Download Download

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Download Download https://sangkhakala.kemdikbud.go.id/ Berkala Arkeologi Vol. 24 No. 1 2021, 15-30 P-ISSN: 1410-3974; E-ISSN: 2580-8907 SANGKHAKALA 10.24832/bas.v22i1.443 PERANG KESULTANAN ARU MENGHADAPI KESULTANAN ACEH DI ABAD XVI M ARU SULTANATE WAR FACING THE ACEH SULTANATE IN THE XVI M Naskah diterima: Revisi terakhir: Naskah disetujui terbit: 17-06-2020 11-05-2021 28-05-2021 Ery Soedewo Balai Arkeologi Sumatera Utara Jalan Seroja Raya Gang Arkeologi No.1, Medan Tuntungan, Medan [email protected] Abstracts Aru Sultanate was a state in Sumatra Island cited by numerous local and international sources between 13th and 16th centuries CE. In the middle of 16th century CE, the sovereignty of Aru was threatened by Aceh Sultanate’s aggression to its neighbouring states in Sumatra. Aru Sultanate’s strategic moves to deal with that aggression is the subject matter of this article. The discussion of such strategies is aimed at revealing what options came to surface by the defensive side to counter the aggressor. Historical reviews of two main records of the Portuguese Tomé Pires and Ferna-O Mendes Pinto revealed the potential strength and strategies adopted by Aru Sultanate to repel Aceh Sultanate’s attack. The presence of the fort as a supporting defensive factor allows Aru Sultanate to deploy a defensive strategy in Aru War I. The defensive stance, however, turned into offensive one in Aru Wars II and III as a strong ally, Johor Sultanate came to assist. Despite more alliances were formed with more states, victory ultimately belonged to Aceh Sultanate. Keywords: offensive; defensive; allies; Aru; Aceh Abstrak Kesultanan Aru adalah salah satu negeri di Pulau Sumatera yang disebut oleh sumber-sumber tertulis lokal dan mancanegara sejak abad ke-13 – ke-16 M. Pada pertengahan abad ke-16 M, kedaulatan Kesultanan Aru terancam oleh agresi Kesultanan Aceh ke negeri-negeri tetangganya di Pulau Sumatera. Langkah-langkah strategis apa yang ditempuh oleh Kesultanan Aru dalam menghadapi agresi Kesultanan Aceh, merupakan permasalahan yang diulas dalam karya tulis ini. Pembahasan tentang strategi yang dipakai oleh Kesultanan Aru dalam menghadapi agresi Kesultanan Aceh bertujuan mengungkap pilihan strategi yang diterapkan oleh pihak yang bertahan dalam menghadapi agresi dari luar. Melalui kajian historis terhadap data utama berupa dua catatan bangsa Portugis yakni Tome Pires dan Ferna-O Mendes Pinto, diungkap potensi kekuatan dan strategi yang diterapkan oleh Kesultanan Aru dalam menghadapi serangan Kesultanan Aceh. Keberadaan benteng sebagai salah satu unsur kekuatan negara, membuat Kesultanan Aru memilih strategi yang defensif pada Perang Aru I. Strategi Kesultanan Aru berubah dari defensif menjadi ofensif -saat Perang Aru II dan Perang Aru III- setelah memperoleh sekutu yang kuat yakni Kesultanan Johor. Meskipun jalinan persekutuan telah dibentuk oleh Kesultanan Aru dengan sejumlah negeri, namun kejayaan akhirnya menjadi milik Kesultanan Aceh. Kata kunci: ofensif; defensif; sekutu; Aru; Aceh PENDAHULUAN keberadaan Aru adalah Buku Sejarah Dinasti Yuan yang menyebut adanya Secara eksplisit nama Aru disebut perintah dari Kublai Khan pada 1282 M dalam berbagai sumber tertulis agar Aru tunduk pada dominasi Dinasti mancanegara maupun Nusantara Yuan. Perintah itu akhirnya dijawab oleh setidaknya sejak akhir abad ke-13 M. Salah Aru dengan pengiriman duta Aru sambil satu sumber mancanegara yang menyebut membawa upeti ke istana Dinasti Yuan Perang Kesultanan Aru Menghadapi Kesultanan Aceh di Abad XVI M 15 (Ery Soedewo) pada tahun 1295 M. Pada tahun 1310 M, Dalam perniagaan mereka menjual burung seorang Persia bernama Rasiduddin bangau berjambul dan kamper pada para menyebut Aru sebagai salah satu kota pedagang