PERUBAHAN TOKOH DALAM NOVEL TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK KARYA HAMKA KE BENTUK FILM TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK KARYA SUTRADARA SUNIL SORAYA SERTA IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA DI SMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh

LISA NUR AFIFAH

NIM 1113013000060

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2018 Scanned by CamScanner Scanned by CamScanner Scanned by CamScanner ABSTRAK

Lisa Nur Afifah (1113013000060), “Perubahan Tokoh dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka ke Bentuk Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Kaya Sutradara Sunil Soraya serta Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah , 2013. Dosen Pembimbing : Ahmad Bahtiar, M.Hum. Penelitian yang berjudul “Perubahan Tokoh dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka ke Bentuk Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Kaya Sutradara Sunil Soraya serta Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”, bertujuan untuk mengetahui perubahan tokoh pada novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu menganalisis secara sistematis dengan membaca, mencatat dan mengolah bahan penelitian, serta memfokuskan pada analisis perubahan tokoh dari novel ke film. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu, adanya perubahan tokoh yang terjadi antara novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, hal ini terjadi karena adanya penambahan, penciutan, dan perubahan bervariasi pada novel setelah mengalami proses ekranisasi. Analisis perubahan tokoh pada sebuah karya sastra ini, dapat diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Menengah. Peserta didik dapat menganalisis unsur penokohan pada dua media yang berbeda, media buku dan juga film. Hal ini dapat mengasah kekuatan analisis siswa, selain itu siswa dapat lebih paham dalam menganalisis penokohan jika melalui media audiovisual.

Kata Kunci : Sastra Bandingan, Ekranisasi, Tokoh dan Penokohan.

i ABSTRACT

Lisa NurAfifah (1113013000060), "The Change of the Figures in the Novel of the TenggelamnyaKapal Van der Wijck of Hamka'sinto a movie formTenggelamnyaKapal Van der Wijck creation of Director Sunil Soraya and Its Implications on Indonesian Language and Literature Learning in SMA", Indonesian Language and Literature, Faculty of Tarbiyah and Teacher Training, SyarifHidayatullah State Islamic University Jakarta, 2013. Supervisor: Ahmad Bahtiar, M.Hum. The study, entitled"The Change of the Figures in the Novel of the Tenggelamnya Kapal Van der Wijck of Hamka'sinto a movie formTenggelamnya Kapal Van der Wijck creation of Director Sunil Soraya and Its Implications on Indonesian Language and Literature Learning in SMA", aim to know the character changes in the novel and the movie of the Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. This research uses qualitative method that is systematically analyzed by reading, recording and processing of research materials, and also focusing on new novel. The results obtained are, the change of character that occurs between the novel and the movie Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, this happens because of the addition, shrinkage and varied changes in the novel after experiencing the process of ekranisasi. The analysis of character change on a literary can be implicated in learning language and Indonesia literature in High School. Learners can analysis the element of characteristic in two different media, book and film. They can sharp learners analysis, in addition the learners can understand more on analyzing the characteristic from audiovisual

Keywords: Comparative Literature, Ekranisasi, Figure and Characterization.

ii KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT tuhan semesta alam, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Perubahan Tokoh dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka ke Bentuk Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Sutradara Sunil Soraya serta Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”. Shalawat serta salam tak lupa selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW keluarganya, para sahabatnya, kita semua selaku pengikutnya yang diharapkan selalu mendapat safaatnya di dunia maupun di akhirat. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, selama proses pembuatan skripsi ini penulis mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil, maka penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada: 1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan dosen penasihat yang telah memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi. 3. Toto Edidarmo, MA selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 4. Ahmad Bahtiar, M.Hum. selaku dosen pembimbing skripsi yang sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas arahan, bimbingan, dan kesabaran serta waktu luang Bapak selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 5. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah iii banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan, mendidik dengan sabar serta selalu memberikan motivasi kepada penulis. 6. Kedua orang tua yang penulis sayangi (Abdul Aziz, S.Ag dan Tien Rosliawati) yang selalu memberikan kasih sayang, doa, dukungan baik motivasi maupun material kepada penulis untuk selalu bersemangat dalam penyusunan skripsi ini. Semoga hal ini dapat sedikit membuat mereka bangga dan bahagia serta kepada kedua adik penulis (Hasna Nabilah dan Najwa Syihab) yang memotivasi penulis untuk cepat menyelesaikan skripsi ini sehingga dapat memberikan contoh kepada mereka agar tetap semangat dalam belajar. 7. Keluarga besar yang telah memberikan saran, masukan, dukungan kepada penulis sehingga penulis bersemangat untuk menyelesaikan skripsi ini. 8. Terima kasih yang sangat tulus untuk Rizki Badriansyah yakni sahabat, teman berbagi, pendamping terhebat bagi penulis. Terimakasih atas waktu, tenaga, pikiran, semangat, kasih sayang, dan segala hal yang selalu diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 9. Sahabat tersayang, terbaik, dan terhebat bagi penulis, Aay Rizki Amelia dan Annisa Aulia. Terima kasih atas segala motivasi, kasih sayang, keceriaan, dan dukungannya kepada penulis. Suka dan duka kita lalui bersama selama empat tahun di kampus tercinta ini. Semoga persahabatan kita tak hanya sampai kita lulus kuliah, namun sampai akhir hayat. 10. Sahabat SMA, Astri Oktaviani, S.Pd. yang selalu memberikan semangat kepada penulis dan tak pernah lelah memberi motivasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Rissa Ardiyanita yang rela meluangkan waktunya untuk mengantar penulis menemui Bapak Sunil Soraya selaku sutradara film yang penulis teliti. 11. Sutradara Sunil Soraya yang telah meluangkan waktunya kepada penulis untuk diwawancarai. Terima kasih atas informasi yang Bapak berikan iv mengenai film yang penulis teliti sehingga penulis dapat menyusun skripsi dengan lancar. 12. Keluarga Besar PBSI Angkatan 2013, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu telah bersama penulis menjalani perkuliahan di dalam kelas, selama empat tahun kebelakang dalam suka dan duka, saling memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis. 13. Serta berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih pula untuk seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian penelitian ini. Semoga Allah senantiasa membalas kali semua. Penulis mengharap kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk menjadikan penelitian ini lebih baik lagi. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat untuk para pembaca.

Jakarta, Desember 2017

Lisa Nur Afifah

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSAH LEMBAR SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ABSTRAK ...... i ABSTRACT...... ii KATA PENGANTAR ...... iii DAFTAR ISI...... vi BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 6 C. Pembatasan Masalah ...... 6 D. Rumusan Masalah ...... 6 E. Tujuan Penelitian ...... 7 F. Manfaat Penelitian ...... 7 G. Metodologi Penelitian ...... 7 H. Jenis Penelitian ...... 7 I. Subjek dan Objek Penelitian ...... 9 J. Data dan Sumber Data...... 9 K. Instrumen Penelitian...... 9 L. Teknik Pengumpulan Data ...... 10 BAB II KAJIAN TEORI ...... 12 A. Sastra Bandingan ...... 12 B. Film ...... 17 C. Novel ...... 20 D. Penokohan ...... 22 E. Penelitian yang Relevan ...... 26 F. Pembelajaran Sastra di SMA ...... 35 vi

BAB III PENGARANG DAN KARYANYA ...... 37 A. Biografi Pengarang dan Sutradara...... 37 1) Hamka ...... 37 2) Sunil Soraya ...... 41 BAB IV PEMBAHASAN...... 44 A. Unsur Intrinsik Novel ...... 44 1) Tema ...... 44 2) Alur ...... 46 3) Tokoh dan Penokohan ...... 60 4) Latar ...... 86 5) Sudut Pandang ...... 98 6) Gaya Bahasa...... 100 7) Amanat ...... 102 B. Analisis Perubahan Tokoh pada Novel dan Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ...... 103 C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA ...... 136 BAB V PENUTUP ...... 137 A. Simpulan ...... 137 B. Saran ...... 138 DAFTAR PUSTAKA ...... 139

LAMPIRAN RIWAYAT PENULIS

vii BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni.1 Sebuah karya sastra berisi tentang kebahagiaan, kesedihan, dan segala kehidupan yang terjadi pada seseorang. Teks sastra akan terlihat menarik jika lahir dari pengarang yang kreatif. Istilah sastra paling tepat diterapkan pada seni sastra yaitu sastra sebagai karya imajinatif. Sastra dapat dibedakan menjadi sastra umum, sastra bandingan, dan sastra nasional. Istilah sastra bandingan dalam praktiknya menyangkut bidang studi dan masalah lisan.2 Pertama, istilah ini dipakai untuk studi sastra lisan, terutama cerita-cerita rakyat dan migrasinya, serta bagaimana dan kapan cerita rakyat masuk ke dalam sastra yang lebih artistik. Kedua, istilah sastra bandingan mencakup studi hubungan antara dua kesusastraan atau lebih. Ketiga, istilah sastra bandingan disamakan dengan studi sastra menyeluruh.3 Karya sastra berupa novel, cerpen, puisi, dan naskah drama. Novel merupakan sebuah karya sastra yang memiliki cerita yang penuh dengan imajinasi dan rekaan. Seorang pengarang harus memiliki wawasan yang luas ketika ia membuat sebuah karya sastra atau novel. Sebuah novel memiliki cerita yang bagus dan menarik sehingga membuat para pecinta sastra tertarik untuk membaca sebuah novel tersebut. Novel memiliki unsur-unsur yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain secara erat. Unsur-unsur pembangun cerita dalam novel yakni unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Sebuah novel dikatakan memiliki kualitas yang bagus, yakni tidak lepas dari pengarang yang cerdas dan kreatif dalam membuat cerita. Sebuah karya sastra tidak hanya dapat diterjemahkan saja seperti dialihkan dari satu bahasa ke bahasa lain, tetapi juga dapat dialihkan ke dalam macam-macam media untuk

1 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1989), hlm. 3 2 Ibid, hlm.47 3 Ibid, hlm.54

1 2

mengembangkan suatu karya sastra tersebut. Karya sastra yang dapat mengalami peralihan selain dari novel ke film, yakni adapula peralihan dari film ke novel, dari puisi ke musik, dan puisi ke drama. Penelitian ini akan mengkaji sebuah novel karya Hamka yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan film Tenggelamnya Kapal Van der wijck karya sutradara Sunil Soraya. Penulis tertarik untuk meneliti novel dan film ini karena setelah penulis membaca kemudian menonton film ini penulis menemukan banyak perubahan yang terjadi antara novel dan film, terutama pada penokohan. Ada beberapa tokoh yang muncul di dalam novel namun tidak ada di dalam film, kemudian dari sifat para tokohnya ada yang berbeda antara novel dan film, dan masih banyak lagi perubahan-perubahan yang menyangkut penokohan dalam novel dan film tersebut. Penokohan merupakan salah satu hal yang sangat penting bahkan menentukan dalam sebuah fiksi. Tanpa ada tokoh yang diceritakan dan tanpa ada gerak tokoh fiksi tidak ada artinya. Jones dalam buku Nugiantoro menjelaskan bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Sedangkan, Abrams dalam buku Nugiantoro tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti apa yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.4 Tidak semua tokoh yang ada di dalam novel kemudian ada juga di dalam film. Watak dan sifat yang dimiliki oleh tokoh yang terdapat dalam novel juga tidak semua sama dengan watak yang terdapat dalam film. tokoh dan penokohan menjadi salah satu peranan penting di dalam sebuah cerita. Penokohan sekaligus mencangkup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Perbedaan yang mencolok pada tokoh dan penokohan terdapat dalam

4 Ni Nyoman Karmini. Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama, (Bali : Pustaka Larasan , 2011), hlm.18 3

penambahan tokoh-tokoh sampingan yang sebelumnya tidak ada di dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, kemudian dimunculkan di dalam film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Beberapa tokoh sampingan yang dimunculkan seperti Datuk Garang, Mak Ipih, Upik Banun, Engku Labay, dan lainnya. Selain penambahan, pengurangan juga dilakukan terhadap tokoh yang ada di dalam novel. Beberapa pengurangan tokoh terjadi pada tokoh kakek Hayati, Daeng Masiga, Sersan pensiunan dan lainnya. Adanya penambahan dan pengurangan tokoh dari adaptasi novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck menjadi sebuah karya film merupakan salah satu cara sutradara dalam menarik minat para penonton untuk melihat film tersebut. Peralihan suatu karya sastra ke dalam bentuk media apa saja dikenal sebagai alih wahana. Apabila melihat ke dalam dunia sastra maka akan mengetahui betapa banyaknya karya sastra yang mengalami peralihan dan perkembangan. Bagi penikmat sastra, peralihan tersebut sangatlah menyenangkan. Dari sisi tersebut dapat membandingkan jalan cerita antara film dan novel, puisi dan musik serta puisi dan drama. Pasti terdapat banyak perbedaan dalam peralihan tersebut. Banyak karya sastra seperti novel atau cerpen yang diangkat ke layar lebar. Hal tersebut termasuk ke dalam ekranisasi. Dalam ekranisasi terdapat perbedaan yang mendasar antara karya sastra dan film, misalnya dalam pengembangan imajinasi pembaca dan penonton. Pada saat membaca sebuah karya sastra, pembaca hanya bisa membayangkan dan berimajinasi dalam setiap kejadian dan hanya bisa menerka-nerka apa yang telah terjadi. Berbeda dengan ketika melihat sebuah film maka dapat melihat dengan jelas peristiwa apa yang telah terjadi tanpa harus berimajinasi. Dari perbedaan tersebut kita dapat membandingkan karya sastra yang satu dengan yang lain. Ekranisasi ialah pelayarputihan atau pemindahan/pengangkatan sebuah novel ke dalam film. Pemindahan novel ke layar putih mau tidak mau mengakibatkan timbulnya pelbagai perubahan. Alat utama dalam novel adalah kata-kata; segala sesuatu disampaikan dengan kata-kata. Cerita, alur, penokohan, latar, suasana, dan gaya sebuah novel dibangun dengan kata-kata. 4

Pemindahan novel ke layar putih, berarti terjadinya perubahan pada alat-alat yang dipakai, yakni mengubah dunia gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan. Sebab di dalam film, cerita, alur, penokohan, latar, suasana dan gaya diungkapkan melalui gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan. Apa yang tadinya dilukiskan atau diungkapkan dengan kata-kata, kini harus diterjemahkan ke dunia gambar-gambar5. Perbedaan yang muncul antara novel dan film tidak jarang menimbulkan kekecewaan karena hal tersebut dapat dilepaskan dari proses pembacaan para pekerja film terhadap novel yang akan diadaptasinya. Dari sekian banyak perubahan yang terjadi, penulis melihat banyak perubahan pada tokoh dari novel ke film tersebut dibandingkan pada perubahan alur, latar, dan lainnya. Ekranisasi yakni dapat dikatakan sebagai proses pemindahan/pengangkatan sebuah novel (karya sastra) ke dalam film. Dalam proses pemindahan dari novel ke dalam film pasti terjadi berbagai perubahan. Seperti penciutan, penambahan dan perubahan bervariasi. Jika membaca sebuah novel, maka hati ikut tergerak mengikuti alur cerita yang sedang terjadi. Secara tidak sengaja, dengan membaca novel sebagai pembaca pasti berimajinasi menggambarkan suasana dalam cerita, membayangkan gambaran tokohnya dan latar tempat cerita tersebut. Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck mampu menghidupkan pengetahuan pembaca, kita dapat mengetahui bahwa sesungguhnya kehidupan nyata tidak hanya berjalan dengan mulus saja tetapi juga banyak lika-liku perjalanan dalam kehidupan nyata. Di Indonesia, perpindahan dari novel ke film baik layar lebar maupun sinetron telah banyak dihasilkan. Perpindahan novel ke film di Indonesia dimulai sejak tahun 1926. Novel pertama yang mengalami peralihan yaitu novel Loetoeng Kasaroeng yang difilmkan pada tahun 1926, kemudian novel Eulis Atjih karya Yuhana difilmkan pada tahun 1927 diproduksi oleh George Krugers, novel Tjerita Njai Dasima difilmkan pada tahun 1929 oleh Lie Tek Swie, novel Si Doel Anak Betawi yang difilmkan dengan judul yang sama pula

5 Pamusuk Eneste. Novel dan Film, (Flores: Nusa Indah, 1991), hlm.60 5

pada tahun 1932, novel Siti Noerbaya yang difilmkan pada tahun 1941, novel Atheis yang difilmkan pada tahun 1949, novel Roro Mendut difilmkan pada tahun 1983, novel Darah dan Mahkota Ronggeng yang difilmkan pada tahun 1983, novel Lupus yang difilmkan pada tahun 1986, novel Di Bawah Lindungan Kabah yang difilmkan pada tahun 2011, dan seterusya. Implikasi dari penelitian ini terhadap pembelajaran bahasa dan sastra diharapkan peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Tujuan yang kedua adalah, peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Peserta didik dapat mengembangkan kemampuannya melalui kegiatan membaca karya sastra, baik novel, cerpen, maupun bentuk karya sastra lainnya. Melalui kegiatan ini siswa diharapkan mampu memahami dan mempelajari bahwa terdapat perubahan yang terjadi antara novel dan film. Berdasarkan tujuan yang kedua hal ini dapat mengajak siswa untuk menganalisis lebih dalam karya sastra, dan sebagai wujud apresiasi pada sebuah karya sastra. Berdasarkan paparan di atas, penulis tertarik untuk memilih novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck untuk dianalisis perubahan penambahan, perubahan penciutan dan perubahan bervariasi pada tokoh yang terdapat pada novel ke bentuk film ini. Dalam judul novel dan judul film yang sama sangat menarik untuk dianalisis perbedaannya. Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah yang telah peneliti kemukakan di atas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian. Adapun judul penelitian ini adalah “Perubahan Tokoh dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka ke Bentuk Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Sutradara Sunil Soraya Serta Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”.

6

B. Identifikasi Masalah Masalah yang berkaitan dengan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Kurangnya pemahaman proses ekranisasi pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ke bentuk film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. 2. Belum adanya penelitian perubahan tokoh pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ke bentuk film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. 3. Sulitnya memahami perbedaan alur antara novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya sutradara Sunil Soraya. 4. Rendahnya minat membaca siswa jika dibandingkan dengan penggunaan media visual. 5. Kurangnya pemahaman mengenai analisis perbandingan tokoh pada pembelajaran sastra di SMA.

C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi di atas, penulis lebih terfokus kepada masalah perubahan tokoh pada novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck tersebut agar permasalahan yang akan diteliti akan lebih terarah dan tidak menyimpang dari masalah yang telah diterapkan.

D. Rumusan Masalah Demi mencapai hasil penulisan yang maksimal dan terarah, diperlukan perumusan masalah dalam sebuah penulisan. Adapun perumusan masalah pada penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana proses perubahan tokoh dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya sutradara Sunil Soraya? 2. Bagaimana implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra pada siswa SMA? 7

E. Tujuan Penelitian Dengan adanya penelitian ini, diharapkan: 1. Untuk mengetahui tentang proses perubahan tokoh dalam novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. 2. Untuk dapat mendeskripsikan penerapan penulisan ini terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA.

F. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca. Bermanfaat secara teoritis maupun praktis. Manfaat penelitian tersebut yaitu: 1. Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dan bermanfaat dalam memperoleh pengetahuan dalam mengkaji ekranisasi. 2. Manfaat Praktis a. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat memberi wawasan baru mengenai hal-hal yang berkaitan dengan ekranisasi. b. Bagi sekolah, penelitian ini dapat memberi kontribusi dan dapat dijadikan sebagai bahan serta memperkaya informasi dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. c. Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat digunakan sebagai refrensi penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan ekranisasi.

G. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Metodologi penelitian berasal dari kata metode yang artinya cara yang tepat untuk melakukan sesuatu dan logos yang artinya ilmu atau pengetahuan. 8

Jadi metodologi artinya cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan.6 Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian bersifat deskriptif analitik. Data yang diperoleh (berupa kata-kata, gambar, perilaku) tidak dituangkan dalam bentuk bilangan atau angka statistik, melainkan tetap dalam bentuk kualitatif yang memiliki arti lebih kaya dari sekedar angka atau frekuensi. Peneliti segera melakukan analisis data dengan memberi pemaparan gambaran mengenai situasi yang diteliti dalam bentuk uraian naratif.7 Metode yang dipakai pada penelitian ini yaitu metode kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor adalah metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata- kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.8 Sedangkan menurut Sugiyono, penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) di mana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.9 Metode kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung makna. Makna adalah data yang sebenarnya, data yang pasti yang merupakan suatu nilai di balik data yang tampak. Oleh karena itu, dalam penelitian kualitatif tidak menekankan pada generalisasi, tetapi lebih menekankan pada makna.10 Penulis ini menekankan analisis perubahan tokoh dari novel ke bentuk film dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk karya Hamka.

6 Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. Metodologi Penelitian, (Jakarta : Sinar Grafika Offset, 1997), hlm. 1 7 Margono. Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2010), hlm.39 8 Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja rosdakarya, 2014), hlm.3 9 Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung : Alfabeta, 2014), hlm.1 10Ibid, hlm.3 9

2. Subjek dan Objek Penelitian Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian kualitatif dan objek penelitian yakni kajian pustaka, dalam penelitian ini peneliti menggunakan benda mati. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini yaitu novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka yang diterbitkan oleh . Novel ini diterbitkan pada tahun 2013 (edisi revisi) dengan jumlah 264 halaman. Selain itu, peneliti juga meneliti film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang diproduksi oleh Soraya Intercine Films dengan sutradara Sunil Soraya dan diproduseri oleh Ram Soraya. Film ini dirilis pada tanggal 19 Desember 2013. Adapun objek penelitian dibatasi oleh teori ekranisasi, yakni penambahan, penciutan dan perubahan bervariasi pada tokoh dalam novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk.

3. Data dan Sumber Data Berdasarkan tujuan penelitian yang telah disampaikan dalam penulisan ini ialah “Perubahan Tokoh dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk karya Hamka dan Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk Karya Sutradara Sunil Soraya Serta Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”. Kemudian sumber data yang digunakan pada penulisan ini yaitu novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan juga data-data yang diambil dari buku-buku, jurnal, dan karya ilmiah sesuai dengan objek penulisan.

4. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, yaitu peneliti sebagai pelaku seluruh kegiatan penelitian. Pengetahuan peneliti menjadi alat penting dalam penelitian ini, sejak pencarian data sampai dengan selesainya penganalisisan data. 10

Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan membaca novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Kemudian dilakukan penyaringan data yang dibutuhkan dalam penelitian. Data yang sudah diklasifikasikan kemudian dianalisis dengan menggunakan teori ekranisasi. Karena peneliti menggunakan teori ekranisasi maka dari itu peneliti akan membuat indikator-indikator yang dibutuhkan dalam penelitian. Adapun indikator tersebut bertujuan untuk memudahkan dalam proses penelitian, khususnya dalam mencari perubahan penambahan, perubahan penciutan dan perubahan bervariasi terhadap tokoh dalam novel dan film.

5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penulisan ini ialah kajian pustaka. Kajian pustaka yakni serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.11 Penulis menganalisis secara sistematis terhadap sumber data primer yaitu novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya sutradara Sunil Soraya dengan mencatat tokoh-tokoh novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan tokoh-tokoh pada film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Hasil penulisan itu akan menjadi sumber data yang akan digunakan untuk penyusunan penulisan hasil analisis. Langkah pertama yang penulis lakukan adalah membaca novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan menonton film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Selanjutnya langkah kedua penulis menganalisis tokoh pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan juga menganalisis tokoh pada film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Langkah ketiga penulis menggunakan data tersebut sebagai data primer

11 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2004), hlm.3 11

untuk menganalisis, membandingkan dan mencari hasil dari penulisan yang dilakukan.

BAB II KAJIAN TEORI

A. Sastra Bandingan 1. Pengertian Sastra Bandingan Istilah sastra bandingan mencakup studi hubungan antara dua kesusastraan atau lebih.1 Dalam beberapa tulisan, sastra bandingan juga disebut sebagai studi atau kajian. Dengan demikian uraian yang dilaksanakan dalam sastra bandingan berlandaskan azas banding- membandingkan. Pertanyaan yang kemudian bisa muncul adalah apa saja yang bisa dibanding-bandingkan.2 Remak menyatakan bahwa sastra bandingan adalah kajian sastra di luar batas-batas sebuah negara dan kajian hubungan di antara sastra dengan bidang ilmu serta kepercayaan yang lain seperti seni (misalnya, seni lukis, seni ukir, seni bina, dan seni musik), falsafat, sejarah, dan sains sosial (misalnya politik ekonomi, sosiologi), sain, agama, dan lain-lain. Ringkasnya, sastra bandingan membandingkan sastra sebuah negara dengan sastra negara lain dan membandingkan sastra dengan bidang lain sebagai keseluruhan ungkapan kehidupan.3 2. Alih Wahana Alih wahana adalah perubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain. Membanding-bandingkan benda budaya yang beralih-alih wahana itu merupakan kegiatan yang sah dan bermanfaat bagi pemahaman yang lebih dalam mengenai hakikat sastra. Kegiatan penelitian di bidang ini akan menyadarkan bahwa sastra dapat bergerak ke sana ke mari, berubah-ubah unsur-unsurnya agar bisa sesuai dengan wahananya yang baru. Kita mulai dengan membandingkan sastra dengan seni pertunjukan

1 Rene Wellek dan Austin Warren. Teori Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990), hlm.49 2 Sapardi Djoko Damono. Sastra Bandingan, (Cirendeu:Editum, 2009), hlm.1 3 Ibid, hlm.1

12

13

tradisional.4 Banyak hal yang menyebabkan perubahan harus dilakukan jika sebuah karya sastra diubah menjadi media lain. Novel adalah cerita yang disusun dengan kata yang tercetak di atas lembaran kertas, yang bisa dibawa ke mana saja sembarang waktu. Ia bisa dibaca kapan saja dalam situasi yang sama sekali ditentukan oleh pembaca, sementara pemanggungan dan film dibatasi waktunya. Dalam film, proses ekranisasi itu mempertimbangkan banyak hal yang antara lain menyangkut latar dan penokohan.5 3. Ekranisasi Munculnya fenomena pengangkatan novel ke bentuk film merupakan perubahan substansi dari wacana yang memunculkan istilah ekranisasi. Istilah ini dimunculkan oleh Bluestone yang berarti proses pemindahan atau perubahan bentuk dari sebuah novel ke dalam bentuk film. Berikutnya menurut Eneste menyatakan bahwa ekranisasi memiliki arti perubahan atau pemindahan novel ke dalam media film. Ekranisasi adalah pelayarputihan atau pemindahan/pengangkatan sebuah novel ke dalam film. Proses ekranisasi novel merupakan pemindahan bahasa tulis yang ada di novel menjadi dunia gambar yang bergerak dan berkelanjutan.6 Disebutkan pada Kamus Istilah Sastra, istilah ekranisasi ini berhubungan dengan adaptasi atau alih wahana (media) dalam bidang film, secara umum istilah ini diartikan sebagai proses adaptasi dari teks (bahasa) menuju media film. Menurut Sapardi Djoko Damono, istilah ekranisasi adalah proses alih wahana. Alih wahana adalah perubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain.7 Beliau menjelaskan banyak hal yang menyebabkan perubahan harus dilakukan jika sebuah karya sastra diubah menjadi media lain, seperti film dan sinetron. Dalam film, proses

4 Ibid, hlm.128 5 Ibid, hlm.130 6 Pamusuk Eneste. Novel dan Film, (Flores:Nusa Indah, 1991), hlm.60 7 Sapardi Djoko Damono. Sastra Bandingan, (Cirendeu: Editum, 2009), hlm.128 14

ekranisasi itu mempertimbangkan banyak hal antara lain menyangkut latar dan penokohan.8 Bluestone menjelaskan bahwa transformasi dari satu bentuk ke bentuk yang lain bisa dipastikan mengalami perubahan, karena karya tersebut harus menyesuaikan dengan media yang digunakan, dan masing- masing media memiliki konvensi tersendiri. Antara karya sastra yang tertulis menggunakan media bahasa dengan film yang menggunakan prinsip optikal berurusan dengan masalah penglihatan dan pendengaran sekaligus (audio visual) memiliki perlakuan berbeda terhadap karya.9 Film merupakan hasil gotong-royong. Bagus tidaknya pembuatan film, tergantung pada keharmonisan kerja unit-unit di dalamnya: produser, penulis skenario, sutradara, juru kamera, penata artistik, perekam suara, para pemain dan lain-lain. Dengan demikian, ekranisasi berarti proses perubahan dari sesuatu yang dihasilkan sendiri menjadi sesuatu yang dihasilkan secara bersama-sama.10 Proses perubahan dalam ekranisasi adalah proses perubahan yang terjadi dari awalnya novel yang berupa dunia kata-kata menjadi film yang disajikan dalam media visual dengan bentuk gambar-gambar bergerak yang berkesinambungan. Dapat pula didefinisikan sebagai terjadinya suatu perubahan pada proses penikmatan. Yakni dari membaca menjadi menonton. Penikmatnya sendiri berubah dari pembaca menjadi penonton.11 Proses perubahan tersebut sebagai berikut: a. Penciutan Penciutan dalam ekranisasi dapat diartikan sebagai sesuatu dalam novel yang disajikan dengan keindahan kata-kata, jika di filmkan akan mengalami penciutan karena tidak mungkin segala sesuatu yang ada dalam novel akan ada dalam film juga. Tidak semua hal yang diungkapkan dalam

8 Ibid, hlm.130 9 Siti Isnaniah. Ketika Cinta Bertasbih Transformasi Novel ke Film. Jurnal Kawistara, volume 5 No. 1, 22 April 2015, hlm.29 10 Pamusuk Eneste. Novel dan Film, (Flores: Nusa Indah, 1991), hlm.60 11 Ibid, hlm.61 15

novel akan ditemui pula dalam film, sebagian cerita, alur, tokoh, latar ataupun suasana novel tidak akan ditemui dalam film karena sutradara dan penulis skenario sudah memilih terlebih dahulu informasi-informasi yang dianggap penting dan menandai.12 b. Penambahan Dalam pengangkatan novel menjadi film pastinya mengalami banyak sekali penambahan, seperti penambahan cerita, tokoh, alur, latar, dll. Hal itu dikarenakan segala sesuatu yang ada pada novel tidak selalu ada dalam film dan penulis skenario maupun sutradara telah menafsirkan terlebih dahulu novel yang akan di filmkan, dan seorang sutradara tentu mempunyai alasan untuk melakukan penambahan ini. Misalnya dikatakan, penambahan itu penting dari segi filmis. Atau, penambahan itu masih relevan dengan cerita secara keseluruhan atau karena berbagai alasan yang lain.13 c. Perubahan Bervariasi Selain perubahan, penciutan, dan penambahan. Hal lain yang mungkin terjadi dalam proses ekranisasi yaitu adanya perubahan bervariasi. Meskipun demikian, terjadinya variasi-variasi tertentu antara novel dan film, pada hakikatnya tema/amanat tidak akan berubah.14 Film yang diadaptasi dari cerita novel ini tentu saja mengalami perubahan fungsi. Perubahan ini yakni merupakan akibat pemindahan dari bentuk visual yang mengandalkan pembayangan cerita dari pikiran pembaca ke bentuk audio visual, yang memberikan gambaran cerita kepada penikmat film dengan memadukan antara dialog dengan ekspresi pemain. Biasanya para penonton membandingkan perbedaan cerita antara novel dan film. Dari perbandingan tersebut seringkali ditemui perbedaan antara novel dan film tersebut. HB Jassin, kritikus sastra Indonesia, menggunakan prinsip kerja sastra bandingan ketika membela Hamka dan Chairil Anwar dari tuduhan sebagai plagiat. Pengarang Hamka dengan

12 Ibid, hlm. 61 13 Ibid, hlm.64 14 Ibid, hlm.64 16

novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck-nya dituduh sebagai plagiat. Novel ini memiliki kemiripan dengan karya seorang pengarang Mesir Musthafa Luthfi Al Manfaluthi. Setelah mengkaji melalui sastra bandingan, Jassin menegaskan bahwa Hamka bukan plagiat, melainkan mengadaptasi karya pengarang Mesir tersebut.15 Bluestone menyatakan bahwa perbedaan bahan mentah antara novel dan film tidak dapat sepenuhnya dijelaskan berdasarkan perbedaan isi. Faktor film yang terikat dengan durasi menyebabkan para pekerja film harus kreatif untuk dapat memilah dan memilih peristiwa-peristiwa yang penting untuk difilmkan. Oleh karena itu, sering ditemui adanya perbedaan-perbedaan dan pergeseran khususnya berkaitan dengan alur cerita mengingat masing-masing memiliki karakter yang menyesuaikan dengan fungsi media karya. 16 Menurut Eneste, proses kreatif tersebut dapat berupa penambahan maupun pengurangan jalannya cerita dari novel yang akan diadaptasi tersebut. Selain itu, kemunculan variasi-variasi di dalam film adaptasi dapat dikarenakan oleh faktor estetik yang ingin dicapai. Berbagai penambahan, pengurangan dengan berbagai variasi dapat memunculkan perbedaan antara film adaptasi dengan novel yang diadaptasi, akibat adanya perubahan fungsi khususnya alur cerita.17 Perbedaan antara novel dan film seharusnya diperhatikan oleh para penikmat sastra. Proses penciptaannya diketahui bahwa novel merupakan hasil karya penulis yang menggunakan kreativitas dan imajinasi seseorang. Sebaliknya, pada proses penciptaannya, film merupakan suatu kerja banyak orang yang harus memadukan berbagai segi pemikiran dari banyak pihak. Dari segi media dapat diketahui bahwa novel menggunakan pemilihan kata yang mudah dipahami oleh pembaca untuk memahami satu

15 Suwardi Endraswara. Metodologi Penelitian Sastra Bandingan, (Jakarta: Bukupop, 2011), hlm.207 16 Anwar Efendi. Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), hlm.286 17 Ibid, hlm. 286 17

keutuhan cerita. Sementara itu, dalam memahami suatu cerita dalam film kita harus memperhatikan aspek audio visual bagi penonton melalui gerak, dialog, properti, latar, dan lain sebagainya. Cara penikmatan antara novel dan film juga dilakukan dengan cara yang berbeda. Membaca novel tidak harus dilakukan dalam waktu sekali duduk, sebaliknya menonton film harus dilakukan dalam waktu sekali duduk.18 Kondisi ini harus dilakukan demi kepentingan dalam memperhatikan tingkat emosi ketika seseorang sedang menikmati sebuah film. Pengertian-pengertian tersebut di atas mengenai ekranisasi, disimpulkan bahwa ekranisasi yaitu peralihan dari sebuah karya sastra novel ke dalam bentuk film. Teori yang peneliti pakai untuk meneliti masalah adalah pengertian menurut Eneste, karena pendapat Eneste mengenai ekranisasi menjadi acuan untuk menganalisis proses ekranisasi yang ingin diteliti oleh peneliti, yaitu proses penambahan, penciutan, dan perubahan bervariasi. Dari ketiga proses perubahan tersebut peneliti lebih menekankan kepada perubahan tokoh dari novel ke film yang mengalami penambahan, penciutan, serta perubahan bervariasi.

