KONTRIBUSI K.H. MUKHTAR SEBAGAI ULAMA, SENIMAN, DAN SIMPATISAN PARTAI MASYUMI ABAD XX DI TANGERANG

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Humaniora (M.Hum)

Oleh: Imam Mukorobin NIM: 21150221000003

MAGISTER SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M

KONTRIBUSI K.H. MUKHTAR SEBAGAI ULAMA, SENIMAN, DAN SIMPATISAN PARTAI MASYUMI ABAD XX DI TANGERANG

Tesis Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Humaniora (M.Hum)

Oleh: Imam Mukorobin NIM: 21150221000003

Pembimbing

Prof. Dr. M. Dien Madjid, MA NIP. 194907061971091001

MAGISTER SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M LEMBAR PENGESAHAN

Tesis berjudul “KONTRIBUSI K.H. MUKHTAR SEBAGAI ULAMA, SENIMAN, DAN SIMPATISAN PARTAI MASYUMI ABAD XX DI TANGERANG” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 26 Juli 2019. Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada Fakultas Adab dan Humaniora. Jakarta, 26 Juli 2019

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Prof. Amelia Fauzia, Ph.D Mukmin Suprayogi, M.Si NIP. 19710325 199903 2 004 NIP. 19620301 199903 1 001 Anggota:

Dr. Abd. Chair, MA Dr. Awalia Rahma, MA NIP. 19541231 198303 1 030 NIP. 19710621 200112 2 001

Prof. Dr. M. Dien Madjid, MA NIP. 19490706 197109 1 001 ABSTRAK

Imam Mukorobin. Kontribusi K.H. Mukhtar sebagai Ulama, Seniman, dan Simpatisan Partai Masyumi Abad XX di Tangerang

Studi ini meneliti kontribusi K.H. Mukhtar yang merupakan seorang tokoh elit lokal di Tangerang yang hidup pada tahun 1902-1984. Tesis ini menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan sejarah tokoh atau biografi. Dalam upaya mendapatkan data yang diperlukan, penulis melakukan observasi ke Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Kabupaten Tangerang, Banten yang merupakan pusat kegiatan K.H. Mukhtar dan beberapa tempat lainnya. Selain itu penulis juga melakukan wawancara dengan anak, murid, penerus dan beberapa peneliti sebelumnya, serta karyanya yang berjudul Asâsu Al-Niẕâmî. Dalam penelusuran yang telah dilakukan, penulis menemukan bahwa ia adalah seorang ulama yang aktif di bidang pendidikan, seperti mengadakan kegiatan pengajian, mendirikan madrasah, dan menjawab permasalahan-permasalahan di masyarakat. Selain itu beliau juga merupakan seorang Seniman Kaligrafi Islam yang kontribusinya tergambarkan dari kesuksesan para murid dan penerusnya, serta eksistensi seni itu hingga sekarang. Bukan hanya sebagai seorang Ulama dan Seniman, ia dikenal masyarakat sebagai simpatisan yang gigih membela Partai Politik Islam Masyumi terhadap pandangan negatif di sebagian masyarakat .

Key word: Ulama, Seniman, dan Simpatisan KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Allah SWT yang senantiasa memberikan nikmat, hidayah, dan inayahnya, sehingga tugas akhir (Tesis) ini dapat terselesaikan. Salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, para Sahabat dan Tabi’in yang selalu membimbing umat manusia dengan menyampaikan ajaran agama Islam yang diridhai Allah SWT sampai hari akhir nanti. Tesis yang berjudul “Kontribusi K.H.

Mukhtar sebagai Ulama, Seniman, dan Simpatisan Partai

Masyumi Abad XX di Tangerang” ditulis dalam konteks untuk menyelesaikan studi Strata Dua (S2) pada Fakultas Adab dan

Humaniora, program Magister Sejarah dan Kebudayaan Islam

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari, bahwa Studi ini masih jauh dari kesempurnaan, banyak mengandung kekurangan dan kelemahan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan ke depannya.

Demikianlah, diharapkan studi ini bisa memberikan tambahan khazanah keilmuan dan kebudayaan bangsa Indonesia, khususnya mengenai kepedulian bangsa Indonesia terhadap

vii perjuangan para pejuang kemerdekaan, ulama dan peninggalannya.

Jakarta, Juli 2019

Penulis

viii UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, pada akhirnya karya ilmiah ini dapat terselesaikan, meskipun halangan dan rintangan datang silih berganti. Maka dari itu sudah sewajarnya pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya atas dorongan moril dan material kepada: Prof. Dr. M. Dien Madjid, MA sebagai pembimbing yang dengan sabar dan ikhlas membimbing dan mengarahkan penulis, sehingga karya tulis ini bisa diselesaikan. Beliau juga Selalu memberikan motivasi dan nasihat yang bermanfaat. Bagi penulis itu semua adalah pelajaran hidup dan merupakan harta tak ternilai. Semoga ilmu yang diwariskan bermanfaat dan bisa penulis amalkan. Selayaknya juga penulis sampaikan rasa terima kasih kepada Drs. Saiful Umam, MA, Ph.D sebagai Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Amelia Fauzia, Ph.D dan Mukmin Suprayogi, M.Si, selaku Ketua dan Sekretaris program Magister Sejarah dan Kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, serta Dr. Abd. Chair, MA dan Dr. Awalia Rahma, MA, selaku penguji satu dan dua pada ujian Tesis. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada peneliti arkeologi Pusat Arkeologi Nasional (PUSARNAS) Drs. Tubagus Najib, Dr. Saidun Derani, MA (Dosen SKI FAH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Didin Sirojuddin AR ((Dosen BSA FAH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) selaku mentor yang telah

ix menyempatkan diri dengan waktunya yang begitu sempit untuk membantu penulis dan telah bermurah hati meminjamkan sumber-sumber karya ilmiah milik perpustakaan pribadinya. Sudah sepatutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada pimpinan dan segenap petugas perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, PUSARNAS Jakarta, DISPORABUDPAR, dan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) yang sudah membantu penulis dalam penyediaan referensi. Dengan penuh rasa hormat dan bangga, penulis curahkan ucapan terimakasih kepada kedua orang tua penulis, Ibunda Sumarti dan Ayahanda Abdul Muchlis, yang telah senantiasa mengurus, merawat dan mendidik anaknya hingga kini, baik dengan dukungan moril maupun materi yang telah dikeluarkan. Tidak lupa juga kepada teteh tercinta penulis Ida Ros Dahlia, dan kakak ipar Kusyono, serta keponakanku Syifa Hasya Mayliano dan Hazwan Shafar Liano yang senantiasa mengingatkan dengan rewel akan tugas-tugas yang harus cepat diselesaikan. Serta seluruh keluarga yang selalu memberikan do’anya kepada penulis. Menjadi kewajiban bagi penulis untuk mengucapkan terima kasih kepada bapak Mukri Mian A.Md (Ketua YAMIMI), K.H. Ahmad Kosasih (Sesepuh Kampung Lengkong Ulama), Muhammad Aflah dan Suud (putra K.H. Mukhtar), Baequni Yasin, Mahmud Arham, Muhammad Faiz Abdul Razaq (Khattat Kaligrafi Islam), serta semua orang yang sudah rela menjadi informan bagi penulis.

x Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada teman SPI angkatan 2008, Muhammad Hasan Syahru Ramadhan, dan teman Magister SKI angkatan 2015 yang senantiasa menemani dan bertukar pikiran (sharring). Khusus penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada ketua umum Yayasan Pendidikan Islam Raudhatut Tauhid (YAPIRA), bapak K.H. Muhammad Yunus M.Ag dan ibunda Ustadzah Hj. Lelih Muhlisoh S.Ag, beserta jajaran. Tidak akan terlupakan juga ucapan terima kasih kepada Habib Muhammad Ubay Yahya (guru), Eyang Candra, Ridwan Saputra, Haris, Firman Ainul Yaqin, Muhammad Ruhyat, Muhammad Fatwa, Pak De Noe, dan seluruh teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. Akhirnya untuk mengungkapkan rasa syukur yang mendalam, maka penulis tutup karya ilmiah ini dengan kalimat hamdalah “Alhamdulillahi rabbil ‘alamîn”.

Jakarta, Juli 2019 Penulis

xi DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ...... ii

ABSTRAK ...... v

KATA PENGANTAR ...... vii

UCAPAN TERIMAKASIH ...... ix

DAFTAR ISI ...... xii

PEDOMAN TRANSLITERASI ...... xvi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ….....………….... 1

B. Rumusan Masalah ……………………….. 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... ……… 11

D. Tinjauan Pustaka ……..………….....……. 12

E. Metode Penelitian ……………………...... 17

1. Pendekatan dan Landasan Teoritis …… 17

2. Jenis dan Sumber Data ……………...... 18

3. Metode Pengumpulan Data …………... 19

4. Analisis Data ……………………...... 21

5. Langkah-langkah Penelitian ………...... 21

F. Sistematika Penulisan …………………..... 24

xii BAB II SEJARAH HIDUP K.H. MUKHTAR SELAYANG PANDANG

A. Riwayat Hidup K.H. Mukhtar ..………...... 26

B. Guru Dan Geanologi Keilmuan ...... 44

C. Teman Seperguruan Dan Seperjuangan …. 53

D. Karya tulis dan Murid ...... 54

E. Wafat K.H. Mukhtar ...... 56

BAB III KONTRIBUSI K.H. MUKHTAR SEBAGAI ULAMA

A. Metode Pembelajaran ……………………. 63

B. Menjawab Permasalahan Masyarakat …… 70

C. Karya-karya K.H. Mukhtar …………..…... 73

BAB IV AKTIFITAS SENI KALIGRAFI ISLAM K.H. MUKHTAR

A. Metode Pengembangan Dan Penyebarluasan Ilmu Kaligrafi Islam ...... 80

B. Guru Di Bidang Kaligrafi Islam ………..... 89

C. Murid Dan Penerusnya ...... 91

xiii BAB V PARTAI POLITIK ISLAM MASYUMI DAN K.H. MUKHTAR

A. Perkembangan MIAI, Masyumi Pra Kemerdekaan, Dan Pasca Kemerdekaan Indonesia ...... 100

B. Pandangan Partai Politik Masyumi K.H. Mukhtar Versus Masyarakat …..…………. 105

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan …………………….……...... 125

B. Saran dan Kritik ………….……………..... 126

DAFTAR PUSTAKA ...... 127

LAMPIRAN-LAMPIRAN ...... 135

xiv PEDOMAN TRANSLITERASI

Huruf Huruf Keterangan Arab Latin Tidak dilambangkan ا b be ب t te ت ts te dan es ث j je ج h h dengan garis bawah ح kh ka dan ha خ d de د dz de dan zet ذ r er ر z zet ز s es س sy es dan ye ش s es dengan garis di bawah ص ḏ de dengan garis di bawah ض ṯ te dengan garis di bawah ط ẕ zet dengan garis di bawah ظ ʻ Koma terbalik di atas hadap kanan ع gh ge dan ha غ f ef ف q ki ق k ka ك l el ل m em م n en ن w we و h ha ھ Apostrof ` ء y ye ي

xv BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah K.H. Mukhtar merupakan salah seorang elit lokal Kabupaten Tangerang, Banten yang memberikan kontribusi besar dalam mengembangkan ajaran agama Islam pada bangsa Indonesia.1 Ki Utang2 dikenal masyarakat sebagai seorang Ulama, Seniman, dan Simpatisan Partai Islam Masyumi yang produktif.3 Selama ini masyarakat memahami bahwa tokoh lokal hanya dikenal dan berperan di daerahnya masing-masing, bahkan hanya memberikan efek pada ruang lingkup yang sempit. Akan tetapi, studi ini ingin mengungkapkan bahwa tokoh elit masyarakat lokal bisa memberikan kontribusi besar di masyarakat dalam konteks bagaimana peran K.H. Mukhtar turut memajukan bangsa Indonesia. Sepanjang hayatnya, K.H. Mukhtar tidak terlepas dari mengajarkan Islam dan umumnya bersumber pada Arab gundul

1 Penulis menemukan beberapa sosok Ulama Kampung Lengkong Ulama yang berkontribusi dalam perkembangan Islam yang di antaranya adalah K.H. Mukhtar. 2 Ki Utang adalah sapaan atau panggilan akrab masyarakat Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 3 Produktif yang dimaksud penulis yaitu menghasilkan cukup banyak karya tulis, meskipun sampai saat ini hanya satu kitab yang dapat penulis temukan yaitu Asâsu Al-Niẕâmî dan sudah dalam bentuk cetakan yang diterbitkan oleh Al-Ma’arif Bandung.

1 2

(kitab kuning)4 sebagai salah satu referensi atau bahan rujukan yang akan disampaikan, sehingga dapat dipertanggungjawabkan keabsahan keilmuannya. Kegiatan itu umumnya berlangsung di majelis, masjid, madrasah, dan pondok .5 Salah satu karya klasik yang menjadi bahan kajiannya adalah Iẖyâ ‘Ulûmu al-Dîn,6 karya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al- Ghazali atau yang lebih dikenal dengan sebutan Imam al-Ghazali (w. 111 M). Sebagai seorang ulama ia harus bisa membimbing dan mengayomi masyarakat. Biasanya, rutinitas pengajian di majelis diperuntukan bagi kaum hawa yang terdiri dari remaja dan ibu- ibu yang diharapkan mereka akan semakin faham dengan hak dan kewajibannya sebagai seorang muslimah, baik hubungan dengan Tuhan, maupun sesama manusia, terutama sebagai seorang anak, istri dan ibu. Sedangkan kegiatan di masjid diprioritaskan untuk pembelajaran anak-anak, remaja, dan pria dewasa yang bertujuan sama dengan kaum hawa, akan tetapi yang membedakan adalah perannya sebagai seorang anak, suami dan ayah. Seperti yang sudah disinggung di atas, K.H. Mukhtar termasuk ulama yang bergerak di bidang pendidikan dan salah

4 Lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, Dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), cet. 2. Hal.17- 19. Selanjutnya disebut Bruinessen. 5 Pesantren adalah salah satu tradisi agung (great tradition) di Indonesia dan merupakan bagian penting dari prasarana dalam mengkaji kitab kuning. Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, Dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia, cet. 2. Hal. 17. 6 Wawancara pribadi dengan Suud pada tanggal 22 Oktober 2017 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 3

satunya, aktif mengajar di pondok pesantren. Di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten adalah tempat berdirinya Pesantren Lengkong yang menjadi pusat kegiatan pengabdiannya di masyarakat. Pondok Pesantren Lengkong sudah berdiri sejak abad ke-19 M, meskipun belum terlihat seperti lembaga pendidikan yang ada sekarang. Hal ini dapat diketahui dari adanya berbagai kegiatan keagamaan yang rutin diselenggarakan oleh masyarakat di bawah asuhan K.H. Mustaqim. Pengajian ini kemudian diteruskan oleh K.H. Ali bin Mustaqim, K.H. Dana, K.H. Musa bin Mustaqim, dan K.H. Azhari.7 Dalam konteks ini Nuryani menuturkan bahwa Pesantren Lengkong mulai mencontoh pesantren-pesantren pada umumnya di Indonesia sejak kepemimpinan K.H. Asnawi bin K.H. Muhili, sehingga masyarakat mengenalnya sebagai pendiri lembaga pendidikan tersebut.8 Menurut penulis, Pondok Pesantren Lengkong sudah ada sejak masa hidupnya Raden Aria Wangsakara atau Aria Wiraraja II sesepuh tertua perkampungan itu. Ia dikenal sebagai pendiri

7 Wawancara Nuryani dengan K.H. Kosasih pada tanggal 20 Januari 1996 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten., dan Wawancara pribadi dengan K.H. Kosasih pada tanggal 30 Oktober 2012 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 8 Wawancara Nuryani dengan K.H. Kosasih pada tanggal 20 Januari 1996 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten., Wawancara pribadi dengan K.H. Kosasih pada tanggal 30 Oktober 2012 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten., dan lihat juga Tubagus Najib, Potret Lengkong Ulama: Rekontruksi Sejarah Dan Arkeologi, (Tangerang: DISPORABUDPAR, 2011), hal. 107-108. Selanjutnya disebut Najib. 4

sekaligus pengembang Islam pertama di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten.9 Dalam perkembangannya, pada tahun 1949 ketika K.H. Mukhtar menjabat sebagai pimpinan Pondok Pesantren Lengkong periode 1949-1953, mampu membuat perubahan besar pada sistem pendidikannya, yaitu dengan menambahkan Madrasah Ibtidaiyah sebagai lembaga pendidikan formal. Kurikulum yang diterapkan mencakup pendidikan agama Islam, seperti fiqih dan tauhid.10 Namun yang menjadi suatu keunikan tersendiri adalah kegiatan ekstrakurikuler Tahsin al-Khat atau kaligrafi di madrasah ini, dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran utama yang wajib diikuti oleh seluruh siswa.11 Meski demikian, dengan didirikannya lembaga formal, bukan berarti tradisi sorogan dalam proses pembelajaran tetap dilanjutkan. Bahkan pada masa berikutnya, di tahun 1975 para

9 Raden Aria Wangsakara juga dikenal sebagai salah satu dari tiga pendiri Kabupaten Tangerang, bersama dua orang yang lainnya yaitu Raden Jaya Santika dan Raden Aria Yudanegara. Lihat Edi. S. Ekadjati, dkk., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah Kabupaten Tangerang, 2004), hal. 84-85. Selanjutnya disebut Ekadjati., Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: KPG, 2009), hal. 121-132., dan Najib, Potret Lengkong Ulama: Rekontruksi Sejarah Dan Arkeologi, hal. 6-15. Penulis juga telah melakukan penelitian dasar mengenai tokoh terkait dalam rangka menyelesaikan studi SI prodi Sejarah dan Kebudayaan Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 10 Wawancara Nuryani dengan Ustadz Alwi Muhsin pada tanggal 3 Maret 1996 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten., dan Najib, Potret Lengkong Ulama: Rekontruksi Sejarah Dan Arkeologi, hal. 87. 11 Wawancara pribadi dengan Mukri Mian pada tanggal 31 Oktober 2012 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 5

pengasuh Pondok Pesantren Lengkong mendirikan Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah pada tahun 1987.12 Selain di majelis taklim, masjid, madrasah, dan pondok pesantren, sering kali para santri mendatangi kediaman K.H. Mukhtar yang terletak di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten dengan kajian kitab yang disesuaikan atas permintaan (request) dan tingkatan dari santri terkait. Tidak jarang beliau juga harus mengisi materi pengajian ke berbagai tempat di sekitar Pandeglang, Serang, Banten yang dilaksanakan berpindah-pindah dan bergantian tempat di kediaman para jamaahnya.13 Sebagian besar jamaah yang hadir dalam pengajian itu terdiri dari kalangan santri dan asâtîdz atau teman sebaya. Bukan hanya kitab kuning, K.H. Mukhtar juga ahli dalam bidang kesenian, lebih tepatnya seni kaligrafi Islam. Tidak sedikit yang berminat mempelajari gaya tulisan indah itu kepadanya, terutama masyarakat Kampung Lengkong Ulama sendiri. Seperti pengkajian kitab kuning, kaligrafi Islam juga diajarkan langsung di rumahnya secara bebas.14 Bahkan diketahui juga salah satu ciri khas dari Madrasah Ibtidaiyah yang berdiri Kampung Lengkong

12 Wawancara Nuryani dengan Ust. Alwi Muhsin pada tanggal 3Maret 1996 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 13 Wawancara pribadi dengan Suud pada tanggal 22 Oktober 2017 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 14 Karena waktu belajar di sekolah sangat singkat, K.H. Mukhtar memberikan kesempatan belajar kaligrafi lebih mendalam di rumahnya. Dengan begitu sangat memungkinkan untuk memaksimalkan potensi para calon kaligrafer. 6

Ulama menjadikan kaligrafi Islam sebagai mata pelajaran wajib untuk semua siswa yang belajar di sekolah itu.15 Di antara murid-muridnya yang sukses dalam menekuni kesenian kaligrafi yaitu Muhammad Abdul Razzaq Muhili,16 Mahmud bin Arham,17 Muhammad Faiz Abdul Razzaq.18 Dalam hubungan ini, Didin Sirodjuddin AR memasukan ketiga kaligrafer asal Tangerang ini sebagai Khattat Indonesia.19 Lebih

15 Sampai saat ini kegiatan belajar mengajar ilmu kaligrafi Islam masih berlangsung di Yayasan Pendidikan Manbaul Irfan, bukan hanya di Madrasah Ibtidaiyah saja, tapi juga Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. 16 Berasal dari Kampung Lengkong Ulama Tangerang dan menjadi seorang pembina kaligrafi serta Khattat buku. Salah satu karyanya adalah lukisan halaman permulaan Alquran surat Al-Baqarah dengan khat naskhi yang terlampirkan dalam buku yang berjudul Seni Kaligrafi Islam karya Didin Sirojuddin. Didin Sirojuddin, Seni Kaligrafi Islam, (Jakarta: Multi Kreasi Singgana, 1992), Cet. 4., hal. 256 dan 299.Selanjutnya disebut Sirojuddin. Lihat juga Wawancara Nuryani dengan K.H. Ma’mun bin Asnawi pada tanggal 20 Januari 1996 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 17 Berasal dari Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten dan menjadi seorang Khattat buku dan dinding, serta pernah mendapatkan juara 1 dalam perlombaan khat atau kaligrafi se-ASEAN pada tahun 1989. Sirojuddin, Seni Kaligrafi Islam, cet. 4., hal. 256. 18 Dari berasal Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten dan menjadi seorang Khattat buku dan pernah mendapatkan juara harapan pada perlombaan se-ASEAN pada tahun 1989. Sirojuddin, Seni Kaligrafi Islam, cet. 4., hal. 256., dan lihat juga Wawancara Nuryani dengan K.H. Ma’mun bin Asnawi pada tanggal 20 Januari 1996 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. Menurut informasi dari masyarakat Kampung Lengkong Ulama sekarang masih terus aktif di bidang kaligrafi dan menetap di Surabaya. 19 Jumlah Khattat di Indonesia sangat banyak, yang teraktif di antara mereka umunya berpropesi sebagai penulis khat buku-buku atau naskah- naskah agama di berbagai penerbit, penghias dinding atau pengikut lomba- lomba kaligrafi yang diselenggarakan oleh berbagai kalangan. Sedikit banyak mengenai kaligrafer Indonesia yang namanya dapat tercatat. Namun untuk menyebutkan seluruh kaligrafer Indonesia sangatlah sulit, karena nama-nama mereka jarang terpublikasikan dan umumnya tidak terbiasa menampilkan diri 7

lengkap lagi Nuryani menyebutkan nama-nama kaligrafer asal Tangerang, yaitu K.H. Hasan bin Qasim, K.H. Mukhtar, K.H. Abdur Rajaq bin Muhili, K.H. Ma’mun bin K.H. Asnawi, Hasan Tabrani, Muhamad Faiz, Abdul Wasi’, Mahmud Arham, dan Baequni.20 Salah satu bukti nyata dari kegiatan seni kaligrafi yang masih ada adalah Alquran tulisan tangan K.H. Muhili yang merujuk pada Alquran dari Turki yang ditulis pada tahun 1927. Naskah ini dapat ditemukan dan dapat dilihat di Bayt Alquran dan Museum Istiqlal Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Tulisan K.H. Mulili ini bergaya Naskhi (tulisan naskah). Pada halaman depannya, surat al-Fatihah dan awal al-Baqarah dihiasai dengan iluminasi (hiasan pinggir) dengan motif bunga dan daun yang berkombinasikan warna merah, hijau, dan emas.21 Sebagai seorang simpatisan Partai Islam Masyumi, ia berusaha membela dan menjelaskan kepada masyarakat mengenai pandangan negatif mereka terhadap partai itu. Bahkan keluarga, murid, teman sebaya, dan masyarakat Kampung Lengkong Ulama mengenalnya sebagai anggota Masyumi cabang Tangerang. Sedangkan Lengkong pada masa revolusi fisik (1945-1949) merupakan pusat penggemblengan kader-kader partai. Salah satu di muka umum, baik melalui pameran maupun acara lainnya. Sirojuddin, Seni Kaligrafi Islam, cet. 4., hal. 253-263. 20 Wawancara Nuryani dengan K.H. Ma’mun bin Asnawi pada tanggal 20 Januari 1996 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. Lihat juga Najib, Potret Lengkong Ulama: Rekontruksi Sejarah Dan Arkeologi, hal. 98-99. 21 Najib, Potret Lengkong Ulama: Rekontruksi Sejarah Dan Arkeologi, hal. 99-100. 8

ormas pemuda Islam yang aktif mengikuti pelatihan adalah PII dan HMI. Bahkan diketahui juga, karena cabang Masyumi berpusat di Kampung Lengkong Ulama, Muhammad Natsir yang menjabat sebagai ketua pernah datang beberapa kali.22 Informasi Suud menyebutkan bahwa Idham Khalid juga pernah berkunjung ke Kampung Lengkong Ulama.23 Dalam konteks pemerintahan Kabupaten Tangerang, selain pembentukan DPRD, juga dibentuk Dewan Pemerintah Daerah (DPD) yang berganti nama menjadi Badan Pemerintah Harian (BPH) setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Saat itu anggota BPH Tangerang yang terpilih adalah Haji Syahroni, Thabi’i, dan Jairan dari Masyumi, dan Abdurahman dari Murba. Berdasarkan komposisi tersebut, maka dapat disimpulkan anggota Masyumi mendominasi kursi pemerintahan.24 Diketahui juga, pada masa kepemimpinan K.H. Amin Abdullah (1959-1966), K.H. Mukhtar menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Tangerang. Meskipun dalam suasana mengikuti rapat, ia selalu berpenampilan khas memakai sarung dan peci, padahal anggota dewan lainnya berbusana kebaratan seperti mengenakan celana dan jas.25

22 M. Hanief, “Lengkong Kulon: Kampung Ulama Yang Nyaris Punah” dalam majalah Media Dakwah edisi September No. 219 (Jakarta: Media Dakwah, 1992), hal. 47. 23 Wawancara pribadi dengan Suud pada tanggal 22 Oktober 2017 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 24 Ekadjati, Sejarah Kabupaten Tangerang, hal. 222-223. 25 Najib, Potret Lengkong Ulama: Rekontruksi Sejarah Dan Arkeologi, hal. 87. 9

Pada masa revolusi fisik ia dipercayai oleh masyarakat untuk memimpin Kecamatan Legok (sekarang menjadi wilayah Kecamatan Pagedangan). Pada saat itu perkantorannya adalah rumah milik Bapak Bajaji. Sebagai Camat, K.H. Mukhtar selalu update dalam mendapatkan informasi, karena di Lengkong sudah terdapat telepon yang menghubungkan jaringan komunikasi dengan pemerintahan Kabupaten Tangerang.26 Masyarakat Kampung Lengkong Ulama mengenal K.H. Mukhtar sebagai seorang ulama yang produktif dalam menghasilkan karya tulis. Meski demikian, sangat disayangkan buah pemikiran yang dikatakan cukup banyak itu, hanya sedikit yang dapat ditemukan. Salah kitab yang penulis dapat temukan adalah Asâsu Al-Niẕâmî (pokok-pokok hukum) yang dikemas dengan berbahasa Arab, Sunda dan Melayu, serta bertuliskan aksara Arab Melayu atau pegon dan sudah dalam bentuk hasil cetakan.27 Sedangkan topik pembahasanya mencakup masalah tauhid, akhlak tasawuf, dan pergerakan politik yang terkait dengan Partai Masyumi. Alasan disusunnya kitab ini jelas disebutkan dalam judul lengkapnya yaitu Asâsu Al-Niẕâmî: fi Raddi ‘ala al-Ṯâ’nîna fi Hizbi al-Islâmi yang artinya dasar-dasar pokok untuk membantah

26 Najib, Potret Lengkong Ulama: Rekontruksi Sejarah Dan Arkeologi, hal. 87. 27 Kitab Asâsu Al-Niẕâmî ini didapatkan dari salah satu putranya, Ustadz Muhammad Aflah dalam obeservasi yang dilakukan penulis pada tanggal 8 Oktober 2016 di kediamannya, Pakulonan, Tangerang, Banten. 10

ucapan orang-orang yang menghina gabungan (organisasi/kelompok/partai) Islam.28 Asumsi penulis dalam tesis ini, peran dan kontribusi ulama lokal bukan hanya berdampak di daerahnya masing-masing, melainkan juga dapat dirasakan pengaruhnya di wilayah lainnya. Hal itu dapat kita lihat dari peninggalannya seperti infrastruktur, karya tulis dan murid-muridnya yang mampu mengembangkan ilmu dan potensi yang mereka miliki yang berdampak luas pada pengembangan masyarakat NKRI. Demikian penulis telah memaparkan serta mendeskrifsikan begitu signifikan kontribusi K.H. Mukhtar dalam konteks edukasi, inspirasi, dan motivasi bangsa Indonesia. Hal yang menarik dari penelitian ini adalah begitu besar peran K.H. Mukhtar sebagai elit lokal untuk bangsa dan Negara Indonesia, namun belum banyak diketahui masyarakat, khususnya kalangan akademisi yang melakukan riset secara komprehensif. Studi penulis ini, ingin menjawab pertanyaan yang ada di masyarakat.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, setiap penulisan sejarah yang berbasis akademik harus dirumuskan permasalahannya yaitu dengan memfokuskan penelitian pada kontribusi K.H. Muhammad Mukhtar dalam memajukan bangsa Indonesia dengan dibatasi oleh batasan temporal dan spasial. Batasan temporal erat kaitannya dengan waktu yaitu berkisar

28 Muhammad Mukhtar, Asâsu Al-Niẕâmî: fi Raddi ‘ala al-Ṯâ’nîna fi Hizbi al-Islâmi, (Bandung: l-Ma’arif, tanpa tahun terbit), hal. 3. 11

pada abad XX, karena pada masa ini erat kaitannya dengan eksistensi tokoh elit lokal ini, dalam memajukan bangsa Indonesia, terutama kontribusinnya sebagai ulama, seniman dan simpatisan Partai Islam Masyumi. Adapun pertanyaan pokok dalam penelitian ini yaitu bagaimana kiprah K.H. Mukhtar dalam memajukan bangsa Indonesia? Ada pun sub rumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana peran K.H. Mukhtar sebagai ulama di tengah masyarakat? 2. Bagaimana aktivitas K.H Mukhtar sebagai seniman kaligrafi Islam di tengah masyarakat? 3. Bagaimana pemikiran dan aktivitas K.H. Mukhtar sebagai simpatisan Partai Politik Masyumi abad XX?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bermaksud untuk mendeskripsikan dan merekonstruksi sejarah elit lokal yang berperan sebagai ulama, seniman, dan simpatisan dalam memajukan bangsa Indonesia. Adapun tujuan tersebut yaitu bersifat akademik maupun bersifat praktis: Secara akademik, penelitian ini bermaksud menjelaskan dan mendeskripsikan sejarah peran K.H. Mukhtar yang bergerak di bidang edukasi, kesenian, dan politik yang bertujuan untuk memajukan bangsa Indonesia. 1. Tujuan lainnya adalah untuk memahami secara lebih utuh, latar belakang kehidupan dari K.H. Mukhtar. 12

2. Untuk melihat peran dan kontribusi dari K.H. Mukhtar sebagai seorang ulama. 3. Untuk menjelaskan aktivitas seni kaligrafi Islam K.H. Mukhtar. 4. Untuk memaparkan pemikiran dan aktivitas K.H. Muhktar sebagai simpatisan Partai Politik Masyumi abad XX.