mancanegara. Sebaliknya utama di pesisir timurlaut Sumatera, di mereka membeli kain sutera, gerabah, samping Perlak dan Tamiang (Milner, manik-manik kaca, dan berbagai barang McKinnon, and Sinar 1978, 7). Berselang lain. Moda transportasi air yang digunakan 55 tahun setelah pemberitaan oleh oleh masyarakat Aru adalah perahu yang Rasiduddin tersebut, pada tahun 1365 M dibuat dari sebatang pohon (Groeneveldt Prapañca menyebut satu nama tempat 1960, 95). yakni Harw dalam canto ke-13 bait pertama Selain dideskripsikan oleh para baris ke-4 kakawin Dēśawarṇnana yang juru tulis dan juru bahasa dari masa Dinasti lebih dikenal sebagai Nāgarakṛtāgama Ming (Ma Huan dan Fei Hsin), nama Aru (Pigeaud 1960, 12). Dalam canto ke-13 itu juga disebut dalam Buku ke-325 Sejarah Prapañca menyebut Harw bersama nama- Dinasti Ming. Dalam historiografi resmi nama tempat lain di Pulau Sumatera antara Dinasti Ming, letak Aru digambarkan dekat lain Jāmbi (Jambi), Palembang Malaka yang dapat ditempuh setelah (Palembang), Karitang (Keritang), Těba pelayaran selama tiga hari. Pada tahun (Toba), Ḍarmmāçraya (Darmasraya), 1411 M datang utusan Aru ke istana Dinasti Kāmpe (Pulau Kampai), Maṇḍahiliṅ Ming atas perintah rajanya yang bernama (Mandailing), dan Tumihaŋ (Tamiang). Su-lu-tang Hut-sin.2 Berselang setahun dari Harw yang disebut oleh Prapañca dalam kedatangan duta dari Aru, pada tahun 1412 karyanya tersebut tidak lain adalah Aru M Cheng Ho datang ke Aru sebagai duta (Soedewo 2020, 87). Maharaja Ming. Pada tahun 1419, 1421, Keberadaan Aru sebagai suatu dan 1423 M, Aru mengirim lagi dutanya ke entitas di pantai timur Sumatera bagian istana Dinasti Ming atas perintah putera utara juga dicatat oleh Ma Huan dalam raja yang bernama Tu-an A-la-sa.3 Cheng karyanya yang diterbitkan pada tahun 1416 Ho sekali lagi mengunjungi Aru pada tahun M dengan judul Ying-yai Shêng-lan (Survei 1431 M sembari membawa hadiah bagi Menyeluruh Pantai-pantai Samudera). Hal- penguasa Aru. Setelah kunjungan Cheng hal yang diungkap dari catatan Ma Huan Ho yang terakhir tersebut, Aru tidak pernah tentang Aru antara lain batas negerinya lagi mengirim utusannya ke istana Ming adalah Samudera di sisi baratnya, (Groeneveldt 1960, 95–6). komoditas hasil negeri ini berupa kain katun, beras, bebijian, sapi, kambing, burung, bebek, susu yang diasamkan, kemenyan su, dan kemenyan chin-yin. Untuk sistem kepercayaan yang dianut di negeri ini, Ma Huan menyatakan bahwa raja dan rakyatnya adalah muslim (Mills 1970, 114– 15). Berselang duapuluh tahun dari karya Ma Huan tersebut, nama Aru juga disebut dalam Hsing-ch’a Shêng-lan. 1 Dalam karyanya itu Fei Hsin antara lain memerikan Aru sebagai suatu tempat yang dapat dicapai dari Malaka setelah mengarungi perairan selama 3 hari 3 malam. Untuk kehidupan sehari-hari masyarakatnya menangkap ikan di laut dan Gambar 1. Peta karya Ortellius (1570) yang menyebut nama Teradaru mengumpulkan beragam jenis hasil hutan. (Sumber: Suárez 1999, 165) 1 Karya Fei Hsin yang terbit tahun 1436 M 3 Tuan Aryasa (?), atau Tuan Halasan (?), Tuan 2 Tampaknya yang dimaksud oleh penulis Buku ke- Halasa (?), atau Tuan Hasan (?) 325 Sejarah Dinasti Ming dengan Su-lu-tang Hu- tsin adalah Sultan Husin 16 BAS VOL.24 NO.1/2021 Hal 15—30 Selain data tertulis, setidaknya Nederlandsch-Indie mengusulkan Teluk Aru terdapat dua data piktorial yang menyebut yang terletak sekitar 70 km arah utara dari nama mirip dengan Aru dalam peta-peta Kota Cina sebagai tempat kedudukan Aru. abad ke-16 M yakni Teradaru dan Isola Adapun pandangan G. R. Tibbets adalah Daru. Dalam peta tahun 1570 karya yang paling ekstrim, sebab meletakkan Aru Ortelius letak Teradaru dan Isola Daru di muara Sungai Panai, yang terletak berada di selatan Timiam serta Campar dan sekitar 200 km arah selatan dari Kota Cina di utara dari Camper serta Andragui (lihat (Milner 1978 