Annual Short Story Collection 2015 Koleksi Cerita Pendek

Minggu

2015 Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayai (1) atau Pasal 49 Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Suara Merdeka Annual Sort Story Collection, Issue #2016. Reproduction of this collection is permitted as long as it is not sold, either by itself or as part of a collection, and the entire text of the issue remains unchanged. All stories Copyright © Januari-Desember 2015 by their respective authors. For submission guidelines, or for more information about this collection, send a message to . Daftar Isi Minggu Koleksi Cerita Pendek Tahunan 2015 Tulang Ikan di Tenggorokan Copyright © 2016 Mashdar Zainal ...... 1 Terusir Jumari H.S...... 11 Helas Arsiparis: Ilham Q. Moehiddin Raedu Basha ...... 19 Meisa dan Ular di Lehernya Maltuf A. Gungsuma ...... 29 Ilustrasi sampul muka: Toto/Suara Merdeka Guci Sop Tata letak: Ilham Q. Moehiddin ...... 39 ESas Denggan Menghilang Budi Hatees ...... 51 Diriset, disusun dan didokumentasikan pertama kali di Perahu Kenangan sebagai suatu dokumen. Gaza Manta ...... 61 Rahasia Ida Refliana YH...... 71 Versi pertama: Kelamin Sandal Jepit Januari 2016 Sigit Widiantoro ...... 81 Jumlah Halaman: xii + 484 hlm; Gamelan Wekasan Dimensi: Ridwan Munawwar Galuhwiraksa ...... 91 14,5 x 21 cm Dua Sahabat Y. Agusta Akhir ...... 101 Penyair dan Aroma Kopi isi di luar tanggungjawab arsiparis Fandrik Ahmad ...... 109

v Cerita Tukang Teluh Magena Yus IS...... 119 Ida Fitri ...... 251 Jendela Rumah Tetangga Berkah Atmo Krinding Endang Supriadi ...... 129 Senu Subawajid ...... 259 Ramuan Mimpi Lima Cerita dalam Satu Malam di Bawah Sule Subaweh ...... 141 Bulan Gerring Ada Musa di Desa Ini? Agus Salim ...... 269 Aqib Wisnu Priatmojo ...... 151 Tetangga Seribu Peri Yus R. Ismail ...... 281 Yudhi Herwibowo ...... 161 Abah Kembali Mengembara Lastri Hilang S. Prasetyo Utomo ...... 291 Lailatul Mafiyah ...... 171 Sirit Uncuing Hujan Batu di Samalanga Ullan Pralihanta ...... 301 Ida Fitri ...... 181 Kiai Wafir dan Si Peci Hijau Kupu-Kupu di Taman Lampdoria Raedu Basha ...... 309 M. Najibur Rohman ...... 191 Tali Masa Silam Satu Hari dalam Hidup Santiago Handry TM...... 319 Iin Farliani ...... 201 Pensiun Melaut Bapak yang Berkumis dan Bau Kopi Mawaidi D. Mas ...... 329 Tiara Kharisma Dhaneswari ...... 211 Lelaki Sampan Danau, Sinyo, dan Seorang Bocah Yuditeha ...... 339 Bertopi Gatsby Mengapa Kalian Tidak Berdansa? Mashdar Zainal ...... 221 Raymond Carver ...... 349 Peternakan Lebah dan Kematian Mayat Itu Tergeletak di Tengah Jalan Amiruddin Umar Affiq ...... 359 I Putu Supartika ...... 231 Kucing-Kucing yang Membongkar Mengendalikan Arah Angin Kuburan Fina Lanahdiana ...... 241 A. Warits Rovi ...... 369 Pada Hari Ketika Malam Melipat Dirinya Sendiri Ajeng Maharani ...... 379 Perjalanan Dalam Kabut Adi Zamzam ...... 387 Gitar Bergambar Wajah Raja Dangdut Sulistiyo Suparno ...... 399 Pohon Menangis Teguh Affandi ...... 407 Perempuan Berambut Panjang dan Lelaki Sunyi Daruz Armedian ...... 417 Kebijakan Sucipto ...... 425 Bulan Sembunyi di Kamar Sakti Dadang Ari Murtono ...... 435 Para Perasuk Ken Hanggara ...... 445 Michele, Ma Belle Yudhi Herwibowo ...... 455 Natal yang Mukim di Kamar Lindra Setia Neka Adrian ...... 465

 Tentang Penulis ...... 477 Pemberitahuan

UJUAN pengarsipan dan dokumentasi cerita- cerita pendek ini adalah murni bertujuan sebagai mediaT belajar bagi siapa saja, dan tidak bertujuan komersial. Penggunaan segala bentuk material untuk melengkapi dokumentasi ini, dilakukan sesuai cara-cara lazim sesuai standar referensial, menyebutkan sumber, tidak mengubah konten material. Penambahan atau pengurangan material dalam skala yang dapat ditoleransi. Semua material di dalamnya secara jelas menyebut nama penulis (pemilik HAK CIPTA) dan nama media (SUARA MERDEKA) di mana karya yang bersangkutan dipublis pertama kali. Selamat membaca! Hak Cipta Penulis dilindungi oleh undang-undang dilarang memperbanyak dan/atau memperjual-belikan sebagai atau seluruh isi dokumen ini tanpa izin dari Penulis dan SUARA MERDEKA TULANG IKAN DI TENGGOROKAN | Mashdar Zainal Tulang Ikan di Tenggorokan

Mashdar Zainal Minggu, 04 Januari 2015

UMAH kami dan rumah Wak Karni bersebelahan, hanya bersekat pagar beluntasR setinggi pinggang dan beberapa pohon petai cina yang tak pernah berbuah. Rumah Wak Karni berlantai dua, berwarna kuning muda, dan berubin keramik, sedangkan rumah kami berlantai satu, sedikit reot, dan berubin tanah mentah. Jika ditilik secara saksama, dua rumah itu akan tampak seperti gubuk dan istana yang bersandingan. Atau seperti tahi lalat yang menempel di wajah cantik. Di halaman rumah kami yang berpagar beluntas itu, sama-sama menganga dua buah kolam yang telah lama kami manfaatkan untuk memelihara ikan. Sebelum pagar hidup itu membatasi rumah kami, Bapak dan Wak Karni adalah saudara sepupu yang cukup karib. Suatu ketika, mereka bekerja sama hendak

1 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 TULANG IKAN DI TENGGOROKAN | Mashdar Zainal

membuka sebuah usaha peternakan ikan. Bapak dan Wak Karni bahu-membahu menggali tanah di halaman rumah kami. Mereka saling membantu, semua pekerjaan dikerjakan berdua, hingga dalam hitungan pekan, dua buah kubang selebar hampir delapan meter telah menganga dan siap dimanfaatkan. Satu kubang di halaman rumah kami, dan satu kubang lagi di halaman rumah Wak Karni. Kubang itu pun segera dialiri air dari sungai irigasi yang kebetulan mengalir melintasi halaman depan rumah kami. Bapak dan Wak Karni yang mengurusnya. Benih gurami pun disebarkan di dua kolam itu, pada hari yang sama, dengan jumlah yang sama. Tiada hari bagi dua lelaki paruh baya itu kecuali berduaduaan pada pagi hari, atau pada senja hari, mengelilingi dua kolam di halaman rumah sambil mengobrol ringan dan sesekali menabur-naburkan pakan ikan ke antero kolam. Gurami-gurami yang mereka ternakkan rupanya lebih cepat tumbuh dari yang mereka perkirakan, pada tiga bulan pertama, gurami-gurami itu telah mekar sebesar telapak tangan orang dewasa. Sesekali, Bapak atau pun Wak Karni menyerok satu dua ekor bilamana kami membutuhkan lauk. Tepat dalam jangka waktu delapan bulan, gurami gurami itu telah melebar sebesar piring dan siap untuk dipanen. Pada panen musim pertama itu, Bapak dan Wak Karni mendapatkan hasil melimpah yang tak pernah mereka bayangkan

2 3 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 TULANG IKAN DI TENGGOROKAN | Mashdar Zainal sebelumnya. Bahkan hasil berternak gurami itu jauh rumahnya jauh lebih luas ketimbang halaman rumah lebih menguntungkan ketimbang bertanam padi yang kami. Wak Karni membayar beberapa orang untuk masa panennya empat bulan sekali namun kerap menggali kubang baru di halaman rumahnya, dimakan wereng dan tikus itu. Bapak dan Wak Karni mengalirinya dengan air yang sama, dan melepaskan membagi hasil keuntungan itu menjadi dua. Dan benih-benih ikan yang sama pada hari yang sama dan berencana melanjutkan peternakan yang menguntung- dengan jumlah yang sama per kolamnya. kan itu. Waktu pun berjalan, pekan dan bulan seolah menjelma menjadi ikan-ikan kecil yang terus tumbuh HINGGA pada suatu petang, Wak Karni menda- dan berenang-renang di dalam kolam kami. Bapak dan tangi rumah kami dan mengajak Bapak membicarakan Wak Karni sudah mulai jarang berdua-duaan lagi. sesuatu. Tiba-tiba Wak Karni mengutarakan maksud- Sesekali mereka masih berpapasan di halaman rumah nya untuk menernak gurami secara individu, sendiri- ketika tengah memberi makan ikan-ikan itu. Mereka sendiri. Entahlah, alasan apa yang menyebabkan Wak semakin sedikit berbicara. Bulan demi bulan pun Karni mengutarakan keputusan seperti itu. mengantarkan kami ke masa panen. Ketika ikan-ikan “Kita sudah cukup belajar bagaimana berternak itu dipanen, terjadi suatu yang mengejutkan. Entah gurami, kupikir kita sudah bisa mencobanya sendiri- musabab apa, gurami-gurami yang dipanen di kolam sendiri. Maksudku, kita akan bisa melihat seberapa Wak Karni jauh lebih kecil ketimbang gurami-gurami kemampuan kita masing-masing, dalam mengurus hasil ternakan Bapak. Hasil panen dari satu kolam milik kolam dan ikan-ikan itu. Aku tidak meragukan Bapak sama dengan hasil panen dua kolam milik Wak kemampuanmu, aku hanya ingin mencoba Karni. kemampuanku sendiri, tidak apa-apa, kan? Kau tidak Wak Karni sempat heran dan kemudian kembali keberatan, kan?” kata-kata Wak Karni tampak nyanyuk mendatangi Bapak untuk menanyakan kira-kira apa dan terbata. yang membuat panen guraminya kurang mulus. Tanpa Bapak hanya berdeham. Tentu ia tak bisa menggurui, Bapak pun menjelentrehkan caranya mencegah keinginan Wak Karni. Dan akhirnya mereka beternak, caranya memberi pakan, memberi gizi pun berpisah. Beternak gurami sendiri-sendiri. Setelah tambahan untuk ikan-ikan, mengatur aliran air, dan memutuskan kerjasamanya dengan bapak, Wak Karni sebagainya. melebarkan kolamnya tiga kali lipat, mengingat halaman Pada musim berikutnya benih-benih gurami pun

4 5 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 TULANG IKAN DI TENGGOROKAN | Mashdar Zainal kembali diternakkan, pada waktu yang sama, dengan melayang sia-sia. Mau tak mau ratusan ikan itupun jumlah yang sama. Anehnya, ketika masa panen tiba, terbuang tanpa faedah. hasil panen dari satu kolam milik kami nyaris sama “Aku tak tahu, siapa orang yang tega melakukan dengan hasil dari tiga kolam milik Wak Karni. Wak ini, siapa pun itu, aku telah merelakannya, biar Tuhan Karni mengalami panen yang lebih buruk dari musim yang mengurus orang itu. Kedengarannya memang sebelumnya. sangat remeh, hanya ikan-ikan, tapi ikan-ikan itu adalah Entah mengapa, semenjak itu Wak Karni tak nyawa yang disematkan Tuhan, manusia tak bisa pernah lagi mengajak Bapak bicara. Konon, di warung- melakukan itu, maka biar Tuhan saja yang mengurus warung dan di pasar-pasar Wak Karni menebar desas- orang itu,” ujar Bapak dengan mata berkilat-kilat. desus yang mengatakan bahwa Bapak telah Ketika itu, orang-orang tengah berkerumun di menumpahkan guna-guna ke kolam Wak Karni tepian kolam dengan ratusan bangkai ikan itu, dan Wak sehingga panennya selalu gagal. Mendengar kabar itu Karni juga ada di sana dan ikut mengikrarkan bela Bapak hanya tersenyum simpul, dan merasa tak perlu sungkawa dengan wajah tertekuk. menanggapinya. Hingga suatu pagi, ketika bapak Bapak tak pernah menuduh Wak Karni atau siapa hendak memberi makan ikan-ikan di kolam kami, pun, tapi entah mengapa, jarak antara Bapak dan Wak Bapak menemukan ratusan gurami yang belum siap Karni terasa semakin jauh. Setelah peristiwa yang panen itu telah membangkai dan mengapung di menyesakkan itu, Bapak mengalami kerugian yang permukaan kolam seperti . Beberapa gurami cukup besar hingga ia harus mengistiratkan kolamnya. yang masih sekarat tampak menggelepar berputar- Dan di belakang kami, Wak Karni kembali menebarkan putar di antara ratusan bangkai lainnya sebelum terdiam desas-desus busuk bahwa peristiwa matinya ikan-ikan dan mengapung dengan mata mendelik seperti di kolam kami adalah hukuman dari Tuhan untuk kami. layaknya mata ikan. Sebagai manusia biasa, Bapak pun tak bisa terus Bapak yakin sekali, seseorang telah menuang racun menerus menyabarkan hatinya. Satu hal yang sangat ke kolam kami. Karena, jika air irigasi itu beracun, tentu tidak disukai Bapak dari Wak Karni adalah, ia terlalu ikan-ikan di kolam Wak Karni mengalami hal yang sama. pengecut, ia selalu menutup mulutnya rapat-rapat di Betapa mendongkolnya hati Bapak ketika itu hingga hadapan kami, dan kemudian membeo keras-keras di ia nyaris menangis. belakang kami. Ratusan ikan itu adalah nyawa, dan mereka Karena tak kuasa lagi membentengi kemarahannya,

6 7 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 TULANG IKAN DI TENGGOROKAN | Mashdar Zainal suatu petang, Bapak menemui Wak Karni yang tengah dengan suara tercekik. Wajahnya memerah dan memberi makan ikan-ikan di halaman rumahnya. matanya mendelik. Terjadilah adu mulut di antara mereka. Nyaris saja dua Kata istrinya, saat sarapan dengan lauk lalapan lelaki paruh baya itu saling pukul seperti bocah cilik gurami, beberapa jam lalu, tulang gurami tersangkut di yang rebutan mainan, kalau saja para tetangga tidak tenggorokan Wak Karni dan tak dapat dikeluarkan. datang dan memisahkan mereka. Beberapa orang mengusulkan supaya Wak Karni lekas- Esok paginya, kami mendapati istri Wak Karni lekas dibawa ke umah sakit. Namun, sebelum tubuh tengah menancapkan ranting-ranting beluntas sebagai Wak Karni yang lemas itu dibopong ke dalam mobil, pagar pembatas antara rumah kami. Seiring waktu, Wak Karni telah menghembuskan napas terakhirnya. pagar beluntas itu pun kian merimbun dan menjulang Istri Wak karni pingsan dan anak-anaknya menjerit hingga setinggi pinggul orang dewasa. Wak Karni pun tak keruan. Tak seorang pun menganggap itu masuk masih meneruskan usaha berternak guraminya. Dan akal. Bagaimana mungkin setangkai tulang ikan dapat kami dengar, hasil panenan Wak Karni tak pernah merenggut nyawa seseorang? sebagus hasil panenan kami. Sementara itu, Bapak Sementara itu, Bapak hanya bungkam, matanya masih mengistirahatkan kolamnya. Hingga suatu hari, redup namun berkilat-kilat serupa cermin retak. Mata pelanggan Bapak datang dan menawarkan bantuan Wak Karni yang mendelik itu mengingatkan Bapak untuk Bapak, supaya Bapak bisa kembali memanfaat- pada mata ratusan ikan yang mengapung di kolamnya kan kolam di halaman rumah yang telah lama beberapa waktu silam.  menganggur itu. Tepat hari itu, ketika salah satu pelanggan Bapak Malang, 2014 datang dan bertamu ke rumah kami, kami mendengar suara ramai-ramai dari rumah sebelah, dari rumah Wak Karni. Sesekali kami mendengar tangisan dan jeritan. Sebagai kerabat yang cemas, sekaligus sebagai tetangga yang baik, kami pun berlari tanpa peduli, menerobos pagar beluntas yang menjulang memisahkan rumah kami. Di ruang tengah, di antara kerumunan orang- orang, kami mendapati Wak Karni tengah terbaring

8 9 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 TERUSIR | Jumari H.S. Terusir

Jumari H.S. Minggu, 11 Januari 2015

IAPA pun orangnya, setiap kali melewati rumah reot dihuni seorang janda tua bernamaS Parni pada menjelang malam pasti telinganya mendengar tembang-tembang Jawa. Mbah Parni yang giginya sudah hampir habis  itu masih memiliki suara kuat dan bagus. Maklum pada masa mudanya dia memang mantan sinden tersohor di kampungnya. Kini, meski sudah hampir pikun, dia masih mahir melantunkan tembang-tembang Jawa seperti maskumambang, kinanti, sinom atau lagu Walang Kekek. Itu sering menjadi penghiburan tersendiri hampir setiap hari menjelang malam. Apa yang dilakukan Mbah Parni sebenarnya hanya untuk mengisi malam- malamnya yang penuh kesepian. Apalagi sebagai janda tidak dikaruniai anak satu pun, tentu saja kehidupannya sangat tersiksa. Salah

10 11 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 TERUSIR | Jumari H.S.

satu hiburannya ya menembang dan menembang, sebagai pelepasan ketersiksaan hidup yang sedang dijalani. Pernah suatu hari saat tetangganya yang jadi pejabat di kampungnya punya gawe menikahkan anaknya dengan resepsi besar-besaran yang sangat mewah. Banyak tamu pejabat setempat yang hadir ikut memberi doa restu. Alunan musik modern seperti pop dangdut, campursari, jaz, dan musik lainnya pun mengharu-biru pada acara resepsi anak pejabat tersebut. Meski suasana sedemikian meriah dan ramai, Mbah Parmi tetap saja bersikukuh pada pendiriannya melantunkan tembang-tembang Jawa seperti yang dia lakukan setiap hari menjelang malam. “Siapa yang melantunkan tetembangan Jawa itu? Apakah dia orang yang tidak waras?” bisik-bisik para tamu. Bisik-bisik tersebut tentu saja membuat telinga yang punya gawe sangat gusar. Dia lalu menyuruh seseorang untuk menghentikan Mbah Parni yang sedang asyik melantunkan tetembangannya. Tapi, Mbah Parni tetap bersikukuh dan tidak menggubrisnya dan terus melantunkan tetembangan yang semakin membuat kesal sahibul hajat. “Maaf Mbah, bisakah untuk sementara waktu berhenti melantunkan tetembangan?” Kembali pesuruh itu mengulangi ucapan secara baik-baik. Tapi Mbah Parmi tetap ngotot pada pendiriannya yang kuat,

12 13 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 TERUSIR | Jumari H.S. menembang dan terus menembang. Bahkan sebaliknya terganggu oleh ulah Mbah Parni. suara Mbah Parni semakin dikeraskan dan sampai “Aku melantunkan tembang untuk hatiku. Yang terdengar lengkingannya memecah malam dan aku lakukan sudah menjadi kebiasaanku setiap malam, membuat suasana resepsi menjadi tidak nyaman. bukan?” jawab Parmi dengan mimik tak bersalah. “Orang tua ini, sepertinya sudah tidak waras “Mulai malam nanti, kalau masih melantunkan beneran,” keluh orang suruhan itu sambil keluar rumah tembang-tembang itu lagi, akan kubungkam mulutmu,” Mbah Parni dengan raup wajah kecewa bercampur bentak Wiryo lalu pergi meninggalkan janda tua yang geram. termangu-mangu dengan perasaan tersayat-sayat. “Bedebah! Orang tua tak tahu diri. Awas besok Melantunkan tetembangan itu bagi Mbah Parni sudah pagi akan tahu rasa!” ancam yang punya gawe itu saat mendarah daging dan tidak bisa dicegah oleh siapa mendapat laporan pesuruhnya yang tidak berhasil pun, kecuali kematian. menghentikan lantunan Mbah Parni. “Kenapa hak dan kebebasan seseorang dalam hidup ini senantiasa terusik?” iba Mbah Parni sambil PAGI mulai merekah indah bersama embun di mengemasi barang-barang lalu melangkah pergi lembaran daun hijau, berbaur bersama kicau burung- meninggalkan rumahnya begitu saja. burung yang beterbangan dari sarangnya mencari kehidupan yang lebih luas. Seperti biasa, setiap pagi SUDAH tidak seperti biasanya, rumah reot yang Mbah Parni setelah membiasakan diri memakai pada setiap malam terdengar tetembangan Jawa yang bedak pupur yang dibuatnya dari beras untuk untuk mengalun dan memecah kesunyian itu menjadi senyap memoles wajahnya kelihatan masih muda dan dan sepi. Yang terdengar hanya suara-suara jengkerik cantik. Sejak peristiwa semalam, dia termangu gelisah. maupun hewan-hewan lain yang saling bersahutan Sesekali dia mengunyah daun sirih untuk seakan-akan rumah Mbah Parni berubah menjadi menghilangkan kegundahannya. Matanya menerawang rumah hantu. Banyak tetangga di sekitarnya jauh dalam pikiran kalut dan tak menentu. Jiwanya mempertanyakan nasib penghuninya yang biasa tercabik-cabik. melantunkan tetambangan Jawa itu. “Orang tua tidak tahu diri, ada orang punya gawe “Ke mana Mbah Parni ya? Sudah satu minggu ini diganggu!” bentak Wiryo dengan nada keras, yang tak terdengar lantunannya,” ujar salah seorang merasa perhelatan pernikahan anaknya semalam tetangganya.

14 15 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 TERUSIR | Jumari H.S.

“Aku juga penasaran. Mungkin pergi ke rumah ujarnya sambil merebus singkong. saudaranya.” Lambat laun keberadaan Mbah Parni diketahui “Barangkali. Tapi kenapa lama perginya?” warga yang ada di sekitar sungai itu. Pada malam hari “Entah.” mereka mengintai dari kejauhan. Kepergian Mbah Parni memang sangat misterius. “Bukankah itu Mbah Parni yang selama ini kita Tetangga-tetangga disekitarnya pun tidak tahu. Dia cari?” tanya salah seorang di antara mereka. menghilang begitu saja tanpa meninggalkan pesan apa “Ya benar! Tapi siapa yang mengusirnya?” pun. Tetembangan Jawayang biasa dia lantunkan tak “Aku tak tahu.” lagi terdengar dan membuat suasana malam menjadi “Lebih baik kita lapor pada Kepala Desa agar Mbah lebih menakutkan. Maklum warga telah menjadikan Parni bisa kita kembali rumahnya.” tetembangan Mbah Parni sebagai menjadi hiburan langka. MULAI ada kecurigaan di dalam benak Mbah “Kasihan Mbah Parni, dia janda tua yang sengsara,” Parmi bahwa keberadaannya sudah mulai diketahui keluh warga. warga di sekitar sungai itu. Dia merasa dihantui kecemasan bercampur trauma waktu diusir dari ARUS sungai pada malam hari terasa sunyi. Mbah rumahnya. Terlihat matanya muram. Dia hanya bisa Parni menyendiri. Dia ingin menghabiskan sisa menangis dan menangis, disertai hati yang perih dan hidupnya di pinggir sungai yang jauh dari keramaian putus-asa. atau usikan orang-orang yang tidak suka lantunan “Hidup di rumah sendiri diusir, di tepi sungai tidak tetembangan Jawanya. tenang dan terus terusik,” keluhnya sambil “Mungkin tempat ini yang paling tepat untukku,” mengucurkan air mata. gerutu Mbah Parmi. Angin sepoi-sepoi bersimilir menerpa rerimbunan Setiap pagi sampai siang dia dapat menanam daun bambu di sekitar sungai itu. Gemersiknya seperti singkong dan sesekali sambil mencari ikan di sungai desah nanas yang terengah-engah memanggul beban untuk bertahan hidup, setiap malamnya tetap semakin berat. Sebagaimana hati Mbah Parni, dia melantunkan syair-syair Jawa yang menjadi terpinggirkan, merasa terusik dan terus terusik oleh kegemarannya. “Di tempat ini, aku benar-benar peradaban yang akhirnya dia memutuskan merasa nyaman dan menemukan diriku sendiri,” meninggalkan seluruh hidup yang dimilikinya.

16 17 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 HELAH | Raedu Basha

Sekarang tak ada lagi lantunan tetembangan Jawa yang biasa dia lantunkan setiap malam. Dia telah pergi, terlentang di tepi sungai dengan raut wajah pucat yang Helah dikerumuni penyesalan banyak warga. 

Kudus, 2014 Raedu Basha Minggu, 18 Januari 2015

Juni 1999 ANADIN. Lelaki berkumis tebal itu merasa degup jantungnya tak berdetak. Matanya bersemburatJ merah seketika, duduk bersila di antara hadirin yang melingkar di mihrab masjid. Sebuah upacara pernikahan tak biasa akan dilaksanakan. Dia menatap runcing seorang anak muda yang mengenakan setelah jas-sarung rapi tak ubahnya mempelai pria. Santab. Ia penolong Janadin dari sial. Tetapi sial itu kini seolah pekat langit kembali burat, dan menjadi. Kecemburu- an bergejolak. Batin Janadin berteriak, “Tidak! Ini cuma helah. Bagiku hanya pernikahan dusta.” Mata merahnya kemudian menatap seorang perem- puan yang tengah duduk menunduk. Perempu- an itu berdandan kebaya sampir, penampilan

18 19 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 HELAH | Raedu Basha

janda Madura dalam pernikahannya, gaun dan tatarias lebih apa adanya. Perempuan itu adalah Sanah, janda Janadin. Ingin saja Janadin pergi dari acara itu, tak kuasa hati tergolak cemburu. Namun apa daya, justru dia pengupaya pernikahan dilangsungkan, demi menolong nasibnya sendiri. Janadin kini sedingin batu. Diam. Menahan kecamuk sendiri.

Maret 1993 UMURNYA 26 tahun kala itu, Janadin memang tak lagi perjaka. Dia pernah menikah tapi tak langgeng karena Janadin kepergok selingkuh. Dan pada suatu kesempatan yang tak disengaja, dia berjumpa gadis yang membuatnya tak dapat tidur. Sanah. Lelaki itu merasa dirinya seolah Poday bersua Potre Koneng dalam legenda cinta Soengenep. Seminggu berikutnya, Janadin berjumpa lagi. Sebagai bajingan dia paham gengsi, bagaimana mesti tampak dingin pada wanita, berdeham tanpa kata di hadapan Sanah. “Biarkan aku yang membayar semua belanjaanmu hari ini!” ucap Janadin seraya mengeluar- kan dompet di kantong gombor-nya. Dompet hasil mencopet. Sanah kaget akan kehadiran Janadin. “Kalangkong.” Malu-malu dan tersenyum. Ronarona segar membias dalam gurat pipi gadis desa itu saat senyum, membuat jantung Janadin tergetar dan tambah tergoda untuk lebih mengenalnya. “Ah, biasa saja,” sahut Janadin, “Oya, apa ada yang

20 21 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 HELAH | Raedu Basha mengantarmu pulang? Kalau tak ada, biar anak buahku tepi pagar pasar, di mana tampak ujung-ujung batang mengantarmu.” Janadin anggak menawarkan jasa. pohon jagung berayunan di ladang. Sanah tak menggubris. “Maafkan atas sikap bapakku, Cak,” kata Sanah “Alangkah mahalnya Potre Koneng ini!” batin terbata. Dan sapaan “cak” membuat dada Janadin Janadin. Tak sekali gadis itu menoleh atau balas mena- berdegub. “Aku tahu kau datang ke rumahku. Aku tapnya lewat lirikan yang menancap relung Janadin. senang kau meminangku, Cak...” Janadin terbelalak Sebagai duda, namun kala itu tergolong muda, dia kesal. menelan ludah di tenggorokan, dia pun tahu Sanah Tapi sadar bahwa gadis itu menakjubkannya. menyukainya. Tapi dia tak bicara, hanya bisa menatap paras gadis itu yang pucuk-pucuk kerudungnya Juli 1996 berkelebat disapu udara. Sanah juga terdiam, matanya JANADIN sadar, dirinya hanya lelaki desa biasa dilempar ke ujung-ujung jagung yang terus berayun. yang kerjanya tak tentu. Bekerja di tegal tak. Kuli juga Janadin mengangguk pelan. Jari-jemari tangan gadis tak. Sesekali bekerja bila butuh uang banyak. Sekiranya itu diraihnya, digenggam erat. Pada satu sisi dia geram mendesak bisa saja memeras. Nyopet adalah termudah atas sikap ayah Sanah, di sisi lain dia tak dapat baginya. Sekian lama Sanah tak menggubris bila disapa. menggambarkan gayung bersambut perasaannya. Di pasar, di jalan, atau di mana pun. Tapi tekadnya Setelah hari itu, Janadin sering menemui Sanah, bulat, Janadin memberanikan diri datang ke rumah terutama di pasar. Mereka merajut tangkai asmara. Dan Sanah dan langsung meminang gadis itu pada orang lelaki itu lebih serius memikirkan bagaimana cara men- tuanya. Tapi sial, Ayah Sanah malah membusungkan dapatkannya secara sah dan halal. Dia tak ingin terus dada dan mengatai Janadin dengan keserapahan: menduda. Juga sebagaimana tradisi orang Madura “Katak buntung! Berandal, silsilahmu tak jelas mirip sangat mengagungkan adat-agama, termasuk urusan udang sungai!” cinta. Pacaran tak boleh lama-lama. Begitu juga martabat Nyalinya carut. Bahkan Janadin digiring oleh anak bajingan juga harus dijaga. buah juragan tembakau itu, dikaparkan ke sawah. Janadin sekali lagi memberanikan diri ke rumah Pada hari pasaran berikutnya tiba-tiba Sanah Sanah. Tapi lagi-lagi. Dia ditindas lagi. Ingin saja bajing melambaikan tangan dari jauh. Janadin setengah tak itu menyantet Ayah Sanah. Tetapi Sanah meminta sikap percaya melihat sikap “Potre Koneng”-nya itu. Sanah terbaik Janadin. Lelaki itu menemui seorang kiai, minta mengajak duduk di bawah pohon siwalan yang rindang petunjuk, namun si kiai berfatwa, “Anak perawan harus

22 23 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 HELAH | Raedu Basha direstui wali.” Janadin baru menerima kabar dari teman kerjanya Lalu Janadin bertemu seorang santri muda. yang baru pulang dari Madura. Katanya, Sanah kangen Lazimnya santri muda, menyukai fatwa-fatwa nyeleneh. dan mencemaskan Janadin. Ada yang mengejutkannya, Santri itu menyarankan kawin lari ke seberang pulau. manakala si teman berkabar, Sanah sedang hamil muda. Janadin membawa Sanah nikah lari, lari ke Banyuwangi Janadin terperanjat mendengar kabar itu. Antara dengan wali hakim. Sedangkan di Madura, orang tua percaya dan tidak. Lalu dia putuskan mudik secepat Sanah gelisah akan anak perempuannya yang hilang. mungkin. Dalam perjalanan mudik, di atas kapal feri perasaan lelaki itu campur aduk, pasang mata nanar Oktober 1996 beradu hawa panas Laut Jawa. Ingin rasanya, bila kabar KEDUANYA memutuskan pulang. Setibanya, temannya benar, sesampainya di Madura, menceraikan orang tua Sanah mendamprat Janadin dan menggunji- Sanah. ng pada orang-orang desa bahwa Janadin adalah Karena rupanya Sanah hamil dalam kurun waktu penculik. Tapi lama-lama memberi restu namun ber- aneh. Dua tahun dia tinggal tapi baru hamil muda. syarat: “Kau harus membangun rumah dan memberi Tapi dia setengah yakin bahwa kabar temannya dusta. emas satu kilogram. Kalau gagal, kau akan tahu Tapi bisa juga benar. Dia gelisah. akibatnya. Camkan, anak muda!” ancam Ayah Sanah. Manakala Janadin menapakkan kaki di halaman Janadin minta izin pada istrinya untuk merantau, rumah. Lelaki yang selama perantauan membiarkan guna memenuhi persyaratan mertuanya. Ditatapnya kumisnya tebal itu menyaksikan Sanah sedang Sanah, berlelehan air mata, isak tangis mereka berdua bersenda-tawa dengan seorang pria muda di teras seolah rintih luka yang bersahutan. Dia peluk istrinya rumah. “Sanah, dasar kau istri durhaka!” Spontan kalap erat. Seminggu kemudian, Janadin berangkat merantau tanpa ucap salam. ke Sambas Kalimantan. Sanah dan pria muda yang bersamanya sama tersentak, wajah keduanya bagai menyimpan panik dan Desember 1998 tanya. Janadin memandangi perut istrinya: ternyata tak DUA tahun di rantau, bekerja keras sebagai kuli bunting. tambang emas, setidak-tidaknya tabungan upahnya “Teganya kau bermain serong di belakangku. Alaah. hampir memenuhi syarat mertuanya. Sudah dua kali Kau menduakanku ketika aku di rantau. Lihatlah, lebaran tak pulang. bersama siapa kau saat ini, hah? Siapa selingkuhanmu

24 25 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 HELAH | Raedu Basha itu?” Janadin menuding telunjuk kirinya ke arah muka termasuk yang memfitnahnya. Tragedi Sambas pria muda yang sedang bersama Sanah. berdarah awal 1999. Tak sampai seminggu di rantau, Perempuan itu kaget, suaranya tersengal dan nyaris Janadin mudik lagi bersama rombongan pengungsi, tak dapat bicara karena kedatangan Janadin menutup niat kembali ke Sambas. mengguruhkan tuduhan. “Bu-bukan. Dia, dia Sesampainya di Madura, lelaki itu menemui kembali keponakanku!” Sanah gugup. santri muda yang dulu menyarankannya kawin lari, kini “Jangan banyak alasan!” sergah Janadin, “Mungkin meminta petunjuk lagi: Bagaimanakah cara merujuk kita lebih baik tak bersama. Biarlah kita cerai saja. Kau istri yang telah dijatuhkan talak tiga? kutalak! Talak! Talak Tiga!” Gunung api emosi meledak Santri muda yang tak lagi muda itu mengujarkan: murka. Janadin tanpa berpikir jernih. Sanah menangis harus ada helah. Si helah harus menikahi si keras minta ampun. Janadin tak menolehnya sedikit perempuannya dan melakukan wathi. Setelah itu pun. Meninggalkan perempuan itu dalam jeritan. mantan suami baru boleh rujuk. Hati Janadin awalnya merasa berat menerima hukum helah. Tak mungkin Januari 1999 kekasihnya “dihadiahkan cuma-cuma” pada pria lain, TETAPI betapa menyesal Janadin setelah itu! Sesal terlebih dalam pernikahan. Tapi mau tak mau, demi ditanggung setelah tahu teman kerjanya sungguh telah harga diri harus diupayakannya. membuat fitnah. Sanah memang pernah hamil setahun sebelumnya tapi gugur. Dan pria muda yang bersama Februari 1999 Sanah pada saat kedatangannya dari rantau rupanya JANADIN mencari seorang pria untuk helah, yang keponakannya yang sedang bertamu, dan Janadin kira-kira tak akan disukai wanita, apalagi sampai belum kenal. Sedangkan orangtua Sanah yang galak mendapatkan hati Sanah. Hingga dia bertemu Santab, itu masih menuntut syarat. anak muda dusun sebelah berkaki pincang. Oleh Janadin menyesal telah menalak tiga. Dia menyam- Janadin, Santab diimingi hadiah seekor kambing. paikan salam lewat tetangganya bahwa suatu hari dia Janadin berpesan padannya, “Kau janji, Santab. Setelah bakal merujuk Sanah. kau wathi segera ceraikan Sanah. Ingat, kau hanya Lalu lelaki itu kembali ke Sambas. Namun malang, perantara rujukan kami.” rumahnya telah rata dengan tanah. Konflik Dayak- Mulanya Sanah tak mau, karena janda itu masih Madura bergejolak. Teman kerjanya banyak tewas, sakit hati pada Janadin.

26 27 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MEISA DAN ULAR DI LEHERNYA | Maltuf A. Gungsuma

Juni 1999 MALAM larut usai acara ijab-kabul. Sial. Janadin melakukan kesalahan. Dia intip malam pertama Santab Meisa dan Ular di Lehernya dan Sanah melalui celah kayu kamar pengantin mereka, dia saksikan Santab mulai merengkuh tubuh Sanah di atas ranjang kayu ukiran, yang pada awalnya perempu- an itu enggan. Maltuf A. Gungsuma “Jijik. Dasar pincang!” teriak Janadin. Meludah. Ke- Minggu, 25 Januari 2015 sabaran si bajing itu rubuh. Emosi mengaum. Dia rusak malam pertama pengantin itu. Pintu kayu dilabrak, mengobrak-abrik isi kamar itu. Membuat sepasang IHAT perempuan itu, bukan emas atau pengantin itu terperanjat. Janadin melemparkan batang berlian di lehernya, tapi ular. Ia memang kayu ke arah kepala Santab. Tetapi anak muda pincang cantik,L semua pemuda di sini tahu itu dan itu berlari gesit terpincang-pincang ke luar.... berdecak kagum setiap melihatnya melintas di Janadin mengejar si helah. “Santab, terkutuk kau...!” jalanan desa. Tapi kau mesti tahu kalau ular di teriaknya mendedah kesunyian malam.  lehernya itu berbisa. Dan yang sangat mengeri- kan lagi, ular itu hanya patuh pada majikannya. “Meisa, ada banyak lelaki ingin mengalung- Catatan: kan berlian di lehermu, tapi selalu terhalang - Helah: bahasa lisan orang Madura dari istilah hukum Islam sama ular itu.” “muhalil”, yakni orang/perantara yang menghalalkan Ya, perempuan itu bernama Meisa. Ibunya pernikahan kembali orang yang telah jatuh talak tiga. Keterangan lebih lanjut bisa dilihat dalam fikih Islam. selalu menasihatinya begitu. - Gombor: celana silat, biasa dipakai blater “Biarkanlah Ibu, suatu saat pasti akan ada - Kalangkong: terima kasih lelaki yang bisa menjinakkan Dirga,” tukas Meisa - Wathi: hubungan seksual yang harus dipenuhi helah sebagai meyakinkan. Dirga merupakan nama ular itu. syarat bolehnya rujuk talak tiga. Dirga bergelayut di dada Meisa, mendesis dan merayap ke sebelah kiri lehernya. Meisa mengerti kalau Dirga tidak terima kalau harus

28 29 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MEISA DAN ULAR DI LEHERNYA | Maltuf A. Gungsuma

berpisah dengan dirinya. Lantas Meisa mengelus lembut kepala Dirga, sementara Dirga menjulur-julurkan lidahnya pada daun telinga Meisa. “Bukankah Ibu sering mengatakan kalau jodoh tidak akan ke mana? Dan siapa tahu, kalau misalnya Dirga yang jadi jodohku.” “Hus, itu ular Nak, kualat kamu!”

“SKAK-MAT!” Ster sudah berada di garis lurus tempat raja lawan berada, dan benteng berada lurus di sebelahnya. Marwi menyudahi perlawanan Kardi yang berusaha keluar dari tekanan sejak paruh pertandingan. “Ah, belum ada yang bisa menandingiku,” seloroh Marwi. “Kalau sama perempuan itu, Wi?” Marwi menoleh ke arah perempuan yang dimaksud Kardi. Tampak Meisa lewat di samping gardu ronda dengan menenteng kotak kayunya. Perempuan itu tampak lusuh dengan Dirga yang setia melingkar di lehernya. Sore hari menjelang petang, begitulah kira- kira yang selalu ditandai Marwi dan Kardi, Meisa akan selalu lewat di jalan itu, pulang dari Pasar Ganding. “Hah, perempuan yang sulit aku taklukkan dengan berbagai langkah mematikan sekalipun!” “Hahaha, bahasamu berlebihan, padahal belum ada usaha apa-apa!” Lantas dua pemuda itu tertawa. “Aku dengar-dengar, hari Senin besok Meisa buat

30 31 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MEISA DAN ULAR DI LEHERNYA | Maltuf A. Gungsuma sayembara di pasar?” berharganya raib, entah kemana. Ada yang peduli “Sayembara apa?” Kardi balik bertanya, dengan menghiburnya, ada pula yang hanya melihat mengernyitkan dahi. iba dan berlalu. “Katanya, siapa pun yang bisa menaklukkan Dirga, Di sebuah sudut pasar, di samping lahan parkir kalau laki-laki, berhak mengalungkan kalung di leher kendaraan, sekerumunan manusia berdiri menyaksikan Meisa sebagai pertanda bahwa Meisa bersedia menjadi sebuah pertunjukan. Ya, di sanalah Meisa melakukan istrinya. Sedangkan kalau perempuan, Meisa akan sayembara yang tidak lebih hanya sensasi untuk memberikan hadiah kalung emas berlian miliknya.” mendapatkan penghasilan. Siapa pun yang ikut dan “Hahaha, jangan-jangan kalung itu pemberian menonton sayembara itu harus membayar sejumlah Badi!” uang yang sudah ditentukannya. Di antara kerumunan “Memang begitu, kalung itu tidak sanggup itu sudah hadir Badi, Marwi, dan Kardi yang mengantre meluluhkan hati Meisa untuk melepaskan Dirga dari mendapatkan kesempatan mencoba peruntungan. lehernya. Tapi Badi tidak memintanya kembali, dia Tiba-tiba seorang lelaki terpelanting mengerang meminta Meisa menyimpannya walaupun tidak kesakitan. Tangan kanannya yang bertato ular itu luka bersedia memakainya.” kecil, Dirga berhasil mematoknya. Lelaki itu langsung “Berarti kamu akan dapat saingan berat besok.” dibawa pergi sama temannya. “Iya benar kamu, Kar, Badi memang lihai “Meisa, tidak sadarkah kau telah melukai banyak menaklukkan ular-ular berbisa, aku yakin dia bisa orang demi kesenanganmu sendiri? Hentikan memenangkan sayembara ini. Tapi semua hal bisa kekonyolanmu ini!” teriak Badi yang sudah berdiri tepat terjadi, apa lagi selama ini Badi belum bisa menaklukkan di depan Meisa. Dirga.” “Kamu tidak terima aku buat sayembara kayak gini atau karena lamaranmu aku ditolak, hah?” tanya Meisa MENTARI kian meninggi, pagi ditinggal embun sinis. Mata Badi memerah, diam. “Atau kamu mau pergi. Bau amis ikan, dagingdaging, dan keringat mencoba menaklukkan Dirga? Katanya kamu itu manusia bercampur aduk. Lalu lalang manusia pawang ular terhebat di desa ini, iya kah?’’ tambahnya. berseleweran di jalan-jalan sempit Pasar Ganding. “Oke, aku terima tantanganmu, tapi pakai dulu Berdesak-desakan. Mata liar pencopet mengintai. kalung pemberianku itu.” Tangis histeris pun pecah ketika sadar barang “Oh tidak, taklukkan dulu Dirga, baru kau yang

32 33 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MEISA DAN ULAR DI LEHERNYA | Maltuf A. Gungsuma kalungkan sendiri ke leherku!” Marwi. Marwi mengangguk. “Baiklah!” “Meisa, aku ikut!” Badi maju berapa langkah mendekati Meisa. Ia “Oke, silakan mendekat!” tatap lekat-lekat mata Dirga. Mata itu sangat tajam, Marwi mendekat dan mencoba berkomunikasi mata yang berisyarat tidak mau tunduk sama siapa pun. sama Dirga. “Saya minta satu syarat ke kamu, Badi mencoba menangkap kepala Dirga dengan kalungkan kalung pemberian Badi di lehermu, sebagai kecepatan tangannya, tapi Dirga dengan gesit bentuk penghormatan padanya yang sanggup menghindar dan menyerang balik. Hampir saja Dirga menangkap kepala Dirga.” berhasil mematuk tangan kanan Badi kalau saja Badi “Iya betul, kasihan dia,” celetuk Kardi. kurang cepat menarik tangannya itu. Ketika itulah, Badi “Iya, hormati keberhasilannya!” celetuk yang lain. punya kesempatan untuk menangkap kepala Dirga Meisa mengernyitkan dahi kemudian dengan tangan kirinya. Hap, Badi berhasil menangkap mengangguk. “Oke, hanya sebatas penghormatan atas kepala Dirga. keberhasilannya itu!” Semua yang menyaksikan itu tepuk tangan. Meisa mengeluarkan kalung itu dari kotak kayunya Tiba-tiba tanpa dinyana, ekor Dirga bergerak cepat dan memakainya. Ia tidak sadar bahwa kalung itu dan mematok tangan Badi. Sontak Badi terkejut dan mempunyai kekuatan sakti yang bisa menaklukkan melompat ke belakang. Terjatuh. Semua orang Dirga. Hanya saja Badi tidak pernah berhasil terperangah menyaksikan itu, ternyata Dirga juga punya mengalungkannya di leher Meisa. Benar saja, setelah ekor tajam yang juga berbisa. Meisa tersenyum sinis, kalung emas berlian itu melingkar di leher Meisa, tiba- “Badi, Badi!” tiba Dirga perlahan melepas diri dari leher Meisa, Marwi dengan sigap menolong Badi yang bergelayut turun ke tanah dan menghampiri Marwi. mengerang kesakitan. “Tidak apa-apa, saya bisa tangani Marwi mundur berapa langkah sampai di samping ini sendiri. Saya punya obatnya.” Badi. Badi mengeluarkan sesuatu dari pinggangnya. “Jangan takut, ia tunduk padamu, ambil saja!” seru Sebuah jimat berbentuk sabuk ia kasihkan ke Marwi Badi. dan memakaikannya. Badi membisikkan sesuatu di Dengan ragu-ragu Marwi mengambil ular itu dan telinga Marwi. memberanikan diri mengalungkan ke lehernya. Meisa “Oke, semoga berhasil!” Badi menepuk pundak tidak percaya dengan kenyataan di depannya itu.

34 35 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MEISA DAN ULAR DI LEHERNYA | Maltuf A. Gungsuma

Dengan gampangnya ia masuk perangkap Marwi. Ia “Apakah kau bahagia malam ini, Meisa?” pun tidak bisa melepas lagi kalung yang melingkar di “Siapa pun pasti sangat bahagia pada malam lehernya itu. Kalung itu seakan menyatu dengan pertama pernikahannya, Marwi,” jawab Meisa dengan lehernya. lembut. “Kau juga pasti begitu. Tapi ada satu hal yang “Kalung itu hanya bisa dibuka oleh kamu,” ucap membuat kebahagiaan ini tidak sempurna,’’ lanjutnya Badi pada Marwi. menggantung. “Kamu licik!” teriak Meisa pada Marwi. “Apa itu, Meisa?” “Ini sayembara, yang menang yang benar.” “Kau belum memenuhi janjimu memberiku kalung “Oke, aku mengakui kamu menang dan aku emas berlian.” bersedia menjadi istrimu!” “Oh ya, aku lupa, aku sudah membelikannya Semua tepuk tangan dan tersenyum lebar. untukmu, aku ambil dulu.” Marwi beranjak dan bergegas menuju lemari baju. HIBURAN gamelan sudah usai, tamu-tamu Di sela tumpukan baju-baju diambilnya sebuah kotak undangan dan warga sekitar sudah kembali ke kecil. Di dalamnya itu tersimpan sebuah kalung emas rumahnya masing-masing. Malam kembali senyap. berlian yang tidak kalah dengan pemberian Badi pada Udara dingin malam menyusup di sela-sela jendela Meisa sebelumnya. kamar pengantin itu. Ya, inilah malam pertama “Meisa, kalung ini sangat berharga bagiku, hanya pernikahan Marwi dan Meisa. kau yang pantas memakai kalung ini.” “Letakkan Dirga di meja itu, Marwi!” Meisa “Iya, kalung ini sangat indah. Aku suka, aku sayang berbisik mesra di telinga Marwi yang memeluknya. kamu,” ucap Meisa sambil mengecup tangan Marwi “Mari kita nikmati malam ini berdua!” dan kalung itu. Marwi tersenyum dan menuruti kata istrinya itu. “Pakaikan segera di leherku, Marwi!” Marwi Dirga juga menuruti perintah majikannya dengan melepas kalung pemberian Badi dan meletakkannya di melingkar di atas meja. samping tempat tidur. Kemudian Marwi mengalungkan Marwi kembali memeluk mesra Meisa. Membelai kalung miliknya di leher Meisa. “Kau sangat cantik rambut lurusnya. Menuntunnya ke tempat tidur. Malam dengan kalung ini, Meisa!” ini ia merasa Meisa lebih cantik dari sebelumnya. Meisa Meisa tersenyum, Marwi mengecup keningnya. juga harum tubuhnya. Tapi tiba-tiba Dirga sudah melilit di leher Marwi.

36 37 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 GUCI SOP | Ilham Q. Moehiddin

Meisa yang tidak lagi memakai kalung pemberian Badi dengan diam-diam memerintahkan Dirga untuk membunuh Marwi. Meisa mendorong tubuh Marwi Guci Sop dengan keras dan menjauh dari tempat tidur. “Terkutuk kau, Meisa!” erang Marwi. Marwi berontak, mencoba melepas lilitan Dirga di lehernya. Tapi Marwi semakin tak berdaya ketika Dirga Ilham Q. Moehiddin mematok lehernya. Kemudian bertubi-tubi Dirga Minggu, 01 Februari 2015 mematok dahi, mata, pipi, telinga, dan bagian lainnya. Sampai akhirnya Marwi tidak sadarkan diri. Meisa tersenyum puas. DARA panas siang itu seperti hendak “Bagus, Dirga!” ucap Meisa sambil mengambil ular melelehkan bola mata setiap orang yang itu, membelainya, dan melilitkannya di leher. melintasiU strada Salvatore, membuat basah Dirga bergelayut mesra dan menjilat-jilat pipi Meisa. ketiak yang menyebarkan bau tak sedap ke Tapi entah kenapa, lilitan Dirga semakin kencang dan mana-mana. Pesisir Genoa dibungkam aroma keras di leher Meisa. Menyadari itu, Meisa meronta garam. dan berusaha melepas lilitan Dirga. Tapi usahanya sia- Aku menyiapkan pertunjukan malam untuk sia, Dirga semakin membuat Meisa tidak bisa bernapas Arrigo Tavern sebelum matahari sore datang dan sampai benar-benar tidak bisa bernapas lagi. ke jendela rumah minum ini. Aku mewarisi Roboh. Meja dan kursi berantakan. bisnis ini dari ayahku, Arrigo Ando. Tempat Dirga merayap di atas tubuh Meisa, melewati celah ini mendadak ramai di enam bulan terakhir. jendela dan pergi meninggalkan kamar pengantin itu. Enam bulan lalu, seorang gadis berdiri di Entah bagaimana ceritanya, Dirga sangat senang melilit depan meja bar Arrigo Tavern. Aku tentu saja di leher majikannya. Tentang siapa yang akan menjadi menerima tawarannya untuk menari. Dialeknya majikannya setelah Meisa dan Marwi, tiada yang tahu. tak seperti kebanyakan perempuan Genoa. Tapi ia merayap ke arah timur.  Gadis itu dari pesisir utara. “Elda dari Manarola,” katanya. Yogyakarta, November 2014 Seperti kebanyakan perempuan Manarola,

38 39 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 GUCI SOP | Ilham Q. Moehiddin

Elda mewarisi tulang pipi yang lembut, pucuk hidung yang kecil, dagu sedikit runcing dengan wajah oval, dan rambut hitam bergelombang. Elda punya sesuatu yang diidamkan banyak lelaki—dada dan pinggul yang padat. “Menarilah mulai besok,” kataku. Seperti harum yang memancar dari tubuh Elda, begitulah kabar baik dan keberuntungan yang mendatangiku siang itu— dan di hari-hari berikutnya. Para perempuan Manarola pandai melenturkan tubuh. Tarian mereka memikat, lincah meliuk dengan gerakan erotis yang menggoda. Elda segera menjadi primadona Arrigo Tavern dan namanya begitu terkenal di sepanjang pesisir Genoa. Setiap lelaki di pesisir ini bisa menggambarkan kemolekannya, ketimbang kondisi istri mereka sendiri. Wajah Elda segera membayangi pelupuk mata tiap lelaki yang menggumamkan namanya. Tetapi bagiku, Elda tak sekadar mesin uang di taverna ini.

ARRIGO Ando adalah contoh buruk pebisnis rumah minum. Taverna ini baru ramai setelah 39 tahun dibuka dan 10 tahun kematiannya. Para penggemar bir berduyun-duyun memenuhi tempat ini, bukan karena rasa birnya. Tak ada yang menyukai bir beraroma jerami lembab dengan rasa keju basi. Siapapun pasti memuntahkannya setelah tegukan pertama, kecuali jika mereka sedang mabuk berat.

40 41 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 GUCI SOP | Ilham Q. Moehiddin

Mereka ke tempat ini semata-mata karena Elda. SEDIKIT sekali lelaki yang mampu Setiap malam, sejak matahari tenggelam dan udara menghamburkan uang di sebuah taverna hingga pagi. kering menyebarkan aroma garam dari laut, taverna Sedikit lelaki yang ingin ditemani gadis muda saat ini sudah sesak. Para lelaki menelan ludah, memukul menyantap scallopine—irisan tipis daging sapi muda meja, dan meneriakkan nama Elda. Sebelum gadis itu segar—dan mengakhiri malam di motel murah. Lebih datang, aku biasa menampilkan pertunjukan berupa banyak dari mereka patut dikasihani karena beristri sulap yang kuanggap bisa mengocok perut pengunjung. perempuan yang siap menyita setiap uang dari Seringkali itu berhasil. Tetapi para kelasi, tentara, dan kantongnya. Namun ada alasan lain sehingga para buruh pelabuhan lebih suka menganggapnya gagal dan penggemar pescara kerap datang ke Arrigo Tavern. melempari setiap pesulap yang tampil. Kini mereka Lupakan bir basi. Tangguhkan dulu khayalan menginginkan Elda dan mereka tak harus mabuk berat tentang Elda. Arrigo Tavern punya zuppa yang lezat. untuk mengacaukan tempat ini. Saat menghidangkan Zuppa di Pescara, Carmela selalu Beberapa pejabat kota biasa berlindung di menambahkan seporsi scallopine. Carmela tahu cara keremangan balkon saat menonton tarian Elda. Mereka membuat scallopine dengan kaldu yang lezat. Aku tak tak mau terlihat oleh para pemilih. Moral sangat penting mau terang-terangan menyakiti hati istriku dengan bagi reputasi dan karir politik. Tetapi di tempat ini, mengistimewakan Elda. Carmela akan cemburu dan mereka boleh mengantongi moral mereka, lalu berpura- menolak ikut mengurus dapur tempat ini. pura tak kehilangan apapun esok paginya. Elda memang menggoda. Lirikannya sanggup Aku hanya butuh uang mereka. Asal mereka membuat siapapun berkeringat. membayar, maka habis perkara. “Anda tak seharusnya berada di sini,” Elda Setiap lelaki yang datang ke taverna ini punya terdengar ketus. mimpi yang sama; berharap Elda mengakhiri kesepian “Tetaplah menari untuk Arrigo Tavern,” aku berdiri mereka di sisa malam. Paling tidak, berharap bisa di ambang pintu kamar rias. menyentuh kulit pinggul gadis itu saat mereka Elda berbalik dan mengangkat alisnya. “Maka menyelipkan lembaran uang ke balik celananya. Mereka penuhilah janjimu.” rela membayar lebih banyak hanya agar Elda bersedia Aku gelisah. “Taverna ini butuh uang untuk membuka kakinya dalam satu nomor tarian, sembari membayar piutang bank.” membayangkan hal-hal cabul tentang gadis itu. “Oya? Apa itu termasuk hutangku pada Hueno?”

42 43 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 GUCI SOP | Ilham Q. Moehiddin

Elda memajukan wajahnya. “Aku harus membayar lelaki Seruan itu menahan gerakanku. “Elda, aku—” itu agar ia tak mengusirku dari flat,” lanjut gadis itu. “Keluar! Aku harus bersiap sebelum para pemabuk Peluh membasahi tengkukku. Aku maju dan menutup itu merusak tempat ini.” pintu. “Kau dapat melakukan sesuatu untuk itu.” “Elda—” Mendengarku bicara begitu, leher Alda memutar Namun gadis itu sudah memutariku, memelintir cepat. “Brengsek!” kecamnya, seraya menarik korsetnya gagang pintu hingga terbuka, dan berdiri menunggu lebih tinggi, menutupi dadanya yang putih. “Aku tidak aku keluar, sebelum membanting pintu dan selugu itu.” Desisnya tajam. menguncinya dari dalam. Aku angkat bahu dan memiringkan kepala. Malam itu Elda menggila. Ia menggelorakan “Aku tak sudi menemani para pejabat kota!” Elda panggung Arrigo Tavern. Gerakannya liar, menggoda. nyaris berteriak. Aku panik. Aku meminta Elda Sesekali Elda duduk di pangkuan pengunjung dan memelankan suaranya. “Mereka pernah menipuku. Aku menerima apapun yang diselipkan ke balik celananya. muak mendengar omong kosong Wali Kota keparat itu. Aku tak sudi berkorban lebih banyak untuk tinggal SEPEKAN berikutnya, Elda tak terlihat sejak sore. lebih lama di tempat busuk ini.” Seharusnya ia sudah datang dan mempersiapkan diri Aku mengembangkan tangan, menahan bahu di kamar rias. Tak ada kabar tentangnya membuatku Elda. “Pertimbangkanlah untuk tak meninggalkan cemas. Hueno pun tak tahu kemana perginya gadis taverna ini sampai aku selesai mengurus semua itu, saat aku menelepon menanyakannya. Elda tak permintaanmu.” pulang ke flatnya sejak semalam. “Sampai semua pemabuk di kota ini puas meraba Carmela tetap melayani para tamu menikmati Zuppa tubuhku dengan tangan kotor mereka? Sampai Carmela di Pescara. Aku cukup puas dengan kerakusan selesai menguras tiap keping tip yang menjadi hakku?” pengunjung setengah mabuk yang terusir dari taverna Aku menurunkan tanganku. Elda benar. “Kau lain. Orang-orang itu sanggup menandaskan dua tong boleh menyimpan semua tip yang kau dapatkan. bir basi sebelum sore usai. Namun aku harus mengusir Gajimu naik satu kali lipat mulai bulan depan.” Aku beberapa orang, sebelum mereka terlanjur mabuk berat berjanji. dan menyusahkanku. Gasi itu tersenyum sinis. “Baik. Sekarang Aku menikahi Carmela saat perempuan itu berusia keluarlah!” 16 tahun, saat usia kami terpaut 15 tahun. Ayahku

44 45 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 GUCI SOP | Ilham Q. Moehiddin mengadopsi Carmela dari pasangan gipsy yang tewas yang datang ke sini. Jika bukan hendak mabuk, kalian dalam kebakaran besar di pesisir Genoa, 10 tahun bermimpi bisa meniduri Elda.” sebelumnya. Seperti umumnya orang gipsy, Carmela “Carmela!” setia pada ayahku dan menjadi pelayan di taverna “Aku tahu. Ya. Aku tahu isi kepalamu yang sama miliknya, sampai aku menikahinya. Pernikahan yang busuknya seperti isi kepala lelaki yang mewarisimu dipaksakan. Aku menikahi Carmela untuk menutupi tempat terkutuk ini!” Kemarahan Carmela itu tak biasa. perbuatan laknat ayahku. Ayah mabuk berat saat “Tutup mulutmu! Kau tak bisa bicara tentang memerkosa Carmela dan membuat gadis itu hamil. ayah—” Bayi Carmela meninggal sehari setelah dilahirkan. “—Ayah?!” Carmela berteriak. “Alfie, kau hanya Carmela tak banyak bicara. Ia sepertinya siap sedikit mujur karena tak mewarisi kedunguan Arrigo. menerima nasibnya. Waktunya habis untuk melayani Nasibmu tak lebih menyedihkan dari keparat itu!” taverna dan mendampingiku. Jika pengunjung taverna Kata-kata Carmela usai saat tiga orang polisi masuk ini sepi, ia habiskan waktunya dengan membaca buku dan segera menghalangi pintu belakang taverna. Mereka resep tua peninggalan ibunya. Ia mengunci diri selama juga menutup pintu dapur dan memblokir lorong kecil berjam-jam di kamar rajut di lantai tiga. Dari kamar itu menuju kamar rias. Carmela mendengus. Ia tuding tercium aroma harum menyengat, saat Carmela mukaku. “Kau! Kau menginginkan Elda, kan? Kau mempraktekkan beberapa resep. hendak menuntaskan nafsumu dengan mengunjungi “Aku mau menari,” Carmela bergumam. flatnya.” Kata-katanya itu mengejutkanku. Aku memiring- Aku mundur dua langkah. “Aku? Aku tidak—” kan kepala, isyarat agar Carmela mengulangi ucapannya. Terbata-bata aku menolak tuduhan Carmela. “Oh, Aku mungkin sudah salah dengar. Carmela. Kau—” “Aku bisa menari seperti Elda. Bisa lebih baik “Tidak?” Carmela mendelik. “Kenapa kau tak darinya.” jelaskan ketidakhadiran Elda saat ini? Mana dia? Hanya Aku menggeleng. “Kau tak sedang—” kau yang pernah terlihat mengunjungi flatnya,” desis “Aku juga bisa mengelola taverna ini sekaligus.” Carmela. “Kau membunuhnya!” Carmela memotong kalimatku. Seperti tersengat listrik, rahangku menggelembung “—meracau, kan?” Aku menyelesaikan kalimatmu. mendengar tuduhan itu. Aku sudah akan merenggut Carmela menyeringai. “Kau seperti semua lelaki lehernya jika saja seorang polisi tak segera memepet

46 47 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 GUCI SOP | Ilham Q. Moehiddin tubuhku. Tapi aku tak peduli. “Elda mungkin pulang yang pernah aku saksikan pada Elda. Para lelaki di pesisir ke Manarola.” Genoa berdatangan untuk menghabiskan uang mereka Sayang sekali. Menurut polisi, tak seorang pun di demi bir dan tarian Cermela. Manarola melihat kepulangan Elda. Aku ditangkap Carmela tahu cara memperoleh keberuntungannya. polisi. Itulah sore terakhir aku melihat kebencian di Di lantai tiga, di sudut kamar rajut yang berhias manik- mata Carmela. manik kaca, di atas pemanas parafin, sebuah guci tembikar bercorak bunga Murbei mendesis-desis ARRIGO Tavern tak berubah. Tempat ini tetap mendidihkan sop. Setiap hari, sebelum taverna dibuka, ramai pengunjung. Sepertinya, orang-orang itu tak Carmela ke kamar itu untuk mencicipi semangkuk kecil tahu—bahkan tak peduli—pada kejanggalan di taverna zuppa ramuannya. ini. Tak tampaknya aku dan Elda, agaknya tak yang Zuppa dan el-Cuerpo membuat Carmela mencapai menarik perhatian mereka. Itu aneh, sebab kerapnya impiannya. Ia memiliki taverna, menari, merebut mereka memenuhi tempat ini justru karena tarian Elda. perhatian setiap lelaki di pesisir Genoa. Zuppa di Elda Carmela membelanjakan uang dengan efisien. Ia telah membuat gadis Manarola itu hidup di tubuh mengubah tampilan tempat ini menjadi lebih semarak. Carmela.  Ia bahkan mengubah nama Arrigo Tavern dengan nama baru: Taverna de Carmela, dan ia tak lagi menjual Molenvliet, Januari 2015 bir basi. Perempuan itu mendapatkan keinginannya. Ia akhirnya bisa menari di hadapan para pengunjung yang Catatan: juga mengelu-elukan liukan tubuhnya. Para lelaki - Strada = jalan menyelipkan lembaran uang ke balik celananya, tak - Zuppa = sop peduli bahwa pinggulnya yang besar itu mampu - el-cuerpo = sihir hitam gipsy untuk mencuri citra orang lain dengan memasak bagian tubuhnya. merobohkan panggung. Para lelaki ikut menari dalam tempo musik yang cepat. Beberapa dari mereka meringis, berusaha meredam gelora yang menjilam-jilam saat tubuh tambun Carmela meliuk-liuk. Mereka tergila-gila pada erotisme Carmela, seperti

48 49 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 DENGGAN MENGHILANG | Budi Hatees Denggan Menghilang

Budi Hatees Minggu, 08 Februari 2015

SIA Denggan baru lima tahun. Masih sangat kecil. Tapi sudah ada tanda-tanda bahwaU kelak ia akan tumbuh jadi bajingan seperti mendiang ayahnya, Marapande. Ia  sering pulang membawa berbagai jenis mainan, entah dari mana barang-barang itu dia peroleh. Usahamu membujuk agar ia memberitahu dari mana mainan itu diperoleh, tidak dia tanggapi. Anak itu bersikap masa bodoh. Segala ucapanmu bagai tidak pernah masuk ke telinganya. Ia justru sibuk memainkan mainan- mainan itu. Awalnya kau masih bersabar menghadapi- nya, bersikap lembut dan membujuk dengan berbagai cara agar ia mau memberitahu dari mana asal mainan itu. Kau juga mengatakan, mainan itu harus dikembalikan kepada pemiliknya. “Ini punyaku!” Ia berkata sambil

50 51 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 DENGGAN MENGHILANG | Budi Hatees

terus memainkan mainannya. “Mainan ini harganya mahal,” katamu. “Ompung tak pernah membeli mainan seperti ini untukmu.” Ia tidak menggubrismu. Kau tak hilang akal. Kau coba menakut-nakutinya. Kau bilang pemilik mainan itu akan mencarinya, lalu memukulinya. Tapi, usaha itu tidak mempan. Anak itu malah bersikap seakan-akan kau tidak pernah ada. Akhirnya kau tak bisa menahan diri. Kau rampas mainan itu dengan kasar, lalu menyembunyikannya. Anak itu menatapmu dengan sorot mata yang tajam. Sama sekali tidak menangis. Mata itu begitu menakutkan. Seakan-akan anak itu ingin menghabisi- mu. Kau merasa ditantang, lalu memberinya sebuah tamparan. Anak itu diam saja.

KETIKA kali pertama aku ajak Denggan ke rumahku, lalu bertemu dengan kedua orang tuaku, temanku ini bisa dengan cepat mengambil hati orang dewasa. Mungkin karena wajahnya yang lucu dengan pipi tembam dan tatapan selalu sayu akibat kelopak matanya yang cembung. Ia juga sangat sopan, selalu bertutur sapa ketika bicara atau menjawab pertanyaan yang diajukan ayah maupun ibuku. Kadang ia menjadi sangat lucu. Apa pun yang diucapkannya mengundang tawa kedua orang tuaku, meskipun ia tidak berniat melucu.

