo melanggar jaminan yang diberikan konstitusi terhadap daerah yang memiliki keistimewaan. Pasal 18 ayat (1) huruf m juga bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengakui daerah yang bersifat istimewa berdasarkan hak asal-usul daerah tersebut yang dahulunya merupakan zelfbesturende landshappen (daerah swaparaja) dan volksgemeenschappen landschappen daerah swa … maaf, kesatuan masyarakat hukum adat. Dalam pengakuan tersebut, negara mengukukuhkan keistimewaan yang dimiliki oleh daerah tersebut dan tidak mencampurinya. Yang terakhir, Yang Mulia terkait dengan analisa Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang KDIY dalam perspektif ilmu perundang-undangan. Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang KDIY menisbikan keistimewaan KDIY. Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY, "Apabila ditafsirkan secara sistematis, bertentangan atau paradoks, antinomi dengan Pasal 18 ayat (1) huruf c Undang-Undang KDIY, sehingga mengandung law of contradiction. Seharusnya, kedua norma itu berada dalam hubungan yang logis atau law of noncontradiction. Pasal 18 ayat (1) huruf c berbunyi, “Calon gubernur dan calon wakil gubernur adalah warga Negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat c bertakhta sebagai sultan,” dan seterusnya. Dalam hal seseorang sudah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam huruf … dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c Undang-Undang KDIY, yakni bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam dan salah satu atau keduanya adalah perempuan, maka salah satu atau keduanya tidak mungkin menyerahkan

11 daftar riwayat hidup yang memuat istri sebagaimana dipersyaratkan Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang KDIY. Implikasi yurisnya adalah kedua norma tersebut tidak dapat dilaksanakan, tidak akan pernah terjadi pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur dalam hal terjadi kondisi seperti itu. Persyaratan daftar riwayat hidup merupakan syarat administratif sebagai suatu conditio ... conditio sine qua non dalam pengisian jabatan publik bahkan dalam pengisian posisi pada pekerjaan privat sekalipun. Seharusnya tidak disebutkan pun dalam undang-undang ini tidak menjadi penghalang pengakuan dan penghormatan negara terhadap daerah yang bersifat istimewa. Justru ketika diatur ada daftar riwayat hidup yang isinya sebagaimana pada pasal a quo, maka menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil. Di sinilah terjadi pelanggaran konstitusional. Dengan demikian, urgency Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-Undang KDIY tidak ada, bahkan menjadi redundansi. Ketentuan Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang KDIY juga tidak akan berfungsi dalam hal pemenuhan persyaratan cagub dan cawagub. Ayat (3) berbunyi, “Apabila terhadap syarat calon yang belum terpenuhi sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur, panitia khusus penetapan gubernur dan wakil gubernur menyampaikan pemberitahuan kepada kesultanan dan kadipaten untuk melengkapi syarat paling lambat tujuh hari setelah selesainya verifikasi.” Tidak mungkin, Yang Mulia, seorang perempuan dalam waktu tujuh hari menjadi pria dan kemudian mencantumkan nama istrinya dalam riwayat hidupnya. Demikian pula terkait saudara kandung dan anak. Memang benar Pasal 26 ayat (7) Undang-Undang KDIY mengatur bahwa dalam hal Sultan Hamengku Buwono Yang Bertakhta tidak memenuhi syarat sebagai gubernur dan Adipati Paku Alam Yang Bertakhta menjadi wagub, maka dilakukan pengangkatan penjabat gubernur. Namun, norma ini pasti juga tidak akan bisa bekerja karena ditentukan prosedurnya adalah pengangkatan. Penjabat gubernur adalah mendapatkan pertimbangan kasultanan dan kadipaten, apabila causa- nya seperti yang tadi itu, masalah istri atau masalah anak, pasti kasultanan dan kadipaten tidak akan pernah memberikan pertimbangan atas penjabat gubernur tersebut. Bila tidak dapat dilakukan pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur, maka dampak yang lebih besar dengan adanya Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang KDIY adalah menisbikan keistimewaan DIY, tidak ada lagi keistimewaan DIY. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang KDIY ditentukan bahwa salah satu tujuan pengaturan KDIY adalah mewujudkan pemerintahan yang demokratis. Pemerintahan yang demokratis salah satunya diwujudkan melalui pengisian jabatan gubernur dan jabatan wakil gubernur.

12 Ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf m menghalangi bekerjanya Pasal 18 ayat (1) huruf c Undang-Undang KDIY yang pada akhirnya Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yakni negara mengakui dan menghormati yang bersifat istimewa juga tidak dapat dilaksanakan. Kemudian Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang KDIY juga multitafsir (...)

48. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Mohon maaf, Pak Aan, waktunya.

49. AHLI DARI DPD: AAN EKO WIDIARTO

Ya. Baik, Yang Mulia. Jadi, Pasal ini juga multitafsir sehingga menurut kami juga pasal ini perlu dinyatakan tidak berlaku menurut Undang-Undang Dasar 1945 karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai tawaran solutive, Yang Mulia. Dalam memutus perkara ini, Ahli menyarankan agar seharusnya didudukkan pria atau perempuan sebagai sultan, itu adalah wilayah yang menjadi wewenang keraton. Dipertahankan atau diubah, itu adalah urusan keraton. Negara dalam posisi dan kedudukan menghargai dan menghormatinya. Pelajaran yang baik, saya kira ketika negara memperlakukan benda cagar budaya atau dalam undang-undang sekarang, cagar budaya. Dimana negara tidak dalam konteks intervensi bahkan merehap pun negara tidak boleh, yang boleh hanya mengawetkan. Nah, dalam konteks Yogya memang ini bukan benda. Ini adalah society sehingga society-lah yang bisa menentukan nasibnya sendiri. Maka dari itu, saya berpikir kalaulah memang negara ingin mengatur Yogya, seharusnya MPR pada waktu sidangnya pada tahun 1999 sampai 2002 merumuskan Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi, “Negara mengatur dan mengurus daerah yang bersifat khusus dan istimewa.” Jadi tidak lagi negara mengakui dan menghormati. Maka dari itu, Yang Mulia, seharusnyalah Mahkamah menyatakan bahwa syarat subjektif berupa menyerahkan darat ... daftar riwayat hidup yang memuat antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak dinyatakan bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Terima kasih. Jakarta, 8 Februari 2017. Aan Eko.

50. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih, Pak Aan. Silakan duduk. Berikutnya, K. H. Dr. Marzuki. Saya persilakan. Waktunya sama, maksimal 15 menit.

13 51. AHLI DARI DPD: MARZUKI WAHID

Assalamualaikum wr. wb.

52. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Waalaikumussalam wr. wb

53. AHLI DARI DPD: MARZUKI WAHID

Yang Mulia dan kami muliakan Bapak Ketua dan Anggota Majelis Hakim Kostitusi Republik Indonesia. Yang kami hormati dan yang terhormat Pimpinan DPD, DPR RI, Pihak Pemerintah, Kuasa Hukum Pihak Terkait, dan Hadirin, Hadirat sekalian. Perkenankan saya menyampaikan beberapa keterangan sebagai Ahli dalam agama Islam untuk perkara pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Dearah Istimewa Yogyakarta terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam keterangan ini, saya hendak menjelaskan pemahaman saya tentang Islam dalam kaitannya dengan kepemimpinan perempuan. Pengertian khalifatullah dan abdurrahman. Penjelasan khalifatullah dan abdurrahman ini disampaikan untuk merespons makna dan Gelar Sultan Ngagogyakarta Hadiningrat, yakni Ngarso Dalem, Sampeyan Dalem, Ingkang Sinuhun, Kanjeng Sultan , Senopati Ing Ngalogo, Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah yang juga disebut dalam Pasal 1 poin 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012. Adapun keterangan tentang pemimpin perempuan dalam Islam untuk merespons wacana tentang boleh dan tidaknya perempuan menjadi pemimpin publik? Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Konstitusi, beberapa hal pokok dapat saya jelaskan sebagai berikut. Pertama, Islam adalah agama keadilan yang diturunkan oleh Allah Yang Maha Adil. Keadilan Allah tercermin dan terwujud ke dalam seluruh ajarannya. Tidak mungkin Allah Yang Maha Adil mewujudkan ajaran yang tidak adil. Maka dapat dipastikan bahwa tidak ada ajaran Islam yang diskriminatif, baik secara sosial maupun gender. Hal ini selaras dengan firman Allah dalam Surat Al Hujurat ayat (13), “Ya ayyuhannasu inna kholaqnakummin dzakariwauntsa waja 'alnakum syu'u bawwaqobaa ilalita'arofuu, inna akromakum 'indallahi atqakum. Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

14 Nabi Muhammad juga bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya ayahmu satu dan sesungguhnya ayahmu satu, ketahuilah tidak ada keunggulan orang Arab atas non-Arab, tidak ada pula keunggulan antara orang yang berkulit putih dengan orang yang berkulit merah. Yang membedakan adalah ketakwaannya.” Inilah prinsip nondiskriminasi dalam Islam yang diakui oleh semua ulama Islam. Perihal kepemimpinan perempuan dalam Islam harus diakui bahwa hal ini masih kontroversial dalam kajian keislaman. Ada ulama yang melarang, tetapi ada juga ada ulama yang membolehkan perempuan menjadi pemimpin publik. Masing-masing memiliki argumentasinya sendiri, baik argumentasi naqli (tekstual), maupun argumentasi aqli (kontekstual). Kami ingin menjelaskan beberapa hal saja dari beberapa argumentasi, baik yang pro maupun kontra perempuan sebagai pemimpin. Sebagian ulama yang melarang perempuan menjadi pemimpin publik berargumentasi … kami tulis ada 10 argumentasi, tidak akan saya bacakan semua karena sudah tertulis di dalam keterangan tertulis ini. Pertama bahwa tidak ada nabi dan rasul berjenis kelamin perempuan. Menurutnya, nabi dan rasul adalah refleksi dari pemimpin, baik dalam skala besar maupun dalam skala kecil, suka atau tidak suka mereka adalah contoh pedoman atau acuan bagi manusia lainnya. Rujukannya adalah firman Allah Surat Al An’am ayat (9) yang artinya, “Dan kalau kami bermaksud menjadikan rasul itu dari golongan malaikat, tentulah kami jadikan dia berupa laki-laki.” Dan ada tiga ayat yang lain Surat Yusuf ayat (109) dan Surat Al Anbiyaa ayat (7). Lalu argumentasi yang lain bahwa imam dalam salat tidak boleh perempuan kecuali makmumnya juga perempuan. Ini berdasarkan pendapat dalam mazhab Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali. Juga argumentasi yang lain, laki-laki sudah ditetapkan sebagai pemimpin bagi perempuan. Ayat yang sering disitir adalah Surat An Nisa ayat (34), “Ar rijalu kawwamuna alan nisai bi ma faddalallahu ba’dahum ala ba’dın wa bi ma anfaku min amwalihim.” Menurutnya, ayat ini memang konteksnya kepemimpinan rumah tangga, akan tetapi logikanya jika kepala rumah tangga saja harus dipimpin oleh laki-laki, apalagi seorang kepala negara, menurutnya pemimpin haruslah laki-laki. Dan argumentasi yang lain termasuk adalah hadis yang sangat popular yang sering digunakan oleh orang yang menolak pimpinan perempuan adalah hadis dari … hadis dari Abu Bakrah yang berbunyi, “Layyufli hakaumun wallau amrahum imra’atan. Tidak akan pernah bahagia satu bangsa yang dipimpin oleh perempuan.” Kira-kira itu. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi, adapun para ulama yang membolehkan perempuan menjadi pemimpin berargumentasi pertama bahwa Alquran telah menegaskan bahwasanya perempuan dan laki-laki setara derajatnya di hadapan Allah. Ini ditegaskan Allah dalam

15 Alquran surat Al Hujurat ayat (13) dan Surat An Nahl ayat (97) yang tadi sudah Ahli sampaikan. Yang surat An Nahl ayat (97) artinya begini, “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” Argumentasi yang lain bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama berpotensi untuk meraih prestasi. Hal ini didasarkan pada firman Allah, Surat An Nisa ayat 124 yang berbunyi, “Barang siapa yang mengerjakan amal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang dia beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walaupun sedikit.” Juga argumentasi yang lain bahwa perempuan dan laki-laki juga sama-sama diperintah untuk berbuat kebajikan.” Ini didasarkan pada Surat At Taubah ayat 71, juga ada hadis yang tadi Ahli sebutkan, yaitu hadis dari yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah yang berbunyi, “La yufliha qoumunwallau amrohum imroatan.” Ini dikritisi oleh orang yang mendukung ulama yang mendukung pimpinan perempuan. Bahwa hadis ini harus dipahami secara kontekstual, bukan dipahami secara tekstual. Harus di (suara tidak terdengar jelas) dengan semangat dan illat-nya (kuasa hukum) sebagaimana kaidah ushul fikih. “Alkhumu yaduru ma'a 'illatihi wujudan wa'adaman.” Illat dari pernyataan Rasullah itu adalah kondisi perempuan pada waktu itu yang belum memungkinkan untuk menangani urusan kemasyarakatan karena ketiadaan pengetahuan dan pengalaman. Sehingga Nabi menyatakan, “Tidak akan bahagia suatu kaum yang dipimpin oleh perempuan dalam kondisi seperti itu.” Sedangkan, pada zaman sekarang, kondisi perempuan sudah berubah, sudah banyak perempuan yang memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai urusan tersebut, dengan perubahannya illat-nya, maka hukumnya pun menjadi berubah berdasarkan kaidah ushul fikih tadi. Hadis ini harus dilihat asbab al-wurud-nya. Hadis ini tidak dapat dipahami secara berlaku umum. Hadis ini harus dikaitkan dengan konteks saat Rasullah menyabdakannya. Perhatikan asbab al-wurud- nya, hadis ini ditujukan oleh nabi kepada peristiwa pengangkatan putri penguasa tertinggi Persia yang bernama Bauran binti Syiruyah Ibnu Kisra, sebagai pewaris kekuasaan ayahnya yang meninggal dunia. Menurut mereka, bagaimana mungkin hadis tersebut dapat dipahami bahwa semua penguasa tertinggi yang berkelamin perempuan pasti mengalami kegagalan. Sementara Alquran menceritakan betapa bijaksananya Ratu Saba’ yang memimpin Negeri Yaman, sebagaimana terbaca dalam Surat An Naml ayat 44. Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Konstitusi. Argumentasi yang lain adalah bahwa tidak ada dalil yang merupakan

