PERTANGGUNGJAWABAN MASKAPAI TERHADAP
KETERLAMBATAN PENERBANGAN PENUMPANG
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna
memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH :
HUTOMO TRIWIJAYA
NIM : 140200251
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2018
1
Universitas Sumatera Utara
2
Universitas Sumatera Utara PRAKATA
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Allah SWT. Berkat kuasa-Nya akhirnya saya dapat menyelesaikan Skripsi ini yang membahas mengenai
“Pertanggungjawaban Maskapai Terhadap Keterlambatan Penerbangan
Penumpang Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen”
Skripsi ini merupakan salah satu tugas yang diajukan untuk melengkapi dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum
Universitas Sumatera Utara. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah agar kiranya menjadi sarana pengembangan wawasan mengenai tanggung jawab maskapai serta perlindungan konsumen terhadap keterlambatan penerbangan yang merugikan penumpang.
Dalam skripsi ini saya menyadari masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu segala saran dan kritik guna perbaikan dan kesempurnaan sangat saya nantikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya
Pada kesempatan ini saya menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan, bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik terutama kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
iii
Universitas Sumatera Utara 2. Bapak Prof. Dr. O.K. Saidin, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan
II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
5. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., selaku Ketua
Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara serta Pembimbing I yang telah peduli dan
memberikan bimbingan dalam penulisan skripsi ini;
6. Ibu Tri Murti Lubis., S.H., M.H., selaku Sekretaris bagian
Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara Medan;
7. Ibu Dr. Detania Sukarja.,S.H.,LLM selaku Dosen Pembimbing II
yang telah peduli dan memberikan bimbingan dalam penulisan
skripsi ini; Universitas Sumatera Utara;
8. Ibu Dr. T. Keizerina D. A, S.H., C.N.,M.Hum selaku Dosen
Penasehat Akademik Penulis selama Penulis menjalani perkuliahan
di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
9. Seluruh Dosen Pengajar dan Pegawai pada Departemen Hukum
Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
10. Mama tercinta, Diah Susilowati.,S.H, terima kasih untuk doa yang
sangat luar biasa besar kuasanya, pengorbanan, perjuangan, kasih
sayang, didikan dan dukungan yang sangat luar biasa serta masukan-
iv
Universitas Sumatera Utara masukan mengenai skripsi yang membantu dalam pengerjaan skripsi
ini.
11. Seorang yang spesial bagi penulis yang telah bersama-sama dengan
penulis selama 5 tahun terakhir, Vira Shania Adellia, yang telah
memberikan doa, cinta kasih, dukungan, perhatian, dan semangat.
12. Sahabat-sahabat seperjuangan Penulis yang juga mendukung dalam
segala hal selama perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara Medan yakni, Mahmuddin, Lufhti Muchtar, Tengku
Adelia Falevi, dan masih banyak lagi yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu, terima kasih telah memberikan kehangatan
dan menghargai perbedaan. Semoga semuanya dapat segera
menyelesaikan studi masing-masing;
13. Seluruh Keluarga Besar IMAHMI stambuk 2014
14. Seluruh mahasiswa/i Stambuk 2014 Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
Demikianlah Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada seluruh pihak yang mendukung sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan lancar dan kiranya Allah SWT memberikan yang terbaik bagi kita semua.
Medan, 14 Januari 2018
HutomoTriwijaya
NIM :140200251
v
Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI
COVER ...... i
LEMBAR PENGESAHAN ...... ii
PRAKATA ...... iii
DAFTAR ISI ...... vi
ABSTRAK ...... ix
BAB I PENDAHULUAN ...... 1
A. Latar Belakang ...... 1
B. Rumusan Masalah ...... 6
C. Tujuan Penulisan ...... 6
D. Manfaat Penulisan ...... 7
E. Keaslian Penulisan ...... 8
F. Tinjauan Pustaka ...... 12
G. Metode Penelitian...... 14
H. Sistematika Penulisan...... 17
BAB II TINJAUAN UMUM PERLINDUGAN KONSUMEN DI
INDOENSIA ...... 20
A. Perlidungan Konsumen ...... 20
B. Asas Perlindungan Konsumen ...... 23
C. Hak dan Kewajiban Konsumen ...... 25
D. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ...... 33
vi
Universitas Sumatera Utara E. Hubungan Pelaku Usaha dengan Konsumen ...... 36
F. Prinsip Tanggung Jawab Pelaku Usaha ...... 38
G. Penyelesaian Sengketa Konsumen ...... 45
BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PENGGUNA ANGKUTAN
UDARA...... 53
A. Penerbangan ...... 53
B. Jenis Angkutan Udara ...... 55
C. Syarat dan Prosedur Pendirian Maskapai ...... 60
D. Keterlambatan Penerbangan...... 64
E. Bentuk Perlindungan Konsumen Pengguna Jasa Angkutan Udara
yang Dirugikan karena Keterlambatan Penerbangan Penumpang ...... 66
BAB IV IMPLEMENTASI PENGATURAN TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP KETERLAMBATAN
YANG MERUGIKAN PENUMPANG ...... 70
A. Tindakan Maskapai Sebagai Bentuk Tanggung Jawab Terhadap
Keterlambatan Penerbangan Penumpang ...... 70
B. Perlindungan Hukum Pengguna Jasa Angkutan Udara Khususnya
Terkait dengan Keterlambatan yang Merugikan Penumpang ...... 73
C. Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Pelaku Usaha dalam
Perlindungan Konsumen Terkait dengan Keterlambatan
Penerbangan yang Merugikan Penumpang ...... 80
BAB V PENUTUP ...... 85
vii
Universitas Sumatera Utara A. Kesimpulan ...... 85
B. Saran ...... 87
DAFTAR PUSTAKA ...... 89
LAMPIRAN
A. Daftar Pertanyaan Wawancara
viii
Universitas Sumatera Utara ABSTRAK PERTANGGUNG JAWABAN MASKAPAI TERHADAP KETERLAMBATAN PENERBANGAN PENUMPANG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Hutomo Triwijaya* Bismar Nasution** Detania Sukarja*** Keterlambatan penerbangan merupakan hal yang sering terjadi dalam kegiatan penerbangan. Keterlambatan tersebut dirasa masih menelantarkan hak-hak konsumen. Melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pemerintah mengatur hak-hak konsumen yang harus dilindungi hal tersebut, termasuk mengenai keterlambatan penerbangan. Aturan mengenai perlindungan konsumen bertujuan untuk melindungi konsumen dari pelaku usaha yang tidak beritikad baik. Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai bagaimana tanggung jawab maskapai terhadap keterlambatan penerbangan penumpang berdasarkan Undang-undang Perlindungan Konsumen, bagaimana perlindungan hukumnya dan bagaimana penegakan hukumnya. Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan pengumpulan data secara penelusuran kepustakaan (library research) untuk memperoleh bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier, kemudian data dianalisis dengan metode kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa perlindungan konsumen terkait keterlambatan penerbangan terdapat dalam dua aturan yang berbeda yaitu PERMENHUB NO.89/2015 dan Undang-undang Perlindungan Konsumen. Dalam PERMENHUB NO. 89/2015 bentuk perlindungan konsumen pengguna jasa angkutan udara sebatas terhadap tanggung jawab maskapai memberikan kompensasi apabila terjadi keterlambatan penerbangan. Hal ini menjadikan bentuk perlindungan konsumen dalam PERMENHUB No.89/2015 menjadi terbatas. Berbeda dengan Undang- undang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha wajib memberikan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. apabila pelaku usaha tidak mengindahkan hal tesebut, konsumen dapat melakukan gugatan ganti kerugian melalui pengadilan maupun di luar pengadilan. Kata Kunci : Tanggung Jawab, Maskapai, Perlindungan Konsumen
* Mahasiswa ** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II
ix
Universitas Sumatera Utara BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan teknologi, memberikan dampak terhadap perkembangan alat transportasi. Dahulu seorang yang ingin berpergian jarak jauh membutuhkan waktu yang lama dengan biaya yang tidak sedikit.
Namun, hal itu sudah mulai berkurang karena kini telah tersedia alat transportasi yang memudahkan manusia dalam melakukan perjalanannya.
Sebagai Negara dengan jumlah pulau mencapai 13.677 pulau 1 ,
Indonesia membutuhkan transportasi udara sebagai penghubung antar pulau-pulau tersebut. Besarnya kebutuhan masyarakat akan transportasi udara, menjadikan Indonesia sebagai pasar yang ideal. Mengingat bahwa jumlah penduduk Indonesia mencapai 237.641.326 jiwa 2 , mendirikan maskapai penerbangan merupakan langkah yang tepat untuk mencari keuntungan.
Kini, transportasi udara telah banyak tersedia pilihan-pilihan maskapai yang melayani rute domestik maupun internasional.
Menjamurnya maskapai penerbangan tersebut menimbulkan kompetisi untuk menarik konsumen, sehingga mereka mulai memberikan tawaran-
1 Lembaga Pertahanan Nasional, ,Kewiraan Untuk Mahasiswa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Kerjasama Dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud, 1992), hlm. 19. 2 Badan Pusat Statistik, “Data sensus 2010”, https://www. bps. go. id/linkTabelStatis/view/id/1267, diakses pada Hari Selasa, tanggal 29 Agustus 2017, Pukul: 17. 33 WIB.
1
Universitas Sumatera Utara tawaran menarik seperti diskon harga yang menjadikan transportasi udara dapat dinikmati berbagai kalangan. Namun, hal ini tidak memberikan jaminan pelayanan yang diberikan oleh pihak maskapai penerbangan terhadap penumpang telah memenuhi standar pelayanan yang baik.
Faktanya, masih banyak maskapai memberikan pelayanan yang kurang memuaskan terhadap konsumen terkhusus tentang ketepatan waktu penerbangan. Seperti contohnya maskapai PT. Lion Mentari Airlines yang dikenal oleh masyarakat memiliki harga yang relatif murah namun pada kenyataannya seiring dengan murahnya harga tersebut, seolah-olah pelayanan terhadap konsumen semakin menurun. Bahkan tercatat, bahwa maskapai penerbangan PT. Lion Mentari Airlines pernah mengalami keterlambatan penerbangan sampai 10 jam tanpa alasan yang jelas.3 Padahal pelayanan tersebut dimaksudkan agar penumpang merasa puas dan nyaman saat melakukan perjalanannya.
Berdasarkan data On-Time Performance (selanjutnya disebut OTP) dari lima belas maskapai penerbangan di Indonesia yang dikeluarkan oleh
Kementerian Perhubungan, persentase keterlambatan penerbangan di
Indonesia mencapai 20,74% atau 73.950 kali mengalami keterlambatan penerbangan dari 356.621 jumlah penerbangan. Berikut merupakan data
OTP dari maskapai penerbangan di Indonesia tahun 2015:
3 Liputan 6, “Lion Air Delay 10 Jam, Ratusan Penumpang Numpuk di Bandara Soetta”,http://news. liputan6. com/read/2846313/lion-air-delay-10-jam-ratusan-penumpang- numpuk-di-bandara-soetta?source=Search&medium=InstantSearch, diakses pada hari selasa, tanggal 29 Agustus 2017, Pukul 18:27WIB.
2
Universitas Sumatera Utara Jumlah Maskapai OTP Delay Camcel Penerbangan Batik Air 25. 617 23. 366 1. 871 380 (1,48%) (91,21%) (7,30%) Nam Air 9. 103 8. 248 743 (8,16%) 49 (0,54%) (90,61%) Garuda Indonesia 90. 832 77. 955 10. 919 1. 958 (2,16%) (85,82%) (12,02%) Sriwijaya Air 27. 200 22. 536 4. 558 106 (0,39%) (82,85%) (16,76%)
Indonesia Air Asia 1. 835 1. 512 323 0 (0%) Extra (82,40%) (17,60%) Citilink 30. 598 24. 560 5. 709 329 (1,08%) (80,27%) (18,66%) Indonesia Air Asia 6. 677 5. 054 1. 577 159 (2,39%) (75,69%) (23,62%) Kalstar Aviation 12. 251 9. 181 1. 937 1. 133 (9,25%) (74,89%) (15,81%) Transnusa 2. 929 2. 257 622 50 (1,71%) (77,06%) (21,24%) Wings Air 32. 085 22. 8. 859 695 (2,17%) 531(70,22%) (27,61%)
Lion Air 86. 043 60. 280 25. 403 360 (0,42%) (70,06%) (29,52%) Susi Air 20. 801 11. 98 7. 271 1. 664 (8,00%) (57,62%) (34,96%) Travel Express 5. 159 2. 975 1. 717 467 (9,05%) (57,67%) (33,28%) Trigana Air 5. 212 2. 510 2. 384 318 (6,10%) (48,16%) (45,74%) Aviastar Mandiri 279 222 57 (20,43%) 0 (0%) (79,57%) Tabel 1 : Data OTP Kementerian Perhubungan Indonesia Tahun 2015.4
Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa maskapai yang sering mengalami keterlambatan penerbangan yang pertama adalah Trigana
Air dengan presentase 45,74% atau sebanyak 2.384 penerbangan mengalami delay, dari total 5.212 penerbangan. Kedua, Susi Air dengan persentase 34,96% atau sebanyak 7.271 penerbangan delay dari total 20.801
4 Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, “On Time Performance 15 Maskapai Berjadwal Periode Juli-Desember 2015 Sebesar 77,16%”, http://dephub. go. id/post/read/on-time-performance-15-maskapai-berjadwal-periode-juli-desember-2015- sebesar-77,16, diakses pada hari selasa, tanggal 29 Agustus 2017, Pukul 19:20WIB.
3
Universitas Sumatera Utara penerbangan. Ketiga, Travel Express dengan persentase 33,28% atau sebanyak 1.717 penerbangan delay dari total 5.159 penerbangan.
Banyaknya kasus-kasus mengenai keterlambatan penerbangan merupakan bukti nyata dalam penelantaran hak-hak konsumen. Disamping itu, terjadinya penelantaran tersebut disebabkan karena tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah.5 Melalui Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut dengan
Undang-undang Perlindungan Konsumen), Pemerintah Indonesia ambil andil dalam mengatur hak-hak konsumen yang harus dilindungi. Salah satunya ialah :6
“Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana semestinya” Berdasarkan pasal tersebut, pihak maskapai wajib memberikan ganti rugi kepada penumpang apabila pihak maskapai tidak dapat memenuhi prestasinya kepada penumpang. Prestasi tersebut juga termasuk tentang ketepatan waktu penerbangan. Jadi, apabila terjadi keterlambatan penerbangan pihak maskapai dapat diminta bertanggung jawab untuk itu walaupun tidak menutup kemungkinan untuk hal-hal lain diluar keterlambatan penerbangan.
Menurut Happy Susanto, hak konsumen yang diabaikan perlu ditindak lebih lanjut. Sebab dewasa ini banyak bermunculan penawaran
5 Indonesia (Perlindungan Konsumen), Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, LN. 42 Tahun 1999, Penjelasan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bagian I Umum, Alenia keempat. 6Ibid, Pasal 4 Angka (8).
4
Universitas Sumatera Utara menarik yang dipasarkan kepada konsumen secara langsung maupun tidak lansung. Untuk itu konsumen dituntut untuk lebih teliti dalam memilih produk barang atau jasa, sebab apabila tidak, bukan menjadi hal baru bila konsumen menjadi objek eksploitasi bagi pelaku usaha.7
Dalam penjelasan umum, undang-undang perlindungan konsumen tidak dimaksudkan pula untuk menjadi penghalang pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya. Namun sebaliknya, pengaturan tentang perlindungan konsumen diharapkan dapat menumbuhkan iklim persaingan yang sehat dan ketat sehingga mereka akan mulai berkompetisi untuk menyajikan produk yang berkualitas.8
Dari gambaran di atas maka terlihat jelas bahwa masih banyak yang harus digali dari perlindungan konsumen terkhusus terhadap keterlambatan penerbangan, bagaimana sebenarnya tanggung jawab itu diatur dalam
Undang-Undang Pelindungan Konsumen.
Untuk mendapatkan gambaran tentang masalah tersebut maka penulis memutuskan untuk menggarap skripsi dengan judul
Pertanggungjawaban Maskapai Terhadap Keterlambatan Penerbangan
Penumpang Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
7 Happy Susanto, Hak-hak Konsumen jika dirugikan, (Jakarta : Penerbit Visimedia, 2008), hlm. 1. 8 Indonesia (Perlindungan Konsumen), Op. cit, Penjelasan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bagian I Umum, Alenia ketujuh.
