PROCEEDING INTERNATIONAL SEMINAR OF MALAY ARTS FESTIVAL

Rediscovering the Treasures of Malay Culture

ISI Padangpanjang Press 2012

i PROSIDING SEMINAR INTERNASIONAL FESTIVAL SENI MELAYU ASIA TENGGARA

EditoR: Prof. Dr. H. Mahdi Bahar, S. Kar., M.Hum. Dr. Febri Yulika, M.Hum. Dr. Nursyirwan, S.Pd., M.Sn. Dr. Erlinda, M.Sn. Dr. Rosta Minawati, M.Si. Roza Muliati, M.Si.

Diterbitkan oleh:

ISI Padangpanjang Press bekerjasama dengan Gre Publishing Yogyakarta

Percetakan: Kanisius Yogyakarta

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Padangpanjang, ISI Padangpanjang Press, 2012 ISBN 978-602-17588-0-9

Copyright © 2012

CETAKAN PERTAMA, Desember 2012

Seluruh buku ini atau sebagiannya tidak boleh direproduksi dalam bentuk apapun, disimpan dalam suatu sistem, atau ditransmisikan dalam bentuk apapun dengan tujuan apapun – elektronik, mekanik, fotokopi, rekaman, atau yang lain – tanpa ijin tertulis dari penerbit atau pengarang.

ii KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala, zat yang Maha Terpuji, atas izin dan ridha-Nya kegiatan Seminar Internasional yang bertema “Rediscovering the Treasures of Malay Culture” telah terselenggara dengan baik dan lancar. Seminar Internasional ini merupakan bagian dari kegiatan Festival Seni Melayu Asia Tenggara yang diselenggarakan oleh Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Seni (BKS-PTSI) dan Institut Seni Indonesia Padangpanjang pada tanggal 25 -29 November 2012. Kegiatan seminar yang berlangsung selama dua hari (28-29 November 2012) tersebut, menghadirkan 10 orang narasumber, terutama para akademisi yang concern dalam pengkajian Melayu baik dari dalam maupun luar negeri, seperti Prof. Margaret Kartomi (Monash University), Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. (UIN Syarif Hidayatullah ), Henri Chambert-Loir (Peneliti Manuskrip Melayu dari Perancis), Prof. Datuk Wira Dr. Abdul Latiff bin Abu Bakar (University Pendidikan Sultan Idris ), Suryadi, M.A (Leiden University Institute for Area Studies), Prof. Dr. Abdul Hadi, WM (Universitas Paramadina Jakarta), Prof. Dr. Yusmar Yusuf (Universitas ) Prof. Dr. H. Mahdi Bahar, S.Kar., M.Hum (ISI Padangpanjang), Prof. Dr. Sri Hastanto, S.Kar (ISI Surakarta), dan Prof. Dr. I Wayan Rai S, M.A (ISI Denpasar). Selain narasumber tersebut, prosiding seminar ini juga memuat makalah-makalah partisipan (call pappers) yang berasal dari berbagai disiplin ilmu. Seminar yang dihadiri oleh 350 orang peserta ini, dimaksudkan sebagai upaya untuk menggali, memetakan dan mendefinisikan kembali Melayu dalam ruang lingkup yang sesungguhnya, yakni sebagai sebuah dunia Melayu dengan keberagaman etnis, budaya dan geografis, yang dirajut oleh latar belakang nilai-nilai humanistik yang sama. Wacana mengenai kemelayuan justru seringkali mengecilkan peran dan arti penting peradaban Melayu. Sejumlah pihak malah menyatakan klaim

iii sebagai pemilik sah kebudayaan Melayu, yang nyatanya menjadi milik komunal rumpun bangsa Melayu itu sendiri, yang tersebar di kawasan Asia Tenggara dan Nusantara khususnya sejak zaman Melayu Tua (proto Melayu) sampai Melayu Muda (deutro Melayu). Persepsi mengenai Melayu pun kemudian menjadi sangat lokal dan spesifik. Hal ini tentunya sangat merugikan dan memecah-belah masyarakat dan peradaban Melayu itu sendiri Prosiding Seminar Internasional ini disusun sebagai dokumentasi dari sebuah diskursus keilmuan, yang pada akhirnya dapat menjadi salah satu sumber pemikiran dan informasi mengenai dunia Melayu dalam perspektif seni dan budaya. Oleh karena itu, panitia memberikan apresiasi dan ucapan terima kasih kepada seluruh narasumber yang telah menyumbangkan ide, gagasan dan pemikirannya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh pihak yang telah berperan aktif dalam menyukseskan kegiatan seminar ini. Akhirnya, sebuah ungkapan pribahasa Melayu mengatakan “tiada gading yang tak retak”, maka Prosiding ini pun beserta ide besar di dalamnya tidak luput dari berbagai kelemahan dan kekurangan. Kritik dan saran dari segenap pembaca sangat diharapkan.

Padangpanjang, Desember 2012 Ketua Panitia,

dto.

Dr. Febri Yulika, M.Hum.

iv SCHEDULE OF INTERNATIONAL SEMINAR “REDISCOVERING THE TREASURES OF MALAY CULTURE”

Padangpanjang, November 28–29, 2012

Wednesday, November 28, 2012

TIME ACTIVITIES REMARKS 07.00-07.30 Leave to Padangpanjang The Hills Hotel, Jl. Laras Datuk Bandaro (0752) 35000 07.30-08.30 Registration Ruang Sidang DPRD Padangpanjang 08.30-09.00 Opening Ceremony Dr. Febri Yulika, Report by committe M.Hum Welcoming Speech Prof. Dr. H. Mahdi by Rector ISI Bahar, S.Kar.,M.Hum. Padangpanjang 09.00-12.00 Session 1 Malay Power as a Prof. Dr. Azyumardi Region of Political Azra, M.A. Power in the Past Prof. Margaret Kartomi Mapping of Malay Culture Henri Chambert-Loir Traces of Malay Culture in Manuscript Prof. Dr. Soeprapto Moderator Soejono 12.30-13.30 Lunch Break

v 13.30-16.30 Session 2 Prof. Dr. H. Mahdi Islam as an Ideal Bahar, S.Kar., M.Hum. Foundation of Malay Culture

Prof. Datuk Wira Dr. Politics of Malay Abdul Latiff bin Abu Identity Bakar The Role of Malay Suryadi, M.A Literature in Nation Character Building Dr. Nyak Ina Raseuki Moderator

Thursday, November 29, 2012

TIME ACTIVITIES REMARKS

07.00-08.30 Leave to Padangpanjang The Hills Hotel, Jl. Laras Datuk Bandaro Bukittinggi (0752) 35000 08.30-09.00 Registration Ruang Sidang DPRD Padangpanjang 09.00-12.00 Prof. Dr. Abdul Hadi, Malay Aesthetics WM Prof. Dr. Yusmar Yusuf Development of Popular Malay Culture Prof. Dr. I Wayan Rai S, Influence of Malay M.A. Culture on the Formation of Indonesian Local Arts and Culture

vi Prof. Dr. Sri Hastanto, Influence of Malay S.Kar. Culture on the Formation of Indonesian Local Arts and Culture Dr. Febri Yulika, Moderator M.Hum. 12.00-13.30 Lunch Break 13.30-16.30 Panel Call for Paper Dr. Karen S K Thomas The Pesona of Sakura Mask Theatre in West Lampung, Sumatera Nadia Widyawati The Influence of the Madzhi, M.A., (Ph.D Malay Culture on the Candidate) Melanau Musical Arts Tari Melayu Dr. Erlinda, M.Sn. , Antara Ada dan Tiada Sejarah Tamaddun Dr. Sudirman Shomary, Melayu dan Jawa: M.A Perbandingan Sastra Sejarah Traditional Malay Hanisa Hassan, M.A. Attire in Contemporary Malay Society.

vii viii DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ~ iii SCHEDULE OF INTERNATIONAL SEMINAR ~ v DAFTAR ISI ~ ix

TEMA PERTAMA PEMETAAN DAN DINAMIKA PERADABAN MELAYU ~ 1

Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. Dinamika Peradaban Melayu Nusantara: Kuasa Politik, Ekonomi dan Intelektual ~ 3 Prof. Margareth Kartomi Mapping the Music-Cultures of the Sumatra : Some Musico-Lingual and Historical Perspectives ~ 15 Prof. Dr. H. Mahdi Bahar, S.Kar., M.Hum. Islam Membentuk Seni Pertunjukan Budaya Melayu Nusantara ~ 33 Prof. Datuk Wira Dr. Abdul Latiff bin Abu Bakar Gagasan Melayu Serumpun Dalam Konteks “Geo-Budaya” ~ 69 Prof. Dr. Yusmar Yusuf Melayu dan Seni Kontemporer ~ 81

ix TEMA KEDUA BAHASA DAN SASTRA MELAYU ~ 93

Henri Chambert-Loir Jejak Budaya dalam Naskah ~ 95 Prof. Dr. Abdul Hadi WM Jagad Estetika Sastra Melayu ~ 101 Suryadi, M.A. Peran Sastra Melayu dalam Pembentukan Karakter Bangsa ~ 119 Dr. Sudirman Shomary, M.A. Sejarah Tamaddun Melayu dan Jawa: Perbandingan Sastra Sejarah ~ 159 Dr. Febri Yulika, M.Hum. Peranan Tulisan Jawi (Arab Melayu) dalam Budaya Melayu Minangkabau ~ 201 Sahrul N, S.S., M.Si. Memaknai Nilai Budaya Melayu Lewat Estetika Membumi ~ 221

TEMA TIGA KERAGAMAN SENI DAN BUDAYA MELAYU ~ 237

Prof. Dr. Sri Hastanto, S.Kar. Pengaruh Kebudayaan Melayu dalam Pembentukan Seni Budaya Lokal Nusantara ~ 239 Prof. Dr. I Wayan Rai S, M.A. The Influence of Malay Culture to Balinese ~ 251 Dr. Karen S.K Thomas Enchanting the Audience: The Pesona of Sakura Mask Theatre in West Lampung, Sumatera ~ 253 Hanisa Hassan, M.A. Traditional Malay Attire in Contemporary Malay Society ~ 259

x Nadia Widyawati Madzhi, M.A., (Ph.D Candidate) The Influence of the Malay Culture on the Melanau Musical Arts ~ 279 Dr. Erlinda, M.Sn. Tari Melayu Minangkabau: Antara Ada dan Tiada ~ 287 Dr. Nursyirwan, S.Pd., M.Sn. Histoire Totale: dan ~ 303 Ediwar, S.Sn., M.Hum., Ph.D. Islam Sebagai Dasar Pembentukan Musik Melayu dan Kebudayaan di Minangkabau ~ 323 Roza Muliati, S.S., M.Si. Menelusuri Silek Kurambik sebagai Permainan Anak di Talang Babungo, Sumatera Barat ~ 339 Rustim, S.Pd., M.A. Interaksi Seni Pertunjukan dalam Tradisi Bagurau Dendang di Minangkabau ~ 355 Drs. Hajizar, M.Sn. Dimensi Spiritual dalam Konser Nyanyian Religius Barzanji oleh Penganut Tarekat Syattariyah di Nagari Bunga Tanjung, Melayu Minangkabau ~ 373 Dr. Rosta Minawati, S.Sn., M.Si. Kebudayaan Karo Sumatera Utara: Cerminan Kekayaan Budaya Nusantara ~ 391 Alipuddin, S.Sn., M.Sn. Aksara Incung Ciri Khas Motif Batik Kerinci ~ 409

LAMPIRAN FOTO ~ 425 RANGKUMAN HASIL SEMINAR ~ 435 TENTANG PENULIS ~ 441

xi xii TEMA PERTAMA PEMETAAN DAN DINAMIKA PERADABAN MELAYU

1 2 Rediscovering the Treasures of Malay Culture DINAMIKA PERADABAN MELAYU NUSANTARA: Kuasa Politik, Ekonomi, dan Intelektual

Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Sebagian besar sarjana dan peneliti yang mengkaji Islam di Dunia Melayu, atau Nusantara sependapat, sejak era formatif pada masa awalnya, melewati masa penjajahan yang penuh kepedihan, dan masa kemerdekaan yang membukakan berbagai tantangan dan peluang sampai masa kini, Islam memainkan peran penting dalam perjalanan sejarah, sosial budaya, intelektual, politik, dan ekonomi Dunia Melayu, Nusantara atau Asia Tenggara umumnya. Sepanjang perjalanan sejarah itu, peradaban Melayu-Nusantara telah mengalami pasang naik, turun, dan naik kembali di masa pasca-kemerdekaan sekarang dan ke depan. Mengingat pentingnya posisi dan peran Islam itu, Judith Nagata, ahli Islam Asia Tenggara, khususnya Malaysia menyimpulkan: “It is almost impossible to think of Malay without reference to Islam” (1986). Begitu juga Ernest Gellner yang menyatakan Islam telah menjadi cara hidup dan merupakan ‘high culture’ oleh masyarakat Muslim pribumi, termasuk di Dunia Melayu-Nusantara ini (1983).

Rekonstruksi Sejarah Dunia Melayu-Nusantara Berbagai bukti dan temuan, termasuk hasil penelitian penulis sendiri, memberikan petunjuk sangat kuat, dalam berbagai level Islam menjadi faktor determinan dan kontributor yang sangat penting dalam membangun peradaban Islam Nusantara. Islam menjadi bagian sangat penting dalam berbagai bidang kehidupan, sejak dari politik, ekonomi, intelektual, pendidikan serta sosial budaya, kesenian, arsitektur, dan sebagainya sepanjang sejarah.

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 3 Kajian tentang sosio-intelektualisme dan peradaban Islam Dunia Melayu, khususnya pada masa-masa awal dan kolonial mestilah memerlukan berbagai sumber sejak dari sumber Eropa (Inggris, Portugis, Spanyol, Belanda), China, Arab dan Persia. Semua sumber asing ini memerlukan treatment khusus karena adanya berbagai masalah di dalamnya, sejak dari persepsi yang bias terhadap Islam Nusantara sampai kepada penyebutan nama yang sulit diidentifikasi. Karena itu, sumber-sumber asing harus tidak dipandang sebagai paling akurat; sebaliknya mesti ditangani secara kritis. Sumber-sumber lokal, dalam bentuk ‘traditional historical accounts’ seperti ‘sejarah’, hikayat, ‘babad’, tambo dan semacamnya pasti juga merupakan sumber penting dalam rekonstruksi sejarah dinamika sosio-intelektual Islam Melayu, yang kemudian memunculkan peradaban Islam yang khas vis-à-vis wilayah-wilayah peradaban Islam lainnya. Sama seperti sumber-sumber asing, sumber-sumber lokal juga memerlukan penanganan dan pendekatan khusus, karena ia juga mengandung problem tertentu semacam akurasi data, mitologisasi dan semacamnya yang mesti ditapis secara cermat. Yang tidak kurang pentingnya dalam pelacakan dan rekonstruksi sejarah sosial intelektual Islam Melayu adalah naskah-naskah—baik yang sudah diedit dan dicetak maupun belum tercetak. Reproduksi dan produksi naskah-naskah keislaman itu ternyata masih terus berlanjut sampai sekarang ini. Karena itu, Islam Melayu-Nusantara sangat kaya dengan naskah-naskah yang dalam banyak hal mengungkapkan berbagai aspek dan dinamika intelektualisme Islam Nusantara; naskah- naskah tersebut tersedia dalam berbagai aksara, dan bahasa lokal tertentu yang digunakan komunitas-komunitas Muslim tertentu di kawasan ini. Kebanyakan naskah ini belum disunting dan dikaji; dan karena itu memerlukan peningkatan minat, usaha, dan kesungguhan para peneliti untuk mengedit, mengkaji dan menerbitkannya, sehingga akhirnya kita dapat memiliki peta lebih lengkap dan akurat mengenai intelektualisme Islam Melayu. Orang sepatutnya tidak meremehkan naskah-naskah tersebut— apalagi dalam kaitannya dengan intelektualisme Islam Melayu. Dalam kajian saya—khususnya dengan mengunakan naskah-naskah lokal yang dikombinasikan dengan naskah-naskah Arab di Timur

4 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Tengah—intelektualisme Islam Melayu tidaklah inferior dibandingkan wilayah-wilayah Muslim lain. Para ulama dan intelektual ‘tradisional’ Muslim Melayu tidaklah sama sekali hanya menjadi ‘konsumen’ dari intelektualisme di tempat-tempat lain. Tetapi, sebaliknya mereka secara kreatif mengembangkan intelektualisme Islam sembari melakukan kontekstualisasi dengan realitas sosial, budaya dan keagamaan berbagai masyarakat Muslim Nusantara. Berkat kontekstualisasi itu Islam menjadi embedded, terintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Muslim Melayu- Nusantara. Dan proses inilah yang membuat Islam Dunia Melayu- Indonesia distingtif dibandingkan Islam di tempat-tempat lain.

Kuasa Politik dan Perdagangan Tidak berlebihan mengatakan, sejarah Islam awal di Dunia Melayu Nusantara menunjukkan adanya beberapa faktor utama dalam pembentukan masyarakat dan peradaban Islam di kawasan ini yaitu; yang terpenting adalah terbentuknya kuasa politik dalam bentuk negara kerajaan atau kesultanan. Kuasa politik ini memiliki peran sangat krusial dalam berkembangnya ekonomi perdagangan yang pada gilirannya mengakselerasi kesejahteraan warga, Islamisasi dan intelektualisasi. Jika diringkas faktor-faktor terpenting tersebut ialah Islam, politik dan ekonomi. Berbagai sumber sejarah mengungkapkan, pada periode awal berdirinya kerajaan Islam Melayu yaitu Samudra Pasai dan Melaka masing-masing pada abad ke 13 dan 14. Selanjutnya, berdiri pula sejumlah kerajaan Islam lainnya di Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam ini berfungsi strategis tidak hanya sebagai entitas politik, tetapi juga sebagai “social and political agents“ bagi proses Islamisasi secara lebih intensif dan menyeluruh di Dunia Melayu-Indonesia. Peran para penguasa kerajaan Islam Melayu-Nusantara juga sangat penting tidak saja dalam aktualisasi politik Islam, tetapi juga dalam akselerasi dan intensifikasi proses Islamisasi sehingga Islam benar-benar bisa diterima secara luas oleh masyarakat, dan mewarnai berbagai aspek kehidupan. Hal ini bisa terlihat antara lain dalam penuturan Hikayat Raja-raja Pasai yang antara lain menyebutkan,

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 5 misalnya, peran Malik al-Saleh dalam menggalakkan konversi ke dalam Islam (A.H.Hill, 1960). Hal serupa juga disebutkan dalam Sejarah Melayu, tentang proses konversi ke dalam Islam yang terjadi di kerajaan Melaka; periwayatan ini kemudian juga diperkuat misalnya oleh catatan perjalanan pengembara Portugis, Tome Pires, pada abad 16. Yang juga penting digarisbawahi ialah bahwa kerajaan-kerajaan Islam Melayu tersebut memainkan peran penting dalam perdagangan maritim; mereka terlibat dalam perdagangan bebas internasional (international free trade). Ekonomi perdagangan bebas berbasis maritim ini sangat penting dalam meningkatkan kemakmuran ekonomi masyarakat-masyarakat kerajaan Islam di Asia Tenggara, yang pada gilirannya memberi kontribusi besar dalam pengembangan dan penguatan masyarakat Islam. Tidak berlebihan juga dikatakan, keterlibatan kerajaan- kerajaan Islam dalam perdagangan bebas internasional memberikan peluang bagi kedatangan para pedagang Muslim internasional untuk dapat melakukan transaksi bisnis di seluruh pusat kekuasaan Islam. Memang, perdagangan maritim ini menjadi andalan utama ekonomi kerajaan. Karena itu pihak kerajaan atau kesultanan Islam Melayu sangat berkepentingan memfasilitasi, mengatur kegiatan hubungan perdagangan Muslim secara nasional dan internasional. Untuk kepentingan itu, para penguasa kerajaan mengadopsi fiqh perdagangan Islam yang dikombinasikan dengan ketentuan lokal. Hal ini antara lain tergambar dari catatan perjalanan Tome Pires, dan juga dalam teks Undang-undang Melaka (Liaw Yock Fang, 1976) dan teks Undang- undang Laut Melaka (Josselin de Jong dan R.O.Winstedt, 1938). Tidak kurang pentingnya, sejauh menyangkut pengembangan dan dinamika intelektualisme Islam Melayu, kerajaan dan penguasa memainkan peran sangat penting. Banyak raja menjadi patron bagi para ulama; mereka tidak hanya menarik ulama ke lingkungan kerajaan dan istana, tetapi juga memberikan ruang bagi mereka untuk berkarya dengan menyediakan berbagai fasilitas yang memungkinkan mereka menghasilkan karya-karya besar. Hal ini terlihat dari pengalaman ulama-ulama besar Nusantara sejak dari al-Sinkili, al-Raniri, al- Makassari di Kesultanan Aceh abad 19. Hal sama juga bisa ditemukan

6 Rediscovering the Treasures of Malay Culture di Jawa, di mana para penguasa merekrut ulama ke lingkungan keraton, sehingga mereka dapat menghasilkan berbagai karya intelektual. Perpaduan faktor-faktor politik, ekonomi dan Islam tersebut di atas mendorong kemunculan Dunia Melayu Nusantara menjadi sebuah wilayah yang, menurut istilah Taufik Abdullah, menampilkan “tradisi integratif” (1989). Berkat Islam, wilayah Asia Tenggara yang terfragmentasi secara geografis, menjadi kesatuan wilayah sosio- intelektual dan peradaban Islam (cultural sphere of Islam) dari delapan ranah budaya Islam (Arab, Persia, Turki, Afrika Hitam, Anak Benua India, Melayu-Nusantara, Sino-Islamic, Western hemisphere). Kesatuan Melayu-Nusantara tersebut pada gilirannya juga jelas memungkinkan terwujudnya berbagai bentuk hubungan internasional yang terus berkembang secara intens. Kegiatan ekonomi perdagangan juga berkembang berkat dukungan penuh pihak kerajaan atau penguasa Muslim umumnya; semangat urbanisme dan kosmopolitanisme berkembang dengan pesat; aktifitas sosial keagamaan dan juga intelektual Islam semakin meningkat, yang selanjutnya menemukan momentumnya sejak akhir abad 16, yang pada gilirannya memunculkan keterlibatan para murid Jawi dalam jaringan ulama internasional. Karena itu, sekali lagi, aktor pembentuk sistem sosial dan budaya masyarakat Melayu Nusantara ketika itu ialah penguasa (raja) Muslim, para ulama dan sufi pengembara, dan kaum saudagar. Melalui mereka, kebangkitan masyarakat Muslim dan peradaban Islam Melayu-Nusantara dengan elemen-elemen keislaman yang kian tersubstantifikasi menjadi terus semakin nyata sejak masa-masa itu dan selanjutnya. Proses substantifikasi kebangkitan masyarakat Melayu Nusantara ini jelas juga dipengaruhi berbagai kecenderungan dan perkembangan Islam secara internasional. Dalam bidang politik misalnya entitas dan pemikiran politik Nusantara mengadopsi sistem dan pemikiran politik yang berkembang di berbagai bagian lain dunia Islam. Dalam naskah- naskah politik Nusantara dapat ditemukan banyak bukti adanya pengaruh kuat tersebut, antara lain menyangkut konsep tentang daulat, musyawarah, pola hubungan antara raja dengan rakyat, dan sebagainya. Semua ini terungkap misalnya dalam Hikayat Raja-raja Pasai maupun

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 7 Sejarah Melayu dan teks-teks lain. Membaca konsep-konsep itu, jelas bahwa konsep politik Islam mendorong bagi terjadinya transformasi ideologi politik sangat penting; dari bercorak Hinduistik-Budhistik menjadi Islamik. Islam selanjutnya menjadi sumber utama dalam merumuskan etika dan bahkan juga dalam membangun sistem politik/kekuasaan menggantikan paradigma lama Hindu-Budha. Gambaran singkat di atas sekaligus menjelaskan dinamika internal masyarakat Islam Melayu Nusantara dan hubungan-hubungan internasional yang telah terjalin saat itu, yang memberikan peluang besar bagi para penguasa muslim dan ulama Nusantara mengakses sumber-sumber intelektual Islam secara luas sekaligus mengembangkan satu bentuk intelektualisme Islam Nusantara yang cukup distingtif. Demikianlah, sumber-sumber sejarah dan naskah-naskah yang penulis temukan dan teliti secara cermat, misalnya membuktikan adanya satu jaringan intelektualisme yang terjalin erat dan intens antara murid-murid yang kemudian menjadi ulama Melayu-Indonesia Nusantara dan Timur Tengah sejak abad 17 dan ke 18, yang terus berlanjut pada abad 19 dan 20. Banyak ulama Dunia Melayu-Nusantara secara intensif berhubungan dengan berbagai sumber intelektual Islam sekaligus melakukan pembaharuan pemikiran dan praksis Islam di Nusantara sepanjang sejarah (Azra, 1998). Tidak sedikit kitab yang sebagian masih berupa naskah dalam berbagai bidang yang dihasilkan para ulama Nusantara tersebut. Di samping itu juga muncul berbagai pusat pendidikan dan intelektualisme Islam di wilayah ini, antara lain Pasai, Melaka, Aceh, , Banjarmasin, Minangkabau, Jawa, dan seterusnya. Perkembangan dan kebangkitan intelektualisme Islam ini melalui berbagai karya ulama maupun lembaga-lembaga pendidikan Islam memperoleh dukungan dari para penguasa Islam, seperti dikemukakan di atas. Sekali lagi, tidak berlebihan disimpulkan, para penguasa kerajaan Islam menjadi patron bagi para ulama untuk melakukan dan mengembangkan kegiatan keislaman dan intelektual mereka. Pertumbuhan atau perkembangan intelektualisme Islam Melayu- Nusantara menjadi bagian dari upaya memperkuat lembaga politik,

8 Rediscovering the Treasures of Malay Culture sosial keagamaan dan lembaga-lembaga keislaman lainnya. Karena itu, tema-tema pemikiran yang dikembangkan serta berbagai kitab dan naskah, dalam berbagai tingkat, memberikan arah bagi perkembangan sosial, keagamaan dan politik tertentu. Karena itu peradaban Islam Dunia Melayu-Nusantara antara lain juga ditandai wacana atau perdebatan intens di antara berbagai kecenderungan/arus atau mazhab pemikiran Islam yang ada; dan semuanya ikut mewarnai paradigma dan praksis sosial keagamaan, budaya dan politik umat. Islam memberikan landasan sangat penting dalam pembentukan sosial budaya dan intelektualisme masyarakat Muslim Nusantara. Islam dan Muslim memainkan peran sangat penting dalam menemukan (inventing) dan mengembangkan peradaban Nusantara.

Modernisme Politik Melayu-Nusantara Sepanjang abad 19 dan 20, Islam terus memberikan berbagai kontribusi penting dalam perjalanan sejarah Dunia Melayu-Nusantara. Dinamika Islam pada level internasional sejak awal abad 20 yang ditandai dengan kebangkitan modernisme Islam, juga mempengaruhi perkembangan Islam Indonesia, Semenanjung Malaya, Singapura dan wilayah Asia Tenggara lainnya. Wacana dan gerakan modernisme Islam di Indonesia tidak hanya memunculkan Islam yang lebih reformis, tetapi yang juga terlibat dalam perdebatan wacana politik modern seperti nasionalisme, ‘nation-state’, demokrasi dan seterusnya; periode ini menandai munculnya modernisme politik Islam Melayu-Nusantara. Secara ringkas, ada beberapa peran penting yang dimainkan umat Islam Nusantara dalam modernisme politik, yaitu : Pertama, modernisme politik Islam mendorong kemunculan dan penguatan nation-state di Indonesia. Melalui banyak pemikirnya seperti Tjokroaminoto, Soekarno, Moh. Hatta, Moh. Natsir, dan lain- lain, Islam menjadi bagian penting bagi terbentuknya negara bangsa yang berdaulat setelah melalui proses panjang: mulai dari perlawanan fisik terhadap kolonialisme di berbagai wilayah Nusantara, perdebatan tentang Islam dan nasionalisme hingga terwujudnya kemerdekaan Indonesia. Kedua, memperkokoh proses integrasi bangsa. Hal ini terutama

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 9 melalui berkembangnya organisasi-organisasi yang bercakupan nasional, baik dari segi prinsipnya, wilayah keanggotaannya, kepemimpinannya yang multietnis, dan lain sebagainya. Organisasi-organisasi besar seperti SI, Muhammadiyah, NU dan lain-lain, jelas memberikan kontribusi penting dalam menumbuhkan dan memperkuat integrasi bangsa di Indonesia. Ketiga, mendorong, mempermatang dan memperkaya konsep tentang demokrasi. Khususnya di Indonesia, para pemikir Islam terlibat dalam wacana dan perdebatan tentang demokrasi. Secara umum, mereka menerima kesesuaian antara Islam dan demokrasi. Sebaliknya, secara mencolok wacana tentang negara Islam, khilafah dan sebagainya tidak mendapatkan tempat signifikan dalam wacana publik umumnya, seperti di lingkungan organisasi dan pemikir NU, Muhammadiyah, dan lain-lain. Meskipun demikian, pada periode ini berbagai tantangan dan kesulitan fundamental juga dihadapi oleh Islam baik secara konseptual maupun secara praktis. Karena itu, Islam, antara lain yang direpresentasikan oleh berbagai gerakan Islam dan pemikiran Islam kontemporer berupaya mendefinisikan ulang peran-peran strategis Islam, sehubungan dengan perubahan-perubahan cepat dalam kehidupan dan peradaban bangsa ini. Kemunculan kelompok- kelompok yang cenderung memahami Islam secara literal, yang bertujuan untuk mengubah bentuk dan dasar negara merupakan gejala yang perlu dicermati dan diantisipasi. Inilah salah satu agenda penting Islam Nusantara dalam menghadapi masa depan. Selain itu, dengan semakin menguatnya peran negara-bangsa setelah Perang Dunia II dan masa-masa selanjutnya, batas-batas politik di antara negara-bangsa Muslim di Dunia Melayu-Indonesia dan seterusnya semakin menguat. Kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi masing-masing negara-bangsa dalam kurun tertentu bahkan dapat mengancam kehidupan umat. Mempertimbangkan kecenderungan ini, hubungan-hubungan non-politis, seperti keagamaan, sosial-budaya dan pendidikan di antara berbagai komponen, segmen dan lembaga-lembaga Muslim Indonesia dan negara-negara lain di Dunia Melayu harus senantiasa dipelihara dan diperkuat. Hanya melalui hubungan seperti ini kerjasama seiman,

10 Rediscovering the Treasures of Malay Culture seislam, sepuak, dan regional dan internasional bisa dikembangkan lebih erat untuk menuju masa depan lebih damai yang memungkinkan bagi pengembangan intelektualisme dan peradaban Islam Melayu- Nusantara yang cemerlang.

Tantangan ke Depan Kuasa politik Islam Melayu pernah berjaya di Nusantara pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan dalam mengembangkan intelektualisme dan peradaban Islam sebelum datangnya kolonial Belanda. Tantangan di masa kini dan masa depan adalah terus memperkuat intelektualisme dan peradaban Islam Dunia Melayu-Nusantara. Banyak harapan yang ditumpahkan para ahli luar baik di kalangan Muslim sendiri maupun di kalangan Barat, seperti Fazlur Rahman, John Esposito, dan lain- lain, tentang kemunculan kebangkitan Islam dari Dunia Melayu- Nusantara, khususnya melalui Indonesia dan Malaysia. Dengan dinamika intelektual yang vibrant dan progresif, Indonesia sebagai negara Muslim terbesar memiliki potensi luar biasa mewujudkan berbagai harapan tersebut. Tetapi aktualisasi potensi itu sangat tergantung pada kemampuan kaum Muslimin sendiri untuk terus meningkatkan kualitas berbagai kelembagaannya yang merupakan warisan (heritage) dan perbendaharaan (treasures) luar biasa. Pada saat yang sama, kaum Muslimin Dunia Melayu-Indonesia mestilah secara khusus juga meningkatkan kualitas pendidikan; karena hanya dengan cara itu dapat lahir generasi muda Muslim yang memiliki keunggulan dalam membangun paradaban Islam Melayu-Nusantara lebih maju lagi.

Bibliografi Abdullah, Abdul Rahman Haji, 1997, Pemikiran Islam di Malaysia: Sejarah dan Aliran, Jakarta: Gema Insani Press. Abdullah, Abdul Rahman Haji, 1990, Pemikiran Umat Islam di Nusasntara: Sejarah dan Perkembangannya hingga Abad 19, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 11 Abdullah, Firdaus Haji, 1985, Radical Malay Politics: Its Origins and Early Development, Petaling Jaya: Pelanduk Publication. Abu Bakar, Ibrahim bin, 1994, Islamic Modernism in Malaysia: The Life and Thought of Sayid Syekh al-Hadi 1867-1934, Kuala Lumpur: University of Malaya Press. Azra, Azyumardi, 2007, Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Formation, : Mizan Pustaka. Azra, Azyumardi, 2006, Indonesia, Islam, and Democracy: Dynamics in a Global Context, Jakarta and Singapore: Solstice Publishing of Equinox, The Asia Foundation, and ICIP. Azra, Azyumardi, 2004, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern `Ulama’ in the 17th and 18th Centuries, Crows Nest: AAAS & Allen-Unwin; Honolulu: University of Hawaii Press; Leiden: KITLV Press. Azra, Azyumardi, 2000, “Syi`ah di Indonesia: Antara Mitos dan Realitas”, introduction to A. Rahman Zainuddin & Hamdan Basyar (eds.), Syi`ah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian, Bandung: Mizan. Azra, Azyumardi, 1999, ‘The Transmission of al-Manar’s Reformism to the Malay-Indonesian World: The Cases of al-Imam and al- Munir’, Studia Islamika, 6:3, 79-111, reprinted in Stephane A Dudoignon, Komatsu Hisao and Kosugi Yasushi (eds.), 2006, Intellectuals in the Modern Islamic World: Transmission, Transformation, Communication, London & New York: Routledge, 143-158. Azra, Azyumardi, 1996, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina. Azra, Azyumardi, 1988, “The Rise and Decline of Minangkabau Surau: A Traditional Islamic Educational Institution in during the Dutch Colonialism”, M.A. thesis, Columbia University, New York. Burhanudin, Jajat, 2007, ‘Islamic Knowledge, Authority and Political Power: The ‘Ulama in Colonial Indonesia’, PhD diss, Leiden University. Eliraz, Giora, 2002, “The Islamic Reformist Movement in the Malay-

12 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Indonesian World in the First Four Decades of the 20th Century: Insights Gained from a Comparative Look at Egypt”, Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, 9, I. Feillard, Andree, 1999, NU Vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, Yogyakarta: LkiS. Gullick, J.M, 1992, Rulers and Residents: Influence and Power in the Malay States 1870-1920, Oxford: Oxford University Press. Gullick J.M., 1987, Malay Society in the Late Nineteenth Century, Singapore: Oxford University Press. Hamzah, Abu Bakar, 1981, Al-Imam: Its Role in Malay Society 1906- 1908, Kuala Lumpur: Media Cendekiawan. Ishak, Md. Sidin Ahmad & Mohamad Redzuan Othman, 2000, The Malays in the Middle East, Kuala Lumpur: University of Malaya Press. Laffan, M.F., 2003, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma below the Winds, London: RoutledgeCurzon. Milner, A., 1995, The Invention of Politics in Colonial Malaysia: Contesting Nationalism and the Expansion of the Public Sphere, Cambridge: Cambridge University Press. Mutalib, Husin, 1993, Islam in Malaysia: From Revivalism to Islamic State, Singapore: Singapore University Press. Nakamura, Mitsuo, 1983, The Crescent arises over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nasution, Harun, 1987, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, Jakarta: Universitas Indonesia Press. Noer, Deliar, 1973, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, Kuala Lumpur: Oxford University Press. Peletz, M.G., 1997, “Ordinary Muslim” and Muslim Resurgent in Contemporary Malaysia: Notes on an Ambivalent Relationship”, in R.W. Hefner & P. Horvatich (eds.), Islam in an Era of Nation- States, Honolulu: University of Hawaii Press. Roff, W.R, 1970, ‘Indonesia and Malay Students in Cairo in the 1920s’, Indonesia, 9: 73-87.

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 13 Roff, W.R., 1967, The Origins of Malay Nationalism, Kuala Lumpur: University of Malaya Press. Shamsul A.B., 1997, “Identity Construction, Nation Formation, and Islamic Revivalism in Malaysia”, in R.W. Hefner & P. Horvatich (eds.), Islam in an Era of Nation-States, Honolulu: University of Hawaii Press. Van Bruinessen, M, 1994, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LKiS.

14 Rediscovering the Treasures of Malay Culture MAPPING THE MUSIC-CULTURES OF THE SUMATRA MALAYS: Some Musico-Lingual and Historical Perspectives

Prof. Margaret Kartomi Monash University, Australia

Abstract

Around two thirds of Sumatra’s population speak varieties of Malay. They include most communities living along Sumatra’s long coastline - especially the west coast - who traded around the coast and abroad from the early centuries CE speak and sing in similar but by no means identical variants of Malay, and there are many more Malay groups in the interior. The similarities between them are not only lingual but also religio-historical. Thus in the first millennium CE most Malay groups adhered to Animist and/or Hindu/Buddhist beliefs, while from the early- to mid second millennium they converted to Islam, established numerous Malay courts, and to this day share many legends and ritual, musical, theatrical and dance practices. This paper classifies and maps the traditional musical arts, dance and theatre of Sumatra’s Malay-speaking communities in , Bangka-Belitung, Riau, North Sumatra and Aceh, including a few nomadic or semi-nomadic Suku Terasing or Suku Dalem who live in the interior, as summarised in Map 1 and Figure 1, and proposes the existence of a cross-regional grouping along Sumatra’s west coast. The groups and sub-groups are classified at the highest taxonomical level according to the musico-lingual attributes of their songs, religious chants, and theatre, which can readily be recognised through their lingual qualities, and at the second level according to their musical instruments. The musical instruments are of secondary taxonomical importance because they move more readily across porous ethnic borders than the vocal attributes and are therefore relatively unreliable as markers of difference The paper also discusses a religio-historical method of mapping Sumatra’s music- cultures as a whole, distinguishing between the art forms and instruments associated with (i) prehistoric, animist-believing communities (ii) the Old Malay animist and Hindu-Buddhist courts and rakyat/subjects at Sriwijaya and Jambi in the 7th to 13th centuries) (iii) the Muslim Malay courts and subjects in the 14th to 20th centuries (Melaka, Pagaruyung, Aceh, Riau-Lingga, mainland Riau, coastal Minangkabau and

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 15 east-coastal North Sumatra) (iv) Chinese Confucian communities over the millennia (v) post-15th century colonial-era communities who were introduced to Christianity and Western socio-political concepts, and (vi) the post-colonial era since 1945. This classification, however, rests on limited hard evidence and until more facts are in, needs to rely largely on conjecture.

Key words: attributes, mapping based on religio-historical facets: Malay music-cultures, mapping based on musico-lingual

Introduction The music-cultures of the ethnic groups of Sumatra may be mapped or classified in many ways, for example, according to an analysis of their musical and lingual factors, their musical Instruments and ensembles, dance styles, music-dance relationships, associations with the myths and legends, links to the former kingdoms and the changing social classes, the religious history, and modern local concepts of music-cultural identity. In tune with the conference theme - Rediscovering the Treasures of Malay Culture, this paper focuses on “the musical arts” of the Malay- speaking peoples of Sumatra as opposed to the Acehnese, Gayo, , Minangkabau, Rejang-Lebong, Lampungic and non-Malay offshore islanders on Simeulue, Pulau Tujuh, Nias, Mentawai, and Enggano. These non-Malay groups share many loan words with Malay but they possess some different grammatical structures and vocabularies. By “the musical arts” is meant the performing arts that contain music, i.e. the vocal, instrumental and body percussive music; the dance, martial arts, bardic arts, and the musical theatre genres performed at domestic ceremonies, in religious rituals and processions, and in modern contexts on governmental and commercial occasions.

The Sumatra Malays Around two thirds of Sumatra’s population speak varieties of Malay. Most live in the provinces of South Sumatra, Bangka- Belitung, Riau, North Sumatra, Aceh, Bengkulu, Jambi, and the Riau Archipelago, though this paper refers to parts of only the first five. For

16 Rediscovering the Treasures of Malay Culture the purpose of this paper, the Minangkabau-speaking people of West Sumatra are excluded, for although their language is closely related to Malay, they developed a distinctive cultural identity from the time of (1347-1375), the king who built the Minangkabau court at Pagaruyung, to which many Sumatra Malay kingdoms paid homage for centuries (Bahar 2009: 31). The Malays include a few nomadic or semi-nomadic Suku Terasing (“Isolated Groups”), including the Suku Dalem (“People of the Interior”) who prefer to live in the forests of Sumatra’s interior areas, including the Suku Kubu in South Sumatra and Jambi, the Suku Lubu near Mandailing in North Sumatra, the Suku Sakai in northern Riau, the Suku Mamak in southern Riau, the Suku Lom in northern Bangka Island, and the Orang Suku Laut (“Sea Peoples”, e.g. the Suku Sekak in coastal Bangka, and the Suku Muara, e.g. on Penyelai Island at the mouth of the Kampar river in Riau. The historical evidence indicates that the courts spawned these wanderer groups who rejected settled life and relished their comparative independence, though they usually attached themselves faithfully to their local court Andaya 2009:4, 17). In upstream South Sumatra we find the relatively isolated, mountainous-dwelling Besemah people and the less isolated riverine Ogan-Komering and Lahat peoples, and the cosmopolitan population of capital city Palembang - including that of its former Palembang- Javanese-speaking court, and other large towns such as Kayuagung. The Bangka-Malay are the majority in Bangka-Belitung Province with the main minorities including the Hakka and as well as the above-mentioned forest- and sea-dwelling peoples – the Suku Lom and Suku Sekak. In the province of mainland Riau the people of the middle reaches of the great rivers include the southern Indragiri-Kuantan subgroup, the central Petalangan Malays along the Pelalawan river, the Malays living along and around the Rokan- and Siak rivers, and the downstream Kuala Asli people who live at or near the river mouth, including some islands such as Penyelai near the mouth. In North Sumatra province the west coastal dwellers known as Orang Pasisir or Orang Sumando are culturally related to the east coastal population of the former Malay courts at Langkat, Deli, Serdang, and Asahan.

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 17 In Aceh the people who speak variants of Malay as well as Acehnese live on the west coast and Pulau Banyak offshore islands, including the Pasisir or Aneuk Jame sub-groups and, on the east coast, the Tamiang Malays. Most people living along and around Sumatra’s coastline, and not only in Aceh, speak variants of Malay, though they can also usually speak the language of their immediate interior area as well.

***

How, then, should we map or classify the music-cultures of the Sumatra Malays? As mentioned above, the most reliable way is to classify them on the basis of their vocal music set to lyrics in Malay or variants of Malay. Figure 1 lists some Malay groups and sub-groups in South Sumatra, Bangka-Belitung, Riau, North Sumatra and Aceh who are discussed in my book.

18 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Map 1: Locations of Malay and Non-Malay Lingual Groups in Sumatra, based on Foley 1981

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 19 The resulting classification may be summarised as follows: Figure 1: A Classification of the Main Musico-Lingual groups and subgroups in Sumatra, based on Foley 1981

20 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Figure 1 and Map 1 show samples of what I have called the musico-lingual groups and subgroups of Sumatra, i.e. they are primarily distinguished from one another on the basis of the lingual attributes of their vocal–musical genres, including the Malay, Minangkabau, Batak, Acehnese, Lampung and Chinese-Indonesian groups, and divided into scores of subgroups. [The map is based on the Wurm-Hattori map of Sumatra’s languages compiled by WA Foley 1981 and the Ethnologue map of Sumatra prepared by the Summer Institute of Languages (SIL), modified by my own field experiences.] In the proposed musico-lingual classification of Sumatra’s peoples, the sung genres are privileged over the instrumental genres, i.e. the groups and sub-groups are classified at the highest taxonomical level according to the musico-lingual attributes of their songs rather than their musical instruments. This is because the ethnographic identity of each subgroup’s songs, religious chanting, theatre and sung comedy theatre can readily be recognised through their lingual qualities of their lyrics, while the musical instruments played move readily across the porous borders of the subgroups and are therefore relatively unreliable as markers of difference. For example, the highly portable and widespread end-blown bamboo flute is found in virtually every group in Sumatra. However different kinds of bamboo flutes can help us distinguish the musico-lingual subgroups from one another at the secondary (instrument based) level of classification, eg between Minangkabau’s whistle-block flute (saluang Pauah) and the ring flute (saluang darek) of the darek (heartland). Figure 1 comprises four tree-diagrams. The provinces of Lampung, Bengkulu, Jambi, and Kepulauan Riau are excluded from consideration here until more research has been done. For now we shall ignore the Minangkabau, Batak and Acehnese Musico-Lingual Groups and Sub- groups and focus on the Malay tree-diagram on the left of the Figure.

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 21 Figure 2: A Sumatra-Malay Tree Diagram

The Sumatra Malay tree diagram divides the Malay-speaking groups into 21 subgroups based mainly on their geography: i.e., whether they live in upstream, downstream or middle-stream reaches of the rivers. Clearly Sumatra’s great river systems - e.g. in South Sumatra, see Map 2 - have historically played an enormous role in population movements, somewhat relieving the isolation of most upstream and middle-stream groups who moved about by rafts or boats on the rivers, or by foot, until the post-colonial era.

22 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Map 2: The Great River Systems of South Sumatra

There is also at least one cross-regional subgroup: Sumatra’s west coast, which my field experience suggests possesses a high degree of cultural unity, due to its (i) Malay , (ii) coastal-Sumatran and international trading contact from the early centuries CE, (iii) its Animist–Hindu/Buddhist history (iv) its acceptance of Sufi mysticism and Islam from the early second millennium CE (iv) its common legends and associated music and dance, and (v) its history of indigenous Malay courts, beginning in the c7 CE or earlier, and lasting in some cases until the 20th century. Thus the west coast of Sumatra in Map 1 may be divided into 5 sub-areas -- the west Acehnese coast (from c. Calang to Tapaktuan), the Aneuk Jamee coast (from c. /Pulau Banyak to Natal, the northern Minangkabau coast (from c. Natal to Painan), the southern Minangkabau and northern Bengkulu coast (from c. Painan to Muko-muko), and the southern Bengkulu to Lampung coast (from Muko-muko via Krui to Kalianda). The populations of the five sub-areas speak and sing in similar, but by no means identical, varieties of Malay.

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 23 A Religio-Historical Classification of the Musico-Lingual Groups of Sumatra as a Whole I shall now briefly discuss a mapping of Sumatra’s Malay music- cultures according to relevant religio-historical factors, giving brief examples of the musical genres and instruments that the people associate with Sumatra’s Prehistoric Old Malay and Muslim-Malay eras, leaving the Confucian minorities (as exist for example on Bangka and Belitung, the Colonial and the Post-Colonial Eras for another occasion).

a. The Musical Arts in the Prehistoric Era Archaeological historians have hypothesised that the earliest migrations from southern China through Kalimantan to southern Sumatra moved along South Sumatra’s great Musi river system to Tulang Bawang in eastern Lampung and to Lake Danau in South Sumatra’s south-western mountains and surrounding areas of the Skala Brak area of northwest Lampung, and that they then spread down the many great rivers (see Map 3) to settle in most parts of those two provinces. Our knowledge of the religious beliefs of Sumatra Malays in the prehistoric era is based largely on archeological, iconographic and literary sources as explicated, for example, by Peter Bellwood in his edited 1985 volume: Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago, and Leonard Andaya’s 2008 history: Leaves of the Same Tree: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaka. As the material objects examined by these authors show, the peoples’ deeply held religious beliefs before and after the Common Era began were based on reverence for the spirits of nature and the ancestors. Fragments of metal Dongson “drums” found in the soil and carved on stone reliefs suggest that the ancestors of the Malays probably played the drums in Animist-based ceremonies (see Figure 2), perhaps for rain-making. Given the fact that many kinds of bamboo grow in profusion throughout Sumatra, it is highly likely the people played bamboo flutes, other wind instruments, xylophones and other percussion, and given the prevalence of trees and the known existence

24 Rediscovering the Treasures of Malay Culture of buffalos in the prehistoric era (see the Elephant stone), musicians probably also played drums of wood and skin. We know that they could cast metal too, but the only surviving metal instruments are the Dongson “drums” made of bronze.

Figure 3: The “Elephant Stone” (ca 200-300 BCE), showing a Dongson drum on the back of a warrior riding an elephant, originally found in Besemah and subsequently situated outside the State Museum in Palembang (Kartomi 2012:147) b. The Hindu-Buddhist Musical Arts in the Palaces and among the Rakyat/People Sumatra’s two oldest kingdoms - Sriwijaya (centered near present- day Palembang) and subsequently Melayu (centered near Jambi) from the 7th to the 12th century – spoke Old Malay, were internationally famous as centres of Buddhism, and attracted many foreign merchants and pilgrims. This resulted in the expansion of Malay power and culture and served as a catalyst for differentiating Malay from other groups in Sumatra. The name Malayu persisted in inland Jambi, where an inscription attributed to king Adityawarman in 1347 refers to Malayapura (“The town of Malayu” in the ). Its inscriptions and archeological remains suggest that they people

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 25 began to assert a separate Minangkabau identity and economic force from the 14th to the 16th century. Portuguese documents in the early 16th century mention the by name and the power of their king at Pagaruyung. Gradually they saw the economic value of detaching themselves from the Malay power system to the east and established their own identity (L. Andaya, 2008:3). Their vocal music included all-night story singing by bards, response singing in male-female pairs, lullabies, work songs and magic songs of shamans at healing and other mystical ceremonies. The instrumental music included metal , -chimes, cymbals, bells, single- and double-headed drums, flutes, oboes, clarinets and bowed strings. Instrumental ensembles accompanied Buddhist-style female dancing featuring elegant mudra poses and finger and hand movements, such as tari tanggai in various parts of South Sumatra.

Figure 4 - A tari tanggai dancer wearing long metal fingernails in a mudra pose in Burai, South Sumatra, 1973

26 Rediscovering the Treasures of Malay Culture c. The Musical Arts in the Early Muslim Malay Kingdoms The Malay ethnicity in Sriwijaya and subsequent palace elites at Riau and elsewhere spawned a series of Malay palaces throughout Sumatra’s Malay areas, e.g., at Rokan, Pelalawan and Indragiri on the great rivers in Riau (see Map 3).

Map 3. The province of Riau, showing the Rokan, Siak, Kampar and Indragiri rivers (Kartomi 2012: 128).

The first Sumatra-Malay kingdom known to have been converted to Islam was at Pasai from c. 1290 on present-day Aceh’s north coast. A number of Muslim Malay kingdoms sprang up in many parts of Sumatra (see Map 4).

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 27 Map 4: Past Royal Centres in and around the Strait of Malacca, (Kartomi 2012: 244)

Most Sumatra Malays converted to Islam over the centuries and developed many distinctive Muslim-associated performing arts, including , hadra and other forms of zikir (Sufi-style religious chanting), usually with group frame-drum playing. After the Portuguese conquered Malacca in 1511, the kingdom of Aceh became the leading Malay speaking entrepot in the region, following in the traditions of its predecessors at Pasai and Malacca, and reached the zenith of its power as an international entrepot and centre of Islami knowledge from the early to mid 17th century. Under Sultan Iskandar Muda (1607-36) it expanded its authority in Malaya and along Sumatra’s west coast as far as Muko-muko and east coast as far as Riau. Aceh’s central role in the Malay world passed to Johor in the mid 17th century, and Aceh found it expedient to pursue a cultural, lingual literary and musical identity of

28 Rediscovering the Treasures of Malay Culture its own (Andaya 2008: 138-43). Similarly the in North Sumatra established their own Batak identity, dividing into six musically and lingually similar groups. The main musical emblem of the Malay palaces was the nobat orchestra, an indispensable symbol of Malay royalty which originated in 14th century Malacca and was adopted from the 15th century on by most of the Malay courts – at Pagaruyung, Aceh, Johor, Riau-Lingga, Siak, Indragiri, Langkat, etc. See illustrations of a nobat ensemble in the former Riau-Lingga palace- 2 gendang panjang, 2 gendang penganak, 2 sarunai, and 1 nafiri (Kartomi 2012: 129), a nafiri trumpet from the nobat at the former Riau-Lingga court at Daik, Riau Archipelago [Kepri] housed in the former museum in Tanjung Pinang (Kartomi 2012: 127), and a silver sunai nobat (oboe) from the nobat at Siak Sri Indrapura palace, near the mouth of the Siak River in Riau (ibid: 133). The Malay ethnicity in Sriwijaya also spawned the creation of animist-believing Malay sea- and forest-dwelling ethnicities known as the Suku Laut and the Suku Dalam respectively. Because they rejected a settled lifestyle and its attendant feudal and subsequently colonial and postcolonial Indonesian government control, they are referred to collectively as Orang Terasing (Isolated Peoples). For centuries they loyally served the Malay kings who rewarded them with special favors, as in the case of the Talang Mamak/Suku Dalam in the court at Indragiri (on the Indragiri river at Rengat, Riau), who made and played the instruments of the sultan’s royal nobat orchestra and were in charge of local and other art forms (ibid: 126-140). See the gendang nobat of the nobat ensemble at the former Indragiri Palace at Rengat, Riau, with a royal descendant and the single-headed drum (gedombah) (ibid: 131). Likewise the Suku Mamak had their own music-culture, centred on mystical ceremonies in the forest, such as healing ceremonies, with their special, roughly hewn ketabung drums and sempelong flutes serving as shaman’s tools. See illustration of a ketabung drum played at healing ceremonies among the Suku Mamak forest-dwellers near Rengat, Riau (ibid: 132), and a sempelong flute in Talang Jerinjing, a Suku Mamak

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 29 village, Riau (ibid: 138), and with all-night storytellers accompanying their singers with clacking matchboxes or fiddles (obab) in Kampung Talau (ibid: 135). Ensembles containing brass or bronze gongs and drums of skin and wood are found throughout Sumatra not only in the former royal nobat ensembles but also in agricultural village environments, though generally the further north one goes in Sumatra, the fewer the gongs. After the decline of the Sriwijaya and Jambi-Malayu courts, another Malayu palace was established at Palembang from the 14th century, and in the 16th century the sultan of Demak gave a Javanese gamelan and wayang kulit set to the Sultan of Palembang. This gamelan is still played by descendants of the royals at the time of writing. See a photo of a saron from the former Sultan of Palembang’s palace’s gamelan, and transcription of the piece “Wayang Lagu Bertempur” (ibid: 180-181). However the Dutch conquered Palembang in 1823 (see an impression of Palembang city on the Musi river at the moment before the Dutch sacked it in 1823 (ibid: 178). In South Sumatra, musicians play gong-chime ensembles variously called tabuhan, kelitang, kelintang etc. to accompany Buddhist-style female dances that feature exquisite mudra movements (e.g. tari kebar, Tanjungsakti 1989 (ibid: 152), and in some cases, long golden finger nails (tanggai) in tari tanggai and tari penguton (ibid: 168), accompanied by a tabuhan ensemble (ibid: 166). These long finger nail dances became well-known from the 1950s throughout Indonesia under the name tari , the music being arranged for gong ensemble, orkes Melayu, Western orchestra, or piano. Till the 1980s the backbreaking women’s work of stamping off the husks of the rice grain was performed in a rhythmic game called cintuk in agricultural villages till recent decades when machines began to replace the rice troughs, e.g. in Tanjungsakti , South Sumatra in 1988 (ibid : 163). In such villages the rinding/jews harp, flutes, oboes and other instruments were also played on various occasions, and traditional styles were even played on a German harmonica in the mountains of South Sumatra (ibid. 163).

30 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Not only in South Sumatra but throughout virtually all Malay areas of Sumatra, the people also practice a variety of forms of the art of self defence (pencak silat), often unaccompanied, or with rebana frame drum playing, e.g. in wedding processions (ibid: 170). d. The Musical Arts in the Muslim Malay Culture Some examples of musical arts that were developed to spread the knowledge of and adherence to Islam (dakwah) among Malays include the vocal and rebana art form hadra (ibid: 172). A dance style that was probably transplanted by traders and religious leaders from the Hadramaut on the Arabian peninsula is called , and it is accompanied by a zapin Melayu ensemble (ibid: 172) which is popular in parts of Kepulauan Riau, mainland Riau, south-coastal Lampung, and other areas. A similar ensemble accompanies performances of the Dul Muluk theatre. It may comprise an old-style gambus, gendang, biola, bas and bende as in a 1988 performance in Kayu Agung, South Sumatra (ibid:174). Another orkes gambus including a violin, a gendang, and a more recent style of gambus was popular in Palembang in 1988 (ibid: 174-175). The problem with this religio-historical classification, however, is that it is based on just a few hard archaeological and iconographic remains, and is therefore largely conjectural.

Conclusion This paper has mapped the performing arts of many Malay groups and subgroups in Sumatra according to the musico-lingual attributes of their vocal music, i.e. privileging the vocal over the instrumental attributes. The ethnographic identity of each group’s and subgroup’s songs, religious chanting, theatre and sung comedy theatre can readily be recognised through their lingual, textual qualities, while the musical instruments that they play move readily across the porous borders of the subgroups and are therefore relatively unreliable as markers of difference.

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 31 The paper has also classified the arts of the Malay and other groups and subgroups of Sumatra as a whole according to their religio- historical associations, focusing on (i) the people’s veneration of the spirits of nature and the ancestors in the prehistoric era (ii) the Old Malay era of the Hindu-Buddhist courts (iii) the era of the Muslim Malay courts. However, this classification rests on only a limited amount of hard archaeological, iconographical and literary, audio- and audio-visual evidence, and does not include data based on the analysis of the art forms themselves.

Acknowledgements I wish to thank the thousands of artists across Sumatra who informed and hosted performances of Sumatra’s kaleidescope of musical arts for my husband Hidris Kartomi and myself from 1973 to 2012. The photographs and recordings were taken by Hidris Kartomi. I am also grateful to my colleague Professor Dr Mahdi Bahar for inviting me to present this keynote address at ISI Padangpanjang’s First International Seminar and Festival of Southeast Asian Arts, on the theme: Rediscovering the Treasures of Malay Culture, November 28-29, 2012.

References Andaya, Leonard, 2008. Leaves of the Same Tree: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaka. Honolulu: University of Hawaii Press Bahar, Mahdi, 2009. Music Perunggu Nusantara, Perkembangan Budayanya di Minangkabau. Sunan Ambu STSI Press Bandung Bellwood, Peter, 1985. Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago, Sydney Academic Press Kartomi, Margaret, 2012. Musical Journeys in Sumatra, Urbana, Chicago and Springfield: University of Illinois Press

32 Rediscovering the Treasures of Malay Culture ISLAM MEMBENTUK SENI PERTUNJUKAN BUDAYA MELAYU NUSANTARA

Prof. Dr. H. Mahdi Bahar, S.Kar., M.Hum. Institut Seni Indonesia Padangpanjang

Ada dua persoalan pokok pembicaraan dalam tulisan ini, yaitu Islam dan keberadaannya membentuk kebudayaan (seni pertunjukan) Melayu Nusantara.

Pemikiran Dasar tentang Islam Islam adalah nama dari suatu “dinun”; kata Islam dan dinun merupakan kata-kata bahasa Arab. Kata Islam mempunyai hubungan dengan kata “aslama” artinya adalah “tunduk atau patuh”, sedangkan kata Islam berarti ialah “hal patuh atau tunduk”1. Kata dinun dapat disetarakan dengan kata agama dalam bahasa Indonesia, maksudnya ialah “kepercayaan kepada Tuhan (dewa, dsb.) dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu”.2 Kata Islam yang merupakan bahasa Arab ini dipilih, digunakan, dan ditetapkan Allah untuk menamai suatu agama, yaitu agama Islam. Meskipun agama Islam diturunkan Allah menggunakan bahasa Arab, akan tetapi bukan berarti Islam diperuntukkan hanya pada bangsa Arab saja. Islam adalah untuk manusia manapun di muka bumi. Bahasa Arab hanyalah sebagai media informasi di dunia, yang dipilih Allah untuk menyampaikan ajaran-Nya kepada manusia yang mau menerima. Ajaran berupa petunjuk atau wahyu tersebut disampaikan pertama kali melalui malaikat-Nya bernama Jibril. Jibril meneruskan

1 Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuryah, 1989), h. 177. 2 Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indoensia, (Jakarta: Balai Pusataka, 1989), h. 9.

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 33 wahyu itu kepada manusia terpilih oleh Allah bernama Muhammad.3 Oleh karena Muhammad adalah bangsa Arab dan berkomunikasi antar sesamanya menggunakan bahasa Arab, maka ajaran Allah yang diterima Muhammad disampaikan kepada kaummnya menggunakan bahasa Arab, agar jelas bagi mereka.4 Dalam hal ini, Muhammad hanyalah manusia biasa yang diperankan Allah di bumi sebagai utusan (rasul) untuk menyampaikan ajaran-Nya, sehingga Muhammad dijadikan Allah sebagai Nabi dan sekaligus sebagai rasul5 (pembawa pesan). Ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad itu bernama Islam, yaitu suatu bentuk sistem kepercayaan (religion) yang telah disempurnakan dan diredhai Allah sebagai agama, menjelang Nabi Muhammad wafat.6 Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa Islam adalah sebuah ajaran yang sistemik dan lengkap untuk mengatur kehidupan manusia.

Wahyu Wahyu merupakan bagian sistemik dari ajaran Islam. Peranannya dapat dilihat dalam konteks dua hakikat yang berbeda dan mendasar dalam sistem ajaran Islam, ialah Allah sebagai zat yang “mengutus” dan Nabi Muhammad sebagai pihak yang “diutus”; atau Allah merupakan zat “yang menjadikan” (khalik) dan Nabi Muhammad adalah “yang dijadikan” (makhluk).7 Allah sebagai zat yang menjadikan bersifat immaterial dan berada di luar dari yang dijadikan-Nya8, sedangkan Nabi Muhammad bersifat material merupakan bagian dari yang dijadikan-Nya. Keterhubungan antara dua keberadaan, yaitu Allah dan Nabi Muhammad, meniscayakan ada sesuatu yang menghubungkan. Sesuatu yang menghubungkan itu adalah wahyu (petunjuk) yang dibawa oleh penghubung yaitu Malaikat Jibril. Perantaraan wahyu inilah apa yang disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad dapat diketahuinya. Selanjutnya, Nabi Muhammad menyampaikan secara

3 Alqur’an, S. 26: 192-195. 4 Alqur’an, S. 14: 4; 13: 37; 41: 44; 26: 195. 5 Alqur’an, S. 49: 7. 6 Alqur’an, S. 5: 3. 7 Alqur’an, S. 27: 61,62. 8 Alqur’an, S. 112: 4.

34 Rediscovering the Treasures of Malay Culture langsung pengertian (epistemology) dari apa (ontology) yang disampaikan Allah kepadanya berupa pengetahuan itu, kepada kaumnya. Keterhubungan Allah dan Nabi Muhammad dengan perantara wahyu yang disampaikan-Nya tersebut tergambar (al.) dalam terjemahan ayat seperti berikut:

2. kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru; 3. dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya; 4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya); 5. yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat; 6. yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli; 7. sedang dia berada di ufuk yang tinggi; 8. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi; 9. maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi); 10. Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan; 11. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.9

Ayat-ayat di atas menjelaskan secara eksplisit bagaimana peranan wahyu dalam kerangka sistem informasi berlangsung dalam pembentukan Islam melalui kerasulan Nabi Muhammad. Bagian- bagian yang berperan dalam pembentukan tersebut terdiri atas zat yang membuat wahyu, yaitu Rabb (Allah) berada di luar sistem; wahyu; pengantar wahyu; dan penerima wahyu. Pembuat wahyu adalah Allah, wahyu adalah ajaran Islam (Alqur’an dan hadist); pengantar wahyu adalah Malaikat Jibril; dan penerima wahyu adalah Nabi Muhammad. Atas dasar keempat bagian inilah lembaga kehidupan manusia bernama Islam terwujud di permukaan bumi. Secara akidah ia mempunyai sistem berbeda dengan sistem kepercayaan (agama) lain manapun. Oleh karena sistem yang berbeda ini, maka tidak mungkin Islam disamakan atau dipandang sama dengan agama lain manapun dalam kehidupan manusia. Islam mempunyai kehidupannya tersendiri dan bergerak dalam kerangka

9 Alqur’an, S. 53.

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 35 sistemnya. Dengan demikian, maka amat salah atau tidak tepat apa bila Islam sebagai satu kesatuan ajaran (pedoman hidup) yang utuh, sebagaimana keutuhan sistem ajaran itu sendiri, dipenggal-penggal dalam kehidupan manusia sesuai dengan kebutuhan atau selera manusia yang bersangkutan. Akan lebih salah lagi jika pemenggalan dilakukan oleh manusia “beragama” Islam. Islam haruslah dilihat dan dimaknai sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh sebagai lembaga kehidupan tempat menyelenggarakan perjalanan hidup dengan segala aspek kehidupan sesuai dengan kodrat dan lingkungan manusia itu sendiri, baik personal maupun sosial. Oleh karena itu, amat relevanlah, terutama dalam konteks ilmu sosial (social science), dijalankan apa yang disampaikan dalam ajaran Islam, yaitu masuklah kamu hai orang-orang yang beriman ke dalam Islam secara keseluruhan (total= kaffah)10. Allah sebagai zat yang membuat atau menciptakan wahyu menjadikan wahyu sebagai “tali” penghubung antara apa yang dimaksud oleh Allah kepada manusia ciptaan-Nya. Segala sesuatu yang dimaksud-Nya disampaikan dalam bentuk wahyu dan wahyu ini diantar oleh Malaikat Jibril kepada manusia bernama Muhammad. Muhammad adalah manusia pilihan Allah yang ditugaskan-Nya untuk menyampaikan apa yang dimaksud oleh Allah kepada manusia yang lain, sehingga Muhammad diberi-Nya kedudukan sebagai Nabi dan bertugas menyampaikan wahyu pada kaummnya.11 Oleh karena itu, selain Muhammad berkedudukan sebagai Nabi, juga bertugas sebagai Rasul (penyampai pesan). Berdasarkan fenomena ini, maka amat teranglah bahwa Pencipta tidak membuat cara-cara berhubungan atau kontak langsung dengan ciptaan-Nya dalam bentuk komunikasi, yaitu terlibatnya komunikan dan komunikator dalam berhubungan langsung menggunakan berbagai bentuk kemungkinan media komunikasi (mis. seni, benda-benda tertentu, dsb.), sehingga antara dua unsur tersebut dapat melakukan kontak langsung. Dengan demikian, maka ciptaan-Nya tidak mungkin berhubungan langsung dengan Pencipta, disebabkan oleh karena Pencipta tidak membuat ketentuan yang memungkinkan manusia sebagai makhluk ciptaan- Nya di bumi, dapat berhubungan langsung dengan-Nya. Apabila

10 Alqur’an, S. 2:208. 11 Alqur’an, S. 14:4.

36 Rediscovering the Treasures of Malay Culture sang Pencipta, yaitu Allah berada pada alam metafisik, sedangkan manusia mutlak menurut kodratnya berada pada alam fisik, dan Allah membentuk wahyu sebagai “tali” yang menghubungkan apa yang dimaui-Nya kepada manusia melalui perantara, yaitu malaikat. Sebaliknya ialah, manusia dapat menghubungkan dirinya dengan Allah melalui do’a.12 Berdasarkan hal seperti demikian dapat ditarik pengertian, bahwa terbentuknya lembaga kehidupan yang bernaung dalam agama Islam, pada hakikatnya merupakan implementasi dari wahyu. Wahyu adalah pengetahuan (nilai dan norma) yang sistemik sebagai pedoman berperilaku, dengan struktur pokoknya yaitu: “suruh” (wajib dan sunat); “larang” (haram dan makruh); dan mubah (tidak disuruh dan tidak dilarang). Dengan demikian, tidak akan ada lembaga (agama) bernama Islam di bumi ini, jika tidak ada wahyu.

Nusantara Sebagai Nama Nusantara sebagai nama tidak asing kedengaran terutama bagi masyarakat dan warga yang mendiami rangkaian pulau-pulau di antara dua benua Asia dan Australia. Rangkaian pulau itu meliputi pulau besar dan kecil dari barat ke timur di antaranya adalah Sabang, Sumatera, Jawa, Madura, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Lombok, Sumba, Flores, Seram, Halmahera, Waigeo, Salawati, dan Papua; paling utara adalah di sekitar kepulauan Talaud dan kepulauan Natuna; dan sebelah timur di sekitar gugusan pulau Roti. Bahkan, nama Nusantara tidak asing bagi penduduk semenanjung Malaysia, sementara daratan ini merupakan bagian dari benua Asia. Di Malaysia (Malaka) misalnya, nama Nusantara digunakan paling tidak satu dekade terakhir ini antara lain untuk penamaan forum seni, yaitu Pesta Gendang Nusantara. Forum seni itu diselenggarakan sekali setahun, dan pada bulan April 2008 adalah yang ke XI.13 Sementara itu, nama Nusantara yang berkaitan dengan forum seni di Indonesia antara lain adalah Festival Seni “Pelangi Nusantara”, dsb. Kata Nusantara ternyata banyak digunakan untuk menamai sesuatu sebagaimana pengguna perlukan.

12 Alqur’an, S. 2: 186. 13 unilily.wordpress.com; 12-01-09.

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 37 Lebih jauh tentang kata atau nama Nusantara dalam kaitannya dengan nama Indonesia patut dilihat apa yang disampaikan Bernard H.Vlekke seperti demikian. Nama ‘Indonesia’, yang berarti ‘Pulau India’, diberikan oleh seorang ahli bangsa Jerman dan telah dipakai sejak tahun 1884. Mula-mula nama ini adalah sebuah nama kajian ilmu alam yang menunjukkan semua pulau di antara Australia dan Asia, termasuk Filipina. Pergerakan kebangsaan Indonesia telah memakai nama itu dan menjadikannya sebagai nama bagi republik mereka pada tahun 1945 dan 1949. Mereka lebih menyukai nama itu daripada nama ‘Nusantara’ yang kurang terkenal dan dipilih untuk judul buku ini, sementara nama Nusantara lebih digunakan pada zaman yang silam.14 Apa yang disampaikan Vlekke lebih memberi kejelasan kata Nusantara sebagai sebuah nama kawasan yang sesungguhnya lebih luas daripada wilayah Indonesia sekarang. Apabila kita tempatkan nama Indonesia seperti yang dimaksud ahli berkebangsaan Jerman seperti dimaksud Vlekke, berarti pengertian nama Indonesia (=Pulau India atau Hindia Timur) berpadanan dengan pengertian nama Nusantara, yaitu suatu wilayah terdiri atas rangkaian pulau yang terdapat di antara dua benua Asia dan Australia, termasuk semenanjung Malaysia. Sebagai suatu kawasan yang dipengaruhi oleh budaya India (Buddha atau Hindu) dan atas itu pula bangsa Eropa mengkategorikan sebagai wilayah India bagian timur, menjadi suatu pandangan yang beralasan disebabkan kawasan ini memang bercorak India. Corak utamanya ialah bentuk pemerintahan dibangun berdasarkan struktur kerajaan yang didasarkan pada sistem ajaran dan nilai Buddha atau Hindu. Kerajaan dibangun atas prinsip kepercayaan tentang kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos. Berdasarkan itu, kerajaan dan jagat raya harus diselaraskan dengan cara menyusun kerajaan sebagai gambaran dari jagat raya dalam bentuk kecil.15

14 Vlekke, Bernard H.M., Nusantara: Sejarah Indonesia, terj. Dewan Bahasa dan Pustaka dari “Nusantara A History of Indonesia” (Kuala Lumpur: Tien Wah Press (M) Sdn. BHD, 1967), h.6. (disesuaikan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penulis) 15 Heine-Geldern, Konsepsi Tentang Negara & Kedudukan Raja di Asia Tenggara, terj. Deliar Noer, (Jakarta: CV. Rajawali, 1982), h. 2.

38 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Sementara itu, sistem kekuasaan atau ‘pemerintahan’ sebelum kedatangan pengaruh India ke kawasan ini adalah berbentuk pimpinan suku dan dilandasi oleh sistem “animisme” bersifat lokal. Contoh- contoh masyarakat yang seperti itu masih dapat kita lihat sampai sekarang antara lain seperti misalnya sebagian masyarakat pedalaman Talang Mamak di Riau; Suku Anak Dalam di Jambi dan Palembang16; Suku Dayak di Kalimantan17; Suku Mentawai di Sumatara Barat18; Suku-suku pedalaman di Papua, dsb. Kedatangan pengaruh India ke tengah kehidupan mereka yang animisme mengubah bentuk kehidupannya, sehingga terjadi perubahan mendasar dalam berbagai aspek meliputi kepercayaan, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan aspek kehidupan lain baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Pengaruh India itu tidak hanya menjangkau wilayah rangkaian pulau antara dua benua Asia dan Australia saja, akan tetapi menjangkau juga kawasan Asia Tenggara sekarang.19 Paling tidak sejak Abad II M20 pengaruh India telah memasuki kawasan rangkaian pulau antara dua benua ini dan berakhir secara keagamaan sejak kerajaan-kerajaan berangsur menerima Islam. Seperti dikatakan H.J. De Graaf dan TH. G. Pigeaud, bahwa agama Islam tersebar di Asia Tenggara dan di Kepulauan Indonesia sejak abad ke-12 atau ke-13.21 Ciri utama yang

16 Lih. Oyvind Sandbukt. “Kubu Conceptions of Reality”, dalam Asian Folklore Studies, vol. 43. (Nagoya: Anthropological Institute Nanzan University, 1984) passim; dan “Resource Constraints and Relations of Appropriation Among Tropical Forest Foragers: The Case of The Sumatran Kubu”, dalam Research in Economic Anthropology, volume 10, (Greenwich-Connecticut, JAI Press Inc., 1988), p. 121. 17 M.C. Schadee, Kepercayaan Suku Dayak di Tanah Landak dan Tayan. Terj. Re- daksi Yayasan Idayu, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1979), passim. 18 Reimar Schefold, Mainan Bagi Roh Kebudayaan Mentawai. Terj. Mien Joeb- haar, (Jakarta: , 1991), passim. 19 D.G.E. Hall, Sejarah Asia Tengara. Terj. I.P. Soewarsha, (Surabaya: Usaha Nasi- onal, 1988), passim. 20 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, jilid II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h. 8. 21 H.J. De Graaf dan TH. G. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram, terj. Pustaka Utama Grafiti dan KITLV, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1989), h. 18. “Suatu kenyataan yang sudah pasti ialah, bahwa di Sumatera Utara - di Aceh yang sekarang ini – para penguasa di beberapa kota pelabuhan penting sejak paruh kedua abad ke-13 sudah menganut Islam. Pada saat ini hegemoni politik di Jawa Timur masih di tangan raja-raja beragama Syiwa dan Budha di Kediri dan Singasari.”

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 39 menandai pengaruh itu ialah beralih sebutan sang Raja menjadi Sulthan sebagai penguasa tertinggi kerajaan. Namun, ada beberapa kerajaan bersifat Hindu di Kepulauan Indonesia yang tidak dipengaruhi oleh Islam terutama adalah kerajaan-kerajaan di Bali dan beberapa kerajaan lainnya seperti di Batak, Toraja, dsb. Kesatuan corak budaya kawasan Asia Tenggara bersifat Hindu ini niscaya turut pula dipengaruhi dan dibentuk oleh geografi serta topografinya. Oleh karena itu, masyarakat di kawasan Asia Tenggara mempunyai ciri kehidupan yang sama. Fenomena ini dapat dilihat misalnya dari kesamaan unsur bahan makanan yang didominasi oleh beras dan ikan; sangat sedikit mereka yang memakan daging hewan ternak dan susu. Sementara itu, kebiasaan makan atau mengunyah sirih terlihat agak umum.22 Kesamaan pola hidup yang seperti demikian menjadikan masyarakat-masyarakat di kawasan Asia Tenggara benar- benar mempunyai corak tersendiri di antara bangsa-bangsa di dunia. Bahkan, kebiasaan tersebut ada yang mentradisi sampai sekarang dalam kehidupan mereka, antara lain misalnya ialah tradisi berkaitan dengan sirih-pinang, eksistensi alat musik perunggu, dan kerbau sebagai hewan bernilai . Fakta budaya ini semakin memperjelas rangkaian pulau antara dua benua Asia dan Australia tidak hanya menjadi kesatuan rangkaian kepulauan saja, akan tetapi lebih dari itu ia merupakan kesatuan wilayah ‘budaya’23 yang terbentuk sejak masa silam sebelum kedatangan pengaruh India.

22 Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, jilid I, (Jakarta: Yayasan Obor Indoensia, 1992), h. xvi. 23 Budaya (culture) atau kebudayaan adalah sistem pengetahuan (norma dan ni- lai).

40 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Kesatuan kawasan budaya yang terbentuk oleh sejarah masa lalu dan pengaruh ekosistem yang sama berupa daerah bergunung dan perbukitan; lembah dan hamparan; sungai-sungai dan , serta pantai yang banyak menjadikan wilayah ini sebagai kawasan tersendiri di antara kawasan lain di dunia. Kawasan tersebut tidak punya pasir dan padang rumput yang luas, sehingga tidak ada tradisi pengembara dan pengembala di daerah ini sebagaimana misalnya penduduk masa lalu Jazirah Arabia yang tak pernah menetap. Perpindahan dari tanah pertanian ke padang rumput dan dari padang rumput ke tanah pertanian, terus terjadi, dan menjadi ciri setiap fase sejarah Jazirah.24 Lain halnya penduduk di kawasan Nusantara, bahkan mereka berasal dari leluhur yang sama yaitu bangsa Austronesia kecuali orang Papua.25 Pada masa Kerajaan Majapahit di zaman Hayam Wuruk, sebagian besar kawasan ini berada di bawah kekuasaan Majapahit dan keseluruhan wilayah tersebut disebut dengan Nusantara.26 Lebih tegas lagi, kata Nusantara dikumandangkan Gajah Mada dalam persumpahannya di hadapan raja dan para pembesar Majapahit, bahwa ia tidak akan amukti palapa sebelum ia dapat menaklukkan Nusantara.27 Negara-negara taklukkan (tributaries) Majapahit yang dijelaskan Prapanca dalam Nāgara-Kĕrtagama, Bab-3, pupuh 13-14, seperti dialih-bahasakan oleh Pigeaud, adalah negara-negara yang termasuk pada negara Malayu (Sumatera); Tañjung-Nagara, Tañjung- Puri (Borneo); Pahang (Malaya); dan Wilayah Timur Jawa28, seperti demikian. Canto 13, stanza 1.: The aspect of the islands of all sorts: the principal ones are all those that belong to the country of Malayu: namely Jāmbi and Palembang, Karitang, Tĕba, on the other hand Dhārmashraya along with them,

24 Isma’il R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, (Bandung: Mizan, 2003), h. 48. 25 Lebih jauh lih. Reid, op. cit., h. 5-12. 26 Slamet Mulyono, Menudju Puntjak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Madjapahit, (Djakarta: Balai Pustaka, 1965), h. 48. 27 Poesponegoro-II, op. cit., h. 434. 28 Lih. Theodore G. Th. Pigeaud, Java in The 14th Century, The Nagara-Kĕrtagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 A.D., 4 jilid, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1960).

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 41 Kandis, Kahwas, Manangkabwa, Syiak, Rĕkān, Kāmpar and Panė, Kāmpė, Haru, and Mandahiling too, Tumihang, Parlāk and Barat.

Canto 13, stanza 2.: Lwas with Samudra and Lamuri, Batan, Lampung and Barus, These are the most important ones of those belonging to the country of Malayu, one country, equally executing (orders), following (commands). Otherwise then: the island of Tañjung-Nagara: Kapuhas with Katingan, Sampit and Kuṭa-Lingga and Kuṭa-Waringin, Sambas and Lawai.

Canto 14, stanza 1.: Kaḍangḍangan, Lanḍa, on the other hand Samĕḍang, Tirĕm unseperated, Sėḍu, Burunėng, Kalka, Saluḍung, Solot, Pasir, Baritu, Sawaku, also Tabalung, Tañjung-Kute, with Malano, having for principal town then: Tañjung-Purī.

Canto 14, stanza 2,: Those that belong to Pahang, the principal, to be sure, is Hujung-Medinī. Lĕngkasuka, on the other hand Saimwang, Kalantĕn, Tringgano, Nashor, Pakamuwar, Ḍungun, Tumasik, Hujung, Kĕlang, Kĕḍa, Jĕrė, Kañjap, Niran, one island, altogether.

Canto 14, stanza 3.: All those east from the Javanese country there also are to be described: Bali, having for principal places, to be sure: Baḍahulu and Lwā-Gajah, Gurun, having for principal places,: Sukun , Taliwang, Sapi, SangHyang Api, Bhīma, Sėram, Hutan Kaḍali altogether.

Canto 14, stanza 4: Also to be sure: Gurun, one island with the name Lombok-Mirah, with the Saksak (country); the first of those that are called the principalities, all of them,

42 Rediscovering the Treasures of Malay Culture also the countries of Bantayan, the principal is Bantayan, on the other hand Luwuk, then the (countries) of Uḍa, making a trio; these are the most important of those that are one island, altogether.

Canto 14, stanza 5:. Those that are (enumerated) island by island (are): Makasar, Butun, Banggawi, Kunir, Galiyao and Salaya, Sūmba, Solot, Muar, and the Waṇḍan (country), Ambwan and Maloko too, Wwanin, Séran, Timūr. These make the first of numerous islands that are mindful.

Negeri-negeri tersebut adalah negeri atau negara yang dilindungi (protected) oleh Pangeran (Majapahit) Yang Masyhur seperti dijelaskan berikut.

Canto 15, stanza 1. Such is the aspect of the other countries, protected by the Illustrious Prince; verily, to be sure:......

Selain dari itu, negara-negara yang berdekatan atau berbatasan dengan Nusantara, disebut sebagai negara sahabat (friendship) dan bukan negara taklukkan yang dilindungi (protection); negara tersebut adalah sebagai berikut.

Canto 15, stanza 1. verily, to be sure: Syangkāyodhyapura, together with Dharmanagarī, Marutma and Rājapura, and Singhanagarī too, Campā, Kamboja. Different is Yawana, that is a friend, regular.

Negara-negara sahabat (friend) yang dimaksud ialah: Syangka (Siam); Ayodhyapura (Ayuthia); Dharmanagarī (Dharmarajanagara: Ligor, Lakhon); Martuma (Martaban atau Mergui); Rājapura (Rajpuri di selatan Siam); Singhanagarī (Singhapurī berada pada cabang sungai Menam atau Chao Phraya); Campā (Campa); Kamboja (Kambojā);

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 43 dan Yawana (Annam). Mulyono juga menjelaskan, bahwa negara- negara sepanjang tepi pantai tersebut adalah negara sahabat dan bukan negara taklukkan atau jajahan.29 Berdasarkan sumber Nāgara-Kĕrtagama dan sumber lain seperti dijelaskan di muka tampaklah bahwa kata Nusantara merupakan kata yang dikenal paling tidak sejak masa Majapahit dan digunakan dalam konteks politik kerajaan. Secara politis, kawasan Nusantara yang terdiri atas gugus atau rangkaian pulau yang terdapat di antara dua benua Asia dan Australia, dan bahkan termasuk Semenanjung Malaya, dikategorikan oleh Kerajaan Majapahit sebagai Nusantara. Adapun kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa sendiri tidak disebutkan lagi oleh Majapahit sebagai Nusantara disebabkan wilayah Pulau Jawa pada dasarnya adalah daerah yang langsung berada di bawah pemerintahan Majapahit. Keadaan ini tergambar dari ada tujuh kerajaan di Pulau Jawa yang memberlakukan perundang-undangan Majapahit, yaitu Singasari, Daha, Kahuripan, Lasem, Matahun, Wengker, dan Pajang.30 Oleh karena itu, besar kemungkinan untuk menyebut wilayah di luar Pulau Jawa oleh Majapahit adalah Nusantara (nusa= pulau), yakni pulau-pulau di luar pulau Jawa. Namun, dalam perjalanan sejarah kehidupan masyarakat- masyarakat di kawasan ini terjadi perubahan nama. Terutama perubahan untuk menghadapi dan pemberian nama sebagian besar wilayah Nusantara menjadi suatu bentuk negara modern, sehingga pada akhirnya nama Indonesia menggeser nama Nusantara. Secara politis, nama itu bergeser sejak kemerdekaan dan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1945, meskipun sesungguhnya nama Indonesia telah lahir pada tahun 1928 sebagai pernyataan politik di bawah gerakan Boedi Utomo dan terkenal dengan Sumpah Pemuda. Isi pernyataan politik itu memuat tiga sendi persatuan Indonesia, yaitu: satu tanah air, Indonesia; satu bangsa, Indonesia; dan satu bahasa, Indonesia.31

29 Mulyono, loc. cit. 30 Slamet Mulyono, Perundang-undangan Madjapahit, (Djakarta: Bhratara, 1967), h. 19. 31 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, jilid V, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h. 193.

44 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Konotasi Budaya dan Historis Kelahiran dan diterimanya nama Indonesia sebagai penamaan suatu negara (country) menggantikan nama Nusantara sebagai nama suatu wilayah politik kekuasaan Majapahit di masa lampau menempatkan kata Nusantara saat ini lebih berkonotasi budaya dan historis. Suatu kenyataan ialah penggunaan kata Nusantara untuk menamai suatu forum seni di Malaka sebagaimana telah disinggung di muka. Warga dan masyarakat Malaka serta Malaysia pada umumnya terlihat tidak merasa ada ‘gangguan’ menggunakan kata Nusantara. Kata Nusantara mereka gunakan untuk menamai suatu forum seni tahunan dengan nama Pesta Gendang Nusantara, walaupun kegiatannya melibatkan peserta dari Indonesia. Sebaliknya, di Indonesia banyak pula kata Nusantara digunakan untuk menamai sesuatu berembel Nusantara. Kata Nusantara dipakai dalam banyak keperluan untuk menamai sesuatu, apakah forum, mata kuliah, perusahaan, judul buku, produk industri, toko, alat transportasi, dsb. Dalam hal ini, orang- orang Indonesia tidak merasa ada gangguan dalam menggunakan kata Nusantara untuk menamai sesuatu yang mereka inginkan, demikian pula sebaliknya. Menariknya ialah, dua pengguna kata Nusantara sekarang adalah dua bangsa (nation) dengan negara masing-masing, yaitu Malaysia dan Indonesia. Orang Indonesia tidak merasa dirugikan atas penggunaan kata Nusantara oleh warga atau masyarakat- masyarakat Malaysia, sebaliknya warga atau masyarakat-masyarakat Malaysia tidak merasa dirugikan pula oleh warga atau masyarakat- masyarakat Indonesia menggunakan kata Nusantara.32 Kenyataan ini menunjukkan bahwa kata Nusantara tidak lagi sekarang berarti nama wilayah politik, akan tetapi lebih berkonotasi wilayah budaya di samping bermakna historis. Berdasarkan pada kenyataan tersebut dapat diajukan pertanyaan, kenapa mereka di Malaka menggunakan kata Nusantara untuk menamai forum seni, yaitu Pesta Gendang Nusantara? ; dan kenapa tidak mengembeli dengan Malaysia saja atau embel-embel lain yang relevan? Apakah misalnya kata Nusantara mempunyai arti yang sama dengan kata Asia-Tenggara, antarbangsa (international), atau Malaysia

32 Sampai saat ini tidak ada ‘konflik’ atau gangguan antar-kedua negara disebab- kan karena pemakaian kata nusantara oleh kedua bangsa.

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 45 dsb? Jawabnya tentu tidak. Asia Tenggara dapat diartikan dalam konteks suatu “forum”, yaitu nama suatu organisasi-politis kenegaraan bersifat regional. Negara peserta terdiri atas beberapa negara dan secara geografis berada pada umumnya di kawasan Asia Tenggara. Begitu pula kata antar-bangsa yang berarti meliputi bangsa-bangsa di dunia, sedangkan kata Malaysia berarti hanya suatu negara, yaitu Malaysia. Apabila misalnya forum seni dinamai Pesta Gendang Malaysia, bisa saja terkandung arti bahwa peserta atau seni yang akan difestivalkan adalah seni-seni ‘berasal” atau terdapat hanya di Malaysia. Oleh karenanya, dapat dilihat bahwa penggunaan kata Nusantara tidak berdampak, baik politik atau ekonomi maupun merugikan pihak mana saja. Oleh karena itu, berarti pengguna kata Nusantara merasa aman menggunakan kata ini meskipun sekarang mereka adalah bangsa yang berbeda yaitu Malaysia dan Indonesia, dsb. Dalam konteks tersebut, pemilihan dan pemilahan sampai pada ketetapan memakai kata Nusantara nisacaya terkandung suatu maksud. Adapun maksud itu patut diduga ialah berkenaan dengan suatu kawasan kehidupan manusia yang terbentuk sejak masa lampau oleh perjalanan sejarah dan budaya, sehingga eksistensinya masih dirasakan sampai sekarang meskipun secara geopolitik penduduknya terpisah ke dalam beberapa negara. Pemakaian kata Nusantara dalam berbagai keperluan di Indonesia, pada dasarnya dilatarbelakangi pula oleh kondisi psikologis seperti yang dijelaskan di atas, sehingga menempatkan kata Nusantara tidak asing di kalangan bangsa ini walau pun adakalanya penggunaan kata itu mengandung arti yang samar. Kenyataan ini dapat dilihat misalnya penggunaan dan pemaknaan kata Nusantara dalam istilah ‘etnomusikologi Nusantara’ yang sekaligus sebagai judul buku, yaitu Etnomusikologi Nusantara. Kata-kata Nusantara digunakan selanjutnya antara lain dalam konteks pernyataan tertentu misalnya ialah, “Nusantara menyerupai oasis yang menawarkan keserbaragaman budaya dan tradisi”; “Masyarakat Nusantara memiliki... “; “pada seribu tahun pertama sebelum masehi Nusantara termasuk kawasan budaya yang besar”; “pengaruh budaya-budaya besar inilah yang semakin membuat kebudayaan Nusantara kompleks”.33

33 Santosa, dkk., Etnomusikologi Nusantara: Perspektif dan Masa Depannya,

46 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa kata Nusantara banyak digunakan dalam berbagai konteks dengan keperluan atau maksud yang dapat dimaknai yaitu suatu kawasan tertentu, meskipun ada kata Indonesia yang berarti, pada satu sisi adalah kawasan pula. Dalam hal ini dapat dipastikan, bahwa arti atau maksud dari penggunaan kata Nusantara tidak sama dengan arti atau maksud yang terkandung dalam penggunaan kata Indonesia meskipun pada kata Indonesia terkandung pula suatu pengertian wilayah atau kawasan tertentu. Dari beberapa kutipan dan penjelasan di atas dapat diambil pemahaman bahwa kata Nusantara mempunyai arti, yaitu suatu kawasan bukan fisik atau administratif melainkan adalah suatu kawasan atau wilayah kehidupan manusia yang terbentuk dalam rupa masyarakat-masyarakat dengan latar belakang kesamaan sejarah. Oleh karena bentuk masyarakat tidak saja hanya dipengaruhi oleh latar belakang sejarah dengan segala aspek kehidupannya, tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan di tempat mana mereka melangsungkan hidup, maka lingkungan tersebut turut mempengaruhi pembentukan masyarakat yang bersangkutan. Berdasarkan sifat kehidupan manusia yang seperti demikian, maka lahir keragaman budaya sebagaimana keragaman bentuk masyarakat itu sendiri. Sekarang, masyarakat- masyarakat tersebut menghuni suatu kawasan rangkaian pulau-pulau yang terdapat di antara dua benua Asia dan Australia, termasuk semenanjung Malaya. Sementara itu, secara humanistik masih saja tampak saat ini kesamaan budaya antarmereka, meskipun pada sisi lain terjadi perkembangan atau perubahan dan bahkan ada yang terpisah secara geopolitik. Persamaan itu dapat dilihat antara lain dari akar keturunan bangsa Austronesia yang tergambar dari ras, ciri-ciri fisik, dan bahasa; begitu pula unsur Hindu, Islam, dan tradisi agraris yang mewarnai bentuk kehidupan mereka sampai saat ini.

Masyarakat-masyarakat Nusantara Wujud suatu masyarakat sesungguhnya merupakan manifestasi dari bentuk budaya mereka yang padanya melekat prinsip-prinsip

(Surakarta: ISI Surakarta Press, 2007). op. cit., h. 1-9.

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 47 organik yang dibangun oleh struktur, fungsi, sistem yang menggerakkan dan membentuk kesatuan bentuk. Bentuk suatu masyarakat adalah penjelmaan dari sesuatu yang bersifat organik tersebut.34 Berdasarkan prinsip atau cara pandang begini dapat dilihat fenomena humanistik35 manusia yang hidup di bumi Nusantara, yaitu mereka hidup dan terbentuk ke dalam sejumlah kelompok masyarakat-masyarakat yang dapat disebut sebagai masyarakat-masyarakat Nusantara. Eksistensi atau terbentuknya manusia ke dalam kelompok- kelompok yang seperti demikian diakui dan menjadi ketetapan dalam ajaran Alqur’ani, sebagaimana makna terkandung dalam ayat seperti demikian, “[Kami...], menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal...”.36 Dalam hal ini, Islam secara tegas mengakui akan senantiasa ada kelompok-kelompok humanistik yang terkategori ke dalam bentuk masyarakat atau syu’uba di muka bumi. Sementara itu, secara biologis, Islam menjelaskan kehadiran masyarakat bermula dari dijadikan-Nya manusia laki-laki dan perempuan; “Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan”.37 Kehadiran manusia tidak hanya berhenti dalam bentuk makhluk biologis saja, akan tetapi berlanjut pada dibentuk- Nya kehidupan berdimensi sosial atau ‘hubungan manusia dengan manusia’. Oleh karenanya, terbentuklah lembaga kehidupan manusia yang disebut dengan masyarakat atau syu’ub, dengan kemungkinan sub-bagiannya. Berdasarkan konsep Islam yang begini maka lembaga ‘kemanusiaan’ yang disebut dengan masyarakat atau syu’uba merupakan bagian dari bentuk kehidupan manusia yang bersifat alamiah dan itu merupakan perwujudan dari ‘kehendak’ Ilahiah. Entitasnya merupakan inisiatif Ilahiah dalam alam yang tak lain berupa hukum-hukum yang tak berubah yang dianugerahkan-Nya kepada alam.38 Sebaliknya, tidak akan pernah ada satu masyarakat di dunia, walaupun terjadi intensitas informasi dan komunikasi yang begitu tinggi dan kuat antarsesama

34 Lih. A.R. Radcliffe-Brown, Structure and Function in Primitive Society, (New York: The Free Press, 1952), p. 178. 35 “Premis dasar humanisme ialah, bahwa manusia merupakan makhluk rasional yang memiliki kapasitas kebenaran dan kebaikan; lih. Microsoft Encarta Pre- mium 2006; Humanism. 36 Alqur’an, S. 49: 13. 37 Ibid. 38 Al-Faruqi, op. cit., h. 116.

48 Rediscovering the Treasures of Malay Culture manusia berbeda budaya tersebut. Aneka ‘warna’ masyarakat telah menghuni atau mendiami kawasan Nusantara. Mereka hidup berdampingan dan berinteraksi dalam berbagai bentuk atau aspek kehidupan, baik interaksi dalam kerangka hidup sebagai manusia yang saling membutuhkan maupun hidup dalam kerangka kesatuan bernegara atau pun antarnegara. Interaksi dapat terjalin dan terbentuk melalui berbagai sisi kehidupan misalnya bidang ekonomi, pendidikan, seni, agama, keamanan, dsb. Namun, masing-masing masyarakat tetap eksis dalam corak dirinya sendiri. Bahkan ada terjadi berbagai upaya atau tindakan untuk mengeksplisitkan corak warna masyarakatnya melalui pencarian simbol yang merujuk pada makna atau arti identitas masyarakat pemilik budaya yang bersangkutan. Aneka warna masyarakat ini menghuni pulau Sumatera, Semenanjung Malaya, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Mindanao, dan sejumlah pulau-pulau lain di Nusantara. Secara biologis masyarakat yang terbentuk oleh ‘kesatuan’ manusia tersebut sesungguhnya merupakan kelanjutan saja dari manusia yang telah hidup pada masa lampau terutama di bumi Nusantara. Tidak ada perbedaan struktur biologi mereka dengan struktur biologi manusia yang hidup saat ini, kecuali berbeda jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan. Apakah mereka berkulit kecokelatan, sawo matang, atau kekuning-kuningan, rambut lurus atau ikal dsb. Namun demikian, sesungguhnya semua aspek ini bersifat fisik atau material dan tidak berhubungan dengan kebudayaan atau ‘kehidupan’. Berdasarkan temuan alat-alat obsidian di Gua Ulu Tiangko (Jambi) oleh A. Tobler dan Zwierzycki, bahwa manusia pendukung peralatan ini telah hidup sekitar 10.000.- SM.39 Berdasarkan temuan tersebut, paling tidak telah diketahui, bahwa keturunan manusia di Nusantara telah ada sejak 10.000.- SM. Manusia yang hidup jauh pada masa lampau itu berketurunan dan berkembang sampai saat ini, sehingga keturunannya membentuk masyarakat-masyarakat yang kita sebut masyarakat- masyarakat Nusantara. Sebagai makhluk biologis, tidak satupun yang berubah pada diri manusia masa lampau jika dibandingkan dengan manusia sekarang.

39 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, jilid I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h. 182.

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 49 Perubahan dalam pengertian ini ialah perubahan antara manusia sebagai benda, adalah perubahan tubuh dan bersifat fisik, dan manusia sebagai kehidupan (common sense) digerakkan terutama oleh pikiran (akal). Manusia dalam artian tubuh yang dibentuk oleh organ-organ tubuh manusia akan senantiasa berlanjut selama manusia ada dan tidak akan berubah dari sedia kala.40 Namun demikian, yang senantiasa ‘berubah’ (dinamis) adalah pemikiran yang dilahirkan oleh manusia dengan segala produknya sesuai dengan kemampuan dan pengalaman manusia bersangkutan. Pemikiran manusia ini menciptakan kebudayaan sehingga terbentuk masyarakat sesuai dengan pengalaman dan ekosistem setempat. Salah satu aspek yang paling menentukan wujud atau pola perilaku manusia adalah religi yang mereka anut sebagaimana terdaftar dalam kepala mereka berupa pengetahuan. Sementara itu, bentuk dan eksistensi religi sebagai sebuah sistem kepercayaan cenderung menetap. Bahkan, bagi orang-orang muslimin dipercayai, bahwa agama Islam sebagai suatu sistem religi yang tertuang dalam Alqur’an dan sebagian dijelaskan melalui sunah Rasullulah Muhammad, tidak akan berubah dan tidak bisa diubah.41 Mereka meyakini secara mutlak, bahwa agama Islam telah sempurna diciptakan oleh Yang Maha Pencipta yaitu Allah, dan Allah menjamin keabadiannya. Dalam konteks ini, Allah berfirman bahwa Islam sebagai agama (addin) telah sempurna dan nikmat-Nya untuk manusia telah dicukupkan-Nya.42

Masyarakat Melayu Nusantara Perjalanan sejarah yang panjang telah membentuk beragam masyarakat di Nusantara di antaranya adalah masyarakat-masyarakat Melayu. Mulai tanggal 17 Agustus 1945, sebahagian besar mereka terbingkai ke dalam suatu negara, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Meskipun mereka masuk ke dalam suatu bingkai

40 Penulis tidak sependapat dengan Teori Evolusi Modern Charles Darwin (1809- 1882); lih. Microsoft Encarta Premium 2006; Charles Darwin; his concept of the development of all forms of life through the slow-working process of natu- ral selection. 41 Alqur’an, 29: 49. 42 Alqur’an, 5: 3.

50 Rediscovering the Treasures of Malay Culture itu, namun secara kultural masing-masingnya masih saja tetap memperlihatkan diri sebagai satu-kesatuan kelompok. Salah satu dari kelompok itu adalah kelompok masyarakat-masyarakat “Melayu”. Masyarakat ini dibentuk oleh kesamaan latar belakang sejarah (kerajaan-kerajaan) masa lampau yang panjang dan berada dalam suatu wilayah, terutama wilayah Nusantara. Pada masa lampau wilayah ini merupakan wilayah interaktif mereka dan bahkan bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa resmi dalam dunia perdagangan antar-negara. Demikian pula bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa tulis oleh kerajaan-kerajaan. Selama kurang lebih empat ratus tahun, surat yang ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Jawi (Minang= Arab- Melayu) menjadi sarana komunikasi antara raja-raja di Nusantara ini, dan bahkan dengan raja-raja di Eropa.43 Oleh karenanya, tidak mustahillah mereka mempunyai nilai-nilai dasar (utama) kebudayaan yang sama pula. Secara kronologis, sejarah panjang dan latar belakang budaya yang membentuk masyarakat Melayu yang dimaksud, dapat dilihat sebagaimana pada diagram berikut.

43 Annabel Teh Gallop dan Bernard Arps, Golden Letters, Writing Traditions of Indonesia (London: The British Library, 1991), 33.

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 51 Apabila misalnya kehidupan budaya orang yang mendiami pulau Sumatera telah ada semenjak 10.000 th. SM., yaitu penghuni Gua Tiangko Panjang di Jambi44, maka semenjak itu pula nenek moyang orang Melayu (Sumatera) berkebudayaan, dengan latar belakangnya terutama sistem nilai dan norma animisme. Setelah menempuh perjalanan panjang selama kurang lebih 10.000. th., baru kira-kira awal kedua Masehi nenek moyang itu bersentuhan dengan kebudayaan India, yang dilatarbelakangi oleh sistem nilai dan norma agama (religi) Hindu dan Budha. Sistem nilai ini, dan tentu saja ada campurnya dengan nilai-nilai animisme, berlangsung paling tidak selama 1.000 th., dan selanjutnya (abad ke-9 M.) nenek moyang itu berkenalan pula dengan agama Islam.45 Bahkan, sebagaimana diberitakan Tomé Pires, agama ini baru masuk ke istana kerajaan Minangkabau sekitar tahun 1500.46 Kehadiran agama Islam di tengah kehidupan mereka, pada akhirnya merasuk dengan begitu dalam, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, sehingga norma dan nilai Islam mereka jadikan sebagai landasan ideal kebudayaan mereka. Sebagaimana di Minangkabau misalnya, secara struktural Mesjid merupakan bagian dari sistem lembaga kenegarian. Sistem pengetahuan mereka yang berlandaskan pada norma dan nilai Islam, pada akhirnya mampu melenyapkan sistem nilai yang berbasiskan pada agama atau kepercayaan yang mereka anut sebelumnya, baik Budha-Hindu maupun animisme (kecuali penduduk di pedalaman/hutan). Secara kultural, tidak ada orang Melayu sekarang yang masih beragama Budha atau Hindu, meskipun artefak-artefak suci agama tersebut masih terpelihara. Seperti misalnya di Sumatera, ada candi di Padang Lawas -Sumatera Utara; candi di Muara Takus - Riau; dan candi di Muara Jambi - Propinsi Jambi. Perjalanan budaya orang-orang Melayu yang berbasiskan pada nilai-nilai Islam itu, baru bersentuhan pula dengan agama Kristen pada abad ke-16; ini ditandai dengan masuknya Portugis di Melaka pada paroh perempat pertama

44 Periksa, Marwati Djoned Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto., ed., loc. cit. 45 Periksa, A. Hasymy, ed., Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Alma’arif, 1989), 52. 46 Tomé Pires, The Suma Oriental of Tomé Pires. Trans. Armando Cortesão (London: Hakluyt Society, 1944), 164.

52 Rediscovering the Treasures of Malay Culture abad ke-16.47 Berdasarkan pada kenyataan saat ini tampak, bahwa agama Islam diserap oleh sebahagian besar masyarakat-masyarakat di negeri ini, sehingga mereka secara kultural menjadikan norma dan nilai-nilai Islam sebagai landasan ideal kebudayaan mereka. Secara ideal, pada dasarnya sistem pengetahuan mereka, dibingkai dan dituntun oleh ajaran agama ini. Hampir dalam segala aspek kehidupan masyarakat itu, secara ideal disesuaikannya dengan norma dan nilai-nilai Islam. Meskipun masih ada tindakan-tindakan mereka yang secara kasat mata tidak menunjukkan keislaman, namun hal itu lebih memungkinkan dilihat sebagai suatu tradisi saja, yang tidak mempunyai hakikat keagamaan (religi); kalau pun ada, besar kemungkinan hanya berada pada taraf keyakinan.48 Apalagi diketahui, bahwa dalam ajaran Islam tidak ada konsep inkulturasi, yaitu agama sering menjadikan bentuk budaya untuk keperluan agama.49 Seperti diketahui, dalam Islam ‘tugas’ seorang muslim dalam penyebaran agamanya hanya sampai pada batasan, yaitu berdakwah (menyampaikan). Namun demikian, dalam konteks local genius50, kemungkinan yang terjadi hanyalah, yaitu masyarakat setempatlah yang mengekspresikan budayanya dalam konteks menjalankan syariat Islam.51 Dengan demikian jelaslah, bahwa norma dan nilai-nilai Islam, secara ideal telah dijadikan oleh masyarakat- masyarakat Melayu yang sub-kulturnya meliputi masyarakat Aceh, masyarakat Melayu di Sumatera Utara, Minangkabau, Palembang, Jambi, Riau, Malaysia, Banjar, Brunai Darussalam, Bugis, Betawi, dsb., sebagai inti kebudayaan mereka. Fenomena begini menyerupai bagaimana ajaran Kristus (selama abad pertengahan – ± 1000 th.)

47 Ibid., xi-xii. 48 Periksa arti religi dan keyakinan dalam Noerid Haloei Radam, Religi Orang Bukit. (Yogyakarta: Yayasan Semesta, 2001) 41-42. 49 Berbeda dengan, Y. Sumandiyo Hadi, Seni dalam Ritual Agama (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000), lih. 144. 50 Soerjanto Poespowardojo, “Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi”, dalam Ayatrohaedi, Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius) (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), 28-44. 51 Mahdi Bahar, “Perkembangan Budaya Musik Perunggu Minangkabau” (Diser- tasi untuk meraih gelar Doktor dalam Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2003), 326.

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 53 membentuk kebudayaan bangsa-bangsa Eropa, dengan sub-kulturnya seperti yang dimaksud Magnis-Suseno, yaitu: kebudayaan khas orang Italia, Spanyol, Jerman, Belanda, Perancis, atau orang Finlandia, dalam bingkai kebudayaan Eropa. Apa yang merupakan kebudayaan masyarakat-masyarakat Melayu sebagaimana telah dibicarakan di muka, sesungguhnya merupakan sebuah produk. Terbentuknya produk tersebut tidak terlepas dari persentuhan atau kontak antara budaya yang satu dengan budaya lainnya, sehingga melahirkan atau membentuk suatu kebudayaan yang sekarang disebut dengan kebudayaan Melayu. Dengan perkataan lain dapat dikemukakan, bahwa kebudayaan Melayu sekarang merupakan sebuah format kebudayaan yang terbangun oleh adanya kontak budaya berbeda antara yang satu dengan lainnya pada masa lampau, dan dibentuk oleh proses perjalanan sejarah yang panjang. Kenyataan yang seperti itu niscaya merupakan dampak dari fenomena “global” pada masa lampau. Hanya saja proses kelangsungan kontak antar-budaya pada masa itu berjalan lambat, sebagaimana tingkat kecepatan mobilitas saat itu.52 Namun demikian, sekarang proses kontak (pengenalan) itu dapat berlangsung dengan begitu cepat dan bahkan hampir tidak mengenal waktu, yaitu interval selama peristiwa berlangsung. Dengan demikian tampaklah, bahwa fenomena globalisasi yang berimplikasi pada terjadinya kontak budaya yang satu dengan lainnya, pada masa sekarang berlangsung dengan amat cepat, sedangkan pada masa lampau (sebelum ditemukannya alat tulis dan mesin) berjalan lambat sebagaimana kecepatan alami. Dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia, kebudayaan Melayu itu merupakan kekayaan budaya bangsa negeri ini di samping eksistensi kebudayaan masyarakat yang lain. Masyarakat Melayu yang kebudayaan mereka secara ideal dibentuk oleh ajaran Islam tersebut merupakan mayoritas penduduk wilayah Nusantara. Mereka bermukim sebagai kelompok-kelompok mayoritas yang mencakup sepanjang Pulau Sumatera, kecuali Dataran Tinggi Toba dan Pulau Nias. Demikian pula mayoritas masyarakat yang

52 Lihat, Alvin Toffler, Kejutan Masa Depan, terj. Sri Koesdiyatinah (Jakarta: Pantja Simpati, 1992) 31-33.

54 Rediscovering the Treasures of Malay Culture bermukim di wilayah Semenanjung Malaysia, mereka adalah penganut agama Islam yang taat, meskipun di wilayah ini hidup berbagai kelompok masyarakat non-muslim, yaitu masyarakat China dengan mayoritas beragama Buddha dan masyarakat India beragama Hindu. Begitu pula di ujung Semenanjung Malaysia, yaitu Pulau Singapura merupakan sebuah Negara Pulau, hidup orang-orang “Melayu” sebagai penduduk terbesar kedua (2005) sesudah masyarakat Cina beragama Buddha. Mayoritas masyarakat Melayu di sini beragama Islam. Di sebelah timur Semenanjung Malaysia adalah Pulau Kalimantan, yaitu suatu pulau dikuasai oleh tiga negara, Indonesia, Malaysia, dan Darussalam. Masyarakat yang bermukim di pulau ini adalah masyarakat dengan mayoritas beragama Islam, di samping ada penganut agama lain atau kepercayaan tertentu, seperti misalnya masyarakat Dayak di bagian pedalaman atau orang Bukit di pedalaman Kalimantan Selatan.53 Demikian pula di sebelah timur Kalimantan ada pulau Sulawesi. Mayoritas masyarakat di pulau ini beragama Islam di samping ada di beberapa daerah tertentu mayoritas masyarakatnya non-muslim, seperti misalnya masyarakat Tanah Toraja. Lebih ke utara lagi dari Pulau Kalimantan dan Sulawesi adalah kepulauan Republik Filipina berpenduduk 87.857.473 jiwa pada tahun 2005. Mayoritas penduduk negara ini beragama Kristen, sehingga Filipina merupakan negara berpenduduk Kristiani terbesar di Asia. Khusus di daerah bagian selatan kepulauan Filipina, yaitu di wilayah Mindanao dan Palawan, hidup masyarakat-masyarakat muslim suku Moro. Mayoritas mereka adalah beragama Islam. Jumlah penduduk suku Moro muslim dengan penduduk muslim lainnya di kepulauan Filipina, diperkirakan sekitar 3 juta jiwa (2005).54 Kesatuan masyarakat-masyarakat beragama Islam yang mendiami pulau-pulau tersebut adalah penduduk setempat, yang telah bermukim atau merupakan penduduk ‘asli’ bangsa Asia Tenggara sebagai ‘kesatuan manusia’ seperti yang dimaksud Anthony Reid55. Pada awalnya moyang

53 Lih. M.C. Schadee, Kepercayaan Suku Dayak Di Tanah Landak dan Tayan, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1979), passim; dan M. Noerid Haloei Radam, loc. cit., passim 54 “Microsoft Encarta Premium 2006”, (Moro people) 55 Antony Reid, op. cit., pp.5-12.