16 nash syar’iy, baik Alquran maupun hadis untuk melarang perempuan menjadi pemimpin publik. Ini ada di Kitab Adabul Mar’ah fil Islam. Kontroversi pelarangan dan kebolehan kepemimpinan perempuan dalam kajian Islam adalah produk tafsir ulama atas teks-teks Alquran dan hadis. Alquran dan hadis Surat An Nisa ayat 34 dan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Sahabat Abi Bakrah, yang kemudian dijadikan dasar pelarangan kepemimpinan perempuan pada dasarnya bukan bersifat insya’iy (affirmatif), melainkan hanya bersifat ihkbariy (informatif), sehingga tidak kuat untuk dapat dijadikan landasan hukum. Malah dalil- dalil yang ada sebaliknya, menegaskan tentang kesetaraan laik-laki dan perempuan. Dengan kewajiban yang sama untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, melakukan amal sholeh, dan bahkan dalam sejarah Islam Ummu Sulaim dan beberapa perempuan Ansar ikut berperang bersama Rasullah untuk mengobati dan membagikan air minum kepada tentara. Kenyataan sejarah juga menunjukkan bahwa perempuan ikut terlibat dalam ranah publik, misalnya istri Nabi Muhammad, Aisyah yang memimpin langsung perang Jamal, dan Syifa’ binti Abdullah Al Makhzumiyah diangkat menjadi hakim pengadilah Hisbah di Pasar Madinah pada masa Khalifah Umar bin Al Khattab. Yang Mulia Majelis Konstitusi, menyikapi kontroversi ini, saya berpegangan pada lima qawaid fiqhiyyah, sebagai berikut: a. Al-Hukmu yaduru ma’a illatihi wujudan wa ’adaman (hukum bergerak (berubah) menurut ‘illat/kausalitasnya). b. La yunkaru taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminah wa al- amkinah wa al-ahwal (tidak dapat diingkari bahwa hukum berubah karena perubahan keadaan, waktu, dan tempat). c. La siyasata illa ma wafaqa asy-syar’u (dalam urusan politik yang paling menentukan adalah kesesuaiannya dengan syara’), bukan sebaliknya La Siyasata illa ma nathaqa bihi asy-syar’u (dalam urusan politik yang menentukan bukan apa yang diucapkan oleh syara’). d. Tasharrufu al-imam ‘ala ar-ra’iyyah manuthun bi al-mashlahah (tindakan penguasan atas rakyatnya harus didasarkan atas kemaslahatan rakyat). e. Dan kaidah terakhir yang kami dasarkan adalah Hukm al-qadliy ilzamun yarfa’ al-khilaf (keputusan pemerintah/negara mengikat, menghilangkan segala perbedaan yang ada). Atas dasar lima kaidah ini dengan keahlian saya, untuk masa sekarang dan seterusnya, saya berpendapat dan berpandangan bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki, untuk dapat menjadi pemimpin publik di semua tingkatan, termasuk gubernur dan presiden. Saya juga berpandangan bahwa polemik atau kontroversi tentang perempuan menjadi pemimpin publik, perlu segera diakhiri atau disudahi karena sejumlah fakta sejarah dan kenyataan yang dialami, sebagai berikut:

17 Pertama. Fakta yang sudah terjadi dan telah diakui meluas, disahkan, dan dipilih oleh mayoritas muslim, Indonesia pernah dipimpin oleh presiden perempuan, yakni Presiden Megawati Soekarno Putri. Saat itu, dan selama periode kepemimpinannya, Presiden Megawati Soekarno Putri didukung dan disetujui oleh para ulama, baik dari MUI, NU, Muhammadiyah, dan ormas Islam lainnya. Kebijakan-kebijakannya juga disetujui dan ditaati oleh semuanya, termasuk para ulamanya. Selain itu, Indonesia juga pernah dan sedang dipimpin oleh gubernur perempuan, bupati/walikota perempuan, camat perempuan, lurah/kepala desa perempuan. Hasil dari kepemimpinan mereka telah menorehkan kemaslahatan yang telah dirasakan oleh mayoritas rakyat Indonesia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan telah diakui secara luas, disahkan dan disetujui oleh masyarakat dan bangsa Indonesia. Bahkan Ketua Umum PPP 1998 sampai 2007, Dr. H. Hamzah Haz, pernah menjadi wakil presiden dari presiden perempuan, yaitu Megawati Soekarnoputri pada periode 2001 sampai 2004. Dan juga K. H. Dr. Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU 1999 sampai 2010, juga pernah menjadi calon wakil presiden dari calon presiden perempuan, yaitu Megawati Soekarnoputri pada pemilihan umum presiden tahun 2004. Ini artinya fakta telah menghapus semua perbedaan tadi. Dalam sejarah nusantara telah dicatat, diakui, dan dibuktikan bahwa perempuan telah berhasil memimpin kerajaan-kerajaan Islam di nusantara. Di antaranya selama 96 tahun kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh lima perempuan, yakni Ratu Nahrasiyah dari Kerajaan Samudera Pasai yang memimpin antara 1400 sampai 1428. Beliau memimpin selama 28 tahun. Ratu ini dikenal bijak dan penuh kelembutan dalam memimpin dan dicintai serta dihormati rakyatnya. Juga dipimpin oleh Ratu Safiatuddin Tajul Alam, yang memimpin selama 34 tahun dari 19 ... 1641 sampai 1675. Pada kepemimpinannya dibentuk pasukan perempuan yang ikut serta dalam Perang Malaka. Juga ada Ratu Naqiatuddin Nurul Alam. Ini yang memimpin cukup singkat, 1675 sampai 1678. Ratu ini mampu mengubah sistem pemerintahan dengan sentralisasi birokrasi. Dan juga ada Ratu Zakiyatuddin Inayah Syah, yang memimpin selama 10 tahun, 1678 sampai 1688. Ketegasan kepemimpinannya adalah melarang pihak asing yang ingin berdagang di Aceh dan mendirikan benteng. Juga ada Ratu Zainatuddin Kamalat Syah, yang memimpin 1688— 1699, selama 11 tahun. Selain di Aceh juga ada terdapat Ratu Siti Aisyah We Tenri Olle, yang memimpin selama 55 tahun dari 1855—1910 memimpin Kerajaan Tanete Bugis di Sulsel. Ratu Sinuhun yang dikenal dengan Ratu Pambayun dari keraja ... Kasultanan Palembang Darussalam. Sang tokoh yang aktif

18 memperjuangkan persamaan hak perempuan. Kira-kira itu. Jadi, fakta sejarah telah membuktikan itu. Selain itu juga ada keputusan Munas Alim Ulama NU di NTB Tahun 1997, yang menyatakan bahwa perempuan mendapatkan tempat mulia dalam Islam. Islam tidak menempatkan perempuan dalam posisi sub ordinat dalam kehidupan masyarakat. Peran domestik dan publik perempuan bisa berjalan seimbang. Sebagai warga negara, perempuan mempunyai hak untuk berpolitik dan melakukan peran sosialnya secara tegas, transparan, dan terlindungi. Peran-peran publik bagi perempuan diperbolehkan sepanjang perempuan tersebut mempunyai kemampuan. Ini termuat dalam Buku Ahkamul Fuqaha, ‘Solusi Problematika Aktual Hukum Islam’. Juga keputusan Muktamar NU yang ke-30 di Lirboyo, yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang menekankan keadilan dan keseimbangan, relasi gender yang kurang adil dalam masyarakat adalah kenyataan yang menyimpang dari spirit Islam yang menekankan keadilan. Ada tiga penghalang yang harus dihilangkan untuk mewujudkan hubungan gender yang adil, yaitu teologi, budaya, dan politik. Dalam bidang politik, sistem sosial dan politik harus dibangun secara demokratis dan lepas dari diskriminasi gender dengan mengedepankan prinsip persamaan, keadilan, kebebasan, menghindari penggunaan kekerasan dan mempunyai keahlian. Selain itu harus ada tindakan afirmatif action, yang menghilangkan praktik kekerasan dalam politik. Ini juga dimuat dalam Buku Ahkamul Fuqaha. Dan fakta yang berikutnya adalah Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Juga Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di mata hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Berdasarkan kaidah fiqhiyyah, hukm al-qadliy ilzanun yarfa’ al- khilaf. Keputusan negara mengikat, imperatif, menghilangkan segala perbedaan yang ada, maka kontroversi yang tadi disebutkan ... yang Ahli sebutkan itu sudah tidak berlaku, maka isi Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam Islam bersifat imperatif, mengikat, mulzimun. Setiap warga negara termasuk warga negara Indonesia. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi. Adapun tentang penyebutan dan makna gelar Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat, yakni “Ngarso Dalem, Sampeyan Dalem, Ingkang Sinuhun, Kanjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ing Ngalogo, Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah.” Sepenuhnya adalah hak kewenangan dan tanggung jawab raja yang jumeneng (bertakhta) sebagai wujud legitimasi kekuatan

19 politik, kekuatan spiritual, dan kekuatan kultural yang melekat dalam keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun karena dalam gelar tersebut terdapat istilah Arab yang bersesuaian dengan ajaran Islam, yakni Khalifatullah dan Abdurrahman (yang dibaca Ngabdurrakhman), maka berikut ini penjelasan saya mengenai dua istilah tersebut dalam perspektif ke-Islaman.

54. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Maaf, Kiai, waktunya tolong dipersingkat.

55. AHLI DARI DPD: MARZUKI WAHID

Ya, terima kasih, Yang Mulia. Istilah Khalifatullah disebut dalam Alquran pada Surat Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi, “Wa idz qola robbuka lil malaaikati inni jaa’illun fil ardi kholiifatan.” Yang artinya, ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi ini.” Lah, kata khalifah secara bahasa berarti menggantikan sesuatu … seseorang yang bertindak menduduki sesuatu, mengisi posisi berikutnya dan bertindak sebagai pengganti. Ini diambil dari kata khalafa, yakhlufu, khalfan. Ibnu Mandhur dalam kitabnya menyatakan bahwa bentuk jamak dari kata khalifa adalah khalaaif atau khulafa. Ketika Rasulullah wafat dan kepemimpinan kaum muslimin digantikan sahabat Abu Bakar, beliau bergelar khalifaturrasulillah, artinya posisi beliau menggantikan Rasulullah dalam memimpin kaum muslimin. Dari sini kita bisa memahami bahwa penguasa atau raja disebut khalifah, pengertian yang tepat bukan pemimpin, tapi adalah pengganti karena raja adalah manusia yang menggantikan kekuasaan dan posisi raja sebelumnya. Sementara untuk istilah Abdurrahman disebut juga dalam Alquran dalam bentuk jamak (plural), yakni ibadurrahman, ini dalam surat Al Furqan ayat (63), “wa ibadurrahman lilladzina yamsyuna ala ardhi haunan wa idza khotabahumul jahiluna qolu salaman.” “Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang, orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, maka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan.” Ini sama dengan khalifatullah, kata abdurrahman juga berarti adalah hamba Allah Yang Maha Penyayang. Dari sisi bentuk kata, khalifah adalah bentuk muannats (kata untuk perempuan) ada tambahan ta’marbuthoh. Kata Imam Syibawaih, tambahan ta’marbuthoh berfungsi mubalaghoh, bukan muannats, akan tetapi menurut Al Farra’, kata khalifah bukan hanya untuk laki-laki (mudzakkar) melainkan juga untuk perempuan muannast, sedangkan abdun adalah bentuk mudzakkar (kata

20 untuk laki-laki) sedangkan untuk muannats-nya adalah ammatun (budak perempuan). Namun, dilihat dari penjelasan Alquran, baik khalifatullah maupun ibadurrahman menunjukkan objek yang sama, yakni manusia. Dengan demikian, manusia memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi khalifah dan fungsi abdun. Khalifah berorientasi pada kepemimpinan pengelolaan kreatifitas, inovasi, pemeliharaan dan keberlangsungan kehidupan di muka bumi ini, sementara abdun berorientasi pada persembahan secara total kepada Allah. Kesimpulan Ahli jelaslah oleh karena menunjuk kepada sasaran yang sama, yakni manusia dengan demikian kata khalifatullah dan abdurrahman bisa digunakan untuk laki-laki dan perempuan sekaligus. Demikian keterangan yang bisa saya berikan terkait dengan keahlian saya. Akhirul kalam waallahumma fik lakumma thariq, assalamualaikum wr. wb.

56. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Walaikum salam wr. wb. Terima kasih, Kyai Marzuki. Kita selesaikan sekalian keterangan ahli untuk kemudian kita lanjutkan dengan diskusi. Dari Pihak Terkait PBNU, Prof. Dr. Purwo atau Kanjeng Yudhaningrat dulu?

57. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SYAMSUDIN SLAWAT (PBNU)

Prof. Purwo, Yang Mulia.

58. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Silakan.

59. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (PBNU): PURWO SANTOSO

Assalamualaikum wr. wb. Para Hakim Konstitusi yang saya muliakan, para hadirin yang saya hormati. Poin kesaksian saya ini terfokus pada dua kata kunci, yakni diskriminasi dan kearifan lokal, dan kaitannya dengan konstruksi keistimewaan dalam tata pemerintahan konstitusional di Indonesia. Kesaksian ini saya tulis dalam kapasitas saya sebagai guru besar ilmu pemerintahan yang kebetulan juga terlibat sebagai anggota tim penyusun naskah akademik dan rancangan undang- undang keistimewaan DIY yang telah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat dan menghasilkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012. Melalui pengalaman saya sebagai anggota tim tersebut, kesaksian ini insya Allah bisa memberikan penjelasan bukan hanya dari segi norma

21 hukum yang diberlakukan, melainkan juga dari segi penalaran di balik pemberlakuan norma hukum tersebut. Pertama, perihal gugatan. Para Hakim Konstitusi yang saya muliakan, kesaksian ini disampaikan untuk merespons gugatan dalam Perkara Nomor 88/PUU-XIV/2016 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Pasal 18 ayat (1) huruf m terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Yang menjadi pokok perkara dalam gugatan ini adalah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa gubernur dan wakil gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat dan seterusnya, menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri dan anak, dan seterusnya. Keberatan para penggugat adalah pada penyebutan secara spesifik tentang saudara kandung, istri, dan anak. Bukan hanya penyebutan ini sekadar untuk memberikan elaborasi secara administratif tentang siapa yang berhak ditetapkan sebagai gubernur, penyebutan ini menjadikan ada diskriminasi perempuan atas laki-laki. Poin saya adalah pada persoalan diskriminasi dan nalar di balik itu. Pokok kesaksian. Justifikasi keistimewaan dalam telaah yang kami lakukan saat itu adalah sebagai bentuk diskriminasi positif. Jadi pada awalnya, pangkalnya adalah sebuah diskriminasi positif. Para Hakim Konstitusi yang saya muliakan, sehubungan dengan gugatan tersebut, izinkan saya terlebih dahulu menyampaikan poin utama kesaksian saya dan memberikan penjelasan secukupnya setelah itu. Bahwa keistimewaan yang diteguhkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012, pada dasarnya adalah bentuk diskriminasi yang bersifat positif. Konstruksi (suara tidak terdengar jelas) yang tergabung dalam tim waktu itu adalah memberikan diskriminasi positif dalam ketatanegaraan Indonesia dan diskriminasi ini harus dirumuskan secara hati-hati. Diskriminasi positif ini diberikan demi memproteksi apa yang kami yakini sebagai kearifan lokal yang telah terartikulasi dalam praktik yang menyejarah. Praktik-praktik yang menyejarah ini menyimpan suatu kearifan yang teraktualisasi sebagai suatu kesatuan logika. Oleh karena itu, kecerobohan dalam membongkar logika ini bisa membahayakan keistimewaan itu sendiri. Bahwa kearifan itu hadir sebagai suatu tatanan sistemik yang secara politik memiliki koherensi logis tersendiri. Yang jelas, tatanan sistemik yang menjadikan tata pemerintahan lokal di DIY dengan skema jaminan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam sebagai gubernur yang disahkan melalui mekanisme penetapan, tidak menjamin hak bagi setiap orang untuk menduduki jabatan publik gubernur. Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam memiliki posisi istimewa, tidak sama dengan warga negara yang lain. Hanya saja, Beliau memiliki hubungan timbal balik yang istimewa, yang

22 ketika ditelaah dari kacamata ilmu politik sifatnya paradoksal, berbeda dengan yang biasa kami ajarkan sehari-hari di kelas. Ini adalah diskriminasi yang secara sosiokultural diimbangi dengan peran-peran istimewa, sebagaimana kami temukan dalam penulisan sejarah. Yang hendak saya kemukakan di sini adalah sekiranya Majelis Hakim Konstitusi menyetujui gugatan permohonan … gugatan Pemohon atas dasar diskriminasi, khususnya diskriminasi antara laki-laki dengan perempuan, maka mohon konstruksi logis keistimewaan tidak menjadi koheren lagi kalau itu dikabulkan. Yang kedua, poin yang kedua adalah antisipasi mengapa koherensi logis ini menjadi penting. Jadi, formula pilkada langsung waktu itu kami usulkan. Hakim Konstitusi Yang Mulia, jika kesetaraan hak perempuan atas laki-laki dijadikan dasar logika dari tatanan itu, maka Majelis Hakim Yang Mulia harus terlebih dahulu memberikan jaminan hak setiap warga negara untuk menduduki jabatan publik, dalam hal ini menduduki jabatan sebagai gubernur. Dengan kata lain, kalau dasar Majelis Hakim untuk mengadili hak warga negara tidak peduli laki-laki atau perempuan, maka di DIY harus dilakukan pemilihan kepala daerah, sebagaimana daerah-daerah lain. Saya tahu ada kontradiktif panjang di sana. Tapi sebetulnya yang ingin saya tegaskan di sini, ketika kami memformulasikan keistimewaan DIY dan menuangkannya ke dalam naskah akademik yang kemudian menjadi acuan dalam penyusunan undang-undang tersebut, tim dari jurusan umum pemerintahan, sekarang Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM telah memperhitungkan persoalan kesamaan ini, hak ini, khususnya hak warga negara untuk menduduki jabatan publik. Namun, dalam pembahasan rancangan undang-undang tersebut, pertimbangan ini ditolak. Sehingga gagasan untuk ada Pilkada di DIY tidak ada lagi dan kami kemudian tidak punya rujukan untuk menjustifikasi itu. Nah, dalam RUU yang kami siapkan jabatan gubernur di DIY, diisi melalui pengisian pemilihan kepala daerah dan pada saat yang sama ada institusi gabungan antara kesultanan dan pakualaman yang posisinya di atas gubernur yang memegang kendali pemerintahan secara tidak langsung. Jadi, Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka itu posisinya di atas gubernur yang dipilih. Hal ini kami tawarkan karena kami terikat pada amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam Pasal 18 ayat (4) bahwa kepala daerah maknanya adalah gubernur, bupati, dan walikota dipilih secara demokratis. Sehingga dalam hal ini, ada beberapa hal yang hendak saya garis bawahi. Pertama, konstruksi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 meniadakan pemilihan umum atau proses standar pengisian jabatan kepala daerah untuk mengisi jabatan gubernur DIY adalah bentuk persetujuan untuk tidak menjamin hak warga negara untuk

23 menduduki jabatan gubernur. Jika Yang Mulia Para Hakim Konstitusi mengabulkan gugatan atas dasar penghapusan diskriminasi perempuan atas laki-laki, maka Yang Mulia tetap memiliki basis konstitusional untuk itu, namun Yang Mulia sebetulnya membongkar konstruksi logis keistimewaan itu sendiri kalau tidak hati-hati. Memang tetap pada cara lain untuk menjabarkan keistimewaan, sebagaimana kami siapkan, namun ketika pertimbangan gender dimasukkan terlebih dahulu, yang tidak kalah penting harus didahulukan adalah mempertimbangkan kesetaraan warga negara. Kedua, jika diskriminasi adalah dalil yang dipakai Para Hakim Mahkamah Konstitusi, maka kontroversi lama, pemilihan versus penetapan akan bangkit kembali. Maknanya, akan ada tuntutan untuk diselenggarakan pemilihan kepala daerah di DIY, sebagaimana di daerah-daerah lain dan sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Yang saya maksudkan di sini bukan untuk menuntut dibatalkan formula penetapan dalam pengisian jabatan gubernur, melainkan menuntut tegarnya kaidah normatif. Jadi, kaidah normatifnya yang sedang kami bicarakan di sini. Bukan menghidupkan lagi naskah akademik yang waktu itu dijadikan apa ... dasar awal. Bahwa karena alasan tertentu di DIY tidak berlaku kaidah persamaan hak untuk menduduki jabatan gubernur dan ini harus ada justifikasi logisnya. Nanti akan saya sampaikan. Ketiga. Mengingat formula penetapan saya ini adalah hal yang diberlakukan melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012, negara dalam hal ini pemerintah perlu mendapatkan kejelasan tentang siapa yang harus ditetapkan sebagai gubernur karena itu pengaturan secara administratif tentang figur yang dilantik menjadi gubernur sangat diperlukan dan hal itu dituangkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 yang saat ini digugat detailnya. Jadi, pengaturan administratif tetaplah penting. Keempat. Karena posisi undang-undang dalam hal ini adalah memberikan proteksi terhadap praktik yang telah menyejarah, perubahan administratif itu bisa saja dilakukan namun harus konsisten dengan nilai-nilai norma kearifan lokal yang berlaku. Dan yang ini nanti akan saya jelaskan lebih lanjut. Para Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Terlepas dari pertimbangan historis yang selama ini diwacanakan sebagai dasar pemberian jaminan keistimewaan DIY, jaminan konstitusional hak warga negara sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945 harus dikawal oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam norma yang berlaku saat ini, pengujian jabatan gubernur tidak mengacu kepada kaidah kesamaan hak, memang bisa digugat warga negara. Gugatan semacam ini sudah kami antisipasi pada saat memformulasikan keistimewaan DIY.

24 Hanya saja, Yang Mulia, solusi terhadap pilihan dilematis yang telah kami siapkan telah ditolak dalam proses legislasi. Oleh karenanya situasi dilematis yang harus diputuskan ketika ada gugatan Mahkamah Konstitusi ini adalah … apa namanya ... menghidupkan dilema lama. Jelasnya, beban untuk membawa kita keluar dari dilema ini pernah kami hadapi dan saat ini ada di hadapan Mahkamah Konstitusi. Tanpa bermaksud untuk memaksakan formula yang kami siapkan, izinkan saya memaparkan formula yang dalam seluruh internal kami saat melakukan formulasi, kami sebut formula nasi goreng. Maksud saya begini, untuk memudahkan perumusan kami menggunakan metafora yang diperagakan dalam keseharian orang Yogya ketika membeli nasi goreng. Ada nasi goreng istimewa dan ada nasi goreng yang tidak istimewa. Dan ketika kami pelajari pembedanya adalah topping-nya, pucuk apa ... ada yang di atas piringnya itu, di atas sajiannya. Cara membuatnya sama, ada telurnya lebih banyak dan tambahan-tambahan yang lain. Nah, formula itu, waktu itu kami gunakan untuk merespons pertanyaan peserta diskusi yang berasal dari unsur pemerintah. Pertanyaan beliau, “Apa sih yang harus berla ... yang harus kami berlakukan di seluruh Indonesia dan apa yang dikecualikan di DIY?” Itu pertanyaan dalam proses formulasi. Esensi pertanyaan itu adalah apakah pengisian jabatan gubernur yang oleh konstitusi harus diberlakukan melalui pemilihan secara demokratis masuk di dalam domain keistimewaan ataukah tidak? Dalam proses perumusan, kami akhirnya mencoba keluar dari domain dengan mengambil posisi yang tidak popular. Bahwa pengisian jabatan gubernur berada di luar domain keistimewaan. Itu formula kami saat merumuskan ... secara akademik. Posisi akademis ini kami ambil karena kami tidak berani melangkahi hak konstitusional warga negara untuk menduduki jabatan gubernur. Kami sangat sadar pengikaran ini akan dengan mudah dimentahkan oleh Mahkamah Konstitusi semudah Mahkamah Konstitusi menyetujui gugatan yang sedang disidangkan saat ini. Hanya saja, kalau Mahkamah Konstitusi bermaksud untuk menegakkan hal itu, maka mestinya Mahkamah Konstitusi juga setuju dengan formula kami bahwa pengisian jabatan gubernur di luar domain keistimewaan DIY. Pengisian jabatan gubernur dilakukan melalui prosedur standar pengisian kepala daerah, yakni pilkada. Saat menyusun formula, kami sadar akan potensi kami menggoncangkan pemikiran publik karena sadar tentang pentingnya perubahan sebagaimana disampaikan oleh Saksi terdahulu, Saksi Ahli. Kami juga telah menyaksikan formula itu telah menghasilkan kontroversi politik yang sangat dahsyat. Lebih dari itu, formula itu telah menyebabkan proses legislasi terjebak dalam kemacetan atau deadlock. Meskipun dalam formula itu kami menawarkan jalan tengah, jalan

25 tengah yang kami formulasikan tetap saja mengerucut dalam (suara tidak terdengar jelas) penetapan versus pemilihan. Dengan formula jalan tengah itu, kami bermaksud memasukkan ide baru, yakni memposisikan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam yang bertakhta dalam mengisi jabatan strategis dalam banyak ... bertakhta sebagai posisi strategis dan beliau menyelenggarakan ... mengendalikan pemerintahan secara tidak langsung. Peran dwitunggal Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam yang apa ... merupakan satu-kesatuan itu juga sebenarnya sudah menyejarah dan kami punya alasan akademis untuk itu. Nah, oleh karena itu, beliau berdualah yang kami posisikan sebagai pemegang otoritas mengatur Daerah Isitmewa dan dalam otoritas gabungan itulah negara memberikan sejumlah kewenangan istimewa. Tentu saja formula ini berpotensi menghasilkan benturan kewenangan antara gubernur terpilih dengan pemegang otoritas gabungan yang waktu itu namanya masih belum mapan, tapi kemudian menimbulkan kontroversi juga. Oleh karena itu, kami memberlakukan kaidah pengendalian pemerintahan secara strategis, namun bekerjanya secara tidak langsung. Kami menawarkan formula itu karena kami khawatir formula pengisian jabatan gubernur melalui ketetapan akan digugat di Mahkamah Konstitusi sebagaimana kita jalani hari ini, persoalannya adalah diskriminasi. Dalam antisipasi terhadap gugatan di atas, kami merumuskan prosedur penyelenggaraan pilkada langsung yang pada saat yang sama mendudukkan Sri Sultan Hamengkubuwono dan Sri Paduka Pakualam tetap dalam posisi strategis, tetap dihormati, dan dipatuhi oleh gubernur yang dihasilkan melalui proses pilkada. Selain itu, kedudukan protokol beliau dalam konsep yang kami sajikan dalam naskah akademik setara dengan menteri. Secara kolektif beliau menjabarkan kewenangan istimewa yang kami rumuskan ada lima yang diberikan oleh negara melalui arahan atau garis-garis besar kebijakan dalam penyusunan perda istimewa sehingga konstruksi perda istimewa sekarang ini tidak logis lagi. Nah, demi menegakkan konflik antara Sri Sultan dan Sri Paduka di satu pihak dengan siapa pun yang berhak menjabat sebagai gubernur, maka siapa pun yang ikut pilkada harus mendapatkan restu dari kedua beliau. Gubernur menjalankan pemerintahan di DIY, namun kendalinya dipegang oleh Sri Sultan dan Sri Paduka untuk memegang kewenangan- kewenangan istimewa yang pengaturannya dituangkan dalam perda istimewa. Untuk menopang penggunaan kewenangan istimewa negara menyediakan dana keistimewaan. Sebagaimana kita ketahui, formula yang kami tawarkan sebagai jalan tengah atas persoalan diskriminasi tersebut di atas tidak diadopsi

26 lagi oleh undang-undang yang diturunkan dari naskah akademik yang kami siapkan. Kontroversi dan cukup lamanya stagnasi dalam proses legislasi akhirnya diselesaikan secara politis. Oleh karena itu, dalam pembacaan saya sebagai salah satu anggota tim penyusun naskah akademik negara melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 telah secara sadar memberlakukan diskriminasi dan melalui undang-undang itu keduanya telah dikukuhkan hak memonopoli kewenangan warga negara menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur. Pada saat yang sama, saya juga menyadari bahwa pengisian jabatan gubernur melalui mekanisme penetapan telah diterima, telah dirasionalisasi sebagai suatu bentuk diskriminasi positif sebagai perlindungan kearifan lokal yang sudah mensejarah. Oleh karena itu, pertaruhan keistimewaan ada pada kearifan Sri Sultan dan Sri Paduka Pakualam apakah harus ... Sri Paduka apakah terus tampil menampilkan DIY secara istimewa ataukah tidak? Secara sosiologis, saya bisa memahami bahwa aktualisasi yang istimewa sebagaimana diakui dalam telaah sejarah, warga negara yang secara konstitusional berhak menduduki jabatan gubernur bisa saja merasa tidak kehilangan haknya. Dalam pengertian inilah diskriminasi positif saya bisa mengerti.

60. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Maaf, Prof, waktunya.

61. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (PBNU): PURWO SANTOSO

Ya, terakhir. Pertaruhan tentang aktualisasi keistimewaan adalah mengkonfirmasi kearifan yang diaktualisasikan oleh pucuk pimpinan tertinggi. Para Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan, dalam kontruksi yang kami rumuskan dalam naskah akademik, negara bisa melindungi diskriminasi positif tersebut atas dasar ... tersebut di atas sepanjang basis untuk memberlakukan diskriminasi positif itu masih ada. Di samping diskriminasi positif terhadap hak istimewa yang dilekatkan pada Sri Sultan Hamengkubuwono dan Sri Paduka Pakualam yang bertakhta, undang-undang ini mengimbangi jaminan hak istimewa yang menduduki takhta ini dengan kewajiban istimewa. Alasannya adalah untuk memberikan diskriminasi positif yang itu dituangkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012, saya tidak bacakan. Yang saya ingin garis bawahi di dalam pasal itu yang terkait dengan pengisian jabatan gubernur adalah butir e pasal tersebut, izinkan saya mengatakan, “Melembagakan peran dan tanggung jawab kesultanan dan kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta yang merupakan warisan budaya dan hal ini diwujudkan

27 melalui pemeliharaan, pendayagunaan, serta pengembangan dan penguatan nilai-nilai norma adat istiadat, tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY.” Nah, norma adat istiadat dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY inilah yang kami maknai sebagai paugeran dalam percakapan sehari-hari di masyarakat Yogya. Majelis Hakim Yang Mulia, diskriminasi positif diperlukan sebagaimana dinyatakan dalam ayat (6) Pasal 5 adalah demi memelihara, mendayagunakan, serta mengembangkan, dan penguatan nilai-nilai norma adat istiadat dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat. Dalam istilah ini, makna kearifan lokal kita perlu gali. Diskriminasi positif dilakukan agar kewenangan-kewenangan istimewa yang diamatkan negara kepada DIY berlangsung secara optimal dan oleh karena itu dijelaskan Pasal 7 secara lebih lanjut bahwa penyelenggaraan kewenangan dalam urusan keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat, artinya keberpihakan pada rakyat itulah yang diharapkan masyarakat sebagai imbangan dari tiadanya hak untuk mendapatkan jabatan gubernur. Dan telaah historis yang kami lakukan, hal itu teraktualisasi secara jelas dalam tapak ... apa namanya ... kekuasaan di zaman Hamengku Bowono IX. Dan pada saat itu ada ungkapan, “Takhta untuk rakyat.” Dan takhta untuk rakyat itulah yang tidak ... apa ... bisa dipahami dengan logika teori politik yang kontemporer. Karena takhta itu sesuatu yang diperbutkan, tetapi justru didedikasikan untuk rakyat dan sepi ing pamrih rame ing gawe. Lalu kemudian, kemampuan mengendalikan diri itulah yang menjadi intinya. Dan oleh karena itu, takhta untuk rakyat itu dikonfirmasi dengan ... apa namanya ... diizinkannya tanah-tanah yang dimiliki kesultanan untuk dipakai rakyat tidak untuk ... apa namanya ... disewa, tetapi dimanfaatkan oleh publik dan tanah itu di ... di ... apa namanya ... konfirmasi kepemilikannya bukan oleh rakyat dengan uang yang tidak terlalu berarti. Dan dengan cara itu, kemudian muncul jabaran lebih lanjut tanah untuk rakyat. Dan dengan cara seperti itu, maka justru kecintaan rakyat Yogya kepada Sri Sultan menjadi sangat kuat. Poinnya adalah kearifan dalam menggunakan kekuasaan itulah yang menjadi pertaruhan dari kearifan lokal yang ada. Penutup. Para Hakim Konstitusi yang saya muliakan. Proteksi keistimewaan melalui undang-undang ini menjadi sia-sia jika karena satu dan lain hal, kearifan tidak dikonfirmasi oleh rakyat. Pada saat yang sama, proteksi terhadap keistimewaan ini pun menyisakan dilema-dilema sentral dalam kehidupan bernegara di Republik ini, sebagaimana Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam yang kekuasaannya dipertaruhkan di atas kearifannya. Di atas kearifan itulah, nasib kami warga negeri ini tergantung pada keputusan Bapak, Ibu Mahkamah Konstitusi.

28 Saya sungguh berharap keputusan yang arif itulah yang kami dapatkan dari persidangan ini. Assalamualaikum wr. wb.

62. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Waalaikumsalam wr. wb. Terima kasih, Prof. Purwo. Berikutnya, Kanjeng Gusti Yudhaningrat, saya persilakan.

63. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (PBNU): KGBPH YUDHANINGRAT

Bismillahirrahmaanirrahiim. Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Assalamualaikum wr. wb. Yang kami muliakan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Ketua DPD RI atau yang mewakili, Pihak Pemerintah, Para Kuasa Hukum, serta Pihak Penggugat yang kami hormati. Pertama, kami ucapkan terima kasih kepada Kiai Abdul Muhaimin, Saudara Aji Pancono, Tim Hukum dari Yogyakarta, Perwakilan Lurah Daerah Istimewa Yogyakarta, kepada Bapak Sukiman (Ketua Paguyuban Dukuh se-Daerah Istimewa Yogyakarta), kemudian juga Putra-Putra Ndalem Almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono ke-IX. Yang kedua, kami mengucapkan terima kasih kepada para pejuang Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang berjuang sejak tahun 1999 sampai 2012. Yang Terhormat Pimpinan dan Anggota DPD RI atau yang mewakili. Kemudian, serta Pemerintah Pusat dari DPR RI yang telah mengesahkan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta setelah melalui perdebatan panjang selama 12 tahun. Yang ketiga, kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Muqowam, Bapak Nono Sampono, serta seluruh Anggota DPD RI Komite I. Kemudian, dari DPR RI, Pemerintah Republik Indonesia, Para Saksi Ahli, dan Saksi Fakta yang telah berjuang mempertahankan Keistimewaan Yogyakarta sesuai amanat Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Yang keempat adalah kami ucapkan terima kasih kami kepada Tim Hukum LPBH NU selaku Kuasa Hukum dari Pihak Terkait. Terima kasih dan takdim kami kepada Kiai Haji Said Aqil Siroj (Ketua PBNU) yang berkenan mendukung kami untuk mempertahankan eksistensi Kesultanan Yogyakarta di tengah perubahan zaman sesuai amanat para leluhur dan para aulia wali Allah, serta alim ulama di masa lalu. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Saya Drs. Gusti Bendoro Pangeran Haryo Haji Yudhaningrat, M.M., dalam kedudukan sebagai Saksi Ahli. Mohon izin menyampaikan pokok-pokok kerugian bagi masa depan, serta eksistensi Kesultanan Yogyakarta atau Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Jika dalam Nomor 88/PUU-XIV/2016 Permohonan Pengujian Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang

29 Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewan Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, jika diterima atau dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Yang pertama, Sri Sultan Hamengku Buwono ke-IX dalam amanat takhta untuk rakyat menyatakan bahwa Hamengku Buwono akan tetap terus ada di masa yang akan datang sebagaimana pernah ada ratusan tahun yang silam. Artinya, putra-putri ahli waris berserta keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono ke-IX, akan kehilangan tanggung jawab, amanah untuk meneruskan dan mempertahankan eksistensi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang harus dipimpin seorang Sultan Hamengku Buwono yang sah sesuai paugeran adat. Kedua, apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi mengabulkan perubahan Pasal 18 ayat (1) huruf m dengan menambah kata suami, maka akan menimbulkan perubahan yang sangat mendasar dalam paugeran adat, yaitu memberi peluang seorang sultan tidak harus laki- laki dan akibatnya Kraton Ngayogyakarta Hadingingrat sebagai penerus kekhalifahan Islam akan kehilangan garis keturunan atas dasar nasab, yaitu garis keturunan Kanjeng Panembahan Senopati Ngalogo. Ketiga, jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pengujian Pasal 18 ayat (1) huruf m, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berarti mengabaikan kedudukan hukum Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman sebagai amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Derah Istimewa Yogyakarta dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta yang tetap mempertahankan sifat-sifat tradisionalnya sebagaimana amanat yang disampaikan Sri Sultan Hamengku Buwono ke-IX dalam penobatannya pada tanggal 18 Maret tahun 1940 sebagai berikut. "Saya menyadari bahwa tugas yang ada dipundak saya adalah sulit dan berat. Terlebih-lebih karena ini menyangkut mempertemukan jiwa barat dan timur agar dapat bekerja sama dalam suasana harmonis tanpa yang timur harus kehilangan keperibadiannya. Walaupun saya telah mengenyam pendidikan barat yang sebenarnya, namun pertama- tama, saya adalah dan tetap adalah orang Jawa. Maka selama tak menghambat kemajuan, adat akan tetap menduduki tempat yang utama dalam Keraton yang kaya akan tradisi ini. Izinkanlah saya mengakhiri pidato saya ini dengan berjanji semoga saya dapat bekerja untuk memenuhi kepentingan nusa dan bangsa, sebatas pengetahuan dan kemampuan yang ada pada saya." Atas dasar amanat pidato pada tanggal 18 Maret tahun 1940 tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono ke-IX pun memenuhi janjinya dan memegang teguh sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono sampai akhir hayat dikandung badan, yakni tetap mempertahankan nama, gelar,

30 dan kedudukannya sebagai sultan sesuai paugeran adat sehingga berhak mendapatkan penghormatan terakhirnya dengan tata cara pemakaman sesuai paugeran adat sebagaimana para Sultan Hamengku Buwono sebelumnya. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, sebelum kami mengakhiri kesaksian dan memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia agar menolak permohonan pengujian Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kami akan menyampaikan kaidah-kaidah aturan adat bagi seorang sultan, yaitu yang pertama, Kesultanan Ngayogyakarta menjadi kesatuan hukum adat sejak berdiri tahun 1755 karena kesultanan yang sudah ada tetap terus dipertahankan dan dilestarikan sebagaimana amanat perjanjian Sultan Hamengku Buwono ke-IX dengan para pendiri bangsa, serta sesuai amanat leluhur Sultan Hamengku Buwono sebelumnya. Kedua, jika seorang sultan sudah ingkar amanat terhadap janjinya sendiri sebagaimana inti tekad dari Kanjeng Gusti Pangeran Haryo H. Mangkubumi, S.H., yang diucapkan dalam … di hadapan Sultan Hamengku Buwono ke-IX disaksikan GBPH atau Gusti Bendoro Pangeran Aryo H. Prabuningrat, menyatakan yang pertama adalah untuk tidak mempunyai prasangka iri dan dengki kepada orang lain. Yang kedua, untuk tetap merengkuh orang lain biarpun orang lain tersebut tidak senang. Yang ketiga, untuk tidak melanggar paugeran ning negoro atau aturan adat, agama, aturan perundangan NKRI. Yang keempat adalah untuk lebih berani mengatakan yang benar itu benar, yang salah itu salah. Yang kelima adalah untuk tidak mempunyai ambisi apa pun selain untuk menyejahterakan rakyat. Janji tersebut seharusnya jadi panduan dan memberi pencerahan kepada yang bersangkutan ke arah yang baik dan benar sesuai paugeran adat. Yang ketiga, jika seorang sultan masih merasa dirinya adalah pusat kekuasaan, negara adalah aku karena tidak memahami bahwa setelah memasuki alam kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945 Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat tidak lagi berdiri sendiri sebagai negara yang bersifat kerajaan atau monarsi ... monarki absolut, tapi sudah menjadi daerah istimewa yang bersifat kerajaan dimana seorang sultan Yogyakarta adalah pemimpin adat, budaya, dan agama yang harus tunduk pada paugeran adat dan agama sekaligus sebagai pejabat publik atau aparatur negara, yaitu gubernur, kepala daerah Daerah Istimewa Yogyakarta yang harus tunduk dan patuh pada aturan perundang-undangan negara.

31 Yang keempat, jika gugatan terhadap frasa istri pada huruf m ayat (1) Pasal 18 Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomer 13 Tahun 2012 disetujui untuk diubah dengan tambahan frasa suami berarti menimbulkan rasa ketidakadilan karena tidak melindungi hak adat Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Sebagai salah satu dari 250 Zelfbesturende Landschappen yaitu susunan tata pemerintah asli yang terdapat dalam teritori negara Indonesia dimana gubernur dan wakil gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang dijabat oleh Sultan Yogyakarta dan Adipati Paku Alam yang bertakhta sesuai dengan paugeran adat adalah pilihan demokrasi budaya yang ingin mempertahankan peradaban asli budaya nusantara sesuai lex specialis derogat legi generali. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, demikian kesaksian kami, baik saya selaku pribadi warga negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai salah satu Putra Sri Sultan Hamengkubuwono Kesembilan Almarhum maupun sebagai Pengageng Kewedanan Ageng Parwo Budoyo Pengageng Kawedanan Pridomardowo Serta Manggolo Prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Akhirulkalam apabila dalam tutur kata selama menyampaikan kesaksian terdapat hal-hal yang kurang berkenan, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih atas terkabulkan permohonan kami, yaitu Majelis Hakim berkenan menolak gugatan pihak penggugat sebagai disebutkan dalam pokok perkara di atas. Billahi taufiq walhidayah. Wassalamualaikum wr. wb

64. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Walaikumsalam wr. wb. Terima kasih, Gusti Yudhaningrat. Silakan duduk. Baik. Sekarang kita mulai dari DPD terlebih dahulu. Silakan DPD kalau ada hal-hal yang akan didalami menyangkut keterangan Ahli yang sudah disampaikan, baik kepada Ahli yang diajukan sendiri dari DPD maupun Ahli Pihak Terkait. Silakan.