5
Universitas Sumatera Utara B. Perumusan Masalah
Dengan adanya rumusan masalah maka akan dapat ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga tidak mengarah pada hal-hal diluar permasalahan. Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah perlindungan konsumen diatur di Indonesia?
2. Apakah konsumen jasa angkutan udara di Indonesia dilindungi
secara hukum?
3. Bagaimanakah penegakan pengaturan tentang perlindungan
konsumen jasa angkutan udara khususnya terkait keterlambatan
penerbangan penumpang?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Memahami bentuk pengaturan tentang perlindungan konsumen
di Indonesia.
2. Mengetahui bagaimana perlindungan konsumen terhadap
pengguna jasa angkutan udara.
3. Memahami implementasi pengaturan tentang perlindungan
konsumen terhadap keterlambatan penerbangan.
4. Memahami bagaimana penerapan tanggung jawab mutlak
terhadap tanggung jawab maskapai penerbangan sebagai
penyelenggara jasa angkutan udara.
6
Universitas Sumatera Utara D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Menambah, memperluas, dan memperdalam wawasan mengenai
pengaturan tentang perlindungan konsumen.
b. Menambah, memperluas dan memperdalam wawasan mengenai
perlindungan konsumen terhadap pengguna jasa angkutan udara.
c. Menambah, memperluas dan memperdalam wawasan mengenai
penerapan pengaturan tentang perlindungan konsumen
khususnya terkait dengan keterlambatan penerbangan.
d. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti-
peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian seputar
perlindungan konsumen.
2. Manfaat Praktis
a. Secara praktis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat
memberikan masukan bagi pemerintah dalam mengambil
kebijakan untuk mengatasi persoalan mengenai perlindungan
konsumen secara umumnya dan/atau secara khusus mengenai
keterlambatan penerbangan yang merugikan penumpang.
b. Penulisan skripsi ini secara praktis diharapkan dapat menjawab
masalah-masalah seputar perlindungan konsumen secara
7
Universitas Sumatera Utara umumnya dan/atau secara khusus mengenai keterlambatan
penerbangan yang merugikan penumpang.
E. Keaslian Penelitian
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah benar merupakan hasil dari pemikiran penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku, doktrin-doktrin dan panduan dari buku-buku serta sumber lain yang berkaitan dengan judul, ditambah sumber riset data dari internet terhadap data-data yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara.
Selain itu, skripsi ini telah lulus uji bersih perpustakaan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara dan tidak ada ditemukan judul yang sama dengan judul yang digagas oleh penulis. Oleh karena itu penulisan ini asli karya penulis dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Untuk menghindari kegiatan plagiarisme, penulis melakukan beberapa penelusuran skripsi, jurnal, maupun penelitian-penelitian yang terkait dengan pembahasan yang digagas oleh penulis dan ditemukan beberapa literatur yang berkaitan dengan pembahasan dalam skripsi ini antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama, skripsi Rabin Condro Kristyo, membahas skripsi yang berjudul “Perlindungan konsumen terhadap Pengguna Jasa Angkutan Udara yang Mengalami Keterlambatan atau Delayed di Bandara Adisutjipto
8
Universitas Sumatera Utara Yogyakarta”. 9 Dalam materi pembahasan yang terdapat dalam skripsi tersebut pada pokoknya menjelaskan mengenai perlindungan konsumen terhadap penumpang yang mengalami keterlambatan penerbangan berdasarkan kepada implementasi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor
89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay
Managament) pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di
Indonesia terhadap keterlambatan penerbangan di bandara Adisutjipto
Yogyakarta, sedangkan materi penulis pada pokoknya membahas mengenai tanggung jawab maskapai dalam implementasinya terhadap perlindungan konsumen terkait keterlambatan penerbangan yang ruang lingkupnya cenderung lebih luas, meliputi pengaturan yang terdapat di dalam Undang- undang perlindungan Konsumen dan bagaimana penerapannya di dalam kasus-kasus mengenai putusan pengadilan tentang keterlambatan penerbangan.
Kedua, skripsi Bobby Ferdinal Purwanto, menggagas skripsi dengan judul “Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Terhadap Penumpang Atas
Tertundanya Penerbangan (Delay) Berdasarkan Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut
Udara”. 10 Dalam materi pembahasan skripsi tersebut pada pokoknya menjelaskan mengenai konteks pertanggungjawaban maskapai terhadap
9 Rabin Condro Kristyo, Perlindungan konsumen terhadap Pengguna Jasa Angkutan Udara yang Mengalami Keterlambatan atau Delayed di Bandara Adisutjipto Yogyakarta,( Yogyakarta : Fakultas Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2016). 10 Bobby Ferdinal Purwanto, Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Terhadap Penumpang Atas Tertundanya Penerbangan (Delay) Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara, ( Bali : Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2016).
9
Universitas Sumatera Utara tertundanya penerbangan, namun terbatas kepada Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut
Udara. Sedangkan materi yang digagas oleh penulis mencakup peraturan tentang perlindungan konsumen khususnya yaitu Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Debora, mengenai “Tinjauan
Yuridis Terhadap Pembatalan Penerbangan Secara Sepihak Oleh Penyedia
Jasa Penerbangan Kepada Konsumen Jasa Penerbangan Menurut Undang- undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”.11 Penelitian ini berbeda dengan pembahasan yang terdapat dalam skripsi penulis. Penelitian ini lebih condong kepada kerugian terhadap pembatalan sepihak yang dilakukan oleh pihak maskapai. Sedangkan penulis lebih condong kepada kerugian akibat keterlambatan penerbangan penumpang bukan pembatalan penerbangan.
Keempat, skripsi Rr Hanum Rizky H, yang mengangkat judul mengenai “Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Mengenai Pelaksanaan
Ganti Kerugian Pengembalian Uang tiket (Refund) Penumpang Lion Air
Dikaitkan dengan Peraturan Menteri No 77 Tahun 2011 tentang Tanggung
Jawab Pengangkut Angkutan Udara dan Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”.12 Skripsi tersebut lebih condong kepada
11 Debora, Tinjauan Yuridis Terhadap Pembatalan Penerbangan Secara Sepihak Oleh Penyedia Jasa Penerbangan Kepada Konsumen Jasa Penerbangan Menurut Undang- undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ( Medan: Lembaga Penelitian Universitas HKBP Nomensen, 2014). 12 Rr Hanum Rizky H, Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Mengenai Pelaksanaan Ganti Kerugian Pengembalian Uang tiket (Refund) Penumpang Lion Air Dikaitkan dengan Peraturan Menteri No 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab
10
Universitas Sumatera Utara pelaksanaan ganti kerugian pengembalian uang tiket berdasarkan Peraturan
Menteri No 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan
Udara dan Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Walaupun skripsi penulis masih berkaitan erat terhadap skripsi diatas, namun skripsi penulis terbatas kepada tanggung jawab maskapai terhadap keterlambatan penerbangan bukan pada tahap pelaksanaan ganti ruginya.
Kelima, Jurnal Annisa Khairul, yang mengangkat pembahasan mengenai “Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Lion Air Terhadap
Penumpang di Bandara Internasional Minangkabau”. 13 Menganalisis mengenai tanggung jawab maskapai penerbangan Lion Air terhadap penumpang di Bandara Internasional Minang Kabau. Pembahasan tersebut, berbeda dengan pembahasan yang digagas oleh penulis, dalam jurnal tersebut objeknya hanya maskapai Lion Air dan membahas tentang implementasi perjanjian pengangkutan udara antara maskapai Lion Air dengan penumpang bukan membahas mengenai pertanggungjawaban maskapai penerbangan yang merugikan penumpang akibat keterlambatan penerbangan.
Pengangkut Angkutan Udara dan Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ( Bandung: Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, 2013). 13 Annisa Khairul, Tanggung Jawab Maskapai Lion Air Terhadap Penumpang Di Bandara Internasional Minang Kabau, (Padang : Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta, 2016).
11
Universitas Sumatera Utara F. Tinjauan Kepustakaan
Dalam penulisan skripsi, diperlukan tinjauan kepustakaan sebagai penunjang pemikiran penulis melalui literatur-literatur maupun pendapat- pendapat para ahli yang berkaitan dengan pembahasan skripsi.
Pertanggungjawaban yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah tanggung jawab pengangkut sebagai penyelenggara jasa angkutan udara terhadap penumpangnya. E. Suherman di dalam bukunya “Tanggung Jawab
Pengangkutan Dalam Hukum Udara Indonesia” mengemukakan tanggung jawab pengangkutan adalah suatu perbuatan dibebankan kepada kedua belah pihak yang bersifat mengikat atas dasar perjanjian pengangkutan.14
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang penerbangan
(selanjutnya disebut dengan Undang-undang Penerbangan) menjelaskan15, maskapai penerbangan wajib mengangkut penumpang, apabila telah terjadi kesepakatan perjanjian antara pihak maskapai dengan penumpang, disamping itu pihak maskapai wajib memberikan pelayanan yang baik kepada penumpang sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama.
Perjanjian tersebut dapat dibuktikan dengan kepemilikan tiket penumpang dan/atau dokumen muatan. Hal ini bertujuan agar pihak maskapai tidak
14 E. Suherman (1), Tanggung Jawab Pengangkutan Dalam Hukum Udara Indonesia, (Bandung : N. V. Eresco I, 1962), hlm. 12. 15 Indonesia (Penerbangan), Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, LN. 01 Tahun 2009, Pasal 140.
12
Universitas Sumatera Utara membedakan perlakukan terhadap penumpang sepanjang yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan perjanjian yang telah disepakati.16
Menurut E. Suherman bahwa pokok dalam suatu perlindungan jasa angkutan udara adalah kepentingan penumpang, itu karena penumpanglah yang menjadi alasan pokok “raison d’ etre” seluruh kegiatan angkutan udara.17 Tanpa adanya penumpang tidak ada justifikasi bagi investasi untuk sarana dan prasarana angkutan udara yang begitu besar.18
Yang dimaksud maskapai dalam skripsi ini adalah perusahaan yang bergerak dibidang penerbangan. Menurut R.S Damardjati perusahaan penerbangan adalah :19
Perusahaan penerbangan adalah perusahaan milik swasta atau pemerintah yang khusus menyelenggarakan pelayanan angkutan udara untuk penumpang umum baik yang berjadwal (schedule service/regular flight) maupun yang tidak berjadwal (non schedule service). Sedangkan menurut F.X Widadi A Suwarno perusahaan penerbangan adalah :20
Perusahaan penerbangan atau airlines adalah perusahaan penerbangan yang menerbitkan dokumen penerbangan untuk mengangkut penumpang beserta bagasinya, barang kiriman (kargo), dan benda pos (mail) dengan pesawat udara.
16 H. K. Martono dan Amad Sudiro, Hukum Angkutan Udara Berdasarkan UU RI No. 1 Tahun 2009, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm 67. 17 E. Suherman (2), Aneka Masalah Kedirgantaraan (Himpunan Makalah 1961- 1995), (Bandung : Mandar Maju, 2000), hlm. 112. 18 Ibid. 19 R. S. Damardjati, Istilah-istilah Dunia Pariwisata, (Jakarta: Pradya Paramita, 2001, hlm. 6. 20 Suwarno F.X Widadi A. , Tata Operasi Darat, (Jakarta :Grasindo, 2001), hlm. 7.
13
Universitas Sumatera Utara Yang dimaksud dengan keterlambatan penerbangan dalam skripsi ini adalah keterlambatan penerbangan yang menimbulkan kerugian terhadap penumpang. Maka, menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (selanjutnya disebut dengan
Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan) menjelaskan definisi penumpang yaitu:21
Penumpang adalah orang yang berada di Kendaraan selain Pengemudi dan awak Kendaraan. Sedangkan menurut Farida Hasyim di dalam bukunya yang berjudul
“Hukum Dagang” mengemukakan ciri-ciri penumpang yaitu (1) Orang yang berstatus pihak dalam perjanjian pengangkutan; (2) Membayar biaya angkutan; (3) Pemegang biaya angkutan.22
Penumpang dalam hal ini dapat diartikan sebagai konsumen, karena penumpang tersebut adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan jasa angkutan untuk tujuan memenuhi kebutuhan dirinya sendiri bukan untuk tujuan komersil.23
G. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
21 Indonesia (Lalu Lintas dan Angkutan Jalan), Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, LN. 96, Tahun 2009, Pasal 1 Angka (25). 22 Farida Hasyim, Hukum Dagang, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 6. 23 A. Z. Nasution, Hukum Pelindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Mediam, 2001, hlm. 3.
14
Universitas Sumatera Utara 1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma- norma dalam hukum positif.24 Penelitian hukum normatif dalam skripsi ini didasarkan pada inventarisasi aturan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen terhadap keterlambatan penerbangan yaitu Undang-Undang
Perlindungan Konsumen dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89
Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay
Management) Pada Badan Usaha Angkuta Niaga Berjadwal di Indonesia
(selanjutnya disebut dengan PERMENHUB No. 89/2015). Selain itu, penulis akan melakukan wawancara dengan menyebarkan kuesioner kepada narasumber yang pernah menggunakan jasa penerbangan yang ditentukan secara acak oleh penulis untuk mendapatkan penjelasan mengenai implementasi aturan tersebut.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan atau menjelaskan norma-norma hukum positif mengenai bagaimana pertanggungjawaban maskapai selaku penyedia jasa angkutan udara khususnya terkait keterlambatan penerbangan yang merugikan penumpang. Bagaimana tanggung jawab tersebut diatur di dalam Undang-
24 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2006), hlm. 295.
15
Universitas Sumatera Utara undang Perlindungan Konsumen serta bagaimana pelaksanaan tanggung jawab tersebut.25
3. Sumber Data
Adapun penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari bahan-bahan hukum antara lain sebagai berikut :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. 26 Dalam penelitian ini diantaranya ialah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89
Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay
Management) Pada Badan Usaha Angkuta Niaga Berjadwal di Indonesia serta peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan persoalan dalam penelitian.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya, rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan lain-lain.27 Termasuk pula dalam bahan hukum sekunder adalah wawancara
25 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 50. 26 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 52. 27Ibid.
16
Universitas Sumatera Utara dengan menyebarkan kuesioner. Pada penelitian hukum normatif, jawaban kuesioner tersebut dapat digunakan sebagai salah satu data sekunder yang termasuk sebagai bahan hukum sekunder. Hal tersebut karena jawaban kuesioner dapat digunakan sebagai pendukung untuk memperjelas bahan hukum primer.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan dan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Contohnya seperti Kamus Hukum, Ensiklopedi, Kamus Besar
Bahasa Indonesia dan lain sebagainya.28
4. Analisis Data
Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode penelitian bersifat deskriptif, analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap bahan hukum primer dan sekunder. 29
Deskriptif tersebut, meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian.30
28Ibid. 29 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm. 107. 30Ibid.
17
Universitas Sumatera Utara H. Sistematika Penulisan
Berdasarkan penjelasan di atas, maka untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh tentang penulisan skripsi ini diperlukan sistematika penulisan yang telah disusun penulis adalah sebagai berikut :
Bab I, menggambarkan isi dalam skripsi secara umum dan ringkas atau mewakili keseluruhan Bab secara rangkum mengenai bagaimana latar belakang, permasalahan, tujuan, manfaat, serta meliputi keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II, Bab ini membahas mengenai bagaimana pengaturan perlindungan konsumen diatur di Indonesia, hak dan kewajiban konsumen, hubungan konsumen dengan pelaku usaha, prinsip tanggung jawab pelaku usaha dan penyelesaian sengketa konsumen. Serta bab ini memiliki kaitan yang erat dengan pembahasan dalam penelitian ini.
Bab III, bab ini membahas secara umum membahas mengenai perusahaan penerbangan sebagai penyelenggara jasa angkutan, bagaimana pengaturannya, syarat dan prosedur pendirian maskapai penerbangan serta secara khusus membahas mengenai bagaimana keterlambatan dan bentuk- bentuk perlindungan konsumen pengguna jasa angkutan udara yang dirugikan karena keterlambatn penerbangan.
Bab IV, memfokuskan pembahasan mengenai tindakan rill dari maskapai penerbangan sebagai bentuk tanggung jawab terhadap keterlambatan penerbangan dan penerapan peraturan perundang-undangan
18
Universitas Sumatera Utara diterapkan di dalam kasus sengketa konsumen mengenai keterlambatan penerbangan.
BabV, bab ini merupakan finishing dari penelitian ini, pada bab ini akan dikemukakan kesimpulan dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya, serta saran-saran dari penulis mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelititan ini yang mungkin berguna dan bermafaat bagi wawasan dan ilmu pengetahuan.
