PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

TRADISI LISAN LIÂ ASA USU SEBAGAI POTRET JATI DIRI MASYARAKAT LAMALERA: SEBUAH KAJIAN ETNOPRAGMATIK

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra -Program Magister

Oleh: BERNARDUS TUBE NIM: 151232001

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA PROGRAM MAGISTER FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA Juli 2017

i PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

iii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PERSEMBAHAN

Tesis ini saya persembahkan buat Almahrum Bapak Lodovikus Megu Beding. Walaupun telah banyak air mata tercurah setelah kepergianmu, tetapi cintamu abadi selamanya. Saya juga persembahkan Tesis ini dengan penuh cinta dan senyum buat Ibu Maria Magdalena Kewa. Ibu adalah yang teristimewa di dunia, sebab dari sisa keringatnya ia memberi tapak untuk saya melangkah. Ibu, tersenyumlah selalu saat melihat putramu gagal menyelesaikan semuanya dengan sempurna. Saudara-saudariku adalah orang-orang yang patut mendapatkan bingkisan ini. Ka Lorens, Ka Hendri, Ka Petrus Laba, Sr. Fransiska, CIJ, Kaka Mia, Kaka Eta, Oncu Sr. Ambrosia, CIJ; juga kekasihku, Mathilda. Bahagia sekali rasanya selalu menyebut namamu. Apalagi mengingat anak-anakmu, Riska, Rio, Roi, Risna, Rendy, Renol, Remond, Charles, Edis, Epis, Tomy, Karno, Rani, Reni, Erni, Kons, Erfin, Reli, Rusti, Esy yang selalu lucu, menghibur, tetapi sudah tentu terkadang menyebalkan.

Salam, Kasih, dan Doaku

Bernardus Tube

iv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

MOTTO

Pengembaraanku separuh dayung terkayuh Perjuangan separuh nafas kuhembus dalam angin laut Tujuan adalah permulaan kubangun bersama gulungan gelombang dan arus pasang sehingga saya mengarungi gelombang demi gelombang Kadang kekecewaan datang bertamu kegelisahaan menjemput tawa ria dan tetesan airmata bagai pelangi di tebing bumi Sungguh, Vita Est Militia (Hidup adalah Sebuah Perjuangan) Perjuangan untuk mengarungi samudera bergelombang Walaupun setiap dayung lirik dipandang sederhana, tapi menuntut aku untuk bertolak Duc in Altum (bertolak ke tempat yang lebih dalam) Setiap kayuhan terlihat tepian yang menggoda untuk mampir… Yah, sesekali berhenti sekadar untuk bersantai, bukan untuk terlena. “…tetapi karena Engkau menyuruhnya,” maka perlahan-lahan kucoba untuk berkayuh mengarungi semua gelombang. ………………………………………. “Sesungguhnya TUHAN telah memperhatikan kesengsaraanku” (Kej. 29:33) Tuhan senantiasa memperlihatkan sebuah titik kecil kesuksesan di puncak segudang kegagalan dan saya melewatinya itu… Saya membangun kesuksesan dari kegagalan-kegagalanku Sampai pada akhirnya, “Tuhan sendiri telah menyelesaikannya bagiku”

v

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PERNYATAAN KEASLIÂN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa TESIS yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, dengan mengikuti ketentuan sebagaimana layaknya karya ilmiah. Apabila di kemudian hari ditemukan indikasi plagiarism dalam tesis ini, maka saya bersedia menanggung segala sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Yogyakarta, 11 Juli 2017 Penulis,

Bernardus Tube

vi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Bernardus Tube Nomor Mahasiswa : 151232001 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul: TRADISI LISAN LIÂ ASA USU SEBAGAI POTRET JATI DIRI MASYARAKAT LAMALERA: SEBUAH KAJIAN ETNOPRAGMATIK Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal, 11 Juli 2017

Yang menyatakan,

Bernardus Tube

vii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ABSTRAK

Tube, Bernardus. 2017. “Tradisi Lisan Liâ Asa Usu sebagai Potret Jati Diri Masyarakat Lamalera: Sebuah Kajian Etnopragmatik”. Tesis. Yogyakarta: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Program Magister, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini bertujuan (1) mendeskripsikan jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera dalam tradisi lisan liâ asa usu, (2) mendeskripsikan wujud pergeseran bentuk dan makna tradisi lisan liâ asa usu masyarakat Lamalera, dan (3) menguraikan faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya pergeseran wujud dan makna tradisi lisan liâ asa usu masyarakat Lamalera. Penelitian ini tergolong dalam penelitian kualitatif dengan berpijak pada pendekatan etnopragmatik. Maksudnya untuk memahami jati diri atau identitas masyarakat Lamalera yang terikat konteks budaya dalam tradisi lisan liâ asa usu. Konteks budaya ini berisikan kearifan lokal, seperti mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, kepercayaan, bahasa, dan peralatan hidup. Etnopragmatik didukung oleh teori-teori secara elektif, yaitu teori pragmatik, teori etnografi dan etnografi komunikasi, teori tradisi dan tradisi lisan, teori, serta konsep pergeseran. Objek yang dikaji adalah gambaran jati diri masyarakat Lamalera serta wujud pergeseran bentuk dan makna yang tersirat dalam tradisi lisan liâ asa usu. Wujud data dalam penelitian ini berupa lirik-lirik tradisi lisan liâ asa usu. Sumber data primer atau utama adalah syair-syair liâ asa usu yang diperoleh secara etnografi, sedangkan, sumber data sekunder diperoleh dari kajian penelitian- penelitian yang terkait. Instrumen penelitian ini adalah peneliti sendiri. Teknik pengumpulan data penelitian ini adalah teknik rapport, pengamatan, diskusi, studi dokumentasi, dan wawancara. Teknik analisis data, yakni pemerincian, pemeriksaan, konseptualisasi, dan pengkategorian, penataan kembali, klasifikasi dan pemeriksaan, penganalisisan dan pengkajian, pembahasan, serta pengambilan kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian, peneliti dapat menyimpulkan bahwa tradisi lisan liâ asa usu merupakan potret atau gambaran jati diri atau identitas masyarakat Lamalera berdasarkan sistem mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, sitem kepercayaan, sistem peralatan hidup, dan bahasa. Lirik-lirik tradisi lisan liá asa usu mengandung pergeseran unsur-unsur kebudayaan, baik dalam baik dalam sistem mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, sistem kepercayaan, sistem peralatan hidup, dan sistem bahasa. Tentu, pergeseran-pergeseran wujud dan makna unsur- unsur kebudayaan disebabkan oleh faktor-faktor yang memengaruhinya, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Syair-syair tradisi lisan liâ asa usu sarat dengan makna etnopragmatik-filosofis sebagai pedoman bagi masyarakat Lamalera dalam menjalani kehidupan sebagai manusia berbudaya dan anggota masyarakat. Syair- syair tradisi lisan liâ asa usu memiliki makna multidimensional, karena tercerap dalam kesatuan jati diri atau identitas yang terpotret dalam dimensi mata pencaharian, kemasyarakatan dan kekerabatan, kepercayaan, peralatan hidup, dan bahasa.

Kata Kunci: Tradisi Lisan, Etnopragmatik, Jati Diri, Pergeseran, Pemertahanan.

viii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ABSTRACT

Tube, Bernardus. 2017. “Oral Tradition of Liâ Asa Usu's As a Portrait of Lamalera Community: An Ethnopragmatic Study”. Thesis. Yogyakarta: The Graduate School of The Indonesian Language and Literature Education Study Programme, Faculty of Teacher Traning and Education, Sanata Dharma University.

The aim of study is to (1) describe the identity or social identity of the Lamalera community in the oral tradition of liâ asa usu, (2) describe the shifting of form and meaning of oral tradition of liâ asa usu Lamalera society, and (3) describe the factors that influence the shift of the form and meaning of oral tradition liâ asa usu Lamalera society. This research classified to qualitative research based on ethnopragmatic approach. It means to the character or identity of Lamalera society which is bound by cultural context in the oral tradition of liâ asa usu. This cultural context contains local wisdom, such as livelihoods, community systems, beliefs, languages, and living tools. Ethnopragmatics are supported by the selective theories, namely pragmatic theory, ethnographic theory and ethnography communication, theories of tradition and oral tradition, and theories of meaning and shifting of the meaning. The object studied is the illustration of the character of Lamalera community and the shifting shape and meaning implied in the oral tradition of liâ asa usu. The form of data in this research is the lyrics of the oral tradition of liâ asa usu. The primary or prominent data source is the lyrics of liâ asa usu which is acquired ethnographically. Meanwhile, secondary data sources were acquired from the related studies. The instrument of this study is the researcher himself. Data collection techniques of this research are rapport technique, observation, discussion, documentation, and interview. Data analysis techniques, namely detailing, examination, conceptualization, and categorization, rearrangement, classification and examination, analyzing and reviewing, discussion, and conclusion. Based on the result of the research, the researcher can conclude that the oral tradition of liâ asa usu is a portrait or picture of the character or identity of Lamalera society based on the system of livelihood, community system, belief system, living equipment system, and language. The form and meaning of the lyrics of the oral tradition of liâ asa usu also experienced a shift, both in the linguistic aspect as well as in the non- linguistic aspect. Of course, the shifts and meanings of the oral tradition of liâ asa usu are caused by the factors that influence them, both internal and external factors. Oral tradition lyrics of liâ asa usu laden with ethnopragmatic-philosophical meaning as a guide for Lamalera society in living their life as a civilized man and member of society. The oral traditions of liâ asa usu have a multidimensional meaning, because they are integrated in the character or identity that is portrayed in the dimensions of livelihood, community and kinship, beliefs, tools of life, and language. The existence and significance of the oral tradition of lia asa usu is reinforced and maintained by the mechanism of natural inheritance and non-natural.

Keywords: Oral Tradition, Ethnopragmatics, character, Shift, Traditional Defense.

ix

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

KATA PENGANTAR

Proses penelitian dan penulisan tesis ini seperti pergumulan atas perjalanan hidup saya; menantang diri saya dalam menerima dan memaknai kehidupan secara lebih matang. Ketika menulis tesis ini, saya seperti menulis dan belajar mengenai kehidupan. Penulis boleh jujur bahwa proses penelitian dan penulisan tesis ini sangat melelahkan. Namun, penulis mengimani bahwa rahmat Tuhan senantiasa mencukupi setiap kesempatan, harapan, dan perjuangan dalam menyelesaikan tesis ini. Karena itu, penulis menghaturkan pujian dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena penyelenggaraan-Nya, penulis menyelesaikan tesis dengan baik. Penulis juga menyadari bahwa tesis ini berhasil diselesaikan karena bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih berlimpah kepada: 1. Rohandi, Ph.D., Dekan FKIP USD yang telah mendukung proses intelektual dan perkembangan jati diri penulis selama penulis bergelut di berbagai kegiatan akademik dan non akademik di FKIP USD. 2. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum, Ketua Program Studi Magister PBSI yang telah mendampingi dan mendukung penulis secara akademis selama penulis menempuh pendidikan di Program Studi PBSI, Program Magister, USD. Sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang dengan pengertian dan kesabaran membimbing, memotivasi, berdiskusi, dan memberi berbagai masukan yang sangat berharga bagi penulis sejak proses awal hingga akhir penulisan tesis ini. 3. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., Dosen Pembimbing II yang dengan ketelitian telah membimbing dan memberi masukan yang berharga bagi penulis sehingga penulisan tesis ini dapat dikerjakan dengan baik. 4. Segenap dosen Program Studi PBSI, Program Magister yang telah mendidik, mengarahkan, dan menuntun penulis selama masa studi dan berproses bersama dalam usaha mendalami berbagai ilmu pendidikan dan kebahasaan, khususnya bahasa dan sastra Indonesia, sebagai bekal dan harta berharga bagi penulis untuk terjun ke dunia pendidikan yang sesungguhnya sebagai pendidik dan pengajar.

x

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5. R. Marsidiq, pegawai sekretariat Program Studi PBSI, Program Magister yang dengan sabar memberikan pelayanan kepada penulis dalam menyelesaikan berbagai urusan administratif. 6. Drs. Paulus Suparmo, S.S., M.Hum., Kepala Perpustakaan USD Yogyakarta dan segenap staf perpustakaan yang telah memberikan kesempatan seluas- luasnya bagi penulis untuk mengumpulkan data penelitian dan mengerjakan tesis ini di ruang perpustakaan USD. 7. Keluar Besar Civitas Akademika STKIP St. Paulus Ruteng dan Yayasan St. Paulus Ruteng yang telah memberikan tempat dan dukungan selama proses kuliâh di Yogyakarta. Tentu, terima kasih juga buat teman-teman dosen yang sama-sama berjuang, Pa Jhon, Pa Rian, Pa Toni, Pa Yoan, Pa Riky, Pa Ophan. 8. Para donatur dan penderma yang telah membantu melalui dukungan material maupun spiritual selama penulis menghirup udara kehidupan di Yogyakarta. 9. Teman-teman seperjuangan menempuh kandidat Magister PBSI, khususnya Gusti Dinda Damarsasi, Ibu Enjel Gena, Yuni, Sofylia, Dina, Didit, Pa Dion, Ibu Arya, Erika, Deni, Santi, Wari, dan Santisima yang selalu membagikan dukungan, senyum dan tawa-ria selama belajar di MPBSI. Kebersamaan dan persaudaraan membuat kita mampu melewati segala batas dan sekat perbedaan demi tujuan mulia yang masing-masing kita citakan. 10. Penulis juga mengucapkan terima kasih berlimpah kepada Mama, Ka Lorens sek., Hendri sek., Petrus Laba sek., Kakak Sr. Fransiska, CIJ, Kakak Mia sek., Kakak Eta sek., Oncu Sr. Ambrosia, CIJ, Kekasih Mathilda, Bapak Alex Erap sek., Bapak Bataona sek., Bapak Yohanes Tapoona sek., Para Suster CIJ Komunitas Deresan dan Gamping, Sr. Angela, CIJ, Sr. Fransiska Imakulata, SSpS, Sr. Frida, SSpS, Sr. Vero, SSpS, dan sahabat-kenalan yang tidak sempat saya sebutkan namanya. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini. Karena itu, masukan dan kritikan yang konstruktif sangat dibutuhkan oleh penulis. Semoga karya ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan menjadi inspirasi bagi peminat studi bahasa, sastra, dan pengajarannya. Penulis

xi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR ISI

JUDUL ...... i PERSETUJUAN ...... ii PENGESAHAN ...... iii PERSEMBAHAN ...... iv MOTTO ...... v PERNYATAAN KEASLIAN ...... vi PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...... vii ABSTRAK ...... viii ABSTRACT ...... ix KATA PENGANTAR ...... x DAFTAR ISI ...... xii

BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...... 1 1.2 Rumusan Masalah ...... 10 1.3 Tujuan Penelitian ...... 11 1.4 Manfaat Penelitian ...... 11 1.5 Definisi Istilah ...... 13

BAB II: LANDASAN TEORI 2.1 Pragmatik dan Etnopragmatik ...... 14 2.1.1 Pragmatik ...... 14 2.1.2 Etnopragmatik ...... 16 2.1.3 Konteks ...... 21 2.2 Etnografi dan Etnografi Komunikasi ...... 25 2.3 Konsep Pergeseran ...... 32 2.4 Jati Diri atau Identitas Sosial Masyarakat ...... 45 2.5 Tradisi dan Tradisi Lisan ...... 52 2.6 Kerangka Berpikir ...... 60

xii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ...... 61 3.2 Sumber Data, Data, dan Objek Penelitian ...... 63 3.3 Metode Pengumpulan Data ...... 64 3.4 Teknik Analisis Data ...... 67 3.5 Triangulasi Data ...... 69

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ...... 70 4.1.1 Deskripsi Data ...... 70 4.1.2 Tradisi Lisan Liâ Asa Usu Sebagai Potret Jati Diri Masyarakat Lamalera ...... 72 4.1.3 Wujud dan Makna Pergeseran Unsur Kebudayaan dalam Tradisi Lisan Liâ Asa Usu Masyarakat Adat Lamalera 130 4.1.4 Faktor Penyebab Pergeseran Bentuk dan Makna Unsur Kebudayaan Masyarakat Lamalera dalam Tradisi Lisan Liâ Asa Usu ...... 181 4.2 Pembahasan ...... 200 4.2.1 Refleksi Kritis Potret Jati Diri Masyarakat Lamalera dalam Tradisi Lisan Liâ Asa Usu ...... 200 4.2.2 Pergeseran Unsur Kebudayaan sebagai Dinamika Kehidupan Sosial -Budaya Masyarakat Lamalera ...... 213 4.2.3 Faktor Pergeseran Unsur Kebudayaan menjadi Wujud Kesadaran Pemertahanan Budaya Masyarakat Lamalera ...... 222

BAB V: PENUTUP 5.1 Simpulan ...... 234 5.2 Saran ...... 239 DAFTAR PUSTAKA...... 241 LAMPIRAN ...... 255

xiii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat Lamalera merupakan salah satu etnik di wilayah Kecamatan

Wulandoni, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka memiliki corak tradisi dan budaya yang khas, baik dalam dimensi wujud maupun dimensi isi. Kekhasan budaya masyarakat Lamalera dapat dilihat dalam berbagai tradisi ritual adat istiadat dan budaya warisan leluhurnya. Pelaksanaan berbagai tradisi adat dan budaya sangat berhubungan erat dengan kegiatan di laut (ola nuâ) sebagai nelayan tradisional, upacara-upacara adat di suku dan rumah adat (lango béle) sebagai masyarakat adat, dan aktivitas di kampung (lefo) sebagai masyarakat sosial-budaya. Sementara dalam dimensi isi, tradisi adat dan budaya masyarakat

Lamalera mencerminkan potret jati diri atau identitas mereka, seperti tergambar dalam tradisi lisan yang diwujudkan melalui tuturan dan nyanyian tradisional.

Suatu tradisi lisan warisan leluhur dalam realitas kehidupan sosial budaya masyarakat Lamalera adalah liâ. Liâ merupakan suatu bentuk tradisi lisan, yakni nyanyian tradisional karena mekanisme penyampaian secara lisan dalam setiap ritual adat atau tradisi kebudayaan. Hal ini selaras dengan pandangan Sedyawati

(1996: 6) bahwa tradisi lisan adalah segala wacana yang disampaikan secara lisan dan mengikuti adat istiadat tertentu yang sudah berpola dalam suatu masyarakat.

Tradisi lisan digunakan untuk berbagai hal menyangkut hidup dan kehidupan masyarakat pemiliknya. Tentu, dalam konteks ini, tradisi lisan liâ dalam berbagai

1

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2

ritual adat dan tradisi budaya merupakan kearifan lokal (lokal wisdom), sekaligus kekayaan budaya masyarakat Lamalera karena berfungsi mengatur sistem nilai, pengetahuan, hukum adat, sistem kepercayaan, kaidah dan struktur sosial, upacara adat atau ritual, permainan tradisional, dan berbagai hasil seni (Pudentia, 2015:

214; https://www.academia.edu).

Salah satu tradisi lisan liâ yang dilantunkan oleh masyarakat Lamalera ketika melakukan upacara adat dan tradisi budaya adalah liâ asa usu. Esensi liâ asa usu mengandung unsur historis, yakni mengenai asal usul, peristiwa-peristiwa sejarah, bahkan mencirikan keselamatan, keberhasilan, dan kepercayaan akan campur tangan Sang Ilahi. Lebih dari itu, liâ asa usu memiliki efektivitas sosial karena berfungsi sebagai simpul perekat kebersamaan, persaudaraan, kerja sama, dan kohevisitas sosial sebagai komunitas budaya. Liâ asa usu sebagai tradisi kolektif masyarakat Lamalera karena dalamnya terkandung seperangkat sistem sosial budaya dan nilai-nilai historis, moral, dan etika dalam menata pola hidup.

Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Lamalera memiliki tradisi lisan berupa nyanyian tradisional yang mengisahkan peristiwa hidup mereka. Liâ asa usu dinyatakan sebagai nyanyian kehidupan yang menampilkan jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera sehingga sangat berperan penting dalam seluruh aspek kehidupan tradisi. Liâ asa usu tidak hanya sebagai tradisi warisan, tetapi kisah hidup dan ungkapan hati mengenai jati diri masyarakat Lamalera. Liâ asa usu adalah sebuah nyanyian pergumulan hidup masyarakat Lamalera yang diwarnai pengalaman suka duka, ratap tangis, permohonan, harapan, dan ucapan syukur (Lelaona: 2016, 110).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3

Selain menjadi kekhasan identitas internal atau pemarkah jati diri, liâ asa usu juga menjadi kekhasan identitas eksternal atau fitur pembeda ritual adat dan tradisi budaya dalam kehidupan masyarakat Lamalera. Konsep identitas merujuk pada esensi yang berbeda dengan tanda, seperti keyakinan, sikap, gaya hidup yang bersifat personal dan sosial karena menandai seseorang sebagai orang yang sama, sekaligus berbeda dengan orang lain (Barker, 2005: 218). Selain sebagai peranti pemertahanan keselarasan hubungan sosial masyarakat Lamalera, liâ asa usu juga menjadi media pemertahanan keselarasan hubungan vertikal-transendental, yakni

Allah, roh leluhur, dan roh alam. Ketiga kekuatan adikodrati tersebut merupakan sumber kekuatan spiritual yang sangat menentukan keberadaan, kebertahanan, dan keberlanjutan identitas masyarakat Lamalera. Selain itu, interaksi masyarakat

Lamalera dengan kekuatan adikodrati menunjukkan bahwa masyarakat Lamalera menciptakan dan mewujudkan suatu kebudayaan.

Sisi lain, tradisi lisan liâ asa usu masyarakat Lamalera merupakan wujud performansi lingual, yakni wujud kebahasaan yang memiliki kekhasan tersendiri.

Kekhasan yang dimaksud adalah keunikan lingual dan non-lingual. Kekhasan lingual mengacu pada struktur bahasa dalam lirik-lirik tradisi lisan liâ asa usu; sedangkan kekhasan non-lingual mengacu pada penggunaan lirik-lirik liâ asa usu terikat oleh konteks dan perilaku komunikasi sebagai ikhtiar mengungkapkan identitas masyarakat Lamalera.

Kekhasan bahasa dalam lirik tradisi lisan liâ asa usu masyarakat Lamalera memiliki perbedaan makna yang ditimbulkan dengan penggunaan bahasa sehari- hari. Beberapa fenomena bahasa liâ asa usu, yakni penggunaan fitur-fitur prosidi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4

yang secara signifikan dapat memengaruhi makna, rasa, dan pesan budaya. Selain itu, penggunaan gaya metafora dalam lirik-lirik tradisi lisan liâ asa usu, karena penggunaan leksikon secara adat dan budaya memiliki makna metaforis, maksud pragmatik, serta penggunaan paralelisme leksikon. Hal ini berarti bahasa pada lirik-lirik liâ asa usu yang memiliki makna budaya dapat dibandingkan dengan pemakaian bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari. Misalnya, penggunaan pronominal kaka ‘kakak’ dan ari ‘adik’ dalam bahasa daerah sehari- hari berarti kaka dan adik. Akan tetapi, apabila digunakan dalam konteks adat dan budaya, kata kaka dan ari memiliki kandungan makna, rasa, dan pesan budaya yang kontekstual (context bound). Kata kaka dan ari dalam konteks rasa budaya mengandung makna persaudaraan, kekeluargaan, keakraban, dan persatuan.

Penggunaan bahasa dalam lirik-lirik liâ asa usu mengisyaratkan bahwa masyarakat Lamalera memiliki kekhasan dalam mengkomunikasikan maksud dan tujuan tertentu, khususnya dalam hal menggambarkan identitas sosial mereka. Hal ini dipandang secara ilmiah bahwa bahasa memegang peranan sangat penting dalam mengkomunikasikan maksud dan tujuan masyarakat tutur. Pelaksanaan tradisi lisan liâ asa usu menunjukkan maksud masyarakat Lamalera mengenang kehidupan mereka sekarang sebagai jati diri atau identitas yang diwariskan oleh leluhur sejak dahulu.

Bahasa liâ asa usu dan kandungan makna dan maksud yang disampaikan dapat disejajarkan dengan konsep langue dan parole. Langue adalah tanda yang didasarkan pada setiap pembicaraan yang menghasilkan parole sebagai suatu pesan khusus. Bahasa lirik-lirik liâ asa usu dikomunikasikan kepada khalayak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5

ramai merupakan tanda yang menghasilkan maksud dan pesan sebagai gambaran jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera. Hal ini sejalan dengan makna interaksi simbolik sebagaimana diungkapkan oleh Netra (2011: 5) bahwa interaksi simbolik yang dilakukan oleh para pelibat dapat terjadi karena beberapa hal, yakni

(1) manusia bertindak berdasarkan makna-makna pada dirinya, (2) makna-makna tersebut terjadi akibat interaksi penutur dengan sesama, alam, dan Tuhan, serta (3) makna-makna tersebut disempurnakan saat proses interaksi simbolik berlangsung.

Artinya, lantunan liâ asa usu berdasarkan makna dan maksud dalam pikiran masyarakat Lamalera. Secara khusus, maksud lirik liâ asa usu menggambarkan keberadaan mereka sebagai masyarakat berbudaya. Bahasa yang diungkapkan melalui lirik-lirik liâ asa usu berfungsi sebagai alat vital dalam mengintegrasikan identitas masyarakat Lamalera, baik secara internal maupun eksternal.

Dengan demikian, lirik-lirik tradisi lisan liâ asa usu dikaji berdasarkan perilaku kehidupan masyarakat Lamalera. Bahasa yang digunakan dalam lirik- lirik tradisi lisan liâ asa usu dipandang sebagai (1) alat untuk mengungkapkan maksud dan tujuan, seperti permohonan, harapan, syukur, dan lain sebagainya; dan (2) sebagai sumber daya untuk menggali misteri yang terdapat di balik bahasa yang digunakan, yakni gambaran jati diri atau identitas sosial yang mengandung sense (rasa), norma, dan nilai budaya (Netra, 2011: 5). Hal ini berarti bahasa dan penggunaannya dalam lirik-lirik tradisi lisan liâ asa usu sangat bertautan dengan konteks situasi, sosial, dan budaya masyarakat Lamalera.

Secara sosial budaya, tradisi lisan liâ asa usu sebenarnya mampu memberi kesadaran kepada masyarakat Lamalera akan jati diri atau identitas sosial mereka

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

6

sebagai masyarakat berbudaya. Bahkan, setiap lirik liâ asa usu menunjukkan pemertahanan nilai-nilai kebudayaan, seperti dalam wujud kebudayaan yang tercermin pada sistem mata pencaharian, kepercayaan, sistem kemasyarakatan, sistem peralatan hidup, dan bahasa yang sangat “disakralkan” oleh masyarakat

Lamalera. Hal ini berarti masyarakat Lamalera mampu memertahankan jati diri atau identitas sosial dari gempuran modernisasi. Kekuatan tradisi dan budaya sebagai gambaran jati diri atau identitas sosial telah terbukti mampu menjadi jaminan pilihan sumber hidup dan penghidupan masyarakat Lamalera.

Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa wujud liâ asa usu mulai mengalami keterancamannya sebagai kearifan lokal, warisan budaya, tradisi, nilai, identitas, dan simbol kehidupan masyarakatnya (Giddens, 2003: 9-15). Arus modernisasi senantiasa merasuki pola pikir generasi muda Lamalera sehingga keberadaan tradisi lisan liâ mulai terpinggirkan, bahkan sudah menunjukkan gejala-gejalah kepunahan. Hal ini tercermin pada semakin jarang, bahkan tidak terdengar lagi lantunan liâ dari mulut para generasi muda. Minat para pelaku semakin berkurang, bahkan semakin jauh meninggalkan tradisi tersebut sehingga proses pewarisan alamiah tidak berjalan sesuai harapan, sementara perubahan kebudayaan berjalan dengan cepat (Sari, 2011: 3).

Lebih dari itu, belum ada kesadaran penuh dari masyarakat Lamalera, khususnya generasi muda bahwa tradisi lisan liâ asa usu sebagai gambaran jati diri atau identitas warisan leluhur sejak dahulu. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya dukungan masyarakat untuk menjadikan tradisi lisan liâ sebagai bagian integral kehidupan dan perkembangan budaya masyarakat Lamalera. Selain itu,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

7

semakin berkurangnya para penyanyi liâ, juga tidak adanya regenerasi dari generasi tua ke generasi muda untuk mempelajari dan memahami makna yang terkandung dalam liâ. Seakan terlihat bahwa generasi muda Lamalera tidak lagi menginginkan tradisi lisan liâ yang dianggap sebagai hal yang kuno. Generasi muda mulai berpaling kepada nilai-nilai barat yang membuatnya terasing dan kehilangan identitas sesungguhnya. Bahkan, banyak tradisi lisan Lamalera dan nilai-nilai yang terkandung dalamnya diambang kritis, semakin sulit “hidup”, dan tidak terwaris secara utuh akibat ancaman hegemoni dan dominasi lagu-lagu internasional, regional, dan nasional. Karena itu, bukan hal yang mustahil bahwa tradisi lisan liâ berada di ambang kepunahan. Berbagai perubahan budaya serta kurang kesiapan masyarakat Lamalera untuk memertahankan dan menghidupkan serta menyikapi kondisi tersebut, “dikhawatirkan” mereka mengalami alienasi budaya atau ketercerabutan dari identitas, akar tradisi, dan budaya asli.

Beberapa fenomena di atas menggambarkan bahwa kekuatan tradisi lisan liâ asa usu sebagai potret jati diri masyarakat Lamalera terancam keberadaan dan kelestariannya. Unsur kebudayaan sebagai gambaran jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera yang tersurat maupun tersirat dalam lirik-lirik liâ asa usu tidak imum terhadap sentuhan perubahan. Kehidupan berbudaya masyarakat

Lamalera dahulu yang dihidupi oleh leluhur seperti digambarkan dalam lirik-lirik liâ asa usu seakan perlahan-lahan ditinggalkan oleh masyarakat Lamalera. Hal ini berarti secara non-lingual, pola kehidupan masyarakat Lamalera yang cendrung mengalami transformasi dari kaidah tradisi warisan leluhurnya menandakan adanya perubahan konseptual sosial-budaya masyarakat Lamalera. Perubahan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

8

pola kehidupan juga menggambarkan generasi muda Lamalera memiliki keterbatasan kemampuan dalam menghidupi dan menginterpretasikan kebermaknaan liâ asa usu sebagai potret jati diri atau identitas yang diwariskan leluhur sejak dahulu. Sementara secara lingual, bahasa liâ asa usu masyarakat

Lamalera syarat dengan makna, maksud, sense, norma, dan nilai-nilai budaya.

Karena itu, fenomena kebahasaan dan non kebahasaan liâ asa usu memberi peluang untuk dikaji lebih dalam; bahkan bahasa dalam lirik-lirik liâ asa usu menggambarkan adanya perubahan wujud dan makna kebudayaan.

Wujud kebudayaan dan pola kehidupan masyarakat Lamalera tercermin dalam lirik-lirik liâ asa usu menunjukkan sebuah fakta bahwa kompleksitas tradisi lisan mengandung makna jati diri atau identitas masyarakat Lamalera. Masyarakat

Lamalera meyakini bahwa tradisi lisan liâ asa usu memiliki fungsi dan kedudukan yang penting, karena wujud-wujud lingual dalam setiap liriknya menggambarkan wujud kebudayaan sebagai gambaran jati diri atau identitas mereka, baik dalam gagasan (wujud idel), aktivitas (tindakan), dan artefak (hasil karya). Ketiga wujud kebudayaan tersebut dinyatakan dalam unsur-unsur kebudayaan, seperti sistem mata pencaharian, kepercayaan, kemasyarakatan, peralatan hidup, dan bahasa.

Misalnya, lefa (laut) dipandang sebagai ladang yang menjadi tumpuan kehidupan bagi seluruh anggota masyarakat, khususnya para janda, anak-anak yatim piatu, dan fakir miskin (kide knuke) hingga saat ini.

Selain itu, wujud performansi tradisi lisan liâ asa usu bertujuan untuk mengungkapkan jati diri dan nilai-nilai kebudayaan sehingga tepat dan relevan apabila dikaji dengan pendekatan etnopragmatik. Etnopragmatik adalah proses

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

9

memahami makna dan maksud bahasa berdasarkan konteks budaya yang berhubungan dengan nilai-nilai kearifan lokal, kepercayaan, sikap perilaku, sistem kemasyarakatan, mata pencaharian, peralatan dan perlengkapan hidup, kesenian

(Goddard, 2002). Artinya bahwa etnopragmatik dipandang sebagai salah satu fenomena kebahasaan dalam hubungannya dengan budaya. Setiap kelompok masyarakat memiliki gaya berbahasa yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan nilai dan prioritas kebudayaan (Goddard, 1997).

Etnopragmatik digunakan dalam penelitian ini, karena tradisi lisan liâ asa usu mengungkap tradisi dan budaya masyarakat Lamalera, sekaligus menggali penggunaan bahasa ‘berdaya’ metaforis, semiotis sebagai fakta sosial budaya oleh masyarakat Lamalera untuk mengungkapkan wujud-wujud kebudayaan sebagai gambaran jati diri atau identitas mereka. Dengan kata lain, peneliti menggunakan etnopragmatik untuk membedah tradisi lisan liâ asa usu yang hemat peneliti mengandung makna dan maksud kontekstual sebagai gambaran jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera.

Oleh karena itu, aspek yang menjadi sasaran dan lingkup kajian penelitian ini mengenai jati diri masyarakat Lamalera serta wujud transformasi kebudayaan masyarakat Lamalera. Dengan kata lain, maksud konsep transformasi dalam konteks penelitian ini, yakni perubahan non-lingual, yaitu perubahan wujud dan makna kebudayaan masyarakat Lamalera. Tentu, perubahan wujud kebahasaan juga mendapat tempat dalam penelitian ini, tetapi tidak menjadi prioritas kajian peneliti, karena hanya mengarah pada pergantian wujud kata dan kalimat, baik secara fonologis maupun secara tata tulis. Peneliti lebih fokus pada perubahan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

10

non-kebahasaan, yaitu perubahan unsur-unsur kebudayaan akibat pertautannya dengan dinamika kehidupan manusia sebagai suatu totalitas. Prioritas wujud perubahan yang dimaksudkan oleh peneliti sejalan dengan konsep Marius (2006:

126-127) bahwa perubahan pola pikir, sikap, dan tingkah laku lebih besar dipengaruhi perubahan-perubahan wujud kebudayaan yang bersifat material. Oleh karena itu, peneliti memilih judul, “Tradisi Lisan Liâ Asa Usu sebagai Potret

Jati Diri Masyarakat Lamalera: Sebuah Kajian Etnopragmatik” dengan keyakinan bahwa pendekatan etnopragmatik dapat memertanggungjawabkan konsep tradisi lisan liâ asa usu sebagai potret jati diri masyarakat Lamalera.

Artinya bahwa jati diri atau identitas masyarakat Lamalera yang tercermin dalam tradisi lisan liâ asa usu memiliki makna dan maksud sebagau wujud kebudayaan.

1.2 Rumusan Masalah

Masalah utama dapat dirumuskan dalam pertanyaan, “Bagaimana liâ asa usu masyarakat Lamalera merupakan potret jati diri dan mengalami pergeseran wujud serta makna?” Sesuai cakupan aspek yang menjadi sasaran pemerian, sub masalah penelitian ini dapat dirumuskan, sebagai berikut:

1. Bagaimana tradisi lisan liâ asa usu disebut sebagai potret jati diri atau

identitas masyarakat Lamalera?

2. Bagaimana wujud pergeseran unsur-unsur kebudayaan Masyarakat

Lamalera yang digambarkan dalam tradisi lisan liâ asa usu?

3. Faktor-faktor apa yang menyebabkan unsur-unsur kebudayaan masyarakat

Lamalera dalam tradisi lisan liâ asa usu mengalami pergeseran?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

11

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekhasan tradisi lisan di Indonesia dalam usaha memperkaya khazana budaya nasional. Penelitian ini juga bertujuan untuk memahami keberadaan dan menggali sikap kebertahanan generasi muda terhadap tradisi lisan liâ asa usu sebagai kearifan budaya.

1.3.2 Tujuan Khusus

Berdasarkan rumusan masalah di atas, secara khusus peneliti melakukan kajian ini dengan tujuan, sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan tradisi lisan liâ asa usu disebut sebagai potret jati diri

atau identitas masyarakat Lamalera.

2. Mendeskripsikan wujud pergeseran sistem kebudayaan yang digambarkan

dalam tradisi lisan liâ asa usu.

3. Mendeskripsikan faktor yang menyebabkan sistem kebudayaan yang

digambarkan dalam tradisi lisan liâ asa usu mengalami pergeseran.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini tidak hanya bermanfaat secara teoritis (kontribusi ontologis dan epistemologis), tetapi juga bermanfaat secara praktis (kontribusi aksiologis). Selain itu, hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam menunjang keberadaan, kebertahanan, dan pelestarian kearifan budaya lokal, khususnya tradisi lisan liâ asa usu masyarakat Lamalera.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

12

1.4.1 Manfaat Teoretis

Beberapa manfaat teoritis dari hasil penelitian ini, antara lain:

1. Hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan acuan pustaka hasil

penelitian mengenai tradisi lisan liâ asa usu sebagai potret jati diri

masyarakat Lamalera. Hasil penelitian ini juga dapat diperbandingkan

dalam konteks penelitian sejenis pada latar setipologi maupun tidak

setipologi dengan tradisi dan kebudayaan masyarakat Lamalera.

2. Hasil penelitian ini sebagai tambahan acuan pustaka yang memperkuat

keberadaan tradisi lisan sebagai salah satu perspektif teoritis dan

orientasi metodologis dalam analisis tradisi lisan.

3. Hasil penelitian ini juga dapat bermanfaat sebagai tambahan khasanah

penelitian tradisi lisan dan etnopragmatik dalam memerikan etnografi

budaya yang bersifat lokal-ideografis, tradisi budaya lokal yang dibuat

berdasarkan sudut pandang internal masyarakat Lamalera.

1.4.2 Manfaat Praktis

Beberapa manfaat praktis dari hasil penelitian ini, antara lain:

1. Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber rujukan bagi

Kementrian Pendidikan dalam menyusun materi pelajaran Muatan

Lokal dan pendidikan karakter bangsa Indonesia berbasis kearifan

budaya lokal.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

13

2. Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber rujukan bagi Pemerintah

Desa Lamalera dalam merancang program pembangunan masyarakat

berbasis budaya atau kearifan lokal.

3. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai upaya penyelamatan dan

pemeliharaan tradisi lisan liâ sebagai gambaran jati diri masyarakat

Lamalera dari ancaman kepunahan akibat modernisasi dan globalisasi.

4. Hasil penelitian ini dapat menjadi suatu sumber rujukan bagi peneliti

lain yang ingin merancang model pewarisan kearifan budaya lokal

yang bersifat sinergis dengan memadukan nilai-nilai yang diperoleh

dalam satu kesatuan diterima oleh seluruh masyarakat Lamalera.

1.5 Definisi Istilah

1. Tradisi Lisan: Suatu aspek kebudayaan masyarakat yang diwariskan setiap

masa dari generasi ke generasi secara lisan dalam proses komunikasi atau

sesuatu yang dituturkan dalam masyarakat.

2. Liâ: Nyanyian tradisional yang dilantunkan oleh masyarakat Lamalera ketika

melakukan berbagai aktivitas budaya dan adat istiadat.

3. Jati Diri: Ciri-ciri, gambaran, atau keadaan khusus seseorang atau kelompok

masyaraat. bisa pula berarti identitas, inti, jiwa, semangat, dan daya gerak dari

dalam atau spiritualitas seseorang atau sekelompok orang.

4. Etnopragmatik: Bidang ilmu bahasa yang mempelajari tentang makna dan

maksud bahasa dalam penggunaannya berdasarkan konteks situasi, sosial, dan

budaya kelompok masyarakat atau komunitas etnik tertentu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pragmatik dan Etnopragmatik

2.1.1 Pragmatik

Ketika seseorang mencari makna sosial suatu tuturan atau dimaksud suatu percakapan, maka ia juga perlu pemahaman tentang pragmatik. Konsep pragmatik dipaparkan Levinson (1987: 7) sebagai kajian bahasa dari perspektif fungsional.

Maksudnya, pragmatik berusaha menjelaskan aspek struktur linguistik dengan mengacu pada pengaruh-pengaruh dan gejala-gejala non-linguistik. Lebih lanjut,

Levinson (1987: 9-21) menegaskan pemahaman konsep pragmatik dari berbagai sumber dan pakar dengan memberi batasan pragmatik, yakni (1) Telaah mengenai hubungan antara bahasa dan konteks yang tergramatisasi dalam struktur suatu bahasa; (2) Telaah mengenai segala aspek makna yang tidak tercakup dalam teori semantik, atau telaah segala aspek makna ucapan yang tidak dapat dijelaskan secara tuntas oleh referensi langsung kepada kondisi-kondisi kebenaran kalimat yang diucapkan; (3) Telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks sebagai dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa; (4) Telaah mengenai kemampuan penutur menghubungkan dan menyerasikan kalimat dengan konteks- konteks secara tepat; dan (5) Telaah mengenai deiksis, implikatur, anggapan penutur (presupposition), tindak tutur (lokusi, ilokusi, dan perlokusi), dan aspek struktur wacana (bdk. Levinson, 1987: 99); Grice, 1975; Gazdar, 1979: 39).

14

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

15

Konsep tersebut ditegaskan Yule (1996: 3-4) bahwa pragmatik adalah (1)

Studi tentang maksud penutur atau mengkaji makna penutur, (2) Studi tentang makna kontekstual atau mengkaji makna berdasarkan konteks, (3) Studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan atau bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan penutur, dan (4) Studi tentang ungkapan dari jarak hubungan atau bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.

Sementara itu, Leech (1983) mendefinisikan pragmatik sebagai studies meaning in relation speech situation (studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar) yang meliputi unsur-unsur penyapa dan yang disapa, konteks, tujuan, tindak ilokusi, tuturan, waktu, dan tempat. Artinya, pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam komunikasi. Tentu, hal ini berbeda dengan semantik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari makna secara internal (Wijana, 1996: 2). Dengan demikian, pragmatik merupakan sebuah bidan ilmu bahasa yang mengungkapkan makna dan maksud suatu tuturan atau ujaran berdasarkan konteks. Artinya, pragmatik menjelaskan penggunaan bahasa

(aspek lingual) berdasarkan situasi kontekstual (aspek non-lingual) sehingga penafsiran suatu makna tuturan perlu didasarkan pada situasi kontekstual. Hal ini merujuk pada pragmatik yang berhubungan erat dengan maxim (Grice, 1992), implikatur percakapan dan prinsip kerjasama (Levinson, 1992), dan kesopanan

(Leech, 1999).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

16

Berdasarkan konteks penelitian ini, pragmatik dapat mewadahi tradisi lisan liâ asa usu sebagai “tuturan” yang dinyanyikan atau dilantunkan oleh masyarakat

Lamalera berdasarkan konteks sosial, budaya, situasi, konteks linguistik, maupun konteks pragmatik. Namun demikian, pengkajian makna dan maksud dari tradisi lisan liâ asa usu sangat tepat menggunakan pendekatan etnopragmatik, karena makna dan maksud syair-syair liâ asa usu hanya diketahui oleh masyarakat

Lamalera berdasarkan konteks sosial dan budaya yang mereka hidupi. Karena itu, teori etnopragmatik menjadi titik tolak pengkajian makna dan maksud tradisi lisan liâ asa usu sebagai jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera.

2.1.2 Etnopragmatik

Etnopragmatik merupakan ilmu interdisipliner, yakni gabungan disiplin ilmu etnografi dan ilmu pragmatik. Ilmu etnografi merupakan pekerjaan mengkaji dan mendeskripsikan kebudayaan suatu etnik atau kelompok masyarakat. Tujuan utama etnografi adalah memahami pandangan (pengetahuan) dan hubungannya dengan kehidupan sehari-hari (kelakuan) guna mendapatkan pandangan mengenai

“dunia” masyarakat yang diteliti (Spradley 1997:3). Sementara itu, pragmatik sebagai ilmu bahasa yang menyoroti makna bahasa dan penggunaannya (language in use) berdasarkan konteks (Netra, 2011: 37-38). Hal ini berarti etnopragmatik membahas penggunaan bahasa dalam konteks situasi sosial budaya masyarakat setempat. Etnopragmatik dalam konteks penelitian ini dipahami sebagai ilmu bahasa yang mempelajari makna dan maksud syair tradisi lisan liâ asa usu yang dilantunkan berdasarkan konteks sosial dan budaya masyarakat Lamalera.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

17

Sementara itu, Goddard (2004) menggunakan istilah 'etnopragmatik' untuk merujuk pada penjelasan praktik komunikasi yang dimulai dengan gagasan budaya-internal, yaitu dengan nilai, norma, prioritas, dan nilai bersama, asumsi masyarakat penutur, dan bukan dengan pragmatik universal yang diketahui oleh umum. Lebih lanjut, Goddard menegaskan bahwa etnopragmatik (kadang disebut sebagai pragmatik budaya) ditandai oleh bahasa-bahasa metaforis, jauh dari sifat universal bahasa alami manusia. Artinya bahwa fenomena bahasa dalam lingkup kebudayaan hanya bisa dipahami dengan benar dalam perspektif etnopragmatik.

Sesungguhnya, etnopragmatik memiliki peran penting dalam wacana kebudayaan dengan menangkap konsep dan menggambarkan praktek komunikasi dengan cara yang asli, otentik, dan bebas dari pengaruh luar budaya itu sendiri. Dengan kata lain, etnopragmatik dipandang sebagai konsep ulang dari pendekatan terhadap pragmatik budaya. Artinya, etnopragmatik menunjukkan makna dan maksud

(ilokusional) suatu bahasa secara asli sehingga menghadirkan nilai, model sosial, dan praktek komunikasi yang asli (Cliff Goddard and Zhengdao Ye (2015).

Lebih lanjut Cliff Goddard and Zhengdao Ye (2015) menyatakan bahwa tujuan utama etnopragmatik adalah mengakses “prespektif orang dalam” dari para peserta tutur. Artinya bahwa pendekatan etnopragmatik membantu orang untuk

‘memodelkan’ prespektif orang dalam budaya dan pada saat yang sama membuat diri mereka dipahami oleh orang dari luar budaya. Tujuan etnopragmatik tersebut dapat dicapai dengan membingkai deskripsi bahasa yang maknanya berdasarkan latar belakang budaya bahasa tersebut. Konteks situasi sosial dan budaya menjadi aspek penting dalam pendekatan etnopragmatik.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

18

Selain itu, Goddard dan Wierzbicka (2007: 6) memberi pandangan bahwa etnopragmatik memungkinkan kajian interdisiplin, yakni antarbidang linguistik, antropologi, dan komunikasi. Ketiga interdisipliner bidang tersebut menjadi dasar konsep Natural Semantic Metalanguage (NSM) dan cultural script (wacana kebudayaan atau kerangka acuan budaya). NSM merupakan kajian metabahasa bidang semantik yang mendeskripsikan makna suatu bahasa sesuai pemaknaan penuturnya. Hal ini sejalan dengan pemikiran Wierzbicka (1996) bahwa asumsi utama yang mendasari konsep NSM adalah sebuah bentuk bahasa atau tanda bahasa tidak dapat dianalisis ke dalam bentuk yang bukan bentuk sendiri. Artinya, analisis tentang makna tidak akan mungkin dilakukan dengan kombinasi makna dari bentuk yang lainnya. Oleh karena itu, makna sebuah leksikon merupakan konfigurasi seperangkat makna asali. Hal ini berarti pemaknaan bahasa tradisi lisan liâ asa usu mengacu pada pemaknaan asali, yakni berdasarkan pemahaman masyarakat Lamalera sebagai pemilik tradisi lisan liâ asa usu.

Sementara itu, cultural script dianggap sebagai sister theory NSM yang berada pada tataran pragmatik. Wacana kebudayaan dimaknai Goddard (2006: 5) sebagai penghubung antara semantik dan pragmatik. Wacana budaya berperan mengkaji makna bahasa sekaligus menjembatani unsur non-kebahasaan yang memengaruhi konsep makna dengan unsur bahasa. Teori NSM dapat diterapkan pada tataran tradisi lisan liâ asa usu sebagai dasar pemaknaan setiap lirik syairnya sesuai maksud masyarakat Lamalera. Sementara itu, cultural script merupakan acuan dalam mengkaji makna dan maksud liâ asa usu sebagai salah satu acuan budaya masyarakat Lamalera, karena menjadi gambaran jati diri mereka.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

19

Sesungguhnya, etnopragmatik mengkaji makna dan maksud suatu bahasa atau tuturan (makna ilokusional) berdasarkan konteks situasi dan sosial-budaya.

Hal ini berarti cara kerja etnopragmatik dalam penelitian ini, yakni (1) syair-syair liâ asa usu pada tataran kalimat terlebih dahulu diidentifiasi dan diklasifikasikan sesuai konteks budaya; (2) kemudian mengkaji makna ilokusional tradisii lisan liâ asa usu untuk menemukan jati diri atau identitas masyarakat Lamalera berdasarkan konteks sosial-budaya dan situasi; (3) selanjutnya, makna ilokusional tersebut dijadikan norma, nilai-nilai, dan ideologi budaya masyarakat Lamalera; dan (4) makna ilokusional diklasifikasi ke dalam model asli (prototipe) makna asali dan diuraikan atau dipaparkan (eksplikasi); sedangkan norma dan nilai budaya dapat wujudkan untuk menggambarkan jati diri masyarakat Lamalera

(konfigurasi). Cara kerja etnopragmatik dapat diparadigmatikkan, sebagai berikut:

Tabel Paradigma Teori Etnopragmatik

Koda/Bahasa Konteks Makna Situasi Budaya  Latar  Perilaku  Lokusional  Peristiwa  Kepercayaan  Ilokusional Tuturan/Nyanyian  Pelibat  Kearifan lokal  Tujuan Etnografi Komunikasi Pragmatik Etnopragmatik

Berdasarkan paradigma tersebut, ide utama etnopragmatik adalah kajian penggunaan bahasa untuk memahami makna ilokusional berdasarkan budaya masyarakat. Artinya, tradisi lisan liâ asa usu yang menggambarkan jati diri atau identitas masyarakat Lamalera dapat dipahami dan dimaknai melalui pendekatan etnopragmatik (Goddard, 2002). Etnopragmatik menyoroti bagaimana syair-syair tradisi lisan liâ asa usu dapat dimengerti dengan baik dari sudut pandang budaya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

20

internal masyarakat Lamalera. Oleh karena itu, peneliti menjadikan etnopragmatik sebagai teori utama yang diharapkan mampu menjawab permasalahan terkait penggunaan tradisi lisan liâ asa usu masyarakat adat Lamalera untuk menggali makna kontekstual dan ilokusional sebagai potret jati diri atau identitas, kemudian mengkaji wujud perubahan bentuk dan maknanya.

Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan I Made Netra (2011) dalam disertasinya berjudul “Wacana Ritual Melong Pare Bulu Komunitas Petani

Adat Bayan, Lombok Utara: Kajian Etnopragmatik”. Made berpijak pada etnopragmatik dengan maksud memahami praktik-praktik sosial yang terikat konteks budaya dalam ritual Melong Pare Bulu atau penanaman padi tradisional, sedangkan peneliti berpijak pada etnopragmatik dengan maksud memahami jati diri atau identitas masyarakat Lamalera yang terikat konteks budaya dalam syair- syair liâ asa usu. Hal yang sama dalam penelitian ini dengan penelitian Made adalah konteks budaya yang berisikan kearifan lokal, perilaku dan emosi, kategori sosial, kepercayaan, mata pencaharian, kekerabatan, peralatan hidup, bahasa, dan kesenian. Konteks budaya tersebut dipandang oleh peneliti sebagai cermin jati diri atau identitas masyarakat Lamalera. Made menggunakan teori etnopragmatik yang didukung teori-teori eklektif, yakni analisis wacana kritis, fitur prosodi, etnografi komunikasi, tindak tutur, metabahasa semantik alamiah (MSA), dan cultural scripts, sedangkan etnopragmatik penelitian ini didukung oleh teori pragmatik, konteks, etnografi dan etnografi komunikasi, teori identitas sosial, dan teori tradisi lisan. Peneliti berkeyakinan bahwa dengan pendekatan etnopragmatik yang didukung dengan teori-teori ekletif tersebut, tujuan penelitian ini dapat tercapai.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

21

2.1.3 Konteks

Kajian makna dan maksud bahasa etnopragmatis sangat bergantung pada konteks. Artinya, suatu tuturan tidak dapat dipahami tanpa keikutsertaan konteks

(Subroto, 2011: 15-16). Istilah konteks diartikan Mey (1983: 38) sebagai situasi lingkungan dalam arti luas yang memungkinkan peserta tutur untuk dapat berinteraksi dan membuat ujaran mereka dapat dipahami. Konteks merupakan unsur ekstralingual (eksternal bahasa) sekaligus alat komunikasi (fungsional bahasa) dalam pergaulan antarmanusia yang turut menentukan maksud pemakaian bahasa (Pranowo, 2015). Lebih lanjut, Pranowo menegaskan bahwa kajian bahasa secara pragmatik (termasuk etnopragmatik) yang melibatkan unsur ekstralingual merupakan kajian yang terikat konteks. Konteks merupakan aspek penting dalam pembentukan suatu tuturan. Pemaknaan suatu tuturan akan menjadi utuh jika dihubungkan dengan konteksnya. Kajian etnopragmatik tradisi lisan liâ asa usu menjadi utuh jika proses analisisnya terikat konteks yang melingkupinya. Tradisi lisan liâ asa usu tidak hanya dikaji secara tekstual, tetapi juga berdasarkan latar belakang situasi sosial budaya masyarakat Lamalera sebagai pemakainya. Hal ini berarti konteks situasi, sosial, dan budaya menjadi prioritas kajian ini sehingga gayut dengan pendekatan etnopragmatik yang digunakan dalam penelitian ini.

Kehadiran konteks menjadikan suatu tuturan (atau dalam penelitian ini: lirik-lirik liâ asa usu) terjadi antara penutur dan mitra tutur. Dengan kata lain, syarat adanya interaksi (lantunan syair liâ asa usu) adalah konteks. Substansi konteks, yaitu seperangkat asumsi (a set of assumptions) yang dimiliki penutur dan mitra tutur, dimana Stalnaker menyebutnya sebagai common ground atau latar

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

22

belakang pengetahuan yang sama, kemudian dikategorikan oleh Clark menjadi communal common ground (seperangkat asumsi pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh komunitas tertentu) dan personal common gound. Hal ini berarti konteks dimaknai sebagai ‘pengetahuan umum’ atau ‘pengetahuan bersama’ sebagai asumsi-asumsi yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur

(Rahardi, 2015). Pengetahuan atau asumsi bersama atau sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur merupakan salah satu unsur ekstralingual yang disebut oleh Brown sebagai “pemahaman bersama” (Pranowo, 2015).

Konsep tersebut menjadi dasar konteks penelitian ini. Wujud dan makna tradisi lisan liâ asa usu dapat diangkat ke permukaan untuk diketahui, maka antara masyarakat Lamalera sebagai penutur yang melantunkan liâ asa usu dengan peneliti sebagai mitra tutur atau pendengar memiliki dasar pemahaman yang sama terhadap syair-syair liâ asa usu. Hal ini dikarenakan peneliti dan masyarakat

Lamalera memiliki latar belakang budaya yang satu dan sama, bahasa yang satu dan sama, pemahaman atas lirik-lirik tradisi lisan liâ asa usu yang sama sehingga seluruh proses pemaknaan tradisi lisan liâ asa usu tidak mendapat hambatan, karena kedua komponen tersebut memiliki asumsi, pengetahuan, atau pemahaman yang sama. Dengan kata lain, konsep pemahaman yang sama dikarenakan peneliti berasal dari daerah itu sehingga secara intuitif memahami bahasa yang digunakan oleh warga daerah tersebut (Sudaryanto, 1983: 70-71).

Penelitian mengenai konteks secara khusus dilakukan oleh I Wayan Suteja

(2011) dalam tesis berjudul “Geguritan Kasmaran: Analisis Teks dan Konteks”.

Suteja menganalisis konteks Geguritan Kasmaran (GK) menggunakan teori

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

23

semiotika dengan pendekatan tematis-filosofis, sedangkan dalam penelitian ini, konteks dibangun peneliti berpijak pada teori dan pendekatan etnopragmatik.

Lebih lanjut, tujuan konteks yang digunakan Suteja adalah untuk mengungkapkan kaidah estetika GK, baik dalam aspek kebahasaan maupun dalam indek dan simbol budaya yang dicermati melalui eksplorasi bahasa yang diungkapkan dalam nyanyian GK. Sementara tujuan konteks penelitian ini adalah mengungkapkan jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera yang tersirat dalam tradisi lisan liâ asa usu. Kesamaan kedua penelitian ini pada proses pengumpulan data, yaitu menggunakan metode wawancara dan studi kepustakaan. Namun, peneliti ini lebih intensif karena menggunakan metode etnografi untuk mengungkapkan wujud dan makna liâ asa usu sebagai potret jati diri masyarakat Lamalera.

Umumnya, klasifikasi jenis konteks dibedakan (Lubis, 2011: 60; Song,

2011; Made, 2011: 37), yakni (1) Konteks fisik yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa atau tuturan dalam suatu komunikasi; (2) Konteks epistemis, yaitu latar belakang pengetahuan yang sama antara penutur dan mitra tutur; (3)

Konteks linguistik terdiri atas kalimat-kalimat yang mendahului dan mengikuti ujaran dalam peristiwa komunikasi; konteks linguistik ini disebut juga dengan istilah ko-teks; (4) Konteks sosial, yaitu relasi sosio yang melingkupi hubungan antarpelaku atau partisipan dalam percakapan; (5) Konteks situasional, yaitu situasi yang mengacu lingkungan, waktu, tempat, hubungan antara penutur dan mitra tutur saat suatu bahasa atau suatu tuturan terjadi; dan (6) Konteks budaya mengacu pada budaya, adat istiadat, tradisi, dan latar belakang masyarakat bahasa, khususnya penutur dan mitra tutur dalam berpartisipasi membangun komunikasi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

24

Sementara itu, Duranti (1997: 90) mengemukakan konteks dalam penelitian etnografi, yaitu segala hal yang dilakukan dalam keseharian; segala hal yang diciptakan dan gunakan; hal yang mengontrol masuknya barang-barang dan teknologi; segala hal yang diketahui dan dirasakan oleh semua orang; cara berkomunikasi antara satu orang dengan orang lain; cara-cara dalam pengambilan keputusan; cara mengelompokkan objek, orang, fenomena budaya dan alam; cara pengelompokan gender, umur, klasifikasi sosial, tingkatan, dan lain sebagainya; cara-cara menata kehidupan keluarga atau rumah tangga, dan lain sebagainya.

Lazimnya, konteks situasi, sosial, dan budaya lebih mendominasi dalam pendekatan etnopragmatik tradisi lisan liâ asa usu, karena berhubungan langsung dengan kehidupan sosial budaya masyarakat Lamalera. Konteks budaya mengacu pada linguist behavior (perilaku linguistik) penutur, sistem kepercayaan, etnisitas adat istiadat, mata pencaharian, sistem kekerabatan, dan kearifan lokal masyarakat

Lamalera. Sementara konteks situasi sosial mengacu pada fenomena pragmatis yang gayut dengan aspek penutur dan petutur, lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan, tujuan sebuah tuturan, tindak tutur, produk tindak tutur, tindak ilokusi, dan tuturan (Leech, 1996: 19-22). Konsep ini senada dengan etnografi SPEAKING

Hymes, yaitu scene (adegan), participants (pelibat), ends (tujuan), cts (aksi), keys

(kunci), instrumentalities (intrumen), norms (norma), dan genre (kategori)

(Mulyana, 2005: 23). Walaupun demikian, setiap konteks saling memengaruhi sehingga membantu peneliti dan masyarakat Lamalera mampu memahami makna dan maksud bahasa liâ asa usu sebagai potret jati diri masyarakat Lamalera.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

25

2.2 Etnografi dan Etnografi Komunikasi

Konsep etnografi dipaparkan oleh James Spradley (2007: 3) sebagai suatu pekerjaan mendeskripsikan dan menganalisis kebudayaan. Etnografi merupakan suatu bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori etnografi, dan berbagai deskripsi kebudayaan. Etnografi berfungsi membangun suatu pengertian yang sistematik mengenai kebudayaan manusia dari perspektif orang yang telah mempelajari kebudayaan itu. Hal ini berarti etnografi sangat bergayut dengan kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Karena itu, konsep etnografi tidak dapat dilepaspisahkan dengan konsep budaya sebagai pengetahuan yang diperoleh dan orang yang menginterpretasikan pengalaman serta melahirkan pedoman tingkah laku sosial, seperti adat (custom) atau cara hidup (Spradley, 2007: 5-13). Dengan demikian, studi etnografi mendeskripsikan dan menginterpretasikan kebudayaan, kelompok sosial atau kemasyarakatan. Meskipun makna kebudayaan sangat luas, studi etnografi biasanya dipusatkan pada aktivitas kehidupan, cara hidup atau pola karakter, kepercayaan, bahasa, dan ritual adat istiadat (Sukmadinata 2006: 62).

Konsep kebudayaan merupakan semua hasil karya, rasa, dan cipta manusia

(Settiadi, 2006: 28). Hal ini berarti kebudayaan berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan manusia, baik material maupun non-material. Kebudayaan material menyangkut hasil cipta, karsa, yang berwujud benda penunjang kehidupan, dan barang atau alat pengolahan alam. Aspek material menggambarkan wujud kebudayaan bendaniah (material) yang memiliki ciri dapat dilihat, diraba, dirasa sehingga lebih konkret atau mudah dipahami. Sementara itu, kebudayaan non- material merupakan wujud rahaniah (spiritual) yang memiliki ciri hanya dapat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

26

dirasi, yaikni menyangkut hasil cipta, karsa yang berwujud kebiasaan, adat istiadat, kepercayaan, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya. Kebudayaan non- material lebih bersifat abstrak dan lebih sulit dipahami.

Wujud kebudayaan tersebut ditegaskan oleh Koentjaraningrat (Ahmadi,

2003: 54-55) bahwa sesungguhnya kebudayaan memiliki tiga wujud, yakni (1)

Wujud ide, gagasan, nilai-nilai, norma, dan peraturan. Wujud ini sifatnya abstrak, tidak dapat dirabah, lokasinya ada di dalam kepala dan pikiran manusia. Wujud ini baru tampak apabila manusia membuat karangan atau melakukannya dalam tindak kehidupan; (2) Wujud kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.

Wujud ini berhubungan dengan kegiatan manusia dalam berinteraksi, bergaul, berhubungan satu sama lain yang senantiasa berpola menurut pola-pola tertentu berdasarkan adat istiadat; dan (3) Wujud benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini sifatnya paling konkrit, nyata, dapat dirabah, dilihat, dan difoto.

Wujud-ujud kebudayaan tersebut dapat ditegaskan secara mendalam sebagai produk unsur kebudayaan, yakni sistem religi (kepercayaan), peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem peralatan dan perlengkapan hidup, bahasa, dan sistem pengetahuan (Koentjaraningrat, 1983). Sejalan dengan unsur kebudayaan tersebut, konteks penelitian ini menggambarkan masyarakat Lamalera sebagai homo religius yang memiliki keyakinan terhadap kekuatan supranatural dan hal- hal yang bersifat religi; masyarakat Lamalera sebagai homo sapiens yang memiliki pengetahuan tentang berbagai hal dalam kehidupan; masyarakat

Lamalera sebagai homo economicus yang memiliki mata pencaharian dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

27

meningkatkan kehidupan mereka; masyarakat Lamalera sebagai homo socius yang memiliki sistem kekerabatan, sistem perkawinan, organisasi politik dan hukum; masyarakat Lamalera homo longuens yang memiliki bahasa sebagai alat komunikasi sekaligus tanda (kode) yang disempurnakan dalam bahasa lisan dan bahasa tulisan; dan masyarakat Lamalera sebagai homo esteticus yang memiliki seni dalam memenuhi kebutuhan psikis sekaligus memertahankan hidup

(Kluckhohn, http://www.e-jurnal.com).

Sesungguhnya, kebudayaan dalam konteks penelitian ini merupakan hasil karya, cipta, rasa, karsa masyarakat Lamalera yang digunakan untuk melindungi, memertahankan hidup, mengatur hubungan sosial antaranggota masyarakat, mengatur kehidupan iman, yakni tindak spiritual dan religius. Tanpa kebudayaan, masyarakat Lamalera tidak bisa membentuk peradapan kehidupan sebagai masyarakat adat dan berbudaya. Seluruh aspek kebudayaan tersebut perlu disadari secara menyeluruh oleh masyarakat Lamalera, agar dunia kehidupan budaya mereka dipandang secara utuh, sekaligus memenuhi tujuan etnografi.

Tujuan utama etnografi adalah proses memahami suatu pandangan hidup berdasarkan sudut pandang penduduk asli. Hal ini sejalan dengan pemahaman

Malinowsky bahwa etnografi bertujuan memahami sudut pandang penduduk asli yang berhubungan dengan kehidupan agar dapat memperoleh pandangan tentang dunianya secara utuh. Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan aktifitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cara yang berbeda. Dengan demikian, pendekatan etnografi tidak hanya belajar tentang masyarakat, tetapi lebih dari itu etnografi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

28

berarti belajar dari masyarakat (Spradley, 2007:3-4). Intinya, etnografi bertujuan menguraikan suatu budaya secara menyeluruh, yakni semua aspek kebudayaan baik yang bersifat material, seperti peralatan kehidupan, dan yang bersifat abstrak seperti kepercayaan, pengalaman, dan sistem nilai suatu kelompok masyarakat.

Konteks penelitian ini menunjukkan peran etnografi yang sangat kental, karena peneliti melakukan kajian dan analisis, serta mendeskripsikan wujud dan makna tradisi lisan liâ asa usu masyarakat Lamalera. Konsentrasi etnografi dalam penelitian ini dipusatkan pada pola tingkah laku dan karakter, kepercayaan, tradisi dan ritual adat istiadat, dan cara hidup masyarakat Lamalera sebagai potret jati diri atau identitas sosial mereka. Tentu, hal yang mendasar adalah peneliti belajar dari masyarakat Lamalera sehingga peneliti mampu memahami identitas mereka yang diungkapkan berdasarkan sudut pandang pengetahuan mereka sendiri.