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 55 mereka adalah penganut kepercayaan animisme. Namun kemudian, sebagian besar dari mereka berlanjut menjadi penganut ajaran Hindu atau Buddha, yaitu ajaran yang datang dari India. Diketahui bahwa hubungan Indonesia dengan India relatif telah intensif sekitar abad ke-2 M.56 Setelah Islam memasuki wilayah Nusantara, maka sebagian besar dari mereka beralih menjadi penganut agama Islam yang taat. Di Pulau Jawa dan Madura, masyarakat Islam juga merupakan masyarakat mayoritas, di samping ada masyarakat-masyarakat non- muslim. Pembentukan mereka dapat dilihat paling tidak sejak hadirnya dominasi dan kejayaan kerajaan Islam pertama di Jawa, yaitu kerajaan Demak pada dasawarsa terakhir abad ke-15 dan paruh pertama abad ke-16 seperti dijelaskan Graaf dan Pigeaud. Bahkan, Graaf dan Pigeaud menjelaskan bahwa raja-raja Demak adalah sebagai pelindung agama Islam di Jawa Tengah. Dalam kaitan ini pula dikatakan, masjid Demak yang mereka bangun merupakan permulaan pengislaman Pulau Jawa.57 Sejak kurun waktu ini pula agama Islam niscaya membentuk masyarakat di Pulau Jawa dan Madura yang sebelumnya mayoritas beragama Hindu atau Buddha menjadi masyarakat yang secara ideal dibentuk oleh nilai dan norma (ajaran) Islam. Secara makroskopik dapat dipahami apa yang dikemukakan Mark R Woodward, bahwa “Islam merasuk begitu cepat dan mendalam ke dalam struktur kebudayaan Jawa sebab ia dipeluk oleh keraton sebagai basis untuk negara teokratik, .... agama dan masyarakat Jawa adalah Islam sebab aspek-aspek doktrin Islam telah menggantikan Hinduisme dan Budhisme sebagai aksioma kebudayaan Jawa”.58 Secara institusional pun tampak, bahwa sejak kurang lebih empat dekade terakhir ini perkembangan Islam di Jawa lebih menunjukkan kemajuan apabila dibandingkan dengan di Pulau Sumatera, seperti misalnya khusus di Minangkabau yang pada awal-awal kemerdekaan merupakan pusat perkembangan dan melahirkan tokoh Islam berpengaruh di Nusantara, sebut saja misalnya H. Agus Salim, Hamka, Syeh Sulaiman Arrasuli, dsb. Namun, kenyataannya sekarang di Pulau

56 Lih. Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto-II, loc. cit. 57 H.J. De Graaf dan Th. G. Pigeaud, op. cit., 37-82. 58 Mark R Woodward, Islam Jawa, terj. Hairus Salim (Yogyakarta: LkiS, 1999), h. 4 -5.

56 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Jawa banyak tubuh dan berkembang sejumlah lembaga pendidikan Islam yang populer disebut ‘pondok pesantren’. Bahkan, lembaga- lembaga ini sudah banyak menghasilkan tokoh-tokoh Islam, baik sebagai pakar Islam maupun berkiprah di panggung politik. Dua organisasi besar ‘Islami’ yaitu Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama, merupakan bukti yang secara defacto memperlihatkan peran dan pengaruh, serta eksistensi mayoritas masyarakat Islam di Pulau Jawa dalam kehidupan masyarakat-masyarakat Islam di Nusantara. Terbentuknya masyarakat-masyarakat Islam di lima wilayah yaitu Sumatera, Semenanjung Malaysia, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan sekitarnya yang seperti demikian, adalah ‘buah’ yang secara evolutif dibentuk melalui peran yang dimainkan oleh pusat-pusat kekuasaan, terutama berupa kerajaan-kerajaan Islam terkemuka di Nusantara yang berlangsung dan berproses dalam rentang waktu selama kurang lebih tujuh ratus tahun (abad ke 12 - ke 19). Fenomena ini dapat dilihat seperti misalnya pada kebesaran kerajaan Islam berikut, yaitu Kerajaan Aceh pada zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636);59 Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa pada abad ke-16 – 17, antara lain Kerajaan Mataram Islam di bawah Sultan Agung (1613-1645);60 Kerajaan Gowa di bawah Sultan Said (1639 – 1653) dan beberapa kerajaan Islam di wilayah lain Nusantara;61 Demikian pula kerajaan di Malaka dan kerajaan-kerajaan di sekitarnya (semenanjung Malaysia) seperti diberitakan Pires pada abad ke-16 dengan rajanya beragama Islam.62 Berdasarkan itu tampak bahwa kerajaan-kerajaan yang semula berwarna Hindu atau Budha berubah jadi kerajaan berwarna Islam. Kerajan-kerajaan Islam di bawah otoritas raja bergelar Sulthan tersebut telah memainkan peran sebagai pusat kekuatan politik dan agama, sehingga membentuk masyarakat di lingkungan kekuasaannya menjadi masyarakat “Islami”. Di antara bentuk peranan itu tampak misalnya dalam kehidupan masyarakat-masyarakat “Alam Melayu” adanya pandangan hidup dan prinsip berbasiskan Islam yang terungkap, yaitu “Tak Melayu kalau

59 Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), passim. 60 H.J. De Graaf dan TH. G. TH. Pigeaud, loc. cit., passim. 61 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), 1-26. 62 Lihat, Pires, ibid., 229-288.

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 57 Tak Islam”; “Adat Bersendi Syara’, Syara’ Bersendi Kitabullah”; “Syara’ Berkata, Adat Memakai”, dsb. Berdasarkan pandangan itu, maka kejayaan Islam sebagai kekuatan politik yang menerapkan God’s law is supreme di kerajaan-kerajaan Nusantara dapat dilihat antara lain melalui manuskrip-manuskrip berupa surat resmi yang dikeluarkan oleh para Sulthan dengan menggunakan aksara dan tatahan estetika Arab-Persia, serta menempatkan (hukum) Allah di atas segala-galanya. Dalam konteks ini dapat dipahami amatan Annabel Teh Gallop sebagai kurator koleksi manuskrip surat-surat resmi dan naskah (Melayu) raja- raja Nusantara yang tampak dalam penjelasan berikut.

“Kepala surat dalam bahasa Arab (Huwa Allah taala), suatu unsur yang penting dalam surat resmi Melayu,... Pada kitab undang-undang Melayu, hukum Islam bercampur dengan hukum adat dalam berbagai tingkatan. Hal yang tidak biasa dalam kitab undang-undang pidana, teks ini lebih berdasarkan kepada sumber-sumber Arab, dan memuat daftar hukuman bagi berbagai jenis kejahatan, di antaranya pembunuhan, perzinaan, fitnah dan perampokan di jalan raya”.63

Ada suatu hal yang perlu dicermati dari amatan Gallop di atas, yaitu pernyataan yang menjelaskan bahwa ‘hukum Islam bercampur dengan hukum adat’. Bagi kaum muslimin disuruh (‘amara) menempatkan hukum Islam, yang sumbernya adalah Alqur’an dan Hadist, sebagai pedoman tertinggi untuk menjalankan kehidupan.64 Ternyata, ‘pada umumnya’ istana-istana kerajaan di Nusantara, telah menempatkan hukum Allah itu sebagai pedoman hukum untuk mengatur tata- kehidupan masyarakat. Fenomena ini, juga dilihat Graaf dan Pigeaud, bahwa “Kerajaan-kerajaan itu [di Nusantara] hampir semuanya masuk ke dalam kekuasaan Islam”.65 Para Sulthan telah menempatkan God’s law is supreme sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan negara

63 Annabel Teh Gallop dan Bernard Arps, op. cit., h. 34, 65 64 Alqur’an, S, 2: 2; 11:17; S, 45:20; S,2:185; S, 17:9. 65 Graaf dan Pigeaud, op. cit., h. 2

58 Rediscovering the Treasures of Malay Culture kerajaan. Sementara, hukum adat yang digunakan dapat dilihat sebagai kelengkapan hukum atau aturan yang dibolehkan dalam Islam sepanjang tidak bertentangan dengan Alqur’an dan hadis, serta hendaklah bermanfaat untuk kebaikan bersama. Kekuatan normatif yang berasaskan pada religi Islam yang seperti demikian, secara evolutif akan membentuk tatanan kehidupan manusia yang disebut masyarakat. Dalam hal pembentukan itu, niscaya akan terjadi perubahan- perubahan substansial dari bentuk masyarakat sebelum ke bentuk ‘baru’ sesudahnya. Mayoritas bentuk-bentuk masyarakat beragama Hindu atau Buddha, atau berkepercayaan animisme pada masa sebelum Islam memasuki Nusantara, berpindah dan menjadi kaum muslimin. Sampai sekarang, masyarakat-masyarakat yang berlatar belakang Islam tersebut secara turun-temurun menempati hampir seluruh kawasan Nusantara, baik di kawasan pantai maupun di kawasan pedalaman. Mereka pada umumnya adalah masyarakat agraris atau nelayan.

Islam Membentuk Seni Pertunjukan Budaya Melayu Pada masa gemilang dan berjaya nilai dan norma Islam memasuki wilayah politik, sistem kepercayaan, sistem sosial, ataupun estetika melalui institusi-institusi kerajaan di Nusantara dengan kemampuan lokal geniusnya, secara langsung ataupun tidak langsung, telah menolak secara maksimal hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai dan norma Islam. Oleh karena itu, seni pertunjukan yang bertahan dalam kehidupan budaya mereka adalah seni pertunjukan yang secara ideal telah dibentuk atas kesesuaian atau tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Pembentukan itu bisa saja meliputi aspek tekstual (estetika) atau pun kontekstual. Kenyataan yang demikian dapat dilihat sebagaimana misalnya kasus musik perunggu talempong pacik (Minangkabau) yang bersaudara kandung dengan musik gamelan baleganjur di Bali. Pada masa Hindu di Minangkabau diyakini, bahwa musik tersebut digunakan antara lain untuk musik prosesi mengiringi jenazah ke pandam (perkuburan) sebagaimana di Bali gamelan baleganjur digunakan untuk mengantarkan jenazah ke tempat penguburan atau ngaben (kremasi). Namun di Minangkabau, tidak lagi sekarang musik talempong pacik digunakan

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 59 secara kontekstual untuk prosesi mengiringi jenazah ke perkuburan. Akan tetapi sebaliknya, digunakan antara lain untuk mengiringi prosesi orang-orang yang akan menunaikan ibadah haji ke Makkah, prosesi khatam Al-Qur’an, prosesi mengiringi datuak yang akan dinobatkan dsb.66 Sementara itu, sisi tekstual atau estetikanya tidak menjadi permasalahan dalam pandangan ajaran Islam, sehingga aspek musikal musik ini berlanjut sebagaimana adanya. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam pembentukan yang begini gejala yang muncul ialah, secara tekstual pada prinsipnya tidak ada perubahan (continue), sedangkan secara kontekstual terjadi perubahan (chages). Oleh karena itu, maka terjadi suatu perubahan berupa pembentukan atau memberi bentuk kembali (restructure) dari sesuatu yang bersifat bertentangan dengan ajaran Islam menjadi sesuatu yang dibolehkan (mubah) dalam ajaran Islam, sehingga entitas musik talempong dapat hidup sebagai bagian dari kebudayaan orang Melayu Minangkabau secara utuh. Demikian pula orang-orang Melayu pada masa kebudayaannya berlandaskan pada sistem kepercayaan animisme, mereka menggunakan gong antara lain untuk memanggil roh; sekarang gong tidak lagi digunakan untuk memanggil roh, akan tetapi digunakan (al.) untuk alat legitimasi elite tradisional. Demikian pula gong dengan perangkatnya digunakan sebagai ansambel musik dalam masyarakat Gayo – Aceh, digunakan (al.) untuk musik arak-arakan. Selain dari itu, ada genre musik Melayu Minangkabau yang teks nyanyiannya tidak lagi berisikan kata-kata ratapan sebagai ekspresi kedukaan menghadapi jenazah, sebagaimana tradisi di masa lalu berupa meratapi mayat. Akan tetapi, bentuk melodi dan nama lagu itu masih berlanjut atau hidup sampai saat ini, sebagaimana misalnya salah satu bentuk lagu musik saluang darek, yaitu lagu (ratok=ratap)“Suayan Maik Katurun” (Suayan Mayat akan Turun). Beberapa contoh genre seni pertunjukan yang dibicarakan di atas, yaitu musik talempong, gong, ataupun nyanyian, sesungguhnya adalah jenis-jenis seni pertunjukan dan peralatan musik yang sudah ada jauh sebelum Islam menjadi agama masyarakat-masyarakat Melayu pada umumnya. Oleh karena itu, pada hakikatnya musik-musik tersebut

66 Bahar, ibid., 338.

60 Rediscovering the Treasures of Malay Culture adalah musik Islami orang Melayu Minangkabau disebabkan karena ia tidak lagi bertentangan dengan ajaran Islam. Hal serupa juga akan terjadi atau ditemui dalam kehidupan budaya masyarakat-masyarakat Melayu pada umumnya, yaitu seni pertunjukan yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka, adalah seni pertunjukan yang secara ideal tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini sejalan dengan kebudayaan mereka yang secara ideal dibangun berdasarkan sistem nilai dan norma Islam. Demikian pula misalnya zapin sebagai entitas yang dihadirkan oleh pendukungnya sebagai manifestasi estetis untuk berbagai kemungkinan fungsi, sehingga ia bertahan (exist) sampai saat ini. Kemapanannya telah berproses sejak dari masa lalu sampai ia mengkristal dalam suatu bentuk yang menempati suatu kategori (genre) seni di antara kategori seni yang ada, yaitu zapin sebagai suatu entitas seni dengan ciri dan kriteria tertentu dalam perspektif epistemologinya. Sampai sekarang zapin diakui oleh para pendukungnya sebagai sesuatu yang tradisional.67 Meskipun pada mulanya “embrio” zapin hidup di kalangan orang-orang Persia (Arab) sebagai minoritas (pedagang/perantau) di Nusantara, namun dalam pembentukan proses kemapanannya, ia telah memasuki wilayah peradaban bercirikan kehidupan kota-kota kerajaan di Nusantara, terutama di bawah patronase kerajaan-kerajaan Islam pantai.68 Oleh karenanya, kemapanan dan sosialisasi zapin ke tengah masyarakat pendukung, telah melalui proses assembling normatif kehidupan kerajaan Islami Nusantara. Sebagaimana hal yang sama juga dialami dalam kehidupan seni-seni istana Karajaan (Hindu) Jawa, antara lain seni wayang yang semula adalah seni (ritual animisme) keagamaan rakyat (“little tradition”), ditransformasi (assembling) menjadi seni kerajaan (“great tradition”).69 Selanjutnya, seni-seni tersebut berkembang lagi menjadi seni yang hidup di tengah-tengah

67 Lih. Edward Shils, Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1983), p. 13, “When we speak of tradition, we speak of that which has exemplars or custodians. … that which has been and is being handed down or trasmitted. It is something which was created, was performed or believed in the past, …”. 68 Lih. juga Mohd Anis Md Nor, of The Malay World, (Singapore: Ox- ford University Press, 1993), pp. 20-22. 69 James R. Brandon, Theatre in Southeast Asia, (Massachusetts: Harvard Univer- sity Press, 1967), p. 84.

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 61 masyarakat luar istana atau keraton. Pada zapin, tindakan anssembling pembentukannya, dilatarbelakangi secara ideal oleh norma dan nilai Islam sebagaimana Islam menjadi landasan normatif kehidupan istana di bawah otoritas penguasa bergelar “Sulthan”.70 Norma-norma dan nilai Islam dijadikan sebagai landasan “tata-negara kerajaan” dan budaya masyarakat pada umumnya.71 Di antara implikasinya ialah menempatkan zapin sebagai manifestasi estetis yang tumbuh dan hidup menjadi bagian dari budaya istana Melayu, serta masyarakat Melayu pendukung pada umumnya. Oleh karena itu, “zapin” dapat diposisikan sekarang sebagai salah satu bentuk “puncak peradaban seni Islam Nusantara” yang berstruktur sendiri72, sehingga ia dapat digolongkan pada suatu genre seni tertentu, di antara genre seni yang ada. Berdasarkan pandangan di atas dapat dijelaskan, bahwa fenomena yang sama akan terjadi pada genre seni pertunjukan yang lain, yaitu ajaran Islam yang dijadikan landasan ideal kebudayaan masyarakat- masyarakat Melayu, akan membentuk suatu tatanan “baru” kehidupan seni pertunjukan mereka, dari yang ada sebelumnya menuju ke bentuk yang tidak berlawanan dengan ajaran Islam, baik tekstual maupun kontekstual. Perubahan atau diterimanya genre seni pertunjukan itu, baik berasal dari seni pertunjukan yang ada sebelum Islam menjadi agama mereka maupun seni pertunjukan berasal dari kebudayaan Arab atau kebudayaan lain, adakalanya menjadi atau bertahan sebagai bagian dari kebudayaan mereka atau bertahan disebabkan oleh karena kekuatan estetika yang dimilki oleh genre seni pertunjukan yang besangkutan. Pada hakikatnya seni pertunjukan yang tidak berlawanan

70 Lih. bagaimana Islam berkembang jadi agama kerajaan di sekitar wilayah selat Malaka dan menyebar ke beberapa kerajaan lain di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa; dalam D.G.E Hall, Sejarah Asia Tenggara, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), h.187-196; lih. juga berita tentang Malaka oleh Tome Pires, op. cit., pp. 229-259 71 Mahdi Bahar, Islam Landasan Ideal Budaya Melayu, Pemikiran Phenomenol- ogy, (Malang: Malak, 2009) , passim. 72 Mohd Anis Md Nor., op. cit., pp. 63-70: fenomena yang menetap pada zapin tergambar pada struktur dasar bentuk komposisi pertunjukannya terdiri atas bagian, yaitu salam pembukaan - taksim (salutation), bagian utama (main dance segment), dan penutup - wainab (final section). Tiga bagian ini sejalan dengan bagian musik pengiring menggunakan alat musik marwas, gambus, dan nyanyian.

62 Rediscovering the Treasures of Malay Culture dengan ajaran Islam itu adalah seni pertunjukan Islam dalam kehidupan mereka, meskipun akar seni pertunjukan tersebut tidak berasal dari kebudayaan Arab. Sebaliknya, tidak semua seni pertunjukan Arab adalah Islami.

Penutup Diterimanya Islam sebagai suatu agama oleh masyarakat- masyarakat Melayu di Nusantara yang secara kenegaraan sekarang berada dalam lingkungan wilayah Asia Tenggara telah mengubah bentuk kebudayaan mereka dari yang sebelumnya mayoritas berbasiskan pada ajaran Hindu atau Budha, termasuk ajaran-ajaran atau kepercayaan sebelum itu, menjadi suatu bentuk kebudayaan yang secara ideal (nilai dan norma) tidak berlawanan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, eksistensi ajaran Islam dalam kehidupan mereka bukanlah mempengaruhi, akan tetapi adalah membentuk, yaitu mengubah struktur dari yang sebelum ke struktur yang “baru”. Salah satu aspek dari kebudayaan mereka itu adalah terbentuk atau tumbuh bentuk-bentuk genre seni pertunjukan yang secara tekstual ataupun kontekstual tidak berlawanan atau bertentangan dengan ajaran Islam. Ini mereka lakukan dengan cara mengubah atau menyesuaikan, dan bahkan membuat sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya atau menerima sesuatu yang baru, sehingga menjadi bagian dari tradisi atau kebudayaan mereka. Dalam pengubahan atau penyesuaian, atau membuat dan bahkan menerima sesuatu yang “baru” itu, lingkungan setempat turut memberi pengaruh, sehingga tumbuh berbagai corak genre seni pertunjukan masyarakat-masyarakat Melayu di Nusantara sesuai dengan lingkungannya, yang “dibangun” baik langsung atau pun tidak langsung atas ajaran Islam. Entitas seni pertunjukan dengan segala keragamannya yang tidak berlawanan atau bertentangan dengan ajaran Islam yang telah menjadi bagian dari kebudayaan atau tradisi mereka itu, pada hakikatnya merupakan bentuk-bentuk seni pertunjukan Islam Nusantara. Secara tekstual atau pun kontekstual kelangsungan hidupnya telah “mengabadikan” nilai-nilai luhur kepribadian nan elok masyarakat-

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 63 masyarakat Melayu pada umumnya, dan khususnya masyarakat- masyarakat Melayu di Indonesia sebagai bagian dari kepribadian bangsa Indonesia.

Kampung Jambak, November 2012

64 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Kepustakaan Alqur’an dan Terjemahannya “Mujamma’al Malik Fahd Li Thiba’at Al Mushaf-haf Asy-syarif Madinah Al Munawwarah Po Box 6262 Kerajaan Arab Saudi” Hasymy, ed. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Alma’arif, 1989. Al-Faruqi, Isma’il R. dan Lois Lamya Al-Faruqi. Atlas Budaya Islam. Bandung: Mizan, 2003. Anis Md Nor, Mohd. Folk Dance of The Malay World.Singapore: Oxford University Press, 1993. Ayatrohaedi. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya, 1986. Bahar, Mahdi. “Perkembangan Budaya Musik Perunggu Minangkabau”. Disertasi untuk meraih gelar Doktor dalam Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2003. ------. Islam Landasan Ideal Budaya Melayu, Pemikiran Phenomenology. Malang: Malak, 2009. Bernard H.M, Vlekke,. Nusantara: Sejarah Indonesia, terj. Dewan Bahasa dan Pustaka dari “Nusantara A History of Indonesia”. Kuala Lumpur: Tien Wah Press (M) Sdn. BHD, 1967. Brandon, James R. Theatre in Southeast Asia, (Massachusetts: Harvard University Press, 1967. Djoened, Marwati dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka, 1993. Gallop, Annabel Teh dan Bernard Arps. Golden Letters, Writing Traditions of Indonesia. London: The British Library, 1991. Graaf H.J. De dan Th. G. Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1989. Hadi Y, Sumandiyo. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000. Hall, D.G.E. Sejarah Asia Tengara. Terj. I.P. Soewarsha. Surabaya: Usaha Nasional, 1988. Heine-Geldern, Robert. Konsepsi Tentang Negara & Kedudukan Raja di Asia Tenggara, terj. Deliar Noer. Jakarta: CV. Rajawali, 1982.

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 65 Yunus, Mahmud. Kamus Bahasa Arab. Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuryah, 1989. ------. “Resource Constraints and Relations of Appropriation Among Tropical Forest Foragers: The Case of The Sumatran Kubu”, dalam Research in Economic Anthropology, volume 10. Greenwich-Connecticut, JAI Press Inc., 1988. Lombard, Denys. Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda. Jakarta: Balai Pustaka, 1991. Microsoft Encarta Premium 2006. Moeliono, Anton M. Kamus Besar Bahasa Indoensia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Mulyono, Slamet. Menudju Puntjak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Madjapahit. Djakarta: Balai Pustaka, 1965. ------. Perundang-undangan Madjapahit. Djakarta: Bhratara, 1967. Noerid Haloei Radam. Religi Orang Bukit. Yogyakarta: Yayasan Semesta, 2001. Pires, Tomé. The Suma Oriental of Tomé Pires. Trans. Armando Cortesão. London: Hakluyt Society, 1944. Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia, jilid I. Jakarta: Balai Pustaka, 1993. ------. Sejarah Nasional Indonesia, jilid II. Jakarta: Balai Pustaka, 1993. ------. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka, 1993. ------. Sejarah Nasional Indonesia, jilid V. Jakarta: Balai Pustaka, 1993. Radam M, Noerid Haloei. Religi Orang Bukit. Yogyakarta: Yayasan Semesta, 2001. Radcliffe-Brown, A.R. Structure and Function in Primitive Society. New York: The Free Press, 1952. Reid, Anthony. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, jilid I. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992. Sandbukt, Oyvind. “Kubu Conceptions of Reality”, dalam Asian

66 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Folklore Studies, vol. 43. Nagoya: Anthropological Institute Nanzan University, 1984. Santosa, dkk. Etnomusikologi Nusantara: Perspektif dan Masa Depannya. Surakarta: ISI Surakarta Press, 2007. Schadee, M.C. Kepercayaan Suku Dayak Di Tanah Landak Dan Tayan. Jakarta: Yayasan Idayu, 1979. Schefold, Reimar. Mainan Bagi Roh Kebudayaan Mentawai. Terj. Mien Joebhaar. Jakarta: Balai Pustaka, 1991. Shils, Edward. Tradition. Chicago: The University of Chicago Press, 1983. Toffler, Alvin. Kejutan Masa Depan, terj. Sri Koesdiyatinah. Jakarta: Pantja Simpati, 1992. unilily.wordpress.com; 12-01-09. Woodward, Mark R. Islam Jawa, terj. Hairus Salim. Yogyakarta: LkiS, 1999.

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 67 68 Rediscovering the Treasures of Malay Culture GAGASAN MELAYU SERUMPUN DALAM KONTEKS ‘GEO-BUDAYA’

Prof. Datuk Wira Dr. Abdul Latiff Abu Bakar Universiti Pendidikan Sultan Idris, Malaysia

Pertumbuhan Kebudayaan Melayu Kebudayaan Melayu yang ada sekarang ini sebenarnya telah mengalami proses persambungan dan perubahan (mengikut penyesuaian keadaan) sejak 3,500 tahun dahulu. Sehingga sekarang, kebudayaan Melayu mempunyai identiti yang tersendiri dan Islam memainkan peranan penting dalam menentukan identiti tersebut. Sejak kedatangan Islam di Alam Melayu, lebih kurang 800 tahun dahulu, orang-orang Melayu telah menerima pengaruh Islam di dalam menentukan siapakah yang disebut Melayu itu. Pada zaman penjajahan Inggeris, para penulis, aktivis dan intelek Melayu menanamkan semangat supaya orang-orang Melayu bersemangat ‘cintakan bangsa (Melayu, (agama Islam) dan tanah air (Tanah Melayu)’. Di sini, agama Islam telah dijadikan unsur yang amat penting dalam menentukan identiti budaya bagi memperjuangkan hak di tanah air mereka (Abdul Latiff Abu Bakar, Kebudayaan Kebangsaan Dalam Pembinaan Negara Bangsa, 1987, hal. 20-22). Alam Melayu atau Dunia Melayu yang wujud tidak kurang 3,500 tahun dahulu telah didiami oleh orang-orang Melayu. Di dalam zaman prasejarah ini, orang-orang Melayu mempunyai cara hidup dan sistem masyarakat yang tersendiri. Di samping itu mereka telah menerima berbagai-bagai perkembangan dan pengaruh dari India (Hindu-Buddha) sejak 1,500 tahun yang lalu, Arab-Parsi (Islam) sejak 800 tahun yang lalu dan pengaruh Barat sejak 500 tahun yang lalu. Kerajaan yang memperkenalkan Melayu dan menguasai Dunia Melayu ini pada abad ke-7 ialah kerajaan Sriwijaya, seterusnya diikuti kerajaan Majapahit dan kerajaan Kesultanan Melayu Melaka pada abad ke-15.

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 69 Sejak tahun 1699, negeri-negeri jajahan Melaka yakni negeri-negeri di Tanah Melayu telah membebaskan diri dan menjadikan pentadbiran negeri masing-masing. Ciri-ciri pentadbiran yang ditinggalkan oleh Melaka telah diikuti di samping itu, agama Islam menjadi agama rasmi. Kebudayaan Melayu yang pada mulanya berasaskan kepercayaan anismisme mempunyai nilai yang tersendiri sebelum kedatangan pengaruh kebudayaan luar. Setelah pengaruh kebudayaan luar meresapi masyarakat Melayu, orang-orang Melayu telah menilai dan menyaring mana-mana yang berguna dan sesuai diterima oleh masyarakat Melayu. Sejak 3,500 tahun dahulu, kebudayaan Melayu telah melalui berbagai-bagai ujian, tetapi tidak pula terhapus di rantau ini, bahkan telah disesuaikan dengan cara kehidupan mereka mengikut perubahan masa. Wujudnya kebudayaan Melayu itu sudah dapat membentuk masyarakat yang maju, di samping mempunyai sistem pemerintahan, ekonomi dan agama yang tersendiri. Pengaruh dari luar terhadap masyarakat Melayu yang beku dan primitif tetapi lebih menunjukkan bahawa masyarakat Melayu purba merupakan masyarakat yang maju dan sentiasa terbuka kepada idea-idea baru dari luar. Kebudayaan Melayu telah mengalami perubahan hasil dari pertembungan dua masyarakat atau budaya (cultural contact) menerusi proses-proses difusi, asimilasi atau penyebatian dan perubahan- perubahan masyarakat yang lainnya. Kebudayaan Melayu yang kita warisi adalah sesuai tanpa merosakkan identitinya dari zaman ke zaman hinggalah ke hari ini. Ia telah berkembang sekian lama dari simple kepada kompleks, mengalami dari semasa ke semasa akibat pertembungannya dengan pengaruh luar. Perkembangan dalam kemajuan hidup dan penyesuaian dengan alam sekeliling merupakan faktor utama perubahan dari dalam (internalistic) masyarakat Melayu sendiri. Perubahan yang dialami oleh masyarakat Melayu ini telah mengakibatkan perubahan kebudayaan, iaitu setelah mengalami proses-proses perubahan atau penyesuaian. Walaupun daerah-daerah di Alam Melayu telah dikuasai oleh penjajah-penjajah Eropah (sejak abad ke-16) seperti Portugis di Melaka, Spanyol di Filipina, Belanda di Indonesia, Inggeris di Tanah Melayu, namun orang-orang Melayu yang berada di daerah-daerah tersebut

70 Rediscovering the Treasures of Malay Culture sudah sebati dengan kebudayaan Melayu. Pengaruh kebudayaan Barat kurang mendapat perhatian (kecuali di Pulau Luzon-Filipina) di kalangan orang-orang Melayu di rantau ini. Ini memandangkan orang- orang Melayu sudah mempunyai sistem kebudayaan yang tersendiri. Pada umumnya, orang-orang Melayu sudah mempunyai identiti kebudayaannya dan paling akhir mereka menerima perubahan dan penyesuaian adalah dari pengaruh Islam. Zaman kegemilangan Kesultanan Melayu Melaka pada abad ke- 15 telah menjadi model utama terhadap kebudayaan Melayu yang berunsurkan kepada Islam. Di samping menjadi pusat perdagangan di rantau ini, Melaka juga telah menjadi pusat kebudayaan Melaka yang kuat. Melaka mempunyai sistem pemerintahan yang kukuh, undang- undang (Hukum Kanun) dan sebagainya. Ciri-ciri sistem pemerintahan pula meluas digunakan di negeri-negeri Melayu pada abad ke-18. Asas kebudayaan yang kuat ini telah ditanamkan kepada anak-anak negeri yang pernah dijajah oleh kerajaan Melayu Melaka, terutama di pesisir Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu. Ini jelas apabila penjajah Portugis, Belanda dan Inggeris menakluki Melaka, pengaruh kebudayaan barat dan agama Kristian tidak mendapat perhatian di kalangan masyarakat Melayu. Lebih-lebih lagi, kedatangan penjajah-penjajah di rantai ini lebih mementingkan lapangan ekonomi (perniagaan dan perdagangan) dari menyebarkan kebudayaan Barat kepada orang-orang Melayu. Melalui Perjanjian Pangkor 1874, jelas menunjukkan bahawa kekuasaan politik pihak Inggeris lebih diutamakan demi untuk menjalankan kegiatan ekonominya secara besar-besaran di Tanah Melayu. Inggeris telah ‘menguasai’ negeri ini melalui Residen Inggeris, manakala sultan pula diberikan kuasa atau mengetuai hal-ehwal agama Islam dan menjaga adat resam Melayu. Keadaan ini telah menjadikan kebudayaan Melayu bertambah kukuh dan tidak menerima cabaran yang kuat dari penjajah Inggeris di Tanah Melayu. Peradaban atau tamadun dunia telah wujud lebih dari 3,500 tahun dahulu dan terkenal dengan Peradaban Arab dan Islam, Peradaban Eropah, China, India dan Melayu. Pengertian Peradaban Melayu dilihat dari segi “geo-culture” yang menumpukan kepada wilayah atau stok Melayu Austronesia yang terdiri dari umat Melayu yang berada di

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 71 Gugusan Kepulauan Melayu atau dikenali sebagai ‘Malay Archipelago’ atau ‘Golden Chersonese’ dan orang Melayu mengenalinya sebagai Rumpun Melayu. Rumpun Melayu ditakrifkan sebagai suatu rumpun bangsa Melayu Austronesia yang mempunyai bahasa Melayu dituturi lebih kurang 300 juta umat Melayu dan yang kelima ramainya penutur dalam dunia. Di samping bahasa Melayu, terdapat ratusan bahasa etnik atau suku bangsa Melayu seperti bahasa Jawa, Bugis, Acheh, Minangkabau, Mendeleng, Batak, Kadazan, Iban, Mindanau dan lain- lain. Berdasarkan hakikat, sejarah dan warisan bangsa dan suku bangsa di wilayah ini (dalam konteks makro) terdiri dari orang Melayu di wilayah yang berada di wilayah Rumpun Melayu. Orang Melayu atau dikenali sebagai ‘Malay Race’ pula mempunyai pelbagai dan ratusan suku atau etnik bangsa Melayu. Sebelum wilayah Rumpun Melayu dari Madagaskar hingga ke Taiwan dijajah oleh kuasa Barat mulai tahun 1511 oleh Portugis di Melaka, Spanyol di Filipina, Indonesia pada abad ke-16, Empayar Rumpun Melayu kukuh dan mempunyai kuasa politik dan pentadbiran di bawah Empayar Sriwijaya dan Majapahit, diikuti Kesultanan Melayu Melaka pada abad 15 dan Empayar Melayu ini mula berpecah dan menjalankan pentadbiran di wilayah-wilayah mereka dengan mengukuhkan institusi Kesultanan Melayu di Tanah Melayu (Malaysia) seperti di Johor, Pahang, Perak, Selangor, Kedah, Perlis, , Terengganu dan Kelantan. Di Indonesia pula tetap berkembang institusi Raja Melayu seperti di Jawa, Kalimantan, Sambas, Acheh, Deli, Serdang, Ambun, Ternate, Riau, Sulawesi, Minangkabau dan lain-lain. Institusi Raja-Raja dan Kesultanan Melayu berkembang dan berterusan sejak zaman Kesultanan Melayu Acheh di abad ke-13 sehingga sekarang yang berteraskan kepada ajaran Islam. Institusi Raja- Raja Melayu ini mempunyai sistem pentadbiran, undang-undang, ekonomi, pendidikan yang tersendiri dan bahasa Melayu menjadi pengantar utama dalam pentadbiran, kegiatan ekonomi, agama dan pendidikan. Bahasa Melayu sebagai pengantar utama di Rumpun Melayu tetap menjadi bahasa penting dan rasmi sehingga mendorong orang Barat menguasai dan menggunakan juru bahasa dan tulis dalam

72 Rediscovering the Treasures of Malay Culture bahasa Melayu dalam menjalankan urusan mereka di wilayah Rumpun Melayu. Pada awalnya, bahasa Melayu (Sanskrit) digunakan dan diikuti bahasa Melayu (Jawi) menggunakan huruf Arab yang menjadi bahasa Melayu yang utama sekitar abad 12 sehingga pemerintahan Institusi Kesultanan Melayu berakhir, mulai abad 20, penggunaan bahasa Melayu – tulisan rumi mula mendapat tempat sehingga sekarang. Umumnya, umat Melayu di Rumpun Melayu tetap bertutur dan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa utama untuk berkomunikasi, perniagaan dan ilmu dalam kehidupan hariannya. Di samping itu, terdapat pelbagai bahasa suku atau etnik yang diamalkan dalam kehidupan harian bagi keselesaan dan menggambarkan kepelbagaian golongan suku bangsa yang berada di Rumpun Melayu. Dilihat dari segi sejarah dan warisan, maka bahasa Melayu telah menjadi bahasa rasmi dan kebangsaan di Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura dan Selatan Thailand. Umat Melayu di Rumpun Melayu kerap mencari ilmu agama Islam di wilayah Rumpun Melayu yang menggunakan bahasa Melayu (Jawi) seperti di Kalimantan, Pattani, Palembang, Melaka, dan Kelantan. Ramai juga umat Melayu yang berbahasa dan budaya Melayu serta agama Islam berhijrah dan merantau di Rumpun Melayu untuk menjalankan kegiatan perniagaan, mendapatkan ilmu, menziarah keluarga dan sebagainya. Ini beza dengan orang India dan Cina yang datang dari benua yang lain yang mempunyai sejarah dan warisan yang berbeza sebagai golongan pendatang (Imigren). Mereka, kemudiannya terpaksa menyesuaikan diri (asimilasi) dengan umat dan penduduk tempatan dan ada pula mengasingkan diri dengan penduduk tempatan dalam satu kelompok yang dikenali sebagai ‘masyarakat plural’ yang masih kekal dengan warisan budaya masing-masing. Berdasarkan sejarah dan warisan umat Melayu di Rumpun Melayu, maka dapatlah kita simpulkan bahawa dari segi ‘Geo-Culture’ umat Melayu di dunia ini adalah dari kumpulan atau stok ‘Melayu Serumpun’ dan wilayah yang mereka duduki ini dikenali sebagai ‘Rumpun Melayu’ yang mempunyai warisan peradaban Melayu yang sangat tinggi nilainya dan setaraf dengan peradaban dunia yang lain. Ini selaras dengan pengertian dan konsep peradaban Melayu yang setara dengan peradaban dunia.

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 73 Peradaban atau tamadun Melayu adalah warisan dari Peradaban dunia. Munculnya peradaban yang besar dan masyhur seperti peradaban Yunani, Mesir, China, India dan Islam mempunyai penonjolan yang tersendiri yang terkenal dengan hasil kesenian, falsafah, budaya, ekonomi sesuatu bangsa. Namun, ciri-ciri warisan peradaban yang sejagat (Buku Tamadun Islam dan Tamadun Melayu, Universiti Malaya, 2006, hal. 5) adalah seperti berikut: 1. Kewujudan penempatan masyarakat manusia di sebuah kawasan atau beberapa kawasan yang disatukan membentuk kota, bandar, kepolisan atau Madinah. 2. Peningkatan kualiti kehidupan yang lebih sempurna berbanding sebelumnya, seterusnya terhasil peningkatan jangka hayat penghidupan yang lebih stabil dan panjang. 3. Kewujudan sistem organisasi dan institusi sosial dalam bidang politik, pentadbiran, ekonomi dan pendidikan yang sempurna dan teratur. 4. Kemunculan satu bahasa atau beberapa bahasa yang serumpun dengan satu tulisan yang tersendiri bagi menjadi perantaraan komunikasi, perakaman, penyampaian dan pewarisan khazanah tamadun dalam pelbagai bidang ilmu. 5. Kewujudan sistem perundangan yang teratur dan sistem nilai serta moral yang berwibawa yang dikuatkuasakan untuk mengatur perlakuan dan tindak-tanduk masyarakatnya dalam segala kegiatan kehidupan. 6. Kelahiran dan peningkatan daya reka cipta dalam penciptaan teknologi dan pembinaan bagi menyempurnakan lagi keselesaan hidup. 7. Kelahiran dan perkembangan daya kreativiti dalam menghayati falsafah, kesenian, kesusasteraan dan nilai estetika yang tersendiri.

Berdasarkan hakikat ini, Melaka dan wilayah Rumpun Melayu adalah sebuah Empayar Kesultanan Melayu Melaka yang setaraf dengan warisan peradaban dunia, di mana mempunyai penempatan

74 Rediscovering the Treasures of Malay Culture bandar, kota, kualiti kehidupan yang sempurna, mempunyai sistem organisasi politik, ekonomi, pentadbiran, pendidikan, mempunyai undang-undang, bahasa dan tulisan untuk berkomunikasi, falsafah kesenian, kesusasteraan, sejarah dan nilai estetika yang menggambarkan kekuatan jati diri bangsa Melayu. Salah satu warisan peradaban Melayu yang menjadi teras kepada jati diri Melayu Serumpun ialah amalan bersopan santun dan berbudi bahasa. Mengikut Datuk Dr. Tenas Effendi bahawa Budaya Melayu sangat menjunjung tinggi nilai kesopanan santunan, yang menjadi salah satu asas jati diri kemelayuan yang terpuji. Ungkapan adat Melayu mengatakan: “Berbuah kayu daunnya, bertuah Melayu terbilang santunnya”. “Elok kayu kerana daunnya, elok Melayu kerana santunnya”. Di dalam pergaulan sehari-hari, kesantunan menjadi tolok ukur untuk menilai seseorang. Betapa pun tinggi kedudukan dan pangkatnya, betapa pun kaya rayanya seseorang, apabila perilaku dan perangainya tidak menampakkan sikap bersopan santun, orang itu tidak akan dihormati. Bahkan sebaliknya, ia akan menjadi ejekan dan cemuhan, bahkan dijauhi oleh masyarakatnya, kerana dianggap menyalahi adat dan budaya Melayu yang menjunjung tinggi dan memuliakan kesopan santunan. Dari kaca mata adat resam Melayu, orang yang tidak memiliki kesopan-santunan disebut: “tak tahu adat” atau “tidak beradat”. Sebutan ini amatlah mereka takuti, kerana bermakna orang itu kedudukannya tidak lebih daripada seekor haiwan (Kesantunan Bagi Orang Melayu, Kesantunan dan Semangat Melayu, hal. 1-2, 2012). Pentingnya kesopan-santunan di dalam kehidupan orang-orang Melayu, menyebabkan mereka berusaha sehabis daya dan upayanya untuk menjadikan dirinya orang yang berbudi pekerti terpuji, berakhlak mulia dengan landasan iman dan taqwa.

Tunjuk Ajar Melayu mengatakan: “Apalah tanda orang berbudi, Bersopan santun sebarang pekerti”

“Apalah tanda orang beriman,

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 75 Duduknya santun tegaknya sopan”

Selanjutnya dikatakan: “Apabila hidup hendak selamat, Berbudi bahasa berhemat cermat”

“Apabila hidup hendak sejahtera, Sopan dijaga, santun dipelihara”

“Apabila hidup hendak terpandang, Sopan santun jangan dibuang”

“Supaya hidup beroleh kebahagiaan, Bersopan santun sebarang kelakuan”

Melalui ungkapan yang lain dijelaskan: “Apabila hidup santun dan sopan, Duduk beramai banyaklah kawan Ke laut ke darat tiada halangan Hidup sejahtera dirahmati Tuhan”

“Apabila kesantunan dijadikan sifat Dalam bergaul banyak manfaat Saudara suka sahabat mendekat Mana yang renggang menjadi rapat, Mana yang jauh menjadi dekat”

“Apabila kesantunan menjadi pakaian Berumah tangga beroleh keberkahan Berkampung halaman terasa nyaman Berkaum bangsa tiada bersalahan Hidup dan mati dirahmati Tuhan”

Umat Melayu Serumpun yang mengamalkan warisan budaya Melayu dan sukuan bercakap bahasa Melayu dan bahasa sukuan. Sukuan dan beragama Islam diiktiraf sebagai kelompok yang mempunyai

76 Rediscovering the Treasures of Malay Culture ciri-ciri penting peradaban atau tamadun Melayu. Dilihat dari aspek geo-politik, warisan peradaban Melayu ini bermula dan berkembang sehingga sekarang yang dikenali sebagai warisan peradaban Indonesia dan peradaban Malaysia bagi memberi ruang dan sumbangan warga negara yang lain dan yang bukan beragama Islam. Namun agama Islam, bahasa dan budaya Melayu tetap dominan dalam mempertahankan warisan peradaban Melayu yang berkembang di Rumpun Melayu atau Dunia Melayu dan menjadi pengaruh yang kuat dalam ASEAN (Abdul Latiff Abu Bakar, Seminar di , Sumatera Barat, 5 Julai 2012, hal. 1-7). Adalah menjadi tanggungjawab kita terutama pemimpin- pemimpin menghayati warisan peradaban Melayu ini dengan mengenali lebih dekat, mempelajari, mengamalkan dan memperkembangkan dari masa ke semasa serta dari satu generasi ke satu generasi. Peradaban Melayu ini berteraskan kepada gagasan jati diri Melayu Serumpun yang berpaksikan kepada bahasa Melayu, budaya Melayu dan agama Islam. Kita wajib bersatu bagi mengwujudkan perpaduan dan kesatuan Dunia Melayu yang pada dasarnya meletakkan Peradaban Melayu setaraf dengan peradaban dunia. Selaras dengan firman Allah S.W.T dalam Surah Al-Hujurat (Ayat ke-49); Allah S.W.T menjelaskan bahawa; “Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenali”. Di samping itu Allah S.W.T mahukan agar umat Islam bersatu dan “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, kerana itu damaikanlah antara kedua-dua saudaramu (yang berselisih dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”. Sehubungan itu, Allah S.W.T menggesa agar kita tidak membawa cerita-cerita atau berita yang negatif. “Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum kerana kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatan itu. Dan adalah menjadi tanggung jawab orang mukmin mengwujudkan perdamaian sesama umat Islam dan ini jelas apabila Allah S.W.T berfirman: ”Apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya”. Jika salah satu dari

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 77 keduanya berbuat zalim terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang membuat zalim itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah S.W.T. jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah S.W.T), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlakulah adil. Sesungguhnya Allah S.W.T mencintai orang-orang yang berlaku adil”. Berdasarkan Surah Al-Hujurat, surah ini boleh dijadikan panduan kepada setiap warga Melayu Serumpun ingat–mengingat agar kita dapat bersatu mengwujudkan kesatuan dan perpaduan di dunia khususnya di kalangan umat di Dunia Melayu dan Dunia Islam. Di lihat dari konteks geo-budaya dan lingkungan warisan peradaban Melayu maka setiap umat Islam di Dunia Melayu dan Dunia Islam hendaklah bertanggungjawab mengukuhkan dan memperkasa warisan peradaban Melayu dengan menyematkan semangat dan kekuatan jatidiri Melayu Serumpun yang berpaksikan kepada ajaran Islam dan nilai-nilai murni yang lain termasuk memperkasakan seni budaya dan bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu, bahasa komunikasi, bahasa perdagangan, bahasa pemerintahan pada zaman globalisasi ini. Bagi mengukuhkan dan memperkembangkan warisan peradaban Melayu adalah menjadi tanggungjawab rakyat setiap negara khususnya Melayu Serumpun bersatu dan bijak memilih pemimpin Melayu yang mempunyai pegangan agama Islam yang kuat dan mempunyai jati diri Melayu atau setiap negara terutama Indonesia dan Malaysia yang mempunyai gagasan satu bangsa, satu bahasa dan satu negara. Sejak Indonesia mencapai kemerdekaan (1945) dan Malaysia (1957) kita menghadapi pelbagai cabaran, dugaan dan perpecahan bagi melayan kehendak demokrasi moden dan ramai yang berjuang tidak berlandaskan kepada perpaduan mengikut kaca mata agama Islam sebaliknya menuntut dan memperjuangkan hak kebebasan dan demokrasi diertikan sebagai menuntut negara sekular yang penuh kebebasan, liberalisme, dasar hak asasi manusia yang tidak bersandarkan ajaran agama Islam dan sebagainya. Isu-isu dan berita buruk yang cuba memecah-belahkan perpaduan dan kesatuan Dunia Melayu Dunia Islam hendaklah dihindarkan sebaliknya kita perlu menjalinkan hubungan silaturahim dengan

78 Rediscovering the Treasures of Malay Culture kegiatan-kegiatan dan bertukar-tukar seni budaya demi menjaga kepentingan bersama. Rumpun Melayu telah melahirkan khazanah peradaban Melayu yang sangat tinggi nilainya dan warisan ini telah dibawa oleh warga Melayu Serumpun dari pelbagai suku yang terdiri dari Melayu Jawa, Melayu Minangkabau, Melayu Bugis, Melayu Riau, Melayu Aceh dan sebagainya. Apabila mereka merantau atau berhijrah ke satu tempat di Rumpun Melayu, mereka tetap membawa dan memperkembangkan warisan seni budaya Melayu berteraskan Islam ke tempat yang dituju. Mereka menjadi juara dan mempunyai kekuatan jati diri Melayu Serumpun ke mana mereka pergi. Kita tidak perlu cemburu dan khuatir akhir warisan ini turut berkembang dan diterima oleh saudara serumpun yang sejiwa dan sesuai memartabatkan warisan seni budaya serumpun. Namun ia tetap berasal dari Indonesia sekiranya ia dikembangkan di Malaysia seperti tarian Endang Kuda Kepang, Tor-t, Gordang Sembilan dan sebagainya. Begitu juga, tarian Melayu dari Malaysia seperti dan zapin yang berkembang di Indonesia dan Brunei tetap menjadi warisan bersama. Di atas semangat jati diri Melayu Serumpun yang berteraskan bahasa dan kebudayaan Melayu dan Islam, warisan itu tetap menjadi warisan dan jati diri Melayu Serumpun apabila dilihat dari segi ‘Geo-Budaya’.

Bibliografi Abdul Latiff Abu Bakar. “Sejarah Pemikiran Konsep Kebudayaan Malaysia, Kebudayaan Kebangsaan Dalam Pembinaan Negara Bangsa Malaysia, Biro Pendidikan UMNO Malaya, 1987. ------”Jatidiri Serumpun Dalam Konteks Perpaduan dan Kesantunan Umat Islam”, Seminar Hubungan Kebudayaan Malaysia-Indonesia, Sawahlunto, Sumatera Barat, Indonesia, 5 Julai 2012. ------”Jati diri dan Patriotisme Teras Peradaban Malaysia, Institut Peradaban Melayu, UPSI dan GAPENA, 2012. Kesantunan dan Semangat Melayu, Datuk Dr. Tenas Effendy, Yayasan

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 79 Tenas Effendy, 2012) Tamadun Islam dan Tamadun Melayu, Penerbit Universiti Malaya, 2006. ------”Kegemilangan Empayar Kesultanan Melayu Melaka dan Sulalatus Salatin Dalam Peradaban Malaysia”, Jabatan Seni Visual Malaysia, 2012.

80 Rediscovering the Treasures of Malay Culture MELAYU DAN SENI KONTEMPORER [Menggoda Majelis Dunia pada Anjakan Aras Menyerbu]

Prof. Dr. Yusmar Yusuf Universitas Riau, Pekanbaru

Riayadah Awal Ketika berbincang mengenai seni kontemporer, kita tak bisa melepas diri pada kaidah waktu. Sementara, waktu itu sendiri memiliki ‘kembaran’ dalam wujud lain bernama ruang. Kita yang melakukan perpindahan dari waktu bernama masa lalu ke masa kini [dalam persepsi], adalah sejumlah rombongan yang melakukan pelintasan waktu sekaligus “ruang”. Untuk melintas sebuah ruang dan untuk sampai ke ruang berikutnya, kita membutuhkan waktu. Begitu juga dua kaidah dasar [ruang dan waktu] itu menjadi penanda mengenai serangkaian perbuatan kebudayaan manusia di atas bumi. Perbuatan kebudayaan itu sendiri, sejatinya adalah sebuah penanda mengenai ruang dan waktu pula. Dilekatkan sebagai penanda, karena pada sebuah perbuatan kebudayaan [dalam hal ini seni] selalu disebut-sebut dilahirkan dan dibesarkan oleh sebuah semangat zaman [die Zeitgeist]. Dari sini kita diberi informasi, pada periode apa seni ini lahir dan mengalami era emas. Dan pada era atau periode apa pula seni kontemporer ini lahir dan dibela [baca dengan e pepet] oleh sebuah komunitas seni atau masyarakat seni. Lalu, pada periode apa seni dengan segala percabangannya itu mengalami fase hilang dan lenyap. Terpinggir dari segala bentuk gemuruh kebudayaan. Dan orang pun secara ringkas memberi pembatasan mengenai waktu itu, antara masa lalu dan masa kini. Inilah hakikat dari diksi ‘tempo’ [masa, periodisasi, eraisasi] dalam penggalan waktu yang progresif dinamis

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 81 itu. Seni-seni yang bersepakat untuk menggali khazanah kekinian namun tetap berpijak pada paksi seni radisi, kemudian diolah dengan segala perkakas kekinian, dia menjadi ‘sahabat’ sebuah masa yang bergemuruh [co-tempo]. Di sini kita menegunkan ingatan dan kontemplasi mengenai penghadapan kaidah masa lalu dan masa kini. Bahwa kita sedang berada pada semenanjung waktu masa kini, lalu kita juga semacam ditugaskan secara ‘nubuat’ untuk memperkasakan segala hal dan ihwal yang berkenaan dengan kekinian termasuk wilayah penciptaan seni. Lalu di mana masa depan? Bahwa secara kritis kita boleh mengatakan bahwa kita terperangkap dalam kaidah “kembali ke akar tradisi”, diharuskan kembali ke ‘rumah batin’ kebudayaan. Namun, kita hanya disuruh dan dianjurkan kembali dan pulang. Tapi, kita tak pernah mengalami ‘pergi atau merantau’. Jika begini, kapan kita pergi? Tahu- tahu kita sudah disuruh pulang? Seni Melayu seakan mengulik, menguli segala yang berpaku di masa lalu. Seakan gamang memanjat masa depan melalui anak tangga masa kini. Semua itu tersebab oleh sebuah ‘anjuran’ besar untuk mengangkat segala jahitan dan benang bernama lokalitas, “batang terendam”, kembali ke akar tradisi. Melayu seakan ‘terantai’ atau malah ‘merantai” diri pada pokok kayu masa lalu. Seakan tak ikhlas menjalani kekinian untuk menerobos masa depan. Ihwal ini sejalan dengan geriang injab politik dan otonomisasi, yang seakan mendorong setiap ‘rumah batin’ kebudayaan di Indonesia menoleh ke masa lalu dalam hamparan permai[dani] masa lalu yang molek, mengkilap dan tinggi. Ingat: sesuatu yang hilang, senantiasa dimajeliskan dalam bingkai serba elok, molek dan indah ranggi. Dan masa lalu mengalami konstruksi berjemaah oleh ‘orang-orang kalah’ yang tengah tersasar atau malah tersesat menjalani kekinian. Sejatinya, melihat bingkai masa lalu, diterjemahkan dalam makna kekinian [memberi sentuhan present meaning], bukan malah menggendangkan segala perkakas masa lalu, memoles sesuatu yang dianggap seni masa lalu dalam bingkai masa lalu pula oleh sebuah persepsi liar oleh sekumpulan manusia yang tengah menjalani kekinian. Begitu pula nasib seni; mengacu percabangan seni yang ada dan terdedah. Seakan berkutat pada masa lalu dengan alasan memuliakan

82 Rediscovering the Treasures of Malay Culture akar-umbi tradisi, bertapak pada paksi tradisi, mengalungkan seni kontemporer dengan serangkaian inisiasi besar dengan rasa serba ‘lokalitas’. Lokalitas pun mengalami ‘penghadapan’ secara oposisional dengan universalitas.

Etika Masa Depan Kontemporer; kekinian sejatinya ialah sebuah cara manusia menyusun serangkaian terimakasih kepada masa kini. Sebab dengan oksigen kekinian, udara, iklim dan dinamika kekinian lah kita diberi kekuatan meneroka masa lalu nan jauh dan menciptakan ‘masa depan’ yang bertanjung-tanjung sayup di ujung waktu. Dalam seni dan segala perbuatan kebudayaan, manusia sebenarnya memiliki satu nafs [keingingan, idaman, dorongan, will] untuk mengacu pada satu etika, yang disebut sebagai ‘etika masa depan’. Kesenian juga semestinya setia mengukir etika masa depan itu. Sebab, apa-apa yang dilakukan dan diperbuat hari ini adalah sebuah ikhtiar kita menciptakan sesuatu yang dilontarkan ke masa depan. Seni tradisi, seni klasik Melayu yang kita nikmati hari ini adalah sebuah karya “masa depan” yang dilahirkan oleh nenek moyang kita di masa lalu. Kenapa kita harus membangun etika masa depan itu? Karena kita yang hidup hari ini adalah semajelis manusia yang bakal menghabiskan sisa usianya dan menumpang hidup di masa depan. Kita menghabiskan sisa usia di sebuah masa di ujung sana. Dan tugas kita lah membangun istana tempat kita bersimpuh, dan menekuk teluk teduh tempat para jauhari melabuhkan sauh. Seni kontemporer secara falsafati, ialah sebuah siasat strategik yang dilakukan manusia demi membangun istana benama etika masa depan. Seni kontemporer yang melibatkan generasi muda hari ini dalam kaidah kekinian dan demi menciptakan putik masa depan, akan menjadi matang di tangan anak-anak muda yang berangkat menuju dewasa di sebuah masa depan itu. Pada ketika itu, kita tengah menjalani masa depan sebagai masa kini, sebenarnya sedang membelai dan memandang masa lalu, yang telah kita ukir dalam masa kini [co-tempo]. Begitulah seterusnya. Elia Kazan [nama asli Elias Kazanjoglou; 1919-2003], seorang dramawan Amerika kelahiran Istanbul berkata; “alam tambah manusia,

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 83 itulah seni”. Lalu, setiap waktu dan setiap periode menghidang ‘alam’nya masing-masing. Alam yang dimaksud di sini adalah serangkaian atau seperangkat nilai, tata acu bertindak, acuan perilaku, terminal rujukan mengenai seperangkat idaman bersama. Termasuk dalam hal ini adalah seni. Seni yang dilahirkan oleh tangan-tangan dan ide penciptaan kreatif bersangkar pada ‘alam-alam pemikiran’ yang berlaku pada sebuah zaman. Alam pemikiran ‘arus perdana’, menjadi sesuatu yang niscaya. Namun, tak sedikit pula di tepi tiang agung pemikiran ‘arus perdana’ [mainstream] itu, berdiri dengan percaya diri pemikiran-pemikiran ‘memberontak’, yang ‘mencahari’, yang ‘lepas belenggu’, yang ‘membuat suak dan elakan’ kreatif di luar batas-batas tak terpemanai. Inilah bagian dari idaman kolektif yang tak terjelaskan oleh karya-karya ‘arus perdana’ dan sejatinya dia adalah ‘anak kandung’ seni “arus perdana” yang digolongkan sebagai ‘anak nakal’ kreatif dan dilahirkan oleh sebuah alam yang ‘merdeka’. Dalam hukum termodinamika, kenyataan ini, ialah sesuatu yang sah dan terberikan sifatnya. Sebuah dinamika yang menggairahkan kreativitas manusia. Kita yang berdiri hari ini, dan berkarya dalam rentak dan rempak kekinian, semestinya tampil dengan sejumlah penanda yang berbeda, sejalan dengan perubahan waktu. Waktu yang bergerak dan berubah, pemikiran dan karya juga harus bergerak dan berubah. Inilah ‘credo’ yang menjadi sandaran seni-seni kontemporer, walau tak berhajat sedikit pun beranjak dari akar dan nilai tradisi. Maka, mereka yang dianggap bersubahat dengan karya-karya kontemporer, semestinya juga mereka adalah sederetan ‘cenayang’ yang cerdas dan intelejentif membaca dan menyimak masa lalu, untuk menjadi sebuah lontaran kemilau di masa depan. “If you want the present to be different from the past, study the past”, ujar filsuf Belanda Baruch Spinoza. Dalam pendekatan Psikologi Medan, diakui bahwa setiap benih kreativitas adalah hasil dari keadaan yang serba tegang atau tension. Dan tension ini pulalah yang melahirkan kreativitas untuk sebuah penemuan dan penciptaan kreatif berikutnya. Ketegangan ini, dalam bahasa lainnya, disebut sebagai ‘kegamangan’. Namun, mereka yang pernah gamanglah yang menegakkan tiang berani untuk jatuh, untuk terlambung dan untuk terhentak dan terbentur pada sesuatu yang dianggap beresiko. Tiada kegamangan tanpa harapan, dan tiada harapan tanpa kegamangan,

84 Rediscovering the Treasures of Malay Culture ujar Spinoza lagi [“fear cannot be without hope nor hope without fear”]. Untuk memacu semangat berkreasi itu, ada baiknya cogan yang begitu popular di Prancis ini saya seduh; “Parce que tant qu’il y a de la vie, il y a de l’espoir” [jangan pernah berhenti mencangkul, karena selama ada kehidupan, di situ ada harapan]. Bahwa kita yang tengah gamang dan digamangkan untuk berkarya ini, sesungguhnya tengah membangun ‘istana seni’ di masa depan demi menjawab keperluan dasar hidup manusia sebagai satu vita activa [meminjam Hannah Arendt, 1958], yang dapat dikauluhum sebagai etika masa depan. Di sini, seni diposisikan sebagai domain ‘suci’ meretas jalan membangun etika masa depan itu.

Seni Kontemporer Seni hadir dan menghadirkan diri dalam rasa, bukan fisikal. Nyawa seni itu ada pada rasa dan kaidah yang terkadang tak terpemanai. Seni yang dipaksa-paksakan dengan jalan lokalitas yang dipaksakan, dia menjadi amat busuk di depan “hidung Tuhan” [sebuah idiom yang saya sesuaikan dari fenomena beragama]. Seni adalah jalan spiritual bagi setiap bangsa dan kebudayaan. Seni hadir dan diperlukan oleh setiap agama, sebagai jalan spiritual yang ikut mendirus dan membasahi ‘agama’. Tersebab agama berbincang tentang perbedaan; maka seni sebagai instrumen spiritual memikul hakikat pencarian. Air yang tergenang di laut disebut sebagai air laut. Air yang menggenangi danau, di sebut air danau. Air yang turun dari langit, disebut air hujan. Jatuh di kolam, disebut air kolam. Yang mengaliri sungai, disebut air sungai, yang tertakung di dalam tempayan, disebut air tempayan, air botol, air dalam kemasan dan seterusnya. Inilah cara agama yang melihat perbedaan wadah. Namun, air bagi spiritual adalah H2O. Dan api dalam pandangan spiritual adalah O2, bukan api lilin, api obor, api merapen, api agni, api majusi dan seterusnya. Begitulah seni sebagai jalan spiritual. Kemudian perlu dijelaskan bahwa, tersebab seni beranjak dari kreativitas dan penciptaan, lalu apa-apa yang terhasil dari perenungan dan penciptaan anak Melayu hari ini adalah seni itu sendiri. Dia tak bisa dipilah dalam ruang ‘tradisi’ dan ‘kontemporer’ yang kaku dan rigid.

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 85 Kita tak dihasratkan membangun tembok kukuh atau partisi kaku dalam menjelaskan ihwal tradisi dan kontemporer ini. Dia hendaklah dilihat sebagai satu jalan spiritual yang ikut memperkaya ‘mata fikir’ dan ‘akal budi’ orang Melayu. Bila sudah menjadi instrumen dan medium yang mangkus dalam ihwal ini, seni disebut sebagai jalan memartabatkan sebuah bangsa; apakah itu tradisi atau pun kontemporer. Seni kontemporer itu hendaklah beralas pada kaidah menyerbu. Bukan lagi merantai diri pada kaidah defensif, bertahan, bermain- main di pangkal kayu tradisi, dan memoles sesuatu yang dianggap warisan para ‘bani’ seni Melayu. Posisi menyerbu itu hendaklah memanfaatkan segala kenderaan dan tunggangan yang bertabiat ‘menakluk dunia’. Instrumen “penakluk dunia” itu dapatlah disebut: jazz sebagai “musica franca” dalam musik. Dan seni musik Melayu hendaklah menyapa instrumen itu, agar seni musik kita bisa naik ke atas peterakna dialog dengan musik-musik dunia. Secara serempak, seni- seni tradisi terus dirancakkan dalam gairah kuratorial atau diperkaya dalam elemen seni pentas. Bahwa cogan yang menyebutkan bahwa “menjadi modern tidak harus meninggalkan tradisi’ tetap menjadi julangan dan junjungan bagi membentuk etika masa depan seni Melayu. Demikian pula filmografi [sinematografi], juga harus dikuasai dan dikenderai untuk mengusung puncak alam dan pemikiran Melayu di depan cermin dunia. Domain sinematografi, amat dangkal sebagai alat transformasi sosial pada kaum dan puak Melayu. Sehingga wilayah ini hanya disentuh sebagai alat dokumentasi yang regresif, tidak progresif. Kita juga merindukan suatu kali, ada film-film anak-anak Melayu yang masuk dalam jamaah festival film Cannes, Berlin, dan “tapak-tapak suci” pergulatan film dunia lainnya. Pengadaan sumber- sumber kebudayaan di tanah-tanah jauh sebagai bagian dari diplomasi kebudayaan dengan bangsa dan kebudayaan lain yang ada di benua- benua nun, juga menjadi sebuah keniscayaan. Misalnya, dalam upaya memperbanyak jumlah serakan jejak-jejak Melayu, melalui upaya membuka “Malay Chair” di beberapa universitas dunia di benua-benua jauh. Melayu yang dimaksudkan di sini, bisa sekala Sumatera, bisa pula merujuk kawasan merkatori pewilayahan kebudayaan, misalnya pantai Timur Sumatra atau pun pantai Barat Sumatra. Demikian pula kawasan merkatori pulau Kalimantan atau Borneo dan segempita

86 Rediscovering the Treasures of Malay Culture fenomena Melayu pesisirnya. Maujud lain, bisa dalam bentuk pengadaan ‘rumah kebudayaan’ seperti “Goethe Institut’, “Erasmus Huis”, atau model pusat kebudayaan seperti Centre Culturel France, pusat kebudayaan Italia, Iran, China dan seterusnya. Bagi bangsa Melayu, bisa meletakkan ‘rumah-rumah kebudayaan’ itu pada bandar-bandar utama dunia yang memosisikan diri sebagai titik al mulaqat [rendez vous]; Kairo, Jeddah, Moskow, New York, Berlin, Amsterdam, Paris, Casablanca, Tokyo, Beijing, Seoul. Dan kota-kota yang telah memiliki persemendaan sejarah dan kultural dengan Melayu seperti London, Leiden atau Den Haag. Pada tahap awal, bisa menempel sebagai ‘corner’ [Malay corner- Malay Hook] di gedung Konsulat atau Kedutaan Besar di negara-negara sahabat. Sebab, wilayah kebudayaan ini, tak bisa disuling melalui saluran besar bernama kebudayaan Indonesia yang cenderung Java sentris itu. Musik: Beberapa ikhtiar persemendaan musik Melayu kontemporer dengan jazz, telah dimulai di Riau [grup Geliga dan Bujanggi]. Dan selayaknya pula ihwal ini diracik dalam kaidah akademik di perguruan tinggi tematik seperti ISI Padangpanjang, Sekolah Tinggi Seni Riau. Selain menulis kembali notasi [partitur] lagu-lagu Melayu klasik dalam format recital piano, biola dan instrumen musik lain, yang bisa dititip di sekolah-sekolah musik, sekolah umum sebagai muatan lokal. Dan dari sini dia menjadi beranda depan untuk menyorak seni musik Melayu ke panggung dunia; orang asing pun bisa memainkan berkat tuntunan notasi modern dalam sejumlah kehadiran partitur. Selama ini, kita menyaksikan kepiawaian orang-orang asing bermain dan belajar gamelan Jawa dan Bali dengan lagu-lagu klasiknya. Karya- karya yang disediakan bukan semata lagu-lagu Melayu klasik, atau dalam rasa Minangkabau, bukan semata lagu-lagu era ‘kaparinyo’ [kapie inyo; kafir dia atau dia yang kafir]. Demikian pula dengan percabangan seni lainnya; sastra, seni rupa, seni patung, yang mesti pula diarahkan ke ‘jalur siput’ seni terapan [applied art]; tidak semata fine art. Termasuk pula teater, tari dan film [juga diadu dalam kaidah serba menyerbu dengan memanfaatkan instrumen penakluk dunia tadi; bineal, triennial, festival film dan sejenisnya] yang terdedah di Eropa, Asia dan Amerika. Seni yang berbasis karawitan, juga bisa menyapa laci seni kontemporer ini dalam

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 87 semangat yang juga dalam posisi ‘menyerbu’ dunia. Di sini kita harus membangun semacam demarkasi mengenai keinsyafan kebudayaan dalam takaran kesadaran stoici [platonic], bahwa Melayu menjadi besar, ketika dia sadar atas sejumlah kehadiran yang sejatinya ikut memajeliskan kebesaran Melayu itu sendiri. Tak ada alasan untuk memencil dari segala kerimbunan ‘majelis dunia’ itu. Bahwa kita menjadi besar atau menjadi kecil, tergantung atas kehadiran orang-orang lain, bangsa-bangsa lain dan peradaban lain. Misalnya, sastra Melayu hanya mungkin terangkat ke aras tinggi, jika tetap berseteguh melakukan penyerbukan silang dengan sastra dunia, melalui kontemplasi bahasa yang kaya akan ‘knowledge content’. Rujuklah ke bahasa Swahili di pantai timur Afrika. Kenyataan ini amat inspiratif. Dia telah dimasukkan sebagai bahasa literasi dunia yang kuat pengucapannya. Di sini, tradisi tulis [sastra] Melayu, tidak hanya menggesa atau mendorong rancak dan bergemuruhnya tradisi penerbitan dan percetakan, tetapi juga harus dikawal dengan kekuasaan mutu, menuju pada “rezim mutu”, untuk dapat bersanding dan ditandingkan dengan karya-karya sastra dunia. Kuat dalam idiom pengucapan, setting tradisi dan historical line alam Melayu @ Sumatra yang unik dan bergerigi. Di sini, sastra memerlukan persemendaan cabang seni yang lain, seperti filmografi dan sinematografi. Keterangkaian sistemik ini tidak bisa dihindari. Lihat kasus melejitnya karya popular novel “Laskar Pelangi”, karena mau bersemenda dengan “rumah seni” lain bernama film dan sinematografi, juga musik yang kontemporer. Beranda kebudayaan Melayu mesti hadir di pusat-pusat ‘al mulaqat’ dunia dengan status kosmopolitan; London, New York, Kairo, Sao Paolo, Jeddah, Berlin. Bisa menempel di kedutaan atau konsulat; demi menghindari arak-arakan yang terkesan sebagai gerombolan para tribes [badwi tropika] dalam sejumlah kunjungan yang dilayari oleh para Event Organizer [juru acara] dari Jakarta atau dari manapun. Sebuah ikhtiar membangun lorong déjà vu Melayu kepada rumpun peradaban lain di benua-benua jauh. Seni kontemporer [co+tempo]; seni pribumi, seni bumi putera [indigenous art] yang berlangsung dalam rasa, uap dan zat kekinian.

88 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Sebuah jalan yang memuliakan kenyataan dan kekinian; bisa dipandang sebagai pengembangan post colonialism, post modernism art, post traditional. Bahwa kehidupan itu bergerak, tak mati, dan berpembawaan jamak, anti rasa tunggal. Kita pun sadar sesadar- sadarnya, bahwa seni kontemporer Melayu dalam ke-Indonesia-an: ada had setelah Islam datang; Melayu kecil, Melayu makro, juga Melayu dalam wacana maritim, Melayu dalam wacana Andalas, Borneo, Melayu sebagai fenomena pesisir. Dan semua had atau batas ini diserbuk dan diperkaya oleh persuaan kreatif dengan ‘agama pesisir’ [Islam]. Namun, secara kritis, tidak sedikit pula ‘agama pesisir’ menjalani fase-fase degradatif terhadap seni-seni lokal dan kontemporer karena mengarah bid’ah. Namun, seni yang bergelora selalu melahirkan “bid’ah-bid’ah” baru, sehingga memunculkan ‘kegamangan-kegamangan’ baru dan kreativitas baru. Ingat karya AA. Navis “Robohnya Surau Kami”, sebuah garis tentang kesadaran “bid’ah” yang mendorong renungan falsafati terhadap belenggu adat dan agama yang serba formalistik. Had dan keterbatasan itu berpengaruh pada ‘transformational capacity’ dalam seni rupa Melayu, seni patung, seni kriya lainnya, termasuk pula [mungkin] dalam seni musik, teater dan sastra dan seni tari dalam kaitannya dengan ‘islamic –ethic- exposure’ [?] Islamic- tude yang dipersandingkan dengan malay-tude. Seniman Melayu, harus berlayar dalam samudera kreativitas sembari secara bersamaan membangun ‘pagar api’ yang memberi batas-batas kreatif dan bid’ah. Dan di sinilah seni dan kekuatan orang Melayu. Di satu sisi, kemampuan ekspresi olah rasa, olah mata fikir dan demi membuai dan membasahi akal budi, namun di sisi lain, tetap menjunjung nilai agama yang luhur. Di sini Islam memperoleh posisi yang tinggi dan pengadil sejati. Dan anak-anak Melayu, menerima ihwal ini sebagai kenyataan sejarah dan kenyataan kreativitas. Tarik-ulur, turun-naik ragam pencarian dan kreativitas itu, memang bergemuruh pada karya anak Melayu seperti karya sastra BM Syam, Idrus Tintin dan Hasan Junus di Riau. Mereka adalah bagian dari penetak ‘jalan spiritual’ melalui wilayah sunyi bernama seni, untuk sebuah tafakur, untuk sebuah tariqat pencarian diri dan menegakkan identitas kebudayaan. Seni kontemporer yang menjinjing ‘gaya hidup’ dan fashionate, tak tersentuh dalam alam Melayu; desain, model, masih berkutat

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 89 pada kaidah-kaidah Silungkang, Siak, Bukit Batu dan Pandai Sikek –untuk menyebut beberapa kasus-; dunia catwalk fashion, mau tak mau berbungkus dan berkompromi dengan serba adat, serba islami dalam usungan besar ‘bernuansa’ [nuance]…; busana bernuansa islami, musik bernuansa islami dan seterusnya. Melayu gamang hadir dengan dirinya sendiri. Masih harus dibungkus dengan segala perkakas yang bercorak islami. Terkadang terkesan dipaksa-paksa, sehingga ketika dia disentuh oleh pemerintah daerah, segala seni kriya ini mengalami “pembajakan” dalam serangkaian proyek-proyek kaku dalam rumah beku bernama Dekranasda, festival yang didakan oleh dinas pariwisata, dalam format dan selera “baris berbaris” dan gaya “marching band”. Seniman sejati terlontar dan dilempar ke tepian sepi. Tak memperoleh tempat. Otonomi dan reformasi politik, di satu sisi dia menjadi berkah bagi kebebasan ekspresi, sekaligus menjadi petaka bagi posisi seniman. Sebab, segala pejabat dan keluarga perdananya, dengan segala fasilitas yang mereka miliki hari ini, telah menggeser peran seniman dan bahkan mereka telah mengidentifikasi sebagai seniman itu sendiri. Seni visual yang sesungguhnya tak dibatasi oleh kamar seni yang lain, termasuk ilmu sosial; mesti hadir dengan kekinian yang lebih canggih yang disokong oleh sistem pengetahuan yang ranggi dan berkaidah. TV lokal dan media visual lainnya, berbangga tampil dengan wajah ‘orang daerah’ dengan mental dan pengetahuan serba daerah. Secara keras, mental ini adalah mental ‘orang jajahan’. Maka, hanya menghasilkan sejumlah seni kontemporer dengan eksplorasi terbatas dan membatas diri. Takut keluar dari pakem yang diciptakan sebagai mitos baru yang tak boleh mengalami edit dan perbaikan, apalagi restorasi. Maka berhamburan kesan udik dan deretan mental orang daerah yang berdepan dengan kebudayaan pusat; kesan udik, para penyanyi keluar dari celah rimbun bunga, menari di depan kediaman gubernur atau bupati, di pelataran rumah adat dan seterusnya. Kita seakan terhenti pada ketinggian yang kita ciptakan sendiri. Padahal ketinggian itu masih mungkin diciptakan dan direngkuh lagi pada aras-aras yang tak terbatas [infinitum]. Namun, kita berhenti dan dihentikan lalu merasa puas oleh sekumpulan kaidah beku yang diciptakan oleh kendali adat dan agama yang dipersepsikan sebagai fenomena regresif, bukan progresif. Hari ini, suka tak suka, seni

90 Rediscovering the Treasures of Malay Culture kontemporer telah masuk dalam gemuruh ‘tariqat bisnis’; industri kreatif yang digempitakan akhir-akhir ini, adalah contoh terbaik bangsa Melayu menyapa wilayah bisnis ini dengan rancak. Tak setakat ‘jalan spiritual’, seni juga adalah ‘jalan bisnis’. Maka, jadilah Melayu dengan seni kontemporer yang progresif yang tetap menyedut zat dan gizi tanah sendiri dalam gemuruh kekinian untuk bersorak di atas panggung dunia. Selari dengan kekayaan dan medium yang tersedia, termasuk era gadget. Yang tak terikat oleh batas “ruang dan waktu”… di sini manusia Melayu harus memosisikan diri sebagai co-Creator atau sahabat Tuhan dalam penciptaan; di sini posisi para seniman. Rengkuh dan berkayuhlah!!!

Pekanbaru, 30 Agustus 2012

Bibliografi Aslan, Reza, [2005] “No god but God: The Origins, Evolution, and Future of Islam”, New York, Random House Aquinas, St. Thomas, [1990], “On Faith: Summa Theologize”, trans. Mark D. Jordan. Notre Dame, IN, University of Notre Dame Press Daoed Joesoef, [2011] “Pikiran dan Gagasan; 10 Wacana tentang Aneka Masalah Kehidupan Bersama”, Penerbit Buku Kompas Hannah Arendt, [1958], “Human Condition”. Ricceur, Paul, [1985], “Time and Narrative”, 3 Vols., trans. Kathleem Blamey and David Pellauer, Chicago, Chicago Univ. Press Yusmar Yusuf, Langit, [2009] “Langit, Melayu dan Aras Mustari”, Riau Jazz Turbulence WWS, Jakarta ------, [2009] “Studi Melayu”, Penerbit WWS Jakarta ------, [2007] “Melayu Juwita”, Penerbit WWS Jakarta ------, [1993] “Gaya Riau”, P2BKM-UNRI

Pemetaan dan Dinamika Peradaban Melayu 91 92 TEMA KEDUA BAHASA DAN SASTRA MELAYU

93 94 Rediscovering the Treasures of Malay Culture JEJAK BUDAYA MELAYU DALAM NASKAH

Henri Chambert-Loir Ecole Française d’Extrême-Orient

Jaringan Karya-Karya Melayu Pada awal abad ke-20 sarjana Jerman Hans Overbeck pernah menulis: “kesusastraan Melayu lama sudah mati”. Pernyataan ini sudah berkali-kali dikutip, diperdebatkan dan dibantah. Tetapi kini, hampir seabad kemudian, jelaslah kesusastraan Melayu lama sudah benar- benar mati. Kesusastraan itu masih dibicarakan, seperti sekarang ini, tetapi selalu di kalangan akademis saja. Masyarakat Indonesia pada umumnya tidak membaca kesusastraan lama, tidak mengenalnya dan tidak berminat untuk mengenalnya. Oleh sebab itu kita sukar membayangkan peran dan fungsi kesusastraan itu di masa lalu. Dalam kerangka wawasan modern tentang kebudayaan nasional, kesusastraan Melayu itu milik siapa? Banyak orang menganggap ia merupakan warisan budaya orang “Melayu” saja, di Malaysia dan di Propinsi Riau. Padahal kesusastraan itu dulu tersebar di seluruh kepulauan Nusantara. Kawasan persebaran kesusastraan Melayu lama sebenarnya mencakup Indonesia, Malaysia, Singapore dan Brunei, juga Patani di Thailand Selatan, juga Campa di , juga Mindanao dan Sulu di Filipina, malah juga Srilanka, Tanjung Harapan dan Mekka. Hal ini suatu fenomena yang unik di Nusantara. Satu, dan satu saja, kesusastraan lain pernah menyebar luas, yaitu kesusastraan Jawa, tetapi sebab dan sifatnya sama sekali lain. Kesusastraan Jawa pernah menyebar (di daerah Sunda, di Madura, Bali, Lombok dan Palembang) sebagai akibat suatu kedaulatan politik. Kesusastraan Melayu lama sebaliknya menyebar ke seluruh pelosok Nusantara sebagai akibat penyebaran agama Islam.

Bahasa dan Sastra Melayu 95 Keterangan yang terkandung dalam kolofon naskah-naskah lama membuktikan bahwa teks-teks Melayu lama ditulis, dibaca dan juga disalin dari Aceh sampai ke Maluku. Naskah-naskah berlalu- lalang melintasi seluruh kepulauan Nusantara. Terdapat misalnya tiga daftar dari judul karya-karya Melayu yang sekitar tahun 1700 dapat ditemukan di Sumatra, Jawa, Sulawesi dan Maluku. Ketiga daftar itu, masing-masing sebanyak 60, 23 dan 77 judul. Tidak banyak memang, tetapi cukup menarik. Ternyata, kita menemukan di dalamnya cukup banyak karya terkenal, yang pada masa itu sudah tersebar dari Sumatra sampai ke Maluku. Judul yang sekaligus terdapat dalam ketiga daftar itu, a.l. Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Indraputra, Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Isma Yatim, Hikayat Kalila dan Dimna, Hikayat Muhammad Hanafiyah, Hikayat Nabi Yusuf dan Taj al-Salatin. Di samping itu, terdapat sekitar 14 kitab agama, sejumlah hikayat berbau Hindu atau Islam, serta juga berbagai teks yang kelihatan bersifat lokal tetapi ternyata juga tersebar luas, seperti Hikayat Aceh, Hikayat Ambon, Hikayat Tanah Hitu, Silsilah Raja-Raja Banten, Silsilah Raja-Raja Bugis, Sulalat al-Salatin dan Syair Perang Mengkasar. Kita bahkan mempunyai bukti yang lebih lama tentang persebaran naskah-naskah Melayu lama. Untuk menyebut satu contoh saja, Hikayat Muhammad Hanafiah, yang dikarang di Pasai pada abad ke-14, ternyata dibaca di Malaka tahun 1511. Dari ke-30 naskah yang kini masih ada dari hikayat tersebut, 10 naskah diketahui tempat asalnya, yaitu Kedah, Bengkulu, Riau, Batavia dan Tidore. Sebuah sifat lain dari persebaran kesusastraan Melayu lama, ialah adanya terjemahan karya-karya Melayu ke dalam bahasa lain, bukan saja di dalam kawasan Kepulauan Indonesia tetapi juga di luarnya. Contohnya Hikayat Indraputra yang diterjemahkan ke dalam bahasa Aceh, Makassar dan Bugis, dan juga ke dalam bahasa Cam dan Maranao, serta Hikayat Dewa Mendu yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan juga ke dalam bahasa Cam. Ini lagi-lagi suatu petunjuk bahwa jaringan kesusastraan Melayu lama, bukan saja seluas tapi lebih luas dari Kepulauan Indonesia. Suatu ciri lain dari kesusastraan Melayu lama sangat penting, ialah ragam bahasanya. Orang Melayu atau orang berbahasa Melayu di Nusantara mempergunakan beraneka dialek yang sangat berbeda-beda.

96 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Dialek Kelantan lain dari dialek Riau, lain lagi dari dialek Banjar, dan sebagainya. Dan masing-masing dialek itu amat berbeda dengan bahasa Melayu “klasik” ataupun dengan bahasa Indonesia kini. Yang penting di sini, ialah semua dialek itu bersifat lisan semata. Ada berbagai karya, umumnya epos, yang tersusun dalam dialek-dialek itu, tetapi dalam bentuk lisan saja. Bahasa yang dipakai dalam kesusastraan Melayu lama, yaitu bahasa yang kini dijuluki “bahasa Melayu klasik”, adalah suatu ragam tersendiri yang amat canggih, dan ragam itu dipakai secara merata di seluruh Nusantara di samping dialek-dialek tadi. Karya Melayu lama bisa saja terpengaruh oleh bahasa lokal, tetapi kebanyakan karya dari kesusastraan lama itu tidak mungkin diketahui dari mana asalnya atas dasar bahasanya: bahasa klasik yang digunakan di Malaysia, di Sumatra, di Jawa atau di Bima sama saja. Ini jelas suatu tanda persatuan yang sangat nyata.

Tulisan sebagai tanda identitas Suatu faktor lain dari kesusastraan Melayu lama yang penting dari sudut pandang identitasnya, ialah sistem tulisannya, yakni tulisan Jawi. Sekitar tahun 1300, tulisan Arab dipilih untuk menuliskan bahasa Melayu, bahkan untuk mengganti tulisan (tipe India) yang sudah ada. Dokumen bertulisan Jawi pertama yang kita kenal adalah prasasti “Batu Terengganu”, berangka tahun 1303. Pada waktu itu bahasa Melayu sudah ada dalam bentuk tertulis, tetapi tulisan tipe India yang telah dipakai selama berabad-abad terasa tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman, dalam hal itu dengan perubahan agama. Tulisan Arab terpilih untuk menuliskan bahasa Melayu, jelas karena alasan agama. Di seluruh dunia Islam tulisan Arab mempunyai dimensi sakral karena merupakan tulisan al-Qur’an. Di semua negeri yang tersentuh oleh agama Islam, tulisan Arab disebarkan bersama- sama dengan Kitab Suci, bahkan diangkat untuk menuliskan berbagai bahasa: bukan saja bahasa yang paling terkenal seperti bahasa Parsi, Turki dan , tetapi juga sejumlah bahasa di Asia Tengah (Afghan, Uygur, Tajik, Kirgiz, Uzbek); juga bahasa Berber dan Spanyol di Laut Tengah; dan beberapa bahasa lain di Afrika, Malagasi, Vietnam dan

Bahasa dan Sastra Melayu 97 Filipina. Memilih tulisan Arab untuk menuliskan bahasa Melayu berarti menyatakan, dalam tulisan itu sendiri, dalam perwujudan teks, bahwa kebudayaan Melayu ikut serta dalam peradaban Islam, bahkan berarti mensakralkan bahasa Melayu dengan meminjam sebagian kesakralan bahasa Arab. Waktu menerima tulisan Arab pada abad ke-14, orang Islam Nusantara sengaja memasuki sebuah komunitas yang sudah mencakup orang Arab, Parsi, Turki, Urdu dll., yang tidak lain dari umat Islam. Waktu meninggalkan tulisan Arab itu dan menerima tulisan Latin kira-kira enam abad kemudian (sekitar tahun 1900), mereka sengaja memasuki sebuah komunitas yang sama sekali lain. Perpindahan dari tulisan Arab ke Latin mempunyai dampak budaya dan agama. Tulisan Arab tak dapat dipisahkan dari agama Islam dan secara simbolis terkait dengan Timur Tengah. Tulisan Latin sebaliknya terkait dengan Eropa Kristen. Orang Indonesia dan Malaysia tidak memilih sistem tulisan Latin. Sistem itu diprakarsai, malah boleh dikatakan dipaksakan oleh penjajah Eropa, tetapi orang Indonesia dan Malaysia meneguhkannya sesudah kemerdekaan. Pilihan itu antara lain berarti memilih simbol modernitas Barat daripada simbol keikutsertaan dalam umat Islam. Soal pergantian tulisan itu, perpindahan dari huruf Arab ke huruf Latin, mempunyai dampak yang sangat penting atas identitas masyarakat Nusantara, juga atas nasib kesusastraan Melayu di kemudian hari. Dengan ditinggalkannya tulisan Jawi, maka terjadilah apa yang sudah terjadi waktu tulisan tipe India ditinggalkan enam abad sebelumnya, yaitu naskah-naskah lama dan warisan budaya lama menjadi – itulah: lama, kuno, usang, ketinggalan zaman. Tentu saja ada banyak faktor lain, seperti pendidikan, percetakan, media baru, globalisasi dan lain-lain yang telah melahirkan sebuah kebudayaan baru, modern, nasional. Tetapi soal tulisan tetap sangat penting: dengan perpindahan dari tulisan Jawi ke tulisan Latin, tradisi Jawi serta merta menjadi asing.

98 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Kebudayaan Jawi Bagaimana dengan isi sastra Melayu? Apakah juga mempunyai identitas Islam? Sebagaimana kesusastraan Arab, Parsi dan Urdu sering disebut sebagai “kesusastraan Islam”, sastra Melayu juga patut disebut demikian. Buku-buku panduan tentang kesusastraan Melayu umumnya mengandung satu bab tentang apa yang disebut “sastra Hindu” atau “sastra corak Hindu”, dan memang sebenarnya sejumlah karya terkenal, Hikayat Sri Rama dan Hikayat Pandawa Lima sebagai contoh, jelas berasal dari India Hindu dan tidak bersangkut paut dengan Islam. Namun demikian, sebagai suatu keseluruhan, sastra Melayu adalah suatu kesusastraan Islam oleh karena jenis tulisannya, oleh karena kalangan publik atau pemakainya, dan oleh karena konteks penyebarannya. Dalam tiga karya yang ditulis di Aceh pada awal abad ke-17, yaitu Taj al-Salatin oleh Bukhari al-Johori dan Sirat al-Mustaqim serta Bustan al-Salatin oleh Nuruddin al-Raniri, hikayat-hikayat corak Hindu itu, secara lebih spesifik Hikayat Sri Rama dan Hikayat Indraputra, dilarang baca, bahkan orang dilarang memiliki naskahnya. Tetapi justru yang dihakimi oleh Bukhari dan Raniri, ialah kebiasaan rakyat Islam untuk mendengarkan cerita-cerita tersebut, yang (kata mereka) “tiada dalamnya nama Allah”. Hikayat Indraputra (apa pun sifat Hindu atau Islamnya) adalah sebutir karya dalam suatu kesusastraan Islam. Dan ini paling nyata terilustrasikan oleh fakta bahwa hikayat itu terbawa ke Vietnam (Campa) dan ke Filipina (Mindanao) dalam konteks islamisasi. Suatu kesusastraan dicap “sastra Islam” tidak berarti kesusastraan itu hanya bersifat keagamaman, bukan pula semua karya-karyanya dipengaruhi oleh Islam, bukan juga karena kesusastraan itu adalah milik suatu komunitas Islam: suatu kesusastraan boleh dicap “sastra Islam” kalau asas keberadaannya adalah agama Islam. Sebagai suatu kesusastraan Islam, sastra Melayu mengandung suatu model ideologi yang dimiliki bersama oleh kaum Muslim di seantero dunia Nusantara. Model itu terdiri atas sebuah panduan pengajaran agama, suatu model historiografi, seperangkat nilai budaya, dan juga sejumlah cerita hiburan. Orang Aceh seperti orang Bima

Bahasa dan Sastra Melayu 99 meminjam dari Malaka corak historiografi dengan tokoh utamanya Iskandar Zulkarnain. Ini tidak berarti bahwa orang Aceh dan Bima itu menganggap diri sebagai orang Melayu atau berusaha menjadi Melayu. Kesusastraan Melayu diterima mereka, dan ikut diciptakan oleh mereka, sebagai sebagian dari identitas mereka sebagai orang Islam, di samping indentitas budaya lokal mereka masing-masing. Buat mereka, dan buat seluruh kaum Islam di Nusantara, kesusastraan Melayu adalah sebuah khazanah budaya dan suatu tanda identitas yang dimiliki bersama dan yang mempertalikan mereka dengan umat Islam sedunia. Kita perlu mengingat peran agama Islam sebagai suatu faktor pemersatu bangsa. Beberapa hasil penelitian belakangan ini, a.l. oleh Azyumardi Azra dan Michael Laffan, telah memperlihatkan peran agama Islam dalam pembentukan identitas bangsa. Bila menyatu dengan umat Islam sedunia, sambil mengatasi berbagai perbedaan budaya mereka masing-masing, kaum Muslim Nusantara memperkuat identitas mereka sebagai orang Nusantara. Perjalanan naik haji juga pernah memainkan peran yang sama pada masa silam: waktu para haji atau calon haji dari Sumatra, dari Jawa, dari Sulawesi dll. bertemu di Mekkah, justru di luar batas daerah dan kesukuan mereka, maka mereka menyadari bahwa mereka mempunyai agama yang sama, berbicara bahasa yang sama, mempunyai khazanah budaya yang sama, dan menjadi anggota dari negara yang sama, yaitu Hindia Belanda – dan negara itulah yang kemudian menjadi negara Indonesia. Kesusastraan Melayu lama mempunyai peran yang sama selama enam abad: mempersatukan orang-orang dari berbagai suku di seluruh pelosok Nusantara, sebagai anggota suatu komunitas yang akan menetaskan bangsa Indonesia.

100 Rediscovering the Treasures of Malay Culture JAGAD ESTETIKA SASTRA MELAYU

Prof. Dr. Abdul Hadi WM Universitas Paramadina, Jakarta

Secara geografis apa yang disebut Dunia Melayu merupakan sebuah kawasan yang luas dan tidak mudah dijelaskan batas-batasnya. Namun secara budaya tidak sukar diberi batas, terutama jika melihat hasil-hasil kesusastraannya. Sekalipun karya-karya yang dapat dimasukkan ke dalam kesusastraan Melayu aneka ragam dan ditulis dalam rentang zaman serta di tempat yang berbeda-beda, namun selalu tampak adanya hal-hal yang menyatukan selain dari kesamaan bahasanya. Hal yang menyatukan terutama ialah asas batin yang mendasari corak dan estetika penulisannya, seperti pandangan hidup (way of life), gambaran dunia (Weltanschauung) dan dunia nilai-nilai yang diungkapkan. Khazanah sastra Melayu begitu kaya dan naskah yang dijumpai melimpah. Isi naskah itu juga anekaragam. Karya-karya yang termasuk ke dalam lingkup sastra Melayu itu meliputi hikayat-hikayat teladan mulai dari kisah nabi-nabi Islam, dan khususnya Nabi Muhammad s.a.w; kisah mengenai para Sahabat, orang suci atau para wali, serta pahlawan-pahlawan awal dalam sejarah Islam seperti Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Muhammad li Hanafiyah, Hikayat Hasan dan Susin, sampai kisah tentang tokoh lokal seperti Hikayat Hang Tuah, dan lain- lain. Setelah itu muncul karangan bercorak sejarah, roman petualangan dan percintaan, baik yang ditulis sebagai alegori sufi maupun pelipur lara. Misalnya Hikayat Syah Mardan, Hikayat Malim Deman, Hikayat Isma Yatim, Hikayat Andaken Penurat, Syair Ken Tambuhan, dan Syair Bidasari. Di sebelah itu terdapat teks-teks yang digolongkan sebagai

Bahasa dan Sastra Melayu 101 sastra adab, seperti mengenai undang-undang dan penyelenggaraan pemerintahan seperti Taj al-Salatin. Di bagian lain terdapat pula apa yang disebut karangan-karangan bercorak tasawuf seperti syair-syair Hamzah Fansuri dan pengikutnya di Sumatra. Karangan-karangan ini sangat besar pengaruhnya bagi bangsa Melayu dalam membentuk pandangan hidup dan gambaran dunianya, serta tatanan nilai dalam organisasi sosial. Kesemuanya itulah yang kemudian dijadikan asas metafisik atau sendi ruhani dari kehidupan bangsa Melayu. Dalam hubungan ini tepatlah apa yang dikatakan Braginsky (1994:42), bahwa kesusastraan Melayu klasik sangat berharga bukan saja disebabkan ia telah menjadi asas kebudayaan Melayu, tetapi juga karena sejak dahulu bahasa Melayu telah berfungsi sebagai media komunikasi penduduk Nusantara di bidang perdagangan, kebudayaan dan agama. Dalam kaitan inilah kesusastraan Melayu memainkan peranan sebagai penghubung antara sastra Nusantara yang berbagai- bagai itu sama dengan yang lain melalui kesusastraan Melayu. Melalui kesusastraan Melayu pembaca Nusantara bercermin diri dan mengenal lebih mendalam dirinya, yaitu pandangan hidup dan gambaran dunia yang ia serap dari Islam yang merupakan agamanya. Namun sebelum membicarakan wawasan estetika Melayu seperti tampak dalam puncak-puncak sastranya, ada baiknya saya uraikan lebih dulu apa yang saya maksud estetika dalam makalah ini.

Estetika Sebagai Teori Seni Sebagai cabang filsafat, estetika secara luas sering diartikan sebagai filsafat keindahan dan secara khusus sebagai filsafat seni. Dalam makalah ini akan diambil pengertiannya sebagai teori seni. Sebagai teori seni, estetika membicarakan antara lain apa tujuan penciptaaan karya seni dan bagaimana karya seni dicipta sehingga dapat memberikan kenikmatan estetik. Melalui kenikmatan estetik itulah seorang pengarang atau penyair dapat mempengaruhi jiwa masyarakatnya, dan melaluinya pula ia dapat menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan-perasaannya. Batasan ringkas tentang estetika sebagai teori seni tidaklah bertentangan dengan pengertian estetika itu sendiri sebagai filsafat seni.

102 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Kata estetika (aesthetics) diperkenalkan pertama kali oleh Baumgarten, seorang filosof rasionalis Jerman abad ke-18 M, dalam bukunya Aesthetica (1750). Diambil dari kata-kata Yunani aesthesis, yang artinya pengamatan indera atau sesuatu yang merangsang indera, estetika diartikan sebagai pengetahuan yang berkaitan dengan obyek-obyek yang dapat diamati secara inderawi dan merangsang indera. Obyek- obyek yang dapat diamati secara inderawi dan memberi pengetahuan khusus adalah karya seni. Di dalam perkataan aesthesis juga tercakup pengertian berkaitan reaksi organisme tubuh dan jiwa manusia terhadap rangsangan yang datang dari luar. Di Asia, walaupun istilah yang sepadan dengan kata-kata estetika tidak dikenal, pembahasan tentang estetika sebagai teori seni selalu dihubungkan dengan spiritualitas. Bertolak dari pandangan yang mengacu kepada spiritualitas dan prinsip bahwa seni dicipta tidak dari kekosongan rohani dan pengalaman batin, Comaraswamy berpendapat bahwa pengertian yang diberikan sebagian besar ahli-ahli estetika Eropa mereduksi karya seni semata sebagai fenomena psikologi dan selera subyektif. Dari pengertian seperti telah dikemukakan di Eropa lahir beberapa teori seni yang membatasi seni dengan penikmatan sensual dan selera subyektif. Agar sedikit jelas, baiklah saya kemukakan dua teori menonjol abad ke-19 dan 20 M yaitu teori bentuk signifikan dan teori ekspressi. Teori bentuk dikemukakan oleh estetikus seperti Zimmerman, Clive Bell dan Roger Fry. Dalam bukunya Art (1914), Bell mengemukakan bahwa semua seni visual dan musik memiliki bentuk signifikan. Karya seni dihargai orang karena menyajikan bentuk-bentuk siginifikan. Pengasas teori ini bertolak dari pandangan keutamaan ciri obyektif dari seni dan ciri obyektif yang menonjol dari seni ialah bentuk-bentuk yang dihadirkan, yang dapat memberikan penikmatan estetis kepada jiwa penikmatnya. Di dalam seni lukis bentuk ini terbina melalui gabungan garis, warna, dan unsur kesenirupaan lain yang menimbulkan tanggapan khusus berupa perasaan estetis. (The Liang Gie 1996:31). Menurut penganut teori ini, tugas seniman ialah melahirkan bentuk-bentuk indah dan memikat dalam karya mereka. Keindahan seni dalam pandangan ini melekat pada bentuk dan tidak berada di

Bahasa dan Sastra Melayu 103 luarnya. Beberapa aliran seni yang lahir dari teori ini antara lain ialah realisme formal dan naturalisme naif. Ditelusuri ke belakang sejarahnya, teori ini berakar pada pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa seni merupakan tiruan (mimesis) dari kenyataan/alam. Dalam teori ini apa yang disebut tema, gagasan, pesan moral atau isi tidaklah penting dalam karya seni. Ini tampak dalam pandangan Bell ketika berbicara tentang lukisan, “Kalau suatu bentuk penggambaran (representation) memiliki nilai, maka nilai yang dimaksud hadir sebagai bentuk, bukan sebagai penggambaran dari suatu tema atau gagasan. ”Jadi bentuk adalah pesan itu sendiri dan seni cenderung dikosongkan dari pesan moral. Teori bentuk merupakan sanggahan terhadap teori representasi atau penggambaran yang telah ada sebelumnya. Dalam teori representasi dikatakan bahwa seni merupakan representasi/penggambaran atas atau tentang sesuatu seperti tema atau gagasan. Teori kedua yang penting dan muncul sesudah teori bentuk adalah teori ekspresi. Bagi pencetus teori ekspresi suatu karya seni tidak memenuhi syarat bila hanya menghadirkan bentuk-bentuk siginifikan. Seni juga harus bersifat ekspresif, dalam arti menyatakan sesuatu yang ada dalam jiwa manusia, terutama perasaan dan pikiran. Seperti dikatakan John Hospers (1967), “Art is an expression of human feeling.” Di sini pencetus teori ekspresi ingin menyatakan bahwa dalam menciptakan karya seninya seorang seniman mengungkapkan apa yang dialami, dirasakan dan dipikirkan. Apakah seni? Menurut Tolstoy “Seni menghadirkan dalam diri sendiri suatu perasaan yang telah dialami seseorang dan setelah memunculkan dalam diri kemudian dengan perantaraan gerak, garis, warna, suara, atau bentuk yang diungkap dalam kata-kata, maka ia telah memindahkan perasaan tersebut sehingga orang lain ikut mengalami perasaan yang sama. Inilah yang disebut kegiatan seni.” Tentu saja masih ada beberapa lagi teori seni lain pada abad ke- 20 dan awal abad ke-21 ini yang berpengaruh. Tetapi saya cukupkan dengan mengemukakan dua teori tersebut sebagai perbandingan atau ancang-ancang untuk membahas estetika Melayu.

104 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Seni dan Spiritualitas Semacam teori bentuk dan teori ekspresi sebenarnya telah muncul di Asia sejak lama. Teori bentuk misalnya terlihat dalam lukisan-lukisan Tiongkok yang menekankan kepada keindahan bentuk lahir dari obyek yang dilukis, tanpa pesan moral yang dibebankan kepadanya. Teori ekspresi tampak dalam sastra India dan Arab lama, di mana perasaan dipandang sebagai hal paling utama untuk diungkap dalam puisi atau syair. Akan tetapi dua teori ini tidak diterima dalam pengertian yang murni seperti pada abad ke-20. Keyakinan yang luas di Asia ialah anggapan bahwa seni dan estetika harus mengandung pengajaran di satu hal, dan di lain tidak bisa dipisahkan dari spiritualitas atau ajaran keruhanian. Ini karena seni, khususnya sastra, di satu sisi sebenarnya merupakan ilmu yang disampaikan secara estetik dan di lain hal apa yang disebut keindahan itu tidak lain merupakan pengalaman keruhanian. Makin tinggi tingkat pengalaman keruhanian seorang seniman, maka mutu dan bobot karya seni yang dia ciptakan akan semakin tinggi pula. Pada abad ke-20, teori bentuk dan ekspresi mendapat penolakan dari beberapa estetikus Asia seperti A. K. Comaraswamy, Seyyed Hosein Nasr, dan Pabitra Kumar. Mereka tidak puas pada pengertian bahwa masalah keindahan atau penikmatan estetis dalam seni dibatasi pada penikmatan tentang bentuk dan perasenurut mereka. Seyyed Hossein Nasr (1987) dan Pabitrakumar (1990) memandang bahwa seni juga bertalian dengan hasrat manusia yang lebih tinggi yaitu pengalaman kerohanian dan pengalaman intelektual. Misalnya sebagaimana tampak dalam puisi-puisi Jalaluddin Rumi di Persia, dan Rabindranath Tagore dan Muhammad Iqbal pada abad ke-20 M. Dari pandangan ini pulalah lahir pembagian seni seperti dibuat Comaraswamy dan klasifikasi Braginsky tentang karya-karya Melayu Klasik. Comaraswamy mengklasifikasikan seni ke dalam tiga kelompok : (1) Seni murni atau tulen, yaitu seni yang benar-benar bertalian dengan masalah kerohanian dan ketuhanan, seperti syair-syair mistik di India dan Jawa atau syair-syair tasawuf dalam sastra Arab, Persia, dan Melayu. Dikatakan murni karena tak mengandung pamrih duniawi dan semata ditulis bagi penyempurnaan batin pembacanya; (2) Seni dinamik, yaitu karya seni yang mengetengahkan persoalan kemasyarakatan dan kegiatan manusia dalam bidang sosial, politik, ekonomi, pemerintahan,

Bahasa dan Sastra Melayu 105 dan budaya; (3) Seni apathetik, yaitu karya-karya seperti pelipur lara yang menekankan pada hiburan seraya memasukkan unsur pengajaran ke dalamnya (Abdul Hadi 2007). Klasifikasi Comaraswamy dibuat berdasar penelitian mendalam dan luas atas seni Asia, khususnya India, Indonesia dan Persia. Di sini tampak bahwa dalam hal-hal tertentu seni dihubungkan dengan ajaran agama dan kearifan. Di lain hal seni juga harus menggambarkan sesuatu yang melaluinya seseorang seniman menyampaikan pesan moral atau keruhanian. Dari pendirian seperti itulah muncul beberapa pandangan yang berbeda mengenai sastra, yang masing-masing dipatuhi oleh para penganutnya. Pertama, pandangan yang mengatakan bahwa sastra yang baik harus memenuhi fungsi sebagai sarana pengajaran. Termasuk pengajaran adalah kritik sosial dan gagasan keagamaan. Kedua, pandangan yang berpendapat bahwa pada hakekatnya sastra merupakan permainan kata-kata indah yang memberikan penikmatan estetis tertentu khususnya menghibur. Dari pandangan ini lahir karangan yang disebut pelipur lara, namun kemudian dengan munculnya agama Islam diberi isi berupa pengajaran yang berfaedah. Ketiga, sastra/puisi adalah ekspresi perasaan dan pikiran individual pengarang yang bisa saja juga merupakan perasaan orang lain dalam suatu komunitas. Keempat, sastra adalah hasil perenungan terhadap pengalaman batin si penulis dalam mengamalkan ajaran agama atau kerohanian yaitu tasawuf. Menarik juga dikutip di sini klasifikasi yang dibuat Braginsky (1993). Dia mengelompokkan karya-karya Melayu warisan peradaban Islam menjadi tiga berdasar persoalan yang dikemukakan : (1) Karya yang menggarap lapis Kesempurnaan dan Estetika Batin; (2) Karya yang menggarap lapis Faedah dan Hikmah; (3) Karya yang menggarap lapis Hiburan dan Estetika Zahir. (1). Karya-karya yang menggarap lapis kesempurnaan jiwa (kamal), menggambarkan upaya manusia mencapai pengetahuan tertinggi (ma`rifat), jalan kerohanian (suluk), bentuk pengalaman dan keadaan rohani (maqam dan ahwal) yang diperoleh seorang penempuh jalan rohani (salik) dan lain sebagainya. Karya-karya yang menggarap sfera kesempurnaan jiwa ini juga menggambarkan cita-cita

106 Rediscovering the Treasures of Malay Culture manusia mencapai pribadi insan kamil meneladani Nabi Muhammad s.a.w., kerinduan seorang `asyik (pencinta) kepada Sang Kekasih (mahbub), yaitu Yang Satu. Dalam karya kategori ini dipaparkan juga jalan pengenalan diri, yang amat penting bagi seorang Muslim untuk mengenal perannya sebagai khalifah Tuhan di atas dunia dan sekaligus hamba-Nya. Syair-syair semacam ini juga sering disebut sebagai syair- syair Tauhid dan Makrifat. Selain ditulis dalam bentuk puisi didaktis dan simbolik, juga ada yang ditulis dalam bentuk kisah perumpamaan. Karya-karya Hamzah Fansuri dan murid-muridnya seperti Abdul Jamal, Hasan Fansuri, Syamsudin Pasai, dan juga beberapa karangan Abdul Rauf Singkel dan lain-lain termasuk dalam kategori ini. Kecuali karya tiga penulis ini terdapat karya ahli tasawuf lain yang namanya belum diketahui. Di antaranya Syair Perahu (dalam tiga versi yang berbeda), Ikat-ikatan Bahr al-Nisa’ (Lautan Perempuan), Syair Dagang (yang agaknya ditulis penyair asal Minangkabau), Hikayat Burung Pingai, Syair Alif dan lain- lain. Menurut Braginsky (1993), karya-karya yang termasuk ke dalam kategori ini mempunyai tujuan menyucikan kalbu dan jiwa manusia, karena kalbulah yang merupakan sarana penghayatan intuitif terhadap keberadaan Yang Haq dan Yang Satu. Keindahan yang dipaparkan dalam keindahan batin yang berhubungan dengan gagasan sufi tentang kesempurnaan jiwa manusia. (2) Karya-karya yang mengungkap lapis faedah, yaitu keindahan pemikiran tentang sesuatu atau adab yang dapat memberikan faedah bagi pembacanya, terutama berkenaan dengan kehidupan sosial dan kehidupan menjalankan perintah agama. Termasuk dalam kelompok ini ialah Hikayat Nabi dan Sahabat, Hikayat Pahlawan Islam, serta karya kesejarahan dan adab. Karya katagori ini bermaksud memperkuat dan menyempurnakan akal manusia, yaitu sarana intelektualnya, dengan membeberkan kisah-kisah yang mengandung hikmah dan pengajaran. Di antara karya termasuk sastra adab yang terkenal ialah Taj al-Salatin (Mahkota Raja-raja) karya Bukhari Jauhari dan Bustan al- Salatin (Taman Raja-raja) karya Nuruddin Raniri dan Nasih Luqman al-Hakim (anonim). Karya-karya ini menjadi cermin pengajaran dan tuntunan bagi raja-raja, pegawai pemerintahan dan pemimpin

Bahasa dan Sastra Melayu 107 masyarakat dalam menjalankan pemerintahan agar tercapai keadilan dan kesejahteraan sosial, dan dengan demikian agama berkembang. Sedangkan karya bercorak sejarah menggambarkan jatuh bangunnya raja-raja dan dinasti, sebab-sebab kejatuhan dan kebangunannya, peristiwa-peristiwa penting yang mempengaruhi kehidupan masyarakat dan jalannya sejarah. Karya bercorak sejarah ada yang ditulis dalam bentuk syair dan ada yang ditulis dalam bentuk prosa. Bustan al-Salatin merupakan karya bercorak sejarah dan adab. Karya bercorak sejarah lain yang terkenal ialah Hikayat Aceh (anonim), Sulalat al-Salatin atau Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang dan Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji. Jumlah karya bercorak sejarah sangat banyak. Selain yang telah disebut, karya kesejarahan lain yang masyhur ialah Hikayat Pasai, Hikayat Merong Mahawangsa, Hikayat Banjar, Misa Melayu, Hikayat Johor, Hikayat Maulana Hasanuddin, Hikayat Patani, Sejarah Raja-raja Riau, Salasilah Melayu dan Bugis, Salasilah Kutai, Hikayat Bengkulu dan lain-lain. Yang ditulis dalam bentuk syair di antaranya ialah Syair Perang Mengkasar, Syair Sultan Maulana, Syair Moko-moko, Syair Sultan Zainal Abidin, Syair Perang Siak, Syair Pangeran Syarif Hasyim, Syair Singapura Terbakar, Syair Siti Zubaidah Perang dengan Cina, Syair Kompeni Walanda Perang dengan Cina dan lain-lain. Menurut Ali Ahmad (1991) karya bercorak sejarah yang disebut salasilah memiliki unit cerita yang terdiri dari kisah-kisah dan legenda, namun tidak seperti hikayat yang diikat oleh perkembangan tokohnya yang stereotype, karya kesejarahan diikat oleh perkembangan kejadian dan hikmah yang dikandung dalam kejadian tersebut. Krisis yang terjadi dalam sebuah negara, yang membuat jatuhnya sebuah dinasti atau seorang raja, selalu dicari sebabnya pada krisis moral dan akhlaq, serta penyimpangannya terhadap ajaran Islam, misalnya tidak dilaksanakannya keadilan dan raja tidak lagi taat pada undang-undang dan tidak berperan sebagai pelindung rakyat dalam arti yang sebenar-benarnya. (3) Karya yang menggarap lapis hiburan dan estetika zahir (luaran), termasuk ke dalam jenis ini ialah Pelipur Lara. Tujuan karya seperti itu ialah menyerasikan kesan-kesan kejiwaan yang kacau disebabkan kobaran hawa nafsu, sebuah sarana penghayatan indrawi atau sensual manusia dalam menanggapi kehidupan.

108 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Kesan-kesan kejiwaan yang kacau harus diserasikan dengan nilai moral dan ajaran agama, dan upaya ke arah itu dicapai melalui bantuan keindahan karya sastra yang memberikan semacam psikoterapi kepada jiwa, yaitu menghibur atau melipur. Karangan-karangan dalam kategori ini termasuk hikayat dan syair percintaan, kisah petualangan yang dibumbui kisah-kisah luar biasa atau ajaib. Kisah-kisah ajaib ini tidak dimaksudkan sebagai mitos, melainkan sebagai representasi pengalaman jiwa manusia yang ruang kejadiannya berlaku di alam misal atau alam imaginal.

