PERGERAKAN NASIONAL PEMUDA ISLAM (Studi tentang Jong Islamie te n Bond 192 5-19 42 )

SKRIPSI

Ole h: Agustina Dwi Pramuji Astuti K 4406002

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET 201 0

PERGERAKAN NASIONAL PEMUDA ISLAM (Studi tentang Jong Islamie te n Bond 192 5-19 42 )

Ole h: Agustina Dwi Pramuji Astuti K 4406002

Skripsi Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan ge lar Sarjana Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pe ndidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 201 0

ii

iii

iv

ABSTRAK

Agustina Dwi Pramuji Astuti. K4406002. PERGERAKAN NASIONAL PEMUDA ISLAM (STUDI TENTANG JONG ISLAMIETEN BOND 19 25-1942). Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli 2010. Tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui latar belakang berdirinya Jong Islamieten Bond, (2) Untuk mengetahui perkembangan Jong Islamieten Bond dan (3) Untuk mengetahui peranan Jong Islamieten Bond sebagai bagian dari organisasi pemuda Islam di kancah pergerakan nasional Indonesia tahun 1925-1942. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode historis dengan langkah-langkah heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa sumber sekunder. Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis historis dengan melakukan kritik ekstern dan intern. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Latar belakang berdirinya Jong Islamieten Bon d (JIB) adalah adanya politik Islam Hindia- Belanda, diskriminasi dan sekularisasi dalam bidang pendidikan terhadap golongan Islam. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah Hindia- Belanda menyangkut masalah pendidikan telah menyebabkan tokoh-tokoh pribumi Islam yang menikmati pendidikan Barat justru semakin sadar akan kebangsaannya sekaligus keislamannya dan semakin bersemangat pula untuk menentang penjajahan. Hal tersebut mendorong munculnya kaum intelektual Muslim yang kemudian membentuk organisasi yang berasaskan Islam untuk mewadahi pergerakannya, yaitu dengan mendirikan Jong Islamieten Bond. (2) Jong Islamieten Bond didirikan pada tanggal 1 Januari 1925 atas prakarsa Sjamsoeridjal dan didukung H. . Pergerakan Jong Islamieten Bond didasarkan pada Islam dan nasionalisme Indonesia. Jong Islamieten Bond berkembang menjadi suatu wadah untuk mendidik kaum muda Islam hingga menjadi kader-kader yang mempunyai dasar keislaman yang kokoh dan Jong Islamieten Bond menjadi suatu organisasi yang secara politik sangat penting dalam pergerakan pemuda Islam dalam usaha untuk menumbangkan kekuasaan bangsa Belanda di Indonesia. (3) Peranan Jong Islamieten Bond sebagai bagian dari organisasi pemuda Islam di kancah pergerakan nasional Indonesia tahun 1925-1942 antara lain (a) menggagas nasionalisme Indonesia, (b) mendirikan Nationale Indonesische Padvinderij (NATIPIJ) dan (c) meningkatkan derajat pendidikan.

v

ABSTRACT

Agustina Dwi Pramuji Astuti. K4406002. THE NATIONAL MOVEMENT OF ISLAM YOUTH (A STUDY AB OUT JONG ISLAMIETEN B OND 1925-1942). Skripsi. Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education. Sebelas Maret University. July 2010. The aims of this research are: (1) To identify the background of Jong Islamieten Bond establishment, (2) To identify the development of Jong Islamieten Bond and (3) To identify the role of Jong Islamieten Bond as the part of Islamic youth organization in the field of national movement in 1925 to 1942. This research was conducted by using the historical method through heuristic, critical, interpretation and historiography steps. The source of data used in this research was the secondary data. The technique of collecting data was done by library study, while, the technique of analyzing data used in this research was the historical analysis technique by doing internal and external critics. Based on the result of this research, it can be concluded that: (1) The background of Jong Islamieten Bond (JIB) establishment was signified by the existence of Islamic politics, discrimination, and secularization towards Muslim community in the education field. The policies taken by the administrative capital of Dutch East Indies related to education matters had caused many indigenous Muslim figures that enjoyed studying Western education, in fact became more realized upon their religion and nationality as well and they also became more enthusiastic to war against imperialism. That case encouraged the emergence of intellectual Muslim groups that finally developed the Islamic based organization to facilitate their movement through establishing Jong Islamieten Bond (JIB). (2) Jong Islamieten Bond was established on 1st January 1925, initiated by Sjamsoeridjal and supported by H. Agus Salim. The movement of Jong Islamieten Bond was based on Islam and Indonesian nationalism. Jong Islamieten Bond developed into a place specialized for educating the young Muslim generation to be the cadres of Islam that had strong basic of Islam. Jong Islamieten Bond also became an organization which was politically very important to the Islam youth movement in the efforts of falling down the domination of Dutch in Indonesia. (3) The role of Jong Islamieten Bond as the part of Islam youth organization in the field of movement in Indonesia from 1925 to 1942 are (a) initiating the Indonesian nationalism, (b) establishing the Nationale Indonesische Padvinderij (NATIPIJ) and (c) increasing the quality of education in Indonesia.

vi

MOTTO

Pelajaran dalam hid up itu adalah hikmah, belajar dari sejarah. "Sesuatu yang hilang dari kaum muslim in adalah hikmah, ambillah di mana pun ia berada" (Sabda Rasulullah)

Agama Islam mendidik akal dan hati supaya jangan bergantung kepada keduniaan. Akan tetapi tidak dengan jalan menjauhkan diri daripada ikhtiar dan usaha.. Agama Islam adalah pedoman dan pandu (penunjuk jalan) yang sempurna bagi manusia untuk kehidupannya di dunia, supaya siap ia pada tiap-tiap waktu untuk menjalani jalan akhiratnya (Haji Agus Salim)

Kalau pemimpin-pem impin kita jatuh, kita tidak boleh berdiam diri berpangku tangan . Kita harus meneruskan pekerjaan mereka. Hanya satu obat saja yang dapat menyenangkan hati pem impin-pemimpin yang menjadi korban pergerakan, yaitu melihat kawan-kawannya terus bergerak (Aktivis Pergerakan Nasional)

Setiap apa yang kita lakukan (baik/buruk) pasti ada balasannya.. Allah yang paling berhak memberi balasannya. Dan terkadang balasannya lebih dari apa yang kita lakukan sekarang. Serahkan semuanya kepada Allah karena Dia-lah yang Maha Adil dan Maha Bijaksana. Balasan-Nya itu pasti datang; cepat/ lambat, di dunia/akherat. Dan kesabaran, keikhlasan, ketawakkalan serta keistiqomahanlah yang menjadi kunci terbaik untuk menghadapi suatu ujian hidup dari-Nya (Teen’S)

vii

PERSEMBAHAN

Dengan rasa syukur atas rahmat ALLAH SWT, karya ini penulis persembahka n kepada: Bapak dan Ibu tercinta atas semua do’a, perhatian, kasih-sayang, bimbingan da n dukungannya selama ini Mbak Novita dan Mas Wir: Dedek Azzam Sa habat-sahabatku Seseorang yang kelak menjadi ”Imam”-ku (baik dunia-akherat menurut-Nya untukku. Amin) Almamater

viii

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan, untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan. Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu, atas segala bentuk bantuannya, disampaikan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin penyusunan skripsi. 2. Drs. Saiful Bachri, M. Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah menyetujui permohonan ijin penyusunan skripsi. 3. Drs. Djono, M.Pd., Ketua Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin demi kelancaran penyusunan skripsi. 4. Drs. Tri Yuniyanto, M. Hum., selaku Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan motivasi, bimbingan dan saran yang membangun kepada penulis. 5. Drs. Djono, M.Pd., selaku Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan motivasi, bimbingan dan saran yang membangun kepada penulis. 6. Bapak dan Ibu Dosen Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang secara tulus memberikan ilmu kepada penulis selama ini. 7. Teman-teman di Prodi Sejarah Angkatan 2006, keluarga besar; Perpus 09 Sejarah, PPL Diponegoro’ , Perbuner’S serta semua sahabat-sahabatku di Solo, terima kasih atas semua bantuan, doa dan dukungannya.

ix

8. Keluarga besar di Ngawi dan teman-teman; Mayapada khususnya angkatan V, Armadha, Leorsa, Winny, Mbak Lina serta semua sahabat-sahabatku di Ngawi, terima kasih atas semua doa dan dukungannya selama ini. 9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas amal baik semua pihak yang telah membantu di dalam penyelesaian skrispsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan, tetapi diharapkan penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan mahasiswa Program Pendidikan Sejarah, khususnya.

Surakarta, Juli 2010

Agustina Dwi Pramuji Astuti

x

DAFTAR ISI

Halaman JUDUL ...... …………………………………………………...... i PENGAJUAN SKRIPSI ..…………………………………………...... ii PERSETUJUAN ...... ………………………………………….... iii PENGESAHAN …...... ………………………………………..... iv ABSTRAK ……...... ……………………………………………. v MOTTO ...... …………………………………………………….. vii PERSEMBAHAN ...... …………………………………………... viii KATA PENGANTAR ………………………………………………….... ix DAFTAR ISI …………………………………………………………….. xi DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………….. xiii BAB I PENDAHULUAN ……………………………………….. 1 A. Latar Belakang Masalah ……………………………... 1 B. Perumusan Masalah ………………………………….. 16 C. Tujuan Penelitian …………………………………….. 16 D. Manfaat Penelitian …………………………………… 17 BAB II KAJIAN TEORI …………………………………………. 18 A. Tinjauan Pustaka ……………………………………... 18 1. Kolonialisme ……………………………………... 18 2. Politik Islam Hindia-Belanda …………………….. 21 3. Elite Modern ...... 25 4. Pergerakan Nasional ...... 30 B. Kerangka Berpikir ……………………………………. 36 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………………………….. 40 A. Tempat dan Waktu Penelitian ………………………... 40 B. Metode Penelitian …………………………………….. 40 C. Sumber Data ………………………………………….. 42 D. Teknik Pengumpulan Data …………………………… 43 E. Teknik Analisis Data …………………………………. 45

xi

F. Prosedur Penelitian …………………………………… 46 BAB IV HASIL PENELITIAN ……………………………………. 52 A. Latar Belakang Berdirinya Jong Islamieten Bond ……. 52 1. Politik Islam Hindia Belanda ...... 52 2. Munculnya Kaum Intelektual Islam ...... 65 3. Peranan Raden Sjamsoeridjal Dalam Kelahiran Jong Islamieten Bond ...... 76 B. Pekembangan Jong Islamieten Bond ...... 81 1. Masa Awal Pergerakan Jong Islamieten Bond ...... 81 2. Masa Perkembangan Pergerakan Jong Islamieten Bond ...... 95 3. Masa Akhir Pergerakan Jong Islamieten Bond ...... 99 C. Peranan Jong Islamieten Bond sebagai Bagian dari Organisasi Pemuda Islam Di Kancah Pergerakan Nasional Indonesia Tahun 1925-1942 .……………….. 104 1. Menggagas Nasionalisme Indonesia ...... 104 2. Nationale Indonesische Padvinderij (NATIPIJ) ...... 107 3. Meningkatkan Derajat Pendidikan ...... 110 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN ………………….. 112 A. Kesimpulan …………………………………………… 112 B. Implikasi ………………………………………………. 114 C. Saran ………………………………………………….. 117 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….. 119 LAMPIRAN ………………………………………………………………. 125

xii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Anggaran Dasar Jong Islamieten Bond ……………………………… 127 2. Anggaran Rumah Tangga Jong Islamieten Bond ...... 130 3. Pidato Propaganda Pertama Sjamsoeridjal tentang ”Sik ap, Keyakinan dan cita-cita JIB” Di Weltevreden (Jakarta) ....………….. 135 4. Pidato Sjamsoeridjal Pada Kongres Pertama Jong Islamieten Bond Tanggal 25 Desember 1925 Di ………………………… 142 5. Susunan Pengurus Besar JIB Tahun 1931 ...... 147 6. Daftar Ketua Umum Jong Islamieten Bond ...... 148 7. Gambar/Foto Tokoh-tokoh Jong Islamieten Bond ...... 159 8. Gambar/Foto Pergerakan Jong Islamieten Bond ...... 150 9. Contoh Majalah Het Licht/Al-Nur ...... 151 10. Jurnal...... 152 11. Surat Keputusan Dekan FKIP ...... 183 12. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi ...... 184

xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Be lakang Masalah Kelemahan kerajaan-kerajaan di Indonesia menyebabkan tertanamnya kekuasaan asing VOC. Keruntuhan VOC dan kekalutan di bidang keuangan mendorong dilaksanakannya cultuur stelsel. Sistem ini di satu pihak mendatangkan kesengsaraan bagi bangsa Indonesia tetapi di lain pihak membawa keuntungan besar bagi Belanda, sehingga kelas menengah Belanda bisa bangkit kembali. Hal ini menyebabkan liberalisme unggul di Nederland. Cultuur stelsel dihapuskan dan diganti dengan usaha bebas (corporate system). Modal swasta mengalir, banyak perusahaan perkebunan, pertambangan dan transport serta bank- bank berdiri. Untuk menjamin kelangsungan perusahaan-perusahaan, daerah- daerah perlu disatukan dan diamankan (G. Moedjanto. 1988: 27). Keputusan pemerintah Belanda kembali menerapkan sistem perkebunan dengan tanam paksa (cultuur stelsel) bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak guna menutupi biaya perang yang luar biasa di Jawa dan perang dengan Belgia. Sistem ini mengenakan pajak pada tanaman tertentu dan sebagian dari hasilnya diolah oleh orang Indonesia di bawah pengawasan- pengawasan administratur-administratur Belanda sendiri dan di bawah penilikan yang sangat ketat dari pegawai-pegawai Eropa. Hasil bumi dari sistem yang diawasi ini harus diserahkan kepada pemerintah sebagai ganti pajak dalam bentuk uang (Robert Van Niel. 1994: 17). Cultuur stelsel yang diperkenalkan oleh Van den Bosch pada dasarnya memaksa rakyat untuk membayar pajak dengan hasil tanaman kepada pemerintah Belanda (Nico Thamiend R dan M. P. B. Manus. 2004: 30). Sistem perkebunan yang dilaksanakan di pulau Jawa, Menado dan Sumatra Barat dalam prakteknya telah menyengsarakan rakyat pribumi. Selain itu, adanya sistem rodi (kerja paksa tanpa dibayar) ditambah korupsi pegawai kumpeni pada waktu itu yang turut menghisap rakyat, pajak tanah dan pemerasan- pemerasan lain terhadap rakyat Indonesia maka mulai muncul kelaparan di berbagai daerah dan rakyat yang sudah miskin menjadi lebih miskin lagi.

1

2

Pelaksanaan sistem ini hanya menguntungkan pihak kolonial Belanda dan rakyat Indonesia hanya mendapatkan kesengsaraannya (Tim Museum Sumpah Pemuda. 2006: 6-8). Melihat ketentuan-ketentuan yang ada dalam peraturan cultuur stelsel tidak terlalu memberatkan rakyat bahkan Van den Bosch sendiri mengatakan apabila seseorang mau menggantikan kewajiban pembayaran pajaknya dengan bekerja selama 66 hari dalam setahun, maka kewajiban membayar pajak dianggap lunas. Akan tetapi dalam pelaksanaannya sistem tersebut mengandung banyak penyimpangan yang sangat memberatkan rakyat. Di antara penyimpangan- penyimpangan itu misalnya luas tanah yang telah ditentukan dalam peraturan yaitu seperlima dapat dilebihkan hingga sepertiga, seperdua, bahkan tidak jarang seluruh desa tanahnya digunakan untuk menanam tanaman ekspor. Kegagalan panen juga sering dibebankan kepada rakyat. Kelebihan hasil panen yang seharusnya dibayarkan kembali kepada rakyat, ternyata bohong belaka. Pekerjaan di pabrik-pabrik gula ternyata jauh lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan di sawah. Banyak penduduk desa yang dikerahkan untuk kerja paksa di pabrik- pabrik, jalan-jalan raya, pembangunan jembatan, tanpa bayaran sedikit pun. Akibat langsung dari pelaksanaan cultuur stelsel ini antara lain kemiskinan dan kelaparan yang melanda beberapa daerah di pulau Jawa, seperti Cirebon, Demak, dan Grobogan. Di daerah-daerah ini ribuan orang mati karena kelaparan (Nico Thamiend R dan M. P. B. Manus. 2004: 31). Pada masa pemerintahan Letnan Gubernur Jendral Raffles, Indonesia mengalami sistem politik liberal untuk pertama kalinya. Raffles memperkenalkan sistem pemerintahan liberal yang mengusahakan adanya kepastian hukum dan kebebasan di bidang ekonomi serta berusaha menghilangkan rodi dan mengganti penyerahan wajib hasil bumi dengan sistem sewa tanah (land-rent). Di samping itu Raffles juga berusaha untuk mengganti sistem pemerintahan tidak langsung dengan sistem pemerintahan langsung agar pemerintah Eropa dapat langsung memerintah rakyat pribumi (Suhartoyo Hardjosatoto. 1980: 87-88). Kaum liberal menentang dengan keras eksploitasi yang dijalankan oleh pemerintah Belanda dan ingin menggantinya dengan inisiatif swasta. Untuk itu

3

kondisi ekonomi perlu diciptakan, yaitu dengan memberikan kebebasan bekerja dan menggunakan tanah. Dengan dibukanya daerah jajahan sesudah tahun 1870 untuk perusahaan swasta, maka semakin banyak modal yang ditanam dan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada kaum modal, baik untuk berusaha maupun berdagang. Kaum borjuis liberal menjadi tulang punggung kapitalisme kolonial dan berpegang teguh pada sistem kebebasan berusaha tanpa campur tangan pihak pemerintah (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto. 1975: 17). Sehingga sejak tahun 1870-an sampai tahun 1900-an pengusaha swasta mulai mengadu keuntungan di pulau Jawa untuk mendapatkan kemakmuran yang besar dari usahanya tersebut. Kebanyakan perusahaan di pulau Jawa tersebut dimiliki atau diurus oleh kesatuan korporasi dan bank-bank di Eropa (Robert Van Niel. 1994: 18). Tetapi kondisi tersebut semakin memperburuk tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia. Karena kemakmuran dari keuntungan tersebut telah dikuasai para pengusaha kolonial dan rakyat Indonesia hanya dieksploitasi tanpa diperhatikan kesejahteraannya. Keprihatinan pun muncul atas menurunnya tingkat kesejahteraan orang Jawa, baik di kalangan orang-orang yang menekankan kemanusiaan maupun demi kepentingan keuangan. Keprihatinan itu muncul disebabkan oleh ketidak sanggupan untuk memperbaiki ketidakadilan sosial-ekonomi dan yang terakhir, karena semakin bertambahnya kepentingan akan barang-barang konsumtif yang dihasilkan. Dengan ini dimulailah serangkaian tulisan yang menentang ekonomi liberal dan kekuasaan kolonial yang sedang berjalan dan mencapai titik puncaknya dengan munculnya tulisan C. T. van Deventer yang terkenal dengan “Hutang-Budi”. Tulisan ini menghimbau pemerintah Belanda untuk membuat perhitungan keuangan bagi tanah jajahan yang berkekurangan itu sebagai bagian ganti rugi akan laba yang sudah dikeruk dari Jawa melalui sistem tanam paksa itu. Sejak tahun 1974 negarawan konservatif (Partai Anti-Revolusioner), A. Kuyper, berbicara tentang kapitalisme yang berperikemanusiaan di Staten General yang ingin membayar hutang-budi kepada penduduk Hindia-Timur. Dorongan akan orientasi baru yang sedang tumbuh dalam politik tidak hanya di tanah air, tetapi juga di kalangan orang Eropa dalam masyarakat Hindia-Timur (Robert Van Niel.

4

1994: 19-21). Dengan demikian liberalisme menghendaki dihapuskannya cultuure stelsel. Bagi kaum liberal ini adalah suatu prinsip. Selain golongan liberal terdapat juga golongan humanis yang juga menghendaki dihapuskannya cultuur stelsel. Para golongan liberal dan humanis tersebut melihat betapa menyedihkannya kehidupan rakyat Indonesia akibat diterapkannya cultur stelsel, di antaranya Baron van Hoevel, yang membela rakyat Indonesia dengan pidato-pidatonya di depan DPR Nederland. Berkat perjuangan golongan liberal dan golongan humanis, sedikit demi sedikit cultuur stelsel dihapuskan (G. Moedjanto: 19). Dalam perkembangan selanjutnya muncul reaksi terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa, baik dilakukan di dalam parlemen maupun di luar parlemen dalam bentuk berbagai tulisan. Di antara para pengecam tersebut adalah de Wall, van Dedem, van Kol, van den Berg, Schaepman, Bool, van Nunen, van Deventer dan Douwes Dekker. Penentang sistem tanam paksa sebenarnya tidak hanya terdiri dari golongan pemilik modal saja, tetapi juga dilakukan oleh siapa saja yang mengetahui dan mendengar penderitaan petani Indonesia sehingga merasa iba. Golongan yang terakhir ini antara lain ialah Vitales, Bosch, dan van Hoevell (Suhartoyo Hardjosatoto. 1980: 90-91). Politik Etis atau balas budi merupakan sebuah haluan politik yang di jalankan oleh pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1900-1942. Politik itu didasarkan pada pertimbangan bahwa negara Belanda telah banyak berhutang budi kepada rakyat Indonesia (pribumi) selama berabad-abad. Hal itu disebabkan sejak zaman VOC hingga masa kolonial liberal sebagian besar kekayaan bangsa Indonesia dikeruk dan dibawa ke negara Belanda. Dengan demikian, yang banyak menikmati keuntungan hasil bumi dan jerih payah bangsa Indonesia adalah bangsa Belanda. Untuk itu bangsa Belanda mempunyai kewajiban untuk membalas budi pada bangsa Indonesia dengan cara memikirkan nasib dan kesejahteraan rakyat Indonesia (pribumi) (Cahyo Budi Utomo. 1995: 41). Tetapi dalam prakteknya politik tersebut lebih cenderung untuk menguntungkan pihak Belanda. Bidang pendidikan (edukasi) yang bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat penduduk pribumi dari kebodohan ternyata dalam prakteknya banyak ditujukan untuk mencetak tenaga administrasi dan tenaga birokrasi bagi

5

pihak Belanda. Selain itu penduduk pribumi juga dipekerjakan sebagai buruh di perusahaan-perusahaan swasta asing. Segi positif dari adanya pilitik etis bagi rakyat Indonesia adalah dapat mendorong perubahan dan pertumbuhan sosial di kalangan penduduk pribumi. Hal tersebut terjadi karena banyak penduduk pribumi yang kemudian mengenyam pendidikan Barat yang pada akhirnya dapat mengubah pola pemikiran yang masih tradisional menuju pola pemikiran yang lebih modern agar dapat memasuki dunia birokrasi baru dalam tatanan masyarakat Hindia-Belanda (Robert Van Niel. 1994: 22). Pada sekitar tahun 1900-1925, pemerintah kolonial Belanda banyak membangun kantor-kantor dinas, seperti dinas pertanian, perikanan, kerajinan, kesehatan dan peternakan. Selain itu, dibangun pula bank, pasar, dan sejenisnya. Sehingga banyak lulusan bumi putera yang di tempatkan Belanda pada instansi-instansi tersebut sebagai pegawai rendahan. Politik Etis secara resmi diproklamirkan sebagai politik kolonial baru, dalam pidato kenegaraan Ratu Willhemnina pada bulan September 1901. Dikatakannya bahwa politik etis perlu diterapkan di Hindia-Belanda, karena Nederland mempunyai kewajiban moral yang harus dipenuhi. Dalam usaha memenuhi tuntutan politik etis, pemerintah mulai membangun sejumlah sekolah disertai dengan pengadaan tenaga-tenaga guru. Sistem yang diterapkan disesuaikan dengan sistem pendidikan yang diterapkan di negara-negara Barat. Hal ini dimaksudkan memberi kesempatan bagi siswa-siswa yang mampu untuk dapat melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi, bahkan dapat melanjutkan ke negeri Belanda. Tingkat pendidikan saat itu terbagi atas dua kategori, yaitu Lager Onderwijs (pendidikan rendah) dan Middelbar Onderwijs (pendidikan menengah) (Nico Thamiend R dan M. P. B. Manus. 2004: 98-99). Sistem pendidikan diarahkan untuk menciptakan tenaga kerja yang siap pakai, sebagai tenaga kerja rendahan dalam sistem pemerintahan Belanda. Fungsi pendidikan tidak lebih dari suatu pabrik pegawai dengan kurikulum yang tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat sehari-hari, sehingga tidak dapat dielakkan lagi jika ada jurang antara sekolah dengan masyarakat. Tujuan pokok masuk sekolah hanya terbatas mendapatkan ijasah yang bisa membukakan jalan menuju

6

pekerjaan-pekerjaan di bidang pemerintahan (Selo Sumardjan. 1986: 43). Namun di pihak lain, sebagian penduduk bumi putera telah sadar bahwa pendidikan merupakan alat yang utama untuk mencapai kemajuan bangsa. Hal ini tampak pada hasrat penduduk bumi putera untuk menuntut pendidikan yang lebih tinggi, tidak hanya di sekolah menengah yang sudah diadakan pemerintah, namun ada juga di antaranya yang meneruskan pelajarannya di negeri Belanda. Kecerdasan mereka untuk mengidentifikasikan situasi kolonial memainkan peranan yang terarah pada masa depan. Diperkenalkannya berbagai macam ilmu di sekolah dan paham-paham baru memungkinkan mereka untuk mengkaji semua aspek dalam masyarakat dan membandingkan pengaruhnya antara satu daerah dengan daerah lainnya. Kesimpulannya menunjukkan bahwa adanya persamaan nasib yang buruk dari daerah-daerah itu akibat penjajahan dan adanya tekad bersama untuk memperbaikinya (Ricklefs. 1991: 24). Keturunan bangsawan atau kerabat raja yang memerintah suatu daerah pada umumnya terbagi lagi dalam beberapa tingkatan dengan gelar yang berbeda- beda sesuai dengan tingkat hubungannya dengan raja. Boleh dikatakan, sifatnya yang turun-menurun itu tidak pernah berubah sampai akhir abad ke-19. Karena itu para keturan atau kerabat raja tersebut sebagai elite, biasa disebut elite tradisional atau elite daerah. Yang disebut elite adalah suatu kelompok yang berpengaruh dalam sesuatu lingkungan atau masyarakat (Nugroho Notosusanto dan Yusmar Basri. 1987: 23). Kondisi tersebut pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan struktur sosial dalam masyarakat. Semakin luasnya daerah kekuasaan Belanda maka tidak memungkinkan bagi pihak Belanda untuk mengelola sendiri daerah-daerah kekuasaannya tersebut terutama dalam bidang pengelolaan administrasi pemerintahan. Rakyat daerah jajahan yang telah mendapatkan pendidikan Barat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan Belanda akan tenaga administrasi sehingga pegawai pemerintah mulai dipenuhi oleh penduduk pribumi yang berpendidikan. Kondisi itulah yang dapat mendorong terjadinya perubahan dan pertumbuhan sosial di kalangan penduduk pribumi. Rakyat pribumi tersebut ditempatkan dalam birokrasi pemerintahan Belanda di daerah jajahan karena dianggap lebih memahami seluk-beluk daerah

7

jajahan Belanda dibandingkan dengan pemerintah Belanda sendiri sehingga memudahkan pihak Belanda untuk mengatur daerah jajahannya selain pemerintah kolonial tersebut dapat menggaji para pegawai pribumi dengan gaji yang murah. Ternyata penerapan politik etis Belanda menjadi bumerang bagi bangsa Belanda sendiri. Politik etis mampu menumbuhkan kesadaran baru bagi rakyat yang sebelumnya terisolasi dari ilmu pengetahuan dan akhirnya mampu memahami kondisi yang tertindas. Fakta akan adanya dominasi dan kesenjangan kelas semakin kentara dan tidak bisa ditutup-tutupi. Hal inilah yang menjadi latar belakang utama kemunculan gerakan-gerakan pembebasan yang pada akhirnya menjadi tonggak munculnya pergerakan nasional di Indonesia. Gerakan-gerakan ini banyak didominasi oleh kelompok muda intelektual atau elit modern yaitu mahasiswa sebagai akibat dari adanya politik etis yang diterapkan oleh bangsa kolonial di tanah jajahannya. Kelompok muda intelektual tersebut kemudian membentuk organisasi-organisasi pemuda sebagai wadah pergerakan nasional untuk mencapai cita-cita yang diinginkan (http://pmiity08.wordpress.com diakses tanggal 4 Agustus 2009). Praktek-praktek kolonialisme telah mengakibatkan bangsa Indonesia kehilangan kemerdekaan politiknya karena adanya dominasi politik asing, dalam lapangan sosial ekonomi timbul pengkotak-kotakan masyarakat, kemelaratan dan kesengsaraan (Cahyo Budi Utomo. 1995: 32). Proses pencarian bentuk dari pergerakan nasional Indonesia, sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari kondisi yang lahir akibat politik kolonial, yaitu dengan ditetapkannya politik etis. Pelaksanaan politik itu secara tidak langsung telah mendorong munculnya elit baru berpendidikan Barat yang sadar akan nasib bangsanya akibat adanya praktek- praktek kolonialisme (M. C. Ricklefs. 1991: 25). Elite baru adalah pribadi labil dan ditandai oleh kesanggupannya yang tinggi untuk mengidentifikasikan dirinya dengan aspek baru dari lingkungannya yang kemudian mencita-citakan lenyapnya segala bentuk diskriminasi ras, perbedaan sosial, ekonomi, dan politik. Kesadaran itu telah mendorong elite baru untuk mendirikan organisasi sebagai alat

8

perjuangannya. Organisasi yang teratur dan modern diperlukan untuk mewujudkan ide nasionalisme itu (Cahyo Budi Utomo. 1995: 14). Bentuk kerjasama dalam perkumpulan organisasi modern itulah yang mengantarkan bangsa Indonesia dalam suatu ikatan persatuan dan kesatuan. Hal ini telah menimbulkan rasa khawatir, takut dan curiga dari pemerintah kolonial. Belanda menyadari akibat tidak langsung dari pelaksanaan politik etis yakni semakin mengkristalnya rasa dendam bangsa Indonesia terhadap penguasa. Sebagai langkah lebih jauh, Belanda menerapkan pengawasan ketat terhadap semua organisasi yang ada pada masa itu. Di Indonesia gerakan mahasiswa mendapat suatu legitimasi sejarah atas keturutsertaannya terlibat dalam gerakan kemerdekaan dan semenjak berdirinya negara menjadi bagian yang diakui dari sistem politik. Jika ditelusuri, misalnya perjuangan kemerdekaan nasional yang didorong oleh Soekarno lewat kelompok- kelompok studinya, Hatta lewat Perhimpunan Indonesia-nya, ternyata efektif dan mampu secara luas membangkitkan perasaan untuk sesegera mungkin lepas dari belenggu kolonialisme. Kelompok yang dulunya disebut ”pemuda pelajar” ini menjadi semacam ”martil kelompok terdidik” yang membawa angin perubahan untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakat akan kemerdekaan (http://pmiity08.wordpress.com diakses tanggal 4 Agustus 2009). Peran pemuda dalam kehidupan bangsa sudah sangat jelas kiranya, apabila kita lihat dari perspektif historis. Bahwa pemuda merupakan elemen strategis dalam perjuangan mencapai maupun mengisi kemerdekaan. Pemuda, dalam konteks ini biasanya terwadahi dalam organisasi-organisasi sosial- kemasyakatan pemuda, maupun partai-partai politik. Pada masa pergerakan nasional yang dimulai sejak tahun 1908, para pemuda terpelajar mengawalinya dengan pendekatan organisatoris tersebut, ditandai dengan hadirnya Boedi Oetomo. Sejak itu, pada masa-masa selanjutnya, organisasi kepemudaan hadir dan mewarnai dinamika pergerakan nasional antara lain SDI/SI, PNI, IP, Indische Vereeniging, Jong Java, Jong Borneo, Jong Sumatra, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Perhimpuna n Indo nesia dan sebagainya (http://smansaga ranten.sch.id diakses tanggal 4 Agustus 2009).

9

Kelahiran organisasi pergerakan kebangsaan tersebut merupakan reaksi terhadap kondisi yang telah diciptakan penjajah. Akibat penerapan-penerapan sistem politik sejak VOC sampai diterapkannya cultuure stelsel, dilanjutkan sistem liberal dengan masuknya modal-modal swasta asing secara bebas, telah berakibat negatif terhadap perekonomian rakyat Indonesia pada masa itu. Rakyat hidup miskin, tidak dapat menikmati kesempatan pendidikan dan tidak mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki nasibnya, baik dalam bidang material maupun spiritual. Tumbuh dan berkembangnya pergerakan kebangsaan Indonesia sangat dipengaruhi oleh suasana kesengsaraan dan kemelaratan rakyat serta kebodohan rakyat. Tetapi justru kemiskinan lahir batin yang luar biasa itulah yang menjadi jiwa dan pendorong para pelajar pada waktu itu untuk segera mendirikan suatu organisasi pergerakan kebangsaan (Cahyo Budi Utomo. 1995: 44-45). Organisasi-organisasi yang muncul dalam pergerakan kebangsaan Indonesia dengan demikian mempunyai fungsi lebih jelas yang dapat dijadikan sebagai suatu alat untuk menciptakan kekuatan sosial dengan tujuan akhirnya untuk menumbangkan atau menghapus strata sosial yang tidak menguntungkan yang diciptakan oleh pemerintah penjajah. Organisasi pergerakan telah berfungsi sebagai media penyalur rasa ketidakpuasan sosial masyarakat (Cahyo Budi Utomo. 1995: 34). Selain organisasi-organisasi yang mendasarkan diri pada ikatan teritorial, kultural dan etnisitas, pada awal abad ke-20 di Hindia-Belanda juga muncul organisasi pemuda yang bernafaskan keagamaan. Yang paling besar adalah Jong Islamieten Bond (JIB) (Cahyo Budi Utomo. 1995: 123). Perkembangan pendidikan Islam pada abad XIII sejalan dengan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam yang bertujuan untuk menyebarkan agama Islam. Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia berkaitan erat dengan perkembangan perdagangan internasional. Para pedagang Arab, Persia, dan Gujarat selain berdagang juga mengembangkan ajaran Islam. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh di Nusantara dengan menyebarluaskan ajaran Islam di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan di tempat-tempat lain. Sejak saat itu mulai berdirilah , madrasah, masjid,

10

partai-partai Islam serta sarana lain yang bertujuan menyebarkan Islam. Di samping elite tradisional yang berdasarkan keturunan itu muncul juga ulama kharismatik. Di sini kedudukan para ulama kharismatik yang berada di lapisan atas sukar untuk diturunkan pada anak cucunya. Hal ini dapat jumpai pada pemuka-pemuka agama, sebagai pemimpin rohani, seperti ulama-ulama dan yang sangat berpengaruh tidak hanya di daerahnya tetapi jauh melampaui batas- batas daerahnya. Keadaan ini menyebabkan kadang-kadang pengaruh dan peranannya melebihi pengaruh raja atau golongan bangsawan. Perlawanan- perlawanan daerah, terutama yang terjadi pada abad yang lalu, baik yang ditujukan kepada kolonialis dan kapitalis asing maupun kepada elite tradisional, dipimpin oleh elite agama. Pengaruhnya tidak diikat melalui lembaga pemerintahan (kerajaan), melainkan melalui perguruan yang didirikannya baik berupa pesantren maupun surau (Nugroho Notosusanto dan Yusmar Basri. 1987: 23-24). Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa kehidupan pesantren berpusat pada kyainya. Tidak jarang terjadi bahwa sebuah pesantren yang tersohor mengalami kemunduran dalam pergerakannya karena meninggalnya kyai yang bersangkutan. Hal ini terutama terjadi apabila pengganti kyai itu tidak sama keahlian dan kepopulerannya dengan kyai yang digantikan. Pengaruh kyai atau guru mengaji pada masa itu tidaklah terbatas hanya dalam pesantren atau suraunya saja, tetapi juga terasa ke seluruh desa. Kyai yang bersangkutan dimuliakan oleh segenap penduduk desa sehingga biasanya para kyai tersebut tidak ditinggalkan orang sekampung dalam hal-hal penting yang terjadi atau yang dibicarakan di kampung itu. Dalam soal sehari-hari pun pendapat dan nasihatnya sering diminta dan dijadikan sebagai panutan oleh orang-orang di kampungnya (Deliar Noer. 1990: 18). Pemikiran kolonial Belanda tehadap Islam Indonesia, pada awalnya dilandasi oleh pandangan yang keliru. Islam dibayangkan sebagai sebuah agama yang diorganisasikan secara ketat. Pandangan tersebut berdasarkan pada hubungan antara umat Islam Indonesia dengan para Sultan Islam di luar negeri, hubungan tersebut dipandang seperti hubungan antara umat Katholik dengan Paus

11

di Roma. Menurut Belanda, Islam dalam kehidupannya sudah diatur dengan hukum Islam secara menyeluruh termasuk dalam hubungan internasionalnya, Islam dengan demikian dianggap sebagai musuh yang ditakuti. Ketakutan ini telah mendorong Belanda untuk merumuskan sebuah politik aliansi dengan elemen di dalam tubuh masyarakat Indonesa terutama para pangeran dan Jawa. Raja- raja dan kepala di luar pulau Jawa yang karena alasan politiknya sendiri terkenal sebagai penganut Islam yang tidak telalu fanatik atau bahkan musuh terang-terangan Islam (H. J. Benda. 1980: 38-39). Pemerintah Hindia-Belanda yang berkuasa di Indonesia pada masa itu dihadapkan dengan kenyataan bahwa sebagian besar penduduk yang dijajah adalah beragama Islam. Kurangnya pengetahuan tentang Islam membuat pemerintah Hindia-Belanda tidak berani mencampuri agama Islam secara langsung (Darmansyah, dkk. 2006: 1). Sebelum Snouck Hurgonje, politik pemerintah Belanda terhadap Islam memang didasarkan pada perasaan takut dan sikap tidak mau mencampuri. Hasrat untuk menjauhkan diri dari campur tangan terhadap Islam, misalnya menyangkut masalah pembangunan masjid-masjid. Untuk pembangunan masjid-masjid tidak atau jarang sekali diberikan bantuan keuangan oleh pihak pemerintah. Pemerintah menyatakan, ”Negara, dengan sendirinya, tidak semestinya campur tangan dengan pembangunan atau dengan perbaikan bangunan-bangunan suci agama Islam” (G. F. Pijper. 1987: 239). Tetapi, kebijakan untuk tidak mencampuri Islam dianggap tidak konsisten karena tidak adanya garis yang tegas. Hal tersebut terbukti dalam penanganan masalah haji, pemerintah Hindia-Belanda ternyata tidak bisa menahan diri untuk tidak campur tangan, justru para haji sering dicurigai, dianggap fanatik dan pemberontak. Bahkan pada tahun 1859, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda dibenarkan mencampuri masalah agama bahkan bila perlu demi kepentingan negara setiap gerak-gerik para ulama harus diawasi (Aqib Suminto. 1985: 11). Bangkitnya kesadaran agama Islam tanpa dapat dibantah disebabkan sebagian besar oleh tersedianya kebudayaan Barat yang semakin meningkat. Dasar-dasar kebijaksanaan pemerintah, pemeliharaan kebebasan beragama dan menjauhkan diri dari campur tangan urusan agama, telah menyebabkan perluasan

12

dan pengukuhan agama Islam. Rasa puas yang semakin besar dapat dicapai, jika pemerintah dapat memutuskan untuk meniadakan sama sekali peraturan-peraturan yang oleh kaum Muslim dirasakan sebagai penghambat mengenai kebebasan pelaksanaan beribadah (G. F. Pijper. 1987: 252-253). Di kalangan umat Islam Indonesia timbul pula kesadaran untuk berorganisasi. Rasa persatuan di kalangan umat Islam mulai terpupuk hingga melahirkan suatu pergerakan yang sangat penting artinya bagi nasionalisme Indonesia. Di jaman VOC ulama sangat keras melawan Belanda dan pemerintah Belanda juga bertindak keras karena pengaruh Islam pada waktu itu dirasa sangat mengkhawatirkan pemerintah jajahan. Tetapi sebaliknya bagi bangsa Indonesia, pengaruh agama Islam yang besar itu telah menciptakan nasonalisme di kalangan rakyat Indonesia (C. S. T. Kansil dan Julianto. 1983: 24-25). Suatu faktor penting yang menimbulkan nasionalisme yang kental adalah persamaan agama, yakni 90 % penduduk Indonesia beragama Islam. Apabila gerakan nasionalisme yang berawal di Jawa itu meluas ke daerah-daerah di luar Jawa, maka akan memudarkan semangat-semangat kedaerahan yang sempit yang dimiliki oleh penduduk di tiap-tiap daerah itu karena kemudian muncul suatu perpaduan yang ditimbulkan oleh semangat agama yang sama yaitu Islam. Dalam hal ini agama Islam tidak hanya sebagai rantai pengikat dari semangat patriotisme kedaerahan ke dalam nasionalisme Indonesia, tetapi sesungguhnya juga menjadi semacam lambang persaudaraan terhadap suatu pengacau asing dan penindas sebuah agama asing. Menurut Wertheim yang dikutip oleh Cahyo Budi Utomo (1995: 46), Hal itu sangat aneh karena perkembangan agama Islam di Indonesia justru disebabkan oleh bangsa-bangsa Barat. Kedatangan bangsa Portugis di kawasan Indonesia telah mendorong semakin banyaknya para penguasa pribumi memeluk agama Islam sebagai satu gerakan politik untuk melawan masuknya agama Nasrani. Kehadiran kekuasaan Belanda di Indonesia semakin mempercepat proses islamisasi itu.