19
Universitas Sumatera Utara BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Perlindungan Konsumen
Sebelum masuk kepada pembahasan mengenai perlindungan konsumen, ada baiknya apabila mengetahui pengertian dari konsumen itu terlebih dahulu.
Berdasarkan Undang-undang Perlindungan Konsumen, yang dimaksud dengan konsumen adalah:31
“konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”
Selain Undang-undang Perlindungan Konsumen, Undang-undang lainnya yang mendefinisikan pengertian konsumen ialah Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Larangan
Praktek Monopoli (selanjutnya disebut sebagai Undang-undang Persaingan
Usaha Tidak Sehat) yaitu:32
“Konsumen adalah setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain. ”
31 Indonesia (Perlindungan Konsumen), Op. cit, Pasal 1 Angka (1). 32 Indonesia (Persaingan Usaha Tidak Sehat), Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, LN. 33, Tahun 1999, Pasal 1 Angka (15).
20
Universitas Sumatera Utara Sedangkan Djokosantoso Moeljono dalam bukunya “Budaya
Korporat dan Keunggulan Korporasi” mendefinisikan konsumen sebagai berikut:33
“konsumen adalah seseorang yang secara terus menerus dan berulang kali datang ke suatu tempat yang sama, untuk memuaskan keinginnannya dengan memiliki suatu produk , atau mendapatkan suatu jasa, dan membayar produk atau jasa tersebut”
Dengan demikian, maka konsumen merupakan setiap subjek hukum pengguna atau pemakai barang dan/atau jasa dimana barang tersebut dikonsumsi untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain dan untuk tidak diperdagangkan kembali dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dan/atau memuaskan keiginannya.
Mengenai rumusan definisi perlindungan kosumen di dalam
Undang-undang Perlindungan Konsumen dinilai cukup memadai dalam memberikan perlindungan kepada konsumen.34 Kalimat yang menyatakan
“segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum” diharapkan dapat menjadi pelindung bagi konsumen terhadap tindakan kesewang-wenangan pelaku usaha yang merugikan konsumen.35
Perlindungan konsumen di Indonesia mulai berkembang pertama kali ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen
(selanjutnya disebut dengan YLKI) pada bulan Mei 1973. Dilihat dari sisi
33 Djokosantoso Moeljono, Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi,(Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2006), hlm. 47. 34 Indonesia (Perlindungan Konsumen), Op. cit, Pasal 1 angka (1) mendefinisikan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. 35 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 1.
21
Universitas Sumatera Utara historis, YLKI pada awalnya masih berkaitan erat dengan pengawasan terhadap kegiatan promosi yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk memperlancar bisnisnya. Banyaknya desakan-desakan dari masyarakat, bahwa dalam hal promosi tersebut perlu diimbangi dengan suatu pengawasan, agar tidak ada lagi hak-hak konsumen yang dikesampingkan oleh pelaku usaha, maka perlulah suatu pengaturan mengenai perlindungan konsumen untuk melindungi masyarakat dari barang dan/atau jasa yang rendah mutunya, dan dari sinilah mulai muncul gerakan-gerakan untuk merealisasikan cita-cita tersebut.36
Cita-cita dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan perlindungan konsumen tersebut, baru terealisasi pada era reformasi yaitu pada masa pemerintahan B. J Habiebi. Rancangan Undang-undang Perlindungan
Konsumen secara resmi disahkan sebagai Undang-undang Perlindungan
Konsumen tepat pada tanggal 20 April 1999. Dengan diaturnya perlindungan terhadap konsumen diharapkan jaminan atas perlindungan hak-hak konsumen di Indonesia dapat terpenuhi dengan baik. Masalah perlindungan konsumen kemudian ditempatkan kedalam koridor suatu sistem hukum perlindungan konsumen, sehingga menjadi bagian dari sistem hukum nasional. 37
36 Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 15. 37 Happy Susanto, Op. cit, hlm. 11.
22
Universitas Sumatera Utara B. Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen
Dalam mewujudkan upaya terhadap perlindungan konsumen di
Indonesia, Undang-undang Perlindungan Konsumen memiliki asas dan tujuan yang diyakini dapat memberikan arahan terhadap penerapannya di tingkat praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan kuat dalam penegakannya.38
Adapun asas dan tujuan yang terkandung dalam Undang-undang
Perlindungan Konsumen antara lain sebagai berikut :
1. Asas Perlindungan Konsumen
Undang-undang perlindungan konsumen menganut lima asas antara lain sebagai berikut:39
Pertama adalah asas manfaat, artinya ialah bahwa dalam mengamanatkan segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen haruslah memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha.
Kedua adalah asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
38Ibid, hlm. 17. 39 Indonesia, (Perlindungan Konsumen), op. cit, Pasal 2.
23
Universitas Sumatera Utara Ketiga adalah asas keseimbangan maksudnya ialah untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materill ataupun spiritual.
Keempat adalah asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
Kelima adalah asas kepastian Hukum, maksud dari asas ini ialah agar pelaku usaha baik konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
2. Tujuan Perlindungan Konsumen
Undang-undang Perlindungan Konsumen memiliki sasaran-sasaran atau tujuan-tujuan sebagai berikut:40
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau
jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
40Ibid, Pasal 3.
24
Universitas Sumatera Utara d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan infomasi serta akses
untuk mendapatkan infomasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Apabila keseluruhan tujuan tersebut dikelompokan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka terlihat tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terdapat dalam rumusan huruf (c) dan huruf (e) kemudian tujuan dalam memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan (a) dan (b) serta huruf (c), (d) dan (f). Sedangkan tujuan khusus yang terkhir yaitu untuk mendapatkan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf (d).41
C. Hak dan Kewajiban Konsumen
Konsumen memiliki hak dan kewajiban. Hak ini sangat penting untuk dipahami oleh konsumen. Apabila tidak, konsumen bisa dirugikan dan kehilangan hak-haknya. Namun disamping itu yang tidak lepas harus diberi perhatian ialah kewajiban konsumen itu sendiri. Adapun hak dan kewajiban konsumen sebagai berikut:
41Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op. cit, hlm. 34.
25
Universitas Sumatera Utara 1. Hak Konsumen
Hak-hak konsumen dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen antara lain ialah:42
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatka
barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pedidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan
lainnya.
42 Indonesia (Perlindungan Konsumen), op. cit, Pasal 4.
26
Universitas Sumatera Utara Berdasarkan keseluruhan hak konsumen tersebut, terlihat bahwa
Undang-undang Perlindungan Konsumen masih menitikberatkan masalah mengenai kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen yang merupakan hal pokok paling penting untuk dilindungi. Apabila dalam penggunaan suatu produk dapat membahayakan keselamatan konsumen maka jelas produk tersebut tidak layak untuk dikonsumsi dan/atau diedarkan. Untuk menghindari hal tersebut, konsumen diberikan hak untuk memilih segala produk yang dikehendakinya berdasarkan keterbukaan informasi yang akurat dan apabila konsumen mengalami kerugian, konsumen berhak untuk didengarkan keluhannya, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang tidak diskriminasi sampai pada mendapatkan ganti kerugian.43
Apabila hak-hak tersebut disusun secara sistematis maka dapat dirumuskan sepuluh hak yang utama antara lain sebagai berikut:44
Pertama adalah hak untuk mendapatkan keamanan. Hak untuk mendapatkan keamanan atas segala produk yang ditawarkan oleh pelaku usaha merupakan salah satu hak dasar yang melekat pada diri konsumen, karena segala produk yang dipasarkan kepada konsumen memiliki risiko yang tinggi terhadap keamanan konsumen. Maka oleh karena itu pemerintah selayaknya wajib melindungi konsumen dengan memberikan pengawasan terhadap produk-produk tersebut. Misalnya pada zat yang tergolong ke dalam psikotropika dan narkotika. Bahwa dalam zat kategori golongan I
43 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op. cit, hlm. 29. 44 Intisari dari, Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2006), hlm. 78.
27
Universitas Sumatera Utara (satu) psikotropika dan narkotika berdasarkan Undang-undang Nomor 5
Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-undang Nomor 22 Tahun
1997 tentang Narkoba merupakan zat yang hanya dapat digunakan untuk kepentingan medis saja. Hal sedemikian ini lah yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga keamanan atas dampak negatif dari produk tersebut.
Kedua adalah hak untuk mendapatkan informasi yang benar. Setiap produk yang dipasarkan kepada konsumen wajib disertai dengan informasi yang akurat. Informasi tersebut sangat penting, sehingga konsumen tidak mempunyai asumsi yang salah terhadap produk tersebut. Informasi yang diberikan oleh pelaku usaha dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti secara lisan kepada konsumen (secara langsung), maupun melalui iklan dan mencantumkan informasi tersebut dalam kemasan produknya
(secara tidak langsung).
Ketiga adalah hak untuk didengar. Hak untuk didengar merupakan hak yang berkaitan erat dengan hak untuk mendapatkan informasi yang akurat. Ini disebabkan bahwa terkadang informasi yang diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen masih sering tidak memuaskan. Untuk itu, konsumen berhak untuk mengajukan permintaan informasi lebih lanjut.
Keempat adalah hak untuk memilih. Sebagai pengguna suatu produk, konsumen diberikan hak untuk menentukan pilihannya. Konsumen tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar yang menyebabkan konsumen tidak bebas lagi untuk memilih produk yang diinginkannya. Hak untuk
28
Universitas Sumatera Utara memilih ini memiliki kaitan yang erat dengan situasi pasar. Apabila pelaku usaha diberikan wewenang atau hak memonopoli untuk memproduksi dan memasarkan produk, maka besar kemungkinan konsumen kehilangan haknya untuk membandingkan produk yang diinginkannya.
Kelima adalah hak untuk mendapatkan produk barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar yang diberikan. Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi dari permainan harga yang tidak wajar. Dengan kata lain, konsumen berhak mendapatkan produk sesuai dengan kualitas dan kuantitasnya berdasarkan nilai tukar yang telah diperjanjikan. Namun, karena ketidakbebasan pasar, pelaku usaha dapat menguasai pasar dengan menaikan harga, sehingga konsumen menjadi korban ketidakadilan pilihan.
Konsumen kini telah dihadapkan pada kondisi yang tidak menguntungkan yaitu take it or leave it. Jika setuju silahkan beli, jika tidak silahkan mencari tempat yang lain. Padahal di tempat lain pun pasar sudah dikuasainya.
Dalam situasi demikian biasanya konsumen akan mencari produk alternatif yang kadang kala kualitasnya jauh lebih buruk.
Keenam adalah hak untuk mendapatkan ganti kerugian. Jika konsumen merasakan kuantitas dan kualitas produk yang dikonsuminya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diperjanjikan, konsumen berhak menerima ganti kerugian. Jenis dan jumlah ganti kerugian itu tentu saja harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masing- masing pihak. Agar terhindar dari hal tersebut, sering kali pelaku usaha mencantumkan klausula “barang yang dibeli tidak bisa dikembalikan kembali” hal tersebut sangat lumrah dijumpai pada toko-toko. Walaupun
29
Universitas Sumatera Utara pencantuman secara sepihak demikian, tetap tidak dapat menghilangkan hak konsumen untuk mendapat ganti kerugian.
Ketujuh adalah hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum. Hak ini memiliki hubungan dengan hak untuk mendapat ganti kerugian, namun tidak identik sedemikian rupa. Karena untuk mendapatkan ganti kerugian konsumen tidak selalu harus melalui upaya hukum terlebih dahulu.
Sebaliknya, dalam setiap upaya hukum untuk memperoleh ganti kerugian, hakikatnya wajib memenuhi beberapa karakteristik yang harus dipenuhi.
Seperti yang terkandung dalam Pasal 46 Ayat (1) Undang-undang
Perlindungan Konsumen yang memberikan karateristik sebagai legal standing yang dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian.
Kedelapan adalah hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik. Hak konsumen untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan salah satu hak dasar konsumen yang diatur diberbagai organisasi konsumen international. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat mempunyai pengertian yang luas. Pengertian tersebut meliputi bahwa setiap makhluk hidup merupakan konsumen dari lingkungan hidupnya.
Kesembilan adalah hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Persaingan curang dapat terjadi apabila seorang pengusaha berusaha untuk menguasai suatu komunitas konsumen untuk memajukan usahanya atau memperluas jangkauan penjualan atau pemasarannya, dengan tidak beritikad baik dalam pergaulan perkonomian.
30
Universitas Sumatera Utara Persaingan usaha antara pelaku usaha berdampak langsung terhadap konsumen. Jika persaingan tersebut sehat, maka konsumen akan diuntungkan. Sebaliknya, apabila persaingan tersebut tidak sehat maka konsumen dapat dirugikan. Walaupun kerugian tersebut tidak dirasakan konsumen dalam jangka pendek, tetapi cepat atau lambat pasti terjadi. Hak konsumen agar terhindar dari efek negatif persaingan usaha tidak sehat dapat dikatakan sebagai upaya utama yang harus dilakukan, terkhusus oleh pemerintah, guna mencegah dampak yang dapat merugikan konsumen.
Itulah alasan mengapa gerakan konsumen selayaknya menaruh perhatian terhadap keberadaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak ini, khususnya yaitu Undang-undang Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Kesepuluh adalah hak untuk mendapatkan pendidikan. Dalam berbagai hal, pelaku usaha dituntut turut memperhatikan hak konsumen untuk mendapatkan pendidikan. Walaupun pendidikan tersebut tidak diartikan sebagai proses formal yang dilembagakan, namun seiring dengan kemajuan teknologi yang digunakan dalam menghasilkan suatu produk, menuntut pula makin banyak informasi yang harus disampaikan kepada konsumen terkait hal tersebut. Padahal bentuk informasi yang komprehensif yang tidak menonjolkan unsur komersialiasi sebenarnya sudah merupakan bagian dari pendidikan konsumen.
2. Kewajiban Konsumen
Kewajiban konsumen pun tidak lepas diatur di dalam Undang- undang Perlindungan Konsumen, Pengaturan mengenai kewajiban
31
Universitas Sumatera Utara konsumen dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat memperoleh hasil yang optimal atas perlindungan dan/atau kepastian hukum bagi dirinya sendiri. Adapun kewajiban konsumen adalah sebagai berikut:45
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan;
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa;
c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
D. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha mempunyai hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban pelaku usaha ini sering kali dikaitkan dengan hak konsumen. Maka oleh karena itu, hak dan kewajiban pelaku usaha tak kalah penting untuk dipahami oleh pelaku usaha sendiri. Adapun hak dan kewajiban pelaku usaha sebagai berikut:
1. Hak Pelaku Usaha
Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai kesimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen,
45 Indonesia (Perlindungan Konsumen), op. cit, Pasal 5.
32
Universitas Sumatera Utara pelaku usaha diberikan hak yang diatur dalam Undang-undang Perlindungan
Konsumen antara lain sebagai berikut: 46
Hak Pelaku usaha adalah :47
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan;
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad tidak baik;
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
Berdasarkan penjabaran diatas, hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikan kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama.48 Dalam praktik yang biasa terjadi, suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah dari pada barang yang
46 Abdul Halim Barkatullah, Hak-hak Konsumen, (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 39. 47 Indonesia (Perlindungan Konsumen), op. cit, Pasal 6. 48 Abdul Halim Barkatullah, op. cit, hlm. 40.
33
Universitas Sumatera Utara serupa, maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah. 49 Dengan demikian yang dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar.50
2. Kewajiban pelaku usaha
Untuk menciptakan budaya bertanggung jawab terhadap pelaku usaha, Undang-undang Perlindungan Konsumen mengatur kewajiban pelaku usaha yang merupakan manifestasi dari hak-hak konsumen. Adapun kewajiban pelaku usaha yang diatur di dalam Undang-undang Perlindungan
Konsumen adalah sebagai berikut:51
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan;
49 Ibid. 50Ibid. 51 Indonesia (Perlindungan Konsumen), op. cit, Pasal 7.
34
Universitas Sumatera Utara f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai
dengan perjanjian.
Dari penjabaran mengenai kewajiban pelaku usaha di atas, tampak bahwa itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.52
Dari adanya itikad baik dari pelaku usaha, maka pelaku usaha akan melakukan kewajiban-kewajiban yang lainnya, seperti memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur, memberlakukan atau melayani konsumen dengan benar, menjamin mutu barang dan/atau jasa yang di produksi dan sebagainya.53
E. Hubungan Pelaku Usaha dengan Konsumen
Sebelum membahas mengenai hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen, ada baiknya apabila mengetahui pengertian pelaku usaha
52Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op. cit, hlm. 54. 53 Abdul Halim Barkatullah, op. cit, hlm. 42.