Ibnu Sina dan Estetika Melayu Estetika Melayu, terutama seperti tampak dalam sastranya, adalah turunan dari estetika Islam yang dasar-dasarnya antara lain diletakkan oleh Ibn Sina dan Imam al-Ghazali. Karena itu ada baiknya saya paparkan secara ringkas pandangan dua filosof Muslim awal itu mengenai estetika, baik sebagai teori seni maupun sebagai filsafat keindahan. Ibnu Sina, dan juga pendahulunya al-Farabi, adalah filosof Muslim awal yang secara tersurat membicarakan pentingnya estetika dalam hubungannya dengan perkembangan seni dalam Islam. Walaupun risalahnya tentang estetika yaitu Kitab al-Shi`r membicarakan estetika penulisan puisi atau puitika, namun secara tersurat membicarakan pula konsep-konsep yang berkaitan dengan penciptaan seni secara umum terutama seni rupa. Ini terbukti dengan besarnya pengaruh pemikiran Ibnu Sina dalam perkembangan seni rupa Islam khususnya lukisan geometri dan arabesque (seni hias tetumbuhan) yang merupakan bentuk seni rupa menonjol dalam Islam selain kaligrafi (khat). Pembahasan Ibn Sina antara lain bertolak dari dua konsep kunci mengenai penciptaan seni yang diperdebatkan oleh Plato dan Aristoteles di Yunani, yaitu mimesis (tiruan) dan creation (ciptaan). Menurut Plato seni yang dicipta berdasarkan prinsip mimesis atau tiruan dari kenyataan/alam bukan merupakan karya seni yang bagus. Seniman yang melahirkan karya seni berdasarkan prinsip mimesis mengandalkan semata-mata pada pengamatan inderawi. Seni atau sastra yang baik adalah turunan atau salinan kreatif (creation) dari idea yang ada dalam

Bahasa dan Sastra Melayu 109 pikiran seniman. Seni seperti lahir melalui aktivitas kontemplasi dan meditasi. Aristoteles sebaliknya memandang sebaliknya. Seni yang baik menurutnya dicipta berdasar prinsip mimesis. Walau seperti meniru kenyataan atau alam, namun peniruan itu dilakukan seniman itu melalui proses intelektual tertentu. Dikotomi mimesis dan creation sebagai asas penciptaan seni ini terus diperdebatkan hingga kini dalam seni modern, namun dalam tradisi Islam sudah dipecahkan hingga tidak dipersoalkan lagi. Yang berjasa memecahkan persoalan ini ialah al-Farabi dan Ibnu Sina. Bertolak dari sinthesa pandangan Plato dan Aristoteles, seraya meneliti perkembangan seni Islam khususnya puisi pada zamannya, Ibn Sina mengatakan bahwa seni/puisi adalah persembahan estetis berdasarkan mimesis (mutabaqah) dengan menyertakan prinsip penciptaan secara kreatif untuk suatu tujuan tertentu melebihi persembahan non-puitik. Dalam proses penciptaan, seorang seniman tidak hanya mencipta dengan bersandar pada akal rasionalnya, tetapi juga menggunakan apa yang disebut imaginasi (takhyil). Seorang penyair, kata Ibnu Sina, mencipta untuk menjelmakan pengalaman estetik (iltizat) ke dalam obyek visual/gambar- gambar atau citra yang dicerap indera yang dengan itu apa yang hendak dikemukakan dapat dihidupkan kembali dalam imajinasi penikmatnya. Melalui citraan-citraan yang menggambarkan suatu perasaan atau pikiran itu, seorang penyair terutama ingin memberikan kenikmatan estetis kepada penikmatnya seraya menyampaikan pesan moral atau kerohanian tertentu. Menurut Ibn Sina, karya seni/puisi pada hakekatnya bersifat imajinatif (mutakhayyil). Kata mutakhayyil, sebagaimana takhyil, dibentuk berdasarkan akar kata kh y l, yang arti harfiahnya “membuat percaya”. Berdasar pengertian yang diberikan kepada akar katanya itu, maka perkataan takhyil (imajinasi) diberi arti “seperangkat tindakan yang dapat menyebabkan seseorang memberi tanggapan langsung tanpa perlu berpikir lama terhadap sesuatu”, yaitu puisi atau karya seni. Sedangkan kata mutakhayyil (imajinatif) diberi arti, “obyek pengetahuan yang dapat ditangkap secara langsung tanpa berpikir lama, misalnya mengenai pikiran dan perasaan tertentu yang diungkap atau diekspresikan dalam sebuah puisi.” (Abdul Hadi W. M. 2004:251-2).

110 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Di lain hal dalam Kitab Ihsa` al-`Ulum al-Farabi memberi arti terhadap kata takhyil sebagai “proses kejiwaan yang menyebabkan seni menjadi imajinatif, evokatif, dan kreatif”. Kata takhyil digunakan di sini untuk menggantikan kata mimesis sebagaimana digunakan Plato dan Aristoteles. Sebab, menurut al-Farabi, dalam kata-kata imajinatif dan imajinasi, sudah terkandung pengertian yang merujuk kepada meniru, menyalin, atau menggubah berdasarkan sesuatu yang dijadikan gubahan. Penyalinan menggunakan imajinasi yang dilakukan penyair/seniman berbeda dari penyalinan yang dilakukan ilmuwan dalam melahirkan wacana ilmiah. Yang terakhir ini mendasarkan diri pada obyektivitas dan penalaran rasional logis, sedangkan imajinasi bersifat subyektif dan pribadi, dan tidak memerlukan pembuktian rasional obyektif atau logis untuk meyakinkan penikmat seni. Yang hendak disajikan penyair atau sastrawan bukanlah kebenaran ilmiah, melainkan bentuk-bentuk pengalaman spiritual yang disebut iltizat, yaitu yang lazim disebut pengalaman estetik. Berdasar pandangan ini Ibn Sina mengatakan bahwa hubungan antara obyek-obyek estetis dalam karya seni dan realitas/alam dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) tahsin, arti harafiahnya stilisasi atau upaya membuat sesuatu lebih indah dan teratur, jadi kenyataan sudah dirobah untuk tujuan estetis; (2) taqbih, arti harafiahnya deformasi; (3) mutabaqah, yaitu pemberian keseimbangkan antara dimensi lahiriah dan rohaniah obyek/kenyataan. Di sini sesuatu tidak hanya ditonjolkan sosok lahiriyahnya melainkan disingkap juga keadaan rohaniahnya. Dari sini lahir konsep tentang bentuk (surah) dan isi (ma`na). Prinsip ini ditegaskan dalam bentuk puisi Melayu yang popular yaitu , yang terdiri dari sampitan dan isi. Gagasan bahwa seni/puisi merupakan salinan dari pengalaman estetik melahirkan pandangan bahwa tidak ada hubungan langsung antara kenyataan dalam karya seni/sastra dan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari. Penyair menulis puisi bukan untuk menyajikan kenyataan sebagaimana adanya, tetapi kenyataan yang telah diresapi dengan perasaan, pikiran atau gagasan yang ada dalam jiwanya. Dengan perkataan lain, kenyataan yang disajikan dalam puisi adalah kenyataan yang telah dibentuk oleh pengalaman batin dan pandangan hidupnya sendiri, serta diberi nilai secara pribadi oleh sang

Bahasa dan Sastra Melayu 111 penyair. Wawasan estetika yang diletakkan Ibn Sina dan al-Farabi, dilanjutkan oleh beberapa penulis sufi seperti Imam al-Ghazali, Ibn `rabi, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Menurut mereka, puisi atau karya seni pada umumnya, bukanlah salinan langsung dari kenyataan melainkan salinan dari kenyataan yang hidup dalam jiwa penyair/ seniman. Puisi tidak lebih dari ibarat atau perumpamaan tentang yang ada di dalam alam mithal atau jiwa manusia. Sebagai ibarat, puisi/seni menyampaikan sesuatu melalui sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain disebut mithal (simbol) dan yang diibaratkan disebut yang disimbolkan atau dimisalkan. Yang dimisalkan inilah pesan atau isi suatu karya seni, yang dengan perkataan lain disebut ma`na. Sedangkan perumpamaan/ simbolnya disebut surah. Berdasarkan pemikiran ini penulis-penulis sufi kemudian mengembangkan teori representasi. Karya seni/sastra tidak lain adalah representasi/penggambaran secara simbolik dari gagasan dan pengalaman seorang seniman. Penggambaran itu sendiri dilakukan melalui suatu perenungan yang mendalam, sehingga timbul pendirian bahwa karya seni adalah hasil perenungan terhadap gagasan dan pengalaman batin yang ditransformasikan ke dalam ungkapan estetik seni. Dengan munculnya pendirian ini maka teori bentuk dan teori ekspressi yang dominan dalam seni modern, tidak memadai untuk menjelaskan wawasan estetika yang berkembang di dunia Melayu. Khususnya sehubungan dengan penciptaan karya sastra. Ada beberapa alasan bisa dikemukakan mengapa demikian. Salah satu di antaranya pandangan hidup (way of life) Melayu tentang keindahan dan nilai-nilai keindahan. Pandangan ini bersumber dari Islam yang memandang bahwa keindahan rohaniah lebih penting dari keindahan lahiriah. Alasan lain ialah gambaran dunia (Weltanschauung) Melayu, yang memandang bahwa alam semesta adalah bagaikan sebuah Kitab Agung yang di dalamnya terhampar dan terbentang ayat-ayat-Nya atau tanda-tanda-Nya yang menakjubkan. Wawasan estetika penulis Melayu sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup dan gambaran dunia ini. Alasan lain yang muncul kemudian ialah konvensi yang mengharuskan karangan sastra, apa pun bentuk, jenis dan coraknya, mesti mengandung pengajaran atau hikmah. Dengan begitu karangan yang baik tidak hanya indah bahasanya, melainkan

112 Rediscovering the Treasures of Malay Culture harus mengandung isi sehingga bermanfaat. Dalam sastra sufi, lebih jauh karangan sastra seperti syair dikarang sebagai suluk atau jalan keruhanian. Sebagai jalan keruhanian, sebuah puisi misalnya, dapat dijadikan kendaraan jiwa untuk naik dari alam jasmani menuju alam ruhani dan ketuhanan. Pandangan penulis Melayu tentang pentingnya keindahan ruhaniah dibanding keindahan lahiriah, sangat dipengaruhi oleh pandangan Islam. Hadis Nabi misalnya mengatakan bahwa keindahan ruhaniah (jamal) merupakan keindahan mutlak yang mengandung hikmah, sedangkan keindahan lahiriah (husn) sifatnya memukau (sihr). Pandangan itu lebih jauh dapat dirujuk pada Imam al-Ghazali, yang kitabnya Ihya `Ulumuddin menjadi bacaan luas para ulama dan cendekiawan Melayu termasuk para penulisnya. Dalam kitabnya itu Imam al-Ghazali mengatakan lebih kurang, “Ketahuilah olehmu bahwa orang yang terkungkung oleh imajinasi dan pancaindra mungkin menganggap keindahan dan kenikmatan ialah tidak lain dari keselarasan bentuk dan keindahan warna... Memang, keindahan sering disangka manusia sebagai sesuatu yang menarik pandangan dan paling sering manusia melihat kecantikan (rupa) manusia lain. Oleh karena itu dia mungkin berpikir: mustahil membayangkan keindahan sesuatu yang tidak dilihat mata, yang tidak terjangkau oleh imajinasi, yang tidak mempunyai rupa dan warna…”. Lebih jauh Imam al-Ghazali mengatakan, bahwa, “Keindahan tidak terbatas dalam rangka benda- benda yang dilihat dan tidak pula merupakan sekadar keselarasan bentuk dan rupa yang penuh harmoni.” Selain keindahan yang dapat dicerap oleh pancaindera dan terjangkau imajinasi, ada keindahan yang hanya bisa dicerap oleh akal budi dan intuisi seperti akhlaq mulia, pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu, kecerdasan, budi bahasa, keberanian, iman yang teguh, kemurahan jati dan lain-lain. Keindahan ruhaniah seperti inilah yang terutama harus ditekankan dalam sebuah karangan sastra, sehingga dengan demikian karya sastra mengandung pengajaran yang bermanfaat. Pandangan seperti ini tentu saja tidak akan dapat ditampung baik oleh teori bentuk signifikan maupun oleh teori ekspresi. Mengenai alasan yang kedua, sumber rujukannya bisa ditemui dalam al-Qur’an. Misalnya ayat yang mengatakan bahwa “Ayat-ayat-Nya terbentang di alam semesta dan

Bahasa dan Sastra Melayu 113 dalam diri manusia”. Bahkan, menurut al-Qur’an, “Kapal-kapal yang berlayar di lautan dan tegak bagaikan gunung-gunung adalah juga ayat-ayat-Nya, yaitu tanda-tanda keberadaan-Nya yang menakjubkan.” Dipengaruhi oleh gambaran al-Qur’an tentang alam atau dunia inilah penulis-penulis Melayu memandang alam semesta sebagai sebuah kitab agung yang indah, sebuah karya sastra. Sang Pencipta menjelmakan dunia dari Perbendaharaan pengetahuan-Nya yang tersembunyi (kanz makhfiy). Ia, dunia, ditulis dengan Kalam Tuhan pada Lembaran yang sangat terpelihara (lawhul mahfudz) (Braginsky 1993:1). Pribadi manusia, dengan wujud zahir dan batinnya, juga merupakan sebuah kitab, sebuah karya sastra. Keseluruhan hikmah alam semesta direkamkan ke dalam diri atau pribadi manusia setelah diringkas dan dipadatkan. Hikmah-hikmah tersebut hadir sebagai ayat-ayat-Nya yang penuh rahasia dan patut direnungkan oleh mereka yang berkeinginan mengenal hakekat dirinya dan Tuhannya, sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-Ghazali (Ihya' Ulumuddin dan Kimya-i Saadah). Selaras dengan gambaran tersebut, karya sastra mestilah dibentuk menyerupai pribadi manusia. Ungkapan zahir atau bentuk luar karya sastra, sebagaimana tubuh manusia dan wujud alam, hendaknya memberi bayangan tentang kehadiran rahasia dan keberadaan Tuhan. Gejala-gejala alam, peristiwa-peristiwa kemanusiaan dan sejarah, keindahan yang tak tepermanai dan berbagai-bagai di alam syahadah merupakan manifestasi cinta Tuhan dan pengetahuan-Nya yang tidak terhingga. Semua itu dihadirkan agar dikenal dan dijadikan jalan kenaikan. Ini sesuai dengan prinsip metafisika atau ontologi Sufi: yang banyak' merupakan manifestasi keindahan Yang Satu, yakni cinta dan pengetahuan-Nya. 'Yang banyak' tidak terbebas dari pengetahuan Tuhan, sebab 'yang banyak' diliputi oleh pengetahuan-Nya, dan tidak terbebas pula dari cinta-Nya, yakni al-rahman dan al-rahim-Nya. Karena itu penulis-penulis Melayu selalu memulai karangannya dengan ucapan Basmalah atau puji-pujian kepada Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Cara meresapi dan memahami hakekat penciptaan ini ialah melalui peresapan kalbu, atau melalui `ishq (cinta) dan pemahaman spiritual, yaitu ma`rifah. Perkatan-perkataan berahi, rindu, mabuk, takjub, lena,

114 Rediscovering the Treasures of Malay Culture leka, gharib, asyik, karib, tamasya dan lain-lain -- yang sering kita jumpai dalam karya-karya penyair Melayu -- merujuk kepada keadaan- keadaan rohani yang dialami seorang asyik dan ahli makrifat dalam perjalanannya menuju Yang Satu. Apa yang dikemukakan tampak dalam sajak ”Berdiri Aku” Amir Hamzah.

Berdiri aku di senja senyap Camar melayang menepis buih Melayah bakau mengurai puncak Berjulang datang ubur terkembang

Angin pulang menyejuk bumi Menepuk teluk mengempas emas Lari ke gunung memuncak sunyi Berayun alun di atas alas

Benang raja mencelup ujung Naik marak mengorak corak Elang leka sayap tergulung Dimabuk warna berarak-arak

Dalam rupa maha sempurna Rindu sendu mengharu kalbu Ingin datang merasa sentosa Mencecap hidup bertentu tuju

Dalam sajak ini penyair mula-mula menggambarkan gerak-gerak alam atau gejala pergerakan alam dengan memberikan pembayang terhadap kehadiran rahasia Tuhan dan keluarbiasaan keindahan-Nya. Camar yang menepis buih, bakau yang mengurai puncak, ubur yang terkembang, warna keemasan air laut dan pelangi yang memabukkan elang sehingga burung ini leka (fana) -- semua itu memberi gambaran bahwa gejala-gejala alam membayangkan keindahan Sang Pencipta. Ungkapan-ungkapan seperti ‘mengurai puncak’, ‘berjulang

Bahasa dan Sastra Melayu 115 datang’, ‘mengempas emas’, ‘memuncak sunyi’, ‘sayap tergulung’ dan lain-lain mengisyaratkan bahwa keindahan yang berbagai-bagai di alam syahadah ini sebenarnya merupakan tangga naik menuju Yang Hakiki. Keindahan Yang Satu, yang tampak di alam syahadah dan hadir sebagai ayat-ayat-Nya, dapat membawa pembaca merasa rindu, leka (fana’), takjub, gharib (asing), mabuk (sukr) dan hanyut dalam keindahan dan kebesaran-Nya. Memang kerinduan para penulis Melayu adalah mencapai semacam keadaan fana', leka, lampus atau hanyut dalam keindahan Yang Satu. Setelah fana ia akan kudus dan baqa' (hidup kekal) dalam Yang Abadi: "Ingin datang merasa sentosa/Mencecap hidup bertentu tuju". Ini bukan eskapisme dan bukan kefanaan yang menimbulkan kepasifan buta, tetapi suatu pencerahan yang menimbulkan gairah ketuhanan. Pada gilirannya gairah ketuhanan, yang disebut Rumi sebagai `isyq (cinta berahi), menumbuhkan sikap moral dan pandangan kerohanian yang positif, di samping keteguhan pribadi dan rasa percaya diri.

Puisi Sebagai Suluk Sekarang marilah saya tutup pembahasan ini dengan memaparkan konsep penulis sufi yang memandang sastra/seni sebagai suluk atau jalan keruhanian. Saya akan mengambil contoh Syair Perahu:

Inilah gerangan suatu madah Mengarangkan syair terlalu indah Membetuli jalan tempat berpindah Di sanalah i’tiqad diperbaiki sudah

Wahai muda kenali dirimu Ialah perahu tamsil tubuhmu Tiada berapa lama hidupmu Ke akhirat jua kekal diammu

Hai muda kenali dirimu

116 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Hasilkan kemudi dengan pedoman Alat perahumu jua kerjakan Itulah jalan membetuli insan

Perteguh jua alat perahumu Hasilkan bekal air dan kayu Dayung pengayuh taruh di situ Supaya laju perahumu itu …

La ilaha `illa Allah terlalu nyata Tauhid makrifat semata-mata Memandang yang gaib semuanya nyata Lenyapkan ke sana sekalian kita ...

La ilaha `illa Allah tempat mengintai Medan yang qadim tempat berdamai Wujud Allah terlalu bitai Siang malam jangan bercerai

La ilaha `illa Allah tempat musyahadah Menyatakan tauhid jangan berubah Sempurnakan jalan iman yang mudah Pertemuan (dengan) Tuhan terlalu susah

(Doorenbos 1933:35)

Dari syair ini dapat dicatat setidak-tidaknya: Pertama, puisi merupakan jalan berpindah ke alam ketuhanan atau transendental. Tujuan penyair ialah memandang yang gaib (musyahadah) melalui jalan tauhid dan makrifat. Dengan demikian puisi dapat dikatakan sebagai sarana transendensi atau pembebasan jiwa dari kungkungan alam kebendaan (tajarrud). Kedua, puisi yang indah doitulis setelah penyair melakukan penyucian diri, yaitu membetulkan iktiqad. Ketiga, puisi juga merupakan perluasan zikir terhadap Allah (zikr Allah), yang

Bahasa dan Sastra Melayu 117 dengan cara demikian seseorang mencapai musyahadah. Makrifat dan pencerahan kalbu adalah bentuk pengalaman estetis yang tinggi, yang hanya dapat dicapai melalu jalan zikr Allah. Keempat, penyair juga menyatakan bahwa keindahan wajah Tuhan dan hakikat Tauhid hanya bisa disaksikan di ’medan yang qadim’, yaitu di alam metafisik atau ketuhanan. Medan yang qadim dalam jiwa manusia mengambil tempat dalam kalbu. Para sufi menyatakan bahwa kalbu merupakan rahasia Tuhan (sirr Allah) dalam arti dalam kalbulah manusia bisa berdialog dengan Yang Maha Gaib. Itulah sebabnya dalam proses penyucian diri, kalbu mesti dikosongkan dari yang selain Tuhan. Kelima, penyair mengharap pembaca menjadikan puisi sebagai tangga naik menuju hakikat dirinya yang sejati. Perjalanan ruhani seorang ahli suluk di sini diamsilkan sebagai pelayaran perahu dan perlengkapannya, sedangkan perahu alam tamsil tubuh manusia yang dibekali perlengkapan ruhani. Terima kasih.

118 Rediscovering the Treasures of Malay Culture PERAN SASTRA MELAYU DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA

Suryadi, M.A. Leiden University Institute for Area Studies (LIAS), Belanda

[T]he relationship between social change and literature cannot simply reduced to a linear and effect formula. (Budianta 2007:55).

‘[L]iterature’ was an institutionalized body of texts that should be able to bring the people of the nation-in-becoming together – and within that ‘literature’ (sastra) novels were to have a central place. (Maier 2002:69).

Pendahuluan Sastra dan pembangunan bangsa (literature and nation-building) adalah salah satu wacana yang sudah lama menjadi topik diskusi dalam dunia akademik. Khusus di negara-negara bekas jajahan Eropa di Asia, Afrika dan Amerika Latin, sastra sering dianggap telah ikut memberikan kontribusi penting dalam melahirkan kesadaran nasional di kalangan kaum pribumi yang akhirnya berhasil menjungkalkan hegemoni para penjajah di negeri mereka. Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-intelektual pribumi yang memperoleh semangat anti penjajahan melalui bacaan-bacaan sastra yang justru berasal dari khazanah sastra Eropa sendiri. Fenomena ini juga terlihat di negara-negara pasca kolonial di dunia Melayu, khususnya Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Banyak intelektual pribumi penentang penjajahan bangsa-bangsa asing di negeri mereka adalah pembaca karya-karya sastra dan banyak juga memproduksinya

Bahasa dan Sastra Melayu 119 tempat mereka menanam dan menggelorakan semangat nasionalisme bangsanya untuk membebaskan diri mereka dari belenggu penjajahan. Sejarah telah mencatat bahwa Angkatan 45 di Indonesia (lihat: Heinschke 1993) atau Angkatan Sasterawan ‘50 (atau Asas ‘50) di Semenanjung Malaya (lihat: Hoilul Amri bin Tahiran et al. 2005), misalnya, telah memainkan perannya sebagai motor penggerak dalam menggelorakan semangat nasionalisme dan membangun rasa kebangsaan di dunia Melayu pada paroh pertama abad ke-20. Makalah ini mendiskusikan potensi sastra Melayu dalam pembentukan karakter bangsa-bangsa di dunia Melayu dan semangat kemelayuan supranasional. Istilah ‘sastra Melayu’ dalam konteks ini diartikan agak lebih luas, yang tidak hanya menyangkut zaman lampau (klasik), tapi juga zaman modern. Saya akan melakukan tinjauan historis untuk menapaktilasi peran yang telah dimainkan oleh dunia sastra di zaman kolonial dan pasca kemerdekaan negara-bangsa di dunia Melayu, dan proyeksinya di masa depan, dengan mempertimbangkan faktor-faktor kebahasaan (bahasa Melayu/Indonesia) yang terus mengalami dinamika dan sastra sendiri sebagai sebuah konvensi wacana yang terus-menerus pula berubah sesuai dengan perjalanan waktu, serta aspek-aspek budaya lainnya. Analisis tekstual pada teks-teks sastra tertentu akan dilakukan untuk memperkuat argumen-argumen yang dikemukakan.

Perspektif Teori Hingga sekarang masih terdapat persilangan pendapat mengenai hubungan antara sastra dan proses nation building serta pembentukan karakter bangsa sebagai bagian dari nation-building itu. Ada yang berpendapat bahwa sastra telah menjadi model dan memberikan gagasan konkrit dalam pembangunan bangsa, khususnya di negeri- negeri jajahan Eropa. Sebaliknya, ada pendapat yang mengatakan bahwa sastra nasional sebuah bangsa lahir justru setelah bangsa itu wujud. Artinya: sebuah negara-bangsa (nation-state) terbentuk terlebih dahulu, baru kemudian terbentuk sastranya. Di Indonesia, perdebatan ini antara lain terefleksi dalam buku Adakah Bangsa dalam Sastra yang diedit oleh Abdul Rozak Zaidan

120 Rediscovering the Treasures of Malay Culture dan Dendy Sugondo (2003). Demikianlah umpamanya, Budi Darma dalam artikelnya dalam buku itu berpendapat bahwa sastra bukanlah penyebab tapi lebih merupakan akibat dari wujudnya bangsa Indonesia yang memerdekakan diri dari penjajah tahun 1945. Namun, kajian- kajian lain menunjukkan bahwa sastra sangat berperan penting dalam tahap awal pembentukan bangsa Indonesia (Foulcher 1993; Budianta 2007). Pada tahap itu sastra sudah berperan sebagai salah satu inang yang penting dalam menyemaikan benih nasionalisme di akhir zaman kolonial di Indonesia. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kadar politik dalam narasi teks-teks sastra Indonesia, sejak zaman Balai Pustaka sampai Angkatan 2000, tetap menonjol, meskipun di sisi lain juga muncul gerakan untuk memperjuangan ‘seni untuk seni’. Demikianlah umpamanya, puisi-puisi Indonesia lebih diramaikan oleh ‘pamflet-pamflet’ politik ketimbang renungan-renungan yang individualistik yang membawa sastra sebagai sebuah dunia independen seperti yang terjadi di Barat. Dalam sejarah pembentukan negara-bangsa di dunia Melayu, sastra jelas sangat berperan penting dalam membangun narasi kebangsaan yang bersifat lintas etnis. Akan tetapi proses nation- building dalam wacana sastra tidak bersifat linear dan singular yang cenderung membawa masyarakat ke satu entitas politik yang bersifat tunggal dan seragam. Sebaliknya, ia menyediakan ruang untuk diskusi dan dialog, bahkan debat, yang terus-menerus untuk memperkaya dan mematangkan imajinasi dan konsepsi tentang bangsa. “[A]s a means for constructing a sense of community, literature of […] a heterogeneous society [Indonesia] can serve as the sites of competing and conflicting visions [about nation].” (Budianta 2007:57). Dengan cara demikian, sastra telah ikut memainkan peran penting dalam menciptakan rasa memiliki (sense of belonging) dalam tubuh bangsa-bangsa dalam rumpun Melayu, termasuk di Indonesia. Sastra adalah salah satu perangkat lunak yang penting dalam membentuk standardisasi budaya dan perluasan kewarganegaraan dan partisipasi politik masyarakat dalam proses pembangunan bangsa di dunia Melayu.

Bahasa dan Sastra Melayu 121 Akar yang Kuat: Tradisi Sastra Melayu di Era Aksara Jawi Para kolonialis Eropa yang datang ke dunia Melayu mendapati sebuah tradisi sastra yang sudah semula jadi di kawasan ini, dengan aksara Jawi dan bahasa Melayu sebagai wadah untuk mengekspresikannya. Tradisi pernaskahan Nusantara itu digerakkan oleh scriptorium- scriptorium yang berbasis di institusi-institusi agama dan istana-istana lokal di dunia Melayu. Hal itu berlangsung paling tidak sejak abad ke- 16 sampai pertengahan abad ke-19. Selain itu, repertoar-repertoar tradisi lisan menunjukkan hubungan yang erat antara berbagai wilayah di dunia Melayu. Satu teks ditemukan versinya di berbagai daerah, sebuah bukti yang lebih dari cukup untuk menunjukkan kesatuan bangsa Melayu dalam keragamannya. Demikianlah umpamanya, ada Kaba Malin Deman dan Anggun Nan Tungga di Minangkabau yang variannya di Semenanjung Melayu dikenal sebagai Hikayat Malim Deman1 dan Hikayat Anggun Cik Tunggal.2 Migrasi puak-puak Melayu yang terjadi sejak masa lampau, sebelum para pejajah Eropa datang ke kawasan ini, telah melahirkan hubungan budaya yang erat antara satu daerah dengan daerah lainnya di rantau yang luas ini. Sekedar menyebut contoh, Negeri Sembilan di Malaysia telah lama menjadi tanah perantauan awal orang Minangkabau (lihat: Newbold 1835; Idris 1968; Gullick 2003). Demikian juga halnya banyak puak lainnya yang telah berpindah-pindah ke sana ke mari di wilayah Melayu Nusantara yang luas ini sambil membawa budayanya sendiri dan mengadopsi budaya tempatan. Di masa kemudian perpindahan itu telah didorong pula oleh represi-represi yang dilakukan oleh kolonialis. Banyak intelektual dan juga orang awam dari berbagai tempat di Sumatra yang berada di bawah tekanan penjajah Belanda terpaksa hijrah ke Semenanjung Malaya yang berada di bawah kekuasaan kolonialis Inggris yang dianggap lebih baik kepada orang pribumi.

1 Untuk versi Minangnya, lihat antara lain Dt. Rajo Panghulu (1989) dan Suryadi (1998) dan untuk versinya yang ditemukan di Semenanjung Malaya, lihat an- tara lain Winstedt dan Sturrock (1908). 2 Untuk versi Minangkabau teks ini, lihat misalnya Leiden Cod. Or. 2006 (1) (Wi- eringa 1998:224), Mahkota (1962) dan analisisnya oleh Phillips (1981). Peme- layuan versi Minangkabau ini dilakukan oleh Djamin dan Tasat (193?). Untuk versinya yang dikenal di Semenanjung Malaya, lihat misalnya Winstedt (1914).

122 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Sejak 1828 teknik percetakan cap batu (lithography) diperkenalkan di dunia Melayu. Mula-mula percetakan seperti ini hanya dimiliki oleh pemerintah kolonial dan para misionaris Eropa yang menggunakannya untuk mencetak dokumen-dokumen pemerintah, buku-buku, atau terjemahan Injil untuk kepentingan penyebaran agama Kristen di dunia Melayu, seperti yang mereka lakukan di Batavia, Penang dan Melaka. Kemudian kaum pribumi dan keturunan Arab mengadopsinya untuk mencetak buku-buku sendiri yang berbahasa Melayu dan beraksara Jawi dalam bentuk kitab, hikayat, dan syair yang isinya sering merepresentasikan unsur-unsur agama Islam (Proudfoot 1983). Umumnya penerbit-penerbit pribumi yang memakai teknik cetak (cap) batu muncul itu di beberapa bandar yang penting seperti di Palembang, Pulau Penyengat, Singapura, Batavia, dan Surabaya.3 Mendekati akhir abad ke-19 teknik cap batu digantikan oleh teknologi cetak modern. Memasuki paroh kedua abad ke-19 tradisi keberaksaraan cetak yang diperkenalkan oleh kolonialis Eropa mulai mempengaruhi kehidupan orang Melayu. Penguasaan teknologi percetakan oleh orang Melayu telah melahirkan budaya membaca buku. Teknologi percetakan jelas mampu menggandakan bahan tertulis lebih banyak dan jauh lebih cepat dibanding teknologi penyalinan dengan tulisan tangan di era naskah, dengan wilayah jangkauan yang lebih luas. Efek percetakan inilah yang kemudian melahirkan tradisi sastra Melayu awal yang belum disekat oleh batas-batas nasionalisme seperti sekarang. Beberapa ahli telah membahas peran tradisi percetakan sebagai faktor pencetus gerakan nasionalisme di dunia Melayu di mana genre sastra memainkan perang yang penting. Penguasaan tradisi percetakan oleh kaum pribumi telah melahirkan surat kabar pribumi yang menjadi ‘jembatan penghubung’ komunikasi antara berbagai puak di dunia Melayu, yang pada gilirannya memberi kesadaran kepada mereka akan adanya perbedaan dengan subjek penjajah (lihat Roff 1967; Anderson 1983; Adam 1995). Menurut Anderson, kapitalisme

3 Lebih jauh mengenai aktivitas percetakan pribumi di dunia Melayu di era teknologi cap batu, lihat Ritter (1843), Dhiel (1990), Gallop (1990). Lihat juga Dewall (1857) dan Peeters (1996) mengenai Palembang, Proudfoot (1993) dan (1998) yang banyak membicarakan penerbit-penerbit pribumi di Singapura, Kaptein (1993) mengenai Surabaya, dan Putten 1997 mengenai Pulau Penyen- gat, Riau.

Bahasa dan Sastra Melayu 123 cetak telah memberi ruang untuk menciptakan perasaan partisipasi dan keanggotaan dalam sebuah komunitas yang melewati batas-batas etnis. Para pembaca surat kabar dari kalangan pribumi “to whom they were connected through print, formed, in the secular, particular, visible invisibility” adalah “the embryo of nationally-imagined communities” (Anderson 1983:47). Namun, di sini saya ingin lebih menyorot fungsi industri percetakan pribumi yang telah mentransformasikan sistem sastra Melayu sedemikian rupa sehingga ia menjadi simbol yang lebih jelas untuk menunjukkan identitas kaum pribumi sendiri. Hal itu terjadi seiring dengan pengambilalihan fungsi scriptorium institusi-insitusi agama dan istana oleh industri percetakan pribumi tersebut. Dalam konteks ini, aksara Jawi sangat berperan penting untuk memberi penanda yang jelas dan karakter yang kuat bagi identitas kemelayuan yang terkait dengan agama Islam. Peminjaman satu aksara selalu bersamaan dengan penyebaran sebuah tamadun dari mana aksara itu semula berasal. Meminjam kata-kata Ignace Jay Gelb (1952: 222) “tulisan hanya berada dalam tamadun, dan tiada tamadun tanpa tulisan.” Aksara Jawi yang diturunkan dari aksara Arab adalah salah satu aksara yang selalu membawa tamadun Islam ke dalam masyarakat manapun yang mengadopsi aksara itu, tak terkecuali di dunia Melayu pada zaman lampau (Cho 2012), yang tidak aus oleh jarak geografi dan waktu dari tempat asal aksara itu. Pengadopsian aksara Arab inilah yang telah memainkan peranan jangka panjang sehingga melekatkan Islam sebagai ciri penting orang Melayu. Sejarah sudah mencatat bahwa tradisi sastra Melayu di era aksara Jawi (abad ke-16-19) telah menjadi salah satu unsur penting sebagai penanda bangsa Melayu. Hal itu secara sadar atau tidak juga diangkat oleh para sarjana Eropa yang mengkaji teks-teks sastra Melayu tersebut.4 Secara langsung atau tidak teks-teks sastra Melayu itu, baik dari genre kitab, hikayat, syair, dan lain-lain, telah ikut berperan dalam membentuk sensibilitas budaya dalam masyarakat Melayu. Inilah awal

4 Mengenai konstruksi pengetahuan tentang dunia Melayu sebagai ‘the Others’ oleh para sarjana Belanda sejak zaman kolonial sampai akhir abad ke-20, lihat Sweeney (2000). Lihat juga Sweeney (1994) tentang bias Eropasentris dalam melihat sastra Melayu di kalangan sarjana Eropa.

124 Rediscovering the Treasures of Malay Culture dimana sastra telah ikut memainkan peran dalam membentuk karakter orang Melayu dan menjadi penanda pula bagi orang asing untuk menyebut bangsa Melayu sebagai kelompok masyarakat yang memiliki tradisi sastra sendiri. Teks-teks sastra Melayu di era aksara Jawi beredar dalam wilayah yang luas. Teks-teks itu beredar melewati batas-batas administrasi kolonial yang diatur oleh Inggris dan Belanda pada masa itu. Teks- teks seperti itu menjadi lambang kemelayuan dalam arti luas. Batas- batas kenegaraan memang belum ada pada waktu itu, tapi batas-batas administrasi kolonial sudah diatur oleh penjajah – suatu usaha untuk mencabik-cabik identitas kemelayuan itu sendiri. Secara hakikat, teks-teks sastra Melayu pada waktu itu seolah menjadi simbol untuk melawan pengotakan-pengotakan administratif yang dibuat oleh para penjajah yang mengapling-ngapling dunia Melayu sekehendak hati mereka sendiri. Teks-teks sastra Melayu itu memberikan gerakan resistensi terhadap batas-batas kolonial yang dibuat oleh penjajah itu. Usaha para kolonialis untuk menggusur aksara Jawi dengan menggantinya dengan aksara Latin merupakan suatu strategi budaya yang sistematis yang dilakukan oleh penjajah untuk mengubah karakter dan budaya masyarakat Melayu. Para penasihat budaya Pemerintah Kolonial yakin bahwa dengan menyingkirkan aksara Jawi dari masyarakat Nusantara, radikalisme Islam dapat diminimailisir (lihat misalnya Moriyama 2005 untuk wilayah Sunda), dan tentu saja, langsung atau tidak, peran sastra Melayu sebagai simbol pemersatu orang Melayu juga mengalami penggerusan. Melalui aksara Latin kolonialis mengutak-atik bahasa Melayu dan berusaha melakukan standardisasi terhadapnya (lihat Hoffman 1979). Seperti yang dapat kita saksikan kemudian, usaha ini boleh dibilang berhasil: sifat kemelayuan yang semesta dari sastra Melayu beraksara Jawi terkikis akibat invasi hebat aksara Latin di dunia Melayu.

Bahasa dan Sastra Melayu 125 Ide-ide tentang Kebangsaan dalam Sastra di Zaman Pergerakan Dengan semangat yang berbeda dengan zaman aksara Jawi, sastra terus memainkan peranan dalam pembentukan bangsa di dunia Melayu. Peran penting sastra sebagai pembangun karakter bangsa itu dapat dilihat pula di era 1920-an sampai 1940-an, saat aksara Latin praktis telah mereduksi eksistensi aksara Jawi di dunia Melayu. Banyak teks sastra yang lahir dari tangan para intelektual pribumi di zaman itu yang pada hakikatnya mengandung pemikiran-pemikiran mengenai kebangsaan. Melalui karya-karya mereka, para sastrawan- intelektual itu mengemukakan gagasan-gagasan mereka mengenai sebuah bangsa merdeka yang membebaskan dirinya dari cengkeraman penjajah. Teks-teks sastra itu, secara ekplisit atau implisit menawarkan gagasan-gagasan politik dalam upaya membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan dan juga tranformasi-transformasi budaya untuk mewujudkan sebuah bangsa merdeka di wilayah yang begitu luas dan beragam dari segi etnis, budaya, dan agama. Banyak teks-teks sastra yang diproduksi oleh para intelektual pribumi pada waktu itu mengandung ide-ide pembebasan, baik politik maupun budaya, dalam rangka menciptakan sebuah kesadaran nation yang dicita-citakan untuk masa depan bersama. Tentu tidak mungkin untuk mengemukakan seluruh hasil identifikasi mengenai berbagai gagasan kebangsaan yang terkandung dalam teks-teks sastra di zaman itu dalam makalah yang singkat ini. Saya hanya ingin menunjukkan beberapa aspek yang menonjol di antaranya, untuk memberikan gambaran bagaimana ide mengenai kebangsaan direpresentasikan dalam teks-teks sastra di zaman itu. Saya mencoba melihatnya dalam ranah dua genre sastra: puisi dan novel (roman).

Semangat Kebangsaan dalam Puisi Puisi adalah genre yang sudah sejak awal menunjukkan peran pentingnya dalam pembentukan gagasan mengenai kebangsaan. Dalam konteks ini, tiada contoh yang lebih jelas selain puisi-puisi Chairil Anwar, salah seorang penyair terkemuka Angkatan 45. Saya

126 Rediscovering the Treasures of Malay Culture agak kurang sependapat dengan Keith Foulcher (1993:246) yang menyatakan bahwa Chairil Anwar dan grupnya (Angkatan 45) “increasingly found themselves denying the political-ideological context in which literature was produced [and] asserted that the autonomy of individual artist, free from political movement, the precondition for genuine aesthetic movement” untuk mengekspresikan pandangan mereka tentang ‘universal humanism’. Bagi saya, puisi-puisi Chairil Anwar seperti “Kerawang-Bekasi”, “Persetujuan dengan Bung Karno”, “Aku”, dan lain-lain, justru sarat dengan muatan politik. Puisi-puisi Chairil mampu mengobarkan semangat nasionalisme bangsa Indonesia yang baru mekar pada pertengahan tahun 1940-an. Puisi-puisi tersebut menyiratkan kesadaran Chairil Anwar untuk mengangkat martabat bangsanya yang lama menjadi kawula yang terjajah. Dalam sebuah puisi tanpa judul yang terbit dalam majalah Gelanggang (edisi 12 Desember 1948), Chairil mengekspresikan sikap revolusionernya dengan kata (kunci) ‘bedil’. Sudah dulu lagi terdjadi begini5 Djari tidak bakal terandjak dati petikan bedil Djangan tanja mengapa djari tjari tempat di sini Aku tidak tahu tanggal serta alasan lagi Dan djangan tanja siapa akan menjiapkan liang penghabisan Jang akan terima pusaka: kedamaian antara runtuhan menara Sudah dulu lagi, sudah dulu lagi Djari tidak bakal terandjak dari petikan bedil.

Bahasa puisi-puisi Chairil Anwar juga dianggap memberikan corak dan semangat baru terhadap bahasa Indonesia. Khairil dianggap mampu melakukan transformasi estetika dalam perpuisian Indonesia (Oemardjati 1972). Dalam “Krawang Bekasi” Chairil mengingatkan untuk tidak melupakan para pejuang kemerdekaan, agar generasi berikutnya meneruskan perjuangan itu dan mengisi kemerdekaan yang telah direbut dari penjajah.

5 Puisi Chairil ini tak sulit ditemukan dalam antologi-antologi puisinya yang su- dah pernah diterbitkan. Kutipan ini sendiri didasarkan atas Foulcher (1993:237) karena di KITLV dan Universiteitsbibliotheek Leiden tidak ada tersimpan eks- emplar-eksemplar majalah Gelanggang.

Bahasa dan Sastra Melayu 127 Krawang Bekasi 6

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami, terbayang kami maju dan bendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu. Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa

Kami sudah beri kami punya jiwa Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan Tapi adalah kepunyaanmu Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa, kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami

6 Didasarkan atas Liauw dan Jassin (1974):129,131.

128 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Teruskan, teruskan jiwa kami Menjaga Bung Karno menjaga Bung Hatta menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat Berilah kami arti Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian.

Kenang, kenanglah kami yang tinggal tulang-tulang diliputi debu Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

Chairil menggugah pembacanya dengan gagasan mengenai kemerdekaan dan upaya untuk mempertahankannya. Ia seolah menyalurkan suara kaum muda Indonesia yang memiliki gejolak emosi anti kolonial. Orientasi universalisme Chairil tidak mengurangi rasa cintanya terhadap tanah airnya dan pandangan kritisnya terhadap bangsa Barat yang pintar dan berkebudayaan tinggi tapi suka menjajah bangsa-bangsa lainnya dan memperbudak sesama manusia. Chairil menangkap energi dari semangat kemerdekaan generasinya dan mengawetkannya dalam teks-teks puisinya. Dalam “Persetujuan dengan Bung Karno” ia merepresentasikan tekad kaum muda untuk bergandeng bersisian dengan “Putra Sang Fajar” dan Bapak Proklamator itu dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ia menyerukan agar generasinya (generasi muda) dan generasi tua saling bersatu dalam mengisi kemerdekaan. Tapi di balik itu, puisi ini juga mengilatkan rasa gregetan kaum muda terhadap generasi tua yang sejak hari-hari terakhir kekuasaan penjajah Jepang di Indonesia dianggap agak mbalelo dalam menggesa kemerdekaan Indonesia.

Bahasa dan Sastra Melayu 129 Persetujuan dengan Bung Karno7

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji Aku sudah cukup lama dengan bicaramu, di panggang di atas apimu, digarami lautmu Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945 Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

Dalam sejarah perpuisian Indonesia persoalan kebangsaan tetap menonjol sampai sekarang. Sepanjang sejarah Indonesia modern, puisi-puisi kaya dengan wacana politik tempat terjadinya pergulatan pemikiran mengenai bangsa. Kritik terhadap praktek korupsi, penderitaan kaum buruh, perilaku rezim otoriter terhadap rakyat8, dan lain sebagainya selalu disuarakan dalam puisi modern Indonesia sampai hari ini.

Gagasan Mengenai Kebangsaan dalam Novel Indonesia Awal Seperti halnya genre puisi, genre novel atau roman di Zaman Pergerakan telah berperan penting dalam mengapungkan wacana kebangsaan, sebagaimana terefleksi dalam pendapat Henk Maier (2002:69) yang dikutip di awal makalah ini. Teks-teks roman/novel di zaman itu adalah ladang untuk menggelorakan semangat merdeka dan anti penjajahan. Demikianlah umpamanya, dalam Hikajat Kadiroen karya Semaoen, terdapat dialog sebagai berikut.

7 Didasarkan atas Liauw dan Jassin (ibid.):107. 8 Tentang tema ini yang menyangkut Rezim Orde Baru, lihat puisi-puisi Wiji Thu- kul (1988; 2000). Wiji Thukul sendiri disinyalir merupakan salah satu korban penghilangan sastrawan oleh Rezim Orde Baru. Dalam puisi-puisinya Wiji Thu- kul mengeritik keras Rezim Orde Baru yang represif. Sampai sekarang kuburnya belum ditemukan dan kematiannya sampai masih tetap menjadi misteri.

130 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Tadi saja soedah memberi keterangan, bahwa koempoelan kita [P.K. – Partai Kominis] berichtiar mengadjak rajat mendjadi pinter dan koeat, soepaja achirnya kita bisa merdika mengoeroes negeri kita sendiri. Na, ini hal soenggoehlah perkara kebangsa’an.[...]. Adapoen kalau bangsa kita Boemipoetra jang kaja tahoe betoel maksoednja perkoempoelan kita, tentoe mereka soeka mengalah dan moefakat dengan rajat dalam P.K. sebab P.K. maoe memoeliakan Se-anteronja rajat atau pendodoek Hindia.” (Samaoen 1920:121).

Hikajat Kadiroen mengandung propaganda Komunisme untuk menyadarkan rakyat Hindia Belanda agar melawan sistem Kapitalisme yang bersekongkol dengan Pemerintah Kolonial. Melalui narasi roman itu, Semaoen mengajak pembaca (kaum intelektual pribumi) untuk bergabung dengan Partai Komunis yang dipimpinnya. Semaoen menyadari pentingnya media cetak seperti surat kabar untuk menyebarkan ide-idenya. Hikajat Kadiroen sendiri ditulis oleh Semaoen ketika dia berada dalam penjara tahun 1919 karena terkena persdelict Pemerintah Kolonial Belanda. Judul roman masih memakai kata ‘hikayat’, yang menyiratkan semangat sastra Melayu lama yang masih tersisa di zaman aksara Latin yang makin berkuasa di dunia Melayu sejak awal abad ke-20. Namun, jika diberi interpretasi lebih jauh, kata ‘hikayat’ juga seolah merepresentasikan rasa anti Barat dan anti kapitalisme, yang memang merupakan motif penting perjuangan kaum Komunis di Hindia Belanda pada zaman itu. Banyak roman yang terbit antara 1920-an sampai 1940-an berisi kisah-kisah perjuangan yang heroik menentang penjajahan. Di samping itu tak sedikit pula yang mengekplorasi pemikiran-pemikiran ideologis, baik yang berlabel agama maupun yang sekuler, bahkan juga komunisme dan ateisme. Dalam Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito muncul tema tentang perjuangan “proletar intelektual” Sudarmo dan Sulastri yang menjadi guru sekolah liar (partikelir), yang dijepit oleh politik kolonial. Mereka lebih memilih hidup miskin asal dapat bekerja untuk bangsanya sendiri. Perasaan kebangsaan itu antara lain dapat dikesan dalam kutipan berikut ini:

Bahasa dan Sastra Melayu 131 Marti, Do’akan aku dapat bekerja dengan penuh cita-cita. Kau masih ingat, bahwa pertalian persaudaraan antara kau dan aku harus mengekalkan kesetiaan kita akan sumpah kita berdua; bekerja bagi mereka yang tertindas dan untuk Indonesia, tanah air kita bersama. (Jojopuspito 2000:18).

Manusia Bebas terbit untuk pertama kalinya dalam bahasa Belanda di Negeri Belanda pada tahun 1940 dengan judul Buiten het gereel yang secara harfiah berarti ‘di luar rel’. Suwarsih secara berani telah mengemukakan ide-ide dan perasaannya mengenai kemerdekaan bangsa Indonesia melalui bahasa milik si penjajah dan di negeri si penjajah sendiri (Zonneveld 1996). Buiten het gereel adalah salah satu karya sastra yang banyak diperbincangkan oleh intelektual Belanda. Namun, seperti yang dikemukakan oleh E. du Perron untuk pengantar edisi Indonesia roman ini, apa yang dikemukakan dalam Manusia Bebas adalah perasaan “yang nyata ada di kalangan orang nasionalis” dan dianggapnya akan berguna untuk mencapai “pengertian yang lebih baik antara putih dan sawo matang”9, suatu usaha yang tampaknya dimaksudkan untuk menetralisir kekagetan orang Berlanda yang pernah terjadi ketika membaca edisi pertama roman ini yang diterbitkan oleh seorang inteletual wanita pribumi dalam bahasa mereka sendiri, bahasa penjajah yang selama beratus tahun dijauhkan dari subjek terjajah di Hindia Belanda agar mereka tidak menjadi pintar dan membahayakan hegemoni si penjajah di tanah jajahan mereka. Dengan cara lain, sejumlah roman juga merepresentasikan keindonesiaan dalam plot dan penokohan yang bersifat lintas etnis. Hal itu dapat dikesan dalam beberapa roman Zaman Pergerakan karangan sastrawan Indonesia yang berasal dari Minangkabau. Sebuah bangsa baru yang dicita-citakan mestilah keluar dari eksklusivisme etnisitas dengan berbagai ciri yang menyertainya. Keindonesiaan yang dicita- citakan mestilah memberi ruang toleransi bagi perbedaan budaya dan agama. Hubungan antara suku harus diperkuat, seperti terefleksi dalam

9 Dikutip dari edisi 2000 oleh Penerbit Djambatan, halaman xv (lihat ke- pustakaan).

132 Rediscovering the Treasures of Malay Culture judul roman karangan S. Hardjosoemarto dan Aman Dt. Madjoindo, Rusmala Dewi: Pertemuan Jawa dan Andalas (edisi pertama: 1932). Hubungan antar etnis itu sering digambarkan melalui perkawinan, seperti dapat dilihat dalam hubungan perkawinan antara Nurdin (Minangkabau) dan Rukmini (Sunda) dalam oleh Adi Negoro10 (edisi pertama: 1927) dan Rustam (Minangkabau) dan Dirsina (Sunda) dalam (edisi pertama: 1928) yang juga dikarang oleh Adi Negoro. Tema yang sama juga direpresentasikan melalui tokoh Amiruddin (Minangkabau) dan Astiah (Jawa) dalam Cinta Tanah Air karangan Nur Sutan Iskandar (edisi pertama: 1944), sebuah roman yang berlatar perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia. Hubungan antaretnis yang cukup mencolok juga terlihat pada diri Poniem (Jawa) dan Leman (Minangkabau) dalam Merantau ke Deli oleh Hamka (edisi pertama: 1940). Hubungan kedua tokoh itu yang berasal dari etnis yang berbeda itu sangat menentukan alur novel tersebut. Latar novel ini adalah daerah Deli dan Medan pada zaman sebelum perang. Leman adalah perantau Minang yang berprofesi sebagai pedagang di Medan. Sedangkan Poniem adalah seorang gadis Jawa langganan tetapnya yang bekerja menjadi buruh di ladang tembakau di Deli. Akibat sering bertemu, mereka akhirnya saling jatuh cinta dan sepakat untuk menikah. Banyak teman seperantauan Leman asal Minangkabau yang memberikan komentar-komentar negatif atas pernikahan antaretnik itu. Mereka menilai Leman sangat berani melanggar kelaziman pada waktu itu di mana banyak orang Minangkabau yang merantau cenderung akan menikahi gadis Minangkabau yang berasal dari kampung sendiri, yang biasanya dipilihkan oleh keluarga matrilineal si laki-laki. Namun, Leman melanggar adat resam itu. Dia ingin menikahi Poniem yang berasal dari etnis Jawa. Pernikahan antara Leman dan Poniem berbuah bahagia. Usaha perniagaan Leman menjadi maju. Akan tetapi, kejayaan itu pulalah yang menjadi membawa petaka kepada rumah tangga Leman dan Poniem. Sebagaimana umumnya tipikal konflik rumah tangga di Minangkabau, orang ketiga – biasanya salah satu pihak dari keluarga laki-laki atau perempuan – mencampuri urusan rumah tangga satu

10 Namanya sering pula ditulis satu kata: ‘Adinegoro’. Nama lengkapnya adalah ‘Djamaludin Adinegoro’.

Bahasa dan Sastra Melayu 133 pasangan suami-istri. Setelah mendengar usaha dagang Leman berkembang di Medan, keluarganya di kampung datang menemui Leman dengan maksud hendak mengawinkannya dengan seorang gadis dari kampung pilihan mereka sendiri. Leman dipaksa kawin lagi dengan Mariatun, gadis sekampungnya yang masih memiliki hubungan keluarga dengannya. Perkawinan kedua itu akhirnya membawa kesengsaraan pada diri Leman. Melalui Merantau ke Deli, Hamka tidak saja mengeritik adat Minangkabau, tetapi juga mulai memperkenalkan kemungkinan membina Indonesia baru melalui pembauran antarentik. Hamka kembali menggarap tema perkawinan antaretnik ini dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijk (terbit pertama kali dalam bentuk feuilleton dalam Majalah Pedoman Masjarakat di Medan, 1938). Dalam novel itu Hamka memperkenalkan dua tokoh yang berbeda etnis: Hayati (Minangkabau) dan Zainuddin (Bugis). Tampaknya para pengarang dan intelektual asal Minangkabau di Zaman Pergerakan sudah jauh melangkah ke depan: memikirkan konsep keindonesiaan. Nur Sutan Iskandar (Sungai Batang, Maninjau, 3 November 1893 – Jakarta, 28 November 1975), Adi Negoro (Talawi, Sumatra Barat, 14 Agustus 1904 – Jakarta, 8 Januari 1967) dan Hamka (Sungai Batang, Maninjau, Sumatra Barat, 17 Februari 1908 – Jakarta, 24 Juli 1941) adalah tiga sastrawan Indonesia pada zaman itu yang menganut paham ‘terbuka’, dalam arti bahwa pemikiran mereka (yang direfleksikan melalui tokoh-tokoh dalam karya mereka) bersifat lintas budaya dan ‘mengindonesia”. Umumnya novelis golongan ini sering ‘keluar’ dari wilayah kebudayaan etnisnya. Kebetulan ketiga pengarang di atas berasal dari etnis Minangkabau, etnis yang terkenal dengan budaya merantau-nya yang tidak bersifat eksklusif. Oleh karena sering bersentuhan dengan kebudayaan lain, mereka tidak ‘chauvinistik’ dalam melihat kebudayaannya sendiri. Mereka sanggup memandang budaya sendiri dengan objektif dan dapat menerima ide-ide yang positif dari kebudayaan lain. Oleh karena itu mereka mampu menghadirkan perspektif keindonesiaan yang multibudaya itu dengan lebih jelas dalam karya-karyanya. Demikianlah umpamanya, pemikiran mengenai keindonesiaan itu terefleksi dalam kalimat- kalimat Adi Negoro di bawah ini, dengan sedikit menyindir etnis Jawa dan seolah secara implisit membanggakan sifat sukarela (voluntary)

134 Rediscovering the Treasures of Malay Culture budaya merantau orang Minangkabau: Merantau ke negeri Seberang orang djawa ta’ soeka, karena tjintanja besar sekali ketanah air. Tanah airnja beloem lagi diperlebarnja, melainkan masih tinggal Djawa. Kalau anak- anak moeda angkatan sekarang dan angkatan jang akan tiba, berladjar memandang tanah airnja selebar Indonesia Raja, tidaklah akan dapat ganggoean tetek bengek kalau ia hendak merantau ketanah seberang, karena tanah seberang itoe, baik Soematra, baik Borneo, baik Selebes atau Nieuw Guinea, ialah tanah airnja semata-mata, bangsa-bangsa jang diam diatasnja tidak lagi akan disangkanja orang asing, melainkan saudaranja. (Negoro 1930:5).

Dalam konteks ini, menarik membandingkan Nur Sutan Iskandar dan Adi Negoro di satu pihak dan Hamka di lain pihak. Nur dan Adi Negoro menghadirkan perspektif yang berbeda dengan Hamka. Dalam Cinta Tanah Air pasangan Amiruddin dan Astiah berhasil melangsungkan perkawinan dan keduanya ikut dalam perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Hambatan adat hampir tak berarti dalam hubungan cinta mereka. Dalam Darah Muda pasangan Nurdin- Rukmini (Minang-Sunda) juga berhasil mewujudkan cinta mereka sampai ke jenjang perkawinan. Begitu juga halnya dengan pasangan Rustam-Dirsina (Minang-Sunda) dalam Asmara Jaya oleh pengarang yang sama. “Pemberontakan” terhadap adat Minangkabau oleh pihak laki-laki (Nurdin dan Rustam) berhasil: mereka mampu melewati rintangan adat dan budaya. Usaha pihak keluarga untuk memisahkan mereka dari pasangan mereka yang berasal dari etnis Sunda (biasanya dengan cara menyuruh mereka kawin lagi dengan gadis sekampung) berhasil mereka gagalkan atau mereka tolak. Sebaliknya, Merantau ke Deli dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck berakhir dengan sad ending. Nasib tragis dialami oleh pasangan Leman-Poniem (Minangkabau- Jawa) dalam Merantau ke Deli dan pasangan Zainuddin-Hayati dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Kedua pasangan itu tidak berhasil melanjutkan cinta mereka ke mahligai rumah tangga. “Pemberontakan” terhadap adat yang mereka lakukan tidak berhasil dan membawa kesengsaraan kepada mereka. Perbedaan itu menyiratkan suatu

Bahasa dan Sastra Melayu 135 proses menuju keindonesiaan yang lebih matang dan dewasa. Lepas dari gerakan romantisme yang menjadi trend dalam dunia sastra di Hindia Belanda pada zaman itu, kedua novel karya Hamka tersebut seolah-olah menyiratkan bahwa dari segi budaya, masih diperlukan perjuangan yang kuat untuk mewujudkan bangsa Indonesia. Sekat- sekat etnisitas dengan segala kompleksitas budayanya harus dibuka. Hal itu seolah-olah juga menyiratkan betapa kebhinnekaan dalam pluralisme masyarakat Indonesia yang berbilang etnis ini masih harus diperjuangkan dengan gigih dan masih dalam proses pematangan. Karya-karya sastra Indonesia di era selanjutnya juga pekat dengan ideologi nasionalisme. Pramoedya Ananta Toer adalah salah seorang pengarang yang menonjol dalam hal ini. Dalam ulasannya mengenai karya-karya Pramoedya, A. Teeuw (1997:266) menulis: Pramoedya could present the man Minke [protagonis Bumi Manusia] as the pioneer of an Indonesian nation of the people, nation where justice and equality would exist, where women would have equal rights and where men and women would have freedom of expression. Such has been Pramoedya’s ideology of the Indonesian nation, from his earliest stories written as a guerilla fighter to his great Buru novels, created while a prisoner in his own Indonesia. This national ideology gives the fascinating unity to all his work, which can be characterized by a national Indonesian motto, bhinneka tunggal ika, unity in diversity.

Keunikan Indonesia sebagai negara yang tidak mengadopsi bahasa Belanda, bahasa bekas penjajahnya telah menimbulkan ciri anti kolonial yang pekat dalam karya sastranya. Dengan bahasa nasional sendiri, para sastrawan Indonesia, sejak akhir masa kolonial, menulis persoalan-persoalan dalam masyarakat mereka sendiri, termasuk persoalan-persoalan bangsa mereka sendiri, tanpa harus tersekap kaku dalam kanon-kanon kesastraan Barat (Foulcher 1995). Dalam karya- karya mereka konvensi-konvensi sastra Melayu lama masih terasa, yang diramu dengan unsur-unsur baru yang mereka peroleh dari berbagai budaya seperti budaya Islam dan Eropa sendiri. “The influence

136 Rediscovering the Treasures of Malay Culture of traditional [Malay] literature can be seen more obviously in the style of language used in early [Indonesian] novels” (Aeusrivongse 1976:76). Dalam pandangan para peneliti Barat hal itu telah dianggap sebagai penghalang pencapaian nilai sastra yang tinggi. Namun, ‘Eurosentric biases’ itu, sebagaimana halnya juga terefleksi dari fiksi-fiksi kolonial yang ditulis oleh orang Belanda tentang budaya dan masyarakat Hindia Belanda (lihat: Roskies 1988), telah dikritik pula oleh sebagian peneliti (lihat misalnya: Sweeney 1994; Derks 2001). Dengan kendaraan bahasa Melayu sendiri, sastra di dunia Melayu telah membentuk dirinya sendiri dan juga telah menjalankan fungsinya yang khas sebagai media untuk mengekpresikan nasionalisme dalam masyarakatnya.

Sastra dan Semangat Kebersamaan Rumpun Melayu Sampai Tahun 1950-An Sejak Zaman Pergerakan (1920-an) sampai 1950-an sastra di dunia Melayu masih belum terkotak-kotak oleh batas kenegaraan seperti sekarang ini. Era tersebut masih melanjutkan kesatuan Melayu di zaman pernaskahan, sebagaimana telah diuraikan di atas. Pada masa akhir zaman kolonial sampai dekade awal kemerdekaan dunia Melayu dari penjajahan Eropa, para pengarang dan intelektual dari wilayah yang sekarang bernama Indonesia banyak memberi inspirasi kepada rekan-rekan mereka yang berada di Semenanjung Malaya. Mereka merasa bersama dan bersatu di bawah landasan Islam, agama yang telah lama menjadi ciri pembeda orang Melayu dengan puak-puak lainnya di Asia Tenggara. Para intelektual dari Sumatra, khususnya Minangkabau yang hijrah ke Semenanjung Malaya akibat tekanan penjajah Belanda, banyak yang menjadi pemimpin agama dan politik di sana. Mereka menjadi orang-orang terkemuka di Semenanjung Malaya. Sekedar contoh, ulama kharismatik Perak Syeikh Tahir Djalaluddin (1869- 1956), pemimpin pertama Federasi Malaysia setelah merdeka dari Inggris Tuanku Abdul Rahman (1895-1960) dan presiden pertama Singapura Yusof bin Ishak (1910-1970) adalah tiga orang terkemuka yang berdarah Minangkabau (lihat: Aziz 2003; Chaniago 2010:498- 504, 522-27, 532-35). Menurut Pak Su Ji, banyak sastrawan di Zaman Pergerakan di

Bahasa dan Sastra Melayu 137 Malaysia, khususnya yang berasal dari Kelantan, mendapat inspirasi dari para seniornya yang berasal dari Indonesia, terutama para sastrawan keturunan Minangkabau seperti Hamka dan lain-lain. Menurut penulis ini, pengaruh Islam dari Timur Tengah telah menjadi inspirasi bagi banyak intelektual dan sastrawan di Indonesia dan Semenanjung Melayu untuk mencetuskan semangat nasionalisme melawan kolonialis Belanda dan Inggris. Banyak majalah yang diterbitkan di Indonesia dibaca secara luas oleh orang-orang di di Semenanjung Malaya. Ini menunjukkan bahwa bahan-bahan bacaan dari Indonesia, terutama dari Sumatra, telah lama berkembang dan mendapat tempat yang istimewa dalam masyarakat Melayu di Semenanjung Malaya. Pengaruh dalam bidang bahasa dan sastera semakin berkembang apabila Kongres Pemuda Indonesia II pada 28 Oktober 1928 telah memutuskan untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dengan nama Bahasa Indonesia. Pengambilan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia telah memberikan semangat baru kepada orang-orang Melayu untuk mengembangkan lagi kesusasteraan mereka. Pengarang-pengarang novel misalnya Harun Aminurrashid, Yasin Ma’amor, Raja Mansor, Abdullah Sidek, Abdul Kadir Adabi banyak membaca novel-novel yang ditulis oleh pengarang Indonesia misalnya Sitti Nurbaya (1922), Darah Muda (1927) dan Di Bawah Lindungan Ka’bah (1933).11 Menurut Pak Su Ji pula, banyak novelis awal di Semenanjung Malaya yang mendapat pengaruh dari karya-karya pengarang- pengarang Indonesia asal Sumatra, khususnya Minangkabau yang memang mendominasi dunia kesusastraan Indonesian pada waktu itu.12 Pengarang-pengarang pada awal tahun 30-an khususnya Abdul Kadir Adabi merupakan seorang yang rajin membaca. Hal ini termasuklah bahan-bahan bacaan dari

11 Dikutip dari Pa Su Ji: “Faktor kelahiran pengarang Kelantan dan Minangkabau” dalam blognya: http://keceklagi.blogspot.nl/2011/09/faktor-kelahiran-penga- rang-kelantan-dan.html (diakses 5 Oktober 2012). 12 Menurut perhitungan Freidus (1977), sampai 1942, sekitar 85-90% pengarang Indonesia berasal dari Minangkabau. Oleh sebab itu pengaruh bahasa Melayu Minangkabau pun sangat kentara pada waktu itu.

138 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Indonesia. Menurut Rosnah Baharudin novel Melati Kota Bharu mempunyai hubungan yang sangat erat dengan novel yang ditulis oleh Swan Penn (nama samaran Prada Harahap, seorang tokoh wartawan Indonesia) iaitu Melati Van Agam. Pengaruh ini dapat dilihat berdasarkan novel Melati Kota Bharu yang memilih bunga sebagai tajuk yang dilambangkan pada wanita telah dimulakan oleh Swan Penn. Sebelum itu pada tahun 1932, Ahmad Syarkawi juga mengunakan unsur bunga dalam pemilihan judul novelnya di iaitu Melati Sarawak dan pengarang ini juga sebenarnya berasal dari Sumatera Barat. Pengarang dari Tanah Melayu juga mendapat tempat dalam majalah Pujangga Baru dari Indonesia apabila hasil karya mereka diterbitkan dalam majalah tersebut. Hal ini dapat dilihat melalui sajak Harun Aminurashid yang berjudul “Oh! Sariku”. Pengarang-pengarang novel pada tahun 1930an ada yang berasal dari Indonesia khususnya dari Sumatera. Mereka juga telah membantu mempercepatkan penulisan novel di Tanah Melayu apabila mereka menjadikan negara ini sebagai destinasi mereka. Salah satu sebab mereka berhijrah ke Tanah Melayu berikutan tekanan politik penjajah Belanda. Pengarang-pengarang tersebut termasuklah Raja Mansor, Shamsuddin Salleh, Yunus A. Hamid, Ahmad Nur A, Shukur dan Muhammad Sanin Taib. Selepas Tanah Melayu merdeka, Idrus seorang pengarang dari Padang, Indonesia pernah menetap di Kuala Lumpur. Pengaruh kepada sastera dari Indonesia cukup tinggi bukan sahaja pada tahun tahun 20-an dan 30-an tetapi minat ini terus berkembang sehingga sekarang. Aliran masuk novel-novel dan bahan bacaan dari Indonesia pada akhir tahun 1940-an sehingga 60-an banyak membanjiri pasaran buku di Malaysia. Beberapa novel dari pengarang Indonesia misalnya Atheis, Keluarga Geriliya, Salah Asohan dan Sitti Nurbaya pernah menjadi bacaan wajib kepada pelajar di peringkat menengah dan universiti pada tahun 1960 - 1990. Ini membuktikan bahawa pengarang Malaysia

Bahasa dan Sastra Melayu 139 belajar dari pengarang Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam koleksi perpustakaan peribadi milik Norhisham Mustaffa yang mempunyai koleksi majalah sastera Horison di samping majalah-majalah serius dan bertemakan agama dari Indonesia seperti Basis, Islamik, dan Kalam.13

Demikianlah, rasa kebersamaan dalam dunia sastra masih terasa di dunia Melayu sampai tahun 1950-an, terutama antara Indonesia dan Malaysia. Bahkan dunia sastra pop juga menjadi jembatan penghubung yang mempererat tali persaudaraan antara Indonesia dan Malaysia. Banyak latar cerita dan tokoh-tokoh cerita dalam roman- roman non Balai Pustaka yang terbit di Sumatra seperti Medan, Bukittinggi, dan Padang14, mengambil latar dan tokoh-tokoh yang melibatkan wilayah Indonesia dan Malaysia, seperti digambarkan dalam roman Ratoe Boelan dari Kuala Lumpur karya Roma Nita (1941). Hubungan yang penuh kemesraan itu terganggu menyusul kampanye ‘Ganyang Malaysia’ yang dilancarkan oleh Pemerintahan Sukarno terhadap Pemerintahan Federasi Malaysia tahun 1962-1966. Sukarno melakukan politik konfrontasi dengan Malaysia menyusul keputusan Malaysia untuk menggabungkan Sabah, Serawak, dan Brunei ke dalam Persekutuan Tanah Melayu yang dibentuk tahun 1961. Penggabungan wilayah Kalimantan utara ke dalam Federasi Malaysia dianggap oleh Sukarno telah menyalahi Kesepakatan Manila dan ia menganggap di belakang itu bermain kembali politik kolonial Inggris. Refleksi sastra untuk mengingatkan kekeliruan yang telah dibuat oleh kedua bangsa serumpun yang terlibat konfrontasi itu barangkali dapat dikesan dalam novel Malam Kuala Lumpur karangan Nasjah Djamin (1968). Novel itu menggambarkan latar dunia Melayu dengan negeri jiran, Malaysia, semasa konfrontasi (Santosa dan Jayawati 2011:120). Walaupun tema novel itu agak erotis, yang menggambarkan pengaruh modernisme terhadap kehidupan gadis-gadis perkotaan yang berpendidikan dan bergaul dengan bangsa lain, tapi narasinya mengandung pesan

13 Ibid. 14 Lebih jauh mengenai roman-roman non Balai Pustaka yang terbit di Sumatra tahun 1920-an sampai 1950-an, lihat misalnya Roolvink (1950), Rivai (1963), Sudarmoko (2008) dan Suryadi (2010).

140 Rediscovering the Treasures of Malay Culture tersembunyi agar hubungan Jakarta dan Kuala Lumpur diperbaiki kembali.

Dapatkah Akar Kemelayuan Dapat Diperkuat Kembali Lewat Wacana Sastra? Berdasarkan uraian di atas kita mendapat gambaran bahwa invasi aksara Latin di satu sisi dan tercabik-cabiknya dunia Melayu oleh peta-peta yang dibuat oleh para konolialis Eropa telah menyebabkan terjadinya perubahan pada peran sastra Melayu sebagai salah satu lambang pemersatu rumpun Melayu. Sastra dalam konteks kebudayaan Melayu menjadi terkotak-kotak dan menjurus ke arah perjuangan sendiri-sendiri. Solidaritas kemelayuan jadi terkikis oleh proyek nation-state baru sebagai ‘buah busuk’ kolonialisme yang masih membingungkan mereka. “[I]n Southeast Asia, the idea of nation is so new that we still do not fully understand what it entails. [T]he more quickly we try to develop such a nation-state, the more threats there will probably be. [T]he leaders [of Southeast Asian countries] have been struggling for the past fifty years with the question of what a nation is, and in particular, with the question, ‘what is a nation-state?’.” (Wang 2007:x). Setelah tahun 1960-an terlihat eksklusivisme sastra dalam pergaulan antar bangsa serumpun dalam lingkup dunia Melayu. Demikianlah umpamanya, sastra Malaysia atau sastra Brunei tidak begitu dikenal di Indonesia, kecuali oleh selinting golongan sastrawan saja.15 Sebaliknya, sastra Indonesia juga tidak begitu dikenal lagi di Malaysia dan di negara-negara jiran lainnya. Peran sastra sebagai salah satu sarana penjaga identitas rumpun Melayu telah menjadi terkotak- kotak oleh batas administrasi negara. Keadaan itu diperburuk oleh rivalitas politik antar bangsa serumpun yang menjadikan dunia sastra sekarang jauh berbeda dengan Zaman Pergerakan, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Pertanyaannya: mungkinkah semangat kemelayuan dalam dan

15 Cukup penting dicatat di sini bahwa pertemuan para penyair Nusantara lebih sering dilakukan daripada pertemuan para novelisnya, seolah menyiratkan bahwa syair memang lebih mengandung akar kesatuan budaya Melayu-Nus- antara ketimbang novel yang diadopsi dari tradisi sastra Barat.

Bahasa dan Sastra Melayu 141 melalui sastra itu dapat diperkuat kembali? Bisakah sastra menjadi penopang rasa kebersamaan rumpun Melayu yang sekarang terkotak- kotak dalam beberapa nation-state yang berbeda? Menurut saya, hal itu sangat mungkin, mengingat modal historis yang pernah kita miliki, yaitu sastra Melayu zaman aksara Jawi sampai tahun 1950-an, seperti telah dikemukakan di atas. Modal penting lainnya adalah bahasa, yaitu bahasa Melayu yang sudah lama menjadi lingua franca di dunia Melayu. Memang usaha-usaha untuk mengembalikan fungsi sastra Melayu sebagai unsur pembangun karakter kemelayuan terus diupayakan, antara lain melalui program Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara). Namun, kegiatannya mesti lebih diperluas dan diintensifkan, tidak hanya sekedar ajang pertemuan beberapa orang sastrawan dan reuni pejabat-pejabat negara. Akan lebih baik jika program tersebut dibarengi dengan aksi-aksi yang lebih nyata untuk memperkenalkan sastra antar negara Asia Tenggara di kalangan pelajar dan masyarakat luas yang bersifat lintas negara, misalnya dengan mengintensifkan kunjungan sastrawan antar negara Asia Tenggara, apresiasi karya-karya sastra negara jiran di sekolah-sekolah, lomba mengulas karya-karya sastra negara-negara jiran, dan lain sebagainya. Dengan demikian, ranah sastra dunia Melayu di zaman sekarang tidak terkurung oleh batas- batas administrasi negara yang kaku dan cenderung eksklusif. Salah satu contoh yang relevan adalah temu sastrawan Melayu Raya (Numera) yang diadakan di Padang pada bulan Maret 2012 lalu. Menurut saya, kegiatan itu dapat mengakrabkan dan memesrakan hubungan para sastrawan antara negara dalam rumpun Melayu. Dalam artikel saya yang ditebitkan di Haluan16 sempena menyambut acara Numera itu, saya mengatakan bahwa mungkin akan lebih bermanfaat apabila kegiatan seperti itu dilanjutkan secara berkala di masa-masa mendatang. Para sastrawan dari berbagai negara di dunia Melayu harus menyadari peran penting yang bisa mereka mainkan dalam mempererat hubungan bertetangga antara Malaysia dan Indonesia yang akhir-akhir ini terkesan kurang sehat akibat politik kebudayaan yang cenderung memperlihatkan amnesia sejarah. Paling tidak sejak

16 Suryadi, “Pesan ‘Malam Kuala Lumpur’ untuk Numera”, Haluan, 17 Maret 2012. Paragraf-paragraf berikutnya dalam bagian ini dirumuskan kembali dari artikel tersebut.

142 Rediscovering the Treasures of Malay Culture enam tahun terakhir ini hubungan kebudayaan dan politik antara Indonesia dan Malaysia, dua negara jiran yang tercipta akibat politik penjajahan Belanda dan Inggris, cenderung makin tegang. Hal ini dikhawatirkan berimbas ke negara-negara jiran lainnya. Kedua bangsa serumpun ini mengalami keterbelahan identitas kultural hanya karena label paspor, corak bendera, dan perbedaan nilai tukar mata uang, membuat mereka makin sering cekcok oleh perkara-perkara remeh- temeh soal budaya yang seharusnya justru bisa mendekatkan mereka satu sama lain. Itu memalukan dan justru akan membuat bangsa- bangsa lain tertawa melihat kita. Apabila saya membaca ulasan- ulasan para ilmuwan Barat (atau ilmuwan-ilmuwan Asia sendiri yang mengekor teori-teori Barat) tentang fenomena dekolonisasi di negara- negara bekas jajahan Eropa dulu, saya sebagai orang Timur dari sebuah negeri yang dulu pernah dijajah oleh bangsa Barat (Belanda) merasa tersindir. Dengan bahasa ‘ilmiah’ yang secara implisit mengandung cemoohan, mereka mengatakan bahwa banyak negara pasca kolonial di Asia dan Afrika justru mengalami krisis identitas yang kadang jauh lebih parah dibanding ketika mereka dulu dijajah oleh bangsa-bangsa Eropa, bahwa perubahan dari “colonial rule” kepada “post colonial rule” malah sering tidak membawa kesejahteraaan sosial dan material kepada bangsa-bangsa yang dulu diteriakkan agar menjadi merdeka oleh pada pendiri negaranya.17 Dalam hal ini, Indonesia sering diambil menjadi contoh kasus tentang sebuah negara-bangsa hasil dekolonisasi yang gagal. Jika pun beberapa pasca kolonial itu telah menunjukkan kesuksesan secara ekonomi (seperti Malaysia dan Singapura, misalnya), beberapa aspek lain menyangkut hak asasi manusia dan demokrasi tetap menjadi sorotan para ilmuwan dan pemerintah negara-negara asing bekas penjajah itu. Seperti terekspresi dalam berbagai media dan wacana publik di Indonesia dan Malaysia, sikap respek atas dasar kebersamaan sebagai rumpun Melayu semakin mendangkal. Kepongahan-kepongahan sebagai bangsa – kultus merek politik yang muncul belakangan dan jauh lebih muda usianya dari etnisitas dan bahasa Melayu, yang sering malah belum dipahami sepenuhnya oleh penduduk Asia Tenggara

17 Lihat antara lain buku yang diedit oleh Els Bogaert dan Remco Raben (2012) yang berbicara tentang fenomena dekolonisasi di Asia dan Afrika.

Bahasa dan Sastra Melayu 143 (lihat: Wang 2005; Wang 2007) – telah mengakibatkan bangsa- bangsa di bawah bendera nation-satate namun sama-sama berasal dari rumpun Melayu lupa kepada kesamaan akar budaya nenek moyang mereka di masa lampau. Sesama saudara serumpun itu makin saling curiga-mencurigai, bahkan sampai ke ranah budaya. Inilah salah satu ironi negara-bangsa pasca kolonial di Asia Tenggara yang, langsung atau tidak, merupakan kontribusi dari penjajahan Barat terhadap dunia Melayu di masa lampau. Saya kira sudah saatnya bangsa-bangsa serumpun di dunia Melayu saling mengeliminir berbagai perbedaan akibat kehadiran negara-bangsa-negara-bangsa pasca kolonial dan kembali memperkuat akar kebersamaan kita sebagai rumpun Melayu sebagaimana dijalani oleh nenek moyang kita sebelum dijajah oleh bangsa-bangsa Eropa dulu. Untuk tujuan ini sastra, dengan sifat humanis yang menjadi ciri dasarnya, bisa mendorong terciptanya kebersamaan itu kembali. Akan tetapi, untuk mewujudkan tujuan itu dunia sastra mestilah bekerjasama dengan bidang-bidang lain, seperti media dan dunia pendidikan. Kaum sastrawan dan budayawan harus berinisiatif dan bertindak proaktif dalam menghadapi situasi hubungan budaya dan politik nasionalisme eksklusif di dunia Melayu yang cenderung menegang itu. Kaum sastrawan tidak boleh terkurung dalam nasionalisme sempit yang berlabel ‘Malaysia’, ‘Singapura’, ‘Indonesia’, dan lain- lain, sebagaimana diperlihatkan oleh para politikus dan sebagian masyarakat awam. Kaum sastrawan adalah teraju masyarakat bangsa- bangsa yang berada dalam rumpun Melayu. Mereka haruslah menjadi inspirator untuk menciptakan wacana (sastra) yang bernada sebaliknya: menyatukan perbedaan-perbedaan yang semakin menyembul di antara bangsa-bangsa dalam rumpun Melayu. Mereka harus mengambil jarak politik konfrontatif yang kadang terjadi antara Putrajaya, Jakarta dan Singapura. Mereka harus menggerakkan pena untuk mereduksi ketegangan antara saudara serumpun yang mencemaskan itu. Kaum sastrawan rumpun Melayu harus menjadi ‘reaktor’ pendingin untuk menghindari semakin memanasnya gesekan ‘mesin’ nasion antar negara di dunia Melayu. Mereka harus tetap memegang kuat prinsip universalisme dan humanisme, dan harus terus berada di garis depan untuk menyadarkan bangsanya atas kekeliruan dalam politik ganyang-

144 Rediscovering the Treasures of Malay Culture mengganyang soal kebudayaan ini. Hanya dengan mengambil sikap bijaksana seperti itulah komunitas sastrawan Melayu raya akan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah.

Upaya Mewujudkan Bahasa Melayu Supranasional Usaha untuk menjadikan sastra sebagai sarana pembentuk karakter bangsa tentu tidak lepas dari peran bahasa. Dalam konteks ini bahasa Melayu adalah kendaraan yang sungguh sangat tepat untuk mewujudkan cita-cita itu. Munculnya beberapa negara-bangsa modern pasca kolonialisme di dunia Melayu telah menyebabkan terjadinya percabangan arah perkembangan bahasa Melayu, khususnya antara Malaysia dan Brunei di satu pihak dengan Indonesia di lain pihak. Berbagai usaha telah dilakukan untuk menjembatani perbedaan- perbedaan itu, misalnya melalui pertemuan-pertemuan MABBIM (Majelis Bahasa Brunei Darussalam – Malaysia – Indonesia). MABBIM dibentuk tahun 1985.18 Sementara itu Singapura masih berstatus sebagai pemerhati. Namun, mengingat Pasal 153A Konstitusi Singapura yang menyebutkan bahwa “bahasa nasional Singapura adalah bahasa Melayu dan harus ditulis dalam aksara Latin” (Tan 2007:75), sudah selayaknya negara itu juga aktif secara penuh dalam MABBIM dalam rangka memperkuat peran bahasa Melayu di negara pulau tersebut.19 Tujuan MABBIM adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan semangat kebersamaan dan persaudaraan antara negara anggota.

18 Semula anggotanya hanya Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia dan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang: Pusat Bahasa) Indonesia sehingga diberi nama MBIM (Majelis Bahasa Indonesia-Malaysia) yang resmi berdiri tahun 1971. Kemudian Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei Darussalam bergabung tahun 1985 sehingga berubah nama menjadi MABBIM (Asmah 2004; Asmah 2010). 19 Sampai saat ini Singapura, walau mendeklarasikan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional mereka, belum memiliki Dewan Bahasa dan Pustaka, seb- agaimana yang dimiliki oleh Malaysia, Indonesia, dan Brunei Darussalam. Sampai sekarang di Singapura hanya ada dua lembaga bahasa Melayu, yaitu Majlis Bahasa (lihat: http://mbms.sg) dan Pusat Bahasa Melayu Singapura (li- hat: http://www.mlcs.sg/home/) yang khusus diperuntukkan bagi guru-guru bahasa Melayu di negara itu.

Bahasa dan Sastra Melayu 145 2. Meningkatkan peranan bahasa kebangsaan/resmi negara anggota sebagai alat perhubungan yang lebih luas. 3. Mengusahakan pembinaan dan pengembangan bahasa kebangsaan/ resmi negara anggota supaya menjadi bahasa yang setaraf dengan bahasa modern yang lain. 4. Mengusahakan penyelarasan bahasa melalui penulisan ilmiah dan kreatif, pedoman, dan panduan. 5. Mengadakan pertemuan kebahasaan berkala demi penyelarasan dan pendekatan bahasa kebangsaan/resmi negara anggota.

Menurut Awang Sariyan, Ketua Pengarah Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, berbagai kemajuan telah dicapai melalui MABBIM, walau kendala-kendala yang prinsipil belum juga ditemukan solusinya. Awang menulis: Keampuhan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, paling tidak dalam tiga ranah penting kehidupan dan tamadun bangsa Melayu pada zaman silam, iaitu dalam perdagangan, pentadbiran (termasuk diplomasi), dan dalam bidang persuratan (sebagai bahasa ilmu, kesusasteraan, ketatanegaraan, perundang-undangan dan lain-lain) merupakan bukti jelas wujudnya konsep bahasa Melayu supranasional, iaitu bahasa Melayu yang melampaui batas negara di kepulauan Melayu, apatah lagi batas negeri dan daerah di sesebuah negara berbahasa Melayu. Bagaimanapun hal itu tampaknya sudah menjadi fakta sejarah. bahasa Melayu yang digunakan di negara-negara berbahasa Melayu kini memperlihatkan jurang yang cukup lebar dan dalam, baik pada segi kosa kata mahupun wacana keseluruhannya. Sehingga demikian, keadaan saling faham antara pengguna bahasa Melayu di negara-negara yang berlainan mengalami gangguan yang kadangkala [sudah] sampai pada tahap yang serius. Contohnya, buku yang diterbitkan dalam bahasa Melayu varian Indonesia terpaksa diadaptasikan ke dalam bahasa Melayu varian Malaysia apabila dicetak di Malaysia.

146 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Memang sejarah tidak dapat diputar semula. Sejak kedatangan penjajah [Eropah], bahasa Melayu di rantau ini mula melalui jalan sejarah yang berlainan. Secara beransur- ansur konsep bahasa Melayu persatuan yang terjelma dalam bahasa persuratan klasik berpencar menjadi beberapa jalur yang menandai kewujudan bahasa Melayu berjati diri kenegaraan. Bahasa Melayu di Malaysia, bahasa Melayu di Brunei Darussalam, dan bahasa Melayu di Indonesia masing-masing membentuk ciri-ciri khusus yang menandai situasi kenegaraan. Hal ini meskipun alamiah sifatnya dan tentu memberikan erti tertentu kepada kewujudan negara berdaulat, namun dalam konteks kesuburan saling faham dan pemantapan wilayah pengguna bahasa Melayu yang melampa[u]i batas negara, tidak dapat tidak isu itu memerlukan perhatian yang saksama. (Sariyan 2012:25-6).

Awang Sariyan mengatakaan pula bahwa tujuan MABBIM bukanlah untuk mewujudkan satu bentuk bahasa Melayu yang mutlak dan seragam bagi semua negara berbahasa Melayu. Sebab menurutnya hal itu akan sulit dicapai dan lagi pula akan menghalangi kreativitas yang berlaku dalam bahasa Melayu di negara masing-masing. Yang hendak dicapai adalah bahasa Melayu yang relatif seragam dalam sistem asas pada setiap tingkat korpus bahasanya, “dari tingkat sebutan hingga ke tingkat tatabahasa dan laras bahasanya. Inilah yang dimaksudkan sebagai bahasa Melayu supranasional, iaitu bahasa Melayu yang dapat memaksimalkan darjah keadaan saling faham dalam kalangan pengguna bahasa Melayu di semua negara berbahasa Melayu dan juga di negara bukan berbahasa Melayu.” (Sariyan 2012:26). Sariyan (ibid.) juga mengatakan bahwa bahasa Melayu supranasional itu juga akan membantu upaya pengembangan bahasa persuratan Melayu di luar dunia Melayu, sehingga pelajar dan ilmuwan asing tidak terlalu terganggu oleh jurang perbedaan antara bahasa Melayu di negara-negara berbahasa Melayu, terutama varian bahasa Melayu di Malaysia dan di Indonesia. Munsyi bahasa Melayu asal Malaysia, Abdullah Hassan, menyebut bahasa Melayu supranasional itu sebagai ‘Dialek Melayu Supra’ (Hassan 1998). Ia menekankan pentingnya membina Dialek Melayu Supra

Bahasa dan Sastra Melayu 147 itu dalam konteks pembentukan tamadun Melayu di wilayah Asia- Pasifik di abad depan, mengingat bahwa hampir 300 juta orang yang menjadi penutur bahasa Melayu. Ia menyimpulkan bahwa “Dialek Melayu Supra yang digunakan oleh semua bangsa yang menuturkan bahasa Melayu akan menyatukan bangsa Melayu” sehingga “[b]angsa Melayu akan menjadi lebih besar.” Apalagi mengingat adanya pendapat yang mengatakan bahwa bahasa Melayu sangat memungkinkan untuk digunakan sebagai bahasa kerja resmi komunitas Asia Timur (Shin 2012). Abdullah mengatakan bahwa pengembangan Dialek Melayu Supra itu memberi kemungkinan bagi pemanfaatan kekayaan pemikiran yang terhimpun dalam kepustakaan bahasa Melayu oleh seluruh masyarakat Melayu. Hal ini akan memberikan pengayaan pikiran masyarakat Melayu untuk terus berkreativitas dan meningkatkan tamadun. Menurut Abdullah mengatakan pula bangsa yang menggunakan bahasa sendiri dalam pembinaan tamadunnya mampu berkreativitas tinggi, seperti yang diperlihatkan oleh Jepang dan Korea. Sebaliknya, bangsa yang tertawan oleh bahasa asing, seperti bahasa bekas penjajahnya, menjadi lesu dalam kreativitasnya. Berbagai upaya sudah dilakukan melalui MABBIM untuk mengeliminir kevariasian bahasa Melayu antar negara, walau forum itu belum membicarakan secara serius gagasan mengenai Dialek Melayu Supra yang digagas oleh Abdullah Hassan. Demikianlah umpamanya, dalam aspek sistem ejaan Latin sudah dicapai keselarasan yang cukup tinggi. Namun, masih muncul kesulitan dalam mencapai keselarasan dalam aspek pelafalan. Saya kira MABBIM harus bertindak lebih progresif lagi dan mencari cara-cara yang efektif untuk mengimplementasikan di lapangan berbagai keputusan yang sudah diambil. Kita ingat bahwa pemikiran untuk mencari keselarasan bahasa Melayu antar bangsa itu sudah dimulai sejak 1959 ketika konsep Ejaan Malindo disepakati, tapi akhirnya urung terlaksana karena pecahnya konfrontasi antara Malaysia dan Indonesia tahun 1962 (Hassan dan Hussain 2000:171). Barangkali hal itu pula yang menyebabkan capaian-capaian dalam penyelarasan bahasa Melayu antar bangsa itu, sebagaimana yang juga diupayakan melalui MABBIM, agak lambat menampakkan hasil yang nyata, khususnya dalam ragam tulis. Tumpuan usaha MABBIM yang hanya lebih fokus pada penyelarasan

148 Rediscovering the Treasures of Malay Culture peristilahan perlu diperluas. Dalam konteks ini, upaya-upaya untuk menggesa terwujudnya keselarasan bahasa Melayu itu, sekaligus untuk untuk membina karakter bangsa, baik dalam batasan nation- state maupun dalam arti bangsa Melayu secara umum, ragam bahasa Melayu tulis harus diutamakan. Saya kira implementasinya di lapangan bisa dilakukan pula lewat sastra. Menurut saya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh kalangan sastrawan dalam mewujudkan peran sastra sebagai pembina karakter bangsa, baik dalam artian negara maupun dalam artian kesetiakawanan bangsa Melayu supranasional. Pertama, para sastrawan harus lebih banyak menulis tema-tema yang membangkitkan rasa saling pengertian antar negara di dunia Melayu. Hal itu, misalnya, bisa dilakukan melalui eksplorasi latar cerita dan juga tokoh-tokoh cerita yang bersifat lintas negara. Itu dalam konteks kesetiakawanan Melayu. Dalam lingkup satu negara, harus lebih banyak lagi dilakukan eksplorasi yang lebih merepresentasikan hubungan antar etnis dan hubungan antar agama.20 Para sastrawan jangan terkurung dalam eksklusivisme etnisitas dan agama masing- masing. Kedua, para sastrawan sebaiknya berikhtiar menonjolkan akar- akar kemelayuan dalam karya-karya mereka dengan mengeksplorasi unsur-unsur sejarah dan budaya yang tidak dibatasi oleh batas-batas kenegaraan modern seperti sekarang. Ketiga, distribusi karya-karya sastra, khususnya yang mengekplorasi perasaan kesetiakawanan Melayu, harus bersifat lintas negara. Sekat-sekat politik yang menghalangi kelancaran aliran

20 Menarik misalnya melihat hubungan antar agama antara tokoh Tantri (Islam) dan Hiang Nio (Khatolik) dalam Orang Buangan karya Harijadi S. Hartowardoyo (1971; pertama kali terbit tahun 1967 dengan judul Munafik) dan antara tokoh Ida (Islam) dan Sumarto (Khatolik) dalam Keluarga Permana karya Ramadhan K.H. (1978). Unsur hubungan antara agama ini sebagai pendorong kesatuan bangsa (dalam konteks ini Indonesia), dapat pula dikesan dalam karya Ayu Utami (1998). Aspek hubungan antar agama dalam teks-teks sastra belum begitu menonjol di Indonesia, terutama selama Orde Baru (1967-1998) karena pengarang mungkin juga terkena sindrom ranjau SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan), dan oleh karenanya perlu dipikirkan oleh para sastrawan dalam rangka memfungsikan sastra sebagai elemen untuk menjaga kesatuan bangsa.

Bahasa dan Sastra Melayu 149 distribusi buku-buku, khususnya buku-buku sastra, antara negara di dunia Melayu harus disingkirkan. Demikianlah umpamanya, karya- karya seperti itu yang terbit di Malaysia dapat dengan mudah diperoleh di Indonesia, atau sebaliknya. Hal ini tentu bisa diwujudkan melalui kesepakatan antar pemerintahan. Keempat, memperkuat apresiasi sastra lintas negara dengan melalui multimedia. Misalnya, ada program televisi di Indonesia yang membincangkan karya sastra Brunei atau Malaysia. Begitu juga sebaliknya. Ada rubrik khusus dalam surat-surat kabar Indonesia untuk membicarakan sastra negara jiran seperti Malaysia, Brunei dan Singapura, baik oleh pengulas dalam negeri sendiri atau pengulas undangan dari negara-negara jiran tersebut. Bahkan kalau perlu, kevariasian bahasa Melayu dalam rubrik khusus tersebut diperlihatkan saja, tidak usah diedit. Dengan demikian para pembaca dari negara- negara yang berbeda dalam rumpun Melayu dapat saling mengetahui, kalaupun tidak sampai pada tahap memahami, karya-karya sastra di negara-negara jirannya, dan dapat pula merasakan kevariasian bahasa Melayu itu. Kelima (dan ini memyangkut program jangka panjang) adalah mencari aksara alternatif selain Latin untuk mengkodifikasikan seluruh aspek yang terkait dengan minda Melayu. Aksara Latin adalah representasi dari dominasi Barat. Mungkin kalangan ilmuwan bahasa dan budaya serta para pakar teknologi dapat memikirkan untuk mengembangkan kembali aksara Jawi. Dengan begitu, identitas kemelayuan bisa diperkuat kembali. Mungkin usulan ini terkesan naïf. Tapi, cara ini adalah salah satu jalan jangka panjang untuk membuat gerakan oksidentalisme di dunia Melayu.

Kesimpulan Sebelum kedatangan bangsa Eropa, bangsa Melayu, walau memiliki keragaman budaya tempatan, telah disatukan oleh sebuah bahasa yang telah lama menjadi lingua franca di rantau Nusantara yang luas ini, yaitu bahasa Melayu. Dengan ‘kendaraan’ bahasa Melayu itu, terbentuklah dunia sastra Melayu yang berabad-abad sebelum kedatangan penjajah Barat telah menjadi satu unsur pemersatu rumpun

150 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Melayu. Sastra itu, yang diperkaya oleh unsur-unsur agama Islam dan aksara Arab, menjadi elemen penting yang membentuk kebudayaan orang Melayu dan mempengaruhi karakter mereka. Kedatangan orang Barat dan invasi huruf Latin yang disertai dengan teknologi percetakan telah menggerus eksistensi sastra Melayu itu, walaupun masih sempat bertahan selama paroh kedua abad ke- 19. Pada awal abad kedua puluh ciri kemelayuan sastra itu bergeser ke lingkup yang lebih kecil seiring dengan munculnya gerakan- gerakan nasionalisme di dunia Melayu menentang penjajahan Belanda dan Inggris. Pada akhir zaman kolonial sastra sangat berperan jelas dalam membangkitkan dan menggelorakan perasaan nasionalisme di kalangan bangsa-bangsa dalam rumpun Melayu. Sastra memberi semangat dan ikut menumbuhkan karakter calon-calon bangsa yang berusaha memerdekakan diri dari belenggu penjajahan. Walaupun demikian, rasa kesetiakawanan Melayu masih lagi terasa pada masa itu: para sastrawan dan intelektual dari Wilayah jajahan Hindia Belanda dan Melayu Inggris di Semananjung Malaya masih saling berketahuan dan saling mendukung inspirasi untuk mencapai kemerdekaan melalui wacana politik, budaya, dan juga sastra. Kesetiakawanan Melayu itu masih terus berlanjut sampai tahun 1950-an. Pada masa-masa selanjutnya dunia sastra cenderung menjadi eksklusif mengikuti batas negara. Dunia sastra kehilangan elan vital nya sebagai wacana pemersatu rumpun Melayu. Sistem politik rezim-rezim yang memerintah di negara-negara Melayu pasca kolonialisme telah menyebabkan negara sendiri cenderung melihat sastra sebagai ‘lawan’ dan oleh karenanya sering disensor. Keadaan ini benar-benar terbalik dari masa sebelumnya di mana sastra justru menjadi (atau dijadikan) sarana yang penting untuk mendorong semangat nasionalisme dalam usaha mencapai kemerdekaan dari penjajah. Namun demikian teks- teks sastra tetap menjadi ladang bagi perumusan identitas kebangsaan. Sejak tahun 1970-an sampai sekarang berbagai usaha telah dilakukan dalam memperkuat lem perekat antara sesama bangsa dalam rumpun Melayu. Gerakan itu terutama dimotori oleh Indonesia dan Malaysia. Salah satu di antaranya adalah melalui MABBIM dan berbagai macam pertemuan para sastrawan serantau Melayu. Namun, gerakan-gerakan untuk membangkitkan kembali semangat kemelayuan

Bahasa dan Sastra Melayu 151 supranasional itu menghadapi berbagai tantangan pula: gerakan politik dan kebudayaan di dunia Melayu, sebagai akibat dari pengaruh globalisasi dan politik imperialisme modern, sering menimbulkan gesekan-gesekan budaya dan politik di antara bangsa-bangsa di dunia Melayu. Dalam menghadapi perkembangan politik dan budaya di dunia Melayu dewasa ini, kaum satrawan seyogyanya mengambil peran aktif dan melakukan tindakan proaktif. Melalui dunia yang digelutinya, kaum sastrawan lintas negara dalam rumpun Melayu harus berupaya mempromosikan semangat kemelayuan sebagaimana dulu pernah dilakukan oleh nenek moyang orang Melayu. Sastra dan kaum sastrawan harus berusaha merebut kembali peran penting yang dulu pernah dilakoni oleh para pendahulu mereka di Zaman Pergerakan. Untuk itu, seperti halnya para pendahulu mereka dulu, kaum sastrawan sekarang haruslah berusaha mengapungkan tema-tema yang mampu menggugah masyarakat untuk kembali memperkuat semangat kemelayuan melewati batas-batas politik dan administrasi Negara dalam karya-karya mereka. Hal itu tentu harus dimulai dari diri mereka sendiri: kaum sastrawan dari berbagai negara di dunia Melayu harus berpikiran terbuka dan mampu menempatkan dirinya pada level supranasional.

Kepustakaan Adam, Ahmat. 1995. Vernacular press and the emergence of modern Indonesian consciousness (1855-1913). New York: Cornell University Southeast Asia Publications. Aeusrivongse, Nidhi. 1976. ‘Fiction ans history: a study of pre-war Indonesian novels and novelist (1920-1942)’ [PhD dissertation, The University of Michigan]. Anderson, Benedict. 1983. Imagined communities: reflections on the origin and spread of nationalism. London: Verso. Asmah Haji Omar. 2004. Muafakat bahasa: Sejarah MBIM/MABBIM sebagai pembina bahasa. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan

152 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Pustaka. ------. 2010. Carik-carik bulu ayam: kisah runding bahasa dunia Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Aziz, Sohaimi Abdul. 2003. Syeikh Tahir Jalaluddin: pemikir Islam. Pulau Pinang: Penerbit Universiti Sains Malaysia. Bogaert, Els and Remco Raben 2012. Beyond empire and nation: decolonizing societies in Africa and Asia, 1930s -1970s. Leiden: KITLV Press. Budianta, Melani. 2007. “Diverse voices: and nation-building”, in: Lee Hock Guan dan Leo Suryadinata (eds.), Language, nation and development in Southeast Asia, pp. 51-73. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Chaniago, Hasril. 2010. 101 orang Minang di panggung sejarah. Padang: Citra Budaya Indonesia. Cho Tae Young. 2012. Aksara Serang dan perkembangan tamadun Islam di Sulawesi Selatan. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Derks, Will. 2001. “A literary mycelium: some prolegomena for a project on Indonesian literature in Malay”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 32,3; 367-384. Dewall, H. von. 1857. “Eene inlandsche drukkerij te Palembang”, Tijdschrift van Bataviaasch Genootschap 6,3: 193-198. Diehl, Katharine Smith. 1990. Printers and printing in the East Indies to 1850, vol.1: Batavia. New Rochelle, NY: Caratzas. Djamin dan Tasat. 193?. Sja’ir Anggoen Tji’Toenggal. Batavia: Balai Poestaka. Djamin, Nasjah. 1968. Malam Kuala Lumpur. Jakarta: Pembangunan. Dt. Radjo Panghulu, M. Rashid Manggis. 1989. Malin Deman. Bukittinggi : Pustaka Indonesia.’ Freidus, Alberta Joy. 1977. Sumatran contributions to the development of Indonesian literature, 1920-1942. Honolulu : Asian Studies Program, University of Hawaii. Foulcher, Keith. 1993. “Literature, cultural politics, and the Indonesian revolution”, in: D.M. Roskies (ed.), Text/politics in island Southeast Asia: essays in interpretation, pp. 221-256. Athens, Ohio: Ohio

Bahasa dan Sastra Melayu 153 University Center for International Studies Monograph in International Studies (Southeast Asia Series Number 91). ------. 1995. “In search of the postcolonial in Indonesian literature”, Sojourn X,2: 147-171. Gallop, Annabel Teh. 1990. “Early Malay printing: an introduction to the British Library collection”, Journal of Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society 63,1: 85-124. Gelb, Ignace Jay. 1952. A study of writing: the foundation of grammatology. Chicago: The University of Chicago Press. Gullick, John Michael. 2003. A History of Negri Sembilan. Kuala Lumpur: MBRAS [Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society Monograph no. 33.]. Hamka. 1938. Tenggelamnja kapal Van der Wijck. Medan: Pedoman Masjarakat. Hamka. 1940. Merantau ke Deli. Medan: Centrale Courant. Hardjosoemarto, S. dan Aman Dt. Madjoindo. 1932. Rusmala Dewi: pertemoean Djawa dan Andalas. Batavia C.: Balai Poestaka. Hartowardoyo, Harijadi S. 1971. Orang buangan. Djakarta: Pustaka Jaya. Hassan, Abdullah. 1998. “Dialek Melayu Supra untuk melangsungkan bangsa Melayu”, makalah pada Persidangan Pengajian Melayu Sedunia: Pengajian Melayu Memasuki Alaf Baru [Kuala Lumpur, Pusat Pengajian Melayu, Universiti Malaya, 28-30 Ogos 1998]. Hassan, Abdullah dan Khalid M. Hussain. 2000. Pendeta Za‘ba dalam kenangan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Heinschke, Martina 1993. Angkatan 45: literaturkonzeptionen im gesellschaft politi chen kontext: zur funktionsbestimmung von literatur im heading colonials Indonesien. Berlin & Hamburg: Reimer. Hoffman, John. 1979. “A foreign investment: Indies Malay to 1901”, Indonesia 27: 65-92. Hoilul Amri bin Tahiran et al. 2005. Dari gerhana ke puncak purnama: biografi Asas ‘50: 55 tahun dalam persuratan. Singapura: Angkatan Sasterawan ‘50.

154 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Idris, Abdul Samad. 1968. Negeri Sembilan dan sejarah-nya. Kuala Lumpur: Sharikat Perchetakan Utusan Melayu Berhad. Iskandar, Nur Sutan. 1944. Tjinta Tanah Air. Djakarta: Balai Poestaka. Djojopuspito, Suwarsih. 2000. Manusia bebas. Jakarta: Penerbit Djambatan (Cet. ke-2). Kaptein, Nico. 1993. “An Arab printer in Surabaya in 1853”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 149,2: 356-362. Mahkota, Ambas. 1962. Anggun Nan Tungga Magek Djabang dengan Puti Gondoriah. Bukittinggi: Pustaka ‘Indonesia’. Maier, Henk. 2002. “Stammer and the creaking door: the Malay writings of Pramoedya Ananta Toer”, in: Keith Foulcher and Tony Day (eds.), Clearing a space: postcolonial readings of modern Indonesian literature, pp. 61-83. Leiden: KITLV Press. Moriyama, Mikihiro. 2005. Sundanese print culture and modernity in 19th century . Singapore: NUS Press. Negoro, Adi. 1927. Darah moeda. Weltevreden: Balai Poestaka. ------. 1928. Asmara djaja. Weltevreden: Balai Poestaka. ------. 1930. Kembali dari perlawatan ke Europa, Djilid I. Medan - Deli: N.V. Handel Mij. & Drukkerij Sjarikat Tapanoeli. Newbold, J.T. 1835. Sketch of the four Menángkăbowe States in the interior of the Malayan Peninsula”, Journal of the Asiatic Society of Bengal 14 (January to December): 241-252. Nita, Roma. 1941. Ratoe Boelan dari Kuala Lumpur. Fort de Kock: Penjiaran Ilmoe. Oemardjati, Boen S. 1972. Chairil Anwar: the poet and his language. The Hague: The Netherlands Book and Steendrukkerij v/h Smits. Peeters, Jeroen. 1993. “Palembang revisited: further notes on the printing establishment of Kemas Haji Muhammad Azhari, 1848”, in: Paul van der Verlde (ed.), IIAS Yearbook 1995, pp. 181-190. Leiden: IIAS. Phillips, Nigel. 1981. Sijobang: sung narrative poetry of West Sumatra. Cambridge: Cambridge University Press. Proudfoot, Ian. 1993. Early Malay printed book: a provisional account of materials published in the Singapore-Malaysia area up to 1920,

Bahasa dan Sastra Melayu 155 noting holdings in major collections. Kuala Lumpur: Academy of Malay Studies and The Libray of University of Malaya. ------. 1998. “Lithography at the crossroads of the East”, Journal of the Printing Historical Society 27: 113-131. Putten, Jan van der. 1997. “Printing in Riau, two steps toward modernity”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 153,4: 717-736. Ramadhan K.H. 1978. Keluarga Permana. Jakarta: Pustaka Jaya. Ritter, W.L. 1843. “Lythographie”, Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië 5,1: 782-783. Rivai, Sitti Faizah. 1963. ‘Roman pitjisan Indonesia sebelum perang” [Thesis S1 Fakultas Sastra, Universitas Indonesia]. Roff, William R. 1967. The origin of Malay nationalism. New Haven, Conn. [etc.]: Yale University Press (Yale Southeast Asia Studies 2). Rolvink, R. 1950. “De Indonesiase ‘dubbeltjesroman’”, dalam: Anton A. Cense et al. (eds.), Bingkisan budi: een bundel opstellen aan Dr Philippus Samuel van Ronkel door vrienden en leerlingen aangeboden op zijn tachtigste verjaardag, 1 Augustus 1950, pp. 255- 264. Leiden: A.W. Sijthoff’s Uitgeversmaatschappij N.V. Roskies, D.M. 1988. Imperial perceptions: examples of colonial fiction from the Netherlands East Indies. Canterbury: University of Kent, Centre of South-East Asian Studies. Semaoen. 1920. Hikajat Kadiroen. Semarang: Kantoor P.K.I. Santosa, Puji dan Maini Trisna Jayawati. 2011. Dunia kesastraan Nasjah Djamin dalam novel Malam Kuala Lumpur. Yogyakarta: Almatera Publishing. Sariyan, Awang. 2012. “Keantarbangsaan dan pengantarbangsaan bahasa Melayu dan pendidikan bahasa Melayu: catatan perkembangan, isu dan cadangan”, proceedings of 2012 DMIT International Conference ‘Issues and Challenges in Malay- Indonesian Studies’, pp. 15-54. Department of Malay-Indonesian Interpretation and Translation, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, 14 September 2012. Shin Yoon-Hwan. 2012. “Bahasa Malaysia/Indonesia sebagai bahasa resmi pada komunitas Asia Timur”, proceedings of 2012 DMIT

156 Rediscovering the Treasures of Malay Culture International Conference ‘Issues and Challenges in Malay- Indonesian Studies’, pp. 3-13. Department of Malay-Indonesian Interpretation and Translation, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, 14 September 2012. Sudarmoko. 2008. Roman pergaoelan. Yogyakarta: INSISTPress. Suryadi. 1998. Basimalin: pengantar teks dan transliterasi. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. ------. 2010. “‘Roman Indonesia’: sebuah seri sastra pop yang pernah terbit di Padang”, Padang Ekspres, Minggu, 3 Januari. ------. 2012. “Pesan ‘Malam Kuala Lumpur’ untuk Numera”, Haluan, Sabtu, 17 Maret. Sweeney, Amin. 1994. “Aboard two ships: Western assumptions on medium and genre in Malay oral and written traditions”, in: C. Andrew Gerstle and Anthony Milner (eds.), Recovering the Orient: artists, scholars, appreciations, pp. 317-338. Chur [etc.]: Harwood Academic Publishers (Studies in anthropology and history; vol. 11). ------. 2000. “The Dutch impact: four generations observed”, paper presented at ATMA-KITLV Colloquium on Dutch Scholarship and the Malay World: A Critical Assessment [Bangi, 20-21 November 2000]. Tan, Eugene K.B. 2007. “The multilingual state in search of the nation: the language policy and discourse in Singapore’s nation-building”, in: Lee Hock Guan and Leo Suryadinata (eds.), Language, nation and development in Southeast Asia, pp. 74-117. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Teeuw, A. 1997. “The ideology of nationalism in Pramoedya Ananta Toer’s fiction”, Indonesia and the Malay World 73: 252-269. Thukul, Wiji. 1988. Sajak Protes. Jakarta: Lembaga Press Mahasiswa Universitas Nasional. ------. 2000. Aku ingin jadi peluru: sajak-sajak. Magelang: Indonesia Tera. Utami, Ayu. 1998. Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Wang Gungwu. 2005. Nation-building: five Southeast Asian histories. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Bahasa dan Sastra Melayu 157 ------. 2007. “Keynote address”, in: Lee Hock Guan and Leo Suryadinata (eds.), Language, nation and development in Southeast Asia, pp. ix-xvii. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Wieringa, E.P. 1998. Catalogue of Malay and Minangkabau manuscript in the Library of Leiden University and other collections in the Netherlands, Vol. One. Leiden: Legatum Warnerianum in Leiden University Library. Winstedt, Richard O. 1914. Hikajat Anggun Che Tunggal. Singapore: Methodist Publishing House. Winstedt, R.O. and A.J. Sturrock. 1908. Hikayat Malim Deman. Singapore: Methodist Publishing House. Zaidan, Abdul Rozak dan Dendy Sugondo. 2003. Adakah bangsa dalam sastra? Jakarta: Penerbit Progres dan Pusat Bahasa. Zonneveld, Peter van. 1996. Looking back, back talk and write back: Louis Couperus, E. du Perron and Suwarsih Djojopoespito. Leiden: Department of Languages and Cultures of Southeast Asia and Oceania Rijksuniversiteit Leiden (Semaian 15).

158 Rediscovering the Treasures of Malay Culture SEJARAH TAMADUN MELAYU DAN JAWA: Perbandingan Sastra Sejarah1

Dr. Sudirman Shomary, M.A. Universitas Islam Riau, Pekanbaru

Pendahuluan Alam Melayu atau Nusantara2 merupakan salah satu kawasan yang cukup dinamis dan strategis di dunia ini. Kawasan yang terletak di antara dua benua, Asia dan Australia ini dipagari pula oleh dua samudera, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Oleh karena kedudukannya yang strategis dan kaya dengan hasil bumi, sejak awal Masehi kawasan ini sudah didatangi oleh kapal-kapal dagang India, Cina dan Asia Barat (Arab-Parsi) serta kemudiannya oleh bangsa Eropa mulai abad ke-15. Oleh karena itu, kawasan ini yang meliputi Selat Melaka, Selat Sunda, Laut Jawa, Selat Makassar, dan perairan Maluku telah menjadi jalan perdagangan laut internasional sejak awal abad Masehi lagi. Selain hubungan ekonomi, dinamika hubungan tersebut berlanjutan kepada hubungan sosial, budaya, agama dan politik. Melalui hubungan inilah kemudian tersebarnya agama Hindu dan

1 Makalah ini merupakan bagian dari desertasi Doktor penulis (2010) di Pusat Pengajian Bahasa, Kesusasteraan dan Kebudayaan Melayu FSKK Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi Selangor. 2 Kawasan Alam Melayu atau Nusantara mendapat penamaan yang bermacam- macam. Orang India memberikan julukan Nusantara atau Dwipantara berarti pulau-pulau yang di antara benua, dan Javadwipa yang berarti Pulau Emas. Daripada istilah Javadwipa ini, orang Tionghoa (Cina) menyebutnya sebagai Ye-po-ti,dan orang Yunani memanggilnya sebagai Jabadiu. Namun, dalam Nagarakratagama (NK) ‘Nusantara’ bermakna pulau-pulau di luar Pulau Jawa atau Tanah Seberang. Orang Arab pula memberi nama Zabaj atau Zabay, kadangkala disebut pula sebagai Tanah Jawi dan kemudian orang Eropa mem- beri nama baru yaitu Malay/Indian Archipelago atau Indo-Malayan Archi- pelago. Lihat, Pane (1965: 9).