Lahirnya JIB sangat berkaitan dengan pergerakan organisasi Jong Java. Hal itu disebabkan karena pada kongres Jong Java yang dilaksanakan pada tahun 1922 diputuskan bahwa Jong Java tidak bergerak dalam bidang politik dan

13

anggotanya dilarang masuk partai politik. Dengan masuknya H. Agus Salim (tokoh SI) maka Jong Java mulai bergerak dalam bidang politik sehingga menimbulkan pro-kontra di tubuh Jong Java. Golongan yang setuju bergerak dalam bidang politik, mereka mendirikan JIB dengan agama Islam sebagai dasar pergerakan dan menerbitkan majalah Al-Noer atau disebut juga Het Licht. JIB dipelopori oleh Sjamsuridjal. Dalam organisasi intern, JIB mempelajari politik praktis dan berusaha agar anggota-anggotanya memahami politik, terutama dari sudut Islam (Tim Museum Sumpah Pemuda. 2006: 36). Berdasarkan atas pernyataan Sjam, JIB sendiri tidak akan ikut aksi politik, anggota-anggota JIB tidak akan terjun dalam politik atas nama organisasi tetapi JIB tidak melarang para anggotanya yang secara sah dapat ikut dalam gelanggang politik (Ridwan Saidi. 1990: 17). Ajaran agama Islam oleh JIB dijadikan sebagai sumber pengikat persatuan di kalangan pemuda-pemuda di Indonesia. Sebenarnya JIB sudah melangkah ke arah perjuangan politik, karena anggota-anggotanya sudah lebih dewasa dan bertujuan untuk persatuan berdasarkan Islam seperti yang diperjuangkan oleh Partai . Kemunculannya di tengah kancah pergerakan nasional sebagai wujud keprihatinannya terhadap kondisi para pemuda yang masih bersifat kedaerahan serta kurangnya pemahaman pemuda pelajar Islam terhadap agamanya sendiri akibat dari adanya Politik Islam Hindia-Belanda. Politik Islam pemerintah Hindia-Belanda berubah setelah kedatangan Snouck Hurgronje. Hurgonje menilai bahwa musuh pemerintah Hindia-Belanda bukanlah Islam sebagai agama tetapi Islam sebagai doktrin politik yang berbahaya bagi kelangsungan kekuasaan Belanda di Indonesia (Darmansyah, dkk. 2006: 27). Dalam kenyataannya Islam memang berfungsi sebagai titik pusat identitas yang melambangkan perlawanan terhadap penjajah (Aqib Suminto. 1986: 16). Sehubungan dengan politik tersebut, Snouck Hurgronje membagi Islam menjadi tiga bagian, yaitu ibadah, sosial-kemasyarakatan dan politik. Pemerintah memberikan kebebasan dalam masalah ibadah dan sosial-kemasyarakatan, tetapi tidak dalam hal politik. Kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda dalam menghadapi

14

tiga masalah ini dikenal dengan nama Politik Islam Hindia-Belanda (Darmansyah, dkk. 2006: 2). Pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia-Belanda dari jenjang terendah sampai jenjang tertinggi tidak memberikan pelajaran agama Islam kepada pelajar-pelajar yang beragama Islam. Akibat dari adanya sistem pendidikan ini maka pelajar Islam yang tidak mempunyai kesempatan belajar sendiri di luar sekolah menjadi kurang pemahamannya terhadap agama Islam. Padahal agama Islam merupakan agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Hindia-Belanda pada masa itu, suatu masyarakat yang kelak akan menjadikan kaum intelektualnya sebegai pemimpin. Dalam organiasi ini, semua suku diperlakukan sama (Darmansyah, dkk. 2006: 31). Keanggotaan JIB terbuka untuk pemuda Islam yang berumur 14-30 tahun dan yang berumur lebih dari 18 tahun boleh berpolitik. JIB pada tanggal 29 Desember 1925 mengadakan kongres I dan menetapkan anggaran dasarnya (Drs. Sutarto. 2005: 53). Generasi intelektual Muslim Indonesia pada umumnya pernah mengenyam pendidikan Barat dan sekaligus mendalami Islam secara khusus seperti halnya para pendiri JIB (Darmansyah, dkk. 2006: 3). Kelahirannya juga merupakan reaksi sekelompok pelajar terhadap kalangan pelajar Muslim lainnya yang bersikap acuh tak acuh terhadap agama Islam. Atas dasar keinginan untuk mengembalikan Islam sebagai ajarannya, sebagian pelajar Muslim yang tidak ingin terhanyut dalam pola kehidupan Barat akhirnya mendirikan JIB (http://ahmadfathulbari.multiply.com diakses tanggal 7 Agustus 2009). JIB didirikan oleh Sjam bekas ketua Jong Java yang keluar pada tahun 1924. Sjam menjadi ketua JIB dan H. Agus Salim diangkat sebagai penasehat. Pendirian JIB ternyata mendapat dukungan yang sangat luas dari masyarakat pemuda Islam dan sangat penting artinya dalam pergerakan pemuda Indonesia pada waktu itu (Tim Museum Sumpah Pemuda. 2006: 35). Sebagai sebuah organisasi pemuda pelajar Islam, JIB berusaha menghimpun seluruh pemuda pelajar Islam dalam organisasinya. Dalam usahanya tersebut JIB mengalami proses dari organisasi pelajar yang kecil menjadi organisasi pelajar yang besar (Darmansyah, dkk. 2006: 67). Organisasi ini semakin berkembang pesat sehingga

15

diakhir tahun 1925 JIB memiliki sekitar 1000 orang anggota ditujuh cabang, yaitu di Batavia, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, , Magelang dan . Sejalan dengan perkembangannya tersebut JIB juga telah ikut berperanserta dalam Kongres Pemuda Pertama yang diselenggarakan tanggal 30 April-2 Mei 1926. Selain itu, JIB juga turut mengikuti kongres lanjutannya (Kongres Pemuda Kedua) yang menghasilkan Sumpah Pemuda sebagai wujud munculnya nasionalisme di kalangan para pemuda Indonesia. JIB juga berperan dalam meningkatkan derajat pendidikan, menggagas nasionalisme Indonesia dan sebagainya yang sangat berpengaruh positif terhadap pergerakan nasional pemuda Indonesia dalam menghadapi kolonialisme bangsa Belanda (Darmansyah, dkk. 2006: 38). Di Indonesia memang peran pemuda Islam selalu menonjol, misalnya JIB dalam pergerakan nasional mempunyai cabang-cabang yang tersebar di seluruh Indonesia (http://tarbiyahislam.wordpress.com diakses tanggal 4 Agustus 2009). JIB didirikan dengan keyakinan bahwa hanya Islam yang mampu menjadi dasar untuk bersatu dalam mengusir Belanda. Selama masa penjajahan Belanda, umat Islam terus melakukan perlawanan baik dalam skala besar seperti Sultan Ageng Tirtayasa, Pangeran Diponegoro, dan lainnya maupun skala kecil-kecilan seperti Perlawanan Petani Banten 1988, perlawanan di Cimareme dan lainnya (Darmansyah, dkk. 2006: x). Dalam konteks kaderisasi, JIB dapat dilihat sebagai tempat persemaian para pemimpin Islam berpendidikan modern Belanda. Dapat disebutkan beberapa nama tokoh nasional yang menjadi alumni JIB yaitu Agus Salim, Sjamsoeridjal, Kasman Singodimedjo, , . Mereka kemudian memegang peranan penting setelah Indonesia merdeka (Darmansyah, dkk. 2006: x-xi). Namun di balik kemajuan dari JIB tersebut, menjelang masa surutnya ternyata banyak menyimpan benih-benih konflik. Hal tersebut terjadi karena munculnya pemikiran baru dari sebagian kalangan di JIB bahwa agama tidak dapat dijadikan sebagai sandaran untuk mencapai cita-cita (politik kemerdekaan) dan adanya persaingan memperebutkan kedudukan dalam organisasi (Darmansyah, dkk. 2006: 72). Dengan demikian sampai tahun 1930 pergerakan

16

nasional Indonesia praktis didominasi (kalau tidak mau disebut dimonopoli) aktivis-aktivis Islam. Perjuangan tahun 1930-an sampai 1940-an terdiri dari pergerakan Islam dan golongan nasionalis sekuler atau ”kalangan kebangsaan yang netral agama”, istilahnya Deliar Noer (http://tarbiyahislam.wordpress.com diakses tanggal 4 Agustus 2009). Mengingat perkembangan dan peran besar JIB dalam sejarah pergerakan nasional pemuda Islam Indonesia, maka penulis mengangkat judul ”Pergerakan Nasional Pemuda Islam (Studi tentang Jong Islamieten Bond 1925-1942)” sebagai obyek penelitian.

B. Pe rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis dapat merumuskan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah latar belakang berdirinya Jong Islamieten Bond? 2. Bagaimanakah perkembangan Jong Islamieten Bond? 3. Bagaimanakah peranan Jong Islamieten Bond sebagai bagian dari organisasi pemuda Islam di kancah pergerakan nasional Indonesia tahun 1925-1942?

C. Tujuan Pe ne litian Berdasarkan permasalahan diatas, tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah: 1. Untuk mengetahui latar belakang berdirinya Jong Islamieten Bond. 2. Untuk mengetahui perkembangan Jong Islamieten Bond. 3. Untuk mengetahui peranan Jong Islamieten Bond sebagai bagian dari organisasi pemuda Islam di kancah pergerakan nasional Indonesia tahun 1925- 1942.

17

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian ini bermanfaat: a. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan ilmiah yang berguna dalam rangka pengembangan ilmu sejarah. b. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya mengenai sejarah pergerakan nasional Indonesia, khususnya mengenai Jong Islamieten Bond sebagai bagian dari pergerakan nasional pemuda Islam tahun 1925- 1942. c. Dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan literatur dalam bidang sejarah pertumbuhan dan perkembangan organisasi Islam, terutama Jong Islamieten Bond yang berkembang pada masa pergerakan nasional Indonesia tahun 1925-1942.

2. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini bermanfaat: a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana Kependidikan Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Dapat memberikan dorongan dan acuan bagi penelitian selanjutnya mengenai pergerakan nasional Indonesia, khususnya tentang pergerakan Jong Islamieten Bond. c. Menambah bahan bacaan di Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah maupun di Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

BAB II KAJIAN TEORI

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Kolonialisme Menjelang akhir abad XIX masyarakat Indonesia merupakan masyarakat kolonial yang serba terbelakang. Tanah jajahan merupakan obyek eksploitasi untuk diambil keuntungan sebesar-besarnya bagi penjajah. Berbagai cara telah ditempuh untuk megusir kaum penjajah sejak awal, tetapi tidak juga membawa hasil yang menggembirakan. Salah satu sebabnya karena bangsa Indonesia belum memiliki rasa persatuan dan kesatuan. Kolonialisme secara etimologis berasal dari kata koloni yang artinya daerah jajahan, berarti daerah menempatkan penduduk atau kelompok orang yang bermukim di daerah baru yang merupakan daerah asing dan sering jauh dari tanah air, yang tetap mempertahankan ikatan dengan tanah air atau daerah asal (W. J. S. Poerwadharminto. 1976: 516). Suhartoyo Hardjosatoto (1985: 77) mengemukakan bahwa kolonialisme merupakan nafsu untuk menguasai sistem penguasaan wilayah bangsa atau negara lain. Hal tersebut dapat diartikan sebagai nafsu untuk menguasai daerah atau bangsa lain beserta perangkat sistem yang digunakan untuk mengatur wilayah yang dikuasai. Sedangkan C. S. T. Kansil dan Julianto (1983: 7) mengemukakan bahwa kolonialisme merupakan rangkaian nafsu suatu bangsa untuk menakhlukkan bangsa lain di bidang politik, sosial ekonomi, dan kebudayaan dengan jalan dominasi politik, eksploitasi ekonomi dan penetrasi kebudayaan. Kolonialisme berasal dari kata koloni yang artinya ialah menanam sebagian masyarakat di luar batas atau lingkungan daerahnya. Namun usaha lainnya yaitu para kolonis yang memiliki beberapa koloni di daerah lain berusaha menyatukan koloninya menjadi satu sistem penguasaan, maka usaha ke arah itu disebut sebagai imperialisme.

18

19

Berdasarkan pendapat di atas, disimpulkan bahwa kolonialisme merupakan rangkaian nafsu bangsa penjajah untuk menakhlukkan daerah koloninya (dalam hal ini Indonesia) baik dalam bidang politik, sosial-ekonomi, dan kebudayaan dengan jalan dominasi politik, eksploitasi ekonomi dan penetrasi kebudayaan. Hal tersebut semakin memperkuat konflik yang ada sehingga menimbulkan reaksi rakyat jajahan untuk berusaha mempertahan dan melepaskan diri dari belenggu kesengsaraan. Dipandang dari segi politik, kolonialisme atau penjajahan merupakan penguasaan dalam jangka waktu yang lama yang mengutamakan kepentingan orang-orang asing. Menurut Balandier dalam David L. Sills (1972: 1), ciri-ciri penjajahan antara lain: 1) Adanya dominasi kekuasaan dari minoritas orang-orang asing, lebih mengungulkan rasial dan budaya orang-orang asing tersebut daripada budaya milik orang-orang pribumi/penduduk asli; 2) Adanya hubungan antara peradaban yang berorientasi pada mesin atau alat- alat industri dengan Nasrani, perekonomian yang kuat, dan kemajuan hidup yang pesat. Di sisi lain peradaban orang-orang non-Nasrani ditandai dengan miskinnya mesin atau alat-alat industri, tertingalnya ekonomi serta kemajuan yang lambat. Sedangkan menurut C. S. T. Kansil dan Julianto (1983: 23) kolonialisme Belanda di Indonesia mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1) Membeda-bedakan warna kulit, 2) Menjadikan tanah jajahan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi negara induk, 3) Perbaikan ekonomi sosialnya sedikit, dan 4) Jarak sosial yang jauh antara bangsa penjajah dan bangsa terjajah. Tujuan Belanda melakukan penjajahan ke dunia Timur menurut G. Moedjanto (1988: 44) adalah dalam rangka memperluas pengaruh dan kekuasaan pemerintah Belanda yang ditempuh dengan cara menyatukan seluruh kekuasaan daerah jajahan di bawah penjajahan Belanda atau Pax Neerlandica (perdamaian Nerlandika) yang mengandung arti penyatuan dan penentraman. Pax Neerlandica

20

ini diciptakan oleh Gubernur Jendral J. B. van Heutsz (1904-1909), penakhluk Aceh. Kolonialisme kenyataannya telah mengakibatkan merosotnya keadaan sosial ekonomi penduduk hampir tak tertanggung lagi. Ini semua dirasakan sebagai akibat dari sistim penjajahan asing sehingga sedikit demi sedikit mendorong timbulnya kesadaran untuk mencarikan jalan keluar dan mengakhirinya (Suhartoyo Hardjosatoto. 1985: 26). Pelaksanaan kolonialisme bagaimanapun juga telah membawa penderitaan bagi masyarakat pribumi. Kemiskinan dan kemelaratan terjadi di mana-mana sehingga semakin memperbesar kesenjangan antara bangsa penjajah dan bangsa terjajah. Dalam kehidupan sehari-hari terdapat diskriminasi yang cukup mencolok. Situasi yang demikian merupakan tantangan bagi rakyat tanah jajahan untuk berusaha mempertahankan diri dan mengubah situasi yang ada (C. S. T. Kansil dan Julianto. 1983: 11). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Raymond Kennedy yang dikutip oleh G. Moedjanto (1988: 20-21) yang mengemukakan bahwa ciri- ciri masyarakat kolonial adalah: 1) Diskriminasi terhadap bangsa berwarna yang dianggapnya inferior (lebih rendah), 2) Subordinasi (ketaatan) politik dari bangsa pribumi terhadap kekuasaan negara jajahan 3) Ekonomi yang tergantung kepada penjajah, 4) Kurangnya kontak sosial antara golongan penguasa dan rakyat, serta 5) Kurangnya perhatian terhadap kesejahteraan sosial. Suhartoyo Hardjosatoto (1985: 37) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan kolonialisme tergantung pada kondisi negara penjajah, baik dilihat dari perbedaan mengenai kekayaan alam, kemajuan teknologi maupun sistem produksi barang yang merupakan faktor obyektif dari negara penjajah. Sehingga corak penjajah menentukan sifat dan perlakuan terhadap tanah air maupun bangsa yang dijajahnya. Oleh karena itu praktek kolonialisme sangat berlainan antara daerah satu dengan daerah lainnya.

21

Kolonialisme pada dasarnya bergerak pada bidang ekonomi, politik, kebudayaan dan sosial. Melalui bidang-bidang tersebut, kepribadian penduduk pribumi dihancurkan. Di bidang politik, penjajah melakukan dominasi politik, dalam arti kekuasaan pemerintah berada di tangan kaum penjajah yang dapat memerintah dengan sekehendak hatinya. Di bidang ekonomi, penjajah melakukan eksploitasi ekonomi yang mengambil dan mengangkut jauh lebih banyak kekayaan dari bumi Indonesia ke negeri penjajah untuk kemakmuran para kaum kolonial dibandingkan dengan apa yang telah diberikan kepada negeri jajahannya. Di bidang kebudayaan, penjajah melakukan penetrasi kebudayaan dengan berbagai cara, baik halus maupun paksaan, sehingga sangat merugikan kehidupan budaya bangsa setempat. Di bidang sosial, penjajah menciptakan diskriminasi sosial yang menempatkan bangsa penjajah pada kedudukan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bangsa terjajah yang dianggap bangsa kelas rendah (Cahyo Budi Utomo. 1995: 21). Dalam pergaulan sehari-hari tidak ada kontak sosial dan adanya kontak fisik yang mencolok antara orang-orang Belanda dan penduduk pribumi. Kalangan pribumi dilarang keras untuk mengikuti berbagai perkumpulan maupun memasuki daerah tempat tinggal khusus orang-orang Belanda. Dengan adanya diskriminasi tersebut maka menggugah rakyat untuk melakukan perlawanan untuk dapat lepas dan merdeka dari belenggu penjajahan bangsa Belanda.

2. Politik Islam Hindia-Belanda Politik kolonial Belanda di Hindia-Belanda menggunakan politik konservatif atau sitem pemerintahan tidak langsung yaitu sistem pemerintahan melalui kepala-kepala pribumi. Kepala-kepala pribumi diserahi tugas untuk mengurus masalah-masalah penduduk sedangkan agen-agen Belanda dibebani pekerjaan untuk mengadakan pengawasan terhadap daerah jajahannya. Hal yang tampak paradoksal dalam politik kolonial Belanda ialah pengaruh penetrasi kekuasaan pemerintah Belanda yang mendorong ke arah perubahan sosial termasuk individualisasi kebebasan, namun pemakaian kekuasaan kepala desa menambah kekuasaan tradisional. Dengan dukungan penguasa Belanda, kepala

22

desa bertambah kekuasaannya. Namun di mata rakyat telah berubah menjadi agen penguasa kolonial (Sartono Kartodirdjo, Mawarti Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto. 1975: 310). Pemerintah Belanda memerlukan inlandsch politiek sebagai kolonialis, yakni kebijaksanaan mengenai pribumi, untuk memahami dan menguasai pribumi. Karena mayoritas penduduk Hindia-Belanda adalah beragama Islam maka bangsa kolonial mulai menerapkan politik Islamnya, Snouck Hurgronje sebagai arsitek politik Islam telah berhasil menemukan seni memahami dan menguasai penduduk yang sebagian besar Muslim itu (Aqib Suminto. 1985: 11). Pemahaman Snouck tentang hakekat Islam Indonesia sangat besar nilainya untuk mengarahkan politik Belanda terhadap Islam menuju suatu arah yang berhasil. Prestasi utamanya adalah peranan yang dimainkan dalam reorientasi politik, yang bersama dengan taktik-taktik militer yang telah disempurnakan berhasil mengakhiri Perang Aceh (H. J. Benda. 1980: 40). Di Indonesia, Belanda dihadapkan pada kenyataan bahwa sebagian penduduk yang dijajahnya adalah beragama Islam. Timbulnya aneka perlawanan seperti perang Paderi (1821-1827), perang Diponegoro (1825-1830), perang Aceh (1873-1903) dan lainnya, perlawanan tersebut tidak terlepas dari kekuatan umat Islam dalam menghadapi kekuasaan bangsa kolonial. Karena kurangnya pengetahuan yang tepat mengenai Islam, pada mulanya Belanda tidak berani mencampuri agama Islam secara langsung. Sikap Belanda ini dibentuk oleh kombinasi kontradiktif antara rasa takut dan harapan yang berlebihan. Di satu pihak Belanda sangat khawatir akan timbulnya pemberontakan orang-orang Islam fanatik sedangkan di pihak lain Belanda sangat optimis bahwa keberhasilan kristenisasi akan segera menyelesaikan semua persoalan. Dalam hal ini Islam sangat ditakuti, karena dianggap mirip dengan Katholik. Namun kebijakan untuk mencampuri agama Islam nampak tidak konsisten, karena tidak adanya garis yang jelas. Dalam masalah hají misalnya ternyata pemerintah kolonial tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut campur tangan, justru para haji sering dicurigai dan dianggap fanatik, tukang memberontak (Aqib Suminto. 1985: 9-10).

23

Pada tahun 1889 setelah kedatangan Snouck Hurgronje, pemerintah Hindia-Belanda baru mempunyai kebijaksanaan yang jelas mengenai masalah Islam, Snouck Hurgronje berusaha melawan ketakutan Belanda selama ini terhadap Islam. Snouck menegaskan bahwa pada hakekatnya orang Islam di Indonesia itu penuh damai, tetapi Snouck pun tidak buta terhadap kemampuan politik fanatisme Islam. Bagi Snouck Hurgronje, musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik (H. J. Benda. 1980: 45). Snouck Hurgronje tidak menutup mata terhadap kenyataan bahwa Islam seringkali menimbulkan bahaya terhadap kekuasaan Belanda. Walaupun Islam di Indonesia banyak bercampur dengan kepercayaan animisme dan Hindu, namun Snouck pun tahu bahwa orang Islam di negeri ini pada waktu itu memandang agamanya sebagai alat pengikat kuat yang membedakan dirinya dari orang lain (Deliar Noer. 1990: 59). Dalam kenyataannya memang Islam di Indonesia berfungsi sebagai titik pusat identitas yang melambangkan perlawanan terhadap pemerintah Kristen dan asing. Di pihak lain, terutama pada abad ke-19, banyak orang Belanda, baik di negerinya sendiri maupun di Hindia-Belanda, sangat beharap untuk menghilangkan pengaruh Islam dengan proses kristenisasi secara cepat pada sebagian besar orang Indonesia (H. J. Benda. 1980: 39). Snouck Hurgronje juga memusatkan perhatiannya kepada para bangsawan Jawa dan kepada para elite priayi pada umumnya, sebagai suatu kelas sosial yang pertama dan paling jelas yang harus ditarik ke arah westernisasi. Tingkat kebudayaan aristrokrasi yang lebih tinggi, dekatnya dengan pengaruh-pengaruh Barat berkat kontaknya dengan pemerintah Eropa dan akhirnya keterpisahannya dari Islam secara logis menjadi ahli waris skema asimilasionis Snouck. Kaum bangsawan Indonesia yang telah kehilangan ikatan kultural dan politik sebagai akibat penakhlukkan Belanda, menuntut partisipasi di dalam kebudayaan Belanda. Maka pendidikan Barat haruslah diberikan kepada orang-orang Indonesia yang jumlahnya semakin besar. Pendidikan Barat adalah alat yang paling pasti untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia. Dengan demikian, bukan hanya pandangan-pandangan Snouck Hurgonje mengakar pada watak jamannya, dalam

24

kenyataan pandangannya adalah cermin dari suatu era baru di dalam kebijakan kolonial Belanda, yang disebut Politik Etis, yang secara resmi bermula pada tahun 1901 (H. J. Benda. 1980: 47-49). Pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dari jenjang terendah sampai jenjang tertinggi tidak memberikan pelajaran agama Islam kepada pelajar- pelajar yang beragama Islam. Pelaksanaan pendidikan tersebut mengupayakan sekularisasi di dunia pendidikan dengan menyingkirkan pelajaran keagamaan dari dunia sekolah. Akibat sistem pendidikan ini maka pelajar Islam yang tidak mempunyai kesempatan belajar sendiri di luar sekolah menjadi kurang pemahamannya dari agama Islam. Bahkan seorang Agus Salim pernah berkata bahwa dirinya hampir kehilangan iman selepas dari Hoogere Burgere schoo l (HBS/Sekolah Tinggi Warga Masyarakat) (Darmansyah, dkk. 2006: 2). Snouck Hurgronje membagi Islam menjadi tiga bagian yaitu ibadah, sosial-kemasyarakatan dan politik. Masing-masing bidang menuntut alternatif pemecahan yang berbeda-beda. Konsep pembagian itulah yang kemudian dikenal sebagai kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda dalam menangani masalah Islam. Pemerintah memberikan kebebasan dalam masalah ibadah dan sosial kemasyarakatan, tetapi tidak dalam hal politik. Pemerintah mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan Pan Islam. Kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda dalam menghadapi tiga masalah inilah yang kemudian dikenal dengan nama Politik Islam Hindia-Belanda (Darmansyah, dkk. 2006: 2). Keadaan pada masa itu memang memungkinkan Snouck Hurgronje untuk melaksanakan gagasan politik Islamnya, karena pada tahun 1899 Snouck ditugaskan sebagai penasehat urusan pribumi dan Arab. Pengalamannya dalam penelitian lapangan di negeri Arab (1885), Jawa (1889-1890) dan Aceh (sejak tahun 1891) serta pengalamannya selama menjabat penasehat urusan bahasa- bahasa Timur dan hukum Islam sejak tahun 1891 itu juga, cukup membekali dalam usaha menemukan seni memahami dan mengusai penduduk Muslim tersebut. Meskipun tidak seluruhnya, namun garis politik Snouck Hurgronje itu mampu bertahan hingga akhir masa penjajahan Belanda di Indonesia (E. Gobee dan dan C. Adriaanse. 1990: 12).

25

3. Elit Modern Politik Etis dicetuskan oleh Van Deventer. Politik tersebut mencakup bidang irigasi, emigrasi dan pendidikan (eduk asi) (Slamet Mulyono. 1968: 38). Munculnya politik Etis dalam bidang pendidikan di Indonesia berakibat pada semakin banyaknya pendirian sekolah-sekolah formal oleh pemerintah Belanda. Hal tersebut dipengaruhi karena adanya kebutuhan pihak Belanda akan tenaga terampil dalam bidang administrasi maupun berbagai bidang teknik dan kejuruan. Dengan adanya pembukaan sekolah-sekolah tersebut maka pendidikan bagi rakyat Indonesia mulai sedikit berkembang sehingga pada akhirnya mulai muncul golongan terpelajar atau elit modern sebagai golongan baru dalam stratifikasi masyarakat Indonesia pada penjajahan bangsa masa kolonial. Dan golongan inilah yang menjadi motor penggerak golongan terdidik untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakat Indonesia akan kemerdekaan. Dalam pelaksanaan pendidikan yang diselenggarakan oleh pihak Belanda juga terdapat diskriminasi, anak-anak bumiputera memiliki kesempatan yang sangat terbatas untuk mengenyam pendidikan. Pemerintah kolonial Belanda tidak ingin melihat bangsa Indonesia menjadi pintar dan maju. Selain itu juga munculnya anggapan di kalangan kaum kolonial bahwa bangsa yang bodoh lebih mudah untuk diatur dan dikendalikan (Nico Thamiend R dan M. P. B. Manus. 2004: 100). Sekolah yang lebih baik, yang seluruhnya menggunakan sistem dan tingkat pelajaran yang tak kalah dari negeri Belanda lebih kecil jumlahnya. Dari jumlah yang kecil ini hanya secuil saja tempat yang tersedia bagi anak-anak pribumi (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto. 1975: 129). Selain itu sekolah-sekolah yang didirikan bukan untuk mencerdaskan bangsa Indonesia, tetapi untuk mendapatkan tenaga terdidik dengan upah yang murah. Pendidikan rakyat tidak boleh melebihi kebutuhan akan tenaga. Pendidikan yang baik hanya akan membahayakan kedudukan penjajah. Perluasan pendidikan kepada bumiputera resmi merupakan produk dari politik etis. Pendidikan ini tidak hanya untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah bagi pemerintah dan kegiatan bisnis swasta Belanda, tetapi juga menjadi alat utama untuk mengangkat derajat dan menuntun rakyat bumiputera menuju

26

modernisasi (http://www.lomboktimur.go.id diakses tanggal 7 Agustus 2009). Selain itu pelaksanaan politik etis juga bermanfaat bagi bangsa Indonesia. Dengan diterapkannya politik etis tersebut maka rakyat Indoesia menjadi semakin kenal akan berbagai ide Barat, seperti liberalisme, demokrasi, hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan sipil pada umumnya. Dengan demikian golongan intelektual atau kaum terpelajar Indonesia semakin berkembang pesat (G. Moedjanto. 1988: 24). Karena pendidikan Barat mulai meluas sesuai dengan kepentingan kolonial yang semakin meningkat pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20, maka mulai muncul golongan priyayi yang dapat dibedakan menjadi golongan priyayi birokrasi, yaitu golongan priyayi yang menduduki jabatan-jabatan pangreh-praja dan meneruskan tradisi priyayi lama. Jabatan-jabatan ini pada umumnya juga diduduki oleh anak keturunan golongan priyayi lama yang sudah berpendidikan modern. Sedangkan golongan priyayi profesional adalah golongan priyayi yang menduduki jabatan-jabatan pemerintahan yang memerlukan pengetahuan dan keterampilan tertentu, karena jabatan-jabatan itu mengurusi kepentingan-kepentingan yang ada hubungan erat dengan eksploitasi kolonial seperti kesehatan, peternakan, pertanian, irigasi, perindustrian dan sebagainya (Sartono Kartodirdjo, A. Sudewo, Suhardjo Hatmosuprobo. 1993: 8). Sebenarnya pihak pemerintah Hindia-Belanda sejak awal telah memperhitungkan dampak dari penerapan pendidikan sistem Barat di negeri jajahan. Dengan cara hati-hati, diskriminasi dan sangat selektif pendidikan itu diberikan kepada rakyat Indonesia. Hanya anak golongan bangsawan dan Belanda keturunan serta anak-anak keturunan Timur Asing (Cina dan Arab) yang mendapatkan pendidikan sistem Barat. Berbeda dengan harapan pemerintah Belanda sehubungan dengan pelaksanaan politik etis, tidak semua dari kaum intelektual tersebut yang pernah mengenyam pendidikan dan kebudayaan Barat berhasil dijinakkan untuk diperalat mempertahankan kekuasaan kolonial. Sebagian dari mereka baik yang berada di Hindia-Belanda maupun di negeri Belanda muncul sebagai perintis dan pembangkit kesadaran nasional yang memihak pada kepentingan masyarakat.

27

Kaum intelektual Indonesia bukannya berterima kasih kepada pihak Belanda, tetapi berbalik menjadi bumerang bagi pemerintah Belanda sendiri (C. S. T. Kansil dan Yulianto. 1983: 62). Yang dianggap sebagai kaum etis adalah sebagai pendorong; suatu golongan masyarakat yang ingin berpacu dengan perkembangan, berusaha untuk merangsang, diilhami sifat dinamis, digerakkan oleh sifat optimis dan kepercayaan pada diri sendiri (Robert Van Niel. 1984: 60). Kelompok elit dapat diartikan sebagai suatu kelompok yang mempunyai kedudukan dalam masyarakat pada puncak struktur sosial, misalnya kedudukan yang tinggi dalam pemrintahan, politik, ekonomi maupun agama. Orang Indonesia pada tahun 1900 dan sampai sekarang mengakui adanya dua tingkatan di dalam masyarakat. Kelompok yang besar dari petani dan orang desa dinamakan rakyat jelata. Administrator, pegawai pemerintahan, dan orang-orang Indonesia yang berpendidikan berada di posisi yang lebih dikenal sebagai elit atau priyayi. Jadi yang disebut elit adalah siapa saja yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari rakyat jelata yang dalam beberapa hal orang-orang tersebut memimpin, memberi pengaruh, menuntun, mengatur masyarakat Indonesia menjadi lebih baik dan yang termasuk di dalamnya adalah priyayi dan bangsawan (Robert Van Niel. 1984: 67). Dalam kenyataannya selalu terdapat kontak antara priyayi dan orang- orang Belanda di Hindia-Belanda pada abad ke-19. Senantiasa terdapat orang- orang Eropa yang bertindak sebagai penghubung dan beberapa di antaranya memungkinkan sekelompok orang pribumi memperoleh pendidikan formal dan dengan demikian masuk ke dalam batas-batas lingkungan Eropa. Sehingga peranan priyayi tersebut sangat menentukan dalam membentuk karir pribadi pribumi dan di samping itu memperkuat momentum yang menghendaki diberlakukannya pendidikan Barat (Heather Sutherland. 1983: 98-99). Hal itulah yang kemudian mendorong munculnya priyayi profesional, yang lewat jenjang pendidikan dapat menduduki tingkat sosial yang lebih tinggi daripada tingkat asalnya (Sartono Kartodirdjo. 1999: 89). Dalam sejarah dikenal dua kelompok elite, yaitu kelompok elite tradisional dan kelompok elite baru. Kelompok elite tradisional berdasarkan pada keturunan. Para elite tradisional memperoleh kedudukan karena kelahiran (asal-

28

usul status) dengan berbagai atribut kebesaran orang tuanya. Yang termasuk kelompok elite tradisional adalah raja-raja bersama keluarganya, yaitu para bangsawan yang mempunyai kekuasaan politik, sosial, kultural dan sebagainya. Kau elite tradisional benar-benar menguasai hidup dan matinya rakyat yang ada dalam lingkungan wilayah kekuasaannya. Sedangkan kelompok elite baru adalah kelompok tersendiri yang mendapatkan status bukan karena keturunan, akan tetapi status tersebut diperoleh sendiri atas usaha yang dilakukan dan biasanya dari jenjang pendidikan (Sartono Kartodirdjo. 1999: 72). Para elite baru tersebut biasa disebut sebagai kelompok terpelajar dan memegang jabatan-jabatan dalam pemerintahan (William H. Frederick. 1989: 45). Kekuasaan Belanda semakin bertambah luasnya sehingga kebutuhan akan birokrasi Indonesia yang berpendidikan Barat juga semakin bertambah besar. Bila sebelumnya kedudukan-kedudukan tinggi dalam hirarki kepegawaian Indonesia diberikan atas dasar asal keturunan, politik kolonial yang baru membuat pendidikan sebagai syarat pendukung pada asal keturunan. Dalam ukuran waktu dan keadaan tertentu pendidikan dijadikan sebagai ukuran utama. Hal ini pada gilirannya membuahkan beragamnya elite Indonesia yaitu munculnya golongan priyayi lama yang terdiri dari para bangsawan dan administrator serta priyayi baru yang bertambah dengan sejumlah pegawai pemerintahan, teknisi pemerintahan, cendekiawan yang sama-sama memerankan peran elite (Robert Van Niel. 1984: 75). Munculnya elite baru atau elite modern merupakan sebagian dari perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan secara wajar dapat dipandang sebagai unsur integral dari masyarakat yang bersangkutan dalam proses perubahan yang berlangsung cepat (J. D. Legge. 1993: 44). Kelompok elite baru sebagian besar berasal dari bangsawan rendah dan rakyat biasa. Dalam masyarakat, kelompok elite baru tersebut berusaha menunjukkan kelasnya yang lebih maju yang nantinya membawa atau dapat mempengaruhi haluan politik pemerintah. Elite baru muncul sebagai akibat dari adanya ambivalansi dalam kebijaksanaan kolonial pada abad XIX mengenai perlunya kekuasaan tradisional. Para elite baru tersebut memperoleh gelar serta bentuk kemegahan yang ada kaitannya dengan

29

statusnya, seperti menjadi guru sekolah pemerintah dengan diberi pangkat mantri guru dan hak untuk tampil di depan umum. Menjelang abad XX, pendidikan dan pengajaran secara Barat mempunyai andil yang penting dalam kehidupan. Pendidikan dengan bahasa Belanda diadakan, waktu pendidikan yang sebelumnya hanya sampai dua tahun diperpanjang hingga lima sampai enam tahun. Sebagai hasilnya kelompok elite baru menjadi profesional hingga meluas dalam dinas- dinas pengairan, kehutanan, kereta api dan dinas lainnya (M. C. Ricklefs. 1990: 52). Adanya modernisasi pendidikan menyebabkan cakrawala berpikir pelajar Jawa semakin luas. Para pelajar di Jawa tidak hanya berpikir pada pelajaran yang sedang tekuni, tetapi mulai memikirkan keadaan masyarakat bumiputera yang terbelakang akibat kebijaksanaan pemerintah kolonial. Dan itulah yang kemudian disebut sebagai elite terpelajar (Sartono Kartodirdjo. 1992: 14). Golongan elite modern merupakan pemimpin pergerakan yang menyadari bahwa bidang pendidikan adalah sarana efektif bagi penanaman jiwa dan semangat kebangsaan atau nasionalisme. Sehingga perkembangan pengajaran dengan sistim sekolahnya mau tidak mau harus disesuaikan dengan sifat dualistis masyarakat Indonesia, baik mengenai bahasa pengantarnya maupun sistim pelajarannya. Maka dari itu terdapat empat kategori sekolah, yaitu 1) sekolah Eropa yang sepenuhnya memakai model sekolah negeri Belanda, 2) sekolah bagi pribumi yang memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, 3) sekolah bagi pribumi yang memakai bahasa daerah sebagai bahasa daerah/pribumi dan 4) sekolah yang memakai sistem pribumi (Sartono Kartodirdjo. 1999: 23). Seiring dengan tingkat perkembangan dalam bidang pengajaran yang merupakan hasil dari politik etis maka golongan elite intelektual dikalangan rakyat Indonesia juga semakin tumbuh. Elite baru ini menyadari keadaan yang terbelakang dari masyarakatnya akibat praktek kolonialisme. Kaum elite baru inilah yang kemudian bercita-cita melenyapkan segala bentuk diskriminasi ras, perbedaan sosial-ekonomi dan politik. Kesadaran itu telah mendorong para elite baru untuk mendirikan organisasi secara modern sebagai alat perjuangannya

30

(Darsiti Soeratman. 1970: 44). Walaupun hanya sebagian kecil rakyat Indonesia yang mendapatkan pendidikan sistem Barat, ternyata pendidikan tersebut telah menghasilkan kaum elite intelektual. Kaum elite intelektual inilah yang banyak memiliki kesadaran nasional, harga diri dan wawasan luas. Inilah benih-benih penggerak perjuangan untuk mencapai Indonesia merdeka. Dari tahun ke tahun kaum elite intelektual itu semakin bertambah banyak, sehingga menimbulkan pergerakan nasional yang lebih mantap.

4. Pergerakan Nasional Pergerakan kebangsaan yang muncul di Indonesia merupakan suatu fenomena baru dalam sejarah bangsa Indonesia. Dalam hal tertentu pergerakan kebangsaan itu dapat dianggap sebagai lanjutan perjuangan yang masih bersifat pra-nasional dalam menentang praktek-praktek kolonialisme dan imperialisme Belanda pada masa-masa sebelumnya (Cahyo Budi Utomo. 1995: 22). Pergerakan nasional menentang penjajahan berhasil membangun Republik Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat (G. Moedjanto. 1988: 27). Dalam konteksnya dengan sejarah pergerakan nasional Indonesia, Suhartoyo Hardjosatoto (1985: 32-33) berpendapat bahwa kata pergerakan mengandung dua pengertian. Pengertian pertama mengacu pada perubahan menuju suatu keadaan tertentu yang diinginkan, sedangkan pengertian lainnya yaitu menunjuk pada fakta atau fakta-fakta proses perubahan termaksud. Untuk lebih jelasnya dapat diterangkan sebagai berikut: 1) Dalam pengertiannya yang pertama, pergerakan ini merupakan suatu proses yang dinamis yakni berupa suatu ilustrasi mengenai terjadinya semacam proses perjuangan menuju suatu kadaan tertentu yang diinginkan. Dalam hubungannya dengan pergerakan nasional maka pengertiannya mengacu pada suatu deskripsi mengenai dinamika proses perjuangan yang terjadi untuk mengubah suatu keadaan tertentu, khususnya sistem politik dari sesuatu bangsa (nation), secara konkritnya yakni dari suatu sistim politik kolonial, menuju suatu sistim politik yang diinginkan yakni sistim politik nasional, jadi tercapainya kemerdekaan nasional terutama di bidang politik. Dengan

31

demikian proses perjuangan ini terjadi antara unsur-unsur kekuatan kebangsaan yang berbenturan dengan unsur-unsur kekuatan kolonial. Proses perjuangan dan perbenturan kekuatan ini terjadi di dalam sistim kolonial itu sendiri dan ini ingin diubah menjadi suatu keadaan baru atau sistim baru yang diinginkan tersebut. 2) Pengertian kedua mengacu pada fakta atau fakta-fakta yang menunjukkan adanya proses perubahan seperti yang dimaksudkan pada angka 1) di atas. Fakta-fakta ini merupakan bentuk konkrit daripada adanya proses perjuangan antara unsur kekuatan kebangsaan menentang unsur kekuatan kolonial yang pernah terjadi. Jadi mengacu pada berbagai fakta mengenai organisasi- organisasi yang ingin mewujudkan tujuan nasional khususnya organisasi politik dalam segala aspeknya. Berbagai aspek yang menyangkut organisasi ini antara lain mengenai terjadinya, tujuannya, bentuk-bentuk perjuangannya, bentuk-bentuk kerjasama yang dilakukan untuk mencapai tujuannya, kesulitan yang dialami. Analisa mengenai pengertian pergerakan di atas dapat disintesakan menjadi satu pengertian. Dengan demikian sejarah pergerakan nasional Indonesia ini menunjuk pada ilmu sejarah yang mempelajari proses perubahan dan fakta- fakta mengenai proses perubahan menuju keadaan yang diinginkan yakni kemerdekaan nasional di Indonesia. Susanto Tirtoprodjo (1970: 35) mengemukakan bahwa pergerakan adalah perjuangan untuk mencapai kemerdekaan, untuk mengakhiri penjajahan yang sifat perjuangannya sudah berbentuk organisasi yang teratur. Sedangkan menurut C. S. T. Kansil dan Julianto (1983: 15) istilah pergerakan mengandung pengertian sebagai perjuangan untuk mencapai kemerdekaan dengan menggunakan organisasi yang teratur. Dan istilah nasional dimaksudkan sebagai pergerakan-pergerakan yang bercita-cita nasional yaitu cita-cita mencapai kemerdekaan bangsa. Berdasarkan pendapat tersebut maka pergerakan nasional dapat diartikan sebagai pergerakan bercita-cita nasional yang muncul dari masyarakat senasib untuk mengakhiri penjajahan dan sifat perjuangannya sudah berbentuk organisasi yang teratur untuk mencapai kemerdekaan.

32

Kahin (1995: 26) mengungkapkan bahwa nasionalisme adalah kesetiaan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada negara. Karena hal tersebut sangat penting bagi kehidupan suatu negara. Nasionalisme terbentuk oleh faktor masa lampau, agama dan bahasa. Sehingga dengan adanya nasionalisme akan menyebabkan munculnya kesadaran nasional di kalangan rakyat. Lahirnya pergerakan nasional Indonesia tidak bisa dilepaskan dari adanya kesadaran nasionalisme di kalangan rakyat Indonesia dan nasionalisme itu sendiri merupakan hasil yang paling penting dari pengaruh kekuasaan bangsa Barat di negara-negara terjajah. Nasionalisme merupakan suatu gejala historis yang telah berkembang sebagai jawaban terhadap kondisi politik, ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh kondisi kolonial. Nasionalisme dan kolonialisme itu tidak dapat terlepas satu sama lain dan terasa sekali adanya pengaruh timbal-balik antara nasionalisme yang sedang berkembang dan politik kolonial dengan ideologinya. Di satu pihak kekuasaan kolonial memaksakan peraturan-peraturan yang keras untuk menindas nasionalisme, sedangkan di pihak lain, kaum nasionalis melancarkan serangan terhadap pemerintah kolonial (Sartono Kartodirdjo. 1999: 33). Pergerakan nasional Indonesia meliputi semua macam aksi yang dilakukan dengan menggunakan organisasi modern ke arah perbaikan hidup untuk bangsa Indonesia, karena tidak puas dengan keadaan masyarakat yang sudah ada (A. K Pringgodigdo. 1991: VI). Tujuan nasionalisme Indonesia merupakan tujuan dari pergerakan nasional Indonesia sendiri. Walaupun terdapat perbedaan corak dan sifat dari organisasi-organisasi pergerakan, namun tujuannya dapat dikatakan sama yaitu mencapai kemerdekaan dan melenyapkan sistem kolonialisme (C. S. T. Kasil dan Julianto. 1983: 12). C. S. T. Kansil dan Julianto (1983: 17) berpendapat bahwa pergerakan nasional Indonesia tumbuh dan berkembang sebagai reaksi terhadap kebijakan- kebijakan kolonial yang sangat merugikan rakyat Indonesia dan kelahirannya dipercepat oleh beberapa kejadian antara lain: 1) Tersia-sianya rakyat Indonesia dalam bidang pengajaran dan pendidikan, 2) Perlakuan pemerintah kolonial yang sangat melukai hati rakyat,

33

3) Suara beracun pers Belanda serta sikap angkuh dari masyarakat Belanda di Indonesia, dan 4) Adanya gerakan orang-orang Cina dengan didirikannya perguruan bagi masyarakat mereka sendiri yakni Tionghoa Hwee Kwan tahun 1901. G. Moedjanto (1988: 26) mengungkapkan bahwa lahirnya pergerakan nasional dipengaruhi oleh faktor ekstern (luar negeri) dan faktor intern (dalam negeri). Adapun faktor atau sebab-sebab dalam negeri adalah: 1) Penderitaan akibat penjajahan, dalam hal ini bangsa Indonesia merasa senasib sepenanggungan, sama-sama dijajah Belanda. Jadi hal ini merupakan reaksi terhadap penjajahan. 2) Kesatuan Indonesia di bawah Pax Neerlandica memberi jalan ke arah kesatuan bangsa. 3) Pembangunan komunikasi antar pulau menyebabkan semakin mudahnya dan semakin sering bertemunya rakyat dari berbagai kepulauan. 4) Pembatasan penggunaan atau penyebaran bahasa Belanda di kalangan pribumi di satu pihak dan penggunaan bahasa Melayu yang dipopulerkan di lain pihak menyebabkan bahasa yang berasal dari sekitar selat Malaka ini menjadi bahasa Indonesia; bahasa ini kemudian menjadi tali pengikat kesatuan bangsa yang ampuh. 5) Undang-undang desentralisasi 1903, yang di antaranya mengatur masalah pembentukan kota praja (gemeente atau haminte) dan dewan-dewan kotapraja memperkenalkan rakyat Indonesia akan tata cara demokrasi yang modern. 6) Pergerakan kebangsaan di Indonesia dapat juga disebut sebagai reaksi terhadap semangat kedaerahan yang tidak menguntungkan bagi perjuangan kemerdekaan (semangat kedaerahan membuat bangsa Indonesia terpecah- belah dan lemah). 7) Inspirasi kejayaan Majapahit dan Sriwijaya (pengetahuan bangsa Indonesia tentang kejayaan kedua kerajaan tersebut diperoleh dari banyak sarjana Barat juga).

34

Sedangkan faktor-faktor luar negeri yang menjadi sebab dari perkembangan pergerakan nasional adalah: 1) Ide-ide Barat yang masuk lewat pendidikan Barat yang modern, menggantikan pendidikan tradisional (pondok, pesantren, wihara-wihara). 2) Kemenangan Jepang atas Rusia pada 1905 mengembalikan kepercayaan bangsa Indonesia akan kemampuan diri sendiri. 3) Pergerakan dan perjuangan bangsa lain menentang penjajahan; India, Turki, Irlandia dan lain-lain. Gerakan nasional rakyat Indonesia terhadap kekuasaan Belanda pada periode 1900-1942 merupakan bentuk reaksi modern yang bersifat rasional serta menggunakan sistem organisasi modern. Ideologi yang mendasari ialah nasionalisme dan kepemimpinannya berotoritas legal-rasional, sesuatu yang sungguh-sungguh baru di bumi Indonesia. Kepemimpinan yang berotoritas legal- rasional merupakan dampak modernisasi sistem pendidikan pada abad ke-20, yaitu munculnya kaum intelektual sebagai elite baru (modern) pada stratifikasi sosial masyarakat Indonesia (Sartono Kartodirdjo. 1999: 47). Selain itu para pemimpin pergerakan nasional juga banyak yang berasal dari kalangan priyayi dan ningrat atau dengan singkat mempunyai hubungan-hubungan erat dengan raja-raja (Onghokham. 1987: 105). Dan puncak dari adanya pergerakan nasional Indonesia adalah proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai wujud dari pencapaian cita-cita kemerdekaan dan pengakuan kedaulatan bangsa Indonesia. Perkembangan-perkembangan ke arah kesatuan dalam pergerakan tentu sangat dikhawatirkan oleh pihak Belanda yang melihat di dalamnya ancaman yang serius terhadap kekuasaannya yang mungkin lebih mengkhawatirkan daripada perkembangan-perkembangan lainnya (Onghokham. 1987: 111). Lahirnya organisasi pergerakan nasional Indonesia merupakan reaksi logis dan realistis sebagai antitesis (reaktif) terhadap eksistensi kolonialisme dengan segala manifestasinya. Sebagai bentuk antitesis (reaktif), maka konsep-konsep dan perjuangan pergerakan nasional Indonesia akan sejajar dengan praktek-praktek kolonialisme dalam bebagai dimensinya. Artinya, jika kolonialisme bergerak

35

dalam tiga lapangan, yakni di lapangan politik (dominasi politik), di lapangan sosial-ekonomi (eksploitasi ekonomi) dan di lapangan kultural (penetrasi kultural) (Roeslan Abdulgani. 1957: 9), maka pergerakan nasional Indonesia juga akan bergerak dalam tiga lapangan yang sama, yakni di lapangan politik (ingin menumbangkan dominasi politik), di lapangan sosial-ekonomi (ingin menghentikan ekspoitasi ekonomi) dan di lapangan kultural (ingin menumbuhkan, memperkuat dan mengembangkan budaya sendiri). Bedasarkan pengertian tentang pergerakan nasional di atas maka dapat disimpulkan bahwa pergerakan nasional merupakan suatu perjuangan untuk menumbuhkan kesadaran rakyat Indonesia karena mempunyai kesamaan latar belakang, nasib dan tujuan hidup yang merupakan satu kesatuan anggota masyarakat yang bebas untuk mengatur dan menentukan nasib bangsa Indonesia sendiri yaitu pencapaian kemerdekaan secara utuh melalui kekuatan politik dengan membentuk organisasi-organisasi modern serta mengadakan rekruitmen pendukungnya berdasarkan kesadaran politik (nasional) yang tidak terpisahkan dari perkembangan ideologi modern yaitu nasionalisme.