52 53 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 DENGGAN MENGHILANG | Budi Hatees

Tapi, apabila Denggan sudah pulang, kedua orang “Denggan itu satu-satunya anak Marapande. Anak tuaku akan memarahiku. Mereka melarangku berkawan itu pasti mewarisi ilmu mencuri itu,” kata Ayah. akrab dengan Denggan. Kata Ayah, Denggan itu Aku tidak mudah dipengaruhi Ayah, karena punya darah seorang penjahat. Ia memperolehnya dari Denggan tidak pernah aku lihat mencuri. Lagi pula ayahnya, Marapande. untuk apa Denggan mencuri, ia bisa mendapatkan apa Seumur hidupnya Marapande selalu menyusahkan saja yang dia inginkan hanya dengan memikirkannya. orang lain. Pekerjaannya mencuri, apa saja dia curi. Aku sering menyaksikan ketika Denggan ingin mobil- Kalau Marapande sudah berniat akan mencuri di mobilan, misalnya, pada saat itu juga sebuah mobil- sebuah rumah, tak akan ada yang mampu menghalangi mobilan sudah ada di tangannya. Entah dari mana niat itu. Sekalipun rumah itu dijaga ratusan orang, ia mobil-mobilan itu datang. Tiba-tiba saja sudah dia akan tetap bisa masuk tanpan ada yang mengetahuinya. genggam. Seperti sihir, segala sesuatu terjadi begitu saja. Kemampuan Marapande itu diperoleh dari leluhurnya, yang memang mewariskan ilmu mencuri KAU pikir Denggan akan jera dan tidak lagi itu kepada anak keturunannya. Meskipun begitu, tak membawa barang-barang ke rumah. Ternyata semua orang di dalam keluarga Marapande punya ilmu dugaanmu keliru. Ia semakin sering membawa mainan mencuri. Hanya Marapande yang menguasai ilmu ke dalam rumah. Kau tetap memarahinya. Sikapnya mencuri itu, padahal mereka tujuh orang bersaudara. tetap seperti biasa. Kemarahanmu tidak berarti apa Marapande sendiri tidak pernah mengenal pun baginya. ompungnya, apalagi leluhurnya. Ketika ia lahir, Sejak itu kau tak pernah bertanya lagi, langsung ompungnya sudah lama meninggal. Ia tidak pernah menyita mainan itu. Kau menyembunyikannya. Kau menerima ilmu mencuri itu langsung dari ompung berharap suatu saat ada orang yang mengaku apalagi leluhurnya. Konon pula dari ayahnya, yang kehilangan mainan, dan kau tinggal memberikan bukan seorang pencuri. mainan-mainan itu. Tapi, tidak pernah ada yang datang Ayah Marapande itu seorang yang taat beragama. mengeluhkan kehilangan mainan. Kau menunggu. Semua orang menghormatinya karena wibawanya. Berhari-hari, sepekan pun lewat. Tidak ada yang datang. Meskipun orang tahu ia punya darah pencuri, tapi ia Sebulan pun berlalu. Tetap tak ada yang datang. tidak pernah mencuri. Ilmu mencuri itu tidak menitis Sementara ia tetap pulang membawa mainan. ke darahnya. Ilmu itu justru menitis kepada Marapande. Setiap kali mainannya kau sita, besoknya ia pulang

54 55 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 DENGGAN MENGHILANG | Budi Hatees membawa mainan baru. Mainan-mainan yang kau sita itu. Tapi, seluruh warga langsung percaya, lalu melabrak itu semakin lama semakin banyak. Lemari tempat kau Marapande ke rumahnya. Mereka kemudian menyeret menyembunyikannya sudah penuh. Kau kehabisan Marapande ke luar. Entah siapa yang memberi memulai, tempat untuk menyembunyikannya. warga menghakimi Marapande. Selang beberapa menit, Kau pikir anak itu sudah keterlaluan. Kalau Marapande tewas. dibiarkan, seluruh rumah akan penuh mainannya. Suatu Nauli yang sedang mengandung Denggan, syok saat orang akan melihat mainan-mainan itu. Mereka mengetahui kematian Marapande. Sejak itu tubuhnya akan heran. Sangat pasti, mereka akan menyebut menjadi lemas, sakit-sakitan. Ketika ia melahirkan Denggan mewarisi perilaku buruk Marapande. anaknya, tubuhnya sangat lemah. Ia meninggal sebelum Marapande? Setiap kali ingat Marapande, kau anaknya lahir. Anak itu kemudian kau beri nama menyesal punya menantu seperti dirinya. Mestinya, kau Denggan. melarang Nauli, anak gadismu, menikah dengan laki- laki itu. Tapi, ketika kali pertama Marapande AKU percaya Denggan itu punya kemampuan sihir. mendatangimu dan mengatakan niatnya untuk Dengan kemampuannya, ia mewujudkan apa saja yang menikahi Hindun, kau kagum pada keberaniannya dia inginkan. Tapi, kau malah selalu mencurigainya, mengungkapkan isi hatinya. Kau tak kuasa menolak, sama seperti kedua orang tuaku, juga sebagian besar karena kau percaya laki-laki yang punya keberanian warga di kampung kita. Kau menuduhnya mencuri pastilah laki-laki yang bertanggung jawab. kalau ia pulang membawa main-mainan ke rumah. Memang rasa percayamu itu tidak keliru. Tanpa mau mendengarkan penjelasannya, kau Marapande sangat bertanggung jawab. Ia menghidupi langsung menyita dan menyimpannya. Nauli layaknya seorang suami menghidupi keluarganya. Aku jatuh kasihan pada Denggan. Sikapmu sering Cuma, kau tak pernah tahu bagaimana cara Marapande kasar padanya, padahal ia hanya punya dirimu. Tidak menghidupi keluarganya. Tidak pernah jelas apa ada seorang pun yang percaya kalau ia tidak pernah pekerjaannya. Ia jarang keluar rumah, tapi apa pun mencuri. Semua orang percaya ia seorng pencuri. keinginan Nauli selalu bisa dia penuhi. Kau harus memikirkan bagaimana ia mau mencuri? Segala sesuatu kemudian terungkap ketika salah Ia jarang keluar rumah. Tidak punya banyak kawan. seorang warga mengaku memergoki Marapande Hanya aku kawannya, karena yang lain menolak sedang mencuri di rumahnya. Tidak jelas betul kabar berkawan. Mereka takut dimarahi orang tua masing-

56 57 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 DENGGAN MENGHILANG | Budi Hatees masing. Tapi kalau Denggan memberi izin agar mereka Ia mendengarkan semua perkaaanmu, juga memainkan mainannya, barulah mereka mau berkawan cacimaki yang kadang tidak bisa kaukendalikan. Hatinya dengan dirinya. sering sakit. Tapi ia diam saja. Cuma, Denggan kurang suka berkawan dengan Sebetulnya ia kasihan kepadamu. Kau tidak pernah mereka. Ia ingin perkawanan dengan siapa pun terjalin tahu kemampuannya yang luar biasa, tapi kau sudah karena hati, bukan karena mengharapkan pamrih. Tapi memvonisnya lebih dahulu. Baginya, kau sama saja di belakang, malah menjelek-jelekannya. seperti orang lain, yang menghukumnya tanpa alasan Hanya aku satu-satunya orang yang menjalin jelas seperti juga mereka menghukum ayah dan ibunya perkawanan secara tulus. Bagiku, Denggan itu anak tanpa alasan jelas. yang baik. Terlalu baik, malah. Ia mau memberikan Sebagai satu-satunya orang yang dia miliki, seharus- mainan-mainannya kepadaku. Gratis. Aku yang tidak nya kau mendukungnya. Tapi tidak. Kau malah selalu pernah mau menerimanya, karena takut kedua orang ketakutan kelak ia akan seperti mendiang ayahnya. Rasa tuaku akan bertanya-tanya. Aku tak tahu harus ketakutanmu itu luar biasa. Kau selalu curiga kepadanya. mengatakan apa. Tidak mungkin aku katakan mainan Puncak kecurigaanmu malah tak masuk akal. itu diberikan Denggan. Mereka akan menyangka Suatu sore, saat ingin bertemu Denggan karena bahwa aku sudah ikut-ikutan mencuri seperti anggapan sudah lama tidak pernah melihatnya, aku lihat kau mereka tentang Denggan. mengambil lampu minyak yang disangkutkan di Aku lebih suka memainkan mainan itu bersama dinding papan rumahmu. Di luar malam mulai Denggan. Kalau kami sudah bosan, Denggan akan merambat. Dengan lampu di tangan, kau melangkah membawa pulang mainan itu ke rumahnya. Seperti ke jendela, menutupkan daun jendela. Setelah biasa, kau akan marah padanya dan menyita mainan memastikan terkunci rapat, kau melangkah ke pintu itu. Denggan akan menceritakan semuanya padaku. rumah dan memastikan bahwa pintu itu terkunci rapat. “Kau harus sabar,” kataku. Setelah itu kau melangkah ke pintu yang memisahkan ruang tamu dengan dapur. Kau berhenti DENGGAN memang penyabar. Ia terima apa sebentar ketika tubuhmu sejajar dengan sebuah foto pun yang kautuduhkan meskipun ia tidak pernah berbingkai kayu yang ditempel di dinding. Kau melakukannya. Itu sebabnya ia sering bersikap seolah- pandangi foto yang berisi seorang perempuan muda olah tak mendengarkan ketika kau menasihatinya. dan seorang anak perempuan yang masih berumur lima

58 59 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PERAHU KENANGAN | Gaza Manta tahun. Itulah foto mendiang istrimu, Dumasari, bersama mendiang anak gadismu, Nauli. Mendadak air matamu menggenangi kelopak mata. Buru-buru Perahu Kenangan kautinggalkan foto itu. Kau sibak gorden bercorak bunga-bunga yang jadi pemisah ruang tamu dengan dapur. Dapur perlahan- lahan mulai terang oleh pendaran lampu minyak yang Gaza Manta kau bawa. Sudut-sudut dapur yang kelam dan jorok Minggu, 15 Februari 2015 terlihat jelas. Pada beberapa tiang tampak sarang laba- laba. Kau menarik napas dalam-dalam. Kau melangkah sangat perlahan. Suara langkahmu I dalam kamarnya, Jeni menyembunyikan tak terdengar pada lantai kayu. Tak ada derit pada lantai sebuah perahu dari dunia. Sebuah perahu itu seolah-olah tubuhmu sangat ringan. Lalu kau angkat kecil,D terbuat dari papan-papan rapuh yang dia lampu minyak tinggi-tinggi untuk menyinari seluruh kumpulkan dari sungai di dekat rumahnya. bagian dapur. Dan, tiba-tiba, cahaya yang temaram itu Perahu itu berwarna cokelat dengan layar putih menangkap sosok anak kecil sedang jongkok dekat kusam yang penuh bercak-bercak kehitaman. tungku. Kedua tangan yang kecil itu terikat pada Di dua sisinya, tak beraturan karena papan kayu sebatang kayu, sedangkan pergelangan kaki yang sangat yang tak rata dan koto, dia sempat meng- ramping itu terbelenggu dua batang kayu balok yang gambar sepasang sayap putih: satu di kanan, disatukan. Di samping anak itu ada sebuah cangkir satu di kiri. Perahu itu, Jeni menamainya perahu kaleng dan piring kaleng. Beberapa butir nasi terserak kenangan. di sekitarnya. Karena Jeni tak ingin melupakan kenangan, Aku terenyak. Aku tahu itu Denggan. Pantas ia dia menciptakan perahu itu. Meskipun dia tak pernah lagi terlihat.  menduga pada akhirnya perahu itu pun tak akan membawanya ke mana-mana. Tidak untuk berlayar di sungai rumahnya. Apalagi untuk berlayar di lautan luas. Dia membayang- kan jika papan-papan itu akan copot satu per

60 61 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PERAHU KENANGAN | Gaza Manta

satu terkena air dan empasan gelombang, lalu akhirnya tenggelam. Dia tak ingin perahunya tenggelam. Dia tak ingin kenangannya hilang begitu saja. Namun Jeni tahu, hari-hari aman untuk menyimpan perahu itu di kamar akan segera berlalu. Ayahnya sudah berulang kali masuk ke kamarnya, menganggap perahu itu sampah dan ingin Jeni segera membuangnya. Dia menolak. Menangis. Bahkan mengancam untuk melompat ke dalam sungai dekat rumah jika ayahnya terus memaksa. Bagaimana seorang manusia bisa membuang kenangan? Bagaimana manusia hidup tanpa kenangan? “Orang dewasa bisa hidup tanpa kenangan,” kata ayahnya. Jeni menggeleng, hampir menangis. Kalau begitu aku tak mau jadi dewasa, katanya. “Coba lihat apa yang kita punya di sini,” ujar ayahnya lagi, “Ini Januari. Banyak orang akan dewasa pada bulan ini. Kau akan dewasa bulan ini.” Begitu ayahnya pergi, Jeni melihat ke kalender. Alih- alih tertempel di dinding, kalender itu kini tergelar begitu rupa di meja belajar. Sejak tahun baru, lingkaran- lingkaran merah selalu melingkari angka-angka yang berbaris maju. Mereka sedang menghitung umurnya. Mereka sedang menunggu Jeni menjadi dewasa.

PAGI-PAGI sekali, Jeni suka pergi ke sungai. Berharap akan ada kayu-kayu rapuh lagi yang terbawa oleh kederasan aliran sungai lalu tersangkut di tepi. Dia

62 63 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PERAHU KENANGAN | Gaza Manta ingin membuat perahunya lebih kokoh dari sekarang. seolah sedang memastikan jika kalender itu tak akan Jeni ingin perahu itu harus mampu berlayar membawa- mencuri kesempatan untuk memajukan waktu, nya pergi. Karena itu dia memindahkan perahu itu ke mengantarnya lebih cepat ke usia delapan belas. sungai dekat rumahnya. Dia begitu yakin kini untuk Entah kenapa ibunya menganggap perahu kecil mulai membuka rahasianya. itu akan bisa menyelamatkan umat manusia. Perahu Jika dia beruntung mendapatkan kayu-kayu itu, Jeni itu bahkan tak cukup luas untuk menampung dua akan menuliskan sebuah nama di balik kayu itu sebelum orang. Aku hanya akan berlayar sendiri, kata Jeni. Tak menempatkannya di badan perahu. Nama yang tiba- akan ada satu orang pun yang ikut denganku pergi tiba melintas begitu saja dalam ingatannya, tanpa dari sini. kenangan apa pun. Dia mengerjakan semuanya sendiri. Disebut apakah sebuah perjalanan, jika seorang Tanpa harus ke tukang kayu, dia belajar memasang manusia menggunakan kenangan sebagai kendaraan? paku dan menggunakan gergaji. Lalu disebut apakah tujuannya? Lalu disebut apakah Jeni tahu orang tuanya menganggapnya gila. Atau sesuatu yang ditinggalkan? mungkin malah bangga. “Anak kita jadi seperti Nuh,” Jeni selalu yakin bahwa perahu yang dia buat akan begitu kata ibunya suatu waktu. “Dia akan membuat menjelaskan pada suatu hari nanti alasannya membenci bahtera untuk menyelamatkan umat manusia. Lalu tempat dan waktu yang melingkupinya saat ini. Dia banjir besar akan tiba. Orang-orang jahat akan mati. merasa dunia ini begitu aneh, begitu kacau. Kadang- Ah, tapi kita bukan orang jahat. Kita tak akan mati. kadang saat dia berjalan-jalan menyusuri jalanan Salatiga Jeni akan menyelamatkan kita.” yang lengang, tiba-tiba langkah kakinya menemui se- Kata-kata itu, setahu Jeni, tak pernah dianggap buah jalan yang begitu ramai oleh kendaraan. Jeni segera serius oleh ayahnya. Lelaki itu hanya tersenyum, sambil sadar bahwa itu adalah Tembalang. Namun di Tembala- memandang prihatin pada ibunya. Juga pada dirinya. ng, kesedihan seharusnya selalu menguap dan membu- Namun ibunya salah tentang hal ini. Jeni bukan at dunia menjadi abu-abu. Dan itu tak dirasakannya Nuh, meskipun dia membuat perahu itu dengan tiba- saat matanya mengawasi deretan kendaraan yang terje- tiba. Dan meskipun dia semakin mahir menggunakan bak kemacetan. Bahkan Widya Puraya yang dia saksi- perkakas-perkakas tukang kayu, tapi dia jelas bukan kan tak seperti yang dia kenal dulu. Tak ada kesunyian. Isa. Dia hanya Jeni, anak perempuan berusia tujuh belas Orang-orang hanya diam, sambil berlari. Kesunyian dan tahun yang semakin sering memandang ke kalender, diam adalah dua hal yang sangat berbeda.

64 65 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PERAHU KENANGAN | Gaza Manta

Ini bukan dunia yang kukenal dulu, katanya. Di pena, dan beberapa potong pakaian. Tak ada bedak. Tembalang, salju bisa turun kapan saja. Seseorang Tak ada lipstik. tinggal memejamkan mata dan membayangkan rasa Kenangan, sekarang lebih penting dari semua itu. dingin yang menusuk hati. Rasa dingin karena Hampir tengah malam ketika Jeni membuka jendela kesunyian. Dan ketika membuka mata, dunia akan kamarnya, lalu menyelinap pergi. Dia berlari menuju menjadi putih. Tembalang akan memutih. Tapi di sini sungai, tersandung di langkah-langkah awal namun dia aku tak bisa membayangkan apapun, katanya. Ketika tetap berlari. Malam begitu gelap, terlalu gelap mungkin aku memejamkan mata, ujarnya lagi, semuanya kosong. untuk merayakan sebuah ulang tahun yang tak terlalu Aku bahkan tak bisa mengingat satu orang pun kecuali berarti. Namun Jeni tahu bahwa betapapun gelapnya, nama mereka. ulang tahunnya kali ini begitu penting. Dia menyalakan Maka ketika Jeni menemukan papan-papan kayu, senter. Meskipun dunia ini begitu berbeda, namun kata- dia berharap menuliskan nama-nama itu akan membuat kata ayahnya, ayah yang sama sekali berbeda, juga kenangannya kembali. Tapi bukankah mengetahui benar: dia harus menjadi dewasa malam ini. nama saja tak cukup untuk meminta sesuatu yang Maka dia menentukan jalannya sendiri. Jeni berlari. lebih? Sementara dia ingin meminta kenangannya Suara sungai menyapa telinganya, begitu nyaring di kembali. malam hari. Namun sebelum sampai di sungai, beberapa siluet mengadangnya. Jeni berkelit, dia melihat TANPA sadar, lingkaran-lingkaran merah di ayah-ibunya, teman-temannya, orang-orang yang kerap kalender terus bergerak. Pada hari keenam, Jeni ditemuinya di jalanan, semua dengan senyuman yang memasang sebuah layar baru di kapalnya dengan kain menakutkan dan tatapan mata yang kosong. berwarna biru, juga penuh dengan tulisan. Dia bersikap “Jadilah Nuh bagi kami. Selamatkan kami dengan manis hari itu dengan tidak membuat keributan sama perahumu!” sekali di kamar. Namun ketika orang tuanya “Jeni! Tunjukkan perahumu! Bukankah ayah sudah mengajaknya pergi, dia menolak. menyuruhmu membuangnya!” Dia sendiri punya kepergian yang harus “Jeni, ayo main!” dipersiapkan. Dia mengemasi segalanya dan “Bagaimana tugasmu kemarin? Kenapa belum kau memasukkannya dalam tas. Barangkali bukan kumpulkan pada Bapak?” segalanya, karena dia hanya membawa sebuah buku, “Selamat ulang tahun, Jeni! Ayo tiup lilinnya!”

66 67 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PERAHU KENANGAN | Gaza Manta

“Ayo! Ayo! Selamat ulang tahun ya!” Sementara orang-orang masih berteriak memang- “Jeni, makan-makannya sekarang saja ya!” gil namanya di atas, aliran sungai telah dengan stabil “Jeni, jangan pergi!” membawanya semakin ke tengah. Tak ada yang perlu “Jeni, kau nggak boleh pergi,Bodoh!” dikhawatirkan, pikirnya. Dia yakin papan-papan kayu “Jeni!” bertuliskan nama-nama itu akan cukup kokoh “Jeni!” membawanya pergi. Membuatnya mengingat sesuatu. “Jeni!” Sudah fajar, ketika perahu itu mulai berlayar di “Jeni!” perairan yang luas, namun dengan kabut yang begitu “JENNNNNNI!” putih di sekelilingnya. Jeni menduga barangkali dia “Jeni, aku mencintaimu.” sudah sampai di lautan. Dia membuka tasnya, menyiap- Sesuatu yang panas mengalir di sudut matanya. kan buku dan pena. Namun di sebuah halaman, dia Sungguh, kenangan-kenangan di sini begitu tiba-tiba berhenti. Ada perasaan rindu yang mendadak mendamaikan, namun dia sama sekali tak mengenali tumbuh kepada foto yang tertempel di situ: foto semua itu. Dia belum pernah merasa tak bahagia pada keluarganya. Keluarga yang sebenarnya. sesuatu yang seharusnya begitu menyenangkan. Seperti Hatinya mencelos, mendadak jantungnya berdetak yang dia rasakan saat ini. begitu kencang. Dia melihat ke layar perahunya. Kata- Jeni berlari sambil memukul-mukul udara kata yang tertulis di sana; Jeni mengingatnya sebagai sembarangan. Beberapa orang terjatuh ke tanah, entah puisi yang pernah dibuatkan oleh seseorang padanya. siapa. Namun kerumunan itu terus menerus Lalu dia melihat ke dalam perahunya. Pada papan- mengepung dan menyuruhnya tinggal. Aku, teriaknya, papan kayu yang tampaknya rapuh namun mampu ingin hidup dengan kenanganku sendiri. Dia melempar- membawanya berlayar sejauh ini. Nama-nama yang kan senter ke arah mereka. Lalu dengan putus asa tertulis di sana; semua adalah nama teman-temannya. menjatuhkan diri ke sungai. Tangannya membentur Jeni menangis ketika mulai membaca nama-nama bebatuan di dasar. Begitu sakit. Namun dia tak acuh. itu satu per satu. Jeni sadar bahwa kenangan barangkali Dia berenang ke tepi, ke tempatnya menyimpan tak akan pernah hilang, yang harus manusia lakukan perahu. Membuka kain yang menyelimutinya, hanya mau mengingat.  memasang layar, lalu menariknya kembali ke tengah. Dia siap berlayar. Dongeng buat Jeni

68 69 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 RAHASIA | Ida Refliana YH. Rahasia

Ida Refliana YH. Minggu, 22 Februari 2015

URAD sebetulnya sangat enggan mendatangi rumah Arini, wanita berparasM ayu yang sudah dua tahun ini memasung hatinya. Ia selalu menolak bila Arini  memintanya bertandang menemui kedua orang tuanya. Bukan karena ia tidak sungguh- sungguh ingin mempersunting Arini. Ada yang membuatnya ragu untuk hal itu. Padahal Murad sangat mencintai Arini. Persoalannya karena Arini tinggal di Kampung Babi. Haruskah Murad menolak lagi? Arini sudah memintanya untuk kesekian kali. Kedua orang tua Arini juga ingin berkenalan dengan Murad. Ingin melihat wajah dan penampilan dokter Murad. Bukan cuma cerita-cerita manis yang dibawa Arini ketika meninggalkan rumah kost,

70 71 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 RAHASIA | Ida Refliana YH.

dan berakhir pekan sesekali di kampungnya. Pada hari yang tidak diketahui Arini, Murad pergi ke Kampung Babi, yaitu sebuah dusun di Desa Way Serdang. Konon Kampung Babi hanyalah sebutan warga Desa Labuhan Batu setelah peristiwa puluhan tahun silam: seorang petani kopi bernama Burhan harus terusir dari kampungnya dengan cara yang sangat memilukan. Cerita dimulai ketika dua hektare kebun kopi milik Burhan gagal panen karena serangan hama. Burhan bingung menghadapi tagihan utang pada tengkulak yang tiap bulan harus dibayar. Di tanah miliknya, Bur- han memang tidak punya kuasa terhadap hasil panen kopi selain bagi hasil 30 persen saja untuknya. Semua bibit kopi berasal dari tengkulak. Lambat laun akhirnya sebagian tanah milik Burhan disita. Anehnya beberapa bulan kemudian, lagi-lagi ia mengalami sial. Pada sore hari setelah pulang dari kebun dan beristirahat di rumah, tetangganya mengabarkan ladangnya terbakar. Untunglah ia masih punya rumah yang menaungi istri beserta kelima anak-anaknya. Tapi agaknya Burhan merasa malu dengan kehidupannya. Semua anaknya harus berhenti sekolah karena tidak punya biaya, lalu mereka ikut jejak istrinya bekerja menggarap kebun milik orang lain. Sementara Burhan, sejak peristiwa ke- bakaran kebun kopi miliknya, menyisakan kelumpuhan kedua kaki sebab ia terpanggang hampir seluruh badan, demi ingin menyelamatkan sisa-sisa tanaman kopi. “Malik semua yang membiayai pengobatanku,”

72 73 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 RAHASIA | Ida Refliana YH. cerita Kakek Burhan pada cucu lelakinya sebelum apalagi berurusan dengan orang bernama Malik,” pesan meninggal. Kakek Burhan sebelum meninggal. Usia Malik kini hampir 70 tahun dan masih tampak Murad tidak tahu pesan di balik semua itu. Kakek- gagah. Kata orang ia hampir menguasai seperempat nya menyembunyikannya sangat rapi hingga ayah dan lahan pertanian di Desa Way Serdang, buah dari ibunya sendiri sepakat diam dari keingintahuan Murad. keberhasilan jadi tengkulak. Setiap pagi setelah Kenapa keluarganya melupakan tanah kelahiran mengelilingi area kebun kopi, dia akan mampir di mereka? Apa yang sudah disembunyikan Kakek restoran simpang jalan raya. Di sebelah bangunan Burhan? rumah makan itu berdiri hotel berbintang lima. Keingintahuan Murad makin besar begitu Arini Bangunan itu dulunya rumah milik Kakek Burhan. Di bilang dirinya cucu Malik. Dan Arini ingin sekali sanalah Murad menginap. pernikahannya dengan Murad kelak disaksikan pula oleh Malik. MURAD hanya memesan segelas kopi untuk “Kakekku sudah sepuh, Mas. Mumpung ia masih mengganjal perutnya. Pagi itu dia ingin menemui Ki hidup aku ingin kita menikah di hadapannya. Akulah Rudap. Berbekal informasi dari salah seorang petugas cucu tertua di keluarga kami...” hotel tempat ia menginap, Ki Rudap kemungkinan mengetahui “sejarah” masa lalu kakeknya. RUMAH Ki Rudap menyudut di pinggir desa Sejumlah orang yang ditemui Murad hanya mau dekat sungai kecil. Sepanjang jalanan yang dilalui mobil menjelaskan hal-hal baik yang dilakukan Malik. Cerita Murad, tampak debu-debu membumbung terbang tentang kekayaannya, sanak keluarga, serta nama harum terbawa angin. Murad masih beruntung perjalanannya Malik yang dianggap ikut memajukan desa dari tidak dibarengi turun hujan. Kondisi jalan desa yang pengentasan kemiskinan, hingga tiga orang anaknya rusak berat, berlubang, dan bertanah merah. berhasil menjadi tokoh terkemuka di Kabupaten Ada tiga rumah sederhana yang dikelilingi tanaman Mesuji, termasuk ayah dari Arini, bakal calon mertua ubi singkong sebelum sebuah rumah beratap rumbia Murad, yang tercatat sebagai salah satu anggota DPR. yang dituju Murad. Beberapa lelaki dan wanita muncul Tapi bukan semua itu yang mendorong Murad dari dalam rumah demi menyaksikan kehadiran Murad. menjejakkan kaki ke daerah tersebut. Begitu Murad keluar dari mobil, anak-anak berlarian “Ingat! Jangan pernah sekali pun kau ke sana, mendekat.

74 75 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 RAHASIA | Ida Refliana YH.

“Tahukah kalian di mana rumah Ki Rudap?” tanya Murad tidak punya waktu banyak karena esok sudah Murad kepada salah seorang bocah. Serentak kelima harus kembali ke Bandar Lampung. Dia coba sekali anak itu menunjuk sebuah rumah paling sudut. Rumah lagi untuk memanggil Ki Rudap. yang dibangun semipermanen di bagian bawah “Ki, tolonglah! Saya sangat perlu bantuan Ki berdinding bata merah, lalu disambung susunan bilah Rudap. Ini menyangkut masa depan saya. Sebentar papan dan diteduhi atap yang menjulang. lagi saya akan menikah, Ki. Saya hanya ingin tahu “Terima kasih, ya!” Murad membagikan lembaran kenapa kakek saya melarang saya datang ke sini.” lima ribu rupiah kepada anak-anak itu. Mereka Tiba-tiba pintu terbuka sepenggalan wajah, Ki berebutan gembira. Murad tersenyum. Ia tinggalkan Rudap menelisik tamunya penuh curiga. “Siapa nama mobilnya di tepi jalanan yang menghubungkan desa kakekmu? Lagi pula kalau sudah meninggalkan desa selanjutnya. ini apa pentingnya mengingat kembali.” Menuju rumah Ki Rudap melalui jalanan sedikit “Karena gadis calon istriku berasal dari kampung menurun, Murad menyaksikan rumah yang ingin sini,” sahut Murad. disambangi pintunya tertutup rapat. Dia sapu “Kau belum menjawab pertanyaanku tadi.” pandangan ke sekitar halaman yang ditumbuhi “Burhan namanya.” pepohonan dan semak liar. Sampah daun pohon Ki Rudap terkejut. Ia menutup kembali pintu, tapi mangga dan jambu air memenuhi sepetak kecil halaman Murad dengan gesit menahannya. Terjadi dorong- berbatu kerikil. Suasana yang jauh dari terawat. mendorong yang lalu dimenangkan Murad. Pintu ter- Dari setapak jalan kecil terlihat seseorang empas dan Ki Rudap berlari ke dalam. Murad mengejar. mendekat. Laki-laki tua berjalan terbungkuk. Pundak- “Kau pasti mengetahui sesuatu. Bilanglah, Ki! Ada nya memikul jaring dan keranjang bambu berisi ikan apa dengan masa lalu kakek saya? Kenapa ia takut sekali hasil tangkapan. Ia bersikap tak acuh pada kehadiran jika saya berurusan dengan keluarga Malik?” Murad. Padahal Murad sudah memberi salam dan Murad terpaksa menahan Ki Rudap dengan mengutarakan mak- sud kedatangannya. Ceklek! Suara lingkaran lengan ke lehernya. Ki Rudap meronta-ronta pintu yang dikunci. Ki Rudap hilang di balik pintu yang sambil merintih. tertutup rapat. Murad menarik napas. “Ampunkan saya, Tuan... Bunuh saja saya yang Gemas. Kesal. Tapi ia memerlukan ban- tuan kakek sudah berdosa ini. Sayalah penyebab kakekmu terusir tua itu untuk sebuah rahasia yang ingin dia ketahui. dari kampung ini...,” Ki Rudap menangis. Ia berlutut

76 77 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 RAHASIA | Ida Refliana YH. setelah Murad melepaskannya. “Bangunlah, Ki. “Tapi sebelum rumah Burhan dihancurkan orang- Ceritakan saja apa masalahnya. Saya hanya ingin tahu orang kampung, aku sudah memberitahu Burhan agar cerita yang sebenarnya.” secepatnya pergi keluar desa. Dan... dan... sebetulnya, Ki Rudap menyusut air matanya, lalu mengajak akulah yang membakar kebun kopi milik kakekmu. Murad duduk di kursiruang tamu. Empat pasang kursi Semuanya Malik yang meminta.” dan sebuah meja kecil dari susunan bilah bambu. “Busuk sekali hati kalian!” “Setelah kejadian terbakarnya kebun kopi milik Ki Rudap membungkuk, dalam posisi duduk kakekmu, beberapa bulan kemudian ia pergi ke hampir menyentuh ujung sepatu Murad. Ia tergugu. kota.Pada hari ia kembali, Malik datang menemuiku, ia Dia ulang-ulang kata maaf dari mulut keriputnya. merasa tidak senang melihat Burhan bisa menata Sesungguhnya dia pun terluka. Sudah lama ia menyesali hidupnya secepat itu. Kakekmu membuka warung nasi perbuatannya yang hina demi bayaran yang tidak di rumahnya. Usaha yang dikelola bersama istri dan seberapa dari Malik. Ki Rudap sudah membayar mahal anak-anaknya itu maju begitu cepat. Sedangkan utang untuk kesalahannya. Setelah kejadian itu, istri dan tiga Burhan kepada Malik setiap bulan terus berlipat-lipat. anak- anaknya tewas dengan cara mengenaskan. Malik ingin Burhan melunasi semuanya. Tapi Burhan Dibunuh dan diperkosa kawanan perampok saat ia tidak bisa memenuhinya hingga disusunlah rencana sedang bermalam di rumah istri barunya. Kini Ki Rudap untuk membuat Burhan terusir dari desa ini...” sebatang kara. “Siluman babi jadi-jadian...” “Maafkan semua kesalahanku, Anak muda. Aku “Astagfirullah,” desis Murad. “Ya, kami memfitnah rela mati di tanganmu asal bisa menebus semua - kakekmu punya peliharaan babi ngepet. Aku yang dosaku pada Burhan,” mohon Ki Rudap dengan suara menyebarkan berita hingga orang- orang kampung bergetar. percaya. Padahal desa waktu itu memang sedang rawan “Kakekku orang baik. Dia pasti sudah memaafkan pen- curian. Setiap minggu ada saja rumah warga yang jauh sebelum ia meninggal. Pikirkan saja caramu disatroni maling terutama setelah panen kopi. Lalu bertobat dengan benar. Dan ada satu hal lagi yang pada hari yang sudah kami sepakati, seluruh warga ingin kutahu sebelum pergi,” Murad berdiri seraya kampung menyerang rumah Burhan.” menjauh dari Ki Rudap. Ia berjalan ke pintu, masih “Teganya kalian terhadap keluargaku!” rahang dengan tatapan marah yang berusaha ditahan. Murad mengeras. “Apa yang menyebabkan Malik begitu membenci

78 79 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KELAMIN SANDAL JEPIT | Sigit Widiantoro kakekku?” Ki Rudap sudah berdiri. Alisnya berkerut mencoba mengingat sesuatu. Kelamin Sandal Jepit “Karena Yusna. Ia tunangan Malik tapi Burhan merebut dan menikahinya.” Dada Murad berdesir. Seluruh tubuhnya mendadak lemas. Tiba-tiba ia teringat Arini, gadis yang dia Sigit Widiantoro cintai. Entah apa yang ingin dilakukannya nanti setelah Minggu, 01 Maret 2015 kembali ke kota. Ia merasa pikirannya buram. Kekuatan untuk mengikat hati Arini seperti tali-tali yang terputus tiba-tiba. NTAH apa yang terjadi pada Badrun, tak Senja mulai turun di Desa Way Serdang. Gerimis seorang pun tahu. Semua hanya mengira- tumpah perlahan. Jalanan beraspal berdecit karena bunyi ngira.E Ada yang bilang, Badrun berkenalan roda mobil yang dikemudikan Murad.  dengan orang alim dan orang alim itu mengubahnya. Ada yang bercerita, Badrun. putus asa dengan kehidupan yang “begitu saja” dan ia pilih berubah. Tapi, ada juga yang bilang, kepala Badrun terbentur benda tumpul sehingga isinya rusak dan Badrun pun berubah. Entahlah, mana yang benar. Pokoknya, Badrun berubah! Ia kini rajin ke masjid. Shalat berjamaah tak pernah ia lewatkan dan beragam pengajian selalu ia datangi. Saat orang bersiap ke masjid atau tengah berwudu, Badrun sudah duduk di masjid. Keseharian Badrun yang keras hati juga berubah menjadi lembut hati. Badrun yang mahal senyum berganti Badrun yang murah

80 81 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KELAMIN SANDAL JEPIT | Sigit Widiantoro

senyum, sedangkan marah Badrun menjelma ramah Badrun. Dari semua perubahan Badrun itu, soal sandal jepit adalah perkara yang paling hangat dibicarakan. Bagaimana tidak, Badrun tiba-tiba menjadi begitu gandrung kepada sandal dengan pautan untuk jempol kaki dan jari kaki lain itu. Ke mana-mana sandal jepit menemani Badrun, ke masjid, ke sawah, atau ke kondangan. Badrun bahkan menolak pelindung kaki lain, sekalipun ia diundang acara resmi. Kalau orang tidak mengenal, belum mengenal, atau baru kali pertama mengenal, mungkin ia menganggap Badrun orang yang tidak sopan. Tapi, kalau orang sudah mengenal, orang akan tahu betapa Badrun kini amat menghormati dan menghargai orang. Pak Jati, lurah yang baru dan belum lama memimpin adalah salah seorang yang pernah kecele dengan sikap Badrun. Begini ceritanya. Suatu hari Pak Jati mengundang beberapa warga, termasuk Badrun, ke balai desa. Karena menghadiri acara di balai desa, pastilah orang-orang berpakaian rapi. Ada yang berbatik, berkoko, atau berkemeja biasa. Badrun berkoko putih. Namun, yang membuat Pak Jati terperanjat kaget adalah kaki Badrun. Saat orang bersepatu, bersepatu sandal, atau berselop, Badrun santai bersandal jepit. Pak Jati kecut hatinya. Ia merasatak dihargai. Pak Jati tak kuat menyimpan unek-unek. Ia ceritakan sandal

82 83 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KELAMIN SANDAL JEPIT | Sigit Widiantoro jepit Badrun itu kepada Pak Sekdes. Kebetulan rumah sandal jepit, kita menjalani hidup sederhana,” ceramah Pak Sekdes dekat dengan rumah Badrun. Maka, Badrun di malam hari saat meronda. Bahkan orang disampaikanlah kegundahan Pak Jati itu kepada Badrun tua yang ter- biasa menggunakan gapyak, Badrun tak oleh Pak Sekdes. Apa kata Badrun? Ia menjawab sem- ragu menyarankan ganti. “Sandal gapyak berat. Sandal bari mengungkapkan tekad besar. “Pak Sekdes, sampai- jepit ringan.” kan kepada Pak Lurah, saya sangat menghormati Pokoknya, tak ada orang yang begitu fanatik beliau. Tak sedikit pun saya berniat merendahkannya. kepada sandal jepit melebihi Badrun. Sandal jepit telah Percayalah, suatu saat, saya akan buat Pak Lurah jadi bagian hidupnya. Ibarat tubuh, sandal jepit mung- bangga. Ini wujud kalau saya menghargai Pak Lurah.” kin setara tangan, telinga, atau hidung. Menghilangkan Badrun membuktikan ucapannya. Setahun setelah sandal jepit dari Badrun sama saja dengan menghilang- pertemuan itu, Badrun terpilih sebagai petani teladan kan salah satu bagian tubuhnya itu. Badrun pasti tingkat kabupaten. Badrun dinilai sukses mengenalkan berontak. Tetapi, pada suatu hari para warga dibuat dan menggerakkan model pertanian ramah lingkungan. heboh. Badrun yang alim tiba-tiba balik ke semula. Badrun tidak ragu menghindar dari jerat pertanian Badrun kembali sangar, Badrun kembali menakutkan. kimiawi dan kembali ke pertanian alami. Rupanya, inilah Ternyata, semua ini gara-gara kabar yang dibawa Sipin. gaya penghormatan Badrun kepada Pak Jati sebagai Kata Sipin, sandal jepit itu haram. Karena haram, sandal lurah. jepit harus ditinggalkan. Memakai sandal jepit itu sama saja dengan memakan barang haram, seperti daging BEGITULAH, Badrun tak pernah pisah dengan babi, bangkai, darah, atau narkoba. sandal jepitnya. Ke mana-mana sandal jepit jadi kawan Tentu, Badrun terkejut mendengar kabar itu. setianya dan di mana-mana sandal jepit jadi bawaannya. Mulanya, ia tak peduli. Baginya, tak masuk nalar bila Tapi, hal yang membuat orang jengah dengan Badrun sandal jepit disamakan dengan daging babi, bangkai, adalah kebiasaannya mengajak orang bersandal jepit. darah, atau narkoba. Tetapi, ketika banyak orang Badrun seakan-akan tak kenal waktu, tempat, dan terpengaruh dan mulai meninggalkan sandal jepit, orang. “Sandal jepit itu nyaman. Kalau sudah coba, Badrun jadi gusar. Ia marah kepada Sipin. pasti ketagihan,” begitu rayu Badrun di depan anak- “Pin, kamu yang bilang kalau sandal jepit itu anak yang mengaji. haram?” Mata Badrun menyala. “Sandal jepit itu wujud kesederhanaan. Dengan “Bukan, bukan aku yang bilang, tapi Usap,” jawab

84 85 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KELAMIN SANDAL JEPIT | Sigit Widiantoro

Sipin sedikit bergetar, takut. sandal jepit. Badrun merasa dosanya berlipat-lipat. “Usap?” Badrun telah menghitung dosanya dengan cara “Iya, Usap yang bilang.” sederhana. Badrun ingat, ia tidak lepas dari sandal jepit Usap adalah panggilan untuk Ustaz Sapari. Ia ustaz sejak lima tahun lalu. Kalau dihitung perhari berarti yang tengah naik daun. Selain mengajar mengaji, Usap sudah 1825 hari ia berdosa karena sandal jepit. Apabila juga membuka praktik pengobatan. Sipin datang ke setiap hari Badrun melangkah dengan sandal jepit tidak Usap sebab Sipin sering pusing. Sudah banyak dokter kurang dari 10 km, berarti dalam lima tahun, Badrun ia datangi dan tak sedikit obat ia minum. Tetapi, melakukan langkah dosa sejauh 18.250 km. Ah, Badrun pusingnya tak hilang juga. Akhirnya, seorang teman tak bisa membayangkan betapa banyak dosanya. mengenalkan Usap dan menceritakan kehebatan Usap Badrun jadi penasaran. Hatinya meledak. Ia ingin hingga Sipin menemui. sekali bertemu Usap dan ia ingin sekali mendengar lang- Ajaib! Setelah diobati Usap hanya dengan diusap- sung dari mulut Usap, apa alasannya sehingga Usap usap kepalanya, Sipin sembuh. Pusing-pusingnya hilang. mengharamkan sandal jepit. Kalau jawaban Usap Dari pertemuan di tempat praktik Usap dengan pasien ngawur, Badrun berjanji abai. Tetapi, kalau jawaban lain itulah Sipin tahu kalau Usap melarang orang-orang Usap dapat diterima akal sehat, Badrun tak sungkan yang datang ke tempatnya bersandal jepit. Usap juga akan mengikuti. Ia siap membuang sandal jepit dari berpesan kepada pasiennya kalau mau bebas dari sakit, hidupnya. sandal jepit wajib ditinggalkan. Haram hukumnya memakai sandal jepit. “Apa alasan Usap mengharamkan BADRUN berdiri di seberang jalan rumah Usap, sandal jepit?” tanya Badrun penasaran. pagi itu. Sedari datang mata Badrun dilontarkan ke “Aku tidak tahu. Aku hanya dengar dari orang- arah rumah Usap yang mewah. Sudah lebih dari dua orang,” jawab Sipin. jam Badrun di situ. Badrun mulai putus asa. Ia ingin Badrun kecewa. Sekembalinya dari rumah Sipin, nekad. Tetapi, ada jengah di dada. Apalagi, Badrun ia tak kuasa menutupi kegalauan hatinya. Sandal jepit mendengar kabar, Usap akan ke Jakarta. Usap diminta haram? Ah, Badrun tak mampu membayangkan kalau mengisi acara pengobatan alternatif di sebuah stasiun hal itu benar, betapa banyak dosa yang sudah ia televisi. Jadi, pastilah Usap keluar nanti. lakukan. Ia tak cuma berdosa karena memakai, ia juga Itu dia! Batin Badrun berteriak. Ia melihat beberapa berdosa karena memengaruhi orang untuk memakai orang keluar dari rumah dan membawa barang-barang

86 87 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KELAMIN SANDAL JEPIT | Sigit Widiantoro bawaan untuk dimasukkan ke dalam mobil. Tidak lama, Badrun termenung dan coba menerka-nerka. Oh, di depan pintu rumah, Badrun melihat lelaki bercelana mungkin sandal jepit disamakan dengan pakaian atau putih, berbaju koko putih, juga berpeci putih, tengah sepatu. Ada pakaian pria ada pakaian wanita, ada sepatu berpamitan kepada seorang perempuan muda dan pria ada sepatu wanita. Karena pada sandal jepit tidak anak balita. Itu pasti istri dan anak Usap! Badrun berlari ada sandal jepit pria atau wanita, jadilah sandal jepit menyeberangi jalan. Badrun nekad. Ia naik ke pintu tak punya kelamin jelas. Benda tak punya kelamin jelas, berpagar besi yang cukup tinggi dan berteriak. tentu haram, begitu logika Badrun memainkan jawaban “Usap! Usap!” Usap. Badrun tersenyum. Orang-orang terkejut. Mereka seketika menengok Keesokannya, Badrun tetap tersenyum. Ke mana- ke arah datangnya suara. Semua saling berpandangan, mana ia tak berubah, bersandal jepit. Orang-orang jadi dirajam bingung. Usap yang sudah hendak masuk ke bingung. Lo, bukankah Badrun sudah bertemu Usap? mobil, mengurungkan niatnya. Ia ikut pula terkejut me- Kenapa ia masih bersandal jepit? Beberapa orang yang lihat seseorang yang tidak ia kenal, memanggil-manggil. penasaran bertanya. Wajah Usap berkerut, menampakkan tanya. Dari pintu “Drun, kenapa masih pakai sandaljepit, kan Usap mobil yang dipegangnya, Usap melontarkan tanya. sudah bilang, haram?” “Ya, ada apa?” Badrun masih tersenyum. Mulutnya membuka, “Usap, apa benar sandal jepit haram?” ringan. Usap kembali terkejut. Kali ini, ia seakan-akan tidak “Kalau sandal jepit di sana, iya, haram, karena menyangka ada seorang pria datang, berdiri di depan mereka tidak punya kelamin jelas. Kalau sandal jepitku, pintu rumahnya, dan bertanya seperti itu. Tak pelak, halal, sebab kelaminnya jelas. Ia untuk laki-laki. Lihat bibir Usap menyungging senyum. Tapi, Usap paham ini...” keadaan. Badrun menunjukkan guratan- guratan kasar pada “Oh, iya, sandal jepit memang haram.” sandal jepitnya, sebuah gambar, semacam lambang, “Kok bisa, Usap?” lingkaran dengan panah melekat di posisi jam dua. “Karena sandal jepit tak punya kelamin yang jelas.” Orang-orang bingung. Badrun tak peduli, ia ngeloyor Usap buru-buru masuk ke mobil setelah para pergi, tetap dengan tersenyum.  pengawalnya mengingatkan. Mobil melaju dan melewati Badrun yang bingung. Tidak punya kelamin jelas? Taman Pagelaran, 2/2015

88 89 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 GAMELAN WEKASAN | Ridwan M.G.. Gamelan Wekasan

Ridwan Munawwar Galuhwiraksa Minggu, 08 Maret 2015

Kandaga Padalangan Galuh, 1897 M. INI tinggal dirinya yang berada di ruang penyimpanan gamelan yang teduh dan lembabK itu. Rekan-rekan panayagan telah pulang ke rumahnya masing-masing. Ki Dalang Sepuh,  ayahnya, telah lebih dulu beradu nyenyak di peraduannya. Batinnya tak henti berbicara sendiri. Ia ingat betul peristiwa dua tahun silam, waktu ia masih menjalani masamasa pendidikan keagamaan di Madinah. Saat itu, dari Tanah Air datanglah sepucuk surat padanya. Surat yang ditulis sendiri oleh kakeknya, isinya adalah penjelasan kakeknya tentang kondisi hubungan pribumi dengan bangsa Walanda yang semakin meruncing. Dengan sangat lugas kakeknya berkata dalam surat itu, bagaimana bangsa asing itu kini telah berani melunjak; berani

90 91 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 GAMELAN WEKASAN | Ridwan M.G..

melarang dan mencekal pagelaran wayang. Rasa kaget bercampur marah memenuhi dadanya. Bagaimana tidak, semua rakyat Tatar Sunda tentu akan merasa tertekan, dan marah oleh perlakuan ini; apalagi bagi dirinya yang adalah pewaris, trah langsung Kasepuhan Kandaga Padalangan Galuh. Lama ia berpikir keras, apa yang hendak diperbuat- nya jika ia pulang kampung. Melawan pada pemerintah kolonial? Tentu sulit. Sebab meskipun rakyat memang berdiri mendukung di belakangnya, namun kemarahan mereka tersumbat oleh rasa takut pada moncong laras bedil kompeni. Kebanyakan. Akhirnya ia putuskan juga untuk segera pulang kampung, tepat dua minggu setelah ujian kelulusannya di Madinah. Tentu ia lulus dengan predikat yang sangat bagus. Oleh guru-guru dan kawannya, ia dijuluki sebagai Al-Marjan minaNuswantara, Ad-d’iatun minaNuswantara (yang cemerlang dari jazirah Nusantara). Kata gurunya, kecerdasan dan sosoknya mengingatkannya pada para pelajar-pelajar dari jazirah Nusantara yang datang dua abad sebelumnya. Dan ia pun menghabis-kan masa belajarnya di Madinah dengan banyak sekali aktivitas. Selain mengaji, dia juga melakukan kegiatan budaya; ia mengajarkan musik Sunda pada orang-orang Arab, sementara mereka yang diajarkan berbalik meng- ajarinya musik Arab, dan di antara semuanya, qonun adalah waditra Arab yang paling disukainya. Sebuah kegiatan ekstra yang tentunya tidak mudah;

92 93 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 GAMELAN WEKASAN | Ridwan M.G.. sebab selalu diiringi picingan mata sebagian kecil aroma kesedihan; kakeknya meninggal dunia tiga bulan gurunya yang memiliki pendirian bahwa kesenian itu sebelumnya, saat ia masih dalam perjalanan pulang, haram. tepat saat dia melintasi Selat India. Hari-hari berikutnya dia isi dengan menikmati SETELAH hampir delapan bulan mengarungi kenangan indah masa lalunya di kampung halaman. keluasan samudera, melintasi selat-selat, dan melewati Panineunangan di lembur pangancikan diri. Di sela-sela itu belasan pelabuhan, kini kakinya telah menjejak menapak tentu ia langsung disibukkan oleh berbagai riungan di Pelabuhan Cirebon. Dia telah sampai ke Tanah Air. sawala dengan kalangan pinisepuh. Sebagai pewaris, Ia menghela napas dalam seraya menatap tanah yang teureuh utama Kadatuan dan Kandaga Padalangan dia pijak. Cukup lama dia melakukan itu, sampai Galuh, dialah yang kini disodorkan tanggung jawab kemudian tibalah sebuah rombongan panyawah yang untuk menghadapi permasalahan yang kini bercokol. diutus ayahnya untuk menjemputnya. Rama Purwadjati, ayahandanya yang sudah sepuh, Perjalanan dari Cirebon ke Tatar Galuh memakan meskipun tersembunyi, telah menganggap anak lelaki waktu dua hari satu malam dengan berkendaraan kuda sematawayangnya itu pantas untuk mengetahui apa tunggangan. Sepanjang perjalanan, ia menemukan yang sesungguhnya terjadi; pertama, perampasan betapa banyaknya hal yang berubah di tanah Nusantara senjata/pakarang milik rakyat oleh pemerintah militer ini; di sana-sini berdiri pabrik, baik itu pabrik gula, kolonial, dan kedua adalah pencekalan/pelarangan pabrik batu bara, pabrik pengolahan bahan rempah, pagelaran pewayangan. dan sebagainya. Dia juga melihat banyak sekali jalan Menurut keterangan Sang Rama, yang baru dibangun, sebuah kegiatan yang memakan tumbal mengeluarkan kebijakan semacam itu adalah Tuan ratusan bahkan konon ribuan nyawa para pekerjanya, Gopernemen baru yang sudah menjabat di sini selama demikian seorang panyawah menjelaskan. Di kaki tiga tahun terakhir. Tuan Gopernemen sebelumnya, Gunung Ciremai, kini dia melihat bangunan dan justru memiliki watak yang berkebalikan; dia adalah benteng milik pemerintah kolonial semakin banyak orangasing yang mencintai tradisi dan kebudayaan berdiri. Hanya selama tujuh tahun kutinggalkan, betapa pribumi. Sebagai seorang terpelajar, dia segera melihat banyaknya perubahan yang terjadi, batinnya. Tiba di kebijakan pemerintah kolonial itu berhubungan dengan Tatar Galuh, ia tidak hanya menghirup udara segar adanya ketidaksetujuan dan perlawanan masyarakat dan hawa pilemburan yang dia rindukan, tetapi juga pribumi atas pencaplokan lahan-lahan pertanian serta

94 95 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 GAMELAN WEKASAN | Ridwan M.G.. korupsi para pejabat terkait pembagian hasil dari menahan geram yang makin menjadi. Bukannya penggarapan lahan pertanian milik rakyat. mendapat penyelesaian, yang ada adalah masalah yang Pernah suatu ketika pamannya yang juga seorang makin bertambah. Si Tuan Gopernemen memberi dalang, tetap bersikukuh mengadakan pagelaran waktu lima hari untuk penyerahan pranata pewayangan wayang golek, sebagai jamuan dan penghormatan atas beserta gamelannya pada pemerintah kolonial. Jika kedatangan tamu priyayi Mataram. Tetapi di tengah tidak, hukuman yang tidak masuk akal telah menanti. pagelaran, sepasukan kompeni datang dan langsung Keputusan harus segera diambil. Pilihannya cuma membubarkan pagelaran begitu saja. Seperti lakon yang dua: menyerah atau melawan membela harga diri. Maka tidak sempat tersampaikan, seperti itu pulalah pada malam ketiga diadakan puncak sawala, bersitegang kemarahan yang kini menyumbat para anggahota pendapat dari mereka yang ingin melawan langsung kandaga padalangan. dengan mereka yang takut pada moncong bedil Dengan dikawal beberapa pendekar dan panyawah, pemerintah kolonial. Tanpa dikatakan pun semua tahu akhirnya dia berangkat ke kantor Gopernemen betul, melawan berarti harus berani dengan perang kolonial, dengan maksud berdiplomasi, membicarakan terbuka. perkara ini secara baik-baik. Namun apa yang dia dapat “Pakarang memang sudah tidak ada. Tetapi adalah semburan amarah dari suara berat Tuan sebenarnya kita bisa merakit sebuah meriam untuk Gopernemen. menghadapi mereka. Yang kita butuhkan ya bahan “Wayang mah miara mitos, ngajauhkeun inlander tina logam...,” Ki Amungwaja angkat bicara. Dia adalah cara mikir nu logis, nu rasional! Kamu semua harusnya seorang ahli perang yang pernah belajar teknik tahu diri!” katanya dalam bahasa Belanda bercampur pembuatan senjata ke Hindustan. bahasa Sunda kasar garihal. Semua terdiam. Menimbang dan menghitung. Semua kaget dan tersinggung mendengar jawaban Namun sorot mata keempat puun telah menyiratkan itu. Ki Branjangpati, pendekar kepercayaan kadatuan sebuah keputusan pasti. Betapapun beratnya itu. tampak sekali sudah tidak tahan ingin melayangkan tinju ke muka Tuan Gopernemen, namun dia masih MALAM kian bergerak ke titik janari leutik. Angin menahan diri, memikirkan keselamatan para panyawah semakin dingin dan menusuk sepi. Ini adalah malam yang berada dalam ancaman moncong bedil. kelima. Ia menghela napas. Tidak lama lagi bala tentara Akhirnya dia bersama yang lainnya pulang dengan kolonial akan mendatangi wilayah ini, kampung

96 97 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 GAMELAN WEKASAN | Ridwan M.G.. halamannya sendiri. - Kajeun teuing gelut batan budaya urang direbut: lebih baik Biarlah mereka datang. Akan kita sambut mereka berperang daripada budaya kita direb. dengan keberanian yang penuh. Lebih baik mati - maung: harimau. - Panineunangan di lembur pan gancikan diri: mengenang di membela harga diri daripada hidup dalam tekanan kampung tempat bersemayam diri. penghinaan. Kajeun teuing gelut batan budaya urang direbut. - Pilemburan: perkampungan. Sambil menghela napas panjang, ia membereskan - Puun: pemimpin masyarakat adat. waditra gamelan yang tinggal satu-dua buah saja, karena - teureuh: trah, turunan. sebagian besar sudah dilebur untuk diolah dijadikan - waditra: instrumen, alat musik. meriam, dicampurkan dengan benda-benda logam lain yang masih tersisa. Dalam hening, selarik udara lembut tiba-tiba mengusap wajahnya. Entah dari mana. Lalu seperti semacam bisikan atau gaung lembut dari gong yang sudah tidak ada. Tiba-tiba menyeruak suatu keyakinan dalam dadanya yang bidang dan muda menggelora. Lalu dengan langkah pelan ia menuju ke pojok ruangan, bersila dan mulai memainkan kacapi indung. Satu per satu petikan jemari mewakili rasa. Jentring ngawujud diri, jentrang ngarupa raga. Dengan pelan dia ngahariring, pupuh durma. Dalam kegelapan malam, sorot matanya hurung, lir ibarat mata maung. 

Ciamis, Mei 2014-Yogyakarta, September 2014

Catatan: - Hurung: bersinar, menyala. - Janari leutik: dalam titi wanci Sunda waktu sekitar pukul tiga dini-hari.

98 99 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 DUA SAHABAT | Y. Agusta Akhir Dua Sahabat

Y. Agusta Akhir Minggu, 15 Maret 2015

A tampak lebih kurus ketika dia mengunjunginya. Kunjungan untuk kese- kianI dan tampaknya tak akan ada lagi sete- lahnya. Pendeknya, ini akan menjadi pertemuan  terakhir bagi mereka. “Bersisirlah,” ucap dia sembari mengulurkan sebuah sisir kepadanya. “Rapikan rambutmu, Kawan!” Ia hanya memandang dia dengan tatapan tanpa gairah. Lalu katanya dengan nada yang amat pelan, nyaris tak terdengar, “Apakah masih perlu?” Dia hanya tersenyum dan mengulangi ucapannya dengan setengah memohon. “Ayolah, Tuhan pun pasti akan tersenyum!” “Bahkan ketika hidupku tinggal beberapa hari lagi?” Dia mengangguk, masih tetap menyung- gingkan senyum. Entah karena gurauan itu

100 101 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 DUA SAHABAT | Y. Agusta Akhir

atau dorongan lain, ia akhirnya mengambil sisir itu dari dia. Ia mulai merapikan rambutnya. Tanpa becermin karena di ruangan itu tak ada cermin. Tapi ia bisa merasakan rambutnya yang kusut dan kumal: ia lupa, kapan terakhir mengeramasi rambutnya. Ketika ia mengembalikan sisir itu, dia semakin sadar, betapa pucat dan tak bergairah kawannya itu. Dia mafhum. Tapi hatinya ngilu juga. Lebih ngilu dari beberapa kali kunjungannya yang lalu. Semula, dia tak tahu ia adalah kawannya. Dia membaca surat yang disampaikan kepadanya melalui petugas yang berwewenang. Ada sejumlah nama lengkap dengan biodata masing-masing. Dia membacanya. Dia merasa tak asing dengan nama itu. Tak mudah baginya untuk mencari tahu informasi yang lebih lengkap, demi meyakinkan hatinya perihal nama itu. Semula dia bimbang juga. Tapi dia tetap mengambil keputusan sebagaimana yang sudah dibuatnya. Dia menyesali hal itu. Tapi dia tahu, itu tak akan mengubah pikirannya. “Bebaskanlah aku,” ucapnya masih dengan nada yang begitu lirih seolah hendak menunjukkan betapa hidupnya pantas untuk dikasihani. “Tidak sulit bagimu!” Dia hanya menggeleng. Senyumnya masih juga, meski mulai samar. ”Mengapa?” kali ini suaranya sedikit lebih keras. “Aku kawanmu dan kau bisa melakukannya.”