Bahasa dan Sastra Melayu 159 Budha, yang kelak melahirkan kebudayaan Hindu-Budha di Jawa, dan kebudayaan Budha di Sumatera, termasuk mempengaruhi bahasa dan kesusastraan Melayu dan Jawa. Sealiran dengan itu, masuknya agama Islam kemudiannya memungkinkan berkembangnya tamadun (peradaban) Arab-Islam pula di kawasan ini walaupun secara perlahan- lahan. Namun, pengaruh kedua tamadun ini, baik Hindu-Budha maupun Arab-Islam tidaklah sama. Agama Hindu-Budha dan tamadun India sangat kuat pengaruhnya terhadap tamadun Jawa, sampai kini. Sebaliknya, Islam yang datang kemudian lebih kuat pengaruhnya terhadap tamadun Melayu. Malah, agama Islam tersebar di Pulau Jawa, pada awalnya merupakan hasil usaha daripada ulama-pedagang Arab- Melayu, terutama dari Pasai, Campa, Melaka dan Aceh. Lanjutan itu, para pendakwah Jawa pula yang menyebarkan dakwah Islam ke bahagian tenggara dan timur Pulau Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Kepulauan Maluku, yang terkenal dengan panggilan Santeri Giri. Sepanjang perkembangan inilah lahirnya pelbagai tamadun tempatan sehingga mencapai jumlah puluhan3, yang di antaranya termasuk Melayu, Minang, Aceh, Jawa, Sunda, Bali, Madura, Tapanuli, Dayak, Banjar, Bugis-Makassar, Buton, Sasak, Bima, Timor dan Maluku. Namun, daripada banyaknya tamadun tersebut, terdapat dua tamadun besar yang mempengaruhi tamadun lainnya yaitu tamadun Melayu dan Jawa dan lantas saling berinteraksi dalam pelbagai aspek kehidupan (Mochtar Naim 1987: 207-208).

Tamadun Melayu dan Jawa Tamadun Melayu dan Jawa merupakan dua tamadun yang telah begitu lama usianya dalam sejarah Alam Melayu yaitu sekitar 1,300- 1,500 tahun. Perkembangan tamadun Melayu dimulai sejak berdirinya Kerajaan Malayu di Jambi (Suwarnabhumi, abad ke-6) dan Sriwijaya (abad ke-7) di Pulau Sumatera. Tamadun Jawa pula dimulai sejak berdirinya Kerajaan Kalingga di Jawa Timur pada akhir abad ke- 8. Perkembangan awal kedua-dua tamadun ini, banyak dipengaruhi

3 Tamadun tersebut disokong oleh sekitar 70 kerajaan di Alam Melayu/Nusan- tara yang tersebar di Semenanjung Tanah Melayu, Pulau Sumatera, Kaliman- tan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Kepulauan Maluku. Sila rujuk, Ding (2008: 13-14).

160 Rediscovering the Treasures of Malay Culture oleh animisme-dinamisme, agama Hindu-Budha dan tamadun India. Penyerapan agama Hindu-Budha dan tamadun India, tidak sama kadarnya pada tamadun Melayu dan Jawa. Penyerapan agama Hindu-Budha dan tamadun India pada tamadun Jawa lebih kuat, jika dibandingkan dalam tamadun Melayu. Kerajaan Malayu (Suwarnabhumi) di Jambi (abad ke-6-7 dan abad 11-14), kemudian Kerajaan Sriwijaya di Palembang (abad ke-7 sampai 13) merupakan kerajaan maritim yang berasaskan kepada ekonomi perdagangan. Oleh karena itu, kedua-duanya berusaha menguasai Selat Melaka sebagai jalur perdagangan internasional. Malah, dalam usahanya menguasai perdagangan Selat Melaka dan Selat Sunda, kerajaan Malayu dan Sriwijaya berusaha untuk menguasai negeri- negeri di Pulau Sumatera, Semenanjung Tanah Melayu, Pulau Jawa, bahkan sampai ke Srilangka. Selain itu, bekerjasama juga dengan Cina dan Cola (India), terutama di masa Maharaja Balaputeradewa (abad ke-9), Sri Cudamaniwarman (abad ke-10 dan 11) dan Sri Maharaja Mauliwarmadewa (abad ke-13) (Muljana 1981: 68; Sumadio, et. al. 1993: 68-71). Dari interaksinya dengan agama dan budaya Hindu-Budha, tamadun Melayu kurang berjaya menciptakan bentuk seni budaya seperti seni bangunan (candi dan kraton), patung dan seni musik, tarian dan nyanyian yang setaraf dengan dengan tamadun Jawa, bagi mengangkat asas kejayaan ketamadunan Melayu. Asas tamadun suku bangsa Melayu ialah bahasa dan sastra, bukan seni bangunan4 dan berbeda dengan tamadun Jawa yang puncak keagungannya terletak pada seni bangunan, seni musik, dan tarian (Braginsky 1994: 41; 1998: 1). Hal ini disebabkan dalam tamadun Melayu, pengaruh agama Hindu-Budha dan tamadun India, hanya berlaku kepada pihak istana dan keluarga diraja saja, tetapi tidak menjadi budaya rakyat. Ketika kerajaan Budha hancur dan penerusnya memeluk agama Islam, hilanglah pengaruh agama Hindu-Budha dan tamadun India tersebut kepada orang Melayu. Namun demikian, tamadun Jawa menjadikan

4 Dalam konteks ini, ia bukan berarti bidang-bidang budaya lain tidak menghasil- kan kejayaan. Keagungan tamadun Melayu dapat pula dilihat daripada aspek sosial, politik, budaya, sistem pemerintahan, ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, dan kesenian.

Bahasa dan Sastra Melayu 161 agama Hindu-Budha dan tamadun India sebagai agama dan budaya kerajaan sekaligus rakyatnya (Syed Muhammad Naquib al-Attas 1990: 29-34; dan Muniandy 1996: 14-15). Oleh karena itu, wujudnya perbedaan budaya disebabkan oleh perbedaan asas budaya tersebut. Tamadun Melayu zaman Malayu dan Sriwijaya terutama di masa Raja Dapunta Hyang, juga menghasilkan beberapa budaya material seperti kumpulan candi dan batu bertulis (prasasti).5 Dari berbagai peninggalan batu bertulis ini, diketahui wujudnya kebiasaan raja-raja di masa Sriwijaya dan Malayu yang menuliskan beberapa peristiwa penting, peraturan atau undang-undang dan peringatan oleh raja yang mesti ditaati rakyatnya. Batu bertulis selalunya diletakkan di tempat-tempat umum tertentu seperti di atas bukit, terutama di kawasan atau wilayah yang baru saja ditaklukkan. Hal ini bermaksud supaya ‘pernyataan kerajaaan’ itu dibaca orang ramai, seperti Prasasti Karang Brahi, Batu Kapur dan Telaga Batu (Muljana 2006: 154-156). Kenyataan ini dapat dikatakan bahwa tradisi prasasti merupakan awal mula karya sastra sejarah Melayu, yang kemudian berkembang setelah orang-orang Melayu mengenal kertas sebagai media tulisan. Pemerintahan Sriwijaya memiliki struktur yang teratur dan sistematis, terutama di bidang perdagangan. Pusat pemerintahan ialah raja dan dibantu oleh tiga struktur yaitu pemerintahan daerah (mandala), pemerintahan tentara dan pemerintahan Diraja. Pemerintahan daerah dipimpin oleh seorang Datu, yang diangkat daripada anak keluarga atau pembesar kerajaan.6 Selain itu, kejayaan dalam bidang

5 Beberapa kumpulan candi tersebut terdapat di Lembah Bujang Kedah, Muara Takus Kabupaten Kampar, Provinsi Riau dan tinggalan sejarah berupa candi dan istana raja di Muara Jambi, Provinsi Jambi. Selain itu, terdapat pula beberapa peninggalan batu bertulis yang ditemukan di Pulau Sumatera. Prasasti-prasasti tersebut berisikan pelbagai maklumat tentang Kerajaan Sriwijaya dan Malayu baik tentang tatasosial, politik, agama, ekonomi maupun seni budaya. Prasasti yang dimaksud adalah (1) Prasasti Kedukan Bukit terdapat di Bukit Siguntang, Palembang (683M); (2) Prasasti Talang Tuwo di Palembang (684M); (3) Prasasti Karang Brahi di Hulu Merangin Jambi (686M); (4) Prasasti Kota Kapur di Pu- lau Bangka (689M); (5) Prasasti Pasir Panjang di Balai Karimun Kepulauan Riau (889M); (6) Prasasti Pagaruyung/Adityawarman terdapat di Batu Sangkar, Su- matera Barat (1356M). Sila rujuk, Nik Hassan Shuhaimi (2004: 24-42); dan Mul- jana (2006: 142-150). 6 Dalam pemerintahan Seriwijjaya, seorang Datu dibantu oleh ketua ketenteraan terdapat tiga pembesar utama: (1) Parvanda, berhubungan langsung dengan

162 Rediscovering the Treasures of Malay Culture pemerintahan politik, perdagangan dan ilmu pengetahuan menjadikan Sriwijaya sebagai pusat tamadun Melayu terawal di rantau ini (Muchtar Luthfi, et. al. 1977: 102-120; Chandralingam dan A. Letchumanan 1999: 76-78).7 Kerajaan Sriwijaya ini berakhir disebabkan oleh beberapa faktor, terutama serangan Raja Rajendracola II dari India (1079), serangan raja-raja Jawa, perpecahan di dalam negeri, dan berkembangnya agama Islam di Pulau Sumatera (Muljana 1981: 81- 91; dan 2006: 279-294). Tamadun (kebudayaan) Jawa mencapai puncak kejayaannya di zaman Kerajaan Singosari (1222-1292 M) ketika dipimpin oleh Raja Kertanegara (1269-1292 M) dan Kerajaan Majapahit (1293-1518 M) ketika rajanya Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) dengan Mahapatih Gajah Mada (1334-1364) yang berhasil mempersatukan seluruh negeri di Alam Melayu/Nusantara. Kejayaan ini merupakan bukti kegemilangan tamadun Jawa-Hindu, yang banyak menyerap tamadun India. Beberapa hasil tamadun Jawa yang menonjol pada masa itu adalah banyaknya peninggalan Hindu Budha, terutama prasasti, candi, kraton8 atau istana raja dan kesusastraan (Vlekke 1943; Krom 1954;

raja; (2) Senopati, merupakan pemimpin tentera bagi semua ketua tempatan; dan (3) Pratisara, ketua angkatan tentera. Sedangkan pemerintahan Diraja ter- diri atas beberapa klasifikasi yaitu (1) Dandanayaka, merupakan Hakim Diraja; (2) Nayaka, Penghulu Bendahari; (3) Pratyaka Senapati, merupakan temeng- gung; (3) Murdahaka, Penghulu; (5) Tuhan Vatakvurah, pegawai pelabuhan yang bertugas mengawas dan menguatkuasa urusan perniagaan, termasuk mengurusi hal-ehwal para pedagang, perkapalan dan menetapkan harga ba- rang di pasaran; dan (6) Kumarahatya, golongan orang kaya (jutawan). Sila ru- juk, Esa Khalid dan Mohd. Azhar Abd. Hamid (2004: 155-158). 7 Salah satu bukti Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat tamadun Melayu ber- dasarkan catatan I-Tsing, seorang pengembara Cina yang menyinggahi Sriwi- jaya pada akhir abad ke-7, menemukan adanya pekerjaan penerjemahan ba- han-bahan berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa Cina dan bahasa tempatan. Selain itu, di sini terdapat juga kegiatan pembelajaran tatabahasa Sanskerta. Mulai tahun 711 M, di pusat kerajaan terdapat seribu pendeta Budha. Di sini dikembangkan juga ilmu agama Budha dan pelbagai aliran kepercayaan Budha, falsafah, logika, tatabahasa, kesusastraan Sanskerta klasik dan sebagainya. Sila rujuk, Muchtar Luthfi (1977: 102-120). 8 Dalam tradisi Jawa, kraton (istana) selain tempat kediaman Sang Prabu/raja, juga berfungsi sebagai tempat raja berkantor dan menerima tamu. Kraton se- lalu dibangun di tempat yang tinggi (bukit) untuk menghindari bencana banjir dan mempermudah untuk mengawasi serangan musuh, juga dikelilingi oleh benteng pertahanan dan rumah-rumah para pembesar kerajaan. Ketika agama Hindu dan Budha menjadi agama resmi kerajaan, di sekitar istana selalunya

Bahasa dan Sastra Melayu 163 Pane 1965; Muljana 1968, 1976; Raffless 1982; Sumadio, et. al. 1993; Lombard 2005; Ricklefs 2005; dan Munoz 2006). Pembangunan sebuah candi bermaksud untuk memperhatikan kehidupan beragama rakyatnya dan menghormati para pendeta Hindu dan biksu Budha yang ramai mendiami sekitar istana. Tradisi ini tetap bertahan, walaupun setelah raja dan rakyat Jawa memeluk agama Islam. Perbedaannya setelah Islam ialah di sekitar kraton selalu berdiri Mesjid Agung, yang diketuai oleh seorang Imam Besar. Pada masa kejayaan Majapahit, kerajaan ini banyak menaklukkan negeri-negeri Melayu dan Nusantara lainnya untuk mewujudkan Sumpah Palapa atau Sumpah Nusantara, yang diikrarkan oleh Patih Gajah Mada. Untuk melaksanakan cita-cita tersebut, Majapahit mulai meluaskan kekuasaannya ke pelbagai negeri Alam Melayu/Nusantara pada pertengahan abad ke-14. Selama 30 tahun Gajah Mada menjadi Mahapatih Majapahit dan menjadi orang yang sangat berpengaruh di kerajaan tersebut. Kerajaan Majapahit mengalami nasib yang sama seperti Sriwijaya setelah mangkatnya Patih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk karena penggantinya bukanlah pemimpin yang cakap seperti para pendahulunya. Kerajaan ini mengalami kemunduran semenjak Prabu Brawijaya V mengundurkan diri pada tahun 1478M. Beberapa negeri mulai memberontak menentang kerajaan pusat bagi mendapatkan kemerdekaan. Penduduk bandar (pelabuhan) di Pantai Utara Pulau Jawa mulai memeluk agama Islam. Kerajaan ini berakhir karena terjadinya perebutan kekuasaan di ibu kota kerajaan, ditambah pula dengan serangan Kerajaan Kediri dan Demak (yang sudah menjadi Kerajaan Islam yang pertama di Pulau Jawa). Kerajaan Majapahit

dibangun candi, kemudian setelah Islam masuk, dibangun pula masjid. Selalu- nya di sekitar istana itu terdapat lapangan yang luas, yang disebut alun-alun, sebagai tempat pelbagai upacara dan aktivitas kerajaan lainnya. Bahan-bahan untuk pembangunannya diambilkan dari tempat-tempat khusus yang mem- beri nilai mistik, selain juga kekuatan fisik. Selain itu, kraton dibangun oleh tukang-tukang ternama, yang dikawal oleh ramai bomo dan orang-orang sakti kerajaan. Dengan demikian, kraton dipercayai akan meningkatkan maruah dan kesaktian bagi raja dan kerajaannya. Konsep pembangunan kraton yang demikian itu, berdasarkan kepada kepercayaan asal Jawa dan agama Hindu- Budha, setelah Islam masuk pun tetap dipertahankan. Sila baca, Koentjaranin- grat (1984: 39-41, 71-72).

164 Rediscovering the Treasures of Malay Culture tamat riwayatnya sekitar tahun 1527 M (Purwadi 2005: 37 dan 51). Gelombang kedua keagungan tamadun Melayu bergerak cepat dan membanggakan ketika masyarakat Melayu memeluk agama Islam dan menjadikan Islam sebagai panduan hidup (way of life). Agama Islam menyatupadukan penduduk di Alam Melayu/Nusantara, selain turut menghasilkan, mengembangkan, dan menjadi paksi budaya Melayu-Islam dan sekaligus pembentuk jati diri bangsa Melayu. Tamadun Melayu mencapai puncak kejayaannya pada masa Kerajaan Melaka dan Aceh. Masuknya agama Islam ke Alam Melayu membawa perubahan mendasar dalam tamadun Melayu. Dari peradaban yang berasaskan kepada animisme-dinamisme dan Hindu-Budha, kemudian berkembang kepada tamadun yang berteraskan ajaran Islam dan budaya Arab. Selanjutnya Islam mempengaruhi seluruh aspek kehidupan, terutama aspek sosial, ekonomi, politik, bahasa, sastra, kesenian, undang-undang, dan lain- lain (Haji Hashim bin Haji Abdul Hamid 1999: 165-170). Tiadalah berlebihan, apabila dikatakan bahwa tanpa adanya Islam, tiadalah berarti kebudayaan Melayu itu.9 Daripada kerajaan-kerajaan Islam yang awal ini, berkembanglah tamadun Melayu-Islam di Pulau Sumatera, Semenanjung Tanah Melayu dan Alam Melayu lainnya. Di antara tamadun Melayu-Islam yang dikembangkan adalah sistem tulisan Arab-Melayu (tulisan Jawi), yang peninggalan awalnya dapat dijumpai berupa epigrafi, terutama pada batu-batu nisan di Perlak dan Samudera Pasai.10 Sejak masa itu,

9 Islam sangat berperanan dalam memajukan bangsa dan bahasa Melayu, seb- agai bahasa perantaraan (lingua franca) dan intelektualisme dalam sejarahnya sejak ribuan tahun yang lalu, seperti pendapat Syed Naquib al-Attas dalam bu- kunya Islam dalam sejarah dan kebudayaan Melayu berikut ini: ... Islamlah yang telah menjelmakan bangsa Melayu modern dengan berasaskan intelektualisme dan rasionalisme dan Islamlah yang telah membentuk pandangan hidup atau tassawur bangsa Melayu sejak hampir 1000 tahun yang lalu ... bahasa Melayu telah menjadi tonggak kepada ketamadunan Melayu pada zaman kesultanan Melayu selama beberapa abad dan kini menjadi tonggak tamadun negara-negara sep- erti Malaysia, Indonesia dan Brunei ... (1990: 71). 10 Tulisan Jawi merupakan gabungan atau ubah-suai daripada tulisan Arab yang menggunakan bahasa Melayu, dengan menggunakan tatabahasa Melayu. Tu- lisan ini merupakan tulisan resmi dalam kerajaan-kerajaan Melayu. Tulisan ini tetap dipakai sampai sekarang, sesuai dengan dinamika negeri/negara Melayu

Bahasa dan Sastra Melayu 165 tulisan Pallawa dengan bahasa Sanskerta tiada dijumpai lagi dalam penulisan di kerajaan-kerajaan Melayu. Kerajaan Melaka didirikan oleh Parameswara (Iskandar Syah) kira-kira tahun 1400M, yang memeluk agama Islam tahun 1414M. Sejak itulah agama ini meluas di wilayah Kerajaan Melaka, terutama Semenanjung Tanah Melayu dan Sumatera bahagian timur. Puncak kejayaan tamadun Melayu di Melaka, sejak Islam menjadi agama resmi kerajaan dan kepemimpinan dipegang oleh Sultan Muzaffar Syah (memerintah tahun 1446-1456), Sultan Mansur Syah (1456- 1477) dan Sultan Alauddin Riayat Syah (1477-1488). Kebangkitan emperium Melaka telah membawa kepada suatu zaman yang penuh kegemilangan bagi tamadun Melayu-Islam. Terdapat empat faktor yang menyebabkannya demikian yaitu faktor sosio-politik, ekonomi dan perdagangan, agama Islam11 dan Melaka merupakan pusat

tersebut. Akan tetapi, tinggalan inskripsi pertama justeru kita jumpai di Cam- pa, Kampuchea bertanggal 431 H/1039 M. Beberapa peninggalan epigrafi sep- erti puisi pada makam Sultan Malikul al-Saleh (Sultan Samudera Pasai, Aceh) yang mangkat tahun 1292 M. Di Semenanjung Melayu pula, tepatnya di Treng- ganu kita temui pula sebuah batu bertulisan Jawi yang berangka tahun 1303 M yang berisikan tentang beberapa peraturan syariat Islam yang mesti ditaati oleh kaum muslimin ketika itu. Dari penemuan ini, kita mengetahui bahwa su- dah wujud masyarakat Islam di Trengganu sejak akhir abad ke-13. Selain itu, terdapat pula sebuah Prasasti Minye Tujoh bertanggal 781 H./1379 M pada se- buah batu nisan Raja Iman Warda Rahmatullah. Prasasti ini berisikan tentang kematian rajanya, penguasaan Pasai/Aceh atas negeri Kedah dan perluasan kerajaan itu ke lautan dan ke daratan serta do’a untuk sang raja. 11 Kegemilangan Melaka disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, dari segi so- sial politik, Melaka dengan cepat menjadi sebuah emperium talasokrasi yang baru, karena pengalaman Parameswara di Sriwijaya-Palembang. Kekuatan ini disempurnakan lagi oleh Bendahara Tun Perak sebagai perancang dasar em- perium Melaka, dan kegagahan Laksemana Hang Tuah dan sahabat-sahabat- nya, Melaka berjaya mematahkan ancaman musuh tradisionalnya yaitu Siam (Thailand). Faktor kedua, faktor ekonomi dan perdagangan. Bandar Melaka merupakan bandar dagang yang penting pada abad ke-15 dan memiliki kelebi- han, jika dibandingkan dengan pelabuhan lainnya di Alam Melayu. Kelebihan pertama, Melaka memiliki letak yang strategis, terletak di tepi Selat Melaka. Selain itu, terletak di tengah jalur perdagangan dunia: antara Barat dan Timur, antara Cina dan India serta terlindung dari ombak dan badai besar. Kedua, ban- dar Melaka menjadi tempat pertemuan pedagang Barat dan Timur, India dan Cina. Di sini pedagang dari mana saja dapat membeli dan menjual barangnya dengan harga yang pantas. Setiap pedagang memiliki barang yang khas, yang kadang kala hanya dapat dibeli di sini. Ketiga, faktor agama Islam. Melaka juga terkenal sebagai pusat keilmuan dan pusat penyebaran Islam di Nusantara.

166 Rediscovering the Treasures of Malay Culture pengembangan bahasa Melayu sebagai lingua franca.12 Penyebaran bahasa ini lebih cepat lagi karena bahasa inilah yang dipakai oleh para ulama dalam menyiarkan dakwahnya di seluruh Alam Melayu/ Nusantara, kecuali Pulau Jawa dan daerah-daerah yang dikuasainya. Setelah keruntuhan Melaka oleh karena pertentangan sesama pembesar kerajaan dan penaklukkan Melaka oleh Portugis pada tanggal 25 Juli 1511, kebudayaan Melayu-Islam dikembangkan pula oleh Kerajaan Aceh Darussalam (1205-1903 M), yang berpusat di Kutaraja/ Banda Aceh. Dengan cepat Aceh merebut wilayah-wilayah taklukan Melaka dan negeri-negeri lainnya di Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu. Kejayaan Aceh mencapai puncak keagungannya ketika dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528M) dan Sultan Iskandar Muda Johan Mahkota Alam (1607-1636M). Arti penting dan kebesaran Kerajaan Aceh, sama seperti Melaka yaitu penguasaan sosial politik, pusat ekonomi dan perdagangan, dengan menjadikan Kutaraja sebagai pusat ilmu pengetahuan, pusat dakwah Islam dan penulisan

Salah satu cara untuk menjadikan Melaka sebagai pusat keilmuan adalah men- datangkan ulama dari luar negara. Sultan-sultan Melaka menjemput ulama dari luar negara untuk mengajar agama, bermuzakarah tentang hal-ehwal agama dan membahas kitab-kitab. Pada masa itu, raja dan rakyat Melaka serta jajahan takluknya menganut Islam berfahamkan Ahli Sunnah wal Jama’ah den- gan mengamalkan Mazhab Syafe’i (Mohd. Jamil Mukmin (2004: 81-82); dan Ahmad Jelani Halimi (2006: 22-38). 12 Lingua franca bermakna bahasa perhubungan dalam urusan sosial dan perda- gangan. Pentingnya bahasa Melayu pada masa Melaka dan sesudahnya, sep- erti kata Francois Valentijn, “bahasa Melayu dituturkan di seluruh Kepulauan Melayu dan di negeri-negeri Timur sebagai suatu bahasa yang difahami di ma- na-mana saja oleh setiap orang. Barang sesiapa yang tidak dapat berbahasa Melayu, tidak dapat pergi kemana-mana, seperti pentingnya bahasa Perancis atau Latin di Eropa, atau sebagai lingua franca di Itali dan di Levant. Sungguh luas tersebarnya ... sampai ke Filipina,” (Nik Safiah Abdul Karim 1995). Hal ini dibuktikan pula dengan banyaknya karya sastra (10.000 judul) yang menggu- nakan bahasa Melayu, yang ditulis oleh pengarang-pengarang Melayu mulai dari Pattani di Thailand Selatan sampai ke Ambon Maluku, dari Kepulauan Su- lu-Mindanao di Philipina Selatan sampai ke Betawi/Jakarta di Pulau Jawa dan di luar Alam Melayu (Seri Langka dan Afrika Selatan). Karya tersebut tersebar pada 39 negara di dunia. Selain itu, karya-karya tersebut melingkupi pelbagai bidang seperti bidang agama Islam, falsafah, sejarah, hikayat, mitos dan leg- enda, undang-undang dan tata negara, epik, dan ilmu pengetahuan lainnya. Juga merangkumi waktu yang cukup lama, mulai dari abad ke-15 sampai abad ke-20. Keterangan selanjutnya lihat, Ismail Hussein (1974: 1-22); Syed Muham- mad Naquib al-Attas (1990: 56-60); Teuku Iskandar (1989); Nik Safiah Abdul Karim (1995: 1600-1602); Kratz (2004); dan Ding (2008: 25-38).

Bahasa dan Sastra Melayu 167 karya sastra.13 Oleh karena itu, Kerajaan Aceh Darussalam dapat disebut juga sebagai salah satu pusat tamadun Melayu-Islam dengan julukan ‘Negeri Serambi Mekah’. Perkembangan tamadun Melayu selanjutnya disokong oleh kerajaan lain di Alam Melayu/Nusantara, termasuk Kerajaan Johor- Pahang, Kedah, Perak, Trengganu dan Kelantan (Malaysia), Brunei, Sulu-Mindanao (Philipina), Pattani (Thailand), serta Riau-Lingga, Jambi, Palembang, Siak, Inderagiri, Deli Serdang, Minangkabau, Banjar, Sambas, Pontianak, Mempawah, Kutai Kertanegara, Bima, Makassar, Luwu, Buton, dan Ternate-Tidore (Indonesia). Sebahagian besar kerajaan tersebut merupakan kerajaan maritim, dengan ibukotanya14 terletak di tepi laut atau sungai, sebab ekonomi perdagangannya melalui jalur laut dan sungai. Setiap kerajaan tersebut menerapkan pola dan struktur kekuasaan yang terlebih dahulu diterapkan oleh Kerajaan Sriwijaya, Melaka dan Aceh Darussalam. Selain itu, setiap kerajaan mengikuti struktur pemerintah yang sama, terdiri daripada Raja/Sultan, Raja Muda/Putera Mahkota, Bendahara, Penghulu Bendahari, Temenggung, Laksamana, beberapa orang bentara, dan mufti. Setiap pembesar bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing.15 Struktur pemerintahan tersebut

13 Beberapa bukti kebesaran Aceh adalah di ibukota Aceh terdapat masjid agung- nya yaitu Masjid Baitul Rahman, pernah menjadi ‘universitas’ di Aceh dan pel- bagai meunasah. Pada masa kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam, kita men- genal beberapa ulama-pengarang Melayu terkenal seperti Hamzah Fanshuri, Nuruddin ar-Raniri, Bukhari al-Jauhari, Syamsuddin al-Sumaterani, Abdul Rauf Singkel, Tengku Syiah Kuala, dan lain-lain. Mereka inilah yang menulis kitab- kitab agama, sejarah, undang-undang dan tata negara, karya sastra, serta perl- bagai ilmu pengetahuan lainnya. Karya-karya tersebut pada umumnya berba- hasa Melayu, tetapi terdapat juga yang berbahasa Arab dan Aceh. Karya-karya yang dimaksud adalah Syair Perahu, Syair Dagang, Syair Burung Pingai, Busta- nus Salatin, Taj al-Salatin, Hikayat Aceh, Kanon al-Asyi, Kitab Kanon Aceh, Adat Meukuta Alam, Hikayat Prang Sabi, Hikayat Pocut Muhammad dan banyak lain lagi (Teuku Iskandar 1996: 350-419). 14 Selain itu, pada setiap ibukota kerajaan selalu terdapat istana raja atau raja muda dan rumah-rumah pembesar kerajaan, benteng-parit pertahanan, mas- jid agung dan pasar. Ada pula pada sebahagian istana raja, yang di sekeliling- nya terdapat tanah lapang untuk berbagai-bagai kegiatan, seperti sembahyang hari raya, pertunjukan kesenian, tempat rakyat berkampung atau mendengar- kan titah raja dan tempat latihan laskar kerajaan (Muchtar Lutfi (1977: 274- 278); Muhammad Yusoff Hashim (1990); dan Ahmad Jelani Halimi (2006). 15 Bendahara bertugas mengurusi pemerintahan kerajaan dan juga penasihat

168 Rediscovering the Treasures of Malay Culture sudah dikembangkan sejak zaman Kerajaan Melaka, walaupun gelar dan penamaannya terdapat pelbagai variasi, sesuai dengan latar belakang sejarah dan adat-istiadat setempat. Perbedaan sistem dan struktur pemerintahan dalam amalan di kerajaan-kerajaan Melayu merupakan kekayaan khazanah tamadun Melayu yang dihasilkan dari kreativitas dan sumber atau pengaruh pengambilannya (Muhammad Yusoff Hashim 1990: 85-86; Esa Khalid dan Mohd. Azhar Abd. Hamid 2004: 160-161). Dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kerajaan-kerajaan Melayu telah mengambil peranan yang besar sepanjang sejarahnya. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan seperti ilmu agama Islam per se, kebahasaan dan ilmu kepustakaan Melayu lainnya.16 Pengembangan ilmu-ilmu tersebut digerakkan oleh ulama,

Raja/Sultan, tugasnya sama dengan Perdana Menteri dalam pemerintahan modern sekarang ini; Raja Muda merupakan wakil raja, menggantikan tugas- tugas raja jika berhalangan dan sebagai latihan baginya untuk menjadi raja; Penghulu Bendahari pula bertugas memungut hasil dalam negeri dan ketua kepada Syahbandar (Ketua Pelabuhan) serta urusan perekomian-perdagan- gan liannya; Temenggung bertugas menjaga keselamatan dalam negeri dan berperanan sebagai Ketua Pengadilan Kerajaan; Laksamana pula mengetuai urusan tentera/pertahanan, terutama Panglima Angkatan Tentera Laut dan Ketua Pengawal Diraja; sedangkan Bentara bartindak sebagai pembantu Ben- dahara, mengurus hal-ehwal istana dan pengawal pribadi Sultan, jumlahnya sesuai dengan keperluan; dan Mufti mengetuai urusan keagamaan terutama di bidang pengadilan, hukum-hakam agama dan dakwah Islam (Esa Khalid dan Mohd. Azhar Abd. Hamid 2004: 160-161). 16 Ismail Hamid telah membincangkan pelajaran tentang ilmu agama Islam dalam sastra Melayu meliputi ilmu fikah, tauhid dan tassawuf dalam judul Sastra Kitab. Menurutnya, para pendakwah Islam di Alam Melayu/Nusantara me- nyedari pentingnya karya bertulis dalam berdakwah. Pasai sebagai pusat Islam terawal sudah menghasilkan karya dalam bidang ilmu keislaman. Di masa ke- jayaan Aceh pula, terdapat beberapa pengarang-ulama yang menulis pelbagai kitab seperti Nuruddin al-Raniri yang menulis Sirat al-Mustakim (ilmu fikah), Hidayat al-Habib fi’l Targhib wal-Tarhib(ilmu hadith) dan 20 lebih kitab lainnya. Abdul Rauf Singkel pula menulis kitab Mir’at al-Tullab (ilmu hukum), Hamzah Fanshuri banyak menulis tentang ajaran tassawuf melalui ‘syair ibarat’ seperti Asrar al-‘Arifin, Syarab al-‘Asyiqin, Syair Burung Pingai, Syair Burung Nuri, Syair Perahu dan Syair Dagang. Selain itu, dia bersama Syamsuddin al-Sumaterani dianggap sebagai pengembang ajaran Wihdatul Wujud yang dianggap sesat oleh ulama Suni seperti Nuruddin ar-Raniri. Ajarannya itu juga berkembang di Jawa, yang disebut Manunggaling Kawula Gusti yang disebarkan oleh Syekh Siti Jenar, yang kemudian dihukum bunuh oleh para Sunan Wali Songo. Para ulama lain yang mengarang kitab adalah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (Sabil al-Muhtadin, ilmu fikih), Syekh Yusuf al-Makassari (Safinat al-Najah,ilmu

Bahasa dan Sastra Melayu 169 raja dan kaum intelektualnya. Mereka kemudian menghasilkan ribuan kitab yang diwarisi sampai masa sekarang. Ilmu kepustakaan Melayu dikembangkan oleh pelbagai kerajaan dengan istana sebagai pusat sentrumnya. Beberapa pusat pengembangan intelektual Melayu dari abad ke-14-20 yaitu Pasai, Melaka, Aceh, Johor-Riau-Lingga, Palembang, Kedah, Pattani-Kelantan, Brunei, Banjarmasin, Betawi, dan Makassar. Pengembangan ilmu tersebut sesuai dengan kepentingan pihak kerajaan,17 terutama dalam mengembangkan agama Islam,

tassawuf), Syekh Abdul Samad al-Falimbani (Ratib Samman dan Sir al-Salikin, ilmu tassawuf), Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani (Bughyat al-Tullab, Furu’ al-Masa’il dan Hidayat al-Muta’allim), Syekh Ahmad bin Muhammad al-Fathani (Bahjat al-Mubtadin dan Faridat al-Faraid). Dalam ilmu kepustakaan Melayu dihasil pula karya di bidang kesusastraan, ilmu peru- batan, ilmu matematik, ilmu persenjataan dan kimia. Sila rujuk, Ismail Hamid (1993: 395-432); Azra (1994: 166-265); dan Teuku Iskandar (1996: 350-417, 441-443, dan 609-612). 17 Jikalau Pasai dan Aceh ramai melahirkan ulama-pengarang di bidang ilmu keislaman, sejarah dan tatanegara; maka Melaka banyak menghasilkan karya- karya sastra masa peralihan Hindu kepada Islam (hikayat) dan karya undang- undang, yang pengarangnya tiada diketahui (anonim). Johor-Riau-Lingga melahirkan pengarang Tun Seri Lanang yang terkenal dengan Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu), Raja Ali Haji populer dengan Gurindam Dua Belas, Tuhfat al- Nafis, Bustan al-Katibin,dan Tsamarat al-Muhimmah. Selain itu, terdapat juga Raja Ahmad Haji Tua, Raja Abdullah, Tengku Sa’id, Haji Ibrahim Raja Aisyah Sulaiman dan Raja Abdullah bin Raja Hasan. Mereka ini telah berkarya yang melingkupi bidang ilmu agama Islam, sejarah, ilmu bahasa, karya sastra, un- dang-undang, ilmu perubatan dan persenjataan. Dari sebelah Palembang pula terdapat ulama terkenal Syekh Abdul Samad al-Falimbani yang menulis dela- pan kitab agama, begitu juga Syihabuddin bin Abdullah dan Kemas Fakhruddin juga menulis masing-masing 3-5 buah kitab agama. Penulis Palembang ramai juga yang menulis karya sejarah seperti Kiai Rangga Satyanandita Ahmad bin Kiai Gh. Mastung yang menulis Hikayat Palembang, terdapat pula Pangeran Tumenggung Karta Menggala yang menulis Carita Negeri Palembang, Carita Aturan Raja-raja di Negeri Palembang dan Hikayat Mahmud Badaruddin. Dalam pada itu, Pattani dan Kelantan dianggap sebagai salah satu gudang ulama Melayu, banyak melahirkan karya keislaman dan sejarah. Begitu juga di Brunei terdapat pengarang sejarah seperti Datu Imam Ya’kub yang menulis Silsilah Raja-raja Brunei, Adat Dagang dan Kitab Risalat al-Marhum fi Adat al- Marhum, sementara Pengiran Syahbandar Mohd. Salleh bin Pg. Syarmayuda terkenal dengan Syair Raqis. Di Makassar pula terlahir pula Encik Amin penu- lis Syair Perang Mengkasar dan Imam Rijali yang mengarang Hikayat Tanah Hitu yang mendapat naungan dari Sultan Makassar. Di Betawi (Jakarta) ter- dapat Muhammad Bakir yang mengarang dan menyalin beberapa hikayat dan syair Melayu, terutama Hikayat Sempurna Jaya dan Hikayat Agung Sakti yang diubah-suai dari cerita Panji Jawa. Sila rujuk, Harun Mat Piah (1993: 39-75); Teuku Iskandar (1996: 100-612); Sudardi (2003: 236-254); dan Maier (2004:

170 Rediscovering the Treasures of Malay Culture memperluaskan dan mempertahankan kerajaan dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya (Harun Mat Piah 1993: 39-74; Teuku Iskandar 1996: xviii-xxvii; Esa Khalid dan Mohd. Azhar Abd. Hamid 2004: 180-217). Dalam tamadun Jawa, Kerajaan Demak Bintoro merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa berdiri tahun 1477. Raja pertamanya Raden Fatah yang bergelar ‘Sultan Demak Bintara Hadiningrat Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama’ (memerintah tahun 1477-1513). Kerajaan ini berdiri karena dukungan pelabuhan Islam lainnya di pesisir Pantai Utara Pulau Jawa seperti Jepara, Tuban, dan Gresik, yang sudah lama melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit, selain dukungan yang cukup besar daripada Wali Songo.18 Kerajaan Demak sangat berjasa dalam penyebaran Islam di Pulau Kalimantan, khususnya di Kerajaan Banjar pada abad ke-16, Kutai dan Berau abad ke-17.19 Setelah berkurangnya kekuasaan Demak karena terbunuhnya Sunan Prawata (Sultan Demak keempat) tahun 1549, pendakwahan dan tamadun Jawa Islam dilanjutkan oleh Kerajaan Pajang dan Kerajaan Mataram (Purwadi 2005: 82-85). Pendakwahan Islam di Jawa Barat dilakukan Kerajaan Cirebon dan Banten bahkan sampai ke Lampung dan Palembang di Sumatera. Dalam sejarah Mataram,

109-125). 18 Wali Songo bermakna Wali Sembilan, merupakan kumpulan pendakwah Islam di Pulau Jawa di abad ke-15 sampai abad ke-18. Walaupun demikian, jumlahn- ya tidak berjumlah sembilan orang, tetapi lebih dari jumlah itu. Nama-nama wali yang polular dipanggil Wali Songo adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Jati. Untuk keterangan lanjut, sila rujuk Tjan- drasasmita (1993); Ricklefs (2005); dan Lombard (2005). 19 Pengislaman Banjar semacam persyaratan ketika salah seorang keluarga kera- jaan tersebut meminta bantuan tentera untuk merebut kekuasaan di sana. Setelah kekuasaan diperolehinya, maka seluruh keluarga Diraja Banjar dan rakyatnya memeluk agama Islam. Pangeran Samudera diislamkan oleh Pen- ghulu Khatib Dayyan, ulama yang diutus oleh Sultan Trenggana dari Demak, pada 24 September 1526M. Pangeran ini sejak itu bergelar Sultan Suriansyah, yang menjadi Raja Banjar yang pertama. Mulai masa itulah kuatnya pengaruh sosial budaya Jawa di bumi Banjar. Kemudiannya pihak Kerajaan Banjar ikut pula menyebarkan Islam ke Kota Waringin (Kalimantan Tengah), Sukadana (Ka- limantan Barat) dan Pasir (Kalimantan Timur) (M. Suriansyah Ideham, et. al. 2003: 59-66).

Bahasa dan Sastra Melayu 171 Sultan Agung Hanyokrokusumo terkenal sebagai Sultan Jawa pertama yang antipenjajah dan banyak menaklukkan negeri-negeri Melayu20. Usaha ini merupakan penegakan hegemoni sosio-politik Jawa di kawasan Melayu. Islam juga dikembangkan oleh Sultan Cirebon (Raden Fatahillah/Sunan Gunung Jati) dan Sultan Banten (Sultan Hasanuddin dan Sultan Ageng Tirtayasa). Perkembangan tamadun Jawa dilanjutkan oleh Kraton Mataram. Setelah ‘Perjanjian Giyanti’ yang ditandatangani tahun 1755, kerajaan itu dibagi atas Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta (Hendriatmo 2006: 131-140). Kedua-dua kraton ini kemudian mengembangkan kebudayaan Jawa yang bersifat sinkretis yaitu menggabungkan budaya Hindu-Budha, Islam dan tradisi asal Jawa bagi membentuk suatu tamadun baharu yaitu Kejawen. Tamadun inilah yang kemudian mengembangkan pelbagai falsafah, ilmu pengetahuan dan seni Jawa, termasuk bahasa dan sastranya. Masuknya agama Islam di Pulau Jawa membawa perubahan kepada akidah, pemikiran dan seni budaya masyarakatnya. Secara bertahap, mulailah masuk pengaruh budaya Islam di Pulau Jawa, terutama di bandar-bandar pesisir utara Pulau Jawa, tetapi kesan Hindu masih juga kelihatan. Di setiap kota besar dibangun masjid-masjid yang bercorak Nusantara, yaitu arsitektur masjid yang bentuknya menyerupai meru, rumah ibadah Hindu.21 Sesudah itu, berkembanglah tulisan pegon yaitu tulisan Arab yang menggunakan bahasa Jawa. Tulisan ini banyak digunakan oleh para ulama pondok pesantren di Jawa untuk menuliskan kitab-kitab agama dan cerita tokoh-tokoh Islam.

20 Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1646M) memperkuat kerajaannya, salah satu usahanya adalah dengan menaklukkan negeri-negeri di Pulau Jawa yang enggan menjadi daerah kekuasaannya. Salah satunya adalah Surabaya, Tuban, Gresik dan Pasuruan. Dalam perang melawan Surabaya dan Gresik, pasukan Sultan Agung juga berhasil mengalahkan Sukadana (1622) dan Madura (1624), sekutu Surabaya, Banjarmasin (1637), Palembang (1630), Bangka-Belitung dan Goa-Makassar, baik dengan kekuatan senjata, perdagangan dan perkahwinan maupun dengan diplomasi (Ricklefs 2005: 105-112; dan Purwadi 2005b: 189- 216). 21 Oleh karena itu, terdapat banyak persamaan di antara masjid yang ada di Cam- pa, Masjid Kampung Baru Kelantan, Masjid Tanah Merah, Tengkera Melaka, Masjid Raya Demak dan Masjid Raya Kudus di Jawa Tengah. Masjid awal di Alam Melayu/Nusantara dibangun sekitar abad ke-15-17 (Mohd. Jamil Muk- min 2004: 75-76).

172 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Perkembangan tamadun Jawa di bidang bahasa dan sastra juga sangat maju dan monumental. Bahasa Jawa kuno merupakan perpaduan bahasa Sanskerta dengan bahasa pranagari (bahasa Melayu-Proto) yang sudah wujud sejak adanya manusia di Nusantara. Dengan interaksi tamadun India, bahasa Jawa berkembang sedemikian rupa sehingga mempunyai ciri-ciri tersendiri yang berbeda jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa Melayu Austronesia lainnya. Tulisan Jawa yang berasal dari Devanagari di India Selatan terdiri atas 20 huruf yang dilambangkan dengan abjad tersendiri dan dilafazkan dengan sebutan Hanacaraka datasawala padhajayanya-magabathanga22 dan sudah digunakan sejak abad ke-4 Masehi lagi. Setelah Islam berkembang, budaya Jawa juga mengembangkan tulisan pegon, suatu tulisan yang bertuliskan huruf Arab tetapi berbahasa Jawa, yang dikembangkan di masjid dan pondok pesantren. Tulisan ini banyak mewariskan khazanah keislaman dan sosial budaya di Jawa, termasuk kesusastraan (Sedyawati et. al. (pnyt.) 2001: 110-117). Sastra bertulis Jawa sudah berkembang sejak abad ke delapan (Koentjaraningrat 1984: 17-20), terutama setelah penyaduran Kakawin Bhratayuddha, Kakawin Arjunawiwaha dan Kakawin Ramayana, dari khazanah kesusastraan India, bagi penyebaran agama Hindu di Pulau Jawa dan kawasan Nusantara lainnya23. Bosan dengan cerita berteraskan

22 Abjad yang berbentuk suatu kalimat ini bermakna “Ada dua orang utusan yang saling bertengkar; keduanya sama kuat (dan karena itu mereka berkelahi), se- hingga mereka kedua-keduanya mati”. Legenda ini berasal dari tokoh Ajisaka, seorang pahlawan dalam mitologi Jawa yang berasal dari Mekah. Dia berkelana ke pelbagai negara untuk membawa tamadun kepada umat manusia. Ia datang di Srilangka, pantai India Selatan, Sokadana (Pulau Sumatera) dan akhirnya tiba di Pulau Jawa yang pada waktu itu banyak didiami oleh para raksasa/gergasi. Pada tahun pertama, dia menemukan sejenis gandum yang bernama jajawut, yang merupakan makanan utama penduduk di pulau itu. Berasaskan hal itu, Ajisaka menamakan pulau itu dengan Nusa Jawa. Dalam perjalanan selanjut- nya di pulau itu, dia menemukan dua tubuh raksasa yang mati, yang masing- masing memegang sehelai daun dengan tulisan di atasnya, yang satu dengan tulisan parwa (kuno) dan yang satu lagi dengan tulisan Thailand. Kedua tulisan itu disatukan, maka jadilah tulisan Jawa (Koentjaraningrat 1984: 19). 23 Selanjutnya muncul lagi beberapa kakawin yang merupakan perkembangan kitab-kitab awal tersebut seperti Kakawin Arjunawiwaha, Kakawin Bhomak- anwa. Cerita Panji dengan tokoh utama yaitu Raden Panji dan Raden Galuh Candra Kirana, seperti Panji Semirang, Panji Jayeng Tilam dan lain-lain. Cerita ini menyebar luas sampai ke Bali, Sumatera, Semenanjung Melayu, Thailand, Kamboja, Campa dan Vietnam. Selanjutnya sila rujuk, Poerbatjaraka (1968:

Bahasa dan Sastra Melayu 173 India, orang Jawa mula mengembangkan sastra sejarah dan sastra Panji. Cerita Panji bersumber daripada cerita sejarah tentang Kerajaan Kediri, Jenggala, Singosari dan Gegalang, yang terjadi sekitar abad ke- 11 dan 12. Namun, karena banyaknya unsur legenda, mitos, dongeng dan cerita pencintaannya, karya ini tidak dikategorikan ke dalam sastra sejarah Jawa (Zoetmulder 1983: 532-536; Abdul Rahman Kaeh 1993: 209-213; dan Sedyawati et. al. (pnyt.) 2001: 8-10, 274-277). Interaksi dunia sastra Melayu dan Jawa sangat menarik untuk dicermati. Kepopuleran epik Ramayana dan Mahabhrata juga dikenal oleh pengarang-pengarang Melayu dan mengubahnya dalam bentuk hikayat (prosa fiksi), dari bentuk kakawin (puisi) dalam sastra Jawa. Namun, keberadaannya dalam sastra Melayu bukanlah sebagai epik yang sangat dihormati seperti di India dan Jawa, tetapi sebagai cerita rekaan saja. Selain itu, orang Melayu juga mengenal sastra panji dan menggubahnya sesuai dengan pandangan dan keyakinan masyarakat Melayu yang islami (Poerbatjaraka 1948: 409-410; Abdul Rahman Kaeh 1993: 207-249). Sebaliknya, sastra Melayu juga mempengaruhi sastra Jawa, terutama cerita nabi-nabi dan tokoh-tokoh Islam, yang lebih dahulu diserapnya. Beberapa karya Jawa yang bersumberkan sastra Melayu seperti Serat Sekandar, Layang Wacan Semaun, Serat Menak Amir Hamzah, Serat Ali Hanafiah, Serat Yusuf, dan Serat Umar Umaiyah. Kitab Taj al-Salatin diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dengan judul Serat Tajussalatin (Ricklefs 2006: 126; Noriah Mohammed 1987: 402-420; 2001: 167-176). Daripada penjelasan sejarah di atas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan tamadun Melayu dan Jawa terjadi dalam dua gelombang. Pada gelombang pertama, kedua tamadun ini sama-sama menyerap unsur tamadun India (Hindu-Budha). Masuknya agama Hindu-Budha dan tamadun India ke dalam tamadun Melayu, belum membawa ke puncak kejayaannya. Puncak keagungan tamadun Melayu setelah perkembangan gelombang kedua yaitu masuknya unsur tamadun Arab-Islam ke rantau ini. Tamadun Melayu mencapai puncaknya ketika kejayaan Kerajaan Melaka dan Aceh tercapai, terutama pada abad ke- 15 sampai abad ke-17. Sebaliknya, tamadun

409-411); dan Abdul Rahman Kaeh, (1993: 229-232).

174 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Jawa mengalami puncak keagungannya setelah mengambil unsur agama Hindu-Budha dan tamadun India. Puncak keagungan tersebut terjadi pada masa Kerajaan Singosari dan Majapahit, terutama pada abad ke-13 sampai abad ke-15. Masuknya unsur agama Islam dan budaya Arab, tidak membawa tamadun Jawa menuju puncak kedua, walaupun tamadun Arab-Islam tersebut banyak mempengaruhi tamadun Jawa. Oleh karena itu, tamadun Melayu sangat kuat identitas Arab-Islamnya, manakala sebaliknya tamadun Jawa sangat kuat pula identitas India-Hindu-Budhanya. Jalur sejarah kebangkitan tamadun Melayu dan Jawa di Nusantara ini dapat disusur galur melalui tabel 1 berikut ini:

Bahasa dan Sastra Melayu 175 176 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Sastra Sejarah Melayu dan Jawa Dasar keagungan suatu tamadun bangsa dapat diukur melalui pemikiran yang dihasilkan. Kebiasaannya, pemikiran ini terpancar dalam bentuk arsitektur dan karya agung yang dihasilkan oleh pengarang besar sesuatu bangsa. Kreativitas ini dapat dipadankan dengan gagasan yang diutarakan oleh Robert Redfield dalam syarahannya berjudul Peasant society and culture (1969). Pada beliau, terdapat dua bentuk tradisi yaitu great tradition (tradisi agung) dan little tradition (tradisi kecil) dalam penilaian untuk pengukuran ketamadunan sesuatu bangsa. Tradisi yang agung (great tradition) dan budaya yang tinggi (high culture) terdapat di kota dan daerah industri. Sebaliknya, masyarakat primitif dan pertanian terdapat di kampung, hanya berkemampuan mencipta tradisi kecil (little tradition) dengan budayanya yang rendah (low culture) (1969: 70-71). Tradisi kecil pula dibina melalui tradisi lisan dengan sistem sosial dan teknologi yang sederhana. Dalam pada itu, tradisi agung dikembangkan di istana raja, menghasilkan budaya yang kukuh dalam menghadapi hempasan zaman dengan bentuk yang beragam, baik bahasa, sastra, seni bina, falsafah, teknologi, sistem hukum dan sosio-politik maupun pelbagai kesenian lainnya. Pemilik tradisi agung seperti Mesir, India, Cina, Arab, Eropa, Jepang, Melayu dan Jawa menghasilkan karya bertulis yang beraneka ragam, baik bentuk maupun isi, termasuk sastra sejarah.24 Dalam konteks tamadun Melayu dan Jawa, kewujudan sastra sejarah amat penting dalam membuktikan keagungan tamadun Melayu

24 Penggunaan istilah tradisi agung (great tradition) dan tradisi kecil (little tradi- tion) banyak mendapat pandangan yang berbeda dari ahli sejarah, sosiologi, antropologi, bahasa dan sastra. Penggunaan istilah ini seakan-akan menyirat- kan kepada kepentingan sosiopolitik pemilik tamadun agung, yang juga ban- yak yang menjajah ‘bangsa-bangsa primitif’ yang berasaskan budaya pertanian baik di Asia, Afrika, Pasifik dan Amerika, terutama apabila bermula masa impe- rialisme mulai abad ke-15. Dalam bidang sastra misalnya, tradisi lisan Melayu dan Jawa selain diminati oleh orang kampung, raja dan kaum bangsawan juga mengembangkannya. Namun demikian, penggunaan istilah ini terus-menerus sampai sekarang ini, terutama dalam bidang bidang antropologi dan sastra. Sila rujuk selanjutnya, Mohd. Taib Osman, Kesusastraan Melayu dengan cor- ak masyarakat dan budayanya: tradisi lisan atau sastra rakyat yang bercorak cerita; Pendokumentasian sastra rakyat dan sastra daerah di Malaysia, dlm. Jamilah Hj. Ahmad (1981: 18-20, 52); Ong, (1982: 32, dan 83); Siti Hawa Hj. Salleh (1993: 308-314).

Bahasa dan Sastra Melayu 177 dan Jawa tradisional. Kewujudan genre ini sebagai usaha membuktikan kepada masyarakat dunia tentang ketamadunan, keintelektualan dan mempunyai tradisi karangan-mengarang dan salin-menyalin sebelum kedatangan Eropa. Hal ini merupakan bukti sudah ada budaya celik huruf sebagai upaya pengangkatan martabat dan menjadi ukuran kemajuan dan kemodernan bangsa ini. Selanjutnya, sastra sejarah Melayu dan Jawa juga merupakan suatu pembuktian mengenai kebenaran asal-usul, susur-galur raja dan keberadaan raja sebagai pemimpin di sesuatu kerajaan. Sebagai sebuah pemerintah yang berbentuk kuasa mutlak (monarkhi absolut), raja mesti mempunyai pegangan yang kuat berupa kitab yang dikarang oleh kaum cerdik- pandai/pujangganya. Tradisi bertulis Melayu dan Jawa khususnya genre sastra sejarah sudah dimulai sejak kedua suku bangsa ini mengenal tulisan. Tradisi ini sudah dimulai dengan terdapatnya Prasasti Kutai tahun 400 M. Kemudian dikembangkan dengan tulisan tentang sejarah yang terdapat pada daun lontar, kulit kayu, kepingan logam dan kertas. Karya-karya ini mendapat pengaruh dari tamadun India-Hindu, tempatan, Islam dan Eropa. Dengan wujudnya kira-kira 60-70 judul karya sastra sejarah Melayu dan sekitar 170 judul sastra sejarah Jawa dalam dunia epistemologi Melayu dan Jawa tradisional, membuktikan keunggulan suku bangsa Melayu dan Jawa sebagai bangsa yang bertamadun tinggi di dunia. Penulisan sastra sejarah Melayu dan Jawa dilakukan oleh seorang atau beberapa penulis dengan arahan raja penaungnya. Keunggulan sastra sejarah Melayu dan Jawa terletak pada struktur,25

25 Struktur sastra sejarah Melayu dan Jawa terbahagi kepada tiga bahagian besar. Secara struktural, terdapat persamaan bentuk di antara karya sastra sejarah Melayu dan Jawa, yaitu berbentuk prosa dan puisi. Dalam sastra sejarah Me- layu, bentuk prosa lebih populer, isinya lebih luas dan masa yang lama, lebih banyak jumlah karyanya dan lebih awal. Judul yang selalu dipakai oleh pen- garang Melayu pada bentuk prosa adalah Hikayat, Silsilah atau Salasila dan Tawarikh. Selain itu, terdapat judul yang kurang populer yang terdapat sebuah saja seperti Misa Melayu, Bustan al-Salatin, TNafisdan Tarsila Brunei. Sedan- gkan bentuk puisi isinya menceritakan seorang raja yang terkenal dan peristi- wa penting sesuatu kerajaan, jumlah karyanya lebih sedikit dan dikarang pada masa akhir. Judul yang menunjukkan genre puisi hanya berjudul syair. Dalam sastra sejarah Jawa, bentuk prosa pun lebih populer. Ben- tuk ini bercirikan isinya lebih luas, dengan masa yang lama dan lebih banyak jumlah karyanya. Judul yang selalu dipakai oleh pengarang Jawa pada bentuk

178 Rediscovering the Treasures of Malay Culture kandungan dan kepengarangannya. Penulisan sastra sejarah Melayu baru dimulai pada zaman Islam dengan Hikayat Raja Pasai (HRPasai) sebagai karya perdananya yang ditulis pada akhir abad ke-14, memandangkan tidak dijumpai satu pun karya dalam zaman Hindu-Budha. HRPasai pun ditulis secara bertingkat-tingkat (Jones 1999: xiii). Walaupun demikian, dalam penggunaan mitos dan legenda, terdapat juga pengaruh Hindu- Budha. Sastra sejarah Melayu mengalami evolusi penggunaan mitos dan legenda dalam empat tahap. Tahap pertama, mitos dan legenda asli Melayu/Nusantara dan Hindu sebagai ‘resensi wayang’; tahap kedua, mitos dan legenda yang dipengaruhi oleh tradisi Islam, namun kesan mitos Hindu masih ditemukan, sebagai ‘resensi kraton’; tahap ketiga, penggunaan mitos dan legenda sangat berkurangan; dan tahap keempat, kuatnya pengaruh sastra sejarah Bugis (Braginsky 1998: 265-273).26 Karya Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu) (SS (SMel.) menjadi karya agung Melayu berjaya mengangkat derajat dan muruah

prosa adalah Babad, Sajarah atau Kitab Sajarah dan Serat. Sedangkan ben- tuk puisi menggunakan judul Kakawin. Namun, berbeda dengan sastra sejarah Melayu, bentuk puisi dipakai hampir bersamaan dengan bentuk prosa pada abad ke-14. Dari segi keluasan isi juga sama dengan bentuk prosa. Kebanyakan karya sastra sejarah Melayu dan Jawa bertumpu kepada cerita istana atau kraton dan kehidupan raja dan kaum bangsawan lainnya. C.C. Berg membincangkan bahwa karya genre ini bertujuan untuk menerangkan perihal keagungan raja dan keturunannya. Fungsi utamanya untuk menggam- barkan asal-usul dan menyamakan raja-raja dan keturunannya dengan dewa- dewi yang mempunyai sifat sakral dan mistik (1974: 45-46). Keadaan ini ber- laku karena karya ini ditulis atas perintah raja atau pembesar kerajaan. 26 Penggunaan mitos dan legenda pada tahap pertama, terutama mitos tentang pertemuan unsur matahari (Pangeran Suryanata dan Aji Batara Agung Sakti) dan bumi/air (Puteri Junjung Buih dan Puteri Karang Melinu) serta mitos ular, naga dan buaya seperti yang dijumpai di dalam Hikayat Banjar (HBanjar) dan Salasilah Kutai (SKutai). Tahap kedua, munculnya mitos Raja Iskandar Zulkar- naen, mitos Puteri Buluh Betung dan putera yang menunggangi seekor gajah serta mitos tentang putera gunung dan puteri dari dalam laut, terdapat di dalam HRPasai, SS (SMel.), Hikayat Merong Mahawangsa, HBanjar dan lain- lain, yang meliputi abad ke-15 dan 16. Tahap ketiga masih juga menggunakan mitos Iskandar Zulkarnaen, dijumpai dalam Hikayat Aceh dan Misa Melayu, meliputi masa abad ke-17 dan 18. Sedangkan tahap keempat, mitos yang di- gunakan justeru mitos dari Bugis, terutama dijumpai dalam Tuhfat al-Nafis (TNafis), Salasilah Melayu dan Bugis (SMBugis), Peringatan Sejarah Negeri Jo- hor dan Hikayat Dahing Menambun.

Bahasa dan Sastra Melayu 179 bangsa setelah jatuh akibat penaklukan Melaka oleh Portugis. Karya ini mengemukakan pelbagai keagungan Melayu-Melaka dengan berinteraksi secara sosio-politik dengan beberapa kerajaan besar seperti Cina, India, Siam dan Majapahit. Kemudian Melaka berhasil meluaskan wilayah kekuasaannya ke beberapa negeri di Semenanjung Melayu, Sumatera dan Kalimantan. Melaka juga membangun bandar dan mengembangkan kesejahteraan rakyatnya. Dalam pada itu, SS (SMel.) memerikan pelbagai informasi sosial dan kehidupan budaya istana dan masyarakat Melayu. Oleh karena itu, karya ini menjadi model kepada penulisan sastra sejarah Melayu kemudiannya. Penulisan sastra sejarah Jawa pula sudah dilakukan pada zaman Hindu-Budha, terutama di zaman keagungan Majapahit. Pada zaman ini penghasil karya yang penting yaitu Mpu Prapanca, yang menulis Nagarakretagama (NK) tahun 1365. Sesuai dengan zaman dan pandang dunia (world view), mitos Hindu dan Jawa asal sangat terlihat. Pemujaan kepada Mahadewa dan sang raja sebagai ‘titisan dewa’, sangat banyak dijumpai. Teks sastra sejarah Jawa berikutnya Pararaton yang siap ditulis tahun 1535 Saka (1613M). Walaupun tahun penulisannya termasuk di zaman Islam, tetapi karena dikarang di Puri Icasada (Sukasadha), Sela Penek Bali, sehingga pengaruh Hindu sangat kuat (Padmapuspita 1966: 91; Mangkudimedja 1980: 11; Phalgunadi 1996: 136-137). Tradisi ini dilanjutkan pula oleh kerajaan-kerajaan Islam di abad ke-17 sampai ke zaman penjajahan Belanda abad ke-20, seperti Kerajaan Mataram, Surakarta, Yogyakarta, Cirebon, Banten dan Madura (Sedyawati et. al. (pnyt.) 2001: 53-117). Selain kraton (istana), pusat-pusat keagamaan seperti puri, pertapaan dan mandala (zaman Hindu-Budha), serta masjid dan pondok pesantren (zaman Islam) juga merupakan pusat pengembangan budaya, termasuk sastra. Sungguhpun begitu, berbagai mitos dan legenda Hindu tetap juga dikekalkan, walaupun sudah dicampurkan dengan mitos Islam. Kedudukan raja tidak lagi sebagai ‘titisan dewa’, tetapi sebagai khalifah fil ardhi, sesuai dengan tradisi Islam. Hal itu tercermin dari gelar raja-raja Demak, Mataram sampai gelar Sultan Hamengkubuwono di Yogyakarta hari ini.27 Kenyataan

27 Gelar Raden Patah adalah Sultan Demak Bintara Hadiningrat Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama. Sultan Agung Mataram bergelar Sultan Agung Han- yakrakesuma Panembahan Senopati Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama. Manakala gelar Sultan Yogyakarta adalah Sultan Hamengkubuwono Senopati

180 Rediscovering the Treasures of Malay Culture demikian dijumpai di dalam Babad Tanah Jawi (BTJawi), Babad Demak (BDemak), Babad Mataram (BMat.), Babad Sultan Agung (BSAgung), Sajarah Banten (SBanten) dan lain sebagainya. Dalam hal penulisan tarikh pada peristiwa-peristiwa penting, sastra sejarah Jawa ‘lebih maju dan objektif’, jika dibandingkan dengan sastra sejarah Melayu, seperti yang ditemui dalam NK. Dalam semua karya sastra sejarah Jawa, peristiwa bersejarah selalu diberi tanggal masa terjadinya dengan menggunakan simbol sangkala dan dihitung dengan penanggalan tahun Jawa atau tahun Saka28. Dalam pada itu, penulisan tarikh sastra sejarah Melayu, baru dimulai pada karya-karya yang ditulis pada abad ke-17. Dimulai oleh Nuruddin ar-Raniri dalam karyanya Bustan al-Salatin, dengan menggunakan tahun Arab atau Hijrah, manakala karya sebelumnya tidak disebutkan tanggalnya. Karya Nagarakrtagama (berarti Kisah Pembangunan Negara) merupakan sastra sejarah Jawa yang populer dan banyak dibincangkan oleh para pengkaji. Oleh karena karya ini ditulis mengikut tradisi Jawa- Hindu, sehingga tidak menjadi panduan penulisan historiografi Jawa. Walaupun demikian, hal yang menarik terdapat di dalam NK, karya ini bukan saja berisikan sejarah Kerajaan Singosari dan Majapahit. Karya ini juga memuat pelbagai maklumat tentang sistem dan tata cara pemerintahan, hal-ehwal perundang-undangan dan mahkamah (pengadilan), sistem sosial masyarakat, dan adat-tradisi yang berlaku pada masa Kerajaan Majapahit (Pramudito 2006). Walaupun demikian, semua penjelasan itu didasarkan dari perspektif agama Hindu dan tamadun India, yang dicampur dengan tradisi Jawa. Penulisan sastra sejarah Jawa berikutnya banyak mengacu kepada

Ingologo Hadiningrat Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama. 28 Untuk menyesuaikan dengan tahun Masehi, mestilah ditambahkan dengan 78 tahun. Misalnya, penandaan tahun perebutan kraton Majapahit oleh Demak ditandai dengan sangkala ‘Sirna hilang kertaning bumi’ berarti angka 0041, untuk tahun 1400 Saka, sama dengan tahun 1478M (Noriah Mohammad 2001: 169-170). Namun demikian, dalam penulisan tanggal tersebut, terjadi pula pertentangan dalam penulisan sejarah Jawa. Menurut C.C. Berg, penu- lisan tanggal itu bukanlah sifatnya sebagai ‘teks atau buku sejarah’, sebaliknya bertentangan dengan sifatnya yang khusus. Terdapat tiga faktor penggunaan angka tahun itu: (1) Permainan sengkala sesuai dengan tradisi; (2) Gejala ter- jadinya krisis sosial politik dan budaya Jawa; dan (3) Nafsu untuk meniru (1974: 174).

Bahasa dan Sastra Melayu 181 BTJawi, yang juga populer dalam masyarakat Jawa. Hal ini disebabkan karya tersebut ditulis dalam tradisi Jawa-Islam, yang sesuai dengan akidah baru masyarakat. Karya BTJawi lebih banyak menjelaskan aspek sejarahnya daripada aspek sosial dan budaya Jawa, terutama setelah kedatangan Islam. Karya ini menjelaskan tentang silsilah raja-raja Jawa yang dihubungkaitkan dengan Nabi Adam S.a.w. dan keturunannya, juga tentang sejarah kerajaan Islam di Jawa seperti Demak, Pajang, Mataram, Kartasura sampai ke masa penjajahan Belanda, serta perpecahan Surakarta dan Yogyakarta (BTJawi 2004). Kasus seperti NK juga dijumpai pada Bustan al-Salatin, selain kitab sejarah Kerajaan Aceh Darussalam, terutama zaman Sultan Iskandar Muda dan Sultan Iskandar Thani, juga menceritakan tentang asal- usul penciptaan makhluk Allah mulai dari kejadian Nur Muhammad sampai kepada laut dan sungai dalam perspektif Islam. Sesudah itu juga diterangkan sejarah para rasul dan nabi, syarat pendirian raja, sejarah Nabi Muhammad Saw, para keluarga dan khulafaurrashidin serta para sahabatnya dan pemerintahan sesudahnya. Karya ini juga menjelaskan silsilah raja-raja Melayu dan Aceh dan kejayaannya. Hal yang menarik juga di dalam karya ini dijelaskan tentang panduan pemerintahan negeri, hal-ehwal mahkamah dan kemuliaan perang sabil. Bab VII, bahagian terakhir menjelaskan peranan-kemuliaan akal dan ilmu dalam Islam (Jelani Harun 2006: 306-350). Sastra sejarah Melayu dan Jawa merupakan salah satu kayu ukur ketamadunan kedua suku bangsa ini, yang membuktikan kesarjanaan dan keagungannya. Karya tersebut juga membuktikan bahwa setiap kerajaan yang dibicarakan oleh teks merupakan pengembang great tradition (tradisi agung). Karya ini bertujuan untuk membuktikan kebenaran asal-usul, susur-galur raja dan keberadaan raja sebagai pemimpin di sesuatu kerajaan, serta pengesahannya sebagai sesuatu kerajaan yang sah. Penulisan sastra sejarah Melayu baru dimulai pada zaman Islam dengan HRPasai sebagai karya perdananya yang ditulis pada akhir abad ke-14, secara bertahap. Karya SS (SMel.) menjadi karya agung Melayu berjaya mengangkat derajat dan muruah bangsa setelah jatuh akibat penaklukan Melaka oleh Portugis. Dalam pada itu, penulisan sastra sejarah Jawa pula sudah dilakukan pada zaman Hindu- Budha, terutama di zaman keagungan Majapahit yaitu NK yang ditulis

182 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Mpu Prapanca tahun 1365. Setelah berkembangnya Islam, pengarang- pengarang Jawa menyusun pula BTJawi yang dianggap sebagai model karya historiografi berikutnya. Persamaan dan perbedaan sastra sejarah Melayu dan Jawa tertuang pada tabel 2 berikut:

Bahasa dan Sastra Melayu 183 184 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Bahasa dan Sastra Melayu 185 Penutup Di Alam Melayu/Nusantara terdapat dua tamadun besar, Melayu dan Jawa. Tamadun Melayu lebih tua daripada tamadun Jawa dan keduanya berinteraksi dengan budaya Hindu-Budha dan Islam. Asas tamadun suku bangsa Melayu ialah bahasa dan sastra dan puncaknya pada kerajaan Sriwijaya, sedangkan Jawa puncak keagungannya terjadi pada masa Majapahit terletak pada seni bina, musik dan tarian. Masuknya agama Islam dan budaya Arab di rantau ini membentuk pusat-pusat tamadun baru seperti Kerajaan Melaka dan Aceh (Melayu) dan Kerajaan Demak, Mataram dan Banten (Jawa). Islam sangat mempengaruhi sosial budaya Melayu. Bagi orang Melayu, Islam bukan hanya sebagai agama ritual saja, tetapi Islam juga menjadi asas tatasosial dan membangun intelektualisme Melayu. Berbeda dengan Jawa, walaupun mayoritas penduduknya sudah memeluk agama Islam sejak abad ke-15, tetapi kesan dan pengaruh agama dan budaya Hindu- Budha masih kuat sampai sekarang dan membentuk budaya baharu yaitu budaya Kejawen. Sastra sejarah Melayu dan Jawa merupakan salah satu indikator peradaban untuk membuktikan keintelektualan dan keagungannya. Karya ini berfungsi sebagai pemberi manfaat kepada pembacanya dan bertujuan untuk membuktikan kebenaran asal-usul, susur-galur raja dan keberadaan pengesahan bagi seorang raja sebagai pemimpin di suatu kerajaan. Penulisan sastra sejarah Melayu baru dimulai pada zaman Islam dengan HRPasai sebagai karya perdananya yang ditulis pada akhir abad ke-14. Karya SS (SMel.) menjadi karya agung Melayu berhasil mengangkat derajat dan muruah bangsa setelah jatuh akibat penaklukan Melaka oleh Portugis. Dalam pada itu, penulisan sastra sejarah Jawa pula sudah dilakukan pada zaman Hindu-Budha, terutama di zaman keagungan Majapahit yaitu NK yang ditulis Mpu Prapanca tahun 1365. Setelah berkembangnya Islam, pengarang-pengarang Jawa menyusun pula BTJawi yang dianggap sebagai model karya historiografi berikutnya. Kedua sastra sejarah ini memiliki persamaan dan perbedaan, dari aspek struktur, bentuk, bahasa, penulisannya, dan kepengarangannya. Sastra sejarah terpilih memperlihatkan interaksi Melayu-Jawa dalam aspek sosial, ekonomi, politik, agama dan budaya.

186 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Daftar Pustaka Abdul Halim Bashah. 1993. Wali Songo dengan Perkembangan Islam di Nusantara (Satu Kajian). Sungai Buloh, Selangor: Pustaka Al- Hijaz. Abdul Rahman al-Ahmadi (pnys.). 1989. Sejarah dan Kebudayaan Campa. Kuala Lumpur: Kementerian Kebudayaan dan Pelancongan dan Ecole Francaise d’Extreme-Orient. Abdul Razak Zaidan. 2003. Salasilah Kutai dari Kalimantan Timur. Dlm. Edwar Djamaris, Abdul Hadi W.M. dan S. Amran Tasai (pnyt.). Adab dan Adat: Refleksi Sastra Nusantara,hlm. 581-631. Jakarta: Pusat Bahasa. Adham, D. 1981. Salasilah Kutai. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ahmad Fauzi Mohd. Basri (pngr.). 1992. Misa Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Ahmad Jelani Halimi. 2006. Perdagangan dan Perkapalan Melayu di Selat Melaka Abad ke-15 hingga Abad ke-18. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Ali Ahmad. 1987. Karya-karya Sastera Bercorak Sejarah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Ali Hasjmy (pnyt.). 1989. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Bandung: PT Alma’arif. Amin, H.M. Darori (pnyt.). 2000. Islam & Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media. Andaya, B. W. 1989. The cloth trade in Jambi and Palembang society during the seventeenth and eighteenth centuries. Journal of Indonesia 48: 27-46. Samad Ahmad (pngr.). 1996. Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Atmodarminto, R. 2000. Babad Demak dalam Tafsir Sosial-Politik. Terj. Saudi Berlian. Jakarta: Millenium Publisher. Azra, Azyumardi. 1995. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Cet. Ke-2. Bandung: Penerbit Mizan.

Bahasa dan Sastra Melayu 187 Babad Tanah Jawi. 2004. 6 jilid. Terj. Amir Rochyatmo, et.al. Jakarta: Amanah Lontar. Bazrul Bahaman. 2007. Budaya politik Melayu dalam sastera sejarah. Desertasi Dr. Fal, Akademi Pengajian Melayu, Universiti Malaya. Berg, C.C. 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Terj. S. Gunawan. Jakarta: Penerbit Bhratara. Berg, C.C. 1995. Gambaran Jawa pada masa lalu. Dlm. Soedjatmoko, Mohammad Ali, G.J. Resink & G. McT. Kahin (pnyt.). 1995. Historiografi Indonesia Sebuah Pengantar.Terj. Mien Djubhar, hlm. 68-98. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Braginsky, V.I. 1990. The war of books: Malacca-Majapahit conflict in Sejarah Melayu. Dlm. Tenggara 30: 20-35. Braginsky, V.I. 1994. Erti Keindahan dan Keindahan Erti dalam Kesusasteraan Melayu Klasik. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Braginsky, V.I. 1998. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19. Terj. Hersri Setiawan. Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS). Cortesao, A. 1967. The Suma Oriental of Tome Pires and the Book of Francisco Rodrigues. Cet. Ulang. Nendeln/Liechtenstein: Kraus Reprint Ltd. de Graff, H.J. dan Th.G.Th. Pigeaud. 1985. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan 16. Terj. Pustaka Utama Grafiti dan KITLV. Jakarta: PT Grafiti Press. de Graff, H.J. 1986. Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. Terj. Pustaka Grafiti Press dan KITLV. Jakarta: PT Grafiti Press. de Graff, H.J. 1987a. Awal Kebangkitan Mataram Masa Pemerintahan Senopati. Terj. Pustaka Utama Grafiti dan KITLV. Jakarta: PT Grafiti Press. de Faille, P.D.R. 1971. Dari Zaman Kesultanan Palembang. Terj. S. Gunawan. Jakarta: Bhratara. Des Alwi. 2005. Sejarah Maluku: Banda Naira, Ternate, Tidore dan Ambon. Jakarta: Dian Rakyat.

188 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Ding, Cho Ming. 2003. Kajian Manuskrip Melayu: Masalah, Kritikan dan Cadangan. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia. Ding, Cho Ming. 2008. Manuskrip Melayu sumber maklumat peribumi Melayu. Syarahan Perdana Profesor, Universiti Kebangsaan Malaysia. Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten: Sumbangan bagi Pengenalan Sifat-sifat Penulisan Sejarah Jawa. Terj. KITLV dan LIPI. Jakarta: Penerbit Djambatan dan KITLV. Johan Hanafiah. 1995. Melayu–Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Edwar Djamaris. 1991. Tambo Minangkabau: Suntingan Teks Disertai Analisis Struktur. Jakarta: Balai Pustaka. Edwar Djamaris, Abdul Hadi W.M. & Amran Tasai (pnyt.). 2003. Adab dan Adat: Refleksi Sastra Nusantara.Jakarta: Balai Pustaka. Esa Khalid dan Mohd. Azhar Abd. Hamid. 2004. Beberapa Aspek Tamadun Melayu, India, China dan Jepun. Skudai Johor: Universiti Teknologi Malaysia. Fauzi Basri (pngr.). 1968. Misa Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Geertz, C. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Terj. Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya. Hadijah Rahmat. 2001. In Search of Modernity (A Study of the Concepts of Literature, Authorship and Notions of Self in “Traditional” Malay Literature). Kuala Lumpur: The Academy of Malay Studies University of Malaya. Haji Hashim bin Haji Abd. Hamid. 2003. Islam di Brunei Darussalam: Satu Analisis Sosio-Budaya. Gadong, Brunei Darussalam: Jabatan Kesusasteraan Melayu, Universiti Brunei Darussalam. Hamka. 1994. Dari Perbendaharaan Lama. Cet. ke-3. Jakarta: Pustaka Panjimas. H. Ramli Nawawi, Soeloso, Sri Mintosis & Rosyadi (pngr.). 1992/1993. Salasila Kutai. Jakarta: Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hj. Mohammed Khalid Taib. 1981. Sastera sejarah in the Malay

Bahasa dan Sastra Melayu 189 World: A structural and contextual study of folkloristic element in a trantitional genre. Tesis Ph.D, The Folklore Institute, Indiana University. Haron Daud. 1989. Sejarah Melayu: Satu Kajian daripada Aspek Pensejarahan Budaya. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Harun Mat Piah. 1993. Konsep dan pendekatan. Latar belakang sejarah. Dlm. Zalilah Sharif dan Jamilah Hj. Ahmad (pngr.). Kesusasteraan Melayu Tradisional, hlm. 1-24 dan 25-75. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Hashim Musa. 1997. Efigrafi Melayu: Sejarah Sistem Tulisan dalam Bahasa Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Hikayat Negeri Jambi. Ms. Cod. Or. 2013. Leiden Rijksuniversiteitbibliothek. Hooker, V. M. 1991. Tuhfat Al-Nafis, Sejarah Melayu Islam.Terj. Ahmad Fauzi Basri. Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Pustaka. Ichwan Azhari. 2000. Diskurse des Widerstands: Die politischen Beziehugen zum Javanischen Majapahit in klassischen Malaiischen (Wacana Perlawanan: Hubungan Politik Jawa Majapahit dalam Teks Melayu klasik). Disertasi Dr. Phil, Universiteit Hamburg. Ichwan Azhari. 2007. Melawan hegemoni kekuasaan Jawa: pemikiran politik dalam empat teks Melayu. Dlm. Irwandy (pngr.). Bahasa dan Pemikiran Melayu/Indonesia Menyongsong 2025, hlm. 239- 255. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Ismail Hamid. 1987. Perkembangan Kesusasteraan Melayu Lama. Petaling Jaya: Longman. Ismail Hussein. 1974. The Study of Traditional Malay Literature, with Selected Bibliography. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Ismail Hussein, P.B. Lafont dan Po Dharma (pnyt.). 1985. Dunia Melayu dan Dunia Indocina. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Jelani bin Harun (pngr.). 2004. Bustanus Salatin (Bab Pertama dan Kedua) Karangan Nurrudin Ar-Raniri. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Jones, R. (pngr.). 1999. Hikayat Raja Pasai. Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan dan Fajar Bakti Sdn. Bhd.

190 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Kartodirdjo, A. Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900. Dari Imperium sampai Imperium. Jilid I. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AR. (pnyt.). 2006. Menjadi Indonesia: 13 Abad Islam di Bumi Nusantara. Bandung: Yayasan Festival Istiqlal dan Penerbit Mizan. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka. Kukushkin, S. 2004. Hikayat Negeri Jambi: the structure and sources of a nineteenth-century Malay historical work. Jounal of Indonesian and the Malay World 32 (32): 53-61. La Faille, P.D.R. 1971. Dari Zaman Kesultanan Palembang. Terj. S. Effendy. Jakarta: Bhratara. Lapian, Adrian B. 2008. Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke- 16 dan 17. Depok: Komunitas Bambu. Liang, Liji. 1996. Hubungan Empayar Melaka–Dinasti Ming Abad ke- 15. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia. Liaw, Yock Fang. 1975. Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik. Singapura: Pustaka Nasional. Lombard, D. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu. 3 Jilid. Terj. Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat dan Nini Hidayati Yusuf. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Forum Jakarta-Paris dan EFEO. Maharsi Resi. 2010. Islam Melayu Vs Jawa Islam: Menelusuri Jejak Karya Sastra Sejarah Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Maier, H.M.J. 1985. Fragment of Reading: The Malay Hikayat Merong Mahawangsa. Ablasserdam: Offsetdrukkerij Kanters. Mana Sikana. 2005. Teori Sastera Kontemporari. Bangi: Penerbit Interprise. Mangkudimedja, R.M. 1980. Serat Pararaton Ken Arok 3. Terj. Hardjana HP. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Mansoer, M.D, Amrin Imran, Mardanas Safwan, Asmaniar Z. Idris & Sidi J. Buchari. 1970. Sedjarah Minangkabau. Jakarta: Penerbit Bhratara. Manusama, Zacharias Jozef. 1977. Hikayat Tanah Hitu : historie en

Bahasa dan Sastra Melayu 191 sociale structuur van de Ambonse Eilanden. Disertasi Ph.D, Rijksuniversiteit te Leiden. Marsden, W. 1999. Sejarah Sumatera. Terj. A.S. Nasution dan Mahyuddin Mendim. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Matheson, V. 1979. Tuhfat Al-Nafis Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji. Petaling Jaya: Penerbit Fajar Bakti Sdn. Bhd. M. Adnan Amal. 2010. Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Mochtar Naim. 1987. Polarisasi kebudayaan ‘M’ dan ‘J’. Dlm. Zahrah Ibrahim (pnyt.). Tradisi Johor-Riau, hlm 207-215. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Moehammad Habib Mustopo. 2001. Kebudayaan Islam di Jawa Timur: Kajian Beberapa Unsur Budaya Masa Peralihan. Yogyakarta: Penerbit Jendela. Mohammad Daud Muhammad (pngr.). 1987. Tokoh-tokoh Sastera Melayu Klasik. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Mohd. Jamil Mukmin. 2004. Melaka Pusat Penyebaran Islam di Nusantara. Melaka Institut Kajian Sejarah dan Patrionisme Malaysia (IKSEP). Mohd. Taib Osman (pnyt.). 1997. Islamic Civilization in the Malay World. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka dan The Research Centre for Islamic History, Art and Culture Istanbul. Mohd. Yusof Md. Nor (pngr.). 1984. Salasilah Melayu dan Bugis. Petaling Jaya: Penerbit Fajar Bakti Sdn. Bhd. M. Suriansyah Ideham, H. Sjarifuddin, H.A. Gazali Usman, M. Zainal Arifin Anis & Wajidi (pnyt.) 2003. Sejarah Banjar. Banjarmasin: Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan. Muchtar Luthfi, Suwardi M.S., Anwar Syair & Umar Amin. 1977. Sejarah Riau, Pekanbaru: Universitas Riau. Muhammad Haji Saleh. 2006. Puitika Sastera Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Muhammad Yusoff Hashim. 1990. Kesultanan Melayu Melaka. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

192 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Muhammad Yusoff Hashim. 1992b. Pensejarahan Melayu: Kajian tentang Tradisi Sejarah Melayu Nusantara. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Muljana, Slamet. 1968. Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Jakarta: Bhratara. Muljana, Slamet. 1979. Negara Kertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhrarata Karya Aksara. Muljana, Slamet. 1981. Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi. Jakarta: Yayasan Idayu. Muljana, Slamet. 2005. Puncak Keagungan Majapahit. Jakarta: Gramedia Utama. Munoz, P. M. 2006. Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. Nik Hassan Suhaimi Nik Abdul Rahman (pnyt.). 2008. Lembah Bujang dari Perspektif Arkeologi dan Pelancongan. Bangi: ATMA Universiti Kebangsaan Malaysia. Nik Safiah Abdul Karim. 1995. Bahasa Melayu dan pembinaan tamadun Melayu. Dlm. Ismail Hussein, A. Aziz Deraman dan Abd. Rahman Al-Ahmadi (pngr.). Tamadun Melayu. Jilid IV, hlm. 1600-1605. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Noriah Mohammed, 1987. Kesusasteraan Jawa dan hubungannya dengan sastera Melayu tradisional. Dlm. Siti Hawa Hj. Salleh (pngr.). Cendekia Kesusasteraan Melayu Tradisional, hlm. 402- 420. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Noriah Mohamed. 2005. Jawa di Balik Tabir. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia. Noriah Mohamed. 2009. Benang Sari Melayu-Jawa. Bangi: ATMA, Universiti Kebangsaan Malaysia. Noriah Taslim. 2001. Sejarah Melayu dalam Tuhfat al-Nafis: sikap Raja Ali Haji terhadap warisan tradisi. Dlm. Al Azhar dan Elmustian Rahman (pnyt.). Kandil Akal di Pelantar Budi: Esai dan Renungan Budaya Persembahan kepada Alm. Raja Hamzah Yunus, hlm. 211- 229. Pekanbaru: Yayasan Kata dan Masyarakat Pernaskahan Nusantara Riau. Norhaslinda bt. Mokhtar Rudin. 2006. Interaksi tamadun Melayu

Bahasa dan Sastra Melayu 193 dan Jawa di dalam Sejarah Melayu dan Hikayat Hang Tuah. Tesis M.A. Program Persuratan Melayu FSSK, Universiti Kebangsaan Malaysia. Ohorella, G.A. (pngr.). 1997a. Pasai dalam Perjalanan Sejarah: Abad ke-13 sampai Awal Abad ke-16. Jakarta: Dirjen Kebudayaan Depdikbud. Ohorella, G.A. (pngr.). 1997b. Tuban: Kota Pelabuhan di Jalur Sutra. Jakarta: Dirjen Kebudayaan Depdikbud. Ohorella, G.A. (pngr.). 1997c. Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra. Jakarta: Dirjen Kebudayaan Depdikbud. Ong, W.J. 1982. Orality and Literacy: The Technologizing of the Word. London dan New York: Methuen. Othman Mohd. Yatim dan Abdul Halim Nasir. 1990. Epigrafi Islam Terawal di Nusantara. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Padmapuspita, Ki J. 1966. Serat Pararaton Teks Kawi dan Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Taman Siswa. Pane, Sanoesi. 1965. Sedjarah Indonesia I. Jakarta: PN Balai Pustaka. Parlindungan, Mangaraja Onggang. 2007. Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta. Parnickel, B. (pngr.). 1997. Kebudayaan Nusantara Kepelbagaian dalam Kesatuan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Perret, D. dan Puteri Rashidah Megat Ramli. 2001. Hubungan Budaya dalam Sejarah Dunia Melayu. Artikel Pilihan dari Majalah Archipel. Terj. Henri Chambert Loir, Farida Soemargono dan Ruhanas Harun. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Phalgunadi, I Gusti Putu. 1996. The Pararaton: A Study of the Southeast Asian Chronicle. New Delhi: Sundeep Prakashan. Poerbatjaraka, RM Ng. dan Tardjan Hadidjaja. 1952. Kepustakaan Djawa. Jakarta: Penerbit Djambatan. Poespito, Soenarko H (pngr.). 1980. Babad Sultan Agung. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pradotokusumo, Partini Sarjono. 1986. Kakawin Gajah Mada (Sebuah Karya Sastra Kakawin Abad ke-20): Suntingan Naskah serta Telaah

194 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Struktur, Tokoh dan Hubungan Antarteks. Bandung: Penerbit: Bina Cipta. Pramudito, Bambang. 2006. Kitab Negara Kertagama: Sejarah Tata Pemerintahan dan Peradilan Kraton Majapahit. Yogyakarta: Gelombang Pasang. Pujiastuti, Titik. 2000. Sadjarah Banten: suntingan teks dan terjemahan disertai tinjauan aksara dan amanat. Disertasi Dr. Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Purwadi. 2005. Babad Majapahit. Yogyakarta: Media Abadi. Purwadi. 2007. Sejarah Raja-raja Jawa: Sejarah Kehidupan Kraton dan Perkembangannya di Jawa. Yogyakarta: Media Abadi. Purwadi, Siti Maziyah, Mahmudi, Djoko Dwiyanto, Maharsi, dan Magendra W. Kawuryan. 2005. Ensiklopedi Budaya Jawa. Yogyakarta: Bina Media. Purwadi dan Maharsi. 2005. Babad Demak, Sejarah Perkembangan Islam di Tanah Jawa. Yogyakarta: Tunas Harapan. Radcliffe-Brown, A.R. 1980.Struktur dan Fungsi dalam Masyarakat Primitif. Terj. Ab. Razak Yahya. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Raffles, T. S. 1982. The History of Java. Vol. I dan II. Cet. Ulang. Kuala Lumpur: Oxford University Press. Rahardjo, Supratikno dan Wiwin Djuwita Ramelan. 1994. Kota Demak sebagai Bandar Dagang di Jalur Sutra. Jakarta: Dirjen Kebudayaan Depdikbud. Rais Yatim. 2010. Lembah Bujang Tamadun Awal Asia Tenggara. Utusan Malaysia, 12 Julai: 10. Rajantheran, M. 1999. Sejarah Melayu: Kesan Hubungan Kebudayaan Melayu dan India. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Ras, J.J. 1968. Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography. KITLV. The Hague: Martinus Nijhoff. Ras, J.J. 1986a. Hikayat Banjar dan Pararaton: a structural comparison of two chronicle. Dlm. Hellwig, C.M.S. dan S.O. Robson. A Man of Indonesian Letters: Essay in Honour of Professor A. Teeuw, hlm. 184-203. Dordrecht-Holland: Foris Publications.

Bahasa dan Sastra Melayu 195 Ras, J.J. 1986b. The Babad Tanah Jawi and its reliability: questions of content, structure and function. VKI 115: 246-273. Ras, J.J. 1990. Hikayat Banjar. Terj. Siti Hawa Salleh. Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Pustaka. Ratna, Nyoman Kutha. 2002. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Redfield, R. 1969. Peasant Society and Culture: An Anthropological Approach to Civilization. Chicago-London: The University of Chicago Press. Reid, A. 1992. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jilid I. Terj. Mochtar Pabotinggi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Reid, A. 1999. Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680. Jilid II. Terj. R.Z. Leirissa dan P. Soemitro. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Reid, A. 2004. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara: Sebuah Pemetaan. Terj. Sori Siregar, Hasif Amini dan Dahris Setiawan. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. Ricklefs, M.C. 1979. The evolution of Babad Tanah Jawi text: in response to Day. BKI 135: 443-454. Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. Ridin Sofwan 2000. Interelasi nilai Jawa dan Islam dalam aspek kepercayaan dan ritual. Dlm. M. Darori Amin (pnyt.). Islam & Kebudayaan Jawa, hal. 88-112. Yogyakarta: Gama Media. Riyadi, Slamet dan Suwaji (pngr.). 1981. Babad Demak. Jilid. 1. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Robson, S. (pnyt.). 1995. Desawarnana (Nagarakrtagama) by Mpu Prapanca. Leiden: Royal Institute Language and Anthropology. Rogaiyah A. Hamid dan Mariyam Salim (pngr.). 2006a. Kesultanan Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Rumidjah, Jumeiri Siti (pngr.). 1979. Babad Mataram. Yogyakarta: Balai Penelitian Sejarah dan Budaya. Rusli Amran. 1981. Sumatra Barat hingga Plakat Panjang. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

196 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Ruzy Suzila Hashim. 2003. Out of the Shadows: Women in Malay Court Narrative. Jakarta: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia. Sandarupa, Stanislaus, et.al. (pnyt.). Kemelayuan Indonesia dan Malaysia: Sejarah dan Sejarah Maritim, Sosial Politik dan Ekonomi. Volume II. 2006. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI. Sastradiwirya. 1988 (pngr.). Babad Majapahit dan Para Wali. 2 Jilid. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sedyawati, Edi, I. Kuntara Wiryamartana, Sapardi Djoko Damono & Sri Sukesi Adiwimarta (pnyt.). 2001. Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum. Jakarta: Pusat Bahasa dan Balai Pustaka. Shaiful Bahri bin Md. Radzi. 2000. Malay humorous tales: performance, corpus of oral texts and its study. Tesis Ph.D. SOAS, University of London. Sharifah Zaleha Syed Hasan dan Rashila Ramli (pnyt.). 1998. Kedudukan dan Citra Wanita dalam Sumber-sumber Tradisional Melayu. Bangi: ATMA Universiti Kebangsaan Malaysia. Shellabear, W.G. (pngr.). 1967. Sejarah Melayu. Kuala Lumpur: Oxford University Press. Sila-sila Keturunan Raja Jambi. Ms. Cod. Or. 12182. Leiden Rikjsuniversiteits-bibliothek. Simuh. 2003. Islam dan Pergumulan Budaya Jawa. Jakarta: Penerbit Teraju. Siti Hawa Salleh (pnyt.). 1970. Hikayat Merong Mahawangsa. Kuala Lumpur: University of Malaya Press. Siti Hawa Hj. Salleh. 1992. Kumpulan Esei Sebutir Pasir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Siti Hawa Salleh. 1993. Sastera sejarah. Dlm. Zalilah Sharif dan Jamilah Hj. Ahmad (pngr.). Kesusasteraan Melayu Tradisional, hlm. 280- 347. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Siti Hawa Hj. Salleh. 1997. Kesusasteraan Melayu Abad Kesembilan Belas. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Siti Hawa Hj. Salleh. 2006. Naskah Melayu berunsur sejarah. Dlm. Rogayah A. Hamid dan Mariyam Salim (pngr.). Kesultanan Melayu, hlm.14-29. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Bahasa dan Sastra Melayu 197 Sivachandralingam, Sundra Raja dan A. Letchumanan. 1999. Tamdun India. Petaling Jaya: Penerbit Fajar Bakti Sdn. Bhd. Skinner, C. 1963. Syair Perang Mengkasar by Encik Amin. S-Gravenhage: Martinus Nijhoff. Soeroto, Soeri. 1978. Berdirinya Keradjaan Banjarmasin: suatu tinjauan sosio-kultural. Bulletin Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM 6: 125-133. Soedjatmoko, Mohammad Ali, G.J. Resink & G. McT. Kahin (pnyt.). 1995. Historiografi Indonesia Sebuah Pengantar.Terj. Mien Djubhar. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Soekmono, R. 1973. Sejarah Kebudayaan Nasional Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sri Widati. 2006. Melayu Jawa dan Jawa Melayu: sebuah dinamika sastera. Dlm. Mana Sikana, Kamsiah Abdullah, Paitoon M. Chaiyanara dan Roksana Bibi Abdullah. Sastera Memeluk Akar Menyuluh ke Langit, hlm. 31-54. Singapura: Jabatan Bahasa dan Budaya Melayu Institut Pendidikan Nasional, Universiti Teknologi Nanyang. Sudibjo Z.H (pngr.). 1981. Babad Tanah Jawi. Jakarta: PN Balai Pustaka. Sudirman Shomary. 2001. Hikayat Banjar: karya sastra sejarah Melayu tradisional. Jurnal Perspektif Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Riau 4 (6): 364-378. Sudirman Shomary. 2010. ”Hubungan Melayu – Jawa dalam Sastra Sejarah.” Desertasi Ph.D. Pusat Pengajian Bahasa, Kesusasteraan dan Kebudayaan Melayu, FSKK Universiti Kebangsaan Malaysia. Sumadio, Bambang, Ayatrohaedi, M. Boechori, Edi Sedyawati dan Hasan Jaafar 1993. Sejarah Nasional Indonesia II: Jaman Kuna. Jakarta: Balai Pustaka. Supomo, S. 1983. Citra Majapahit dalam tulisan Jawa dan Indonesia kemudian. Dlm. Reid, Anthony dan David Marr. Dari Raja Ali Haji hingga HAMKA: Indonesia dan Masa Lalunya, hlm. 121- 138. Terj. Th. Sumarthana. Jakarta: Penerbit Grafiti Pers. Sutrisno, Sulastin. 1997. Majapahit dalam pandangan penulis beberapa karya sastra sejarah Melayu. Dlm. Sri Sukesi Adiwimarta, Maman

198 Rediscovering the Treasures of Malay Culture S. Mahayana dan Titik Pudjiastuti (pnyt.). Pendar Pelangi: Buku Persembahan untuk Prof. Dr. Achadiati Ikram, hlm. 195-208. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia. Sweeney, A. 1968. Salasilah Raja-raja Brunei. Journal MBRAS 41 (2): 1-82. Sweeney, A. 1974. Full Hearing: Malay Orality and Literacy. Berkeley: Center for South and Southeast Asia Studies University of California. Sweeney, A. 1980. Authors and Audiences in Traditional Malay Literature. Berkeley: Center for South and Southeast Asia Studies University of California. Sweeney, A. 1986. Hubungan antara Hikayat Raja-raja Pasai dengan Sejarah Melayu. Dlm. Zahrah Ibrahim (pngr.). 1986. Sastera Sejarah Interpretasi dan Penilaian, hlm. 307-322. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Syed Muhammad Naquib Al-Attas. 1990. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Bandung: Penerbit Mizan. Teeuw, A. 1986. Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu. Dlm. Zahrah Ibrahim (pngr.). Sastera Sejarah Interpretasi dan Penilaian, hlm. 277-293. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Teeuw, A. dan D.K. Wyatt (pnyt.). 1970. Hikayat Patani: The Story of Patani. The Hague: Martinus Nijhoff. Teuku Ibrahim Alfian. 1974. Kronika Pasai: Suatu Tinjauan Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Teuku Ibrahim Alfian (pnyt.). 1987. Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis: Kumpulan Karangan Dipersembahkan kepada Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Teuku Iskandar. 1996. Kesusastraan Klasik Melayu Sepanjang Abad. Jakarta: Penerbit Libra. Tjandrasasmita, Uka, MPB. Manus, Hasan Muarif Ambary & A.B. Lapain. 1993. Sejarah Nasional Indonesia III: Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Bahasa dan Sastra Melayu 199 Triyono, Adi dan Lasman (pngr.). 1992. Babad Segaluh. Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tylor, E.B. 1871. Primitive Culture. New York: Harper. Umar Junus. 1984. Sejarah Melayu Menemukan Diri Kembali. Kuala Lumpur: Fajar Bakti Sdn Bhd. Umar Junus. 1989. Fiksyen dan Sejarah: Suatu Dialog. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Utomo, Bambang Budi dan Nik Hassan Suhaimi Nik Abd. Rahman. 2008. Zaman Klasik di Nusantara Tumpuan Kajian di Sumatera. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Vlekke, B.H.M. 1943. Nusantara: A History of the East Indian Archipelago. Cambridge, Massachussetts: Harvard University Press. Winstedt, R.O. 1972. The Malays a Cultural History. Singapura-New York: Oxford University Press. Winstedt, R.O. 1985. The Malay Magician being Shaman, Saiva and Sufi. Singapura-New York: Oxford University Press. Winstedt, R.O. 1996. A History of Classical Malay Literature. Cetak Ulang. Petaling Jaya: Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society. Woelders, M.O. 1975. Het Sultanaat Palembang 1811-1825. Seri KITLV No. 72. S-Gravenhage: Martinus Nijhoff. Wolters, O.W. 1990. Kejatuhan dalam Sejarah Melayu. Terj. Toh Kim Hui. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Zahrah Ibrahim (pngr.). 1986. Sastera Sejarah Interpretasi dan Penilaian. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Zalila Sharif dan Jamilah Hj. Ahmad (pngr.). 1993. Kesusasteraan Melayu Tradisional. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

200 Rediscovering the Treasures of Malay Culture PERANAN TULISAN JAWI (ARAB MELAYU) DALAM BUDAYA MELAYU MINANGKABAU

Dr. Febri Yulika, M.Hum. Institut Seni Indonesia Padangpanjang

Pendahuluan Ada pendapat yang menyatakan bahwa ketika umat manusia memasuki Era Globalisasi, maka semua batas-batas dan perbedaan yang disebabkan perbedaan kultur, asal usul, agama dan lainnya akan semakin menipis dan akhirnya lenyap (atau harus dilenyapkan ?). Namun di lain pihak para Futurolog semacam John Naisbitt justru memprediksi bahwa umat manusia tergiring untuk kembali mencari atau menemukan jati diri dan ciri-ciri spesifik yang diambil dari khazanah klasik yang dimilikinya. Konon inilah salah satu ciri manusia Post-modernism, yaitu Back to Nativisme, Back to Spritual, yang ditinggalkannya ketika memasuki Era modernisme. Dalam konteks itulah, sekarang kita kembali memiliki kegandrungan untuk membuka khazanah lama, yang harus diakui bagaikan “mutiara lama yang kilapnya tak lakang dek paneh, tak lapuak dek ujan” (Minang : tahan cobaan masa). Tema Peranan Tulisan Jawi (Arab Melayu) dalam Budaya Melayu Minangkabau dalam tulisan ini sangatlah aktual untuk didiskusikan dalam upaya menghidup- suburkan rasa cinta, rasa memiliki di kalangan rakyat rumpun Melayu terhadap suatu budaya dan tradisi lokal yang senantiasa ditinggalkan dan dipandang sebelah mata dibandingkan dengan tradisi dan budaya Barat. Sebelum kita membicarakan masalah ini secara lebih dalam, ada baiknya diberikan pengertian dan penggunaan istilah “Tulisan Jawi” itu terlebih dulu. Tulisan Jawi maksudnya, “bentuk perpaduan antara Tulisan Arab dengan Bahasa Melayu atau bahasa daerah lainnya, dengan mengurangi atau menambah tanda baca tertentu, sehingga menjadi

Bahasa dan Sastra Melayu 201 sedikit berbeda dengan Tulisan Arab aslinya, atau dalam istilah Hasyim Haji Musa (1999 : 11), “penggunaan skrip Arab untuk mengeja teks berbahasa Melayu”. Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut Tulisan Jawi tersebut, antara lain Tulisan Arab Melayu, Pegon, Arab Gundhil atau Arab Gundul, Aksara Serang dan Arab Bima. Istilah Tulisan Jawi popular digunakan di Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam dan Thailand Selatan. Tulisan atau aksara Arab Melayu digunakan di suku- suku Melayu Pesisir di Indonesia, seperti di Minangkabau, Sumatera Timur, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Betawi (Jakarta), Banjar (Kalimantan Selatan), Bugis-Makassar (Sulawesi Selatan). Tulisan atau aksara Pegon, Arab Gundul popular di kalangan Suku Jawa Pesisir. Aksara Serang digunakan di kalangan masyarakat Pesisir Pulau Seram, dan Tulisan Arab-Bima digunakan di Pulau Bima. Untuk selanjutnya, setiap penggunaan dengan istilah Tulisan Jawi, maksudnya untuk menyebut materi keseluruhan sebutan-sebutan di atas. Kenapa kita bangsa serumpun Melayu perlu kembali membalik- balik lembaran khazanah lama dan berusaha untuk memfungsionalkan kembali Tulisan Jawi? Alasan pertama, karena Tulisan Jawi itu adalah satu di antara sedikit “milik atau produk” bangsa Melayu, yang tidak dimiliki oleh bangsa dan etnis lain. Kalau Bahasa dan aksara Palawa (baik Palawa Klasik maupun Palawa Akhir) adalah milik ras dan etnik India atau mereka yang berbudaya Hindu, aksara Gotik dipopulerkan oleh Bangsa Spanyol dan Portugis, aksara Latin atau Rumi diperkenalkan oleh kolonial Belanda, Inggris dan mereka yang berbudaya Barat, maka Tulisan Jawi, adalah milik dan buah karya budaya bangsa rumpun Melayu. Alasan kedua, karena ada kedekatan atau kesamaan Tulisan Jawi dengan Tulisan Al-Qur’an, sehingga terdapat kaitan emosional antara Umat Islam – yang merupakan masyarakat mayoritas di kawasan Negara-negara Rumpun Melayu – dengan tulisan Al-Quran, sehingga bagi Umat Islam menggunakan Tulisan Jawi sebenarnya sebagai bagian dari kecintaannya pada Al-Qur’an dan pengamalan ajaran agamanya. Bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an dan ajaran Islam tersebut, dalam suatu proses yang sangat harmonis, alami dan sinergis telah diserap ke dalam kebudayaan Melayu dalam bentuk kosa kata Melayu, tulisan/ aksara Arab Melayu atau tulisan Jawi

202 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Ada tiga cara yang bisa ditempuh dalam mempopulerkan dan memfungsikan kembali Tulisan Jawi. Yang pertama melalui perjuangan “bawah”, yakni menggerakkan masyarakat untuk mengingat kembali, mencintai, dan secara berangsur-angsur kembali mempraktekkan penulisan Tulisan Jawi, misalnya dalam menulis surat pribadi, penulisan tanggal Hijriyah dan seterusnya. Yang kedua, melalui perjuangan “atas”, secara makro, nasional, dan melalui perjuangan politik, dengan mendorong wakil-wakil rakyat atau partai-partai politik Islam, untuk memaksa Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk kembali memberlakukan Tulisan Jawi secara resmi. Cara ketiga, dengan melakukan pendekatan regional, sesama bangsa atau Negara rumpun Melayu, dalam bentuk Seminar yang mengumpulkan tokoh- tokoh yang berkepentingan dan memiliki perhatian, kecintaan terhadap Tulisan Jawi, mengumpulkan data-data, pengalaman dan pasang naik- pasang surut penggunaan Tulisan Jawi di masing-masing Negara, untuk akhirnya secara kolektif, kita bisa mencari cara terbaik, tercepat dan paling efektif dalam menggalakkan lagi Tulisan Jawi. Cara yang ketiga ini pernah dilakukan Jabatan Agama Islam Melaka dan Kerajaan Negeri Melaka, tanggal 1-3 Oktober 2003 di Melaka (Malaysia) dalam bentuk Seminar Internasional tentang Tulisan Jawi yang menghimpun seluruh tokoh dari kawasan rumpun Melayu, Malaysia, Indonesa, Brunei Darussalam dan Thailand. Indonesia sebagai salah satu Negara dan bangsa rumpun Melayu, sangat berkepentingan dan berkewajiban untuk mendukung upaya raksasa ini. Walaupun menurut sejarahnya, Negara Indonesia, tidak pernah memberlakukan Tulisan Jawi secara resmi, tapi secara faktual diberlakukan oleh rakyat dan masyarakat bawah, karena Bahasa Melayu sebagai cikal bakal Bahasa Indonesia pernah menjadi Lingua Franca di seluruh Wilayah Nusantara, dan lebih-lebih karena panggilan kedekatan agama.