B. Film 1. Pengertian Film Gambar bergerak (film) adalah bentuk dominan dari komunikasi massa visual di belahan dunia ini. Lebih dari ratusan juta orang menonton film di bioskop, film televisi dan film video laser setiap minggunya. Di Amerika Serikat dan Kanada lebih dari satu juta tiket film terjual setiap tahunnya.19 Sebuah tayangan film akan terasa berkesan jika kita menghayati film yang ditonton. Film lebih dahulu menjadi media hiburan dibanding radio siaran dan televisi. Menonton film ke bioskop ini menjadi aktivitas populer bagi orang Amerika pada tahun 1920-an sampai 1950-an. Film adalah alat yang

18 Ibid, hlm. 287 19Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala, dan Siti Karlinah. Komunikasi Massa (Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2014), hlm.143 18

ampuh sekali di tangan orang yang mempergunakannya secara efektif untuk sesuatu maksud terutama sekali terhadap rakyat banyak yang memang lebih banyak bicara dengan hati daripada dengan akal. Itulah rahasia sukses sebuah film yang sanggup mendobrak pertahanan akal dan langsung bicara ke dalam hati sanubari penonton dengan secara meyakinkan, khususnya itulah rahasia sukses film-film Hollywood.20 Film terdiri dari pengambilan-pengambilan gambar-gambar yang terpisah-pisah yang kemudian dipersambungkan. Tapi menonton film bukan berarti melihat rentetan gambar-gambar yang dipersambungkan, tapi mengalami suatu drama, suatu kesatuan yang lengkap, karena seniman film ini harus menyampaikan isi hatinya dengan pertolongan gambar-gambar.21 Film muncul dan memasuki masa perkembangannya yaitu sekitar tahun 1900. Sebagai salah satu alat komunikasi massa lainnya. Kalau surat kabar dan pendengar radio terpencar di mana-mana, di desa-desa, di kota- kota, di gunung-gunung, atau di pelosok, maka penonton film harus berkumpul dalam suatu ruang tertentu: misalnya di lapangan, atau di gedung dan di Drive-in Theater tempat terbuka yang dimasuki dengan mobil dan menonton di atas mobil sendiri. Tetapi walaupun demikian film tetap dapat ditonton oleh beribu- ribu manusia secara berangsur-angsur, atau diputar di beberapa bioskop dengan jalan membuat beberapa kopy film. Dengan demikian penonton film tetap bersifat massal. Melihat kenyataan ini, maka film hampir- hampir tidak mempunyai sifat aktualitas. Sebab kadang-kadang sebuah film masih diputar setelah bertahun selesainya, sedang pembuatannya pun sudah memakan waktu berbulan-bulan lamanya. Misalnya sebuah film yang dibikin di tahun lima puluhan, masih diputar di tahun tujuh puluhan, terutama film hiburan, di mana dipertunjukkan kisah khayal semata-mata. Mengenai film berita meskipun peristiwanya sudah lama berlalu dan tidak aktual lagi karena sudah diberitahukan melalui pers dan radio namun

20 Usmar Ismail, Mengupas Film, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hlm.47 21 Asrul Sani, Surat-surat Kepercayaan, (Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya, 1997), hlm.322 19

orang masih mau menerimanya sebagai bahan ilustrasi. Hal ini mudah dipahami, karena film, sekaligus dapat menyuguhkan suara dan gambar- gambar yang hidup di atas layar, sehingga ia dapat menciptakan rasa keintiman, keakraban dan kehangatan dalam mempengaruhi audiens. Jadi, kini dapat diambil kesimpulan, bahwa film pada hakekatnya adalah alat komunikasi massa dalam arti saluran pernyataan manusia yang umum atau terbuka, dan menyalurkan lambang-lambang dalam bentuk bayangan-bayangan hidup di atas layar putih yang isinya meliputi perwujudan kehidupan masyarakat.22 2. Jenis-jenis Film Film dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis, yaitu: a. Film Cerita Film cerita adalah jenis film yang mengandung suatu cerita yang lazim dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan bintang film tenar dan film ini didistribusikan sebagai barang dagangan.23 Cerita yang diangkat menjadi topik film bisa berupa cerita fiktif atau berdasarkan kisah nyata yang dibuat menjadi menarik sehingga jalan cerita film tersebut dapat menarik hati penonton. Menurut catatan Sinematek Indonesia, produksi film cerita pertama di Indonesia berjudul Loetoeng Kasaroeng,1926. Kisah legenda ini difilmkan oleh G.Kruger, dan mengambil lokasi di Bandung.24

b. Film Berita Film berita yaitu film mengenai fakta, yakni peristiwa benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, film tersebut harus mengandung nilai berita yang disajikan kepada publik. Film berita menitikberatkan pada segi pemberitaan suatu kejadian aktual, misalnya film berita yang banyak

22 Anwar Arifin. Strategi komunikasi, (Bandung : Armico, 1984), hlm.28 23 Ibid, hlm. 148 24 Marselli Sumarno. Dasar-dasar Apresiasi Film, (Jakarta: PT Gramedia, 1996), hlm.11 20

terdapat dalam siaran televisi.25 Di Indonesia terdapat beberapa film berita di antaranya Liputan 6, CNN Indonesia, Buletin Siang, dan lain-lain.

c. Film Dokumenter Film dokumenter didefinisikan oleh Robert Flaherty sebagai “karya ciptaan mengenai kenyataan”. Film dokumenter berbeda dengan film berita yang merupakan hasil interpretasi pribadi mengenai kenyataan tersebut. Banyak kebiasaan masyarakat Indonesia yang dapat diangkat menjadi film dokumenter, di antaranya upacara kematian orang Toraja, upacara ngaben di Bali. Selain itu, acara lomba 17 Agustus yang ditayangkan di televisi juga bisa dikatakan sebagai film dokumenter.

d. Film Kartun Film kartun dibuat untuk konsumsi anak-anak. Contohnya seperti tokoh Donal Bebek, Putri Salju, Miki Tikus yang diciptakan oleh seniman Amerika Serikat Walt Disney.26 Di Indonesia terdapat beberapa film kartun, contohnya seperti Sopo dan Jarwo, Kiko, dan lain-lain.

C. Novel 1. Pengertian Novel Novel merupakan bentuk sastra yang sudah lama berkembang di Indonesia. Perkembangan novel ini ditandai dengan semakin banyaknya jenis novel yang ada.27 Sebutan novel berasal dari kata bahasa Inggris (novel) yang kemudian masuk ke Indonesia. Sebutan novel dalam bahasa Jerman Itali yaitu novella yang secara harfiah novella berarti „sebuah barang baru yang kecil‟. namun ada juga yang mengungkapkan bahwa kata novel berasal dari kata Latin, yaitu noveltus yang diturunkan dari kata novies yang berarti baru. Novel merupakan jenis sastra yang sedikit atau banyak memberikan gambaran tentang masalah kemasyarakatan. Novel

25 Ibid, hlm.14 26 Ibid, hlm.149 27 Erlis Nur Mujiningsih. Analisis Struktur Novel Indonesia Modern 1980-1990, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1996), hlm.1 21

tidak dapat dipisahkan dari gejolak atau keadaan masyarakat yang melibatkan penulis dan pembacanya.28 Istilah novel sebenarnya bukan berasal dari Indonesia, tetapi pengaruh dari sastra Inggris dan Amerika. Dalam The American College Dictionary, novel dituliskan adalah suatu cerita prosa yang fiktif dengan panjangnya tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang refresentatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut. Kemudian dalam The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, istilah novel adalah suatu cerita dengan suatu alur, cukup panjang mengisi satu buku atau lebih yang menganggap kehidupan pria dan wanita bersifat imajinatif. Sedangkan menurut Virginia Wolf berpengertian bahwa sebuah roman atau novel ialah sebuah eksplorasi atau suatu kronik kehidupan, merenungkan dan melukiskannya dalam bentuk tertentu yang juga meliputi pengaruh, ikatan, hasil, kehancuran, atau tercapainya gerak- gerik manusia.29 Pengertian tentang novel di atas yakni menurut para ahli yang berasal dari Barat. Namun tak lupa pula para kritikus dan pakar sastra Indonesia juga memiliki definisi novel menurut pendapatnya masing- masing. H.B Jassin berpengertian bahwa novel adalah cerita mengenai salah satu episode dalam kehidupan manusia, suatu kejadian yang luar biasa dalam kehidupan itu, sebuah krisis yang memungkinkan terjadinya perubahan nasib pada manusia. Dalam Kamus Istilah Sastra, Panuti Sudjiman berpengertian bahwa novel adalah rekaan yang panjang yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun.30 Novel memiliki unsur-unsur pembangun cerita, yaitu unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Unsur ekstrinsik ialah unsur-unsur pengaruh

28 Yudiono KS. Telaah Kritik Sastra, (Bandung : Angkasa, 1986), hlm.125 29 Antilan Purba. Sastra Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2012), hlm.62 30 Ibid, Hlm.63 22

luar (eksplanasi) dan unsur lahiriah yang terdapat dalam karya sastra itu. 31 Meskipun unsur-unsur ekstrinsik berada di luar karya sastra, namun secara tidak langsung unsur ekstrinsik mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra dan cukup berpengaruh terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkan. Pemahaman terhadap unsur ekstrinsik karya sastra dapat membantu pemahaman terhadap makna karya. Hal itu terjadi karena mengingat karya sastra tidak muncul dari situasi kekosongan budaya32. Unsur intrinsik ialah unsur-unsur rohaniah, yang harus diangkat dari isi karya sastra itu mengenai tema dan arti yang tersirat di dalamnya33. D. Penokohan 1. Pengertian Tokoh Penokohan merupakan salah satu hal yang sangat penting bahkan menentukan dalam sebuah fiksi. Tanpa ada tokoh yang diceritakan dan tanpa ada gerak tokoh fiksi tidak ada artinya. Yang dimaksud dengan tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita.34 Jones menyatakan bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Abrams menyatakan bahwa tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti apa yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.35 Tokoh cerita biasanya mengemban suatu perwatakan tertentu yang diberi bentuk dan isi oleh pengarangnya. Perwatakan dapat diperoleh dengan memberikan gambaran dengan tindak tanduk, ucapan atau sejalan tidaknya antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan. Pengarang

31 P.Suparman Natawidjaja. Apresiasi Sastra Budaya, (Jakarta:PT Intermasa, 1982), hlm.101 32 Ni Nyoman Karmini. Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama, (Bali: Pustaka Larasan , 2011), hlm. 14 33 Ibid, hlm.102 34Panuti Sudjiman. Memahami Cerita Rekaan, (Jakarta Pusat: PT Dunia Pustaka Jaya, 1988), hlm.16 35 Ni Nyoman Karmini. Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama, (Bali: Pustaka Larasan , 2011) , hlm.18 23

memiliki kebebasan penuh untuk menampilkan tokoh-tokoh cerita sesuai dengan pandangan pengarang terhadap kehidupan itu sendiri. Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam dunia fiksi adalah tokoh rekaan, tokoh yang tidak pernah ada dalam dunia nyaata. Namun, dalam karya tertentu, sering adanya tokoh-tokoh sejarah, tokoh manusia nyata yang muncul dalam cerita, bahkan mempengaruhi plot.36 Untuk mengetahui seluk beluk novel, memang fungsi tokoh sangat penting. Tokoh utama adalah orang yang ambil bagian dalam sebagian besar peristiwa dalam cerita, dan biasanya kejadian/peristiwa itu menyebabkan terjadinya perubahan sikap terhadap diri tokoh atau perubahan pandangan pembaca terhadap tokoh, seperti menjadi sayang, benci, simpati, senang, dan lain-lain.37 Ada beberapa cara dalam menggambarkan tokoh-tokoh. Pertama, secara analitik, yaitu pengarang langsung menceritakan bagaimana watak tokoh-tokohnya. Kedua, secara dramatik, pengarang tidak menceritakan bagaimana watak tokoh-tokoh ceritanya. Misalnya: melalui penggambaran tempat dan lingkungan tokoh, bentuk-bentuk lahir (potongan tubuh dan sebagainya) melalui percakapan (dialog) melalui perbuatan sang tokoh.38 2. Jenis-jenis Tokoh a) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan Dalam sebuah cerita fiksi, misalnya novel, biasanya ditemukan sejumlah tokoh. Dalam keseluruhan cerita, peranan masing-masing tokoh tidak sama. Berkaitan dengan perannya, ada tokoh yang ditampilkan secara terus-menerus sehingga tampaknya mendominasi sebagian besar cerita. Tokoh yang ditampilkan seperti ini di dalam cerita disebut tokoh utama. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam cerita bersangkutan. Namun, ada pula tokoh yang ditampilkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun dalam porsi penceritaan yang

36 Ibid, hlm. 21 37 Ibid, hlm. 22 38 Mursal Esten. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah, (Bandung: CV Angkasa, 2013), hlm.27 24

relatif pendek. Tokoh yang ditampilkan seperti ini dalam cerita disebut tokoh tambahan.39 b) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis Tokoh-tokoh dalam cerita fiksi dapat dibedakan sesuai fungsi penampilannya. Berkaitan dengan fungsi penampilannya, tokoh-tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi, tokoh yang diberi simpati dan empati, tokoh yang menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan dan harapan kita sebagai pembaca. Sebuah fiksi harus mengandung konflik dan ketegangan. Konflik dan ketegangan ini dialami oleh tokoh protagonis. Penyebab terjadinya konflik disebut tokoh antagonis. Tokoh antagonis dapat pula dikatakan tokoh yang beroposisi dengan tokoh protagonis40. c) Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat-watak yang tertentu saja. Tokoh sederhana dapat saja melakukan berbagai tindakan, namun semua tindakannya itu akan dapat dikembalikan pada perwatakan yang dimiliki dan yang telah diformulakan itu. Dengan demikian, pembaca dengan mudah memahami watak dan tingkah laku tokoh sederhana. Tokoh bulat atau tokoh kompleks adalah tokoh yang berbagai sisi kehidupannya, sisi kepribadiannya, dan jati dirinya diungkapkan. Ia dapat saja memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia pun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin seperti bertentangan dan sulit diduga. Oleh karena itu, perwatakannya pun umumnya sulit dideskripsikan secara tepat41.

39 Ibid, hlm.23 40 Ibid, hlm.26 41 Ibid, hlm.27 25

d) Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang Tokoh statis atau tokoh tak berkembang yaitu tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh jenis ini tampak seperti kurang terlibat dan tak terpengaruh oleh adanya perubahan- perubahan lingkungan yang terjadi karena adanya hubungan antarmanusia. Ia memiliki sikap dan watak yang relatif tetap, tak berkembang, sejak awal sampai akhir cerita. Tokoh berkembangan adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan (dan perubahan) peristiwa dan plot yang dikisahkan. Ia secara kreatif berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial, alam, maupun yang lain, yang kesemuanya itu akan mempengaruhi sikap, watak, dan tingkah lakunya. Adanya perubahan- perubahan yang terjadi di luar dirinya, dan adanya hubungan antarmanusia yang memang bersifat saling mempengaruhi, dapat menyentuh kejiwaannya dan dapat menyebabkan terjadinya perubahan dan perkembangan sikap dan wataknya42. e) Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral Tokoh tipikal adalah tokoh yang sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya atau sesuatu yang lain yang lebih bersifat mewakili. Tokoh tipikal merupakan penggambaran, pencerminan atau pertunjukan terhadap orang atau suatu kelompok orang yang terikat dalam sebuah lembaga, atau seorang individu sebagai bagian dari suatu lembaga, yang ada di dunia nyata. Penggambarannya tentu saja bersifat tak langsung dan tak menyeluruh. Pembacalah yang menafsirkan secara demikian berdasarkan pengetahuan, pengalaman dan persepsinya terhadap tokoh du dunia nyata dan pemahamannya terhadap tokoh cerita di dunia fiksi. Tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia benar- benar merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup dan bereksistensi

42 Ibid, hlm. 28 26

dalam dunia fiksi. Ia hadir atau dihadirkan semata-mata demi cerita, atau bahkan dialah sebenarnya yang empunya cerita, pelaku cerita, dan yang diceritakan43. 3. Hubungan Tokoh dengan Unsur Cerita yang Lain Untuk membuat tokoh-tokoh yang meyakinkan, pengarang harus melengkapi diri dengan pengetahuan yang luas dan dalam tentang sifat tabiat manusia, serta tentang kebiasaan bertindak dan berujar dalam lingkungan masyarakat yang hendak digunakannya sebagai latar. Tokoh dan latar memang merupakan dua unsur cerita rekaan yang erat berhubungan dan tunjang-menunjang.44 Hudson memandang penokohan penting, bahkan lebih penting daripada pengaluran. Dalam konflik kepentingan alur dan penokohan, biasanya penokohan diutamakan. Lagi pula, novel-novel yang dianggap bernilai sastra pada umumnya adalah novel yang cermat penokohannya45

E. Penelitian Relevan Berdasarkan penelusuran penulis di beberapa universitas atau lembaga lainnya, penelitian dengan objek kajian berupa analisis perubahan tokoh karya sastra dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck belum pernah dilakukan. Adapun penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang relevan dengan penelitian yang dilakukan dalam upaya menyusun skripsi ini dan berkaitan dengan masalah yang diteliti yaitu pertama, skripsi Sri Handayani dengan judul “Perbedaan Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka dan Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Sutradara Sunil Soraya”, mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses ekranisasi

43 Ibid, hlm. 30 44 Panuti Sudjiman. Memahami Cerita Rekaan, (Jakarta Pusat: PT Dunia Pustaka Jaya, 1988), hlm.27 45 Ibid, hlm. 28

27

dan mendeskripsikan perbedaan alur, tokoh dan penokohan, serta latar, baik dalam bentuk kategorisasi aspek penciutan, penambahan, maupun perubahan bervariasi dalam proses adaptasi novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka dan film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya sutradara Sunil Soraya. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah novel TKVdW cetakan keenam belas karya Hamka dan film TKVdW karya sutradara Sunil Soraya yang dirilis pada tanggal 19 Desember 2013. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik membaca, teknik menonton, teknik mencatat, dan teknik capturing. Pedoman analisis penelitian ini adalah peneliti sendiri. Validitas data yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas semantis. Reliabilitas data diperoleh dengan menggunakan reliabilitas interrater dan reliabilitas intrarater. Hasil penelitian terhadap perbedaan novel TKVdW karya Hamka dan film TKVdW karya sutradara Sunil Soraya menghasilkan proses ekranisasi yang menunjukkan adanya aspek penciutan, penambahan, maupun perubahan bervariasi pada alur, tokoh dan penokohan, serta latar. Aspek penciutan terjadi dikarenakan adanya keterbatasan teknik dari film yang tidak memungkinkan semua unsur intrinsik pada novel dapat dimasukkan ke dalam film. Aspek penambahan terjadi dikarenakan adanya penafsiran dan proses kreatif dari sutradara yang ikut dimasukkan selama pembuatan film. Aspek perubahan bervariasi terjadi dikarenakan adanya media yang berbeda antara novel dan film, sehingga memungkinkan adanya penambahan bervariasi yang dilakukan saat cerita diadaptasi ke dalam film.46 Perbedaan penelitian skripsi Sri Handayani dengan skripsi ini adalah: a. Penelitian Sri Handayani bertujuan untuk mengetahui proses ekranisasi dan mendeskripsikan perbedaan alur, tokoh dan penokohan, serta latar, baik dalam bentuk kategorisasi aspek penciutan, penambahan, maupun perubahan bervariasi dalam proses adaptasi novel Tenggelamnya Kapal

46 Skripsi Sri Handayani. “Perbedaan Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka dan Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Sutradara Sunil Soraya”, mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta, 2016 28

Van der Wijck karya Hamka dan film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya sutradara Sunil Soraya, sedangkan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui perubahan tokoh dari novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka ke bentuk film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya sutradara Sunil Soraya serta implikasinya pada pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah. b. Penelitian Sri Handayani menggunakan validitas semantis untuk mendapatkan data. Reliabilitas data diperoleh dengan menggunakan reliabilitas interrater dan reliabilitas intrarater, sedangkan skripsi ini pengambilan data dilakukan dengan membaca novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Kemudian dilakukan penyaringan data yang dibutuhkan dalam penelitian. Data yang sudah diklasifikasikan kemudian dianalisis dengan menggunakan teori ekranisasi, khususnya dalam mencari perubahan penambahan, perubahan penciutan dan perubahan bervariasi terhadap tokoh dalam novel dan film. c. Hasil penelitian Sri Handayani yaitu terdapat perbedaan novel TKVdW karya Hamka dan film TKVdW karya sutradara Sunil Soraya menghasilkan proses ekranisasi yang menunjukkan adanya aspek penciutan, penambahan, maupun perubahan bervariasi pada alur, tokoh dan penokohan, serta latar. Aspek penciutan terjadi dikarenakan adanya keterbatasan teknik dari film yang tidak memungkinkan semua unsur intrinsik pada novel dapat dimasukkan ke dalam film. Aspek penambahan terjadi dikarenakan adanya penafsiran dan proses kreatif dari sutradara yang ikut dimasukkan selama pembuatan film. Aspek perubahan bervariasi terjadi dikarenakan adanya media yang berbeda antara novel dan film, sehingga memungkinkan adanya penambahan bervariasi yang dilakukan saat cerita diadaptasi ke dalam film, sedangkan hasil penelitian skripsi ini yaitu terjadi terfokus pada perubahan penambahan, penciutan dan perubahan bervariasi pada tokoh. Pada aspek penciutan terdapat tujuh tokoh yang dihilangkan dan tidak dimunculkan dalam film, penambahan terjadi pada 28 tokoh, dan pada perubahan bervariasi terjadi pada enam 29

tokoh, serta pada implikasi pembelajaran bahasa dan sastra di SMA peserta didik dapat menganalisis unsur penokohan pada dua media yang berbeda, media buku dan juga film. Hal ini dapat mengasah kekuatan analisis siswa, selain itu siswa dapat lebih paham dalam menganalisis penokohan jika melalui media audiovisual. Kedua, skripsi Muhammad Hamzah dengan judul “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Studi Analisis Naratif Adaptasi Novel ke Dalam Film)”, mahasiswa Universitas Andalas. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya kelemahan pada film-film adaptasi di Indonesia. film yang dihasilkan hanya mementingkan jumlah penonton semata tanpa memperhatikan kualitas, pesan serta makna dari cerita aslinya. Perbedaan cerita antara novel dan film menjadikan adanya perbedaan pesan dan makna. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan struktur naratif novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck serta untuk mengetahui hambatan-hambatan adaptasi terhadap perbedaan struktur naratif novel dan film tersebut. Stuktur naratif novel dan film akan dianalisis menggunakan Struktur Naratif Tzvetan Todorov. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, serta menggunakan metode analisis naratif. Objek penelitiannya adalah novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Untuk mengecek keabsahan data akan dilakukan triangulasi data dengan mewawancarai Sunil Soraya, sutradara film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Hasil penelitian menunjukkan dari struktur naratif novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck terdapat beberapa perbedaan. Pada novel titik keseimbangan awal dimulai dengan narasi yang menjelaskan tentang latar belakang kehidupan Zainuddin dan orang tuanya, sementara difilmnya hal ini dihilangkan sama sekali. Kemudian perbedaan kedua adalah pada tahap narasi pemulihan menuju keseimbangan, pada novelnya Zainuddin dinarasikan meninggal dunia karena bersedih atas kematian Hayati. Sementara dalam film Zainuddin divisualisasikan hidup dan menuliskan cerita hidupnya ke dalam sebuah buku. Perbedaan ketiga adalah pada 30

tahap gangguan terhadap keseimbangan, pada novelnya awal mula gangguan adalah ketika Zainuddin memutuskan untuk merantau ke Minangkabau. Sedangkan pada filmnya adalah ketika Zainuddin melihat Hayati untuk pertama kalinya saat berada di atas bendi. Kemudian berdasarkan analisis yang telah diolah didapatkan jawaban bahwa perbedaan yang ada disebabkan oleh hambatan dalam proses adaptasi yang terjadi. Perbedaan medium antara film dan novel menyebabkan terpaksa dilakukan penyederhanaan dalam cerita di filmnya, perubahan pada seniman kreatif yang dinovelnya seniman kreatif adalah Hamka sementara dalam film seniman kreatifnya adalah Sunil Soraya, serta potensi sinematis dari karya aslinya mengharuskan ada beberapa cerita dan teks di novel yang dihilangkan dalam filmnya.47 Perbedaan penelitian skripsi Sri Handayani dengan skripsi ini adalah: a. Penelitian Hamzah bertujuan untuk mengetahui perbedaan struktur naratif novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck serta untuk mengetahui hambatan-hambatan adaptasi terhadap perbedaan struktur naratif novel dan film tersebut, sedangkan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui perubahan tokoh dari novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka ke bentuk film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya sutradara Sunil Soraya serta implikasinya pada pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah. b. Penelitian Hamzah menggunakan stuktur naratif novel dan film akan dianalisis menggunakan Struktur Naratif Tzvetan Todorov. Sedangkan skripsi ini dianalisis dengan menggunakan teori ekranisasi, khususnya dalam mencari perubahan penambahan, perubahan penciutan dan perubahan bervariasi terhadap tokoh dalam novel dan film. c. Hasil penelitian Hamzah menunjukkan dari struktur naratif novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck terdapat beberapa perbedaan, sedangkan hasil penelitian skripsi ini yaitu terjadi perubahan penambahan,

47 Tesis Muhammad Hamzah.” Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Studi Analisis Naratif Adaptasi Novel ke Dalam Film)” Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas, 2015 31

penciutan dan perubahan bervariasi pada tokoh. Pada aspek penciutan terdapat tujuh tokoh yang dihilangkan dan tidak dimunculkan dalam film, penambahan terjadi pada 28 tokoh, dan pada perubahan bervariasi terjadi pada enam tokoh, serta pada implikasi pembelajaran bahasa dan sastra di SMA peserta didik dapat menganalisis unsur penokohan pada dua media yang berbeda, media buku dan juga film. Hal ini dapat mengasah kekuatan analisis siswa, selain itu siswa dapat lebih paham dalam menganalisis penokohan jika melalui media audiovisual. Ketiga, skripsi Intan Ramadyla Eka Putri dengan judul “Tradisi Merantau di Minangkabau pada Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Hamka dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Novel karya Hamka yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli merupakan novel yang menggambarkan dan informasi tentang bagaimana tradisi merantau. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tradisi merantau yang terdapat pada dua novel karya Hamka yang diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca terkhusus untuk siswa dalam pembelajaran di sekolah serta menghargai nilai budaya yang terdapat di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang mengutamakan gambaran yang terdapat dalam novel ini dan mengidentifikasi unsur intrinsiknya. Berdasarkan penelitian ini bahwa tradisi merantau yang terdapat pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Hamka adalah: 1) Merantau Pemekaran Nagari, 2) Merantau Keliling, dan 3) Merantau Cino dari ketiga kategori tersebut terdapat lima yang melatarbelakangi merantau tersebut, berikut cakupannya 1) Adat (yakni kebiasaan) perkawinan/perceraian, 2) Pendidikan Perantau, 3) Pekerjaan Perantau, 4) Tempat-tempat merantau yang dituju, dan 5) Tujuan Merantau. Tradisi merantau ini dikategorikan 32

menjadi tiga macam dan mempunyai masing-masing pengertian dan fungsinya.48 Perbedaan penelitian skripsi Intan dengan skripsi ini adalah: a. Skripsi Intan bertujuan untuk mengetahui tradisi merantau yang terdapat pada dua novel karya Hamka yang diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca terkhusus untuk siswa dalam pembelajaran di sekolah serta menghargai nilai budaya yang terdapat di Indonesia, sedangkan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui perubahan tokoh dari novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka ke bentuk film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya sutradara Sunil Soraya serta implikasinya pada pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah. b. Hasil penelitian skripsi Intan yaitu tradisi merantau yang terdapat pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Hamka adalah: 1) Merantau Pemekaran Nagari, 2) Merantau Keliling, dan 3) Merantau Cino dari ketiga kategori tersebut terdapat lima yang melatarbelakangi merantau tersebut, berikut cakupannya 1) Adat (yakni kebiasaan) perkawinan/perceraian, 2) Pendidikan Perantau, 3) Pekerjaan Perantau, 4) Tempat-tempat merantau yang dituju, dan 5) Tujuan Merantau. Tradisi merantau ini dikategorikan menjadi tiga macam dan mempunyai masing-masing pengertian dan fungsinya, sedangkan hasil penelitian skripsi ini yaitu terjadi perubahan penambahan, penciutan dan perubahan bervariasi pada tokoh. Pada aspek penciutan terdapat tujuh tokoh yang dihilangkan dan tidak dimunculkan dalam film, penambahan terjadi pada 28 tokoh, dan pada perubahan bervariasi terjadi pada enam tokoh, serta pada implikasi pembelajaran bahasa dan sastra di SMA peserta didik dapat menganalisis unsur penokohan pada dua media yang berbeda, media buku dan juga film. Hal ini dapat mengasah kekuatan

48 Skripsi Intan Ramadyla Eka Putri. “Tradisi Merantau di Minangkabau pada Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Hamka dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017 33

analisis siswa, selain itu siswa dapat lebih paham dalam menganalisis penokohan jika melalui media audiovisual. Penelitian keempat, skripsi Isma Ariyani dengan judul “Representasi Nilai Siri‟ pada Sosok Zainudin dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Analisis Framing Novel)” Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanudin, 2014. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui cara Hamka merekonstruksi nilai siri’ dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, (2) untuk mengetahui sejauh mana Hamka merepresentasikan nilai siri’ pada sosok Zainuddin dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Penelitian ini dilakukan selama bulan Maret hingga Mei 2014 dengan mengambil objek penelitian novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Tipe penelitian ini berbentuk deskriptif kualitatif dengan menggunakan teknik analisis framing model Gamson dan Modigliani. Data Primer diperoleh dari sumber data utama berupa dialog dan narasi yang menggambarkan budaya siri’ dalam novel tersebut. Data sekunder diperoleh dari bahan bacaan berupa jurnal-jurnal, buku, artikel di internet, dan berbagai hasil penelitian terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara pandang dan latar belakang sangat memengaruhi seseorang dalam menafsirkan realitas sosial berdasarkan konstruksinya masing-masing. Pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Hamka mengemas karakter Zainuddin sebagai sosok berdarah Makassar-Minang berdasarkan cara pandangnya. Hamka cukup paham dengan makna siri’ yang dianut masyarakat Makassar, namun pencitraan nilai siri’ pada diri Zainuddin masih lemah. Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dari latar belakang Hamka sebagai orang Minangkabau (non- Makassar), maka tidak terdapat kesadaran besar untuk menggambarkan karakter orang Makassar sebagaimana seharusnya pada sosok Zainuddin. Begitu pula tokoh Zainuddin dalam cerita diposisikan sebagai seseorang yang berdarah Makassar-Minang, secara lahiriah bisa saja darah Minang melekat pada 34

diri Zainuddin, sehingga tidak sepenuhnya ia mampu memegang kokoh adat Makassar.49 Perbedaan penelitian skripsi Isma dengan skripsi ini adalah: a. Skripsi Isma bertujuan (1) untuk mengetahui cara Hamka merekonstruksi nilai siri’ dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, (2) untuk mengetahui sejauh mana Hamka merepresentasikan nilai siri’ pada sosok Zainuddin dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Penelitian ini dilakukan selama bulan Maret hingga Mei 2014 dengan mengambil objek penelitian novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, sedangkan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui perubahan tokoh dari novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka ke bentuk film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya sutradara Sunil Soraya serta implikasinya pada pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah. b. Hasil penelitian skripsi Isma menunjukkan bahwa cara pandang dan latar belakang sangat memengaruhi seseorang dalam menafsirkan realitas sosial berdasarkan konstruksinya masing-masing, sedangkan hasil penelitian skripsi ini yaitu terjadi perubahan penambahan, penciutan dan perubahan bervariasi pada tokoh. Pada aspek penciutan terdapat tujuh tokoh yang dihilangkan dan tidak dimunculkan dalam film, penambahan terjadi pada 28 tokoh, dan pada perubahan bervariasi terjadi pada enam tokoh, serta pada implikasi pembelajaran bahasa dan sastra di SMA peserta didik dapat menganalisis unsur penokohan pada dua media yang berbeda, media buku dan juga film. Hal ini dapat mengasah kekuatan analisis siswa, selain itu siswa dapat lebih paham dalam menganalisis penokohan jika melalui media audiovisual.