102 103 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 DUA SAHABAT | Y. Agusta Akhir

Dia tetap menggeleng. Kali ini tanpa senyum. Tapi “Dan kau saat itu memanjat pohon mangga- wajahnya tak menyiratkan apapun. Datar. Begitupun, nya.” Ia tertawa lirih. ia tahu, gelengan kepala itu sulit diubah menjadi sebuah “Anjing dan tuannya tak ada bedanya!’’ anggukan. Ia tertawa. “Aku melihat lelaki tambun itu keluar dengan “Jadi, untuk apa kau datang kemari, hah?” sebuah tongkat setelah anjing piaraannya menyalak- “Tentu saja untuk menengok kawanku.” nyalak. Untung saja dirantai. Kalau tidak, binatang “Ya, tentu saja begitu. Sebelum sebutir peluru itu pasti menungguimu di bawah! Dan sulit menembus jantungku beberapa hari lagi!’’ dibayangkan, tubuhmu yang ceking jadi bulan-bulanan Keduanya kemudian saling diam. Membuat ruang orang tua itu, atau barangkali dicabik gigi anjingnya!’’ berjeruji itu begitu senyap. Dia melihat jam di “Tapi tetap saja aku terjatuh! Kau melihat kakiku pergelangan tangan. Masih ada waktu, batinnya. berdarah. Sampai sekarang bekasnya masih ada.’’ “Tak kusangka,’’ ia mulai membuka suara lagi. Kali “Tapi kau masih juga bisa berlari!’’ ini dengan nada yang terdengar lebih santai dan akrab. Ia diam sejenak. Terlintas di pelupuk matanya, “Kita bertemu dengan cara seperti ini. Kita masih bagaimana saat itu ia tersentak kaget mendengar orang saling menerima sebagai sepasang sahabat. Kalau tua itu meneriakinya maling sembari mengacung- dipikir aneh juga, ya?’’ acungkan tongkatnya. Dan betapa ia ketakutan ketika Dia tak menyahut. Hanya menatap lelaki di tahu orang tua itu dengan tergopoh mendekati hadapannya itu dengan rasa sedih yang dia pohon mangga yang ia panjat. Barangkali saking sembunyikan jauh di dalam lubuk hatinya. gugupnya, ketika ia buru-buru turun, malah terjatuh. “Dan sampai saat ini,’’ ia melanjutkan, “kita masih Beruntung, ia masih bisa berlari, menghindar dari berada di jalan yang berseberangan.’’ kejaran orang tua pemilik pohon mangga itu. Ia kemudian mengingatkan kembali kepada dia Ia tersenyum mengingat itu. “Terimakasih telah tentang masa-masa kecil mereka dulu. Ia mulai cerita menyembunyikanku waktu itu. Kau, telah menyelamat- dengan suaranya yang bahkan dinding di ruangan kanku!’’ sempit itu tak sanggup membuatnya bergema. Dia pun mengingat peristiwa itu. Dia belum pernah “Masih ingat Pak Wimbo?’’ Dia mengernyitkan mengingat peristiwa itu seperti sekarang ini. Ya, dahi, kemudian berkata, “Gemuk dan galak!’’ peristiwa itu sebenarnya peristiwa biasa saja dan “Mirip anjingnya!” sekarang sedang berputar kembali dalam otaknya

104 105 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 DUA SAHABAT | Y. Agusta Akhir seolah baru beberapa hari lalu terjadi. Dan betapa dia “Tapi kau pun juga bukan lagi seorang anak yang dapat melihat lagi ketakutan di wajah kawannya itu. penakut, cengeng, dan selalu berlari setiap diajak Dia menyembunyikannya dari lelaki tambun si berkelahi.’’ pemilik pohon mangga itu. Dia menunjukkan kepada Dia merasa, pembicaraan sudah mulai bertambah orang tua itu arah yang salah sehingga enggan serius. Dia pun ingin bicara lebih serius dan panjang untuk melanjutkan pengejaran. Ketika ditanya apakah lebar untuk menjawab apa yang ditanyakannya. Tapi mengenal pencuri mangganya, dia mengatakan tidak. ia pikir itu tidak perlu. Apalagi, jam kunjung sepertinya Padahal, kalau saja orang tua itu tahu bahwa pecuri sudah habis. Seorang petugas dengan penuh itu adalah kawannya, bukan mustahil kawannya akan hormat memberikan isyarat itu pada dia. Sebenarnya, dilabrak sehingga orangtuanya pun akan ikut meng- bisa saja dia meminta agar diberikan waktu yang lebih hajarnya. Sejak awal, dia memang sudah memperhati- lama lagi. Tapi dia tak sedikitpun ada niat ingin kan apa yang sedang dilakukannya dari teras rumah. melakukannya. Sebab, bagaimanapun dia harus taat Sebelumnya, dia sudah menegurnya. Tapi ia abai. aturan. Dia tahu, kawannya itu susah dikasih nasihat. “Hidupku tinggal beberapa hari lagi dan itu pun Aksi itu bukan yang pertama. Dia juga tahu, ia ada di tanganmu, Kawan?’’ sering melakukan di tempat lain. Tapi begitulah, mereka Mendengar itu, dia trenyuh juga. Tapi itu tak cukup tetap saja menjadi kawan yang baik. Banyak juga mampu meluluhkan pendiriannya. Dia sudah membaca orang heran. Karena itulah mereka menjuluki keduanya apa yang dilakukan kawannya itu. Dia meratap sedih sebagai sepasang kawan ajaib. Setelah lulus sekolah ketika pertama kali mengetahui betapa parahnya ia. menengah, keduanya nyaris tak pernah bertemu. Tapi “Maafkanlah aku yang tak bisa mengampunimu, dia, sesekali masih mendengar kabarnya. Kabar yang Kawan!’’ kata dia. sudah sering didengarnya sejak mereka masih kecil. Dia Meski tembok bui tak bisa menggemakan tak habis mengerti, bagaimana bisa seseorang konsis- suaranya, tapi kalimat itu menggaung-gaung di gendang ten dengan watak buruknya: mencuri, berjudi dan bela- telinga ia. Dan betapa hati ia serasa remuk. Tapi kangan ini dia tahu, ia menjadi seorang bandar narkoba. ia segera menyadari ñ berkat naluri persahabatannya, “Apakah sekarang kau tak bisa melakukannya?’’ tak mungkin memaksa dia. Diam-diam ia kagum pada Dia tersenyum. dia. Rasa kagum yang belum pernah dirasakannya “Ini bukan urusan mangga.’’ meskipun ia mengenal dia sejak kecil. Barangkali inilah

106 107 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PENYAIR DAN AROMA KOPI | Fandrik Ahmad saatnya aku membalas kebaikannya saat dia menolong- ku dari kejaran si pelit itu. Aku tak akan menyulitkannya, ucapnya dalam hati. Penyair dan Aroma Kopi “Baiklah,’’ katanya kemudian. “Ini memang bukan urusan mangga!’’ Saat itu, terdengar beberapa suara langkah mendekat. Ia bisa menerka, mereka pasti para sipir. Fandrik Ahmad Tapi ternyata salah. Atau tepatnya tak sepenuhnya Minggu, 22 Maret 2015 benar. Mereka berempat: dua petugas sipir, dan separuhnya lagi berbaju mentereng lengan panjang, berpotongan cepak. Mereka memberi hormat pada RANG pertama yang memperkenalkan dia yang segera membalasnya dengan gerakan kalem saya dengan kopi adalah Kakek. Saya dan sunggingan senyum. tidakO tahu tepatnya berapa usia saya saat itu, Dia kemudian menjabat tangan kawannya. Ia yang terjadi pada suatu malam. merasakan betapa hangat jabatan tangannya itu, Kakek membangunkan saya, mengajak melihat juga ada butiran kristal di mata dia. Ia pun keluar rumah. Tidak biasa ia seperti itu. Kakek mengira, menyimpan hal yang sama di matanya. memang kerap keluar, tapi tak pernah “Maafkan aku,’’ bisik dia. mengajak orang. Kebiasaan yang tidak disukai Ia mengangguk dan membalas pelan, ”Bukan Ibu. Tidak hanya satu atau dua kali Ibu urusan mangga!’’ mengomel agar Kakek menghentikan Ketika pintu jeruji besi kembali digembok dan kebiasaan buruk itu. Namun Kakek terlalu langkah mereka mulai menjauh, samar ia bebal, tidak pernah jera. mendengar, ”Apakah kita akan berkunjung ke tempat “Fafan ikut Kakek, ya. Ayah dan ibumu lain?’’ malam ini merayakan pernikahan mereka. “Tidak. Kita kembali ke Istana!’’ Mereka tak bisa diganggu,’’ tukasnya. Ia pun tersenyum, meski telah yakin kematiannya Kakek menarik lengan saya lantas memang benar-benar sudah dekat.  membopong saya tanpa harus menunggu jawaban iya atau tidak. Entah, barangkali masih

108 109 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PENYAIR DAN AROMA KOPI | Fandrik Ahmad

pukul delapan, bisa jadi sudah pukul sebelas. Yang jelas mata saya sudah sangat berat. Di ruang depan, sayup- sayup suara Ibu melengking persis seperti saat melarang Kakek keluar rumah. Suara Ayah tak kalah kerasnya. Seperti itukah cara mereka merayakan ulang tahun kesembilan pernikahan mereka? Saya meringkih di punggung Kakek seperti udang usai digoreng. Kulit saya tidak akrab dengan desau malam. Pakaian yang saya kenakan sepertinya tidak cukup hangat. Saya mengatup mata malas. Kakek tak banyak bicara. Langkahnya sunyi membelah malam. Lampu jalanan berpendar suram dan serangga- serangga berputar-putar. Saya membuka mata ketika gendang telinga sayup- sayup menangkap sebuah irama tanpa syair. Indah sekali. Kakek duduk lesehan. Saya cukup takjub dengan suasana yang asing. Saya perhatikan segala sudut tempat itu. Empat buah bohlam dengan cahaya kuning redup, pilar-pilar dan pagar dari bambu, atap jerami, deretan meja setingggi dada orang duduk. Ada asap rokok. Ada aroma kopi. Orang-orang lesehan berkelompok- kelompok. Tawa kerap meledak. Obrolan mereka mirip bunyi segerombolan tawon. Yang duduk sendiri juga ada. Menikmati permainan musiknya sendiri. Ada yang membaca. Ada yang menulis. Ada yang hanya diam tanpa kata: minum kopi, menghisap rokok, dan mengentaskannya ke udara. “Kalau ngantuk, tidur saja,’’ tukasnya memberi

110 111 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PENYAIR DAN AROMA KOPI | Fandrik Ahmad pahanya untuk saya tiduri. Saya menuruti saja apa kata menyisakan rinai di ujungnya, saya tergoda untuk Kakek kendati mata sudah tidak berat lagi dan sulit berhenti sejenak di sebuah persimpangan jalan. Sebuah terpejam. kedai kopi menghentikan langkah saya. Memang Ketika rebah di pahanya, waktu seperti berhenti. hampir di setiap jalan di kota ini selalu ada kedai kopi. Saya menemukan rahasia-rahasia di bawah kolong- Kedai tersebut memang sederhana dan cukup luas. kolong meja. Selain saya, yang tahu hanyalah si pembuat Tata ruang diatur sedemikian rupa. Beratap jerami dan rahasia. Tentang genggaman tangan, colekan nakal, berpilar bambu. Bohlam-bohlam menggantung dengan dan tindihan paha. Tentang sebuah kartu yang terselip sinar kuning redup. Asap tipis membubung ditenggarai dan puntung rokok dengan bara yang masih menyala. obrolan-obrolan renyah. Sulit membedakan mana asap Tentang kertas-kertas, huruf, kata, dan kalimat yang rokok dan uap kopi. Kesulitan membedakan dua hal berserak. Semua seperti membisikkan rahasia. Saya yang saling bersentuhan itu sepintas menghadirkan tidak tahu persisnya. Barangkali karena pikiran anak- bayangan Kakek. Sejak Kakek pergi tiga belas tahun anak sangat pendek untuk menjangkau rahasia. Saya lalu, aroma kopi sedikit menjauh dari kehidupan saya. tatap lekat wajah Kakek yang hampir pensiun jadi guru “Pahit atau manis?’’ tukas seorang pelayan. bahasa. Tangan kirinya mengapit sebatang rokok. Dari Perempuan. Saya memandangnya cukup lama. Rasanya sudut mata saya, bara itu tampak sama besar dengan ada yang berdesir. cahaya bohlam di atas kepala Kakek yang asyik menulis. “Manis.’’ Tak adakah selain pahit dan manis? Saya tak paham waktu itu. Tak lama kemudian perempuan berkemeja putih dengan lengan yang digulung itu datang lagi. Jeans pensil SAYA heran mengapa kopi selalu akrab dengan membuat jalannya tampak menggoda. Uap kopi musim. Bila malam datang bersama gerimis, secangkir meliuk-liuk di atas nampan. Sambil bersenyum manis, kopi dengan uap yang meliuk-liuk akan tampak ia meletakkan dengan cepat dan tangkas. Ia menyilakan. romantis. Ketika malam jatuh dengan bintang yang Sebagai pelanggan yang baik segera saya respons menggoda, secangkir kopi akan membias sebuah dengan ucapan terima kasih. bisikan untuk tidak segera beranjak dari malam. Pada “Oh, ya. Maaf, hampir lupa. Mohon untuk mengisi situasi seperti itu, seseorang akan tampak tergila-gila daftar pengunjung.’’ dengan kopi. “Untuk apa?’’ Sampai pada suatu malam, ketika hujan masih “Kami menyediakan kopi gratis bagi pelanggan

112 113 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PENYAIR DAN AROMA KOPI | Fandrik Ahmad yang beruntung. Setiap bulan. Barangkali nanti Anda buku-buku sastra, apalagi menulis puisi, sehingga yang beruntung.’’ tumpukan buku itu hanya menjadi dinding berdebu. Saya harus menulis nama lengkap, bukan nama Saya akrab dengan Kakek bukan karena puisi-puisinya. panggilan, nama pena, apalagi nama samaran. Begitulah Anak Kakek tiga. Satu perempuan, dua laki-laki. petunjuk di dalam daftar pengunjung itu. Saya lakukan Saya cucu dari anak perempuan. Tak ada di antara ketiga saja. Kupikir setelah menulis “daftar hadir’’ saya akan anak Kakek yang mewarisi, Ibu menyebutnya hobi gila mendapat kupon atau sejenisnya. Tidak. Pelayan itu itu, nongkrong sepanjang malam. Ibu cukuplah menjadi langsung menjauh. Pikiran saya mereka-reka seperti apa ibu rumah tangga yang baik: sumur, dapur, dan kasur. nanti konsep pengundiannya. Paman Ben menjadi pegawai yang rajin. Sementara Hujan masih mericis perlahan. Dalam kondisi Paman Ari sukses dalam usahanya. seperti itu pikiran dengan sangat mudah dikuasai Beberapa kali Ibu mengingatkan saya: jangan terlalu kenangan, mendadak di depan mata. Ah, kenangan. dekat dengan Kakek. Ibu takut saya tertular hobi Terbuat dari apakah kenangan? Saya melihat bayangan gilanya. Apakah menulis puisi itu gila? Apakah penyair Kakek tengah menulis. Bara ujung rokok dan uap kopi itu gila? Ah, seperti apa nikmatnya menulis puisi? mengembang kenangan betapa penyair yang tergila- Bukan. Bukan. Maksud Ibu kegilaan nongkrongnya. gila dengan kopi itu kini tengah menulis puisi. Saya terperangkap dengan puisi-puisi nyentrik itu seperti lalat yang mengambang di atas permukaan kopi. SEMASA hidup, Kakek penyuka puisi: menulis Berpuluh tahun Kakek melarung malam demi membuat puisi, membaca puisi dan menerbitkannya. Dilihat dari mahakarya bernama puisi. Kakek berbicara dengan beberapa komentar penyair di bukunya, puisi Kakek puisi-puisinya betapa menjadi penyair itu pekerjaan adalah puisi nyentrik. Puisinya ladang dari segala mulia. Tak pernah ada seorang penyair yang berbicara perasaan yang dimiliki manusia. Satu hal dari bohong dengan puisinya, kecuali penyair-penyairan. kenyentrikan puisinya selalu memandang dunia dengan Sastra selalu berbicara kebenaran, nurani manusia dan tawa. suara Tuhan, tulis Kakek di salah satu pengantar Buku-buku sastra tersusun rapi di salah satu bukunya. ruangan rumah. Di situlah Kakek bermeditasi melahirkan puisi. Di antara silsilah keluarga, hanya saya HUJAN hampir mericis setiap malam. Dingin yang paling akrab. Tetapi saya tak pernah membaca udara tampak membanyol betapa titik air yang

114 115 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PENYAIR DAN AROMA KOPI | Fandrik Ahmad menyentuh tanah sungguh nikmat apabila ditingkahi cukup lama. Mungkinkah pemilik tahi lalat tipis di aroma kopi yang menguap. Pada malam-malam pipinya itu tengah menaruh hati? Ia mempertanyakan berikutnya, setelah terkurung seorang diri di kamar nama Rahardjo di akhir nama saya. Saya terakan nama Kakek, saya tak ingin melewati malam dengan secangkir Rahardjo susur galur keluarga saya. kopi di kedai ini. “Anda kenal dengan Jafar Rahardjo?’’ Jika keluar hanya sebuah alasan secangkir kopi, istri pertanyaannya yang datar sedikit membuat perasaan saya siap setiap waktu memanjakan saya dengan aroma terenyak. kopi buatannya. Tetapi, menikmati kopi di ruang “Dia kakek saya.’’ tertutup dengan ruang terbuka sungguhlah berbeda. “Oh, jadi Anda titisan penyair.’’ Itulah yang membuatnya mencurigai saya bermain “Saya memang cucunya, tapi saya tidak suka asmara dengan perempuan lain. Ia kerap marah-marah menulis, termasuk puisi. Saya tidak akrab dengan dan mengumpat seenaknya. puisi.’’ “Jangan pulang sekalian!’’ umpatnya. Pssst... ia “Apa pun itu, Anda orang yang beruntung.’’ hanya cemburu pada secangkir kopi. “Beruntung?’’ Beberapa hari kemudian, istri saya berdamai “Ya, beruntung. Karena puisi-puisi Kakek Anda, dengan amarahnya. Ia lebih memilih diam dalam tangis. kedai kami ini tak pernah alpa melahirkan para penyair.’’ Lalu, pergi entah ke mana. Saya jadi punya banyak Saya terjebak bingung. Matanya berkilauan. Setiap waktu mematut bayangan saya di atas permukaan air rona di wajah Taris coba saya artikan dalam-dalam. kopi yang tenang. Saya sudah tak memiliki alasan untuk Sebagian pengunjung mencuri pandang pada pulang meninggalkan kedai ini. percakapan kami. Desir angin pelan-pelan menggesek atap kedai. “Baiklah... baiklah. Anda sekarang boleh bingung, Seorang pemuda memainkan harmonika. Di depan tapi nanti paham sendiri. Salam kenal titisan penyair,’’ semua pengunjung, ia menyatakan cinta pada tukasnya sembari pergi melayani pengunjung lain. kekasihnya. Titisan penyair? Saya menggeleng-geleng kepala. Tertawa sendiri. Beberapa hari kemudian, Taris SETIAP kali pelayan, yang saya tahu pada meminta waktu khusus, lebih dari sekadar waktu untuk perkenalan suatu malam bernama Taris, menuliskan seorang pelayan kepada pelanggan. Ia membawa nama saya pada selembar kertas, manik matanya rebah tumpukan manuskrip puisi dan menyerahkan kepada

116 117 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 CERITA TUKANG TELUH | Yus IS. saya. “Ini milik Anda. Puisi-puisi yang ditulis oleh Kakek Anda. Barangkali sebagian belum sempat diterbitkan.’’ Cerita Tukang Teluh “Saya tidak suka puisi. Saya cuma suka aroma kopi.’’ “Kopi? Hahaha....’’ Taris tertawa keras. “Begini, biji kopi terbaik tetap saja tak akan enak Yus IS bila tangan penyaji kopi itu tak mengenali jiwa kopi. Minggu, 29 Maret 2015 Begitu juga dengan puisi.’’ Ia tersenyum dan mendekatkan bibirnya yang seksi. “Banyak penyair yang lahir dari puisi ini. Anda pun ENGAR, Anak Muda! Bagi kami, bisa menjadi penyair.’’ Perempuan itu meninggalkan peristiwa pembakaran Ujud cukup manuskrip bersama kesunyian yang larut bersama menjadiD potret suram pada era lalu. Tak ada ampas kopi. guna merenda kembali sobekan-sobekan tragedi itu seperti yang tengah kamu lakukan KAKEK adalah orang pertama yang sekarang. Toh aksi pembantaian tukang teluh memperkenalkan saya dengan aroma kopi. Saya tidak tak hanya terjadi di kampung ini saja, tapi juga tahu tepatnya berapa usia saya saat itu, terjadi pada di berbagai daerah lain seusai Orde Baru suatu malam. Sekarang, aroma kopi memperkenalkan tumbang.” saya dengan puisi. Mungkinkah perkenalan Kakek “Mudah-mudahan kamu tak menyinggung dengan puisi juga disebabkan oleh aroma kopi? Ah, penampakan hantu gosong. Hantu yang konon sudahlah. Jika ingin menjadi penyair, datanglah kemari. selalu muncul pada malam Selasa Pahing, malam Setiap malam saya menunggu Anda. Mari sama-sama saat Ujud tewas dibakar hidup-hidup. Kalau menulis puisi dan menyeruput secangkir kopi. Pahit kamu memasukkan hantu gosong, yang atau manis, terserah Anda.  katanya adalah arwah gentayangan Ujud, ke dalam daftar pertanyaanmu, lebih baik kamu Jember 10 November 2014 enyah dari rumahku sekarang juga! Waktu (bersama ampas kopi di bibir cangkir) senggangku terlampau mahal untuk membahas

118 119 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 CERITA TUKANG TELUH | Yus IS.

cerita omong kosong itu .’’ “Saya cuma tertarik dengan cerita tukang teluh.’’ “Syukurlah, akal sehat masih terpatri di otakmu.’’ “Apa benar, Bapak satu-satunya warga yang dulu melihat langsung peristiwa pembakaran Ujud?’’ “Saat mereka membakar Ujud, aku baru keluar dari rumahnya, namun aku memang menyaksikan kejadian itu dari tempat tersembunyi.’’ “Bapak sempat berada di rumah Ujud, padahal ia orang asosial. Ini berarti Bapak dekat sekali dengannya.’’ “Tahukah kamu, Anak Muda? Ucapanmu itu bisa membahayakan jiwaku. Andai orang tahu bahwa aku sebenarnya mantan asisten Ujud, barangkali nasibku dari dulu sudah seperti dirinya, hangus! Tapi mengingat kamu telah datang jauh-jauh dari Ibukota untuk menemui aku untuk menggali informasi bahan penelitianmu, aku tak ragu mengakui kedekatanku dengan Ujud. “Malam itu tiba-tiba datang empat buah truk di kampung kami, yang membawa puluhan lelaki kekar. Entah dari mana mereka datang, tak ada satu pun yang aku kenali. Mereka bergerak menuju rumah Ujud. Mulut mereka meneror Ujud dengan teriakan-teriakan: ‘Bunuh Ujud! Cincang tukang teluh itu!’ Sambil mengepung rumah Ujud, mereka mengacung-acungkan parang. Aku masih ingat, tiga dari mereka yang menggedor pintu rumah Ujud membawa pistol.’’

120 121 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 CERITA TUKANG TELUH | Yus IS.

“Ujud bersembunyi?’’ pencegahan. Sementara warga kampung sini tak bisa “Ujud justru membukakan pintu untuk menolong Ujud. Orang- orang itu telah memblokir jalan menyambut kedatangan mereka. Ia terlihat tenang menuju rumahnya yang terpencil di kaki bukit. sekali menghadapi orang- orang kalap itu. Tanpa basa- Selama belasan tahun, warga kam- pung sini seperti basi, mereka ramai-ramai mendaratkan tendangan dan kompak membisu. Tak ada yang berani berkicau pada pukulan pada Ujud. Tapi ia sedikit pun tak meringis wartawan, atau polisi. Terlebih, mereka memang tak kesakitan. Ia justru tersenyum mengejek mereka sambil seperti aku yang melihat langsung kejadiannya.’’ duduk bersila dengan mulut komat-kamit.’’ “Ada kekuasaan yang mengancam warga.’’ “Ujud memiliki kekebalan.’’ “Aku pun berpikir seperti itu. Seperti angin, “Rupanya rumor tubuh kebal Ujud telah menjalar kejadian itu dibiarkan berlalu sampai kamu datang begitu jauh. Sampai kamu bisa mengetahuinya. Andai mengusiknya kembali.’’ kamu dulu berada di posisiku, kamu akan seperti orang- Kamu mengangguk-angguk sambil menyeruput orang itu yang tercengang pada kesaktiannya. Betapa teh panas yang kusajikan di atas meja. parang-parang mereka bagai guling empuk saat “Bapak bisa dikatakan paling mengenal sosok menebas tubuh cungkring Ujud. Bahkan, timah panas Ujud. Benarkah ia tukang teluh?’’ yang berdesingan dari moncong pistol, tak ubahnya “Fitnah itu gelagatnya masih berembus sampai gigitan nyamuk dirasakan kulit keriput Ujud.’’ sekarang. Kala Ujud masih hidup, ia dituduh tukang “Itu yang menyebabkan Ujud akhirnya mereka teluh. Saat ia telah meninggal, arwahnya disebut menjadi bakar.’’ hantu gosong. Itu tidak benar, Anak Muda! Ujud bukan “Sepertinya memang begitu. Mereka terlihat frustasi Tukang teluh! Ia memang memiliki kelebihan, namun dan akhirnya memutuskan membakarnya hidup-hidup. ia hanya cenayang yang tak pernah menzalimi orang.’’ Ujud akhirnya tewas di dalam rumahnya yang ludas “Keterangan Bapak semakin memperkuat terbakar.’’ hipotesis saya. Ada latar politik di balik aksi “Apa sama sekali tak ada aparat, atau warga yang pembantaian tukang teluh belasan tahun lalu, termasuk mencegah aksi keji mereka?’’ dalam kasus Ujud ini.’’ “Apa kamu lupa, Anak Muda? Masa-masa itu “Politik? Yang benar saja, Anak Muda! Ujud itu aparat selalu galau menghadapi amuk massa. Aparat cuma dukun kampung. Mana mampu orang tua itu lebih nyaman melakukan pembiaran dibandingkan masuk dunia politik? Pemikiranmu jelas off side.’’

122 123 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 CERITA TUKANG TELUH | Yus IS.

“Ujud adalah penasihat spritual bupati yang kala kematian artis itu dengan kasus pembakaran Ujud?’’ itu tengah tersandera politik.’’ “Kabar burung cepat beredar luas. Ujud telah “Informasi dari mana itu? Kamu salah! Ujud bukan meneluh artis itu agar bunuh diri dengan melompat penasihat spritual bupati melainkan mitra seorang artis dari atas jembatan Sungai Citandui. Konon, Ujud lokal kekasih gelap bupati. Ujud adalah tumbal dari meneluh si artis karena tergiur batu safir yang dititipkan perselingkuhan si Bupati yang tercium istrinya. kepadanya.’’ “Kenapa, Anak Muda? Terkejut atas pernyataanku Cukup lama kamu tertegun. Mudah- mudahan tadi? Kamu belum pernah mendengar informasi seperti ceritaku ini mampu merontokkan teori yang telah itu, bukan? Agar lebih mencerahkan pikiranmu, aku tersusun rapi di kepalamu. akan beberkan fakta sebenarnya. Menjelang “Tampaknya Bapak ingin mengatakan, Ujud adalah kematiannya, artis lokal itu sering aku antar menemui korban fitnah untuk menutupi dalang utama Ujud di rumahnya, untuk berkonsultasi tentang koleksi pembunuh artis itu, yang tak lain istri bupati.’’ batu safir tanda cinta dari si bupati. Selain cenayang, Giliran aku yang mengangguk. Ujud juga paham tentang batu mulia. “Memanfaatkan isu tukang teluh yang sedang “Tiba-tiba datang kabar menghirukkan masyarakat marak pada tahun itu, mereka menjadikan Ujud tak di sekitar sini. Ditemukan sesosok mayat perempuan cukup sekadar kambing hitam, tapi kambing gosong.’’ mengambang di atas Sungai Citandui, yang ternyata Kembali kamu tertegun, namun tak lama. mayat si....’’ “Ah, saya baru ingat! Ujud kan menguasai Aji Jaya “Si Artis yang dibunuh.’’ Brama, mana bisa ia tewas terpanggang api?’’ “Keingintahuanmu begitu tinggi sampai harus Kata-katamu memeranjatkan aku. ‘’Dari mana menyela ceritaku. Bisa jadi artis itu memang dibunuh, kamu beroleh kabar bahwa Ujud memiliki ilmu tapi anehnya polisi tak tuntas mengusut kematiannya. mendinginkan api itu? Selain aku, tak ada orang yang Asal kamu tahu, teramat banyak saksi mata mendadak tahu, Ujud telah menguasai Aji Jaya Brama. Aku bermunculan kala itu. Kesaksian mereka seragam, pada sungguh tak menyana, kamu telah mengetahuinya malam itu si artis sempat terlihat berdiri di atas pagar juga. jembatan Sungai Citandui. Ia kemudian menjatuhkan “Sepertinya kali ini aku tak bisa mengelak lagi dari dirinya ke Sungai Citandui.’’ permintaan takdir. Telah tiba saatnya, aku harus “Rupanya ia bunuh diri. Tapi apa hubungannya mengungkap rahasia itu kepadamu.

124 125 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 CERITA TUKANG TELUH | Yus IS.

“Aku ralat ceritaku tadi. Ujud tidak mati walau api tergiur dengan batu safir titipan artis itu, namun justru membakar sekujur tubuhnya.’’ aku yang ingin merampasnya. Aku tahu di mana lokasi Bola matamu tampak berbinar. Kamu antusias Ujud biasa menyimpan batu mulia.’’ sekali mendengar kabar, Ujud masih hidup. “Bagaimana Bapak....’’ “Orang-orang itu tak sadar, di dalam tumpukan “Cukup! Tak ada pertanyaan lagi, Anak Muda! puing-puing rumah, terkubur raga Ujud yang masih Telingaku sudah jenuh mendengar pertanyaanmu. bernyawa. Sama sekali tak ada daging hangus pada Kesaksian yang aku ceritakan padamu telah sangat tubuh- nya. Semua masih utuh seperti sedia kala. Setelah benderang. Kamu, bahkan terlampau banyak tahu. Jika mereka membubarkan diri, aku segera datang dan masih belum puas juga, kamu bisa bertanya langsung membantu mengeluarkan Ujud dari tumpukan bara. pada Ujud nanti. Ia kemudian aku sembunyikan di rumahku.’’ Sebagai penutup cerita, aku akan utarakan satu Dan seperti yang aku kira, kamu segera rahasia lagi. Pada secangkir teh yang kusajikan untukmu menanyakan keberadaan Ujud sekarang. ini, telah aku larutkan cairan yang dulu pernah “Ia meninggal seusai meneguk yang digunakan untuk menghabisi Ujud.’’  aku hidangkan untuknya.’’ Kamu terperangah. “Tunggu! Jangan menyela lagi! Dengarkan dahulu Kota Cimahi, Maret 2015 keteranganku sebelum kamu berpikir, kopi tubruk kok bisa membunuh orang sakti itu? Tubuh Ujud memang kebal terhadap aneka senjata maupun kobaran api, namun itu tak berlaku untuk organ dalamnya. Jeroan Ujud sama lemahnya dengan kita. Seketika lambungnya berantakan begitu terisi kopi tubruk yang mengandung sianida.’’ Mulutmu menganga. “Agar mulutmu tidak berlama-lama menganga, sebaiknya kujelaskan saja, apa yang melatari aku hingga tega meracuni Ujud. Batu safir! Ya, pesona batu itu yang menjadikan aku gelap mata. Jadi bukan Ujud yang

126 127 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 JENDELA RUMAH TETANGGA | Endang Supriadi Jendela Rumah Tetangga

Endang Supriadi Minggu, 05 April 2015

AYA melihat Martin, tetangga sebelah, pulang pagi dalam keadaan teler. sambil menggumamkanS larik-larik puisinya yang tak pernah rampung, dia melangkah gontai  mengarah ke arah pintu rumahnya. “Kutelan bulan, kutoblos langit. Seribu matahari menggangsing di perutku. Lapar. Lapar aku. Kutelan kemarau, kuperas mendung. Seribu derap kaki kuda mengoyak lambungku. Tuhan, Tuhan, merdekakan aku!’’ darah batin dilepas begitu saja oleh Martin. Bagi ukuran orang waras, cukup lima langkah saja untuk sampai ke daun pintu rumahnya. Tetapi, karena Martin mabuk, sekitar dua puluh meter baru dia merasakan adanya pintu. Tapi lacur, pintu itu tak terkunci. Rara, sang istri, tak berani ambil risiko dengan mengunci pintu dari dalam. Sebab dia khawatir

128 129 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 JENDELA RUMAH TETANGGA | Endang Supriadi

akan kena damprat lagi dari sang suami yang mudah kalap itu. Tak ayal lagi, Martin ambruk tersedot bumi dan menggelosor lumayan jauh dan baru bisa berhenti setelah punggungnya mentok di kaki meja. Martin tak menjerit. Tapi suara jatuhnya telah memecah sunyi pagi di rumah itu. Rara tahu, suara gaduh itu adalah ulah suaminya. Seperti itu memang keadaan Martin setiap pulang ke rumah dalam kurun waktu dua bulan terakhir ini. “Rara teramat sabar,’’ pendapat Don teman satu kos saya. Ternyata sobat saya ini sempat juga memasang mata lewat jendela rumah kos kami yang terbuka demi menyaksikan tontonan gratis yang akan berlangsung sebentar lagi. “Aku pikir, Rara takut ambil risiko. Martin sudah sering menyiksa dirinya, juga anak-anaknya. Kenapa nggak minta cerai saja? Dia kan jadi bisa lepas bebas, tak ada yang menyakiti dirinya lagi. Apalagi dia cantik, tak bakal lama dia menjanda,’’ kata saya di sela ocehan Martin yang terdengar dari tempat kos kami yang jaraknya sekitar sepuluh meter ke rumahnya. “Itu bukan keputusan yang baik, Gun,’’ potong Don, “Mungkin dengan mengulur waktu, Rara berharap bisa menemukan jati diri suaminya kembali.’’ “Martin itu sudah rusak! Rusaaak! Tidak bakal bisa diperbaiki lagi.’’ “Alaa... kau jangan mencap seseorang semudah itu. Belum saja kehidupan yang mereka alami menimpa

130 131 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 JENDELA RUMAH TETANGGA | Endang Supriadi kau. Kalau sudah menimpa dirimu, baru tahu rasa!’’ “Huss, Doraemon itu sih!’’ Pak RT dengan sigap “Seeett... hentikan khotbahmu! Tuh lihat, masuk dan langsung mendatangi Martin. pertempuran di layar jendela rumah tetangga sudah Kemudian Martin dia bawa masuk ke dalam kamar. dimulai!’’ Don melempar bantal guling ke pojok dipan. Tak lama kemudian Pak RT keluar lagi dari kamar “Wah, benar! Cihuu... ada piring terbang!’’ Martin.Sedangkan Martin ditinggal di dalam sendirian. “Goblok lu!’’ Saya melihat ada darah di sudut mulut Rara. Ternyata “Habis apaan?’’ tamparan Martin cukup kuat ke pipi istrinya tadi. Rara “Baskom melayang!’’ tampak dibimbing Pak RT ke ruang makan yang Para tetangga berlarian keluar dari rumahnya jendelanya juga terbuka. Tambah jelas saja saya masing-masing setelah mendengar suara jeritan dari menyaksikan wajah Rara yang cantik itu ternoda oleh rumah Rara pada pagi buta itu. Salah seorang ibu masuk air mata dan rasa perih yang merona merah di ke dalam rumah Rara, lalu keluar lagi sambil wajahnya. memboyong Sel, anak kedua dari pasangan yang kini “Dia keterlaluan sekali, Pak RT,’’ ratap Rara, “Coba sedang bertengkar itu. Lantas seorang bapak yang Pak RT bayangkan, dua hari lalu dia minta kalung saya, terusik hatinya ikut andil membawa Bet, kakak Sel, katanya buat modal dagang. Tapi nyatanya malah habis keluar rumah. Anak yang masih balita itu terlolong tak buat judi. Terus kemarin, dia minta anting-anting saya biasa digendong enak begitu. supaya dicopot, saya kasih. Katanya buat nyogok “Itu bukti sosial kemasyarakatan. Kenapa kita tidak kerjaan. Eh, pulang-pulang malah bau minuman. Lantas bantu melerai?’’ ujar Don. sorenya, dia minta anting-anting Sel, katanya lagi buat “Nggak usah! Itu urusan rumah tangga orang,’’ ongkos cari kerja. Tapi lagi-lagi habis buat minum. tolak saya. “Apalagi kita lelaki muda, akan lain pendapat Masih banyak lagi, Pak. Masih banyak lagi...,’’ beber Martin melihat kita ikut campur dalam urusan rumah Rara di sela tangisnya. tangganya,’’ lanjut saya. Don menerima pendapat saya. “Sabar, Nak Rara,’’ suara Pak RT kalem, “Mungkin Entah siapa yang mengabari pertengkaran suami- suamimu lagi banyak persoalan sehingga pikirannya istri itu kepada Pak RT, karena tiba-tiba saja beliau gampang ruwet. Kita tunggu saja sampai emosinya muncul dari mulut gang dan langsung menuju rumah reda. Nanti, Bapak akan bicara dengan Nak Martin.’’ Martin. Rara mengusap air matanya. Saya terkesiap ketika Rara “Sinchan datang!’’ celetuk Don. meloloskan matanya yang lembab itu keluar jendela.

132 133 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 JENDELA RUMAH TETANGGA | Endang Supriadi

Dan, ah... pandangan matanya itu menerpa mata saya. dari arah dapur. Kami sempat bertatapan. Mata itu bernuansa. Ah, saya “Terserah,’’ sahut saya malas. ragu-ragu membalasnya. “Pedas?’’ “Kutelan bulan, kutoblos langit,’’ Don menghafal “Terserah.’’ puisi Martin yang dia dengar tadi. Sedangkan saya tetap “Kecap?’’ tertuju pada raut wajah Rara yang memelas. “Terserah, sappiii...!’’ Saya biarkan Don ngoceh “Kutelan bulan, kutoblos langit....’’ macam-macam. “Huss, berisik!’’ hardik saya. Don tetap cuek. “Pak RT teler! Pak RT teleerrr...,’’ suara Sentul yang “Kutelan bulan, kutoblos langit! Kutelan bulan, cempreng melintas di depan rumah kos saya. Ada apa kutoblos langit....’’ dengan Pak RT? Suara sendok dilepas Don Huh! Saya tinggal Don ke belakang. Membuka bergempriang di atas piring. Saya mendongak. Don keran air. Membugilkan diri. Mandi. Bersiul-siul dari dapur lari keluar. membangunkan matahari. Hari masih terlalu pagi. “Wah, Pak RT leter! Eh, teler. Pak RT teler Don, Pak RT teler!’’ MALAM itu keadaan langit sangatlah semarak. “Yang benar?’’ Ada bulan setampah di langit. Saya asyik baca buku di “Sungguh Pak RT teler!’’ serambi. Don di dapur asyik goreng nasi. Sedangkan “Teler kenapa?’’ teman-teman tetangga yang seumur saya bergenjrang- “Mana aku tahu....’’ genjreng di mulut gang. Pukul 20.00 lebih sedikit Pak “Lapor Polinah. Eh, polisi!’’ RT menemui Martin di rumahnya. “Nggak usah.’’ Namun Rara tak ada di rumah itu. Dia pergi “Emangnya kenapa?’’ dengan membawa kedua anaknya ke rumah orang tua “Yang jelas, kita bawa dulu Pak RT ke rumahnya. Rara. Di rumah Martin, ada suara radio yang tiba-tiba Sebab dan masalahnya, bisa kita tanya di rumahnya dikecilkan. Ada ragam percakapan. Batuk Pak RT. nanti!’’ Tertawa Martin. Lalu dilapis suara Don datang dari Saya dan Don berlari memburu Pak RT yang arah dapur yang ngebas menyenandungkan lagu berjalan sempoyongan keluar dari rumah Martin. Saya “Kemesraan’’ Iwan Fals, di depan wajan. gelayutkan tangan kiri Pak RT ke pundak saya dan “Nasi gorengnya pakai telur, nggak?’’ teriak Don Don membantu dari sebelah kanan. Martin ngakak di

134 135 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 JENDELA RUMAH TETANGGA | Endang Supriadi mulut pintu rumahnya sambil menenteng botol “Ooo...,’’ gumam Don. minuman di tangan kanannya. Saya tak berani menatap “Dia tidak gila kan, Pak RT?’’ sela saya. mata orang sialan itu. Bisa celaka. Pak RT tersedak “Siapa bilang dia gila? Martin itu seorang penyair, beberapa kali. Bau alkohol menyesakkan lambung saya. lo! Pernah beberapa hasil karya sastranya dimuat di Pak RT nungging. Muntah-muntah. Pasti Pak RT majalah dan di koran. Cuma nasibnya saja yang belum dipaksa minum, pikir saya. Tapi kenapa Pak RT mau? mujur. Martin itu belum pernah diundang ke TIM untuk Aneh... membacakan karya-karyanya.’’ “Pantas...,’’ ujar Don tanpa meneruskan “ORANG macam Martin, tidak perlu pakai otot perkataannya. tapi pakai otak untuk mengatasinya,’’ ujar Pak RT pada “Pantas kenapa?’’ kejar Pak RT. esok harinya, “Artinya, kita cukup dekati dengan “Ah, tidak kenapa-kenapa Pak RT!’’ kesabaran dan ketelatenan kita menimpali kemauannya.’’ PAGI, sekitar pukul 08.00, saya dikejutkan oleh “Dan menyerahkan diri kita untuk dibulan-bulanin, kedatangan Rara ke tempat kos saya lewat pintu begitu?’’ sela Don sewot. belakang. Don sudah berangkat kuliah setengah jam “Maksud Bapak, tidak mutlak kita harus tunduk. sebelumnya. Sedang rencana saya sebentar siang akan Ada segi-segi lain yang harus kita hindari. Misalnya, ke Gramedia cari buku Indonesia di Masa Depan, yang jika dia marah, maka kita tak perlu ikut-ikutan marah ditulis Syarifah, terancam batal karena keburu dicegat atau emosi. Kita harus hadapi dengan senyum. Dan Rara. mengiyakan apa yang dikatakannya walau sebenarnya “De Gun, tolong Mbak. Lihat kaki Mbak, pipi perkataannya itu janggal di telinga kita. Satu lagi yang Mbak pada merah begini. Mbak percaya De Gun bisa perlu kita ingat, orang macam Martin, jangan dibiarkan menyadarkan suami Mbak. Tolonglah De Gun...,’’ ratap sendiri. Temani dia dalam keadaan apa pun.’’ Rara memohon. Oh, bicaranya rapat ke depan hidung “Kan sudah ada istrinya, Pak,’’ potong saya. saya. Hmm... napasnya! Napasnya itu deras tapi terasa “Maksud Bapak, kalau dia membutuhkan teman hangat karena habis menangis. Dan, yang lebih dari luar rumah, temani saja. Karena, kalau dia sendirian membuat saya gemetar, dia bersandar di dada saya! terus, pikiran-pikiran buruknya akan cepat “Aduh Mbak, jangan gelayutan begini... nanti memengaruhi jiwanya yang mudah guncang.” tetangga ada yang melihat!’’

136 137 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 JENDELA RUMAH TETANGGA | Endang Supriadi

“Tolonglah aku De Gun, aku sudah tak tahan. sama sekali. Sialan! Maki saya dalam hati. Tampak botol Suamiku ringan tangan. Aku nggak mau disiksa begini minuman yang dibawanya itu masih penuh. Dan, oh! terus-menerus....’’ Di tangan kanannya tergenggam sebilah golok. “Mbak, Mbak lebih baik bicara saja sama Pak RT, Buat apa? Pikir saya. Dan semakin kecil saja nyali karena beliau lebih bisa ngomong dan berani mendekati saya setelah melihat badannya yang besar berotot itu Om Martin ketimbang saya. Jangan ke saya, Mbak....’’ merapat ke badan saya. Saya tiba-tiba melorot, terduduk Rara lagi-lagi merebahkan kepalanya ke dada saya. Duh! pasrah di bawah selangkangannya. ‘’Heh, lihat mata Saya dijalari wangi berahi. saya!’’ bentaknya hampir mencopot jantung saya. Saya “Tolong saya, De Gun. Sama siapa lagi Mbak mendongak. mengadu soal nasib Mbak,’’ rajuknya lagi. Tapi, oh! ‘’Minum!’’ perintahnya. “Mbak! Nunduk Mbak! Suami Mbak, keluuaarrr...!’’ “Sa... saya nggak suka minum Om....’’ “De Gun, lindungi Mbak! Mbak takuuttt...!’’ “Apa?’’ “Jangan minta suaka sama saya, Mbak. Saya nggak “Ehmm, maksud saya, saya nggak biasa minum,’’ punya kekebalan hukum!’’ Rara sewot. Dia mendorong ralat saya. saya ke tembok. Terus dia lari keluar lewat jalan tempat “Pokoknya, minum!’’ paksa Martin dengan mata dia tadi masuk. Martin melihat istrinya lari dari belakang melotot. Oh, Don... sial aku. Kenapa kau berangkat rumah kos saya. Saya jadi tak enak. Perasaan saya jadi kuliah cepat-cepat, ratap saya dalam hati. tak keruan. Takut. Apalagi jendela kamar saya cukup “Ayo minum!’’ paksanya lagi begitu bengis. Saya terbuka, jelaslah tadi Martin sudah membaca masih melongo. kegelisahan saya tadi. Tapi, ah... Martin masuk ke dalam “Eee... malah bengong? Ayo minum!’’ bentak rumahnya. Hati saya jadi sedikit tenang. Saya bersyukur Martin seraya hendak mengayunkan goloknya. di dalam kamar. Berdoa, dan berdoa.... Braaak! “Iya, ya... saya mau,’’ sahut saya ketakutan. Lalu “Om Marr... tin?’’ saya terkejut. Suara saya tersendat saya jemput botol itu. Saya teguk isinya perlahan. Sekali. dan jadi serak. Tubuh saya jadi gemetar. Rasa takut Dua kali. Saya menghirup napas. Saya minum lagi. Tiga. kian kuat. Martin berdiri di ambang pintu. Lalu Martin Empat. Kembali saya mengambil napas. Lalu mulut menghampiri saya dengan membawa botol minuman saya disuruh terus menganga. Saya ingat Pak RT, lalu di tangan kirinya. Berarti tadi dia masuk ke dalam kamar saya turuti kemauan Martin. cuma untuk mengambil minuman yang tidak saya sukai Minuman beralkohol itu dituangkan ke mulut saya.

138 139 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 RAMUAN MIMPI | Sule Subaweh

Glek, glek, glek... sampai tetes terakhir. Terlintas wajah Pak RT lagi. Mungkin begini Pak RT dikerjain Martin. Kepala saya jadi pening, berputar-putar. Ramuan Mimpi Saya melihat alis golok itu begitu lapar. Saya merasakan limbung. Saya melihat orang sialan itu berdiri miring dengan kaki menapak ke dinding, terus berputar seperti baling-baling kipas angin. Saya melihat televisi Sule Subaweh saya jadi banyak. Sepatu saya jadi seribu pasang. Saya Minggu, 12 April 2015 ditarik bumi ke kiri ke kanan. Remang-remang saya melihat Martin berjingkrak-jingkrak dengan seribu kaki bergantian menyundul langit. Langkahnya terlihat YARIF belum meninggal, Bu. Dia hanya pelan-pelan menjauhi saya. tidur,” aku berusaha menjelaskan. Tapi “Om Gun teler! Om Gun teleerrr....’’ teriak anak- Sriana,S ibu Syarif tidak percaya bahwa anak anak kecil yang mengintip dari jendela. Oh, mata saya semata wayangnya itu hanya tidur. dan kepala saya seperti berpindah tempat. Rasa-rasanya “Tidak mungkin! Bagaimana bisa dia tidur mata saya dicucuki kepingan matahari. Kepala saya selama satu hari? Itu mustahil!” meletup-letup. Angin mengajak saya menari di udara. Suara Sriana serak. Matanya sembab. Sedari Ya, asyik. Bintang-bintang menuntun saya ke dunia tadi merintih tak henti. Kerudungnya sudah lain. Sedangkan kepala saya kini terasa seperti sebuah mawut, beberapa rambut nyelonong dari kado yang dibungkus awan bergumpal-gumpal depan, menutup beberapa bagian wajahnya. Dia tebalnya. Dan saya melihat Don lagi asyik naik bajaj.  memandangi anaknya terbujur kaku di tempat tidur. “Semoga dia hanya tidur,” serunya lirih dipenuhi harap. “Ini dari Syarif.” Kujulurkan selembar kertas yang ditulis Syarif sebelum tidur. Buru- buru kertas itu dia ambil. Perlahan surat dari Syarif dibaca dalam hati. Isak tangisannya mereda. Menyisa sedu kecil, sisa ketakutan dan

140 141 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 RAMUAN MIMPI | Sule Subaweh

ketidakberdayaannya. Tangannya yang basah meremas kuat-kuat kertas wasiat itu seperti meremas penyesalan. Peyesalan karena selama ini dia lebih sibuk bekerja daripada bertatap muka dengan anaknya. Sebenarnya, ini bukan kali pertama Syarif terbujur kaku. Beberapa minggu terakhir, Syarif tidur dalam jangka waktu tak wajar. Kali pertama kali mendapatinya tidur saat dia menginap di rumah. Tubuhku gemetar dibuatnya. Keringat mengalir tak henti-henti. Bagaimana tidak, dari jam sepuluh malam hingga empat sore, dia tidak bangun-bangun. Kugoncang tubuhnya berkali-kali. Meneteskan air ke matanya sampai kuletakkan kaus kaki yang tidak dicuci itu ke hidung Syarif, tetap saja tak mampu membangun- kannya. Bagiku bukan hal aneh lagi setelah terjadi berkali- kali. Tapi Sriana, tentu saja kaget dan tidak percaya. Ini kali pertama menemui anaknya kaku. Jadi, wajar kalau dia lemas dengan wajah tampak cemas. Aku merasakan betul dingin dan panas tubuhnya.

SEJAK kecil Syarif senang dengan tokoh-tokoh mitos seperti Bramakumbara dan Anglingdarma. Dia juga sangat senang dengan cerita-cerita para nabi yang diceritakan ibunya sebagai pengantar tidur. Dari sekian cerita nabi, yang paling dia suka, kisah Nabi Yusuf saat bermimpi melihat bintang sebagai tanda kenabiannya. Tapi cerita tentang Anglingdarma yang

142 143 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 RAMUAN MIMPI | Sule Subaweh mampu menjaga kestabilan wilayahnya menjadi favorit KECINTAANNYA pada tokohtokoh terkemuka Syarif kemudian. tidak berhenti begitu saja. Saat SMA, Syarif semakin “Jika aku bisa terbang seperti Anglingdarma, akan tergilagila dengan beberapa tokoh. Kali ini dia tidak aku libas segala kejahatan dengan kesaktianku,” kata lagi mengidolakan tokoh mitos seperti waktu kecil. Syarif sambil memperagakan gerakan seperti Awalnya dia mengidolakan guru bahasa Indonesia yang mengeluarkan tenaga dalam. suka sekali bercerita tentang tokoh-tokoh besar berikut Suatu hari dia bermimpi menjadi orang sakti karya juga keahliannya. Dari situ dia mulai membaca mandraguna yang memimpin ribuan pasukan melawan buku biografi tokoh-tokoh besar. Dalam sekejap dia musuh. Di dalam mimpi, dia bisa mengeluarkan tenaga sudah menguasai pola pikir dan arah idiologinya. dalam yang secara otomatis diperintah oleh pikirannya. Kekagumannya berlanjut pada tokoh-tokoh pemerin- “Mereka tunduk dan rakyatku terhindar dari tahan, baik tokoh Orde Lama maupun Orde Baru, marabarahaya,” Syarif menggebu. dan beberapa tokoh yang pada saat itu bermunculan. “Itu hanya mimpi, Rif.” Saking cintanya, beberapa tokoh idolanya dilukis, “Bisa saja mimpi menjadi kenyataan. Contohnya lalu ditempel di dinding kamarnya. Syarif selalu berharap Nabi Yusuf,” sangkal Syarif. bisa bertemu dengan mereka. Tapi keinginannya segera Waktu itu kami baru masuk SMP dan kuanggap pupus setelah banyak pemberitaan miring tentang angin lalu saja pembicaraan itu. Tapi tidak bagi Syarif, tokoh yang dia damba-dambakan itu. mimpi itu selalu membayang di dalam pikirannya. “Media massa membuat yang benar menjadi salah Untuk mewujudkan mimpinya, diam-diam dia belajar kaprah, yang tidak ada menjadi ada,” kilahnya silat setiap malam pada tetangga sebelah. Hampir setiap mendumel. hari dia mengerak-gerakkan tangannya dengan kuda- Kekecewaan semakin tampak di wajah Syarif kuda seperti mempraktikkan kembangan pencak silat. setelah mengetahui beberapa tokoh idolanya “Apakah mungkin manusia bisa terbang? Loncat tertangkap basah melakukan kecurangan di luar dari batu ke batu lainnya, menyeberangi sungai dan dugaannya. Sejak saat itu dia jarang berbicara tentang menikmati angin di langit?” Suatu sore di beranda tokoh idolanya. Dia juga tidak mau melukis lagi. Hari- rumah Syarif risau setelah menyadari mimpinya untuk harinya dihabiskan dengan diam, tidur, menyendiri lalu menjadi tokoh dalam pikirannya tidak semudah yang sulit dihubungi. dia inginkan. Sejak peristiwa itu kami jarang bertemu. Terlebih

144 145 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 RAMUAN MIMPI | Sule Subaweh saat kami aktif sebagai mahasiswa, apalagi kami seperti membiarkan yang meminum untuk memilih berbeda jurusan. Syarif di jurusan farmasi, aku jurusan mimpinya sendiri. Entah campuran apa yang ada dalam sastra. Tidak ada yang menyangka bahwa dia akan serbuk yang dibuat itu. Ah... anak itu memang jenius. mengambil jurusan yang jauh dari kesukaannya. Saat Tapi jenius tidak cukup di negeri ini, apalagi mengenai SMA, bukan rahasia lagi jika Syarif suka sekali dengan ramuan mimpi yang tak jelas akarnya. Karena itu Syarif sastra dan tokoh-tokoh besar revolusioner. Tentu saja memintaku untuk merahasiakan ramuan itu. langkah yang dia ambil membuat kami yang mengenal- “Mimpi apa yang ada dalam tidurmu?” tanyaku nya hanya geleng-geleng kepala. penasaran setelah Syarif bangun dari tidur berjam-jam. “Kamu mengidolakan tokoh pengolah obat- “Bertemu Anglingdarma dan bertemu dengan obatan, Rif?” aku menerka suatu sore, setelah sekian tokoh-tokoh pejuang zaman dulu.” lama tidak bertemu. Syarif hanya menggelengkan kepala “Mereka benar-benar sakti. Ternyata, kesaktiannya diikuti senyum dan lirikan mengejek. Pelan-pelan dia berasal dari ucapan, sikap, dan loyalitasnya untuk mengeluarkan semacam serbuk kopi yang terbungkus berjuang,” Syarif menggebu menceritakan tokoh-tokoh plastik dari tas ranselnya. yang dia temui. “Ini,” Syarif memberikan serbuk berwarna hijau “Tidak cukup delapan, sepuluh jam berbincang- pekat itu. Kupikir serbuk itu adalah obat kuat khusus bincang dengan mereka. Waktu terasa cepat dan kita dewasa atau semacam obat pembersih muka dari dalam seperti terhipnosis tak mau mengalihkan pandang jika khusus lelaki. mendengar mereka bicara.” “Ini ramuan yang bisa membuat orang tidur “Aku akan menyempurnakan ramuan ini agar lebih berjam-jam, bahkan bisa dikembangkan agar bisa tidur lama dalam bermimpi,” kata Syarif kemudian, penuh hingga dua hari.” Syarif terlihat serius. semangat. “Semacam obat tidur atau obat bius?” terkaku. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala, antara “Tidak hanya itu, ramuan ini bisa mewudkan percaya-tidak percaya. Tapi mendengar setiap mimpi kita,” Syarif terus menjelaskan dengan istilah- penjelasannya yang penuh keyakinan, sulit untuk tidak istilah asing yang tak kupahami. Aku hanya memercayainya. mengangguk kagum. Pada hari itu juga dia mempraktik- kan untuk meyakinkan penjelasannya. Ramuan itu, SORE itu, di pelataran rumah Syarif, sambil entahlah bagaimana dia belajar. Anehnya, ramuan itu memandangi keredupan cahaya, kami saling beradu

146 147 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 RAMUAN MIMPI | Sule Subaweh mulut tentang niat Syarif untuk mencoba ramuan yang kesal saat ada kata “ibu” dalam perbincangan kami. akan membuatnya tertidur dua hari, bahkan lebih. Katanya, ramuan yang baru dia buat itu sudah “BEGITU awal mulanya kenapa Syarif tidur,” disempurnakan dari sebelumnya. akhirnya kuceritakan untuk meyakinkan ibunya. “Kau jangan gila, Rif. Ibumu akan berpikir kau “Apakah Syarif tidak pernah bercerita pada Ibu?” meninggal nanti,” seruku gelisah. “Aku sama sekali tidak tahu tentang tokoh, negeri “Tenang saja, sudah kutulis surat supaya Ibu tidak dongeng, dan tentang ramauan yang bisa membuat gelisah. Juga agar kau tidak dituduh yang bukan-bukan orang yang meminumnya bermimpi sesukanya, bahkan nanti,” bujuknya sambil menyodorkan kertas, lengkap tentang mimpi-mimpinya, sama sekali aku tidak tahu,” dengan materai berikut tanda tangannya yang sudah suaranya lirih. Pandangannya tertuju pada anaknya yang tertera. kaku. “Untuk bertemu para idolamu lagi?” “Apakah ramuan itu masih ada?” “Tidak hanya itu.” “Syarif tidak menyisakan sedikitpun, Bu?” “Lalu?” kuperlihatkan plastik kosong yang digunakan untuk “Aku ingin ke Negeri Impian.” membungkus ramuan itu. “Negeri Impian?” “Kamu bisa membuat ramuan itu? Atau ada “Ya. Negeri Impian. Negeri yang sering kudengar catatan resep tentang ramuan itu?” aku menggelengkan di dongeng-dongeng,” jelasnya menggebu. Meyakin- kepala. kan. Sebenarnya Syarif sudah lama memimpikan “Mungkin di balik kertas itu Syarif menuliskan sebuah negeri yang harmonis, seperti negeri dalam resep ramuan itu, Bu.” Sriana membuka kertas yang dongeng yang sering diceritakan ibunya. Tapi sejak sudah rusak itu karena remasan dan basah tangannya. ibunya sibuk bekerja, dongeng-dongeng itu tak pernah “Ada!” serunya. Tak lama setelah itu dia tertunduk didengarnya lagi. lemas setelah mendapati tulisan di kertas itu tidak jelas “Kan banyak buku-buku dongeng, Rif.” dan beberapa bagian sudah sobek oleh tangannya yang “Dongeng yang diceritakan Ibu tidak pernah ada basah. Sriana melipat kertas itu dengan rapi. Tangannya dalam buku.” kata Syarif dengan muka kesal. Dia gemetar. Wajahnya pucat. Tubuhnya kaku, diperbudak terlihat marah jika berbicara tentang ibunya. Entahlah angannya. dia tidak pernah cerita tentang wajahnya yang selalu “Apakah dia akan bangun?” tanyanya lirih sambil

148 149 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 ADA MUSA DI DESA INI? | Aqib Wisnu Priatmojo menciumi tangan Syarif yang kaku. “Kenapa tubuhnya mulai bau?” serunya kemudian. Tubuhnya gemetar. Ada Musa di Desa Ini? “Entahlah, hanya dia yang tahu,” jawabku singkat. Perempuan di hadapanku itu diam. Wajahnya sembap, matanya berkaca-kaca, penuh risau.  Aqib Wisnu Priatmojo Jejak Imaji Juni 2013-2015 Minggu, 19 April 2015

ABAR itu merebak cepat sekali. Belum sampai tiga jam setelah kejadian itu, warga yangK berada di ujung desa sudah mengetahui- nya. Mungkin karena sudah begitu sering kejadian itu terjadi, kabar itu seperti sudah memiliki jalannya sendiri untuk menyebar dengan cepat sampai ke ujung desa, bahkan sampai ke desa-desa terdekat di seberang sungai sana. Siang itu, satu orang kembali menjadi korban jembatan gantung yang semakin hari semakin rapuh itu. Beni anak Pak Badri jatuh dari ketinggian jembatan, ke kedalaman sungai yang arusnya terkenal deras. Mematikan. Perenang andal manapun tak akan sudi berenang di sungai itu, yang selain berarus kuat, kedalamannya menyimpan bebatuan yang siap membentur kepalamu ketika tubuhmu sudah

150 151 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 ADA MUSA DI DESA INI? | Aqib Wisnu Priatmojo

termakan arus sungainya. Kau tak akan mampu mengendalikan tubuhmu ketika arus kuat sudah mengekangmu dan menyeretmu ke dalam sungai, kemudian membawamu menuju ke akhir yang menyakitkan, kepala bahkan seluruh tubuhnmu akan membentur bebatuan besar yang mendiami dasar sungai. Beni ditemukan sudah terapung-apung di permukaan sungai sekitar satu kilometer dari jembatan itu. Mayatnya ditemukan oleh pemancing di tepian sungai yang arusnya sudah mulai tenang, berbeda dengan arus di bawah jembatan itu. Terlihat luka hampir di seluruh tubuhnya. Tak ada lagi baju yang tertempel di mayat itu. Tampaknya arus yang deras sudah mencerabut dengan paksa seluruh pakaian dari tubuhnya. Beni sebenarnya tidak pernah berharap hidupnya berakhir dengan cara seperti ini. Namun tidak ada pilihan lain baginya. Jembatan gantung dengan papan-papan kayu sebagai pijakannya itu menjadi satu- satunya jalan menuju desa di seberang sungai. Jembatan itu panjangnya 100 meter membentang di atas sungai. Dan jarak dari jembatan sampai ke permukaan air sungai sekitar 15 meter. Siapapun pasti sudah akan pasrah ketika terjatuh dari jembatan itu. Jatuh dari ketinggiannya saja sudah membuat tubuh merasakan sakit luar biasa, apalagi ketika membayang- kan arus deras sungai dan bebatuan yang mendiami dasarnya. Ditambah lagi kondisi jembatan itu sudah

152 153 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 ADA MUSA DI DESA INI? | Aqib Wisnu Priatmojo tidak bisa dikatakan waras. Tali jembatan sudah terlihat Murdi setiap hari menuju kebun yang digarapnya adalah rapuh dan seperti tinggal menunggu waktu untuk kebun milik warga desa seberang. putus. Papan-papan kayu yang menjadi pijakan sudah “Pak, anakmu itu diajak berangkat sekalian. Ibu banyak yang terlepas hingga terlihat dari ketinggian teringat kejadian yang menimpa Beni beberapa hari arus ganas di bawah sana. Orang-orang yang melewati yang lalu,” kata Sri, yang semakin khawatir akan jembatan itu haruslah memperhatikan langkahnya agar keselamatan anaknya. tak salah melangkah dan terperosok jatuh ke bawah. “Iya. Tapi sebenarnya anakmu itu juga sudah bisa Kekhawatiran para orang tua di desa itu sudah berhati-hati dan menjaga dirinya sendiri. Tak perlulah mencapai puncaknya. Mereka semakin khawatir dengan Ibu terlalu mengkhawatirkannya.” keselamatan anak-anaknya yang harus melewati “Bapak ini cuma berangkat bareng anaknya saja jembatan itu untuk bersekolah di desa seberang, karena apa susahnya? Kalau terjadi apa-apa...” di desa itu belum ada sekolah. Kekhawatiran itu juga “Ya sudah. Nanti Danu biar berangkat bareng dirasakan Murdi dan Sri, istrinya. Mereka tak ingin Bapak.” kejadian yang menimpa Beni terjadi juga kepada Danu, Dan setelah percakapan pada suatu pagi itu, Murdi anak mereka. Danu harus melewati jembatan rapuh akhirnya berangkat ke desa seberang bersama anaknya. itu untuk berangkat dan pulang sekolah. Setiap itu juga Ketika mereka tiba di jembatan, terlihat di sekitar ia harus bertaruh nyawa demi bersekolah demi masa jembatan sudah berkumpul banyak orang. Mereka depannya. “Aku ingin ikut memajukan negeri ini,” berdua penasaran, sebenarnya apa yang terjadi sehing- katanya dengan lugu pada suatu hari. Mungkin itu ga begitu banyak orang berkerumun? Apakah ada terlihat sebagai kebesaran hati dari seorang rakyat yang korban lagi? Setelah mereka mendekat, menurut ingin memajukan negeri walaupun hidupnya sendiri informasi warga yang berada di sana, ternyata sedang belum diperhatikan oleh negeri. Tapi sungguh, Danu ada peng-ambilan gambar untuk suatu program berita belum menyadari hal-hal seperti itu. Ia hanya ingin dari stasiun televisi nasional. Maka setelah itu, tentu menjalan-kan perintah gurunya untuk menjadi murid akan banyak orang mengetahui dan merasa harus ikut yang rajin dan berguna bagi negerinya. prihatin akan keadaan ini. Seluruh warga tampaknya harus berbesar hati Benar saja, seminggu setelah itu, tepatnya beberapa setiap hati melewati jembatan rapuh itu untuk minggu sebelum dilaksanakan pemilu, ada kabar yang melakukan aktivitasnya. Begitu juga yang dialami Murdi. mengatakan bahwa seorang pejabat dari kota

154 155 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 ADA MUSA DI DESA INI? | Aqib Wisnu Priatmojo akan menyumbangkan kapal untuk transportasi penye- keuangannya. Para ibu yang hendak ke pasar juga harus berangan sungai tersebut. Kapal itu akan dioperasikan mengeluarkan uang untuk menyeberang karena pasar agak jauh lokasinya dari jembatan. Tepatnya di bagian hanya ada di desa seberang. Karena kesulitan transpor- sungai yang memang arusnya agak tenang. Itu berarti tasi, di desa itu belum ada pasar. Seluruh warga betul- warga harus memutar lebih jauh karena lokasi betul merasa terbebani dengan keadaan seperti itu. pengoperasian kapal jauh dari jembatan, jalan yang Hidup, mereka rasakan lebih susah setelah jembatan biasa dilalui warga. Selain itu, yang membuat warga itu putus. Sumbangan kapal itu ternyata belum juga berpikir dua kali untuk memanfaatkan kapal itu adalah dapat memudahkan warga beraktivitas. Para warga setiap menyeberang warga diharuskan membayar untuk tidak tahu harus berbuat apa selain menyisihkan uang keperluan bahan bakar. Maka, setelah kapal itu setiap harinya untuk menyeberang sungai. beroperasi, banyak warga yang masih memilih melewati Suatu sore, ketika Danu pulang mengaji di surau, jembatan ketimbang memanfaatkan kapal tersebut. ia dengan penuh semangat berlari menuju Murdi dan seketika bercerita kepadanya tentang mukjizat yang KABAR buruk menimpa warga desa lagi. Dua hari dimiliki Nabi Musa. Dalam mata anaknya itu, Mardi yang lalu, jembatan yang bertahun-tahun telah berjasa seolah melihat kedamaian yang akan yang akan segera bagi warga desa akhirnya putus. Angin kencang ketika terjadi. Mardi hanya menanggapi anaknya itu dengan hujan deras turun, membuat jembatan tak dapat lagi tersenyum. Dalam pikirannya, ia sadar bahwa anaknya bertahan. Maka, tentu saja warga tidak punya pilihan itu masih terlalu kecil. bagaimana tidak? Mungkin lain. Mau tidak mau, mereka harus menggunakan kapal anaknya itu berpikir bahwa akan ada orang seperti untuk menyeberang. Mau tidak mau mereka harus Musa saat ini, dan menolong seluruh warga desa dari mengeluarkan uang setiap harinya untuk menuju desa kesulitan ini. Murdi kemudian hanya mengusap kepala seberang. “Danu, kamu sekarang harus lebih berhemat. anaknya. Sedangkan Danu, ia masih begitu bersemang- Uang sakumu akan Bapak kurangi untuk membayar at bercerita tentang kehebatan Nabi Musa. penyeberangan. Kita harus hidup lebih berhemat “Pak, kata uztad, Nabi Musa dapat membelah sekarang.” lautan dengan tongkatnya. Nanti kita bisa ke desa Hal itu tidak hanya menimpa keluarga Danu. seberang tanpa kapal. Nabi Musa akan membelah arus Kebanyakan warga yang memang hanya bekerja sungai, dan kita akan berjalan di tenganya. Pasti asyik sebagai petani harus lebih cermat mengatur ya, Pak?”

156 157 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 ADA MUSA DI DESA INI? | Aqib Wisnu Priatmojo

PAGI itu, Mardi sudah bangun begitu awal. Pagi- teriak-teriak. Aneh-aneh saja. Bapak pasti mimpi gara- pagi sekali, mardi sudah berada di tepi sungai. Entah gara tadi diceritain si Danu ya? Hahaha....” sri ketawa mengapa ia begitu ingin menuju sungai dan menikmati setelah membangunkan Murdi dari mimpinya. Danu kesunyian sebelum sebentar lagi mulai akan muncul yang ada di sampingnya ikut terkikik-kikik melihat orangyang berbondong-bondong mengantre untuk ayahnya yang mengigau. Murdi benar-benar malu. Ia naik kapal dan menyeberang. Di kesunyian itu, tiba- tak habis pikir bisa-bisanya cerita Danu itu terbawa tiba ia melihat seorang pria dengan baju putih mendekat hingga mimpi. ke sungai. Entah siapa, tidak begitu jelas dilihatnya. Keringat terlihat membasahi keningnya. Ia akhir- Pria itu lantas mengambil tongkat yang sepertinya nya sadar, mana mungkin ada orang yang bisa membe- hanya ranting kayu biasa dan memang sudah ada sedari lah sungai. Ia terlihat duduk diam dan tergugu di beran- tadi di sana. Pria itu kemudian melangkah masuk ke da setelah itu. Dalam pikirannya, mungkin memang sungai dan mengangkat tongkat kayu itu tinggi-tinggi. kesulitan ini masih akan berlangsung lama. Apalagi dan ternyata, pada akhirnya tongkat itu dipukulkan warga juga sudah bosan mengajukan protes kepada keras-keras ke arus sungai. pemerintah untuk pembangunan jembatan, dan sampai Tiba-tiba entah bagaimana caranya, air di sekitar sekarang belum mendapatkan tanggapan. Ia tak tahu tongkat itu mulai menjauh dan sungai terlihat mem- harus berbuat apa lagi. belah. Air di sekitar tongkat terus menggulung ke atas, Tiba-tiba dari kejauhan datang seseorang berlari dna sungai benar-benar terbelah. Bebatuan di dasar menghampirinya, dan kemudian membuyarkan sungai berangsur-angsur terlihat. Semakin lama belahan lamunannya. Tampaknya ada hal penting yang ingin itu semakin memanjang hingga sampai ke seberang. disampaikan hingga ia terlihat tergesa-gesa seperti itu. Kemudian terlihat seperti lorong terbentuk di sana. “Pak, pokoknya sekarang bapak harus menuju Lorong yang menuju ke seberang tentunya. Murdi sungai, ayo Pak! Ini benar-benar aneh. Banyak yang terkejut melihat hal itu. Ia kemudian lari ke rumah mengatakan, di sana ada seseorang yang dapat dengan berteriak-teriak sepanjang jalan. membelah air sungai. Sekarang sudah banyak warga “SUNGAI TERBELAH. SUNGAI TELAH yang berkumpul. Ayo pak, cepat! Saya juga akan ke TERBELAAH.” sana. 

“PAK, pak bangun! Kamu kenapa? tidur kok

158 159 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 SERIBU PERI | Yudhi Herwibowo Seribu Peri

Yudhi Herwibowo Minggu, 26 April 2015

EKARANG kau bilang dirimu dijaga oleh seribu peri. Tentu ini semacam pengakuan khasS bocah yang dipenuhi imajinasi putri cantik, pangeran tampan, nenek sihir jahat, dan peri-  peri. Jadi tentu semua orang hanya akan tersenyum tanpa perlu percaya, termasuk aku. Dan ini adalah sebuah kesalahan. Seharusnya, semua mengingat kejadian setahun lalu. Saat kau, yang kala itu baru berumur sembilan tahun, hilang selama 333 hari.

SELAMA ini, kau selalu menjawab dengan tak jelas tentang apa yang terjadi selama 333 hari itu. Ayahmu sampai memanggil seorang psikiater khusus anak. Tapi tetap saja ia tak bisa mengorek cerita lebih dalam lagi. Tapi padaku, kau bercerita. Tentu bukan cerita yang

160 161 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 SERIBU PERI | Yudhi Herwibowo

runtut seperti halnya cerita dari para tukang cerita. Ceritamu acak dan sedikit membingungkan. Beberapa bagian sangat tak jelas. Beberapa bagian yang lain terus diulangulang. Tapi setidaknya aku punya gambaran tentang apa yang terjadi selama 333 hari itu.

KATAMU, semuanya dimulai saat kedatangan hujan cahaya. Aku tak terlalu ingat apakah hujan seperti itu pernah terjadi di sini. Aku tak pernah keluar dari rumah. Aku hanya terus berada dalam lemari yang semakin terasa sempit. Tapi menurut ceritamu, hujan itu memang terjadi. Lewat tengah malam, cahaya- cahaya tiba-tiba turun dari langit. Awalnya kau pikir itu adalah bintang-bintang jatuh. Tapi ternyata bukan. Cahaya-cahaya itu hanyalah cahayacahaya kecil yang jatuh secara perlahanlahan. Dari situlah peri-peri itu kemudian muncul. Makhluk-makhluk kecil, sekecil tanganmu dengan empat sayapnya yang terlihat rapuh, seperti layaknya sayap seekor capung. Mereka beterbangan ke segala arah. Dan kau yang masih terjaga malam itu, melihat semua itu.