Deskripsi Tulisan Arab-Melayu dan Tokoh-Tokoh yang Berjasa Meneliti serta Mengembangkannya Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa tulisan atau Aksara Arab-Melayu, Jawi, Pegon atau Arab Gundul, adalah suatu bentuk perpaduan antara tulisan Arab dengan Bahasa Melayu. Menurut

Bahasa dan Sastra Melayu 203 ungkapan Hasyim Haji Musa (1999 : 11-12) “penggunaan skrip Arab untuk mengeja teks berbahasa Melayu”. Tulisan atau skrip Jawi terdiri atas 29 (dua puluh sembilan) abjad Arab, ditambah 6 (enam) abjad khas untuk menampung abjad dalam bahasa Melayu yang tidak terdapat dalam abjad Arab, sehingga seluruhnya berjumlah 35 (tiga puluh lima) abjad. Abjad tersebut adalah sebagai berikut :

Huruf Huruf No. Huruf Jawi No. Huruf Jawi Latin Latin Gh ﻍ A 19 01 ﺍ F ﻑ b 20 ﺏ 02 (K (q ﻕ t 21 ﺕ 03 K ک s (th) 22 ﺙ 04 L ﻝ j 23 ﺝ 05 M ﻡ h 24 ﺡ 06 N ﻥ kh 25 ﺥ 07 W ﻭ d 26 د 08 V ۏ z (dh) 27 ﺫ 09 H ﻩ r 28 ﺭ 10 (‘) K ء z 29 ﺯ 11 Y ﻱ s 30 ﺱ 12 C ﭺ ﭺ sy (sh) 31 ﺵ 13 Ng ڠ s (s) 32 ﺹ 14 P ﭪ z (d) 33 ﺽ 15 G ﭪ ـt (t) 34 ݢ ﻁ 16 Ny ڽ a (z) 35 ﻅ 17 a‘ ﻉ 18

204 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Telah banyak para ahli yang meneliti tentang Tulisan Jawi tersebut, di antaranya para orientalis atau ilmuan yang dimotivasi oleh minat (panggilan) keilmuan, atau karena panggilan tugasnya sebagai birokrasi kolonial, pedagang, penginjil dll, seperti van Ronkel, van Elbinck, Robinson, Gerth, Cohen Stuart, de Hollander, van der Tuuk, Pijnappel, Klinkert dan Wilkinson. Salah seorang peneliti Barat yang cukup senior dalam hal ini adalah Marsden. Ia membahas dan mendalami tulisan Jawi dan menghimpunnya dalam buku A Grammar of the Malayan Language (London, 1812). Marsden –mendahului tokoh lainnya—menyebutkan ada 29 (dua puluh sembilan) abjad yang diambil oleh bahasa Melayu, ditambah 6 (enam) abjad ciptaan baru, sehingga berjumlah 35 abjad. Marsden menguraikan penggunaan tiap-tiap abjad dalam perkataan dan menamakan abjad-abjad itu sebagai konsonan sebagaimana halnya dalam bahasa Arab asli, sedang huruf vokal diwakili oleh “harakat” atau tanda baris atas, bawah dan hadapan, bahkan Marsden juga mengamati tanda-tanda ortografi seperti jazam (tanda mati), tasydid, hamzah, maddah (tanda panjang atau pendek) dan angka-angka. Tokoh peneliti berikutnya adalah Shellabear (1901). Dalam penelitiannya, ia menemukan adanya keseragaman berbagai prasasti dan manuskrip lama yang tersebar pada lokasi yang berjauhan di Kepulauan Nusantara. Shellabear menyimpulkan bahwa orang Melayu menerima sistem tulisan Jawi ini langsung dari orang Arab, dan perantau Arab itulah yang mula-mula menggunakan sistem tulisan Arab untuk menulis bahasa Melayu, yang seterusnya terkenal dengan nama tulisan Jawi. Selanjutnya R.O. Winsted (1913) telah meneliti dan membukukan sistem tulisan Jawi dalam bukunya Malay Grammar (Oxford, 1913). Sedangkan di kalangan orang Melayu sendiri, tersebut nama Raja Ali Haji (1809-1869) merupakan tokoh yang pertama membahas sistem Tulisan Jawi, sebagaimana tercatat dalam tulisannya Bustan al-Salatin (1857) yang terdiri 10 Bab, di mana di dalamnya terdapat kajian tentang Tulisan Jawi (Hasyim Haji Musa, 1999 : 14) Tokoh Melayu mutakhir yang juga telah membahas secara serius dan mendalam mengenai tulisan Jawi adalah Zainal Abidin bin Ahmad (Za’ba) dengan tulisannya Jawi Spelling (1928). Ia menjelaskan secara rinci mulai dari sejarah timbul dan perkembangan, sistem ejaan, dan

Bahasa dan Sastra Melayu 205 intonasi. Begitu mendalamnya Za’ba membahas tentang Tulisan Jawi, sehingga dapat dikatakan dialah tokoh besar dan relatif baru dalam pengkajian Tulisan Jawi. Untuk itu dia menerbitkan beberapa buku, di antaranya buku Daftar Ejaan Melayu Jawi-Rumi (1949). Dan buku karangannya telah dikaji ulang, dikomentari atau diberikan kritik oleh pengamat bahasa berikutnya. Tahun 1954, dilaksanakan Kongres Persuratan Melayu se-Malaya ke II di Seremban, yang membandingkan sistem tulisan Jawi dan Latin, yang menyimpulkan bahwa tulisan Jawi memiliki banyak kelemahan dibanding tulisan Latin. Di antara kelemahan tulisan Jawi itu antara lain tulisan Jawi kekurangan abjad vokal dan diftong, tiadanya sistem huruf besar (kapital), aturan ejaannya tidak dapat ditentukan atau dibakukan, perkataan-perkataan asing sukar untuk diadaptasikan atau dibunyikan melalui ejaan Jawi, sukar untuk membentuk bunyi bahasa “umum” bagi bahasa Melayu. Kelemahan berikutnya, “orang asing” (Non-Melayu) lebih sukar mempelajari bahasa Melayu melalui tulisan Jawi ketimbang tulisan Latin, bentuk abjad Jawi banyak berubah apabila disambung-sambung. Sebaliknya tulisan Jawi mempunyai satu kelebihan, yakni seluruh perkataan dan bahasa Arab dapat dieja menurut ejaan Jawi persis seperti lidah orang Arab mengejanya. Di Malaysia, polemik tersebut, berujung dengan lahirnya keputusan Angkatan Sastrawan 50, bahwa …”sudah sepatutnya tulisan Rumi (Latin) dirasmikan bagi persuratan Melayu dengan tidak menghapuskan tulisan Jawi, sehingga masa akan menentukanya “ (Hasyim Haji Musa, 1999 : 16). .Dari kalangan orang Timur, Kang Kyoung Seock (Korea Selatan) telah mengkaji tulisan Jawi secara mendalam dan menuliskannya dalam bentuk Skripsi Sarjana Sastra di Universiti Malaya bertajuk Perkembangan Tulisan Jawi dalam Masyarakat Melayu (UM, 1986), dan kemudian diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka (1990). Dalam buku ini Kang membahas secara mendalam tentang sejarah tulisan Jawi, perkembangan bentuk-bentuk tulisan Jawi daripada bentuk Arab berproses menjadi Melayu, yang oleh Kang dibagi menjadi tiga periode, yakni periode A (tahun 1300-1600 M), periode B (tahun 1600-1900) dan periode C (tahun 1900-1986). Begitu mendalamnya Kang meneliti Tulisan Jawi, membawanya

206 Rediscovering the Treasures of Malay Culture ketingkat Ph.D di Universiti Malaya, dengan menulis disertasi Analisis Gaya Bahasa Melayu dan Sistem Tulisan Jawi berdasarkan beberapa Manuskrip Sejarah Melayu (UM, 1991). Kelihatannya dalam disertasi ini, Kang mengukuhkan tesisnya tentang periodeisasi pentahapan “Melayunisasi” tulisan Arab menjadi tulisan Jawi yang telah dimunculkannya sebelumnya. Bagaimanapun, sampai saat ini Kang boleh dikatakan peneliti paling baik dan mutakhir dari Tulisan Jawi. Dalam kontek Indonesia (Minangkabau), buku Pedoman Tulisan Arab Melayu yang pernah digunakan pada zaman kolonial Belanda, adalah karangan Dr. J.J. de Hollander. Buku ini digunakan sebagai master buku pedoman Tulisan Arab Melayu untuk waktu yang cukup lama. Barulah pada tahun 1982, terbit buku Pedoman Tulisan Arab Melayu, karangan Drs. Masri Nahar, terbitan Angkasa Raya Padang, buku ini melengkapi buku pedoman sebelumnya yakni Hukum Edjaan Tulisan Arab, karangan Joenoes St. Madjolelo (1953). Buku karangan Masri Nahar ini terdiri atas 66 halaman, 11 Bab, dilengkapi dengan beberapa catatan dan Buku Sumber. Adapun isi nya berturut-turut : 1. Mengenal Huruf Arab Melayu 2. Cara Menuliskan Kata-kata 3. Pemakaian Huruf Bantu untuk Suku akhir 4. Huruf saksi 5. Pemakaian huruf Khusus 6. Bunyi luncur 7. Kata berimbuhan dan Kata yang bersuku Tiga atau lebih. 8. Sufik an, kan dan i 9. Partikel lah, kah dan pun. 10. Kata ganti empunya ku, mu dan nya. 11. Dari hal e dan a

Dibandingkan dengan buku Yoenoes St. Madjolelo di atas, maka buku ini merupakan buku terlengkap dan terbaru dan masih tetap dipakai sebagai pedoman penulisan Tulisan Arab Melayu sampai hari ini. Menurut buku Pedoman ini terdapat 33 huruf Arab Melayu sebagai berikut :

Bahasa dan Sastra Melayu 207 No. Lafal Huruf No. Lafal Huruf ﻉ (a (‘ain‘ 18 ﺍ (A (alif .01 ﻍ (Gh (ghoin 19 ﺏ (B (ba .02 ﻑ (F (fa 20 ﺕ (T (ta .03 ک (K (kaf 21 ﺙ Tsa .04 ﻕ (Q (qof 22 ﺝ (J (jim .05 ﻝ (L (lam 23 ﺡ (H (ha .06 ﻡ (M (mm 24 ﺥ (Kh (kha .07 ﻥ (N (nun 25 د (D (dal .08 ﻭ (W (waw 26 ﺫ (Z (zal .09 ء (hamzah) 27 ﺭ (R (ra 10 ﻩ (H (ha 28 ﺯ (Z (zai .11 ﻱ (Y (ya 29 ﺱ (S (sim .12 ﭺ (C (ca 30 ﺵ (Sy (sya 13 ڽ (Ny (nya 31 ﺹ (S (shod 14 ـG (ga) ݢ 32 ﺽ (D (dod 15 ڠ (Ng (nga 33 ﻁ (Th (tho 16 ﻅ (Dh (dho 17

Di antara 33 buah huruf di atas, huruf dari angka 1 s/d 29 asli huruf Arab, sedang dari nomor 30 s/d 33 adalah huruf tambahan yang dibentuk dari huruf-huruf lainnya. Huruf c dibentuk dari huruf ha yang diberi titik tiga di bawahnya, huruf ny dibentuk dari huruf (ﺡ) yang diberi titik tiga di atasnya, huruf g dibentuk dari huruf (ﻥ) nun yang diberi titik satu di atasnya, dan huruf ng dibentuk (ک) kaf kecil yang diberi titik tiga di atasnya. Selanjutnya (ﻉ) dari huruf ‘ain

208 Rediscovering the Treasures of Malay Culture dijelaskan bahwa vokal (a, i, u, e dan o) tidak dilambangkan dengan huruf, tapi dengan memberikan “harkat” pada huruf-huruf konsonan, yakni harkat fathah, kasrah, dammah dst. Kelihatannya terdapat sedikit perbedaan antara Pedoman penulisan Tulisan Jawi yang berlaku di Malaysia dan Indonesia (khususnya Minangkabau)

Arab Melayu dalam Praktek dan Pemakaiannya di Minangkabau Pertama-tama harus dijelaskan bahwa wilayah Negara Republik Indonesia sangatlah luas, dan memiliki etnik dan Suku Bangsa yang sangat majemuk, dengan karakteristik, adat istiadat, asal usul, agama yang juga berbeda-beda. Karenanya bagaimana apresiasi setiap Suku bangsa tersebut terhadap Tulisan Jawi juga agak berbeda, antara lain karena agama yang mereka anut atau kedekatannya dengan Budaya Melayu. Misalnya etnik yang menganut agama Islam akan sangat berbeda apresiasinya terhadap Tulisan Jawi ketimbang mereka yang beragama Kristen dan Hindu atau Budha, juga etnik Melayu Minangkabau akan berbeda apresiasinya dengan etnik Batak atau Badui di Banten Selatan, karena dekat atau jauhnya dengan esensi inti kultur atau budaya Melayu. Minangkabau merupakan salah satu etnik di Indonesia, yang mendiami wilayah di Sumatera Bagian Tengah, yakni Propinsi Sumatera Barat sekarang ditambah dengan daerah Kerinci di Propinsi Jambi, dan Kampar Bangkinang di Propinsi Riau, yang terkenal dengan Suku Minangkabau. Di lain pihak Minangkabau juga dikenal sebagai salah satu sub-kultur atau budaya yang ada di Indonesia, yang memiliki ciri-ciri khusus, misalnya sikapnya yang sangat demokratis, egaliter, suka merantau, agak individualistis, terbuka, dan siap menerima pembaharuan atau ide-ide baru serta siap berkolaborasi dengan suku atau budaya lainnya. Profesi yang banyak dilakukan Suku Minang adalah berdagang atau bidang ekonomi (khususnya rumah makan), berpolitik, berdakwah (bidang agama) dan sastra. Itulah sebabnya, hampir seluruh politisi, sastrawan dan pendakwah awal abad 20 adalah Orang Minang. Karena profesinya sebagai pedagang, pengusaha rumah makan,

Bahasa dan Sastra Melayu 209 pendakwah dan sastrawan adalah profesi yang mengharuskannya berkomunikasi secara sangat intensif dengan semua pihak dari berbagai kalangan, menyebabkan mereka harus pandai berbahasa, bertutur kata, dan memiliki seni dalam menyampaikannya. Banyak ditemukan praktek keagamaan, teknik mengajarkan membaca A-Quran, istilah- istilah tertentu dalam bidang agama “berwarna” Minangkabau. Di daerah ini terdapat sekolah-sekolah agama atau Madrasah seperti Diniyah Puteri, Sumatera Thawalib, Madrasah Tarbiyah Islamiyah, Islamic College dan Normal Islam dll, yang dikunjungi oleh pelajar dari berbagai daerah di Nusantara. Lebih jauh, secara etnologi Suku Minangkabau adalah bagian (kalau tidak akan dikatakan induk) rumpun Melayu, karena persamaan asal usul yakni Melayu Baru yang datang ke wilayah Nusantara lebih akhir. Sejarah juga mengatakan bahwa penduduk dan raja Negeri Sembilan di Malaysia berasal dari Minangkabau, penyebar agama Islam di Makassar (Trio datuk), dan kawasan Indonesia bagian timur dan bahkan Brunei Darussalam adalah datang dari Minangkabau. Karenanya mungkin cukup beralasan kalau menjadikan wilayah dan Suku Minangkabau sebagai salah satu representasi penggunaan Tulisan Jawi di Indonesia. Walaupun harus diakui bahwa tentu saja tidak seluruh apa yang ditemukan di Minangkabau juga secara persis akan ditemukan di wilayah lain di Indonesia. Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda secara resmi digunakan “Bahasa Melayu” untuk kalangan Melayu dan “Bahasa Belanda” untuk kalangan pendidikan Barat dan tinggi. Tetapi kedua bahasa tersebut menggunakan aksara Latin atau Rumi dalam persuratan resmi Pemerintah dan dalam pendidikan atau media pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan pemerintah. Tetapi di kalangan rakyat atau masyarakat luas, dan lembaga-lembaga pendidikan rakyat seperti madrasah, pondok pesantren dan lembaga-lembaga keagamaan digunakan Bahasa Indonesia dengan Tulisan Jawi. Sehingga untuk waktu yang cukup lama, terjadi dualisme Bahasa (Bahasa Belanda dan Bahasa Indonesa) dan dualisme aksara (Aksara Latin atau Rumi dan aksara Arab Melayu atau Tulisan Jawi), aksara Latin atau Rumi oleh dan di kalangan Pemerintah, dan aksara atau Tulisan Jawi di kalangan rakyat. Hal yang sama juga berlaku pada masa penjajahan Jepang,

210 Rediscovering the Treasures of Malay Culture dengan penambahan pelajaran Tulisan Kanji. Dengan memperhatikan Katalog Pameran Naskah Kuno Minangkabau, oleh Museum Adityawarman Padang, tanggal 19 s/d 30 Juli 2005, di mana dipamerkan lebih kurang sekitar 200 buah naskah Kuno, ternyata sebahagian besar di antaranya adalah beraksara tulisan Arab Melayu. Di antaranya: Buku Khotbah (t,t,), Risalatul Muhafizah wal Muhadil (1378 H), Sifat Dua Puluh, Kitab Tariqat, Undang-undang Minangkabau, Kaba Rancak Di Labuah, Cerita Para Nabi, Cerita Nabi Masa Kecil, Undang-undang Minangkabau, Ilmu Tauhid, Kitab Bai’at Naksyabandiah, Nahwu Syaraf, Fiqih Munakahat, Fiqih Thaharah, Fiqih Shalat, Kitab Tuntunan Ibadah, Fiqih Sunnah, Kitab Fiqh, Tasawuf Nur Muhammad, Pengkajian Tubuh, Himpunan Risalah untuk orang-orang menuju Jalan Allah, Kumpulan Khutbah Jum’at, Kitab Ushuluddin, Tambo, Naskah Perobatan dan Ramalan, dan beberapa Surat Poegang Gadai Kitab atau buku, atau surat-surat di atas, sebagian masih terpelihara baik kertas dan tulisan-tulisannya, tersimpan di Museum Adityawarman Jalan Diponegoro Telp (0751) 31523 Padang. Semua majalah yang terbit di awal abad ke 20 seperti majalah Al-Moenir (1913) dan majalah Al-Moenir El-Manar (1919), menggunakan aksara/Tulisan Arab Melayu. Setelah zaman Kemerdekaan (setidak-tidaknya pada awal zaman kemerdekaan), ternyata Pemerintah Republik Indonesia melanjutkan kebijakan tersebut, di mana Pemerintah RI memberlakukan Bahasa Indonesia (yang berasal dari Bahasa Melayu), yang dituliskan dengan aksara atau Tulisan Latin atau Rumi. Tetapi di lain pihak rakyat tetap mempertahankan penggunaan Bahasa Indonesa dengan Tulisan Jawi. Pada masa ini juga masih terbit buku-buku pelajaran yang menggunakan aksara atau Tulisan Jawi, seperti As-Sulaam dll. Penerbit yang banyak yang menerbitkan buku dengan Tulisan Jawi, antara lain penerbit Tsamaratul Ikhwan, NV. Kedjora, Usaha Ikhlas dan NV. Nusantara di Bukittinggi, Pustaka Sa’diyah di Padang Panjang dan Angkasa Raya di Padang. Menyadari bahwa Tulisan Jawi tetap bertahan dan digunakan secara faktual di kalangan rakyat, dan karena setiap daerah, etnik dan Sub-kultur lainnya (seperti Batak, Jawa dan Sunda) memberlakukan pelajaran Bahasa Daerah dengan aksara lokal di wilayah masing-

Bahasa dan Sastra Melayu 211 masing, maka kemudian Pemerintah Daerah Sumatera Tengah mengambil kebijaksanaan untuk juga mengajarkan Tulisan Jawi di wilayah Sumatera Tengah (Minangkabau), mulai sejak tahun 1950, dengan mewajibkan seluruh Sekolah Rakyat belajar atau mengajarkan Tulisan Jawi. Buku pertama yang merumuskan pedoman Tulisan Jawi adalah buku Hukum Edjaan Tulisan Arab, oleh Joenoes St. Madjolelo, tahun 1952. Buku ini berisi pedoman yang cukup lengkap untuk zamannya tentang Tulisan Arab Melayu. Kemudian menyusul buku Latihan Tulisan Arab, juga karangan Joenoes St. Madjolelo, terdiri dari dua jilid, yang diterbitkan NV. Penerbit dan Pustaka Menara, Bukittinggi- Djakarta, tahun 1953. Buku jilid Pertama berisi latihan-latihan yang bisa diberikan pada murid-murid Sekolah Rakyat, yang telah memahami huruf-huruf Arab dasar. Pada bagian awal buku ini, berisi penjelasan tentang bangun huruf, daftar huruf, huruf tambahan, huruf- huruf berdiri sendiri dan cara menyambung huruf (ke kiri, ke kanan, ke kiri dan kanan), huruf hidup, huruf mati, suku kata, suku mati dan suku hidup. Walaupun buku ini berjudul Latihan Tulisan Arab, namun banyak juga berisi petunjuk atau pedoman penulisannya. Jilid Kedua berisi tentang kata-kata yang melanggar aturan (pengecualian), kata- kata Arab, kata-kata yang sukar untuk dialihaksarakan. Bagi mereka yang akan memahami, membaca dan menuliskan Tulisan Jawi (Arab Melayu) seyogianya memulai dengan membaca kedua buku ini. Buku bacaan tentang Arab Melayu yang pertama terbit yang diajarkan pada murid-murid Sekolah Rakyat, berjudul Susila, karangan Habib St. Maharadja (Guru SGB Bukittinggi), terbitan NV. Pertjetakan & Penerbitan Kedjora Bukittinggi-Djakarta, tahun 1956, terdiri atas 3 jilid. Buku ini disahkan oleh Inspeksi Sekolah rakyat Daerah I Sumatera Tengah tanggal 3 Januari 1956. Buku Bacaan selanjutnya adalah Purnama, karangan Sa’danur, terdiri atas tiga jilid, terbitan NV. Kedjora Bukittnggi, tahun 1960. Buku ini disahkan oleh SIPK nomor 26/JL. Tgl 11-2-60. Kalau ditilik isinya, ternyata buku Purnama lebih berjenjang dan bertahap dalam mengajarkan Tulsan Arab Melayu, misalnya ketika mengajarkan kata dimulai dengan huruf-huruf, lalu digabungkan atau dirangkaikan satu sama lain sehingga menjadi satu kata. Artinya mereka tidak sekedar membaca kata, tetapi mengerti asal

212 Rediscovering the Treasures of Malay Culture usul kata yang terdiri atas rangkaian huruf-huruf tertentu. Selanjutnya beredar buku bacaan Tulisan Arab Melayu Bahtera ; Kitab Bacaan Permulaan Huruf Arab Melayu, karangan Yunus St. Majolelo, terbitan Usaha Ikhlas Bukittinggi tahun 1980, juga terdiri dari tiga jilid. Yang unik dari buku ini, di samping bahwa pengarangnya adalah seorang pengarang senior yang telah mengarang beberapa buku Pedoman Tulisan Arab Melayu sebelumnya, adalah seluruh Tulisan atau kaligrafi yang terdapat dalam buku ini, mulai dari halaman kulit, Kata Pengantar sampai halaman belakang, seluruhnya ditulis dengan Tulisan tangan. Kalau jilid I dan II berisi pelajaran membaca Arab Melayu, maka jilid III berisi cerita rakyat dan riwayat perjalanan seorang anak muda. Selanjutnya buku Pelita, karangan M. Dahlan R.S, terbitan Pustaka Indonesia Bukittinggi tahun 1983, terdiri dari 4 jilid. Jilid I dan II merupakan Kitab bacaan Permulaan Huruf Arab Melayu, dan jilid III dan IV merupakan Kitab bacaan Lanjutan Huruf Arab Melayu. Sesuai dengan klasifikasi tersebut, maka sistem jilid I dan II adalah pelajaran yang dimulai dengan huruf, menyambung huruf dan dirangkai menjadi kalimat, serta kalimat-kalimat panjang. Jilid III dan IV berisi bacaan panjang dan aktual dalam aksara Arab. Mulai masa ini, Tulisan Arab Melayu, mengalami pasang surut penggunaannya, yakni diserahkan pada masing-masing sekolah apakah masih akan mengajarkannya atau tidak lagi mengajarkannya. Sehingga kalau ada sekolah yang mengajarkannya biasanya karena faktor subjektifitas Kepala Sekolah atau desakan orang tua murid atau lingkungannya, dan seandainya tidak ada panggilan itu, biasanya sekolah tersebut tidak lagi akan mengajarkannya. Namun setelah pelaksanaan MTQ Tingkat Nasional yang sukses di Padang tahun 1984, ada semangat untuk memberikan kedalaman makna bagi masyarakat dari MTQ tersebut, salah satunya adalah upaya untuk kembali mempelajari Tulisan Arab Melayu. Gubernur Sumatera Barat dan Majelis Ulama Sumatera Barat menyusun program konkret untuk kembali mempopulerkan Tulisan Arab Melayu, dan ternyata program tersebut mendapat respon dan legitimasi pihak Pemerintah (c/q Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) dengan memberikan pada setiap daerah peluang untuk mengajarkan bahan ajar yang khas/

Bahasa dan Sastra Melayu 213 spesifik daerah bersangkutan, yang dalam istilahnya disebut dengan mata pelajaran “Muatan Lokal” (sebagai mitra pembanding dari mata pelajaran “Muatan Nasional”), sebagaimana Surat Keputusan Mendikbud RI nomor 060/U/1993 tanggal 25 Februari 1993, tentang Kurikulum Pendidikan Dasar, GBPP Sekolah Dasar. Dalam iklim yang agak lebih baik itulah pada tahun 1996, terbit buku Baca Tulis Arab Melayu, karangan Drs. Masri Nahar dan Drs. H. Ramayulis, terbitan Usaha Ikhlas Bukittinggi, tahun 1996. Buku ini disusun berdasarkan Garis Besar Pedoman Pengajaran (GBPP) Muatan Lokal Sekolah Dasar di Sumatera Barat, berdasarkan Surat Keputusan Kakanwil Depdikbud Propinsi Sumatera Barat nomor 011.08.c.1994, tanggal 1 Februari 1994, yang didasarkan pada Surat Keputusan Mendikbud Republik Indonesia nomor 060/U/1993 tanggal 25 Februari 1993 tersebut di atas, Menurut rencana, buku ini akan disusun sebanyak 4 jilid, tetapi yang dapat direalisir hanyalah 3 jilid saja. Menurut penulis, buku ini merupakan buku yang paling sempurna sebagai buku ajar Arab Melayu di Sekolah Dasar, karena isinya memuat juga petunjuk atau pedoman ringkas dan sederhana sebelum masuk pada teknik membaca dan menulis Tulisan Arab Melayu. Buku bacaan terbaru, terbit tahun 1997, berjudul Baca Tulis Arab Melayu, karangan Drs. Syafnil, Drs. Ali Dasni dan Hasan Basri, terbitan Usaha Ikhlas Bukittinggi, terdiri dari 4 jilid. Catatan penting yang harus dicatat di sini adalah, bahwa pembelajaran baca tulis Arab Melayu hanyalah sebatas pendidikan dasar saja (SD), belum dikembangkan pada tingkat pendidikan menengah (SLTP dan SLTA) dan tinggi (Perguruan Tinggi), sehingga frekuensi dan kadar jumlah materi yang diajarkan sangat terbatas. Catatan kedua, bahwa status mata pelajaran ini hanyalah sekedar “muatan lokal”, bukan mata pelajaran “wajib”, sehingga boleh dipilih, dipelajari dan boleh pula ditinggalkan. Kesimpulannya, mata pelajaran ini dihadapi semua pihak secara “setengah hati”. Pihak sekolah mengajarkannya “setengah hati”, pihak murid menerima juga “setengah hati”, dan pengguna (user) juga menerimanya “setengah hati”.

214 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Faktor Pendukung dan penghambat pengembangan Tulisan Jawi serta Prospek ke Depan : Kenapa keberadaan dan perkembangan Tulisan Jawi mengalami stagnasi (kemandegan)? sehingga eksistensinya bak kata pepatah bagaikan kerakap tumbuh di batu, mati segan hidup tak mau? dan akhirnya bagaimana kira-kira prospek Tulisan Jawi ke depan? Ada beberapa faktor yang mendorong atau memperkuat keberadaannya, dan ada juga beberapa faktor yang menghambat atau memperlemah keberadaannya. 1. Faktor pendorong atau memperkuat Tulisan Jawi : a. Karena panggilan keagamaan atau rasa kecintaan pada ajaran dan simbol-simbol keagamaan. Dengan mencintai, mempertahankan dan mengembangkan Tulisan Jawi, umat Islam merasa telah mencintai, mempertahankan dan mengembangkan (sebahagian) agama Islam, karena Tulisan Jawi berasal dari Tulisan Al-Qur’an. b. Ketika kita masuk zaman globalisasi yang melenyapkan batas- batas kultural dan teritorial saat ini, masyarakat Melayu membutuhkan identitas diri, yang membedakannya dengan etnik dan ras lain. Tulisan Jawi merupakan salah satu identitas diri Melayu tersebut, karena Tulisan Jawi adalah salah satu yang khas dan spesifik Melayu. Gagasan Malaysia dengan Dunia Islam Dunia Melayu (DMDI) merupakan juga cara menunjukkan eksistensi diri di tengah pergaulan dunia. c. Dari aspek historis dan arkeologis, banyak naskah-naskah lama, baik perjanjian-perjanjan, kontrak atau bahkan perjanjian perdata (jual beli, pegang gadai), manuskrip lama yang mempunyai nilai sejarah dan arkeologis tinggi yang ditulis dalam Tulisan Jawi. Secara internasional, para kolektor dan pemburu benda-benda purbakala, baik dalam bentuk manuskrip sedang “mengintai” koleksi dunia Melayu, untuk dibawa ke Museum atau kolektor di Barat. Seandainya kita saat ini tidak mempelajari dan melestarikan Tulisan Jawi, tentu khazanah budaya lama itu lenyap tanpa bekas.

Bahasa dan Sastra Melayu 215 2. Faktor Penghambat atau memperlemah : a. Khusus untuk Indonesia, tidak atau belum ada policy, kebijakan atau kemauan politik (political will) Pemerintah untuk mengembalikan posisi Tulisan Jawi sebagai Tulisan resmi Pemerintah. Hal ini ada juga pengaruh politik bahasa yang ditinggalkan penjajah Belanda, untuk tidak mengakomodasi sesuatu yang berbau Islam. Pemerintah dan tokoh-tokoh saat ini menghadapi mata pelajaran Tulisan Arab Melayu secara “setengah hati”. b. Tidak ada kaderisasi (regenerasi) pakar, guru, pemerhati Tulisan Jawi yang baru, setelah guru-guru lama sudah semakin tua dan meninggal dunia. Sehingga sulit mencari narasumber atau pembentang yang ahli tentang Tulisan Jawi saat ini. c. Karena Tulisan Jawi saat ini hanyalah “cerita dan perangkat” lama, dan tidak mempunyai lahan (market) dan pengguna- pengguna (user) baru, maka Tulisan Jawi kehilangan peminat dan menjadi tidak layak jual. Generasi muda tidak atau kurang “berselera” mempelajari dan mendalami Tulisan Jawi, baik untuk kepentingan keilmuan, ketrampilan atau propesi. d. Sudah terlalu jauh jarak antara masa kejayaan Tulisan Jawi (sekitar abad ke 13-17) dengan masa kita sekarang ini, sehingga agak sukar menembus jarak waktu yang cukup jauh tersebut.

3. Apa yang harus dilakukan? : Secara personal harus tetap membesar-besarkan “api cinta” terhadap Tulisan Jawi, untuk kemudian menularkannya pada lingkungan masing-masing. Secara komunal, misalnya masyarakat Minangkabau, harus mempunyai tekad yang kuat untuk mempertahankan identitas Melayu melalui pelestarian Tulisan Jawi, selanjutnya menggugah ahli-ahli bahasa, kebudayaan untuk ikut bersama menggalang kebersamaan untuk melestarikan Tulisan Jawi. Secara nasional dan regional, menyamakan visi, misi dan persepsi bersama tentang perlunya kita memelihara Tulisan Jawi. Tokoh-tokoh politik (khususnya wakil partai politik Islam) perlu diminta untuk bisa menyambung lidah rakyat untuk memperjuangkan hal ini. Di kalangan Negara-negara

216 Rediscovering the Treasures of Malay Culture rumpun Melayu, perlu kesamaan bahasa, kesamaan program aksi sehingga kekurangan perhatian satu Negara akan diingatkan atau ditutupi oleh Negara serumpun lainnya. Adalah tugas kita bersama menjadikan Tulisan Jawi ini suatu hal yang menarik, aktual (memikat), layak jual (marketable), dan berorientasi ke depan (prospektif /future oriented).

Kesimpulan dan Penutup 1. Sebelum penjajahan Belanda, ketika Kerajaan-kerajaan Islam Nusantara sedang berjaya, Tulisan Jawi merupakan Tulisan Resmi Kerajaan dan menjadi Lingua Franca tulis kebanyakan masyarakat Melayu, termasuk di Minangkabau. Hampir semua traktat (Surat Perjanjan), surat jual-beli, Hikayat, Tambo, kisah, bahkan Stempel Kerajaan Pagaruyung dll ditulis dalam Tulisan Jawi. Pada masa kolonial Belanda, secara resmi pemerintah menggunakan aksara Latin atau Rumi, namun rakyat, untuk kepentingan dan untuk lingkungannya sendiri selalu menggunakan Tulisan Jawi. Sehingga secara praktis terdapat dualisme aksara yang berlaku untuk menuliskan komunikasi tulis Bahasa Indonesia. Di lubuk hati yang dalam, masyarakat Melayu tetap mencintai dan mengingat Tulisan Jawi, sekalipun makin lama, peminatnya semakin berkurang. 2. Semenjak diperkenalkannya kurikulum “muatan lokal” (peluang mengajarkan bahan ajar yang spesifik atau khas daerah tertentu) maka di Daerah Propinsi Sumatera Barat, yang dikenal juga dengan Minangkabau Land, maka hasrat untuk mempelajari kembali Tulisan Jawi mendapatkan momentum dan fasilitas, sehingga muncul mata pelajaran Baca Tulis Tulisan Arab, mata pelajaran yang masih tetap diajarkan sampai hari ini. 3. Dibutuhkan sebuah upaya yang serius, terencana, terus-menerus untuk menggali dan mengembangkan kelebihan-kelebihan Tulisan Jawi di kalangan pemerhati khususnya dan rakyat umumnya, dan kebijakan para pengambil keputusan pada tingkat daerah, nasional bahkan regional untuk kembali memberlakukan Tulisan Jawi pada Lembaga-lembaga Pemerintah dan diajarkan di Lembaga

Bahasa dan Sastra Melayu 217 Pendidikan seluruh tingkatan, sehingga Tulisan Jawi akan menjadi survive dan sempurna.

Daftar Bacaan Dahlan, M. RS, Pelita, Jilid I dan II (Kitab Bacaan Permulaan Huruf Arab Melayu), jilid III dan IV (Kitab Bacaan Lanjutan Huruf Arab Melayu), Pustaka Indonesia, Bukittinggi, cetakan pertama 1983, Habib St. Maharadja, Susila, Kitab Bacaan Huruf Arab untuk Sekolah Rakyat, Jilid I, II dan III, NV Pertjetakan & Penerbitan Kedjora, Bukittinggi-Djakarta, cetakan kelima, 1956/1375 M. Halim, Amran, (editor), Politk Bahasa Nasiona, jilid II, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1976. Harmoko, H. (Tim Penyusun), Indonesia Indah “Aksara” (serial nomor 9), Seri Penerbitan Buku Indonesia Indah, Mengenai Latar Belakang Kehidupan Bangsa Indonesia, Adat istiadat dan Seni Budayanya, Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, Jakarta, 1997. Hasyim Haji Musa, Sejarah Perkembangan Tulisan Jawi, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1999. Joenoes St. Madjolelo, Latihan Tulisan Arab, jilid I , penerbit Pustaka Menara, Bukittinggi-Djakarta, 1953. Jilid II, NV Pertjetakan dan Penerbitan Kedjora, Bukittinggi-Djakarta, 1956. Masri Nahar, Drs, Pedoman Tulisan Arab Melayu, Penerbit Angkasa Raya, Padang, 1982. ------dan Drs. H. Ramayulis, Baca Tulis Arab Melayu, Jilid I, II dan III, Penerbit Usaha Ikhlas, Bukittinggi, 1995. Na’ali Sutan Caniago (Putera Tuanku Imam Bonjol), Riwayat Hidup Tuanklu Imam Bonjol, manuskrip tulisan tangan, belum diterbitkan, 1914. Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Barat, Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya, UPTD Meseum Nagari, Katalog Pameran Naskah Kuno Minangkabau, Padang, 19-30 Juli 2005, UPTD Museum Adityawarman Padang, 2005.

218 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Sa’danur, Purnama, Kitab Bacaan Permulaan Huruf Arab, Jilid I, II dan III, NV Kedjora, Bukittinggi-Djakarta, 1956. Syafnil, Drs, bersama Drs. Ali Dasni dan Hasan Basri, Baca Tulis Arab Melayu, jilid I, II, III dan IV, Penerbit Usaha Ikhlas, Bukittinggi, 1997. Usman, Zuber SS, SP, Bahasa Melayu Sebelum dan Sesudah menjadi Lingua Franca (Ceramah pada tanggal 7 Desember 1974 di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta, Idayu Press, Jakarta, 1977. Yunus St. Majolelo, Bahtera, Jilid I dan II (Kitab Bacaan Permulaan Huruf Arab Melayu), Jilid III (Kitab Bacaan Huruf Arab Melayu), Usaha Ikhlas, Bukittinggi, 1987.

Bahasa dan Sastra Melayu 219 220 Rediscovering the Treasures of Malay Culture MEMAKNAI NILAI BUDAYA MELAYU LEWAT ESTETIKA MEMBUMI

Sahrul N, S.S., M. Si. Institut Seni Indonesia Padangpanjang

Abstrak

Kebudayaan merupakan cara berpikir, cara hidup, artefak, teks dan benda- benda yang senantiasa berubah sesuai dengan fungsinya di tengah masyarakat. Apabila kebudayaan itu tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman maka kebudayaan itu akan punah. Agar tidak punah maka perlu ada cara untuk memfungsikan kembali kebudayaan tersebut sesuai dengan cara berpikir masyarakat sekarang ini. Kebudayaan Melayu merupakan kebudayaan yang sedang berkembang dan berusaha untuk mencari identitas baru di tengah masyarakatnya. Benda-benda budaya (salah satunya seni) yang hidup pada masa lampau memberi nilai komunikasi pada zamannya yang belum tentu bisa komunikatif dengan kondisi sekarang. Perubahan cara berpikir dan cara menilai keindahan seni berakibat pada perubahan makna terhadap seni. Estetika sebagai filsafat keindahan (seni) juga harus mengikuti perkembangan seni sehingga ada kesesuaian antara alat penilai dengan yang dinilai. Teori-teori keindahan yang telah lama muncul (terutama Barat) saat ini tidak memberikan jalan keluar dari persoalan-persoalan yang menimpa seni budaya Melayu. Keindahan seni Melayu Minangkabau adalah keindahan dalam sudut pandang masyarakatnya bukan keindahan menurut pemikir Barat. Untuk itu estetika yang digunakan haruslah estetika membumi yaitu estetika yang ditemukan di tengah masyarakat yang mendukung kesenian tersebut. Estetika membumi adalah estetika yang dipandang dari cara menilai seni oleh masyarakat tempat kesenian itu tumbuh dan berkembang. Hal utama yang perlu dilakukan adalah memformulakan keindahan seni menurut masyarakat, bukan pemikiran yang diformulasikan oleh ilmuan seni sebelumnya yang belum tentu cocok dengan kondisi seni Melayu sekarang.

Katakunci: estetika membumi, Melayu, seni

Bahasa dan Sastra Melayu 221 Pendahuluan Melayu merupakan daerah kebudayaan yang sangat luas meliputi hampir sebagian dari wilayah Indonesia ditambah dengan negara tetangga seperti Brunei Darusalam, Malaysia dan Singapura. Luasnya daerah Melayu menjadikannya sebagai induk dari kebudayaan Melayu kecil yang bertebaran di wilayah ini. Hal ini bisa dilihat dari penyebutan Melayu Minangkabau, Melayu Riau, Melayu Jambi dan sebagainya. Bagian-bagian dari kebudayaan Melayu ini memiliki spesifikasi atau kekhasan sendiri-sendiri. Melayu Riau misalnya memiliki cerita yang khas seperti Hang Tuah yang di negara Malaysia juga dikenal tetapi versinya berbeda. Melayu Minangkabau juga punya Tambo yang banyak mengandung cerita. Begitu juga dengan Bengkulu yang memiliki cerita Puti Gading Cempaka. Secara sastra memang banyak cerita-cerita yang hampir sama yang dimiliki oleh masing-masing kebudayaan, akan tetapi memiliki versi yang berbeda sesuai dengan kepentingan dari komunitas budaya tersebut. Hal ini merupakan benang merah dari kebudayaan yang lebih besar yaitu Melayu itu sendiri. Dari segi bentuk kesenian terutama drama atau teater, masing- masing bagian dari kebudayaan Melayu ini juga memiliki kekhasan. Kalimantan terkenal dengan mamanda, Riau dengan makyong, Jambi dengan abdul muluk, Aceh dengan PMTOH, Minangkabau (Sumatra Barat) dengan dan Tupai Janjang. Jadi keberagaman ini merupakan kekayaan yang tak terhingga dari kebudayaan Melayu yang lebih besar. Kadangkala bentuk kesenian ini memiliki jiwa yang hampir bersamaan. Hal ini disebabkan adanya keterpengaruhan dari masing-masing bentuk tersebut. Ini merupakan wacana multikultural yang sudah lama berlangsung. Usaha mencari dan menemukan nilai-nilai falsafah yang terkandung dalam seni budaya Melayu yang merupakan salah satu dari bentuk seni budaya Nusantara adalah penting, karena dalam pembangunan kita perlu mempergunakan bahan-bahan dasar budaya asli Indonesia. Untuk melihat nilai budaya Melayu yang tergambar dalam seni hendaknya jangan sampai kita menggunakan estetika yang tidak cocok dengan nilai-nilai yang dimiliki bangsa kita yang pada

222 Rediscovering the Treasures of Malay Culture akhirnya sulit dicerna dalam kehidupan. Dasar falsafah kebudayaan Melayu yang telah tumbuh dan ada di Nusantara ini harus ditemukan dan dipertinggi mutunya dan disesuaikan dengan kehendak dan tuntutan zaman. Seni Melayu adalah jelmaan dari falsafah hidup manusia Melayu. Seperti halnya kebudayaan India berdasarkan falsafah hidup manusia India, kebudayaan Cina berdasarkan falsafah hidup manusia Cina dan demikian juga dengan hal kebudayaan yang lain yang ada di dunia ini. Artinya sangat penting mencari dan menemukan falsafah apa yang menjadi dasar dari kebudayaan Melayu yang tergambar dalam seni Melayu. Hal ini untuk menumbuhkembangkan seni Melayu ke depan yang bernilai budaya dan filosofis Melayu juga. Konsep estetis yang telah dicetuskan pemikir-pemikir Barat tidak semuanya bisa menjadi landasan pemikiran dalam menggali nilai- nilai budaya dalam seni Melayu. Untuk itu perlu ada konsep estetik yang tumbuh di bumi Melayu yang nantinya akan menjadi landasan pemikiran secara mutlak dalam mengungkap nilai budaya Melayu tersebut. Yang hanya kita butuhkan dari konsep Barat adalah berpikir secara paradigmatis sehingga apa yang diungkapkan akan menjadi konsep keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan. Dalam paradigma ilmiah terdapat tiga unsur yang berkaitan langsung dengan epistemologi yaitu asumsi dasar (basic assumption), nilai (values), dan model (analogy). Asumsi dasar merupakan pandangan atau anggapan yang dianggap benar. Pandangan tersebut didasari atas kenyataan yang terjadi terhadap subjek penelitian atau bisa disebut juga dengan fenomena yang telah lama berlangsung ataupun yang sedang berlangsung. Dalam makalah ini disampaikan asumsi dasar, nilai, dan model yang berkaitan dengan estetika seni Melayu dengan segala perkembangannya. Paradigma yang digunakan adalah paradigma tafsir kebudayaan (seni) dan dibantu oleh paradigma sejarah. Paradigma tafsir kebudayaan digunakan untuk mengungkap nilai filosofis dari seni Melayu. Penafsiran terhadap kebudayaan Melayu memunculkan estetika kato, estetika mato dan estetika pamenan.

Bahasa dan Sastra Melayu 223 Estetika Kato (Kata) dan Estetika Mato (Mata) Salah satu keindahan yang menonjol dalam kebudayaan Melayu adalah sastra lisan. Sastra yang berangkat dari cerita rakyat yang berkembang di Melayu, seperti cerita Hang Tuah di Malaka, Puti Gading Cempaka di Bengkulu, Dara Jingga dan Cindua Mato di Minangkabau dan sebagainya. Cerita ini dimainkan lewat berbagai cara seperti basijobang, rabab, bakaba dan sebagainya. Kekuatan seni pertunjukan yang seperti ini terletak pada permainan kata (kato). Setiap tukang kaba memiliki versinya sendiri-sendiri dalam memahami cerita rakyat. Seperti yang dikatakan Wisran Hadi (1999:3-4) bahwa seni (terutama teater) sangat percaya pada kekuatan dan makna kata. Pengertian kata dapat menaklukkan realita yang ada. Jika seorang pemain mengatakan; “anakku” pada seorang pemain yang lebih tua daripadanya, maka penonton tidak akan membantah bahwa pemain yang lebih tua itu diberi status sebagai anak. Jika seorang pemain mengatakan; “sekarang malam” maka penonton langsung setuju bahwa waktu itu adalah malam walaupun pementasan dilaksanakan siang hari. Karenanya di dalam teater, seorang pemain tidak perlu di-make up wajahnya untuk jadi tua atau muda. Meredupkan cahaya untuk memberitahu bahwa hari telah sore atau malam tidak mereka perlukan. Kata melebihi segalanya. Kata dapat merubah kenyataan yang ada. Lewat keindahan kata bangsa Melayu mengenal Hikayat Hang Tuah sebagai cerita yang melambangkan tingkat kecerdasan bangsa Melayu. Hang Tuah hanyalah simbol yang terus hidup sepanjang zaman. Kalau dilihat secara logika tidak akan mungkin Hang Tuah hidup sepanjang kerajaan Melayu ada atau kerajaan itu mulai berdiri sampai dihancurkan oleh penjajah. Artinya Hang Tuah hanya perlambang bukan sosok satu manusia. Hal ini akan terlihat ketika kata yang dimainkan dalam cerita dipahami lewat kebudayaan yang penuh perlambang seperti kebudayaan Melayu ini. Wisran Hadi (1985:3) menambahkan bahwa Hikayat Hang Tuah akan menjadi penting dan dapat diibaratkan sebagai sebuah mata air yang selalu mengalir dan memberikan kita kearifan-kearifan baru. Semakin diikuti ke mana air itu mengalir, semakin kita sampai ke

224 Rediscovering the Treasures of Malay Culture muara dan selanjutnya akan dapat menatap keluasan lautan; kebesaran, semangat dan kekuatan bangsa Melayu. Akan tetapi hal semacam itu mengharuskan kita untuk lebih arif lagi dalam menyimak, menguak tabir asap dari simbol dan lambang-lambangnya, memberi makna menafsirkannya kembali. Itulah sebabnya kenapa sebuah hikayat begitu padu dan menyatu dengan masyarakat dalam sejarahnya. Cerita-cerita seperti Hikayat Hang Tuah ini banyak dimiliki oleh bangsa Melayu dan masing-masing memiliki kesamaan cerita. Hang Tuah memiliki persamaan dengan Cindua Mato di Minangkabau terutama pada posisi Dang Tuanku dalam cerita Cindua Mato sama dengan posisi raja Malaka dalam Hang Tuah. Bahkan pada bagian- bagian tertentu, seperti bahagian Hang Tuah mengambil buah kelapa yang diminta Raden Ayu sama dengan cerita Cindua Mato tentang Kalapo Nyiua Gadiang. Bila Hang Tuah melarikan Tun Teja dari Indrapura, maka Cindua Mato pun melarikan Puti Bungsu. Dang Tuanku di akhir cerita Cindua Mato naik ke langit, maka dalam Hang Tuah, Datuk Bendahara dan Hang Tuah pergi berkelana dan menjadi sufi. Namun kebenaran dari persamaan ini memerlukan penelitian yang khusus pula dari para ahlinya. Begitu juga dengan cerita yang sama namun berbeda versi seperti Anggun Nan Tongga di Minangkabau dengan Anggun Cik Tunggal di Malaysia. Estetika kato (kata) ini melekat dalam kebudayaan orang Melayu sampai sekarang. Seniman-seniman Melayu menjadikan legenda mereka sebagai dasar untuk menciptakan karya seni yang baru. Seni tari, teater, bahkan lukisan sering menggunakan cerita rakyat sebagai dasar penciptaan. Untuk itu pemahaman terhadap permainan kata dalam cerita rakyat menjadi penting dan sebagai dasar dalam mengembangkan seni di Melayu. Keindahan dalam arti estetis murni menyangkut pengalaman estetis seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang dicerapnya. Pencerapan ini bisa secara visual menurut penglihatan, secara audial menurut pendengaran, dan secara intelektual menurut kecerdasan (Gie, 1997:18). Seni yang dikatakan indah tidak hanya bisa dicerna lewat penglihatan (visual), namun juga harus didengar (audial) dan bahkan yang terutama adalah memahami dengan kecerdasan makna yang terkandung di dalamnya.

Bahasa dan Sastra Melayu 225 Seni sebagai sesuatu yang indah segenap kegiatan budi pikiran seseorang (seniman) yang secara mahir menciptakan sesuatu karya sebagai pengungkapan perasaan manusia. Hasil ciptaan kegiatan itu ialah suatu kebulatan organis dalam suatu bentuk tertentu dari unsur- unsur bersifat ekspresif yang termuat dalam suatu medium inderawi (Gie, 1997:18). Teater sebagai bagian seni memiliki juga unsur-unsur yang sama. Menurut Aristoteles dalam Sutrisno (1993:93-94), tragedi adalah mimesis dengan ukuran tertentu yang disajikan dalam bentuk pentas yang bisa menimbulkan rasa haru, iba, ngeri. Pementasan tragedi harus memberi pemurnian dalam emosi-emosi. Kata Aristoteles pula, plot sebuah tragedi harus ke arah yang bisa membersihkan jiwa penonton. Yang dimaksud tragis di sini adalah terjadinya perubahan tiba-tiba dari keadaan baik ke keadaan buruk, karena kekhilafan atau ketidaktahuan manusia. Estetika mato (mata) berkaitan dengan keindahan yang terlihat atau visualisasi seni. Masyarakat Melayu percaya bahwa alam memberi segala kebutuhan mereka, termasuk persoalan-persoalan yang berhubungan dengan dunia perlambang baik itu negatif maupun positif. Seperti contoh kalau ada kupu-kupu masuk ke dalam rumah maka itu pertanda bahwa akan datang musibah, biasanya berhubungan dengan kematian. Hubungan tanda alam dengan kehidupan masyarakat sangat erat sehingga masyarakat percaya bahwa alam memberi inspirasi untuk mereka. Alam sebagai tanda dan peristiwa sebagai penanda. Melayu Minangkabau mengenal falsafah alam takambang jadi guru terlihat juga pada gerak silat yang dimainkan. Silat mengambil dasar dari gerak alam yaitu gerak binatang di antaranya gerak harimau dan gerak kucing. Gerak-gerak ini dilakukan dalam seni tari, randai dan sebagainya. Begitu juga perlambang-perlambang yang lain seperti garak jo garik, alua jo patuik, takilek jo takalam, ereang jo gendeang, saiyo jo sakato, dan sebagainya. Garak jo garik merupakan perlambang yang berhubungan antara niat dan tindakan. Garak adalah niat dan garik adalah tindakan dari niat. Hubungan antara gerak dan gerik ini adalah hubungan penggambaran dari niat menuju tindakan. Sebagai gambaran maka ia

226 Rediscovering the Treasures of Malay Culture tidak harus persis sama, sebab niat bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang ideal (dalam pikiran) sementara tindakan merupakan sesuatu yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan sosialnya. Alua jo patuik merupakan perlambang yang berhubungan dengan ideologi budaya Minangkabau. Budaya Minangkabau mengenal keseimbangan antara “mungkin” dan “patut”. Sesuatu yang indah dilihat belum tentu indah dalam pandangan budaya Minangkabau kalau yang indah tersebut tidak patut untuk dilihat. Keseimbangan etika dan estetika kultural merupakan hal yang penting dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Raso jo pareso merupakan perlambang keseimbangan antara logika pikiran dan logika perasaan. Sesuatu yang dirasakan adalah sebuah kebenaran apabila telah lulus uji pikiran, begitupun sebaliknya bahwa sesuatu itu benar berdasarkan logika pemikiran apabila ia sudah melewati timbangan perasaan. Jadi ada pepatah raso dibao naiak pareso dibao turun (rasa dibawa naik, periksa dibawa turun) yang artinya ketika mengemukakan perasaan harus lebih dahulu diperiksa oleh pikiran yang logis dan masuk akal. Rasa dan periksa berkaitan dengan kreativitas pelaku seni dalam melahirkan karya. Kreativitas dalam pengertiannya mencakup antara lain sifat-sifat keaslian (originality), kelancaran (fluency), kelenturan atau fleksibilitas (flexibility), dan elaborasi (elaboration), yaitu kemampuan untuk melengkapi detail atau bagian-bagian pada suatu konsep atau pengertian (Soedarso, 2001:3). Seniman harus kreatif agar memiliki kelenturan atau fleksibilitas dalam menanggapi banyak perubahan yang terjadi pada realitas kehidupan. Kreativitas bukan monopoli seniman saja, namun juga keharusan bagi setiap orang untuk memilikinya. Setidaknya semua orang yang berada di luar seniman mampu mengimbangi kreativitas seniman dalam berkarya. Karya seniman yang kreatif diperuntukkan semua orang bukan hanya kalangan-kalangan tertentu saja. Terutama penikmat sebuah hasil kreativitas. Penonton memiliki fungsi sebagai penikmat yang menerima tawaran-tawaran baru yang dihadirkan dari hasil kreativitas seniman. Akan tetapi, banyak masyarakat yang belum mampu mengikuti

Bahasa dan Sastra Melayu 227 perkembangan kreativitas seniman, sehingga terjadi benturan pemaknaan. Seperti menyikapi hadirnya sejarah dari sudut pandang yang lain dalam sebuah pementasan. Ini diakibatkan pola pendidikan yang tidak memberi peluang terhadap perkembangan kreativitas. Sekolah-sekolah mengajarkan sejarah dari satu sudut pandang dan tidak boleh menoleh pada sudut pandang yang lain. Kalau memandang dari sudut yang lain, guru-guru menganggapnya sebagai sebuah pengkhianatan. Kreativitas dalam seni juga memiliki fungsi sebagai merumuskan kembali (redefinition) dan sensitivitas (sensitivity), karena kedua istilah ini merupakan dua kualitas yang sangat berharga dalam pendidikan seni. Pada hakekatnya kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru dalam bentuk gagasan atau karya, atau bahkan tanggapan, secara lancar, luwes dan lengkap serta rinci (Soedarso, 2001:5). Imajinasi berbeda dengan fantasi. Imajinasi menciptakan hal-hal yang mungkin ada atau mungkin terjadi, sedangkan fantasi membuat hal-hal yang tidak ada, yang tidak pernah ada (Stanislavski, 1978:66). Imajinasi berangkat dari realitas yang ada dan dicerminkan lewat pementasan, sementara fantasi mengangankan sesuatu yang tidak pernah ada, walaupun nanti itu akan ada. Imajinasi berangkat dari realitas dan fantasi mendahului realitas. Sebagai hasil imajinasi, seni tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang berdusta dan juga tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang benar, bila dikaitkan dengan persoalan realitas konkret. Kebenaran realitas adalah kebenaran yang betul-betul terjadi, sementara kebenaran seni adalah kebenaran imajinasi. Kebenaran imajinasi hanyalah cerminan dari kebenaran realitas dan bukan kebenaran realitas itu sendiri. Seperti contoh mengungkapkan imajinasi yang berangkat dari sejarah memang sulit jika seniman yang ingin mengembangkan imajinasi terikat oleh kebenaran sejarah. Pahlawan dalam sejarah bukanlah manusia aneh atau malaikat yang tidak mengenal rasa takut, benci, bercinta, tidur, mandi, cemburu dan sebagainya seperti manusia yang dikenal saat ini. Tetapi mereka adalah manusia seperti manusia lainnya. Perbedaanya hanya terletak pada persoalan waktu, suasana

228 Rediscovering the Treasures of Malay Culture lingkungan, pakaian, adat dan budaya sosial, nilai-nilai moral, psikologi, dan tingkah laku. Untuk itu tidak ada salahnya menghadirkan kembali sosok sejarah serta tingkah laku kemanusiaanya dalam pentas teater. Cara seniman melakukan eksplorasi sejarah jelas berbeda dengan cara yang dilakukan dunia akademis. Fakta-fakta yang ada tentang perang dan perjanjian-perjanjian bukan perhatian utama para seniman. Tujuan eksplorasi sejarah adalah untuk membuka pintu-pintu imajinasi, membuat masa silam kembali hidup dan mencari identitasnya sendiri untuk disejajarkan dengan peristiwa yang sedang berlangsung saat ini. Takilek jo takalam merupakan perlambang yang berhubungan dengan mendapatkan jawaban dan tanggapan dari suatu pertanyaan dan pernyataan. Manusia harus mampu menjawab pertanyaan dan pernyataan sesulit apapun dengan memberikan jawaban dan tanggapan yang sesuai. Hal ini merupakan belitan tanda tanya dalam batin yang dapat membangkitkan hasrat dan kemauan untuk menemukan jawaban dari sebuah pertanyaan inti yang tergantung dalam sebuah karya seni. Tanda budaya ini dipakai bilamana berhadapan dengan sesuatu yang tidak segera dapat dipahami, dan di situlah diperlukan usaha interpretasi. Nilai ini berkaitan dengan komunikasi seni antara karya dengan penontonnya, sehingga pemaknaan menjadi anutan masyarakat. Komunikasi dalam seni berhubungan dengan perilaku manusia dan kepuasan terpenuhinya kebutuhan pikiran dan perasaan manusia tersebut dengan apa yang mereka saksikan. Masyarakat penonton seni atau pencinta seni sebelum datang menonton pementasan seni akan membawa horison harapan terhadap apa yang akan ditonton. Pikiran dan perasaan telah membentuk frame tersendiri, sehingga ketika apa yang mereka tonton tidak sesuai dengan horison harapannya, maka akan timbul respon baik negatif maupun positif. Komunikasi seni berfungsi sebagai jembatan dalam menyatukan pikiran penonton dengan apa yang ditonton. Pementasan seni yang baik mampu masuk ke wilayah pikiran dan perasaan penonton, sehingga tanggapan muncul dalam bentuk sanggahan maupun pernyataan sikap yang sama atau dukungan. Hal ini merupakan tujuan seni yang memberikan alternatif pikiran dan perasaan manusia.

Bahasa dan Sastra Melayu 229 Kemampuan manusia dalam menganalisis suatu kebudayaan sehingga kebudayaan itu komunikatif dengan dirinya akan terkait erat dengan kemampuan manusia itu untuk bisa lepas dari kebudayaan yang mengungkungnya. Van Peursen (1992:18) membuat tiga bagan perkembangan manusia, yaitu tahap mitis, tahap ontologis dan tahap fungsional. Tahap mitis ialah tahap di mana sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, yakni kekuasaan dewa-dewa alam raya, seperti yang dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dinamakan bangsa-bangsa primitif. Tahap ontologis ialah sikap manusia yang tidak hidup lagi dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan yang secara bebas ingin meneliti segalanya. Manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dulu dirasakan sebagai kepungan. Ia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakikat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala sesuatu menurut perinciannya (ilmu-ilmu). Tahap fungsional ialah sikap dan alam pikiran yang makin nampak dalam manusia modern. Ia tidak lagi begitu terpesona dengan lingkungannya sendiri, ia tidak lagi dengan kepala dingin mengambil jarak terhadap obyek penyelidikannya. Ia ingin mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan yang baru terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya. Komunikasi berhubungan dengan perilaku manusia dan kepuasan terhadap terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Seni juga merupakan wujud dari perilaku manusia yang berkomunikasi dengan masyarakatnya. Akan tetapi ketika perilaku itu tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan masyarakat yang ditujunya akan mengakibatkan kesalahan persepsi terhadap perilaku tersebut. Wujud dari kesalahan bisa pula berbentuk reaksi yang negatif dan reaksi yang positif. Reaksi yang negatif akan menimbulkan konflik nagatif pula, bisa berupa benturan fisik yang akan berakibat fatal. Perang di sebuah negara terjadi karena kesalahan dalam melakukan komunikasi, tidak ada kata sepakat untuk saling memahami. Reaksi positif merupakan reaksi yang sangat diharapkan dalam membangun daya kritis dari dua hal yang saling berkomunikasi. Mengalah belum tentu berarti salah dan yang menang belum tentu melakukan kebenaran. Ereang jo gendeang merupakan tanda yang memiliki hubungan

230 Rediscovering the Treasures of Malay Culture perilaku dan kata-kata baik langsung maupun tidak langsung yang sangat dipahami oleh masyarakat Minangkabau. Kata-kata sindiran merupakan kata tidak langsung namun dipahami oleh seseorang yang disindir sehingga perilakunya berubah. Sindiran itu ada yang halus dan ada yang kasar. Kalau sindiran halus tidak mempan maka sindiran kasar harus dilakukan.

Estetika Pamenan (Permainan atau Yang Dicintai) Dalam budaya Minangkabau kesenian secara umum merupakan permainan rakyat atau disebut juga dengan pamenan, dalam pepatah Minangkabau disebutkan duduak bapamenan, tagak baparintang (duduk ada permainan, berdiri ada yang dikerjakan) artinya bahwa ketika waktu senggang masyarakat membuat permainan rakyat mulai dari permainan olahraga maupun kesenian. Filosofis ini menegaskan bahwa tidak ada waktu yang terbuang. Waktu harus digunakan secara baik untuk hal-hal yang bermanfaat. Aktivitas sosial masyarakat Minangkabau berada pada empat pusat kegiatannya, yaitu , surau, lapau/gelanggang/rantau, dan balai adat. Rumah gadang adalah perkenalan pertama manusia Minangkabau dengan sistem matrilinealnya. Rumah Gadang merupakan dunia Ibu artinya pengenalan dengan hubungan keluarga menurut garis ibu; nenek, ibu, saudara perempuam ibu. Upacara-upacara yang terjadi di rumah gadang seperti perkawinan, kematian, merupakan upacara dalam konteks itu. Sekaligus pula pengenalan mereka terhadap suku, tanah pusaka. Semuanya berorientasi kepada pelaksanaan adat dalam suatu kaum, kampung dan nagari. Surau merupakan pranata kedua setelah rumah gadang. Setiap kaum mempunyai sebuah surau. Di surau mereka belajar ilmu, agama, menulis dan membaca. Di surau ini pula dijadikan sebagai basis pelajaran bela diri; pencak silat. Surau sebagai dunia ulama berorientasi kepada rantau dan akhirat. Lapau sebagai dunia parewa berorientasi kepada persoalan yang realistis. Tentang "kekinian", demokratisasi, sumber informasi sekaligus

Bahasa dan Sastra Melayu 231 untuk arena kesenian. Di sini semuanya diadu mulai dari fisik, pikiran dan apa saja dan semuanya di sini diuji. Balai adat merupakan dunia ninik mamak. Orientasinya kepada hal-hal yang ideal, pemahaman dan penyempurnaan pelaksanaan adat. Hukum-hukum adat dibicarakan di sini untuk diterapkan menurut peringkat wilayahnya; nagari, koto, dan kampuang. Teater tradisi Melayu seperti randai tidak mengenal kemasan pertunjukan dengan “keseragaman” atau “serempak”, di mana setiap awal memulai gerakan untuk pencak, saat duduk bersama, sikap duduk, saat berdiri bersama, langkah langkah sewaktu berjalan melingkar, sikap gerak dan cara bergerak. Walaupun nampaknya tidak serempak, namun pada “sebuah momentum” yang dikehendaki, semua menjadi sama dan serempak. Hal ini terlihat sewaktu semuanya mulai bertepuk tangan, menyepak dan menangkis. Setiap pemain akan mengejar “momentum” itu untuk keseragaman dalam randai, tapi setiap pemain akan memulai bergerak mencapai momentum itu dalam saat yang berbeda-beda. Dengan demikian, dalam randai dituntut “waktu yang tepat untuk diri masing-masing pemain, bukan waktu yang tepat untuk keseragaman. Disiplin seperti ini berlaku juga secara umum bagi para pemain musik dalam sebuah musik konser, bukan disiplin tentara dalam baris-berbaris. Dapat dikatakan bahwa dalam randai terdapat “keseragaman yang beragam”. Keseragaman yang beragam ini juga dijumpai pada musik pengiring. Umumnya alat-alat musik tradisi yang dibuat dari bambu, tanduk, batang padi, tembaga, masing-masingnya berada pada nada dan warna nada yang berbeda atau alat-alat musik itu tidak berada pada nada dasar yang sama. Kesatuan dalam sebuah komposisi musik, tidak tergantung pada nada dasar yang sama, tetapi pada kesamaan rytme. Begitu juga, setiap alat musik berdiri sendiri. Boleh saja salah satu tidak ikut serta. Keikutsertaan ditentukan pada “rytme” yang sama. Pada bahagian cerita yang dilakonkan, para pemeran berada di tengah lingkaran pemain pemain lain yang duduk. Mereka duduk dengan sikap masing-masing, tetapi tetap berada dalam garis lingkaran. Pemain yang duduk dalam garis lingkaran itu, adalah pemain yang tidak melakonkan peran. Dengan arti kata, pemain itu sedang, berada dalam “tidak bermain”.

232 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Karenanya dalam randai ditemukan sebuah situasi tidak bermain dalam permainan. Setelah salah satu bagian cerita dilakonkan, para pemeran kembali berubah fungsi sebagai pemain randai seperti pemain randai lainnya. Mereka berjalan mengikuti garis 1ingkaran dalam arah putaran jarum jam. Saat mereka berdiri, melangkah, mereka tidak berada dalam “keseragaman”. Para pemain randai akan mulai beraksi, atau bermain bersama, saat pantun mulai dinyanyikan. “Waktu” yang dipakai oleh pemain sejak mereka berdiri dan berjalan sampai saat mulai bergerak, adalah saat “tidak bermain”, tetapi berada dalam permainan. Strategi dasar dari silat ini adalah garak-garik yang dapat diartikan sebagai aksi dan reaksi yang seimbang. Garak-garik dapat dianalogikan seperti permainan catur di mana masing-masing memiliki beberapa pilihan jurus dan harus memilih jurus yang paling efektif untuk dilaksanakan. Masing-masing harus mengantisipasi semua kemungkinan gerakan dari lawan dan mampu memanipulasi lawan untuk mengambil langkah sehingga lawan memiliki lebih sedikit pilihan jurus dan pada akhirnya tidak memiliki jurus lagi untuk dilancarkan. Tetapi tidak seperti catur, dalam beladiri silat waktu adalah hal yang penting, setiap langkah dan jurus harus dilancarkan secara cepat, tepat dan penuh kejutan sehingga lawan gagal mengantisipasinya.

Penutup Estetika yang membumi dalam tulisan ini adalah mengungkapkan kebenaran kebudayaan berdasarkan penilaian masyarakat pemilik kebudayaan tersebut. Estetika yang ditemukan adalah estetika kato, estetika mato dan estetika pamenan. Hal ini secara studi baru pendalaman diarahkan pada kebudayaan Melayu Minangkabau, namun secara prinsip pada kebudayaan Melayu yang lain mungkin akan memiliki persamaan. Banyak hal yang perlu diungkapkan berkaitan dengan estetika budaya Melayu yang perlu penelitian lebih lanjut. Mudah-mudahan tulisan ini akan memunculkan tulisan-tulisan lain yang berkaitan dengan estetika Melayu.

Bahasa dan Sastra Melayu 233 Daftar Pustaka Gie, The Liang. 1997. Filsafat Seni: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna. Hadi, Wisran. 1999. “Peminggiran Budaya ‘Melayu’ dalam Perkembangan Teater Modern”. Makalah. Pertemuan Sastrawan Nusantara X, 16-20 April 1999 di Johor Bahru, Malaysia. Hadi, Wisran. 1985. “Pemahaman Baru Terhadap Hikayat Hang Tuah”. Makalah. Hari Sastra di Johor Bahru, Malaysia 1985 Peursen, C.A. van. 1992. Strategi Kebudayaan. Cetakan ke-2. Trj. Dick Hartoko. Yogyakarta: Kanisius. Soedarso. 1998-2001. “Kreativitas Seni Pertunjukan Indonesia”. Seminar Internasional Seni Pertunjukan Indonesia 24-25 Juli 2001. Surakarta: STSI. Stanislavsky. 1980. Persiapan Seorang Aktor. Diterjemahkan oleh Asrul Sani Jakarta: Pustaka Jaya. Sutrisno, Mudji dan Crist Verhaak, 1993. Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius.

234 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Keragaman Seni dan Budaya Melayu 235 236 Rediscovering the Treasures of Malay Culture TEMA KETIGA KERAGAMAN SENI DAN BUDAYA MELAYU

237 238 Rediscovering the Treasures of Malay Culture PENGARUH KEBUDAYAAN MELAYU DALAM PEMBENTUKAN SENI BUDAYA LOKAL NUSANTARA

Prof. Dr. Sri Hastanto, S.Kar. Institut Seni Indonesia Surakarta

Kebudayaan Melayu Selayang Pandang Melayu merupakan sebutan kelompok sosial yang bermukim di beberapa Negara Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, Filipina, Indonesia dan lain-lain. Sebagai budaya, melayu mempunyai sejarah yang sangat panjang mulai dari migrasi besar-besaran 2500 – 1500 SM yang kemudian dise­but Proto Melayu. Kemudian disusul dengan gelombang kedua antara 300 SM yang kemudian disebut Deutro Melayu, kemudian terjadi percampuran dengan berbagai budaya yang bersinggungan, menghasilkan budaya-bu­da­ya baru termasuk budaya Betawi (Melalatoa, 1990:231-232). Sehingga budaya Betawi, Sunda, Jawa, Bali dan lain sebagainya menurut logika mempunyai­­ kaitan dengan budaya Melayu. Beberapa ahli budaya sering mengutarakan bahwa budaya meli­ puti tujuh unsur di antaranya bahasa, adat, seni dan lain sebagai­nya. Te­tapi ada pula untuk pegangan kerja – sewaktu merintis Peta Budaya Nu­san­tara – Hastanto mengelompokkan unsur budaya itu menjadi sembilan yaitu: bahasa, upacara adat, busana adat, kesenian, peralatan hidup, permainan/olah­ ­ra­ga tradisional, arsitektur tradisional, kearifan lokal, dan kuliner (Hastanto,­ 2010). Bila budaya yang dimaksud dalam judul pemberian panitia seperti itu, maka “Pengaruh Kebudayaan Melayu dalam Pembentukan Seni Budaya Lokal Nusantara” merupakan tugas yang maha berat bagi penulis. Baru melihat unsur budaya yang sembilan buah itu sudah merupakan volume yang sangat berat belum lagi ditambah dengan kata “Nusantara”­ maka tugas itu jelas tidak dapat dipikul oleh penulis.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 239 Oleh sebab itu penulis akan mengambil salah satu karya budaya Melayu yang mem­­punyai andil sangat besar atau mempunyai kemiripan – jadi berkaitan erat – dengan budaya seni pertunjukan di beberapa daerah Nusantara. Karya budaya Melayu itu adalah “pantun” Ke teluk sudah, ke Siam sudah Ke Mekah sahaja saya belum Berpeluk sudah, bercium sudah Bernikah sahaja saya belum (Kurnia, 1990:234)

Pengaruh dan Kemiripan Pantun dalam Seni Pertunjukan di Nusantara Pantun adalah karya sastera Melayu yang sangat terkenal, medium sastera adalah bahasa. Andai kata budaya itu sebuah pesawat udara, maka bahasa adalah “kotak hitamnya”. Karya dan kebiasaan budaya apa saja dari sebuah suku bangsa tentu terekam di dalam bahasanya. Oleh sebab itu, bila suatu suku bangsa sudah tidak lagi mengenal bahasanya dengan baik maka sebe­nar­nya lonceng kematian budayanya sudah berdentang. Bahasa Melayu sebagai lingua franca ternyata mempunyai ketahanan yang luar biasa. Banyak bahasa daerah yang mulai mempunyai jarak dengan penuturnya tetapi tidak demikian dengan bahasa Melayu yang justru telah digunakan sebagai induk bahasa berbagai bangsa. Jadi dengan demikian budaya Melayu juga mempunyai ketahanan yang lebih dari beberapa bahasa daerah di Nusantara ini. Di antara puisi Melayu lain­nya pantun merupakan puisi Melayu yang paling terkenal. Asal-muasal kata pantun masih kontroversial, se­bagian mengatakan dari kata Minang­ ­kabau patuntun yang berarti tun­tunan, ada yang berpendapat berhubungan dengan kata Jawa (basa Ja­wa krama) pantun yang berarti padi atau pari (basa Jawa ngoko), ada ju­ga yang menganalisis dari kata pantun yang berarti umpama. Di negeri asalnya ia sering dijadikan nyanyian mandiri seperti misalnya lagu beri­kut ini: Babendi-bendi ke Sungai Tanang (aduh hai sayang)

240 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Babendi-bendi Ke Sungai Tanang (aduh hai sayang) Singgahlah memetik, singgahlah memetik, bungo lembayung Singgahlah memetik, singgahlah memetik, bungo lembayung

Hati siapo, indak kan senang (aduh hai sayang) Hati siapo Indak kan senang (aduh hai sayang) Meliaik rang mudo, meliaik rong mudo, menari payung Meliaik rang mudo, meliaik rong mudo, menari payung

(Hastanto [trans] 14 Okt 2012, [uploader] 12 Maret 208)

Kata-kata yang ada di dalam tanda kurung adalah sisipan teks pokok, sedangkan kata-kata yang dicetak miring adalah ulangan. Jadi kalau keduanya dihapus menjadi jelas sebuah pantun empat baris: Babendi-bendi ke Sungai Tanang Singgahlah memetik, bungo lembayung Hati siapo, indak kan senang Meliaik rang mudo, menari payung

Di tanah Melayu yang sarat dengan pantun sudah sewajarnya memiliki banyak produk budaya yang bersumberkan dari pantun. Tidak ketinggalan dangdut gaya melayu atau lagu melayu bergaya dangdut juga menjamur di daerah ini. Salah satu lagu itu yang terkenal adalah Laksmana Raja di Laut. Terkenal bukan karena pernah menjadi heboh di tahun 2004 – 2007 tetapi memang lagunya memancarkan kemelayuannya secara kental. Teks lagu yang dipopulerkan oleh Iyeth Bustami ini berbentuk puisi tradisional Melayu ‘pantun’ kecuali bagian introduction-nya saja, dan teks yang sangat terkenal adalah di bagian refrain sehingga digunakan sebagai judul lagu: Laksmana Raja di Laut Bersemayan di Bukit Batu Hati siapa yang tidak terpaut

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 241 Mendengar lagu zapin Melayu (Hastanto [trans] 14 Okt-2012 goodlooking [uploader] 4 Okt 2008

Pantun mempunyai sebaran sangat luas. Hampir setiap kantong budaya memliki pantunnya masing-masing. Di pulau Sumatra jelas bertebaran dari Aceh sampai ke Lampung, di Jawa Barat jenis karya sastera ini disebut paparikan1 tersebar dari Banten, Priyangan, Karawang, sampai Cirebon. Di Jawa Tengah dikenal dengan nama parikan mewarnai berbagai macam seni pertunjukan baik di dalam daerah budaya kraton maupun luar kraton dan pesisiran. Di daerah budaya ini juga tumbuh karya sastera semacam parikan tetapi mempunyai persyaratan yang lebih berat lagi, karya sastera itu disebut wangsalan. Parikan di Jawa Timur daerah budaya Mojokertoan, Jombangan, Malangan, dan Surabayan, merupakan teks utama dalam kesenian khas mereka yang disebut Jula-Juli. Di Bali juga mengenal pantun dengan nama sama seperti di daerah Pasundan yaitu paparikan. Daerah budaya Banjar di Kalimantan juga mempunyai jenis pantun. Daerah budaya Sumawa di Sumbawa di dalam lawas2-nya juga terdapat bentuk puisi yang pada dasanya adalah pantun, yang digunakan antara lain dalam seni Sakeco yang bentuknya seperti berbalas pantun. Tidak ketinggalan daerah budaya Makassar, dan Bugis terkenal dengan Pantun Makassar dan Pantun Bugisnya. Dengan luasnya sebaran pantun seperti tertera di atas kiranya tidak mungkin semuanya diulas. Di sini penulis hanya mampu mengulas secara garis besar pantun di beberapa daerah budaya. Di dalam budaya Betawi misalnya, pantun juga membentuk lagu di dalam Budaya ini bahkan sebuah format lagu.­ Artinya format melodi yang sama diisi teks dengan berbagai pantun yang isinya sesu­ ­ai dengan kehendak penyaji, apakah ingin menyindir, atau memuji, atau sekedar menggambarkan­ suasana sekitar atau menggunakan pantun yang sudah terbiasa digunakan. Sehingga sesuai dengan kaidah seni

1 Di Tanah Sunda kata “pantun” mempunyai arti yang sangat berbeda dengan pantun Melayu. Pantun Sunda adalah resitasi ceritera rakyat Pasundan disa- jikan secara oral oleh seorang juru pantun dengan memetik kecapai sebagai musiknya, ceritera yang dibawakan secara recital ini dapat berlangsung se- malam suntuk. 2 Lawas adalah seni sastera di daerah budaya Sumawa di Pulau Sumbawa

242 Rediscovering the Treasures of Malay Culture tradisi, seniman boleh berkreasi bebas berekspresi asal tidak keluar dari format tradisinya. Berikut adalah salah satu contohnya: Format Lagu Jali-jali Jalan-jalan ke Pasar Baru Janganlah lupa beli rambutan Palinglah enak penganten baru Masuk ke kamar . . . (tidak terdengar)

Jalilah jali dari Cikini Jalilah jali sampai di sini

(Hastanto [trans] 14 Okt-2012 Sri Mahligai [uploader] 13 Okt 2007

Di sini kita jumpai dua bentuk pantun sekaligus yaitu pantun berbaris empat dan pantun berbaris dua. Lagu Jali-Jali menjadi wadah pantun, semua pantun berbaris empat dapat digunakan sebagai teks lagu ini – kecuali teks penutup yang harus menggunakan pantun dua baris. Bahasa yang dipakai adalah bahasa budaya yang mengembangkannya dan biasanya kata-kata pada sampiran menggunakan kata yang akrab dengan lingkungan budaya itu dalam hal ini budaya Betawi, misalnya kata Pasar Baru dan Cikini. Karena Jali-Jali sangat luwes maka seperti biasanya tidak hanya dibawakan dalam satu genre musik saja yaitu genre musik Melayu, tetapi beberapa genre seperti kroncong, dan sebagainya ikut ambil bagian.

Kalau ada jarum yang patah Janganlah disimpan di atas peti Kalaulah ada kata yang salah Janganlah disimpan di dalam hati

Jalilah jali dari Cikini Jalilah jali sampai di sini

(Hastanto [trans] 14 Okt-2012, Jesscameijer2 [uploader] 4 Okt 2008

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 243 Sama dengan sifat Lagu Jali-Jali di Betawi juga ada format lagu yang lain yang da­­pat menggunakan berbagai pantun berbaris empat: Format Lagu Kicir-kicir Kicir-kicir ini lagunya Lagu lama dari Jakarta Saya menyanyi memang sengaja Untuk menghibur hati yang luka

(Hastanto [trans] 14 Okt-2012, Gary Tator [uploader] 4 Okt 2008

Salah satu lagu dari genre musik kroncong yang sangat terkenal yaitu Kroncong Kemayoran juga lahir di daerah budaya Betawi. Inti teksnya tidak lain adalah bentuk pantun, namun karena kepopulerannya yang luar biasa maka Kroncong Kemayoran tidak hanya milik Betawi melainkan sudah merambah menjadi salah satu musik pan Indonesia Demikian pula dengan seni tradisi berbalas pantun. Tradisi itu tersebar di Nu­san­tara. Ke­ti­ka prosesi pengantin pria Betawi mendatangi rumah pihak­ pengantin perempuan, yang disebut upacara Buka Palang Pintu selalu diantar dengan musik Tanjidor atau musik tradisi Betawi lainnya disertai dengan ja­wa­ra silat. Menjelang masuk kawasan rumah pengantin perempuan diha­ ­danglah rombongan ini oleh rombongan pihak perempuan dan tidak ke­tinggalan membawa jawara silat juga. Terjadilah tantang-tantangan yang intinya rombongan­ pengantin pria tidak boleh masuk sebelum mengalahkan­ jawara pihak per­e­m­ pu­an. Tantang-tantangan ini dilakukan dengan berbalas pantun, yang tentunya meng­gunakan ba­hasa Betawi, misal­nya:

Kude lumping dari Malabar, Sakit kepale kayak dipalu pasang kuping lu lebar-lebar, jawara gue adepin dulu

Burung dekuku mandi lautan Makan cereme dicampur madu

244 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Kalau itu jadi persyaratan Jawara ane siap diadu

Di Jawa (Jawa Tengah) terdapat puisi tradisonal yang disebut parikan – dari kata pari – yang berarti ‘padi’, yang dalam Bahasa Jawa Krama-nya ‘pantun’. Parikan ini mem­­punyai aturan pokok sama dengan pantun Melayu.­ Dalam parikan juga ada “sampir­ ­an” dan ada isi yang termuat da­lam baris yang berbeda, antara sampiran dan isi mem­ pu­nyai hubungan rima misalnya: Brambang saksèn telu Berjuang dimèn bersatu

Brambang saksèn lima Berjuang labuh Negara

(Jineman Ulerkambang [NN])

Brambang saksèn telu berarti bawang merah satu sen mendapat tiga butir Berjuang dimen bersatu berarti berjuang agar bersatu Brambang saksèn lima berarti brambang – bawang merah – satu sen mendapat lima butir Berjuang labuh negara, berarti berjuang untuk berbakti kepada negara

Pada dasarnya ada dua bentuk parikan Jawa seperti juga pantun Melayu, yang per­tama parikan yang terdiri dari dua baris; baris yang pertama sampiran dan baris kedua isi. Bentuk yang kedua terdiri dari empat baris, dua baris pertama sampiran dan dua baris terakhir­ merupakan isi. Contoh di atas termasuk bentuk yang pertama yang dalam Gending­ Ulerkambang dua parikan disajikan berturut-turut sehingga kelihatannya seperti empat­ baris. Parikan bentuk pertama kecuali digunakan sebagai teks gending sejenis Jinem­an, juga digunakan untuk senggakan3 seperti misalnya:

3 Selingan teks pokok

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 245 Ngétan bali ngulon Apa sedyané kelakon

(Senggakan Asmaradana Kethoprakan)

Ke timur kembali ke barat. Apa yang diidam-idamkan tercapai

Bentuk kedua parikan dengan empat baris sering dijadikan gending mandiri yang di dalam gamelan Jawa termasuk gending kecil seperti misalnya, gending Ijo-Ijo tertera di bawah ini: Ijo-ijo godhong bayem Enaké dibumbu trasi Duwé bojo atiné ayem Saben dina ana sing ngancani

(Hijau-hijau daun bayam. Enaknya dibumbui terasi Punya suami hati jadi tenteram Tiap hari ada yang menemani)

Tradisi mirip berbalas pantun juga dapat dijumpai di Jawa, dalam kesenian ,­ “duel” ini dilakukan dengan menggunakan tembang macapat4 yang dilagukan dan diiringi gamelan lengkap. Padahal sebuah tembang bisa terdiri dari enam sampai sepuluh baris. “Pertempuran” karya sastra ini terjadi dalam adeg­ ­an, misalnya adegan sebuah kera­ ­ja­ an. Raja membuka percakapan ke­pa­da patihnya dengan menyanyikan sebuah tembang yang dikarang spon­tan isinya menanyakan bagaimana keadaan kerajaan saat ini. Pada saat ‘ra­ja” menyajikan tembangnya, “sang patih” memutar otak menyusun tem­bang dengan ma­tra yang sama seperti matra yang dilagukan oleh sang raja sebagai jawabannya nanti. Setelah raja selesai maka patihpun menjawab dengan tembangnya pula yang disusun spontan.­­ Misalnya menggunakan tembang Mijil –

4 Tembang Macapat adalah salah satu jenis puisi tradisional Jawa yang mempu- nyai aturan sangat ketat. Dalam budaya ini terdapat 11 format tembang maca- pat yang masing-masing mempunyai aturannya sendiri-sendiri.

246 Rediscovering the Treasures of Malay Culture salah satu dari 11 tembang macapat – yang mempunyai­ aturan sebagai berikut. 10 – i, 6 – o, 10 – e, 10 – i, 6 – i, 6 – u.

Format Mijil harus terdiri dari 6 baris; baris pertama harus berisi 10 su­ku kata dan diakhiri dengan kata yang berhuruf hidup “i” (di atas dilambangkan 10-i); baris kedua ha­rus terdiri dari 6 suku kata dengan akhir kata yang berhuruf hidup “o”, demikian dan sete­rusnya. Sang raja menyusun on the spot dan sang patih harus menjawab dengan menyu­ sun on the spot juga. Ini seperti berbalas­ pantun tetapi lebih rumit karena aturan puisinya cukup rumit. Di atas pentas sering kali terjadi gurauan, misalnya “sang raja” ingin ngerjain rekan mainnya yang saat itu berperan sebagai patih, ia mengarang teks tembang Mijilnya tidak penuh­ 6 baris tetapi ia selesaikan dalam 3 lalu mendadak meminta “patih” untuk menja­ ­wab, maka patih yang sudah mengarang jawaban mulai dari baris pertama sampai ke enam menjadi buyar, dalam waktu sekejap harus mengarang baris keempat, kelima dan ke­enam dengan ketentuan yang sudah dipastikan. Dalam hati “sang patih” mesti meng­um­pat. Tetapi bukan “patih” ketoprak kalau tidak dapat membalas “raja”nya, Ia menga­rang teks jawaban tidak hanya sampai baris ke-6, tetapi masih disambung baris pertama ba­it berikutnya, lalu dengan serta merta ia minta “raja” memberi petunjuk seketika, tentu saja­ sang raja jadi klabakan harus mengarang teks secara kilat untuk “memberi petunjuk” kepada patihnya. Itulah sence of humor pemain ketoprak Jawa. Penontonpun spontan bertepuk tangan menghargai kemahiran mereka yang duel sastera di atas panggung. Sayang­ peristiwa seperti ini sudah jarang terjadi. Walaupun pemain bersilat lidah luar biasa di atas pentas, tidak ada respon dari penonton karena mereka sudah tidak memahami hu­ kum tembang lagi. Parikan juga merupakan teks utama dalam gending Ja­watimuran terutama gen­ding Jula-Juli misalnya:

Manuk cocak dinggo pamèran Libur bakda nèng Tamansiwa

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 247 Dadi tukang bécak aja gègèran Ndak ora béda karo mahasiswa

Burung cocak untuk pameran Libur lebaran di Tamansiswa Jadi tukang becak jangan berantem Supaya jangan sama dengan mahasiswa

(Parikan ini berisi petuah sekaligus sindiran)

Demikianlah hubungan parikan Jawa dengan pantun Melayu (dalam bahasa Jawa pari bahasa ngoko, sedangkan pantun bahasa Jawa krama). Pantun Melayu dan parikan Jawa ternyata secara linguistik mempunyai persamaan arti dan dalam sastera mempunyai aturan main yang sama. Demikian sekilas ulasan sangat singkat tentang pantun Melayu yang merambah di seluruh Nusantara. Ini hanya sekelumit pantun Melayu. Jadi dapat dibayangkan kalau semua unsur budaya Melayu yang diulas akan merupakan monograf tebal tersendiri. Terima kasih

Daftar Acuan Abdurrahman, H.Muh. Nur. “Pantun Bugis”. Biginese Blog Milis. Juli 13, 2006, diunduh 18 Oktober 2012 Ang Ban Cong. “Pantun Makasar”. latamaosandi.blog.com. 02-05- 2010, diunduh 18 Oktober 2012. Arsyad Indradi. Bait ke-5 “Pantun Banjar”. pantun banjar.blogspot.com. 23 Desember 2011 diunduh 18-Oktober 2012 Fromthetreetops (uploader) “Ijo-Ijo”. youtube.com. 10 Mei 2008, diunduh 14 Oktober 2012 Gary Tator (uploader).” Kicir-kicir”. youtube.com . 23 April 2009, diunduh 14 Oktober 2012

248 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Goodlooking (uploader), “Lakmana Raja di Laut”. youtube.com. 4 Okt 2008, diunduh 14 Oktober 2012 Hastanto, Sri. Musik Tradisi Nusantara, Jakarta: Deputi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, 2005 Hastanto, Sri. “Peta Budaya Nusantara”, Laporan Penelitian. Surakarta: Institut Seni Indonesia, 2010 Jessicameijer2 (uploader). Jali-Jali. Youtube.com 19 November 2007, diunduh 14 Oktober 2012 Kurnia, Jr. “Pantun” Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1990:234 N.N. “Jineman Uler Kambang”. Surakarta: Lokananta, n.d. N.N. “Senggakan”, Gending Kasmaran. Surakarta: Lokananta, n.d. Melalatoa, M. Yunus. “Melayu” Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1990:231-23 Payakumbuh (uploader). “Babendi-bendi”. youtube.com. 12 Maret 2008, diunduh 14 Oktober 2012 Srimahligai (uploader). “Jali-Jali”. youtube.com. 13 Oktober 2007, diunduh 14 Oktober 2012

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 249 250 Rediscovering the Treasures of Malay Culture THE INFLUENCE OF MELAYU CULTURE TO BALINESE

Prof. Dr. I Wayan Rai S., MA Institut Seni Indonesia Denpasar

Abstract

Cultural contact between Bali and other countries have caused a strong influence to Balinese arts and culture. One example is the influence of Melayu culture to Bali that can be traced through the literature that uses Melayu language that has an Islamic cultural background in Balinese literature, in the forms of geguritan such as geguritan Amad Muhammad, geguritan Siti Badariyah, geguritan Krama Slam, and geguritan Nengah Jimbaran. Those were created in the reign of Cokorda Mantuk Dirana (King of Badung). In its development, those works also influenced Balinese performing arts. One performance that received influence is the dance drama that uses Melayu stories like Amad as its story source. One example of a song that received influence is Pangkur Amad. It seems that the strong relationship is the positive effect from diplomatic and political relationship between the King of Bali (Puri Denpasar) with the Melayu Sultanate that has been well connected since before (the time of the Badung Kingdom) until today.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 251 252 Rediscovering the Treasures of Malay Culture SAKURA MASKED THEATRE IN SUMATRA’S LAMPUNG PROVINCE: Stage Dynamics, Internal Audience and Audience Behavior

Dr. Karen S.K Thomas Monash University, Australia

According to linguists, the influence of the Malay- on Lampungic is pervasive. Contacts with Malay go back hundreds of years: Sumatra-Malay-speaking groups have long lived on the northern border of Lampung and on the southern boundary of South Sumatra (Anderbeck, 2006: 8)1. For the past two millennia Malay port authoritiesand Malay kings have dominated Lampung’s coastal regions and large sections of the complex river network along the northern Way Kanan river of the Tulangbawang region (in the villages of Pakuan Ratu and Mesir Ilir for example) including Menggala, and the Way Kiri and Way Kambas river system including the swamplands of the east from Pagar Dewa to Melinting near the southeast coast. One of the treasures of Malay culture not yet widely known outside the province is that of the centuries-old sakura masked theatre. Orally transmitted legends passed down through the generations say that the Saibatin2 people of Liwa believe that their ancestors, the animist Buay Tumi tribe who lived in the ancient kingdom of Skala Brak at the foot of Mount Pesagi and surrounds in the northwest mountainous region, wore masks in ritual practices when calling up ancestral and nature spirits (called roh, or with the advent of Islam from the 16th century,

1 Anderbeck, Karl. 2006. “An Initial Reconstruction of Proto-Lampungic: Phonol- ogy and Basic Vocabularly.” Paper presented at Tenth International Conference on Austronesian Linguistics. 17­20 January 2006. Puerto Princesa City, Palawan, Philippines. http://www.sil.org/asia/philippines/ical/papers.htm accessed 29 August, 2012. 2 The people of Lampung divide themselves into coastal Saibatin and inland Pe- padun genealogies. Most in the West Lampung Regency are Saibatin.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 253 jin). It is also believed that tupping, a related form of masked theatre, emerged in the southern Kalianda region and surrounds after groups migrated to the south and the east on foot and by boat along the rivers. Performers and actors in both regions put on intentionally deformed- looking masks of many styles and character-types in their theatrical ritualized transition practices, some with large crooked noses, others with unevenly shaped faces, yet others with facial hair, wrinklesor blemishes, to depict a range of grimacing, scowling or humorous facial expressions. The topic of this paper is delimited to sakura of the northeast; tupping in the south warrants a separate study. Like the animist people who held a fascination for the masquerade and for being transported magically into another world (Murray, 2001), villagers in West Lampung3 charge sakura actors with the theatrics of repelling threatening spirits from the community or membersihkan desa (village cleansing). At the same time they invite benevolent spirits through their comedy, skits, music performances and procession around the village particularly during one of the most important Islamic family affairs of the year, silaturahmi Idul Fitri(Idul Fitri gatherings) and other important celebrations such as Independence Day. As they process around the village, the community welcomes the masked performers offering them gifts of food and drink in exchange for their entertainment. That no one, including the children of the sakura audience is frightened by the grotesque masks characterizing disfigured human faces of nobility or ogres as well as those of animals such as monkeys or the luwak (civet),4 means that the community views them as common place. Children may squeal at their looming appearance and mystical aura at first, but like their parents and the adults around them, they watch the antics, amusing stunts, and martial-arts skills with pleasure, the experience of which in their “muscular imagination” (as termed by Burke in Onsberg, 2010: 14)5 is heightened by the accompanying

3 Specifically in the Kenali, Belalau, Balik Bukit, Batubrak and Sukau villages. 4 Lampung is increasingly achieving international fame due to the production and export of the exclusive and expensive kopi luwak (luwak coffee). 5 Onsberg, Merete. A review of: Moving bodies. Kenneth Burke at the edges of language by Debra Hawhee, Rhetorical Review 8:1, 2010.

254 Rediscovering the Treasures of Malay Culture pantun singing (menyambai) and non-stop, rhythmic rebana playing by sakura musicians,or the live music of the talo balak orchestra6. The ancient sakura or sakura kamak theatre-form provides a distinct contrast to the modern version of sakura called sakura helau(also known as sakura betik and sakura kecah7), which developed in the Liwa district in the 1990s. The mask is made of Lampung batik cloth that actors wrap around their head and neck leaving a small opening for their eyes over which a pair of sunglasses is worn. Unlike the sakura kamak actors and musicians who parade around the village, the sakura helau dancers typically remain in one spot performing choreographed steps many of which are based on the stances and movements of pencak silat. It is these dancers that increasingly appear on Lampung’s tourist brochures and who perform at official functions requested by the Kabupaten Lampung Barat (the Regency of West Lampung) and the provincial government in Bandar Lampung, and also at Lampung’s large-scale public events such as the annual Krakatau Festival.

The Stage Space of Traditional Sakura Theatre A parading sakura event creates common ground with the audience by drawing on the collective memory of traditional Lampung ritual, music and movement. It further presents a traditional stage space that allows the audience to move in and out of the performance action as they please in response to the spectacle displayed before them. For example, as actors parade in groups of twenty or so wearing sakura kamak masks – some made of roughly carved wood, some of rubber, others of cloth, their heads adorned with mock hair of fresh banana palm or coffee tree branches –perform comic skits and musical items as mentioned. They walk or stand while chanting and confidently pounding the rebana, their bodies dressed in messily fastened cloth, sarong or old sacks to depict demons or royal characters, or if wearing cone-shaped bamboo

6 A talo balak (L) orchestra consists of kelenongan (‘gong-chime’), gong (‘hanging gong’), bende (‘small gong’), gujih (‘pair of cymbals’), gendang (‘double- headed drum’), bedug (‘large single-headed mosque drum’), rebana (‘frame drum’), gamolan pring (L, ‘xylophone’), seruling (‘flute’). 7 Anggraeny, Nina Esti. “Tari Tupping Pesisekh” Master Thesis. Institut Seni Indo- nesia, Yogyakarta: Indonesia, 2012.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 255 hats, farmers who work in the rice-fields. Members of the audience wander around as they please. In fact they may walk right up to the masked performers and encircle them, perhaps to examine them closely in an effort to guess the identity of the individuals behind the masks. Viewers are not seen as intruders encroaching on the performance space, but as welcome participants openly and kinesthetically engaging with the theatre’s sights and sounds. That there is no fixed or raised stage forming a tangible barrier between the entertainment and the audience, allows viewers to encircle, intermingle with, or stand back from the action as they wish.

Internal Audience Provides Audience Response Mechanism Without a solid stage structure and that viewers are permitted to move about spontaneously weaving in and around performers in astage area that has no fixed shape, heightens the need for an internal audience to direct the real audience where to stand and how to react. At a 2010 performance8 of sakura, for example, a tigel (Lampung pencak silat–like) duel took place, which momentarily brought the sakura kamak parade to a halt. To the continuous sounds of interlocking rhythms and melodies of kettle drums, cymbals, and the rebana, one of the tigel performers attempted to strike the legs of his opponent with a bamboo rod who responded quickly by jumping over the rod. The sakura men cleared an area around them while others hovered in close proximity, watching and pacing as if both indicating to the audience where to direct their attention and warning them to stand back. The fighters struck each other with leg-kicks and eventually one put the other in a headlock. All audience eyes and bodies focusing on the exciting choreographed tigel duel gazed intently; they called out encouraging shrieks and exclamations as the feuding men fell to the ground spinning on their legs one minute then striking with their arms the next. As the pair threw down their kris (ceremonial daggers) and

8 Directed by I Nyoman Mulyawan in pekon(village) Canggu near Liwa, and captured on DVD in his“Dokumentasi Koreografi Lingkungan ‘Beguai Jejama’ dalam Pesta Sekura Sebagai Identitas Masyarakat Lampung Barat,” recording, Tugas Akhir Program Pascasarjana Institute Seni Indonesia (final submission for MA degree),Yogyakarta, Indonesia: Institut Seni Indonesia (ISI), 2010.

256 Rediscovering the Treasures of Malay Culture spear-like rods, the internal audience of sakura actors stood by their predetermined stage positions maintaining the shape and size of the performance area until the duel had ended. This scene illustrates that there is no front stage in sakura events. Performers can face north, south, east and west at any time, and audience members automatically move around and adjust to the changing stage dynamics. In another scene, the internal sakura audience hurriedly etched out a space with their presence - in standing or kneeling poses –as a group of sakura helau dancers arrived wearing monstrous skull- like masks. While the group performed their larger-than-life spinning movements wearing their grotesquely beautiful masks and costumes, the internal audience afforded the sakura helau dancers a reverence, which the real audience was to emulate. A group of children who had been chatting, stopped in their tracks to stare, appearing unsure about whether to be afraid or not. A couple of young boys retreated as the dancers performing their choreographed routine approached their direction. Yet another girl watching from a distance appeared enthralled by them swaying her body in time with the music and nudging her friend to do the same. Affirmed by the actions of sakura actors and no matter where they stood, neither adults nor children could take their eyes off the aerobatic stunts, which included mid-air somersaults, handstands, and jumping onto the shoulders of fellow performers. A sakura stage is not a solid and/or elevated structure that separates the audience from performers, but is fluid in nature and sits at ground- level, its dimensions constantly changing and spilling into the audience as the space required by the performers waxes and wanes. There are no visible markings or stage props, no rows of seats to demarcate where the audience is to remain in relation to the stage. Instead, the fully experiential event takes place in a confined yet mobile area determined in turn by the bodies of both performers and audience. The stage dynamics link directly with the audience’s preparedness to move about physically and to take note of the signals given by the internal audience of sakura kamak actors. Given the elasticity of the stage dimensions, the internal audience of sakura actors plays a critical role in directing the real audience not only where to stand but how to respond.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 257 Conclusion The centuries-oldsakura masked theatre with its animist mystical origins and contemporary role as providing exciting, noisy and family- friendly entertainment at Idul Fitri and Independence Day celebrations, continues to take place in West Lampung today in the form of slow- moving or momentarily-static procession. Traditionally the stage does not separate performers from the audience who instead become actively and kinesthetically involved. There being no physical stage or audience-seating structure, brings to the fore the need for an internal audience – in this case the sakura actors - to manage the real audience who move around freely and cross the stage boundaries as they please. The internal audience providesan appropriate mechanism for response and behavior, confirming for viewers what behavior– typically that of awe and veneration - is required and expected of them.

258 Rediscovering the Treasures of Malay Culture TRADITIONAL MALAY ATTIRE IN CONTEMPORARY MALAY SOCIETY IN MALAYSIA

Hanisa Hassan, M.A. Universiti Malaysia Kelantan

Abstract

The traditional Malay attires such as baju kurung, baju cekak musang, kebaya labuh and baju Melayu are some of the many kinds of traditional Malay outfits found in the Malay Archipelago. These kinds of attires are still worn in Malaysia, especially during Islamic celebrations such as Aidil Fitri, Aidil Adha, Malay weddings, funerals and many more. Tradition is like a ‘blue print’ on how to live, that people of the culture adhere to. Traditional attire is not just an outfit, but it carries with it the dignity, pride, symbol of identity and belief. But ever since the lifestyle of the Malay society changed over the past years, the concept of traditional attire is perceived in a different perspective. Culture process evolves and so does culture object like attires. Global influence and changes in social lifestyle had greatly influenced and change the way people dress. Malay traditional attires are also changing to accommodate contemporary demands especially for the Malays in urban areas like Kuala Lumpur, Putrajaya and Johor Bahru. This research is aim to analyse the changes made on the Malay traditional attires especially on the women’s baju kurung teluk belanga and baju kebaya labuh. The visual data was taken from top local designers to analyse their approach in sustaining the special characteristic of the traditional attires from vanishing. This research will look at the approaches made by the local designers in order to preserve the Malay culture so that it will be accepted by the contemporary society. By doing so, it is hoped that the Malay identity in their attires will continue its existence in the future.

Keyword: Malay traditional dress, contemporary, culture, fashion

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 259 Latar Belakang Masyarakat Melayu di Malaysia diartikan juga sebagai Islam mengikut Perkara 160 (2) dalam Perlembagaan negaranya.1 Oleh sebab itu, pemerintah Malaysia telah membuat berbagai dasar yang terkait kebudayaan Melayu untuk memperkuat jati diri dan agamanya, seperti Dasar Kebudayaan Kebangsaan 1971. Pencitraan fisikal pada masyarakat Melayu bukanlah masalah yang remeh karena ia akan mempengaruhi martabat Islam sebagai agama resmi negara. Busana tradisional Melayu untuk perempuan menurut Siti Zainon Ismail mempunyai berbagai versi seperti baju Kurung Kedah (Kedah), Kurung Cekak Musang (Pahang), Kurung Teluk Belanga (Johor) dan Kurung Pesak Gantung (Pahang)2. Pada jaman dahulu, pengertian baju kurung merujuk kepada busana Melayu untuk laki-laki dan perempuan yang berbentuk geometris serta longgar, terdiri dari bagian badan (top) serta kain sarong dengan cara ikatan “ombak mengalun” yang digunakan untuk perempuan, sedangkan untuk laki-laki, baju kurung dipakai dengan kain sarong atau celana panjang beserta kain samping. Baju kurung untuk perempuan juga sering dilengkapi kerudung, atau selendang dan songkok untuk pria. Pada hari ini, istilah baju kurung hanya merujuk kepada busana tradisional untuk perempuan saja sedangkan untuk pakaian pria dikenal sebagai baju Melayu. Ciri-ciri khas baju kurung terletak pada pola busananya yang mempunyai pesak, kekek, lengan panjang serta bahagian badan yang

1 Sesuai “Artikel 160 Perlembagaan Malaysia mewartakan Perkara 160 (2) Per- lembagaan Malaysia, orang Melayu itu mestilah beragama Islam, mengamal- kan adat budaya Melayu, bertutur menggunakan bahasa Melayu dan lahir se- belum hari merdeka sama ada di Tanah Melayu atau Singapura, atau pada hari merdeka telah bermastautin di Tanah Melayu atau Singapura.” 2 Mengikut Siti Zainon (2006) pula, baju kurung ialah pakaian yang popular di kalangan orang Melayu. Beliau juga telah mendapati pelbagai jenis kurung mendapat inspirasi daripada baju kurung, antaranya ialah Kurung Kedah, Ku- rung Cekak Musang, Kurung Teluk Belanga dan Kurung Pesak Gantung. Kini baju kurung yang labuh paras lutut hanya disebut sebagai baju kurung saja dan telah dikhususkan untuk pakaian wanita. Sumber: Pandai Busana Baju Kurung (Prof. Madya Dr. Haziyah Hussin) situs:http://peradabanmelayu.my/index.php?option=com_content&view= article&id=168%3Apandai-busana-baju-kurung&catid=34%3Adr-haziyah- hussin&Itemid=41&limitstart=2 (10.9.12)

260 Rediscovering the Treasures of Malay Culture panjangnya hingga ke paras lutut atau lebih, serta dibuat lebih longgar3. Kesemua bagian potongan baju kurung asali berbentuk geometris dan tidak menggunakan lisu pemadan (dart). Kemasan jahitan perhiasan tulang belut dibuat pada leher baju kurung dan baju Melayu merupakan ciri khas kerah (kolar) jenis Teluk Belanga4. Menurut Tenas Effendi, busana tersebut dipengaruhi oleh busana Riau5. Busana Melayu di Malaysia secara umum, telah melalui banyak fase perubahan yaitu sebelum kedatangan Islam, setelah kedatangan Islam, pasca penjajahan Barat, pasca kemerdekaan dan era modern. Busana Melayu dilihat sebagai satu produk budaya yang masih digunakan hingga saat ini, walaupun bentuknya telah banyak berubah. Busana tradisional Melayu sebagai sebuah artifak/karya telah mengalami proses budaya yang memperlihatkan kekuatannya untuk beradaptasi dan berakulturasi sesuai dengan kehendak masyarakatnya. (Suwardi, 2006; 7). Oleh karena itu, busana merupakan satu objek budaya yang sangat penting untuk diteliti. Busana Melayu di kawasan pedesaan dengan kadar urbanisasi yang rendah seperti Kelantan6, masih sangat berpegang pada budaya Melayu. Oleh sebab itu, penggunaan busana tradisional Melayu masih dominan dan dipakai sebagai pakaian sehari-hari. Bentuk bajunya juga tidak begitu banyak dipengaruhi oleh pencitraan luar dan trend busananya bergerak sangat perlahan. Berbeda pula dengan

3 Keistimewaan konsep pakaian cara Melayu dibuktikan dengan wujudnya ciri reka bentuk pakaian tradisional Melayu yang diterima sebagai salah satu iden- titi budaya Melayu. Sumber: Siti Zainon Ismail, Pakaian Cara Melayu. UKM: Bangi, (2006) 4 Di sinilah ditemui persamaan ciri reka bentuk pakaian wilayah budaya Melayu seperti baju kurung Palembang, baju kurung Melayu-Brunei dan baju panjang Minangkabau yang umumnya dikenali sebagai baju teluk belanga. Sumber: Siti Zainon Ismail, Pakaian Cara Melayu. UKM: Bangi, (2006) 5 Tenas Effendy (1989) telah mengumpul ungkapan orang tua di daerah Riau, daerah rumpun Melayu yang terdekat dengan Malaysia (Semenanjung Tanah Melayu) tentang baju kurung. Baju kurung yang digambarkan oleh beliau ialah baju kurung teluk belanga atau baju kurung yang dijahit dengan jahitan tulang belut di bahagian leher yang nampak halus dan rapi. Sumber: Pandai Busana Baju Kurung (Prof. Madya Dr. Haziyah Hussin) situs:http://peradabanmelayu.my/index.php?option=com_content&view =article&id=168%3Apandai-busana-baju-kurung&catid=34%3Adr-haziyah- hussin&Itemid=41&limitstart=2 (10.9.12) 6 Periksa data statistik Jabatan Perangkaan Negara Malaysia, 2010.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 261 masyarakat perkotaan yang mempunyai kadar urbanisasi yang sangat tinggi seperti Kuala Lumpur, Putrajaya dan Selangor7, perubahan yang berlaku pada masyarakatnya dari segala aspek sangat cepat berubah. Busana tradisional bukanlah pilihan utama, kecuali untuk mereka yang bekerja di sektor pemerintah yang mengisyaratkan pemakaian sedemikian. Untuk mereka yang bekerja di sektor lain, busana tradisional Melayu hanya digayakan ke upacara resmi seperti keraian pemerintah, pernikahan, menyambut lebaran, menghadiri kematian dan sebagainya. Walaupun begitu, busana yang digayakan oleh masyarakat Melayu hari ini telah beradaptasi dengan pengaruh kekinian lalu terciptalah bentuk busana tradisional Melayu yang diberi sentuhan modern dalam pencitraan serta pembuatannya. Perubahan ini disumbang oleh berbagai faktor seperti ilmu pengetahuan, sosial, teknologi, sistem mata pencarian/ekonomi, perubahan cara pandang religi dan juga kesenian. Namun yang dapat meresahkan adalah, perubahan yang terlalu banyak akan bisa melenyapkan langsung identitas Melayu. Peran perancang mode khasnya dari kalangan Melayu sangat penting dalam usaha melestarikan identitas kemelayuan melalui busana ciptaannya, terutama untuk golongan perempuan yang mudah dipengaruhi dengan trend kekinian. Beberapa perancang mode yang terkenal di Malaysia antaranya adalah Rizalman Ibrahim, Radzwan Radziwill dan Salikin Sidek merupakan rujukan utama pecinta mode untuk golongan Melayu perkotaan. Masyarakat Melayu perkotaan juga merupakan agen perubahan yang membawa citra mereka kepada masyarakat luar bandar yang sentiasa melihat golongan ini sebagai ‘ikon’ terutamanya untuk golongan muda. Kajian ini akan melihat apakah bentuk-bentuk perubahan yang telah dilakukan pada busana tradisional Melayu dan apakah kesannya pada pencitraan identitas Melayu kontemporer di Malaysia. Kajian ini akan menganalisis bentuk busana yang telah melalui proses pelestarian serta membuat rumusan, apakah produk akhirnya bisa lagi disebut sebagai baju tradisional Melayu.

7 Periksa data statistik Jabatan Perangkaan Negara Malaysia 2010.

262 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Metode Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif dengan melibatkan pendekatan etnografi. Data yang diambil merupakan data terkini dalam bentuk visual yang dianalisis sebagai obyek budaya. Namun, untuk penelitian ini, jenis busana yang dipilih hanyalah baju kurung teluk belanga (sesuai gambar 1) dan baju kebaya labuh (sesuai gambar 2) karena ia merupakan dua jenis busana tradisional yang paling popular digayakan sampai saat kini. Data bergambar akan membandingkan ciri-ciri asalinya dan kebaruan seperti bentuk ‘badan’ baju, kain, perincian dan sebagainya untuk mencari perubahan yang telah dilakukan. Analisisnya akan mendiskripsif ciri-ciri visual yang telah ditambah, dipertahankan, dikurangkan atau ditiadakan dalam busana tradisional perempuan Melayu saat ini. Kajian ini tidak melibatkan persoalan filosofis mengenai citra budaya Melayu. Penelitian ini telah menentukan beberapa perancang busana terkenal di Malaysia yang dipilih dengan menggunakan teknik ‘proposive sampling’. Mereka dipilih berdasarkan popularitas di kalangan masyarakat Melayu urban, lokasi butik atau toko di kawasan perkotaan serta sasaran pembeli untuk golongan menengah dan atas. Kelompok urban Melayu merupakan populasi yang sangat adaptif dengan budaya kekinian sehingga mereka sering menjadi acuan bagi kelompok lain. Mereka sangat berpengaruh untuk menentukan arah (direction) busana Melayu dan sering dilihat sebagai ‘role-model’ oleh kelas di bawahnya. Oleh sebab itu peran perancang mode sangat mempengaruhi citarasa mereka sekaligus memastikan kelangsungan budaya Melayu tercitra dalam masyarakat melayu kontemporer.

Bahasan 1. Kajian baju kurung teluk belanga: pelestarian dalam busana kontemporari. Analisis telah dilakukan pada rekaan baju kurung teluk belanga oleh lima orang perancang mode. Peneliti telah menemukan beberapa perubahan yang telah terjadi pada busana tersebut (periksa Tabel 1). Baju kurung teluk belanga masih sangat signifikan dengan nama kerahnya (collar) ‘teluk belanga’ (sesuai gambar 3)

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 263 maka jika elemen tersebut ditiadakan, maka kekuatan ciri busana tradisional tersebut turut melemah (sesuai gambar 4). Namun, penggunaan kerah teluk belanga saja tidak mencukupi karena ia perlu dipadankan dengan baju kurung dan kain. Perancang busana yang dianalisis memilih untuk melestarikan beberapa ciri tradisional yang terdapat pada busana tersebut yaitu bentuk kerah teluk belanga, busana 2 potong (2 pcs dress), baju labuh berlengan panjang dan berkain sarong. Hampir semua perancang busana yang dipilih tidak melestarikan bagian pesak dan kekek (sesuai gambar 5) untuk versi modern kecuali perancang mode yang ingin melestarikan keasliannya seperti rekaan Salikin Sidek (sesuai gambar 6). Perincian jahitan jenis tulang belut pada kerah juga telah digantikan dengan piping, renda, manik atau sulaman (sesuai gambar 7). Penggunaan lisu pemadan (dart) pada pola di bagian pinggang, depan dan belakang baju (sesuai gambar 8) untuk menunjukkan kerampingan tubuh merupakan elemen yang sangat signifikan dengan mode modern. Ini karena era modern menekankan elemen kecantikan bentuk tubuh untuk dipamerkan, bukan lagi disembunyikan seperti dalam era tradisional. Fenomena ini berlaku di mana saja di dunia dan termasuk Malaysia. Penggunaan lengan panjang juga merupakan satu ciri khas baju kurung yang menampakkan keasliannya. Apabila lengan ini dipendekkan atau ditiadakan, busana tersebut nampak mirip blus (blouse), bukan lagi menyerupai ciri baju kurung (sesuai gambar 9). Lebar lengan tidak begitu mengubah citra baju kurung, oleh itu perubahan bentuk dari lebar ke tirus tidaklah merusakkan keasliannya. Juga untuk bagian kain, lipatan jenis ombak mengalun (sesuai gambar 6) hampir tidak lagi digunakan bersama baju kurung teluk belanga yang dimodenkan. Ini karena bentuk baju yang mengikuti potongan badan kelihatan janggal bersama lipatan kain yang lurus dan berlipat di sisi, kecuali bagian baju tersebut masih menggunakan bentuk tunik yang lurus. Penggunaan kain sarong atau batik lepas digantikan dengan penggunaan kain panjang yang dijahit seakan rok (skirt) dengan getah/pinggang dan zip untuk

264 Rediscovering the Treasures of Malay Culture memudahkan pemakaiannya. Bagian pinggang juga diletakkan zip untuk menampakkan kerampingan pinggang dan bentuk pinggul. Kain panjang seperti rok dengan potongan duyung (mermaid- cut) digunakan oleh kebanyakan rekaan Jovian Mendagie (sesuai gambar 10). Walaupun rekaannya tampak modern, tetapi ciri-ciri baju kurung teluk belanganya masih kelihatan. Perancang mode lain selalu menggantikan kain jenis ombak mengalun (sesuai gambar 6) dengan kain silang di depan (sesuai gambar 12), kain lipatan di belakang/box pleat atau belah di bagian belakang. Penggunaan kain modern telah menggantikan penggunaan tekstil tradisional seperti tenun dan karena produksinya jauh lebih murah dan cepat. Penggunaan kain batik merupakan satu-satunya warisan tekstil yang masih banyak digunakan pada busana kontemporari (sesuai gambar 15). Ini karena kain batik banyak dihasilkan di Malaysia dan tidak terlalu mahal. Teknik pembuatannya juga jauh lebih cepat dari pembuatan kain tenunan. Perubahan yang dilakukan pada baju kurung teluk belanga masih mampu menampakkan kelangsungan ciri-ciri asalinya kecuali perubahan yang dilakukan terlalu maksimal sehingga mengakibatkan kehilangan ciri tradisional serta identitas kemelayuannya.

2. Kajian baju kebaya labuh dan pelestariannya. Analisis yang dilakukan pada baju kebaya labuh/panjang ini telah ditemukan beberapa ciri-ciri tradisional yang masih dilestarikan (periksa Tabel 2). Antaranya adalah pelestarian belahan di bagian depan sebagai bukaan (opening) untuk baju tersebut. Pesak pada pola asalinya disilang di depan baju (seperti kimono) serta dipin bersama keronsang telah digantikan dengan lidah/lapel (sesuai gambar 16) yang kebiasaannya berbutang katup untuk memudahkan pemakaiannya. Keronsang masih banyak digunakan pada hari ini sebagai aksesori, tapi bukan bertujuan sebagai penutup belahan baju tersebut. Pada bahagian depan baju asalinya, terdapat pesak yang dilipat sebagai kerah (kolar) baju, kadang kala juga disebut ‘kelepet baju’. Ciri pesak di depan yang

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 265 dilipat serta dijadikan kerah ini sangat sinonim dengan baju kebaya dan menguatkan identitasnya (sesuai gambar 14). Perubahan bentuk baju dari ‘tunik’ atau ‘tiub’ kepada bentuk hourglass (sesuai gambar 15 & 16) akibat pengaruh kekinian juga terjadi pada baju kebaya labuh. Penggunaan dart juga sangat digemari dalam masyarakat kontemporari untuk menampakkan kelangsingan tubuh. Bagian lengan yang panjang juga merupakan ciri yang menguatkan identitas baju kebaya labuh dan jika disingkat, ia akan kelihatan seperti blus. Oleh karena namanya kebaya labuh, maka bajunya haruslah labuh (panjang), tetapi kebanyakan bajunya telah dipendekkan ke aras lutut, tidak sepanjang kebaya pada jaman dulu. Sekiranya dipendekkan sampai ke paras peha atau punggung, ia masih tetap menjadi kebaya tetapi berubah menjadi kebaya pendek atau kebaya nyonya. Seperti juga baju kurung, padanan baju kebaya labuh haruslah disertai dengan kain. Penggunaan selain kain akan menjadikan citra tradisionalnya agak menghilang (sesuai gambar 13). Kain yang populer digayakan bersama busana jenis ini sekarang adalah jenis silang depan dan lipatan kotak di belakang. (Inverted/ box pleat). Dalam baju kurung, jenis tekstil yang digunakan untuk membuat baju kebaya labuh adalah berbagai macam dan tidak lagi terbatas pada jenis tekstil tradisional Melayu. Pemakaian kain juga dipermudah dengan penggunaan zip dan getah pinggang, maka pemakai tidak lagi memerlukan tali pinggang untuk mengikat kain sarong seperti dulu kala. Penggunaan kain kerudung tidak semestinya dipakai lagi bersama kedua jenis busana tradisional tersebut, kecuali apabila menghadiri acara tertentu seperti kematian atau pernikahan.