dalam Soedewo 2020, 90). Gambar 1). Dalam peta karya Willem Lodewijks yang berangka tahun 1598 M, Isola Daru dan Teradaru berada di selatan dari Pacem serta Ambara, dan di utara dari Tanjam (lihat Gambar 2). Dua nama tempat yang disebut dalam kedua peta dari abad ke-16 M tersebut, yakni Teradaru dan Isola Daru adalah dua tempat yang letaknya agak berjauhan, terpaut jarak sekitar 70 km. Teradaru secara harfiah berarti Aru Darat, sedangkan Isola Daru secara harfiah berarti Aru Pulau. Kedua nama tempat di pantai timur Sumatera Utara itu boleh ditempatkan di dua lokasi berbeda. Untuk Aru Pulau (Isola Daru) lokasinya diperkirakan berada di kawasan Teluk Aru di wilayah Kabupaten Langkat saat ini, sementara Aru Darat (Teradaru) lokasinya kemungkinan berada di aliran Sungai Deli. Analogi yang bersesuaian dengan penempatan Aru di kawasan Teluk Aru adalah penamaan Kesultanan Deli yang melekat pada satu bentang alam yang merekam jejak keberadaannya yakni Sungai Deli. Kiranya Gambar 2. Peta karya Willem Lodewijks (1598) yg demikian juga keberadaan Kerajaan Aru menyebut nama Teradaru & Isola Daru (sumber: tentu berada di bentang alam yang juga Suárez 1999, 180) merekam eksistensinya, dalam hal ini Pendapat Winstedt tampaknya bentang geografis itu adalah Teluk Aru. Jika lebih didukung oleh bukti-bukti yang pandangan itu bisa diterima maka wilayah tersedia, antara lain lewat catatan Ma kekuasaan Aru juga meliputi kawasan yang Huan. 4 Ma Huan menyebut Samudera saat ini merupakan bagian dari Teluk Aru. (Pasai) sebagai tetangga Aru di bagian Artinya, bentang wilayah kekuasaan Aru barat, dan mencatat bahwa pegunungan setidaknya meliputi bentang antara Teluk besar tampak berada di selatannya. Aru di utara hingga Sungai Deli di selatan. Sebaliknya, di Panai pegunungan tidak Terkait lokasi tepat Aru atau Haru, langsung terlihat di sisi selatannya. Hal para pakar masih belum sepakat. Sir tersebut menunjukkan bahwa catatan Ma Richard Winstedt menggunakan Aru dan Huan lebih menggambaran kawasan pantai Deli (nama
Recommended publications
  • Kajian Terhadap Gambaran Jenis Senjata Orang Melayu Dalam Manuskrip Tuhfat Al-Nafis
    BAB 1 PENGENALAN ______________________________________________________________________ 1.1 Latar Belakang Masalah Kajian 1.1.1 Peperangan Dunia seringkali diancam dengan pergaduhan dan peperangan, sama ada peperangan antarabangsa, negara, agama, etnik, suku kaum, bahkan wujud juga peperangan yang berlaku antara anak-beranak dan kaum keluarga. Perang yang di maksudkan adalah satu pertempuran ataupun dalam erti kata lain merupakan perjuangan (jihad). Kenyataan ini turut di perakui oleh Sun Tzu dalam karyanya yang menyatakan bahawa peperangan itu adalah urusan negara yang penting untuk menentukan kelangsungan hidup atau kemusnahan sesebuah negara, maka setiap jenis peperangan itu perlu diselidiki terlebih dahulu matlamatnya.1 Di samping itu, perang juga sering dianggap oleh sekalian manusia bahawa ia merupakan satu perbalahan yang melibatkan penggunaan senjata sehingga mampu mengancam nyawa antara sesama umat manusia.2 Ini menunjukkan bahawa penggunaan senjata merupakan elemen penting dalam sebuah peperangan. Perang merupakan salah satu daripada kegiatan manusia kerana ia meliputi pelbagai sudut kehidupan. Peredaran zaman serta berkembangnya sesebuah tamadun telah menuntut seluruh daya upaya manusia untuk berjuang mempertahankan negara terutamanya dalam peperangan. Ini kerana pada masa kini perang merupakan satu 1 Saputra, Lyndon, (2002), Sun Tzu the Art of Warfare, Batam : Lucky Publisher, hlmn 8 2 Kamus Dewan Bahasa (Edisi Keempat), (2007), Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka , hlmn 1178 masalah yang sangat besar, rumit dalam sebuah
    [Show full text]
  • Mysticism Elements in the Use of Firearm Technology in the Manuscript on Firearms