Adapun kegunaan penelitian ini adalah: 1. Diharapkan hasil penelitian ini, menjadi acuan berfikir dalam menentukan ke arah mana perkembangan bangsa Indonesia dikemudian hari. 2. Sumber acuan bagi penelitian selanjutnya, maupun untuk penulisan lain di bidang yang sama. 3. Diharapkan hasil penelitian ini menjadi edukasi, inspirasi, dan motivasi bangsa Indonesia agar tidak pernah berhenti berjuang. 4. Kajian sejarah biografi dapat dijadikan bahan penyusunan muatan lokal (mulok), pada jenjang pendidikan dasar, menengah, maupun atas, sebagai modal generasi muda dalam menata diri dan menjawab tantangan zamannya.

D. Tinjauan Pustaka Tulisan-tulisan yang membahas tentang sejarah Kabupaten Tangerang Banten, sudah beberapa kali muncul ke permukaan. Hal ini menandakan bahwa sudah ada beberapa peneliti yang mengulas mengenai wilayah tersebut. Namun mengenasi peran elit lokal, khususnya K.H. Mukhtar sebagai ulama, seniman, dan 13

simpatisan Partai Politik Masyumi dalam memajukan bangsa Indonesia, belum banyak peneliti yang mendalaminya. Sejauh mana peneliti menelusuri di berbagai perpustakaan dan internet, belum ada satupun penelitian berbasis akademik (skripsi, tesis atau disertasi), yang khusus membahas tentang peran K.H. Mukhtar. Kalaupun ada, hanya terpotong-potong dan kurang komprehensif, sehingga hal tersebut menjadi celah bagi peneliti, untuk mengkaji lebih dalam masalah ini dalam bentuk penelitian tesis. Beberapa tulisan yang sudah ada terkait yang akan dibahas penulis: Pertama, Karya Mukri Mian, ”Sejarah Kampung Lengkong”,29 kedua, buku yang berjudul ”Potret Lengkong Ulama: Rekontruksi Sejarah Dan Arkeologi” yang disusun Drs. Tubagus Najib dan kawan-kawan,30 ketiga, buku ”Sejarah Kabupaten Tangerang,”31 yang disusun Tim Pusat Studi Sundanologi beranggotakan Prof. Edi S. Ekadjati, A. Sobana Hadjasaputra, dan Muhammad Mulyadi, keempat, buku ”Arkeologi Islam Nusantara”32 yang ditulis Prof. Dr. Uka Tjandrasasmita, dan kelima, buku ”Sejarah Kabupaten

29 Mukri Mian, Sejarah Kampung Lengkong, Naskah, (Tangerang: tanpa penerbit, 1983). 30 Tubagus Najib, Potret Lengkong Ulama: Rekontruksi Sejarah Dan Arkeologi (Tangerang: DISPORABUDPAR, 2011). 31 Edi S. Ekadjati, dkk, Sejarah Kabupaten Tangerang (Tangerang: Pemerintah Kabupaten Tangerang, 2004). 32 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi IslamNusantara (Jakarta: KPG, 2009). 14

Tangerang”,33 yang disusun Drs. Eddy Rustan Effendi Wijaya, M.Pd. Pertama, Naskah yang ditulis Mukri Mian, sejauh yang penulis telaah menceritakan garis besar riwayat hidup Raden Aria Wangsakara dan perjuangan semasa hidupnya, serta menerangkan sejarah singkat Kerajaan Sumedang. Naskah itu ditulis berdasarkan sebuah naskah kuna yang bertuliskan huruf pegon dan berbahasa Sunda-Jawa yang sayangnya sampai saat ini belum diketahui secara pasti di mana keberadaannya.34 Namun perlu diketahui juga, bahwa naskah kuna yang hilang tersebut, merupakan acuan dasar dari naskah yang ditulis Mukri Mian dan orang yang memperkenalkan naskah itu tidak lain ialah K.H. Mukhtar. Tulisan ini membantu penulis memahami latarbelakang berdirinya Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten sebagai tanah kelahiran dan tempat bermukimnya K.H. Mukhtar. Naskah Sejarah Kampung Lengkong yang ditulis Mukri Mian di atas, memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Di antara kelebihannya adalah naskah tersebut dilengkapi dengan silsilah Raden Aria Wangsakara dari pihak ayah dan ibu, keturunannya, dan silsilah Raja Kerajaan Sumedang. Ada pun kekurangnya adalah tidak ditemukan informasi mengenai K.H.

33 Edyy Rustan Effendi Wijaya, Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah Kabupaten Tangerang, 2010). 34 Naskah itu dipinjam oleh dosen pembimbing mahasiswa yang melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kampung Lengkong Ulama, Desa Lengkong Kulon, Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten dan hilang karena tidak dikembalikan dosen yang bersangkutan, yang sampai sekarang tidak diketahui di mana naskah tersebut berada. 15

Mukhtar, hanya tercantum nama dalam silsilah keturunan Raden Aria Wangsakara. Kemudian yang kedua, sebuah karya mengenai perkampungan kuna di Kabupaten Tangerang Banten yang disusun Drs. Tubagus Najib dan kawan-kawan yang berjudul ”Potret Lengkong Ulama: Rekontruksi Sejarah Dan Arkeologi”, memaparkan perkembangan Kampung Lengkong Ulama dari zaman ke zaman secara keseluruhan yang mencakup beberapa aspek kehidupan, seperti aspek sosial-budaya, ekonomi, dan historis. Buku ini memiliki kelebihan yaitu keterangan- keterangan yang tertera di dalamnya, diperjelas dengan lampiran poto-poto yang berkaitan dengan pembahasan, seperti poto-poto peninggalan arkeologis, lingkungan perkampungan Lengkong Ulama dan peta Kuna Lengkong, sehingga buku tersebut terlihat lebih menarik dan orang yang membacanya mudah untuk memahami isinya. Sedangkan kekurangannya ialah terlalu singkatnya pembahasan mengenai masing-masing ulama yang disebutkan dan beberapa tokoh di dalamnya hanya disebutkan sekilas, seperti K.H. Muhilli dan K.H. Ahmad Ghazali, sehingga minimbulkan pertanyaan siapa dan kontribusi apa saja yang telah mereka berikan semasa hidupnya. Buku Ketiga yang disusun Prof. Edi S. Ekadjati dan kawan- kawan dari Tim Pusat Studi Sundanologi yang berjudul ”Sejarah Kabupaten Tangerang” menerangkan berbagai aspek kehidupan masyarakat Kabupaten Tangerang dimulai sejak Zaman Prasejarah sampai Zaman Sejarah dan hal itu menjadikannya sebagai kelebihan buku ini. Selain itu, terlihat pada perspektif 16

yang ditawarkan kajian studi ini bahwa begitu pentingnya Tangerang di mata Kesultanan Banten dan para penjajah bangsa Indonesia, baik periode penjajah Belanda maupun masa Fasisme Jepang. Pada era kemerdekaan dan paska kemerdekaan memberikan gambaran garis besar mengenai pergerakan masyarakat baik, di bidang edukasi, politik maupun ekonomi. Menjadi kekurangan pada tulisan ini adalah banyak sub bab yang dibahas, akan tetapi informasi yang diberikan masih minim dan tidak disebutkan sama sekali terkait dengan tokoh elit masyarakat yang penulis kaji. Kemudian yang keempat, karya Prof. Dr. Uka Tjandrasasmita yang berjudul ”Arkeologi Islam Nusantara” lebih memfokuskan pembahasannya tentang peninggalan-peninggalan arkeologi di berbagai wilayah Indonesia dan salah satunya adalah mengenai Kampung Lengkong Ulama Tangerang Banten dan Raden Aria Wangsakara sebagai pendirinya. Sedangkan mengenai perkembangan wilayah dan penerus dan masyarakatnya belum penulis temukan. Kelima, buku ”Sejarah Kabupaten Tangerang” yang disusun Drs. Eddy Rustan Effendi Wijaya, M.Pd, tidak jauh berbeda dengan karya Drs. Tubagus Najib. Buku ini lebih cenderung memaparkan sejarah dan arkeologi Kabupaten Tangerang, selain uraiannya singkat, dapat juga menimbulkan ketidakjelasan interpretasi yang dimaksud. Adapun Nilai lebih karya Effendy ini terletak pada sedikitnya halaman yang ditulis, akan tetapi ia berusaha memaparkan tempat dan benda-benda arkeologis yang terdapat di Kabupaten Tangerang. Selain itu juga 17

karena dilengkapi dengan poto-poto berkaitan dengan informasi yang diberikan, sehingga membantu memudahkan pembaca memahaminya.

E. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Landasan Teoritis Prof. Dr. Taufik Abdullah, sejarawan senior Indonesia, dalam karyanya “Manusia Dalam Sejarah, Sebuah Pengantar”,35 untuk melihat kebesaran atau keberhasilan seseorang dalam sejarah menyebutkan bahwa bagaimana sang tokoh mencoba mengatasi segala hambatan sosial ekonomi, kultural, atau psikologis yang mengitari dirinya. Apa yang dicita-citakan sang tokoh itu? apa yang dikerjakannya? Apa yang yang diperbuatnya? Bagaimana dia melakukannya? Sampai di mana kesuksesan yang dicapainya, baginya, bagi perjuangannya? Kemudian dalam penilaian sejarah, penulis atau pengamat akan melihat perubahan sosial politik yang mempengaruhi dasar penilaian sejarah. Mengapa demikian? Masalah penilaian jelek atau baik adalah masalah etis, tempatnya berganti, sesuai pergantian kekuasaan, atau orientasi ideologi. Misalnya pemberontakan terhadap kekuasaan yang sah bisa dinilai baik atau jelek, tergantung dari sudut bagaimana sikap terhadap kekuasaan yang sah itu sekarang. Pendekatan sejarah kajiannya lebih menekankan aspek kronologis waktu dalam arti linear atau bisa juga diakronis

35 Taufik Abullah, “Manusia Dalam Sejarah, Sebuah Pengantar”, dalam Taufik Abdullah, dkk., Manusia Dalam Kemelut Sejarah (Jakarta: LP3S, 1983), hal. 10. 18

kejadian. Kemudian, sosiologi meneropong segi-segi sosial peristiwa, misalnya golongan mana yang berperan beserta nilai- nilainya, hubungan dengan golongan lain, konflik berdasarkan kepentingan, dan masalah ideologi. Kemudian, antropologi mengungkapkan nilai-nilai yang mendasari pelaku tokoh sejarah, status dan gaya hidup, sistem kepercayaan yang mendasari pola hidup. Adapun politik biasanya melihat struktur kekuasaan, jenis kepemimpinan, hirearki sosial, konflik kekuasaan, dan tak kalah penting persoalan manajemen konflik.36 Demikianlah, arti penting berbagai pendekatan dalam melihat sebuah peristiwa sejarah sehingga diperoleh rekonstruksi yang utuh.

2. Jenis dan Sumber Data a. Jenis Data Dalam studi ini jenis data yang dikumpulkan adalah struktur sosial, politik, budaya, ekonomi dan agama masyarakat di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Kabupaten Tangerang, Banten. 1) Biografi K.H. Mukhtar, 2) Kampung Lengkong Ulama, 3) Sejarah Kabupaten Tangerang, 4) peranan atau kontribusi K.H. Mukhtar sebagai seorang ulama, seniman, dan simpatisan Partai Masyumi, 5), karya dan peninggalannya, 6) dokumen Masyumi.

36 Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, hal. 4. 19

b. Sumber Data b.1. Sumber Data Primer Sumber data Primer dalam studi ini antara lain, wawancara dengan keturunan K.H. Mukhtar dan para tokoh Kampung Lengkong Ulama, karya-karyanya seperti Asâsu Al-Niẕâmî, naskah silsilah keguruan, dan jadwal pembacaan surat dalam shalat, peninggalan-peninggalan arkeologis seperti masjid, madrasah, pondok pesantren, dokumen Masyumi, dan pengamatan langsung oleh penulis di lapangan.

b.2. Sumber Data Sekunder Adapun sumber data sekunder antara lain; pandangan, tulisan orang yang memiliki relevansi dengan sumber data primer yang penulis dapatkan dari berbagai laporan penelitian, jurnal, majalah, makalah, buku, media cetak, dan elektronik.

3. Metode Pengumpulan Data Studi ini menggunakan metode sejarah, yaitu suatu cara, jalan, petunjuk pelaksana, atau arahan teknis untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan sebuah kisah sejarah.37 Sejalan dengan pengertian ini, Louis menjelaskan bahwa metode sejarah sebagai sebuah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan pengalaman masa lampau kesaksian sejarah guna menemukan data yang autentik dan valid, serta upaya

37 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), cet-2, hal. 43. Selanjutnya disebut Abdurrahman. 20

sistesis atas data semacam itu menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya. Jadi, metode sejarah adalah sebuah petunjuk atau pedoman untuk mendapatkan data sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Cakupan riset meliputi studi kepustakaan dan lapangan. Studi kepustakaan, yaitu menelusuri sumber data dari berbagai bacaan, baik yang bersifat primer dan sekunder. Tujuannya untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan beragam material yang terdapat di ruangan, baik perpustakaan publik maupun pribadi (private labrary), misalnya buku-buku, dokumen, koran, majalah, catatan pribadi, monograf, catatan kisah sejarah, hasil penelitian, yang dipandang masih berkaitan dengan topik masalahnya.38 Adapun studi lapangan, yaitu kegiatan observasi dan wawancara langsung kepada sumber informasi yang dapat memberikan keterangan sesuai dengan subyek kajian. Tujuannya untuk mendapatkan keterangan dari responden agar terkumpul sejumlah informasi yang dibutuhkan topik kajian. Yang penting bagi metode wawancara, 1) ada seleksi individu, 2) ada pendekatan terhadap orang yang sudah diseleksi, 3) ada pengembangan suasana lancar serta usaha melahirkan pengertian dan bantuan sepenuhnya dari orang yang diwawancarai.39

38 Kartodirdjo, “Metode Pengunaan Bahan Dokumen”, dalam Koentjaraningrat, (ed.), Metode-Metode Penelitian Masyarakat ( Jakarta: Gramedia, 1979), hal. 61-92, 87. 39 Koentjaraningrat, “Metode Wawancara” dalam Koentjaraningrat, (ed.), Metode-Metode Penelitian Masyarakat, hal. 162-196; Bachtiar, ”Pengamatan Sebagai Suatu Metode Penelitian”, Kentjaraningrat, (ed.), Metode-Metode Penelitian Masyarakat, hal. 137-161. 21

4. Analisis Data Data yang terkumpul diedit, kemudian diklasifikasikan untuk dikategorisasi. Selanjutnya, data yang terkumpul dipilah berdasarkan relevansi dengan subyek kajian. Tahap kategorisasi bertujuan mengelompokan setiap data ke dalam unit-unit analisis berdasarkan kesesuaian antara satu tema dengan tema lainnya sehingga menggambarkan keseluruhan analisis yang utuh. Sedang pada tahap tipologisasi, beberapa data yang sudah diproses pada tahap kategorisasi, akan dianalisis berdasarkan kecenderungan khusus dari data-data yang terkumpul sehingga akan tergambar tipologi yang relatif komprehensif di dalamnya. Kemudian dilakukan analisis sistemik untuk mengungkap peran K.H. Mukhtar dalam memajukan bangsa Indonesia. Tujuannya untuk menyingkap kontribusi K.H. Mukhtar sebagai ulama, seniman, dan simpatisan Partai Masyumi. Jadi, studi ini bersifat deskriptif-kualitatif.40

5. Langkah-Langkah Penelitian Secara umum, metode sejarah ini sendiri dilakukan dengan empat langkah, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografii.41 Heuristik adalah pengumpulan dan penelusuran sumber data melalui pelacakan atas berbagai dokumen, serta wawancara dengan para sesepuh Kampung Lengkong Ulama,

40 Best, dalam Sanafiah Faisal, (ed.), Metodologi Penelitian Kualitatif (Surabaya: Usaha Nasional, 1987), hal. 63. 41 Hariyono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif (Yogyakarta: Pustaka Jaya, 1995), hal. 109-110; Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, hal. 44; Gottschalk, Understanding History: A Primer of Historical Method (Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1975), hal. 18-19. 22

antara lain bapak Mukri Mian, A.Md,42 Mahmud Arham,43 dan Baequni Yasin,44 keturunan dari K.H. Mukhtar, yaitu Ust Muhammad Aflah45 dan Ust Suud,46 Arkeolog dan Sejarahwan Pusat Arkeologi Nasional (PUSARNAS) Drs. Tubagus Najib,47 Dosen Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Didin Sirojuddin,48 arsip ditemukan di kantor Desa Lengkong Kulon, Kecamatan Pagedangan Kabupaten Tangerang, Banten, peninggalan arkeologi seperti Masjid Al-Muttaqin, masdrasah, dan pondok pesantren Manbaul Irfan. Adapun penelusuran sumber data yang lain dilakukan juga ke berbagai perpustakaan, baik publik, seperti Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora atau FAH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan LIPI, Perpustakaan Nasional RI, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan Dewan Dakwah

42 Mukri Mian adalah salah seorang murid terdekat K.H. Mukhtar yang saat ini menjabat sebagai Ketua Yayasan Pesantren Islam Manbaul Irfan (YAMIMI) Kampung Lengkong Ulama. 43 Mahmud Arham merupakan kaligrafer Lengkong Ulama yang sering mendapat panggilan untuk menulis naskah Alquran dan menghias dinding. 44 Baequni Yasin adalah khattat Lengkong Ulama yang kesehariannya menjadi pengajar kaligrafi, penulis dan kurator naskah Alquran di Kementrian Agama Pusat. 45 Muhammad Aflah merupakan salah seorang putra K.H. Mukhtar yang sekarang menjadi salah satu tokoh di Pakulonan, Tangerang. 46 Suud adalah putra bungsu K.H. Mukhtar yang saat ini menjadi salah satu tokoh masyarakat Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Kabupaten Tangerang, Banten. 47 Tubagus Najib adalah Arkeolog dan Sejarahwan Pusat Arkeologi Nasional (PUSARNAS) dan merupakan peneliti yang lebih awal menelusuri sejarah dan arkeologi Kampung Lengkong Ulama. 48 Didin Sirojudin AR adalah Kaligrafer, Guru dan Juri Khat, Pendiri Lembaga Khat Alquran (LEMKA), dan Dosen Prodi Bahasa dan Sastra Arab di Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 23

Islamiah Indonesia (DDII), Perpustakaan Daerah Provinsi Banten, dan Perpustakaan pribadi Prof. Dr. M. Dien Madjid, MA dan Dr. Saidun Derani, MA, serta kepustakaan milik Drs. Tubagus Najib yang terkait dengan pembahasan. Terakhir menguji fakta49 dan data50 sejarah yang sudah dikumpulkan. Langkah kritik berasal dari bahasa Latin, criticus, yang berarti kemelut, kritik, bersifat menentukan, penilaian dan bahasa Yunani yaitu kritike, pemisahan; krinoo, mempertimbangkan, memutuskan, menyatakan pendapat. Sedangkan secara umum, kritik adalah penggunaan atau keterlibatan dalam penilaian atau pertimbangan yang hati-hati, penilaian atau tinjauan yang dilakukan dengan cermat dan hati- hati.51 Kritik eksteren dilakukan untuk menguji keaslian atau otentisitas sebuah sumber sejarah yang asli. Sedang kritik interen dilakukan untuk menguji validitas data sejarah. Langkah interpretasi adalah upaya menafsirkan data berdasarkan perspektif tertentu sehingga fakta itu menjadi struktur yang logis. Langkah

49 Fakta sebenarnya merupakan produk dari proses mental atau memorisasi (sejarawan). Sebab itu fakta pada hakikatnya bersifat subjektif karena sejarah memuat unsur-unsur dan isi subjek. Baik pengetahuan maupun gambaran sejarah adalah hasil rekonstruksi pengarang, maka inklud di dalamnya memuat sifat-sifatnya, gaya bahasanya, struktur pemikirannya, pandangannya, dan lain sebagainya. Lihat Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, . 14. Peursen, Fakta, Nilai, Peristiwa (Jakarta: Gramedia, 1990), hal. 52. 50 Data sebagai bahan memerlukan pengolahan, penyeleksian, pengkatagorian, dengan merujuk kreteria tertentu. Dan kreteria ini sangat bergantung kepada subjek yang melakukan pengkajian. Misalnya, kuesioner hasil survey pedesaan memuat banyak data masyarakat pedesaan. Lihat Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, hal.17. 51 Komaruddin dan Yoke Tjuparmah S. Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), cet-3, hal. 125. 24

historiografi adalah menuliskan hasil penafsiran menjadi sebuah kisah sejarah yang utuh versi penulis.

F. Sistematika Pembahasan Penelitian ini secara garis besar terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan, yaitu: awal, isi dan akhir, yang terdiri beberapa bab dan sub-bab bahasan yang jumlahnya tidak mengikat, yang menguraikan hasil penelitian serta selalu berkaitan antara bab-bab tersebut.52 Bab I, menguraikan tentang latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, pendekatan dan landasan teori, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab I ini merupakan landasan pemikiran penelitian, dengan kata lain adalah proposal penelitian. Bab II menjelaskan tentang sejarah hidup K.H. Mukhtar selayang pandang, yang melingkupi riwayat hidup, keluarga, teman seperguruan dan seperjuangan, dan murid-muridnya, serta peninggalannya. Bab III mengulas terkait kontribusi K.H. Mukhtar sebagai ulama yang meliputi metode pembelajaran, menjawab permasalahan masyarakat, dan karya-karyanya. Bab IV menjelaskan perihal aktivitas seni kaligrafi Islam, terkait dengan K.H. Mukhtar sebagai seniman kaligrafi Islam, mertode pembelajaran dan penyebarluasan, guru, murid, dan penerusnya di bidang seni ini.

52 Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, hal. 69. 25

Bab V membahas tentang Partai Politik Masyumi dan K.H. Mukhtar, yang mencangkup Perkembangan MIAI, Masyumi Pra Kemerdekaan, dan Pasca Kemerdekaan Indonesia dan pandangan Partai Politik Masyumi K.H. Mukhtar versus masyarakat. Bab VI adalah akhir dari seluruh rangkaian penelitian. Pada bagian ini adalah kesimpulan, yang berisi hasil analisa dan saran atas hasil penelitian, serta kelanjutan penelitian selanjutnya. BAB II SEJARAH HIDUP K.H. MUKHTAR SELAYANG PANDANG

A. Riwayat Hidup K.H. Mukhtar K.H. Mukhtar atau Ki Utang1 dilahirkan di Jabal Qubair, Syib ‘Ali Kota Mekah.2 Ada pun pendapat lain yaitu dilahirkan di Lengkong Ulama dan setelah beberapa tahun kemudian, bersama kedua orang tuanya pergi menetap di Mekah.3 Perbedaan itu sangatlah wajar, mungkin dikarenakan minimnya kesadaran begitu penting dokumentasi dan pengarsipan. Sedangkan silsilah keturunan K.H. Mukhtar adalah K.H. Muhammad Ali Mukhtar4 bin Hasan bin Qasim bin Darda bin Abi Khairuddin bin Solhan bin Abu Sya’id bin Abi al-Husaini bin Sayid Muhammad bin Ja’far.5 Beliau juga merupakan keponakan dari K.H. Mustaqim6 dan putra dari Nyi Upi binti Azhari.7

1 Ki Utang adalah nama akrab sapaan atau panggilan masyarakat kepada K.H. Mukhtar. Lihat juga Tubagus Najib, Potret Lengkong Ulama: Rekontruksi Sejarah Dan Arkeologi, (Tangerang: DISPORABUDPAR, 2011), hal. 85-88. Selanjutnya disebut Najib. 2 Wawancara pribadi dengan Muhammad Aflah pada tanggal 8 Oktober 2016 di Pakulonan, Tangerang, Banten. 3 Wawancara pribadi dengan Suud pada tanggal 22 Oktober 2017 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 4 Sedikit orang yang tahu bahwa nama lengkap K.H. Mukhtar adalah Muhammad Ali Mukhtar. Selama ini masyarakat hanya mengenalnya dengan nama K.H. Mukhtar atau Ki Utang. Wawancara pribadi dengan Suud pada tanggal 22 Oktober 2017 di Lengkong Ulama, Tangerang Banten. 5 Wawancara pribadi dengan Muhammad Aflah pada tanggal 8 Oktober 2016 di Pakulonan, Tangerang, Banten., dan Wawancara pribadi dengan Suud pada tanggal 22 Oktober 2017 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. Sedangkan versi lainnya

26 27

Dalam perkembangannya diketahui bahwa Mukhtar kecil mengalami kemajuan yang sangat pesat. Di umurnya yang baru menginjak 5 tahun sudah hafal Alquran dan ketika berusia 7 tahun sudah mampu mentakrir Surat Yasin yang dibaca terbalik, bahkan sampai alif lam mim (Surat al-Baqarah).8 Kemudian, ketika menginjak usia 25 tahun, yang saat itu bertepatan dengan tahun 1927, ia kembali ke Indonesia dan mulai melakukan

dapat dilihat pada Najib, Potret Lengkong Ulama: Rekontruksi Sejarah Dan Arkeologi), hal. 85. Perbedaan tersebut tidak menjadi suatu masalah, karena dari penelitian Tubagus Najib mengenai genealogi telah dilengkapi dengan penuturan kedua putranya dan memang selama ini belum ada yang menelusuri mengenai K.H. Mukhtar secara signifikan. 6 K.H. Mustaqim adalah salah seorang ulama Lengkong Ulama yang memiliki nama lengkap Sayid Habib Mustaqim bin Darda bin Sayid Abi Khairuddin bin Alwi bin Sayid al-Husain dan menurut sejarawan Halwany Michrob, Sayid Abi Khairuddin adalah Sayid Ali utusan Mekah yang ikut berjuang melawan penjajah Belanda bersama pasukan Banten tahun 1659. Najib, Potret Lengkong Ulama: Rekontruksi Sejarah Dan Arkeologi, hal. 11. Makam K.H. Mustaqim terletak di diserambi utara Masjid al-Muttaqin, Kampung Lengkong Ulama, Tangerang, Banten dan dikategorikan makam kuna. Lebih detailnya bisa lihat Najib, Pengembangan Nilai Dan Geografi Sejarah Lengkong Ulama, Laporan Penelitian (Tangerang: Pemerintah Kabupaten Tangerang, 2007), hal. 24. Sampai sekarang makam tersebut tetap terawat dan banyak yang datang untuk berziarah. 7 K.H. Azhari adalah putra Nasib bin Sukara bin Kapiten Tanuwisanta bin Dalem Sutadewangsa bin Raden Tumenggung Tanuwisanta bin Raksanegara bin Raden Aria Wangsakara. Beliau berasal dari Kampung Sampora Tangerang, Banten.Semasa hidupnya beliau dikenal dengan keilmuanya yang sangat tinggi yang didapat secara laduni dan pernah menjabat sebagai Naib (Penghulu) se-Kabupaten Tangerang.Najib, Potret Lengkong Ulama: Rekontruksi Sejarah Dan Arkeologi), hal. 85-88. 8 Hal itu sering disaksikan dan dialami secara langsung yang diantaranya oleh putranya, Suud, ketika dalam perjalan menuju ke daerah Jawa yang diperintahkan oleh K.H. Mukhtar untuk memegang sambil mengecek bacaan Alquran dari awal sampai khatam. Wawancara pribadi dengan Suud pada tanggal 22 Oktober 2017 di Lengkong Ulama, Tangerang Banten. 28

aktifitas di berbagai bidang yang diantaranya pendidikan, kesenian dan politik.9 Terlepas dari permasalahan kapan dan di mana dilahirkan, serta keberangkatan K.H. Mukhtar bersama ayahnya (K.H. Hasan), sudah menjadi hal yang tidak asing bila bangsa Indonesia berangkat naik haji dan menetap di Mekah dalam waktu yang cukup lama. Di antara para pendatang yang berada di Mekah, orang Jawah (Asia Tenggara) merupakan salah satu kelompok terbesar. Sekurang-kurangnya sejak tahun 1860, Melayu merupakan bahasa kedua di Mekah.10 Menurut Prof. Azumardi Azra, pada abad ke-16 jumlah Muslim yang tiba dari berbagai penjuru dunia ke Haramain terus meningkat. Di antara mereka ada yang datang berperan sebagai ulama, pelajar Muslim, jamaah haji, dan pedagang. Untuk mengetahui perkembangan para imigran dari luar tanah Arab, termasuk Indonesia, Azumardi Azra menggunakan teori J. O. Voll tentang pembagian imigran Asia Selatan di Haramain dalam abad ke-17 dan ke-18. Klasifikasi ini membantu memperjelas berbagai segmen imigran dan ulama internasional yang bermukim di Haramain. Di antara tipe-tipe itu yang pertama adalah little grants yakni orang-orang yang datang dan bermukim di Haramain dan dengan diam-diam terserap dalam kehidupan sosial keagamaan setempat. Tipe kedua adalah grand immigrants

9 Jika benar kembalinya K.H. Mukhtar ke Indonesia pada tahun 1927 dan ketika itu sudah berusia 25 tahun, maka penulis menarik kesimpulan bahwa ia dilahirkan tahun 1902. 10 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, Dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), hal. 41. Selanjutnya disebut Bruinessen. 29

yang kebanyakan kategori ini telah mempunyai dasar yang baik dalam kehidupan Islam sehingga berperan juga sebagai ulama. Kemudian tipe ketiga yaitu ulama dan murid pengembara, yang menetap di Mekah dan Madinah dalam perjalanan panjang mereka menuntut ilmu.11 Sekitar pertengahan abad ke 19, jumlah jamaah haji Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan dan sudah menggunakan sarana transportasi kapal api. Hampir semua jamaah haji Nusantara mulai berdatangan ke Mekah beberapa waktu sebelum bulan Ramadhan, karena mereka ingin melakukan ibadah puasa di Kota suci itu dan shalat tarawih di Masjid al- Haram atau di Zawiyah12 seorang syaikh tarekat termasyur. Rata- rata mereka tinggal empat sampai lima bulan di Hijaz sebelum pulang. Hampir semuanya juga mereka mengunjungi kota Madinah setelah melaksanakan ibadah haji, ziarah ke makam Nabi SAW di sana sudah lazim bagi jamaah haji Nusantara. Selain itu juga, mereka mengikuti pengajian-pengajian yang diberikan di mana saja di Kota Mekah dan Madinah. Permasalah ketidakmampuan berbahasa Arab bukan menjadi masalah, karena di mana-mana bisa ditemukan ulama berasal dari Nusantara yang memberi pengajian dalam bahasa Melayu. Para syaikh tarekat pun mempunyai wakil-wakil Jawah khusus untuk melayani jamaah haji Nusantara yang ingin mendalami penghayatan