Walaupun demikian, dalam perkembangan etnografi (etnografi modern), wujud jati diri atau identitas masyarakat Lamalera yang tercermin dalam tradisi lisan liâ asa usu juga dikaji dan dideskripsikan menggunakan nalar peneliti.

Peneliti berusaha untuk mengkaji, menganalisis, dan menemukan bagaimana masyarakat Lamalera mengorganisasikan aspek sosial-budaya dalam pikiran dan menggunakannya sebagai identitas sosial. Dengan demikian, penelitian ini juga melibatkan aspek subjektif peneliti, karena nalar dan intuisi peneliti sangat membantu proses penemuan jati diri atau identitas masyarakat Lamalera yang terpotret dalam tradisi lisan liâ asa usu. Hal ini memungkinkan peneliti tidak sekadar mengamati seluruh wujud kehidupan masyarakat Lamalera, tetapi lebih dari itu menyelidiki makna kehidupan yang tercermin dalam karakter mereka.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

29

Penerapan etnografi tidak bisa dilepaspisahkan dengan peranan bahasa dalam perilaku komunikatif suatu kelompok masyarakat. Konsep ini yang menjadi awal pemahaman tentang etnografi komunikasi. Etnografi komunikasi merupakan suatu kajian mengenai pola-pola komunikasi sebuah komunitas budaya. Tentu, secara makro kajian ini adalah bagian dari etnografi (Sakhia, 2005). Lebih dari itu, etnografi komunikasi telah menjadi sebuah disiplin ilmu yang menunjukkan suatu pengolahan informasi dalam strukturisasi perilaku komunikatif masyarakat

(Saville-Troike, http://www.dea.unibo.it/narduso/sssup/ethno2.pdf). Hal ini berarti dasar atau akar pemahaman etnografi komunikasi terletak pada istilah bahasa dan interaksi sosial yang menyangkut kode-kode budaya dan ritual. Dengan kata lain, etnografi mengambil bahasa sebagai bentuk kebudayaan dalam situasi sosial yang pertama dan paling penting.

Peranan etnografi komunikasi dalam penelitian ini memungkinkan peneliti mengkaji bahasa yang diwujudkan dalam lirik-lirik syair tradisi lisan liâ asa usu.

Lebih dari itu, peranan etnografi komunikasi memungkinkan peneliti untuk mengungkapkan wujud dan makna identitas yang digunakan bersama masyarakat

Lamalera. Identitas tersebut diciptakan oleh komunikasi dalam kehidupan sosial masyarakat. Identitas yang dimaksudkan dalam penelitian ini merupakan karakter, perasaan, dan pola pikir setiap anggota tentang diri mereka sebagai masyarakat atau komunitas sosial. Dengan kata lain, identitas yang dimaksudkan peneliti adalah seperangkat kualitas bersama yang digunakan setiap anggota masyarakat

Lamalera dalam mengidentifikasikan diri sebagai masyarakat adat dan sebagai etnik yang memiliki kekayaan budaya yang khas.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

30

Berdasarkan konteks penelitian ini, jati diri atau identitas, serta wujud pergeseran sistem sosial-budaya masyarakat Lamalera, juga faktor penyebabnya dikaji berdasarkan konsep etnografi, yakni pendefinisian, pemahaman, penginterpretasian, dan pendeskripsian berdasarkan sudut pandang penduduk asli mengenai karakter, pola tingkah laku, adat istiadat, maupun pandangan hidup mereka sendiri (Spradley, 2007:5-6). Lebih lanjut, Spradley menegaskan bahwa setiap anggota masyarakat menggunakan sistem makna yang kompleks untuk mengatur dan memahami tingkah laku diri mereka sendiri dan orang lain, serta dunia tempat mereka hidup. Sistem makna yang dimaksudkan adalah kebudayaan sehingga makna yang dimaksudkan dalam dunia etnografi adalah pemahaman masyarakat atas kebudayaan yang mereka hidupi setiap hari.

Etnografi selalu mengimplikasikan konsep-konsep kebudayaan sehingga seorang etnografer tidak sekadar mengamati tingkah laku, tetapi lebih dari itu dia menyelidiki makna tingkah laku itu. Etnografer melihat berbagai objek, tetapi lebih dari itu dia menyelidiki makna berbagai objek itu. Etnografer tidak sekadar mengamati dan mencatat berbagai kondisi emosional, tetapi lebih dari itu dia juga menyelidiki makna berbagai perasaan yang ada dalam diri masyarakat budaya

(Spradley, 2007:7). Makna sebagaimana ditegaskan Frawley (Subroto, 2011:17) dipandang sebagai kebudayaan (meaning as culture). Pendekatan kebudayaan terhadap makna disebut pandangan reduksionisme budaya (culture reductionism).

Artinya, bahwa budaya adalah penentu terakhir terhadap makna, atau makna sistem sosial-budaya sepenuhnya ditentukan oleh konteks sosial-budaya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

31

Sisi lain, sistem makna dalam konsep kebudayaan memiliki persamaan dengan pandangan interaksionalisme simbolik (teori yang menjelaskan tingkah laku manusia dalam kaitannya dengan makna). Hal ini dinyatakan Herbert Blumer

(Spradley, 2007:8) dalam beberapa premis, yakni (1) manusia melakukan berbagai hal berdasarkan makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka.

Gambaran sejarah, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, sistem kepercayaan, bahasa, dan peralatan hidup yang dikisahkan dalam syair-syair tradisi lisan liâ asa usu merupakan simbol yang mempunyai makna khusus. Peneliti tidak bertindak terhadap berbagai usur tersebut, tetapi terhadap makna yang terkandung dalam unsur-unsur tersebut; (2) makna berbagai hal itu muncul atau berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain. Makna dalam syair-syair tradisi lisan liâ asa usu muncul ketika peneliti membangun komunikasi atau interaksi intensif dengan masyarakat Lamalera; dan (3) makna ditangani atau dimodifikasi melalui proses penafsiran orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dihadapi oleh orang tersebut. Masyarakat Lamalera menggunakan unsur-unsur kebudayaan mereka untuk menginterpretasikan jati diri keberadaan mereka sebagai masyarakat adat dan manusia berbudaya. Peneliti juga mengkaji dan menganalisis unsur-unsur identitas masyarakat Lamalera dengan cara berbeda sehingga memunculkan suatu

“reaksi ilmiah” yang berbeda pula sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

Maksud dalam kajian etnopragmatik merupakan suatu hubungan yang melibatkan tiga arah (triadic relation), yaitu wujud, makna, dan konteks sebuah tuturan yang dihubungkan pula dengan pemakai bahasa. Ketiga hubungan tersebut ditegaskan oleh Yule (2006: 3-5) bahwa studi tentang hubungan antara bentuk-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

32

bentuk linguistik dan manusia sebagai pemakai bentuk-bentuk linguistik itu merupakan bidang yang mengkaji makna tuturan berdasarkan konteks. Lebih dari itu, makna dalam pendekatan etnopragmatik menghubungkan apa yang diacu oleh suatu bahasa, karena bahasa dapat mengandung tuturan yang memiliki berbagai tafsiran pembicaraan tentang apa yang diucapkannya. Strategi yang dianggap bisa menerangkan makna, yakni (1) mendefinisikan makna leksikal dan kalimat, serta

(3) menerangkan proses komunikasi. Artinya, yang dianalisis dalam penelitian etnopragmatik adalah makna yang berhubungan dengan strategi-strategi tersebut yang kemudian disebut makna ilokusional (Made, 2011: 40).

Dengan demikian, yang dimaksud dengan makna dalam penelitian ini adalah implikasi penggunaan bahasa yang menyangkut makna ilokusional tuturan yang dapat terrefleksi dari makna leksikal, makna kalimat, atau tuturan yang digunakan masyarakat Lamalera dalam liâ asa usu. Ide utama dengan konsep makna ini gayut dengan rasa (sense) budaya. Suatu tuturan bisa bermakna, tetapi makna tersebut belum tentu memiliki sense. Oleh karena itu, dalam penelitian ini konsepsi makna berhubungan erat dengan sense budaya yang terikat oleh konteks situasi, sosial, dan budaya masyarakat Lamalera.

2.3 Konsep Pergeseran

Kehidupan setiap masyarakat pasti mengalami pergeseran, baik pergeseran dalam arti luas maupun dalam arti sempit; baik secara cepat maupun lambat.

Pergeseran kehidupan suatu masyarakat dapat memengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap, dan pola prilaku masyarakat setempat. Hal ini menunjukkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

33

bahwa betapa luasnya bidang-bidang yang mungkin mengalami pergeseran. Oleh karena itu, pergeseran dalam kehidupan masyarakat berarti perubahan pola kebudayaan, maka tidak mudah mengemukakan batasan secara ringkas dan terperinci karena merupakan bidang kajian yang cukup luas.

Walaupun demikian, konsep pergeseran dalam konteks penelitian ini adalah wujud transformasi sistem sosial budaya suatu masyarakat. Istilah pergeseran dalam konteks penelitian ini secara substansi berarti adanya gejalah peralihan, perpindahan, atau pergantian wujud kebudayaan yang menyebabkan perubahan makna dan maksudnya. Pergeseran maksud merupakan bagian jenis- jenis perubahan makna, yakni gejala perluasan atau generalisasi, penyempitan atau spesialisasi, peninggian atau ameliorasi, penurunan atau peyorasi, pertukaran atau sinestesia, persamaan atau asosisasi, pengkonotasian atau pengkiasan, penghalusan atau eufemia, pengasaran, perubahan bentuk total, perubahan makna membaik dan memburuk, pelemahan dan kekaburan makna, perubahan lingkungan dan pertukaran tanggapan indra (Tarigan, 2009; Chaer; 2013: 140-

145; Wijana dan Rohmadi, 2011: 92-96; Suhardi, 2015: 117; Pateda, 2012: 168).

Gillin dan Gillin (Soerjono, 2002: 205) mengungkapkan bahwa perubahan nilai-nilai sosial sebagai suatu variasi dan cara hidup yang telah diterima oleh masyarakat. Hal ini berarti pergeseran kehidupan sosial budaya merupakan sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat yang berjalan terus menerus dari waktu ke waktu sepanjang masyarakat masih ada.

Artinya, suatu pergeseran berkaitan dengan aspek periodisasi, yaitu menyangkut keberadaan pola kehidupan suatu masyarakat dari waktu ke waktu. Dengan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

34

demikian, pergeseran kebudayaan adalah suatu perubahan yang terjadi akibat ketidaksesuaian antarunsur kebudayaan yang saling berbeda sehingga terjadi keadaan yang tidak serasi fungsinya dalam kehidupan (Soekanto, 1990: 338).

Tentu, perubahan yang dimaksud sebagai proses yang mengakibatkan keadaan sekarang berbeda dengan keadaan sebelumnya, baik berupa kemunduran maupun kemajuan sistem sosial-budaya suatu masyarakat.

Perubahan kehidupan sosial-budaya meliputi unsur-unsur kebudayaan, baik material maupun imaterial (Soerjono, 2002: 303). Hal ini berarti perubahan nilai-nilai budaya dalam konteks kehidupan sosial-budaya masyarakat Lamalera yang tergambar dalam tradisi lisan liâ asa usu tidak hanya berkaitan dengan aspek material, tetapi juga aspek non-material. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebudayaan suatu masyarakat tidak dapat bertahan lama atau selamanya oleh karena perkembangan suatu masyarakat tidak terlepas dari kondisi perkembangan suatu budaya di sekitarnya. Tentu, perubahan kebudayaan akan terus ada selama pengaruh aspek internal dan eksternal tidak pernah mati.

Aspek internal maupun eksternal yang dimaksud merupakan faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya perubahan kehidupan suatu masyarakat. Misalnya, faktor perubahan akibat kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi, sosialisasi, internalisasi, akulturasi, asimilasi, difusi, maupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Artinya, pengetahuan masyarakat tentang kebudayaannya tidak terlepas dari konsep tentang sosialisasi, akulturasi, dan internalisasi. Selain itu, ada juga proses perkembangan kebudayaan suatu masyarakat yang menjadikan wujud-wujud kebudayaan lama semakin kompleks,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

35

yakni evolusi kebudayaan. Sementara itu, proses penyebaran kebudayaan secara geografis akibat perpindahan penduduk disebut difusi. Proses lain yang disebut akulturasi dan asimilasi merupakan proses belajar unsur-unsur kebudayaan asing oleh suatu masyarakat. Dengan demikian, suatu proses pembaharuan (inovasi) merupakan wujud penemuan baru (invention) (Fathoni, 2005: 23-24).

Konsep tersebut sejalan dengan pemahaman Soekanto (1990: 352-360) bahwa faktor-faktor perubahan kebudayaan bersifat internal, yaitu faktor yang berasal dari masyarakat sendiri dan bersifat eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar masyarakat. Lebih lanjut, Soekanto menegaskan bahwa faktor internal perubahan kebudayaan, yakni (1) Adanya ketidakpuasan terhadap sistem nilai yang berlaku, (2) Adanya individu yang menyimpang dari sistem nilai yang berlaku, (3) Adanya penemuan baru yang diterima dalam masyarakat, dan (4)

Adanya perubahan jumlah dan kondisi penduduk. Sementara itu, faktor eksternal perubahan kebudayaan, yakni adanya bencana alam, timbul peperangan, kontak dengan masyarakat lain, dan modernisasi.

Dengan demikian, perubahan kebudayaan suatu masyarakat menyangkut penyebaran unsur-unsur baru berupa ide, gagasan, keyakinan, maupun hasil-hasil kebudayaan kebendaan (artefak) yang disebut sebagai difusi kebudayaan. Proses selanjutnya adalah bertemu dan diterimanya unsur-unsur tersebut oleh masyarakat yang meliputi proses akulturasi dan asimilasi (Koentjaraningrat, 1990: 228).

Masing-masing aspek tersebut dapat dipaparkan secara terperinci oleh peneliti sebagai dasar pemahaman dalam mengkaji wujud perubahan kehidupan sosial- budaya masyarakat Lamalera yang digambarkan dalam tradisi lisan liâ asa usu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

36

2.3.1 Konsep Akulturasi

Istilah akulturasi atau accutulturation atau culture contact memiliki beberapa pengertian di antara para sarjana antropologi, tetapi semua sepaham bahwa konsep itu mengenai proses sosial yang timbul ketika suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sedemikian rupa sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat, 2000: 202). Artinya bahwa akulturasi merupakan suatu fenomena yang timbul akibat pertemuan dua kelompok masyarakat yang memiliki kebudayaan berbeda-beda, mengadakan kontak secara langsung dan terus menerus, kemudian menimbulkan perubahan secara original.

Selain itu, konsep akulturasi ditegaskan dalam Encyclopaedia Britannica

(1979: 59) merupakan sebuah proses perubahan dalam benda-benda peninggalan, kebudayaan, dan kepercayaan yang terjadi sebagai hasil dari sebuah kontak dengan masyarakat yang berbeda tradisi atau kebudayaan. Istilah akulturasi dapat juga digunakan untuk merujuk pada hasil perubahan-perubahan tersebut.

Selanjutnya, Krober (Harsojo, 1999: 164) mengatakan bahwa akulturasi meliputi berbagai perubahan dalam kebudayaan yang disebabkan oleh adanya pengaruh dari kebudayaan lain, yang akhirnya menghasilkan makin banyaknya persamaan pada kebudayaan itu. Pengaruh itu bisa bersifat timbal balik, atau pengaruh itu lebih kuat dari satu pihak saja. Akulturasi juga merupakan bentuk perubahan budaya yang diakibatkan oleh kontak kelompok-kelompok budaya, yang menekankan penerimaan pola budaya baru dan ciri-ciri masyarakat pribumi oleh kelompok minoritas. Artinya, bersatunya dua kebudayaan atau lebih sehingga

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

37

membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli.

(Mulyana, 2001: 159)

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa akulturasi merupakan proses pencampuran antara dua kebudayaan, yakni kebudayaan lokal dan kebudayaan asing tanpa menghilangkan identitas dari kebudayaan asing tersebut. Misalnya, kebudayaan leluhur Lamalera dari dan Beru datang dan bergabung dengan kebudayaan Lango Fujjo di Lembata.

Unsur-unsur kebudayaan Lango Fujjo tidak akan hilang atau teta bertahan, walaupun sudah dimasuki kebudayaan leluhur Lamalera hingga saat ini.

Kebudayaan Lango Fujjo dikenal sebagai budaya tuan tanah (tanah alep) yang turut mendukung tradisi dan budaya penangkapan ikan paus yang dibawa oleh leluhur Lamalera.

Proses akulturasi sudah ada sejak sejarah kebudayaan umat manusia. Akan tetapi, kharakteristik akulturasi baru tampak ketika kebudayaan bangsa-bangsa di

Eropa Barat mulai menyebar ke semua daerah lain dan memengaruhi masyarakat suku-suku bangsa di Afrika, Asia, Oseania, Amerika Utara, dan Amerika Latin

(Koentjaraningrat, 1990: 249). Demikian juga dengan kebudayaan Lamalera yang dikenal budaya ola nua dan fule penete merupakan warisan leluhur yang mendapat tempat dalam lingkup kebudayaan tuan tanah Lango Fujjo.

Proses mengamati terjadinya akulturasi dalam suatu masyarakat dilakukan dengan memerhatikan aspek-aspek penting (Koentjaraningrat, 2000: 205), seperti (1)

Keadaan masyarakat penerima sebelum proses akulturasi mulai jalan, (2) Individu- individu dari kebudayaan asing yang membawa unsur-unsur kebudayaan asing, (3)

Saluran-salursan yang dilalui oleh unsur-unsur kebudayaan asing untuk masuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

38

kedalam kebudayaan lama, (4) Bagian-bagian dari masyarakat penerima yang terkena pengaruh unsur-unsur kebudayaan asing tadi, dan (5) Reaksi para individu yang terkena unsur-unsur kebudayaan asing.

2.3.2 Konsep Asimilasi

Asimilasi merupakan suatu proses sosial yang ditandai dengan semakin berkurangnya perbedaan antara individu-individu dan kelompok. Artinya, semakin eratnya persatuan aksi, sikap, dan proses mental individua tau kelompok yang berhubungan dengan kepentingan dan tujuan yang sama. Apabila seorang individu atau kelompok telah terasimilasikan kepada satu kelompok tertentu, maka mereka akan kehilangan sifatnya yang khas. Mereka akan ditempatkan di luar kelompok dan mereka mengidentifikasikan diri dengan anggota-anggota kelompok lain serta dengan kepentingan dan tujuan yang ditetapkan oleh kelompok tersebut (Harsojo, 1999: 169).

Konsep tersebut ditegaskan Koentjaraningrat (2009: 209) bahwa asimilasi adalah proses sosial yang timbul apabila ada (a) Golongan-golonga manusia dengan latar belakang kebudayaan berbeda-beda, (b) Saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama, (c) sehingga kebudayaan-kebudayaan khas dari golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas. Unsur masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran.

Biasanya, golongan-golongan yang tersangkut dalam suatu proses asimilasi adalah satu golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas. Dengan kata lain, asimilasi adalah proses sosial yang timbul bila ada golongan-golongan manusia dengan latar belakangan kebudayaan yang berbeda yang saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu lama sehingga kebudayaan masing-masing

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

39

berubah menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran. Asimilasi dipandang sebagai bercampurnya dua kebudayaan atau lebih sehingga membentuk kebudayaan baru atau proses perubahan pola-pola budaya untuk menyesuaikan diri dengan mayoritas (Soekanto, 1983: 38).

Sementara itu, Encyclopaedia Britannica (1979: 594) memaparkan asimilasi sebagai sebuah proses dimana individua tau kelompok-kelompok dari etnis yang memiliki kebudayaan yang berbeda terserap dalam sebuah kebudayaan asli dari sebuah masyarakat. Individu atau kelompok tersebut biasanya terdiri dari para imigran atau masyarakat yang terisolasi pada suatu masa. Artinya, melalui berbagai kontak dan partisipasi dalam masyarakat dengan kebudayaan asli tersebut, mereka melepaskan sebagian besar kebudayaan asli mereka sehingga secara sosial mereka menjadi sulit untuk dibedakan dengan anggota-anggota dari masyarakat asli tersebut. Asimilasi tidak merujuk pada penggabungan rasa tau biologis, meskipun dalam beberapa kasus hal tersebut mungkin berhubungan.

Dengan demikian, peneliti dapat menggambarkan bahwa asimilasi merupakan suatu kebudayaan baru yang mucul akibat terjadinya kontak, persentuhan, atau percampuran dua unsur kebudayaan yang berbeda, sehingga beberapa kebudayaan akibat percampuran tadi kehilangan sifat khasnya. Artinya bahwa setiap keberadaan leluhur Lamalera dalam proses eksodus selalu mengalami asimilasi, karena mereka selalu membangun kontak dan hidup Bersama masyarakat asli tempat mereka singgah dan membangun hidup. Setiap lirik-lirik liâ asa usu mengisahkan proses asimilasi para leluhur Lamalera sejak keluar dari daerah Luwuk dan Beru hingga menetap dan membangun hidup di Lamalera.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

40

Proses asimilasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang mempermudah asimilasi maupun yang menghambat asimilasi. Faktor-faktor yang mempermudah asimilasi (Soekanto, 1990: 365), antara lain (1) Toleransi antarkebudayaan yang berbeda, (2) Kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang Ekonomi, (3) Sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya, (4) Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat, (5) Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan, (6)

Perkawinan campuran, dan (7) Adanya musuh bersama dari luar. Lebih lanjut

Soekanto menegaskan faktor-faktor yang menghambat asimilasi, yakni (1) Terisolir dari kehidupan kelompok, (2) Kurangnya pengetahuan tentang kebudayaan lain, (3)

Perasaan takut terhadap kebudayaan lain, (4) Pandangan yang menganggap bahwa kebudayaan sendiri lebih tinggi dari kebudayaan lain, (5) Perbedaan warna kulit dan ciri fisik, (6) In-group feeling yang kuat, (7) Golongan minoritas mendapat gangguan dari golongan mayoritas, dan (8) Perbedaan kepentingan.

Sementara itu, Gordon membedakan tujuh dimensi asimilasi, yakni: asimilasi kultural atau perilaku (akulturasi), struktural, marital, identifikasional, penerimaan sikap, penerimaan perilaku, dan kewarganegaraan. Akulturasi kultural ditandai dengan perubahan pada pola-pola budaya kelompok minoritas seperti bahasa, nilai, peralatan, pakaian, dan makanan. Sementara asimilasi struktural ditandai dengan rnasuknya kelompok minoritas ke dalam klik, klub, atau lembaga masyarakat pribumi (Mulyana, 2001: 161). Bahkan, Gillin dan Gillin (1954: 487) memparalelkan konsep asimilasi dan akulturasi di saat menjelaskan kemungkinan munculnya bahwa asimilasi dan akulturasi dapat terjadi apabila adanya: (1) kesetian dan keserasian sosial; (2) kesempatan dalam bidang ekonomi; (3) persamaan kebudayaan; (4) perkawinan campur; dan (5) adanya ancaman dari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

41

luar. Sisi lain, Jiobu (1988: 6) memaparkan kemungkinan akibat proses asimilasi, yakni (1) Kelompok minoritas kehilangan keunikannya dan menyerupai kelompok mayoritas. Dalam proses itu kelompok mayoritas tidak berubah; dan (2)

Kelompok minoritas dan kelompok mayoritas bercampur secara homogen.

Masing-masing kelompok kehilangan keunikannya, lalu muncul suatu produk unik lainnya, suatu proses yang disebut belanga pencampuran (melting pot).

2.3.3 Konsep Difusi

Difusi kebudayaan merupakan proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan

(ide-ide, kepercayaan, hasil-hasil kebudayaan, dan lain sebagainya) dari individu yang sat uke individu yang lain, dari suatu golongan ke golongan yang lain dalam suatu masyarakat. Dengan kata lain, difusi adalah proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari suatu masyarakat ke masyarakat lain (Koentjaraningrat, 1990:

244). Hal ini berarti konsep difusi memiliki tipe-tipe (Soekanto, 1990: 245), yakni (1) Difusi intra-masyarakat (intra society diffusion). Artinya, difusi unsur kebudayaan antarindividu atau golongan dalam suatu masyarakat, dan (2) Difusi antar-masyarakat (intersociety diffusion). Artinya, difusi unsur kebudayaan dari suatu masyarakat ke masyarakat lain.

Sementara itu, proses difusi melalui beberapa aspek (Koentjaraningrat,

1990: 245-246), yakni pertama, Symbiotic, yaitu pertemuan antara individu- individu dari suatu masyarakat dengan individu dari masyarakat lain tanpa mengubah kebudayaan masing-masing. Proses symbiotic, yakni (a) Mutualistik, yaitu simbiose yang saling menguntungkan, (b) Komensalistik, yaitu satu pihak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

42

untung dan pihak lain tidak untung juga tidak rugi, dan (c) Parasitistik, yaitu satu pihak mendapat keuntungan dan pihak lain menderita kerugian. Kedua,

Penetration Pasifique, yaitu masuknya kebudayaan asing dengan cara damai tanpa kekerasan dan paksaan. Ketiga, Penetration Violente, yaitu masuknya kebudayaan asing dengan cara paksaan. Cara pakasaan tersebut dapat berupa penjajahan atau peperangan. Kelompok yang menang memaksakan kebudayaan pada kelompok yang kalah.

Lebih lanjut, Koentjaraningrat (1990: 247-248) menyatakan bahwa difusi dan akulturasi memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya, yaitu difusi dan akulturasi memerlukan adanya suatu kontak. Tanpa kontak, tidak mungkin proses difusi dan akulturasi dapat berlangsung dengan baik. Perbedaannya, yaitu difusi berlangsung dalam keadaan yang di dalamnya kontak tidak perlu ada secara langsung dan berkelanjutan. Sementara itu, akulturasi memerlukan hubungan dekat, langsung, dan berkesinambungan.

2.3.4 Konsep Inovasi

Proses inovasi sangat erat kaitannya dengan penemuan baru dalam teknologi yang harus melalui tahap khusus, yakni discovery dan invention (Koentjaraningrat,

2009: 210). Sementara itu, Fathoni (2006: 33) mengungkapkan bahwa inovasi adalah suatu proses pembaharuan dari penggunaan sumber-sumber alam, energi dan modal, pengaturan tenaga kerja dan penggunaan tekhnologi baru yang akan menyebabkan adanya sistem produksi dan dibuatnya produk-produk baru. Dengan demikian, inovasi berkaitan dengan pembaharuan yang khusus, yaitu mengenai unsur teknologi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

43

dan ekonomi. Tentu, proses inovasi sangat erat hubungannya dengan penemuan baru dalam teknologi.

Suatu penemuan biasanya merupakan proses sosial yang panjang melalui dua tahap khusus, yaitu discovery dan invention. Suatu discovery adalah suatu penemuan dari suatu unsur kebudayaan yang baru, baik berupa suatu alat yang baru, suatu ide yang baru yang diciptakan oleh seseorang atau beberapa individu dalam masyarakat yang bersangkutan. Sejatinya, lahirnya berbagai inovasi tidak sebagai efek domino dari gempuran modernisasi. Artinya, dengan kondisi globalisasi ini, maka gempuran modernisasi tidak hanya berdampak bagi masyarakat perkotaan, namun terus merasuk masuk hingga ke sendi-sendi masyarakat pedesaan. Adanya kemajuan tehnologi, tidak bisa dinafikkan oleh masyarakat desa. Kemajuan tehnologi berimbas pada terjadi perubahan beberapa nilai budaya yang sudah lama mengakar di tengah-tengah masyarakat.

Tempuling (kafe) sebagai alat penangkap ikan berukuran besar merupakan salah satu contoh nilai budaya di Lamalera. Tempuling mengalami perubahan wujud akibat adanya inovasi dan gempuran teknologi. Zaman dahulu leluhur Lamalera menggunakan tempuling yang terbuat dari kayu secan untuk menangkap ikan-ikan besar. Namun, saat ini akibat kemajuan teknologi, setelah adanya besi yang dinilai lebih kuat, para nelayan Lamalera menggunakan tempuling yang terbuat dari besi.

Tentu, wujudnya mirip dengan wujud sebelumnya. Hal ini yang menjadi bukti bahwa wujud kebudayaan dalam aspek peralatan atau artafek bisa mengalami pergeseran.

Dengan demikian, konsep perubahan digunakan oleh peneliti untuk mengkaji transformasi sistem sosial budaya masyarakat Lamalera yang tersirat dalam liâ asa usu. Perubahan sistem sosial-budaya terjadi apabila seberapa jauh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

44

suatu guyup menghendaki untuk menghilangkan identitas sebagai kelompok sosiokultural yang dapat diidentifikasi sendiri demi identitas sebagai bagian dari guyup lain. Biasanya kelompok lain itu adalah guyup besar yang mengontrol guyup pertama sebagai minoritas (Suandi, 2014: 98).

Perubahan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah transformasi sistem sosial budaya masyarakat Lamalera berdasarkan konteks dan cara pandang masyarakat, serta faktor-faktor luar yang dihadirkan sebagai pendukung identitas sosial masyarakat. Peneliti melihat perubahan sistem kebudayaan yang tersirat dalam lirik-lirik tradisi lisan liâ asa usu. Karena itu, perubahan bentuk dan makna dalam penelitian ini juga gayut dengan perubahan sosial budaya masyarakat

Lamalera. Perubahan yang dimaksud merupakan suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena difusi atau penemuan baru dalam masyarakat (Soekanto, 2002).

Perubahan yang dimaksud meliputi unsur-unsur kebudayaan baik material maupun yang non-material atau unsur fisik dan rohaniah akibat pertautannya dengan dinamika manusia sebagai suatu totalitas. Hal ini senada dengan Gillin dan Gillin yang menunjuk perubahan sosial budaya pada dinamika dan reaksi masyarakat terhadap lingkungan sosialnya baik menyangkut cara hidup, kondisi alam, cara berkebudayaan, dinamika kependudukan maupun filsafat hidup yang dianut setelah menemukan hal-hal baru dalam kehidupannya. Pendapat Gillin dan

Gillin tersebut senada dengan Koenig bahwa perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia (Marius,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

45

2006: 126). Oleh karena itu, analisis wujud pergeseran bentuk dan makna dalam penelitian ini merupakan wujud kebudayaan yang berkaitan dengan perubahan kehidupan sosial budaya masyarakat Lamalera yang tercermin dalam tradisi lisan liâ asa usu. Artinya, pergeseran sistem sosial budaya masyarakat Lamalera seiring dengan perkembangan pola pikir, konteks sosial budaya, dan pemakaian bahasa.

Sementara itu, secara umum faktor penyebab terjadinya pergeseran sistem sosial-budaya masyarakat bercermin dari konsep Lieberson (bdk. Suandi, 2014:

98) terjadi melalui peralihan intergenerasi, yaitu peralihan beberapa generasi dalam satu masyarakat dalam jangka waktu yang cukup panjang. Lebih lanjut,

Suandi (2014: 98) menegaskan bahwa pergeseran juga dipengaruhi oleh faktor loyalitas, konsentrasi wilayah pemukiman, pemakaian bahasa, dan mobilitas sosial. Selain itu, faktor pendorong pergeseran sistem sosial-budaya, yakni aspek ekonomi, sosial, politik, demografis, perilaku, nilai-nilai dalam suatu komunitas, kebijakan pemerintah, pola-pola sosial budaya, masyarakat tutur, kekuatan kelompok sosial, kelas sosial, latar belakang pendidikan, perkawinan, hubungan tanah leluhur, modernisasi, dan lain sebagainya.

2.4 Jati Diri atau Identitas Sosial Masyarakat

Jati diri merupakan aspek kepribadian seseorang berdasarkan refleksi atas identitas dan proses sosialisasi dirinya dalam lingkungan sosial (Soehardi, 1996:

38). Seseorang melakukan proses interaksi dengan orang lain dalam lingkungan keluarga dan masyarakat menunjukkan perkembangan jati diri sebagai individu maupun sebagai anggota keluarga dan anggota masyarakat. Konsep jati diri yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

46

dimaksud adalah ide, gagasan yang menjadi sumber perilaku masyarakat yang ditinjau dari status dan peranan yang dimiliki dalam hal religius, kekerabatan, adat istiadat dan budaya, serta bahasa (Sinar, 2006). Lebih jauh, jati diri dalam numenklatur keilmuan disebut sebagai identitas.

Istilah identitas berasal dari kata identity yang berarti (1) kondisi atau kenyataan tentang sesuatu, suatu keadaan yang mirip satu sama lain; (2) kondisi atau fakta tentang sesuatu yang sama di antara dua orang atau benda; (3) kondisi atau fakta yang menggambarkan sesuatu yang sama di antara dua orang atau kelompok atau benda; dan (4) sesuatu yang ‘identik’ atau mirip satu dengan yang lain (Liliweri, 2007: 69). Pengertian epistemologis tersebut memberi gambaran bahwa identitas sebagai simbol kekhasan suatu benda atau hal yang mengandung pembedaan dengan benda atau hal lain, termasuk gambaran suatu masyarakat.

Dengan demikian, identitas adalah jati diri yang dimiliki oleh seseorang sejak lahir hingga dalam proses interaksi sosial yang membentuk karakter dirinya.

Lebih lanjut, identitas merupakan ciri atau sifat khas yang melekat pada sesuatu sehingga menunjukkan suatu keunikannya, serta membedakannya dengan sesuatu yang lain. Ketika konsep identitas dihubungkan dengan kehidupan sosial- budaya serta adat istiadat suatu masyarakat, maka identitas merupakan ekspresi eksistensi kehidupan sosial-budaya serta adat istiadat suatu etnik masyarakat.

Misalnya, berdasarkan faktor material, identitas etnik masyarakat, yakni makanan, pakaian, perumahan, peralatan; sedangkan faktor non-material dilihat dari bahasa, adat istiadat, kepercayaan, cara berpikir, sikap, dan lain sebagainya (Liliweri,

2005: 48). Keberadaan identitas suatu masyarakat tidak dengan sendirinya, tetapi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

47

dibentuk dan dibangun berdasarkan interaksi dinamis antara konteks dan gagasan atau konsepsi (construct). Sifat identitas suatu masyarakat adalah dinamis dan kontekstual, karena dibangun berdasarkan proses yang berubah-ubah. Dengan demikian, identitas sesungguhnya menentukan keberadaan suatu masyarakat.

Identitas dikenal juga sebagai pemahaman atas diri sendiri (the notion of self). Collingwood (1973: 10) menyatakan bahwa mengenal diri sendiri itu berarti mengenal apa yang seorang itu lakukan. Tidak seorang pun mengetahui apa yang bisa dia lakukan sampai dia harus mencobanya. Karena itu, satu-satunya kunci untuk mengetahui seorang individu atau kelompok lakukan adalah perlu adanya pemahaman akan apa yang telah diperbuat sebelumnya. Dengan demikian, nilai sebuah sejarah sangat penting dan berpengaruh, karena senantiasa mengajarkan apa yang telah dikerjakan oleh manusia. Selanjutnya, sejarah pula yang dapat membantu untuk memahami apa sebenarnya jati diri atau identitas manusia itu.

Identitas dalam konteks penelitian ini lebih cendrung merujuk pada konsep karakter atau peran tingkah laku (role-behavior) dalam masyarakat. Pemahaman tentang identitas masyarakat Lamalera dipelajari melalui karakter dan peran sosial yang diperoleh melalui pengalaman hidup yang diwariskan sejarah. Penerimaan terhadap suatu identitas merupakan suatu proses dimana seorang individu sepakat dengan anggota masyarakatnya tentang makna identitas yang perlu bagi dirinya.

Tentu, hal ini menjelaskan tentang identitas sosial atau keanggotaan masyarakat yang ditunjukkan secara individu.

Teori identitas diinternalisasikan oleh (Tustiantina, 2011) dalam penelitian tesisnya berjudul “Deskripsi Identitas Masyarakat Provinsi Banten melalui Lirik

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

48

Lagu Kulit Gerintul Iwake Sate Bandeng: Kajian Wacana Kritis”. Tustiantina mengkaji representasi identitas masyarakat Banten melalui lirik lagu berjudul

Kulit Gerintul Iwake Sate Bandeng karya Toton Greentoel yang dirilis oleh Dinas

Pariwisata Kabupaten Serang dan seizin dari Pemda Banten. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan analisis wacana kritis. Hasil penelitian menyatakan bahwa wacana ini mengambil topik sayur kulit gerintul dan sate bandeng sebagai penanda identitas masyarakat karena kuliner ini disukai oleh masyarakat dan menjadi tradisi di wilayah tersebut. Tentu, penelitian Tustiantina berbeda dengan penelitian ini. Penelitian ini mengkaji jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera yang terpotret dalam tradisi lisan liâ asa usu. Peneliti menggunakan pendekatan etnopragmatik untuk menganalisis tradisi lisan liâ asa usu sebagai potret jati diri masyarakat Lamalera serta wujud pergeseran bentuk dan makna dalam tradisi lisan liâ asa usu.

Konsep identitas lebih luas artinya daripada yang dijelaskan di atas, karena merangkum identitas pribadi, identitas sosial, identitas budaya, dan identitas etnik yang menerangkan bahwa pengenalan diri seseorang berkaitan dengan kedudukan sosialnya, tradisi budayanya, atau pun keanggotaannya dalam kelompok (Norazit,

1996: 54). Konsep tersebut digambarkan oleh Liliweri (2007: 95) sebagai bentuk- bentuk identitas, yakni (1) Identitas diri, yaitu keunikan kharakteristik pribadi seseorang yang mengintegrasikan semua gambaran diri sebagai pribadi yang unik, sehingga memiliki perbedaan dengan pribadi orang lain; (2) Identitas budaya, yaitu ciri suatu etnik yang melekat pada seseorang atau kelompok masyarakat, seperti tradisi dan adat istiadat, bahasa, kepercayaan, pola prilaku atau cara hidup

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

49

sehingga menjadi pembeda antara suatu kebudayaan dengan kebudayaan lain; dan

(3) Identitas sosial, yaitu karakteristik kelompok sosial yang diciptakan dari kesadaran diri seseorang sebagai bentuk pengetahuannya tentang keanggotaan kelompok masyarakat, dan diinternalisasikan dalam interaksi antarkelompok serta antara anggota dan kelompok. Berdasarkan fokus penelitian ini, ikhwal konsep identitas yang paling relevan adalah identitas sosial, yakni karakter masyarakat

Lamalera yang dihidupi dari waktu ke waktu sebagai kelompok sosial-budaya warisan leluhur yang peneliti kaji dan angkat ke permukaan melalui analisis atas lirik-lirik syair tradisi lisan liâ asa usu yang merupakan integrasi etnopragmatik.

Secara mendalam, konsep identitas sosial dipaparkan oleh Tajfel (Utami,

2013, Kusumowardhani, 2013) adalah bagian dari konsep diri seseorang yang berasal dari pengetahuan mereka tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial bersamaan dengan signifikansi nilai dan emosional dari keanggotaan tersebut. Hal ini berarti identitas sosial yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Lamalera tentang kehidupan mereka sebagai satu komunitas sosial, adat, dan budaya sesuai dengan identitas yang ada pada diri masing-masing anggota. Keberadaan anggota masyarakat dan suku-suku senantiasa membentuk ikatan emosional antara pribadi dan suku, pribadi dan masyarakat umum, maupun suku dan suku lain.

Identitas sosial ditentukan oleh adanya ciri atau keadaan-keadaan khusus yang dimiliki oleh sekelompik masyarakat. Ciri atau keadaan khusus tersebut menunjukkan cara-cara individu atau kolektivitas dibedakan dalam hubungan mereka dengan individu atau kolektivitas lain (Jenkins, 2008: 18). Selain itu,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

50

identitas sosial juga dimaknai sebagai persamaan dan perbedaan, hal-hal yang menyangkut personal dan sosial, hal yang dimiliki secara bersama-sama, dan apa yang membedakan seseorang dengan orang lain (Barker, 2004: 221). Hal ini ditegaskan Abrams dan Hogg (Barker, 2004: 221) bahwa identitas sosial sebagai konsep diri seseorang sebagai anggota kelompok. Seseorang mendefinisikan diri berdasarkan keanggotaan dalam suatu kelompok, berdasarkan kategori demografis

(etnis, gender, usia, kelas sosial), peranan dan pekerjaan, dan keanggotaan dalam organisasi formal dan non-formal. Dengan demikian, identitas sosial masyarakat ditentukan oleh adanya perpaduan antara kekhasan atau keunikan-keunikan diri, baik secara individu maupun kolektif dengan implementasi nilai-nilai yang dianut dalam sikap dan prilaku kehidupannya.

Demikian halnya dengan identitas sosial masyarakat adat Lamalera yang dicerminkan dalam sikap dan perilaku sosial kesehariannya, serta tata acara dalam membangun komunikasi dengan sesama. Kehidupan sosial masyarakat Lamalera mencakup perjuangan untuk mendapatkan kebahagiaan melalui hubungan yang harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam lingkungan. Ketiga hubungan tersebut menjadi landasan identitas sosial masyarakat Lamalera, yakni masyarakat yang menjunjung tinggi kepercayaan pada kekuatan Ilahi, menjunjung tinggi persaudaraan dan kebersamaan antarsuku dan antarsesama, dan mencintal alam lingkungan. Lebih lanjut, identitas sosial dipahami melalui cara memahami latar belakang, peran, kekerabatan, dan sasaran atau cita-cita (Fisher, 2001: 46).

Identitas masyarakat Lamalera dikaitkan dengan budaya penangkapan ikan paus secara tradisional, walaupun persoalan identitas semakin meruncing,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

51

terutama bagi sekelompok orang Lamalera yang tidak mau dirinya hilang dalam arus pembangunan dan kemodernan yang begitu pesat berlangsung. Identitas masyarakat adat Lamalera dapat dikenal melalui komponen dasar, yaitu kepercayaan, ritual dan adat istiadat, sistem kekerabatan, dan mata pencaharian.

Kekuatan masyarakat Lamalera dalam menyatakan identitas dirinya bergantung pada komponen-komponen tersebut, kemudian menurunkan sub-sub komponen lain. Karena itu, masyarakat adat Lamalera bersedia dan selalu mempertahankan komponen penting tersebut ketika mereka berhadapan dengan arus kemodernan dan perubahan sosial yang pesat dari masa ke masa. Dengan memperhatikan ciri- ciri yang terkandung dalam komponen tersebut, masyarakat Lamalera dapat terus memertahankan identitas mereka di tengah penerimaan berbagai perubahan.

Perjuangan orang Lamalera mengangkat tradisi, adat istiadat, kepercayaan, bahasa, sistem kekerabatan, pengetahuan, dan kesenian selalu menjadi tumpuan kajian para peneliti, khususnya peneliti humaniora dan antropologi. Misalnya,

Jacobus Belida Blikololong (2010) dalam penelitian disertasinya berjudul “Du-

Hope di Tengah Penetrasi Ekonomi Uang: Sebuah Kajian Sosiologis Terhadap

Sistem Barter di Lamalera, Nusa Tenggara Timur”. Blikololong mengeksplorasi faktor-faktor penyebab sistem barter Lamalera tetap bertahan di tengah penetrasi ekonomi uang. Studi ini merupakan penelitian triangulasi (gabungan kualitatif dan kuantitatif) dengan disain deskriptif dan kuantitatif. Hasil penelitian digambarkan oleh Blikololong (2010), sebagai berikut:

“Temuan studi ini merekomendasikan agar dalam menghadapi hegemoni ekonomi uang perlu digali dan dicoba model ekonomi yang berbasis budaya sambil mengkombinasikannya dengan teknologi modern (the New Traditional Economy). Secara khusus, didorong penerapan prinsip-prinsip

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

52

ekonomi Islam yang ternyata lebih tahan guncangan krisis dibanding sistem kapitalisme. Community economics sangat disarankan untuk menjadi model dalam pembangunan masyarakat, khususnya ekonomi. Sebagai bagian dari implikasi kebijakan disarankan agar dalam kampanye penyelamatan lingkungan, termasuk pelestarian spesies hewan langka, diprioritaskan faktor kesejahteraan penduduk pribumi yang secara langsung bergantung pada sumber daya alam di sekitarnya.”

Hal ini berarti fokus penelitian Blikololong lebih pada tradisi du-hope sebagai salah satu aspek dari mata pencaharian masyarakat Lamalera, khususnya pekerjaan yang dilakukan oleh kaum perempuan, berbeda dengan penelitian ini.

Penelitian ini lebih fokus pada kajian mengenai jati diri atau identitas masyarakat

Lamalera yang tergambar dalam tradisi lisan liâ asa usu. Tentu, penelitian

Blikololong merupakan salah satu aspek kecil dalam penelitian ini, karena tradisi du-hope merupakan salah satu bagian dari jati diri atau identitas masyarakat

Lamalera. Peneliti menggunakan pendekatan etnopragmatik untuk menganalisis tradisi lisan liâ asa usu sebagai potret jati diri masyarakat Lamalera serta wujud pergeseran bentuk dan makna di dalamnya. Peneliti meyakini bahwa identitas masyarakat Lamalera direpresentasikan dalam tradisi lisan liâ asa usu. Liâ asa usu mengemukakan gambaran role-behavior masyarakat Lamalera. Kebanyakan tradisi lisan liâ asa usu memaparkan identitas masyarakat Lamalera berlatarkan sejarah, sistem kepercayaan, tradisi dan kebudayaan, dan sistem kemasyarakatan, sistem peralatan hidup, dan bahasa.

2.5 Tradisi dan Tradisi Lisan

Konsep tentang tradisi lisan tidak bisa dilepaspisahkan dari konsep tentang tradisi dan kelisanan. Istilah tradisi berasal dari kata traditium yang berarti segala

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

53

sesuatu yang diwariskan dari masa lalu (Murgiyanto, 2004: 2). Finnegan (1992: 7) menegaskan bahwa kata tradisi merupakan istilah umum yang bisa digunakan dalam ujaran sehari-hari, khususnya digunakan para antropolog, peneliti folklore, dan sejarahwan lisan. Makna tradisi bervariasi, misalnya sebagai kebudayaan, sebagai keseluruhan; berbagai cara melakukan sesuatu berdasar cara yang telah ditentukan; proses pewarisan praktik, ide, atau nilai; produk yang diwariskan; dan sesuatu dengan konotasi lampau. Umumnya, sesuatu yang disebut sebagai tradisi menjadi kepemilikan komunitas dibanding individu atau kelompok tertentu.

Tradisi tidak ditulis, tetapi merupakan pemarkah identitas kelompok (Sudu, 2012).

Dengan demikian, konsep tradisi dimaknai sebagai kebiasaan turun temurun masyarakat berdasarkan nilai dan norma budaya mereka (Esten, 1999: 21).

Kebiasaan tersebut memperlihatkan jati diri atau identitas masyarakat yang mengandung nilai dan norma dalam seluruh aspek kehidupan, baik kehidupan yang bersifat duniawi maupun kehidupan yang bersifat gaib atau keagamaan. Hal ini dipandang sebagai proses pewarisan identitas yang dilakukan berulang kali sebagai warisan yang benar dan baik (Peursen, 1988: 11; Sztompka, 2007: 69).

Sementara itu, konsep kelisanan adalah berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun temurun disampaikan secara lisan (Hoed, 2008: 184).

Hal ini dipandang sebagai kelisanan primer, karena kelisanan suatu budaya atau tradisi sepenuhnya tidak tersentuh pengetahuan apa pun mengenai tulisan atau cetakan (Ong, 1988: 6). Selain itu, kelisanan juga merupakan suatu yang belum di tulis, sesuatu yang dianggap belum sempurna, hasil dari masyarakat yang tidak terpelajar, dan sering dinilai dengan kriteria keberaksaraan (Pudentia, 2007: 28).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

54

Namun, Pudentia menegaskan bahwa konsep kelisanan tersebut masih keliru untuk memahami tradisi lisan. Kenyataannya, tradisi lisan tidak hanya dimiliki oleh masyarakat tradisional dan tidak terpelajar, tetapi juga oleh masyarakat modern dan terpelajar sehingga tradisi lisan tidak ditautkan pada masyarakat tradisional, tetapi juga pada masyarakat modern.

Tradisi lisan dipandang sebagai suatu aspek kebudayaan masyarakat yang diwariskan dari generasi ke generasi secara lisan dalam proses komunikasi; atau sesuatu yang dituturkan dalam masyarakat (Lord, 2000: 1). Hal senada pada liâ asa usu sebagai suatu aspek budaya masyarakat Lamalera yang diwariskan turun temurun. Liâ asa usu sebagai tradisi lisan yang tidak ditulis atau dicetak, karena merupakan nyanyian tradisional yang dilantunkan oleh masyarakat Lamalera saat upacara-upacara adat dan tradisi budaya.

Sementara itu, Vansina (1985: 27-28) berpendapat bahwa tradisi lisan merupakan pesan verbal berupa pernyataan yang dilaporkan dari generasi masa silam ke generasi masa kini berupa tuturan atau nyanyian dengan atau tanpa musik. Demikian halnya dengan tradisi lisan liâ asa usu merupakan pesan verbal dari para leluhur dahulu berupa nyanyian yang dilantunkan tanpa iringan musik.

Liâ asa usu dilantunkan dalam suasana pengharapan akan keselamatan dan keberhasilan dalam perjuangan. Lebih lanjut, Vansina (1985: 1) mengungkapkan bahwa tradisi lisan dapat ditinjau dari aspek proses dan produknya. Aspek proses menunjukkan pewarisan pesan-pesan melalui mulut ke mulut sepanjang waktu sampai hilangnya pesan itu, sedangkan aspek produk diwujudkan melalui pesan-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

55

pesan lisan yang berdasarkan pada pesan generasi sebelumnya. Tradisi lisan liâ asa usu memiliki karakter komunikatif dan sebagai bentuk produk pewarisan.

Hal yang menjadi unsur penting dalam tradisi lisan adalah kelisanan dari penutur dalam mengungkapkan dan pendengaran dari penerima dalam menyimak, karena sesungguhnya pewarisan tradisi lisan melalui media “mulut ke telinga”

(kelisanan primer). Walaupun demikian, kelisanan dan keberaksaraan tidak dapat dilepaspisahkan (kelisanan sekunder), karena penutur seakan hanya membacakan atau mendengarkan cerita yang tertulis (Samsul, 2012: 8). Kelisanan sekunder yang ditandai dengan adanya tulisan bukan berarti menghilangkan unsur kelisanan itu sendiri. Kelisanan menjadi unsur penting karena masyarakat yang mengenal tulisan pun masih menganggap unsur kelisanan menjadi aspek utama dalam kehidupan. Bahkan, sejak munculnya tulisan tidak mengurangi unsur kelisanan, tetapi meningkatkan unsur kelisanan itu menjadi sesuatu yang seni (Ong, 1988:

9). Tentu, tradisi liâ asa usu juga merupakkan bentuk kelisanan yang memiliki unsur seni, karena lirik-lirik lagunya teratur dan sistematis. Bahkan, liâ asa usu membawa pengaruh yang besar dalam hal hubungan sosial kemasyarakatan, di samping keselarasan hubungan dengan Tuhan, roh leluhur, dan alam.

Tradisi lisan memiliki ciri khas yang berbeda dengan tradisi kebudayaan lain, karena secara tradisional tampil dalam versi berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat

(mnemonic device) (Danandjaja, 1986: 2). Ciri-ciri tradisi lisan, yakni (1) tradisi lisan sebagai kegiatan budaya yang berbentuk lisan; (2) penggunaan tradisi lisan berdasarkan konteks situasi, konteks sosial, konteks budaya, dan konteks ideologi;

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

56

(3) Tradisi lisan dapat diamat dan ditonton; (4) Bersifat anonim, polos, dan lugu;

(5) Proses pewarisan secara turun temurun secara lisan (dari muluk ke telinga); (6)

Bersifat tradisional, yaitu berbentuk relatif dan standar; (8) Memiliki versi dan variasi; (9) Bentuknya berumus atau berpola; (10) Bermanfaat dalam kehidupan kolektif; (11) bersifat pralogis, yaitu memiliki logika sendiri dan tidak sesuai logika umum; (12) Milik bersama suatu masyarakat; (13) Mengandung nilai dan norma budaya; (14) Berpotensi dapat direvitalisasi, dilestarikan, dan diangkat sebagai sumber industri budaya (Danandjaja, 1986: 3-4; Sibarani, 2012: 43-46).

Ciri-ciri tersebut memungkinkan liâ asa usu pantas disebut sebagai bentuk tradisi lisan, karena memenuhi karakteristik tersebut. Liâ asa usu merupakan tradisi lisan karena pewarisannya secara lisan atau melalui media “mulut ke telinga”. Liâ asa usu merupakan nyanyian yang didendangkan secara lisan dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan tradisi dan adat istiadat. Liâ asa usu juga bersifat tradisional karena diwariskan secara turun temurun; mengandung konteks dalam penggunaannya, karena didendangkan dalam situasi dan konteks yang berbeda-beda. Liâ asa usu dapat ditonton oleh masyarakat luas; menjadi kearifan budaya masyarakat Lamalera; dan mengandung nilai serta norma-norma budaya.

Sisi lain, Roger Told dan Pudentia (Samsul, 2012: 7-8) menyatakan bahwa tradisi lisan tidak hanya mencakup cerita rakyat, mitos, legenda, dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya. Misalnya, kearifan lokal, nilai, pengetahuan, sejarah, hukum adat, pengobatan, sistem kepercayaan dan religi, astrologi, dan berbagai hal seni. Hal senada ditegaskan Sabarani (2013) bahwa wujud tradisi lisan terdiri dari beberapa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

57

ragam, antara lain (1) Tradisi berkesusastraan lisan, seperti tradisi penggunaan bahasa rakyat, penyebutan ungkapan tradisional, tradisi berteka-teki, berpuisi rakyat, bercerita rakyat, melantunkan nyanyian rakyat, dan menabalkan gelar kebangsawanan; (2) Tradisi pertunjukkan rakyat, seperti kepercayaan rakyat, teater rakyat, permainan rakyat, tarian rakyat, adat istadat, upacara atau ritual, dan pesta rakyat; (3) Tradisi upacara adat dan ritual, misalnya upacara tentang siklus kehidupan (kelahiran, pernikahan, dan kematian), dan upacara yang berkenaan dengan mata pencaharan (melaut, membagi hasil laut, dan barteran); (4) Tradisi teknologi tradisional, seperti arsitektur, ukiran, pembuatan pupuk tradisional, kerajinan tangan, keterampilan menjahit, keterampilan perhiasan adat, pengolahan makanan dan minuman, serta peramuan obat tradisional; (5) Tradisi perlambangan atau simbolisme, seperti gerak isyarat, bunyi isyarat untuk berkomunikasi rakyat; dan (6) Tradisi musik rakyat, seperti pertunjukan permainan alat-alat musik.

Liâ asa usu merupakan bentuk tradisi lisan berwujud kesusastraan lisan, yaitu lantunan nyanyian rakyat masyarakat Lamalera. Konsep nyanyian rakyat

(folksong) dikemukakan Jan Harold Brunvand (Danandjaja, 1986: 141) sebagai salah satu genre atau bentuk foklor berupa kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan, berbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian. Tradisi lisan liâ asa usu merupakan salah satu bentuk foklor atau genre yang mengandung pesan, nilai, dan norma kehidupan masyarakat Lamalera. Tradisi lisan liâ asa usu menjadi milik kolektif masyarakat Lamalera, sehingga digunakan dalam berbagai tradisi dan budaya di Lamalera. Secara eksplisit, tradisi lisan liâ asa usu berisikan pesan- pesan leluhur yang bertujuan menunjukkan, menuntun, sekaligus mendidik

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

58

masyarakat Lamalera agar memiliki karakter yang mencerminkan jati diri atau identitas masyarakat Lamalera.

Penelitian yang berkaitan dengan tradisi adat-istiadat dan budaya Lamalera dilakukan R.H. Barnes (1996) dalam disertasi yang sudah diterbitkan berjudul Sea

Hunters of Indonesia: Fishers and Weavers of Lamalera. Barnes menyajikan semua aspek yang membidangi kehidupan masyarakat Lamalera, khususnya hal- hal yang berkaitan dengan tradisi dan budaya penangkapan ikan paus secara tradisional. Ia merekam kehidupan masyarakat Lamalera dan seluruh aspek-aspek yang unik di dalamnya untuk disumbangkan kepada studi humaniora, khususnya bidang antropologi. Lebih lanjut, Barnes menunjukkan bahwa tradisi dan budaya

Lamalera merupakan suatu pergelaran bermakna dalam, meskipun aktivitas yang menjadi warisan leluhur tampak sangat rutin. Ia menyebut masyarakat Lamalera dan tradisi penangkapan ikan paus secara tradisional sebagai culture and complex organization of the fishery. Persamaan penelitian Barnes dengan penelitian ini adalah bahwa kedua penelitian ini meneliti tradisi budaya Lamalera. Hal yang berbeda bahwa Barnes meneliti tentang tradisi dan budaya tradisional Lamalera, tetapi ia tidak secara khusus menyinggung tentang tradisi lisan; sedangkkan penelitian ini fokus pada tradisi lisan liâ asa usu.

Sementara itu, penelitian yang berkaitan dengan tradisi lisan dilakukan oleh Ni Wayan Sumitri (2015) dalam disertasinya berjudul “Wacana Tradisi Lisan

Vera Etnik Rongga di Manggarai Timur-Nusa Tenggara Timur” dengan fokus penelitian pada Vera Haimelo Mbuku sa’o Mbasa wini (WVHMM). Wayan mengkaji aspek struktur, fungsi, makna, dan mekanismme pewarisan WVHMM.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

59

Persamaan antara penelitian Wayan dan penelitian ini, yakni kesamaan substansial bahwa kedua penelitian ini menggunakan tradisi lisan sebagai unit analisis.

Secara metodologis, kedua penelitian ini menggunakan metode yang hampir sama, yaitu pengamatan, wawancara, diskusi terarah, dan dokumentasi.

Sementara itu, perbedaannya terletak pada data kebahasaan. Data pada penelitian

Wayan adalah bahasa Manggarai; sedangkan data peneliitian ini berupa bahasa

Lamalera yang tersurat dalam lirik-lirik tradisi lisan liâ asa usu. Penelitian Wayan menggunakan data berupa tuturan lisan; sedangkan penelitian ini menggunakan data berupa lirik-lirik syair liâ asa usu. Meskipun demikian, penelitian Wayan banyak memberikan kontribusi dan ilham terhadap penelitian ini.

Hasil penelitian Wayan bahwa WVHMM merupakan wacana tradisi lisan bergaya sastra dengan karakteristik struktur, fungsi, dan makna khas. Kekhasan

WVHMM tercermin dalam struktur formal dan naratif. WVHMM mengemban fungsi manifes dan laten. Sesuai konteks sosial budaya Rongga yang melatarinya,

WVHMM menyiratkan makna religius, sosiologis, ekonomis, historis, politis, estetis, dan didaktis. Sementara itu, mekanisme pewarisan WVHMM melalui mekanisme pewarisan alamiah dan mekanisme pewarisan non-alamiah. WVHMM juga sebagai wahana rekonsiliâsi dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam; antarsesama dalam lingkungan sosial budaya yang melingkupi kehidupannya.

Berdasarkkan perbedaan dua penelitian tersebut, penelitian ini menggali makna kontekstual dan wujud serta faktor yang memengaruhi pergeseran makna tradisi lisan liâ asa usu masyarakat etnik Lamalera. Peneliti meninjau beberapa penelitian terdahulu yang berhubungan dengan tradisi lisan liâ asa usu, tetapi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

60

tidak menemukannya. Dengan demikian, peneliti beranggapan bahwa tradisi lisan liâ asa usu belum pernah diteliti oleh siapa pun.

2.6 Kerangka Berpikir

Berdasarkan rumusan masalah dan hasil kajian teori sebagaimana telah dipaparkan di atas, maka kerangka berpikir peneliti dalam proses penelitian dapat digambarkan, sebagai berikut:

Tradisi Lisan LIÂ

Etnografi: Pragmatik: Etnopragmatik Unsur Kebudayaan Konteks

Wujud Pergeseran Identitas Sosial Faktor-Faktor Masyarakat Unsur Kebudayaan Pergeseran

Kesimpulan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif, karena peneliti menggunakan kata-kata atau kalimat dalam struktur yang logik dan pemahaman yang mendalam (verstehen) untuk menjelaskan konsep-konsep dalam hubungan satu dengan yang lain (Aminuddin, 1990: 89-90). Konsep-konsep yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lirik-lirik syair tradisi lisan liâ asa usu yang menggambarkan identitas sosial masyarakat Lamalera. Sementara itu, pendekatan dalam penelitian ini adalah etnopragmatik, karena peneliti menginterpretasikan dan mendeskripsikan lirik-lirik liâ asa usu sebagai manifestasi kebudayaan lokal yang menggambarkan identitas sosial masyarakat Lamalera. Dengan pendekatan ini, peneliti mampu memahami suatu pandangan hidup (identitas sosial) dari sudut pandang pendukuk asli (masyarakat Lamalera), sebagaimana dikemukakan oleh

Bronislaw Malinowski (Spradley, 2006: 4) mengenai tujuan etnografi, yaitu memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangan mengenai dunianya. Dengan demikian, penedekatan etnopragmatik yang dimaksudkan adalah memahami makna dan maksud ilokusi lirik-lirik syair liâ asa usu berdasarkan sudut pandang pemahaman masyarakat

Lamalera sebagai pemilik tradisi lisan tersebut.

Pendekatan etnopragmatik yang digunakan oleh peneliti juga merupakan kolaboratif antara etnografi modern, etnografi baru atau holistik (Spradley, 2006:

61

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

62

xii, Aminuddin, 1990: 89-90), dan pragmatik Artinya bahwa walaupun sumber penelitiannya adalah suatu tradisi lisan liâ asa usu, namun pendekatan kolaboratif ini memungkinkan peneliti menganalisis jati diri yang terkandung di dalam lirik- lirik liâ asa usu berdasarkan makna dan maksud dari konteks kehidupan budaya masyarakat Lamalera. Konteks budaya yang dimaksud, yakni kepercayaan, sistem kemasyarakatan, mata pencaharian, sistem peralatan hidup, kesenian, bahasa, dan pengetahuan. Dengan demikian, peneliti memehami secara utuh dan mendalam mengenai identitas masyarakat Lamalera yang tercermin dalam liâ asa usu.

Tentu, peneliti tidak hanya mempelajari tentang kehidupan sosial dan budaya masyarakat Lamalera, tetapi lebih dari itu peneliti belajar dari masyarakat

Lamalera. Sikap etnografi tersebut membantu peneliti untuk mendeskripsikan bentuk kehidupan sosial budaya masyarakat Lamalera berdasarkan analisis dan nalar peneliti. Peneliti berusaha menemukan bagaimana masyarakat Lamalera mengorganisasikan budaya dalam pikiran mereka, lalu menggunakannya dalam keseharian hidup (etnografi modern). Selain itu, bentuk analisis dan deskripsi juga merupakan hasil “korekan” atau penelusuran peneliti terhadap konsep yang ada dalam pikiran masyarakat Lamalera (etnografi baru) berupa makna dan maksud berdasarkan konteks dari setiap lirik liâ asa usu. Dengan demikian, penelitian ini tidak bisa dihindarkan dari sisi subjektif peneliti, karena opini, nalar, dan intuisi peneliti juga masuk dalam pendeskripsian jati diri masyarakat Lamalera. Hasil penelitian ini adalah suatu narasi deskriptif menyeluruh (holistic) disertai dengan interpretasi dan kajian mendalam (verstehen) mengenai aspek kehidupan sebagai gambaran identitas sosial masyarakat Lamalera yang tersirat dalam liâ asa usu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

63

3.2 Sumber Data, Data, dan Objek Penelitian

Data penelitian ini berupa data primer dan sekunder. Data primer berupa lirik-lirik syair liâ asa usu yang menggambarkan jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera yang diperoleh dari proses penelitian lapangan. Sumber data primer berupa nyanyian tradisional sejarah (liâ asa usu) masyarakat Lamalera yang dilantunkan saat upacara-upacara adat dan tradisi budaya. Data sekunder berupa referensi-referensi pustaka, hasil-hasil penelitian, teori-teori yang relevan, teks-teks tradisi masyarakat Lamalera. Data-data yang dikumpulkan pun tidak terbatas pada lirik-lirik tradisi lisan liâ asa usu, melainkan juga keterangan latar belakang kebudayaan atau masyarakat (contextual information) mengenai teks tradisi lisan liâ asa usu yang dikumpulkan; juga keterangan bilamana, di mana, dan dari siapa bentuk tradisi lisan liâ asa usu diperoleh. Selain itu, kritik lisan dan penafsiran (oral criticism and interpretation) mengenai pendapat, penilaian, serta penafsiran informan maupun peneliti (Aminuddin, 1990: 104).

Sementara itu, objek penelitian ini adalah jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera. Pengungkapan jati diri atau identitas sosial melalui kajian terhadap tradisi lisan liâ asa usu yang diperoleh dari masyarakat tutur (speech community). Mereka dinyatakan oleh Mymes sebagai anggota masyarakat yang tidak saja sama-sama memiliki kaidah untuk berbicara, tetapi juga satu variasi linguistik; juga seperti dinyatakan Seville-Troike sebagai masyarakat tutur yang tidak harus memiliki satu bahasa, tetapi memiliki kaidah sama dalam berbicara

(Kuswarno, 2008: 38). Masyarakat tutur (speech community) sebagai informan kunci yang dipilih menggunakan sistem jaringan dan berdasarkan kriteria ideal

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

64

seperti yang ditegaskan Sudikan (2001: 9), yakni (1) Informan kunci merupakan warga masyarakat Lamalera, penutur asli bahasa Lamalera, dan bertempat tinggal di Lamalera, lokasi penelitian; (2) tokoh masyarakat dan tokoh adat Lamalera; (3) ia memiliki wawasan pengetahuan relatif luas dan mendalam mengenai tradisi lisan liâ asa usu, juga mampu mendendangkan liâ asa usu dengan baik dan fasih;

(4) laki-laki berusia minimal 30 tahun; dan (5) memiliki kondisi kesehatan yang prima, baik secara jasmani maupun rohani.