36

B. KERANGKA BERPIKIR

Kolonialisme Belanda

Politik Kolonial Belanda

Politik Etis Politik Islam Hindia-Belanda

Irigasi Edukasi Emigrasi

Elit Modern

Pergerakan Nasional

Peranan Jong Islamieten Bond dalam Pergerakan Nasional

Keterangan: Adanya tekanan penindasan dari bangsa Belanda (praktek-praktek kolonialisme) yang telah berpuluh-puluh tahun memunculkan rasa senasib sepenanggungan sehingga mendorong semakin kuatnya nasionalisme di kalangan rakyat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa untuk menggalang persatuan melawan kaum penjajah untuk mewujudkan negara merdeka yang terbebas dari ancaman penjajahan bangsa mana pun di dunia. Munculnya nasionalisme sebagai dampak dari semakin berkembangnya kolonialisme tersebut

37

mendorong golongan-golongan pelajar untuk melakukan pergerakan melawan penjajahan Belanda melalui jalan pembentukan organisasi-organisasi pergerakan yang memperjuangkan nasib rakyat Indonesia pada umumnya pada abad ke-20. Kemunculan politik etis meski di satu sisi tetap menjadi pola kebijakan baru Belanda dalam mengelola tanah jajahan namun di sisi lain membawa pengaruh yang positif terhadap dunia pergerakan di Hindia-Belanda. Karena dengan adanya pendidikan untuk kaum Pribumi pada akhirnya melahirkan golongan baru, yakni golongan priyayi akademik atau disebut juga sebagai elite modern yang menjadi ujung tombak perlawanan terhadap kekuasaan Belanda. Para elite modern itulah yang kemudian mencita-citakan lenyapnya segala bentuk diskriminasi ras, perbedaan sosial-ekonomi dan politik (John Ingleson. 1988: 22). Nasionalisme merupakan sebuah paham, sehingga membawa konsekuensi dapat memberikan manfaat dan hasil yang konkrit. Untuk itu perlu adanya seperangkat alat bantu yang dapat mendukung dan memperjuangkan apa yang menjadi ide-ide dari paham tersebut. Elite baru adalah pribadi yang labil dan ditandai oleh kesanggupannya yang tinggi untuk mengidentifikasikan dirinya dengan aspek baru dari lingkungannya. Dan kaum elite baru itulah yang kemudian mencita-citakan lenyapnya segala bentuk diskriminasi ras, perbedaan sosial- ekonomi dan politik. Kesadaran itu telah mendorong elite baru untuk mendirikan organisasi sebagai alat perjuangannya dalam pergerakan nasional. Organisasi yang teratur dan modern diperlukan untuk mewujudkan ide nasionalisme itu (Cahyo Budi Utomo. 1995: 52). Pemerintah kolonial Belanda pada saat itu dihadapkan pada kenyataan bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah pemeluk agama Islam. Pemikiran kolonial Belanda tehadap Islam Indonesia pada awalnya dilandasi oleh pandangan yang keliru. Islam dibayangkan sebagai sebuah agama yang diorganisasikan secara ketat. Pandangan tersebut berdasarkan hubungan antara umat Islam Indonesia dengan para Sultan Islam di luar negeri, hubungan tersebut dipandang seperti hubungan antara umat Katolik dengan Paus di Roma. Menurut Belanda, Islam dalam kehidupannya sudah diatur dengan hukum Islam secara menyeluruh termasuk dalam hubungan internasionalnya. Islam dengan demikian dianggap

38

sebagai musuh yang ditakuti. Ketakutan ini telah mendorong Belanda untuk merumuskan sebuah politik aliansi dengan elemen di dalam tubuh masyarakat Indonesa terutama para pangeran dan priyayi Jawa. Raja-raja dan kepala adat di luar pulau Jawa yang karena alasan politiknya sendiri terkenal sebagai penganut Islam yang tidak telalu fanatik atau bahkan musuh terang-terangan Islam (H. J. Benda. 1980: 38-39). Sejalan dengan kebijakan itu, maka pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dari jenjang terendah sampai jenjang tertinggi tidak memberikan pelajaran agama Islam kepada pelajar-pelajar yang beragama Islam. Pelaksanaan sistem pendidikan ini mengupayakan sekularisasi di dunia pendidikan dengan menyingkirkan pelajaran keagamaan dari dunia sekolah. Akibat dari sistem pendidikan ini maka pelajar Islam yang tidak mempunyai kesempatan belajar sendiri di luar sekolah menjadi kurang pemahamannya dari agama Islam. Seorang Agus Salim bahkan pernah merasa hampir kehilangan iman selepas HBS (Darmansyah, dkk. 2006: 2). Para pemimpin umat Islam menyadari bahwa reaksi terhadap peristiwa dan perlakuan tidak adil dari penjajah tidak cukup dilawan dengan kritik-kritik saja. Ancaman terhadap eksistensi Islam secara mendasar memerlukan reorientasi organisasi. Tujuannya agar kepentingan umat Islam dapat dijaga lebih tepat dari masa-masa yang lalu (H. J. Benda. 1980: 119). Di kalangan umat Islam Indonesia kemudian timbul pula kesadaran untuk berorganisasi. Rasa persatuan di kalangan umat Islam mulai terpupuk hingga melahirkan suatu pergerakan yang sangat penting artinya bagi nasionalisme Indonesia. Wujud dari usaha para elite modern dalam penanaman pengaruhnya kepada para pemuda untuk mempunyai jiwa nasionalis tersebut terlihat dalam pergerakan-pergerakan kaum intelektual dengan jalan pembentukan organisasi modern sebagai alat perjuanganya, antara lain dengan dibentuknya Jong Islamieten Bond (JIB) sebagai wadah bagi pergerakan pemuda Muslim di Indonesia pada tahun 1925-1942. Elit modern alumni JIB yang memperoleh pendidikan modern Belanda secara tidak langsung antara lain Agus Salim, Sjamsoeridjal, Kasman Singodimedjo, Mohammad Roem dan Mohammad Natsir. Para elite modern

39

tersebut kemudian memegang peranan penting setelah Indonesia merdeka. Dengan demikian JIB memegang peranan besar dalam perjuangan para pemuda Muslim Indonesia di tengah kancah pergerakan nasional tahun 1925-1942 dan kemunculan JIB merupakan wujud keprihatinannya terhadap kondisi para pemuda yang masih bersifat kedaerahan serta kurangnya pemahaman pemuda pelajar Islam terhadap agamanya sendiri. Padahal agama Islam merupakan agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Hindia-Belanda pada masa itu, suatu masyarakat yang nantinya para kaum intelektual menjadi pemimpin dalam masyarakat tersebut. Sehigga JIB yang dimotori oleh para pemuda intelektual Muslim berkeyakinan bahwa hanya Islam yang mampu menjadi dasar untuk bersatu dalam mengusir Belanda dan pada akhirnya dapat mewujudkan Indonesia merdeka lepas dari belenggu penjajahan bangsa Belanda.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Te mpat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka. Adapun perpustakaan yang digunakan sebagai tempat mencari data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2) Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3) Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. 4) Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. 5) Perpustakaan Monumen Pers Surakarta. 6) Perpustakaan Daerah Surakarta. 7) Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta. 8) Perpustakaan St. Kolose Ignasius Yogyakarta. 9) Buku-buku koleksi penulis.

2. Waktu Penelitian Waktu yang digunakan untuk penelitian ini direncanakan mulai dari disetujuinya judul skripsi yaitu pada bulan Januari 2010 sampai dengan selesainya penulisan skripsi ini yaitu pada bulan Juli 2010.

B. Metode pe ne litian Menurut Koentjaraningrat (1977: 16) bahwa kata metode berasal dari bahasa Yunani, methodos yang berarti cara atau jalan. Sehubungan dengan karya

40

41

ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Sedangkan menurut Helius Syamsudin (1994: 2), ”Metode ada hubungannya dengan suatu prosedur, proses atau teknik yang sistematis dalam penyelidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan obyek (bahan-bahan) yang diteliti”. Metode yang digunakan oleh seorang peneliti dalam melakukan penelitiannya harus sesuai dengan rancangan penelitian yang akan dilaksanakan. Berdasarkan permasalahan yang hendak dikaji dalam penelitian ini, maka metode yang digunakan adalah metode historis. Metode ini sebagai perangkat asas atau kaidah yang sistematis yang digubah secara efektif untuk mengumpulkan data sejarah, menilainya secara kritis dan menyatakan suatu sintesa yang dicapai melalui historiografi (Ibrahim Alfian. 1987: 18). Sedangkan menurut Louis Gottschalk (1975: 32), ”Metode historis adalah suatu kegiatan mengumpulkan, menguji dan menganalisa data yang diperoleh dari peninggalan-peninggalan masa lampau kemudian merekonstruksikan berdasarkan data-data yang diperoleh hingga menghasilkan kisah sejarah”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara obyektif dan sistematis dengan mengumpulkan, mengevaluasikan, menjelaskan dan mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan menarik kesimpulan secara tepat (Muh. Nazir. 1988: 55-56). Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode penelitian historis merupakan kegiatan mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan yang akan dikaji, yaitu yang berkaitan dengan Jong Islamieten Bond (JIB) dalam pergerakan nasional pemuda Islam di Indonesia pada tahun 1925-1942. Dengan metode sejarah tersebut penulis juga mencoba merekonstruksi kembali, menguji dan menganalisa secara kritis suatu peristiwa yang telah terjadi di masa lampau sehingga dapat menghasilkan historiografi sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, obyektif dan menarik.

42

C. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sejarah, yaitu segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai bahan penelitian atau merekonstruksikan kembali peristiwa sejarah. Menurut Dudung Abdurrachman (1999: 30), ”Data sejarah merupakan bahan sejarah yang memerlukan pengolahan, penyeleksian dan pengkategorian”. Dalam usaha untuk mengunpulkan data-data yang diperlukan, penulis menggunakan sumber tertulis. Sumber tertulis menurut Hadari Nawawi (1998: 80) dibagi menjadi dua: (1) data primer, yaitu data autentik atau data langsung dari tangan pertama tentang masalah yang diungkapkan, (2) data sekunder, yaitu data yang mengutip dari sumber lain sehingga tidak bersifat autenik karena sudah diperoleh dari tangan kedua. Data ini disebut sebagai data tidak asli. Louis Gottschalk (1975: 35) mengemukakan bahwa sumber tertulis primer adalah kesaksian dari seorang saksi dengan mata kepala sendiri. Sumber tertulis primer juga dapat diartikan sebagai data yang didapatkan dari masa yang sejaman dan berasal dari orang yang sejaman. Sedangkan sumber tertulis sekunder merupakan kesaksian dari siapapun yang bukan merupakan saksi mata, yakni dari seseorang yang tidak hadir dari peristiwa yang dikisahkannya. Sumber tertulis sekunder juga dapat diartikan sebagai data yang ditulis oleh orang yang tidak sejaman dengan peristiwa yang dikisahkannya. Sumadi Suryabrata (1997: 16-17) mengungkapkan tujuan penelitian historis adalah untuk membuat rekontruksi masa lampau secara sistematis dan obyekif dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi serta mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat. Dalam penelitian ini penulis tidak menemukan sumber primer sebagai sumber data, maka penulis menggunakan sumber data sekunder dan sumber data pendukung yang berupa buku, majalah dan literatur lain yang relevan serta memuat informasi tentang Jong Islamieten Bond (JIB) dalam pergerakan nasional pemuda Islam di Indonesia pada tahun 1925-1942. Adapun sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain berupa buku-buku yang mendukung, seperti ”Jong Islamieten Bond: Pergerakan Pemud a Islam 1925 -

43

194 2”, karangan Darmansyah, dkk; ”Cendek iawan Islam Zaman Beland a: Studi Pergerak an Intelektual JIB & SIS (’25-’42)” karangan Ridwan Saidi; ”Politik Islam Hind ia-Beland a” karangan Aqib Suminto; ”Gerak an Modern Islam Di Indo nesia 1900-1942”, karangan Deliar Noer; ”Jalan Ke Pengasingan . Pergerak an Nasiona lis Indon esia Tahun 1927-1934”, karangan John Ingleson; ”Bulan Sa bit dan Matahari Terbit”, karangan H. J. Benda; ”Munculnya Elit Mod ern Indonesia” karangan Robert van Niel; ”Dinamika Pergerak an Keban gsaan Indonesia dari Kebangkitan hingga Indonesia Merdeka” karangan Cahyo Budi Utomo; ”Sejarah Pergerak an Rak yat Indonesia”, karangan A. K. Pringgodigdo dan lainnya.

D. Teknik Pe ngumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Selalu ada hubungan antara metode pengumpulan data dengan masalah penelitian yang ingin dipecahkan. Masalah memberi arah dan mempengaruhi metode pengumpulan data. Banyak masalah yang dirumuskan tidak akan bisa terpecahkan karena metode untuk memperoleh data yang digunakan tidak memungkinkan ataupun metode yang ada tidak dapat menghasilkan data seperti yang diinginkan. Jika hal demikian terjadi, maka tidak ada jalan lain lagi selain peneliti menukar masalah yang ingin dipecahkan (Muh. Nazir. 1988: 211). Berdasarkan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka dalam melakukan teknik pengumpulan data digunakan teknik kepustakaan atau studi pustaka yaitu melakukan pengumpulan data tertulis dengan membaca buku- buku literatur, majalah-majalah, surat kabar dan bentuk pustaka lainnya. Dengan penggunaan teknik studi pustaka ini maka akan diperoleh teori, konsep serta data- data yang dibutuhkan dalam menjawab permasalaan yang sedang dikaji dalam penelitian sehingga dapat dijadikan sebagai bahan menyusun cerita sejarah dengan mudah, efektif dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Studi pustaka ini perlu dilakukan untuk menggali teori-teori yang telah ada agar memperoleh orientasi yang lebih luas dalam permasalahan yang dipilih

44

serta menghindarkan terjadinya duplikasi yang tidak diinginkan. Studi pustaka diperlukan untuk mendapatkan sumber data yang mendukung penelitian serta mengetahui sejauh mana pengetahuan mengenai hal yang berhubungan dengan penelitian yang telah dilakukan (Moh. Nazir. 1988: 111). Koentjaraningrat (1977: 3) mengungkapkan bahwa teknik studi pustaka dapat diartikan sebagai suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data atau fakta sejarah, dengan cara membaca buku-buku literatur, majalah, dokumen atau arsip, surat kabar atau brosur yang tersimpan di dalam perpustakaan. Teknik studi pustaka dapat dilakukan dengan menggunakan sistem katalog. Hal ini sejalan dengan pendapat Louis Gottschalk (1975: 45) bahwa tempat penelitian yang lazim bagi seorang sejarawan adalah perpustakaan dan alat yang paling bermanfaat bagi seorang sejarawan adalah katalogus. Mengenai katalogus perpustakaan, biasanya terkandung keterangan mengenai suatu masalah yang mencantumkan nama pengarang, judul buku, subyek yang dicatat dan sumber pada halaman. Karena itu perlu mengingat beberapa kata kunci (key words) yang terdapat di dalam subyek yang dibahasnya, sehingga dapat menemukan buku dan artikel yang dimasukkan ke dalam katalogus di bawah salah satu di antara kata-kata kunci. Tiap subyek sejarah mengandung beberapa indikasi mengenai orang, tempat, periode dan jenis jabatan manusia yang bersangkutan. Dengan demikian maka peneliti dapat menghitung empat perangkat judul yang dapat dipergunakan untuk mencari judul buku maupun pengarang yang relevan di dalam katalog. Langkah selanjutnya yang dilakukan peneliti yaitu dengan pencatatan menggunakan buku. Dalam kegiatan ini dilakukan dengan mengumpulkan buku- buku dan literature yang sesuai dengan tema penelitian, kemudian diklasifikasikan menurut data yang diperlukan sampai terkumpul menjadi bahan analisa penelitian yang disajikan dalam historiografi (Dudung Abdurrahaman. 1999: 56). Pengumpulan data dalam penelitian ini merupakan hal yang terpenting. Melalui pengumpulan data dengan sistem kepustakaan ini akan memperoleh keuntungan pengetahuan ilmiah yang dekat dengan gejala yang dipelajari, memberikan pengertian dalam menyusun persoalan secara tepat, ketajaman

45

interprestasi, analisa maupun kesempatan memperoleh pengalaman alamiah. Dengan penggunaan teknik studi pustaka ini maka peneliti mengadakan kunjungan ke perpustakaan-perpustakan baik yang ada di wilayah Surakarta maupun di luar wilayah Surakarta untuk mendapatkan data-data yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini, baik berupa buku-buku literatur, majalah maupun bentuk pustaka lainnya yang tersimpan di dalam perpustakaan. Adapun perpustakaan-perpustakan yang peneliti kunjungi antara lain Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Monumen Pers Surakarta, Perpustakaan Daerah Surakarta, Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta dan Perpustakaan St. Kolose Ignasius Yogyakarta.

E. Te knik Analisis Data Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan pokok yaitu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dapat pengungkap tentang Jong Islamieten Bond (JIB) dalam kancah pergerakan nasional pemuda Islam pada tahun 1925-1942. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dilakukan analisis data agar mendapatkan hasil penulisan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya serta dapat dijadikan sebagai acuan dalam penulisan selanjutnya yang berkaitan dengan topik masalah yang telah dikaji. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis historis yaitu teknik analisis yang menggunakan ketajaman dalam melakukan intrepretasi data sejarah. Pengkajian fakta-fakta sejarah oleh sejarawan tidak terlepas dari unsur- unsur subyektifitas sehingga diperlukan konsep-konsep dan teori-teori sebagai cerita penyeleksi dengan pengklasifikasian (Sartono Kartodirjo. 1992: 85). Sedangkan menurut Helius Syamsuddin (1994: 89) teknik analisis data historis adalah teknis analisis data sejarah yang menggunakan kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan sejarah. Fakta merupakan bahan utama yang disajikan sejarawan untuk menyusun

46

historiografi dan pada hakekatnya fakta merupakan hasil analisis dari pemikiran sejarawan, sehingga fakta dalam historiografi tersebut mengandung subyektifitas dari penulis. Dalam proses menganalisa karya sejarah maka diperlukan kritik intern dan kritik ekstern. Kritik intern merupakan kritik yang berkenaan dengan isi pertanyaan yang diucapkan manusia pada masa lampau. Kritik ekstern merupakan kritik tentang keadaan sumber yang berkenaan dengan keautentikan sumber sejarah (Sartono Kartodirdjo. 1982: 32).

F. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian adalah tata urutan yang harus dilaksanakan dalam proses penelitian agar peneliti mendapatkan hasil yang optimal. Langkah-langkah penelitian awal yaitu persiapan pembuatan proposal sampai pada penulisan hasil penelitian. Setiap penelitian mempunyai prosedur penelitian yang berbeda-beda. Hal tersebut disesuaikan dengan disiplin ilmu dan tujuan yang akan dicapai oleh peneliti. Karena penelitian ini menggunakan metode historis, maka ada empat tahap yang harus dipenuhi. Empat langkah itu terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Prosedur penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Heuristik Kritik Interpretasi Historiografi

Fakta Se jarah Ce rita Se jarah

47

Keterangan: 1. Heuristik Heuristik berasal dari bahasa Yunani yaitu heurisk in yang berarti to find yang artinya mencari dahulu baru menemukan. Dalam penelitian sejarah, heuristik berarti langkah-langkah untuk mencari dan mengumpulkan berbagai sumber sejarah atau merupakan suatu teknik yang membantu kita untuk mencari jejak- jejak sejarah. Untuk mendapatkan sumber tersebut dapat dilakukan dengan cara mencari dokumen, mengunjungi situs sejarah, mengujungi museum dan perpustakaan, wawancara dengan pelaku atau saksi sejarah. Sidi Gazalba (1966: 15) mengemukakan bahwa heuristik adalah kegiatan mencari bahan atau menyelidiki sumber sejarah untuk mendapatkan hasil penelitian. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Helius Syamsudin (1994: 15) yang menyatakan bahwa heuristik adalah pengumpulan sumber-sumber sejarah, pada tahap ini peneliti menemukan sumber data yang sesuai dengan tema penelitian. Pada tahap ini peneliti berusaha mencari dan menemukan sumber- sumber tertulis berupa buku-buku serta bentuk kepustakaan lain yang berkaitan dengan Jong Islamieten Bond (JIB) dalam kancah pergerakan nasional pemuda Islam Indonesia pada tahun 1925-1942. Sumber-sumber tertulis tersebut diperoleh dari beberapa perpustakaan, diantaranya Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Jurusan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Program Studi Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Monumen Pers Surakarta, Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta dan Perpustakaan St. Kolose Ignasius Yogyakarta.

2. Kritik Tugas penyelidik dalam penelitian historik ini adalah mengadakan rekonstruksi mengenai masa lampau. Tetapi di dalam mengadakan rekonstruksi itu, tidak semua peristiwa yang sudah silam dapat diulangi terjadinya, sehingga penyelidik harus banyak mendasarkan diri pada fakta-fakta sejarah dan

48

membangun pemecahan persoalannya atas fakta itu. Fakta tersebut, yang diterimanya dari berbagai sumber, banyak bergantung pada orang-orang yang terdahulu hidup dan menjadi pelaku atau pembuat sejarah yang kini diselidikinya. Karena itu, penyelidik harus mempunyai cara-cara untuk meneliti apakah fakta itu benar-benar asli dan dapat dipercayai ataukah tidak. Cara-cara meneliti data serupa itulah yang dimaksud dengan kritik historik . Kritik historik yang lazim dipakai dibagi dalam dua fase, yaitu 1) k ritik ekstern meneliti keaslian data, apakah sumber data itu merupakan sumber yang asli ataukah palsu atau tiruan. Sehingga peneliti harus menempuh berbagai cara yang disesuaikan dengan kebutuhannya untuk mendapatkan data yang valid dan 2) kritik intern adalah kelanjutan dari kritik ekstern, bertujuan untuk meneliti kebenaran isi (data) sumber itu. Apabila telah diketahui bahwa sumber itu benar sebagai sumber asli (kritik ekstern), maka penelitian perlu dilanjutkan dengan menganalisis isi sumber tersebut agar dapat dipercayai kebenaran dan ketelitiannya (Winarno Surakhmad. 1985: 134-135). Menurut Helius Sjamsudin (1994: 103) bahwa keabsahan sumber dicari melalui pengujian mengenai kebenaran atau ketetapan sumber. Kritik terhadap sumber data dilakukan dengan dua cara yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern pada sumber tertulis dilihat dari pengarangnya. Kritik ekstern adalah kritik terhadap keaslian sumber (otensitas) yang berkenaan dengan segi- segi fisik dari sumber yang ditemukan, seperti bahan (kertas atau tinta) yang digunakan, jenis tulisan, gaya bahasa, hurufnya dan segi penampilan yang lain. Sedangkan kritik intern merupakan kritik yang berhubungan dengan kredibilitas dari sumber sejarah yang berkaitan dengan isi, fakta dan ceritanya agar nantinya dapat dipercaya dan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti. Dalam kaitannya dengan penelitian ini maka kritik ekstern dilakukan dengan cara melihat pada sumber tertulis dilihat dari pengarangnya. Beberapa anggota dari Jong Islamieten Bond (JIB) dikemudian hari ada yang menuliskan pengalaman yang telah dialaminya dalam pergerakan JIB pada tahun 1925-1942, baik berupa artikel maupun buku, seperti Mohammad Roem. Sedangkan pada tahap kritik intern dilakukan dengan cara memperhatikan dan memastikan

49

kebenaran isi sumber dengan membaca buku-buku karangan Darmansyah, dkk; Ridwan Saidi; Yudi Latif dan lainnya. Langkah berikutnya adalah membandingkan kesaksian yang diperoleh dari berbagai sumber dan mencocokkan sumber data yang satu dengan sumber data lainnya, baik sumber data yang berupa buku dan artikel satu dengan buku dan artikel lainnya. Dengan melakukan cara tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa isi tulisan dapat dipercaya serta dari kritik intern dan kritik ekstern tersebut juga diperoleh sumber data yang valid.

3. Interpretasi Interpretasi atau penafsiran sejarah sering disebut dengan analisis sejarah. Analisis berarti menguraikan, secara terminologi berbeda dengan sintesis yang berarti menyatukan. Namun keduanya, analisis dan sintesis dipandang sebagai metode-metode utama dalam interpretasi (Kuntowijoyo. 2001: 100). Berbagai fakta sejarah yang telah didapatkan kemudian dirangkai sehingga mempunyai bentuk dan struktur untuk direkronstruksi. Dalam proses inilah diperlukan interpretasi, yaitu penafsiran terhadap fakta-fakta sejarah. Dalam menafsirkan suatu fakta mutlak diperlukan landasan interpretasi agar tidak terjadi penafsiran yang tanpa dasar. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam menafsirkan suatu fakta di antaranya karena adanya beberapa perbedaan seperti idiologi, kepentingan, tujuan, penulisan dan sudut pandang. Untuk memeriksa suatu fenomena historis seorang sejarawan harus selalu berhubungan dengan fakta-fakta sejarah. Suatu interpretasi yang tertentu tidak dapat dihindari oleh sejarawan. Sejarawan harus melepaskan pikiran, bahwa sejarawan dapat menghadapi data historis dengan pikiran yang bersih dan menangkap fakta dalam keadaan yang sebenarnya (Sartono Kartodirdjo. 1982: 63- 64). Interpretasi dilakukan dengan cara menghubungkan atau mengaitkan antara sumber sejarah yang satu dengan sumber sejarah lainnya, sehingga dapat diketahui hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa masa lampau yang menjadi obyek penelitian. Kemudian sumber tersebut ditafsirkan, diberi makna dan

50

ditemukan arti yang sebenarnya sehingga dapat dipahami makna tersebut sesuai dengan pemikiran yang logis berdasarkan obyek penelitian yang dikaji. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kegiatan kritik sumber dan interpretasi tersebut dihasilkan fakta sejarah atau sintesis sejarah.

4. Historiografi Historiografi adalah kegiatan menyusun fakta sejarah menjadi suatu kisah. Historiografi merupakan langkah terakhir dari prosedur penelitian dalam metode sejarah yaitu proses penulisan dan penyusunan kisah masa lampau yang direkrontruksi berdasarkan pada fakta yang telah diberi penafsiran atau merupakan suatu kegiatan penyusunan fakta sejarah menjadi kisah sejarah yang disajikan dalam bentuk tulisan. Peristiwa sejarah yang dikisahkan melalui historiografi akan sangat dipengaruhi oleh subyektifitas si Penulis dalam merekontruksinya. Historiografi menurut Dudung Abdurahman (1999: 67) merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah. Sedangkan menurut Helius Sjamsudin (1992: 153), historiografi merupakan kegiatan menyampaikan hasil sintesa fakta-fakta yang diperoleh dalam bentuk kisah sejarah. Dalam historiografi seorang penulis tidak hanya menggunakan ketrampilan teknis, penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan tetapi penulis juga dituntut untuk menggunakan pikiran kritis dan analisis. Interpretasi yang dilakukan terhadap fakta sejarah dapat menghasilkan suatu cerita atau kisah sejarah. Serangkaian kisah sejarah tersebut disajikan dalam suatu penulisan atau historiografi. Penulisan sejarah mempunyai unsur yang sama dengan penulisan sastra yaitu sama-sama menyajikan suatu kisah, bedanya dalam sejarah. Sehingga dalam penulisan sejarah perlu dipertimbangkan struktur dan gaya bahasanya agar orang tertarik untuk membacanya. Selain itu, imajinasi juga sangat diperlukan untuk merangkaikan antara fakta yang satu dengan fakta lainnya, sehingga menghasilkan suatu kisah sejarah yang menarik untuk dibaca dan dapat dipercaya kebenarannya.

51

Tahap historiografi ini merupakan langkah terakhir dalam metodologi atau prosedur penelitian historis. Dari data-data sejarah yang berhasil dikumpulkan oleh peneliti, maka peneliti berusaha memaparkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan dengan menggunakan bahasa yang ilmiah beserta argumentasi secara sistematis. Selain itu, peneliti juga berusaha agar penelitian ini menarik, logis, obyektif dan dapat dipercaya. Dalam penelitian ini, historiografi diwujudkan dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi yang berjudul “Pergerakan Nasional Pemuda Islam (Studi tentang Jong Islamieten Bond 1925-1942)” sebagai obyek penelitian.

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Latar B elakang Be rdirinya Jong Islamie te n Bond

1. Politik Islam Hindia-Belanda Penyebaran agama Islam di kepulauan Indonesia dirintis oleh para pedagang Arab dengan penuh damai. Sebaliknya agama Kristen mulai diperkenalkan Portugis dengan kekerasan yang berlandaskan jiwa pemberontakan dan permusuhan terhadap Islam. Orang-orang Portugis menjelang abad ke-16 segaja datang ke berbagai pelosok dunia antara lain untuk memerangi Islam dan menggantikannya dengan agama Kristen. Tetapi penakhlukkan yang dibarengi dengan aktivitas missi yang hebat ini justru membangkitkan lawan-lawannya untuk beraksi dan memicu masuknya pangeran-pangeran Indonesia untuk memeluk agama Islam (Aqib Suminto. 1985: 16-17). Dalam skala yang lebih kecil, muncul pengancam Barat lainnya yaitu VOC yang seabad kemudian membawakan akibat yang hampir serupa. Tetapi dalam hal ini orang Belanda tidak terlalu memperdulikan penakhlukan yang bersifat agama dibandingkan dengan keuntungan-keuntungan di bidang perdagangan. Akan tetapi dalam batas-batas tujuan-tujuan komersial mengharuskan keterlibatan orang-orang Belanda di dalam masalah-masalah politik Indonesia, maka perlawanan terhadap campur tangan Belanda tidak jarang cenderung untuk memperkuat sentimen agama Islam. Persaingan dan perang- perang perebutan tahta antara penguasa-penguasa yang telah menjadi Islam tidak jarang memberikan kesempatan kepada orang Portugis dan Belanda untuk menciptakan alasan mencampuri urusan politik Indonesia. Namun, kebanyakan perlawanan yang dijumpai Portugis dan Belanda menggumpal sekitar agama Islam dan di beberapa daerah di Indonesia terutama di Aceh, Islam tetap melanjutkan peranannya selama berabad-abad sebagai pusat perlawanan terhadap campur tangan Barat dan kelak terhadap pemerintahan kolonial Belanda (H. J.

52

53

Benda. 1980: 29). Meskipun Islam telah memperkuat dirinya dalam tempo yang cukup singkat dan secara keseluruhan dengan damai di sebagian besar kepulauan ini, tidaklah berarti bahwa hal ini dilakukan seragam atau dalam tingkat intensitas yang sama. Hanya di daerah-daerah yang sedikit sekali disentuh oleh kebudayaan Hindu di abad-abad yang lalu, seperti Aceh dan Minangkabau di Sumatra Utara serta Banten di Jawa Barat agama Islam sejak awal secara mendalam mempengaruhi kesadaran agama, sosial dan politik para penganutnya. Dengan demikian di daerah-daerah tersebutlah agama yang baru ini telah menunjukkan diri dalam bentuk yang lebih murni, kurang toleran dan bahkan kadang-kadang menjadi agresif. Dengan adanya sinkretisme antara Islam dengan tradisi Hindu- Budha di daerah setempat, Islam di Jawa untuk jangka waktu yang cukup panjang lebih penting dalam arti politik daripada religius. Walaupun Islam memberikan rasa kesatuan dan rasa identitas, sekurang-kurangnya pada mulanya Islam tidak menimbulkan perubahan yang radikal dalam kehidupan agama dan sosial di pulau Jawa (H. J. Benda. 1980: 30). Islam bukan hanya datang untuk menetap dan menyebarkan pengaruhnya, karena sudah sejak masa-masa yang sangat awal Islam telah memainkan peranan politik dan ideologis yang luar biasa pentingnya. Selama empat abad lamanya, perlawanan terhadap pemerintahan Belanda, baik yang dipimpin oleh mereka yang fanatik agamanya atau tidak terlalu sering akan tetapi lebih ditakuti yaitu perlawanan yang dipimpin oleh pangeran-pangeran Indonesia yang mengibarkan panji-panji bulan sabit, hampir dengan sendirinya ada hubungannya dengan agama Islam. Ketaatan kepada agama Islam di tingkat pedesaan yang menyebabkan orang-orang merasa tidak mungkin menerima pemerintahan kolonial sebagai bentuk pemerintahan yang sah dan langgeng di dalam pikirannya, termasuk penduduk desa yang paling tidak terdidik sekalipun. Pentingnya arti politik Islam Indonesia, termasuk Islam Jawa, sebagian besar berakar pada kenyataan bahwa di dalam Islam batas antara agama dan politik sangatlah tipis. Islam adalah suatu way of life dan agama, walaupun proses pengislaman di Indonesia dari dulu senantiasa merupakan suatu proses setahap

54

demi setahap, kandungan politik yang ada di dalamnya sudah terasa sejak awal perkembangannya (H. J. Benda. 1980: 32). Pemerintah Hindia-Belanda yang berkuasa di Indonesia dihadapkan pada kenyataan bahwa sebagian besar penduduk yang dijajahnya adalah beragama Islam. Timbulnya aneka perlawanan seperti perang Paderi (1821-1827), perang Diponegoro (1825-1830), perang Aceh (1873-1903) dan lainnya, tidak terlepas dari kaitannya dengan agama Islam. Namun karena kurangnya pengetahuan yang tepat mengenai Islam, pada mulanya pemerintah Hindia-Belanda tidak berani mencampuri agama Islam secara langsung (Darmansyah, dkk. 2006: 1). Sikap Belanda dalam masalah ini dibentuk oleh kombinasi kontradiktif antara rasa takut dan harapan yang berlebihan. Di satu pihak Belanda sangat khawatir akan timbulnya pemberontakan orang-orang Islam fanatik. Sementara di pihak lain Belanda sangat optimis bahwa keberhasilan kristenisasi akan segera menyelesaikan persoalaan (Aqib Suminto. 1985: 9). Semua ini membuat pemerintah Hindia-Belanda kalang kabut dan terpaksa mengambil sikap lebih hati-hati dalam kebijaksanaannya terhadap Islam. Kurangnya informasi tentang Islam membuat posisi mereka semakin sulit (Jan S. Aritonang. 2005: 134). Politik pemerintah Belanda terhadap Islam memang didasarkan pada perasaan takut dan sikap tidak mau mencampuri, sebelum Snouck Hurgonje berkuasa di Hindia-Belanda. Hasrat untuk menjauhkan diri dari campur tangan terhadap Islam, misalnya menyangkut masalah pembangunan masjid-masjid. Untuk pembangunan masjid-masjid tidak atau jarang sekali diberikan bantuan keuangan oleh pihak pemerintah. Pemerintah menyatakan, ”Negara, dengan sendirinya, tidak semestinya campur tangan dengan pembangunan atau dengan perbaikan bangunan-bangunan suci agama Islam” (G. F. Pijper. 1987: 239). Tetapi kebijakan untuk tidak mencampuri Islam nampaknya tidak konsisten karena tidak adanya garis yang tegas. Dalam masalah haji, Pemerintah Hindia- Belanda ternyata tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut campur tangan. Para haji sering dicurigai, dianggap fanatik dan tukang memberontak. Bahkan pada tahun 1859, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda dibenarkan mencampuri masalah agama bahkan bila perlu demi kepentingan negara, para ulama harus diawasi

55

(Aqib Suminto. 1985: 10). Tindakan ini kemudian diteruskan dengan membuka konsulat di Jeddah pada tahun 1972 untuk mengawasi ribuam kaum Muslim yang berasal dari Indonesia di Arab, baik jemaah haji maupun pemukim (Jan S. Aritonang. 2005: 135). Pemerintah kolonial berusaha untuk memberikan batasan-batasan kepada orang-orang Islam di Indonesia, terutama dalam hal naik haji ke Mekkah. Snouck Hurgronje meyakinkan para pejabat bahwa mereka tidak perlu mengkhawatirkan pengaruh para haji. Satu-satunya cara yang paling tepat adalah menghambatnya secara halus dan tidak langsung, yakni dengan cara mengalirkan semangat pribumi ke arah lain. Snouck Hurgronje beranggapan bahwa setiap langkah pribumi yang menuju ke arah kebudayaan Belanda (Barat) berarti menjauhkannya dari keinginan naik haji (Jan S. Aritonang. 2005: 140). Namun hasil tindakan- tindakan pembatasan ini sama sekali negatif. Meskipun di Jawa pemberontakan besar-besaran di bawah panji Islam telah berhenti setelah perang Diponegoro, frekuensi pemberontakan petani-petani di bawah pimpinan Islam setempat meningkat. Di Sumatra, Belanda terlibat dalam perang berkepanjangan melawan orang-orang Aceh yang fanatik. Arah politik baru tentang masalah Islam dengan demikian menjadi keharusan bagi masa depan pemerintahan Belanda di Indonesia (H. J. Benda. 1980: 39-40). Politik Islam pemerintah Hindia-Belanda berubah setelah kedatangan Snouck Hurgronje pada tahun 1889, politik terhadap Islam atas nasehatnya mulai didasarkan pada fakta-fakta dan tidak atas rasa takut saja. Snouck Hurgronje memperingatkan agar Islam sebagai kekuatan politik dan religius jangan dipandang rendah. Apabila ideologi Islam disebarkan sebagai doktrin politik yang digunakan untuk membuat perlawanan terhadap pemerintahan asing sebagai pemerintahan kaum kafir sehingga orang meragukan atau mengingkari legalitas pemerintah Belanda, maka di sini ada bahaya bahwa fanatisme agama akan menggerakkan rakyat untuk menghapus orde kolonial (Sartono Kartodirdjo, Mawarti Djoened Poesponegoro, Nugrohonotosusanto. 1975: 75). Pemahaman Snouck Hurgronje tentang hakekat Islam di Indonesia, sangat besar nilainya untuk mengarahkan politik Belanda terhadap Islam menuju

56

suatu arah yang berhasil, sekurang-kurangnya pada permulaan, meskipun masih terdapat masalah yang tetap terbuka tak berjawab pada masa dirumuskannya. Prestasi utamanya adalah peranan yang dimainkannya dalam reorientasi politik, yang bersama dengan taktik-taktik militer yang telah disempurnakan, pada akhirnya mengakhiri perang Aceh. Kemasyuran Snouck berasal dari perbaikan hubungan yang lebih umum antara pemerintahan kolonial dengan kebanyakan pemimpin-pemimpin Islam di Indonesia. Sehingga Snouck mampu membuka jaman baru hubungan antara Belanda-Indonesia. Di dalam hal ini, analisa-analisa Snouck Hurgronje yang luar biasa tetap menjadi petunjuk yang tidak dapat dilewatkan untuk memahami kondisi Islam di Indonesia (H. J. Benda. 1980: 40- 41). Pemerintah Belanda sebagai kolonialis memerlukan inlandsch po litiek , yakni kebijaksanaan mengenai pribumi, untuk memahami dan menguasai pribumi. Dengan politik Islamnya, Snouck Hurgronje berhasil menemukan seni memahami dan menguasai penduduk yang sebagian besar Muslim itu. Snouck dikenal sebagai arsitek keberhasilan politik Islam yang paling legendaris, yang telah melengkapi pengetahuan Belanda tentang Islam, terutama dalam bidang sosial dan politik (Aqib Suminto. 1985: 11). Snouck Hurgronje menegaskan bahwa pada hakekatnya orang Islam di Indonesia itu penuh damai, namun dia pun tidak buta terhadap kemampuan politik fanatisme Islam. Bagi Snouck Hurgronje, musuh Pemerintah Hindia-Belanda bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik (H. J. Benda. 1980: 22-23). Islam sering menimbulkan bahaya terhadap kekuasaan Belanda. Walaupun Islam di Indonesia banyak bercampur dengan animisme dan Hindu, namun orang Islam di Indonesia pada waktu itu memandang bahwa agamanya sebagai alat pengikat kuat yang membedakan dirinya dengan orang lain. Dalam kenyataannya Islam memang berfungsi sebagai titik pusat identitas yang melambangkan perlawanan terhadap pemerintah Kristen dan asing (Aqib Suminto. 1985: 11-12). Selain itu, agama Islam terbukti dapat berfungsi sebagai lambang pemersatu dan sekaligus sebagai ideologi politik sehingga menimbulkan kekuatan politik luar biasa (Sartono Kartodirdjo. 1999: 94-95).

57

Hubungan antara pemerintah kolonial dengan agama tidaklah bisa dilepaskan dari hubungan antar sesama umat beragama, yakni antara umat Islam- Kristen yang melatarbelakangi hubungan Indonesia-Belanda dan pada hubungan para penguasa Belanda yang pada umumnya beragama Kristen dengan pribumi yang umumnya beragama Islam. Dalam hal ini keinginan untuk tetap menjajah, betapapun mengakibatkan pemerintah kolonial tidak akan mampu memperlakukan agama pribumi sama dengan agamanya sendiri. Juga tidak akan mampu memperlakukan pribumi yang beragama lain sama dengan pribumi yang seagama dengannya. Latar belakang ini bisa menjelaskan mengapa sering terjadi diskriminasi dalam kebijaksanaan yang berhubungan dengan agama, meskipun dinyatakan bahwa pemerintah kolonial bersikap netral terhadap agama. Diskriminasi tersebut berupa penganut Kristen pada umumnya menikmati berbagai keuntungan dari pemerintah Belanda, baik dalam memasuki sekolah pemerintah, mencari lapangan kerja maupun memperoleh kenaikan pangkat. Dalam hal ini diskriminasi akan nampak lebih jelas pada alokasi anggaran, sehingga pada suatu saat agama Islam hanya memperoleh sepersekian persen dari anggaran agama Kristen (Aqib Suminto. 1985: 15). Misalnya dalam hal pembiayaan gereja Protestan di Indonesia, termasuk belanja personilnya dan memberi banyak subsidi bagi usaha zending dan missi di berbagai bidang, sedangkan bagi keperluan umat Islam jumlahnya sangat sedikit (Jan S. Aritonang. 2005: 134). Snouck Hurgronje membagi Islam menjadi tiga bagian yaitu ibadah, sosial kemasyarakatan dan politik. Masing-masing bidang menuntut alternatif pemecahan yang berbeda. Konsep pembagian itulah yang kemudian dikenal sebagai kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda dalam menangani masalah Islam. Pemerintah memberikan kebebasan dalam masalah ibadah dan sosial kemasyarakatan, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda tetapi tidak dalam hal politik. Pemerintah mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan Pan Islam. Kebijakan Pemerintah Hindia- Belanda dalam menghadapi tiga masalah ini dikenal dengan nama Politik Islam Hindia-Belanda (Darmansyah, dkk. 2006: 2).

58

Prinsip politik Islam Snouck Hurgronje di bidang kemasyarakatan adalah menggalakkan pribumi agar menyesuaikan diri dengan kebudayaan Belanda. Prinsip ini sebenarnya tidak terlepas dari kaitannya dalam upaya untuk merebut kemenangan dalam persaingannya dengan Islam demi kelestarian penjajahannya (Aqib Suminto. 1985: 38). Pemerintah juga harus memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dengan mendorong rakyat dan para pemimpin adat untuk bekerjasama dengan pemerintah Hindia-Belanda. Dalam bidang agama murni atau ibadah, pemerintah harus memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda. Sedangkan dalam bidang politik, seperti yang sudah disinggung di atas, pemerintah harus mencegah dan menumpas secara keras setiap usaha yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan Islamisme seperti yang muncul di Turki. Sejalan dengan hal itu daerah-daerah yang Islamnya kuat dan masih terus berjuang mempertahankan kemerdekaan mereka, misalnya Aceh dan Jambi, harus ditindas secara sistematis (Jan S. Aritonang. 2005: 140). Keadaan pada masa itu memang memungkinkan Snouck Hurgronje melaksanakan gagasan politik Islamnya, karena pada tahun 1889 dia ditugaskan sebagai penasehat urusan Pribumi dan Arab. Pengalamannya dalam penelitian lapangan di negeri Arab (1885), Jawa (1889-1890), dan Aceh (sejak tahun 1891), serta pengalamannya selama menjabat penasehat urusan Bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam sejak tahun 1981 itu juga, cukup membekali dirinya dalam usaha menemukan seni memahami dan menguasai penduduk Muslim tersebut. Meskipun tidak seluruhnya, namun garis politik Snouck Hurgronje itu mampu juga bertahan sampai akhir masa penjajahan Belanda di Indonesia (Aqib Suminto. 1985: 13). Snouck Hugronje pun berperan dalam mencobakan sebuah eksperimen untuk memberikan pendidikan Barat kepada kaum pribumi, termasuk menempatkan inlanders sebagai tenaga konsulat Belanda di beberapa negara. Tahun 1905, Hugronje merekomendasikan Agus Salim untuk menempati posisi konsultat Belanda di Jeddah, Arab Saudi (http://www.radityaiswara.co.cc diakses tanggal 7 Agustus 2009).