35
Universitas Sumatera Utara terlebih dahulu. Undang-undang Perlindungan Konsumen menjelaskan definisi mengenai pelaku usaha yaitu :54
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Dapat dilihat bahwa definisi pelaku usaha tersebut sangatlah luas.
Pengertian tersebut mencakup mengenai badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia. Artinya bahwa setiap kegiatan usaha dibidang ekonomi yang bertujuan untuk mencari keuntungan seperti minimarket, grosir, perusahaan dan lain sebagainya merupakan pelaku usaha.
Pelaku usaha dan konsumen memiliki hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Karena apabila berbicara mengenai konsumen, maka tidak akan lepas dari pelaku usaha. Konsumen dan pelaku usaha saling berhubungan.
Apabila tidak ada konsumen, pelaku usaha tidak akan mendapatkan keuntungan dari usahanya karena konsumen merupakan pengguna barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh pelaku usaha. Begitu juga sebaliknya, konsumen memerlukan pelaku usaha untuk memenuhi segala kebutuhannya.
Saling ketergantungan karena kebutuhan tersebut dapat menciptakan hubungan yang terus-menerus dan berkesinambungan antara konsumen dan pelaku usaha sesuai kepada tingkat ketergantungannya akan kebutuhan kedua belah pihak.
54 Indonesia (Perlindungan Konsumen), op. cit, Pasal 1 Angka (3).
36
Universitas Sumatera Utara Selain hal di atas, hubungan pelaku usaha dengan konsumen dapat didasarkan atas dua hal, yang pertama adalah hubungan pelaku usaha dengan konsumen yang didasarkan kepada suatu kontrak atau perjanjian.
Tanpa adanya perjanjian, maka para pihak tidak akan terikat dalam hubungan hukum. Hal ini berdasarkan kepada syarat sah suatu perjanjian yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut dengan KUHPerdata). Pasal 1320 KUHPerdata mengatur mengenai syarat sah nya suatu perjanjian yang salah satunya ialah adanya kesepakatan dari para pihak. Dalam hal ini kesepakatan yang dibuat oleh para pihak haruslah berdasarkan kepada kesukarelaan. Apabila salah satu pihak dalam keadaan tertekan untuk melakukan suatu perjanjian, maka perjanjian tersebut masih dapat dikatakan sebagai perjanjian yang tidak sempurna sehingga masih ada kemungkinan untuk dibatalkan.55
Selain didasarkan kepada suatu kontrak, hubungan pelaku usaha dengan konsumen yang kedua dapat timbul karena Undang-undang. Dalam hal ini yang perlu ditegaskan ialah hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen yang tidak secara langsung terkait pada perjanjian. Bahwa sumber sebuah perikatan tidak hanya terlahir dari perjanjian melainkan dapat terlahir dari suatu undang-undang. Hubungan ini didasarkan pula terhadap adanya perbuatan manusia. Di dalam KUHPerdata mengatur mengenai perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang isinya adalah sebagai berikut :
55 Detania Sukarja, Materi seminar,”Keamanan Berinvestasi dan Perlindungan Konsumen” Disampaikan pada “Economic Law Seminar 2017”, yang dilaksanakan Ikatan Mahasiswa Hukum Ekonomi (IMAHMI) Fakultas hukum USU, Ruang IMT-GT Biro Rektor USU Medan, tanggal 13 Oktober 2017.
37
Universitas Sumatera Utara “Tiap perbuatan melanggar hukum yang menyebabkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian itu”
Berdasarkan ketentuan diatas, maka apabila konsumen merasa dirugikan oleh pelaku usaha, konsumen tidak perlu terikat dalam perjanjian untuk melakukan gugatan ganti rugi. Konsumen dapat melakukan gugatan ganti rugi atas dasar bahwa pelaku usaha telah melakukan perbuatan melawan hukum. Dasar tanggung gugat pelaku usaha yang dimaksud adalah tanggung gugat yang didasarkan adanya kesalahan pelaku usaha.56
F. Prinsip Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Setiap tuntutan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar dalam hukum, yaitu hal yang menyebabkan seseorang wajib bertanggung jawab.
Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum, yaitu liability dan responsibility.57
Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang.58
Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan dan
56Ibid. 57 Ridwan H. R, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 335. 58Ibid.
38
Universitas Sumatera Utara kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan.59
Dalam pengertian dan penggunaan praktis istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subjek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik.60
Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab hukum dapat dibedakan menjadi lima bagian antara lain adalah sebagai berikut :
1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan
Prinsip ini menyatakan, bahwa seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban apabila orang itu telah memenuhi unsur-unsur kesalahan. Prinsip ini dipegang secara teguh di dalam KUHPerdata yaitu dalam Pasal 1365 yang mengatur mengenai perbuatan melawan hukum yang mengharuskan memenuhi beberapa unsur-unsur pokok.61
Unsur yang pertama adalah adanya perbuatan melanggar hukum.
Perbuatan melanggar hukum dapat berupa melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, berlawanan dengan kesusilaan dan berlawanan dengan sikap hati-hati yang seharusnya
59Ibid. 60Ibid. 61 Shidarta, op. cit, hlm. 73.
39
Universitas Sumatera Utara diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain.62
Unsur yang kedua adalah adanya unsur kesalahan. Adapun yang dimaksud dengan kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum.
Pengertian hukum, tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. 63 Menurut Purwahid
Patrick, kesalahan mempunyai tiga unsur antara lain yaitu (1) Perbuatan yang dilakukan dapat disesalkan; (2) Perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya; (3) Dapat dipertanggungjawabkan.64
Unsur yang ketiga adalah adanya kerugian yang diderita. Pengertian kerugian menurut Nieuwenhuis adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma pihak lain.65
Unsur yang keempat adalah adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Dalam hal ini, suatu perbuatan tersebut harus dibuktikan menimbulkan kerugian bagi orang lain. Secara umum, adalah adil apabila orang yang berbuat salah mengganti kerugian yang diderita oleh pihak yang merasa dirugikan. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain.66
62 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op. cit, hlm. 130. 63 Shidarta,op. cit, hlm. 73. 64 Purwahid Patrick, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian Undang-undang), (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 10. 65 Nieuwenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, terjemahan Djasadin Saragih, (Surabaya: Universitas Airlangga, 1985), hlm. 57. 66Shidarta, op. cit, hlm. 73.
40
Universitas Sumatera Utara
2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan kalau ia tidak bersalah. Beban pembuktian ada pada tergugat ini dikenal dengan istilah beban pembuktian terbalik.67
Pembalikan beban pembuktian merupakan salah satu bentuk pemberdayaan konsumen, terutama jika telah terjadi kerugian akibat penggunaan produk, karena sekalipun tanggung gugat yang diterapkan adalah tanggung gugat berdasarkan kesalahan, namun pihak penggugat (konsumen) tidak lagi dibebani untuk membuktikan kesalahan produsen, melainkan produsen yang harus membuktikan ketidakbersalahannya.68 Hal ini berarti bahwa apabila produsen tidak mampu membuktikan ketidakbersalahannya, maka dengan sendirinya dianggap bersalah, sehingga tanggung gugat untuk membayar ganti kerugian ditimbulkan oleh produknya. 69 Pengaturan tentang pembalikan beban pembuktian dalam Undang-undang Perlindungan
Konsumen merupakan suatu langkah maju dibandingkan dengan ketentuan beban pembuktian sebelumnya, yang membebankan kepada konsumen untuk membuktikan kesalahan produsen.70
67 E. Suherman (3), Masalah Tanggung Jawab Pada charter Pesawat Udara dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan (Kumpulan Karangan), (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 21. 68 Abdul Hakim Siagian, Komentar Undang-undang Perlindungan Konsumen, (Medan: UMSU Pers, 2014), hlm. 103. 69Ibid. 70 Ibid.
41
Universitas Sumatera Utara
3. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliability principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara umum dibenarkan.71 Contohnya dapat kita lihat dalam hukum pengangkutan, kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin atau tangan yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang.72 Dalam hal ini pelaku usaha tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.
Sekalipun demikian, dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun
1995 tentang Angkutan Udara73, ada penegasan. “prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab” ini tidak lagi diterapkan secara mutlak, dan mengarah kepada prinsip tanggung jawab dengan pembatasan uang ganti rugi (setinggi-tingginya satu juta rupiah). 74 Artinya, bagasi kabin/ bagasi tangan tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban sepanjang bukti kesalahan pihak pengangkut (pelaku usaha) dapat ditunjukan pihak yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu ada pada sipenumpang
(konsumen).75
71Shidarta, op. cit, hlm. 77. 72 Ibid. 73 Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara, LN. 68, Tahun 1995, Pasal 4 Ayat (2). 74 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 96. 75 Ibid.
42
Universitas Sumatera Utara
4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Menurut E. Suherman, strict liability disamakan dengan absolute liability, dalam prinsip ini tidak ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggung jawab, kecuali apabila kerugian yang timbul karena kesalahan pihak yang dirugikan sendiri. 76 Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha, khususnya produsen barang atau jasa, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen.77 Asas tanggung jawab itu dikenal dengan nama product liability. Menurut asas ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya. 78 Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal yaitu (1) Melanggar Jaminan (breach of warranty); (2)
Ada unsur kelalaian (negligence); (3) Menerapkan tanggung jawab mutlak.79
Variasi yang sedikit berbeda dalam penerapan tanggung jawab mutlak terletak pada risk liability. Dalam risk liability, kewajiban mengganti rugi penggugat (konsumen) tetap diberikan beban pembuktian, walaupun tidak sebesar si tergugat. 80 Dalam hal ini, ia hanya perlu membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan pelaku usaha
(produsen) dan kerugian yang dideritanya, selebihnya dapat digunakan prinsip stricy liability.81
76 E. Suherman (3), op. cit, hlm. 23. 77 Shidarta, op. cit, hlm. 78. 78 Ibid, hlm. 79. 79 Celina Tri Kristiyanti, op. cit, hlm. 97. 80 Shidarta, op. cit, hlm. 79. 81Ibid.
43
Universitas Sumatera Utara
5. Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan
Prinsip ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. 82
Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha dan dalam Undang-undang Perlindungan
Konsumen seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya.83
G. Penyelesaian Sengketa Konsumen
Sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen. Lingkupnya mencakup semua segi hukum, baik keperdataan, pidana maupun hukum tata negara.84 Menurut Undang-undang
Perlindungan Konsumen, setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum. 85 Ini berarti bahwa penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(selanjutnya disebut dengan BPSK) bukan lah suatu keharusan untuk ditempuh konsumen sebelum pada akhirnya sengketa tersebut diselesaikan
82 Ibid. 83 Celina Tri Siwi Kristiyanti, op. cit, hlm. 98. 84 Shidarta, op. cit, hlm. 165. 85 Abdul Halim Barkattulah, op. cit, hlm. 85.
44
Universitas Sumatera Utara melalui lembaga peradilan.86 Gugatan masalah pelanggaran hak konsumen perlu dilakukan karena posisi konsumen dan pelaku usaha sama-sama berimbang dimata hukum.87
Di dalam Undang-undang Perlindugan Konsumen, ada empat kelompok yang dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku usaha sebagai berikut :88
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang
bersangkutan;
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang
sama;
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan,
yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas
bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk
kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan
kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau
jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan
kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
Sedangkan di dalam ayat (2) dapat diketahui bahwa hanya konsumen yang dirugikan atau ahli warisnya yang dapat mengajukan gugatan melalui peradilan umum maupun di luar peradilan umum, dan bagi kelompok
86 Gunawan Widjjaja dan Ahmad Yani, op. cit. hlm. 73. 87 Happy Susanto, op. cit, hlm. 75. 88 Indonesia (Perlindungan Konsumen), op. cit, Pasal 46 Ayat (1).
45
Universitas Sumatera Utara lainnya yang di sebutkan di dalam huruf (b), huruf (c) dan huruf (d) hanya dapat mengajukan gugatan melalui peradilan umum.89
1. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Peradilan Umum
Undang-undang peradilan umum, menentukan ada tiga jenis pengadilan umum, yaitu :90
a. Pengadilan Negeri, untuk memeriksa dan memutus perkara
perdata dan pidana pada tingkat pertama.
b. Pengadilan tinggi, untuk memeriksa dan memutus perkara
perdata dan pidana pada tingkat kedua dan tertinggi.
c. Mahkamah Agung, untuk pemeriksaan tingkat kasasi.
Sengketa konsumen disini dibatasi pada sengketa perdata.
Masuknya sengketa/perkara ke depan pengadilan bukanlah karena kegiatan sang hakim, melainkan karena inisiatif dari pihak yang bersengketa, dalam hal ini penggugat baik itu produsen ataupun konsumen. 91 Pengajuan penyelesaian sengketa konsumen secara gugatan perdata melalui peradilan umum (pengadilan negeri) oleh konsumen yang dirugikan memperhatikan hukum acara yang umum berlaku selama ini, seperti Het Herziene
Indonesisch Reglement (selanjutnya disebut dengan HIR) atau
Rechtsreglement Buitengewesten (selanjutnya disebut dengan Rbg) dan/atau ketentuan-ketentuan pengajuan gugatan secara class action serta legal
89Ibid, Pasal 1 Ayat (2). 90 Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 26. 91 Celina Tri Siwi Kristiyanti, op. cit, hlm. 175.
46
Universitas Sumatera Utara standing. 92 Terhadap penyelesaian sengketa antara konsumen dan pelaku usaha melalui pengadilan negeri hanya dimungkinkan apabila para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengeketa di luar pengadilan dan/atau upaya penyelesaian sengketa diluar pengadilan tersebut belum dinyatakan berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.93
2. Penyelesaian Sengketa Konsumen di Luar Pengadilan
Penyelesaian sengeketa di luar pengadilan biasa disebut dengan alternatif penyelesaian sengketa (selanjutanya disebut APS) merupakan penyelesaian sengketa yang bertujuan untuk menyelesaikan suatu perkara ganti rugi diluar pengadilan berdasarkan atas kesepekatan para pihak yang berperkara. Jadi APS hanya dapat ditempuh apabila kedua belah pihak menghendakinya. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut dengan Undang- undang Arbitrase) memberikan pembedaan terhadap abritrase dan alternatif penyelesaian sengketa.
Menurut Undang-undang Arbitrase, alternatif penyelesaian sengketa ialah :94
Lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang telah disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian para ahli Sedangkan arbitrase menurut Undang-undang Arbitrase adalah :95
92 Azwir Agus, Arbitrase Konsumen Gambaran Dalam Perubahan Hukum Perlindungan Konsumen, (Medan: USU Press, 2013), hlm. 36. 93 Ibid. 94 Indonesia (Arbitrase), Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, LN. 138 Tahun 1999, Pasal 1 Angka (10).
47
Universitas Sumatera Utara Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Dilihat dari pengertiannya, arbitrase tidak masuk kepada kategori
APS dan terdapat pengertiannya sendiri di dalam Undang-undang Arbitrase tersebut. Hal ini dapat dilihat bahwa Undang-undang Arbitrase memberikan porsi yang lebih kepada penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Berbeda dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen, walaupun tidak menjelaskan secara rinci mengenai penyelesaian sengketa di luar pengadilan, namun berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 (selanjutnya disebut dengan
KMPP No. 350/2001), APS tersebut yang pada umumnya diselengarakan oleh BPSK tidak membedakan porsi pengaturan mengenai konsiliasi, mediasi dan arbitrase.
Prosedur untuk menyelesaikan sengeketa di BPSK sangat mudah.
Konsumen yang bersengketa dengan pelaku usaha bisa datang langsung ke
BPSK provinsi, yaitu dengan membawa surat permohonan penyelesaian sengketa, mengisi formulir pengaduan, dan menyerahkan berkas (dokumen pendukung). 96 Kemudian, BPSK akan mengundang pihak-pihak yang sedang bersengketa untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan dan keterangan yang diadukan oleh pihak-pihak yang bersengketa. Dalam
95Ibid, Pasal 1 Angka (1). 96Happy Susanto, op. cit, hlm. 78.