PERI-PERI yang bersembunyi di balik cahaya melihat keberadaanmu. Mereka kemudian melayang ke arahmu bagai ribuan kunang-kunang. Awalnya, kau tentu sangat ketakutan. Kau sempat menyesal, bagaimana mungkin malam ini tak ada

162 163 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 SERIBU PERI | Yudhi Herwibowo seorang pun yang terjaga? Ke mana penjaga malam? paling menyenangkan, di sebelah timur ada hamparan Atau orang-orang mabuk yang biasanya masih terjaga salju beserta beberapa patung salju dan penguin- di emperan jalan? pinguin yang lucu. Seharusnya aku juga dapat melihat semuanya. Tapi hari itu, lemari ditutup dengan rapat, sehingga aku tak KAU bermain sampai lelah. Saat kau beristirahat bisa melihat apa pun di luar sana. Tapi katamu, peri- itulah, kau mencoba menghitung peri-peri yang peri itu mengitari tubuhmu. Mereka seperti mengajakmu mengelilingimu. Tapi tentu saja itu upaya yang sia-sia. bercakap-cakap. Tapi suaranya telalu lirih dan tak kau Peri-peri itu hanya tertawa, karena sedikit saja mereka pahami. Maka kau pun hanya memandangi periperi bergerak, kau sudah harus menghitung dari awal. itu. Sampai kemudian, secara mengejutkan, peri-peri Kau akhirnya menyerah. Kau anggap saja mereka itu menyebar di tubuhmu. Lalu, perlahan-lahan berjumlah seribu. Toh, itu tak harus dibuktikan oleh tubuhmu pun terangkat, melayang ke angkasa. siapa pun. Setidaknya kau sekarang merasa senang Esok paginya, orang tuamu melaporkan hilangnya berada di antara peri-peri. Kau ingat, dulu, ibumu dirimu. pernah mendongeng tentang kisah Tinkerbell, peri sahabat Peter Pan. Sampai sekarang, kau masih takjub KATAMU, kau hanya pergi bermain. Peri-peri dengan pencipta kisah itu. Kau yakin, ia pastilah juga mengajakmu ke sebuah taman yang indah. Ribuan kali pernah melihat langsung peri-peri itu, sama seperti lebih indah dari taman kota yang biasa kau datangi dirimu. bersama ibumu. Kelak, kau yakin akan menulis kisah seperti itu juga. Tempat pertama yang kau datangi adalah sebuah tempat dengan lima matahari di atas langitnya. Matahari LALU, kau pulang dengan kegembiraan. Peri-peri yang berbeda tentunya. Ukurannya tak sama, dan yang itu mengantarkanmu seperti saat ia menjemputmu. pasti, sinarnya begitu lembut. Mengawalinya dengan hujan cahaya lalu turun perlahan Di sana kau bermain sepuasnya. Di sebelah utara membawa dirimu, melalui jendela kamarmu. ada pohon-pohon berbuah permen lolipop berbagai Katamu, kau hanya bermain satu hari saja. Namun rasa. Di sebelah barat ada kolam cokelat dengan taburan yang terjadi di sini, kau hilang selama 333 hari. Tentu meises. Di sebelah selatan ada gunung berisi boneka- ini sesuatu yang janggal. Tapi kau tak peduli dengan boneka cantik yang selama ini kau impikan. Dan yang semua itu. Toh, yang pasti, sejak itulah periperi itu selalu

164 165 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 SERIBU PERI | Yudhi Herwibowo berada di sekelilingmu. Tak ada yang bisa melihatnya, hilang selama 333 hari. Perlu kutambahkan, malam termasuk aku. sebelum ia hilang, itu adalah malam saat hujan cahaya Tapi kau pernah mencoba membuktikan padaku. datang kali pertama di kota ini. Dan saat hujan cahaya Kau memelukku di depan jendela. Berbisik pelan seperti kedua kembali datang, itu adalah hari saat ia dinyatakan mengucapkan doa. Aku mendengarnya seperti kembali.’’ permohonan tentang hujan apel. Tentu saja semula aku tak yakin. Namun yang terjadi, tak berapa lama PARA wartawan segera termakan ucapan itu. kemudian, apel-apel benar-benar berjatuhan di depan Mereka langsung mengorek-ngorek informasi tentang jendela kamarmu. Sejak itulah, kau mengatakan seribu kejadian setahun lalu saat gadis kecil itu hilang selama peri telah menjagamu. 333 hari. Mereka juga bahkan mencoba mendekati orang tua gadis itu, dan meminta izin dipertemukan SEJAK itu pula kota ini menjadi kota yang aneh. untuk wawancara. Tiba-tiba banyak peneliti dan wartawan dari berbagai Tentu saja, ayah dan ibumu hanya bisa diam. negara hadir di sini. Mereka mengamati hujan aneh Sebenarnya mereka berdua sudah mendengar cerita yang terjadi belakangan ini. Karena setelah hujan apel itu darimu. Tapi mereka tak ingin mempercayainya. yang menggemparkan, terjadi juga hujan boneka, hujan ‘’Sudah kukatakan, peri-perilah yang melakukan itu es krim, dan hujan permen. semua,’’ kau seperti menyalahkan kedua orang tuamu Seorang pemuka agama berteriak-teriak bahwa itu yang tak percaya. ‘’Mereka semua bersembunyi di langit. adalah cara Tuhan mengasihani para bocah yang Mereka yang membuat hujan-hujan aneh itu.’’ Ayahmu semakin tak dipedulikan orang tuanya. Dan kupikir itu tampak marah. ada betulnya. Namun seorang perempuan tua yang ‘’Karena ucapanmu itu, kini semua orang mencari rumahnya tepat berada di depan rumahmu, tiba-tiba dirimu, Kau harus mengenyahkan pikiran itu. Kalau datang di kerumunan para wartawan. tidak, orang-orang itu akan terus mengganggu hidup ‘’Kau tak akan mendapatkan apa-apa di sini,’’ kita.’’ serunya. ‘’Selama gadis kecil itu, tak muncul di jendela kamarnya, tak akan ada yang terjadi. Kalian mungkin KAU merasa sedih. Bukan karena ayahmu tetap menganggap aku gila, tapi kuberitahu kalian semua, tak memercayaimu. Tapi karena ia memintamu untuk gadis kecil di jendela itu adalah gadis yang dilaporkan tak lagi mengingat kejadian itu. Seharian kau meringkuk

166 167 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 SERIBU PERI | Yudhi Herwibowo di atas pembaringanmu, sementara di luar, para Tapi tak ada yang terjadi. wartawan tak henti berteriak-teriak. Tangismu semakin pecah. Terlebih saat kau melihat ‘’Nona kecil maukah kau bicara sebentar?’’ peri-peri yang bergeletakan di tanah. Beberapa peneliti ‘’Apa lagi hujan yang ingin kau hadirkan?’’Kau tak dan wartawan segera berebutan. Bahkan beberapa ekor mengubris teriakan-teriakan itu. anjing liar memakannya. ‘’Nona kecil, benarkah kau bersama peri-peri?’’ ‘’Apakah kau bisa menghadirkan hujan peri di AKU melihat kesedihanmu. Sepanjang menjadi sini?’’ Kau terdiam. Entah mengapa ucapan terakhir penghuni kamar ini, aku tak pernah melihat dirimu itu seperti mendatangkan ide di kepalamu. Ide yang sesedih ini. bisa membuktikan ke semua orang, termasuk ayahmu, Kau bertanya-tanya padaku, apakah kau sudah kalau kau tidaklah berbohong. membunuh seluruh peri? Bagaimana pula caranya agar Maka kau beranjak ke arah jendela. Kembali, kau peri-peri itu bisa kembali hidup? Tentu saja pertanyaan- seperti berbisik sendiri. Dan tak berapa lama, muncullah pertanyaanmu tak bisa kujawab. Aku hanya bisa diam, cahayacahaya dari langit. Tentu, karena ini bukanlah dan berada di pelukanmu. malam hari, cahaya-cahaya itu nyaris tak terlihat. Tapi Lalu, saat itulah mulai kulihat sesuatu pada dirimu. di situlah, peri-peri itu berada. Aku tak tahu kau menyadari atau tidak. Tapi saat Semuanya berjatuhan. itulah aku melihat tubuhmu nampak aneh. Ada yang bergerakgerak di semua kulitmu. Kupikir, itu adalah KAU menangis di kamarmu. Kau masih teringat kesalahan mata tuaku. Tapi tidak. Kulitmu memang hujan cahaya pada tengah hari itu. Sebuah cahaya terus bergerak-gerak. Seakan-akan ada yang ingin mengarah ke telapak tanganmu. Dan kau lihat di situ, terlepas dari situ. sesosok tubuh mungil dengan sayap patah, nyaris tak Dan benar, aku kemudian melihat sepasang sayap bergerak. muncul di kulitmu, diiringi sayap-sayap lainnya di bagian Kenapa semuanya berjatuhan seperti ini? Bukannya tubuh yang lain. Mereka seperti berupaya keras melayang turun dengan perlahan? melepaskan diri. Lalu tak lama kemudian, munculah Kau benar-benar menyesal. Dengan air mata yang peri pertama dari tubuhmu, diikuti oleh peri-peri lainnya. tak henti mengucur, kau kembali membuka jendela Aku hanya bisa terdiam melihatnya. Aku tak bisa kamarmu. Di situ, kau berbisik-bisik lagi. melakukan apa-apa. Aku ingin sekali berteriak. Tapi

168 169 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 LASTRI HILANG | Lailatul Mafiyah tentu aku tak mampu melakukannya. Bukankah selama ini yang bisa kulakukan hanyalah melihat saja? Jadi, kali ini pun begitu. Aku terus melihat peri-peri seperti Lastri Hilang terbebas dari tubuhmu, satu demi satu. Seakan seluruh tubuhmu merupakan gumpalan yang terbuat dari peri- peri itu. Sungguh, hanya beberapa saat saja, tubuhmu tak lagi bersisa. Hanya kamarmu yang dipenuhi peri- Lailatul Mafiyah peri yang berterbangan di semua sudut. Minggu, 03 Mei 2015 Sementara di luar jendela, kulihat hujan cahaya kembali hadir. Saat cahaya-cahaya itu semakin rendah, peri-peri itu tiba-tiba melayang satu demi satu ke ASTRI tak tahu harus bagaimana. Ia arahnya. Ini yang kemudian membuat cahaya-cahaya mengunci pintu kamarnya rapat-rapat. Tak itu kembali melesat ke angkasa. adaL angin malam ini, dinding-dinding Ya, hujan cahaya seperti berbalik sebelum jatuh. bergeming, dan segalanya terasa kering. Lastri Aku tahu, ia pergi membawamu.  meringkik gelisah di pojok kasur. Ia tahu namanya sedang diperbincangkan. Sementara di luar ibu mertua dan kakak iparnya sedang membicarakan upacara adat reneuh meundingan untuknya. Lastri menerka-nerka, Diding, suaminya telah meminta ibu mertuanya untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk kehamilannya, termasuk upacara adat. Sebelumnya, Lastri telah menjalani upacara empat bulan mengandung, tujuh bulan mengandung atau tingkeban, dan sembilan bulan mengandung. Kali ini pada usia kandungan Lastri yang sudah mencapai sebelas bulan, Lastri

170 171 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 LASTRI HILANG | Lailatul Mafiyah

belum juga melahirkan. Ia harus menjalani upacara adat Sunda reneuh meundingan, yaitu upacara untuk usia kehamilan yang sudah melebihi batas kewajaran. Sudah menjadi kewajiban Lastri untuk melaksanakan adat keluarga suaminya yang orang Sunda, meskipun sebenarnya Lastri orang Semarang yang tidak mengerti adat Sunda. Pertemuan mereka berawal ketika Lastri melamar kerja di toko bangunan cabang Semarang milik Diding. Diding bertanya-tanya, kali pertama ia melihat seorang perempuan muda melamar kerja di toko bangunan. “Di sini semua karyawanku laki-laki. Kau ingin melamar sebagai apa?” tanya Diding sembari memperhatikan Lastri dengan saksama. Wajah Lastri cantik, kulitnya kuning langsat, badannya ramping, dan kakinya jenjang. “Saya bisa hitung-hitungan Pak. Saya lulusan akuntansi,” jawab Lastri sambil menyodorkan surat lamarannya. Diding tersenyum melihat foto Lastri. Ia mulai menyukai Lastri. Sampai pada akhirnya mereka menikah. Lastri diboyong ke Sunda untuk tinggal bersama ibu dan kakak Diding. “Lastri, ayo keluar!” panggil Syifa, kakak iparnya. Lastri terbangun dari lamunannya. “Ibu ingin menyampaikan sesuatu padamu,” tambah Syifa. Lastri menarik napas panjang. Kebingungan serupa

172 173 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 LASTRI HILANG | Lailatul Mafiyah selubung membungkusnya rapat-rapat. Ia tak kuasa dia belum melahirkan pada usia kandungannya yang merobek jalan keluar masalahnya. Suaminya sudah tiga sebelas bulan. Yang harus ia lakukan adalah periksa ke bulan tidak pulang. Tidak ada yang bisa membantunya dokter. Tetapi di sini di daerah terpencil ini, Lastri harus untuk menolak adat ini. ke kota dulu untuk memeriksakan kandungan. Lastri membuka pintu kamar. Ia berdiri mematung sambil memegang perutnya. Ibu mertuanya tersenyum LASTRI berdiri menatap luar jendela. Semerbak penuh kasih. Tetapi, bagi Lastri senyum ibu mertuanya harum bunga dan embun menguar pada pagi hari. Ia sangat menakutkan. Senyum yang menekan Lastri mengelus perutnya sembari mendendangkan lagu untuk mengiyakan pelaksanaan upacara reuneuh “Bubuy Bulan’’. meundingan. Bubuy bulan “Jujur, saya tidak mau melakukan adat ini, Bu,’’ Bubuy bulan sangray bentang ungkap Lastri memulai percakapan. Panon poe “Kenapa? Upacara ini tujuannya baik, Las, agar Panon poe disasate nantinya tidak terjadi sesuatu padamu dan bayimu,’’ Lastri merindukan suaminya. Ia mulai tegas Bu Dirga. membayangkan saat-saat bersama dengan suaminya, “Tapi Bu, saya malu dengan hujatan orang-orang. dalam pelukan, rengkuhan, dan sentuhannya. Lastri dibilang tidak normal. Bukankah akan tambah “Duh Kang...,’’ lirih Lastri. malu jika aku menjalani upacara adat ini?’’ tukas Lastri. Ingin rasanya Lastri pergi ke Semarang menyusul “Kalau kau tidak melakukan upacara ini, keluarga suaminya yang tanpa kabar. Tapi apa daya perutnya kita yang akan malu. Kita sebagai orang terpandang kian membesar? Apa kau tak merindukanku, Kang? harus memberikan contoh untuk masyarakat, Tetapi, keinginan Lastri lebih besar daripada ketakutan- termasuk mematuhi adat,’’ tutur Bu Dirga. nya. Ia mulai menata bajunya ke dalam tas. Senja ini ia Lastri bungkam, ia tak ingin bertengkar dengan akan pergi. ibu mertuanya. Dari hati yang paling dalam Lastri tidak mau melakukan upacara itu, melakukan ritual masuk MATAHARI tepat di atas kepala. Syifa duduk kandang, keliling rumah tujuh kali, dikalungi kelotok, santai di beranda sembari membuka album dan menirukan suara kerbau. Ia tak mau disamakan pernikahannya. Masa lalunya begitu kelam. Suami yang dengan kerbau. Ia manusia, sudah takdir Tuhan bahwa begitu dia cintai meminta cerai karena Syifa tak bisa

174 175 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 LASTRI HILANG | Lailatul Mafiyah memberikan keturunan. saja benar. Kehamilanmu itu aneh, sudah sebelas bulan “Dasar wanita mandul! Kerjaanmu cuma makan kok belum juga lahir. Jadi aib keluarga saja,’’ ucap Syifa dan tidur. Tidak berguna.’’ mencemooh. Kata-kata suaminya itu selalu terngiang di dalam “Cukup, Teh,’’ Lastri menangis kemudian masuk pikiran Syifa. Hatinya begitu sakit. Sampai sekarang ke kamar. pun ia masih terpuruk. Ingin sekali ia seperti adik iparnya: bisa BULAN bersinar redup malam ini. mengandung dan mengelus-elus perutnya yang semakin Mendung menghampiri juga pertanda akan turun membesar sambil mendendangkan lagu-lagu Sunda. hujan. Akhirnya, Diding pulang setelah berbulan-bulan Tapi itu mustahil. bekerja keras mengurusi toko bangunannya. Namun “Lagi apa, Teh Syifa?’’ tanya Lastri mengagetkan kedatangan Diding disambut dengan kebungkaman Syifa. Syifa sontak menutup albumnya. orang-orang di rumahnya. “Ini lihat-lihat foto. Oh ya, sudah siap kau dengan “Las, Lastri!’’ panggil Diding. Tak ada sahutan. upacara besok?’’ tanya Syifa mengalihkan pertanyaan. “Diding, Ibu...,’’ ucap Bu Dirga. Gugup. “Aku mau menyusul Kang Diding, Teh. Aku malu “Di mana Lastri, Bu? Besok akan ada upacara kalau aku harus melaksanakan upacara reuneuh reuneuh meundingan, bukan? Lastri mau?’’ tanya Diding. meundingan. Dan kalau keluargaku di Semarang tahu “Lastri minggat, Ding. Maafkan Ibu tidak bisa mereka juga akan malu. Kenapa aku harus disamakan menjaganya,’’ ucap Bu Dirga, menangis. “Ibu tahu dengan kerbau, Teh? Lebih baik aku ke Semarang dan Lastri tidak ingin melakukan upacara adat ini. Dia malu melahirkan di sana,’’ jelas Lastri. tapi Ibu bersikukuh ingin mengadakannya,’’ jelas Bu “Bukan hanya itu, Las, orang-orang mengatakan Dirga. kau bukan hamil anak Diding melainkan anak jin. Diding terduduk lemas di kursi. Pikirannya semakin Makanya belum juga lahir jabang bayimu.’’ Ungkapan sempoyongan. Ia sangat merindukan istrinya. Tetapi Syifa menyakiti Lastri. orang yang dia rindukan itu pergi. Ia merasa sangat “Apa Teh, anak jin? Demi Tuhan ini anak kang bersalah meninggalkan Lastri untuk waktu yang lama. Diding. Bisa-bisanya Teh Syifa mengatakan itu padaku?’’ “Kapan Lastri pergi?’’ Lastri marah. “Mungkin saat senja,’’ celetuk Syifa. “Orang-orang yang mengatakan itu, Las. Tentu “Kau mau menemaniku mencari Lastri, Teh?’’ pinta

176 177 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 LASTRI HILANG | Lailatul Mafiyah

Diding. “Astaga Teh, kau waras? Lastri sedang hamil kau Syifa mengangguk. Mereka beranjak menaiki mobil bawa dia ke dukun?’’ kemudian berkeliling mencari Lastri. “Itu bukan anakmu, Ding, itu anak jin. Kuminta dukun itu untuk membunuh anak itu.’’ KEPERGIAN Lastri memang sangat misterius. “Astagfirullah, Syifa tutup mulutmu! Siapa yang Orang-orang di rumah tidak ada yang tahu. Dia mengatakan hal itu?’’ Bu Dirga mengelus dada. menghilang begitu saja tanpa meninggalkan pesan apa Diding dan ibunya bergegas menyusul Lastri. pun. Mereka temukan Lastri tengah berbaring di kursi Lagu “Bubuy Bulan’’ mengingatkan Diding pada panjang. Perutnya sudah kempes. Di sampingnya Lastri. Lagu itu sering Lastri nyanyikan saat mereka terlentang tubuh bayi mungil dengan tusukan pisau sedang berduaan. Diding semakin frustrasi. Diding bersimbah darah.  kelelahan setelah seharian ini mencari Lastri. “Ke mana istrimu itu ya, Ding?’’ tanya Bu Dirga. “Apa mungkin dia ke Semarang menyusulku tetapi belum sampai?’’ Diding menerka-nerka. “Mungkin saja, Ding. Semoga dia baik-baik saja,’’ tutur Bu Dirga. “Iya Bu, tapi aku harus bilang apa pada keluarga Lastri?’’ “Maafkan a...ku, Ding,’’ mendadak Syifa terbata- bata berkata. “Maaf untuk apa, Teh?’’ tanya Diding, heran. “Maaf untuk kebungkamanku selama ini. Lastri telah kusembunyikan. Ia gila, ia ingin mempermalukan keluarga kita. Dia dihamili makhluk halus, Ding. Kau harus menceraikannya,’’ jelas Syifa. “Apa? Jaga ucapanmu! Di mana dia sekarang?’’ “Di dukun bawah kaki gunung.’’

178 179 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 HUJAN BATU DI SAMALANGA | Ida Fitri Hujan Batu di Samalanga

Ida Fitri Minggu, 10 Mei 2015

IKA terjadi hujan batu maka kau akan kaya. Itu mitos diyakini oleh pemalas yang kerjanya dudukJ berjam-jam di kedai kopi. Di Samalanga, duduk di warung kopi sudah menjadi budaya  yang mendarah daging. Bukan hanya di sana saja, itu sudah menjadi kebiasaan pria bersarung Aceh. Konon kedai kopi terbanyak di dunia ada di Tanah Rencong. Benar-benar memalukan. Kenapa bukan kopi Aceh saja yang terkenal? Kopi tubruk yang disajikan dengan gelas terbalik di atas sebuah piring kecil. Kenapa pria Aceh minum kopi di piring kecil atau ceper? Konon katanya pria-pria Aceh berhidung mancung, jadi kalau minum dari gelas, hidungnya akan menahan mulut gelas. Ini omong kosong lainnya yang sering dibincang- kan warga. Mengukuhkan opini bahwa pria Aceh memang gemar berada di warung kopi.

180 181 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 HUJAN BATU DI SAMALANGA | Ida Fitri

Tapi tidak bagi Matnasit. Tidak ada uang yang diturunkan dari langit. Semuanya harus diusahakan. Tuhan tidak akan berbelas kasihan dengan orang yang duduk sehari semalam sembari berdoa, ‘’Ya Gani... Ya Gani, Neubi peng saboh guni.’’ Dan uang juga tidak turun untuk pria-pria yang mendiskusikan klub sepak bola La Liga di kedai kopi. Matnasit juga bukan tipe orang yang tidak menyakini Tuhan. Menurutnya Tuhan tidak ada untuk pemalas. Samalanga sudah lama dikenal sebagai kota pesantren. Dan lelaki berpostur tinggi itu jebolan salah satu pesantren. Sangat naif jika memvonis dia tidak percaya pada kekuatan doa. Hanya saja menurutnya, berdoa lima kali saja, selanjutnya adalah usaha. Matnasit mempraktikkannya dengan menggarap 10 rante sawah, memelihara dua puluh ekor sapi, sepuluh ekor kerbau dan tiga puluh ekor kambing. Dia menitipkan hewan piaraannya pada beberapa penduduk desa. Berbagi rezeki merupakan cara lain untuk menambah harta sudah lama diyakini lelaki berputra dua itu. Tapi kalau pemelihara ternaknya terlalu sering terlihat di kedai- kedai kopi, dia tak ragu-ragu untuk mengambil kembali ternaknya dan memberikan kepada orang lain. Pemalas tak patut dikasihani. Selain itu, Matnasit juga membeli pinang pada petani di luar kota, kemudian mengirimnya ke Medan. Dari mampu membeli satu karung pinang, bertambah menjadi dua karung dan seterusnya. Dia sangat pintar

182 183 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 HUJAN BATU DI SAMALANGA | Ida Fitri berimprovisasi dalam bisnis. Kini lelaki itu sudah memiliki lima orang anak yang harus dihidupi. Touke mampu mengirimkan bertruk-truk pinang setiap Matnasit berang saat mendapat laporan bahwa lelaki bulannya ke Medan. Dan orang-orang mulai miskin itu lebih mengenal kedai kopi dari pada anak memanggilnya Touke Matnasit, sang juragan pinang perempuannya. Sanggup menghabiskan waktu Samalanga yang anti-kedai kopi. seharian menyimak dan mencermati isu terkini khas omong kosong kedai kopi. Tidak peduli pada bininya SEBENARNYA Touke Matnasit tidak anti-kedai yang kebingungan mau masak apa untuk anak-anak kopi. Itu bisa menjadi salah satu aset warga untuk di rumah. Touke Matnasit menarik kerbau dari berbisnis. Dia hanya tidak menyukai pemalas yang peliharaan Bang Rasyip sebagai bentuk teguran. nongkrong berjam-jam di warung kopi. Dari Kalau Bang Rasyip datang untuk meminta maaf membicarakan politik versi kedai kopi sampai dan berjanji akan berubah, dia akan memberikan kerbau menggosipkan istri tetangga. Terkadang mulut lelaki- itu kembali. Tapi Bang Rasyip telah pendek akal dan lelaki itu lebih perempuan dari orang-orang menjadi gila. berkerudung. Dia anti yang begituan, bukan anti pada kopi. Buktinya pagi ini Touke Matnasit sedang BATU-BATU terus berjatuhan di atap rumah. menghirup kopi tubruk Aceh yang disajikan sang istri Bahkan semakin terdengar mengerikan. Interval tercinta. jatuhnya batu semakin cepat. Ini tidak dilakukan oleh Telinga Touke Matnasit mendengar suara-suara satu orang. Wajah-wajah mereka, pemalas penggarap aneh yang berjatuhan di atap rumah. Dia meletakkan yang pernah ditarik kembali sapi, kerbau atau tanah ceper kecil dan gelas kopinya ke atas meja. Siapa yang sawah muncul silih berganti dalam benak Touke melempar atap rumahnya. Apa Bang Rasyip yang Matnasit. Mungkihkan mereka berkomplot? Ini kerbaunya ditarik balik itu mengamuk? berubah mengerikan. Sejujurnya dia tak tega mengambil kerbaunya dari Touke Matnasit memanggil istrinya. Hening, tidak Bang Rasyip. Lelaki itu sangat miskin. Bang Rasyip ada jawaban. Lalu lelaki itu beringsut bangun dan dan keluarganya menempati sebuah gubuk beratapkan berjalan cepat ke arah pintu depan. Dia ingin rumbia dan berdinding Bleut, daun kelapa yang dijalin memastikan siapa yang melempari rumahnya, dan sedemikian rupa. Gubuk itu dibangun di atas tanah memberikan pelajaran pada orang itu. Kalau perlu wakaf warga. Yang menyedihkan lagi Bang Rasyip diseret ke kantor polisi. Karena terburu-buru dia tak

184 185 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 HUJAN BATU DI SAMALANGA | Ida Fitri sempat menghindar ketika sebuah tubuh meluncur pemiliknya. Desanya akan berubah menjadi kuburan cepat dari arah berlawanan. yang mengerikan. Mayat-mayat dengan kepala hancur “Umi?’’ Matnasit menabrak istrinya yang terlihat bergelimpangan. Atau jika hujan batu berlangsung lebih sangat syok, ‘’Umi, kenapa? Siapa yang melempar atap lama, mayat akan terkubur selamanya. Menjadi artefak rumah kita?’’ Matnasit menggoncang-goncang tubuh yang akan digali cerdik pandai di masa depan. istrinya. Touke Matnasik semakin terkesima ketika melihat Perempuan berkerudung lebar itu belum bisa ke halaman rumah. Batu-batu berwarna, hijau, merah, berkata-kata, dia menunjuknunjuk ke arah pintu. cokelat, putih, ungu, kuning terus berjatuhan. Cahaya Pandangan Matnasih beralih ke pintu depan. Hatinya matahari yang mengenai batu menebak-nebak apakah pelempar rumahnya memantulkan kilau indah. Tak henti mulutnya membawa senjata. Apa itu memang Bang Rasyip? menyebut nama Tuhan. Mungkinkah doa-doa, “Ya “Tidak ada pelempar. Hu-hu-hujan batu,’’ jawab Gani, neubi peng saboh guni. Ya Tuhan, beri kami segoni istrinya terbata. uang, menjadi mustajab? Touke Matnasit melepaskan tangan dari wanita itu. Sebait mitos kuno, jika terjadi hujan batu maka Secepat yang dia bisa, dia menuju pintu. Tangannya kau akan kaya, menari-nari dalam pikiran Touke terlihat bergetar saat menyentuh gagang pintu. Matnasit. Kemudian ditariknya benda tersebut dengan seribu satu perasaan berkecamuk di dada. SETELAH dihujani batu tak lebih dari lima belas Pintu terbuka lebar. Touke Matnasit tak ingin menit, terjadi perubahan signifikan di Samalanga. percaya dengan penglihatannya. Batu-batu berukuran Berdasarkan hasil penelitian, ternyata batu-batu itu sebesar kelereng berjatuhan di depan rumah. Dan tidak berasal dari lumut. Lumut yang berumur sangat lama ada seorang pun yang melemparkan benda tersebut. mengeras sedemikian rupa. Dari mana asal lumut-lumut Batu-batu itu seperti dimuntahkan dari langit dengan itu? Apakah awan yang menyerap air mulai teratur. menumbuhkan lumut dari rinbuan tahu lalu? Lumut Tuhan! Apakah ini pertanda kiamat? Berapa lama itu mati dan awan memuntahkannya di Samalanga? atap rumah di desanya mampu menahan batu-batu Tidak ada satu penjelasan ilmiah pun yang mampu itu? Jika hujan batu ini tak berhenti. Atap rumah akan menjawab fenomena hujan batu di Samalanga. Para runtuh dan batu-batu akan mengenai kepala pencinta batu berdatangan dari pelosok negeri. Setiap

186 187 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 HUJAN BATU DI SAMALANGA | Ida Fitri warga kini mempunyai pekerjaan baru sebagai penjual negeri? Semua ada masanya, semua ada waktunya. Bila batu berharga. kegilaan pada batu ditemukan obatnya, apa yang akan Touke Matnasit berjalan mengililingi desa. Dia dilakukan warga Samalanga? memperhatikan perilaku baru warga Samalanga. Kini Tentu tidak cukup dengan duduk di kedai kopi terdapat kios-kios batu di kiri kanan jalan. Wajah-wajah sambil menangisi nasib. Entahlah.  tak dikenal terlihat di sepanjang jalan. Hujan batu giok di Samalanga sangat cepat beredar ke seluruh negeri. Ilmuwan datang untuk meneliti, pencinta batu datang untuk berburu batu. Apakah keberadaan kios batu menggusur kedai kopi? Tidak juga. Hanya menambah satu kegiatan kecil, selain minum kopi, mereka juga menggosok-gosok batu dengan serbuk intan. Gesekan batu dengan serbuk intan akan menyebabkan permukaan batu mengkilap. Serbuk intan bisa diperoleh dengan mudah di kios batu. Mereka merawat batu-batu itu lebih cermat dari merawat diri sendiri. Mereka juga mengenal setiap lekuk batu mereka. Bahkan ada yang mulai mengatakan batu- batu itu bisa berubah warna. Yang lain membanggakan ada bunga dan kehidupan dari batu mereka. Sebuah kota berada di dalam batu sekecil kelereng. Selain menyukai kopi, warga Samalanga juga mulai tergila-gila pada batu. Yang dulunya rajin ke sawah mulai ikut-ikutan menggosok batu di kedai kopi. Touke Matnasit mendesah pelan, ini sangat mencemaskan. Bukan hanya kerbau, sapi, kambing dan sawah miliknya yang ditelantarkan warga. Tapi sampai kapan batu itu akan digilai penduduk

188 189 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KUPU-KUPU DI TAMAN LAMPDORIA | M. Najibur Rohman Kupu-Kupu di Taman Lampdoria

M. Najibur Rohman Minggu, 17 Mei 2015

NTAH dari mana mula desas-desus ini berembus. Di Taman Lampdoria yang diberkahiE hamparan hijau tetumbuhan dan danau cantik yang tak kalah dengan sungai La  Seine di Paris, sebuah kutukan sedang berjalan. Siapapun, kata orang-orang di kota Perusia, yang melihat kupu-kupu di taman itu akan kehilangan kekasih. Tak peduli ia pacar atau istrimu. Mereka yang terkena kutuk akan mendapati kekasihnya dalam keadaan yang menyedihkan. Toto Ramindez, seorang pelaut muda yang gagah berani dan menjadi rebutan gadis-gadis di kota, kehilangan Armeida Schizopa karena ia mengajak kekasihnya itu berkencan di Lampdoria. Ibunya sudah memperingatkan sesungguhnya. Namun Toto tak memedulikan.

190 191 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KUPU-KUPU DI TAMAN LAMPDORIA | M. Najibur Rohman

“Aku tidak akan percaya pada hal-hal yang tidak masuk akal, Ibu.’’ “Ini bukan soal masuk akal atau tidak, Toto, tetapi Lampdoria penuh kutukan.’’ ‘’Dibunuh oleh seekor kupu-kupu?’’ tanya Toto membantah ibunya sambil tertawa berbahak. “Iya, anakku,’’ sahut ibunya meyakinkan. “Apa kupu-kupu itu seukuran hewan prasejarah?’’ Ah, sudahlah. Percuma berdebat juga dengan si Toto. Teman-teman kecilnya saja menjulukinya Si Mulut Kodok karena tak ada yang bisa menang berdebat dengannya.

PADA akhirnya, pada malam minggu, saat orang- orang kota bergembira merayakan pembukaan pusat perbelanjaan baru dengan meniup terompet dan menyalakan kembang api, Toto mengajak Armeida berkencan ke Taman Lampdoria. Tentu saja Armeida agak keberatan dengan ajakan Toto ke taman terkutuk yang sering dibicarakan oleh orang-orang itu. Namun Toto adalah pemuda yang gigih dalam merayu hingga keraguan itu luntur. Sampai lewat tengah malam seluruh kota masih bersorak-ria dengan pesta hingga keesokan harinya tersiar kabar bahwa Armeida menghilang secara misterius. Orang tua dan sanak keluarganya dibuat bingung. Berdasarkan laporan seseorang, ada yang melihat Armeida berjalan-jalan bersama Toto.

192 193 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KUPU-KUPU DI TAMAN LAMPDORIA | M. Najibur Rohman

Barangkali saat akan pergi ke Lampdoria. diambil Pemerintah Kota. Mereka lebih disibukkan oleh Orang-orang lalu menuju ke rumah Toto untuk urusan perut yang selalu lebih mendesak. meminta ia bertanggung jawab. Tetapi, betapa kaget Di tengah keadaan itu, Pemerintah bersama-sama orang-orang saat mendapati tubuh Toto yang Dewan Kota terus membahas rancangan peraturan menggelantung di kamar dengan tali yang mencekik pelarangan berkunjung ke Lampdoria. Palu akhirnya lehernya. Di dinding kamar Toto ditemukan sebuah diketok. Regulasi disahkan. Kemudian disosialisasikan. pesan singkat yang menurut bisik orang-orang, tertulis Jumpa pers dilaksanakan dengan mengundang para dengan darah. Barangkali darah Toto. wartawan dari dalam dan luar negeri. Bagi wartawan “Armeidaku dibunuh kupu-kupu,’’ pesan di dinding luar negeri regulasi ini sangat unik dan menarik. kamar Toto. Larangan pergi ke sebuah taman tak pernah terjadi di negeri manapun. Ini kali pertama dalam sejarah bangsa SEJAK kutukan terakhir yang menimpa Toto manapun. dengan tragis dan hilangnya Armeida secara misterius, Menyusul regulasi itu, kasak-kusuk terus tersiar kabar Pemerintah Kota ingin membuat berlangsung. Perdebatan terjadi di kampus-kampus dan kebijakan untuk melarang warganya berkunjung ke seminar-seminar di hotel. Pembicaranya hadir dari Lampdoria. Sontak kabar ini menghebohkan warga. berbagai latar belakang dengan perspektif yang Pro-kontra merebak. Sebagian mendukung sikap ini berbeda-beda. Namun setiap acara selalu berakhir sama: untuk menghindari jatuhnya korban lain karena panitia mempersilakan pembicara dan peserta untuk kutukan Lampdoria. Sebagian lain, terutama para makan bersama. Padahal sewaktu diskusi, mereka agamawan, menilai sikap Pemerintah Kota adalah sikap berdebat sangat sengit. Analisis-analisis baru yang kekanak-kanakan. Mereka tak percaya takhayul bermunculan terkait regulasi larangan ke Lampdoria. tetapi tak pernah ada yang mau mengujinya sendiri. Bahkan ada yang menganggap kupu-kupu di Lain lagi adalah kelompok masyarakat yang tak Lampdoria adalah jelmaan Izrail. ambil pusing dengan kutukan di Lampdoria. Mereka “Apa malaikat punya waktu untuk iseng menjelma ini terutama para pekerja kasar, kuli bangunan, menjadi kupu-kupu?’’ tanya salah seorang peserta pedagang kecil di pasar, tukang asong, pedagang diskusi kepada pembicara. keliling, dan penjual mainan anak-anak di trotoar. “Oh, itu sangat mungkin. Beberapa orang pintar Mereka tak peduli dengan kebijakan apa pun yang sudah mengatakan analisis itu,’’ jawabnya.

194 195 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KUPU-KUPU DI TAMAN LAMPDORIA | M. Najibur Rohman

“Lah, apa Anda bukan orang pintar?’’ sergah yang mereka terima. peserta lain Melalui televisi, orang-orang melihat kerusuhan itu “Saya ini pintar, tapi bukan orang pintar.’’ dengan rasa ngeri. Para orang tua mahasiswa sibuk menelpon anak mereka karena ada kabar bahwa BELUM lagi reda polemik mengenai regulasi petugas keamanan menciduk beberapa mahasiswa Pemerintah Kota, muncul situasi baru yang lebih yang dianggap sebagai dalang aksi dan provokator. menggegerkan. Ada tuduhan Pemerintah Kota Sementara para istri petugas keamanan harap-harap melakukan mark-up anggaran sosialisasi larangan cemas menunggu suami mereka di rumah. berkunjung ke Lampdoria. Pelan-pelan polemik Mereka khawatir situasi tak lagi bisa dikendalikan. kutukan Lampdoria memudar digantikan dengan Jika terjadi sesuatu yang buruk terhadap suami problem yang lebih nyata. Korupsi. Ya, korupsi. Situasi mereka, maka siapa yang bakal menjamin pemerintahan semakin memanas. Eksekutif dan kehidupannya kelak? Padahal selama ini kehidupan legislatif saling tuding. Para pejabat kota, terutama yang mereka bergantung dari gaji sebagai petugas keamanan hidup di lingkungan lembaga yang dilewati aliran dana yang tak seberapa itu. sosialisasi, mulai mencari aman sendiri-sendiri. Dengan tugas yang berat, dan kadangkala makian Setiap hari koran-koran memberitakan itu. Opini dari sebagian orang, kehidupan harian para petugas muncul berbeda-beda. Ada yang menganggap itu keamanan ini sangatlah mepet. Hanya atasan-atasan hanya kesalahan prosedur, ada yang menuding orang- mereka saja yang berpendapatan tinggi. Bahkan sudah orang tertentu telah memanfaatkan dana sosialisasi menjadi rahasia umum bila orang dengan pangkat untuk kepentingannya sendiri. tinggi di Dinas Keamanan bisa memiliki istri lebih dari Mahasiswa mulai gerah melihat itu semua. Mereka satu orang. melakukan protes dan turun ke jalan-jalan. Mahasiswa Hiruk-pikuk dugaan korupsi dana sosialisasi menuntut transparansi dan akuntabilitas pengelolaan larangan berkunjung ke Lampdoria terus menjadi dana sosialisasi. Aksi mereka tak pernah disambut pekerjaan bagi Dinas Hukum. Mereka dikabarkan serius kecuali oleh pentungan petugas Dinas Keamanan Kota. mengumpulkan bukti-bukti dan saksi-saksi atas dugaan Mahasiswa pernah berupaya menduduki gedung penyelewengan dana. Akhirnya memang ditemukan Dewan Kota tetapi usaha itu tak pernah berhasil karena siapa yang harus bertanggungjawab untuk semua itu. barikade terlalu kuat. Selain pukulan, hanya gas air mata Seseorang bernama CJ Morel diadili sebagai satu-

196 197 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KUPU-KUPU DI TAMAN LAMPDORIA | M. Najibur Rohman satunya orang yang bersalah telah melakukan Tetapi putusan hukum telah dieksekusi dan Morel penyelewengan dana. sepertinya tak akan naik banding. “Kenapa kau melakukan penyelewengan dana, Ia menerimanya dengan penuh hati lapang dan Tuan Morel?’’ tanya hakim. mengakui kesalahannya. Anaknya sekarang telah “Maafkan, paduka yang terhormat. Anakku sembuh, tetapi istrinya terus menangis di pojok kamar membutuhkan dana untuk berobat.’’ Hakim dan orang- menyesali bujukannya waktu itu agar suaminya orang yang hadir di sidang terdiam atas jawaban itu. mengganti bahan papan dengan harga yang lebih “Ya, ya... tapi itu tak akan melepaskanmu dari murah. hukuman.’’ Morel akhirnya dijatuhi vonis lima tahun penjara dan denda 10 juta rupiah. HARI berjalan seperti biasa di Perusia. Pemerintah Ia dihukum atas kesalahan mengganti bahan baku Kota tidak lagi diterjang oleh isu korupsi, kecuali riak- untuk papan pengumuman larangan ke Lampdoria. Ia riak kecil yang terus dikoarkan oleh aktivis anti korupsi mengganti bahan yang seharusnya menggunakan kayu (yang dianggap akan lelah dengan sendirinya!). Jati dengan kayu randu karena lebih murah. Toh, Mahasiswa kembali belajar ke kampus, berdiskusi menurutnya, tak akan ada yang membedakan. Yang dengan para dosen, dan muda-mudi berlalu lalang di paling penting setiap orang bisa membaca larangan pusat perbelanjaan baru yang telah dibangun megah itu. Tak akan ada yang peduli dengan kayunya! Jelas itu di pusat kota. Larangan berkunjung ke Lampdoria terus pemikiran yang keliru dan harus dibayar dengan vonis berlanjut. Sepertinya tak ada orang yang mau bernasib yang dijatuhkan oleh majelis hakim. Bagaimanapun nasi sama dengan Armeida dan Toto Ramindez. sudah menjadi bubur. Pascaputusan terhadap Tuan Morel, silang LAMPDORIA memang tempat menawan. Malam pendapat bermunculan kembali, terutama di kalangan itu Toto dengan girang mengajak Armeida ke sana. para ahli hukum. Mereka menuduh hakim telah Mereka duduk menghadap kolam yang memantulkan menghukum orang yang keliru. Bagaimana mungkin sinar rembulan. Mereka mula-mula bercakap. Dalam dana sosialisasi yang kabarnya sampai Rp 1,5 miliar, sebuah kesempatan Toto memegang tangan Armeida dan Morel si petugas rendahan itu, yang jadi dan dengan raut muka yang manis ia melamar gadis koruptornya? Banyak yang mempertanyakan kinerja pujaannya itu. Atas permintaan Toto, Armeida kaget Dinas Hukum dan hakim yang memutuskan perkara. dan tergagap. Ia terdiam. Entah apa yang dirasakan.

198 199 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 SATU HARI DALAM HIDUP SANTIAGO | Iin Farliani

Lalu ia mengambil nafas dalam-dalam, dan.... “Toto...,’’ katanya lirih. “Iya, Armeida....’’ Satu Hari dalam Hidup Santiago “Saat kau pergi melaut, aku bertemu dengan Gutsh....’’ Mereka berdua makin larut dalam pembicaraan. Namun semakin Armeida berkisah tentang Gutsh, ada Iin Farliani yang pelan-pelan tampak aneh dengan Toto. Sorot Minggu, 24 Mei 2015 matanya berubah. Ia terlihat seperti anak-anak yang mainannya telah direbut oleh temannya. Malam itu tak ada yang tahu persis isi pembicaraan ETIAP hari Santiago berurusan dengan mereka. Tetapi seekor kupu-kupu sempat melintas di tikus-tikus yang mendiami loteng rumah antara keduanya.  sewanya.S Pagi tadi ia menemukan dalam bak mandinya seekor tikus gemuk mati terapung. Ia memandangnya dengan perasaan jijik yang tidak tertahankan. Kini ia mengamati Rafles dengan perasaan jijik yang sama. Ia sudah bekerja lama di kantor Rafles. Ia gugup. Ia mengira Rafles sudah merencanakan sesuatu yang akan mengejutkan- nya. Rafles sedang duduk di kursi, ia sibuk dengan telepon. Pensil dijepitkan di mulutnya. Terkadang ia menaikkan kacamatanya sambil terus menahan gagang telepon dengan memiri- ngkan sedikit kepalanya, menjepitnya di bahu. Rafles si tua bangka lebih banyak menerima telepon dari istrinya. Istrinya bertanya: sebaik- nya masak apa nanti malam? Apakah Rafles

200 201 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 SATU HARI DALAM HIDUP SANTIAGO | Iin Farliani

suka dengan sayur labu seandainya ia berniat memasak sayur labu? Rafles menjawab dengan suara yang dibuat- buat, tapi ia tidak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang jengkel. Santiago menaikkan satu kaki di atas kaki lainnya. Ia tidak tahan berada dalam ruangan itu. Panas dan pengap. Ia dapat mencium bau keringatnya sendiri. Rafles kemudian berkata pada Santiago setelah membanting gagang teleponnya. “Gambarmu buruk, Santiago! Aku bisa mencari ilustrator yang lebih baik daripada kau.’’ Rafles menatap Santiago dengan pandang yang menerka-nerka. Santiago tidak menjawab. Ia melipat lengan bajunya sampai siku. Benar-benar panas, ia dapat merasakan keringat mengalir di punggungnya. Ia ingin cepat keluar. Rafles membaca gelagat itu sebagai sikap menantang. Badannya diconodongkan ke depan, matanya dipelototkan. “Mengapa kau menggambar tikus besar untuk cerpen Helena? Kau tahu Helena, bukan? Ia cerpenis terkemuka. Helena menelepon dan mengeluh. Cerpen sebaik itu diilustrasikan dengan gambar tikus gemuk. Kau tahu? Itu sangat tidak lucu.’’ Santiago kering benar kerongkongannya. Ia betul-betul ingin minum. Santiago membuka tiga kancing bajunya. Keringat di dadanya kelihatan. Lagi-lagi Rafles menganggap gelagat itu sebagai sikap menantang. Rafles menekan- nekan sapu tangan di sekeliling lehernya, melap juga

202 203 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 SATU HARI DALAM HIDUP SANTIAGO | Iin Farliani tengkuknya. Ia berkata keras, kelelahan. Lelaki tua itu memang suka berpenampilan “Kau kupecat Santiago. Hadiah tahun baru aneh. Santiago ingat tadi malam, ia menemani Mulo untukmu.’’ Rafles tersenyum mengejek. Telepon menonton sepak bola di rumahnya. Mulo bercerita berdering. Rafles bergegas menempelkan gagang tentang hobinya menembak burung di kebun dekat telepon pada telinganya. lapangan kota, bersebelahan dengan kantor perwira Kursinya diputar membelakangi Santiago. Santiago angkatan darat. Bersama Santiago, ia selalu merasa tidak memedulikan itu. Ia benar-benar ingin cepat bebas bercerita. Mulo menganggap Santiago sebagai keluar. Ketika berbalik, ia meraba kantungnya. Tidak sahabatnya, Santiago tidak merasa itu sesuatu yang ada uang, bahkan selembar pecahan kecil pun. Ia salah, tidak sepenuhnya juga benar. berbalik menghadap Rafles. “Apakah kau mengenal, Rafles?’’ Mulo bertanya. “Rafles,’’ katanya. “Ya. Rafles pimpinanku di tempat kerja.’’ Mulo Rafles memutar kursinya, meletakkan gagang melangkah ke lacinya, mengeluarkan sesuatu dari kain telepon di dadanya. “Ada apa lagi?’’ hitam. Ternyata sebuah pistol. “Aku ingin pinjam uangmu.’’ “Aku pernah ingin menembaknya! Ia musuhku Rafles mengernyitkan keningnya, “Untuk apa?’’ sejak dulu. Aku memiliki banyak utang uang yang “Beli minum di luar sana. Aku haus sekali.’’ Ketika kupakai untuk minum, aku tidak sanggup membayar. keluar, ia melewati ruangan kerjanya. Mejanya masih Sebentar. Ini ceritaku ketika muda dulu. Jadi sudah lama terletak di posisi yang sama. Vas kuning berisi pensil- benar cerita ini. Begitulah, aku banyak utang. Rafles pensil panjang untuk menggambar dan sampul majalah tua bangka sombong itu mencaci maki pamanku yang dewasa yang terlihat dari tempatnya berdiri. Ia berpikir, bekerja sebagai polisi. Ia mengatakan aku sama mengapa mejanya selalu berada di tempat yang sama, sampahnya dengan pamanku. Aku marah benar. tidak ada yang berubah. Tapi besok aku tidak akan Pamanku sudah meninggal. Ia orang baik merawatku melihatnya lagi. sejak kecil karena aku yatim piatu. Aku ingin menembak Di jalan menuju rumah sewanya, ia Cerpen Iin Rafles! Tak sepatutnya ia mencaci maki pamanku yang Farliani melihat Mulo, tetangganya, sedang berlari-lari telah tenang di surga.’’ Mulo lelah bicara. kecil di atas trotoar. Mulo mengenakan kemeja panjang, Rahangnya yang lancip tidak berubah. celana panjang dengan pipa yang lebar, mulutnya “Santiago? Apakah aku jahat karena ingin diselipkan cerutu, mukanya merah sekali karena menembaknya?’’

204 205 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 SATU HARI DALAM HIDUP SANTIAGO | Iin Farliani

“Kukira setiap orang akan marah besar jika disewa Santiago. Dari tingkat dua rumah sewanya, keluarganya dihina.’’ Santiago sebenarnya tidak tahu Santiago bisa leluasa melihat orang-orang di bawah. ingin mengatakan apa. Kuharap sesuatu yang baru terjadi padaku, pikirnya. Santiago berjalan terus menuju rumah sewanya. Teman-teman Marie mengenakan rok mini. Anak-anak Setiap hari itu saja yang dilakukannya, melewati jalan menyalakan kembang api. Jarum jam belum menunjuk besar yang sama. Ia bertemu Marie, gadis tetangganya angka dua belas, tapi suasana sudah ramai. Mulo yang suka mengenakan topi pantai. menyikut lengan Santiago. Marie menyapanya, ‘’Malam nanti pesta tahun “Itu dia, Rafles!’’ tunjuk Mulo tiba-tiba ke arah baru dirayakan di lapangan depan. Teman-temanku di orang-orang yang sedang berdansa. Rafles datang Galaria akan ikut bergabung. Aku akan memperkenal- bersama seorang wanita muda bertubuh ramping. kanmu dengan mereka, Santiago.’’ Santiago Tentu itu gundiknya, pikir Santiago. Istrinya berbadan mengangguk. Ia pun sudah berjanji dengan Mulo untuk sangat tambun. Santiago mengikuti telunjuk Mulo yang menemaninya di pesta itu. Marie tersenyum girang. masih menggantung. “Kita bisa melihat orang berdansa dari atas tingkat “Apa yang akan kau lakukan?’’ Mulo terkekeh- rumah kita,’’ Marie bercerita terus. Santiago kekeh, ‘’Aku akan menembaknya!’’ mengangguk lalu menggumam “Ya”, “Oh”, “Tentu”, “Kau yakin?’’ Santiago tidak terkejut. Ia melihat setiap Marie selesai bercerita. lampu sorot dari panggung hiburan di lapangan itu Marie akan tahan bicara sampai ludahnya habis. Ia beberapa kali menyoroti tempat mereka berdiri. menganggap siapa saja yang ada di dekatnya telah siap “Aku sudah tahu, ia pasti datang. Pesta ini dibiayai mendengarkan ceritanya. Ia tidak peduli apakah orang pemerintah, jadi siapa saja bisa ikut bergabung.’’ bosan mendengarkan ceritanya, ia memang tidak Mulo menggerayangi pinggang celananya. Ia pernah berpikir seperti itu. merasa lega, pistol itu masih aman di tempatnya. “Santiago, apa yang kau harapkan pada tahun baru Seseorang berteriak dari bawah, menawarkan Mulo nanti?’’ untuk turun dan berdansa. Mulo melambaikan tangan “Aku hanya berharap sesuatu yang benar-benar sambil memberi isyarat bahwa nanti ia akan turun. baru akan terjadi padaku, Marie.’’ Santiago masih saja terus bergumam, aku harap sesuatu yang baru akan terjadi padaku. TEMPAT pesta itu dekat dengan rumah yang Marie menghampiri mereka berdua, membawakan

206 207 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 SATU HARI DALAM HIDUP SANTIAGO | Iin Farliani roti berisi daging. Santiago menggigit sedikit rotinya. telunjuk Mulo yang sedang bergerak-gerak ragu untuk Mulo memperhatikan Rafles. Rafles berdiri dekat menekan pelatuk itu. Lampu menyoroti lagi tempat pancuran air yang dihiasi lampu-lampu kecil berwarna- mereka berdiri. warni. Air di pancuran itu mengucur dengan derasnya Marie yang berdiri bersebelahan dengan Santiago sampai sebagian kemeja yang dia kenakan basah karena melonjak-lonjak mengikuti lagu yang dibawakan percikan air. penyanyi. Sama sekali tidak didengarnya percakapan Mulo menarik Santiago agar lebih rapat padanya, Santiago dan Mulo. menjauh sedikit dari Marie. Marie terlihat asyik bersiul, “Biar aku yang mencoba.’’ Pistol itu kini berpindah pandangannya terpusat pada panggung hiburan yang ke Santiago. akan menampilkan temannya sebagai penyanyi. Mulo Mulo menunggu dengan harap-harap cemas. meraba-raba pinggang celananya. Pistol itu berat dan Sementara, sepasang mata Rafles dari bawah sana diam- dingin. Jantungnya berdebar. diam mengawasi Mulo. Ia masih berdiri dekat pancur- “Santiago, kau akan melihat keahlianku an. Sudut matanya waspada. Ia berusaha untuk tidak menembak.’’ terlihat sedang melirik ke lantai atas rumah sewa itu. Mulo mengangkat pistol itu dengan kedua Dor! Letupan terdengar. Bunyi peluru menembus tangannya. Ia membidik Rafles di bawah sana. Mulo ketebalan daging. Tubuh yang merasakan peluru itu memicingkan matanya, menggeser pistol itu hingga tumbang menggelepar. Tubuh itu menggeliat moncongnya benar-benar tepat pada kepala Rafles kejang serupa seekor ayam yang digorok lehernya, yang bulat dan licin. Ia membayangkan kepala itu akan kemudian beku. Orang-orang berlari sambil berteriak- hancur seperti celengan tanah liat yang dipecahkan dan teriak. Santiago berdiri tak bergerak di tempatnya. keping-kepingnya berserakan. Kembang api menyala Mukanya pucat dan tangannya dingin. Lampu sorot lagi. “Mengapa kau tak juga menembak?’’ Santiago dengan cahayanya yang panjang membungkus dirinya. melirik sebentar ke arah Mulo, sebentar melihat juga Butir-butir keringat menumpuk pada alisnya, tanpa ke arah Rafles. Santiago memperhatikan muka Mulo dikedipkan butir-butir itu berjatuhan mengalir di yang pucat. pipinya. Ia seperti orang yang kehilangan akal. Polisi- “Pelatuknya tidak bisa ditekan,’’ sahut Mulo polisi segera meringkusnya. gemetar. “Aku tidak menembak!’’ kata Santiago. “Kau belum menekannya,’’ ujar Santiago. Ia melihat Pistol itu dilemparkan ke sudut. Polisi-polisi itu

208 209 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 BAPAK YANG BERKUMIS DAN BAU KOPI | Tiara KD. menarik tangannya dengan keras hingga tubuhnya seperti terhujam ke belakang. Seseorang berlari menuruni tangga, “Marie kena tembak! Bapak yang Berkumis dan Bau “Kena tembak!’’ Mulo berteriak-teriak ketakutan. Sementara itu Rafles bergegas menaiki jipnya. Kopi Napasnya memburu ketika sudah duduk di belakang setir. Dalam mobil yang melaju kencang, Rafles Tiara Kharisma Dhaneswari menggerutu, “Salah sasaran! Salah sasaran!’’ Pistolnya Minggu, 31 Mei 2015 yang mengilat digosok-gosokkan ke celananya. 

Mataram, Desember 2013 Aku rindu Bapak.... Aku rindu Bapak.... Aku rindu kumis Bapak.... Aku rindu bau Bapak... Bapak bau kopi.... Aku rindu Bapak...

ENULIS apa, Zadib?” Ibu mengelus lembut kepalaku. Ibu sudah pergi. Dulu. DuluM saat mengirimku ke dunia. Ini Ibu Baru. Ibu Baru sayang padaku. Aku sayang pada Ibu baru. Tapi aku rindu Bapak. Rindu kumis Bapak. Rindu bau Bapak. Bapak bau kopi. Aku suka kopi. Ibu Baru bau permen karet. Aku tidak suka. Aku meremas kertasku. Ibu Barutidak boleh lihat. Nanti Ibu Baru sedih. Ibu Baru tidak boleh sedih. Aku bisa ikut sedih. Aku tidak suka sedih. Kata Bapak anak

210 211 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 BAPAK YANG BERKUMIS DAN BAU KOPI | Tiara KD.

laki-laki tidak boleh sedih. Tapi Bapak tidak ada. Yang ada hanya Ibu Baru. Aku tetap tidak boleh sedih. “Sudah malam, lekas tidur, Sayang. Besok kamu harus sekolah. Ibu berangkat kerja dulu ya.” Ibu Baru mengecup keningku. Aku mengecup pipinya. Bau permen karet. Aku tidak suka. Aku suka bau kopi. Aku pergi ke tempat tidur. Di dinding di atas kakiku ada sebuah foto. Foto Ibu dan Bapak. Lengan Bapak merangkul pundak Ibu. Ibu tersenyum. Bapak juga tersenyum. Ibu berambut panjang. Warna rambut Ibu hitam. Bapak berambut pendek. Bapak punya kumis. Aku rindu kumis Bapak. Tapi Ibu dan Bapak sekarang tidak ada. Aku rindu Ibu. Tapi aku lebih rindu Bapak. Bapak pergi karena aku sering mengamuk. Aku mengamuk sambil menyebut Ibu. Aku mau Ibu. Teman-teman mengejekku. Aku tidak punya Ibu. Kata teman-teman aku lahir dari batu. Ibuku batu. Padahal ibuku bukan batu. Ibuku punya rambut panjang berwarna hitam. Batu tidak punya rambut. Ibuku bukan batu. Aku mengamuk meminta Ibu. Aku mau teman- teman lihat ibuku. Ibuku bukan batu. Lalu Bapak pergi. Bapak pergi mencari Ibu. Bapak pergi lama sekali. Aku tidak sekolah selama Bapak pergi. Bapak Guru datang. Teman-teman datang. “Zadib, sudah seminggu kamu tidak sekolah, kamu sakit?” Bapak Guru memegang keningku.

212 213 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 BAPAK YANG BERKUMIS DAN BAU KOPI | Tiara KD.

Aku menggeleng. berlari. Aku sendirian. Ibu pergi. Bapak pergi. Bapak “Bapakmu mana?” Guru pergi. Teman-teman pergi. Aku sendirian. Aku menggeleng. Aku ingin bilang Bapak mencari Tetangga yang sering memberi makan juga hanya Ibu. Tapi nanti teman-teman mengejekku. Aku tidak berdiri mengintip di depan pintu. Tidak berani masuk. mau diejek. Jadi aku diam saja. Padahal aku tidak mengamuk. Aku Cuma berteriak. “Kalau ibumu mana?” Fikar bertanya sambil Aku rindu Bapak.... tertawa. Teman-teman lain ikut tertawa. Tapi aku tidak Aku tidak lagi ingin Ibu.... bisa ikut tertawa. Jadi aku teriak. Teman-temanku Aku hanya ingin Bapak.... berdiri dari kursi. Mereka mundur ketakutan. Bapak yang berkumis.... “Zadib mengamuk! Hati-hati!” Fikar berkata Bapak yang bau kopi.... lantang. Aku semakin keras berteriak. Aku ingin mereka diam. Mereka tidak boleh mengejekku. Aku tidak suka DUA minggu aku tidak sekolah. Dua minggu aku diejek. menunggu Bapak. Tapi Bapak tidak pulang-pulang. “Zadib, tenang ya, teman-teman hanya bercanda.” Kemudian Ibu Baru datang. Rambutnya hitam Bapak Guru mendekatiku. panjang tapi kaku. Tidak lembut seperti Ibu. Aku diam. Bapak Guru baik padaku. Aku tidak Badannya bau permen karet. Bukan bau kopi mau Bapak Guru ketakutan. Ibu pergi. Bapak pergi. seperti Bapak. Tapi dia baik sekali padaku. Aku Aku tidak mau Bapak Guru pergi. Jadi aku diam agar menyayanginya. Bapak Guru tidak ketakutan. “Sekarang kamu punya ibu, kamu tidak akan diejek “Sudah idiot, tidak punya ibu lagi.” teman-temanmu lagi.” Ibu Baru memelukku. Pipinya “Bapaknya juga pergi. Kasihan ya....” basah. Aku bisa merasakannya di pundakku. “Tidak ada yang mau bersamanya. Dia kan idiot.” “Kamu bahagia kan ada Ibu di sini? Hapus Satu per satu teman-teman bersuara. Suara mereka ingatanmu tentang Bapak. Sekarang yang ada hanya tidak enak. Aku tidak suka mendengar suara seperti kamu dan Ibu.” Ibu Baru menatapku lekat-lekat. itu. Aku berteriak lagi. Aku tidak ingin menakuti siapa Pipiku ikut basah. Ibu Baru pikir aku menangis pun. Aku berteriak agar suara-suara itu hilang. Tapi karena bahagia ia hadir. Padahal aku menangis karena semuanya berlari keluar rumah. menyesal. Aku menyesal karena meminta Bapak “Zadib mengamuk lagi. Lari!” Bapak Guru juga mencari Ibu. Aku ingin Ibu. Tapi aku tidak ingin Bapak

214 215 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 BAPAK YANG BERKUMIS DAN BAU KOPI | Tiara KD. pergi. SEJAK ada Ibu Baru, Bapak Guru sering main ke “Setiap pagi Ibu akan membuatkanmu sarapan, rumah. Sejak ada Bapak Guru, Ibu Baru tidak pergi memandikanmu, mengantarmu sekolah, melakukan bekerja. Ibu Baru bersama Bapak Guru di dalam hal-hal yang tidak pernah Bapak lakukan. Jadi, kamu kamar. Kata Ibu Baru mereka hanya memakan es krim harus bahagia hidup bersama Ibu. Lupakan Bapak.” bersama. Aku ingin ikut. Aku suka es krim. Tapi Ibu Aku tidak bisa mengangguk. Pipiku semakin basah. Baru bilang es krim membuatku pilek. Lalu Ibu Baru Ibu Baru memelukku lagi. Pundakku semakin basah. menyuruhku tidur. Bapak Guru datang hampir setiap Sejak ada Ibu Baru aku tidak pernah menerima makan malam. Aku senang karena Ibu Baru tidak harus pergi dari tetangga. Ibu Baru yang memasak. Rasanya tidak bekerja. Di luar gelap. enak. Tapi aku suka. Ibu Baru memasak dengan cinta. Aku takut Ibu Baru dimakan wewe. Bapak bilang: Sejak ada Ibu Baru aku tidak pernah kesepian. Ibu jangan keluar malammalam nanti dimakan wewe. Aku Baru menemani aku setiap waktu. Ibu Baru pergi hanya tidak tahu wewe itu apa. Tapi wewe pasti saat malam. menyeramkan. Aku tidak mau Ibu Baru dimakan wewe. Saat aku hendak tidur. Ibu Baru harus bekerja. Jadi aku senang Ibu Baru tidak pergi bekerja. Aku Tidak seperti Bapak. Bapak menemaniku hanya saat senang jika Bapak Guru datang. Tapi aku tidak senang. malam. Pagi hingga sore Bapak bekerja membangun Aku tidak diajak makan es krim bersama. rumah, jembatan, atau jalan. Saat malam aku harus Tidak hanya Bapak Guru saja yang datang. Teman- tidur. Jadi Bapak menemani aku tidur. Tapi aku tidak teman kerja Bapak dulu juga datang. Aku senang. Aku bisa menemani Bapak karena aku tidur. Ibu Baru tidak kesepian lagi. Tapi aku sedih. Ibu Baru sering memberikan seluruh waktunya untuk menemaniku makan es krim bersama mereka secara bergantian. terjaga. Aku sayang Ibu Baru. Tapi aku tetap rindu Tidak hanya malam. Pagi dan siang pun. Aku cemburu. Bapak. Aku juga mau makan es krim bersama Ibu Baru. Tapi Aku rindu kumis Bapak.... Ibu Baru tidak pernah mengizinkan. Katanya es krim Aku rindu bau Bapak.... bikin pilek. Lalu Ibu Baru menyuruhku main di luar. Bapak bau kopi.... Aku keluar rumah. Aku melihat Fikar dan teman- Aku suka kopi.... teman sedang main gundu. Aku suka main gundu. Aku Aku rindu Bapak.... mau ikut main. Aku menghampiri mereka. Mereka Tapi Bapak tidak kembali.... menatapku. Aku mengambil gundu. Mereka merebut

216 217 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 BAPAK YANG BERKUMIS DAN BAU KOPI | Tiara KD. gunduku. Aku teriak. Teman-teman ketakutan. Ibu Bapak Guru. Aku berteriak. Aku menangis. Aku teman-teman datang. Mereka menarik teman-teman menangis sambil berteriak. masuk ke rumah. Aku ditinggalkan. Aku sendirian. Aku rindu Bapak.... “Jangan main sama Zadib, bapaknya edan.” Ibu Aku rindu kumis Bapak.... Fikar menarik tangan Fikar. Aku rindu bau Bapak.... Fikar menjulurkan lidah ke arahku. Aku diejek lagi. Bapak wangi kopi...bukan permen karet.... Aku tidak suka diejek. Padahal aku punya Ibu Baru. Bapak berambut pendek...bukan berambut panjang Tapi aku masih diejek. Aku tidak suka diejek. Aku pergi kaku.... ke sekolah. Aku duduk di bangku paling depan. Aku Aku rindu Bapak yang dulu, Bapak yang tidak pernah suka di depan. Aku suka melihat Bapak Guru mengajar. bergincu....  Aku tidak suka di belakang. Di belakang ada Fikar dan teman-teman yang nakal. Aku tidak suka mereka. “Idiot! Hari ini ulangan. Kamu belajar nggak? Nanti nggak naik kelas lagi lo. Nggak bosan di kelas empat terus?” Fikar berteriak dari belakang. Aku tidak menengok. Aku menutup telingaku dengan telapak tangan. Bapak Guru terlambat datang. Ia tidak datang. Ibu Kepala Sekolah masuk kelas. Katanya Bapak Guru tidak mengajar lagi. Bapak Guru dipecat. “Gara-gara bapak Zadib ya, Bu?” “Fikar...,” Ibu Kepala sekolah mengingatkan. Aku berlari ke luar kelas. Aku menangis. Aku berteriak. Aku berlari ke rumah. Aku masuk ke rumah. Aku masuk ke kamar Ibu Baru. Ibu Baru sedang duduk di kursi. Ada Bapak Guru. Bapak Guru sedang jongkok menghadap ke Ibu Baru. Kepala Bapak Guru bergerak-gerak di antara paha Ibu Baru. Tangan Ibu Baru meremas rambut

218 219 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 DANAU, SINYO, DAN SEORANG BOCAH BERTOPI GATSBY | Mashdar Zainal Danau, Sinyo, dan Seorang Bocah Bertopi Gatsby Mashdar Zainal Minggu, 07 Juni 2015

AK lama setelah Sinyo duduk, mengaitkan umpan di kail, dan melemparkannya ke dalamT air, bocah lelaki bertopi gatsby itu datang. Ia tersenyum pada Sinyo. Tapi Sinyo tak  membalasnya. Ia tak pernah menyukai anak kecil. Bahkan seandainya itu dirinya sendiri sewaktu kecil. Sinyo melirik bocah itu, seolah mendoakan supaya bocah itu tidak mengail di sampingnya. Tapi bocah itu malah duduk tepat di sebelahnya, sekitar dua meter dari tempat Sinyo duduk. Bocah itu melakukan persis yang dilakukan Sinyo: mengait umpan di kail, lalu melemparkan kail ke dalam air. Tiba-tiba Sinyo merasa, bocah itu sengaja meniru gerak- geriknya. Sinyo mendengus, dasar makhluk peniru. “Sudah dapat berapa ikan, Pak Tua?’’ teriak

220 221 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 DANAU, SINYO, DAN SEORANG BOCAH BERTOPI GATSBY | Mashdar Zainal bocah itu tiba-tiba, membuat Sinyo terkejut. Kurang ajar, batinnya. Pasti orang tua bocah itu tak pernah memberinya pelajaran sopan santun di rumah. Dapat ilham dari mana sampai-sampai bocah itu memanggilnya Pak Tua. Rambut Sinyo memang mulai botak dan beruban, dan kerutan halus barangkali juga sudah mulai menggurit garis-garis di sudut mata. Tapi ia merasa masih terlalu muda untuk dipanggil Pak Tua. Sinyo tidak menjawab dan balas memelototi bocah tak tahu sopan santun itu. Merasa dirinya dipelototi, bocah itu segera menunduk, pura-pura menekuri senar kail yang bergeming oleh petikan angin. Suasana hening, dan Sinyo menyukainya. Angin berembus dengan santun. Daun-daun mahoni di tepian danau seperti bersorak lirih. Suara tonggeret di kejauh- an mengingatkan Sinyo pada kampung halamannya yang hilang disedot lumpur agung yang muncrat dari lambung bumi. Sinyo memejamkan mata, aroma lumut yang dibawa angin dari tengah danau memenuhi rongganya. Tetapi Sinyo lekas terenyak ketika bocah di sebelahnya itu mendadak melakukan gerakan ribut. Tampaknya, seekor ikan menarik umpan bocah itu. Dengan tangan mungilnya, bocah itu menarik senar kail, hingga dari dalam air seekor ikan gabus menggelepar. Membuat percikan-percikan kecil dengan suara sayup di permukaan air. “Yeaah!’’ teriak bocah itu seakan ingin

222 223 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 DANAU, SINYO, DAN SEORANG BOCAH BERTOPI GATSBY | Mashdar Zainal memamerkan ikan tangkapannya pada Sinyo. Sinyo ragu-ragu. melirik bocah itu dengan tingkat kesebalan bertambah “Mengapa saya harus pulang?’’ kini bocah itu satu lapis. Melihat lirikan Sinyo yang menyeramkan, mengernyit. bocah itu segera mengendalikan diri. Ia memasukkan “Tempat ini tak bagus buat anak-anak. Apa kau ikan gabus itu ke dalam ember kecil yang ia siapkan. belum pernah dengar, di dasar danau ini ada seekor Jelas sekali raut wajah bocah itu menampakkan ular raksasa yang suka sekali memakan anak-anak?’’ kebahagiaan yang luar biasa. Barangkali puncak Bocah itu tak menggubris, karena senar kailnya kebahagiaan. Dan lagi-lagi, Sinyo membenci itu. kembali pontang-panting dipermainkan ikan. Dengan “Bocah sial ini benar-benar merusak suasana,’’ kata wajah berseri dan mulut setengah terbuka, bocah itu Sinyo, dalam hati, ‘’seseorang harus mengusirnya.’’ menarik senar kailnya, yang kemudian melayangkan “Hei, Bocah,’’ pekik Sinyo, ‘’berapa usiamu?’’ seekor wader sebesar telapak tangan orang dewasa. tanyanya kemudian. Demi melihat adegan itu, kepala Sinyo terasa mendidih Mendengar suara Sinyo yang berat, bocah itu sampai jidatnya yang botak ikut berkeringat. Dalam celingukan, seolah-olah meyakinkan dirinya bahwa waktu beberapa menit saja kail bocah ini sudah memang Sinyo, lelaki tambun, setengah botak, dan mendaratkan dua ikan di embernya. Sementara kail hampir tua itu, yang sedang mengajaknya bicara. Sinyo hanya diliputi sunyi sepi yang sepertinya tak akan “Oh, saya sepuluh tahun kurang dua bulan, Pak beranjak. Tua,’’ jawab bocah itu. “Dua ikan, Pak, dua ikan,’’ ujar bocah itu riang, Mendengar kata ‘’Pak Tua’’, Sinyo kembali melotot. ‘’bagaimana denganmu?’’ “Mmm, saya sepuluh tahun kurang dua bulan, Pak,’’ Mendengar ujaran bocah itu, Sinyo seperti ralat bocah itu, seakan paham bahwa lelaki hampir tua mendengar ledekan yang telak. Sinyo mencengkeram itu tidak menyukai dirinya disebut Pak Tua. tongkat pancingnya kuat-kuat dan berusaha tak “Dengan siapa kau datang kemari? Mana orang menghiraukan ocehan bocah itu. tuamu?’’ “Oh, kau tadi cerita apa?’’ tanya bocah itu “Saya sendirian saja, Pak.’’ kemudian. “Apa kau tak takut?’’ Bocah itu memicingkan mata, Sinyo menghela napas sebentar, lalu berkata, ‘’Ular seperti mencurigai Sinyo. raksasa. Di dasar danau ini ada seekor ular raksasa yang “Sebaiknya kau lekas pulang,’’ kata Sinyo tanpa suka memakan anak-anak.’’