    HUMANIORA VOLUME 27 No. 3 Oktober 2015 Halaman 373-383 MYSTICISM ELEMENTS IN THE USE OF FIREARM TECHNOLOGY IN THE MANUSCRIPT ON FIREARMS Pramono* Wan Mohd Dasuki Wan Hasbullah** Herry Nur Hidayat*** ABSTRACT: In the realm of Malay manuscript researches, the aspect of technology has been given little attention to be researched in a serious and specific manner. Even less is the study focused on the correlation between the Malay technology and Islamic civilization. This article seeks to shed light on the matter and discusses the Malay technology dealing with the use of hand-held firearms which was possibly inherited from the Islamic sources found in the Malay manuscripts. In particular, this article tries to analyse the mysticism elements which seems to be the underlying idea of the indigenous knowledge of firearm technology. The knowledge of such technology and its application are believed to have been practiced by individuals or groups of individuals in the Malay civilization till the 19th mid-century. Keywords: firearms, indigenous knowledge, Malay manuscript, Malay technology, Mysticism ABSTRAK Dalam khazanah penelitian manuskrip Melayu, aspek teknologi masih minim dijadikan objek kajian yang khusus dan serius. Terlebih lagi, kajian yang difokuskan pada hubungan teknologi Melayu dengan peradaban Islam. Artikel ini dimaksudkan untuk mengisi kekosongan kajian tersebut. Artikel ini membahas teknologi bangsa Melayu dalam hal penggunaan senjata api atau “bedil” (senapan) yang kemungkinan diwarisi dari sumber Islam; dengan bersumber dari manuskrip Melayu. Secara khusus, tulisan ini menganalisis unsur-unsur tasawwuf yang menjadi dasar pemikiran dalam teknologi ilmu bedil. Pengetahuan mengenai teknologi dan aplikasinya diyakini telah dipraktikkan oleh individu tertentu atau sekelompok individu dalam kebudayaan Melayu sampai pertengahan abad ke-19.
    [Show full text]
  • Ottoman Sufism, Orientalism, and German Politics, 1770-1825 a Dissertatio
    UNIVERSITY OF CALIFORNIA Los Angeles Changing States: Ottoman Sufism, Orientalism, and German Politics, 1770-1825 A dissertation submitted in partial satisfaction of the requirements for the degree Doctor of Philosophy in History by Lela Jaise Gibson 2015 © Copyright by Lela Jaise Gibson 2015 ABSTRACT OF THE DISSERTATION Changing States: Ottoman Sufism, Orientalism, and German Politics, 1770-1825 by Lela Jaise Gibson Doctor of Philosophy in History University of California, Los Angeles, 2015 Professor David Sabean, Chair This dissertation shows how German diplomats imported texts related to tasawwuf (Sufism) from the Ottoman Empire, translated them into German, and published them to advocate for competing political visions following the French Revolution and Napoleonic Wars. Specifically, it traces the life of Heinrich von Diez (1751-1817), an Enlightenment thinker who served as the Prussian chargé d’affaires in Istanbul from 1784-90, where he learned Ottoman, collected manuscripts, and established contact with a Sufi lodge. After returning to Prussia, he translated and published several Ottoman manuscripts to articulate his support for an absolutist revival. Habsburg diplomats in Istanbul, such as Joseph von Hammer-Purgstall (1774-1856), Valentin von Huszár (1788-1850), and Vincenz von Rosenzweig-Schwannau (1791-1865), similarly established contact with Sufi lodges, imported manuscripts, and translated them into German to advocate for a competing vision of the future rooted in nationalism and romantic poetry. Johann ii Wolfgang von Goethe (1749-1832) drew upon the work of these diplomat-orientalists to write the West-östlicher Divan (1819), a collection poems inspired by Sufi literature. Theologian and orientalist August Tholuck (1799-1877) also built upon the work of these authors to advance his approach to evangelical theology.