11 Azumardi Azra, Jaring Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2013), hal. 74-76. 12 Zawiyah adalah Gedung atau tempat pertemuan para pengikut tarekat di Mekah. Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, Dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia, hal. 33. 30

tarekat. Di Mekah jauh sebelum Sumpah Pemuda, bahasa Melayu sudah berfungsi sebagai ikatan pemersatu orang Nusantara. Snouck Hurgronje13 mencatat bagaimana orang dari seluruh Nusantara ikut membicarakan perlawanan Aceh terhadap Belanda, dan bagaimana mata mereka dibuka mengenai penjajahan Belanda maupun Inggris dan Prancis atas bangsa- bangsa Islam. Para haji hidup beberapa bulan dalam suasana antikolonial yang sangat berbekas. Pemberontakan petani Banten 1888 dan Pemberontakan Sasak 1892 melawan Bali (yang menduduki Lombok pada zaman itu) jelas diilhami oleh pengalaman tokoh-tokohnya ketika mereka berada di Mekah.14 Belanda sendiri menganggap murid orang Arab dan Melayu yang telah terpengaruh oleh atmosfer fanatik dan berbahaya Mekah, merupakan masalah yang sulit untuk diselesaikan.15 Kesukaran dalam pengangkutan dan perhubungan dalam awal abad ke 19 adalah tiga tahun bagi jamaah haji Indonesia untuk bisa sampai ke Tanah Suci. Namun hal ini tidak membuat surut peminat dalam melaksanakannya. Keinginan untuk melaksanakan rukun Islam kelima ini, semakin meningkat setelah adanya kapal uap dan dibukanya Terusan Suez. Pada abad pertengah abad ke 19, sekitar 2.000 orang Indonesia berangkat

13 Seorang kolonialis dan orientalis paling sukses dalam mempelajari Islam dan Muslim Indonesia. Lebih lengkapnya bisa lihat Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3S, 1985), hal. 11-12. Selanjutnya disebut Suminto., dan Roeslan Abdulgani, Sejarah Perkembangan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Antar Kota, 1983), hal. 34-35. 14 Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, Dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia, hal. 50-52. 15 Antoine Cabaton, Jawa, Sumatra Dan Kepulauan Lain Di Hindia Belanda, (Yogyakarta: Ombak, 2015), hal. 177. 31

haji tiap tahun. Kemudian di tahun 1886, mencapai 5.000 dan tahun 1890 menginjak angka 7.000 jiwa. Jika diperhatikan, angka terkecil terjadi pada tahun 1889 yang hanya mencapai 3.100 orang dan puncaknya, paling banyak yaitu tahun 1896 yang mencapai 11.700 jamaah haji dan Indonesia merupakan Negara terbanyak peminat haji tiap tahunnya.16 Lauren Husson dalam tulisannya, Indonesian in Saudi Arabia: Worship and Work, menyebutkan bahwa sampai tahun 1878, perkembangan jumlah jamaah haji sangat lambat. Kemudian, pada tahun 1910 ditandai sebagai awal pertumbuhan kembali setelah Perang Dunia Pertama dan terjadi peningkatan jumlah yang signifikan hingga mencapai 52.412 haji di tahun 1926-1927. Yang paling mengagumkan yaitu jamaah yang datang dari Hindia Belanda mendekati setengahnya (42%-49%) jumlah keseluruhan di tahun 1914, 1921, 1924, 1927, dan 1931. Pada tahun 1932 jamaah haji mengalami kemunduran yang sangat, hal itu dikarenakan dunia sedang mengalami krisis ekonomi. Meskipun dalam tahun 1937 keinginan untuk pergi ke Mekah tumbuh kembali, tetapi setelah itu mengalami mati total yang disebabkan oleh pengaruh terjadinya Perang Dunia Kedua. Perkembangan peminat haji sendiri dari Hindia Belanda mengalami masa stagnant pada pertengahan kedua abad ke 19. Di tahun 1850 hanya 71 orang yang turut berpartisipasi dan setelah 5 tahun kemudian baru mencapai 1.688 jiwa. Selanjutnya pada tahun 1870 perkembangan tersebut mulai membaik, yaitu

16 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3S, 1996), cet. 8., hal. 30. Selanjutnya disebut Noer. 32

mencapai 3.257 jamaah haji. Di lain pihak, karena pertumbuhan yang sangat pesat, pemerintah Hindia Belanda membuka konsulat di Jedah.17 Untuk membatasi jumlah jamaah haji Indonesia, pemerintah Hindia Belanda membuat kebijakan-kebijakan tertentu. Pada tahun 1825, jamaah haji dari Jawa diwajibkan membayar ƒ 100 untuk memperoleh surat keberangkatan.18 Di tahun 1831 mereka menambahkan bahwa siapa pun yang pergi ke Mekah harap membayar surat izin, maka sepulangnya dari sana harus mengeluarkan dua kali lipat dari jumlah yang telah ditentukan. Kemudian aturan-aturan tersebut resmi dihapus pada tahun 1852. Akan tetapi, hal itu ternyata merupakan awal dari undang-undang baru yang memberatkan masyarakat untuk berangkat haji. Di tahun 1859, mereka mengeluarkan kebijakan bahwa setiap orang yang hendak melaksanakan ibadah haji harus kuat perekonomiannya, baik untuk dirinya sendiri maupun keluarga yang ditinggalkan. Selain itu juga, jamaah haji harus menunjukkan uangnya kepada Regen (Bupati) daerah masing- masing atau pegawai kapal yang dinaiki. Sedikitnya mereka yang akan berangkat haji harus membawa ƒ 500 untuk keperluan pelayaran. Tidak hanya itu, pada tahun 1859, pemerintah kembali mengeluarkan statement bahwa sepulangnya dari Arab mereka belum boleh memakai gelar haji di depan namanya, karena ada

17 Lauren Husson dalam Studia Islamika: Indonesian Journal For Islamic Studies, Vol. 4., No. 4, (Jakarta, Intitut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 1997), hal. 115. 18 Simbol ƒ berarti florin yang merupakan nama lain dari Gulden mata uang yang digunakan pada zaman Hindia Belanda. 33

tes kelayakan yang mempertanyakan hal-hal berkaitan dengan Mekah dan Islam. Hal ini merupakan suatu cara untuk membuat minat berhaji menurun, terutama kekhawatirannya terhadap jamaah yang membawa pulang pemikiran-pemikiran yang dinilai akan merugikan pemerintah. Akhirnya, di tahun 1902 kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda, resmi dihapus dan aturan untuk memperlihatkan uang ƒ 500 pun dibekukan pada tahun 1905.19 Dengan demikian, perjalanan haji mulai berfungsi sebagai pemersatu Nusantara dan perangsang anti kolonialisme. Masyarakat Jawah Mukmin juga punya peran penting sebagai perantara antara orang Nusantara dan gerakan agama maupun politik di dunia Islam lainnya. Ulama seperti Syaikh Nawawi al- Bantani,20 K.H. Mahfudz Termas,21 dan Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau,22 yang mengajar di Mekah pada akhir abad ke 19

19 Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, cet. 8., hal. 31-32. Jika benar K.H. Mukhtar lahir pada tahun 1902 dan pergi ke Arab ketika masih berusia 3 tahun, maka ini bertepatan antara 1905-1906. 20 Biografinya bisa lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3S, 2011), hal. 132. Selanjutnya disebut Dhofier., M.C. Ricklefs, Sejarah Modern Indonesia 1200-2008, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), hal. 284-285. Selanjutnya disebut Ricklefs., Ahmad Mujib, dkk., Intelektualisme Pesantren : Potret Tokoh Dan Cakrawala Pemikiran Di Era Pertumbuhan Pesantren, Jilid 2, (Jakarta: Diva Pustaka, 2003), hal. 113-123. Selanjutnya disebut Mujib., dan Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, Dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia, hal. 37-38. 21 Lihat Mujib, Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh Dan Cakrawala Pemikiran Di Era Pertumbuhan Pesantren, Jilid 2, hal. 103-104., Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, cet. 8., hal. 38-39., dan Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai Dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, hal. 135-136. 22 Lihat Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, cet. 8., hal. 38-39., Mujib, Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh Dan Cakrawala Pemikiran Di Era Pertumbuhan Pesantren, Jilid 2, hal. 85., dan Dhofier, 34

dan awal abad ke 20 mengilhami gerakan agama di Indonesia dan mendidik banyak ulama yang kemudian berperan penting di tanah air. Para pelajar dari berbagai daerah yang melanjutkan pelajaran di Mekah biasanya baru dianggap dapat menyempurnakan pelajarannya, setelah memperoleh bimbingan terakhir dari ketiga ulama kenamaan kelahiran Indonesia tersebut.23 Banyak Jawah Mukmin juga yang pernah belajar di Madrasah Modern Shaulatiyah24 yang didirikan di Mekah pada tahun 1874 oleh orang India. Melalui madrasah ini, mereka juga tahu dari lebih dekat tentang perjuangan orang India melawan Inggris. Keilmuan agama dan kesadaran nasional berkembang dalam hubungan erat satu dengan yang lain. Pada tahun 1934, karena suatu konflik yang menyangkut kebanggan nasional orang Indonesia, guru dan murid Jawah telah keluar dari Shaulatiyah dan mendirikan Madrasah Darul Ulum di Mekah. Selama dasawarsa terakhir masa kolonial, lembaga pendidikan ini merupakan pusat intelektual bagi orang Indonesia dari kalangan pesantren di Mekah. Sedangkan bagi kaum modernis pada masa itu Mesir telah menjadi pusat pergerakan, tetapi untuk Mesir pun Mekah menjadi batu loncat.25 Snouck Hurgronje, demi mengetahui Islam lebih dalam dan tugas dari pemerintah, ia pergi dan menetap di Jedah selama lima

Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai Dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, hal. 67, 69 dan 139. 23 Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai Dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, hal. 69. 24 Lebih lengkapnya bisa lihat Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, Dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia, hal. 35-36. 25 Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, Dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia, hal. 52. 35

tahun dan di Mekah selama kurang lebih tujuh bulan (Februari- Agustus 1885). Karena kunjungannya bukan pada musim haji, maka ia lebih leluasa dalam meneliti Islam di sana, terutama meneliti kondisi masyarakat Hindia Belanda yang datang dan menetap di sana. Hurgronje pun agar dapat memasuki Mekah dengan mudah, menyatakan diri masuk Islam dan memakai nama Abdul Ghaffar. Meskipun ke depannya masih diperdebatkan apakah ia benar- benar masuk Islam atau hanya pengakuan semata, demi mempermudah tujuannya. Tidak hanya itu, ia juga dikenal sebagai Mufti Imperalis Belanda dan Syaikhul Islam, serta telah berhasil menikahi seorang putri penghulu. Akan tetapi, berdasarkan catatan hariannya, pernyataannya masuk Islam itu disaksikan para ulama dan menjadikannya tamu Gubernur Hijaz. Berbeda dengan Van Koningsveld yang memberikan menilai bahwa Hurgronje kurang jujur, karena kepada orang Belanda sendiri dia menyatakan bahwa tidak masuk Islam. Bahkan Hurgronje menulis sebuah artikel, di majalah Indische Gids yang dalam uraiannya menyatakan bahwa Islam berbahaya bagi Belanda.26 Terlepas kebenaran atas keIslaman Hurgronje, sikap dan perkataannya mencerminkan seseorang yang pintar berpolitik dan klaimnya terhadap Islam Indonesia yang dianggap membahayakan eksistensi pemerintah Belanda di Indonesia saat itu. Sekiranya mungkin cukup jelas untuk menyimpulkan bahwa

26 Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hal. 117-125. 36

Snouck Hurgronje merupakan musuh Islam yang patut diperhitungkan kelihaiannya. Sebagian pihak pemerintah kolonial mengkhawatirkan perkembangan politik yang mendorong persaingan antara para Misionaris, Arab dan Tionghoa telah mengadopsi tujuan yang modern dengan mendirikan sekolah, panti asuhan, dan rumah sakit. Di sisi lain para cendikiawan yang bertugas di Kantor Urusan Pribumi atau Bumi Putera menganggap semua itu sebagai bukti adanya kehendak melakukan modernisasi di kalangan Muslim pribumi. Jelas bahwa kaki tangan Hurgronje aktif membina hubungan dengan para pemimpin organisasi-organisasi semacam itu dan mereka pun pada gilirannya mendapat pembinaan. Di antara sekian banyak Muslim yang dianggap pro terhadap pemerintahan kolonial adalah Haji (1884- 1954) dan Ahmad Surkati (1872-1943).27 K.H. yang merupakan pemimpin lokal tengah menjadi, setidaknya di atas kertas, gerakan massa terbesar untuk orang-orang pribumi Hindia, SI. Perserikatan ini lahir di Surakarta dari sebuah komunitas kecil orang Jawa yang dengan dukungan istana berusaha mempertahankan posisi ekonomi dalam perdagangan batik bersaing melawan Tiongkok (Cina).28 Sangat berlawanan dengan dugaan para pendiri SI, banyak kota

27 Michael Laffan, Sejarah Islam Di Nusantara, (Yogyakarta: Bentang, 2015), hal. 225-226. Selanjutnya disebut Laffan. Meskipun mereka berdua mendapat binaan dari pemerntah kolonial, bukan berarti pro seperti yang dianggap sebagian masyarakat indonesia. 28 Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, cet. 8., hal. 115-116. Lihat juga Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, (Yogyakarta, IRCiSoD, 2017), hal. 26-29. 37

besar di Jawa segera menyaksikan pendirian cabang-cabang persaudaraan yang karakternya sering berbeda satu sama lain seperti kasus Yogyakarta yang tak pernah diizinkan bersinggungan dengan kepentingan Muhammadiyah di bawah K.H. Ahmad Dahlan. Ini bukan berarti SI sejak awal dirancang sebagai sebuah gerakan sosial. Meski ada rencana untuk mendirikan sekolah dan rumah sakit seperti usaha-usaha Muhammadiyah dan para murid Syaikh Ahmad Khatib, hanya sedikit realisasi yang dilakukan untuk tujuan ini.29 Meski demikian, Islam dalam SI dianggap oleh sebagian anggota dan para pengagum dari jauh sebagai sesuatu yang lebih dari sekedar penanda pribumi. Di beberapa kawasan, ritus inisiasi tidaklah berbeda dari ritual baiat ke dalam tarekat mistis, sebuah perkembangan yang menggelisahkan para guru tarekat-tarekat tersebut. Namun, penggunaan dan perjanjian tarekat oleh sebagian calon anggota SI tidak menghalangi Kantor Urusan Pribumi dari memberi dukungan kuasa resminya. Para pemimpin SI memastikan bahwa mereka melaporkan kasus mereka kepada para penasehat, dengan mengundang Hazeu,30 Rinkes,31 dan Sayid Utsman32 ke kongres-kongres mereka. Sikap ini

29 Laffan, Sejarah Islam Di Nusantara, hal. 226. 30 Terkait dengan riwayat hidup C. A. J. Hazeu bisa lihat pada Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hal. 125. 31 Lihat juga Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hal. 132-133. 32 Nama lengkapnya adalah Sayid Utsman bin Aqil bin Yahya Al- Alawi. Ia lahir di Batavia, di daerah Pekojan pada tanggal 17 Rabiul Awal 1238 Hijriah atau 1822 M. Ayahnya adalah Abdullah bin Aqil bin Umar bin Yahya yang dilahirkan di Mekah dari keturunan Hadramaut. Sedangkan ibunya yaitu Aminah binti Syaikh Abdurrahman Al-Misri. Mujib, Intelektualisme Pesantren : Potret Tokoh Dan Cakrawala Pemikiran Di Era 38

mendapatkan balasan setimpal. Pada kongres SI di Solo pada 23 Maret 1913, Sayid Utsman memperkenalkan diri sebagai Mufti Islam untuk rakyat dan memberikan pidato atas permintaan pemimpin SI, Tjokroaminoto.33 Pada tahun itu pula penasihat kehormatan menerbitkan karyanya Sinar Istirlam (Cahaya Lentera) yang menyerang keberatan-keberatan yang diajukan oleh beberapa guru Naqsabandiyyah yang memandang SI sebagai kekuatan Kristenisasi, yang konon melalui pembagian air Kristen dalam inisianya. Menunjuk ke halaman risalahnya sendiri yang menguning, Sayid Utsman menjelaskan kembali bahwa SI harus disambut dengan rasa terima kasih oleh pemerintah karena tradisinya yang tidak turut campur dalam soal-soal agama.34 Namun, faktanya tetaplah bahwa SI pada awalnya tidak mendapatkan pengakuan tersebut dan oleh karena itu sebagian anggotanya menyebarkan retorika terima kasih Sayid Utsman dalam sebuah selebaran.35 Sementara itu Rinkes yang menjabat sebagai penasihat untuk urusan pribumi menyusul naiknya Hazeu menjadi direktur

Pertumbuhan Pesantren, Jilid 2, hal. 39. Lihat juga Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hal. 159-160. 33 Laffan, Sejarah Islam Di Nusantara, hal. 226-227. Sedikit tentang bisa lihat Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, cet. 8., hal. 121. 34 Pemerintah Hindia Belanda sebelum mengenal secara mendalam dan menyadari akan kekuatan Islam bagi mereka, menyatakan tidak akan ikut campur urusan agama Islam. hal itu tercermin pada undang-undang ayat 119 RR yang berbunyi “setiap warga Negara bebas menganut agamanya, tidak kehilangan perlindungan masyarakat dan anggotanya atas pelanggaran peraturan umum hukum Negara. Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hal. 10. 35 Laffan, Sejarah Islam Di Nusantara, hal. 227. 39

pendidikan pada 1912 jelas mengecilkan aspek keagamaan SI dalam laporannya pada 13 Mei 1913. Dia menyebutnya sebagai asosiasi para pahlawan wayang dengan tokoh kunci seperti Tjokroaminoto dan bahkan mendaftarkan Islam sebagai salah satu faktor yang tidak menguntungkan untuk dipertimbangkan. Dia menyatakan, meski K.H. Ahmad Dahlan yang terkemuka sangat ortodok,36 cenderung intoleran, tapi masih memberikan kesan simpatik. Dalam pandangan Rinkes, Pan Islamisme SI lebih bersifat sosial ketimbang politis, disiapkan untuk berbagai tuntutan pendidikan dengan jenis yang sama seperti komunitas Arab Batavia dan orang-orang Melayu (Semenanjung Malaka).37 Argumen-argumen tersebut tampaknya meyakinkan Gubernur Jenderal A.W.F. Idenberg (menjabat 1909-1916)38 yang menolak keberatan para administrator daerah. Tjokroaminoto sendiri menyatakan suatu penolakan terhadap

36 Yang dimaksud dengan ortodoks di sini yaitu K.H. Ahmad Dahlan beserta Muhammadiyahnya berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam ke asalnya, sesuai Alquran dan sunah dan penyebarannya meliputi dari perkotaan ke pedesaan. Clifford Greertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa, (Depok: Komunitas Bambu, 2014), hal 177. 37 Laffan, Sejarah Islam Di Nusantara, hal. 228. 38 Alexander William Frederick Idenburg, pada masa mudanya menginginkan menjadi seorang missionaris, menjabat sebagai menteri jajahan. Pada masa perkenalan politik etis ini, mereka sangat senang menyaksikan Kristenisasi di Nusantara. Pada tahun 1903, tercermin dalam satu sirkuler yang dikirimkan kepada para pegawai yang bertanggung jawab di Indonesia, dimana mereka diingatkan bahwa mereka adalah wakil bangsa Kristen dan oleh sebab itu hari minggu harus dihormati dengan tidak mengadakan pesta peringatan untuk kepala Negara atau anggota lain dari keluarga raja pada hari itu. Alasannya yaitu karena para pejabat tidak menghormati hari minggu, tidak dapat memberikan inspirasi kepada para atheis dan kepada orang Islam untuk mengormati sifat dan kepercayaan mereka. Pada tahun 1905, pemerintah Belanda mewajibkan kepada setiap guru agama Islam, memiliki surat izin khusus untuk mengajar. Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900- 1942, cet. 8., hal. 187 dan 191. 40

anggapan bahwa SI adalah suatu partai politik yang menghendaki terjadinya revolusi. Bahkan dia sendiri meyakinkan rakyat Indonesia untuk meminta bantuan gubernur jenderal ini dalam usaha menghapus tindakan kesewenang-wenangan para pejabat pemerintah. Pemimpin organisasi ini, Tjokroaminoto, menyatakan kembali hal tersebut pada kongres di Surabaya, 26 Januari 1913. Menjadi suatu yang aneh, sebelumnya pada tanggal 12 Januari 1913 di Surabaya, ia menegaskan bahwa SI bertujuan untuk membangun kebangsaan, mencari hak-hak kemanusian yang memang sudah tercetak oleh Tuhan, menjunjung derajat yang masih rendah, memperbaiki nasib dengan jalan mencari tambahan kekayaan.39 Idenberg kemudian menunjukan bahwa laporan-laporan daerah tidak mengidentifikasikan persoalan itu, tetapi kekhawatiran persoalan pada masa depan. Dia puas karena Rinkes dan Hazeu menunjukan bahwa SI tidak bisa disamakan dengan gerakan nasional di India. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk memperluas pengakuan pada cabang-cabang SI lokal yang patuh pada pengawasan para pejabat setempat, seperti halnya ajaran Islam dan tarekat diawasi, bukannya ditekan oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu, Rinkes ditunjuk untuk memimpin komite sentral bekerja sama dengan Tjokroaminoto yang mudah dikendalikan, yang dengan cepat naik sebagai pemimpin pergerakan, sementara seorang sekutu lain, Hasan

39 Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, cet. 8., hal. 125-126. 41

Djajadiningrat (w. 1920),40 mengawasi cabang Banten dari Serang.41 Menteri Koloni, Jan Hendrik De Waal Melefijt (1852- 1931), meminta dukungan Hurgronje bagi para mantan asistennya pada bulan Oktober 1913. Namun, Hurgronje juga mengungkapkan pandangan bahwa gerakan tersebut memiliki cita-cita egalitarian yang hendak membongkar penindasan tradisional kelas priyayi yang mematuhi Belanda secara sewenang-wenang. Misalnya, dia mengingat tahun-tahun pertamanya di Jawa ketika menemui seorang bupati yang memendam kebencian membabi buta terhadap sebuah tarekat yang tak berbahaya. Di mata Hurgronje akhirnya keadaan berubah dan sebuah revolusi intelektual besar tengah dibentuk oleh kalangan elit yang melek bahasa Belanda dengan melanjutkan fondasi berupa usaha Holle di Priangan dan diilhami oleh teladan Jepang dan Tiongkok Republikan. Sejauh berkaitan dengan Islam, Hurgronje menunjukan pada kuliahnya sendiri di akademi pemerintah pada 1911 dan mengukuhkan pandangan Rinkes bahwa nama SI tidak menandakan sebuah gerakan keagamaan perse, tetapi kerangka bagi orang-orang pribumi yang mengidentifikasi mereka berbeda dengan orang-orang Tiongkok dan Eropa. Oleh karena itu, tidak perlu menyamakan kelahiran SI dengan peristiwa Cilegon dan para pejabat pribumi harus diberi intruksi bahwa pembentukan organisasi demi tujuan-tujuan

40 Hazeu mengatakan bahwa Haji Hasan adalah musuh SI. Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, cet. 8., hal. 217. 41 Laffan, Sejarah Islam Di Nusantara, hal. 229. 42

kemasyarakatan sama sekali tidak berbahaya bagi pemerintah yang baik.42 Hurgronje mengulangi argumen-argumen semacam itu berminggu-minggu dan berbulan-bulan berikutnya. Dalam Indologenblad dan Locomotief, dia menguraikan sejarah penindasan kekuasaan kolonial dan mengejek sepenuhnya legenda gagasan bahwa pemerintah Belanda telah mendorong perkembangan intelektual. Dalam periode etis, berbagai hasrat penduduk pribumi akan disatukan dengan harmonis atas kehendak apa yang disebut ibu pertiwi. Setelah melihat kebangkitan Jepang dan Republik Tiongkok, SI benar-benar berdiri tidak memberikan indikasi sebenarnya mengenai watak asosiasi tersebut, yang bagaimana pun karakternya sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain.43 Hugronje dan Idenberg mungkin senang atas berkembangnya hubungan antara Tjokroaminoto dengan Rinkes dan bagian yang dimainkan Haji Agus Salim dalam upaya kolaboratif untuk mewujudkan sebuah tempat bagi pribumi di dunia. Dalam perkembangannya, Haji Agus Salim memilih setia kepada SI yang diungkapkan dalam sebuah surat kabar Neratja karena beberapa tahun di Mekah memberi pengalaman bahwa Islam memiliki kekuatan dan kepentingan Belanda tidak selalu berjalan dengan kepentingannya. Dukungan untuk SI juga datang dari Mekah. Tahun 1913 Konsul Wolff melaporkan bahwa Muhammad Hasan bin Qasim

42 Laffan, Sejarah Islam Di Nusantara, hal. 229. 43 Laffan, Sejarah Islam Di Nusantara, hal. 229-130. 43

dari Tangerang telah menerbitkan sebuah risalah di Mekah berisi dukungan untuk Sayid Utsman dan menyeru semua kerabat untuk bergabung dengan gerakan tersebut.44 Begitu pula, Raden Mukhtar putra mantan komandan Mangga Besar kelahiran Bogor dan di Batavia ia memberi dukungannya dalam bentuk sebuah puisi berbahasa Sunda yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Melayu oleh Kyai Hasan Lengkong. Sementara itu seorang Arab bernama Gadrawi, menyusun teksnya sendiri mengenai persoalan gerakan.45 Mengenai keterkaitan Muhammad Hasan bin Qasim dari Tangerang dan Raden Mukhtar, putra mantan komandan Mangga Besar, awalnya penulis merasa ragu akan status hubungan mereka. Suud, putra K.H. Mukhtar Lengkong Ulama mengatakan bahwa Raden Mukhtar yang tercantum di sana, merupakan ayahnya. Namun, jika benar hubungan mereka adalah ayah dan anak, berarti saat itu usia K.H. Mukhtar Lengkong Ulama baru menginjak 11 tahun yang pada saat itu masih menetap dan belajar

44 Nico Kaptein, Gareful To The Dutch Government: Sayyid Uthman And SI In 1913 (London And New York: Routledge, 2007), Pdf, hal. 111. 45 Laffan, Sejarah Islam Di Nusantara, hal. 230. Disebutnya Sayid Utsman sebagai sekutu pemerintahan Belanda, mungkin saja itu hanya taktik propaganda meraka untuk memecah belah bangsa ini, dengan mengadu domba antar tokoh, ulama, masyakat Islam Indonesia. Selain itu juga mengenai pamflet yang ditulis oleh Sayid Utsman, apakah benar-benar hasil tulisan dan pemikirannya atau memang ditulis dalam keadaan terdesak karena menerima tekanan besar, sehingga membuatnya sulit untuk menolak perintah itu. Bahkan bisa jadi, pamflet itu bukan hasil pemikiran maupun tulisan Sayid Utsman, melainkan memang pihak Belanda yang merencanakan dan melaksanakan hal tersebut. Namun satu hal yang dapat dipastikan, munculnya pamflet itu di masyarakat Indonesia, bahkan ada yang sampai terkirim ke Arab, merupakan taktik Belanda semata, terutama ditujukan untuk menghancurkan secara menyeluruh SI. Harry J. Benda, Bulan Sabit Dan Matahari Terbit: Islam Di Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), hal. 75. 44

di Arab. Begitu juga mengenai Kyai Hasan Lengkong Ulama dengan Muhammad Hasan bin Qasim dari Tangerang, apakah keduanya orang yang sama atau bukan.46 Akan tetapi, setelah ditelusuri lebih mendalam melalui geanologi keilmuan K.H. Mukhtar Lengkong Ulama yang sampai kepada Rasulullah SAW, penulis yakin bahwa Raden Mukhtar di atas adalah K.H. Mukhtar Attarid dari Bogor yang juga merupakan seorang pendukung berdiri dan berkembangnya SI. Sedangkan hubungannya dengan K.H. Hasan bin Qasim Lengkong Ulama, bukanlah ayah dengan anak, melainkan guru dan murid.47

B. Guru Dan Geanologi Keilmuan K.H. Mukhtar sebagai salah seorang ulama pasti memiliki guru sebagai sandaran keilmuan dan murid-murid sebagai penerus terhadap ilmu yang telah diwariskan.