59

Masalah kristenisasi Hindia-Belanda erat kaitannya dengan masalah menghadapi Islam di Indonesia. Pada abad ke-19, banyak orang Belanda, baik di negerinya sendiri maupun di Hindia-Belanda, sangat berharap untuk menghilangkan pengaruh Islam dengan kristenisasi secara cepat pada sebagian besar orang Indonesia. Di parlemen Belanda, agama Islam sering mendapat perlawanan sengit dari anggota-anggota Kristen partai agama. Van Bylandt misalnya, hampir setiap tahun selalu memperingatkan berbahayanya pengaruh Islam dan menghendaki digalakkannya propaganda Kristen, sementara Visser juga setuju untuk membendung pengaruh Islam (Aqib Suminto. 1985: 22). Harapan ini sebagian berdasarkan kepercayaan yang tersebar luas dikalangan orang Barat tentang superioritas agama Kristen terhadap Islam dan sebagian berdasarkan anggapan keliru bahwa sifat sinkretik agama Islam Indonesia di tingkat desa mengakibatkan bahwa masyarakat pribumi Indonesia tersebut akan lebih mudah dikristenkan daripada di negara-negara Muslim lainnya (H. J. Benda. 1980: 39). Masalah sinkretisme agama Islam di Indonesia terutama di kalangan suku Jawa, memang cukup banyak disoroti orang. Pada awal abad ini Snouck Hurgronje menyatakan bahwa orang Islam di kawasan ini sebenarnya hanya nampaknya saja memeluk Islam dan hanya dipermukaan kehidupan mereka ditutupi agama ini, ibarat berselimutkan kain yang penuh lubang besar-besar sehingga nampak keaslian di dalamnya. Pada akhir abad ini pula di negeri Belanda masih ditulis orang bahwa mayoritas penduduk Jawa adalah yang hidupnya tidak sesuai dengan tuntunan formal agama. Namun satu hal yang harus diingat adalah bahwa betapapun sinkretis dan abangannya orang Jawa, namun mereka tetap Muslim bahkan agama Islam merupakan kekuatan dinamik di kalangan para petani Jawa (Aqib Suminto. 1985: 19). Di dalam masyarakat Islam lainnya, guru-guru agama dan ahli kitab suci Islam, seperti para kyai dan ulama, sejak awal juga merupakan unsur sosial yang penting dalam masyarakat Indonesia. Antara tradisi abangan dalam kalangan petani Jawa yang berakar di dalam mistisisme pra-Hindu yang telah berabad-abad umurnya ditambah dengan unsur-unsur religius pada masa-masa terakhir termasuk Islam dan peradaban priyayi dalam kalangan yang memerintah lebih kuat berakar

60

di dalam kebudayaan Hindu-Jawanisme yang aristokratik, maka kaum ulama merupakan inti dari cara hidup yang ketiga, yaitu dari golongan . Akar tradisional golongan santri berada di dalam pusat agama Islam. Di luar Jawa, dikotomi yang serupa terdapat antara santri dan kepala-kepala adat. Di pihak lain, hakim-hakim Islam yang berhubungan dengan mahkamah-mahkamah penguasa- penguasa Indonesia turut memainkan peranan yang semakin penting, kadang- kadang jauh melampaui peranannya yang hanya sebagai penasihat pengadilan semata. Sewaktu penetrasi Belanda secara terus-menerus menghabiskan kekuasaan politik para sultan, hakim-hakim Islam ini berhasil melancarkan pengaruhnya yang semakin besar lagi. Dan semakin penting lagi di Indonesia, sebagaimana di dunia Islam lainnya, penganjur-penganjur Islam yang ortodoks cenderung untuk berbenturan dengan para penguasa sekuler. Hal ini muncul karena adanya ketakutan akan tantangan kaum fanatik Islam sehingga menyebabkan aristokrasi Jawa, seperti juga kepala-kepala adat di pulau-pulau lain, paling banter menjadi Islam pas-pasan dan Islam di atas kertas (H. J. Benda. 1980: 32-34). Para priyayi tetap melangsungkan kebudayaan aristokrasinya sendiri meskipun telah memeluk agama Islam, yang pada umumnya bertentangan dengan kebudayaan santri dan para ulama yang sedang tumbuh. Dalam kenyataannya Islam di Indonesia segera berkembang menjadi dua cabang yang kurang lebih berbeda antara yang satu dengan lainnya. Cabang pertama merupakan cabang resmi dan administratif yang dapat dikatakan sebagai pembantu pemerintah sekuler, berpusat di sekitar masjid atau rumah sembahyang dan pengadilan agama. Sedangkan cabang kedua berpusat di sekitar kyai dan ulama independen yang memperoleh kesuciannya bukanlah berdasarkan restu pemerintahan sekuler akan tetapi karena pengetahuannya tentang agama Islam dan Bahasa Suci, kepergiannya naik haji ke Mekkah dan cara hidupnya yang khas Islam, sering kali ke-Arab-araban. Cabang yang pertama menjadi bagian dari kebudayaan priyayi, sedangkan cabang yang kedua menjadi inti dari kebudayaan santri yang baru. Kedua kelompok itu bukan saja dipisahkan oleh permusuhan dan saling curiga, akan tetapi mereka juga bersaing untuk memperebutkan kesetiaan mayoritas

61

abangan dalam kalangan petani Indonesia. Di dalam persaingan ini, para penghulu hampir selalu menjadi pihak yang kalah, sebagian karena hubungannya seringkali memang berupa hubungan darah dengan elite priyayi dan sebagian karena dia akhirnya turut terseret oleh proses kemunduran kekuasaan para pangeran yang menjadi tuannya. Kemerosotan ini pada gilirannya merupakan akibat yang tidak dapat dihindarkan dari kekuasaan Belanda di Indonesia, yang di dalam perjalanan waktu dalam kenyataannya menyebabkan semua raja-raja Indonesia mau tidak mau menjadi alat kekuasaan kaum Kristen (H. J. Benda. 1980: 34-35). Sejak pertengahan abad ke-19 dan seterusnya, agama Islam Indonesia secara bertahap mulai menanggalkan sifat-sifatnya yang sinkretik. Terjadi perubahan bukan hanya di dalam lingkungan agama Islam Indonesia, akan tetapi juga di dalam semakin meluasnya kebudayaan santri dalam arti yang sebenarnya dalam masyarakat Indonesia. Ortodoksi Islam perlahan-lahan mengambil alih pengaruh mistisisme Islam baik di Jawa maupun di Sumatra. Sekolah-sekolah dusun tradisional sebagian besar memperhatikan orientasi sinkretiknya, maka kyai ortodoks yang mendapat latihan di Mekkah membangun pesantren yang semakin menarik siswa-siswanya dalam jumlah besar. Pusat-pusat kebudayaan santri Indonesia ini yang semakin berkembang dalam arti sebenarnya (H. J. Benda. 1980: 37). Dalam menghadapi Islam, penguasa kolonial menurut tradisi dapat mengharapkan dukungan dari kaum adat meskipun golongan ini tidak dapat menahan pengaruh, baik dari perkembangan Islam maupun dari perubahan- perubahan kearah modernisasi, maka dari itu tidak mungkin politik ini dijalankan untuk mencapai tujuan pemerintahan kolonial dalam jangka panjang (Sartono Kartodirdjo, Mawarti Djoened Poesponegoro, Nugrohonotosusanto. 1975: 75). Menurut pengertian orang Belanda tentang Islam, Islam dibayangkan sebagai sebuah agama yang diorganisir secara ketat, di dalam banyak hal yang diatur oleh hukum Islam serta persekutuannya dengan para sultan Islam di luar negeri dan pengaruhnya terhadap kehidupan penduduk asli. Dengan demikian Islam dianggap sebagai musuh yang ditakuti. Ketakutan ini kemudian mendorong bangsa Belanda untuk merumuskan sebuah politik aliansi dengan elemen-elemen

62

di dalam masyarakat Indonesia, terutama para pangeran dan priyayi di Jawa dan sultan-sultan, raja-raja serta kepala-kepala adat di luar Jawa yang karena alasan- alasan politiknya sendiri terkenal sebagai Islam yang tidak terlalu fanatik atau bahkan musuh terang-terangan Islam fanatik (H. J. Benda. 1980: 38-39). Kebijaksanaan politik pemerintah Hindia-Belanda selalu mendapat masukkan dari para penasehatnya seperti Snouck Hurgronje, antara lain agar pemerintah harus bertindak netral terhadap Islam sebagai agama, tetapi tegas terhadap politiknya, pemerintah supaya membantu menghidupkan golongan pemangku adat agar senantiasa timbul pertentangan-pertentangan di dalam masyarakat, pemerintah harus menyempitkan ruang gerak dan pengaruh Islam dengan jalan menjalin kerjasama dalam rangka kebudayaan Indonesia dan Belanda. Artinya, dengan jalan mendidik golongan priyayi dengan pendidikan Barat. Usaha-usaha tersebut ternyata menunjukkan hasilnya. Banyak orang dari kalangan pemuda pelajar Islam sempat menjadi sinis dan acuh tak acuh terhadap ajaran agama Islam. Bahkan sampai-sampai muncul anggapan bahwa agama Islam adalah agama yang kolot, menghambat kemajuan bangsa. Ada pula sebagian yang menanggalkan agamanya dan mengambil pola kehidupan yang berdasar kebudayaan Barat dan lainnya (Panitia Buku Peringatan Seratus Tahun Haji Agus Salim. 1984: 66-67). Dalam hal ini peradaban Belanda haruslah menggantikan peradaban tradisional priyayi dan di atas semuanya, peradaban santri. Snouck Hurgronje memusatkan perhatiannya kepada para bangsawan Jawa dan kepada para elite priyayi pada umumnya, sebagai suatu kelas sosial yang pertama dan yang paling jelas untuk ditarik ke arah Westernisasi. Tingkat kebudayaan aristokrasi yang lebih tinggi, dekatnya dengan pengaruh-pengaruh Barat berkat kontaknya dengan pemerintah Eropa dan akhirnya keterpisahannya dari Islam, secara logis menjadi skema asimilasionis Snouck. Kaum bangsawan Indonesia yang telah kehilangan ikatan kultural dan politik sebagai akibat penakhlukan Belanda, menurut Snouck, menuntut partisipasi di dalam kebudayaan Belanda (H. J. Benda. 1980: 47). Di bawah pengaruh kekuasaan Barat dan pendidikan Barat, rakyat Hindia-Belanda terutama golongan intelektual tercekam di bawah sugesti

63

superioritas Barat, juga dalam gerakan perlawanannya dan usaha melepaskan diri dari dominasi Barat, golongan intelektual tersebut bergerak menurut garis yang diberikan orang Barat dan di bawah pimpinan langsung atau tidak langsung orang Barat, seolah-olah orang Barat yang memegang pimpinan (Panitia Buku Peringatan Seratus Tahun Haji Agus Salim. 1984: 188). Dalam hal ini maka pendidikan Barat haruslah diberikan kepada orang-orang Indonesia yang jumlahnya semakin besar. Pendidikan Barat adalah alat yang paling pasti untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia (H. J. Benda. 1980: 48). Pendidikan umum yang tidak diisi dengan pelajaran agama sebagai cara untuk memajukan masyarakat dan sekaligus mengikis fanatisme Islam tersebut (Jan S. Aritonang. 2005: 136). Sejalan dengan kebijakan itu, maka pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dari jenjang terendah sampai jenjang tertinggi tidak memberikan pelajaran agama Islam kepada pelajar-pelajar yang beragama Islam. Rezim ini mengupayakan sekularisasi di dunia pendidikan dengan menyingkirkan pelajaran keagamaan dari dunia sekolah. Akibat sistem pendidikan ini maka pelajar Islam yang tidak mempunyai kesempatan belajar sendiri di luar sekolah menjadi kurang pemahamannya dari agama Islam. Seorang Agus Salim bahkan sampai berkata bahwa ia hampir kehilangan iman selepas dari Hoog ere Burgere schoo l (HBS/Sekolah Tinggi Warga Masyarakat) (Darmansyah, dkk. 2006: 2). HBS merupakan sekolah lanjutan Europesche Legere Scho ol (ELS/Sekolah Rendah Eropa) yang diperuntukkan bagi golongan Eropa, bangsawan pribumi atau tokoh terkemuka (Darmansyah, dkk. 2006: 87). Dengan demikian pendidikan Barat mulai meraih kemenangan dalam perlombaan melawan saingannya yang Islam. Pandangan-pandangan Snouck Hurgronje dalam kenyataannya merupakan cerminan dari suatu era baru di dalam kebijaksanaan kolonial Belanda yang disebut Politik Etis yang secara resmi bermula pada tahun 1901 (H. J. Benda. 1980: 49). Penguasa kolonial tidak dapat mengabaikan Islam sebagai faktor politik atau kekuatan sosial. Selaras dengan fakta itu organisasi yang netral lebih disukai daripada organisasi yang pergerakannya berasaskan agama. Dalam hal ini politik

64

kolonial masih mengikuti kebijaksanaan yang digariskan oleh Snouck Hurgronje. Pendidikan Barat menjadi alat utama untuk melaksanakan politik itu. Dipandang dari sudut religius, penetrasi pengaruh Barat dengan sistem pendidikannya mengakibatkan proses sekularisasi. Hal ini terwujud dengan timbulnya golongan- golongan terpelajar dan priyayi yang lebih cenderung menggabungkan diri pada organisasi-organisasi yang berasaskan tujuan nonkeagamaan (Sartono Kartodirdjo. 1999: 118). Hasil penyelidikan Snouck Hurgronje membuahkan kebijaksanaan pemerintah Belanda untuk tidak perlu menggalakkan kristenisasi (gerakan missie dan zending). Dan sebaliknya membiarkan dalam batas tertentu kehidupan Islam. Yang dibiarkan adalah kehidupan ibadat, sepanjang tidak mengganggu kehadiran pihak Belanda (Deliar Noer. 1979: 6). Sehingga pada tahun-tahun tersebut semakin banyak orang Islam, terutama di kalangan pemudanya mengalami keasingan dalam agamanya sendiri sebagai hasil dari pendidikan Belanda. Mereka asing dari kalangan rakyat yang masih banyak menganut kebiasaan lama dalam iman dan kepercayaan, mereka tidak lagi memilih organisasi yang bersifat keagamaan sebagai tempat mereka berkecimpung dalam pergerakan dan lebih tertarik kepada dasar lain dalam pergerakan (Deliar Noer. 1990: 268). Tujuan diselenggarakannya pendidikan Belanda tersebut sekurang- kurangnya menjurus hakekatnya pada pengasingan mereka dari ajaran Islam. Minimal inilah yang diharapkan Snouck Hurgronje dan pihak Belanda pada umumnya. Usaha-usaha seperti ini terletak di bidang pendidikan yang dijaman Belanda dibedakan menjadi pendidikan yang menekankan segi intelek dalam pengertian kebudayaan Barat di satu pihak dan pendidikan yang menekankan segi rohani di pihak lain. Di samping itu dijumpai juga lembaga-lembaga pendidikan yang berusaha menumbuhkan kedua segi itu, intelek dan rohani sekaligus dan kemudian menghasilkan golongan intelektual di satu pihak dan di pihak lain golongan ulama/kyai/santri. Golongan ini bertujuan untuk membina kalangan pemuda yang berpendidikan Barat agar merasa tidak asing dari agamanya (Deliar Noer. 1979: 6).

65

Bangkitnya kesadaran agama Islam tanpa dapat dibantah disebabkan, sebagian besar oleh tersedianya kebudayaan Barat yang semakin meningkat. Dasar-dasar kebijaksanaan pemerintah, pemeliharaan kebebasan beragama dan menjauhkan diri dari campur tangan urusan agama, telah menyebabkan perluasan dan pengukuhan agama Islam. Rasa puas yang semakin besar dapat dicapai, jika pemerintah dapat memutuskan untuk meniadakan sama sekali peraturan-peraturan yang oleh kaum Muslim dirasakan sebagai penghambat mengenai kebebasan pelaksanaan beribadah (G. F. Pijper. 1987: 252-253). Selain itu, kebangkitan agama Islam sebagian besar adalah karena hasil dari usaha-usaha missie dan zending yang dilaksanakan oleh pihak Belanda. Kaum Muslim harus menyusun barisan perjuangan yang lebih rapi untuk menumbuhkan semangat dan memperteguh benteng keislaman dalam menghadapi usaha-usaha sekularisasi umat Islam yang dilakukan oleh pihak Belanda (Moh. Natsir. 1980). Sebenarnya sejak tahun 1936 ada ketegangan yang memuncak dengan golongan Islam. Golongan Islam mengambil sikap yang tajam terhadap segala macam penghinaan dari pihak bukan Islam, terutama dari pihak Belanda atau Kristen. Nada yang tajam dari Islam ini disebabkan karena memang adanya politik anti-Islam atau karena golongan Barat dalam arogansi mereka memberikan sebab-sebab akan hal ini. Selain itu tentu juga disebabkan karena hidupnya kembali nasionalisme dan diperkuatnya kesadaran akan diri sendiri di kalangan Islam (Onghokham. 1987: 124).

2. Munculnya Kaum Intelektual Islam Saat Belanda masuk ke Indonesia, pendidikan yang ada diawasi secara ketat oleh Belanda. Hal tersebut dikarenakan Belanda mengetahui bahwa dengan adanya pendidikan, maka gerakan-gerakan perlawanan terhadap keberadaan Belanda di Indonesia pada saat itu dapat muncul dan menyulitkan Belanda. Usaha Belanda untuk membatasi pendidikan terhadap kalangan pribumi terus berlanjut, hingga saat muncul kritik dari para kaum humanis Belanda yang telah memaksa Belanda untuk memberlakukan politik etis atau juga dikenal sebagai politik balas budi pada sekitar tahun 1901. Tiga poin utama dalam politik etis Belanda pada

66

masa itu adalah irigasi, migrasi, dan edukasi. Dalam poin edukasi, pemerintah Belanda mendirikan sekolah-sekolah gaya Barat untuk kalangan pribumi. Akan tetapi keberadaan sekolah-sekolah ini ternyata tidak menjadi sebuah sarana pencerdasan masyarakat pribumi. Pendidikan yang disediakan Belanda hanya sebatas mengajari para pribumi berhitung, membaca, dan menulis. Setelah lulus dari sekolah, akhirnya mereka dipekerjakan sebagai pegawai kelas rendah untuk kantor-kantor Belanda di Indonesia. Dengan demikian pendidikan pada masa kolonial tersebut bertujuan untuk mengisi kekosongan pegawai rendahan di kantor-kantor Belanda (http://pik ok ola.files.wordpress.com diakses tanggal 1 Maret 2010). Sehingga pemerintah Belanda mendapatkan tenaga keraja terdidik untuk birokrasinya dengan gaji yang murah, karena apabila mendatangkan pekerja dari kalangan orang Eropa tentunya akan sangat mahal biayanya (http://www.roll- kon g.blogspo t.com diakses tanggal 1 Maret 2010). Penerapan Politik Etis oleh pemerintah kolonial Belanda telah memberi peluang kepada anak-anak bumiputra untuk memasuki lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial. Kesempatan untuk mengenyam pendidikan tersebut tidak terbuka luas, hanya mereka yang berasal dari prangreh-praja atau mereka yang berdarah biru (kaum bangsawan) yang dapat mengenyam pendidikan (Ridwan Saidi. 1990: 9). Hal tersebut disebabkan karena adanya berbagai faktor yang menyangkut masalah kebijakan, fasilitas dan sarana sehingga sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah Belanda sangat terbatas, tidak seimbang dengan populasi penduduk Indonesia dan tingkat penghasilan ekonomi masyarakat Indonesia yang masih rendah. Sebagai alternatifnya yaitu mulai muncul pendidikan yang lebih merakyat, pendidikan di pesantren menjadi pilihan bagi masyarakat Indonesia sehingga masyarakat Muslim pada waktu itu banyak yang memasukkan anak-anak mereka ke lembaga pendidikan tersebut (H. Haidar Putra Daulay. 2007: 30-31). Tak banyak pembagian sosial yang mutlak antara priyayi baru dan priyayi lama, yaitu antara kaum cendekiawan dan pejabat-pejabat pribumi. Banyak orang dari keturunan rendah yang berkat kedudukan teknis atau profesinya menjadi priyayi baru. Mereka tidak menginginkan lebih daripada

67

penerimaan sosial oleh elite yang telah mapan tersebut dan untuk itu mereka berusaha menyesuaikan tingkah-lakunya. Karena keturunan merupakan masalah penting untuk memperoleh pendidikan, maka banyak di antara kaum cendekiawan yang berasal dari keluarga-keluarga pangreh-praja atau anak-anak pegawai pemerintah mempunyai hubungan dengan priyayi. Lebih daripada itu, kaum cendekiawan baru tersebut bukanlah marmer putih polos tempat menuliskan gagasan-gagasan Barat. Sebaliknya, mereka merupakan produk dari tradisi politik Jawa yang maju dan tinggi tingkatannya. Mereka berusaha mendapatkan dasar ideologi mereka dengan mengkombinasikan nilai-nilai pribumi dan nilai-nilai Eropa (Heather Sutherland. 1983: 115-116). Dengan demikian politik etis telah menghasilkan sejumlah elite baru di kalangan pribumi, baik yang menjadi birokrat maupun intelektual dan di antara elite baru tersebut banyak yang tampil menjadi tokoh pergerakan anti penjajahan, termasuk dari kalangan Islam (Robert van Niel. 1984: 12). Politik etis itulah yang kemudian menguak dimensi baru bagi pergerakan nasional bangsa Indonesia. Pada masa ini pendidikan-pendidikan rakyat juga turut muncul. Sekolah- sekolah rakyat seperti Taman Siswa dan muncul dan berkembang. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada masa tersebut terdapat tiga tipe jalur pendidikan yang berbeda. Jalur pertama, sistem pendidikan dari masa Islam yang diwakili dengan berkembangnya pondok pesantren; jalur kedua, pendidikan bergaya Barat yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia-Belanda dan jalur ketiga, pendidikan swasta pro-pribumi seperti Taman Siswa, Muhammadiyah dan lainnya (http://pik ok ola.files.wordpress.com diakses tanggal 1 Maret 2010). Pengajaran asli di Indonesia pada mulanya terdiri dari pendidikan yang diadakan di langgar, surau dan pesantren. Di tempat tersebut dilatih mengaji Al- Qur’an, mempelajari kepercayaan dan syariat agama Islam. Sampai pada akhirnya kebutuhan akan pengajaran dibutuhkan oleh pemerintah, pembaharuan datang dari luar sebagai usaha balas budi dan mengurangi jumlah penduduk buta huruf. Perluasan bidang pemerintahan dan administrasinya mendorong timbulnya kebutuhan akan tenaga kerja. Untuk memenuhi itu pemerintah kolonial mulai

68

mendirikan sekolah-sekolah. Tujuan pendidikan yang dikembangkan Belanda ini adalah untuk memenuhi kebutuhan tenaga buruh untuk kepentingan kaum modal kolonial, pribumi dididik untuk tenaga yang fungsinya masih berada di bawah kontrol Belanda sehingga gaji yang diberikan otomatis lebih rendah. Menurut Snouck Hurgronje, pendidikan Barat merupakan jalan terbaik untuk memajukan peradaban dan tingkat sosial-ekonomi masyarakat. Berdasarkan pengalamannya, kalangan elite bangsa atau kaum bangsawan adalah golongan yang paling mudah untuk didekati, karena itu Snouck Hurgronje yang didukung oleh Direktur Departemen Pendidikan dan Peribadahan, J. H. Abendanon (1900- 1905), menyelenggarakan pendidikan berbahasa Belanda dan mengikuti model Barat yang bersifat elitis, yakni bagi anak-anak bangsawan. Bahkan sebagian murid ditampung di rumahnya ataupun di rumah keluarga Belanda lainnya. Setelah tamat, mereka diberi jabatan dalam sistem pemerintahan Hindia-Belanda dengan harapan nantinya dapat melahirkan para elite yang tahu berterimakasih dan bersedia bekerjasama, termasuk dalam hal mengendalikan fanatisme terhadap Islam dan akhirnya menciptakan suatu keteladanan yang akan menjiwai masyarakat Indonesia golongan bawah (M. C. Ricklefs. 1991: 236). Berbeda dari Snouck Hurgronje dan Abendanon yang lebih memprioritaskan pendidikan yang bersifat elitis, Gubernur Jendral Van Heutsz (1904-1909) dan penerusnya A. W. F. Idenburg, lebih memberi prioritas pada pendidikan dasar dan kejuruan-praktis, yang disediakan bagi sebanyak mungkin rakyat golongan bawah dan yang menggunakan bahasa daerah, walaupun pendidikan elitis tadi tetap dilanjutkan. Menurut Van Heutsz dan Idenburg, pendekatan yang lebih merakyat ini akan memberi sumbangan secara langsung bagi peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi. Dalam rangka perluasan pendidikan dasar dan kejuruan inilah pemrintah Hindia-Belanda memberi subsidi yang cukup besar kepada badan-badan zending dan missi, karena mereka inilah yang dinilai memenuhi berbagai persyaratan yang ditetapkan pemerintah dan karena dengan cara itu biaya penyelenggaraan pendidikan menjadi lebih murah jika dibandingkan dengan ditangani sendiri oleh pemerintah. Sementara itu lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah-sekolah Islam tradisional (pesantren

69

dan lainnya) dinilai kurang memenuhi persyaratan yang disusun berdasarkan standar pendidikan Barat. Hal tersebut sangat menyinggung perasaan banyak pemimpin Islam. Tetapi sebagian dari tokoh-tokoh Islam menanggapi kebijakan pemerintah ini sebagai tantangan positif (Jan S. Aritonang. 2005: 149). Sistem pendidikan yang diterapkan oleh Hindia-Belanda telah menyebabkan para pemimpin masyarakat Indonesia sangat berorientasi ke Barat. Snouck Hurgronje dan lainnya telah merancang ide-ide asimilasi yaitu bahwa masyarakat Indonesia atau paling sedikit golongan elitnya harus diasimilir oleh kebudayaan Barat. Untuk itu didirikan Holland sch Inlandsche Schoo l (HIS/Sekolah Bumi Putera-Belanda), beberapa anak Indonsia diperbolehkan masuk Euro pesche Legere School (ELS/Sekolah Rendah Eropa), yang membuka pintu ke Hoog ere Burgere School (HBS/Sekolah Tinggi Warga Masyarakat) atau Algemeene Middelbare School (AMS/Sekolah Menengah Atas) dan kemudian ke perguruan-perguruan tinggi, baik di Indonesia maupun di Belanda. Di samping pendidikan yang menggunakan konsep bangsa Barat (Westerse Sfeer) ini terdapat juga bagi rakyat berbagai macam sekolah rakyat, desa dan lain-lain atau Scha kel Scholen sebagai jembatan antara kedua macam sistem pendidikan. Pada sistem pendidikan untuk rakyat ini dipertahankan seratus persen pendidikan yang menggunakan konsep bangsa Timur (Oosterse Sfeer), seperti halnya tidak ada pelajaran-pelajaran bahasa Barat dan lain-lain (Onghokham. 1987: 107). Adanya kondisi tersebut telah menyebabkan munculnya jurang pemisah yang dalam antara rakyat dan pemimpin-pemimpin atau golongan elite yang berpendidikan Barat. Semakin lanjut orang Indonesia meningkat dalam bidang pendidikan untuk kemudian lulus pada salah satu perguruan tinggi maka semakin jauh pula mereka dari rakyatnya dalam jalan pikiran dan pandangan dunia. Namun pendidikan dengan konsep Barat ini adalah satu-satunya jalan untuk naik ke tangga sosial sehingga masyarakat Indonesia yang elite tersebut berkorban segala macam untuk mengirimkan anak-anaknya ke HIS. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia membutuhkan pendidikan Belanda, dengan pertimbangan- pertimbangan lain yaitu dengan mengirimkan anaknya ke HIS selain anaknya memperoleh pengetahuan Barat atau dididik secara Belanda juga karena HIS

70

memberikan kepada seluruh keluarga semacam kedudukan dalam suatu tingkatan sosial dalam masyarakat Hindia-Belanda yaitu termasuk elite. Pengetahuan dan cara-cara hidup Barat menjadi ciri elite tersebut (Onghokham. 1987: 108-109). Dalam keadaan yang demikian, HIS sudah sewajarnya menjadi populer, dapat dimengerti. Sekolah ini membuka pintu gerbang yang memberikan jalan masuk menuju jabatan-jabatan gubernurmen dengan gaji tinggi, yang memang menurut ukuran orang pribumi demikian halnya, sesuatu yang didambakan. Selain itu sekolah tersebut juga memberikan kepuasan psikologis yang kuat, karena pengetahuan tentang bahasa Belanda memberikan perasaan bahwa diri mereka dapat disamaan dengan orang-orang Belanda, yang orang merasa hormat kepadanya (I. J. Brugmans. 1987: 185). Melihat sistem pendidikan yang diterapkan pemerintah sulit membayangkan akan lahir generasi intelektual Muslim. Akan tetapi, di penghujung abad ke-19 generasi pertama intelektual muslim Indonesia telah lahir. Mereka umumnya pernah mengenyam pendidikan Barat dan sekaligus mendalami agama Islam secara khusus. Seperti halnya Agus Salim, selain lulusan HBS juga pernah bermukim di Mekkah untuk mendalami agama Islam. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok generasi pertama intelektual Muslim adalah R. M Tirtoadisurjo, H. O. S Tjokroaminoto, Agus Salim, Achmad Dachlan, Achmad Soerkati dan lain-lain. Sumbangsih generasi pertama intelektual Muslim tersebut terlihat dengan dibentuknya berbagai organisasi kemasyarakatan yang berasaskan Islam (Darmansyah, dkk. 2006: 3). Tanpa menyerah diri pada tantangan-tantangan yang ada, mereka berusaha mendirikan sekolah-sekolah dengan sistem dan cara yang ditiru dari sekolah-sekolah yang didirikan oleh pihak pemerintah Belanda, tetapi dengan berusaha mempertahankan semangat serta isi ajaran Islam. Tujuannya adalah untuk menggalang umat dan mendidik mereka sejalan dengan tuntutan masa dengan memasukkan berbagai mata pelajaran bukan agama ke dalam kurikulum. Mereka berusaha menghapuskan segala macam tambahan yang melekat pada ajaran Islam yang menurut mereka tidak sesuai dengan ajaran yang mereka dasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Mereka mengimbau agar kembali kepada ajaran-ajaran pokok dari Islam (Deliar Noer. 1987: 10).

71

Pada awal abad ke-20 Indonesia telah dimasuki ide-ide pembaharuan pemikiran Islam, sekaligus ide-ide tersebut juga memasuki dunia pendidikan Islam. Dampak dari munculnya ide-ide pembaharuan dalam bidang pendidikan yaitu lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak lagi berorientasi pilah antara ilmu agama dan ilmu umum, walaupun belum seimbang setidaknya telah memunculkan pemikiran untuk menganggap penting kedua ilmu tersebut. Misalnya, di kalangan sekolah-sekolah agama yang diwakili oleh madrasah terutama madrasah yang muncul di Sumatera Barat telah memasukkan ilmu-ilmu umum ke dalam kurikulumnya. Selanjutnya di kalangan sekolah-sekolah umum yang diasuh oleh organisasi Islam seperti HIS, MULO dan AMS telah memasukkan mata pelajaran agama. Hal itulah yang kemudian menjadi dasar bagi pengembangan penyatuan kedua ilmu itu untuk seterusnya (H. Haidar Putra Daulay. 2007: 35-36). Para sarjana Islam menilai bahwa kelemahan utama pandangan Snouck Hurgronje dan politik Islam pemerintah Hindia-Belanda adalah karena hal tersebut di dasarkan pada asumsi bahwa Islam dapat dipilah-pilah dan dimensi politik dapat dilucuti dari keyakinan maupun paktek Islam. Padahal tiap-tiap suruhan Islam yang bersangkut-paut dengan ibadah, bersangkut-paut dan berjalin pula dengan urusan keduniaannya, inilah bedanya antara Islam denga agama lainnya (Moh. Natsir. 1980: 126). Dengan demikian kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah Hindia-Belanda menyangkut masalah pendidikan telah menyebabkan tokoh-tokoh pribumi Islam yang menikmati pendidikan Barat justru semakin sadar akan kebangsaannya sekaligus keislamannya dan semakin bersemangat pula untuk menentang penjajahan (Jan S. Aritonang. 2005: 143). Hal tersebut menunjukkan bahwa secara umum politik Islam yang dirancang Snouck Hurgronje mengalami kegagalan. Di mata kalangan Islam Indonesia sendiri, Snouck Hurgronje lebih banyak dipandang dan dinilai sebagai penghambat ketimbang pendukung kemajuan Islam. Walaupun Snouck Hurgronje berhasil dan terkenal dengan upayanya memperbaiki hubungan antara pejabat pemerintah kolonial dengan kebanyakan pemimpin Islam di Indonesia, terutama di Jawa (H. J. Benda. 1980: 40). Sebenarnya Snouck Hurgronje lebih dilihat sebagai bagian

72

dari sistem kolonialisme yang hendak tetap mempertahankan kekuasaannya di Indonesia. Keyakinan terhadap keberadaan dan kekuatan Islam semakin tumbuh dan berkembang sebagai refleksi dari posisi dan fungsi agama di dalam kehidupan orang Indonesia. Bagi orang Indonesia Islam adalah lebih dari agama, Islam adalah tuntunan hidup. Dengan demikian, Islam lama-kelamaan sama dengan segala sesuatu yang asli sebagai lawan dari yang asing. Islam menjadi suatu faktor pemersatu dalam kesadaran akan diri sendiri dalam kalangan orang Indonesia dan dalam waktu yang bersamaan menjadi ukuran untuk solidaritas nasional, dari kulit berwarna terhadap kulit putih (Robert van Niel. 1984: 115). Sejalan dengan kondisi tersebut maka dalam menghadapi kehidupan yang tertekan, masyarakat Jawa tradisional menggunakan agama terutama agama Islam sebagai alat untuk menghadapi tekanan yang begitu keras. Islam sebagai pertahanan terhadap tekanan sosial. Sedangkan pemerintah kolonial menggunakan agama Kristen sebagai tandingan dalam menghadapi gerakan pribumi. Di kalangan umat Islam Indonesia timbul pula kesadaran untuk berorganisasi. Rasa persatuan di kalangan umat Islam mulai terpupuk hingga melahirkan suatu pergerakan yang sangat penting artinya bagi nasionalisme Indonesia. Di jaman VOC ulama sangat keras melawan Belanda dan pemerintah Belanda juga bertindak keras karena pengaruh Islam pada waktu itu dirasa sangat mengkhawatirkan pemerintah jajahan. Tetapi sebaliknya bagi bangsa Indonesia, pengaruh agama Islam yang besar itu telah menciptakan nasionalisme di kalangan rakyat Indonesia (C. S. T. Kansil dan Julianto. 1983: 24-25). Islam dirasakan sebagai gagasan yang belum banyak dialami dan diketahui aspek keseluruhannya. Tetapi paham modernisme Islam telah masuk ke Indonesia dan mempengaruhi aliran pergerakan pendidikan dan sosial Islam (M. Dawam Rahardjo. 1993: 47). Hal tersebut muncul sebagai akibat dari adanya perubahan Islam di Indonesia. Cukup banyak orang dan organisasi Islam yang merasa tidak puas dengan metode tradisional dalam mempelajari Al-Qur’an dan studi agama sehingga pribadi-pribadi dan organisasi-organisasi Islam pada permulaan abad ke-20 berusaha untuk memperbaiki pendidikan Islam, baik dari

73

segi metode maupun isinya. Mereka juga mengusahakan kemungkinan memberikan pendidikan umum kepada orang Islam (H. Haidar Putra Daulay. 2007: 57). Hal tersebut kemudian memunculkan gerakan politik Islam yang didasari oleh kesadaran bahwa Islam hadir tidak sekedar sebagai ikatan biasa, melainkan sebagai semacam simbol pemersatu untuk melawan pengganggu asing dan penindas suatu agama yang berbeda (George McTurman Kahin. 1995: 50). Salah satu tokoh intelektual muslim yang sangat berpengaruh dalam pergerakan Islam di Indonesia adalah Agus Salim, satu dari sedikit tokoh muslim pemikir modernis. Agus Salim menyadari bahwa hubungan antara Islam dan internasional tak lagi bisa terelakkan. Baik itu hubungannya dengan dunia Arab maupun Barat. Kedua dunia yang berbeda itu didekati Agus Salim degan pandangan dan pendekatan integral, bahwa dunia Arab dan Barat adalah suatu sumber daya yang harus dimanfaatkan. Sebagai Intelektual, Agus Salim berhasil membangun kelompok studi yang beranggotakan mahasiswa Islam sekolah Belanda, seperti Stovia, Rechtshoogeschool dan Geneskundigehoogeschool. Mereka kebanyakan sekuler dan abangan. Dengan kapasitas dan kemampuannya, anggota kelompok studi itu jadi tertarik pada Islam. Tokoh seperti R. Kasman Singodimedjo (nantinya menjabat sebagai ketua umum Jong Islamieten Bond periode 1929-1935) dan Prawoto Mangkusasmito yang berpendidikan Belanda dan bukan dari keluarga santri dapat tertarik untuk menjadi aktivis Islam. Agus Salim mempunyai hubungan yang sangat luas dengan kalangan pelajar. Rumah Agus Salim merupakan tempat berkumpulnya kalangan pelajar yang sekolah di Batavia. Di antara para pengunjung rumah Agus Salim untuk berdiskusi adalah Moh. Hatta, Moh. Amir Bahder Djohan. Haji Agus Salim menjadi tempat untuk bertanya atau bertukar pikiran di kalangan para pelajar Muslim (Darmansyah, dkk. 2006: 4-6). Salim tidak hanya dikerumuni oleh pemuda-pemuda Jong Islamieten Bond (JIB). Berbagai kalangan inteletual sering datang menanyakan masalah besar yang dihadapi bersama sebagai bangsa terjajah. Salim mengkritik tajam terhadap gaya hidup intelektual Indonesia yang kebarat-baratan akibat dari adanya pendidikan Barat yang telah mereka alami, tetapi sikap rasional Barat tidak pernah

74

dimiliki dan gerakan pemuda yang hidup terkurung dalam ide kedaerahan, kepulauan masing-masing (St. Sularto. 2004: 125-126). Agus Salim mempunyai banyak murid dan pengikut yang belajar di sekolah-sekolah Belanda, termasuk di dalamnya anggota dan pemimpin Jong Islamieten Bond. Banyak di antara pemimpin JIB ini yang menjadi pewaris kepemimpinan umat Islam dalam bidang politik sesudah Indonesia merdeka (Deliar Noer. 1987: 13). Dalam berorganisasi, Agus Salim menyatakan bagaimana seharusnya sebuah organisasi yang kuat itu berdiri, diantaranya yaitu: 1) Adanya kepercayaan serta prinsip-prinsip yang diakui sebagai milik bersama, 2) Adanya toleransi yang berarti menghargai pendapat dan keyakinan orang lain, 3) Adanya permusyawaratan dalam mengambil keputusan-keputusan yang berhubungan dengan rakyat bersama yang dimaksud adalah menguatkan persatuan hati, kehendak dan mendidk serta pengertian keterikatan dalam persatuan (http://ahmadfathulbari.multiply.com/jou rnal/item/10 diakses tanggal 7 Agustus 2009). Pada waktu ide pembentukan cendekiawan Islam dalam tahap pengembangan, Sjam sebagai ketua Jong Java mengutarakan gagasan agar Jong Java menyelenggarakan kursus-kursus agama Islam bagi para anggotanya. Sjam mencetuskan gagasan itu didorong karena adanya kesadaran ideologi dalam kerangka kesatuan organis Jong Java, kesadaran tersebut bangkit karena adanya fakta bahwa pelajar-pelajar Islam sebagai calon-calon cendekiawan yang tengah menuntut ilmu pada sekolah-sekolah umum dihimpit pada posisi keharusan pelestarian nilai-nilai Islam bagi kehidupan para pelajar, karena kelestarian Islam sebagai ajaran terancam dengan adanya kurikulum dan sistem pengajaran yang berlaku pada dunia pendidikan resmi pada waktu itu. Sementara kompetisi intelektual dengan pelajar yang beragama lain berlangsung secara kurang fair dalam pengertian bahwa untuk pelajar yang secara ideologis dan kultural berasal dari lingkungan bukan Islam dirangsang oleh lembaga swasta untuk meningkatkan kemampuan intelektualnya melalui pembinaan tertentu, misalnya pemberian beasiswa (Ridwan Saidi. 1990: 18-19). Tetapi ide Sjam untuk melaksanakan kursus-kursus agama Islam ditentang oleh anggota-anggota Jong

75

Java dengan berbagai alasannya. Beruntung kemudian muncul sebuah formulasi baru yaitu Sjam bersama kawan-kawannya tetap menjadi anggota Jong Java dan Jong Islamieten Bond sebagai wadah cendekiawan Islam. Dalam pergerakan JIB, R. Sjamsoeridjal, Wiwoho dan H. Agus Salim dikenal sebagai peletak dasar pembentukan cendekiawan Islam melalui organisasi JIB. Para pemimpin umat Islam menyadari bahwa reaksi terhadap peristiwa dan perlakuan tidak adil dari penjajah tidak cukup dilawan dengan kritik-kritik saja. Ancaman terhadap eksistensi Islam secara mendasar memerlukan reorientasi organisasi. Tujuannya agar kepentingan umat Islam dapat dijaga lebih tepat dari masa-masa yang lalu (H. J. Benda. 1980: 119). Dengan berdirinya JIB di Jakarta pada 1 Januari 1925 telah menjadi suatu organisasi yang secara politik sangat penting dalam serangan balasan kaum reformis terhadap aliansi di kalangan mahasiswa yang terdidik secara Belanda. JIB tumbuh menjadi pusat latihan bagi kepemimpinan Islam yang berbeda dari intelektual Indonesia sekuler yang berorientasi ke Barat (H. J. Benda. 1980: 73). Anggota JIB, seperti halnya dengan anggota organisasi Islam lainnya, tidak menarik diri dari gelanggang politik. JIB menjadi fokus pelatihan kepemimpinan untuk cendekiawan muda Islam yang memiliki pandangan jernih tentang syarat-syarat bagi suatu negara merdeka, yang hendaknya Islam. Gerakan modernis di dalam Islam mempunyai tujuan pokok untuk kembali ke sumber murni Islam; Qur’an, sunah atau kata-kata dan perbuatan Nabi Muhammad yang dirawikan (C. Van Dijk. 1995: 14-15). Gerakan tersebut menghendaki perombakan cara hidup umat Islam disesuaikan dengan perkembangan zaman (L. Stoddard. 1966: 318-319). Pada masa-masa inilah JIB telah memunculkan tokoh-tokoh Muslim intelek, seperti Mohammad Roem, Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo, Prawoto Mangkusasmito, Jusuf Wibisono dan masih banyak lagi. Mereka sehari- harinya sangat dekat dengan Agus Salim dan keluarganya, Agus Salim tak henti- hentinya menanamkan kejujuran intelektualisme berdasarkan Islam, percaya diri, kesetiaan terhadap perjuangan, kesederhanaan dan tanggungjawab terhadap nasib bangsa, terutama nasib rakyat kecil (Panitia Buku Peringatan Seratus Tahun Haji

76

Agus Salim. 1984: 67). Dengan berdiriya JIB tersebut maka telah memberikan kesempatan bagi Mohammad Roem untuk ikut dalam organisasi yang berasaskan Islam tersebut. Mohammad Roem masuk menjadi anggota JIB pada tahun 1925, keanggotaanya dalam Jong Java tidak dilepasnya. Tetapi jika dibandingkan denga Jong Java, Mohammad Roem lebih aktif di dalam JIB, suatu organisasi yang dikhususkan bagi pemuda atau pelajar Islam yang keanggotaannya bersifat terbuka bagi pemuda atau pelajar dari berbagai daerah (Iin Nur Insaniwati. 2002: 17). Pandangan keindonesiaan dikembangkan Sjam dan kawan-kawan melalui wadah Islam, JIB. Islam dan kebangsaan Indonesia tidak pernah diletakkan sebagai komponen yang terpisah apalagi berhadap-hadapan, sebagaimana yang yang banyak dituduhkan. Organisasi kepanduan NATIPIJ dengan tokoh-tokohnya Kasman Singodimejo dan Mohammad Roem mengembangkan pelajaran-pelajaran kewiraan, yang kelak pelajaran tersebut mempunyai manfaat yang besar bagi pertahanan tanah air. Kasman mendapat kepercayaan untuk menjadi Daidanco (Komandan Batalion) Pembela Tana h Air (PETA) Jakarta berkat pengalamannya dalam NATIPIJ (Ridwan Saidi. 1990: 21).