49 Skripsi Isma Ariyani, “Representasi Nilai Siri’ pada Sosok Zainudin dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Analisis Framing Novel)” Universitas Hasanudin , Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2014. 35

F. Pembelajaran Sastra di SMA Apresiasi sastra dimaknai sebagai kegiatan menggauli, menggeluti, memahami, menikmati cipta sastra hingga tumbuh pengetahuan, pengertian, kepekaan, pemahaman, penikmatan, dan penghargaan terhadap cipta sastra yang kita gauli, geluti, pahami, dan nikmati. Proses menuju apresiasi sastra yang ideal dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan, yakni tingkat menggemari cipta sastra, tingkat menikmati cipta sastra, tingkat mereaksi yakni menyatakan pendapat tentang cipta sastra yang dibacanya, dan tingkat produksi yakni menghasilkan cipta sastra. Pengajaran sastra yang ideal tidak menekankan pada penguasaan aspek kognitif semata tetapi pada aspek penghayatan dan pemahaman terhadap cipta sastra.50 Pengajaran sastra yang ideal mensyaratkan adanya guru/dosen sastra yang dapat dijadikan model, teladan, contoh, bagi peserta didiknya dalam hal yang terkait dengan apresiasi sastra. Ia dapat membaca puisi dengan baik, membaca cerpen dengan baik, menulis karya sastra dengan baik, rajin menghadiri diskusi-diskusi sastra, pembahasan buku-buku baru, pementasan, dan seterusnya.51 Dalam pembelajaran bahasa dan sastra pada khususnya, siswa bukan hanya dituntut memahami teori-teori sastra tetapi siswa lebih dituntut untuk memiliki kemampuan dalam mengapresiasi karya sastra. Untuk mewujudkan tujuan pembelajaran apresiasi sastra ini, kehadiran buku-buku sastra mutlak harus dipenuhi, agar siswa memiliki kesempatan untuk berakrab dengan karya sastra. Pengalaman membaca sastra merupakan penentu dalam mengapresiasi karya sastra.52 Untuk tingkat SMA, yang terkait dengan pengajaran sastra meliputi empat aspek keterampilan berbahasa. Aspek mendengarkan meliputi puisi, cerita rakyat, pementasan drama, dan cerpen. Aspek berbicara meliputi diskusi cerpen, puisi, dan pementasan drama. Aspek membaca meliputi puisi,

50 Esti Ismawati. Pengajaran Sastra, (Yogyakarta:Ombak, 2013), hlm.117 51 Ibid, hlm.118 52 Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: Upi Press, 2006), hlm.98 36

cerpen, naskah drama. Aspek menulis meliputi puisi, cerpen, resensi cerpen, dan naskah drama.53 Demikianlah, pada hakikatnya pembelajaran apresiasi sastra Indonesia ialah memperkenalkan kepada siswa nilai-nilai yang dikandung karya sastra dan mengajak siswa menghayati pengalaman- pengalaman yang disajikan. Pembelajaran apresiasi sastra Indonesia bertujuan untuk mengembangkan nilai-nilai indrawi, nilai akali, nilai efektif, nilai keagamaan, dan nilai sosial, secara sendiri-sendiri, atau gabungan keseluruhan, seperti yang tercermin dalam karya sastra. Pada hakikatnya pengajaran sastra adalah menciptakan situasi siswa membaca dan merespon karya sastra, serta membicarakannya secara bersamaan dalam kelas.54

53 Esti Ismawati. Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Ombak, 2013), hlm.119 54 Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: Upi Press, 2006), hlm.98 BAB III

PENGARANG DAN KARYANYA

A. Biografi Pengarang dan Sutradara 1. Biografi Hamka Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal sebagai Hamka ini mempunyai nama kecil Abdul Malik. Sedangkan “Karim” berasal dari nama ayahnya, Haji Abdul Karim, dan “Amrullah” merupakan nama dari kakeknya, Syekh Muhammad Amrullah. Hamka lahir pada Ahad malam, 16 Februari 1908 M bertepatan dengan 13 Muharram 1326 H di Ranah Minangkabau, Desa Kampung Molek, Nagari Sungai Batang, di tepian Danau Maninjau, Luhak Agam, Sumatra Barat.1 Beliau merupakan putra pertama dari pasangan Dr. Abdul Karim Amrullah dan Shaffiah.2 Di masa kecil, Hamka hidup di kampung bersama ayah dan ibunya. Ia merupakan anak kesayangan. Sebagai anak lelaki tertua, Hamka menjadi tumpuan untuk melanjutkan kepemimpinan umat. Buya Hamka adalah satu di antara putra Indonesia yang memiliki segudang prestasi. baik dilihat dari perannya sebagai ulama, pejuang, sastrawan, wartawan, politisi, dan kiprahnya dalam membangun peradaban bangsa Indonesia. Sosok yang multitalenta ini adalah seorang penulis kenamaan di zamannya, yang dari tangan dinginnya berhasil menulis tak kurang dari 120 judul buku.3 Hamka pendidikannya hanya sampai kelas dua SD. Kemudian ia mendapat pendidikan agama bahasa Arab di Aumatra, di . Tahun 1924 Hamka pergi ke Jawa belajar lebih lanjut pada IIOS Cockroaminoto di Surabaya.4 Di sana ia mulai aktif dalam

1 Johan Prasetya. Ajaran-ajaran Para Founding Father dan Orang-orang di Sekitarnya, (Jogjakarta: Palapa, 2014), hlm.9 2 Irfan Hamka, Ayah, (Jakarta : Republika, 2013), hlm.289 3 Haidar Musyafa. Hamka Sebuah Novel Biografi, (Tangerang Selatan: Imania, 2017), hlm.7 4Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: Upi Press, 2006), hlm.195

37

38

gerakan Muhammadiyah yang ia ikuti sejak pendiriannya di tahun 1925. Masih di tahun yang sama ia mulai terjun dalam kegiatan politik dan menjadi anggota partai politik Syarikat Islam. Sejak tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Panjang. Pada tahun 1929 Hamka mendirikan Pusat Latihan Pendakwah Muhammadiyah dan pada tahun 1931 beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makasar. Kemudian, pada 1946, beliau terpilih menjadi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatra Barat. Hamka dipilih menjadi penasihat pimpinan Pusat Muhammadiyah di tahun 1953. Pada 26 Juli 1977, Hamka dilantik sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) tetapi beliau mengundurkan diri, pada tahun 1981, karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Orba5 Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Selain melahirkan karya sastra seperti novel dan cerpen, Hamka juga menulis karya ilmiah, salah satu yang paling termahsyur adalah Tafsir Al-Azhar (5 jilid) yang ditulis saat ia berada dalam sel penjara. Beberapa karya sastra yang diciptakan di antaranya, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Merantau ke Deli, menjadi bacaan wajib studi sastra di Malaysia dan Singapura. Menimbang keluasan medan dan kualitas sepak terjangnya maka tidak berlebihan jika pada tahun 1958 dan 1974 Hamka dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al- Azhar Kairo (Mesir) dan Universitas Kebangsaan Malaysia. Hamka meninggal dunia (di usia 73 tahun) pada 24 Juli 1981 di RS Pusat Pertamina Jakarta dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan.6

5 Hamka. Di Bawah Lindungan Ka’bah, (Jakarta: Balai Pustaka, 2011), hlm.75 6Ibid, hlm.76 39

A. Pemikiran Hamka Memahami dunia Hamka berarti mengetahui sudut pandang pemikirannya. Hamka bukan hanya sekadar penulis novel. Ia juga adalah seorang penulis kritik, mengembangkannya sebagai teori pencatat zaman. Lebih dari itu, ia melibatkan perannya sebagai seorang kosmopolis, ia menuliskan karya-karya yang merekam tradisi di zamannya. Dari tradisi yang direkamnya itu ia menciptakan kolerasi dengan zaman. Kolerasi yang dimaksud ialah bagaimana Hamka menjadi seorang perekam zaman yang kritis, menggabungkannya dengan pengertian adat istiadat, menunjukkan keislaman, tanpa mengurangi nilai-nilai modern yang ingin disampaikannya. Terkadang ada dekadensi moral dalam contoh-contoh yang dibawakannya. Ia bukan memandang dekadensi itu sebagai fenomena yang semata-mata dipandang negatif. Ia melihat pandangan kronologisnya7. Nilai-nilai tradisi Islam dan adat istiadat yang dibawanya, dengan membaca karya-karyanya, selain novel-novel dan tafsirnya, telah menghadirkan suatu persuasi agar para pembaca mengikutinya. Dalam karyanya yang berjudul Merantau Ke Deli, ia melihat ketimpangan dalam tradisi tanah kelahirannya. Sebuah rekaman tradisi yang menafikan kemanusiaan. Jika seseorang bukan berasal dari kemurnian darah Minangkabau, tidak bisa diperlakukan sebagai tamu. Tidak ada pula kasus dalam adat seorang suami membawa istri ke rumah saudara perempuannya. Hal semacam ini dianggap mengganggu tatanan adat. Adat membatasi hubungan persaudaraan dan hubungan mendasar antarmanusia yang melihat apa statusnya, agar diperlakukan selayaknya, serupa atau sama. Dalam hal ini adat tampak begitu kejam. Namun, adat selalu memiliki maksud.8 Kemudian, Hamka menuliskan tentang budaya barat dan tradisi konflik religius dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der

7 Emhaf, Hamka Retorika Sang Buya, (Yogyakarta : Sociality,2017), hlm.161 8 Ibid, hlm. 164 40

Wijck, Hamka sebenarnya sedang marah pada perempuan-perempuan yang tidak mengindahkan dirinya dalam berpakaian secara Islam. Zaman Islam sekuler, ada sebuah ideologi “yang penting hati Islam, urusan penampilan boleh bebas” yang sedang berkembang. Itulah sekulerisme yang sebenarnya bukan hanya terjadi dalam Islam saja, banyak pula kegelisahan yang dialami oleh berbagai ajaran agama lain yang menemukan penganutnya beralasan serupa. Selain ajaran sekulerisme, Hamka juga sedang meradang atas pandangan sinkretisme. Suatu agama dengan seenaknya disamakan cara peribadatannya, disandingkan dengan agama lain. Hal itu mengangkat nama toleransi beragama. Toleransi bukan berarti menyamakan. Setiap agama memiliki caranya sendiri dalam merayakan hari besar keagamaannya. Hamka sebagai tokoh Islam melahirkan karya-karya yang tidak melepaskan nilai-nilai keislaman di dalamnya9. Nilai keislaman inilah yang tampak juga dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah. Orang Islam sedang berebut kebenaran. Organisasi-organisasi Islam di Indonesia mengalami pertumbuhan pesat. Hamka adalah pembesar Muhammadiyah, namun ia juga pernah menjabat ketua MUI. Hamka pernah mengeluarkan fatwa untuk beberapa keputusan agama Islam di negeri ini10. Islam adalah bagian dari kebudayaan yang besar. Apa yang dituliskan Hamka adalah untuk seluruh kebudayaan di dunia, tidak peduli itu adalah kebudayaan religius, tradisional, sampai peradaban kenegaraan. Dengan mengenalkan semua kebudayaan, di dalamnya bisa diketahui bagaimana masyarakat berpikir, perbedaan pasti akan ditemukan, tetapi sebuah cara untuk menjembatani semua perbedaan itu pasti bisa ditemukan11. Tidak peduli itu agama, adat istiadat, bahkan negara, adalah bagian dari lahirnya kebudayaan manusia. Mungkin, bedanya dalam agama ada

9 Emhaf, Hamka Retorika Sang Buya, (Yogyakarta : Sociality,2017), hlm.218 10 Ibid, hlm.219 11 Ibid, hlm.220 41

Tuhan yang menjadi dasar segala pengetahuan, yang dalam pengembangannya bisa menjadi dasar-dasar pengembangan atau pembatasan atas kebudayaan yang lain. Namun, melepaskan diri dari makna itu, kebudayaan perlu disadari sebagai kebudayaan, yang melengkapi kehidupan manusia. Dengannya manusia berusaha memaknai alam12. Pemahaman esensial perlu ditanamkan agar tidak ada perpecahan yang timbul atas nama perbedaan kebudayaan. Pemahaman esensial ini sendiri lahir dari adanya kesadaran untuk mempelajari kebudayaan. Hamka berkata seperti berikut ini, “Hasil usaha itu tersalur dan terbentuk dalam ilmu filsafat dan seni”. Memang beginilah kenyataannya, kesenian dan filsafatlah yang menjadi metode penyampaian dasar-dasar kebudayaan. Namun, jarang orang yang mau memahaminya.13 Kesadaran akan kesenian dan filsafat menjadi suatu yang terpinggirkan, sebab yang dicari adalah kesejahteraan. Hamka memilih untuk menyadarkan dirinya, juga orang lain yang mungkin membacanya, melalui menulis. Ia menampik kebiasaan ulama yang mengatakan bahwa menulis sebagai hal yang tidak lazim dilakukan oleh seorang pembesar agama. Hamka melakukan ini dengan kesadaran bahwa kebudayaan perlu disalurkan, perlu disampaikan, dasar-dasarnya, tafsirnya, melalui menulis dan berfilsafat. Sampai pada suatu titik tertentu, Hamka bisa menjadi jembatan bagi para ekslusivis dan penganut kebudayaan baru.14

2. Sunil Soraya Sunil Soraya merupakan seorang produser dan sutradara ternama di Indonesia. Ia adalah anak dari produser Ram Soraya, pemilik rumah produksi Soraya Intercine Films. Beliau lahir pada 26 September 1977 di Surabaya. Ibunya berasal dari Medan dan ayahnya

12 Ibid, hlm.230 13 Ibid, hlm.231 14 Ibid, hlm. 232 42

berasal dari Surabaya. Sunil Soraya lahir dari pasangan Ram Soraya dan Sunita. Orangtua dari ayahnya merupakan keturunan India. Sampai saat ini, Sunil Soraya masih tinggal bersama ibu, ayah, dan kedua saudara kandungnya di daerah Menteng dekat dengan kantor Soraya Intercine Films. Ia belum menikah dan masih sibuk meniti karir. Adiknya bernama Rocky Soraya dan kakanya bernama Reno Soraya. Pada usia enam tahun, Sunil Soraya mulai bersekolah di Gandhi Memorial Intercontinental School, Jakarta Utara. Ia bersekolah di sana sampai usia 12 tahun. Kemudian setelah usia 12 tahun ia melanjutkan sekolahnya ke Boarding School di Neo College, India. Selama tiga tahun ia belajar dengan sungguh-sungguh di sana. Setelah itu ia kembali lagi ke Indonesia dan bersekolah di Jakarta International School (JIS). Setelah ia lulus dari Jakarta International School, ia kembali melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi di Amerika. Ia belajar di Amerika New York North New University. Setelah itu beliau kembali lagi ke Indonesia dan mulai meniti karirnya sebagai produser dan sutradara hingga saat ini. Dari berbagai film yang diproduksinya, Sunil Soraya selalu memasukkan adegan-adegan yang romantis untuk membuat para penonton terhanyut pada saat menonton film tersebut. Sunil Soraya sangat pandai memasukkan ide-ide kreatif yang ia miliki ke dalam film yang diproduksinya tersebut . Selain itu, ia senang memasukkan hal- hal lucu ke dalam filmnya untuk membuat para penonton tertawa. Ia merupakan salah satu sutradara di Indonesia yang memiliki banyak sekali pengalaman di perfilman. Sunil Soraya selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk film yang diproduksinya. Pada film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, ia benar-benar menyesuaikan keadaan pada saat itu. Ia mencari segala peralatan, rumah, dan alat kendaraan yang sesuai dengan zaman yang tertulis pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Dalam segala hambatan- 43

hambatan untuk mendapatkan hasil yang baik, Sunil Soraya selalu berusaha agar hambatan tersebut dapat terselesaikan dengan baik. Sunil Soraya sudah menghasilkan beberapa film remaja, di antaranya Eiffel I’m In Love, Apa Artinya Cinta?, Chika, The Guy, Supernova, 5 CM, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, dan Single. Saat ini, ia akan merilis film baru yang berjudul Eiffel I’m In Love 2 pada bulan Februari 2018 mendatang. Kemudian ia juga akan bekerjasama dengan Raditya Dika untuk membuat sebuah film yang bergenre komedi. Tak hanya itu, ia juga sedang persiapan untuk membuat film Suzana terbaru.15

15 Sunil Soraya. Wawancara. Jakarta, 8 September 2017. BAB IV

PEMBAHASAN

A. Unsur Intrinsik 1. Tema Novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck memiliki tema tentang kasih tak sampai karena perbedaan adat dan istiadat. Sesuai dengan periodenya, yakni periode 1850-1933 yang mempersoalkan adat terutama masalah kawin paksa.1 Tokoh utama novel tersebut mengalami kesedihan yang teramat dalam karena kasih tak sampai. Zainudin dan Hayati adalah dua insan yang saling mencintai, namun tak dapat bersatu karena adat istiadat yang berbeda. Dapat dibuktikan pada kutipan berikut ini. “Sudikah engkau jadi sahabatku Hayati? Saya akui saya orang dagang melarat dan anak orang terbuang yang datang dari negeri jauh, yatim dan piatu. Saya akui kerendahan saya, itu agaknya yang akan menangguhkan hatimu bersahabat dengan daku. Tapi Hayati, meskipun bagaimana, percayalah bahwa hatiku baik. Sukar engkau akan bertemu dengan hati yang begini, yang bersih lantaran senantiasa dibasuh dengan air kemalangan sejak lahirnya ke dunia!”2

Kutipan tersebut menggambarkan bahwa tokoh Zainudin menyatakan bahwa ia ingin Hayati bersahabat dengannya meskipun ia tahu bahwa ia adalah anak yang terbuang dan melarat. Hayati pun sebenarnya memiliki perasaan yang sama. Ia mencintai Zainudin. Dibuktikan pada kutipan berikut ini. “Tuhanku, benar... sebenar-benarnya hamba-Mu ini kasihan kepada makhluk yang malang itu, dan oh tuhanku! Hamba sayang akan dia, hamba ... cinta dia! Jika cinta itu satu dosa, ampunilah dan maafkanlah! Hamba akan turutt perintah-Mu, hamba tak akan melanggar larangan, tak akan menghentikan suruhan. Akan

1 Rosida Erawati dan Ahmad Bahtiar, Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta : Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), hlm. 20 2 Hamka. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, (Jakarta : Balai Pustaka,2013), hlm.42

44

45

hamba simpan. Biarlah orang lain tak tahu, tetapi izinkan hamba ya Tuhan.”3 Pada kutipan tersebut terlihat bahwa Hayati mengatakan bahwa ia mencintai dan menyayangi Zainudin. Dalam doanya ia meminta izin kepada Tuhan agar ia diridhai untuk mencintai Zainudin. Kemudian terdapat beberapa kutipan yang mempengaruhi tema, yakni pengakuan Zainudin kepada Hayati bahwa ia mengatakan dengan jujur mengenai kehidupannya. Dibuktikan pada kutipan berikut.

“Ayahku telah mati, dan ibuku demikian pula. Bakoku tak mengakui aku keluarganya. Di Mengkasar hanya tinggal seorang ibu angkat. Dalam pergaulan, saya disisihkan orang. Saya tak hendak membunuh diri, karena masih ada pergantungan iman dengan yang Mahakuasa dan gaib, bahwa di balik kesukaran ada menunggu kemudahan. Di dalam khayalku dan dalam kegelapgulitaan malam, tersimbahlah awan, cerahlah langit dan kelihatanlah satu bintang, bintang dari pengharapan untuk menunjukkan jalan. Bintang itu.. ialah: kau sendiri, Hayati! Saya tahu juga sedikit-sedikit adat negerimu yang kokoh. Agaknya buruk saya berkirim surat ini dalam pandangan umum”4 Selanjutnya, terdapat kutipan yang menguatkan tema mengenai perbedaan adat istiadat yang menghalangi cinta mereka. Terbukti pada kutipan berikut.

“Segala perkataan tuan itu benar, tidak ada yang salah. Tapi, peredaraan masa dan zaman senantiasa berlain dengan kehendak manusia, di dalam kita tertarik dengan tertawanya, tiba-tiba kita diberinya tangis. Sayang ingat kekerasan adat di sini, saya ingat kecenderungan mata orang banyak, akan banyak halangannya jika kita bercinta-cintaan. Saya takut bahaya dan kesukaran yang akan kita temui, jika jalan ini kita tempuh.”5 Kutipan tersebut menegaskan bahwa Hayati memperingatkan Zainudin bahwa bila mereka melanjutkan hubungan percintaan tersebut hanya akan membuat mereka bersedih lantaran perbedaan adat. Kemudian kutipan yang mempengaruhi tema dapat dilihat dari kutipan berikut.

3 Ibid, Hlm.43 4 Ibid, hlm. 43 5 Ibid, hlm. 57

46

“Untuk kemaslahatan Hayati yang engkau cintai,” perkataan ini terhujam ke dalam jantung Zainuddin, laksana panah yang sangat tajam. Dia teringat dirinya, tak bersuku, tak berhindu, anak orang terbuang, dan tak dipandang sah dalam adat Minangkabau. Sedang Hayati seorang anak bangsawan, turunan penghulu-penghulu pucuk bulat urat tunggang yang berpendam perkuburan, bersasap berjerami di dalam negeri Batipuh itu. Alangkah besarnya korban yang harus ditempuh Hayati jika sekiranya mereka langsung kawin, dan tentu Hayati tiada akan tahan menderita pukulan yang demikian hebat. 6 “Hai Upik, baru kemarin kau memakan garam dunia, kau belum tahu belit-belitnya. Bukanlah kau sembarang orang, bukan tampan Zainudin itu jodohmu. Orang yang begitu tak dapat untuk menggantungkan hidupmu, pemenung, pehiba hati, dan kadang- kadang panjang angan-angan. Di zaman sekarang, haruslah suami penumpangkan hidup itu seorang yang tentu pencaharian, tentu asal-usul. Jika perkawinan dengan orang yang demikian langsung, dan engkau beroleh anak, ke manakah anak itu akan berbako? Tidakkah engkau tahu bahwa Gunung Merapi masih tegak dengan teguhnya? Adat masih berdiri dengan kuat, tak boleh lapuk oleh hujan, tak boleh lekang oleh panas?”7 Kutipan tersebut menandakan bahwa memang benar cinta mereka tidak bisa bersatu karena adat yang masih dijunjung tinggi oleh keluarga besar Hayati, terutama oleh kakeknya. Tema pada novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck secara keseluruhan tentang kasih tak sampai, pada tema novel dan film tidak mengalami perubahan. Tema dari film ini ialah kasih tak sampai karena perbedaan adat dan istiadat. Berdasarkan analisis tema tersebut, tampak novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck memiliki tema tentang kasih tak sampai karena perbedaan adat dan istiadat.

2. Alur Alur merupakan rangkaian peristiwa yang ada di dalam cerita. Peristiwa tersebut diawali dengan pengenalan cerita, kemudian terdapat permasalahan pada cerita tersebut dan terdapat penyelesaian masalah pada cerita tersebut. terdapat beberapan tahapan plot yang dikemukakan pada

6 Ibid, Hlm.63 7 Ibid, Hlm.65

47

buku Burhan yaitu terbagi menjadi lima tahapan. Kelima tahapan itu adalah 1) tahap penyituasian, 2) tahap pemunculan konflik, 3) tahap peningkatan konflik, 4) tahap klimaks, dan 5) tahap penyelesaian. Pada novel Tenggelamnya Kapan Van Der Wijck terdapat rangkaian alur maju mundur, sehingga tokoh utama pada awal cerita adalah menceritakan tentang sebelum dia lahir yang diceritakan oleh ibu angkatnya. Secara umum, rangkaian peristiwa-peristiwa tersebut akan dijelaskan pada tahapan-tahapan sebagai berikut. a. Tahap Penyituasian Alur yang terangkai dalam cerita novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini adalah alur maju mundur karena dalam novel tersebut menceritakan hal-hal yang terjadi pada masa lampau, kemudian membahas cerita yang sedang terjadi pada masa kini. Pada awalnya menceritakan tentang kelahiran seorang anak dari pasangan Pendekar Sutan dan Daeng Habibah. Kini ia tumbuh besar di Makassar dan berusia kira-kira 19 tahun. Ia sedang termenung memikirkan pesan ayahnya yang sudah meninggal, ayahnya ialah seorang kepala waris tunggal. Kemudian diceritakan lagi mengenai kejadian pada masa lampau, pada saat ayahnya masih remaja ia selalu melawan kedua orang tuanya dan pada akhirnya ia bertemu dengan gadis cantik yang bernama Daeng Habibah kemudian menikah dan dikaruniai anak laki-laki yang bernama Zainuddin. Terdapat pada kutipan berikut. “Dia dinamai ayahnya Zainuddin. Sejak kecilnya telah dirundung oleh kemalangan. Untuk mengetahui siapa dia, kita harus kembali kepada suatu kejadian di suatu negeri kecil dalam wilayah Batipuh 8 Sapuluh Koto (Padang Panjang) kira-kira 30 tahun yang lalu.

“Tiga dan empat tahun dia bergaul dengan isteri yang setia itu, dia beroleh seorang anak laki-laki, anak tunggal, itulah dia, Zainuddin yang bermenung di rumah bentuk Mengkasar, di jendela yang menghadap ke laut di Kampung Baru yang dikisahkan pada permulaan cerita ini.9

8 Ibid, hlm.4 9 Ibid, hlm.4

48

Kutipan di atas menceritakan awal kisah dari orang tua Zainuddin, yang menjelaskan mengenai kelahiran seorang anak laki-laki dari pasangan Pendekar Sutan dan Daeng Habibah di Mengkasar, tepatnya di kampung yang bernama Kampung Baru. Pada usia 9 bulan Zainuddin ditinggal oleh ibunya. Terdapat pada kutipan berikut ini. “TERANGKANLAH, mak, terangkanlah kembali riwayat lama itu, sangat inginku hendak mendengarnya,” ujar Zainuddin kepada Mak Base, orang tua yang telah bertahun-tahun mengasuhnya itu.”10

“Ketika itu engkau masih amat kecil.”katanya memulai hikayatnya.

“Engkau masih merangkak-rangkak di lantai dan saya duduk di kalang hulu ibumu memasukkan obat ke dalam mulutnya. Nafasnya sesak turun naik, dan hatinya rupanya sangat duka cita akan meninggalkan dunia yang fana ini. Ayahmu menangkupkan kepalanya ke bantal dekat tempat tidur ibumu. Saya sendiri berurai air mata, memikirkan bahwa engkau masih sangat kecil belum pantas menerima cobaan yang seberat itu, umurmu baru sembilan bulan.”11

Bedasarkan kutipan di atas sudah mulai bercerita ke masa kini. Pada cerita tersebut mengisahkan kembali kehidpan Zainuddin ketika ia berusia sembilan bulan. Ia sudah ditinggal oleh ibunya untuk selama- lamanya dan semenjak ia ditinggal oleh ibunya ia diasuh dan diangkat menjadi anak oleh mak Base. Beberapa waktu kemudian Zainuddin ditinggal pula oleh ayahnya menghadap sang Illahi. Terdapat pada kutipan berikut ini. “Rupanya kudrat Illahi tidak mengizinkan ayahmu menunggumu sampai besar. Karena di waktu engkau sedang cepat bermain di waktu sedang enak mengecap nikmat kecintaan ayahmu seorang, ayahmu meninggal dunia. Meninggalnya seakan-akan terbang ke langit saja, dengan tidak disangka-sangka. Pada suatu malam, petang Kamis malam Jumat, sedang dia duduk di atas tikar sembahyangnya, bertekun sebagai kebiasaannya, meminta taubat dari segenap dosa, dia meninggal. Ketika itu engkau telah pandai

10 Ibid, hlm.9 11 Ibid, hlm.9

49

menangis dan bersedih, engkau meratap memanggil-manggil 12 dia.”

Berdasarkan kutipan cerita di atas menggambarkan sosok Zainuddin yang sudah besar dan mengerti ketika ayahnya meninggal, dengan menangis dan bersedih meratapi memanggil-manggil nama ayahnya karena ketika ibunya meninggal ia masih berumur sembilan bulan dan belum mengerti apapun hal yang terjadi. Tahap penyituasian pada novel dan film ini mengalami perubahan. Di dalam film, tidak terdapat penggambaran mengenai cerita Zainuddin di masa lampau. Hal ini mengalami perubahan penciutan. Pada film langsung diceritakan keinginan Zainuddin yang ingin merantau ke negeri kelahiran ayahnya.

b. Tahap Pemunculan Konflik Tahap peristiwa mulai memunculkan konflik. Pemunculan konflik yang terjadi antara novel dan film tidak mengalami perubahan. Yakni ketika Zainuddin beranjak dewasa dan dia mulai berpikir untuk merantau ke negeri ayahnya di Padang dengan tujuan menyempurnakan cita-cita ayah dan ibunya serta ingin memperdalam ilmu agama dan ilmu pengetahuannya. Ia meminta izin kepada mak base untuk berangkat ke Padang. Terdapat pada kutipan berikut ini. “Sempit rasanya alam saya, mak Base, jika saya masih tetap juga di Mengkasar ini. Ilmu apakah yang akan saya dapat di sini, negeri begini sempit, dunia terbang, akhirat pergi. Biarlah kita sempurnakan juga cita-cita ayah bundaku. Lepaslah saya berangkat ke Padang.Kabarnya konon, di sana hari ini telah ada sekolah- sekolah agama. Pelajaran akhirat telah diatur dengan sebagus- bagusnya. Apalagi, puncak Singgalang dan Merapi sangat keras seruannya kepadaku rasanya. Saya hendak melihat tanah asalku, tanah tempat ayahku dilahirkan dahulunya. Mak Base, banyak orang memuji-muji negeri Padang, banyak orang berkata bahwa agama Islam masuk kemaripun dari sana. Lepaskanlah saya berangkat ke sana.”13

12 Ibid, hlm.14 13 Ibid, hlm. 17

50

Kutipan di atas menegaskan bahwa tekad Zainuddin untuk pergi ke Padang sudah bulat. Ia ingin menyempurnakan cita-cita ayah dan ibunya. Ia ingin mempelajari ilmu agama dan sudah banyak orang yang memuji- muji negeri Padang. Sudah hampir 6 bulan dia tinggal di dusun Batipuh. Disinilah peristiwa mulai terjadi, suatu hari Zainuddin bertemu dan berkenalan dengan seorang gadis asli dari Padang yang bernama Hayati. Berikut adalah kutipan dari perkenalan Hayati dan Zainuddin. “Mula-mula Hayati berkenalan dengan dia, adalah seketika hari hujan lebat, sebab daerah Padang Panjang itu lebih banyak hujannya dari pada panasnya. Mereka akan kembali ke Batipuh, tiba-tiba hujan lebat turun seketika mereka ada di Ekor Lubuk. Zainuddin ada membawa payung dan Hayati bersama seorang 14 temannya kebetulan tidak membawa payung.

“Heran dengan Zainuddin, mengapa dia tidak berangkat saja padahal dia berpayung?”15 “Hari sore juga, tiba-tiba timbullah keberanian Zainuddin meskipun keringatnya terbit di waktu hujan, dia tampil ke muka 16 ditegurnya Hayati : “Encik...!”

17 “Sukakah Encik saya tolong?” tanya Zainuddin kepada Hayati.”

18 “Apakah gerangan pertolongan tuan itu?” jawab Hayati.

“Berangkatlah Encik lebih dahulu pulang ke Batipuh, marah mamak dan ibu Encik kelak jika terlambat benar akan pulang, 19 pakailah payung ini, berangkatlah sekarang juga.”

Di atas merupakan kutipan percakapan antara Zainuddin dengan Hayati, terlihat dengan jelas awal peristiwa bertemunya dua insan manusia ini. Pada saat mereka berteduh di sebuah Ekor Lubuk sambil menunggu hujan reda di situlah awal perkenalan mereka. Zainuddin meminjamkan sebuah payung untuk Hayati agar Hayati segera pulang ke rumah. Zainuddin sempat gugup pada saat pertama kali ia menyapa Hayati.