48
Universitas Sumatera Utara pertemuan ini, akan ditentukan bagaimana langkah selanjutnya, yaitu dengan jalan damai atau jalan lain.97
Jika jalur damai pun tidak dapat ditempuh, maka berdasarkan KMPP
No. 350/2001 dapat ditempuh penyelesaian sengketa tersebut sebagai berikut:
a. Konsiliasi
KMPP No. 350/2001 memberikan definisi mengenai konsiliasi yaitu:98
Proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantara BPSK untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak Berdasarkan pengertian di atas, bahwa penyelesaian sengketa melalui konsiliasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa melalui perantara BPSK sebagai penyedia forum guna menjawab segala pertanyaan konsumen dan pelaku usaha perihal peraturan perundang- undangan dibidang konsumen.99 Maka dalam hal ini, para pihaklah yang dituntut harus berperan aktif dalam penyelesaian sengketa, sedangkan konsiliator berperan pasif dimana konsiliator hanya menunggu hasil musyawarah antara para pihak untuk mengeluarkan putusannya.100
97 Ibid. 98 Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan tentang Pelaksanaan Tugas Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa KonsumenNomor 350/MPP/12/2001, Pasal 1 Angka (9). 99 Ibid, Pasal 28. 100 Ibid, Pasal 29.
49
Universitas Sumatera Utara b. Mediasi
KMPP No. 350/2001 memberikan definisi mengenai mediasi yaitu:101
Proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK sebagai penasehat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Penyelesaian sengketa mediasi ini tidak jauh berbeda dengan penyelesaian sengketa melalui konsiliasi yaitu penyeleseaian sengketa tersebut sama-sama diserahkan kepada para pihak yang bersengketa melalui perantara BPSK. Tapi bedanya ialah, mediator dalam penyelesaian sengketa ini berperan secara aktif dalam hal memberikan nasehat, petunjuk, saran dan upaya-upaya lain dalam menyelesaikan sengketa. 102 Walaupun mediator bertindak secara aktif namun penyelesaian tersebut masih harus tergantung bagaimana hasil musyawarah yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa.
c. Arbitrase
KMPP No. 350/2001 memberikan definisi mengenai Arbitrase yaitu:103
proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK. Dalam penyelesaian sengketa konsumen melalui cara ini, para pihak memilih arbitor dari anggota BPSK yang berasal dari unsur konsumen dan
101 Ibid, Pasal 1 Angka (10). 102Ibid, Pasal 31 Huruf (b). 103Ibid, Pasal 1 Angka (11).
50
Universitas Sumatera Utara pelaku usaha sebagai Anggota Majelis ditambah dengan arbitor ketiga dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pemerintah sebagai Ketua Majelis.104
Cara penyelesaian sengketa konsumen melalui arbitrase berbeda dengan cara penyelesaian melalui konsiliasi dan mediasi. Bahwa dalam penyelesaian sengketa konsumen melalui konsiliasi dan mediasi putusan sengketa didasarkan kepada kesepakatan para pihak. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui arbitrase, arbitor berperan aktif mendamaikan pihak yang bersengketa apabila tidak tercapai kata sepakat diantara mereka.
Dimana keputusan tersebut merupakan wewenang penuh dari badan yang dibentuk BPSK.
Dalam agenda persidangan, para pihak diberikan kesempatan untuk menyampaikan pokok yang disengketakan melalui surat gugatan konsumen dan surat jawaban pelaku usaha. Namun yang perlu diperhatikan ialah bahwa konsumen masih dapat mencabut gugatannya sebelum pelaku usaha memberikan jawabannya dengan membuat surat pernyataan. Hal ini menjadi bukti bahwa penyelesaian sengketa konsumen melalui arbitrase masih memberikan kesempatan kepada konsumen untuk berdamai dengan pelaku usaha sebelum masuk kepada pokok permasalahan.105
Berdasarkan uraian diatas, Perlindungan konsumen di Indonesia diatur melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, dimana dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen tersebut mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku
104Ibid, Pasal 32. 105Ibid. Pasal 35.
51
Universitas Sumatera Utara usaha, dan metode penyelesaian sengketa yang bisa dijadikan pedoman oleh konsumen maupun pelaku usaha untuk menjalankan kegiatannya.
Walaupun Undang-undang Perlindungan Konsumen masih sangat berkenaan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen, namun
Undang-undang Perlindungan Konsumen turut serta memerhatikan kepentingan pelaku usaha pula, sehingga hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen dapat terjalin dengan baik.
52
Universitas Sumatera Utara BAB III
PERLINDUNGAN KONSUMEN PENGGUNA JASA ANGKUTAN UDARA
A. Penerbangan
Di dalam Undang-undang Penerbangan yang dimaksud dengan penerbangan ialah:106
“suatu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, Bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya” Dalam perkembangannya, penerbangan pertama kali dimulai dengan pembuatan balon udara yang digagas oleh Yoseph dan Jacques Montgolfier pada tahun 1783 yang mengudara dengan ketinggian dua ribu meter dan terbang selama 10 menit. Pada tanggal 19 September 1783 balon udara tersebut pertama kali mengangkut penumpang dalam sejarah penerbangan.107
Gagasan-gagasan tersebut pun mulai dilanjutkan oleh dua kakak beradik, Orville dan Wilbur Wright. Mereka mengadakan penerbangan- penerbangan pertama dengan sebuah pesawat yang lebih berat di Kitty
Hawk, Amerika Serikat. Prestasi tersebut mespikun jika dibandingkan dengan industri penerbangan masa kini memiliki perbedaan yang signifikan,
106 Indonesia (Penerbangan), Op. cit, Pasal 1 Angka (1). 107 Suwardi, Penulisan Karya Ilmiah Tentang Penentuan Tanggung Jawab Pengangkut Yang Terikat Dalam Kerjasama Pengangkutan Udara Internasional, (Jakata: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1992), hlm. 1.
53
Universitas Sumatera Utara namun prestasi tersebut merupakan awal perkembangan industri penerbangan masa kini. 108
Setelah dicapai kemajuan-kemajuan tersebut, industri penerbangan mengarah kepada dua tujuan utama yaitu tujuan militer dan tujuan komersial. Kegiatan penerbangan untuk tujuan komesial pertama kali ditandai dengan berdirinya perusahaan penerbangan pertama yaitu
Koninklijke Luchtvaart Maatchappij (selanjutnya disebut dengan KLM) pada tahun 1919. Pada tahun yang sama pula mulai dilakukannya penerbangan internasional pertama dari Paris ke Brussels, dan penerbangan teratur dari Paris ke London serta pada tahun ini pula didirikan International
Air Traffic Association (selanjutnya disebut dengan IATA) yaitu sebuah asosiasi perusahaan penerbangan komersial internasional, yang pada waktu itu beranggotakan enam perusahaan.109
Dalam sejarah perkembangan penerbangan sipil di Indonesia, menunjukan bahwa Indonesia sudah sejak lama terlibat dalam kegiatan industri penerbangan internasional ditandai dengan berdirinya Koninklijke
Nederlandsch Indische Luchtvaart Maatschappij (Selanjutnya disebut
KNILM) pada tanggal 18 Juli 1928, walaupun sebelumnya telah dilakukan penerbangan-penerbangan incidental khusunya oleh pihak militer. Pasca kemerdekaan, Indonesia mendirikan perusahaan penerbangan yaitu Garuda
Indonesia Airways N.V dengan modal campuran antara Indonesia dengan
KNILM. Sekitaran tahun 1954, saham-saham KNILM diambil alih oleh
108 Ibid, hlm. 2. 109 Ibid, hlm. 3.
54
Universitas Sumatera Utara Indonesia dan mengubah status Garuda Indonesia Airways menjadi perseroan terbatas (PT) sampai tahun 1960. Kemudian berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1960, Garuda Indonesia Airways berubah menjadi sebuah Perusahaan Negara (PN). 110
B. Jenis Angkutan Udara
Di Indonesia, menurut Undang-undang Penerbangan, angkutan udara dibagi menjadi angkutan udara niaga, angkutan udara bukan niaga dan angkutan udara perintis.
1. Angkutan Udara Niaga
Menurut Undang-undang Penerbangan yang dimaksud dengan angkutan niaga adalah:111
Angkutan Udara Niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran. Kegiatan angkutan udara niaga tersebut dapat dilakukan secara berjadwal dan/atau tidak berjadwal oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional dan/atau asing untuk mengangkut penumpang dan kargo atau khusus mengangkut kargo.112
Penerbangan berjadwal merupakan penerbangan yang diberi konsensi untuk melakukan penerbangan rute-rute tetap yang biasa disebut sebagai penerbangan tetap. Adapun ciri-ciri penerbangan tetap menurut H.
110 Ibid, hlm. 4. 111 Indonesia (Penerbangan), Op. cit, Pasal 1 Angka (14). 112Ibid, Pasal 83 Ayat (3).
55
Universitas Sumatera Utara K Martono yaitu (1) Penerbangan tetap pada umumnya dilakukan dari satu tempat ke tempat lain atau sebaliknya dengan rute penerbangan yang telah ditetapkan; (2) Penerbangan dilakukan secara seri, lebih dari satu kali penerbangan, secara terus menerus atau sedemikian rupa seringnya sehingga dapat dikatakan sebagai penerbangan teratur (reguler); (3) Penerbangan tersebut terbuka untuk umum guna mengangkut penumpang dan/atau barang dengan memungut bayaran atas jasa angkutan tersebut; (4) Penerbangan dilakukan berdasarkan jadwal penerbangan yang telah ditetapkan terlebih dahulu terlepas apakah tersedia penumpang ataupun tidak, penerbangan tetap dilangsungkan. Unsur-unsur (1) (2) (3) dan (4) merupakan unsur satu terhadap yang lain saling berkaitan. Kurang salah satu unsur tersebut di atas menyebabkan termasuk jenis penerbangan tidak berjadwal atau carter; (5)
Penerbangan jenis ini dimaksdukan untuk melayani masyarakat yang lebih mengutamakan nilai waktu dari pada nilai uang. Biasanya mereka yang melakukan perjalanan adalah para pejabat atau pedagang/pengusaha yang pada umumnya terikat pada terbatas waktu; (6) Perusahaan penerbangan boleh memasang iklan, baik di surat kabar, majalah maupun media masa lainnya; (7) Tarif angkutan udara telah ditetapkan berdasarkan surat keputusan Menteri Perhubungan dan; (8) Penjualan karcis terbuka untuk umum secara individu. 113
Disamping penerbangan berjadwal sebagaimana disebutkan sebelumnya, penerbangan niaga dapat pula dilakukan oleh penerbangan
113 H. K Martono, Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, (Bandung: Alumni, 1989), hlm. 65
56
Universitas Sumatera Utara tidak berjadwal.114 Maksud tidak berjadwal tersebut adalah bahwa dalam keadaan-keadaan tertentu dan bersifat sementara, angkutan udara niaga dapat dilakukan secara tidak terjadwal setelah mendapatkan persetujuan dari
Menteri dan/atau dapat dilakukan atas inisiatif instansi Pemerintah dan/atau atas permintaan badan usaha angkutan udara niaga nasional. 115 Adapun menurut H. K Martono perusahaan penerbangan tidak berjadwal pada umumnya memiliki ciri-ciri (1) Penerbangan dilakukan untuk mengangkut barang, orang dan atau pos ke seluruh wilayah Republik Indonesia dengan tidak ada pembatasan rute tertentu secara tetap; (2) Penerbangan tidak dilakukan sesuai dengan daftar perjalanan terbang (jadwal penerbangan); (3)
Penjualan karcis atau surat muatan udara secara sekaligus seluruh kapasitas pesawat udara tersebut ; (4) Penumpang merupakan suatu rombongan dan bukan merupakan penumpang umum yang dihimpun oleh pencarter atau biro perjalanan (travel bureau); (5) Pesawat udara mengangkut penumpang, barang dan atau pos dari suatu tempat langsung ke tempat tujuan dengan tidak diperkenankan menurunkan dan atau menaikkan penumpang dalam perjalanan; (6) Tidak boleh memasang iklan di surat kabar, majalah maupun media massa lainnya; (7) Tarif angkutan tidak berdasarkan surat keputusan pemerintah yang telah ditetapkan terlebih dahulu; (8) Jenis penerbangan ini dimaksudkan untuk melayani masyarakat yang lebih mengutamakan nilai uang dari pada nilai waktu. Mereka pada umumnya tidak terikat pada keterbatasan waktu. Mereka biasanya adalah pelancong (tourist) atau
114Ibid. hlm. 66. 115 Indonesia (Penerbangan), op. cit, Pasal 85 Ayat (2) dan (3).
57
Universitas Sumatera Utara perusahaan-perusahaan untuk menunjang usaha mereka yang tidak mempunyai pesawat sendiri. 116
Angkutan udara niaga dapat pula dibagi menjadi dua yaitu angkutan udara niaga dalam negeri dan angkutan udara niaga internasional. Angkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga berjadwal.117 Sedangkan kegiatan angkutan udara niaga internasional dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan niaga berjadwal nasional dan/atau perusahaan pengangkutan udara berjadwal asing untuk mengangkut penumpang dan kargo berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral. 118
2. Angkutan Udara Bukan Niaga
Berdasarkan Undang-undang penerbangan, yang dimaksud dengan angkutan udara bukan niaga adalah:119
Angkutan udara yang digunakan untuk melayani kepentingan sendiri yang dilakukan untuk mendukung kegiatan yang usaha pokoknya selain di bidang angkutan udara. Kegiatan angkutan udara bukan niaga dapat dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, lembaga tertentu, orang perseorangan, dan/atau badan usaha Indonesia lainnya. 120 Angkutan udara bukan niaga biasanya digunakan untuk kegiatan keudaraan (aeral work), misalnya penyemprotan pertanian, pemadaman kebakaran, hujan buatan, pemotretan
116 H. K Martono, op. cit, hlm. 66. 117 Indonesia (Penerbangan), op. cit, Pasal 85 Ayat (1). 118 Ibid, Pasal 86 Ayat (1). 119 Ibid, Pasal 1 Angka (15). 120 Ibid, Pasal 101 Ayat (1).
58
Universitas Sumatera Utara udara, survei dan pemetaan, pencarian dan pertolongan, kalibrasi dan patroli serta kegiatan pendidikan dan/atau pelatihan personel pesawat udara atau angkutan udara bukan niaga lainnya yang kegiatan pokoknya bukan usaha angkutan udara niaga.121
Sama hal nya seperti angkutan udara niaga, angkutan udara bukan niaga harus mendapatkan ijin Menteri terlebih dahulu untuk mengubah statusnya menjadi angkutan udara niaga.122 Apabila pemegang ijin angkutan udara bukan niaga melanggar ketentuan tersebut, maka dapat dikenakan sanksi administratif berupa (1) Peringatan; (2) Pembekuan izin dan/atau; (3)
Pencabutan izin. 123
3. Angkutan Udara Perintis
Adapun yang dimaksud dengan angkutan udara perintis di dalam
Undang-undang penerbangan adalah:124
Kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri yang melayani jaringan dan rute penerbangan untuk menghubungkan daerah terpencil dan tertinggal atau daerah yang belum terlayani oleh moda transportasi lain dan secara komersial belum menguntungkan. Berbeda dengan penerbangan niaga yang melakukan penerbangan pada rute-rute daerah maupun Nusantara, penerbangan perintis melakukan penerbangan pada rute yang terpencil.125 Dalam pelaksanaannya, angkutan udara perintis wajib diselenggarakan oleh pemerintah, dan pelaksanaannya
121 H. K Martono dan Amad Sudiro, op. cit, hlm. 106. 122 Ibid, Pasal 102 Ayat (1). 123 Ibid, Pasal 102 Ayat (3). 124 Ibid, Pasal 1 Angka (18). 125 H. K Martono,op. cit, hlm. 68.
59
Universitas Sumatera Utara dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional berdasarkan perjanjian dengan pemerintah. 126 Dengan wajib diselenggarakan oleh pemerintah, maka pemerintah menjamin ketersediaan lahan, prasarana angkutan udara, keselamatan dan keamanan penerbangan, serta kompensasi127 antara lain ialah (1) Pemberian rute lain di luar rute perintis bagi badan usaha angkuta udara niaga berjadwal untuk mendukung kegiatan angkutan udara perintis; (2) Bantuan biaya operasi angkutan udara; dan/atau
(3) Bantuan biaya angkutan bahan bakar minyak. 128 Maksud dan tujuan penerbangan perintis adalah membuka daerah-daerah terisolir yang sulit mengadakan hubungan dengan masyarakat luar. 129 Dengan adanya penerbangan perintis, diharapkan dapat menunjang lajunya pembangunan nasional. Daerah terisolir tersebut merupakan daerah yang lemah, secara ekonomis belum mampu diterbangi oleh pesawat udara komersial.130
C. Syarat dan Prosedur Pendirian Maskapai
Untuk dapat melakukan kegiatan usaha angkutan udara perusahaan penerbangan harus memiliki izin usaha yang diterbitkan oleh Direktorat
Jenderal perhubungan udara yang memiliki persyaratan sebagai berikut131:
a. Akta pendirian badan usaha Indonesia yang usahanya bergerak di
bidang angkutan udara niaga berjadwal atau angkutan udara
126 Indonesia (Penerbangan),op. cit, Pasal 104 Ayat (1). 127 Ibid, Pasal 104 Ayat (2). 128 Ibid, Pasal 106 Ayat (2). 129 H. K Martono, op. cit, hlm. 68. 130 Ibid. hlm. 69. 131 Indonesia (Penerbangan), op. cit, Pasal 109 Ayat (1).