3. Peranan Raden Sjamsoeridjal Dalam Kelahiran Jong Islamieten Bond Di antara anggota Lingkaran Studi Haji Agus Salim terdapat R. Sjamsoeridjal atau lebih dikenal dengan nama Sjam. Sjam berasal dari kalangan Islam yang taat. Ayahnya seorang penghulu di Karanganyar, Karesidenan Surakarta. Pada kongres Jong Java ke-6 tahun 1923, Sjam terpilih sebagai ketua Pedoman Besar (hoo fdbestuur) Jong Java, organisasi pemuda pelajar terbesar di Indonesia (Darmansyah, dkk. 2006: 6). Usaha-usaha untuk menjadikan Islam sebagai unsur pemersatu digalang oleh Sjamsoeridjal dengan kawan-kawannya. Dan untuk menyebarkan gagasan tersebut diusahakan agar pendidikan Islam diajarkan pada anggota-anggota Jong Java karena dalam kenyataannya telah diadakan kursus-kursus pendalaman untuk anggota beragama Kristen dan Katholik. Puncak perjuangan sebagian anggota Jong Java yang menginginkan agar Islam dapat diajarkan pada anggota Jong Java

77

mendapat tempat dan harapan besar dengan terpilihnya R. Sjamsoeridjal sebagai ketua Jong Java pada kongres ke-6. Semasa kepengurusan Sjam inilah disiapkan dengan sungguh-sungguh materi kongres di mana pendidikan Islam diusahakan diajarkan pada anggota-anggota Jong Java yang berminat. Desakan tersebut beralasan karena murid-murid MULO dan AMS yang beragama Islam pada waktu itu menghadapi persoalan yang cukup serius, menyangkut pendidikan agama mereka. Sebagai murid MULO dan AMS mereka tidak cukup mempunyai waktu belajar di Madrasah, sementara itu di MULO dan AMS tidak diajarkan agama Islam. Ahli-ahli dan guru-guru kolonial di muka kelas kadang kala gemar melontarkan kata-kata sinis terhadap Islam dan ajarannya. Sjam sebagai ketua Jong Java menyadari persoalan ini (Ridwan Saidi. 1990: 11-12). Haji Agus Salim sebagai pembimbing dalam lingkaran studi yang anggotanya berasal dari beberapa anggota Jong Java, sering hadir dalam kongres- kongres organisasi pemuda tersebut. Pada salah satu kongres Jong Java, Agus Salim menyampaikan pidato Islam dan Jong Java, yang berisi bahwa dasar Jong Java yang semata-mata nasionalisme menjauhkan pemuda terpelajar dari agama Islam. Antara Agus Salim dan Sjam terdapat kesamaan pandangan tentang Islam sebagai landasan perjuangan. Agus Salim menyampaikan gagasan tentang Islam kepada para pemuda termasuk kepada anggota Jong Java yang sekuler (Darmansyah, dkk. 2006: 6-7). Pada saat Sjam memimpin Jong Java, Sjam terilhami oleh pidato H. Agus Salim sehingga mencoba melakukan pembaharuan dalam Jong Java. Dalam pertemuan tahunan Jong Java, kongres Jong Java ke-7 di Yogyakarta pada tanggal 27-31 Desember 1924 (Tim Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 34), Sjam mengajukan usul sebagai berikut: a. Anggota yang berumur di bawah 18 tahun, tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik. b. Anggota yang berumur 18 tahun ke atas, secara sendiri-sendiri boleh ikut dalam kegiatan politik. Dalam hal ini mereka akan dibantu dan dipimpin oleh anggota luar biasa, yang akan merupakan golongan ketiga dalam Jong Java.

78

Aturan ini akan menambah fungsi Jong Java sebagai tempat latihan mental nasional (A. K. Pringgodigdo. 1994: 114-115). c. Diadakan kursus agama Islam bagi anggota Jong Java mengingat agama Islam adalah agama yang dipeluk oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Selain itu, banyak kaum terpelajar yang tidak paham dengan agamanya (Tim Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 221). Hal ini sebagai respon terhadap kuliah-kuliah tentang agama Kristen di Jong Java, para pelajar Muslim yang lebih ortodoks juga meminta agar diadakan pula kuliah-kuliah mengenai agama Islam (Yudi Latif. 2005: 306). Usulan Sjam ini mendapat dukungan dari Raden Kasman Singodimedjo, Supinah (kemudian menjadi Nyonya Kasman Singodimedjo), Moeso Al- Machfoeld (Gus Muso, bukan Muso tokoh PKI), Soehodo (Sekpri Sri Paku Alam VIII). Mereka berpendapat bahwa agama Islam yang akan membantu mempersatukan para pemuda. Selama ini dalam pergaulan antar suku kaku sekali laksana minyak dengan air. Islam adalah agama rakyat umum di Nusantara. Para anggota Jong Ambon, Jong Minahasa, Jong Bataks, Jong Sumatranen, sama dan serupa dengan anggota Jong Java, Sekar Rukun, dan lain-lain, semua itu putra- putri rakyat Nusantara. Maka Islam adalah agama yang telah mempersatukan mereka. Jong Java harus berani memelopori memakai Islam sebagai dasar untuk selanjutnya disampaikan kepada sesama anggota organisasi pemuda (Tim Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 221). Tetapi ada pula kalangan yang menentangnya dengan alasan karena Jong Java bukanlah perkumpulan agama atau karena pertimbangan untuk menghindari perpecahan, sedangkan yang didambakan adalah persatuan. Selain itu juga ada yang berpendapat bahwa usul itu tidak diperlukan karena agama tidak perlu. Bukankah ketika itu zaman kemajuan, sedangkan hal-hal yang berhubungan dengan agama menunjukkan pada keterbelakangan, kekolotan dan sebagainya (Ridwan Saidi. 1990: 12). Gagasan Sjam tersebut tidak didukung oleh suara mayoritas. Alasan penolakan terhadap gagasan Sjam adalah Sjam bermain politik. Serekat Islam juga dituduh sedang menyusup ke dalam tubuh Jong Java (Tim Yayasan Gedung- Gedung Bersejarah. 1974: 34). Setelah diadakan pemungutan suara sebanyak dua

79

kali, hasilnya tetap seimbang. Sjam, sebagai ketua sidang, menurut aturan yang berlaku, berhak menentukan apakah usulan diterima atau ditolak. Sjam memutuskan usulan ditolak dan tidak mau memutuskan agar peserta kongres menerima usulannya karena khawatir dituduh tidak demokratis dan pada akhirnya akan menimbulkan perpecahan di dalam Jong Java (Sidi Mawardi. 2000: 50-51). Demi menjaga persatuan dalam perhimpunan Jong Java, Sjam menyatakan mundur dari Jong Java dan akan mendirikan perhimpunan baru untuk memperjuangkan aspirasi keislamannya. Sjam mendapat dukungan dari Agus Salim, H. O. S. Tjokroaminoto, A. M. Sangaji (Sarekat Islam) dan K. H. Achmad Dahlan (Muhammadiyah). Tokoh pemuda yang mendukung gagasan Sjam adalah Mohammad Roem, Mohammad Natsir, Prawoto, Jusuf. Mereka menyatakan siap membantu merealisasikan gagasan Sjam dan siap bekerjasama (Moh. Roem. 1977: 247). Agus Salim yang mengikuti rapat itu dan telah lama menyadari akan pentingnya membentuk kader-kader inteligensia Islam juga menyarankan agar mereka mendirikan sebuah organisasi pelajar yang baru, yang kemudian bernama Jong Islamieten Bond. Karena pengalaman traumatisnya, pendirian JIB diorientasikan untuk mengislamkan kaum terpelajar. Kepedulian utama dari organisasi ini adalah bagaimana menjadikan orang-orang Indonesia yang berpendidikan Barat menjadi lebih dekat dengan umat Islam atau paling tidak membujuk mereka untuk tidak sepenuhnya menjadi anggota fanatik dari organisasi-organisasi sekuler. Cara pandang terhadap Islam sekarang (dalam JIB) berbeda dengan yang sebelumnya dibayangkan di Jong Java. Sementara ide untuk memberikan pengajaran Islam dalam konteks Jong Java didasarkan pada alasan- alasan pragmatis, yaitu demi persatuan dan kepemimpinan nasional, ide yang sama sekarang diletakkan dalam idealisasi pembentukan sebuah identitas kolektif tertentu dan sebagai sebuah ideologi tersendiri. Solidaritas Islam sekarang dianggap sebagai satu-satunya solusi bagi masalah-masalah sosial (Yudi Latif. 2005: 307). Rapat-rapat pendahuluan dilaksanakan di sebuah sekolah Muhammadiyah di , Yogyakarta. Rapat tersebut menyepakati nama

80

organisasi adalah Jong Islamieten Bond (JIB, Sarekat Pemuda Islam). Hal itu terjadi pada akhir 1924. Walaupun secara de facto JIB berdiri di Yogyakarta, pada 31 Desember 1924, tetapi secara de jure JIB dinyatakan berdiri di Jakarta pada 1 Januari 1925 (Darmansyah, dkk. 2006: 9). Pada waktu itu H. O. S. Tjokroaminoto juga ikut menghadiri pendirian JIB di Yogyakarta yang berlangsung dalam sebuah ruangan deterangi cahaya lampu teplok. Pendirian JIB ini mendapat restu dari H. Agus Salim, K. H. Achmad Dahlan (Moh. Roem. 1977: 71). Keanggotaan JIB tidak membatasi diri pada kedaerahan. Kesempatan mempelajari agama Islam dibuka dalam organisasi ini karena menurut Sjam agama Islam adalah agama mayoritas yang dianut oleh rakyat Indonesia pada masa itu (Mohamad Roem dan Kustiniyati Mochtar. 1989: 98 dan 128). Tokoh-tokoh Islam lain yang peranannya juga besar dalam mendorong berdirinya JIB adalah Achmad Soerkati yang merupakan sahabat K. H. Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Sejumlah tokoh pemuda pergerakan nasional seperti Agus Salim dan Kasman Singodimedjo juga kerap berdialog dengan Achmad Soerkati mengenai berbagai masalah. Syekh Achmad juga menjadi guru spiritual JIB, dimana para aktivisnya seperti Mohammad Natsir (mantan perdana menteri), Mohammad Roem, dan lainnya sering belajar kepada beliau. Achmad Soerkati sangat membenci penjajahan dan tidak mau umat Islam Indonesia diperbudak oleh orang-orang Belanda serta berupaya mengubah kondisi itu dengan menanamkan kesadaran pada segenap umat akan bahayanya penjajahan. Sikap anti penjajahan diperlihatkan dengan memperjuangkan persamaan derajat sesama manusia. Pemerintah kolonial Belanda membedakan manusia berdasarkan ras dan golongan. Menurut Achmad Soerkati, ”Mencapai kebebasan dari penjajahan tidak dapat diraih dengan jiwa yang rendah”. Ditegaskan bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dan merdeka. Belanda bukan hanya menjajah fisik namun juga menindas harkat dan jiwa bangsa Indonesia. Melalui perhimpunan Al-Irsyad Achmad Soerkati memberikan kesempatan kepada pemuda-pemuda pergerakan nasional untuk menggunakan fasilitas pendidikannya. Mereka secara berkala mengikuti ceramah dan kursus agama yang diadakan di gedung Al-Irsyad. Selain itu, Achmad Soerkati juga sering kali mengisi ceramah-

81

ceramah yang diselenggarakan oleh JIB. Atas permintaan Tjokrohadikoesoemo, Bestuur Jong Islamieten Bond Afdeling Batavia, pada bulan November 1929 Al- Irsyad resmi menunjuk Ali Harharah guna memberi pelajaran agama Islam dan bahasa Arab untuk para anaggota JIB setiap Ahad (Darmansyah, dkk. 2006: 10- 11).

B. Perke mbangan Jong Islamieten B ond

1. Masa Awal Pergerakan Jong Islamieten Bond JIB didirikan pada tanggal 1 Januari 1925 atas prakarsa Sjamsoeridjal. Pendirian JIB berawal dari keprihatinan kaum intelektual Muslim dan kemudian didukung H. Agus Salim tentang kurangnya perhatian kaum muda Muslim, terutama yang menikmati pendidikan gaya Barat terhadap agama mereka dan juga kurangnya perhatian Jong Java terhadap pembinaan kerohanian bagi anggota- anggota yang beragama Islam. JIB merupakan salah satu organisasi Islam yang sangat percaya diri dan sangat gigih mengecam kalangan Kristen serta memperlihatkan sikap anti-Kristen, melalui Volkstraad dan juga melalui berbagai publikasi, misalnya majalah Het Licht. Di kemudian hari JIB menjelma menjadi suatu wadah untuk mendidik kaum muda Islam hingga menjadi kader-kader yang mempunyai dasar keislaman yang kokoh. JIB tidak bergerak dalam urusan politik, namun memperbolehkan anggota-anggotanya untuk ikut terlibat dalam berbagai gerakan politik yang marak pada saat itu (Jan S. Aritonang. 2005: 181). Jong Islamieten Bond (JIB/Liga Pemuda Islam) menjadi suatu organisasi yang secara politik sangat penting dalam serangan balasan kaum reformis terhadap aliansi di kalangan mahasiswa yang terdidik secara Belanda (Al-Chaidar. 1999: 9). Terbentuknya JIB dianggap sebagian kalangan sebagai perpecahan persatuan pemuda. Padahal saat itu orang sedang mengusahakan persatuan. Anggota JIB menolak tuduhan itu dan membela diri menghadapi argumen keindonesiaan. Para anggota JIB merasa memperjuangkan persatuan nasional walaupun dengan dasar Islam, karena itu orientasinya Indonesia. Selain itu, para aktivis JIB tidak menganggap sebagai pesaing perhimpunan-perhimpunan pemuda

82

lain dan berusaha memperjuangkan hubungan persahabatan bahkan persaudaraan dan juga kerjasama sebanyak mungkin di kalangan umat Islam (Darmansyah, dkk. 2006: 15). Perhimpunan ini terbuka untuk semua orang Islam Indonesia yang berumur tidak lebih dari tiga puluh tahun baik pelajar maupun orang yang sudah tamat belajar (A. K Pringgodigdo. t. t: 506). JIB kemudian mengadakan suatu propaganda perluasan anggota dengan cara menghubungi murid-murid MULO dan AMS yang bersimpati. Di Jakarta, sejumlah formulir keanggotaan diedarkan, di luar dugaan 200 pemuda Islam, baik pelajar MULO maupun AMS ataupun tamatan sekolah-sekolah tersebut yang sudah bekerja, menyatakan bersedia menjadi anggota JIB (Ridwan Saidi. 1990: 13). Dalam waktu yang relatif singkat, jumlah anggota sudah meluas sehingga pada tanggal 8 Februari 1925 diadakan pertemuan pertama di Jakarta (semacam rapat terbuka). Efek dari pertemuan tersebut sedemikian besar dan luasnya, sehingga menimbulkan kekhawatiran dari sementara organisasi-organisasi kedaerahan, dan pers Belanda yang tergabung dalam Inheemse pers. Tuduhan yang dilontarkan pers Belanda pada JIB adalah JIB sebagai organisasi politik yang mau memperjuangkan kemerdekaan nasional. Dari tuduhan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kata kemerdekaan nasional masih dihindari, karena pemerintah kolonial Belanda sangat ketat dalam mengawasi organisasi pemuda yang mempunyai arah dan tujuan kemerdekaan nasional (Ridwan Saidi. 1990: 24). Anggota JIB yang berasal dari Jong Java ternyata banyak yang tidak melepaskan keanggotaan Jong Java-nya. Hal tersebut menampik adanya anggapan dari sebagian kalangan bahwa dengan kemunculan JIB tersebut sebagai perpecahan persatuan pemuda. Sementara itu, orang Belanda tidak hanya menyesalkan bahkan menilai sangat negatif atas kehadiran JIB. Hal ini segaris dengan prasangka yang biasa menandai sikap Barat terhadap Timur. Bagi orang Barat, Islam dianggap sebagai masalah yang berbahaya sehingga dipandang dengan penuh curiga dan prasangka. Bahkan Snouck Hurgronje yang di kalangan non-Islam Barat merupakan pakar Islam dan bisa bercerita banyak tentang kebaikan Islam, mendukung politik yang secara sadar ditujukan untuk

83

menyelewengkan perhatian kaum muda dari agamanya sendiri, terutama kaum muda yang mengenyam pendidikan Barat (Darmansyah, dkk. 2006: 14). JIB mulai melakukan perekrutan anggota dan kampanye-kampanye setelah resmi terbentuk. Kampanye pertama dilaksanakan pada 8 Februari 1925 di Batavia. Kampanye itu berhasil menarik anggota sebanyak 250 orang. Kampanye dan perluasan tersebut berlangsung sampai dengan bulan Juni 1925. Kampanye dilanjutkan di Yogyakarta, Surakarta dan Madiun. Dengan usaha keras itu, akhir tahun 1925 JIB memiliki sekitar 1000 orang anggota ditujuh cabang, yaitu di Batavia, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Bandung, Magelang dan Surabaya. Cabang Batavia dan Bandung sudah mempunyai bagian untuk kaum wanita. Cabang Bandung diketuai oleh Wiwoho Purbohadidjojo, ketua Bond Inlandsche Studeerenden (BIS) (Darmansyah, dkk. 2006: 15-16). Sedangkan cabang Surabaya dan Magelang berdiri pada bulan November pada tahun itu juga atas inisiatif pelajar-pelajar setempat yang selama ini melakukan kegiatan yang sejalan dengan tujuan JIB (Ridwan Saidi. 1990: 26). Hanya seminggu setelah pertemuan di Jakarta, maka pada tanggal 15 Februari 1925 di Yogyakarta diadakan rapat terbuka dan pada saat bersamaan juga berdiri cabang Solo dan Madiun. Sampai dengan saat tersebut JIB telah mempunyai empat cabang dan dipandang perlu untuk mendirikan pengurus pusat dengan maksud untuk lebih mengefektifkan perkembangan organisasi yang berkedudukan sementara di Jakarta. Melalui perundingan keempat cabang tersebut maka dibentuk pengurus pusat dengan susunan sebagai berikut: Ketua : R. Sjamsoeridjal Wakil Ketua : Wiwoho Purbohadidjojo Sekretaris I : Syahbuddin Latief Sekretaris II : Hoesin Bendahara I : Soetijono Bendahara II : So’eb Komisaris : 1. Moegni 2. Thoib 3. Soewardi

84

4. Sjamsoeddin 5. Soetan Pelindih 6. Kasman Singodimedjo 7. Mohammad Kusban 8. Soegeng 9. H. Hasim (Ridwan Saidi. 1990: 25). Kampanye-kampanye perluasan organisasi kembali diadakan setelah kepengurusan pusat terbentuk dengan jalan menugaskan beberapa pengurus untuk memperluas pengaruh dan memberikan ceramah pada cabang-cabang yang baru berdiri. Untusan-utusan tersebut terdiri dari Sjahboeddin Latief ke Yogyakarta dan Madiun, Mohammad Koesban ke Solo, Kasman Singodimedjo ke Poerworedjo dan Kutoredjo. Sementara itu Sjam bersama penasehat JIB, H. Agus Salim ke Bandung untuk membentuk JIB di kota tersebut. Kampanye dan perluasan tersebut berlangsung sampai dengan bulan Juni 1925. Sedangkan cabang Surabaya dan Magelang berdiri pada bulan November 1925 atas inisiatif pelajar- pelajar setempat yang selama ini melakukan kegiatan yang sejalan dengan tujuan JIB (Ridwan Saidi. 1990: 25-26). Pada tanggal 15 November 1925 di Gedung Lux Orientis dilangsungkan pertemuan tokoh-tokoh organisasi pemuda untuk membentuk pengurus Kongres Pemuda Pertama, pada saat itu JIB sedang melakukan konsolidasi dan belum mempunyai pengurus yang difinitif. Yang menjadi penggagas pertemuan tersebut adalah Mohammmad Tabrani, anggota Jong Java cabang Jakarta yang bekerja sebagai wartawan Hindia Baro e pimpinan H. Agus Salim, penasehat JIB. Pertemuan itu dihadiri oleh Mohammad Tabrani, Soemarto dan Soewarso (Jong Java). Jong Sumatranen Bond diwakili oleh Bahder Djohan, Djamaluddin dan Sanoesi Pane. JIB sangat antusias untuk mengikuti kegiatan tersebut, sayangnya saat itu JIB belum mempunyai pengurus yang definitif pilihan kongres sehingga tidak dapat mengirimkan wakilnya. Pertemuan di Gedung Lux Orientis tersebut menghasilkan keputusan tentang waktu, tempat dan ketua kongres. Sebagai ketua kongres pemuda pertama adalah Mohammad Tabrani. Untuk mensukseskan kegiatan kongres, Tabrani mendatangi semua organisasi pemuda termasuk JI.

85

Tabrani menemui Wiwoho Purbohadidjojo, wakil ketua JIB dan mengundang JIB untuk turut serta dalam pertemuan antar organisasi pemuda tersebut. Dimana dalam pertemuan tersebut diharapkan dapat dibentuk wadah baru sebagai tempat perkumpulan seluruh pemuda Indonesia. Bagi JIB ajakan tersebut tidak memberatkan sama sekali (Darmansyah, dkk. 2006: 16). Perkembangan JIB pada periode ini juga semakin pesat. Hal tersebut dapat dilihat dari penyelenggaraan kongres dari tahun ke tahun secara teratur yang diselenggarakan oleh JIB. Salah satu usaha konsolidasi organisasi adalah penyempurnaan Anggaran Dasar/Anggaran dan Rumah Tangga (AD/ART) melalui kongres yang diadakan berturut-turut di Yogyakarta (1925), Solo (1926), Yogyakarta (1927), dan Bandung (1928). Keputusan kongres di Bandung mengenai AD/ART dipertahankan sampai bubarnya JIB ketika tentara Jepang masuk. Aktivitas JIB sendiri dari tahun ke tahun dapat diikuti melalui laporan kongres yang telah dilaksanakan (Ridwan Saidi. 1990: 22). Sebulan setelah pertemuan di Gedung Lux Orientis, JIB menyelenggarakan kongres pertama. Berdasarkan keputusan rapat, kongres dilaksanakan pada tanggal 25-27 Desember 1925 bertempat di Jayengprakosan, Yogyakarta. Kongres dihadiri undangan yang mencapai 47 macam organisasi pergerakan di Indonesia (Darmansyah, dkk. 2006: 17). Pada kongres pertama tersebut JIB telah mempunyai anggota 1000 orang yang dibagi atas 7 cabang. Cabang Jakarta dan Bandung mempunyai bagian gadis (A. K. Pringgodigdo. 1994: 121). Kongres juga dihadiri oleh H. O. S. Tjokroaminoto, Agus Salim dan Surjopranoto dari Sarekat Islam turut menghadirinya. Selain itu juga hadir Dwidjosewojo dari Budi Utomo dan Suwardi Suryaningrat, pendiri Taman Siswa. Sementara itu, organisasi Muhammadiyah diwakili oleh H. Fachrudin (Cahyo Budi Utomo. 1995: 125). Pengurus pusat kemudian dipindahkan ke Yogyakarta setelah cabang Bandung dibentuk pada bulan Juni 1925. Akibatnya banyak anggota pengurus pusat yang tidak bisa ikut pindah, sehingga pengurus pusat mengalami perubahan sebagai berikut:

86

Ketua : R. Sjamsoeridjal Wakil Ketua : Wiwoho Purbohadidjojo Sekretaris : dirangkap oleh tim ketua Bendahara : P. Hadisuwignjo Seksi Usaha : Muhammad Koesban Anggota : 1. Sjahboeddin Latief 2. R. Kasman Singodimedjo 3. Soegeng 4. H. Hasjim 5. Puspo Soekardjo 6. Mohammad Sapari Dengan berdirinya pengurus pusat di Yogyakarta, maka cabang Jakarta berdiri dengan ketua Soetiono, mantan bendahara pengurus pusat sebelum pindah ke Yogyakarta. Sampai saat itu cabang Jakarta adalah cabang terbesar dari segi jumlah anggota, cabang ini senantiasa mendapat bimbingan dari H. Agus Salim (Ridwan Saidi. 1990: 26). Dalam kongres pertama tersebut juga disepakati tujuan dari organisasi JIB sebagai berikut: a. Mempelajari dan mendorong hidupnya kembali agama Islam; b. Memupuk dan menumbuhkan simpati terhadap pemeluk agama Islam dan pengikutnya di samping toleransi terhadap golongan lain; c. Menyelenggarakan kursus-kursus agama Islam, darmawisata, olah raga dan seni dengan menggunakan agama Islam sebagai alatnya; d. Meningkatkan kemajuan jasmani dan rohani anggotanya dengan jalan menahan diri dan sabar (Tim Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 35). Sebagai organisasi yang memiliki tujuan-tujuan seperti di atas maka melalui kongresnya yang pertama tersebut JIB lebih menekankan kegiatan-kegiatannya pada studi Islam sebagai langkah utama untuk menaati peraturan-peraturan dan ajaran-ajaran Islam (Iin Nur Insaniwati. 2002: 18).

87

JIB dalam pergerakannya merupakan organisasi yang tidak melakukan kegiatan politik. Hal tersebut tampak pada tujuan organisasi JIB dalam kongres pertamanya dan pidato Sjamsoeridjal mengenai sikap JIB terhadap politik: ...Pada kursus-kursus, cerama-ceramah dan debat-debat yang kami selenggarakan, akan diusahakan sejauh mungkin meningkatkan pengertian tentang politik, terutama dari sudut Islam. Tetapi JIB tidak akan ikut aksi politik. Anggota-anggota kami pun tidak akan terjun dalam dalam bidang politik atas nama organisasi. Tetapi JIB tidak melarang para anggotanya yang secara sah dapat ikut dalam gelanggang politik... (Ridwan Saidi. 1990: 17).

Setelah diadakan kongres pertama tersebut JIB mengaharuskan para anggotanya untuk mempelajari dan mengkaji ajaran-ajaran Islam. Islam sekarang dianggap lebih dari sekedar bahasa solidaritas sosial, dianggap menjadi landasan kerja bagi aksi sosial-politik. Dengan pengalamannya menyaksikan perbenturan wacana antara para intelektual Muslim dan sekuler dari generasi yang lebih tua, para pelajar ini menemukan suatu model bagi perumusan ideologi mereka (Yudi Latif. 2005: 308). Namun perlu diingat bahwa gagasan tentang solidaritas Islam bagi para anggota JIB tidak bertentangan dengan ide mengenai solidaritas nasional dan tidak mengurangi keterikatan mereka pada tujuan pembentukan kelompok nasional. Jadi, solidaritas Islam dalam konteks ini disuarakan sebagai sebuah cara untuk mendukung ide mengenai identitas kolektif di tengah-tengah persaingan ideologi politik di antara beragam aliran intelektual. Menurut Mohammad Roem, dalam menjadi seorang Muslim, seseorang harus mencintai tanah airnya karena hal ini merupakan bagian hakiki dari keyakinan Islam (Mohamad Roem dan Kustiniyati Mochtar. 1989: 131). JIB membangun dua prasarana yang kelak mempunyai nilai strategis dalam pembinaan generasi, yaitu dengan menerbitkan majalah Al-Nur atau Het Licht sebagai majalah cendekiawan Islam pertama di Indonesia pada bulan Maret 1925 dan mendirikan National Indonesische Padvinderij (NATIPIJ) sebagai organisasi pandu nasional Indonesia (Ridwan Saidi. 1990: 19). Selain itu, JIB juga mempunyai bagian wanita yaitu Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling (JIBDA) (A. K Pringgodigdo. t. t: 506). Kursus-kursus agama Islam segera menjadi salah

88

satu ciri aktivitas cabang-cabang JIB. Cabang Jakarta mendirikan gerakan kepanduan dan pengurus JIB bagian putri (Ridwan Saidi. 1990: 27). Het Licht mulai diterbitkan sejak bulan Maret 1925, dua bulan setelah JIB didirikan. Majalah ini menjadi media komunikasi yang sangat efektif, bukan hanya untuk kalangan anggota JIB saja tetapi juga di luar JIB. Het Licht terbit secara teratur sampai tahun 1931 dan masih bertahan terus sampai dibubarkannya JIB oleh tentara penduduk Jepang pada tahun 1942. Ide kelahiran Het Licht sebenarnya dimulai pada tangal 21-22 Februari 1925, pada suatu malam di bawah sinar lampu minyak yang remang-remang di sebuah gedung sekolah Adhi Darmo Yogyakarta oleh Soeryopranoto, Tjokro Aminoto, Mohammad Koesban, H. Hasim dan Soegeng. Tujuan diterbitkannya majalah JIB tersebut adalah untuk menyebar luaskan ide dan gagasan JIB, tidak saja dikalangan angota tetapi juga untuk kaum intelek Indonesia lain yang masih menuntut ilmu di sekolah. Fokus utama dari majalah ini adalah kaum pelajar. Majalah JIB ini dicetak pada percetakan Muhammadiyah Yogyakarta dan dibagikan secara cuma-cuma untuk para anggota dan penasehat JIB. Sebagian lagi dijual kepada umum (Ridwan Saidi. 1990: 27). Haji Agus Salim dalam kongres pertama JIB tersebut menyatakan bahwa Sebenarnya JIB merupakan terlaksananya idaman hati Haji Agus Salim. Bantuan dan dukungannya kepada JIB semata-mata sebagai kewajiban orang Islam yang sanggup membantu kaumnya. Di samping itu Haji Agus Salim juga sangat bersyukur dengan lahirnya JIB karena sudah menjadi bukti kemajuan kebebasan dari para anggotanya. Dipujinya JIB karena berorientasi kepada kepribadian dan jiwa bangsa sendiri yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Inilah yang dianggap oleh Haji Agus Salim sebagai keluar biasaan dari JIB (Mukayat. 1985: 49). Dua kongres berikutnya (Desember 1926 dan 1927) membicarakan hal- hal yang bertalian dengan agama Islam antara lain Islam dan pandangan dunia, perkembangan Islam di luar negeri, Islam dan pikiran merdeka, ethik perang dalam Islam, Islam dan cita-cita persatuan, kebangsaan dan sosialisme, perempuan dalam Islam dan lainnya. Mengenai poligami yang ditentang oleh

89

kaum nasionalis diterangkan bahwa bukan peraturannya yang jelek, tetapi pelaksanaannya yang kurang baik (A. K. Pringgodigdo. t. t: 506). Kongres ke-2 diadakan di Surakarta pada tanggal 24-26 Desember 1926. Dalam kongres itu terlihat sekali sekali arah JIB yang ingin mendorong anggota- anggotanya agar mempelajari agama Islam sesuai dengan asas dan tujuan organisasi. Sementara itu pada kongresnya yang ke-3, yang diadakan di Yogyakarta pada tanggal 23-27 Desember 1927, tema yang menonjol dalam ceramah-ceramahnya adalah mengenai permasalahan umum yang dihadapi umat Islam. Termasuk di dalam hal ini cita-cita persatuan dan nasionalisme. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa JIB, sekalipun merupakan organisasi yang berdasarkan pada suatu agama, tetapi dapat berasimilasi secara ideologis dengan organisasi pergerakan yang ada pada saat itu (Cahyo Budi Utomo. 1995: 125). Dalam penutupan kongres ketiga tersebut ketua Wiwoho menerangkan bahwa JIB tidak dapat ikut dalam fusi yang diusulkan PPPI, yaitu Indonesia Muda, karena JIB hendak tetap berdasarkan agama Islam. Ini tidak berarti bahwa JIB tidak mendukung cita-cita Indonesia Raya. Pidato-pidato dalam kongres ke-4 (Desember 1936) juga menyatakan hal itu (cinta tanah air dan bangsa dalam Islam, Islam dan kemajuan, agama dan politik) (A. K Pringgodigdo. t. t: 506). Pada kongres ke-4 JIB di Bandung, 22-25 Desember 1928, dibahas secara khusus tentang nasionalisme (Darmansyah, dkk. 2006: 52). Salah seorang aktivis JIB Bandung Mohammad Natsir dikemudian hari menjadi perdana menteri RI (Darmansyah, dkk. 2006: 16). Mohammad Natsir merupakan salah satu tokoh JIB yang paling vokal. Di samping mengasah pemikiran tentang hal-hal politik dan ideologi, termasuk nasionalisme menurut Islam melalui kegiatan diskusi dan debat. Di lingkungan JIB, Natsir juga memberi ceramah dan pelajaran agama Islam dan itu disampaikan dalam bahasa Belanda agar mendapat perhatian dari para pemuda-pemudi yang merasa dirinya kaum intelektual dan kaum terpelajar (Jan S. Aritonang. 2005: 182). Mohammad Natsir mulai aktif dalam JIB sejak menjadi siswa MULO di Padang dan kemudian diteruskannya di AMS Bandung. Aktivitas dalam JIB menjadi sangat penting karena dua hal, yaitu pertama, JIB telah menjadi suatu perkumpulan yang mempunyai ikatan tersendiri bagi pemuda-

90

pemuda yang mempunyai latar belakang Islam yang menempuh pendidikan Barat. Kedua, JIB juga menjadi sebuah tempat yang mengajarkan nilai-nilai demokrasi (Lukman Hakiem. 2008: 124). Tujuan JIB didirikan adalah untuk memajukan pengetahuan tentang Islam, hidup secara Islam dan persaudaraan secara Islam (Jan S. Aritonang. 2005: 181). Selain itu, pendirian JIB juga bertujuan untuk memperkuat persatuan di kalangan pemuda muslimin. Keanggotaannya terbuka bagi para pemuda Islam yang berumur antara 14-30 tahun. Walaupun ada pembatasan umur, organisasi yang dibentuk itu tidak hanya terbatas bagi para pelajar saja, tetapi juga bagi mereka yang sudah menyelesaikan sekolah. Secara formal organisasi ini tidak bergerak dalam bidang politik, tetapi anggotanya yang telah berumur 18 tahun ke atas diperbolehkan mengikuti kegiatan-kegiatan politik (Cahyo Budi Utomo. 1995: 124). Sedangkan tujuan JIB yang menyangkut masalah wanita yaitu JIB harus memperhatikan pembinaan remaja putri dan kaum wanita umumnya di lingkungan kaum intelek. JIB sangat menaruh perhatian pada persamaan hak dan kewajiban di antara kaum laki-laki dengan wanita, sesuai dengan ajaran Islam. Pandangan tentang wanita sangat ditekankan mengingat kondisi kaum wanita pada saat itu (tahun duapuluhan) sangat direndahkan. Dikemudian hari aktivitas JIB bagian putri dititik beratkan pada yang terakhir ini, melalui usaha-usaha penyadaran dengan jalan kursus dan tablig. Sasaran utama mereka adalah pencegahan pernikahan di bawah usia 14 tahun. Dikemukakan oleh Sjam bahwa JIB akan mengebangkan organisasi putri sejalan dengan aktivitas anggota pria (Ridwan Saidi. 1990: 22-23). Disela-sela aktivitas JIB yang demikian pesatnya, di luar sedang bergelora semangat kebangsaan dan suasana pergerakan politik ketika itu mengarah pada persatuan bangsa. Sumbangan JIB dalam mendorong organisasi pemuda agar bersatu, tidaklah sedikit. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa lahirnya JIB telah menimbulkan kegelisahan di kalangan organisasi pemuda kedaerahan, karena JIB mampu mempersatukan berbagai pemuda dari semua lapisan dan asal kesukuan serta cabang-cabangnya telah dibuka di luar Jawa, seperti Sumatra, Sulawesi dan kepulauan lainnya (Ridwan Saidi. 1990: 28).

91

Dalam perkembangan pergerakan JIB selanjutnya, komitmen JIB untuk menjalin persatuan dengan organisasi pemuda lain ditunjukkan dengan keikutsertaan JIB dalam Kongres Pemuda Pertama yang dilaksanakan pada tanggal 30 April-2 Mei 1926. Pada Kongres Pemuda Pertama tersebut JIB diwakili oleh Emma Poeradiredja, ketua JIB Dames Afdelling cabang Bandung (Tim Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 321). Pada kesempatan tersebut JIB berupaya untuk menunjukkan gagasan persatuan pergerakan pemuda. Hal ini sesuai dengan tujuan Kongres Pemuda Pertama untuk menggugah semangat kerjasama di antara berbagai macam organisasi pemuda pelajar di Indonesia supaya dapat diwujudkan pokok-pokok untuk lahirnya persatuan Indonesia di tengah bangsa-bangsa di dunia (Darmansyah, dkk. 2006: 20). Kongres ini tidak diakui oleh organisasi pemuda yang ada dengan berbagai alasan. Salah satu alasan penolakan tersebut adalah kepanitiaannya dilakukan individu-individu yang latar belakang organisasinya tidak begitu kuat dan jelas. Sementara itu bahasa yang digunakan sebagai pengantar selama rapat-rapat adalah bahasa Belanda (Koentjara Purbopranoto. 1987: 314). Perdebatan tentang fusi dan federasi terus berlangsung setelah Kongres Pemuda Pertama. Masing-masing pihak mempertahankan pendapat dan keinginannya. Atas inisiatif Jong Java maka pada tanggal 15 Agustus 1926 diadakan National Conferentie di Jakarta yang dihadiri oleh wakil-wakil dari Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Sekar Roekoen, Jong Bataks Bond, Jong Minahasa, Vereeniging voor Ambonsche Studeerenden, Jong Islamieten Bond cabang Jakarta dan Komite Kongres Pemuda Pertama. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan untuk membentuk sebuah organisasi tetap, Jong Indon esia (Pemuda Indonesia), yang akan mendampingi organisasi pemuda yang ada dengan tujuan ”Memajukan dan membuktikan Indon esische eenheidagedachte, menguatkan ikatan persatuan antara perkumpulan-perkumpulan pemuda” (Sekar Roek oen. No. 4. April 1929 dalam Darmansyah, dkk. 2006: 21). Adanya ketidaksepakatan di kalangan pemuda menghalangi lahirnya Jong Indonesia. Dalam rapat tanggal 20 Februari 1927 yang dihadiri oleh Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Sekar Roekoen, Jong Bataks Bond, Jong Minahasa,

92

Jong Ambo n, Jong Islamieten Bond dan PPPI mengemukakan beberapa pendapat. Fusi ternyata lebih dikehendaki daripada badan kotak seperti yang diputuskan dalam rapat 15 Agustus 1926. Badan kontak hanya akan mendekatkan para pemimpin perkumpulan pemuda dan tidak organisasi secara keseluruhan (Darmansyah, dkk. 2006: 21). Dengan diputuskannya cita-cita persatuan Indonesia sebagai cita-cita bersama dan kemerdekaan Indonesia maka banyak perkumpulan yang menentang JIB ikut serta dalam badan kontak karena JIB dalam pergerakannya hanya dianggap berdasarkan agama. Untuk memasyarakatkan gagasan persatuan di kalangan JIB maka pada Kongres ke-3 JIB yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 23-27 Desember 1927, gagasan persatuan dibahas secara khusus. Dalam kongres JIB menyatakan sikap akan tetap konsisten dalam perjuangan bangsa, tetapi JIB tetap tidak akan fusi dengan organisasi pemuda lain yang tidak seasas (Islam) (Tim Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 231). JIB merupakan pendukung cita-cita persatuan Indonesia sehingga tidak mengherankan jika JIB ikut mengirim utusan ke dalam panitia Kongres Pemuda II di Jakarta pada Agustus 1928 (Ridwan Saidi. 1990: 5). Karena disadari betapa pentingnya pelaksanaan Kongres Pemuda II, peserta pertemuan sepakat bahwa pelaksanaan kongres akan diadakan pada tanggal 27-28 Oktober 1928 (Darmansyah, dkk. 2006: 24). Johan Mohammad Tjaja sebagai wakil dari JIB ikut menandatangani naskah Sumpah Pemuda yang dirumuskan pada tanggal 28 Oktober 1928. Di sinilah kelebihan JIB, karena JIB mampu memadukan pemikiran Islam dan nasionalisme dalam satu bentuk yang sangat dinamis. Selain melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan kebangsaan yang diadakan oleh kelompok nasionalis, JIB juga aktif dalam berbagai wadah keislaman (Ridwan Saidi. 1990: 5). Dalam kesempatan Kongres Pemuda II tersebut Ma’mun Ar- Rasjid dari JIB menyampaikan pidato pembukaan yang menyatakan akan berusaha mempersatukan dan menumbuhkan cinta tanah air. Wakil JIB lainnya, Emma Puradiredja menyatakan simpatinya terhadap kongres dan menganjurkan kepada kaum wanita untuk turut aktif dalam pergerakan, tidak hanya bicara, tetapi harus dengan perbuatan (Darmansyah, dkk. 2006: 28-29).

93

Salah satu keistemewaan dari Kongres Pemuda II adalah bahwa pada setiap ceramah akan digunakan bahasa pengantar dari bahasa sendiri. Jadi tidak menggunakan bahasa pengantar bahasa Belanda sebagaimana yang dilakukan pada kongres yang pertama dulu. Peristiwa itu menjadi istimewa karena pada waktu itu bahasa Belanda masih digunakan sebagai bahasa pengantar. Oleh karena itu, dengan digunakannya bahasa sendiri (bahasa Melayu) selain menunjukkan adanya keberanian dari para pemuda pada waktu itu untuk tidak menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, juga menunjukkan keinginan untuk mengangkat bahasa sendiri sebagai bahasa pengantar dalam aktivitas kehidupan bangsa Indonesia pada waktu itu (Cahyo Budi Utomo. 1995: 142). Masalah yang menjadi pembicaraan setelah Kongres Pemuda II adalah masalah fusi dan federasi di antara organisasi-organisasi pemuda pergerakan. Sebagian organisasi menghendaki fusi sedangkan sebagian lagi menghendaki federasi. Kelompok yang mempelopori fusi dimotori oleh mahasiswa Rechtshoogeschool yang tergabung dalam Perhimpu na n Pelajar-pelajar Indo nesia (PPPI). Sedangkan kelompok yang menginginkan federasi dimotori oleh JIB (Darmansyah, dkk. 2006: 32). Pasca Kongres Pemuda Kedua setidaknya terdapat 3 organisasi pemuda yang menyetujui diadakannya fusi, yaitu Jong Java, Jong Sumatranen Bond dan Pemuda Indonesia yang kemudian ketiga organisasi tersebut tergabung dalam suatu fusi, yaitu Indonesia Muda (IM). Menanggapi masalah fusi tersebut JIB tetap berpegang pada hasil Kongres ke-3 JIB di Yogyakarta, “Fusi dan pandangan Indonesia tidak lagi menjadi persoalan, kesatuan Indonesia sebaiknya dicapai dengan cara Islam“ (Darmansyah, dkk. 2006: 33). JIB adalah organisasi pertama kali yang mencetuskan pandangan kesatuan Indonesia. Hal ini terbukti dari cabang-cabang di luar Jawa, kerjasama persaudaraan antara orang Jawa, Minangkabau, Palembang dan lainnya dalam organisasi JIB. Baik memiliki hak dan kewajiban yang sama, semuanya demi kemajuan seluruh umat Islam Indonesia. Dalam gerakan pemuda, pertentangan semakin mengarah pada konflik antara organisasi-oganisasi pemuda nasionalis di satu sisi dan JIB di sisi lain. Kelompok Pemuda Indonesia terdiri dari

94

Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda dan organisasi pelajar yang lebih kuat, PPPI di Hindia-Belanda. Para tokoh organisasi-oganisasi pemuda nasionalis antara lain tokoh PNI, Mr. Sartono dan Sunario. Tokoh-tokoh organisasi tersebut hanya berpandangan nasionalis Indonesia dan secara resmi netral terhadap Islam atau bahkan memusuhi seperti para tokoh nasionalis PNI. Pemuda Indonesia pada saat itu masih didominasi oleh orang Jawa dalam kepemimpinannya. Ideologi yang menjadi landasan aksinya sangat khas Jawa (Darmansyah, dkk. 2006: 38). Pergerakan JIB didasarkan atas unsur Muslim dan nasionalis Indonesia namun atas dasar Islam. Dasar pandangan agama telah memberi kepastian prinsip seperti Pemuda Indonesia dengan ideologi nasionalisnya yang kuat. Karenanya mereka sangat bertentangan dengan semboyan pada masa itu. Kenyataan bahwa organisasi ini telah mempunyai pengurus untuk 5 tahun yang sama juga sangat berguna bagi kepastian prinsip mereka. Meskipun kepemimpinan arah dikuasai oleh orang Jawa (Wiwoho sebagai ketua, Sugeng sebagai sekretaris, Sjamsoeridjal sebagai bendahara), suku lain (Minangkabau, Bengkulu) juga memainkan peranan yang jauh lebih besar dalam organisasi JIB daripada yang terjadi dengan Pemuda Indonesia. Adanya ikatan agama dalam JIB mengakibatkan ikatan persaudaraan yang jauh lebih luas daripada perjuangan kesatuan nasional. Mungkin hal ini juga pengaruh dari tokoh Minangkabau, Agus Salim, yang tampil sebagai penasihat ikut membantu dalam hal ini (Darmansyah, dkk. 2006: 39). Sikap JIB terhadap Indonesia Muda disesuaikan dengan pasal 2 Anggaran Dasar JIB pasal 2 b tentang maksud JIB, Berdaya upaya, menerbitkan, mendidik dan memajukan perasaan keislaman di antara anggota-anggotanya dan mengadakan dan mengekalkan perasaan persaudaraan dengan pemeluknya, sambil bersikap sabar, menurut faham Islam terhadap orang-orang yang berkeyakinan lain (Het Licht. No. 1. Maret 1930: 3 dalam Darmansyah, dkk. 2006: 39).

JIB hanya mendukung fusi atas dasar Islam, jiwa yang lunak dan setia pada kongres serikat ini yang berhasil nampak di sini adalah pernyataan suka dibandingkan sikap benci dari kaum nasionalis ekstrim. Penolakan dari kubu nasionalis PNI dan setiap usaha JIB digunakan sebagai pembiakan bibit bagi

95

organisasi nasionalis atau untuk menyerahkan kepada politik. Kasman menyatakan atas nama JIB dalam kongres PSII di Batavia bahwa orang tidak perlu ragu-ragu untuk mengikuti penasehat kehormatan Agus Salim, apabila Agus Salim mengusulkan untuk berjuang dalam bidang politik. Akhirnya keseimbangan yang dibentuk oleh JIB terhadap aksi pemuda yang dijiwai oleh semangat PNI, memberikan alasan untuk menunjukkan sikap yang lebih lunak terhadap JIB daripada yang sering muncul sampai saat itu (Darmansyah, dkk. 2006: 40-41). Perkembangan JIB pada tahun 1928 cukup pesat. Pada tahun 1928 berdiri cabang , , Pekalongan, Banjarmasin, Makasar dan Palembang. Cabang Medan yang telah dibubarkan kembali dibentuk. Jumlah keseluruhan cabang mencapai 20 cabang dengan jumlah anggota sekitar 2.000 orang. Jumlah itu setara dengan jumlah Jong Java, perkumpulan pemuda tertua dan terbesar. Berkat kegiatan JIB dalam Islam Studie Club maka banyak cendekiawan Muslim muda yang tercegah meluncur jauh dari ajaran-ajaran Islam, sementara mereka tetap tekun menuntut ilmu pegetahuan (Darmansyah, dkk. 2006: 23).