Sanad keguruan: 1. Nabi Muhammad SAW 2. Syaikh Abdullah bin Umar Khaththab 3. Syaikh Nafi Maulana Abdullah

46 Penulis mendapat rujukan sumber dalam penelitian ini adalah salah satunya buku karangan Michael Laffan, “Sejarah Islam Di Nusantara”, yang saat itu ditunjukan langsung oleh putra bungsu (Suud) K.H. Mukhtar di rumahnya, Lengkong Ulama Tangerang. Saat itu dia menuturkan “K.H. Hasan, ayahnya K.H. Muhktar. Silahkan baca halaman itu.” Lalu saya pun bertanya, “Raden Mukhtar di sini siapa?” Suud menjawab, “Ya, ayah saya, Cuma dia tidak mau disebut Raden, sebagaimana tercantum di buku ini.” 47 Geanologi atau silsilah keilmuan K.H. Mukhtar terdapat pada buku catatan kecil yang dipegang oleh Suud di Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Kabupaten Tangerang, Banten. 45

4. Imam Malik bin An-Nas 5. Imam Muhammad bin Idris al-Syafiʻi atau Imam Syafiʻi 6. Syaikh Imam Ismail bin Yahya al-Muzani 7. Syaikh Abil Qasim al-Atmati 8. Syaikh Ahmad bin Suraij 9. Syaikh Ibrahim al-Maruzi 10. Syaikh Abi Bakar 11. Syaikh Muhammad al-Juaini 12. Syaikh Abdul Malik 13. Syaikh Imam Muhammad Bin Hamid Al-Ghazali 14. Syaikh Muhammad al-Naisyaburi 15. Syaikh Kamal al-Arid Bila 16. Syaikh Imam Nawawi 17. Syaikh Hibatullah al-Bazi 18. Syaikh Abdurrohim Al-Farisyi 19. Syaikh Umar al-Balqini 20. Syaikh Shalih al-Balqini 21. Syaikh Jalalul Muhili 22. Syaikh Zakariya al-Anshari 23. Sayid Ahmad bin Hajar al-Haitami 24. Sayid Abdul Aziz Zamzami 25. Sayid Saliman al-babali 26. Sayid Ahmad Ramadhan 27. Sayid Ahmad al-jairimi 28. Sayid Ali Alwani 29. Sayid Muhammad Soleh Rais 30. Sayid Abdullah 46

31. Sayid Ahmad Dahlan 32. Syaikh Sayid Babashil 33. Syaikh Mukhtar al-Tharid 34. K.H. Hasan 35. K.H. Mukhtar

Silsilah atau geanologi keilmuan di atas tersimpan dengan rapih oleh Suud, putra bungsu K.H. Mukhtar Lengkong Ulama Tangerang. Dokumen tersebut terdapat dalam dua bentuk: Pertama, buku saku bergaris berukuran 16 cm x 11 cm dengan sampul berwana biru tua agak pudar. Sedangkan kertas itu sendiri berwarna putih yang sudah menguning dan tanpa halaman. Pada setiap lembar kertas itu terdapat 20 baris garis berwarna hitam tipis dan bertuliskan huruf Arab maupun pegon dengan tulisan tinta berwarna hitam dan biru yang mulai pudar, sangat dimungkinkan bukan hanya faktor usia, melainkan juga terkena air. Khusus pada daftar silsilah keguruan tersebut, tertulis dengan tinta biru dengan menggunakan aksara dan bahasa Arab. Selain geanologi, pada buku tersebut juga termuat coretan- coretan K.H. Mukhtar yang mungkin sebenarnya akan menjadi bagian tertentu dari karyanya. Karena buku itu milik Suud, di beberapa halaman juga termuat catatan pribadi miliknya. Jadi, seringkali ketika dalam perjalanan ke suatu tempat, karena K.H. Mukhtar tidak membawa alat tulis, maka ia cenderung untuk meminjam milik orang di sekitarnya dan segera menuliskan apa 47

yang terlintas di dalam pikirannya (inspirasi) yang dimaksudkan agar tidak lupa.48 Sedangkan sumber data silsilah keguruan yang kedua, berbentuk satu lembar kertas berukuran F4 atau legal yang sudah dilaminating. Tulisan yang tertera sudah hasil ketikan dengan tinta hitam dan menggunakan aksara latin. Pada catatan itu terdapat beberapa perbaikan, di antaranya pada bagian atas tertulis kata nasab yang dicoret, ditambah kalimat wa ila arwahi mascjacji hina di bawah nama Nabi Muhammad SAW, dan pada nama salah seorang ulama (Syaikh al-Imam Ismail bin Yahya Al Mazani, menjadi Syaikh al-Imam Ismail bin Yahya al-Muzani). Dari informasi dan data yang telah disebutkan di atas, setelah dilakukan penelusuran lebih intensif, dapat dipastikan bahwa secara garis besar K.H. Mukhtar memperoleh keilmuan agama yang mendasar seperti tauhid, fiqih, dan akhlaq dari ayahnya (K.H. Hasan) dan geanologi di atas hampir serupa dengan silsilah keguruan ilmu fiqih Nahdhiyin atau NU. Namun yang menjadi perbedaan adalah tokoh setelah Sayid Ahmad Dahlan atau Sayid Zaini Dahlan.49 Seperti yang telah penulis jelaskan di atas, Syaikh Mukhtar al-Tharid50 bukan hanya guru K.H. Hasan, melainkan juga guru

48 Penulis mencantumkan geanologi keguruan K.H. Mukhtar dengan keterangan catatan pribadi K.H. Mukhtar pada buku saku miliki putra bungsunya (Suud). 49 Lihat pada lampiran geanologi keguruan. Penulis telah membuat rincian tahun hidup mengenai tokoh-tokoh tersebut, meski ada beberapa ulama yang belum ditemukan keterangannya. 50 Syaikh Mukhtar Ath-Tharid merupakan seorang ulama yang berkompeten pada ilmu hadits dan salah satu murid Syaikh Nawawi Al- 48

K.H. Mukhtar ketika masih d Mekah. Hal ini bisa kita lihat dari kurun waktu dan tempat yang identik sama. Dalam sebuah prolog yang disampaikan oleh K.H. Tholhah Hasan, ciri khas yang paling mencolok dalam tradisi intelektual pesantren adalah jaringan, silsilah, sanad atau genealogi yang bersifat musalsal (berkesinambungan) untuk menentukan tingkat efisoterisitas dan kualitas keulamaan seorang intelektual. Hal ini juga yang menjadi pembeda antara tradisi intelektual pesantren dengan misalnya tradisi intelektual di lingkungan kampus, bahkan lembaga-lembaga Islam lainnya. Hal ini cukup dimaklumi, mengingat tingkatan eksotologis intelektual pesantren, selain menekankan sisi faktualitas antropogenesis pengetahuan juga menyisipkan sisi efisoterisitas intelektual. Makanya dalam tradisi pesantren orang yang pandai agama tidak dapat begitu saja disebut kyai atau ulama, kalau keilmuannya tidak jelas sumbernya dari mana. Jika ditelusuri lebih jauh mungkin hal ini sesuai dengan sebuah ungkapan “Murid yang belajar tanpa guru (meskipun ada buku), maka gurunya adalah syaitan”. Mungkin ini yang disebut primordialisme pesantren. Tetapi yang jelas keberadaan jaringan intelektual sangat menentukan penerimaan dan pengakuan massa terhadap seorang kyai atau ulama. Hal ini bukan hanya berdasarkan prinsip otensitas melainkan yang terpenting adalah orisinilitas keilmuan yang diajarkan.

Bantani. Jadi sangat menjadi kemungkinan bahwa K.H. Mukhtar belajar hadits denganya. 49

K.H. Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur,51 mengungkapkan bahwa penelusuran Martin Van Bruinessen akan pengaruh kuat dari para ulama Kurdi dalam pengembangan tradisi keilmuan Islam klasik di kawasan Asia Tenggara, melalui kajiannya yang mendalam tentang silsilah keilmuan (intellectual geanology) dan studi kritis atas buku-buku teks yang diajarkan di pesantren-pesantren sejak dua abad terakhir (19-20 M), menunjukan besarnya vitalitas cara-cara tradisional dalam menularkan ilmu pengetahuan yang diyakini oleh sebuah generasi kepada generasi berikutnya.52 Konsep rantai ulama yang terus bersambung sampai ke Nabi SAW adalah penting bagi Islam tradisional. Hal itu terdapat dalam berbagai aspek seperti pada silsilah tarekat, isnad hadis, dan juga isnad kitab-kitab yang dipelajari. Mata rantai tersebut merupakan jaminan keontetikan tradisi. Para Sayid Hadrami yang telah punya pengaruh besar dalam pembenntukan Islam tradisional Indonesia merupakan penjelamaan fisik dari mata rantai itu, titisan darah Nabi dianggap ada dalam dirinya, yang

51 Abdurrahman al-Dakhil adalah nama lengkapnya. Sedangkan Gus adalah gelar kehormatan khas pesantren (Jawa) kepada seorang anak kyai yang berarti abang atau mas. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denayar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Desember 1940.Ia merupakan putra dari K.H. dan cucu dari K.H. Hasyhim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama dan pesantren Tebuireng Jombang. Sedangkan ibunya Hj. Sholehah, putri pendiri pesantren Denayar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Khamami Zada, Intelektualisme Pesantren : Potret Tokoh Dan Cakrawala Pemikiran Di Era Pertumbuhan Pesantren , Jilid 3, hal. 339-354. Selanjutnya disebut Zada. Prestasi Gus Dur yang paling puncak adalah ketika ia menjadi seorang Presiden Republik Indonesia keempat, periode 1999-2001, dengan wakil, Megawati Soekarno Putri. 52 Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, Dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia, hal. 12. 50

menyebabkan derajatnya lebih tinggi dari orang lain. Gagasan pewarisan karisma dalam bentuk yang mirip juga terlihat pada kebanggaan sejumlah kyai atas silsilah keturunan yang mereka anggap benar atau salah, runtutannya sampai Wali Sanga atau raja Jawa zaman dahulu. Berbeda dengan kaum modernis yang menolak bahwa garis keturunan dapat menjamin derajat ketinggian spiritual seseorang.53 Menurut Zamakhsyari Dofier, geanologi intelektual yang tidak terputus itu berarti antara satu dengan pesantren lainnya, baik dalam satu kurun zaman maupun dari generasi ke generasi selanjutnya, terjalin hubungan intelektual yang mapan hingga perkembangan fan perubahan yang terjadi dalam lingkungan pesantren sebenarnya, sekaligus dapat menggambarkan sejarah intelektual Islam tradisional. Dalam tradisi pesantren, rantai transmisi itu disebut sanad. Setiap individu di dalam sanad dinamakan isnad. Tradisi sanad ini bukan semata-mata keinginan kyai untuk menjamin dirinya sebagai murid yang sah dan dengan demikian memiliki hak sebagai pengajar dalam ilmu yang ia peroleh. Banyak sekali nilai-nilai dalam tradisi pesantren yang menyangkut hubungan antara guru dan murid yang secara langsung menghasilkan tradisi tersebut. Dofier, juga mengatakan bahwa penting mempelajari hubugan guru dengan murid yang harus selalu menghormati54 dan jelas bahwa seorang murid tidak akan menjadi bekas, meskipun gurunya telah tiada.55

53 Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, Dan Tarekat: Tradisi-Tradisi IslamDi Indonesia, cet. 2. Hal. 20-21. 54 Di dunia pesantren, sebuah karya klasik, Ta’lim Muta’allim, karya Syaikh Burhanuddin Al-Zarnuji (hidup akhir abad 12 dan awal abad 13), 51

Untuk mempertahankan tradisi ini, dalam wacana kekyaian dan keulamaan juga telah dipasang jaring-jaring pengaman berupa rumusan orang alim. Yaitu orang yang alim karena belajar dan memiliki guru (thalib), dalam terminologi Ibnu Qayim al- Jawzy (Madarij al-Salikin) disebut ‘ilmu jally atau menurut Imam al-Ghazali (Iẖyâ ‘Ulûmu al-Dîn) disebut bi al- ta’allum.Sedangkan golongan alim yang kedua didapat karena ladunni, berupa kepandaian yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada orang-orang yang terpilih. Menurut Imam al-Ghazali disebut bi al-taqarrub, yaitu ilmu yang diperoleh karena spiritual impact. Kepandaian terakhir ini biasanya dimiliki oleh keturunan kyai atau ulama yang melakukan tirakat (spiritual exercise) dan dikenal sangat karismatik. Kebiasaan keturunan kyai ini dimulai dengan bertingkah laku aneh dan nakal pada masa remajanya, namun ketika dewasa berubah total menjadi sosok alim.56 Perjalanan mencari ilmu dan bertemu langsung dengan syaikh menambah kesempurnaan belajar. Hal ini disebabkan karena manusia mendapatkan pengetahuan, akhlaq, dan segala sesuatu yang dapat diambil dari ajaran dan keutamaan. Kadang hal ini berasal dari ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kadang membahas etika belajar dan mengajar suatu ilmu. Di dalamnya terdapat unsur- unsur yang dapat menjadi pengaruh seorang murid dikatakan sukses (bermanfaat dan berkah ilmunya) atau tidak. Di antaranya; guru, murid, wali murid/orang tua, dan biaya hidup. 55 Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai Dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, hal. 123-125. Lihat juga Akhmad Sahal dan Munawir Aziz, Islam Nusantar: Dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan, (Bandung: Mizan, 2015), hal. 155. 56 Keterangan ini terdapat dalam sebuah prolog. Zada, Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh Dan Cakrawala Pemikiran Di Era Pertumbuhan Pesantren, Jilid I, hal. VII-X. 52

pula dari pengajaran langsung. Namun, hasil yang didapat dari pertemuan secara langsung lebih kuat dan lebih baik. Makin banyak guru, makin baik pula hasil yang akan dicapai. Peristilahan ilmu juga kadang rancu bagi seorang pelajar. Hal ini membuat mereka harus belajar langsung kepada guru. Sebab, metode yang dipakai oleh para pengajar berbeda-beda. Terutama suatu hal yang penting adalah bertemu dan belajar langsung dengan orang-orang yang berkompeten di bidang ilmu tertentu. “Pengembaraan adalah suatu keniscayaan dalam mencari ilmu untuk mengambil manfaat.”57 Salah satu fungsi dari rantai geanologi keilmuaan, adalah menjaga kemurnian atas ajaran yang diajarkan melalui sumber yang terpercaya, terutama bagi generasi-generasi tertentu yang tidak sezaman dengan ahli yang dituju. Sebagaimana kita ketahui bahwa di dalam pendidikan Islam, khususnya di Pondok Pesantren Salafiyah, silsilah keilmuan itu menjadi suatu hal yang wajib diketahui. Sehingga orang yang jelas rantai keguruannya dikatakan juga sah keabsahan ilmunya. Artinya dapat dipertanggung jawabkan sandaran atau sanad keilmuannya. Sebaliknya juga, orang yang tidak jelas silsilah keguruannya, maka kurang layak atau bahkan tidak layak untuk mengajarkan ilmunya atau disebut sebagai kyai atau ulama. Jika salah satu syarat menjadi kyai atau ulama adalah alim dan jelas genologi keilmuannya, maka K.H. Mukhtar telah

57 Ibnu Khaldun, Mukaddimah Ibnu Khaldun, (Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 2011), hal. 1009. 53

memenuhi keharusan tersebut. Karena setelah dilihat dan diperhatikan lebih cermat, ia memiliki sandaran atau sanad keilmuan yang jelas dan berpangkal kepada Nabi Muhammad SAW.

C. Teman seperguruan dan seperjuangan58 1. Kyai Manariq dari Lamur 2. Sayid Abdullah 3. Kyai Abdul dari Sempur dari Bogor 4. Kyai Abdul Kirom dari Pagendongan 5. Kyai Aji dari Empang, dari Bogor 6. Kyai Abudullah dari Sukaraja 7. Kyai Hasan Basri dari Cicurug 8. Kyai Abdurrahim 9. K.H. Sanusi dari Sukabumi59 10. K.H. Dzarkasih60 11. Kyai Uding dari Cipurbal 12. Kyai Hasan dari Cimangkok, Bogor.

58 Wawancara pribadi dengan Suud pada tanggal 22 Oktober 2017 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 59 Ayah K.H. Ahmad Sanusi adalah teman seperjuangan ketika mengaji kepada K.H. Hasan bin Qasim, ayah K.H. Mukhtar. 60 Teman K.H. Mukhtar ketika sedang menimba ilmu kepada K.H. Hasan bin Qasim. 54

D. Karya Tulis Dan Murid

Sebuah ungkapan berbahasa Arab “Ilmu tanpa amal seperti pohon tak berbuah”. Seseorang dikatakan bermanfaat dan barakah ilmunya, bila ia dapat mengamalkannya dikehidupan sehari-hari, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Manfaat dan barakah ilmu, penulis membagi kepada beberapa kategori, yaitu pertama, seseorang yang memiliki karya, dan kedua, memiliki penerus atau murid. Seperti yang penulis ungkapkan pada bab I, bahwa K.H. Mukhtar merupakan seorang ulama yang produktif. Di antara banyak karyanya, penulis baru menemukan beberapa judul buku yang pernah ditulisnya. Karena secara fisik karangan-karangan itu sudah tidak diketahui, maka judul yang tercantum di bawah ini merupakan hasil sebuah ingatan (meraba), karena sebenarnya semua karya tulisnya berjudul dalam bahasa Arab. Berikut adalah daftar karya K.H. Mukhtar:61 1. Asâsu Al-Niẕâmî: fi Raddi ‘ala al-Ṯâ’nîna fi Hizbi al-Islâmi 2. Tinjauan Hidup 3. Hidayatul Anam 4. Riwayat Lengkong Ulama 5. Prinsip Generasi Muda Islam Dalam Menuju Kesempurnaan Hidup Di Kemudian Hari 6. Prinsip Manusia Dalam Islam 7. Alam Pikiran Manusia

61 Wawancara pribadi dengan Muhammad Aflah pada tanggal 8 Oktober 2016 di Pakulonan, Tangerang-Banten. 55

8. Nilai Kepribadian Muslim Yang Berakhlak Tinggi Dan Berilmu

Sepanjangnya hayatnya, K.H. Mukhtar mengisi kesehariannya dengan mengajar di berbagai daerah.Setelah menelusuri riwayat hidupnya, hanya sedikit murid-muridnya yang bisa penulis temukan, di antaranya:62 1. Syafiʻi al-Hazami 2. K.H. Zainudin M.Z.63 3. Kyai Sohib dari Kadupinang 4. Kyai Aming dari Galisur 5. Kyai Abdul Halim dari Kadupesing 6. Kyai Ruyani dari Kadupinang 7. Kyai Ali dari Cibalungkar, Gasirun Pagentongan 8. Kyai Azhari dari Jasinga 9. K.H. Tamim dari Temanggungan, Rumpin-Bogor64 10. Kyai Asnawi dari Leuwiranji, Rumpin-Bogor 11. Kyai Miftah dari Pagutan 12. Kyai Saidmin 13. Kyai Hamim dari Dukuh Malang 14. Syaikh Jamal Rawa

62 Wawancara pribadi dengan Suud pada tanggal 22 Oktober 2017 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 63 K.H. Zainudin M.Z. merupakan seorang dai yang dikenal masyarakat Indonesia dengan jelukan Dai Sejuta Umat dan pernah aktif dalam partai politik tertentu. 64 K.H. Tamim atau masyarakat mengenalnya dengan sapaan akrab Embah Tamim merupakan salah satu elit lokal yang berperan sebagai ulama dan mempunyai pondok pesantren berpola salafiyah yang berpusat di Temanggungan Rumpin Bogor. 56

15. Ust. Jazi 16. Muhtadin65

1tulah yang dapat penulis informasikan mengenai beberapa judul karya tulis dan nama-nama murid K.H. Mukhtar. Sangat diharapkan ke depan untuk bisa mengetahui lebih banyak akan hal tersebut.

E. Wafat K.H.Mukhtar

40 hari sebelum seseorang meninggal, biasanya nampak tanda-tanda atau firasat tertentu. Baik seorang yang soleh maupun biasa, hal itu sering terjadi. Beredar informasi di masyarakat perihal mengapa bisa wafat dan dikuburkan di tanah Arab. Mukri Mian menceritakan, ketika terjadi pro-kontra rencana pemugaran menyeluruh Masjid Al-Muttaqin, peninggalan Raden Aria Wangsakara selaku pendiri dan pengembang Islam pertama di Lengkong Ulama Tangerang, K.H. Mukhtar pun turut dimintai pendapat oleh masyarakat. Ia termasuk orang yang menyatakan penolakan terhadap rencana renovasi secara total tersebut. ia juga sempat berkata, bahwa setelah selesai pembangunan masjid itu, ia tidak akan pernah

65 Muhtadin adalah murid yang sukses menjadi tokoh agama di daerahnya, padahal ia belum sempat mempelajari kitab kuning langsung dari K.H. Mukhtar. Ia hanya diintruksikan membeli beberapa kitab dengan judul yang berbeda, namun tidak sempat mengkajinya karena K.H. Mukhtar berangkat ke tanah suci dan wafat di sana. Mungkin ini yang disebut ilmu laduni yang didapatnya setelah berkhidmat kepada sang kyai. 57

merasakan shalat di masjid itu. Ternyata hal ini benar-benar terjadi. Untuk alasan tertentu, ia berangkat ke Arab dan menetap di sana, kemudian tidak lama terdengar berita mengenai tutup usianya K.H. Mukhtar.66 Sedangkan menurut sumber lainnya, K.H. Mukhtar berjumpa dengan K.H. Abdul Razaq Muhilli dan K.H. Asnawi di tanah suci. Padahal keberangkatan mereka tidak direncanakan dan membuat janji untuk bertemu. Terlebih lagi, K.H. Mukhtar tidak memberikan informasi kepada masyarakat mengenai keberangkatannya ke Haramain. Baik Ki Utang maupun ayahnya (K.H. Hasan), dikenal sebagai seorang yang alim-ulama yang berkarisma dan mumpuni keilmuannya. Mungkin hal itulah yang menjadi alasan mengapa K.H. Mukhtar diberikan tanah wakaf di sekitar Mekah oleh Raja Arab saat itu. mungkin karena ini juga, kepergiannya ke Mekah adalah untuk mengurusi perkara wakaf tanah yang akan telah diberikan untuk mendirikan pondok pesantren atau lembaga pendidikan Islam yang dikelola oleh keluarga K.H. Mukhtar.67 Berita wafatnya K.H. Mukhtar menimbulkan kegemparan di masyarakat. Suud memberi keterangan bahwa pada pagi hari itu ia minum kopi dan berbincang-bincang bersama ayahnya di

66 Wawancara pribadi dengan Mukri Mian pada tanggal 31 Oktober 2012 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 67 Wawancara pribadi dengan Baequni pada tanggal 24 Agustus 2018 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. Salah satu murid K.H. Mukhtar di bidang kaligrafi dan masih keluarga. Saat ini masih aktif dalam seni kaligrafi, mengajar, menulis naskah, dan menjadi Dewan Kurator. 58

Kantor Desa Lengkong Kulon.68 Selepas bercengkrama, datang seseorang menginformasikan perihal wafat K.H. Mukhtar di Mekah. Suud dan yang lainnya merespon negatif dan tidak percaya atas berita yang telah didengarnya, karena mereka baru saja usai minum kopi bersama. Keesokan harinya, diberbagai media cetak, surat kabar, terpampang jelas akan kebenaran isu yang beredar.69 Mengenai waktu meninggalnya dapat dipastikan yaitu pada tahun 1984. Namun ada sedikit perbedaan informasi dalam keakuratannya. Suud hanya ingat wafatnya K.H. Mukhtar terjadi setelah selesai melaksanakan ibadah haji dan membenarkan tahun wafatnya. Sedangkan Baequni mengatakan wafatnya K.H. Mukhtar terjadi sekitar bulan Juni.70 Setelah penulis mengecek ulang, jika yang menjadi patokan selesainya ibadah haji, yaitu tanggal 10 Dzulhijah, maka akan bertepatan dengan 5 September 1984. Bila benar setelah selesai ibadah haji, maka wafatnya sekitar bulan September-Desember. Akan tetapi, bila ternyata benar bulan Juni, maka itu artinya K.H.Mukhtar wafat sebelum ibadah haji selesai, bahkan belum sampai bulan Haji (Dzulhijah), karena baru sampai pada bulan Ramadhan-Syawal.

68 Suud beranggapan bahwa ayahnya telah kembali ke Indonesia setelah melaksanakan ibadah haji. 69 Wawancara pribadi dengan Suud pada tanggal 22 Oktober 2017 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 70 Wawancara pribadi dengan Baequni pada tanggal 24 Agustus 2018 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 59

Namun menjadi kemungkinan besar adalah antara tahun keberangkatan ke tanah suci, pelakasanaan haji, dan wafatnya itu berbeda. Kita bisa ingat bahwa pada periode tersebut masih banyak yang menggunakan kapal laut dan membutuhkan waktu yang cukup lama, meskipun sudah ada pesawat terbang. Sehingga mungkin tidak terdapat kesalahan dalam informasi yang diberikan Suud mau pun Baequni. Selain ramai akan berita wafatnya K.H. Mukhtar di masyarakat Tangerang, terutama Kampung Lengkong Ulama, tersebar informasi mengenai letak makam beliau. Orang-orang yang sedang menjalankan haji, umrah dan berkingininan menziarahi makam Ki Utang, maka perhatikan sepasang burung merpati terbang dan lihat dimana mereka hinggap. Masyarakat percaya jika kedua burung itu turun tepat di atas makam, maka itulah letak pasti kuburannya. Hal ini dialami sendiri oleh Baequni ketika melaksanakan ibadah haji.71 Mian pernah berbincang-bincang dengan K.H. Mukhtar sebelum keberangkatannya ke Mekah. Mian bertanya “Kalau Ki berangkat dan menetap di Mekah, lalu bagaimana jika kami ingin bertemu?”. Ia menjawab “Shalat Ḏuha di masjid (Masjid Al- Muttaqin), dzikiran, dan doa seperti biasa. Kemudian minta pada Allah SWT untuk berjumpa dengan saya. Insya Allah saya datang”.72

71 Wawancara pribadi dengan Baequni pada tanggal 24 Agustus 2018 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 72 Wawancara pribadi dengan Mukri Mian pada tanggal 31 Oktober 2012 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 60

Kejadian-kejadian seperti itu sering terjadi di kehidupan kita. Beberapa waktu sebelum meninggalnya seseorang, biasanya muncul tanda-tanda atau firasat tertentu. Dalam hal ini K.H. Mukhtar, selaku alim ulama, orang soleh pun menunjukan gejala- gejala tersebut. BAB III KONTRIBUSI K.H. MUKHTAR SEBAGAI ULAMA

Ulama adalah cerminan masyarakat. Dalam hal ini seorang alim harus memahami dan dapat memenuhi tugas-tugas pokoknya, karena dalam hadis Nabi “Ulama merupakan penerang dunia, khalifah segenap para Nabi, ahli waris (ajaranku) dan ahli waris dari seluruh Nabi”.1 Adapun fungsi ulama, yaitu pertama, mendalami bidang- bidang ilmu keagamaan dan kedua, membimbing umat dan mempertahankan agama sebagai tugas sosial.2 Sudah menjadi kewajiban ulama juga adalah kesatu, melaksanakan dakwah yang mencakup menanamkan akidah Islam dan membebaskan manusia dari kemusyrikan, mengatur, melaksanakan, dan menyelenggarakan kegiatan keIslaman. Kedua, mengkaji dan mengembangkan ajaran Islam, yakni menggali nilai-nilai ajaran Islam yang bersumber dari Alquran, hadis, ijma, qiyas, serta mencari gagasan baru untuk memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Ketiga, melindungi agama dan umat Islam, yaitu memperjuangkan hal-hal yang relevan dengan kepentingan umat Islam, melindungi umat Islam dari ancaman musuh, dan memupuk rasa kesatuan umat Islam.3

1 Badrudin Hsubky, Dilema Ulama Dalam Perubahan Zaman, (Jakarta: Gema Insani Pres, 1995), hal. 65. Selanjutnya disebut Hsubky. 2 Tholhah Hasan, Jangan Dituntut Terlalu Banyak Dalam Pesantren, vol. 4., no. 2., 1987. Hal. 43. 3 Hsubky, Dilema Ulama Dalam Perubahan Zaman, hal. 66.

61 62

Selain itu juga, seorang ulama harus memenuhi kriteria agar bisa diterima masyarakat, yang di antaranya:4 1. Menguasai ilmu agama (tafaqquh fi al-dîn) dan sanggup membimbing umat dengan memberikan bekal dan ilmu- ilmu keIslaman yang bersumber dari Alquran, hadis, ijma, dan qiyas. 2. Ikhlas melaksanakan ajaran Islam. 3. Mampu menghidupkan sunnah Rasul dan mengembangkan Islam secara kaffah. 4. Berkahlak luhur, berfikir kritis, aktif mendorong masyarakat melakukan perbuatan positif, bertanggungjawab, dan istiqamah. 5. Berjiwa besar, kuat mental dan fisik, tahan uji, hidup sederhana, amanah, beriradah, berjamaah, tawadhu, kasih sayang terhadap sesama, mahabbah, serta khasyah dan tawakal kepada Allah SWT. 6. Mengetahui dan peka terhadap situasi zaman serta mampu menjawab setiap persoalan untuk kepentingan Islam dan umatnya. 7. Berwawasan luas dan menguasai beberapa cabang ilmu demi pengembangannya. Menerima pendapat orang lain yang tidak bertentangan dengan Islam dan bersikap tawadhu.