65. DPD: INTSIAWATI AYUS

Baik. Terima kasih, Yang Mulia. Untuk yang telah disampaikan oleh Saksi Ahli dari DPD, kami tidak akan mempertanyakan lagi dan pada prinsipnya kami DPD tetap pada keterangan yang telah disampaikan oleh Para Ahli yang ada. Dan pada Saksi Ahli yang lain kami tidak menambahkan lagi dalam pertanyaan. Kami merasa cukup dengan apa yang telah disampaikan.

66. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik.

32 67. DPD: INTSIAWATI AYUS

Terima kasih.

68. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih, Ibu. Dari Pemerintah?

69. PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS

Terima kasih, Yang Mulia. Ada, Yang Mulia.

70. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Silakan.

71. PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS

Ya. Terima kasih kepada Ahli Pak Aan. Di halaman 74 menyatakan bahwa adanya syarat harus mempunyai saudara kandung, punya istri, punya anak adalah kontrak politik ala Indonesia. Padahal sesungguhnya Pasal 18 ayat (1) itu mengatur tentang daftar riwayat hidup normanya mengatur daftar riwayat hidup. Kemudian, kalau dilihat ke Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat (2) huruf l daftar riwayat hidup yang ditandatangani calon, daftar riwayat hidup yang ditandatangani calon sebagai bukti pemenuhan syarat, sebagai bukti pemenuhan syarat. Sehingga pertanyaannya pada Ahli, apakah itu mengandung makna bahwa sesungguhnya syarat-syarat anak, syarat istri, syarat semuanya, bukanlah sesuatu yang substansial. Karena dinyatakan di situ sebagai bukti. Ketika calon telah menandatangani maka itu sudah bukti. Jika ditolak oleh DPRD misalnya, apa konsekuensi hukumnya? Karena sudah bukti. Dinyatakan undang-undang bukti, tapi kemudian ditolak oleh DPRD. Apa konsekuensi hukumnya? Demikian, terima kasih.

72. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih, Pak Sitorus. Sekarang dari Pemohon, ada untuk keempat ahli ini?

73. KUASA HUKUM PEMOHON: IRMAN PUTRA SIDIN

Terima kasih, Yang Mulia. Kami bertanya keempat Ahli. Jadi buat Mas Aan … Pak Aan. Jadi, pada prinsipnya bahwa semakin banyak norma dalam sebuah negara, maka berarti semakin negara itu mengintervensi kehidupan pribadi warga negaranya. Kira-kira begitu.

33 Nah, apakah ini haram? Tentunya tidak, Saudara Ahli. Jadi, yang kami gugat ini adalah menyangkut tentang ada negara mengakui dan menghormati keistimewaan sebuah daerah. Norma yang kami gugat ini kami anggap bahwa ini norma ini berlebihan, ikut terlalu jauh masuk pada ranah internal keistimewaan dari keraton itu. Norma ini seolah-oleh mengatakan bahwa negara mau masuk di situ untuk menentukan bahwa raja itu harus punya istri, harus punya pekerjaan, punya pendidikan, punya anak, dan punya saudara kandung. Ini yang kami anggap bahwa ini negara terlalu jauh, terlalu jauh masuk, sehingga ini justru melanggar keistimewaan itu sendiri. Jadi kita tidak memperhadap-hadapkan, kita tidak sedang melawan keistimewaan, justru kita ingin mengangkat keistimewaan itu. Itu yang pertama buat Saudara Ahli. Yang kedua kepada Kiai Marzuki. Yang saya mau tanya kepada Kiai Marzuki, apa … apakah di negara-negara agama, mungkin khususnya Islam, rajanya itu harus ada gelarnya Khalifatullah atau Ngabdurrakhman, Sayidin, dan seterusnya, dan seterusnya di situ? Karena jangan sampai seolah-olah negara mau diperhadapkan dengan agama ketika terjadi perubahan-perubahan paugeran atau adat. Ya kedua, Kiai Marzuki. Saya mau tanya, kami sempat baca tentang bagaimana kepemimpinan Ratu Balqis di situ. Bahkan kalau tidak salah, dua kitab pun menceritakan tentang Ratu Balqis ini dalam Alquran dan kalau tidak salah juga dalam Injil Ibrani juga disebutkan. Mudah-mudahan kami tidak keliru di situ, kami butuh pemahaman sedikit tentang itu. Kepada Ahli Bapak Purwo Santoso. Yang kami gugat ini, apakah Ahli membaca baik-baik gugatan kami? Apakah diskriminasi positif itu diartikan bahwa raja laki-laki yang belum kawin tidak bisa jadi gubernur atau raja laki-laki yang sudah kawin, tiba-tiba istrinya meninggal atau wafat langsung berhenti menjadi gubernur di situ? Apakah raja laki-laki yang tidak punya anak kandung, tidak bisa menjadi gubernur atau tidak punya saudara kandung atau tidak punya pekerjaan? Apakah ini diskriminasi positif yang Ahli maksud itu? Yang terakhir kepada Kanjeng Yudhaningrat bahwa saya mau belajar sedikit tentang ketika … tentang … ketika sejarah HB IX menyatakan bergabung dengan NKRI. Saya membayangkan bahwa itu adalah perubahan tatanan konstitusi besar-besaran di situ, mungkin paugeran atau apa pun itu sifatnya. Karena bukankah dulu yang namanya Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah negara sendiri? Tiba-tiba menyatakan kita bergabung dengan NKRI. Nah, apakah sejarah ini sesungguhnya adalah sejarah besar akan bagaimana perubahan- perubahan ketatanegaraan di Keraton Kesultanan Hadiningrat? Ini justru … ini … apakah ini mengguncang konstitusi yang berlaku di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat? Saya kira itu, Yang Mulia.

34 74. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, terima kasih. Sekarang, Pihak Terkait Ngarso Dalem, ada? Silakan. Untuk Ngarso Dalem, hanya bisa menanyakan pada Ahli yang diajukan oleh DPD, tidak bisa ke ahli yang diajukan oleh Pihak Terkait sesama Pihak Terkait.

75. PIHAK TERKAIT: SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO X

Kalau menaggapi secara tertulis, apa diperkenankan?

76. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Tidak. Anu, nanti kalau tertulis, nanti di dalam kesimpulan saja.

77. PIHAK TERKAIT: SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO X

Baik, baik. Kalau untuk dari DPD, kami tidak ada. Terima kasih.

78. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Tidak. Baik, terima kasih, Ngarso Dalem. Dari Pihak Terkait PBNU bisa kepada DPD dan bisa kepada Pihak Terkait.

79. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SYAMSUDIN SLAWAT (PBNU)

Ya, kami hanya akan meminta pendalaman saja kepada Kanjeng Gusti Yudhaningrat tentang beberapa hal. Yang pertama, tentang kedudukan dan kekuatan hukum paugeran adat dalam sistem hukum di keraton. Yang kedua, berkaitan dengan proses suksesi. Bagaimana sebenarnya paugeran yang berlaku dalam proses itu? Dan yang ketiga, sebenarnya kalau aspek sejarahnya, bagaimana proses pergantian kepemimpinan dari Sultan Hamengku Buwono yang pertama sampai dengan yang terakhir? Dan bagaimana … apa … pemberlakuan paugeran dalam proses sejarah itu? Itu saja dari kami, Yang Mulia.

80. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Pihak Terkait, PBNU. Dari Hakim ada tiga, empat, ya, berturut-turut dari sebelah kanan saya, Pak Palguna, saya persilakan, nanti Pak Wahid, Prof. Maria, dan ... oh, Prof. Aswanto, dan Pak Suhartoyo. Saya enggak usah, kalau begitu, saya juga tadinya ingin, tapi sudah banyak. Silakan, Pak Palguna.

35 81. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA

Terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua. Saya masih penasaran karena belum mendapatkan jawaban dari dua persidangan sebelumnya dari Para Ahli maupun pembentuk undang-undang mengenai hal ini. Tadi sudah ... tadi Ahli Pak Purwo Santoso berkali-kali mengingatkan tentang konstruksi logis atau koherensi logis dari … dari undang-undang ini, saya kaitan pertanyaanya itu, Prof. Pasal 18 ayat (1) yang dipersoalkan sekarang pada huruf c mengatakan bahwa calon gubernur dan wakil gubernur adalah Warga Negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat dan seterusnya. Syarat nomor c, “Bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk Calon Gubernur, dan bertakhta sebagai Adipati Pakualam untuk Calon Wakil Gubernur.” Dalam persidangan sebelumnya, kami mendapatkan informasi dan ini tidak ada yang membantah bahwa persoalan siapa yang bertakhta atau bagaimana prosedurnya seseorang bertakhta sebagai sultan atau bertakhta sebagai adipati, itu adalah urusan internal keraton atau kadipaten. Nah, persoalannya sekarang, kalau kita mendasarkan pada konstruksi logis, nah persoalannya ketika muncul huruf m ini, itu apakah masih urusan keraton itu? Apakah tidak ada pertentangan di situ logika, terlepas dari kita ... terlepas dari persoalan ada atau tidak adanya diskriminasi di situ. Di dalam rumusan perundang-undangan, hal yang seperti ini yang kadang disebut sebagai contradictio in terminis. Ada satu pertentangan di dalam satu pengertian. Di satu pihak bahwa urusan untuk menentukan siapa sultan yang bertakhta itu adalah diserahkan kepada ada bagian dari keistimewaan, artinya yang tidak akan dicampuri oleh negara. Jelas itu artinya diberikan kepada atau diserahkan kepada paugeran yang berlaku di keraton. Tapi kemudian muncul syarat nomor m. Syarat nomor m, yang suka atau tidak ... ada atau tidak persoalan intervensi di situ ketika dipersoalkan demikian, berarti itu sudah mencampuri urusan yang tadinya oleh undang-undang sendiri diserahkan sebagai bagian dari keistimewaan. Ini ... saya tidak akan mempersoalkan konstruksi logisnya semata-mata, tetapi yang belum saya dapatkan dari persidangan sebelumnya adalah apakah persoalan ini pernah dibicarakan di dalam ketika membicarakan dalam persidangan, dalam pembicaraan RUU Keistimewaan Yogjakarta ini, atau dan yang kedua, apakah ini termasuk atau tidak dalam kajian naskah akademik yang Prof. Purwo sendiri bidangi? Begitu, Pak Ketua, terima kasih.

36 82. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, terima kasih. Yang Mulia Pak Wahiduddin, saya persilakan.

83. HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS

Ya, saya terkait pertanyaan Yang Mulia Pak Palguna juga. Jadi, kepada Pak Purwo Santoso yang juga menyusun naskah akademik rancangan undang-undang ini, yang itu artinya hasil kajian pengamatan yang memuat dasar filosofis, yuridis, sosiologisnya, serta constante fakta, untuk penyusunan rancangan undang-undang tentang Keistimewaan DIY ini. Karena kenapa, sejak pertama saya juga agak menelusuri keterangan kesaksian Pak Paulus Yohanes Sumino. Nah, di sana mengatakan bahwa rumusan Pasal 18 ayat (1) ini disepakati bahwa harus sama dan baku standar dengan di Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana di sana disebutkan, “Menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap, yang memuat antara lain riwayat pendidikan, dan pekerjaan, serta keluarga kandung, suami atau istri.” Itu yang ada di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Nah, oleh sebab itu, saya tanyakan kemarin kepada Pak Hakam Naja, itu ada kata dihapusnya suami hanya istri itu adalah dari jawabannya itu nampaknya bukan dari rancangannya, bukan dari naskah akademiknya, tetapi hasil timus (tim perumus), timsin dan tim sinkronisasi penyisiran setelah dikonfirmasi kepada Pak Sultan mengatakan, “Sultan itu apa?” “Ya, laki-laki.” Nah, oleh sebab itu, lalu rumusanya untuk suami dicoret. Nah, saya ingin tanyakan ke Pak Purwo, apakah keterangan ini sama? Artinya, sejak naskah akademi, sebenarnya rumusan Pasal 18 ayat (1) huruf m itu sudah ada? Atau kalau memang sudah ada dengan filosofi itu, ya tadi pertanyaan Pak Palguna, apakah karena ini hasil penelitian, hasil kajian, nah, di kalangan akademisi, di tokoh-tokoh masyarakat ya memang rumusan Pasal 18 ayat (1) huruf m itu, ya, memang itulah yang didapat dari hasil pengkajian dan ada di rumusan naskah akademik. Karena saya urut dari Saksi Pak Yohanes, kemudian Pak Akam Najam, itu karena ada konfirmasi untuk tidak sama dengan rumusan pasal di Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 dimana ada suami atau istri di sana karena dikonfirmasi hal itu, maka kata suami itu dicoret sehingga ya, tidak sama dengan rumusan di Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004. Saya minta konfirmasi penegasan itu saja, Pak … Prof. Terima kasih.

37 84. HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI

Ya, terima kasih, Pak Ketua. Tanggapan saya kepada Ahli Gusti Bendara Pangeran Haryo Yudhaningrat. Saya akan menanggapi ancaman dari Ahli di sini karena Ahli menyatakan kalau Mahkamah mengabulkan permohonan ini, maka ada beberapa hal yang disampaikan. Saya akan menanggapi yang ketiga, di sini dikatakan, “Jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pengujian Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2012, berarti mengabaikan kedudukan hukum Kesultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1990 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah istimewa yang tetap mempertahankan sifat-sifat tradisionalnya, sebagai amanat yang disampaikan Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX dalam penobatannya pada tanggal 18 Maret 1940.” Dan seterusnya saya menyadari ... dan seterusnya. Ini kan, sudah pidato tahun 1940 dan sekarang ini zaman sudah berubah, apakah kemudian ini akan tetap dipertahankan dan tidak mungkin diubah secara ... kita selalu mengatakan bahwa sekarang eranya era demokrasi, memang ada kearifan lokal, tapi apakah kalau kita mengatakan itu pidato tahun 1940, apakah itu masih sesuai dan itu perlu kita pertahankan? Sehingga kalau Mahkamah mengabulkan berarti eksistensi Daerah Istimewa Yogyakarta itu kemudian hilang? Itu saja. Terima kasih.