Dalam menentukan informan kunci, terlebih dahulu peneliti membangun komunikasi dengan Kepala Desa Lamalera A dan Desa Lamalera B, serta tokoh masyarakat untuk berkonsultasi, karena hemat peneliti bahwa mereka mengetahui secara pasti orang-orang yang pantas dan layak dipilih menjadi informan kunci penelitian ini. Selain informan kunci yang ditentukan, peneliti juga melakukan wawancara dengan sejumlah informan pembanding yang ditentukan secara acak.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Peneliti melakukan pengumpulan data dengan metode yang sejalan dengan pemaparan James Danandjaja (Aminuddin, 1990: 89-90), antara lain:

1. Metode Rapport,

Metode rapport adalah keadaan intim yang bebas dari kecurigaan

secara rasional maupun emosional antara peneliti dengan para informan.

Peneliti terjun dalam dunia kehidupan masyarakat Lamalera, tinggal

bersama, dan mengenal seluruh kehidupan mereka sehingga menimbulkan

keadaan rapport.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

65

2. Metode Pengamatan,

Metode pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, yaitu proses

observasi yang memungkinkan peneliti terlibat, sehingga biasa disebut

pengamatan berstruktur atau informal yang sengaja dilakukan. Proses ini

juga memungkinkan peneliti membangun interaksi dengan para informan,

yaitu masyarakat Lamalera yang mendendangkan liâ.

3. Metode Wawancara

Metode wawancara yang dilakukan oleh peneliti adalah wawancara

yang tidak terencana, yaitu peneliti tidak menyusun daftar pertanyaan yang

ketat sehingga teknik wawancaranya pun berstruktur dan tidak berstruktur.

Secara khusus, peneliti menggunakan metode tidak berstruktur dengan

wawancara berfokus, yaitu proses wawancara yang tidak memiliki struktur

tertentu, tetapi selalu berpusat pada pokok atau topik penelitian. Peneliti

memfokuskan proses wawancara dengan informan kunci untuk menggali

pengetahuan dan pengalaman pribadi mereka tentang liâ asa usu.

Kelancaran wawancara didukung dengan sejumlah pertanyaan

tertulis yang berisi beberapa pokok pikiran mengenai liâ asa usu. Daftar

pertanyaan tersebut hanya sebagai pedoman umum bagi peneliti agar alur

wawancara tidak membias dari lingkup topik permasalahan yang hendak

dikaji. Peneliti juga menerapkan teknik wawancara taksemuka dengan para

informan selama proses analisis data dengan menggunakan handphone

untuk mengkonfirmasi dan mengasosiasi data agar kadar kebenaran kajian

sesuai konsep pengetahuan dan skema budaya masyarakat Lamalera.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

66

4. Metode Diskusi

Peneliti juga melakukan diskusi dengan para informan kunci dan

informan pembanding untuk melengkapi data hasil pengamatan dan

wawancara. Tujuannya untuk menggali lebih mendalam lagi pandangan

informan tentang makna dan maksud tradisi lisan liâ asa usu.

5. Metode Studi Dokumentasi

Peneliti melakukan studi dokumentasi, yakni menggunakan media

cetak maupun elektronik. Berbagai dokumentasi digunakan dengan tujuan

mendapatkan data sekunder yang relevan dengan topik permasalahan

penelitian ini. Dokumen berupa buku-buku sebagai acuan umum, hasil

penelitian sebagai acuan khusus, dan data elektronik sebagai sumber

rujukan dalam pemerolehan data mengenai tradisi budaya Lamalera.

Selaras dengan beberapa metode pengumpulan data tersebut, peneliti juga menggunakan teknik rekam dan simak-catat. Perekaman data dilakukan untuk membantu peneliti dalam mengumpulkan data secara utuh dan menyeluruh dengan menggunakan perangkat media elektronik. Peneliti juga mencatat dalam bentuk catatan deskriptif dan reflektif berbagai hal yang dilihat, disimak, dialami selama proses pengamatan dan wawancara. Proses pengumpulan hingga analisis data penelitian ini dilakukan oleh peneliti sendiri sehingga peneliti sebagai instrument kunci (key instrument). Peneliti sendiri menetapkan fokus penelitian, memilih sumber data, melakukan pengumpulan data, menganalisis data, serta membuat simpulan. Tentu, peneliti juga menggunakan fasilitas pendukung untuk mencatat dan mendokumentasikan berbagai hal yang berkaitan dengan penelitian.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

67

3.4 Teknik Analisis Data

Proses analisis data tradisi lisan liâ asa usu terdiri atas tiga tahap, yaitu pengumpulan, penggolongan (pengklasifikasian), dan penganalisisan (Aminuddin,

1990: 104). Setelah data diperoleh melalui teknik pengumpulan data, proses penggolongan atau pengklasifikasian diawali dengan proses selekasi data sesuai dengan aspek-aspek universal kebudayaan. Parameter dalam melakukan seleksi data adalah kesesuaian data yang diperoleh dari para informan dengan konsep- konsep kebudayaan. Hal ini berarti data utama yang diseleksi adalah syair-syair liâ asa usu berdasarkan konsep dan kontaks budaya masyarakat Lamalera.

Data liâ asa usu yang diseleksi tersebut ditranskripsi dari bentuk lisan ke dalam bentuk tulisan agar mudah dianalisis. Hasil transkripsi tidak persis sama dengan pada saat pengumpulan, karena aspek lahiriah data yang disajikan berbeda dengan aspek batiniah (Sudaryanto, 1990: 74). Dengan demikian, tradisi lisan liâ asa usus berubah menjadi sebuah teks sehingga mudah dikaji dan dianalisis sekaligus sebagai korpus data utama untuk menjawab masalah-masalah penelitian ini. Proses transkripsi data dilakukan oleh peneliti dengan bantuan informan kunci yang memiliki pengetahuan relatif luas dan mendalam tentang liâ asa usus yang menggambarkan jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera; juga wujud pergeseran bentuk dan maknanya.

Proses selanjutnya adalah menerjemahkan teks liâ asa usus yang menjadi korpus data dari bahasa daerah Lamalera ke bahasa Indonesia. Tentu, proses ini dilakukan dengan bantuan informan kunci, agar hasil terjemahan menjadi lengkap dan mudah dipahami. Proses penerjemahan dilakukan dengan model terjemahan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

68

bebas dalam bahasa Indonesia dengan tujuan untuk mengetahui makna kata-kata tersebut, di samping menjelaskan makna kias dari ungkapan-ungkapan dan istilah- istilah bahasa Lamalera yang tidak menyandang makna leksikal tertentu.

Beberapa teknik penandaan tersebut sepadan dengan pandangan Sudikan

(2001: 105), yakni pemerolehan data mengenai tradisi lisan liâ asa usus dengan, kemudian pelaksanaan analisisnya, yakni (1) pemerincian, pemeriksaan, konseptualisasi, dan pengkategorian data tradisi lisan liâ asa usu; (2) penataan kembali data hasil klasifikasi sesuai aspek kebudayaan untuk dikembangkan ke arah analisis makna jati diri atau identitas sosial dan pergeseran makna; dan (3) klasifikasi dan pemeriksaan kategori inti melalui perbandingan hubungan dengan kategori-kategori lain untuk menghasilkan simpulan umum tentang gambaran jati diri masyarakat Lamalera serta pergeseran bentuk dan makna tradisi lisan liâ asa usu.

Selanjutnya adalah proses penganalisisan. Proses analisis data penelitiaan ini didukung dengan teknik padan, yaitu teknik yang digunakan untuk mengkaji makna yang terkandung dalam liâ asa usu dengan menggunakan alat penentu yang berasal dari luar bahasa (lirik liâ) (Subroto, 2007: 59). Alat penentunya tidak menjadi bagian dari bahasa (lirik) yang dimaknai, yaitu metode etnopragmatik dengan alat penentunya adalah mitra tutur atau dalam penelitian ini disebut masyarakat Lamalera (Sudaryanto, 1993: 13-15). Artinya, peneliti memahami makna tradisi lisan liâ asa usu secara etnopragmatik yang ditentukan berdasarkan faktor-faktor ekstralingual dan konteks. Peneliti melalukan proses analisis makna dan maksud tradisi lisan liâ asa usu dengan mencermati aspek konteks.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

69

3.5 Triangulasi Data

Proses analisis data dilakukan secara berkelanjutan, yakni sejak proses pengumpulan data sampai pendeskripsian hasil penelitian. Tujuannya untuk memperoleh pemahaman kompherensif dan holistik tentang tradisi lisan liâ asa usu dan pemaknaannya. Peneliti senantiasa mendiskusikan hasil analisis secara berkala dengan para informan, agar makna tradisi lisan liâ asa usu memiliki kesesuaian dan konseptualisasi, karena makna liâ asa usu ditemukan berdasarkan sudut pandang penutur asli. Proses triangulasi data ini sepadang dengan ciri pendekatan etnografi baru yang dikembangkan oleh Spradley (2007: xii), yakni etnografi analogis dengan ancangan etik. Hasil pengkajian makna data dengan menggunakan etnografi dialogis dan ancangan emik bersifat objektif, karena pemaknaan data berdasarkan sudut pandang penutur asli. Peneliti juga senantiasa membangun diskusi melalui bimbingan dengan dosen pembimbing. Umumnya, dosen pembimbing menyatakan bahwa setiap pendekatan dalam penelitian sesuai dengan metodologi sehingga hasil penelitian memiliki kekuatan yang integratif.

Peneliti juga membangun diskusi bersama ahli dalam bidang tradisi lisan untuk mendapatkan pemahaman tentang konsep-konsep ilmiah yang bertalian dengan penerapan pendekatan etnopragmatik tradisi lisan liâ asa usu berdasarkan sudut pandang budaya masyarakat Lamalera. Konsep ahli tradisi lisan bahwa sebuah tradisi lisan tidak mengalami pergeseran wujud maupun makna. Hal yang mengalami pergeseran adalah pola kehidupan masyarakat dimana tradisi lisan itu berada. Hal ini yang menjadi dasar pemahaman peneliti untuk melihat lebih mendalam dan kritis mengenai konsep penelitian ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB IV

HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Deskripsi Data

Data yang disajikan dalam penelitian ini berupa lirik-lirik syair nyanyain tradisional sejarah (liá asa usu) yang mengandung gambaran jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera dan menjadi salah satu tradisi lisan daerah setempat.

Data ini diperoleh berdasarkan studi etnografi pada masyarakat Lamalera. Peneliti juga memperoleh data berupa narasi-narasi hasil wawancara dengan beberapa informan sebagai narasumber dan masyarakat Lamalera, sekaligus menggali makna syair-syair liá asa usu tersebut.

Syair-syair liá asa usu merupakan nyanyian tradisional yang mengisahkan perjalanan sejarah cikal bakal keberadaan masyarakat Lamalera. Liâ asa usu memiliki 17 syair dan setiap syair memiliki 4 baris. Masing-masing baris setiap syair memiliki kata, frasa, atau pun kalimat yang berdaya etnopragmatik. Artinya bahwa setiap kata dalam lirik-lirik tradisi lisan liâ asa usus memiliki daya konteks yang mengandung makna dan maksud yang mencerminkan jati diri atau identitas masyarakat Lamalera. Syair-syair liâ asa usu biasanya dinyanyiakan saat upacara- upacara adat dan tradisi budaya, seperti saat upacara adat perkawinan, upacara menyambut para tamu atau para pembesar pemerintahan atau agama, upacara sebelum musim melaut (lefa nuang). Lebih dari itu, setiap baris dalam syair-syair liâ asa usus menggambarkan jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera

70

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

71

berdasarkan unsur-unsur kebudayaan, seperti sistem kemasyarakatan atau kekerabatan, mata pencaharian, sistem kepercayaan, bahasa, dan peralatan hidup.

Bahkan, satu syair liâ asa usus bisa menggambarkan lebih dari satu unsur kebudayaan masyarakat Lamalera. Hal ini menunjukkan bahwa hakikat liâ asa usu benar-benar menggambarkan jati diri atau identitas masyarakat Lamalera sehingga menjadi prioritas penelitian ini. Lirik-lirik syair liâ asa usu memberikan gambaran mengenai sejarah dan seluruh keberadaan masyarakat Lamalera sampai saat ini. Hal ini senada dengan Aman (http://staffnew.uny.ac.id) yang mengatakan bahwa kepribadian yang turut membentuk identitas seorang individu atau suatu komunitas berakar dari sejarah pertumbuhannya.

Dengan demikian, kesadaran akan sejarah keberadaan tradisi lisan liâ asa usu dan proses kajiannya dalam penelitian ini dipandang sebagai suatu yang esensial, karena sejarah keberadaan masyarakat Lamalera yang dikisahkan dalam liâ asa usu turut membentuk jati diri atau identitas masyarakat Lamalera hingga saat ini. Karena itu, peneliti menjadikan data lirik-lirik syair liâ asa usu sebagai data utama dalam menganalisis dan menggali potret jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera (menjawab rumusan masalah pertama). Sisi lain, lirik-lirik tradisi lisan liâ asa usu juga menggambarkan pergeseran unsur-unsur kebudayaan masyarakat Lamalera. Data lirik-lirik liâ asa usu menjadi fokus kajian peneliti untuk menganalisis wujud pergeseran bentuk dan makna unsur-unsur kebudayaan

(menjawab rumusan masalah kedua). Tentu proses analisis wujud pergeseran bentuk dan makna, peneliti mengkaji lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadi pergeseran tersebut (menjawab rumusan masalah ketiga).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

72

4.1.2 Tradisi Lisan Liâ Asa Usu sebagai Potret Jati Diri Masyarakat

Lamalera.

Tradisi lisan liâ asa usu merupakan gambaran baik masyarakat Lamalera, karena tidak hanya mengungkapkan hal-hal yang bersifat permukaan saja, tetapi mengungkapkan jiwa masyarakat secara mendalam, yakni jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera. Sesungguhnya, segala bentuk identitas sosial atau jati diri masyarakat Lamalera dikisahkan dalam tradisi lisan liâ asa usu sebagai bukti pemertahanan warisan identitas para leluhurnya. Sisi lain, tradisi lisan liâ asa usu menjadi potret jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera bercermin dari

Hipotesis Sapir-Whorf yang menegaskan bahwa bahasa menentukan corak suatu masyarakat (Rahardi, 2006: 143). Artinya bahwa tradisi lisan liâ asa usu yang diwujudkan dalam bentuk syair-syair sangat berpengaruh dalam pemertahanan identitas sosial masyarakat Lamalera, sekaligus menjadi penentu keberadaan unsur-unsur kebudayaan, seperti tradisi adat istiadat, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, sistem kepercayaan, bahasa, dan peralatan hidup.

Jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera diungkapkan melalui liâ asa usu dipandang sebagai ekspresi lisan leluhur Lamalera, karena mereka tidak mengenal tradisi tulis. Mereka mengisahkan dalam bentuk nyanyian dalam rangka kebertahanan dan wujud keberimbangan hidup. Dengan demikian, jati diri atau identitas masyarakat Lamalera dapat ditentukan melalui wujud kelisanan yang tercermin dalam lirik-lirik liâ asa usu. Apabila liâ asa usu tidak dipertahankan dan dilestarikan, maka masyarakat Lamalera tidak dapat mengetahui, memahami, dan mengkomunikasikan jati diri atau identitas yang diwariskan oleh leluhurnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

73

Ketika mendalami tradisi lisan liâ asa usu, peneliti mengetahui bahwa banyak hal dalam tradisi lisan liâ asa usu yang memuat aspek etnografi kehidupan masyarakat Lamalera sebagai gambaran jati diri atau identitas mereka. Karena itu, peneliti mengkaji lirik-lirik tradisi lisan liâ asa usu yang menggambarkan jati diri atau identitas masyarakat Lamalera melalui wujud kebudayaan sebagaimana disebutkan Koentjaraningrat (1979: 203-204) sebagai unsur-unsur kebudayaan universal. Unsur-unsur kebudayaan universal yang menjadi fokus kajian peneliti, yakni sistem mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, kepercayaan, peralatan hidup, dan bahasa sebagai wujud pengklasifikasian. Alasanya bahwa kelima unsur tersebut lebih tampak dan dominasi dalam lirik-lirik syair liâ asa usu. Sementara sistem pengetahuan dan kesenian hadir secara tersirat dalam unsur-unsur tersebut.

4.1.2.1 Jati Diri Masyarakat Lamalera dalam Sistem Mata Pencaharian

Sistem mata pencaharian dipandang sebagai suatu sistem yang timbul karena manusia mampu menciptakan barang atau hal yang baru untuk memenuhi kebutuhan hidup, sekaligus membedakan manusia dengam makhluk hidup yang lain. Sesungguhnya, mata pencaharian masyarakat Lamalera, yakni sebagai nelayan tradisional (lefa alep) menangkap ikan (tuba feda) dilakukan oleh kaum laki-laki remaja dan dewasa. Sementara itu, kaum perempuan dewasa melakukan perkerjaan fule-pnete, yaitu kegiatan barteran di pasar dan daerah-daerah pedalaman. Kaum perempuan juga membantu laki-laki dalam proses pembagian, pengawetan, dan penyimpanan ikan hasil tangkapan dari laut (bdk. Blikololong,

2009). Kedua bentuk kerja tersebut tersirat dalam syair liâ asa usu di bawah ini:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

74

Feffâ bélâkâ Bapa Raja Hayam Wuruk (Demi Kehendak Bapa Raja Hayam Wuruk) Pasa-pasa pekkâ lefuk lau Luwuk Terpaksa-tinggal/lepas-kampung saya-sana Luwuk (Terpaksa kutinggalkan desaku di Luwuk sana) Fengi baata Gadja Mada lali Jawa (Atas perintahnya melalui Gadja Mada dari Jawa) Hidâ-hidâ hiangkâ tanah lau Béru (Kulepaskan rumahku yang makmur di tanah Beru) (LAU.1)

Hau téti Kroko tafa Teria Géré (Tiba di Kroko tafa Teria Gere) Talé kafé heppâ di Kroko (Tali dan tempuling dari serat Kroko dan Heppa’) Honek téti lefuk téti Leppâ (Kubangun desaku di Lepan) Fanik téti tanak téti Bata (Mengerjakan ladang ditanah Batan) (LAU.4).

Syair (LAU.1) dan (LAU.4) menunjukkan konteks budaya, yaitu bahwa awalnya mata pencaharian leluhur Lamalera adalah sebagai petani, mengingat masyarakat Luwuk dan Beru berlatar belakang kehidupan sebagai petani seperti disiratkan dalam kisah syair (LAU.1). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mata pencaharian masyarakat Luwuk sebagai petani sudah ada sejak sebelum masa penjajahan. Luwuk dikenal dengan nama Tanah Luwu yang dihubungkan dengan leluhur La Galigo dan Sawerigading. Sejak awal hingga masa penjajahan, masyarakat Luwuk diberi kebebasan bercocok tanam. Hal tersebut membuat hasil- hasil kerja para petani meningkat, karena daerah Luwuk dikenal sebagai salah satu daerah subur yang membuat masyarakatnya menjadi makmur. Kondisi tersebut ditanggapi pemerintah Belanda pada masa penjajahan dengan membangun sistem irigasi sebagai salah satu usaha kolonialisme (usaid.gov/pdf_docs/PNAAM197).

Bahkan, hasil pertanian semakin meningkat dari waktu ke waktu sehingga daerah

Luwuk diberi julukan “pabbarasanna Tana Luwu (lumbung pangan tanah Luwu)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

75

(repository.unhas.ac.id). Dengan demikian, kehidupan masyarakat Luwuk dikenal dengan budaya agraris (Blikololo, 2009: 80). Hal ini menunjukkan bahwa mata pencaharian sebagai petani merupakan potret jati diri atau identitas leluhur

Lamalera awal ketika masih berada di Luwuk dan Beru. Artinya, leluhur Lamalera senantiasa menggantungkan hidupnya pada hasil perkebunan.

Semangat bertani menjiwai leluhur Lamalera sampai di Pulau Lepan dan

Batang. Mereka membangun desa di daerah Lepan dan mengerjakan ladang di tanah Batang (LAU.4). Pekerjaan tersebut dilatari oleh kondisi geografis daerah

Lepan dan Batang yang memungkinkan leluhur Lamalera bekerja sebagai petani dan nelayan. Barnes (1996: 383) mengemukakan bahwa sebagaian besar relief

Lepan adalah daerah karang dengan permukaan hanya sekitar dua meter dari permukaan laut, sedangkan Pulau Batang merupakan daerah yang subur dengan ketinggian sekitar 846 kaki. Sementara itu, Blikololong (2010: 80) menegaskan bahwa di Pulau Lepan sekarang terdapat perkampungan nelayan dari Baranusa,

Kabir, Bajo, Marica yang bermukim sementara ketika mereka mencari ikan.

Sekarang, perairan kedua pulau itu menjadi pusat budidaya rumput laut. Jejak leluhur yang masih tertinggal di Pulau Batang adalah hasil kerja mereka berupa terasering dari batu seperti yang dilakukan oleh petani ladang untuk menahan humus tanah. Dengan demikian, dapat peneliti dapat menyimpulkan bahwa Pulau

Lepan memungkinkan leluhur Lamalera bekerja sebagai nelayan dan Pulau

Batang memungkinkan leluhur Lamalera bekerja sebagai petani. Artinya, kedua daerah tersebut bukan saja menjadi daerah baru bagi leluhur Lamalera, tetapi juga merupakan daerah untuk leluhur Lamalera memulai tahap kehidupan yang baru.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

76

Satu sisi mereka bertani, di sisi lain mereka membuat peledang untuk menangkap ikan di laut. Namun, perlu digarisbawahi bahwa ketika menetap di

Lepan dan Batang, leluhur Lamalera hanya menangkap jenis ikan kecil, seperti pari, lumba-lumba, dan lain sebagainya, belum termasuk jenis ikan besar seperti ikan paus, karena peralatan yang dipakai untuk menangkap ikan masih terbuat dari kayu. Misalnya, tempuling (kafe) terbuat dari kayu secan (heppa) (LLA.4- keempat) sangat tidak mungkin digunakan untuk menangkap ikan berukuran besar, seperti ikan paus. Selain itu, Pulau Lepan dan Pulau Batang dilihat secara geografis terletak di daerah perairan yang bukan merupakan wilayah atau jalur ikan paus. Ikan paus hanya berkeliâran di daerah laut Sawu, antara Pulau Timor dan Pulau Lembata (Oleona, 2001: 96). Hal ini berarti pernyataan Blikololong

(2010: 80) bahwa penangkapan paus sudah dilakukan sejak leluhur Lamalera berada di Lepan dan Batang, bahkan sebelumnya perlu dikaji kembali. Dengan demikian, gambaran jati diri atau identitas masyarakat Lamalera pada awal mula adalah sebagai petani ladang dan nelayan tradisional.

Secara khusus, mata pencaharian sebagai nelayan tradisional berlangsung sejak berada di Desa Lepan dan Tanah Batang dibawa bersamaan dalam proses eksodus leluhur abad XIV menuju daerah selatan Pulau Lembata, tepatnya di Ue

Ulu Mado Doni Nusa Lela (sekarang: Wulandoni; Fonologis Lamalera: Fuledoni).

Mata pencaharian sebagai nelayan tradisional dilakukan oleh leluhur Lamalera dengan cara tuba-feda. Tuba berarti menikam ikan-ikan berukuran besar, seperti ikan paus, pari, lumba-lumba, hiu, dan lain sebagainya. Sementara feda berarti memancing ikan-ikan berukuran kecil, seperti ikan terbang, tuna, cangkalang,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

77

dan lain sebagainya. Mata pencaharian ini diungkapkan dalam syair liâ asa usu di bawah ini.

Hau honék téti Doni Nusa Léla (Datang membangun di Doni Nusa Lela) Fanik téti Ué Ulu Mado (Mendiami ue ulu mado) Gélu hékka fato fakka rappâ blodo (Melakukan penukaran alat kerajinan gerabah) Sera ribu tali ratu (Kepada penduduk asli) (LAU.11)

Seba ola’k lau léfa harri lollo (Mencari nafkah ditengah laut) Dai épitkâ dai marangkâ (Mendekati pantai merapat ke pinggir) Apé tafa géré raé motti Lango Fujo (Nampak nyala api ditempat berkumpul Lango Fujo) Raé ori Nara Guâ tanah (Ditempat pondok Nara Gua tanah) (LAU.12)

Syair (LAU.11) dan (LAU.12) menggambarkan konteks situasi, sosial, dan budaya bahwa leluhur Lamalera menggeluti mata pencaharian dengan sungguh sebagai nelayan tradisional sejak mereka berada di Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela.

Ketika berada di Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela, peralatan untuk menangkap ikan, seperti tempuling (kafe) dari kayu secan (heppa) diganti dengan besi. Pergantian alat ini memiliki hubungan erat dengan peralihan kebiasaan menangkap ikan kecil yang pernah dilakukan di Lepanbatan ke penangkapan jenis ikan besar seperti ikan paus.

Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian Peter Van Bree (Oleona,

2001: 96), seorang peneliti ikan paus berkebangsaan Jerman menyatakan bahwa

Laut Sawu merupakan perairan imigrasi ikan-ikan yang bernafas dengan paru- paru dari kutub selatan menuju Samudera Pasifik. Laut yang memiliki kedalaman

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

78

200 meter lebih, terdapat banyak cumi-cumi (planton) yang menjadi makanan utama jenis ikan paus. Bahkan, Van Bree menegaskan bahwa kondisi geografis perairan Lamalera yang memiliki laut dalam dekat pantai seperti ditemukan di daerah Basque (pantai utara Spanyol), Pulau Farther (bagian utara Inggris), Tatji

(bagian selatan Jepang), dan daerah Dakkar (pantai barat Afrika). Daerah-daerah tersebut merupakan tempat transisi ikan-ikan besar akibat perubahan cuaca. Mata pencaharian tersebut, yakni sebagai nelayan tradisional merupakan identitas warisan leluhur dan dihidupi hingga saat ini.

Lebih dari itu, identitas masyarakat Lamalera sebagai nelayan tradisional dan masyarakat laut dipandang oleh peneliti sebagai hasil dari wujud transformasi budaya, yakni transformasi sistem mata pencaharian. Artinya, jati diri atau identitas masyarakat Lamalera sebagai nelayan tradisional merupakan hasil wujud transformasi identitas leluhur Lamalera sebagai petani ladang sejak berada di

Luwuk dan Beru-. Hal ini dibuktikan dengan pemberian konsep mata pencaharian oleh masyarakat Lamalera dengan istilah “ola nuâ”.

Secara elimologis, istilah ola nuâ berasal dari dua kata bahasa Lamaholot, yakni ola yang berarti memotong, membersihkan (dalam hal bekerja) dan nuâ berarti ladang atau kebun. Istilah ola nuâ berarti mengerjakan ladang atau kebun, atau berladang dan berkebun. Wujud pekerjaan ini hanya terdapat di darat dan dilakukan oleh para petani. Namun, pekerjaan ini ditransformasikan ke laut tanpa mengubah struktur atau hakikat yang terkandung di dalamnya, walaupun dalam bentuk yang baru telah mengalami perubahan atau pergeseran. Hal ini senada dengan pendapat Kuntowijoyo (2006: 56) bahwa transformasi perpindahan atau

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

79

pergeseran suatu hal ke arah yang lain atau baru tanpa mengubah struktur yang terkandung di dalamnya, meskipun bentuk yang baru telah mengalami perubahan.

Wujud transformasi tersebut tampak dalam pemberian nama laut, peralatan dan perlengkapan nelayan, serta nama-nama ikan yang ditangkap dengan nama-nama binatang dan manusia yang di darat. Hal ini dideskripsikan oleh peneliti dalam sub bab pergeseran wujud kebudayaan.

Dengan demikian, penggunaan istilah ola nuâ untuk mendeskripsikan mata pencaharian masyarakat Lamalera merupakan wujud semangat masyarakat

Lamalera untuk memertahankan dan melestarikan budaya lokal warisan leluhur, yakni tradisi budaya penangkapan ikan paus. Wujud transformasi budaya tersebut disebabkan oleh lingkungan geografis Lamalera berbatu cadas sehingga tidak memungkinkan mereka berkebun atau berladang, agar tetap bertahan dan dapat dinikmati oleh generasi-generasi muda, serta memiliki karakter yang tangguh dan kuat sesuai karakter warisan leluhur Lamalera. Karakter ini juga dipandang peneliti sebagai wujud identitas masyarakat sebagai nelayan tangguh dan perkasa.

Jati diri atau identitas masyarakat Lamalera sebagai nelayan tradisional warisan leluhur memiliki ciri khas berbeda dengan masyarakat nelayan umumnya.

Masyarakat Lamalera mengkhususkan diri pada usaha mencari dan menangkap jenis ikan-ikan besar, khususnya yang diutamakan adalah ikan paus. Keahliân menangkap ikan paus menjadikan masyarakat Lamalera lebih diidentitaskan sebagai masyarakat nelayan tradisional penangkap ikan paus. Identitas tersebut dikarenakan seluruh proses penangkapannya dilaksanakan secara tradisional dengan menggunakan perlengkapan dan peralatan tradisional. Identitas sebagai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

80

nelayan tradisional penangkap ikan paus merupakan warisan leluhur sejak dahulu sehingga secara turun-temurun masyarakat Lamalera mendapat predikat sebagai masyarakat laut, anak nelayan ikan paus. Identitas tesebut melekat dan mendarah daging dalam diri masyarakat Lamalera, karena kehidupan mereka hanya bergantung dari hasil laut, khususnya ikan paus.

Wujud kerja tersebut dilakoni oleh kaum pria remaja dan dewasa. Kaum pria anak-anak (termasuk kaum perempuan) melakoni pekerjaan di laut, seperti menangkap ikan-ikan kecil pada bebatuan, menangkap kepiting, mengambil siput dan kerang-kerangan, mengambil rumput laut. Bahkan, banyak keluarga yang mengambil air laut untuk memasak garam dan mengambil batu kapur untuk dibakar menjadi kapur sirih (bdk. Blikololong, 2010).

Setelah meninggalkan perkampungan Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela, leluhur Lamalera menanggapi kondisi geografis perkampungan Lamalera yang penuh bebatuan dan bentangan cadas sehingga tidak memungkinkan mereka membuka perkebunan. Hal ini menggambarkan jati diri atau identitas masyarakat sebagai orang-orang yang tanggap terhadap situasi dan kondisi sekitarnya. Mereka selalu menanggapi setiap situasi dan kondisi sekita yang bisa menguntungkan atau memberikan mereka hidup, sekaligus membuat mereka selalu bersatu dalam menghadapi segala persoalan.

Dengan demikian, jati diri atau identitas masyarakat Lamalera sebagai nelayan tradisional, khususnya sebagai nelayan penangkap ikan paus menjadi pilihan mutlak dan utama. Hanya dengan ikan paus, masyarakat Lamalera bisa

“hidup” dan mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, membantu para janda dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

81

anak-anak yatim piatu, bahkan mampu menyekolahkan anak-anak. Dengan kata lain, daging ikan paus adalah sumber hidup masyarakat Lamalera. Para nelayan tradisional Lamalera melakukan ola nuâ dengan semangat misi demi kehidupan dan kesejahteraan banyak orang. Mereka memandang laut adalah lahan atau ladang kehidupan dan kesejahteraan para janda, fakir miskin, dan anak-anak yatim piatu.

Hasil ola nuâ kaum laki-laki remaja dan dewasa dari laut berupa berbagai jenis ikan, khususnya ikan paus dibarterkan ke pasar atau ke pedalaman dengan sebuatan fule-pnete. Fule-pnete merupakan bentuk pekerjaan utama kaum perempuan, sebagai tindak lanjut dari mata pencaharian (ola nuâ) kaum laki-laki sebagai nelayan. Kegiatan fule (pasar) dilakukan di pasar barter yang dilaksanakan sekali dalam seminggu, sedangkan pnete (barter dalam jangka waktu lama) dilakukan setiap hari oleh kaum perempuan ke daerah-daerah pedalaman.

Secara khusus, fule dipandang oleh masyarakat Lamalera sebagai pasar barter (pertukaran barang dengan barang), karena sebagai tempat pertukaran ikan dengan kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti jagung, umbi-umbian, ketela, kelapa, buah-buahan, sayur-sayuran, padi, dan lain sebagainya. Masayarakat Lamalera dan masyarakat pedalaman memiliki pasar barter yang disebut fuledoni (Pasar

Wulandoni). Pasar barter ini merupakan warisan leluhur dari Lepanbatan, ketika menetap di Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela, seperti dikisahkan dalam syair di bawah ini.

Hau honék téti Doni Nusa Léla (Datang membangun di Doni Nusa Lela) Fanik téti Ué Ulu Mado (Mendiami ue ulu mado)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

82

Gélu hékka fato fakka rappâ blodo (Melakukan penukaran alat kerajinan gerabah) Sera ribu tali ratu (Kepada penduduk asli) (LAU.11) Syair (LAU.11) menggambarkan wujud konteks situasi, sosial, dan budaya bahwa leluhur Lamalera sempat singgah dan menetap di Ue Ulu Mado Doni Nusa

Lela yang sekarang merupakan Desa Wulandoni (fonologis Lamalera: Fuledoni) dalam perjalanan eksodus. Mereka saling menukar pengetahuan dan keterampilan, seperti pembuatan gerabah, menempa besi, memintal tali tempuling dari serat kapas, dan lain sebagainya (LAU.11-ketiga & keempat) dengan masyarakat setempat. Sistem ini tetap dihidupi dan dipertahankan hingga saat ini yang dikenal dengan Pasar Barter Wulandoni (Fuledoni).

Berbagai macam hasil laut, khususnya daging ikan paus diibaratkan mata uang, bisa ditukar dengan apa saja di pasar barter Wulandoni. Misalnya, seukuran telapak tangan orang dewasa, bisa ditukar dengan enam batang jagung. Bahkan, di luar situasi pasar barter, terjadi juga transaksi barteran. Misalnya, ketika tersiar kabar nelayan Lamalera menangkap ikan paus, orang-orang pedalaman yang bekerja sebagai petani berbondong-bondong turun ke pantai dengan membawa hasil bumi berupa ubi dan jagung untuk ditukar dengan daging ikan paus.

Sistem tersebut menggambarkan jati diri atau identitas sosial masyarakat

Lamalera sebagai orang-orang yang berjiwa ’kemanusiaan’. Artinya, masyarakat

Lamalera, khususnya para nelayan Lamalera dalam misi pemburuan ikan paus hanya demi kesejahteraan hidup seluruh masyarakat Lamalera dan masyarakat di sekitar perkampungan Lamalera. Selain itu, masyarakat Lamalera dikenal juga sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi nilai persaudaraan dan persatuan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

83

Mereka sungguh-sungguh memelihara dan menghidupi semangat persaudaraan dan keakraban, baik antarsesama sekampung (keluarga dan suku) maupun dengan dengan orang lain yang tidak sehubungan darah. Masyarakat Lamalera, khususnya kaum perempuan memandang pasar barter fuledoni bukan sekadar sebagai tempat tukar-menukar barang, tetapi lebih dari itu merupakan simbol perjumpaan untuk menjalin persaudaraan dan kekeluargaan. Hal ini menjadi gambaran jati diri atau identitas mereka sebagai masyarakat yang memiliki jiwa sosial.

Kehadiran ikan paus di pantai Lamalera merupakan simbol kehidupan masyarakat Lamalera, sekaligus menunjukkan identitas masyarakat Lamalera sebagai nelayan kehidupan (lefa alep) dan pembarter kehidupan (fule-pnete alep) warisan leluhur tetap ada dan hidup. Hal ini dapat dilihat saat pembagian ikan paus berdasarkan aturan adat yang telah ditetapkan secara musyawarah-mufakat.

Masyarakat Lamalera sudah mempunyai tatanan baku untuk membagi perolehan mereka, yaitu mengutamakan seluruh kampung (pau lefo), secara khusus kaum janda, para yatim piatu, dan fakir miskin (kide-knuke). Kemudian, mereka memprioritaskan juga tuan tanah (tanah alep), pemiliki peledang (tena alep), pemimpin laut (lamafa), para matros, dan orang-orang yang terlibat membantu proses penangkapan (meng). Bahkan, suku tertentu, tuan tanah, pemilik perahu, dan juru tikam mendapat bagian khusus, seperti kepala, ekor, isi perut, daging, dan lain-lain. Daging, minyak, kulit, tulang, dan gigi paus dimanfaatkan sesuai kebutuhan pemilik. Daging ikan paus juga dibarterkan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat pedalaman yang memiliki mata pencaharian sebagai petani.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

84

Hal ini menunjukkan jati diri atau identitas masyarakat Lamalera sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan solidaritas kedermawaan.

Karakter ini tertanam dalam setiap diri anggota masyarakat, khususnya para nelayan yang bekerja keras sampai berhasil membawa ikan sebagai hadiah dari

Tuhan ke darat. Para nelayan membagi daging paus secara adil sesuai dengan musyawarah-mufakat adat sehingga tidak menimbulkan ’korupsi’ atau percecokan antarmereka. Lebih dari itu, para nelayan tidak pernah mengeluh, apalagi menolak ketika dihampiri para janda dan anak-anak yatim piatu untuk meminta sedekah dari bagian mereka.

Dengan demikian, masyarakat Lamalera memandang dan menghayati ola nuâ serta fule-pnete sebagai suatu pekerjaan yang harus dijalankan untuk memertahankan hidup, meskipun penuh tantangan dan risiko yang berat. Secara khusus, ola nuâ sebagai panggilan hidup masyarakat Lamalera mengandung nilai- nilai sakral yang diwariskan oleh leluhur secara turun temurun. Demikian halnya dengan pandangan masyarakat Lamalera mengenai ikan yang ditangkap sebagai suatu yang menjiwai seluruh kehidupan mereka. Masyarakat Lamalera menilai bahwa ikan memang hidupnya di laut, tetapi jiwanya hidup di darat, di tengah- tengah kehidupan masyarakat. Apabila kehidupan masyarakat Lamalera baik, menghindari berbagai konflik, bersaudara, saling membantu dan menghormati, menjaga tradisi dan budaya, ikan akan menjadi jinak dengan nelayan-nelayan saat melaut. Namun, apabila kehidupan masyarakat menjadi tidak baik, maka ikan- ikan akan membuat perhitungan dengan nelayan-nelayan di laut. Artinya bahwa, kehidupan masyarakat Lamalera di laut dan di darat menjadi satu kesatuan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

85

Demikian halnya seperti kedua mata pencaharian masyarakat Lamalera merupakan sirkulasi kehidupan yang tidak dapat dilepaspisahkan. Keduanya saling melengkapi dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat umum.

Karena itu, kerja ini dilaksanakan dengan penuh, kesadaran, ketekunan, dan kepasrahan diri. Hal ini dapat disimak dalam sebaris syair berdasarkan hasil wawancara, demikian:

Ina toa, ama gene ola e, Ola’k ka kode kai ro… Tite bai mi ola plau lefa pe bate na murang, Ara pukeng ina-ama’te gene kae, tite tode tairo… (Leluhurku telah mewariskan pekerjaan ini; Karena merupakan kerja, maka harus saya jalani; Kita merasakan bahwa pekerjaan di laut itu sungguh amat berat, Tetapi karena leluhur kita sudah mewariskan, maka kita harus jalankan)

Syair tersebut menunjukkan konteks budaya bahwa pekerjaan sebagai nelayan tradisional merupakan bagian dari warisan tradisi budaya leluhur yang harus dilanjutkan dan dipertahankan, baik dalam untung maupun malang. Hal ini menunjukkan bahwa ada wujud transformasi sejarah dalam sistem mata pencaharian masyarakat Lamalera, yaitu sebagai petani ladang atau berkebun berubah menjadi nelayan tradisional akibat tantangan kondisi geografis. Wujud mata pencaharian ini bersifat tradisional dan dipertahankan keberadaannya hingga sekarang, yakni sistem penangkapan ikan menggunakan alat-alat tradisional.

Hal tersebut menggambarkan jati diri atau identitas masyarakat Lamalera sebagai manusia yang sangat menjunjung tinggi sejarah dan peran para leluhur dalam kehidupan sehari-hari. Mereka sangat menghargai dan mempertahankan sebuah pekerjaan hasil warisan para leluhur. Warisan sejarah senantiasa dihidupi dan dipertahankan oleh masyarakat Lamalera di dalam ruang dan waktu sehingga

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

86

identitas lain yang ditampilkan adalah bahwa setiap anggota masyarakat memiliki

‘kehendak bebas’ dalam menjalankan aktivitas kerja yang sudah diwariskan oleh leluhur. Lebih dari itu, identitas yang ditampilkan tersirat dalam syair liâ asa usu menjadi fondasi utama terbangunnya peradaban kehidupan masyarakat Lamalera.

Karena itu, masyarakat Lamalera dikenal sebagai mayarakat yang selalu menjaga tradisi warisan leluhur, sekaligus menjunjung tinggi tradisi, adat istiadat, dan budaya tersebut (manusia yang berbudaya).

Berbagai jati diri atau identitas masyarakat Lamalera yang diungkapkan dalam sistem mata pencaharian ini dipertahankan hingga saat ini, karena didukung oleh sistem pengetahuan yang dibangun oleh masyarakat Lamalera dari generasi ke generasi. Pengetahuan mengenai mata pencaharian (ola nua) sebagai nelayan tradisional (lefa alep) adalah wujud pekerjaan kaum laki-laki remaja dan dewasa.

Sementara itu, kaum perempuan bekerja sebagai pembarter (fule-nete alep) hasil tangkapan dari laut. Kedua pekerjaan tersebut merupakan wujud mata pencaharian masyarakat Lamalera yang memiliki hubungan erat dan dipertahankan hingga saat ini sebagai warisan leluhur sejak dahulu.

Lebih dari itu, sistem pengetahuan dituntut dari setiap anggota masyarakat, karena kedua wujud mata pencaharian tersebut sangat terikat pada norma-norma budaya dan tata aturan tradisi adat. Tata aturan yang dimaksud berhubungan erat dengan prosedur atau tata cara penangkapan ikan-ikan jenis besar, seperti paus, pari-pari, lumba-lumba, hiu, dan jenis ikan besar lainnya. Prosedur atau tata cara penangkapan ikan berbeda-beda berdasarkan jenis ikan yang hendak ditangkap.

Misalnya, saat penangkapan ikan paus, para nelayan perlu mengetahui prosedur-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

87

prosedurnya, yakni tahap penurunan layar dan tiang, tahap penyucian diri (masa tabu) dengan berdoa bersama, tahap juru tikam (lamafa) beraksi, tahap penikaman paus, dan tahap akhir pertarungan. Hal ini perlu diketahui (sebagai pengetahuan) oleh nelayan generasi-generasi muda agar tidak membawa dampak yang buruk, baik bagi diri sendiri, maupun bagi suku dan kampung.

Demikian pula dengan pengetahuan tentang takaran-takaran yang biasa dilakukan sebagai standar tukar menukar saat fule-pnete. Misalnya, (1) takaran satuan ukuran dalam wujud tumpukan dengan jumlah tertentu yang biasa disebut mongnga, yaitu enam batang jagung (fata monga tou) ditukar dengan segenggam garam atau satu potong ikan berukuran telapak tangan; (2) takaran atau satuan ukuran dalam bentuk ikatan yang disebut éket, yaitu takaran yang berbeda antara jenis bahan makanan yang satu dengan bahan makanan yang lain seperti tapo éket tou (kelapa satu ikat) yang terdiri dari dua buah yang diikat jadi satu ikatan; (3) takaran atau satuan ukuran yang digunakan untuk jagung dalam satu ikatan yang berjumlah seratus buah. Biasanya seratus buah jagung (fata félla tou) ditukar dengan empat potong dendengan kulit ikan paus. Berbagai persyaratan tersebut harus menjadi pengetahuan, khususnya kaum perempuan saat barter. Bahkan, proses pembarteran memiliki ketentuan secara tradisional, yaitu dimulai dengan menarik pajak, membunyikan peluit, dan lain sebagainya. Lebih dari itu, kedua mata pencaharian pokok masyarakat Lamalera diawali dan diakhiri dengan tradisi ritual adat dan ritual keagamaan dengan tujuan untuk mendapatkan restu dari para leluhur dan berkat dari Sang Ilahi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

88

4.1.2.2 Potret Jati Diri Masyarakat Lamalera dalam Sistem Kemasyarakatan

Sistem kemasyarakatan dipandang peneliti sebagai sistem yang muncul karena setiap manusia memiliki kesadaran bahwa meskipun diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna, namun tetap memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing pribadi maupun kelompok sehingga timbul rasa utuk berorganisasi dan bersatu. Kehidupan sosial masyarakat Lamalera dapat dirasakan dan dialami dalam kesatuan hidup dengan lingkungan sosialnya. Sistem kehidupan seperti ini diwariskan oleh leluhur Lamalera sejak keluar dari Desa Luwuk dan Beru, seperti dikisahkan dalam syair liâ asa usu di bawah ini.

Feffâ bélâkâ Bapa Raja Hayam Wuruk (Demi Kehendak Bapa Raja Hayam Wuruk) Pasa-pasa pekkâ lefuk lau Luwuk (Terpaksa kutinggalkan desaku di Luwuk sana) Fengi baata Gadja Mada lali Jawa (Atas perintahnya melalui Gadja Mada dari Jawa) Hidâ-hidâ hiangkâ tanah lau Béru (Kulepaskan rumahku yang makmur di tanah Beru) (LAU.1).

Syair (LAU.1) tersebut menggambarkan konteks situasi bahwa masyarakat

Lamalera yang sekarang terdiri dari kelompok-kelompok komunitas kekerabatan

(suku-suku atau marga) bukan merupakan penduduk asli Pulau Lembata. Mereka adalah pendatang dari luar pulau Lembata. Mereka datang dari Kerajaan Luwuk dan Beru di Sulawesi dalam kelompok gelombang eksodus atas perintah Raja

Hayam Wuruk dan menetap di sebuah kampung yang terletak di pantai selatan

Pulau Lembata, yang sekarang disebut Lamalera.

Syair (LAU.1) menyiratkan jati diri atau identias sosial masyarakat

Lamalera sebagai orang-orang pendatang, yaitu dari daerah Luwuk dan Beru,

Sulawesi. Syair tersebut juga menunjukkan jati diri atau identitas masyarakat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

89

Lamalera sebagai orang-orang yang taat pada pemimpin, baik orang-orang yang yang dipercayakan untuk mengendalikan roda kehidupan adat istiadat dan budaya

(ketua adat dan kepala suku), juga para pemimpin pemerintahan dan agama.

Masyarakat Lamalera sangat menghormati dan taat pada hukum-hukum adat, aturan-aturan pemerintahan dan agama.

Masyarakat Lamalera menyadari bahwa seluruh pola kehidupan mereka berdasarkan pada dimensi tradisi adat istiadat dan budaya, pemerintahan, dan agama sehingga ketiga dimensi kehidupan tersebut senantiasa dihidupi dengan menghormati segala aturan, termasuk perintah pemimpin. Bahkan, masyarakat

Lamalera menyadari bahwa apabila melanggar hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan, maka akan mendapat akibat yang bisa merugikan kehidupan sosial mereka sendiri. Misalnya, mendapat kecelakaan saat mencari ikan di laut dan tidak mendapat pelayanan yang maksimal dari pihak pemerintah dan gereja.

Tentu, segala sesuatu yang dilarang oleh adat istiadat, budaya, dan aturan-aturan kelembagaan sosial mengandung nilai-nilai kehidupan yang tidak bertentangan dengan ajaran adat dan agama. Masyarakat Lamalera senantiasa melaksanakan ketaatan akan ‘hukum’ sehingga kehidupan mereka menjadi lebih bermakna.

Selain itu, sistem kemasyarakatan juga dilihat pada perjalanan eksodus leluhur Lamalera yang lain. Hal ini dikisahkan dalam lirik syair liâ asa usu di bawah ini.

Hau honék téti Doni Nusa Léla (Datang membangun di Doni Nusa Lela) Fanik téti Ué Ulu Mado (Mendiami ue ulu mado) Gélu hékka fato fakka rappâ blodo (Melakukan penukaran alat kerajinan gerabah)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

90

Sera ribu tali ratu (Kepada penduduk asli) (LAU.11)

Seperti yang telah peneliti jelaskan dalam sistem mata pencaharian di atas, syair (LAU.11) menceritakan konteks situasi dan budaya bahwa perjalanan eksodus leluhur Lamalera dari Luwuk dan Beru tiba di tempat yang bernama Ue

Ulu Mado Doni Nusa Lela (Wulandoni). Berdasarkan sistem kemasyarakatan atau kekerabatan, syair (LAU.11) menggambarkan jati diri atau identitas masyarakat

Lamalera sebagai orang-orang yang cepat membaur dan menyesuaikan diri dengan keadaan baru. Karakter ini menjadi sikap dasar untuk menerima orang dan budaya lain sebagai sesama saudara dan satu keluarga sosial yang memiliki kepentingan bersama dan saling melengkapi dalam hidup sehari-hari.

Dengan demikian, terciptalah kerukunan dan kedamaian dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, karena leluhur Lamalera merasa diterima menjadi bagian dari kehidupan kelompok masyarakat Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela. Warisan jati diri atau identitas tersebut terbukti hingga saat ini, yakni masyarakat Lamalera menganggap masyarakat Wulandoni dan sekitarnya sebagai saudara yang saling membantu dan melengkapi kebutuhan hidup; sehingga pasar barter sebagai tempat pertemuan persaudaraan dan menjalin kekeluargaan tetap ada hingga saat ini.

Karakter kemasyarakatan yang lain juga tampak dalam syair liâ asa usu di bawah ini.

Seba ola’k lau léfa harri lollo (Mencari nafkah ditengah laut) Dai épitkâ dai marangkâ (Mendekati pantai merapat ke pinggir) Apé tafa géré raé motti Lango Fujo (Nampak nyala api ditempat berkumpul Lango Fujo) Raé ori Nara Guâ tanah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

91

(Ditempat pondok Nara Gua tanah) (LAU.12)

Syair (LAU.12) menggambarkan konteks budaya bahwa ketika kembali dari melaut, leluhur Lamalera selalu terbawa arus dan terdampar di pantai yang dikuasai oleh Gesi Gua Wasa, kepala suku Lango Fujjo dan Nara Gua Tana.

Karena itu, ada gerakan hati mereka untuk menemui Gesi Gua Wasa dan Nara

Gua Tana dengan tujuan memohon tempat untuk menaruh perahu mereka.

Hal ini menggambarkan jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera sebagai masyarakat nelayan dari leluhur zaman dahulu kala yang percaya pada kehendak alam. Potret jati diri tersebut selalu dihidupi hingga saat ini, dengan menyadari adanya musim dan tanda-tanda alam yang dijadikan dasar perhitungan untuk menentukan sikap dalam memenuhi sistem mata pencaharia, yakni mencari ikan di laut. Tanda-tanda lama dan musim dijadikan masyarakat Lamalera sebagai petunjuk awal dalam menentukan sikap dan strategi kegiatan harian, khususnya aktivitas di laut. Perubahan tanda-tanda alam dan musim dapat memengaruhi pola kehidupan sosial masyarakat Lamalera, termasuk mata pencaharian dan sistem perekonomian mereka. Dengan demikian, masyarakat Lamalera diidentitaskan sebagai orang-orang yang selalu dekat dengan alam dan pandai membaca tanda- tanda alam.

Gerakan hati leluhur Lamalera terwujud ketika mereka berhasil menemui tuan tanah Lango Fujjo. Hal ini dikisahkan dalam syair di bawah ini.

Kai tutu raé Gési Gua Wasa (Datang untuk membicarakan dengan Gesi Gua Wasa) Onâ saré honé tao (Dengan senang dan sukarela menerima) Kai mari raé Raja Bala Mai (Pergi menyampaikan kepada Raja Bala Mai)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

92

Kolong diké guté lifo (Permintaanku diterima dengan senang hati) (LAU.13)

Syair (LAU.13) menggambarkan konteks sosial, yaitu leluhur Lamalera menemui Gesi Gua Wasa dan Raja Bala Mai untuk memohon agar memberikan tempat menaruh perahu dan membangun tempat tinggal mereka. Permohonan mereka diterima sehingga rombongan leluhur Lamalera meninggalkan wilayah

Doni Nusa Lela dan pindah tempat lagi ke arah barat, di daerah kekuasaan Lango

Fujjo, yang disebut Lamalera hingga sekarang. Kedatangan rombongan leluhur diterima dengan penuh persahabatan oleh kelompok penduduk Lango Fujjo.

Bahkan, mereka diakui sebagai keluarga sendiri oleh penduduk setempat dengan sebutan toro kaka, toro arri (menjadi kakak beradik). Hal ini menjadi simbol kekeluargaan sehingga menggambarkan jati diri masyarakat Lamalera sebagai orang-orang yang terbuka dan jujur terhadap berbagai situasi dan keadaan yang dialami atau pun dirasakan dalam kehidupan sosial mereka.

Jati diri atau identitas sosial tersebut terbukti dengan karakter masyarakat

Lamalera yang selalu terbuka menyelesaikan berbagai persoalan sosial secara bersama-sama melalui musyawarah dan mufakat. Setiap persoalan sosial atau hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial menjadi persoalan bersama dan didiskusikan secara empat mata (face to face) sebagai kakak dan adik, orang tua dan anak, saudara-saudari, keluarga, suku, dan masyarakat adat untuk mendapat jalan keluar atau solusi sehingga tidak ada yang merasa dibebankan. Selain itu, masyarakat Lamalera juga sangat menjunjung tinggi nilai solidaritas dan suka membantu. Hal ini tampak dalam diri para tuan tanah, Lango Fujjo yang rela

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

93

menerima permintaan leluhur Lamalera dan membantu untuk memberi wilayah pantai untuk menaruh peledang mereka.

Karakter sosial tersebut membawa efek positif dalam kehidupan sosial kemasyarakatan Lamalera. Masyarakat Lamalera hidup sebagai komunitas adat yang selalu menyadari kebersatuan dan persaudaraan yang ditanamkan oleh leluhur sejak dahulu. Kesadaran ini memungkinkan mereka hidup berdampingan dan memiliki interaksi sosial yang tinggi hingga sekarang. Bahkan, mereka mengalami pertumbuhan dan perkembangan kuantitas sehingga memungkinkan mereka mengembangkan tempat permukiman ke arah perbukitan yang disebut

Hajoo Lama Bela. Hal ini terungkap dalam syair di bawah ini.

Tukarkâ téti Hajjo Lamabélâ (Mendaki ke Hajjo Lamabela) Kpai narangkâ goé pi Korohama (Timbang nama saya ini Korohama) Jajji kopo mâmu tello kaé (Melahirkan tiga orang laki-laki) Surra barré Somi Bola Derrâ (Dan seorang perempuan Somi Bola Dera) (LAU.14)

Syair (LAU.14) menggambarkan konteks sosial bahwa Kia Laka Tana yang diberi nama baru dengan sebuatan Korohama memiliki tiga orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Hal ini menunjukkan adanya sistem kekerabatan dalam wujud keluarga. Sesungguhnya, keluarga menjadi dasar sistem kemasyarakatan dan kekerabatan Lamalera hingga sekarang. Lebih dari itu, syair tersebut sebagai simbol keluarga sehingga menggambarkan jati diri atau identitas masyarakat Lamalera sebagai orang yang sangat menghormati dan menjaga nilai perkawinan mereka. Identitas tersebut memungkinkan masyarakat

Lamalera sebagai pribadi yang menyadari keberadaan mereka, baik sebagai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

94

orang tua maupun anak, baik sebagai anggota keluarga, anggota suku, maupun anggota masyarakat.

Hal ini terbukti dengan peran para orang tua sebagai bapak dan ibu bagi anak-anak. Para orang tua selalu menjunjung tinggi nilai dan tujuan perkawinan, yakni melahirkan dan mendidik anak-anak sebagai bukti kasih antara mereka.

Kehidupan dan perjuangan para orang tua, baik di laut maupun di darat hanya semata-mata supaya dapat menghidupkan keluarga, serta membesarkan dan menyekolahkan anak-anak. Contoh nyata bahwa banyak orang Lamalera yang berhasil dan sukses, baik di Lamalera maupun di luar Lamalera adalah berkat ikan dari laut dan jagung dari pedalaman yang memungkinkan mereka bisa mengenyam pendidikan hingga berhasil.

Sisi lain, pengakuan Kia Laka Tana Korohama seperti dikisahkan dalam syair (LAU.14) merupakan awal mula sistem kemasyarakatan yang dibangun oleh leluhur Lamalera dan diwariskan dari generasi ke generasi masyarakat Lamalera hingga sekarang. Artinya, syair tersebut juga menggambarkan jati diri masyarakat

Lamalera sebagai anggota masyarakat dan suku. Hal ini dibuktikan dengan adanya suku-suku yang berasal dari keturunan Kia Laka Tana Korohama, yaitu Daeng

Atakelake yang melahirkan suku Bataona; Daeng Muda Ama melahirkan suku

Blikololong; dan Daeng Kelake Fato melahirkan suku Lefotuka (Oleona, 2001:

26). Ketiga suku tersebut tidak hanya besar dalam jumlahnya, tetapi juga besar pengaruhnya dalam seluruh sistem kehidupan masyarakat Lamalera, termasuk sistem kemasyarakatan. Ketiga suku tersebut disebut suku tiga tungku (lika telo) memiliki otoritas khusus berdasarkan faktor hereditas. Dengan demikian, identitas

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

95

sosial masyarakat Lamalera sebagai kelompok sosial suku merupakan satu kesatuan genealogis yang kokoh dan harmonis (Oleona, 2001: 23).

Lebih lanjut, warisan tugas dari orang tua kepada anak laki-laki menjadi tradisi yang hidup di tengah kehidupan sosial masyarakat Lamalera. Hal ini merupakan warisan leluhur, seperti dikisahkan dalam syair di bawah ini.

Moé Amak narang Atakelaké (Engkau Bapakku namanya Atakelake) Luato lali Batafaij one (Turun ke Bata di pinggir pantai) Guti Inak séddo barré lali Sogé (Mengambil mamaku perempuan dari Soge) Inak narang Bengâ Lefo Léi (Mamaku bernama Benge Lefolei) (A.16)

Syair tersebut menggambarkan konteks situasi dan sosial bahwa Kia

Laka Tana Korohama menyuruh anaknya Daeng Atakelake untuk turun ke pantai dan menjaga pintu gerbang kampung, baik dari laut maupun dari darat. Artinya,

Kia Laka Tana Korohama ingin mewariskan kepemimpinan kepada anaknya yang laki-laki. Sikap ini memberi gambaran jati diri atau identitas mayarakat

Lamalera sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi wujud kepemimpinan paternalistik dalam sistem kemasyarakatan.

Berdasarkan konteks syair (LAU.16), maka segala persoalan, baik dalam keluarga maupun dalam suku dan masyarakat dilimpahkan kepada pihak laki- laki untuk menyelesaikan dan bertanggung jawab. Hal ini sejalan dengan paham patriarkhat. Secara etomologis, istilah patriarkhat berasal dari Bahasa Yunani, yaitu pater berarti ayah dan archein berarti memerintah. Jadi, patriarkhi berarti kekuasaan berada dalam tangan ayah atau kaum laki-laki. Tentu, ada perbedaan makna patrilineal maupun makna patriarkhat. Patrilineal mengarah pada garis

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

96

keturunan; sedangkan patriarkhat lebih mengarah pada kekuasaan. Namun, kedua istilah tersebut memiliki persamaan objek peran, yaitu keduanya sama- sama berhubungan dengan kaum laki-laki. Kedua istilah ini sangat melakat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di Lamalera sehingga peneliti dapat menggambarkannya sebagai jadi diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera.

Syair (LAU.16) merupakan simbol kepemimpinan patriarkhat. Kepala keluarga, kepala suku, dan kepala pemerintahan memiliki ‘otoritas’ dalam mengendalikan roda kehidupan sosial kemasyarakatan, baik dalam aspek adat istiadat dan budaya maupun dalam aspek pemerintahan. Karakter tersebut masih menjadi patokan pola kehidupan masyarakat Lamalera. Hal ini terbukti dengan kehadiran berbagai suku di Lamalera merupakan peranan kaum laki-laki dalam memenuhi perintah ‘kepala’ sebelumnya.

Sisi lain, Patrilineal merupakan sistem adat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah. Secara etimologis, patrilineal berasal kata bahasa Latin, yaitu pater yang berarti ayah dan linea yang berarti garis. Jadi, patrilineal berarti mengikuti garis keturunan dari pihak ayah. Sistem ini merupakan identitas sosial yang melekat dalam diri masyarakat Lamalera. Masyarakat Lamalera sangat menghargai, menghormati, menjunjung tinggi, serta mempertahankan identitas adat, khususnya dalam aspek perkawinan secara patrilineal.

Semua suku di Lamalera selalu mempertahankan sistem patrilineal, yaitu garis keturunan berasal dari laki-laki yang melakukan pernikahan dalam bentuk pernikahan jujur sehingga pihak istri dan anak akan masuk ke dalam keluarga laki-laki serta berada di bawah kekuasaan suami atau ayah. Hal tersebut membuat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

97

kedudukan kaum laki-laki menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan.

Bahkan, semua orang Lamalera membubuhkan identitas mereka dengan nama suku berdasarkan suku bapaknya di belakang nama kecilnya. Misalnya, Suku

Bediona dibubuhkan di belakang nama Berno, karena suku Bediona merupakan warisan marga dari keturunan Bapak.

Peranan kaum laki-laki dalam suku-suku di Lamalera sangat penting.

Keluarga, bahkan suku bisa ‘punah’ jika tidak dapat melahirkan anak laki-laki atau memiliki kaum laki-laki. Alasannya bahwa kaum laki-laki yang akan membentuk kelompok kekerabatan dan memperluas sistem kemasyarakatan.

Apabila keluarga tidak memiliki anak laki-laki, maka seperti pohon yang tidak memiliki akar, karena kaum laki-laki yang bertanggung jawab dan memiliki kewajiban mutlak untuk mengurus serta meneruskan kehidupan keluarganya.

Lebih lanjut, Kia Laka Tana Korohama menghendaki agar anaknya laki- laki Atakelake meminang anak perempuan dari daerah lain untuk dijadikan istri.

Hal ini terungkap dalam syair di bawah ini.

Moé Amak narang Atakelaké (Engkau Bapakku namanya Atakelake) Luato lali Batafaij one (Turun ke Bata di pinggir pantai) Guti Inak séddo barré lali Sogé (Mengambil mamaku perempuan dari Soge) Inak narang Bengâ Lefo Léi (Mamaku bernama Benge Lefolei) (A.16)

Syair (LAU.16) menggambarkan konteks sosial dalam aspek perkawinan.

Setelah tinggal di pesisir pantai, Atakelake meminang dan menikah dengan

Benge Lefolei dari Soge (pendatang dari Maumere-Flores) untuk meneruskan keturunan dan membangun kampung halaman. Dengan kata lain, syair tersebut

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

98

menunjukkan keinginan dan harapan Kia Laka Tana untuk mewariskan dan memperbanyak keturunan secara genealogis. Artinya, Kia Laka Tana Korohama tidak mau agar keturunannya putus dan hilang. Namun, niat dan harapan tersebut terbukti dengan berkembangnya suku-suku di Lamalera, khususnya suku-suku yang merupakan kesatuan genealogis dari keturunan Kia Laka Tana Korohama.

Konteks syair (LAU.16) menggambarkan kehadiran suku Bataona karena

Kia Laka Tanah Korohama memerintahkan anaknya laki-laki Atakelake untuk turun dan menjaga garbang Lamalera, sekaligus mengambil Benge Lefolei dari

Soge untuk dijadikan istri. Keturunan Atakelake berkembang menjadi satu suku besar yang disebut Bataona hingga sekarang. Dengan demikian, jati diri atau identitas yang digambarkan dalam syair (LAU.16) adalah masyarakat yang senantiasa mempertahankan dan menghidupi sukunya masing-masing dengan menunjukkan otoritas suku yang sangat kuat dalam aspek perkawinan. Hal-hal yang berhubungan dengan adat perkawinan selalu diawali dari dalam suku.

Sisi lain, masyarakat Lamalera memiliki pandangan yang khas dan unik dalam hal menentukan jodohnya, yaitu tidak boleh mengambil orang yang satu suku dengan dia. Dengan kata lain, perkawinan dengan orang-orang sesama dalam suku merupakan hal yang tabu bagi masyarakat Lamalera sehingga tidak pernah diizinkan. Misalnya, laki-laki dari suku Bediona tidak boleh menikahi perempuan dari suku Bediona juga, meskipun mereka sudah melewati beberapa generasi leluhur mereka yang hidup bersaudara beratus tahun dahulu. Bahkan, antarsuku bersaudara pun tidak diizinkan untuk melangsungkan perkawinan karena dilarang keras oleh adat. Akan tetapi, suku Bediona boleh mengambil

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

99

perempuan dari marga Bataona, meskipun hubungan keluarga di antara mereka sangat dekat. Misalnya, sepupu sekandung atau senenek dengan dia. Nenek si laki-laki dari pihak Ibu, nenek perempuan dari pihak Bapak. Hal ini ditegaskan oleh narasumber dalam wawancara, sebagai berikut:

“Dalam pemilihan jodoh, hanya dengan suku berlainan dan tidak memiliki unsur genealogis; karena hukum adat sangat melarang keras. Apabila melanggar hukum adat, maka risikonya sangat berat, seperti tidak memiliki keturunan. Bukan itu saja. Hukum adat Lamalera juga melarang keras adanya perceraian dalam rumah tangga.”

Syair (LAU.16) menggambarkan jati diri atau identitas sosial masyarakat

Lamalera sebagai orang-orang yang selalu menjaga hukum adat perkawinan, yaitu menikah dengan orang di luar suku atau daerah. Identitas sosial ini berlandas pada peran dan ketentuan suku-suku yang bersifat exogami. Artinya bahwa muda-mudi atau remaja dalam suku yang sama tidak diperkenankan saling menikah atau menjadi suami dan istri, sekalipun mereka telah melewati beberapa generasi. Hal ini menunjukkan kehadiran suku sebagai indikator identitas seseorang.