    [Show full text]
  • UNIVERSITY of CALIFORNIA RIVERSIDE Playing Along Infinite Rivers: Alternative Readings of a Malay State a Dissertation Submitted
    UNIVERSITY OF CALIFORNIA RIVERSIDE Playing Along Infinite Rivers: Alternative Readings of a Malay State A Dissertation submitted in partial satisfaction of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy in Comparative Literature by Syed Husni Bin Syed Abu Bakar August 2015 Dissertation Committee: Dr. Hendrik Maier, Chairperson Dr. Mariam Lam Dr. Tamara Ho Copyright by Syed Husni Bin Syed Abu Bakar 2015 The Dissertation of Syed Husni Bin Syed Abu Bakar is approved: ____________________________________________________ ____________________________________________________ ____________________________________________________ Committee Chairperson University of California, Riverside Acknowledgements There have been many kind souls along the way that helped, suggested, and recommended, taught and guided me along the way. I first embarked on my research on Malay literature, history and Southeast Asian studies not knowing what to focus on, given the enormous corpus of available literature on the region. Two years into my graduate studies, my graduate advisor, a dear friend and conversation partner, an expert on hikayats, Hendrik Maier brought Misa Melayu, one of the lesser read hikayat to my attention, suggesting that I read it, and write about it. If it was not for his recommendation, this dissertation would not have been written, and for that, and countless other reasons, I thank him kindly. I would like to thank the rest of my graduate committee, and fellow Southeast Asianists Mariam Lam and Tamara Ho, whose friendship, advice, support and guidance have been indispensable. Also, Muhamad Ali and Justin McDaniel, whose graduate courses have cultivated my interest in Southeast Asia beyond the literary into appreciating the religious complexity and diversity of the region.
    [Show full text]
  • Mualang Tjia2007 S.Pdf
    A GRAMMAR OF MUALANG : AN IBANIC LANGUAGE OF WESTERN KALIMANTAN , INDONESIA Published by LOT phone: +31 30 253 6006 Janskerkhof 13 fax: +31 30 253 6406 3512 BL Utrecht e-mail: [email protected] The Netherlands http://www.lotschool.nl Cover illustration: Mualang men carrying rice in a lanyik basket. Photo courtesy of R. Allen Drake. ISBN 978-90-78328-24-7 NUR 632 Copyright © 2007: Johnny Tjia. All rights reserved. A Grammar of Mualang: An Ibanic Language of Western Kalimantan, Indonesia Proefschrift ter verkrijging van de graad van Doctor aan de Universiteit Leiden, op gezag van Rector Magnificus prof.mr. P.F. van der Heijden, volgens besluit van het College voor Promoties te verdedigen op woensdag 25 april 2007 klokke 15.00 uur door JOHNNY TJIA geboren te Obi, Noord Molukken (Indonesië), in 1965 Promotiecommissie promotor: prof. dr. W.A.L. Stokhof medepromotor: prof. dr. H. Steinhauer co-promotor: dr. D. van Minde referent: prof. dr. B. Nothofer (Johann Wolfgang Goethe-Universität Frankfurt am Main) overige leden: prof. dr. W.F.H. Adelaar dr. A. Th. P. G. van Engelenhoven dr. M.A.F. Klamer dr. G. P. Reesink prof. dr. L. J. de Vries Research for this doctoral dissertation was made possible by a grant from the Research School CNWS, School of Asian, African, and Amerindian Studies and the assistance of the Leiden University Centre for Linguistics (LUCL). Tanda kenangan buat Linda, Yosua dan Yehu Acknowledgements Throughout the years which finally resulted in the publication of the present study I have received abundant help from many parties and persons.