14 Ibid, hlm.27 15 Ibid, hlm.27 16 Ibid, hlm.27 17 Ibid, hlm.28 18 Ibid, hlm.28 19 Ibid, hlm.28

51

Kemudian cerita mereka semakin berlanjut dan hubungan kedua insan ini semakin akrab. Dapat Dibuktikan dengan surat dari Zainuddin yang ingin lebih akrab dengan Hayati. Terdapat pada kutipan surat berikut ini. “Sudikah engkau jadi sahabatku Hayati? Saya akui, saya orang dagang melarat dan orang terbuang yang datang dari negeri jauh, yatim dan piatu. Saya akuikerendahan saya, itu agaknya yang akan menangguhkan hatimu bersahabat dengan daku. Tapi Hayati, meskipun bagaimana, percayalah bahwa hatiku baik. Sukar engkau kan bertemu dengan hati yang begini yang bersih lantaran senantiasa dibasuh dengan air kemalangan sejak lahirnya ke 20 dunia”. Surat dari Zainuddin untuk Hayati.

Pada tahapan ini tidak berbeda dengan apa yang digambarkan pada novel, tidak terjadi penambahan, penciutan, maupun perubahan bervariasi. Dapat dilihat pada gambar berikut,

20 Ibid, hlm.42

52

c. Tahap Peningkatan Konflik

Semakin lama semakin erat hubungan mereka. Mereka sering berkomunikasi lewat surat menyurat. Zainuddin selalu bercerita kepada Hayati tentang kisah hidupnya melalui surat kemudian Hayati membalasnya. Zainuddin bercerita bahwa selama ia hidup di padang ia merasa seperti orang asing, padahal Padang adalah negeri kelahiran ayahnya sendiri. Hayati merasa kasihan terhadap Zainuddin. Seiring berjalannya waktu Hayati dan Zainuddin mulai merasakan nyaman yang lebih dari seorang sahabat. Mulai muncul rasa sayang di antara mereka. Namun di sisi lain Hayati ragu untuk terlalu dalam menyayangi Zainuddin karena adat yang kokoh masih dianut oleh keluarga Hayati. Hayati tahu bahwa kecil harapan untuk mereka melanjutkan hubungan tersebut. “Bukan begitu, tuan Zainuddin. Bukan saya benci kepada tuan, karena saya kenal budi baik tuan. Saya merasa kasihan di atas segala penanggungan yang menimpa pundak tuan. Tapi tuan, sebuah yang saya takutkan, yaitu saya takut akan bercinta-cintaan” Ujar Hayati.21 “Segala perkataan tuan itu benar, tidak ada yang salah. Tapi peredaran masa dan zaman senantiasa berlain dengan kehendak manusia, di dalam kita tertarik dengan tertawanya, tiba-tiba kita diberinya tangis. Saya ingat kekerasan adat di sini, saya ingat kecenderungan mata orang banyak, akan banyak halangannya jika

21 Ibid, hlm.55

53

kita bercinta-cintaan. Saya takut bahaya dan kesukaran yang akan kita temui, jika jalan ini kita tempuh. 22

Berdasarkan kutipan cerita di atas, rasa khawatir dan takut Hayati mulai muncul. Diketahuinya bahwa Zainuddin bukan keturunan dari orang Padang dan dia mengetahui Zainuddin tidak dianggap dikeluarganya seperti orang asing. Memang benar kekhawatiran Hayati itu terjadi, orang- orang di dusun Batipuh sudah mengetahui pertemanan mereka dengan surat menyurat. Padahal pertemanan mereka sudah tertutup rapat dan saling jujur. Berikut kutipan yang menandakan bahwa kedekatan mereka sudah tersebar. “Tersiarlah di dusun kecil itu..... telah berintaian, bermain mata, berkirim-kirim surat dengan anak orang Mengkasar itu. Ginjing, bisik, dan desus, perkataan yang tak berujung pangkal, pun ratalah dan pindah dari satu mulut ke mulut yang lain, jadi pembicaraan dalam kalangan anak muda-muda yang duduk di pelantar lepau petang hari. Sehingga akhirnya telah menjadi rahasia umum. 23

Kutipan di atas menyatakan bahwa kekhawatiran Hayati selama ini sudah tersebar dan sudah jadi rahasia umum. Kesalahan Hayati dan Zainuddin telah berkirim-kirim surat dengan bercinta-cintaan kedua kalangan muda itu. Orang-orang dusun berpikir bahwa mereka bukan percintaan suci lagi, karena Hayati bukan mencintai orang berasal dari daerahnya Padang melainkan dari Mengkasar. Karena adat di sana sangat endiskriminasi sekali menentang untuk menikah dengan bukan dari daerahnya. Dalam film tidak terdapat perubahan pada tahap peningkatan konflik. Hubungan antara Hayati dan Zainuddin telah dibicarakan oleh banyak orang. Terdapat pada gambar berikut ini.

22 Ibid, hlm.57 23 Ibid, Hlm.60

54

d. Klimaks (Mencapai Titik Puncak) Kilmaks yang terjadi antara novel dan film tidak mengalami perubahan. Pada saat inilah konflik di antara mereka sudah memuncak, keluarga Hayati telah mendengar semuanya mengenai pertalian cinta antara Zainuddin dan Hayati. Mamak Hayati meminta Zainuddin untuk pergi dari Batipuh dan memintanya untuk melupakan Hayati. Seperti pada kutipan berikut. “.....sebab itu, sangatlah saya minta kepadamu Zainuddin, sudilah kiranya engkau melepaskan hayati dari dalam kenanganmu dan berangkatlah dari negeri Batipuh yang kecil ini segera, untuk 24 kemaslahatan Hayati.”

“Dengan sangat saya meminta engkau berangkat saja dari sini 25 untuk kemaslahatan Hayati yang engkau cintai”. Ucap Engku.

“Zainuddin telah saya suruh pergi dari Batipuh. Kalau dia hendak menuntut ilmu juga, sebagai niatnya bermula, lebih baik dia pergi ke Padang Panjang atau Bukttinggi saja, dia telah mau.26

Berdasarkan kutipan di atas Zainuddin ditentang oleh keluarga Hayati dan diusirnya Zainuddin dari dusun Batipuh. Dengan berat hati ia mengiyakan kemauan dari Mamak Hayati, karena ia sadar diri bahwa ia tidak bersuku, tidak berhindu, anak orang terbuang, dan tidak dipandang sah dalam adat Minangkabau. Sedangkan Hayati seorang anak bangsawan,

24 Ibid, hlm.62 25 Ibid, hlm.63 26 Ibid, hlm.64

55

turunan penghulu-penghulu pucuk bulat urat tunggang yang berpendam perkuburan, bersasap berjerami di dalam negeri Batipuh. Setelah kepergian Zainuddin, Hayati selalu merenung seorang diri. Pada suatu hari ia pergi ke rumah sahabatnya yaitu Khadijah kemudian Hayati dikenalkan kepada Aziz sepupu dari Khadijah dan keluarga Hayati pun menerima lamaran dari Aziz dan menolak lamaran Zainuddin. Terdapat pada kutipan berikut. “Setelah dibicarakan panjang lebar, hampirlah bulat mufakat hendak menerima Azis. Karena menurut pepatah : Ruas telah bertemu dengan buku, bagai janggut pulang ke dagu, sama 27 berbangsa keduanya, satu bulan satu matahari.

“Ya, kita habisi saja itu, kita bulatkan sekarang menerima Aziz dan 28 menolak permintaan Zainuddin.”

Berdasarkan kutipan di atas, Zainuddin merasa kecewa atas keputusan dari mamak Hayati telah meolak lamarannya tersebut. padahal Zainuddin telah berusaha untuk menjadi yang terbaik. Namun segala usahanya tidak dianggap oleh mamak Hayati. Hayati menerima lamaran dari Aziz. Jalan cerita pada klimaks novel dan film tidak ada penambahan, penciutan, dan perubahan bervariasi. Dapat dilihat pada gambar berikut,

27 Ibid, hlm.127 28 Ibid, hlm.130

56

e. Pemecahan atau Penyelesaian Masalah Hayati dan Aziz kini menjadi sepasang suami istri, namun hidup Hayati tak bahagia bersama Aziz. Terdapat pada kutipan berikut ini. “Dari sedikit kesedikit telah nyata bahwa cinta Aziz kepada hayati, adalah cinta sebagaimana disebut orang pada waktu sekarang. Yaitu cinta yang ditakuti oleh Zainuddin dan telah pernah diterangkannya dalam suratnya kepada Hayati seketika dia akan kawin. Aziz, sanggup memberikan segenap kesenangan kepada Hayati, yakni kesenangan harta benda, tetapi hati mereka sejak bergaul, bukan kian lama kian kenal, hanya kian lama kian nyata bahwa haluan tidak sama. Bilamana sebab sebab itu sudah 29 tak ada lagi, cintapun kendorlah.”

Berdasarkan kutipan di atas, sikap Aziz benar-benar berubah. Jelas bahwa Aziz tidak benar-benar sayang kepada Hayati. Aziz dan Hayati pun berkunjung ke rumah di mana tempat Zainuddin tinggal dan pada akhirnya pun Aziz pergi untuk bekerja meminta izin kepada Zainuddin untuk menjaga Hayati selama Aziz bekerja, tapi tidak lama kemudian terdengar kabar bahwa Aziz bunuh diri di hotel. Terdapat pada kutipan berikut. “Saya telah melarat sekarang, saya dan istri saya. Saudara yang telah menyambut dalam rumah saudara sekian lamanya. Hal ini tak boleh saya derita lama. Di kota Surabaya, sayapun lebih merasa malu. Sebab itu lepaslahsaya berangkat mencari pekerjaan lain ke luar kota Surabaya. Saya akan pergi sendiriku lebih dahulu. Di mana pekerjaan dapat, saya kirim kabar segera, supaya istriku dapat menurutkan ke sana.” 30

29 Ibid, hlm.200 30 Ibid, hlm.214

57

“Penumpang itu tidak bangun lagi buat selama-lamanya, rupanya dia telah membunuh dirinya dengan jalan memakan Adalin, obat tidur yang mahsyur itu lebih dari 10 buah. Tube obat itu terdapat di atas meje telah kosong.”31

Berdasarkan kutipan di atas yakni surat kabar dari pihak hotel, untuk memberitahu kepada pihak keluarga Aziz bahwa Aziz telah meninggal dunia dengan bunuh diri. Sebelumnya Aziz dan Hayati telah berkirim-kirim surat dan Aziz meminta cerai dengan Hayati. Hayati pun tinggal kini berdua hidup dengan Zainuddin. Tetapi Zainuddin meminta Hayati untuk pulang saja ke Padang, karena Zainuddin masih merasa sakit hati dengan Hayati. “Bila teringat akan itu, terus dia berkata : “Tidak Hayati! Kau mesti pulang kembali ke Padang! Biarkanlah saya dalam keadaan begini. Pulanglah ke Minangkabau! Janganlah hendak ditumpang hidup saya, orang tak tentu asal ...... negeri Minangkabau beradat! Besok hari Senin, ada kapal berangkat dari Surabaya ke Tanjung Priuk, akan terus ke Padang! Kau boleh menumpang dengan kapal itu ke kampungmu.32

Berdasarkan kutipan cerita di atas, Zainuddin masih merasa kesal dan dendam kepada Hayati dan keluarganya yang telah menolaknya mentah-mentah pada masa lalu. Kemudian Zainuddin menyuruh Hayati untuk pulang ke Minangkabau dan pergi dari kehidupan Zainuddin karena dia pikir bahwa dia bisa hidup tanpa Hayati, bukti selama dia singgah di Jakarta dan Surabaya dia dapat hidup sukses dan menjadi seorang penyair yang sangat terkenal. Akhirnya Hayati pun pergi dan menuju Tanjung Priuk untuk menaiki kapal yang ditumpanginya. Tetapi takdir berkata lain, kapal yang ditumpangi Hayati tenggelam ke dasar lautan. Berikut kutipannya. “...... sebagai seorang memang yang telah terikat pikirannya kepada surat kabar, baru saja koran-koran itu terletak di atas meja, segera dibukanya. Dipagina pertama, dengan huruf yang besar-besar telah bertemu perkabaran,, Kapal Van der Wijck Tenggelam. Dia

31 Ibid, hlm.229 32 Ibid, hlm.234

58

terhenyak di tempat duduknya, badannya gemetar, dan perkabaran 33 itu dibacanya terus.”

Berdasarkan kutipan di atas setelah Zainuddin membaca berita tersebut seluruh badannya gemetar dengan sangat gugup ia berbicara dan memberitahukan kepada Muluk. Ia langsung pergi menyusul Hayati untuk memastikan bagaimana keadaan Hayati. Memang cinta mereka tidak dapat dipisahkan, saling setia, dan saling mencintai. Dapat dibuktikan pada kutipan berikut ini. “Dilihatnya wajah Zainuddin tenang-tenang, maka timbullah dari 34 matanya, sekejap saja, cahaya pengharapan... “kau... Zain....”

“Ya, Hayati! Allah rupanya tak izinkan kita berpisah lagi, bila telah 35 beroleh keizinan dari dokter, kita segera berangkat ke Surabaya.”

36 “Hidupku hanya buat kau seorang Hayati!” “Akupun!.....”

“beberapa menit kemudian dibukanya matanya kembali, diisyaratkannya pula Zainuddin supaya mendekatinya. Setelah dekat, dibisikkannya, “Bacakanlah ... dua kalimat suci ... di telingaku.” Tiga kali Zainuddin membacakan kalimat Syahadat itu, ditarutkannya yang mula-mula itu dengan lidahnya, yang kedua dengan isyarat matanya, dan yang ketiga ... dia sudah tak ada lagi!” 37

Pada akhirnya Hayati menghembuskan nafas terakhir di sisi Zainuddin. Setelah kematian Hayati, Zainuddin mulai lemah dan ia sering sakit-sakitan. Tak lama kemudian Zainuddin meninggal dunia dan dimakamkan di samping makam Hayati. Akhir cerita pada novel dan film mengalami perubahan penambahan alur pada cerita. Pada novel diceritakan bahwa Hayati dan Zainuddin meninggal dunia, namun pada film diceritakan bahwa Zainuddin tidak meninggal dunia, ia melanjutkan karirnya dan ia membangun Rumah Yatim untuk Hayati. Dapat dilihat pada gambar berikut ini.

33 Ibid, hlm.249 34 Ibid, hlm.254 35 Ibid, hlm.254 36 Ibid, hlm.255 37 Ibid, hlm.255

59

60

3. Tokoh dan Penokohan Tokoh merupakan orang yang berperan penting dalam cerita dan memiliki karakter yang beragam, sehingga cerita menjadi lebih hidup dan berwarna. Sedangkan penokohan adalah karakter yang digambarkan pada tokohnya dalam cerita. a. Zainuddin Zainuddin merupakan tokoh utama laki-laki dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Ia seorang pemuda yang lemah

61

lembut dan selalu mengalah demi kepentingan orang lain. Berikut kutipannya. “Zainuddin seorang yang terdidik lemah lembut, didikan ahli seni, ahli syair, yang lebih suka mengalah untuk kepentingan orang lain.”38

Berdasarkan kutipan di atas Zainuddin memang seorang anak muda yang lemah lembut terhadap siapapun. Selain itu, Zainuddin adalah pemuda yang baik budinya. Terdapat pada kutipan surat berikut ini. “Bersamaan dengan anak ini saya kirimkan kembali payung yang telah saya pinjam kemarin. Alahngkah besar terima kasih saya atas pertolongan itu, tak dapat di sini saya nyatakan. Pertama, diwaktu hari hujan saya tak bersedia payung, Tuan telah sudi berbasah- basah untuk memeliharakan diri seorang anak perempuan yang belum Tuan kenal. Kedua, kesyukuran saya lebih lagi dapat bersahutan mulut dengan Tuan, orang yang selama ini terkenal baik budi. Sehingga bukan saja rupanya hujan mendatangkan basah, tetapi mendatangkan rahmat.”39 “Mereka tiada kenal bagaimana kemuliaan batin Zainuddin, mereka tak tahu bahwa di balik pakaian yang kurang sempurna itu tersimpan hati yang baik. Mereka cela dia, sebab mereka tiada kenal siapa dia. Kalau mereka tahu siapa dia, tentu akan mereka hormati, sebab di sanalah tersimpan satu hati yang bersih dan jiwa yang besar.”40

Berdasarkan kutipan pertama, jelas bahwa Zainuddin adalah seorang pemuda yang baik budinya. Ia telah meminjamkan payung kepada Hayati pada saat mereka berteduh saat hujan turun. Kutipan kedua, adalah pernyataan Hayati terhadap sosok Zainuddin ketika mereka dipisahkan oleh mamak Hayati dan keluarganya. Seandainya orang lain tahu akan kebaikan Zainuddin maka mereka tak akan memandang sebelah mata terhadapnya. Selain baik budinya, Zainuddin adalah seorang pemuda yang memiliki cita-cita yang tinggi. Ia ingin mencari ilmu di negeri Padang, tanah kelahiran ayahnya. Berikut kutipannya.

38 Hamka. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, (Jakarta : Balai Pustaka, 2013), hlm.23 39 Ibid, hlm.31 40 Ibid, hlm.95

62

“Sempit rasanya alam saya, mak Base, jika saya masih tetap juga di Mengkasar ini. Ilmu apakah yang akan saya dapat di sini, negeri begini sempit, dunia terbang, akhirat pergi. Biarlah kita sempurnakan juga cita-cita ayah bundaku. Lepaslah saya berangkat ke Padang.Kabarnya konon, di sana hari ini telah ada sekolah- sekolah agama. Pelajaran akhirat telah diatur dengan sebagus- bagusnya. Apalagi, puncak Singgalang dan Merapi sangat keras seruannya kepadaku rasanya. Saya hendak melihat tanah asalku, tanah tempat ayahku dilahirkan dahulunya. Mak Base, banyak orang memuji-muji negeri Padang, banyak orang berkata bahwa agama Islam masuk kemaripun dari sana. Lepaskanlah saya berangkat ke sana.”41

“Memang sejak meninggalkan Batipuh, telah banyak terbayang cita-cita dan angan-angan yang baru dalam otak Zainuddin. Kadang-kadang berniat di hatinya hendak menjadi orang alim, jadi ulama sehingga kembali ke kampungnya membawa ilmu. Kadang- kadang hapus perasaan demikian, dan timbul niatnya hendak memasuki pergerakan politik, menjadi leider dari perkumpulan rakyat. Kadang-kadang dia hendak menjadi ahli syair, mempelajari kesenian yang dalam. Itulah tiga tabiat, tiga kehendak yang mengalir dalam darahnya, yang terbawa dari turunannya. Sebab ayah dari ibunya, yaitu Daeng Manippi, seorang beribadat, demikian juga ayahnya di hari tuanya. Ibunya seorang perempuan pehiba hati, tabiat ahli syair.42

Kutipan di atas menyatakan bahwa Zainuddin ingin mencari ilmu tidak hanya di Mengkasar, namun ia ingin mempelajari ilmu agama pula di kota Padang. Zainuddin ingin meneruskan cita-cita ayah dan ibunya. Ia seorang pemuda yang pandai dan memiliki cita-cita mulia. Terdapat tiga keahlian yang ia miliki sehingga ia harus bisa memilih salah satu cita- citanya yang harus ia kembangkan. Zainuddin adalah lelaki yang tetap berpegang teguh dan percaya kepada Tuhan. “Kalau ada kepercayaanmu demikian, maka Tuhan tidaklah akan menyia-nyiakan engkau. Sembahlah Dia dengan khusyuk, ingat Dia di waktu senang, supaya Dia ingat pula kepada kita di waktu kita sengsara. Dialah yang akan membimbing tanganmu. Dialah yang akan menunjukkan haluan hidup kepadamu. Dialah yang akan menerangi jalan yang gelap. Jangan takut menghadapi cinta. Ketahuilah bahwa Allah yang menjadikan matahari dan

41 Ibid, hlm.17 42 Ibid, hlm.75

63

memberinya cahaya. Allah yang menjadikan bunga dan memberinya wangi. Allah yang menjadikan tubuh dan memberinya nyawa. Allah yang menjadikan mata dan memberinya penglihatan. Maka Allah pulalah yang menjadikan hati dan memberinya cinta. Jika hati kau diberi-Nya nikmat pula dengan cinta sebagaimana hatiku, marilah kita pelihara nikmat itu sebaik-baiknya, kita jaga dan kita pupuk, kita pelihara supaya jangan dicabut Tuhan kembali. Cinta adalah iradat Tuhan, dikiriminya ke dunia supaya tumbuh. Kalau dia terletak di atas tanah yang lekang dan tandus, tumbuhnya akan menyiksa orang lain. Kalau dia datang kepada hati yang keruh dan kepada budi yang rendah, dia akan membawa kerusakan. Tetapi, jika dia hinggap kepada hati yang suci, dia akan mewariskan kemuliaan, keikhlasan, dan taat pada Illahi.”43

Pada kutipan di atas menyatakan bahwa Zainuddin sosok pemuda yang percaya kepada Tuhan, dan benar-benar menyerahkan segala jalan hidupnya kepada Tuhan. Saat Zainuddin dan Hayati merasa bimbang dengan segala perbedaan yang ada, Zainuddin berusaha untuk menasehati Hayati agar ia percaya dan beriman kepada Tuhan. Zainuddin memiliki sifat setia terhadap kekasih yang ia cintai. Terbukti pada kutipan berikut ini. “Engku yang mulia! Saya seorang anak muda yang setia. Jika sekiranya Engku sudi menerima saya untuk kemenakan Engku, Engku akan beroleh kemenakan yang penyantun, yang suka berjuang dalam hidup dengan tiada mengenal bosan dan jemu”.44

“Pada saat itu tahulah dia sudah, bahwa Zainudin masih tetap cinta akan dia. Cinta yang tidak pernah padam, melainkan jadi pelita di dalam perjuangan hidupnya, meskipun mereka telah terbatas buat selama-lamanya”45

“Bang Muluk!... Cinta saya kepada Hayati masih belum rusak, walau sebesar rambut sekalipun!”46

Berdasarkan kutipan pertama, Zainuddin menegaskan kepada Engku bahwa ia adalah pria yang setia. Ia berani menyatakan hal tersebut di dalam surat ketika ia melamar Hayati. Kemudian pada kutipan kedua,

43 Ibid, hlm.57 44 Ibid, hlm.123 45 Ibid, hlm.224 46 Ibid, hlm.242

64

Zainuddin masih setia kepada Hayati meski mereka sudah dibatasi oleh segala hal, terutama Hayati telah menjadi istri Aziz. Selanjutnya kutipan ketiga terlihat jelas bahwa Zainuddin sangat menyesal karena telah membohongi perasaannya sendiri. Ia masih setia, ia masih mencintai Hayati sepenuh hati.

b. Hayati Hayati adalah seorang wanita cantik asal Minangkabau yang jatuh cinta kepada Zainuddin. Ia bagaikan bunga di dalam rumah adatnya sendiri. Terdapat pada kutipan berikut. “Hayati, gadis remaja putri, ciptaan keindahan alam, lambaian Gunung Merapi, yang terkumpul padanya keindahan adat istiadat yang kokoh dan keindahan model sekarang, itulah bunga di dalam rumah adat itu. Hayati, adalah nama baru yang belum biasa dipakai orang selama ini. Nama gadis-gadis di Minangkabau tempo dahulu hanya si Cinta Bulih, Sabai Nan Aluih, Talipuk Layur dan lain- lain. Tetapi Hayati, adalah bayangan dari perubahan baru yang melingkari alam Minangkabau yang kokoh dalam adatnya itu. 47 “Mukanya amat jernih, matanya penuh dengan rahasia kesucian dan tabiatnya gembira.”48

Berdasarkan kutipan di atas, pada kutipan pertama memperkenalkan bahwa Hayati adalah perhiasan keluarganya yang lekat dengan adat istiadatnya serta layaknya bunga di dalam rumahnya. Kemudian kutipan kedua menggambarkan sosok cantik Hayati yang terpancar dari wajahnya yang jernih dan penuh dengan kesucian. Selain cantik, Hayati memiliki rasa belas kasihan yang tinggi terhadap orang- orang di sekelilingnya, terutama kepada Zainuddin. Berikut kutipannya. “Saya kasihan melihat nasib anak muda itu, hanya semata-mata kasihan, sahabat, lain tidak; jangan engkau salah terima kepadaku. Karena memang sudah terbiasa kita anak-anak gadis ini merasa kasihan kepada orang yang bernasib malang, tetapi kita tak dapat memberikan pertolongan apa-apa, karena kita hanya bangsa

47 Ibid, hlm.26 48 Ibid, hlm.29

65

perempuan yang tidak mempunyai hak apa-apa di dalam adat pergaulan.” 49

Kutipan di atas menyatakan bahwa Hayati adalah gadis yang merasa iba bila melihat ada orang lain yang bernasib malang. Ia ikut merasakan kesedihan yang dialami oleh orang lain tersebut. Ia juga gadis yang sabar dalam menghadapi segala cobaan. Terdapat pada kutipan berikut ini. “Allah yang tahu bagaimana beratnya perasaan hatiku hendak melepasmu berangkat pada hari ini, tapi apa yang hendak kuperbuat selain sabar: Tuhan telah memberi saya kesabaran, moga-moga kesabaran itu terus menyelimuti hatiku, menunggu di mana masanya kita menghadapi dunia ini dengan penuh kesyukuran kelak.50

Berdasarkan kutipan di atas Hayati sabar untuk menunggu Zainuddin sampai Zainuddin kembali. Pada saat itu Zainuddin diusir dari Batipuh agar tak bisa bersahabat lagi dengan Hayati. Selain ia gadis yang penyabar, ia juga gadis yang penurut. Hayati menuruti keinginan ninik mamaknya yang ingin menikahkan ia dengan Aziz. Terdapat pada percakapan berikut ini. “Jawablah Hayati!” kata Datuk ... sekali lagi, “supaya mudah kami membuhulkan musyawarah ini dengan asap kemenyan.” 51

“Bagaimana .. yang akan baik kata ninik mamak saja ... saya menurut!”52

Hayati menuruti keinginan ninik mamaknya, ia menyerahkan segalanya kepada takdir. Ia tak bisa berkutik karena hidupnya tergantung dengan keluarganya. c. Mak Base Mak Base ialah orang tua angkat Zainuddin yang sangat baik hati. Ia mengurusi Zainuddin sejak kecil hingga besar. Mak Base memiliki sifat

49 Ibid, hlm.37 50 Ibid, hlm.72 51 Ibid, hlm.132 52 Ibid, hlm.132

66

yang penyayang. Ia sangat menyayangi Zainuddin, terbukti pada kutipan berikut ini. “Bagaimana Mamak tidakkan bermenung, bagaimana hati Mamak tidakkan berat. Dari kecil engkau kubesarkan, hidup dalam pangkuanku. Rasanya hidup Mamak pun tak dapat diceraikan lagi dari hidupmu. Begitu jauh yang akan engkau jelang, belum tentu dan belum pernah diturut. Ah, anak ... ibumu saudaraku, ayahmu tuanku. Mamak orang miskin, Anak, tetapi telah sangat merasa beruntung lantaran bercampur gaul dengan ayah bundamu sekian lamanya. Sekarang, jika engkau pergi, siapakah lagi yang akan kutimang-timang, yang akan Mamak junjung tinggi? Dan tentu bila sampai ke sana. tanah Mengkasar hilang buat selama-lamanya. Itulah Anak, itulah yang Mamak rusuhkan. Kalau bukan hendak mencukupkan wasiat ibumu dan cita-cita ayahmu, Mamak larang engkau berangkat ke sana. Mamak suruh bersekolah atau menuntut ilmu di Mengkasar saja.”53

“Saya orang tua, Udin, hatiku tak dapat kutahan. Apakah derma seorang perempuan selain dari tangis? Apalagi kerap kali hati Mamak berkata, agaknya kita tidak akan bertemu lagi. Cobalah lihat punggungku yang telah bungkuk. Mamak takut, kalau-kalau keluarga di Padang tak sudi menyambutmu dengan baik.”54

Berdasarkan kutipan di atas, Mak Base mengungkapkan isi hatinya. Ia sangat menyayangi Zainuddin yang dari kecil telah ia urusi. Ia sangat berat hati untuk melepas Zainuddin pergi, ia takut kehilangan Zainuddin. Kasih sayang Mak Base sangat tulus kepada Zainuddin. Ia menyayangi Zainuddin seperti menyayangi anak kandungnya sendiri. Selain itu, Mak Base sangat memperhatikan segala kebutuhan Zainuddin. Terbukti pada kutipan berikut ini. “Segala yang perlu disiapkan oleh Mak Base buat melepas Zainuddin anaknya: sebuah kasur, sebuah peti kayu dan tempat tidur di kapal. Waktu ssore pukul 5 kapal akan berlayar. Pukul 9 pagi ia pergi dahulu ke pusara ayah bundanya di Kampung Jera bersama Mak Base sendiri, laksana meminta izin. Setelah itu, mereka kembali pulang ke rumah. Sehabis makan lohor, Mak Base mengeluarkan peti kecil simpanan uang itu dari dalam lemari,

53 Ibid, hlm.18 54 Ibid, hlm.20

67

seraya berkata kepada Zainuddin, “Terimalah uang ini semuanya, inilah hakmu, usaha dari ayahmu.”55

Berdasarkan kutipan di atas, Mak Base adalah sosok ibu yang perhatian terhadap segala keperluan anaknya. Ia sangat peduli kepada Zainuddin. Selain itu, Mak Base adalah sosok yang sangat baik hati. Terbukti pada kutipan percakapan berikut ini. “Mengapa jadi sebanyak ini, Mak Base?”56

“Mamak perniagakan, dan beruntung. Cuma dari keuntungan itulah membayari uang sekolahmu.”57

“Ah, dengan apakah jasa Mamak kubalas,” ujar Zainuddin.58

“Balasnya hanya satu, bacakan Surat Yasin tiap-tiap malam Jumat kalau Mamak meninggal dunia pula.”59

Berdasarkan kutipan di atas, jelas bahwa Mak Base adalah sosok yang sangat baik hati. Ia menyimpan uang yang dititip oleh orangtua Zainuddin dan bahkan ia perniagakan uang itu sehingga berlipat ganda. Ia tak ingin apapun dari Zainuddin, ia hanya minta dibacakan Surat Yasin jika ia telah meninggal. d. Khadijah Khadijah adalah sahabat Hayati. Namun, ia sangat berbeda dengan Hayati. Khadijah merupakan gadis kota yang sudah modern, yang selalu memperhatikan penampilannya, selalu merendahkan orang-orang yang masih kuno dan wanita yang keras kepala. Berikut kutipannya. “Hayati dan Khadijah, amat berlain sekali pendidikan dan pergaulannya. Yang seorang anak kampung, yang tinggal di dalam dusun dengan keadaan sederhana, hidup di dalam rumah yang dilingkungi adat dan berbentuk kuno. Kehidupan di kampung yang aman itu menyebabkan jiwanya biasa dalam ketentraman, berlain sekali dengan pembawaan Khadijah dan lingkungan keluarganya. Khadijah orang kota, tinggal di rumah bentuk kota, kaum

55 Ibid, hlm.19 56 Ibid, hlm.15 57 Ibid, hlm.15 58 Ibid, hlm.16 59 Ibid, hlm.16

68

kerabatnya pun telah dilingkungi oleh pergaulan dan hawa kota, saudara-saudaranya bersekolah dalam sekolah-sekolah menurut pendidikan zaman baru. Susunan perkakas yang ada dalam rumahnya, tentu saja jauh lebih menarik daripada keadaan di kampung.60

“Hayati melihat kepada Khadijah tenang-tenang. Tercengang dia melihat pakaian yang dipakai sahabatnya itu: Kebaya pendek yang jarang, dari pola halus, dadanya terbuka seperempat, menurut mode yang paling baru. Kutang pun model baru pula, sehingga agak jelas pangkal susu, dan tidak memakai selendang. Sarung ialah batik Pekalongan halus, berselop tinggi tumit pula, di tangan memegang sebuah tas, yang di dalamnya cukup tersimpan cermin dan pupur. Sedangkan dia sendiri, Hayati, berpakaian jauh bedanya dari itu, pakaian cara kampung.61

Kutipan di atas menggambarkan sosok Khadijah yang modern. Memakai pakaian terbuka sudah biasa bagi Khadijah. Ia benar-benar mengikuti perubahan zaman. Menurut Khadijah, pakaian kuno itu sudah tidak zaman. Hanya dipakai untuk orang-orang terdahulu. Khadijah selalu menghasut Hayati untuk mengganti pakaiannya yang kuno tersebut dengan pakaian masa kini seperti Khadijah. Berikut kutipan percakapan tersebut. “Merengut Khadijah sekali, “ Lebih baik kau pergi ke surau saja, Hayati, jangan ke pacuan!”62

“Saya malu memakai pakaian demikian, Khadijah, tidak cocok dengan diriku, aku tak biasa.”

“Itulah yang akan dibiasakan.”

“Pakaian begini tak diadatkan di negeri kita.”

“Dahulu yang tidak, kini inilah pakaian yang lazim.”

“Saya tidak mau membuka rambut.”