Dalam hal ini, kontribusi K.H. Mukhtar terbagi ke dalam 3 metode, yaitu:

4 Hsubky, Dilema Ulama Dalam Perubahan Zaman, hal. 47. 63

A. Metode Pembelajaran Sepanjang hayat K.H. Mukhtar tidak pernah terlepas dari kegiatan belajar mengajar. Dakwah dengan metode ini merupakan salah satu cara yang paling efektif dan efisiensi dalam proses mendidik dan membentuk kepribadian masyarakat secara signifikan. Sebagai seorang alim, ia harus menguasai berbagai prinsip keilmuan, terutama di bidang keagamaan (bidang keahliannya).5 Menggunakan kitab kuning dalam proses kegiatan belajar mengajar sebagai salah satu referensi atau rujukan adalah bentuk pertanggungtawaban keabsahan keilmuannya. Melalui pengkajian kitab klasik inilah, para santri atau masyarakat umum mempelajari ajaran Islam lebih mendalam, terutama amalan- amalan yang sifatnya rutinitas. Kegiatan taklim ini erat hubungannya dengan sarana dan prasarana, yaitu majelis, masjid, madrasah dan pondok pesantren. Pada dasarnya tempat belajar laki-laki maupun perempuan tidak mengalami perbedaan. Akan tetapi, belakangan ini, lazim dilaksanakan pengajian bagi kaum hawa di majelis, adam di masjid, putra-putri (anak-anak dan remaja) di madrasah, dan santri di pondok pesantren. Dalam kurun waktu minimal satu minggu sekali, kaum hawa, terutama, ibu-ibu harus menyempatkan mengikuti pengajian. Adapun tujuan dari kegiatan ini, yang pertama menjalankan perintah agama, kedua memberikan pengarahan

5 Selain penguasaan di bidang tertentu, sangat penting seorang ulama untuk memiliki sanad keilmuan yang menggambarkan dengan jelas runtutan keguruannya. Lihat kembali bab 2 tentang geanologi keilmuan. 64

kesadaran akan kewajiban dan hak seorang hamba Allah, anak, istri dan ibu yang akhirnya akan menjadikan hidupnya maslahat. Begitupun untuk kaum adam lebih sering beraktifitas di masjid. Dengan adanya rutinitas ini diharapkan mereka semakin faham akan hak dan kewajibannya terhadap Sang Pencipta, keluarga, dan sesama umat Muslim. Eksistensi metode pembelajaran yang demikian, sampai sekarang masih berlangsung dengan salah satu pengisi acara K.H. Kosasih.6 Sedangkan kegiatan yang berlangsung di madrasah berfokus pada pendidikan agama dan umum yang dimulai dari tingkat dasar sampai Aliyah (SMA sederajat), dengan seni kaligrafi Islam sebagai mata pelajaran yang dikhaskan. Ada pun rutinitas pengajian di pondok pesantren lebih tertib dan berkesinambungan. Hampir setiap hari, setelah melaksanakan salat berjamaah dan waktu-waktu tertentu para santri belajar dengan dipimpin oleh para kyai. Lembaga pendidikan tradisional Pondok Pesantren Lengkong sudah berdiri sejak abad ke-19 M, meskipun belum terlihat seperti lembaga-lembaga pendidikan seperti sekarang. Bukti yang menunjukkan hal itu adalah di Desa Lengkong terdapat pengajian-pengajian keagamaan yang rutin diselenggarakan oleh masyarakat di bawah asuhan K.H. Mustaqim. Pengajian ini kemudian diteruskan oleh K.H. Ali bin

6 K.H. Kosasih adalah tokoh agama yang paling dituakan saat ini di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 65

Mustaqim, K.H. Dana, K.H. Musa bin Mustaqim, dan K.H. Azhari.7 Nuryani menuturkan bahwa Pesantren Lengkong mulai menyerupai pesantren-pesantren pada umumnya di Indonesia sejak kepemimpinan K.H. Asnawi bin K.H. Muhili, sehingga masyarakat mengenal dirinya sebagai pendiri lembaga pendidikan tersebut.8 Menurut penulis, Pondok Pesantren Lengkong sudah ada yaitu sejak masa hidupnya Raden Aria Wangsakara atau Aria Wiraraja II mendirikan perkampungan itu. Raden Aria Wangsakara dikenal sebagai pendiri sekaligus pengembang Islam pertama di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten.9 Dalam perkembangannya, pada tahun 1949 ketika K.H. Mukhtar menjabat sebagai pimpinan pondok pesantren Lengkong

7 Wawancara Nuryani dengan K.H. Kosasih pada tanggal 20 Januari 1996 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten., dan Wawancara pribadi dengan K.H. Kosasih pada tanggal 30 Oktober 2012 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 8 Wawancara Nuryani dengan K.H. Kosasih pada tanggal 20 Januari 1996 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten., dan lihat juga Tubagus Najib, Potret Lengkong Ulama: Rekontruksi Sejarah Dan Arkeologi, (Tangerang: DISPORABUDPAR, 2011), hal. 107-108. Selanjutnya disebut Najib. 9 Raden Aria Wangsakara juga dikenal sebagai salah satu dari tiga pendiri Kabupaten Tangerang, bersama dua yang lainnya yaitu Raden Jaya Santika dan Raden Aria Yudanegara. Edi. S. Ekadjati, dkk., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah Kabupaten Tangerang, 2004), hal. 84-85. Selanjutnya disebut Ekadjati., Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: KPG, 2009), hal. 121-132. Selanjutnya disebut Tjandrasasmita., dan Najib, Potret Lengkong Ulama: Rekontruksi Sejarah Dan Arkeologi, hal. 6-15. Penulis juga telah melakukan penelitian dasar mengenai tokoh terkait dalam rangka menyelesaikan studi SI prodi Sejarah dan Kebudayaan Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 66

periode 1949-1953, mampu membuat perubahan besar pada sistem pendidikannya, yaitu dengan menambahkan Madrasah Ibtidaiyah sebagai lembaga pendidikan formal. Kurikulum yang diterapkan mencakup pendidikan ajaran agama Islam, seperti fiqih dan tauhid.10 Namun yang menjadi unik adalah kegiatan ekstrakurikuler Tahsin al-Khat atau kaligrafi di madrasah ini dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran utama yang wajib diikuti oleh seluruh siswa.11 Meski demikian, dengan didirikannya lembaga formal, tradisi sorogan dan bandongan dalam proses pembelajaran tetap dilanjutkan. Bahkan pada masa berikutnya, di tahun 1975 para pengasuh Pondok Pesantren Lengkong mendirikan Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah pada tahun 1987.12 Keaktifan K.H. Mukhtar dalam mengajar, bukan hanya dilakukannya selama periode menjabat pimpinan pondok pesantren. Seperti yang penulis sampaikan pada bab 2 bahwa sepulangnya dari tanah Arab, ia mulai mengajar di berbagai tempat dengan bidang keilmuan yang ia kuasai. Dari informasi yang penulis dapatkan di lapangan, ada pun salah satu karya klasik yang pernah dikaji oleh K.H. Mukhtar,

10 Wawancara Nuryani dengan Ustadz Alwi Muhsin pada tanggal 3 Maret 1996 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten., hal. 47., dan Najib, Potret Lengkong Ulama: Rekontruksi Sejarah Dan Arkeologi, hal. 87. 11 Wawancara pribadi dengan Mukri Mian pada tanggal 31 Oktober 2012 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 12 Wawancara Nuryani dengan Ust. Alwi Muhsin pada tanggal 3 Maret 1996 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 67

yaitu Iẖyâ ‘Ulûmu al-Dîn,13 satu dari sekian banyak buah pemikiran Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali atau yang lebih dikenal di masyarakat dengan sebutan Imam al- Ghazali. Sering kali juga, para santri mendatangi kediaman K.H. Mukhtar yang terletak di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan, Tangerang-Banten,14 untuk memperdalam keilmuannya di bidang keagamaan. Pada umumnya mereka mengajukan (request) cabang ilmu yang akan dibahas, seperti fiqih, tauhid, akhlaq, atau tafsir, baru setelah itu ditentukan kitab apa yang akan dikaji.15 Meskipun sebuah request, K.H. Mukhtar tidak spontan mengiyakan apa yang jadi permintaan mereka. Ia harus melihat potensi dan tingkatan dari santri terkait. Karena kajian yang akan disampaikan harus sesuai dengan kapasitas daya tangkap dan daya pikir para pelajarnya. Ini dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti salah pemahaman.16

13 Wawancara pribadi dengan Suud pada tanggal 22 Oktober 2017 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 14 Santri yang dimaksud penulis di sini bukan hanya orang-orang yang menetap dan belajar di pondok pesantren saja, melainkan mereka yang berkeinginan belajar langsung di rumah kyai. Mungkin santri yang datang langsung ke rumah K.H. Mukhtar bukan seorang anak muda lagi. Biasanya karena faktor usia, mereka yang enggan belajar bersama dengan yang lebih muda karena merasa malu. Bahkan besar kemungkinan ia ingin belajar secara khusus, agar lebih dekat dengan kyai dan lebih banyak ilmu yang didapat di bandingkan santri lain. 15 Wawancara pribadi dengan Mukri Mian pada tanggal 31 Oktober 2012 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 16 Seorang santri akan menjadi penerus gurunya di kemudian hari. Maka sudah menjadi keharusan mengusai keilmuan yang dipelajarinya secara 68

Salah satu akhlak luhurnya sebagai ulama adalah tidak membuat tamu yang datang ke rumah merasa canggung karena takut dianggap mengganggu berlangsungnya pengajian. Keunikannya juga yaitu tidak memegang atau melihat kitab yang dikaji.17 Hal itu mungkin dilakukan agar hafalan-hafalan kitab yang sudah dikajinya tetap terjaga dan terlihat seolah sedang asyik berbincang-bincang saja. Tidak jarang juga, K.H. Mukhtar harus mengisi materi pengajian ke berbagai tempat di sekitar Pandeglang, Serang, Banten yang dilaksakan berpindah-pindah dan bergantian di kediaman para jamaahnya.18 Sebagian besar jamaah yang hadir dalam pengajian itu terdiri dari kalangan santri dan asatidz atau teman sebayanya.19 Di antara beberapa santri yang kini sukses di wilayahnya masing-masing, ada satu orang yang berhasil menjadi tokoh menyeluruh, agar tidak muncul keraguan, bahkan kesesatan pada generasi berikutnya. 17 Wawancara pribadi dengan Mukri Mian pada tanggal 31 Oktober 2012 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 18 Wawancara pribadi dengan Suud pada tanggal 22 Oktober 2017 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. K.H. Mukhtar sering mengisi pengajian dan sharing keilmuan di Pandeglang, Serang, Banten. Bahkan ia pernah menjadi menantu K.H. Abdul Halim, Kadu Pesing. Hal ini membuktikan bahwa ia memang sering pulang- pergi ke berbagai daerah. lihat dalam Muhammad Mukhtar, Asâsu Al-Niẕâmî: fi Raddi ‘ala al-Ṯâ’nîna fi Hizbi al-Islâmi, (Bandung: al-Ma’arif, tanpa tahun terbit), hal. 34. 19 Hubungan guru dengan murid tidak harus sang ustadz atau kyai lebih tua dan murid lebih muda. Sering kali teman sebaya, bahkan lebih tua pun turut dalam pengajian. Mungkin hal itu tertanam dalam hati dan pikiran para santri atau jamaah terkait dalam konsep belajar di pesantren yang tercantum dalam kitab taklim mutaklim yaitu thulu al-zaman (terus-menerus atau istiqamah). 69

agama tanpa pernah belajar kepada K.H. Mukhtar. Muhtadin yang saat itu masih muda, sangat ingin berguru langsung dengannya. Namun sangat disayangkan, Ki Utang yang berangkat haji, ternyata tidak pernah kembali ke tanah air dikarenakan tutup usia dan dimakamkan di Arab, sehingga ia belum pernah sekalipun mengikuti pengajian kitab seperti yang diharapkannya. Sebelumnya, ia hanya sempat menerima dan melaksanakan perintah untuk membeli beberapa nama kitab. Mungkin ini merupakan salah satu karomah Ki Utang, sehingga ia mendapatkan suatu yang dinamakan laduni.20 Menurut Dhofier, karomah merupakan keutamaan budi dan karisma dan dapat pula menjadi penyalur keberkahan dari Allah untuk para pengikutnya, dengan kata lain orang percaya bahwa kyai dapat menjadi penyalur kesucian dan kemurahan dari Allah. Namun tidak semua kyai dapat dipercaya memiliki karomah, kecuali dengan syarat ia adalah orang yang wara’ (menjauhi segala perkara yang dilarang dan tidak jelas hukumnya menurut syariat agama Islam). Sedangkan laduni adalah pengetahuan yang datang dengan sendirinya dari Allah SWT atau pengetahuan yang datang langsung dari ketinggian jiwa sebagai buah dari ilham. Dalam dunia tasawuf, ilmu laduni berarti pengetahun yang dimiliki oleh para wali yang masuk ke dalam hati mereka yang berasal langsung dari sang maha pencipta.

20 Wawancara pribadi dengan Suud pada tanggal 22 Oktober 2017 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 70

Contohnya, Kyai Zainuddin pimpinan Pesantren al-Huda Tarogong, Garut, ketika masih berusia 17 tahun sudah ditinggal wafat oleh ayahnya, Kyai Ilyas. Sebagai anak tertua, mau tidak mau ia harus menggantikan ayahnya mengajar. Bahkan diketahui bahwa di usia yang masih relatif muda itu, sudah mengajarkan kitab-kitab tinggi.21 B. Menjawab Permasalahan Masyarakat Suatu hari Lengkong Ulama diramaikan dengan kabar rencana pemugaran total Masjid al-Muttaqin yang merupakan peninggalan arkeologis Raden Aria Wangsakara. Berbagai respon positif maupun negatif muncul di tengah-tengah masyarakat. Diperkirakan sekitar tahun 1640-an, Sultan Banten, Abdul Ma’ali Ahmad Kanari (1640-1651) beserta pengikutnya datang ke Kampung Lengkong Ulama dengan tujuan untuk melihat langsung perkembangan Islam yang ada di sana. Hal itu bisa terlihat jelas karena banyak ulama Banten dan para santri yang tertarik datang dengan tujuan untuk menimba ilmu. Saat itulah dibangun masjid jami agar mampu menampung lebih banyak jamaah.22 Masjid Jami pertama di Kampung Lengkong Ulama ini diberi nama Al-Muttaqin dan masih dibangun dengan sangat sederhana, yaitu berbahan bambu dan kayu dengan bentuk bangunan panggung. Masjid ini memiliki dua tingkat wuwungan

21 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai Dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3S, 2011), hal. 110-112. Selanjutnya disebut Dhofier. 22 Mian, Sejarah Kampung Lengkong, (Tangerang: tanpa penerbit, 1983), hal. 5. 71

atau atap yang masing-masing memiliki makna. Tingkat pertama melambangkan tariqat manusia untuk mendapat keridhaan Allah SWT dan tingkat kedua melambangkan syariat perbuatan manusia di dunia untuk mendapatkan apa yang dimaksud. Sedangkan dalam penentuan arah kiblat, Raden Aria Wangsakara sendiri yang melakukan. Dalam perkembangannya, masjid ini terus mengalami perubahan. Di antaranya yaitu pada tahun 1936 Masjid al- Muttaqin ini dipugar dengan mengganti bahan kontruksinya dengan tembok coran tanpa merubah gaya aslinya. Untuk memperindah bangunan, pada tahun 1963 ditambahkan sebuah menara yang melambangkan keagungan syariat Islam.23 Terakhir, pada tahun 1984 masjid ini mengalami renovasi besar-besaran yang mengakibatkan hilangnya arsitektur lamanya.24 Perubahan yang demikian itu terjadi pada masa Kyai Mustaqim. Untuk mengenangnya, di bagian serambi utara masjid masyarakat membuat makam Kyai Mustaqim pada sebuah bangunan dengan luas 2x2 m. Jadi, sebelum keputusan akhir itu dilaksanakan, dalam kondisi yang demikian membingungkan, masyarakat berusaha mencari solusi terbaik dengan cara berkonsultasi kepada para

23 Mian, Sejarah Kampung Lengkong, hal. 5. Lihat juga, Najib, Dkk., Laporan Penelitian Pengembangan Nilai Dan Geografi Sejarah Lengkong Ulama (Tangerang: Pemerintahan Kabupaten Tangerang, 2007), hal. 8-9., Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: KPG, 2009), hal. 121- 132., Najib, Tinggalan Arkeologi: Potensi, Kronologi, Kontak Budaya, makalah dipresentasikan di Kecamatan Pagedangan Kabupaten Tangerang Banten (Tangerang: DISPORABUDPAR, 2010), hal. 4., Najib, Potret Lengkong Ulama: Rekontruksi Sejarah Dan Arkeologi, hal. 51-53. 24 Inilah massa dimana kegemparan masyarakat Lengkong Ulama itu terjadi. 72

tokoh setempat. Pro dan kontra terus memperkeruh suasana dan kian memanas. Sebagian elit masyarakat kampung itu setuju untuk melakukan pemugaran total terhadap bangunan kuna tersebut. Namun, sedikit berbeda pendapat dengan yang lainnya, K.H. Mukhtar sangat setuju untuk merombak bangunan masjid itu, akan tetapi tidak sampai merubah bentuk atau arsitektur aslinya. Menurutnya, masjid itu bukan hanya tempat beribadah, melainkan memiliki nilai historis yang tinggi sebagai identitas masyarakat Lengkong Ulama.25 Perdebatan berakhir dengan mengambil suara terbanyak, yaitu melaksanakan rencana awal untuk membangun Masjid al-Muttaqin, berikut dengan model barunya. Menurut M. Dawam Raharjo, ulama memang pewaris para Nabi. Akan tetapi yang diwariskan bukan jabatannya, melainkan misinya. Ulama sejak dahulu telah melaksanakan amanah yang telah Nabi berikan, yang tidak lain adalah menyebarkan dan melestarikan ajaran Islam. Ulama adalah penafsir Alquran dan hadis yang menghasilkan rumusan dan bahasan sistematis tentang agama. Ulama telah menciptakan body of knowledge keagamaan melalui karya-karya tulisnya. Berkat karya-karya mereka itulah, apa yang telah menjadi kewajiban dan hak dalam agama Islam dapat tersampaikan kepada masyarakat pada umumnya. 26

25 Masjid setidaknya memiliki 3 fungsi: Pertama, sarana tempat ibadah. Kedua, sarana dakwah.Dan ketiga, pusat kegiatan pendidikan Islam.Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai Dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, hal. 85. 26 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Ulama Dalam Ulumul Qur,an, Jurnal Kebudayaan Dan Peradaban, vol. 6, no 5, 1996, hal. 35. 73

Hal ini juga menjelaskan bahwa ulama secara garis besar mempunyai tugas yang berat yang harus dipikulnya, yaitu amar maʻruf nahi munkar.27 Seorang ulama dalam kesehariannya selalu diteladani oleh jamaahnya, karena itu segala aktifitasnya merupakan bagian dari dakwah. Mengajar dan membertahu akan kewajiban seorang Muslim dan memberi teguran atau himbauan ketika ada orang Islam yang melanggar aturan agama merupakan bentuk-bentuk jalan pengamalannya. Amar maʻruf nahi munkar juga, bukan hanya harus diterapkan oleh seorang ulama, melainkan juga sebagai konsep atau ciri khairi umati.28 Sudah selayaknya bagi seorang individu Muslim maupun kelompok, dari berbagai kalangan, suku, bangsa, menjadikannya sebagai wahana pemersatu umat Islam yang bersumber kepada Alquran dan sunnah.

C. Karya-Karya K.H. Mukhtar a. Asâsu Al-Niẕâmî: fi Raddi ‘ala al-Ṯâʻnîna fi Hizbi al-Islâmi Seperti yang telah penulis singgung dalam bab 2, bahwa dari sekian banyak karya yang telah dihasilkan, hanya beberapa yang dapat ditemukan. Sangat mungkin bila buah pemikiran K.H.

27 Husein Segaf, Ulama Dan Pembangunan, (Jakarta: 1976), hal. 72. Selanjutnya diseebut Segaf. Lihat juga pidato Menteri Dalam Negeri Letnan Jenderal H. Amir Mahmud yang berjudul “Ulama Sebagai Pelopor Pembangunan Dan Pembinaan Wilayah” pada Musyawarah Nasional Pertama Majelis Ulama Seluruh Indonesia yang dilaksanakan pada 22 Juli 1975 di Jakarta. Segaf, Ulama Dan Pembangunan, hal. 134. Perlu ditinjau juga Ramlan Marjoened, K.H. Hasan Bashri 70 Tahun: Fungsi Ulama Dan Peranan Masjid, (Jakarta: Media Da’wah, tanpa tahun), hal. 141. 28 Hsubky, Dilema Ulama Dalam Perubahan Zaman, hal. 49. 74

Mukhtar yang berceceran, disimpan perorangan dan tidak terpublikasikan. Asâsu Al-Niẕâmî: fi Raddi ‘ala al-Ṯâ’nîna fi Hizbi al-Islâmi adalah sebuah karya tulis yang memfokuskan pembahasan pada partai politik Islam Indonesia Masyumi. Meski didominasi dengan pemikiran di bidang politik, namun tetap bercampur dengan pembahasan lainnya. Secara fisik buku ini disusun pada kertas HVS yang sudah menguning dengan bagian jilid atau cover depan sudah tidak ada. Sedangkan di dalamnya berisi tulisan tangan yang menggunakan aksara Arab dan pegon yang berbahasa Arab, Melayu dan Jawa dengan tinta hitam.29 Pada bagian awal, selain tertulis dengan jelas judul kitab, juga terpampang nama Muhammad Mukhtar bin Hasan bin Qasim bin Daud bin Abi Khairuddin Lengkong Kulon sebagai pengarangnya. Selain itu, disusunnya kitab ini dimaksudkan untuk membantah dengan benar terhadap orang-orang yang sering mencela atau menghina suatu kelompok, organisasi, atau partai Islam yang dalam hal ini dikhususkan kepada Masyumi. Kemudian, disebutkan bahwa risalah ini merupakan jilid pertama dan akan segera menyusul terbit jilid berikutnya. Sedangkan pada bagian belakang lembar akhir, tertulis “al-Maarif bdg” yang artinya dicetak dan diterbitkan oleh al-Maarif Bandung.30

29 Buku yang penulis temukan sudah merupakan salinan atau cetakan, bukan naskah asli tulisan K.H. Mukhtar. Mengenai siapa penyalinnya, penulis belum dapat memastikannya. 30 Dari informasi penulis dapatkan, para kaligrafer Lengkong Ulama tersebar ke berbagai daerah dengan berprofesi sebagai penulis, penyalin, dan kaligrafer hiasan dinding. Begitu juga dengan al-Maarif Bandung, pernah ada 75

Menunjukan sikap tawadhunya, tertulis “Semoga dimaklum”. Menurut Baequni Yasin, sangat jarang sekali seorang penulis menyertakan kata-kata seperti itu, karena biasanya cenderung membaguskan karyanya, mengatakan karya terbaik, terlengkap dan sebagainya.31 Pada halaman berikutnya, pada bagian kata pengantar, dijelaskan bahwa risalah ini mulai disusun pada tanggal 1 bulan Ramadhan 1376 H yang bertepatandengan 1 April 1957. Layaknya karya tulis zaman sekarang, terlampirkan juga referensi yang diantaranya: Tafsir Mafâtîhu al-Ghaib, Hadits Bukhari, Hadits Tirmidzi, al-Ahkâm, al-Sulthâniyyah, Iẖyâ ‘Ulûmu al-Dîn, Minhâju al-Yaqîn, Muqaddimah Ibnu Khaldûn, Tanbîhu al- Anâm, Nûru al-Zulâm, Fatâwi al-Hadîsiyyah, Fawâidu al- Mulkiyyah, Syawâhidu al-Haq, al-Muthâla’atu al-Ashriyyah, Usûlu al-Fiqhi, Zawâzir Fatâwi al-Kubra, buku politik dan lain sebagainya.32 Secara terperinci kitab ini menerangkan tentang sebab- sebab manusia yang mempunyai pengetahuan dalam menjelaskan tujuan manusia, ahli sunnah wal jamaah, pokok hukum Islam dan pengamalannya, arti biḏʻah, tanda-tanda gabungan atau partai- hubungan dengan keluarga K.H. Mukhtar. Wawancara pribadi dengan Suud pada tanggal 22 Oktober 2017 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 31 Komentar ini dikatakan, ketika sedang berdiskusi dengan penulis (saya pribadi) di rumahnya yang terletak di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten dan tidak jauh dari rumah Suud, putra bungsu K.H. Mukhtar. 32 Asâsu al-Niẕâmî sudah menggunakan etika penulisan yang jelas, meskipun masih terlihat sangat sederhana. Bahkan K.H. Mukhtar berani mengatakan apa yang ia tulis dalam risalah ini merupakan fakta, karena sudah melalui proses riset. 76

partai Islam, fungsi partai, anggaran dasar Masyumi dan kapan didirikannya, alasan sebagian umat Islam menghina Masyumi, dan tanda-tanda ulama akhirat dan dunia (su’).

b. Jadwal Qira`at Surat Dalam Salat Sebagaimana yang kita ketahui bahwa salat lima waktu merupakan kewajiban bagi seluruh umat Muslim dunia. Salat ialah tiang agama, yang artinya dengan melaksanan rukun Islam ini, Muslim tersebut telah turut menegakan agama. Selanjutnya, salat adalah amal perbuatan pertama yang akan dihisab di akhirat nanti. Definisi salat secara bahasa adalah doa. Sedangkan menurut syara ialah suatu perkataan dan perbuatan diawali dengan Takbiratu al-Ihram dan di akhiri dengan Salam, serta diiringi dengan syarat dan rukun tertentu. Untuk memperkuat kualitas ibadah farḏu ini, K.H. Mukhtar memperkuat dan merapihkan pengamalan Sunnah Rasul berupa pembacaan surat yang terjadwal. Setiap waktu salat, satu hari dalam satu minggu sudah diatur dengan rapih. Sehingga baik imam maupun makmun tidak akan bosan ketika mendengar imam membaca surat dalam salat. Suatu contoh, pada pelaksanaan salat Subuh di hari Jumat, imam membaca surat al-Sajadah setelah al- Fatihah pada rakaat pertama dan pada rakaat kedua surat al- ‘Alaq. Bahkan khusus pada salat Subuh Jumat ini, disertai dengan sujud tilawah. Jadi, pada rakaat pertama setelah al-Fatihah disambung dengan 15 ayat surat al-Sajadah, kemudian sujud 77

tilawah dan berdiri kembali membaca al-Fatihah dan 15 ayat sisa dari surat Sajadah, itu khusus pada rakaat pertama. Menurut Mukri Mian, K.H. Mukhtar merupakan salah satu imam yang paling dinanti-nanti. Yang demikian ini terjadi karena masyarakat merasa kagum akan keindahan suara bacaan Alquran yang dilantunkannya, sehingga membuat jamaah semakin khusu’. Selain sebagai penyusun jadwal, ia juga yang paling menerapkan dalam pengamalannya.33 Dalam hal ini penulis menemukan beberapa nilai penting: Pertama, seorang imam harus hafal Alquran atau paling minimal Juz 30. Kedua, dengan adanya jadwal qira`at ini, dapat memotivasi para calon imam untuk memperbaiki dan menghafal Alquran lebih mendalam. Ketiga, makmum tidak bosan karena mendengar bacaan imam yang berulang-ulang, karena sudah membaca surat bergantian secara teratur. Keempat, makmum tidak mengejek atau menyepelekan imam yang disebabkan oleh pembacaan surat yang terlalu sering atau ketika ia menjadi imam salat, selalu surat itu yang dibaca.

33 Wawancara pribadi dengan Mukri Mian pada tanggal 31 Oktober 2012 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. BAB IV AKTIFITAS SENI KALIGRAFI ISLAM K.H. MUKHTAR

Tulisan indah merupakan salah satu bentuk seni yang populer di dunia. Suatu metode yang bukan hanya sebagai sarana penghubung terjalinnya komunikasi, melainkan menjadi suatu ciri khas dari suku, bangsa, agama tertentu, termasuk dalam Islam. Kaligrafi menurut Syaikh Thahir al-Kurdi adalah tulisan huruf atau kalimat Arab yang yang bagus dan indah, yang menggunakan usul fan dan qawaidnya.1 Seorang khattat sudah menjadi keharusan dalam menguasai syarat-syarat penulisan khat, sehingga ia bisa menghasilkan karya yang indah, bermakna, dan tidak keluar dari aturan. Seni ini dalam Islam juga memiliki beberapa istilah tersendiri. Di dunia Arab, tulisan ini dikenal dengan khat. Untuk menjadikannya lebih khusus, maka ditambahkanlah istilah tahsinul, sehingga terbentuklah ungkapan tahsinul khat yang artinya membaguskan atau memperindah tulisan. Salah satu contoh lembaga pendidikan yang khusus memperdalam fan ini yaitu Madrasah Tahsinul Khat al-Falah di Arab.2

1 Muhammad Thahir bin Abdul Qadir Al-Kurdi Al-Makki, Tarikh Al- Khat Al-Arabi Wa Adabihi, (Arab Saudi: Al-Maktabah Hilal, 1939), hal. 7. Selanjutnya disebut al-Kurdi. 2 Di madrasah inilah K.H. Mukhtar mempelajari kaligrafi Islam secara intensif.

78 79

Pada umumnya, sebagian besar masyarakat Indonesia mengenal istilah kaligrafi ini, pasti bertuliskan huruf Arab yang bernuansa Islami.3 Padahal sebagaimana yang kita ketahui, bahwa setiap bangsa dan negara memiliki seni tulis indah dengan gaya tersendiri, yang dikenal dengan terma yang sama. Begitu pun dengan sebagian pengamat bidang seni ini dan kaligrafer menyebutnya sama dengan yang lain yaitu kaligrafi. Akan tetapi, karena huruf yang digunakan adalah aksara Arab, maka dikenalah terma Kaligrafi Arab. Dalam perkembangannya, para khattat Islam melihat bahwa kaligrafi Arab bukan hanya digunakan oleh umat Muslim, melainkan juga seniman non-Muslim yang ahli di bidang ini. Sehingga sebagian berfikir untuk menjadikannya lebih spesifik, yaitu kaligrafi Islam. istilah ini memiliki ciri khas pada apa yang ia tulis, yang bersumber atau bernuansa Islami, contohnya penulisan mushaf Alquran, hadis, kutipan-kutipan dari keduanya, dan maqalah-maqalah yang berunsur agama Islam. Bahkan selama apa yang ia tulis bersumber dari ajaran Islam dan menggunakan kaidah kaligrafi yang berlaku, meskipun ia bukan Muslim, maka karyanya tetap termasuk kategori kaligrafi Islam.4

3 Definisi kaligrafi lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia, Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung, Titian Ilmu, 2004), hal. 389-390., Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1982), hal. 1628., Didin Sirojuddin, Seni Kaligrafi Islam, (Jakarta: Multi Kreasi Singgana, 1992), cet. 4., Hal. 1. Selanjutnya disebut Sirojuddin., Nurul Makin, Kapita Selekta Kaligrafi Islam, (Jakarta: Panjimas, 1995), hal. 1., dan Abdul Karim Husain, Seni Kaligrafi Khat Naskhi: Tuntunan Menulis Halus Huruf Arab Dengan Metode Komparatif, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1985), hal. 2. 4 Wawancara pibadi dengan Didin Sirojudin AR pada tanggal 13 Januari 2019 di Ciputat, Tangerang Selatan. 80

Dalam hal ini Baequni Yasin salah satu khattat yang berasal dari Lengkong Ulama Tangerang, lebih suka menggunakan istilah tahsinul khat. Asumsinya adalah untuk membedakan terma yang digunakan oleh umat Muslim dengan non-Muslim dan dinisbahkan dengan apa yang dikenal di Timur Tengah, seperti Arab, Mesir, dan Iraq.5 Terlepas dari perbedaan penggunaan terma, kaligrafi terus berkembang ke arah yang lebih maju dan bersaing dengan bidang seni lain, serta turut mengukir nama dalam peradaban dunia. Menjadi suatu yang sangat disayangkan, K.H. Mukhtar yang merupakan salah satu seniman dan sesepuh kaligrafi Islam Lengkong Ulama tidak ditemukan karyanya dalam bentuk fisik. Akan tetapi itu tidak menghilangkan kenyataan bahwa begitu besar kontribusinya dalam memajukan bangsa Indonesia pada bidang seni ini.

A. Metode Pengembangan Dan Penyebarluasan Seni Kaligrafi Islam Beberapa peneliti pendahulu, baik personal, kelompok maupun instansi yang pernah melakukan observasi di Lengkong Ulama menemukan bahwa kaligrafi di perkampungan ini memiliki ciri yang khas tersendiri yang berbeda dari hasil kaligrafer lainnya. Hal ini yang menjadi motivasi penulis untuk turut menelusuri dan menggali kebenaran informasi tersebut.