    [Show full text]
  • Babad Praya (1994).Pdf
    TO' DIPE 0 GA C U lUK U ,IUM AD PR 121 B 00004999 TIOAK DIPEROAGANGKAN UNTUK UMUM BABAD PRAYA Lalu Gde Suparman P E P P 'j S > ■■ PUSA1 ;-t[viau>]A AN OAN PENGEMBANGAN BAHASA OEPARTEMEN PENOlDlKAM OAN KEBUDAYAAW Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta 1994 PerpustakaaivPusat Pembinaan dan Pengsmbangan Bahasa No, Klasi^i^asi No, Indiik s Z m. , <;uf Ttd, ; " PROYEK PEMBINAAN BUKU SASTRA INDONESIA DAN DAERAH-JAKARTA TAHUN 1993/1994 PUSAT PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN Pcmimpin Proyek : Dr. Nafron Hasjim Bendahara Proyek: Suwanda Sekretaris Proyek : Drs. Farid Hadi Staf Proyek : Cipiodigiyarto Sujalmo E. Bachliar ISBN 97^59-390-7 HAK CIPTA DILINDUNGI DNDANG-UNDANG Isi buku ini, balk sebagian maupun seluruhnya dilarang dif)crbanyak dalam beniuk apa pun tanpa i/in icnulis dari penerbii, kecuali dalam hal pengulipan unluk kcperluan penulisan artikel atau karangan ilmiaii KATA PENGANTAR Masalah kesusastraan, khususnya sastra (lisan) daerah dan sastra Indonesia lama, menipakan masalah kebudayaan nasional yang perlu digarap dengan sungguh-sungguh dan berencana. Dalam sastra (lisan) daerah dan sastra Indonesia lama itu, yang merupakan warisan budaya nenek moyang bangsa Indonesia, tersimpan nilai-nilai budaya yang tinggi. Sehubungan dengan itu, sangat tepat kiranya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui Proyek Pembinaan Buku Sastra Indonesia dan Daerah-Jakarta berusaha melestarikan nilai-nilai budaya dalam sastra itu dengan cara pemilihan, pengalihaksaraan, dan pener- jemahan sastra Oisan) berbahasa daerah itu. Usaha pelestarian sastra daerah perlu dilakukan karena di dalam sastra daerah terkandung warisan budaya nenek moyang bangsa Indone sia yang sangat tinggi nilainya. Upaya pelestarian itu bukan hanya akan memperluas wawasan kita terhadap sastra dan budaya masyarakat daerah yang bersangkutan, melainkan juga akan memperkaya khaza- nah sastra dan budaya Indonesia.
    [Show full text]
  • 7 Simple Verbal Clauses and Argument Structure
    A grammar of Mualang : an Ibanic language of Western Kalimantan, Indonesia Tjia, J. Citation Tjia, J. (2007, April 25). A grammar of Mualang : an Ibanic language of Western Kalimantan, Indonesia. LOT dissertation series. LOT, Utrecht. Retrieved from https://hdl.handle.net/1887/11862 Version: Not Applicable (or Unknown) Licence agreement concerning inclusion of doctoral thesis in the License: Institutional Repository of the University of Leiden Downloaded from: https://hdl.handle.net/1887/11862 Note: To cite this publication please use the final published version (if applicable). 7 SIMPLE VERBAL CLAUSES AND ARGUMENT STRUCTURE In Chapter 6 I have dealt with predicate nominals and some constructions related to them. In this chapter I will turn to predicates that are verbal. In the first place the discussion will be concerned with the verb and its core arguments and their morphosyntactic marking in clauses. Mualang is an inconsistent SVO language. Subjects and objects are not marked morphologically, indirect (and oblique) objects are introduced by a preposition. Verbs are morphologically marked with prefixes. There are no suffixes. Verbal prefixes have two different functions, namely 1) VALENCE INCREASER (or VALENCE for short), and 2) VOICE MARKER. Valence increasing operators, discussed in 7.1.3.1, include verbal prefixes that derive verbs from noun roots or increase transitivity of verbal roots. Such derivational operations yield an inflectable stem. In discourse, such a verbal stem can be inflected for voice (discussed in 7.2), using a Voice prefix (see example (7- 2). Thus, the voice marker operates after valence increasing prefixation. One voice prefix, namely ba-, can operate directly on a noun stem (7-3).