“Membuka rambut apakah salahnya? Bukankah panas kalau selalu ditutupi saja?” 63

60 Ibid, hlm.87 61 Ibid, hlm.89 62 Ibid, hlm.89 63 Ibid, hlm.89

69

Percakapan di atas merupakan bukti bahwa Khadijah telah menghasut Hayati untuk berpenampilan seperti dirinya. Ia memaksa Hayati mengganti bajunya yang kuno dengan baju model masa kini. Baju yang sangat membuatnya tidak nyaman dipakai. Khadijah juga memiliki sifat selalu mencela orang-orang yang masih mengikuti adat istiadat negerinya. Bagi Khadijah orang yang seperti itu adalah orang yang kuno. Berikut kutipannya. “...... “Cis, „alim‟ betul orang yang engkau cinta ini. Maunya rupanya supaya kau coreng mukamu dengan arang, pakai pakaian orang dusun Batipuh semasa 30 tahun yang lalu, alihkan pertautan sarungmu ke belakang, tindik telingamu luas-luas, masukkan daun tebu yang digulung, supaya bertambah besar dan luasnya, makan sirih biar gigimu hitam, berjalan dengan kaki terangkat-angkat, junjung niru dan tampian. Di mana duduk puji dan sanjung dia, katakan dia seorang laki-laki yang jempol. Alangkah beruntungnya engkau jika bersuami dia kelak. Engkau akan dikurung dalam rumah, menurut adat orang Arab, tak boleh kena cahaya matahari, turun sekali sejumat. Dan bila engkau berjalan beriringan-iringan dengan dia, tak boleh laki-laki lain menentang mukamu, tutup muka dengan selendang, sebagai kuda bendi dengan tutup matanya. Kalau dia hendak pergi ke mana-mana, kunci rumah dibawanya, engkau hanya di dapur saja.64

Kutipan di atas jelas sekali memperlihatkan bahwa Khadijah adalah sosok gadis yang selalu mencela adat istiadat. Baginya adat istiadat telah kuno, bahkan telah hilang di zaman seperti ini. Ia menghasut Hayati agar Hayati tak mencintai Zainuddin. Khadijah telah menggambarkan bagaimana kehidupan Hayati jika Hayati menikah dengan Zainuddin. Khadijah memiliki sifat yang sangat matrealistis. Berikut kutipannya. “Engkau puji-puji kebaikan Zainuddin, saya memuji pula kebaikannya. Tetapi orang yang demikian, di zaman sebagai sekaranvg ini tak dapat dipakai. Kehidupan zaman sekarang berkehendak kepada uang dan harta cukup. Jika berniaga, perniagaannya maju, jika makan gaji, gajiannya cukup. Cinta walaupun bagaimana sucinya, semua bergantung kepada uang!”65

64 Ibid, hlm.98 65 Ibid, hlm.105

70

Berdasarkan kutipan di atas, Khadijah sangat mementingkan harta daripada cinta. Menurutnya cinta tak ada gunanya bila tak memiliki harta. Pemikiran Khadijah sangatlah berbeda dengan Hayati. e. Aziz Aziz adalah seorang laki-laki yang dinikahkan dengan Hayati, ia adalah lelaki pilihan keluarga Hayati. Menurut Mamak Hayati, ia adalah pria yang jelas pekerjaannya, jelas keturunannya dan jika Hayati menikah dengannya tak akan menyesal dan akan bahagia. Namun, itu hanyalah tipuan. Ternyata Aziz adalah pria yang suka mempermainkan wanita. Terdapat pada kutipan berikut. “Bilamana hari telah malam, dia pergi ke tempat pergurauan, melepaskan waktu mudanya. Yang lebih disukainya ialah menghabiskan uang dengan orang-orang yang tak berketentuan. Atau mempermain-mainkan anak bini orang. Kalau kelihatan seorang gadis yang cantik rupanya, dia telah sebagai cacing kepanasan, sebentar-sebentar dia serupa orang alim sangat, tetapi dengan perangai demikian dia tidak tahan lama, beberapa menit saja dapat berubah menjadi seorang yang duduk gelisah.”66

“Aziz amat pandai berpura-pura. Menurut pendapatnya, segala perempuan itu sama saja, sama-sama permainan laki-laki, yang mana pun boleh dipermain-mainkan.67

Berdasarkan kutipan di atas Aziz sering menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak penting. Bahkan ia selalu mempermainkan wanita-wanita cantik. Ia tak akan membuang-buang kesempatan untuk mendekati wanita tersebut. Aziz pun telah lekat dengan sebutan penjudi. Semua penjudi kenal dengan Aziz. Terdapat pada kutipan berikut ini. “Guru tak usah rugi terlalu banyak dalam perkara itu! Meskipun misalnya mencari Aziz akan memakan ongkos banyak, haram saya memakan uang Guru. Guru telah jadi saudara saya. Tetapi mencari orang muda yang bernama Aziz, tidaklah sukar. Siapa orang penjudi yang tiada kenal akan dia?”68

66 Ibid, hlm.101 67 Ibid, hlm.104 68 Ibid, hlm.144

71

“Si Aziz anak Sutan Mantari, ibu bapanya orang Padang Panjang ini, karena dia berkerabat dengan orang berpangkat-pangkat, dia mendapat pekerjaan yang agak pantas. Tetapi perangainya. Masya Allah! Penjudi, pengganggu rumah tangga orang, sudah dua tiga kali terancam jiwanya karena mengganggu anak bini orang. Syukur ada uang simpanan ayahnya yang akan dihabiskannya, kalau tidak tentu sudah tekor kas di kantor tempat dia bekerja, tetapi dia dapat menutup malu. Apa yang lebih berkuasa di dunia ini, lain dari uang?”69

Berdasarkan kutipan pertama, semua para penjudi kenal dengan Aziz karena Aziz merupakan seorang yang gemar bermain judi. Kemudian, pada kutipan kedua selain Aziz gemar bermain judi, ia pun suka mengganggu rumah tangga orang lain. Aziz adalah sosok pria yang suka mengumbar janji namun tak pernah ditepati. Terdapat pada kutipan berikut ini. “Dia sudah berkali-kali berjanji dengan gadis-gadis akan setia, sehidup semati, sesakit sesenang, tetapi sebagian besar yang berjanji itu, bersuami juga, dan hidup senang dengan suaminya. Janjinya ketika masih perawan seberat bumi dan langit. Dia sendiri pun demikian pula, janji empat kali sehari, dengan anak gadis bermacam-macam pula perangainya, dia juga mungkir.”70

Berdasarkan kutipan di atas, Aziz merupakan sosok laki-laki yang selalu mengumbar janji kepada perempuan-perempuan. Aziz memiliki sifat bosan terhadap apapun, terlebih terhadap istrinya. Terdapat pada kutipan berikut. “Sudah hampir dua tahun pergaulan itu. Aziz telah mulai bosan melihat istrinya. Karena di kota yang ramai dan bebas, kalau cinta itu hanya pada kecantikan, maka kecantikan seorang perempuan kelak akan dikalahkan pula oleh kecantikan yang lain. Perubahan perangai Aziz ketika mulai beristri adalah perubahan dibuat-buat. Perubahan yang dibuat-buat biasanya tidak tahan lama.”71

“Yang lekas membosankan Aziz ialah tabiat Hayati yang tenang, yang tidak tahu merupakan gembira, yang terlalu keagama-

69 Ibid, hlm.145 70 Ibid, hlm.102 71 Ibid, hlm.201

72

agamaan. Keindahan pakaian dan bentuknya cara kota itu kurang begitu disetujuinya.72

Berdasarkan kutipan pertama, setelah dua tahun mereka menikah Aziz pun mulai bosan dengan Hayati. Ia sudah tak kuat untuk berpura-pura berperangai baik di depan Hayati. Kemudian, pada kutipan kedua dijelaskan lebih lanjut bahwa Aziz bosan dengan sifat Hayati yang tenang dan terlalu mementingkan agama.

f. Muluk Muluk ialah sahabat Zainuddin yang selalu bersamanya sejak pindahnya Zainuddin ke Padang. Muluk memiliki sifat yang baik hati, selalu memberi nasihat meskipun ia suka berjudi. Terdapat pada kutipan berikut. “Agaknya anak mamak itu, si Muluk bisa menolongmu karena dia banyak pergaulan. Dia pandai berdukun, pandai kepandaian- kepandaian batin. Pergaualannya dalam kalangan orang dukun, ahli silat dan dalam kalangan orang-orang beradat, pun banyak pula. Pulangnya ke rumah hanya sekali-sekali saja, untuk melihat ibu dan memberi wang. Dia tidak mau mengganggu kesenangan ibu. Tetapi hatinya baik, barangkali dia bisa menolong memberimu bicara, kalau pikiranmu tertumbuk.73

Berdasarkan kutipan di atas, digambarkan sosok Muluk yang baik hati menurut ibunya. Muluk selalu bergaul dengan orang yang ahli berdukun, ahli silat dan bergaul dengan orang-orang beradat maka ia pasti bisa menolong Zainuddin. Namun, Muluk ialah sosok pemuda yang gemar bermain judi, penyabung, dan banyak dosa. Terdapat pada kutipan berikut ini. “Bukan begitu, Guru, “jawab Muluk, “Guru maklum sendiri, saya ini orang yang banyak dosa, penyabung, pendadu, penjudi, jadi tangan saya bernajis.”74

72 Ibid, hlm.201 73 Ibid, hlm.141 74 Ibid, hlm.143

73

Pada kutipan di atas Muluk menyatakan sendiri tentang sifatnya kepada Zainuddin. Karena selama satu tahun Zainuddin tinggal di rumahnya, ia tak pernah berkenalan. Akhirnya Muluk menceritakan alasan mengapa ia tidak berani berkenalan dengan Zainuddin. Hari demi hari, nyatalah sifat Muluk yang sanggup menjaga amanat. Terdapat pada kutipan berikut. “Guru tak usah susah. Meskipun pekerjaan yang saya kerjakan amat buruk, penjudi, tetapi memegang amanat saya sanggup. Apalagi menurut adat istiadat kami; judi dan sabung hanya pergurauan anak muda saja. Namun basa-basi, kami lebih teguh memegangnya daripada orang-orang yang berpangkat sekalipun. Bagi kami tidak boleh menohok kawan seiring, menggunting dalam lipatan, apalagi terhadap orang yang telah meminum air ayah bunda kita, dan kita pun begitu pula kepadanya.‟75

Berdasarkan kutipan di atas, Muluk memiliki watak yang berbudi pula, yakni sanggup memegang amanat. Meskipun ia seorang penjudi namun ia paham mengenai pentingnya menjaga amanat. Muluk selalu memberi nasihat kepada Zainuddin mengenai kebaikannya, mengenai jalan yang harus ditempuh. Berikut kutipan dari percakapannya. “Cari lain perempuan, bukan seorang yang bersanggul di dunia ini! Habis perkara! “ujar Muluk pula.” 76

“Ai... nasihatmu Abang!”

“Habis?”

“Boleh jadi Hayati masih cinta kepadaku dan dia hanya teraniaya!”

“Hai Guru! Guru terlalu lurus dan masih amat muda. Guru sangka hati perempuan di dunia ini sebagai yang tersebut dalam kitab rupanya. Tak ada itu Guru, keluarga Aziz kaya, berbangsa, Guru dipandang miskin, orang “lain”. Guru dirintang oleh Hayati dengan mulut mana supaya Guru jangan marah... „perempuan‟ Guru; ... perempuan!”

75 Ibid, hlm.143 76 Ibid, hlm.146

74

“Nasihat apakah lagi yang dicari Zainuddin! Padahal ke mana pun dia mencari nasihat, bentuk nasihat orang hanya sama dengan nasihat Muluk itu?”77

Berdasarkan kutipan percakapan antara Muluk dengan Zainuddin, tergambar jelas bahwa Muluk sangat kesal kepada Zainuddin. Ia masih saja memikirkan Hayati. Muluk menasihati Zainuddin untuk mencari perempuan yang lain saja. Muluk adalah sosok sahabat yang baik, yang setia kepada Zainuddin. Berikut kutipannya. “Persahabatan manusia yang didapat sesudah menempuh sengsara adalah persahabatan yang lebih kekal daripada didapat di waktu gembira. Demikian pulalah di antara Zainuddin dengan Muluk. Sejak dia sakit sampai sembuhnya, tidaklah pernah terpisah lagi di antara kedua orang itu. Zainuddin masih muda dan banyak cita- cita, Muluk lebih tua dan banyak pengalaman, walaupun ilmunya tak ada selain dari pergaulan.” 78

“Saya mesti ikut!” kata Muluk “Saya tertarik dengan Guru. Sebab itu bawalah saya menjadi jongos, menjadi pelayan, menjadi orang suruhan di waktu siang di dalam pergaulan hidup, dan menjadi sahabat yang setia yang akan mempertahankan jika Guru ditimpa susah!”79

“Pergaulan dalam kota Surabaya pun telah luas, terutama dalam kalangan kaum pergerakan, dalam kalangan kaum pengarang, wartawan-wartawan, pemimpin-pemimpin rakyat. Tiap-tiap rembukan yang mengenai kepentingan bangsa, menolong orang yang sengsara, pekerjaan amal, senantiasalah Zainuddin, atau Shabir, jadi ikutan orang banyak. Dan Muluk adalah sahabatnya yang setia..”80

Pada kutipan pertama, sejak Zainuddin sakit Muluk selalu menemani Zainuddin. Mereka bersahabat tanpa mengenal sehat maupun sakit. Kemudian, pada kutipan kedua Muluk ingin ikut dengan Zainuddin pergi merantau ke Jakarta. Ia ingin menemani Zainuddin dan menjadi sahabat setia Zainuddin. Pada kutipan ketiga, terbukti bahwa kesetiaan

77 Ibid, hlm.146 78 Ibid, hlm.171-172 79 Ibid, hlm.179 80 Ibid, hlm.198

75

Muluk benar-benar nyata. Ia mendampingi Zainuddin sejak Zainuddin tak memiliki apapun hingga Zainuddin menjadi orang yang kaya raya dan terkenal seperti ini. g. Kakek Zainuddin Zainuddin pergi ke Batipuh, ia mencari kakeknya, ayah dari ayahnya. Kakek Zainuddin ialah sosok yang tidak peduli dengan Zainuddin cucunya, terbukti pada kutipan berikut ini. “Pada sangkanya semula jika dia datang ke Minangkabau, dia akan bertemu dengan kakeknya, ayah dari ayahnya. Di sanalah, dia akan memakan harta benda neneknya dengan leluasa sebagai cucu yang menyambung turunan. Padahal seketika dia datang itu, setelah dicarinya neneknya itu, ditunjukkan orang di sebuah kampung di Ladang Lawas, bertemu seorang tua di sebuah surau kecil, gelarnya Datuk Panduka Emas, dia hanya tercengang-cengang saja sambil berkata. “Oh ... rupanya si Amin ada juga meninggalkan anak di Mengkasar.”81

“Cuma sehingga itu pembicaraan orang tua itu, dan tidak ada tambahnya lagi. Dia tak kuasa hendak menahan cucunya tinggal dengan dia, sebab mesti mufakat lebih dahulu, dengan segenap keluarga. Padahal sedangkan pihak si Amin Pandekar Sutan, sudah jauh berhubungan keluarga, apalagi dengan anak yang datang dari Bugis ini.”

“Sekali itu saja Zainuddin datang kepada neneknya setelah itu tidak lagi. Dan neneknya pun tidak pula memesan-mesankan dia.82

Berdasarkan kutipan pertama, kakek Zainuddin tercengang melihat kedatangan Zainuddin ke rumahnya. Kemudian, pada kutipan kedua kakek Zainuddin seakan sudah memutuskan hubungan keluarga dengan ayah Zainuddin. Selanjutnya, pada kutipan ketiga Zainuddin pergi dari rumah kakeknya karena merasa tidak dianggap dan dipedulikan lagi oleh kakeknya sendiri. h. Ahmad Ahmad adalah adik lelaki Hayati, ia masih kecil. Ahmad anak yang penurut dan baik hati. Berikut kutipannya.

81 Ibid, hlm.24 82 Ibid, hlm.24

76

“Pagi-pagi, sebelum perempuan-perempuan membawa niru dan tampian ke sawah, dan sebelum anak muda-muda menyandang bajaknya; sebelum anak-anak sekolah berangkat ke sekolah, seorang anak kecil laki-laki datang ke muka surau tempat Zainuddin tidur, membawa payun yang dipinjamkannya kemarin. Dia menghampiri anak itu, dan anak itu pun berkata, “Kak Ati berkirim salam, dan menyuruh mengembalikan payung ini, “ sambil memberikannya ke tangan Zainuddin.”83

“Nama kemenakanku ini Hayati, dia sekarang sudah tamat kelas 5 di sekolah agama, ini adiknya, si Ahmad, baru tiga tahun bersekolah.”84

“Tiba-tiba sedang Zainuddin asyik menunggu-nunggu balasan dan suratnya, datang adik Hayati, Ahmad yang masih kecil itu, membawa surat.”85

“Maka berlari-larilah Ahmad mengejar Zainuddin, didapatinya Zainuddin tengah duduk tersimpuh di tepi bandar air yang akan dialirkan orang ke sawah. Dibimbingnya pulang ke dangau kembali.”86

Berdasarkan beberapa kutipan di atas, tergambar jelas kebaikan adik Hayati untuk membantu kakaknya berkirim surat dengan Zainuddin. Ahmad mau menghampiri Zainuddin setiap Hayati memintanya mengantarkan surat kepada Zainuddin. Ahmad selalu menunggu Hayati ketika ia sedang bertemu Zainuddin.

i. Kakek Hayati Kakek Hayati adalah sosok kakek yang baik, selalu menghargai orang lain dan tidak sombong. Terbukti pada kutipan berikut ini. “Setelah itu diteruskannya juga menyabit padinya. Zainuddin mencoba hendak menolong, tetapi dilarangnya. “Duduk sajalah di tepi pematang itu, penghilangkan kesunyianku. Sebentar lagi datang kemenakanku mengantarkan makanan agak sedikit kemari, kita makan apa yang ada.” 87

“Ah berbudi sekali engkau Zainuddin.”

83 Ibid, hlm.30 84 Ibid, hlm.34 85 Ibid, hlm.53 86 Ibid, hlm.58 87 Ibid, hlm.33

77

“Engku pun serupa pula dengan Hayati, barang yang kecil itu dibesar-besarkan. Padahal itu hanya suatu kewajiban.”88

“Hayati merasa tersindir, ia ingat suratnya. Dan Datuk menjawab, sambil menaikkan pisang bertumbuk ke dalam mulutnya, “Tidak Zainuddin, meskipun hal itu engkau pandang perkara kecil, bagi yang menerima budi, hal itu dipandang besar artinya. Apalagi engkau anak pisang kami.”89

Berdasarkan kutipan pertama, terlihat jelas bahwa kakek Hayati orang yang baik hati. Dia tidak ingin Zainuddin lelah karena membantunya bekerja, dan ia mau berbagi makanan dengan Zainuddin. Kemudian, pada kutipan berikutnya menyatakan bahwa kakek Hayati sangat menghargai budi pekerti orang yang telah menolong cucunya, dan ia tidak membeda-bedakan status Zainuddin meskipun ia bukan saudaranya.

j. Datuk Garang Datuk Garang ialah mamak Hayati. Beliau merupakan mamak Hayati yang menjunjung tinggi adat istiadat di negerinya, ia orang yang egois, dan selalu memandang sebelah mata kepada orang yang tidak bersuku. Berikut kutipannya. “Zainuddin serba susah saya di dalam hal ini. Nama saya sendiri, gelar pusaka turun-temurun menjadi buah mulut orang, dikatakan mamak yang tak pandai mengatur kemenakan. Dan lagi engkau sendiri, belumlah tinggi pemandangan orang kepada didikan sekolah. Kejadian ini telah mereka pertalikan dengan sekolah, itulah bahaya anak kemenakan diserahkan ke sekolah—kata mereka—sudah pandai dia berkirim-kiriman surat dengan laki-laki, padahal bukan jodohnya. Sebab itu, sangatlah saya minta kepadamu, Zainuddin sudilah kiranya engkau melepaskan Hayati dari dalam kenanganmu, dan berangkatlah dari negeri Batipuh yang kecil ini segera, untuk kemaslahatan Hayati.”90

88 Ibid, hlm.34 89 Ibid, hlm.35 90 Ibid, hlm.62

78

“Hai Hayati! Jangan engkau ukur keadaan kampungmu dengan kitab-kitab yang engkau baca. Percintaan hanyalah khayal dongeng dalam kitab saja. Kalau bertemu dalam pergaulan hidup, cela besar namanya, merusakkan nama, merusakkan ninik mamak, korong kampung, rumah halaman.”91

“Tidak Hayati, kau harus tenangkan pikiranmu. Hari ini kau bersedih, karena segala sesuatu kau pandang dengan mata percintaan, bukan mata pertimbangan. Akan datang zamannya kau sadar; kau puji perbuatanku dan tidak kau sesali. Moga-moga habis cinta kau kepadanya, karena cinta demikian berarti menghabiskan umur dan perbuatan sia-sia. Mamakmu bukan membunuh, tetapi meluruskan kembali jalan kehidupanmu, pengalamanku telah banyak. Mamak tak pandai membaca yang tertulis, tetapi tahu pahit dan getirnya hidup ini.”92

Berdasarkan beberapa kutipan di atas, Datuk Garang sosok mamak yang egois. Ia tak pernah mendengarkan dan memperdulikan perasaan Hayati kemenakannya. Ia tetap pada pendiriannya untuk tidak menerima Zainuddin sebagai suami Hayati. Zainuddin diusir dari Batipuh untuk menjauhi Hayati. Ia tak ingin Hayati merusak nama baik keluarga jika Hayati berhubungan dengan Zainuddin. k. Mande Jamilah Mande Jamilah adalah bako Zainuddin. Zainuddin menumpang hidup di rumah Mande Jamilah. Ia sosok ibu yang baik dan takut kepada Datuk Garang. Berikut kutipannya. “Zainuddin baru saja sampai ke rumah bakonya. Mande Jamilah telah menyambutnya dengan muka pucat pula. Belum selesai dia makan, Mande Jamilah telah berkata, “Lebih baik engkau tinggalkan Batipuh ini, tinggallah di Padang Panjang. Sebab namamu disebut-sebut orang banyak sekali. Tadi sore, Mande mendengar beberapa anak muda hendak bermaksud jahat kepadamu.”93

Berdasarkan kutipan di atas, sosok Mande Jamilah ialah sosok yang baik hati. Ia memberitahu Zainuddin mengenai niat jahat orang-orang

91 Ibid, hlm.65 92 Ibid, hlm.65-66 93 Ibid, hlm.66

79

terhadap Zainuddin. Ia telah berbaik hati memperbolehkan Zainuddin tinggal di rumahnya. l. Sersan Pensiun Sersan pensiun adalah seorang guru les biola Zainuddin yang baik hati. Setiap malam Zainuddin pergi les biola ke sersan pensiun. Berikut kutipannya. “Di kota itulah Zainuddin belajar agama. Dalam mempelajari agama diambilnya juga pelajaran bahasa Inggris, dan memperdalam bahasa Belanda. malam dia pergi kepada seorang sersan pensiun di Guguk Malintang mempelajari permainan biola. Kadang-kadang diikutinya pula sersan itu bermain di medan yang ramai-ramai. Karena menurut keyakinannya adalah musik itu menghaluskan perasaan. Di Padang Panjang itu baru dapat Zainuddin menyampaikan cita-citanya seketika dia berniat hendak meninggalkan Mengkasar dahulu.”94

Berdasarkan kutipan di atas, sersan pensiun telah berbaik hati mengajari Zainuddin bermain biola, bahkan ia mengizinkan Zainuddin untuk mengikuti kegiatannya bermai biola di keramaian. m. Mak Tengah Limah Mak Tengah Limah ialah mak tengah Hayati. Ia merupakan sosok yang baik hati, mengerti perasaan Hayati, dan selalu membela Hayati. Berikut kutipannya. “Alangkah besar hati Hayati beroleh izin itu. Karena bukanlah niatnya hendak melihat kuda berlari saja, tetapi dalam batinnya, hendak bertemu dengan kekasihnya Zainuddin, sekurang- kurangnya bertemu di jalan. Dan bagi Mak Tengah Limah yang mengetahui hal ini didiamkannya saja. Karena biarlah gadis malang itu melepaskan hatinya agak sejenak, sebab pertemuan mereka selamanya akan terhalang juga.”95

“Datuk ... melengongkan mukanya kepada orang-orang perempuan yang duduk, menanyai bagaimana pikiran dan penyelidikan mereka dalam hal ini. Mak Tengah Limah menjawab bahwasannya cinta Hayati rupanya masih lekat kepada Zainuddin orang Mengkasar itu.”96

94 Ibid, hlm.83 95 Ibid, hlm.86 96 Ibid, hlm.127

80

“Bagaimana kalau dia makan hati berulam jantung sebab maksudnya tidak sampai. Berapa banyaknya gadis-gadis yang membunuh diri lantaran tidak bertemu dengan yang dicintainya, atau dia mati merana saja?” kata Limah.”97

Berdasarkan kutipan di atas, menggambarkan watak Mak Tengah Limah yang sangat baik hati. Ia memikirkan perasaan Hayati, karena ia mengerti bagaimana ada di posisi Hayati. n. Sutan Mudo Sutan Mudo merupakan mamak Hayati yang lebih muda dari Datuk Garang. Ia sosok yang menghargai adat dan budaya masing-masing negeri. Berikut kutipannya. “Tak baik kita mencela orang lain, karena tiap-tiap negeri berdiri dengan adanya, walaupun apa bangsanya dan di mana negerinya,” jawab yang muda itu. 98

“Itu betul, tetapi tiap-tiap bangsa itu mengakui mereka pula yang lebih asal, yang lebih dahulu mencacak perumahan Pulau Perca ini.”99

“Saya tentu saja sepakat sejak bermula lalu penghabisan, tidak dapat bercerai dengan yang banyak. Cuma saya bantah perkataan yang menghinakan orang lain, sebab kita akan biasa berdagang ke kampung orang, jangan kelihatan oleh orang kesempitan paham kita.”100

Berdasarkan beberapa kutipan di atas, jelas bahwa Sutan Mudo sangat menghargai perbedaan adat di masing-masing negeri. Ia tak suka dengan tindakan Datuk Garang yang telah mencela adat istiadat di negeri orang. o. Ibu Muluk Ibu Muluk memiliki watak keibuan, ia bisa merasakan cemas ketika Zainuddin tertimpa musibah. Ia sosok yang baik hati dan penyayang. Berikut kutipannya.

97 Ibid, hlm.128 98 Ibid, hlm.128 99 Ibid, hlm.129 100 Ibid. Hlm.130

81

“Lantaran sudah lebih dari satu jam dia tidak keluar dari kamarnya, maka perempuan tua itu pun agak cemas, takut dia kalau-kalau anaknya dagang jauh itu kurang sehat badannya kembali dari perjalanan. Lalu diketoknya pintu.”101

“Perempuan itu masuk dan bertanya, “Mengapa engkau termenung saja anakku? Apa kabar di dalam perjalanan sudah lebih sepuluh hari meninggalkan rumah, indahkah negeri yang engkau lihat? Adakah puas mata memandang?”102

“Terangkanlah mengapa? Tempo hari surat mati yang engkau terima dari kampung. Sebelum berangkat berjalan baru-baru ini nampak pula berubah mukamu menerima surat, sekarang pula surat yang lain, mukamu bertambah pucat juga. Selama ini mamak tiada peduli, engkau pun tak mengatakan, sebab engkau barangkali belum percaya kepada mamak. Kalau ada yang menyusahkan hatimu dan pikiranmu tertumbuk, katakanlah, Mamak dapat menunjuki jalan sekedar yang dapat oleh Mamak.103

Berdasarkan kutipan-kutipan di atas. Ibu Muluk dapat merasakan kesedihan daan kegundahan yang sedang dialami oleh Zainuddin. Ia ingin sekali mengetahui apa masalah yang sedang ditimpa oleh Zainuddin. Ia sangat menyayangi Zainuddin. p. Daeng Masiga Daeng Masiga ialah seorang tetangga Zainuddin yang sudah sangat dikenalnya. Ia tetangga yang baik hati. Berikut kutipannya. “Segera dibukanya, tentu saja datang dari Mak Base yang tercinta. Tetapi bukan dari Mak Base, hanya dari Daeng Masiga, seorang tetangga yang dikenalnya betul-betul dan banyak perhubungan dengan dia sebelum dia berangkat meninggalkan Mengkasar.104

Daeng Masiga telah memberitahu Zainuddin bahwa Mak Base sudah meninggal dunia. Daeng Masiga ialah tetangga yang sangat baik hati dan sudah dianggap seperti paman sendiri bagi Zainuddin.

101 Ibid, hlm.140 102 Ibid, hlm.140 103 Ibid, hlm.140-141 104 Ibid, hlm.118

82

q. Dokter Dokter memiliki watak yang baik hati, paham akan perasaan anak muda, dan pandai menarik hati orang lain. Berikut kutipannya. “Sambil menggeleng-gelengkan kepala dokter berkata, “Yang lebih baik, kita minta atas nama kemanusiaan supaya perempuan itu datang kemari, walaupun sekali saja! Agaknya dengan pertemuan itu dapatlah sakitnya berkurang!”105

“Dokter itu meskipun telah tua, mengerti juga aliran darah muda dan paham akan jiwa manusia. Dengan segala tipu muslihat diikhtiarkan supaya dapat Hayati melihat Zainuddin, walaupun bersama-sama suaminya.”

“Lantaran pandainya menarik hati ninik mamak Hayati, permintaan itu dikabulkan orang, meskipun Aziz sendiri mula-mulanya keberatan. Dalam pemandangan orang dusun, hal itu pun menyalahi kebiasaan. Tetapi, kekerasan permintaan dokter telah menghilangkan segala kemusykilan.”106

Berdasarkan kutipan pertama, dokter berbaik hati dan memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Ia memberi saran bahwa Hayati harus mendatangi Zainuddin agar sakitnya berkurang. Kutipan kedua menyatakan bahwa seorang dokter tersebut paham akan perasaan anak muda yang telah ditinggal oleh kekasihnya. Dan kutipan ketiga, dokter pandai menarik hati. Ia membujuk ninik mamak Hayati agar Hayati diizinkan untuk bertemu dengan Zainuddin. Dengan berbagai cara akhirnya diizinkannya Hayati bertemu dengan Zainuddin. r. Dukun-dukun Dukun-dukun berdatangan dengan maksud baik, ingin menolong Zainuddin. Namun tak bisa. Berikut kutipannya. “Dukun-dukun telah dipanggilkan. Macam-macam pendapat mereka: kena hantu, kena pekasih, kena tuju paramayo, kena tuju senang meranda dan lain-lain penyakit. Apalagi setelah sakitnya lebih sepuluh hari, kerap kali dia mengigau dalam tidurnya. Menyebut ayahnya, bundanya, Mak Base, Batipuh, kawin, Aziz. Dan yang paling banyak menjadi buah tuturnya adalah Hayati!” 107

105 Ibid, hlm.167 106 Ibid, hlm.167 107 Ibid, hlm.166

83

Berdasarkan kutipan di atas, para dukun dipanggil untuk menyembuhkan Zainuddin. Namun tak ada yang berhasil, sakitnya malah bertambah. s. Direktur Direktur merupakan tokoh yang memiliki watak baik hati menawarkan pekerjaan kepada Zainuddin. Berikut kutipannya. “.... Bahkan dalam masa yang tidak lama kemudian, direktur dari satu surat kabar harian telah datang ke rumahnya menawarkan pekerjaan menjadi redaksi dalam surat kabar itu, spesial mengatur ruangan hikayat, roman, dan syair. Tetapi dia tidak mau, karena ia mempunyai cita-cita lain.”108

Berdasarkan kutipan di atas, direktur perusahaan menawarkan Zainuddin bekerja di perusahaannya. Namun Zainuddin menolaknya, karena ia memiliki cita-cita lain. t. Loper Tokoh loper ini bertugas mengantarkan surat. Ia mengantarkan surat kepada Aziz dan Hayati. Berikut kutipannya. “Sesudah meminum semangkuk teh, ketika Hayati duduk bersama suaminya, datanglah seorang loper mengantarkan surat undangan, demikian bunyinya:....”109

Loper pengantar surat undangan telah mengantarkan undangan untuk menonton pertunjukkan Tuan Shabir, Zainuddin. u. Penagih Hutang Penagih hutang merupakan tokoh yang memiliki hati yang kejam bagai hati serigala. Berikut kutipannya. “Maka pada suatu hari datanglah seorang tempatnya berhutang, menagih piutang yang telah lewat temponya. Datanglah dengan tiba-tiba sekali, karena telah diatur lebih dahulu oleh musuh- musuhnya. Kebetulan uang sedang tidak ada, janji tak dapat dipenuhi. Orang pun berkerumun di hadapan rumahnya, melihat orang yang meminjaminya uang itu dengan muka manis bagai madu, tetapi hati kejam bagai hati serigala, menyuruh membayar

108 Ibid, hlm.182 109 Ibid, hlm.193

84

hutang, kalau tidak barang-barangnya di dalam rumahnya akan diangkut, dilelang.” 110

Berdasarkan kutipan di atas, penagih hutang tersebut memiliki hati yang kejam karena kesal terhadap Aziz. Aziz berhutang kepadanya namun ia tak membayar hutang-hutang tersebut. v. Sep Kantor Sep kantor merupakan atasan Aziz di tempatnya bekerja. Ia memiliki watak yang bijaksana. Ia tahu cara terbaik untuk membuat Aziz jera. Aziz dipecat dari pekerjaannya. Berikut kutipannya. “Sedang bertengkar-tengkar demikian, sep kantor tempatnya bekerja datang bersama dengan kawan samanya bekerja yang telah menahankan perangkap buat kejatuhannya itu. Dengan muka yang sangat pucat dan gugup, dia menyambut kedatangan sepnya itu, dan penagih hutang itu pun berdiri ke sisinya.” 111

“Hayati hendak ikut berbicara mempertahankan suaminya yang sudah kehilangan akal itu. Tetapi tukang ternak itu menjawab dengan pendek dan jitu, “Lebih baik kau diam saja, hai perempuan muda! Kau telah jadi korban hawa nafsu setan suamimu. Janji apakah yang akan engkau cari lagi? Padahal barang-barang perhiasanmu telah habis, hidupmu telah melarat. Barang dalam rumah ini akan di-beslag!” 112

“Dan besok kau tak usah datang ke kantor lagi!” kata sepnya kepada Aziz.”113

Berdasarkan beberapa kutipan di atas, jelas bahwa sep kantor Aziz memang bijaksana. Ia mengambil keputusan dengan benar. Ia memecat Aziz dan menyita barang-barangnya. w. Tukang Tagih Sewa Rumah Tukang tagih sewa rumah pun memiliki watak yang bijaksana. Berikut kutipannya. “Setelah barang-barang itu habis diangkut, tiba-tiba datang pula tukang tagih sewa rumah, memberitahukan bahwa kunci akan

110 Ibid, hlm.211 111 Ibid, hlm.211 112 Ibid, hlm.211-212 113 Ibid, hlm.212

85

diambil, karena sudah lebih dari tiga bulan sewa rumah itu tak dibayar. Sepatah kata pun tak keluar dari mulut Aziz, apakah yang tinggal hanya yang lekat di badan. Hayati pun hanya memakai sehelai kebaya yang lusuh, dan kain batik kasar. Mereka keluar dari rumah itu dengan rupa tak karuan. Ketika akan meninggalkan rumah itu, masih sempat juga Aziz menikamkan kata-kata yang tajam ke sudut hati Hayati ... Sial!” 114

Berdasarkan kutipan di atas, sudah tiga bulan rumah sewa yang mereka tempati tak dibayar oleh Aziz. Maka tukang sewa rumah tersebut mengambil kunci rumah itu dan mengusir Hayati beserta Aziz pergi dari rumah tersebut. x. Juru Rawat Juru rawat hadir di dalam cerita ini, ia memiliki watak yang baik hati dan berusaha menolong Hayati. Berikut kutipannya. “Dengan Tafakur, Zainuddin berdiri di dekat tempat tidur itu bersama Muluk, menunggu si sakit bangun dari pingsannya, yang sejak tengah hari tadi, belum jga terbangun. Sedang mereka termenung melihatkan itu, mendekatlah seorang juru rawat perempuan kepada kedua orang itu, sambil berkata, “Agaknya Tuan yang bernama Zainuddin, bukan?”115

“Ya, di mana Nona tahu?” tanya Zainuddin pula.”