5 Wawancara pribadi dengan Baequni pada tanggal 24 Agustus 2018 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 81

Dalam kaitan ini, Mukri Mian menginformasikan bahwa para Khattat Lengkong Ulama selalu membubuhi karakter huruf tertentu atau lebih tepatnya huruf yang dijadikan simbol dalam setiap karyanya.6 Kemudian tanda inilah yang menjadi identitas pembuatnya. Sehingga orang yang mengenal dan memahami makna ciri itu langsung mengetahui siapa kaligrafer maha karya tersebut. Demikian juga dengan Tubagus Najib peneliti Pusat Arkeologi Nasional (PUSARNAS) yang lebih dahulu menulusuri sejarah dan arkeologi Lengkong Ulama, menekankan bahwa khasnya Kaligrafi Lengkong terletak pada karakter huruf yang dihasilkan.7 Bahkan ia telah melibatkan beberapa khattat wilayah Banten dalam penyusunan mushaf Alquran al-Bantani. Berbeda dengan Mahmud Arham salah satu khattat Lengkong Ulama Tangerang memberi pernyataan bahwa kekhasan tersebut bukan terletak pada karakter huruf atau tulisan yang dihasilkan, melainkan kebiasaan tulis menulis masyarakat yang turun temurun.8 Sedangkan Baequni Yasin yang merupakan Khattat Lengkong Ulama Tangerang dan Kurator lepas Kemenag RI menambahkan bahwa kekhasan kaligrafi Lengkong Ulama bukan terlihat dari karakter huruf yang dihasilkan, karena setiap orang

6 Wawancara pribadi dengan Mukri Mian pada tanggal 31 Oktober 2012 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 7 Wawancara pibadi dengan Tubagus Najib pada tanggal 28 September 2018 di Panaragan Kidul, Bogor. 8 Wawancara pibadi dengan Mahmud Arham pada tanggal 7 Agustus 2018 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 82

memiliki kelebihan dan kekurangan tertentu, sehingga karya yang diperlihatkan berbeda meski jenis dan objek tulisan sama.9 Dalam penelusuran mencari kebenaran mengenai kekhasan kaligrafi Lengkong Ulama, penulis menemukan bahwa pada dasarnya masyarakat di sana, sedari dulu memiliki tulisan yang bagus, terutama dalam menggunakan aksara Arab. Selain itu juga penulis menemukan beberapa metode yang digunakan untuk mengembangkan dan menyebarluaskan keilmuan di bidang kaligrafi, sekaligus menjawab tantangan di era kemajuan teknologi dan informasi ini, yang diantaranya:

1. Kebudayaan Kebudayaan pada dasarnya adalah segala sesuatu yang terkait dengan kehidupan manusia dalam dimensi sosial dan diperoleh dari hasil kajian dan kreativitas manusia. Budaya sendiri terbagi kepada tiga bentuk: Pertama, budaya ide yang meliputi pola pikir, konsep, dan nilai. Kedua, budaya perilaku yang berwujud dalam pola aktivias suatu masyarakat. Ketiga, budaya berbentuk fisik material dari aktivitas sosial.10 Terkait dengan masyarakat Lengkong Ulama, pada tipe budaya pertama menggambarkan bahwa kaligrafi yang dihasilkan mengandung unsur keagamaan, yaitu ketauhidan dan dakwah. Mengapa demikian? Karena karya yang dihasilkan berupa

9 Wawancara pibadi dengan Baequni Yasin pada tanggal 24 Agustus 2018 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 10 Fuad Amsyari, Masa Depan Umat Islam Indonesia, (Bandung: Al- Bayan, 1993), hal. 164-165. 83

potongan atau keseluruhan ajaran Islam yang bersumber pada Alquran dan hadis atau maqalah para ulama. Contohnya QS 96:1 yang mengandung makna perintah belajar dan bertauhid kepada Allah SWT. Suatu pandangan yang luar biasa, A.D. Pirous seorang kaligrafer kontemporer senior, ketika dikunjungi oleh Kenneth M. George, ia mengatakan bahwa lukisan QS 96:1-5 merupakan lukisan pembangun rumahnya. Ayat itu mengingatkan orang beriman pada kemampuan mereka untuk berbicara, berpikir, dan belajar-berkah pengetahuan dan nalar dari Kalam Ilahi.11 Kemudian, pada bentuk budaya kedua, yang merupakan perwujudan dari pola aktivitas masyarakat, nampak bahwa kaligrafi bukan hanya dikuasai dan dipelajari oleh sebagian besar penduduk Lengkong Ulama, melainkan banyak diantara mereka yang akhirnya berkecimpung di dunia tulis menulis atau khat, baik dalam penyusunan mushaf Alquran, penyalinan buku, penghias bangunan masjid, maupun kebiasaan mereka ketika menterjemahkan kitab-kitab Islam berbahasa Arab dalam suatu pengajian. Seperti Abdul Razaq Muhili dan Faiz Abdul Razaq yang aktif menulis dan menyalin di percetakan Salim Nabhan, Surabaya. Sedangkan dalam kategorisasi budaya yang ketiga, pembelajaran dan penulisan kaligrafi dilakukan secara berkelompok dan bersifat sosial. Suatu contoh, dalam pengerjaan pembuatan hiasan Masjid al-Muttaqin Lengkong Ulama beberapa

11 Kennet M. George, Melukis Islam: Amal Dan Etika Seni Islam Di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2012), hal. 2. 84

saat lalu, dilakukan oleh beberapa khattat, baik tua maupun muda, sehingga memiliki arti nilai kebersamaan atau gotong royong, terutama dalam hal regenerasi. Terlepas dari ketiga konsep budaya di atas. Masyarakat Lengkong Ulama sudah terbiasa menulis aksara Arab atau pegon dengan berbahasa Arab, Indonesia, Sunda, maupun Jawa. Kebanyakan dari mereka memiliki tulisan yang bagus. Hal itu dikarenakan kebiasaan menulis yang diajarkan sejak dini dan turun temurun, terutama ketika menterjemahkan kitab-kitab Islam dalam pengajian di pondok pesantren.12 Seperti halnya yang diungkapkan oleh Faiz Abdul Razaq, semasa kecil ia hanya diajarkan menulis aksara Arab, tidak jenis huruf yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Lengkong Ulama selain kuat dalam keagamaan, melainkan juga berpegang teguh kepada tradisi leluhur. Jadi, pada dasarnya kekhasan bentuk kaligrafi Lengkong Ulama bukan dilihat dari hasil tulisan atau karyanya, melainkan kebudayaan mereka dalam tulis menulis tulisan indah. Karena jika patokan kekhasannya adalah hasil tulisan, maka setiap orang pun memiliki ciri-ciri tersendiri dan bisa membuat kekhasan tersebut, maka lebih bijak jika dikatakan faktor pendukungnya adalah kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

12 Wawancara pibadi dengan Mahmud Arham pada tanggal 7 Agustus 2018 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten., dan Wawancara pibadi dengan Baequni Yasin pada tanggal 24 Agustus 2018 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 85

2. Lembaga pendidikan Pada mulanya Lengkong Ulama Tangerang hanya memiliki lembaga pendidikan non formal berbentuk pondok pesantren salafiyah dan berfokus kepada pengkajian kitab-kitab Islam klasik. Metode pengajaran yang digunakan tentu saja menggunakan cara sorogan dan bandungan seperti kebanyakan pesantren lain di Indonesia.13 Akan tetapi, dalam perkembangan zaman yang terus kian terus maju, pesantren mengalami kemunduran dalam jumlah santri, karena lebih tertarik untuk belajar di sekolah. Agar para pelajar termotivasi kembali untuk belajar di lembaga non formal ini, maka dibutuhkan sesuatu yang baru, tanpa menghilangkan tradisi keilmuan yang sudah ada. Pada tahun 1949, K.H. Mukhtar yang dipercaya memimpin pondok pesantren di Lengkong Ulama Tangerang bersama segenap tokoh lainnya mulai mengembangkan sistem pendidikan non formal yang sudah ada, dengan mendirikan lembaga formal yang nantinya akan saling menopang. Manbaul Irfan dalam jenjang Madrasah Ibtidaiyah di kala itu adalah yang paling awal dirintis, meskipun pada masa kepemimpinan sebelumnya pernah berdiri Madrasah Diniyah. Melalui lembaga formal inilah, yang menjadi jalan alternatif dalam perekrutan siswa. Selain berfokus kepada pelajaran umum, juga pendidikan agama yang lebih ditekankan. Salah satu keunikan yang ada dalam madrasah ini adalah kaligrafi. Saat itu masyarakat belum mengenal istilah kaligrafi,

13 Mengenai sorogan dan bandungan bisa dilihat pada Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai Dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, hal. 54. 86

melainkan tahsinul khat. Sampai sekarang, berbeda dengan sekolah atau lembaga pendidikan di tempat lainnya, seni ini menjadi salah satu pelajaran inti yang wajib diikuti selama jam belajar. Disadari atau tidak, metode ini menjadi terobosan yang cukup jitu. Salah seorang di antara pengajar yang turut aktif di dalamnya ialah K.H. Mukhtar. Seperti yang penulis singgung di awal, bahwa kedua tangannya aktif. Baik tangan kanan maupun kiri, bisa digunakan bergantian untuk menulis dan bagus hasilnya. Bahkan Aflah dan Suud menginformasikan, sebenarnya ayahnya bertangan kidal, akan tetapi ketika menggunakan tangan kanannya, tulisan yang dihasilkan cenderung lebih indah dari biasanya. Menjadi sebuah problem, ketika semangat belajar terbendung oleh keterbatasan waktu. Demi menanggapi antusias para pelajar dalam mendalami lebih intensif terkait tahsinul khat, K.H. Mukhtar mempersilahkan siapa pun untuk datang dan meneruskan studi di rumah pribadinya. Dengan cara ini sangat mungkin sekali, para siswa untuk menggali dan memaksimalkan potensi yang dimilikinya.14 Selain itu, tahsinul khat di lembaga ini terbiasakan menulis Arab Melayu, Arab Jawi atau pegon yang dimutasikan ke huruf latin. Dengan metode ini para siswa semakin terbiasa menulis dan diyakini dapat memperbaiki tulisannya yang kurang bagus. Memang tidak semua yang mempelajari ilmu seni ini menjadi

14 Wawancara pribadi dengan Mukri Mian pada tanggal 31 Oktober 2012 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 87

khattat yang handal, tetapi setidaknya mereka memiliki tulisan yang lebih baik dibandingkan sebelumnya. Dalam hal ini penulis teringat ketika masih duduk di kelas 3 sekolah dasar (SD), lebih tepatnya tahun 1999. Pada masa itu terma Madrasah Ibtidaiyah atau Diniyah, belum terlalu dikenal. Kami hanya mengetahui bahwa lembaga pendidikan setingkat SD itu disebut madrasah atau Sekolah Agama. Apabila boleh penulis membandingkan madrasah yang di bawah kewenangan Kemenag dulu dengan sekarang, perbedaanya sangat mencolok, yaitu pada mata pelajaran yang harus diemban oleh pelajar. Dahulu, yang dikatakan mardasah hanya berfokus kepada mata pelajaran agama, seperti fiqih, tauhid, aqidah akhlaq, bahasa Arab, sejarah kebudayaan Islam dan lain sebagainya. Akan tetapi kini, madrasah pun memasukan mata pelajaran umum, seperti halnya SD, diantaranya matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, IPA, IPS, dan lain-lain. Pada masa itu juga penulis mengalami secara langsung mata pelajaran kaligrafi yang dikenal dengan istilah al-Khat. Dengan bermodalkan lembaran kertas atau buku gambar dan pensil bangunan yang berbentuk gepeng, para pelajar dapat memulai studi pada bidang tersebut. Bahkan penulis masih ingat, pensil yang digunakan pun bertuliskan al-Khat berwarna merah atau hijau. Dengan mencantumkan tahsinul khat sebagai salah mata pelajaran pokok, menjawab tantangan di zaman yang berbasis kemajuan teknologi dan informasi. Pada umumya, di era globalisasi ini menulis berbagai huruf dengan bermacam-macam 88

bentuk tidaklah sulit dengan menggunakan komputer. Akan tetapi kerbatasan tetaplah ada, sehingga ilmu khat masih banyak dipelajari. Seseorang yang menulis dengan bantuan teknologi (komputer), tidak bisa disebut seniman. karena seni merupakan bentuk apresiasi dan ekpresi dari si pembuatnya. Dengan menulis menggunakan tangan, seorang seniman bisa leluasa mengembangkan inovasi dan imajinasinya, sehingga menghasilkan karya seperti yang diinginkan. Baequni Yasin, salah satu murid dari K.H. Mukhtar dan K.H. Abdul Razaq Muhili, selain menjadi seorang khattat dan kurator lepas di Kemenag RI, ia juga turut mengamalkan ilmunya kepada siapa pun yang ingin mempelajari tahsinul khat atau kaligrafi secara intensif. Meski terbatas pada prasarana khusus untuk belajar, ia menyambut hangat para calon seniman antusias yang datang dari berbagai daerah, termasuk dari luar pulau Jawa. Begitu pun sebalikanya, para pelajar seni ini semangat belajar meskipun harus datang dari jauh dan menyewa bangunan (kontrak rumah) yang akan digunakan sebagai tempat belajar dan istirahat.15 Selain lembaga pendidikan yang berada di Lengkong Ulama Tangerang, LEMKA yang bertempatkan di Sukabumi, Jawa Barat, menjadi salah satu lembaga pendidikan yang turut memfasilitasi berkembangnya kaligrafi Indonesia. Didin

15 Wawancara pribadi dengan Baequni pada tanggal 24 Agustus 2018 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 89

Sirojudin merupakan pendiri lembaga kaligrafi ini, sekaligus murid dari K.H. Abdul Razaq Muhili.16

B. Guru Di Bidang Kaligrafi Islam Syaikh Thahir al-Kurdi (1321-1400 H) merupakan guru K.H. Mukhtar di bidang seni kaligrafi Islam.17 Nama lengkapnya adalah Muhammad Thahir bin Abdul Qadir al-Kurdi yang dilahirkan dan tumbuh di Mekah. Pendidikannya diawali dari madrasah al-Falah dan lulus ketika menginjak usia 18 tahun, lebih tepatnya tahun 1339 H. Kemudian pada tahun 1340 H diantar oleh ayahnya ke Mesir untuk melanjutkan studinya di al- Azhar, Kairo. Dalam padatnya aktivitas belajar, sejak tahun 1341 H, pada sore harinya ia menyibukan diri untuk mempelajari ilmu

16 Didin Sirojudin menceritakan bahwa ia memiliki 2 orang yang dianggap guru khat, yaitu Salim Fahri dan K.H. Abdul Razaq Muhili. Ia juga menjelaskan bahwa tidak pernah belajar secara langsung dengan K.H. Abdul Razaq Muhili. Di antara yang menjadi sebab adalah: Pertama, K.H. Abdul Razaq Muhili tidak mengajar kaligrafi. Kedua, mereka jarang berjumpa, kecuali dalam event-event tertentu seperti MKQ dan pameran seni kaligrafi Islam. Akan tetapi yang membuat pertemuan mereka menjadi hubungan guru dan murid adalah karena sering berdiskusi mengenai kaligrafi Islam. Wawancara pibadi dengan Didin Sirojudin AR pada tanggal 13 Januari 2019 di Ciputat, Tangerang Selatan. 17 Jika dikonfersikan mengenai waktu kelahiran Syaikh Thahir al-Kurdi, maka ia lahir sekitar tahun 1903-1904 M, yang artinya K.H. Mukhtar, 2 tahun selisihnya lebih tua. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa K.H. Mukhtar juga pernah belajar di Madrasah al-Falah, maka besar kemungkinan mereka merupakan teman sebaya dan saling bertukar pikiran. Pelajaran tentang kaligrafi mungkin sudah didapat dari ayah atau guru-guru di madrasah itu. Akan tetapi K.H. Mukhtar lebih memperdalam dan menguasai melalui Syaikh Thahir al-Kurdi sebelum berangkat atau sepulangnya dari Mesir dalam masa liburan. Dengan relasi inilah bisa jadi mereka saling mengangkat atau menganggap guru dan murid. Lihat http://www.albashiroh.net/2014/11/sejarah-khat-di-indonesia.html diperkuat dengan Wawancara pribadi dengan Mukri Mian pada tanggal 31 Oktober 2012 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 90

khat (kaligrafi) di Madrasah Tahsin al-Khuttut al-Arabiyyah al- Mulkiyyah. Lembaga ini merupakan pilar dari kebangkitan ilmu khat dan dekorasi di Negara-negara Arab pada awal abad ke 20, setelah mengalami masa stagnan pada abad sebelumnya.18 Selama di madrasah tersebut ia menghabiskan waktu 4 tahun untuk menguasai ilmu khat kepada para master kaligrafi dari Turki dan Mesir, yang dipimpin oleh Syaikh Abdul Aziz al- Rifaʻi dari Turki, sedangkan dari Mesir yaitu Muhammad Ibrahim al-Afandi, Syaikh ‘Ali Badri, dan Syaikh Muhammad Gharib al-Arabi, dan Profesor Muhammad Ridwan. Hasil belajar di sana, ia menjadi seorang khattat pertama di Hijaz ketika kembali ke Mekah pada tahun 1348 H. Di tahun yang sama, ia juga diangkat oleh Mahkamah Syar‘iyah al-Kubra untuk mengajar khat al-Arabi. Kemudian kembali ke Mesir di tahun 1353 H untuk mencetak karya tulisnya, seperti catatan Al- Haramain fi Khat al-Riq‘ah yang terdiri dari juz atau jilid dan selama 3 tahun di Mesir dan Iskandariyah, ia mengarang kitab tentang khat yang diberi judul Tarikh al-Khat al-‘Arabi wa Adabihi yang diterbitkan di Mesir pada tahun 1358 H. Ketika sedang berperjalan ke Iraq dan melewati Bagdad, ia berjumpa dengan para khattat wilayah itu. ia juga membubuhkan pada matan ijazahnya kepada seorang khattat bernama Muhammad Shalih Syaikh ‘Ali al-Mushli al-Muarrakhah pada bulan Shafar 1366 H. karya-karya Syaikh Thahri al-Kurdi telah menjadikannya orang besar. Ia ditunjuk untuk memilih anggota

18 Al-Kurdi, Al-Tarikh Al-Qawim Li Makkati Wa Baitillah Al-Karim, Juz 1 (Beirut: Darun Hadr, 2000), hal. 5. 91

komite eksekutif dalam perluasan dan pembangunan Masjid al- Haram pada tahun 1375 H, serta menjadi ketua bagian penulisan dan peninggalan sejarah untuk dokumentasi proyek perluasan. Semasa hidupnya ia telah menyelesaikan dan mempublikasikan lebih dari 40 karya. Salah satu karyanya juga adalah Mushaf Alquran Mekah al-Mukarromah yang merupakan mushaf pertama yang diterbitkan di sana. Ia wafat di Jedah dan di makamkan di Ma‘la pada 23 Rabiu al-Tsani tahun 1400 H.19

C. Murid Dan Penerusnya 1. K.H. Muhammad Abdul Razaq Muhili Ia dilahirkan di Lengkong Ulama Tangerang dan lebih dikenal dengan nama Ki Ajaq. Ayahnya, K.H. Muhili20 juga merupakan seorang ulama dan kaligrafer Indonesia. Sebagai salah satu murid dari K.H. Mukhtar, melalui tangannya K.H. Abdul Razaq, seni kaligrafi memasuki zona Nasional dan Regional Asia Tenggara. Bahkan melalui gagasan cemerlangnya, seni kaligrafi bisa dipertandingkan pada Musabaqoh Tilawatil Quran (MTQ) baik

19 Biografi singkat yang dijelaskan oleh Yusuf Danun. Al-Kurdi, Al- Tarikh Al-Qawim Li Makkati Wa Baitillah Al-Karim, Juz 1, hal. 25-30. Lihat juga http://www.alhejazi.net:80/aalam/112901.htm 20 Sebagai seorang kaligrafer, K.H. Muhili telah berkontribus dalam dunia kaligrafi. Diantara karyanya adalah mushaf Alquran dengan tulisan tangan yang merujuk pada al-quran dari Turki yang ditulis pada tahun 1927. Naskah Alquran ini dapat ditemukan dan dapat dilihat di Bayt Alquran dan Museum Istiqlal Taman Mini Indonesia Indah. Tulisan naskah itu bergaya naskhi (tulisan naskah). Pada halaman depannya, bertuliskan Surat al-Fatihah dan awal al-Baqarah yang dihiasai dengan iluminasi (hiasan pinggir) motif bunga dan daun yang berkombinasikan warna merah, hijau, dan emas mempercantik Alquran yang ditulis pada tahun 1927. Najib, Potret Lengkong Ulama: Rekontruksi Sejarah Dan Arkeologi, hal. 99-100. 92

tingkat Kabupaten, Provinsi maupun Nasional. Pada kegiatan MTQ tersebut, K.H. Abdul Razaq bertindak sebagai juri. Begitu juga dengan perlombaan tingkat ASEAN.21 Saat itu lomba kaligrafi dalam pestival itu dikenal dengan Musabaqah Khattil Qurʻan (MKQ).22 Selama masa studi kaligarfi, Abdul Razaq juga belajar dengan para ahli di Mesir, Bagdad yang salah satunya Prof. Syalabi, Rektor al-Azhar Mesir dan Sayid Ibrahim. Metode yang digunakan tidak langsung berhadapan dan bertatap wajah, akan tapi melalui cara surat-menyurat. Bahkan pada perkembangannya, ia sempat ditawarkan kuliah di Mesir, namun terpaksa ditolaknya karena sudah memiliki tanggungan, yaitu istri dan beberapa anak.23 Pada tahun 1952 Ki Azaq bersama keluarganya pergi dan menetap di Malang, Jawa Timur. Ia yang saat itu sudah menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), lebih memilih keluar dan menjadi khattat untuk percetakan dan toko kitab Salim Nabhan Surabaya. Mungkin yang demikan ini dilakukannya karena ingin terus bergelut bebas dengan dunia tulis menulis. Didin Sirojudin menginformasikan bahwa K.H. Abdul Razaq adalah salah satu kaligrafer era 1900-2000-an. Saat itu buku-buku terkait dengan kaligrafi belum banyak dikenal. Buku

21 Najib, Potret Lengkong Ulama: Rekontruksi Sejarah Dan Arkeologi, hal. 102-103. 22 Wawancara pribadi dengan Baequni pada tanggal 18 Desember 2018 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 23 Wawancara pribadi dengan Baequni pada tanggal 24 Agustus 2018 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 93

pelajaran khat pertama diterbitkan tahun 1961 yang berjudul Tulisan Indah karangan Muhammad Abdul Razaq Muhili, seorang khattat pertama yang paling aktif menulis khat di buku- buku agama,24 disusul 10 tahun kemudian (1971) buku Khat, Seni Kaligrafi: Tuntunan Menulis Halus Huruf Arab karangan Abdul Karim Husein dari Kendal. Sejak tahun 1985, muridnya Abdul Razaq, D. Sirojuddin AR, mulai mengarang puluhan buku kaligrafi meneruskan kerja yang dirintis gurunya. Pelopor angkatan ini adalah K.H. M. Abdul Razaq Muhili dari Tangerang, H. Darami Yunus dari Padang Panjang, H. Salim Bakasir, Prof. H.M. Salim Fachry (penulis Alquran Pusaka atas titah Presiden Soekarno) dari Langkat, dan K.H. Rofi’i Karim dari Probolinggo. Salah satu dari murid-muridnya adalah K.H. Muhammad Syadzali, K.H Muhammad Faiz Abdul Razaq, Wasi Abdul Razaq, dan Didin Sirojudin.25 Selain yang sudah disebutkan di atas, Tubagus Najib menyebutkan bahwa generasi penerus perjuangan K.H. Abdul Razaq Muhili diteruskan oleh para murid, kerabat, dan keturunan mereka. Tercatat nama-nama mereka diantaranya adalah Mahmud Arham, Baequni Yasin, Islahudin Yasin, Ali Yasin, Ahmad Zawawi, dan Bustanul Arifin. Melalui kelompok yang dibentuknya, mereka berhasil membuat mushaf menjadi indah. Di antara karya-karya mereka yaitu Mushaf Istiqlal (1990-1995),

24 K.H. Abdul Razaq Muhili diperkirakan selama hidupnya telah menyalin ulang sebanyak 600 lebih buku-buku di bidang keagamaan yang tersebar di pelosok negeri ini. Makin, Kapita Selekta Kaligrafi Islam, hal. 125. 25 Sirojudin, Peta Perkembangan Kaligrafi Islam Di Indonesia, (Jakarta: Al-Turas) vol. XX No. 1 Januari 2014, hal. 223-224. 94

Mushaf Sundawi Jawa Barat (1996-1997), Mushaf Hj. F. Hartnina Atau Ibu Tien (1997-1999), Mushaf DKI (1999-2002), Juz Ama PNRI (1999-2002), dan Mushaf Kalimantan Barat (2001-2002).26 Mereka menulis mushaf yang selain indah bertabur warna juga bertabur iluminasi dan kebudayaan daerah dari beberapa provinsi ada di tanah air. Karena keindahan Mushaf Istiqlal, seorang tokoh intelektual Islam yang cukup terkenal di dunia yaitu Prof. Dr. Seyyed Hossein Nasr maha guru Harvard University, Amerika, di sela-sela muhibbahnya ke Indonesia tahun 1993, dia menyatakan rasa keharuan dan kegembiraan, sebab selama hidupnya tidak pernah bermimpi atau membayangkan bahwa sebuah mushaf yang begitu indah, yang pada abad ini seperti telah dilupakan oleh umat Islam, kini ternyata dibuat di Indonesia. selain itu juga dia berkata bahwa bila mushaf semacam ini dibuat di timur tengah, tentulah kita tidak perlu merasa heran, karena sejarah mushaf adalah berasal dari sana. Seorang cendikiawan dari Amerika, Prof. Dr. Kenneth George,27 pada tahun 1998 memperdalam penelitian tentang kebudayaan Indonesia yang bernafaskan Islam, saat itu dia mengajar di Universitas Oregonensis menulis sebuah artikel panjang yang menjelaskan mengenai Alquran Mushaf Istiqlal dengan judul “Design On Indonesia’s Muslim Communitie”

26 Najib, Potret Lengkong Ulama: Rekontruksi Sejarah Dan Arkeologi, hal. 104. 27 Mengenai riwayat hidupnya bisa lihat https://researchers.anu.edu.au/researchers/george-k 95

tulisan itu memperoleh sambutan hangat dari association for Asian studies.28

2. K.H. Muhammad Faiz Abdul Razaq Seperti ayahnya, Faiz kecil lahir di Lengkong Ulama Tangerang pada tanggal 11 November 1938. Ia adalah putra sulung dari sebelas bersaudara. Kemudian, pada tahun 1973, Ia menikah dengan Hj. Hanifah dari Sekaran, Lamongan dan dikaruniai 7 orang anak di antaranya: Baligh Hamdi, Mamduh, M. Abduh, Dalillah, Riyadh Muharrom, Imad Faiz, Ahmad Balsam.29 Ketika masih belajar di Madrasah Ibtidaiyah tulisan tangan Faiz sangatlah jelek, sehingga teman-temannya pun sering mengejeknya, seolah berlawanan dengan kemampuan ayahnya. Namun dengan menjadikan ejekan itu sebagai motivasi dan terus semangat untuk belajar khat, sehingga tulisannya berangsur membaik. Saat usianya menginjak 14 tahun dan duduk di bangku sekolah menengah pertama, bakatnya mulai terlihat. Sejak saat itu ia sering dimintai ayahnya menulis kitab-kitab beraksara Arab atau pegon, baik berbahasa Melayu, Sunda, Jawa maupun Madura.

28 Najib, Potret Lengkong Ulama: Rekontruksi Sejarah Dan Arkeologi, hal. 102-106. 29 Wawancara pribadi dengan Mukri Mian pada tanggal 31 Oktober 2012 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 96

Selama belajar di Pesantren Gontor ia dapat membantu ayahnya menulis khat untuk penerbit Salim Nabhan Surabaya. Alquran yang sudah rusak ia tulis yaitu tulisan yang kurang hitam dan dihitamkan, huruf wawu yang ia beri lubang dengan menggunakan tinta putih. Akibat perbuatannya tersebut, ia diejek oleh santri lainnya dan dianggap stress dan dilaporkan kepada Kyai Imam Zarkasyi. Mendengar hal itu, Kyai tersebut memanggilnya dan berbalik menjadikannya sebagai guru kaligrafi. Di antara buku-buku pelajaran pondok pesantren yang ditulisnya adalah al-Fiqhu al-Wadih karangan Prof. Dr. Mahmud Yunus. Selain belajar dari ayahnya, K.H. Muhammad Faiz Abdul Razaq juga belajar pada Amidu al-Khattain Sayyid Ibrahim dari Mesir, ia adalah guru besar para kaligrafer. Uniknya, K.H. Muhammad Faiz Abdul Razaq belajar padanya melalui media surat-menyurat.30 Mushaf Alquran Istiqlal Indonesia adalah karya pertamanya. Pada mulanya penulisan Mushaf tersebut ditujukan kepada ayahnya, tetapi pada saat itu kondisi kesehatannya sudah menurun, sehingga K.H. Abdul Razaq berinisiatif agar Faiz yang meneruskan proyek penulisan Mushaf Istiqlal Indonesia yang bertempat di Masjid Istiqlal Jakarta.31

30 Wawancara pribadi dengan Baequni pada tanggal 24 Agustus 2018 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 31 Wawancara pribadi dengan Mukri Mian pada tanggal 31 Oktober 2012 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 97

Mushaf Istiqlal ini diresmikan oleh Presiden Soeharto pada Festival Istiqlal I, 15 Oktober 1995 (7 Muharram 1412 H), dan diluncurkan Presiden Soeharto pada Festival Istiqlal II, 23 September 1997 (27 Rabiul Akhir 1416 H). Sebelum diresmikan Mushaf ini telah mengalami pentasihan oleh Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Departemen Agama RI, selesai pada 6 Juni 1995 (7 Muharram 1416 H). Para penulis Mushaf ini adalah K.H. Abdul Razaq al- Muhilli sebagai perancang pola, K.H. Muhammad Faiz Abdul Razaq (ketua). M Abdul Wasi Ar, H Imron Ismail, Baiquni Yasin, Mahmud Arham, Islahuddin (anggota), serta H. Muhammad Idris Pirous sebagai asisten. Mushaf Istiqlal ini ditulis sesuai rasm usmani dengan gaya tulisan Naskhi. Teknik dan pola penulisan Mushaf Istiqlal dirancang oleh sebuah tim dan para pakar desain grafis dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Mushaf ini terdiri dari 938 halaman dengan ragam rias yang digunakan terdiri dari 40 motif dari seluruh nusantara. Perancang dan desainnya yaitu Prof. A D. Pirous, H. Mahmud Buchori, dan Ahmad Noe’man.32 Naskah lain yang pernah dihasilkan oleh K.H. Faiz Abdul Rajaq yaitu Mushaf Sundawi Jawa Barat. Mushaf ini Pada prinsipnya memiliki dua sumber inspirasi atau acuan desain yang digunakan. Pertama, yang referensinya berasal dari motif Islami Jawa Barat, misalnya memolo masjid, motif batik, ukiran mimbar, mihrab, dan artefak lainnya, dengan catatan bahwa

32 Lihat https://bqmi.kemenag.go.id/koleksi/koleksi-bayt-al-quran- mushaf-istiqlal 98

motif-motif tersebut tidak bersifat anthropomorphic (dari bentuk manusia) ataupun zoomorphic (dari bentuk binatang). Jenis motif kedua, yaitu desain yang bersumber pada sejumlah plora tertentu yang khas Jawa Barat, seperti gandaria dan patrakomola. Pembuatan Al-Quran Mushaf Sundawi diprakarsai oleh Gubernur Jawa Barat waktu itu, H. Raden Nuriana. Peresmiannya dilakukan pada tanggal 14 Agustus 1995 (17 Rabiul Awal 1416 H), pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Pada kesempatan itu Gubernur membubuhkan lafaẕ Basmalah pada lembar awal Mushaf sebagai simbol dimulainya penulisan Mushaf Sundawi. Untuk mewujudkan Alquran yang shahih dalam segi penulisannya dan estetis dalam segi perwajahannya, dibentuklah tim kerja yang terdiri atas para ulama, ahli kaligrafi (kaligrafer), pakar estetika seni rupa Islam, desainer spesialisas iluminasi, peneliti, iluminator, desainer grafis, fotografer, dan pentashih Alquran. H. Abdul Wasi, Baequni Yasin, Mahmud Arham, salah satu di antaranya.33 Yang menjadi motivasi dari pembuatan Mushaf Sundawi ini, yaitu karena terinspirasi dari suksesnya karya Mushaf Istiqlal pada Festival Istiqlal. Selain itu juga, dengan disusunnya mushaf ini, akan menunjukan bahwa Alquran diterima dalam lingkup budaya Sunda dengan baik. Sementara itu, para kaligrafer Lengkong Ulama lainnya, seperti Ust. Sadeli melakukan penyebaran seni kaligrafi melalui tangan kreatifnya dalam menulis Alquran. Kemudian, Ust. Ishaq

33 Wawancara pribadi dengan Baequni pada tanggal 24 Agustus 2018 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 99

Saad yang lebih fokus dalam penulisan surat-surat pendek seperti Surat Yasin.34 Demikian seni kaligrafi Islam Lengkong Ulama masih bertahan dan terus berkembang hingga saat ini.