224 225 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 DANAU, SINYO, DAN SEORANG BOCAH BERTOPI GATSBY | Mashdar Zainal “Apa cerita itu sungguhan?’’ bocah itu mengaitkan mendengarnya dengan baik. umpan di kail dan melemparnya ke dalam air. “Dan hari kesialanku,’’ gumam Sinyo. “Tentu saja cerita itu sungguhan.’’ Sinyo mencoba Sinyo bisa merasakan, kesialan atau apapun itu menarik senar kailnya, dan umpannya masih utuh namanya, yang menimpanya hari itu akan berjalan menempel di sana dengan keadaan menyedihkan. seiring dengan tingkat kejengkelannya pada bocah itu. Seperti dirinya. Akhir pekan yang buruk, pikir Sinyo. Sementara Sinyo “Aku tak pernah percaya pada cerita seperti itu?’’ mendengus sebal. Mengutuk apa saja. Kail bocah itu ujar bocah itu seperti menantang. terus-terusan mengalirkan berbagai jenis ikan ke dalam “Apa kau mau jadi santapan ular raksasa?’’ Bocah ember. Menit-menit berlalu seperti timah panas yang itu menggeleng dengan pasti. mengetuk-ngetuk kepala Sinyo. Kepala botak yang “Kalau begitu cepatlah pulang, nonton film kartun basah. Dan mungkin, sebentar lagi beruap. atau meneteklah ke ibumu sana,’’ ucap Sinyo tanpa “Hai, Pak, kalau boleh tahu, apa umpanmu? Aku bisa menyembunyikan kejengkelannya. tak melihat seekor ikan pun tertarik pada kailmu? Apa “Aku tak akan pulang sebelum emberku penuh kau mau mencoba umpanku?’’ bocah itu mencoba ikan,’’ balas bocah itu santai, seolah-olah Sinyo hanya ramah. seonggok batu sarannya yang tak perlu didengar. “Tutup mulutmu, Bocah Sialan. Urus saja hidupmu Bersamaan dengan itu, kail bocah itu kembali ditarik- sendiri!’’ bentak Sinyo yang langsung membuat bocah tarik oleh makhuk dari bawah air. itu menutup mulut rapat-rapat. Barangkali bocah itu “Sepertinya hari ini hari keberuntunganku,’’ pekik sedang berpikir, apakah kata-katanya ada yang salah. bocah itu sambil mengangkat kailnya. Seekor gabus Menit-menit berikutnya berlalu dengan hening. Dalam yang ukurannya hampir sama dengan gabus yang keheningan itu, Sinyo memperhatikan senar kailnya pertama segera berpindah ke ember bocah itu. bergerak-gerak. Dengan gerakan cepat ia menarik Melihatnya, kejengkelan Sinyo pada bocah itu senar kailnya. Senyumnya mencuat ketika dirasainya bertambah langsung beberapa lapis. Anak ini pasti kail itu sedikit berat. Namun senyum itu segera lenyap, sudah sangat menjengkelkan, bahkan sebelum ia ketika Sinyo menyadari bahwa seekor ikan yang dilahirkan, rutuk Sinyo. memakan umpannya hanya ikan kecil, yang bahkan “Sudah kubilang, hari ini hari keberuntunganku,’’ sulit diidentifikasi jenisnya, saking kecilnya. ulang bocah itu lagi, seolah-olah ingin Sinyo Bocah itu tertawa samar melihat ikan kecil yang

226 227 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 DANAU, SINYO, DAN SEORANG BOCAH BERTOPI GATSBY | Mashdar Zainal menempel di kail sinyo seperti seonggok sampah kecil di sana. Mendadak Sinyo bangkit dari duduknya, yang tak berguna. Sinyo mengentakkan kaki kepalanya terasa sedikit berat dan berkunang- kunang. tambunnya. Ia yakin, bocah curut itu sedang “Hei bocah, aku akan mencoba umpanmu,’’ ujar menertawainya. Kurang ajar sekali. Bagaimanapun Sinyo. Sinyo tetap melemparkan ikan kecil itu ke dalam Bocah itu menatap Sinyo dengan senyum kemena- embernya yang melompong sambil menggerutukan ngan. Ketika tubuh Sinyo yang tambun itu hampir umpatanumpatan yang tak jelas. Dunia telah berbuat mendekatinya, bocah itu bangkit. Dengan kekuatan curang padanya. Bagaimana mungkin bocah kecil itu penuh seorang bocah, ia menyeruduk tubuh Sinyo yang diberi ikan hampir seember penuh, sedangkan dirinya berjalan goyah di garis tanggul tepian danau. Tubuh yang hampir tua dan butuh banyak makanan hanya tambun yang rapuh itu pun meluncur ke tebing dan diberi seekor ikan teri yang lebih mirip seranting duri? berakhir di kedalaman air dengan suara ribut. Tangan Sambil terus menggerutu dalam hati, Sinyo merasa Sinyo yang besar menggapai-gapai permukaan air. bocah itu terus menatapnya sambil tertawa-tawa kecil. Dengan sisa-sisa tenaganya, Sinyo bisa melihat Menertawakan dirinya. bocah itu menyunggingkan senyum dingin ke arahnya. “Apa yang kau tertawakan?’’ hardik Sinyo lagi. Sangat dingin. Seperti dingin danau yang segera Bocah itu menggeleng. Tapi, dalam pandangan memeluk tubuh tambunnya.  Sinyo, sudut bibir bocah itu mengambarkan sisa-sisa tawa yang melecehkan. Kejengkelan itu sudah Surabaya, 2015 bertumpuk-tumpuk dan rasanya sudah sampai di ubun- ubun Sinyo. Sinyo melirik ke sekeliling. Sepi meliputi. Dan sebuah bisikan tiba-tiba mampir ke telinga Sinyo. Bisikan yang liar dan berulang-ulang: dorong saja bocah itu ke danau, dorong saja. Seandainya ia bisa berenang, tebing ini tetap lumayan curam untuk anak-anak. Dorong saja. Tak akan ada yang tahu. Tempat ini terpencil. Dorong saja. Atau senyum itu akan terus mengejekmu. Sinyo melirik bocah itu, sisa-sisa senyum melecehkan itu masih utuh

228 229 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PETERNAKAN LEBAH DAN KEMATIAN AMIRUDDIN | I Putu Supartika Peternakan Lebah dan Kematian Amiruddin I Putu Supartika Minggu, 21 Juni 2015

IKA kau mendengar seseorang mati karena disengat ular, kalajengking, atau laba-laba beracunJ itu hal yang biasa. Tapi bagaimana jika kau mendengar bahwa seseorang mati karena  disengat seekor lebah? Jika lebah yang menyengat itu ratusan atau ribuan mungkin kau masih percaya. Tetapi, jika yang menyengat itu hanya seekor lebah dan orang itu mati, pasti kau tak akan pernah percaya. Bagaimana mungkin hewan sekecil lebah dengan sengatan yang tidak begitu berbisa bisa membunuh seseorang? Pasti hal itu hanya ada di negeri dongeng dan menjadi pengantar tidur bagi anak-anak yang baru lahir kemarin sore. Namun, kini kau harus percaya dengan hal itu, karena kini orang-orang sedang ramai-ramai membicarakan kematian Amirudin yang konon disengat seekor lebah.

230 231 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PETERNAKAN LEBAH DAN KEMATIAN AMIRUDDIN | I Putu Supartika Semasa hidupnya Amirudin adalah seorang peternak lebah yang terkenal di kampungnya. Bahkan sampai ke kampung tetangga namanya juga terkenal. Selain terkenal sebagai peternak lebah yang andal, ia juga merupakan seorang pawang lebah yang sangat pintar menjinakkan lebah-lebah yang sangat ganas tanpa harus menggunakan mantra-mantra atau jampi-jampi dari para dukun. Mungkin memang ia ditakdirkan untuk menjadi sahabat para lebah. Suatu hari ribuan lebah atau mungkin puluhan ribu lebah mengamuk di kampung tetangga. Lebah-lebah itu seperti kesetanan menyerang semua rumah pendu- duk secara bergiliran dari ujung utara ke ujung selatan kampung. Semua orang takut dengan serangan lebah itu karena lebah-lebah itu secara ganas menyerang dan menusukkan sengat pada orang yang ditemui tanpa ampun. Anak-anak kecil yang sedang bermain-main di halaman rumah tiba-tiba menjerit karena kesakitan disengat lebah. Ketika orang tua mereka menjajaki mereka, mereka telah menemukan wajah anak mereka bengkak-bengkak disengat lebah, dan kawanan lebah yang menyengat anak-anak itu masih bergerombol di udara dan tanpa basa-basi lebah tersebut menyerang mereka yang ingin menyelamatkan anak mereka dari serangan lebah. Tak bisa dimungkiri lagi, wajah mereka pun bengkak-bengkak tersengat lebah. Lalu dengan tergopoh-gopoh mereka berlari memasuki kamar dengan muka bengkak-bengkak sambil menggendong

232 233 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PETERNAKAN LEBAH DAN KEMATIAN AMIRUDDIN | I Putu Supartika anaknya yang juga bengkak-bengkak. lebah yang dibawanya tersebut ke langit dengan Sesampainya di kamar mereka saling membantu bantuan bambu yang ia tancapkan ke tanah. Tanpa mencari jarum-jarum kecil dari lebah yang menempel mantra atau jampi-jampi ia berdiri di antara ribuan di muka mereka dan segera mengoleskan minyak kayu bahkan puluhan ribu lebah yang kesetanan itu. Tak putih ke wajah mereka berharap bengkak di wajahnya seekor lebah pun berani menyengatnya. Apalagi me- segera mengempes dan membuat wajah mereka kem- nyengat Amirudin, mendekati tubuhnya saja lebah- bali seperti semula. Hanya orang-orang yang berada di lebah itu enggan. Lebah-lebah itu lebih memilih masuk dalam kamarnya yang selamat dari sengatan lebah itu. ke dalam rumah lebah yang terbuat dari kulit pohon Sementara mereka yang berada di luar kamar semuanya kelapa tersebut dan berdesak-desakan seperti orang- bengkak-bengkak disengat lebah. Termasuk kepala orang yang kedinginan pada musim salju agar tubuhnya kampung. menjadi hangat. Lima menit berlalu, semua lebah yang semula beterbangan di langit tanpa tujuan sudah berada KABAR tentang kampung tetangga yang diserang di dalam rumah lebah yang dibawa oleh Amirudin. lebah sampai juga ke telinga Amirudin, yang membuat Orang-orang yang tadinya mengintip Amirudin melalui dirinya pagi-pagi sekali telah pergi dari rumahnya sambil lubang kunci dan berharap Amirudin bisa menjinakkan memikul lima buah rumah lebah yang terbuat dari kulit lebah tersebut mulai berani membuka pintu rumah pohon kelapa ke kampung tetangga. Di kampung tet- mereka. Dengan sedikit ragu-ragu kalau-kalau lebah lain angga ia mendapati betapa banyak lebah yang beterba- datang lagi dan menyengat wajah mereka, mereka ngan di langit bagaikan kesetanan tanpa tujuan yang berjalan ke luar rumah dan mendekati Amirudin yang jelas. Ia juga mendapati pintu rumah di kampung itu sedang menurunkan rumah lebah dari bambu-bambu semuanya tertutup rapat, dan orang-orang lebih suka yang ia tancapkan. mengintip kedatangan Amirudin ke kampung itu dari Semua orang di kampung itu kemudian memuji lubang kunci daripada harus keluar dan disengat lebah keberanian sekaligus keberhasilan Amirudin menjinak- lagi. Orang-orang di kampung itu berharap Amirudin kan lebah-lebah itu. Sejak saat itu pulalah Amirudin bisa menjinakkan lebah-lebah kesetanan itu dan mendapatkan gelarnya sabagai penjinak lebah ulung sedikitpun tak berharap Amirudin bernasib sama dari orang-orang kampungnya dan juga kampung dengan dirinya. tetangga. Ia menenteng rumah-rumah lebah yang telah Amirudin segera mengacungkan rumah-rumah penuh terisi lebah tersebut dan bergegas menuju ke

234 235 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PETERNAKAN LEBAH DAN KEMATIAN AMIRUDDIN | I Putu Supartika rumahnya. Sampai di rumahnya ia menggantung padanya. Suatu pagi seorang saingan Amirudin rumah lebah tersebut di tiang gantungan yang terbuat dikabarkan meninggal dunia akibat disengat ribuan dari bambu yang ia sandarkan pada dua batang pohon lebah peliharaannya yang mengamuk entah karena apa. kopi. Mendengar kabar itu Amirudin merasa kasihan padanya dan memutuskan untuk datang ke upacara SELAIN menjadi pawang lebah ulung, ia juga pemakamannya dengan membawa amplop yang berisi sukses menjadi peternak lebah terkaya di kampungnya. beberapa lembar uang di dalamnya, serta menyampai- Ia berhasil menundukkan saingan-saingannya yang kan pada keluarga yang ditinggalkan bahwa ia ikut telah lebih dulu beternak lebah daripada dirinya. berduka sebagai sesama peternak lebah. Kemudian Keberhasilannya menjadi peternak lebah terkaya di kabar buruk juga menyusul dari peternak lebah lainnya kampungnya bisa dilihat dari rumahnya yang dulu pada suatu siang yang sedikit gerah. Amirudin hanya berdinding bata dan lantai yang hanya dipoles mendengar kabar peternak lebah tersebut mati terjatuh dengan semen kasar kini telah berubah menjadi rumah dari pohon mangga tempatnya menggantungkan berlantai dua dengan ornamen-ornamen yang megah. rumah lebah, lalu tubuhnya terpelanting dan Selain itu, di garasi yang berada di sebelah kiri menghantam beberapa rumah lebah sebelum akhirnya kamarnya juga terparkir sebuah mobil mewah dan lebah-lebah itu marah dan menyerangnya hingga sebuah mobil pikap yang biasa ia gunakan untuk membuatnya memuntahkan nyawanya. mengangkut madu hasil beternak lebahnya. Keberhasil- Lagi-lagi hal itu membuat hati Amirudin tersentuh annya sebagai peternak lebah yang sukses, membuat dan memutuskan untuk datang ke sana sehari sebelum saingannya menjadi iri, dan saingan-saingannya itu upacara pemakamannya dengan membawa amplop berharap Amirudin mati disengat ribuan lebah yang ia yang berisi beberapa lembar uang serta mengatakan pelihara. Tapi harapan dari para saingannya itu sia-sia bahwa dirinya ikut berduka atas kematiannya, dan saja, karena pada kenyataannya Amirudin sehat-sehat memberi beberapa wejangan kepada keluarga yang saja dan usaha peternakan lebahnya semakin maju dan ditinggalkannya agar tabah menjalani hal itu. bahkan ia mampu mempekerjakan beberapa karyawan Dan kabar-kabar buruk lainnya juga terus yang membantunya merawat lebah dengan gaji yang berdatangan dari saingan-saingannya yang lain yang lumayan menggiurkan. mati karena disengat ribuan lebah yang dipeliharanya. Keadaan justru berbalik pada saingan yang iri Semua kabar itu juga membuat hati Amirudin tersentuh

236 237 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PETERNAKAN LEBAH DAN KEMATIAN AMIRUDDIN | I Putu Supartika dan seperti biasa ia akan datang ke sana dengan menahan sakit di telinganya, sementara di luar istrinya membawa amplop sehari atau pada saat upacara menggedor-gedor pintu kamar sambil menanyakan apa pemakamannya dan mengatakan pada keluarga yang yang terjadi namun tak pernah ada jawaban dari ditinggalkan bahwa ia ikut berduka atas meninggalnya suaminya itu. rekan sesama peternak lebah itu. Kini Amirudin Hingga malam, Amirudin masih tetap meraung- menjadi satu-satunya peternak lebah di kampung itu raung di dalam kamarnya yang terkunci, dan sang istri yang masih hidup. Tak ada peternak lebah lain yang iri juga masih setia menggedor-gedor pintu kamarnya. padanya. Tak ada peternak lebah lain yang berharap ia Pada malam hari menjelang pagi yang dingin, suara mati disengat ribuan lebah peliharaannya lagi. Di dalam Amirudin yang meraung-raung kesakitan itu akhirnya hatinya tentu saja ia sangat gembira, namun ia tidak berhenti, dan membuat sang istri menjadi lega lalu menunjukkan kegembiraanya itu secara terang-terang- terlelap dalam mimpinya. an pada orang lain dan ia memilih untuk memendam Keesokan harinya, sekitar pukul sembilan pagi kegembiraannya itu dengan terus mengembangkan istrinya memutuskan untuk mendobrak pintu kamar usaha peternakan lebahnya dengan menambah rumah suaminya setelah memanggil-manggil namanya lebah yang ia beli di pasar dan menambah jumlah beberapa kali dan tak ada jawaban dari suaminya. Dan karyawan yang akan membantunya mengurus lebah- di dalam kamar ia mendapati sang suami mati dalam lebah itu. keadaan tergantung di langit-langit rumah dengan lidah terjulur menggunakan selendang yang biasa ia gunakan SUATU sore yang sedikit sejuk dengan desir angin untuk menutup mata saat memanen madu lebah. Sang yang memabukkan, Amirudin tertidur di bawah pohon istri pun pingsan di tempat dan orang-orang beramai- mangga di dekat area peternakan lebahnya. Dua jam ramai datang ke sana lalu menyimpulkan dengan ia tertidur, akhirnya ia terbangun dari tidurnya dan serampangan bahwa Amirudin mati gantung diri meraung-raung kesakitan seperti anjing sambil karena tak kuasa menahan sakit di telinganya yang memasukkan jari telunjuknya ke dalam telinganya. disengat seekor lebah peliharaannya seperti juga Amirudin berlari menuju ke rumahnya dan segera ma- peternak-peternak lebah lainnya yang mati disengat suk ke dalam kamar lalu mengunci pintu kamarnya. Di lebah peliharaannya sendiri.  dalam kamar ia tetap meraung-raung sambil memben- tur-benturkan kepalanya ke tembok karena tak kuasa Selumbung, 23 Januari 2014

238 239 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MENGENDALIKAN ARAH ANGIN | Fina Lanahdiana Mengendalikan Arah Angin

Fina Lanahdiana Minggu, 28 Juni 2015

EGALA yang naik itu kelak akan jatuh sebagaimana pesawat roboh oleh banyak prasangkaS semisal seekor burung berparuh panjang yang berbahaya, tak lekas mampu mengendalikan arah angin yang ceroboh.  Kakek seringkali mengulangi kalimat itu sebagai mantra ajaib burung-burung nakal yang ada di dalam kepalaku. “Jangan terlalu banyak bergerak, pelankan suaramu ketika berbicara atau jika tidak, burung-burung akan mencuri mimpimu.’’ “Kenapa mereka suka sekali mencuri mimpi? Apakah mereka tidak pernah makan dan selalu kelaparan?’’ “Karena mereka tidak suka anak nakal.’’ “Tapi aku tidak nakal. Setiap hari membantu Ibu merapikan tempat tidur juga mainan-mainanku.’’

240 241 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MENGENDALIKAN ARAH ANGIN | Fina Lanahdiana

“Ya, Kakek tahu. Tapi tetap saja kau harus selalu menjaga burung-burung di dalam kepalamu agar tidak membawa lari mimpi-mimpimu yang indah.’’ Aku selalu tertarik dengan cerita-cerita Kakek. Setiap hari sepulang sekolah atau sebelum tidur, ia sering membawa cerita baru. Aku seringkali membayangkan kepala Kakek serupa sebuah gedung berisi buku-buku yang mencetak dirinya sendiri sehingga tak seorang pun mengetahui segala nasib yang dibawa tokoh-tokoh cerita ciptaan Kakek. Aku masih memikirkan perihal burung-burung pencuri mimpi itu. Suatu kali aku benar-benar bertemu dengannya. Burung itu kecil dan berjumlah banyak. Tubuhnya tidak lebih dari segenggam tangan, bahkan berkali lipat lebih kecil. Mungkin hanya sebesar ibu jari. Paruhnya panjang dan pipih. Seperti paruh burung yang sering melayang di atas danau, burung-burung pemangsa ikan. Tapi aneh, ketika aku bercerita kepada Kakek, ia menyuruhku untuk mencuci tangan dan pergi makan. Aku terus saja mengoceh, tapi Kakek tidak peduli.

TIBA-TIBA saja kebun belakang rumahku berubah menjadi laut. Benar-benar laut yang warna dasarnya biru, dengan ombak yang menggapai-gapai di antaranya, putih dengan buih-buih yang bergantian menjangkau pasir di bibir pantai. Ada perahu-perahu dari pandangan yang jauh, dijatuhi cahaya matahari

242 243 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MENGENDALIKAN ARAH ANGIN | Fina Lanahdiana sore hingga melahirkan siluet yang menyisakan laut. Tapi tidak, aku tidak sekejam itu. Aku hanya bayangan. Ada sebuah pulau di ujung sana, pulau yang mencoba menghiburnya dengan sebuah cerita. “Ssst, entah sebab baru kali pertama aku melihatnya. Tentu kita akan berkunjung ke negeri lumba-lumba.’’ saja, laut ini ada begitu tiba-tiba. Tangisannya sedikit berkurang, dan mulai hilang Seorang laki-laki yang adalah salah seorang dari ditelan suara deru mesin perahu, dan ia mulai tertarik guruku di sekolah, membawa serta anaknya dan aku dengan ceritaku. Tapi rupanya ia memilih berpindah menggendongnya tanpa diminta. Kemudian kami ke pangkuan ayahnya. Barangkali segala rasa takutnya berlayar menggunakan sebuah perahu yang tanpa seketika hilang saat berada di pelukan ayahnya. Pelukan kutahu sejak kapan ia ada dan siapa yang melabuhkan- hangat sepasang tangan yang kokoh, seperti karang nya di tepian pantai. Perahu itu bukan perahu layar, di lautan. melainkan perahu mesin yang menggunakan bahan “Lumba-lumba itu, kau tahu... dulunya adalah bakar solar. Sekali lagi aku tidak tahu bagaimana perahu sepasang bocah yang sangat suka berenang di laut.’’ itu telah menyiapkan dirinya sendiri dengan cadangan “Lalu?’’ bahan bakar. Tiba-tiba aku teringat Kakek. Aku ingin “Karena mereka terlalu asyik berenang dan mencari Kakek, namun kini perahu kami telah berlayar menghabiskan waktu terlalu banyak, mereka berubah membelah lautan, membelah warna biru dengan garis- menjadi lumba-lumba. Itulah sebabnya sebagian lumba- garis putih gelombang. Angin mendorong keras tubuh lumba pandai berhitung. Karena mereka adalah kami dengan dorongan yang tidak main-main. manusia.’’ Rambutku seperti ingin terbang, melepaskan diri dari “Kasihan. Apakah keluarganya mencarinya?’’ tempurung kepala. “Ya. Tapi tidak seorang pun yang menemukan “Anginnya sangat besar.’’ sepasang bocah itu.’’ “Kau benar.’’ “Lumba-lumba itu pasti rindu keluarganya.’’ “Kita harus bagaimana?’’ “Ya. Tapi akhirnya mereka punya keluarga baru. “Ikuti saja arusnya. Kita akan berputar agar tidak Keluarga lumba-lumba.’’ terlalu melawan arah angin.’’ “Apakah semua lumba-lumba berasal dari “Baiklah.’’ manusia?’’ Anak kecil yang kutahu anak dari guruku menjerit “Mungkin. Karena mereka bernapas dengan paru- ketakutan. Aku hampir saja ingin melemparnya ke arah paru.’’

244 245 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MENGENDALIKAN ARAH ANGIN | Fina Lanahdiana

“Kenapa?’’ Bagaimana mungkin Kakek berniat mencelakakan “Karena manusia bernapas menggunakan paru- aku, cucunya sendiri sementara aku tidak sedang paru sementara ikan bernapas dengan insang.’’ berbuat kesalahan? Dan bagaimana Pak Guru Badai sudah berhenti, sementara kami menyaksi- mengetahui cerita burung yang dibuat Kakek, kan pemandangan yang aneh. Di atas sana, di ruang- sementara yang kutahu tidak seorang pun pernah ruang udara yang tampak sangat dekat dengan langit Kakek ceritakan dongeng itu melainkan kepadaku? Ya, namun sesungguhnya sangat jauh, warna-warni balon Kakek pernah mengatakannya, ia bilang dongeng itu udara elayang-layang serupa permen yang ditabur khusus ia ceritakan kepadaku. Meskipun aku pernah secara sembarangan. Indah sekali. Sayang aku tidak bertanya kenapa Kakek tidak berniat menjadikannya membawa ponsel atau kamera saku. Tidak seorang pun sebuah buku biar lebih banyak yang mencintai dongeng dari kami membawanya. Aku membayangkan sebuah Kakek, ia menolak karena menjadikan dongeng sebagai balon mendarat di dekat perahu kami, maksudku sumber kebahagiaan. melayang tapi tidak bergerak, dan kami akan ikut serta “Kakekmu ini sudah tua, dan yang tersisa adalah bersamanya, menerobos awan yang terlihat empuk keinginan agar selalu bahagia. Segala yang bermula dari seolah kapas atau harum manis yang dijual di pasar kegemaran, jika lantas dijadikan pekerjaan, malam, memandang laut yang biru dan jauh, semakin kenikmatannya akan berkurang. Sebab, jika sudah jauh hingga semakin kecil menjadi sekumpulan peta berhubungan dengan orang banyak, batas akan menjadi hijau bercampur cokelat bercampur biru. Dan aku ingin sesuatu yang mengancam. Banyaknya sesuatu yang tahu seberapa persen bumi telah rusak akibat kecero- harus dipertimbangkan membuat pikiran tidak bebas bohan manusia. bergerak.’’ Namun tanpa bisa disangka-sangka, segerombolan Benarkah seperti itu? Aku tidak tahu. Burung- burung berparuh panjang terbang serentak dari arah burung itu mendarat ke perahu kami, ada yang utara dengan gerak menukik seolah hendak menyerang mencoba hinggap ke tubuhku, di pundak, di tangan, kami. Matanya kecil dan tajam. Aku tidak bisa di kepala. Aku sangat terganggu. Upaya yang kami memperkirakan burung seperti apa mereka, dan apakah lakukan untuk menghindari burung-burung itu adalah aku mengenalnya. dengan mempercepat laju perahu. Dan aku baru sadar “Ini pastilah burung-burung yang dikirim balon-balon udara yang serupa permen itu tidak ada. kakekmu!’’ Apakah burung-burung itu melahirkan dirinya dari

246 247 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MENGENDALIKAN ARAH ANGIN | Fina Lanahdiana balon udara? Jumlah mereka sama banyaknya. mengangguk. Burung fiksi? Aku baru mendengarnya. Meskipun aku tidak benar-benar menghitungnya. Dan Kegelapan semakin menelan seisi semesta, dan secara aku menyadari sesuatu, burung-burung itu berjumlah ajaib tubuh kami ikut menghilang seperti debu yang banyak, sedangkan dalam dongeng yang diceritakan tenggelam dalam pusaran angin. Kakek hanya berjumlah satu ekor. Kurasa dugaan Pak Guru meleset. “KENAPA Kakek mengirim burung berparuh “Jangan terlalu banyak bergerak!’’ Pak Guru panjang hingga aku dan Pak Guru dan anaknya sangat memberi komando, persis seperti kakek. Aku menurut terganggu?’’ meskipun tidak tahu untuk apa. “Burung?’’ “Harus begitu?’’ “Benar. Burung yang lahir dari balon-balon udara.’’ “Binatang akan menganggapmu sebagai musuh Kakek hanya tertawa dan menepuk punggungku. jika mengetahui kau banyak bergerak.’’ Pernah tahu “Kau terlalu banyak membaca buku cerita.’’ peenyataan seperti itu. Suatu kali seekor lebah terbang “Bukankah Kakek yang menceritakan kisah itu di atas kepalaku. Soil, seorang temanku berkata agar kepadaku?’’ aku tidak banyak bergerak agar lebah itu tidak Lagi-lagi ia hanya menggeleng dengan senyum menyengat tubuhku. Aku menurut. an memang benar, lebar kemudian berlalu. Meninggalkanku dibayangi lebah itu tidak mendarat di tubuhku dan ia pergi lingkaran pertanyaan. Sendirian.  menjauh. “Bagaimana ini?’’ kataku dengan suara tersendat Kendal, 2015 sebab dibayangi kepanikan yang tiada habis. Setelah burung-burung itu sedikit menjauh, perlahan kami membungkuk serendah mungkin untuk pura-pura menghilang agar tidak lagi diganggu sekawanan burung sialan itu. “Lain kali bilang pada kakekmu untuk bisa menjaga baik-baik burung fiksi dalam cerita yang ia buat.’’ Sejujurnya aku masih bingung, tapi untuk menghindari sesuatu yang lebih rumit, aku hanya

248 249 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MAGENA | Ida Fitri Magena

Ida Fitri Minggu, 05 Juli 2015

UKIT La Sabira masih berdiri kokoh. Dua belas patung singa masih mengelilingi kolamB air mancur. Taman ini masih taman yang sama ketika kau memintaku menunggumu.  Katamu kau akan kembali sebelum kebab lumer di mulut. Apa yang terjadi? Sudah empat ratus kali lebih bumi mengelilingi matahari -aku berdiri di sini- engkau tak kunjung datang juga. Tak pernah ada mata elang, rambut ikal, dan aroma tubuhmu. Sesosok wanita berkerudung kuning berdiri di sudut Hausyus Sibb. Matanya mengawasi orang-orang yang datang dan pergi dari taman itu.

“ALHAMBRA adalah sebuah keajaiban yang dipenuhi simbol-simbol magis,’’ ujar Mike sambil memandang kagum pintu gerbang di depan sana. Untuk ketiga kalinya ke tempat

250 251 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MAGENA | Ida Fitri

ini, tapi sensasi yang dirasakan tetap sama. Indah memesona, menimbulkan ketertarikan yang susah diungkapkan dengan katakata. Mungkin hanya Magena, perempuan yang berada di sampingnya, yang mampu menyaingi keindahan istana ini. Magena adalah keturunan Geronimo, kepala suku Indian dari Chirikahua Apache yang dulu paling keras menentang kulit putih. Dia sangat bangga dengan sejarah sukunya. Banyak kejaiban dan mantra yang diwariskan secara turun-temurun. Seorang kepala suku mempunyai kekuatan magis untuk melindungi rahasia tersebut. Begitu pun dengan Alhambra. Ada banyak keajaiban di sini. Simbol-simbol di dinding bangunan sebelah luar belum mampu diterjemahkan sepenuhnya. Huruf-huruf Arab tertulis tidak seperti biasa. Mereka menyebutnya khat, pahatan yang indah dan detil. Pada senja hari dinding-dinding itu akan bercahaya seperti Magena. “Ini alasanmu mengajakku menempuh perjalanan lima belas jam lebih? Untuk menghabiskan bulan madu kita bersama selirmu ini?’’ Perempuan itu terlihat cemberut. Ohio-Granada memang tidak dekat. Bukankah orangorang menghabiskan waktu lebih panjang untuk perjalanan bulan madu mereka? Mike Gibbon tidak pernah mengerti kenapa perempuan yang baru dia nikahi itu sangat membenci Spanyol. Atau mungkin Spanyol mempunyai dosa masa lalu terhadap suku

252 253 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MAGENA | Ida Fitri

Indian. Magena langsung protes ketika Alhambra dihiraukannya suara benda jatuh yang membuat orang- menjadi salah satu tujuan mereka. Tapi Mike sudah orang berteriak histeris. memesan tiket jauh hari sebelumnya, sebagai kejutan Aneh, pikirnya. Dia bukanlah tipe manusia yang kecil pernikahan mereka. Karena menurut Mike, mudah akrab dengan orang asing. Mike saja butuh Magena dan Alhambra memiliki banyak kemiripan. waktu dua tahun untuk mendekatinya. Mulai dari Mike menggengam tangan istrinya sebagai permintaan ajakan makan malam yang selalu ditampik, hingga maaf karena memilih tempat untuk berbulan madu ajakan nonton film keluaran terbaru Hollywood. Jika tanpa merundingkan terlebih dahulu. Mike yakin saat bukan karena ketertarikan Mike pada tanda-tanda bulu melihat Alhambra lebih dekat, istrinya akan berubah sukunya, sudah barang tentu dia akan tetap pikiran. Tebakan Mike tidak salah. Saat tiba di Hausyus mengabaikan lelaki kulit putih itu. Bagaikan ditarik Sibb, Magena tersenyum sangat indah. magnet, Magena berjalan menyeberang ruang terbuka, melewati air mancur singa dan mendekati gadis DUA belas patung singa saling membelakangi dan berkerudung. Dagu gadis itu berbelah indah, hidung membentuk sebuah lingkaran untuk menyangga kolam mancung, matanya bulat, sepasang alis tebal terukir di air mancur. Di depan kaki singa dikelilingi saluran air. atasnya. Kecantikan aristokrat Timur Tengah. Kenapa Empat saluran kecil lainnya membelah ruangan terbuka putri raja minyak ada di sini? Gadis itu mengisyaratkan dan bertemu di saluran yang mengelilingi kedua belas Magena untuk mengikutinya. Seperti tersihir, pasang kaki singa. Sangat simetris. Tiang-tiang perempuan Indian itu mengikuti di belakang gadis bangunan utama membentuk persegi mengelili taman berkerudung. Kini tempat tersebut dipenuhi oleh air mancur. Tapi bukan pemandangan eden yang perempuan berkerudung. Beberapa penjaga terlihat menarik perhatian Magena. memberikan jalan kepada keduanya. Seorang gadis berkerudung kuning sedang berdiri Di luar sana tidak dijumpai penjaga berseragam di bawah pilar bangunan sebelah sana. Gadis itu aneh saat dia dan suami mengantre tiket. Mungkin memperhatikan wajah pengunjung satu per satu. hari ini adalah hari kostum. Mereka melewati sebuah Menyadari bukan wajah yang dia inginkan, ruangan yang dihiasi huruf-huruf aneh. Kemudian pandangannya beralih ke orang berikutnya. Saat melewati sebuah ruangan lain yang terdapat kolam di pandangan mereka bertemu, gadis itu tersenyum pada tengahnya. Magena. Magena membalas senyum gadis itu. Tak “Hausy ar-Raihan, kamar mandi,’’ ujar gadis

254 255 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MAGENA | Ida Fitri berkeudung. Terlihat dua perempuan sedang bermain semua orang melihatku.’’ air. Mereka tetap berjalan kemudian berhenti di sebuah “Tunggu!’’ Magena memotong pembicaraan Aisha, ruangan yang memiliki tempat tidur berseprei sutra “Kamu tinggal di sini? Seharusnya tak ada yang boleh keemasan. tinggal di sini. Siapa kamu yang sebenarnya?’’ “Istirahatlah! Ini kamarku, mungkin kamu capai. “Aku Aisha, saudara perempuan Sultan.’’ Panggil aku Aisha.’’ Gadis berkerudung duduk di sisi “Ya Tuhan!’’ Magena mundur beberapa langkah. tempat tidur, Magena mengikutinya. Dia bisa melihat Rasa ngeri menyelinap dalam hatinya. Ia pernah kesedihan mendalam tergambar dari mata Aisha. mendengar dari Mike, Isabel dan Ferdinad dari Kastilia “Kulihat kamu sangat sedih. Ada apa gerangan?’’ membantai keluarga raja. Tak salah lagi ia sedang “Aku sudah bersedih selama empat ratus tahun berhadapan dengan hantu Alhambra. lebih.’’ Korban kekejaman proses Reconquista, “Maksudmu?’’ penaklukan kembali tanah Iberia dari bangsa Moor. “Maaf. Aku hanya bercanda.’’ Aisha mencoba “Kamu kenapa? Padahal hari ini aku sangat sedih. tersenyum, tapi air mata tak urung menetes di pipinya. Aku sedih setiap seseorang meninggalkan orang yang “Ceritakan padaku. Mungkin aku bisa mencintainya.’’ Magena tidak ingin mendengar ratapan membantumu.’’ hati hantu Aisha lagi. Dia tak mau menjadi korban “Dulu, aku punya suami yang amat kucintai. Syarif para hantu. Jangan-jangan pengawal dan gadis namanya. Kami sangat bahagia sebagai pengantin baru. berkerudung lainnya juga hantu tempat ini. Setelah menghabiskan malam yang tak terlupakan, Magena tak peduli tatapan aneh gadis-gadis Syarif pamit hendak menjalin kerja sama dengan sepupu berkerudung itu. Secepatnya dia ingin kembali pada kami yang berada jauh di Moor. Dia berjanji akan segera Mike. Sesampai di Taman Hausyus Sibb, Magena tak kembali,’’ Aisha berhenti sejenak. Air matanya jatuh ingin percaya apa yang dia lihat. Mike sedang menangis berderai. sambil memangku tubuh dengan kepala bersimbah “Setelah Syarif pergi, orang-orang kejam itu datang. darah. Pecahan vas batu berhamburan di dekat mereka. Mereka memaksa kami keluar istana. Tapi aku harus Seketika dia teringat ucapan Aisha. menunggu suamiku. Aku tetap bertahan. Semenjak “Aku sedih setiap seseorang meninggalkan orang saat itu tubuhku menjadi aneh. Aku tidak pernah haus yang mencintainya.’’  dan lapar lagi. Aku bisa melihat orang-orang, tapi tidak

256 257 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 BERKAH ATMO KRINDING | Senu Subawajid Berkah Atmo Krinding

Senu Subawajid Minggu, 12 Juli 2015

ANGGAL 30. Air muka masyarakat Krinding berubah gembira. Krinding yang limaT tahun ini dikelilingi pabrik-pabrik, menjelang sore tumpah ruah oleh buruh. Tak hanya mereka saja, sanak keluarga juga ikut  keluar berbaur memastikan ayah, ibu, anak, atau saudaranya sudah ada di tengah keramaian Krinding. Tak sulit buat mereka mencari karena ada hape atau SMS yang saling memandu keberadaan mereka. Satu-satunya simpang empat di Krinding mendadak macet. Tapi tak ada klakson, sopir membentak atau orang menjerit hampir tertabrak. Semuanya seperti paham. Pedagang makanan, pakaian, pulsa isi ulang, peralatan sembahyang, barang-barang Tiongkok “sepuluh ribu tiga’’ menggelar dagangan. Menderetkan gerobak, meja lipat, bangku panjang, atap plastik biru-jingga.

258 259 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 BERKAH ATMO KRINDING | Senu Subawajid

Membentuk tepian di dua sisi jalan ke utara mengarah ke pohon sawo di ujung kanan, bersebelahan dengan satu-satunya deretan ruko di Krinding. Apalagi sebentar lagi mau Lebaran. Namun dalam waktu setengah jam keriuhan itu mendadak hilang. Hanya manusia mengular membentuk antrean rapi menuju arah pohon sawo. Mereka bebas berdiri, duduk, jongkok sambil beringsut sedikit demi sedikit mengikuti gerakan antrean. Sudah tiga tahun ini beberapa makam yang dituakan di Krinding yang dulu ramai diziarahi kini sepi, hanya sedikit orang tua yang masih setia ke sana. Entah siapa yang kali pertama memulai setiap tanggal 30 orang menziarahi makam baru di bawah pohon sawo di dalam ruko. Tidak seperti makam kebanyakan menempati tanah yang luas, makam yang satu ini ada di dalam ruko. Sebelum ruko dibangun makam sudah ada di situ. Jadilah demi menghormati makam yang tidak boleh dipindah dan juga tak satu pekerja pun yang berani memindahkannya karena takut kualat, dibuatlah satu buah ruko untuk makam tersebut. Tak ada kejelasan siapa yang pertama menemukan makam itu, siapa yang pertama menziarahi, apalagi memastikan siapa yang dikubur di situ. Tapi orang menyebutnya Mbah Atmo, lengkapnya Atmo Bancasworo. Ritus utama Krindingan demikian orang menyebut keramaian itu, ialah sungkem kepada makam Mbah Atmo. Konon sungkeman itu dipercaya bisa

260 261 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 BERKAH ATMO KRINDING | Senu Subawajid mengurai problem yang sedang dihadapi. Orang rela Sudah setengah jam laki-laki berumur 35 tahunan antre berlama-lama, panas atau hujan. Karena telah itu termanggu di depan nisan, orang tetap saja sabar menjadi kebiasaan, sambil menanti giliran, orang menanti. Konon kesabaran juga bawaan yang harus memesan bakso, mencamil gorengan atau menyeruput diberikan saat menziarahi makam ini. Kecuali Musromi kopi sambil berbuka puasa. Kebiasaan ini dianggap dan aku yang menggerutu, karena gerak antreannya sebagai laku kepada makam. Jika dulu orang membawa tertahan orang asing itu. kembang tujuh rupa kini orang membeli segala rupa. Laki-laki itu terdiam, pikirannya melayang. Tujuannya agar sebelum orang mendapat berkah dari Tiga hari sebelum ia dipindahkan ke pabrik di Mbah Atmo ia juga harus rela memberkahi sesamanya: Krinding yang adalah kota kelahirannya, Mistani para pedagang di sekitar makam ini lebih dahulu. isterinya berpesan, “Cari talangan, Mas. Tagihan warung masih bisa kita berdalih, uang sekolah juga, uang buku “SIAPA?” bisik Musromi kepadaku. Aku bayar separuh dulu, kredit rumah kena denda tak mengerenyit, menggeleng. apalah, yang penting tagihan Mas Subrangil kita bayar. ‘’Baru kali ini kulihat. Mungkin orang Krinding yang Tak tahan aku dengan lagaknya, mentang-mentang mudik dari rantau.’’ kaya...’’ Jam menunjukkan pukul lima sore, Musromi sudah Ingatan Mistani menerawang saat Mas Subrangil tak sabar ingin cepat-cepat mendapat giliran, demikian berkilah, ‘’Buatku uang tak harus diganti uang, yang juga aku. Sudah berkali-kali isteri dan anakku mengirim penting kamu punya niat baik, aku sudah senang...’’ SMS, entah sudah menghabiskan apa saja mereka di Siapa tahu di Krinding ini harapan isterinya meja pedagang. Tibalah orang asing di depan Musromi terkabul. Namun setengah jam telah lewat. Juru kunci masuk ke ruko makam. Di depan nisan berbahan kaca makam mulai terusik lamanya laki-laki itu, yang gelap lama ia bergeming, sambil mulutnya berkomat- mendadak mendaraskan keringat dingin dari dahi dan kamit. Sekali-sekali menyeka keringatnya. Merunduk lehernya. Batu nisan Mbah Atmo seperti layar yang dan menceracapkan apa-apa yang hendak diutarakan. menampilkan rekaman hidupnya yang kelak akan Lama ia menyentuh batu nisan dengan jemarinya terjadi. Di Krinding ia tak mendapatkan berkah apa- sebagai tanda hormat. Orang percaya, menyentuh apa. Tubuhnya lunglai di samping makam. Orang ramai nisan Mbah Atmo membawa energi, yang siapa tahu beringsut ke dalam melihat apa yang terjadi. Orang itu membawa berkah seperti diharapkan. dilarikan ke puskesmas. Perawat membaca nama di

262 263 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 BERKAH ATMO KRINDING | Senu Subawajid

KTP-nya, Lukiman. isteri Lukiman. Tentu tak lunas sekaligus agar Lukiman tak curiga, DI teras rumah, pikiran Mas Subrangil sekelam Mistani bilang bahwa Mas Subrangil mau memberi batu nisan hitam Mbah Atmo. Dua tahun menduda waktu dan utang bisa dicicil. Lukiman lega, ia bisa tetap dan sudah sekian lama dekat dengan banyak bekerja di Krinding sementara waktu tanpa harus perempuan, tak seorang pun jadi isterinya. Ia sebetulnya direpotkan antre ziarah berkah di makam Mbah Atmo. lebih suka berpetualang daripada niat untuk mencari Mistani sedikit lega dari kejaran penagih utang, bahkan pendamping. Kini jiwa petualangannya mendarat di kadang kala Mas Subrangil memberinya uang lebih yang tubuh Mistani. Isteri Lukiman itu masih membuat cukup untuk melunasi utang yang lain. Meski Mistani matanya tak berkedip. tak mencintai Mas Subrangil, tapi jujur ia terkesan Mas Subrangil sudah di depan pintu rumah Mistani. dengan pelukan hangatnya. Ia tersenyum sendiri. Mistani seperti bunga yang sebentar layu di vas porselin Senyampang Lukiman di Krinding dan ia setiap malam orang kaya. Hati kecilnya membisik, aku bangga kesepian. dengan kemolekan paras dan tubuh ini, sampai-sampai orang kaya seperti Mas Subrangil pun bertekuk lutut. TANGGAL 15, bulan berikutnya. Lukiman Tujuannya memang menagih utang, tapi ia juga seorang berketetapan untuk pulang. Ini hari terakhir kerja perempuan biasa yang ingin mencoba hidup senang. sebentar lagi Lebaran. Riuh di perempatan Krinding. Kesetiaan pada suami miskin bukanlah kesetiaan buta. Ia menanti satu-satunya bus dari Krinding menuju Apakah dengan merelakan dirinya dicicipi Mas kotanya. Musromi dan aku seperti biasa terselip di Subrangil berarti dirinya berharga murah? Menurutnya, antara antrean makam Mbah Atmo. tidak. Ia lumayan mahal jika dinilai dengan jumlah utang “Bukankah itu orang yang pernah kita lihat dulu?’’ kepadanya yang berakhir lunas. Butuh semalam dari “Iya Mus, betul dia itu. Mau ke mana?’’ rumahnya ke Krinding, Lukiman tak perlu tahu apa Lukiman bergegas menaiki bus. konsekuensi suami yang tak mampu menafkahi “Aku sudah di bus, sebentar lagi berangkat. keluarga. Ia perempuan yang mempunyai hak untuk Syukurlah kalau Mas Subrangil mengikhlaskan utang- menik-mati hidup dengan bebas utang, meski yang ia utang kita. Nanti saja utang-utang yang lain aku cicil layani bukan suaminya sendiri. Cinta memang tak ada, sesampai di situ. Di Krinding ATM cuma satu dan tapi rasanya sama, batin Mistani. Yang penting ia tetap kau tahu sendiri semua buruh pabrik di sini gajian dan

264 265 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 BERKAH ATMO KRINDING | Senu Subawajid

THR lewat ATM. Antreannya bisa setengah hari. Bulan “Hhh, siapa lagi kalau bukan Mistani. Mau-maunya lalu aku tak bisa kirim karena tak ada talangan dari Pak adikku itu setia dan cinta mati dengan Lukiman padahal Kustomir, manajer pabrik di sini. Katanya gajiku baru tak pernah cukup ia memberi nafkah.’’ dirapel tanggal 15 bulan ini,’’ ujar Lukiman. Perempuan itu melirik Mas Subrangil dengan Kondektur memberi aba-aba berangkat. Perem- manja. Leher Mas Subrangil mendadak seperti tersedak puan di sebelah Lukiman bergegas turun sambil biji kedondong. Tepat di dekat Musromi dan aku antre, mencium tangannya. Batin Lukiman, ia berjanji kelak perempuan itu keluar dari mobil. kembali ke Krinding akan mengontrakkan rumah di “Maaf, Mas, di sini ATM terdekat di mana, ya?’’ BTN yang lebih layak dan mengkreditkan motor bebek “Ya ini Mbak, antre saja di sini. Itu di ujung sana untuk Wiyati. Lamat-lamat terdengar kata-kata Wiyati di bawah pohon sawo, di ruko,’’ sahutku. semalam, “Demi Mas, aku rela meninggalkan “Lo bukankah ini antre ziarah ke makam eeh... kemewahan rumah, ikhlas jadi simpanan, cinta siapa itu Mbah Atmo....’’ memang harus berkorban....’’ “Sama saja Mbak, makam di ruko paling kiri, Mobil Mas Subrangil tersendat di perempatan sebelahnya ATM,’’ sahutku lagi. Krinding. Sekali sebulan setiap tanggal 15, ia “Kalau Mbah Atmo lagi baik, ya artane metu. Kalau menyempatkan menengok pabriknya di Krinding telat gajian sama juga nggak dapat berkah si Mbah...,’’ sekalian mengawasi penggajian buruhnya juga Musromi menimpali. Semua yang antre dan pedagang pembagian THR. Tiba-tiba terdengar dering hape milik terbahak. perempuan yang duduk di sebelahnya. “Nyebelin banget sih!’’ “Iya, ya, aku sudah baca SMS-mu semalam, “Yus, macet! Nanti saja cari ATM lain,’’ teriak Mas sebentarlah aku transfer, aku juga tak tahu di mana Subrangil dari balik jendela. lokasi ATM di Krinding. Makanya, apa aku bilang dulu, Wajah Yusrani merah masam. “Ih, sori ya, nggak aku tak setuju kamu cepat-cepat kawin dengan level...,’’ katanya, sambil membuang muka dari Lukiman. Bisanya cuma menafkahi utang. Cari kerumunan orang yang tergelak-gelak. pasangan hidup harus melihat bibit, bobot, dan bebet- Brakk! Pintu mobil dibanting keras. Mobil merayap nya. Sebagai mbakyumu, aku saja masih pilih-pilih. Ya di tengah keramaian Krinding, bunyi SMS dari Ibu sudahlah kamu cek saja ATM setengah jam lagi.’’ muncul di hape Mas Subrangil: Kalau ke Krinding, cari “Siapa ?’’ tanya Mas Subrangil. Wiyati. Sebulan ini adikmu kabur. Ayahmu curiga ia dipelet.

266 267 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 LIMA CERITA DALAM SATU MALAM DI BAWAH BULAN GERRING | Agus Salim Siapa lagi kalau bukan orang Krinding. Ada yang lihat terakhir ia bersama Lukiman. Katanya ia anak buahmu. Masih bujangan? Kaya? Kali ini, biji kedondong itu benar-benar Lima Cerita dalam Satu Malam mampat di tenggorokan Mas Subrangil.  di Bawah Bulan Gerring Cileungsi Juni 2015 Agus Salim Minggu, 26 Juli 2015

1. Laki-laki yang Tertipu Angin EROMBOLAN angin berlari cepat dari arah barat. Riuh bergemuruh. Saling susul, salingG kejar. Membentur apa saja. Daun berjatuhan. Ranting berpatahan. Keluarga bambu berderit. Lalu, sebagian angin melewati beranda. Membentur tubuh Romo. Dia tak memakai baju. Tapi tak berkutik. Tetap menekur kepala, geming. Dia, laki-laki berkekuatan gaib, sedang khusyuk. Memagari rumahnya dengan mantera. Di puncak langit, bulan sedang gerring (sakit). Sebagian tubuhnya merah, seperti dilumuri darah. Dua bintang berdampingan, satu redup satu terang, dalam sunyi menjadi pasangan. Dalam keadaan lelah, Ratno keluar dari pintu. Berniat menemani sang ayah di beranda.

268 269 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 LIMA CERITA DALAM SATU MALAM DI BAWAH BULAN GERRING | Agus Salim Tubuhnya yang tipis diselimuti sarung. “Kenapa belum tidur? Apa anakmu sudah tidur?’’ tanya Romo pada Ratno. “Aku merasa angin malam ini sangat ganjil. Jadi aku keluar. Ingin menemanimu jika masih lama. Anakku sudah pulas. Istriku juga. Kalau tak ada pekerjaan lagi, baiknya Ayah segera tidur. Ibu pasti kesepian dan menunggumu di kamar,’’ jawab Ratno. “Tinggal sedikit, sebentar lagi aku masuk. Tak usah kau repot-repot menemani. Angin kencang macam ini tak banyak menyimpan bahaya gaib. Aku hanya memagari rumah seperlunya saja.’’ Ratno menurut. Romo dikenal sebagai pemilik kesaktian berupa- rupa. Kebal senjata, berjalan di atas air, terbang secepat kilat, membunuh tanpa menyentuh, dan mesat. Pantang dia tidur seperti anak muda pemalas zaman sekarang. Karena merasa ada yang hilang di sisinya, Samiya bangun. Dan memanggil-manggil suaminya. “Kak, kemarilah. Aku takut. Benar-benar takut.’’ Romo tetap geming. Seperti sengaja menuli telinganya. Memang, sudah hampir lima tahun, dia malas menyenangkan hati istrinya. Tiba-tiba lampu padam. Tapi gelap tak sepenuhnya gulita. Romo bangkit. Melangkah ke halaman. Sampai di tengah, ada sesuatu berjubah hitam muncul dari balik pohon besar. Muncul dan bergerak dengan sangat cepat. Benda tipis melengkung terbuat dari besi,

270 271 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 LIMA CERITA DALAM SATU MALAM DI BAWAH BULAN GERRING | Agus Salim berkelebat menghantam tubuh Romo berkali-kali. Lalu memperhatikan, dalam-dalam. Seolah sedang memasti- tubuh Romo kehilangan daya. Rubuh ke kan bahwa laki-laki itu adalah suaminya. Bukan laki- tanah. Seperti tertidur. Lebih dalam dari pulas. laki yang ada dalam mimpinya. Begitu yakin, dia segera Secepat angin, sesuatu itu lenyap. Meninggalkan Romo. melompat dan memeluk Bedus. Dan berbisik panjang. Ada suara kaki berlari dari dalam rumah. Lalu “Kak, aku mimpi laki-laki itu lagi. Dia hendak berhenti di hadapan Romo. Kaki itu milik Ratno. memeluk tubuhku. Aku tak berdaya menolaknya. Melihat ayahnya, mulutnya rapat dan bergetar. Getar Seperti ada mantera mengunci gerakku. Tapi, yang getir. Tak ada kata-kata yang bisa mewakili beruntung, segera ada laki-laki lain, entah dirimu atau perasaannya. Lalu suara Samiya muncul dari dalam bukan, mencegahnya. Laki-laki lain itu, tak hanya rumah. mencegahnya, tapi membunuhnya. Dia mati, Kak. “Kak, cepat kemari. Lampu padam. Aku sangat Mati!’’ takut. Benar-benar takut.’’ Tapi, Romo sudah tidak lagi Bedus tak bereaksi macam-macam. Juga tak curiga. bisa menyahut. Dia sudah tertidur. Lebih dari pulas. Dia hanya mendengarkan saja dan tersenyum-senyum “Kak. Kak. Ayolah, jangan main-main. Aku benar- setelahnya. benar takut. Kemarilah.’’ Samiya terus memanggil. “Laki-laki itu, tak salah lagi, berasal dari desa ini. Wajahnya, ya, wajahnya, sangat aku kenal. Dia, ya dia, 2. Laki-laki dalam Mimpi dulu sering bertamu ke rumah kita. Suka melirik Setelah mengunci pintu depan, Bedus melangkah kepadaku saat kau lengah. Suka merayuku saat kau tak tenteram. Masuk ke dalam kamar bersama senyum di rumah.’’ riang. Bibit nafsu ingin bercinta, tumbuh. Apalagi saat Bedus terus mendengarkan. melihat posisi tidur istrinya yang memikat, semakin “Kasihan sekali laki-laki itu, matinya mengenaskan. tak tertahan dan terus tumbuh. Tapi sebelum Semoga saja itu hanya mimpi.’’ menyentuh pantat istrinya, Rumia tergeragap bangun Tenang, Lek. Laki-laki itu tak akan lagi datang dalam dan mengucap, “Jangan!’’ mimpimu. Bedus cepat meloncat. Kembali ke posisi semula. Bedus tak mengeraskan suaranya. Dalam hati saja. Berdiri, tegak, dan kemudian menanam pikiran curiga. Angin belum lelah berlarian. Mereka seperti “Mimpi apa lagi sekarang kau, hah?’’ Rumiya kaget gembira. Mungkin karena bulan yang sedang telanjang melihat laki-laki yang ada di samping ranjang. Dia terus bulat di sana.

272 273 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 LIMA CERITA DALAM SATU MALAM DI BAWAH BULAN GERRING | Agus Salim “Dari mana saja kau tadi, hah?” itu. Serasa aku sedang menikmati wajah putriku. O, “Aku dari rumah Hemar. Ada yang perlu Malate yang anggun. Kau tak lihat, dia tersenyum pada dibicarakan. Urusan pekerjaan.’’ Nafsu yang sempat kita? Ah, jangan-jangan kau sudah melupakannya. Kau pingsan, siuman. Dan bahkan, lebih segar dan liar. Seliar sudah lupa pada semua penderitaannya. angin yang berlari sangar di luar. Andai aku tahu, atau Tuhan sudi memberitahuku, “Apa pintu depan sudah kau kunci rapat? Sekaramg siapa yang sudah melakukan kekejian dengan sihir musim maling baru belajar maling soalnya. Meski kepadanya, pasti, tak usah diragukan lagi, aku akan begitu, mereka tak kalah ganas dari yang sudah mahir.’’ mengajaknya bertarung sampai mati. Meski aku “Sudah, Lek. Mari kita bercinta.’’ Tangan Bedus perempuan, sejengkal pun kakiku tak mundur untuk mulai merayap. Mengikuti leku-lekuk halus tubuh melawannya. Bukankah aku pernah menjatuhkan Rumiya. tubuh kekar si Kora, bajingan banci yang suka main- main dengan kelamin perempuan? Wajahnya kubuat 3. Perempuan yang Tergila-gila pada Bulan memar dengan tinju dan tendanganku. ANAK kita pasti sudah besar sekarang. Wajahnya “Ya. Aku tahu kau kuat dan pemberani. Dan aku pasti secantik bulan itu. Rambutnya panjang terurai. tak salah memilih dirimu sebagai istri. Tapi sekarang Ya, rambut itu dulu pernah berjatuhan. Kalau hidup, sudah malam. Udara begitu dingin. Kita masuk saja.’’ dia pasti akan terkesima melihat bulan gerring itu. Rukiyah tak mendengarkan. Dia hanya tergila-gila Sewaktu di rumah sakit, dia sangat suka bila diajak pada bulan dan kata-katanya sendiri. Aku masih tak menengok bulan. Lebih suka lagi ketika melihat bulan bisa lupa apa kata Mbah Maung. Dia katakan dengan tampil bulat seperti bundar raksasa. Telunjuknya jelas bahwa anakku kena sihir. Meski dibawa berobat suka menunjuk, seperti hendak menyentuhnya. ke mana pun, tak akan dapat penyembuhnya. Wajahnya girang bukan main. Sambil mengentak- Aku percaya sihir ada. Tapi, aku tak percaya sihir entakkan ujung tumitnya ke perutku. Hanya saja, dia bisa membunuh manusia. Itu hanya sulap penipu mata. tak bisa bicara. Lidahnya lesu mengucap kata. Permainan iblis. Tak jauh beda dengan sihir anak buah “Sudahlah. Jangan terlalu larut mengenang dia. Fir’aun. Yang merubah tampar menjadi ular. Namun, Lebih baik kita masuk ke dalam dan tidur. Angin sedang Musa melakukan keajaiban lebih besar dari sihir. mengamuk dan itu tak baik untuk tubuh kita.’’ Dengan bantuan Tuhan, tongkatnya menjadi ular besar Aku tidak mau. Aku sedang tergila-gila pada bulan dan melahap ular-ular kecil yang hendak menggigit

274 275 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 LIMA CERITA DALAM SATU MALAM DI BAWAH BULAN GERRING | Agus Salim Musa. Tapi, andai saja Tuhan tak mengizinkan, itu tak badanmu. Dukun beranak langsung gentar mendengar akan terjadi. Aku masih percaya bahwa Tuhan adalah ancaman itu. Selepas itu, Samira dipanggil Takgena ke Mahakuat dan tak tertandingi. ruang tengah. Di sana mereka menyusun siasat “Tak usah kau meracau tak keruan. Sebab si kebohongan untuk menutupi kebusukan anak semata penyihir pasti mendapat balasan seperti yang kau wayangnya. inginkan. Hutang nyawa sudah terlunaskan, Lek.’’ “Cerita apa yang harus kita sebarkan kepada Kalau itu benar terjadi, aku bersyukur. tetangga besok?’’ Tapi aku belum puas sebelum tangan ini yang “Aku tak tahu. Tapi yang jelas suara bayi itu sudah mencabut nyawanya. Aku ingin si penyihir merasakan terdengar. Besok tetangga akan berhamburan ke rumah betapa sakitnya saat nyawanya dicabut pelan-pelan. kita untuk menjenguk si bayi dan ibunya. Mereka akan Andai memang dia sudah mati, aku ingin melihat mengeluarkan pertanyaan tentang siapa bapak si bayi jasadnya esok hari. Aku ingin menyumpahinya. Agar itu sesungguhnya.’’ dia membusuk di neraka. “Kita buat cerita Bendoro Gung hidup lagi.’’ “Ya sudah. Kita lihat bersama-sama apa yang akan Mendengar itu, Samira berlagak kebingungan. terjadi besok. Sekarang kita masuk dan tidur.’’ “Bagaimana cerita itu sebenarnya?’’ “Aku tak tahu jelasnya. Tapi yang jelas, hanya cerita 4. Titisan Jin Penunggu Lembah Payudan itu yang mampu menyelamatkan kita dari hujatan SAMIRA bingung bukan kepalang setelah bayi tetangga.’’ dalam perut Narema keluar. Sebelum itu, dia sudah “Coba ceritakan padaku.’’ mengancam si dukun beranak agar menutup mulutnya. “Bendoro Gung adalah cerita legenda yang dulu Sebab Takgena, suaminya, sedang berpikir kuat-kuat lahir dari desa ini. Inti dari cerita itu adalah: seorang tentang cerita apa yang layak disebarkan kepada putri raja, yang kemudian dikenal dengan sebutan tetangga esok hari. Habis si dukun beranak Bendoro Gung, hamil saat selesai bertapa di Lembah membersihkan Narema dan si bayi dari segala darah, Payudan. Cerita yang disebar, Bendoro Gung didatangi si dukun beranak diperintah pulang segera, tak seorang pemuda tampan dalam mimpinya saat bertapa. mampir ke mana-mana lagi, dengan satu ancaman: Pemuda itu menggauli Bendoro Gung dan hamillah kalau mulutmu sampai lancang mengeluarkan cerita putri raja itu. Nah, jika ada yang bertanya besok, kita yang sebenarnya, maka nyawa akan lepas dari jelaskan pada mereka bahwa Narema sudah didatangi

276 277 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 LIMA CERITA DALAM SATU MALAM DI BAWAH BULAN GERRING | Agus Salim jin penunggu Lembah Payudan. Jin itu laki-laki dan Sedang beberapa petugas yang lain sibuk mencari bukti- telah menggauli Narema berkali-kali lewat mimpi. bukti di sekitar tubuh Romo yang bersimbah darah. Sampai hamil. Jadi, bayi Narema, ceritanya, adalah titisan Ratno masih belum sadar dari rasa tak percayanya. jin penunggu Lembah Payudan. Kalau mereka bisa Matanya jarang berkedip. Mulutnya terus bergetar. percaya pada legenda Bendoro Gung, maka untuk Getar yang getir. cerita yang kita buat ini, pasti tidak akan jauh beda.’’ Sementara Samiya, duduk berselonjor kaki tak Samira diam sejenak. Dia tak percaya bahwa dirinya berdaya memandangi suaminya yang terpajam. Lebih akan membuat kebohongan yang itu, sepanjang nyawa pulas dari tidur yang biasanya. Dia dikerubungi ada di badannya, akan menghantui hidupnya. Tapi, beberapa perempuan yang berupaya menenangkannya. dia tak berdaya. Kalau berkata jujur, tak sanggup dia Beberapa warga, berdiri di tempat agak jauh, menanggung malu tiada tara. berbincang-bincang. “Harusnya Romo yang bertanggung jawab atas “Ini adalah berkah bulan gerring. Berkurang lagi satu bayi itu. Tapi, aku tak berani mendesaknya. Takut penyihir yang suka menyakiti warga.’’ disihir sama dia.’’ Takgena menelan napas. “Benar. Ini adalah berkah. Kalau perlu, kita adakan “Sudah, sudah. Tak usah kau sebut lagi namanya. kenduri untuk merayakannya.’’  Saat ini, dia sudah tidur nyenyak dan tak akan bangun lagi.’’ Sumenep, 2015

5. Berkah Bulan Gerring HARI masih gelap. Bulan di langit masih bulat dan merah. Bulan gerring, begitu orang-orang Desa Belleng menyebutnya. Dan di bawah bulan itu, rumah Romo sudah ramai dengan manusia. Mereka riuh. Sebuah mobil dengan lampu kelap-kelip di atasnya, bertengger sunyi di rumah warga. Entah siapa yang melaporkan kejadian itu. Seorang petugas sibuk membentangkan kuning bertuliskan police line sepanjang yang dia mau.