Syair (LAU.16) pun menyiratkan hakikat ikatan perkawinan masyarakat

Lamalera, yaitu menghindari adanya penceraian karena ini dianggap sebagai hal yang dapat merusak identitas pribadi, keluarga, maupun suku. Artinya, sangat kuat tali perkawinan yang dibangun masyarakat Lamalera sehingga menunjukkan jati diri atau identitas mereka sebagai masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai perkawinan. Apabila ada keluarga yang melakukan perceraian, tentu dapat menanggung rasa malu mendalam bagi pihak keluarga dan suku. Dengan demikian, adat perkawinan dalam sistem kemasyarakatan Lamalera merupakan warisn turun temurun yang selalu dihargai dan ditaati oleh setiap keluarga dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

100

suku, karena merupakan suatu identitas sosila yang khas, sekaligus menjadi nilai hidup untuk dapat meneruskan keturunan, mempertahankan silsilah, dan menjaga hubungan kekerabatan dalam kehidupan sosial masyarakat Lamalera.

Karakter sosial tersebut telah diamanatkan dan diwariskan oleh leluhur, kemudian dikisahkan dalam syair liá asa usu di bawah ini:

Jajji koppo mamu lema kaé (Melahirkan lima orang anak laki-laki) Tité kakâ tali ari (Kita semua bersaudara) Kakâ pulo tali arri léma (Kita semua adalah satu) Léma ajaki lali batafaij one (Dari lima bersaudara berkembang jadi banyak dipinggir pantai) (LAU.17).

Syair (LAU.17) tersebut menggambarkan bahwa sejak eksodus awal dari

Luwuk dan Beru (LAU.1), keturunan Mana Beda Frasa Suku Rua Susur Amma telah melahirkan keturunan lima orang laki-laki yang kemudian membentuk suku- suku induk (suku asli) yang berkembang sampai sekarang, yakni suku Blikololo,

Tanakrofa, Lamanudek, Bataona, dan Lefotuka. Suku Blikololo, Tanakrofa, dan

Lamanudek ada sejak leluhur Lamalera menetap di Pulau Lepanbatan (LAU.4 &

LAU.5). Sementara suku Bataona dan Lefotukâ ada sejak leluhur di Lamalera.

Kedua suku ini mulai berkembang ketika Kia Laka Tana Korohama memberi mandat kepemimpinan kepada ketiga anak laki-lakinya (LAU.14).

Setiap suku memiliki hubungan satu sama lain melalui hubungan darah sehingga kehidupan sosial kemasyarakatan di Lamalera merupakan satu kesatuan genealogis. Mereka adalah satu (LAU.17-ketiga) dan sebagai saudara (LAU.17- kedua). Mereka hidup dalam persaudaraan, persatuan, dan berkembang menjadi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

101

banyak (LAU.17-keempat) sebagai satu keluarga. Hal ini menggambarkan jati diri atau identitas masyarakat Lamalera sebagai orang-orang yang hidup bersaudara, bersatu, dan saling menghormati. Identitas ini terbukti dengan pola kehidupan mereka yang selalu menuntut kerjasama atau gotong royong, rela berkorban untuk banyak orang, solidaritas, komunikatif, saling membantu, dan saling melengkapi dalam menyelesaikan suatu pekerjaan besar.

Lebih dari itu, syair (LAU.17) menggambarkan jati diri atau identitas suku-suku di Lamalera. Suku-suku asli atau induk, khususnya ketiga suku asli

(yang bersal dari keturunan Kia Laka Tana Korohama) memiliki otoritas khusus dalam kehidupan sosial masyarakat Lamalera, seperti suku Bataona, Blikololo, dan Lefotuka sebagai tiga suku besar yang lazim disebut tiga tungku (lika telo).

Ketiga suku tersebut sangat berpengaruh dan senantiasa bekerja sama dalam kehidupan masyarakat Lamalera, khususnya dalam hal adat istiadat dan tradisi kebudayaan. Misalnya, suku Bataona berperan menjaga dan mengurus sistem mata pencaharian di laut (ola nua), suku Blikololo berperan dalam masalah adat istiadat, suku Lefotukâ berperan mengurus masalah pemerintahan, suku Lango

Fujjo sebagai tuan tanah, suku Lamanudek sebagai arsitek perahu, suku Tanakrofa sebagai tabib. Peran-peran suku tersebut berdasarkan faktor hereditas. Selain fungsi tersebut, ketiga suku tersebut memiliki peran dalam “melahirkan” suku- suku baru yang hidup dan berkembang hingga sekarang. Misalnya, suku Bataona mengalami perkembangan dan melahirkan suku Batafor, Sulaona, dan Bediona.

Dengan demikian, sistem kemasyarakatan menjadi salah satu gambaran identitas sosial, sekaligus pola kehidupan bersaudara dan bersatu sebagai wujud

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

102

kehidupan bermasyarakat senantiasa dipertahankan oleh masyarakat Lamalera.

Pemertahanan sistem kemasyarakatan melalui pengetahuan yang dimiliki dan dikembangkan oleh setiap generasi. Misalnya, asal usul dan peranan setiap suku dalam kehidupan sosial masyarakat Lamalera harus diperkenalkan sejak dini kepada generasi pewaris suku. Anak-anak harus diajarkan untuk mengetahui asal usul suku-suku di Lamalera supaya mereka dapat membedakan dan mengenal suku pemberi darah yang disebut nana dan suku penerima darah yang disebut opu. Hal ini bertujuan untuk (1) menjaga tata karma, sopan santun antaranggota masyarakat, antarsuku di tengah kehidupan sosial masyarakat; (2) mengenal norma-norma adat yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan dalam membangun komunitas kekerabatan; dan (3) membangun keharmonisan hubungan antaranggota masyarakat, antarsuku dalam masyarakat sebagai keluarga besar.

Masyarakat Lamalera, khususnya kaum muda harus memiliki pengetahuan mengenai sistem perkawinan adat Lamalera. Misalnya, mengenai syarat pemilihan jodoh dengan memerhatikan hubungan darah, hubungan ipar, hubungan suku bersaudara, dan sumpah keluarga. Generasi muda perlu memiliki pengetahuan tentang asal usul keluarga, suku, dan daerahnya sehingga tidak menimbulkan

“kepincangan” sosial, seperti salah menyapa orang, salah menempatkan diri, salah dalam bertutur, salah dalam menjalankan aturan-aturan adat, dan lain sebagainya.

4.1.2.3 Potret Jati Diri Masyarakat Lamalera dalam Sistem Kepercayaan

Pengalaman yang behubungan dengan subjektivitas keyakinan merupakan gambaran sistem kepercayaan masyarakat Lamalera. Sistem kepercayaan yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

103

menggambarkan jati diri atau identitas masyarakat Lamalera dapat diketahui melalui kajian terhadap tradisi lisan liá asa usu. Artinya, melalui kajian tradisi lisan liá asa usu, peneliti dapat mengangkat ke permukaan berbagai gambaran jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera yang berhubungan dengan Tuhan.

Beberapa syair liá asa usu yang mengungkapkan jati diri atau identitas masyarakat Lamalera dalam sistem kepercayaan dapat dijelaskan di bawah ini.

Leppa’ lefu lodo goi tobi (Pulau Lapan kaya Emas) Bata tanah isi di selaka (Tanah Batan mengandung perak) Allah tao tasik lau lebo gere (Allah menentukan laut bertambah naik) Tua’ lifu tanah rae mete hau (Tanah didarat semakin sempit) (LAU.5)

Syair (LAU.5) menggambarkan peristiwa alam yang terjadi di Pulau

Lepan dan Batan, yaitu air laut semakin naik dan daratan semakin sempit. Leluhur

Lamalera percaya bahwa peristiwa alam tersebut merupakan kehendak Allah.

Allah, Sang Pencipta langit dan bumi beserta isinya ingin menunjukkan sikap atas kehidupan leluhur Lamalera. Sikap Allah ini ditandai dengan sikap alam yang menuntut leluhur untuk ‘merefleksi’ kehidupan yang mereka jalani.

Syair (LAU.5) memberi gambaran jati diri atau identitas sosial masyarakat

Lamalera sebagai orang-orang yang percaya akan keberadaan Allah dan seluruh kehendak-Nya. Masyarakat Lamalera selalu mengimani kehendak Allah sehingga seluruh peristiwa alam yang berimbas pada kehidupan mereka dimaknai sebagai

“hadiah’ dari Allah. Identitas tersebut diwujudnyatakan dalam berbagai tradisi keagamaan dan ritual adat istiadat sebagai bukti kesadaran akan kehadiran dan penyelenggaraan Allah atas hidup mereka. Ungkapan identitas tersebut dimaknai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

104

sebagai pandangan hidup iman. Artinya, kehidupan religius masyarakat Lamalera dimaknai sebagai wujud pengalaman iman dalam kaitannya dengan keyakinan.

Pengalaman iman itulah sebagai pedoman hidup mereka dalam menentukan sikap atau arah kehidupan, khususnya dalam aspek mata pencaharian. Sikap alam yang diimani sebagai kehendak Allah dituruti menjadi bagian keberimanan mereka.

Sikap alam, yaitu terjadinya air bah (blébu lébu éke) menuntut sikap dan arah kehidupan leluhur Lamalera. Peristiwa air bah membuat semua penghuni

Lepan dan Batang berusaha menyelamatkan diri. Rombongan leluhur Lamalera menyelamatkan diri dengan menumpang peledang Kebakopuke ke arah barat, yakni ke pulau Lembata. Mereka membawa serta kerangka peledang Buipuke yang belum selesai pengerjaannya. Hal ini dikisahkan dalam syair liá asa usu di bawah ini.

Géri téna dai marangkâ téti Ria (Naik perahu dan terdampar di Riang) Dai epitkâ téti Roma (Datang menepi di Romang) Matak noi lefuk péti tanak lau (Mata masih dapat melihat kampung halaman) Tobo naik kadé rua (Duduk dengan rasa cemas) (LAU.6).

Gafék lau fattâ papa Lamabata (Melintasi selatan pulau Lembata) Sapék téti Tobi Landéké (Menyingahi Tobi Landéké) Sigak téti Fatu Bélâ Baku (Menyinggahi Fatu Bela Baku) Loddo dai kabé honé hollo (Turun kedarat membangun sebuah gubuk) (LAU.7)

Honék karo tung pira pai hikko (Tinggal disana beberapa tahun berlalu) Fanik karo fullâ pira pai gafé (Mendiami hingga beberapa bulan berlalu)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

105

Géri Tena dikanéâ Bakopukâ (Naik sebuah peledang bernama Bakopuka) Ole lollo mété hau (Arus hantar semakin kemari) (LAU.8)

Syair (LAU.6), (LAU.7), dan (LAU.8) di atas mengisahkan perjalanan keselamatan yang dilakukan oleh leluhur Lamalera ketika daerah mereka, Lepan dan Batan diterjang air ampuhan atau air bah. Mereka (seakan) berpasrah pada kehendak Allah atas hidup mereka dengan mengikuti arah arus yang membawa peledang yang mereka tumpangi keluar dari Lepan dan Batan. Arus menghantar mereka semakin ke arah barat hingga perairan selatan Pulau Lembata. Hal ini dibuktikan dengan kesempatan mereka terdampar, menepi, dan beristirahat di perkampungan yang ada di Pulau Lembata.

Warisan jati diri atau identitas masyarakat Lamalera yang digambarkan dalam syair-syair tersebut adalah masyarakat sebagai orang-orang yang percaya pada kekuaatan Ilahi. Leluhur Lamalera percaya teguh bahwa perjalanan eksodus mereka dilindungi dan dibimbing oleh Allah. Identitas ini diwariskan oleh mereka kepada masyarakat Lamalera hingga saat ini. Mereka memiliki keyakinan yang teguh bahwa Allah yang dipercayai itu benar dan nyata sebagai pembimbing dan sumber keselamatan. Kepercayaan itulah yang melahirkan keberanian dan harapan akan keselamatan sehingga mereka menyeberangi laut dengan arus dan angin yang kencang tanpa merasa takut. Tentu, wujud kepercayaan yang diyakini adalah kepercayaan akan kekuatan Ilahi.

Leluhur Lamalera juga percaya terhadap alam pikiran dan perasaan yang menggerakkan mereka untuk bersikap dan berprilaku. Sikap dan prilaku yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

106

menunjukkan kepercayaan leluhur Lamalera dapat dilihat dalam syair liá asa usu di bawah ini.

Hau gafék lau futuk Barasela (Datang melewati tanjung tempat celaka) Olé angi lau mété data (Arus dan angin semakin ganas) Pasa-pasa kabé rugi sorakai (Terpaksa mengorbankan perhiasan) Olé mépé rabelina (Agar arus menjadi tenang) (LAU.9)

Syair (LAU.9) menggambarkan leluhur Lamalera mengorbankan seluruh harta kekayaan yang mereka bawa dengan membuangnya ke laut sebagai bukti persembahan diri demi keselamatan mereka. Mereka meyakini bahwa dengan mengorbankan seluruh harta kekayaan, mereka selamat dari terpaan badai dan arus yang menggelora. Harta kekayaan yang dikorbankan merupakan pengganti keselamatan hidup mereka. Sikap ini diwariskan dipertahankan hingga saat ini sebagai gambaran jati diri dan identitas masyarakat Lamalera.

Jati diri atau identitas yang digambarkan dalam syair (LAU.9) tersebut adalah orang-orang yang rela berkorban demi keselamatan hidup. Masyarakat

Lamalera sangat menjunjung tinggi nilai kehidupan atau nyawa seseorang sehingga dengan cara apa pun mereka berkorban demi keselamatan nyawa manusia. Karena itu, mereka memiliki jiwa rela berkorban demi keselamatan hidup pribadi maupun banyak orang. Mereka selalu percaya akan penyertaan dan perlindungan Allah atas diri mereka saat mencari nafkah di laut. Walaupun berbagai tantangan dan cobaan saat ola nuâ, para nelayan Lamalera tidak pernah lupa memberi persembahan berupa seluruh hasil perjuangan hidup kepada Allah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

107

sebagai bukti syukur dan terima kasih mereka. Hal ini dilakukan dalam setiap kebakitan agama katolik (perayaan ekaristi) dan ritual-ritual keagamaan.

Sesungguhnya, keselamatan hidup masyarakat Lamalera diyakini hanya dalam tangan Tuhan. Hanya iman yang bisa menyelamatkan dan meluputkan hidup mereka dari berbagai ancaman duniawi. Artinya bahwa sikap dan perilaku yang ditunjukkan oleh para leluhur Lamalera sebagai wujud kepercayaan mereka didasarkan pada suatu getaran jiwa. Tentu, sebelum melepaskan harta kekayaan, mereka melakukan “ritual” sebagai bukti bahwa mereka memiliki kepercayaan yang teguh terhadap wujud tertinggi. Hal ini adalah reaksi dari getaran jiwa yang disebut “emosi keagamaan” (religious emotion) yang membuat leluhur Lamalera melakukan tindakan yang bersifat keagamaan, seperti ritual-ritual.

Wujud kepercayaan harus disertai dengan membangun komunikasi intim dengan Allah, Sang Pencipta dan Penyelamat, khususnya dalam keadaan dan situasi sulit. Namun, membangun hubungan dengan Allah, bukan saja dalam situasi sulit, tetapi juga dalam situasi bahagia sebagai ungkapan syukur. Wujud syukur kepada Sang Ilahi merupakan bentuk sikap iman masyarakat Lamalera yang tidak pernah diabaikan. Sikap iman ini merupakan warisan leluhur seperti terungkap dalam syair di bawah ini.

Moé Amak péti kofa lollo tobo (Engkau Bapakku yang ada diatas langit) Likok lau mété dai (Melindungi kami jauh dari sana) Moé Bélék péti kellâ tukâ dai (Engkau Allahku yang berdiri ditengah langit) Lapak lau mété dai (Melindungi dan membimbing dari jauh datang kemari) (LAU.15)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

108

Syair tersebut menggambarkan ungkapan syukur dan terima kasih dari para leluhur Lamalera kepada Allah di surga. Mereka percaya bahwa Allah, Sang

Pelindung yang ada di surga senantiasa berdiri di tengah kehidupan mereka, khususnya perjalanan mereka yang jauh dari Luwuk sampai Lamalera. Wujud kepercayaan yang mendalam akan penyertaan Allah, Sang Pencipta tampak dalam doa syukur yang diungkapkan oleh para leluhur Lamalera. Hal ini berarti setiap permohonan yang diungkapkan (bdk. LAU.9) harus senantiasa disertai dengan ungkapan syukur. Sikap batin para leluhur Lamalera tersebut diwariskan hingga saat ini sebagai wujud jati diri atau identitas. Artinya, Sikap permohonan dan syukur sudah menjadi bagian integral iman masyarakat Lamalera. Mereka tidak melakukan salah satu dengan mengabaikan yang lain, tetapi kedua sikap iman tersebut dilakukan sebagai satu kesatuan dari sikap iman mereka.

Masyarakat Lamalera adalah orang-orang yang selalu menjunjung tinggi kepercayaan akan penyelenggaraan Allah. Misalnya, sebelum musim melaut

(lefa nuang), mereka selalu mempersembahkan seluruh permohonan hati mereka melalui berbagai ritual adat yang kemudian disatukan dalam kebaktian agama

Katolik (ekaristi) di pesisir pantai Lamalera. Demikian pula, setelah lefa nuang mereka bersyukur dan berterima kasih atas pernyartaan Allah dan Bunda Maria dalam kebaktian dan ziarah ke gua Maria pada akhir bulan Oktober.

Pemertahanan jati diri atau identitas kepercayaan masyarakat Lamalera, yakni melalui kesadaran iman. Masyarakat Lamalera menyadari bahwa iman kepada Ilahi adalah hal pribadi yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha

Esa. Karena itu, mereka memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang aspek-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

109

aspek pokok, yakni (1) Keyakinan (credial) akan adanya kekuatan supranatural yang diyakini mengatur dan mencipta alam (bdk. LAU.5 dan LAU.12); (2)

Peribadatan (ritual), yaitu tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan kekuatan supranatural sebagai konsekuensi atau pengakuan dan ketundukannya

(bdk. LAU.8); dan (3) Sistem nilai yang mengatur hubungan adikodrati yang dikaitkan dengan keyakinannya tersebut (bdk. LAU.15). Sisi lain, berbagai aktivitas adat dan budaya menyiratkan keyakinan penuh akan peranan, restu, dan perlindungan leluhur sebagai salah satu kekuatan adikodrati yang menentukan keberadaan, kebertahanan, dan keberlanjutan hidup masyarakat Lamalera.

4.1.2.4 Potret Jati Diri Masyarakat Lamalera dalam Sistem Peralatan Hidup

Peralatan dan perlengkapan hidup merupakan sarana dan prasarana yang dihadirkan untuk menunjang proses kehidupan seseorang atau sekelompok orang.

Orang-orang menggunakan peralatan dan perlengkapan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Lebih dari itu, peralatan hidup juga merupakan gambaran jati diri atau identitas seseorang atau kelompok masyarakat. Demikian masyarakat

Lamalera memiliki peralatan dan perlengkapan hidup yang khas dalam menunjang kehidupan mereka sekaligus sebagai simbol yang menggambarkan jati diri atau identitas mereka, seperti digambarkan dalam syair liá asa usu di bawah ini.

Géri tena bua-bua laja (Naik perahu lalu turut berlayar) Kai lulu laja teti Sérâ (Turunkan layar dipulau Seram) Gafi léfa Halmahera (Mengarungi laut Halmahera) Kai nébongkâ téti Gorâ (Berlabuh jangkar dipulau Goram) (LAU.2)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

110

Syair tersebut menggambarkan perjalanan eksodus leluhur Lamalera ketika meninggalkan desa Luwuk dan Beru (LAU.1-kedua) dengan menumpang perahu dan berlayar ke timur, mengarungi laut Halmahera dan singgah di pulau

Seram. Kemudian, mereka melanjutkan perjalanan menuju pulau Goram lalu berlabuh di sana.

Perlengkapan hidup yang digambarkan dalam syair (LAU.2) adalah perahu

(tena) dan layar (laja). Berdasarkan kajian literasi, kemungkinan besar perahu yang digunakan oleh leluhur Lamalera dalam proses eksodus adalah perahu layar yang disebut Pa’dewakang (Liebner, https://www.academia.edu/7780936/ dan

Blikololong, 2010: 79). Perahu Pa’dewakang menjadi dasar perwujudan peledang masyarakat Lamalera yang digunakan sebagai sarana untuk mencari nafkah hidup di laut, khususnya untuk menangkap ikan paus. Demikian halnya dengan layar

(laja) yang digunakan oleh para leluhur Lamalera untuk berlayar dalam perjalanan eksodus.

Perlengkapan tena dan laja merupakan sarana pokok dan utama dalam seluruh proses kegiatan hidup masyarakat nelayan Lamalera sehari-hari sehingga lazim disebut tenalaja. Istilah tenalaja mewakili semua wujud peralatan dan perlengkapan laut yang menunjang mata pencaharian masyarakat Lamalera. Lebih dari itu, tenalaja berfungsi sebagai tulang punggung bagi masyarakat nelayan

Lamalera dalam ola nuâ. Karena itu, ola nuâ sebagai mata pencaharian pokok masyarakat Lamalera tidak bisa dilepaspisahkan dengan unsur tenalaja. Artinya bahwa tanpa tenalaja, kegiatan ola nuâ tidak bisa berjalan. Lebih dari itu, tenalaja menggambarkan jati diri atau identitas kehidupan masyarakat Lamalera.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

111

Keberadaan tenalaja memberi gambaran jati diri atau identitas masyarakat

Lamalera sebagai masyarakat yang berani berjuang mempertaruhkan nyawa demi kehidupan dan kesejahteraan seluruh anggota masyarakat, khususnya para janda, anak-anak yatim piatu, serta para fakir miskin. Masyarakat Lamalera memandang tenalaja sebagai sumber daya untuk memperjuangkan hidup di laut. Tenalaja, menjadikan nelayan Lamalera berjuang tanpa kenal lelah dan gentar, menerjang ombak dan badai, mengarungi samudera luas, bertempur penuh risiko melawan ganasnya ikan paus. Bagi kaum laki-laki, tenalaja menjadi spirit ola nuâ untuk siap memertaruhkan nyawa demi istri, anak, suku, dan kampung halaman (lefo tana). Sementara itu, kaum perempuan senantiasa berpasrah terhadap nasib kaum laki-laki tatkala menggunakan tenalaja untuk ola nuâ. Mereka berpasrah sepenuhnya kepada penyelenggaraan Ilahi. Semuanya menunjukkan jati diri masyarakat Lamalera sebagai masyarakat yang heroisme.

Tenalaja juga memberi gambaran jati diri atau identitas sosial masyarakat

Lamalera sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi nilai persatuan dan rasa solidaritas suku. Tenalaja dalam kehidupan masyarakat Lamalera juga merupakan simbol rasa kesatuan dan solidaritas suku dalam membangun komunitas hidup bersama. Simbol tersebut tampak jelas dari proses pembuatan peledang milik suku tertentu sampai melautnya peledang tersebut. Pekerjaan tersebut memperlihatkan keterlibatan seluruh anggota suku, bahkan seluruh anggota masyarakat di luar suku yang bersangkutan dalam satu kesadaran kerja sama yang tinggi, tenggang rasa, dan solidaritas antaranggota dan antarsuku. Tenalaja telah menjadi simbol pengikat tali kekeluargaan yang utuh di antara anggota suku dan antarsuku dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

112

masyarakat Lamalera sejak zaman dahulu hingga sekarang. Mereka selalu taat kepada pesan dan amanat leluhur, yakni ona tou, mata tou, kemui tou, ka tou yang berarti satu hati dalam musyawarah, satu hati dan satu semangat dalam bersikap dan bertindak mengenai segala hal di dalam suku, baik menyangkut tenalaja, ola nuâ, maupun mengenai urusan-urusan lain yang berkaitan dengan kehidupan sosial bersama di kampung.

Selain itu, tenalaja juga menggambarkan jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera sebagai orang-orang yang sangat menjunjung tinggi nilai ekonomi kerakyatan. Tenalaja juga merupakan simbol ekonomi kerakyatan yang dilandasi dengan prinsip musyawarah untuk mufakat. Artinya, berbagai hal yang berhubungan dengan tenalaja, mulai dari proses pembuatan hingga turun ke laut dikerjakan dan diselesaikan secara musyawarah dan mufakat antara para anggota suku, termasuk sistem pembagian tugas dan tanggung jawab, serta pembagian jatah hasil tangkapan. Dengan kata lain, prinsip ‘dari suku, oleh suku, dan bagi suku’ menjadi karakter sosial masyarakat Lamalera dalam wujud sebuah tenalaja.

Tenalaja juga menggambarkan jati diri atau identitas masyarakat sebagai manusia yang memiliki kekuatan spiritual hidup. Tenalaja menjadi simbol kekuatan spiritual hidup bagi masyarakat Lamalera. Artinya, tenalaja adalah jiwa yang memberi semangat kepada masyarakat Lamalera untuk terus berjuang tanpa henti mempertahankan hidup di tengah kondisi geografis alam yang berbatu dan kering-krontang. Getar gaung bunyi dayung dikayuh senantiasa membangkitkan semangat menggelora para nelayan untuk terus berjuang tanpa menyerah demi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

113

mempertahankan kehidupan masyarakat, para janda, anak-anak yatim piatu, dan kaum fakir miskin.

Kegiatan ola nuâ, khususnya mencari ikan paus (kotekelema) oleh para nelayan Lamalera menggunakan peledang (perahu tradisional) yang dibuat dengan menggunakan pasak kayu tanpa material besi. Sementara itu, layar perahu dibuat dari anyaman daun gebang berukuran sekitar 2x4 meter. Bahkan, peledang setiap suku memiliki identitas nama masing-masing, baik berdasarkan jenis, bentuk, maupun cara dan tujuannya. Pemberian nama peledang oleh masing-masing suku pemiliki sudah diwariskan oleh leluhur Lamalera sejak eksodus dari Pulau Seram.

Hal ini seperti dikisahkan dalam syair liâ asa usu di bawah ini.

Géri téna narang téna Séra (Naik perahu yang namanya perahu Seram) Sapék téti Abbo téti Moa (Singgahi pulau Ambon dan pulau Moa) Hékka lajak di ketebu koli méâ (Kuganti layar dengan daun gebang si lontar merah) Sigak téti Nua Fatu Bela (Singgah juga di kepulauan Fatu Bela) (LAU.3)

Honék karo tung pira pai hikko (Tinggal disana beberapa tahun berlalu) Fanik karo fullâ pira pai gafé (Mendiami hingga beberapa bulan berlalu) Géri Tena dikanéâ Bakopukâ (Naik sebuah peledang bernama Bakopuka) Ole lollo mété hau (Arus hantar semakin kemari) (LAU.8)

Syair tersebut menggambarkan bahwa para leluhur Lamalera menumpang perahu (Pa’dewakang) yang bernama Perahu Seram. Mereka sempat singgah di

Pulau Ambon dan Pulau Moa, lalu melanjutkan pelayaran dan singgah di kepulauan Fatu Bela. Ketika singgah di pulau Ambon dan Moa, mereka sempat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

114

mengganti layar dengan daun lontar merah (gebang). Selanjutnya, mereka berlayar dan sampai di Lepanbatan. Namun, peristiwa air ampuhan membuat semua anggota rombongan eksodus terpencar. Para leluhur Lamalera terpakasa harus mengungsi menggunakan peledang Kebakopuke dan mengarungi gelora arus lautan. Hal ini seperti ditegaskan oleh narasumber dalam wawancara, demikian:

“Leluhur kita memang berasal dari Luwuk di Sulawesi. Namun, di masa pemerintahan Hayam Wuruk dengan niat menyatukan kerajaan-kerajaan lokal menjadi satu-kesatuan , maka atas perintah Gajah Mada leluhur kita mengungsi. Mereka keluar dari tanah Luwuk dengan naik perahu lalu bergerak ke arah timur dan memasuki perairan Maluku. Mereka sempat singgah dan mungkin tinggal beberapa lama di Pulau Seram. Kemudian, mereka mengungsi ke Ambon, Goram, Moa, lalu singga di Nua Fatubela, sebelum mereka mengungsi dan tinggal di Keroko Tafa Teria Gere, Lepan, dan Batang (HWN.2).

Syair (LAU.3) dan (LAU.8) tersebut menunjukkan jati diri atau identitas masyarakat Lamalera sebagai masyarakat diaspora. Rombongan para leluhur

Lamalera merupakan hasil diaspora. Mereka tercerai berai dan tersebar akibat air ampuhan sehingga mereka tidak memiliki kekuatan untuk menduduki suatu wilayah yang baik dan efektif. Syair (LAU.3) dan (LAU.8) juga menggambarkan konteks budaya tentang peledang sebagai perlengkapan atau sarana utama bagi para nelayan Lamalera untuk menangkap ikan paus dan jenis ikan besar lainnya.

Peledang tidak hanya sebagai sarana utama mata pencaharian pokok masyarakat

Lamalera, tetapi lebih dari itu sebagai simbol identitas sosial masyarakat

Lamalera. Peledang merupakan representasi sistem sosial kemasyarakatan, kebersamaan, kekeluargaan, gotong royong, kekerabatan antarsuku. Peledang merepresentasikan karakter masyarakat Lamalera yang selalu membutuhkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

115

bantuan sesama dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup, menggambarkan karakter masyarakat Lamalera yang selalu menolong, bersama-sama memelihara serta menjunjung tinggi nilai kehidupan. Selain itu, peledang juga merupakan wujud nyata semangat gotong royong, bahu-membahu dalam membangun kesejahteraan keluarga, suku, dan masyarakat Lamalera. Hal tersebut terlihat dari proses pembuatan peledang sampai pada penggunaan peledang tersebut.

Proses pembuatan peledang dilakukan secara bersama-sama oleh anggota suku pemilik perahu yang hendak dibuat dan suku-suku yang diajak ikut serta sebagai pendukung (nenang alep). Demikian halnya saat peledang digunakan untuk menangkap ikan paus. Ketika mengejar dan menangkap ikan paus, biasanya satu peledang berisi delapan sampai tiga belas orang nelayan yang terdiri dari pemimpin laut (lamafa), asisten pemimpin laut atau wakil lamafa (breung alep), matros (meng), dan pengemudi peledang (lamauri). Setiap nelayan memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing. Lamafa memiliki peran atau bertugas menikam atau menancapkan tempuling ke tubuh paus yang dijadikan target bersama; breung alep berada di belakang lamafa dan bertugas untuk mengatur para matros (meng alep) dan arah pergerakan tali saat lamafa menikam agar tidak terbelit atau membelit para nelayan. Para matros berperan untuk mendayung peledang dan menyedok keluar air laut yang masuk ke peledang. Lamauri bertugas untuk mengemudi dan mengendalikan arah peledang agar terus melaju mendekati koteklema yang akan ditikam sehingga tepat sasar dan sesuai perintah lamafa. Hal ini menggambarkan jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera sebagai orang-orang yang memiliki dan menghargai pembagian peran sosial

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

116

dalam kehidupan bersama.

Semangat kekompokan, kerjasama, dan gotong royong menjadi prioritas dalam kebersamaan nelayan Lamalera untuk mendapatkan rejeki kehidupan bagi banyak orang. Selain itu, nilai tanggung jawab terhadap tugas dan kepercayaan yang diberikan menjadi aspek penting yang sangat diperhatikan dan diamalkan oleh setiap nelayan saat ola nuâ. Hal ini menjadi wujud identitas masyarakat

Lamalera yang dipertahankan sampai sekarang. Artinya, masyarakat Lamalera memiliki karakter kerja keras, memelihara semangat kebersamaan, persaudaraan, serta kekeluargaan. Mereka sangat menjunjung tinggi semangat bekerja keras, gotong royong, kerja sama, kekompakan dalam kebersamaan untuk memperoleh rezeki kehidupan bagi kesejahteraan warga Lamalera dan masyarakat sekitarnya.

Masyarakat nelayan Lamalera juga memiliki karakter tanggung jawab.

Mereka menjunjung tinggi nilai tanggung jawab atas kehidupan masyarakat umum, khususnya kehidupan para janda dan yatim piatu. Mereka juga memiliki karakter tanggung jawab terhadap setiap tugas dan pekerjaan yang dipercayakan kepadanya. Hal ini berarti peran sosial sangat memengaruhi karakteristik dan pola sikap masyarakat Lamalera, karena sebagian peran sosial tidak bisa digantikan bebas, sembarangan, atau sesuka hati, tetapi melalui kesepakatan bersama dalam musyawarah dan mufakat suku, seperti peran sebagai juru tikam (lamafa).

Selain peledang sebagai representasi jati diri atau identitas masyarakat

Lamalera sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kerja kolektif, sampan juga merupakan sarana untuk menangkap ikan-ikan kecil dan lebih bersifat individu, karena digunakan oleh satu atau dua orang. Biasanya sampan digunakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

117

untuk memancing atau membuang jaring (pukat). Walaupun demikian, sampan tidak hanya sebagai sarana mata pencaharian di laut, tetapi lebih dari itu, sebagai simbol identitas masyarakat Lamalera. Sampan merupakan representasi karakter masyarakat Lamalera yang mandiri atau tidak selalu bergantung pada orang lain.

Hal ini terbukti dengan hak kepemilikan setiap sampan, yaitu menjadi hak milik perorangan, dibandingkan dengan peledang adalah milik suku atau marga.

Selain perlengkapan, ada peralatan hidup yang ditampilkan dalam lirik- lirik syair liâ asa usu, seperti dikisahkan dalam syair di bawah ini.

Hau téti Kroko tafa Teria Géré (Tiba di Kroko tafa Teria Gere) Talé kafé heppâ di Kroko (Tali dan tempuling dari serat Kroko dan Heppa’) Honek téti lefuk téti Leppâ (Kubangun desaku di Lepan) Fanik téti tanak téti Bata (Mengerjakan ladang ditanah Batan) (LAU.4)

Syair tersebut mengisahkan bahwa setelah singgah di pulau Fatu Bela, leluhur

Lamalera melanjutkan pengungsian dengan menjelajahi kepulauan Kei, lalu menyusuri kepulauan Tanibar dan pulau-pulau kecil di sebelah utara Pulau Timor, akhirnya berlabuh di Pulau Lepan dan Pulau Batang atau biasa disebut Kroko

Tafa Teria Fere atau Keroko Puka. Istilah Kroko Tafa Teria Gere atau Keroko

Puka adalah nama lain dari pulau Lepanbatan, karena daerah ini ditumbuhi banyak semak widuri (kroko) dan sayur petola (daun oyong). Mana Beda Frasa bersama rombongan armada perang Patih Gajah Mada menetap cukup lama di daerah ini. Mereka tinggal beberapa tahun berlalu dan mendiami rumah mereka beberapa bulan berlalu (bdk. LAU.8) Bahkan, mereka sempat membangun permukiman dan perumahan, bercocok tanam, dan melaut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

118

Salah satu peralatan hidup yang digunakan untuk melaut sebagai wujud

“teknologi penangkapan” waktu itu adalah kafe atau tempuling (harpoon), yaitu tombak kecil untuk menangkapjenis ikan besar, seperti ikan paus, pari, lumba- lumba. Tempuling yang digunakan oleh leluhur Lamalera pada waktu itu terbuat dari kayu secan (heppa) dan dipintal dengan menggunakan tali dari serat pohon widuri (keroko). Bentuk peralatan hidup inilah menjadi “contoh” yang dibawa ketika para leluhur Lamalera keluar dari Lepanbatan dan melakukan perjalanan eksodus ke Lembata.

Tempuling menjadi simbol jati diri atau identitas masyarakat Lamalera ketika sudah di tangan dan digunakan oleh seorang lamafa. Karena itu, tempuling juga merupakan representasi simbol lamafa yang dapat mengungkapkan jati diri atau identitas masyarakat Lamalera. Dengan kata lain, ketika berbicara mengenai tempuling maka tidak terlepas dari figur penggunanya, yakni lamafa. Tempuling menggambarkan identitas masyarakat nelayan Lamalera sebagai orang-orang kuat, perkasa, dan berjiwa kerja keras. Hal ini dilihat dari bentuk dan wujud tempuling yang terbuat dari tempaan potongan besi, berukuran kecil, dan berkait.

Walaupun tempuling berukuran kecil dan hanya berdiagram kurang lebih 30 cm dapat menaklukkan raksasa laut, yaitu ikan paus yang besar. Dengan kata lain, hanya dengan peralatan yang sangat sederhana, yaitu tempuling dan tali, ikan seberat 15 sampai 20 ton, bahkan lebih dapat ditakhlukkan hanya oleh seorang lamafa dibandingkan dengan ikan paus yang dia tikam. Tentu, tidak terpepas dari kerja sama, kekompakan bekerja, dan kerja keras dari para matros (meng alep) dan lamauri. Hal ini menunjukkan kekuatan dan keperkasaan lamafa serta kerja

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

119

keras dan kekompakan para nelayan (breung laep, meng, dan lamauri) untuk

Bersama-sama menaklukan ikan paus.

Tempuling juga menggambarkan identitas masyarakat Lamalera sebagai orang-orang pemberani. Hal ini dilihat dari fungsi dan efek dari pemanfaatannya.

Sesungguhnya, tempuling hanya digunakan oleh seorang pemimpin laut (lamafa) untuk menombak ikan. Ketika seekor ikan paus dilihat, maka keberanian dan keahliân seorang lamafa sangat dituntut, karena ia harus berhadapan dengan ikan, berjuang, berusaha menombak, dan menaklukannya dengan tempuling yang kecil.

Dengan kata lain, keberanian seorang lamafa menjadi taruhan saat menangkap ikan-ikan besar, seperti ikan paus, karena hanya dia yang berhadapan langsung dengan ikan saat kakinya hentak dari haluan dan melompat untuk menikam ikan.

Ketika berdiri di haluan peledang, lamafa memikirkan kehidupan semua orang sehingga dengan tempuling di tangannya ia berani melompat dari haluan dan bertarung demi kehidupan semua orang di darat (narakajak), khususnya para janda dan duda (kideknuke), fakir miskin, dan anak-anak yatim piatu.

Tempuling juga merupakan simbol identitas masyarakat Lamalera sebagai penderma dan pemberi kehidupan. Ketika lamafa berdiri di depan haluan peledang dengan memegang bambu yang ditancapi tempuling pada ujungnya, ia tidak memikirkan istri dan anak-anaknya, melainkan kehidupan semua masyarakat.

Keberhasilan lamafa melompat dan menombak atau menaklukan ikan paus, ia dan para matros telah memberikan kehidupan bagi masyarakat Lamalera. Ia menjadi

‘penderma’ bagi para janda, kaum fakir miskin, dan anak-anak yatim piatu. Hal ini seperti ditegaskan oleh narasumber, demikian:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

120

Sederhananya, ketika lamafa berdiri di haluan peledang, yang mereka pikirkan bukan istri dan anak-anaknya. Total nyawa mereka dipertaruhkan untuk seluruh matros yang ada di peledang itu (menga), keluarga mereka masing-masing, para janda dan duda (kideknuke), fakir miskin, dan anak- anak yatim piatu, dan hajat hidup orang banyak. Lamafa sama sekali tidak berpikir tentang anak dan istrinya. Dalam kamus yang ada di benak lamafa hanya semata-mata untuk kehidupan narakajak (khalayak) dan masyarakat semuanya (HWN-3)

Tempuling juga menjadi simbol kepemimpinan seorang lamafa. Ketika lamafa berdiri di haluan peledang sambil memegang tempuling, maka seluruh konsentrasi para awak peledang tertuju kepadanya, karena ia yang mengendalikan arah peledang sesuai dengan posisi ikan saat di permukaan laut. Lamafa yang memberi keputusan, apakah ikan paus dihadapannya mesti ditikam atau tidak.

Bahkan, ke arah mana peledang mesti berlayar atau didayung, semuanya bergantung pada komando atau perintah dari haluan, yaitu lamafa. Selain itu, sebagaimana seorang pemimpin memberi teladan bagi orang-orang yang dipimpinnya, demikian lamafa memberi banyak teladan sikap hidup, ugahari, lakutapa, pantang, puasa, dan lain-lain karena peran lamafa bekerja dalam ‘diam’ dan ‘kesunyian’ batin. Jiwa kepemimpinan yang lamafa turunkan atau wariskan ke siapa pun adalah dalam contoh atau keteladanan hidup. Artinya, lamafa senantiasa mengajar dengan sikap hidup dan prinsip hidup. Hal ini sejalan dengan pernyataan Alo Gneser Tapoona (Bataona, 2017) bahwa lamafa melakukan tugas yang sacral. Saat memegang tempuling, lamafa memegang harapan hidup, tidak hanya untuk keluarganya (istri dan anak-anak), tetapi seluruh kampung. Dia

(lamafa) adalah kehidupan.

Dengan demikian, memaknai atau menyederhanakan pengertian lamafa sekadar sebagai juru tikam sama dengan merusak hakikat, jati diri, dan martabat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

121

lamafa serta masyarakat Lamalera secara keseluruhan. Sesungguhnya, secara semantic dan etimologis, kata lamafa diartikan sebagai “piring yang ada di depan” di haluan peledang atau homololo), sedangkan lamauri diartikan sebagai piring yang ada di belakang. Artinya bahwa tidak ada pengertian yang dikandung dalam kata lamafa sebagai ‘juru tikam’. Pemerkosaan pengertian lamafa sebagai ‘juru tikam’ sama dengan menjerumuskan sekaligus meruntuhkan hakikat makna epistemologisnya. Sementara dalam pengertian kosmologi, lamafa adalah pemimpin laut, panutan kehidupan, bahkan kehidupan itu sendiri, simbol dari yang namanya “totalitas kehidupan”. Oleh karena itu, lamafa bukan juru tikam, melainkan pemimpin laut.

Lain halnya dengan breung alep. Secara etimologis, breung alep berarti wakil pemimpin laut. Mati hidupnya lamafa, ikan berhasil ditangkap atau tidak sangat bergantung pula dari breung alep. Bagaimana dia mengatur lalulintas tali, arah tali, kapan mesti tahan tarikan ikan, kapan esti disuruh los. Lalulintas tali ada di kendali breung alep. Kecepatan dan kecermatan dia mengurangi gulungan tali, supaya tali tidak melilit lamafa yang sedang berenang pasca menikam, dan lain sebagainya. Dia juga orang kedua (setelah lamafa) yang mengambil peran lamafa

(saat lamafa masih berenang pasca menikam ikan) untuk mengeksekusi ikan untuk penikaman berikutnya. Singkat kata, breung alep selalu berada di samping

(dan dibelakang) lamafa.

Selain itu, peralatan hidup yang dikisahkan dalam syair liâ asa usu adalah emas dan perak. Hal ini terdapat dalam syair di bawah ini.

Leppa’ lefu lodo goi tobi (Pulau Lapan kaya Emas)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

122

Bata tanah isi di selaka (Tanah Batan mengandung perak) Allah tao tasik lau lebo gere (Allah menentukan laut bertambah naik) Tua’ lifu tanah rae mete hau (Tanah didarat semakin sempit) (LAU.5)

Sayair (LAU.5) tersebut menunjukkan bahwa daerah Lepanbatan juga memiliki kekayaan lain, selain hasil perkebunan (bdk. LAU.4-keempat) dan hasil laut. Daerah Lepanbatan juga mengandung perak dan kaya emas. Kekayaan

“tambahan” ini disebabkan karena pulau Lepan dan Batan berada pada jalur pelayaran kapal-kapal dagang dari wilayah barat ke wilayah timur Indonesia, khususnya ke daerah Maluku untuk membeli rempah-rempah, atau jalur dagang dari pulau Timor ke daerah utara, khususnya daerah Makasar untuk perdagangan kayu cendana (Blikololong, 2010: 82). Bahkan, Anthoni Reid menyatakan bahwa abad ke-15-17 merupakan “kurun niaga” di kawasan Asia Tenggara yang ditandai dengan ramai dan lancarnya jalur pelayaran dagang internasional. Periode ini menunjukkan hubungan antara kota-kota maritim mencapai puncak kejayaan, dibanding periode sebelum dan sesudahnya (Blikololong, 2010: 82). Tentu, aktivitas perdagangan tersebut berlaku juga di perairan Lepan dan Batan sebagai jalur perdagangan, karena Lepanbatan memiliki pelabuhan Leffo Hajjo yang nyaman sehingga tidak salah kalau dikatakan bahwa daerah Lepanbatan banyak emas, kain patola, dan gading yang dimiliki oleh leluhur Lamalera saat mendiami wilayah Lepanbatan.

Emas dan perak dalam syair liá asa usu merupakan simbol kekayaan dan kemodernisasian. Hal ini memberi gambaran jati diri atau identitas masyarakat

Lamalera sebagai orang-orang yang berkarakter terbuka (open minded), antisipasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

123

dan selektif, adaptif, serta sikap tidak meninggalkan adat istiadat dan tradisi budaya warisan leluhur. Karakter keterbukaan terhadap berbagai pengaruh luar membuat masyarakat Lamalera lebih dinamis, tidak terbelenggu dengan hal-hal lama yang bersifat kolot, dan mempermudah penerimaan perubahan dan kemajuan zaman. Walaupun demikian, masyarakat Lamalera tetap memiliki kepekaan

(antisipatif) dalam menilai hal-hal yang berbau modernisasi. Sikap antisipatif membuat masyarakat Lamalera mampu memilih (selektif) pengaruh modernisasi yang mendukung kehidupan sosial dan budaya mereka. Masyarakat Lamalera juga menyesuaikan diri terhadap modernisasi secara selektif. Walaupun semajunya modernisasi tidak pernah menghilangkan tradisi budaya warisan leluhur mereka sebagai warisan identitas yang hakiki.

Sikap pemertahan jati diri atau identitas masyarakat Lamalera yang diungkapkan melalui berbagai wujud peralatan hidup di atas adalah pengetahuan tentang sifat dan proses pembuatan peralatan-peralatan hidup tersebut. Artinya, masyarakat Lamalera dari generasi ke generasi perlu menanamkan sistem pengetahuan mengenai peledang dan seluruh fasilitas pendukungnya, seperti layar, tempuling, dan lain sebagainya. Peledang merupakan sarana utama bagi masyarakat Lamalera dalam usaha menangkap ikan paus di laut. Hal yang unik bahwa proses pembuatan peledang dikategorikan sebagai salah satu pekerjaan sulit karena hanya membutuhkan naluri, tanpa menggunakan dena. Pembuatannya pun melalui beberapa tahap yang disertai ritual yang panjang.

Selain itu, peledang memiliki sarana pendukung dalam proses melaut, seperti layar dan tempuling. Nelayan Lamalera menggunakan layar pada peledang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

124

yang terbuat dari anyaman daun gebang, seperti menganyam tikar sehingga memiliki bidang-bidang kecil persegi yang disebut laja mattá. Ukurannya kurang lebih 30 x 30 cm. proses penganyamannya pun menggunakan alat bantu yang disebut slaga. Sementara itu, tempuling merupakan senjata yang ditempa dari besi, berbentuk lonjong panjang, pada bagian ujung berbentuk pipih berkait.

Selain, layar dan tempuling, masih banyak lagi sarana-sarana pendukung dalam proses ola nuá, khususnya dalam menangkap ikan paus dan ikan-ikan besar. Oleh karena itu, setiap nelayan Lamalera (juga para simpatisan dari luar) perlu mengetahuinya agar tidak menjadi asing bagi diri sendiri.

Tentu, pengetahuan yang dibangun untuk pemertahanan sistem peralatan hidup didukung oleh sistem kesenian. Unsur kesenian yang dinikmati secara visual, yaitu proses menganyam layar dari daun gebang atau lontar merah dan proses menempa potongan besi menjadi tempuling. Nilai estetika dalam kedua proses tersebut sangat tampak, karena hanya dilakukan oleh orang-orang yang berkeahliân khusus (penganyam dan penempa). Sementara itu, nilai kesenian juga dapat dilihat dari kerajinan-kerajinan kecil yang dilakukan oleh orang-orang tua, seperti asesoris-asesoris bahari. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa unsur kesenian, khususnya kesenian visual menjadi warisan leluhur.

Leluhur Lamalera adalah orang-orang yang memiliki jiwa seni, khususnya seni rupa yang dinikmati secara visual. Masyarakat Lamalera mampu merancang sepotong besi menjadi tempuling dengan berbagai bentuk sesuai dengan fungsi masing-masing. Demikian juga dengan layar, masyarakat Lamalera menganyam layar dengan menggunakan daun gebang. Prosesnya sangat sulit tetapi karena

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

125

ketelitian dan keahliân, maka hasilnya sangat dinikmati dan dimanfaatkan oleh banyak orang. Sekarang, masyarakat Lamalera juga membuat kerajinan miniatur peledang, ikan, miniatur berbagai jenis ikan menggunakan tulang ikan paus.

Bahkan, kerajinan-kerajinan pun dikembangkan dengan memanfaatkan bagian- bagian tubuh ikan, seperti gigi untuk cincin dan anting-anting serta tulang untuk perhiasan-perhiasan. Hal ini menunjukkan ciri-ciri masyarakat Lamalera dari aspek kesenian bahwa masyarakat Lamalera memiliki jiwa kreativitas dan selalu mengisi waktu luang untuk mengembangkan diri.

4.1.2.5 Jati Diri Masyarakat Lamalera dalam Sistem Bahasa

Sistem bahasa dalam tradisi lisan liâ asa usu bagi masyarakat Lamalera merupakan wujud budaya yang digunakan untuk membangun komunikasi, baik dengan sesama, alam, maupun dengan Tuhan secara lisan, tulisan, maupun isyarat.

Jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera dapat dilihat dalam Bahasa yang digunakan, baik dalam upacara adat istiadat maupun dalam komunikasi sehari-hari. Umumnya, dalam bahasa adat masyarakat Lamalera menggunakan pernyataan-pernyataan metaforis untuk mengungkapkan maksud yang ingin disampaikan. Hal ini dapat dilihat dalam syair di bawah ini.

Dai marangke téti Luki Lefobala (Datang berlabuh di Luki Lewobala) Géré honék téti Lefohajo (Naik keatas membangun di Lefohajo) Nâu tobanga buri hori téna (Lesung terbalik air dalam buri tumpah menyirami perahu) Alo gasukâ lafe larâ tukkâ (Alu terlepas melintangi jalan) (LAU.10).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

126

Syair (LAU.10-ketiga) dan (LAU.10-keempat) merupakan pernyataan metaforis untuk menggambarkan pelanggaran yang dilakukan oleh sekelompok rombongan leluhur Lamalera terhadap norma-norma adat masyarakat setempat

(Luki Lewobala dan Lewohajo) sehingga mereka terpaksa diusir dan mengungsi ke tempat yang baru, yakni Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela. Penggunaan ungkapan metaforis tersebut bermaksud agar orang yang pernyataan itu ditujukan tidak merasa tersinggung dan sakit hati. Hal ini memenuhi fungsi dari maksud (ilokusi) tuturan menurut Leech (1993: 162) yang berhubungan dengan tujuan sosial berupa pemeliharaan prilaku yang sopan dan terhormat, yakni fungsi kompetitif.

Lebih lanjut, Leech menyatakan bahwa dengan fungsi kompetitif sebagai tujuan ilokusi bersaing dengan tujuan sosial, yaitu sopan santun yang mempunyai sifat negatif. Tujuannya ialah mengurangi ketidakharmonisan yang tersirat dalam kompetisi antara apa yang ingin dicapai penutur dengan apa yang dituntut oleh sopan santun. Demikian halnya dengan pernyataan metaforis dalam syair liâ asa usu di atas. Sebenarnya, pernyataan masyarakat Luki Lewobala dan Lewohajo dalam lirik-lirik metoforis tersebut bermaksud untuk memerintah, meminta, menuntut agar kelompok leluhur yang melakukan pelanggaran trahadap norma- norma adat untuk segera meninggalkan atau keluar dari daerah mereka. Tentu, pernyataan maksud tersebut diharapkan memberikan efek tindakan dari leluhur

Lamalera. Hal ini memenuhi kriteria atau prinsip direktif yang dikemukakan oleh

Searle (Leech, 1993: 162), yaitu pernyataan masyarakat Luki Lewobala dan

Lewohajo untuk membuat pengaruh agar leluhur Lamalera melakukan tindakan mengungsi atau keluar dari daerah mereka.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

127

Wujud kebahasaan metaforis pragmatis di atas tetap dipertahankan dalam kehidupan sosial masyarakat Lamalera, khususnya dalam upacara-upacara adat dan acara-acara penyelesaian konflik sosial. Hal ini menunjukkan jati diri atau identitas masyarakat Lamalera sebagai orang-orang yang mengerti sopan santun dan tata krama dalam menjalin komunikasi dengan orang lain di sekitarnya.

Bahkan, menjadi bagian dari budaya berbahasa masyarakat Lamalera sehingga tidak menimbulkan efek pertentangan atau perselisiah sosial di antara mereka.

Sikap sopan santun berbahasa dalam kehidupan sosial masyarakat Lamalera merupakan bentuk kearifan yang terus dipertahankan dan menjadi jati diri atau identitas sosial masyarakat.

Selain itu, jati diri atau identitas masyarakat Lamalera dapat dilihat dalam bahasa yang digunakan sehari-hari. Bahasa daerah Lamalera adalah unik dan khas dari sekian wujud bahasa daerah yang berada di bawah payung bahasa Lamaholot.

Keunikan dan kekhasan terlihat dari wujud fonologis yang digunakan, yakni umumnya konsonan “w” dalam fonologis bahasa Lamaholot, diganti dengan konsonan “f” dalam fonologis bahasa Lamalera. Beberapa kata dalam lirik-lirik tradisi lisan liâ asa usu yang menggambarkan hal tersebut, seperti lefa (lewa),

Lefebala (Lewobala), Lefohajo (Lewohajo), Lefolei (Lewolein), fengi (wengi), fato (wato), tafa (tawa: tumbuh), tifo (liwu: mengisi), fatte (watan: pantai), gafe

(gawe: langgar, menyeberang), futuk (wutuk/wutun: tanjung, ujung), dan kofa

(kowa: langit, angkasa).

Berdasarkan penelusuran literasi, bahasa Lamalera memiliki kemiripan, baik dalam hal bunyi maupun hal tulisan dengan bahasa Lamaholot dan bahasa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

128

Tapa Nuli (Pulau Paskah). Upaya peneliti menunjukkan kemiripan antara kedua bahasa tersebut yang kemudian memengaruhi bahasa Lamalera berdasarkan atas hasil penelitian para ahli, bahwa penduduk prepolinesia berasal dari suku bangsa

Berberis Afrika Utara yang menyebar melalui Indonesia, Australiâ, menuju Pulau

Paskah (Muda, 2016: 215). Hal ini sudah tentu menunjukkan adanya pengaruh bahasa Lamaholot, khususnya bahasa Lamalera dengan bahasa Rapa Nui. Bahasa

Lamaholot dan Rapa Nui memiliki kemiripan dengan bahasa Lamalera. Tidak sedikit ungkapan kata Rapa Nui yang mempunya kesamaan, baik dalam tulisan maupun ucapan, yaitu konsonan “w” dalam bahasa Lamaholot diganti dengan konsonan “f” dalam bahasa Lamalera dan bahasa Rapa Nui. Misalnya, kata “air” dalam bahasa Lamaholot disebut “Wai”, sedangkan dalam bahasa Rapa Nui dan bahas Lamalera menjadi “fai”.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahasa Lamalera merupakan perpaduan bahasa Lamaholot dan bahasa Rapa Nui. Walaupun demikian, tentu butuh penelitian lebih lanjut untuk mendapat kepastian ilmiah dan pengakuan publik. Hal ini menunjukkan jati diri atau identitas masyarakat Lamalera sebagai orang-orang yang memiliki karakter berbahasa yang khas sehingga masyarakat di luar Lamalera bisa mengenal orang Lamalera hanya dari wujud kebahasaan daerah yang digunakannya.

Pemertahanan Bahasa daerah Lamalera sebagai salah satu kearifan budaya adalah dengan mengembangkan sistem pengetahuan. Bahasa menjadi hal penting yang harus dipelajari dan diketahui oleh masyarakat adat Lamalera. Bahasa adat masyarakat Lamalera banyak mengandung unsur metafora. Karena itu, sisitem

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

129

pengetahuan mendapat prioritas untuk mengetahuai bahasa-bahasa adat Lamalera yang diungkapkan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Apabila masyarakat Lamalera maupun orang-orang di luar Lamalera mengetahui atau memiliki pengetahuan tentang bahasa daerah Lamalera, khususnya bahasa adat akan mempermudah komunikasi dalam kehidupan sosial.

Sisi lain, kehidupan masyarakat Lamalera sangat dipengaruhi oleh situasi musim dan gejala-gejala atau tanda-tanda alam yang dihayati sebagai suatu petunjuk awal dalam menentukan strategi kegiatan. Artinya, pengetahuan tentang musim dan tanda-tanda alam menjadi salah satu prioritas kehidupan masyarakat nelayan Lamalera, khususnya berhubungan dengan mata pencaharian mereka.

Wujud pengetahuan masyarakat nelayan Lamalera tentang peranan alam yang diterjemahkan sebagai pengetahuan tentang tanda-tanda alam.

Tanda-tanda alam dijadikan dasar perhitungan untuk menentukan sikap terhadap pekerjaan mereka sebagai nelayan. Beberapa pengetahuan tentang tanda- tanda alam dalam syair tersebut, yakni pasan naik-surut laut (Tua’ lifu tanah rae mete hau - Tanah di darat semakin sempit), arah angin (bdk. Geri tena dai marangka’ teti Ria - Naik perahu dan terdampar di Riang), arah arus (Ole angi lau mete data - Arus dan angin semakin ganas), suara burung, letak bulan dan bintang, dan posisi awan. Sementara itu, pengetahuan tentang sandi-sandi dalam kehidupan masyarakat nelayan Lamalera, seperti asap api (Ape tafa gere -

Nampak nyala api), bunyi tiupan kulit kerang (puis buri), nyala batu pemantik atau kore kapa, heddek klala, heddek blettu, dan laja fai-laja fai.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

130

Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa maksud tradisi lisan liá asa usu menggambarkan jati diri atau identitas masyarakat Lamalera.

Tradisi lisan liá asa usu merupakan ‘tiruan’ kehidupan masyarakat Lamalera sehingga liá asa usu (nyanyian sejarah) adalah masyarakat Lamalera sendiri dengan berbagai unsur kehidupannya, seperti mata pencaharian, sistem kemasyarakatan dan kekerabatan, sistem kepercayaan, sistem peralatan hidup, bahasa, pengetahuan, dan kesenian.

Semua peristiwa sejarah yang menggambarkan maksud keberadaan jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera disajikan secara singkat dan padat dalam penelitian ini. Peneliti beranggapan bahwa tradisi lisan liá asa usu menunjukkan dengan jelas seluruh jati diri atau identitas masyarakat Lamalera yang diwariskan oleh leluhur dan dihidupi serta dipertahankan hingga saat ini.

Penetapan lirik-lirik liá asa usu sebagai data utama menunjukkan dengan jelas seluruh peristiwa kehidupan masyarakat Lamalera sehingga sesuai dengan konteks sosial budaya, sekaligus menghindari terjadinya anakronisme.

4.1.3 Pergeseran Bentuk dan Makna Unsur-unsur Kebudayaan

Masyarakat Lamalera dalam Tradisi Lisan Liâ Asa Usu

Masyarakat etnik Lamalera bisa dikategorikan sebagai masyarakat adat.

Masyarakat Lamalera memiliki tradisi lisan liâ yang telah menjadi sistem dalam konteks kehidupan sosial, politik, budaya, ekonomi, hukum, dan lingkungan hidup mereka. Tradisi liâ masyarakat Lamalera bersifat konteks dan memiliki ranah serta dimensi yang sangat luas, mulai dari sifatnya yang sangat teologis sampai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

131

yang sangat pragmatis dan teknis. Artinya, tradisi lisan liâ menjadi salah satu aset kearifan lokal masyarakat Lamalera yang menjadi “pedoman” untuk mengenal dan mengetahui berbagai pola hidup, sekaligus sebagai gambaran jati diri atau identitas, baik dalam hubungan mereka dengan sesama, dengan alam, maupun dengan Sang Pencipta.

Secara khusus, tradisi lisan liâ asa usu masyarakat Lamalera dikemas berdasarkan konteks pemakaian dalam berbagai macam tradisi dan upacara adat.

Penggunaan tradisi lisan liâ asa usu dalam setiap konteks mengandung wujud dan unsur budaya yang khas. Berdasarkan konsep Koentjaraningrat (1987: 186-187), tradisi lisan liâ asa usu memiliki wujud lirik-lirik syair yang menggambarkan (1) ide atau gagasan, nilai, dan norma; (2) aktivitas atau pola tindakan masyarakat

Lamalera dalam kehidupan sosial; dan (3) benda-benda hasil karya masyarakat

Lamalera. Ketiga wujud tradisi lisan liâ asa usu tersebut sekaligus memberikan unsur-unsur jati diri atau identitas dan hakikat kehidupan masyarakat Lamalera yang oleh Koentjaraningrat (1987:186-187) disebut unsur-unsur kebudayaan universal. Artinya, tradisi liâ asa usu mengandung unsur kemasyarakatan, unsur bahasa, unsur pengetahuan, unsur peralatan hidup dan teknologi, unsur mata pencaharian hidup, unsur religi atau kepercayaan, dan unsur kesenian. Masing- masing unsur menggambarkan jati diri atau identitas masyarakat Lamalera.

Bahkan, setiap unsur pun menggambarkan adanya wujud pergeseran bentuk dan makna masing-masing unsur.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

132

4.1.3.1 Pergeseran Sistem Kemasyarakatan dalam Tradisi Lisan Liâ Asa Usu

Kehidupan masyarakat adat Lamalera diatur oleh adat istiadat dan aturan- aturan lain mengenai berbagai macam kesatuan hidup dalam lingkungan sosial.

Kesatuan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat Lamalera, yaitu keluarga inti dan sistem kekerabatan marga atau suku. Selanjutnya, mereka digolongkan dalam tingkatan lokalitas geografis dan membentuk organisasi sosial.

Hal ini digambaran juga dalam syair-syair tradisi lisan liâ asa usu, seperti dalam syair di bawah ini.

Feffâ bélâkâ Bapa Raja Hayam Wuruk (Demi Kehendak Bapa Raja Hayam Wuruk) Pasa-pasa pekkâ lefuk lau Luwuk (Terpaksa kutinggalkan desaku di Luwuk sana) Fengi baata Gadja Mada lali Jawa (Atas perintahnya melalui Gadja Mada dari Jawa) Hidâ-hidâ hiangkâ tanah lau Béru (Kulepaskan rumahku yang makmur di tanah Beru) (LAU.1).

Syair (LAU.1) menggambarkan konteks situasi bahwa Hayam Wuruk ingin mempersatukan Nusantara lewat sumpah Palapa yang diucapkan oleh sang

Pati Gajah Mada. Misi Hayam Wuruk ingin membendung pengaruh kerajaan- kerajaan Asia Tenggara di kepulauan nusantara supaya nusantara harus berada di bawah kuasa kerajaan yang ada di dalamnya, bukan dikuasai oleh kerajaan lain di

Asia Tenggara. Artinya bahwa Kerajaan Majapahit sedang berusaha memperluas pengaruhnya sampai ke kawasan timur dengan tujuan menguasai perdagangan

(Blikololong, 2010: 78). Hal ini terbukti dengan sebagian isi buku Negara

Kartagama karangan Prapanca tentang daerah-daerah di timur yang merupakan bawahan (onderhorigheden) Majapahit, yakni Bali, Badahulu, Lawa Gadjah,

Gurun, Sukun, Taliwang, Dompo, Sapi, Sanghyang Api, Bima, Seran, Hutan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

133

Kadali, Lombok Mirah, Saksak, Bantayan, Luwuk, Uda, Makasar, Butun,

Banggawi, Kunir, Galiyao, Salaya, Sumba, Solot, Muar, Wandan, Ambwan,

Maloko, Wiwanin, Seran, dan Timur (Blikololong, 2010: 77).

Lebih lanjut, Hayam Wuruk ingin mewujudkan cinta, bakti, sumpah, janji suci, ideologi dan semangat perjuangan yang tidak kenal lelah melalui Gajah

Mada demi terwujutnya persatuan Nusantara di bawah Kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Masyarakat Kerajaan Luwuk dan sekitarnya dipekerjakan menjadi tantara dan dieksoduskan untuk misi persatuan Nusantara. Oleh karena itu, syair

(LAU.1) menunjukkan sebagian kelompok masyarakat meninggalkan daerah

Luwuk (pasa-pasa pekkâ lefuk lau Luwuk) dan tanah Beru (hidâ-hidâ hiangkâ tanah lau Beru) untuk mengikuti armada Patih Gajah Mada yang melakukan perluasan Kerajaan Majapahit ke wilayah timur Indonesia. Kelompok masyarakat

Luwuk dan Beru (yang menjadi cikal bakal leluhur Lamalera) pun dieksoduskan.

Sementara itu, Christian Pelras (2006, 127-133) menyatakan bahwa pada kurun abad ke-13 sampai akhir abad ke-4 Masehi terjadi krisis perdagangan di

Sulawesi Selatan karena perubahan konstelasi politik di kawasan tersebut. Hal ini mengakibatkan timbulnya masa ‘kacau’ yang digambarkannya sebagai “manusia saling memakan satu sama lain seperti ikan”. Hal senada ditegaskan oleh Prof. Dr.

Abu Hamid (Blikololong, 2010: 78) bahwa konflik kerajaan antarputra raja adalah lumrah di kerajaan Luwuk Kono, karena akibat konflik tersebut banyak yang meninggalkan Luwuk untuk mencari tempat yang baru. Konflik di kerajaan biasanya dilatarbelakangi oleh gejolak sosial-politik di kawasan tersebut. Oleh sebab itu, percecokan yang mengakibatkan kengkangnya Patti Mana Beda Frasa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

134

mungkin terjadi dalam suatu periode krisis. Hal ini senada dengan pernyataan narasumber dalam wawancara peneliti, demikian:

“Nenek moyang kita keluar dari Luwuk karena terjadi konflik antarsaudara untuk merebut takhta kerajaan. Supaya konflik tidak belarut dan supaya tidak terjadi pertumpahan darah, serta hancurnya kerajaan, maka sang kaka memilih untuk mengalah. Dia memilih untuk tinggalkan daerahnya dan membiarkan adiknya untuk naik takhta. Kita mengakui bahwa sang kaka ini bernama Pati Mana Beda Frasa. Dia yang kemudian diakui sebagai leluhur Lamalera. Ternyata, rombongan Pati Mana Beda Frasa meninggalkan Luwuk menggunakan perahu, kemudian berlayar menuju Seram, selanjutnya ke tempat-tempat persinggahan lain seperti dikisahkan dalam liâ asa usu. Mereka membawa serta sebagian harta pusaka kerajaan, seperti keris bergelombang tujuh, sebuah buku beraksara Bugis kuno, 17 helai lontar berisi aksara Bugis kuno, gong kecil dari perak, tempat sirih pinang dari emas, Meriam kecil dari kuningan, dan beberapa barang pusaka lainnya (HWN-1).