85. HAKIM ANGGOTA: ASWANTO

Terima kasih, Yang Mulia. Saya ingin klarifikasi ke Pak Aan, ya. Pak Aan kan, sebagai Ahli legal drafting, ya. Di dalam Pasal 18 ayat (1), ya, memang yang dipersoalkan oleh Pemohon itu kan kata istri, gitu ya. Tapi sebelum saya masuk ke situ, saya ingin minta kejelasan dulu. Dalam penyusunan suatu undang-undang, apakah penempatan norma yang diurut apakah itu menggunakan angka atau menggunakan huruf itu sekadar ditempatkan begitu saja susunannya atau apakah bisa kita memaknai bahwa sebenarnya penempatan yang ... atau norma yang lebih prinsip atau lebih utama itu ditempatkan pada angka yang di atas secara berurut gitu, atau hanya sekadar penempatan saja, gitu? Misalnya apakah … kalau kita melihat ke Pasal 18, apakah bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa itu sama saja dengan bukan sebagai anggota partai politik pada huruf n. Atau menyerahkan daftar hidup pada huruf m. Nah, atau mungkin yang di atas lebih utama daripada yang di bawah, gitu. Nah, itu yang pertama. Yang kedua. Kalau misalnya di dalam penyusunan norma itu, di poin ... pada poin-poin itu apakah angka atau huruf ternyata ada pertentangan antara yang di atas dengan yang di bawah, atau

38 mungkinkah terjadi pertentangan antara yang di atas dan di bawah? Dan kalau terjadi seperti itu, yang mana yang harus kita jadikan sebagai rujukan? Misalnya di Pasal 18 itu ... Pasal 18 ayat (1) huruf c itu yang bisa menjadi ... ini kan, kita bicara mengenai persyaratan gubernur, gitu ya. Nah, ini juga kelihatannya ada distorsi sebenarnya karena selama ini seolah-olah yang dipersoalkan itu bahwa yang … apa namanya ... ada distorsi seolah-olah kita lari bahwa ini persoalan boleh tidaknya perempuan jadi raja, gitu. Padahal sebenarnya ini kan persoalan pencalonan gubernur, gitu. Nah, misalnya dalam pencalonan ... dalam persyaratan pencalonan gubernur Pasal 18 ayat (1) huruf c, yaitu bertakhta sebagai Sultan Hamengkubuwono untuk calon gubernur dan bertakhta sebagai Adipati atau Paku Alam untuk calon wakil gubernur. Katakanlah syarat itu sudah terpenuhi, tapi kemudian tadi saya nyambung juga yang disampaikan oleh Kuasa Hukum. Kemudian ternyata yang bertakhta itu adalah putra dari … apa namanya ... ya, memang dia seorang putra raja, tetapi kebetulan dia adalah putra tunggal. Lalu kemudian, dia tidak punya saudara seperti Pak Irman sampaikan tadi, apakah kemudian persyaratan pada bagian c itu harus dinyatakan tidak berlaku, gitu? Karena ada persyaratan dibawa, gitu. Nah, ini tolong penjelasan dari Pak Aan ya mengenai itu, apakah justru itu tidak muncul nanti diskriminasi? Saya enggak bisa menjadi gubernur karena saya adalah raja yang kebetulan anak tunggal dan tidak punya anak, padahal saya adalah sultan yang memang bertakhta. Itu yang tolong, Pak Aan, dari sisi pembentukan perundang-undangan. Yang kedua, ini mohon maaf agak anu sedikit, tambahan sedikit. Saya agak bingung DPD. Ketika Pak Aan memberikan penjelasan tadi, itu kelihatan sejalan dengan apa yang diminta oleh Pemohon, ya sebagai Ahli DPD, tetapi ketika saya baca naskah yang dibacakan oleh DPD ketika memberikan keterangan secara resmi, itu bertolak belakang begitu, ini tolong DPD ada apa ini sebenarnya? Cukup, Yang Mulia. Terima kasih.

86. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, silakan, Pak Suhartoyo.

87. HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO

Terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua. Ya saya pertama ke Pak Aan juga, saya menyambung apa yang disampaikan Prof. Aswanto. Pak Aan kan ketika itu diminta menjadi tim penyusun oleh DPD, ya, kemudian ada beberapa bagian keterangan Saudara/Anda bahwa ... bahkan secara substansi, DPD itu sebenarnya tidak pernah dilibatkan atau alih-alih di ...

39 nah, saya minta klarifikasi saja, apakah substansi yang diberikan hari ini adalah buah-buah pikiran dari DPD ketika itu ataukah keahlian Saudara yang menjadi pemikiran baru yang hari ini menjadi ... apa ... substansi daripada yang diminta dari DPD. Karena kalau itu buah pikiran, berarti bukan keahlian, kesaksian mestinya. Tapi, kalau itu kemudian buah pikiran Anda sebagai ahli, yang mestinya dilepaskan dari baju ketika itu Anda sebagai tim penyusun, itu barangkali baru masuknya menjadi ... masuknya menjadi substansi keahlian. Itu klarifikasi saja. Kemudian pertanyaan saya kedua ke Prof. Purwo Santoso. Begini, Prof, saya mohon pandangan Anda bahwa kalau memang keistimewaan Yogya itu kemudian tidak serta-merta tidak boleh ditarik kepada wilayah yang lebih universal bahwa ... malah Anda kemudian membuat ... apa ... semacam nomenklatur apa tadi, diskriminasi positif itu, itu apakah kemudian sebenarnya esensi yang sangat mendasar itu, keistimewaan Yogya itu karena gubernurnya itu seorang raja semata, ataukah sampai masuk pada wilayah rajanya pun harus laki-laki? Nah, itu yang kemudian akan sangat mempengaruhi bahwa kalau memang itu sudah bergeser boleh tidak laki-laki, kemudian keistimewaannya dipertanyakan, saya minta pandangan-pandangan dari Prof, apakah sampai ke wilayah itu? Bukannya itu menjadi wilayah Keraton yang menjadi sangat otonom barangkali, kalau boleh dikatakan. Tapi kalau Prof punya pandangan lain, mohon di persidangan dibuka ... diberikan pencerahan soal itu. Kemudian, satu pertanyaan lagi ke Pak Yudhaningrat. Pak Yudhaningrat itu dulu kalau enggak salah waktu muda sering naik kuda, ya? Bukan? Ya, kan? Ya dulu saya sebagai kawula alit di Yogya sering melihat, wah, ndomblong kalau saya dulu melihat. Ya, tapi ya ini cerita karena saya juga lahir dan besar di sana, jadi dulu di SMA 4 kalau enggak salah? SMA 3 atau 4 ini? 3, ya. Karena satu kelas dengan kakak saya, tapi nanti terlalu dalam kalau saya cerita ... hahaha. Begini, Pak Yudhaningrat, kalau Bapak mengatakan bahwa ... apa ... tadi saya ... sebentar, amanat takhta, amanat takhta itu saya ingin tahu, Pak Yudha, Pak Yudhaningrat, kekuatannya seperti sejauh mana ya kekuatan berlakunya? Kalau itu memang kekuatannya sama dengan amanat takhta setiap raja yang bertakhta, tentunya perbedaannya apa dengan amanat takhta yang dikeluarkan oleh Sri Sultan saat ini misalnya? Kalau memang ada amanat takhta adanya di era ke-IX kemudian itu dijadikan semacam paugeran misalnya, apakah kemudian amanat takhta yang raja-raja sebelumnya tidak ada, kalau kemudian adanya baru di era Sultan ke-IX berarti itu kan merupakan untuk perubahan juga. Nah, kemudian kalau itu merupakan bentuk perubahan, apakah kemudian ada konsekuensi apa dengan amanat takhta yang dikeluarkan oleh Sultan X, misalnya? Nah, itu, saya mohon apa perbedaan kekuatan mengikatnya, kemudian kewenangan yang dimiliki, apakah juga ada perbedaan antara amanat takhta atau raja yang bertakhta soal

40 kewenangannya maupun produk amanat takhtanya apakah ada perbedaan di situ, Pak Yudhaningrat? Sehingga ketika itu menjadi amanat yang kemudian dikamuflasekan menjadi sebuah paugeran, tentunya hak otonom ada pada keraton yang kemudian ketika ditarik keluar kan, tidak kemudian serta-merta bisa dicampuradukkan dengan menjadi ketentuan-ketentuan yang ada di negara kesatuan yang sifatnya universal itu. Pak Yudhaningrat, saya yakin bahwa Bapak paling tahu yang ada di dalam yang selama ini bisa memberikan kesaksian di persidangan ini karena saksi-saksi yang lain, ahli-ahli yang lain, saya melihat belum atau tidak seposisi seperti Pak Yudhaningrat. Mungkin itu, Pak Ketua. Terima Kasih.

88. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih, Yang Mulia. Ya, ini keterangan DPD-nya yang memang saya tadi juga akan minta penjelasan. Ada DPD-nya Pak Muqowam, ada DPD-nya Kanjeng Gusti Ratu Hemas. Terus kemudian ahlinya juga ada dua-dua, tapi enggak apa-apa itu yang berkembang di persidangan. Saya persilakan kalau begitu dari mulai Pak Aan, kemudian Kiai Marzuki, Prof. Purwo, dan yang terakhir Gusti Yudhaningrat, silakan. Supaya bisa menghemat waktu karena waktunya sudah ada persidangan berikutnya pukul 14.00, silakan Pak, Hakim juga perlu makan soalnya.

89. AHLI DARI DPD: AAN EKO WIDIARTO

Terima kasih, Yang Mulia. Mohon maaf saya jawab berdasarkan substansinya, tidak berdasarkan urutan yang bertanya. Yang pertama tentunya soal klarifikasi dulu. Dalam posisi ini saya sebagai Saksi atau sebagai Ahli. Memang pada waktu itu saya dilibatkan dalam proses penyusunan tahun 2010 sampai dengan munculnya draf dari pemerintah tahun 2011. Pada waktu … pandangan terhadap draf pemerintah pun saya juga terlibat. Nah, keterlibatan itu adalah sebagai ahli dalam proses tersebut. Berbeda dengan Pak Paulus, tentunya Pak Paulus sebagai anggota yang punya wewenang langsung. Nah, apakah substansi yang ada di sini adalah buah pemikiran saya ataukah fakta yang merupakan sikap DPD? Untuk itu di halaman 2, di halaman 3, dan di halaman 4, sepanjang itu yang pandangan DPD, saya tidak berani mengklaim itu pandangan saya. Makanya ada catatan di sana (pandangan pendapat DPD, 2 Februari 2011) mesti saya setiap kali ada pandangan DPD, saya beri catatan kakinya atau innote kalau dalam konteks ini. Jadi, sepanjang tidak ada innote-nya itu merupakan pandangan pendapat DPD, itu adalah pandangan saya sebagai Ahli dalam persidangan ini.

41 Yang berikutnya adalah terkait masalah pembacaan, yang ini merupakan pertanyaan dari pemerintah. Pembacaan Pasal 18 ayat (1) dan kaitannya dengan ayat (2). Dan di sini ada tulisan saya di halaman 7, apakah ini merupakan suatu syarat kontrak politik ala Indonesia tadi itu? Begini, Pak, Pasal 18 ayat (1) huruf m yang sekarang kita perdebatkan itu, ini memang konsekuensinya ke Pasal 18 ayat (2) huruf l. Bahwa seseorang itu bisa diverifikasi nanti untuk menjadi calon gubernur, itu apabila sudah atau menyerahkan daftar riwayat hidup yang ditandatangani calon sebagai bukti pemenuhan syarat. Nah, di Pasal 18 ayat (2) huruf l kan bunyinya seperti itu. Artinya apa? Ini sangat substantif, dalam arti kalau calon itu tidak bisa menyerahkan daftar riwayat hidup seperti yang diperintahkan Pasal 18 ayat (2) huruf l, maka dalam verifikasi akan tidak lolos. Kalau tidak lolos bagaimana? Itu kan diatur di dalam Pasal 21, kalau tidak lolos, dan juncto Pasal 23. Kalau sampai nanti dengan kemudian tidak lolos walaupun jumeneng, walaupun bertakhta, maka akan berlaku ketentuan Pasal 26 ayat (7), yaitu diangkatlah pejabat gubernur sampai dengan nanti yang bertakhta atau yang jumeneng itu mampu memenuhi syarat daftar riwayat hidup sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (1) huruf n juncto Pasal 18 ayat (2) huruf l. Sehingga ini sangat substantif sekali. Kalau ini kemudian diterapkan dan berjalan, maka saya menyetarakan ini hampir mirip dengan kontrak politik yang dilakukan Belanda terhadap HB V sampai dengan HB IX. Karena kalau tanpa kontrak politik itu, tidak akan bisa menjadi Sultan Yogya, itu pada waktu zaman Belanda. Kemudian, yang berikutnya adalah pertanyaan dari Pak Irman. Apakah memang dalam konteks ini negara terlalu masuk ke dalam internal keraton dengan adanya persyaratan-persyaratan tersebut? Dalam keterangan Ahli saya ini saya membuat ada kategori dari persyaratan di Pasal 18 ayat (1) ini. Syarat yang sifatnya subjektif dan syarat yang sifatnya objektif. Syarat yang sifatnya subjektif itu adalah kualifikasi seseorang ya karena dirinya sendiri karena kodratnya karena takdirnya. Seseorang itu laki-laki, seseorang itu perempuan, seseorang punya saudara, punya anak ini adalah syarat subjektif. Sementara, seseorang ditakhtakan, diangkat, ditakhtakan jumeneng itu adalah syarat obejektif karena tidak berasal dari dalam dirinya, tapi dari luar dirinya. Menjadi anggota parpol, ini juga syarat objektif, bukan karena dirinya tapi karena partai politik yang merekrutnya atau dia menundukkan diri pada partai politik. Nah, dalam konteks ini seharusnya undang-undang itu tidak masuk ke syarat subjektif. Syarat subjektif itu biarlah menjadi kualifikasi atau menjadi persyaratan di internal, sehingga syarat subjektif ini hanya untuk memenuhi siapa yang bisa bertakhta, baru syarat subjektif. Siapa yang menentukan syarat subjektif? Keraton sendiri.