278 279 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 TETANGGA | Yus R. Ismail Tetangga

Yus R. Ismail Minggu, 02 Agustus 2015

EBUN seluas seribu meter persegi itu awalnya diratakan. Pepohonannya ditebang.K Sukun, cengkeh, sengon, rasanya sayang menjadi tumpukan kayu bakar. Kebun  itu diurus oleh Mang Warja. Entah siapa yang punya. Belum pernah saya bertemu. Mang Warja hanya menyebutnya Orang Kota. Saya tidak pernah terus bertanya. Bagi saya pembukaan kebun itu membuat pemandangan lebih leluasa. Kebun itu memang ada di sebelah rumah saya. Kalaupun disebut pemisah hanyalah halaman yang ditanami bunga sedap malam dan mawar. Biasanya matahari baru sampai ke jendela kamar saya pukul sepuluh. Sekarang pukul tujuh pagi saja sudah membuat hangat kasur dan bantal. Seminggu setelah diratakan, anak-anak bermain sepak bola di bekas kebun itu. Setiap

280 281 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 TETANGGA | Yus R. Ismail

sore. Hari Minggu bahkan dari pagi sudah ramai anak- anak bermain. Ada yang bulu tangkis, main kelereng, lari-larian, dan entah permainan apa lagi yang saya sebagai orang tua tidak mengenalnya. Mereka senang mempunyai tempat main yang luas. Para orang tua menyaksikan anak-anak mereka bermain dari pinggir lapangan (begitu akhirnya kami menyebut kebun yang sudah rata itu). Tentunya sambil berbincang tentang apa saja. Sayangnya hanya satu bulan lapangan itu menjadi tempat bermain anak-anak dan berkumpulnya orang tua. Selanjutnya mulai dibangun sebuah rumah. Tanah digali, dicor dengan semen dan besi. Truk yang mengangkut bahan bangunan pulang pergi. Para pegawainya puluhan orang. Mandornya beberapa orang. Arsiteknya yang membuat gambar dan merancang bangunan itu sesekali terlihat mengontrol. Tentu saja cara membangun rumah seperti itu tidak biasa atau tidak wajar bagi orang kampung seperti kami. Tidak heran, setiap sore banyak yang menonton, menonton yang sedang mendirikan rumah. Begitu tahu kayu yang digunakannya jati semua, hiasan atau ornamennya didatangkan dari kota-kota yang jauh, para penonton itu berdecak kagum. Sebulan kemudian di sebelah rumah saya sudah berdiri sebuah rumah yang megah. Bila malam lampu- lampu terang seperti di tempat konser. Halaman seputar rumah penuh oleh bunga-bunga, tertata rapi dan indah

282 283 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 TETANGGA | Yus R. Ismail karena taman itu dibuat oleh ahlinya. Setiap pagi dan duduk di bangku bambu di halaman rumah. sore pepohonan di taman itu disiram oleh Baru kali ini saya berkesempatan membandingkan pembantunya. rumah saya dengan rumah tetangga yang megah itu. Tahu siapa yang punya rumah itu ketika syukuran. Seperti tanah dengan langit bedanya. Rumah saya Tengah rumah yang luas, loteng, teras, penuh oleh tamu. dibangun di tanah yang luasnya hanya seratus meter Sepertinya semua orang kampung datang. Pastinya persegi. Satu kamar tidur, satu kamar mandi, tengah semua ingin tahu bagaimana syukuran orang kaya. rumah, dapur yang hanya diteduhi oleh seng dan Selain itu, rugi kalau ada yang tidak datang. Selain ditutup oleh tripleks. Lampu hanya 15 watt di tengah makanan jamuannya kue-kue kota, lalu makan rumah, 5 watt di teras. Benar-benar beda. prasmanan, pulangnya dikasih nasi boks. Isi nasi boks Saya sedang asyik melamun ketika ada yang juga bisa membuat menyesal berbulan-bulan yang tidak mengucapkan salam. Saya menjawab sambil menoleh datang. , , telur , ati, ke arah yang datang. Terkejut. Pak Kalang. guramai asam manis, dan amplop berisi uang seratus Alhamdulillah. Sejak lama ingin berkenalan lebih akrab. ribu rupiah. Setelah merasa susah mendapatkan kesempatan, Pak Kalang namanya, entah orang mana. Postur sekarang datang sendiri. tubuhnya pantas jadi orang kaya dan terpelajar. Wajah Tapi tidak disangka sedikit pun. Setelah berbincang bersih berseri, kata-katanya enak didengar dan ke sana ke mari, saling bertanya pertanyaan yang bersahabat, pakaiannya rapi dan berkelas (pasti biasanya ditanyakan orang baru kenalan, Pak Kalang harganya akan membuat kami terkejut), parfumnya seterusnya mengeluh. menebarkan harum yang enak. Setelah bersalaman “Tadinya Akang pindah ke sini untuk istirahat. seperti tamu-tamu lainnya saya duduk. Tidak ada Istirahat dari segala lelah. Tapi ternyata tidak bisa....” kesempatan memperkenalkan diri sebagai tetangga “Mungkin harus mengurangi pekerjaan, Kang,” terdekat. kata saya sok tahu. Akang, saya memanggilnya, seperti keinginannya. SELESAI berjamaah Magrib di masjid biasanya “Dari dulu juga Akang mah sudah tidak memikirkan saya tidak pulang. Belajar tafsir Alquran kepada Ustaz pekerjaan. Akang pergi ke sana kemari itu menghindar, Wahyu. Tapi suatu hari Ustaz Wahyu dapat halangan, ketakutan pada yang menagih utang.” menengok kakeknya yang sakit. Saya pulang, duduk- “Utang? Ah, Akang mah tidak mungkin susah oleh

284 285 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 TETANGGA | Yus R. Ismail utang, pasti ada untuk membayarnya.” Tidak kuat oleh utang,” katanya, lalu menangis di “Tidak begitu juga, Yi. Utang juga tidak sekedar pelukan saya. Tubuhnya berguncang-guncang. Setelah dalam bentuk rupiah. Akang ini banyak utang. Utang tangisnya mereda, katanya, “Akang pergi ke sana ke kelakuan, utang pikiran, utang perasaan. Bagaimana mari ingin membayar utang. Akang merasa kekayaan cara membayarnya, Yi?” katanya, tetap mengeluh. banyak, cukup sepertinya membayar piutang Akang. Suaranya terdengar seperti yang merintih. Di Tapi begitu bertemu dengan orang yang pernah keremangan lampu 5 watt wajahnya menyimpan dipinjami, waktu Akang bilang mau membayar utang, kesedihan yang mahadalam. Saya tidak mengomentari dia malah bilang: ‘Jangan dipikirin lagi, Pak, sama saya apa pun. Bingung. Tidak mengerti. Besoknya pulang sudah diikhlaskan. Anggap lunas aja utang Bapak’. berjamaah Subuh di masjid saya melihat mobil SUV Akang bukannya senang. Akang malah merasa semakin keluar dari rumah megah itu. Biasa Kang Kalang pergi banyak utang. Waktu Akang mendatangi orang yang subuh seperti ini. Siapa yang tahu perginya bukan pernah Akang sakiti, Akang ikhlas kalau dia ingin urusan pekerjaan atau bisnis, tapi menghindari yang membalas, dia malah bilang: ‘Tidak apa, Pak, sama saya menagih utang. Hampir sebulan tidak bertemu lagi, sudah dianggap takdir yang jelek kejadian dulu itu. Saya karena setiap hari Kang Kalang pergi subuh pulang bersyukur waktu saya disakiti saya kuat untuk tidak setelah larut malam. mendendamnya.’ Dijawab seperti itu hati Akang malah Suatu hari waktu saya sedang mencari angin di semakin perih. Akang semakin merasa disakiti. Disakiti halaman, sepulang berjamaah Magrib di masjid, ada oleh kelakuan sendiri. Akang merasa ditagih oleh diri yang mengucapkan salam. Dulu saya terkejut karena sendiri. Ke mana larinya, Yi, kalau yang menagih diri tidak menyangka yang datang Kang Kalang. Sekarang sendiri?” terkejut karena melihat penampilan Kang Kalang yang Saya tidak mengomentari apa pun. Bingung. Tidak sangat berubah. Badan kurus kering, baju tampak mengerti. kebesaran. Wajah pias seperti kurang darah, seperti yang bertahun-tahun disiksa penyakit. Rambut TADINYA rahasia tetagga itu saya sembunyikan. memutih tidak terurus, seperti yang bertahun-tahun Rapat-rapat. Tapi tidak kuat juga. Suatu sore saya bilang tidak mengenal sisir. pada istri. “Kang, kenapa Akang teh?” “Kasihan ya, Ma, sampai sebegitunya Kang Kalang. “Akang sudah tidak kuat lagi, Yi. Badan kurus kering, kulit keriput, wajah pias. Percuma

286 287 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 TETANGGA | Yus R. Ismail kaya juga kalau begitu mah,” kata saya. Saya mengantarnya sampai halaman. Kang Kalang “Maksud Bapak siapa?” istri saya berkerut kening. berjalan, perlahan, dengan wajah menunduk. Benar kata “Ya, tetangga kita, yang rumahnya megah, yang istri saya, rumah megah itu tidak ada. Di tanah itu pembantunya beberapa orang, yang mobilnya SUV hanya ada pohon kemboja. Di bawahnya ada sebuah yang harganya satu miliar lebih.” batu nisan. Nah, ke sanalah Kang Kalang itu “Bapak... tetangga kita itu kebun pisang. Makanya melangkah.  jangan becermin sore-sore, takut kerasukan setan. Mending sekarang ngambil wudu, tuh azan Magrib sudah mau selesai.” Keterangan: Tentu saja saya terkejut. Beberapa kali - Mah, teh (Sunda): kata untuk menegaskan mengucapkan istigfar. Kaca yang tadi dipakai becermin - Kang (akang): panggilan hormat kepada lelaki yang lebih tua. sambil mencabuti uban saya simpan. Setelah berwudu - Yi (dari Ayi): panggilan kepada lelaki yang lebih muda - Tokoh Kang Kalang diambil dari kata Kalangkang (artinya saya shalat Magrib. Tidak berjamaah ke masjid seperti bayangan) biasanya. Entah kenapa kali ini ingin di rumah. Tapi shalat di rumah juga tidak tenang, terburu-buru, karena di luar ada yang mengetuk pintu. Tidak berdoa dan berzikir seperti biasanya, saya langsung membuka pintu. Kang Kalang. Semakin kurus badannya, semakin pias wajahnya, semakin mengkhawatirkan. Kang Kalang memeluk saya erat sekali. “Maafkan Akang, Yi. Akang sudah mengganggu. Akang mau pamitan. Ayi mah jangan seperti Akang. Jangan terlalu banyak berutang. Utang yang sekarang juga harus mulai dicicil. Karena itu ternyata yang paling penting, Yi. Banyak harta juga tidak menjamin sanggup membayar utang. Akang doakan ya, Yi,” katanya. Tidak sanggup menjawab, hanya mengangguk perlahan. Kang Kalang memeluk saya.

288 289 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 ABAH KEMBALI MENGEMBARA | S. Prasetyo Utomo Abah Kembali Mengembara

S. Prasetyo Utomo Minggu, 09 Agustus 2015

ESAAT setelah deretan gerbong kereta api melindas bentangan rel, Abah muncul di ambangS pintu ruang tamu. Umi memekik. Mengguncang tubuh Abah. Lima belas tahun  Abah menghilang. Abah tak pernah berkirim kabar. Umi senantiasa bercerita pada Salma, putri sulungnya, Abah pasti kembali. Kini Abah memasuki rumah dengan tenang, seperti tak terjadi apa pun selama lima belas tahun. Bertemu Salma yang kini tumbuh matang, Abah segera membentangkan tangan, memeluknya. “Ini pasti putri kesayanganku. Aku sudah menduga, kau bakal tumbuh sebagai gadis cantik.’’ Belum lama memasuki rumah, mendengar suara azan magrib, Abah bergegas ke masjid. Abah bersila paling awal sebelum orang-orang berdatangan. Ia pulang lepas isya, ketika tak

290 291 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 ABAH KEMBALI MENGEMBARA | S. Prasetyo Utomo

seorang pun berdoa. Masjid temaram. Abah beranjak ketika seluruh lampu sudah dipadamkan. Tinggal lampu redup di mihrab yang masih menyala. Penjaga masjid mengantar Abah hingga depan pintu pagar. Sebelum berpisah, penjaga masjid mencium tangan Abah. “Anak lelakimu akan segera kerja di perusahaan yang baik. Mudah-mudahan ia menolong kehidupan keluargamu,’’ pesan Abah. Lelaki penjaga masjid itu mengunci pintu pagar. Ia tak mau memikirkan anak lelakinya yang sudah lama menganggur. Nongkrong bersama rekan-rekannya di mulut gang, bermain gitar, hingga pagi. “Kopi Abah hampir dingin,’’ kata Salma saat menyambut Abah pulang dari masjid, sudah jauh meninggalkan waktu isya. Abah mengangguk. Tersenyum. Duduk di teras. Meneguk kopi. Merokok. Salma masih menghadapi ayahnya, menahan diri untuk mengatakan sesuatu. Abah terus meneguk kopinya, pelan, seperti tak terpengaruh oleh kegelisahan Salma. “Kau kelihatan gelisah, Salma,’’ kata Abah. Dulu ia meninggalkan anak gadisnya itu ketika berumur tujuh tahun. Kini gadis itu dua puluh dua tahun. “Kau sudah sangat dewasa, sudah bekerja sebagai dokter. Apa yang akan kaukatakan? Kamu mau dilamar?’’ Salma terperanjat. Bagaimana mungkin Abah mengetahui seorang pemuda bakal melamarnya? Gadis itu tersipu-sipu. Abah mencecap kopi pelan-pelan.

292 293 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 ABAH KEMBALI MENGEMBARA | S. Prasetyo Utomo

Merokok. Tanpa mau memandangi anak gadisnya yang mencium tangannya, seperti berkelimpahan rasa syukur. sudah tumbuh sempurna sebagai wanita yang matang Abah mengernyitkan dahi. Ia membiarkan penjaga untuk dipinang. masjid mencium punggung tangannya. Saat berdoa pun, penjaga masjid itu setia duduk di belakang Abah. SEBELUM magrib, penjaga masjid telah menanti Lama Abah berzikir. Menjelang larut malam Abah Abah. Ia berharap Abah segera datang, melewati pintu meninggalkan pelataran masjid. masjid dengan langkah pasti. Menuju mihrab, dan Bergegas penjaga masjid mengiringi langkah Abah. berdiri di sana memimpin shalat. Jenggotnya yang Abah terhenti. Memandangi penjaga masjid dengan memutih bergerak-gerak, suaranya lembut, bening, dan teduh. Tersenyum. Sepasang matanya memancarkan teduh. pertanyaan. Lelaki setengah baya penjaga masjid itu sudah “Benar kata Abah,’’ kata penjaga masjid, masih sangat lama menunggu. Memang belum waktu azan. dengan menunduk, “anak lelaki saya, yang selama ini Tapi ia menanti, Abah akan memasuki masjid paling nganggur, sudah kerja di perusahaan yang ia sukai.’’ awal, sebelum kereta api senja melintasi rel, “Bersyukurlah,’’ suara Abah rendah. Ia menggemuruh. Penjaga masjid tertawa lebar melihat meninggalkan masjid dengan langkah pelan. Tapi dalam kedatangan Abah. Dari jauh tampak hidungnya pandangan penjaga masjid, Abah seperti menghilang mencuat mancung, berkacamata, berewoknya mulai dari hadapannya. Penjaga masjid itu terheran-heran, memutih, dan peci haji melekat di kepala. Penjaga memandang betapa wajah Abah setenang air telaga, masjid menyambut Abah. Menyalaminya. Mencium teduh, menyejukkan. tangan Abah. DI lorong gang, sepulang dari masjid, Abah “Anak lelaki saya sudah bekerja, persis seperti kata berpapasan dengan lelaki bertato bermata garang, yang Abah,’’ kata lelaki penjaga masjid, tak berani menatap menjinjing botol minuman keras. Lelaki bertato dengan wajah Abah. Tak sepatah kata pun diucapkan Abah. mata garang, telanjang dada itu biasa mengamuk dan Seperti tak terjadi apa pun, dengan tenang Abah memaksa meninta uang pada orang-orang yang lewat. melangkah memasuki masjid, berdiri di mihrab. Lelaki bertato itu berpapasan dengan Abah. Lelaki penjaga masjid itu kini lebih santun, lebih “Abah! Beri aku uang!’’ bentak lelaki bertato. hormat pada Abah. Caranya menyalami Abah, “Kebetulan saya tak bawa uang! Datanglah ke

294 295 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 ABAH KEMBALI MENGEMBARA | S. Prasetyo Utomo rumah!’’ api yang selalu menggemuruh, merasakan kesunyian: Lelaki bertato melangkah tertatih-tatih, mengikuti Abah kembali menghilang. Tengah malam Abah Abah, sempoyongan. Kadang ia terjatuh. Bangkit lagi. berpamitan pada Umi, dengan bekal pakaian dan uang Melangkah mengikuti bayangan tubuh Abah. seadanya. “Aku akan kembali mengembara.’’ “Ini uang yang kauperlukan!’’ Lelaki bertato itu ’’Kita baru menikahkan Salma yang lima belas tahun menerima uang Abah dengan pandangan bergoyang, kautinggal. Kini kau akan kembali mengembara.’’ tubuh sempoyongan. Diciumnya tangan Abah. “Jangan menangis serupa itu. Salma dan suaminya Tertawa. Tertawa dari hati yang pedih. Lelaki bertato akan menjagamu. Aku tak ingin orang-orang itu, yang menggelandang malam-malam dengan cara berdatangan ke rumah ini untuk memujaku. Biarkan mabuk, telah ditinggalkan istrinya, pergi dengan lelaki aku merantau. Aku tak ingin orang-orang datang ke lain, semenjak pabrik tempatnya bekerja bangkrut. masjid untuk urusan duniawi: pekerjaan, jodoh, Lelaki bertato itu tinggal sendirian di rumah. Satu- pangkat, dan kekayaan! Aku sudah tak memerlukan satunya anak mereka, laki-laki, dibawa serta istrinya. itu semua.’’ “Apa kamu tak ingin menjadi tukang parkir?’’ tanya Ketika kereta bergemuruh melintasi perkampungan Abah pada lelaki bertato itu. Lelaki bertato hanya pinggir kota itu, Abah meninggalkan rumah, mengangguk-angguk, meninggalkan Abah. Tertatih- melangkah mengikuti arah laju kereta api malam. Umi tatih. Sesekali bersendawa. Abah masih tetap berdiri. merasakan kekosongan dalam dada. Ketika suara Menatap lelaki bertato itu terhuyung-huyunng. Menjauh. gemuruh kereta api lenyap, perempuan setengah baya Salma yang muncul di sisi Abah, turut memandangi itu merasakan detak nadinya sendiri, masa tua yang lelaki bertato yang melangkah terhuyung-huyung, lenyap sunyi. Memandang dari jendela yang terbuka, ke arah di tikungan. rel kereta berembun yang membentang dingin ke “Abah tidak takut dia akan berfoya-foya dengan wilayah-wilayah yang tak dia mengerti, yang telah uang itu?’’ melenyapkan suaminya. “Mudah-mudahan dia menjadi baik, rajin ke Menjelang pagi, usai Shalat Subuh, kembali Umi masjid,’’ kata Abah, tenang, lembut. memandang jendela yang menghubungkannya dengan dunia luar, rel yang terbentang, yang terus-menerus USAI pernikahan Salma, pada hari ketujuh, orang- dilindas roda-roda kereta. Orang-orang berdatangan. orang di perkampungan pinggir kota, dekat rel kereta Mereka bersarung dan berpeci. Datang dari masjid.

296 297 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 ABAH KEMBALI MENGEMBARA | S. Prasetyo Utomo

Umi mengenal beberapa orang di antara mereka. Di Salma, si pengantin baru, yang menemui orang- antaranya dilihatnya penjaga masjid dan lelaki bertato. orang itu, lebih tenang wajah dan pandangan matanya. Umi takjub menerima kehadiran mereka. “Semalam Abah berpamitan padaku. Ia berpesan, Lelaki bertato, yang kini bersarung dan berpeci, jangan bersedih sepeninggalnya. Abah sesekali akan berhadap-hadapan dengan Umi, yang pucat wajahnya kembali menengok kita.” memandangi jendela kosong hingga dini hari. Lelaki bertato itu mengangguk-angguk. “Kalian mencari Abah?’’ tanya Umi. Dialah yang pertama meyakini Salma. Wajahnya “Abah sakit?’’ tenang. Kembali pulang. Ia mesti pergi bekerja. Penjaga “Dia mengembara. Aku tak bisa menghentikan masjid meninggalkan pelataran rumah Abah yang kehendaknya.’’ paling akhir.  Orang-orang itu menanti dan berharap akan bersua Abah. Wajah mereka tampak masygul. Tatapan Pandana Merdeka, Agustus 2015 mereka penuh kerinduan. Mata mereka keropos, kehilangan. Mereka tak lagi merasakan pagi senyap yang indah di masjid: suara bening Abah. Tatapan yang hangat, penuh pengharapan. Kata-kata yang menen- teramkan. Orang-orang yang berjamaah di masjid, menyangka Abah sakit. Tapi kini mereka menemukan keadaan yang lebih getir: Abah kembali mengembara. Orang-orang itu belum beranjak dari pelataran rumah Abah. Berdiri dalam penantian. Umi meminta mereka masuk ruang tamu, minum kopi. Tapi penjaga masjid menolak. Ia tetap berdiri di pelataran. Lelaki bertato, yang kini sudah bekerja sebagai tukang parkir, persis seperti yang dikatakan Abah, menahan kegelisahan. Lelaki itu seperti ingin menyusul kepergian Abah. Ini hari pertama ia memasuki masjid, berharap bersua Abah. Tapi ia tak menemukan Abah.

298 299 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 SIRIT UNCUING | Ullan Pralihanta Sirit Uncuing

Ullan Pralihanta Minggu, 16 Agustus 2015

ESA Sei Langgam eksis dengan cerita- cerita klenik yang membuat bulu kuduk pendengarD bergidik. Desa itu teduh karena dipayungi pohon-pohon besar. Dilalui sebuah  sungai induk bernama Langgam yang konon didiami seribu hantu. Rumah-rumah warga sebagian besar berbentuk panggung. Menyebar berjauhan antara satu rumah dan rumah lain. Badan dan kaki rumah terbuat dari susunan tonggak-tonggak kayu, dililit akar sebagai pengikat. Atapnya berasal dari kebaikan daun ulin yang melindungi si empunya dari terpaan panas dan hujan. Beberapa bulan terakhir, warga Desa Sei Langgam kedatangan tamu. Bukan manusia, melainkan bangsa sirit uncuing yang jumlahnya beratus-ratus. Mereka membuat rumah di dahan-dahan pohon, lalu tidur sepanjang siang

300 301 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 SIRIT UNCUING | Ullan Pralihanta

dan bangun saat malam mulai merapat. Sirit uncuing memiliki ciri-ciri bertubuh sedang, berbulu cokelat kusam dengan lurik-lurik hitam di bagian punggung. Mata mereka seperti rubi. Satu lagi, jika diperhatikan secara saksama, mereka mempunyai dada berwarna kuning menjurus jingga. Tiap malam sirit uncuing meninggalkan rumah. Mereka pergi ke mana suka dan mulai mencari makanan. Terkadang saat purnama merupa, sirit uncuing bercakap-cakap dengansesamanya. Atau, sekadar bernyanyi dengan suara mereka yang mengingatkan warga pada gesekan biola tua. Namun, bila gerimis datang menggantikan bulan, mereka merintih pilu bersaman. Seperti merasakan suatu kesedihan yang tidak terperi. Kalau sudah begitu, cemaslah warga. Sebab, dalam hitungan beberapa hari ke depan, pasti ada warga yang meninggal dunia. Ini bukan omong kosong! Bukan keyakinan sesat warga Sei Langgam. Atuk Kuder membilangkan kematiannya sudah dekat setelah melihat paras sirit uncuing datang menyerupai wajahnya. Semula lelaki 69 tahun itu menyangka punya masalah di mata. Tapi, bukan sekali-dua dia bertemu sirit uncuing yang berwajah sama dengan dirinya. Tiga hari sebelum ajal menjemput, Atuk Kuder bermimpi bahwa sirit uncuing membawa pesan kematian dari langit. Atuk Kuder terbangun dengan rasa cemas yang cukup parah. Terus terang, jika mimpi

302 303 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 SIRIT UNCUING | Ullan Pralihanta itu benar, dia sama sekali belum siap untuk mati. Namun Kendati dia menuruti saran istri, pikirannya tetap tertuju istri dan anak-anaknya berkata mimpi hanya kembang pada para sirit uncuing itu. Hingga pada suatu sore, tidur semata. Pada hari yang sama, berpuluh sirit karena banyak melamun, Atuk Kuder lengah dalam uncuing datang ke rumah Atuk Kuder. Keresahan Atuk perjalanan pulang. Kakinya menyandung batang pohon Kuder jelas bertambah. tumbang hingga terjatuh. Saat Atuk akan berdiri, tanah “Mengapa sirit uncuing itu pada kemari? Usirlah tempat dia berpijak longsor. Tubuh Atuk terguling- mereka. Kurasa tak baik mereka singgah lama di rumah guling, terperosok ke dalam jurang sedalam lima ratus kita,’’ ujar Atuk Kuder pada istrinya yang berambut meter lalu terempas ke sebuah batu besar yang abu-abu dan mengunyah sirih. menjadikan rohnya lesap dari badan. Setelah peristiwa “Tidak masalah, Tuk. Mereka tidak mengganggu,’’ kematian Atuk Kuder, keluarga baru percaya bahwa jawab istrinya, berusaha menenangkan perasaan Atuk yang dikatakan Atuk Kuder soal sirit uncuing adalah Kuder. benar. Semua warga yang mendekati kematian, “Tidak mengganggu bagaimana? Mereka mengalami pertanda serupa. Para sirit uncuing datang memenuhi pekarangan dan bertengger di atap rumah,’’ dengan rupa persis si calon mayat. sanggah Atuk Kuder, keringat dingin. “Barangkali mereka nyaman dengan rumah kita “AH! Aku tidak percaya yang begituan.’’ yang bersih.’’ Itulah kalimat pertama yang dilontarkan Kanja saat “Ah tak mungkin. Firasatku tidak enak. Apa kau bercengkerama sebuah kedai kopi. Dia pria urban yang tak melihat wajah mereka serupa wajahku? Kurasa tinggal di belantara beton, menghirup udara mereka tukang sihir yang termakan mantra menjadi megapolitan, dan hidup dalam dunia serbalogika. Hanya sirit uncuing. Mereka bisa meramal kematian seseorang. saja, tugas penelitian dari universitas mengharuskan Kematianku.’’ dia tinggal sementara waktu di desa dengan baratus “Mana pula?’’ Istri Atuk menolak setuju. sirit uncuing yang hangat diperbincangkan itu. ’’Barangkali kau terlalu lelah berladang. Pikiranmu kacau. “Jadi, kau pikir kami berbohong?’’ seorang pemuda Istirahatlah sejenak biar kau merasa tenang,’’ saran yang terlibat dalam obrolan merasa tidak senang. istri Atuk Kuder. Sepertinya, sang istri tidak mau “Bukan begitu. Mana mungkin sirit uncuing bisa meladeni perkataan Atuk yang terkesan mengada-ada. menyerupai wajah orang yang akan meninggal dunia? Atuk Kuder kesal tapi tidak mau membantah. Semisal benar, tentu kematian bukan sesuatu hal yang

304 305 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 SIRIT UNCUING | Ullan Pralihanta misteri lagi. Bisa-bisa, yang mati akan menggali membawa cucian ke sungai.’’ kuburannya sendiri,’’ tandas Kanja. “Tergelincir dan pendarahan.’’ Semakin banyak kemustahilan yang terdengar di “Pantaslah yang Bang Murad bilang tempo hari, sini, semakin tak sabar Kanja kembali ke kota. Kak Sani telah melihat kematiannya melalui sirit “Mana kami tahu? Yang jelas, kedatangan sirit uncuing.’’ uncuing membawa ketakutan tersendiri bagi warga “Ayo kita melayat ke rumah duka.’’ desa. Setiap rumah yang paling ramai disinggahi sirit “Baiklah.’’ uncuing, dapat dipastikan tak lama lagi akan ada Kecuali Kanja, semua orang yang berada di kedai penghuninya yang mati,’’ balas pemuda tadi, diikuti mengangguk setuju. Bersama mereka bertolak ke anggukan kepala dua pemuda lain. rumah Bang Murad, sedangkan Kanja memilih pulang “Baru-baru ini, Kak Sani, istri Bang Murad yang ke rumah tumpangannya. Kalau dia ikut, berarti dia sedang bunting delapan bulan itu mengaku melihat sirit membenarkan perkara sirit uncuing. Lantas, apa beda uncuing menyerupai wajahnya. Lepas itu, dia tak tidur dia dengan warga desa? Seorang calon magister dengan berhari-hari. Bang Murad heboh. Mati ketakutan mudah tunduk terhadap “kredo’’ orang-orang buta istrinya akan meninggal dunia,’’ sambung pemuda yang huruf . satunya lagi. Sepanjang perjalanan pulang melewati hutan akasia, Kanja sekadar senyum. Senyum sinis yang kerap Kanja terus menertawakan ketololan mereka dalam dia tunjukkan saat kehilangan gairah berkomentar. hati. Merasa menang. Merasa tak patut ditentang. Dari Sesaat sebelum Kanja beranjak pergi, dari utara tempat zaman jerapah belum berevolusi sampai dia berpijak tampak warga berlarian. Sebuah kabar telah sekarang, sirit uncuing yang dia tahu hanyalah merebak. Angin membawanya sampai ke telinga-telinga seekor burung biasa. Di kota, orang menamakannya warga lebih cepat. Semua yang ada di kedai berdiri. kedasih. Burung yang kicaunya kencang, tapi tak terlalu Tak terkecuali Kanja. banyak penggemar. Dibandingkan parkit, kedasih kalah “Hei, ada apa?’’ tanya salah seorang pemuda di mutlak. Saat langkah ke seratus satu, sekonyong- kedai pada mereka yang berlari. konyong seekor sirit uncuing terbang rendah melintasi “Kak Sani meninggal dunia,’’ jawab seseorang Kanja. Sayapnya menampar muka Kanja. Kanja dengan napas Senin-Kamis. mencarut. Sirit uncuing mendarat di tanah, menatap “Ha? Apa sebab? Tadi pagi aku baru melihatnya Kanja dengan muka serupa orang yang sedang ditatap.

306 307 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KIAI WAFIR DAN SI PECI HIJAU | Raedu Basha

Tak pelak, Kanja kaget sekaget-kagetnya. Dia mengucek-ngucek mata, nyaris tak percaya ada sirit uncuing berwajah sama dengan dirinya. Kiai Wafir dan Si Peci Hijau “Hush! Pergi sana,’’ Kanja mengusir sirit uncuing sialan itu. Bukannya pergi, teman-teman sirit uncuing berdatangan sekitar lima puluh ekor. Semuanya tampil Raedu Basha dengan wajah serupa Kanja. Pikiran Kanja mendadak Minggu, 23 Agustus 2015 kacau. Jantungnya berdegup kencang saat gerombolan sirit uncuing berkicau sedih. Kontan keringat dingin Kanja merembes sebesar bulir jagung. Warga desa benar. Tahun 1939 Ada sirit uncuing yang pandai merupa. Dengan berat UA tahun silam, ingatannya masih hati, terpaksa Kanja menjilat ludahnya sendiri. merekam jelas kala ratusan warga Desa Kanja berlari meninggalkan para sirit uncuing itu. TosolongD berbondong mendatangi rumahnya. Namun belum seberapa jauh, nasib sial menimpa. Mereka mendesak Kiai Wafir menjadi kalebun. Takdir mempertemukan Kanja pada si belang penguasa Yang paling ia ingat adalah seorang lelaki gempal hutan. Si Belang jantan berusia dewasa yang sedang berpeci hijau yang mendekat ke hadapannya, aktif-aktifnya memburu mangsa. Kanja terdesak, tanpa duduk membungkuk dan bertutur takzim perisai. Dalam keadaan takut, kakinya tidak bisa padanya: “Kiai Wafir tak perlu resah. Jika suatu digerakkan untuk melangkah. saat nanti terjadi masalah berat, tulislah sebuah Dia menggeletar, terkencing di tempat. Bagi si surat pada selembar daun talas di sepanjang belang, ini adalah rezeki nomplok. Makan siangnya kali Pantai Tosolong ini.” ini sangat istimewa: seorang pemuda berdaging tebal, Logat Si Peci Hijau itu tak seperti logat berkulit bersih, dan wangi. Cukup sekali terjang, Kanja orang pesisir biasanya yang kasar. Air mukanya lumpuh di bawah tindihan si belang. Kanja meronta, meneduhkan. Andap asor, tak umumnya namun tenaganya tak memadai. Cakar dan taring si perangai masyarakat Desa Tosolong. Kiai Wafir belang menjadikan Kanja pulang tinggal nama.  terkesan pada lelaki tak dikenal itu. Tak hanya sekali saja warga Tosolong

308 309 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KIAI WAFIR DAN SI PECI HIJAU | Raedu Basha

berbondongan datang ke rumahnya, sejak kalebun sebelumnya wafat. Kiai Wafir sebenarnya jemu. “Memimpin pondok pesantren bagiku saja sudah beban, tegakah kalian menambahkan bebanku?” ujarnya. Tetapi seketika mulutnya kelu manakala ia jumpa Si Peci Hijau yang juga hadir di tengah kerumunan warga. Auranya tegas tersirat pancaran nur membuat Kiai Wafir tak dapat menolak. Walau hanya sekali bertemu orang asing itu tapi Kiai Tua itu merasa tenang dan akhirnya menerima permintaan warga. Ia jalani tanggung jawab sebagai kalebun sekaligus pimpinan pesantren. Kini dua tahun berlalu, justru Kiai Wafir tak lagi berjumpa Si Peci Hijau itu. Menyesal ia tak bertanya nama dan di dusun mana Si Peci Hijau tinggal. Kiai Wafir sering bertanya pada penduduk kiranya ada yang tahu, tapi semua geleng kepala, bahkan mengaku tak pernah melihat kehadiran Si Peci Hijau kala ia didesak menjadi kalebun.

TOSOLONG sedang bencana. Musibah menimpa, serban putih Kiai Wafir dibiarkan pudar digerus waktu. Nelayan sukar menangkap ikan, bila mereka berlayar ombak membanting hajat. Sampan- perahu terbengkalai nganggur di sepanjang bibir pantai bagai tanpa tuan. Ladang-ladang kering tandus. Bumi mengeras bak batu cadas. Sumber air mampat karena

310 311 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KIAI WAFIR DAN SI PECI HIJAU | Raedu Basha kemarau panjang menguji ketabahan warga pesisir Ya. Si Peci Hijau gempal yang pernah membungkuk Tosolong, menguji keteguhan Kiai Wafir yang di hadapannya merayap ingatannya. Sikap dan pesan menggenggam tonggak kalebun. orang asing itu, betapa membuatnya ingin berjumpa Hampir saban waktu kabar warga sakit, lalu mati. wajah memancar nur itu. Alasannya satu, kelaparan. Kini di desa pelosok yang Tengah malam, Kiai Wafir memasang tungkainya kering tiada makanan teratur, terlebih bila bagian rodi, yang kurus melangkah ke tepi Pantai Tosolong. Dia berita mati lapar seolah kabar sehari-hari. Warga banyak pandang purnama paruh bulan kamariah yang tak bertahan pada sayur seadanya atau kerang yang secerah muka warganya. Ia telisik pepohonan dimasak air laut dan apa pun demi pertahankan hidup. sepanjang pantai hingga terhenti saat ditemui sebatang Paceklik. Nestapa mengepung nasib. pohon berayun dan kemilau ditimpa cahaya purnama: Sebagai kiai sekaligus kalebun, Kiai Wafir tak habis pohon talas. menahan napas, saban waktu mulutnya berucap Lembar daunnya yang mulus, licin, dan tangan Kiai “Innalillahi.” dengan luka menikam dada. Air mata tak Wafir gemetar sembari menggenggam sebatang pena, tertahan. Telah buntu segenap upaya, keluhnya. teriringi semat hatinya yang berdesah menguatkan ainul Usaha-usaha digalakkan sampai semua menepi yaqin dan haqqul yaqin. Ia menulis pada lembar itu, cahaya pada “titik”, harta bendanya sendiri habis, penggalian purnama sebagai penerangnya.... sumur baru nihil, dan sebagainya. Tak dipikirkan Kepada Peci Hijau, kesehatan dirinya. Orang lain, warga dan santrinya lebih Siapapun kau, aku selalu berdoa semoga Allah dipentingkan ketimbang dirinya sendiri. Dilakukannya menyertaimu. Tahukah kau kini sedang kupikul beban berat? dalail, tak putus puasa sudah tiga bulan dilakukannya. Warga kelaparan. Banyak sakit, wafat. Semoga iman kami Berkali-kali Kiai Wafir menghadap Camat tak lenyap hanya karena persoalan ini. Sebagaimana kau Kumpeni namun bantuan tak jua mengentaskan pernah berpesan padaku dulu sebelum tanggung jawab kalebun keadaan. Matanya berhari-hari merah, tidur merupakan ini kuemban. Ketahuilah, kini kami resah. Habis daya pantangan, rebah doa memenjuru malam demi malam. upaya. Kehendak Allah kali ini tetap kami terima walau mata Tirakat tiada khatam. Bacaan-bacaan seperti berlinang tiada usainya. Aduhai, resah. Dan akan lebih resah Manaqiban, Burdah, Barzanji, Yasinan, dan istigasah bila surat ini tak lebih dari perilaku gila yang tak masuk bersama warga tak lekang tiap hari. akal. Sampai ia terkenang lelaki berpeci hijau. Salam. Wafir.

312 313 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KIAI WAFIR DAN SI PECI HIJAU | Raedu Basha

BAKDA Magrib. Kiai Wafir harus mengantar “Aku lelah berhubungan dengan Kumpeni! sepasang suami-istri yang tewas kelaparan. Usai talqin, Khawatir mereka akan mengembat kapal itu tanpa Kiai Wafir bertausiah: “Tiada yang menahu apakah ini hak!” engah Kiai Wafir. musibah atau ujian iman. Kita tiada menahu. Tabahlah Tapi si Carik kemudian berangkat menuju Kantor dan mintalah ampun padaNya.” Camat, yakni Kumpeni Belanda. Suaranya bergetar, pelupuk matanya basah, para penyimak merunduk, meringkuk laksana bangunan MATAHARI baru naik setombak, Carik datang ambruk, bagai pohon rubuh dijerang tengkujuh, nasib menghadap. puruk. Tiada suara tiada sorot mata. Semua diam. “Kiai, Kumpeni telah menguasai kapal itu,” Hening cipta. lapornya. Tiba-tiba dari arah pantai seorang bocah terhuyung. “Kau melaporkan ke Camat?” tanya Kiai Wafir. “Kiai, Kiai Wafir!” “Maaf, Kiai....” Carik merunduk. “Ada apa?” sahut Kiai Wafir seketika bocah itu “Kau itu! Kejahiliahan apa lagi yang bakal mereka menghampiri. perbuat?” “Di pantai, di pantai ada kapal besar terdampar.” “Tapi, Kiai. Ternyata di Kapal itu....” “Kapal besar? Apa ada awaknya?” tanya Kiai Wafir. “Kapal itu bagaimana?” “Saya tak menjumpa seorang pun. Kapal itu “Kapal itu ternyata berhubungan dengan Kiai memuat banyak karung, tong dan peti. Tidak tahu Wafir,”jawabnya sesal. isinya apa. Oborku mati tertiup angin....” “Hubungan bagaimana?” Kiai Wafir hendak bangkit untuk pergi ke pantai “Saya mohon Kiai ke pantai sekarang juga.” namun seketika encoknya menyerang. Tak dapat Kiai Wafir menarik badannya tak kuasa. Demam bangkit. menyerang tubuh tuanya. Batuk-batuk berdahak. Tapi “Tolong kalian jangan apa-apakan kapal itu. Itu sebagai kepala desa dan pemuka agama, banyak bukan hak kita. Mungkin sehari-dua hari pemiliknya tanggung jawab di tangannya. Dengan menyanggah akan mencari ke mari!” kata Kiai Wafir yang berbaring sebilah tongkat, ia melangkahkan tungkainya ke pantai sakit. bersama Carik itu. Terlihat kapal kayu besar, kokoh “Apa harus melapor ke Camat?” Carik Desa, terdampar perkasa di bibir Pantai Tosolong. mengusulkan. Banyak orang menyaksikan kapal itu. Muka-muka

314 315 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KIAI WAFIR DAN SI PECI HIJAU | Raedu Basha pucat Kumpeni berjaga mengelimpungi kapal itu. berbeda tak seperti tulisannya dulu. Jika dulu ia menulis Beberapa warga beradu mulut dengan Kumpeni. Kiai berbaris-baris. Kini tulisannya hanya empat baris. Ia Wafir terkejut manakala disaksikan kapal itu lebih dekat. baca sepintas lantas memejam mata. Aneh. Pada sehelai bendera hijau yang berkibar-kibar Kemudian kembali ke kapal itu. Warga dan di ujung kapal itu tertulis: ‘KEPADA KIAI WAFIR’. Kumpeni menunggunya. “Sekarang saya paham. Saya “Kapal ini milik Belanda. Jangan sampai ada yang yang berhak menyentuh kapal ini!” tegas Kiai Wafir. berani menyentuh kapal ini!” ujar seorang Kumpeni. Tapi Kumpeni masih mendebat. “Ah! Je jangan “Lihatlah baik-baik bendera kapal itu. Di sana main-main dengan Kumpeni!” hardiknya sambil tertulis jelas!” seorang warga menyela. menyorongkan pistol. Setelah mendekati kapal itu, Kiai Wafir berkata, “Kapal itu berisi karung, tong dan peti! Kapal ini “Saya kalebun Desa ini. Nama saya Wafir. Nama orang untuk menolong kelaparan yang menimpa.” Kumpeni pada kapal ini insya Allah saya.” Tangannya menunjuk kecamatan itu masih melawan. bendera kapal. Kiai tua itu menarik napas. “Mari saling menguji “Kalebun, kapal ini bukan milik warga sini. Kapal isi kapal ini! Ambillah karung di kapal, jika kalian ini hanya kebetulan terdampar di sini. Dan nama ‘Kiai membuka karung itu lalu isinya beras, maka kalian boleh Wafir’ tentu tak hanya nama je saja,” sanggah si mengambil kapal ini. Tapi jika tidak, maka ini adalah Kumpeni dengan logat Belanda. hak warga Tosolong!” Kiai Wafir menarik napas. “Kalau begitu izinkan Kiai Wafir malah menantang, entah dari mana ia saya shalat sunah sejenak dan setelah itu kita bicarakan mendapat ilham untuk menantang Belanda itu. lagi,” lanjutnya. Kumpeni meladeninya, dua karung diambil dari kapal Kiai Wafir kemudian mencari tempat sepi, ia berdiri lalu dan tercengang manakala menyaksikan isi karung tegak ke arah kiblat di atas pasir pantai. Matahari itu, berisi pasir hitam. Lalu dua karung lagi diambil dan setinggi tombak, ia salat khusyuk. Bakda shalat, ia diserahkan kepada Kiai Wafir, ia merobek karung itu berdoa panjang bercurah tentang kejadian kapal ganjil dan semua mata tercengang manakala isi karung yang itu. Lantas ia hampiri sebatang pohon talas yang pada dirobek kalebun itu berupa beras. selembar daunnya pernah dia tulis sepucuk surat. Ia “Je hanya kebetulan,” teriak Kumpeni. pandang lekat selembar daun hijau itu masih utuh, Masih tak percaya. Lantas diambil beberapa karung masih berayun dimainkan udara, tapi tulisannya kini lagi, tapi lagi-lagi karung Kumpeni berisi pasir

316 317 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 TALI MASA SILAM | Handry TM. sedangkan karung Kiai Wafir berisi beras. Takbir menggema panjang seantero Pantai Tosolong. Semua terpana. Baru saja peristiwa ajaib Tali Masa Silam terjadi. Serempak, seluruh warga sujud syukur. Kumpeni menyerah dan bubar barisan. Ratusan karung berisi beras itu lantas dibagikan. Begitu pun tong-tong berisi minyak, ratusan peti yang Handry TM. berisi daging, dan rempah. Langit bersinar, Kiai Wafir Minggu, 30 Agustus 2015 kembali menghampiri daun talas itu. Hanya empat baris! Kepada Kiai Wafir, Semoga Allah meridai perjuanganmu, menguatkan iman (Orchard Road, sebuah Februari) wargamu. ATA Alycia Nio mengerjap-ngerjap Terimalah hadiah kapal ini! seperti ikan matador. Ia tatap ombak Salam. Si Peci Hijau. Khidir.  yangM bergulung-gulung, seolah mengusir pasir di tepi pantai. Ombak itu seperti hendak menggulung tubuh kami yang berebahan. “Alycia tidak ingin berpisah darimu,’’ sekali lagi ia menegaskan hal itu. Suatu kebiasaan yang tidak pernah absen sejak kami sama-sama menjadi mahasiswa di James Cook University, Singapura. Sebuah universitas yang menyenangkan karena menjadi tempat berkumpulnya anak-anak muda pintar dari berbagai negara di Asia. “Kamu harus paham kenapa orang tua menjodohkanmu dengan Fredolin Tan. Ia lulusan kedokteran di Manchester. Bersamanya akan kamu dapatkan sesuatu yang lebih dari sekarang.’’

318 319 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 TALI MASA SILAM | Handry TM.

“Pemahaman yang aneh.’’ “Mula-mula terkesan aneh. Lama-lama akan terpahami.’’ “Kok seperti orang yang sudah pasrah saja?’’ “Pasrah bagaimana?’’ “Potong ambisi orang tuaku, kamu harus menyelamatkanku.’’ “Waktunya tidak tepat. Aku cukup paham perangai ayahmu. Dia bukan orang tua sembarangan, Ayahmu selalu tepat sasaran. Setiap langkahnya penuh perhitungan.’’ Kata-kata itu kuucap penuh keberanian. Meski aku katakan dengan tercekat di kerongkongan. Biar saja Alycia tahu seperti apa perasaanku. Kata-kataku seperti terbenam ombak yang sedang menampar tebing. “Tapi.’’ “Sudahlah.’’ “Kita ini sedang menemukan titik yang sama. Bermalam-malam aku berdoa. Semoga Tuhan menguak gorden kamarku dan memberi kekuatan. Tapi kamu seperti malas berjuang. Kamu sengaja ingin melepasku.’’ Napasku terlonjak. Wajahku membayang di matanya yang basah. “Tuberkulosis sialan!’’ rutukku setengah kasar. “Dolf.’’ Alycia langsung memeluk. Kutarik syal leher yang dikenakannya. Kucium sepenuh hati pipinya. “Harus dengan cara apa aku meyakinkanmu? Tuhan telah memberi jalan terbaik.

320 321 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 TALI MASA SILAM | Handry TM.

Masa kecilmu bersama Fredolin Tan akan kembali mencintai. tersambung. Dia akan merawatmu, menyembuhkan- “Nite, Dolf. Badai kecil mulai datang sesekali. Fredolin mu. Sedangkan kalau kita bersama-sama, kita ini sering mengeluh, karena penyakit tuberkulosisku tidak kunjung penderita penyakit yang sama.’’ membaik. Kamu sendiri bagaimana? Semalam aku batuk Aku cukup mengerti, Alycia tidak akan puas darah hebat sekali. Fredolin langsung melarikanku ke rumah dengan jawaban itu. Siapa pun akan mendukung dan sakit.’’ membenarkan, memang lebih baik kami berpisah. Salah “Sekarang aku sedang menjalani perawatan. Tulisan ini satu dari kami harus tetap hidup. Bukan harus mati Fred yang menulis berdasarkan omonganku. Maaf, Dolf, bersama-sama. tanganku hampir tidak bisa bergerak. Mulai kuyakini, Fredolin memang laki-laki terbaik di dunia. Ia berharap kamu bisa (Jurong Street, sebuah apartemen) menjengukku di Manchester. Secepatnya, hehe.’’ SEJAK saat itu beberapa tahun kemudian aku tak “Dolf di Jurong, Singapura. Tolong sampaikan ke ibu pernah lagi bertemu. Hanya beberapa kabar yang kamu, aku kangen sekali padanya.’’ sesekali muncul di kotak masuk jejaring sosialku. Tulisan Alycia datang susul-menyusul. Tentu “Adolf Hua, apa kabar?. Ingin sekali bertemu kamu. dengan berbagai keluhan panjang dan erangan batin Kalau saja Manchester-Singapore bisa ditempuh dengan yang tidak mampu ditahan. berjalan kaki, pasti aku akan ke tempatmu sambil berlari.’’ Hampir setahun tulisan-tulisan itu kusimpan Begitu tulis pertamanya. Ketika itu. Itu terjadi tersendiri dalam satu folder berkode my rose. Isinya, beberapa bulan setelah ia pindah kuliah ke Manchester, justru semakin menambah beban pikiran. Tapi, mana menemani studi tambahan Fredolin Tan di Fakultas bisa aku melepaskan diri dari derita hidupnya? Kedokteran. Dalam tulisannya, masih sempat kubaca Harapan-harapan Alycia Nio untuk bertemu beberapa ungkapan yang memancing tawa. Kata-kata hanyalah mimpi panjang. Seperti yang dialaminya Alycia masih ditulis selincah dulu. Kuyakini kondisi sekarang, aku sendiri sedang melawan penyakit yang paru-parunya pasti semakin memburuk. Seperti juga sama. Di sini, sedang kulawan luka paru-paruku yang aku di sini, di sebuah apartemen kecil di kawasan Jalan kian menganga. Aku terpaksa berbaring di rumah sakit, Jurong ini. Tulisan pertamanya seperti meyakinkan aku bergantung sepenuhnya pada teman dan keluarga. bahwa dirinya sangat berbahagia bersama Fredolin Benar-benar aku ini manusia tidak berdaya. Tan. Alycia berterus terang padaku, ia sedang belajar Kamar inapku mulai penuh aroma obat. Sebuah

322 323 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 TALI MASA SILAM | Handry TM. tempat tidur dengan kaleng pembuang ludah berada Meski kenyataan menjadi lain, cinta Fredolin Tan tidak jauh dari sana. Aku biasa meludahkan lendir padanya tidak bisa ditukar dengan apa pun. Ketulusan bercampur darah di kaleng itu. Ibu dan adikku selalu Fred menyayangi Alycia, melebihi rasa cinta ayahnya. menyembunyikan tangis setiap mendapatiku terbatuk “Yakin saja, Tuhan tidak semakin menambah siksa. parah. Berdoalah, Dolf. Berdoa untuk kesembuhanmu, agar Menurutku, kematian belum waktunya datang. sepeninggalanku hidupmu kembali penuh gairah. Aku Kuminta ibu membawa berpuluh bekas bungkus rokok berharap akan menemukan sosok dirimu pada Fredolin. Ia yang kukoleksi di kamar pribadi. Aku memerintahkan- orang baik. Senyumlah, Dolf. Naah, begitu.’’ nya untuk dipasang berjajar di kamar inap rumah sakit Ah, kata-kata di tulisan itu, kembali terbayang di ini. Itulah masa kejayaanku yang tinggal kenangan. ingatanku. Sesudah itu Alycia tak pernah berkirim Ingin rasannya menyulut sebatang saja dan mengisap- tulisan lagi. nya. Tapi, bagaimana mungkin? Yang kupikirkan sekarang ini adalah bertahan, tapi (Jurong Street, Maret dua tahun berikutnya) sampai kapan? Aku tidak berani berandai. Seperti juga AYAH Alycia di Singapura justru semakin Alycia yang masih mempertahankan tali cinta kami mendekatiku. Hampir setiap minggu ia menjenguk dan antara ada dan tiada. Masing-masing kami kini berjarak memberi semangat ke padaku. beribu-ribu mil jauhnya. “Dolf , kamu tidak akan pernah kehilangan Alycia,’’ Menyadari akan penderitaan tuberkulosis yang luar katanya seperti menyesali. Aku hanya mengangguk. biasa, justru kami tetap bersemangat untuk terus “Kuharap kamu paham bagaimana perasaan orang bertahan. tua sepertiku,’’ katanya dengan terbata. Aku hanya Tidak semua laki-laki akan sekuat diriku atau mengangguk. Fredolin Tan. Keduanya sama-sama menyayangi “Bukan aku bermaksud ingin memisahkan kalian. perempuan yang hidupnya tinggal beberapa saat saja. Aku hanya tidak ingin melihat kalian sama-sama hancur Sadar akan penyakit yang diidapnya, pernah suatu dan kehilangan. Sulit kubayangkan, bagaimana kali Alycia bercerita, ia ingin hidup dengan sesama menyaksikan sebuah jalinan kasih-sayang cuma pengidap tuberkulosis. “Agar rasa sedih dan bahagia berlandaskan rasa senasib-sepenanggungan. Dan bisa dirasakan bersama,’’ katanya. Fredolin Tan mencintai Alycia sejak kecil, aku ingin Itulah sebabnya, kenapa Alycia menyayangiku. memberinya sedikit hak untuk memiliki Alycia.’’

324 325 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 TALI MASA SILAM | Handry TM.

“Boleh kutanya satu hal?’’ sergahku tiba-tiba. Laki- Kujumput serakan kembang, kutabur di atas laki itu pun balik menatapku. makam. Itu terjadi beberapa hari setelah upacara “Apakah Fredolin Tan akan mencintai Alycia pemakaman Alycia di Singapura. berikut penderitaannya?’’ “Suatu saat nanti, akan kualami kejadian yang sama “Sejak kecil aku tahu sifatnya, Dolf.’’ Kuseka peluh seperti yang kini dialami Alycia.’’ di leherku. Lamunan-lamunan itu seperti terkuak “Jangan mendahului kehendak, Dolf. Tuhan lebih kembali. Semuanya seperti sudah tergariskan. Aku tahu saat kapan Ia memanggil kita,’’ tiba-tiba Fredolin harus menerimanya secara lapang, sekalipun ada isak memegang bahuku kuat. Benar-benar ia lelaki s a. tangis yang tertahan. Kedatangan laki-laki tua itu, siang “Jika hidup telah jauh dari harapan, bukankah lebih ini justru ingin mengabarkan, bahwa ia sedang merasa baik segera kita selesaikan?’’ sambungku. gagal. “Tabah. Masih banyak harapan.’’ Aku tergagu. Cita-citanya untuk menyalamatkan Alycia tidak Dadaku semakin terasa nyeri. kesampaian. Apa lagi aku dan Fred, tentu saja sangat Batukku kian menjadi-jadi. Antara sadar dan tidak kehilangan. Jiwa Alycia tidak tertolong, sekalipun sudah sadar, aku merasa Fredolin dan beberapa orang hidup di samping Fredolin. Ayah Alycia seperti sedang membopongku. Sungguh, aku sudah tidak mampu mengalami pertaruhan yang luar biasa besar. bergerak lagi. Ingin rasanya bernyanyi lagu-lagu Berita itu datangnya terlalu mendadak, bahkan tak kesukaan Alycia: “Torn Between to Lovers.’’ Ingin memberiku kesempatan untuk ikut mengantar ke kuteriakkan puisi-puisi yang kutulis untuknya. Tapi pemakaman. Karena Alycia menghembuskan napas mobil telah menderu, melintasi jalanan Orchard yang terakhirnya di Manchester, di samping Fredolin yang ramai. Menuju Mount Elizabeth tidak jauh dari sana. sabar menungguinya di rumah sakit. Ah, benar-benar Dan. Ah, sudah tak paham lagi akan dibawa ke mana. aku merasa ditinggalkan. “Cepat larikan, jasadnya sudah membeku!!!’’ teriak orang-orang di sekitarku, tanpa menggubris perasaanku (Pemakaman Bukit Brown, menjelang siang) ketika itu. “A kekasih terbaik yang dikirimkan Tuhan,’’ kata “Tuhaaaaaaannnnn... !!!! Aku hendak dibawa ke Fredolin Tan dengan nada tertekan. manaaaa????!!!’’ teriakku. “Ia kekasih terbaikku juga sebelum menjadi Kurasa, tak seorang pun mendengarnya. Apakah kekasihmu,’’sambungku cepat. benar-benar aku sudah tiada di antara mereka? 

326 327 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PENSIUN MELAUT | Mawaidi D. Mas Pensiun Melaut

Mawaidi D. Mas Minggu, 13 September 2015

(1) UKA meninggalkan cita-cita besarnya menjadi penulis. Ia melihat ayahnya tengah memasukkanL enam ikat pukat ke dalam sebuah  karung. Lalu memanggulnya. Menuruni undakan bebatuan. Lelaki itu dilihatnya berjalan dengan gagah tanpa menoleh ke belakang. Tanpa mengatakan apa-apa kepada dirinya.

(2) HASRAT ingin mencegah ayahnya berhenti melaut tetap deras mengalir. Salah satu caranya memberikan modal usaha kerupuk ikan dari hasil tabungannya menulis. Uang itu sudah terkumpulkan dalam pikirannya saat ini, dan tahun-tahun sebelum ia lulus kuliah. Luka merasa sudah dewasa. Saatnya untuk meng- ganti posisi ayahnya dari kedua adiknya.

328 329 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PENSIUN MELAUT | Mawaidi D. Mas

Mengingat apa yang terjadi pada dirinya saat ini, ia terpukul. Detik ini ia belum bisa membuat ayahnya pensiun melaut.

(3) “MAU kerja apa saya kalau berhenti melaut?’’ tukas ayahnya. “Bisnis. Bisnis kerupuk. Bisnis rumput laut pasti bisa.’’ Suatu hari, Luka membujuk ayahnya. “Kamu sajalah yang bisnis. Saya tidak bisa berhenti melaut.’’ Luka melihat wajah ayahnya lengkap dengan keputusasaan. Wajah yang kosong. Ketika Luka memandang kembali wajah ayahnya yang ia dapati hanyalah sepotong wajah yang ditengadahkan. Saat- saat yang sulit untuk mengungkapkan perasaan masing-masing. Dan Luka, setelah itu terdorong ingin bertemu ayahnya lagi. Membujuknya sampai mau. Membuat ayahnya pensiun melaut. Warna gelap pada kulit ayahnya sudah cukup ia dapatkan selama puluhan tahun. Kerak kulit di telapak tangannya sangat tebal. Ayahnya pernah mengeluhkan bahwa ia kesulitan membaca Alquran pada malam hari. Luka tahu mata ayahnya sudah hampir rusak. Sinar dan panas matahari telah membakarnya.

(4) ‘’SAYA berencana bangun toko sederhana buat

330 331 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PENSIUN MELAUT | Mawaidi D. Mas ayah. Supaya ayah tidak melaut,’’ kata Luka. ayahnya. Luka terus berpikir keras. Ayah belum paham Ayahnya yang sedang membawa kopi panas bisnis, batin Luka. Bagaimana ia bisa paham menulis? menuju ruang depan. Luka mengikutinya dari belakang. Luka memegang kepalanya. Lalu mencoba berpikir lagi. “Kamu kasih ayah modal saja buat bikin sampan Untuk ukuran seorang nelayan, dari sekian baru.’’ pembendaharaan kata milik Luka, tidak ada lagi kata “Dari mana Luka dapatkan uang sebanyak itu?’’ untuk mewakili profesi menulis. tanya Luka, sebagai sebuah penyangkalan. “Kamu sudah berhenti menulis? Dulu kamu tidak (6) pernah minta uang bulanan selama kuliah. Bisa kan “KATAKAN padaku, selain melaut, pekerjaan apa menulis buku lagi kayak waktu itu?’’ yang ayah suka?’’ tanya Luka. Luka tercengang mendengar perkataan ayahnya. “Tidak ada,’’ jawabnya. Luka diam karena tidak punya bahan obrolan. “Berdagang atau beternak ayam?’’ “Saya tidak telaten dengan yang begituan.’’ (5) “Mengapa tidak merantau ke Jakarta atau ke Bali?’’ AYAHNYA tahu, Luka menulis di koran. Tembok “Saya sudah menggantungkan diri pada laut.’’ kamarnya penuh dengan pigura berisi tulisannya di “Perlahan-lahan itu kan bisa diubah.’’ koran-koran. Luka bilang kepada ayahnya bahwa ia “Saya berhenti melaut, berarti saya telah mendapatkan uang bulanan dari hasil menulis. Setiap membiarkan tujuh orang di sampan menjadi libur Lebaran Luka menunjukkan buku baru kepada pengangguran begitu?’’ ayahnya. Menulis buku juga menghasilkan uang. Ayahnya menganggut-anggut saja. Kalau tidak ada (7) pekerjaan, ayahnya membuka-buka buku itu. LUKA mengumpulkan uang dari hasil menulis, dan Membacanya sampai tuntas. Tidak pernah berkomen- sebagian pinjam kepada seorang temannya yang tar. Ketika ayahnya membaca satu buku, Luka melihat pengusaha. Setelah uang dihitung dan setelah melihat apa yang terjadi pada ayahnya seperti ketika ayahnya uraian harga di komputernya, Luka berangkat ke kota pergi menyelam ke laut. Luka berpikir keras untuk sendirian. Jelang sore keungu-unguan ia datang. Sebuah menjelaskan semuanya kepada ayahnya. Ia tidak mobil pikap dari belakang mengikutinya mengangkut mungkin menerangkan tentang profesi menulis kepada sebuah traktor. Orang-orang yang melihatnya kaget

332 333 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PENSIUN MELAUT | Mawaidi D. Mas melihat benda itu. orang-orang menganggut-anggut ketika suatu saat “Ini namanya traktor, Paman,’’ kata Luka kepada Luka mengajari ayahnya cara memegang traktor. Luka tetangganya yang ikut membantu benda itu diturunkan melakukannya tanpa praktik. Orang-orang terperangah dari pikap. pada metode yang diajarkan Luka kepada ayahnya. “Luka belikan buat Ayah. Pada musim hujan nanti, Pada bagian praktik, Luka membiarkan ayahnya tak perlu repot-repot sapi dikeluarkan dari kandang,’’ menyentuh traktor dan menyalakannya. Semuanya katanya lagi. sesuai dengan metode yang diarahkan Luka. “Ini benda bukannya buat bajak sawah?’’ tanya si Dipegangnya dua setir traktor. Mesin menyala. Gas paman. ditarik. Roda traktor mulai berjalan. Hasilnya, dan Luka menghela napas. Merasa diremehkan dan kejadian ini tidak banyak orang menduganya, dari gigi tidak tahu soal struktur tanah di tegalan dan di sawah. roda traktor itu tidak bagus, tidak maksimal, tidak “Sama saja, Paman. Sawah dan tegalan itu sama seperti yang diinginkan oleh orang-orang yang saja. Sama-sama dibuat untuk menanam, bukan?’’ terperangah sebelumnya. Beberapa pohon-pohon yang “Oh ya ya.’’ Pamannya mengangguk-angguk saja. masih kecil dilindas gigi traktor dan patah. “Kenapa Lelaki paruh baya itu tidak tahu apa-apa. Dia tidak bisa kena lindas pohon itu?’’ tanya ayahnya. tamat sekolah rakyat. Sedang Luka, seperti kebanyakan “Hati-hati jalannya, Ayah.’’ orang tahu, telah jadi Sarjana Sastra. Sebenarnya, ‘’Kalau kita memakai sapi, pohon itu tidak akan pamannya juga tidak tahu, jebolan sarjana begituan ditabraknya.’’ nanti bekerja jadi apa. “Ayo dicoba lagi, Ayah.’’ Ayahnya menggunakan traktor itu dua putaran. (8) Luka melihat ayahnya mematikan mesin traktor itu. MUSIM hujan tiba. Musim yang ditunggu-tunggu Luka mendatangi ayahnya yang bermandikan keringat. oleh banyak orang di kampung Luka. Luka sudah “Saya sudah capai. Kalau tetap mau pakai benda ini, mengajari ayahnya cara menggunakan traktor yang kamu sajalah yang pegang.’’ didapatkan dari internet. Setelah memasrahkan sepenuhnya kepada ayahnya, konsep-konsep tata cara (9) menggunakan, Luka meminta ayahnya langsung TEGALANNYA tidak selesai dibajak. Orang- praktik. Karena Luka seorang mahasiswa, banyak orang bubar setelah melihat cara traktor itu bekerja.