    [Show full text]
  • Nov/Dec 1984
    NOVEMBER/DECEMBER 1984 ~ AItIERICAM UW[] o~ 0QD[?[]ITll]@0B'U ~ :3 ~ BIAN HI CUP VI ENOS WINS BIG! RTV AT 8es'ol,he CONVERSION UNit'S DO YOUREA....Y NEE; "HOUSE.45? I 'll~ " 173595 67522 Ruger Presents a New .22- Bolt-Action Rifle And Ruger Design Leadership Makes it the World's Finest The first time you see the new Ruger 77/22 ™ bolt-action Specifications: Caliber/Ammunition: .22 Long Rifle; rifle, you'll agree it's an amazing .22 rimfire, with the Barrel Length: 20"; Overall Length: 391f4"; Sights: Gold quality and precision you've always associated with the Bead Front Sight and Adjustable Folding Leaf Rear finest big-game rifles. The light weight, elegant lines, Sight; Weight (without scope, magazine empty:) .~P/4 smooth mechanism, and outstanding accuracy of the Lbs.; Catalog Number: 77/22S. Plain Barrel Model has 77/22 ™ will restore the pure pleasure of smallbore rifle no iron sights, but includes one inch Ruger scope rings. shooting. This is the rifle that was made to inspire the Catalog Number: 77/22R. pride ofany experienced owner, and to prove again that Ruger stands for advanced design, superior perfor­ mance, and exceptional value. Stock is select, straight-grain Unique new 3 -Position Safety New Bolt Locking System en­ Solid steel receiver incorpo­ In addition to scope mounts, American walnut, hand gives positive security. With sures positive lock-up by two rates integral scope mounts of Gold Bead Front Sight and checkered, with durable poly­ safety in "safe" position, large locking lugs on rotating the patented Ruger Scope Adjustable Folding LeafRear urethane satin finish.
    [Show full text]
  • IMAN 1(3) Sept 2013
    International Journal of the Malay World andWan Civilisation Mohd Dasuki (Iman Wan) 1(3), Hasbullah 2013: 51 & - Othman 59 Mohd Yatim 51 Teknologi Istinggar: Beberapa Ciri Fizikal dalam Aplikasi Teknikalnya WAN MOHD DASUKI WAN HASBULLAH & OTHMAN MOHD YATIM ABSTRAK Eksploitasi ubat bedil telah mencetuskan gelombang inovasi teknologi peralatan peperangan yang dinamakan sebagai senjata api. Secara beransur-ansur, senjata api menjadi teknologi baharu yang sentiasa dibangunkan serta dikehendaki dalam setiap peperangan, tidak terkecuali juga kepada orang Melayu sejak kurun ke-16 lagi. Antara jenis senjata api yang turut mendapat perhatian mereka ialah istinggar. Namun tidak seperti senjata api lain yang dikategorikan ke dalam kumpulan artileri seperti meriam dan lela; istinggar – sebagai sejenis senjata api ringan – tidak banyak dibincangkan tentang sifat-sifat, fungsi dan peranannya sebagai peralatan material yang penting dalam konteks kebudayaan orang Melayu. Artikel ini akan menjelaskan tentang apakah dia istinggar dengan meneliti ciri-ciri fizikalnya yang asas dalam proses untuk memahami aspek kepenggunaan serta kedudukannya dalam sistem persenjataan Melayu. Penelitian dibuat dengan berpandukan kepada sumber-sumber bertulis serta pemerhatian ke atas beberapa sampel senjata api ringan tersebut. Kata kunci: etnohistori, istinggar, kebudayaan material, senjata api, teknologi Melayu ABSTRACT The exploitation of gunpowder has triggered a wave of technological innovation in warfare, evident from the use of firearms. Gunpowder-dependent weaponry
    [Show full text]
  • 881 .W5 OREGON HISTORICAL Sociiry
    OREGON STATE UNIVERSITY LIBRARIES 111111 Oil llO'II O II 010 I II 12 0143709778 F 881 .w5 OREGON HISTORICAL SociirY LIBRARY BY AN OREGON PIONEER FIRESIDE oOo Compiled by L. E. WILKES oOo HILLSBORO, OREGON February 1941 Printed in Ililisboro by Hillsboro Printing Co. 1941 CONTENTS CHAPTER IPoem, "Fifty Years Ago;" Introduction, Not Political - History; Folk lore; Figure on state house; Personal history sub- ordinated; Origin of family in America; Samuel served in Revo- lution; Married Margaret Witt; Puzzled as to Peyton's mother; Frank Wilkes, Peyton Wilkes born; Learned trade of tanner; Enlisted 1813; Married; Emigrated to- Kentucky; To Indiana; ToMissouri; Liked liquor Page 13 CHAPTER lIStart to Oregon; Detained at Independence; Capt. Blankenship's train; With Cornelius family crossing the plains; Thought littleof. episodes; Hardy, stouted-hearted set; Must read of Fremont's path finding; Buffalo stampede; Duke Wilkes' death; Grave violated; Made a track where none had been; Trek without prallel; Blue Mountains; Road very difficult; Knew Tetherow Pagel7 CHAPTER IllCould not remain at The Dalles; Snowed in on Mt. Hood; McLoughlin sent Ellis to rescue; Outfit lost; One horse brought thrcugh; Deep snow; Ford Sandy; No food; Gordon - poem; First vzinter at Milwaukie; Loved McLoughlin_ Page 21 CHAPTER IVL'véd. on boiled wheat; McLoughlin put humanitty above patrictism; Indians praiseworthy; Settled on Dairy Creek; Grandma never idle; - Good cook; Dutch oven; Peach lather; Beaver tails; Stealing peaches; Continue on to Pacific; Isaac Leisey