2. Masa Perkembangan Pergerakan Jong Islamieten Bond JIB sebagai sebuah organisasi pemuda pelajar Islam berusaha menghimpun seluruh pemuda pelajar Islam dalam organisasinya. Dalam usahanya tersebut JIB mengalami proses dari organisasi pelajar yang kecil menjadi organisasi pelajar yang besar. Pada masa kepemimpinan Kasman Singodimedjo (1929-1935), JIB mengalami dua hal penting dalam catatan sejarah suatu organisasi yaitu masa kejayaan dan mulai menapaki masa surutnya. Pada awal masa kepengurusan Kasman hasil dari kongres ke-5 JIB pada tahun 1929, kondisi organisasi JIB sudah mapan, baik intern maupun ekstern. Oleh karena itu, tugas yang paling penting menurut Kasman adalah bagaimana organisasi ini semakin berkembang. Atas usaha Kasman pada kongres ke-6 bulan Desember 1930 di Batavia (Jakarta) dilaporkan bahwa cabang JIB bertambah menjadi 34 cabang yang tersebar di lima pulau yaitu Jawa, Sumatra, Kalimantan,

96

Sulawesi dan Bali. Kasman juga berhasil menetapkan status JIB Dames Afdeling (JIBDA) yaitu JIB bagian wanita (Darmansyah, dkk. 2006: 68). Tahun tiga puluhan JIB tetap menjauhkan diri dari panggung politik. Berbeda dengan Indonesia Muda yang membiarkan dirinya terilhami politik seperti PNI Baru dan Partindo (Darmansyah, dkk. 2006: 41). Meskipun demikian JIB tetap bercita-cita untuk mencapai Indonesia merdeka dan memiliki jiwa kebangsaan, terbukti dalam pidato yang diberikan dalam kongres ke-6 pada tanggal 24-28 Desember 1930 di Jakarta yang berisikan tentang cinta tanah air dan bangsa dalam Islam. Ceramah-ceramah lain dalam kongres tersebut adalah tentang Islam dan kemajuan agama oleh H. Agus Salim. Usaha yang dipentingkan adalah agar kaum intelek tetap memeluk agama Islam. Di dalam gerakan pemuda Islam JIB sering menjadi organisasi penggerak (Tim Museum Sumpah Pemuda. 2006: 97). Melihat kinerja Kasman yang berhasil meluaskan keanggotaan JIB, maka pada kongres ke-7 di Madiun bulan Desember 1931, Kasman terpilih kembali sebagai ketua JIB. Selama satu tahun kepengurusannya berbagai kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan keputusan kongres, salah satunya adalah pendirian sekolah-sekolah HIS di cabang-cabang JIB (Darmansyah, dkk. 2006: 69). Pada bulan Oktober 1931 JIB membangun sekolah HIS yang bertempat di Tegal dan di bulan November tahun itu juga dibuka lagi sekolah HIS di Tanah Tinggi, Batavia. JIB bahkan merencanakan membangun percetakan (Ridwan Saidi. 1990: 31). Namun pada kongres tersebut Central Bestuu r (CB) NATIPIJ berkeinginan untuk melepaskan diri dari JIB. NATIPIJ yang pada waktu itu dipimpin oleh Mohammad Roem dan Azran sebagai sekretaris, mulai menyadari bahwa JIB tidak lagi menaruh perhatian pada kegiatan pelajar, sehingga para tokoh NATIPIJ tersebut berpendapat bahwa organisasi kepanduan sebaiknya berdiri sendiri, lepas kaitannya dengan organisasi apapun (Ridwan Saidi. 1990: 33). Pada tahun 1932 JIB memasuki masa keemasannya dengan jumlah anggota mencapai 4.000 orang yang tersebar di 55 cabang. Hampir di seluruh kepulauan yang tersebar di Indonesia bendera JIB berkibar, mulai dari Aceh

97

sampai Ambon. Dari segi jumlah anggota dan cabang JIB berhasil mengalahkan Indo nesia Muda (IM). Indonesia Muda adalah organisasi yang dibentuk apada tahun 1930, hasil dari peleburan organisasi-organisasi pemuda seperti Jong Java, Pemuda Sumatra, Pemuda Indonesia, Jong Celebes dan Sekar Rukun. Pada tahun 1932 Indonesia Muda mempunyai 25 cabang dan 17 cabang keputrian serta jumlah anggota sebanyak 2.393 orang. Hal tersebut menunjukkan bahwa betapa besar dan kuatnya pengaruh Jong Islamieten Bond di kalangan pemuda pelajar Indonesia (Darmansyah, dkk. 2006: 69-70). Di balik kemajuan pesat yang dialami JIB, ternyata di dalam tubuh JIB itu menyimpan bara api konflik. Tedapat pemikiran baru bagi sebagian kalangan di JIB yang menganggap bahwa agama tidak dapat dijadikan sebagai sandaran dalam mencapai cita-cita (politik, kemerdekaan). Selain itu juga munculnya rasa ketidakpuasan karena JIB dianggap tidak tegas dan tidak menjalankan AD dan ART. Hal yang semakin memperuncing permasalahan adalah hilangnya rasa kebersamaan karena adanya persaingan yang tajam antara pengurus JIB dan pengurus bawahannya untuk memperebutkan kedudukan dalam organisasi (Darmansyah, dkk. 2006: 70). Bibit-bibit perseteruan pun juga mulai muncul antara NATIPIJ dan JIB. Dalam NATIPIJ, Mohammad Roem berperan sebagai salah satu pemimpinnya. Kendati hubungan antara NATIPIJ dan JIB sangat erat, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, di antara keduanya terjadi perbedaan pendapat. JIB menghendaki agar NATIPIJ tunduk terhadap JIB sebab NATIPIJ adalah bagian dari JIB. Sementara itu, pada kongres ke-7 JIB di Malang, NATIPIJ berkeinginan memisahkkan diri dari JIB. Mohammad Roem (ketua NATIPIJ) dan Azran (Sekretaris NATIPIJ) memandang JIB sudah tidak mampu lagi membina NATIPIJ, karena kepemimpinannya sudah mulai lemah (Iin Nur Insaniwati. 2002: 18-19). Mereka mulai menyadari bahwa JIB tidak lagi menaruh perhatian pada kegiatan pelajar sehingga mereka berpendapat bahwa organisasi kepanduan seyogyanya independent, terlepas kaitannya dari organisasi apapun (Ridwan Saidi. 1990: 33). JIB mengemukakan alasannya dengan bersumber pada Anggaran Dasar Jong Islamieten Bond (AD JIB) yang mengatakan bahwa NATIPIJ adalah

98

organisasi di bawah koordinasi dari JIB sehingga NATIPIJ harus tunduk kepada segala aturan dari JIB. Persoalan tuntutan NATIPIJ itu diselesaikan di dalam kongres ke-7 JIB di Madiun (Darmansyah, dkk. 2006: 72). Kongres ke-7 JIB menghasilkan keputusan NATIPIJ tidak boleh lepas dari JIB. Peserta kongres menyatakan, ”Langkah-langkah yang ditempuh pengurus NATIPIJ dalam menggalang dukungan dari cabang-cabangnya agar NATIPIJ melepaskan diri dari JIB adalah tindakan tidak baik dan dapat memecah belah organisasi”. Sebagian dari anggota kongres menuntut agar pengurus NATIPIJ dipecat dari jabatannya. Namun, berdasarkan pertimbangan kebaikan organisasi dan pengurus NATIPIJ adalah kader-kader JIB juga, maka kongres akhirnya memutuskan untuk mema’afkan pengurus NATIPIJ dengan catatan tidak akan mengadakan lagi kegiatan-kegiatan untuk mempengaruhi cabang-cabang NATIPIJ agar lepas dari JIB. Namun di Jakarta, Mohammad Roem masih mengadakan aksi mempengaruhi cabang-cabang NATIPIJ. Ternyata kegiatan serupa dilakukan juga oleh pengurus NATIPIJ lainnya pada cabang-cabang yang berada di bawah pengaruh masing-masing tokoh NATIPIJ tersebut (Darmansyah, dkk. 2006: 72-73). Pemikiran tersebut tidak dapat diterima oleh pemimpin JIB yang pada waktu itu dipegang oleh Kasman Singodimedjo dan karena pimpinan NATIPIJ bepegang keras pada pendirianya, maka pada tahun 1932 pimpinan JIB memecat pengurus NATIPIJ, salah satunya Mohammad Roem (Iin Nur Insaniwati. 2002: 19). Konflik dalam tubuh JIB mengakibatkan pada kongres ke-8 bulan Juni 1933, Kasman secara formal menyangkal tuduhan terhadap Pengurus Besar JIB yang dianggap tidak menjalankan AD dan ART organisasi. Sebagai wujud nyata dari pembelaan itu, maka pada kongres terebut diputuskan untuk menghidupkan Badan Studi Organisasi. Di dalam kongres itu pula para peserta dengan tegas mendukung kebijaksanaan Kasman. Kepercayaan para peserta kongres itu menempatkan Kasman kembali memimpin organisasi JIB untuk periode satu tahun berikutnya (Darmansyah, dkk. 2006: 71). Setelah masalah NATIPIJ dianggap selesai, bukan berarti konflik dalam tubuh JIB mereda. Kenyataannya, Pengurus Besar JIB tetap kewalahan menangkal terpaan isu dan tuduhan serta

99

kritik apalagi setelah kongres ke-8 di Tegal, timbul rasa ketidakpuasan dari pihak- pihak yang kalah dalam persaingan di kongres (Darmansyah. 2006: 73). Keputusan untuk membentuk Badan Studi Organisasi bukan berarti segala rongrongan dan tindakan oposisi terhadap kepemimpinan Kasman berakhir. Namun figur seorang Kasman tetap dipercaya dan diterima di dalam organisasi. Sehingga pada kongres ke-9 di Semarang bulan Oktober 1934, Kasman kembali terpilih menjadi ketua umum JIB dan baru tergantikan pada kongres JIB ke-10 yang diselenggarakan di Malang, tahun 1935. Figur ketua umum JIB pengganti Kasman adalah Nur Arifaini (Darmansyah, dkk. 2006: 71). Kasman Singodimedjo yang terpilih pada Kongres ke-5 JIB pada tahun 1929 menggantikan Wiwoho purbohadidjojo, menduduki jabatan ketua sampai kongres JIB ke-10 di Malang pada tahun 1935 (Ridwan Saidi. 1990: 32). Di tengah konflik dalam tubuh JIB yang masih membara muncul tantangan dari luar organisasi dengan munculnya organisasi-organisasi saingan JIB, seperti Studenten Islam Studieclub (SIS) yang berdiri pada bulan Desember 1934. SIS dipelopori oleh Jusuf Wibisono dan Mohammad Roem mantan tokoh JIB yang dipecat. Adanya serangan yang bertubi-tubi membuat JIB tidak bisa mencegah proses kemundurannya secara pelan-pelan. Apalagi setelah kedudukan Pengurus Besar JIB dipindahkan ke Semarang, kota yang jauh dari pusat aktivitas kalangan pergerakan pemuda pelajar. Dengan demikian, sejak tahun 1935 itulah secara drastis organisasi JIB mulai menapaki masa surutnya (Darmansyah, dkk. 2006: 74).

3. Masa Akhir Pergerakan Jong Islamieten Bond Terdorong oleh perkembangan keadaan di luar dirinya, kegiatan JIB telah berkembang sedemikian lebar dan luas sehingga menimbulkan akibat sulitnya melakukan koordinasi. JIB tidak hanya mengkhususkan diri pada pembinaan pelajar dan mahasiswa, tetapi juga bergerak menjadi semacam organisasi sosial, sampai-sampai JIB mendirikan sekolah, badan usaha dan percetakan. Hal ini dapat dimaklumi karena para pemimpin JIB semakin tua, bukan hanya dalam pengertian usia saja, tetapi juga dalam pemikiran dan bahkan

100

secara fisik banyak di antara para anggota JIB yang sudah tidak dapat lagi dikatakan sebagai pemuda dalam arti yang sebenarnya. Seperti diketahui bahwa JIB adalah oganisasi pemuda yang beranggotakan pelajar sekolah menengah dan mahasiswa. Klasifikasi keanggotaan yang demikian, menyulitkan pembatasan umur secara kongrit. Di samping itu jumlah anggota JIB yang berasal dari mahasiswa semakin surut dan JIB tidak lagi mengarahkan perhatiannya pada kegiatan membina intelektual. JIB lebih terpengaruh pada semangat kebangsaan yang sedang berkobar ditahun 30-an (Ridwan Saidi. 1990: 30-31). Selain itu adanya kepemimpinan yang dipimpin oleh orang yang sama selama beberapa periode kepemimpinan, lamanya pimpinan dalam satu tangan tidak saja melemahkan sistem pengkaderan organisasi, tetapi juga menyebabkan pemikiran pimpinan semakin mandeg. Pada tahun-tahun berikutnya perkembangan JIB mengalami kemunduran yang ditandai dengan munculnya berbagai konflik intern dengan NATIPIJ dari JIB, kemudian menyusul lahirya Studenten Islam Studieclub (SIS). Menyangkut masalah keanggotaan JIB, tidaklah mengherankan jika JIB mendapat kritik dari berbagai kalangan yang menaruh perhatian pada pembinaan pelajar dan mahasiswa. Kritik yang keras datang dari pencetus JIB itu sendiri yakni Sjam dan kawan-kawannya, melalui majalah MUSTIKA yang terbit pada tahun 1931. Sjam menulis artikel yang mengecam keras kepengurusan Kasman Singodimedjo yang menurut pengamatannya menjadi sebab kemunduran JIB. Kasman Singodimedjo yang terpilih pada Kongres ke-5 JIB pada tahun 1929 menggantikan Wiwoho purbohadidjojo, menduduki jabatan ketua sampai kongres JIB ke-10 di Malang pada tahun 1935. Kasman yang lahir pada tanggal 25 Februari 1904, ketika meninggalkan kursi ketua pengurus pusat JIB telah berusia 31 tahun. Suatu usia yang cukup tua untuk memimpin organisasi pemuda pada waktu itu, karena tokoh-tokoh organisasi pemuda pada saat itu rata-rata berumur di bawah 30 tahun. Sebenarnya usia tersebut belum terlalu tua untuk ukuran organisasi seperti HMI maupun PMII (Ridwan Saidi. 1990: 32). Kritik lainnya datang dari pengurus NATIPIJ yang menganggap kebijakan Kasman dalam pendirian sekolah HIS telah keluar dari rel organisasi. Atas nama pengurus

101

NATIPIJ, M. Azran dan Mohammad Roem berpendapat bahwa NATIPIJ sebagai wadah bagi pelajar-pelajar yang belum dewasa merasa tidak cocok dengan sikap JIB tersebut sehingga akan melepaskan diri dari organisasi JIB (Darmansyah, dkk. 2006 72). Keterpurukan kondisi organisasi JIB yang telah terjadi pada masa kepemimpinan Kasman Singodimedjo mendorong JIB harus segera mengadakan pembenahan di segala bidangnya. Setelah tahun 1935, JIB berusaha bangkit kembali. Pada saat kongres JIB ke-11 di Yogyakarta tahun 1938, Soenardjo Mangoenpoespito ketua JIB pada saat itu melaporkan adanya penambahan jumlah cabang, yang pada tahun 1935 tinggal 12 buah. Pada tahun 1941 menjadi tahun terakhir keberadaan JIB, jumlah cabang JIB meningkat menjadi 20 cabang, 14 cabang National Islamitische Pad vinderij (NATIPIJ/Pandu Islam Nasional) dan 2 cabang Jong Islamieten Bond Dames Afdeling (JIBDA/JIB bagian Keputrian). Walaupun belum menyamai banyaknya cabang seperti pada masa keemasannya, yaitu mencapai 55 cabang (Darmansyah, dkk. 2006: 74). Untuk melakukan koreksi ke dalam, Pengurus Besar JIB mengingatkan kepada pengurus dan anggota JIB semua untuk melaksanakan keputusan kongres ke-12 di Pekalongan pada bulan Oktober 1939. Keputusan kongres menurut Pengurus Besar JIB, ”Ucapan kita sendiri yang harus dilakukan dengan baik”. Berbagai usaha untuk mengembangkan kembali organisasi JIB dilakukan oleh pengurus JIB (Darmansyah, dkk. 2006: 76). Figur kepemimpinan Kasman digantikan oleh M. Arifaini dan dalam periode Arif, tempat kedudukan pengurus pusat yang pada periode Kasman berkedudukan di Jakarta, dipindahkan ke Semarang dan terus di sana sampai dengan masuknya tentara pendudukan Jepang di tahun 1942. Pemindahan tempat kedudukan pengurus pusat JIB dari Jakarta ke Semarang semakin memperlemah posisi JIB (Ridwan Saidi. 1990: 32). Di dalam sebuah konferensi tahunan yang diselenggarakan di Kediri pada tahun 1940, ketua JIB Soenarjo Mangoenpoespito menggambarkan JIB sedang giat kembali untuk memperbaiki dirinya dari kerusakan. Soenarjo Mangoenpoespito menyatakan bahwa tahun depan merupakan tahun harapan bagi

102

Jong Islamieten Bond untuk meningkatkan kinerja organisasi yang lebih baik lagi sehingga pada kongres JIB ke-13 yang rencananya akan diselenggarakan di Bandung pada akhir tahun 1941 merupakan saat yang dinantikan terutama untuk mengukur keberadaan organisasi Jong Islamieten Bond. Akan tetapi, di luar dugaan pada akhir tahun 1941 di Hindia-Belanda memasuki masa perang melawan Jepang. Tidak banyak keterangan yang dapat diperoleh tentang kegiatan JIB pada masa perang itu. Majalah Het Licht hanya beredar sampai edisi bulan Mei 1941 dan kongres ke-13 batal dilaksanakan, karena kondisi Hindia-Belanda pada saat itu sangat gawat (Deliar Noer. 1990: 262). Pada saat Belanda jatuh ke tangan Jerman, Pemerintah Hindia-Belanda pun terus bersikeras untuk tidak memberikan konsesi politik kepada tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Hal itu berdampak ketika Jepang menyerbu Indonesia dalam rangka usahanya untuk membangun imperium di Asia Timur dan Tenggara, pihak nasionalis tidak bergerak untuk membantu pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Akibatnya pemerintah Hindia-Belanda berjuang untuk mempertahankan pemerintahannya tanpa bantuan dari rakyat Indonesia. Dalam hitungan tiga bulan, dimulai dari awal tahun 1942 hingga Maret 1942, seluruh wilayah Hindia-Belanda secara resmi jatuh ke tangan Jepang. Tepatnya pada tanggal 8 Maret 1942 ditandatangani penyerahan tanpa syarat oleh Letnan Jenderal H. Ter Poorten, Panglima Angkatan Perang Hindia-Belanda atas nama Angkatan Perang Serikat di Indonesia kepada tentara ekspedisi Jepang di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Immamura, maka berakhirlah pemerintahan Hindia-Belanda di Indonesia (Darmansyah, dkk. 2006: 82). Pendudukan Jepang yang dimulai pada bulan Januari 1942 merupakan momen penempaan bagi penguatan nasionalisme Indonesia. Kemenangan mudah Jepang terhadap Belanda menciptakan kesan yang luar biasa bagi orang-orang Indonesia. Belanda telah kehilangan prestisenya dimata banyak orang Indonesia. Jepang sendiri datang ke Indonesia dengan mencitrakan diri sebagai saudara tua Asia dan pada awalnya, Jepang membangkitkan perasaan umum bahwa mereka datang sebagai pembebas. Karena itulah, kedatangan mereka disambut secara antusias. Kesan demikian diperkuat ketika Jepang dengan segera memperbolehkan

103

pengibaran bendera Merah-Putih dan dinyanyikannya lagu Indonesia Raya, yang sebelumnya dilarang Belanda. Pihak Jepang juga menaikkan status bahasa Indonesia untuk menggantikan bahasa Belanda dalam semua fungsinya (Yudi Latif. 2005: 319). Pihak Jepang dengan segera memenjarakan semua orang Belanda serta banyak orang Indo maupun orang-orang Indonesia yang beragama Kristen yang dianggap bersimpati pro-Belanda. Sementara untuk mengisi posisi-posisi administratif dan teknisi level menengah dan atas yang telah ditinggalkan oleh orang-orang Belanda dan Indo, pihak Jepang sangat bergantung pada intelegensia fungsional Indonesia. Dengan tiba-tiba, hampir semua personel Indonesia diberikan promosi dengan dinaikkan pangkatnya setidaknya satu bahkan dua atau tiga tingkat dalam hierarki di tempat mereka bekerja. Sebagai hasilnya, para elite fungsional Indonesia tersebut mengalami kenaikkan yang tinggi dalam status sosial-ekonominya (Yudi Latif. 2005: 319-320). Banyak pemimpin Islam di masa-masa setelah runtuhnya Hindia- Belanda, terutama tokoh-tokoh Masyumi, merupakan hasil pembinaan JIB dan mereka memberi sumbangan yang penting di dalam perjuangan bangsa dan negerinya, seperti Muhammad Natsir, Kasman Singodimedjo, Mohammad Roem, Burhanuddin Harahap dan lain-lain (Jan S. Aritonang. 2005: 182). Bermaksud hendak menarik semua kekuatan utama anti-Belanda ke pihak mereka, Jepang merasa bahwa usaha untuk memastikan dukungan dari kalangan Muslim jauh lebih mendesak ketimbang harus memuaskan tuntutan- tuntutan elite nasionalis. Di mata pemerintah pendudukan Jepang, baik golongan priyayi maupun elite fungsional lainnya, tidak mudah terbebas dari stigma pernah loyal kepada pemerintah kolonial sebelumnya. Lagi pula, berbeda dengan para pemimpin nasionalis, yang pengaruh politiknya masih terbatas pada beberapa pusat kota besar, keunggulan politik dari para pemimpin Muslim dari sudut pandang Jepang sangatlah besar karena yang terakhir ini memiliki ratusan ribu, bahkan jutaan pengikut. Selain itu, pihak Jepang mungkin telah memilih para pemimpin Muslim sebagai elemen Timur yang barangkali paling bisa diandalkan dari komunitas politik Indonesia (H. J. Benda. 1980: 108-110).

104

Pada awalnya, pihak pemerintah Jepang berusaha untuk menciptakan kesan baik kepada komunitas politik Indonesia dengan jalan membebaskan para tahanan politik yang dipenjarakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Namun setelah itu, semua aktivitas politik Indonesia dilarang oleh dekrit yang dikeluarkan oleh Panglima Tentara Jepang pertama di Jawa, Letnan Jendral Immamura, yang melarang setiap diskusi dan organisasi yang berhubungan dengan administrasi politik di negeri jajahannya. Hal ini memang tidak secara otomatis mematikan partai-partai politik, tetapi mendorong terciptanya kondisi yang menghalangi keberlangsungan partai-partai tersebut karena setiap aktivitas politik dalam ruang publik dikontrol secara ketat oleh polisi militer Jepang (H. J. Benda. 1980: 111).

C. Pe ranan Jong Islamieten Bond se bagai B agian dari Organisasi Pemuda Islam Di Kancah Perge rakan Nasional Indonesia Tahun 192 5-19 42

1. Menggagas Nasionalisme Indonesia Sikap JIB terhadap nasionalisme atau kebangsaan adalah bahwa pemuda intelek Islam berpandangan lebih luas terhadap kebangsaan dan mengemban tugas bukan hanya berjuang untuk tanah air saja (dimana Islam menjadi agama mayoritas pendduduk) tetapi juga untuk semua umat Islam di seluruh dunia. Hal itulah yang menjadi jiwa dari organisasi JIB, antara Islam dan kebangsaan atau cinta tanah air harus berjalan bersama dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Yang menjadi harapan JIB adalah JIB dapat menjadi organisasi yang mampu menjadi wadah persatuan pemuda Nusantara, karena dasarnya memberikan kemungkinan yang lebih luas dibandingkan dengan dasar organisasi kedaerahan lainnya (Ridwan Saidi. 1990: 23). Konsep nasionalisme pertama kali diperkenalkan oleh Hans Kohn, nasionalisme merupakan kesetiaan tertinggi yang diberikan kepada tanah air dan bangsa. Hal tersebut sangat bertentangan dengan agama Islam. Dalam agama Islam, kesetiaan tertinggi hanya diberikan kepada Tuhan. Salah satu yang menjadi pembicaraan hangat pada tahun 1920-an adalah nasionalisme atau cinta tanah air.

105

JIB yang berdasarkan Islam dianggap tidak mempunyai nasionalisme (Darmansyah, dkk. 2006: 49). JIB mencoba mencari hubungan di antara keduanya dengan merumuskan nasionalisme sebagai mencintai tanah air dan bangsa, tetapi di sampingnya juga mencintai orang-orang seagama Islam di luar negeri dan mencintai semua manusia (Tim Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 36). Seorang Muslim mengakui bahwa membela tanah tumpah darahnya, menolong bangsanya adalah suatu amal yang harus dijalankan. Seorang Muslim mempunyai tugas berat harus mencari daya upaya dengan kekuatan budi, badan dan harta serta jiwanya untuk melepaskan bangsanya dari segala macam belenggu dengan tidak mengharapkan upah dan mencari nama besar (Darmansyah, dkk. 2006: 49). JIB menolak konsep nasionalisme yang hanya mengagungkan cinta tanah air dan menawarkan alternatif pengganti nasionalisme sekuler dengan nasionalisme Islam. Hanya melalui Islam kontak yang hilang antara kaum cendekiawan dan rakyat dapat dipulihkan. Jawanisme Jong Java dalam hal ini dianggap tidak cocok. Nasionalisme tanpa dasar agama mempunyai kemungkinan membahayakan, seperti nasionalisme yang dikembangkan oleh Hittler telah mengobarkan Perang Dunia (Darmansyah, dkk. 2006: 50-51). Pada kongres ke-4 JIB di Bandung, 22-25 Desember 1928, dibahas secara khusus tentang nasionalisme. JIB selalu diserang, yang biasanya bernuansa organisasi Indonesia dengan watak keagamaan. Bukan hanya oleh orang asing, serangan juga dilontarkan oleh orang-orang Indonesia sendiri. Dalam hal ini, Wiwoho (ketua JIB), membedakan tiga arah yang tumbuh di antara orang-orang Muslim yang sudah tumbuh dewasa, yaitu mereka yang hanya mengabdi kepada Tuhan, mereka yang mencurahkan diri pada karya sosial dan mereka yang menggunakan Islam dalam arti politik (Darmansyah, dkk. 2006: 52). Wiwoho juga berkata dengan tegas, “Nyala nasionalisme merupak an ancaman bagi kita”. Dengan mengutip sebuah ayat Al-Qur’an, pembicara berkata, Islam memuji nasionalisme namun dengan internasionalisme sebagai latar belakangnya. Nasionalisme ini tidak akan bangkit menjadi kebencian atau perjuangan, melainkan mengarah pada kasih dan pengertian. Bukan nasionalisme yang akan mengarah pada perpecahan

106

atau permusuhan atau hubungan kolonial, yang selalu bertentangan dengan kata-kata dalam Al-Qur’an: ”Kami menyatukan kalian dalam suku dan bangsa agar kalian bisa saling mengakui dan mengenali” (Darmansyah, dkk. 2006: 52-53).

Usaha nasional ini betujuan untuk menciptakan persamaan dan juga kemandirian dari semua bangsa dengan tujuan keharmonisan internasional. Kewajiban setiap Muslim adalah mencoba untuk mengarahkan nasionalisme ke jalan yang benar. Sebagai pemimpin dari bangsa yang mayoritas memeluk Islam, dengan tugas berat bagi kewajibannya untuk menyediakan tempat dalam keharmonisan bangsa-bangsa, kita harus mengenal jiwa dan semangat rakyat. Kewajibannya adalah percaya sepenuhnya pada kekuatan sendiri untuk melancarkan perjuangan nasional. Tidak ada nasehat dari luar, tidak ada campur tangan asing. Setelah menyebutkan kesulitan besar, terutama masalah keuangan sepanjang tahun ini, Wiwoho, ketua JIB menutup dengan keterangan bahwa ada empat cabang yang berkumpul dan kini menampung 2.500 orang anggota (Darmansyah, dkk. 2006: 53). Menyangkut masalah yang berkaitan dengan kelompok nasionalis Indonesia, JIB tidak akan tertarik sedikitpun. Menanggapi masalah nasionalisme tersebut di kalangan anggota JIB muncul pernyataan, Orang Indonesia yang mengaku nasionalisme itu sebetulnya kurang mengetahui kepentingannya bersatu di bawah Islam. Prof. Snouck Hurgronje sendiri menyatakan bahwa bahaya yang mengancam Pemerintahan Belanda adalah jika rakyat Indonesia bersatu dalam Islam. Nasionalisme tanpa Islam di Indonesia tidak akan membahayakan kerajaan Belanda, sebab hal itu hanya akan menyentuh kaum buruh di kota-kota besar, itu pun tidak semua. Petani, nelayan dan penduduk luar kota tentu tidak akan tertarik dengan nasionalisme sekuler. Pergerakan nasional yang netral terhadap agama adalah suatu hal yang mustahil bagi Indonesia. Hal ini ibarat kapal perang yang punya perwira tapi tanpa tentara, kalau tidak ibarat kapal tanpa kompas (Het Licht. No. 2-3. April- Mei 1931 dalam Darmansyah, dkk. 2006: 53-54).

Sebuah pergerakan harus mempunyai dasar ketahanan hati, ikhlas untuk mengorbankan kesenangan dan keduniaan. Orang yang mempunyai ketetapan hati didasari oleh satu faktor, yaitu kepercayaan terhadap agama. Untuk Indonesia dasarnya adalah Islam. Kemenangan hanya bisa terwujud dari persatuan nasional

107

bangsa Indonesia untuk menghadapi kaum penjajah. Pada masa sekarang jangan berharap akan mendapatkan bantuan dari negara-negara besar, Barat dan Timur, karena mereka juga sama haus akan jajahan sendiri. Untuk Indonesia dasarnya adalah Islam yang bisa dikumpulkan menjadi satu kekuatan besar. Setiap negeri yang mempunyai koloni, seperti Inggris, Prancis, Spanyol, sangat takut terhadap persatuan di bawah Al-Qur’an (Darmansyah, dkk. 2006: 54). Pemikiran Salim tentang perjuangan untuk mencapai pemerintahan sendiri atau memperoleh kemerdekaan. Menurutnya, kemerdekaan itu tergantung kepada usaha rakyat Bumi Putra. Salim menolak pendapat yang statis yaitu menunggu saja kemerdekaan yang akan diberikan oleh bangsa kolonial Belanda. Bangsa yang hendak mencapai kemerdekaannya yang hendak menurut kekuatan dan kecakapan akan berdiri sendiri, tak harus senantiasa menadahkan tangan menantikan pemberian orang saja, melainkan harus menggerakkan segala tenaganya dan berusaha dengan sekuat-kuatnya. Sebelum kita membuktikan bahwa kita kuat dan pandai mengichtiarkan segala keperluan kita sendiri, tidaklah layak kita beroleh kemerdekaan akan berdiri sebagai bangsa sendiri (http://ahmadfathulbari.multiply.com diakses tanggal 7 Agustus 2009).

2. Nationale Indonesische Padvinderij (NATIPIJ) Pada masa kepemimpinan Wiwoho di JIB dibentuk kepanduan JIB yang bernama Nationale Indo nesische Pad vinderij (NATIPIJ). Selain organisasi pemuda, pilar penting dalam pergerakan pemuda adalah kepanduan. Mereka aktif dalam setiap aktivitas yang berkaitan dengan pergerakan pemuda. Organisasi kepanduan tertua adalah Javaansche Padvinders Organisatie (JPO) yang didirikan di Surakarta pada tahun 1916 oleh S. P. Mangkunegoro VII yang digunakan sebagai temapat bibit dan latihan tentara dan pegawai Mangkunegaran. Dalam rangka menumbuhkan kesadaran keislaman pada usia anak-anak, perlu dibentuk wadah tersendiri. Adanya dorongan untuk mewujudkan gagasan seperti itu, Kasman seorang pengurus JIB cabang Batavia mendirikan organisasi pandu dalam JIB dengan nama Batavia Nationale Indonesische Pad vinderij (NATIPIJ). Menurut Kasman pendidikan bagi anak-anak pada usia kurang dari 14 tahun tidak boleh dilupakan. Pendidikan bagi anak-anak itu sudah tentu tidak termasuk dalam Anggaran Dasar (AD) JIB sebab keanggotaan JIB lebih

108

diutamakan bagi pelajar-pelajar Islam yang lebih dewasa. Bagi Kasman organisasi kepanduan itu diharapkan dapat menimbulkan perasaan persatuan di dalam diri bangsa yang bersama-sama memeluk agama Islam dan sekaligus membangun cinta kepada Allah dan agama-Nya (Darmansyah, dkk. 2006: 55). Pada saat JIB membentuk kepanduan (NATIPIJ) yang menjadi ketua umum pertamanya adalah Mohammad Roem. Rapat umum perdana NATIPIJ diadakan pada tanggal 24 Desember 1929. Tuan Sjuaib, guru agama pada HIS di Batavia memulai dengan membacakan Al-Qur’an dan membahas NATIPIJ. Harapannya terhadap keberadaan NATIPIJ adalah: a. Mendidik anggota sebagai Muslim yang taat sehingga bisa membawa warganya menuju kesejahteraan yang lebih tinggi; b. Memperbaiki kondisi sosial dan kesatuan antar-klas. Perkembangan bisa berlangsung semakin jauh dari rakyat dan kita tidak bisa melangkah lebih jauh tanpa kerjasama antara kelompok cendekiawan dengan rakyat. Ketakutan dari kaum cendekiawan bahwa Islam akan berarti penolakan terhadap pendidikan, dianggap tidak berdasar oleh pembicara. Sebaliknya, Islam mengajarkan kemandirian; c. Cintailah Islam dengan penuh penghormatan kepada agama lain seperti yang dituntut oleh Islam. Pembaca berkata tidak bisa dibantahkan bahwa kita apabila diserang harus menolak serangan itu juga harus membalasnya; d. Lakukan sembahyang, puasa, dan lainnya juga oleh kalangan intelektual kita; e. Perbaiki hubungan dengan kelompok lain di Indonesia atas dasar Islam (Darmansyah, dkk. 2006: 56). Berdasarkan pergerakan NATIPIJ di atas dapat disimpulkan bahwa pergerakan NATIPIJ bukan hanya menggunakan Anggaran Dasar dan Rumah Tangga (AD/ART) namun juga menggunakan Al-Qur’an sebagai pedomannya. Dalam kesempatan kongres ini pula Mohammad Roem, ketua NATIPIJ mengisahkan tentang tujuannya menuju kebaikan, mengajukan laporan tentang NATIPIJ dan juga mengisahkan tentang banyaknya kebaikan dan kesulitan keuangan yang besar dialami oleh NATPIJ. Sedangkan Tjaja berbicara tentang Komisi Informasi Belajar. Bagi orangtua yang tidak terdidik secara Barat, sangat

109

sulit untuk menilai tentang pendidikan Barat bagi anak-anaknya yang telah banyak menjauh. Namun ada kemungkinan untuk mendidik rakyat tanpa membedakan orangtua. Komisi ini memberikan informasi tentang: a. Pendidikan Barat di Hindia b. Pendidikan Barat di Belanda c. Pendidikan Timur di Hindia d. Pendidikan agama, yakni berupa sekolah calon guru Muhammadiyah e. Pendidikan Timur di luar Hindia f. Biaya dan tempat tinggal (Darmansyah, dkk. 2006: 56). Dalam perjalanannya, terbukti bahwa komisi ini belum banyak melakukan tugasnya. Surowijono mengatakan bahwa hanya iman yang mampu memberikan kekuatan batin. Kepanduan harus memberikan kesibukkan kepada anak-anak yang sering nampak berkeliaran di jalanan kota”. Sedangkan Kasman menyatakan, ”Penggunaan bahasa Belanda dalam JIB bertujuan untuk menjangkau dan menarik kaum intelektual agar dekat dengan Islam, cara terbaik menuju kesatuan Indonesia”. Organisasi kepanduan ini menjadi sarana penting untuk mendidik para pemuda agar menjadi manusia yang mandiri dan bersifat nasionalis dengan perasaan bagi persaudaraan internasional serta tidak bisa bersifat nasionalis dengan kebencian namun harus dengan menghargai bangsa lain. (Darmansyah, dkk. 2006: 58). Dalam rapat tanggal 25 Desember 1928, pengurus pusat menyampaikan bahwa NATIPIJ harus dirombak: harus ada kantor pedagogi, kantor tehnik, redaksi dan tempat latihan. Komisi bagi urusan wanita akan membuka cabangnya (Darmansyah, dkk. 2006: 59). Hasrat bersatu bagi seluruh organisasi kepanduan Indonesia waktu itu tampak mulai dengan terbentuknya Persauda raan Antara Pandu Indo nesia (PAPI) yang merupakan federasi dari Pandu Kebangsaan, INPO, SIAP, NATIPIJ, dan PPS pada tanggal 23 Mei 1928. Namun federasi ini tidak bertahan lama, karena pada tahun 1930 berdiri Kepan duan Bang sa Indon esia (KBI) yang dirintis oleh para tokoh dari Jong Java Padvinders/Pandu Kebangsaan (JJP/PK), INPO dan PPS (Jong Java Pavinderij/JJP); Pandu Kebangsaan (PK). Sementara itu

110

PAPI kemudian berkembang menjadi Bad an Pusat Persaudaraan Kepan duan Indo nesia (BPPKI) pada bulan April 1938. Antara tahun 1928-1935 bermuncullah gerakan kepanduan Indonesia baik yang bernafas utama kebangsaan maupun bernafas agama. Kepanduan yang bernafas kebangsaan dapat dicatat Pandu Indo nesia (PI), Padvinders Organisatie Pasundan (POP), Pandu Kesultanan (PK), Sinar Pand u Kita (SPK) dan Kepandua n Rak yat Indo nesia (KRI). Sedangkan yang bernafas agama Pandu Ansor, Al Wathoni, Hizbul Wathon, Kepan duan Islam Indonesia (KII), Islamitische Padvinders Organisatie (IPO), Tri Darma (Kristen), Kepandua n Azas Katholik Indonesia (KAKI), Kepanduan Masehi Indonesia (KMI). Sebagai upaya untuk menggalang kesatuan dan persatuan, Badan Pusat Persauda raan Kepanduan Indo nesia (BPPKI) tersebut merencanakan All Indonesian Jamboree. Rencana ini mengalami beberapa perubahan baik dalam waktu pelaksanaan maupun nama kegiatan yang kemudian disepakati diganti dengan Perkemaha n Kepanduan Indo nesia Umum (PERKINDO) dan dilaksanakan pada tanggal 19-23 Juli 1941 di Yogyakarta (http://id.wikipedia.org diakses tanggal 2 Januari 2010).

3. Meningkatkan Derajat Pendidikan Dalam usahanya meningkatkan derajat pendidikan, JIB menyelenggarakan kursus-kursus pada tiap cabangnya. JIB menyelenggarakan pemberantasan buta huruf. Ada cabang yang menyelenggarakan kursus setiap hari bagi anggota. Anggota memilih bidang kursus yang sesuai dengan minatnya. Dalam hal bahasa, misalnya, diselenggarakan kursus bahasa Inggris, Belanda dan Arab (Darmansyah, dkk. 2006: 63). Selain itu, JIB juga melakukan penggalangan dana untuk beasiswa para pelajar. Dana yang digalang oleh JIB dikelola untuk dibagikan menjadi beasiswa oleh organisasi di bawah JIB yang bernama Algemeene Steunfond s (Darmansyah, dkk. 2006: 65). Tanpa menyerah diri pada tantangan-tantangan yang ada, mereka berusaha mendirikan sekolah-sekolah dengan sistem dan cara yang ditiru dari sekolah-sekolah yang didirikan oleh pihak pemerintah Belanda, tetapi dengan berusaha mempertahankan semangat serta isi ajaran Islam. Tujuannya adalah

111

untuk menggalang umat dan mendidik mereka sejalan dengan tuntutan masa dengan memasukkan berbagai mata pelajaran bukan agama ke dalam kurikulum. Mereka berusaha menghapuskan segala macam tambahan yang melekat pada ajaran Islam yang menurut mereka tidak sesuai dengan ajaran itu yang mereka dasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Mereka mengimbau agar kembali kepada ajaran-ajaran pokok dari Islam (Deliar Noer. 1987: 10). Melihat kinerja Kasman yang berhasil meluaskan keanggotaan JIB, maka pada kongres ke-7 di Madiun bulan Desember 1931, Kasman terpilih kembali sebagai ketua JIB. Selama satu tahun kepengurusannya berbagai kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan keputusan kongres, salah satunya adalah pendirian sekolah-sekolah HIS di cabang-cabang JIB (Darmansyah, dkk. 2006: 69). Pada bulan Oktober 1931 JIB membangun sekolah HIS yang bertempat di Tegal dan di bulan November tahun itu juga dibuka lagi sekolah HIS di Tanah Tinggi, Batavia. JIB bahkan merencanakan membangun percetakan (Ridwan Saidi. 1990: 31). JIB juga mempunyai bagian penerangan pendidikan yang bernama Centraal Commissie Studie Informatie Commissie (CCSIC) pada setiap cabangnya. CCSIC ini bertugas memberikan penerangan tentang bidang pendidikan dan pemondokan; memberikan bimbingan kepada orangtua dalam hal memilih sekolah, menaksir biaya pendidikan, dan memberikan semacam bimbingan karir. Selain terdapat ditiap-tiap cabang, CCSIC mempunyai sekretariat pusat di Jalan Sabangan I No. 33, Weltevreden. Ketua CCSIC dijabat oleh Johan Mohammad Tjaya (Darmansyah, dkk. 2006: 64).

BAB V PENUTUP

A. Ke simpulan Berdasarkan hasil penelitian maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Mayoritas penduduk Hindia-Belanda beragama Islam. Karena kurangnya pengetahuan yang tepat mengenai Islam, pemerintah Hindia-Belanda pada mulanya tidak berani mencampuri agama Islam secara langsung. Tetapi kebijakan untuk tidak mencampuri Islam tidak konsisten karena tidak adanya garis yang tegas. Tahun 1859, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda dibenarkan mencampuri masalah agama bahkan bila perlu demi kepentingan negara, para ulama harus diawasi. Politik Islam pemerintah Hindia-Belanda berubah setelah kedatangan Snouck Hurgronje tahun 1889. Pemerintah memberi kebebasan dalam ibadah dan sosial kemasyarakatan selama tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda. Tetapi dalam politik, pemerintah mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan Pan Islam. Pendidikan Barat digunakan untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia, mengupayakan sekularisasi pendidikan dengan menyingkirkan pelajaran agama di sekolah. Namun dipenghujung abad ke-19 generasi intelektual Muslim Indonesia lahir. Generasi intelektual Muslim Indonesia tersebut umumnya pernah mengenyam pendidikan Barat sekaligus mendalami agama Islam secara khusus dan kemudian mendirikan sekolah- sekolah dengan meniru sistem dan cara dari sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah Belanda, tetapi semangat dan isi ajaran Islam tetap dipertahankan. Dengan demikian kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia-Belanda menyangkut pendidikan menyebabkan tokoh-tokoh pribumi Islam berpendidikan Barat semakin sadar akan kebangsaan dan keislamannya serta bersemangat menentang penjajahan. Hal tersebutlah yang mendorong didirikannya Jong Islamieten Bond (JIB).

112

113

2. Perkembangan Jong Islamieten Bond (JIB) sangat pesat. Pergerakan JIB didasarkan atas nasionalis Indonesia namun atas dasar Islam. Dasar pandangan agama telah memberi kepastian prinsip seperti halnya dengan organisasi- organisasi nasionalis lainnya dengan ideologi nasionalisnya yang kuat. Tujuan JIB didirikan adalah untuk memajukan pengetahuan tentang Islam, hidup secara Islam dan persaudaraan secara Islam serta untuk memperkuat persatuan di kalangan pemuda muslimin. Sedangkan tujuan JIB yang menyangkut masalah wanita yaitu JIB harus memperhatikan pembinaan remaja putri dan kaum wanita umumnya di lingkungan kaum intelek. JIB menjadi suatu wadah untuk mendidik kaum muda Islam hingga menjadi kader-kader yang mempunyai dasar keislaman yang kokoh dan JIB pun kemudian membangun prasarana-prasarana yang kelak mempunyai nilai strategis dalam pembinaan generasi, yaitu dengan menerbitkan majalah Al-Nur atau Het Licht sebagai majalah cendekiawan Islam pertama di Indonesia pada bulan Maret 1925 dan mendirikan National Indonesische Padvinderij (NATIPIJ) sebagai organisasi pandu nasional Indonesia serta bagian wanita yaitu Jong Islam ieten Bond Dames Afdeeling (JIBDA). 3. Peranan Jong Islamieten Bond (JIB) sebagai bagian dari organisasi pemuda Islam di kancah pergerakan nasional Indonesia tahun 1925-1942 antara lain: a. Menggagas nasionalisme Indonesia. Islam dan kebangsaan atau cinta tanah air harus berjalan bersama dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Yang menjadi harapan JIB adalah JIB dapat menjadi organisasi yang mampu menjadi wadah persatuan pemuda Nusantara karena dasarnya memberikan kemungkinan yang lebih luas dibandingkan dengan dasar organisasi kedaerahan lainnya. b. Nationale Indon esische Pad vinderij (NATIPIJ). Selain organisasi pemuda, pilar penting dalam pergerakan pemuda adalah kepanduan. Para anggota NATIPIJ aktif dalam setiap aktivitas yang berkaitan dengan pergerakan pemuda. Dengan pendirian organisasi kepanduan tersebut diharapkan dapat menimbulkan perasaan persatuan di dalam diri bangsa yang bersama-sama memeluk agama Islam dan sekaligus membangun cinta

114

kepada Allah dan Agama-Nya. Pergerakan NATIPIJ bukan hanya menggunakan Anggaran Dasar dan Rumah Tangga (AD/ART) namun juga menggunakan Al-Qur’an sebagai pedoman pergerakannya. c. Meningkatkan derajat pendidikan. Dalam usahanya meningkatkan derajat pendidikan, JIB menyelenggarakan kursus-kursus pada tiap cabangnya dan menyelenggarakan pemberantasan buta huruf. JIB juga mempunyai bagian penerangan pendidikan yang bernama Centraal Commissie Studie Informatie Commissie (CCSIC) pada setiap cabangnya. CCSIC ini bertugas memberikan penerangan tentang bidang pendidikan dan pemondokan; memberikan bimbingan kepada orangtua dalam hal memilih sekolah, menaksir biaya pendidikan dan memberikan semacam bimbingan karir.