34 Wawancara pribadi dengan Mukri Mian pada tanggal 31 Oktober 2012 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten., dan Wawancara pribadi dengan Baequni pada tanggal 24 Agustus 2018 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. BAB V K.H. MUKHTAR SIMPATISAN PARTAI ISLAM MASYUMI

A. Perkembangan MIAI, Masyumi pra kemerdekan dan pasca kemerdekaan Dalam siklus sejarah Indonesia, baik pada masa pra maupun pasca kemerdekaan memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini juga bisa jadi erat hubungannya dengan hukum kausalitas (sebab-akibat) antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya.1 Dalam pergerakan politik sejarah Indonesia, Masyumi merupakan partai politik Islam terbesar dan berpengaruh yang pernah ada. Dimulai dari MIAI (Majelis Islam ‘Ala Indonesia), Masyumi pada masa kependudukan Jepang, hingga Masyumi pasca kemerdekaan. Demikian juga pengaruhnya, bukan hanya terbatas pada pergerakan politik Indonesia, melainkan terkait dengan aspek agama, sosial, ekonomi, dan lain sebagainya. Selain itu, apa yang terjadi dalam lingkup kecil (cabang di berbagai daerah), pasti akan memberikan dampak juga dalam skala nasional (pusat), dan begitu pun sebaliknya. MIAI merupakan cikal bakal Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) didirikan di Surabaya pada tanggal 21 September 1937 atas inisiatif dari beberapa tokoh pemimpin

1 Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), hal. 99.

100 101

organisasi tertentu, yang di antaranya K.H. Mas Mansyur dan K.H. Ahmad Dahlan dari Muhammadiyah, K.H. Wahab Hasbullah dari NU, dan W. Wondoamiseno dari SI. Beberapa partai lokal juga turut menghadiri rapat pembentukannya.2 Alasan dibentuknya partai ini adalah untuk mempersatukan umat Muslim Indonesia yang sering terpecah belah antara kaum tradisionalis dan modernis karena masalah furu’ seperti penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, Idul Adha, dan Zakat. Sedangkan mengenai perkara usul, mereka sepakat selama tidak keluar dari ajaran Islam, maka tidak akan dipermasalahkan.3 Contohnya Ahmadiyah Lahore4 yang sering bertentangan dalam masalah teologi dan dikhawatirkan hanya alat Pemerintah Kolonial (Inggris atau Belanda) yang bertujuan untuk melemahkan organisasi Islam lain.5

2 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3S, 1996), cet. 8., hal. 262. Selanjutnya disebut Noer. Lihat juga Harry J. Benda, Bulan Sabit Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1985), hal. 119. Selanjutnya disebut Benda. 3 Noer, Partai Islam Di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987), hal. 16. Lihat juga Remi Madinier, Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi Dan Islam Integral, (Jakarta Selatan: Mizan, 2013), Hal. 68-69. Selanjutnya disebut Madinier. 4 Ahmadiyah Lahore merupakan organisasi Islam terkecil yang ada di Indonesia dan tidak memiliki andil dalam pembaharuan Islam. organisasi ini diperkenalkan di Indonesia (Yogyakarta) pada tahun 1925 oleh Mirza Wali Beig dan mulanya mendapatkan bantuan Muhammadiyah karena tidak mengetahui bagaiman isi ajaran Ahmadiyah. Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, cet., 8, hal. 168. Lihat juga Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) Dan Partai Jama’ati Islami (Pakistan), (Jakarta: Paramadina, 1999), hal 110. Selanjutnya disebut Mahendra. 5 Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, cet. 8., hal. 264-265. 102

Pada masa pendudukan Jepang, Masyumi menggantikan posisi MIAI yang ditujukan untuk mengendalikan Islam di Indonesia, yang memiliki cabang-cabang di setiap keresidenan di Jawa. Kepemimpinan organisasi ini diserahkan oleh pemerintah Jepang kepada tokoh-tokoh Muhammadiyah dan NU, yang diketuai oleh K.H. Hasyim Asyari. Perlu diketahui juga, sebelumnya ia sempat dipenjarakan oleh militer Jepang dan dibebaskan pada bulan Agustus 1942. Karena ia tetap tinggal di pesantrennya di Jombang, Jawa Timur, maka sebagai gantinya K.H. Wahid Hasyim yang bertindak sebagai ketua efektif.6 Menurut Noer, MIAI didirikan kembali di Jakarta tanggal 5 September 1942 yang kemudian berganti nama menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada akhir tahun 1943. Baik MIAI maupun Masyumi di zaman Jepang tidak meliputi organisasi-organisasi Islam di luar Jawa yang merupakan akibat dari pemisahan administrasi pemerintahan ketika itu. Anggota- anggota MIAI pun terbatas pada himpunan Islam yang diakui saja. Padahal kegiatan keduanya dianggap sebagai perhimpunan Muslim yang dikagumi juga di luar pulau Jawa. Selain itu juga, edaran bulanan MIAI yang dulunya bernama Soeara MIAI

6 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, hal. 435-436. Lihat juga Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyai Dalam Kebudayaan Jawa, (Depok: Komunitas Bambu,2014), cet. 2., hal. 203-204. Selanjutnya disebut Geertz., Benda, Bulan Sabit Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, hal. 273. Madinier, Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi Dan Islam Integral, Hal. 45-46. 103

digantikan menjadi Soeara Muslimin Indonesia, setelah didirikannya Masyumi.7 Gerakan 3A adalah suatu bagian dari rencana propaganda bangsa Jepang untuk memperoleh simpati atau dukungan bangsa Indonesia pada rezim baru, yang dimulai pada April 1942.8 Gerakan ini juga ditujukan untuk merangkul semua orang Asia dan menggantikan semua organisasi politik, kultural, dan agama yang berada di Jawa.9 Dalam hal ini penulis menarik kesimpulan bahwa berbagai kebijakan dan tindakan Jepang yang diterapkan terhadap umat Muslim, organisasi, maupun partai Islam di Indonesia adalah suatu metode untuk mengontrol pergerakan dan mengorganisir secara menyeluruh, sesuai dengan keinginan dan tujuan mereka. Sebagai contoh Soeara MIAI yang berganti menjadi Soeara Muslimin Indonesia, isi dan materi yang akan dibaca seluruh Muslim Indonesia, bisa saja sudah hasil dikte atau melalui seleksi ketat terlebih dahulu sebelum diterbikan. Jangan lupa juga, bahwa Masyumi pada waktu itu merupakan gabungan organisasi Islam Indonesia yang mewakili organisasi-organisasi Islam lainnya, akan tetapi dalam kenyataanya hanya beranggotakan himpunan- himpunan yang diakui pemerintah Jepang.

7 Noer, Partai Islam Di Pentas Nasional 1945-1965, hal. 26. Lihat juga Madinier, Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi Dan Islam Integral, Hal. 52. 8 3 adalah tiga gerakan Jepang, sedangkan inisial A artinya Asia. Jadi, Jepang atau Nippon Pemimpin, Pelindung, dan Cahaya Asia, 9 Benda, Bulan Sabit Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, hal. 143-144. Lihat juga Noer, Partai Islam Di Pentas Nasional 1945-1965, hal. 22. 104

Selanjutnya pada masa awal kemerdekaan Indonesia kedudukan umat Islam tidak menguntungkan dibandingkan dengan posisi mereka yang netral agama. Hal ini merupakan efek dari lemahnya mereka dalam BPUPKI dan PPKI. Selain itu juga, menjadi kurang menguntungkan bagi umat Islam adalah berdirinya Partai Nasional Indonesia (PNI) pada bulan Agustus yang menurut pimpinan Negara merupakan satu-satunya partai di Negara baru itu.10 Suasana lingkungan sosial dan politik ketika Masyumi berdiri, dapat diklasifikasikan menjadi 2 macam. Pertama, dalam keadaan revolusi. Dimana Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Kedua, kondisi ketika persaingan antara golongan politik dalam masyarakat Indonesia. Di Negara ini sejak awal abad ke 20, sudah terdapat ideologi utama, yaitu, Islam, nasionalisme sekuler, komunisme, dan sosialisme yang muncul pasca kemerdekaan.11 Keterlibatan Masyumi dalam berbagai kegiatan, termasuk diantaranya adalah dalam proses penyusunan pemerintahan Indonesia, memperlihatkan betapa pentingnya peran partai ini. Bahkan sebagian besar dari tokoh-tokohnya, diakui sebagai The Founding Fathers.12

10 Noer, Partai Islam Di Pentas Nasional 1945-1965, hal. 45-46. 11 Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) Dan Partai Jama’ati Islami (Pakistan), hal 66-67. Lihat juga Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200- 2008, hal. 465. 12 Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) Dan Partai Jama’ati Islami (Pakistan), hal. 79-80. 105

B. Pandangan Partai Politik Masyumi K.H. Mukhtar Versus Masyarakat Selama masa penelusuran, penulis berjumpa dengan orang- orang yang dianggap sedikit banyak mengetahui kiprah K.H. Mukhtar ketika masih hidup, baik dari anak, saudara, maupun murid-muridnya. Selain aktif di bidang keilmuan, dan keulamaannya di masyarakat Tangerang dan Banten, besar kemungkinan ia juga merupakan anggota partai politik Islam Masyumi cabang Tangerang.13 Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten merupakan tempat penggemblengan kader-kader partai. Anak cabang partai Masyumi berpusat juga di kampung ini, bahkan sebagai ketua, pernah 3 kali berkunjung untuk melihat perkembangan dan memberikan arahan kepada anggotanya. Bukan hanya itu, baik PII dan HMI pun pernah beroperasi di wilayah ini.14

13 Wawancara pribadi dengan Mukri Mian pada tanggal 31 Oktober 2012 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten., Wawancara pribadi dengan Muhammad Aflah pada tanggal 8 Oktober 2016 di Pakulonan, Tangerang, Banten., dan Wawancara pribadi dengan Suud pada tanggal 22 Oktober 2017 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. Sejauh penelusuran penulis di berbagai tempat, termasuk di antaranya Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII), tidak ditemukan data keanggotaan cabang Masyumi secara menyeluruh. Jadi, mengenai keanggotaan K.H. Mukhtar di dalam partai ini belum dapat dipastikan kebenarannya. 14 M. Hanief, “Lengkong Kulon: Kampung Ulama Yang Nyaris Punah” dalam majalah Media Dakwah edisi September No. 219 (Jakarta: Media Dakwah, 1992), hal. 47. Tangerang sudah sejak lama menjadi bahan perhatian berbagai pihak, termasuk Masyumi yang dibentuk oleh pemerintah Jepang. Edi. S. Ekadjati, dkk., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah Kabupaten Tangerang, 2004), hal. 145. Selanjutnya disebut Ekadjati. 106

Dalam pemerintahan Kabupaten Tangerang, selain pembentukan DPRDS (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara), juga dibentuk DPD (Dewan Pemerintah Daerah) yang telah didekritkan Presiden pada 5 Juli 1959, diubah menjadi BPH (Badan Pemerintah Harian). Sedangkan anggotanya dipilih untuk duduk dalam DPD. BPH Tangerang terdiri dari 4 orang, yaitu: H. Syahrani Qadir, Thabi`i, dan Jairan dari Masyumi, serta Abdurrahman dari Murba. Dilihat dari komposisinya, anggota DPRDS maupun BPH, tampak jelas didominasi oleh Masyumi. Situasi tersebut berlangsung sampai tahun 1960. Ketika terjadi pembubaran partai politik Islam ini oleh Presiden Soekarno di tingkat pusat, secara otomatis berefek juga pada cabang-cabangnya di seluruh penjuru Indonesia, tidak terkecuali dengan Tangerang. Selanjutnya para anggota Masyumi menyalurkan aspirasi politiknya melalui partai- partai Islam lain, seperti PSII, NU, dan Perti. Selain itu, ada juga yang memilih untuk bersikap netral dengan cara tidak memasuki partai politik mana pun. Setelah pembubaran Masyumi yang juga menimpa pada PSI, konstelasi politik secara lebih nyata didominasi oleh tiga partai besar, yaitu PNI, NU, dan PKI yang mencerminkan ide Nasakom yang berkembang pada waktu itu. Situasi politik pada waktu itu diwarnai oleh suatu persaingan yang ketat, terutama antara PKI dan TNI AD. Demikian pula di daerah, seperti yang terjadi di Tangerang, salah satu penentang PKI yang paling gigih, muncul dari partai IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia). Sebagai partai politik, IPKI memiliki hubungan tidak 107

langsung dengan TNI AD, meskipun hanya secara moral. Pada umumnya para anggota partai politik ini terdiri dari purnawirawan atau pejuang kemerdekaan. Dalam perkembangan situasi politik nasional waktu itu, konsep Nasakom lebih menguntungkan PKI. Secara terus menerus PKI mempengaruhi Presiden Soekarno dengan pemikiran dan program-programnya. Pada pertengahan tahun 1960-an, suhu politik semakin memanas, sehingga mencapai puncak, dengan terjadinya tragedi G30S/PKI.15 Sebagaimana penulis sebutkan pada Bab I bahwa K.H. Mukhtar bin Hasan Lengkong Ulama Tangerang adalah salah satu simpatisan Partai Politik Islam Masyumi. Memang benar tidak ditemukan namanya di dalam dokumentasi Masyumi.16 Akan tetapi, melalui penelusuran dan penelaahan karyanya yang berjudul Asâsu Al-Niẕâmî: fi Raddi ‘ala al-Ṯâ’nîna fi Hizbi al- Islâmi, dapat menjelaskan bahwa sangat mungkin bahwa ia adalah anggota partai ini. K.H. Mukhtar yang akrab dipanggil Ki Utang oleh masyarakat Lengkong Ulama memberikan gambaran yang sangat terperinci mengenai apa itu partai, ciri-ciri partai Islam, fungsinya, partai politik Islam Masyumi, Anggaran Dasar dan

15 Ekadjati, Sejarah Kabupaten Tangerang, hal. 222-223. 16 Meskipun Masyumi sudah berjalan selama 5 tahun, akan tetapi mereka masih kesulitan dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya, yang diantaranya adalah perihal administrasi. Jadi, ada kemungkinan belum tercatat seluruh anggota yang disebabkan kuantitas yang sangat tinggi, namun kurangnya tenaga ahli., dalam Masyumi Lima Tahun, oleh Yusuf Wibisono, dalam Usman, Suara Partai Masjumi, Majalah Bulanan No. 11 (Desember) 1950 Tahun 5, hal.4. 108

Anggaran Rumah Tangga Masyumi, dan permasalahan yang muncul di lapangan. Ia menerangkan bahwa ciri-ciri dari Partai Islam,17 yaitu: pertama, anggaran dasar atau undang-undangnya bersumber dari ajaran Islam, yang di antaranya Alquran, Hadis, Ijma, dan Qiyas. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa partai lain yang bernapaskan non-Islam, maka ideologinya disesuaikan dengan kepercayaan masing-masing. Bahkan dalam Islam sendiri, bila keluar dari hukum syara’, dikatergorikan biḏ’ah ḏalalah. Ciri Kedua, anggotanya beragama Islam. Jadi, dimulai dari ketua, wakil, divisi-divisi, dan anggotanya harus beragama Islam. Hal ini mungkin dilakukan agar terciptanya persamaan pemahaman dan mencegah terjadinya perpecahan yang disebabkan perbedaan keyakinan dan ideologi. Tanda-tanda ini sesuai dengan peraturan Partai Politik Islam Masyumi18 yang tertuang dalam Anggaran Dasar Masyumi fasal 2 tentang partai berdasarkan asas Islam dan anggaran rumah tangga partai bab 2 fasal 3 yang menerangkan syarat-syarat menjadi anggota partai ini adalah tiap warga Negara Republik Indonesia yang beragama Islam, laki-laki maupun perempuan, berumur minimal 18 tahun atau sudah menikah dan tidak menjadi anggota partai lain (anggota biasa).

17 Muhammad Mukhtar, “Fasal Keempat”. Dalam Asâsu Al-Niẕâmî: fi Raddi ‘ala al-Ṯâ’nîna fi Hizbi al-Islâmi, (Bandung: al-Ma’arif, tanpa tahun terbit), hal. 12. Selanjutnya disebut Mukhtar. 18 S.U. Bajasut, Alam Pikir Dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito: Ketua Umum (Terakhir) Partai Masyumi, (Jakarta: Kompas, 2014), hal. 427-434. Lihat juga Noer, Partai Islam Di Pentas Nasional 1945- 1965, hal. 51-55 dan 458-460. 109

Bahkan selain itu, pimpinan partai dapat menetapkan adanya anggota teras (kern), yaitu anggota biasa yang mencukupi kriteria khusus, yang diantaranya: a. Sanggup bekerja secara aktif untuk kepentingan partai. b. Faham dan taat kepada isi pokok tafsir asas, program perjuangan, anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan segala peraturan pokok tentang organisasi. c. Syarat lainnya yang dianggap perlu oleh pimpinan partai untuk lebih menjamin pertumbuhan dan perkembangan partai. Sedangkan untuk menjadi anggota istimewa, perlu terpenuhi 3 syarat utama, yaitu 1. Mempunyai organisasi yang teratur dan tujuan yang nyata. 2. Mengakui bahwa Masyumi adalah satu-satunya tempat perjuangan politik. 3. Disetujui oleh lebih dari setengah jumlah anggota istimewa yang sudah ada. Kemudian, fungsi partai menurut K.H. Mukhtar adalah untuk membantu pemerintah, ketika terjadi perubahan-perubahan di suatu Negara yang disebabkan adanya berbagai macam partai di berbagai wilayahnya. Dalam sebuah Negara, partai yang menang pada pemilihan kepengurusan Negara, maka undang- undang atau peraturan yang berlaku sesuai dengan keinginan dan cita-cita partai tersebut. Contohnya jika partai yang berideologi Islam memenangkan pemilihan umum, maka peraturan Islam yang akan diberlakukan. Sebaliknya bagi yang kalah maka hanya 110

bisa mengikuti sesuai dengan partai atau kelompok yang mendominasi. Menang kalahnya suatu partai, tergantung banyak suara yang diperoleh. Maka tidaklah heran jika setiap partai mempromosikan diri atau kampanye dengan berbagai metode guna menarik masa pendukung semaksimal mungkin.19 Mohammad Natsir berpendapat, “Apa pun yang menjadi dasar dan pokok mengatur masyarakat, tidak akan berubah-ubah sesuai kepentingan dan keperluannya, selama manusia masih memiliki sifat kemanusiaanya. Apa saja gelar yang digunakan oleh kepala Negara, baik itu Khalifah, Amirulmu’minin, Presiden, dan sebagainya, yang terpenting adalah sifat, hak dan kewajibannya berdasarkan Islam. Lanjutnya, kriteria pemimpin Negara haruslah dilihat dari agama, sifat, dan tabiatnya, akhlaq dan kecakapannya untuk memegang kekuasaan yang diberikan kepadanya, dan bukanlah semata-mata karena bangsa dan keturunannya. Selain itu juga, seorang kepala pemerintahan harus mau bermusyawarah terkait segala hal yang merupakan kepentingan bangsa dan Negara.”20 K.H. Mukhtar mengutip dalam Al-Muthala’atu al-Asriyah, Masyumi didirikan pada awal bulan November 1945 melalui

19 Eksistensi Masyumi di dalam pemerintahan Indonesia, tidak dapat diragukan lagi. Sejak awal kemerdekaan, partai politik ini sudah mendominasi kursi-kursi wakil rakyat. Suatu contoh, Pada masa Kabinet Hatta (1950) Masyumi memperoleh amanah paling banyak, yaitu 4 dari 17 orang dan parlemen tercatat 49 dari 232 jiwa. Noer, Partai Islam Di Pentas Nasional 1945-1965, hal. 198-199. Lihat juga Partai Opposisi, oleh Tamar Djaja, dalam Usman, Suara Partai Masjumi, Majalah Bulanan No. 11 (Desember) 1950 Tahun 5, hal. 12. 20 “Mungkinkah Qur’an Mengatur Negara?”, oleh Mohammad Natsir, dalam Usman, Suara Partai Masjumi, Majalah Bulanan No. 11 (Desember) 1950 Tahun 5, hal.3. 111

sebuah kongres Islam di Yogyakarta yang diikuti oleh para pemimpin organisasi Islam. Sebelum diadakannya pertemuan itu, mereka sudah membuat beberapa keputusan, yaitu pertama adalah mendirikan partai politik Islam yang bernama Majlisun Syurail Muslimîna al-Indunisîn artinya wadah bermufakat umat Muslim Indonesia, yang kemudian diringkas menjadi Masyumi. Kedua, membuat perjanjian bahwa tidak akan membuat partai politik selain Masyumi. Selain itu ia mengambil keterangan dalam kitab Tanbihu al-Anam, yang artinya barang siapa orang yang bisa menelaah dengan akal pikiran mengenai partai ini, maka orang itu dapat menyimpulkan bahwa berdirinya Masyumi berdasarkan ajaran Islam yang diperuntukan meneguhkan dan mempersatukan tujuan umat Islam, sebagaimana yang diperintahkan Nabi SAW, yaitu menjalankan perintahnya dan menjauhi apa yang dilarang. Sedangkan tujuan mendirikan partai itu hanya semata-mata untuk bersama-sama memperkuat agama Islam, yang sebagaimana Allah perintahkan dalam QS 26:13. Sedangkan petunjuk untuk melaksanakan perintah bersandarkan pada firman Allah SWT QS 6:153. Secara tegas K.H. Mukhtar menyatakan bahwa yang dimaksud dalam ayat pertama adalah kewajiban mendirikan agama dan jangan sampai terpecah belah. Sedangkan ayat kedua, pada lafadz sirâthî mustaqîm mengandung arti melaksanakan perintah Allah dan rasul, serta mejauhi larangannya.21

21 Mukhtar, “Fasal Kelima”. Dalam Asâsu Al-Niẕâmî: fi Raddi ‘ala al- Ṯâ’nîna fi Hizbi al-Islâmi, hal. 13-15. 112

Didirikannya Masyumi tidak lain hanya untuk memperkuat, mengikuti agama, dan mengamalkan sunnah Rasul dan Khulafau al-Rasyidin. Sunnah yang dimaksud di sini adalah mengikuti perintah Allah dan menjauhi apa yang telah dilarang oleh syara’. Mendirikan suatu Partai, gabungan, hizbu, atau jamaah adalah sunnah Rasul yang berdasarkan hadis Nabi SAW riwayat Baihaqi dari Abdullah bin Jubair:

Artinya: Sesungguhya Nabi SAW menetapkan tanda- tanda golongan sebagaimana cirinya ada pada Bani Abdurrahman, Khuzraj, Bani Abdillah, Aus dan Bani Ubaidillah.

Merupakan suatu peringatan keras, bahwa siapa saja yang menolak dan membenci organisasi ini, maka diperumpamakan menghinanya Kaum Quraisy kepada Nabi SAW pada saat membawa agama Islam. K.H. Mukhtar juga menegaskan, “Maka jika ada yang bertanya, bukankan para pemimpin gabungan Islam ini (Masyumi) kebanyakannya bukan dari Sunni (Ahli Sunnah wa al-Jamaah)? Kamu jawab: “Meskipun menurut orang yang benci, mereka bukanlah kaum Sunni, tapi menurut kami mereka adalah orang Islam yang berfaham Asyʻariyah dan bermadzhab Imam Syafiʻi. Jika para pemimpinnya adalah orang Kafir, maka larilah.” Lalu bagaimana kami menanggapi dakwah mereka? Maka kita ikuti ajakan mereka, karena dakwah mereka hanya semata-mata untuk agama, kecuali tujuan mereka adalah untuk menghina agama dan orang Islam. 113

K.H. Mukhtar membuat beberapa analogi seorang tokoh agama atau kyai yang menerapkan hukum Islam sesuai kebutuhannya,22 di antaranya seperti seorang Kyai yang mengharamkan santrinya makan sambil buang air besar. Kyai berkata: “Wahai para santri, jangan pernah makan sambil buang air besar, sebab kelakuan seperti itu sama dengan perbuatan kuda. Selain itu, kalian juga dilarang makan sambil telanjang, karena menyerupai kebiasaan monyet”. Kemudian, pada suatu waktu Kyai itu tertangkap basah oleh santrinya ketika buang air besar sambil makan. Akhirnya santri itu bertanya: “Abah23 bukankah kemarin melarang kami makan sambil buang besar? Bagaimana dengan kebenaran hukum tersebut?” Jawab Kyai: “Benar, kemarin abah melarang, tapi jangan disamakan dengan kamu. Sebab saya memakan ketan yang tidak diberikan kelapa. Kalau ditaburi kelapa, baru tidak boleh.” Karena jawaban tersebut keluar dari figur yang terpercaya yang berpangkat Kyai atau ahli agama, maka santrinya percaya begitu saja kepada Kyainya. Bukan karena keilmuannya, melainkan siapa yang berkata. Lalu pernah terjadi juga, Sang Kyai makan bersama dengan santrinya sambil tidak makai baju. Kemudian muridnya bertanya lagi: “Abah pada hari Jumat mengatakan larangan makan sambil telanjang, karena menyerupai monyet. Lalu, mengapa abah melakukan larang tersebut?” Jawaban Kyai: “Abah melarang

22 Mukhtar, “Fasal Kelima”. Dalam Asâsu Al-Niẕâmî: fi Raddi ‘ala al- Ṯâʻnîna fi Hizbi al-Islâmi, hal.19-20. 23 Abah diambil dari bahasa Arab, abu artinya ayah. Kata abah dalam teks ini merupakan terma bagi seorang Kyai pesantren di beberapa daerah di Indonesia. 114

pada hari Jumat, sedangkan hari ini adalah hari Senin, bukan hari Jumat. Bahkan, kemarin itu hari Minggu, kemarinnya lagi hari Senin, besok hari Selasa dan lusa hari Rabu.” Sifat yang demikian ini menggambarkan orang yang pintar bicara, akan tetapi salah dalam menerapkan hukum, terlebih lagi hukum itu diputarbalikan sesuai dengan kebutuhannya. Selain itu, diceritakan Pada tahun 1955 ada seorang Kyai yang menyanjung Masyumi, namun di lain waktu ia menghina partai ini, baik secara lisan maupun tulisan. Bahkan, ada yang mengaku dirinya adalah seorang Kyai yang sebenarnya mempunyai tujuan dan motif tersembunyi dan membuat pernyataan yang berubah-ubah. Menurut K.H. Mukhtar, yang demikian ini disebut dengan keyakinan berdasarkan menduga- duga atau kepercayaan yang berubah-ubah.24 Artinya, dapat disimpulkan mungkin orang ini sebenarnya tidak mengetahui seluk-beluk tentang Masyumi secara utuh. Sedangkan menghina dan ingkar terhadap ijma Ulama adalah suatu biḏ’ah (ḏalalah) yang memberikan dampak buruk dari pada biḏ’ah-biḏ’ah yang lain. Biḏ’ah yang membingungkan, memecah belah persatuan umat Islam, dan biḏ’ah yang memberikan dukungan terhadap propaganda para non-Muslim agar keluar dari Islam dengan sebab kyainya (anggota Masyumi) sendiri yang mencela partai Islam ini. Mereka (non-Muslim) menanamkan prasangka yang cukup meyakinkan di kalangan

24 Mukhtar, “Fasal Kelima”. Dalam Asâsu Al-Niẕâmî: fi Raddi ‘ala al- Ṯâ’nîna fi Hizbi al-Islâmi, hal. 20-21. 115

umat Islam, “Seumpanya memang Masyumi partai yang benar, mengapa kyainya sendiri yang menyangkalnya”.25 K.H. Mukhtar menghimbau para pembaca kitab Asâsu Al- Niẕâmî, agar mengkonversi Anggaran Dasar Masyumi dengan hukum syara. Ia berharap masyarakat Islam Indonesia lebih teliti dalam mengkajinya, sehingga tidak terjadi kekeliruan. 26 Kemudian adab ada 2 macam, yaitu Adab Syari’ah dan Adab Siasah (politik). Adab Syari’ah adalah mengerjakan kewajiban syara. Sedangkan Adab Siasah adalah mengurus Negara dengan sebenar-benarnya. Kemudian, politik secara umum berarti undang-undang yang dibuat untuk mengatur ketertiban Negara. Dalam hal ini politik terbagi 2: politik zalim yaitu yang dilarang oleh syara dan politik adil yang bisa menetapkan haq (kebenaran), menyingkirkan kezaliman, menolak kekeliruan, dan menjadi bahan kelancaran hukum syara. Maka syara mewajibkan berpolitik untuk menjunjung haq dalam menjalankan kewajiban. Baik syara maupun politik, keduanya harus kembali kepada perbuatan yang adil, guna menyelamatkan kekuasaan dan kemakmuran pemerintah dan Negara. Yang demikian ini tertera dalam anggaran dasar dan pedoman

25 Mukhtar, “Fasal Kelima”. Dalam Asâsu Al-Niẕâmî: fi Raddi ‘ala al- Ṯâ’nîna fi Hizbi al-Islâmi, hal. 21. Masyumi menerbitkan buku yang wajib dibaca anggotanya agar tidak terpengaruh propaganda non Muslim. Buku Batjaan Keluarga Partai, oleh Secretariaat D.P.P. Masjumi Bagian Penerangan/Pendidikan, dalam Usman, Suara Partai Masjumi, Majalah Bulanan No. 11 (Desember) 1950 Tahun 5, hal. 15. 26 Himbauan ini berdasarkan QS 2:189 dan gambaran proses verifikasi tersebut bisa lebih jelas lihat pada Mukhtar, “Fasal Keenam”. Dalam Asâsu Al- Niẕâmî: fi Raddi ‘ala al-Ṯâ’nîna fi Hizbi al-Islâmi, hal. 23-26 . Lihat juga Asas Tunggal Partai oleh Deliar Noer dalam Mahendra, Fakta Dokumenta 2, (Jakarta: LIPPM, 1983), hal. 98. 116

perjuangan Masyumi yang benar bahwa ketentuannya tidak melenceng ajaran Islam. Jadi selama ini yang membenci Masyumi adalah para Kyai dan santri yang belum bisa memahami arti politik, bahkan mencap partai ini keluar dari jalan Mukmin.27 Dalam kitab Asâsu Al-Niẕâmî karya K.H. Mukhtar dijelaskan ada 5 faktor yang membuat sebagian ulama dan santri tidak menyukai, salah faham, atau menjadikan alasan untuk mengejek Masyumi, yang diantaranya:28 No Tuduhan Landasan Dasar Pada awal Perselisihan ini dimulai dengan pembicaraan tidak tidak menggunakannya lafadz diawali dengan basmallah pada awal pembahasan lafadz basmallah. dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga 1 Masyumi, serta bertentangan dengan golongan ahli Sunnah wa al-Jamaah karena tidak mengamalkan hadis nabi tentang keutamaan basmallah. Mengutamakan Hadis keutamaan basmallah dan 2 nama pemimpin dari QS 29:31 pada asma Allah

27 Mukhtar, “Fasal Keenam”. Dalam Asâsu Al-Niẕâmî: fi Raddi ‘ala al- Ṯâ’nîna fi Hizbi al-Islâmi, hal. 28-30. 28 Mukhtar, “Fasal Ketujuh”. Dalam Asâsu Al-Niẕâmî: fi Raddi ‘ala al- Ṯâ’nîna fi Hizbi al-Islâmi, hal. 30-31. 117

Kepada pemimpin Mengaku atau memanggil walidina mengaku bapa sejati itu sudah keluar dari syara. Hal ini berdasarkan hadis Nabi yang (وَاﻟِﺪِﻧَﺎ اﻟْﻔَﺎﺿِﻞ) 3 artinya: “Siapa orang yang memanggil bapak kepada selain bapaknya (kandung), maka baginya akan mendapatkan laknat Allah.” Sombong dengan Hadis riwayat Thabrani No. 877 mengaku diri yang artinya: Terdapat Suatu kaum sebagai orang yang yang menzahirkan (melantangkan) mempunyai rasa bacaan Qurannya. Mereka berkata: Mukmin dan taqlid “Siapa yang bacaan Qurannya lebih kepada mazhab baik dari kami? Siapa orang yang lebih berilmu dari kami? Siapa orang yang lebih faham dari 4 kami?” Kemudian Nabi bertanya kepada para Sahabat: “Apakah mereka dalam keadaan baik?” Para Sahabat menjawab: “Allah dan Rasulnya yang paling mengetahui.” Berkata Nabi SAW:” Mereka adalah bagian dari umat ini dan mereka itu merupakan bahan dari api neraka.” Merasa diri yang QS 16:43 dan maqalah Ibnu Umar 5 paling patuh kepada yang artinya: Siapa orang yang 118

perintah bertaqlid kepada orang alim, maka ia akan berjumpa Allah dengan selamat.