    [Show full text]
  • CANNONS of the MALAY ARCHIPELAGO Don Davie the Invention of Gunpowder, a Mixture of Sulphur, Charcoal and Saltpetre Commonly
    CANNONS OF THE MALAY ARCHIPELAGO by Don Davie The invention of gunpowder, a mixture of sulphur, charcoal and saltpetre commonly known today as black powder, has been ascribed variously to the Chinese, Indians, Arabs, Greeks, Germans and English and remains the subject of debate. Black powder was possibly used in rockets in the 10th century and ‘fire arrows’ containing black powder and propelled like rockets were in military use in China by AD 1000. In cannons, black powder was used as a propellant from the early-14th century and the Chinese were among the earliest exponents of the science of gunnery. The fleet of a Ming Admiral and Grand Eunuch, Zheng He, is said to have collected sulphur from a volcano on Java for use in medicines, alchemy and the manufacture of black powder in the early years of the 15th century. In venturing onto the oceans of the world at the time of the third Ming emperor, Zhu Di (r.1403-1424), Chinese mariners and traders sailed in enormous junks armed with cannons and far exceeding in size contemporary vessels of the West. Passage to Southeast Asia, Africa, Southwest Asia and South Asia was made through the waters of the South China Sea and it is likely that the Chinese would have introduced the peoples of the Malay Archipelago to the instruments and techniques of gunnery at that time. It is clear that muzzle-loading cannons were a feature of the Malay armaments inventory prior to the advent of European expansion into Southeast Asia. European voyaging by sea to South Asia was initiated by the Portuguese when Vasco da Gama made the port of Calicut on India’s Malabar Coast in 1489.
    [Show full text]
  • Gold Powder and Gunpowder: the Appropriation of Western
    GOLD POWDER AND GUNPOWDER: THE APPROPRIATION OF WESTERN FIREARMS INTO JAPAN THROUGH HIGH CULTURE by Seth Robert Baldridge A thesis submitted to the faculty of The University of Utah in partial fulfillment of the requirements for the degree of Master of Arts in Art History Department of Art and Art History The University of Utah August 2015 1 Copyright © Seth Robert Baldridge 2015 All Rights Reserved 1 2 The University of Utah Graduate School STATEMENT OF THESIS APPROVAL The thesis of Seth Robert Baldridge has been approved by the following supervisory committee members: Winston Kyan , Chair May 27th, 2015 Date Approved Jessen Kelly , Member June 17th, 2015 Date Approved Mamiko C. Suzuki , Member Date Approved and by Brian Snapp Chair/Dean of the Department/College/School of Art and Art History and by David B. Kieda, Dean of the Graduate School. 2 ABSTRACT When an object is introduced to a new culture for the first time, how does it transition from the status of a foreign import to a fully integrated object of that culture? Does it ever truly reach this status, or are its foreign origins a part of its identity that are impossible to overlook? What role could the arts of that culture play in adapting a foreign object into part of the culture? I propose to address these questions in specific regard to early modern Japan (1550-1850) through a black lacquered ōtsuzumi drum decorated with a gold powder motif of intersecting arquebuses and powder horns. While it may seem unlikely that a single piece of lacquerware can comment on the larger issues of cultural accommodation and appropriation, careful analysis reveals the way in which adopted firearms, introduced by Portuguese sailors in 1543, shed light on this issue.
    [Show full text]