Barang-barang pusaka tersebut merupakan bukti otentik bahwa leluhur

Lamalera berasal dari Luwuk di Sulawesi, karena masih tersimpan di rumah- rumah adat Lamalera hingga sekarang. Keris bergelombang tujuh, buku beraksara

Bugis kuno, dan 17 helai lontar berisi aksara Bugis kuno tersimpan di rumah adat

(lango bella) subu Bataona. Sementara gong kecil dari perak, tempat sirih pinang dari emas, dan Meriam kecil dari kuningan tersimpan di rumah adat suku

Blikololong. Hal yang lebih otentik bahwa tempat sirih pinang dari emas di

Lamalera sama persis dengan yang tersimpan di Museum Luwuk, di Palopo-

Sulawesi sampai saat ini. Selain itu, bukti otentik lain ketika dilihat dari nama- nama para leluhur Lamalera di Lepanbatan. Kia Lakatana, leluhur Lamalera yang memimpin rombongan keluar dari Lepanbatan memiliki empat orang anak, yakni tiga orang laki-laki dan seorang perempuan. Ketiga anak laki-laki memiliki nama depan ‘Daeng’, yakni Daeng Muda Ama (menurunkan suku Blikololong), Daeng

Ata Kelake (menurunkan suku Bataona), dan Daeng Kelake Fato (menurunkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

135

suku Lewotuka). Hal yang menarik bahwa nama Daeng merupakan nama khas orang-orang Luwuk kuno dan Bugis yang tetap digunakan hingga sekarang

(Blikololong, 2010: 76-79).

Sisi lain, tokoh asal tanah Luwuk tidak dipaparkan secara tersurat dalam syair (LAU.1). Namun, hasil penelitian Yakobus Belida Blikololong (2010: 76) menyebutkan bahwa sebuah doa penyerahan kepada leluhur yang dipelihara oleh kalangan terbatas di Lamalera menyebutkan La Galigo sebagai leluhur Lamalera.

Syair penyerahan diri dalam perjalanan yang dimaksud, yakni:

La Galigo laga sare; Pati Mana Beda Frasa; Suku Rua Susur Ama; Belo bola saga lare goe keturunanmu.

Nama La Galigo menjadi urutan pertama menandakan kedudukannya penting di antara leluhur Lamalera. Setelah itu, seruhan ditujukkan kepada Patih

Mana Beda Frasa yang dianggap sebagai leluhur yang meninggalkan Luwuk.

Lebih lanjut, Blikololong menjelaskan bahwa La Galigo merupakan salah seorang leluhur Bugis, putra Sariwagading dan We Cudai. Tentu, tidak banyak orang di kalangan masyarakat Lamalera mengetahui doa ini. Karena itu, dapat dinyatakan bahwa Patih Mana Beda Frasa merupakan leluhur Lamalera, seorang putra raja yang meninggalkan Luwuk. Sementara itu, Suku Rua Susur Ama adalah leluhur berikutnya, sesudah Patih Mana Beda Frasa. Pati Mana Beda Frasa Bersama rombongan (leluhur Lamalera) keluar dari tanah Luwuk diperkirakan terjadi pada akhir abad ke-14 (Blikololong, 2010:76-79).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

136

Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa yang menjadi cikal bakal suku- suku induk di Lamalera bernama Patih Mana Beda Frasa. Konsep ini ditegaskan juga oleh narasumber, demikian:

“Orang yang memimpin leluhur kita dari Luwuk dan Beru memang tidak diketahui secara pasti hingga sekarang ini. Namun, menurut cerita leluhur kita dan diturunkan dari generasi-ke generasi hingga saat ini bahwa tokoh dari tanah Luwuk yang diperintahkan oleh pasukan Majapahit adalah Mana Beda Frasa. Dia berani menantang segala bentuk penindasan yang datang dari berbagai etnis dan budaya, sehingga dia diberi nama Mana Beda Frasa Suku Rua Susur Amma. Jadi leluhur orang Lamalera, Mana Beda Frasa sebenarnya kemudian yang melahirkan generasi-generasi yang kemudian menjadi suku-suku sampai sekarang” (HW narasumber 2).

Syair (LAU.1) menggambarkan bahwa masyarakat Lamalera bukan penduduk asli Pulau Lembata, tetapi berasal dari Kerajaan Luwuk dan Beru di

Sulawesi. Mereka datang dan menetap di pantai selatan Pulau Lembata dalam kelompok pengungsian atau eksodus. Hal ini yang menjadi dasar gambaran identitas masyarakat Lamalera sebagai masyarakat diaspora. Artinya bahwa adanya wujud pergeseran identitas, yakni masyarakat pribumi bergeser menjadi masyarakat eksodus yang menjadi cikal bakal leluhur Lamalera. Sekarang, identitas tersebut mengalami pergeseran wujud menjadi masyarakat pendatang.

Dahulu, keberadaan leluhur Lamalera sebagai masyarakat pribumi karena mereka memiliki tanah, tempat tinggal, dan kehidupan yang tetap di Luwuk dan Beru.

Namun, kehidupan mereka bergeser sebagai pendatang di daerah pulau Lembata akibat eksodus. Sekarang, daerah yang ditempati oleh masyarakat Lamalera merupakan hasil “kompromi” dengan tuan tana Lango Fujjo (bdk. LAU.13).

Selain itu, syair (LAU.1) juga menunjukkan adanya wujud pergeseran dalam sistem kemasyarakatan di Lamalera. Sistem kemasyarakatan yang dihidupi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

137

oleh leluhur Lamalera dahulu di Luwuk dan Beru, yakni sistem kerajaan bergeser menjadi sistem kekeluargaan dan marga atau suku. Bahkan, mereka digolongkan dalam tingkatan lokalitas geografis untuk membentuk organisasi pemerintahan.

Hal ini ditegaskan oleh narasumber berdasarkan hasil wawancara, demikian:

“Dulu, leluhur kita hidup di bawah bimbingan dan perintah raja. Namun, setelah keluar dari Luwuk dan Beru mereka hidup dan berkembang seiring dengan perubahan serta perkembangan waktu, mereka membentuk kelompok masyarakat yang anggotanya merasa satu dengan sesamanya sehingga mereka membentuk suku-suku yang kemudian kita kenal sampai sekarang. Sekarang, kita hidup sebagai satu keluarga dalam suku-suku berdasarkan hubungan darah dan keturunan.” (HW narasumber 5).

Artinya bahwa wujud pergeseran dalam sistem kekerabatan masyarakat

Lamalera berdasarkan wujud sejarah asal usul. Pergeseran sistem kemasyarakatan ini dapat disebut sebagai pergeseran ameliorasi, yaitu pergeseran makna yang menyebabkan makna yang baru dirasakan lebih baik atau lebih tinggi nilainya dibanding makna sebelumnya. Dahulu, leluhur Lamalera menganut pemerintahan kerajaan yang disebut pemerintahan otokrasi (pemerintahan satu tangan), yaitu kekuasaan politik yang dipimpin raja sebagai pemegang kekuasaan dominan suatu wilayah. Sementara sekarang, masyarakat Lamalera menganut sistem demokrasi

(pemerintahan rakyat) dan republik (pemerintahan berdasarkan hukum). Bahkan, persaudaraan dan kekeluargaan sangat mendominasi kehidupan kemasyarakatan di Lamalera. Masyarakat Lamalera selalu menjunjung tinggi nilai persaudaraan antarsesama dengan sebuatan toro kaka, toro ari (menjadi saudara).

Selain itu, sistem kemasyarakatan juga dilihat pada perjalanan eksodus leluhur Lamalera yang lain. Leluhur Lamalera melakukan perjalanan eksodus

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

138

sampai tiba di Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela yang sekarang disebut Wulandoni.

Hal ini dikisahkan dalam lirik syair liâ asa usu di bawah ini.

Hau honék téti Doni Nusa Léla (Datang membangun di Doni Nusa Lela) Fanik téti Ué Ulu Mado (Mendiami ue ulu mado) Gélu hékka fato fakka rappâ blodo (Melakukan penukaran alat kerajinan gerabah) Sera ribu tali ratu (Kepada penduduk asli) (LAU.11)

Syair tersebut menceritakan konteks situasi dan budaya bahwa perjalanan eksodus leluhur Lamalera dari Luwuk dan Beru, sampailah mereka di tempat yang bernama Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela (LAU.11-pertama & kedua). Saat rombongan yang dipimpin oleh Kia Lakatana (seorang putera keturunan Patih

Mana Beda Frasa) tiba di Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela, mereka diterima baik oleh penduduk setempat. Berdasarkan hasil wawancara bahwa saat itu daerah Ue

Ulu Mado Doni Nusa Lela dikuasai oleh Lele Hadung, saudara Laba Hadung yang pindah dari Pulau Awulolong Golo Mengi (sekarang menjadi pulau pasir putih, tempat berkarang atau mencari siput yang terletak di sebelah utara kota Lewoleba, kota Kabupaten Lembata). Sementara itu, narasumber lain mengemukakan bahwa daerah Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela merupakan perpaduan beberapa daerah, yaitu darah Tanjung Leroraja sebagai bekas kampung Labala, Luki, Mulankera, dan Ue Ulu Mado yang dikuasai oleh Nuba Laga Doni. Oleh karena itu, kedua pernyataan tersebut perlu dikaji kembali untuk mendapatkan pengakuan bersama sebagai satu pemahaman yang bisa menjadi pedoman sejarah dan budaya daerah setempat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

139

Hal ini merupakan awal membangun sistem kemasyarakatan. Artinya bahwa adanya wujud asimilasi identifikasi, yaitu pembauran nilai dan sikap leluhur Lamalera dengan nilai dan sikap masyarakat Ue Ulu Mado Doni Nusa

Lela sebagai penduduk asli menjadi satu kelompok masyarakat, karena setiap masyarakat dari kedua etnik merasa satu dengan sesamanya yang lain. Dengan demikian, ada wujud pergeseran yang peneliti menyebutnya sebagai pergeseran generalisasi, yaitu pemahaman khusus masing-masing etnik, baik masyarakat etnik Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela maupun masyarakat etnik eksodus menjadi pemahaman umum bahwa mereka semua adalah satu keluarga sosial yang saling melengkapi dalam hidup.

Wujud bahasa yang mengalami pergeseran, yaitu pergeseran fonologis istilah Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela. Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela merupakan wilayah kekuasaan Nuba Laga Doni. Nuba Laga Doni menjalin hubungan ekonomi dagang dengan masyarakat daerah pesisir dan pedalaman, termasuk daerah tinggal para leluhur Lamalera. Misalnya, leluhur Lamalera ingin menjual hasil tangkapan ikan, maka mereka pergi menukarnya dengan hasil perkebunan ke daerah-daerah pedalaman. Demikian sebaliknya sehingga tradisi dagang ini oleh masyarakat Lamalera disebut penete atau pnete. Nuba Laga Doni juga melakukan pnete dengan menjual tuak dan hasil kebun ke leluhur Lamalera dan masyarakat sekitar. Ketika pergi dan kembali dari pnete dengan membawa tuak serta hasil perkebunan yang belum terjual, Nuba Laga Doni selalu beristirahat di bawah pohon asam di pinggir jalan yang menghubungkan kampung-kampung sekitar, termasuk daerah tinggal leluhur Lamalera. Tempat persinggahan Nuba Laga Doni

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

140

tersebut oleh orang sekitar disebut Doni Uli yang berarti tempat peristirahatan

Nuba Laga Doni. Seiring dengan perjalanan waktu, tempat persinggahan tersebut mulai ramai, karena orang-orang kampung sekitar turut beristirahat. Akhirnya, tempat tersebut berubah menjadi areal pertukaran barang dengan barang

(barteran). Bahkan, leluhur Lamalera saling tukar menukar pengetahuan keterampilan seperti pembuatan gerabah, menempa besi, memintal tali tempuling dari serat kapas, dan lain sebagainya di tempat tersebut (LAU.11-ketiga & keempat) dengan masyarakat setempat sehingga tempat Doni Uli berganti menjadi

Wulan Doni.

Istilah Wulan Doni berasal dari kata Wulan (fulle) yang berarti pasar dan

Doni berasal dari nama asli leluhur orang Labala. Dengan demikian, tempat transaksi ekonomi lokal tersebut disebut Wulan Doni (Fule Doni) yang berarti

Pasar Wulandoni. Walaupun demikian, sejarah tersebut masih simpangsiur dan diperdebatkan, karena belum ada penelitian yang mendalam dari pemerintah.

Peneliti mengemukakan pernyataan tersebut berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber. Tentu, dapat dimaklumi bahwa zaman dahulu masyarakat

Wulandoni tidak memiliki budaya tulis menulis, sejarah hanya disimpan melalu metode tutu koda atau sejarah lisan yang diceritakan oleh penutur turun temurun.

Dengan demikian, istilah Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela yang bermakna daerah kekuasaan Nuba Laga Doni bergeser menjadi Wulan Doni (Fule Doni) yang bermakna tempat pertemuan masyarakat dari berbagai daerah, baik dari daerah pesisir pantai maupun daerah pegunungan untuk melengkapi kebutuhan hidup dengan saling menukarkan barang-barang hasil mata pencaharian mereka

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

141

masing-masing. Lebih lanjut, kedua istilah tersebut (Wulan dan Doni) digabungkan dalam sistem penulisan menjadi Wulandoni (Fuledoni) hingga saat ini yang memberi makna persatuan dan pertemuan persaudaraan antarmasyarakat pesisr dan masyarakat pegunungan dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari- hari, khususnya kebutuhan pokok. Hal ini menunjukkan pergeseran wujud dan makna secara ameliorasi, yaitu pergeseran wujud dan makna yang menyebabkan makna yang baru dirasakan lebih baik atau lebih tinggi nilainya dibanding makna sebelumnya.

Sesungguhnya, istilah Wulandoni yang digunakan hingga saat ini bukan sekadar pasar barter, tetapi suatu kearifan lokal yang sangat agung dan memiliki nilai adat istiadat serta budaya, nilai historis, nilai toleransi, serta peradaban yang sangat tinggi. Wulandoni menjadi tempat pertemuan keberanekaragaman bahasa, budaya, dan adat istiadat berbagai daerah sehingga peneliti menyebut Wulandoni sebagai surganya budaya, surganya adat istiadat, surganya bahasa, dan surganya keanegaragaman yang tiada tanding. Dengan kata lain, Wulandoni sebagai tempat berbagai keanekaragaman bertemu. Orang pantai dan orang pegunungan saling bertemu, saling menyapa, dan membangun persaudaraan untuk menukar barang dagangannya masing-masing sehingga pasar barter Wulandoni tidak mengenal istilah penjual dan pembeli. Orang pegunungan menukarkan hasil perkebunan atau pertanian untuk mendapatkan berbagai jenis ikan, termasuk ikan paus dari

Lamalera. Demikian sebaliknya, orang pantai, termasuk kaum perempuan dari

Lamalera menukarkan hasil tangkapan dari laut dengan hasil-hasil pertanian dari masyarakat pedalaman.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

142

Selain itu, istilah Wulandoni mengandung makna toleransi, karena ketika orang menyebut wulandoni akan terbersit pemahaman tentang pertemuan antara masyarakat pedalaman yang mayoritas penduduknya Katolik dengan masyarakat pantai yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam yang taat. Hal yang menarik bahwa daerah Labala Leworaja merupakan salah satu gerbang wilayah masuknya agama Islam di Kabupaten Lembata sehingga biasa di sebut serambi

Makkah Lembata. Sementara itu, Lamalera sebagai salah satu desa yang jaraknya tidak jauh dari Labala merupakan gerbang masuknya agama Katolik Roma di

Lembata sehingga disebut serambi Roma Lembata. Hal ini berarti Kecamatan

Wulandoni merupakan pintu masuk dua agama besar dunia di Kabupaten Lembata sehingga disebut Wulandoni serambi Roma Makkah Lembata.

Pasar barter Wulandoni merupakan tempat pertemuan para pemeluk kedua agama besar tersebut, disamping pemeluk agama lain. Mereka melangsungkan kegiatan ekonomi, saling bertegur sapa selayaknya tidak ada perbedaan, bercanda, tertawa, saling memenuhi kebutuhan, tidak ada konflik. Semuanya bersaudara, perbedaan agama merupakan hal yang berkaitan dengan keimanan, bukan berarti harus saling bermusuhan, ada sebuah pepatah mengatakan perbedaan itu seperti air dan minyak, tidak pernah bersatu, akan tetapi bisa hidup berdampingan.

Dengan demikian, istilah Wulandoni memberi makna yang sangat mendalam bagi masyarakat Lamalera dan masyarakat umum.

Lebih dari itu, beberapa narasumber menerangkan bahwa kehidupan sosial leluhur Lamalera bersama masyarakat Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela sangat rukun dan damai. Bahkan, Kia Lakatana mendapat sebuatan nama baru, yakni Kia

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

143

Lakatana Korohama (LAU.14-kedua). Secara etimologis, istilah korohama berasal dari kata koro’k (dada saya) dan hama (sama) yang berarti kedudukan yang sama atau sama-sama sederajat. Nama ini diperoleh karena jasa Kia Lakatana dalam membantu kesulitan yang dialami oleh Lele Hadung sehingga dia diberikan status sosial sederajat dengan Lele Hadung. Artinya bahwa kedua etnik tersebut sama sederajat, tanpa ada pembedaan kepentingan. Dahulu, istilah ini hanya berlaku untuk pemimpin yang memiliki kedudukan sama (koro’k hama) dan diturunkan ke anggota suku keturunan Kia Lakatanah Korohama, tetapi sekarang mengalami pergeseran generalisasi. Istilah korohama memiliki makna luas, yakni bersaudara, menjadi kakak beradik (toro kaka toro ari), dan bersatu. Tentu, dalam aspek kemasyarakatan ada hal-hal tertentu yang dijadikan sama dalam, seperti status seseorang dalam suku.

Hal ini menunjukkan wujud sistem kekerabatan atau kemasyarakatan yang mendalam. Kekerabatan itu tampak ketika leluhur Lamalera dengan masyarakat setempat saling menukar pengetahuan dan keterampilan. Artinya, adanya wujud asimilasi, yaitu penyesuaian atau peleburan sifat asli yang dimiliki oleh leluhur

Lamalera dengan sifat masyarakat Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela. Bahkan, ada wujud asimilasi politik dalam kekerabatan, yakni penyesuaian paham politik antarkedua etnik agar dapat bekerjasama. Hal ini tampak pada kebijakan Lele

Hadung sebagai penguasa daerah Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela memberi nama baru untuk Kia Laka Tana dengan sebuatan Kia Laka Tana Korohama.

Hal ini menunjukkan adanya wujud pergeseran, yakni wujud perbedaan sifat menjadi wujud persamaan sifat yang disebut asosiasi. Awalnya, masing-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

144

masing etnik memiliki kebijakan dalam hal pertukaran, usaha, dan sistem politik, kemudian bergeser menjadi persekutuan dagang, persatuan sebagai rekan yang saling melengkapi. Kedua etnik sudah menjadi satu persekutuan yang memiliki kepentingan bersama. Berdasarkan perjalanan waktu, terjadi pergeseran sistem pertukaran. Dahulu, leluhur Lamalera melakukan pertukaran hanya dalam hal pengetahuan dan keterampilan. Namun, zaman sekarang sudah lebih terbuka menjadi pasar barter tempat orang Lamalera melakukan pertukaran hasil-hasil nelayan (ikan) dengan kebutuhan-kebutuhan pokok (jagung, kelapa, ubi, buah- buahan, dll) dari orang-orang pedalaman.

Selain itu, dengan nama baru Kia Laka Tana Korohama menunjukkan bahwa sebelumnya masing-masing etnik memiliki otoritas kepentingan, kemudian bergeser wujud menjadi saling “rasa memiliki” dalam berbagai aspek kehidupan.

Hal ini terbukti hingga saat ini, masyarakat Lamalera menganggap masyarakat

Wulandoni dan sekitarnya (daerah pegunungan) sebagai saudara yang saling membantu dan melengkapi kebutuhan hidup sehingga pasar barter sebagai tempat pertemuan persaudaraan dan menjalin kekeluargaan tetap ada hingga saat ini.

Sistem kekerabatan yang dibangun dan dipelihara ini menunjukkan bukti ada wujud akulturasi, yaitu percampuran kebudayaan warisan leluhur Lamalera dengan kebudayaan masyarakat pedalaman yang saling bertemu dan saling memengaruhi. Wujud akulturasi ini memungkinkan melahirkan juga wujud pergeseran asimilasi struktural, yaitu pemberian kesempatan kepada rombongan leluhur Lamalera sebagai golongan minoritas dan pendatang untuk menjadi warga lembaga sosial primer dari masyarakat Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela sebagai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

145

golongan mayoritas. Hal ini terbukti dengan pemberian nama baru kepada Kia

Laka Tana Korohama.

Selanjutnya, leluhur Lamalera diperbolehkan tinggal bersama-sama dan membangun kehidupan di Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela. Kerangka perahu atau peledang Buipukâ yang dibawa saat perjalanan eksodus dari Lepanbatan (LAU.4) dilanjutkan pembuatannya menjadi sebuah perahu yang utuh. Kehidupan leluhur

Lamalera pun dibangun dengan berbagai aktivitas untuk mempertahankan hidup mereka. Hal ini diceritakan dalam syair tradisi lisan liâ di bawah ini.

Seba ola’k lau léfa harri lollo (Mencari nafkah ditengah laut) Dai épitkâ dai marangkâ (Mendekati pantai merapat ke pinggir) Apé tafa géré raé motti Lango Fujo (Nampak nyala api ditempat berkumpul Lango Fujo) Raé ori Nara Guâ tanah (Ditempat pondok Nara Gua tanah) (LAU.12)

Syair (LAU.12) menggambarkan konteks budaya bahwa tradisi memburu dan menangkap ikan paus yang dijadikan mata pencaharian utama, mulai ditekuni atau “dihidupi” secara serius tatkala leluhur Lamalera menetap di Ue Ulu Mado

Doni Nusa Lela (LAU.11-pertama). Tentu, mereka melaut menggunakan peledang

Buipukâ dan Kebakopukâ (LAU.8-ketiga). Ketika kembali melaut, mereka selalu terbawa arus dan terdampar di pantai yang terlihat ada asap api membubung dari dalam sebuah pondok (LAU.12-kedua). Pantai tersebut dikuasai oleh Gesi Gua

Wasa, kepala suku Lango Fujjo dan Nara Gua Tana (LAU.12-ketiga & keempat).

Hal ini ditegaskan narasumber saat diwawancarai oleh peneliti, demikian:

“Kita bisa tinggal dan hidup di tempat ini (sekarang Lamalera) karena leluhur kita dulu selalu menepi di pantai Lamalera (kene Lali fatâ), kalau mereka pulang melaut (lefa). Mereka melihat ada api dan sebuah pondok

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

146

(feta) milik orang Lango Fujjo. Setelah menepi, baru mereka mendayung perahu kembali ke Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela” (HW Narasumber 4).

Secara tersirat, syair (LAU.12) juga menggambarkan konteks pragmatik bahwa ada gerakan hati leluhur orang Lamalera untuk menemui Gesi Gua Wasa, kepala suku Lango Fujjo dan Nara Gua Tana dengan maksud memohon tempat untuk menaruh perahu mereka. Gerakan hati mereka terwujud, ketika mereka berhasil menemui tuan tanah Lango Fujjo. Hal ini dikisahkan dalam syair di bawah ini.

Kai tutu raé Gési Gua Wasa (Datang untuk membicarakan dengan Gesi Gua Wasa) Onâ saré honé tao (Dengan senang dan sukarela menerima) Kai mari raé Raja Bala Mai (Pergi menyampaikan kepada Raja Bala Mai) Kolong diké guté lifo (Permintaanku diterima dengan senang hati) (LAU.13)

Syair tersebut menggambarkan konteks situasi bahwa leluhur Lamalera menemui Gesi Gua Wasa dan Raja Bala Mai untuk memohon agar memberikan tempat untuk menaruh perahu dan membangun tempat tinggal mereka. Mereka tutu rae Gesi Gua Wasa dan mari rae Raja Bala Mai (LAU.13-pertama & ketiga). Permohonan mereka diterima senang hati (kolong dike gute life’) dan sukarela menerima (ona’sare hone tao) (LAU.13-kedua & keempat). Akhirnya, setelah hidup membaur dengan masyarakat Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela yang dipimpin oleh Lele Hadung, rombongan Kia Laka Tana Korohama terpaksa meninggalkan Doni Nusa Lela dan pindah tempat lagi ke arah barat, di daerah kekuasaan Lango Fujjo yang disebut Lamalera hingga sekarang. Mereka berangkat menggunakan dua peledang, yaitu Buipukâ dan Kebakopukâ.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

147

Kedatangan Kia Laka Tana Korohama bersama rombongan ke tempat yang baru ini diterima dengan penuh persahabatan oleh kelompok penduduk

Lango Fujjo. Bahkan, mereka diakui sebagai keluarga sendiri oleh penduduk setempat dengan sebutan toro kakâ, toro arri. Artinya, keluarga besar Lango

Fujjo menerima rombongan Kia Laka Tana Korohama sebagai kakak dan adik sendiri. Hal ini berarti sistem kemasyarakatan dan kekerabatan yang mendalam dibangun kembali. Sebelumnya, kekerabatan dibangun oleh leluhur Lamalera bersama masyarakat Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela, sekarang kekerabatan dan persaudaraan dibangun kembali bersama keluarga Lango Fujjo. Tentu, adanya wujud atau bentuk asimilasi identifikasi, yaitu pembauran nilai dan sikap leluhur

Lamalera dengan nilai dan sikap masyarakat Lango Fujjo sebagai penduduk asli atau tuan tanah menjadi satu kelompok masyarakat atau organisasi sosial, karena setiap masyarakat dari kedua etnik merasa satu dengan sesamanya yang lain.

Dengan demikian, ada pergeseran bentuk generalisasi, yaitu pemahaman khusus masing-masing etnik, baik rombongan leluhur Lamalera maupun masyarakat Lango Fujjo menjadi pemahaman umum bahwa mereka semua adalah satu keluarga sosial yang saling melengkapi dalam hidup sehari-hari.

Pergeseran ini memungkinkan adanya wujud asimilasi sikap, yakni memudarnya prasangka masyarakat Lango Fujjo terhadap rombongan leluhur Lamalera.

Lebih dari itu, wujud akulturasi juga tampak dalam syair tersebut. Artinya, terjadi percampuran kebudayaan yang dibawa oleh rombongan leluhur Lamalera dengan masyarakat Lango Fujjo yang saling bertemu dan saling memengaruhi satu sama lain. Kemudian, mereka membaur menjadi satu dan membangun tempat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

148

tinggal di pesisir pantai yang disebut Lali Fate hingga sekarang. Bahkan, wujud akulturasi ini memungkinkan melahirkan pergeseran wujud asimilasi struktural, yaitu pemberian kesempatan kepada rombongan leluhur Lamalera sebagai golongan minoritas dan pendatang untuk menjadi warga lembaga sosial primer dari masyarakat Lango Fujjo sebagai golongan mayoritas. Hal ini terbukti dengan pengembangan tempat tinggal.

Pembangunan tempat tinggal di pinggir pantai mengalami perkembangan dan kemajuan sehingga permukiman dikembangkan ke arah perbukitan yang disebut Hajoo Lama Belâ. Hal ini terungkap dalam syair di bawah ini.

Tukarkâ téti Hajjo Lamabélâ (Mendaki ke Hajjo Lamabela) Kpai narangkâ goé pi Korohama (Timbang nama saya ini Korohama) Jajji kopo mâmu tello kaé (Melahirkan tiga orang laki-laki) Surra barré Somi Bola Derrâ (Dan seorang perempuan Somi Bola Dera) (LAU.14)

Syair (LAU.14) menunjukkan konteks situasi dan sosial bahwa leluhur

Lamalera membangun perkampungan ke arah perbukitan yang disebut daerah

Hajo Lama Belâ yang berarti lokasi Lefo Hajjo yang lebih luas (LAU.14- pertama). Pemberian nama daerah ini untuk mengenang kembali nama desa kesayangan leluhur di Lepanbatan. Sekarang, nama daerah tersebut mengalami pergeseran bergeser asimilasi morfologis dengan sebuatan fung yang berarti tempat baru di puncak atau di ketinggian karena sesuai kondisi geografis sesungguhnya.

Lebih lanjut, sejarah mengisahkan bahwa Kia Laka Tana yang diberi nama baru dengan sebuatan Korohama, kembali diakuinya di tempat ini

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

149

(LAU.14-kedua). Ia memiliki tiga anak laki-laki dan seorang anak perempuan

(LAU.14-ketiga & keempat). Berdasarkan hasil wawancara, keempat anak Kia

Laka Tana Korohama tersebut diikutsertakan dalam proses eksodus dari

Lepanbatan. Hal ini ditegaskan dalam cerita narasumber demikian:

“Berdasarkan cerita leluhur yang diwariskan turun temurun bahwa ketika pulau Lepan dan Batan mengalami bencana air bah, seluruh penduduk pulau itu terpencar ke mana-mana. Mereka berusaha mencari keselamatan ke tempat yang baru. Sebagian hanyut dan terdampar di pulau Pantar dan sekitarnya, sebagian lagi ke pulau Adonara, solor, daratan Flores, dan Lomblen (sekarang: Lembata). Di antara kelomok- kelompok orang yang menyelamatkan diri tersebut, terdapat sebuah kelompok kecil yang anggotanya terdiri dari suku Blikolollo (Marga dari Pati Mana Beda Frasa, seorang yang ikut serta dalam rombongan eksodus dari Luwuk dan diangkat oleh Patih Gajah Mada menjadi kepala rombongan ketika Gajah Mada kembali ke tanah Jawa), suku Tanakrofa, dan suku Lamanudek. Kelompok kecil ini dipimpin oleh Kia Laka Tana, seorang putera keturunan Patih Mana Beda Frasa yang mempunyai tiga orang putera, yaitu Daeng Muda Amma, Daeng Ata Kelakke, Daeng Kelakke Fato dan seorang putri bernama Somi Bola Derra. Di dalam perahu Kebakopuka juga ada rombongan suku Blikololo yang adalah marga dari Patih Mana Beda Frasa, suku Tanakrofa, dan suku Lamanudek. Rombongan ini menyeberang ke pulau Lembata dengan menumpang perahu atau peledang yang diberi nama Kebakopukâ. Di dalamnya, dimuatkan juga kerangka sebuah perahu yang belum selesai dikerjakan, yang kemudian diberi nama Buipukâ” (HW Narasumber 8).

Hal ini menunjukkan adanya sistem kekerabatan dalam wujud keluarga.

Artinya bahwa Kia Laka Tana Korohama mau menunjukkan bahwa dalam kelompok eksodus (kelompok besar, yakni suku Blikololo, tanakrofa, dan lamanudek) terdapat satu kelompok atau unit masyarakat terkecil (kelompok kecil), yakni keluarga kandungnya. Tentu, syair tersebut menunjukan bahwa adanya konsep pergeseran struktural kekerabatan, yaitu wujud pengakuan sebagai individu (diri Kia Laka Tana Korohama) bergeser menjadi pengakuan sebagai keluarga. Artinya, otoritas individu sebagai kesatuan pribadi yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

150

terbatas atau manusia perorangan bergeser menjadi keluarga. Keluarga sebagai kumpulan individu (anggota keluarga) yang mempunyai sifat tertentu yang sama dalam kesatuan masyarakat. Keluarga yang dimaksud adalah kumpulan keluarga kandung Kia Laka Tana karena memiliki hubungan darah. Wujud keluarga inilah yang menjadi dasar sistem kemasyarakatan dan kekerabatan di Lamalera hingga sekarang. Pengakuan Kia Laka Tana Korohama merupakan awal kehidupan sosial yang dibangun oleh masyarakat Lamalera berdasarkan suku hingga sekarang.

Sejarah juga mengisahkan bahwa tatkala Kia Laka Tana Korohama semakin lanjut usia, ia memanggil putranya dan memberikan tugas kepadanya.

Hal ini seperti dikisahkan dalam syair di bawah ini.

Moé Amak narang Atakelaké (Engkau Bapakku namanya Atakelake) Luato lali Batafaij one (Turun ke Bata di pinggir pantai) Guti Inak séddo barré lali Sogé (Mengambil mamaku perempuan dari Soge) Inak narang Bengâ Lefo Léi (Mamaku bernama Benge Lefolei) (LAU.16).

Syair tersebut menggambarkan konteks sosial-budaya bahwa Kia Laka

Tana Korohama menyuruh anaknya Daeng Atakelake untuk turun ke pantai dan menjaga pintu gerbang kampung, baik dari laut maupun dari darat (LAU.16- pertama & kedua). Selain itu, Atakelake juga dipercayakan untuk menjaga dan mengurus hal-hal yang berhubungan dengan mata pencaharian mereka, khususnya masalah kelautan (tale nifâ). Karena itu, ia diberikan kerris pusaka

Gajah Mada warisan kepunyaan kakeknya, Patih Mana Beda Frasa Sukurua

Susur Ama.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

151

Selain itu, berdasarkan hasil wawancara, narasumber menjelaskan bahwa bukan saja Atakelake yang diberikan tugas, tetapi kedua anak laki-laki yang lain juga, seperti yang diceritakan di bawah ini.

“Ketika Kia Laka Tana Korohama semakin tua, dia panggil ketiga anaknya yang laki-laki. Mereka diberi kepercayaan untuk mengurus kampung. Atakelake disuruh turun ke pantai dengan membaca kerris pusaka warisan Patih Gajah Mada untuk menjaga laut dan semua peralatan melaut. Sedangkan Daeng Muda Ama dipercayakan untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan adat istiadat sehingga dia diberi Moko dan beberapa benda lain. Dan Daeng Kelake Fato diberi kepercayaan agar mengelolah pemerintahan desa (jaga lefo nuba) sehingga dia diberi sebuah tempat sirih pinang yang terbuat dari kuningan untuk menerima setiap tamu yang datang ke kampung” (HW Narasumber 7).

Syair tersebut juga menunjukkan bahwa wujud kepemimpinan menjadi salah satu aspek penting dalam sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial. Hal ini terbukti dalam lirik-lirik (LAU.16-pertama & kedua) bahwa Kia Laka Tana

Korohama ingin mewariskan kepemimpinan kepada anak-anaknya yang laki- laki. Hal yang menarik bahwa pewarisan kepemimpinan hanya terjadi kepada anak laki-laki, tidak termasuk anak perempuan. Hal ini menunjukan behwa ada wujud kepemimpinan paternalistik dalam sistem kemasyarakatan Lamalera.

Peneliti melihat bahwa ada pergeseran wujud kepemimpinan, yaitu wujud kepemimpinan secara populis yang dibangun oleh Kia Laka Tana Korohama bergeser menjadi kepemimpinan patrilineal. Artinya bahwa kepemimpinan Kia

Laka Tana Korohama berpegang teguh pada nilai-nilai masyarakat yang tradisonal dan tidak memercayai dukungan kekuatan serta bantuan dari pihak luar. Tentu, kepemimpinan Kia Laka Tana Korohama mengutamakan penghidupan kembali sikap yang sekarang disebut nasionalisme. Namun, sistem

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

152

kepemimpinan ini bergeser menjadi sistem kepemimpinan yang patrilineal, yaitu yang menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat Lamalera, yang terdiri atas turunan-turunan, marga, dan kelompok-kelompok suku, semuanya saling dihubungkan menurut garis laki-laki (keturunan ayah). Sistem kekerabatan yang menghitung garis keturunan dari pihak laki-laki atau ayah dimaknai oleh peneliti sebagai sistem unilateral. Artinya bahwa hanya laki-laki yang membentuk kelompok sosial kekerabatan, sedangkan perempuan menciptakan hubungan keluarga antara orang tua yang terjadi karena anaknya menikah atau hubungan besan (affinal relationship), karena ia harus kawin dengan laki-laki dari kelompok patrilineal yang lain. Tentu, kepemimpinan patrilineal didukung dengan sistem kepemimpinan paternalistik, yaitu kepemimpinan yang kebapakan dan tidak menghilangkan unsur-unsur populis, khususnya hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan dan adat istiadat.

Sebelumnya, dikisahkan bahwa rombongan eksodus dari Lepanbatan di bawah pimpinan Kia Laka Tana. Kepemimpinannya terus berlanjut hingga mereka berdomisili dan berkembang di Lamalera. Kemudian, Kia Laka Tana mewariskan kepemimpinannya kepada tiga orang putranya, yaitu Daeng Muda

Ama, Daeng Ata Kelakke, dan Daeng Kelakke Fato yang selanjutnya diwariskan turun temurun pula kepada anak cucu masing-masing sehingga berkembang menjadi tiga suku besar, yakni Suku Blikololo, Suku Bataona, dan Suku

Lefotuka (sekarang disebut suku tiga tungku atau lika telo). Hal ini berarti ada wujud pergeseran lain yang tampak dalam syair tersebut, yakni pergeseran lingkup kekerabatan. Sebelumnya, lingkup kekerabatan masyarakat Lamalera

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

153

adalah keluarga sebagai kelompok masyarakat kecil yang terdiri dari seorang ayah, seorang ibu, dan sejumlah anak bergeser menjadi kelompok yang lebih luas dalam bentuk suku atau marga. Suku atau marga merupakan gabungan dari keluarga kecil yang seasal darah turunan. Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber, ketiga putra Kia Laka Tana Korohama (LAU.14-ketiga) merupakan cikal bakal lahirnya suku-suku asli di Lamalera, selain suku tanakrofa, suku

Blikololo, suku Lamanudek, dan suku-suku pendatang di luar sejarah eksodus.

Hal ini berarti umumnya setiap suku yang ada dan hidup hingga sekarang di

Lamalera mempunyai hubungan satu sama lain melalui hubungan darah atau keturunan. Dengan demikian, sistem kemasyarakatan Lamalera merupakan satu kesatuan genealogis yang kokoh dan harmonis.

Sisi lain, Kia Laka Tana Korohama menyuruh anaknya Atakelake untuk meminang anak perempuan dari daerah lain. Hal ini terungkap dalam syair di bawah ini.

Moé Amak narang Atakelaké (Engkau Bapakku namanya Atakelake) Luato lali Batafaij one (Turun ke Bata di pinggir pantai) Guti Inak séddo barré lali Sogé (Mengambil mamaku perempuan dari Soge) Inak narang Bengâ Lefo Léi (Mamaku bernama Benge Lefolei) (LAU.16)

Syair (LAU.16) tersebut menggambarkan konteks sosial bahwa salah satu aspek dalam sistem kemasyarakatan adalah perkawinan. Setelah tinggal di pesisir pantai, Atakelake meminang dan menikahi Benge Lefolei dari Soge

(pendatang dari Maumere-Flores) untuk meneruskan keturunan dan membangun kampung halaman. Tentu, adanya pergeseran dalam status sosial dari bujang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

154

menjadi berkeluarga. Lebih dari itu, terjadi asimilasi perkawinan, yaitu terjadi perkawinan campuran yang berbeda budaya, perilaku, dan golongan.

Wujud kebahasaan ditampilkan dalam syair (LAU.16) adalah kebahasaan semiotis, yakni Inak seddo barre lali Soge narang Benge Lefolei (Mamaku perempuan dari Sagan bernama Benge Lefolei). Setelah tinggal di pesisir pantai,

Atakelake meminang dan menikahi Benge Lefolei dari Soge untuk meneruskan keturunan dan membangun kampung halaman. Benge Lefolei dari Soge dapat dipandang sebagai “metonimi” untuk menggambarkan bahwa ada orang-orang luar atau pendatang yang bukan merupakan penduduk asli Lamalera. Dengan kata lain, secara linguistik kepribahasaan disebut metonimia pars pro toto, yaitu kehadiran Benge Lefolei menunjukkan atau mewakili keseluruhan masyarakat pendatang dari luar Lamalera.

Perkawinan Atakelake dengan Benge Lefolei merupakan bentuk asimilasi perkawinan. Perkawinan demikian menunjukkan bukti keberterimaan leluhur

Lamalera terhadap orang luar, sekaligus menjadikannya sebagai satu keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga sosial masyarakat. Hal ini memberi dampak positif pada kehidupan sosial, yaitu terciptanya hubungan kekerabatan serta persaudaraan dalam masyarakat Lamalera. Hal ini tergambar dalam syair di bawah ini:

Jajji koppo mamu lema kaé (Melahirkan lima orang anak laki-laki) Tité kakâ tali ari (Kita semua bersaudara) Kakâ pulo tali arri léma (Kita semua adalah satu) Léma ajaki lali batafaij one

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

155

(Dari lima bersaudara berkembang jadi banyak dipinggir pantai) (LAU.17).

Syair (LAU.17) merupakan konteks budaya yang menggambarkan tentang proses adanya suku di Lamalera. Sesungguhnya, suku yang hidup hingga saat ini dibentuk dari keluarga inti. Awalnya, keturunan Mana Beda Frasa Suku Rua

Susur Amma melahirkan keturunan lima orang laki-laki yang kemudian keturunan mereka masing-masing berkembang menjadi suku-suku induk (suku asli) yang berkembang hingga sekarang (LAU.17-pertama). Proses ini menunjukkan adanya pergeseran lingkup sosial. Awalnya, lingkup kekerabatan adalah keluarga sebagai kelompok masyarakat kecil yang terdiri dari seorang ayah, ibu, dan sejumlah anak bergeser menjadi kelompok yang lebih luas dalam bentuk suku atau marga. Suku atau marga merupakan gabungan dari keluarga kecil yang seasal darah turunan.

Dengan demikian, tidak dapat dimungkiri bahwa aspek yang berkaitan dengan sistem kemasyarakatan suatu kelompok sosial-budaya bisa mengalami pergeseran atau perubahan wujud dan maknanya. Demikian halnya dengan sistem kemasyarakatan Lamalera juga mengalami pergeseran atau perubahan seperti yang telah dipaparkan di atas. Pergeseran atau perubahan tersebut menunjukkan ciri-ciri pergeseran sistem kemasyarakatan, seperti “melemahnya” keluarga inti dengan kecendrungan “menguatnya” suku atau marga; berkurangnya peran kaum perempuan dan cendrung dominannya peran kaum laki-laki; berubahnya sistem kekerabatan menjadi sistem bersaudara; dan otoritas kepentingan berubah menjadi

“saling memiliki”, dan lain sebagainya.

Lebih dari itu, ciri-ciri pergeseran tersebut memberi gambaran kekhasan sistem kemasyarakatan di Lamalera. Masyarakat Lamalera memiliki ciri sebagai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

156

manusia yang hidup membentuk kelompok sosial, seperti suku atau marga.

Kelompok ini yang membentuk kelompok sosial kemasyarakatan secara umum.

Mereka saling mengenal, membantu, bekerjasama, dan saling ketergantungan. Hal ini yang mencerminkan persaudaraan sosial di antara mereka. Suku atau marga sebagai wujud sistem kekerabatan masyarakat Lamalera memiliki kekhasan, yaitu menghitung garis keturunan dari pihak laki-laki atau ayah (patrilineal) sehingga dimaknai oleh peneliti sebagai sistem unilateral.

Masyarakat Lamalera juga memiliki ciri sebagai masyarakat yang melahirkan adat istiadat dan tradisi budaya. Tanpa adat istiadat dan tradisi kebudayaan yang diwariskan dari generasi ke generasi, maka identitas mereka sebagai masyarakat berbudaya atau masyarakat adat menjadi luntur. Mereka senantiasa dan tetap memertahankan adat istiadat, sebagai jati diri atau identitas sosial yang tidak bisa diubah oleh pihak luar. Segala pergeseran atau perubahan yang berkaitan dengan adat istiadat atau kehidupan sosial hanyalah akibat dari kesepakatan dan kebijakan bersama.

Masyarakat Lamalera juga memiliki ciri sebagai manusia berinteraksi.

Interaksi, baik secara lisan maupun non-lisan merupakan aspek penting dalam diri setiap anggota masyarakat, karena dengan membangun komunikasi atau interaksi semua persoalan sosial akan terselesaikan dengan baik dan aman. Tentu, ciri interaksi ini didukung dengan kehadiran pemimpin. Artinya bahwa masyarakat

Lamalera sebagai kelompok sosial memiliki ciri kepemimpinan. Kepemimpinan yang dimaksud, yakni kepala keluarga, kepala suku, pemimpin pemerintahan, pemimpin agama, ketua rombongan kerja, dan lain sebagainya. Awalnya,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

157

kepemimpinan bercorak tertutup karena pemilihan berdasarkan keturunan, tetapi sekarang lebih terbuka dan demokratis. Masyarakat Lamalera juga memiliki ciri stratifikasi sosial. Artinya bahwa seseorang dalam kehidupan sosial-budaya dapat dilekatkkan kedudukan dan peran yang harus dilakonkan dalam masyarakat.

4.1.3.2 Pergeseran dalam Sistem Mata Pencaharian Hidup

Sistem mata pencaharian merupakan aktivitas manusia untuk memperoleh taraf hidup sesuai dengan taraf kemampuan dan keadaan demografinya. Artinya, pekerjaan yang menjadi pokok penghidupan atau pekerjaan utama yang dilakukan oleh kelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sistem mata pencaharian dibedakan menjadi mata pencaharian pokok dan sampingan.

Mata pencaharian pokok merupakan kegiatan utama untuk memanfaatkan sumber daya yang ada dan dilakukan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mata pencaharian sampingan adalah mata pencaharian di luar mata pencaharian pokok.

Mata pencaharian pokok masyarakat Lamalera adalah sebagai nelayan tradisional. Semenjak dahulu kehidupan masayarakat Lamalera sangat bergantung pada alam, yakni laut. Hal ini dikisahkan dalam syair di bawah ini.

Seba ola’k lau léfa harri lollo (Mencari nafkah ditengah laut) Dai épitkâ dai marangkâ (Mendekati pantai merapat ke pinggir) Apé tafa géré raé motti Lango Fujo (Nampak nyala api ditempat berkumpul Lango Fujo) Raé ori Nara Guâ tanah (Ditempat pondok Nara Gua tanah) (LAU.12)

Syair tersebut menggambarkan bahwa masyarakat Lamalera mememilik mata pencaharian utama sebagai nelayan. Artinya, lahan pekerjaan mereka adalah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

158

laut (lefa). Istilah leffa mengalami pergeseran, baik secara bentuk maupun makna, yakni pergeseran yang membaik (ameliorasi). Awalnya, lefa dimaknai sekadar sebagai bentangan laut, tempat mata pencaharian hidup. Namun, istilah itu mengalami pergeseran menjadi lefa harri lollo yang memiliki makna dan peran yang amat penting dan sentral sebagai ladang kehidupan masyarakat Lamalera sehingga dijadikan keramat. Bahkan, sekarang masyarakat Lamalera memaknai lefa secara filosofis sebagai ina fae (ibu) yang senantiasa menyediakan sekaligus memberikan kebutuhan hidup anak-anaknya (masyarakat Lamalera), karena masyarakat Lamalera menggantungkan kehidupan mereka pada laut.

Lebih dari itu, dalam konteks linguistik filosofi laut ini dimaknai oleh Ivan

Nestroman (Taum, 2013) dengan beberapa istilah, yakni laut sebagai Ina Fae Bele

(Lamaholot: Ina Fae dari kata Kefae atau Kfae. Lamaholot: Kewae atau Kwae berarti istri, Bele artinya rahim). Artinya, Ibunda yang maharahim. Laut juga dimaknai sebagai Sedo Basa Harri Lollo, yaitu ibunda maharahim, mahapengasih, bunda yang senantiasa mengandung, melahirkan, membesarkan, dan memelihara anak-anaknya dengan menyediakan semua yang dibutuhkan anak-anaknya. Laut juga dimaknai sebagai Ina Lefa (Bunda Lautan) dan Ina Soro Budi (Ibu yang senantiasa memberi hati kepada anak-anaknya) saat nelayan Lamalera menangkap ikan besar. Penggunaan istilah-istilah tersebut bergantung pada konteks situasi sosial atau pun situasi batin masing-masing anggota masyarakat. Masyarakat

Lamalera menghormati ‘ibu laut’ bersinergi dengan konsep keharmonisan antara manusia dan alam melalui representasi penghormatan terhadap leluhur yang memadukan ola rasa dan penghayatan dalam setiap kehidupan mereka, karena

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

159

mereka percaya akan peran alam dan kehadiran para leluhur dalam setiap perjuangan hidup mereka (Taum, 2013).

Laut dipandang sebagai lahan kehidupan yang memberi rahmat sehingga dijadikan keramat (hari lollo). Hal ini menunjukkan wujud kehidupan masyarakat

Lamalera yang tergolong khas dan unik. Tentu, wujud kehidupan ini merupakan hasil pergeseran sejak leluhur Lamalera menetap di Lepanbatan. Awalnya, mata pencaharian leluhur Lamalera juga adalah petani, selain sebagai nelayan. Hal ini dibuktikan dalam syair liá asa usu di bawah ini:

Hau téti Kroko tafa Teria Géré (Tiba di Kroko tafa Teria Gere) Talé kafé heppâ di Kroko (Tali dan tempuling dari serat Kroko dan Heppa’) Honek téti lefuk téti Leppâ (Kubangun desaku di Lepan) Fanik téti tanak téti Bata (Mengerjakan ladang ditanah Batan) (LAU.4).

Sayir (LAU.4) menggambarkan konteks situasi bahwa leluhur Lamalera. membangun desa di Lepan dan mengerjakan ladang di tanah Batan, tetapi tidak digambarakan sebagai pekerjaan pokok atau pekerjaan sampingan. Wujud pergeseran ini disebut pergeseran sinestesia. Artinya, leluhur Lamalera melihat konteks alat indra nenanggapi kondisi geografis yang ditempati sebagai perkampungan cadas dan berbatu sehingga tidak memungkinkan mereka untuk membuka perkebunan atau ladang. Selain itu, dapat dimaknai sebagai pergeseran asosiasi (persamaan sifat), yakni pergeseran makna secara kiasan. Dahulu, leluhur

Lamalera memandang ladang di tanah Batan (LAU.14) adalah laut untuk mencari nafkah kehidupan. Hal ini dibuktikan oleh masyarakat Lamalera zaman sekarang yang memandang ladang kehidupan mereka adalah laut. Laut adalah ladang yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

160

memberikan hadiah kehidupan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sehari- hari. Seorang narasumber mengatakan, demikian:

“Kebun kita ada di laut. Kalau orang di gunung (para petani) mereka mengharapkan hidup dari kebun, sawah, ladang. Kita hidup bergantung pada laut, karena laut adalah ladang hidup kita. Kalau laut memberi kita rezeki tangkapan ikan yang banyak, maka kita bisa mempertahankan hidup kita, mempertahankan hidup para janda dan yatim piatu, mempertahankan hidup kampung kita. Namun, kalau laut tidak memberi rejeki, maka kita akan susah hidup, karena memang hidup kita bergantung pada laut. Karena itu, laut sangat kita jaga dan pertahankan dari berbagai bentuk perlawanan” (HW Narasumber 6).

Orientasi bekerja dan menangkap ikan di laut hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hasil tangkapan yang dijual lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti jagung, ubi, kelapa, buah-buahan, sayur-sayuran, padi, dan lain sebagainya. Tentu, sangat berbeda dengan nelayan modern yang mampu merespon perubahan dan lebih kenyal dalam menyiasati tekanan perubahan dan kondisi over fishing. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa terjadi pergeseran wujud warisan sejarah menjadi wujud asimilasi. Artinya, sistem kebudayaan tradisional, khususnya dalam hal mata pencaharian sebagai nelayan tradisional yang dimiliki masyarakat Lamalera mengalami penyesuaian dengan hadirnya berbagai sistem kebudayaan modern. Walaupun demikian, kebudayaan tradisional yang diwariskan oleh leluhur senantiasa terpelihara dan dipertahankan hingga sekarang. Hanya aspek-aspek tertentu yang “terpaksa” harus mengikuti perkembangan dan kemajuan zaman.

Konsep tersebut menunjukkan bahwa wujud asimilasi historis kebudayaan tampak juga dalam syair liâ asa usu. Para nelayan Lamalera menyesuaikan diri terhadap kebudayaan yang dipegangnya dan pola-pola prilaku yang disandangnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

161

Tentu, hal ini memungkinkan adanya bentuk pergeseran meluas atau generalisasi.

Sebelumnya, pola prilaku nelayan Lamalera berdasarkan kebudayaan, yakni sebagai nelayan tradisional penangkap ikan paus, sekarang meluas atau membias menjadi nelayan kehidupan. Maksudnya, bukan saja ikan paus yang ditangkap, tetapi juga ikan-ikan lain, seperti pari, hiu, lumba-lumba, dan ikan-ikan kecil.

Semuanya hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Lamalera sehari- hari.

Beberapa bentuk pergeseran wujud dan makna tradisi lisan liâ asa usu dari aspek mata pencaharian tersebut memberikan gambaran kharakteristik atau ciri- cirinya. Ciri-ciri yang dimaksud, seperti masyarakat Lamalera memiliki mata pencaharian sebagai nelayan tradisional, khususnya nelayan penangkap ikan paus.

Mereka memanfaatkan laut sebagai ladang kehidupan untuk mencari ikan dan memberi kehidupan kepada seluruh anggota masyarakat, khususnya kesejahteraan para janda, fakir miskin, dan anak-anak yatim piatu. Dengan berbagai ketentuan mata pencaharian berdasarkan hasil pergeseran wujud dan makna, memungkinkan masyarakat Lamalera senantiasa membangun hubungan-hubungan sosial dan menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi budaya.

Sumber daya laut, khususnya ikan paus adalah potensi utama yang menggerakan kegiatan perekonomian masyarakat Lamalera. Tanpa penghasilan ikan paus, sektor perekonomian akan ’mati’ dan kesejahteraan hidup masyarakat akan mengalami ancaman. Karena itu, kegiatan perekonomian yang dilakukan oleh kaum perempuan melalui aktivitas fule penete bergantung dari tinggi- rendahnya produktivitas perikanan, khususnya ikan paus. Jika, penghasilan para

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

162

nelayan Lamalera mengalami peningkatan dalam setiap musim melaut (lefa nuang), maka akan memengaruhi daya tukar-beli masyarakat pedalaman sehingga pemenuhan kebutuhan pokok akan semakin meningkat pula. Sebaliknya, jika para nelayan Lamalera tidak memperoleh penghasilan yang baik atau meningkat dalam setiap musim, maka akan memengaruhi pola ekonomi masyarakat. Kebutuhan pokok masyarakat akan mengalami keterancaman. Karena itu, kondisi mata pencaharian masyarakat Lamalera sangat memengaruhi kuat lemahnya kegiatan perekonomian masyarakat. Dengan kata lain, pekerjaan sebagai nelayan yang dilakukan oleh kaum laki-laki akan sangat memengaruhi kuat atau lemahnya pekerjaan sebagai pembarter kebutuhan pokok yang dilakukan oleh kaum perempuan. Pekerjaan sebagai nelayan tradisional dan sebagai pembarter merupakan warisan leluhur sejak dahulu dan dipertahankan hingga saat ini.

4.1.3.3 Pergeseran dalam Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi

Peralatan dan perlengkapan hidup merupakan semua sarana dan prasarana yang digunakan oleh masyarakat dalam setiap proses kehidupan, terutama dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Unsur peralatan hidup yang paling menonjol adalah kebudayaan fisik seperti alat-alat produksi, senjata, wadah, makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan, serta alat- alat transportasi. Demikian halnya dengan sistem peralatan hidup masyarakat adat

Lamalera. Salah satu wujud peralatan hidup yang menjadi kekhasan masyarakat

Lamalera adalah peledang. Hal ini tampak dikisahkan dalam syair di bawah ini.

Géri tena bua-bua laja (Naik perahu lalu turut berlayar)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

163

Kai lulu laja teti Sérâ (Turunkan layar dipulau Seram) Gafi léfa Halmahera (Mengarungi laut Halmahera) Kai nébongkâ téti Gorâ (Berlabuh jangkar dipulau Goram) (LAU.2)

Syair tersebut mengisahkan perjalanan eksodus leluhur Lamalera ketika

Raja Hayam Wuruk (LAU.1-pertama) menyuruh mereka untuk meninggalkan desa Luwuk (LAU.1-kedua). Bahkan, melalui Patih Gaja Madah (LAU.1-ketiga) mereka melepaskan rumah mereka yang makmur di tanah Beru (LAU.1-keempat).

Mereka menumpang perahu dan berlayar ke bagian timur Indonesia, mengarungi laut Halmahera dan menyinggahi pulau Seram, kemudian menuju pulau Goram lalu berlabuh di sana (LAU.2).

Peralatan hidup yang digambarkan dalam syair tersebut adalah peledang

(tena). Berdasarkan kajian literasi, terjadi pergeseran wujud perahu atau peledang sebagai salah satu peralatan hidup masyarakat adat Lamalera. Peledang yang digunakan para nelayan Lamalera zaman sekarang merupakan hasil pergeseran dari wujud perahu layar yang digunakan oleh para leluhur Lamalera saat keluar dari daerah Luwuk dan Beru, lalu melakukan pelayaran eksodus ke daerah timur

Indonesia. Penelusuran pustaka dan hasil penelitian menunjukkan bahwa peledang nelayan Lamalera merupakan perwujudan dari perahu layar tradisional bugis,

Pa’dewakang (Liebner, https://www.academia.edu/7780936/ dan Blikololong,

2010: 79). Hal ini peneliti telusuri berdasarkan jenis layar, bentuk lambung, cara pengerjaannya, dan tujuan penggunaannya sehingga peneliti menyebutnya sebagai wujud evolusi model.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

164

Wujud pergeseran kebahasaan dalam syair liâ asa usu (LAU.2) adalah istilah tena. Ketika berbahasa Indonesia, masyarakat Lamalera selalu menyebut tena dengan istilah peledang. Mereka memiliki pemahaman bahwa kata peledang berasal dari Bahasa Melayu. Namun, R.H. Barnes (1996) menyatakan bahwa kata peledang tidak ditemukan dalam kamus-kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI), Kamus Bahasa Melayu, dan Kamus Dialek Melayu yang digunakan oleh masyarakat Larantuka. Bahkan, Barnes sendiri tidak menemukan kata peledang dalam dialek-dialek Bahasa Indonesia bagian timur Indonesia sehingga dia cendrung mengetimologiskan kata peledang dari Bahasa Lamaholot sebagai kata sifat dari kata perahu (tena).

Dengan demikian, adanya wujud pergeseran dari konsep ‘penamaan’ kata

“perahu” sebagai kendaraan air (biasanya tidak bergeladak) yang lancip pada kedua ujungnya dan lebar di tengahnya bergeser menjadi ‘pengistilahan’ peledang sebagai sarana utama bagi nelayan Lamalera dalam usaha penangkapan ikan paus di laut. Hal ini menunjukkan wujud pergeseran secara asimilasi morfologis.

Bentuk pergeseran wujud bahasa tersebut merupakan proses pelambangan suatu konsep untuk mengacu kepada suatu referen. Artinya, sarana yang digunakan oleh leluhur untuk melakukan perjalanan eksodus direferenkan dengan kata peledang, karena memiliki kekuatan yang mengacu pada makna dan konteks tertentu.

Setiap perahu atau peledang memiliki identitas nama masing-masing, baik berdasarkan jenis, bentuk, cara, dan tujuannya. Hal ini seperti digambarkan dalam syair di bawah ini.

Géri téna narang téna Séra (Naik perahu yang namanya perahu Seram)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

165

Sapék téti Abbo téti Moa (Singgahi pulau Ambon dan pulau Moa) Hékka lajak di ketebu koli méâ (Kuganti layar dengan daun gebang si lontar merah) Sigak téti Nua Fatu Bela (Singgah juga di kepulauan Fatu Bela) (LAU.3)

Honék karo tung pira pai hikko (Tinggal disana beberapa tahun berlalu) Fanik karo fullâ pira pai gafé (Mendiami hingga beberapa bulan berlalu) Géri Tena dikanéâ Bakopukâ (Naik sebuah peledang bernama Bakopuka) Ole lollo mété hau (Arus hantar semakin kemari) (LAU.8)

Syair tersebut menggambarkan bahwa para leluhur Lamalera menumpang perahu (Pa’dewakang) yang bernama Seram. Mereka sempat singgah di Pulau

Ambon dan Pulau Moa, lalu melanjutkan pelayaran lalu singgah di kepulauan

Fatu Bela. Dengan menggunakan Perahu Seram, rombongan leluhur Lamalera melanjutkan pelayaran hingga di Lepanbatan. Selanjutnya, eksodus berikutnya menggunakan peledang bernama Kebakopukâ, yaitu pelayaran dari Lepanbatan menuju Lamalera.

Ketika singgah di pulau Ambon dan Moa, mereka sempat mengganti layar dengan daun lontar merah (gebang). Tentu ada bentuk pergeseran dalam sistem peralatan hidup berdasarkan syair tersebut. Para leluhur menggantikan model layar perahu. Hal ini berarti sebelumnya ada model lain yang digunakan oleh para leluhur Lamalera. Liebner (https://www.academia.edu/7780936/) menyatakan bahwa umumnya perahu-perahu asal Sulawesi menggunakan layar fore-and-aft yang terbuat dari kain kanvas. Hal ini berarti para leluhur Lamalera dalam perjalanan eksodus awal menggunakan perahu yang yang layarnya terbuat dari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

166

kain kanvas. Setelah persinggahan di pulau Ambon dan pulau Moa mereka menggantikan model layar, yaitu layar dari tenunan (baca: anyaman) daun gebang atau lontar merah (LAU.3). Model layar anyaman daun gebang biasa disebut dengan istilah tanjaq. Wujud pergeseran tersebut dimaknai sebagai evolusi model.

Selain itu, terjadi pergeseran nama peledang.

Wujud kebahasaan yang mengalami pergeseran bentuk dan makna adalah pemberian nama perahu, yaitu perahu Seram dan peledang Kebakopukâ. Eksodus awal tidak diceritakan nama perahu yang ditumpangi oleh para leluhur Lamalera.

Nama perahu baru diceritakan ketika para leluhur Lamalera melakukan eksodus kedua dari pulau Seram. Artinya, adanya pergeseran identitas, yakni perahu yang tanpa nama bergeser menjadi perahu yang memiliki nama. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian nama terhadap suatu benda, hal, atau peristiwa sangat penting.

Penamaan perahu dalam eksodus kedua sebagai perahu Seram memiliki kekuatan karena mengacu pada makna tertentu, yakni penamaan tempat asal. Barangkali penamaan perahu Seram merupakan konvensi atau perjanjian di antara leluhur

Lamalera sebagai “masyarakat bahasa”, karena mereka selamat dan berhasil berlabuh di pulau Seram sebagai daratan pertama yang disinggahi. Bahkan, di pulau Seram mereka masih sempat menurunkan layar (LAU.2-kedua). Konsep ini menunjukkan adanya wujud pergeseran pas pro toto, yakni wujud penamaan satu perahu bergeser menjadi penamaan tempat yang luas (pulau Seram). Perahu

Seram mewakili penyebutan untuk keseluruhan tempat yang ada di pulau Seram.

Demikian halnya, dengan penamaan perahu Kebakopukâ saat leluhur menetap di

Lepanbatan. Adanya wujud pergeseran pas pro toto, yakni wujud penamaan satu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

167

perahu bergeser menjadi penamaan yang mewakili suku-suku di Lepanbatan yang kemudian menjadi suku-suku bersaudara di Lamalera. Perahu Kebakopukâ mewakili penyebutan untuk semua suku di Lepanbatan.

Perlengkapan hidup lain dapat dilihat dalam syair liâ asa usu yang mengisahkan perjalanan eksodus leluhur Lamalera selanjutnya. Setelah singgah di pulau Fatu Bela, para leluhur Lamalera menjelajahi kepulauan Kei, lalu menyusuri kepulauan Tanibar dan pulau-pulau kecil di utara pulau Timor dan akhirnya berlabuh di pulau Lepanbatan. Hal ini dikisahkan dalam syair di bawah ini.

Hau honék téti Doni Nusa Léla (Datang membangun di Doni Nusa Lela) Fanik téti Ué Ulu Mado (Mendiami ue ulu mado) Gélu hékka fato fakka rappâ blodo (Melakukan penukaran alat kerajinan gerabah) Sera ribu tali ratu (Kepada penduduk asli) (LAU.11)

Syair (LAU.11) menggambarkan konteks situasi bahwa perjalanan eksodus para leluhur Lamalera sampai di Kroko Tafa Teria Fere atau Keroko

Puka. Istilah Kroko Tafa Teria Fere atau Keroko Puka adalah nama lain dari pulau

Lepanbatan, karena daerah ini ditumbuhi banyak semak widuri (kroko) dan sayur petola (daun oyong). Mana Beda Frasa bersama rombongan armada perang Patih

Gajah Mada menetap cukup lama di daerah ini. Mereka tinggal beberapa tahun berlalu dan mendiami rumah mereka beberpa bulan berlalu (bdk.LAU.8) Bahkan, mereka sempat membangun permukiman dan perumahan, bercocok tanam dan melaut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

168

Salah satu peralatan hidup yang digunakan untuk melaut sebagai bentuk

“teknologi penangkapan” pada waktu itu adalah tempuling, yaitu tombak kecil untuk menangkap ikan. Tempuling yang digunakan oleh leluhur Lamalera pada waktu itu terbuat dari kayu secan (heppa) dan dipintal dengan menggunakan tali serat widuri (keroko). Bentuk perLAUtan hidup inilah yang menjadi “contoh” yang dibawa ketika para leluhur keluar dari Lepanbatan dan melakukan perjalanan eksodus ke Lembata.