60
Universitas Sumatera Utara niaga tidak berjadwal dan disahkan oleh Menteri yang
berwenang;
b. Nomor pokok wajib pajak (NPWP);
c. Surat keterangan domisili yang dikeluarkan oleh instansi yang
berwenang;
d. Surat persetujuan dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
penanaman modal apabila yang bersangkutan menggunakan
fasilitas penanaman modal;
e. Tanda bukti modal yang disetor;
f. Garansi/jaminan bank;
g. Rencana bisnis untuk kurun waktu paling singkat 5 (lima) tahun.
Mengenai rencana bisnis untuk kurung waktu paling singkat 5
(lima) tahun tersebut, setidaknya paling sedikit harus memuat mengenai:132
Pertama ialah jenis dan jumlah pesawat udara yang akan dioperasikan. Jenis dan jumlah pesawat udara yang akan dioperasikan tersebut paling sedikit yang harus dimiliki adalah 5 (lima) unit pesawat udara dan 5 (lima) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute yang dilayani.
Kedua ialah rencana pusat kegiatan operasi penerbangan (operation base) dan rute penerbangan bagi perusahaan angkutan udara niaga berjadwal sekurang-kurangnya menggambarkan rencana pusat kegiatan
132 Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, “Izin Usaha Perusahaan Angkutan Udara Niaga Berjadwal dan Tidak Berjadwal”,http://hubud. dephub. go. id/?id/izin/detail/1, diakses pada hari Rabu, tanggal 01 November 2017, Pukul 01. 34 WIB.
61
Universitas Sumatera Utara operasi penerbangan, keseimbangan rute penerbangan, peta jaringan rute penerbangan dan rute, frekuensi, rotasi diagram penerbangan dan utilisasi pesawat udara yang akan dilayani secara bertahap selama 5 (lima) tahun.
Ketiga adalah aspek pemasaran dalam bentuk potensi permintaan pasar angkutan udara (demand & supply) sekurang-kurangnya memuat mengenai (1) Peluang pasar angkutan udara secara umum maupun secara khusus pada rute penerbangan atau daerah operasi yang akan dilayani yang meliputi perkembangan jumlah permintaan penumpang atau kargo per tahun untuk jangka waktu sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun terakhir pada rute penerbangan atau daerah operasi yang akan dilayani, Potensi jumlah permintaan penumpang atau kargo per tahun untuk jangka waktu sekurang- kurangnya 5 (lima) tahun ke depan pada rute penerbangan atau daerah operasi yang akan dilayani, Rencana utilisasi pesawat udara secara bertahap selama 5 (lima) tahun ke depan bagi perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal dan Kondisi pesaing yang ada saat ini pada rute penerbangan atau daerah operasi yang akan dilayani; (2) Target dan pangsa pasar yang akan diraih, yang meliputi Segmen pasar yang akan dilayani sesuai dengan bidang usahanya dan Pangsa pasar (market share) per tahun yang akan diraih pada masing-masing rute penerbangan atau daerah operasi sekurang- kurangnya 5 (lima) tahun ke depan.
Keempat adalah sumber daya manusia termasuk teknisi dan awak pesawat udara, sekurang-kurangnya memuat tahapan kebutuhan sumber daya manusia langsung maupun tidak langsung menyangkut kualifikasi dan
62
Universitas Sumatera Utara jumlah per tahun untuk jangka waktu sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun ke depan.
Kelima adalah kesiapan dan kelayakan operasi yang sekurang- kurangnya harus memuat mengenai rencana pengadaan, pemeliharaan dan perawatan pesawat udara, rencana pengadaan fasilitas pendukung operasional pesawat udara, rencana pengadaan fasilitas pelayanan penumpang pesawat udara dan rencana pemasaran jasa angkutan udara.
Keenam adalah analisis dan evaluasi dari aspek ekonomi dan keuangan yang sekurang-kurangnya wajib memuat mengenai rencana investasi untuk jangka waktu sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun ke depan, proyeksi aliran kas (cashflow), rugi – laba dan neraca untuk jangka waktu sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun ke depan dan hasil perhitungan yang meliputi periode pengembalian (payback period), nilai bersih saat ini (net present value), tingkat kemampulabaan (profitability index) dan tingkat pengembalian hasil intern (internal rate of return).
Setelah syarat-syarat tersebut telah lengkap, permohonan izin usaha diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Perhubungan Udara, dengan tembusan Menteri Perhubungan. Mengenai pemberian atau penolakan atas permohonan izin diberikan oleh Direktur Jenderal
Perhubungan Udara akan diberitahukan secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.
63
Universitas Sumatera Utara D. Keterlambatan Penerbangan
Keterlambatan penerbangan pada umumnya sering terjadi pada setiap penerbangan dimana saja. Akibat terjadinya penundaan dan pembatalan penerbangan dapat merugikan bagi pengguna jasa penerbangan dari segi waktu ataupun biaya sehingga banyak masyarakat yang merasa di rugikan dan hilangnya kepercayaan atas tertundanya penerbangan.
Berdasarkan PERMENHUB No.89/2015 yang dimaksud dengan keterlambatan penerbangan adalah:133
Terjadinya perbedaan waktu antara waktu keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan dengan realiasi waktu penerbangan atau kedatangan. Dalam hal keterlambatan tersebut, dibagi menjadi beberapa kategori yaitu kategori pertama, keterlambatan tersebut dihitung mulai 30 menit sampai dengan 60 menit, untuk kategori kedua yaitu dihitung dari 61 menit sampai dengan 120 menit, menyusul kategori ketiga yaitu keterlambatan tersebut dihitung dari 121 menit sampai dengan 180 menit, sedangkan kategori keempat, keterlambatan terhitung dari 181 menit sampai dengan
240 menit, selanjutnya untuk kategori kelima yaitu keterlambatan lebih dari
240 menit, dan terakhir untuk kategori keenam yaitu sampai pada pembatalan penerbangan.134
133 Kementerian Perhubungan Republik Indonesia (Delay), Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia, BN. 716, Tahun 2015, Pasal 1 Angka (6). 134 Ibid, Pasal 3.
64
Universitas Sumatera Utara Pada umumnya keterlambatan penerbangan dapat terjadi karena beberapa faktor antara lain seperti faktor manajemen airlines, faktor teknis operasional, faktor alam, dan faktor lain-lainnya. 135
Dalam faktor manajemen airlines, keterlambatan penerbangan biasanya terjadi akibat keterlambatan pilot, co-pilot, dan awak kabin, keterlambatan jasa boga (catering), keterlambatan penanganan darat, menunggu penumpang, baik yang baru melapor (check in), pindah pesawat
(transfer) atau penerbangan lanjutan (connecting flight) dan ketidakkesiapan pesawat udara yang biasa disebut dengan human error.136
Faktor teknis yang menyebabkan keterlambatan biasanya berkaitan dengan kondisi bandar udara. Kondisi tersebut ketika bandar udara untuk keberangkatan atau kedatangan tidak dapat digunakan untuk operasional pesawat. Hal lain nya adalah bandar udara landasannya tidak dapat digunakan karena retak, banjir, atau terjadi kebakaran disekitar landasan bandar udara. Selain itu, terjadinya antrian pesawat udara untuk lepas landas (take off), mendarat (landing), atau alokasi waktu keberangkatan di bandar udara serta keterlambatan pengisian bahan bakar (refueling) merupakan faktor teknis lainnya yang mengakibatkan keterlambatan penerbangan.137
Mengenai faktor alam atau disebut faktor cuaca, merupakan faktor yang berada di luar kendali manusia. Hal tersebut dapat berupa hujan lebat,
135 Kementerian Perhubungan Republik Indonesia (Delay), op. cit, Pasal 5 Ayat (1). 136 Ibid, Pasal 5 Ayat (2). 137 Ibid, Pasal 5 Ayat (3).
65
Universitas Sumatera Utara banjir, petir, badai, kabut, asap, jarak pandang di bawah standar minimal, kecepatan angin yang melampaui standar maksimal yang mengganggu keselamatan penerbangan. 138
Selain faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya, faktor lainnya yang dapat mempengaruhi keterlambatan penerbangan adalah hal lain diluar dari faktor manajemen airlines, teknis, dan alam seperti kerusuhan atau demonstrasi yang mengakibatkan operasional bandar udara atau pesawat terbang menjadi terganggu. 139
E. Bentuk Perlindungan Konsumen Pengguna Jasa Angkutan Udara
yang Dirugikan karena Keterlambatan Penerbangan Penumpang
Bentuk perlindungan terhadap penumpang dalam kerugian akibat keterlambatan penerbangan, terlihat pada tindakan maskapai dalam pemberian ganti kerugian kepada setiap penumpang yang mengalami keterlambatan penerbangan dalam bentuk sejumlah nominal uang atau hal lainnya sebagai bentuk tanggung jawab atas terjadinya keterlambatan penerbangan yang telah dijadwalkan. Hal tersebut diatur di dalam
PERMENHUB No. 89/2015 yang antara lain adalah sebagai berikut :140
1. Untuk keterlambatan kategori I (30 sampai 60 menit), diberikan
kompensasi berupa minuman ringan (soft drink);
138 Ibid, Pasal5 Ayat (4). 139 Ibid, Pasal 5 Ayat (5). 140 Kementerian Perhubungan Republik Indonesia (Delay), op. cit, Pasal 9.
66
Universitas Sumatera Utara 2. Untuk keterlambatan kategori II (61 sampai 120 menit), diberikan
kompensasi berupa makanan ringan dan minuman ringan (snack
box);
3. Untuk keterlambatan kategori III (121 sampai 180 menit), diberikan
kompensasi berupa minuman dan makanan berat (heavy meal);
4. Untuk keterlambatan kategori IV (181 sampai 240 menit), diberikan
kompensasi berupa minuman, makanan ringan (snack box), makanan
berat (heavy meal);
5. Untuk keterlambatan kategori V (lebih dari 240 menit), diberikan
kompensasi ganti rugi sebesar Rp. 300. 000 (tiga ratus ribu rupiah);
6. Untuk keterlambatan kategori VI (pembatalan penerbangan),
maskapai wajib mengalihkan kepenerbangan berikutnya atau
mengembalikan seluruh biaya tiket (refund ticket);
7. Untuk keterlambatan pada kategori II sampai dengan V penumpang
dapat dialihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan
seluruh biaya tiket (refund ticket).
Dalam hal keterlambatan diatas, maskapai wajib menyampaikan informasi apabila terjadi keterlambatan penerbangan melalui petugas yang berada di ruang tunggu bandar udara yang ditunjuk secara khusus untuk menjelaskan atau memberi keterangan kepada penumpang. Informasi tersebut harus disertai dengan alasan yang benar dan jelas mengenai alasan keterlambatan penerbangan dan kepastian keberangkatan yang disampaikan secara langsung melalui telepon, media pesan singkat atau melalui media pengumuman selambat-lambatanya 45 (empat puluh lima) menit sebelum
67
Universitas Sumatera Utara awal keberangkatan atau sejak pertama kali diketahui adanya keterlambatan.141
Selain tanggung jawab tersebut, dalam Undang-undang
Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa pelaku usaha wajib memberikan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. 142 Jadi, penumpang yang dirugikan akibat keterlambatan penerbangan dapat meminta ganti rugi kepada maskapai yang bersangkutan.
Hal lain yang menjadi bentuk dari perlindungan konsumen ialah, apabila maskapai menolak atau tidak memberikan tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan penumpang tersebut, dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.143
Dari uraian diatas dapat diketahui, bahwa konsumen jasa angkutan udara di Indonesia telah dilindungi secara hukum. Hal tersebut dapat dilihat dalam dua aturan yang berbeda yaitu PERMENHUB NO.89/2015 dan
Undang-undang Perlindungan Konsumen. Dalam PERMENHUB NO.
89/2015 bentuk perlindungan konsumen pengguna jasa angkutan udara sebatas terhadap tanggung jawab maskapai memberikan kompensasi apabila terjadi keterlambatan penerbangan. Dimana apabila maskapai memberikan kompensasi dalam bentuk yang disebutkan diatas, maka menurut PERMENHUB NO.89/2015 telah selesai melakukan kewajiban
141 Ibid, Pasal 7. 142 Indonesia (Perlindungan Konsumen), op. cit, Pasal 19 Ayat (1). 143Ibid, Pasal 23.
68
Universitas Sumatera Utara hukumnya. Hal ini menjadikan bentuk perlindungan konsumen dalam
PERMENHUB No.89/2015 menjadi terbatas. Berbeda dengan Undang- undang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha wajib memberikan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. apabila pelaku usaha tidak mengindahkan hal tesebut, konsumen dapat melakukan gugatan ganti kerugian melalui pengadilan maupun di luar pengadilan.
69
Universitas Sumatera Utara BAB IV
IMPLEMENTASI PENGATURAN TENTANG PERLINDUNGAN
KONSUMEN TERHADAP KETERLAMBATAN PENERBANGAN
YANG MERUGIKAN PENUMPANG
A. Tindakan Maskapai Sebagai Bentuk Tanggung Jawab Terhadap
Keterlambatan Penerbangan Penumpang
Berdasarkan kuesioner yang dilakukan oleh penulis terhadap 100
(seratus) narasumber, maka didapatkan sejumlah data sebagai berikut:144
35 Kategori I - - (46,1%) 26 Kategori II - - (34,2%) 7 Kategori III - - Lama waktu (9,2%) Delay 3 Kategori IV - - (3,9%) 3 Kategori V - - (3,9%) 2 Kategori VI - - (2,6%) Disertai 49 alasan (75,4%) 65 Informasi Mendapatkan Tidak (85,5%) 16 Tentang disertai Delay (24,6%) 76 alasan Delay Tidak 11 (76%) - - Mendapatkan (14,5%) 36 Sesuai 42 (85,7%) Mendapatkan Kompensasi (53,3%) Tidak 6 Delay Sesuai (14,3%) Tidak 34 - - Mendapatkan (44,7%) 54 Kerugian Ada Kerugian - - (71,1%) yang diderita Tidak Ada 22 Penumpang - - Kerugian (28,9%) Ada 13 Aturan 28 Tindakan (46,4%) Mengetahui Tentang (36,8%) Tidak Ada 15 Delay Tindakan (53,6%) Pesawat Tidak 48 - - Mengetahui (63,2%) 24 Tidak Delay - - - - - (24%)
144 Google Form, Kuesioner, mulai disebar pada tanggal 16 Novermber 2017 pukul 17.45 WIB.
70
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa 76% atau 76 dari
100 narasumber mengalami keterlambatan penerbangan, sedangkan 24% atau 24 dari 100 narasumber belum pernah mengalami keterlambatan penerbangan.
Untuk waktu lama keterlambatan penerbangan, yang pertama sering terjadi ialah pada golongan tingkat pertama (30 Menit- 60 Menit) dengan persentase 46,1% atau sebanyak 35 dari yang pernah mengalami keterlambatan penerbangan. Kedua, terjadi pada golongan tingkat kedua
(61 Menit- 120 Menit) dengan persentase 34,2% atau sebanyak 26 dari yang pernah mengalami keterlambatan penerbangan. Ketiga, terjadi pada golongan tingkat ketiga (121 Menit- 180 Menit) dengan persentase 9,2% atau 7 dari yang pernah mengalami keterlambatan penerbangan. Keempat, sering terjadi pada golongan tingkat keempat (181 Menit-240 Menit) dan tingkat kelima (lebih dari 240 Menit) dengan persentase masing-masing
3,9% atau 3 dari yang pernah mengalami keterlambatan penerbangan.
Kelima, sering terjadi pada golongan tingkat lima (pembatalan penerbangan) dengan persentase mencapai 2,6% atau 2 dari yang pernah mengalami keterlambatan penerbangan.