“Ketika perempuan ini dibawa kemari, kepalanya yang berdarah diikatnya dengan selendangnya sendiri, ketika menukar selendang itu dengan perban, telah dapat dikeluarkan dari dalam gulungannya sebuah gambar, yang di bawahnya ada tertulis tanda tangan Tuan, Zainuddin.”

“‟Siapakah yang dapat menentukan hidup mati orang?” Jawab juru rawat itu pula. “Bukankah kita hanya berusaha?” 116

Berdasarkan beberapa kutipan di atas, jelas bahwa juru rawat tersebut memiliki hati baik. Ia yang memberitahu mengenai selendang yang bertanda tangan Zainuddin. Ia yang berusaha menolong Hayati untuk dapat bertahan hidup.

114 Ibid, hlm.212 115 Ibid, hlm.253 116 Ibid, hlm.253

86

4. Latar Latar merupakan segala keterangan mengenai tempat, waktu, serta suasana yang ada dalam cerita. Tempat, waktu, dan suasana tersebut saling berkaitan menghidupkan peristiwa-peristiwa tersebut seolah benar-benar terjadi. Latar sebuah cerita akan mewarnai cerita tersebut. Pembaca akan mempunyai persepsi tentang peristiwa walaupun pada akhirnya persepsi itu akan dibuyarkan oleh tindakan- tindakan tokoh selanjutnya.117 Latar dapat membangun sebuah isi cerita. a. Latar Tempat Latar tempat merupakan keterangan yang menunjukkan di mana peristiwa tersebut terjadi, misalnya di pedesaan, di perkotaan, dan lainnya. Latar tempat yang terjadi pada novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, sebagai berikut.

1) Makassar Makassar adalah tempat Zainuddin dilahirkan. Ia lahir dan dibesarkan di kota ini. Mengkasar merupakan saksi bisu dari segala kemalangan yang dialami oleh Zainuddin. “Di waktu senja demikian, kota Mengkasar kelihatan hidup. Kepanasan dan kepayahan orang bekerja siang, apabila telah sore diobat dengan menyaksikan matahari yang hendak terbenam dan mengecap hawa laut, lebih-lebih lagi bila suka pula pergi makan angin ke jembatan, yaitu panorama yang sengaja dijorokkan ke laut, di dekat benteng Kompeni. Di benteng itulah, kira-kira 90 tahun yang lalu, Pangeran Diponegoro kehabisan hari tuanya sebagai buangan politik.”118

Kota mengkasar memiliki pemandangan yang sangat indah dan keindahan alamnya menjadi lebih sempurna dengan adanya lautan yang cantik ciptaan Allah. Mengkasar merupakan tempat bertemunya kedua orang tua Zainuddin, mereka menikah dan diberi keturunan

117 Atmazaki, Ilmu Sastra Teori dan Terapan, (Angkasa Raya : Padang, 1990), hlm.62 118 Hamka. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, (Jakarta : Balai Pustaka,2013), hlm.2

87

yang baik budinya yaitu Zainuddin. Namun kebahagiaan di Mengkasar begitu cepat berlalu dengan meninggalnya kedua orang tua Zainuddin. Akhirnya Zainuddin dirawat dan dibesarkan oleh Mak Base. Zainuddin tinggal bersama Mak Base di Makassar. Pada film diceritakan pula latar tempat di kota Mengkasar, dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar di atas merupakan latar tempat yang menggambarkan bahwa tempat tersebut berada di Mengkasar. Zainuddin meminta izin kepada Mak Base agar mengizinkannya untuk dapat mencari ilmu agama di Padang Panjang.

2) Padang Panjang Padang Panjang ialah tempat Zainuddin menuntut ilmu. Ia pergi ke Padang Panjang untuk meneruskan cita-citanya dan ia ingin mengetahui negeri asal ayahnya. “Bilamana Zainuddin telah sampai ke Padang Panjang, negeri yang ditujunya, telah diteruskannya perjalanan ke dusun Batipuh, karena menurut keterangan orang tempat dia bertanya, di sanalah negeri ayahnya yang asli.”119

Latar tempat ini merupakan tempat Zainuddin menuntut ilmu, namun ia di sana tak dianggap oleh siapa pun. Banyak orang yang tak suka kepadanya. Hari demi hari ia tinggal di kota ini dan ia bertemu

119 Ibid, hlm.22

88

dengan Hayati. Ia menemukan cintanya di kota ini. Dan di kota inilah Zainuddin merasakan cinta dan kesedihan yang mendalam terhadap Hayati. Pada film, latar tempat di Padang Panjang tidak mengalami perubahan. Terdapat pada gambar berikut ini.

3) Jakarta Zainuddin pergi ke Jakarta untuk melanjutkan perjalanan hidupnya dalam menggapai cita-citanya. Zanuddin menjadi pengarang yang terkenal di kota ini. “Ditinggalkannya Pulau Sumatra, masuk ke Tanah Jawa, medan perjuangan penghidupan yang lebih luas. Sesampai di Jakarta, disewanya sebuah rumah keci di suatu kampung yang sepi, bersama sahabatnya Muluk. Dari sanalah dicobanya menyudahkan karangan-karangannya yang terbengkalai, terutama di dalam bagian hikayat. Dikirimnya kepada surat- surat kabar harian dan mingguan. Rupanya karangan- karangannya itu mendapat tempat yang baik, karena halus susun bahasanya, dan diberi orang honorarium meskipun kecil. Lantaran penerimaan orang yang demikian, hatinya bertambah giat dan semangatnya makin bangun. Sehingga di dalam masa yang belum cukup setahun, karangan-karangannya telah banyak tersiar. Tiap-tiap hari Sabtu keluarlah cerita-cerita yang dikarangkan oleh leter “Z”, yang amat menarik hati itu.” 120

Di kota Jakarta Zainuddin mendapatkan modal yang besar untuk membuka usahanya sendiri. Ia ingin menulis buku-buku hikayat buatan sendiri dengan modal sendiri, dan dikirim ke seluruh Indonesia. Di Jakarta sudah banyak yang menawarkannya untuk bekerja di

120 Ibid, hlm.182

89

perusahaan. Pada film, latar tempat Jakarta tidak mengalami perubahan. Dapat dilihat pada gambar berikut ini.

4) Surabaya Di Surabaya Zainuddin menjadi semakin terkenal dengan mengganti namanya menjadi Shabir. Ia menjadi penyair dan pengarang yang terkenal. “Pergaulan dalam kota Surabaya pun telah luas, terutama dalam kalangan kaum pergerakan, dalam kalangan kaum pengarang, wartawan-wartawan, pemimpin-pemimpin rakyat. Tiap-tiap rembukan yang mengenai kepentingan bangsa, menolong orang yang sengsara, pekerjaan amal senantiasalah Zainuddin atau Shabir, jadi ikutan orang banyak. Dan muluk adalah sahabatnya yang setia.” 121 Puncak kejayaan Zainuddin berada di kota Surabaya, ia memiliki banyak kerabat di sana. Zainuddin menjadi kaya raya berkat usahanya sendiri. Hayati tak menyangka Zainuddin akan menjadi seperti ini. Muluk masih menjadi sahabat yang setia untuk Zainuddin. pada film, latar tempat di Surabaya tidak mengalami perubahan. Terdapat pada gambar berikut ini.

121 Ibid, hlm.198

90

5) Pelabuhan Hayati dipulangkan ke kampung halamannya oleh Zainuddin. Pelabuhan Tanjung Perak merupakan tempat Hayati menumpang kapal dan di tempat itu pula Hayati terakhir kalinya bertemu dengan Zainuddin. “Pagi-pagi hari Senin, 19 hari bulan Oktober 1936, Kapal Van Der Wijck yang menjalani lin K.P.M. dan Mengkasar telah berlabuh di pelabuhan Tanjung Perak. Kapal itu akan menuju Semarang, Tanjung Priok, dan terus ke Palembang. Penumpang-penumpang yang akan meneruskan pelayaran ke Padang harus pindah kapal di pelabuhan Tanjung Priok.” 122

Hayati sangat sedih ketika Zainuddin memberi keputusan untuk memulangkan dia ke kampung halamannya. Sebelum kapal berlayar, Hayati menitipka sebuah surat untuk Zainuddin. Surat yang terakhir kalinya ia beri untuk kekasihnya Zainuddin. Pada film, latar tempat pelabuhan tidak mengalami perubahan. Terdapat pada gambar berikut ini.

122 Ibid, hlm.236

91

b. Latar Waktu Latar waktu yang terdapat pada novel dan film Tenggelamnya kapal van Der Wijck adalah pagi, siang, sore, dan malam hari, Senin tanggal 19 Oktober 1936, dan Selasa tanggal 20 Oktober 1936. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

1) Pagi “Pagi-pagi, sebelum perempuan-perempuan membawa niru dan tampian ke sawah, dan sebelum anak muda-muda menyandang bajaknya; sebelum anak-anak sekolah berangkat ke sekolah, seorang anak kecil laki-laki datang ke muka surau tempat Zainuddin tidur, membawa payung yang dipinjamkannya kemarin. Dia menghampiri anak itu, dan anak itu pun berkata, “Kak Ati berkirim salam, dan menyuruh mengembalikan payung ini, “ sambil memberikannya ke tangan Zainuddin.”123

Berdasarkan kutipan di atas, tergambar jelas Ahmad menghampiri Zainuddin untuk mengembalikan payung yang dipinjam kakaknya kemarin di pagi hari. Di saat warga Batipuh belum melakukan aktivitasnya. Pagi yang masih sunyi dan sepi. Kemudian mulai terbitlah matahari. Berikut kutipannya. “Tidak berapa saat kemudian, fajar pun terbitlah dari jihat timur, kicau murai di pohon kayu, dan kokok ayam di kandang, laksana serunai nafiri mengelu-ngelukan kedatangan maharaja siang yang menang dalam

123 Ibid, hlm.30

92

perjuangan. Awan di timur dan di barat, berbagai-bagai rona nampaknya, laksana menunjukkan perayaan alam yang terjadi tiap-tiap pagi dan tiap-tiap sore. Tidak lama kemudian, sebelum tanah dan jalan raya yang meliku melekok melalui negeri-negeri kecil dari Padang Panjang ke Sumpur, ditimpa cahaya matahari, maka puncak Gunung Merapi dan Singgalang telah kena cahaya lebih dahulu, amat indahnya laksana disepuh dengan emas juita. Di waktu demikian, kelihatanlah orang-orang dusun keluar dari rumahnya, berselimut kain sarung, dan perempuang- perempuan berkain telekung dan menjinjing buli-buli. Tidak lama kemudian matahari pun terbitlah.”124

Kutipan di Atas tergambar jelas pemandangan pagi yang sangat indah. Dan warga-warga mulai melakukan aktivitasnya masing-masing di pagi hari. Pada film digambarkan pula keindahan pemandangan di pagi hari. Terdapat pada gambar berikut ini.

124 Ibid, hlm.69

93

2) Siang “Demikianlah seketika zuhur hampir habis, orang tua itu pun pulanglah ke rumahnya, diiringkan oleh kedua cucunya. Zainuddin sendiri seketika akan bercerai-cerai, dilihatnya Hayati tenang-tenang, satu suara pun tak dapat keluar dari mulutnya.”125

Berdasarkan kutipan di atas menunjukkan waktu siang telah datang. Zuhur ialah waktu siang, ketika zuhur sudah hampir habis kakek Hayati pulang ke rumahnya untuk beristirahat. Pada film, penggambaran latar waktu siang terdapat pada saat Hayati melihat pacuan kuda di Padang Panjang. Latar siang antara novel dan film mengalami perubahan penciutan. Pada novel diceritakan bahwa latar siang tersebut tergambar ketika Hayati dan kakeknya aka pulang. Namun, dalam film tokoh kakek Hayati tersebut tidak dimunculkan sehingga dialog penanda bahwa hal tersebut terjadi pada siang hari tidak ada dalam film dan diganti dengan latar waktu siang ketika Hayati melihat pacuan kuda. Dapat dilihat pada gambar berikut ini.

3) Sore “Ditunggunya hari sampai sore, di waktu orang-orang di sawah telah berangsur pulang dan anak gembala telah menghalau ternaknya ke kandang. Maka Zainuddin yang telah berdiri lebih dahulu menunggu Hayati di dangau

125 Ibid, hlm.3

94

tersebut. Tidak berapa saat kemudian, Hayati datang pula diiringkan oleh adiknya.” 126

Berdasarkan kutipan di atas, di sore hari yang indah Zainuddin masih setia menunggu Hayati. Tergambar jelas kegiatan sore hari di Batipuh yang mulai menggiring ternaknya ke dalam kandang. Pada film, hal tersebut digambarkan dengan jelas. Terdapat pada gambar berikut ini.

4) Malam “Maka dalam malam yang hening itu, naiklah dua doa permohonan gaib, permohonan dari dua makhluk yang lemah dan memohon persandaran, yang keduanya tentu akan diterima Tuhan dengan segenap keadilan.”

126 Ibid, hlm.54

95

“Tetapi, sama pula hal Zainuddin dengan Hayati semalam itu. Dia ingat surat yang dikirimnya. Ai .... barangkali dia salah, barangkali ada perkataan-perkataan janggal dan kasar terselip dalam surat itu, barangkali baik di Minangkabau atau di Mengkasar sekalipun, amat dicela orang, anak muda yang berkirim surat kepada perempuan. Barangkali, akan terlepas Hayati selama-lamanya dari tangannya, sebab dia dipandang rendah budi.”127

Berdasarkan kedua kutipan di atas, menceritakan kegundahan yang dialami oleh dua insan yang saling jatuh cinta tersebut. Di setiap malam mereka selalu berdoa kepada Tuhan meminta petunjuk-Nya. Pada film, tidak digambarkan mengenai latar waktu malam ketika Hayati dan Zainuddin sama-sama berdoa kepada Allah. Latar malam hari mengalami perubahan penciutan. 5) Oktober 1936 Latar waktu pada novel ini terdapat juga menyatakan bulan dan tahun kejadiannya, tetapi oleh pengarang hanya disampaikannya ketika penceritaan berakhir. Berikut kutipannya. Pagi-pagi hari Senin, 19 hari bulan Oktober 1936 kapal Van Der Wijck yang menjalani lijn K.P.M. dari Mengkasar telah berlabuh di pelabuhan Tanjung Perak. Kapal itu akan menuju Semarang, Tanjung Priuk, dan terus ke Palembang. Penumpang-penumoang yang akan meneruskan pelayaran ke Padang harus pindah kapal di pelabuhan tanjung Priuk.128

Besoknya hari Selasa, 20 Oktober 1936, barulah Zainuddin kembali ke Malang. Dia masuk ke dalam rumah dengan wajah muram, terus ke kamar tulisnya, didapatinya Muluk sedang membersihkan buku-buku dan menyusun kertas- kertas yang terserak di atas meja.129

Berdasarkan latar waktu dari penggalan cerita di atas, pada kutipan pertama pada saat Hayati si gadis Minang akan kembali ke Padang Panjang karena sebelumnya dia berada di Surabaya

127 Ibid, hlm.45 128 Ibid, hlm. 236 129 Ibid, hlm.241

96

bersama suaminya yang kini telah meninggal. Kutipan yang kedua adalah pada saat Zainuddin ditinggalkan oleh Hayati untuk pergi kembali ke kampung halamannya. Pada film, tidak mengalami perubahan latar waktu yang terjadi pada tanggal 20 Oktober 1936. Digambarkan dengan jelas suasana di pelabuhan pada saat itu. Terdapat pada gambar berikut ini.

c. Latar Sosial Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa dan lain-lain yang melatari peristiwa.130 Masyarakat Minangkabau mayoritas menganut agama Islam. Dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck latar sosialnya adalah tokohnya yang selalu taat beribadah. Terbukti pada tokoh utama yang rajin beribadah kepada Allah dan senang menuntut ilmu agama. Berikut kutipannya. “Tiba-tiba, timbul pulalah seruan dari jiwanya kepada Tuhan yang melindungi seluruh alam, diserukannya di waktu tengah malam demikian, di waktu segala doa makbul

“Pujianku tetaplah pada-Mu, ya Illahi!”131

130 Panuti Sudjiman. Memahami Cerita Rekaan, (Jakarta : Pustaka Jaya, 1988), hlm.44 131 Hamka. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, (Jakarta : Balai Pustaka,2013), hlm.57

97

“Kalau ada kepercayaanmu demikian, maka Tuhan tidaklah akan menyia-nyiakan engkau. Sembahlah Dia dengan khusyuk, ingat Dia di waktu senang, supaya Dia ingat pula kepada kita di waktu kita sengsara. Dialah yang akan membimbing tanganmu. Dialah yang akan menunjukkan haluan hidup kepadamu. Dialah yang akan menerangi jalan yang gelap. Jangan takut menghadapi cinta. Ketahuilah bahwa Allah yang menjadikan matahari dan memberinya cahaya. Allah yang menjadikan bunga dan memberinya wangi. Allah yang menjadikan tubuh dan memberinya nyawa. Allah yang menjadikan mata dan memberinya penglihatan. Maka Allah pulalah yang menjadikan hati dan memberinya cinta. Jika hati kau diberi-Nya nikmat pula dengan cinta sebagaimana hatiku, marilah kita pelihara nikmat itu sebaik-baiknya, kita jaga dan kita pupuk, kita pelihara supaya jangan dicabut Tuhan kembali. Cinta adalah iradat Tuhan, dikiriminya ke dunia supaya tumbuh. Kalau dia terletak di atas tanah yang lekang dan tandus, tumbuhnya akan menyiksa orang lain. Kalau dia datang kepada hati yang keruh dan kepada budi yang rendah, dia akan membawa kerusakan. Tetapi, jika dia hinggap kepada hati yang suci, dia akan mewariskan kemuliaan, keikhlasan, dan taat pada Illahi.”132

Berdasarkan kutipan di atas, tergambar jelas ketaatan tokoh tersebut dalam beribadah kepada Allah. Segala urusan kehidupannya ia serahkan kepada Allah. Pada film, latar sosial pada tokoh tidak mengalami perubahan, yakni taat dalam beribadah kepada Allah dan rajin mencari ilmu agama. Terdapat pada gambar berikut ini.

132 Ibid, hlm.57

98

5. Sudut Pandang Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan: siapa yang menceritakan, atau: dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat.133 Sudut pandang yang digunakan dalam novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yaitu sudut pandang orang ketiga, serba tahu. Pengarang menggunakan kata “dia”. Pengarang menceritakan segala kisah yang terjadi dan memberi nama-nama pada setiap tokohnya. Berikut kutipannya. “Wahai, dari manakah pengarang yang lemah ini akan memulai menceritakan sebab-sebab Hayati berkenalan dengan Zainuddin? Apakah dari sebab mereka kerap kali bertemu di bawah lindungan keindahan alam? Di sawah-sawah yang bersusun-susun? Di bunyi air mengalir di Batang Gadis menuju Sumpur? Ataukah dari dangau di tengah sawah yang luas, di waktu burung pipit terbang berbondong? Atau di waktu habis menyabit, di kala asap jerami menjulang ke udara, dan awan meliputi puncak Merapi yang indah? Atau di waktu kereta api membunyikan peluitnya di dalam kesusahan mengharung rimba dan jembatan yang tinggi, menuju Sawah Lunto dan melingkari Danau Singkarak?134

Berdasarkan kutipan di atas, tergambar jelas bahwa sudut pandang yang digunakan yaitu orang ketiga serba tahu. Pengarang mulai menceritakan awal perkenalan antara Hayati dan Zainuddin. Kemudian terdapat kutipan yang menceritakan dengan menggunakan kata ganti

133 Burhan Nurgiyantoro. Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2012), hlm.246 134 Hamka. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, (Jakarta : Balai Pustaka,2013), hlm.26

99

“Dia”, yang menandakan bahwa pengarang adalah orang yang serba tahu. Berikut kutipannya. “Sejak dapat diketahui oleh Zainuddin bahwa suratnya diterima baik oleh Hayati, bahwasannya pengharapannya bukanlah bagai batu jatuh ke lubuk, hilang tak timbul-timbul lagi, melainkan beroleh rujukan dan pengharapan, maka kembalilah dia pulang ke rumah bakonya temoatnya menumpang dengan senyum tak jadi, senyum panas bercampur hujan. Dia melengong ke kiri dan ke kanan, menghadap ke langit yang hijau, ke bumi yang nyaman dan ke sawah yang luas, ke puncak Merapi yang permai laksana bersepuhkan emas, ke air yang mengalir dengan hebatnya di Batang Gadis. Seakan-akan dihadapinya semua alam yang permai itu, membangga menerangkan sukacita hatinya. Dia merasa bahwa keberuntungan yang demikian belum dirasainya selama hayatnya. Ini adalah sebagai ganjaran Tuhan atas kesabaran hatinya menanggung sengsara telah bertahun-tahun.”135

Berdasarkan kutipan di atas pengarang menceritakan tokohnya yang bernama Hayati dan Zainuddin, kemudian pengarang mengganti nama tokoh dengan kata “Dia”. Tergambar jelas bahwa pengarang ialah orang ketiga serba tahu. Ia mengetahui semua jalan cerita novel ini. Pengarang mampu menyajikan gambaran dan cerita yang berkualitas. Pada film, sudut padang digambarkan dengan jelas bahwa sudut pandang tersebut termasuk ke dalam orang ketiga serba tahu. Dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

135 Ibid, hlm.49

100

6. Gaya Bahasa Gaya bahasa adalah pemakaian bahasa yang khas dan istimewa, yang merupakan ciri khas seorang penulis aliran sastra, dan lain-lain. Gaya bahasa pengarang bersifat individual, artiny setiap pengarang mempunyai gaya bahasa sendiri-sendiri. Semua pengarang besar mempunyai gaya bahasa yang dapat ditandai.136 Gaya bahasa yang digunakan dalam novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ialah menggunakan bahasa sehari-hari dan memakai bahasa Padang meskipun sedikit kemudian terdapat nyanyian ketika berbicara. Bahasa yang dipakai sehari-hari ialah bahasa Melayu yang baku. Berikut kutipannya. “Tak baik kita mencela orang lain, karena tiap-tiap negeri berdiri dengan adanya, walaupun apa bangsanya dan di mana negerinya,” jawab yang muda itu.137

136 Nani Tuloli. Teori Fiksi, (Gorontalo: Nurul Jannah,2000), Hlm.60 137 Hamka. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, (Jakarta : Balai Pustaka,2013), hlm.128

101

Berdasarkan kutipan di atas pengarang menggunakan bahasa sehari-hari yang mudah dimengerti oleh para pembaca. Namun, pengarang juga menggunakan sedikit bahasa Padang ke dalam cerita tersebut. Seperti pada kata berikut ini. a. Dunsanak : Saudara perempuan . 138 b. Bukit putus, Rimba Keluang, Direndam jagung dihangusi. Hukum putus badan terbuang, “Batang kapas nan rimbun daun, Urat terentang masuk padi. Jika lepas laut Ketahun, Merantau panjang hanya lagi.” Siapakah gerangan anak muda itu? 139 Kutipan di atas yaitu pantun-pantun yang sering dinyanyikan oleh ayahnya Zainuddin. Zainuddin hafal sekali dengan pantun-pantun tersebut. c. Bako : Keluarga dari pihak ayah. 140 Dalam film, bahasa yang digunakan pun sama seperti dalam novel, yaitu bahasa kehidupan sehari-hari. Dapat dilihat pada gambar berikut ini.

138 Ibid, hlm.8 139 Ibid, hlm. 3-4 140 Ibid, hlm.22

102

7. Amanat Amanat merupakan pesan moral yang disampaikan oleh pengarang untuk pembaca. Pada cerita fiksi terdapat amanat yang terkandung di dalamnya. Amanat yang dapat dipetik dari novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yaitu jika kau mencintai seseorang dengan hati yang tulus dan suci, maka percayalah Tuhan akan menuntunmu. Sebesar apapun rintangannya kalian harus hadapi bersama. Berjuanglah bersama, sebab jika hanya berjuang sendiri tidak akan berakhir bahagia. Begitu pun sebaliknya, jika kalian berjuang bersama pasti akan berakhir bahagia. Jadikanlah perbedaan itu sebagai kelebihan, bukan kekurangan. Hal tersebut diutarakan oleh Zainudin ketika Hayati mulai menyerah untuk memperjuangkan cintanya. Terlihat pada kutipan berikut ini. “Kalau ada kepercayaanmu demikian, maka Tuhan tidaklah akan menyia-nyiakan engkau. Sembahlah Dia dengan khusyuk, ingat Dia di waktu senang, supaya Dia ingat pula kepada kita di waktu kita sengsara. Dialah yang akan membimbing tanganmu. Dialah yang akan menunjukkan haluan hidup kepadamu. Dialah yang akan menerangi jalan yang gelap. Jangan takut menghadapi cinta. Ketahuilah bahwa Allah yang menjadikan matahari dan memberinya cahaya. Allah yang menjadikan bunga dan memberinya wangi. Allah yang menjadikan tubuh dan memberinya nyawa. Allah yang menjadikan mata dan memberinya penglihatan. Maka Allah pulalah yang menjadikan hati dan memberinya cinta. Jika hati kau diberi-Nya nikmat pula dengan cinta sebagaimana hatiku, marilah kita pelihara

103

nikmat itu sebaik-baiknya, kita jaga dan kita pupuk, kita pelihara supaya jangan dicabut Tuhan kembali. Cinta adalah iradat Tuhan, dikiriminya ke dunia supaya tumbuh. Kalau dia terletak di atas tanah yang lekang dan tandus, tumbuhnya akan menyiksa orang lain. Kalau dia datang kepada hati yang keruh dan kepada budi yang rendah, dia akan membawa kerusakan. Tetapi, jika dia hinggap kepada hati yang suci, dia akan mewariskan kemuliaan, keikhlasan, dan taat pada Illahi.”141

Terlihat jelas sekali pada kutipan di atas, melalui tokoh Zainuddin pengarang ingin membuka mata hati para pembaca bahwa halangan dan rintangan dalam percintaan itu harus dilawan jika saling mencintai. Halangan dan rintangan itu pasti teratasi bila berjuang bersama. B. Analisis Perubahan Tokoh pada Novel dan Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck tokoh utamanya ialah Zainuddin, Aziz, dan Hayati. Ketiga tokoh tersebut dikatakan sebagai tokoh utama karena kemunculannya yang terbilang cukup mendominasi isi cerita. Selain tokoh utama, terdapat banyak tokoh sampingan yang muncul di dalam cerita. Tokoh-tokoh sampingan tersebut dimunculkan sebagai kerabat, keluarga, pembantu, guru, tetangga, dan rekan bisnis tokoh utama. Berikut perubahan tokoh pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka ke bentuk film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya sutradara Sunil Soraya. a. Perubahan Penciutan Terdapat tujuh tokoh yang mengalami perubahan penciutan. Ke tujuh tokoh tersebut di antaranya ialah Kakek Zainuddin, Kakek Hayati, Sersan Pensiun, Daeng Masiga, Direktur, Sep kantor, tukang tagih sewa rumah. Perubahan penciutan ini dapat dilihat dari ketidakmunculannya beberapa tokoh yang ada dalam novel namun tidak ada di dalam film. Berikut paparan masing-masing tokoh yang mengalami penciutan.

141 Ibid, hlm.57

104

Perubahan penciutan dimulai dengan penghilangan tokoh Kakek Zainuddin. Tokoh kakek Zainuddin dihilangkan karena peranannya dianggap tidak penting. Tokoh Kakek Zainuddin hanya mengucap satu dialog saja di dalam novel. Kakek Zainuddin digambarkan sebagai sosok kakek yang tidak peduli dengan cucunya. Di kampungnya ia diberi gelar Datuk Panduka Emas. Ketika Zainuddin pergi ke Batipuh, ia mencari kakeknya. Namun kakek Zainuddin tercengang melihat kedatangan Zainuddin ke rumahnya. Penokohan kakek Zainuddin tersebut digambarkan secara tidak langsung melalui percakapannya dengan Zainuddin sebagai berikut. “Pada sangkanya semula jika dia datang ke Minangkabau, dia akan bertemu dengan kakeknya, ayah dari ayahnya. Di sanalah, dia akan memakan harta benda neneknya dengan leluasa sebagai cucu yang menyambung turunan. Padahal seketika dia datang itu, setelah dicarinya neneknya itu, ditunjukkan orang di sebuah kampung di Ladang Lawas, bertemu seorang tua di sebuah surau kecil, gelarnya Datuk Panduka Emas, dia hanya tercengang-cengang saja sambil berkata. “Oh ... rupanya si Amin ada juga meninggalkan anak di Mengkasar.”142

“Cuma sehingga itu pembicaraan orang tua itu, dan tidak ada tambahnya lagi. Dia tak kuasa hendak menahan cucunya tinggal dengan dia, sebab mesti mufakat lebih dahulu, dengan segenap keluarga. Padahal sedangkan pihak si Amin Pandekar Sutan, sudah jauh berhubungan keluarga, apalagi dengan anak yang datang dari Bugis ini.”143

Dari percakapan di atas dapat digambarkan dengan jelas bahwa sikap ketidakpedulian Datuk Panduka Emas terdapat pada suatu pertanyaannya yang menanyakan bahwa benar Zainuddin ialah anak Amin yang merupakan anaknya sendiri. Di dalam novel tak ada lagi dialog Datuk Panduka Emas dengan Zainuddin selain dialog di atas. Penghilangan tokoh kakek Zainuddin tidak berpengaruh terhadap alur cerita. Dari kalimat di atas dapat dianalisis bahwa apabila tokoh kakek

142 Ibid, hlm.24 143 Ibid, hlm.24

105

Zainuddin yang tidak peduli dengan Zainuddin yang merupakan cucunya sendiri karena di dalam novel diceritakan bahwa Datuk Panduka Emas ialah sosok yang sangat memahami hukum adat yang berlaku di Minang. Anak yang lahir bukan berasal dari orang tua asli Minang, maka keberadaannya tidak akan dianggap oleh sanak saudara. Kakek Zainuddin tidak berani untuk menyuruh Zainuddin tinggal di rumahnya karena harus dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan anggota keluarga lainnya. Kemudian perubahan penciutan selanjutnya terjadi pada tokoh Kakek Hayati. Penghilangan tokoh Kakek Hayati karena keberadaannya tidak penting, dengan penghilangan tokoh tersebut tidak akan mengubah alur cerita. Di dalam novel digambarkan sosok Kakek Hayati yang bekerja sebagai petani di desanya. Tokoh kakek Hayati merupakan tokoh yang sangat menghargai orang lain dan tokoh yang baik hati. Penggambaran tokoh tersebut secara tidak langsung digambarkan pada percakapan berikut ini. “Setelah itu diteruskannya juga menyabit padinya. Zainuddin mencoba hendak menolong, tetapi dilarangnya. “Duduk sajalah di tepi pematang itu, penghilangkan kesunyianku. Sebentar lagi datang kemenakanku mengantarkan makanan agak sedikit kemari, kita makan apa yang ada.” 144

“Hayati merasa tersindir, ia ingat suratnya. Dan Datuk menjawab, sambil menaikkan pisang bertumbuk ke dalam mulutnya, “Tidak Zainuddin, meskipun hal itu engkau pandang perkara kecil, bagi yang menerima budi, hal itu dipandang besar artinya. Apalagi engkau anak pisang kami.” 145

Dari percakapan di atas terbukti bahwa sosok kakek Hayati merupakan kakek yang baik hati dan memiliki rasa saling menghargai yang tinggi. Pada saat orang-orang di desa Batipuh menjauhi Zainuddin, namun kakek Hayati tidak. Ia tetap menghargai keberadaan Zainuddin. Bahkan ia menganggap bahwa Zainuddin adalah anak pisangnya, yaitu anak kesayangannya.