42 Nanti siapa yang bisa menjadi gubernur? Ini persoalan beda. Yang menjadi gubernur harus memenuhi syarat objektif. Nah, misalnya bukan menjadi anggota parpol. Misalnya yang bersangkutan adalah jumeneng. Itu adalah syarat objektif sehingga kalau ... kalau sudah memenuhi syarat objektif, maka bisa menjadi calon gubernur. Sehingga bisa saja ... bisa saja di Yogya nanti ada sultan yang bertakhta, tapi bukan menjadi gubernur karena yang menjadi gubernur adalah pejabat gubernur seperti di Pasal 26 ayat (1) dalam konstruksi undang-undang ini. Jadi, kalau kemudian undang-undang ini mencampuradukkan dua syarat itu, terjadilah yang tadi pertentangan antarnorma. Syarat subjekif dijadikan satu dengan syarat objektif sehingga sama-sama enggak bisa berjalan seandainya syara subjektif ini hanya sampai kepada sultan bertakhta, kemudian untuk menjadi gubernur ada syaratnya lagi, itu akan berbeda. Makanya seharusnya konstruksi Pasal 18 ini dipecah jadi dua. Dan seharusnya negara tidak perlu mengatur yang bersangkutan itu apakah laki-laki atau perempuan dan seterusnya punya anak dan seterusnya untuk bisa bertakhta kemudian. Nah, inilah yang seharusnya dilakukan penataan itu. Dan ... dan memang saat ini sudah terjadi ketelanjuran dengan adanya Perdais yang menganalog dari bunyi Pasal 18 ayat (1). Menurut Adolf Merkl dalam das doppelte-nya bahwa hukum itu menjadi dasar di bawahnya dan kemudian bersumber pada atasnya. Sehingga nanti kalau Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 18 ayat (1) huruf m ini adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, maka Perdais itu gugur dengan sendirinya karena tidak mempunyai validity, tidak mempunyai dasar keberlakuan. Yang kemudian, Yang Mulia Hakim Aswanto. Memang ini ada dalam hukum perundang-undangan saya melihatnya ada dua. Sesuatu yang diurutkan itu maknanya hierarkial atau tidak hierarkial. Kalau hierarkial tandanya adalah digunakan frasa terdiri atas. Kalau terdiri atas a, b, c, d, maka yang paling atas itu adalah yang paling tinggi. Itu ada dalam rumusan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia terdiri atas (a) Undang-Undang Dasar, (b) TAP MPR, (c) dan seterusnya. Tidak tergantung apakah menggunakan alfabet atau menggunakan angka Arab. Yang jelas dalam suatu uraian harus menggunakan alfabet, setelah alfabet baru angka Arab. Jadi angka Arab atau alfabet itu tidak menunjukkan hierarki. Tapi hierarkinya ditunjukkan dari frasa yang ada di atasnya. Nah, dalam konteks Pasal 18 ayat (1) tidak digunakan frasa terdiri atas, tetapi digunakan harus memenuhi syarat. Kalau ini apa maknanya, tidak hierarkial. Tidak kemudian huruf a bisa mengenyampingkan di bawahnya, tidak. Tetapi apa? Nah, ini yang kedua. Yang kedua dalam teknik peraturan perundang-undangan itu ada setiap kali rincian di akhirnya pasti ada kata dan/atau ... dan/atau yang digunakan

43 pembentuk undang-undang ini adalah kata dan, itu di huruf m. Menyerahkan daftar riwayat hidup dan seterusnya (titik, koma) dan bukan bukan partai ... bukan sebagai anggota partai politik. Apa artinya dan ini? Dan ini artinya kumulatif. Artinya, tidak boleh salah satu tidak dipenuhi. Kalau di sini digunakan kata atau, maka m boleh diabaikan, n boleh diabaikan. Tapi karena digini ... di sini digunakan kata dan, maka a sampai n di Pasal 18 ayat (1) itu harus dipenuhi semua. Kalau tidak, maka konsekuensinya tadi itu yang sudah saya jawab ke Pemerintah. Nah, kemudian yang kedua. Apakah mungkin terjadi pertentangan antarnorma dan kalau itu terjadi bagaimana kemudian mengambilnya? Ini sangat mungkin. Tadi Yang Mulia Hakim Palguna sudah mengungkapkan adanya in terminis itu ... pertentangan in terminis itu. Jadi, bisa juga terjadi antinomi atau paradoks antarpasal. Nah, di sinilah sebenarnya fungsinya penafsiran hukum. Ada penafsiran teleologis, ada penafsiran sistematis. Untuk meng ... untuk apa? Kalau dibaca secara letterlijk bisa saja bertentangan. Tapi kalau dari sisi teleologis, dari sisi tujuan pembentukannya, dari sisi politik hukumnya, bisa jadi itu tidak bertentangan, bisa saja karena hanya persoalan kesalahan redaksional. Karena kelemahan hukum tertulis sebagaimana dikatakan Pak Satjipto Rahardjo, itu adalah permainan kata-kata. Kalau yang bermain kata-kata tidak canggih, ya, kesalahan itu sangat mungkin. Maka dari itulah, fungsi penafsiran hukum untuk bisa menemukan ini arahnya apa, ini maknanya apa, dan seterusnya. Nah, kemudian, terkait dengan Pak Palguna, memang tidak langsung ke saya, tapi saya lihat sama dengan tadi bagaimana membaca pasal ini agar tidak terjadi kontradiksi, ya, saya melihat itu tadi, ada syarat subjektif, ada syarat objektif yang seharusnya secara subjektif ini biarlah Keraton yang menentukan, negara tidak boleh ikut campur. Baru ketika mau menduduki jabatan publik, harus memenuhi syarat. Salah satu contoh begini, dalam suksesi Keraton di Yogya, pernah anak berumur 3 tahun itu menjadi sultan, bertakhta. Kalau menurut Pasal 18 ayat (1) huruf c, berarti 13 tahun harus jadi gubernur. Persoalannya, apakah bisa ini diterapkan begitu ... serta-merta, kan begitu. Maka dari itu, perlu ada syarat objektifnya. Selain bertakhta ada syarat yang lainnya, misalnya umur 30 tahun di sini. Artinya apa? Sambil menunggu 30 tahun, maka diangkatlah pejabat gubernur. Sudah benar di dalam draf ini ada 26 ayat (1) yang mengatakan itu. Cuma ketika berhadapan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf m, ini tidak bisa jalan mekanismenya, kenapa? Orang tidak bisa menunggu jadi laki-laki atau jadi perempuan. Kalau menunggu jadi 30 tahun, bisa. Tapi kalau menunggu jadi laki-laki, ya, kapan jadinya? Kan gitu. Sehingga ini sudah masuk ke ranah Keraton seharusnya, maka dari itu, saya menganjurkan tadi, ya, mohon maaf tidak menggurui, tapi sangat logis kalau lebih baik huruf m ini dihapus.

44 Terima kasih, Yang Mulia.

90. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Kiai Marzuki, silakan.

91. AHLI DARI DPD: MARZUKI WAHID

Terima kasih, Yang Mulia. Tadi ada satu pertanyaan ke saya dari Kuasa Hukum Pemohon Pak Irman tentang apakah negara-negara ... di negara-negara Islam ada gelar Khalifatullah dan Ngabdurrakhman? Tadi saya menjelaskan di dalam keterangan Ahli bahwa gelar Khalifatullah dan Ngabdurrakhman, itu sebetulnya ada di dalam Alquran Khalifah dan Abdurrakhman. Dan kalau Khalifatullah dan Abdurrakhman sering disebut sebagai gelar untuk manusia secara keseluruhan. Karena manusia memiliki dua fungsi, yaitu fungsi khalifah dan fungsi abdul. Rasul sendiri sebagai kepala negara yang memimpin Negara Madinah saat itu juga tidak memiliki gelar, cuma disebut sebagai Nabiullah dan Rasullullah. Mulai ada nama Khalifah setelah kemudian Rasullullah wafat, lalu itu pun namanya adalah Khalifaturrasullillah, pengganti Rasul. Lalu kemudian Khalifah ini digunakan sampai ke Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, Bani Fatimiyah, dan sampai ke Khalifatul Usmani. Di beberapa negara yang lain, misalnya ada di Arab menggunakannya malik, Malikul Haromain, Raja yang mengurusi dua Masjid Haromain Makkah dan Madinah. Tetapi, saya ingin mengatakan bahwa gelar, tadi yang disebutkan di Keraton Ngayogyakarta, yaitu ... apa ... Ngarso Dalem, Sampean Dalem Ingkang Sinuwun, dan seterusnya itu, menurut saya itu adalah bagian dari kearifan lokal. Kearifan lokal yang kata Muhammad Jadul Maula, Budayawan Yogyakarta, itu diperoleh melalui riyadhoh yang sangat kuat. Jadi, sehingga mungkin masing-masing memiliki keistimewaannya sendiri untuk memberikan gelar kepada rajanya masing-masing. Dan itu, saya kira sangat beragam di Islam dimungkinkan. Karena di Iran misalnya, pemimpin Islam di sana gelarnya adalah Imam atau Ayatullah, bukan Khalifatullah atau Abdurrakhman, tapi Ayatullah. Bahkan kalau di literatur-literatur Fikih Siyasah yang muncul sebutan untuk presiden atau pemimpin yang besar, itu kira-kira ada tiga, pertama khalifah, imam atau sulton, dan itu tidak ada aturan baku harus pakai khalifah atau pakai imam, atau pakai sulton. Karena itu, saya ingin mengatakan bahwa gelar itu adalah bagian dari kearifan lokal dan mungkin masing-masing punya keistimewaannya sendiri untuk menamai gelar itu. Tapi, kalau Khalifatullah dan Abdurrakhman secara normatif, itu adalah gelar untuk manusia secara keseluruhan, tetapi bisa jadi

45 digunakan sebagai gelar satu kerajaan tertentu karena kearifan-kearifan tertentu yang membentuknya. Saya kira itu jawaban dari saya. Terima kasih.

92. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih, Kiai Marzuki. Berikutanya Prof. Purwo silakan.

93. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (PBNU): PURWO SANTOSO

Terima kasih, Yang Mulia. Yang dihadapkan pada saya ada dua hal. Yang pertama, kesaksian karena keterlibatan saya dalam penyusunan naskah akademik. Dan yang kedua adalah opini saya atau tafsir saya terhadap norma dan pemberlakuan norma yang ada. Perihal kesaksian, keterlibatan saya dalam naskah itu kami memang tidak merancang ada pengisian jabatan gubernur secara langsung … sori, pengisian jabatan melalui penetapan sehingga kami tidak merumuskan secara spesifik dan kami juga tidak punya rumusan yang kemudian sekarang disengketakan itu, sehingga kami tidak … tidak bisa mempertanggungjawabkan pasal-pasal itu. Dan kami sejak awal itu sadar kalau pengaturan norma itu tidak konsisten, akan menimbulkan konflik. Dan sebetulnya yang menjadikan kita berada di ruangan ini adalah adanya konflik di dalam … apa namanya … kesultanan. Nah, oleh karena itu, kami mempublikasikan naskah yang kami buat. Jadi, kalau Yang Mulia menghendaki, saya akan bisa serahkan apa yang kami rumuskan. Nah, kaidah perumusan tadi dalam rangka untuk menjaga konstruksi logisnya atau mencegah contradictio in terminis itu adalah dengan meminimalisasi negara masuk ke wilayah adat. Itu … itu memang kaidah kami. Dan kalau yang dipersidangankan ini dipersoalkan, memang itu berada di luar zona … apa namanya … negara untuk mengatur … apa namanya … siapa yang … yang berhak jadi raja dan seterusnya. Tapi, yang diatur pemerintah itu adalah gubernur, gitu. Jadi, ini kita sedang bicara gubernur, bukan bicara tentang … apa namanya … raja atau sultan. Karena sultan siapa pun dalam logika kami, ya, ya, itu harus diterima. Tetapi pada saat yang bersamaan, pemerintah punya beban untuk mengatur pilkada sehingga harmoni dengan pengaturan pilkada itu tafsir saya yang … yang mendasari mengapa ada … apa … keluhan semacam terlalu jauh, gitu. Oke, itu … itu tentang … apa … keterlibatan saya dan … dan teman-teman. Karena kami tidak terlibat di dalam perumusan pasal-pasal yang mengatur penetapan, bahkan kami termasuk yang dimarahi orang Yogya karena menawarkan konsep itu … konsep pemilihan itu. Lalu, ya, sudah kami tidak ada terlibat dan kami diam.

46 Tafsir yang berikutnya, ini terkait dengan permintaan dari Pemohon. Apakah raja laki-laki itu sebentuk diskriminasi positif? Dalam tafsir saya, ya. Kalau … kalau saya mempelajari hukum adat sebagai satu-kesatuan logika. Dan itulah yang diwacanakan di masyarakat. Dan hal macam itulah yang … yang menjadi norma-norma dan berlakunya norma itu juga yang sudah dikunci di dalam undang-undang itu sendiri sehingga pemberlakuan norma itulah yang … yang menjadi penting. Dengan kata lain, saya mengatakan bahwa persoalan ini harusnya diselesaikan di internal kesultanan. Dan karena konflik yang tidak … apa namanya … tuntas atau belum selesai berlangsung, lalu kemudian urusannya melebar ke sini. Ini tafsir politik saya. Dan oleh karena itu, ketika Mahkamah Konstitusi akhirnya terjebak oleh pasal yang … yang tadi sudah intervensionis itu, usul saya ya solusinya tidak sekadar … apa namanya … normatif belaka, tetapi juga ada unsur kearifan karena yang dipersidangkan adalah kearifan, bukan mekanika hukum, gitu. Nah karena kita proteksikan kearifan kalau logikanya mekanistik logistik … apa namanya … legalistik semata, ya itu kemudian bagi saya itu tidak … tidak arif. Tapi sekali lagi, ini tafsir saya, bukan … bukan pertanggungjawaban saya dengan tim terhadap naskah itu karena kami tidak terlibat. Nah, lalu apakah yang … yang menjadi kunci keistimewaan itu hanya pada raja atau pernyataan raja selanjutnya? Dalam narasi saya tadi, hubungan timbal balik raja dengan rakyat itulah yang … yang menjadi kuncinya dan di situlah norma yang secara politik kami nilai arif sehingga kaidah demokrasi kami canangkan. Waktu itu, ada pertanyaan dari Istana … dari Presiden SBY melalui … apa namanya … salah satu stafnya yang kebetulan juga kolega kami dari UGM, sahabat Andi Malarangeng … apa kaidah-kaidah ... apa namanya ... (suara tidak terdengar jelas) itu dan ... kaidah-kaidah itu masih ada di dalam pasal- pasal itu sudah demokrasi dan seterusnya, tetapi demokrasi tidak hanya sekadar demokrasi elektoral. Dan demokrasi eletoral itu ... apa namanya ... juga karena diamanatkan undang-undang, kami harus akomodir. Tapi, demokrasi dalam logika adat itulah yang kami rumuskan dan kami ... kami tertegun dengan ... apa namanya ... praktik takhta untuk rakyat yang itu konsisten dengan kaidah nyuwung, me ... mengosongkan pamrih dan itu konsisten dengan simbol-simbol. Misalnya, di Puncak Borobudur itu yang justru puncak kejayaannya itu justru kekosongan sehingga konsep nyuwung me ... sepi ing pamrih itu ... itu adalah kaidah ... kaidah politik yang sangat arif dan tidak konsisten dengan logika politik modern demokrasi yang mekanistik yang harus dengan pilkada itu. Dan memproteksi hal itulah yang ... yang ... yang menurut saya penting. Dan kalau Mahkamah Konstitusi tidak hati-hati, kalau tadi logika ... apa namanya ... pembuatan keputusannya semata-mata hanya karena