Kesimpulan Beberapa ciri khas busana Melayu jika dihilangkan akan dapat mengaburkan citra kemelayuannya dan identitas busana tersebut. Masyarakat kontemporari bergantung kepada para perancang mode

266 Rediscovering the Treasures of Malay Culture untuk menyajikan karya busana kepada mereka. Maka perancang mode Melayu khusunya, membawa tanggungjawab besar untuk memperjuangkan kelangsungan sebuah karya seni Melayu yang citranya semakin terancam. Busana Melayu tradisional merupakan salah satu objek budaya rumpun Melayu yang perlu dipertahankan walaupun harus beradaptasi, demi kelangsungan wujudnya. Busana tradisional harus perlu berkompromi terhadap kehendak jamannya tanpa menghilangkan identitasnya dalam pencitraan modern. Budaya bisa diterima atau ditolak oleh masyarakat yang mendukungnya, maka perancang mode berbangsa Melayu khususnya perlu memastikan agar busana tradisional Melayu dapat terus menarik agar tidak kalah bersaing dalam dunia kekinian yang mulai menawarkan budaya luar dalam ‘pasar terbuka’. Mereka perlu terus berkarya agar busana tradisional Melayu lestari, menarik dan bertahan dalam ruang dan waktu yang berbeda lalu terus diterima oleh masyarakatnya.

Daftar Pustaka Helmiati, Dr (2011) Sejarah Islam Asia Tenggara, Zanafa Publishing dan Nusamedia, Pekanbaru. Graeme Burton (1999) Media dan Budaya Populer (terjemahan Al Fathri Adlin), Jalasytra, Yogyakarta. Piotr Sztompka (1993) Sosiologi Perubahan Sosial (terjemahan Alimandan, 2004) Prenada, Jakarta. Salikin Sidek (2010) Busana Tradisional, Rujukan Khazanah Budaya; Karangkraf, Shah Alam, Malaysia. Siti Zainon Ismail, Dr (2006) Pakaian Cara Melayu. UKM: Bangi, Malaysia. Suwardi Endraswara (2006) Metodologi Penelitian Kebudayaan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Yusmar Yusuf (2009) Studi Melayu, Wedatama Widya Sastra, Pekanbaru. Zubaidah Shawal (1994) Busana Melayu; Jabatan Muzim dan Antikuiti, Kuala Lumpur.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 267 Sumber Situs/ internet: Pandai Busana Baju Kurung (Prof. Madya Dr. Haziyah Hussin) situs: http:// peradabanmelayu.my/index.php?option=com_content&view=arti cle&id=168%3Apandai-busana-baju-kurung&catid=34%3Adr- haziyah-hussin&Itemid=41&limitstart=2 (10.9.12) Jabatan Perangkaan Negara Malaysia, 2010: http://www.statistics.gov. my/portal/index.php?lang=en http://www.glogster.com/thiirahatl/baju-kurung-teluk-belanga/g- 6meunlud9m5u5u7ca86dra0 http://melakamajujaya.webs.com/pakaian.htm http://sulamanibu.blogspot.com/2011/01/baju-teluk-belanga-tulang- belut.html Sumber: http://keehuachee.blogspot.com/2012/02/winnie-sin-of-rafflesia- part-2-fashion.html http://thestar.com.my/lifestyle/story.asp?file=/2005/9/22/ lifearts/12046402&sec=lifearts http://hafidzahhafidz.blogspot.com/2011/05/diy-re-design-kebaya-anda. html

Situs pereka mode: http://www.jovian.com.my/gallery.html http://rizalmanibrahim.blogspot.com/2008_04_01_archive.html http://www.radzuanradziwill.com/home/index.php http://innaibatik.com/ https://www.facebook.com/pages/Molec-the-exclusive-design- wear/159762307425096

268 Rediscovering the Treasures of Malay Culture LAMPIRAN

Gambar 1: Baju kurung Gambar 2: Baju kebaya labuh teluk belanga serta sarong yang asali songket. Sumber: http:// Sumber: http://melakamajujaya. www.glogster.com/ thiirahatl/ webs.com/ pakaian.htm baju-kurung-teluk-belanga/g- 6meunlud9m5u5u7ca86dra0

Gambar 3: Kerah jenis Teluk Belanga Gambar 4: Busana yang ditiadakan Sumber: http://sulamanibu. bentuk teluk belanga sekaligus blogspot.com/ mengaburkan citra tradisionalnya. 2011/01/baju-teluk-belanga- Baju oleh Jovian Mandagie. tulang-belut.html

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 269 Gambar 5: Bagian pada pola baju Gambar 6: Baju kurung teluk kurung belanga dengan kain ombak Tradisional. Sumber: Busana mengalun oleh Salikin Sidek. Melayu, Sumber: Busana Tradisional, Salikin Zubaidah Syawal Sidek

Gambar 8: Pola baju dengan ‘dart’ Gambar 7: Kemasan modern pada oleh Salikin Sidek. Sumber: Busana teluk belanga. Sumber: Molec Tradisional, Salikin Sidek.

270 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Gambar 9: Baju kurung modern Gambar 10: Potongan duyung pada yang dipendekkan lengannya, kain (rok) atau ‘mermaid cut’ oleh rekaan Rizalman Ibrahim. Jovian Mandagie.

Gambar 11: Baju kebaya labuh Gambar 12: Kain silang depan rekaan Salikin Sidek. Sumber: yang telah diubah dari cara http://keehuachee.blogspot. pemakaian kain sarong supaya lebih com/2012 mudah dipakai. Sumber: Busana /02/winnie-sin-of-rafflesia-part-2- Tradisional, Salikin Sidek fashion.html

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 271 Gambar 13: Contoh baju kebaya yang hilang citra Melayunya akibat Gambar 14: Pola kebaya labuh lama perubahan drastik. Sumber: Sumber: Busana Melayu, Zubaidah http://thestar.com.my/lifestyle/ Syawal story. asp?file =/2005/9/22/ lifearts/12046402&sec=lifearts

Gambar 15: Bukaan depan baju Gambar 16: Lidah pada baju kebaya kebaya oleh Rizalman Ibrahim Sumber: http://hafidzahhafidz. dengan kain batik. Sumber: blogspot.com/ 2011/05/diy-re- Rizalman Ibrahim design-kebaya-anda.html

272 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Belah di belakang (slit) atau silang lipatan di belakang (inverted pleat) Kain “ombak “ombak Kain mengalun” & silang di sepan Kain disusun Kain jenis tepi “ombak mengalun” Kain Teluk Teluk belanga tulang tanpa belut Berbentuk Berbentuk belanga teluk teluk belanga belanga teluk bertulang belut Kolar/ kerah Kolar/ Panjang Panjang tidak tetapi lebar/ menirus Panjang Panjang sampai ke pergelangan tangan Panjang Panjang & lebar sampai ke pergelangan tangan Lengan baju Lengan tiada ada Di bawah Di bawah lengan, berbentuk segi 4 sama Kekek tiada ada Di sisi Pesak tiada Poket Poket susup di sisi pesak Ditampal Ditampal di atas badan depan Kocek/ Kocek/ poket Paras Paras lutut & atas ke Paras Paras lutut & ke bawah Paras Paras lutut dan ke bawah Labuh baju Organik Organik Geometrik Geometrik Geometrik (Lurus) Garisan badan baju tube Hourglass Hourglass (ikut bentuk tubuh) Tube/ Tube/ Tunik Tiub / tunik/ Bentuk Bentuk badan pola baju Rizalman Rizalman @ Ibrahim Grenier Walter KL Salikin Sidek @ Ampang Park KL Baju kurung Baju kurung tradisional Bahagian baju TABEL 1: Analisis data untuk rekaan baju kurung teluk belanga 1: Analisis data untuk rekaan TABEL

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 273 Potongan Potongan duyung Potongan Potongan duyung (princess- seamed mermaid skirt) Belah di belakang (slit) atau silang lipatan di belakang (inverted pleat) Teluk belnga belnga Teluk digantikan dgn kolar bulat Teluk Teluk belangan sebagai hiasan bukan tapi bukaan Teluk Teluk belanga menirus mengikut tangan Labuh sampai di pergelangan tetapi tangan menirus mengikut tangan Panjang dan Panjang menirus tiada tiada tiada tiada tiada tiada tiada tiada tiada Atas Atas dari paras lutut Paras Paras lutut & atas ke Paras Paras lutut & atas ke Organik Organik Organik Hourglass Hourglass (ikut bentuk tubuh) Hourglass Hourglass (ikut bentuk tubuh) Hourglass Hourglass (ikut bentuk tubuh) Innai Red @ Innai Red KL Hartamas Jovian M. @ Jovian Bangsar KL Radzwan Radzwan Radziwill @ Citypoint, Alamanda, KLCC

274 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Kain Dipakai bersama bersama Dipakai lepas atau batik kain dengan tenun kain silang di lipatan depan dalam lipat Kain hadapan, masih jenis- menggunakan tradisional jenis kain dan seperti tenun songket. Lengan baju Lengan Panjang & Panjang lebar sampai pergelangan ke tangan Panjang sampai Panjang pergelangan ke tangan Kekek Di bawah Di bawah lengan, berbentuk segi 4 sama ada kolar (kerah) kolar Pesak depan & Pesak 1.Pesak di depan 1.Pesak dgn lipatan kelepet kolar/ (kerah) di depan 2.Pesak lipatan tanpa / kelepet kerah Di depan baju 2 versi: Terdapat baju Labuh Paras lutut Paras dan ke bawah lutut Paras atas & ke Garisan badan baju Geometrik Geometrik (Lurus) Organik badan baju Bentuk pola Bentuk Tiub / tunik/ tube tanpa lidah: ditindih dan dikenakan keronsang Hourglass lisu (dengan pemadan/ dart). Baju dengan kebaya bukaan di depan, berlidah & berbutang katup baju Bahagian Baju kebaya labuh Salikin Sidek @ Ampang KL Park TABEL 2: Analisis data untuk rekaan baju kebaya labuh 2: Analisis data untuk rekaan TABEL

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 275 Kain silang/Kain lipat dalam hadapan, menggunakan kain campuran (untuk trdisional dan bagian kain) jenis polos sintetik baju. dan tipis untuk Kain lipatan lipatan Kain kipas di depan menggunakan batik corak material Labuh Labuh tiada Tiada Versi tradsional tradsional Versi di pesak dilipat depan sebagai kolar/kerah Tiada pesak kolar sebagai Labuhh ke Labuhh ke lutut paras Labuh ke Labuh ke lutut paras Geometrik Organik tube Tiub / tunik/ lidah: tanpa dikenakan keronsang, berlidah Baju menjadi 2helai (kebaya jarang di luar di dan ‘top’ dalam) Hourglass, Hourglass, bukaan di depan, lipat kolar digantikan dengan sulaman dan berlidah Rizalman Rizalman @ Ibrahim KL

276 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Menggunakan kain kain Menggunakan jenis silang/ lipat dalam hadapan, dan dari jenis tenun disulam. Labuh Tiada Tiada pesak kolar, sebagai kolar tetapi depan digantikan bukaan dengan disulam/ yang renda Labuh ke Labuh ke lutut paras Organik Hourglass, Hourglass, bagian lapik depan digantikan kolar dengan modern ala atau Barat sulaman berat Molec @ Pandan Indah

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 277 278 Rediscovering the Treasures of Malay Culture THE INFLUENCE OF THE MALAY CULTURE ON THE MELANAU MUSICAL ARTS

Nadia Widyawati Madzhi, M.A., (Ph.D Candidate) Monash University, Australia

Introduction The Melanau ethnic group in Sarawak has a long history of intimate contact with the Malay-speaking peoples of Sarawak, including Malay-speaking merchants, farmers, fisherfolk, and the people who like to live on boats at sea. They have also lived under Malay-speaking Sultans, such as the sultans of neighbouring Brunei. They like to sing their ceremonial songs in Malay pantun form, even though the texts are in a mixture of Melanau and Malay languages, and their love songs and songs about nature and daily life are also in pantun form. The traditional Melanau shaman sing and speak ceremonially in Old Melanau language and the ceremonial and popular courting dances resemble Malay , with couples singing and dancing together to Malay and Melanau musical instruments. According to the Federal Constitution of Malaysia, a Malay is defined as a person who professes the Muslim religion, habitually converses with other Malay, and practices or conforms to Malay customs. However, it is a serious misconception to think that the Malays throughout Malaysia are the same everywhere. The only aspects common to them all are actually their faith in Islam and the fact that they learn the standard in the schools. Yet different Malay groups interpret the teachings of Islam differently, and even in the same ethnic group they vary. For example among Muslim Melanau some are much more influenced by the practice of adat (traditional customs) than others, and many adhere to Modernist Muslim values. Besides, some of the many dialects of Malay spoken throughout

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 279 Malaysia areso different from others that they are incomprehensible among Malays in many parts of the country. Despite the many Malay words, poetic styles and grammatical forms in the Melanau language, speakers of standard Malay cannot easily understand it. In official government documents, the Melanauare represented as comprising about 5.8% of Sarawak population, but the actual number is probablymuch larger. All non-Muslim Malaysians have been encouraged to masuk Melayu (become Malay) which in practice means to convert to Islam, usually upon marriage. Thus the are divided into three categories - as Melayu (Malay), Melanau-Melayu or Melanau. The category of Melanau who refer to themselves as Malay are those who have become Muslim and do not wish to be associated with the original Melanau Animist beliefs. The Melanau Melayu are those who are Muslim but still respect their traditional beliefs. Those who simply call themselves Melanauare the Animists (called LikouMelanau) and the Christians who still practice Animist customs. Yet all Melanau – whether Animist, Musim or Christian - use the -Malay term term bin (son of) or binti (daughter of) in their names, e.g. Laila binti Mahmud. Thus it is difficult for Malaysia’s Department of Statistics to record the actual number of the Melanau people.

Malay Influences on the Melanau Concept of Musical Identity All three categories of Melanau recognize that Melanau musical culture is based on the traditional Animist Melanau ceremonial music and dance. For example, the all-female vocal music usually performed in Melanau wedding ceremonies is based on singing of verses set in the Malay pantun verse form, accompanied by group rebana (frame drum) playing. Another example is the drum music played to call the spirits and invoke a spiritual atmosphere at traditional healing ceremonies, including the rentakzapin rhythmic drum pattern which is derived from Malay zapindancing. The remainder of this article will discuss the musical arts with particular reference to the Melanau from .

280 Rediscovering the Treasures of Malay Culture The state of Sarawak comprises of eleven divisions. The Melanau communities mostly reside in the Third Division

The Mukah Division

The Malay Artistic Influence on the Melanau Traditional Healing Ceremonies As mentioned above, the traditional culture of the Melanau is coloured by their original Animist beliefs. Before Islam was propagated around their region via traders and religious leaders, including many from the Brunei Sultanate from the 15th to the early 19th century, all the Melanau venerated the ancestral spirits and the natural environment. Today, however, the remaining Animists are known as Likou Melanau. They believe that the earth consists of three layers: the Upper World, the Middle World and the Under World (Hang TuahMerawin, 1993:328), and that the spirits inhabit each layer e.g. in the Middle World they inhabit the jungles, rivers and mountains. The spirits in each layer, who are known as ipok (Melanau), must be respected so that they do not create problems among human beings (Jeniri Amir, 1989: 209). Traditional healing ceremonies known as bebayoh and payun employ music to summon the ipok to come down and bless the participants. Payun ceremonies last longer than the bebayoh (Jeniri Amir, 1989: 214). A bebayoh ceremony is performed when a patient vomits from fever and a payun when a more serious illness needs to be

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 281 cured. The payun ceremony is more costly than the bebayoh, as fellow villagers are invited to observe this rite and meals must be provided by the patient’s family (George Jamuh, 1959: 192). Usually the payuh ceremony takes place over a whole week, as the illness is harder to cure than the bebayoh. During a bebayoh ceremony, the a-bayoh (shaman) plays the geneang (a single-headed drum) while calling the ipok. According to Pak Sill1 in Mukah, one of the rentak rhythmic patterns used - the above-mentioned rentak zapin. It is not the rentak rhythm that is commonly played for zapin dancing in Johor but it has the same basic rhythmic structure.

° - sound struck on the middle of the drumhead + - sound struck on the edge of the drumhead > - accented

The a-bayoh normally plays the geneang until s/he is said to be possessed by the correct spirit. Traditionally, the a-bayoh played an important role in Melanau society whenever advice on various matters were sought, but since manyMelanau were converted to Islam or Christianity, they have been reduced in number, and the payun ceremony has become totally extinct.

1 Mohd Sill Abdullah who is fondly known as Pak Sill, is a 68 year-old Muslim Melanau who originates from Mukah but has migrated to Kuching. He is re- sponsible for designing the one and only Melanau longhouse in Malaysia; that is in the Sarawak Cultural Village in Kuching. His vast knowledge of the culture and old traditions of the Melanau community makes him the expert to whom one must refer. Among those bodies who have used his services is the Majlis Adat Istiadat Sarawak (Sarawak Council for Native Customs and Traditions). The Council was established in 1974 as a unit in the Chief Minister’s Office to collect and store data on the customs and traditions of the people of Sarawak.

282 Rediscovering the Treasures of Malay Culture The Pantun As mentioned above, the Melanausing verses in Malay pantun quatrains (in ABAB form), usually recited during bermukun (also known as bergendang, bertandak or nopeng) ceremonies. This all-female vocal music is still being performed among the Melanau and the Malay- speaking areas of Sarawak. At least two female musicians known as ibugendang take part, one of whom sings pantun spontaneously and the other plays the rebana, often in rentak joget style. In Mukah bermukun are often performed in the wedding ceremonies regardless of whether it is an Animist, Muslim or Christian ceremony. The event is often held in the evening after the wedding ceremony has ended, and it often goes on until the wee hours of the morning. Thebermukun is usually performed by women, though occasionally men are involved, often as a biola and a gong player. While the ibugendang recites the pantun and plays the rebana, the wedding guests, who consist of relatives and friends of the bride and bride groom, are free to dance in a space provided, following the beat typical of the joget dance. The pantun is sung by spontaneous improvisation throughout the entire performance, normally in the Malay language, and on any theme. Often the ibugendang sings pantun that offer advice, especially on marriage and family matters. Occasionally, during the performance, the ibugendang asks questions of the dancers in the form of pantun, i.e. she “sells the pantun” -jual pantun, and the dancer replies, also in pantun form, i.e. she ‘’buys the pantun” - beli pantun. This two-way process is called jual beli pantun(“sell/buy pantun”). Guests usually look forward to these exchanges. An example of a pantun recited during a bermukun is as follows:

Sayang Labuan pulau lah di laut The Labuan island in the ocean Khabar lah berita pasir lah Is filled with sand tumbuh Kasih lah mertua saya menyambut I embrace the love of my in-laws

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 283 Asal rahsia asal lah rahsia disimpan The secrets must be teguh kept

° - sound struck on the middle of the drumhead

+ - sound struck on the edge of the drumhead

> - accented

To this day bermukun remains a visible part of Melanau musical culture in the community. Not only is it still actively being performed in wedding ceremonies, but it is often broadcast on the radio station of Radio Television Malaysia (RTM), Malaysia’s official government

284 Rediscovering the Treasures of Malay Culture broadcasting agency, which actively promotes the music cultures of the various ethnic groups in Malaysia. According to Pak Sill the Melanau used to sing a wide repertoire of pantun in Old Melanau language, which is sadly no longer understood by many. He said that many of these pantun described female beauty, as in the following:

Tipak musik mentelao You are as white as the cotton

Menamui teloh siao telaguong ukak One does not feel bored balao looking at you Ukap apuk grau ao Looking at your smooth cheeks Ukap sisuk sama jelao Looking at your pointed nose

Conclusion In conclusion, just as the Melanau language contains many Melanau words and grammatical structures, Melanau music and musical life contains many Malay components. The traditional Animist components were influenced by the centuries of contact with the Brunei Sultanate and its Islamic religion and Malay culture. Thus the Melanau were able to assimilate many aspects of Malay culture, which resulted in its unique identity. Much more research is needed to understand Melanao musical culture and the Malay and other influences on it. Hopefully Melanau musical culture can be preserved for the benefit of future generations.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 285 References Abdul Rashid Abdullah (1993). “Socio-cultural Change in the Melanau Community”.The Sarawak Museum JournalVol. XL VLL (68): 305-316. Aloysius Dris (1989). “Oral Tradition: A Discussion on Some Areas of Melanau Oral Tradition”. The Sarawak Museum Journal Vol. XL (61): 339-356. Aloysius J. Dris (1993).“An Overview: The Cultural Future of the Melanau Community”. The Sarawak Museum Journal Vol. XL VII (68): 299-304. George Jamuh. (1959). “Melanau Healing”. The Sarawak Museum Journal Vol IX (13):186-194. Hang Tuah Merawin. (1993). “Pandangan Dunia Melanau Tradisional”. The Sarawak Museum Journal Vol. XL VII (68): 327-333. Hashim Awang. (1985). “Supernatural Elements in the Traditional Melanau Concepts of Illness Vausations: A preliminary observation”. The Sarawak Museum JournalVol. XXXIV (55): 47- 52 Jeniri Amir. (1989). “Adat Resam Kaum Melanau”. The Sarawak Museum Journal Vol. XL (61): 209-224. Morris, S. (1989). “The Melanau: An Ethnographic Overview”. The Sarawak Museum Journal Vol. XL (61): 181-188. Morris, S. (1991). The Oya Melanau, Sarawak: Malaysian Historical Society. Yasir Abdul Rahman. (1989). “Organisasi Sosial Melanau”. The Sarawak Museum Journal Vol. XL (61): 199-207.

286 Rediscovering the Treasures of Malay Culture TARI MELAYU MINANGKABAU: Antara Ada dan Tiada

Dr. Erlinda, S.Sn., M.Sn. Institut Seni Indonesia Padangpanjang

Abstract Malay Culture in Minangkabau from begin until now visible false. It is said there is less legible and say nothing against the fact, as well as the presence in Minangkabau Malay dance like pouring water to the sea. It has been providing value and potential but less memorable and meaningful. It was said, because since developed Padang as the area bandar or cities, dance Malays have become part of the city’s arts community, the support of the intelligentsia and the group “angku-angku” is people of the city living as a government employee. With the support and community activities, Malay dance growing well into formal schools in West Sumatra, and also to educated youth in villages that exist in Minangkabau. The reality is that until the 1970’s when young men and women in the villages hold a Malay dance theatrical performances have an important role. In effect, many young artists a creative dance arranging Malay dance, for the purpose of theatrical. In this way, the variety of Malays dances born in Minangkabau. Senior Koregrafer Minangkabau in the second half of the 20th century, namely Adam and Syofiani Hoeriyah Yusaf, directly or indirectly, has been inspired by the nature and style of dance in Malay dance cultivates traditional Minangkabau people. It looks from the creation of them like dance Payung dance, “Sapu Tangan dance” and so forth. But the condition is not readable or covered by the power of traditional Minangkabau dance that has style, and the specific and unique characteristics. Minangkabau dance conceived as a dance with nimble action, sharp and dynamic derived from Pencak Silat action Minangkabau, can obscure and weaken Malay Minangkabau dance, the action is gentle and graceful, accompanied by diatonic musical influence of European or Western culture. Observing the Minangkabau traditional dance areas are the south coast Minangkabau of West Sumatra, it is possible that the style of traditional dance on the south coast, under the influence of the style on the Malay dance. It was evident from the floor pattern plots, which tend to use horizontal and vertical straight line, as well as dance action, seen mingling among Malay dance with Pencak Silat Minangkabau. However Malay dance have a place in the lives of people in West Sumatra, and was instrumental in the growth and development of the Minangkabau dance, but the influence and services are becoming blurred, due to strong neutralizing Minangkabau traditional dance influences coming from outside.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 287 Abstrak

Budaya Melayu di Minangkabau dari dulu sampai sekarang terlihat semu. Dikatakan ada kurang terbaca dan dikatakan tidak ada menentang fakta, begitu juga dengan keberadaan tari Melayu di Minangkabau bagaikan menuangkan air kelautan. Telah memberikan nilai dan potensi tetapi kurang terkesan dan berarti. Dikatakan demikian karena sejak berkembang Padang sebagai daerah bandar atau perkotaan, tari Melayu telah menjadi bagian dari kesenian masyarakat kota tersebut, mendapat dukungan dari kaum terpelajar dan golongan “angku-angku” yaitu masyarakat kota yang hidup sebagai pegawai pemerintah. Berkat dukungan dan aktivitas komunitas tersebut tari Melayu berkembang baik ke sekolah-sekolah formal di Sumatera Barat dan juga ke kelompok remaja terpelajar di nagari-nagari yang ada di Minangkabau. Realitanya sampai tahun 1970-an ketika para pemuda dan pemudi di nagari-nagari mengadakan pertunjukan tari Melayu mempunyai peranan penting. Dampaknya banyak seniman muda tari yang kreatif menata tari Melayu untuk kepentingan sandiwara tersebut. Dengan cara demikian lahir berbagai tari Melayu di Minangkabau. Koregrafer senior Minangkabau pada paroh kedua abad ke 20, yaitu Hoeriyah Adam dan Syofiani Yusaf, secara langsung atau tidak telah terilhami oleh sifat dan gaya tari Melayu dalam menumbuh kembangkan tari tradisional rakyat Minangkabau. Hal itu terlihat dari karya-karya tari mereka seperti tari Payung, tari Sapu Tangan dan lain sebagainya. Namun kondisi itu tidak terbaca atau terselimuti oleh kekuatan seni tari tradisional Minangkabau yang mempunyai gaya dan krateristik yang spesifik dan unik. Tari Minangkabau yang dipahami sebagai tarian dengan gerakan lincah, tajam dan dinamis bersumber pada gerakan pencak silat Minangkabau mampu mengaburkan dan melemahkan tari Melayu Minangkabau dengan gerakan yang lemah lembut dan gemulai yang diiringi dengan alat musik diatonis pengaruh Eropa atau budaya Barat. Mengamati tari tradisional Minangkabau yang terdapat di daerah pesisir selatan Minangkabau Sumatera Barat, sangat memungkinkan bahwa gaya garap tari tradisional pesisir selatan mendapat pengaruh dari gaya garap tari Melayu . Hal itu terlihat nyata dari garapan pola lantainya yang cenderung mempergunakan garis lurus horizontal dan vertikal, begitu juga gerakan tarinya terlihat pembauran antara gerak tari Melayu dengan gerak pencak silat Minangkabau. Bagaimanapun jua tari Melayu mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat Sumatera Barat dan berjasa dalam pertumbuhan dan perkembangan seni tari Minangkabau, tetapi pengaruh dan jasa tersebut menjadi kabur karena kuatnya seni tari tradisional Minangkabau menetralisir pengaruh yang datang dari luar.

Kata kunci: Tari Melayu, Minangkabau, antara ada, dan tiada

288 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Pendahuluan Masyarakat Minangkabau dikatakan berasal dari bangsa Austronesia Melayu-Polenesia atau Melayu tua yang datang secara bergelombang dan diikuti oleh bangsa Austronesia baru atau Melayu Muda yang disebut Detro Melayu (Mansoer, 1970: 31-32). Dari segi ras atau pencirian fisik tersebut mustahil masyarakat Minangkabau dikatakan bukan masyarakat Melayu. Dobbin juga mengatakan, tidak dapat diragukan lagi bahwa selama berabad-abad daerah pantai timur pulau Sumatera merupakan penganut peradaban Melayu, yang berperan penting dalam irama perdagangan Internasional. Sedangkan daerah dataran tinggi Minangkabau merupakan dunia lain, mereka memiliki dan mengembangkan peradaban mereka sendiri yang khas dan yang makin diperhitungkan di dalam dunia Melayu. Pemikiran ini memberi pemahaman bahwa keturunan ras Melayu tua dan melayu muda yang menempati pulau Sumatera memunculkan peradaban yang berbeda antara masyarakat yang tinggal di pantai dengan masyarakat yang tinggal di pegunungan atau dataran tinggi. Peradaban masyarakat pantai atau pesisir dikategorikan sebagai budaya Melayu, sedangkan peradaban masyarakat di dataran tinggi atau di daerah perdalaman dikategorikan sebagai budaya atau peradaban Minangkabau. Lebih lanjut Dobbin menegaskan; Diperkirakan sejak abad ke empat belas dataran tinggi ini secara beransur-ansur mengambil alih peredominasi politik dan budaya daerah dataran rendah. Hal itu diperkuat dengan kondisi daerah Minangkabau yang berada di dataran tinggi mempunyai iklim dan tanah pertanian yang subur dan disertai oleh kekayaan mineralnya. Sementara dataran rendah menjadi penuh penyakit malaria, tidak sehat dan melemahkan (1992: 8-9). Dengan demikian daerah dataran Tinggi atau daerah pegunungan (Minangkabau) semakin mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kehidupan, baik dalam perdagangan maupun pertanian. Daerahnya semakin terbuka, semakin banyak dikunjungi dan ditempati oleh masyarakat yang berdatangan dari daerah pantai atau dataran rendah. Dobbin menjelaskan; Meskipun daerah ini terbuka bagi kekuatan-kekuatan yang datang dari luar, orang-orang Minangkabau di pegunungan dapat mempertahankan ciri-ciri khasnya yang menandai mereka sebagai rakyat pegunungan. Ciri-ciri ini terutama mengenai daya suai mereka

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 289 terhadap penetrasi budaya (1992; 9). Kajian di atas memberikan pemahaman bahwa Minangkabau adalah Melayu, karena secara ras ia tergolong kepada pembauran antara Detro Melayu dan Proto Melayu, sedang secara budaya juga terjadi pembauran antara budaya daerah pegunungan (Minangkabau) dengan daerah pesisir atau pantai (Melayu). Namun kenapa jarang terdengar sebutan atau pengakuan seperti itu? Ada kecenderungan masyarakat luar Minangkabau mengatakan Minangkabau adalah Minangkabau bukan Melayu, dan masyarakat Minangkabau sendiri juga terasa akrab dengan sebutan sebagai masyarakat Minangkabau dari pada sebutan masyarakat Melayu. Permasalahan seperti ini pula agaknya yang menyelimuti keberadaan tari Melayu di Minangkabau.

Keberadaan Tari Melayu Minangkabau Berabad yang lalu di Minangkabau tidak ada sebutan atau istilah tari Melayu, hanya dikenal tari Minangkabau, yang diistilahkan sebagai “Pamainan” dan “Pamenan”. Tari tradsional Minangkabau dikatakan pamainan anak mudo karena dilakukan oleh anak atau kaum muda. Dikatakan pamenan urang tuo, karena tarian tersebut adalah milik orang tua atau kaum tua. Pengistilahan itu menunjukkan bahwa tari Minangkabau didukung atau digiatkan oleh seluruh komunitas masyarakatnya secara bersama yang hanya tergolong kepada komunitas orang tua dan orang muda. Komunitas tua dimaknai sebagai pemilik dan komunitas muda adalah pelaku tari itu sendiri. Pemahaman seperti ini tetap hidup dan berkembang di lingkungan masyarakat Minangkabau sampai sekarang, terutama di lingkungan masyarakat kaum adat. Akan tetapi paroh pertama abad ke 20, ketika masyarakat Minangkabau sudah terklasifikasi menjadi masyarakat kota yang hidup sebagai pegawai dan saudagar, dan masyarakat desa atau masyarakat tradisi yang hidup sebagai petani dan nelayan, maka muncul komunitas sosial baru dalam masyarakat Minangkabau Sumatera Barat yang disebut golongan “angku-angku”. Masyarakat memanggil mereka “angku” yang diembeli dengan profesinya, yang berprofesi sebagai guru dipanggil “angku guru” yang berprofesi sebagai dokter dipanggil “angku dokter” dan lain sebagainya.

290 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Pada komunitas atau golongan “angku-angku” tersebut tumbuh dan berkembang seni budaya pengaruh Eropa atau Barat. Dalam dunia seni musik misalnya, golongan “angku-angku” tidak memainkan atau tidak mempergunakan alat musik tradisional Minangkabau seperti saluang, talempoang, gandang, sarunai, tetapi mereka memakai musik gitar, biola, drum, acordion dan sebagainya. Komunitas itu juga tidak menumbuh-kembangkan tari Piring, tari Padang, tari atau tari tradisional Minangkabau yang ditumbuh-kembangkan oleh komunitas petani di daerah perkampungan Minangkabau, tetapi mereka menumbuh-kembangkan tari-tari pergaulan dengan gerakan lenggang, lenggok yang lemah gumulai. Jenis tarian itu akhirnya populer disebut di Minangkabau tari Melayu. Tari Melayu yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat perkotaan selanjutnya berkembang ke sekolah formal sehingga generasi muda kaum terpelajar menumbuh-kembangkan tari- tarian tersebut. Pada pertengahan abad ke 20 sekitar tahun 1950- an sampai 1970-an tari Melayu sempat mempengaruhi pencitraan tari Minangkabau. Sebagaimana yang diungkapkan oleh tokoh tari Melayu Minangkabau Sumatera Barat Darwis Loyang, bahwa tari Minangkabau bukan hanya tari yang bersumber pada pencak silat, dengan gerak kudo-kudo, gelek, dan galatiak saja, tetapi tari bergayakan gerakan Melayu, seperti gerak lenggang, lenggok, dan joget adalah tari Minang juga. Oleh karena orang Minang orang Melayu juga (Erlinda, 2011: 277). Ada juga yang mempunyai persepsi terhadap tari Minangkabau sebagai tarian yang mempunyai gerakan lemah lembut atau lemah gemulai seperti yang diungkapkan dalam pepatah Minangkabau ibarat gerak siganjua lalai, pado pai suruik nan labiah, alu tataruang patah tigo, samuik tapijak indak mati” (Hakimi, 2001: 1). Suatu ungkapan pribahasa yang bersifat paradoks untuk mengungkapan kegemulaian dan kelemah-lembutan dalam ketajaman gerakan tari Minangkabau. Ungkapan gerak tersebut hanya terwujud dalam gerakan tari Melayu bukan dalam gerakan tari Piring, tari Pedang dan tari tradisional rakyat Minangkabau dalam komunitas masyarakat tradisional di perkampungan Minangkabau, karena tari tradisional Minangkabau di daerah “darek” atau di daerah pergunungan cenderung mempunyai gerakan tajam, tangkas, dan dinamis yang bersumber atau segaya

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 291 dengan gerak pencak silat Minangkabau. Melalui kreativitas seniman kota dan kaum terpelajar di Sumatera Barat, seni tari Melayu Minangkabau berkembang dengan pesat. Perkembangannya bukan hanya untuk lingkungan masyarakat perkotaan saja, tetapi berkembang juga sampai kepada lingkungan masyarakat nagari atau perkampungan di Minangkabau. Sementara itu masyarakat pesisir lebih cepat dan terbuka untuk bersentuhan dengan budaya asing dibanding dengan masyarakat darek yang tinggal di daerah pedalaman, karena secara geografis daerah tersebut merupakan pintu gerbang untuk masyarakat asing memasuki daerah Minangkabau. Hal ini berpengaruh terhadap kehidupan dan perkembangan keseniannya. Kedatangan bangsa Eropa, Portugis, Belanda, dan juga Inggris membawa pengaruh besar terhadap kesenian di daerah pesisir Minangkabau. Di samping itu seni tari dan seni musik oleh orang-orang Melayu Malaka yang bekerja sebagai pembantu perdagangan orang Portugis dan Belanda akhirnya juga mendapat tempat dalam kesenian masyarakat pesisir (Mulyadi, 1995: 9). Sejalan dengan perkembangan tersebut, daerah pesisir berkembang menjadi daerah perdagangan ditempati oleh masyarakat yang heterogen. Perkembangan daerah pesisir menjadi daerah perdagangan mengantar Padang menjadi kota bandar atau kota perniagaan. Mocthar Naim dan juga Tsuyoshi Kato memberi ulasan yang berhubungan dengan hal ini. Beliau antara lain mengatakan; dari awal perkembangan masyarakat rantau pesisir Minangkabau bersifat majemuk, terutama semenjak desa-desa pantai yang strategis berkembang menjadi kota-kota bandar perniagaan mulai dari abad ke-11 (1984:62-63). Komunitas masyarakat heterogen di daerah pesisir Minangkabau dan bandar menyebabkan sistem kekeluargaannya tidak mengutamakan kepada ikatan tali darah, melainkan kepada kesatuan teritorial. Sistem kekerabatan matrilineal tidak lagi berjalan seperti di tanah asal atau daerah pedalaman Minangkabau yaitu di luhak nan tigo. Sitem Matrilineal di kota-kota atau bandar perniagaan menjadi tidak kuat dan terasa longgar. Penduduk asli Minangkabau yang berasal dari daerah darek atau daerah pedalaman Minangkabau menerapkan sistem kekerabatan matrilineal di daerah perkotaan atau bandar, tidak lebih dari menandai identitas bersuku untuk ikatan geneologis sebagai

292 Rediscovering the Treasures of Malay Culture penduduk asli yang mempunyai leluhur di daerah pedalaman. Kondisi itu memberi peluang kepada mereka meniru dan menerima peradaban Barat, termasuk peradaban dalam kesenian. Sikap itu memunculkan kesenian-kesenian Minangkabau baru yang merupakan pengaruh dari berbagai budaya asing. Dalam seni musik, muncul musik yang bernada diatonis, sedangkan dalam seni tari muncul atau berkembang tari sosial yang mengutamakan nilai-nilai rekreasional. Tari-tarian sosial mengundung makna sebagai tari pergaulan atau kebersamaan, makna itu terungkap sekurangnya pada peristiwa penampilan tarian tersebut berlangsung. Pada prinsipnya tari-tarian sosial tidak mempunyai komposisi gerak yang baku, gerakan-gerakannya merupakan gerakan spontanitas oleh penarinya, dengan demikian, siapa saja akan dapat menarikannya tanpa mempersiapkan diri terlebih dahulu (Yulianti: 1985: 375). Sifat tarian sosial seperti itu memberikan pengaruh terhadap garapan tari Melayu Minangkabau. Terjadi pembauran dengan berbagai budaya bangsa pendatang, maka tari Melayu Minangkabau muncul dalam berbagai bentuk dan ragam pula. Mulyadi mengatakan tari Melayu Minangkabau memiliki tiga genre yaitu tari Melayu Minangkabau genre gamat, tari Melayu Minangkabau genre gambus (zapin), dan tari Melayu Minangkabau genre Katumbak. Tari Melayu Minangkabau genre gamat tumbuh dari peniruan- peniruan terhadap sifat dan gaya tari Eropa yaitu tarian pergaulan dalam acara pesta, tetapi tradisi pesta tidak ikut ditransformasikan. Hanya sifat pergaulan dengan tari berpasangan antara laki-laki dan perempuan menjadi sesuatu gaya tarian Minangkabau baru yang lahir di lingkungan masyarakat bandar. Hal itulah yang menyebabkan tumbuhnya penari wanita sebagai hiburan di lingkungan masyarakat perkotaan. Kehadiran kaum wanita sebagai penari di lingkungan masyarakat kota Sumatera Barat Minangkabau jelas tidak bersesuaian dengan kebiasaan yang berlaku di daerah pedalaman atau daerah darek Minangkabau. Di daerah darek kaum wanita tidak dibolehkan menari, malahan jika ada peran wanita dalam suatu tarian akan dilakukan oleh laki-laki yang berkostum dan berlagak seperti wanita. Pada bagian lain muncul kelompok bangsawan yang dibentuk oleh Aceh, memperkenalkan nilai-nilai baru melalui pedagang-

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 293 pedagang yang datang dari Arab, Andramait dan pemuda-pemuda yang pulang belajar dari Mesir pada pertengahan abad ke-19. Kelompok sosial tersebut adalah kelompok sosial yang anti Barat. Mereka memperjuangkan modernisasi berorientasi kepada kemajuan Kairo dengan Universitas Al Azhar. Modernisasi yang berorientasi kepada kemajuan Kairo tersebut salah satu terwujud dengan lahirnya musik dan tari genre gambus atau zapin. Selain berkembangnya tari Melayu Minangkabau genre gamat dan genre gambus atau zapin di Kota Padang juga pernah muncul tari Melayu genre katumbak, yaitu suatu gaya tarian Melayu yang tumbuh dan dimunculkan oleh komunitas Keling Padang. Sebagai suatu bentuk tari Minangkabau, tari Melayu Minangkabau mempunyai ciri dan kespesifikan sebagai perbedaannya dengan tari Minangkabau gaya lainnya. Kespesifikan dan ciri itu terlihat dari beberapa unsur atau aspek tariannya sebagai berikut: Pertama aspek gerak. Apabila tari Minangkabu gaya sasaran dan gaya surau bersumber atau segaya dengan gerakan silat, maka gerakan- gerakan tari Minangkabau Melayu tidak memperlihatkan sikap dan gaya silat Minangkabau. Tarian tersebut mempunyai dasar gerak lenggang, lenggok, ayun, dan lain sebagainya, yang tidak terlihat pada gaya gerakan silat Minangkabau. Sehubungan dengan gaya gerakan tersebut Mobin Shapard mengemukakan teknik gerak dalam khasanah tari Melayu yang ia sebutkan dalam empat istilah. Pertama tandak yaitu gerakan-gerakan kaki dalam melakukan langkah dan step. Kedua igal yaitu gerakan-gerakan tubuh. Ketiga liuk adalah menekankan kepada gerakan-gerakan tubuh, mengayun badan dan tangan seperti mengalai dan mengalah. Keempat, tari ditandai dengan gerakan lengan, tangan, dan jari-jari yang lemah gemulai. Istilah terakhir ini yang digunakan untuk menyebut tari Melayu pada umumnya (Murgianto, 1985: 382), begitu juga tari Melayu di Minangkabau. Hal ini memunculkan persepsi di lingkungan masyarakat Minangkabau bahwa menari itu adalah pekerjaan wanita, sehingga remaja putra Minangkabau tidak mau menari. Remaja putra yang mau menari akan dikatakan laki- laki kewanitaan yang disebut “Bujang Gadih”. Dampaknya dalam penampilan tari Melayu Minangkabau pada pertengahan abad ke-20 peranan laki-laki dilakukan oleh wanita yang berkostum dan bergaya

294 Rediscovering the Treasures of Malay Culture seperti laki-laki. Roslaini Murad guru tari Sekolah Menegah Karawitan Indonesia (SMKI) Padang mengatakan; tari Melayu Minangkabau adalah tarian yang mempunyai dasar gerak lenggang terfokus pada gerak tangan, lenggok terfokus pada gerak pinggul yang berbarengi dengan badan, sedangkan pada gerakan kaki dikenal dengan sebutan langkah biasa dan langkah beranak. Dasar gerakan-gerakan itu yang dikembangkan dan divariasikan dalam tari Melayu Minangkabau. Meskipun gerakan- gerakan tari Melayu Minangkabau hanya terbatas pada beberapa bentuk dan ragam gerakan saja, tetapi permainan pola lantai tarian itu terlihat menonjol dan apik. Penari-penari sambil melakukan gerakan- gerakan mampu membentuk berbagai pola lantai yang menarik untuk ditonton. Kedua, penari. Penari tari Melayu Minangkabau terdiri dari penari laki-laki dan penari perempuan, dan kecenderungan garapannya menampilkan tari berpasangan. Apabila dalam tari Minangkabau gaya sasaran dan gaya surau tidak pernah muncul penari perempuan, dan jika ada diperlukan peran perempuan akan diperankan oleh laki-laki yang berpakaian dan berlagak seperti perempuan. Akan tetapi dalam tari Melayu Minangkabau betul-betul menampilkan penari perempuan, malahan kadangkala karena kurangnya penari laki-laki di lingkungannya, tidak jarang penari-penari perempuan memerankan laki-laki dengan berpakaian dan berlagak seperti laki- laki. Kondisi semacam itu muncul karena filosofi menari di lingkungan masyarakat bandar berbeda dengan lingkungan masyarakat pedalaman Minangkabau. Selain itu seperti telah diuraikan sebelumnya, ikatan adat matrilineal di daerah bandar tidak sekuat di daerah pedalaman. Ketiga, musik tari. Tari Melayu Minangkabau mempergunakan musik diantonis dengan alat musik antara lain: gitar, biola, akordion, gendang, dan lain sebagainya. Pada dasarnya musik tersebut bukanlah musik tradisional Minangkabau. Keempat, kostum tari. Oleh karena tari Melayu Minangkabau menampilkan penari laki-laki dan penari perempuan, maka kostum yang dipakai disesuaikan dengan penari tersebut. Tarian ini pada dasarnya menampilkan kostum Melayu, baik untuk penari laki-laki

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 295 maupun untuk penari perempuan. Biasanya penari laki-laki mengenakan kostum stelan Gunting Cina, dan jarang mempergunakan warna hitam seperti warna yang sering dipakai pada tari Minangkabau gaya sasaran. Baju dan celana Gunting Cina dilengkapi dengan si samping yang terbuat dari kain songket, dan tutup kepala mempergunakan kopiah (peci nasional). Penari perempuan sering memakai stelan kostum kebaya pendek dan kebaya panjang (dalam) dilengkapi dengan hiasan kepala dari sunting atau setangkai kembang atau lebih. Kelima, properti tari. Berbeda halnya dengan tari Minangkabau gaya sasaran dan tari Minangkabau gaya surau tari Melayu Minangkabau sering mempergunakan properti sapu tangan, selendang, dan payung. Memang properti tersebut sangat membantu karakteristik tariannya yang sering menampilkan tari pergaulan dalam bentuk berpasangan, menyimbolkan kemesraan dan percintaan. Keenam. Kespesifikan lain terlihat dari tari Melayu Minangkabau pada tempat dan sifat pertunjukannya. Tari tersebut ditampilkan pada ruangan tertutup dengan mempergunakan pentas prosenium, bukan di tempat terbuka berbentuk arena seperti penampilan tari gaya sasaran. Sifat pertunjukannya adalah bersifat hiburan, bukan bersifat ritual dan sakral. Tari Melayu Minangkabau dihidupi dan dibina oleh masyarakat perkotaan, yang pada periode awal abad ke-20 tergolong kepada masyarakat pegawai, pelajar, dan saudagar, bukan masyarakat petani. Oleh karena itu, tari Melayu Minangkabau tidak terlalu terikat kepada nilai-nilai konvensional adat istiadat Minangkabau. Oleh karena tari Minangkabau gaya Melayu tidak terlalu terikat dengan ikatan-ikatan adat semacam tari tradisional di pedesaan, maka tari Melayu Minangkabau mudah berkembang ke lapisan masyarakat lain. Gejala itu pula agaknya yang menyebabkan tari Melayu Minangkabau menjadi alternatif atau pilihan oleh murid-murid Kweekschool Bukittinggi untuk dibina dan dimilikinya. Sejak diangkatnya tari Melayu Minangkabau ke lingkungan pendidikan formal (Kweekschool Bukittinggi) membuka peluang terhadap tarian itu menempati posisi dalam penampilan-penampilan tonel yang dipergelarkan oleh murid-murid sekolah tersebut. Kondisi

296 Rediscovering the Treasures of Malay Culture ini mengantar perkembangan tari Melayu Minangkabau kepada perkembangan yang horizontal. Penataan tarinya telah dilakukan untuk kepentingan pertunjukan atau Theatrical Dance yang ditata menurut teknik koreografi modern. Sesuatu yang sangat berarti dalam perkembangan tari Melayu Minangkabau karena pola tataan tari maupun musik iringannya yang dirintis oleh murid-murid Kweekschool atau Sekolah Raja Bukittinggi pada dekade awal abad ke 20-an tersebut berpengaruh atau memberi ilham terhadap penata tari Minangkabau sesudahnya (Mulyadi, 1995:290-292). Mengapa murid-murid Kweekschool atau Sekolah Raja Bukittinggi memilih tari Melayu Minangkabau untuk dikembangkan di sekolahnya? Hal ini agaknya disebabkan tari Melayu Minangkabau memiliki aspek-aspek seni yang mudah dipelajari oleh murid-murid sekolah, karena di samping gerakan-gerakannya yang sudah terpola dalam bentuk gerakan lenggang, ayun dan sebagainya, musiknya juga mempergunakan alat musik yang telah biasa di lingkungan para pelajar tersebut. Selain itu dapat pula dipahami, untuk mengangkat tari tradisional Minangkabau yang ditumbuhkembangkan oleh kaum adat atau masyarakat tradisional di nagari-nagari ke lingkungan pendidikan formal di masa itu tidaklah mudah, sebab tari tradisional Minangkabau itu selain memiliki aspek-aspek seni (gerak dan musik) yang unik juga pada prinsipnya tarian tersebut adalah milik persukuan yang hanya boleh diwariskan kepada pewaris-pewaris yang berhak dalam persukuan tersebut. Prinsip ini dipegang teguh oleh masyarakat pedesaan pada waktu itu. Melalui aktivitas dan kreativitas seniman kota dan kaum terpelajar tari Melayu Minangkabau berkembang dengan pesat. Perkembangan itu bukan hanya untuk lingkungan masyarakat perkotaan saja, tetapi juga untuk lingkungan masyarakat nagari atau perkampungan di Minangkabau. Seni tari Melayu Minangkabau mendapat tempat dalam pertunjukan sandiwara di kampung-kampung yang dilakukan oleh para pemuda kampung atau nagari tersebut. Kondisi itu memotivasi para koreografer di kalangan kaum terpelajar melahirkan tataan atau ciptaan tari mereka, sehingga bermunculan karya tari Melayu Minangkabau dengan bermacam judul di antaranya tari Payung, tari Bersuka ria, tari Selendang, tari Sapu Tangan dan lain sebagainya.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 297 Komunitas ini sangat menyukai dan merasa memiliki seni tari Melayu Minangkabau, sebaliknya mereka merasa jauh dan merasa tidak memiliki seni tari tradisional Minangkabau yang hidup di kampung- kampung seperti tari Mancak, tari Piring, Lu Ambek, Indang dan lain sebagainya. Malahan mereka seolah punya persepsi bahwa seni tari dan seni musik tradisional itu adalah kesenian orang kampung dan berstatus sosial rendahan. Meskipun tari Melayu Minangkabau mengalami perkembangan yang baik di lingkungan para pelajar dan masyarakat perkotaan. Namun pengistilahan atau sebutan tari Melayu terhadap tarian tersebut tidaklah populer, yang populer adalah judul tariannya saja; tari Mainang Payung, tari Sapu Tangan , tari Terana dan lain sebagainya. Pada tanggal 1 Juli 1965 berdiri lembaga pendidikan formal tentang kesenian tradisional di Padangpanjang yang disebut KOKAR (Konservatori Karawitan) dalam dua tingkatan yaitu KOKAR A setingkat SLTA, dan KOKAR B setingkat Perguruan Tinggi. Pada pada tanggal 22 Desember 1965 KOKAR B beralih nama menjadi ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia), maka sejak itu pula KOKAR A hanya disebut KOKAR tanpa embelan A atau B. Baik ASKI maupun KOKAR mempunyai tujuan pendidikan untuk “Menggali, Membina, dan Melestarian kesenian Minangkabau”, sehingga ASKI Padang Panjang yang berstatus sebagai filial dari ASKI Surakarta pada masa itu populer dengan sebutan ASKI Jurusan Minangkabau. Bersamaan dengan munculnya ASKI dan KOKAR di Panjang Panjang, muncul pula koreografer Minangkabau yaitu Hoerijah Adam dan Syofiani Yusaf. Kedua koreografer ini mempunyai kesamaan ideologi yaitu berupaya mengembangkan kesenian tari tradisional Minangkabau. Kondisi ini menutup kembali kepedulian seniman dan masyarakat Minangkabau terhadap tari Melayu yang sebelumnya telah berpotensi dalam kehidupan masyarakat kota dan kaum terpelajar. Baik Hoerijah Adam maupun Syofiani Yusaf tidak mengangkat dan mengembangkan tari tradisional Minangkabau menurut apa adanya, tetapi keduanya sama melakukan pengembangan berbagai unsur tarian tradisional Minangkabau hingga menarik menjadi suatu karya tari untuk pertunjukan. Kedua koreografer Minang ini berupaya mengangkat tari tradisional Minangkabau menjadi seni

298 Rediscovering the Treasures of Malay Culture pertunjukan untuk lapisan masyarakat lain, sehingga tari tradisional itu bukan hanya hidup dan dihidupi oleh dan untuk masyarakat tradisional saja. Untuk mewujudkan keinginan itu, beliau melakukan pembaharuan terhadap garapan pola lantai, kostum, properti dan sifat penampilan tari tradisional Minangkabau. Dalam penggarapan unsur-unsur tari tersebut terjadi pembauran antara kekuatan yang ada dalam garapan tari Melayu Minangkabau dengan kekuatan dan kespesifikan tari tradisional rakyat Minangkabau yang kental dengan gaya pencak silatnya. Sikap dan ideologi pengembangan tari tradisional Minangkabau yang dilakukan oleh Hoerijah Adam dan Syofiani Yusaf terpandang arif dan bijaksana. Dikatakan demikian, jika beliau mengembangkan tari tradisional Minangkabau dari unsur dan kespesifikan tari tradisional semata tanpa ada pembauran dengan gaya garapan tari Melayu di samping akan menemui kesulitan dari teknik gerak dan musik juga garapan itu amat sulit bisa diterima di lingkungan masyarakat perkotaan, para pelajar, dan para pegawai pemerintah (Golongan angku-angku), karena komunitas tersebut tidak menyukai tari tradisional rakyat Minangkabau pada masa itu. Malahan mereka nilai kesenian tradisional itu kampungan dan ketinggalan zaman. Ideologi pengembangan seni tari tradisional Minangkabau itu tetap dilakukan oleh Hoerijah Adam dan Syofiani Yusaf. Secara kebetulan pula kedua koreografer itu mempunyai ruang gerak yang berbeda. Hoerijah Adam bergerak di kalangan perguruan tinggi seni, sementara Syofiani Yusaf mengembangkan karya tarinya pada sanggar- sanggar tari di lingkungan masyarakat kota. Kondisi itu memperlancar perkembangan persepsi masyarakat Minangkabau Sumatera Barat terhadap seni tari umumnya dan seni tari Minangkabau khususnya. Sekitar tahun 1970 muncul lagi koregrafer spesifik Minangkabau yaitu Gusmiati Suid. Ia sangat fokus terhadap kekuatan gerak-gerak tari tradisional Minangkabau dan lebih khusus lagi pada gerakan pencak Silat Minangkabau. Karya tari Gusmiati Suid terkenal dengan gerakan yang dinamis: tajam, lincah, cepat dan energik. Salah satu karya tari yang populer sampai ke dunia Internasional adalah karya tari Rantak. Melalui karyanya itu pula Gusmiati Suid mendapat penghargaan Internasional September 1991 di Wintert Garden The World Financial Centre, New York Amerika Serikat (Ary, 1991: 5).

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 299 Ideologi panggarapan tari Minangkabau seperti ini banyak dilakukan oleh koregrafer Minangkabau berikutnya baik oleh murid-murid Gusmiati Suid maupun koreografer muda lainnya. Kondisi ini mampu mengalihkan persepsi masyarakat terhadap tari Minangkabau bahwa dasar gerak tari Minangkabau adalah pencak silat. Tidaklah dikatakan tari Minangkabau jika tidak punya gerak dasar silat. Meskipun pandangan itu mendapat tantangan dari komunitas Minangkabau yang berpandangan bahwa gerak tari Minangkabau adalah gerak “siganjua lalai” yaitu gerak lenggang lenggok yang lemah gemulai, namun persesi bahwa gerak tari Minangkabau dinamis, energik dan berdasar gerak pencak silat tetap saja mewarnai kreativitas koreografer Minangkabau selanjutnya. Lebih ekstrem lagi, ada yang berpandangan tari Melayu itu bukanlah tari Minangkabau, meskipun karya itu dilahirkan di Minangkabau oleh koreografer Minangkabau sendiri. Seperti tari Tanjung Katuang, tari Mainang Pulau Kampai dan lain sebagainya. Malahan di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Padang Panjang pernah mata kuliah tari Melayu dikategorikan sebagai mata kuliah tari daerah lain, bukan dikelompokkan dalam mata kuliah tari Minangkabau. Mengamati tari tradisional Minangkabau yang berasal dari pesisir selatan Minangkabau memunculkan persepsi atau pemahaman bahwa tari tradisional rakyat pesisir tidak persis sama dengan tari tradisional rakyat Minangkabau di daerah “Darek” atau daerah “Luhak Nan Tigo”. Misal tari Rantak Kudo, tari Buai-Buai, tari Sapu Tangan, tari kain, dan mungkin banyak lagi contoh lainnya. Gerakan tarian tersebut terlihat pembauran antara gerakan atau langkah-langkah pencak silat Minangkabau dengan gerakan tari Melayu yang diwarnai oleh gerak ayun atau lenggang dan langkah beranak, Dalam penampilannya memang tidak kentara kelihatan dasar gerak tari Melayu dan juga tidak terlihat nyata dasar gerak pencak silat Minangkabaunya, tetapi adalah pembauran dari keduanya, dan itu pula yang menjadi kespesifikan gerak tari tradisional rakyat Minangkabau di daerah pesisir selatan Sumatera Barat. Pengaruh tari Melayu yang tampak jelas dalam tari tradisional rakyat Minangkabau di daerah pesisir adalah pada pembentukan pola lantai tarian yang sering membuat garis lurus berbanjar atau bershaf yang dibentuk penari dalam melakukan gerak berpasangan. Masalah

300 Rediscovering the Treasures of Malay Culture seperti ini jarang diungkap dalam kajian tari Minangkabau, sehingga potensi tari Melayu di Minangkabau, dan eksestensi tari Melayu Minangkabau menjadi tersembunyi dalam kajian tari Minangkabau secara menyeluruh. Memahami aktivitas dan kreativitas koreografer senior Minangkabau yaitu Hoerijah Adam dan Syofiani Yusaf, tidaklah dapat disangkal bahwa cikal bakal beliau adalah dari tari Melayu Minangkabau dan musik diatonis pengaruh Barat atau Eropa yang berkembang di lingkungan masyarakat kota atau bandar Sumatera Barat. Karena kejeliannya terhadap seni tari Minangkabau, maka dalam pengembangan karya tarinya selanjutnya, beliau menumpahkan perhatian dan pengabdian untuk menumbuhkembang tari tradisional Minangkabau yang spesifik yaitu terhadap tari tradisional Rakyat Minangkabau yang hidup dan dihidupi oleh masyarakat “darek” atau tari tradisional Minangkabau yang berdasarkan gerak pencak silat. Dengan demikian secara langsung atau tidak, tari Melayu Minangkabau telah mengilhami dua koreografer senior Minangkabau (Hoerijah Adam, Syofiani Yusaf) dalam menumbuhkembangkan seni tari Minangkabau.

Penutup Apabila dipahami kesatuan etnis bukan hanya diukur dari hasil daya cipta atau budayanya saja, tetapi juga dilihat dari asal keturunan atau ras, maka masyarakat Minangkabau adalah tergolong kepada orang Melayu. Dengan sendirinya seni budaya orang Minangkabau juga seni budaya Melayu. Namun tampaknya permasalahan bukan hanya sampai di situ. Ternyata kekuatan budaya di daerah pergunungan atau daerah “darek” Minangkabau Sumatera Barat yang terkenal dengan sebutan budaya Minangkabau lebih kuat dibanding dari budaya Melayu yang berkembang di daerah pesisir. Secara khusus tari Melayu pernah berkembang baik di lingkungan masyarakat Minangkabau, terutama pada kaum terpelajar dan “golongan angku-angku” di daerah perkotaan Sumatera Barat. Malahan juga muncul karya tari Melayu Minangkabau dalam tiga genre yaitu tari Melayu genre Gamat, genre Gambus, genre Katumbak.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 301 Tari Melayu juga mengilhami koreografer Minangkabau dan telah memberi pengayaan terhadap perkembangan tari Minangkabau dari dahulu sampai sekarang, namun pengaruh dan potensinya menjadi tidak terlihat dan terbaca karena kuatnya seni budaya Minangkabau dengan segala kespesifikannya.

Daftar Kepustakaan Ary. 1991 ”Grup Tari Minangkabau dan Aceh Raih Anugerah Seni di AS”. Jakarta: Kompas. Dobbin, Christine. 1992. Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah, Sumatra Tengah, 1784-1847. Terj. Lillian D. Tedjasudhana. Jakarta: INIS. Erlinda. 2011. “Diskursus Estetika Tari Minangkabau Di Kota Padang Sumatera Barat Pada Era Globalisasi”. Disertasi. Denpasar: Program Pascasarjana Udayana Hakimi, Idrus. 2001. 1000 Pepatah-Petitih Mamang-Bidal Pantun- Gurindam bidang Sosial Budaya, Ekonomi, Politik, Hankam, dan Agama di Minangkabau. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mansoer, M. D. 1970. Sejarah Minangkabau. Jakarta: Bharatara. Mulyadi, KS. 1995. “Tari Minangkabau Gaya Melayu Paruh Pertama Abad XX (Kontinuitas dan Perubahan)”. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Program Pascasarjana. Murgianto, Sal. 1985. “Seni Tari Melayu dan Refleksi Keindahan” dalam kumpulan Seminar Masyarakat Melayu dan Kebudayaan. Tanjung Pinang: Melayulogy Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Naim, Mochtar. 1984. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Parani, Yulianti L. 1985. “Seni Tari Melayu Fungsi dalam Kebudayaan Melayu” dalam Kumpulan Seminar Masyarakat Melayu dan Kebudayaan. Tanjung Pinang: Melayulogy Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

302 Rediscovering the Treasures of Malay Culture HISTOIRE TOTALE: Gamelan dan Talempong serta Fungsinya di Era Kekinian

Dr. Nursyirwan, S.Pd., M.Sn. Institut Seni Indonesia Padangpanjang

Intisari

Metode untuk mengatasi masalah terhadap masa lampau yaitu, dengan menggunakan pendekatan holistik dengan melibatkan histoire totale, karena bekerja secara histoire totale akan membantu penulis/peneliti untuk mengungkap/menjawab pertanyaan tentang waktu dan topik, sedang dalam pembahasannya hendaklah dibagi-bagi. Biografi bisa membangun pendekatan holistik dan sangat membantu dalam penelitian yang memiliki banyak ragam dan rentangan waktu yang begitu luas. Adapun jika menggunakan sejarah holistik, dibutuhkan dua bentuk data pendukung yaitu, biografi dan sejarah budaya. Di Minangkabau alat musik berupa perunggu yang menyerupai gamelan memiliki pencon dikenal dengan sebutan talempong. Bahan untuk pembuatan talempong umumnya berupa benda-benda logam bekas, yang oleh masyarakat Minangkabau lebih dikenal dengan sebutan kuningan. Adapun pembuatan gamelan umumnya berupa logam baru (tidak logam rongsokan), sedangkan teknik memainkannya memiliki teknik yang sama, yaitu dipukul dengan memakai stick yang terbuat kayu.

Kata Kunci: Histoire, Holistik, Musik, Gamelan, Talempong.

Pendahuluan Pemaparan tulisan kali ini penulis menyinggung tiga pokok persoalan mengenai sejarah yang diimplikasikan pada objek seni yaitu gamelan dan talempong. Pertama, bahwa sejarah itu luar biasa besar, dalam konteks pokok bahasannya, sumber dan lingkupnya, yang harus dibagi-bagi agar bisa dikelola. Kedua, bahwa ada tiga cara untuk mencapainya yaitu: histoire totale (sejarah lengkap); longue duree (rentang waktu panjang); revival of narrative (kebangkitan kembali narasi), yang

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 303 kesemuanya berisi asumsi-asumsi penting, yang membentuk berbagai tulisan historis yang dihasilkan. Ketiga, jelas karena pembagian antara ragam sejarah bersifat problematik dan sewenang-wenang/semena- mena, ada berbagai upaya untuk menulis tentang masa lampau dengan cara yang lebih memuaskan. Kiranya itulah yang disebut holistic dan menampilkan biografi sebagai contohnya. Pada kesempatan ini juga dinyatakan bahwa sejarah budaya, yang sekarang sedang mengalami kekaburan yang belum pernah terjadi sebelumnya, merupakan manisfestasi dari keinginan akan bentuk- bentuk sejarah yang menciptakan kembali kisaran pengalaman dan kebutuhan yang diperlukan oleh umat manusia. Sejarah budaya menampakkan diri untuk menjadi terbuka pada beragam perspektif teoritis yang menempatkan alam kesadaran manusia di jantung pembelajaran. Dalam kasus ini koherensi atau rasa keseluruhan yang dicari oleh sejumlah tradisi historis ditemukan dalam proses mental manusia, karena semua fenomena historis diperantarai oleh mereka. Sekarang, penulis harus beralih ke cara-cara yang berbeda dalam memotong kue sejarah itu.

Sejarah Holistik Salah satu cara mengatasi masalah-masalah yang sudah disampaikan itu adalah dengan melibatkan histoire totale, yaitu sebuah pendekatan holistik yang lebih eksplisit terhadap masa lampau, yang sering dikaitkan dengan aliran “Annales” Perancis. Para penganut “Annales” terbuka terhadap ‘sejarah tematis’ atau tema/pokok terhadap keberagaman fenomena manusia, dan terhadap kolaborasi dengan disiplin-disiplin yang lain, yang artinya cakupan intelektual mereka luar biasa luas. Masalah sebagaimana dilontarkan oleh pendekatan ini adalah bagaimana seharusnya fokus analisis historis itu merupakan sebuah komunitas, atau kawasan. Bisakah histoire totale dilakukan secara tematis, bisakah anda menuliskan sejarah lengkap suatu gagasan, sebuah objek atau pekerjaan? Contoh pendekatan semacam ini yang paling banyak diakui adalah penelitian Magister Braudel tentang Mediterania, ia mengambil suatu kawasan geografis sebagai fokusnya. (L. Jordanova, 2000).

304 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Menurut Braudel kawasan yang memiliki sejarah agak istimewa, yang bisa dianggap amat penting bukan hanya bagi perkembangan Eropa tapi juga hubungan antara bangsa-bangsa Eropa dan bagian- bagian lain di dunia-timur, Afrika, dan tentu saja pada akhirnya Dunia Baru. Braudel mengkaji tingkat-tingkat historis yang beragam dengan rentang waktu yang amat luas dan panjang. Hal ini membantunya mengungkap apa yang selalu menjadi masalah paling menantang bagi beragam proyek berskala besar; bagaimana membangun kerangka yang jelas dan koheren untuk menyusun sebuah buku. Pendekatan Braudel secara keseluruhan terhadap sejarah bersifat inklusif, serta lingkungan struktur sosial dan ekonomi maupun “berbagai kejadian” dan ini mengantarkannya pada pembedaaan jenis dan kecepatan perubahan. Para peneliti yang mengambil kurun waktu relatif singkat sebagai objek penelitiannya tidak akan bisa mengamati peralihan- peralihan tersebut, yang terjadi sangat lambat sehingga keputusan tentang lamanya waktu yang akan dicapai, secara otomatis akan memprioritaskan jenis fenomena dan penjelasan terhadap yang lain. Semakin singkat cakupan waktunya, semakin terbatas opsi sejarahnya. Para penganut sejarah mikro menyatakan keunggulan penelitian berskala kecil, misalnya dalam penciptaan kembali pengalaman yang dijalani sehari-hari. Sebuah pemikiran seperti histoire totale membantu para sejarawan untuk merenungkan berbagai pertanyaan tentang skala dan fokus (objek penelitian), dan tentang keterlibatan berbagai pilihan terkait dengan jenis sejarah yang dijalani. Ketika sejarah sosial “gelombang kedua” hadir/muncul pada tahun 1970an, jalur yang ditempuh bukan histoire totale melainkan penelitian tematis atau komunitas yang amat terfokus pada potongan-potongan waktu yang relatif terbatas (L. Jordanova, 2000). Dalam bentuk yang paling kaku, histoire totale seperti sejarah longue duree tak banyak dipraktekkan orang saat ini. Tapi gagasan yang disusunnya tidak sepenuhnya mati. Ada sedikit sejarawan yang dengan serius berusaha menjadikan buku mereka bacaan yang bagus. Ini trend penting dalam beberapa hal. Misalnya, di situ ditunjukkan revival of narrative meminjam istilah Lawrence Stone (L. Jordanova, 2000), yaitu minat mengisahkan berbagai cerita di mana pembaca bisa mengenalinya, buku-buku Simon Schama adalah contoh dari trend ini.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 305 karya Citizens, yang diterbitkan bertepatan dengan dua ratus tahun Revolusi Perancis pada tahun 1989, mengkaji Revolusi tersebut dari sudut pandang para partisipannya. Ini bukan sejarah politis ataupun sejarah sosial, melainkan campuran dari apapun yang tersedia demi menunjukkan apa yang mungkin ada di sana. Ini bukan histoire totale dalam konteks karya-karya Braudel, akan tetapi merangkul, berkisaran luas, dan mencoba lepas dari kategori-kategori yang kaku, seperti sejarah politik, yang dalam kasus Revolusi Perancis, melibatkan urutan perubahan pemerintahan, sifat kepemimpinan revolusioner atau kaum yang melakukan gerakan revolusi (Pius A. Partanto, 1994: 678), legitislation pembuatan undang-undang: Ind (Jhon M. Echols, 2000: 353) yang diperkenalkan, kampanye militer dan sebagainya. Justru karena buku ini tidak menyingung hal-hal semacam itu, maka ia dikritik habis-habisan karena tidak memiliki rasa unsur struktural yang membangun Revolusi tersebut. Di sini, seperti halnya buku-buku Schama yang lain, penekanannya pada budaya dan tema-tema yang bisa ditelusuri dalam berbagai bentuknya. Selama sejarah holistic masih dijalankan atau dipratekkan saat ini, maka diperlukan dua bentuk utama: biografi dan sejarah budaya. Kembali pada sejarah budaya secara singkat. Meski biografi bisa dipakai sebuah genre sastra, tapi sesungguhnya jauh melampaui hal itu. Menjadikan seseorang sebagai unit analisis berarti mengambil pendekatan sejarah tertentu, yang menekankan keagenan individual, dan melihat subjek sebagai suatu titik di mana berbagai kekuatan historis yang beraneka ragam bertemu, sembari menjadikan rentang usia manusia sebagai periode waktu alami. Biografi bisa membangun lintasan silang bagi berbagai pembagian sewenang-wenang, antara bidang-bidang dan pendekatan historis. Ada dua prasyarat bagi biografi yang memungkinkan subjeknya harus lebih besar daripada kepentingan ahli dan harus merupakan bahan yang memadai yang tersedia. Harus diakui, prasyarat yang kedua sedikit membatasi bidang ini, meski perlu diingat bahwa sumber-sumber tersebut benar-benar ada, pada beragam penelitian biografis yang jumlahnya cukup mengejutkan. Namun demikian, patut dicatat betapa banyak sosok berpengaruh menghancurkan atau yang diperiksa habis tulisan-tulisan mereka, dan betapa banyak kerabat atau keturunannya melakukan hal serupa atau

306 Rediscovering the Treasures of Malay Culture menolak para sejarawan mengakses bahan-bahan yang mereka simpan secara pribadi tersebut. Sifat dari tulisan biografi mengalami perubahan yang amat jelas dalam sejarah panjang mereka. Bila para pemimpin khususnya pemimpin politik dan militer biasanya diidolakan dan kebanyakan topiknya diberikan perlakuan hagiographic, beberapa tahun belakang ini, biografi menjadi wahana bagi pendekatan historiographical (penulisan sejarah) yang rumit, termasuk yang bersifat psikoanalitis. Evaluasi kritis terhadap sebuah kehidupan sekarang lebih bisa diterima dan biografis tetap populer sekali bagi para pembaca secara umum. Dalam kehidupan seseorang, kita melihat banyak faktor yang terlibat tentu saja faktor politis, sosial dan ekonomi yang sudah diduga, tapi juga pendidikan, jaringan kekerabatan dan persahabatan, kegiatan waktu luang, membaca, bekerja dan sebagainya. Dengan cara ini, rekonstruksi suatu kehidupan bisa berupa bentuk histoire totale dengan skala yang terbatas. Ini mengisahkan cerita mengikuti pola yang kebanyakan dianggap memuaskan sebuah kisah hidup memiliki daya tarik intuitif yang tidak seharusnya dijadikan olok-olok. Bila biografis biasa dianggap sebagai hal yang konvensional, sekarang semakin jelas betapa biografis bisa sangat kaya dalam hal wawasan historis terwujud pada diri mereka keinginan bahkan kebutuhan, untuk mengenali diri dengan objek penelitian kita. Proses identifikasi ini mendapatkan kemudahan ketika objeknya adalah manusia, di mana orang harus terhubung dengan mereka secara intelektual maupun imajinatis.

Gamelan dan Talempong Menurut Kunst, jenis gamelan Jawa yang tertua, yaitu “gamelan munggang tiga nada,” yang digunakan kira-kira tahun 347 sesudah Masehi. Bukti lain menunjukkan instrumen utama ensambel ini, terdiri dari 4 bonang, masing-masing terdiri dari tiga gong yang sangat besar berbentuk ‘ketel’ horizontal’ kemungkinan jauh sebelumnya telah diciptakan, abad ke-2 atau pertama sebelum Masehi. Ketel yaitu ceret besar (biasanya untuk jerang air)”, (Henrique Dias,, 1995: 40). Adapun menurut mitos Jawa, penciptaan gamelan Jawa pertama disebut “tetabuhan lokanata dan gamelan lokanata”. ‘Lokanata’ artinya

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 307 ‘musik sorga’, yang dimainkan dengan instrumen yang tidak kelihatan, dan ‘Munggang’ adalah nama perangkat ketel bonang pertama yang ditempa dengan tangan tanpa hiasan, yang dibuat sebagai tiruan (Frits A. Wagner,1959: 31). Kunst dan ahli lainnya mengemukakan mungkin ada dua pusat asal gong tergantung vertikal: satu di Near East di mana dikembangkan model yang berkulit tipis (thin-walled type) dengan sedikit atau tanpa flens (pinggiran roda) dan tanpa central boss (moncong), kedua di Asia Tenggara dikembangkan yang berkulit lebih tebal dengan flens Balik yang dalam, moncong dan sorrounding shoulder, terutama di Jawa. Jenis instrumen yang tidak terdapat dalam gamelan kuno tiga atau empat nada, yaitu “saron”. ‘Saron’ termasuk kelompok ‘ensambel slendro lima nada’ dikenal secara luas pada abad ke 6 atau 7 dan terlukis di antara relief-relief (Mahdi Bahar, 2003: 130-132, dan Franciscus Xaverius Suhardjo Parto, 1990: 18). Colin McPhee mengemukakan bahwa bermacam-macam jenis laras pelog lima nada yang dipakai dalam gamelan gong lama, dan gamelan gong kebyar modern, berasal dari notasi lima nada, sedangkan yang berasal dari laras pelog tujuh nada gamelan gambuh. Beberapa gong dan sepasang kendang, dibawa ke Bali dari Jawa Timur selama pemerintahan Majapahit (antara abad ke 13 sampai 16) (Colin McPhee,1966: 13). Di wilayah Asia Tenggara lainnya kita sangat sulit untuk mendapatkan bukti berkenaan dengan alat musik. Contoh, sulitnya memastikan adanya kebiasaan musik di Thailand sebelum akhir abad ke-18. Langkanya relief-relief kuno atau penemuan arkeologi, juga menyulitkan untuk menentukan umur ensambel ‘gong-genta’ di Filipina Selatan atau di Sabah (Hood, 1980: 171). Sedikit informasi yang menyatakan penyebaran alat-alat gamelan gong-genta dari Jawa atau Bali ke pulau-pulau lain di Indonesia. Sementara itu di Jawa Barat (Sunda) gamelan yang pertama dibawa dari Jawa Tengah setelah runtuhnya kerajaan Hindu yang terakhir yaitu Padjajaran pada tahun 1959 oleh kaki tangan Mataram yang menggunakan gamelan untuk menghibur kekuatan mereka (Hood, 1980: 169).

308 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Menurut legenda tradisional Jawa, musik dimulai ketika Dewa Siwa, memesan agar dibuatkan instrumen-instrumen penanda isyarat yang berbentuk “genta keleng”. Hal ini kemudian mengarah kepada lahirnya gamelan, sebagai suatu ensambel yang pada intinya terdiri dari instrumen-instrumen perkusi yang terbuat dari logam. Kepercayaan bahwa Dewa Siwa, Dewa Hindu, menciptakan gamelan Jawa menunjukkan kuatnya pengaruh Hindu pada kebudayaan Jawa (Hood, 1980: 171). Para sarjana modern masih belum bisa meyakini apakah instrumen- instrumen yang dilukiskan pada tembok Borobudur termasuk Hindu atau Jawa, sedangkan studi historis tentang gamelan agak lebih aman karena didukung oleh gamelan-gamelan kuno yang tersimpan di Istana Yogyakarta dan Surakarta, Museum Jakarta dan desa-desa di Bali, namun di Sumatera Barat tidak begitu adanya, sehingga inilah masa lalu itu (I Made Bandem, 2005, 8). Selanjutnya, Snellman juga mencatat instrumentasi jenis gamelan yang terdapat di Kalimantan Tenggara dengan lengkap. Jenis gamelan tersebut memiliki sebuah rak yang menarik dan berisi empat atau lima gong. Fungsi salah satunya adalah untuk memberitahukan suatu komentar, sedang di Kalimantan Tengah, gong-gong perunggu dipakai untuk memanggil roh dan jelas tidak memiliki tujuan musikal. Menurut Kunst 1930 di Flores di antara 54 jenis instrumen musik yang berbeda-beda kebanyakan didapati di bagian Barat dibanding dengan di bagian Timur. Di antara 54 jenis tersebut, 15 tergolong ideophones (4 jenis gong, didatangkan dari Jawa) (Bandem, 1980: 115). Ditinjau dari posisi letak pulau Sumatra yang berdekatan dengan daratan Asia Tenggara, tidak mengherankan kalau di Sumatra ditemukan bukti-bukti adanya kontak kebudayaan zaman Perunggu. Sejumlah gendrang perunggu pada sebuah pahatan batu melukiskan sebuah gendrang perunggu yang digendong oleh seorang prajurit berkuda ditemukan di wilayah ini (Nursyirwan, 2011: 3). Menurut Kunst gong-gong perunggu berukuran besar dengan kualitas bagus pada zaman dahulu dibuat oleh suku Batak-Karo. Ia menyebutkan tradisi-tradisi keraton di Sumatra Selatan telah menggunakan laras slendro dan laras pelog, namun tidak ada penjelasan

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 309 tentang karakter jika dibanding dengan yang ada di pulau Jawa atau Bali (Franciscus, 1990: 18). Kelompok yang banyak jadi pembicaraan adalah masyarakat Batak dan Minangkabau, karena memiliki kekayaan musik yang sangat menarik. Kepercayaan dan keyakinan serta bentuk musik suku Minangkabau memang ada kontranya dengan suku Batak. Suku Minangkabau sangat kuat dengan ajaran agama Islam, serta memiliki sistem kekerabatan yang bersifat matrilineal. Musiknya kebanyakan adalah adaptasi dari musik Arab, terutama pada daerah pesisir, bentuk musiknya didasarkan pada tangga nada “patet leptatonic”, sedangkan yang di daerah pedalaman dipengaruhi oleh “patet-patet pentatonic” Mantle Hood, 1980: 215). Masyarakat Minangkabau yang berada di daerah pegunungan pedalaman memakai sebuah “gong genta kecil” yang dikenal dengan “talempong”. Ensambel talempong yang eksklusif dimainkan oleh kelompok wanita, yang terdiri dari sebuah talempong dan lima buah gong perunggu horizontal, yang diletakkan pada sebuah bingkai di atas resonator batok kelapa, sebuah canang (gong gantung yang dipegang dengan tangan), sebuah gong yang agak besar, dan sebuah gandang katindiak (Margaret J. Kartomi, 1980: 111-113).

Fungsi Talempong di Minangkabau Pada saat ini keberadaan ensambel talempong oleh masyarakat Minangkabau sering dipergunakan untuk kegiatan hiburan dan kegiatan seremonial, sedangkan untuk kegiatan ritual sudah jarang dilakukan, melihat pola berpikir masyarakat sekarang sudah mengalami kemajuan dan dipengaruhi oleh perkembangan alam. R.M. Soedarsono mengatakan bahwa, setiap zaman, etnis, lingkungan masyarakat, serta bentuk seni pertunjukan secara garis besar memiliki fungsi utama, yaitu sebuah seni pertunjukan harus diketahui siapa penikmatnya. Seni pertunjukan dapat pula difungsikan sebagai sarana ritual, atau sarana upacara, kemudian sebagai ungkapan hiburan pribadi dan sebagai presentasi estetis (R.M. Soedarsono, 2002: 123). Etnik Minangkabau sesungguhnya masih mempertahankan mengenai nilai-nilai kehidupan agrarisnya, oleh sebab itu sebagian kecil

310 Rediscovering the Treasures of Malay Culture pertunjukan seni di Minangkabau masih memiliki fungsi ritual. Fungsi- fungsi ritual itu bukan saja berkenaan dengan peristiwa daur hidup yang dianggap penting seperti: peristiwa kelahiran, potong rambut, turun tanah, khitanan, pernikahan, dan kematian. Kegiatan-kegiatan yang dianggap penting dan memerlukan seni pertunjukan, seperti kegiatan berburu, panen padi, dan memperingati hari-hari bersejarah tertentu. Dalam fungsi sekunder seni pertunjukan difungsikan sebagai sarana informasi, sebagai media pendidikan, sebagai sarana untuk mencari nafkah, dan sebagainya (Nursyirwan, 2011: 127). José Macéda mengatakan, sehubungan dengan keragaman ensambel musik yang terbuat dari: bambu; kayu; dan perunggu, di Minangkabau alat musik itu dinamakan talempong bambu, talempong kayu, dan talempong logam. Bahan lain baik yang berada pada kawasan kepulauan maupun benua Asia Tenggara merupakan sumber warna bunyi kelompok alat musik. Ensambel seperti ini menurut José Macéda dapat dimainkan pada kegiatan festival, pertunjukan, peristiwa daerah dan internasional, dan dapat juga dipadukan dengan kegiatan lain. Kegiatan seni di Minangkabau saat ini, sesuai yang disampaikan Macéda sudah semestinya, tidak perlu diragukan lagi keberadaan talempong beserta fungsinya. Ditambahkan oleh Macéda, hal seperti ini mungkin membutuhkan waktu lama pada ensambel tiup, string, dan gong di Asia, tetapi mungkin akan lebih cepat daripada gerak lambat yang terjadi. Pergerakan peralihan dari daerah yang satu ke daerah yang lain sudah dikenal di Asia pada abad XX (Jose Maceda, 1999: 166). Berkaitan dengan pemanfaatan keberadaan talempong di Minangkabau memiliki beberapa fungsi, namun tidak semua fungsi diperlakukan secara sama oleh masing-masing nagari. Pengelompokan fungsi permainan talempong itu adalah sebagai berikut. Untuk ritual sudah jarang dilakukan, sedang sebagai sarana penyemarak untuk upacara memang masih bertahan, misalnya dalam acara perayaan Khatam Qur’an. Pelaksanaan kegiatan arak-arakan iring-iringan peserta yang ikut Khatam Qur’an, dimaksudkan untuk memberitahukan kepada masyarakat kampung sekitar. Arak-arakan diiringi oleh permainan talempong, yang dimainkan oleh golongan orang tua-tua di kampung. Lebih jelasnya dapat dilihat gambar berikut.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 311 1. Untuk keperluan upacara perkawinan, bunyi-bunyian talempong pada prosesi arak-arakan ditujukan untuk mengiringi pasangan pengantin anak daro turun dari rumah bako, atau sebaliknya marapulai turun dari rumah bako menuju tempat pesta pernikahan diadakan. Lebih jelasnya dapat dilihat gambar berikut.

Gambar 1. Arak-Arakan Prosesi Khatam Qur’an diiringi Talempong dan Rebana di Jorong Pua Data, Kototinggi, Gunuang Omeh, Kabupaten Limo Puluh Kota. Foto: Nursyirwan, 25 Maret 2012.

2. Untuk upacara pengangkatan penghulu baru dalam acara penobatannya sebagai kepala kaum di dalam pesukuannya di wilayah kenagarian tempat gelar tersebut ‘digelarkan’ (diumumkan pada khalayak ramai) pertunjukan seni musik talempong merupakan sesuatu yang harus diadakan sebagai musik iringan arak-arakan. Lebih jelasnya dapat dilihat gambar berikut.

312 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Gambar 2. Arak-arakan marapulai dan anak daro diiringi grup musik talempong di Singgalang – Tanah Datar (Foto: Nursyirwan. 17 Juli 2008)

3. Di beberapa nagari musik talempong juga difungsikan untuk: acara pesta panen padi; acara turun mandi; acara akikah anak; acara sunatan (khitanan); acara keramaian anak nagari seperti: pacu itik, lomba layang-layang, dan berburu babi; acara penyemarak pawai 17 Agustus; acara pekan seni dan budaya; dan acara kematian. Pelaksanaan kegiatan hiburan dilakukan pada saat berjalan menuju dan pulang bekerja di ladang atau di sawah. Kegiatan bermain talempong pada waktu ini, pada umumnya disiapkan oleh anak kemenakan dalam satu pesukuan yang bersangkutan.

Gambar 3. Ansambel talempong pacik, grup talempong di nagari Sungai Puar– Agam mengiringi prosesi arak-arakan Batagak Pangulu (Foto: Mahdi Bahar, 2001)

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 313 Berbicara mengenai konsep “fungsi” sebagaimana diuraikan di atas C. A. van Peursen mengatakan bahwa kata ‘fungsi’ berarti ia tidak berdiri sendiri, menunjukkan pengaruh kepada yang lain, tetapi ia memiliki hubungan antara satu dengan yang lainnya, sehingga akan memberikan makna dan arti (C.A. van Puersen, 1976: 85). Radcliffe Brown mengatakan bahwa ‘fungsi’ ialah sumbangan dari suatu bagian yang melakukan aktivitasnya secara keseluruhan (A.R. Radcliffe Brown, 1980: 210). Mengikuti alur pemikiran van Peursen dan R. Brown, dalam mengamati fungsi musik talempong di Minangkabau memang tidak bisa dihindari dari keberadaan masyarakat pendukung. Dalam pengertian tersebut, musik tradisi talempong dapat dipandang sebagai bagian dari proses kehidupan sosial yang berperan bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat Minangkabau. Pada saat ini faktor eksternal memegang peranan penting, bahkan menjadi yang lebih utama, dibanding faktor internal yang ada dalam kelompok musik mereka (Nursyirwan, 2011: 125).

Fungsi Gamelan di Yogyakarta dan Surakarta Perdebatan yang terjadi pada musik gamelan, sebetulnya sangat berbeda dengan perdebatan pada musik talempong. Di Minangkabau untuk musik talempong sampai saat ini, belum ada penggolongan atau usaha penstandardisasian mengenai sistem tangga-nadanya. Sementara di daerah Yogyakarta dan Surakarta gamelan yang terdapat di Keraton kenyataannya dapat dijadikan sebagai pedoman atau acauan untuk standardisasi gamelan lainnya. Hasil pendataan yang demikian dapat dikatakan bahwa talempong yang terdapat di beberapa Museum di Sumatera Barat, bukan merupakan talempong yang dijadikan atau dimanfaatkan sebagai acuan oleh masyarakat di lingkungannya. Dan talempong yang berada di Museum-Museum itu dapat dikatakan tidak lebih ‘hanya sebagai benda-benda pajangan’. Di sisi lain sebagai perbandingan gamelan-gamelan yang terdapat di pendopo-pendopo Keraton Yogyakarta-Surakarta, pada waktu- waktu tertentu selalu dimainkan, misalnya dalam rangka memperingati

314 Rediscovering the Treasures of Malay Culture hari Maulud Nabi Muhammad SAW. Di pendopo sebelah timur sayap selatan mesjid Gedhe Kauman Yogyakarta selama tujuh hari ditampilkan gamelan Kyahi Guntur Madu dan di pendopo sebelah timur sayap utara gamelan Kyahi Naga Wilaga. Terlepas dari segala fungsi dan maksud pertunjukan seni gamelan yang demikian, satu hal yang masih bertahan sampai saat ini yaitu bunyi gamelan dianggap oleh masyarakat umum sebagai salah bunyi- bunyian gamelan yang memiliki nilai ritual yang dapat mengantarkan atau mengabulkan keinginannya. Sesuai dengan pengamatan di sela- sela pertunjukan gamelan itu, di tengah-tengah keramaian masyarakat yang menikmati atau menonton pertunjukan gamelan yang dianggap ritual itu, oleh sebagian penonton dimanfaatkan untuk memohon doa, melalui salah seorang di antara deretan abdi dalem1 yang ada di pendopo itu untuk meminta dido’akan agar segala yang diinginkannya bisa tercapai. Kegiatan ini berlangsung dengan cara: (1) si abdi dalem menerima sebungkus sesaji2 dari yang meminta didoakan, (2) si abdi dalem membuka dan mengaduk-aduk sesaji, (3) si abdi dalem mengambil kemenyan dan meletakkannya (membakar) di atas sebuah anglo berisikan arang yang sudah dihidupkan sebelumnya, (5) si abdi dalem lantas mendoakan orang yang meminta do’a sambil memutar- mutar sesaji di atas kepulan asap api, (6) selesai kegiatan mendo’akan kemudian bungkusan sesaji diserahkan kembali kepada masyarakat yang menyampaikan maksud kedatangannya. Sesuatu hal yang menarik dapat dilihat dalam kegiatan ini yaitu, ekspresi wajah si pemohon do’a, sebelum dan sesudah dido’akan, jika sebelum dido’akan wajahnya tampak tidak berseri, namun setelah mendapatkan do’a dan menerima sesaji dari sang abdi dalem, wajahnya berubah menjadi berseri-seri. Banyak hal yang dapat dilihat terhadap rangkaian kegiatan dalam rangka peringatan hari Maulud Nabi Muhammad SAW di seputar Keraton Yogyakarta khususnya (Nursyirwan, 2011: 372-380). Lebih jelasnya dapat dilihat gambar berikut.

1 abdi dalem yang bertugas di pendopo tempat gamelan dimainkan disebut dengan istilah suronoto dan kaji selusin. 2 sebungkus sesaji berbentuk kerucut disebut contong (Jawa)terdiri atas be- berapa isian antara lain: bunga melati, bunga mawar, bunga kantil, daun sirih, kapur sirih, ratus/kemenyan, dan satu lembar uang kertas lima ribuan.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 315 Gambar 4 Suasana pertunjukan gamelan dalam rangka peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW. (a) Gamelan Kyahi Guntur Madu (b) gamelan Kyahi Naga Wilaga (c) gamelan sedang ditabuh, dan penonton menikmati bunyi tabuh-tabuhan gamelan di pendopo sebelah timur sayap selatan dan sayap Utara mesjid Gedhe Kauman Yogyakarta (Foto dan Editing : Nursyirwan 15 Februari 2011)

Gambar 5 Suasana penonton pada pertunjukan musik gamelan dalam rangka peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW di pendopo sebelah timur sayap utara dan sayap selatan mesjid Gedhe Kauman Yogyakarta (Foto dan Editing : Nursyirwan 15 Februari 2011)

316 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Gambar 6 Kegiatan permohonan doa, saat pertunjukan musik gamelan dalam rangka peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW di pendopo sebelah timur sayap utara mesjid Gedhe Kauman Yogyakarta abdi dalem (suronoto) menerima bungkusan sesaji dan barisan pemohon doa, di kejauhan terlihat barisan penonton gamelan. (b) abdi dalem (suronoto) mendoakan sesaji dan membakar kemenyan. (Foto dan Editing : Nursyirwan 15 Februari 2011)

Gambar 7 Kegiatan permohonan doa, saat pertunjukan musik gamelan dalam rangka peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW di pendopo sebelah timur sayap utara mesjid Gedhe Kauman Yogyakarta abdi dalem (suronoto) menyerahkan bungkusan sesaji dan barisan pemohon do’a, di kejauhan barisan penonton gamelan. abdi dalem (suronoto) menerima sembahan dari pemohon doa, setelah sesaji mereka terima, sebagai ungkapan terimakasih. (Foto dan Editing : Nursyirwan 15 Februari 2011)

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 317 Kebudayaan Minangkabau dan Kekhawatiran Terhadap Keberadaan Talempong Berdasarkan pada penekanan penelitian pada musik bukan dipisahkan dari konteks di mana musik itu berada, maka tulisan dalam bentuk artikel ini dilengkapi dengan kebudayaan Minangkabau, sehingga tulisan ini tidak hanya membahas gamelan dan talempong secara khusus. Kontekstual yang dimaksud ditinjau dari beberapa sudut pandang antara lain sebagai berikut: 1. Ditinjau dari segi bahasa, bahasa di Minangkabau dibagi atas beberapa dialek yaitu, dialek Agam, dialek Tanah Datar, dialek Limopuluh Kota, dialek Pesisir, dialek Padang Kota, dan Pariaman. 2. Ditinjau dari sistem adat yang khas bercirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal. Adat dan budaya Minangkabau bercorakkan keibuan (matrilineal) itu memiliki ketentuan yaitu, pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Sistem kekerabatan tersebut merupakan hubungan pertalian-darah kekeluargaan, antara satu individu dengan individu lainnya. Sistem waris dari mamak (penghulu) adalah turun kepada kemenakan menurut garis keturunan ibu, untuk itu panggilan bagi saudara laki-laki dari si ibu dipanggilkan oleh anaknya dengan sebutan ‘mamak’, dan anak dari si ibu oleh saudara laki-lakinya dipanggil ‘kamanakan’ (kemenakan). 3. Ditinjau dari mayoritas bentuk keahlian, orang Minangkabau terkenal menonjol di bidang profesional perniagaan, dan intelektual. Orang Minangkabau merupakan pewaris terhormat dari tradisi berdagang yang dinamis. Kebanyakan anggota masyarakat Minangkabau yang hidup di perantauan, pada umumnya bermukim di kota-kota besar di Indonesia, sehingga peluang untuk berdagang dan menjadi orang-orang ilmuan lebih banyak mendapat kesempatan. Penerapan musik talempong sebagai identitas seni tradisi di Minangkabau dapat dilihat dari berbagai persoalan yang menyertai pemanfaatan tradisi dan adat bagi penguatan jati diri masyarakat Minangkabau khususnya dan jati diri bangsa pada umumnya. Sumber

318 Rediscovering the Treasures of Malay Culture utama dari persoalan itu berkaitan dengan pemilihan atas seleksi batas- batas baik terhadap diri sendiri (menyamakan) maupun terhadap orang lain (membedakan). Ini hanya berarti pemanfaatan adat dan tradisi bagi penguatan jati diri. Kiranya yang dapat dan perlu dijadikan pegangan adalah upaya mengakomodasi kepentingan orang banyak dan mendahulukannya di atas kepentingan kelompok dan pribadi, karena tanpa adanya dukungan orang banyak tradisi dan adat yang dipilih hanya akan menjadi semacam pameran artefak yang tak disangga dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu memerlukan sikap kelenturan, karena warga masyarakat itu pada dasarnya dinamis dan statis. Saatnya pula generasi muda sebagai generasi penerima estafet terhadap bentuk pertunjukan yang bernilai tradisi, tidak hanya dipandang sebagai faktor kepentingan yang selalu dihubungkan dengan alasan ekonomi, sehingga bentuk nilai tradisi memang harus dipertahankan, jangan sampai hilang.

Penutup Ambang kepunahan musik tradisional pada umumnya dapat diasumsikan, karena musik yang mereka mainkan merupakan musik warisan, segala bentuk warisan yang demikian sampai saat ini masih bersifat lisan, sehingga setiap kali penelitian atau musik tersebut dipertunjukan akan selalu mengalami perubahan. Artinya pertunjukan yang diadakan sekarang tidak akan sama dengan pertunjukan yang diadakan sebelumnya. Dalam usaha demikian disadari, bahwa berbagai hal harus diakui kegiatan atau pendekatan ilmiah atas khazanah budaya dan musikal di tanah air masih kurang, bahkan sangat jarang dilakukan mengingat kepentingan nasional yang selama ini lebih menitik- beratkan kepada kepentingan perkembangan dunia ekonomi, politik, sosial, dan informasi teknologi. Zaman prasejarah Indonesia meninggalkan budaya material yang cukup berarti bagi pemahaman cara berpikir nenek moyang Indonesia. Benda material itu berupa bangunan terbuat dari batu, atau terbuat dari perunggu. Kedua jenis material itu diproduksi pada zaman Megalitikum dan zaman Perunggu (Dong Son). Musik talempong telah menjadi trademark atau merupakan salah satu ikon seni pertunjukan tradisional yang tumbuh dan berkembang di daerah

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 319 Minangkabau, bahkan boleh dikatakan merupakan simbol representasi budaya masyarakat Melayu pada umumnya. Musik ini menunjukkan identitas kedaerahan Minangkabau yang dikenal sejak dahulu di Nusantara, sehingga saat ini masih banyak dijumpai di seluruh pelosok daerah atau kenagarian Minangkabau. Jika Keraton Majapahit (Jawa) memiliki hubungan dengan Bali, begitupun Majapahit mempunyai hubungan dengan kerajaan Melayu Minangkabau. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya Kerajaan Melayu Minangkabau, Adityawarman (1347-1375). Sementara Adityawarman adalah raja keturunan Jawa-Sumatera yang dibesarkan di Keraton Majapahit. Bagi masyarakat Minangkabau sekarang, kegiatan mewarisi kebudayaan musik perunggu tradisional pada umumnya masih terdapat di beberapa nagari di Minangkabau. Munculnya rasa keprihatinan akan dialaminya kepunahan terhadap kesinambungan dan keberadaan pemusik tradisi di Minangkabau yang sudah lanjut usia, tulisan ini diharapkan dapat dijadikan pedoman setelah mereka-betul-betul sudah tiada atau punah. “Menyelami masa lalu, mutlak diperlukan, untuk mengenali masa kini. Memahami masa kini, memberi kemampuan dalam menentukan haluan menuju masa depan. Bangsa yang mempunyai masa silam gemilang, berhak menyongsong masa depan yang cemerlang”. [Dr. Nursyirwan].

Kepustakaan Bahar, Mahdi. 2003. “Sejarah dan Budaya Musik Perunggu Minangkabau,” Disertasi untuk memperoleh derajat Doktor dalam Ilmu Sastra. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Bandem, I Made. 1980. “Indonesia Sebuah Republik Di Asia Tenggara”, Terjemahan Indonesian Republic in South- East-Asia, dalam The New Grove Dictionary of Music and Musicians, Edited: Stanley Sadie, London: MacMillan Publisher Limited. Brown, A.R. Radcliffe. 1980. Struktur dan Fungsi dalam Masyarakat Primitif. Terj, Ab. Razak Yahya. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka.

320 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Dias, Henrique. 1995. “Captured by Minangkabau, 1560”, dalam Anthony Reid, ed., Witnesses to Sumatra A Travellers’ Anthology. Kuala Lumpur: Oxford University Press. Echols, Jhon M., dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia, 2000. Hood, Mantle. 1958. Javanese Gamelan in The World of Music. Jogyakarta: Kedaulatan Rakjat. Jordanova, L. 2000. History in Practice. New York: Oxford University Press. Kartomi, Margaret J. 1980. “Musical Strata in Sumatra, Java, and Bali” dalam Elizabeth May, ed., Music of Many Cultures. Berkeley: University of California Press. Macéda, José. 1999. “Struktur Umum pada Musik Eropa dan Asia Tenggara (Apakah Nalar Dwikutub dan Interval ke-5 Sudah Kuno pada Musik Kontemporer)” dalam Jurnal Seni Pertunjukan Th IX, 1998/1999, Keragaman dan Silang Budaya: Dialog Art Summit. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. McPhee, Colin. 1966. Music in Bali. New Havend and London: Yale University Press. Nursyirwan, 2011. “Varian Sistem Penalaan Musik Talempong Logam di Minangkabau”, Disertasi untuk memperoleh derajat Doktor dalam Ilmu Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Sekolah Pascasarjana. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Partanto, Pius A., dan M. Dahlan Al Barry. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola. Parto, Franciscus Xaverius Suhardjo. 1990. “Folk Traditions as A Key to The Understanding of Music Cultures of Java and Bali” Disertasi untuk memperoleh derajat Doktor dalam Ilmu Sastra. Osaka: Osaka University. Peursen, C.A. van. 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Soedarsono, R.M. 2002. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wagner, Frits A. 1959. Indonesia: The Art of an Island Group. New York: Crown Publisher, Inc.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 321 322 Rediscovering the Treasures of Malay Culture ISLAM SEBAGAI DASAR PEMBENTUKAN MUSIK MELAYU DAN KEBUDAYAAN DI MINANGKABAU

Ediwar, S.Sn., M.Hum., Ph.D. Institut Seni Indonesia Padangpanjang

Pendahuluan Di atas runtuhan Melaka lama Penyair termenung seorang diri Ingat Melayu kala jayanya Pusat kebesaran nenek bahari

Pantun Melayu di atas merupakan salah satu pantun bijak yang sering diungkapkan oleh sastrawan Melayu, yang menggambarkan kejayaan bangsa Melayu pada masa lampau. Hingga hari ini berbagai kajian Melayu dilakukan, baik dari segi budaya, politik, ekonomi, geografis dan sebagainya. Oleh karena itu, berbagai latar belakang pendekatan dan pemahaman inilah yang akan memudahkan dalam menelusuri akar perkembangan kebudayaan Melayu. Pada dasarnya apa yang dinamakan kebudayaan Melayu itu tidak terlepas daripada pengaruh kebudayaan yang dikembangkan oleh kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat pribumi, seperti di kawasan Sumatera Tengah dan Timur, Semenanjung Tanah Melayu, serta Brunei. Dalam perkembangannya, ketika Islam berkembang di bumi Melayu, secara praktiknya, istilah `Melayu’ dikaitkan dengan unsur-unsur budaya setempat yang datang dari Asia Tenggara, serta berhubungan dengan Islam. Berkaitan dengan itu, muncul keragaman interpretasi terhadap `Melayu’, baik dalam bentuk Kata, Nama maupun Kata Sifat, seperti `Orang Melayu’, `Kebudayaan Melayu’, `Bahasa Mela­yu’, `Undang-Undang Melayu’ adalah sangat dihubungkan dengan agama Islam (Anwar, 2007).

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 323 Berkaitan itu, dapat dipahamai bahwa bangsa Melayu memiliki acuan tersendiri dan mekanisme yang sistematik dalam membina peradaban yang lebih baik. Pada satu sisi, agama Islam itu sendiri membawa doktrin yang senantiasa mendorong adanya dinamika pemikiran dan tindakan. Namun di sisi yang lain, Islam dapat menjadi medium atau wahana dalam menyatukan umat Melayu, baik dalam ibadah, ataupun dalam kemasyarakatan (sosial), ekonomi, politik, sains dan perabadan dalam pengertian luas.

Islam dan Seni Islami Serantau Berbagai tulisan telah mencoba untuk menjelaskan arti dan makna identitas Melayu dan kemelayuaan. Namun dari beberapa catatan penting dan terbaru terkait asal usul orang Melayu, sebagaimana yang dikaji oleh Raffles1 (1830); Howison2 (1801); dan Wright dan Cartwright3 (1908). Point penting dari pendapat mereka di antaranya adalah dalam mempertahankan bangsa Melayu adalah agama Islam. Hal tersebut tidak terlepas membahas bahasa Melayu dan cara mengamalkan budaya Melayu. Tiga unsur tersebut menjadi dasar adanya bangsa dan kebudayaan Melayu, hingga dinamakan “Melayu”, yang tidak akan terwujud sebelum kedatangan Islam ke rantau. Kehidupan orang Melayu tidak lepas dari adanya kumpulan masyarakat Yang menganut agama Islam dan menggunakan bahasa Jawi (yang dibina oleh pengaruh Islam) (Anwar, 2007).

1 Raffles mengakui sumbangan Islam dalam pembentukan budaya orang Melayu cukup penting. Asal-usul orang Melayu tidak akan terwujud sebagai satu bang- sa yang berdiri sendiri sebelum datangnya orang Arab dari Laut Timur. Pada saat ini mereka telah menjadi bangsa yang berbeda daripada bangsa mereka yang asal. Perubahan yang mereka alami adalah berlakunya percampuran da- rah keturunan dan penggunaan bahasa Arab dan menganut agama Islam. Ba- hasa ditulis dengan menggunakan huruf Arab dan dinamakan bahasa Jawi. 2 Catatan yang dibuat oleh Howison sekitar awal abad ke-19 adalah Orang Me- layu tidak mempunyai suatu sifat kebangsaan yang jelas pada awalnya, kecu- ali apa yang telah diperkenalkan oleh agama Islam yang sering datang ke Se- menanjung dan pulau-pulau di sekitarnya. 3 Wright dan Cartwright mencatat bahwa tidak boleh menggambarkan orang Melayu dari darah keturunan orang Melayu yang tulen. Secara umum tidak ada manusia dari darah keturunan Melayu dalam pengertian yang sesungguh- nya. Tali pengikat masyarakat di Negeri-Negeri Melayu adalah kesatuan bahasa dan agama Islam. Dua unsur ini adalah lebih penting daripada kesatuan darah.

324 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Dengan demikian, sumbangan Islam dalam memperkaya khasanah budaya Melayu cukup jelas. Islam bukan saja meghidupkan agama, akan tetapi juga memperkaya bahasa Melayu, sastra, jati diri dan peradaban bangsa. Islam dipandang sebagai pemersatu berbagai kelompok, suku, kaum dan kumpulan etnik yang bersifat polienesis – dari pelbagai tanah asal yang berlainan asal usul–­ melalui penganutan agama, memartabatkan bahasa Melayu sebagai lingua franca, baik dalam bahasa ilmu, bahasa ekonomi, bahasa politik antarbangsa dan membangun rantau ini dengan entitas tersendiri yang dinamakan ‘bangsa Melayu’. Oleh karena itu, konsep kebudayaan amat penting dalam membuktikan kehalusan identitas masyarakat Melayu itu sendiri, karena hasil dari budaya yang diwarisi inilah dapat meng(ekal)kan rasa persaudaraan di antara negara-negara Melayu serumpun. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa pengaruh daripada ajaran Islam telah membentuk dan menyerapi pemikiran kebudayaan Melayu dalam berbagai cabang budaya, terutamanya kesenian. Fungsi seni dalam kebudayaan Melayu adalah menerjemahkan wajah Islam ke dalam bentuk bahasa seni dan pola-pola pernyataan keberlanjutan jenis-jenis seni, seperti seni bangunan, seni ukir dan seni pertunjukan yang merupakan wahana penting dalam meningkatkan kerohanian, kedamaian rasa di samping membentuk jiwa yang lembut tanpa disalahtafsirkan. Datangnya Islam menyebabkan kebangkitan rasional dan intelektual yang bercorak religius di Nusantara yang tidak pernah dialami sebelumnya. Selain itu, Islam juga mendorong terjadinya perubahan besar dalam jiwa bangsa Melayu dan kebudayaannya. Islam menyuburkan kegiatan ilmu dan intelektual serta membebaskan mereka dari belenggu mitologi yang menguasai jiwa mereka sebelumnya. Hadirnya Islam membuka lembaran baru dan menyebabkan terjadinya proses perubahan sosial, ekonomi dan politik yang sangat mendasar (Kern, 1956). Kajian wilayah Melayu di bidang seni dan budaya, selain memiliki keluasan juga memiliki keunikan pada setiap etnik. Keberagaman (pluralisme) seni dan budaya adalah sesuatu yang menyirat nilai estetika dalam simpuhan makna dari pancaran hakikatnya, seperti terdapat dalam seni sastra, seni musik, seni tari

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 325 dan seni tampak (seni rupa dan seni ukir bangunan). Semenjak Islam datang dan berkembang, konsep kesenian dalam kebudayaan Melayu telah meletakkan pengamalan baru, walaupun kadang-kadang terjadi adaptasi dengan pengaruh kebudayaan Hindu-Budha.

Seni Islam dan Citra Budaya Melayu Kesenian Islam telah mencapai tahap yang amat tinggi ketika era kegemilangan Islam di masa lampau di wilayah Melayu. Hal yang tidak dapat dipungkiri, di mana cabang kesenian yang ada pada ranah kebudayaan Melayu cukup dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Fakta ini dikuatkan dengan kajian sejarah yang telah dilakukan oleh pemerhati budaya Melayu. Kesenian Melayu memiliki ciri-ciri dan kesan kehalusan, keberukiran, keseimbangan, keharmonian, keindahan dan ketenangan. Namun saat ini, kesenian Melayu lebih menekankan pada persoalan kesan, dan tidak lagi terikat kepada kehalusan, keberukiran, keseimbangan, keharmonian, keindahan dan ketenangan. Ia juga tidak lagi terikat kepada “cantik” atau “tidak cantik.” Perkembagan kesenian Melayu tersebut tidak berbeda dengan kesenian yang berkembang di Barat. Misalnya, pada saat ini terdapat banyak karya seni yang “kasar”, tidak “cantik” dan “tidak haromis” yang dianggap “karya seni” oleh orang Melayu (Anwar, 2007). Penegasan hakikat seni Islam dalam hubungannya dengan spiritualitas Islam, Nasr (1993) menyatakan bahwa keduanya bagaikan dua mata air yang bersumber dari al-Quran dan barakah Nabi. Apabila keduanya tidak ada maka tidak akan ada seni Islam. Suatu karya seni dapat dikategorikan sebagai seni Islam bukan hanya karena diciptakan oleh seorang Muslim, akan tetapi juga oleh karena dilandasi oleh Wahyu Illahi. Seni Islam menerapkan realiti batin wahyu Islam dalam dunia bentuk. Ia keluar dari dimensi batin Islam, membawa manusia masuk ke ruang batin wahyu Illahi. Jika dilihat daripada sumber asal kejadiannya, seni Islam diibaratkan sebagai buah spiritualitas Islam yang mendukung kehidupan spiritual penganutnya kepada penciptanya. Berikut ini sesuai dengan al-haqa’iq berbunyi: “Seni Islam adalah sarana yang memungkinkan ruh Islam menembusi segala perkara dan bentuk aktivitas, menyerap

326 Rediscovering the Treasures of Malay Culture ke seluruh kehidupan manusia untuk mengingatkan mereka akan Kehadiran Tuhan ke mana pun mereka melangkah pergi. Bagi orang yang senantiasa ingat kepada Allah, seni Islam selalu menjadi pendorong yang sangat bernilai bagi kehidupan spiritualnya dan sarana untuk merenungkan Realiti kewujudan Tuhan (al-haqa’iq)”.