144 Ibid, hlm.33 145 Ibid, hlm.35

106

Penghilangan tokoh berikutnya ialah pada tokoh sersan pensiun. Dalam novel sersan pensiun digambarkan sebagai orang yang mengajarkan Zainuddin bermain biola saat Zainuddin berada di Guguk Malintang. Tokoh sersan pensiun tidak dapat digambarkan karena kemunculannya hanya terdapat pada penceritaan si penulis dalam novel. Sersan pensiun digambarkan dalam novel sebagai tokoh yang baik hati terhadap sesama. Ia mengajarkan caranya bermain biola kepada Zainuddin dengan senang hati. Kebaikan tokoh tersebut secara tidak langsung digambarkan melalui kutipan berikut. “Di kota itulah Zainuddin belajar agama. Dalam mempelajari agama diambilnya juga pelajaran bahasa Inggris, dan memperdalam bahasa Belanda. malam dia pergi kepada seorang sersan pensiun di Guguk Malintang mempelajari permainan biola. Kadang-kadang diikutinya pula sersan itu bermain di medan yang ramai-ramai. Karena menurut keyakinannya adalah musik itu menghaluskan perasaan. Di Padang Panjang itu baru dapat Zainuddin menyampaikan cita-citanya seketika dia berniat hendak meninggalkan Mengkasar dahulu.”146

Berdasarkan kutipan di atas dapat diidentifikasikan bahwa tokoh sersan pensiun memiliki watak yang baik hati kepada sesama. Hal tersebut dibuktikan pada sikapnya yang dengan senang hati mengajarkan Zainuddin bermain biola dan memperbolehkan Zainuddin mengikutinya pada saat ia pertunjukkan bermain biola. Perubahan penciutan selanjutnya terjadi pada penghilangan tokoh Daeng Masiga. Di dalam novel tokoh Daeng Masiga tidak selalu muncul, ia hanya sekali dimunculkan pada saat mengirim surat kepada Zainuddin. Digambarkan bahwa Daeng Masiga merupakan tetangga Zainuddin yang baik hati. Penggambaran tokoh tersebut digambarkan secara tidak langsung di dalam isi surat yang dikirim untuk Zainuddin sebagai berikut. “Segera dibukanya, tentu saja datang dari Mak Base yang tercinta. Tetapi bukan dari Mak Base, hanya dari Daeng Masiga, seorang

146 Ibid, hlm.83

107

tetangga yang dikenalnya betul-betul dan banyak perhubungan dengan dia sebelum dia berangkat meninggalkan Mengkasar. 147

Berdasarkan kutipan di atas, digambarkan tokoh Daeng Masiga yang baik hati. Ia memberi kabar kepada Zainuddin melalui suratnya bahwa Mak Base telah tiada. Ia yang mengurusi Mak Base selama Zainuddin menempuh pendidikan di Padang Panjang. Selanjutnya perubahan penciutan terjadi pada penghilangan tokoh direktur. Penggambaran tokoh direktur ini muncul di dalam novel ketika ia menawarkan Zainuddin untuk bekerjasama dengannya. Namun Zainuddin menolaknya karena ia ingin mengembangkan usahanya di Surabaya. Penggambaran tokoh tersebut secara tidak langsung dapat dinyatakan pada kutipan berikut. “Bahkan dalam masa yang tidak lama kemudian, direktur dari satu surat kabar harian telah datang ke rumahnya menawarkan pekerjaan menjadi redaksi dalam surat kabar itu, spesial mengatur ruangan hikayat, roman, dan syair. Tetapi dia tidak mau, karena ia mempunyai cita-cita lain.”148

Berdasarkan kutipan di atas, tokoh direktur ini dimunculkan di dalam novel karena ia tertarik dengan karya-karya yang diciptakan Zainuddin. Penggambaran tokoh direktur ini merupakan sosok yang baik hati. Ia ingin Zainuddin bekerja di perusahaannya. Penghilangan tokoh berikutnya terjadi pada tokoh sep kantor atau kepala kantor pada saat Aziz bekerja. Penghilangan tokoh sep kantor karena kemunculannya di dalam film dianggap tidak penting. Kehadiran Cak Narto si penagih hutang di dalam film sudah mewakili tokoh sep kantor. Penghilangan tokoh sep kantor tidak mempengaruhi alur cerita. Di dalam novel sep kantor tersebut dimunculkan untuk memecat Aziz. Ia merupakan tokoh yang bijaksana dalam mengambil keputusan. Secara tidak langsung penggambaran tokoh tersebut terdapat pada kutipan berikut ini.

147 Ibid, hlm.118 148 Ibid, hlm.182

108

“Sedang bertengkar-tengkar demikian, sep kantor tempatnya bekerja datang bersama dengan kawan samanya bekerja yang telah menahankan perangkap buat kejatuhannya itu. Dengan muka yang sangat pucat dan gugup, dia menyambut kedatangan sepnya itu, dan penagih hutang itu pun berdiri ke sisinya.” 149

“Hayati hendak ikut berbicara mempertahankan suaminya yang sudah kehilangan akal itu. Tetapi tukang ternak itu menjawab dengan pendek dan jitu, “Lebih baik kau diam saja, hai perempuan muda! Kau telah jadi korban hawa nafsu setan suamimu. Janji apakah yang akan engkau cari lagi? Padahal barang-barang perhiasanmu telah habis, hidupmu telah melarat. Barang dalam rumah ini akan di-beslag!” 150

“Dan besok kau tak usah datang ke kantor lagi!” kata sepnya kepada Aziz.”151

Berdasarkan kutipan di atas, sep kantor memiliki watak yang bijaksana. Ia mengambil keputusan yang sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh Aziz. Kalimat di atas dapat dianalisis bahwa sep kantor Aziz memberi pernyataan kepada Hayati bahwa ia telah ditipu oleh Aziz, bahwa ia telah menjadi korban hawa nafsu Aziz. Sep kantor tersebut membuka mata Hayati bahwa suaminya bukan orang baik. Penciutan yang terakhir terjadi pada penghilangan tokoh tukang tagih sewa rumah. Tokoh ini dimunculkan ketika Aziz sedang dikepung oleh para penagih hutang dan kepala kantornya. Tokoh tukang tagih sewa rumah dihilangkan karena peranannya di dalam film sudah diwakili oleh Cak Narto si penagih hutang. Tokoh tersebut tidak perlu dimunculkan di dalam film. Dalam novel Ia dimunculkan untuk menagih uang sewa rumah yang ditinggali oleh Aziz dan Hayati. Penggambaran tokoh tersebut secara tidak langsung terdapat pada kutipan berikut. “Setelah barang-barang itu habis diangkut, tiba-tiba datang pula tukang tagih sewa rumah, memberitahukan bahwa kunci akan diambil, karena sudah lebih dari tiga bulan sewa rumah itu tak dibayar. Sepatah kata pun tak keluar dari mulut Aziz, apakah yang tinggal hanya yang lekat di badan. Hayati pun hanya memakai

149 Ibid, hlm.211 150 Ibid, hlm.211-212 151 Ibid, hlm.212

109

sehelai kebaya yang lusuh, dan kain batik kasar. Mereka keluar dari rumah itu dengan rupa tak karuan. Ketika akan meninggalkan rumah itu, masih sempat juga Aziz menikamkan kata-kata yang tajam ke sudut hati Hayati ... Sial!” 152

Berdasarkan kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa tokoh-tokoh mengalami penciutan karena peranannya di dalam cerita dianggap tidak penting, sehingga penghilangan tokoh di atas tidak mempengaruhi alur pada cerita. b. Perubahan Penambahan Terdapat 28 tokoh yang mengalami perubahan penambahan. 28 tokoh yang bertambah di antaranya Mak Ipih, Upik Banun, sekumpulan pemuda, Engku Labai, Pak Kusir, Sofyan, Bundo Khadijah, Datuk Penghulu Adat, Sutan Makmur, Datuk Sampuno Kayo, Pegawai Bank, Rusli, Tuan Iskandar, Haji Muhammad Kasim, Soesilo, pegawai penerbit, tukang jahit, sekretaris Zainuddin, Frieda, Laras, Ruslan, Jamal, Salima, Syawal, Ida, Pembantu Zainuddin, pelayan hotel, dan Anak-anak yatim piatu. Perubahan penambahan ini dapat dilihat dari penambahan gambaran tokoh-tokoh yang terdapat dalam film yang tidak ada di dalam novel. Berikut paparan mengenai masing-masing tokoh yang mengalami penambahan dari novel ke film. Penambahan tokoh yang pertama yaitu dimunculkannya tokoh Mak Ipih sebagai suami Mande Jamilah. Mak Ipih digambarkan sebagai seorang laki-laki paruh baya yang selalu memakai kain, berbaju tertutup dan selalu memakai ikat kepala sebagai ciri khasnya. Beliau orang yang sederhana, baik hati, dan juga sosok yang menjunjung tinggi adat di negerinya. Penggambaran sosok Mak Ipih secara tidak langsung digambarkan melalui sikapnya terhadap Zainuddin. Sikap tersebut dapat dilihat dari potongan adegan berikut ini.

152 Ibid, hlm.212

110

Gambar 1. Adegan di atas merupakan munculnya tokoh Mak Ipih di dalam film sebagai suami Mande Jamilah. Terlihat bahwa Mak Ipih ialah orang yang baik hati. Ia sedang mengajak Zainuddin keliling desa Batipuh. Ia menceritakan tentang keindahan negeri kelahiran ayahnya Zainuddin. Tidak hanya menceritakan keindahan alam negeri kelahiran ayahnya, namun Mak Ipih juga memberi tahu tempat untuk Zainuddin menimba ilmu. Terdapat pada dialog berikut. “Kalau mau belajar agama, cobalah besok malam selepas isya engku mudo datang ke sekolah agama.Sekalian mendengar tablig di sana.” Selanjutnya penambahan tokoh terjadi dengan munculnya Upik Banun sebagai sahabat Hayati. Ia dimunculkan sebagai sahabat yang selalu pergi mengaji bersama Hayati. Hayati terjebak hujan dengan Upik Banun sehingga mereka berdua berteduh di sebuah lepau. Upik Banun digambarkan sebagai gadis remaja yang berusia 16 tahun. Ia merupakan gadis yang tidak sabar, berlebihan, dan mudah mengeluh. Sikap Upik Banun dapat terlihat pada adegan berikut ini.

111

Gambar 2. Adegan di atas merupakan munculnya tokoh Upik Banun sebagai sahabat Hayati. Berdasarkan adegan di atas, terlihat bahwa Upik Banun ialah seorang gadis yang mudah mengeluh dan sangat berlebihan. Ia takut jika ia tidak sekolah karena hujan maka ia akan menjadi orang yang bodoh. Berikut dialog yang mencerminkan watak Upik Banun. “Jangan-jangan hujan sampai besok pagi Ati. Kita bisa semalaman di siko Ati.Tidak masuk sekolah.Tidak tamat sekolah karena hujan. Jadi orang bodohlah ambo.Upiak Banun dan Cik Hayati dua gadis Minang yang malang.” Kemudian, penambahan tokoh terjadi pasa munculnya sekumpulan pemuda yang mengaji bersama Zainuddin. Tokoh sekumpulan pemuda dimunculkan dalam film karena untuk memperlihatkan gambaran kepada penonton bahwa Zainuddin memang dibeda-bedakan dalam pergaulannya dan pemuda tersebut tidak ingin Zainuddin berkumpul dengan mereka karena Zainuddin dianggap bukan sebagai anak Minang. Terlihat pada adegan berikut ini.

112

Gambar 3. Adegan di atas merupakan munculnya sekumpulan anak muda di surau dan mereka mengasingkan Zainuddin.

Berdasarkan adegan di atas terlihat bahwa sikap sekumpulan anak muda ini sangatlah sombong dan mengasingkan Zainuddin. Mereka tidak ingin Zainuddin berkumpul bersama mereka. Berikut dialog yang menggambarkan sikap mereka terhadap Zainuddin. “Maaf Zainuddin, ini urusan kami. Sebaiknya kamu jangan ikut- ikutan. Kau bukan orang Minang.” Selanjutnya penambahan tokoh terjadi pada kemunculan tokoh Engku Labai. Tokoh Engku Labai dimunculkan untuk menjadi guru agama Zainuddin. Zainuddin datang ke rumah Engku Labai untuk menimba ilmu agama. Ia diusir oleh Datuk Penghulu Adat di Batipuh. Tokoh Engku Labai ialah sosok yang baik hati dan peduli terhadap Zainuddin. Engku Labai digambarkan sosok laki-laki paruh baya yang masih terlihat tampan. Pertemuan pertama dengan Engku ketika Engku Labai sedang membaca koran. Sosok Engku Labai dapat dilihat pada adegan berikut ini.

113

Gambar 4. Adegan di atas merupakan munculnya tokoh Engku Labai seorang guru agama Zainuddin Berdasarkan gambar di atas merupakan gambaran mengenai Engku Labai. Ia memiliki pengetahuan yang luas mengenai agama. Ia ingin anaknya mencotohnya menjadi guru agama. Selanjutnya terdapat penambahan tokoh pada pak kusir. Tokoh Pak Kusir dimunculkan sebagai gambaran untuk para penonton pada saat Zainuddin pergi menuju Padang Panjang ia menaiki sebuah delman. Di sepanjang perjalanannya ia berbicara dengan pak Kusir tersebut. Pak Kusir merupakan sosok yang baik hati, ia memberi tahu Zainuddin bahwa Padang Panjang merupakan pusatnya belajar ilmu agama. Terdapat pada dialog pak Kusir berikut. “Padang Panjang memang tempatnya belajar. Tempat yang banyak sekolah agama. Pelajar pesantren di sini maju. Di tempat engku sekolah pelajarnya belajar bahasa Inggris dan Belanda.” Berdasarkan dialog di atas, terbukti bahwa pak kusir memiliki sifat yang baik. Ia memberi tahu segala tempat ilmu agama yang terdapat di Padang Panjang. Kemudian sikapnya dapat dilihat dari pengadeganan berikut.

114

Gambar 5. Adegan di atas merupakan kemunculan pak kusir yang baik hati yang sedang berbincang-bincang dengan Zainuddin tentang ilmu agama. Berdasarkan adegan di atas, terlihat bahwa sosok pak kusir tersebut baik. Zainuddin pun terlihat akrab ketika berbincang dengan dia. Selanjutnya, penambahan tokoh terjadi pada kemunculan tokoh Sofyan sebagai tunangan Khadijah. Kemunculan tokoh Sofyan sebagai gambaran kepada penonton bahwa Khadijah telah memiliki kekasih yang sudah modern dan dengan mudah ia membujuk Hayati untuk memiliki kekasih yang modern pula. Tokoh Sofyan digambarkan sebagai laki-laki muda yang berusia antara 22-25 tahun. Ia memiliki wajah yang tampan, berkulit putih, dan dengan tampilan modern. Berikut adegan munculnya Sofyan di dalam film.

Gambar 6. Adegan di atas merupakan kemunculan tokoh Sofyan sebagai tunangan Khadijah.

115

Berdasarkan adegan di atas, tokoh Sofyan merupakan tokoh yang selalu merendahkan orang-orang kecil. Ia merasa bahwa ia adalah anak kota yang sudah modern. Sikap tersebut tergambar pada saat ia mengejek Zainuddin yang selalu memakai pakaian kuno. Selanjutnya, penambahan tokoh terjadi pada kemunculan Bundo Khadijah. Bundo Khadijah digambarkan dalam film sebagai sosok ibu yang baik, dan memiliki sifat seperti ibu-ibu umum lainnya. Ia ingin menikahkan Hayati dengan Aziz, menurutnya bahwa Hayati pantas untuk menjadi istri Aziz karena keluarga Hayati adalah keluarga yang terhormat dan sebanding dengannya. Berikut adegan munculnya tokoh Bundo Khadijah.

Gambar 7. Adegan di atas merupakan kemunculan tokoh Bundo Khadijah pada saat bertemu Hayati Berdasarkan adegan di atas, Bundo Khadijah digambarkan kira- kira berusia 40-45 tahun yang bertubuh besar namun tetap terlihat cantik. Kemudian penambahan tokoh selanjutnya terjadi pada kemunculan Datuk Penghulu Adat sebagai paman Hayati. Kemunculannya sangat penting karena ia dimunculkan sebagai petinggi di negeri Batipuh, semua orang harus menghormatinya. Kemunculannya dalam film yakni sebagai gambaran kepada penonton bahwa ia adalah seorang yang harus dituruti

116

perintahnya. Penonton akan merasa kesal dengan kemunculan tokoh Datuk Penghulu Adat karena ia orang yang paling menentang hubungan Hayati dan Zainuddin. Ia memiliki watak yang egois. Berikut adegan ketika Datuk Penghulu Adat memata-matai hubungan Hayati dan Zainuddin.

Gambar 8. Adegan di atas merupakan kemunculan Datuk Penghulu Adat yang sedang memata-matai Hayati dan Zainuddin Berdasarkan adegan di atas terlihat bahwa Datuk Penghulu Adat digambarkan sebagai laki-laki yang sudah tua dan janggutnya sudah memutih. Ia sedang memendam kekesalannya terhadap Hayati. Setelah ia melihat Hayati dan Zainuddin sedang berbicara berdua, timbul niatnya untuk mengusir Zainuddin dari Batipuh. Selanjutnya, penambahan tokoh terjadi saat Sutan Makmur muncul sebagai penasehat Datuk Penghulu Adat. Kemunculan Sutan Makmur di dalam film yakni untuk memanas-manaskan keadaan agar Datuk Penghulu Adat terpancing emosinya untuk segera mengusir Zainuddin. Sutan Makmur digambarkan memiliki watak yang keras dan kasar. Perwatakan tersebut digambarkan pada dialog berikut ini. “Kita harus bertindak cepat Datuk.Anak pisang itu berani mencemarkan adat suku kita.”

117

Berdasarkan dialog di atas terlihat bahwa sifat Sutan Makmur sangat keras, ia memegang teguh adat istiadatnya sehingga ia merasa bahwa Zainuddin telah mencemarkan adat di negerinya. Berikut adegan yang terdapat dalam film ketika Sutan Makmur meminta Datuk untuk mengusir Zainuddin.

Gambar 9. Adegan di atas merupakan kemunculan tokoh Sutan Makmur ketika meminta Datuk mengusir Zainuddin dari Batipuh Berdasarkan adegan di atas Sutan Makmur dimunculkan ketika ia sedang bermusyawarah dengan Datuk Penghulu Adat dan Datuk Garang. Dia sangat kesal terhadap Hayati yang sudah mencemarkan nama baik keluarga karena sudah berhubungan dengan Zainuddin. Kemudian penambahan tokoh berikutnya ialah terjadi pada saat kemunculan tokoh Datuk Sampuno Kayo. Kemunculan tokoh Datuk Sampuno Kayo di dalam film hanya satu adegan, ketika ia akan menikahkan Hayati dengan Zainuddin. Ia berperan sebagai lelaki tua yang menerima kedatangan keluarga Aziz untuk menikahkan Hayati. Penggambaran tokoh Datuk Sampuno Kayo dapat dilihat pada adegan berikut ini.

118

Gambar 10. Adegan di atas merupakan kemunculan tokoh Datuk Sampuno Kayo sebagai penerima salam sembah kedatangan keluarga Aziz untuk menikahkan Aziz dengan Hayati Berdasarkan adegan di atas terlihat Datuk Sampuno Kayo yang sudah menua sedang menerima kedatangan keluarga Aziz. Ia menyalaminya dengan sopan dan santun. Ketika ia menerima keluarga Aziz ia terlihat sangat gugup, karena tangannya bergetar ketika menyalami keluarga besar tersebut. Selanjutnya, penambahan tokoh terjadi pada kemunculan tokoh pegawai bank yang muncul ketika Zainuddin hendak membeli sebuah rumah besar di Surabaya. Kedua pegawai Bank tersebut terlihat gagah ketika menawarkan rumah besar tersebut kepada Zainuddin. Pegawai bank memiliki sifat yang ramah, mereka menjual rumah yang telah disita oleh pemilik bank. Namun sebelum membeli rumah tersebut Zainuddin menanyakan satu hal. Terdapat pada dialog seperti berikut ini. “Kenapa rumah sebesar ini begitu murah harganya?” “Rumah ini disita bank” “Pemiliknya orang Belanda yang jadi buruan kerajaan karena telah melakukan penipuan dan hal-hal lain yang melanggar hukum” Berdasarkan dialog di atas, tampak Zainuddin yang tidak percaya dengan penawaran harga murah bagi rumah yang sebesar istana itu. Kemudian pegawai bank menjelaskannya dengan jelas dan ringkas. Di bawah ini terdapat adegan ketika Zainuddin sedang bertransaksi rumah yang akan dibelinya dengan pegawai bank.

119

Gambar 11. Adegan di atas merupakan kemunculan pegawai bank yang menawarkan rumah besar kepada Zainuddin Penggambaran adegan di atas merupakan transaksi jual-beli rumah yang dilakukan oleh pegawai bank dan Zainuddin. Zainuddin membeli rumah besar tersebut untuk tempat tinggalnya di Surabaya. Ia menulis karangan hikayat di rumah tersebut dan bangkit dari segala keterpurukan yang selama ini dialaminya. Penambahan tokoh selanjutnya terjadi pada kemunculan tokoh Rusli. Rusli adalah teman Muluk yang merantau ke kota. Ia dimunculkan dalam film untuk menyewakan sebuah kontrakan sementara kepada Zainuddin. Kemunculan Rusli sebagai pengantar kesuksesan Zainuddin, ia mengenalkan Zainuddin dengan tuan Iskandar pemilik penerbitan koran. Rusli adalah lelaki yang ramah, ia digambarkan sebagai pemuda yang kira-kira berusia 25 tahun dan memiliki wajah yang tampan. Ia juga merupakan lelaki yang suka memuji kehebatan orang lain termasuk Zainuddin. Rusli selalu tampil dengan pakaian yang rapi dan formal. Ia mengakui kehebatan Zainuddin dalam mengarang sebuah hikayat. Terlihat jelas pada adegan berikut ini.

120

Gambar 12. Adegan di atas merupakan kemunculan tokoh Rusli yang sedang memuji kehebatan Zainuddin. Berdasarkan adegan di atas, Rusli memberi selamat dan mengakui kehebatan Zainuddin dalam menulis karangan hikayat. Ia terlihat sangat ramah dan berwibawa. Rusli digambarkan sebagai sosok yang selalu tersenyum. Jika diidentifikasi, kemunculan tokoh Rusli membawa pengaruh besar bagi Zainuddin. Ia telah memuat karya tulis Zainuddin ke dalam koran dan ia mengenalkannya kepada ketua penerbit di tempat ia bekerja. Penambahan tokoh selanjutnya terjadi pada saat kemunculan tokoh tuan Iskandar. Tuan Iskandar dimunculkan dalam film sebagai gambaran kepada penonton bahwa hasil kerja keras Zainuddin ternyata sudah dilirik oleh orang ternama. Tuan Iskandar selalu berpenampilan rapi karena menyesuaikan dengan jabatannya sebagai pemilik penerbit koran. Ia merupakan sosok yang baik hati dan tidak membeda-bedakan orang lain. Ia digambarkan sebagai lelaki yang bijaksana dan menghargai karya orang lain. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan dialognya bersama Zainuddin sebagai berikut.

121

“Mutu sastranya cukup memadai, bisa saya muat sebagai kisah yang bersambung. Kalau butuh mesin tik nanti Rusli bisa urus dengan orang gudang ya.” Berdasarkan kutipan dialog di atas, tokoh tuan Iskandar sangat menghargai tulisan Zainuddin. Sikap kebaikan tuan Iskandar bisa dilihat pada adegan berikut ini.

Gambar 13. Adegan di atas merupakan kemunculan tokoh tuan Iskandar yang sedang berbincang-bincang Berdasarkan adegan di atas, tuan Iskandar digambarkan sebagai tokoh yang sportif. Ia melihat dari segala sisi, tidak hanya melihat dari satu sisi saja. Meskipun Zainuddin bukan keturunan yang berada, ia tidak mempermasalahkannya. Yang ia nilai ialah karangan yang menarik karya Zainuddin. Penambahan tokoh berikutnya terjadi pada kemunculan tokoh K.H. Muhammad Hasim. Tokoh ini dimunculkan sebagai laki-laki yang sudah paruh baya dan rambutnya sudah memutih. Haji kasim memiliki watak yang jujur dan adil. Ia menawarkan pekerjaan kepada Zainuddin dan ia memberi keuntungan yang sama kepada Zainuddin, yaitu 50 banding 50. Ia merupakan sosok yang baik hati. Meskipun ia beru kenal dengan Zainuddin, ia telah bisa menilai watak Zainuddin sebagai sosok pemuda yang giat bekerja dan akan menjadi orang yang sukses. Hal tersebut dapat dilihat pada adegan berikut.

122

Gambar 14. Adegan di atas merupakan kemunculan tokoh K.H. Muhammad Hasim yang sedang menawarkan pekerjaan kepada Zainuddin Berdasarkan adegan di atas K.H. Hasim sangat berbaik hati kepada Zainuddin, ia telah mempercayai Zainuddin untuk menjalankan bisnisnya yaang besar tersebut. Ia digambarkan sebagai sosok yang bijaksana. Zainuddin dengan senang hati menerima kesempatan emas tersebut. Selanjutnya, penambahan terjadi pada kemunculan tokoh pak Soesilo. Pak Soesilo dimunculkan sebagai orang kepercayaan K.H. Hasim di Surabaya. Pak Soesilo memiliki watak yang baik hati dan ia juga sebagai pekerja yang profesional. Sikapnya terbukti pada adegan berikut ini.

Gambar 15. Adegan di atas merupakan kemunculan tokoh pak Soesilo yang sedang mengajak Zainuddin berkeliling melihat tempat kerjanya Berdasarkan adegan di atas, terlihat jelas bahwa pak Soesilo merupakan orang yang baik. Ia pantas dijadikan sebagai orang

123

kepercayaan K.H. Hasim karena memiliki watak yang bijaksana dan profesional dalam bekerja. Terlihat bahwa ia sedang mengajak Zainuddin dan Muluk melihat-lihat tempat kerjanya. Penambahan tokoh selanjutnya ialah terjadi pada kemunculan tokoh para pegawai penerbit. Pegawai penerbit ini dimunculkan pada saat Zainuddin mulai bekerja di kantornya. Para pegawai penerbit sangat rajin mencetak buku-buku hikayat karya Zainuddin. Terlihat pada adegan berikut ini.

Gambar 16. Adegan di atas merupakan kemunculan pegawai penerbit yang bekerja dengan Zainuddin. Berdasarkan adegan di atas terlihat bahwa pegawai penerbit sedang berlalu-lalang membawa dan mencetak buku-buku hikayat karya Zainuddin. Para pegawai bekerja dengan giat di tempat penerbit tersebut. Pada saat Zainuddin mulai bekerja di kantornya ia merasa senang melihat pegawainya rajin bekerja. Selanjutnya, penambahan tokoh terjadi pada kemunculan tokoh tukang jahit. Saat Zainuddin tiba di kota Jakarta, ia dan Muluk melihat keramaian kota tersebut. Muluk meminta Zainuddin untuk membeli pakaian baru, karena pakaian yang dipakainya sudah sangat lusuh. Dapat dilihat pada adegan berikut ini.

124

Gambar 17. Adegan di atas merupakan kemunculan tukang jahit yang akan menjahit pakaian baru Zainuddin Berdasarkan adegan di atas tokoh tukang jahit dimunculkan untuk menjahit pakaian Zainuddin. Karir Zainuddin mulai melesat, Muluk meminta Zainuddin untuk menjahit pakaian barunya agar sesuai dengan jabatannya sekarang sebagai pengarang hikayat terkenal. Zainuddin pun menuruti permintaan Muluk dan pergi ke tukang jahit tersebut. Selanjutnya, penambahan tokoh terjadi pada kemunculan tokoh sekretaris Zainuddin. Ia digambarkan sebagai wanita cantik yang berusia kira-kira 20-25 tahun dengan bentuk tubuh yang kurus dan tinggi. Tokoh sekretaris dimunculkan untuk menjadi bawahan Zainuddin yang mengurus surat-surat kantor Zainuddin. Berikut adegan Zainuddin bersama sekretarisnya.

Gambar 18. Adegan di atas merupakan kemunculan tokoh sekretaris Zainuddin

125

Berdasarkan adegan di atas, kemunculan tokoh sekretaris Zainuddin yang sedang memberi berkas-berkas kepada Zainuddin. Ia merupakan sekretaris yang baik hati, rajin, dan profesional. Ia sedang meminta Zainuddin untuk menandatangani berkas yang sudah dibuat olehnya. Selanjutnya, penambahan tokoh terjadi pada kemunculan tokoh Frieda sebagai selingkuhan Aziz ketika ia sudah menikah dengan Hayati. Ia digambarkan sebagai wanita yang berusia kira-kira 25 tahun dengan tubuh yang semampai dan cantik. Terlihat pada adegan berikut ini.

Gambar 19. Adegan di atas merupakan kemunculan tokoh Frieda sebagai selingkuhan Aziz Berdasarkan adegan di atas, Frieda muncul ketika Aziz sudah menikah dengan Hayati. Kemunculan tokoh Frieda yakni menggambarkan sosok Aziz yang selalu mengkhianati kekasihnya. Aziz selalu tertarik dengan wanita lain meski ia sudah memiliki istri. Frieda merupakan wanita penggoda ketika Aziz berada di luar rumah. Selanjutnya, penambahan tokoh terjadi pada tokoh Ruslan dan Syawal. Mereka dimunculkan sebagai anggota dari klab Sumatra milik Zainuddin. Ruslan digambarkan sebagai laki-laki yang kira-kira berusia 50-60 tahun, sedangkan Syawal digambarkan sebagai laki-laki yang berusia masih muda kira-kira 25 tahun. Berikut kemunculan tokoh terdapat pada adegan di bawah ini.

126

Gambar 20. Adegan di atas merupakan kemunculan tokoh Ruslan dan Syawal Berdasarkan adegan di atas, Ruslan dan Syawal digambarkan sedang memberi surat yang telah dicetaknya kepada Zainuddin. Kemudian Zainuddin menyuruh mereka untuk menyebarkan surat tersebut kepada anak Sumatra yang berada di Surabaya untuk menghadiri sebuah pertunjukkan karya Zainuddin. Ruslan dan Syawal merupakan kerabatnya yang baik hati. Mereka sangat bersemangat menyebarkan surat untuk anak Sumatra. Selanjutnya, penambahan tokoh terjadi pada kemunculan Jamal dan Salima sebagai pemeran hikayat yang terdapat dalam pertunjukkan Zainuddin. Mereka diibaratkan sebagai Hayati dan Zainuddin. Jamal dan Salima merupakan anggota dari klab Sumatra. Peran mereka terdapat pada adegan berikut ini.

Gambar 21. Adegan di atas merupakan kemunculan Jamal dan Salima pada saat memerankan tokoh Hayati dan Zainuddin dalam pertunjukkan

127

Berdasarkan adegan di atas, terlihat bahwa Jamal dan Salima sedang memerankan tokoh Hayati dan Zainuddin di dalam pertunjukkan. Mereka membantu Zainuddin untuk memeriahkan pertunjukkannya. Selama pertunjukkan berlangsung, Hayati menangis ketika ia melihat adegan demi adegan tersebut. Hal tersebut mengingatkan ia kepada Zainuddin. Penambahan tokoh selanjutnya ialah terjadi pada kemunculan tokoh Ida sebagai kekasih Muluk. Munculnya tokoh Ida di dalam film hanya sedikit saja dan tidak berbicara apa pun, melainkan hanya memperagakan bagaimana ia layaknya menjadi seorang kekasih Muluk. Berikut adegan Ida yang terdapat dalam film.