47 norma hukum positif atau kaidah yang legalistik, itu sebetulnya ... mohon maaf, Mahkamah Konstitusi sedang mempertaruhkan keistimewaan melalui itu. Poin yang ingin saya garis bawahi. Konflik, terus terang sudah berlangsung dan masyarakat Yogya paham itu. Dan proses amandemen kalaulah itu diperlukan, itu bayangan saya, itu akan sangat bagus kalau dibicarakan dulu di Istana. Sehingga, solusi Istana itu kemudian bisa diselesaikan, dikukuhkan kembali dalam undang-undang, tidak melalui proses peradilan yang ... yang mekanistik dengan ... apa namanya ... ada saling ... saling ... apa namanya ... kon ... (suara tidak terdengar jelas) saling ... saling ... apa ... meng-counter seperti ini. Sehingga ... sehingga, solusi yuridis, solusi legal itu, sekali lagi mengikuti kaidah mengedepankan kearifan dulu dan bagi rakyat juga itu akan sangat … sangat membanggakan, mengkonfirmasi keistimewaan kalau penyelesaian masalah di dalam itu didahulukan sebelum mengkonfirmasi kembali norma hukum positif yang di … dikawal oleh Mahkamah Konstitusi. Itulah mengapa tadi saya membicarakan … apa namanya … kearifan lokal dan kaitannya dengan diskriminasi. Jadi, watak otonom raja ini justru kita bisa bayangkan … apa namanya … paradoks karena justru raja itu semakin dicintai justru karena keteguhan pada norma-norma. Tapi, pada saat yang sama juga punya visi yang … yang jauh dan itu memang bisa jadi tidak dimengerti oleh orang kebanyakan. Izinkan saya menggunakan contoh konkret. Semua orang tahu bahwa Universitas Gadjah Mada itu didirikan oleh Ngarso Dalem IX. Didirikan mulai dari pagelaran dan itu juga dalam rangka untuk memajukan peradaban modern, universitas adalah simbol dari modernitas itu. Dan kemudian putra-putra daerah dari istana itu juga ikut kuliah. Yang beliau yang duduk di sebelah kiri saya itu … apa namanya … dulu kuliah di jurusan yang tempat saya bekerja sekarang dan beliau … mohon maaf DO di … di … dikena hukum mekanistik karena UGM memberlakukan masa studi dan seterusnya dan … dan itu dibiarkan terjadi oleh … mboten DO itu? Mboten DO … tetapi akhirnya kemudian tidak … tidak selesai dan mekanisme administratif di UGM itu kan membiarkan beliau DO. Itu artinya apa? Kaidah keturunan, darah itu kemudian di … dikawal dengan kaidah kompetensi dan kalau menurut kaidah administratif yang ada itu tidak … apa namanya … tidak bisa dipertahankan, ya sudah, gitu. Lalu, kemudian UGM tetap jadi UGM, beliau tetap terhormat, Ngarso Dalem IX … X itu juga khususnya terhormat di UGM sebagai Majelis Wali Amanah dan ini kan ada … ada paradoks yang terus menerus berlangsung dan watak paradoksal dari logika politik di DIY itulah yang saya usulkan untuk dipertimbangkan baik-baik oleh

48 Mahkamah Konstitusi supaya tidak membuat keputusan hanya dengan logika mekanistik. Itu saja, terima kasih.

94. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih, Prof. Purwo. Yang terakhir untuk Gusti Yudhaningrat, silakan.

95. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (PBNU): KGBPH YUDHANINGRAT

Terima kasih. Ada pertanyaan dari Pak Irman, kemudian Ibu Maria, dan Pak Suhartoyo dan juga dari pengacara. Yang … yang awal untuk roh dan jiwa Undang-Undang Keistimewaan ini sebetulnya memang ada dua, yaitu Paugeran Kesultanan dan Puro Pakualaman Kadipaten Pakualaman, ya. Kemudian Undang-Undang Keistimewaan itu sendiri. Jadi, kalau dinalar dari Pemohon meminta untuk huruf n Pasal 18 ayat (1), itu saya kira sudah tidak logis lagi karena memang seharusnya kita merunut pasal-pasal sebelumnya dan sesudahnya termasuk lampiran yang memang Undang-Undang Keistimewaan ini adalah lex specialis yang notabene nanti akhirnya untuk pedoman sebagai hal … penetapan. Karena yang diminta di situ adalah Sri Sultan Hamengku Buwono Senopati Ngalogo Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Jadi, setiap yang Jumeneng ini, ya, mestinya laki-laki bukan perempuan. Kemudian Sri Paku Alam Adipati Paku Alam yang Jumeneng ini mestinya namanya kok Paku Alam? Sehingga Adipati ini dari mulai awal sampai sekarang PA X ini adalah Paku Alam, semuanya laki-laki dan juga Sultan Hamengku Buwono yang lengkap itu, itu adalah laki-laki pula. Ini dijamin oleh Undang-Undang Keistimewaan ini. Jadi, saya kira antara roh dan jiwa Undang-Undang Keistimewaan ini antara paugeran selama syarat sebagai Sri Sultan yang Jumeneng itu memenuhi syarat-syarat yang diatur oleh adat dan juga demikian pula Adipati Paku Alam yang sesuai dengan adat-istiadatnya Kadipatan Pakualaman ini akan sah dan belum tentu menjadi Gubernur atau Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta karena Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta ini ada syaratnya ser … tersendiri. Kemudian mengenai apa yang dikatakan Almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono ke-IX maupun ke-X, ini sebetulnya sudah menjadi paugeran yang sifatnya vrij bestuur dari yang jumeneng, tadi apabila … apa ... yang jumeneng ini akan memberi amanat dalam jumenengan menjadi sumpah atau amanat yang perlu kita tegakkan di peraturan Yogyakarta ini sebagai pertimbangan-pertimbangan yang sifatnya bisa ... apa ... menjadi pedoman bagi langkah-langkah dari Ngarso Dalem

49 sendiri, Garwo Dalem, Putro Dalem, Sentono Dalem, dan juga Abdi Dalem, serta Kawula Dalem se-Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Saya kira itu saja kami haturkan. Mungkin Pak Irmam?

96. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih, Gusti Yudhaningrat.

97. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (PBNU): KGBPH YUDHANINGRAT

Terima kasih.

98. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Sebelum saya melangkah lebih lanjut, saya ucapkan terima kasih, Pak Aan, Pak Kiai Marzuki, Prof. Purwo, dan Gusti Yudhaningrat yang telah memberikan keterangan. Nanti DPD saya anukan dulu, saya tanyakan dulu juga ini. Sebelum saya melangkah untuk mengesahkan bukti, ini masih ada kelihatannya persidangan rangkaiannya belum selesai, perlu saya sampaikan atau DPD mau nyampaikan dulu? Silakan. Silakan.

99. DPD: INTSIAWATI AYUS

Terima kasih, Yang Mulia. Majelis Hakim, Yang Mulia. Inilah ruang yang telah disampaikan ... apa yang telah disampaikan oleh para keterangan saksi yang diajukan oleh DPD. Kami menegaskan pada prinsipnya, DPD tetap pada keterangan yang telah disampaikan sebelumnya dan keterangan yang disampaikan pada hari pun telah tercatat. Dan untuk tegasnya lagi, posisi ... standing posisinya DPD ... DPD RI menghormati hak-hak Istimewa Yogya, sebagaimana diatur dalam Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (...)

100. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya. Nanti di dalam kesimpulan, Ibu.

101. DPD: INTSIAWATI AYUS

Oke.

50 102. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Nanti rangkaian selesai, baru ada kesimpulan, itu disampaikan dalam kesimpulan yang sifatnya tertulis.

103. DPD: INTSIAWATI AYUS

Baik, jadi untuk keterangan saksi ini, kami sampaikan bahwa pada prinsipnya, DPD tetap pada keterangannya.

104. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya, silakan. Nanti di kesimpulan, ya?

105. DPD: INTSIAWATI AYUS

Oke, terima kasih.

106. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Saya akan menanyakan pada Pihak Terkait PBNU, masih ada ahli yang sudah diusulkan secara tertulis? Apakah Prof. Jawahir, kemudian Pak Jadul Maula, dan Pak Sukiman? Masih?

107. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SYAMSUDIN SLAWAT (PBNU)

Masih, Yang Mulia.

108. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Masih? Ya, baik kalau begitu, masih kita dengar. Kemudian, Pihak Terkait dari Kesultanan Yogya? Ngarso Dalem mengajukan ahli atau saksi atau tidak? Oh, nanti anu, anu ... Pihak Terkait sudah memberikan keterangan di awal. Nah, itu sudah, apakah mau bisa didukung ahli atau saksi atau anu, tidak? Tidak, ya, nanti berarti, Ngarso Dalem terakhir tinggal anukan kesimpulan saja, ya. Baik, kalau gitu persidangan yang akan datang kita masih akan mendengarkan (...)

109. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SYAMSUDIN SLAWAT (PBNU)

Mohon izin, Yang Mulia. Pihak Terkait.

51 110. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya, kenapa?

111. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SYAMSUDIN SLAWAT (PBNU)

Ya, berkait dengan surat kuasa substitusi ini, nanti kan berkelanjutan ke persidangan selanjutnya, apakah (...)

112. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya, harus diganti, bergantian (...)

113. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SYAMSUDIN SLAWAT (PBNU)

Menurut, menurut penetapan (...)

114. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Kalau begitu, pergantian saja. Atau membuat substitusi untuk persidangan yang akan datang lagi juga bisa. Ya, enggak apa-apa, ya?

115. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SYAMSUDIN SLAWAT (PBNU)

Baik.

116. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, kalau begitu. Ya, lebih baik satu kali saja, surat pergantian. Jadi, Pihak Terkait PBNU masih mengajukan ahli yang harus kita dengar, berarti Pak Prof. Jawahir Thontowi, Pak M. Jadul Maula, dan Pak Sukiman, ya? Nanti dihadirkan pada persidangan yang akan datang. Ya, itu persidangan yang terakhir karena Pihak Terkait Kesultanan Yogya tidak mengajukan ahli atau saksi.

117. KUASA HUKUM PEMOHON: IRMAN PUTRA SIDIN

Izin, Yang Mulia.

118. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya.

52 119. KUASA HUKUM PEMOHON: IRMAN PUTRA SIDIN

Supaya tidak menghindari distorsi politik, Yang Mulia. Ini kalau tidak salah, Pihak Terkaitnya bukan PBNU, Yang Mulia.

120. KETUA: ARIEF HIDAYAT

LBH-nya?

121. KUASA HUKUM PEMOHON: IRMAN PUTRA SIDIN

Ya (...)

122. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Atau anu, ya?

123. KUASA HUKUM PEMOHON: IRMAN PUTRA SIDIN

Pihak PBNU mendapatkan kuasa dari (...)

124. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Mandat dari ... ya, betul.

125. KUASA HUKUM PEMOHON: IRMAN PUTRA SIDIN

Ya. Kemudian dapat substitusi lagi. Karena (...)

126. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya, betul.

127. KUASA HUKUM PEMOHON: IRMAN PUTRA SIDIN

Jangan sampai distorsi politik, Yang Mulia.

128. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya, betul, betul. Jadi, yang menjadikan ... menjadi Pihak Terkait adalah ... sebentar, saya supaya meluruskan. Pihak Terkaitnya tadinya menggunakan kuasa PBN ... dari LBH PBNU, kemudian sekarang sudah digantikan Pak siapa ini? Dari Pak?

53 129. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SYAMSUDIN SLAWAT (PBNU)

Sudin, Yang Mulia. Dari ART and Partner Law Firm.

130. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Oke. Pak Royandi, ya. Dari Pak Syarif berarti, ya?

131. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SYAMSUDIN SLAWAT (PBNU)

Ya.

132. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Pak Syarif dan Pak Syamsudin Slawat Pesilette, ya.

133. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SYAMSUDIN SLAWAT (PBNU)

Ya.

134. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Kalau begitu, sudah digantikan. Tapi Pihak Terkaitnya adalah Pak Ban ... Aji Bancono dan H. Abdul Muhaimin, ya? Baik, kalau begitu, itu Pihak Terkait, ya. Sebelum saya akhiri, Pemohon mengajukan tambahan bukti P-41 sampai P-59?

135. KUASA HUKUM PEMOHON: IQBAL TAWAKAL PASARIBU

Betul, Yang Mulia. Tambahan.

136. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Disahkan, ya?

KETUK PALU 1X

Belum disahkan itu. Kemudian Pihak Terkait dari Pak Pesilette, ada PT-1 sampai dengan PT-12?

137. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SYAMSUDIN SLAWAT (PBNU)

Betul, Yang Mulia.

54 138. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Disahkan.

KETUK PALU 1X

Ya, kalau begitu, kita akan satu kali sidang lagi untuk mendengarkan keterangan ahli Pihak Terkait, yang kuasanya sekarang Pak Pesilette, Pak Jawahir Thontowi, Pak Jadul Maula, dan Pak Sukiman. Selasa, 21 Februari tahun 2017, pada pukul 11.00 WIB, ya, itu persidangan terakhir. Karena kalau ada lagi sidang, ini akan mundur sampai kita menerima ... menyelesaikan pilkada, ya, itu persidangan yang terakhir. Baik. Sidang selesai dan ditutup.

KETUK PALU 3X

SIDANG DITUTUP PUKUL 13.41 WIB

Jakarta, 8 Februari 2017 Kepala Sub Bagian Risalah,

t.t.d.

Yohana Citra Permatasari NIP. 19820529 200604 2 004

Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.

55