Namun, tempuling tersebut sudah mengalami pergeseran wujud seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan zaman. Dahulu, leluhur Lamalera membuat tempuling dari kayu, sekarang tempuling sudah terbuat dari besi yang ditempa. Walaupun mengalami pergeseran wujud, bentuk tempulingnya sama seperti yang terbuat dari kayu. Tentu, wujud pergeseran ini disebabkan karena perkembangan teknologi yang semakin modern. Wujud pergeseran ini penulis menyebutnya dengan istilah evolusi model, karena perubahan wujud tempuling berangsur angsur mengikuti perubahan waktu dan perkembangan teknologi. Hal ini berarti adanya pergeseran wujud dari zaman teknologi tradisional ke zaman teknologi modern.

Selain itu, salah satu peralatan hidup yang dikisahkan dalam syair liâ asa usu adalah emas dan perak. Hal ini terdapat dalam syair di bawah ini.

Leppâ lefu lodo goi tobi (Pulau Lapan kaya Emas) Bata tanah isi di selaka (Tanah Batan mengandung perak) Allah tao tasik lau lébo géré (Allah menentukan laut bertambah naik) Tuâ lifu tanah raé mété hau (Tanah di darat semakin sempit) (LAU.5)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

169

Sayair (LAU.5) menggambarkan konteks sosial bahwa daerah Lepanbatan juga memiliki kekayaan lain, selain hasil perkebunan (bdk. LAU.4-keempat) dan hasil laut. Daerah Lepanbatan juga mengandung perak dan kaya emas. Kekayaan

“tambahan” ini disebabkan karena pulau Lepan dan Pulau Batan berada di jalur pelayaran kapal-kapal dagang dari wilayah barat Indonesia ke wilayah timur

Indonesia, khususnya ke daerah Maluku untuk membeli rempah-rempah, atau jalur dagang dari pulau Timor ke daerah utara, khususnya daerah Makasar untuk perdagangan kayu cendana (Blikololong, 2010: 82).

Bahkan, Anthoni Reid menyatakan bahwa abad ke-15-17 merupakan kurun niaga di kawasan Asia Tenggara yang ditandai dengan ramainya pelayaran dagang internasional. Periode ini menunjukkan hubungan antara kota-kota maritim mencapai puncak kejayaan, dibanding periode sebelum dan sesudahnya

(Blikololong, 2010: 82). Aktivitas perdagangan tersebut berlaku juga di daerah perairan Lepan dan Batan sebagai jalur perdagangan, karena Lepanbatan memiliki pelabuhan Leffo Hajjo yang nyaman sehingga tidak salah kalau dikatakan bahwa daerah Lepanbatan banyak emas, kain patola, gading yang dimiliki oleh leluhur

Lamalera saat mendiami wilayah Lepanbatan. Hal ini menunjukkan adanya wujud akulturasi, yaitu percampuran budaya dagang atau niaga dengan budaya agraris.

Beberapa wujud pergeseran tersebut menunjukkan ciri-ciri yang menonjol dalam sistem peralatan hidup masyarakat Lamalera, seperti peledang (tena), layar

(laja), dan tempuling (kafe). Nelayan Lamalera menggunakan peledang sebagai sarana utama mata pencaharian mereka di laut. Hal yang unik pada peledang bahwa dibuat dengan menggunakan pasak kayu tanpa material besi. Proses

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

170

pembuatan peledang pun melalui beberapa tahap yang disertai ritual atau upacara adat yang harus dilalukan secara cermat. Sementara itu, layar digunakan oleh para nelayan Lamalera untuk berlayar ketika pergi dan kembali melaut. Model layar sangat khas karena dibuat dari anyaman daun gebang (tanjaq) yang dibagi atas bidang-bidang kecil persegi yang disebut laja matta. Hal lain yang menarik bahwa laja matta dapat melewatkan tiupan angin secara otomatis. Apabila angin tidak kencang, laja matta akan merapat normal; namun saat angin bertiup kencang, anyamannya mengembang sehingga menimbulkan celah-celah dan hembusan angin akan melewati celah-celah tersebut.

Selain itu, peledang sebagai sarana utama harus dilengkapi dengan sarana penunjang lain yang dipakai untuk menangkap ikan, seperti tempuling (kafe).

Tempuling merupakan senjata utama yang ditempa dari besi berbentuk lonjong panjang, bagian ujung berbentuk pipih tajam berkait. Berbagai jenis tempuling yang disediakan dalam peledang berdasarkan kegunaannya. Misalnya, tempuling yang digunakan untuk menikam ikan paus (kafe kotaklema atau kafe munung); tempuling khusus untuk menikam ikan pari jenis besar (belelang) (kafe leo bele); tempuling yang selalu disiapkan atau diletakkan di atas anjungan peledang dalam keadaan siap untuk berbagai jenis ikan kecuali ikan paus (kafe leo fa); dan tempuling yang bentuknya kecil untuk menikam ikan hiu, lumba-lumba, penyu, dan lain sebagainya (kafe kubi).

Dengan demikian, mata pencaharian sebagai nelayan tradisional oleh masyarakat Lamalera sangat ditentukan adanya sarana dan prasarana yang memadai dan menunjang, selain faktor sumber daya manusia sebagai penentu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

171

utama. Peledang, layar, dan tempuling seperti yang dikisahkan dalam tradisi lisan liâ asa usu di atas merupakan peralatan yang dipakai dalam proses mencari dan menangkap ikan di laut. Tentu, masih banyak peralatan penunjang lainnya, seperti dayung, tali, pengait, pisau, dan lain sebagainya.

4.1.3.4 Pergeseran dalam Sistem Religi

Seluruh peristiwa sejarah yang menjadi potret jati diri atau identitas masyarakat Lamalera dimaknai sebagai “perjalanan peristiwa di bawah bimbingan

Roh” (Blikololong, 2010: 75). Artinya bahwa seluruh aktivitas yang dilakukan oleh leluhur, kemudian diwariskan dari generasi ke generasi diimani sebagai penyelenggaraan Allah. Seluruh peristiwa kehidupan maupun peristiwa alam merupakan pemberian Sang Maha Pencipta. Misalnya, Allah menunjukkan suatu peristiwa alam, seperti dikisahkan dalam syair liâ asa usu di bawah ini.

Leppâ lefu lodo goi tobi (Pulau Lapan kaya Emas) Bata tanah isi di selaka (Tanah Batan mengandung perak) Allah tao tasik lau lébo géré (Allah menentukan laut bertambah naik) Tuâ lifu tanah raé mété hau (Tanah di darat semakin sempit) (LAU.5)

Syair tersebut menggambarkan bahwa para leluhur Lamalera merasa air laut semakin naik dan daratan semakin sempit. Mereka menganggap bahwa peristiwa alam ini merupakan ketentuan dari wujud tertinggi, yakni Ama Rela

Wulan Tanah Ekan. Ama Lera Wulan yang menentukan kondisi alam ciptaan. Hal ini menunjukkan adanya wujud kepercayaan, yaitu pandangan hidup para leluhur

Lamalera tentang sikap alam terhadap kehidupan mereka di Lepanbatan. Oleh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

172

karena itu, sistem religi tersebut dapat dimaknai sebagai kepercayaan tradisional.

Tentu, wujud pergeserannya terletak pada keyakinan akan hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal menjadi suatu pandangan hidup. Wujud pergeseran ini dimaknai oleh peneliti sebagai pergeseran spesialisasi religi (kepercayaan khusus).

Awalnya, leluhur Lamalera memiliki pandangan umum tentang Allah sebagai Lera Wulan Tanah Ekan, wujud tertinggi yang memberi segalanya, termasuk hidup yang senantiasa dialami oleh mereka dalam perjalanan eksodus;

Lera Wulan adalah Pencipta langit dan bumi beserta isinya, termasuk laut dan darat. Selanjutnya, kepercayaan tersebut dimaknai sebagai pandangan hidup.

Artinya, sistem religi itu bergeser maknanya sebagai wujud pengalaman hidup dalam kaitannya dengan keyakinan. Pengalaman hidup itulah sebagai pedoman hidup dalam menentukan sikap atau arah kehidupan mereka.

Penentuan sikap dan arah kehidupan para leluhur Lamalera terbukti ketika

Lepanbatan diterjang air bah. Ketika terjadi air bah (blebu lebu eke), para leluhur

Lamalera menyelamatkan diri dengan peledang Kebakopukâ ke arah barat, yakni ke pulau Lembata. Hal ini dikisahkan dalam syair di bawah ini.

Géri téna dai marangkâ téti Ria (Naik perahu dan terdampar di Riang) Dai epitkâ téti Roma (Datang menepi di Romang) Matak noi lefuk péti tanak lau (Mata masih dapat melihat kampung halaman) Tobo naik kadé rua (Duduk dengan rasa cemas) (LAU.6)

Gafék lau fattâ papa Lamabata (Melintasi selatan pulau Lembata) Sapék téti Tobi Landéké (Menyingahi Tobi Landéké) Sigak téti Fatu Bélâ Baku

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

173

(Menyinggahi Fatu Bela Baku) Loddo dai kabé honé hollo (Turun kedarat membangun sebuah gubuk) (LAU.7)

Honék karo tung pira pai hikko (Tinggal disana beberapa tahun berlalu) Fanik karo fullâ pira pai gafé (Mendiami hingga beberapa bulan berlalu) Géri Tena dikanéâ Bakopukâ (Naik sebuah peledang bernama Bakopuka) Ole lollo mété hau (Arus hantar semakin kemari) (LAU.8)

Syair tradisi lisan liâ asa usu tersebut menggambarkan konteks situasi bahwa setelah menetap beberapa lama di Lepanbatan (LAU.8-pertama & kedua), suatu ketika terjadi bencana air bah yang menyebabkan pulau tersebut tenggelam.

Seluruh penduduk pulau Lepanbatan terpencar dan berusaha menyelamatkan diri ke daerah lain. Sejumlah penduduk hanyut dan terdampar di pulau Pantar dan sekitarnya, sebagian lagi ke pulau Lembata, pulau Adonara, pulau Solor, bahkan sampai ke daratan Flores. Leluhur Lamalera, yakni rombongan suku Blikololo, suku suku Tatakrofa, dan suku Lamanudek yang dipimpin oleh Kia Laka Tana, seorang Putra keturuanan Patih Mana Beda Frasa, serta keempat anaknya (bdk.

LAU. 14) menyelamatkan diri dengan menumpang peledang kebakopukâ. Mereka menyeberang ke Lembata dan terdampar di Riang (sekarang wairiang-Kedang) dan menepi di Romang (sekarang Roma-Kedang) (LAU.6-pertama & kedua).

Ketika di Riang dan Romang, mereka masih sempat melihat kampung halaman di

Lepanbatan dengan rasa cemas (LAU.6-ketiga & keempat). Selanjutnya, mereka melintasi selatan pulau Lembata (LAU.7-pertama) dan singgah di Tobi Landake

(LAU.7-kedua). Kemudian, mereka melanjutkan perjalanan dan singgah di Fatu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

174

Bela Baku (LAU.7-ketiga). Mereka sempat turun ke darat dan membangun sebuah gubuk untuk beristirahat sejenak (LAU.7-keempat).

Sistem religi atau kepercayaan yang tampak dalam syair tersebut bahwa para leluhur Lamalera memiliki keyakinan bahwa Allah sebagai Lera Wulan

(wujud tertinggi) yang dipercayai itu benar dan nyata sebagai pembimbing dan sumber keselamatan. Kepercayaan itulah yang melahirkan keberanian dan harapan akan keselamatan. Wujud kepercayaan yang diyakini adalah kepercayaan para leluhur Lamalera akan kekuatan wujud tertinggi dalam agama monoteis dunia.

Hal ini menggambarkan sistem religi memuat keyakinan para leluhur Lamalera akan alam pikiran dan perasaan yang menggerakan mereka untuk bersikap dan berprilaku. Sikap dan prilaku yang menunjukkan kepercayaan leluhur Lamalera dapat dilihat dalam syair di bawah ini.

Hau gafék lau futuk Barasela (Datang melewati tanjung tempat celaka) Olé angi lau mété data (Arus dan angin semakin ganas) Pasa-pasa kabé rugi sorakai (Terpaksa mengorbankan perhiasan) Olé mépé rabelina (Agar arus menjadi tenang) (LAU.9)

Syair (LAU.9) menggambarkan konteks situasi bahwa ketika perjalanan mereka menyusuri pulau Lembata bagian selatan, mereka menyinggahi beberapa tempat seperti tanjung Gelu Bala, Fai Teba Ona, dan tanjung Atadei (futuk

Barasela). Ketika tiba di tanjung, arus dan angin semakin ganas sehingga nyaris menghancurkan peledang Kebakopukâ yang mereka tumpangi. Mereka terpaksa membuang harta kekayaan berupa perhiasan-perhiasan dengan harapan agar arus menjadi tenang kembali.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

175

Salah satu sistem kepercayaan yang tampak dalam syair tersebut adalah para leluhur Lamalera mengorbankan banyak harta perhiasan, termasuk emas dan perak untuk “membeli keselamatan” jiwa mereka semua. Mereka percaya bahwa dengan mengorbankan harta kekayaan yang paling berharga, arus menjadi tenang dan mereka akan luput dari terpaan badai dan gelombang. Hal ini terbukti sehingga mereka berhasil melewati tanjung Barasela dan masuk ke teluk Luki

Labala (Lefo Balla Ona) (bdk. LAU.10). Tentu, ada wujud pergeseran dalam sistem kepercayaan dalam syair tersebut. Dahulu, para leluhur Lamalera mengorbankan perhiasan emas dan perak untuk “membeli keselamatan” hidup mereka; sekarang masyarakat Lamalera menggunakan binatang peliharaan seperti babi dan ayam, suguhan sirih-pinang serta tembakau untuk setiap ritual adat yang berhubungan dengan kehidupan dan keselamatan, baik di darat maupun di laut. Selain itu, sikap atau gerakan jiwa para leluhur Lamalera

(mengorbankan perhiasan demi keselamatan) merupakan wujud permohonan kepada Lera Wulan Tana Ekan (wujud tertinggi). Hal ini ditegaskan juga oleh narasumber dalam wawancara, demikian:

“Kita punya leluhur keluar dari Lepanbatan akibat air ampuhan membawa banyak perhiasan. Tetapi, semua perhiasan itu dikorbankan untuk keselamatan mereka, karena sampai di tanjung Barasela yang sekarang orang biasa sebut tanjung Atadei, mereka dihadapkan dengan situasi sulit. Mereka diterpa badai dan angin kencang. Arus tanjung yang ganas menghantam perahu mereka, Kebakopukâ. Tidak ada cara lain untuk menyelamatkan diri, keculai hanya berdoa pada Ama Lera Wulan, Alep’te teti kowa lolo (Allah kita di surga). Mereka membuat upacara dan mempersembahkan semua perhiasan sebagai bentuk permohonan demi keselamatan mereka. Akhirnya, mereka selamat dan berlayar terus masuk ke teluk Lefobala” (HW Narasumber 3).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

176

Pernyataan narasumber tersebut menunjukkan bahwa wujud kepercayaan harus disertai dengan membangun komunikasi yang intim dengan Allah, Sang

Pencipta, khususnya dalam situasi sulit.

Wujud pergeseran kebahasaan yang tampak dalam syair (LAU.9) adalah istilah Futuk Barasela (Tanjung Barasela). Istilah Futuk Barasel mengalami pergeseran fonologis, yakni dengan istilah Futuk Atadei (Atadei: orang berdiri) atau Tanjung Harapan. Makna wujud pergeseran tersebut merupakan makna denotasi maupun makan konotasi. Secara harafiah, disebut tanjung Atadei karena terdapat patung batu manusia yang sedang berdiri di ujung tanjng. Sekarang, masyarakat Lamalera dan masyarakat sekitarnya menyebut dengan istilah tanjung harapan, sekaligus sebagai tugu peringatan akan masa lalu saat perjalanan eksodus masyarakat Lamalera, yaitu peristiwa Somi Boladere. Lebih dari itu, tanjung harapan memberi makna harapan akan keselamatan hidup, karena jika setiap orang kembali dari melaut dan menatap patokan tiang batu tersebut akan memperoleh suatu ‘kepastian’ bahwa mereka akan hidup. Tanjung

Harapan atau Tanjung Atadei merupakan simbol adanya kehidupan yang sudah terhampar menjemput setiap orang yang tersesat.

Hubungan dengan Tuhan bukan saja dalam situasi sulit, tetapi juga dalam situasi bahagia sebagai ungkapan syukur. Hal ini seperti terungkap dalam syair di bawah ini.

Moé Amak péti kofa lollo tobo (Engkau Bapakku yang ada diatas langit) Likok lau mété dai (Melindungi kami jauh dari sana) Moé Bélék péti kellâ tukâ dai (Engkau Allahku yang berdiri ditengah langit)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

177

Lapak lau mété dai (Melindungi dan membimbing dari jauh datang kemari) (LAU.15)

Syair tersebut menggambarkan konteks situasi dan sosial, yaitu ungkapan syukur dan terima kasih dari leluhur Lamalera kepada Allah di surga. Mereka percaya bahwa Ama Lera Wulan Tanah Ekan yang di surga senantiasa berdiri di tengah kehidupan mereka, khususnya perjalanan mereka yang jauh dari Luwuk sampai Lamalera. Sebuah wujud kepercayaan yang mendalam akan penyertaan

Allah, Sang Pencipta tampak dalam doa syukur yang diungkapkan oleh para leluhur Lamalera. Hal ini berarti setiap permohonan yang diungkapkan (bdk.

LAU.9) harus disertai dengan ungkapan syukur.

Sikap batin para leluhur Lamalera tersebut diwariskan hingga saat ini.

Masyarakat Lamalera menjunjung tinggi kepercayaan kepada penyelenggaraan

Allah dalam seluruh hidup mereka. Misalnya, sebelum musim melaut (lefa nuang), mereka selalu mempersembahkan seluruh permohonan hati mereka melalui berbagai ritual adat yang kemudian disatukan dalam kebaktian agama

Katolik (perayaan ekaristi) di pantai. Demikian pula, setelah musim melaut, mereka bersyukur dan berterima kasih atas pernyartaan Allah dan Bunda Maria dalam perayaan ekaristi dan ziarah ke gua Maria.

Tentu, wujud kepercayaan yang dimaksud oleh para leluhur Lamalera dan diwariskan sampai saat ini lebih sebagai kepercayaan akan kekuatan di luar wujud tertinggi dalam agama monoteisme dunia. Dahulu, para leluhur Lamalera menganut henoteisme (keyakinan kepada satu Tuhan tanpa mengingkari adanya dewa lain dan makhluk halus) atau monoteisme implisit, yaitu mereka memiliki kepercayaan kepada wujud tertinggi tapi tidak dengan sadar menyangkal wujud

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

178

lain. Kepercayaan ini ada sebelum Agama Katolik masuk tahun 1886. Mereka menghormati Lera Wulan (Lera: Matahari, Wulan: bulan yang berarti kekuasaan atas segala-galanya) sebagai wujud tertinggi, seperti halnya masyarakat berlatar belakang budaya Lamaholot (Flores Timur, Adonara, Solor, dan Lembata).

Ketika Agama Katolik masuk di Lamalera (1886), kepercayaan dibangun berlandas pada agama formal, tanpa menghilangkan kepercayaan tradisional atau adat. Masyarakat Lamalera tetap menjunjung tinggi kepercayaan kepada Allah

Yang Maha Kuasa (Ama Lera Wulan), tetapi tetap memelihara keyakinan akan kehadiran dan peran para leluhur yang telah meninggal dalam kehidupan mereka sehari-hari, khususnya mengenai mata pencaharian mereka. Hal ini berarti adanya wujud pergeseran kepercayaan yang disebut asimilasi religi.

Kepercayaan masyarakat Lamalera merupakan suatu perpaduan tradisi adat istiadat dan religius. Artinya bahwa kehidupan masyarakat Lamalera tetap memegang teguh tradisi dan ritual budaya, sekaligus percaya pada agama yang dianutnya. Hal ini tampak dalam seluruh proses ritual sebelum dan sesudah aktivitas musim melaut (lefa nuang). Misalnya, sebelum memasuki musim melaut, masyarakat mengadakan beberapa ritual, karena percaya akan kehadiran para leluhur dan ditutup dengan upacara kebaktian secara katolik (perayaan ekaristi) di pantai Lamalera. Masyarakat Lamalera percaya bahwa Allah yang satu selalu ada dalam setiap kehidupan mereka, termasuk dalam proses musim melaut.

Selain itu, masyarakat Lamalera juga percaya bahwa laut (lefa) adalah keramat dan memiliki kekuatan magic sehingga mereka selalu melakukan upacara tradisi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

179

persembahan kepada Allah sebelum menuju laut. Hal ini yang menjadi ciri khas kepercayaan masyarakat Lamalera.

4.1.3.5 Pergeseran dalam Sistem Bahasa

Selain itu, wujud pergeseran bentuk dan makna juga dapat dilihat dalam sistem Bahasa. Wujud kebahasaan dalam tradisi lisan liâ asa usu juga berupa pernyataan-pernyataan metaforis atau pribahasa. Hal ini terlihat dalam syair di bawah ini.

Dai marangke téti Luki Lefobala (Datang berlabuh di Luki Lewobala) Géré honék téti Lefohajo (Naik keatas membangun di Lefohajo) Nâu tobanga buri hori téna (Lesung terbalik air dalam buri tumpah menyirami perahu) Alo gasukâ lafe larâ tukkâ (Alu terlepas melintangi jalan) (LAU.10).

Syair tersebut menggambarkan saat leluhur Lamalera (rombongan Kia

Laka Tana dan keluarga, suku Tanakrofa, Lamanudek, dan Blikololo) berlabuh di

Lewobala, mendaki ke bukit, lalu membangun kampung di Lefohajo. Rombongan para leluhur Lamalera sempat menetap beberapa lama. Namun, pada suatu ketika terjadi pelanggaran terhadap norma-norma adat masyarakat setempat sehingga mereka diusir oleh penduduk asli. Akhirnya, mereka mengungsi ke tempat yang baru yang disebut Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela (Wulandoni). Pelanggaran moral adat digambarkan dalam syair di atas menunjukkan adanya pergeseran wujud kebahasaan, yaitu pergeseran konsep lingual. Awalnya, syair tersebut memiliki makna semantik bergeser menjadi makna metaforis.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

180

Sisi lain, pergeseran sistem bahasa dapat dilihat dari aspek semiotik, yaitu fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan dipandang sebagai tanda-tanda yang memiliki makna. Hal ini digambarkan dalam syair tradisi lisan liâ asa usu di bawah ini.

Seba ola’k lau léfa harri lollo (Mencari nafkah ditengah laut) Dai épitkâ dai marangkâ (Mendekati pantai merapat ke pinggir) Apé tafa géré raé motti Lango Fujo (Nampak nyala api ditempat berkumpul Lango Fujo) Raé ori Nara Guâ tanah (Ditempat pondok Nara Gua tanah) (LAU.12)

Sistem bahasa semiotik yang ditekankan dalam syair tersebut bahwa ketika kembali dari melaut, leluhur Lamalera selalu terbawa arus dan terdampar di pantai yang terlihat ada asap api yang membubung dari dalam sebuah pondok (LAU.12- kedua). Pantai tersebut dikuasai oleh Gesi Gua Wasa, kepala suku Lango Fujjo dan Nara Gua Tana (LAU.12-ketiga & keempat). Hal ini menunjukkan bahwa tanda alam “berbicara” kepada leluhur Lamalera ketika kembali melaut. Mereka selalu terbawa arus dan terdampar di pantai yang sekarang disebut Lamalera merupakan bahasa alam kepada mereka. Alam ingin menyampaikan kekuatannya dalam menentukan keberadaan dan tempat hidup leluhur Lamalera sesungguhnya.

Hal ini berarti secara sistem bahasa adanya wujud pergeseran yang peneliti sebut sebagai wujud pergeseran semiotik, yaitu proses encoding bergeser menjadi proses decoding. Alam ingin menyampaikan pesan melalui tanda arus yang menghantar para nelayan leluhur Lamalera bergeser menjadi proses pikiran, yaitu tanggapan leluhur Lamalera terhadap realitas alam yang mereka hadapi. Hal ini dibuktikan dengan kehadiran para leluhur Lamalera yang datang dan bertemu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

181

Gesi Gua Wasa untuk membicarakan “pesan alam” yang mereka terima setelah melaut (bdk. LAU.13-pertama). Wujud pergeseran ini dapat dipandang sebagai wujud semiologi. Artinya, selama perbuatan dan tingkah laku leluhur Lamalera yang selalu dibawah arus ketika kembali melaut dan menepi di pantai Lamalera membawa makna karena merupakan tanda alam yang sangat bermanfaat ditujukan kepada mereka. Tentu, proses semiologi ini menghadirkan sistem kehidupan masyarakat Lamalera hingga sekarang. Sebelumnya, mereka tinggal dan menetap di Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela (Wulandoni), tetapi sekarang mereka bergeser ke barat dan tinggal di pantai Lamalera.

4.1.4 Faktor Pergeseran Wujud dan Makna Unsur-unsur Kebudayaan

Masyarakat Lamalera dalam Tradisi Lisan Liâ Asa Usu

Potret jati diri atau identitas dalam syair-syair tradisi lisan liá asa usu merupakan wujud kehidupan masyarakat Lamalera yang diwariskan oleh leluhur dan dipertahankan hingga saat ini. Wujud kehidupan tersebut menyiratkan makna dan maksud yang oleh peneliti menyebutnya sebagai gambaran jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa wujud dan makna yang terdapat dalam tradisi lisan liá asa usu mengalami pergeseran seperti yang telah dijelaskan di atas. Berbagai wujud pergeseran bentuk dan makna tersebut disebabkan oleh faktor-faktor yang memengaruhinya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

182

4.1.4.1 Faktor Pergeseran Sistem Kemasyarakatan

Berbagai syair tradisi lisan liâ asa usu menggambarkan pergeseran wujud dan makna seperti yang telah dikaji dan dideskripsikan di atas. Wujud pergeseran bentuk dan makna syair-syair tradisi lisan liâ asa usu dalam sistem kemasyarakatan disebabkan oleh beberapa faktor. Hal ini dapat dipaparkan oleh peneliti di bawah ini.

Feffâ bélâkâ Bapa Raja Hayam Wuruk (Demi Kehendak Bapa Raja Hayam Wuruk) Pasa-pasa pekkâ lefuk lau Luwuk (Terpaksa kutinggalkan desaku di Luwuk sana) Fengi baata Gadja Mada lali Jawa (Atas perintahnya melalui Gadja Mada dari Jawa) Hidâ-hidâ hiangkâ tanah lau Béru (Kulepaskan rumahku yang makmur di tanah Beru) (LAU.1).

Syair (LAU.1) menggambarkan adanya pergeseran wujud kebudayaan politik. Dahulu, leluhur Lamalera menganut pemerintahan kerajaan, sedangkan sekarang masyarakat Lamalera menganut sistem demokrasi dan republik. Bahkan, sistem persaudaraan dan kekeluargaan sangat kental dan mendominasi kehidupan kemasyarakatan Lamalera dengan sebuatan toro kaka, toro ari (menjadi saudara).

Faktor yang menyebabkan wujud pergeseran tersebut adalah penaklukan dan kolonialisme. Hal ini senada dengan pendapat Pujileksono (2006: 258-270) bahwa salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran atau perubahan suatu kebudayaan adalah perubahan secara paksah akibat adanya kolonialisme dan penaklukan.

Pergeseran wujud dan makna tradisi lisan liâ asa usu disebabkan tradisi budaya dan adat istiadat senantiasa hidup, bertumbuh, dan berkembang dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Lamalera. Gerak pergeseran yang berdampak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

183

pada perubahan disebabkan oleh proses akulturasi budaya, yaitu pencampuran kebudayaan leluhur Lamalera dengan kebudayaan masyarakat Ue Ulu Doni Nusa

Lela dan Masyarakat Lango Fujjo yang saling bertemu dan saling memengaruhi.

Tentu, faktor tersebut memberi dampak pada asimilasi budaya, yaitu penyesuaian

(peleburan) sifat asli rombongan leluhur Lamalera dengan sifat lingkungan Doni

Nusa Lela dan Masyarakat Lango Fujjo. Hal ini dapat dilihat dalam syair-syair liâ asa usu di bawah ini:

Hau honék téti Doni Nusa Léla (Datang membangun di Doni Nusa Lela) Fanik téti Ué Ulu Mado (Mendiami ue ulu mado) Gélu hékka fato fakka rappâ blodo (Melakukan penukaran alat kerajinan gerabah) Sera ribu tali ratu (Kepada penduduk asli) (LAU.11)

Seba ola’k lau léfa harri lollo (Mencari nafkah ditengah laut) Dai épitkâ dai marangkâ (Mendekati pantai merapat ke pinggir) Apé tafa géré raé motti Lango Fujo (Nampak nyala api ditempat berkumpul Lango Fujo) Raé ori Nara Guâ tanah (Ditempat pondok Nara Gua tanah) (LAU.12)

Kai tutu raé Gési Gua Wasa (Datang untuk membicarakan dengan Gesi Gua Wasa) Onâ saré honé tao (Dengan senang dan sukarela menerima) Kai mari raé Raja Bala Mai (Pergi menyampaikan kepada Raja Bala Mai) Kolong diké guté lifo (Permintaanku diterima dengan senang hati) (LAU.13)

Faktor lain yang memengaruhi terjadinya pergeseran wujud dan makna, seperti pergeseran amelioratif, pergeseran generalisasi, pergeseran sistem pertukaran, asimilasi struktural, asimilasi sikap, dan kesadaran akan warisan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

184

budaya leluhur yang terdapat dalam syair liâ asa usu (A.11), (A.12), dan (A.13) adalah kondisi geografis dan kebutuhan ekonomi. Kondisi geografis daerah Ue

Ulu Mado Doni Nusa Lela dan sekitarnya merupakan daerah pantai dengan lautan yang dalam dan arus yang deras dan ganas serta perbukitan yang tinggi dan terjal. Hal ini memungkinkan masyarakat dibagi menjadi penduduk yang bermukim di pantai dengan mata pencaharian sebagai nelayan dan penduduk yang bermukim di daerah pedalaman dengan mata pencaharian sebagai petani.

Perbedaan topografi ini menyebabkan pula perbedaan kebutuhan ekonomi setiap kelompok masyarakat. Masyarakat pegunungan membutuhkan ikan, sedangkan masyarakat pantai membutuhkan hasil-hasil pertanian.

Pergeseran wujud kebahasaan lefa disebabkan oleh faktor perpindahan masyarakat tutur. Hal ini senada dengan pernyataan Chaer (2004: 142) bahwa pergeseran wujud dan makna kebahasaan (language shift) merupakan akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur yang lain. Misalnya, awalanya leluhur menggunakan wujud kebahasaan lefa sebagai lahan mata pencaharian hidup. Namun, seiring dengan proses eksodus dan didukung dengan topografi Lamalera, maka wujud kebahasaan lefa dimaknai masyarakat Lamalera hingga sekarang bukan saja sebagai lefa, tetapi lefa harri lollo. Bahkan, generasi sekarang sudah memaknai lefa sebagai ina lefa (ibu laut) yang senantiasa memberikan kehidupan kepada anak-anaknya ketika masyarakat Lamalera berharap padanya saat proses melaut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masyarakat tutur dari generasi ke generasi sangat memengaruhi sebuah wujud kebahasaan mengalami pergeseran makna. Konsep ini senada dengan pandangan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

185

Coulmas (2005: 158-159) bahwa pilihan bahasa seseorang, keluarga, dan seluruh masyarakat adalah salah satu penyebab terjadinya pergeseran wujud dan makna kebahasaan. Lebih lanjut, Coulmas menegaskan bahwa bahasa adalah hidup dan dapat diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Namun, setiap generasi akan melakukan inovasi-inovasi kebahasaan yang diwariskannya dari generasi sebelumnya.

Pergeseran wujud dan makna dalam tradisi lisan liâ asa usu juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Hal ini senada dengan Sumarsono dan Partana

(2002: 237) bahwa kemajuan ekonomi kadang-kadang mengangkat posisi sebuah bahasa menjadi bahasa yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Demikian halnya kemajuan ekonomi lokal yang dicerminkan dalam proses pasar barter menjadikan istilah wulandoni menjadi sebuah wujud kebahasaan yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Perekonomian masyarakat di wulandoni dan daerah sekitarnya yang ditandai oleh adanya pemertahanan pasar barter sebagai kearifan tradisi budaya menjadikan istilah wulandoni memiliki maksud pragmatik sebagai wujud persatuan dan persaudaraan.

Secara linguistik, pergeseran wujud dan makna kebahasaan Ue Ulu Mado

Doni Nusa Lela bergeser menjadi Wulandoni dan lefa bergeser menjadi leffa harri lollo dan ina leffa selain dipengaruhi oleh faktor geografis dan ekonomi, juga dipengaruhi oleh bahasa yang berkembang. Kedua wujud kebahasaan hasil pergeseran tersebut akibat perjalanan waktu dan berkembangnya pola pikir masyarakat. Hal ini sejalan dengan pemahaman Ullman (Sudaryat, 2009:47)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

186

bahwa bahasa berkembang dari masa ke masa, dan mengalami pergeseran karena perjalanan waktu yang terjadi dalam bentuk maupun makna.

Selain itu, wujud kebahasaan lain yang mengalami pergeseran adalah hajoo Lama Bela. Hal ini tersurat dalam syair di bawah ini.

Tukarkâ téti Hajjo Lamabélâ (Mendaki ke Hajjo Lamabela) Kpai narangkâ goé pi Korohama (Timbang nama saya ini Korohama) Jajji kopo mâmu tello kaé (Melahirkan tiga orang laki-laki) Surra barré Somi Bola Derrâ (Dan seorang perempuan Somi Bola Dera) (LAU.14)

Wujud kebahasaan Hajo Lama Bela yang berarti lokasi Lefo Hajjo yang lebih luas menunjukkan perkampungan ke arah perbukitan. Istilah ini sebagai wujud maksud untuk mengenang nama desa kesayangan leluhur Lamalera di pulau Lepanbatan. Namun, sekarang wujud kebahasaan Hajo Lama Bela mengalami pergeseran asimilasi morfologis dengan istilah fung dari kata ufung yang berarti di ketinggian, atap, tempat di puncak karena sesuai kondisi geografis sesungguhnya. Faktor yang memengaruhi pergeseran tersebut adalah perubahan lingkungan dan faktor geografis dengan maksud agar lebih diingat karena sesuai dengan keadaan geografis yang sebenarnya. Selain itu, adanya pergeseran struktural kekerabatan, yaitu wujud pengakuan individu sebagai Kia

Laka Tana Korohama bergeser menjadi pengakuan sebagai kolektif sebagai keluarga. Faktor yang memengaruhi terjadinya pergeseran tersebut seperti yang dijelaskan Ullman (Sudaryat, 2009: 47) adalah faktor ideologi dan psikologis yang dibangun Korohama untuk mendapat pengakuan sosial oleh masyarakat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

187

Artinya, konsep berpikir Korohama sebagai asas peristiwa yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup keluarganya.

Wujud pergeseran juga terdapat dalam aspek kepemimpinan, perkawinan, dan kehidupan sosial masyarakat Lamalera. Hal ini digambarkan dalam syair di bawah ini.

Moé Amak narang Atakelaké (Engkau Bapakku namanya Atakelake) Luato lali Batafaij one (Turun ke Bata di pinggir pantai) Guti Inak séddo barré lali Sogé (Mengambil mamaku perempuan dari Soge) Inak narang Bengâ Lefo Léi (Mamaku bernama Benge Lefolei)

Jajji koppo mamu lema kaé (Melahirkan lima orang anak laki-laki) (LAU.16) Tité kakâ tali ari (Kita semua bersaudara) Kakâ pulo tali arri léma (Kita semua adalah satu) Léma ajaki lali batafaij one (Dari lima bersaudara berkembang jadi banyak dipinggir pantai) (LAU.17).

Syair (LAU.16) menggambarkan pergeseran wujud kepemimpinan, yaitu wujud kepemimpinan secara populis yang dibangun oleh Kia Laka Tana

Korohama bergeser menjadi kepemimpinan patrilineal, yaitu yang menjadi tulang punggung kehidupan sosial masyarakat Lamalera dihubungkan menurut garis keturunan ayah. Artinya, kaum laki-laki memiliki hak penuh atas segala aspek, baik dalam kehidupan keluarga maupun sosial masyarakat. Wujud pergeseran tersebut disebabkan oleh faktor historis (Sudaryat, 2009:47). Artinya, wujud pergeseran tersebut berdasarkan genealogis laki-laki dan warisan sejarah yang diturunkan dari generasi ke generasi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

188

Pergeseran lingkup kekerabatan juga terdapat dalam syair (LAU.16).

Awalnya, lingkup kekerabatan masyarakat Lamalera adalah keluarga kemudian bergeser menjadi kelompok yang lebih luas dalam bentuk suku atau marga.

Wujud pergeseran ini akibat dari proses difusi kebudayaan (Pujileksono, 2006:

258-270), yaitu masing-masing orang membawa unsur-unsur kebudayaan ke dalam kehidupan sosial masyarakat, juga terjadinya pertemuan antara individu dengan individu lain dalam suatu kelompok masyarakat. Syair (LAU.16) juga menggambarkan wujud pergeseran dalam status sosial, yaitu bujang menjadi berkeluarga. Faktor yang memengaruhi terjadinya pergeseran tersebut adalah adanya penemuan prinsip baru (Pujileksono, 2006: 258-270). Maksudnya, adanya prinsip baru dari seorang individu yang kemudian diterima oleh orang lain dan menjadi milik masyarakat. Atakelake meminang Benge Lefolei dari

Saga merupakan suatu prinsip pribadi yang ditunjukkan kepada masyarakat sebagai bukti keberterimaan terhadap pihak di luar garis genealogis leluhur.

Prinsip tersebut diakui dalam kehidupan sosial masyarakat hingga saat ini sehingga setiap masyarakat Lamalera menjunjung tinggi hakikat perkawinan di luar garis genealogis, karena merupakan amanah atau pesan warisan para leluhur terdahulu.

Sementara itu, syair (LAU.17) menggambarkan wujud pergeseran lingkup sosial. Awalnya, lingkup kekerabatan adalah keluarga, kemudian bergeser menjadi kelompok yang lebih luas dalam bentuk suku atau marga. Suku atau marga merupakan gabungan dari keluarga kecil yang seasal darah turunan.

Pergeseran tersebut disebabkan oleh faktor historis (Sudaryat, 2009:47). Artinya,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

189

wujud pergeseran tersebut berdasarkan genealogis laki-laki dan warisan sejarah yang diturunkan dari generasi ke generasi. Hasil warisan adalah amanah yang senantiasa dipegang teguh dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga setiap masyarakat hidup bersatu dan bersaudara sebagai satu leluhur.

4.1.4.2 Faktor Pergeseran dalam Sistem Mata Pencaharian

Wujud pergeseran betuk dan makna dalam sistem mata pencaharian masyarakat Lamalera adalah dari petani menjadi nelayan. Hal ini dikisahkan dalam syair di bawah ini.

Hau téti Kroko tafa Teria Géré (Tiba di Kroko tafa Teria Gere) Talé kafé heppâ di Kroko (Tali dan tempuling dari serat Kroko dan Heppa’) Honek téti lefuk téti Leppâ (Kubangun desaku di Lepan) Fanik téti tanak téti Bata (Mengerjakan ladang ditanah Batan) (LAU.4).

Seba ola’k lau léfa harri lollo (Mencari nafkah ditengah laut) Dai épitkâ dai marangkâ (Mendekati pantai merapat ke pinggir) Apé tafa géré raé motti Lango Fujo (Nampak nyala api ditempat berkumpul Lango Fujo) Raé ori Nara Guâ tanah (Ditempat pondok Nara Gua tanah) (LAU.12)

Wujud pergeseran yang terdapat dalam syair (LAU.4) dan (LAU.12) adalah pergeseran sinestesia yang dipengaruhi oleh faktor geografis. Daerah

Lepan dan Batan sangat memungkinkan leluhur Lamalera melakukan pekerjaan sebagai petani dan nelayan. Namun, setelah melakukan eksodus dan menetap di

Lamalera, kondisi topografi Lamalera tidak memungkinkan mereka untuk bertani,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

190

karena relief daerah berbatu cadas. Karena itu, mereka mengembangkan pekerjaan sebagai nelayan yang dihidupi sejak berada di Lepanbatan hingga sekarang sehingga mereka dikenal sebagai nelayan tradisional penangkap ikan paus. Faktor yang memengaruhi pergeseran tersebut adalah cara pandang yang generalisasi dari masyarakat Lamalera. Sistem nilai yang dihidupi leluhur Lamalera saat berada di

Lepanbatan, kini diterapkan secara kolektif pada masyarakat Lamalera yang ditafsirkan menjadi lebih abstrak atau umum. Faktor tersebut ditegaskan juga oleh

Pujileksono (2006: 258-270) bahwa generalisasi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan suatu kebudayaan berdasarkan sistem nilai suatu masyarakat yang ditafsirkan menjadi lebih umum.

Sementara itu, pergeseran wujud kebahasaan dari istilah tana menjadi lefa merupakan wujud asosiasi (persamaan sifat). Faktor yang memengaruhi terjadinya pergeseran tersebut adalah adanya penemuan cara kerja dan prinsip baru yang bersifat menyempurnakan dari bentuk yang lama (infention) dan diterima menjadi miliki masyarakat. Hal ini senada dengan pandangan Pujileksono (2006: 258-270) bahwa infention merupakan penemuan cara kerja baru, peralatan, prinsip baru oleh individu dan diterima oleh orang lain dan kemudian diterima menjadi milik masyarakat. Istilah lefa (bentangan laut) merupakan cara pandang atau pola pikir anggota masayarakat sebagai makna kiasan dari hamparan ladang dan kebun.

Makna ini diterima dan menjadi pemahaman kolektif masyarakat Lamalera bahwa ladang atau kebun mereka adalah bentangan lautan. Laut adalah ladang kehidupan yang memberikan penghasilan untuk menunjang kebutuhan hidup sehari-hari.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

191

Cara pandang tersebut disebabkan juga oleh spiritualitas yang dibangun masyarakat Lamalera sejak dahulu berada di Lepanbatan. Masyarakat Lamalera percaya bahwa lefa bukan sekadar bentangan lautan, tetapi melahirkan kehidupan sehingga menjadi ina lefa. Sebagai ina lefa, masyarakat mengkramatkan lefa sehingga menjadi ina lefa harri lollo. Hal ini menyebabkan terjadinya pergeseran generalisasi. Awalnya, masyarakat Lamalera dikenal sebagai nelayan tradisional penangkap ikan paus, sekarang meluas menjadi nelayan kehidupan masyarakat

Lamalera secara keseluruhan. Faktor penyebab pergeseran tersebut karena hasil tangkapan dari laut, khususnya ikan paus bukan saja menjadi milik nelayan- nelayang atau peledang yang menangkap, tetapi dibagikan untuk memberi makan seluruh masyarakat Lamalera, terutama para janda dan anak-anak yatim piatu.

Walaupun demikian, tidak dapat dimungkiri adanya wujud pergeseran warisan sejarah menjadi asimilasi. Artinya, dalam aspek-aspek tertentu tradisi dan kebudayaan masyarakat Lamalera ‘terpaksa’ mengalami penyesuaian dengan berkembangnya kebudayaan modern. Faktor penyebab pergeseran tersebut adalah modernisasi. Hal tersebut senada dengan pandangan Pujileksono (2006: 258-270) bahwa modernisasi merupakan proses kebudayaan dari tradisional menuju modern. Masyarakat Lamalera tidak bisa mengelak perkembangan modernisasi yang dapat menyebabkan perubahan kultur. Mereka ‘terpaksa’ menerima sebagian karakteristik dari masyarakat industri, khususnya dalam hal sarana penangkapan ikan-ikan kecil.

4.1.4.3 Faktor Pergeseran dalam Sistem Perlengkapan dan Peralatan Hidup

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

192

Wujud peralatan hidup yang menjadi kekhasan masyarakat Lamalera adalah tena (peledang) dan laja (layar). Kedua wujud tersebut didukung dengan peralatan hidup lain yang menjadi peralatan pendukung bagi nelayan Lamalera dalam mencari ikan di laut. Hal tersebut terungkap dalam syair liâ asa usu di bawah ini.

Géri tena bua - bua laja (Naik perahu lalu turut berlayar) Kai lulu laja teti Sérâ (Turunkan layar dipulau Seram) Gafi léfa Halmahera (Mengarungi laut Halmahera) Kai nébongkâ téti Gorâ (Berlabuh jangkar dipulau Goram) (LAU.2)

Géri téna narang téna Séra (Naik perahu yang namanya perahu Seram) Sapék téti Abbo téti Moa (Singgahi pulau Ambon dan pulau Moa) Hékka lajak di ketebu koli méâ (Kuganti layar dengan daun gebang si lontar merah) Sigak téti Nua Fatu Bela (Singgah juga di kepulauan Fatu Bela) (LAU.3)

Syair (LAU.2) dan (LAU.3) menggambarkan adanya pergeseran peralatan hidup, yakni pergeseran model perahu atau peledang. Peledang yang digunakan oleh para nelayan Lamalera zaman sekarang merupakan hasil pergeseran dari wujud perahu layar yang digunakan oleh para leluhur Lamalera saat keluar dari daerah Luwuk dan Beru. Pergeserannya berdasarkan bentuk, proses pengerjaan, dan manfaatnya sehingga peneliti menyebutnya sebagai evolusi model. Faktor yang menyebabkan pergeseran tersebut adalah adanya penemuan baru yang bersifat infention. Leluhur Lamalera menemukan cara kerja dan peralatan yang baru, kemudian mencoba untuk membuat tena dan laja baru dengan mengikuti

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

193

model lama. Dengan kata lain, mereka menyempurnakan bentuk yang lama dengan peralatan dan cara kerja yang baru. Hal ini ditegaskan Pujileksono (2006:

258-270) bahwa sifat infention merupakan bentuk penemuan cara kerja, peralatan, dan prinsip baru yang diterima menjadi milik masyarakat.

Selain itu, terjadi pergseran nama peledang. Awalnya, pemberian nama peledang berdasarkan daerah persinggahan leluhur Lamalera sebagai bukti bahwa mereka selamat dan bisa berlabuh di daerah tersebut setelah melakukan perjalanan eksodus. Sekarang, nama peledang berdasarkan hasil kesepakatan suku atau marga yang memiliki peledang tersebut. Wujud pergeseran ini disebabkan oleh adanya diferensiasi. Artinya, sebuah proses pembedaan kelompok eksodus leluhur

Lamalera menjadi masyarakat sosial yang berkembang hingga saat ini. Proses pembedaan tersebut berangsur-angsur menjadi sebuah control yang lebih besar atas lingkungannya. Hal ini senada dengan pernyataan Pujileksono (2006: 258-

270) bahwa diferensiasi merupakan proses pembedaan suatu kolektivitas atau kelompok yang evolusioner menjadi adaptif.

Selain itu, wujud pergeseran juga terdapat pelengkapan lain yang menunjang kehidupan masyarakat Lamalera, yakni tempuling (kafe). Hal ini dikisahkan dalam syair di bawah ini.

Hau téti Kroko tafa Teria Géré (Tiba di Kroko tafa Teria Gere) Talé kafé heppâ di Kroko (Tali dan tempuling dari serat Kroko dan Heppa’) Honek téti lefuk téti Leppâ (Kubangun desaku di Lepan) Fanik téti tanak téti Bata (Mengerjakan ladang ditanah Batan) (LAU.4)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

194

Tempuling mengalami pergeseran wujud, yaitu dari wujud kayu menjadi wujud besi. Awalnya, leluhur Lamalera menggunakan tempuling yang terbuat dari kayu secan (heppa) dan dipintal dengan menggunakan tali serat widuri (keroko).

Wujud ini menjadi contoh untuk membuat tempuling dari tempaan besi ketika mereka berada di Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela. Pergeseran ini merupakan suatu evolusi model, yaitu pergeseran secara evolusioner mengikuti perubahan waktu dan perkembangan teknologi. Faktor yang menyebabkan terjadi pergeseran tersebut adalah adanya penemuan baru yang bersifat infention. Hal ini senada dengan faktor perubahan kebudayaan yang dipaparkan oleh Pujileksono (2006:

258-270) bahwa sifat infention merupakan bentuk penemuan cara kerja, peralatan, dan prinsip baru yang diterima menjadi milik masyarakat. Selain itu, masyarakat mengubah wujud tempuling dalam bentuk besi karena lingkungan tempat tinggal berbeda. Lingkungan masyarakat Lamalera dan tuntutan ekonomi menyebabkan terjadinya pergeseran wujud tersebut. Wilayah perairan laut sawu yang berhadapan dengan Lamalera merupakan jalur migrasi ikan-ikan besar seperti paus. Hal ini yang menyebabkan masyarakat nelayan Lamalera mengubah wujud tempuling sebagai alat untuk menangkap ikan-ikan besar.

Selain itu, salah satu peralatan hidup yang yang mengalami pergeseran fungsi adalah emas dan perak. Hal ini terdapat dalam syair di bawah ini.

Leppâ lefu lodo goi tobi (Pulau Lapan kaya Emas) Bata tanah isi di selaka (Tanah Batan mengandung perak) Allah tao tasik lau lébo géré (Allah menentukan laut bertambah naik) Tuâ lifu tanah raé mété hau (Tanah di darat semakin sempit) (LAU.5)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

195

Sayair (LAU.5) menggambarkan pergeseran fungsi emas dan perak.

Dahulu leluhur Lamalera menggunakan emas dan perak sebagai barang dagangan.

Bahkan mungkin, kedua benda tersebut menjadi mahar dalam sistem perkawinan leluhur Lamalera. Namun, sekarang emas dan perak tidak dimanfaatkan sebagai mahar utama masyarakat Lamalera dalam sistem perkawinan dan diganti dengan gading dan binatang. Wujud pergeseran tersebut disebabkan karena pola pikir masyarakat Lamalera dalam menanggapi keadaan ekonomi dan sistem sosial mereka. Hal ini senada dengan faktor perubahan kebudayaan yang dipaparkan oleh Pujileksono (2006: 258-270) sebagai sifat infention, yakni penemuan prinsip baru yang disepakati dan diterima menjadi milik masyarakat hingga saat ini.

4.1.4.4 Faktor Pergeseran dalam Sistem Religi

Tidak dapat dimungkiri bahwa dalam sistem kepercayaan atau religi masyarakat Lamalera yang dikisahkan dalam syair-syair liâ asa usu mengalami pergeseran wujud dan makna. Hal ini dapat dilihat dalam syair-syair di bawah ini.

Leppâ lefu lodo goi tobi (Pulau Lapan kaya Emas) Bata tanah isi di selaka (Tanah Batan mengandung perak) Allah tao tasik lau lébo géré (Allah menentukan laut bertambah naik) Tuâ lifu tanah raé mété hau (Tanah di darat semakin sempit) (LAU.5)

Géri téna dai marangkâ téti Ria (Naik perahu dan terdampar di Riang) Dai epitkâ téti Roma (Datang menepi di Romang) Matak noi lefuk péti tanak lau (Mata masih dapat melihat kampung halaman)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

196

Tobo naik kadé rua (Duduk dengan rasa cemas) (LAU.6)

Gafék lau fattâ papa Lamabata (Melintasi selatan pulau Lembata) Sapék téti Tobi Landéké (Menyingahi Tobi Landéké) Sigak téti Fatu Bélâ Baku (Menyinggahi Fatu Bela Baku) Loddo dai kabé honé hollo (Turun kedarat membangun sebuah gubuk) (LAU.7)

Honék karo tung pira pai hikko (Tinggal disana beberapa tahun berlalu) Fanik karo fullâ pira pai gafé (Mendiami hingga beberapa bulan berlalu) Géri Tena dikanéâ Bakopukâ (Naik sebuah peledang bernama Bakopuka) Ole lollo mété hau (Arus hantar semakin kemari) (LAU.8)

Hau gafék lau futuk Barasela (Datang melewati tanjung tempat celaka) Olé angi lau mété data (Arus dan angin semakin ganas) Pasa-pasa kabé rugi sorakai (Terpaksa mengorbankan perhiasan) Olé mépé rabelina (Agar arus menjadi tenang) (LAU.9)

Wujud pergeseran yang disiratkan dalam syair-syair liâ asa usu di atas adalah keyakinan akan hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal manusia menjadi suatu pandangan hidup. Wujud pergeseran ini dimaknai oleh peneliti sebagai pergeseran spesialisasi religi (kepercayaan khusus). Faktor yang memengaruhi adanya pergeseran wujud kepercayaan ini bahwa adanya kesadaran spiritual akan kehadiran dan peran yang Ilahi dalam setiap kehidupan masyarakat Lamalera.

Seluruh kepercayaan dipandang sebagai pengalaman akan Allah, sekaligus

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

197

sebagai pedoman hidup dalam menentukan sikap data arah kehidupan yang sesungguhnya.

Selain itu, wujud pergeseran lain dalam sistem kepercayaan bahwa dahulu leluhur Lamalera mengorbankan perhiasan emas dan perak untuk

“membeli keselamatan” hidup mereka. Namun, sekarang masyarakat Lamalera menggunakan binatang peliharaan seperti babi dan ayam, tuak, suguhan sirih- pinang serta tembakau untuk setiap ritual adat dan tradisi budaya yang berhubungan dengan kehidupan dan keselamatan, baik di darat maupun di laut.

Faktor yang menyebabkan pergeseran ini adalah gerakan hati yang didasari kepercayaan yang tinggi akan peranan Allah dalam setiap sitasi kehidupan masyarakat Lamalera. Bahkan, gerakan hati tersebut sudah menjadi pola hidup yang dibangun masyarakat Lamalera hingga sekarang.

Bukti wujud pergeseran di atas merupakan suatu bentuk doa permohonan agar Sang Ilahi memberi keselamatan atas diri para leluhur Lamalera. Walaupun demikian, doa permohonan tersebut diimbangi dengan wujud syukur dan terima kasih atas penyelenggaraan dan penyertaan Allah dalam perjalanan hidup mereka. Hal ini terungkap dalam syair di bawah ini.

Moé Amak péti kofa lollo tobo (Engkau Bapakku yang ada diatas langit) Likok lau mété dai (Melindungi kami jauh dari sana) Moé Bélék péti kellâ tukâ dai (Engkau Allahku yang berdiri ditengah langit) Lapak lau mété dai (Melindungi dan membimbing dari jauh datang kemari) (LAU.15)

Wujud pergeseran doa permohonan menjadi doa syukur dan terima kasih merupakan ungkapan hati masyarakat Lamalera. Faktor yang menyebabkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

198

adanya wujud pergeseran tersebut adalah kesadaran spiritual masyarakat

Lamalera. Masyarakat Lamalera selalu menyadari kehadiran Sang Ilahi dalam setiap proses kehidupan mereka. Mereka selalu memohon bantuan dari Tuhan, tetapi mereka juga tidak hentinya bersyukur dan memuji Sang Ilahi.

4.1.4.5 Faktor Pergeseran dalam Sistem Bahasa

Wujud pergeseran berdasarkan syair liâ asa usu dapat menggambarkan sistem kebahasaan masyarakat Lamalera dalam berbagai tradisi adat istiadat dan budaya, serta penggunaan bahasa sehari-hari. Hal ini diungkapkan dalam syair di bawah ini.

Dai marangke téti Luki Lefobala (Datang berlabuh di Luki Lewobala) Géré honék téti Lefohajo (Naik keatas membangun di Lefohajo) Nâu tobanga buri hori téna (Lesung terbalik air dalam buri tumpah menyirami perahu) Alo gasukâ lafe larâ tukkâ (Alu terlepas melintangi jalan) (LAU.10).

Lirik (LAU.10-ketiga) dan (LAU.10-keempat) menunjukkan pergeseran konsep lingual, yakni makan semantik bergeser menjadi makna metaforis. Wujud pergeseran tersebut disebabkan karena latar belakang sosial budaya masyarakat

Lamalera yang selalu menjunjung tinggi sopan santun dalam berbahasa dan menjaga perasaan orang lain supaya jangan sampai tersinggung. Artinya, dengan bahasa-bahasa metaforis komunikasi antarmasyarakat, khususnya dalam tuturan- tuturan adat istiadat dan penyelesaian masalah-masalah sosial menjadi efektif. Hal ini senada dengan Pranowo (2012: 92) bahwa majas metafor digunakan dalam komunikasi untuk menghaluskan pemakaian bahasa agar terasa santun. Artinya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

199

bahwa dengan menggunakan gaya bahasa metaforis, maksud tuturan yang terasa keras akan terasa santun dan tidak menyinggung perasaan orang lain. Lebih lanjut,

Pranowo menyebut majas metafora merupakan faktor kebahasaan verbal penanda kesantunan.

Selain faktor penggunaan gaya bahasa metaforis, wujud pergeseran dalam sistema bahasa dapat dilihat secara semiotik. Hal ini digambarkan dalam syair tradisi lisan liâ asa usu di bawah ini.

Seba ola’k lau léfa harri lollo (Mencari nafkah ditengah laut) Dai épitkâ dai marangkâ (Mendekati pantai merapat ke pinggir) Apé tafa géré raé motti Lango Fujo (Nampak nyala api ditempat berkumpul Lango Fujo) Raé ori Nara Guâ tanah (Ditempat pondok Nara Gua tanah) (LAU.12)

Syair (LAU.12) menggambarkan wujud pergeseran semiotik atau semiologi, yaitu proses encoding menjadi proses decoding. Alam menyampaikan pesan melalui tanda arus yang menghantar para nelayan leluhur Lamalera bergeser menjadi proses pikiran, yaitu tanggapan leluhur Lamalera terhadap realitas alam yang mereka hadapi. Faktor yang memengaruhi terjadinya pergeseran wujud kebahasaan tersebut adalah konteks situasi. Artinya, kehadiran lirik (LAU.12-kedua) menggambarkan kontes situasi, yakni menggambarkan situasi peristiwa yang dialami oleh nelayan Lamalera saat kembali melaut. Faktor ini senada dengan konsep konteks situasi komunikasi yang dikemukakan Pranowo

(2012: 97) sebagai salah satu faktor nonkebahasaan yang menentukan kesantunan.

Lebih lanjut, bahasa alam biasanya diwujudkan dalam situasi-situasi yang menuntut nelayan Lamalera berpikir tentang maksudnya. Hal ini berarti adanya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

200

maksim hubungan. Leech (1993: 144) mengatakan bahwa maksim hubungan berkaitan dengan pernyataan, ‘usahakan agar informasi yang diberikan ada relevansinya’ karena menghasilkan berbagai interpretasi atau penafsiran. Bahkan, maksim hubungan diartikan sebagai ‘jenis keinformatifan yang khusus’. Dengan demikian, bahasa alam yang ditampilkan merupakan informasi khusus dan relevansi yang menuntut interpretasi para nelayan Lamalera.

4.2 Pembahasan

4.2.1 Refleksi Kritis Jati Diri Masyarakat Lamalera dalam Liâ Asa Usu

Tradisi lisan liâ asa usu di pahami sebagaimana diungkapkan oleh Jan

Harold Brunvand (Danandjaja, 1986) sebagai salah satu genre atau bentuk foklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta banyak mempunya varian. Liâ asa usu merupakan salah satu bentuk tradisi lisan budaya masyarakat Lamalera sejak belum dikenal adanya tulisan. Karena itu, liâ asa usu diperkenalkan, dihidupi, dan dipertahankan secara turun temurun dari generasi yang satu ke generasi yang lain secara lisan. Masyarakat Lamalera mengenal tradisi lisan liâ asa usu, karena lirik- liriknya menceritakan realitas kehidupan sosial dan budaya masyarakat Lamalera sehingga peneliti memaknainya sebagai potret jati diri atau identitas sosial yang diwariskan para leluhurnya. Masyarakat Lamalera memaknai tradisi lisan liâ asa usu sebagai nyanyian kehidupan, karena setiap liriknya mengandung jati diri atau identitas mereka sebagai manusia yang berbudaya. Sebagaimana nyanyian rakyat yang digolongkan Danandjaja (1989: 146), tradisi lisan liâ asa usu merupakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

201

kidung yang menceritakan sejarah perjalanan leluhur Lamalera sehingga biasa disebut nyanyian sejarah. Dengan kata lain, liâ asa usu mengandung unsur hitoris, mengenai asal usul masyarakat Lamalera dan peristiwa-peristiwa sejarah lainnya yang dibingkai menjadi jati diri atau identitas masyarakat hingga saat ini.

Sesungguhnya, liâ asa usu memiliki makna tekstual sekaligus makna referensial sebagaimana disebut Paul Ricoeur (1976: 11-12) sebagai sense dan reference. Sense dimaknai sebagai ‘apa yang diucapkan’ (what is said) dan diproduksi oleh hubungan-hubungan teks lirik-lirik syair liâ asa usu itu sendiri.

Sementara itu, reference dimaknai sebagai jawaban terhadap pertanyaan, ‘tentang apa sebenarnya sesuatu dikatakan’ (about what something is said) dan diproduksi oleh hubungan teks dengan dunia luar teks. Hubungan antara sense dan reference menjadikan liâ asa usu sebagai tradisi lisan historis masyarakat Lamalera yang tidak hanya maknanya sebagai nyanyian tradisional, tetapi lebih dari itu dimaknai sebagai maksud yang melekat dalam tradisi budaya masyarakat Lamalera.

Wujud maksud yang disampaiakan dalam setiap lirik tradisi lisan liâ asa usu merupakan potret jati diri, karena menggambarkan realitas sosial dan karakter masyarakat Lamalera. Hal tersebut menjadikan liâ asa usu disebut juga sebagai salah satu karya sastra puisi, karena sesungguhnya sastra diproduksi dan distrukturisasi dari realitas atau konteks sosial tertentu. Hal tersebut berarti sastra selalu mempunyai genealogi sejarah. Maksudnya bahwa sastra bukan merupakan sebuah wahyu yang diturunkan dari langit, sekalipun pengarangnya barangkali telah digerakkan oleh suatu inspirasi yang sangat kuat (Kleden, 2004: 14). Dengan demikian, liâ asa usu disebut sebagai sastra lisan historis karena merupakan potret

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

202

jati diri atau identitas sosial yang menyajikan kembali realitas sejarah masyarakat

Lamalera yang pernah terjadi dengan cara yang khas sesuai penafsiran dan ideologi pengarangnya.

Tradisi lisan liâ asa usu sebagai suatu wujud sastra berarti masuk dalam kategori karya seni. Hal demikian berarti tradisi lisan liâ asa usu memiliki tiga tingkatan yang berbeda dalam menyampaikan makna dan maksud, sebagaimana dinyatakan oleh Karl Manheim (1986: 33-42) bahwa setiap karya seni (termasuk sastra) mau tidak mau akan menyampaikan makna pada tingkatan yang berbeda.

Tingkatan yang dimaksud oleh Karl Manheim, yakni pertama tingkat objective meaning, yaitu hubungan suatu karya sastra dengan dirinya sendiri. Tentu, hal ini berhubungan dengan kegagalan atau keberhasilan liâ asa usu dalam menjelmakan nilai estetika dan pesan yang hendak disampaikan kepada pendengar. Kedua, tingkat expressive meaning, yaitu hubungan antara liâ asa usu dengan latar belakang psikologi penciptanya. Artinya, liâ asa usu diciptakan untuk mengenang sesuatu yang penting dalam kehidupan penciptanya, yakni sejarah keberadaan masyarakat Lamalera hingga sekarang. Ketiga, tingkat documentary meaning, yaitu makna yang memiliki hubungan antara liâ asa usu dengan konteks sosial penciptaannya. Liâ asa usu merupakan dokumen sosial tentang sejarah asal usul, keberadaan, keadaan, alam pikiran, aktivitas masyarakat Lamalera di mana liâ asa usu diciptakan dan dilahirkan. Dengan kata lain, makna dan maksud tradisi lisan liâ asa usu dapat diungkapkan peneliti melalui tingkatan tersebut.

Tingkat ketiga tersebut menjadi konsentrasi peneliti dalam mengkaji dan menganalisis jati diri atau identitas masyarakat Lamalera yang tersirat dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

203

tradisi lisan, atau nyanyian tradisional (atau sastra lisan) liâ asa usu. Selain itu, tingkatan documentary meaning memiliki kohesi antara topik penelitian dengan pendekatan yang peneliti gunakan, yakni etnopragmatik. Artinya, pada tingkatan documentary meaning, liâ asa usu bermakna sejauh diletakkan dalam konteks realitas sosial dan budaya masyarakat Lamalera. Struktur liâ asa usu dibentuk dari proses strukturisasi nilai-nilai jati diri atau identitas yang terjadi pada realitas kehidupan masyarakat Lamalera. Hubungan antara struktur liâ asa usu dengan struktur ideologi masyarakat Lamalera bersifat dialektik. Struktur tradisi lisan liâ asa usu dibentuk oleh struktur ideologi masyarakat Lamalera, sementara struktur masyarakat juga dipengaruhi oleh struktur yang terkandung dalam liâ asa usu.

Sesungguhnya, liâ asa usu merekam realitas sosial dan budaya yang menjadi potret jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera. Identitas sosial masyarakat Lamalera dimaknai oleh peneliti sebagai bagian dari konsep diri setiap anggota masyarakat yang berawal dari keanggotaannya dalam kelompok sosial dan memiliki ikatan emosional yang melekat dengan keanggotaannya. Kelompok sosial yang dimaksud meliputi keluarga, etnik, dan suku. Lebih dari itu, peneliti berasumsi bahwa identitas sosial masyarakat Lamalera terbentuk dari dua asumsi dasar, yaitu pertama, asumsi in-group. Artinya bahwa masing-masing anggota masyarakat Lamalera mengasosiasikan diri dengan kelompok sosial sehingga ada rasa kebanggaan dan rasa memiliki. Kedua, out-group, kelomok sosial etnik atau anggota masyarakat dari etnik lain berprasangka terhadap rasa kebanggaan dan rasa memiliki tersebut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

204

Afinitas tersebut menjadikan liâ asa usu bukan sekadar sebagai karya ahistoris, melainkan juga karya kontekstual yang melekat dengan konteksnya.

Kontekstualitas liâ asa usu tidak sekadar menunjuk pada atau menghadirkan obyek rekamannya. Akan tetapi, liâ asa usu lebih berdaya menarik orang kepada penyelaman atas sejarah asal usul dan jati diri atau identitas masyarakat Lamalera.