Sebagaimana telah diungkap bahwa tujuan seni Islam secara umum tidaklah berbeda dengan tujuan peradaban Islam, yaitu untuk meningkatkan nilai-nilai yang baik dan murni. Keindahan yang terpancar dari seni Islam tidak terlepas daripada mengemukakan ciri yang baik, benar, murni dan bagus. Hal ini sesuai pendapat Ezad Azraai (2004), bahwa berasaskan perspektif Islam, keindahan perlu tunduk kepada kebenaran. Bahkan sebahagian kaum Muslimin berpandangan bahwa untuk menghasilkan kesenian Islam perlu menjalani proses penyucian jiwa yang serius, intensif dan terarah. Hal tersebut membawa kepada kelahiran insan yang mempunyai nilai yang baik dan murni. Kesenian dalam Islam juga menuntut wujudnya keseimbangan antara nilai estetika dengan nilai etika Islam. Oleh karena itu, kesenian Islam secara tidak langsung berjaya meningkatkan nilai-nilai yang baik dan murni. Konsep kesenian Islam dapat juga dikaitkan dengan pengertian “Islam” itu sendiri. Sebagaimana disebutkan dalam al-Quran, Islam bermaksud: “Kedamaian” (Surah 49: 10), “Melapangkan Dada” (Surah 6: 125), “Jalan yang lurus” (Surah 10: 25; 72: 16), “Agama yang Lurus” (Surah 30: 43), “Mendapat cahaya dari Allah S.W.T.” (Surah 39: 22) dan “Menyerah” (Surah 48: 16). Keterangan-keterangan dalam Al- Quran ini menunjukkan nama serta pengertian “Islam” itu sendiri membawa “kesan estetik” atau “kesan keindahan mendalam”. Bila dikaitkan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Ibn Majah dan Ibn Hanbal dalam Kitabul-Iman disebutkan: Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan Dia suka akan keindahan. Oleh karena itu, seseorang itu boleh mencipta, berbicara dan menghayati kesenian Islam berasaskan konsep “Amal Makruf Nahi Mungkar” yaitu suatu prinsip yang memberi kelonggaran kepada manusia untuk melakukan apa saja asalkan tidak bertentangan dengan hukum Islam

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 327 dan matlamat akhirnya untuk membawa kebaikan dan kemanfaatan kepada umat Islam. Hakikatnya seni Islami tidak berbeda dengan hakikat kebudayaan Islam secara umum. Dalam konteks ini, kebudayaan Islam merupakan perwujudan dari subjek kreatif dalam penjelmaan kesatuan nilai-nilai yang berkaitan dengan logika, estetika dan etika. Nilai logika mendasari kajian ilmu yang bersifat rasional dan empirik, yang membentuk keterampilan teknik, sedangkan nilai keindahan mendasari penemuan bentuk-bentuk sintetik baru yang lebih indah dan memuaskan. Demikian juga nilai etika mendasari dalam pemberian makna moralitas (kebaikan) yang perlu diperhatikan dalam tahapan proses maupun tujuannya. Oleh itu, seni Islami adalah suatu tuntutan fitrah bagi Kaum Muslimin. Akan tetapi, untuk memenuhi kehendak naluri manusia ini, tidak semua jenis seni musik dibenarkan oleh Islam. Secara etik musik Islami tidak bebas nilai, ia akan melalui proses jatuh bangun yang menjadi simbol jatuh bangunnya kamanusiaan itu sendiri (Musya Asy’ari, 1999). Berhubung dengan persoalan ini terdapat hadits-hadits yang memperkatakan tentang keindahan, di antaranya:

Artinya: Allah itu indah, Dia suka akan segala yang indah. (HR Muslim)

Selanjutnya, pada asasnya sesuatu yang indah itu disukai oleh Allah s.w.t karena Dia Zat yang Maha Indah dan suka akan keindahan. Allah berfirman dalam Surat al-Muzammil: 4, yaitu;

Artinya: Bacalah al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan

Di sini amat jelas, bahwa ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa Allah S.W.T menyuruh manusia untuk membaca Al-Qur’an dengan suara yang perlahan. Suara yang perlahan akan melahirkan sebuah

328 Rediscovering the Treasures of Malay Culture keindahan. Oleh karena itu, suara yang dikeluarkan dengan keindahan dalam seni Islami di manapun hendaklah yang disukai oleh Allah S.W.T, dalam pembentukan hubungan dengan Allah, yaitu selama tidak membawa kepada kemaksiatan dan perbuatan jinayah. Oleh karena itu, hakikat seni Islami merupakan membuat sesuatu yang lebih baik dalam dunia kreativiti seni Islami untuk mengikuti perkembangan masa yang akan datang dalam bentuk material maupun ruhaniah (spiritual) perlu diiringi dengan keteguhan pendirian menjauhi segala bentuk kemungkaran dan berharap supaya dihindarkan dari azab neraka. Sebagaimana dimaktubkan dalam al- Qur’an dalam Surat Qaaf: 7

Artinya: Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kukuh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata.

Seni Islam dalam Pembentukan Kebudayaan Melayu Minangkabau Setelah panjang lebar memperbincangkan persoalan-persoalan Melayu dan seni Islami, pada kesempatan ini akan disinggung Minangkabau dalam sejarah Melayu. Di antara sumber-sumber penting sekaitan dengan Minangkabau, seperti Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua (Kuzok, 2006) menjelaskan bahwa Minangkabau memiliki sejarah penting dalam menyingkap tabir kebudayaan Melayu. Selain itu, terdapat batu bersurat yang disebut Inskripsi Darmasraya (tahun 1286) di sekitar Padang Roco yang dipercayai oleh kebanyakan sarjana sebagai bukti Suku Malayu di Minangkabau adalah dibawa oleh Adityawarman dari Palembang dan menjalankan gerakan Pemalayu, yaitu penyebaran pengaruh Melayu ke seluruh wilayah Minangkabau termasuk ke atas Suku Minang dan suku-suku lain (Andaya 2008, dan Andaya 2001). Di Darmasraya tepatnya di hulu sungai Batanghari, dekat Sungai Langsat, Kenagarian Siguntur, ditemui batu bersurat (dinamakan Batu

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 329 Bersurat Darmasraya atau dinamakan juga Batu Bersurat Amonghapasa) (1286 Masehi). Pada batu bersurat tercatat rajanya mengistiharkan Darmasraya sebagai sebuah Bhumi Malayu. Kemudian Pagaruyung, wilayah Minangkabau terutama tepatnya di sekitar Suruaso di Ranah Minangkabau, telah dijumpai lebih dari 40 buah batu bersurat bertarikh pada awal abad ke-14, dan menariknya, menurut penelitian Casparis (1989: 938), kesemua batu bersurat di jantung kebudayaan Minangkabau itu adalah batu bersurat Melayu, bukannya mengenai masyarakat Minangkabau. Berdasarkan temuan batu bersurat tersebut, para pengkaji merasa yakin bahwa telah berlaku perpindahan pusat pemerintahan Kerajaan Melayu Sriwijaya-Jambi dari Darmasraya ke Suruaso di Ranah Minangkabau sekitar tahun 1310 (Kozok, 2006). Dengan demikian, pada prinsipnya suku bangsa Minangkabau di Sumatera Barat terangkum dalam dunia Melayu dan sekaligus merupakan salah satu suku Melayu sejak zaman berzaman. Sebagaimana halnya suku yang menyebut diri mereka sebagai Melayu di luar Minangkabau, seperti Melayu Malaysia, Melayu Riau, Melayu Jambi, Melayu Bengkulu, Melayu Palembang, Melayu Aceh dan Melayu-Melayu lainnya. Jati diri suku Melayu disamakan berdasarkan Islam dan bahasa Melayu. Melayu Minangkabau dalam pengertian budaya ialah kawasan yang ditempati oleh orang-orang yang berbahasa Melayu dialek Minangkabau dan memakai adat Minangkabau yang khas. Walaupun budaya Minang adalah bahagian daripada budaya Melayu dan orang Minangkabau menganggap dirinya orang Melayu, namun budaya Minang tentu tidak persis sama dengan budaya Melayu lainnya. Komunitas masyarakat Minang sebagai Suku Melayu adalah menganut agama Islam dan penuturan bahasa menggunakan Melayu Minangkabau. Ciri khas masyarakat ini terletak pada tiga hal di antaranya: 1) taat kepada agama Islam, 2) berpegang kuat kepada nasab ibu (matrilineal), dan 3) kecenderungan untuk merantau. Namun demikian, sepanjang zaman, di antara ciri-ciri tersebut Islamlah unsur dasar sebagai jati diri Minangkabau, karena ketiga ciri tersebut semuanya menjunjung tinggi falsafah “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah.” Ini sekaligus menunjukkan masyarakat Minangkabau dalam adat dan perilaku budaya berlandaskan Islam.

330 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Masyarakat Melayu Minangkabau berpandangan bahwa kehadiran agama Islam dan kebudayaannya ikut menyempurnakan adat dan kebudayaan agar lebih tersusun daripada sebelumnya (Nasroen, 1957). Identitas Islam menjadi dasar landasan dan asas kebudayaan Melayu Minangkabau disesuaikan dengan norma-norma adat dan aqidah Islam. Alam menjadi landasan dan inspirasi kebudayaan dan sistem kemasyarakatan ditafsirkan atas tuntutan norma adat dan aqidah Islam, sehingga tercapai suatu identifikasi atau jatidiri Islami. Kebudayaan yang tercipta dalam ribuan tahun berakulturasi dengan kebudayaan Islam melalui gagasan ‘adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah’ sehingga memancarkan seluruh anasir daya cipta budaya. Unsur alam hingga kepada bahasa, sastra, sistem politik, ekonomi dan kekerabatan serta perlapisan dan segala macam upacara adat dikombinasikan dengan acuan Islami yang amat berwibawa dan saling bersinergi. Merujuk kepada kesenian Islam Melayu Minangkabau, seperti halnya pertumbuhan musik berawal sebagai pendidikan Islam di surau-surau dalam rangka mendorong ke arah ketakwaan, kemakrufan. Manusia diwajibkan menanamkan rasa khusyuk kepada Allah, sehingga memberi ketenangan jiwa kepada manusia. Ini secara tidak langsung akan mendorong ke arah ketakwaan, kemakrufan, kesahian dan budi yang mantap. Oleh karena itu, kelahiran seni Melayu Islam juga dihasilkan atas prinsip melibatkan hubungan kerohanian antara seniman dengan Allah (Habluminallah). Hal tersebut oleh karena kesenian Islam dilandasi oleh konsep tauhid serta pengabdian diri kepada Allah S.W.T. Perwujudan itu bukan sekadar untuk dijadikan pemikiran, tetapi diwujudkan dalam perilaku sujud umat manusia kepada Allah S.W.T di atas muka bumi, di masjid, di rumah maupun di tanah lapang (Manja, 1995: dan Ezad, 2004). Bila dikaitkan musik Islami Minangkabau, kebudayaan Melayu- Islam merupakan salah satu bagian paling integral dalam pencirian jati diri masyarakat Melayu Minangkabau di Sumatera Barat. Genre-genre musik Islami berbenih, berakar dan berkembang daripada ekologi masyarakatnya yang mengamal dan menghayati Islam sebagai “tonggak tua atau tiang seri” dalam mempertahankan jati diri masyarakat Minangkabau itu sendiri. Selain itu, musik Islami menempati posisi

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 331 istimewa dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Hal tersebut oleh karena latar belakang kehadirannya merupakan refleksi dari tatanan norma dan nilai agama Islam yang berada dalam filosofi kehidupan beradat dan beragama. Keakraban antara Islam dan unsur-unsur adat masyarakat Melayu Minangkabau tergambar dalam kesenian, seperti Al Barzanji, Dikia rabano, Salawat dulang, dan Indang. Kehadiran kesenian ini merupakan realisasi dari pada sistem pendidikan tradisional di surau dalam rangka mengembangkan ajaran agama Islam oleh para ulama pada masa lampau dalam konsepsi etika dan estetika Islam, iaitu penyempurnaan perpaduan antara keindahan dan kebenaran. Hakikatnya, “keindahan’ itu selalu berlandaskan kepada moral Islam, yakni nilai-nilai baik dan buruk menurut etika dan estetika Islam. Aktivitas keagamaan pada masa ini berhubungkait dengan ajaran-ajaran mistik (tarekat) yang dipelajari di surau-surau, sebahagian daripada aktivitas itu berkaitan dengan amalan-amalan bernuansa musikal (Ediwar, 2012). Berdasarkan hasil kajian, lirik atau teks musik Islami ditandai oleh tiga jenis bahasa yaitu 1). lirik yang sepenuhnya menggunakan bahasa Arab dengan mengadopsi dari Al-Quran, Al-Hadits dan kitab Al- Barzanji; 2). Penggunaan bahasa daerah dengan disertai banyak istilah keagamaan; 3) sepenuhnya berbahasa daerah, tetapi isinya mengacu kepada sumber-sumber agama Islam dan adat Minangkabau (Ediwar, 2012). Contoh lirik dalam bahasa Arab Allah ya rabbi Subhanallah ya maulai saidina Allah Khataman Nabi ya Rasulullah Maulai Muhammad ibnu Abdullah ya maulai saidina Allah waummuhu Siti Aminah

Contoh lirik dalam bahasa Minang Banyaklah ari pakoro hari Banyaklah hari perkara hari Indak samulia ari jumaat tidak semulia hari Jum’at Banyaklah nabi antaro nabi Banyaklah nabi antara nabi Indak samulia nabi Muhammad Tidak semulia Nabi Muhammad

332 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Banyaklah bulan pakaro bulan Banyaklah bulan perkara bulan Indak samulia bulan puaso Tidak semulia bulan puasa Banyaklah Tuhan antara Tuhan Banyaklah Tuhan antara Tuhan Indak samulia Tuhan nan kayo Tidak semulia Tuhan nan Esa

Contoh lirik dalam bahasa campuran Minang dan Arab Kullun dengan alaikum Kullun dengan alaikum Illa wajhahu handak permaklum Illah wajhahu hendaklah maklum Lahulhukmu pulo disusun Lahulhukmu pula disusun Tiok suatu di alam kuntum Tiap suatu di alam kuntum Satiok itu akan binaso Semuanya itu akan binasa

Contoh di atas amat jelas bahwa musik Islami Minangkabau memiliki tempat yang luas untuk mengembangkan dan menggunakan berbagai bahasa untuk memperkaya estetika Islami yang berakulturasi dengan budaya setempat. Kelaziman sastra lisan lainnya, bahasa yang digunakan dalam musik Islami ada juga berbentuk bahasa berirama4 yang bertujuan memberikan kesan menarik kepada penonton dan pendengar. Dalam hal ini, kalimat-kalimat dipilih dengan tepat dan didendangkan dengan irama yang menarik sehingga penonton pun tidak bosan mengikutinya sampai larut malam bahkan dinihari. Walaupun demikian, proses dinamika musik Islami Minangkabau dari zaman ke zaman terdapat dinamika peradaban dan kebudayaan Islam

4 Jenis ini disebut juga prosa berirama adalah sejenis karya sastera yang tidak terikat oleh rima dan bait-bait, tetapi lebih mengutamakan irama. Bentuk prosa yang termasuk kategori ini adalah cerita-cerita penglipur lara (curito), kaba dan tambo. Curito (cerita) adalah jenis sastera rakyat Minangkabau yang tergolong dalam kategori cerita pendek dan sederhana. Isinya bersifat don- geng dan bahasanya menggunakan bahasa prosa biasa, bukan prosa berirama seperti dalam kaba. Kaba pula tergolong dalam cerita rakyat yang hidup di ka- langan rakyat, dan milik rakyat bukan milik individu. Manakala Tambo adalah karya sastera sejarah yang menceritakan sejarah suku bangsa, negeri dan adat Minangkabau. Karya sastera ini tergolong dalam jenis sastera yang penting dan banyak jumlahnya baik dalam bahasa daerah maupun dalam bahasa Melayu nusantara. Dalam sastera Melayu misalnya sejarah Melayu, Hikayat Raja-raja Pasai, sejarah Minangkabau dan sebagainya (Edwar Jamaris 2002).

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 333 yang diakulturasikan dengan pelbagai unsur-unsur budaya lainnya. Ketika musik Islami berakulturasi dengan budaya rakyat tradisional, maka unsur-unsur budaya rakyat ikut “mewarnai” perkembangan musik Islami tersebut. Namun, ketika budaya popular berkembang ikut juga mempengaruhi keberadaan musik Islami Minangkabau yang mengarah kepada sekularisme dunia Islam. Tidak mengherankan jika saat ini dapat ditemukan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Musik Islami sebagai bagian dari pada kebudayaan umat Islam telah mengalami perubahan. Konsepsi musik Islami telah banyak berubah dan menjauhi konsep masyarakat Islam yang dahulu berdasarkan ‘aqīdah, idea-idea, jiwa dan amalan keagamaan. Saat ini musik Islami lebih kepada percampuran dari pada pelbagai unsur yang sifatnya kontemporer. Ungkapan kata-kata yang disampaikan dalam pertunjukan musik Islami bersumber dari “Alam Terkembang Jadi Guru” senantiasa mengangkat kenyataan-kenyataan yang terdapat pada alam atau peristiwa-peristiwa yang hidup dalam masyarakat. Pengambilan kata- kata bukan sekadar pengungkapan kosong belaka tetapi merupakan pengungkapan yang mengandung nilai-nilai lebih tinggi dan agung, yang di dalamnya termuat nilai-nilai estetika, nilai-nilai moral dan nilai-nilai konsepsional. Dalam hal ini, ia bukan merupakan tiruan kehidupan (imitation of life), sebaliknya, merupakan suatu tafsiran terhadap hidup (interpretation of life). Tidak hanya demikian, prinsip-prinsip sosiobudaya yang dipraktikkan oleh umat Islam dalam kebudayaan musikal telah jauh dari prinsip-prinsip sosiobudaya Islam, baik dari segi aspek musikal maupun aspek tekstual. Artinya: pengaruh budaya populer telah dijadikan inspirasi baru bagi pengembangan musik bernuansa Islam di Minangkabau. Demikian pula halnya dengan segi-segi busana ataupun bentuk-bentuk persembahan. Akulturasi budaya dalam proses dinamika musik Islami Minangkabau telah diwarnai oleh budaya popular atau musik Barat yang sekularistik. Sehingga berdampak kepada karya seni Kaum Muslimīn saat ini yang berlawanan dengan konsepsi seni Islam. Secara umum, fenomena tersebut di satu sisi menimbulkan kegelisahan. Kekuatan modernisasi dan budaya populer dapat

334 Rediscovering the Treasures of Malay Culture mengubah secara total ciri-ciri asalnya ataupun menyebabkan aspek- aspek budaya tradisional ditinggalkan. Pada sisi lain dapat diterima akan perubahan yang terjadi pada musik Islami Minangkabau tersebut, yang memunculkan suatu gejolak baru, yakni melawan diri sendiri (internal) dan budaya luar (eksternal).

Kasih Serumpun Bangsa Melayu Bangunlah kasih, umat Melayu Belahan asal satu turunan Bercampur darah dari dahulu Persamaan nasib jadi kenangan

Bangsa Melayu bertaut di bumi Nusantara, laksana kembar serumpun yang tidak dapat dipisahkan. Hakikat pertalian, yang memiliki hubungan warna dan citra kisah yang satu, persamaan di antara satu negara seharusnya tidak menjadi penghalang antara satu dengan lainnya. Dahulunya, kawasan Melayu Nusantara tidak pernah merekam kisah duka dan suka, yang saling dirasakan. Sejarah hakiki menghiasi bukti rumpunan, yang mencoret irama kenyataan dan kejadian. Inilah yang dikatakan laksana persaudaraan adik-beradik dari perut ibu yang satu, dan satu inilah yang dirujuk pada lembayung kalimah ‘serumpun’. Hal ini dapat dilihat pada contoh pantun berikut: “ Seaib dalam Semalu, Senasib Sepenanggung” “ Seagama & Setali Darah, Senenek Moyang Sesuku & Seasal, Seadat & Sepusaka Seinduk & Sebahasa”

Pengertian rumpun itu adalah padu dan satu. Dari ketunggalan dikombinasikan menjadi gabungan dari unsur persamaan dan bertalian. Pengakuan keakraban dengan landasan yang satu dikenal sebagai serumpun yang terlahir dari kesepahaman sebagai satu rangkuman yang sama. Seyogyanya negara dalam rumpunan yang sama ini tidak dapat dipisahkan karean diikat oleh kesamaan, baik oleh Islam maupun kebudayaan sebagai unsur identitas. Bumi Nusantara yang merangkum Negara-negara Asia Tenggara, memiliki kekayaan khazanah nilai, dengan imej bangsa yang kuat semenjak masa lampau.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 335 Artinya, rumpun Melayu Nusantara terus mencari kegemilangan. Bangsa sebarannya menduduki gugusan kepulauan Melayu, pantai Benua Afrika di sebelah Barat sampai ke Kepulauan Paskah di Lautan Pasifik di Timur ke New Zealand di sebelah selatan dan ke Taiwan serta Kepulauan Okinawa dan Hokaido Jepang. Berbekalkan semangat, masyarakat sejahtera dan makmur dan terus utuh. Saat ini dapat disaksikan bahwa berbagai budaya telah sampai pada tahap penghancuran dan penghapusan nilai-nilai Islam dan budaya Melayu, khususnya di Rantau. Bangsa Melayu yang Islami berusaha menegakkan dan mengekalkan kebudayaan dan kesenian Melayu serantau yang hilang oleh budaya moderen. Kedatangan Islam menjadi suatu perekat dalam menghidupkannya peradaban Melayu. Pada tataran ini, sepatutnya diletakkan pemikiran dan pengamalan seni dan budaya Melayu seharusnya sarat dengan asas manfaat. Bangsa Melayu secara berkelanjutan berusaha mempertahankan dan juga mengikuti perkembangan zaman. Semangat Melayu serumpun terus diupayakan dan digalakkan sebagai politik identitas yang mengarah kepada kemakmuran dan kesejagatannya yang terpelihara. Realitas ketinggian Islam yang terus dipegang dan dijadikan landasan utama hakikatnya telah bermula tatkala Nusantara mulai dikuasai oleh kesultanan dan kerajaan Islam.

Penutup Berdasarkan penelusuran sejarah, pengaruh kebudayaan Islam dapat diketahui dari berbagai wujud dan representasi, khususnya melalui kesenian. Namun pada kesempatan ini hakikat seni dikaitkan dengan keindahan seni rumpunan berlandaskan nilai Islam. Seni pertunjukan yang anggap sebatas hiburan sangat merugikan implementasi pertunjukan. Di Islam sendiri, seni pertunjukan tidak menjadi persoalan keindahan ditunjukkan dalam membuktikan Kekuasaan Allah, dan perlaksanaannya dapat dianggap ibadah, tetapi yang menjadi salah dan haramnya adalah pada kelalaian yang muncul dari pelaksanaannya yang melanggar hukum agama yang sengaja diadakan, dan mendorong prilaku buruk. Apa pun pandangan yang dapat diajukan mengenai asal-usul

336 Rediscovering the Treasures of Malay Culture ‘bangsa Melayu’ itu pada hakikat yang tidak dapat diabaikan ialah ‘tiang seri’ kebudayaan Melayu Islam, bahasa Melayu, adat istiadat yang diklasifikasikan sebagai warisan Melayu, dan institusi diraja Melayu. Unsur-unsur inilah yang menjadi etos, simbol dan aspek penting dalam kebudayaan Melayu. Intinya adalah unsur-unsur Islami. Unsur-unsur ini merupakan ‘unsur-unsur dasar’ yang membangunkan ‘batang tubuh’ masyarakat-kebudayaan dan peradaban Melayu.

Daftar Pustaka Abdul Rahman Hj. Ismail. 1995. Sejarah Melayu (Rumi dari Raffles 18). Kuala Lumpur: MBRAS. Abdul Hadi W. M. (2000). Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah Fansur. Jakarta: Paramadina. Abdul Hadi W.M. Wacana Seni Islam: Musik, Religuitas dan Spiritualitas. dalam http://www.icas-indonesia.org. A. Samad Ahmad. 1986. Sejarah Melayu (Rumi). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Al-Attas, S. M. N. 1978. Islam dalam sejarah, bahasa dan kebudayaan Melayu. Kuala Lumpur: ABIM. Ediwar, 2012. ”Dinamika Musik Islami Minangkabau”. Tesis Doktor Falsafah University Kebangsaan Malaysia. Edwar, Jamaris. 2002. Pengantar Sastera Rakyat Minangkabau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ezad Azraai Jamsari. et.al. 2004. Pengajian Islam. Selangor Darul Ehsan: Fajar Bakti sdn. Bhd Ibrahim Ismail & Abdul Ghani Shamsuddin. 1992. Konsep Seni Dalam Islam. Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Melayu Universiti Malaya. Kern, R.A. 1956. The Origin of Malay Surau, JMBARS. Kuzok, Uli. 2006. Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah. Naskah Melayu Tertua. Jakarta: Yayasan Obor.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 337 Manja Mohd, Et.Al. 1995. Aspek-Aspek Kesenian Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka. Moh. Anwar Omar Din, 2004. Sastera Islam Citra Nurani Ummah. Bangi. Universiti Kebangsaan Malaysia. Moh. Anwar Omar Din, 2007. Asas Kebudayaan dan Kesenian Melayu. Bangi. Universiti Kebangsaan Malaysia. Nasr, Sayyed Hossein. 1993. Spiritualitas dan Seni Islam. Terjemahan: Sutejo. Bandung: Mizan. Nasroen, M. 1957. Dasar Falsafah Adat Minangkabau. Jakarta: Bulan Bintang. Rahman Rukaini. 1996. Rangkaian Kisah Nabi dalam Puisi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. P. Barnard, Timothy. 2004. Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries. NUS: Singapore University Press.

338 Rediscovering the Treasures of Malay Culture MENELUSURI PERMAINAN SILEK KURAMBIK DI NAGARI TALANG BABUNGO

Roza Muliati, S.S., M.Si. Institut Seni Indonesia Padangpanjang

Abstrak

A journey to nagari Talang Babungo which is located in the highland of Solok regency, West Sumatera has produced a research report of silek kurambik, a kind of Minangkabau martial art. This report is made by using emic and ethic approach in order to get the point of view of the people and critical analisis of researcher. In fact, silek kurambik plays an important role to the people of Talang Babungo since it function as pamainan anak nagari (games of folk) as well as paga diri (self-defence) and parik paga dalam nagari (community-defence). As a game, silek kurambik usually perform to public as a show of skill of attaching and repulsing by using a blade, called kurambik, meanwhile as a silek, it is only used for real fight or hit to death. Therefore, in every ritual and local events, this attractive game is always performing.

Pendahuluan Nagari Talang Babungo adalah daerah berhawa dingin yang terletak di dataran tinggi Hiliran Gumanti, Kabupaten Solok, provinsi Sumatera Barat. Nagari ini terletak di tengah-tengah lembah yang dilingkari oleh Sungai Gumanti, dan dikelilingi oleh perbukitan batu yang ditumbuhi oleh pepohonan pinus, seakan memagari daerah ini dari dunia luar. Satu-satunya jalur transportasi adalah jalan raya yang sekaligus berfungsi sebagai jalan masuk menuju dan keluar dari nagari Talang Babungo. Pada masa lalu, daerah ini menjadi salah satu tempat pelarian yang strategis bagi para pejuang PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), karena letaknya yang jauh di

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 339 pedalaman. Di daerah ini dijumpai sebuah aliran silat atau silek1 yang dinamakan oleh masyarakat setempat dengan silek kurambik. Tidak banyak publikasi ataupun informasi yang didapat mengenai keberadaan silek kurambik di nagari Talang Babungo. Dari hasil observasi di lapangan, diketahui bahwa penamaan silek kurambik berasal dari nama senjata yang dipakai dalam ilmu beladiri ini, yaitu sejenis pisau yang disebut sebagai kurambik. Sementara itu, di dalam Kamus Bahasa Minangkabau Indonesia yang ditulis oleh H. Abdul Kadir Usman Dt yang diPatuan (2002), ditemukan dua istilah mengenai kurambik, yaitu: (1) kurambik: senjata tajam berbentuk seperti sabit dengan belahan mata pada bagian luar lengkungnya; dan (2) karambik-kerambit: pisau pendek, bengkok dan tajam pada kedua sisinya. Sedangkan dalam ensiklopedia online, ditemukan istilah karambit (disebut juga kerambit atau korambit), yaitu sejenis pisau yang ditemukan di Indonesia, Filipina dan Malaysia. Pisau ini dipergunakan sebagai peralatan pertanian dan juga senjata. Pisau ini dipercayai menyimpan kekuatan harimau, makanya bentuknya menyerupai cakar harimau. Pisau ini juga dipakai sebagai senjata dalam pencak silat.2 Menurut keterangan Bapak Saruddin, seorang pesilat kurambik di Talang Babungo, menjelaskan bahwa kata kurambik berasal dari istilah ukuran ambiak, yaitu ukuran jangkauan senjata sehingga dapat melukai dan membunuh lawan.3 Silek Kurambik memiliki keunikan yang membedakannya dari aliran silat lainnya yang dijumpai di wilayah kultural Minangkabau. Menurut Tung Gaek, seorang pelaku silat Kurambik di nagari Talang Babungo, menjelaskan bahwa yang dinamakan dengan silek kurambik adalah silat yang memakai senjata kurambik, memakai langkah tigo, dan sifatnya menyerang.4 Silek ini diyakini menjadi milik masyarakat Talang Babungo dan menyebar ke Payakumbuh sampai ke Lubuak Tarok di Sijunjung.5

1 Silat dalam bahasa Minangkabau disebut dengan silek. 2 www.wikipedia.com 3 Wawancara dilaukan di Talang Babungo, 4 Juli 2010 4 Wawancara dengan Tung Gaek, seorang tokoh silek kurambik di Talang Babun- go, 5 Juli 2010. 5 Laporan Penelitian Roza Muliati da Hartitom, Kurambik sebagai Senjata, Silat dan Tari pada Masyarakat Talang Babungo. 2010

340 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Silek sebagai Permainan Setiap nagari di Minangkabau memiliki permainan rakyat yang lazim dikenal dengan pamenan (permainan) anak nagari, yang menjadi milik komunal masyarakat nagari dan memiliki kekhasan yang membedakan permainan di satu nagari dengan nagari lainnya. Di antara ragam permainan yang dapat dijumpai hampir di setiap nagari di Minangkabau adalah silat, randai, dan tari-tarian. Di samping sebagai ilmu bela diri, silat sebagai permainan sangat dikenal di Minangkabau. Istilah silek di Minangkabau mengacu kepada dua peranan, sebagai permainan ia dinamakan dengan pencak dan sebagai seni bela diri ia dinamakan silat (Navis, 1964: 363). Di samping itu juga dikenal istilah basilek atau bamancak. Basilek artinya melakukan silek, sedangkan bamancak melakukan mancak atau pencak (Zulkifli, 2010). Sebagai seni bela diri, silek tidak dapat dipertunjukkan karena tujuannya untuk bertarung atau bunuh mati, sedangkan pencak adalah permainan yang bertujuan untuk unjuk kemahiran dalam menyerang dan menangkis (tangkok-lapeh). Dilihat dari fungsinya sebagai permainan, silat termasuk ke dalam jenis permainan rakyat (folk games) yang bersifat keterampilan fisik (game of phsysical skill), sebagaimana yang dijelaskan oleh James Danandjaja (1986: ), yang membedakan permainan rakyat (folk games), menjadi dua kelompok besar, yaitu permainan untuk bermain (play) dan permainan untuk bertanding (game). Perbedaan permainan bermain dan permainan bertanding adalah bahwa yang pertama lebih bersifat untuk mengisi waktu senggang, sedangkan yang kedua mempunyai lima sifat khusus, seperti: (1) terorganisasi, (2) perlombaan (competitive), (3) harus dimainkan paling sedikit oleh dua orang peserta, (4) mempunyai kriteria yang menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah, dan (5) mempunyai peraturan permainan yang telah diterima bersama oleh para pesertanya.6 Sebagai manifestasi budaya masyarakat pedalaman, penelusuran terhadap silek kurambik sangat didukung oleh pendekatan emik yang membantu menjelaskan fenomena budaya menurut sudut pandang masyarakat setempat, dipadukan dengan pendekatan etik yang

6 James Danandjaja, 1986. Folklore Indonesia, Jakarta: Grafity Pers, h.171

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 341 memungkinkan peneliti mengacu kepada konsep-konsep yang telah ada (Endaswara, 2003).

Menelusuri Nagari Talang Babungo 1. Alam Nagari Talang Babungo merupakan sebuah lembah yang subur karena sumber mata air yang berlimpah dan iklimnya yang sejuk. Sepanjang perjalanan, mata dimanjakan dengan indahnya perkebunan teh, danau, perbukitan, beserta lembah yang sejuk dan menawan. Memasuki Nagari Talang Babungo, terbentang areal perladangan, persawahan dan pemukiman yang terlihat harmonis mengikuti topografi alamnya.

Gambar. 1 Kondisi geografis nagari Talang Babungo (Dokumentasi: Roza Muliati, Juni 2010)

Daerah sepanjang lereng perbukitan adalah areal perladangan, sementara areal persawahan terletak di lereng perbukitan yang menjadi penghubung satu bukit dengan bukit lainnya. Sedangkan dataran rendah yang terletak di tengah-tengah lembah dan dikelilingi oleh sungai, dijadikan sebagai kawasan pemukiman penduduk. Di luar wilayah pemukiman, perladangan dan persawahan, daerah Talang

342 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Babungo juga memiliki kawasan hutan yang terletak di perbukitan yang terletak agak jauh dari pemukiman penduduk. Hutan ini ditumbuhi oleh pepohonan pinus dan merupakan kawasan berbatu. Di kawasan hutan inilah rawan dijumpai binatang buas yang cukup dikenal oleh masyarakat Talang Babungo, yaitu Harimau yang biasa dipanggil inyiak karena diyakini tabu menyebut langsung harimau yang memiliki pengaruh mistis terhadap kehidupan mereka. Dilihat dari segi penamaan, nagari Talang Babungo memiliki nama yang cukup unik. Istilah talang dalam pengertian masyarakat setempat adalah batuang (bambu), sedangkan babungo artinya berbunga. Maka nama nagari Talang Babungo berarti bambu yang berbunga atau ditumbuhi oleh bunga. Sebagian tokoh masyarakat menyebut bahwa dahulunya nagari Talang Babungo juga dikenal dengan nama Aluang Bunian yang mengandung makna magis karena bunian adalah istilah yang lazim dipakai untuk menyebut makhlus halus yang hidup di dimensi alam yang berbeda dengan manusia.7

2. Masyarakat Aktivitas dan kehidupan masyarakat Talang Babungo sangat bergantung kepada alam. Sawah, ladang dan hutan merupakan sumber penghidupan utama. Dengan kondisi alam yang subur, masyarakat Talang Babungo pada umumnya hidup dari aktivitas pertanian. Di samping mengolah sawah, masyarakat setempat menggantungkan hidup mereka dari berkebun tebu, kentang, kol, markisa, sayur- sayuran, berdagang, dan mencari hasil hutan. Tanaman tebu yang dijumpai di sepanjang lereng perbukitan, diolah oleh para petani tebu menjadi gula di kilangan tebu yang dijumpai di beberapa tempat. Proses pengolahan tebu menjadi gula yang dikenal dengan gulo saka masih dilakukan secara sederhana dengan mengandalkan tenaga kuda sebagai penarik tuas yang berfungsi untuk menguras air tebu dari batangnya untuk kemudian dimasak di dalam sebuah wajan besar di atas tungku kayu dan akhirnya dicetak memakai cetakan tempurung kelapa.

7 Wawancara dengan Bapak Jufri di Talang Babungo, 4 Mei 2010.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 343 Gambar. 2 Kilangan tebu dengan tenaga kuda (Dokumentasi: Roza Muliati, Maret 2010)

Di Talang Babungo, juga masih dijumpai orang yang bekerja sebagai tukang besi yang biasa disebut penduduk setempat sebagai tukang tampa.

Gambar. 3 Tukang tampa basi tengah mengolah besi (Dokumentasi: Lambah Art, Maret 2010)

344 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Gambar di atas memperlihatkan tukang tampa besi yang tengah mengolah besi menjadi berbagai alat pertanian, pertukangan dan senjata. Tempat pengolahan masih sangat sederhana dengan menggunakan arang sebagai bahan bakar. Terlihat dua buah tabung yang biasa digunakan sebagai alat untuk meniup api jika dibutuhkan panas yang cukup tinggi untuk mengolah besi. Di samping itu, ada sebagian penduduk yang menjalankan usaha yang sangat unik dan hanya dijumpai di daerah pendalaman, yakni usaha kudo baban, yang mengandalkan kuda sebagai alat pengangkut barang. Kuda baban dipergunakan oleh para pedagang untuk memasarkan dagangan mereka ke daerah-daerah yang sangat terpencil yang terdapat di balik perbukitan dan hutan yang tidak terjangkau oleh kendaraan roda dua ataupun roda empat. Ada sebuah tempat yang dijadikan sebagai pasar khusus bagi transaksi sewa kudo baban. Di tempat ini, pemilik kuda menyewakan kuda-kudanya kepada penduduk yang hendak menjual dagangan mereka dengan memakai kudo baban. Jenis mata pencarian penduduk Talang Babungo yang spesifik dan jarang dijumpai di tempat lain, mencerminkan gambaran sebuah masyarakat tradisional pedalaman yang masih hidup sederhana, dengan mata pencarian yang bergantung kepada alam. Namun di sisi lain, masyarakat Talang Babungo tidak sepenuhnya terpencil. Penduduk pada umumnya telah memiliki perangkat TV beserta antena parabola yang memungkinkan mereka mengakses informasi yang tidak terbatas dari dunia luar. Hal ini jelas menarik karena penduduk setempat tetap hidup bersahaja di tengah perkembangan teknologi yang masuk ke daerah mereka. Hal ini terlihat dari masih kuatnya tradisi masyarakat setempat dalam hal menjaga nilai-nilai luhur yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Dilihat dari segi keyakinan, dapat dikatakan semua penduduk Talang Babungo menganut dan menjalankan agama Islam. Islam ikut mempengaruhi nilai-nilai dan norma yang berlaku di tengah masyarakat setempat. Mesjid dan surau merupakan salah satu pusat aktivitas sosial masyarakat di samping pasar dan tempat-tempat lainnya. Di Talang Babungo, adat dan agama menyatu dalam filsafat Adat

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 345 Basandi Syarak, Syarak basandi Kitabulah. Hal ini tidak saja terlihat dari kehidupan masyarakat setempat yang diwarnai oleh norma-norma adat dan agama tetapi secara simbolik tergambar dari letak masjid dan balai adat yang berdampingan, yang menunjukkan eratnya hubungan antara agama dan adat pada masyarakat Talang Babungo. Nilai-nilai kolektivitas dan kebersamaan yang biasa dijumpai pada masyarakat tradisional pedesaan, juga masih sangat erat melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat setempat. Di waktu-waktu tertentu masyarakat saling membantu dan bergotong royong. Tradisi bergotong royong ini terlihat jelas pada saat masyarakat turun ke sawah atau bekerja di ladang. Penduduk biasanya saling membantu agar aktivitas pertanian mereka dapat dilakukan dengan lancar dan mendapatkan hasil yang diharapkan. Sistem saling bantu ini dikenal dengan istilah mangarayo hari atau julo-julo. Di siang hari penduduk biasanya menghabiskan waktu mereka mencari penghidupan sebagai petani atau pedagang. Sedangkan aktivitas penduduk di malam hari biasanya ditandai dengan pergi ke mesjid atau ke surau, warung, ataupun aktivitas kesenian seperti barandai dan basilek di sasaran.

Permainan Silek Kurambik Silek Kurambik adalah salah satu bentuk permainan anak nagari di Talang Babungo, yang biasa dimainkan pada berbagai acara alek nagari di Talang Babungo. Silek kurambik telah menjadi permainan bagi para pemuda di Talang Babungo, yang mempelajari silat semenjak mereka beranjak remaja. Silek kurambik juga dimainkan oleh sebagian tokoh silat senior apabila diminta untuk mempertunjukan kebolehan mereka dalam bermain silat pada acara-acara tertentu. Dapat dikatakan silek kurambik telah menjadi kebanggaan masyarakat di Talang Babungo, ia menjadi pamainan anak mudo dan perhiasan bagi urang tuo. Sebagai permainan adu ketangkasan dalam menyerang dan menangkis, serta memainkan senjata kurambik, silek ini harus dimainkan secara berpasangan atau berkelompok. Dalam berbagai acara alek nagari, perhelatan perkawinan, ataupun penyambutan tamu, biasanya disediakan ruang terbuka bagi para pesilat untuk

346 Rediscovering the Treasures of Malay Culture memperlihatkan kemahiran mereka bermain silat, yang menjadi hiburan yang menarik dan banyak ditonton oleh seluruh lapisan masyarakat, tak terkecuali anak-anak dan kaum ibu.

Gambar.4 Dokumentasi Silek Kurambik yang ditampilkan pada alek nagari di Talang Babungo pada tahun 70-an (Dokumentasi: Adriyandi)

Gambar di atas memperlihatkan dua orang pesilat yang tengah memainkan silek kurambik di tengah lapangan pada acara alek nagari di Talang Babungo yang ramai ditonton oleh anak-anak dan kaum ibu. Dokumentasi ini diperkirakan diambil tahun 70an.

Gambar.5

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 347 Permainan silek kurambik yang ditampilkan oleh tokoh silek kurambik pada acara alek nagari di Talang Babungo (Dokumentasi: Roza Muliati, 28 November 2011)

Gambar di atas diambil pada acara alek nagari di Nagari Talang Babungo, yang dahulunya dikenal sebagai alek mamasah. Alek ini adalah alek nagari terbesar di Talang Babungo, bahkan diakui oleh ketua LKAM Sumbar sebagai alek nagari terbesar di Sumatera Barat. Alek nagari atau alek mamasah adalah alek yang dilakukan dalam rangka mensyukuri hasil pertanian yang diperoleh dan sekaligus pertanda dimulainya kegiatan pertanian secara bersama-sama. Dalam rangkaian acara alek nagari ini ditampilkan berbagai permainan anak nagari Talang Babungo, khususnya silek yang menjadi permainan kebanggaan masyarakat Talang Babungo. Ragam silek yang ditampilkan berupa silek tuo, atau silek langkah ampek, dan silek kurambik yang memakai senjata kurambik. Setiap kelompok sasaran yang ada akan mengirim pesilat terbaik mereka untuk unjuk kebolehan dalam memainkan silat, mulai anak-anak sampai dewasa. Meski termasuk ke dalam permainan, adakalanya beberapa pesilat yang tampil terluka karena senjata yang dipakai dalam permainan silat. Yang menarik adalah kehadiran anak-anak dalam permainan silat di nagari Talang Babungo. Permainan silat oleh anak-anak biasanya mengawali pertunjukan silek kurambik sebagai puncak dari permainan silek yang disuguhkan pada acara alek nagari. Khusus untuk anak-anak, atraksi yang ditampilkan adalah kelincahan dan ketangkasan dalam bermain silat dengan tangan kosong. Mereka belum menggunakan senjata yang membutuhkan keterampilan penguasaan silat yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang telah berlatih bertahun-tahun lamanya karena memiliki tingkat kesulitan yang tinggi dan dapat melukai lawan.

348 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Gambar.6 Dua orang anak tengah menunjukkan kemahiran bermain silat (Dokumentasi: Roza Muliati, 28 November 2011)

Menurut tokoh masyarakat setempat, silek kurambik yang kemudian dikembangkan dalam versi pencak sebagai permainan, diciptakan pertama kali oleh seorang ahli silat tuo yang bernama Angku Abduh sekitar abad kedelapan belas. Angku Abduh juga dikenal sebagai salah seorang ulama terkenal yang mensyiarkan agama Islam di Talang Babungo dan dikenal sebagai ulama tasawuf. Pada saat itu, tarekat naqsabandiyah juga berkembang di Talang Babungo. Murid-murid Angku Abduh kemudian mengembangkan silek kurambik di Talang Babungo sampai ke daerah Lubuak Tarok di Kabupaten Sijunjung. Sebelum silek kurambik yang memakai langkah tigo berkembang, di nagari Talang Babungo telah lama hidup aliran silek tuo yang memakai langkah ampek. Sampai hari ini silek tuo dan silek kurambik masih dapat dijumpai di nagari Talang Babungo, dan lazim dipertunjukkan secara berdampingan.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 349 Gambar.7 Silek Tuo yang ditampilkan pada Alek Nagari Talang Babungo (Dokumentasi: Roza Muliati, 28 November 2011)

Gambar di atas memperlihatkan dua pesilat yang tengah menampilkan silek tuo dengan ciri khas langkah ampek, sebagai salah satu permainan anak nagari yang ditampilkan pada acara Alek Nagari. Pemakaian langkah tigo pada silek kurambik dikarenakan ia jenis silat yang diciptakan khusus untuk menyerang dan memakai senjata, yang memperhitungkan jarak dan memperhitungkan gerak. Sedangkan penamaan silek kurambik sendiri berasal dari pemakaian senjata yang bernama kurambik. Senjata kurambik memang dibuat berbeda dari senjata sejenis yang lazim dijumpai. Senjata kurambik menyerupai sabit dengan dua mata pada bagian luar dan dalam senjata. Senjata dipakai dengan cara menyarungkan jari kelingking pada lubang kecil yang terdapat pada tangkai senjata. Pemakaian senjata ini yang kemudian melahirkan aliran silek kurambik. Pesilat yang dapat mempertunjukkan permainan silek kurambik adalah mereka yang telah mencapai kemahiran tinggi dalam penguasaan silek kurambik, sebab tingkat kesulitan menghindari senjata kurambik jelas berbeda dengan silat yang lain. Menurut masyarakat setempat, istilah kurambik sendiri berasal dari istilah ukuwan ambiak, yaitu ungkapan dalam bahasa Minangkabau yang berarti ukuran atau jarak yang memungkinkan senjata mengenai sasaran.

350 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Gambar. 8 Senjata Kurambik (Dokumentasi Tim Peneliti Kurambik, Juli 2010)

Secara umum gerak dalam silet kurambik sangat berorientasi kepada alam. Banyak gerakan yang meniru gerak binatang dan dinamakan sesuai dengan bentuk gerakannya, seperti gerak cabiak ateh yang meniru gerak Harimau yang mencabik mangsa. Gerakan lain seperti lompat dan tangkap juga menyerupai gerak Harimau. Gerakan silek kurambik juga dapat menggunakan gerak silat lain yang kemudian diadopsi ke dalam silek langkah tigo.

Gambar.9

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 351 Gambar.10 Gambar.9 dan 10 memperlihatkan dua pesilat kurambik tengah memainkan jurus cabiak ateh pada Alek Nagari di Talang Babungo (Dokumentasi: Roza Muliati, 28 November 2011)

Kedua foto di atas memperlihatkan dua pesilat kurambik di Talang Babungo yang tengah memainkan salah satu jurus dalam silek kurambik, yaitu jurus cabiak ateh pada acara Alek Nagari Talang Babungo. Tampak kedua pesilat saling menyerang dengan memakai senjata kurambik yang diselipkan pada jari kelingking. Sebelum mempertunjukkan silat kurambik, kedua pesilat memberikan gerak pasambahan sebagai salam pembuka dimulainya permainan silat. Kedua pesilat kemudian mengeluarkan senjata kurambik masing-masing dan dilanjutkan dengan memainkan senjata kurambik. Ada beberapa nama gerakan sesuai dengan arah pisau, yaitu: kariah paho, kariah pinggang, kariah katiak, kariah Leher, kariah Bawah/Sapik Bawah. Selama pertunjukan berlangsung, penonton riuh bertepuk tangan, memberikan dukungan kepada pesilat yang berhasil mengunci gerak serta menjatuhkan lawan. Adakalanya senjata yang dimainkan melukai lawan. Di samping berfungsi sebagai permainan, silek kurambik di tengah masyarakat Talang Babungo memiliki fungsi panjago diri (pembelaan diri dari serangan musuh), dan parik paga dalam nagari

352 Rediscovering the Treasures of Malay Culture (sistem pertahanan negeri). Hal ini dapat dipahami dari letak nagari Talang Babungo yang jauh di pedalaman, tentunya mengandaikan adanya sebuah sistem pertahanan diri dan kelompok, yang dapat membantu mereka untuk survive dari kondisi alam yang keras. Pada saat sekarang masih dijumpai sejumlah sasaran silat sebagai tempat bagi para pemuda Talang Babungo belajar silat kurambik dan dan silat lainnya. Para pemuda yang datang belajar biasanya tidak dipungut bayaran oleh guru silat. Sebagai tanda terima kasih, mereka yang belajar memberi semacam sumbangan berupa barang dan kebutuhan dalam proses belajar seperti kopi, gula dan lampu minyak yang biasa dipakai sebagai alat penerangan ketika belajar silat pada malam hari.

Penutup Permainan silek kurambik di nagari Talang Babungo, adalah potret sebuah permainan rakyat Minangkabau yang tinggal jauh di pedalaman. Ia menjadi permainan khas masyarakat darek yang hidup jauh di pedalaman, dengan kondisi alamnya yang keras, yang memberi corak kepada kebudayaan yang mereka hasilkan. Silek kurambik pada awalnya sangat fungsional pada masyarakat Talang Babungo sebagai bentuk pertahanan diri dan parik paga dalam nagari. Letak daerah yang cukup jauh di pedalaman dan kondisi alam yang keras, membuat masyarakat setempat senantiasa siaga dan awas terhadap segala macam bahaya yang akan mengancam, yang tergambar dari karakteristik yang melekat pada silek kurambik yang memakai senjata kurambik, menggunakan langkah tigo dan bersifat menyerang. Dalam perkembangannya, ia kemudian menjadi permainan anak nagari (folk game) yang menampilkan permainan uji ketangkasan (game of physical skill) yang ditujukan untuk hiburan. Meski telah jarang dipakai sebagai seni bela diri, silek kurambik masih dapat ditelusuri keberadaannya sebagai permainan yang menjadi kebanggaan masyarakat Talang Babungo yang senantiasa dipertunjukkan di berbagai acara alek nagari.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 353 Daftar Pustaka Dananjaya, James. 1986. Folklore Indonesia. Jakarta: Grafiti Pers. Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan: Ideologi, Epistemologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Navis, A.A 1984. Alam Terkembang jadi Guru, Jakarta: Gravity Press. Sedyawati, Edi. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan, 1981. Zulkifli, Makna Filosofi Silat Bagi Masyarakat Minangkabau, Ekspresi Seni, Vol.12, No.1, Juni 2010.

354 Rediscovering the Treasures of Malay Culture INTERAKSI SIMBOLIK SENI PERTUNJUKAN DALAM TRADISI BAGURAU SALUANG DENDANG DI MINANGKABAU

Rustim, S.Pd., M.A. Institut Seni Indonesia Padangpanjang

Abstrak

The important aspect of social interaction in bagurau saluang dendang tradition is the exposition of the real messages of Minangkabau socio-cultural life, expressed as an interaction material in producing its meaning and exchanging the experiences that related to the cultural life of local people. The messages are conveyed both in written and oral forms, which is reinforced by some musical grammatica. Eventually, bagurau saluang dendang has contributed its dialectics as the characteristic form of specific traditional performance, where the involvement of pagurau group is of important element in supporting its performance, and in maintaining the Minangkabau cultural activities as well. Interaksi sosial dalam pertunjukan tradisi bagurau saluang dendang mengungkapkan pesan-pesan realitas kehidupan sosio-kultural sebagai materi interaksi, dalam memproduksi makna dan bertukar pengalaman yang berkaitan dengan kehidupan budaya masyarakat setempat. Pesan-pesan disajikan secara metafora, dalam bentuk lisan dan tulisan dalam gramatika musikal. Dialektika dalam pertunjukan tradisi bagurau saluang dendang akhirnya membentuk karakteristik pertunjukan tradisi yang khas dengan keterlibatan para pagurau untuk berinteraksi sebagai bagian dari unsur pertunjukan.

Keywords: social interaction, bagurau, saluang dendang.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 355 Pendahuluan Pada masa lampau di rumah-rumah penduduk di nagari-nagari sering terdengar alunan saluang dendang baik itu pada siang hari, maupun malam hari, yang diputar melalui siaran radio dan tape cassette. Kebiasaan seperti itu sekarang sudang mulai hilang, dan telah digantikan oleh siaran televisi melalui parabola digital. Namun tradisi bagurau saluang dendang sampai saat ini tetap masih hidup dan cukup diminati oleh masyarakat di berbagai nagari (negeri atau daerah), bahkan sampai pada daerah perkotaan. Kenyataan seperti ini menunjukkan bahwa peristiwa bagurau telah mentradisi dan mendapatkan dukungan masyarakat sebagai bagian dari realitas sosiokultural di Minangkabau. Saat menyaksikan bagurau saluang dendang, tidak jarang perhatian para penonton lebih tertuju pada peristiwa baguraunya dibandingkan dengan saluang dendang itu sendiri, tentunya hal demikian tidak bermaksud mengabaikan saluang dendang sebagai unsur pokok pertunjukan. Tradisi bagurau dalam pertunjukan saluang dendang menjadi bagian penting dalam penyangga keberhasilan petunjukannya, hal ini ditandai oleh dominasi penonton (pagurau) mengendalikan pertunjukan dirasakan cukup memiliki peran selama pertunjukan berlangsung. Apa yang dikenal kebanyakan orang tentang pertunjukan saluang dendang Minangkabau sebagai satu bentuk pertunjukan musik tradisi yang terdiri dari tukang saluang dengan instrumen musiknya terbuat dari bambu tanpa ruas dengan 4 lobang nada untuk mengiringi tukang dendang (penyanyi). Kenyataannya dalam realitas masyarakat di Minangkabau tidaklah seperti demikian, tetapi justru tradisi bagurau dalam pertunjukan saluang dendang merupakan unsur pembentukan pertunjukan itu sendiri. Pagurau tidak hanya dalam posisi sebagai objek pertunjukan, namum mereka ikut terlibat sebagai subjek dan berpartisipasi dalam pertunjukan. Jadi, tidak disebut dengan bagurau saluang dendang kalau tidak melibatkan pagurau sebagai partisipatory.

356 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Pembahasan 1. Tradisi Bagurau Sebagai Bentuk Komunikasi Musikal Tradisi bagurau saluang dendang, adalah salah satu genre seni pertunjukan musik tradisi masyarakat di Minangkabau. Sebagai masyarakat dengan mata pencaharian yang bertumpu pada pertanian, musik semata-mata berfungsi hiburan untuk pelepas lelah setelah seharian bekerja di sawah dan kebun. Tradisi bagurau saluang dendang biasanya berlangsung pada malam hari menjelang subuh, dengan menghadirkan satu orang tukang saluang dan dua sampai tiga orang tukang dendang. Bagurau dijadikan pilihan masyarakat sebagai wadah untuk berkomunikasi, berinteraksi, berintegrasi, serta berekspresi dengan cara-cara berkelompok. Tradisi bagurau ini dihadiri oleh para pencandu gurau dari berbagai nagari (negeri) dengan cara-cara berkelompok dan kelompok tersebut memiliki simbolik nama yang merujuk pada profesi kerja mereka sehari-hari.1 Kelompok tersebut terbentuk bukan atas nama nagari asal daerah mereka, tetapi terbentuk secara spontan saat pertunjukan berlangsung. Sumber dendang yang berbentuk pantun berasal dari tradisi lisan masyarakat Minangkabau yang berisikan tentang petuah adat, nasehat, kesedihan dan penderitaan, kerinduan, dan kemiskinan. Pengalaman hidup ini bagi tukang dendang diekpresikan melalui pantun-pantun yang didendangkan. Teks-teks pantun yang didendangkan itu merupakan simbolik pandangan hidup, ideologi dan sosial budaya masyarakat setempat. Pertunjukan disajikan dengan melibatkan partisipasi dan interaksi pagurau sebagai bagian bentuk pertunjukannya. Geertz, sebagaimana dikutip Marvin Carlson menjelaskan, hanya pergelaran yang melibatkan partisipannya dalam “permainan mendalam”lah yang tampaknya bisa menarik orang untuk memperhatikan gagasan-gagasan dasar dan kode- kode budayanya.2 Kode-kode budaya dalam tradisi bagurau saluang dendang ini, tidaklah sulit untuk ditemukan seperti melewati jenis, judul, dan tema-tema lagu yang sering disajikan tukang dendang dan pantun-pantun yang dikirim oleh pagurau, termasuk perilaku pagurau

1 Khairil Anwar, “Bagurau di Darek: Fungsi Sosial dan Makna Simboliknya,” dalam Jurnal Penelitian STSI Padangpanjang no.2. 2004, 145. 2 Marvin Carlson, Performance a Critical introduction. Amerika: Routledge, 1996, 24.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 357 sewaktu berinteraksi dalam pertunjukan. Jenis lagu atau judul lagu termasuk pantun-pantun dasar dari lagu tersebut merupakan kode- kode sosiokultural. Bahkan judul-judul dendangpun diangkat dari simbolik peristiwa-peristiwa sosial, pengalaman individu, dan nama- nama daerah serta karakteristiknya cukup dikenal oleh para pagurau. Pertunjukan bagurau saluang dendang dilaksanakan dan berlangsung secara sederhana tanpa perlu mempersiapkannya secara matang, baik tempat pertunjukan maupun pelayanan terhadap masyarakat yang datang. Tempat pertunjukan dapat saja berlangsung di warung kopi, di rumah makan atau di tengah-tengah pasar rakyat. Penonton dapat mengikuti pertunjukan dengan bebas, seperti duduk di sembarang tempat, berkelakar, tertawa, pindah-pindah tempat duduk, berjalan-jalan, bermain kartu atau domino, minum-minum, merokok dan berjualan. Konteks bagurau yang dibicarakan di sini berbeda dengan pertunjukan saluang dendang yang dilaksanakan dalam rangka memeriahkan kegiatan upacara adat, pengangkatan penghulu, ritual keagamaan, seperti khitanan, khatam Quran, turun mandi anak ataupun acara-acara pesta pernikahan yang hanya berlangsung pada waktu-waktu tertentu dan bersifat insidentil. Tukang dendang hampir menguasai seluruh jenis lagu sekaligus pantun-pantun dari lagu tersebut. Tukang dendang yang cukup profesional lebih kurang menguasai secara lisan 300 sampai 400 pantun yang siap didendangkan sesuai dengan permintaan kelompok pagurau.3 Pantun disajikan secara spontan sesuai dengan situasi dan kondisi saat pertunjukan berlangsung, dalam tradisi bagurau pantun- pantun dieksplorasi untuk ditujukan pada seseorang, atau kelompok pagurau. Pantun berisikan pujian atas identitas individu atau kelompok, kelucuan, sampai pada sindiran, cemooh, pelecehan dan pornografi dengan tujuan untuk membangun suasana bagurau lebih akrab dan keterlibatan serta partisipasi penonton ke dalam pertunjukan semakin meningkat. Tukang dendang bahkan cukup memahami karakter daerah-

3 Philip Yampolsky. “Musik Malam Dari Sumatera Barat”. Manuskrip rekaman Seri Musik Indonesia, kerjasama The Center for Folklife and Cultural Studies of The Smithsonian Institution dan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1992, p.6.

358 Rediscovering the Treasures of Malay Culture daerah di mana pertunjukan dilaksanakan, serta kebiasaan-kebiasaan dan keinginan para pencandu gurau baik secara individu maupun kelompok. Hobart dan Kapferer menjelaskan, performance itself is considered aesthetically, that is, as a process that continually forms itself before reflection, engaging those embraced in its dynamic field to its constructive and experientially constitutive force.4 Antara tukang dendang dan kelompok-kelompok pagurau sangat akrab, karena selama pertunjukan berlangsung formasi tempat duduk hampir tidak ada jarak antara tukang saluang dan tukang dendang dengan penontonnya. Keberhasilan pertunjukan sangat ditentukan oleh kepiawaian tukang dendang dalam penguasaan jenis lagu beserta pantun-pantunnya dan kemampuan berinteraksi menurut keinginan dan selera para pencandu gurau. Seni pertunjukan dalam bentuk apapun jelas memiliki tujuan tertentu, bahwa salah satu tujuan seni pertunjukan itu adalah untuk mengekpresikan sesuatu (aesthetic form) dan menyampaikan sesuatu (massage). Artinya, pertunjukan tidak lagi hanya dipandang sebagai medium untuk menyampaikan dan menerima pesan estetik, namun juga sebagai sesuatu yang mengandung pesan lain seperti halnya yang terjadi pada bentuk komunikasi lainnya.5 Dengan demikian seni pertunjukan dapat disebut juga sebagai proses komunikasi musikal. Komunikasi dalam seni memang tidak sama dengan bentuk-bentuk komunikasi lainnya, karena komunikasi seni itu tidak bertujuan untuk mempengaruhi orang lain. Bentuk ekspresif diartikan sebagai material seni yang disajikan, sedangkan persoalan bagaimana seni itu menyampaikan pesan dan bagaimana pula penonton memberikan makna terhadapnya, ini berhubungan dengan pengalaman estetik. Bentuk-bentuk komunikasi ekspresif ini bisa saja terdapat pada komunikasi yang non-seni, tetapi bentuk pengalaman estetik yang musikal menjadi lebih penting untuk membedakan bentuk komunikasi yang digunakan dalam seni dengan bentuk komunikasi lainnya.

4 Angela Hobart dan Bruce Kapferer, “The Aesthetics of Symbolic Construction and Experience” dalam Aesthetics in Performanc, editor Hobart dan Kapferer. New York: Berghahn Books, 2007, 1. 5 Santosa, “Aspek Komunikasi Perunjukan Gamelan”, makalah Seminar Interna- sional Seni Pertunjukan Indonesia, STSI Surakarta, 3-4 Juli 2002, 6.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 359 Dengan demikian, bagaimana seni mengekspresikan bentuknya, apa yang diekspresikan, bagaimana pula penonton menanggapi dan memberikan respon, dan pengalaman estetik apa yang didapatkan pelakunya, serta simbolik-simbolik apa yang diusung dalam pertunjukan tersebut. Tentunya ini akan mempersoalkan tentang proses pemaknaan seni pertunjukan oleh orang yang terlibat dalam pertunjukan tersebut. Kaemmer menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan makna musik pada dasarnya terkategori dalam tiga jenis, yakni (1) Makna musik diperoleh dari apa yang ungkapkan, atau disebut dengan simbolis atau makna referensial, (2) makna musik, disebut juga dengan estetika, non-referensial, atau mutlak, dan (3) makna musik lebih erat kaitannya dengan adaptasi budaya daripada ekspresi budaya.6 Tentunya dalam konteks seni pertunjukan tradisi pertanyaan-pertanyaan ini akan memiliki tanggapan yang beragam, karena tanggapan demikian berkaitan dengan siapa yang melakukan pertunjukan, di mana peristiwa pertunjukan itu berlangsung, kapan pertunjukan itu dilakukan, dan untuk apa pertunjukan diadakan, serta siapa saja yang terlibat dalam pertunjukan tersebut. Proses komunikasi setiap seni pertunjukan bisa saja sama, akan tetapi substansi pengalaman estetiknya jelas berbeda. Pengalaman estetik pelaku pertunjukan pada seni pertunjukan tradisi dibatasi oleh sistem pengetahuan, ideologi, lingkungan sosial, dan kebudayaan setempat. Untuk membahas beberapa pertanyaan di atas, tulisan ini memberikan penekanan pada analisis komunikasi simbolis dalam tradisi bagurau saluang dendang dan bentuk interaksi simbolis saat pertunjukan berlangsung. Kedua topik dimaksud diharapkan dapat memberikan ruang kajian pada dimensi bentuk komunikasi simbolik seni dan penelusuran makna-makna simbol pertunjukannya melalui proses interakasi simbol yang diusung dalam pertunjukan tersebut. Didasarkan pada bentuk pertunjukan bagurau saluang dendang yang melibatkan partisipasi penonton sebagai penyangga keberhasilan pertunjukan, maka bentuk komunikasi dan interaksi simboliknya merupakan substansi yang cukup penting dijadikan bahan kajian dan analisis.

6 John E. Kaemmer, Music in Human Life: Anthropological Perspectives on Music. Austin: University of Texas Press, 109.

360 Rediscovering the Treasures of Malay Culture 2. Tradisi Bagurau Saluang Dendang sebagai simbolik Sosiokultural Kebisaan berkumpul dalam masyarakat komunal telah memicu lahirkan konsep bagurau di Minangkabau. Kebiasaan berkumpul ini berlangsung di tempat-tempat tertentu seperti kedai kopi, dan warung nasi. Di setiap nagari cukup banyak ditemukan kedai-kedai kopi sebagai wadah berkomunikasi dan informasi, terutama pada malam hari menjelang tidur. Kedai-kedai kopi tersebut biasanya memiliki pengungjung tetap (pelanggan) dan tidak biasa bagi mereka untuk meminum kopi setiap waktu berpindah-pindah tempat dari satu kedai ke kedai lainnya. Kebiasaan ini disebabkan adanya ikatan ekonomi khususnya dengan pemilik warung, ikatan selera terhadap kualitas kopi dan makanan, dan ikatan kedekatan emosional antar sesama palapau (pengunjung tetap), termasuk waktu-waktu mereka berkumpul seolah-olah sudah disepakati. Sedangkan kebiasaan berkumpul ini juga tumbuh di perkotaan terutama di warung-warung nasi, bahkan pangkalan tukang dendang dan tukang saluang berada di warung nasi tertentu di setiap kota. Dengan demikian lapau dapat dikatakan simbolisasi sosiokultural masyarakat komunal Minangkabau, karena lapau tidak hanya berfungsi sebagai transaksi ekonomi, tetapi juga berperan sebagai adaptasi dan transformasi sosiokultural. Lapau (istilah Minang untuk kedai dan warung) nasi bagi tukang dendang dan tukang saluang, di samping tempat berkumpul untuk berbagi informasi tentang bagurau, juga sebagai tempat untuk melakukan latihan dan berbagi pengalaman dengan para seniornya. Di lapau nasi ini sesungguhnya telah terjadi transformasi pengalaman dan sistem pengkaderan tukang dendang, terutama menyangkut pembelajaran jenis-jenis lagu, pantun-pantun, termasuk berbagi pengalaman tentang kebiasaan-kebiasaan pencandu gurau dan karakter-karakter masyarakat di masing-masing daerah tempat pelaksanaan kegiatan bagurau. Transformasi pengalaman antara tukang dendang senior dan yunior ini berlangsung secara alamiah tanpa melalui proses pembelajaran yang direncanakan, dan tranformasi pengalaman itu kadangkala juga terjadi selama pertunjukan berlangsung. Dalam konteks ini, istilah senior dan yunior tidak dalam kategori tua atau muda, tetapi merujuk pada kemampuan mereka dalam mengeksplorasi

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 361 pantun-pantun secara metaforis yang sarat dengan makna-makna. Pantun sebagai materi utama untuk menyampaikan pesan merupakan representasi tukang dendang terhadap realitas sosial dan budaya, sehingga pantun dapat disebut sebagai sebuah tanda-tanda sosiokultural masyarakat Minangkabau. Blacking menjelaskan, If music serves as a sign or symbol of different kinds of human experience, its performance may help to channel the feelings of listeners in certain directions. (Jika musik berfungsi sebagai tanda atau simbol dari berbagai jenis pengalaman manusia, maka pertunjukannya dapat membantu menyalurkan perasaan kepada pendengarnya dalam arah tertentu.7 Arah tertentu yang dimaksudkan adalah pengalaman terhadap tanda dan kemampuan eksplorasi tukang dendang dengan cara yang spesifik. Pengalaman tukang dendang yang lebih senior dalam merepresentasikan realitas sosiokultural dalam bentuk pantun-pantun akan lebih mendalam dengan makna-makna yang sarat dengan filosofi, dibanding dengan tukang dendang yang masih yunior dengan segala keterbatasannya. Kemampuannya ini hanya dapat ditandai dengan eksplorasi struktur sampiran dan isi pantun-pantun dan tanggapan pencandu gurau terhadap kemampuan pendendangnya. Simbolisasi pantun, baik yang terkandung pada sampiran maupun isi sangat tergantung pada kemampuan tukang dendang dalam menandai dan membaca realitas sosiokultural dan relevansinya dengan pengalaman pencandu gurau saat pertunjukan berlangsung. Untuk itu pantun dapat juga disebut dengan simbolik yang perlu ditafsirkan, karena tanda dalam seni memiliki perbedaan dengan tanda-tanda yang ada dalam bahasa, perbedaan yang dimaksudkan adalah adanya unsur pengalaman estetik dalam tanda-tanda seni. Clive Bell, sebagaimana dikutip Damianus menjelaskan; the starting point for all system of esthetic must be the personal experience of a paculiar emotion. Selanjutnya penjelasan ini mengandung beberapa poin penting, yakni, pertama, pengalaman pribadi mengenai keindahan haruslah dialami sendiri dan bukan diperoleh dari penuturan orang lain, kedua, pengalaman dimaksud adalah pengalaman rasa khusus (peculiar emotion) atau bentuk bermakna (significant form), ketiga,

7 John Blacking, How Musical is Man. Washington: University of Washington Press, 1974, 72)

362 Rediscovering the Treasures of Malay Culture bentuk bermakna adalah relasi dan kombinasi material seni yang estetis yang membangun berbagai bentuk.8 Pendapat ini cukup memperjelas bagaimana pengalaman estetik menjadi substansi utama untuk memahami komunikasi dalam seni, sekaligus membedakan dengan bentuk-bentuk komunikasi lainnya. Dalam kaitannya dengan komunikasi dalam seni, hal lain yang menjadi perhatian adalah masalah tanda dalam seni dan fungsi tanda itu sendiri dalam seni pertunjukan. Tony Thwaites menjelaskan, beberapa fungsi yang terdapat dalam tanda dapat dikategorikan menjadi, fungsi ekspresif, fungsi konatif, fungsi phatic dan fungsi kontekstual. Fungsi ekspresif sebagai tanda adalah pengkonstruksian pengirim, fungsi konatif sebagai tanda adalah pengkonstruksian penerima, dan fungsi phatic sebagai tanda adalah cara dalam mengonstruksi relasi antara pengirim dan penerima, serta fungsi kontekstual sebagai tanda adalah suatu tanda mengindikasikan konteks tempatnya beroperasi.9

Tanda sebagai suatu konstruksi pengalaman dalam seni pertunjukan memiliki relasi antara pengalaman penyaji dengan pengalaman penonton, dan komunikasi ini hanya akan berlangsung efektif bila penyaji dan penonton berada pada wilayah pengalaman estetik yang sama. Konsep tersebut dapat dapat dihubungkan dengan konstruksi tanda yang dimiliki tukang dendang dalam bentuk pantun (fungsi ekspresif), harus sejajar dengan konstruksi tanda pada pagurau berdasarkan pengalaman sosiokultural (fungsi konatif), sehingga memungkinkan terjadinya suatu interaksi timbal-balik secara simbolik antara tukang dendang dengan pagurau (fungsi phatic). Sedangkan tema-tema yang disajikan merupakan pilihan dan keinginan pagurau dijadikan material untuk berinteraksi, merupakan unsur bentuk pertunjukan yang berfungsi kontekstual.

8 Kosmas Damianus, Form dalam estetika, dalam Teks-Teks Kunci Estetika Filsa- fat Seni, editor Islah Gusmian, dkk. Yokyakarta: Galang Press, 2005, 211. 9 Tony Thwaites, dkk. Introduction Cultural and Media Studies; Sebuah Pendeka- tan Semiotik. Terjemahan: Saleh Rahmana. Yogyakarta: Jalasutra, 2009, 25-27.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 363 Sebagaimana halnya komunikasi sehari-hari dengan medianya adalah bahasa, komunikasi dalam seni pertunjukan juga memiliki simbol-simbol dan lebih spesifik, baik simbol-simbol yang terdapat dalam teks seni itu sendiri, maupun simbol-simbol yang berada di luar teks seni yang memiliki relasi langsung ataupun tidak langsung dalam pembentukan makna simbol-simbol seni tersebut. Hubungan simbol- simbol teks seni dengan simbol-simbol yang ada di luar teks seni ini dalam pembentukan maknanya, disebut juga dengan fungsi simbolik. Dillistone menjelaskan; Simbol merupakan pola hubungan rangkap tiga dapat dipandang sebagai; (1) sebuah kata atau barang atau objek atau tindakan atau peristiwa atau pola atau pribadi atau hal yang konkret, (2) mewakili atau menggambarkan atau mengisyaratkan atau menandakan ..., (3) sebuah makna, realitas, suatu cita-cita, nilai, prestasi, kepercayaan, masyarakat, konsep, lembaga, dan suatu keadaan. Poin 1, dalam pola dasar kita dapat disebut sebagai simbol, sedangkan poin 3 sebagai referen. Hubungan kedua poin tersebut saling berhubungan dan bergantung sama lain, atau dapat juga dikatakan hubungan tersebut dengan fungsi dari simbol.10

Simbol sebagai bahagian dari tanda dalam seni pertunjukan yang diungkapkan oleh seniman merupakan abstraksi pengalaman atas realitas sosiokultural yang diekspresikan melalui pertunjukan dan tentunya akan membentuk sebuah pengalaman baru, baik bagi seniman itu sendiri, maupun bagi orang yang hadir dalam pertunjukan tersebut. Simbol-simbol yang ada dalam pikiran seniman itulah yang disampaikan melalui media seni sehingga memberikan kesan (impresi) bagi penonton yang selanjutnya ditafsirkan menjadi sebuah makna. Fauzi menjelaskan, bahwa lewat simbol kita dapat mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu. Sedangkan makna sesuatu sangat tergantung dari cara kita merepresentasikannya, dengan membedah simbol-simbol dapat kita gunakan untuk merepresentasikan

10 F.W. Dillistone, The Power of Symbols, terjemahan; A. Widyamartaya. Yogya- karta: Kanisius, 2002, 20-21.

364 Rediscovering the Treasures of Malay Culture sesuatu, sehinga terlihat jelas bagaimana proses pemaknaan, penilaian dan pembelokan tanda yang kita berikan.11 Pemberian makna tersebut tentu hanya bisa dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu yang terlibat dalam seni pertunjukan tersebut, khususnya seni pertunjukan tradisi. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengalaman estetik lebih bersifat individual dan hanya bisa dipahami ketika pengalaman estetik itu berlangsung pada kondisi, waktu, tempat dan kelompok masyarakat yang terlibat dalam peristiwa pertunjukan tertentu pula. Dalam seni pertunjukan tradisi, simbol- simbol seni itu juga memiliki makna yang beragam bila simbol tersebut dihadapkan kepada penonton. Sehingga pemaknaan simbol juga bersifat multitafsir dan multiarah dengan pengkodean yang terus berkembang, serta sangat tergantung kepada penonton yang menafsirkannya. Ketergantungan ini tentu berhubungan dengan “pengalaman estetik” seseorang. Simbol seni sebagai bagian dari tanda, Peirce menjelaskan; A sign, or representamen, is something which stands to somebody for something in some respect or capacity. It addresses somebody, that is creates in the mind of that person an equivalent sign, or perhaps a more developed sign. That sign which it creates I call the interpretant - of the first sign. The sign stands for something, its object. It stands for that object, not in all respects, but in reference to a sort of idea, which I have sometimes ‘called the ground of the representamen.12

Dalam pandangan Pierce ini terdapat hubungan antara tanda (representamen), objek, dan penafsir (interpretant), di mana hubungan tersebut melalui proses interaksi untuk memunculkan suatu makna. Simbol-simbol yang ada dalam teks dan di luar teks seni pertunjukan berhubungan melalui proses komunikasi. Inti dari proses komunikasi

11 Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol; Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu. Yokyakarta: Juxtapose, 2007, 19. 12 Charles S. Peirce, “logic as Semiotic: The Theory of Signs, dalam Semiotics An Introductory Reader, editor Robert E. Innis. United States: Indiana University Press, 1985, 5.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 365 dimaksud tersebut adalah adanya interaksi simbolik. Simbol-simbol yang ada pada objek, pada seniman dan pada penafsir (penonton) akan terus berinteraksi satu sama lainnya sehingga memunculkan makna yang sesungguhnya dari yang disimbolkan tersebut. Sebagaimana dikatakan Duvignaud, sikap terhadap seni melibatkan suatu hubungan antara tanda yang dimunculkan perorangan dan oleh sekelompok manusia. Tanda-tanda ekspresi hanya memperoleh arti, jika apa yang seniman tandai mengacu pada sesuatu yang menjadi penting dan mempunyai nilai simbolik untuk kelompok yang menerima dan mendaftarkannya.13 Simbol-simbol tidak hanya terdapat dalam teks pertunjukan itu sendiri yang dapat ditafsirkan sebagai simbolik sosiokultural, namun perilaku para pagurau dalam selama pertunjukan berlangsung juga merupakan simbolik sosiokultural dengan menjadikan bagurau saluang dendang sebagai wadah untuk berekspresi, berinteraksi, integrasi sosial dan adaptasi budaya. Berarti bagurau tidak hanya semata-mata menikmati ekspresi saluang dendang secara estetik, tetapi di tempat pertunjukkan juga terjadi proses pembentukan solidaritas sosial, transaksi ekonomi, dialektika, dan eksistensi diri serta kelompok.

3. Interaksi Simbolik dalam Tradisi Bagurau Saluang Dendang Dalam pertunjukan seni tradisi Minangkabau misalnya, berangkat dari seni yang tumbuh dalam kosmologi masyarakat pertanian seperti bagurau saluang dendang, simbol-simbol pertunjukannya memberikan bentuk dan karakteristik pertunjukan yang khas. Pertunjukan menjadi media ekspresi budaya dan interaksi sosial. Partisipasi dan peran penonton untuk terlibat dalam pertunjukan merupakan ciri utama dari peristiwa bagurau. Kelompok-kelompok pencandu gurau yang datang dari berbagai nagari (negeri) membaur dengan tukang saluang dan dendang dan mereka memiliki nama kelompok dengan nama- nama yang merujuk pada profesi kerja mereka sehari-hari. Simbol- simbol teks berbentuk pantun yang didendangkan bersifat metaforis, dan memerlukan tafsiran-tafsiran simbolik lebih mendalam dalam

13 Jean Duvignaud, Sosiologi Seni. Terjemahan: Yupi Sundari, dkk. Bandung: Su- nan Ambu Press, 2009, 49.

366 Rediscovering the Treasures of Malay Culture kaitannya dengan konteks sosokultural. Pantun sebagai unsur utama sebagai teks pertunjukan memiliki makna-makna simbolik dan sekaligus pragmatik. Peristiwa bagurau juga merupakan simbol budaya yang memiliki pola komunikasi dalam bentuk interaksi simbolik. Blumer menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga premis utama dalam interaksi simbolik, adalah; (1) Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka, (2) makna itu diperoleh dari hasil interkasi sosial yang dilakukan dengan orang lain, dan (3) makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang berlangsung.14 Kalau ditafsirkan lagi premis interaksi simbolik tersebut dalam konteks seni pertunjukan memberikan pengertian bahwa tindakan dapat diartikan bentuk seni yang disajikan, dan makna yang ada pada sesuatu merupakan referen dari simbol seni tersebut. Sedangkan makna dari bentuk seni diperoleh bila seni itu dihubungkan dengan masyarakatnya yaitu pertunjukan seni. Selanjutnya yang menjadi fokus utamanya adalah kesempurnaan makna didapatkan pada interaksi saat pertunjukan berlangsung, bukan sebelum atau sesudah pertunjukan. Konsep interaksi simbolik ini jelas bertitik tolak pada subtansi interaksi simbol-simbol, artinya simbol seni tidak memiliki arti apapun jika tidak berinteraksi dengan simbol-simbol lainnya, baik simbol-simbol dalam pertunjukan ataupun di luar pertunjukan. Keith Negus dan Michael Pickering menjelaskan, tanpa representasi dalam kata-kata atau suara, suatu pengalaman sering kali tidak berarti bagi kita sama sekali, karena perasaan atau ide yang berhubungan dengan itu dinyatakan melalui kombinasi material yang mencirikan perwakilan budaya tertentu.15 Berarti simbol memiliki stimulus dan simbol juga bersifat responsif, ketika simbol-simbol tersebut berada dalam kondisi tertentu dalam seni pertunjukan, antara satu simbol dengan simbol lainnya akan berinteraksi dan melewati proses berkomunikasi untuk mewujudkan makna. Dalam bagurau saluang dendang yang menjadi inti utamanya

14 Helbert Blumer. Symbolic Interactionisme: Perspective and Method. New Jer- sey: Englewood Cliff, 1969, 2. 15 Keith Negus dan Michael Pickering. Creativity, Communication and Velue. Lon- don: SAGE Publication, 2004, 25.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 367 adalah keterlibatan dan partisipasi penonton dalam pertunjukan. Antara kelompok-kelompok pencandu gurau dengan simbol-simbol yang diusungnya berinteraksi dengan tukang dendang dengan menggunakan pantun-pantun sebagai medianya. Pantun-pantun sebagai material pertunjukan merupakan hasil tindakan tukang dendang, di lain sisi tukang dendang dan para pagurau dan antar kelompok pagurau berinterkasi memberikan makna pantun di atas realitas sosiokultural, dan penyempurnaan makna-makna terjadi saat proses interaksi pertunjukan berlangsung. Bettetini (1975), sebagaimana diungkapkan Marinis bahwa, ada tiga bidang pendekatan pragmatis teks memokuskan perhatian; (a) hubungan teks terhadap sumber-sumber menekankan dinamika ungkapan dan intensional komunikatif, (b) hubungan teks dengan teks-teks lain, di mana masalah-masalah konteks dan praktek interteks berada dalam permainan; dan (c) hubungan antara teks kepada penerima mencakup tindakan membaca dan penafsiran.16 Dalam pertunjukan bagurau saluang dendang pada setiap segmen- segmen pertunjukannya selalu mengarah kepada simbolis-simbolis tertentu, baik simbolis yang ada pada individu, maupun kelompok pagurau yang terlibat dalam pertunjukan. Seperti seorang pagurau yang memakai topi morris, kepala botak, tubuh kerdil atau besar, atau inisial nama-nama individu dan nama-nama kelompok pagurau akan menjadi sasaran eksplorasi pantun bagi tukang dendang sebagai tema- tema dalam berinteraksi. Pencandu gurau, sebagai orang yang terlibat langsung dalam pertunjukan cukup mengenal berbagai jenis lagu dan pantun-pantun, sehingga mereka lebih mudah untuk memahami simbolik apa yang sedang diapungkan oleh tukang dendang. Ketika mereka ikut terlibat secara mendalam dengan simbolisasi yang didendangkan, maka tidak jarang terjadi sorak sorai, letupan-letupan kata mendukung atau mencemooh, atau tindakan membalas secara spontan. Ekplorasi pantun-pantun yang didendangkan akan selalu mengarah pada simbolisasi itu, sepanjang itu menjadi bahan untuk berinteraksi dan diinginkan oleh para pagurau. Turino menjelaskan, participatory performance is a particular field of activity in which stylized sound

16 Marco De Marinis. The Semiotics of Performance.Bloomington and Indianapo- lis: Indiana University Press, 1993, 3.

368 Rediscovering the Treasures of Malay Culture and motion are conceptualized most importantly as heightened social interaction. In participatory music making one’s primary attention is on the activity, on the doing, and on the other participants, rather than on an end product that results from the activity.17 Di samping kualitas tukang saluang dan tukang dendang dalam mengekspresikan pantun-pantun melalui dendang untuk membangun partisipasi pagurau secara lebih besar, juga kualitas pertunjukan pada akhirnya dinilai berdasarkan tingkat partisipasi yang dicapai. Simbolisasi-simbolisasi dalam dendang melalui jenis lagu dan pantun- pantun tertentu berangkat dari realitas sosiokultural sehari-hari, sehingga memungkinkan keterlibatan para pagurau untuk menciptakan pantun-pantun sendiri dan menitipkannya pada tukang dendang untuk disampaikan kepada semua pagurau yang terlibat dalam pertunjukan. Dalam tradisi bagurau saluang dendang, partisipasi dan keterlibatan pagurau menjadi suatu perhatian utama karena dalam pertunjukan tersebut peranan kelompok-kelompok pagurau menjadi penyangga keberhasilan pertunjukan. Partisipasi pertunjukan diwujudkan melalui interaksi antar pagurau dengan tukang dendang yang menggusung simbol-simbol realitas sosiokultural sebagai bagian dari tema-tema interaksi pertunjukan. Maka perhatian akan tertuju pada tema-tema sajian dan tindakan perilaku pagurau potensial dan aktif yang berinterakasi melalui simbol-simbol. Interaksi simbolik dalam pertunjukannya memberikan peluang yang cukup besar kepada pagurau untuk memberikan tafsiran-tafsiran berdasarkan pengalaman mereka masing-masing, sehingga dialektika simbolik ini memotivasi para pagurau untuk senantiasa aktif dan terus mengembangkannya dari satu pertunjukan ke pertunjukan yang lain. Dapat dipahami pertunjukan saluang dendang di Minangkabau tidak hanya bentuk pertunjukan yang terdiri dari tukang saluang dan tukang dendang, namun konsep bagurau merupakan unsur bentuk dari pertunjukan itu sendiri. Unsur bentuk pertunjukan tersebut ditandai dengan keterlibatan pagurau dalam pertunjukan sebagai penyangga keberhasilan pertunjukan dalam bentuk parsipatory. Partisipasi pagurau

17 Thomas Turino, Music as Sosial Life: The Politics of Partisipation. Chicago: The University Chicago Press, 2008, 28.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 369 dalam pertunjukan tidak hanya membangun bentuk pertunjukan itu sendiri, tetapi juga interaksi yang terjadi dalam pertunjukan dalam rangka menemukan makna-makna baru dalam realitas sosiokultural mereka. Simbol-simbol yang diusung dalam pertunjukan berinteraksi satu dengan lainnya dan melahirkan makna yang beragam baik bagi individu, maupun kelompok. Keberagaman makna inilah yang menjadi substansi pertunjukan bagurau saluang dendang dibanding keseragaman dengan makna tunggal, sehingga inti interakasi simbolik itu bertumpu pada perbedaan interpretasi sesuai dengan pengalaman mereka masing-masing.

Penutup Konsep bagurau dalam pertunjukan saluang dendang tidak bisa dilepaskan sebagai kesatuan bentuk seni pertunjukan tradisi Minangkabau. Bagurau sebagai unsur bentuk merupakan penyangga kelangsungan pertunjukan dan menentukan terhadap keberhasilan pertunjukan bagurau saluang dendang. Interaksi yang terbentuk selama pertunjukan berlangsung dapat ditandai sebagai bagian bentuk pertunjukan parsipatory, sehingga interaksi merupakan kode- kode pertunjukan yang dapat dibaca sebagai teks pertunjukan dan hubungannya dengan sosiokultural masyarakat Minangkabau. Simbolisasi tradisi bagurau saluang dendang merupakan cerminan sosiokultural masyarakat Minangkabau, disebabkan pantun sebagai materi utama dendang mengandung makna-makna metafora realitas sosial dan budaya masyarakat setempat. Tema-tema dendang sebagai segmen-segmen interaksi pertunjukan merupakan simbolisasi perilaku pagurau juga merupakan realitas sosiokultural yang dapat dimaknai secara beragam berdasarkan pengalaman estetik individu dan kelompok pagurau.

370 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Kepustakaan Anwar, Khairil. 2004. “Bagurau di Darek: Fungsi Sosial dan Makna Simboliknya,” dalam Jurnal Penelitian STSI Padangpanjang no.2. Blacking, John. 1974. How Musical is Man. Washington: University of Washington Press. Blumer, Helbert . 1969. Symbolic Interactionisme: Perspective and Method. New Jersey: Englewood Cliff. Carlson, Marvin. 1996. Performance a Critical introduction. Amerika: Routledge. Damianus, Kosmas, 2005. Form dalam estetika, dalam Teks-Teks Kunci Estetika Filsafat Seni, editor Islah Gusmian, dkk. Yogyakarta: Galang Press., Dillistone, F.W. 2002. The Power of Symbols,terjemahan; A. Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius Duvignaud, Jean. 2009. Sosiologi Seni. Terjemahan: Yupi Sundari, dkk. Bandung: Sunan Ambu Press. Fashri, Fauzi. 2007. Penyingkapan Kuasa Simbol; Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Juxtapose. Hobart, Angela dan Bruce Kapferer. 2007. “The Aesthetics of Symbolic Construction and Experience” dalam Aesthetics in Performance; Formations of Symbolic Construction and Experience, editor Hobart dan Kapferer. New York: Berghahn Books. Kaemmer, John E. ______. Music in Human Life: Anthropological Perspectives on Music. Austin: University of Texas Press. Marinis, Marco De. 1993, The Semiotics of Performance.Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press. Negus, Keith., dan Michael Pickering. 2004. Creativity, Communication and Velue. London: SAGE Publication. Peirce, Charles S. 1985. “Logic as Semiotic: The Theory of Signs, dalam Semiotics An Introductory Reader, editor Robert E. Innis. United States: Indiana University Press. Thwaites, Tony. et.al. 2009. Introduction Cultural and Media Studies; Sebuah Pendekatan Semiotik. Terjemahan: Saleh Rahmana. Yogyakarta: Jalasutra.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 371 Turino, Thomas. 2008. Music as Sosial Life: The Politics of Partisipation. Chicago: The University Chicago Press. Yampolsky, Philip. 1992. “Musik Malam Dari Sumatera Barat”. Manuskrip rekaman Seri Musik Indonesia, kerjasama The Center for Folklife and Cultural Studies of The Smithsonian Institution dan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

372 Rediscovering the Treasures of Malay Culture DIMENSI SPIRITUAL DALAM KONSER NYANYIAN RELIGIUS BARZANJI OLEH PENGANUT TAREKAT SYATTARIYAH di Nagari Bunga Tanjung – Melayu Minangkabau

Drs. Hajizar, M.Sn. Institut Seni Indonesia Padangpanjang

Intisari

Barzanji atau berbarzanji, salah satu ritual pembacaan kisah kehidupan dan puji- pujian terhadap Nabi Muhammad S.A.W yang disampaikan dalam bentuk nyanyian koor religius oleh penganut tarekat Syattariyah di nagari Bunga Tanjung, Melayu Minangkabau. Keutamaan berbarzanji sebagai musik vokal, terletak pada teknik nyanyiannya yang dipayungi spiritualitas Islami, dan penyajinya berproses pada kedalaman spiritual. Dengan demikian, emosi-emosi religius yang muncul dalam garapan melodi dan teks mengandung energi spiritual yang masuk ke ruang batin religius pesertanya. Makalah ini menggunakan metode kualitatif, untuk mengetahui gambaran dimensi spiritual penyaji Barzanji dalam meraih pahala berbarzanji. Tujuan utama makalah ini untuk membuka tabir dimensi spiritual yang terbangun dalam penyajian Barzanji sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap generasi muda tarekat untuk memahami spiritualitas yang bersemayam dalam ritual Barzanji. Akhirnya puncak harapan dan takut diserahkan sepenuhnya kepada Yang Maha Bijaksana. Harapan pahala dan keampunan dari Allah, barakat dan syafaat dari Muhammad, serta hikmah yang membuat diri merasa takut, yaitu rasa takut yang membawa roh menjadi mulia di sisi Tuhannya.

Kata Kunci: Barzanji, spiritual, religius, nyanyian.

Abstract

Barzanji or doing Barzanji, a ritual by reading the story of life and praising to Prophet Muhammad SAW which is told in the form of religious choir by the followers of Syattariyah order (tarekat) in nagari Bunga Tanjung, Minangkabau Malay. Virtue of doing Barzanji as a vocal music is laid on its singing technique which

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 373 is covering by Islamic spirituality, and its presenter who has become processed in its spiritual depth. Therefore, religious emotions which appear inside its melodious work and text have a spiritual power which enters to the religious mind of its followers. This paper used qualitative method to figure out the spiritual dimension of the Barzanji’s presenter in order to get reward by doing Barzanji. The main aim of this paper is to open the spiritual dimension mist which is built in Barzanji performance, so it can give a contribution to the young generation of the order to understand the spirituality that exists inside ritual of Barzanji. At the end, the final of hope and fear has been given thoroughly to Him who has the eternal wise. The hope of rewards and forgiveness from Allah, the blessedness and kindness from Muhammad, and also the wisdom that raises the fear inside; the fear that brings the spirit to be honorable beside his/her God.

Keywords: Barzanji, spiritual, religious, singing.

Pendahuluan Barzanji, sebuah tradisi pembacaan kitab sastra Arab Majmu’atul Mawaalid1 yang menceritakan latar belakang, kisah kelahiran, dan kemuliaan sifat Nabi Muhammad S.A.W. Penganut tarekat Syattariyah di nagari Bunga Tanjung Minangkabau menyajikan Barzanji secara bernyanyi dalam suasana ritual Islami. Mereka memandang aktivitas berbarzanji sebagai sebuah ibadah yang berpahala mengamalkannya. Dalam konteks ini, nyanyian Barzanji dapat dikategorikan sebagai sebuah nyanyian religius, sebab di dalam prakteknya tersimpul spiritualitas Islami. Penganut tarekat Syattariyah memandang karakter nyanyian religius Barzanji memiliki spirit tersendiri yang bisa mempertebal keimanannya terhadap Yang Khaliq dan kecintaan kepada Nabi Muhammad Rasulullah. Dalam rangka inilah, Barzanji disajikan dalam bentuk konser vokal religius oleh dua kelompok penyaji secara bergantian. Melodi dan teks nyanyian Barzanji belum mencapai kesempurnaan tanpa teknik peyajian yang spesifik, seperti bentuk

1 Kitab sastra Arab Majmu’atul Mawaalid sering disebut kitab Barzanji atau kitab Maulid. Masyarakat nagari Bunga Tanjung menyebutnya dengan Kitab Mauluik (Kitab Maulud).

374 Rediscovering the Treasures of Malay Culture chorus2, call and respons3, dan responsorial4 dengan penggarapan tempo, dinamik yang bervariasi sesuai dengan tuntutan karakter melodi dan pesan teks nyanyiannya. Ketiga teknik penyajian ini membangun suatu kekuatan musikal, sekaligus menjadi sumber spiritual bagi penyaji dan semua peserta ritual Barzanji. Tradisi Barzanji yang dipraktekkan oleh setiap aliran agama Islam di alam Melayu nusantara memiliki konsep penyajian yang bervariasi. Terdapat penyajian Barzanji yang dinyanyikan sebagaimana konsep nyanyian suci ayat-ayat Al Qur-an, seperti pembacaan Barzanji dalam masyarakat Melayu. Selain itu, terdapat pula sajian nyanyian Barzanji yang diiringi dengan berbagai alat musik perkusi, seperti pembacaan Barzanji dalam masyarakat Jawa, dan sebagainya. Keragaman emosi-emosi lokal untuk menggaet spiritual agung Nabi Muhammad S.A.W melalui mediasi kitab Barzanji telah dihidupkan dengan beraneka ragam seremoni religius dan ritual yang bersifat lokal oleh kelompok-kelompok aliran Islam di nusantara. Implikasinya, majlis ritual Islam Barzanji akan larut dalam bayangan emosi-emosi religius, perasaan estetik spiritual, idealisme kesucian ibadah, dan bangunan komunikasi dengan Tuhan Y.M.E. Kedalaman jiwa penyaji meresapi nyanyian Barzanji melalui sumber-sumber spiritual yang bersifat musikal, adalah menuntun pendakian spiritual mereka. Semakin berkarakter nyanyian yang disajikan, memancing emosi religius untuk menggerakkan langkah spiritual dalam menggapai kebenaran Wujud Tertinggi. Mungkin banyak lagi versi penyajian Barzanji yang dimiliki etnik lain di nusantara. Berbeda-bedanya konsep penyajian Barzanji di atas menunjukkan kekayaan spiritual masyarakat Islam di nusantara. Dengan mengangkat tema tentang konsep penyajian Barzanji versi masyarakat Syattariyyah di nagari Bunga Tanjung, akan terjadi proses apresiasi bagi pembaca terhadap aneka gaya penyajian Barzanji. Diharapkan tulisan ini menjadi bahan apresiasi oleh umat Islam di

2 Menyanyikan suatu melodi lagu secara bersama-sama. 3 Lantunan melodi dari seorang penyanyi, langsung dijawab oleh beberapa orang lainnya secara berkelompok . 4 Suatu musik vokal yang disajikan oleh beberapa kelompok penyanyi secara bersahutan.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 375 alam Melayu Nusantara bahwa keberagaman sistem beramal yang mengandung fenomena musikal merupakan suatu kekayaan spiritual Islami yang tidak perlu dipertentangkan satu sama lain.

Dimensi Spiritual Pengertian asal kata ‘dimensi’ ialah ukuran (besarnya, luasnya) (Partanto, dkk,1994:721), meliputi dua penggunaan: secara kuantitatif, dan kualitatif. Penggunaan kata dimensi secara kualitatif sering digunakan dalam analisis ilmiah yang bersifat kualitatif untuk menunjukkan ukuran atau kadar ‘sesuatu’ yang terdapat pada ‘sesuatu di luarnya,’ atau sebaliknya. Dalam konteks Barzanji, bahwa ‘spiritual’ sebagai sesuatu yang memiliki konsep sendiri secara utuh, dimiliki juga oleh praktek Barzanji sebagai sesuatu yang berada di luar obyek spiritual. Di sini kadar spiritual yang dimiliki Barzanji tidak utuh sebagaimana spritual sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, namun kadar spiritual yang dimiliki Barzanji dapat memperkaya atau memperkembangkan atau menambah kuatnya esksistensi spiritual itu sendiri. Dengan demikian, kadar atau ukuran kualitatif spiritual yang dikandung oleh Barzanji ini disebut dengan ‘dimensi spiritual’ dalam konteks Barzanji. Kemudian pengertian kata spirituil [spiritual] dalam pengertian umum --Muhyidin menyebutnya dengan spiritual dalam pengertian sekuler-humanis--, ialah “mencakup nilai-nilai kemanusiaan yang non- material, seperti kebenaran, kebaikan, keindahan, kesucian, dan cinta; rohani; kejiwaan; intelektuil” (Partanto, dkk,1994:721). Sementara Bagus (2002:486-4870), menerangkan: “Spiritual (rohani) memiliki beberapa pengertian, yaitu: 1) Imaterial. Tidak Jasmani. Terdiri dari roh; 2) Mengacu ke kemampuan-kemampuan lebih tinggi (mental, intelektual, estetik, religius) dan nilai-nilai pikiran; 3) Mengacu ke nilai-nilai manusiawi yang non-material, seperti keindahan, kebaikan, cinta, kebenaran, belas kasihan, kejujuran, dan kesucian; 4) Mengacu ke perasaan dan emosi-emosi religius, dan estetik.” Kedua pendapat di atas mengisyaratkan, bahwa spiritual itu sendiri telah bersemayam dalam setiap diri manusia, tergantung kepada kesadaran individu untuk menjadikan spiritualnya memberi

376 Rediscovering the Treasures of Malay Culture nilai manfaat terhadap kehidupan lahir dan batin, atau tetap membiarkannya tidur sepanjang masa di dalam diri. Kesemuanya ini berhubungan dengan perjuangan-perjuangan spiritual yang dilakukan seseorang untuk menyempurnakan kehidupan rohani (spiritualitas5). Oleh karena pembacaan kitab Barzanji tarekat Syattariyah disajikan dalam bentuk musik vokal Islami, maka dimensi spiritual yang dikandungnya mengacu ke perasaan dan emosi-emosi religius, dan estetik, sebagaimana yang diutarakan Bagus (2002) di atas. Artinya, nilai-nilai spiritual yang ditampakkan dalam praktek Barzanji bukanlah spiritual yang bersifat sekuler-humanis, tetapi spiritual religius Islami yang dapat membimbing seseorang untuk mengikuti jalan yang dibentangkan Rasulullah hingga mencapai tataran spiritualitas Islam yang ber-Ketuhanan. Ruang-lingkup masalah seperti ini yang dijelaskan oleh Muhyidin (2007:92): Nilai-nilai sekuler-humanis telah dipahami sebagai nilai-nilai spiritual. Maksud sekuler-humanis di sini adalah bahwa nilai-nilai spiritual telah dilepaskan dari akar-akar ketuhanan dan dihidupkan dalam wilayah kemanusiaan belaka. Spiritualitas merupakan keadaan ruhani dalam kaitannya dengan kedudukan kita sebagai manusia di hadapan Tuhan. Walaupun inti spiritual berada dalam diri, namun dalam usaha pengembangan spiritual untuk mencapai kemapanannya perlu stimulan-stimulan yang berdimensi spiritual dari luar diri, atau Ruslani (2000:xiii) menyebutnya dengan horizon spiritual. Dimensi atau horizon spiritual ini dapat dilacak melalui fenomena-fenomena6 spiritual yang ditampakkan oleh suatu obyek. Dalam konteks analisis ini, karya sastra kitab Barzanji yang dibaca dalam bentuk nyanyian religius (seni vokal Barzanji) versi penganut tarekat Syattariyah Bunga Tanjung, telah menampakkan beberapa dimensi spiritual bagi komunitas tarekat mereka. Sehubungan dengan konteks tulisan ini, Nasr (1993:17-18)

5 Kata spiritualitas dalam pengertian umum (sekular-humanis), ialah “keroha- nian; kejiwaan; kehidupan rohani” (Partanto,. dkk,1994:721). 6 Fenomena maksudnya penampakan realitas dalam kesadaran manusia; suatu fakta dan gejala-gejala, peristiwa-peristiwa adat serta bentuk keadaan yang dapat diamati dan dinilai lewat kaca mata ilmiah; gejala (Partanto,. dkk,1994:175).

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 377 mengkritisi tentang pentingnya spiritualitas Islam dalam suatu jenis seni Islami, bahwa tanpa dua mata air yang bersumber dari Al-Quran dan barakah Nabi, tidak akan ada seni Islam. Suatu karya seni dapat dikategorikan sebagai seni Islam bukan hanya karena diciptakan oleh seseorang Muslim, tetapi juga karena dilandasi oleh Wahyu Illahi. Seni Islam melarutkan realita-realita batin wahyu Islam dalam dunia bentuk dan karena ia keluar dari dimensi batin Islam, menuntun manusia masuk ke ruang batin wahyu Illahi. Seni Islam adalah buah dari spiritualitas Islam dilihat dari sudut pandang asal kejadiannya dan sebagai sebuah bantuan, yang melengkapi dan membantu kehidupan spiritual dari titik realisasi yang menguntungkan atau kembali ke sumber.

Energi Spiritual dalam Musik Vokal Barzanji Kehadiran nyanyian Barzanji dalam suatu konteks ibadah yang bersifat sosial membangkitkan suatu energi spiritual terhadap para penyaji, dan peserta upacara atau ritual do’a; sekaligus membangun suasana mistis religius terhadap konteks upacara tersebut. Artinya, nyanyian Barzanji sebagai musik vokal religius dalam suasana ritual menjadi mediasi untuk munculnya energi spiritual. Menurut Khan (2002:128), bahwa tidak ada yang lebih baik untuk digunakan sebagai sarana untuk mencapai keluhuran jiwa, daripada musik. Terdapat beberapa subyek dalam rangkaian praktek Barzanji yang berfungsi sebagai sumber energi spiritual bagi peserta ritual Barzanji, sehingga praktek Barzanji memiliki kekuatan sebagai musik vokal yang selalu menggerakkan emosi-emosi religius menyatukan kecintaan pelaku Barzanji dengan kemuliaan Rasulullah untuk dicintai pula oleh Sang Khaliq. Energi spiritual ini bisa digapai oleh seseorang setelah mengamalkan Barzanji dalam konteksnya. Aura nyanyian Barzanji menstimulan spiritual yang bernaung dalam diri untuk bergerak maju mendekat kepada Yang Maha Tinggi, karena nyanyian ini memprovokasi energi spiritual yang pada dasarnya suci. Semakin tinggi tatanan keindahan nyanyian Barzanji yang disajikan, semakin dekat pula spiritualitas Islami mereka untuk mendapatkan hakikat kebenaran wujud tertinggi. Dengan demikian,

378 Rediscovering the Treasures of Malay Culture capaian dimensi spiritual melalui praktek Barzanji menyatu dalam kualitas keindahan nyanyian Barzanji itu sendiri.

1. Keutamaan Barzanji sebagai Musik Vokal Islami Penganut tarekat Syattariyah mengklasifikasikan semua upacara atau ritual do’a yang menyajikan pembacaan kitab Barzanji disebut maulud. Umumnya mereka memandang penyajian Barzanji sebagai suatu ritual maulud yang bernilai ibadah. Pembacaannya dalam bentuk nyanyian dapat digolongkan ke dalam jenis musik vokal Islami Minangkabau. Penyajian Barzanji dalam bentuk nyanyian (nyanyian Barzanji) dipandang ulama tarekat Syattariyah Bunga Tanjung, sebagai tata cara yang paling afdhal untuk pembacaan kisah kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. Nyanyian Barzanji itu sangat mempengaruhi perasaan, karena semenjak memulai nyanyian Barzanji, wujud pikiran kita sudah terfokus kepada bayangan Nabi S.A.W lengkap dengan perjuangan dan penderitaan yang dideritanya sewaktu mengembangkan agama Islam. Bahkan irama Barzanji yang sedih sangat memancing emosi religius, sehingga mengeluarkan air mata. Begitulah wujud cinta kita kepada junjungan Muhammad S.A.W. Pengalaman seniman Barzanji ini sesuai dengan statemen sifat nyanyian yang dikemukakan Al-Baghdadi (1992:84): Pengaruh musik dan nyanyian memang berakibat baik terhadap manusia jika nyanyian itu diwarnai dengan nilai-nilai ke Islaman. Tentang hal ini, Prof. Sidi Gazalba berpendapat, “Musik dapat menimbulkan emosi gejolak di dalam batin pendengarnya. Merangsang mereka kepada gerakan- gerakan liar. Tetapi nada musik dapat pula menimbulkan ketenangan, kerukunan, damai dan kenikmatan hati. Nada musik yang melahirkan kesan seperti itu selaras dengan kesan yang dikehendaki Islam.7 Sehubungan dengan itu, di samping Barzanji untuk meperingati kelahiran nabi, juga termasuk seni yang mengandung hiburan, apalagi untuk menghibur keluarga kematian, atau keluarga penyelenggara hajatan. Dengan demikian, pembacaan kitab Barzanji dalam bentuk

7 lihat juga Prof. Madya Drs. Sidi Gazalba, Islam dan Kesenian, hal. 195.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 379 nyanyian termasuk seni vokal Islami yang dilandasi oleh nash-nash yang kuat. Artinya, nyanyian Barzanji mengandung daya tarik spiritual untuk masuk ke ruang batin religius sebagai bagian dari tataran tarekat, yaitu sesuai dengan pendapat Khan, (2002:111), bahwa “cara terpendek untuk mencapai keluhuran batin adalah dengan menyanyi.” Menurut pengalaman Sufi, musik vokal memiliki emosi spiritual yang melebihi suara material musik lainnya di dunia ini, sebagaimana ungkapan: Seni musik di Timur disebut kala, dan memiliki tiga aspek: vokal, instrumental dan gerak ekspresi. Musik vokal dianggap yang tertinggi, karena alami; efek yang dihasilkan sebuah instrumen atau alat musik yang hanya sekedar mesin tidak bisa dibandingkan dengan suara manusia. Betapa pun sempurnanya dawai, mereka tidak bisa membuat kesan yang sama pada pendengar karena suara yang langsung berasal dari jiwa sebagai napas, dan dibawa ke permukaan melalui media akal dan organ vokal tubuh. Ketika jiwa ingin mengekspresikan dirinya dalam suara, pertama- tama ia menyebabkan aktivitas dalam akal, dan melalui pikiran akal memproyeksikan vibrasi yang lebih halus dalam tataran mental. Pada saat ini, ini berkembang dan berjalan seperti napas melalui perut, paru- paru, mulut kerongkongan dan organ hidung, yang menyebabkan udara bervibrasi melewati semua itu, sampai mereka berwujud di permukaan sebagai suara. Suara secara alami mengekspresikan sikap akal: baik benar atau salah, tulus atau tidak tulus. Suara memiliki daya tarik magnetis yang tidak dimiliki sebuah alat musik, karena suara adalah alat musik yang ideal dari alam yang dijadikan contoh bagi semua alat musik lainnya di dunia (Khan, 2002: 205-206). Bagi ulama Syattariyah, penguasaan irama nyanyian Barzanji bukan lagi pada tataran keterampilan zhahir yang berpotensi ria, tetapi melodi nyanyian itu telah mengendap dalam batin dan hatinya. Mereka tidak hanya menyanyikan Barzanji dalam konteks ritual keagamaan peringatan maulud, atau ritual do’a, bahkan hatinya akan selalu berdzikir dan berbarzanji di luar tidur, shalat atau ibadah lainnya, sehingga berbarzanji dalam konser koor vokal itu telah dilandasi energi batiniah. Kitab suci AlQur-an sebagai pegangan syari’ah, tarekat, hakekat

380 Rediscovering the Treasures of Malay Culture dan makrifat, serta panduan kehidupan sosial yang sepenuhnya berfungsi untuk berserah diri pada Yang Maha Kuasa. Sedangkan kitab Barzanji berperan sebagai sumber hikmah tentang latar belakang kehidupan dan keistimewaan sifat-sifat mulia Nabi Muhammad S.A.W sehingga menjadi magnet spiritual untuk mencintai Rasulullah, dan Allah Yang Maha Agung. Daya tarik spiritual ini yang akan membawanya kepada pengembaraan spiritual menuju tali sembah kepada Allah. Perjuangan batin dan pengembaraan spiritual melalui seni diformulasikan Salad (2000:15), bahwa “dalam tingkat tertentu, seni dapat menjelma sebagai pengembara abadi dalam ruang metafisis, menjadi wakil budaya untuk mendampingi dan menuntun jiwa manusia menuju keindahan Illahiyah.” Sehubungan dengan keghaiban musik, khususnya musik vokal religius Barzanji dalam kehidupan sosial masyarakat Syatariyyah di nagari Bunga Tanjung, telah memberi warna terhadap beraneka jenis ibadah do’a mereka. Dalam hal ini, Khan (2002:67) kembali mengeluarkan argumen, bahwa tidak satupun bagian di dunia ini, di Barat atau Timur, yang bisa membantah keghaiban musik. Yang pertama-tama, musik adalah bahasa ruh, dan agar dua manusia dari kebangsaan atau ras berbeda menyatu, tidak ada sumber ikatan yang lebih baik daripada musik. Musik bukan hanya menyatukan manusia dengan manusia, bahkan manusia dengan Tuhan.

2. Aspek Pertandingan dalam Konser Vokal Barzanji Biasanya kalimat religius Fastabiqul Khayraat (berlombalah atas kebaikan) difungsikan oleh para ulama sebagai nash yang ampuh untuk mengumpulkan dana pembangunan rumah ibadah, sumbangan sosial dan lainnya. Dalam konteks Barzanji, kalimat religius ini menjadi motivasi spiritual untuk menyajikan nyanyian religius Barzanji sesempurna dan sebaik mungkin dengan sepenuh hati. Tegasnya, penyajian ritual Barzanji selalu dibarengi dengan unsur perlombaan untuk keluar sebagai penyaji terbaik dari sudut spiritual. Hal ini yang dikatakan Khan (2002:122), bahwa “tidak disangsikan lagi, bahwa kekuatan musik tergantung pada kelas evolusi spiritual yang telah disentuh seseorang.” Sehubungan dengan ini, Djohan (2005:41)

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 381 meninjau dari sudut psikologi musik, bahwa dalam penelitian tentang emosi sebagai respon terhadap musik biasanya hanya ditujukan pada karakter khusus emosi seperti komponen harapan dan sifatnya yang menggetarkan. Menurut Sloboda (1991), musik dapat meningkatkan intensitas emosi dan akan lebih akurat bila ‘emosi musik’ itu dijelaskan sebagai suasana hati (mood), pengalaman, dan perasaan yang dipengaruhi akibat mendengar musik. Di sini musik memiliki fungsi sebagai katalisator atau stimulus bagi timbulnya sebuah pengalaman emosional. Berbarzanji bagi ulama tarekat Syattariyah ini sudah menempati taraf gerakan batin yang disemangati oleh ajaran sufistik, sebagaimana pandangan Khan (2002: 73-74): Mereka adalah orang-orang yang sungguh menikmati keindahan musik, yang jiwa dan ruhnya peka terhadap pusat-pusat yang terbuka, yang menjadikan diri mereka sebagai media resonansi musik yang mereka dengar. Karena itu, musik menyentuh mereka dengan cara berbeda dari orang manapun; musik menyentuh kedalaman diri mereka. Sahut-bersahut atau tingkah-tingkah suara antar dua kelompok penyaji Barzanji mengandung unsur perlombaan yang menuntut energi suara, dan ketahanan selaput suara kelompok masing-masing.8 Menurut Khan (2002:84), suara yang muncul dari paru-paru dan perut tidak bisa mengekspresikan dirinya secara penuh tanpa tulang-tulang kepala, bibir, gigi, lidah dan langit-langit mulut. Jadi kita melihat tubuh ini sebagai sebuah instrumen bunyi. Nyanyian koor Barzanji yang serempak oleh setiap kelompok penyaji, melahirkan karakter vokal yang bertenaga yang menstimulan untuk terbangunnya emosi-emosi religius. Pengulangan motif- motif melodi pendek secara ajek dengan teks syair yang berbeda- beda (strophic), berdampak terhadap keasyikkan dan kekhusyukan penyajinya hingga kesadaran dirinya bisa memasuki wilayah spiritual dari masing-masing nyanyian tersebut. Seimbangnya kemampuan masing-masing kelompok penyaji selalu menjadi pertimbangan, karena suasana kompetitif selalu

8 Sehubungan ini, jumlah peserta minimal yang masih memenuhi keperluan es- tetika nyanyian Barzanji terdiri dari empat orang per kelompok penyajian.

382 Rediscovering the Treasures of Malay Culture terbangun dalam penyajian Barzanji, terutama dalam mengadu kekuatan vokal dan keindahan melodi kelompok masing-masing. Masing-masing kelompok penyaji saling bersaing melahirkan kualitas penyajian terbaiknya dengan semangat tinggi yang ekspresif sekali. Suasana kompetitif ini menjadi spirit tersendiri dalam rangka penyajian Barzanji, yaitu spirit bagi penyaji dan spirit juga bagi para pendengar (penyimak) sajian Barzanji. Hal yang menarik dalam konteks penyajian Barzanji ialah apabila dalam suatu penyajiannya terdapat penyaji yang berasal dari surau atau daerah yang berbeda. Dalam suasana seperti ini, penyaji dari daerah berbeda ini akan langsung berposisi sebagai kelompok penyaji pertama, dan kelompok penyaji kedua berasal dari lokasi penyajian Barzanji tersebut. Masalah utama yang menjadi persaingan ketat terletak pada: 1) kemampuan daya tahan vokal penyaji; 2) kualitas volume (power) vokal; 3) kekompakan penyajian; serta 5) kemampuan melodi improvisasi dari kelompoknya masing-masing.