B. Implikasi

1. Teoritis Adanya penerapan politik kolonial Belanda di Indonesia telah menyebabkan rakyat Indonesia mengalami berbagai kemunduran dan kesengsaraan di segala aspek kehidupan sehingga menggugah rakyat untuk melakukan perlawanan agar dapat melepaskan diri dan merdeka dari belenggu penjajahan bangsa Belanda. Karena mayoritas penduduk Hindia-Belanda pada masa itu adalah beragama Islam maka bangsa kolonial mulai menerapkan politiknya terhadap daerah jajahannya tersebut dengan berbagai kebijakan yang dikenal dengan Politik Islam Hindia-Belanda yang dicetuskan oleh Snouck Hurgronje pada tahun 1889. Hurgonje menilai bahwa musuh pemerintah Hindia- Belanda bukanlah Islam sebagai agama tetapi Islam sebagai doktrin politik yang berbahaya bagi kelangsungan kekuasaan Belanda di Indonesia. Sehubungan dengan politik tersebut, Snouck Hurgronje membagi Islam menjadi tiga bagian, yaitu ibadah, sosial dan kemasyarakatan dan politik. Dengan demikian pendidikan Barat haruslah diberikan kepada orang-orang Indonesia yang jumlahnya semakin besar. Pendidikan Barat adalah alat yang paling pasti untuk mengurangi dan

115

akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia. Dalam kenyataannya pandangan Snouck Hurgronje adalah cermin dari suatu era baru di dalam kebijakan kolonial Belanda yang disebut sebagai Politik Etis, yang secara resmi bermula pada tahun 1901 meliputi irigasi, emigrasi dan edukasi. Munculnya politik etis dalam bidang pendidikan di Indonesia berakibat pada semakin banyaknya pendirian sekolah-sekolah formal oleh pemerintah Belanda. Dengan adanya pembukaan sekolah-sekolah tersebut maka pendidikan bagi rakyat Indonesia mulai sedikit berkembang sehingga pada akhirnya memunculkan golongan terpelajar atau elit modern sebagai golongan baru dalam stratifikasi masyarakat Indonesia pada masa penjajahan bangsa kolonial. Golongan terpelajar menyadari keadaan yang terbelakang dari masyarakatnya akibat praktek kolonialisme yang kemudian bercita-cita melenyapkan segala bentuk diskriminasi ras, perbedaan sosial, ekonomi dan politik. Inilah benih-benih penggerak perjuangan untuk mencapai Indonesia merdeka. Dari tahun ke tahun kaum elit modern tersebut semakin bertambah banyak, sehingga menimbulkan pergerakan nasional yang lebih mantap. Di kalangan umat Islam Indonesia kemudian timbul pula kesadaran untuk berorganisasi. Rasa persatuan di kalangan umat Islam mulai terpupuk hingga melahirkan suatu pergerakan yang sangat penting artinya bagi nasionalisme Indonesia. Generasi intelektual Muslim Indonesia pada umumnya pernah mengenyam pendidikan Barat dan sekaligus mendalami Islam secara khusus seperti halnya para pendiri Jong Islamieten Bond (JIB/Liga Pemuda Islam). Ajaran agama Islam oleh JIB dijadikan sebagai sumber pengikat persatuan di kalangan pemuda-pemuda di Indonesia. Wujud dari usaha para elit modern dalam usaha penanaman pengaruhnya kepada para pemuda untuk mempunyai jiwa nasionalis tersebut tampak dalam pergerakan-pergerakan kaum intelektual dengan jalan pembentukan organisasi modern sebagai alat perjuanganya, antara lain dengan dibentuknya JIB sebagai wadah bagi pergerakan pemuda Muslim di Indonesia pada tahun 1925-1942. Kemunculannya di tengah kancah pergerakan nasional sebagai wujud keprihatinannya terhadap kondisi para pemuda yang

116

masih bersifat kedaerahan serta kurangnya pemahaman pemuda pelajar Islam terhadap agamanya sendiri akibat dari adanya Politik Islam Hindia-Belanda.

2. Praktis Penanaman semangat dan jiwa nasionalisme yang mengutamakan nilai- nilai religius (dalam hal ini ajaran Islam) berusaha untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan serta menyebarkan sikap toleransi beragama untuk mewujudkan kerukunan bersama di kalangan umat beragama. Hal tersebut seharusnya menjadi usaha pada masa sekarang untuk mengembalikan dan menjaga kelestarian kebangkitan nasional yang telah tumbuh dan semakin berkembang sejak dicanangkannya politik etis oleh pemerintah Hindia-Belanda hingga terwujudnya kemerdekaan Indonesia. Setelah masa pencapaian kemerdekaannya hingga sekarang, Indonesia mengalami berbagai konflik diberbagai bidang kehidupan. Adanya sikap primordialisme yang kemudian memunculkan keinginan untuk melepaskan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia menandakan bahwa jiwa dan semangat nasionalisme telah mengalami degradasi. Untuk merubahnya perlu diambil langkah menghidupkan dan memperkokoh kembali kesepakatan bersama dengan membangun kepekaan terhadap realitas sejarah dan merefleksikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai pertanggungjawaban pada masa sekarang. Implikasi secara praktis dari hasil penelitian ini dalam dunia pendidikan adalah dapat membantu siswa untuk memahami tentang kehidupan pergerakan para pemuda Indonesia di kancah pergerakan nasional bangsa Indonesia, pada umumnya dan keikutsertaannya Jong Islamieten Bond (JIB) dalam pergerakan nasional pemuda Muslim Indonesia pada tahun 1925-1942 pada khususnya. Dengan demikian siswa dapat memahami tentang keberadaan dan peranan para pemuda Muslim, terutama yang tergabung dalam JIB yang sekarang keberadaannya hanya tinggal simbol-simbolnya saja meskipun pergerakannya sudah dimunculkan kembali lewat karangan-karangan historis yang dibukukan oleh beberapa penulis yang berkompeten di dalamnya, baik para penulis yang berasal dari bangsa Indonesia sendiri maupun dari luar negeri. Hal tersebut

117

dilakukan untuk mengingatkan kembali kepada genenasi intelektual muda bahwa bangsa Indonesia pernah memiliki kaum intelektual Muslim yang tanpa menyerah menghadapi tantangan-tantangan yang ada dengan jalan kaum intelektual Muslim tersebut berusaha tetap mempertahankan semangat serta isi ajaran agama Islam. Usaha tersebut dapat dilihat dari pergerakan JIB dalam bidang pendidikan yang bertujuan untuk menggalang umat Islam dan mendidik sejalan dengan tuntutan masa dengan memasukkan berbagai mata pelajaran bukan agama ke dalam kurikulum pengajaran namun tetap tidak mengesampingkan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama Islam sendiri. Selain itu, kaum intelektual Muslim juga berusaha menghapuskan segala macam tambahan yang melekat pada ajaran agama Islam yang menurutnya tidak sesuai dengan ajaran agama tersebut yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Kaum intelektual Muslim menghimbau agar kembali kepada ajaran-ajaran pokok dari agama Islam. Keberadaan JIB pada masa pergerakan nasional telah membuktikan bahwa jangan menganggap remeh peranan dan kedudukan dari kaum Muslim. Kaum Muslim jangan hanya dianggap sebagai sumber masalah dan mudah dipecah-belah keberadaannya, justru seharusnya digalang persatuan di kalangan umat Islam dan diberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada kaum Muslim untuk mengembangkan diri sesuai dengan kemampuan dan untuk menggalang persatuan dan kesatuan di kalangan bangsa Indonesia, khususnya kaum Muslim dengan tetap memegang tinggi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kehidupan masyarakat Indonesia terutama dalam menjalin hubungan antar agama.

C. Saran Berdasarkan pembahasan dalam hasil penelitian di atas, maka saran yang dapat diberikan oleh peneliti sebagai berikut: 1. Bagi Para Pembaca Bagi para pembaca, terutama pendidik dan pelajar, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai keberadaan Jong Islamieten Bond (JIB) dalam pergerakan nasional pemuda Muslim Indonesia pada tahun 1925-1942. Selain itu, dalam perkembangan pendidikan sejarah, belum banyak

118

materi yang membahas tentang keberadaan JIB secara khusus sehingga dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif materi pelajaran yang disampaikan kepada siswa. 2. Bagi Para Peneliti Bagi para peneliti, diharapkan ada yang tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai keberadaan Jong Islamieten Bond (JIB) dalam pergerakan nasional pemuda Muslim Indonesia pada tahun 1925-1942 dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Mengingat bahwa penelitian yang membahas mengenai pergerakan JIB ini masih sedikit. Pada umumnya yang sering dibahas tentang keberadaan organisasi-organisasi pergerakan nasional yang bukan berasaskan agama terutama Islam sebagai dasar pergerakannya dan bidang-bidang pergerakan nasional lainnya. Maka kepada para peneliti diharapkan untuk mengadakan penelitian lanjutan agar ditemukan hal-hal yang lebih mendalam atau mendasar mengenai keberadaan pergerakan JIB melalui suatu pendekatan yang sesuai dengan ilmu pengetahuan yang ditekuni atau dikuasai oleh masing-masing peneliti, seperti penelitian yang menyangkut JIB bagian wanita yaitu Jong Islamieten Bond Dames

Afdeeling (JIBDA), peranan JIB dalam menggagas kesetaraan antara wanita dan pria, kiprah para tokoh-tokoh JIB setelah bubarnya JIB dan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Sumbe r Buku: Al-Chaidar. 1999. Pemikiran Politik Prok lamator Negara Islam Indonesia S. M. Kartosoewirjo: Fakta dan Data Sejarah . Jakarta: Darul Falah.

Aqib Suminto. 1986. Politik Islam Hindia-Belanda. Jakarta: LP3ES.

Aritonang, Jan S. 2005. Sejarah Perjumpaan Kristen da n Islam Di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Benda, H. J. 1980. Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Islam Di Indon esia Masa Pendud ukan Jepang. Bandung: Pustaka Jaya.

Brugmans, I. J. 1987. Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan: Politik Pengajaran. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Cahyo Budi Utomo. 1995. Dina mika Pergerakan Keban gsaa n Indo nesia dari Kebangk itan hingga Indonesia Merdeka. Semarang: IKIP Semarang Press.

Darmansyah, dkk. 2006. Jong Islamieten Bon d. Pergerak an Pemuda Islam 1925 - 19 42 . Jakarta: Museum Sumpah Pemuda.

Darsiti Suratman. 1970. Politik Pendidikan Belanda da n Masyarakat Di Jawa Pada Akhir Abad 19. Yogyakarta: IKIP Negeri Yogyakarta.

Deliar Noer. 1987. Partai Islam Di Pentas Nasional. Jakarta: PT. P ustaka Utama Grafiti.

. 1990. Gerakan Modern Islam Di Indonesia 19 00-1942. Jakarta: LP3ES.

Dudung Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Frederick, William H. 1989. Pemahaman Sejarah Indonesia. Jakarta: LP3ES.

119

120

Gobee, E. dan Adriaanse. 1990. Nasehat-Nasehat C. Snou ck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepad a Pemerintah Hind ia-Beland a 1889-19 36 . Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS).

Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Hadari Nawawi. 1991. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: UGM Press.

Haidar Putra Daulay. 2007. Sejarah Pertumbuha n da n Pemba ruan Pendidik an Islam Di Indon esia. Jakarta: Kencana.

Helius Syamsudin. 1994. Metode Sejarah . Jakarta: Departemen P & K.

Ibrahim Alfian. 1987. Dari Babat Ke Hikayat Sejarah Kritis. Yogyakarta: Gajah Mada Press.

Iin Nur Insaniwati. 2002. Moh ammad Roem: Karier Politik dan Perjuan gannya (1924-1968). Magelang: Indonesia Tera.

Ingleson, John. 1988. Jalan Ke Pengasingan. Jakarta: LP3ES.

Kahin, George McTurman. 1995. Nasionalisme dan Kolonialisme. Jakarta: Gramedia.

. 1995. Nasionalisme da n Revolusi Di Indonesia. Surakarta: UNS Press.

Kansil, C. S. T dan Julianto. 1983. Sejarah Perjuangan Pergerakan Keba ng saan Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Koentjaraningrat. 1977. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.

Koentjara Purbapranoto. 1987. Bunga Rampai Sumpah Pemuda . Jakarta: Balai Pustaka.

Kuntowijoyo. 2001. Penga ntar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya.

121

Legge, J. D. 1993. Kaum Intelektual dan Perjua nga n Kemerdek aa n. Jakarta: Graffiti.

Lukman Hakiem. 2008. M. Natsir Di Panggu ng Sejarah Republik. Jakarta: Penerbit Republika.

Moedjanto, G. 1988. Indo nesia Abad Ke-20 dari Keban gk itan Nasional sampa i Linggajati Jilid 1. Yogyakarta: Kanisius.

Mohammad Natsir. 1980. Islam dan Kristen Di Indo nesia. Jakarta: Media Dakwah.

Mohammad Nazir. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Mohammad Roem. 1977. Bunga Rampai dari Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang.

Mohammad Roem dan Kustiniyati Mochtar. 1989. Diplomasi Ujung Tombak Perjuangan RI. Jakarta: PT. Gramedia.

Mukayat. 1985. Haji Agus Salim The Grand Old Man of Indon esia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Nico Thamiend R dan M. P. B Manus. 2004. Sejarah Edisi Kedua. Jakarta: Yudhistira.

Nugroho Notosusanto & Yusmar Basri. 1987. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Onghokham. 1987. Runtuhnya Hind ia-Belanda. Jakarta: PT. Gramedia.

Panitia Buku Peringatan Seratus Tahun Haji Agus Salim. 1984. Seratus Tahun Haji Agus Salim. Jakarta: Sinar Harapan.

Pijper, G. F. 1987. Politik Etis dan Revolusi Kemerdek aa n: Politik Islam Pemerintah Belanda. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Poerwodharminto, W. J. S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indon esia. Jakarta: Balai Pustaka.

122

Pringgodigdo, A. K. 1991. Sejarah Pergerakan Rak yat Indonesia. Jakarta: PT. Dian Rakyat.

. t. t . Ensik lopedi Umum. Yogyakarta: Kanisius.

Rahardjo, M. Dawam. 1993. Intelektual, Inteligensia da n Perilaku Politik Bang sa: Risalah Cendekiawan Muslim. Bandung: Mizan Media Utama.

Ricklefs, M. C. 1991. Sejarah Indo nesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Ridwan Saidi. 1990. Cendek iawan Islam Zaman Beland a: Studi Pergerak an Intelektual JIB dan SIS (1925-1942). Jakarta: Yayasan Piranti Ilmu.

Roeslan Abdulgani. 1957. Nasionalisme Asia. Jakarta: Prapanca.

Sartono Kartodirdjo. 1982. Pemik iran dan Perkemban gan Historiografi Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.

. 1992. Pendekatan Ilmu Sejarah deng an Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT. Gramedia.

. 1999. Penga ntar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerak an Nasional dari Kolonialisme sampa i Nasionalisme Jilid 2. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Sartono Kartodirdjo, A. Sudewo, Suhardjo Hatmosuprobo. 1993. Perkembangan Peradaba n Priyayi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto. 1975. Sejarah Nasional Indo nesia V. Jakarta: Depdikbud.

Selo Sumardjan. 1981. Perubaha n Sosial Di Yogyakarta. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Sidi Gazalba. 1966. Pengantar Sejarah sebag ai IImu. Jakarta: Bhatara.

Sidi Mawardi. 2000. Bibit Perseteruan Nasionalis Islam vs Nasionalis Sekuler: Pengalaman Jong Islamieten Bond 1925-194 2. Yogyakarta: Sandi Kota.

123

Sills, David L. 1972. International Encyclopedia of The Social Sciences Volume: 3. New York: The Macmillan Company And The Free Press.

Slamet Mulyono. 1968. Nasionalisme sebag ai Modal Perjua ng an Bangsa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Suhartoyo Hardjosatoto. 1985. Sejarah Pergerak an Nasiona l Indo nesia. Su atu Analisa Ilmiah. Yogyakarta: Liberty.

Sularto, St. 2004. Haji Agus Salim (188 4-19 54): Perang, Jihad dan Pluralisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sumadi Suryabrata. 1997. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Susanto Tirtoprodjo. 1970. Sejarah Pergerak an Nasional Indon esia. Jakarta: Pembangunan.

Sutarto. 2005. Sejarah. Surakarta: CV. Widya Duta.

Stoddard, L. 1966. Dunia Baru Islam. Jakarta: Panitia Menkokesra.

Sutherland, Heather. 1983. Terbentuknya Sebua h Elite Birokrasi. Jakarta: Sinar Harapan.

Tim Direktorat Akademik. 2008. Pedoman Umum Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa (KKTM) Bidang IPA, IPS dan Ilmu Pendidikan . Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Direktorat Akademik.

Tim Museum Sumpah Pemuda. 2006. 45 Tah un Su mpa h Pemud a. Jakarta: Museum Sumpah Pemuda.

Tim Skripsi. 2009. Pedoman Penulisan Skipsi. Surakarta: FKIP UNS.

Tim Yayasan Gedung-gedung Bersejarah. 1974. 45 Tahun Sumpah Pemuda . Jakarta: Yayasan Gedung-gedung Bersejarah.

Van Dijk, C. 1995. Darul Islam Sebuah Pemberontakan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

124

Van Niel, Robert . 1984. Munculnya Elit Modern Indo nesia. Jakarta: Pustaka Jaya.

Winarno Surakhmad. 1985. Penga ntar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode dan Teknik . Bandung: Tarsito.

Yudi Latif. 2005. Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Iteligensia Muslim Indonesia Aba d Ke-20. Bandung: Mizan Media Utama.

Sumbe r Jurnal: Ahmad Fathul Bari. 2007. ”Agus Salim”. http://ahmadfathulbari.multiply.com/journa l/item/10 diakses tanggal 7 Agustus 2009.

Kong. t. t. ”Dinamik an isasi Pendidikan dan Perk embangan Sekolah” http://www.roll-k on g.blogspot.com/Dinamikanisasi-Pendidikan-da n- Perk embangan-Sekolah diakses tanggal 1 Maret 2010.

Sumbe r Artikel: http://id.wik ipedia.org/wiki/Sejarah _Gerakan_ Pramuka_Ind on esia diakses tanggal 2 Januari 2010. http://lomboktimur.go.id/cetak2.php?id=6 diakses tanggal 7 Agustus 2009. http://pik ok ola.files.wordpress.com/2008/11/pendidikan -masa-k olonial-dan- sekarang.pdf diakses tanggal 1 Maret 2010. http://pmiity08.wordpress.com/2008/05/20/gerakan-mahasiswa diakses tanggal 4 Agustus 2009. http://smansagaranten.sch.id/index.php?option=com_content&view=article&id= 16 2&catid=93&Itemid=141 diakses tanggal 4 Agustus 2009. http://www.radityaiswara.co.cc/2007/09/agus-salim-begawan-multi-talenta.html diakses tanggal 7 Agustus 2009. http://tarbiyahislam.wordpress.com/2007/08/10/islam-meretas-keban gk itan diakses tanggal 4 Agustus 2009.

125

Sumbe r Majalah: Deliar Noer. 1979. Agustus. ”Islam dan Politik Di Indo nesia”. Prisma No. 8 Tahun VIII. 3-7.

127

Lampiran 1:

128

129

Sumber: Het Licth. No. 9. November 1931: 287-291 dalam Darmansyah, dkk. 2006: 89-91.

130

Lampiran 2:

131

132

133

134

Sumber: Het Licth. No. 9. November 1931: 287-291 dalam Darmansyah, dkk. 2006: 92-96.

135

Lampiran 3: Pidato Propaganda Pertama Sjamsoeridjal te ntang ”Sikap, Keyakinan dan cita-cita JIB” Di Weltevreden (Ja karta)

136

137

138

139

140

141

Sumber: Het Licht. No.1. Maret 1925 dalam Ridwan Saidi. 1990: 77-83

142

Lampiran 4:

143

144

145

146

Sumber: Tim Yayasan Gedung-gedung Bersejarah. 1974: 354-357 dan Het Licht. Februari 1926 dalam Darmansyah, dkk. 2006: 100-105.

147

Lampiran 5: Susunan Pengurus Besar JIB Tahun 1931

Ketua : Raden Kasman Singodimedjo Pemuka Muda : Mohammad Roem Juru Surat I : Soepadi Juru Surat II : Sofjan Juru Uang I : M. A. Noengtjik Juru Uang II : Jatim Anggota : M. A. Machfoeld J. M. Tjaja Taib F. Alkahiri Mevr. Soenarjo Penasehat : H. Agus Salim

Susunan Pengurus Besar JIBDA Tahun 1931 Ketua : Mevr. Soenarjo Juru Surat : Mej. Soepinah Juru Uang : Mej. Kastinah Mevr. S. Z. Goenawan Mevr. Soeparto Mej. Noerzam

Sumber: Het Licht. No. 1. Maret 1931: 32 dalam Darmansyah, dkk. 2006: 113.

148

Lapiran 6: Da ftar Ketua Umum Jong Islamiete n Bond

1. Raden Sjamsoeridjal periode kepemimpinan 1925-1926 2. Wiwoho Purbohadidjojo periode kepemimpinan 1927-1928 3. Raden Kasman Singodimedjo periode kepemimpinan 1929-1935 4. Nur Arifaini periode kepemimpinan 1936-1938 5. Soenarjo Mangoenpoespito periode kepemimpinan 1939-1942

Sumber: Darmansyah, dkk. 2006: 114

149

Lampiran 7: Ga mbar/Foto Tokoh-tokoh Jong Isla mieten Bond

H. Agus Salim, Penasehat JIB R. Sjamsoeridjal, Ketua Umum JIB Sumber: (1925-1926) http://www.google.co.id/imglanding?q Sumber: =agu s-salim diakses tanggal 31 Maret http://www.google.co.id/images?q=ra 2010 den+sjamsuridjal&hl=id&gbv=2&tbs =isch:1&sa=N&start=40&ndsp=20 diakses tanggal 31 Maret 2010

Kasman Singodimedjo, Ketua Umum Moh. Roe m, Ketua Umum NATIPIJ JIB (1929-1935) Sumber: Sumber: http://www.google.co.id/imglanding?q http://www.google.co.id/imglanding?q =Moh _roem2 diakses tanggal 31 Mei =Mr-KASMAN-SINGODIMEDJO 2010 diakses tanggal 31 Mei 2010

150

Lampiran 8: Gamba r/Foto Pergeraka n Jong Islamieten Bond

Sumber: Sumber: Ridwan Saidi. 1990: 4. Darmansyah, dkk. 2006: 60.

Sumber: Sumber: Darmansyah, dkk. 2006: 19. Darmansyah, dkk. 2006: 25.

Sumber: Sumber: Darmansyah, dkk. 2006: 22. Darmansyah, dkk. 2006: 44.

151

Lampiran 9: Contoh Ma jalah Het Licht/Al-Nur Jong Islamieten Bond

Sumber: Ridwan Saidi. 1990: 51.

152

Lampiran 10: Jurnal Dinamikanisasi Pendidikan dan Perke mbangan Sekolah

Abstrak : politik etis sebagai suatu kebijakan baru yang diperjuangakan oleh golongan liberal dan sosiol demokrat yang menginginkan adanya suatau keadilan yang di peruntukan bagi Hindia-Belanda yang telah begitu banyak membantu dan meningkatkan defisa dan kemakmuran bagi pemerintahan Belanda. Awal politik etis di mulai ketika Ratu Wilhemina I diangkat sebagai ratu baru di Negeri Belanda pada tahun 1898, di mana dalam pernyataannya ia mengungkapkan bahwa pemerintahan Belanda berhutang moril kepada Hindia-Belanda dan akan segera dilakukan policy mengenai kesejahteraan di Hindia-Belanda, yang kemudian di buat tim penelitian untuk keadaan di Hindia-Belanda. Pernyataan itulah yang kemudian di kenal dengan istilah politik etis.[1]meskipun makna dan sejarah istilah tersebut tidak hanya sebatas atas kejadian tersebut, dan diantara tokoh-tokoh pencetus politik etis adalah van Devebter, van Kol, dan yang paling terkenal adalah Abendanon sebagai representasi dari politik etis.

Kata kunci : Politik etis, Indonesia, pendidikan

1. PENDAHULUAN

Politik etis sebagai sebuah polltik balas budi atau politik kehormanatan[2], namun juga tak lepas dari intirk-intrik politik dan tujuan di dalamnya, hal yang awalnya balas budi atau politik kehormatan ternyata tidak sejalan dengan apa yang di buat pada tujuan awal politik tersebut. Terbukti dengan masih adanya suatu keinginan dan kepentingan implisit dalam realisasinya, sebagai contoh adalah emigrasi (transmigrasi) yang di buat sebagai pemerataan penduduk Jawa dan Madura untuk di pindahkan ke daerah Sumatra Utara dan Selatan ternyata masih ada keinginan untuk mencari keuntungan besar dari kebijakan tersebut seperti di bukanya perkebunan- perkebunan baru yang membutuhkan banyak tenaga kerja untuk mengelolanya dan pengurangan jumlah kemiskinan di Jawa dan Madura, ini adalah sebagai contoh dari realisasi politk etis tersebut.

Namun meskipun ada hal sifatnya keuntungan nemun tetap saja poltik etis tersebut adalah fajar budi atau dalam bahasa Jerman adalah Aufklarung (penceraahan) bagi bangsa Indonesia dimana fajar budi itu muncul terlihat sinar- sinarnya dengan di buatnya sekolah-sekolah untuk penduduk pribumi, meskipun sebagian besar adalah untuk kelas bangsawan saja namun untuk penduduk kelas bawah pun terdapat pendidik meskipun sistem dan fasilitasnya kelas II. Namun bukan masalah yang begitu pelik dalam hal ini karena dampak yang di timbulkan do kemudian hari adalah politik boomerang bagi pemerintahan Belanda, karena membuka pendidikan adalah mempersenjatai para penduduk pribumi yang lebih berbahaya dan lebih mematika dari pistol ataupun meriam. Munculnya golongan terdidik dan terpelajar di kemudian hari menjadi ancaman bagi pemerintahan

153

Belanda, lahirnya Budi Utomo, Sarikat Islam hingga penbentukan Volk sk raad adalah respon dari stimulus yang diberikan oleh poltik etis ini dengan memajukan pendidikan (Edukasi). Selain juga dua ranah lain yang di perbaharui yaitu pengairan dan infrastruktur (Irigasi) dan transmigrasi (Emigrasi).

Hal yang begitu menarik ketika membahas masalah politik etis ini mengingat dampak yang timbulkanya dikemudian hari bagi bangsa Indonesia, terutama dalam bidang kesejahteraan dan pendidikan dimana pembahasan mengenai perkembangan masalah pendidikan akan dibahas dalam bab tersendiri dalam makalah ini. Namun titik tolaknya tetap di mulai dari era politik konservatif (1800-1848), kemudian berlanjut ke pada era culturstelsel (1830-1870), kemudian ke era politik liberal (1850-1870) dan masuk pada era transisi dari politik liberal masuk ke politik etis (1870-1900) dan terakhir adalah masa dimana politik etis itu berlangsung kurang lebih 1900.[3]

2. LATAR BELAKANG SEJARAH

Sebelumnya telah di jelaskan bahwa sebelum masuk pada pembahasan mengenai politik etis terlebih dahulu perlu di bahas era sebelum politik etis tersebut di realisasikan, dimana akan ada keterkaitan yang sifatnya lebih historis kronologis. Maka kalau di buat suatu batasan waktu untuk masuk dalam politk etis akan terlihat lebih jelas:

- Era politik konservatif (180 0-18 48 ) : era dimana sistem kumpeni dan merkantilisme di gunakan secara total, dimana eksploitasi negeri jajahan adalah usaha utama pemerintahan Belanda. Eksploitasi SDA alam merupkan hal yang harus dilakukan untuk kemakmuran Negara induk tidak perduli apakah penduduk Negeri jajahan makan atau tidak yang terpenting adalah keuntungan bagi Negeri Belanda terutama untuk pembayaran hutang.

- Era culturstelsel (183 0-18 70 ) : era dimana penjajahan dilakukan dengan mengikuti tradisi lokal yang ada, hanya terjadi perubahan dimana di lakukan penyerahan pajak tanah dengan uang namun di ganti dengan pemberian hasil perkebunan yang dapat di ekspor dan laku di pasaran internasional. Dilakukan dengan cara penanaman secara paksa produk yang laku di pasaran internasional seperti kopi, teh dan tebu.[4] Keuntungan yang berlipat-lipat adalah hal yang tak bisa terelakan lagi, bahkan tahun 1831 dan 1877 pemerintahan Belanda menerima keuntungan sebesar 825 gulden. Van Den Bosch adalah orang yang berada di balik politik tanam paksa ini yang melakukan eksploitasi cara baru untuk keuntungan negeri Belanda.[6]

- Era politik liberal (1850-187 0) : era dimana paham mengenai leberalisme mulai tumbuh di Eropa dan mempengaruhi Belanda berawal dari Revolusi di Amerika dan Revolusi Perancis semakin

154

memantapkan paham tersebut. Dimana kapitalisme mulai berkembang dan meruntuhkan politik merkantilisme yang selama ini berkembang di Eropa, pasar bebas, pendirian pabrik-pabrik, jalan-jala raya dan kereta api, bank-bank dan kebun-kebun di Indonesia adalah implikasi nyata dari politik liberal ini.

- Era transisi dari politik liberal masuk ke politik etis (1870 -190 0) : era dimana Belanda sebagai Negara yang awalnya penganut paham perekonomian merkantilisme beralih dan mengkristal menjadi politik liberal dan kapitalisme modern dengan penggunaan teknologi-teknologi yang gaungi oleh revolusi industri di Inggris dan membolehkan padagang dan saham swasta masuk ke Indonesia dan di berlakukanya politik pintu terbuka, hal ini terlihat semakin kuat dengan di bukanya Terusan Suez (1870) sebagai awal imperialisme modern masuk ke kawasan Asia dengan perekonomian kapitalismenya disertai oleh penggunaan teknoilogi mesin kapa uap yang sebagai hasil dari revolusi Industri di Inggris.[7]- Era politik etis itu berlangsung kurang lebih 190 0 : dimana gagasan mengenai hutang balas budi mulai seudah berkembang dimana tiga bidang utama yang di perioritaskan di realisasikan (Irigasi, Eduk asi dan Emigrasi) untuk kesejahteraan Indonesia.

a. Latar Belakang Sosial, Politik dan Ekonomi

Pada awal sebelum dilakukannya politik etis keadaan sosial dan ekonomi di Indonesia begitu buruk dan jauh dari kata sejahtera terutama untuk penduduk pribumi yang buka dari kalangan bangsawan. Pergantian penguasaan dan kebijakan bukan menjadikan bangsa Indonesia semakin membaik justru sebaliknya setelah keluatnya VOC dari Indonesia 1799 dengan politik ekspliotasinya hal itu berganti ke tangan Inggris di bawah Raffles yang semakin tidak memperhatikan kesejahteraan bangsa Indonesia, ke beralih ke Deandles dengan poltik kerja paksanya semakin membuat penduduk menderita, jumlah penduduk yang melek huruf hanya 1% dari seluruh jumlah penduduk yang ada. Pendidikan bukan menjadi semakin baik justru sebaliknya. Karena kesejahretaan dapat di laksakan apabila jumlah orang yang melek hurif semakin banyak. Dari bidang ekonomi tanah-tanah yang luas masih dikuasi oleh para tuan tanah yang dimana rakyat biasa hanya sebagai penyewa dan pekerja saja. Karena politik yang digunakan pada saat itu adalah politik konservatif dimana merkantilisme dan eksploitasi merupakan hal yang begitu di pentingkan oleh pemerintah kolonial, timbah pembayaran pajak dan sewa yang begitu besar yang semakin memberatkan kehidupan masyarakat Indonesia. Namun setelah di berlakukanya politik liberal 1870 pola kesejahteraan berubah terutama untuk pemerintah Belanda di pasar bebas dan politik pintu terbuka dilaksanakan yang berakibat pada surplus produksi perkebunan seperti gula 2 kali lipat, seperti tahun 1870 produksi mencapai 152.595 ton dan pada tahun 1885 di Jawa saja produksi gula mencapai 380.346

155

ton, selain gula produksi tembakau dan teh pun mancapai surplus, namun hal ini hanya untuk keuntungan pemerintah kolonial.

3. HAKIKAT POLITIK ETIS

Suatu istilah dan konsep yang dipakai untuk mensejahterakan Bangsa jajahan adalah politik etis, istilah ini awalnya hanya sebuah kritikan-kritikan dari para kalangan liberal dan Sosial Demokrat terhadap politik kolonial yang di rasa tidak adil dan menghilangkan unsur-unsur humanistik, golongan Sosial Demokrat yang saat di wakili oleh van Kol, van Deventer dan Brooshooft adalah orang-orang yang ingin memberadabkan bangsa Indonesia. Yang menjadi stimulus dari politik etis adalah kritikan yang di buat oleh van Deventer dalam majalah De Gies yang intinya mengkritik pemerintahan kolonial dan menyarankan agar dilakukan politik kehormatan (hutang kekayaan) atas segala kekayaan yang telah diberikan oleh bangsa Indonesia terhadap negera Belanda yang keuntungan menjadi 5 kali lipat dari hutang yang mereka anggap di buat oleh bangsa Indonesia. Yang kemudian di respon oleh Ratu Wilhemina dalam pengangkatanya sebagai Ratu baru Belanda pada tahun 1898 dan mengeluarkan pernyataan bhawa Bangsa Belanda mempunyai hutang moril dan perlu diberikan kesejahteraan bagi bangsa Indoensia. [8] selain dua faktor ini juga terdapat faktor-faktor lain yang menyebabkan politik etis semakin genjar dilakukan yaitu perubahan politik di Belanda yaitu dengan berkuasanya kalangan liberal yang menginginkan dilakukanya sistem ekonomi bebas dan kapitalisme dan mengusahakan agar pendidikan mulai di tingkatkan di Indonesia. Adanya doktrin dari dua golongan yang berbeda semakin membuat kebijakan politik etis ini agar segera dilaksnakan yiatu :

- Golongan Misionaris : 3 partai kristen yang mulai mengadakan pembagunan dalam bidang pendidikan yaitu patrai Katolik, Partai Anti-Revolusioner dan Partai Kristen yang programnya adalah kewajiban bagi Belanda untuk mengangkat derajat pribumi yang didasarkan oleh agama.

- Golongan Konservatif : menjadi kewajiban kita sebagai bangsa yang lebih tinggi derajatnya untuk memberdabkan orang-orang yang terbelakang.

Itulah dua doktrin yang berkembang pada saat itu karena bagi mereka tujuan terakhir politik kolonial seharusnya ialah meningkatkan kesejahteraan dan perkembangan moral penduduk pribumi, evolusi ekonomi bukan eksploitasi kolonial melainkan pertanggujawaban moral.[9]

Politik etis itu sendiri memiliki arti politik balas jasa, politik balas budi, politik kehormatan ataupun hutang kekayaan mungkin intinya sama secara harfiah, setelah tadi dijelaskan bahwa politik etis ini di kumandangkan oleh golongan

156

Sosial Demokrat yang didalangi oleh van Deventer yang menginginkan adanya balas budi untuk bangsa Indonesia. Politik etis bertendensi pada desentralisasi politik, kesejahteraan rakyat dan efisiensi. [10]Karena pada saat diberlakukanya politik etis tahun 1900 keadaan politik, sosial dan ekonomi kacau balau, bidang ekonomi di guncang oleh berjangkitnya hama pada tanaman terutama tebu, penyakit yang berkembang kolera dan pes maka tak mengherankan Bangsa Eropa enggan datang ke Jawa karena berkembangnya penyakit menular itu, sanitasi yang begitu buruk. Dalam bidang sosial adalah jumlah masyarakat yang melek huruf hanya 1 % dari 99 % penduduk yang ada di Indonesia dan adalah masalah, karena kekurangan tenaga kerja yang perofesional dalam berbagai bidang dan birokrasi karena para pegawai yang didatangkan dari Belanda enggan datang karena isu penyakit menular yang ada di jawa, selain itu juga masalah kepadatan penduduk yang yang menjadi masalah di Jawa dan Madura, dan ini perlu dilakukan penyelesaianya secara segera. Bidang politik masalah yang berkembang saat itu adalah sentralisasi politik yang kuat sehingga tidak ada pemisahan kekuasaan dan keungan antara pemerintahan kolonial dan Bangsa Indonesia yang berdampak pada ketidaksejahteraan pribumi.

Maka tak mengherankan jargon dan program yang dikumandangkan dalam politik etis adalah dalam tiga bidang yaitu Irigate (pengairan dan infrastruktur) , Educate (pendidikan) ,Emigrate (Transmigrasi) yang kesemuanya adalah program utama mereka, namun dalam makalah ini yang akan lebih banyak di bahas adalah menegai pendidikan karena hal tersebut merupakan suatu msalah yang menarik karena akan menjadi politik boomerang dan era pencerahan bagi bangsa Indonesia. Dan secara real memang bidang pendidikanlah yang begitu besar perhatianya terbukti dengan munculnya tokoh, Snock Hurgronje, Abendanon, van Heutz.

1. Iriga te (pe ngairan dan infrastruktur) :

Merupakan program pembangunan dan penyempurnaan sarana dan prasarana untuk kesejahteraan rakyat, terutama dalam bidang pertanian dan perkebunan hal ini dilakukan dengan membuat waduk-waduk besar penampung air hujan untuk petanian, dan melakukan perbaikan sanitasi untuk mengurangi penyakit kolera dan pes. Selain juga perbaikan sarana infrastruktur terutama adalah jalan raya dan kereta apai sebagai media untuk pengangkutan komoditi hasil pertanian dan perkebunan.

2. Educate (pe ndidikan) :

Merupakan program peningkatan mutu SDM dan pengurangan jumlah buta huruf yang implikasi baiknya untuk pemerintah Belanda juga yiatu mendapatkan tenaga keraja terdidik untuk birikrasinya namun dengan gaji yang murah, karena apabila mendatangkan pekerja dari Eropa tentunya akan sangat mahal biayanya dengan

157

gaji yang mahal dan pemberian sarana dan prasarana, yang dikemdian akan di buat sekolah dengan dua tingkatan yaitu sekolah kelas I untuk golongan bangsawan dan tuan tanah dan sekolah kelas II untuk pribumi kelas menegah dan biasa dengan mata pelajaran membaca, menulis, ilmu bumi, berhitung, sejarah dan menggambar.

3. Emigrate (Transmigrasi) :

Merupakan program pemerataan penduduk Jawa dan Madura yang telah padat dengan jumlah sekitar 14 juta jiwa tahun 1900, selain padat jumlah perkebunan pun sudah begitu luas maka kawasan untuk pemukiman semakin sempit, maka hal itu di buat dengan dibuatnya pemukiman di Sumatra Utara dan Selatan dimana di buka perkebunan-perkebunan baru yang membutuhkan banyak sekali pengelola dan pegawainya. Untuk pemukiman Lampung adalah salah satu daerah yang ditetapkan sebagai pusat transmigrasi dari Jawa dan Madura.[11]

Itulah program utama yang dilakukan dalam politik etis terlepas dari berhasil atau tidak dan ada kepentingan lain atau tidak, namun dari ketiga program itu pendidikan merupakan program prioritas karena kedua program lainya akan berhasil dan di tunjang oleh pendidikan. Selanjutnya akan di jelaskan mengenai damapk yang di timbulkan oleh politik etiis dengan 3 program utamanya.

a. Implikasi Pelaksaan Politik Etis

Dampak yang di timbulkan oleh politik etis tentunyaa ada yang negatif dan positif namun yang perlu kita ketahui adalah bahwa hampir semua program dan tujuan awal dari politik etis banyak yang tak terlaksana dan mendapat hambatan. Namun satu program yang berdampak positif dengan sifat jangka panjang bagi bangsa Indonesia adalah bidang pendidikan yang akan mendatangkan golongan terpelajar dan terdidik yang dikemudian hari akan membuat pemerintahan Belanda menjadi terancam dengan munculnya Budi Utomu, Sarikat Islam dan berdirinya Volk sraad. Adapun dampak-dampak yang terlihat nyata adalah dalam tiga bidang :

- Politik : Desentralisasi kekuasaan atau otonomi bagi bangsa Indonesia, namun tetap saja terdapat masalah yaitu golongan penguasa tetap kuat dalam arti intervensi, karena perusahaan-perusahaan Belanda kalah saing dengan Jepang dan Amerika menjadikan sentralisasi berusaha diterapkan kembali.

- Sosial : lahirya golongan terpelajar, peningkatan jumlah melek huruf , perkembangan bidang pendidikan adalah dampak positifnya namun dampak negatifnya adalah kesenjangan antara golongan bangsawan dan bawah semakin terlihat jelas karena bangsawan kelas atas dapat

158

berseolah dengan baik dan langsung di pekerjakan di perusahaan-perusahaan Belanda.

- Ekonomi : lahirnya sistem Kapitalisme modern, politkk liberal dan pasar bebas yang menjadikan persaingan dan modal menjadi indikator utama dalam perdagangan. Sehingga yang lemah akan kalah dan tersingkirkan. Selain itu juga muculnya dan berkembangnya perusahaan- perusahaan swasta dan asing di Indonesia seperti Shell.

4. KAITAN POLITIK ETIS DAN PENDIDIKAN

Seperti yang telah di terangkan sebelumnya bahwa politik etis berdampak besar pada bidang pendidikan, dimana pendidikan yang berkembang pada saat itu hanya pendidikan yang siaftanya masih lokal dan konservatif (surau, langgra dan pesantren) dimana mata pelajaran yang ajarkan adalah ilmu-ilmu agama saja dan tidak mengajarkan pelajaran-pelajaran yang sifatnya umum.[12] Namun meskipun pendidikan adalah bidang yang diutamakan namun tetap saja terdapat masalah dalam hal paradigma pelaksanaanya hal itu terbukti dengan adanya dua sistem yang berbeda pada saat itu :

- Snouck Hurgronje direktur utama politik etis pertama (1900-1905) dan J.H. Abendanon yang mendukung pendidikan dengan pendekatan yang bersifat elitis yaitu pendidikan yang bergaya Eropa dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya, dengan tujuan menjadikan kalangan elit yang cakap dalam birokrasi dan tahu terima kasih.

- Idenburg dan Gubernur Jendral van Heutz (1904-1909) yang mendukung pendidikan dengan pendekatan yang bersifat merakyat (grass root) dengan bahasa daerah sebagai bahasa pengantarnya.

Tujuan dari pendidikan yang bergaya elitis adalah menghasilkan pimpinan bagi zaman pencerahan baru Belanda-Indonesia, sedangkan tujuan pendidikan bergaya merakyat (grass root) adalah membrikan sumbangan langsung bagi kesejahteraan rakyat.[13] Namun permasalahan yang di hadapai oleh kedua sistem ini adalah ketidakcukupan dana yang memdai dan tidak menghasilkan sesuatu yang diinginkan dari tujuan awalnya.

Dibawah Abendanon-lah pendidikan dengan gaya elitis dapat berjalan dengan baik, hal itu terbukti dengan berdirinya 2 sekolah resmi yang bertujuan meningkatkan jumlah melek huruf, yaitu “sekolah para kepala” yang kemudian dinamakan OSVIA (Opldelingschoo len voor Inlansche Ambtenaren “Sekolah pelatihan pejabat pribumi) dan sekolah dokter Jawa di Walterreden yang kemudian namanya menjadi STOVIA (scho ol tot opdeling van Inlandsche antsen “sek olah untuk pelatihan dokter-dokter pribumi) untuk lebih jelasnya mengenai

159

perkembangan pendidikan akan dibahas dalam bagain selanjutnya, namun hal yang perlu kita ketahui adalah sebagain besaar sekolah ini di peruntukan hanya bagi kalangan bangsawan dan tuan tanah, meskipun kesempatan untuk kalangan menengah dan bawah di buka namun tetap saja sulit. Selain masalah tersebut masalah lain yang dihadapi oleh Abendanon adalah sulitnya menerapkan kebijakan pendidikan untuk kaum wanita dan tentangan dari kalangan Gubernur konservatif, yang hal ini di alami oleh seorang wanita Jawa yang terhalang keinginanya untuk mencari ilmu karena terhalang oleh budaya dan kalangan konservatif dia adalah R.A. Kartini (1879-1904).

5. Dampak Politik Etis Dalam Bidang Pendidikan.

Seperti yang telah di paparkan sebelumnya politik etis yang dijalankan oleh pemerintah Belanda yang oleh Van Deventer dikonsepsikan dalam wujud irigasi, edukasi dan emigrasi ini berdampak pada perubahan pola pikir masyarakat pribumi. Salah satu yang terpenting adalah pada bidang pendidikan yang didirikan oleh pemerintah Belanda, dimana dalam bidang ini yang awalnya pemerintah Belanda bertujuan untuk membentuk masyarakat pribumi sebagai pegawai pemerintah rendah yang memiliki loyalitas tinggi terhadap pemerintah ternyata semakin lama malah bisa dibilang menjadi bumerang terhadap pemerintahan belanda itu sendiri.