Oleh karena itu, liâ asa usu tidak hanya hadir sebagai rekaman jejak sejarah masyarakat Lamalera, tetapi lebih dari itu menjadi sebuah tradisi lisan yang hidup dari generasi ke generasi. Liâ asa usu tidak hanya bercerita, tetapi lebih dari itu mengabadikan identitas, peristiwa, dan realitas yang sudah dihidupi leluhur dan masyarakat Lamalera sejak dahulu.

Liâ asa usu memiliki fungsi, yakni sebagai sumber sejarah lokal, sebagai pengawas norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, serta sebagai sarana pengetahuan bagi generasi muda Lamalera. Liâ asa usu juga mengandung nasehat atau pesan-pesan leluhur yang dalam bahasa Lamalera dikenal dengan sebutan koda nena. Fungsi lainnya untuk mendidik dan mengajarkan generasi muda

Lamalera agar tumbuh sebagai pribadi yang memiliki karakter budaya sesuai nilai-nilai budaya dan adat istiadat warisan leluhur, khususnya mencerminkan jati diri atau identitas masyarakat Lamalera.

Jati diri atau identitas masyarakat Lamalera diungkapkan dalam lirik-lirik tradisi lisan liâ asa usu. Misalnya, tradisi budaya penangkapan ikan paus (tradisi tenalaja) merupakan potret sistem mata pencaharian utama masyarakat Lamalera.

Budaya tersebut bukan sekadar suatu aktivitas konsumtif, tetapi lebih dari itu telah menjadi aktivitas sekaligus gambaran jati diri atau identitas kultural, sosial, dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

205

religius masyarakat Lamalera. Bahkan, budaya penangkapan ikan paus secara tradisional tidak ada di belahan dunia manapun dan sudah berlangsung sejak abad ke-14 yang dibawa bersamaan dengan eksodus leluhur Lamalera dari Lepanbatan dan ketika tiba di Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela. Hal ini seperti terungkap dalam syair liâ asa usu, yakni "Seba olak lau léfa harri lollo dai épitkâ, dai marangkâ apé tafa géré raé motti Lango Fujjo raé morri Nara Gua Tana (Kucari nafkah di tengah laut kembali ke pantai merapat ke pinggir, nampak nyala api di tempat

Lango Fujjo di Gubuk Nara Gua Tana).

Berdasarkan hasil analisis dan kajian peneliti di atas, maka peneliti menemukan bahwa jati diri atau identitas masyarakat Lamalera sebagai nelayan tradisional penangkap ikan paus, masyarakat laut, nelayan ikan paus, dan identitas budaya lain merupakan representasi dari jati diri leluhur Lamalera sebagai petani ketika berada di Luwuk dan Lepanbatan. Artinya, pekerjaan di laut sebagai nelayan merupakan hasil representasi pekerjaan di darat sebagai petani. Hal ini dibuktikan dengan pemberian nama terhadap perlengkapan dan peralatan nelayan, serta pemberian istilah terhadap hal yang berkaitan dengan mata pencaharian di laut. Nelayan Lamalera menyebut mata pencaharian sebagai nelayan dengan istilah ola nua.

Secara etimologis dan harafian ola nua berarti kerja ladang, berladang, atau berkebun. Istilah ini tepat disematkan kepada petani karena mereka yang bekerja di ladang atau berkebun (wujud pekerjaan di darat). Namun, laut bagi masyarakat Lamalera adalah ladang atau kebun kehidupan mereka. Laut adalah ladang tempat mengais rezeki dan kebun tempat menggarap kehidupan. Laut yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

206

melahirkan dan memberi kehidupan kepada seluruh masyarakat Lamalera dan sekitarnya sehingga disebut sebagai ina lefa (ibu laut). Lebih dari itu, ina lefa dipandang keramat dan diperlakukan dengan hormat, karena masyarakat Lamalera memiliki keyakinan teguh bahwa yang menjadi penghuni laut dan ikut menjaga keselamatan serta kesuksesan para nelayan adalah arwah leluhur dan orang-orang yang telah meninggal dunia di laut. Karena itu, masyarakat Lamalera meyakini bahwa orang-orang yang meninggal di laut lebih keramat, lebih berkuasa sehingga lebih diandalkan bantuan mereka untuk keberhasilan pekerjaan di laut. Laut dianggap sebagai ibu yang melahirkan dan memberi kehidupan bagi masyarakat

Lamalera sehingga ketika hendak berangkat melaut, nelayan Lamalera harus memiliki kualitas batin yang bersih dan perilaku yang tanpa cacat. Misalnya, nelayan Lamalera harus berdamai dengan keluarga dan masyarakat sebelum pergi mencari ikan atau melaut. Artinya bahwa tidak ada suasana pertengkaran dan permusuhan, baik antarnelayan maupun antara nelayan dengan keluarga dan masyarakat sebelum dan sesudah melaut.

Selain itu, representasi identitas masyarakat Lamalera sebagai masyarakat laut dengan pekerjaan utama sebagai nelayan tradisional dari kehidupan di darat tampak dalam pemberian nama ikan paus oleh masyarakat Lamalera. Hal ini tampak dalam syair liâ ola nua, yakni opu lama lefa dai, lefa dai nafu kame, sora tare bala o, kala lefo rae tai (leluhur bawa angin ke mari, hantar kami ke darat membawa kerbau bertanduk gading, ke kampung halaman kami). Syair liâ tersebut menunjukkan bahwa masyarakat memiliki keyakinan bahwa ikan paus

(kotekelema) berasal dari gunung di darat. Kotekelema bukan ikan, melainkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

207

hewan dari darat, sejenis kerbau bertanduk gading. Demikian halnya dengan ikan- ikan lain, seperti pari. Masyarakat Lamalera menyebut ikan pari sebagai putri cantik berkulit kuning gading (ina kuma). Nelayan Lamalera juga menyebut peledang atau perahu dengan istilah ula (ular). Hal ini seperti tergambar dalam sepotong syair liâ, yakni doro ko sama ula doro. Artinya, peledang meluncur seperti rayapan ular yang cepat, karena peledang tidak memiliki kaki dan tangan.

Karena itu, menjelang musim lefa (musim turun ke laut atau musim di laut), masyarakat Lamalera melakukan ritual Ie Gerek (sejenis selogan memanggil binatang di darat) dan Pao Kdena (memberi makan palungan makanan binatang).

Artinya, Ie Gerek dan Pao Kdena merupakan ritual memanggil ikan dari gunung dan membawanya turun ke laut supaya ditangkap oleh para nelayan.

Ikan paus (dan ikan-ikan lain) merupakan pemberian para leluhur dan hadiah dari Tuhan sehingga nelayan Lamalera sangat memperlakukannya dengan sopan dan rasa hormat. Bagi masyarakat Lamalera, ikan memang hidup di laut tetapi jiwanya ada di darat, di kampung. Apabila nelayan Lamalera memiliki pola hidup dan kualitas kehidupan yang baik, maka ikan-ikan (termasuk ikan paus) akan menjadi jinak dan mudah ditangkap oleh nelayan. Sebaliknya, apabila kualitas kehidupan nelayan Lamalera tidak baik dan cacat maka ikan-ikan akan membuat perhitungan dengan nelayan-nelayan di laut. Demikian halnya, ketika ikan dibawah ke darat, maka harus dipotong dan dibagi secara adil sehingga setiap nelayan dan masyarakat bisa mendapatkan haknya dengan adil pula. Bahkan, bagian-bagian terkecil ikan sekalipun tidak boleh tercecer, tulang dan dagingnya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

208

tidak boleh diinjak. Dengan kata lain, barang “kiriman” dari leluhur sangat diperlakukan dengan baik oleh nelayan Lamalera.

Dengan demikian, peneliti menyatakan bahwa jati diri atau identitas kehidupan masyarakat Lamalera sebagai masyarakat laut dan nelayan tradisional penangkap ikan paus merupakan representasi kehidupan dari darat. Artinya, laut dan darat merupakan wilayah yang menjadi satu kesatuan harapan kehidupan masyarakat Lamalera. Segala sesuatu yang tersembunyi di darat Lamalera, akan dinyatakan atau ditunjukkan di laut. Nelayan Lamalera memerlakukan ikan di laut sama seperti seorang ibu memperlakukan anaknya yang sedang menangis. Laut bagi nelayan Lamalera adalah sakral, seperti rahim seorang ibu yang memberi kehidupan. Ketika nelayan menangkap ikan di laut, maka akan menjadi berkat bagi masyarakat, khususnya para janda dan dudu (kideknuke), anak-anak yatim piatu, dan kaum fakir miskin di darat. Laut dan darat adalah kehidupan masyarakat Lamalera yang diwariskan oleh leluhur sejak dahulu hingga sekarang.

Jika nelayan Lamalera mengambil isi laut hanya karena sekeping uang, maka mereka telah merampas kehidupan seluruh masyarakat di darat.

Pekerjaan melaut dan menangkap ikan sebagai nelayan tradisional yang dilakukan oleh kaum laki-laki (lefa alep) tidak dapat dilepaspisahkan dengan pekerjaan kaum perempuan yang melakukan transaksi barteran ikan ke daerah- daerah pedalaman dan pasar tradisional untuk ‘membeli’ kebutuhan pokok sehari- hari (pnete alep). Keduanya saling melengkapi dan mendukung dalam pemenuhan kebutuhan hidup keluarga dan masyarakat sehari-hari. Lefa alep melakukan tugas yang sacral dan penuh tantangan. Ketika berlayar dan mendayung peledang, lefa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

209

alep memegang harapan hidup seluruh masyarakat, baik masyarakat Lamalera maupun masyarakat pedalaman, karena hasil tangkapan lefa alep akan diteruskan ke masyarakat pedalaman melalui tangan para pnete alep. Pnete alep harus bangun subuh hari (sekitar pkl. 01.00) dan berangkat ke daerah-daerah pedalaman untuk membarter ikan dengan kebutuhan-kebutuhan hidup pokok, seperti jagung, ubi, padi, kelapa, pisang, dan lain sebagainya demi kehidupan keluarga dan kelancaran kerja lefa alep. Bahkan, dalam perjalanan dari kampung ke kampung sambal membarterkan ikan, pnete alep selalu berdoa agar lefa alep menikam ikan paus untuk kampung (lefo) Lamalera. Hal ini berarti, pekerjaan lefa alep sangat didukung oleh pnete alep. Pnete alep selalu membakar semangat dan memberi dukungan untuk keberhasilan lefa alep. Kedua sosok yang selalu memberi kehidupan di tengah kegersangan Lamalera.

Selain itu, sistem kemasyarakatan Lamalera terpotret dalam kebersamaan suku-suku yang sudah lama telah menyatukan mereka dalam adat dan tradisi yang sama. Wujud suku-suku merupakan warisan leluhur sejak berada di Lepanbatan dalam perjalanan eksodus, yakni dari keturunan Kia Lakatanah Korohama. Syair liâ asa usu menggambarkan cikal bakal lahirnya suku-suku di Lamalera, yakni

Kpai narangka’ goe pi Korohama Jajji kopo mamu tello kae na ina Surra barre

Somi Bola Dera (Timbang nama saya ini Korohama, melahirkan tiga orang laki- laki dan seorang perempuan bernama Somi Bola Dera) (LAU.14). Syair tersebut menunjukkan lahirnya tiga suku besar yang memiliki peran dan fungsi khusus dalam kehidupan sosial masyarakat Lamalera, yaitu dari keturunan Kia Lakatana

Korohama, khususnya tiga orang putranya. Perkembangan kehidupan suku-suku

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

210

di Lamalera ketika terjadi perkawinan sehingga menghasilkan keturunan secara turun temurun. Hal ini seperti digambarkan dalam syair, yakni Moe Amak narang

Atakelake Luato lali Batafaij one, Guti Inak seddo barre lali Soge, Inak narang

Benge Lefolei, Jajji koppo mamu lema kae. Tite kaka tali ari, Kaka’ pulo tali arri lema, Lema ajaki lali bata faij one (Engkau Bapakku namanya Atakelake, Turun ke Bata dipinggir pantaim mengambil mamaku perempuan dari Soge, mamaku bernama Benge Lefolei, melahirkan lima orang anak laki-laki. Kita semua bersaudara, Kita semua adalah satu, Dari lima bersaudara berkembang jadi banyak di pinggir pantai) (LAU.16 & 17).

Syair-syair tersebut menggambarkan bahwa keberadaan suku-suku di

Lamalera merupakan wujud genealogi sehingga mampu menguatkan sistem sosial kemasyarakatan Lamalera. Kuatnya interaksi dan kohesi sosial antarsuku di

Lamalera turut memperkukuh tradisi budaya tenalaja. Demikian pula sebaliknya, tenalaja menjadikan masyarakat Lamalera untuk hidup, bergantung, membangun jejaring hidup dengan orang lain, dan membina relasi intersubjektif dengan siapa saja. Misalnya, hal pembagian hasil tangkapan, seluruh masyarakat Lamalera mendapatkan bagian, terutama para janda dan anak-anak yatim piatu; meskipun tidak ikut melaut, mereka tetap diberi jatah sebagai tanda kesatuan kekerabatan, dan persaudaraan. Bahkan, hasil tangkapan juga dibarterkan ke pasar dan daerah- daerah pedalaman sebagai tanda solidaritas. Semua sikap tersebut didasari oleh semangat toro kaka toro ari yang menjadi bagian dari jati diri atau identitas masyarakat Lamalera.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

211

Lebih dari itu, kepercayaan dan religi masyarakat Lamalera terpelihara sejaka dahulu kala oleh leluhur Lamalera. Kepercayaan tampak dalam sistem mata pencaharian dan kemasyarakatan yang diwujudkan dalam berbagai ritual tradisi, khususnya budaya tenalaja. Bahkan, sejak agama modern (Katolik Roma) masuk ke Lamalera pada tahun 1886, tradisi tenalaja sama sekali tidak dihilangkan, tetapi justru semakin diberi makna, bobot religius yang tinggi. Sebelum musim penangkapan ikan paus (lefa nuang) masyarakat Lamalera selalu mengadakan kebaktian secara Katolik (misa lefa), doa, dan pemberkatan dari pastor (pendeta

Katolik) untuk memohon restu dan perlindungan dari Ama Lera Wulan Tana Ekan

(sebutan untuk Allah) selama lefa nuang. Demikian juga setelah lefa nuang, masyarakat Lamalera bersyukur dan berterima kasih kepada yang Ilahi atas penyertaan dan rejeki yang diberikan sepanjang lefa nuang. Wujud syukur ini sudah menjadi warisan religius dari leluhur, seperti terlihat dalam syair liâ asa usu, yakni Moe Amak peti kofa lollo tobo, Likok lau mete dai. Moe Belek peti kella’ tuke dai, Lapak lau mete dai, Lapak lau mete dai (Engkau Bapakku yang ada diatas langit, melindungi kami jauh dari sana. Engkau Allahku yang berdiri ditengah langi, melindungi dan membimbing dari jauh datang kemari).

Tradisi lisan liâ asa usu yang menggambarkan budaya tenalaja dan budaya toro kaka toro ari tidak hanya sekadar merepresentasikan, tetapi juga mengabadikan dan memertahankan korps, keberadaan orang-orang Lamalera sebagai tubuh yang hidup. Hidup dengan pengertian, makna, filosofi, hasrat, dan persepsi kultural tertentu diwujudkan dengan menghidupkan tradisi tersebut.

Melalui penghidupan ini, masyarakat Lamalera dimungkinkan untuk menemukan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

212

dan mendefinisikan identitas mereka sendiri sebagai masyarakat adat, masyarakat nelayan tradisional penangkap ikan paus, masyarakat laut di hadapan suatu entitas sosial atau kultural tertentu; identitas sosial yang telah banyak berurusan dengan bagaimana suatu masyarakat memahami karya yang diolahnya sendiri dan karya orang lain. Dengan kata lain, upaya penghidupan ini tidak lain adalah cara vital masyarakat Lamalera dalam melanggengkan segala pengertian, makna, hasrat dan filosofi yang sudah dianutnya (Beraf, 2016).

Dengan demikian, jati diri atau identitas masyarakat Lamalera merupakan aspek penting bagi setiap anggota masyarakat dalam mengenal sejarah keberadaan mereka. Setiap pola sikap dan pola laku masyarakat Lamalera sesuai dengan jati diri warisan leluhur, sekaligus menjadi kekhasan yang membedakan masyarakat

Lamalera dengan masyarakat etnik lain. Jati diri atau identitas sosial masyarakat

Lamalera dipandang juga sebagai wujud pengakuan publik terhadap pola kehidupan masyarakat Lamalera berdasarkan unsur-unsur kebudayaan. Jati diri atau identitas masyarakat Lamalera senantiasa muncul ketika kelompok sosial atau masyarakat membangun interaksi dengan masyarakat etnil kali. Identitas tersebut terbentuk dengan sendirinya melalui interaksi fisik maupun psikis dalam kehidupan sosial, baik identitas individu maupun identitas kolektif.

Masyarakat Lamalera memertahankan jati diri atau identitas mereka sebagai masyarakat nelayan tradisional, masyarakat laut, masyarakat penangkap ikan paus, masyarakat berbudaya sehingga mereka tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal dari luar yang ingin mengubah identitas keberadaan mereka. Semangat kekerabatan, persaudaraan, persatuan, kerja sama, dan keinginan untuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

213

mewujudkan hal-hal baik dan berguna menjadi pemantik bagi masyarakat

Lamalera dalam memertahankan identitas mereka sebagai bagian dari identitas nasional. Selain itu, adapun identitas etnik atau suku masing-masing dalam kehidupan kolektif masyarakat Lamalera. Hal yang menjadi kekhasan setiap etnik atau suku adalah fngsi dan peran, serta proses terbentuknya suku-suku di

Lamalera. Sesungguhnya, keberadaan setiap suku di Lamalera dikarenakan adanya sistem genealogi yang sangat kuat. Hal ini berdampak pada pola kehidupan sosial, khususnya dalam sistem kemasyarakatan. Peneliti dapat menyatakan bahwa suku-suku besar di Lamalera merupakan turunan secara genealogi sehingga menjadi ciri khas masyarakat Lamalera. Masing-masing fungsi dan peran setiap suku menjadi satu kesatuan kebudayaan Lamalera yang sistematik, bahkan mampu melahirkan sikap gotong royong, saling membantu, saling mendukung karena setiap suku memiliki jiwa kekeluargaan yang tinggi.

Hal ini menjadi dasar kehidupan sosial masyarakat Lamalera sebagai manusia berbudaya.

4.2.2 Pergeseran Unusur-unsur Kebudayaan sebagai Dinamika Kehidupan

Sosial-Budaya Masyarakat Lamalera

Masyarakat Lamalera memiliki banyak tradisi lisan, di antaranya adalah tradisi lisan liâ. salah satu tradisi lisan liâ, yaitu tradisi lisan liâ asa usu. Tradisi liâ asa usu sebagai nyanyian tradisional mengisahkan perjalanan sejarah keberadaan masyarakat Lamalera sehingga disebut juga sebagai nyanyian sejarah. Lebih dari itu, syair-syair tradisi lisan liâ asa usu dipandang sebagi gambaran jati diri atau

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

214

identitas masyarakat Lamalera. Leluhur Lamalera mengembangkan suatu corak kebudayaan sebagai gambaran identitas mereka sejak keluar dari wilayah Luwuk dan Beru di Sulawesi. Artinya bahwa peristiwa eksodus telah mendorong lahir dan berkembang suatu corak kebergeseran atau perubahan kehidupan berbudaya leluhur Lamalera hingga saat ini.

Gambaran jati diri atau identitas masyarakat Lamalera dikaji dan ditemukan berdasarkan unsur-unsur kebudayaan universal. Dengan kata lain, unsur-unsur kebudayaan universal menjadi patokan peneliti dalam mengkaji jati diri atau identitas masyarakat Lamalera yang terkandung dalam lirik-lirik tradisi lisan liâ asa usu. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa unsur-unsur kebudayaan masyarakat Lamalera mengalami pergeseran atau perubahan wujud dan makna secara periodik. Unsur-unsur kebudayaan diidentifikasikan sebagai corak identitas masyarakat Lamalera yang merupakan hasil pergeseran atau perubahan dari corak identitas leluhur Lamalera.

Unsur-unsur kebudayaan masyarakat Lamalera mengalami perubahan atau pergeseran, yakni dalam sistem kepercayaan, sistem mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, sistem perlengkapan dan peralatan hidup, sistem bahasa, sistem pengetahuan, dan sistem kesenian. Artinya, wujud pergeseran unsur kebudayaan masyarakat Lamalera menunjukkan adanya penerimaan terhadap pergeseran atau perubahan sosial-budaya. Hal ini dapat dilihat pada perubahan sikap dan pola laku masyarakat Lamalera. Perubahan unsur-unsur kebudayaan yang terjadi pada masyarakat Lamalera dewasa ini masih pada taraf gejala yang normal.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

215

Pergeseran atau perubahan unsur-unsur kebudayaan masyarakat Lamalera merupakan suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan fisik atau material, ideologi atau pola pikir masyarakat, akulturasi, asimilasi, evolusi, maupun karena ada difusi atau pun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Singkatnya, perubahan unsur-unsur kebudayaan masyarakat Lamalera menunjuk pada ‘modifikasi-modifikasi’ yang terjadi pada pola-pola kehidupan masyarakat Lamalera. Hal ini senada dengan

Gillin dan Gillin (Soerjono, 2002) menyatakan bahwa perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan, dinamika dan komposisi penduduk, ideologi, ataupun karena adanya penemuan-penemuan baru di dalam masyarakat.

Secara umum, peneliti menyatakan bahwa pergeseran atau perubahan unsur-unsur kebudayaan adalah wujud perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat Lamalera sehingga terbentuk tata kehidupan sosial dan budaya yang baru dalam masyarakat. Secara praktis, pergeseran atau perubahan unsur-unsur kebudayaan dalam kehidupan masyarakat Lamalera menyangkut nilai-nilai sosial; norma-norma adat, sosial, dan budaya; pola-pola perilaku, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial, dan lain sebagainya.

Wujud-wujud perubahan tersebut membawa pengaruh pada perubahan budaya dimana perubahan unsur-unsur kebudayaan karena perubahan pola pikir masyarakat Lamalera sebagai pendukung kebudayaan.

Setiap pergeseran bergerak kepada suatu bentuk yang sudah ada dalam waktu lampau sebagai wujud evolusi, tetapi ada pula perubahan yang bergerak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

216

kepada unsur-unsur kehidupan yang baru. Usaha-usaha masyarakat Lamalera ke arah pembaharuan dalam tradisi dan budaya yang disertai dengan usaha menemukan kembali kepribadian atau jati diri masyarakat Lamalera merupakan contoh wujud pergeseran secara periodik dalam kehidupan masyarakat Lamalera.

Pergeseran wujud dan makna unsur-unsur kebudayaan masyarakat

Lamalera dipandang peneliti memiliki sifat konservatif, progresif, dan moderat.

Peneliti memandang sifat konservatif sebagai suatu sikap yang berusaha memertahankan keadaan, kebiasaan, dan tradisi yang berlaku dalam masyarakat.

Masyarakat Lamalera senantiasa memertahankan tradisi dan budaya, khususnya tradisi penangkapan ikan paus secara tradisional yang merupakan warisan leluhur sejak berada di Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela. Hal ini dibuktikan dengan pergantian wujud tempuling (kafe) dari kayu menjadi besi. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Lamalera bersifat konservatif karena adanya penyesuaian terhadap perubahan-perubahan sosial budaya dan masih memertahankan pola lama yang telah menjadi tradisi dengan menghindarkannya dari ‘kehilangan tradisi’ ketika datang perubahan dan pembaharuan.

Sementara itu, sikap progresif juga ditunjukkan oleh masyarakat Lamalera untuk menggantikan tradisi lama dengan tradisi yang baru. Sesungguhnya, awal mula mata pencaharian leluhur Lamalera adalah sebagai petani ladang ketika masih berada di Luwuk dan Beru-Sulawesi. Namun, faktor geografis dan pola pikir sehingga mata pencaharian sebagai petani ladang direpresentasikan di laut sebagai nelayan. Hal ini nenunjukkan bahwa leluhur Lamalera memiliki sikap progresif sehingga pemikiran mereka berorientasi ke masa depan atau future

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

217

oriented terkait dengan dinamika perubahan lingkungan, perkembangan pola pikir generasi yang berlangsung dalam kehidupan sosial mereka. Artinya bahwa leluhur

Lamalera bersikap demikian karena mereka mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan fisik.

Selain itu, tidak dapat dimungkiri bahwa sekarang masyarakat Lamalera juga memiliki sikap moderat. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti bahwa masyarakat Lamalera juga selalu menghindarkan perilaku-prilaku atau ungkapan- ungkapan yang ekstrim, kecendrungan mengambil ‘jalan tengah’, dan dalam setiap pandangan selalu mau mempertimbangkan kepentingan pihak lain. Hal ini dapat dilihat dalam sistem kekerabatan dan kemasyarakatan. Misalnya, pihak- pihak tertentu menangkapi modernisasi dengan menghadirkan mesin tempel untuk membantu proses pengejaran dan penangkapan ikan paus. Kehadiran mesin hanya sebagai sarana penunjang dan pendukung untuk membantu nelayan mendekatkan perahu dengan ikan, apabila ikan terlihat sangat jauh dari pandangan mata. Ketika jarak peledang sudah mendekat dengan ikan, maka ketinting bermesin dilepaskan dan para nelayan mendayung untuk melakukan proses menangkap ikan yang menjadi sasaran.

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Lamalera juga mendahulukan sesuatu yang baru daripada yang sudah menjadi tradisi dan budaya, terutama disebabkan oleh penerapan ilmu pengetahuan positif sehingga modernisasi merupakan suatu pikiran yang hendak berkuasa mengharmoniskan hubungan antara masyarakat tradisional yang telah lama ada dengan ilmu pengetahuan atau pola pikir masyarakat. Dengan kata lain, tidak dapat dimungkiri bahwa ilmu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

218

pengetahuan dan teknologi memiliki peran penting dalam proses modernisasi, maka cara berpikir yang kritis, sistematis, analitis, logis, rasional, pikiran yang merelativiskan segenap nilai sosial budaya, cara berpikir yang mengarah ke desakralisasi dan profanisasi dalam kehidupan yang berpegang teguh kepada kebenaran ilmiah menjadi dasar yang kuat bagi upaya modernisasi tersebut.

Artinya, modernisasi juga mendapat tempat dengan menumbuhkan sikap kritis masyarakat Lamalera dalam melihat suatu perubahan sosial budaya agar dapat menyesuaikan diri.

Sisi lain, wujud pergeseran unsur-unsur kebudayaan masyarakat Lamalera merupakan wujud perubahan lambat atau disebut evolusi. Wujud pergeseran tersebut terjadi karena usaha-usaha leluhur dan masyarakat Lamalera dalam menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan dan situasi, serta kondisi baru yang timbul sejalan dengan proses eksodus leluhur dan pertumbuhan masyarakat. Hal ini tampak dalam pergeseran wujud perlengkapan dan peralatan hidup, yakni peledang atau perahu (tena) dan tempuling (kafe). Awalnya, leluhur Lamalera menggunakan perahu pa’dewakang, yakni sejenis perahu kuno Bugis yang memakai lunas dan dindingnya terbuat dari kepingan-kepingan papan. Namun, sekarang masyarakat Lamalera menggunakan peledang (whaling boat) yang terbuat dari pasak kayu tanpa material besi untuk menangkap ikan paus. Selain itu, dahulu leluhur Lamalera menggunakan tempuling yang terbuat dari kayu secan untuk menangkap ikan-ikan berukuran kecil, tetapi sekarang masyarakat

Lamalera telah menggunakan tempuling yang terbuat dari besi untuk menangkap ikan-ikan berukuran besar, khususnya ikan paus. Hal ini menunjukkan bahwa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

219

leluhur Lamalera pada masa tertentu memiliki wujud kebudayaan yang sangat sederhana, tetapi karena masyarakat mengalami perkembangan sehingga bentuk yang sederhana tersebut bergeser atau berubah menjadi wujud yang kompleks.

Selain pergeseran secara lambat, wujud pergeseran bentuk dan makna unsur-unsur kebudayaan masyarakat Lamalera dikategorikan dalam wujud pergeseran atau perubahan dalam bentuk kecil dan besar. Perubahan dalam bentuk kecil merupakan wujud perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau pengaruh yang berarti bagi masyarakat Lamalera. Misalnya, perubahan sistem keluarga menjadi sistem sosial marga atau suku. Sebaliknya, perubahan besar merupakan wujud perubahan yang terjadi pada unsur-unusur struktur sosial yang membawa pengaruh langsung atau pengaruh berarti bagi masyarakat Lamalera. Misalnya, pergeseran mata pencaharian sebagai petani oleh leluhur Lamalera menjadi nelayan tradisional oleh masyarakat Lamalera zaman sekarang.

Selain wujud pergeseran tersebut, wujud pergeseran bentuk dan makna unsur-unsur kebudayaan masyarakat Lamalera dikategorikan juga dalam wujud pergeseran atau perubahan yang dikehendaki atau direncanakan dan perubahan yang tidak dikehendaki atau direncanakan. Pergeseran atau perubahan yang dikehendaki atau direncanakan merupakan wujud pergeseran atau perubahan yang telah diperkirakan atau direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak melakukan perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat. Pihak-pihak yang dimaksud disebut sebagai agent of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat untuk memimpin satu atau lebih

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

220

kelompok sosial kemasyarakatan yang bertujuan untuk mengubah suatu sistem sosial. Contoh perubahan yang dikehendaki adalah perubahan sistem kekerabatan dan kemasyarakatan dalam kolompok sosial Lamalera. Misalnya, kebijakan- kebijakan pemerintahan dan agama yang harus menghendaki sistem budaya ikut di dalam kebijakan tersebut. Sementara itu, perubahan yang tidak dikehendaki atau yang tidak direncanakan merupakan wujud perubahan yang terjadi di luar jangkauan kesadaran dan pengawasan masyarakat sehingga menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan. Contoh perubahan yang tidak dikehendaki atau direncanakan adalah munculnya berbagai peristiwa alam.

Misalnya, perpindahan leluhur dari Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela ke Lamalera dan pengungsian leluhur Lamalera dari Lepanbatan merupakan wujud perubahan yang tidak dikehendaki, karena merupakan kehendak alam.

Oleh karena itu, untuk mencegah dampak pergeseran atau perubahan unsur-unsur kebudayaan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Lamalera, maka perlu adanya kesadaran setiap anggota masyarakat untuk senantiasa memperkuat seluruh warisan kebudayaan leluhur dengan menjunjung tinggi kesadaran kolektif akan semangat kekerabatan, persaudaraan, kekeluargaan, gotong royong, saling membantu dan memberi semangat, saling mengisi dan kompak, serta sikap-sikap positif lainnya. Masyarakat Lamalera juga perlu berpegang teguh pada norma-norma sosial, adat, dan budaya yang berlaku sejak dahulu dan hidup hingga saat ini. Tentu, hal yang penting bahwa masyarakat

Lamalera juga harus senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi dan budaya yang diwariskan oleh leluhur sebagai suatu kearifan lokal yang khas.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

221

Berbagai wujud pergeseran unsur-unsur kebudayaan menghasilkan suatu bentuk, pola, dan kondisi kehidupan masyarakat Lamalera sekarang. Semua wujud pergeseran unsur-unsur kebudayaan masyarakat Lamalera bersifat positif dan diterima oleh masyarakat umum untuk memerkayah khazana kebudayaan lokal. Tentu, masyarakat Lamalera menerima perkembangan dan perubahan zaman, tetapi mereka juga tetap menjaga, melestarikan, dan memertahankan nilai- nilai dan norma-norma kehidupan sosial-budaya yang luhur hasil warisan leluhur.

Berdasarkan hasil kajian dan analisis wujud pergeseran unsur-unsur kebudayaan masyarakat Lamalera dalam tradisi lisan liâ asa usu, peneliti juga menemukan bahwa sesungguhnya tradisi lisan liâ asa usu berperan menerangkan

‘fungsi’ liâ asa usu sebagai hubungan antara suatu hal dengan tujuan tertentu.

Artinya, liâ asa usu menggambarkan jati diri atau identitas masyarakat Lamalera, sekaligus memertahankan warisan dan pesan budaya leluhur Lamalera dengan tetap berpegang teguh pada selogan, “Ina tao ama gene ola. Ola’k ka kode kai”.

Kehadiran liâ asa usu menerangkan hubungan antara suatu hal dengan hal- hal lain. Artinya, liâ asa usu menggambarkan jati diri atau identitas masyarakat

Lamalera dalam unsur-unsur kebudayaan yang saling melengkapi. Sistem mata pencaharian tidak bisa dilepaspisahkan dengan sistem kemasyarakatan, bertaliân dengan sistem peralatan dan perlengkapan hidup. Setiap unsur kebudayaan saling melangkapi untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Selain itu, liâ asa usu juga menerangkan hubungan yang terjadi antara satu hal dengan hal lain dalam satu sistem yang terintegrasi. Artinya, dalam satu unsur kebudayaan masyarakat

Lamalera tergambar berbagai jati diri atau identitas masyarakat Lamalera.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

222

Setiap identitas dalam satu unsur kebudayaan saling terintegrasi untuk menunjukkan jati diri atau identitas masyarakat secara kompleks. Berdasarkan hasil analisis dan kajian peneliti mengenai pergeseran unsur-unsur kebudayaan masyarakat Lamalera, peneliti sejalan dengan pendapat bahwa proses pergeseran unsur-unsur kebudayaan masyarakat Lamalera dilakukan melalui suatu proses evolusioner yang antarunsurnya saling memengaruhi dalam suatu “bentuk ideal” dan sengaja diciptakan sebagai suatu model.

4.2.3 Faktor Pergeseran Unsur Kebudayaan menjadi Wujud Kesadaran

Pemertahanan Berbudaya Masyarakat Lamalera

Pergeseran wujud dan makna unsur-unsur kebudayaan masyarakat

Lamalera dipandang oleh peneliti sebagai proses modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan sosial-budaya masyarakat Lamalera. Proses modifikasi-modifikasi unsur-unsur kebudayaan masyarakat Lamalera dipengaruhi oleh faktor-faktor yang melatarinya. Dengan kata lain, wujud pergeseran unsur- unsur kebudayaan masyarakat Lamalera terjadi karena adanya sebab-sebab, baik sebab yang berasal dari masyarakat Lamalera sendiri maupun sebab yang berasal dari luar masyarakat Lamalera. Penyebab perubahan unsur-unsur kebudayaan masyarakat Lamalera sendiri disebut faktor intern, sementara penyebab perubahan dari luar unsur-unsur kebudayaan masyarakat Lamalera disebut faktor ekstern.

Hal ini juga memengaruhi pergeseran sistem sosial, termasuk nilai-nilai, sikap- sikap, dan pola prilaku di antara kelompok-kelomok sosial di dalam masyarakat.

Artinya bahwa wujud pergeseran dipandang sebagai perubahan unsur-unsur atau

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

223

struktur sosial budaya dan prilaku hidup masyarakat Lamalera dari keadaan tertentu ke keadaan yang lain.

Faktor-faktor intern yang menyebabkan terjadinya pergeseran atau perubahan unsur-unsur kebudayaan masyarakat Lamalera, yakni pertama, faktor demografi. Artinya, bertambah atau berkurangnya penduduk suatu masyarakat secara langsung atau tidak langsung akan memengaruhi pola kehidupan masyarakat tersebut. Pertambahan jumlah penduduk Lamalera secara langsung memengaruhi aspek ekonomi keluarga dan kelompok sosial, kepemilikan tanah, dan sumber penghasilan. Selain itu, adanya penemuan-penemuan baru yang berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat Lamalera. Berdasarkan kisah dalam lirik-lirik syair liâ asa usu, peneliti dapat menyatakan bahwa sejak proses eksodus leluhur Lamalera hingga saat ini, kehidupan masyarakat Lamalera mengalami perubahan-perubahan berupa wujud-wujud penemuan. Penemuan- penemuan yang dikisahkan dalam liâ asa usu berupa penemuan yang bersifat baru

(discovery) dan penemuan-penemuan baru yang bersifat menyempurnakan dari bentuk penemuan lama atau wujud lama (invention). Kehidupan sosial juga mengalami perubahan akibat pertentangan (conflict) dalam masyarakat.

Sementara itu, faktor-faktor ekstern atau dari luar masyarakat yang menyebabkan unsur-unsur kebudayaan masyarakat Lamalera mengalami pergeseran wujud dan makna, yakni pertama, adanya pengaruh bencana alam.

Faktor ini memaksa leluhur Lamalera untuk mengungsi meninggalkan tanah kediaman mereka. Setelah meninggalkan kampung halaman dan mendiami tempat yang baru, maka mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan alam dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

224

lingkungan yang baru. Hal ini dapat memengaruhi perubahan pada struktur dan pola kehidupan leluhur Lamalera. Kedua, adanya pengaruh kebudayaan masyarakat Lain. Artinya bahwa perubahan unsur-unsur kebudayaan masyarakat

Lamalera terjadi ketika kebudayaan leluhur Lamalera bertemu dengan kebudayaan masyarakat lain. Ketika kedua kebudayaan yang berbeda tersebut bertemu, masing-masing masyarakatnya menerima tanpa paksaan sehingga peneliti menyebutnya dengan istilah demonstration effect. Tentu, bertentangan dengan apa yang disebut sebagai cultural animosity, yaitu suatu kebudayaan saling menolak. Hal lain juga menunjukkan bahwa bisa terjadi proses imitasi, yaitu suatu unsur kebudayaan memiliki taraf yang lebih tinggi dari unsur kebudayaan lain sehingga lambat laun unsur-unsur kebudayaan asli dapat bergeser atau diganti oleh unsur-unsur kebudayaan baru tersebut.

Kedua faktor tersebut (intern dan ekstern) menjadi dasar tinjauan peneliti untuk menemukan faktor-faktor pendorong dan penghambat pergeseran atau perubahan unsur-unsur kebudayaan masyarakat Lamalera. Faktor pendorong pergeseran unsur-unsur kebudayaan masyarakat Lamalera, yakni pertama, adanya kontak dan pertemuan dengan budaya masyarakat lain. Leluhur Lamalera bertemu dengan masyarakat budaya lain menyebabkan mereka saling berinteraksi dan mampu menghimpun penemuan-penemuan baru yang telah dihasilkan, baik oleh masing-masing budaya maupun hasil perpaduan antara kebudayaan leluhur

Lamalera dengan kebudayaan masyarakat lain tersebut. Proses kontak dan pertemuan tersebut mendorong pertumbuhan unsur-unsur kebudayaan dan memperkaya kebudayaan yang ada.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

225

Kedua, sikap menghargai hasil karya orang lain juga menjadi faktor pergeseran atau perubahan unsur-unsur kebudayaan masyarakat Lamalera. Sikap penghargaan terhadap hasil karya anggota masyarakat atau kelompok masyarakat mendorong anggota masyarakat atau kelompok masyarakat untuk berkarya lebih baik lagi sehingga masyarakat Lamalera semakin terpacu untuk menghasilkan karya-karya lain. Ketiga, adanya sistem keterbukaan leluhur dan masyarakat

Lamalera. Artinya bahwa sikap keterbukaan memungkinkan adanya gerak sosial vertikal maupun horizontal yang lebih luas kepada setiap anggota atau kelompok masyarakat. Walaupun dalam situasi dan kondisi tertentu masyarakat Lamalera mempermasalahkan status sosial, tetapi di pihak lain masyarakat Lamalera tidak mempermasalahkan status sosial dalam menjalin hubungan dengan sesama yang lain. Hal ini membuka kesempatan kepada masing-masing anggota masyarakat untuk mengembangkan kemampuan diri dan berinisiatif menjunjung tinggi nilai- nilai kebudayaan. Keempat, adanya heterogenitas penduduk. Masyarakat

Lamalera memiliki latar belakang suku dengan “kharakteristik” yang berbeda- beda. Keragaman suku dalam satu kelompok masyarakat budaya dipandang sebagai pendorong terjadinya perubahan-perubahan unsur-unsur kebudayaan, khususnya dalam sistem kemasyarakatan. Hal ini menjadi upaya untuk mencapai keselarasan hidup sosial.

Kelima, adanya orientasi anggota atau kelompok masyarakat ke masa depan. Artinya bahwa pemikiran yang selalu berorientasi ke masa depan membuat anggota atau kelompok leluhur dan masayrakat Lamalera selalu berpikir maju dan mendorong terciptanya situasi dan kondisi kehidupan baru yang sesuai dengan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

226

perkembangan dan tuntutan periodisasi zaman. Keenam, adanya prinsip untuk memperbaiki hidup. Artinya bahwa leluhur dan masyarakat Lamalera senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidup yang lebih baik. Leluhur dan masayrakat

Lamalera menanggapi kondisi dan situasi lingkungan dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup yang tidak terbatas dengan menggunakan sumber daya yang dipandang terbatas, sederhana, dan tradisional.

Walaupun demikian, tidak dapat dimungkiri bahwa ada beberapa faktor lain yang digolongkan dalam proses pergeseran atau perubahan unsur-unsur kebudayaan masyarakat Lamalera. Pertama, sikap masyarakat Lamalera yang masih sangat sederhana. Artinya bahwa sikap masyarakat yang mengagung- agungkan tradisi dan budaya warisan leluhur membuat masyarakat Lamalera terlena dan sulit menerima kemajuan dan perkembangan zaman. Walaupun demikian, masyarakat Lamalera tidak didominasi oleh golongan-golongan konservatif (kolot). Kedua, adanya rasa takut terjadinya ‘kegoyahan’ pada integritas tradisi dan kebudayaan. Artinya bahwa integrasi tradisi dan kebudayaan seringkali berjalan tidak sempurna. Kondisi seperti ini dikhawatirkan akan menggoyahkan pola kehidupan sosial atau kebudayaan yang telah ada sejak leluhur Lamalera. Beberapa kelompok masyarakat berupaya menghindari risiko ini dan tetap memertahankan diri pada pola kehidupan sosial-budaya warisan leluhur.

Ketiga, adanya peran dan fungsi sosial yang telah tertanam dengan kuat.

Artinya bahwa masyarakat Lamalera mengenal beberapa kelompok sosial suku yang memiliki fungsi dan kedudukan khusus dalam tradisi dan budaya Lamalera

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

227

sehingga dapat menyebabkan pergeseran wujud sistem kemasyarakatan. Keempat, tradisi adat dan kebudayaan yang telah mengakar. Artinya, adat dan tradisi budaya merupakan pola-pola prilaku bagi anggota masyarakat Lamalera dalam memenuhi setiap kebutuhan hidup mereka. Sesungguhnya, tradisi adat dan budaya masyarakat Lamalera sangat kuat sehingga sulit untuk diubah. Hal ini merupakan salah satu faktor yang sulit membuat tradisi dan budaya masyarakat mengalami pergeseran substansial. Kehadiran globalisasi dalam wujud mesin tempel hanya sebagai sarana pelengkap dan penunjang dalam proses mencari dan menangkap ikan. Kelima, adanya sikap spesimistis. Artinya bahwa masyarakat Lamalera juga cendrung menerima kehidupan apa adanya dengan dalih suatu kehidupan telah diatur oleh Yang Mahakuasa dan merupakan warisan leluhur sejak dahulu.

Berbagai wujud pergeseran unsur-unsur kebudayaan dan faktor yang menyebabkan pergeseran seperti yang dipaparkan peneliti di atas, peneliti berpendapat bahwa sistem kebudayaan masyarakat Lamalera yang tercermin dalam tradisi lisan liâ asa usu mengalami transformasi. Walaupun demikian, peneliti berpendapat bahwa wujud transformatif harus kontekstual yang mendukung budaya masyarakat Lamalera, seperti wujud transformasi yang kompherensif, integral, holistik, dan mampu menyeimbangkan antara kebijakan pemerintah dengan kehidupan sosial budaya masyarakat Lamalera, khususnya dalam bidang pendidikan, pelestarian, dan kesejahteraan.

Dengan demikian, walaupun berbagai faktor yang memengaruhi pergeseran atau perubahan, masyarakat Lamalera tetap menjunjung tinggi semangat pemertahanan dan penguatan terhadap tradisi adat dan budaya warisan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

228

leluhur. Wujud penguatan dan pemertahanan tradisi lisan liâ asa usu dapat dilakukan dengan sistem pewarisan. Pewarisan tradisi lisan liâ asa usu dari generasi ke generasi merupakan salah satu strategi penguatan dan pemertahanan nilai-nilai tradisi dan budaya yang sudah diamanatkan oleh leluhur sejak dahulu.

Hal ini merupakan sebuah penyadaran terhadap seluruh masyarakat Lamalera, khususnya kaum muda bahwa tradisi lisan liâ asa usu merupakan potret jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera. Pewarisan tradisi lisan liâ asa usu dipahami sebagai proses pemindahan hak atas nilai-nilai luhur dan norma-norma kehidupan dari generasi tua Lamalera ke generasi muda.

Simatupang (2013: 234) menegaskan bahwa tradisi (termasuk tradisi lisan) tidak mampu mengembangkan dirinya sendiri. Hanya manusia-manusia masa kini yang dapat menghidupkan tradisi dengan cara menyesuaikannya pada kondisi yang berlaku di masa kini. Tradisi dapat hilang, rusak, atau hancur apabila pewarisnya tidak lagi melakukannya, menggelarnya entah dengan cara dan bentuk apa pun, karena hanya dengan dipraktikkan maka tradisi itu diberi kehidupan di masa kini dan masa yang akan datang. Oleh karena itu, model pewarisan untuk menguatkan dan memertahankan liâ asa usu sebagai wujud tradisi lisan dan sastra historis Lamalera, sekaligus untuk memertahankan jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera yang terpotret di dalamnya bisa melalui mekanisme pewarisan alamiah dan nonalamiah.

4.2.3.1 Mekanisme Pewarisan Alamiah

Sumitri (2015: 215) menyatakan bahwa mekanisme pewarisan alamiah adalah cara pewarisan tradisi budaya dalam suatu masyarakat yang berlangsung

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

229

secara turun-temurun dalam konteks asli sesuai dengan kaidah yang digariskan oleh leluhur. Lebih lanjut, Sumitri memaparkan beberapa karakteristik mekanisme pewarisan alamiah tradisi budaya suatu masyarakat, yakni (1) berlangsung secara turun temurun dari generasi ke generasi, (2) dalam konteks tradisional atau asli, dan (3) sesuai dengan kaidah yang digariskan oleh leluhur sebagai rujukan.

Hal tersebut memberi pemahaman bahwa mekanisme pewarisan tradisi lisan liâ asa usu masyarakat Lamalera dapat dilakukan secara alamiah, yaitu berperan serta sebagai pelibat dalam konteks pergelaran tradisi lisan liâ saat upacara-upacara adat dan tradisi budaya. Berdasarkan hasil wawancara bahwa pelantunan tradisi lisan liâ hanya dilakukan oleh orang-orang tua. Para orang tua, kususnya kaum laki-laki lebih menguasai lirik-lirik liâ dan makna serta pesannya sesuai dengan jati diri dan norma-norma budaya yang diwariskan oleh leluhur.

Kaum muda tidak berperan aktif, bahkan tidak tertarik dalam melantunkan syair- syair liâ, padahal syair-syair liâ memiliki nilai magis dalam kehidupan masyarakat

Lamalera.

Peneliti menyatakan bahwa mekanisme pewarisan alamiah merupakan suatu ‘jalan keluar’ yang strategis bagi masyarakat Lamalera demi kebertahanan dan keberlangsungan tradisi lisan liâ pada masa-masa yang akan datang. Artinya, cara pewarisan secara lisan dari generasi ke generasi dengan unjuk libat semua masyarakat, secara khusus kaum muda. Hal ini merupakan kewajiban yang berhubungan dengan upacara-upacara adat dan tradisi kebudayaan. Kegiatan- kegiatan adat dan budaya merupakan cara alamiah pewarisan tradisi lisan liâ,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

230

karena ketika terjadi atau adanya upacara adat atau tradisi budaya, maka liâ mendapat tempat untuk didendangkan dan mengiringi prosesi adat atau budaya.

Pewarisan alamiah juga merupakan suatu mekanisme yang baik bagi para orang tua menunjukkan kecakapan dan kemampuannya menyanyikan liâ. Tentu, kesempatan tersebut merupakan saat yang sangat baik bagi kaum muda untuk melihat, belajar, dan ikut bernyanyi. Hal ini dilakukan berulang kali akan menjadi peluang terjadinya peralihan keterampilan mendendangkan liâ dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karena itu, mekanisme pewarisan alamiah dipandang oleh peneliti sebagai suatu strategi efektif untuk menyadarkan masyarakat, khususnya kaum muda Lamalera tentang keberadaan, jati diri atau identitas yang melekat dalam kehidupan mereka. Lebih dari itu, mekanisme ini menyadarkan kaum muda akan pentingnya nilai-nilai budaya, sekaligus menjadi pedoman moral dan etika yang diwariskan oleh leluhur bagi masyarakat Lamalera.

Semua generasi tua mengharapkan agar tradisi lisan liâ terus diwariskan dan dipertahankan. Apabila hilangnya tradisi lisan liâ, maka hilang pula jati diri atau identitas, nilai-nilai budaya, dan pengetahuan masyarakat Lamalera. Selain sebagai kewajiban budaya yang harus dilaksanakan, tradisi lisan liâ juga sebagai jati diri atau identitas dan kebanggaan masyarakat Lamalera. Selain sebagai tradisi dan kewajiban budaya, liâ juga merupakan potret jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera, sekaligus sebagai pedoman dan norma kehidupan.

4.2.3.2 Mekanisme Pewarisan Non-alamiah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

231

Mekanisme pewarisan non-alamiah merupakan bentuk pewarisan melalui pelatihan dan pendidikan. Tentu, sudah selayaknya tradisi-tradisi lisan dan budaya lokal diperkenalkan kepada anak-anak, generasi masa depan bangsa. Karena itu, dalam dunia Pendidikan, khususnya dalam penyususnan kurikulum di tingkat

Pendidikan Sekolah Dasar dan Pendidikan Sekolah Menengah sudah selayaknya mengintegrasikan budaya lokal dan tradisi-tradisi lisan ke dalam mata pelajaran, terutama mata pelajaran Bahasa dan sastra Indonesia. Ha ini menjadi salah satu strategi untuk memperkecil pengaruh modernisasi dan globalisasi yang semakin mengikis budaya-budaya dan tradisi lokal.

Pengintegrasian tradisi lisan dan budaya lokal masyarakat Lamalera dalam

Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia merupakan wujud linearitas dengan pembelajaran sastra. Hakikatnya, sastra sebagai karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual dan emosional. Bahkan Semi (1993: 1) menegaskan bahwa sastra yang telah dilahirkan oleh seorang sastrawan diharapkan dapat memberi kepuasan estetika dan intelektual bagi para pembaca. Dengan demikian, sudah sewajarnya tujuan pembelajaran sastra juga untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada siswa. Karena itu, tradisi lisan liâ asa usu sebagai salah satu wujud sastra sudah sepantasnya dijadikan sebagai bahan pembelajaran sastra di sekolah. Penanaman nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi lisan liâ terhadap anak didik diyakini akan melekat sampai mereka menjadi dewasa. Hal ini berhubungan dengan manfaat pembelajaran sastra, yakni membentuk watak peserta didik.

Pembelajaran sastra yang diintegrasikan dengan pembelajaran tradisi lisan liâ asa usu, maka karakter anak-anak muda Lamalera, khususnya yang sedang dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

232

proses pendidikan dasar dan menengah dibentuk, sekaligus mewariskan nilai-nilai jati diri yang terungkap dalam tradisi lisan liâ asa usu.

Kedua usulan strategi yang untuk mewarisi dan memertahankan tradisi lisan liâ asa usu tersebut dipandang peneliti sangat efektif. Peneliti meandang bahwa mekanisme alamiah dan non-alamiah merupakan upaya untuk memperkuat dan memertahankan nilai-nilai budaya dan jati diri warisan para leluhur Lamalera.

Meskipun penerusan tradisi lisan liâ sangat lemah dan terancam, tradisi lisan liâ masih menunjukkan prospek yang potensial untuk tetap lestari sebagai sebuah tradisi lisan dan wujud kesastraan lisan. Hal ini didasari pada pemahaman bahwa

(1) eksistensi tradisi lisan liâ asa usu adalah sebagai jati diri atau identitas sosial masyarakat Lamalera; (2) keberadaan tradisi lisan liâ asa usu sebagai kebanggaan terhadap nyanyian tradisional; (3) eksistensi liâ asa usu sebagai bagian dari tradisi lisan masayarakat Lamalera yang dinyanyikan saat upacara-upacara adat dan tradisi budaya; (4) tradisi lisan liâ asa usu berkaitan dengan norma-norma budaya dan hukum adat yang menuntut kewajiban dan kepatuhan masyarakat Lamalera terhadap adat istiadat dan budaya; (5) fungsi tradisi lisan liâ asa usu untuk mengemban sikap tanggung jawab, menjaga tradisi dan budaya warisan leluhur, memenuhi kehendak Tuhan dan harapan leluhur; dan (6) tradisi lisan liâ asa usu memiliki “roh magis” yang diyakini oleh masyarakat Lamalera dapat memberi kedamaian, ketenangan, keberhasilan, keselamatan, dan kesejahteraan hidup.

Hakikatnya, upaya pewarisan tradisi lisan liâ asa usu sebgai bagian dari upacara adat dan tradisi kebudayaan dipahami oleh masyarakat Lamalera sebagai nyanyian historis, nyanyian harapan dan permohonan, nyanyian kemegahan dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

233

syukur, nyanyian ratapan dan kegelisahan yang sudah mentradisi secara turun temurun. Makna etnopragmatik tradisi lisan liâ asa usu, yaitu memertahankan jati diri atau identitas masyarakat Lamalera sebagai manusia yang menjaga tradisi adat dan budaya. Lebih dari itu, tradisi lisan liâ asa usu mengandung nilai-nilai budaya warisan leluhur sebagai pedoman etika dan moral dalam kehidupan sosial masyarakat Lamalera. Kesadaran tersebut menunjuk setiap anggota masyarakat

Lamalera melakukan upaya untuk menguatkan, memertahankan, dan melestarikan tradisi lisan untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Yang Ilahi sebagai pencipta alam sementa, hubungan manusia dengan lingkungan alam, dan manusia dengan sesamanya dalam lingkungan sosial. Ketiga hubungan adikodrati tersebut membentuk jati diri atau identitas masyarakat Lamalera yang terpotret dalam tradisi lisan liâ asa usu. Lebih dari itu, pemertahanan liâ asa usu sebagai jati diri atau identitas masyarakat Lamalera, bukan karena daya atraktifnya, melainkan karena nilai sosio-kultural. Semua wujud tradisi yang digambarkan dalam tradisi lisan liâ asa usu bersinggungan langsung dengan identitas masyarakat Lamalera. Karena itu, upaya pembangunan berkenaan dengan tradisi budaya, termasuk pengembangan pariwisata harus menjunjung nilai-nilai sosial budaya, memertahankan jati diri atau identitas masyarakat, bukan sebaliknya menggerus atau menghilangkannya (Beraf, 2016).

Aritnya bahwa jati diri masyarakat Lamalera yang terpotret dalam tradisi lisan liâ asa usu harus mendapat tempat untuk dipertahankan dan dilestarikan sebagai suatu kearifan lokal dalam berbagai program pembangunan dan pengembangan

Sumber Daya Alam maupun Sumber Daya Manusia.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan

Tradisi lisan liá asa usu menggambarkan jati diri atau identitas masyarakat

Lamalera. Tradisi lisan liá asa usu merupakan ‘tiruan’ kehidupan masyarakat

Lamalera sehingga liá asa usu (nyanyian sejarah) adalah masyarakat Lamalera

sendiri dengan berbagai unsur kehidupannya, seperti mata pencaharian, sistem

kemasyarakatan dan kekerabatan, sistem kepercayaan, sistem peralatan hidup, dan

bahasa. Dengan kata lain, berbagai unsur tersebut merupakan wujud kehidupan

masyarakat Lamalera yang diwariskan oleh leluhur dan dipertahankan hingga

sekarang. Wujud kehidupan tersebut menyiratkan makna dan maksud yang oleh

peneliti menyebutnya sebagai potret jati diri atau identitas sosial masyarakat

Lamalera.

Semua peristiwa kehidupan masyarakat Lamalera yang menggambarkan

jati diri atau identitas sosial mereka disajikan secara singkat dan padat dalam

penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian, peneliti berpendapat bahwa tradisi

lisan liá asa usu menggambarkan jati diri atau identitas masyarakat Lamalera

yang diwariskan oleh leluhur dan dihidupi serta dipertahankan hingga saat ini.

Penetapan lirik-lirik liá asa usu sebagai data utama menunjukkan dengan jelas

seluruh peristiwa kehidupan masyarakat Lamalera sehingga sesuai dengan situasi,

kondisi, latar, sekaligus menghindari terjadinya anakronisme. Seluruh peristiwa

kehidupan masyarakat Lamalera merupakan potret jati diri atau identitas sosial

mereka.

234

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

235

Tradisi lisan liâ asa usu menggambarkan jati diri atau identitas masyarakat dalam sistem mata pencaharian sebagai (1) Masyarakat laut, nelayan tradisional penangkap ikan paus warisan leluhur yang awalnya sebagai petani ladang; (2)

Masyarakat pembarter yang menjadikan hasil tangkapan dari laut ditukarkan dengan kebutuhan pokok hasil pertanian dari masyarakat pedalaman; (3) masyarakat yang sangat menjunjung tinggi sejarah dan peran para leluhur dalam kehidupan sehari-hari; (4) Masyarakat yang selalu menjaga tradisi warisan leluhur, sekaligus menjunjung tinggi tradisi, adat istiadat, dan budaya tersebut

(manusia yang berbudaya). Keempat karakter tersebut didukung dengan karakter sebagai orang-orang yang tanggap terhadap situasi dan kondisi sekitar, perkasa, orang-orang yang berjiwa sosial dan menjunjung tinggi nilai keadilan, pemberani, persatuan, persaudaraan, solidaritas, dan kedemawaan; semangat kerjasama, berjiwa kerja keras, penderma, pemberi kehidupan, dan sebagai pemimpin.

Tradisi lisan liâ asa usu menggambarkan jati diri atau identitas masyarakat

Lamalera dalam sistem sosial kemasyarakatan sebagai (1) Masyarakat diaspora yang datang dari Luwuk dan Beru-Sulawesi, masyarakat yang menjunjung tinggi kepemimpinan paternalistik; (2) Masyarakat yang hidup bersaudara, bersatu, dan saling menghormati; (3) Masyarakat yang menjunjung tinggi nilai solidaritas dan suka membantu; (4) Masyarakat yang terikat dan menjunjung tinggi adat istiadat serta tradisi budaya; (5) Masyarakat yang hidup sebagai anggota kelompok suku atau marga sehingga selalu memprioritaskan aspek kesukuan dalam hal tradisi dan adat; (6) Masyarakat yang menjunjung tinggi nilai dan tujuan perkawinan yang ditegakan oleh agama, juga menjaga hukum perkawinan adat; (7) Masyarakat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

236

yang memiliki interaksi sosial yang tinggi. Tentu, karakter-karakter tersebut didukung dengan peran masing-masing warga, seperti karakter sebagai orang- orang yang cepat membaur, menyesuaikan diri dengan keadaan baru, menerima orang lain sebagai saudara, masyarakat yang dekat dengan alam dan pandai membaca alam, masyarakat yang jujur dan terbuka terhadap berbagai situasi dan keadaan sosial, dan menyadari keberadaan status sosial.

Tradisi lisan liâ asa usu menggambarkan jati diri atau identitas masyarakat

Lamalera dalam sistem kepercayaan sebagai (1) Masyarakat yang percaya kekuatan Ilahi, penyelenggaraan dan kehendak Allah atas hidup dan kehidupan mereka; (2) Masyarakat yang tahu berterima kasih dan bersyukur atas seluruh peristiwa hidup, baik dalam kegagalan maupun dalam keberhasilan. Sementara itu, sistem bahasa juga mencerminkan jati diri masyarakat Lamalera sebagai (1)

Masyarakat yang mengerti sopan santun dan tata krama dalam menjalin komunikasi dengan orang lain di sekitarnya; (2) Masyarakat yang tau menjaga perasaan orang lain; (3) Masyarakat Lamalera yang memiliki fonologis kata-kata tertentu yang khas; dan (4) Masyarakat yang memiliki karakter berbahasa yang khas.

Tradisi lisan liâ asa usu menggambarkan jati diri atau identitas masyarakat

Lamalera dalam sistem peralatan dan perlengkapan hidup sebagai (1) Masyarakat yang heroisme; (2) Masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai ekonomi kerakyatan; (3) Masyarakat yang memiliki kekuatan spiritualitas; (4) Masyarakat yang berani berjuang mempertaruhkan nyawa demi kehidupan dan kesejahteraan seluruh anggota masyarakat, khususnya para janda, para yatim piatu, serta para

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

237

fakir miskin; (5) Masyarakat yang memiliki dan menghargai pembagian peran sosial dalam kehidupan bersama; (6) Masyarakat yang berjiwa kreatif, selalu menolong, dan karakter menjunjung tinggi nilai kehidupan; (7) Masyarakat yang bertanggung jawab atas kehidupan banyak orang dan menjaga kepercayaan orang lain; dan (8) Masyarakat Lamalera yang mandiri atau tidak selalu bergantung pada orang lain.

Wujud dan makna yang terdapat dalam tradisi lisan liá asa usu mengalami pergeseran. Secara umum, pergeseran wujud dan makna lirik-lirik tradisi lisan liâ asa usu, atara lain asimilasi, ameliorasi, sinestesia, asosiasi, generalisasi, struktur kekerabatan, wujud kepemimpinan, lingkungan sosial kekerabatan, status sosial, metonimia, evolusi model, pas pro toto, konsep lingual, semiotis dan semiologis, fonologis, asimilasi religi, dan kepercayaan khusus. Tentu, pergeseran-pergeseran wujud dan makna disebabkan oleh faktor-faktor yang memengaruhinya.

Secara umum, faktor yang memengaruhi pergeseran wujud dan makna unsur-unsur kebudayaan dalam lirik-lirik tradisi lisan liá asa usu, yakni faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern, antara lain kondisi demografis dan kebutuhan ekonomi, penemuan-penemuan baru yang bersifat baru (discovery) dan penemuan-penemuan baru yang bersifat menyempurnakan dari bentuk penemuan lama atau wujud lama (invention). Kehidupan sosial juga mengalami perubahan akibat pertentangan (conflict) dalam masyarakat. Faktor eksternal, antara lain bencana alam, pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Faktor pendorong, antara lain adanya pertemuan dan kontak dengan budaya lain, menghargai hasil karya orang lain, sistem keterbukaan sikap, heterogenitas penduduk, orientasi masa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

238

depan, prinsip untuk memperbaiki hidup. Faktor lain, yakni sikap masyarakat

Lamalera yang masih sangat sederhana, adanya rasa takut kegoyahan tradisi warisan leluhur, peran dan fungsi sosial, tradisi adat dan budaya yang telah mengakar, sikap spesimis, perpindahan masyarakat tutur, bahasa yang berkembang, pola pikir dan cara pandang masyarakat, perubahan lingkungan geografis, ideologi masyarakat, sejarah genealogis, difusi kebudayaan, penemuan baru, modernisasi, diferensiasi, kesadaran spiritualitas, konteks situasi, dan latar belakang sosial serta budaya.

Dengan demikian, syair-syair tradisi lisan liâ asa usu merupakan wadah untuk memahami jati diri atau identitas sosial, sekaligus melestarikan peristiwa sosiokultural masyarakat Lamalera yang dihidupi dari generasi ke generasi. Syair- syair tradisi lisan liâ asa usu sarat dengan makna etnopragmatik-filosofis sebagai pedoman bagi masyarakat Lamalera dalam menjalani kehidupan sebagai manusia berbudaya dan anggota masyarakat. Artinya bahwa syair-syair tradisi lisan liâ asa usu memiliki makna multidimensional, karena tercerap dalam kesatuan jati diri atau identitas yang terpotret dalam dimensi mata pencaharian, kemasyarakatan dan kekerabatan, kepercayaan, peralatan hidup, dan bahasa. Keberadaan dan kebermaknaan tradisi lisan liâ asa usu tersebut dikuatkan dan dipertahankan dengan mekanisme pewarisan alamiah dan non-alamiah. Mekanisme pewarisan alamiah dibuktikan dengan keterlibatan langsung masyarakat dalam setiap

‘pementasan’ tradisi lisan liâ asa usu saat upacara-upacara adat dan tradisi-tradisi kebudayaan. Sementara itu, mekanisme pewarisan non-alamiah dapat diwujudkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

239

dalam sistem pendidikan formal, yaitu mengintegrasikan tradisi lisan liâ dalam

pembelajaran Muatan Lokal maupun pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.

5.2 Saran

Tradisi lisan liâ asa usu merupakan potret jati diri atau identitas sosial

masyarakat Lamalera. Oleh karena itu, beberapa saran sebagai wujud ‘stimulus’

untuk menjaga kekuatan, sekaligus memertahankan tradisi lisan liâ. Saran-saran

yang dimaksud, antara lain:

1. Peneliti menyarankan kepada pemerintah Kabupaten Lembata melalui

Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga, serta Dinas Pariwisata dan

Kebudayaan agar mencanangkan serta merancang program revitalisasi

nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung dalam tradisi lisan liâ dalam

suatu mekanisme program yang sistematis, terstruktur, dan sinergis dengan

melibatkan komponen-komponen masyarakat, termasuk komponen

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Lembaga Perguruan Tinggi

(LPT).

2. Peneliti menyarankan kepada masyarakat Lamalera, baik generasi tua

maupun generasi muda agar menjaga kelestarian tradisi lisan liâ dengan

berbagai unsur terkait di dalamnya, karena liâ merupakan aset budaya

yang mencirikan jati diri atau identitas masyarakat Lamalera sebagai suatu

kelompok masyarakat yang berbudaya yang selalu menjaga tradisi.