3. Emosi-emosi Religius dalam Garapan Melodi Barzanji Konsep dasar vokal Barzanji berbentuk strophic yaitu beberapa rangkap syair kitab Syaraful Anaam dinyanyikan dengan pola melodi yang sama secara berulang-ulang dalam bentuk chorus atau koor (bernyanyi serempak bersama). Sedangkan penyajian dilakukan secara monophoni, yaitu menyanyikan lagu secara serempak bersama-sama dengan satu garis melodi oleh kelompok penyaji Barzanji dengan menggunakan tonal dasar yang sama. Pengulangan pola melodi pendek yang disajikan secara berulang- ulang dalam tataran ekspresi dengan kedalaman batin yang penuh menjadi kekuatan utama bagi penyaji Barzanji untuk menangkap dimensi spiritual masing-masing nyanyian. Menurut konsep sufi bahwa pengulangan melodi pendek dalam intensitas ekspresi yang tinggi akan bisa mencapai ekstasi (mabuk cinta dengan Allah dan Muhammad). Selanjutnya, cara penyampaian nyanyian religius Barzanji adalah berpola antiphonal. Menurut Prier J (1991: 16), “pola antiphonal artinya sebuah lagu yang dibawakan oleh dua kelompok koor yang tempatnya terpisah. Berasal dari bahasa Yunani = Suara berlawanan.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 383 Maksudnya bernyanyi secara bersahut-sahutan.” Komposisi musik Barzanji berbentuk koor vokal disampaikan oleh dua kelompok yang saling bersahutan dengan karakter vokal sufi yang energik. Namun demikian, terdapat bagian-bagian tertentu yang disajikan dalam pola responsorial. Pola responsorial, suatu istilah dari kata latin, responsum; artinya: jawaban. Dalam bahasa latin = menjawab; maksudnya lagu solo dilanjutkan dengan refren bersama (Prier J, 1991:16). Contoh kasus musikal seperti ini dijumpai pada lagu Ash-Shalaatu ‘alan Nabi, dan lagu Tanaqqaltu. Kadang-kadang sajian lagu Barzanji berjawab-jawaban secara spontan antara solo dengan koor dalam kelompok yang sama disebut call and respons. Dengan demikian, konsep chorus, monophony, responsorial, antiphonal, call and respons dengan penggarapan tempo dan dinamik yang bervariasi, menjadi ciri khas utama nyanyian Barzanji tarekat Syattariyah. Sekaligus menjadi kekuatan untuk membangun emosi- emosi religius penyaji Barzanji dalam menuju pencapaian dimensi spiritualnya. Pelahiran emosi-emosi religius terlihat sekali dalam garapan komposisi musik vokal Barzanji, terutama pada penggunaan tonal dasar, transposisi tonal, pergerakan tempo dari setiap lagu yang dinyanyikan, serta melodi nyanyian tanpa jeda. Secara teoritis Djohan (2005:97) mengatakan, dimensi pokok perbedaan suara secara psikologis terletak pada pitch, intensitas, durasi, dan warna suara. Masalah persepsi musik terletak pada bagaimana dimensi psikologis ini dihubungkan dengan gelombang suara yang dihasilkan oleh alat musik atau suara manusia. Tiga dari empat fungsi dimensi psikologis paling tak terpisah satu sama lain secara pasti berhubungan dengan variabel fisik. Pitch biasanya berhubungan langsung dengan frekuensi vibrasi suara, kekerasan dengan intensitas suara, dan durasi dengan waktu di mana suara dapat didengar. Warna suara memiliki hubungan yang lebih rumit dengan variabel fisik dan lebih tepat berhubungan dengan dimensi psikologis yang lain. Repertoar nyanyian religius Barzanji terdiri dari 11 lagu. Sembilan lagu berirama terikat dengan ketukan beat yang tetap (regular rhythm), dan dua lagu berirama bebas tanpa terikat ketukan beat (irregular rhythm atau free rhythm). Berdasarkan transkripsi dan identifikasi

384 Rediscovering the Treasures of Malay Culture yang dilakukan, ternyata penyajian enam lagu dari 11 lagu Barzanji dinyanyikan dalam beberapa kali transposisi tonal, misalnya lagu Assalaamu ‘Alaik yang bertonal dasar A, bertransposisi tonal ke nada G, A, dan C. Lagu Ash-Shalatu yang bertonal dasar A, bertransposisi tonal ke nada Bes. Lagu Tanaqqaltu bertransposisi tonal dari nada Am ke nada Besm; begitu juga lagu Wulidal ’Habibu yang bertonal dasar A, bertransposisi tonal ke nada Besa dan C. Sedangkan lagu Al- Fashallu yang bertonal dasar G, bertansposisi tonal ke nada A, dan Bes., kemudian lagu Shalla ‘Alaik bertransposisi tonal dari nada E ke nada F. Hal yang menarik pada proses kasus musikal di atas, bahwa transposisi tonal yang pertama itu terjadi pada sekitar siklus melodi ke empat atau kelima pada setiap lagu. Artinya, terdapat dorongan emosi religius yang cukup energik oleh para penyaji Barzanji, sehingga hanya beberapa menit tersajinya suatu lagu dengan suatu tonal dasar tertentu, langsung dirobah kepada nada yang lebih tinggi. Di samping itu, tempo juga mendapat penggarapan yang luar biasa, bahwa semua lagu yang berirama terikat (regular rhythm) mendapat penggarapan tempo yang selalu bergerak naik semakin cepat. Misalnya lagu Assalamu ‘Alaik mengalami tujuh kali perubahan tempo yang semakin cepat, yaitu tempo awalnya M.M = 69 per detik, bergerak terus naik menjadi 71, 73, 76, 77, 80, dan M.M = 82 per detik. Begitu juga tempo lagu Al-Fashallu mendapat empat kali pergerakan tempo semakin naik, yaitu bermula dari tempo M.M = 100 per detik, naik menjadi 112, 120, M.M = 126 perdetik, dan seterusnya. Dalam hal ini, pandangan Gabrielson & Lindstro yang dikutip Djohan (2005:47), dikatakan bahwa: Di sini Hevner ingin menunjukkan bahwa sebenarnya emosi sudah ada di dalam musik dan tanpa harus membutuhkan pengalaman emosi dari pendengar. Sebuah musik seringkali menimbulkan reaksi dan respon emosi dalam saat tertentu, seperti ketika tiba-tiba merubah tempo atau klimaks tema sebagaimana dikehendaki komponisnya. Tempo sebuah lagu merupakan salah satu karakteristik ekspresi emosi atau menjadi sebuah pengalaman musik bagi pendengaran seseorang (Jansma & de Vries, 1995). Dapat dikatakan bahwa karakteristik musik seperti modus, irama, dan tempo yang dirasakan pendengar dapat menjadi sebab

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 385 untuk mengekspresikan emosi. Emosi-emosi religius dalam penyajian Barzanji sangat tergambar dalam garapan komposisi musiknya. Seniman religius Barzanji dipacu oleh emosi-emosi religiusnya untuk menangkap capaian spiritual. Bagi seniman Barzanji, bahwa menurunkan tonal dasar dan memperlambat tempo penyajian berimplikasi terhadap penurunan usaha pencapaian spiritual yang diwadahi oleh spiritual Barzanji. Selain itu, metode garap tonal dasar nyanyian Barzanji cukup berbeda dengan konsep tonal dasar (nada dasar) musik tradisional Persia yang dikemukakan Nasr, kecuali lagu-lagu Barzanji yang menggunakan tangga nada (scale) minor, seperti lagu Bisyahri, Tanaqqaltu, dan lagu Marhaban, yang tonal dasarnya kembali ke nada semula, adalah sesuai dengan contoh kasus yang dikemukakan Nasr. Nasr memberi posisi nada dasar sebagai nada Pusat (Yang Tunggal), di mana penggarapan melodi mesti kembali ke nada dasar (Pusat) untuk bersatunya keintiman spiritual dengan Yang Satu Tunggal ‘Ilahi’, sebagaimana ungkapan Nasr (186-187): Ada berbagai cara pendakian spiritual yang dapat dilaksanakan dengan bantuan musik Persia tradisional. Cara pertama dicapai melalui melodi, yang membawa manusia selangkah demi selangkah menuju tingkatan spiritual satu demi satu, dan akhirnya mencapai tingkat kebahagiaan dan ekstasi spiritual. Sistemnya dimulai dengan nada dasar khusus yang prinsip dan melodinya selalu kembali ke nada dasar itu tanpa pernah meninggalkan Pusat sepanjang permainannya. Oleh karena itu, menikmati musik secara total berarti kehidupan di alam suara, dengan komposisi musik yang mengarahkan pendengarnya ke sebuah Pusat. Suatu pencapaian ke Pusat yang tak mungkin teraih tanpa pendakian spiritual dalam aspek musikalnya. Cara lain untuk mencapai tujuan ini melalui irama dan tempo musik, yang mengubah hubungan antara manusia dan tempo biasa –ciri paling khas dari kehidupan dunia ini. Dengan demikian, tonal dasar delapan buah lagu Barzanji: lagu Assalaamu ‘Alaik, Ash-shalaatu, Wulidal habibu, Al-Fashallu, Shalla ‘Alaik, Badatlana, Anta Syamsun dan Allahumma adalah tidak kembali ke tonal dasar, tetapi nada finalnya cenderung berakhir pada tingkatan nada kedua, ketiga dan kelima (sconde, terts, kwint). Kecenderungan

386 Rediscovering the Treasures of Malay Culture nada final ini sangat ditentukan oleh tingkatan pemunculan nada- nada dominan dalam suatu garapan melodi lagu yang sering bergerak pada tingkatan ketiga dan kelima (terts, dan kwint). Ciri-ciri seperti ini mengisyaratkan terhadap keadaan emosi religius penyaji Barzanji yang ingin selalu bergerak ke atas di dalam suatu penyajian lagu. Kasus musikal ini sesuai dengan pandangan Khan (2002:205), bahwa Rahasia komposisi terletak dalam pemeliharaan nada sepadan, dan selama mungkin melalui semua tingkatannya yang berbeda. Sebuah jeda menghancurkan keanggunannya, kekuatan dan daya tarik magnetisnya, karena napas menahan kehidupan dan memiliki segala keanggunan, kekuatan dan daya tariknya magnetis. Penyajian Barzanji tidak memerlukan jeda (istirahat) dalam melodinya, karena jeda akan memutuskan tali spiritual yang sedang direntangkan. Dengan demikian, pembagian dua kelompok penyaji Barzanji hanya atas dasar pertimbangan teknis terhadap kemampuan daya tahan selaput suara. Pergantian antar kelompok penyaji pun tidak pernah diberi jeda. Sekitar dua atau tiga pukulan beat menjelang selesai penyajian kelompok pertama, sajian kelompok penyaji kedua sudah masuk, atau paling kurang mereka membuat penyajian sambung rapat tanpa memberi ruang untuk jeda. Prinsip ini pula yang menjadi pertimbangan, bahwa penyajian Barzanji tidak pernah dibagi dalam tiga atau empat kelompok penyaji, karena akan memutuskan benang merah religiusitasnya untuk berada di bawah semangat cinta kepada Rasulullah. Bertambah intens jiwanya dengan lagu, dan mantap kekuatan vokalnya akan menambah dekat kepada pencapaian spiritual untuk meraih kecintaan Allah. Menurut Khan (2002: 9), bahwa efek yang mereka alami adalah terbukanya jiwa, pintu kemampuan naluriah. Hati mereka terbuka bagi semua keindahan yang ada di dalam dan di luar, menyemangati mereka dan sekaligus membawa kesempurnaan yang dirindukan oleh setiap jiwa.

Penutup Praktek ibadah dan pengembaraan spiritual penganut tarekat Syattariyah melewati titian harapan melalui empat tingkatan ilmu agama “syari’ah, tarekat, hakekat dan makrifat” diaplikasikan dalam

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 387 beberapa macam jenis ibadah dan pengajian tarekat dengan tata cara yang spesifik. Praktek Barzanji sebagai salah satu jenis ibadah pada tataran tarekat ini cukup penting dan menonjol aktivitasnya, karena ibadah ini diintegrasikan ke dalam upacara agama, dan aneka ritual do’a. Bagi ulama (seniman religius Barzanji), berbarzanji bukanlah atas dorongan untuk meraih materi, berbangga dengan suara yang bagus, makan gratis yang telah disiapkan, ataupun sedekah dari pihak yang berhajat. Dalam berbarzanji, dia telah melepaskan diri dari dunia material dan berada pada ruang spiritual yang membuat nyanyian Barzanji semakin memasuki relung batinnya. Semangat ini terlihat dalam picingan matanya saat menggerakkan otot-otot leher, mulut, dan suara dalam berbarzanji. Khan (2002:119) mengatakan, bahwa “tidak ada sesuatu yang lebih indah, tidak ada sesuatu yang lebih meyakinkan dan lebih menarik dan lebih mengesankan, daripada resitasi suara alaminya sendiri.” Penyaji konser nyanyian religius Barzanji yang berproses pada kedalaman spiritual akan melihat matlamat atau tujuan hakiki berbarzanji dengan mata batinnya dan meletakkannya di atas sebuah “puncak pengharapan” untuk memperoleh pahala9, barakat, dan syafaat, serta hikmah melalui salawat dan salam untuk menunjukkan kecintaan kepada Muhammad Rasulullah dengan konser nyanyian religius Barzanji. Seyogianya aktivitas berbarzanji dapat menjadi salah satu wadah pendakian spiritual oleh jama’ah tarekat Syattariyah untuk mencapai puncak spiritualitas Islam menuju tempat kediaman asalnya, Haribaan Allah ‘Azza wa Jalla.

Kepustakaan Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1992. Seni dalam Pandangan Islam: Seni Vokal, Musik & Tari. Jakarta: Gema Insani Press. Al-Barzanji, Ja’far, 1990. Majmu’ah Maulid Syaraful Anaam. Jakarta: Al-A’ndaruus.

9 “Pahala artinya hasil dari perbuatan baik; balasan perbuatan baik dari Tuhan” (Partanto,. dkk,1994:559).

388 Rediscovering the Treasures of Malay Culture ------, 1996. Rangkaian Kisah Nabi dalam Puisi. Diolah kembali oleh Abdul Rahman Rukaini. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Al-Qalami. 2007. Merapat ke Langit Surgawi. Ttp: Mata Pena. Amrullah, Haji Abdul Malik Karim. 1984. Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: Pustaka Panjimas. Atha’illah & Khwaja. 2006. Menggapai Keintiman Spiritual dengan Allah (Al-Hikam Wa Al-Munajat). Penerjemah: Wahyudi Surabaya: Bina Ilmu. Atjeh, Aboebakar. 1990. Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian tentang Mistik. Solo: Ramadhani. Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius. Djohan. 2005. Psikologi Musik. Yogyakarta: Buku Baik. Hadi W.M, Abdul. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas: Esai- esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa.Yogyakarta: Matahari. Hassan, Mohd. Affandi. 1992. Pendidikan Estetika daripada Pendekatan Tauhid. Kuala Lumpur: Dewa Bahasa dan Pustaka. Isa, Zulkifli Mat. 1995. Terjemahan Maulid Berzanji & Daiba’i. Johor Bahru : Perniagaan Jahabersa. Kabbani, Muhammad Hisyam. 2007. Energi Zikir dan Salawat. Terjemahan: Zaimul Am. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Kahmad, Dadang. 2002. Tarekat dalam Masyarakat Islam: Spiritualitas Masyarakat Modern. Bandung: Pustaka Setia. Khan, Hazrat Inayat, 2002. Ajaran Spiritual Sufi Besar: Dimensi Mistik Musik dan Bunyi. Yogyakarta: Pustaka Sufi. Merriam, Alan P, 1964. The Athropology of Music. Chicago: North Western University Press. Nasr, Sayyed Hossein. 1993. Spiritualitas dan Seni Islam. Terjemahan: Sutejo. Bandung: Mizan. Nettle, Bruno, 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. New York: The Free Press of Glencoe A Division of Macmillan Publishing CO, Inc. Pertanto, Pius A,. dan Al Birry, M. Dahlan, 1994. Kamus Ilmiah

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 389 Populer. Surabaya: Arkola. Renard, John. 2000. “Spiritualitas Islam” dalam Wacana Spiritualitas Timur dan Barat. MW. Syafwan (Editor). Yogyakarta: Qalam. Salad, Hamdy, 2000. Agama, Seni: Refleksi Teologis dalam Ruang Estetik. Yogyakarta: Yayasan Semesta.

Majlis Barzanji Tarekat Syattariyah di Nagari Bunga Tanjung Melayu Minangkabau(Koleksi Foto: Hajizar 2006)

Sajian Barzanji pada Bagian Marhaban (Koleksi Foto: Hajizar 2006)

390 Rediscovering the Treasures of Malay Culture KEBUDAYAAN KARO SUMATERA UTARA: Cerminan Kekayaan Budaya Nusantara

Dr. Rosta Minawati, S.Sn., M.Si. Institut Seni Indonesia Padangpanjang

Latar Belakang Kabupaten Karo salah satu kabupaten di Propinsi Sumatera Utara yang terletak di dataran tinggi pegunungan Bukit Barisan dengan ketinggian 400-1.600 m di atas permukaan laut. Lokasinya berjarak 75 Km dari Medan, ibukota Propinsi Sumatera Utara. Luas wilayah Kabupaten Karo 2.127 Km2 atau 2,97% dari luas Propinsi Sumatera Utara, dengan total jumlah penduduk 311.012 jiwa yang tersebar di 13 Kecamatan (Majalah Pariwisata Karo, 2004 dan http://www.wikipedia. org/wiki/Kabupaten Karo (18 Februari 2007, dan BPPS Kabupaten Karo, 2005). Kabupaten Karo atau yang disebut juga dengan “Tanah Karo Simalem” merupakan daerah tujuan wisata utama di Sumatera Utara yang terkenal, baik domestik maupun mancanegara. Kekayaan budaya, baik seni, adat, ritual, upacara maupun kepercayaan menjadi kebudayan yang unik dan menarik. Pada masyarakat Karo hal yang sangat mendasar adalah merga atau marga, yang diartikan sebagai sesuatu yang “berharga”. Ada lima marga yang terdapat pada masyarakat Karo, yakni: Karo-Karo, Sembiring, Tarigan, Ginting, Perangin-angin, yang diikuti beserta sub-sub marga yang terdapat pada masing-masing marga tersebut (Kabupaten dalam Angka 2008; dan Woollams, 2004). Kelima cabang marga/Merga Silima yang mempersatukan masyarakat Karo, baik yang tinggal di kampung ataupun di rantau adalah; (1) Karo-karo, (2) Sembiring, (3) Perangin-angin, (4) Tarigan, dan (5) Ginting. Kelima cabang merga tersebut adalah sebagai berikut. (A). Karo-Karo dan Cabangnya: (1) Karo Sekali, (2) Sinulingga, (3) Surbakti, (4) Barus, (5) Sinabulan, (6) Ujung, (7) Purba, (8) Ketaren,

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 391 (9) Guru Singa, (10) Sinukaban, (11) Kaban, (12) Sinuhaji, (13) Kemit, (14) Bukit, (15) Sinuraya, (16) Kandibata, (17) Samura, (18) Sitepu, (19) Kacaribu , dan (20) Karo Biring. (B). Sembiring dan Cabangnya: (1) Kembaren, (2) Sinulaki, (3) Keloko, (4) Sinupayung, (5) Colia, (6) Pandia, (7) Pande Bayang, (8) Tekang, (9) Muham, dan (10) Depari, (11) Busuk, (12) Sinungkanar, (13) Gurukinayan, (14) Keling, (15) Berahmana, (16) Pelawi, (17) Meliala, dan (18) Bunuhaji. (C). Ginting dan cabangnya, seperti (1) Suka, (2) Babo, (3) Sugihen, (4) Gurupatih, (5) Anjartubun, (6) Capah, (7) Beras , (8) Garamata (9) Jadibata, (10) Munte, (11) Manik, (12) Sinusinga, (13) Jawak, (14) Saragih, (15) Tumangger, dan (16) Pase. (D). Perangin-angin dan cabangnya, seperti (1) Namohaji, (2) Sukatendel, (3) Mano, (4) Sebayang , (5) Pincawan, (6) Sinurat, (7) Perbesi, (8) Ulinjandi, (9) Penggurun, (10) Pinem, (11) Uwir, (12) Laksa, (13) Singarimbun, (14) Keliat, (15) Kacinambun, (16) Bangun, (17) Tanjung, (18) Benjerang. (E) Tariagan dan cabangnya, seperti (1) Sibero, (2) Tua, (3) Silangit, (4) Tambak, (5) Tegor, (6) Gersang, (7) Gerneng, (8) Gana-gana, (9) Jampani, (10) Tambun, (11) Bondon, (12) Pekan, (13) Kahak, dan (14) Purba (Tarigan, 1995: 23-24). Dari lima induk dan cabang-cabangnya, jumlahnya dari 5x17 merga menjadi 85 merga (Tamboen, P. 1952 dan (Tarigan, 1995). Secara umum, merga/marga pada suku Batak adalah menjadi penciri yang mudah untuk dikenali. Sebagaimana yang dikatakan Ardika (2007) bahwa identitas budaya adalah rincian karakteristik atau ciri-ciri sebuah kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang kita ketahui batas-batasnya takkala dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri kebudayaan lain. Akan tetapi, konsep kekerabatan (perkadekaden) pada masyarakat Karo diikat oleh sangkep si telu yang menunjuk kepada tiga pilar yang kuat dan saling mendukung. Walau ketiga-tiganya terpisah dan memiliki fungsi dan peran berbeda, tetapi saling mendukung dan harus ada dalam setiap kepentingan adat. Ketiga pilar itu adalah kalimbubu (orang tua dari pihak istri dan semua saudara laki-laki dari pihak istri yang terdapat dalam keluarganya dan juga keluarga dari pihak ayahnya yang masih satu ibu), kemudian senina/sembuyak (semua orang dalam konsep suku Karo dipandang sebagai saudara laki-laki ataupun

392 Rediscovering the Treasures of Malay Culture perempuan), dan anak beru (adik atau kakak dari ayah dan termasuk keluarga yang menikahi perempuan). Konsep sangkep sitelu dikenal juga dalam masyarakat Minangkabau dengan sebutan tigo sapilin.

Pembahasan Pada masyarakat Karo, seorang anak laki-laki akan terus mewariskan marga dari ayahnya, dan seorang perempuan akan menyandang marga ayahnya sebagai beru (perempuan) sampai meninggal. Di samping identitas marga dan beru, setiap orang Karo juga memiliki bere-bere (marga yang diperoleh dari ibu) yang disebut bere. Bere dalam masyarakat Karo artinya “beri”. Dengan demikian, masyarakat memperoleh identitas dari kedua orang tuannya, yakni marga/beru dan bere-bere. Dalam hal ini, Bangun (1990) menyatakan bahwa masyarakat Karo tidak menarik garis keturunan secara patrilineal, tetapi parental (bilateral) dengan menarik garis turunan dari ayah dan ibu sekaligus. Dua orang yang memiliki marga atau beru atau bere-bere yang sama dipandang sebagai saudara kandung dan juga menjadi senina (saudara kandung dalam jenis kelamin yang sama) atau turang (dalam jenis kelamin yang berbeda). Berdasarkan silsilah (trombo) Karo dapat ditelusuri asal-usul nenek moyang, melalui marga yang disandang laki-laki ataupun beru yang disandang perempuan dalam Batak Karo. Sebagaimana dikatakan oleh Putro (1981) bahwa bangsa (suku) Karo memiliki bahasa sendiri (Karo), aksara sendiri, seni tari dan musik, adat istiadat, serta sistem merga yang turun-temurun menunjukkan asal atau trombo. Secara tradisional, masyarakat Karo mengutamakan adat. Adat dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan hukum. Misalnya; bila seseorang menikah tanpa menyelesaikan peradatannya, maka ketika anaknya menikah atau yang bersangkutan meninggal, yang bersangkutan harus diselesaikan peradatannya. Aturan tersebut sebagai utang Adat yang harus dibayarkan kepada sangkep si telu.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 393 Kekerabatan di Bawah Payung Sangkep Si Telu Hal lain yang penting dalam susunan masyarakat Karo adalah sangkep si telu/rakut sitelu atau daliken sitelu. Artinya secara metaforik adalah tungku nan tiga (Minangkabau)), yang berarti ikatan yang tiga. Arti rakut sitelu tersebut adalah sangkep nggeluh (kelengkapan hidup) bagi orang Karo. Kelengkapan yang dimaksud adalah lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu: (1) kalimbubu, (2) anak beru, dan (3) senina. Seluruh hubungan kekerabatan pada masyarakat Karo, baik berdasarkan pertalian darah maupun pertalian karena hubungan perkawinan, dapat direduksi menjadi tiga jenis kekeluargaan, yaitu: kalimbubu, senina atau sembuyak, dan anak beru, yang biasanya disimpulkan dalam banyak istilah, tetapi maksudnya sama yaitu: daliken si telu sama dengan sangkep si telu, iket si telu, rakut si telu. Pada suku-suku Batak yang lain seperti Toba, Mandailing, dan Angkola, maksud yang sama dikenal dengan istilah dalihan na tolu. Daliken si telu (daliken adalah tungku batu tempat memasak di dapur, sedangkan si telu adalah tiga). Hubungan antara ketiganya tidak dapat dipisahkan di dalam hal adat terkait hak-hak dan kewajiban di dalam adat. Berikut penjelasan mengenai masing-masing sangkep ngeluh :

1. Senina atau Sembuyak Senina atau sembuyak adalah saudara antara anggota-anggota yang masih memiliki satu marga, satu ayah/ibu, satu nenek/kakek, satu cicit, dan seterusnya. Beberapa jenis dari sembuyak antara lain: sembuyak sukut (saudara satu ayah dan satu ibu), senina sembuyak bapa (saudara karena satu kakek), senina sembuyak nini (saudara karena satu cicit), senina sembuyak empong (saudara karena satu kakeknya kakek). Kelompok terkecil dari sembuyak ini adalah saudara kandung. Sedangkan kelompok senina dapat pula dibagi ke dalam beberapa bentuk seperti: senina sepemeren (saudara oleh karena ibu mereka bersaudara), senina siparibanen (saudara oleh karena istri bersaudara, atau satu mertua), senina sedalinen (saudara oleh karena memperistri impal/anak kandung paman), senina sepengalon (saudara oleh karena anaknya diambil menjadi istri dari anak mertua yang sama), senina

394 Rediscovering the Treasures of Malay Culture ibas runggun adat (saudara yang telah diangkat dalam satu musyawarah adat) (Tarigan, 1995). Walaupun demikian, sistem kekerabatan yang luas tersebut tidak pula menghilangkan fungsi keluarga inti dalam kehidupan individu, keluarga, maupun dalam bermasyarakat.

2. Kalimbubu Perkawinan dalam masyarakat Karo bukanlah merupakan soal individu (perseorangan), tetapi adalah masalah keluarga. Kawinnya seseorang dengan orang lain tidak hanya mengikat tali kekeluargaan dengan keluarga dari pihak istri atau suaminya, tetapi terjadilah jaringan-jaringan kekeluargaan di antara kedua golongan keluarga dari mempelai. Kalimbubu dapat didefinisikan sebagai keluarga pemberi isteri, anak beru keluarga yang mengambil atau menerima isteri, dan senina keluarga satu galur keturunan merga atau keluarga inti. Kalimbubu, dapat disamakan dengan hula-hula pada masyarakat Tapanuli, adalah clan “pemberi dara” (yang menyerahkan anak perempuan) dan anak beru, sebagai clan “penerima dara” (yang menyerahkan perempuan). Kalimbubu adalah golongan yang sangat dihormati, dinamakan juga dibata ni idah, yaitu “Tuhan yang dilihat”. Murah rejeki, anak sehat- sehat, itu semua kerena tuah (berkat) kalimbubu. Demi tuah-nya, maka apabila ia sakit hati (morah-morah kalimbubu), karena sesuatu hal yang tidak senonoh yang dilakukan oleh anak beru-nya, dapat menimbulkan akibat yang buruk (umpamanya dapat mengakibatkan anak lahir cacat, badan selalu kurang sehat, pikiran tidak tenang dan lain-lain). Untuk menghindar dari hal itu semua, maka ada upacara untuk minta maaf kepada kalimbubu yang disebut dengan nabei.

3. Anak Beru Anak beru juga dinamakan sebagai si majekken lape-lape, yaitu yang membuat tempat berteduh bagi kalimbubu-nya. Penamaan tersebut, kecuali mencerminkan kedudukannya di dalam upacara- upacara, juga mencerminkan betapa pentingnya kedudukan mereka sebagai golongan yang membawa kedamaian, di dalam keluarga

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 395 kalimbubu. Pertengkaran-pertengkaran di dalam keluarga merupakan tugas anak beru yang mendamaikannya. Segala upacara-upacara, umpamanya upacara perkawinan, memasuki rumah baru, kematian, dan lain sebagainya, anak beru-lah yang menyelesaikannya. Di dalam hal-hal yang berhubungan dengan adat, orang luar tidak boleh berhubungan langsung dengan kalimbubu, tetapi harus melalui dan dengan perantaraan anak beru. Jika ada dua pihak yang bersengketa, maka yang berhadapan langsung adalah anak beru dari masing-masing pihak. Fungsi anak beru di sini adalah sebagai penyambung lidah. Menurut pandangan masyarakat Karo, anak beru dan senina adalah jaminan.

Kekerabatan di bawah Payung Tutur Siwaluh Tutur siwaluh adalah konsep kekerabatan masyarakat Karo yang berhubungan dengan penuturan, yaitu terdiri dari delapan golongan: (1) puang kalimbubu, (2) kalimbubu, (3) senina, (4) sembuyak, (5) senina sipemeren, (6) senina sepengalon/sedalanen, (7) anak beru, dan (8) anak beru menteri. Dalam pelaksanaan upacara adat, tutur siwaluh ini masih dapat dibagi lagi dalam kelompok-kelompok lebih khusus sesuai dengan keperluan dalam pelaksanaan upacara yang dilaksanakan, yaitu sebagai berikut: 1. Puang kalimbubu adalah kalimbubu dari pihak kalimbubu. 2. Kalimbubu adalah kelompok pemberi isteri kepada keluarga tertentu, kalimbubu ini dapat dikelompokkan lagi menjadi: a. Kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua, yaitu kelompok pemberi isteri kepada kelompok tertentu yang dianggap sebagai kelompok pemberi isteri adalah dari keluarga tersebut. Misalnya A ber(merga) Sembiring bere-bere Tarigan, maka Tarigan adalah kalimbubu Si A. Jika A mempunyai anak, maka merga Tarigan adalah kalimbubu bena-bena/ kalimbubu tua dari anak A. Jadi kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua adalah kalimbubu dari ayah kandung. b. Kalimbubu simada dareh adalah berasal dari ibu kandung seseorang. Kalimbubu simada dareh adalah saudara laki-laki

396 Rediscovering the Treasures of Malay Culture dari ibu kandung seseorang. Kalimbubu simada dareh adalah mereka yang dianggap mempunyai darah, yang sama yang terdapat dalam diri keponakannya. c. Kalimbubu iperdemui, berarti kalimbubu yang dijadikan kalimbubu oleh karena seseorang mengawini putri dari satu keluarga untuk pertama kalinya. Jadi seseorang itu menjadi kalimbubu adalah berdasarkan perkawinan. 3. Senina, yaitu mereka yang bersaudara karena mempunyai merga dan sub merga yang sama. 4. Sembuyak, secara harfiah se artinya satu dan mbuyak artinya kandungan. Artinya: orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama. Namun dalam masyarakat Karo istilah ini digunakan untuk senina yang berlainan sub merga juga, dalam bahasa Karo disebut sindauh ipedeher (yang jauh menjadi dekat). 5. Sipemeren, yaitu yang memiliki hubungan berdasarkan ibu mereka bersaudara kandung. Bagian ini didukung lagi oleh pihak siparibanen, yakni memiliki hubungan berdasarkan isteri yang bersaudara. 6. Senina Sepengalon atau Sendalanen, yaitu orang yang bersaudara karena mempunyai anak-anak yang memperisteri dari beru yang sama. 7. Anak beru, berarti pihak yang mengambil isteri dari suatu keluarga tertentu untuk diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena mengawini wanita keluarga tertentu, dan secara tidak langsung melalui perantaraan orang lain, seperti anak beru menteri dan anak beru singikuri. Anak beru ini terdiri lagi atas: a. anak beru tua, adalah anak beru dalam satu keluarga turun temurun. Minimal tiga generasi telah mengambil isteri dari keluarga kalimbubu. Anak beru tua adalah anak beru yang utama, karena tanpa kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak kalimbubunya, maka upacara tersebut tidak dapat dimulai. Anak beru tua juga berfungsi sebagai anak beru singerana (sebagai pembicara), karena fungsinya dalam upacara adat sebagai pembicara

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 397 dan pemimpin dalam pelaksanaan adat dalam keluarga kalimbubu dalam konteks upacara adat. b. Anak beru cekoh baka tutup, yaitu anak beru yang secara langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubunya. Anak beru cekoh baka tutup adalah anak saudara perempuan dari seorang kepala keluarga. Misalnya Si A seorang laki-laki, mempunyai saudara perempuan Si B, maka anak Si B adalah anak beru cekoh baka tutup dari Si A. Dalam panggilan sehari-hari anak beru disebut juga bere-bere mama. 8. Anak beru menteri, yaitu anak berunya anak beru. Asal kata menteri adalah dari kata minteri yang berarti meluruskan. Jadi, anak beru minteri mempunyai pengertian yang lebih luas sebagai penunjuk, mengawasi serta membantu tugas kalimbubunya dalam suatu kewajiban dalam upacara adat. Ada pula yang disebut anak beru singkuri, yaitu anak berunya anak beru menteri. Anak beru ini mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat (Tarigan, 1995; Tamboen, 1952; dan http://id.wikipedia.org/wiki/sukuKaro (7 Februari 2009).

Budaya Ertutur Untuk menunjukkan tingkatan kekerabatan di dalam masyarakat Karo dikenal istilah ertutur. Ertutur (ber-tutur) adalah salah satu ciri orang Karo bila ia berkenalan dengan orang yang belum pernah dikenalnya. Biasanya diawali dengan menanyakan marga, kemudian bere-bere (marga ibu) seseorang yang juga bisa dikaitkan dengan keluarga yang masing-masing mereka kenal, bahkan mungkin menanyakan trombo (silsilah) untuk mengetahui tingkat kekerabatan tersebut. Melalui tutur seseorang dapat mengetahui tingkatannya hubungan, misalnya bapa (bapak), nande (ibu), mama (paman), mami (bibi/istri paman), bengkila (panggilan istri terhadap mertua laki-laki), bibi (panggilan istri terhadap mertua perempuan), senina (saudara karena marga, atau sembuyak untuk yang satu ibu), turang (laki-laki terhadap saudara perempuan, atau perempuan sama berunya dengan

398 Rediscovering the Treasures of Malay Culture marga seorang laki-laki), Impal (laki-laki yang bere-bere-nya sama dengan beru seorang wanita, pasangan yang ideal dalam peradatan Karo), silih (abang ipar atau adik ipar), bere-bere (orang yang memiliki bere-bere yang sama dengan bere-bere lainnya), anak (anak), kempu (cucu), ente (cicit), entah (buyut), turangku (hubungan yang dalam adat Karo ditabukan untuk berbicara langsung antara istri saudara laki-laki dengan suami dari saudara perempuan, agi (adik), kaka (abang laki- laki/perempuan), permen (sebutan mertua laki-laki terhadap menantu perempuan), kela sebutan mertua perempuan terhadap menantu laki- laki), nini bulang (kakek), nini tudung/nondong (nenek), empung (kakek dari ayah atau ibu) beru (nenek dari ayah atau ibu) (Tarigan, 1995). Di masyarakat Karo, permen, kela, dan turangku ditabukan atau diharamkan untuk berbicara langsung. Budaya ertutur dalam masyarakat Karo terdiri dari enam lapis. Berikut ini penjelasan dari keenam lapis proses ertutur yang dikenal di kalangan masyarakat Karo: 1. Marga/Beru adalah nama keluarga yang diberikan (diwariskan bagi seseorang dari nama keluarga ayahnya secara turun-temurun bagi anak laki-laki). Sedangkan bagi anak wanita marga ayahnya disebut beru yang tidak diwariskan bagi anaknya kemudian. 2. Bere-bere adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari beru ibunya. Bila ibu saya beru Karo, maka bere-bere saya menjadi bere- bere Karo. 3. Binuang adalah nama keluarga yang diwarisi seorang suku Karo dari bere-bere ayahnya. 4. Kempu (perkempun), adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari bere-bere ibu. 5. Kampah adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari beru yang dimiliki oleh nenek buyut (nenek dari ayah). 6. Soler adalah nama keluraga yang diwarisi dari beru empong (nenek dari ibu) (Tarigan, 1995). Lazimnya, proses ertutur dalam masyarakat Karo yang dipakai oleh seseorang hanya sampai kepada lapis kedua. Akan tetapi, lapis ketiga dan seterusnya hanya dipakai dalam acara-acara adat. Kecuali, bila dua orang yang hendak berkenalan, sama sekali tidak memiliki

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 399 hubungan marga atau beru yang sesuai, maka diusutlah sampai tingkat keempat dan enam. Orang Karo atau yang menetap dan tinggal di masyarakat Karo, atau kawin dengan orang Karo dari suku yang lain, untuk dapat membangun kekerabatan diberi beru atau marga tertentu. Budaya ertutur merupakan salah satu bentuk pengungkapan identitas suku Karo. Di samping itu, ia mampu mengenali marga/beru-nya dan bere-bere-nya, sehingga ketika melakukan perkenalan dengan orang lain (ertutur), ia dapat memosisikan dirinya.

Sastra dalam Budaya Karo Warisan dari nenek moyang terdahulu, yaitu budaya yang memiliki nilai-nilai dan filosofi orang Karo, sebagai berikut.

Pantun Adat Karo (Djaman Tarigan, 1995) erpala-pala ngali adat susah payah menggali adat bageka pe ras seni budaya begitu juga seni dan budaya lanai bo i..ukuri dahin sabat tidak dipikirkan pekerjaan sibuk ngukuri adat budayanta menam memikirkan adat budaya yang terdaya terancam

kami erlabuh man suku Karo kami berharap untuk masyarakat Karo amin gia ia, enggo luar tanah walau pun, sudah di luar tanah Karo Karo perban sukunta enda enggo mbue karena suku Karo sudah banyak ranto meranto ingetendu min adata olanai min ingat adat Karo, jangan lupakan lolo

adat suku Karo enda merga silima adat Karo adalah merga silima ngaku pe enggo sangkep silima mengaku lima seikat ingetendu tah lupa gia adat ta ingatlah adat kita perdiateken silanai radat uga nge walau yang lain meninggalkan enggo suina adat

400 Rediscovering the Treasures of Malay Culture dage ngeluh enda mbue man hidup ini banyak yang ukuren dipikirkan reh kari si serabut lanai sieteh ada masalah akan pusing tumburen teman tawa-tawa enterem kawes teman tertawa ramai kanan kiri kemuhen teman ngandung ma tehndu nge namun yang perduli hanya erpilihen sedikit pinter tuhu pasar stabat lurus pasar ke Stabat mbelang ni rabi man ingan page lebar dibabat tempat berladang padi tatapndu dage jelma si lanai radat perhatikan orang yang tidak tau adat jelma si enterem pe lanai bo tidak akan ada yang mehangke menghormati

Pentun Nasehat (Djaman Tarigan, 1995) adi rubati kita ras turang Kalau bertengakar dengan saudara endam tandana pemeteh kurang Itu tandanya pengetahuan berkurang adi ras teman senina Kalau dengan saudara kandung em tandana la meteh ngena Itu tandanya tidak kenal kasih sayang adi rubat kita ras teman meriah Kalau bertengkar dengan sahabat rashasia murah teridah Rahasia akan mudah terbongkar adi rubat ras anak kuta jika bertengkar di kampung em tandana kita metuda Itu tandanya egois

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 401 adi rubat ras nande bapa Kalau bertengkar dengan orang tua kebilangan kita man Dibata Akan mendapat dosa dari Tuhan

Pantun Politik (Djaman Tarigan, 1995) Nuan Kemiri Kuta Bangun Tanam Kemiri di Desa Bangun Nantan Lima Ku Rimo Mungur Gantung Lima di Rimo Mungkur

Orde Baru mengisi Ras Orde Baru mengisi dan Membangun Membangun Merga Silima Pe Ula Tading Merga Silima jangan sampai Rukur ketinggalan Tama Gula Min, Jaung Belgangen Beri gulalah, jagung rebusan Mari Si Dayaken I Pasar Mari kita jual di pasar Sukamakmur Sukamakmur

Ngadiken Dagena Si Pandang- Berhentikanlah saling pandangen menyalahkan Maka Silalap Adil, Damai Ras Agar selalu dalam keadilan, Makmur kedamaian, dan kemakmuran

Pantun-pantun di atas adalah salah satu pantun yang terdapat dalam masyarakat Karo. Tema pantun yang terdapat dalam masyarakat Karo, seperti percintaan, kritik sosial, nasehat, politik, budaya, dan sebagainya. Akan tetapi saat ini sudah jarang bahkan sudah tidak dipraktikan lagi di dalam masyarakat Karo. Walau, adat istiadat merga si lima dan tutur siwaluh dari dulu sampai sekarang masih tetap dan tidak ada pengurangan/penambahan. Dalam hal ini, adat istiadat yang berisikan peraturan dan larangan, hukum/kedisiplinan yang mengatur segala kehidupan orang Karo. Di dalam adat Karo, adat istiadat yang penting untuk dipahami adalah sesuai dengan etika dan moral pengucapan dan penempatan, memiliki makna, tidak ada kesumbangan-kesumbangan, tidak tabu, mempertimbangkan kepantasan pengucapan sesuai budaya Karo dan

402 Rediscovering the Treasures of Malay Culture aturan-aturan bicara (pelaksanaan) adat yang pantas dan tidak pantas sesuai etika, hukum (sangsi) dan segala norma-norma, mana yang diperbolehkan dan yang tidak boleh, kepada siapa boleh dan kepada siapa tidak boleh.

Adat-istiadat Karo yang diupacarakan 1. Empat atau lima bulan bayi dalam kandungan (Empat Ntah Lima Jelma Bas Bertin). 2. Membawa anak ke pancuran/sungai (upacara) (Mbaba Anak Kulau). 3. Dewasa waktu menikah (Erjabu). 4. Mengalihkan tutur (Ngobah Tutur). 5. Kata Rebu, Uga Maka Rebu. 6. Kata-kata Sumbang, Uga Maka Kita Sumbang 7. Mukul. 8. Ngolihi Tudung. 9. Mbaba Belo Selambar 10. Ersukat Mas. 11. Pertuturkan 12. Erdemu Bayu 13. Kerja Sintua, Sintengah, ras Singuda 14. Napai Nipi Gulut. 15. Ise Erbahan Gelar Anak Si Mbaru Tubuh 16. Kalimbubu Siapai Sinagloken Ulu Emas 17. Mengket Rumah Mbaru 18. Nangkih Rumah Mbar 19. Susur-susur 20. Anak Perana Tandang 21. Anak Perana Erterang Bulan 22. Isai Si Ngalo Maneh-manah 23. Adat Pelaksanaan Ngalo Maneh-maneh

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 403 24. Kepaten, Gendang Mentas 25. Kepaten Gendang Sada Wari (Mate Sada Wari). 26. Kepaten, Nurun-nurun 27. Kepaten, Erlegi-legi (Sumber. Tarigan, 1995)

Upacara yang termasuk di dalam Adat Karo 1. Bicara Merdang-Merdem 2. Bicara Merdang Page 3. Bicara Mutikken Page 4. Bicara Guro-guro Aron Medanak 5. Bicara Pejayoken Anak 6. Bicara Jelma La Kedabuhen Tuah 7. Bicara Jelma Sada Dareh La Meriah 8. Bicara Lit Kita Gulut-gulut Nipi 9. Bicara Jelma I Anduhkan 10. Bicara Jelma I Angkatkan 11. Bicara Jelma Itukor-tukor 12. Bicara Kita Ngampeken Tulan-tulan Kugeriten 13. Bicara Kita Erkuanken Dibata 14. Bicara Kita erpangir Ku Lau 15. Bicara jabuna Si Pulihen (Sirang) 16. Bicara Mere Buah Kuta-kuta 17. Bicara Jelam Ngelok, Kedaraman Anak Kuta 18. Bicara Lit Tunduk Jelma Meliam I Kesain (Sumber. Tarigan, 1995)

Pengaruh Modernisasi pada Kebudayaan Karo Pengaruh globalisasi telah menggeser budaya tradisi. Hal tersebut menimbulkan perubahan yang disertasi pembongkaran dan pembalikan nilai-nilai dan makna-makna dalam kehidupan masyarakat

404 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Karo. Sentuhan-sentuhan budaya global ini menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan atau disorientasi dan dis-lokasi hampir di setiap aspek kehidupan masyarakat. Nilai-nilai yang mapan mengalami perubahan keresahan dan krisis identitas di kalangan masyarakat dalam arti tidak adanya lagi kepastian masyarakat membangun dirinya dengan ketradisian sebagai budaya pengkuat identitasnya. Perubahan ini melemahkan kekuatan integrasi, kesadaran, solidaritas, kesadaran sejarah dan budaya yang mengaburkan identitas. Pengaruh tersebut berdampak kepada melemahnya fungsi kekerabatan dan adat istiadat. Dampak negatif dari modernisasi pada orang Karo sebagai berikut: 1. Lebih menjadi individu. 2. Lebih menggunakan akal pikiran/rasional. 3. Waktu dan ilmu pengetahuan sangat dihargai 4. Kebendaan menjadi ukuran nilai dan ukuran keberhasilan/ materialistis 5. Kegotong-royongan, kebersamaan, tradisi lama mulai goyah, sementara nilai-nilai baru belum mengkristal.

Dari pendapat di atas, modernisasi telah banyak melunturkan nilai-nilai budaya yang ada pada masyarakat Karo, sekaligus ada upaya menanamkan nilai-nilai baru. Akibat yang paling rentan adalah terkikisnya nilai-nilai dan sistem kekerabatan. Praktik ini dapat dipahami sedang terjadi peperangan budaya di masyarakat Karo. Seperti yang disampaikan (Khameni, 2005: 6) sebagai berikut. “Peperangan budaya adalah saat suatu kekuatan budaya, politik, atau ekonomi (yang umumnya hegomonik) melakukan serangan atau teror halus terhadap prinsip- prinsip dan unsur-unsur kebudayaan lain. Dalam hal ini, bertujuan merealisasikan keinginannya dan menundukkan komunitas budaya di bawah kendalinya”.

Berdasarkan pendapat Khameni di atas, maka Khameni juga

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 405 (2005) menyatakan bahwa peperangan terjadi secara budaya dengan fenomena sebagai berikut. “Berlangsung diam-diam tanpa menimbulkan kegaduhan atau menarik perhatian. Perang kebudayaan melucuti keyakinan dirinya dengan berbagai cara. Efek perang budaya dapat berlanjut dari generasi ke generasi, dan umumnya berlangsung tanpa sadar, bahkan menyenangkan korbannya”.

Saat ini, fenomena budaya dan adat istiadat Karo melemah dan mengendor. Di mana-mana terdapat praktik korupsi budaya. Hal tersebut memberi sisi yang berbeda terkait dengan pandangan Koentjaraningrat (1990) bahwa adat istiadat adalah merupakan nilai-nilai budaya sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi terhadap hidup yang bersifat amat umum.

Penutup Keragaman kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia menjadi kekayaan yang tidak ternilai harganya. Kan tetapi bentuk- bentuk pelestarian/revitalisasi menjadi isu yang penting diterapkan saat ini. Desakan budaya global yang besar melalui teknologi dan media mengakibatkan rapuhnya budaya lokal yang sangat kecil. Kebertahanan budaya lokal dengan berbagai cara mengalami kesulitan untuk bertahan, budaya lokal terengah-engah dalam mempertahankan eksistensinya, budaya kontemporer menjadi pilihan masyarakat untuk turut dalam merayakan kehiduapan yang “fan”. Peperangan budaya atau perebutan makna yang terjadi antara budaya global dan budaya lokal tidak dapat dihindarkan. Kabupaten Karo merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Utara, yang masyarakatnya memiliki adat istiadat sebagai identitas dan penciri masyarakatnya. Adat istiadat maupun sastra yang disinggung dalam tulisan ini hanya merupakan cermin kebudayaan Karo, sebagai kekayaan Budaya Nusantara.

406 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Daftar Pustaka Ardika, I Wayan, 2007. “Etnisitas dan Identitas Budaya”, Materi Kuliah Anfulen Program S-3 Kajian Budaya). Bangun, Teridah. 1990. Penelitian dan Pencatatan Adat Istiadat Karo. Jakarta: Yayasan Merga Silima. BPPS Kabupaten Karo, 2009. http://id.wikipedia.org/wiki/suku Karo (7 Februari 2009). Kabupaten Karo dalam Angka, 2008. Khamenei, Ali, Imam.2005. Perang Kebudayaan. (terjemahan). Jakarta: Cahaya. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Majalah Pariwisata Karo. 2004. Karo Tourism Pemerintahan Kabupaten Karo. Kabanjahe. Putro, Brahmo. 1981. Karo dari Jaman ke Jaman, Jilid 1. Medan: Yayasan Massa Cabang Medan. Tamboen, P. 1952. Adat-Istiadat Karo. Jakarta: Balai Pustaka. Tarigan, Djaman. 1995. Gelemen Merga Silima Iket Sitelu Sutur Siwaluh Kebudayaan Karo. Disusun dan diterbitkan sendiri. Woollams, Geoff. 2004. Tata Bahasa Karo. Medan: Bina Media Perintis.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 407 408 Rediscovering the Treasures of Malay Culture AKSARA INCUNG CIRI KHAS MOTIF BATIK KERINCI

Alipuddin, S.Sn., M.Sn. Institut Seni Indonesia Padangpanjang

Abstract

Incung script is a script used by the ancient Malay Kerinci as writing to communicate with a specific purpose. This script is an ancient Malay script used before the arrival of Arabic-Malay. Since 1990, characters of incung has been used as a source of inspiration in the creation of batik motif Kerinci. Incung script prepared by the motif of natural vegetation and other objects so that it becomes an ornament that has aesthetic value. Incung script form has given rise to creative ideas and innovative in the creation of batik motif Kerinci. A harmonious blend of usability with the beauty of batik creation by utilizing the Kerinci script to broaden the variety of motives incung archipelago. Characteristic motif is not only carrying the aesthetic value but also as a media introduction of the Malay culture and history of the past.

Pendahuluan Di Indonesia sekarang batik telah dibuat di berbagai daerah dengan ciri khas motif dan pewarnaan yang berbeda. Sentra penghasil batik di Indonesia tersebar di berbagai tempat, namun pada umumnya terpusat di Pulau Jawa,khususnya Jawa Tengah. Di Sumatera juga bermunculan sejumlah sentra penghasil batik, salah satunya adalah Jambi. Batik Jambi tidak begitu dikenal masyarakat luas, ini disebabkan daerah pemasaran dan pemakaiannya dapat dikatakan terbatas pada daerah Jambi, Riau, Sumatera Selatan, dan Sumatera Barat. Selain itu jumlah perajin batiknya juga tidak banyak. Belum diketahui secara pasti apakah batik Jambi sudah ada sebelum masyarakat Jambi berhubungan dengan masyarakat daerah lain seperti dari pulau Jawa. Menurut cerita, batik Jambi dikembangkan oleh keluarga raja-raja Melayu-Jambi dan berangsur-angsur surut setelah kerajaannya runtuh. Menurut P.W.

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 409 Philipsen, pada tahun 1875, Haji Mahibat beserta keluarga dari Jawa Tengah menetap di Jambi dan mengerjakan pembatikan di Jambi (Joemena, 1990:84). Pembuatan batik tidak hanya di Jambi tetapi telah menyebar ke daerah Kerinci yang merupakan daerah paling barat dari Provinsi Jambi. Penyebaran pembuatan batik di Kerinci belum diketahui secara pasti apakah dilakukan oleh pemerintah melalui pembinaan. Namun ada kemungkinan masyarakat sendiri yang belajar di Jambi atau dengan cara lain. Batik Kerinci yang dibuat oleh perajin memiliki ciri khas tersendiri. Ciri khas tersebut dapat dilihat dari motif-motif yang diterapkan. Motif batik Kerinci pada umumnya berasal dari bentuk tumbuh-tumbuhan yang tumbuh subur di alam Kerinci seperti: daun teh, cengkeh, bunga cempaka, manggis, bunga gedang, kulit manis. Motif batik Kerinci juga terinspirasi dari alam benda yang sering digunakan oleh masyarakat sebagai tempat menyimpan dan mengangkut hasil pertanian seperti: Jangki, ambung, dan cerano. Di samping itu, juga digunakan aksara incung sebagai motif yang dikomposisi dengan motif lainnya sesuai dengan kreativitas perajin batik. Aksara incung yaitu tulisan kuno yang dipakai oleh nenek moyang orang Kerinci sebelum datangnya aksara Arab-Melayu. Motif batik Kerinci pada umumnya perpaduan antara motif tumbuh-tumbuhan, alam benda yang dikomposisi atau disusun sesuai dengan selera desainer atau perajin. Warna dasar batik pada umumnya biru, coklat, merah muda, kuning muda, dan hitam. Batik Kerinci pada umumnya dipakai sebagai busana resmi, acara pesta, melayat, dan juga dipakai waktu shalat Jum’at dengan bentuk lengan panjang dan lengan pendek.

Aksara Incung Sebagai Motif Batik Kerinci Produk budaya nenek moyang sangatlah banyak dengan berbagai bentuk dan coraknya yang menandakan keberadaan masyarakat waktu itu. Keragaman budaya tersebut mencerminkan berbagai nilai dan norma serta kearifan para pendukungnya. Di antaranya berupa aksara incung yang digunakan oleh nenek moyang Kerinci sebelum digunakan aksara Arab-Melayu. Menurut Uli Kozok yang telah beberapa kali melakukan penelitian tentang aksara incung telah

410 Rediscovering the Treasures of Malay Culture menganalisis sampel naskah Tanjung Tanah Kerinci yang diadakan di Rafter Radiocarbon Laboratory di Wellington New Zealand dengan menggunakan Spektrometer pemercepat masa, terbukti bahwa naskah tersebut minimal seratus tahun lebih tua dari surat sultan Abu Hayat dari Ternate yang berhuruf Jawi yang selama ini dianggap naskah Melayu tertua (Uli Kozok, 80-81). Peninggalan budaya nenek moyang Kerinci tersebut berupa dokumen dan naskah-naskah yang ditulis di atas bambu, kulit kayu, tanduk kerbau, gading, tulang, kertas, kain, dan daun lontar. Aksara incung dulu yang ditulis di atas bahan tersebut menjadi benda sakral bagi masyarakat yang menyimpannya sebagai pusaka yang turun-temurun yang harus dijaga dan dirawat, berisi masalah sastra, undang-undang, bahasa, agama, sejarah leluhur, dan adat-istiadat (Alimin, 2003:37). Aksara incung dibentuk oleh garis-garis lurus, patah terpancung, dan melengkung. Namun garis lengkung dapat ditemukan pada aksara tertentu dan jumlahnya hanya beberapa saja. Kemiringan garis-garis pembentuk huruf itu rata-rata 45º, jadi bukan aksaranya yang ditulis miring seperti penulisan huruf Latin ditulis miring bersambung.(Alimin, 2003:21).

Aksara incung (Sumber: http://www.google.co.id/=kitab+undang- undang+melayu+tertua+di+dunia)

Sekitar tahun 1990, aksara incung tidak hanya ditulis dalam bentuk kata dan kalimat, namun para perajin batik telah menulis tulisan incung menjadi sebuah motif batik. Perajin menerapkan atau

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 411 hanya mengambil sebagian dari huruf yang cocok digunakan sebagai motif batik, lalu didesain sedemikian rupa sesuai dengan selera mereka demi ketercapaian nilai estetis dan ekonomis. Perajin tidak lagi melihat keterbacaan huruf, mereka hanya mengambil huruf tertentu lalu dikomposisi sesuai keinginan dan cita rasa mereka masing-masing. Dari sumber budaya tersebut perajin sangat mungkin untuk mengekplorasi, menyajikan, tanpa merusak, dan mengikis aset peninggalan budaya nenek moyang Kerinci. Pengelolaan sumber budaya yang menuntut profesialisme tinggi sebagai upaya untuk mempertahankan dan melestarikan aksara incung agar tetap dikenal dan ditulis bahkan tidak hilang di tengah masyarakat.

Ragam Motif Batik Kerinci Ragam hias batik teramat banyak jumlahnya dan hadir dalam ungkapan seni rupa yang sangat beragam baik dalam variasi bentuk maupun warna. Hal ini terjadi karena perbedaan latar belakang yang mendasari pembuatan kain batik seperti letak geografis, kepercayaan, adat istiadat, tatanan sosial, gaya hidup masyarakat serta lingkungan alam setempat (Biranul, 1997:42). Ada faktor-faktor lain yang juga mengakibatkan kemiripan ragam hias antar daerah. Cita rasa yang sama, hubungan niaga serta kekerabatan akibat perkawinan antara para pembuat batik adalah beberapa penyebabnya. Pembuatan ragam hias lebih bebas dan mandiri dalam pengungkapannya tidak terikat pada alam pikiran atau filsafat tertentu. Sifatnya lebih beraneka ragam di mana setiap sentral batik menghasilkan corak-corak yang amat bervariasi. Batik Kerinci memiliki beragam motif dan mempunyai ciri khas sendiri. Batik adalah lukisan atau gambar pada mori yang dibuat dengan menggunakan alat bernama canting. Orang melukis, menggambar atau menulis pada mori memakai canting disebut membatik atau dalam bahasa Jawa mbatik (Hamzuri, 1981:VI). Dalam penciptaan sebuah batik biasanya bersangkut paut dengan pola dan motif. Herbert Read menjelaskan bahwa pola ialah penyebaran garis dan warna dalam suatu bentuk ulangan tertentu (Herbert Read terjemahan Soedarso, 2000:11).

412 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Sejalan dengan pendapat di atas bila dilihat dari segi visual suatu goresan sebuah garis lengkung maka goresan tersebut dapat disebut sebagai suatu motif garis lengkung, kemudian motif itu diulang- ulang secara simetris atau tergantung pada kreativitas seseorang dalam merangkainya maka menjadi sebuah pola. Selanjutnya apabila pola yang telah diperoleh itu diterapkan atau dijadikan hiasan pada suatu benda dengan berbagai teknik maka kedudukannya menjadi sebuah ornamen (Gustami, 2008:7). Motif yang diterapkan pada batik Kerinci berasal dan terinspirasi dari bentuk alam sekitar, lingkungan sosial budaya dan selera perajin. Di samping itu, motif batik Kerinci bila dilihat bentuknya pada umumnya bersumber dari tumbuh-tumbuhan, alam benda, dan aksara incung yang telah melahirkan ide kreatif dan inovatif. Motif batik Kerinci dapat dikelompokkan dalam motif tumbuh-tumbuhan: daun teh, kayu manis, dan bunga kamboja; motif alam benda: jangki, keris, bilik padi, lapik/tikar dan motif aksara incung yang pada umumnya telah distilisasi dan dideformasi. Bila dilihat motif batik Kerinci hampir tidak ditemukan ragam hias bentuk makhluk hidup. Motif batik Kerinci didominasi oleh motif tumbuh-tumbuhan yang banyak terdapat di lingkungan alam Kerinci. Di samping itu, yang menjadi ciri khas batik Kerinci adalah penerapan aksara incung. Aksara incung merupakan aksara kuno yang digunakan nenek moyang masyarakat Kerinci sebelum datangnya aksara Arab Melayu. Aksara incung tersebut masih disimpan oleh masyarakat Kerinci yang ditulis di atas kulit kayu, tanduk kerbau, dan bambu. Motif Aksara incung Kerinci dikomposisi sesuai dengan kreativitas yang mereka inginkan. Alam Kerinci yang sangat kaya menjadi sumber inspirasi yang sangat penting dalam menumbuhkan ide-ide kreatif. Motif pilin ganda bila ditelusuri berasal dari motif prasejarah yang dapat ditemukan di Kerinci seperti pada bejana perunggu dari Kerinci yang sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta. Motif yang diterapkan juga terinspirasi dari motif-motif pada masjid kuno, umoh laheik (rumah tradisional), dan bileik padoi (lumbung padi). Motif yang digambarkan tidak terikat pada alam pikiran dan filsafat tertentu dengan tujuan kepentingan pasar dan memenuhi selera konsumen. Motif batik Kerinci terus berkembang serta mengalami berbagai modifikasi dan

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 413 stilisasi yang menunjukkan keluwesan masyarakat Kerinci dalam berkreativitas. Hal tersebut ikut memperkaya keragaman budaya nasional khususnya seni batik. Semangat berkreativitas para perajin batik Kerinci untuk menciptakan motif-motif baru sangatlah tinggi. Di samping itu, perajin juga mengadakan pembaharuan dari segi warna dan bentuk motif yang terinspirasi oleh alam lingkungan sekitar dan dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari.

1 2 3 4

5 6 7 8

9 10 1) Motif jangki, 2) ikatan kulit manis, 3) carano, 4) lapik, 5) bilik padi, 6) pilin ganda atau bentuk huruf S, 7) daun sirih, 8) bunga kopi, 9) keris, 10) Keluk paku kacang belimbing (Foto Alipuddin, 2010)

Motif Aksara Incung Kerinci (Foto Alipuddin, 2010)

414 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Bentuk Batik Kerinci Menatap tampilan batik Kerinci serentak terkilas dalam pikiran tentang cara pembuatannya. Tampilan bentuk yang mempesona, menarik, dan indah dipahami sebagai hasil kerja dari tangan terampil yang dituntut kesabaran dan kecermatan dalam pengerjaannya. Hampir setiap goresan canting seakan menjelaskan tentang cara kerja perajin yang rumit dan teliti. Kehalusan serta kerumitan yang ditampilkan menunjukkan pula adanya panduan yang senantiasa dipatuhi. Hal itu dapat dilihat pada susunan serta komposisi dan tampilannya yang sangat rumit tetapi sangat menyatu dan indah. Batik Kerinci bila dilihat dari visualnya masing-masing memiliki bentuk dan susunan yang berbeda- beda, begitu pula dengan bentuk motif dan ukurannya. Motif-motif ditata dan disusun dengan pertimbangan estetis. Motif sulur-suluran yang distilisasi dari tumbuh-tumbuhan dalam bentuk horizontal dan vertikal. Pada umumnya motif-motif dikomposisi sesuai dengan kreativitas perajin. Di samping itu, batik Kerinci nampak lebih indah dan hidup dengan bentuk sulur-suluran secara simetris ke kanan dan ke kiri. Penempatan motif yang terdapat pada batik Kerinci memiliki unsur-unsur hias daun-daunan, ranting, buah, batang, gabungan benda buatan manusia dengan tumbuh-tumbuhan, yang dikomposisi atau disusun menjadi bentuk motif yang harmonis. Pada umumnya motif tumbuh-tumbuhan dikomposisi dengan aksara incung, dan bentuk alam benda seperti jangki, ikatan kulit manis yang telah distilisasi dan dideformasi. Dari susunan motif tersebut terkesan bergerak, patah, tumpang tindih, menyebar, dan hidup. Pada bagian tepi dan bawah sisi ujung kain motif disusun secara vertikal dan horizontal. Unsur-unsur motif yang berasal dari tumbuh-tumbuhan berupa ranting, daun, bunga, buah, dan kuncup disusun dengan motif aksara incung. Motif aksara incung dikomposisi membentuk segi empat dan dikombinasikan dengan motif bentuk huruf S dan motif bunga yang disusun secara berulang-ulang. Pengulangan (repetisi) motif tersebut terkesan menoton, dinamis, bergerak, ada irama (ritme), seimbang dan formal. Batik nampak lebih menarik dan dapat menggugah perasaan penikmatnya melalui motif serta komposisinya. Motif batik diwujudkan dalam bentuk dua dimensional yang disusun secara simetris, asimetris, memusat, memancar, pojok, dalam posisi horizontal

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 415 dan vertikal. Pewarnaan batik Kerinci dominan merah, biru, merah muda, kuning, hijau, dan hitam. Komposisi simetris ke kanan dan ke kiri memberi kesan formal, statis, dan beraturan. Motif tersebut ada yang menghadap ke atas dan ke bawah. Dari komposisi motifnya ada yang tumpang tindih dan saling bertemu, melilit, namun motif tersebut tampak saling menyatu dan terkesan seimbang. Pembuatan Ragam hias batik Kerinci tidak ada pakem atau standarnya, sehingga sukar menemukan kesamaan antara produk sentral batik yang satu dengan lainnya. Batik Kerinci memiliki nilai keindahan, bentuk yang unik, dan memiliki karakter yang khas. Perwujudan batik Kerinci tidak tertutup kemungkinan merupakan kreativitas seseorang dalam mengekspresikan jiwa seninya, namun unsur-unsur pribadi melebur dengan ide-ide dan pandangan bersama yang berlandaskan budaya masyarakat dan dipengaruhi oleh lingkungannya. Batik Kerinci merupakan hasil manifestasi dari keinginan batin seseorang untuk mengungkapkan perasaannya, dituangkan dalam beragam bentuk yang digarap indah. Batik Kerinci memiliki perbedaan dalam bentuk motif, komposisi serta cara penggarapannya.

Komposisi motif batik Kerinci (Foto Alipuddin, 2009)

Pewarna Batik Batik Kerinci pada awalnya diwarnai dengan zat pewarna dari alam yang diperoleh dari berbagai macam tumbuh-tumbuhan seperti daun, akar, kulit, dan buah. Zat warna yang digunakan berasal dari tumbuhan seperti: daun , kulit jengkol, kunyit, daun nangka, kulit manggis dan kulit batangnya, dan kulit batang surian. Bahan warna

416 Rediscovering the Treasures of Malay Culture dari alam tersebut direbus untuk mendapatkan warna yang diinginkan seperti kunyit menghasilkan warna kuning, daun nangka menghasilkan warna hijau, dan daun inai menghasilkan warna merah. Sekarang zat warna alam jarang digunakan oleh pengrajin karena untuk memperoleh bahan warna relatif sangat sulit serta proses pembuatannya juga cukup lama. Kain batik bahan warna dari alam dijual perajin dengan harga sangat mahal sehingga tidak terjangkau oleh masyarakat kelas menengah ke bawah sebagai konsumen utama. Bahan pewarna yang digunakan oleh perajin sekarang adalah bahan-bahan yang diramu dari bahan kimia. Bahan kimia tersebut digunakan karena lebih efektif dan efisien.

1 2 3

4 5 6 Bahan pewarna dari alam: 1) daun inai, 2) daun nangka, 3) kulit manggis, 4) kulit jangkol, 5) isi kunyit, dan 6) kulit kayu surian (Foto Alipuddin, 2011)

Fungsi Batik Kerinci Manusia sejak zaman dahulu tidak dapat terlepas dari keterkaitannya dengan alam benda. Dalam menghadapi alam dan lingkungan manusia dituntut untuk senantiasa mampu mengatasi keterbatasan agar dapat melangsungkan dan mempertahankan keberadaannya. Dengan kemampuan serta kemahirannya, manusia mencoba mengatasi berbagai kendala yang dihadapi melalui ragam kekaryaan. Salah satu kebutuhan yang digunakan untuk melindungi

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 417 tubuh dari sinar teriknya matahari dan hawa dingin adalah kain. Kain sebagai pelindung tubuh biasanya dihiasi dengan berbagai macam motif salah satunya kain batik. Kain batik sebagai hasil budi daya manusia diidentikkan untuk melengkapi kebutuhan perlengkapan pakain sehari-hari. Dalam kaitan ini, kain batik Kerinci yang lebih menekankan kepada kegunaan atau fungsinya. Alasan paling klasik dari kenyataan ini adalah karena manusia itu selalu berupaya mengatasi keterbatasan kodratinya dalam menghadapi alam dan mempertahankan keberadaannya. Melalui kekayaan pengalaman berikut sikapnya untuk selalu meraih kenyamanan, kenikmatan atau kepuasan, ada kecenderungan untuk memadukan kegunaan dan keindahan dalam membuat kain batik sebagai kebutuhan hidup. Dua hal yang berbeda ranah ini ternyata menjadi dasar konsep berkarya dalam kegiatan mencipta dan membuat karya batik. Rupanya ada perpaduan yang harmonis antara kegunaan dengan keindahan dari penciptaan batik Kerinci. Sebagaimana yang di uraikan Feldman tentang fungsi sosial karya seni sebagai berikut: That is, art perfroms a social when (1) it seeks or tends to influence the collective behavoir of people; (2) it is created to be seen or used primarily in public situations; and (3) it expresses or describes social or collective aspects of existence as opposed to individual and personal kinds of experience (Edmund Burke Feldman, 1967:36).

Karya seni itu menunjukkan suatu fungsi sosial apabila (1) ia (karya seni itu) mencari atau cenderung memengaruhi perilaku kolektif orang banyak; (2) karya itu diciptakan untuk dilihat atau dipakai (dipergunakan), khususnya di dalam situasi-situasi umum; (3) karya seni itu mengekspresikan atau menjelaskan aspek-aspek tentang eksistensi sosial atau kolektif sebagai lawan dari bermacam-macam pengalaman personal maupun individu. Berangkat dari uraian Feldman untuk melihat fungsi sosial batik yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dan melekat dengan kehidupan manusia. Dalam penciptaan batik tentunya diiringi dengan

418 Rediscovering the Treasures of Malay Culture pemikiran dan olah kreativitas estetik, serta pertimbangan estetis, etika, dan agama yang terus berjalan seiring sampai sekarang. Di samping itu, dalam penciptaan batik lingkungan alam sekitar juga menjadi sumber inspirasi terciptanya bentuk-bentuk motif batik Kerinci. Motif-motif tersebut telah mengalami stilisasi dan deformasi bentuk sesuai dengan pandangan hidup masyarakat setempat. Pandangan masyarakat Kerinci dalam menciptakan karya seni tidak hanya mengekspresikan perasaan estetik saja untuk memuaskan perasaan, namun mereka juga memikirkan kebutuhan umum dan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat. Di samping itu, memiliki fungsi menambah keindahan secara fisik juga memiliki fungsi ekspresi estetik dan fungsi yang dimaksud oleh pencipta batik. Kain batik Kerinci dipakai pria maupun wanita sebagai busana resmi, acara pesta, melayat/menjenguk orang telah meninggal, dan dipakai sebagai busana keseharian terutama dengan bentuk lengan panjang dan lengan pendek. Kain batik tidak hanya digunakan sebagai bahan sandang, tetapi juga untuk berbagai kebutuhan rumah tangga lain, sebagai pelengkap interior seperti taplak meja, seprai, perlengkapan ruangan, dan lain lain. Upaya untuk pemenuhan kebutuhan manusia akan benda pakai memang tidak pernah berhenti sepanjang manusia masih membutuhkannya.

Batik Kerinci dipakai waktu dinas (Foto Silvia, 2010)

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 419 Peran Lembaga Pemerintah dalam Pengembangan Batik Kerinci Pada tanggal 2 Oktober 2009 lembaga Internasional UNESCO (United Nations Educational, scientific, and cultural Organization) telah mematenkan batik Indonesia sebagai budaya Dunia. Diakuinya batik Indonesia sebagai warisan dunia, Pemerintah Indonesia menetapkan pada tanggal 2 Oktober sebagai hari batik Nasional. Masyarakat Kerinci juga ikut menyambut positif terutama instansi pemerintah mewajibkan setiap pegawainya memakai pakaian batik pada hari-hari tertentu. Karyawan kantor swasta dan masyarakat umum juga ikut serta memakai batik. Asal-usul Pembuatan batik di Kerinci tidak dapat diketahui secara pasti, namun batik mulai dikembangkan di Kerinci sekitar tahun 1990- an, dengan menerapkan motif aksara incung Kerinci. Pemerintah pada waktu itu sedang gencar-gencarnya menggali nilai budaya daerah dengan membina generasi muda sebagai ujung tombak pembangunan Kerinci di masa akan datang. Kebijakan pemerintah mengembangkan batik Kerinci sebagai cagar budaya dinilai sangat tepat untuk membangun daerah Kerinci. Batik disosialisasikan di Kerinci malalui pembinaan terhadap generasi muda yang bertempat di Balai Tenaga Kerja (BLK) Kerinci. Perhatian yang serius pengembangan batik Kerinci dilakukan pada pemerintahan H. Bambang Sukowinarno sebagai Bupati Kabupaten Kerinci. Isteri Bupati Kerinci Hj. Nurul Bambang dengan sungguh-sungguh melakukan pembinaan dan pelatihan yang sangat dirasakan manfaatnya oleh perajin batik Kerinci. Hj. Nurul Bambang juga menyediakan bahan dan peralatan untuk kebutuhan membatik yang dapat mempermudah perajin dalam ketersedian bahan baku. Perajin tidak kesulitan mendapatkan bahan baku sehingga dapat memperlancar proses produksi. Perhatian yang serius dari Hj. Nurul Bambang juga dapat dilihat seringnya ia mendatangi sanggar-sanggar batik Kerinci untuk menanyakan kendala yang dihadapi oleh perajin serta mencarikan solusi yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Pemerintah Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh sekarang sedang gencar melakukan upaya familiarisasi batik Kerinci dengan cara mengikutsertakan para perajin batik dalam berbagai pameran di tingkat

420 Rediscovering the Treasures of Malay Culture Kabupaten/Kota, Provinsi dan Nasional seperti pameran di Provinsi Jambi, di Batam, dan di Jakarta. Di samping itu, juga melakukan promosi melalui media cetak, media elektronik, maupun internet. Ditetapkannya Kerinci sebagai tujuan wisata, maka batik Kerinci mulai dikenal dan digemari oleh wisatawan baik domestik maupun mancanegara yang datang ke Kerinci sebagai kenang-kenangan atau buah tangan (cinderamata) dari Kerinci. Usaha-usaha yang dilakukan untuk meningkatkan mutu maupun pemasarannya antara lain dengan mengikuti kursus teknik pencelupan dan pewarnaan yang diadakan oleh Dinas Perindustrian, mengadakan pameran-pameran dan usaha promosi lain yang diadakan oleh lembaga pemerintah. Usaha pengembangan dan pelestarian batik Kerinci dimasa depan bukanlah semata-mata urusan perajin batik Kerinci saja, melainkan harus menjadi komitmen masyarakat Kerinci secara umum. Tanggung jawab penting tentu saja pada peran pemerintah, yang seharusnya dapat merumuskan kebijakan politis yang lebih bersifat memihak pada pengembangan kebudayaan Kerinci, khususnya pengembangan dan pelestarian batik Kerinci. Secara operasional pengembangan batik Kerinci menjadi tanggung jawab instansi pemerintah yang terkait, baik yang berkaitan dengan desain, pemasaran, sosialisasi dan penyebarannya, serta pendidikan dan promosinya. Dinas Perindustrian setempat secara berkala mengadakan penataran dan pelatihan untuk para perajin batik Kerinci. Penataran dan pelatihan yang berorientasi pada kewirausahaan tersebut dapat memunculkan beberapa kelompok perajin batik. Pemerintah harus mengupayakan, memikirkan dan menanamkan kesadaran atau cara berpikir kepada para perajin mengenai pentingnya ciri khas batik Kerinci yaitu motif aksara incung serta harus didukung dengan peningkatan yang dilandasi oleh manfaat ekonomis bagi perajin secara tidak lansung menumbuhkan kesadaran tentang potensi yang dimiliki. Kreativitas yang perlu dimotivasi adalah kebebasan perajin batik Kerinci dalam mengembangkan dan mengkombinasikan bahan, teknik, warna, dan motif yang diterapkannya. Hal tersebut dapat membuka lahan usaha baru yang menyerap tenaga kerja dan dapat mengurangi pengangguran. Semua pihak dapat bekerjasama dalam melestarikan

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 421 batik secara berkesinambungan agar batik semakin dikenal masyarakat. Masyarakat harus memelihara dan melestarikan budaya tersebut dengan jalan memakai batik dan merasa bangga memakai kain batik dalam segala acara baik formal maupun nonformal. Di samping itu, menyosialisasikan pada generasi muda untuk memakai kain batik terutama pada sekolah-sekolah diwajibkan memakai kain batik pada hari-hari tertentu.

Penutup Produk budaya bahkan menjadi kebanggaan dan identitas dari suatu masyarakatnya. Identitas dari suatu daerah tercermin dari produk budayanya berupa karya seni yaitu salah satunya batik Kerinci. Motif batik Kerinci bersumber dari bentuk tumbuh-tumbuhan, alam benda, dan aksara incung Kerinci. Motif Batik Kerinci dapat dikelompokkan dalam motif tumbuh-tumbuhan: daun teh, relung pakis, kayu manis, bunga kopi, bunga raflesia, daun sirih, eceng gondok, tomat, terung pirus, dan bunga kamboja; motif alam benda: jangki, keris, cerano, bilik padi, lapik/tikar dan motif aksara incung yang pada umumnya telah distilisasi dan dideformasi. Ciri khas batik Kerinci nampak pada penerapan aksara incung Kerinci. Batik Kerinci pada awalnya ada yang diwarnai dengan warna alam dan sekarang telah menggunakan pewarnaan kimia. Warna batik Kerinci lebih didominasi warna cerah atau terang. Batik lebih berfungsi sebagai pilihan busana sehari-hari yang dipakai pria maupun wanita sebagai busana formal dan nonformal.

Daftar Pustaka Alimin, 2003, Sastra Incung Kerinci, Kerinci: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kerinci. Biranul, Anas, 1997, Indonesia Indah: Batik, Jakarta, Yayasan Harapan Kita. Djoemena, Nian S, 1986, Ungkapan Sehelai Batik, Jakatra: Djambatan. Feldman, Edmund Burke, 1967, Art As Image And Idea, New Jersey: Englewood Cliffs.

422 Gustami, SP, 2007, Nukilan Seni Ornamen Indonesia, Yogyakarta: Bentang Budaya. Hamzuri, 1981, Batik Klasik, Jakarta: Djambatan. Kozok, Uli, 2006, Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah, Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Read, Herbert, 2000, Seni: Arti dan Problematikanya terjemahan Soedarso SP, Yogyakarta: Duta Wacana University Press. http://www.google.co.id/=kitab+undang-undang+melayu+ tertua+di+dunia

Keragaman Seni dan Budaya Melayu 423 424 Rediscovering the Treasures of Malay Culture LAMPIRAN FOTO

425 426 Gambar 1. Sambutan oleh Ketua Pelaksana Seminar Internasional (Dr. Febri Yulika, M.Hum) Dokumentasi: Dr. Nursyirwan, S.Pd., M.Hum., 28 November 2012.

Gambar 2. Pembukaan Seminar Internasional oleh Rektor ISI Padangpanjang (Prof. Dr. H. Mahdi Bahar, S.Kar.,M.Hum) Dokumentasi: Dr. Nursyirwan, S.Pd., M.Hum., 28 November 2012.

427 Gambar 3. Deretan Tamu, Presenter dan Peserta Seminar Internasional Dokumentasi: Dr. Nursyirwan, S.Pd., M.Hum., 28 November 2012.

Gambar 4. Deretan , Moderator, Tamu, Presenter dan Peserta Seminar Internasional Dokumentasi: Dr. Nursyirwan, S.Pd., M.Hum., 28 November 2012.

428 Gambar 5. Deretan Mahasiswa Pascasarjana, mengikuti seminar Dokumentasi: Dr. Nursyirwan, S.Pd., M.Hum., 28 November 2012.

Gambar 6. Deretan Dosen, mengikuti seminar Dokumentasi: Dr. Nursyirwan, S.Pd., M.Hum., 28 November 2012.

429 Gambar 7. Deretan Pejabat Struktural ISI Padangpanjang, mengikuti seminar Dokumentasi: Dr. Nursyirwan, S.Pd., M.Hum., 28 November 2012.

Gambar 8. Tanggapan/pertanyaan oleh peserta Seminar Internasional Dokumentasi: Dr. Nursyirwan, S.Pd., M.Hum., 28 November 2012.

430 Gambar 9. Notulen Seminar Internasional dan MC Dokumentasi: Ezu Oktavanus, M.Sn, 29 November 2012.

Gambar 10. Presenter memaparkan makalah Dokumentasi: Dr. Nursyirwan, S.Pd., M.Hum., 29 November 2012.

431 Gambar 11. Pemberian Cendramata dan Sertifikat kepada Moderator dan Presenter Dokumentasi: Dr. Nursyirwan, S.Pd., M.Hum., 29 November 2012.

Gambar 12. Rektor Foto bersama dengan Presenter dan Moderator dari kiri ke kanan : Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A.; Prof. Margaret J. Kartomi; Prof. Dr. H. Mahdi Bahar, S.Kar., M.Hum; Henri Chambert-Loir; Prof. Sardono; Prof. Dr. Soeprapto Soedjono. Dokumentasi: Dr. Nursyirwan, S.Pd., M.Hum., 29 November 2012.

432 433 434 RANGKUMAN HASIL SEMINAR

435 436 Rangkuman Hasil Seminar

Berdasarkan pemaparan makalah dari para narasumber dan forum tanya jawab yang dialogis selama pelaksanaan seminar, maka dihasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Pemetaan kebudayaan Melayu dapat ditelusuri dari penyebaran ragam seni dan budaya Melayu yang ada di kawasan Asia Tenggara. Penggalian terhadap ragam seni dan kebudayaan Melayu di Nusantara memperlihatkan luasnya penyebaran dan pengaruh kebudayaan Melayu, baik dari aspek bahasa, sastra lisan, dan ragam kesenian. 2. Naskah-naskah atau manuskrip kuno tentang dunia Melayu banyak tersebar di kawasan Nusantara, dan memuat berbagai informasi mengenai sastra Melayu. Sastra Melayu dalam hal ini adalah sastra yang ditulis dalam bahasa Melayu dengan tulisan Jawa Kuno dan Arab Melayu. Namun sayang manuskrip yang memuat sastra Melayu tidak terdokumentasi dengan baik, justru naskah banyak dijumpai di perpustakaan Leiden, Belanda. Sastra Melayu berfungsi sebagai pemersatu dan identitas budaya Melayu. Meski Islam sangat dominan dalam mempengaruhi sastra Melayu, namun yang dinamakan sastra melayu tidak hanya yang berbau Islam, karena ada ragam sastra melayu yang juga dipengaruhi oleh agama Kristen, Hindu, Budha, bahkan kepercayaan animisme. 3. Dunia Melayu yang terpusat di kawasan Asia Tenggara adalah cultural sphere yang pada masa depan akan makin terintegrasi, yang ditandai dengan terjadinya saling silang kebudayaan yang kemudian menghilangkan batas-batas wilayah. Oleh sebab itu tidak relevan lagi jika muncul pemikiran romantisme untuk kembali ke alam Melayu seperti pada masa silam karena perlu pendekatan- pendekatan baru untuk mensikapi perubahan. 4. Bangsa Melayu memiliki khasanah sastra, khususnya sastra lisan yang ikut membentuk karakter dan identitas bangsa Melayu. Sastra dalam dunia barat diam tetapi bagi kita sastra adalah sebuah pesta atau perayaan. Sastra lisan bagi orang Melayu adalah

437 sebuah komunitas, sastra ibarat pesta. Oleh sebab itu perlu upaya merekonstruksi sastra Melayu agar dapat kembali berperan sebagai perekat dan pembentuk karakter bangsa. Sastrawan mestinya banyak menulis tema-tema yang membangkitkan saling pengertian di antara sesama dalam dunia Melayu, sama halnya dengan peran sastra pada masa lalu memainkan peranan penting dalam membangkitkan tamaddun Melayu, di mana kita bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tingggi. Begitu pula dengan menyebarkan karya-karya sastra antar atau lintas negara. 5. Ditinjau dari aspek geokultur, Melayu adalah peradaban yang besar. Namun kebesaran itu kemudian dipecah-belah secara geopolitik, yang memandang Melayu dalam artian sempit demi kepentingan politis beberapa kalangan. Muncullah berbagai perdebatan yang mengklaim peradaban Melayu sebagai milik sekelompok orang yang mengaku paling berhak mewarisi peradaban Melayu. Perdebatan tentang Melayu adalah Islam dengan Melayu yang bukan hanya Islam seharusnya tidak lagi penting diwacanakan karena Melayu melingkupi tataran peradaban yang luas dengan berbagai agama dan kepercayaan yang dianut. 6. Islam tak dapat dipungkiri telah memberi identitas dan warna yang kental dalam pembentukan kebudayaan Melayu yang dapat ditelusuri dari warisan seni dan budaya Melayu yang mendapat pengaruh Islam. Sehingga muncul idiom tidak Melayu jika tak Islam. Namun mereka yang bukan Islam pun berhak dianggap sebagai pewaris kebudayaan Melayu karena berbahasa dan beretnis Melayu. 7. Perlu dikembangkan studi-studi yang bersifat historis dan lokalistik untuk menjelaskan peran dan arti penting peradaban Melayu pada masa silam untuk melihat perjalanan sejarah Bangsa Melayu itu sendiri. Padangpanjang, 30 November 2012 Ketua Seminar

Dr. Febri Yulika, M.Hum.

438 439 440 Tentang penulis

441 442 Tentang Penulis

Prof. Dr. Abdul Hadi WM, dikenal sebagai salah satu ahli filsafat di Indonesia. Abdul Hadi Widji Muthari dilahirkan di Sumenep, Madura, Jawa Timur, 24 Juni 1948. Sejak kecil ia telah mencintai puisi. Di masa kecilnya ia sudah berkenalan dengan bacaan-bacaan yang berat pemikir-pemikir kelas dunia seperti Plato, Socrates, Imam Ghazali, Rabindranath Tagore dan Muhamad Iqbal. Lahir dari garis keturunan saudagar Tionghoa. Ayahnya, K. Abu Muthar, seorang saudagar dan guru bahasa Jerman. Ibunya, RA. Martiya, seorang putri keraton asal Solo, Jawa Tengah. Menempuh pendidikan di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada hingga tingkat sarjana muda (1965-1967), lalu melanjutkan ke studi Filsafat Barat di universitas yang sama hingga tingkat doktoral (1968-1971), namun tidak diselesaikannya. Ia beralih ke Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran mengambil program studi antropologi (1971-1973), juga tidak selesai. Akhirnya ia mendapatkan kesempatan studi dan mengambil gelar Master dan Doktor dari Universiti Sains Malaysia di Pulau Penang (1992-1996). Sempat mengikuti International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat (1973-1974) lalu beberapa tahun di Hamburg, Jerman, untuk mendalami sastra dan filsafat.

Prof. Datuk Wira Dr. Abdul Latiff bin Abu Bakar, dilahirkan pada 1 November 1952 di Kampung Bandar Hilir, Melaka. Ia merupakan tokoh budaya, akademik, bekas pemimpin politik dan belia yang aktif dan komited. Beliau mendapat pendidikan awal di Sekolah Kebangsaan Ujong Pasir dari tahun 1959 hingga 1964 dan meneruskan pelajaran menengahnya di Sekolah Menengah Tun Mutahir, Batu Berendam

443 (dahulu dikenali sebagai Anglo Chinese School) pada tahun 1965 hingga 1967. Setelah lulus Sijil Rendah Pelajaran Malaysia pada tahun 1967, beliau meneruskan pelajaran di Sekolah Menengah Munshi Abdullah, Batu Berendam pada tahun 1968 hingga 1971. Setelah mendapat kelulusan yang baik dalam Sijil Tinggi Persekolahan Malaysia pada tahun 1971, beliau melanjutkan pelajaran di Universiti Malaya dan menerima Ijazah Sarjana Muda Sastera (dengan kepujian) pada tahun 1975. Seterusnya beliau meneruskan pengajian ke peringkat Sarjana pada tahun 1980. Beliau dianugerahkan Ijazah Doktor Falsafah pada tahun 1997. Prof. Datuk Dr. Abdul Latiff memulakan kerjaya di Universiti Malaya sebagai tutor di Jabatan Sejarah pada tahun 1975 hingga 1980. Kemudian beliau menjadi Pensyarah Rancangan Penulisan Kreatif dan Deskriptif, Jabatan Pengajian Melayu (1980-1987), Profesor Madya di Jabatan Pengajian Media (1989), Ketua Jabatan Penulisan (1987-1991) dan Ketua Jabatan Pengajian Media (1997-2001), manakala pada 12 Oktober 2001, beliau dilantik sebagai Profesor.

Alipuddin, S,Sn., M.Sn., dilahirkan di Pidung tanggal 1 September 1975. Menyelesaikan pendidikan S1 di Jurusan Seni Kriya STSI Surakarta (2003). Pendidikan Program Pascasarjana S2 ISI Padangpanjang minat utama pengkajian seni (2010). Mengajar sebagai dosen tetap Jurusan Seni Kriya minat utama Kriya Kayu sejak tahun 2005 sampai sekarang. Aktif di berbagai pameran dan penelitian.

Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., lahir di Lubuk Alung, Sumbar, 4 Maret, 1955, adalah Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak Januari 2007 sampai sekarang. Memperoleh MA, M.Phil dan Ph.D dari Columbia University, New York (1992), pada Mei 2005 dia memperoleh DR HC dalam humane letters dari Carroll College, Montana, USA. Dia mempresentasikan makalah pada banyak seminar dan konferensi baik di dalam maupun luar negeri; dan telah menerbitkan lebih dari 23 buku, yang terakhir adalah Indonesia, Islam and Democracy: Dynamic in Global Contexts (2006), Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Development (Mizan International: 2007); (co-contributing editor),

444 Islam Beyond Conflict: Indonesian Islam and Western Political Theory (London: Ashagate: 2008); Varieties of Religious Authority: Changes and Challenges of the 20th Century Indonesian Islam (Singapore: ISEAS, 2010). Lebih 30 artikelnya dalam bahasa Inggris telah diterbitkan dalam berbagai buku dan jurnal pada tingkat internasional.

Ediwar, S.Sn., M.Hum., Ph.D., dilahirkan di Maninjau 51 tahun yang lalu. Menempuh pendidikan Diploma di Akademi Seni Karawitan Indonesia Padangpanjang. Sejak tahun 1988 dilantik sebagai pensyarah di almamaternya. Kemudian mengambil Sarjana Muda (S1) pada tahun 1994 di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta. Menyelesaikan pendidikan Master (S2) di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dalam bidang Pengkajian Seni Pertunjukan Indonesia. Terakhir pendidikan S3 di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Selain aktif menulis di pelbagai jurnal ilmiah dan media massa (surat kabar), Dosen Insitut Seni Indonesia Padangpanjang ini terlibat aktif melakukan penelitian tentang seni pertunjukan. Beberapa karya penenelitian di antaranya; Tradisi Lisan Upacara Kematian di Kecamatan Batipuh Kabupaten Tanah Datar” bekerja sama dengan Asosiasi Tradisi Lisan Nusantara (1997). ”Studi Terhadap Aspek Musikal Kesenian Randai Siti Dahlia di Nagari Paninjauan (1988); ”Teknik Memainkan Saluang Darek Minangkabau” (1988); Anggota Peneliti Tradisi Lisan Nusantara bersama ASOSIASI TRADISI LISAN (ATL) NUSANTARA (1995- 2000). Peneliti “Perjalanan Kesenian Indang dari Surau ke Seni Pertunjukan Rakyat di Padang Pariaman” (1999) untuk Tesis S2 di UGM Yogyakarta; Ketua Peneliti pada Hibah Penelitian KELOLA dengan judul ”Dua Tipe Pengelolaan Seni Pertunjukan Rakyat Minangkabau” (2000-2003). Anggota peneliti/pembuatan Buku Ajar ”Musik Talempong” bekerjasama dengan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dan The Ford Foundation (2004); Penulis pada buku “Telisik Tradisi Pusparagam Pengelolaan Seni” diterbitkan oleh Yayasan KELOLA dan The Ford Foundation (2006). Tim Peneliti ”Pemetaan Seni Persembahan Negeri Sembilan” Kerjasama dengan Universiti Kebangsaan Malaysia dan Taman Budaya Negeri Sembilan tahun 2007/2008. Peneliti untuk keperluan Disertasi S3 dengan judul ”Dinamika Muzik Islami Minangkabau, di Sumatera Barat” (2009-2012) .

445 Dr. Erlinda, M. Sn., lahir di Lintau Sumatera Barat, 10 Oktober 1960. Menyelesaikan S1 Jurusan Tari FSP ISI Yogyakarta tahun 1993. Tahun 2005 lulus S2 pada Program Pascasarjana ISI Yogyakarta dan tahun 2011 menyelesaikan Program Doktor di Universitas Udayana Denpasar. Aktif melakukan penelitian dan kegiatan lainnya. Beberapa tulisan yang telah dihasilkan antara lain: Jamin Manti Rajo Sultan Seniman Tradisional Saning Bakar Kabupaten Solok (1995), Syofyani Yusaf Koreografer Minangkabau: Gagasan dan Karya (1996), Tari di Minangkabau dalam Dimensi Kultural (Kontinuitas dan Perubahan) (1997), Kehadiran Wanita dalam Musik Malam (Saluang dan Dendang) di Minangkabau Sumatera Barat (1997), Tupai Janjang Kesenian Rakyat Nagari Gumarang Palembayan Sumatera Barat: dalam Kajian Teknis dan Filosofis (1998), Kehadiran Wanita dalam Musik Malam (Saluang dan Dendang) di Minangkabau Sumatera Barat (1999), Tari Ikan-ikan Suatu Bentuk Tari Tradisional Rakyat Bengkulu dalam Dimensi Sosial Budaya (1999), Peranan Tari Bigau Rebah dalam Kehidupan Masyarakat Sungai Penuh kabupaten Kerinci: Suatu Tinjauan Makna Simbolis (2000), Manajemen Seni Pertunjukan Tradisional Randai di Minangkabau Sumatera Barat: Dalam Kajian Internal dan Eksternal (2002), Sistem Manajemen Pertunjukan Tradisional dalam Acara Alek Pauleh Randah di Pariaman Sumatera Barat (2005), Kehadiran Wanita dalam Kesenian Salawat Dulang di Minangkabau Sumatera Barat (2006), Tari Minangkabau: Tradisi dan Perkembangan(2006), Eksistensi Tiga Gaya Tari Minangkabau di Sumatera Barat (2007), Seni dan Feminisme di Minangkabau (2011), Tari Melayu Minangkabau Antara Ada dan Tiada (2012).

Dr. Febri Yulika, M.Hum., merupakan dosen mata kuliah Kajian Nilai Islam dan Budaya Melayu serta mata kuliah Filsafat pada Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Padangpanjang. Ayah dari 3 orang puteri ini menekuni studinya pada kajian Islam dan Filsafat. Setelah melanjutkan studi Aqidah Filsafat di IAIN Walisongo Surakarta, gelar Master dan Doktor dalam bidang Ilmu Filsafat diraihnya pada Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Beberapa karya yang telah dipublikasikannya antara lain: Pertautan Budaya dan Sejarah Minangkabau (Indonesia) dan Negeri Sembilan (Malaysia) melalui Budaya Merantau dan

446 Peran Tokoh-Tokoh Minangkabau di Tanah Semenanjung (2008), Sejarah dan Tamadun Islam di Asia Tenggara (2008), Epistemologi Minangkabau (2012), Sejarah Perkembangan Seni dan Kesenian dalam Islam (2012). Beliau dapat dihubungi melalui [email protected]

Hanisa Hassan, M.A., adalah staf pengajar Universiti Malaysia Kelantan. Ia meraih Bachelor di bidang Fashion Desain dari MARA University of Technology (UiTM) dan gelar master bidang Art Education dari de Montfort University, UK. Saat ini beliau sedang menyelesaikan program Ph.D Design dan Fashion di Institut Teknologi Bandung. Beliau bisa dihubungi melalui email [email protected]

Drs. Hajizar, M.Sn., lahir bulan Haji di Nagari Bunga Tanjung, bertepatan tanggal 31 Agustus 1955. Sekarang berdomisili di Jl. Rumah Potong Hewan Rt. 09 No. 25 Kelurahan Silaing Bawah, Padangpanjang; e-mail: [email protected], HP. 081267860839. Dia merupakan alumni Jurusan Minangkabau ASKI Padangpanjang, Etnomusikologi Fakultas Sastra USU Medan, dan Pengkajian Seni Musik di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Laki-laki yang dipanggil Haji yang belum ke Mekah ini memiliki latar belakang pendidikan Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah Bunga Tanjung, Pendidikan Guru Agama (PGA 4 tahun) Batu Sangkar, dan SPIAIN Padangpanjang. Memiliki pengalaman mengajar seni di SMKI Padang tahun 1982-1984, Jurusan Etnomusikologi, Fak. Sastra USU Medan tahun 1985-1988, Visiting Lecturer di “Departement of Music” Monash University, Melbourne Australia tahun 1991, dan Visiting Lecturer di Jabatan Muzik, UiTM Shah Alam, Malaysia tahun 1997-2000. Menjadi penguji Karya Akhir Tari S2 Syahril Alek di Minang Village bersama Sardono, dan penguji luar negeri “Megan Collin” Kandidat Doktor Etnomusikologi di University of Wellington, Selandia Baru. Selaku musisi dan komposer musik Minang, Haji pernah bergabung dengan IKJ Jakarta, Gumarang Sakti Dance Company, Deddy Dance Company, Post Dance Company (Tom Ibnur), Sangrina Bunda Grup, Nelwetis Grup Jakarta, Sanggar Satampang Baniah Padang, dan Sanggar Tigo Sapilin Medan, serta Lembaga

447 Kesenian USU Medan. Selaku peneliti musik Minang dan Melayu yang berlatar belakang disiplin etnomusikologi, telah menghasilkan buku-buku (perseorangan dan kelompok) yang disponsori oleh MSPI, UPI Bandung, Yayasan Kelola, PSB-PS Universitas Muhammadiyah Solo, dan Dewan Kesenian Sumatera Barat (DKSB). Selain itu, berlatarkan konsistensi keterlibatannya dalam berbagai event kesenian dan kebudayaan Minang, maka Taman Budaya Sumatera Barat telah mengutusnya untuk mengikuti Temu Seniman se Sumatera di Bintan, dan Kongres Kesenian Indonesia I di Jakarta. Bahkan dia bersama I Wayan Diya (IKJ) dan Joko Purwanto (ISI Solo) pernah menjadi utusan Indonesia dalam 2nd Asean Composer Forum on Tradition Music di Singapura Hingga sekarang Haji mengajar mata kuliah teori Estetika Seni Rumpun Melayu, Organologi/Akustik, Pengetahuan Karawitan, dan Kritik Seni Pertunjukan, serta mengajar praktek musik Islami ‘Barzanji’ di Jurusan Seni Karawitan ISI Padangpanjang.

Henri Chambert-Loir adalah peneliti di Ecole Française d’Extrême- Orient sejak 1971. Beliau telah menerjemahkan ke dalam bahasa Prancis sekitar enam karya sastra Indonesia (antara lain Perjalanan Penganten karya Ajip Rosidi dan Para Priyayi karya Umar Kayam) dan menerjemahkan beberapa karya ilmiah Prancis ke dalam bahasa Indonesia (salah satunya Le Candi Sewu karya Jacques Dumarsay). Sadur, Sejarah Penerjemahan di Indonesia dan Malaysia adalah salah satu hasil penyuntingannya merangkum 65 karangan penulis Indonesia dan asing tentang terjemahan yang pernah dilakukan dari semua bahasa asing (Sanskerta, Parsi, Arab, Urdu, Tionghoa, Jepang, dan beberapa bahasa Eropa) ke dalam sembilan bahasa lokal (Jawa, Melayu, Sunda, Bali, Sasak, Aceh, Batak, Bugis, dan Makassar), dalam segala bidang, selama sepuluh abad (dari abad ke-9 sampai ke-20).

Prof. Dr. I Wayan Rai S, M.A., merupakan Rektor di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar untuk masa jabatan tahun 2005-2009 dan 2009 – 2013. Berbagai kemajuan ISI Denpasar telah diraih selama kepemimpinannya.

448 Dr. Karen Sri Kartomi Thomas is Adjunct Senior Research Fellow in Theatre and Performance Studies at Monash University. She specialises in traditional and contemporary Indonesian theatre and performance. She has recently returned from field-trips to Tanjung Pinang and Natuna in the Riau archipelago where she is focused on women in Indonesian-Malay traditional theatre including mendu theatre, and also to West Lampung where she is researching male masked theatre and the performing arts generally. Gaining a PhD from The University of California Berkeley in 1993 in Modern Indonesian Theatre, she became lecturer-in-charge of Indonesian language from 1992-1995 at The University of Melbourne, and received funding to stage Indonesian language plays in partnership with Melbourne-based organizations and businesses linked with Indonesia.

Prof. Dr. H. Mahdi Bahar, S.Kar., M.Hum., merupakan Guru Besar Kerawitan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, yang saat ini juga menjabat sebagai Rektor ISI Padangpanjang. Beliau menyelesaikan S1 Jurusan Kerawitan Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta, S2 Pengkajian Seni Pertunjukan Universitas Gadjah Mada dan S3 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada. Karya ilmiahnya tersebar di berbagai jurnal dan buku, antara lain: Islam dalam Pembentukan Budaya Seni Pertunjukan Musik Orang Tanah Datar (Jurnal Seni Panggung, STSI Bandung, Vol 18 No 4, 2008), Nilai-Nilai Islam dalam Pembentukan Budaya Masyarakat Minangkabau Tanah Datar dan Implementasinya dalam Kehidupan Seni Pertunjukan Musik (Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 16 No 6, 2009), Dinamika Kehidupan Kontemporer Zapin dalam Peradaban Seni Islam Nusantara (Jurnal Seni Panggung, STSI Bandung, 2010), Galombang (Dalam Edi Sedyawati, ed, Performing Art, Indonesia Heritage Series, Singapore: Archipelago Press, 1998), Fenomena Globalisasi dan Kebudayaan Melayu dalam Konteks Pendidikan Kesenian Tradisional (Dalam Mahdi Bahar, ed, Seni Tradisi Menantang Perubahan, Padangpanjang: STSI Padangpanjang Press, 2003), Musik Perunggu Nusantara; Perkembangannya di Minangkabau (Sunan Ambu Press, STSI Bandung, 2009), Islam dan Kebudayaan Seni Minangkabau

449 (Malak: Malang, 2009), Islam Landasan Ideal Kebudayaan Melayu -Pemikiran Fenomenologis- (Malak: Malang, 2009). Beliau juga mencatatkan namanya di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dengan karya “Ansambel dan Sistem Musik Gong Tambur Madi, Serta Peralatannya” bernomor P00201000595 pada tahun 2010.

Prof. Margaret Kartomi is Professor of Music at Monash University, where she pioneered the teaching and research of Asian Music. She trained as a pianist, composer, musicologist and ethnomusicologist at Adelaide and Humbolt Universities. Over the past 30 years she and her Monash students have been researching the music of many parts of Asia. She is author and/or editor of several books including On Concepts and Classifications of Musical Instruments for the University of Chicago Press (1990). Professor Kartomi has also published various research articles on Indonesian, other Southeast Asian, Australian Aboriginal and European music, as well as on musicological/ethnomusicological theory. Recently, her field recordings from 24 of Indonesia’s 27 provinces were presented to Indonesia’s Secretary-General of Culture for deposit in the National Library in Jakarta. She has twice been elected President of the Musicological Society, is a Council member of the Society for Ethnomusicology and is an Editorial Board member of the University of Chicago Press Ethnomusicology Monograph Series. She was elected a Fellow of the Australian Academy of the Humanities in 1984 and in 1991 was a Member of the Order of Australia for servies to music.

Nadia Widyawati Madzhi, M.A., (Ph.D Candidate) merupakan seorang tenaga pensyarah di Fakulti Muzik, Universiti Teknologi MARA (UiTM), Malaysia dan telah memulakan perkhidmatannya di UiTM pada tahun 2002. Anak kelahiran Negeri Sarawak ini amat meminati kajian kemasyarakatan serta kebudayaan dan bermula dari tahun 2011 beliau telah mengikuti kajian peringkat doktor falsafah di bidang etnomusikologi di Monash University, Australia, di bawah bimbingan Prof Margaret Kartomi. Bidang kepakaran beliau adalah di dalam budaya masyarakat Melanau di Sarawak, pengkhususan kepada budaya muziknya. Beliau

450 boleh dihubungi di alamat email: [email protected]

Dr. Nusyirwan, S.Pd., M.Sn., lahir di Kabupaten 50 Kota Sumatera Barat, 18 Februari 1967. Ia merupakan dosen jurusan Musik Institut Seni Indonesia Padangpanjang. Adapun riwayat pendidikan, S1 Pendidikan Seni Musik IKIP Padang, S2 Pengkajian Seni Musik ISI Yogyakarta, dan S3 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Saat ini beliau mengemban amanah sebagai Kepala Pusat Penelitian Seni Budaya Melayu.

Dr. Rosta Minawati, S.Sn., M.Si., merupakan alumni dari Program Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana Denpasar. Lahir di Pancur Batu tanggal 9 Desember 1972. Saat ini tercatat sebagai Ketua Program Studi Pengkajian dan Penciptaan Seni Program Pascasarjana ISI Padangpanjang. Beliau dapat dihubungi melalui e-mail: [email protected]

Roza Muliati, S.S., M.Si., lahir di Tanjung Ampalu Sijunjung, adalah seorang peneliti dan pengkaji seni. Saat ini tercatat sebagai staf pengajar Prodi Tari di Institut Seni Indonesia Padangpanjang. Aktif meneliti permasalahan seni terkait isu jender dan mengikuti berbagai seminar. Beliau adalah alumni Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta program studi Sosiologi. E-mail. [email protected]

Rustim, S.Pd., M.A., lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat. Pendidikan musik dimulai pada ASKI Padangpanjang sampai studi S.2 bidang Pengkajian Seni Pertunjukan di Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta dengan fokus penelitian pada komunikasi seni pertunjukan. Selama mengajar di ISI Padangpanjang mengikuti berbagai pertunjukan kesenian dan festival sebagai pemain, arranger atau composer, antara lain: Festival Orkestra Mahasiswa di Jakarta, Batam Simfony Concert, Jambi Arts Festival, MTQ Telkom IV dan MTQ Jambi, Music Concert di Pekanbaru dan Medan, Festival Musik ITM Malaysia

451 serta Singapura Esplanade Open Ceremony. Beberapa sub tulisan bertajuk komunikasi seni telah dimuat di Jurnal Ekspresi Seni, buku Komunikasi Tradisi dalam Realitas Seni Rumpun Melayu dan buku Perempuan-Perempuan Minang Pelaku Seni, ISI Padangpanjang.

Sahrul N, S.S., M.Si., lahir di Lubuk Aro Pariaman, pada 3 Februari 1969. Staf pengajar tetap di Jurusan Teater ISI Padangpanjang dan Saat ini sedang menyelesaikan program doktor di ISI Surakarta. Aktif dalam penulisan artikel di media masa baik daerah maupun nasional. Pernah menjadi wartawan Harian Singgalang Padang dan pengajar luar biasa di Fakultas Sastra Unand, FKIP Universitas Muhamadiyah Sumatera Barat, dan STISIPOL Bukittinggi. Di samping penulisan artikel, juga menjadi penulis sastra terutama puisi dan cerpen. Pernah masuk sebagai lima besar lomba penulisan puisi nasional tahun 90- an. Tahun 2005 menerbitkan buku dengan judul Kontroversial Imam Bonjol. Hal ini merupakan tanggungjawab sebagai pengajar. Di samping itu, beberapa jurnal ilmiah baik terakreditasi maupun yang belum juga menjadi langganan tempat mencurahkan hasil pemikiran.

Prof. Dr. Sri Hastanto. S.Kar., dilahirkan di Jombang, 22 Desember 1946. Beliau adalah Guru Besar Jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta. Beliau memperoleh gelar sarjana jurusan Karawitan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta dan menyelesaikan S3 Etnomusikologi di University of Durham Inggris.

Dr. Sudirman Shomary, M.A., lahir di Kuala Tolam, Kab. Pelalawan Riau, 5 Oktober 1965. Mendapatkan pendidikan SD sampai SMP di kampungnya. Selanjutnya menamatkan SMAN 4 Simpang Tiga Pekanbaru. Menamatkan S1 di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Riau tahun 1990. Mendapatkan beasiswa sejak SMPN Pelalawan. Sewaktu kuliah S1 mendapat beasiswa Tunjangan Ikatan Dinas Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI dan mengantarkannya menjadi PNS dan ditempatkan di FKIP Universitas Islam Riau (UIR) sejak 1 Maret 1991. Tidak puas

452 berbekalkan pendidikan S1, melanjutkan S2 (M.A.) di Jabatan Persuratan (Sastera) Melayu FSKK Universiti Kebangsaan Malaysia dan tamat tahun 1998 dengan tesis ”Nyanyi Panjang Orang Petalangan Riau”. Sudah diterbitkan oleh UIR Press (2004) dan LKAM Kab. Pelalawan (2005). Pendidikan S3 dimulai tahun 2006 dan selesai pertengahan 2010 dengan desertasi berjudul “Hubungan Melayu- Jawa dalam Sastera Sejarah”. Di kampusnya aktif sebagai dosen, tenaga pengajar, peneliti dan konsultan. Mulai dari Ketua Program Studi, Pembantu Dekan I (2000-2004) dan Pembantu Dekan II (2012-2016). Ikut mendirikan dan aktif di Pusat Pengajian Melayu UIR sejak 1994, sekarang menjadi Direkturnya dan Pusat Studi dan Pengembangan Pendidikan sebagai anggota dan Sekretaris tahun 2004- 2006. Sudah menerbitkan beberapa buku seperti “Pakaian Melayu: Sejarah, Etika, Tatacara dan Reka Bentuk” (2009), “Sejarah Sastra Indonesia: Ilmu Sastra dan Periodeisasi Sastra” (UIR Press, 2012).

Suryadi, M.A., studied at Universitas Andalas, Padang, from 1986 to 1991. He gained his doktorandus degree in 1991 with a study of a Minangkabau narrative song, Dendang Pauah (the Song of Pauah) on the outskirts of Padang, which was published in 1993. He became an assistant lecturer at his Alma Mater till the end of 1993. He was appointed as a lecturer in Indonesian language at the Department of Languages and Cultures of Southeast Asia and Oceania (Talen en Culturen van Zuidoost-Azi en Oceani/TCZOAO), Universiteit Leiden in September 1998. Before that, he was a lecturer in the Faculty of Arts of Universitas Indonesia, Jakarta, having moved from Universitas Andalas to Universitas Indonesia in 1994. He pursues his study in Leiden University. He gained his MA degree from the Faculty of Letters Leiden University in 2002 with a study about the Poem of Sunur (Syair Sunur) under the supervision of Prof. Dr. Hendrik M.J. Maier (the thesis was published in 2004). His PhD research in the School of Asian, African and Amerindian Studies (CNWS), Leiden University is supervised by Prof. Dr. Bernard Arps.

453 Prof. Dr. Yusmar Yusuf, seorang budayawan Riau dengan pemikiran kritis-alternatif. Guru Besar dalam Kajian Masyarakat Melayu Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Riau. Banyak terlibat dalam kegiatan kebudayaan di Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat dan Bangka Belitung. Pembentang makalah pada persidangan Melayu di Afrika Selatan, Rep. Mauritius, Madagaskar, Singapura, Filipina, Thailand, , Vietnam, China, Malaysia, Brunei Darussalam, Prancis, Belgia, dan sejumlah kawasan kebudayaan di Indonesia. Mendakwahkan kebudayaan Melayu di kampung-kampung. Penulis lirik-lirik lagu Melayu dan genre jazz. Pembina grup music Jazz Geliga dan grup Jazz Bujanggi. Pernah duduk sebagai Ketua 1 Dewan Kesenian Riau 1998-2003. Penasehat Dewan Kesenian Riau. Penulis lebih dari 12 buku Melayu. Penulis kolom tetap kebudayaan di Harian Pagi Riau Pos, sejak 1992 hingga saat ini. Pernah mendalami bahasa Belanda di Erasmus Huis, dan bahasa Jerman di Goethe Institut. Pernah mendalami sejarah musik Klasik dan Barok. Penerima Anugerah Sagang Sebagai “Seniman dan Budayawan Pilihan” [2005], sebuah Anugerah Prestisius kebudayaan Melayu di Riau.

454 455