334 335 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PENSIUN MELAUT | Mawaidi D. Mas

Luka memanggil pamannya, memintanya untuk berubah menjadi gelap. Samar-samar suara mesin mengganti ayahnya. Tapi pamannya tidak tahu cara sampan menyala tepat ketika matahari tenggelam di menggunakannya. “Kamu keras kepala. Tahu traktor atas permukaan air. Dan ketika tiba di tengah laut hari itu kayak itu, kamu belikan saja Ayah sampan.’’ sudah sangat gelap. Di daratan tampak lampu-lampu dari rumah-rumah bagaikan tumpukan bintang- (10) bintang dan memanjang. Luka melihat pemandangan LUKA sakit hati dan selama semalam tidak keluar itu teringat dengan suasana di atas bukit yang melihat dari kamarnya. Esok harinya Luka tengah tergesa-gesa lampu-lampu kota dari atas bukit. Ia sangat senang. memakai kaus berlengan panjang, celana panjang, lalu Seperti menemukan masa lalunya semasa kuliah. dilengkapi dengan penutup wajah, semacam pelindung Pukat ditebar dan ditenggelamkan. Sunyi. Di dari agar tidak panas. Ia melihat ayahnya menuruni tengah laut, jika tanpa percakapan para nelayan itu, undakan bebatuan sambil memanggul pukat di dan jika mereka sudah tertidur, di tengah laut itu Luka pundaknya. Lelaki itu dia lihat berjalan dengan gagah merasakan sunyinya sunyi. Sunyi sekali. Lampu-lampu tanpa menoleh ke belakang. Tanpa mengatakan apa- yang memanjang di daratan semakin remang. Langit apa kepada dirinya. “Ayah!’’ teriak Luka. gelap. Lamat-lamat dingin bersamaan dengan sayup- Ayahnya menoleh. sayup angin yang tipis. Kecipak air di perut sampan “Aku ikut melaut.’’ Luka meloncat dari undakan terdengar, juga dengkur para nelayan. rumahnya. Suara yang lantang membuat ayahnya “Cara melaut yang tradisional.’’ Luka lalu menghela berhenti ketika menuruni undakan bebatuan. Luka napas. Pelan dan pelan. bergegas. Kakinya menjejaki turunan yang terbuat dari batu-batu yang diambil dari tengah laut. Girang bukan (12) kepalang dibuatnya. Luka sangat girang karena ayahnya SEBELUM gelap hilang di tengah lautan, ayah tidak menolak keinginannya untuk melaut. Tak peduli Luka berteriak setelah matanya menangkap sesuatu nanti apa kata orang kalau seorang sarjana bekerja mengambang di atas air. Lelaki itu melompat dan sebagai pelaut. melejitkan tubuhnya di atas air. Para nelayan yang lain terbangun dan melihat ayah Luka hampir mendapatkan (11) benda yang mengambang itu. Lelaki itu, yang berenang SORE itu Luka ikut ayahnya, sore yang hampir dengan kekuatan super-cepat, yang jantung-jantungnya

336 337 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 LELAKI SAMPAN | Yuditeha ditahan kuat-kuat, hampir saja mendapatkan benda itu. Tapi ombak melemparnya lagi, yang bergulung- gulung dan menyeretnya lebih jauh. Lelaki itu terus Lelaki Sampan berkelahi dengan ombak, yang tubuhnya memiring ke kiri dan ke kanan, kemudian menembus gulungan ombak dalam keremangan, hampir mencapai benda yang mulai dikenalinya sebagai sosok mayat. Lelaki itu Yuditeha terus menerjang ombak, melawannya tanpa menyerah. Minggu, 20 September 2015 Usaha lelaki itu tidak sia-sia. Ia mengenal baju mayat itu, lalu tubuh, lalu wajahnya. Ia pelototkan matanya lagi sekalipun perih; baju mayat itu, tubuh mayat itu, ULU aku telah bercerita pada kalian kisah dan wajah mayat itu. Lelaki itu menoleh ke atas sampan tentang lelaki pemarah. Dia mudah sekali untuk memastikan keraguannya. Ia menoleh berkali- marah.D Jika marah, matanya jadi merah dan bola kali dan terus memastikan dengan matanya yang matanya tampak seperti kelereng yang mencari-cari. Ia lihat tubuh yang diayun-ayun air di membara. Tak banyak kata yang diucapkan, depannya itu. tapi sekali bicara akan terdengar seperti mantra “Lukaaaaaaaa!’’  teluh. Menyengsarakan. Dulu aku juga pernah cerita tentang lelaki Papringan, 20 Agustus 2015 pendusta. Dapat diibaratkan lidahnya bercaba- ng. Pandai mengelabuhi. Setiapkali dia bicara, tak pernah ada yang sanggup mendebatnya lalu tunduk pada dusta maut yang dia ciptakan. Sebenarnya dua lelaki yang kuceritakan itu orang yang sama. Lelaki yang punya perangai buruk. Namun meski begitu dengan modal ketampanan dan kekayaannya dia mudah memikat perempuan. Meski mudah marah dan suka berdusta tapi dia pandai merayu. Saat dia

338 339 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 LELAKI SAMPAN | Yuditeha

menjumpai perempuan yang disukainya, dia akan merayu perempuan itu. Tak membutuhkan waktu lama perempuan itu akan jatuh dalam pelukannya dan jika dia sudah bosan, perempuan itu akan dicampakkan begitu saja. Lelaki itu sering melakukan perjalanan untuk berdagang permata dengan sampan kecil. Meski sampannya kecil tapi sangat kuat. Sampan itu tak mempan oleh gempuran ombak sebesar apa pun. Bahkan dia sendiri juga punya kesaktian. Kata orang yang pernah berjumpa dengannya, tubuh lelaki itu tak dapat ditembus dengan belati atau peluru. Kabarnya, kekuatan itu didapat dari persekutuannya dengan iblis. Karena itulah dia tak pernah takut mengarungi hamparan laut lepas sendirian. Di setiap perjalanannya itu dia selalu singgah di pelabuhan yang dia lewati. Selain untuk memasarkan permatanya tentu saja dia juga ingin memikat perempuan dari daerah itu. Kekayaan dan ketampanannya itulah yang dijadikan daya tarik untuk memikat para perempuan. Tentu saja keahlian merayunya jadi pelengkapnya. Suatu kali lelaki itu mendengar desas-desus kalau duda kaya, pengusaha permata yang selama ini dikenal sebagai bapaknya bukan orang tua kandungnya. Kabarnya bapaknya membeli dirinya dari seorang penculik anak. Dan penculik itu mendapatkannya sewaktu lelaki itu dilahirkan di sebuah rumah sakit Metropolitan. Kalau kabar itu benar, jadi sebuah hal

340 341 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 LELAKI SAMPAN | Yuditeha yang lumrah jika lelaki itu akhirnya berperangai begitu. tak tertarik. Hidup di lingkup kejahatan tentu saja akan ada “Apa untungnya bagi saya jika saya mau dengan pengaruhnya, bukan? Dan apakah benar, sentuhan Tuan?” Begitu pertanyaan yang justru terlontar dari tangan dari seorang ibu memang mutlak diperlukan bibir aduhai Sembadra. untuk membentuk karakter seorang anak? Jika hal ini “Tentu saja kau akan jadi kaya!” jawab lelaki. benar, maka beralasan kenapa lelaki itu akhirnya “Hal itu tak membuatku tertarik,” kata Sembadra tumbuh jadi sosok yang cenderung tidak menghargai datar. pribadi perempuan. Hal itu dikarenakan masa lalunya “Lalu kau ingin apa?” tanya lelaki agak meninggi tidak pernah mengenal sentuhan tangan perempuan, suaranya. yaitu ibu. Dan jika ada kesempatan dia dipertemukan “Saya tidak ingin apa-apa. Saya hanya sekedar dengan ibunya, akankah ibunya akan mampu bertanya begitu,” jawab Sembadra. memperbaiki perangainya? “Aku ingin menikahimu,” kata lelaki itu kemudian. Tentu saja tidak semua perempuan mau “Urungkan saja niat Tuan. Saya tidak mau,” jawab diperlakukan seperti itu olehnya. Sebenarnya banyak Sembadra tegas. perempuan yang dapat memandang sesuatu bukan “Aku belum pernah menjanjikan pernikahan pada hanya dari luarnya. Banyak perempuan yang telah perempuan mana pun dan dengan begitu saja mereka diiming-imingi kemewahan dan keindahan tapi sudah mau kepadaku. Sedangkan kepadamu, aku menolaknya, terlebih jika semua yang ditawarkan itu menjanjikan itu, tapi kau justru menolakku,” kata-kata hanya berarti di permukaaanya saja. Perempuan jenis lelaki itu dengan mata merah. Bola matanya mulai begini akan lebih memilih hidup bersahaja dengan menampakkan seperti kelereng yang membara. keyakinan bahwa dengan itu akan menemukan “Jangan samakan aku dengan mereka,” sahut kebahagiaan. Dan salah satu perempuan itu bernama Sembadra tetap dengan nada datar. Sembadra, seorang perempuan ayu yang berasal dari “Aku tidak terima. Boleh saja kau tak dapat kumiliki daerah pesisir selatan. tapi kau harus mati!” kata lelaki itu sembari menikam Lelaki sampan itu berjumpa dengan Sembadra perempuan itu dengan belati. Belati yang sebelumnya waktu dia singgah di salah satu pelabuhan di pantai secara diam-diam dia ambil dari dalam tasnya. Dan selatan. Sewaktu lelaki itu merayu Sembadra, sembari Sembadra tak menyadari semua itu. Sembadra tertusuk memberi beberapa permatanya, Sembadra sama sekali belati persis di jantungnya. Seketika Sembadra roboh.

342 343 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 LELAKI SAMPAN | Yuditeha

Sebelum lelaki itu mencabut belati itu dari tubuhnya, pohon yang kabarnya mencerminkan lambang Sembadra sempat berkata-kata. kejujuran. Dan lelaki itu sedang berkeliling di daerah “Kelak Tuan akan benar-benar jatuh cinta pada itu karena hendak membeli rumah. Pada akhirnya dia perempuan bersahaja. Dan jiwa Tuan akan sengsara memang membeli rumah di sana. Belum jelas, olehnya.” Setelah mengatakan begitu Sembadra gugur. keputusan cepat itu karena dia memang tertarik dengan rumahnya atau karena sebelumnya dia melihat CERITA itu memang belum selesai. Dan kini, aku perempuan itu. Tapi yang pasti akhirnya dia memang akan cerita kepadamu tentang lelaki pemurung. Hari- berhasrat mendekatinya. harinya selalu dilalui dengan kemurungan. Hatinya terus Mungkin lelaki itu telah belajar dari kesalahan yang gundah gulana. Apakah lelaki ini juga orang yang sama? dulu makanya saat menghadapi perempuan itu dia Benar, lelaki ini memang lelaki pemarah dan pendusta menggunakan kata-kata yang sopan dan halus. itu. Lelaki yang suka berkelana dengan sampan dan Perempuan itu terkesima dan sepertinya juga tertarik selalu singgah di setiap pelabuhan yang dia lewati. Lelaki dengannya. Dari waktu ke waktu semakin rekat yang sangat tangguh karena hanya dengan sampan hubungan mereka, sampai suatu hari tiba-tiba sikap kecil dia mampu mengarungi ganasnya laut. Tapi kini perempuan itu berubah. Memang tetap bersikap baik tidak dia lakukan lagi. Lelaki itu sekarang jadi lelaki tapi sekarang agak menjaga jarak. Lelaki itu heran. Lalu pemurung. Kemurungan itu terjadi setelah dirinya dia berpikir kalau sikap perempuan itu berubah karena berjumpa dengan perempuan bersahaja yang mampu dia tidak segera melamarnya. Akhirnya dengan memikat dirinya. Dia bukan sekedar terpikat seperti kesungguhan hati lelaki itu melamarnya. Tak pernah pada perempuan-perempuan sebelumnya. Kepada dia sangka, perempuan itu ternyata mengajukan syarat. perempuan-perempuan yang dulu, dia hanya terpikat “Buatkan aku sebuah sampan yang besarnya dan sebatas pada pesona fisik. Dia hanya terbawa hawa ketangguhannya sepuluh kali lipat dari sampanmu. Dan napsu birahinya. Tapi terhadap perempuan ini, dia sampan itu harus jadi dalam sehari semalam,” kata benar-benar terpikat. Lelaki itu jatuh cinta terhadapnya. perempuan itu dengan manja. Pertamakali dia melihat perempuan itu di sebuah Lelaki itu kaget, dan berkata, “Itu permintaan yang teras salah satu rumah yang ada di perumahan elit tidak masuk akal.” daerah Bandung. Rumah satu-satunya di perumahan “Kamu sanggup atau tidak?” tanya perempuan itu. itu yang di halamannya terdapat pohon manggis, Lelaki itu berpikir sejenak, setelah itu bilang

344 345 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 LELAKI SAMPAN | Yuditeha sanggup. “Tapi untuk apa sampan sebesar itu?” tanya “Tidak apa-apa,” jawab perempuan itu sembari lelaki itu kemudian. menggelengkan kepalanya pelan. “Keliling dunia bersamamu,” jawab perempuan itu tambah manja. APAKAH kalian ingin tahu bagaimana kisah kelanjutan tentang syarat sampan itu? Inilah dia. OYA, aku perlu mengatakan hal ini dulu, ada kabar Dengan bantuan iblis, lelaki itu mulai membuat sampan yang mengungkap penyebab mengapa sikap itu. Dan celakanya, ketika matahari fajar menyingsing, perempuan itu dulu berubah. Kabarnya perubahan itu sampan pesanan perempuan itu belum selesai. Hanya dimulai selepas perjamuan makan di keluarga besar lelaki kurang satu papan kayu yang belum terpasang. itu. Setelah acara perjamuan makan selesai, mereka “Kamu gagal mewujudkan permintaanku. Itu bercengkerama di taman samping rumah. Duduk artinya kita tak jadi menikah,” kata perempuan cantik mereka sangat berdekatan dan mereka berbincang itu. mesra di sana. Tiba-tiba mata lelaki itu memerah. Bola matanya “Kenapa kamu selalu menali rambutmu dengan tampak seperti kelereng yang membara. “Kamu sengaja pita ungu?” Saat lelaki itu bertanya begitu, perempuan menggagalkannya!” katanya dengan suara meninggi. itu tidak konsen dengan pertanyaannya karena dia “Memang,” jawab perempuan itu singkat. sedang memperhatikan sesuatu yang aneh ada di “Kenapa?” tanya lelaki itu geram. pangkal lidah lelaki itu. “Tuhan telah memberi pertanda kepadaku agar aib “Di pangkal lidahmu masih ada sisa makanan,” ini tidak terjadi. Aku yakin, hanya anakkulah yang punya kata perempuan itu. tanda lahir di pangkal lidah. Dan asal kamu tahu, dulu Lelaki itu spontan tertawa lirih. “Ini bukan sisa aku menamaimu Sangkuriang.” makanan tapi tanda lahir. Aku punya tanda lahir di Lelaki itu marah besar. Sampan raksasa itu ditenda- situ,” kata lelaki itu sebelum dia menjulurkan lidahnya ngnya hingga terbalik. Sejak saat itulah dia jadi lelaki bermaksud menunjukkannya. pemurung dan suka duduk termangu sendiri di atas Melihat tanda lahir itu dan mendengar sampan terbalik itu sampai datang waktu ajalnya.  penjelasannya, perempuan itu langsung gugup lalu terdiam sejenak. “Ada apa?” tanya lelaki itu.

346 347 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MENGAPA KALIAN TIDAK BERDANSA? | Raymond Carver Mengapa Kalian Tidak Berdansa? Raymond Carver Minggu, 27 September 2015

I dapur ia menuang lagi minuman dan menatap ranjang besar di halaman depan rumahnya.D Kasurnya telanjang dan seprai bergaris-garis terkulai di samping dua bantal di  atas meja rias. Selain itu, benda-benda lainnya tampak seperti posisi semula di ruang tidur— meja dan lampu baca di samping ranjang di sisinya, meja dan lampu baca di samping ranjang di sisi istrinya. Sisinya, sisi istrinya. Dia merenungkan ini sambil menyesap wiski. Meja rias itu terpacak beberapa kaki dari kaki ranjang. Dia telah mengosongkan laci- lacinya ke dalam kardus-kardus pagi itu yang kini teronggok di ruang tamu. Sebuah pemanas air mungil tergeletak di dekat meja rias. Satu kursi rotan dengan bantal hiasan berdiri di kaki ranjang. Seperangkat lemari dan meja dapur aluminium menduduki sebagian jalan masuk

348 349 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MENGAPA KALIAN TIDAK BERDANSA? | Raymond Carver

halaman. Sehelai kain muslin kuning, yang kebesaran— hadiah dari seseorang—menyelubungi meja dan ujung- ujungnya terkulai menggantung di sisi-sisi meja. Sebuah tanaman tak berbunga ditaruh di dalam vas di atas meja. Beberapa kaki dari meja ini berdiri sebuah sofa dan kursi dan satu lampu sudut. Meja tergeletak di sudut dekat pintu garasi. Segelintir perkakas berada di atas meja itu bersama sebuah jam dinding dan dua pigura. Di jalur keluar mobil juga terdapat sebuah kardus berisi cangkir-cangkir, sejumlah gelas, serta piring-piring yang masing-masing dibungkus koran. Pagi itu ia telah mengosongkan tempat penyimpanan barang-barang. Selain tiga kardus di ruang tamu, semua barang telah dikeluarkan dari dalam rumah. Dia mencolokkan gulungan kabel yang terhubung hingga ke luar sana dan semua perangkat elektronik terhubung pada benda itu. Semua perangkat itu berfungsi, tak beda dengan saat mereka berada di dalam rumah. Sesekali sebuah mobil melambat dan orang-orang menatap. Tapi tak satu pun berhenti. Yang satu ini pun tampaknya tak akan berhenti. “Tampaknya sedang ada bazar barang bekas,’’ kata si cewek di dalam mobil kepada si cowok yang menyetir. Pasangan cewek dan cowok ini sedang melengkapi perabotan di apartemen mungil mereka. “Ayo kita lihat berapa harga yang mereka minta untuk ranjang itu,’’ kata si cewek. “Dan buat TV itu,’’ ujar si cowok. Si cowok

350 351 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MENGAPA KALIAN TIDAK BERDANSA? | Raymond Carver memasukkan mobil ke halaman dan berhenti di depan tangannya di wajah si cowok. meja dapur. Mereka turun dari mobil dan melihat-lihat “Cium aku,’’ kata si cewek. barang. Si cewek menyentuh kain muslin, si cowok “Ayo bangun,’’ tukas si cowok. mencolokkan kabel blender dan menekan tombolnya. “Cium dulu,’’ ujar sicewek. Si cewek meraih penggorengan, si cowok menyalakan Dia memjamkan mata dan memeluk si cowok. Si televisi. cowok menukas, ‘’Aku akan memeriksa apakah ada Si cowok lalu duduk di atas sofa seraya menonton orang di dalam rumah.’’ televisi. Sebatang rokok dia sulut, menatap berkeliling, Tapi dia hanya bangkit duduk dan tetap diam di lalu melemparkan korek bekas ke rerumputan. situ, seakan-akan sedang menonton televisi. Lampu- Si cewek duduk di atas ranjang. Dia melepaskan lampu menyala di rumah-rumah sekitar situ dan di sepatunya lalu berbaring. Dia seakan-akan melihat jalanan. sebuah bintang. “Tidakkah lucu jika...,’’ si cewek menyeringai, tapi “Sini, Jack. Cobalah ranjang ini. Bawa salah satu tak menyelesaikan kalimatnya. bantal itu,’’ ujarnya. Si cowok tertawa, tapi tanpa alasan yang jelas. “Bagaimana rasanya?’’ tanya si cowok. Tanpa alasan pula ia menyalakan lampu baca. “Cobalah,’’ sahut si cewek. Si cewek menghalau seekor nyamuk sementara si Si cowok melihat berkeliling. Rumah itu gelap. cowok bangkit berdiri dan merapikan kemejanya.’ “Aku merasa lucu,’’ kata si cowok. “Aku akan memeriksa apakah ada orang di dalam “Lebih baik memastikan apakah ada yang punya rumah,’’ ujarnya. rumah.’’ “Tampaknya sih kosong. Tapi kalau ada orang, aku Si cewek melambung-lambungkan tubuhnya di atas akan menanyakan apa yang sedang terjadi di sini.’’ ranjang. “Berapa pun harga yang mereka minta, tawarlah “Cobalah dulu ranjang ini,’’ ujarnya.’ sepuluh dolar lebih rendah. Biasanya begitu,’’ ujar si Si cowok berbaring di atas ranjang dan menaruh cewek. bantal di bawah kepalanya. “Lagi pula, mereka barangkali sedangn putus asa “Bagaimana rasanya?’’ tanya si cewek. atau semacamnya.’’ “Keras,’’ katanya. “TV ini bagus,’’ sahut si cowok. Si cewek memiringkan tubuh dan meletakkan “Tanyakan berapa harganya,’’ timpal si cewek.

352 353 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MENGAPA KALIAN TIDAK BERDANSA? | Raymond Carver

Si lelaki muncul dari arah samping rumah dengan “Baiklah. Lima belas,’’ sahut si lelaki. Si cewek membawa bungkusan. Dia baru membeli roti, bir, dan menatap si cowok. wiski. Ia melihat sebuah mobil di halaman dan si cewek “Kalau kalian mau minum, ada gelas di dalam di atas ranjang. Ia juga melihat televisi menyala dan si kardus,’’ kata si lelaki. cowok di beranda rumah. “Aku mau duduk di sofa.’’ “Hai,’’ sapa lelaki itu kepada si cewek. ‘’Kamu sudah Si lelaki duduk di sofa, bersandar, dan menatap si mencoba ranjangnya. Nyaman, kan?’’ cewek dan si cowok. Si cowok mengambil dua buah “Hai,’’ ujar si cewek seraya bangkit. gelas dan menuangkan wiski. “Saya hanya mencoba-coba.’’ Dia menepuk-nepuk “Cukup,’’ ujar si gadis. ‘’Aku mau wiskinya dicampur ranjang itu. air putih.’’ Dia menarik sebuah kursi dan duduk di muka “Ranjang yang bagus.’’ meja. “Ya, ranjang yang bagus,’’ sahut si lelaki seraya “Ada air minum di wadah air sebelah sana,’’ kata si menaruh kantung belanjaannya lalu mengeluarkan botol lelaki. bir dan wiski. “Nyalakan saja.’’ “Tadinya kami kira tak ada orang,’’ kata si cowok Si cowok kembali dengan membawa wiski campur menimbrung. air. Ia berdeham dan duduk di muka meja. Ia “Kami tertarik membeli ranjang ini dan mungkin menyeringai. Tapi ia tak minum sedikit pun. Si lelaki TV. Barangkali juga bufet itu. Berapa harga ranjang menatap sekilas ke televisi. Ia menghabiskan minuman- ini?’’ nya lalu mengisi lagi gelasnya. Ia menjulurkan tangan “Mungkin lima puluh dolar saja,’’ kata si lelaki. untuk menyalakan lampu sudut. Saat itulah rokoknya “Bagaimana kalau empat puluh?’’ tawar si cewek. terlepas dari jepitan jemarinya dan jatuh di antara “Bolehlah,’’ sahut si lelaki. bantal-bantal sofa. Si cewek bangkit untuk Ia mengeluarkan sebuah gelas karton. menolongnya mengambil rokok itu. Ia lepaskan koran yang membungkus gelas itu lalu “Mau yang mana lagi?’’ tanya si cowok kepada si membuka tutup botol wiski. cewek. “Kalau TV berapa?’’ tanya si cowok. Si cowok mengeluarkan buku cek dan menggigitnya “Dua lima.’’ seraya berpikir. “Boleh lima belas?’’ tanya si cewek. “Aku mau bufet itu,’’ kata si cewek.

354 355 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MENGAPA KALIAN TIDAK BERDANSA? | Raymond Carver

“Berapa harganya?’’ “Boleh,’’ sahut si lelaki. Si lelaki mengibaskan tangan. ‘’Berapa maunya?’’ Mereka minum dan mendengarkan musik. Lalu si katanya. lelaki mengganti piringan hitam. Mengapa kalian tidak Ia menatap mereka yang tengah duduk di muka berdansa, Nak? Ia memutuskan akan mengatakan hal meja. Dalam cahaya lampu ada sesuatu dalam wajah itu dan kemudian benar-benar mengucapkannya. mereka. Tampak baik atau mungkin tampak licik. Sukar “Mengapa kalian tidak berdansa?’’ ditebak. “Ah, tidak,’’ sahut si cowok. “Aku akan mematikan TV dan menyalakan musik,’’ “Ayolah,’’ ujar si lelaki. ‘’Ini halaman rumahku. ujarnya. “Pemutar piringan hitam ini masih berfungsi. Kalian boleh berdansa kalau mau.’’ Murah. Tawar saja.’’ Ia menuangkan lagi wiski dan Dengan lengan berpelukan, tubuh bersentuhan, si membuka botol bir. cowok dan si cewek bergerak maju mundur di halaman “Semuanya dijual,’’ ujar si lelaki. Si cewek memegang itu. Mereka berdansa. Ketika musik berhenti berputar, gelas dan si lelaki menuangkan minuman. mereka berdansa sekali lagi. “Terima kasih,’’ kata si cewek. “Anda baik sekali,’’ Lalu si cowok berkata, ‘’Aku mabuk.’’ Si cewek tambahnya. menukas, “Ini bisa bikin teler,’’ ujar si cowok. Ia mengangkat “Kamu tidak mabuk.’’ gelasnya dan menggoyang-goyangkannya. “Aku mabuk,’’ kata si cowok. Si lelaki memutar Si lelaki menenggak habis minumannya lalu mengisi lagi piringan hitam dan si cowok berkata, ‘’Aku mabuk.’’ lagi gelasnya. Lalu dia mengambil kardus berisi piringan ‘’Berdansalah denganku,î kata si cewek kepada si hitam. cowok, lalu kepada si lelaki. Ketika si lelaki bangkit dari “Pilihlah,’’ ujar si lelaki kepada si cewek seraya duduknya, si cewek menghampirinya dengan lengan menyodorkan kardus berisi piringan hitam itu terkembang. kepadanya. Si cowok menulisi cek. “Orang-orang di sana itu menonton kita,’’ ujar si “Ini,’’ ujar si cewek, memilih secara acak, karena cewek. dia tak mengenal nama-nama di label piringan hitam “Tak apa-apa,’’ kata si lelaki. ‘’Ini tempatku,’’ itu. Dia bangkit sejenak lalu duduk lagi. Dia agak pegal. ujarnya. “Saya pakai cek, tak cukup uang tunai,’’ kata si “Biar saja mereka menonton,’’ kata si cewek. cowok. “Betul,’’ ujar si lelaki.

356 357 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MAYAT ITU TERGELETAK DI TENGAH JALAN | Umar Affiq “Mereka mengira mereka telah melihat segala yang ada di sini. Tapi mereka belum melihat ini, kan?’’ Ia merasakan dengus napas gadis itu di lehernya. Mayat Itu Tergeletak di Tengah “Kuharap kamu menyukai ranjangmu,’’ katanya. Si cewek memejamkan mata lalu mengerjap Jalan membuka mata. Dia menyurukkan wajahnya ke bahu si lelaki. Diraihnya lelaki itu lebih dekat ke tubuhnya. Umar Affiq “Anda pasti sedang putus asa atau yang semacam Minggu, 04 Oktober 2015 itu,’’ kata si cewek. Beberapa minggu kemudian, gadis itu berkata, “Lelaki itu berumur separuh baya. Semua harta AYAT itu tergeletak di tengah jalan. bendanya ada di halaman itu. Sungguh. Kami mabuk Telentang dan telanjang. Mirip mayat dan berdansa. Di halaman. Ya, Tuhan. Jangan tertawa. JacquesM yang melambangkan virtuvian man Ia memutarkan kami musik dari piringan hitam. dalam lukisan Da Vinci. Tapi mayat ini berbeda. Lihatlah pemutar piringan hitam ini. Lelaki itu Tak ada simbol-simbol di tubuh atau di memberikannya kepada kami dengan seluruh piringan sekelilingnya. Hanya satu hal yang bisa menjadi hitam tua ini. Kamu mau lihat?’’ titik terang kematiannya, sebuah gergaji yang Dia terus berceloteh. Dia mengatakan semua itu kemungkinan usai merobek leher serta kepada semua orang. Sebenarnya ada hal lain yang ingin mengalirkan darahnya. dia coba ungkapkan. Namun, setelah beberapa waktu, Suman menemukan mayat itu ketika ia dia tak pernah berhasil mengatakannya. Maka dia pun hendak ke kali untuk mandi. Sontak saja ia kaget berhenti mencoba.  melihat aliran merah kehitaman di atas rerumputan dan tanah di jalan setapak menuju kali. Ia semakin tercekat saat melihat pangkal Cerita ini diterjemahkan Anton Kurnia dari Why Don’t You aliran darah itu: leher seonggok mayat. Tanpa Dance? dalam kumpulan cerita What We Talk About When We pikir panjang, masih dengan mengenakan Talk About Love. celana komprang dan telanjang dada, Suman berlari menuju perumahan desa.

358 359 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MAYAT ITU TERGELETAK DI TENGAH JALAN | Umar Affiq “Ada mayat di jalan menuju kali!’’ begitu teriaknya berkali-kali. Orang-orang desa berhamburan keluar, mengekori punggung Suman yang menuju tempat ditemukannya mayat itu. Di sana, mereka menaruh berbagai ekspresi di wajah masing-masing. Beberapa orang yang memiliki nyali mencoba mengamati wajah mayat itu lebih dekat dan mengenali siapa mayat itu. “Kang Salim! Ini Kang Salim suami Salamah!’’ kata seorang bapak. “Benar, ini Kang Salim. Ada tahi lalat di pipi kirinya,’’ tambah yang lain. “Betul. Saya juga kenal dengan tanda lahir di lengan kirinya itu. Itu Kang Salim!’’ timpal yang lain lagi. Keriuhan kembali membahana. Dan, tak lama, datang seorang perempuan dengan deraian air mata dan isakan pilunya menyibak kerumunan orang-orang. Dialah Salamah, istri Salim, yang pada saat melihat mayat suaminya langsung pingsan. Kang Salim, orang-orang desa mengenalnya sebagai orang yang paling giat mengajak warga menolak didirikannya pabrik semen dua kilo meter di selatan desa. Orang-orang juga mengenalnya sebagai pribadi yang baik, santun, bersahaja dan gampang berkawan. Itu pula yang membuat orang-orang tergerak mendukungnya melakukan aksi penolakan pendirian pabrik. Namun, walau bagaimana pun, usahanya melawan perusakan alam itu memiliki banyak

360 361 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MAYAT ITU TERGELETAK DI TENGAH JALAN | Umar Affiq lawan dan sedikit kawan. Bahkan, kepala desa sendiri Tapi, melihat kepribadian Suman yang baik kepada pernah mengadang langkah juang mereka. Desas-desus siapa pun, rasa-rasanya tak pantas menaruh curiga dan tumbuh di antara kerumunan. Prasangka demi prasang- prasangaka bahwa dialah pembunuh Kang Salim. ka tentang siapa pembunuh Kang Salim bermunculan. “Saya baru pulang bekerja dan berniat untuk Ada yang menggunjing bahwa Suman pelakunya. Ada pulang kampung. Istri saya mau melahirkan, kata ibu pula yang menggunjing bahwa Kang Salim meregang mertua saya. Jadi, saya segera menuju kali untuk mandi. nyawa di tangan tukang begal, atau preman bayaran, dan di perjalanan itulah saya melihat aliran darah yang atau bunuh diri. Namun, yang paling menarik sorot berpangkal pada mayat Kang Salim. Kemudian, seperti mata adalah apa yang dikatakan Mbah Samin—lelaki yang saudara-saudara saksikan, saya berlari ketakutan tua yang lebih dikenal sebagai cenayang. dan memberitahu adanya mayat ditengah jalan menuju “Sebenarnya, aku sudah mendapatkan wangsit tiga kali. Kalian tahu sendiri, saya bahkan belum sempat hari lalu, akan ada mayat mati tak wajar di desa ini. mandi sampai sekarang,’’ aku Suman. Tapi, aku tak tahu benar siapa pembunuhnya.’’ Memang benar, Suman bahkan tak sempat mandi. Ganjil! Sungguh ganjil. Bagaimana mungkin sese- Mungkin karena saking takut dan kagetnya. Dan dari orang bisa meramalkan kematian? Bukankah kematian hal itu, cukup janggal bila mencurigai Suman sebagai adalah rahasia di genggaman Tuhan? Dan dari kata- pembunuh atau akal pembunuhan mengingat dia juga katanya, “Aku tak tahu benar siapa pembunuhnya.’’, memiliki hubungan yang baik dengan semua warga tentu justru dia tahu siapa pembunuhnya. Tapi baiklah, desa. Tapi, bukankah di zaman edan seperti ini, orang- mari kita telisik siapa pembunuhnya. orang yang terlihat baik justru adalah orang-orang bandit? Sama halnya dengan koruptor yang bicaranya Selidik Satu: Suman santun dan berwajah ramah, namun kenyataanya DIA lelaki pendatang yang baru dua bulanan mereka copet! Entahlah, rasanya semua orang patut tinggal indekos di salah satu rumah penduduk desa dicurigai. ini. Kedatangannya di desa tak lain adalah untuk bekerja di bagian kelistrikan pada pabrik semen di selatan desa. Selidik Dua: Bunuh Diri Suman tahu, tempat dia tinggal adalah sarang pejuang KEMUNGKINAN ini sangat kecil sekali. Kang perlawanan perusakan alam, pabrik tempat di mana Salim, selain baik kepada orang, dia juga orang taat dia bekerja. pada Tuhan. Sangat kecil kemungkinan jika dia sampai

362 363 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MAYAT ITU TERGELETAK DI TENGAH JALAN | Umar Affiq hati melakukan perbuatan keji menzalimi diri sendiri suaminya sendiri. dengan bunuh diri. Lalu, jika memang benar dia bunuh Jadi, kemungkinan bahwa Kang Salim mati bunuh diri, tentu ada sebabnya. Tapi apa? Apakah motif diri, rasanya urung menjadi selidik atas kematiannya. bunuh dirinya seperti kasus di Lamongan: seorang lelaki Atau, ada hal lain yang sengaja disembunyikan keluarga bunuh diri dengan menggergaji lehernya karena tak miskin itu? Ah, pandangan seperti itu saya rasa terlalu mampu membayar utang? mengada-ada. Salamah bilang, meski miskin dia dan suaminya merasa pantang untuk berutang. Sebab utang akan Selidik Tiga: Tukang Begal dan Preman menimbulkan kecanduan. Dia juga mengaku bahwa Bayaran tak pernah ada selisih antara dirinya dengan suaminya. TENTU kecurigaan yang satu ini sangat mungkin Rumah tangga mereka baik-baik saja karena Salamah terjadi mengingat belakangan ini sering terjadi kasus tak pernah meminta banyak pada suaminya seperti istri- pembegalan yang tak jarang menelan nyawa korban. istri tetangga. Tapi coba kita berpikir lebih jernih lagi. Kang Salim, “Bisa makan saja sudah alhamdulilah,’’ kata Salamah dia orang yang tak kaya bahkan bisa dikatakan miskin. masih terisak. Bertahun-tahun lalu, ia sering mengantre di kantor pos Atau, mungkin saja Kang Salim bunuh diri karena untuk mendapatkan be-el-te. Lalu, apa yang mau dibegal belum juga memiliki anak? Mereka memang tak dari orang semiskin dia? Jika mengira preman bayaran mempunyai anak. Tapi prasangka bahwa korban bunuh adalah pembunuhnya, rasanya cukup mungkin karena diri karena tak memiliki anak rasanya sangat tak memang itu bidang mereka. Tapi di desa bahkan kota mungkin. Perihal memiliki anak, bukankah soal anak- ini sudah tak ada yang namanya preman. Preman- beranak itu masalah kaum perempuan? Jelas ini tak preman di kota ini telah berhijrah ke luar kota untuk mungkin dipikirkan oleh Kang Salim yang notabene mengikuti syuting film pertobatan kaum preman. lelaki perkasa yang bahan berani memimpin perlawanan Mungkin, bisa saja preman dari kota tetangga yang terhadap perusakan alam oleh pabrik semen! dibayar untuk membunuh Kang Salim. Lalu, siapa yang Istrinya, Salamah, dia mengaku dirinya tak pernah membayarnya dan untuk apa? Apa yang bisa menuntut untuk diberikan anak. Karena Salamah tahu, diharapkan dari orang kecil macam Kang Salim? Kang Salimlah yang mandul. Meminta anak kepada Baiklah, saya terima selidik kalian semua. Anggap suaminya tentu seperti membeberkan aib di hadapan saja pabrik semen yang membayar preman itu untuk

364 365 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MAYAT ITU TERGELETAK DI TENGAH JALAN | Umar Affiq membungkam mulut Kang Salim berikut antek- mungkin bila dia melalui ilmu sesatnya itu menghipnosis anteknya dalam usaha menentang pendirian pabrik. Kang Salim agar bunuh diri. Tapi buat apa? Toh, tanpa membungkam krucil-krucil Apa kalian bilang? Untuk apa? Ya. Siapa tahu dukun macam Salim dan antek-anteknya itu, pabrik semen tengik itu punya dendam mendalam pada Salim. juga bisa berdiri tanpa halangan. Misalnya Salim merebut Salamah dari tangan dukun Lalu apa lagi? Soal tanah penduduk desa yang tak Samin. Bisa saja bukan?! Tunggu, tunggu, apa yang mau dibeli? Ah, sepertinya itu perkara sepele. Selagi sebenarnya kalian gunjingkan? uang bisa bicara, manusia bisa bisu seketika. Toh, Saya? Apakah kalian mau mencurigai saya? Silakan. gubernur mereka juga telah teken kontrak persetujuan Kalian tahu sendiri, saya hanya kepala desa yang pendirian pabrik semen itu. Apa yang bisa mereka merangkap sebagai juru cerita di sini. Benar. Juru cerita! lakukan kalau pemerintah yang mendekengi pabrik itu? Dengan menjadi juru cerita, saya bisa menentukan Apakah mereka akan demo? Hahaha. posisi saya sebagai apa saja dan siapa pelakunya. Saya Kalian tahu sendiri, bukan? Para mahasiswa yang bisa membelokkan cerita ini kalau saya mau. Urusan mulutnya lebar kemarin itu, mereka yang berniat saya hanya pada cerita ini, bukan pada mayat Salim memberontak dan mengudeta presiden itu akhirnya yang tergeletak di tengah jalan. Bukan! Sekali lagi saya pulang dengan air mata. Tak ada satu media pun yang katakan, saya hanyalah juru cerita. Titik!  mau meliput demonstrasi mereka. Itu mahasiswa! Mahasiswa yang konon punya pemikiran cerdas. Yang Tuban, 30 September 2015 punya uang untuk membela rakyat jelata. Tapi, ketika mereka dibujuk dengan perjamuan malam, toh kepala mereka menjadi dungu! Ingat! Itu mahasiswa! Apalagi Salim dan antek- anteknya yang jelas-jelas kaum jelata. Mau apa mereka? Tunggu, mengapa kita tidak menyelidiki cenayang itu? Bukankah pada awal tadi kita telah mencurigainya lantaran ramalan dan kata-kata ganjilnya yang mengganjal. Tentu kalian tahu sendiri sepak terjang Mbah Samin. Dia juga pandai menyantet orang. Cukup

366 367 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KUCING-KUCING YANG MEMBONGKAR KUBURAN | A. Warits Rovi Kucing-Kucing yang Membongkar Kuburan A. Warits Rovi Minggu, 11 Oktober 2015

I pagi buta kerap terdengar jeritan penyabit rumput atau penyadap lahang ketikaD mereka melintas di sebuah pemakaman  Desa Bukina. Mereka ketakutan melihat kuburan yang terbongkar. Angin pagi masih lirih. Riak keheningan bepaut diam ilalang. Embun menusukkan dingin yang tajam. Orang-orang berduyunduyun menuju lokasi pemakaman tempat jeritan itu berasal. Setiba di lokasi mereka akan mendapat pemandangan yang mengerikan; sebuah kuburan terbongkar, separuh tubuh mayat tampak keluar dengan kain kafan yang terkoyak-koyak. Lidahnya menjulur, sedang wajahnya carut-marut dan biasanya dapat dipastikan salah satu anggota tubuh terutama jari kelingkingnya hilang. Orang-orang dusun kemudian mengumpat

368 369 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KUCING-KUCING YANG MEMBONGKAR KUBURAN | A. Warits Rovi “kurang ajar kucing keparat itu, sudah ada puluhan kuburan yang dibongkar,” orang-orang saling bertatap, sedang di hatinya terbersit sebuah dendam kepada kucing-kucing keparat yang biasa membongar kuburan saat malam hari serta menyantap sebagian anggota tubuh mayat. Menurut kabar dari Pak Karim setidaknya ada delapan kucing liar yang akhir-akhir ini punya hobi membongkar kuburan di beberapa lokasi pemakaman Desa Bukina. Pak Karim selaku kepala desa yang biasa keluar rumah di saat dini hari untuk berpatroli sering dikejutkan oleh kucing-kucing yang liar melahap tubuh mayat di bawah bulan tanggal tua. Kabar itu dibenarkan oleh beberapa warga yang lain. Pak Saot misalnya, dia mengaku lari terbirit-birit ketika suatu malam melihat delapan kucing sedang berpesta mayat di atas sebuah kuburan. Warga desa hampir setiap hari bergotong-royong membetulkan kembali kuburan-kuburan yang sudah terbongkar. Kucing-kucing itu semakin membuat warga jengkel. Hanya saja satu hal yang membuat warga harus berpikir matang sebelum bertindak, ternyata kucingkucing itu sangat sakti sebagaimana yang yang diceritakan Pak Karim suatu waktu. “Kalian harus hati-hati kalau mau menyerang kucing-kucing itu. Delapan kucing itu sangat sakti. Pernah suatu malam saya bermaksud melempar kucingkucing itu dengan batu. Tapi seketika kucing-

370 371 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KUCING-KUCING YANG MEMBONGKAR KUBURAN | A. Warits Rovi kucing itu menjelma ular dan meliuk-liuk ke arah saya,” keparat itu.” tutur Pak Karim dengan nada yang menakutkan. Aku terdiam. Paman terlihat mengepulkan asap Bulan tampak seperti celurit terbalik di balik rimbun rokoknya dengan bentuk membundar berputar-putar daun bambu ketika aku ikut paman Rakib bertugas ke arah cahaya bulan yang remang. Suara kentong sayup ronda malam itu. Pukul dua dinihari hanyalah suara terdengar dari ujung desa bagian utara. Suasana sangat kersik daun dan desis angin yang bisa kudengar sebagai mencekam. lagu dusun dari jalan setapak yang teramat sunyi. Ada “O ya paman, apa maksud orang jahat itu sampai dua kunang-kunang melenggang ke ke tengah ladang, ia nekad membongkar kuburan seperti itu?” tepat kulihat sesaat sebelum kuamati paman mulai “Hehe, biasanya kelengking mayat sangat ampuh menyalakan sebatang rokok dengan asap yang dijadikan azimat untuk pesugihan. Terutama mayat memburai. Cerita paman berbeda dengan cerita Pak yang meninggal tepat pada malam gerhana. Kain kafan Karim. Menurut paman kucing-kucing itu hanya biasanya dipakai para nelayan, ia dijadikan sabuk joran akalakalan saja yang sengaja dibawa oleh seseorang saat atau pengikat jala untuk mendapat tangkapan ikan yang ia membongkar kuburan. Maksudnya tidak lain agar banyak,” cerita paman kepadaku sambil menyandarkan kucing-kucing itu jadi tameng kecurigaan. kepalanya ke cagak poskamling. Seketika pikiranku “Kucing-kucing itu tidak mungkin bisa melayang-layang, ternyata manusia semakin hari membongkar kuburan. Kucingkucing mungkin hanya semakin gila. Kegilaan manusia hampir semuanya memakan tubuh mayat tapi hanya sebagian,” kata disebabkan ambisi kepada harta. paman Rakib kepadaku. “Hei Sadik! Jangan melamun ayo kita mulai patroli,” “Lalu siapa yang membongkar kuburan itu ajak paman membuyarkan pikiranku. paman?” Mulailah aku menjelajahi Dusun Lori, dusunku “Hehe, tentu manusia, orang yang punya kucing tercinta, salah satu dusun Desa Bukina yang kuburannya itu.” kerap dibongkar oleh kucing-kucing. Bulan temaram “Paman pernah melihatnya?” tanggal tua terlihat terjepit di antara sepasang gagang “Ya, ketika itu aku ronda malam dengan Pak Saot. ranting Langay. Daunan tampak mengkilap dengan Aku hendak bertindak terhadap orang itu tapi Pak Saot pupur embun yang dingin. Kelelawar dan burung hantu melarangku. Itu terjadi tiga kali, aku jadi curiga kepada bertukar sapa menambah cekam suasana. Sudah satu Pak Saot, janganjangan dia bersekongkol dengan orang lokasi pemakaman yang kulintasi dengan paman, tapi

372 373 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KUCING-KUCING YANG MEMBONGKAR KUBURAN | A. Warits Rovi aman saja tak ada kucing atau kuburan yang menjulur keluar kuburan seperti benih yang menembus terbongkar. tanah, di tubuhnya yang busuk terlihat ada bekas gigitan Kulanjutkan langkah menngikuti arah paman meski taring. Kain kafannya terkoyakkoyak. Paman mendekat bulu kudukku sering berdiri karena sesuangguhnya aku tapi tiba-tiba Pak Saot menarik lengan paman pertanda penakut kelas kakap. Paman melintasi jalan setapak melarang. Paman menghentikan langkahnya dan paling sunyi yang ditepinya ditumbuhi semak. Turun menunduk. Pikiranku kembali melayang-layang, “ah melewati jurang, membelah sawah dan ladang, masuk demi sebuah harta,” gumamku. Pak Karim belum ada di gang-gang dusun bergegas dari satu lokasi di lokasi, mungkin dia masih istirahat karena semalam pemakaman ke pemakaman yang lain. Tangan kiri ada rapat. paman memegang celurit dan tangan kanannya menjepit selinting rokok. Aku mencoba pura-pura INI minggu ketiga aku ikut paman ronda sejak gagah berani di belakang paman meski sebenarnya dua bulan terakhir desa kami digegerkan kuburan yang sangat merinding terutama ketika ingat cerita warga terbongkar. Kini beragam kabar bermunculan tentang tentang kucing-kucing yang membongkar kuburan. peristiwa mengerikan itu. Ada yang mengatakan ulah Satu setengah jam kemudian bersamaan dengan roh jahat yang menjelma kucing. Ada yang mengatakan kumandang adzan Subuh, aku dan paman kembali lagi kucing-kucing itu suruhan tukang sihir. Bahkan ke poskamling setelah purna mengelilingi dusun. Paman sebagian kabar mengatakan kucing itu adalah spesies merebahkan tubuhnya di bidak kayu poskamling, aku binatang luar angkasa yang turun ke bumi untuk bersandar ke cagak pos. Sesaat setelah adzan subuh mencari makan. Kecuali paman yang mengatakan selesai dikumandangkan tiba-tiba terdengar jeritan bahwa kucing itu adalah kucing biasa, hanya dijadikan warga di arah tenggara. Ada kuburan yang terbongkar alat oleh seseorang untuk mengalihkan kecurigaan. lagi. Empat ekor kunang-kunang melindap di daun Paman langsung berdiri dan mengajakku menuju yang digesek angin malam. Aku terus berjalan suara jeritan itu. Angin subuh menusuk dingin, dedauan mengikuti paman membelah sunyi dusun dini hari. mengipasi sunyi, jalanan mulai menampakkan Kecuali ritme suara gesekan daun berpadu cericit punggungnya yang putih. Aku mengikuti langkah kelelawar dan burung hantu yang bisa kunikmati paman yang berlari. Setiba di lokasi apa yang kuduga dengan bulu kuduk merinding. Setiba di salah satu lokasi benar, ada kuburan yang terbongkar. Mayatnya pemakaman seketika paman memberi isyarat agar

374 375 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KUCING-KUCING YANG MEMBONGKAR KUBURAN | A. Warits Rovi jongkok di belakang serumpun ilalang. mengucur ke seluruh tubuh. Udara malam begitu amis. Setelah aku jongkok di belakang paman, betapa Setelah dekat, paman seketika terkejut. Demikian pula terkejutnya dadaku saat kulihat sebuah kuburan tengah dengan aku, sangat terkejut. dibongkar oleh seseorang. Tapi tidak seperti cerita yang “Lho, Pak Karim dan Pak Saot?” kata paman kudengar sebelumnya, di tempat itu tidak ada kucing keheranan. sama sekali. Orang itulah yang membongkar kuburan “Iya, benar. Begini pekerjaanku dan Saot tiap itu dengan pacul dan linggis. Entah siapa orang itu malam. Tutup mulutmu Kib! Jangan bilang siapa-siapa! aku tidak tahu karena malam masih temaram. Detak Ayo sebaiknya kamu bergabung denganku menjadi jantungku kian kencang, keringat telah memburai kucing-kucing keparat tapi kaya. Hahaha,” Pak Karim seiring rasa takutku yang buncah. Terlebih rasa takutku terbahak. Paman terdiam. Aku mual melihat kucing- memuncak ketika orang itu berhasil mengeluarkan kucing memakan mayat. Aku tidak ingin berteman separuh mayat menjulur keluar. Ia kemudian mengembil dengan kucing-kucing di negeri ini.  sesuatu dari mayat itu. Lalu seseorang yang lain datang dari arah pintu Dik-kodik, 02.10.15 masuk pemakaman, ia membawa sak, dari sak itu ia mengeluarkan delapan kucing. Kucing-kucing itu kemudian memakan tubuh mayat itu berebutan. Dua orang yang rupanya bekerjasama untuk membongkar kuburan itu berdiri di samping kuburan, yang satu membuka kantong plastik dan yang satunya lagi memasukkan sesuatu. Aku gemetar terasa hendak pipis, tanganku memegang erat bahu paman. Malam menguraikan cekaman dan angin lirih yang mistis. Paman berdiri dan melangkah mendekati dua orang itu. Aku semakin gemetar ketakutan, tanganku memegang baju paman seperti anak kecil yang memegang baju ibunya. Kaki terasa tak memijak bumi. Pikiranku kacau terasa sudah diambang maut. Keringat

376 377 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PADA HARI KETIKA MALAM MELIPAT DIRINYA SENDIRI | Ajeng Maharani Pada Hari Ketika Malam Melipat Dirinya Sendiri Ajeng Maharani Minggu, 25 Oktober 2015

ETIKA kaki-kaki Malam berlari dalam keresahan tentang Arimbi, seorang perempuanK baru saja turun dari panggung yang  kesepian. Tangan-tangannya lunglai. Ia baru saja memainkan Appassionata—Piano Sonata No. 23 in F minor—dalam kesendiriannya. Berkali- kali dan berkali-kali, hingga ia lelah. Hingga tangan-tangannya menolak untuk menekan tuts piano. Kakinya melangkah meninggalkan hall yang telah dilupakan orang-orang dalam kepanikan. Ia keluar dari gedung aula Simfonia Jakarta, dan cahaya yang terang benderang menerpa tubuhnya tanpa ampun. Ia memicing mata, menekuri langit yang seharusnya gelap kini berubah menjadi biru yang sempurna. Ia tidak menyukai biru, ia tergila-gila dengan hitam. “Akhirnya kamu pun ikut meninggalkan saya.”

378 379 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PADA HARI KETIKA MALAM MELIPAT DIRINYA SENDIRI | Ajeng Maharani TEPAT Pukul tujuh—beberapa jam sebelum perempuan itu berhenti memainkan musiknya, malam akhirnya memutuskan untuk melipat dirinya sendiri dan membiarkan angin menerbangkan tubuhnya. Orang-orang keluar dari persembunyian mereka dengan wajah pasi. Waktu yang seharusnya gelap, berubah menjadi terang. Pikuk. Suara-suara berlarian. Panik. “Malam telah hilang! Malam telah hilang!’’ “Siapa yang berani mencuri Malam? Siapa?’’ “Ini pasti ulah teroris berkulit babi! Sengaja mencuri Malam, lalu melempar kesalahannya pada kita, seperti apa yang sudah-sudah mereka lakukan selama ini!’’ “Bukan, ini bukan ulah manusia!’’ “Lalu, ulah siapa? Setan?” “Tidak. Setan jauh menyukai Malam daripada kita. Setan mencintai Malam, Bodoh!’’ “Kalau bukan manusia, bukan setan, lalu siapa?” “Tuhan. Ini ulah Tuhan. Tuhan telah marah. Tuhan ingin menghukum kita!” “Ini kiamat! Ini kiamat!” “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” “Tuhan marah karena kau suka memakan bangkai saudaramu sendiri. Kaummu perusak, bikin onar!” “Tidak. Ini karena kau yang suka mencuri sebagian dari kami lalu menjadikannya lap basah untuk ujung sepatumu yang kotor!” “Enak saja! Ini karena kau yang suka berkelamin

380 381 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PADA HARI KETIKA MALAM MELIPAT DIRINYA SENDIRI | Ajeng Maharani dengan jenismu sendiri. Kalian juga, kan, yang saling membunuh, berpesta sepanjang waktu seolah menghalalkan zina?” tidak akan ada lagi hari esok. Mereka membakar rumah- Malam terus berkelana bersama angin, sementara rumah, pasar, perkampungan, ladang-ladang, hutan, orang-orang yang kehilangan dirinya masih saja hanya untuk isi perut mereka sendiri. berceloteh tentang siapa yang lebih pantas untuk Mereka seperti tidak peduli pada kematian, tidak dimasukkan ke dalam peti pengakuan dosa. peduli pada Tuhan. Mereka bahkan berani bersembunyi di balik bayanganku untuk saling raba, saling cumbu, MALAM begitu menikmati perjalanannya, meliuk- saling berbisik-bisik menyusun rencana-rencana untuk liuk di antara wajah-wajah putus asa yang mulai berke- menguasai dunia. Apa kau tidak merasa jijik? Aku jijik. liaran. Tubuh-tubuh terserak di jalananan. Beberapa Aku bosan. Mereka pikir aku ini apa? Aku Malam. Aku dari mereka meratap, meringkuk, saling berpelukan dan keheningan. Aku sunyi. Aku kegelapan yang agung. menangis ketakutan. Beberapa lagi marah tanpa tahu Rahimku memang hitam, tapi aku diciptakan Tuhan kepada siapa marah itu ditujukan. Beberapanya lagi bukan untuk melihat mereka bersenggama dengan membentuk kelompok-kelompok, bertasbih, melam- setan!” bungkan doa-doa dalam kepanikan yang ditekan-tekan. Angin tertawa terbahak-bahak, membuat Malam “Mengapa kau melipat dirimu sendiri? Apa kau tidak keheranan. takut kalau kau tak bisa kembali besar?” “Apa kau pikir semua manusia itu sama? Mereka Malam tertawa penuh kikik. “Kembali besar? bodoh dan buruk, begitu?” Malam terdiam. Kata- Tidak, Angin. Aku sudah terlalu bosan dengan mereka. katanya seperti tertelan kembali. Tidak, tidak semua Aku tak mau menjadi besar lagi.” manusia itu bodoh dan buruk, batinnya. Ia teringat “Mereka? Manusia maksudmu?” tentang perempuan yang bercengkrama bersama “Ya, siapa lagi? Manusia makhluk paling bodoh, kunang-kunang, di sana, di bangku sebuah taman. bukan?” Perempuan dengan bola mata yang selalu meleleh. “Mereka memang bodoh, tapi kau sendiri juga Perempuan yang berkata dalam kesendiriannya, “Saya keterlaluan.” mencintai malam. Saya selalu sendirian, tapi saya merasa “Mereka pantas mendapatkan ini, Angin. Mereka malam seperti melihat saya dari kejauhan.” sudah menodai rahimku. Kau sendiri lihat, kan, manusia “Kau benar. Aku ingat perempuan itu, mereka menggunakan tubuhku untuk bermaksiat, menjual diri, memanggilnya Arimbi,” ujar Malam.

382 383 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PADA HARI KETIKA MALAM MELIPAT DIRINYA SENDIRI | Ajeng Maharani “Arimbi?” ARIMBI gontai berjalan melintasi daerah “Iya. Perempuan yang mengatakan pada kunang- Kemayoran yang sepi. Orang-orang kembali pada kunang, kalau ia ingin sekali melukis suara ibunya. Tapi keluarga mereka masing-masing. Mengunci pintu, tentu saja itu tak mungkin, bukan?” menutup jendela dan tirai. Diam laksana kematian Mata Malam yang nyalang kini meredup. Ucapan- benar-benar telah bersanding bersama mereka satu- ucapan Arimbi yang setiap hari didengarnya mulai persatu. “Kalian mau sembunyi dari siapa?” Arimbi bertubi-tubi menghantam ingatannya. terkekeh. Air matanya leleh. “Malam juga selalu membuat saya ingat akan Ibu. “Bersyukurlah kalian yang masih punya keluarga Apa kamu tahu? Ibu saya mati dalam keadaan marah, di saat neraka sudah mengangah di depan mata. Lihat- dan saya menyesal telah membuatnya marah. Ah, saya lah saya, siapa yang akan memeluk tubuh saya? Ibu selalu ingin melukis suaranya yang berteriak memaki saya sudah mati. Ibu saya marah dan membenci saya saya. Saya begitu merindukannya.” ketika dia mati. Lalu bagaimana saya nanti mati? Lihat “Apa kamu tahu bagaimana kematian? Apa saya. Bahkan Malam pun telah meninggalkan saya.” kematian adalah akhir dari segalanya? Apa dalam Arimbi terus meracau, tertawa, meracau, tertawa kematiannya Ibu masih masih ingat sama saya? Apa kembali, hingga ia limbung. Jatuh. Ia menangis dan dalam kematian orang-orang masih bisa memaafkan?” menangis. Dadanya sesak, sangat sesak. Ia rindu “Hihihihi... Saya merasa Malam adalah kekasih saya. ibunya, rindu kunang-kunang, rindu pada Malam. “Saya Kebetulan sekali saya tidak memiliki seorang lelaki hanya ingin mati dalam pelukan. Tidak bisakah saya dalam hidup saya.” mati dengan itu, sekarang?” “Tolong katakan pada Malam, hai Kunang-kunang. Ia menengadah. Langit yang biru sempurna tiba- Kalau saya sudah lelah, saya harap Malam tidak berhenti tiba menghilang di matanya yang basah. Sesosok hitam melihat saya di alam kematian nanti.” menyergap tubuh perempuan itu dengan lembut. Malam tersentak. Dadanya bergemuruh. Dengan Hangat. Ini kegelapan yang sama hangatnya dengan lesat ia berlari, melintasi jalanan yang semakin menggila waktu-waktu itu. oleh orang-orang yang kehilangan dirinya. “Aku datang, Rimbi. Aku sudah datang.” “Hei, kau mau ke mana?” Arimbi tersenyum. Ia yakin, ia bisa mati dengan “Aku akan menemui Arimbi!” tenang sekarang juga. 

Sidoarjo-011015

384 385 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PERJALANAN DALAM KABUT | Adi Zamzam Perjalanan Dalam Kabut

Adi Zamzam Sabtu, 01 November 2015

EBUR ombak terdengar berkejaran. Suara itu seperti telah menyatu dengan denyutD jantungnya sendiri. Tak pernah henti. Terus berdebur. Terus berdenyut. Menyadar-  kan bahwa ternyata ia masih hidup. Meski semula, sejak niat pertama melayarkan raga yang tengah didera hampa, ia mengira akan segera mati ditelan hujan badai Laut Jawa. “Buktinya kau masih bisa sampai ke sini, Le,’’ suara pamannya mengiang. Itu percakapan sewaktu ia pertama kali singgah di kediaman Raden Umar Sa’id. “Itu berarti kau masih diberi kesempatan. Jangan sia-siakan kesempatan itu, mengerti?’’ “Aku sampai di sini karena marah, Paman. Bukan karena yang lain. Tolong jangan pengaruhi aku untuk hal-hal yang lain,’’ elaknya. Sang paman langsung tertawa, seraya

386 387 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PERJALANAN DALAM KABUT | Adi Zamzam

bangkit dari duduk, ’’Siapa yang menggerakkan, siapa yang digerakkan, dan untuk apa digerakkan, kau akan segera tahu nanti. Kemarahanmu itu, sementara lah saja, anakku. Aku tahu, sebenarnya kau ke sini hanya karena ingin melihat pemandangan indah kan?’’ lelaki itu berjalan ke tubir bukit, seolah sengaja agar Amir Hasan dapat menemukan permadani hijau berselimut kabut putih yang menghampar di bawah sana. Amir Hasan, pemuda yang sempat membuat pangling pamannya itu hanya diam. Sibuk dengan pikirannya sendiri seraya melawan gigil akibat sergapan hawa puncak Gunung Muria yang dingin. “Kau marah karena romomu?’’ Tebakan jitu Raden Sa’id seperti tangan yang membuka penyumpal pancuran. Cerita pun segera mengucur deras dari bibir Amir Hasan. Terselang-selingi kalimat bahwa romonya egois, kolot, tak mengerti anak muda. Lelaki muda itu tak memberi sedikit jeda untuk pamannya bisa menyela. Semuanya bermula ketika romonya mendapatkan panggilan dari Raden Fatah, yang konon demi meng- emban tugas memimpin jemaah haji ke Mekkah. Agar proses belajar-mengajar di pesantren tetap lancar, Raden Ja’far Shodiq memberi kepercayaan kepada Amir Hasan untuk menggantikan posisinya sebagai pemegang kendali pesantren. Amir Hasan tak pernah berpikir seserius itu. Ia bahkan sering beranggapan bahwa dirinya belum cukup umur, dan pesantren bukanlah hal penting yang

388 389 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PERJALANAN DALAM KABUT | Adi Zamzam mesti diperhatikan. Karena itulah ia membebaskan hingga adu berburu. Jumlah ‘murid’ Amir pun siapa pun untuk melakukan apa pun yang diinginkan, mendadak mengalahkan jumlah murid beberapa guru termasuk menutup kitab-kitab kuning untuk sementara pengganti yang sudah ditunjuk sang romo. Berangkat waktu, hingga romonya pulang. Bukankah dalam dari kenyataan itulah Amir berkesimpulan bahwa belajar, mestinya juga ada jeda waktu untuk sekadar beberapa aturan yang diterapkan romonya sungguh menghibur diri demi melawan bosan? Namun ternyata tak berpihak kepada para santri. Lagipula, kenapa juga itu tak berlaku bagi romonya. kemarin beliau memercayakan amanat itu kepadanya “Sifat itu dibentuk dari pembiasaan. Bagaimana kalau hanya berakhir kemurkaan? kau bisa mengatur banyak orang jika kau sendiri tak Mendengar itu, semakin terbakarlah Raden Ja’far bisa merubah kebiasaanmu sendiri? Apa kau pikir Shodiq. “Jika kau tak bisa mengikuti aturan-aturanku, mereka datang ke tempat ini agar dapat bersenang- pergilah saja sana! Tak usah jadi anak Ja’far Shodiq senang, begitu?’’ romonya pulang dengan amarah, lagi!’’ setelah mendapatkan pengaduan dari beberapa santri Kalimat itu seolah meruntuhkan langit yang yang tak suka dengan polah tingkah Amir Hasan selama menaungi Amir. Rasanya ia telah benar-benar memimpin pesantren. Tapi Amir membantah, bahwa kehilangan seorang romo. Pernah juga tebersit hasrat seharusnya di sela jam belajar bolehlah seorang santri untuk kembali pulang ke Kudus. Itu ketika ia tahu ada melepaskan diri dari kepenatan. “Apa kau pikir mereka santri yang diutus romonya menghadap Raden Umar sama dengan dirimu?’’ Sa’id demi menanyakan kabar keberadaannya. Amir tetap kukuh mempertahankan pendapat, Ternyata romonya tak benar-benar membiarkan- bahwa semua idenya kemarin tak ada yang salah. Ia nya pergi. Ternyata romonya tak benar-benar ingin memang sengaja membuka jam adu laga bagi santri membuang dirinya. Jadilah Amir Hasan semakin setiap pekannya, demi mencari teman terbaik yang bisa kerasan tinggal di puncak Muria, dengan niat ingin dijadikan teman bermain kanuragan. Ia juga memberi menyiksa romonya dengan rasa rindu. kebebasan untuk tak mengikuti pelajaran yang tak “Baiklah. Lantas apa yang ingin kau lakukan di disukai, sehingga berkuranglah jumlah santri yang sini?’’ Raden Umar Sa’id tersenyum menyadari bahwa mengaji pada jam-jam pelajaran tertentu. Mereka justru kemenakannya hanya berniat ‘memberi ganjaran’ penuh saat Amir Hasan memamerkan kebolehannya romonya. bermain gendhing, adu laga, adu renang di Kali Gelis, Amir Hasan tersenyum puas tatkala sang paman

390 391 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PERJALANAN DALAM KABUT | Adi Zamzam bilang akan memberinya kebebasan. Hari-hari di bulan dibilang tidak menunggu. Ia mulai mengerti tentang pertama, ia nikmati kebebasan itu sepuas-puasnya, apa yang pernah diujarkan Raden Umar Sa’id seolah ingin menebus tahun-tahun sebelumnya di kepadanya, dulu ketika ia berada dalam masa-masa kritis rumah sang romo yang penuh kekangan. Di puncak kebosanan. Muria, kesenangannya berburu bahkan semakin “Hidup itu seperti samudera. Ombaknya tak akan menjadi. Amir juga begitu antusias menggembleng henti silih ganti menerjangmu selama kau masih kemampuan kanuragannya dengan sang paman yang bernapas. Ragamu perahu. Rohmulah pengemudinya. juga ahli olah kanuragan. Konon, sang paman pernah Kalau pengemudinya tak memiliki kemampuan mengalahkan Maling Kapa juga Gentiri dengan mudah mengendalikan perahu secara baik, tentu saja ia akan saat mempertahankan Dewi Sujinah sebelum kemudian terus terombang-ambing tanpa tujuan yang jelas. menjadi istri. Meski Amir tahu, bahwa kemampuan Belajarlah mengemudikan perahumu dulu. Baru sang paman kalah jika dibanding kemampuan romonya kuizinkan kau berlayar ke samudera sana,’’ suara Raden yang pernah menjadi panglima perang Demak Bintara Umar Sa’id timbul tenggelam di antara debur ombak saat membela diri dari Majapahit, bahkan konon juga Laut Jawa. pernah ditugasi dewan Wali Songo menghukum mati Ia sempat mengira bahwa sang paman hanya Syekh Siti Jenar serta Ki Ageng Pengging (murid Siti berusaha dengan halus menariknya ke dunia yang tak Jenar) yang juga dikenal memiliki kesaktian. ia sukai itu. Kitab-kitab dan aturan-aturan yang ujung- Entah kenapa romonya justru tak memberinya ujungnya hanya untuk mengikat kedua kaki, tangan, kebebasan dalam hal itu dan lebih menyuruhnya tekun bahkan pikiran. terhadap kitab-kitab kuning yang membosankan. “Nanti setelah kau pergi berlayar bebas, kau akan Berjalan bulan, rasa bosan mulai menggerogoti tahu, Le,’’ jawab Raden Umar Sa’id seolah berjanji ketenangan Amir Hasan. Kebebasan yang dulu sempat bahwa segala hal yang ia ajarkan kepada Amir hasan diinginkannya justru kemudian membuatnya serasa di puncak Muria akan berguna pada masanya. terombang-ambing di atas samudera kekosongan. Ya, seperti saat ini. Raga Amir Hasan tengah “KAU ingin pulang?’’ Amir Hasan menggeleng terombang-ambing di atas lautan. Ia biarkan perahu tegas. yang menampung raganya terbawa ombak ke mana “Kau tak kangen ibumu?’’ Amir hanya diam, tak pun arus menuju. Ia sedang menunggu meski bisa mau menemui wajah sang paman.