Dalam perolehan informasi mengenai keterlambatan penerbangan,
85,5% atau sebanyak 65 dari yang pernah mengalami keterlambatan penerbangan mendapatkan informasi mengenai keterlambatan penerbangan, dengan persentase 75,4% atau sebanyak 49 informasi tersebut disertai
71
Universitas Sumatera Utara dengan alasan yang jelas, sedangkan 24,5% atau sebanyak 16 informasi tersebut tidak disertai dengan alasan yang jelas. Untuk yang tidak mendapatkan informasi sama sekali persentase mencapai 14,5% atau 11 dari yang pernah mengalami keterlambatan penerbangan.
Dalam hal perolehan kompensasi, 53,3% atau 42 dari yang pernah mengalami keterlambatan mendapatkan kompensasi dari maskapai yang bersangkutan, dengan persentase 85,7% atau 36 dari yang mendapatkan kompensasi tersebut sesuai dengan PERMENHUB No. 89/2015, sedangkan
14,3% atau dari 6 kompensasi tersebut tidak sesuai dengan PERMENHUB
No. 89/2015. Untuk yang tidak mendapatkan kompensasi sama sekali persentasenya ialah 44,7% atau 34 dari yang pernah mengalami keterlambatan penerbangan.
Untuk kerugian yang timbul yang timbul akibat keterlambatan penerbangan, persentasenya mencapai 71,1% atau sebanyak 54 dari yang yang pernah mengalami keterlambatan penerbangan mengalami kerugian, sedangkan untuk yang tidak mengalami kerugian persentasenya ialah 28,9% atau sebanyak 22 dari yang pernah mengalami keterlambatan penerbangan.
Untuk yang mengetahui aturan tentang keterlambatan penerbangan, yaitu 36,8% atau 28 dari yang pernah mengalami keterlambatan penerbangan, dengan persentase 46,4% yang mengetahui aturan tersebut melakukan tindakan dalam bentuk protes menanyakan kepada maskapai yang bersangkutan atau 13 dari yang mengetahui aturan tersebut, sedangkan yang tidak melakukan tindakan sama sekali yakni 53,6% atau 15 dari yang
72
Universitas Sumatera Utara mengetahui aturan tersebut. Untuk yang tidak mengentahui aturan tentang keterlambatan penerbangan ialah 63,2% atau 48 dari yang pernah mengalami keterlambatan penerbangan.
B. Perlindungan Hukum Pengguna Jasa Angkutan Udara Khususnya
Terkait dengan Keterlambatan Penerbangan yang Merugikan
Penumpang
Hubungan antara penumpang dengan maskapai tentunya didasarkan kepada hak dan kewajiban para pihak. Salah satu kewajiban penumpang ialah membayar tiket pesawat. Kemudian, maskapai wajib memenuhi hak- hak penumpang termasuk mengenai ketepatan waktu penerbangan. Namun sayangnya, tidak jarang pihak maskapai justru melalaikan kewajibannya.
Sering kali terdengar keluhan penumpang dari mulut ke mulut maupun melalui media massa mengenai kelalaian maskapai mengenai ketepatan waktu penerbangan. Namun, penumpang tersebut tidak hanya
“menggerutu”, tetapi ada sebagian orang yang mengerti mengenai hukum yang melayangkan gugatan ke pengadilan. Begitu pula dengan perlindungan hukum terhadap penumpang yang mengalami kerugian akibat keterlambatan penerbangan, dalam penegakannya dapat dilihat dalam kasus David M. L
Tobing melawan PT. Lion Mentari Airlines dengan Nomor Perkara:
309/Pdt. G/2007/PN. Jkt. Pst di Pengadilan Jakarta Pusat.
73
Universitas Sumatera Utara 1. Tentang Duduk Perkara
Sekitaran tahun 2007, salah satu penumpang maskapai Wings Air yang merupakan anak perusahaan dari PT. Lion Mentari Airlines yang bernama David M.L Tobing melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat karena pesawatnya mengalami keterlambatan penerbangan.
Pada awalnya David yang berprofesi sebagai Advokat akan melakukan perjalanan dari Jakarta untuk menghadiri persidangannya di Surabaya dengan menggunakan pesawat Wings Air IW 8985. David pada awalnya direncanakan terbang pukul 08.35 WIB, namun ia telah tiba di Bandara
Soekarno Hatta dan melakukan Pass Naik (Boarding Pass) di meja kantor
Wings Air pada pukul 06.50 WIB. Setelah menunggu kurang lebih selama satu jam, David diberitahu oleh petugas bahwa keberangkatan pesawatnya akan ditunda selama 90 (Sembilan puluh) menit karena pesawat masih berada di Yogyakarta. Setelah mendengar hal tersebut David mendatangi pegawai maskapai yang bersangkutan untuk menanyakan informasi terkait penundaan penerbangan yang dialami oleh David. Pegawai tersebut hanya meminta maaf dan mengatakan kepada David bahwa keterlambatan penerbangan merupakan hal yang lumrah dan harus dimaklumi oleh semua penumpang. Karena merasa tidak dilayani dengan baik, akhirnya David menggunakan penerbangan lain menuju Surabaya dan melakukan gugatan ganti kerugian terhadap PT. Lion Mentari Airlines di Pengadilan Jakarta
Pusat.
Dalam hal yang dipermasalahkan David dalam gugatannya adalah bahwa PT. Lion Mentari Airlines selaku pelaku usaha telah melakukan
74
Universitas Sumatera Utara perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan David harus menerima kerugian atas penundaan keberangkatan penerbangannya karena harus mengeluarkan biaya untuk membeli tiket penerbangan yang total keseluruhannya mencapai Rp.718.500 (tujuh ratus delapan belas ribu lima ratus rupiah).
Selain itu, PT. Lion Mentari Airlines tidak melaksanakan kewajiban hukumnya. Menurut David, bahwa sudah sepatutnya apabila PT. Lion
Mentari Airlines berani mencantumkan jadwal pesawat pada pukul 08.35
WIB maka sudah semestinya memastikan ketersediaan pesawat paling tidak setengah jam sebelum waktu keberangkatan. Pada kenyataannya, pesawat udara yang akan digunakan oleh David menuju Surabaya belum tersedia di bandara bahkan masih berada di kota lain dalam keadaan belum berangkat sehingga kepastian tibanya pesawat dan keberangkatan kembali tidak dapat dipastikan.
Selanjutnya, yang dipermasalahkan oleh David adalah bahwa PT.
Lion Mentari Airlines telah melanggar hak David sebagai calon penumpang.
David berpendapat, penumpang sebagai konsumen berhak mendapatkan informasi yang jelas. Seharusnya manajemen PT. Lion Mentari Airlines mengumumkan keterlambatan penerbangan kepadanya pada saat mengurus
Boarding Pass bukan pada saat David tiba di ruang keberangkatan pesawat.
Apabila hal ini dilakukan, maka David memiliki kesempatan lebih banyak untuk memilih alternatif pesawat lain yang berangkat ke Surabaya pada waktu yang berdekatan dengan jadwal semula.
75
Universitas Sumatera Utara Hal yang terakhir adalah bahwa PT. Lion Mentari Airlines masih mencantumkan klausula baku pengalihan tanggung jawab yang bertentangan dan sudah dilarang oleh Undang-undang. Menurut David, bahwa PT. Lion Mentari Airlines masih mencantumkan klausula baku pengalihan tanggung jawab pada tiket pesawat yang berisikan “Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun juga yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau kelambatan pengangkutan ini, termasuk segala kelambatan datang penumpang dan/atau kelambatan penyerahan bagasi”.
Hal tersebut jelas bertentangan dengan pencantuman klausula baku yang terdapat dalam Pasal 18 huruf (a) Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Bahwa dengan hal tersebut di atas menurut David, telah membuktikan bahwa PT. Lion Mentari Airlines bersalah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap penumpangnya dan harus menganti kerugian nyata yang diderita oleh David.
Dalam pembelaannya, PT. Lion Mentari Airlines menyangkal bahwa tindakan keterlambatan penerbangan yang dialami oleh David bukan karena kesalahan manajemen PT. Lion Mentari Airlines melainkan karena alasan teknis (technical reason) dimana pesawat tersebut sedang diperbaiki sehari sebelum keberangkatan David dan belum selesai dikemudian hari sehingga pesawat tidak bisa mengudara tepat waktu dari Yogyakarta. Kemudian, PT.
Lion Mentari Airlines menyangkal bahwa kerugian tersebut bukan disebabkan oleh PT. Lion Mentari Airlines melainkan disebabkan oleh
David sendiri yang memutuskan untuk melanjutkan penerbangan dengan maskapai lain, sehingga David sendiri yang harus mengeluarkan dana untuk
76
Universitas Sumatera Utara itu, karena PT. Lion Mentari Airlines tidak membatalkan penerbangan tersebut.
Mengenai klausula baku yang ada pada tiket, PT. Lion Mentari
Airlines menolak dengan tegas dalil gugatan David yang menyebutkan telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan mencantumkan klausula baku. Pengalihan tanggung jawab tersebut bukan pengalihan tanggung jawab sepanjang keterlambatan tersebut disebabkan oleh pihak maskapai.
2. Tentang Pertimbangan Hukum
Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim berpendapat bahwa persoalan tersebut didasarkan kepada apakah perbuatan PT. Lion Mentari
Airlines yang menyebabkan keterlambatan David adalah perbuatan melawan hukum dan apakah pencantuman klausula baku oleh PT. Lion
Mentari Airlines bertentangan dengan Undang-undang.
Dalam putusan hakim mengenai perbuatan PT. Lion Mentari
Airlines, majelis hakim mengabulkan gugatan David untuk seluruhnya dan menyatakan PT. Lion Mentari Airlines melakukan perbuatan melawan hukum serta mengenai klausula baku yang tercantum pada tiket, majelis hakim berpendapat, bahwa pencantuman tersebut tidak berkekuatan hukum atau batal demi hukum.
77
Universitas Sumatera Utara 3. Analisis Kasus
Penulis sependapat oleh majelis hakim, mengenai penjatuhan hukuman kepada PT. Lion Mentari Airlines untuk mengganti kerugian yang diderita oleh David akibat keterlambatan penerbangan dan menyatakan klausula baku yang ada pada tiket yang dikeluarkan oleh PT. Lion Mentari
Airlines batal demi hukum.
Menurut penulis, maskapai PT. Lion Mentari Airlines telah memenuhi unsur perbuatan melawan hukum sesuai dengan pasal 1365
KUHPerdata.
a. Adanya Perbuatan Melanggar Hukum
Perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh maskapai PT. Lion
Mentari Airlines adalah tidak patuhnya maskapai PT. Lion Mentari Airlines terhadap jadwal penerbangan semula yang tercantum dalam tiket.
Seharusnya, David berangkat pukul 08.30 WIB. Tetapi, pada jam yang seharusnya, David tidak kunjung diberangkatkan karena pesawat yang akan dinaikinya belum ada dibandara tempat keberangkatan semula. Hal ini membuktikan, bahwa PT. Lion Mentari Airlines telah memenuhi unsur perbuatan melanggar hukum.
b. Adanya kesalahan Kesalahan yang dilakukan oleh PT. Lion Mentari Airlines adalah tidak terangkutnya penumpang tepat waktu sesuai dengan ketentuan yang tercantum di dalam tiket penerbangan. Selain itu, maskapai PT. Lion
78
Universitas Sumatera Utara Mentari Airlines tidak dapat memastikan keberangkatan pesawat menuju bandara semula untuk mengangkut penumpang dan apabila pesawat tersebut sedang diperbaiki dengan alasan keselamatan tidak dapat mengangkut penumpang, maka benar, seharusnya maskapai tersebut harus menyediakan pesawat pengganti untuk mengangkut penumpangnya. Berdasarkan hal tersebut, telah membuktikan, bahwa PT. Lion Mentari Airlines telah memenuhi unsur kesalahan.
c. Adanya kerugian
Dalam hal ini, kerugian dirasakan oleh David karena mengharuskan membeli tiket penerbangan lainnya untuk sampai ketempat tujuannya telah membuktikan unsur adanya kerugian yang diderita.
d. Adanya kausalitas antara kesalahan dengan kerugian
Dengan perbuatan yang dilakukan oleh maskapai PT. Lion Mentari
Airlines, mengakibatkan David memilih penerbangan lain untuk sampai pada tempat tujuannya sehingga harus mengeluarkan dana kembali untuk membeli tiket penerbangan lain, telah membuktikan bahwa adanya unsur kausalitas antara kesalahan dengan kerugian yang diderita David dimana kerugian tersebut disebabkan oleh perbuatan PT. Lion Mentari Airlines.
Mengenai pengalihan tanggung jawab maskapai kepada penumpang dalam klausula baku yang tercantum pada tiket penerbangan, tidak dapat mengalihkan tanggung jawab maskapai selaku penyelenggara jasa angkutan.
Hal ini karena menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen, pencantuman klausula baku seperti ini tidak dapat menghilangkan tanggung
79
Universitas Sumatera Utara jawab pelaku usaha terhadap konsumen. Selain itu, pencantuman klausula baku guna mengalihkan tanggung jawab, menurut Undang-undang
Perlindungan Konsumen tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
C. Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Pelaku Usaha dalam
Perlindungan Konsumen Terkait dengan Keterlambatan
Penerbangan yang Merugikan Penumpang
Dalam peundang-undangan mengenai pengangkutan prinsip tanggung jawab mutlak tidak diatur. Hal ini tidak mungkin diatur karena alasan bahwa pengangkut yang berusaha dibidang jasa angkutan tidak perlu dibebani dengan resiko yang terlalu berat.145
Berbeda dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen yang dikenal dengan istilah tanggung jawab produk (mutlak). Pelaku usaha bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen akibat mengkonsumsi barang atau jasa yang diperdagangkan. Dikarenakan adanya kerugian yang diderita oleh konsumen, maka beban pembuktian dalam hal ini harus berdasarkan unsur kesalahan yang harus memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum, dimana beban pembuktian diberikan kepada konsumen selaku yang mempunyai kerugian. Tujuannya ialah agar pelaku usaha dapat disalahkan atas perbuatannya yang mengakibatkan kerugian terhadap konsumen. Bila dikaitkan terhadap penerapan dalam kasus keterlambatan penerbangan, maka penumpang yang merasa dirugikan dalam pembuktiannya harus dapat membuktikan bahwa maskapai penerbangan
145 Abdulkadir Muhammad, op. cit, hlm. 41.
80
Universitas Sumatera Utara telah melakukan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan adanya kerugian terhadap penumpang.
Selain itu, berdasarkan Undang-undang Perlindungan Konsumen pelaku usaha dapat dibebaskan dari tanggung jawab apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan kesalahan konsumen. Maka karena adanya pembelaan dari maskapai, beban pembuktian tersebut diberikan juga kepada maskapai. Jadi dalam hal ini beban pembuktian diberikan kepada maskapai dan penumpang. Bedanya ialah, penumpang hanya diberikan beban untuk membuktikan adanya kausalitas antara kesalahan maskapai dengan kerugian yang diderita penumpang, untuk selebihnya beban pembuktian lebih ditekankan kepada maskapai. Apabila maskapai tidak dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh penumpang itu sendiri, maka dengan sendirinya ia bersalah.
Sebagai pembanding, telah dilakukan gugatan ke pengadilan atas nama Derek Anthony Halstead-Cleak terhadap Eskom Holdings Limited sebuah perusahaan yang bergerak dibidang penyalur listrik di Pengadilan
Negeri Afrika Selatan. Hal tersebut dimulai ketika Anthony tersengat kabel yang menggantung rendah saat dia dan teman-temannya bersepeda yang mengakibatkan Anthony menderita luka bakar. Anthony menggugat Eskom
81
Universitas Sumatera Utara Holding Limited atas kerugian yang dideritanya berdasarkan pasal 61
Undang-undang Perlindungan Konsumen Afrika Selatan.146
Pada pasal 61 Undang-undang Perlindungan Konsumen Afrika
Selatan mengatur bahwa pemasok atau produsen akan bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan sebagai konsekuensi dari persediaan barang yang tidak aman, cacat pada barang yang dipasok atau peringatan yang tidak memadai yang diberikan kepada konsumen mengenai bahaya yang terkait dengan penggunaan tersebut. Tidak masalah jika kerugian timbul sebagai akibat kelalaian pemasok, pemasok akan tetap bertanggung jawab.147
Menurut Eskom Holding Limited, tanggung jawab atas hal tersebut tidak dapat dibebankan kepadanya. Menurutnya, beban tanggung jawab tersebut dapat dibebankan ketika Anthony telah tersengat listrik di rumahnya saat melakukan beberapa kegiatan yang melibatkan penggunaan listrik. Maka menurut Eskom Holding Limited ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 61 tidak dapat dibebankan kepadanya karena Anthony dalam hal ini bukanlah konsumen karena kerugian tersebut tidak disebabkan oleh penggunaan produk dari Eskom Holding Limited.148
Pengadilan negeri Afrika Selatan menetapkan, bahwa dalam hal ini, seorang tidak lah perlu menjadi konsumen untuk menuntut ganti kerugian yang diakibatkan oleh produk dari pelaku usaha. Menurut hakim, Undang-
146 Tomlinson mnguni James, Beware!! The Incidental Consumen, http://www.tmj.co.za/News/Read/100150, diakses pada hari: Jumat, 1 Desember 2017, Pukul : 17.21 WIB. 147 Ibid. 148 Ibid.