3. Peneliti memberi saran kepada Lembaga Pendidikan Formal, khususnya

Pendidikan dasar dan menengah di wilayah Lamalera untuk merancang

model pembelajaran Muatan Lokal atau Pembelajaran Sastra berbasis

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

240

kearifan lokal Lamalera dengan memanfaatkan wujud kebahasaan yang

digunakan dalam syair-syair liâ sebagai contoh.

4. Peneliti juga memberi saran kepada para peneliti dan pemerhati masalah

budaya local untuk meningkatkan pendokumentasian produk-produk

tradisi lisan dan budaya lokal masyarakat Lamalera yang sedang berada di

ambang kepunahan akibat gerusan arus modernisasi dan globalisasi.

Upaya pengkajian dan pendokumentasian ini merupakan wujud pelestarian

dan pemertahanan budaya lokal dan tradisi lisan sebagai potret jati diri

atau identitas sosial masyarakat, sekaligus sebagai pendukung kekayaan

budaya nasional.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR PUSTAKA

Abu Ahmadi, Abu. (1986). Antropologi Budaya. Surabaya: C.V Pelangi. Alo Liliweri, Alo. (2007). Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Angkasa.

Aman, M.Pd. (-). “Kesadaran Sejarah dan Nasionalisme: Pengalaman Indonesia”. Terbaca: http://staffnew.uny.ac.id/, diakses tanggal 10 Mei 2017

Aminuddin, Drs. (1990). Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh & HISKI.

Appel, R. and Muysken, P. (1987). Language Contact and Bilingualism. London: Edward Arnold.

Arifin, Bustanul dan Abdul Rani. (2006). Analisis Wacana: Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakaian. Malang: Bayu Media Publishing.

Arivia, G. (2004). “Mencari Kesadaran Baru untuk Mendapatkan Peraddaban Baru”. Dalam: Jalan Paradoks Visi Baru Frijof Capra tentang dan Kehidupan Modern. Penyunting: Budi Munawar R dan Eko Wijayanto. Jakarta: Teraju.

Arni. (2012). “Kesantunan Tindak Tutur Direktif dalam Masyarakat Dwibahasa pada Masyarakat Madura di Desa Mekar Baru, Kabupaten Kubu Raya Pontianak, Kalimantan Barat (Kajian Sosiopragmatik), TESIS. [online], https://digilib.uns.ac.id/. [17 September 2016]

Arkanudin, H. “Akulturasi sebagai Mekanisme Perubahan Kebudayaan”. Terbaca: http://prof-arkan.blogspot.co.id/. Diakses tanggal 16 Mei 2017.

Barker, Chris. (2004). Cultural studies, Teori & Praktik. Yogykarta: PT. Bentang Pustaka.

------. ( 2005). Cultural Studies: Teori dan Praktek. Diterjemahkan oleh Tim Kunci Cultural Studies Center. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Barners, H. (2001). Cetaceans and Cetacean Hunting. (http://oceanlaw. net / netpath / page 5-abo.htm#). Diakses pada 21 Oktober 2016.

Bataona, Fince. (2017). Lamafa (sebuah Novel). Jakarta: Kandil Semesta.

241

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

242

Beraf, Charles. (2016). “Turisme Yang Menggerus Tradisi di Lamalera”. Dalam Surat Kabar Harian POS KUPANG, Jumat, 22 Juli 2016. Terbaca: (Beraf, 2016: http://kupang.tribunnews.com/, diakses tanggal 18 April 2017.

Bratawijaya, Thomas Wijaya. (1997). Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa. Jakarta: Pradya Prawita.

Buemmer, Fred. (2000). Sea Hunters Öf Lamalera. (http: //www. findarticles. Com / p / articles/mi_m11234/15_8_110/ai). Diakses pada 21 Oktober 2016.

Chaer, Abdul dan Agustina Leony. (2004). Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. (2009). Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. (2010). Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. (2013). Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (edisi revisi). Jakarta: Rineka Cipta.

Chiluwa, Innocent. (2009). “Ethno-pragmatics of On “unwa performance of the Igbo of Nigeria” Journal of Multicultural Discourses, Vol. 4, No. 3, November 2009, 279_295. Department of English: Covenant University. (online). Terbaca: http://openpdf.com/ebook/ethnopragmatics-pdf.html. Diakses tanggal 23 Mei 2017.

Collingwood, RG. (-). The Idea of History. London: Oxford University Press.

Coulmas, F. (2005). Sociolinguistics: The Study of Speakers. Choice: Cambridge University Press.

Coumming, Louise. (1999). Pragmatik: Sebuah Perspektif Multidisipliner. Terjemahan Eti Setiawati, dkk. 2007. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Coumming, Louise. (1999). Pragmatics, A Mutidicplinary Perspective. New York: Oxford University Press. Terjemahan. Ibrahim, Abdul Syukur (editor). 2007. Pragmatik: Sebuah Prespektif Multidispliner. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Crystal, David. (1987). The Cambridge Encyclopedia of Language. Cambridge: Cambridge University Press.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

243

Damayanti, D.A. (2014) “Tindak Tutur Kiai Mengenai Syarah (Penjelasan) Kitab Al-Hikam dan Tafsir Al-Qur’an dalam Pengajian” dalam Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Vol 14, No 1 (2014)- ejournal.upi.edu. (online). Terbaca: http://ejournal.upi.edu/index.php/BS_JPBSP/article/view/710/510. Diakses tanggal 25 Oktober 2016

Danandjaja, J. (1986). Foklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.

Darmawan, Kiki Zakhia. (2008). “Penelitian Etnografi Komunikasi”, dalam Jurnal Komunikasi Mediator Volume 9, No. 1. Terbaca: http://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mediator/article/view/1142, diakses tanggal 26 April 2017.

Deda, Nivis. (2013). “The role of Pragmatics in English Language Teaching. Pragmatic Competence”, dalam Academic Journal of Interdisciplinary Studies Vol 2 No 4, May 2013. Roma: MCSER- CEMAS-Sapienza University of Rome. de Fina, Anna, Schiffrin, Deborah, & Bamberg, Michael. (2006). Discourse and identity. Cambridge: Cambridge University.

Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: Diknas.

Dike Desintya Dipta Sasmaya, F. (2014). “Tingkat Kesantunan Berbahasa Pedagang ‘Perko’ Trotoar Malioboro Yogyakarta (Suatu Tinjauan Sosiopragmatik”. Skripsi Sarjana pada Prodi PBSI Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. [online]. Tersedia: http://www.library.usd.ac.id/. [6 September 2016].

Duranti, Alessandro. (1997). Linguistik Anthropology. Cambidge: Cambridge University Press.

Enfield, N.J (Reviewed). (-). “Review of Ethnopragmatics: Understanding discourse in cultural context” Book Reviews. (online). Terbaca: http://pubman.mpdl.mpg.de/pubman/faces/viewItemOverviewPage .jsp?itemId=escidoc:58794. Diakses tanggal 23 Mei 2017.

Erika. (2007). “Difusi, Akulturasi, dan Asimilasi: Konsep, Contoh, dan Perbedaannya”. Makalah Kebudayaan untuk Mata Kuliâh Pengantar Ilmu Antropologi. Terbaca: https://wakuadratn.files.wordpress.com/. Diakses tanggal 16 Mei 2017.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

244

Esten, M. (1999). Kajian Transformasi Budaya. Bandung: Angkasa.

Eviyanti, Sari. (2010). Taman Budaya Kalimantan Tengah. Tugas Akhir. Fakultas teknik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta. (online). Terbaca: http://e- journal.uajy.ac.id/2374/3/2TA12077.pdf. Diakses tanggal 26 Agustus 2017.

Fasold, R. (1984). Sociolinguistics of Society. New York: Basil Blak Well Inc.

Fathoni, Abdurahmat. (2006). Antropologi Sosial Budaya. Jakarta: Rineka Cipta.

Fauziah. (2009). Tesis Untuk Suatu Etnopragmatik. Tesis. (online) Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara. Terbaca: http://repository.usu.ac.id/ . Diakses tanggal 22 Oktober 2016

Fernández, Susana S. (-). “Etnopragmatik og interkulturel kompetence: Didaktiske nytænkninger i fremmedsprogsundervisningen”. (online). Terbaca: https://ojs.statsbiblioteket.dk/index.php/nfg/article/view/24643. Diakses tanggal 23 Juni 2017.

Finnegan, R. (1992). Oral Tradition and Verbal Arts. London and New York.

Fisher, Simon dkk. (2001). Mengelolah Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Indonesia: SMK Grafika Desa Putra.

Gazdar, G. (1979). Pragmatics, Implicature, Presupposition and Logical Form. New York: Academic Press.

Giddens, A. (2003). Masyarakat Post-Tradisional. Penerjemah: Ali Noer Zaman. Yogyakarta: IRCiSoD.

Gillin and Gillin. (1954). Cultural Sociology: A Revision and of an Introduction to Sociology. New York: The Macmillan Company.

Goddard, Cliff. (-) “A response to N. J. Enfield's review of Ethnopragmatics (Goddard, ed. 2006”. (online). Terbaca: https://research- repository.griffith.edu.au. Diakses tanggal 23 Mei 2017.

Goddard, Cliff and Zhengdao Ye. (2015). Ethnopragmatics. (online). Terbaca: https://www.academia.edu/10693895/Ethnopragmatics. Diakses tanggal 23 Mei 2017.

Goddard, Cliff. (-). “Ethnopragmatics: a new paradigm, in C. Goddard (ed) Ethnopragmatics: Understanding Discourse in Cultural Context. Cambridge: Cambridge University Press, Chapter 1 pp. 1-30.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

245

(online). Terbaca: https://www.griffith.edu.au/__.../pdf.../introduction-ethnoprag. Diakses tanggal 23 Mei 2017.

Goddard, Cliff. (1997). Semantic Analysis: A Practical Introduction. Oxford: Oxford University Press.

Goddard, Cliff. (2002). “Directive speech acts in Malay (Bahasa Melayu): an ethnopragmatic perspective”. Cahiers de praxématique: Langue, discours, culture. (online). Terbaca: http://openpdf.com/ebook/ethnopragmatics-pdf.html. Diakses tanggal 23 Mei 2017.

Goddard, Cliff. (2004). “The ethnopragmatics and semantics of ‘active metaphors’”. Journal of Pragmatics. (online). Terbaca: https://www.researchgate.net/publication/255538142_The_ethnopr agmatics_and_semantics_of_%27active_metaphors%27. Diakses tanggal 23 Mei 2017.

Goddard, Cliff. (2004). “Speech-acts, values and cultural scripts: a study in Malay Ethnopragmatics”. (online). Terbaca: https://www.researchgate.net/publication/287376268_Speech- acts_values_and_cultural_scripts_a_study_in_Malay_ethnopragma tics. Diakses tanggal 23 Mei 2017.

Goddard, Cliff. (2006). Ethnopragmatics: Understanding discourse in cultural context (Chapter 1. Ethnopragmatics: a New Paradigm). Berlin: Mouton de Gruyter.

Goddard, Cliff dan A. Wierzbicka. (2007). “Semantic Primes and Cultural Scripts in Language Learning and Intercultural Communication.” In: Sharifian dan Palmer (ed.), 105-124.

Grice, H.P. (1975). Logic and Conversation. London: In Code & Morgan

Halliday, M.A.K. dan Hassan R. (1985). Language Context and Text: Aspect of Language in a Sosial Semiotic Perspective. Australiâ: Deankin University.

Heslin, James. (2007). Sosiologi. Jakarta: Erlangga.

Hoed, B.H. (2008). “Komunikasi Lisan sebagai dasar Tradisi Lisan” dalam Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: ATL.

Holmes, J. (1992). An Introduction to Sociolinguistics. London. Longman.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

246

Indonesian, Mediawatch, (2002). The whalers of Lamalera. (http://Media Corp.archieve.rsi.com.sg/en/programmes/ind_med_wat_/2002 12_27_htm.). Diakses pada 21 Oktober 2016.

Jauhari, E. dan Edi Sugiri. (2012). “Kesantunan Positif dalam Masyarakat Etnik Tionghoa di Surakarta: Kajian Sosiopragmatik”, Dalam Juranal MOZAIK: HUMANIORA [online], Vol. 12, Nomor 2. Tersedia http://journal.unair.ac.id/, [9 September 2016].

Jenkins, Richard. (2008). Social Identity, Third Edition. United Kindom: Routledge.

Jiobu, Robert M. (1988). Ethnicity and Assimilation. New York: State Univ of New York Press.

Johnstone, Barbara. (2002). Discourse Analysis. England: Blackwell.

Keraf, Gorys. (1978). “Morfologi Dialeg Lamalera”. Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia.

------. (1987). Morfologi Dialek Lamalera. Ende: Nusa Indah.

Kleden, Ignas. (2004). Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan. Jakarta: Grafiti.

Kluckhohn. (-). Universals Categories of Culture. Online. Terbaca: http://www.e- jurnal.com/2013/10/unsur-unsur-kebudayaan.html. Diakses tanggal 5 Agustus 2017. Koentjaraningrat. (1987). Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press

Koentjaraningrat. (1995). Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Koentjaraningrat. (1997). Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Koentjaraningrat. (2005). Pengantar Antropologi II, Pokok-pokok Etnografi. Jakarta: Rineka Cipta

Kotthoff, Helga. “Comparing drinking toasts – Comparing ethnopragmatics”. Freiburger Arbeitspapiere zur Germanistischen Linguistik 1. (online). Terbaca: https://portal.uni-freiburg.de/; [23 Mei 2017].

Kuswarno, Engkus. (2008). Metode Penelitian Etnografi Komunikasi: Suatu Pengantar Dan Contoh Penelitian. Bandung: PT. Widya Padjajaran.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

247

Kusumowardhani, Retno P.A, dkk. (2013). “Identitas Sosial, Fundamentalisme, dan Prasangka terhadap Pemeluk Agama yang Berbeda: Perspektif Psikologis” dalam Jurnal Multikultural & Multireligius HARMONI, Vol. 12 No. 1. Terbaca: jurnal.balitbangdiklat.kemenag.go.id/index.php/harmoni/article/vie wFile/131/, diakses tanggal 18 April 2017.

Leech, Geofrey. (1983). Principles of Pragmatiks. London: Longman

______. (1996). Prinsip-prinsip Pragmatik. Diterjemahkan oleh M.D.D. Oka. Jakarta: Universitas Indonesia.

Lelaona, Y.A. (2006). Dari Lautan menuju Tuhan. Yogyakarta. Kanisius.

Levinson, S.C. (1987). Pragmatics. New York: Cambridge University Press.

Liliweri, Alo. (-). Prasangka dan Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara.

Liliweri, Alo. (2002). Makna Budaya dalam Komunikasi antarbudaya. Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara.

Lord, A.B. (2000). The Singer of Tales. New York Atheneum.

Lubis, A. Hamid Hasan. (2011). Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa.

Made Netra, I. (2011). “Wacana Ritual Melong Pare Bulu Komunitas Petani Adat Bayan, Lombok Utara: Kajian Etnopragmatik”. Disertasi. (online). Denpasar: Paskasarjana Universitas Udayana.

Mansoer, Pateda. (2010). Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.

Manheim, Karl. (1986). Essays on Sociology of Culture. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.

Marius, Jelamu Ardu. (2006). “Jajian Analitik Perubahan Sosial”, dalam Jurnal Penyuluhan, Vol. 2, No. 2-September 2016. Terbaca: repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/42870/1/Jelamu.pdf ; diakses tanggal 10 Mei 2017.

Marzuqi, Moh. (2009). “Akulturasi Islam dan Budaya Jawa (Studi terhadap Praktek ‘Laku Spiritual’ Kadang Padepokan Gunung Lanang di Desa Sindutan Kecamatan Temon Kabupaten Kulon Progo”. Skripsi. Yogyakarta: Jurusan Perbandingan Agama UIN Sunan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

248

Kalijaga. Terbaca: digilib.uin- suka.ac.id/3415/1/BAB%20I%2CV.pdf. [16 Mei 2017].

Masfufah, N. (2010). “Kesantunan Bentuk Tuturan Direktif di Lingkungan SMA Negeri 1 Surakarta (Sebuah Kajian Sosiopragmatik”, TESIS (online), https://digilib.uns.ac.id/...=/Kesantunan-bentuk-tuturan- direktif-di-lingkungan-SMA- [17 September 2016]

Mey, J.L. (1983). Pragmatiks An Introduction. USA: Blackwell Publishing

MPSS, Pudentia. (2015). “Peran Tradisi Lisan dalam Era Mea”, terbaca: https://www.academia.edu/9845574/PERAN_TRADISI_LISAN_ DALAM_ERA_MEA_2015, [17 April 2017].

Muda, Yoseph. (2016). Ata Lamaholot dalam Sorotan Budaya Dunia. Yogyakarta: Kanisius.

Mulyadi. (2010). “Kategori Dan Peran Semantis Verba Dalam Bahasa Indonesia”. USU e-Journals (UJ) Vol. 5 No. 1 April 2009 (online). Terbaca: http://repository.usu.ac.id/; [23 Oktober 2016].

Mulyana, D. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyana, D dan Jalaluddin Rakhmat (ed.). (2001). Komunikasi Antarbudaya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Mulyana. (2005). Kajian Wacana: Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Murgiyanto, S. (2004). Tradisi dan Inovasi. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Myers, D.G. (1996). Social Psychology (5th ed.). New York: McGraw-Hill.

Nadar, F.X. (2013). Pragmatik & Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Netra, I Made. (2011). “Wacana Ritual Melong Pare Bulu Komunitas Petani Adat Dayan, Lombok Utara: Kajian Etnopragmatik”. Disertasi. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Oleona, Ambros dan Peter Tedu, (2001). Masyarakat Nelayan Lamalera dan Tradisi Penangkapan ikan Paus. Depok-Bogor: Lembaga Gelekat Lefo Tanah.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

249

Ong, Walter, J. (1988). Orality and Literacy: The Technologizing of the Word. London and New York: Metheuen & Co.Ltd.

Paul V. Kroskrity, Paul V. (2010). “Getting Negatives In Arizona Tewa: On The Relevance Of Ethnopragmatics And Language Ideologies To Understanding A Case Of Grammaticalization” (online). Terbaca: journals.linguisticsociety.org/elanguage/. Diakses tanggal 23 Mei 2017.

Pelras, Christian. (2006). Manusia Bugis. Jakarta: Forum Jakarta-Paris.

Poerwanto, Heri. (1999). “Asimilasi, Akulturasi, dan Integrasi Nasional. Humaniora, No.12 September-Desember 1999. Terbaca: https://media.neliti.com/media/. [16 Mei 2017].

Pranowo. (2015). “Tergantung pada Konteks”, dalam Prosiding Seminar Nasional: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVII. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Pranowo. (2012). Berbahasa Secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Pratiwi, Poerwanti Hadi. (-). “Asimilasi dan akulturasi: sebuah tinjauan konsep”. Terbaca: staffnew.uny.ac.id/upload/132326892/.

Pujileksono, Sugeng. (2006). Petualangan Antropologi: Sebuah Pengantar Ilmu Antropologi. Malang: UMM Press.

Purwasito, A. (2003). Komunikasi multikultural. Surakarta Universitas Muhamadyah.

Rahardi, Kunjana. (2006). Dimensi-dimensi Kebahasaan; Aneka Masalah Bahasa Indonesia Terkini. Jakarta: Penerbit Erlangga.

------. (2015). “Menentukan Hakikat Konteks Pragmatik” Prosiding Seminar Nasional PRASASTI II (Kajian Pragmatik dalam Berbagai Bidang). Surakarta: Universitas Negri Surakarta. Terbaca: https://jurnal.uns.ac.id/, [18 November 2016].

Ramadhan, Sari. (2015). “PengeloLAUn Sumber Daya Paus Sperma Berbasis Tradisional Ecological Knowledge (TEK) di Desa Lamalera, Nusa Tenggara Timur.” Terbaca: http://repository.ipb.ac.id/, [20 April 2017].

Ricoeur, Paul. (1976). Interpretation Theory: Discourse and The Surplus of Meaning. Forth Worth: The Texas Christian University Press.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

250

Romli, H. Khomsahrial. (2015). “Akulturasi dan Asimilasi dalam Konteks Interaksi Antar Etnik”. Jurnal Pengembangan Masyarakat Ijtimaiyya, Vol. 8, No. 1, Februari 2015. Terbaca: ejournal.radenintan.ac.id/index.php/ijtimaiyya/article/download/8 59/738. Diakses tanggal 16 Mei 2017.

Samsul. (2012). “Tradisi Lisan Kabhanti Modero pada Masyarakat Muna di Sulawesi Tenggara”. Tesis. [online]. Tersedia lib.ui.ac.id/file?file=digital/20304110-T30731- Tradisi%20lisan.pdf. [19 September 2016]

Sari, D. (2011). “Revitalisasi Tradisi Lisan Kantola Masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada Era Globalisasi.” Tesis (online). Denpasar: Paskasarjana Universitas Udayana.

Sarwono, S.W. (2007). Psikologi Prasangka Orang Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sedyawati, E. (1996). Kedudukan Tradisi Lisan dalam Ilmu-ilmu Sosialdan Ilmu- ilmu Budaya. Dalam Warta ATL, Jurnal Pengetahuan dan Komunikasi Peneliti dan pemerhati Tradisi Lisan. Edisi II/Maret/1996 Jakarta

Settiadi, Elly, dkk. (2006). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sibarani, R. (2012). Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).

------. (2013). “Pendekatan Antropolinguistik dalam Menggali Kearifan Lokal Sebagai Identitas Bangsa”. Dalam Prosiding The International Conference on Indonesia Studies: “Ethnicity and Globalization. [online]. Tersedia https://icssis.files.wordpress.com/ dan ejournal.warmadewa.ac.id/. Vol 1, No 1 (2015).

Simatupang, Lono. (2013). Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni- Budaya. Yogyakarta: Jalasutra.

Sinar, T. Lukman. (2006). Kesusastraan Melayu Sumatera Timur. Medan: USU Press.

Soehardi. (1996). “Jati Diri Semar, Konteks Pakeliran dan Kosmologi Jawa”, dalam Bulletin Antropologi, Th. XI. No. 20, hal. 11-24. Yogyakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

251

Soekanto, Soejono. (1983). Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Grafindo Persada.

Soekanto, Soerjono. (1990). Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas, Edisi Baru, Jakarta: Rajawali Press.

Soekanto, S. (2002). Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi terbaru. Jakarta: Rajawali Grafindo.

Soelaeman, M. Munandar. (2001). Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Refika Aitama.

Song, Lichao. (2010). “The Role of Context in Discourse Analysis”, dalam Journal of Language Teaching and Research, Vol. 1, No.6, pp.876- 879, November 2010. Finland: Academy Publisher.

Spradley, J.P. (2007). Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara wacana.

Suandi, I Nengah. (2014). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Subroto, E. (2007). Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta: Lembaga Pengembangan pendidikan Universitas Sebelas Maret.

Subroto, E. (2011). Pengantar Studi Semantik dan Pragmatik. Surakarta: Cakrawala Media.

Sudaryanto. (1990). Menguak Fungsi Hakikat bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

______. (1993). Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sudaryat, Yayat. (2009). Makna Dalam Wacana Prinsip-prinsip Semantik dan Pragmatik. Bandung: CV. Yrama Widya.

Sudikan. S. (2001). Metode penelitian kebudayaan. Surabaya: Citra Wacana.

Sudu, La. (2012). “Tradisi Lisan Kabhanti Gambusu Pada Masyarakat Muna di Sulawesi Tenggara: Tinjauan Pewarisan”. Tesis. Depok: Universitas Indonesia.

Suhardi, Drs. (2015). Dasar-Dasar Ilmu Semantik. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Sulistyowati, I. (2015). “Menerjemahkan Permainan Bahasa dalam Novel Anak Judy Moody, Girl Detective” RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 1, No. 2 Oktober 2015, 220-232. (online). Terbaca:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

252

ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/jret/. Diakses tanggal 23 September 2016.

Sumarsono dan Partana Paina. (2002). Sosiolinguistik. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Sumitri, Ni Wayan. (2015). “Wacana Tradisi Lisan Vera Etnik Rongga di Manggarai Timur Nusa Tenggara Timur”, Disertasi. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Suratno. (2012). “Kajian Sosiopragmatik Tindak Tutur Adegan Limbukan dalam Seni Pertunjukan Wayang Purwa di Surakarta (Studi Kasus terhadap Ki Anom Suroto, Ki Purbo Asmoro, dan Ki Warseno Slenk). DISERTASI, (online), https://digilib.uns.ac.id/, [9 September 2016]

Suteja, I Wayan. (2011). “Geguritan Kasmaran: Analisis Teks dan Konteks”, Tesis. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terbaca: www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf., [20 Maret 2017].

Suwondro, Tirto. (2015). “Trilogi Gadis Tangsi Karua Suparto Brata: Kajian Pragmatisme Pascakolonial”. Terbaca: https://id.scribd.com/, [24 April 2017].

Syarifurahim dkk. (2000). Antropologi. Jakarta: Ganesa Exact.

Sztompka, Piotr. (2007). Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media Grup.

Tarigan, Henry Guntur. (2009). Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.

Taum, Yosep Yapi. (2013). “Berbagai Mitos Tentang laut: Mengungkap Konsep Bahari Bangsa Indonesia.” Terbaca: https://www.academia.edu/. Diakses tanggal 20 April 2017. Thornborrow, Joanna. (2007). Bahasa dan Identitas. Dalam Abdul Syukur Ibrahim. (ed.). Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan (hal.238). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tim Penyusun. (1989). Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 7. PT. Cipta Adi Pustaka: Jakarta.

Tustiantina, Diana. (2011). “Deskripsi Identitas Masyarakat Provinsi Banten Melalui Lagu ‘Kulit Gerintul Iwake Sate Bandeng’: Kajian Wacana Kritis”. Tesis. Depok: Program Studi Pasca Sarjana Ilmu Linguistik Universitas Indonesia.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

253

Utami, Fransisca N.H. dan Betty Yuliáni Silalahi. 2013. “Hubungan Antara Identitas Sosial dan Konformitas pada Anggota Komunitas Virtual Kaskus Regional Depok”, dalam Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur & Teknik Sipil) Vol. 5. Bandung: Terbaca, http://ejournal.gunadarma.ac.id/, [8 Mei 2017].

Vansina, J. (1985). Oral Traditions As History. Great Britain: Heinemann Kenya.

Verhaar, J.W.M. (1996). Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Wardoyo, C. (-). “Strategi Penerjemahan Istilah-istilah Pragmatik dalam Buku Principles of Pragmatiks Karangan Geoffrey Leech”. PROSIDING Seminar Nasional PRASASTI II (online), https://jurnal.uns.ac.id/; [16 September 2016]

Wierzbicka, A. (1996). Semantics Primes and Universals. Oxford New York: Oxford University Press.

Wijana, I D.P. (1995). Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi

Wijana, I Dewa Putu. (1996). Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.

Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. (2011). Semantik Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.

Yule, G. (1996). Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Zullfa. (2012). “Tradisi Basiacuang pada Masyarakat pada Masyarakat Melayu Kampar-Riau”. Tesis. [online]. Tersedia lib.ui.ac.id/ [19 September 2016].

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

LAMPIRAN

254

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Lampiran I SYAIR-SYAIR TRADISI LISAN LIÂ ASA USU

1. Feffâ bélâkâ Bapa Raja Hayam Wuruk (Demi Kehendak Bapa Raja Hayam Wuruk) Pasa-pasa pekkâ lefuk lau Luwuk (Terpaksa kutinggalkan desaku di Luwuk sana) Fengi baata Gadja Mada lali Jawa (Atas perintahnya melalui Gadja Mada dari Jawa) Hidâ-hidâ hiangkâ tanah lau Béru (Kulepaskan rumahku yang makmur di tanah Beru)

2. Géri tena bua - bua laja (Naik perahu lalu turut berlayar) Kai lulu laja teti Sérâ (Turunkan layar dipulau Seram) Gafi léfa Halmahera (Mengarungi laut Halmahera) Kai nébongkâ téti Gorâ (Berlabuh jangkar dipulau Goram)

3. Géri téna narang téna Séra (Naik perahu yang namanya perahu Seram) Sapék téti Abbo téti Moa (Singgahi pulau Ambon dan pulau Moa) Hékka lajak di ketebu koli méâ (Kuganti layar dengan daun gebang si lontar merah) Sigak téti Nua Fatu Bela (Singgah juga di kepulauan Fatu Bela)

4. Hau téti Kroko tafa Teria Géré (Tiba di Kroko tafa Teria Gere) Talé kafé heppâ di Kroko (Tali dan tempuling dari serat Kroko dan Heppa’) Honek téti lefuk téti Leppâ (Kubangun desaku di Lepan) Fanik téti tanak téti Bata (Mengerjakan ladang ditanah Batan)

5. Leppâ lefu lodo goi tobi (Pulau Lapan kaya Emas) Bata tanah isi di selaka (Tanah Batan mengandung perak) Allah tao tasik lau lébo géré (Allah menentukan laut bertambah naik)

1

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Tuâ lifu tanah raé mété hau (Tanah di darat semakin sempit)

6. Géri téna dai marangkâ téti Ria (Naik perahu dan terdampar di Riang) Dai epitkâ téti Roma (Datang menepi di Romang) Matak noi lefuk péti tanak lau (Mata masih dapat melihat kampung halaman) Tobo naik kadé rua (Duduk dengan rasa cemas)

7. Gafék lau fattâ papa Lamabata (Melintasi selatan pulau Lembata) Sapék téti Tobi Landéké (Menyingahi Tobi Landéké) Sigak téti Fatu Bélâ Baku (Menyinggahi Fatu Bela Baku) Loddo dai kabé honé hollo (Turun kedarat membangun sebuah gubuk)

8. Honék karo tung pira pai hikko (Tinggal disana beberapa tahun berlalu) Fanik karo fullâ pira pai gafé (Mendiami hingga beberapa bulan berlalu) Géri Tena dikanéâ Bakopukâ (Naik sebuah peledang bernama Bakopuka) Ole lollo mété hau (Arus hantar semakin kemari)

9. Hau gafék lau futuk Barasela (Datang melewati tanjung tempat celaka) Olé angi lau mété data (Arus dan angin semakin ganas) Pasa-pasa kabé rugi sorakai (Terpaksa mengorbankan perhiasan) Olé mépé rabelina (Agar arus menjadi tenang)

10. Dai marangke téti Luki Lefobala (Datang berlabuh di Luki Lewobala) Géré honék téti Lefohajo (Naik keatas membangun di Lefohajo) Nâu tobanga buri hori téna (Lesung terbalik air dalam buri tumpah menyirami perahu) Alo gasukâ lafe larâ tukkâ

2

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(Alu terlepas melintangi jalan)

11. Hau honék téti Doni Nusa Léla (Datang membangun di Doni Nusa Lela) Fanik téti Ué Ulu Mado (Mendiami ue ulu mado) Gélu hékka fato fakka rappâ blodo (Melakukan penukaran alat kerajinan gerabah) Sera ribu tali ratu (Kepada penduduk asli)

12. Seba ola’k lau léfa harri lollo (Mencari nafkah ditengah laut) Dai épitkâ dai marangkâ (Mendekati pantai merapat ke pinggir) Apé tafa géré raé motti Lango Fujo (Nampak nyala api ditempat berkumpul Lango Fujo) Raé ori Nara Guâ tanah (Ditempat pondok Nara Gua tanah)

13. Kai tutu raé Gési Gua Wasa (Datang untuk membicarakan dengan Gesi Gua Wasa) Onâ saré honé tao (Dengan senang dan sukarela menerima) Kai mari raé Raja Bala Mai (Pergi menyampaikan kepada Raja Bala Mai) Kolong diké guté lifo (Permintaanku diterima dengan senang hati)

14. Tukarkâ téti Hajjo Lamabélâ (Mendaki ke Hajjo Lamabela) Kpai narangkâ goé pi Korohama (Timbang nama saya ini Korohama) Jajji kopo mâmu tello kaé (Melahirkan tiga orang laki-laki) Surra barré Somi Bola Derrâ (Dan seorang perempuan Somi Bola Dera)

15. Moé Amak péti kofa lollo tobo (Engkau Bapakku yang ada diatas langit) Likok lau mété dai (Melindungi kami jauh dari sana) Moé Bélék péti kellâ tukâ dai (Engkau Allahku yang berdiri ditengah langit) Lapak lau mété dai (Melindungi dan membimbing dari jauh datang kemari)

3

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

16. Moé Amak narang Atakelaké (Engkau Bapakku namanya Atakelake) Luato lali Batafaij one (Turun ke Bata di pinggir pantai) Guti Inak séddo barré lali Sogé (Mengambil mamaku perempuan dari Soge) Inak narang Bengâ Lefo Léi (Mamaku bernama Benge Lefolei)

17. Jajji koppo mamu lema kaé (Melahirkan lima orang anak laki-laki) Tité kakâ tali ari (Kita semua bersaudara) Kakâ pulo tali arri léma (Kita semua adalah satu) Léma ajaki lali batafaij one (Dari lima bersaudara berkembang jadi banyak dipinggir pantai)

4

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Lampiran II TABULASI DATA PENELITIAN DATA TRADISI LISAN LIÂ ASA USU Keterangan: Di bawah ini merupakan data-data penelitian berjudul “Tradisi Lisan Liâ Asa Usu sebagai Potret Jati Diri Masyarakat Lamalera: Sebuah Kajian Etnopragmatik”. Berilah tanda (√) pada kolom penilaian (S) apabila Anda setuju bahwa identitas sosial Masyarakat Lamalera, Wujud Pergeseran, dan faktor pergeseran yang diidentifikasi oleh peneliti dapat membantu pemahaman mengenai jati diri atau identitas masyarakat Lamalera, wujud pergeseran bentuk dan makna, serta faktor-faktor yang menyebabkan pergeseran tersebut. Sebelaiknya, berilah tanda (√) pada kolom penilaian (TS) Apabila Anda tidak setuju bahwa pengidentifikasian yang dibuat oleh peneliti tidak dapat membantu pemahaman mengenai jati diri atau identitas masyarakat Lamalera, wujud perubahan bentuk dan makna, serta faktor-faktor yang menyebabkan perubahan tersebut; selanjutnya berikan alasan sekaligus perbaikan sesuai dengan pemahaman keahlian Anda pada kolom keterangan.

WUJUD PENILAIAN KETE IDENTITAS WUJUD FAKTOR NO KODE SYAIR-SYAIR IDENTITAS SOSIAL RANG MASYARAKA PERUBAHAN PERUBAHAN S TS AN T LAMALERA 1 Mata (HW) Ina toa, ama gene ola e, 1. Masyarakat yang Pencaharian Ola’k ka kode kai ro… menjunjung tinggi √ Tite bai mi ola plau lefa pe bate sejarah dan peranan na murang, para leluhur dalam Ara pukeng ina-ama’te gene kae, kehidupan sehari- tite tode tairo… hari (Nenek moyangku telah 2. Masyarakat yang mewariskan pekerjaan ini; menghargai Karena merupakan kerja, maka pekerjaan hasil harus saya jalani… warisan nenek Kita merasakan bahwa pekerjaan moyang di laut itu sungguh amat berat, 3. Masyarakat yang Tetapi karena nenek moyang kita selalu menjaga sudah mewariskan, maka kita harus tradisi warisan nenek jalankan) moyang

5

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4. Masyarakat yang selalu menjunjung tradisi, budaya, dan adat istiadat (manusia berbudaya)

LAA Hau teti Kroko tafa Teria Gere 1. Masyarakat yang 1. Petani 1. Pengaruh √ (4) (Tiba di Kroko tafa Teria Gere) menggantungkan menjadi lingkungan Tale kafe’ heppa’ di Kroko hidup pada hasil nelayan geografis (Tali dan tempuling dari serat perkebunan dan hasil 2. Sinestesia: 2. Mengemban Kroko dan Heppa’) laut tanggap gkan Honek teti lefuk teti Leppa’ 2. Masyarakat yang situasi dan identitas (Kubangun desaku di Lepan) tanggap terhadap kondisi. baru Fanik teti tanak teti Bata setiap situasi dan 3. Penemuan (Mengerjakan ladang ditanah kondisi yang bisa cara kerja Batan) menguntungkan dan yang baru, memberi mereka prinsip baru hidup, sekaligus lalu diterima membuat mereka orang lain bersatu dalam dan menjadi menghadapi setiap milik persoalan. bersama

LAA Hau honek teti Doni Nusa Lela 1. Masyarakat yang √ (11) (Datang membangun di Doni menjunjung nilai Nusa Lela) keadilan dan Fanik teti ue ulu mado solidaritas 1. Ameliorasi: (Mendiami ue ulu mado) kedermawaan yang wujud dan Gelu hekka fato fakka rappa’ tercermin dalam makna yang

6

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

blodo pembagian dan membaik; lefa 1. Pengaruh (Melakukan penukaran alat pemanfaatan daging menjadi lefa lingkungan kerajinan gerabah) paus hari lollo, geografis Sera ribu tali ratu 2. Masyarakat yang menjadi ina 2. Penemuan (Kepada penduduk asli) tidak mengeluh dan fae cara kerja berjiwa kemanusiaan 2. Asosiasi yang baru, √ LAA Seba ola’k lau lefa harri lollo dalam membagikan metaforis: prinsip baru (12 (Mencari nafkah ditengah laut) bagian daging paus persamaan lalu diterima √ Dai epitka’ dai marangka’ yang diperolehnya. sifat ladang orang lain (Mendekati pantai merapat ke 3. Menjunjung tinggi 3. Wujud dan menjadi pinggir) nilai persatuan dan warisan milik Ape tafa gere rae motti Lango persaudaraan sejarah bersama Fujo 4. Masyarakat sebagai menjadi 3. Faktor (Nampak nyala api ditempat nelayan tradisional asimilasi ekonomi berkumpul Lango Fujo) penangkap ikan paus 4. Generalisasi: 4. Benemuan Rae ori Nara Gua tanah 5. Kehidupan nelayan ikan baru: (Ditempat pondok Nara Gua tanah) masyarakat paus menjadi penyempurn bergantung dari laut nelayan aan dari 6. Nelayan Lamalera kehidupan bentuk yang adalah nelayan 5. Wujud lama kehidupan warisan (infention) 7. Masyarakat yang sejarah 5. Bertambahn memiliki jiwa sosial menjadi ya 8. Masyarakat asimilasi penduduk pembarter 6. Mudah menyesuaik an diri (adaptif) 7. Bertemunya dua kebudayaan yang

7

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

berbeda 8. Difusi kebudayaan 9. Akulturasi 10. General isasi

2 Kemasyarakatan LAA Feffa’ be’la’ka’ Bapa Raja Hayam 1. Masyarakat yang taat Ameliorasi: 1. Faktor Identit (1) Wuruk pada pemimpin Sistem ideologi √ √ as (Demi Kehendak Bapa Raja Hayam (ketua adat atau kerajaan 2. Sistem sebagai Wuruk) kepala suku, kepala kolonialism pendat bergeser Pasa – pasa pekka’ lefuk lau pemerintahan dan e dan ang, Luwuk agama) menjadi sistem penaklukan hubung (Terpaksa kutinggalkan desaku di 2. Masyarakat yang taat kekeluargaan, 3. Pengaruh an Luwuk sana) pada aturan adat, marga atau kebudayaan dengan Fengi baata Gadja Mada lali pemerintah, dan suku, lain Keraja Jawa agama pemerintahan 4. Pertentanga an

(Atas perintahnya melalui Gadja n atau Majapa Mada dari Jawa) konflik hit,

Hida’ – hida’ hiangka’ tanah lau Luwuk

Beru - (Kulepaskan rumahku yang Sulawe makmur ditanah Beru) si

LAA Hau honek teti Doni Nusa Lela 1. Masyarakat yang 1. Generalisasi: 1. Bertambahn √ (11) (Datang membangun di Doni cepat membaur, pemahaman ya Nusa Lela) menyesuaikan diri khusus penduduk Fanik teti ue ulu mado dengan keadaan yang masing- 2. Mudah (Mendiami ue ulu mado) baru masing etnik menyesuaik Gelu hekka fato fakka rappa’ 2. Menerima orang lain menjadi an diri

8

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

blodo menjadi bagian dari pemahaman (adaptif) Inkultu (Melakukan penukaran alat keluarga, suku, dan umum sebagai 3. Bertemunya rasi kerajinan gerabah) masyarakat satu keluarga dua Sera ribu tali ratu 3. Masyarakat yang sosial kebudayaan (Kepada penduduk asli) saling melengkapi 2. Ameliorasi: yang dan membantu dalam Istilah Doni berbeda pemenuhan Nusa Lela 4. Difusi kebutuhan bergeser kebudayaan menjadi 5. Akulturasi Wulan Doni, 6. Generalisasi

kemudian 7. Asimilasi sekarang menjadi Wulandoni. 3. Asimilasi:

peleburan sifat kehidupan masyarakat Ue Ulu

Mados Doni Nusa Lela dengan sifat kehidupan leluhur

Lamalera dengan saling menukar pengetahuan dan

keterampilan 4. Asimilasi

9

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

identifikasi 5. Asimilasi

politik: Penyesuaian paham politik antarkedua etnik sehingga

mereka dapat bekerjasama 6. Asosiasi: perbedaan sifat kedua

etnik bergeser menjadi persamaan sifat 7. Asosiasi

sikap: Pudarnya prasangka masyarakat asli terhadap

leluhur Lamalera 8. Pergeseran sistem pertukaran:

Pertukaran pengetahuan dan keterampilan bergeser

10

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menjadi pertukaran

hasil mata √ pencaharian masing- masing etnik 9. Otoritas

kepentingan menjadi saling Masyar memiliki akat 10. Asimilasi nelaya

struktural: n dari golongan leluhur etnik zaman minoritas dahulu menjadi kala

golongan etnik mayoritas 11. Akultura si:

percampuran kebudayaan warisan leluhur dengan

kebudayaan masyarakat pedalaman √ yang saling bertemu dan

11

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

saling memengaruhi

LAA Seba olak lau lefa harri lollo 1. Masyarakat yang 1. Generalisasi: 1. Generalisasi (12) (Mencari nafkah ditengah laut) selalu percaya pada pemahaman 2. Asimilasi Dai epitka’ dai marangka’ tanda-tanda alam atau khusus 3. Asosiasi (Mendekati pantai merapat ke kehendak alam masing- 4. Mudah pinggir) 2. Masyarakat yang masing etnik menyesuaik Legend Ape tafa gere rae motti Lango terbuka dan jujur menjadi an diri a Somi Fujo terhadap berbagai pemahaman (adaptif) Bola (Nampak nyala api ditempat situasi sosial yang umum satu 5. Bertemunya Dere berkumpul Lango Fujo) dialami keluarga dua Hajo: Rae ori Nara Gua tanah 3. Masyarakat yang sosial kebudayaan Hayon- (Ditempat pondok Nara Gua selalu menyelesaikan 2. Asimilasi yang Solor tanah) persoalan secara 3. Asimilasi berbeda musyawarah-mufakat identifikasi: 6. Rasa LAA Kai tutu rae Gesi Gua Wasa 4. Menjunjung tinggi pembauran memiliki (13) (Datang untuk membicarakan nilai solidaritas dan sikap dan nilai 7. Faktor dengan Gesi Gua Wasa) suka membantu 4. Asosiasi: geografis Ona’ sare hone tao 5. Masyarakat yang perbedaan (Dengan senang dan sukarela selalu menyadari sifat menjadi menerima) kebersatuan dan persamaan Kai mari rae Raja Bala Mai persaudaraan sifat (Pergi menyampaikan kepada 6. Masyarakat yang 5. Asosiasi sikap Raja Bala Mai) memiliki interaksi Kolong dike gute life’ sosial yang tinggi (Permintaanku diterima dengan senang hati) Soge: Maum

ere

12

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

LAA Tukar ke teti Hajjo Lamabela 1. Masyarakat yang 1. Memiliki (14) (Mendaki ke Hajjo Lamabela) sangat menghormati pemahaman Kpai narangka’ goe pi dan menjaga nilai- yang sama Korohama nilai perkawinan Struktural 2. Ingin (Timbang nama saya ini 2. Masyarakat yang kekerabatan: membesarka Korohama) selalu menjunjung pengakuan n Jajji kopo mamu tello kae tinggi tujuan sebagai individu perkampung (Melahirkan tiga orang laki-laki) perkawinan menjadi an Surra barre Somi Bola Dera 3. Kesadaran akan status pengakuan 3. Ingin (Dan seorang perempuan Somi dan peran sebagai keluarga mempertaha Bola Dera) 4. Kelompok sosial suku nkan tradisi yang kokoh dan 4. Misi harmonis pewarisan keturunan

LAA Moe Amak narang Atakelake 1. Menjunjung tinggi 1. Wujud 1. Ingin hidup (16) (Engkau Bapakku namanya wujud kepemimpinan kepemimpina dalam Atakelake) paternalistik dan n: kontrol Luato lali Batafai jone patriakhat dalam kepemimpina sosial (Turun ke Bata dipinggir pantai ) tradisi adat istiadat n populis 2. Asimilasi Guti Inak seddo barre lali Soge 2. Selalu menjaga menjadi 3. Ingin (Mengambil mamaku perempuan hokum adat istiadat patrilineal mewarisi dari Soge) 3. Menghindari 2. Lingkup keturunan Inak narang Benge Lefolei perceraian kekerabatan: 4. Misi (Mamaku bernama Benge Lefolei) keluarga menjaga menjadi suku warisan

3. Status sosial: leluhur

bujang 5. Factor

menjadi ideologi

berkeluarga 6. Faktor 4. Asimilasi ekonomi

13

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

perkawinan 7. Difusi kebudayaan

LAA Jajji koppo mamu lema kae 1. Masyarakat yang Lingkup sosial: 1. Ada rasa (17) (Melahirkan lima orang anak laki- hidup bersaudara, keluarga menjadi memiliki laki) bersatu, dan saling suku dan sebagai Tite kaka tali ari menhormati masyarakat bagian dari (Kita semua bersaudara) 2. Masyarakat yang hidup Kaka’ pulo tali arri lema menjunjung tinggi 2. Faktor (Kita semua adalah satu) semangat gotong sosial Lema ajaki lali bata fai jone royong, rela 3. Misi (Dari lima bersaudara berkorban untuk pemertahana berkembang jadi banyak dipinggir banyak orang, n budaya pantai) solidaritas, saling dan adat membantu dan istiadat melengkapi 3. Suku yang ‘melahirkan’ sistem kemasyarakatan 3 Kepercayaan LAA Leppa’ lefu lodo goi tobi 1. Percaya bahwa Kepercayaan Menyadari √ (5) (Pulau Lapan kaya Emas) peristiwa alam adalah khusus: akan Bata tanah isi di selaka kehendak Allah Kepercayaan kehadiran (Tanah Batan mengandung perak) 2. Percaya akan akan wujud yang Ilahi Allah tao tasik lau lebo gere keberadaan Allah dan tertinggi menjadi (Allah menentukan laut bertambah seluruh kehendak- pandangan hidup dalam setiap naik) Nya dan pedoman situasi hidup Tua’ lifu tanah rae mete hau 3. Kehidupan adalah hidup (Tanah didarat semakin sempit) pengalaman iman

LAA Geri tena dai marangka’ teti Ria 1.Berpasrah pada (6) (Naik perahu dan terdampar di 1. Kepercayaan √ kehendak Allah

14

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Riang) 2.Percaya pada yang 1. Menyadari Dai epitka’ teti Roma kekuatan Ilahi meneguhkan: kehadiran (Datang menepi di Romang) 3.Pengorbanan sebagai Allah yang yang Ilahi Matak noi lefuk peti tanak lau persembahan yang menyadarkan dalam setiap (Mata masih dapat melihat mulia kepada Allah menjadi Allah kesulitan kampung halaman) 4.Rela berkorban demi yang memberi dan Tobo naik kade rua keselamatan hidup keselamatan tantangan (Duduk dengan rasa cemas) banyak orang 2. Wujud hidup LAA 5.Selalu memberi persembahan: 2. Faktor (7) Gafek lau fatta’ papa Lamabata persembahan sebagai perhiasan kepercayaan (Melintasi selatan pulau rasa syukur emas dan atau Lembata) 6.Selalu membangun perak menjadi keyakinan Sapek teti Tobi Landeke hubungan yang intim binatang 3. Faktor (Menyingahi Tobi Landeke ) dengan Yang Ilahi peliharaan keselamatan Sigak teti Fatu Bela Baku 3. Wujud doa: hidup (Menyinggahi Fatu Bela Baku ) kepasrahan

Loddo dai kabe hone hollo diri menjadi (Turun kedarat membangun persembahan LAA sebuah gubuk) syukur (8) 4. Sikap doa Honek karo tung pira pai hikko

(Tinggal disana beberapa tahun berlalu) Fanik karo fulla’ pira pai gafe

(Mendiami hingga beberapa bulan berlalu)

Geri Tena di kanea Bakopuka (Naik sebuah peledang bernama Bakopuka) LAA Ole lollo mete hau (9) (Arus hantar semakin kemari)

15

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Hau gafek lau futuk Barasela (Datang melewati tanjung tempat

celaka)

Ole angi lau mete data (Arus dan angin semakin ganas) Pasa – pasa kabe rugi sorakai \ (Terpaksa mengorbankan

perhiasan) Ole me’pe’ rabelina (Agar arus menjadi tenang)

LAA Moe Amak peti kofa lollo tobo 1. Menjunjung tinggi 1. Wujud doa: (15) (Engkau Bapakku yang ada diatas iman akan Yang 1. Asimilasi permohonan langit) Ilahi religious menjadi Likok lau mete dai 2. Percaya akan 2. Faktor ucapan syukur (Melindungi kami jauh dari sana) penyelenggaraan dan keselamatan 2. Kepercayaan Moe Belek peti kella’ tuke dai penyertaan Allah hidup Kepercayaan (Engkau Allahku yang berdiri 3. Selalu bersyukur dan 3. Keyakinan henoteisme ditengah langit) berterima kasih akan satu menjadi Lapak lau mete dai kepada Yang Ilahi Allah monoteisme (Melindungi dan membimbing 4. Percaya pada atau dari jauh datang kemari) bimbingan Roh monoteisme

inplisit 3. Asimilasi religius 4 Peralatan Hidup LAA Geri tena bua – bua laja 1. Masyarakat yang Wujud evolusi 1.Faktor √ (2) (Naik perahu lalu turut berlayar) heorisme model: perahu ekonomi Kai lulu laja teti Sera 2. Menjunjung tinggi layar menjadi 2.Faktor (Turunkan layar dipulau Seram) nilai persatuan dan teknologi peledang Gafi leva Halmahera rasa solidaritas suku tradisional (Mengarungi laut Halmahera) 3. Menjunjung tinggi dayung 3.Adanya Kai kebongka’ teti Gora nilai ekonomi penemuan

16

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(Berlabuh jangkar dipulau Goram) kerakyatan baru secara 4. Memiliki kekuatan infention spiritualitas hidup 4. Faktor geografis

LAA Geri tena narang tena Sera 1. Identitas sosial 1. Wujud 1. Faktor √ (3) (Naik perahu yang namanya masyarakat evolusi teknologi Identit perahu Seram) 2. Selalu model: layar tradisional as Sapek teti Abbo teti Moa membutuhkan fore and aft 2. Adanya diaspor (Singgahi pulau Ambon dan pulau bantuan sesamk dari kanvas penemuan a Moa) 3. Selalu menolong menjadi layar baru secara He’kka lajak di ketebu koli mea 4. Memelihara nilai- anyaman infention (Kuganti layar dengan daun nilai kehidupan gebang atau 3. Faktor gebang si lontar merah) 5. Semangat gotong layar tanjaq geografis Sigak teti Nua Fatu Bela royong, bahu- 2. Asimilasi 4. Tanggap (Singgah juga dikepulauan Fatu membahu dalam morfologis: kearifan Bela) membangun nama lokal alam kesejahteraan geografis 5. Mengenang √ LAA Honek karo tung pira pai hikko bersama menjadi peranan (8) (Tinggal disana beberapa tahun 6. Menghargai nama alam dan berlalu) pembagian peran spiritual sosial Fanik karo fulla’ pira pai gafe sosial (Mendiami hingga beberapa bulan 7. Bertanggung jawab berlalu) atas tugas dan Geri Tena di kanea Bakopuka kepercayaan (Naik sebuah peledang bernama 8. Kerja keras, Bakopuka) kerjasama, kompak Ole lollo mete hau 9. Menjunjung tinggi (Arus hantar semakin kemari) kerja kolektif 10. Masyarakat yang mandiri

17

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

LAA Hau teti Kroko tafa Teria Gere 1. Manusia yang 1. Evolusi 1. Faktor (4) (Tiba di Kroko tafa Teria Gere) perkasa, berjiwa model: kayu modernisasi Tale kafe’ heppa’ di Kroko kerja keras menjadi besi 2. Penemuan (Tali dan tempuling dari serat 2. Pemberani, 2. Dari zaman baru secara √ Kroko dan Heppa’) penderma, teknologi infention Honek teti lefuk teti Leppa’ 3. pemberi kehidupan, tradisional ke 3. Menanggapi (Kubangun desaku di Lepan) 4. pemimpin zaman faktor Fanik teti tanak teti Bata teknologi geografis: (Mengerjakan ladang ditanah modern wilayah Batan) perairan laut 4. Adaptasi

LAA Leppa’ lefu lodo goi tobi 1. terbuka terhadap (5) (Pulau Lapan kaya Emas) Bata tanah isi di selaka perubahan √

(Tanah Batan mengandung perak) 2. kepekaan atau Akulturasi: Allah tao tasik lau lebo gere antisipatif budaya dagang 1. Proses (Allah menentukan laut bertambah 3. selektif dalam atau niaga imigrasi naik) memilih perubahan menjadi budaya 2. Ingin Tua’ lifu tanah rae mete hau 4. menyesuaikan diri agraris mempertaha (Tanah didarat semakin sempit) terhadap modernisasi nkan tradisi secara selektif warisan para 5. tidak menghilangkan leluhur warisan tradisi buada sebagai identitas yang hakiki 5 Bahasa LAA Geri tena bua – bua laja Asimilasi 1. Sesuai √ (2) (Naik perahu lalu turut berlayar) morfologis: dengan mata Kai lulu laja teti Sera konsep pencaharian (Turunkan layar dipulau Seram) penamaan 2. Faktor Gafi leva Halmahera perahu menjadi ekonomi

18

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(Mengarungi laut Halmahera) pengistilahan 3. Faktor Kai kebongka’ teti Gora peledang, proses geografi (Berlabuh jangkar dipulau Goram) pelambangan suatu konsep mengacu kepada suatu referen √

LAA Geri tena narang tena Sera 1. Pergeseran 1. Generalisasi: (3) (Naik perahu yang namanya identitas: tetap perahu Seram) perahu yang mempertahan Sapek teti Abbo teti Moa tidak bernama kan warisan (Singgahi pulau Ambon dan pulau menjadi yang budaya Moa) bernama nenek He’kka lajak di ketebu koli mea 2. Pas pro toto: moyang, (Kuganti layar dengan daun penamaan 2. Ingin gebang si lontar merah) satu perahu mengenang Sigak teti Nua Fatu Bela menjadi warisan (Singgah juga dikepulauan Fatu penamaan nenek Bela) suatu tempat moyang ………………………………… yang luas 3. Ingin ………………………………… 3. Pas pro toto: mengenang LAA Honek karo tung pira pai hikko penamaan tempat yang (8) (Tinggal disana beberapa tahun suatu perahu ‘menghidupk berlalu) menjadi an’ Fanik karo fulla’ pira pai gafe penamaan (Mendiami hingga beberapa mewakili bulan berlalu) suku-suku Geri Tena di kanea Bakopuka (Naik sebuah peledang bernama √ Bakopuka) Ole lollo mete hau

19

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(Arus hantar semakin kemari)

LAA Moe Amak narang Atakelake Metonimia pas Penduduk (16) (Engkau Bapakku namanya pro toto: Benga Lamalera dari Atakelake) Lefolei dari berbagai latar Luato lali Batafai jone Soge sebagai belakang suku (Turun ke Bata dipinggir pantai ) individu menjadi dan ras Guti Inak seddo barre lali Soge mewakili √ Labala (Mengambil mamaku perempuan masyarakat dari Soge) pendatang dari Inak narang Benge Lefolei luar Lamalera (Mamaku bernama Benge Lefolei)

LAA Dai marangke’ teti Luki Lefobala 1. Orang-orang yang Konsep lingual: 1. Faktor (10) (Datang berlabuh di Luki mengerti sopan makna semantik sosial: tidak Lewobala) santun dan tata menjadi makna mau Gere honek teti Lefohajo krama dalam metaforis menyinggun (Naik keatas membangun di menjalin g perasaan Lefohajo) komunikasi dengan orang lain Na’u tobanga buri hori tena orang lain di 2. Bahasa adat (Lesung terbalik air dalam buri sekitarnya tumpah menyirami perahu) 2. Masyarakat Alo gasuka’ lafe lara’ tukka’ Lamalera memiliki (Alu terlepas melintangi jalan) . fonologis kata-kata tertentu yang khas 3. Orang-orang yang memiliki karakter berbahasa yang

khas

20

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

LAA Seba ola’k lau lefa harri lollo (12) (Mencari nafkah ditengah laut) 1. Pergeseran Masyarakat Dai epitka’ dai marangka’ semiotik: hidup (Mendekati pantai merapat ke proses bergantung pinggir) encoding pada alam: laut Ape tafa gere rae motti Lango menjadi Fujo proses (Nampak nyala api ditempat decoding berkumpul Lango Fujo) 2. Pergeseran Rae ori Nara Gua tanah semiologi: (Ditempat pondok Nara Gua tanda alam tanah) menjadi tanda kehidupan hingga sekarang 6 Pengetahuan LAA Seba ola’k lau lefa harri lollo Mencari nafka di 1. Laut bukan √ (12) (Mencari nafkah ditengah laut) laut: sebagai sekadar Dai epitka’ dai marangka’ mata memberi (Mendekati pantai merapat ke pencaharian ikan, tetapi pinggir) menjadi memberikan Ape tafa gere rae motti Lango pengetahuan kehidupan Fujo tentang tata 2. Norma- (Nampak nyala api ditempat acara norma berkumpul Lango Fujo) penangkapan tradisi Rae ori Nara Gua tanah ikan-ikan besar bersifat (Ditempat pondok Nara Gua “sakral dan tanah) magis” 3. Taat pada √ aturan adat LAA Geri tena narang tena Sera 1. Peledang: dan tradisi (3) (Naik perahu yang namanya sebagai sarana

21

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

perahu Seram) penangkapan Sapek teti Abbo teti Moa ikan paus 1. Taat pada (Singgahi pulau Ambon dan pulau menjadi aturan adat Moa) pengetahuan dan tradisi He’kka lajak di ketebu koli mea proses 2. Peralatan (Kuganti layar dengan daun pembuatannya yang gebang si lontar merah) yang melalui mendukung √ Sigak teti Nua Fatu Bela beberapa kehidupan (Singgah juga dikepulauan Fatu tahap ritual memiliki Bela) dan tradisi “roh” ………………………………………. 2. Layar: sarana LAA Hau teti Kroko tafa Teria Gere pendukung (4) (Tiba di Kroko tafa Teria Gere) pelayaran Tale kafe’ heppa’ di Kroko para nelayan (Tali dan tempuling dari serat menjadi Kroko dan Heppa’) pengetahuan Honek teti lefuk teti Leppa’ perekat (Kubangun desaku di Lepan) persatuan Fanik teti tanak teti Bata keluarga- (Mengerjakan ladang ditanah keluarga Batan) dalam suku √ 3. Tempuling: alat menangkap ikan paus mejadi pengetahuan sumber kehidupan masyarakat

LAA Leppa’ lefu lodo goi tobi Peranan alam Masyarakat

22

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(5) (Pulau Lapan kaya Emas) menjadi hidup Bata tanah isi di selaka pengetahuan bergantung (Tanah Batan mengandung perak) tentang tanda- pada alam Allah tao tasik lau lebo gere tanda alam (Allah menentukan laut bertambah naik) Tua’ lifu tanah rae mete hau (Tanah didarat semakin sempit) √ LAA Geri tena dai marangka’ teti Ria (6) (Naik perahu dan terdampar di Riang) Dai epitka’ teti Roma (Datang menepi di Romang) Matak noi lefuk peti tanak lau (Mata masih dapat melihat kampung halaman) Tobo naik kade rua (Duduk dengan rasa cemas)

LAA Hau gafek lau futuk Barasela (9) (Datang melewati tanjung tempat celaka) Ole angi lau mete data (Arus dan angin semakin ganas) Pasa – pasa kabe rugi sorakai (Terpaksa mengorbankan √ perhiasan) Ole me’pe’ rabelina (Agar arus menjadi tenang)

23

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

LAA Seba ola’k lau lefa harri lollo (12) (Mencari nafkah ditengah laut) Dai epitka’ dai marangka’ (Mendekati pantai merapat ke pinggir) Ape tafa gere rae motti Lango √ Fujo (Nampak nyala api ditempat berkumpul Lango Fujo) Rae ori Nara Gua tanah (Ditempat pondok Nara Gua tanah)

LAA Hau honek teti Doni Nusa Lela Wujud 1. Faktor (11) (Datang membangun di Doni pertukaran ekonomi Nusa Lela) barang menjadi 2. Faktor sosil √ Fanik teti ue ulu mado pengetahuan dan budaya (Mendiami ue ulu mado) tentang pasar Gelu hekka fato fakka rappa’ barter dengan blodo ketentuan- (Melakukan penukaran alat ketentuannya kerajinan gerabah) Sera ribu tali ratu (Kepada penduduk asli)

LAA Dai marangke’ teti Luki Lefobala 1. Keharmonis (10) (Datang berlabuh di Luki Bahasa an hidup Lewobala) metaforis 2. Tidak Gere honek teti Lefohajo menjadi menyinggun (Naik keatas membangun di pengetahuan g perasaan Lefohajo) tentang Bahasa- olrang lain √

24

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Na’u tobanga buri hori tena bahasa adat 3. Bahasa adat (Lesung terbalik air dalam buri Lamalera tumpah menyirami perahu) Alo gasuka’ lafe lara’ tukka’ (Alu terlepas melintangi jalan)

LAA Kai tutu rae Gesi Gua Wasa Sistem (13) (Datang untuk membicarakan kemasyarakatan Masyarakat dengan Gesi Gua Wasa) menjadi hidup dalam Ona’ sare hone tao pengetahuan komunitas (Dengan senang dan sukarela tentang garis sosial menerima) keturunan, asal Kai mari rae Raja Bala Mai usul keluarga, (Pergi menyampaikan kepada suku, dan daerah Raja Bala Mai) sehingga Kolong dike gute life’ menyadiari diri (Permintaanku diterima dengan status masing- senang hati) masing supaya ………………………………. benar dalam LAA ………………………………… menyapa dan (14) Tukar ke teti Hajjo Lamabela menempatkan (Mendaki ke Hajjo Lamabela) diri Kpai narangka’ goe pi Korohama (Timbang nama saya ini Korohama) Jajji kopo mamu tello kae (Melahirkan tiga orang laki-laki) Surra barre Somi Bola Dera (Dan seorang perempuan Somi Bola Dera) 7 Kesenian LAA Geri tena narang tena Sera Masyarakat yang Sebagai nelayan, 1. Ada √

25

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(3) (Naik perahu yang namanya memiliki jiwa kesenian juga sebagai masyarakat perahu Seram) dalam kerajinan pengrajin, yang tidak Sapek teti Abbo teti Moa anyaman-anyaman penganyam, dan bisa melaut (Singgahi pulau Ambon dan pulau berbahan daun lontar penempa 2. Menjaga Moa) dan gebang, serta tradisi He’kka lajak di ketebu koli mea penempa-penempa warisan (Kuganti layar dengan daun besi. Selain itu, dikinal nenek gebang si lontar merah) juga sebagai pelukis moyang Sigak teti Nua Fatu Bela dan pengrajin (Singgah juga dikepulauan Fatu miniature-miniatur Bela) bahari seperti perahu, ikan-ikan, dll √ LAA Hau teti Kroko tafa Teria Gere (4) (Tiba di Kroko tafa Teria Gere) Tale kafe’ heppa’ di Kroko (Tali dan tempuling dari serat Kroko dan Heppa’) Honek teti lefuk teti Leppa’ (Kubangun desaku di Lepan) Fanik teti tanak teti Bata (Mengerjakan ladang ditanah √ Batan) (A.4)

LAA Hau honek teti Doni Nusa Lela Masyarakat 1. Ada (11) (Datang membangun di Doni membuat masyarakat Nusa Lela) kerajinan yang tidak Fanik teti ue ulu mado gerabah, bisa melaut (Mendiami ue ulu mado) sekarang 2. Menjaga Gelu hekka fato fakka rappa’ membuat tradisi blodo kerajinan warisan (Melakukan penukaran alat miniatur- nenek kerajinan gerabah) miniatur moyang

26

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Sera ribu tali ratu peledang, ikan, (Kepada penduduk asli) (A.11) dll.

27

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

TEMPAT PENELITIAN

Daerah penelitian tesis ini di Desa nelayan tradisional Lamalera, Kecamatan Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)-Indonesia. Penelusuran tempat penelitian dapat dilakukan dengan menelusuri wilayahnya dalam peta seperti di bawah ini.

Wilayah Negara Indonesia Wilayah Kabupaten Lembata http://www.photovoicesinternational.org https://beseal.wordpress.com/

Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur Wilayah Pantai Selatan Lembata http://alex.dordeduca.ro/tag/island-hopping/ (Sari Rahmadan, 2015)

Desa Nelayan Tradisional Lamalera, https://indonesia360derajat.wordpress.com/

28 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Lampiran IV:

POTRET JATI DIRI MASYARAKAT LAMALERA DALAM SISTEM KEPERCAYAAN (RITUAL ADAT DAN KEBAKTIAN RELIGIUS)

29

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

POTRET JATI DIRI MASYARAKAT LAMALERA DALAM 30

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

SISTEM MATA PENCAHARIAN

31

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

32

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

POTRET JATI DIRI MASYARAKAT LAMALERA (Sistem Peralatan Hidup)

Peledang (tena):

Peledang dalam siaga menangkap ikan Peledang (tena) dalam bangsal Lamalera, http://floresisland.weebly.com/lamalera.ht ml

Peledang dalam proses menikam ikan paus Peledang dalam Bangsal, http://travel.detik.com/

33

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Peledang dalam proses meluluhkan hasil tangkapan

Tempuling (Kafe)

34

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Layar (Laja)

28