Gambar 22. Adegan di atas merupakan kemunculan tokoh Ida kekasih Muluk Berdasarkan adegan di atas, terlihat bahwa Ida digambarkan sebagai seorang perempuan muda yang memiliki rambut ikal dan kulitnya putih. Kemunculannya sebagai sosok kekasih Muluk dapat dikatakan kekasih yang baik hati dan penyayang. Ia menyayangi Muluk dengan tulus hati. Meski pun ia tak berbicara apa-apa di dalam film, kebaikannya terlihat dari adegan-adegan yang ia mainkan. Selanjutnya, penambahan tokoh terjadi pada kemunculan pembantu Zainuddin. Pada novel tak diceritakan bahwa Zainuddin memiliki pembantu. Kemunculan pembantu Zainuddin yakni untuk menyesuaikan keadaan rumah yang besar yang dimiliki oleh Zainuddin. Pada rumah sebesar itu tak mungkin Zainuddin mengurusnya sendiri. Ia

128

memiliki beberapa pembantu untuk mengurus rumahnnya. Terdapat pada adegan berikut ini.

Gambar 23. Adegan di atas merupakan kemunculan tokoh pembantu Zainuddin yang mengurus rumah besar miliknya Berdasarkan adegan di atas, terlihat salah satu pembantu Zainuddin yang sedang memberitahukan informasi mengenai Hayati kepada Zainuddin. Pembantu Zainuddin dimunculkan untuk mengurusi rumah yang besar tersebut. Tidak sedikit pembantu yang ada di dalam rumah itu. Selanjutnya, penambahan tokoh terjadi pada kemunculan tokoh pelayan hotel. Tokoh pelayan hotel tersebut digambarkan masih muda dan cantik. Pelayan hotel dimunculkan pada saat melihat Aziz yang sudah meninggal di dalam kamar hotel. Terdapat pada adegan berikut ini.

Gambar 24. Adegan di atas merupakan kemunculan tokoh pelayan hotel yang melihat kematian Aziz yang mengenaskan

129

Selanjutnya, penambahan tokoh yang terakhir terjadi pada kemunculan tokoh anak-anak yatim piatu. Kemunculan tokoh anak-anak yatim piatu ini setelah kematian Hayati. Zainuddin membuat rumah yatim piatu untuk mengenang Hayati. Mereka anak-anak yang sopan, ceria dan sayang kepada Zainuddin. Sikap mereka dapat dilihat pada adegan berikut ini.

Gambar 25. Adegan di atas merupakan kemunculan tokoh anak-anak yatim piatu yang sedang bermain di depan halaman rumah yatim piatu

Gambar 26. Adegan di atas merupakan kemunculan tokoh anak-anak yatim piatu yang sedang menghampiri Zainuddin Berdasarkan adegan di atas, pada adegan di gambar 25 terdapat anak-anak yatim piatu yang sedang bermain di halaman rumah yatim piatu. Terlihat mereka sedang bercanda dan tertawa bersama. Kemudian pada adegan di gambar 26 terlihat kemunculan tokoh anak-anak yatim

130

piatu yang sedang berlarian menghampiri Zainuddin. Mereka berebut untuk mencium tangan Zainuddin yang akan pergi ke kantor. Mereka adalah anak-anak yang sopan dan penyayang. Berdasarkan kutipan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tokoh- tokoh mengalami penambahan dikarenakan adanya penafsiran dan proses kreatif dari sutradara yang ikut dimasukkan selama pembuatan film. Melalui penambahan tokoh tersebut, alur pada novel yang sebelumnya digambarkan secara mendetail melalui media kata-kata, di dalam film dapat diperjelas dengan adanya adegan yang dimainkan oleh tokoh tambahan. c. Perubahan Bervariasi Terdapat enam tokoh yang mengalami perubahan bervariasi. Keenam tokoh yang mengalami perubahan bervariasi di antaranya Zainuddin, ibu Muluk, anak muda, dokter, loper, dan penagih hutang. Berikut paparan mengenai masing-masing tokoh yang mengalami perubahan bervariasi. Perubahan bervariasi dimulai pada tokoh Zainuddin. Hal tersebut mengalami perubahan bervariasi pada keberadaan tokoh di akhir cerita. Di dalam novel diceritakan bahwa Zainuddin meninggal dan dimakamkan bersebelahan dengan makam Hayati, namun di dalam film Zainuddin tetap hidup dan melanjutkan karirnya dengan Muluk. Berikut kutipan di dalam novel yang menyatakan bahwa Zainuddin telah wafat. “ZAINUDDIN PENGARANG YANG TERKENAL WAFAT” “Pengarang muda yang terkenal itu, yang setelah sekian lama tidak kita baca lagi karangan-karangannya yang sangat halus dan meresap, kemarin malam telah meninggal dunia di rumahnya di Kaliasin. Dia telah dikuburkan di dekat seorang familinya perempuan yang meninggal karena kecelakaan Kapal Van Der Wijck tempo hari.”153 Berdasarkan kutipan di atas terlihat bahwa di dalam novel diceritakan Zainuddin meninggal dunia dan dikubur bersebelahan dengan

153 Ibid, hlm.260

131

makam Hayati. Di dalam film Zainuddi tetap hidup dan melanjutkan karirnya bersama muluk. Terdapat pada gambar berikut ini.

Perubahan bervariasi selanjutnya pada tokoh ibu Muluk. Hal tersebut mengalami perubahan bervariasi pada nama tokoh. Di dalam novel ibu Muluk tidak memiliki nama panggilan. Namun di dalam film ibu Muluk diberi nama mande Ana. Terbukti pada saat engku Labai yang memanggil namanya pada dialog berikut ini. “Kemana anakmu itu Ana?” “Ya ke pasar, pergi kemana lagi?” Berdasarkan dialog di atas, Engku Labai memanggil namanya dengan sebutan Ana sebagai namanya. Ia menanyakan Muluk kepada mande Ana. Kemudian, di dalam novel mande Ana digambarkan sebagai perempuan yang sudah tua. Namun di dalam film mande Ana terlihat masih muda kira-kira berusia 30-35 tahun. Berikut kutipan cerita di dalam novel yang menggambarkan sosok mande Ana. “Lantaran sudah lebih dari satu jam dia tidak keluar dari kamarnya, maka perempuan itu pun agak cemas, takut dia kalau-kalau anak dagang jauh itu kurang sehat bandannya kembali dari perjalanan. Lalu diketoknya pintu.154

Berdasarkan kutipan di atas, digambarkan bahwa sosok mande Ana merupakan perempuan yang sudah tua. Namun di dalam film mande Ana

154 Ibid, hlm.140

132

terlihat masih muda, kira-kira berusia 30-35 tahun. Ia masih tampak gagah sekali. Terlihat pada adegan berikut ini.

Gambar 27. Adegan di atas merupakan tokoh mande Ana yang mengalami perubahan bervariasi Berdasarkan gambar di atas, tokoh mande Ana mengalami perubahan bervariasi pada kondisi fisiknya. Di dalam novel tokoh mande Ana digambarkan sebagai perempuan yang sudah tua, namun setelah difilmkan tokoh mande Ana masih terlihat muda dan gagah. Selanjutnya, tokoh yang mengalami perubahan bervariasi ialah pada tokoh anak muda sebagai kerabat Aziz. Perubahan bervariasi ini pada penggantian nama tokoh anak muda tersebut. Di dalam novel anak muda tersebut digambarkan sebagai kumpulan anak muda yang banyak sekali jumlahnya. Namun di dalam film anak muda tersebut berubah menjadi dua orang saja dan memiliki nama panggilan, yaitu Maria dan Hendrik. Dalam novel dapat dilihat melalui kutipan berikut ini. “...... Jelas terdengar dan nampak nyata olehnya anak-anak muda itu setelah jauh dari dia, dan tertawa terbahak-bahak, hanya Hayati seorang yang berjalan menekurkan muka sehingga lantaran kebingungan hampir terlepas tas yang dipegangnya di tangan.”155

Berdasarkan kutipan di atas, terlihat jelas bagaimana gambaran anak muda yang sedang tertawa terbahak-bahak tersebut. Mereka menertawakan Zainuddin yang memakai pakaian kuno. Kemudian, perubahan bervariasi pada film dapat dilihat dari adegan berikut ini.

155 Ibid, hlm.92

133

Gambar 29. Adegan di atas merupakan tokoh yang mengalami perubahan bervariasi Berdasarkan adegan di atas, terlihat bahwa tokoh anak muda dalam novel mengalami perubahan bervariasi pada nama tokoh. Dalam novel digambarkan sebagai sekumpulan anak muda, kemudian di dalam film digambarkan menjadi tokoh Hendrick dan Maria. Tokoh Hendrick merupakan atasan Aziz di tempatnya bekerja dan tokoh Maria merupakan istri dari Hendrick. Selanjutnya, perubahan bervariasi terjadi pada tokoh dokter 1. Di dalam novel tokoh dokter tidak memiliki nama panggilan. Namun di dalam film dokter tersebut memiliki nama panggilan yaitu dokter Basri. Hal tersebut mengalami perubahan bervariasi pada nama tokoh. Berikut adegan dokter Basri yang terdapat dalam film.

134

Gambar 30. Adegan di atas merupakan penggambaran dokter Basri yang sedang mengobati Zainuddin Berdasarkan gambar di atas, dokter Basri mengalami perubahan bervariasi pada nama tokoh. Ia digambarkan sebagai sosok dokter yang usianya kira-kira 40-45 tahun. Ia selalu menggunakan peci di kepalanya dan memakai pakaian layaknya seorang dokter. Selanjutnya, tokoh yang mengalami perubahan bervariasi yaitu tokoh loper yang berubah profesi menjadi tukang pos. Di dalam novel terdapat tokoh loper yang bertugas untuk mengirimkan surat Zainuddin, namun di dalam film tokoh loper tersebut berganti menjadi tukang pos. Tugas mereka sama-sama untuk mengirimkan surat-surat Zainuddin. Terlihat pada adegan berikut ini.

Gambar 31. Adegan di atas merupakan tokoh yang mengalami perubahan bervariasi

135

Berdasarkan adegan di atas, tokoh yang mengalami perubahan bervariasi dengan berubahnya profesi. Di dalam novel digambarkan seorang loper yang selalu mengantar surat-surat Zainuddin, kemudian di dalam film digambarkan seorang tukang pos yang selalu mengantar surat- surat Zainuddin. Tokoh terakhir yang mengalami perubahan bervariasi yaitu tokoh penagih hutang. Ia mengalami perubahan bervariasi pada nama tokoh. Di dalam novel tokoh tersebut hanya digambarkan sebagai penagih hutang yang tidak disebutkan namanya. Berbeda dengan tokoh yang ada di dalam film, ia diberi nama Cak Narto. Cak Narto ini digambarkan sebagai orang yang berasal dari Jawa. Ia menggunakan bahasa Jawa ketika berbicara dengan Aziz. Terdapat pada dialog di dalam film berikut ini. “Wong wedok meneng yo! Ojo mbelani bojomu yo! Kabeh barang perhiasanmu ki wes entek kabeh. Koen saiki kere.Koen ki korban teko nafsu setan bojomu iki. Bayar! nek gak mau bayar barang- barang tak beslag kabeh.”

Berdasarkan dialog di atas, mengalami perubahan bervariasi pada penggunaan bahasa. Di dalam novel, ia menggunakan bahasa Melayu. Namun di dalam film ia menggunakan bahasa Jawa sesuai dengan namanya, yaitu cak Narto. Perubahan bahasa yang dilakukan tersebut juga untuk membuat film tersebut menjadi lebih hidup dengan menggunakan bahasa jawa seperti yang digunakan oleh tokoh. Berikut penggambaran tokoh cak Narto yang terdapat dalam film.

Gambar 32. Adegan di atas merupakan penggambaran tokoh cak Narto di dalam film

136

Berdasarkan adegan di atas, penokohan cak Narto pada film digambarkan sebagai seorang lelaki yang berusia kira-kira 40-50 tahun. Ia selalu memakai topi, berambut ikal, dan berkulit hitam. Dapat disimpulkan bahwa perubahan bervariasi terjadi karena terdapat perubahan nama tokoh dari novel ke film, kemudian perubahan bervariasi juga terjadi pada perubahan fisik tokoh dari novel ke film dan pada akhir cerita yang berbeda antara novel dan film.

C. Implikasi terhadap pembelajaran Bahasa dan sastra di SMA Analisis perubahan tokoh pada sebuah karya sastra ini, dapat diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Menengah, seperti yang telah terlampir pada RPP. Kompetensi dasar yaitu Mengidentifikasi karakteristik, struktur unsur intrinsik, dan nilai-nilai pada novel. Dalam pembelajaran bahasa dan sastra pada khususnya, siswa bukan hanya dituntut memahami teori-teori sastra tetapi siswa lebih dituntut untuk memiliki kemampuan dalam mengapresiasi karya sastra. Untuk mewujudkan tujuan pembelajaran apresiasi sastra ini, kehadiran buku-buku sastra mutlak harus dipenuhi, agar siswa memiliki kesempatan untuk berakrab dengan karya sastra. Peserta didik dapat menganalisis unsur penokohan pada dua media yang berbeda, media buku dan juga film. Hal ini dapat mengasah kekuatan analisis siswa, selain itu siswa dapat lebih paham dalam menganalisis penokohan jika melalui media audiovisual. Siswa dapat memahami lebih dalam mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penokohan, tidak hanya sebatas definisi yang mereka ketahui. Hasil yang didapat nantinya pun akan berdampak jangka panjang bagi siswa.

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan 1. Analisis Perubahan Tokoh pada Novel dan Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa, pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck mengalami perubahan penciutan, penambahan serta perubahan bervariasi pada masing- masing tokoh. Pada aspek penciutan terdapat tujuh tokoh yang dihilangkan dan tidak dimunculkan dalam film. Penciutan ke tujuh tokoh tersebut di antaranya ialah Kakek Zainuddin, Kakek Hayati, Sersan Pensiun, Daeng Masiga, Direktur, Sep kantor, tukang tagih sewa rumah. Penambahan terjadi pada 28 tokoh. 28 tokoh yang mengalami perubahan tersebut di antaranya tokoh Mak Ipih, Upik Banun, sekumpulan pemuda, Engku Labai, Pak Kusir, Sofyan, Bundo Khadijah, Datuk Penghulu Adat, Sutan Makmur, Datuk Sampuno Kayo, Pegawai Bank, Rusli, Tuan Iskandar, Haji Muhammad Kasim, Soesilo, pegawai penerbit, tukang jahit, sekretaris Zainuddin, Frieda, Laras, Ruslan, Jamal, Salima, Syawal, Ida, Pembantu Zainuddin, pelayan hotel, dan Anak-anak yatim piatu. Perubahan bervariasi terjadi pada enam tokoh. Keenam tokoh yang mengalami perubahan di antaranya Zainuddin, ibu Muluk, anak muda, dokter, loper, dan penagih hutang. Jenis perubahan paling dominan yang terjadi pada tokoh dan penokohan adalah penambahan, yakni sebanyak dua puluh delapan penambahan tokoh. Aspek penambahan terjadi dikarenakan adanya penafsiran dan proses kreatif dari sutradara yang ikut dimasukkan selama pembuatan film. Melalui penambahan tokoh tersebut, alur pada novel yang sebelumnya digambarkan secara mendetail melalui media

137

138

kata-kata, di dalam film dapat diperjelas dengan adanya adegan yang dimainkan oleh tokoh tambahan.

2. Implikasi terhadap pembelajaran Bahasa dan sastra di SMA Analisis perubahan tokoh pada sebuah karya sastra ini, dapat diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Menengah, seperti yang telah terlampir pada RPP. Kompetensi dasar yaitu mengidentifikasi karakteristik, struktur unsur intrinsik, dan nilai-nilai pada novel. Memfokuskan pada peserta didik untuk dapat menganalisis unsur penokohan pada dua media yang berbeda, media buku dan juga film. Hal ini dapat mengasah kekuatan analisis siswa, selain itu siswa dapat lebih paham dalam menganalisis penokohan jika melalui media audiovisual. Siswa dapat memahami lebih dalam mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penokohan, tidak hanya sebatas definisi yang mereka ketahui. Hasil yang didapat nantinya pun akan berdampak jangka panjang bagi siswa.

B. Saran 1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk penelitian selanjutnya terhadap karya sastra dengan jenis yang berbeda. Penelitian karya sastra lain di samping analisis perubahan tokoh pada novel dan film akan memberikan suatu pengetahuan baru dan cara pemahaman baru terhadap karya sastra secara objektif. 2. Melalui pembelajaran sastra, siswa dapat menanamkan sikap positif terhadap karya sastra sehingga dapat mengembangkan kemampuan berpikir, sikap, dan keterampilan siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro, Lukiati Komala, dan Siti Karlinah. Komunikasi Massa. Bandung : Simbiosa Rekatama Media. 2014.

Arifin, Anwar. Strategi komunikasi. Bandung : Armico. 1984.

Ariyani, Isma. Skripsi “Representasi Nilai Siri’ pada Sosok Zainudin dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Analisis Framing Novel)” Universitas Hasanudin , Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 2014.

Atmazaki. Ilmu Sastra Teori dan Terapan. Angkasa Raya : Padang. 1990.

Djoko, Sapardi Damono. Sastra Bandingan. Cirendeu:Editum. 2009.

Efendi, Anwar. Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2008.

Emhaf. Hamka Retorika Sang Buya. Yogyakarta: Sociality,2017.

Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Bukupop. 2011.

Eneste , Pamusuk. Novel dan Film. Flores: Nusa Indah. 1991.

Erawati, Rosida dan Ahmad Bahtiar. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta : Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011.

Esten, Mursal. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: CV Angkasa. 2013.

Hamka. Di Bawah Lindungan Ka’bah. Jakarta: Balai Pustaka. 2011.

Hamka. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Jakarta : Balai Pustaka. 2013.

Hamka, Irfan. Ayah. Jakarta : Republika. 2013

139

140

Hamzah, Muhammad. Tesis ” Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Studi Analisis Naratif Adaptasi Novel ke Dalam Film)” Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas, 2015

Handayani, Sri. Skripsi “Perbedaan Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka dan Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Sutradara Sunil Soraya”, mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta. 2016.

Ismail, Usmar. Mengupas Film. Jakarta: Sinar Harapan. 1983.

Ismawati, Esti. Pengajaran Sastra. Yogyakarta : Ombak. 2013.

Isnaniah, Siti. Ketika Cinta Bertasbih Transformasi Novel ke Film. Jurnal Kawistara. 5, 2015.

Kholifatun. Skripsi “Kritik Buya Hamka Terhadap Adat Minangkabau dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Humanisme Islam sebagai Analisis Wacana Kritis)” Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Jurusan Filsafat Agama. 2016.

KS,Yudiono. Telaah Kritik Sastra. Bandung : Angkasa. 1986.

Margono. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : PT. Rineka Cipta. 2010.

Mestika Zed. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 2004.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja rosdakarya. 2014.

Musyafa, Haidar. Hamka Sebuah Novel Biografi. Tangerang Selatan: Imania, 2017.

Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi. Metodologi Penelitian. Jakarta : Sinar Grafika Offset. 1997.

Natawidjaja, P.Suparman. Apresiasi Sastra Budaya. Jakarta:PT Intermasa. 1982.

141

Nur, Erlis Mujiningsih. Analisis Struktur Novel Indonesia Modern 1980-1990. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1996.

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 2012.

Nyoman , Ni Karmini. Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama. Bali : Pustaka Larasan. 2011.

Octavia, Indriyana. Skripsi “Peristiwa Tutur Sastra Lisan : Pantun dan Peribahasa dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka kajian Sosiolinguistik” Universitas Sumatera Utara, Jurusan Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, 2015. Prasetya, Johan. Ajaran-ajaran Para Founding Father dan Orang-orang di Sekitarnya. Jogjakarta: Palapa, 2014.

Purba, Antilan. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta : Graha Ilmu. 2012.

Ramadyla, Intan Eka Putri. Skripsi “Tradisi Merantau di Minangkabau pada Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Hamka dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2017.

Sani, Asrul. Surat-surat Kepercayaan. Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya. 1997.

Sudjiman, Panuti. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta Pusat: PT Dunia Pustaka Jaya. 1988.

Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta. 2014.

Sumarno, Marselli. Dasar-dasar Apresiasi Film. Jakarta: PT Gramedia. 1996.

Tuloli, Nani. Teori Fiksi. Gorontalo: Nurul Jannah. 2000.

Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1989.

142

Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Upi Press. 2006.

Scanned by CamScanner Scanned by CamScanner Scanned by CamScanner Scanned by CamScanner Scanned by CamScanner Scanned by CamScanner Tabel Perubahan Tokoh dari Novel ke Bentuk Film

No Tokoh Tokoh Penambah- Penciut- Perubahan Keterangan pada Novel pada Film an an Bervariasi

1. Zainuddin Zainuddin - - √ Perubahan bervariasi yang Terjadi sebatas pada perubahaan Keberadaan tokoh di akhir cerita 2. Hayati Hayati - - - Tokoh yang dimunculkan antara novel dan film tidak mengalami perubahan 3. Mak Base Mak Base - - - Tokoh yang dimunculkan antara novel dan film tidak mengalami perubahan 4. Khadijah Khadijah - - - Tokoh yang dimunculkan antara novel dan film tidak mengalami perubahan 5. Aziz Aziz - - - Tokoh yang dimunculkan antara novel dan film tidak mengalami perubahan 6. Muluk Muluk - - - Tokoh yang dimunculkan antara novel dan film tidak mengalami perubahan 7. Kakek - - √ - Penciutan yang Zainuddin terjadi ialah pada film tidak digambarkan tokoh Kakek Zainuddin 8. Ahmad Ahmad - - - Tokoh yang dimunculkan antara novel dan film tidak mengalami perubahan 9. Pemilik Pemilik - - - Tokoh yang dimunculkan Lepau Lepau antara novel dan film tidak mengalami perubahan 10. Kakek - - √ - Penciutan yang terjadi Hayati ialah pada film tidak digambarkan tokoh Kakek Hayati 11. Datuk Datuk - - - Tokoh yang dimunculkan Garang Garang antara novel dan film tidak mengalami perubahan 12. Mande Mande - - - Tokoh yang dimunculkan Jamilah Jamilah antara novel dan film tidak mengalami perubahan 13. Sersan - - √ - Penciutan yang terjadi Pensiun ialah pada film tidak digambarkan tokoh Sersan Pensiun 14. Mak Mak - - - Tokoh yang dimunculkan Tangah Tangah antara novel Limah Limah dan film tidak mengalami perubahan 15. Sutan Mudo Sutan - - - Tokoh yang dimunculkan Mudo antara novel dan film tidak mengalami perubahan 16. Ibu Muluk Mande - - √ Perubahan bervariasi yang Ana Terjadi sebatas pada perubahaan penggunaan nama tokoh yaitu Mande Ana 17. Daeng - - √ - Penciutan yang terjadi Masiga ialah pada film tidak digambarkan tokoh Daeng Masiga 18. Anak Muda Hendrick, - - √ Perubahan bervariasi yang (Kerabat Maria Terjadi sebatas Aziz) pada perubahaan penggunaan nama tokoh yaitu Hendrick dan Maria. 19. Dokter 1 Dokter - - √ Perubahan bervariasi yang Basri Terjadi sebatas pada perubahaan penggunaan nama tokoh yaitu Dokter Basri. 20. Dukun Dukun - - - Tokoh yang dimunculkan antara novel dan film tidak mengalami perubahan 21. Direktur - - √ - Penciutan yang terjadi ialah pada film tidak digambarkan tokoh direktur. 22. Loper Tukang - - √ Perubahan bervariasi yang Pos Terjadi sebatas pada perubahaan penggunaan nama tokoh yaitu tukang pos 23. Penagih Cak Narto - - √ Perubahan bervariasi yang Hutang Terjadi sebatas pada perubahaan penggunaan nama tokoh yaitu Cak Narto 24. Sep Kantor - - √ - Penciutan yang terjadi ialah pada film tidak digambarkan tokoh Sep Kantor 25. Tukang - - √ - Penciutan yang terjadi Tagih Sewa ialah pada film Rumah tidak digambarkan tokoh Tukang tagih sewa rumah 26. Juru Rawat Juru - - - Tokoh yang dimunculkan Rawat antara novel dan film tidak mengalami perubahan 27. - Datuk √ - - Penambahan terjadi pada Penghulu kemunculan Adat tokoh Datuk Penghulu Adat 28. - Upik √ - - Penambahan Banun terjadi pada kemunculan tokoh sahabat Hayati yaitu Upik Banun 29. - Bundo √ - - Penambahan Khadijah terjadi pada kemunculan tokoh Bundo Khadijah 30 - Mak Ipih √ - - Penambahan terjadi pada kemunculan tokoh Mak Ipih sebagai suami Mande Jamilah 31. - Engku √ - - Penambahan Labai terjadi pada kemunculan tokoh Engku Labai 32. - Sutan √ - - Penambahan Makmur terjadi pada kemunculan tokoh Sutan Makmur 33. - Pak Kusir √ - - Penambahan terjadi pada penggambaran tokoh pak Kusir 34. - Laras √ - - Penambahan terjadi pada kemunculan tokoh Laras 35. - Sofyan √ - - Penambahan terjadi pada kemunculan tokoh Sofyan, tunangan Khadijah. 36. - Datuk √ - - Penambahan Sampuno terjadi pada Kayo kemunculan tokoh Datuk Sampuno Kayo 37. - Rusli √ - - Penambahan terjadi pada kemunculan tokoh Rusli 38. - Tuan √ - - Penambahan Iskandar terjadi pada kemunculan tokoh Tuan Iskandar 39. - H.M. √ - - Penambahan Kasim terjadi pada kemunculan tokoh Haji Muhammad Kasim 40. - Pak √ - - Penambahan Soesilo terjadi pada kemunculan tokoh Pak Soesilo 41. - Frieda √ - - Penambahan terjadi pada kemunculan tokoh Frieda, kekasih gelap Aziz. 42. - Ruslan √ - - Penambahan terjadi pada kemunculan tokoh Ruslan 43. - Jamal √ - - Penambahan terjadi pada kemunculan tokoh Jamal 44. - Salima √ - - Penambahan terjadi pada kemunculan tokoh Salima 45. - Syawal √ - - Penambahan terjadi pada kemunculan tokoh Syawal 46. - Ida √ - - Penambahan terjadi pada kemunculan tokoh Ida, sebagai kekasih Muluk. 47. - Pembantu √ - - Penambahan Zainuddin terjadi pada kemunculan tokoh Pembantu Zainuddin 48. - Pegawai √ - - Penambahan Bank terjadi pada kemunculan tokoh pegawai Bank 49. - Pelayan √ - - Penambahan Hotel terjadi pada kemunculan tokoh pelayan hotel 50. - Sekumpul √ - - Penambahan an Pemuda terjadi pada penggambaran tokoh sekumpulan pemuda 51. - Pegawai √ - - Penambahan Penerbit terjadi pada penggambaran tokoh pegawai penerbit 52. - Tukang √ - - Penambahan Jahit terjadi pada penggambaran tokoh tukang jahit 53. - Sekretaris √ - - Penambahan Zainuddin terjadi pada penggambaran tokoh sekretaris Zainuddin 54. - Anak-anak √ - - Penambahan Yatim terjadi pada Piatu penggambaran tokoh anak- anak yatim piatu Tabel 1 A. Sinopsis Zainudin ialah seorang laki-laki yang berasal dari negeri Batipuh, kota Padang Panjang. Dari kecil hingga besar selalu dirundungi kemalangan. Dia anak dari Pandekar Sutan dan Daeng Habibah. Ibunya meninggal dunia ketika dia baru berumur 9 bulan. Ayahnya adalah anak buangan. Dia dibuang dari negerinya yang bersuku, berlembaga serta berninik mamak. Negerinya itu berkaum kepada kaum perempuan. Malang nasib seorang anak laki-laki jika tidak mempunyai saudara perempuan. Inilah nasib Pandekar Sutan. Ketika Ibunya meninggal hartanya menjadi milik mamaknya. Hidupnya jadi terlantar karena mamaknya Datuk Mantari Labih adalah seorang yang serakah dan tidak adil.

Malang nasib Zainudin karena dalam negeri ibunya dia dianggap sebagai orang asing dan di dalam negeri ayahnya dia juga dianggap orang asing pula. Zainudin penasaran dengan keindahan negeri ayahnya. Ia pun memutuskan untuk pergi merantau ke negeri ayahnya. Dengan berat hati Mak Base melepaskannya. Di sana ia bertemu dengan seorang wanita bernama Hayati. Mereka saling mencintai dan sering berkirim-kiriman surat. Namun sayangnya di sana orang-orang belum mengenal dengan percintaan suci. Mereka memandang perbuatan Zainudin dan Hayati adalah suatu perbuatan yang menyalahi adat. Para kaum hawa yang belum kawin sangat marah dengan Hayati karena mereka merasa dipermalukan dan direndahkan derajatnya seakan-akan kampung tak berpenjaga. Terlebih-lebih persukuan Hayati yang merasa dihinakan. Mamak Hayati Dt.. sangat marah. Dengan cara halus Zainudin diusir dari Batipuh. Dia pergi ke Padang Panjang. Di sana ia tinggal di rumah seorang janda tua ber-anakkan satu. Tak berapa lama dia tinggal di Padang Panjang dia mendapatkan surat dari Mengkasar yang isinya memberitahukan bahwa Mak Basenya telah meninggal dunia dan dalam surat itu terdapat uang sebanyak Rp.3000,- yaitu uang ayahnya untuknya yang disimpankan oleh Mak Basenya. Dia tidak terlalu lama terlarut dalam kesedihan. Dengan uang Rp3000,- ia berani untuk meminang Hayati. Dia tuliskan surat untuk mamak Hayati Dt.. tetapi tidak diberitahukannya bahwa dia sudah ber-uang. Sayangnya niat baiknya ditolak oleh keluarga hayati. Namun dia masih tegar karena di benaknya Hayati masih mencintainya. Namun pikirannya itu hilang ketika teman Hayati Khadijah mengirimkan surat kepada Zainudin yang isinya memberitahukan bahwa Hayati telah bertunangan dengan kakaknya Azis. Hati Zainudin sangat terpukul mendengar hal itu. Zainudin terlihat sangat pucat, mamak pun menanyakan ada apa dengan Zainudin namun tak mau jujur. Mamak pun menyarankan agar Zainudin bertemu dengan Muluk anaknya, mungkin dapat menolong masalahnya. Zainudin pun setuju. Zainudin dan Muluk menjadi teman akrab sehidup semati. Muluk banyak memberikan informasi tentang calon suami Hayati yang ternyata berperangai kurang baik. Zainudin tidak rela jika Hayati disakiti oleh orang lain. Zainudin memberitahukan Hayati tentang hal ini namun Hayati tidak memperdulikannya. Ketika hari pernikahan Hayati dengan Azis tiba Zainudin sakit keras sehingga tak ada kemungkinan lagi untuknya hidup. Namun ternyata 2 bulan kemudian penyakitnya mulai sembuh. Ternyata Allah masih sayang kepadanya.

Semangat hidupnya mulai bangkit lagi. Dia menjalani hidupnya yang baru bersama Muluk. Dia merantau dengan Muluk ke tanah Jawa. Usut punya usut ternyata Hayati dan suaminya juga berpindah ke Jawa. Kehidupan rumah tangganya mulai kacau ketika sudah berpindah. Azis sering minta uang kepada Zainudin. Tak berapa lama kemudian Azis dan Hayati menjadi gelandangan. Mereka dibawa Zainudin tinggal di rumahnya. Beberapa saat kemudian Azis berpamitan untuk pergi jauh mencari pekerjaan dan menitipkan Hayati kepada Zainudin. Tak berapa lama kemudian terdengar kabar bahwa Azis tewas karena bunuh diri dan mengirimkan surat kepada Hayati dan Zainudin agar mereka menikah. Namun karena emosi dan sakit hati Zainudin menolaknya dan memilih memulangkan Hayati ke kampungnya. Hayati pulang menumpangi Kapal Van Der Wijck. Alangkah malangnya nasib Hayati ternyata kapal yang ditumpanginya tenggelam. Walaupun dia selamat namun tak bertahan berapa lama dia pun meninggal dunia. Zainudin sangat terpukul dan menyesal atas keputusannya tadi karena dia sebenarnya masih mencintai Hayati. Tak berapa lama setelah Hayati wafat Zainudin pun menyusul dan kuburannya berada disamping kuburan Hayati.

Scanned by CamScanner Scanned by CamScanner Scanned by CamScanner Scanned by CamScanner BIODATA PENULIS

Lisa Nur Afifah, lahir di Bogor pada 23 Agustus 1994. Anak pertama dari tiga bersaudara ini lahir dari pasangan Abdul Aziz dan Tien Rosliawati. Penulis mengawali pendidikan formal di SDN Waru 01 lulus tahun 2007, melanjutkan ke SMP Negeri 01 Ciseeng lulus tahun 2010, kemudian melanjutkan ke SMA Negeri 1 Parung lulus tahun 2013. Sejak kecil penulis sangat gemar membaca dan bernyanyi. Penulis memiliki cita-cita yang mulia, yakni menjadi seorang guru. Cita-cita yang diimpikannya telah membawanya masuk ke Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia melalui jalur Ujian Mandiri pada tahun 2013. Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Perubahan Tokoh dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka ke Bentuk Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Sutradara Sunil Soraya. Orang tua, sahabat, keluarga dan teman terdekatnya menjadi motivasinya untuk mewujudkan cita-cita menjadi seorang guru dan menjadi anak yang dapat dibanggakan oleh kedua orang tuanya.