82
Universitas Sumatera Utara undang perlindungan Konsumen tersebut terutama dirancang untuk melindungi “setiap orang” terhadap bahaya yang disebabkan oleh barang- barang yang rusak milik pelaku usaha. Ketentuan tersebut tidak terbatas pada konsumen dalam hubungannya dengan pelaku usaha, tetapi berlaku untuk semua orang. Berdasarkan putusan hakim tersebut, Pengadilan Negeri
Afrika Selatan menghukum Eskom Holding Limited untuk mengganti kerugian yang diderita Anthony.149
Dari kasus tersebut, Afrika Selatan telah menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak terhadap kasus-kasus yang melibatkan kerugian yang di timbulkan dari suatu produk. Pelaku usaha akan bertanggung jawab terhadap kerugian yang disebabkan karena produknya terlepas apakah kerugian tersebut diderita karena mengkonsumsi maupun tidak mengkonsumsi. Di Indonesia, dasar gugatan seperti ini dapat dilakukan untuk menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak. Dalam hal ini pelaku usaha hanya perlu di buktikan memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum. Apabila pelaku usaha terbukti memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum tersebut, maka ia harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan dari produk tersebut.
Dari uraian diatas, penegakan pengaturan tentang perlindungan konsumen jasa angkutan udara khususnya terkait keterlambatan penerbangan penumpang telah sesuai dengan aturan yang berlaku khususnya
Undang-undang Perlindungan Konsumen dan PERMENHUB NO. 89/2015.
149 Clyde & co, Strict Liability Under the Consumer Protection Art, https://www.clydeco.com/insight/article/strict-liability-under-the-consumer-protection-act, diaskses pada hari selasa, tanggal 1 Desember 2017,Pukul: 23.05 WIB.
83
Universitas Sumatera Utara Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis, dapat ditarik kesimpulan, keterlambatan penerbangan masih sering terjadi dalam kegiatan penerbangan. Dimana penumpang telah mendapatkan kompensasi yang sesuai dengan PERMENHUB NO.89/2015. Dengan diberikannya kompensasi yang sesuai, keterlambatan penerbangan tersebut dirasa masih menimbulkan kerugian, meskipun kerugian tersebut hanya berupa waktu yang habis terbuang sia-sia.
Mengenai kasus keterlambatan yang dialami David, menurut penulis, penjatuhan hukuman terhadap PT. Lion Mentari Airlines sesuai dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen. Hal tersebut dapat dilihat dari pembatalan klausula baku maskapai PT. Lion Mentari Airlines guna pengalihan tanggung jawab kepada penumpang yang bertentangan dengan larangan pencantuman klausula baku yang terkandung dalam Undang- undang Perlindungan Konsumen. Selain itu, dalam penerapannya, telah sesuai dengan prinsip tanggung jawab mutlak yaitu PT. Lion Mentari
Airlines tetap harus bertanggung jawab atas kerugian yang dialami David meskipun dalam hal ini pembuktian tetap harus berdasarkan unsur kesalahan.
84
Universitas Sumatera Utara BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dalam pembahasan sebelumnya, maka dapat pula ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Perlindungan konsumen di Indonesia diatur melalui Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimana
dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen tersebut mengatur
mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha, dan
metode penyelesaian sengketa yang bisa dijadikan pedoman oleh
konsumen maupun pelaku usaha untuk menjalankan kegiatannya.
Meskipun Undang-undang Perlindungan Konsumen masih sangat
berkenaan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen,
namun Undang-undang Perlindungan Konsumen turut serta
memerhatikan kepentingan pelaku usaha pula, sehingga hubungan
antara pelaku usaha dengan konsumen dapat terjalin dengan baik.
2. Konsumen jasa angkutan udara di Indonesia telah dilindungi secara
hukum. Hal tersebut dapat dilihat dalam dua aturan yang berbeda
yaitu PERMENHUB NO.89/2015 dan Undang-undang Perlindungan
Konsumen. Dalam PERMENHUB NO.89/2015 bentuk perlindungan
konsumen pengguna jasa angkutan udara sebatas terhadap tanggung
jawab maskapai memberikan kompensasi apabila terjadi
keterlambatan penerbangan. Dimana apabila maskapai memberikan
kompensasi dalam bentuk yang disebutkan diatas, maka menurut
85
Universitas Sumatera Utara PERMENHUB NO.89/2015 telah selesai melakukan kewajiban
hukumnya. Hal ini menjadikan bentuk perlindungan konsumen
dalam PERMENHUB No.89/2015 menjadi terbatas. Berbeda dengan
Undang-undang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha wajib
memberikan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran dan/atau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang
dihasilkan atau diperdagangkan. Apabila pelaku usaha tidak
mengindahkan hal tesebut, konsumen dapat melakukan gugatan
ganti kerugian melalui pengadilan maupun di luar pengadilan. .
3. Penegakan pengaturan tentang perlindungan konsumen jasa
angkutan udara khususnya terkait keterlambatan penerbangan
penumpang telah sesuai dengan aturan yang berlaku khususnya
Undang-undang Perlindungan Konsumen dan PERMENHUB NO.
89/2015. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis, dapat
ditarik kesimpulan, keterlambatan penerbangan masih sering terjadi
dalam kegiatan penerbangan. Dimana penumpang telah
mendapatkan kompensasi yang sesuai dengan PERMENHUB
NO.89/2015. Dengan diberikannya kompensasi yang sesuai,
keterlambatan penerbangan tersebut dirasa masih menimbulkan
kerugian, meskipun kerugian tersebut hanya berupa waktu yang
habis terbuang sia-sia. Mengenai kasus keterlambatan yang dialami
David, menurut penulis, penjatuhan hukuman terhadap PT. Lion
Mentari Airlines sesuai dengan Undang-undang Perlindungan
Konsumen. Hal tersebut dapat dilihat dari pembatalan klausula baku
86
Universitas Sumatera Utara maskapai PT. Lion Mentari Airlines guna pengalihan tanggung
jawab kepada penumpang yang bertentangan dengan larangan
pencantuman klausula baku yang terkandung dalam Undang-undang
Perlindungan Konsumen. Selain itu, dalam penerapannya, telah
sesuai dengan prinsip tanggung jawab mutlak yaitu PT. Lion Mentari
Airlines tetap harus bertanggung jawab atas kerugian yang dialami
David meskipun dalam hal ini pembuktian tetap harus berdasarkan
unsur kesalahan.
B. Saran
Berdasarkan uraian hasil analisis terhadap tanggung jawab maskapai terhadap keterlambatan penerbangan penumpang berdasarkan Undang- undang Perlindungan Konsumen, penulis memberikan saran sebagai berikut:
1. Kepada pengguna jasa angkutan udara diharapkan agar lebih teliti
dalam memilih maskapai agar dapat meminimalisir kerugian apabila
terjadi keterlambatan penerbangan, karena kualitas maskapai
menentukan pula kedisiplinan dan pelayanan dalam kegiatan
penerbangan.
2. Pemerintah harus membentuk peraturan perundang-undangan yang
baru yang dapat memenuhi kebutuhan perlindungan konsumen
terkait keterlambatan penerbangan agar kebutuhan atas hal tersebut
lebih maksimal dapat terpenuhi.
3. Maskapai penerbangan harus meningkatkan kedisiplinan dan
pelayanan kepada penumpang agar penumpang merasa nyaman
87
Universitas Sumatera Utara khususnya terkait keterlambatan penerbangan yang masih menimbulkan kerugian walaupun telah diberikan kompensasi yang sesuai dengan aturannya.
88
Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku :
Lembaga Pertanahan Nasional, 1992, Kewiraan Untuk Mahasiswa, Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama Kerjasama Dengan Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Depdikbud.
Susanto, Happy, 2008, Hak-hak Konsumen Apabila Dirugikan, Jakarta :
Penerbit Visimedia
Kristyo, Rabin Condo, 2016, Perlindungan konsumen terhadap Pengguna
Jasa Angkutan Udara yang Mengalami Keterlambatan atau Delayed di
Bandara Adisutjipto Yogyakarta, Yogyakarta : Fakultas Hukum Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Verdinal, Purwanto Bobby, 2016, Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan
Terhadap Penumpang Atas Tertundanya Penerbangan (Delay) Berdasarkan
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung
Jawab Pengangkut Udara, Bali : Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Debora, 2014, Yuridis Terhadap Pembatalan Penerbangan Secara Sepihak
Oleh Penyedia Jasa Penerbangan Kepada Konsumen Jasa Penerbangan
Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Medan: Lembaga Penelitian Universitas HKBP Nomensen.
Rizky H, Rr Hanum, 2013, Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan
Mengenai Pelaksanaan Ganti Kerugian Pengembalian Uang tiket (Refund)
Penumpang Lion Air Dikaitkan dengan Peraturan Menteri No 77 Tahun
89
Universitas Sumatera Utara 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara dan Undang- undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bandung:
Fakultas Hukum Universitas Padjajaran.
Khairul, Annisa, 2016, Tanggung Jawab Maskapai Lion Air Terhadap
Penumpang Di Bandara Internasional Minang Kabau, Padang : Fakultas
Hukum Universitas Bung Hatta.
Suherman, E, 1962, Tanggung Jawab Pengangkutan Dalam Hukum Udara
Indonesia, Bandung : N. V. Eresco I.
Martono, H.K, dan Amad Sudiro, 2009, Hukum Angkutan Udara
Berdasarkan UU RI No. 1 Tahun 2009, Jakarta: Rajawali Pers.
Suherman, E, 2000, Aneka Masalah Kedirgantaraan (Himpunan Makalah
1961-1995), Bandung : Mandar Maju.
Darmadjati, R.S, 2001, Istilah-istilah Dunia Pariwisata, Jakarta: Pradya
Paramita.
Widadi A, F.X Suwarno, 2001, Tata Operasi Darat, Jakarta: Grasindo.
Hasyim, Farida, 2009, Hukum Dagang, Jakarta: Sinar Grafika.
Nasution, A.Z, 2001, Hukum Pelindungan Konsumen Suatu Pengantar,
Jakarta: Diadit Mediam.
Ibrahim, Jhonny, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Malang: Bayumedia Publishing.
90
Universitas Sumatera Utara Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung :
PT. Citra Aditya Bakti.
Soekanto, Soejono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press.
Ali, Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Sinar Grafika.
Moeljono, Djokosantoso, 2006, Budaya Korporat dan Keunggulan
Korporasi,Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Miru, Ahmadi, dan Sutarman Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen,
Jakarta: Rajawali Pers.
Wijaya, Gunawan, dan Ahmad Yani, 2000, Hukum Tentang Perlindungan
Konsumen, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta:
Grasindo.
Barkatullah, Abdul Halim, 2010, Hak-hak Konsumen, Bandung: Nusa
Media.
H.R, Ridwan, 2006, Hukum Administrasi Negara, Jakarta : Raja Grafindo
Persada.
Patrick, Purwahid, 1994, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang
Lahir dari Perjanjian Undang-undang), Bandung: Mandar Maju.
Nieuwenhuis, 1985, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, terjemahan Djasadin
Saragih, Surabaya: Universitas Airlangga.
91
Universitas Sumatera Utara Suherman, E, 1979, Masalah Tanggung Jawab Pada charter Pesawat
Udara dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan
(Kumpulan Karangan), Bandung: Alumni.
Siagian, Abdul Hakim, 2014, Komentar Undang-undang Perlindungan
Konsumen, Medan: UMSU Pers.
Kristiyanti, Celina Tri Siwi, 2009, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:
SinarGrafika.
Muhammad, Abdulkadir, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti.
Agus, Azwir Agus, 2013, Arbitrase Konsumen Gambaran Dalam
Perubahan Hukum Perlindungan Konsumen, Medan: USU Press.
Suwardi, 1992, Penulisan Karya Ilmiah Tentang Penentuan Tanggung
Jawab Pengangkut Yang Terikat Dalam Kerjasama Pengangkutan Udara
Internasional, Jakata: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman.
Martono, H.K, 1989, Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa,
Bandung: Alumni.
B. Peraturan Perundang-undangan :
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
92
Universitas Sumatera Utara Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha Tidak
Sehat dan Larangan Praktek Monopoli
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015 tentang Penanganan
Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha
Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
350/MPP/Kep/12/2001
C. Seminar:
Detania Sukarja, Materi seminar,”Keamanan Berinvestasi dan
Perlindungan Konsumen” Disampaikan pada “Economic Law Seminar
2017”, yang dilaksanakan Ikatan Mahasiswa Hukum Ekonomi (IMAHMI)
Fakultas hukum USU, Ruang IMT-GT Biro Rektor USU Medan, tanggal 13
Oktober 2017.
D. Website :
Badan Pusat Statistik, “Data sensus 2010”, https://www. bps. go.id/linkTabelStatis/view/id/1267, diakses pada Hari Selasa, tanggal 29
Agustus 2017, Pukul: 17. 33 WIB.
93
Universitas Sumatera Utara Liputan 6, “Lion Air Delay 10 Jam, Ratusan Penumpang Numpuk di
Bandara Soetta”,http://news. liputan6. com/read/2846313/lion-air-delay-10- jam-ratusan-penumpang-numpuk-di-bandara- soetta?source=Search&medium=InstantSearch, diakses pada hari selasa, tanggal 29 Agustus 2017, Pukul 18:27 WIB.
Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, “On Time Performance 15
Maskapai Berjadwal Periode Juli-Desember 2015 Sebesar 77,16%”, http://dephub. go. id/post/read/on-time-performance-15-maskapai- berjadwal-periode-juli-desember-2015-sebesar-77,16, diakses pada hari selasa, tanggal 29 Agustus 2017, Pukul 19:20 WIB.
Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, “Izin Usaha Perusahaan
Angkutan Udara Niaga Berjadwal dan Tidak Berjadwal”,http://hubud. dephub. go. id/?id/izin/detail/1, diakses pada hari Rabu, tanggal 01
November 2017, Pukul 01. 34 WIB.
Tomlinson mnguni James, Beware!! The Incidental Consumen, http://www.tmj.co.za/News/Read/100150, diakses pada hari: Jumat, 1
Desember 2017, Pukul : 17.21 WIB.
Clyde & co, Strict Liability Under the Consumer Protection Art, https://www.clydeco.com/insight/article/strict-liability-under-the-consumer- protection-act, diaskses pada hari selasa, tanggal 1 Desember 2017,Pukul
23.05 WIB.
94
Universitas Sumatera Utara DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA
1. Apakah anda pernah mengalami keterlambatan penerbangan?
2. Berapa lama waktu keterlambatannya?
3. Apakah anda mendapatkan informasi keterlambatan tersebut dari
maskapai yang bersangkutan?
4. Dalam bentuk apakah informasi tersebut disampaikan?
5. Apa alasan terjadinya keterlambatan penerbangan tersebut?
6. Apakah anda mendapatkan kompensasi atas terjadinya keterlambatan
penerbangan tersebut?
7. Dalam bentuk apakah kompensasi yang anda terima?
8. Apakah anda mengalami kerugian atas terjadinya keterlambatan
penerbangan tersebut?
9. Kerugian seperti apa yang anda rasakan?
10. Apakah anda mengetahui aturan terkait masalah keterlambatan
penerbangan?
11. Tindakan apa yang anda lakukan?
12. Menurut anda, apakah pihak maskapai yang bersangkutan telah
memenuhi hak-hak anda sebagai konsumen jasa penerbangan?
13. Bagaimana saran anda agar perlindungan terhadap penumpang terkait
keterlambatan penerbangan dapat ditingkatkan?
95
Universitas Sumatera Utara