Dalam hal ini K.H. Mukhtar khawatir suatu hari nanti akan banyak orang yang mengaku seorang kyai atau ulama dengan memanfaatkan QS 16:43 dan menegaskan bahwa Masyumi tidak membutuhkan ahli agama yang menjelekan partai ini dan masih banyak orang-orang berkualitas seperti Kyai Abdul Halim Kadu Pesing, Guru Mansyur Jakarta, Kyai Abdul Halim Majalengka, dan lain sebagainya. Ia memberikan perbandingan yang amat jauh, bila diukur dari keilmuan, kewaraan, ibadah, kuantitas santri, dan keduniawiannya, baik Kyai Abdul Halim Pandeglang atau Majalengka dengan orang yang mengaku Kyai pada saat itu adalah 99% berbanding dengan 1% kualitasnya. Hal ini bukan sebuah kebohongan atau omong kosong belaka, karena K.H. Mukhtar pernah menyaksikan secara langsung, bahkan pernah menjadi menantu Kyai Abdul Halim.29 Kyai Arjasim dari Gunung Datar menceritakan bahwa saat berlangsungnya pengajian pada tanggal 14 Maret 1957, Kyai Abdul Halim Pandeglang kedatangan salah satu utusan yang membawa surat yang menerangkan bahwa ia akan mendapat uang sebesar 100 ribu rupiah, 1 mobil sedan seharga 200 ribu rupiah

29 Mungkin Kyai Abdul Halim yang dimaksud di sini adalah yang bertempat tinggal di Kadu Pesing, Pandeglang, karena selama hidupnya K.H. Mukhtar sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk mengajar, termasuk diantaranya yang tidak jarang adalah ke wilayah Banten. 119

beserta supirnya, tetapi dengan syarat ia harus keluar dari partai Masyumi. Akhirnya, ia mengumpulkan para santrinya dan meminta saran kepada mereka. Dari sekian banyak muridnya, tidak ada yang menjawab, cuma ada 1 orang, yaitu Kyai Muslim, jawabannya ialah “Kita jadi Masyumi bukan karena upah, bukan karena pengaruh, dan bukan karena kedudukan, seumpama kita berjuang tidak ikhlas, maka tidak lain berjuang dijalan setan”. Setelah mendengar pendapat tersebut, ia menolak permintaan itu dan tetap bertahan dalam Masyumi. Hal serupa terjadi pada tanggal 29 Maret 1957 oleh Hasan Thabrani Lengkong30 yang merupakan salah satu anggota Masyumi. “Apakan Hasan mau dipimpin oleh Wahabi? Hasan mau dipimpin Muhammadiyah?” Jawaban Hasan: “Ayo ikuti kakak. Ikut ke partai kakak. Hasan tidak akan diajak kalau bukan kepada saudara/ keluarga”.31 Selanjutnya, terdapat celaan yang berbahasa Indonesia, terkait dengan tuduhan nomor 2, yaitu “Saya memasuki partai Masyumi yang dipimpin oleh ikhwan-ikhwan yang tidak bermazhab, bukan karena setuju kepada partai itu di dalam soal- soal madzhab dan furuʻiyyah, ilahiyyahnya, tetapi karena partai itu lebih jitu dan lebih pandai mendirikan Daulah Islamiyah dari

30 Jika melihat dari segi nasabnya, ia merupakan salah satu dari keturunan K.H. Thabrani bin K.H. Muhili bin Sutadewangsa bin Kapiten Tunawisanta bin Dalem Sutadewangsa bin Raden Tumenggung Tanuwisanta bin RaksanaNegara bin Raden Aria Wangsakara. Lihat silsilah Raden Aria Wangsakara dalam Mian, Sejarah Kampung Lengkong, (Tangerang: tanpa penerbit, 1983), hal. 10. 31 Mukhtar, “Fasal Ketujuh”. Dalam Asâsu Al-Niẕâmî: fi Raddi ‘ala al- Ṯâ’nîna fi Hizbi al-Islâmi, hal. 34-36. 120

pada NU yang berhaluan kepada faham-faham madzhab al- arbaʻah yang saya sukai itu.” Pandangan K.H. Mukhtar terhadap permasalahan ini ialah bergabungnya orang tersebut ke dalam Masyumi, bukan untuk mencari haq, tapi mengacaukan umat Islam yang ada di dalam partai dan berusaha memecah-belahkan kesatuan umat Islam. Meskipun telah berikrar menjadi anggota Masyumi, tetapi ia bukan Masyumi, bahkan ketika keluar cenderung menjelekan. Orang yang demikian ini menurutnya sesuai dengan QS 10:56-57 dan 48 yang menerangkan bahwa ia sebenarnya orang yang membenci Masyumi dan mencari berbagai cara untuk membuat kerusakan dari dalam dan luar partai. Setelah dipantau dari berbagai tindaklakunya, ia bukan hanya ingin memfitnah dan merusak Masyumi, melainkan mencari dukungan sebanyak mungkin, agar dicalonkan dalam konstituante. Meskipun sudah berusaha dengan keras, pergi kesana-kemari di Jakarta, ia tetap tidak terpilih, bahkan kembali membuat masalah lainnya. Ia menulis surat pengunduran diri dari Masyumi yang berisi: “Tetapi sesudah melangsungkan pemilihan umum ternyata Masyumi tidak lebih pandai dari NU dalam mendirikan Daulah Islamiyah, maka jelas tidak ada alasan bagi saya untuk tetap di dalam Masyumi, terutama setelah nyata kian hari tambah diperlemah pandangan terhadap mazhab al-Arbaʻah, maka dari mulai pernyataan ini, ditulis ialah pada tanggal 2 Rajab 121

1376,32 “Saya bersama-sama santri-santri saya, menyatakan keluar dari Masyumi dan memasuki NU”.33 Adanya surat pengunduran diri tersebut, membuat K.H. Mukhtar berkomentar tegas. Ia tidak ingin mengucapkan salam perpisahan dan berharap tidak berjumpa lagi dengan mereka. Hal ini disebabkan sebagaimana kronologi yang telah dijelaskan di atas dan telah mengkafirkan Masyumi menggunakan ayat Alquran tertentu.34 Sebagaimana ajaran Islam, ia menanggapi peristiwa ini dengan lafaz inna lillahi wa inna ilahi râjiûn. K.H. Mukhtar menginformasikan bahwa istilah kyai yang digunakan di Jawa Timur, dalam bahasa daerah (Sunda) artinya maung (hewan sejenis kucing) dan ada beberapa varian, yang diantaranya maung sancang, singa, tutul, dan maung congkok, tapi karena tidak terpenuhi keinginannya agar dicalonkan dalam konstituante, maka entah mau dikategorkan yang mana. Orang yang mengakui dirinya sebagai seorang Kyai sama seperti halnya mengatakan “Saya pemilik perusahaan ini, ini rumah saya, itu lahan juragan, ini putra saya, itu anak juragan, saya yang punya penginapan”. Akan tetapi, dalam Islam Masyumi membahasakan

32 2 Rajab 1376 Hijriyah bila dikonversikan sama dengan 2 februari 1957. 33 Mukhtar, “Fasal Ketujuh”. Dalam Asâsu Al-Niẕâmî: fi Raddi ‘ala al- Ṯâ’nîna fi Hizbi al-Islâmi, hal. 36-38. Dalam kitab ini, surat tersebut tidak menyebutkan namanya, hanya bertuliskan K.H. … bin ….. al-Syafi’i. Bahkan K.H. Mukhtar hanya memberikan julukan Kyai 2 Rajab 1376. Mungkin ini bertujuan agar aib ini cukup dijadikan pelajaran bagi pembaca dan tidak dijadikan bahan gunjingan. 34 Yang digunakan oleh Kyai tersebut adalah QS 4:115. 122

kyai itu untuk makanan, bukan untuk gelar pribadi,35 dengan berpedoman kepada QS 53:32. Dari uraian di atas, K.H. Mukhtar mengqiyaskan perbuatan Kyai 2 Rajab 1376 dengan kisah Tha’mah36 dan memunculkan pertanyaan, mengapa ia berbuat yang demikian terhadap Masyumi! Bila kita telaah lebih mendalam, Kyai itu bergabung dengan Masyumi karena memiliki motif ingin mendapatkan jabatan dalam konstituante. Membaguskan wadah pemersatu Islam Indonesia di bidang politik ketika sebelum pemilihan berlangsung, merupakan salah satu cara untuk menarik simpatisan orang lain, baik di dalam maupun di luar partai. Karena merasa gagal terpilih, akhirnya mengundurkan diri dengan mengunakan dalil sesuai kebutuhannya (pemerkosaan ayat) sebagai alat untuk mengkambinghitamkan Masyumi. Dalam rangka merayakan 5 tahun Masyumi, K.H. Abdul Wahid Hasyim yang saat itu menjabat sebagai Menteri Agama, mengungapkan kemelut di hatinya. Ia merasa khawatir akan rusaknya Masyumi yang bukan disebabkan dari luar partai, melainkan dari anggotanya sendiri. Ketakutan partai terhadap anggotanya, harus berbalik menjadi anggota yang segan kepada partai. Akhirnya, ia mengusulkan agar Masyumi diatur dalam 2 tingkatan, yaitu kern (teras) organisasi dan massa organisasi. Pada saat itu sebenarnya sudah mencukupi syarat dengan adanya

35 Makanan di sini bermakna untuk umum, yang artinya gelar kyai hanya sebuah sapaan sesama anggota Masyumi dan biasanya bertujuan untuk saling menghormati. 36 Mukhtar, “Fasal Ketujuh”. Dalam Asâsu Al-Niẕâmî: fi Raddi ‘ala al- Ṯâ’nîna fi Hizbi al-Islâmi, hal. 40-41. 123

anggota-anggota istmewa. Hanya saja belum ada persetujuan dari dewan partai.37 Insiden Kyai 2 Rajab 1376 adalah satu dari banyak bukti dari kekhawatiran tokoh NU ini.38 Jusuf Wibisono dalam hal keanggotaan, turut memberikan komentar. Statementnya adalah kekuatan organisasi terletak pada kualitas, bukan kuantitas. Kualitas kecerdasan politik dan pengetahuan umum dari anggota Masyumi umumnya masih kurang. Maka menjadi suatu keharusan mengadakan kursus atau pelatihan bagi kader-kader partai. Ia juga mengusulkan pada tahun berikutnya agar fokus dalam memberi kesadaran akan kewajiban-kewajiban yang dipikul partai.39 Dari saran dan kritik yang diutarakan oleh K.H. Wahid Hasyim dan Jusuf Wibisono, dapat ditarik kesimpulan bahwa: Pertama, rusaknya suatu organisasi atau partai bukan hanya bisa disebabkan oleh pihak-pihak tertentu di luar partai, melainkan juga dari dalam. Kedua, suatu organisasi atau partai, membutuhkan tenaga ahli sesuai kompetensi masing-masing, maka dari itu diperlukan pelatihan-pelatihan yang bersifat intensif. Ketiga, harus diadakan suatu acara, seperti seminar, diskusi, muktamar, dan sebagainya, agar seluruh elemen partai

37 Masyumi Lima Tahun, oleh K.H. Abdul Wahid Hasyim, dalam Usman, Suara Partai Masjumi, Majalah Bulanan No. 11 (Desember) 1950 Tahun 5, hal. 7. 38 Jika melihat kriteria ulama menurut Imam al-Ghazâli, maka kyai yang demikian ini termasuk ke dalam golongan ulama su. Lebih lengkapnya lihat Abu Hâmid Muhammad bin Muhammad al-Ghazâli, Iẖya ‘Ulûmu al-Dîn, Juz 1, (Beirut: Dar Ibn Hazmi, 1963), hal. 71-98. 39 Masyumi Lima Tahun, oleh Jusuf Wibisono, dalam Usman, Suara Partai Masjumi, Majalah Bulanan No. 11 (Desember) 1950 Tahun 5, hal. 4. 124

sadar akan kewajiban dan haknya.40 Maka sudah tepat yang telah dilakukan Masyumi, yaitu dengan disusunnya anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai.

40 Kader Kursus Politik (KKPT) dan Pendidikan Politik Islam (Pepolis) adalah salah satu realisasi program pelatihan untuk para kader masyumi. tertulis Surat terbuka, oleh Sjarif Usman, dalam Utsman, Suara Partai Masjumi, Majalah Bulanan No. 11 (Desember) 1950 Tahun 5, hal. 14. BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan Sebagai seorang ulama, ia telah memenuhi fungsi dan kewajibannya yang tercermin dalam kegiatan keilmuan, seperti mengadakan pengajian, mendirikan madrasah, dan menjawab permasalahan yang ada di masyarakat. Sedangkan sebagai seorang seniman kaligrafi Islam, aktivitas dan kontribusi K.H. Mukhtar dapat dilihat dari mengakar kuatnya kesenian ini di masyarakat (budaya), seperti menjadikan kaligrafi sebagai mata pelajaran wajib di sekolah, sumber mata pencaharian, dan terutama terlihat pada kesuksesan para murid dan penerusnya. Mengenai khasnya Kaligrafi Lengkong Ulama yang telah diinformasikan peneliti terdahulu, penulis menemukan bahwa keunikannya bukan pada karakter huruf yang dihasilkan atau memiliki simbol tertentu, melainkan eksistensi bidang seni ini yang telah tertanam secara turun-temurun ke generasi berikutnya. Kemudian sebagai Simpatisan Partai Islam Masyumi, ia berusaha meluruskan kekeliruan yang ada di masyarakat, seperti beranggapan orang-orang yang bergabung di dalamnya bukan Ahlu Sunnah wa al-Jamaah, dan anggaran dasar, serta anggaran rumah tangganya tidak bersumber dari ajaran Islam. Selain itu juga, K.H. Mukhtar memberikan gambaran situasi kondisi pro dan kontra terhadap Partai Politik Islam Masyumi, baik dari anggota maupun dari luar partai. Contohnya,

125 126

Kyai 2 Rajab 1376 yang merupakan anggota Masyumi, hanya berusaha memanfaatkan besarnya nama partai ini demi mencapai tujuan pribadi.

B. Saran Dan Kritik Studi ini melihat ada beberapa yang sekiranya perlu dilanjutkan: 1. Banyaknya tradisi kelimuan dan keagamaan yang belum muncul ke permukaan, maka sangat penting bila peneliti selanjutnya untuk meneruskan penelusuran tersebut. 2. Sepanjang melakukan obervasi, penulis menemukan ketidaktahuan masyarakat akan sejarah, tokoh elit, dan kebudayaannya sendiri yang sebenarnya menjadi identitas, sehingga sangat penting bagi pemerintah daerah maupun pusat, memberikan terobosan dan pemahaman yang akan menyadarkan masyarakat atas apa yang seharusnya diketahui. DAFTAR PUSTAKA

A. Sumber Primer 1. Naskah/Babad Catatan pribadi K.H. Mukhtar pada buku saku milik putra bungsunya (Suud). Mian, Mukri. Sejarah Kampung Lengkong. Naskah. Tangerang: tanpa penerbit, 1983. Mukhtar, Muhammad. Asâsu Al-Niẕâmî: fi Raddi ‘ala al- Ṯâ’nîna fi Hizbi al-Islâmi. Bandung: al-Ma’arif, tanpa tahun terbit.

2. Dokumen Pemerintah Najib, Tubagus. Pengembangan Nilai Dan Geografi Sejarah Lengkong Ulama. Laporan Penelitian. Tangerang: Pemerintah Kabupaten Tangerang, 2007. Najib, Tubagus. Potret Lengkong Ulama: Rekontruksi Sejarah Dan Arkeologi. Tangerang: DISPORABUDPAR, 2011. Najib, Tubagus. Tinggalan Arkeologi: Potensi, Kronologi, Kontak Budaya, makalah dipresentasikan di Kecamatan Pagedangan Kabupaten Tangerang Banten. Tangerang: DISPORABUDPAR, 2010.

127 128

3. Dokumen dan Surat Kabar Lembaga Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Jakarta Hanief, M. “Lengkong Kulon: Kampung Ulama Yang Nyaris Punah” dalam majalah Media Dakwah edisi September No. 219. Jakarta: Media Dakwah, 1992. Mahendra, Yusril Ihza. Fakta Dokumenta Pancasila: Dari Asas Bhineka Tunggal Ika Menuju Asas Tunggal. Jilid 2. Jakarta: Lembaga Islam Untuk Penelitian Dan Pengembangan Masyarakat, 1983. Suara Partai Masjumi, Majalah Bulanan No. 11 (Desember) 1950 Tahun 5. Jakarta: Sekretariat Dewan Pimpinan Masjumi Bagian Penerangan,1950.

4. Wawancara Wawancara Nuryani dengan K.H. Kosasih pada tanggal 20 Januari 1996 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. Wawancara Nuryani dengan K.H. Maʻmun bin Asnawi pada tanggal 20 Januari 1996 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. Wawancara Nuryani dengan Ustadz Alwi Muhsin pada tanggal 3 Maret 1996 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. Wawancara pribadi dengan K.H. Kosasih pada tanggal 30 Oktober 2012 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. 129

Wawancara pribadi dengan Mukri Mian pada tanggal 31 Oktober 2012 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. Wawancara pribadi dengan Muhammad Aflah pada tanggal 8 Oktober 2016 di Pakulonan, Tangerang Banten. Wawancara pribadi dengan Suud pada tanggal 22 Oktober 2017 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. Wawancara pibadi dengan Mahmud Arham pada tanggal 7 Agustus 2018 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. Wawancara pibadi dengan Baequni Yasin pada tanggal 24 Agustus dan 18 Desember 2018 di Kampung Lengkong Ulama Desa Lengkong Kulon Kecamatan Pagedangan Tangerang, Banten. Wawancara pibadi dengan Tubagus Najib pada tanggal 28 September 2018 di Panaragan Kidul, Bogor. Wawancara pribadi dengan Didin Sirojudin AR. pada tanggal 13 Januari 2019 di Ciputat, Tangerang Selatan.

B. Sekunder

1. Jurnal Husson, Lauren. Studia Islamika: Indonesian Journal For Islamic Studies. Vol. 4.No. 4.Jakarta, Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 1997. 130

Sirojudin, Didin. Peta Perkembangan Kaligrafi Islam Di Indonesia. Vol. XX No. 1. Jakarta: Al-Turas, Januari 2014.

2. Buku

Abdulgani, Roeslan. Sejarah Perkembangan Islam Di Indonesia. Jakarta: Pustaka Antar Kota, 1983. Abdullah, Taufik, dkk. Manusia Dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3S, 1983. Abdurrahman, Dudung Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Amsyari, Fuad. Masa Depan Umat Islam Indonesia. Bandung: Al-Bayan, 1993. Azra, Azumardi. Jaring Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. Jakarta: Kencana, 2013. Bajasut, S. U. Alam Pikir Dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito: Ketua Umum (Terakhir) Partai Masyumi. Jakarta: Kompas, 2014. Benda, Harry J. Bulan Sabit Dan Matahari Terbit: Islam Di Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang. Jakarta: Pustaka Jaya, 1985. Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning, Pesantren, Dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia. Bandung: Mizan, 1995. Cabaton, Antoine. Jawa, Sumatra Dan Kepulauan Lain Di Hindia Belanda. Yogyakarta: Ombak, 2015. 131

Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung, Titian Ilmu, 2004. Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai Dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3S, 2011. Ekadjati, Edi. S., dkk. Sejarah Kabupaten Tangerang. Tangerang: Pemerintah Kabupaten Tangerang, 2004. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1982. Faisal, Sanafiah (ed.). Metodologi Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional, 1987. George, Kennet M. Melukis Islam: Amal Dan EtikaSeni Islam Di Indonesia. Bandung: Mizan, 2012. Gottschalk. Understanding History: A Primer of Historical Method. Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1975. Greertz, Clifford. Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa. Depok: Komunitas Bambu, 2014. Hariyono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Yogyakarta: Pustaka Jaya, 1995. Hasan, Tholhah. Jangan Dituntut Terlalu Banyak Dalam Pesantren vol. 4., no. 2., 1987. Hsubky, Badrudin. Dilema Ulama Dalam Perubahan Zaman. Jakarta: Gema Insani Pres, 1995. Husain, Abdul Karim. Seni Kaligrafi Khat Naskhi: Tuntunan Menulis Halus Huruf Arab Dengan Metode Komparatif. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1985. 132

Kartodirjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992. Khaldun, Ibnu. Mukaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011. Koentjaraningrat. (ed.). Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia, 1979. Komaruddin dan Yoke Tjuparmah S. Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006. Kuntowijoyo. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Yogyakarta, IRCiSoD, 2017. Laffan, Michael. Sejarah Islam Di Nusantara. Yogyakarta: Bentang, 2015. Madinier, Remi. Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi Dan Islam Integral. Jakarta Selatan: Mizan, 2013. Mahendra, Yusril Ihza. Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) Dan Partai Jamaʻati Islami (Pakistan). Jakarta: Paramadina, 1999. Makin, Nurul. Kapita Selekta Kaligrafi Islam. Jakarta: Panjimas, 1995. Marjoened, Ramlan. K.H. Hasan Bashri 70 Tahun: Fungsi Ulama Dan Peranan Masjid. Jakarta: Media Daʻwah, tanpa tahun. Mujib, Ahmad, dkk. Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh Dan Cakrawala Pemikiran Di Era Pertumbuhan Pesantren. Jilid 2. Jakarta: Diva Pustaka, 2003. 133

Noer, Deliar, Partai Islam Di Pentas Nasional 1945-1965. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987. Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900- 1942. Jakarta: LP3S, 1996. Peursen. Fakta, Nilai, Peristiwa. Jakarta: Gramedia, 1990. Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedi Al-Qurʻan: Ulama Dalam Ulumul Qurʻan. Jurnal Kebudayaan dan Peradaban, Vol. 6, No 5, 1996. Ricklefs, M.C. Sejarah Modern Indonesia 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008. Sahal, Akhmad dan Munawir Aziz. Islam Nusantar: Dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan. Bandung: Mizan, 2015. Segaf, Husein, dkk. Ulama Dan Pembangunan. Jakarta: 1976. Sirojuddin, Didin. Seni Kaligrafi Islam. Jakarta: Multi Kreasi Singgana, 1992. Situmorang, Oloan. Seni Rupa Pertumbuhan Dan Perkembangannya. Bandung: Mizan, 1998. Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta, LP3S, 1985. Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: KPG, 2009. Wijaya, Edyy Rustan Effendi. Sejarah Kabupaten Tangerang. Tangerang: Pemerintah Kabupaten Tangerang, 2010. Zada, Khamami, dkk. Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh Dan Cakrawala Pemikiran Di Era Pertumbuhan Pesantren. Jilid 1 dan 3. Jakarta: Diva Pustaka, 2003. 134

3. Ebook Al-Kurdi, Al-Tarikh Al-Qawim Li Makkati Wa Baitillah Al- Karim. Juz 1. Beirut: Darun Hadr, 2000. Al-Makki, Muhammad Thahir bin Abdul Qadir Al-Kurdi. Tarikh Al-Khat Al-Arabi Wa Adabihi. Arab Saudi: Al-Maktabah Hilal, 1939. Kaptein, Nico. Gareful To The Dutch Government: Sayyid Uthman And SI In 1913. London and New York: Routledge, 2007. Al-Ghazâli, Abu Hâmid Muhammad bin Muhammad. Iẖya ‘Ulûmu al-Dîn. Juz 1. (Beirut: Dar Ibn Hazmi, 1963.

4. Website http://www.alhejazi.net:80/aalam/112901.htm https://bqmi.kemenag.go.id/koleksi/koleksi-bayt-al-quran- mushaf-istiqlal https://researchers.anu.edu.au/researchers/george-k http://quran-nusantara.blogspot.com/2012/05/mushaf- sundawi-1997-data-teknis http://www.albashiroh.net/2014/11/sejarah-khat-di- indonesia.html LAMPIRAN-LAMPIRAN

K.H. Mukhtar bin K.H. Hasan Lengkong Ulama

Sairoh binti Haji Syafi’i (Istri K.H. Mukhtar)

135 136

Geanologi Keguruan K.H. Mukhtar. 1.

Geanologi keguruan K.H. Mukhtar. 2. 137

Geanologi keguruan K.H. Mukhtar. 3.

Geanologi keguruan K.H. Mukhtar. 4. 138

Geaonologi Keguruan K.H. Mukhtar yang sudah dialihaksarakan, diketik ulang, dan dilaminating. 139

Cover depan Kitab Asâsu Al-Niẕâmî Karya K.H. Mukhtar

Cover belakang Kitab Asâsu Al-Niẕâmî Karya K.H. Mukhtar 140

Contoh isi halaman Kitab Asâsu Al-Niẕâmî Karya K.H. Mukhtar 141

Contoh beberapa qalam atau pena milik Mahmud Arham yang sering digunakan untuk membuat kaligrafi dan di antaranya produk Firman Firdaus

Salah satu kaligrafi karya Baequni Yasin Geanologi Keguruan K.H. Mukhtar Lengkong Ulama

Nabi Muhammad SAW 570-632 M

Syaikh Abdullah bin Umar Khattab W. 73 H

Syaikh Nafiʻ Maulana Abdullah W. 735-736 M/117 H

Imam Malik bin Anas 711-795 M/93-179 H

Syaikh Muhammad bin Idris al-Syafi ʻi 767-819 M/150-204 H

Syaikh al-Imam Ismail bin Yahya al-Muzani W. 175-264 H

Syaikh Abu al-Qasim al-Anmathi W. 288 H

Syaikh Ahmad bin Suraij 248-306 H

Syaikh Ibrahim al-Marwazi W. 340 H

Syaikh Abi Bakar W. 377 H

Syaikh Muhammad al-Juaini W. 438 H

Syaikh Abdul Malik/Imam al-Haramain 1028-1085 M/419-478 H

Syaikh al-Imam Abu Hamid bin Muhammad al-Ghazali W. 505 H

Syaikh Muhammad al-Naisaburi

Syaikh Kamal al-Ardabili

Syaikh al-Imam al-Nawawi 1233-1277 M/631-676 H

Syaikh Hibatullah al-Bazi

Syaikh Abdul Rahim al-Farisyi

Syaikh Umar al-Bulkini

Syaikh Shalih al-Bulqini W. 844 H

Syaikh Jalaluddin al-Mahalli W. 864 H

Syaikh Zakariya al-Anshari W. 928 H

Sayid Ahmad bin Hajar al-Haitami 909-974 H

Sayid Abdul Aziz Zamzami 977-1073 H

Sayid Sulaiman al-Babali L. 1666 M

Sayid Ahmad Ramadhan

Sayid Ahmad al-Jairimi/al-Bujairimi W. 1221 H

Sayid Ali al-Wanai

Sayid Muhammad Saleh Rais

Sayid Abdullah

Sayid Ahmad Zaini Dahlan 1816-1886 M/1232-1304 H

Syaikh Sayid Babashil W. 1911 M

Syaik Mukhtar Attharrid 1862-1930 M/1278-1349 H

K.H. Mukhtar K.H. Hasan W. 1984 M

Ayah dan Anak Guru dan Murid