Pendidikan yang dibangun oleh pemerintah Belanda di bawah Van Deventer diawali dengan pembentukan sekolah-sekolah untuk masyarakat pribumi, tujuannya seperti yang sudah di paparkan sebelumnya, yakni memberikan pendidikan kepada masyarakat pribumi tentang tradisi yang paling baik dari Barat yang nantinya diharapkan bagi yang bersekolah di sekolah yang didirikan pemerintah itu, mereka menjadi tokoh penting yang berpengaruh luas dalam masyarakat Indonesia[14]. Meskipun demikian, sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda ternyata dibatasi. Batasannya adalah pada pemberian kesempatan sekolah kepada masyarakat elit pribumi.

Sebelum politk etis di bentuk, yakni pada masa VOC memegang kendali atas pemerintahan di Indonesia ternyata telah dikenal sistem pendidikan. Namun, ternyata jauh sebelumnya yakni pada masa sebelum politik, di Indonesia telah mengenal sistem pendidikan. Untuk itu sebelum kita masuk pada pembahasan mengenai pendidikan masa penjajahan Belanda, kita perlu mengetahui pendidikan sebelum masuknya penjajahan Belanda, yakni pada masa pemerintahan VOC. a. Pendidikan dan Pengajaran Sebelum Politik Etis

Periode VOC (1600 – 1800)

Pada tahun 1602 Belanda mendirikan VOC badan usaha ini merupakan persekutuan dagang Belanda yang merebut penjajahan Portugis di Nusantara

160

Timur dan menetap di tempat itu. Kemudian, di dalam rapat kapal – kapal perdagangan VOC atau kompeni membawa pendeta – pendeta yang akan menyebarkan agama Kristen Protestan. Dengan kegiatan penyebaran agama ini, selanjutnya berdirilah sekolah – sekolah. Adapun tujuan didirikannya sekolah - sekolah tersebut yaitu sebagai upaya penyebaran Agama Kristen Protestan. Materi yang diajarkan, yaitu membaca alkitab, agama kristen, menyanyi, menulis dan menghitung.

Sehubungan dengan VOC, Maluku yang merupakan pusat rempah – rempah dan merupakan persekutuan dagang dengan Belanda maka mereka mendirikan sekolah – sekolah dan gereja di Maluku dan Ambon. Namun, di Pulau Jawa tidak terdapat sekolah – sekolah dan gereja dalam jumlah yang sangat banyak seperti yang terdapat di Maluku. Pada tahun 1617, barulah didirikan sekolah yang pertama di Jawa tepatnya di Batavia dengan nama De Batraviasche School. Sekolah ini memiliki tujuan agar dapat menghasilkan tenaga – tenaga yang cakap dan kelak dapat di pekerjakan pada pemerintahan, administrasi dan gereja[15]. Para tenaga pengajarnya pun di datangkan dari negeri Belanda dan siswanya terdiri dari anak – anak Belanda Indo. Sekolah ini pun tidak di perbolehkan bagi orang bumi putera dan orang – orang asing lain seperti orang Cina.

Dengan demikian, banyak sekali permasalahan yang timbul dalam dunia pendidikan pada periode ini, diantaranya seperti :

a. Ada perbedaan dalam penyelenggaraan pendidikan. Artinya, ada sekolah – sekolah rendah eropa dengan Bahasa pengantar Belanda dan sekolah rendah pribumi (kristen) dengan bahasa pengantar melayu dan portugis. b. Pendirian sekolah tidak merata, hal ini disebabkan karena di tempat itulah pusat rempah – rempah. Sekolah kejuruan tidak diselenggarakan sama sekali sebab belum terniatoleh mereka untuk meningkatkan taraf hidup ekonomi rakyat. c. Juga ada kesedihan bagi rakyat yang menganut agama Kristen Katolik. Hal ini disebabkan karena VOC mengusir paderi – paderi dan gereja – gereja. Oleh karena itu, sekolah – sekolah Katolik ditutup.

Periode Pe njajahan Be landa (1800 -190 0)

Pada abad 18 menjelang abad 19 VOC mengalami kemunduran sehingga tidak dapat lagi berfungsi sebagai lembaga yang mengatur pemerintah dan masyarakat di daerah Hindia Belanda. Pemerintahan diserahkan kepada pemerintah Belanda yang kemudian dalam pengaturan masyarakat dan pemerintahan akan dilakukan sendiri oleh pemerintah Belanda langsung. Dengan demikian pemikiran mengenai pendidikan pun akan berubah dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :

161

1. pemerintah berusaha untuk tidak memihak salah satu agama tertentu. 2. tidak di usahakan untuk hidup secara selaras dengan lingkungannya tetapi lebih ditekankan agar anak didik dikemudian hari dapat mencari pekerjaan demi kepentingan colonial. 3. sistem persekolahan disusun menurut adanya perbedaan lapisan social yang ada dalam masyarakat Indonesia, khususnya yang ada di pulau jawa. 4. pada umumnya pendidikan diukur dan diarahkan untuk membentuk suatu golongan elit social agar dapat dipakaki sebagai alat bagi kepentingan atau nkeperluan supremasi politik dab ekonomi Bel;anda di Indonesia[16]. Sistem persekolahan di dasarkan kepada keturunan atau kelas sosial yang ada. Dan pengecualian menurut hukum pada tahun 1848, yaitu : · Golongan Eropa, yang disamakan dengan eropa dan golongan bumiputera. · Golongan Bumiputera; dalam golongan ini penduduk di bagi lagi menurut status sosialnya, yaitu : a. Golongan bangsawan / aristokrat, b. Golongan pimpinan adat, c. Golongan pimpinan agama, dan d. Golongan Rakyat biasa. Disamping itu, pelaksanaan pendidikan tidak berdasarkan dan tidak memihak salah satu agama. Adapun jenis jenis sekolah yang ada pada masa itu, antara lain : o Sekolah Rendah Eropa (europesche lager school / ELS) yang didirikan pada tahun 1818. o Sekolah Gadis pertama yang mempunyai asrama, didirikan pada tahun 1827. o Sekolah Dokter Jawa dengan ama belajar dua tahun setelah tamat SD lima tahun, didirikan pada tahun 1854. o Sekolah Guru Negeri di Surakarta, didirikan pada tahun1854 dengan lama belajar tiga tahun. o Sekolah Warga Negara Tinggi (Hoogere Burger School / HBS), didirikan pada tahun 1867, dengan lama belajar lima tahun dan o Sekolah Tondano, sekolah dasar khusus yang disebut sekolah raja yang didirikan pada tahun 1865 dan 1872. Masalah pendidikan yang muncul pada periode ini, adalah : a. Tujuan pendidikan yang tidak dinyatakan dengan tegas. b. Bangsa Indonesia tidak mendapatkan hak yang sama denga orang Belanda. c. Tujuan sekolah bukanlah untuk mendidik rakyat, bukan pula untuk mempertinggi taraf penghidupan rakyat, melainkan hanya untuk kepentingan kaum penjajah.

162

b. Pendidikan dan Pengajaran Pada Saat Politik Etis Diseluruh dunia terdapat perkembangan dan pembaruan di bidang politk, ekonomi, dan ide–ide. Hal ini mendorong pemerintah Belanda untuk memberikan lebih banyak lagi kesempatan anak bumi putera untuk menerima pendidikan. Atas dasar itulah, timbul suatu aliran di kalangan bangsa Belanda yang terkenal sebagai politik etis (etiche politiek). Aliran ini dicetuskan oleh Van Deventer dengan semboyan “Hutang Kehormatan”. Akhirnya, aliran ini terkenal dengan slogan edukasi, irigasi, dan emigrsi. Selain Van Deventer, ada pula Snouck Hourgroje, tokoh Belanda yang mendukung pemberian pendidikan kepada aristrokat Bumiputera. Menurut balai pustaka jenis sekolah yang ada, antara lain : o Pendidikan Rendah (lager Onderwijs) Pada hakikatnya pendidikan dasar untuk tingkat sekolah dasar menggunakan dua sistem pokok, yaitu : a. Sekolah Rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. b. Sekolah Rendah dengan bahasa pengantar bahasa daerah. o Pendidikan lanjutan / Pendidikan menengah (Midleboar Onderwijs) Sebenarnya terdapat satu jenis sekolah lanjutan menurut sistem persekolahan Belanda di golongan sekolah dasar, yaitu sekoilah dasar yang lebih luas (Meer Vitgebreld lagere Onderwijs) atu MULO yang berbahasa pengantar bahasa Belanda, denag lama sekolah antara tiga sampai empat tahun. o Sekolah menengah Umum (Algemeene Middlebares School atau AMS) merupakan kelanjutan dari MULO yang berbahasa Belanda dan diperuntukkan untuk golongan Bumiputera dan Timur Asing dengan lama belajar tiga tahun. AMS terdiri dari 2 jurusan yaitu : 1. Bagian A, Pengetahuan Kebudayaan. 2. Bagian B, Pengetahuan Alam. o Sekolah Warga Negara Tinggi (Hooger Burger School atau HBS). Sekolah ini disediakan untuk golongan Eropa, bangsawan Bumiputera, atau tokoh – tokoh terkemuka.bahasa pengantar yabg dipakai yaitu bahasa Belanda dan berorientasi ke Eropa barat, khususnya Belanda. Lama sekolah antara tiga dan lima tahun. Selain sekolah lanjutan Belanda juga mendirikan sekolah kejuruan sebagai bagian dari pelaksanaan politik etis. Adapun jenis – jenis sekolah kejuruan yang ada sebagai berikut : o Sekolah Pe rtukangan ( Ambachts Lee rgang) Sekolah ini berasal dari sekolah Pekerjaan Tangan (Hondwerk School) dan Sekolah Kerajinan Tangan (Njverheid School) yang pertama didirikan pada tahun 1881. sekolah ini berbahasa pengantar Belanda, sedangkan lama sekolah tiga tahun dan bertujuan untuk mendidik dan mencetak mandor (werkbaas). o Se kolah Te knik (Technish Onderwijs)

163

Sekolah ini merupakan kelanjutan dari Ambachts School, berbahasa pengantar Belanda dan lama sekolah tiga tahun. Yang mula – mula didirikan adalah Koningin Wihelmina School pada tahun 1906 di Jakarta. o Pe ndidikan Dagang (Handels Onderwijs) Tujuan dari pendirian Sekolah Dagang Indonesia untuk memenuhi kebutuhan perusahaan – perusahaan Eropa yang berkembang dengan pesat. o Pe ndidikan Pertanian (Landbauw Ode rwijs) Tahun 1911 mulai didirikan Sekolah Pertanian (Cultuur School yang tediri dari dua jurusan yaitu pertanian dan kehutanan. Sekolah ini menerima lulusan Sekolah Dasar yang berbahasa pengantar Belanda. Lama belajar adalah tiga sampai empat tahun dan bertujuan untuk menghasilkan pengawas – pengawas pertanian & kehutanan. o Pe ndidikan ke juruan Kewanitaan (Me isjes Vokonderwijs) Pendidikan ini dipengaruhi oleh gagasan – gagasan R.A. Kartini maka pemerintah mulai memberikan perhatian kepada bidang ini. Pada tahun 1918 didirikan Sekolah Kepandaian Putri (Lagere Nijverheidschool voor Meisjes). Sekolah sejenis yang didirikan oleh swasta dinamakan Huishoudschool (Sekolah Rumah Tangga) lama belajar tiga tahun. Disamping itu, ada sekolah Van Deventer yang memberiokan pendidikan keputrian yang berorientasi Eropa (Belanda). Sekolah Van Deventer memberikan juga pendidikan untuk menjadi guru Sekolah Taman Kanak – Kanak (Frobel Onderwijs). o Pendidikan Ke guruan (Kweekschool). Lembaga keguruan ini merupakan lembaga tertua dan sudah ada sejak permulaan abad kesembilan belas. Sekolah Guru Negeri yang pertama didirikan pad tahun 1851 di Surakarta. Sebelum itu, pemerintah telah menyelenggarakan kursus – kursus guru yang diberi nama Normal Cursus yang dipersiapkan untuk menghasilkan guru – guru Sekolah Desa. Pada abad ke dua puluh para kalangan penganjur politik etis mengemukakan gagasan mereka untuk segera membentuk Pendidikan Tinggi(Hooger Onderwijs). Dan pada trahun 1910 didirikan Perkumpulan Universitas Indonesia (Indische Universiteits Veriniging) yang bertujuan untuk mendirikan pendidikan tinggi, baik melalui pemerintah maupun swasta.Adapun pendidikan tinggi ini meliputi tiga bidang keahlian sebagai berikut. o Pe ndidikan Tinggi Kedokteran Lembaga pendidikan ini di Indonesia dimulai dari Sekolah Dokter Djawa yang didirikan pada tahun 1851. lama belajar dua tahun, setelah tamat dari sekolah dasar lima tahun. Bahasa pengantar bahasa melayu dan pada tahun 1913 Sekolah Dokter Djawa diubah namanya menjadi STOVIA. Pada tahun 1913 disamping STOVIA di Jakarta didirikan pula Nederlandsch Indische Artsenschool (NIAS) di Surabaya yang syarat dan lama belajarnya sama o Pendidikan Tinggi Hukum.

164

Pendidikan Tinggi Hukum dimuli dari Sekolah Hukum (Rechtsschool) yang didirikan pada tahun 1909. sekolah ini menerima lulusan ELS dan lama pendidikan tiga tahun serta berbahasa pengantar bahasa Belanda. o Pe ndidikan Tinggi Teknik Pada tahun 1920 pemerintah benarr – benar mendirikan pendidikan tinggi pertama yang betul – betul memenuhi syarat sebagai perguruan tinggi . tetapi pada periode ini masih terdapat masalah pendidikan , antara laihn : a. Masalah semua rakyat Indonesia belum memiliki kesempatan yang sama untuk memasuki pendidikan. b. Mata pelajaran yang diperuntukkan untuk Pribadi di sekoilah rendah Bumiputera bertendensi untuk menjadikan bangsa Indonesia mempunyai rasa harga diri kurang dan tida mendidik supaya menjadi anak yang cerdas. 5. Kesimpulan Politik etis sebagai politik balas budi atau hutang kehormatan yang di buat oleh pmerintah kolonial Belanda ternyata menimbulkan suatu kemajuan dan abad pencerahan bagi Bangsa Indonesia yang mendapat pendidikan, selain itu pula sebagai suatu politik boomerang bagi Bangsa Belanda karena tealh menelurkan para golongan terpejar yang kemudian menjadi suatu bola salju yang menghantam pemerintahan Belanda. Hal itu bisa kita lihat dalam dinamika dan perkembangan sekolah yang semakin tahun semakin banyak bidang dan kuantitas jumlahnya bagi penduduk pribumi. Perkembangan pendidikan pun menjadikan banyak masyarakat pribumi yang tidak lagi buta huruf dan mendapat pendidikan untuk mengetahui ilmu pengetahuan tidak hanya ilmu pengetahuan tentang agama saja namun juga ilmu pengetahuan umum, yang sebelumnya hanya ada lembaga pendidikan pesantran saja kemudian timbul sekolah-sekokah umum, baik yang berupa buatan Belanda maupun Indonesia seperti Tanam Siswa dll.

DAFTAR PUSTAKA

- M. C. Ricklefs. Sejarah Indo nesia Mod ern 1200-2004. Jakarta: Serambi, 2005.

- Robert van Niel. Mun culnya Elit Mod ern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.

- Sartono Kartodirdjo. Pengan tar Sejarah Indonesia: Sejarah Pergerakan Nasional. Jakarta: Granmedia Pustaka Utama, 1993.

- Bernard H.M. Vleke. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG, 2008.

165

- Marwati Djoened Poesponegero, Nugroho Nototsusanto. Sejarah Nasiona l Indoneisa V. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.

- Redaksi Kompas. Menjad i Indonesia. Jakarta: Kompas, 1987.

- H. Baudet, I.J. Brugmans (ed). Politik Etis da n Revolusi Kemerdek aan. Jakarta: Yayasan Obor, 1987.

- Sumarsono Mestoko, Pendidikan di Indo nesia dari Jaman k e Jaman. Jakarta : Balai Pustaka,1986.

-

[1] Redaksi Kompas. menjadi Indonesia, (Jakarta: Obor, 1987), hl. 180.

[2] Istilah politik kehormatan adalah istilah yang di buat oleh Abendanon dalam tulisanya di majalah De Gies yang intinya mengkritik kebijakan yang di buat oleh pemerintah Belanda.

[3] Sartono Kartodirdjo, Penga ntar Sejarah Indonesia baru : Sejarah Pergerak an Nasional, (Jakarta: Granmedia. 1993), hl. 3.

[4] Ibid., hl. 13.

[5] Ibid., hl. 15.

[6] Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V, (Jakarta: Balai Pustaka. 1994), hl. 5.

[7] B.H.M. Vleke, Nusantara Sejarah Nusantara, (Jakarta: KPG. 2008), hl. 348.

[8] Van Niel, Munculnya Elit Mod ern Indonesia, (Jakarta: Pustka Jaya. 1984), hl. 53.

166

[9] Sartono Kartodirdjo. Op.Cit., hl. 31.

[10] Nugroho Notosusanto. Op.Cit., hl. 35.

[11] Ibid., hl. 42-43.

[12] H. Baudet, I.J. Brugmans (ed), Politik Etis dan Revolusi Kemerdek aan , (Jakarta : Obor. 1987), hl. 176.

[13] M.c.Ricklefs, Op.Cit., hl. 329-330.

[14] http://nurdayat.wordpress.com/2008/02/12/politik-etis-dan-kondisi-umum- indonesia-pada-awal-abad-ke-20/ (hal.2)

[15] Sumarsono Mestoko, Pendidik an di Indonesia dari Jaman ke Jaman (Jakarta : Balai Pustaka), 1986. hal 77

[16] Ibid. hal 86

Sumber: Kong. t. t. ”Dinamikanisasi Pendidikan dan Perkembangan Sekolah” http://www.roll-k on g.blogspot.com/Dinamikanisasi-Pendidikan-da n- Perk embangan-Sekolah diakses tanggal 1 Maret 2010.

167

AGUS SALIM A. Latar Belakang

Haji Agus salim dilahirkan di kota Gadang Bukit Tinggi (Minangkabau), pada 8 Oktober 1884 putra seorang pejabat pemerintah sekaligus dari alangan bangsawan yang beragama. Pada tahu 1891, memasuki sekolah dasar Belanda, Yaitu ELS di Bukittinggi. Pada tahun 1898, agus salim menuju jakarta untuk masuk HBS. Selanjutnya pada usia 21 tahun Agus Salim ditawarkan untuk menjadi konsul Belanda di jeddah untuk mengurus jemaah haji Indonesia di Arab. Pada tahun 1906 agus Salim berangkat ke Jeddah sebagai konsul Belanda. Disana Agus Salim banyak bertukar pikiran dengan ulama yang pada kelanjutannya banyak memberikan perkembangan bagi pemikiran Agus Salim tentang Islam, diantara para ulama tersebut yaitu : Syekh Ahmad Khatib yang dikenal sebagai seorang pelopor ulama pembaharu di Minangkabau. Sekembalinya dari Arab Agus Salim banyak mengalami perubahan, terutama pemahamannya terhadap Islam menjadi lebih dalam lagi. Sejak tahun 1915 – 1936 beliau aktif dalam organisai SI. Di tahun 1925, di kota Yogakarta, salim turut mendirikan JIB (Jong Islamic Bond), akan tetapi pada tahun 1936 ia bersama dengan Mr Mohammad Roem mendirikan gerakan penyadar. Pada tahun 1931, haji Agus Salim berangkat ke Swiss dan Belanda sebagai wartawan surat kabar Fadjar Asia. Hingga tahun 1936 beliau lebih banyak bekerja sebagai pengasuh surat kabar . Menjelang Proklamasi kemerdekaan Indonesia, haji Agus Salim aktif dalam Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) bersama bung Karno dan Bung Hatta. Selanjutnya beliau menjadi anggota BPUPKI dan duduk di dalam PPKI[1].

B. Pemikiran Islam Agus Salim Pemikiran H. Agus Salim mengenai agama Islam bersifat progresif dan liberal. Agus Salim mengenal Islam dari pamannya yaitu Syekh Ahmad Khatib yang merupakan seorang imam dan guru mazhab Syafi’i di Mesjid Haram, Salim mempelajarinya saat dia bertugas menjadi penerjemah pada konsulat Belanda di Jeddah. Pemikiran dan pemahamannya tentang Islam ini dapat kita lihat dari ceramahnya di Universitas Cornell pada 1953 yang merupakan sebuah perguruan tinggi papan atas di Amerika Serikat yang terletak di Ithica dan pernah menjadi pusat kajian terbaik tentang Indonesia. Karena ceramahnya itu, Agus Salim disebutkan sebagai perintis pemikiran neomodernisme di Indonesia.[2] Dalam ceramahnya itu dia memperlihatkan pola pemikirannya tentang Islam yang bersifat progresif dan liberal itu. Pola pemikiran Salim yang terlihat dalam ceramahnya pada Universitas Cornell itu dapat kita lihat dari caranya memberi pemahaman dan mengenalkan Islam kepada masyarakat yang ada di tempat itu yang kebanyakkan tidak mengenal Islam secara mendalam. Menurut Salim kita seharusnya mengenalkan Islam dengan cara meneikkan Islam itu sendiri tanpa menjatuhkan agama lain dan juga membanding-bandingkannya. Mengenai Al-Quran, Agus Salim berpendapat bahwa isi dari Al-Quran itu harus kita pahami secara kontekstual yaitu sesuai dengan tempat dan waktunya,

168

dan dia juga menyatakan bahwa Al-Quran harus dibaca berulang-ulang untuk dapat mengerti isinya. Agus Salim mengungkapkan suatu pemahaman Islam yang salah yang terjadi di Indonedia pada 1953 yang pada waktu itu sebagian besar penduduknya hidup dalam sektor pertanian, saat itu sektor agama sangat dikuasai oleh guru pengajar Islam di pondok-pondok pesantren dan surau yang terpaku pada fikih, yang tidak mengalami perubahan berarti dan karena itu tidak menampung perkembangan dinamika dunia. Menurut Salim dari situlah muncul kecenderungan konservatif yang sulit menerima inovasi untuk dipertautkan dengan pikiran keagamaan, yang akibatnya untuk dapat membedakan apa yang dapat diterima atau tidak adalah dengan menolak semua hal yang dibawa oleh pemikiran asing dan nir-islami.[3] Agus Salim juga mengungkapkan pemikirannya mengenai ibadat, menurutnya ibadat itu harus dilaksanakan dengan dorongan niat dan pelaksanaan yang ikhlas, inilah yang terutama dipegang dalam melaksanakan ajaran Islam. Pemikirannya yang menunjukkan perspektif yang progresif terlihat dari perkataannya bahwa teks dari Al-Quran harus dimaknai secara kontekstual, dan kita dapat melihat contohnya pada pemikiran Salim mengenai masalah jilbab atau kerudung yang terdapat pada surat Al-Ahzab ayat (59), di sini Agus Salim mengisyaratkan pemahaman yang lebih kontekstual dengan memperhitungkan sebab turunnya (Azbabul-nuzul) ayat tersebut. Menurutnya anjuran pemakaian jilbab bagi perempuan Muslim tersebut dalam konteks waktu itu dimaksudkan untuk menugaskan identitas kulturalnya. Pandangan Islamnya juga muncul dalam pidatonya yang keras tentang harem dan cadar, dia mengatakan saat itu bahwa salah satu kecondongan adalah memisahkan laki-laki dan perempuan dalam setiap rapat JIB. Kaum perempuan disembunyikan di belakang sebuah tabir, yang menurutnya kebiasaan ini adalah kebiasaan bangsa Arab dan tidak berasal dari perintah Islam. Karena itu juga Agus Salim menolak asosiasi tabir dengan syahwat seperti yang diklaim oleh kalangan konservatif dan fundamentalis. Salim berpendapat bahwa persoalan tabir itu mencerminkan kepatutan sosial ketika berhubungan dengan para istri yang dipandang sebagai ibu dari kaum Muslim. Inilah yang menyebabkan Salim berani membongkar tabir dalam suatu rapat JIB.[4] Pandangan Agus Salim mengenai hubungan Islam dan negara belum dapat ditemukan jawabannya dengan tuntas, namun tentang surat yang dikirimkan kepada M. Roem tertanggal 13 Februari 1982, terdapat hipotesis tentang Salim yang dituliskan oleh Syafi’i Maarif, yaitu : 1. Pertama, Salim dengan ketajaman intelektualnya telah mampu melihat bahwa penciptaan suatu negara Islam di tengah-tengah rakyat yang lebih dari 90 persen mesih buta huruf tidak bakal berjalan baik. pondasi yang kukuh, religio-intelektual, mutlak diperlukan untuk bangunan sebuah negara Islam modern. 2. Kedua, barangkali Salim juga dalam satu segi dapat mengikuti jalan pikiran pihak nasionalis bahwa sebuah deklarasi negara Islam pada saat-saat kritis masa itu dapat memperlambat pencapaian kemerdekaan dan sebagian kelompok minoritas yang dominan di bagian-bagian yang cukup strategis di Tanah Air akan menarik diri dari negara yang bakal lahir.

169

3. Ketiga, imbangan kekuatan dalam BPUPKIyang hanya berjumlah 20 persen saja dari 68 anggota yang mendukung ide negara Islam; bila distem, tidak dimungkinkan pihak Islam menang secara demokratis.[5] Dari hal di atas kita dapat melihat bagaimana pemikiran Salim mengenai pembangunan negara Islam saat itu.

C. Pemikiran Politik Agus Salim Dalam langkah awalagus Salim di sarekat Islam (SI), setelah beliau terpilih sebagai pengurus besar SI, karir politik and percikan idenya sangat diperhitungkan oleh kawan maupun lawannya. Dimulai denga gagasannya untuk menerbitkan sebuah surat kabar yang bertujuan untuk menyebarluaskan tujuan dan cita-cita perjuangan SI gar rakyat mengetahuinya. Dalam pemikiran ideology Agus Salim menolak konsep-konsep kapitalisme, komunisme (sosialisme marxis) dan nasionalisme sekuler (duniawi). Menurut beliau semua itu pada dasrnya bersumber dari paham materialisme yang dikembangkn oleh dunia Barat dalam rangka mengganti kesetiaan tertinggi bukan pada ajaran agama, melainkan pada bangsa. Sebagai alternative ia menyodorkan paham Sosialisme Islam yang mengajarkan bahwa semua pihak akan menikmati kebahagiannya, yaitu bagi yang bermodal besar harus membantu yang lemah atau tidak mampu. Beliau mengatakan “tujuan Islam yaitu persamaan manusia, keadilan, yang sempurna dan ikhtiar serta usaha bersama, kebajikan orang bersama”. Dalam berorganisasi menyatakan bagaimana seharusnya sebuah organisasi yang kuat berdiri, diantaranya yaitu: 1. Adanya kepercayaan serta prinsip-prinsip yang diakui sebagai milik bersama. 2. Adanya toleransi yang berarti menghargai pendapat dan keyakinan orang lain. 3. Adanya permusyawaratan dalam mengambil keputusan-keputusan yang berhubungan dengan rakyat bersama yang dimaksud adalah menguatkan persatuan hati, kehendak, dan mendidk serta pengertian keterikatan dalam persatuan. Mengikuti beberapa pemikiran Hadji Agus Salim tentu saja tidak dapat dipisahkan dengan organisasi Sarekat Islam dan Jong Islamieten Bond. SI memang cenderung bergerak di bidang politik tetapi tujuan jangka panjangnya bukanlah kemerdekaan sepenuhnya. Dapat dilihat bagaimana pemikiran Salim tentang perjuangan untuk mencapai pemerintahan sendiri atau memperoleh kemerdekaan. Menurutnya, kemerdekaan itu tergantung kepada usaha rakyat bumiputra. Salim menolak pendapat yang statis yaitu menunggu saja kemerdekaan yang akan diberikan oleh bangsa kolonial Belanda. “Bangsa yang hendak mencapai kemerdekaannya yang hendak menurut kekuatan dan kecakapan akan berdiri sendiri, tak harus senantiasa menadahkan tangan menantikan pemberian orang saja, melainkan harus menggerakkan segala tenaganya dan berusaha dengan sekuat- kuatnya. Sebelum kita membuktikan bahwa kita kuat dan pandai mengichtiarkan segala keperluan kita sendiri, tidaklah layak kita beroleh kemerdekaan akan berdiri sebagai bangsa sendiri”.[6]

170

Terhadap sikap Belanda yang mengatakan bahwa kemajuan kita harus berangsur-angsur karena bangsa kita belum matang memperoleh kemerdekaan, perlu terlebih dahulu belajar Ilmu Pengetahuan. Dalam masalah ini Agus Salim berpendapat bahwa kemajuan dan kemerdekaan suatu bangsa tidak tergantung kepada kecerdasannya dalam Ilmu Pengetahuan melainkan kepada kekuatannya akan memaksa bangsa-bangsa lain akan mengakui kemerdekaanny dan ketinggiannya derajat itu.[7]Hal ini bukan berarti Salim menapikan Ilmu Pengetahuan. Menurutnya, Ilmu Pengetahuan memang perlu tetapi bukan menjadi syarat bagi kemerdekaan suatu bangsa melainkan sebagai hasil dari kemerdekaan.

D. Peranan dan Kiprah Politik Agus Salim

1. Sarekat Islam

Peranan Agus Salim berkaitan dengan pemikirannya dalam Sarekat Islam diantaranya adalah mengenai keberhasilan usahannya dalam memebersihkan tubuh Sarekat Islam dari unsur komunis. Selain itu pula ia juga lah yang berpengaruh dalam menggariskan kebijakan dan strategis perjuangan Sarekat Islam terutama menganai warna keislaman pada tubuh Sarekat Islam yang diwujudkan dalam Keterangan Asas (Beginsel Verk laring).

Membersihkan tubuh Sarekat Islam dari unsur Komunis Permasalahan ini sudah dimulai sejak tahun 1917 dimana telah terjadi perselisihan antara golongan komunis dengan golongan Islam. Diantaranya masalah perdebatan mengenai permasalahan Indie Weerbaar, selain itu pula masalah keikutsertaan Sarekat Islam terhadap lembaga Volk sraad, dimana golongan Komunis sangat menentangnya. Golongan komunis sebagian besar dari Sarekat Islam Semarang, diantara tokoh-tokohnya adalah Darsono dan Samaun. Yang mana keduanya sangat bertentangan dengan Agus Salim terutama mengenai arah perjuangan dari Sarekat Islam. Puncak-puncak ketegangan mulai nampak ketika pada kongres CSI tahun 1919 (centraal Sarekat Islam) mulai diperbincangkan masalah disiplin partai oleh kongres pada waktu itu. Yang mana secara tidak langsung dengan diberlakukannya disiplin partai (Partij Discipline) maka usaha Agus Salim dalam menyingkirkan golongan komunis dapat terlaksana. Namun tentunya usaha Agus salim tidak berjalan mulus. Diantaranya perbedaan pendapat dengan Tjokroaminoto. Dimana Tjokroaminoto lebih berpandangan bahwa ia lebih menghutamakan persatuan dikalangan Sarekat Islam sehingga pun menagguhkannya. Ia lebih mengutamakan persatuan di tubuh SI ketimbang perbedaan yang menurutnya bukanlah sesuatu yang prinsip. Berbeda dengan Salim. Ia berpendapat, masalah PKI sangatlah prinsip, karena menyangkut akidah Sehingga baru pada tahun 1921 ide disiplin partai dimunculkan kembali dalam kongres yang dipimpin oleh Agus Salim, yang kebetulan pada waktu itu

171

Tjokroaminoto tidak hadir karena sedang ditahan oleh pemerintah Hindia Belanda.Peranan Salim di SI sangat menonjol terutama dalam merumuskan kebijakan dan strategi perjuangan organisasi. Hal itu tampak saat ia berusaha membersihkan orang-orang PKI yang mulai menyusup ke tubuh SI. Usaha pembersihan itu terkenal dengan istilah "Disiplin Partai". Soal asas Salim menyatakan, "Tidak perlu mencari isme-isme lain yang akan mengobati penyakit gerakan. Obatnya ada di dalam asasnya sendiri, asas yang lama dan kekal, yang tidak dapat dimubahkan orang, sungguhpun sedunia telah memusuhi dengan permusuhan lain. Asas itu adalah Islam." Dalam hal PKI, Salim meminta agar Kongres mengeluarkannya dari SI. Sambil mengutip ayat al-Qur'an Salim menegaskan, "Di dalam al-Qur'an terkandung perintah yang melarang kita bersaudara, yakni berikatan lahir batin dengan orang yang tidak sama keyakinan dengan kita. Karena mereka selalu hendak menjerumuskan kita dan mereka suka bila kita menderita bencana." Menanggapi Salim, Semaun menjawab bahwa SI perlu taktik yang lebih luas. Selama ini, katanya, SI hanya mampu mengumpulkan orang Islam saja buat bekerja bersama-sama membela hak rakyat. Padahal, selain Islam masih ada orang lain yang jumlahnya tidak sedikit. "PKI sudah nyata bisa membawa orang-orang Ambon, Manado, dan lain-lain rakyat Hindia yang tidak beragama Islam. Bilangan mereka tidak sedikit, pengaruhnya harus pula dihargakan. Di sini PKI sudah membuktikan taktiknya, bekerja dengan orang Islam Kristen. Kongres akhirnya mensahkan keputusan disiplin partai dan Islam sebagai asas SI. Akibatnya, PKI harus keluar dari SI. Tak lama kemudian, Semaun dan Darsono membentuk SI sendiri yang terkenal dengan sebutan "SI Merah".

Memberi nuansa Islam yang kental terhadap organisasi Sare kat Islam Usahanya dimulai dengan merumuskan keterangan asas yang merupakan arah dan tujuan dari organisasi SI pada kongres tahun 1919 yang kemidian disyahkan pada kongres tahun 1921. Hal yang dilakukan salim merupakan penegasan kembali terhadap keterangan asas yang telah lebih dahula ada yang dibuat tahun 1917. Menurutnya penegasan kembali terhadap keterangan asa pada organisasi SI perlu sebab islam merupaakan alternative utama bagi masyarakat Hindia Belanda untuk melakukan perubahan. Sebab keterangan asas sebelumnya kurang menjelaskan posisi islam yang lebih luas. Sebab pada keterangan asas terdahulu mengisyaratakan bahwa sebaiknya pemerintahan atau Negara tidak dicampuri oleh masalah agama.

2. Jong Islamie te n Bond (JIB) Jong Islamieten Bond atau Persatuan Pemuda Islam dilahirkan dalam lingkungan kelompok terpelajar yang mendapat pendidikan Barat. Kelahirannya merupakan reaksi sekelompok pelajar terhadap kalangan pelajar muslim lainnya yang bersikap acuh tak acuh terhadap agama Islam. Atas dasar keinginan untuk mengembalikan Islam sebagai ajarannya, sebagian pelajar

172

muslim yang tidak ingin terhanyut dalam pola kehidupan Barat akhirnya mendirikan JIB. Peran Agus Salim dalam Jong Islamieten Bond adalah dengan memeberikan gagasan-gagasan tentang modernisasi Islam dan politik. Pengaruh Salim sebagai seorang modernis dapat terlihat dalam beberapa tulisannya di majalah Het Licht/An-nur (cahaya) yang diterbitkan oleh JIB. Kemudian JIB muncul sebagai “pabrik” dengan intelek-intelek mudanya seperti: Mohammad Roem, Mohammad Natsir, Kasman Singadimedjo dan AR Baswedan. Agus Salim yang seorang nasionalis sejati, menyatakan pendapatnya tentang organisasi ini dalam majalah Het Licht: didirikannya JIB merupakan titik balik terhadap segala kehidupan itu, kita di sini dihadapkan dengan tekad untuk berorientasi kepada sesuatu yang asli dari bangsa kita, dengan hasrat mengagunggkan sesuatuyang asli dalam pandangan kita sendiri; tidak mengagungkan segala apa yang berasal dari asing. Pemikiran dan tindakan Hadji Agus Salim yang tegas dalam Jong Islamieten Bond terlihat pada kongres JIB di Solo pada 1927. salim dengan tegas “tidak ragu-ragu bertindak secara demonstratif dan menonjol, membongkar hijab atau tabir yang memisahkan para hadirin wanita dari para hadirin pria”. Menurutnya, pemisahan dengan menggunakan tabir adalah pengucialn terhadap kaum wanita.

3. Perge rakan Pe nyadar Setelah kongres PSII selesai, Agus Salim mengatakan akan tetap bekerja menyumbangkan tenaga dan fikirannya untuk kepentingan umat Islam Indonesia. Karena terjadi konflik diantara pemimpin PSII, ia melakukan langkah politik baru yaitu membentuk badan oposisi bernama Barisan Penyadar PSII (BP.PSII). Barisan Penyadar ini dimaksudkan untuk mengajak supaya setiap anggota partai sadar akan hak-haknya dalam organisasi yang selama ini dilanggar oleh Dewan Partai dan Lajnah Tanfidziyah.[8] Salim dan Barisan Penyadar giat mengadakan pertemuan-pertemuan mempropagandakan politik kooperasidan mendesak agar partai mengubah haluannya. Aksi oposisi Salim melalui Barisan ini menggoyahkan kedudukan Abikoesno. Oleh karena itu, setelah mengadakan rapat, pada tanggal 13 Februari 1937 diberlakukan pemecatan terhadap Salim, Sangadji, Sabirin dan Roem serta 24 orang tokoh Barisan Penyadar lainnya. Dengan dikeluarkannya tokoh-tokoh Barisan Penyadar semakin membulatkan tekad mereka untuk membentuk partai sendiri. Kemudian diadakan konferensi yang menghasilkan keputusan yaitu membentuk partai “ Pergerakan Penyadar” . salim menyatakan bahwa partai ini merupakan pergerakan merdeka dan berdiri sendiri, mempunyai bentuk organisasi sendiri, asas, haluan politik serta program-program sendiri. Konferensi juga menetapkan H. Agus Salim sebagai pemimpin Umum dan AM. Sangadji sebagai wakilnya. Sedangkan Moh. Roem dipilih untuk menduduki jabatan Presiden Partai.

173

Daftar Pustaka

Ahmad Syafi’i Ma’arif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta:LP3ES, 1985 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942, (cetakan ke 8) 1996, Jakarta;LP3ES Drs. Suradi, HA Salim dan Konflik politik dalam Sarekat Islam, 1997, Jakarta: Sinar Harapan Taufik Abdullah, aswab mahasin, Daniel Dhakidae, manusia dalam Kemelut Sejarah, jakarta:LP3ES, 1978 Solihin Salam, HA Salim, Hidup dan Perjuangannya, Jakarta, 1976 Depdikbud, Tokoh-Tokoh Pemik ir Paham Kebangsaan : haji Agus Salim dan Muhammad Husni Thamrin, Jakarta, 1995 Pnitia Buku Peringatan, Seratus tahun Haji Agus Salim, Jakarta: Sinar Harapan, 1996. [1] DEPDIKBUD, Tokoh-tokoh pemikir paham kebangsaan: Haji Agus Salim dan Muh ammad Husni Thamrin, Jakarta. 1995, hal 18 [2] Kompas. [3] ibid [4] ibid [5] Islam dan masalah kenegaraan [6] M r Mohammad Roem., 1954, Djedjak Langkah Hadji Agus Salim: Pikiran Karangan, Utjapan dan Pendapat Beliau dari Dulu sampai Sekarang, Jakarta: Tinta Mas, hlm 18 [7] Ibid, hlm 35 [8] Suradi., 1997, Haji Agus Salim dan Konflik Politik dalam Sarekat Islam, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm 68

Sumber: Ahmad Fathul Bari. 2007. ”Agus Salim”. http://ahmadfathulbari.multiply.com/journa l/item/10 diakses tanggal 7 Agustus 2009.

174

175

176

177

178

179

Journal article by Anton Ploeg; Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 33, 2002

Be tween Orientalism and Science . The Royal Institute of Linguistics and Anthropology in its Historic Context 1851-2001

by Anton Ploeg Tussen Orientalisme en Wetenschap. Het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde in Historisch Verband 1851-2001 [Between Orientalism and Science. The Royal Institute of Linguistics and Anthropology in its Historic Context 1851-2001] By MAARTEN KUITENBROUWER Leiden: KITLV Press, 2001. Pp. xi, 362. Photos, Notes, Appendices, Index. The Koninklijk Instituut or KITLV was founded in 1851 on the initiative of J. C. Baud, then a former minister for colonies. Baud was a 'conservative' who wanted colonial rule to directly benefit the state rather than private entrepreneurs. He conceived of the KITLV as a way to promote scholarly inquiry about the colonies with the aim of a 'just, enlightened, and benevolent government' (p. 31). Accordingly, the KITLV was to become not an independent research institute, but an integral part of the colonial establishment. From the start the KITLV published a journal, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde [Contributions to the Linguistics, Geography and Ethnology (of the colonies)] -- BKI for short -- and occasional publications entitled Werken [Works]. The BKI commemorated its 150th volume in 1994 -- volumes have not always coincided with calendar years -- and the Werken have proliferated into a number of series and, recently, occasional publications once again, such as the one under review. Of the three disciplines mentioned in the Dutch name of the institute, geography has received the least attention, due to the establishment of the Royal Dutch Geographical Society in 1873. An impressive amount of work was done in linguistics by both taalambtenaren, linguists employed by the colonial administration, and missionaries. In addition, the KITLV has furthered the study of disciplines such as archaeology, history and law. An institute as influential for our understanding of Indonesia as the KITLV deserves an analytical history, and this has been provided in this book marking the 150th anniversary of the institution. Marteen Kuitenbrouwer, whose previous work has focused on Dutch imperialism and the expansion of Dutch colonial rule in the late nineteenth and early twentieth centuries, and with what he has called 'The Discovery of the Third World' in the second half of the twentieth century, is knowledgeable about the context in which the KITLV operated. According to Kuitenbrouwer's account, the KITLV remained part of the colonial establishment until 1942. From at least 1870 to 1966 it was housed in The Hague, the centre of government. Its collections -- books, documents and photographs -- grew in size and importance, thus facilitating research while also providing an outlet for publication. Among the board members were prominent politicians, colonial and metropolitan administrators and businessmen. For

180

example, J. W.Ijzerman, a railway builder in Java and Sumatra, raised a substantial amount of capital from among his business relations to see the KITLV through financial setbacks. That capital, which has since multiplied many times over, is still among the KITLV's assets. Academics, particularly those from Leiden, have also been prominent in running the KITLV during the course of the twentieth century. These academics were usually progressive in colonial matters, advocating ethical policies and accommodation with the Indonesian nationalist movement. Hence the institute and its board members included people with widely divergent views. In the post-colonial era, Kuitenbrouwer argues, the KITLV was revitalised on the initiative of E. M. Uhlenback, in close cooperation with A. J. Piekaar and A. Teeuw. Uhlenback was a professor of Javanese and of theoretical linguistics at Leiden University, and also a leading administrator of that university. Piekaar was a former colonial administrator who continued to work for the government after his return to the Netherlands following World War Two. From 1956 he was in charge of Higher Education and Sciences, where he secured the government subsidy that became the KITLV's main source of income. Piekaar also managed to retain Indonesian Studies at Leiden University, although student numbers had dropped severely, while Teeuw was a professor of and literature in Leiden beginning in 1957. The three held prominent positions within the institute, and they rotated the chairmanship among them from 1962 to 1983, except for one year. From the 1950s onward, Uhlenback and Teeuw were editors of the B KI and/or the expanding series of monographs. Uhlenback, Teeuw and Piekaar pushed for internationalisation, for turning KITLV into a research institute, and for a shift to Leiden, where the university offered accommodation in one of its buildings. This transition took place in 1966 (p. 226n). Around that time the ...

Sumber: http://www.questia.com/googleScholar.qst?docId=5001785520 diakses tanggal 14 April 2010.

181

Title: Overview of Indonesian Islamic Education: A Social, Historical and Political Perspective Authors: Zakaria, Rusydy Abstract: The aim of this study is to examine how the historical genealogy of Islamic educational tradition, particularly the tradition of teaching and learning, has contributed to the development of Islamic education in Indonesia. By drawing together in an analytic way a historically based description of the social and political circumstances surrounding Indonesian Islamic education, the study discusses some significant issues concerning the religious base, knowledge base, structural form, and the pedagogical approach of Indonesian Islamic education, all of which are important to the development of a modern form of Islamic education. The argument of the thesis is that the existing values of the Islamic tradition in education, particularly evident in Madrasah schools, provide a valuable basis for further developing and reconstructing an effective Islamic education system in Indonesia. However, there is also a strong need to construct an Islamic education curriculum in Indonesia that can meet the challenge posed by the c ircumstances generally understood as 'modernity'. The quality of teaching and learning in the Madrasah are very much influenced by the quality of the wider Islamic education programme. Any change in the curriculum of Islamic education will thus have significant effects on the quality of the Madrasah schools in Indonesia. This thesis will thus conclude by suggesting some implications for further development of Islamic education that arise from the study. This is a qualitative study using an historical genealogical approach to discover, understand and analyze the challenges currently facing Islamic education In Indonesia. The techniques for collecting data involved, primarily, a critical reading of historical and contemporary policy documents. Primary and secondary sources were also collected, studied and subjected to a critical reading in the production of this account of Indonesian Islamic education. Keywords: Islamic education in Indonesia Islamic education curriculum

Sumber: https://dr.ntu.edu.sg/handle/10220/5932 diakses tanggal 14 April 2010.

182

Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 9, No. 1 (Mar., 1978), pp. 99-114

Sumber: http://www.jstor.org/stable/20070247 diakses tanggal 14 April 2010.

183

184