392 393 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PERJALANAN DALAM KABUT | Adi Zamzam

“Baiklah. Aku mengerti bahwa jiwa mudamu masih apa yang Raden cari dalam perjalanan ini?’’ karib yang ingin terus melihat seberapa luas dunia ini. Pesanku, satunya lagi bermaksud membela kawannya. jangan lupakan semua yang telah kau pelajari di sini. Amir Hasan diam, tak mau jawab. Dia memang Aku minta, bawalah teman agar aku tak serta merta merasa belum menemukan sesuatu yang dapat kehilangan dirimu, agar aku bisa mempertanggung- memenuhi ruang kosong dalam dadanya. Meski sakit jawabkanmu kepada Kangmas Ja’far Shodiq.’’ hatinya dengan sang romo sudah hampir hapus Amir tersenyum mendengar itu. Meski tak mau terlupakan. Tak ada yang mengerti tentang hal itu. dianggap seperti anak kecil, tapi ia bersyukur juga. Sebenarnya ia tak hendak memaksa kedua karibnya Setidaknya ia bisa mengajak dua sahabat karibnya untuk ikut perjalanan dalam kabut ini. Tapi mereka untuk mengukur kekuatan seberapa tabah kakinya memang karib yang setia. menjejakkan langkah. Di penghujung musim penghujan Kekosongan itu semakin menguar tatkala hujan yang masih menebarkan hawa dingin, rombongan kecil badai mengacaukan pelayaran mereka di suatu malam. anak-anak muda itu pun berangkatlah. Keluar masuk “Kita pulang saja ya, Gus,’’ ujar salah satu karib, yang dusun, hutan, naik turun bukit, sungai, hingga terdengar seperti rengekan seorang anak kecil di telinga kemudian berakhir di sebuah pantai yang Amir. menghentikan langkah mereka. Tempat yang menjadi Bahkan ketika badai itu mengirim berduyun ombak ujung dari daratan yang telah mereka jelajahi. yang sepakat hendak menenggelamkan perahu mereka, “Kita namai Jung Poro saja, Gus,’’ usul salah Amir tetap berkeras dengan pendirian. Perjalanan itu seorang karib Amir Hasan atas empat tak bernama harus terus ke depan, pantang surut balik ke belakang. itu. Tapi pertanyaannya sama seperti yang pernah “Inilah ujung daratan yang kita tempati. Inilah ditanyakan dua karib setianya itu, sebenarnya apa yang ujung dari petualangan kita, Gus.’’ ia cari dalam perjalanan tersebut? Harta? Jelas bukan “Tentu saja kita akan terus ke depan,’’ sahut Amir lantaran itu. Ketika perahu mereka berhasil menepi ke Hasan. sebuah pulau yang tiba-tiba muncul dari balik kabut “Menyeberangi lautan, Gus?’’ sehabis hujan badai, mereka bahkan tidak memiliki apa “Kalau kau takut, kau boleh pulang ke pesantren pun yang bisa dirampok oleh serombongan orang yang lagi,’’ ejek Amir Hasan. mengaku sebagai perompak. Ia sering tersenyum “Kami sebenarnya hanya ingin tahu, sebenarnya sendiri ketika ingat orang-orang liar itu tak percaya

394 395 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PERJALANAN DALAM KABUT | Adi Zamzam dan memaksa Amir beserta dua karibnya melucuti jarak tak lagi menjadi masalah bagi penglihatan. pakaian demi menemukan keping emas atau uang yang “Jadi inikah pulau kremun-kremun itu?’’ tanya disembunyikan. Tak ayal duel pun terjadi, tak peduli Raden Umar Sa’id setelah memuaskan rasa kangen jumlah lawan yang tak seimbang. Ketika orang-orang dengan sang keponakan. “Aku hampir tak percaya, liar itu takluk-setelah kalah duel, dan menyatakan rela bagaimana bisa kau malah betah tinggal di tempat menyerahkan hidup mati mereka kepada Amir Hasan, sesepi ini?’’ saat itulah jawaban itu tiba-tiba muncul. Tumbuh, dan Cerita pun meluncur deras dari bibir Amir Hasan. semakin tumbuh memenuhi dada Amir Hasan. Bahagia kentara benar terasa ari nada bicaranya. “Sekarang kalian pulanglah. Tolong ceritakan “Apa kau tak ingin pulang menemui romomu?’’ keberadaanku di sini kepada Paman Umar Sa’id. sela Raden Umar Sa’id. Sampaikan rasa terima kasihku karena beliau telah Tiba-tiba bibir Amir Hasan mengatup. Cukup lama. mengajariku ilmu kanuragan sekaligus ilmu kehidupan. Kedua matanya tergenang air mata. “Apa kau tak ingin Katakan bahwa aku sudah menemukan apa yang aku menikah? Setelah mengetahui keberadaanmu, kabarnya cari selama ini. Dan aku akan menetap di sini.’’ Kangmas Ja’far Shodiq langsung mencarikan calon istri Di atas perahunya yang mengapung, Amir Hasan buatmu’’ tengah merunut masa lalunya. Ia tak lagi sedang dalam Kalimat itu langsung bersambut tawa dari semua perjalanan sekarang. Ia juga tak sedang memancing yang hadir. Cahaya pagi begitu cerah menyinari pulau atau menjala ikan seperti semua muridnya yang itu.  kemudian berubah haluan menjadi nelayan. Tak ada lagi kejahatan di pulau tak bernama itu. Kini semua saling berlomba menyuburkan kebaikan. Sejak kepulangan dua karibnya beberapa hari silam, Amir Hasan memang selalu menunggu. Menunggu yang kadang tak sekadar menunggu. Pagi itu, kebahagiaan akhirnya datang mengham- piri. Sebuah perahu yang bergerak mendekat membuatnya termangu. “Gus Amir?!’’ sebuah teriakan yang ia kenal ketika

396 397 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 GITAR BERGAMBAR WAJAH RAJA DANGDUT | Sulistiyo Suparno Gitar Bergambar Wajah Raja Dangdut Sulistiyo Suparno Sabtu, 08 November 2015

US kecil beroda enam yang bodinya penuh dempul itu berhenti di seberang masjid berkubahB hijau. Berdiri di pintu bus, Gito menoleh ke kursi belakang dan melambaikan  tangan kirinya pada seorang lelaki bertubuh gempal. “Makasih sudah boleh numpang ngamen, bos!” “Oke. Sama-sama,” lelaki bertubuh gempal yang duduk di kursi belakang, melambaikan tangan pula. Lalu ia berteriak pada sopir, “Tariiik!” Bus melaju pelan. Asap hitam mengepul. Gito menutup hidung dengan telapak tangan kanannya. Agak terhuyung ia melangkah menyeberang. Ia tak memperhatikan situasi jalan. Sebuah becak menabraknya. Gito tersungkur di aspal.

398 399 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 GITAR BERGAMBAR WAJAH RAJA DANGDUT | Sulistiyo Suparno “Heh, picek matamu!” hardik tukang becak. “Maaf, Pak. Saya yang salah,” Gito beranjak bangun. Ia meringis. Pinggangnya terasa nyeri sesaat. “Minggir!” bentak tukang becak. Gito menepi, membiarkan becak itu lewat. Ia meringis lagi. Nyeri di pinggang kanannya terasa lagi. Sinar matahari masih terik. Gito berjalan sambil meringis menahan nyeri di pinggang, menuju masjid berkubah hijau di depannya. Gito duduk di teras masjid. Menghitung uang hasil mengamen. Tiga puluh lima ribu rupiah. Ia mengucap syukur. Ia memandang lekat- lekat gitarnya. Gitar bergambar wajah Raja Dangdut. Gambar itu bukan stiker, tapi lukisan air brush hasil kreasi temannya. Gito tersenyum. Ia telah berkelana bersama gitar itu sekian lama, mungkin lima tahunan. Gito melirik jam tangannya dan ia terhenyak. Waktu zuhur hampir habis! Gito menyandarkan gitarnya pada dinding teras masjid. Bergegas berjalan ke samping, menuju tempat wudu. Setelah itu ia memasuki bagian dalam masjid untuk menunaikan shalat zuhur. Usai shalat ia berzikir, memanjatkan doa. Wajahnya berseri-seri. Kemudian Gito melangkah menuju teras masjid. Bukan hanya teras, tetapi sekeliling kompleks masjid telah ia sambangi. Gito gelisah. Gitarnya lenyap! Ah, tak ada lagi tempat aman di kota ini. Orang macam apa yang tega mencuri gitar tuanya? Lesu, Gito berjalan pulang ke rumah. Jarak

400 401 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 GITAR BERGAMBAR WAJAH RAJA DANGDUT | Sulistiyo Suparno rumahnya dengan masjid itu sekitar lima belas menit “Sudah, Pakne. Sekarang Nanang sedang dolanan jalan kaki. Di perjalanan, sesekali Gito meringis. Nyeri di lapangan.” Gito tersenyum. Ia bahagia. Meski pinggang apa ini, mengapa selalu hadir setiap saat? hidupnya sekadar bertahan hidup, tetapi keluarganya Sampai rumah, isterinya menyambut di pintu dengan selalu ingat pada Tuhan. tatapan heran. “Gitarmu mana, Pakne?” GITO telah menyiapkan sejumlah uang di saku “Hilang, Bune,” lirih, Gito menyahut, lantas depan celana jins lusuhnya. Semalam ia telah rembugan bercerita peristiwa di masjid. “Aku yang salah, Bune. dengan isterinya. Ia akan mengambil sebagian Biasanya aku selalu menyandarkan gitar itu di dinding tabungan untuk membeli gitar bekas. Pagi ini, Gito dekat aku shalat. Tapi tadi aku tergesa-gesa, waktu berjalan menuju Pasar Senggol. zuhur hampir habis. Lalu kutaruh begitu saja gitarku di Ia menyusuri kios-kios yang berderet di pasar luar.” barang bekas itu. Tetapi sulit menemukan kios yang “Sudahlah, yang penting kamu selamat, Pakne,” menjual gitar. Sampai akhirnya di pojok pasar, ia melihat isterinya menghibur. “Gitar bisa dibeli lagi. Berapa sebuah gitar tergantung di sebuah kios. Lelaki itu harga gitar sekarang, Pakne?” terkesiap. Gito melangkah gegas mendekati kios itu, “Harga-harga sudah pada naik, Bune. seakan berpacu dengan waktu. Napasnya terengah- Harga gitar baru mungkin sekitar tiga ratusan ribu.” engah ketika ia sampai di kios itu. Ia mendongak “Mahal sekali? Apa ndak ada yang lebih murah?” memandang gitar itu yang tergantung di langit teras “Mungkin di Pasar Senggol ada yang murah, kios. “Berapa harga gitar ini, Pak?” Bune.” “Dua ratus ribu.” Gito meringis. Pinggangnya nyeri, lagi dan lagi. “Tinggi sekali, Pak? Seratus ribu, ya?” “Jangan-jangan kamu sakit ginjal, Pakne,” isterinya “Tidak bisa, Mas. Kalau gitar biasa, mungkin saya cemas. “Aku kan sering bilang, jangan sering minum lepas. Tapi gitar ini ada air brush-nya,” kata si pemilik minuman bersoda.” kios menunjuk gambar wajah Raja Dangdut di bodi “Umurku masih 30, masa kena sakit ginjal? gitar itu. Mungkin ini karena ketabrak becak tadi, Bune. Sebentar “Seratus lima puluh?” juga baikan,” Gito berkilah. Kemudian ia mengalihkan “Harga pas, Mas.” pembicaraan. “Kamu dan Nanang sudah shalat zuhur?” Gito tak mau berdebat. Ia tak pandai menawar.

402 403 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 GITAR BERGAMBAR WAJAH RAJA DANGDUT | Sulistiyo Suparno Lebih dari itu, ia harus menyelamatkan gitar bergambar tergeletak di jalan. Lelaki yang mendekap gitar wajah Raja Dangdut itu. Ia tak ingin gitar itu menjadi bergambar wajah Raja Dangdut. milik orang lain. Ia berpikir, inilah garis nasibnya. “Apa dia masih hidup?” tanya seseorang. Bayangkan, kemarin ia kehilangan gitar, dan sekarang Seseorang yang lain berusaha melepaskan gitar dari ia menemukan gitarnya di kios itu. Bila bukan karena dekapan Gito. kehendak Tuhan, gitar itu tentu tak lagi tergantung di “Tidak bisa. Tangannya kaku.” kios itu. “Coba periksa bawah hidungnya. Apa masih Gito mengeluarkan uang dari saku celana jins bernapas?” lusuhnya. Menebus gitar itu. Mendekapnya. Dadanya Ada yang melakukan perintah itu. “Panggil gemuruh. Bergegas ia pergi dari pasar itu. Matanya ambulans!” terasa hangat. Ia berjalan menunduk dan beberapa kali “Panggil polisi saja!” menyeka matanya yang basah. Beberapa orang Seseorang berlari ke pos polisi terdekat. Seseorang memandangnya heran. mengeluarkan ponsel, menghubungi rumah sakit. Gito berdiri di depan gang Pasar Senggol. Ia ingin Sementara yang lain masih berusaha melepaskan gitar pulang. Mengabarkan keajaiban ini pada isterinya. Ia dari dekapan Gito! yakin, isterinya pun akan bahagia. Bergegas, ia “Mana ambulansnya?” mempercepat langkahnya. Di perjalanan, Gito berhenti. “Mana polisinya?” Pinggangnya mendadak nyeri. Keringat dingin Tak berapa lama kemudian dua polisi mengucur. Wajahnya tampak cemas. Ah, tidak. Ini berboncengan sepeda motor sampai di lokasi. Sedetik hanya nyeri biasa! Semua orang pernah mengalaminya. kemudian suara sirene ambulans terdengar mendekat Maka ia kembali melangkah. Sinar matahari mulai dan kemudian mobil bercat putih dan merah itu sampai menyengat. Keringat makin menderas dari tubuhnya. pula ke lokasi. Tapi Gito masa bodoh. Ia terus melangkah, meski Dua polisi itu mengeluarkan kaleng cat semprot, berkali-kali ia meringis menahan nyeri di pinggang. lalu menyemprotkan cat itu ke aspal mengikuti bentuk Jalannya sempoyongan. Sampai akhirnya, Gito tubuh lelaki yang terkapar di jalan itu. Setelah itu, dua menyerah. Ia limbung dan tersungkur di aspal jalan. petugas ambulans berusaha melepaskan gitar dari Orang-orang berlarian mendekat. Berkerumun. dekapan Gito. Memandang penuh tanya pada seorang lelaki yang “Tidak bisa. Sulit sekali,” seru seorang petugas

404 405 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 POHON MENANGIS | Teguh Affandi ambulans. “Biarkan saja. Itu urusan dokter,” sahut petugas lainnya. Pohon Menangis Ketika mobil ambulans itu telah pergi membawa tubuh Gito, orang-orang yang tadi berkerumun kembali bergunjing. “Bagaimana kalau gitarnya tak mau lepas?” tanya seseorang pada temannya. Teguh Affandi “Ya, sekalian ikut dikubur,” sahut temannya. Sabtu, 15 November 2015 “Dikubur? Kau yakin lelaki itu sudah mati?” “Entahlah. Apa peduliku?” Orang-orang sudah membubarkan diri. AHULU berharap agar Kentos berubah Melanjutkan aktivitas masing-masing. Dan, jalan itu menjadi baik, sesudah mendamba hujan kembali ramai oleh kendaraan dan orang-orang yang diD tengah kemarau terik. Pancaran hidayah menye-berang. Setiap orang yang hendak selalu saja melengos dari wajah Kentos. Kentos menyeberangi jalan itu, pasti menoleh ke bawah. terkenal ugal-ugalan. Mulai dari gila alkohol, Menoleh ke aspal yang ada bekas semprotan cat putih membangkang nasihat orang tua, bahkan yang membentuk siluet tubuh manusia. tersiar kabar Kentos sering memalak “Bagus sekali ya pola garisnya?” kata seorang gadis pengendara motor di tengah hutan jati. Kentos yang menyeberang kepada temannya. bromocorah asli Kedungalas yang ditakuti “Pola apaan? Itu TKP, tahu,” sahut temannya. sekaligus fardu ain dijauhi. “Lihat, pola garis orang terkapar ini seperti Saban ada musibah melanda Kedungalas, mendekap gitar.” nama Kentos tak boleh dilewatkan untuk “Entahlah. Emang gue pikirin?”  didakwa sebagai penyebab utama. ‘’Mesti gara- gara ada Kentos, bajingan paling ulung di Batang, 1 November 2015 Kedungalas,’’ demikian kata-kata mereka. Terutama Pak Kadin dan anak buahnya terus saja menjuluki Kentos sebab segala azab. Namun istilah orang sudah kadung basah,

406 407 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 POHON MENANGIS | Teguh Affandi

telinga Kentos seolah buntu dan ucapan Pak Kadin tak mampu menjebolnya. Banyak doa keburukan atas dirinya, agar Kentos dicinduk polisi, terlindas truk, atau segera dijemput maut. “Tapi aku tidak mungkin berbuat nakal pada orang Kedungalas,’’ Kentos meyakinkan. ‘’Toh hanya mulut Pak Kadin yang nyinyir.’’ Siapa saja yang sudah dikehendaki jahat, maka takkan mempan usaha-usaha ceramah. Sebaliknya, bila sudah ditakdirkan bertaubat, ada saja jalan tak terduga menuju ke sana. Orang-orang Kedungalas dikagetkan oleh per- ubahan sikap Kentos mendadak. Tanpa sangkan paran, sekarang Kentos tampak lebih rapi dan sopan. Dan yang semakin membuat banyak mata terbelalak adalah Kentos mau membawa parang sepanjang lengan orang dewasa, bersama orang-orang bayaran Perhutani, menjadi blandong. “Aku mendengar lagu yang indah saat di tengah hutan. Seperti suara ibu yang menina bobokan bayi,’’ begitu kalimat Kentos. Matanya dikatupkan rapat. Meresapi angin yang membawa kedamaikan menyusupi pori-pori Kentos. “Apa kamu kerasukan setan alas, Kentos?” tanya seorang kawan. Kentos menggeleng. “Hidup damai itu indah, Kang. Aku yakin, kalau kalian pernah menjadi bajingan, akan tahu bagaimana rasanya kedamaian saat di tengah hutan begini. Seperti alam dan hutan ini,

408 409 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 POHON MENANGIS | Teguh Affandi nyanyian-nyanyian dari penghuni hutan adalah “AKU pulang dulu, kawan! Besok aku akan kesederhanaan sejati.’’ Saat Kentos taubat, kalimat- menebang kalian. Puas-puaskan malam ini bersama kalimatnya bermelodi. kebebasan,’’ tepak Kentos pada sebatang pohon jati. “Tapi masih banyak yang tidak memercayaimu, Kentos dan rombongannya seharusnya sudah Kentos! Apalagi Pak Kadin.’’ tuntas menebang sepuluh pohon jati. Cuaca terik “Aku tidak peduli omongan mereka. Sama seperti membuat tenaga mereka mudah ngos-ngosan. Sehari dulu yang tak acuh.’’ mereka hanya bisa menyelesaikan—mulai dari Orang-orang saling bertatapan. Sebentar lagi, masa menebang, memotong-motong sesuai kubik pesanan, rehat rolasan akan purna. Kentos dan blandong- mengangkut ke truk Perhutani dan merapikan rencek— blandong lain harus menyelesaikan tebangan beberapa empat sampai lima batang jati sehari. Tapi itu sudah pohon jati di hutan Perhutani. Masih dengan mata cukup cepat untuk ukuran Perhutani. tertutup, Kentos merebahkan badan. Bekal makan “Besok giliranmu, ibu jati,’’ kata Kentos, yang siang dalam pincuk daun pisang berisi nasi putih dan kemudian disusul tatapan selidik dari kawan-kawannya. orak-orak telur dan sayur pare, tersisa separuh. “Kamu bicara sama pohon itu?’’ Badannya melengkung di gundukan tanah. Kedua “Hanya membayangkan perasaan ibu jati ini. Besok tangannya di simpan di belakang kepala sebagai bantal. dia akan tumbang,’’ mata Kentos tak mau lepas dari Kentos mendengar suara-suara kedamaian yang selama pucuk pohon jati yang berukuran paling besar tersebut. ini tak dihiraukan. Kepala kawan-kawannya saling geleng. Sebatang pohon “Tapi aku dengar, Pak Kadin masih saja membenci jati hidup tak hanya untuk dirinya sendiri. Banyak nyawa Kentos. Bahkan sering mengembuskan gosip-gosip terlindung di balik kegagahannya. Mulai dari burung tidak jelas.’’ srigunting hitam yang membuat sarang di dahan, “Ya jelas saja. Kalian dengar kan, anak gadis Pak ratusan semut angkrang di banyak ketombol daun jati, Kadin yang batal kawain itu? Lima perjaka semut hitam di balik pelepah jati, ulat, dan banyak membatalkan lamaran karena tahu Kentos akan serangga di tanah. Bahkan daun, dahan tua, batang menjadi tetang-ga mereka. Ternyata dendam Pak bisa membuat perut orang kenyang. Seperti kasih ibu Kadin belum juga padam.’’ yang mengayomi ratusan anak. Pikiran mereka dirambati aneka prasangka. Banyak “Benar-benar sifat kasih seperti seorang ibu,’’ sulur tumbuh saling timpa. Kentos mengusap pokok jati kemudian menghambur

410 411 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 POHON MENANGIS | Teguh Affandi bersama kawan-kawan blandong yang mulai menjauh terik di sekitar pohon, rontokan dedaunan ranggas dari area penebangan. Matahari hampir padam oleh dan semak mudah tersulut panas sekam. Kentos malam. Kebahagiaan dalam dada Kentos tak kunjung semakin menjauh, meski hatinya masih bertaut dengan muram, selagi esok dia masih bisa membawa parang sebatang pohon yang disebutnya sebagai ibu jati. dan mendengar suara alam di hutan. “APA kalian lupa, di Kedungalas ada NAMUN, hari ini Kentos tak seberuntung bromocorah?!’’ tutur Pak Kadin menampar Kentos. kemarin. Kemarin adalah terkahir kali dia menyaksikan Suasana rapat desa mendadak memanas. Seperti hutan tampil utuh sempurna. Kini, hutan tempatnya bara sekam menyambar siraman minyak. Kentos mereguk kedamaian itu terbakar perlahan-lahan. menunduk. Segelas teh di hadapannya mencetak Penebangan dihentikan sampai waktu yang tidak bisa wajahnya kuyu. ditentukan. Api seolah bersekutu dengan angin. Selama “Ini jelas teguran sekaligus hukuman! Karena kita angin berembus, api seperti tembok pejal tak tertembus masih menyimpan pendosa. Dosa Kentos belum semprotan air. Terik dan kering puncak kemarau termaafkan,’’ Pak Kadin terus menguasai pembicaraan. semakin mempergosong lahan dan pohon-pohon jati. “Sekarang hutan terbakar, besok-besok api bisa Entah dari mana muasal api pertama, banyak tangan saja menyambar permukiman!’’ berusaha memadamkannya tapi belum berbuah nyata. “Tapi, Kentos kulihat begitu sayang pada pohon- “Siapa yang begitu tega membakar hutan?’’ Kentos pohon jati,’’ kawan blandong Kentos membela. melongo menyaksikan api bak tangan besi, perlahan “Apa kalian lupa, maling mana mungkin berkata menghanguskan. jujur. Banyak tipu muslihat!’’ Pak Kadin seorang diri Matanya berkilat. Entah karena perih tertutup menghujati Kentos. Bisik-bisik beranak di barisan kabut atau dadanya sakit tersayat. Tangan Kentos tak belakang. Kentos hanya mencoba tak tersulut emosi. kuasa memadamkan. Kentos sesekali meronta kesal. Tangannya mengepal. Mimiknya memerah. Namun Kepada siapa? Tak patut, mantan preman seperti dia, terus disembunyikan. protes ke kemuliaan Tuhan. “Aku hanya memberi saran, kebakaran hutan tidak Sesekali api tampak padam. Tapi sekam yang akan padam sebelum Kentos meminta maaf ke semua tersimpan masih tetap saja membara. Hari ini api korbannya!’’ Pak Kadin njenggerat berdiri dari posisi padam, esok kembali muncul kobaran. Angin kering, sila. Dengan pongah, Pak Kadin membelah saf-saf

412 413 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 POHON MENANGIS | Teguh Affandi warga Kedungalas yang melingkar di balai desa. terus saja menangisi pohon jati yang terus terbakar Semua mata menatap Kentos, menunggunya dan kekerdilan dirinya yang tak mampu berbuat apa- bereaksi. apa. Alih-alih memadamkan. “Malam ini aku hanya bisa menangis,’’ kalimat “Hujan bak tangisan sebatang jati yang tak kunjung Kentos terputus. Hatinya begitu lembut dan getas bila menghujani bumi.’’  tersentuh.

API seperti kodratnya tak mudah dijinakkan bila Catatan: sudah membesar. Konstan meluluh-lantakkan. sangkan paran: penyebab. Disebabkan gerak api-api itu begitu cepat, pohon jati blandong: orang yang pekerjaannya menebang kayu. yang terbakar pun cepat bertambah. Lebarnya semakin rolasan: istirahat makan siang, jam 12-13 siang. ketombol: sarang semut angkrang. sulit diukur, hanya mampu dikira-kira. Kemarin hanya sekian, esoknya sudah sekian hektar bertambah. Bala bantuan turun hanya mendinginkan api, bukan memadamkan sekam. Kentos bediri mematung menatap ibu jati yang kemarin disayang-sayang. ‘’Maafkan aku. Aku tidak bisa memadamkan api yang membakar tubuhmu. Apabila kamu terbakar lantaran azab atas dosaku masa lalu, maafkan sekali lagi. Apa air mataku cukup kuat memadamkan apimu?’’ Kentos lantas tergugu. Api semakin lama berkobar di mana-mana dan semakin luas menganguskan. Asap tebal berwarna kusam mencekau awan. Dada Pak Kadin semakin tersulut bara dendam. Matanya tertutup kabut amarah kepada Kentos. Logikanya tersungkup jerebu, hingga serta merta mendakwa Kentos. Sebaliknya Kentos

414 415 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PEREMPUAN BERAMBUT PANJANG DAN LELAKI SUNYI | Daruz Armedian Perempuan Berambut Panjang dan Lelaki Sunyi Daruz Armedian Sabtu, 22 November 2015

EPERTI dalam puisi, ia menangis di tengah hujan. Agar airmatanya menyatu dalamS rintik air dari langit itu dan orang-orang akan mengira ia baik-baik saja. Tetapi, siapakah  namanya? Malam ini aku terjebak di warung kopi. Hujan yang makin deras hampir saja membuatku lupa kalau ini sudah dini hari. Penunggu warung pun, kelihatannya sudah tertidur dari tadi. Sepi. Tak ada suara apa pun kecuali suaraku sendiri. “Duh, orang-orang pada ke mana ya. Hujan tengah malam pula.’’ Padahal itu hanya gumaman belaka. Perempuan itu seperti tak punya selera untuk bangkit dari duduknya. Dari sebuah batu besar dekat pohon cemara, di dekat gawang lapangan sepak bola. Rambutnya yang panjang

416 417 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PEREMPUAN BERAMBUT PANJANG DAN LELAKI SUNYI | Daruz Armedian dibiarkan kelihatan panjang. Tidak digelung. Aku ingin memanggil, tetapi tubuh ini terasa gigil. Gigi gemerutuk dan mata disengat kantuk. Biarkan saja ia di sana. Biarkan saja aku di sini. Aku biarkan ia sendirian di sana. Apa toh urusanku padanya? Aku tak mengenal. Atau barangkali pernah kenal, tapi lupa. Ah, sudahlah. Apalagi dari mana ia berasal. Sungguh naif apabila aku tiba-tiba datang dan bertanya, misalnya: “Kok sendirian? Di mana suamimu?’’ iya kalau ia punya suami, kalau belum, pertanyaan ini pasti perlu diralat. “Hujan-hujan begini, nggak kedinginan, Neng?’’ pastilah nanti aku dibilang sok akrab dan tentunya nyari perhatian. Ah, malas. Lagipula tak ada payung di sini, aku sedang tak selera mengganggu orang yang sendiri. Aku sedang tak ingin basah-basah malam ini. Kuambil rokok dari bungkusnya. Kuambil satu. Dan memang dibungkus rokok itu cuma tinggal satu. Kusulut dengan perlahan. Waktu ini, yang hangat hanyalah nyala korek api. Asap rokok hanya sekedar asap. Tak ada pengaruhnya. Kuhembuskan asap dan membumbung ke atap. Seperti menghembuskan sebuah kesia-siaan. Sialan juga di sini aku terjebak rasa sepi. Rasa dingin yang menusuk pori-pori. Aku melihat lampu-lampu yang semakin kelihatan buram. Hujan deras yang membuatnya begitu. Pohon- pohon jadi sekaku tugu. Aku melihat langit yang kelam

418 419 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PEREMPUAN BERAMBUT PANJANG DAN LELAKI SUNYI | Daruz Armedian namun tak berpetir. Ada juga ternyata masa-masa “Maksudmu?’’ seperti ini: langit yang kelam, dengan deras hujan, “Menunggu waktu membawa seseorang yang namun tak berpetir. Aku kembali melihat batu besar di katanya akan menikahiku?’’ dekat pohon cemara, di samping lapangan sepak bola. Aku tersentak. Sungguh puitis benar. Jangan-jangan Di mana perempuan itu? ia memang penyair sungguhan. Aku ingin bertanya Cepat sekali ia pergi. apakah ia menyukai puisi, tapi itu pertanyaan yang konyol dan kurang tepat kuutarakan malam ini. NAMAKU Lihen. Tapi orang-orang memanggilku Singkatnya, ia menunggu seseorang yang sudah berjanji Cok Pintal. Tidak tahu kenapa. Namamu siapa? Kurang akan menikahinya. lebih seperti itulah aku memperkenalkan diri. “Lihen,’’ “Namaku Elisa, aku menyukai sunyi.’’ Aku kembali tersentak. Lamunanku buyar. Ia Aku menatapnya dengan luka. Dengan mata yang memanggilku. Sungguh, ia memanggil namaku. “Ya, duka. Kok, ada perempuan secantik ini menyukai sunyi. Elisa. Ada apa?’’ Jangan-jangan ia sufi. Jangan-jangan ia penyair “Apakah benar katanya di taman ini, orang-orang perempuan yang hilang sebagai diri. Ah, tidak. Aku menunggu memang hanya untuk disia-siakan pernah mendengar tutur kata orang: jangan penantiannya?’’ membayangkan sesuatu yang bukan-bukan jika Tahu juga Elisa perihal cerita itu. Di taman ini, berdekatan dengan perempuan. Nanti urusannya bisa katanya -cerita ini aku dengar dari kawanku, setiap panjang. orang yang menunggu, memang akan dikhianati. Tetapi, Elisa ini memang sangat pendiam. Sekitar Perjanjian sudah pasti akan diingkari. Entah kenapa, setengah jam, di antara kita tak ada pembicaraan. sudah banyak korbannya. Tetapi, korban-korban itu “Kamu dari mana, Elisa? Kenapa malam-malam memang orangnya tidak tahu. Sedangkan Elisa? begini masih di taman sendirian?’’ kataku. Ragu-ragu. “Kamu sudah tahu tentang taman ini. Tapi kenapa Memulai lagi pembicaraan. malah menunggu di sini?’’ heran, aku utarakan “Aku sedang menunggu.’’ Jawabnya singkat. pertanyaan. Jawaban yang menurutku kurang tepat. “Maka dari itu, Lihen. Aku ingin membuktikannya.’’ “Ehm, menunggu siapa?’’ Gila! Sungguh gila. Ada orang semacam ini. “Menunggu waktu.’’ Menanti seseorang untuk disiasiakan.

420 421 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PEREMPUAN BERAMBUT PANJANG DAN LELAKI SUNYI | Daruz Armedian “Aku tak percaya. Itu cuma mitos belaka, Lihen.’’ Duduk bersama di batu besar dekat cemara di samping Aku ingin bicara panjang lebar. Tentang contoh- lapangan. Agar ia mencintai keramaian. Ia bahagia, aku contoh orang yang menjadi korban di taman ini. Aku juga. Tetapi kebahagiaan itu singkat saja. Tak tahu sendiri misalnya, setiap kali janjian dengan seeorang kenapa, pada malam yang biasa, artinya malam yang untuk ketemuan di sini, pastilah gagal. Orang yang masih memunculkan gemintang, rembulan, dan tentu kutunggu tak pernah datang. Akhirnya beginilah saja gelap dan kunang-kunang, ia bunuh diri. Lehernya jadinya, sampai sekarang aku tak punya pasangan. Aku ia gantungkan di temali yang diikatkan ke wuwung ingin menceritakan itu, tetapi barangkali cuma rumahku, yang itu rumahnya juga, sewaktu aku dianggapnya konyol. Aku buru-buru pamit. berangkat ke warung kopi. “Semoga berhasil penantianmu.’’ Kataku singkat. Mungkinkah ia tidak bahagia bersamaku, dan Ia tak mengangguk tak juga menjawab. Sorot matanya kelihatan tawanya itu memang berpura-pura? Mungkin tajam seolah sebagai jawaban bahwa orang-orang terlalu saja ia masih memendam dendam pada lelaki yang sentimentil terhadap cerita yang tidak masuk akal. katanya akan menikahinya. Mungkin saja ia tak Keesokannya juga seperti itu. Di sana dan menerima takdir ini. Sejak saat itu, aku kembali sendiri. menunggu. Sepuluh tahun kemudian masih tetap Cepat sekali ia pergi. begitu. Seperti tak membutuhkan apa-apa kecuali menunggu hampa. Tetapi tidak. Ia menyerah. Sungguh MALAM ini juga seperti itu. Perempuan berambut kasihan. Padahal ia kelihatan betul perempuan yang panjang kembali di situ. Seperti menanti seseorang yang setia dan kesetiaannya tanpa minta balasan. Sungguh memang tak untuk datang. Malam ini seperti malam jahat laki-laki yang ia tunggu. Sungguh jahat. kemarin, hujan. Musim hujan memang seringkali Merasa iba, kutemani dirinya berminggu-minggu. mengundang hujan malam-malam. Bedanya, sekarang Kurang lebih sepuluh minggu. Setelah kurayu-rayu, masih banyak orang. akhirnya ia mau menikah denganku. Umurnya sudah Mungkin sedang terjebak hujan atau memang sekitar tigapuluh lima tahun, dan umurku sembilan enggan pulang. Orang-orang itu bergerombol di dalam tahun lebih tua darinya. Dunia memang cepat berubah warung. Aku sendirian di sini, di beranda warung. Ia dan cepat berlalu. Dan tentu, di dalamnya terdapat sendirian di sana, tapi aku tak hendak menemuinya. rahasia-rahasia yang tak pernah kita tahu. Untuk apa? Setelah kunikahi, ia sering kuajak menonton bola. Seperti dalam puisi, ia menangis di tengah hujan.

422 423 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KEBIJAKAN | Sucipto

Agar airmatanya menyatu dalam rintik air dari langit itu dan orang-orang akan mengira ia baik-baik saja. Tetapi, siapakah namanya? Aku malah ikut-ikutan Kebijakan menangis. Orang-orang pada memperhatikan. Tapi aku tak perdulikan. Orang-orang memang seringkali sentimental terhadap orang lain menangis yang kelihatannya tanpa sebab. Aku tandaskan kopi. Aku Sucipto habiskan rokok ini. Biar semua tahu, aku tak punya Sabtu, 29 November 2015 teman lagi. Sendiri. Seperti perempuan itu yang sedang menunggu. Sendiri. EMINGGU lagi aku akan bertemu Tuhan. ALANGKAH malangnya nasib Lihen. Di warung Kau bersedia membantuku?” kopi ia menemani sunyi. Setiap malam, ia selalu di S “Tentu saja.” warung itu. Warung dekat lapangan bola. Ia terus saja “Aku ingin menjadi pendengar yang setia memandangi batu besar di dekat pohon cemara. untuk kalian yang akan mengantar kepergi- Orang-orang tak mengerti apa yang dilihatnya. anku.” Kadang-kadang ia menggumam sendiri. Kadang “Kenapa mesti begitu? Kenapa tidak kita menangis sendiri. Dan pandangannya selalu ke situ saja. buat pesta paling besar di negeri ini untuk Seperti memandang sesuatu yang hampa. Maklum saja, mengantarmu bertemu Tuhan?” ia sudah gila. Tak ingat apa-apa semenjak ditinggal “Aku ingin punya banyak cerita kepada istrinya.  Tuhan. Aku mengerti sekali soal tabiat Tuhan yang mahatahu, tapi aku takut kehabisan Oktober 2015 obrolan dengan-Nya yang paling aku rindukan selama ini.” Aku terdiam. Kemudian sepi. “Oh, iya. Jangan lupa undang presiden juga ya. Aku ingin belajar bertutur darinya. Ia sangat pintar bertutur. Aku harus menggunakan tutur paling luhur untuk berkomunikasi dengan

424 425 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KEBIJAKAN | Sucipto

Tuhan,” wajahnya semakin cerah.

KEMARIN wajahnya sangat ceria. Lebih bergelora dari biasanya. Bintang yang selama ini ia tunggu-tunggu akhirnya jatuh juga. Selembar surat bertabur tinta emas dengan bahan kertas paling unggul di negeri ini ia terima. Menteri Pengendali Laju Hidup Rakyat yang mengantarkannya langsung. Kemudian mereka berbincang sangat akrab hingga suguhan kopi tiris. Ia senyum-senyum sendiri setelah sang menteri pergi. Ia buka surat bertinta emas itu. Matanya bergerak khidmat membaca kata demi kata di dalamnya. Kemudian senyumnya berkibar. Ia masukkan surat itu ke dalam amplop. Kemudian tersenyum lagi. Sesaat kemudian ia mengulangi hal serupa. Senyumnya makin berkibar-kibar saja. Ia menatap langit-langit ruang tamu, kemudian memejamkan mata. Mendekati tutup usia, ia terlihat seperti menjelang abadi. Obrolan di warung kopi semakin hangat seminggu ini. Berita di radio, televisi, media cetak, dan media siber dipenuhi dengan headline bertema sama: “Mengantar Mantan Presiden Tutup Usia”. Bahkan, seluruh stasiun televisi berencana menayangkan langsung. Tontonan layar kaca akan seragam pada hari itu, 2-2-2222. Ketika Sungkono menjadi presiden dulu, banyak sekali kebijakan aneh. Namun, sinuhun bisa

426 427 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KEBIJAKAN | Sucipto menerangkan dengan argumen logis. Kebijakan yang pimpin ini memang sudah semakin terbuka dan maju, sangat ramai adalah pembatasan usia hidup. Negara meski korupsi masih menjadi permasalahan laten yang menjamin kesejahteraan rakyat dengan mengatur batas tidak kunjung usai. Sungkono bisa meyakinkan menteri usia hidup warga negaranya. dan jajarannya bahwa kebijakan itu perlu untuk “Jika kita mengetahui batas hidup kita, saya rasa kemajuan negeri. Tentu ia berbicara tidak sedangkal setiap dari kita akan berpikir ribuan kali untuk berbuat yang aku ceritakan ini. Aku tidak punya kemampuan jahat,” Sungkono menjelaskan di hadapan menteri- sepertinya yang mahir sekali berpendapat itu. Ah, untuk menterinya ketika rapat. “Kalau saya ingin makan uang mengingat kata-katanya saja aku kelimpungan. rakyat, saya rasa waktu taubat saya sempit. Bukankah Setahun berjalan, justru kecaman datang dari taubat tidak bisa diskenario semacam itu, Saudara- berbagai negara di dunia. Namun, Sungkono tidak Saudara?” dan seperti biasa, semua hening. peduli. Rakyat pun tidak begitu terpengaruh. Rakyat Aku, sebagai ajudannya kala itu, juga ikut terhenyak. sudah merasakan manfaat kebijakan itu. Jika dilihat dari Ditambah lagi, ia mengusulkan bahwa sebaiknya usia ekonomi keluarga, tentu setiap keluarga lebih berhemat warga negara - tidak terkecuali dia hanya dijatah 55 soal biaya rumah sakit untuk penyakit tua yang hampir tahun hidup. Saat merumuskan hal itu, usianya sudah selalu melanda manusia di usia lanjut. Selain itu, korupsi memasuki 48 tahun. Itu artinya, jika usulannya diterima benar-benar menciut angkanya. Penegak hukum jadi dan menjadi undang-undang, tidak kurang dari satu jujur dan bekerja cepat, seiring kasus hukum yang tahun setelah jabatannya selesai sebagai Presiden, ia benar-benar susut ketika dipimpin Sungkono, yang sendiri yang akan tutup usia karena kebijakan itu. pikirannya tidak pernah aku tebak ini. “Ilmuwan kita banyak sekali. Harus dibuat sistem Negeri kami jadi lebih produktif. Setiap warga yang manusiawi dan tidak menyakitkan. Proses negara memaksimalkan fungsi hidupnya di bidang yang berkunjung ke Tuhan harus dengan indah,” ia ia tekuni dan gemari. Secara spontan, masyarakat jadi menambahkan kala itu karena tidak ada yang lebih tertata menjalani hidup. Mereka punya estimasi menggunakan hakinterupsi. masa pendidikan, pernikahan, serta jenjang karir yang Itu rapat kerja yang ia pimpin beberapa hari setelah sangat tertata rapi. Para atheis juga bekerja dan dilantik menjadi presiden enam tahun lalu. Ia memang menjalani hidup serupa masyarakat yang percaya Tuhan luar biasa. Kebijakan semacam itu bisa disahkan tanpa dan dewa atau dewi. Mereka hidup untuk keberman- kontra yang besar dari masyarakat. Negara yang ia faatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

428 429 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KEBIJAKAN | Sucipto

Warga negara yang usianya sudah lebih dari 55 SEBAGAI mantan ajudannya, aku termasuk orang tahun ketika kebijakan itu disahkan mendapat masa yang cukup dekat dengannya. Menjadi koordinator hidup tambahan setahun untuk menyelesaikan urusan acara tutup usianya adalah penghargaan bagiku. Sesuai duniawinya. Khusus untuk penerima kebijakan ini, ke- permintaannya, aku dan tim mempersiapkkan luarga mereka akan mendapat santunan sesuai kebutu- semuanya. Ia ingin ada perwakilan dari setiap provinsi han keluarga yang ditinggalkan. Sejalan dengan itu, para untuk ia dengar cerita mereka. Kami persiapkan ilmuan bekerja membuat sistem tutup usia yang sangat semuanya dengan sangat rapi dan baik. Setiap provinsi manusiawi dan indah. Dan akhirnya para ilmuan disurvei dengan teliti untuk dijadikan perwakilan. Kami berhasil membuat sistem yang sesuai kriteria itu. juga membuat jadwal bincang-bincang khusus untuk Temuan itu menjadi headline di setiap media yang presiden yang saat ini menjabat beserta menteri ada di negara kami. Masyarakat lega mendengar menterinya. beritanya. Biaya tutup usia itu negara yang menanggung. Kemarin, acara bincang-bincang dengan masyara- Kemudian, setiap warga negara yang akan tutup usia kat sudah usai. Ia mendapati banyak cerita yang sema- diberi perlakuan khusus. Mereka cukup dengan menelan kin membuat mimik wajahnya lebih bersinar. Petronto, “kapsul tutup usia”. Orang yang menelannya akan seorang petani bercerita bahwa setelah lima tahun mengantuk dan tertidur. Di dalam tidurnya, obat itu kebijakan tutup usia diterapkan, petani jadi lebih akan bekerja. Ia akan bermimpi indah dan lama kela- semangat bekerja. Lebih dari itu, kini desanya sudah maan detak jantungnya akan melambat dan berhenti memiliki koperasi tani yang cukup proporsional. Mereka begitu saja. Temuan ini sudah dipraktikkan kepada diberi pendidikan koperasi oleh aktivis koperasi sampai penerima hukuman mati. tuntas. Saat mendirikannya, mereka bekerja siang Sungkono jadi sangat dicintai warga negaranya. malam, sedikit tidur. “Yang kami takutkan bukan jiwa Kepemimpinannya memberi perubahan yang sangat kami yang mati. Kami jauh lebih takut jika cita-cita cepat. Secara pribadi, aku kagum dengannya. Ia pernah dan gagasan kami benar-benar mati seiring tutup usia. bilang kepadaku, “Apapun itu, memang harus ada yang Untuk itu, kami jadi jauh lebih fokus,” itu kalimat yang dikorbankan. Itulah revolusi.” Kesan yang aku dapat- sangat aku ingat darinya. kan dari pernyataan itu, seperti setengah ngeri. Ah, Sirilo, seorang peneliti humaniora bercerita padanya tapi ia berhasil membuktikannya. Pengorbanan yang bahwa ia menerima kebijakan tutup usia dan memilih ia utarakan memang berhasil. Dia memang luar biasa. tidak berganti kewarganegaraan karena dengan

430 431 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KEBIJAKAN | Sucipto kebijakan ini, ilmu pengetahuan berkembang pesat. serius ketika mengucapkan kalimat itu dalam sambut- Awalnya ia ingin berpindah kewarganegaraan karena annya. Aku bergidik mendengarnya. Setelah sambutan ia ingin mengkritisi kebijakan ini dari negara lain. “Tapi itu, aku rasa tidak ada yang istimewa. Semua hampir saya urungkan niat itu. Hasil penelitian saya terhadap seragam: bercerita tentang kebahagiaan. Hanya saja, kebijakan ini, justru benar-benar meningatkan mutu Fernandi, presiden baru kami, mohon izin untuk manusia di negara ini,” ia berujar seraya tersenyum. berbicara nanti saja empat mata dengan Sungkono. Aku rasa pertemuan hari ini juga akan serupa - Sungkono tersenyum pertanda ia membolehkan. pertemuan bahagia. Pukul 09.00 pagi, presiden dan para Setelah bincang-bincang itu selesai, Sungkono menterinya sudah berkumpul di ruangan yang juga bergegas ke ruangannya hendak mempersiapkandiri digunakan untuk pertemuan dengan masyarakat biasa untuk prosesi tutup usia. Para wartawan langsung kemarin. Permintaan Sungkono memang seperti itu, diarahkan dan diatur posisinya terlebih dulu di ruangan “Jangan bedakan pelayanan setiap warga negara.” prosesi tutup usia. Tidak jauh dari ruang pertemuan, Kalimat itu muncul lagi menjelang tutup usianya - presiden menghampirinya. Tidak jauh dari mereka, aku kalimat yang selalu ia utarakan ketika menjadi presiden. mendengar sedikit percakapan mereka. Hari ini adalah hari berbahagia baginya. Seperti “Bung, aku ingin mewujudkan permintaan perkataannya tempo hari, ia akan bertemu Tuhan-nya. terakhirmu. Sungguh suatu kehormatan bagiku untuk Ia semakin terlihat bahagia. Tamu dari istana pun hari mewujudkannya,” Fernandi menyampaikan niatnya ini ikut bahagia, ada beberapa yang terharu, namun sedikit berbisik. “Sungguh?” Sungkono menatapnya aku yakin itu adalah tangisan bahagia karena Sungkono dalam. Aku melihat ada yang aneh dari perubahan sudah selesai melakukan apa yang ia gagas. mimik wajahnya. “Apapun itu. Pemimpin sejati tidak “Saya sangat berbahagia karena akhirnya saya bisa pernah mengingkari janjinya,” Fernandi membalas berjumpa bapak ibu sekalian pada hari ini sebelum saya dengan mantap. Tatapan Sungkono masih belum berjumpa Tuhan beberapa jam ke depan. Tentu ini berubah. “Aku ingin kau menggantikanku saat ini,” adalah pengalaman pertama saya berjumpa Tuhan. Saya Sungkono mengecilkan suaranya.  takut kehabisan obrolan dengan Tuhan, di depan singgasana-Nya. Saya yakin bahwa Tuhan Maha Tahu, (Cerita untuk Jaka Aidhilla Akmal) tapi saya merasa ini penting bagi saya pribadi sebagai bentuk pengabdian kepada Pencipta,” wajah Sungkono

432 433 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 BULAN SEMBUNYI DI KAMAR SAKTI | Dadang Ari Murtono Bulan Sembunyi di Kamar Sakti

Dadang Ari Murtono Sabtu, 06 Desember 2015

UATU pagi di bulan Desember, Sakti terbangun dan mendapati jendela kamarnyaS terbuka, kelambu yang tergantung di sana bergoyang terkena pukulan angin yang  dingin, dan seonggok bulan meringkuk bersandar di pintu kamar. Dari bau tanah yang menyusup ke dalam kamarnya, Sakti tahu hujan baru saja reda. “Apa yang kaulakukan di sini?’’ tanya Sakti setelah dua kali menguap, merentangkan tangan dan kaki, lalu menelengkan lehernya hingga terdengar bunyi ‘tak’. ‘’Bukankah kau seharusnya bergelantungan di langit?’’ “Seseorang berniat jahat kepadaku,’’ jawab bulan. “Seseorang?’’ “Ya. Seseorang. Seorang pemuda. Aku tahu. Aku yakin.’’

434 435 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 BULAN SEMBUNYI DI KAMAR SAKTI | Dadang Ari Murtono

“Seberapa yakin?’’ “Seratus persen!’’ Hal ini benar-benar membingungkan bagi Sakti. Sejauh yang diingat Sakti semenjak keberadaannya di dunia yang fana ini, bulan selalu ada di langit, berjalan seperti seharusnya, terbit menghilang mengikuti siklusnya, dan tak pernah ada orang yang berniat jahat kepadanya. Lagipula, bila memang benar apa yang dikatakan bulan, niat jahat itu dengan tujuan apa dan cara semacam apa yang paling mungkin ditempuh demi tercapainya niatan tersebut? Seandainya yang berkata bahwa seseorang memiliki niat jahat kepadanya bukanlah bulan, melainkan, misalnya, pemilik toko emas atau juragan tanah yang baru menjual sebagian lahannya, tentu akan lebih mudah bagi Sakti untuk percaya. “Darimana kau tahu hal itu?’’ tanya Sakti pada akhirnya. “Dia terus menatapku, orang yang berniat jahat itu, pemuda itu maksudku. Kau tahu, sudah tujuh malam dia meringkuk di halaman rumahnya dengan jaket tebal dan memandangku dengan pandangan yang penuh keinginan, penuh hasrat untuk mengambilku, menjatuhkanku dari langit, lalu aku tidak tahu nasib seperti apa yang direncanakannya kepadaku, bahkan membayangkannya saja aku tidak mampu. Tapi kemungkinan ia akan memotong-motong tubuhku dan menjualnya kiloan di pasar sangat terbuka.’’

436 437 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 BULAN SEMBUNYI DI KAMAR SAKTI | Dadang Ari Murtono

“Ini konyol!’’ Seru Sakti. Perutnya lapar dan lewat? Bahkan sesungguhnya, Sakti tak sepenuhnya kepalanya pening karena ini sudah waktunya minum percaya bila masa seperti itu pernah benar-benar ada. kopi, sedang pintu keluar kamarnya terhalang oleh “Mereka, orang-orang yang bermain dan onggokan benda bulat yang buruk sekali teksturnya. berkumpul di bawah cahaya bulan purnama itu, kalau Bertahun-tahun yang lalu, dalam buku pelajaran tidak tinggal dalam dunia fiksi, pastilah orang-orang sekolahnya, Sakti pernah melihat gambar benda seperti primitif!’’ yakin Sakti setiap kali terkenang hal tersebut. yang kini ada di hadapannya. Bulan, keterangan gambar “Ini memang konyol, tapi ini memang benar-benar dalam buku pelajaran itu. Keterangan perihal ukuran terjadi. Seorang pemuda menginginkanku entah untuk bulan dalam buku itu membuat Sakti berpikir alangkah apa, seseorang akan melakukan hal tidak menyenang- tololnya orang yang menulis keterangan tersebut. kan atau bahkan menyakitkan terhadapku,’’ bulan Namun ketololan itu tidak terlalu mengganggu Sakti. bersikeras dan ucapannya membuyarkan lamunan Saki. Di jaman sekarang, siapakah yang tertarik mengurusi “Hanya orang tolol yang berpikiran jahat tapi tidak bulan hingga ke detil-detilnya selain orang-orang penting seperti itu!’’ ujar Sakti kurang pekerjaan yang menyebut diri mereka ilmuwan? Dulu, mungkin memang pernah ada suatu masa di PADA waktu itu, di belahan lain bumi, di tempat mana di banyak tempat, bulan begitu dinanti-nantikan ketika matahari tenggelam dan menjelma matahari kehadirannya, apalagi bila tiba malam di mana bulan terbit di kota Sakti, kehebohan terjadi lantaran orang- menjadi purnama. Anak-anak akan bergerombol dan orang menyadari bahwa malam itu, bulan tidak muncul. memainkan permainan apa pun yang bisa mereka Kehebohan itu memang tidak lama, tidak sampai lakukan tanpa mengeluarkan sedikit pun biaya pada setengah jam, dan orang-orang lalu memutuskan untuk malam-malam semacam itu. memikirkan masalah lain yang lebih penting, seperti Listrik belum masuk ke kampungkampung, dan menentukan menu makan malam mereka. cahaya bulan benar-benar indah, dan yang lebih Dalam pikiran mereka, apa sih pentingnya bulan penting, cukup terang. Bapak-bapak dan ibu-ibu juga ada atau tidak. Pada tanggal-tanggal tertentu, bulan menemukan tempat bagi mereka untuk berkumpul dan tidak tampak sama sekali, lalu perlahan muncul dalam membicarakan segala hal, mulai harga bawang hingga bentuk sabit sebelum akhirnya menjadi benar-benar merk sampo tetangga. bulat sempurna, dan kemudian kembali menjadi sabit Tapi bukankah masa-masa seperti itu telah lama lalu lenyap sama sekali. Begitulah yang terjadi setiap

438 439 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 BULAN SEMBUNYI DI KAMAR SAKTI | Dadang Ari Murtono bulan, sepanjang tahun, sepanjang masa. Dan ketika sehingga menjadikannya planet yang tak layak huni, bulan sedang purnama atau tidak tampak sama sekali, bukan saja bagi manusia, melainkan juga pada segala kehidupan tetap berjalan sebagaimana mestinya. Yang jenis makluk hidup di dalamnya. Penjelasan panjang miskin mesti terus bekerja keras demi uang, dan yang ini sesungguhnya bisa disederhanakan dalam frasa: kaya juga harus terus bekerja keras agar uang mereka bumi akan kiamat! semakin bertambah, terus bertambah, dan bahkan Beberapa ilmuwan yang mengetahui hal tersebut mereka akan terus berupaya menambah uang mereka segera membuat suatu rilisan bahwa bulan mesti sekali pun mereka tak lagi menemukan cara untuk ditemukan secepatnya, bagaimana pun caranya. menghabiskannya. Dengan alasan yang berbeda, sekelompok penyair (satu- Seperti Sakti, hampir semua orang menganggap satunya golongan masyarakat pada jaman ini selain hanya orang-orang dari dunia fiksi atau primitif yang ilmuwan yang benar-benar panik dengan menghilang- menunggu-nunggu cahaya bulan dan bermain-main nya bulan) dengan lantang menyatakan dukungan pada di bawahnya. pernyataan tersebut. “Bagaimana kata ‘bulan’ akan Tapi segera terbukti bahwa pikiran-pikiran tentang bertahan dalam kamus bila bulan tidak ada? Dan tidak berpengaruhnya bulan terhadap kehidupan bagaimana kami menulis puisi yang bagus bila kata mereka adalah sesuatu yang keliru. ‘bulan’ tidak ada?’’ dengus para penyair itu dengan kesal. Dan inilah yang mungkin terjadi bila bulan tidak Kesal sekesal-kesalnya kesal. ada: a) gravitasi yang dimiliki bulan akan lenyap, dan itu berakibat, b) air pasang laut pada malam hari tidak DI sebuah tempat yang lain, ribuan kilometer dari ada hingga satu-satunya pasang adalah akibat dari rumah Sakti, seorang pemuda yang tengah dikungkung gravitasi matahari yang tentu saja hanya akan terjadi oleh gangguan kejiwaan, melolong sambil menatap pada siang hari dan itu membawa dampak, c) langit yang suwung. Hari juga sedang malam di tempat gelombang laut akan lebih tinggi. Selain itu, akan terjadi, si pemuda. d) gempa bumi dan aktivitas vulkanik gunung berapi Sepuluh hari yang lalu, pemuda itu adalah pemuda yang meningkat, lalu, e) dalam jangka panjang, poros yang merasa menjadi orang paling bahagia di bumi. rotasi bumi akan bergeser. Dan bila poros rotasi bumi Secara ekonomi ia mapan lantaran warisan orangtuanya bergeser, akan menyebabkan, f) perubahan iklim yang berlimpah dan ia tidak perlu bekerja apa pun untuk ekstrem yang berujung pada kekacauan kondisi bumi bertahan hidup, setidaknya sampai enam puluh tahun

440 441 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 BULAN SEMBUNYI DI KAMAR SAKTI | Dadang Ari Murtono lagi. Dan ia juga memiliki seorang kekasih yang kalau kau mengetahui bagaimana cara pemuda itu diyakininya tidak dilahirkan di bumi ini. menatapku selama tujuh malam ini, kau akan tahu “Kamu benar-benar berasal dari surga,’’ ujar si bahwa pemuda itu tidak main-main,’’ kata bulan. pemuda berulang-ulang setiap kali ia terpesona pada si Sakti semakin tidak dapat berpikir lantaran jam perempuan. Dan karena setiap hari, setiap saat, ia minum kopi sudah terlewat sejak tigapuluh menit yang merasa terpesona, maka setiap hari, setiap saat, ia lalu. Kepalanya bertambah pening. Dan antara sadar mengucap kalimat itu pada si perempuan. Awalnya, si dan tidak, Sakti bertanya, “lalu apa yang bisa kulakukan perempuan senang mendengar pujian itu, dan ia tidak untukmu? Katakanlah dan aku akan membantumu dapat menyembunyikan semburat kemerahan di kalau aku mampu asal kau mau sedikit bergeser dari pipinya. Namun seiring waktu, setelah hampir setahun pintu kamarku.’’ ia terus-terusan mendengar kalimat yang sama, ia “Biar untuk sementara waktu aku bersembunyi di merasa kekasihnya itu menjemukan. Ia menginginkan sini. Percayalah, aku tidak akan merepotkanmu. Aku kalimat rayuan yang baru tapi tampaknya lelaki itu hanya tidak perlu makan atau minum, atau mandi. Aku hanya memiliki jumlah kosakata yang begitu terbatas. Alih- perlu tempat secukupnya sampai pemuda itu putus asa alih bahagia, si perempuan pada suatu hari memutuskan dan mengurungkan niat jahatnya.’’ pergi diam-diam setelah menulis surat yang isinya: “Dan kapankah itu?’’ jangan cari aku sebab aku akan pergi ke bulan dan “Aku tidak tahu. Tapi aku berharap tidak akan kamu tidak tahu cara naik ke sana. lama.’’ Tentu saja kalimat itu tidak dimaksudkan bermakna “Terserah kau saja. Dan sekarang kau boleh harafiah. Yang ingin disampaikan si perempuan minggir,’’ kata Sakti pada akhirnya sebelum dengan sebenarnya hanyalah ia telah jenuh dan tak mau lagi terhuyung ia melewati celah yang tercipta berkat bersama si lelaki. Peristiwa itulah yang memberi pukulan beringsutnya onggokan bulan yang tengah menderita telak pada kejiwaan si pemuda, menghukumnya dengan dan merasa terancam tersebut. Sakti bahkan lupa kelinglungan agung yang tak terobati. Dan dalam bertanya, kenapa bulan memilih kamarnya sebagai keadaan terguncang, ia memikirkan sesuatu yang benar- tempat bersembunyi dan bukannya tempat lain, kantor benar sulit dicerna akal sehat: menjatuhkan bulan. polisi, misalnya. 

“AKU juga berpikir kalau pemuda itu tolol. Tapi

442 443 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PARA PERASUK | Ken Hanggara Para Perasuk

Ken Hanggara Sabtu, 13 Desember 2015

UN pamit setelah sebelumnya berjanji membawa kembali tubuhku. Bertahun- tahunJ tubuh itu hilang dan kini aku hidup di tubuh seorang kapten. Tidak ada yang tahu, tentu saja, kalau jiwa si kapten berkelana dan  sesat di sekitar tebing dekat mercusuar. Karena hanya aku, satu-satunya manusia, yang mampu hidup dalam seribu tubuh warna-warni, sekalipun sejarahku tunggal.

AKU lahir lewat pemberontakan seorang wanita. Kepada kusir kuda, yang perantau dari negeri antah berantah, wanita itu meminta- tepatnya mengemisbenih. Maka, di suatu hari yang dulu, benih itu bertumbuh di rahimnya, membesar dan kian membesar oleh putaran waktu. Malaikat dan setan bertaruh pada masa- masa sulit karena ketika itu perang masih begitu

444 445 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PARA PERASUK | Ken Hanggara

purba dan manusia bisa saja memakan tubuh manusia yang lain. Malaikat bertaruh, “Aku percaya suatu saat anak ini menjadi pahlawan.” Setan terpingkal-pingkal, sebelum akhirnya menanggapi, “Baiklah, kau percaya dia jadi pahlawan. Aku malah menduga anak ini suatu saat tumbuh menjadi bajingan.” Demikianlah, suatu pertaruhan terjadi tanpa sepengetahuan ibuku yang memang seumur hidupnya tidak terlalu mengenal malaikat atau setan; juga tentu saja, tidak bisa tidak, tanpa sepengetahuan diriku yang masih setengah manusia dalam perut seorang wanita. Setahun kemudian, mungkin, aku sudah bisa dise- but manusia karena bentukku ini tidak lain seonggok bayi. Alangkah suci, kata biarawan di gereja tempat Ibu tersungkur karena malam itu, malam di saat aku dilahirkan, badai besar melanda kota dan ia tidak bisa pulang. Biarawan memberi kamar khusus, tempat gelap tapi harum, dan di sana tinggal seorang nenek yang mengaku tersesat dan tidak tahu jalan pulang. Kata Ibu—beginilah kelak ketika aku dewasa, kudengar dari orang, “Mau jadi Ibu saya? Tapi, saya cari uang dulu. Adakah pekerjaan di pasar? Apa saja, yang penting saya bisa dapat uang. Lalu saya nabung. Mungkin, dua sampai tiga bulan. Setelah itu, kita pergi sama-sama.” Kalimat itu terasa ganjil di kuping si nenek yang entah berasal dari kasta mana; Ibu memang tak pernah

446 447 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PARA PERASUK | Ken Hanggara mementingkan hal itu, meski berkali-kali dalam materi suka suasana gelap mencekam, meski hantu sekalipun, di sekolah bab kasta berusaha dijejalkan tangan-tangan jiwa si penari sesekali tampak di antara pilar-pilar gereja. licik para guru yang berada dalam kontrol seorang raja. Kudengar, dari ahli nujum yang jadi sahabatku, “Dia “Ka, kamu... Sepertinya saya pernah melihatmu,” benar-benar gila. Penari itu mengadu pada Yesus agar tukas si nenek. Perempuan muda yang hamil geming. kau dihukum dan masuk ke tubuh sang penebus dosa- Kusir dari negeri antah berantah telah mati dipancung; di hari ketika pasukan Romawi menggiringnya ke atas ia tak bisa mengancam apa-apa, karena ayahnya adalah bukit, tentu saja.” raja. Raja selalu berhak atas apa pun, termasuk nyawa Aku tertawa terbahak-bahak. Kubayangkan aku bayi di rahimnya. Nyawa calon cucu! Raja selalu berhak terbang melintasi waktu dan hidup di tubuh Yesus, lalu berbuat apa pun, termasuk menangkap dan disiksa dan disalib. Alangkah mengerikan. Tapi, memenggal si kusir tanpa identitas, karena putrinya kubilang apa? Aku bisa hidup di seribu tubuh warna- tak sudi dinikahkan dengan anak dari sobat lamanya warni dan aku tak mati kecuali dalam tubuhku sendiri. di negeri seberang, sehingga dengan gila mengemis Begitulah. Aku mengilhamimu. Kau paham? Raja benih pada kasta rendahan. Harapannya: terhindar dari itu dulu membikin cacat anakku dan dia dibuang ke pernikahan yang ia tak ingini. lembah setan. Dialah yang akhirnya hidup di tubuh orang mati untuk membunuhi kaki tangan Yang Mulia, SUDAH empat puluh dua kali Jun melayaniku; karena ayahmu sama sekali tak tersentuh!” entah di lapangan, entah di ranjang. Artinya, sudah “Benarkah? Saya tidak tahu cerita itu. Saya juga empat puluh dua tubuh kubawa dan akhirnya mati. tidak percaya di negeri kita ada seorang nabi.” Yang paling kuingat-sungguh, di bagian ini, ingatan “Bukan nabi. Tepatnya, orang yang sangat suci adalah barang berharga yang rekat di otak seakan dan jauh dari perbuatan dosa atau laknat, hingga dibalur lem besi-adalah saat aku masuk ke tubuh banyak yang menganggapnya nabi.” seorang penari. Jun datang sebagai murid dan ia tanpa “Lalu?” orangtua. Orang tentu saja tidak curiga. Ia lelaki, aku “Lalu orang suci itu mati-jiwanya pergi ke bukit lelaki—jiwaku, maksudku—dan aku dalam tubuh tempat Yesus disalib dan di sana mulai meratap-ratap, perempuan. tetapi ia sendiri mulai tidak yakin pada siapa ia harus Penari yang malang. Ia harus berkelana di sepanjang menyembah, karena toh nyatanya, sesuci apa pun tebing dekat mercusuar, atau kalau tidak, bila ia tidak manusia, kalah juga dengan yang namanya setan dan

448 449 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PARA PERASUK | Ken Hanggara ia siap digiring ke neraka. Haha. Tidak adil, bukan? “Tidak cuma itu. Anakku, kau tidak tahu, anakku Neraka bagi orang suci adalah bayaran seperti kau yang malang itu benci aturan di semua agama yang menjual susu segar dan ditukar darah tikus. Ayahmu disebar di sini. Dia tidak mengenal Tuhan, tetapi juga perayu andal! Si suci, dengan bayaran menggiurkan, menentang raja yang suka bikin aturan sinting. Hak- turut mencoreng belang di jidat anakku sehingga ia hak rakyat dirampas, kurasa kau tahu bagian ini.” malu dan merasa dikhianati. Ia benar-benar dibuang.” “Baiklah. Ceritakan ending-nya. Saya tidak sabar “Saya prihatin, Bu. Ayah saya memang kurang dan waktu kita sedikit, Bu.” mengutus Jun untuk tugas berat menculik beberapa “Anakku itu hidup di tubuh seorang korbannya- musuh, mereka yang turut membuangku dari kehidup- ya, nabi itu. Setelah memakai mayat hidup guna mem- an sosial, untuk kupakai tubuhnya dan kuperankan bunuhi musuh satu per satu, ia kira pembalasan yang mereka dengan seburuk-buruk skenario. Pria wanita, lebih manis bukan lagi soal kematian, tapi sejarah. Pem- tua muda, kaya miskin, tiap orang akan lepas dari bunuhan, betapa pun sadis, akan dikenang sebagai ke- tubuhnya dan tersesat entah ke mana. Dan salah satu matian yang tak patut. Sedang sejarah, ia akan ada cara membunuh karakter adalah seks bebas dengan sebagai kenyataan, yang tidak lepas bila suatu hari nanti, Jun, pelayan setiaku. Tentu saja itu berlaku jika perlu. seribu tahun lagi, kau membahas nama seorang tokoh Maksudku, jika aku masih harus kehilangan tubuhku. di kelas dengan bocah-bocah kecil yang bodoh. Sebut saja, sejarah buruk untuk musuhmu. Tidakkah itu AKU lahir membawa dendam. Cerita ini juga manis?” kudengar dari seseorang. Nenek itu, yang sempat hidup Ibu—sebagaimana cerita yang kudengar dari di ruang belakang gereja, memiliki kisah ajaib yang orang—mengangguk pelan saat itu. Ia tahu cara tepat setengah ibuku percayai. Kisah pembalasan dendam membalas raja. Orang yang merusak hidupnya, seorang setan pada nabi dengan merasuki tubuh si membunuh cintanya ke seorang kusir tak bernama, nabi untuk bikin kekacauan. Aku sendiri tidak pernah dan memaksa pernikahan yang tidak ia ingini. dengar kisah itu. Memang itulah dongeng. Karangan si nenek yang belakangan diketahui Ibu sebagai SAYANG sekali. Kadang-kadang, racun tikus tidak pengikut iblis. membunuhmu, kecuali apa yang ada di tubuh. Hanya “Lihat, Anakku,” katanya penuh tekanan, “kisah tubuhmu yang mati dan jiwamu bertahan di udara ini mestinya ajar.” bebas, melayang tidak jelas, setiap hari, sepanjang tahun,

450 451 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 PARA PERASUK | Ken Hanggara selamanya-kaulah kisah hantu yang ditutur ke para pengakuan panjang. Sejarahku kupahami; dari benih bocah sebelum gelap merayap tanah. siapa aku lahir, bagaimana Ibu mati, dan kenapa aku Itulah yang terjadi. dibenci orang. Raja tahu aku cucu yang dulu tidak jadi Ibu meminum ramuan dari si nenek, yang mati. Dan ia masih berkuasa saat itu, sampai tubuh kemudian mati karena iblis meminta ia pulang ke remaja yang kubawa hilang oleh penculikan dan jiwaku rumah, ke neraka. Setelah nenek itu mati, Ibu kejang- terbang mencari tubuh lain, untuk kemudian kejang dan mengejanku dalam wujud seonggok bayi. menghabisi setiap orang yang membuatku susah. Ibu mati malam itu juga, tanpa mewarisi pengaruh ramuan, tanpa sempat membalas ayahnya, sedangkan KISAHKU berakhir setelah sang kapten terbunuh. aku dipungut biarawan, dibesarkan dan dididik dengan Aku tidak perlu cerita soal kapten ini-dia urusan pribadi. pengetahuan: anak ini mewarisi bakat iblis. Aku tinggal menunggu Jun memanggul tubuh Biarawan berusaha mengarahkanku ke kehidupan remajaku, yang diawetkan di ujung dunia oleh pengikut malaikat. Di langit sana, si setan ketar-ketir sebab akan iblis, oleh nenek angkatku tepatnya. Mereka girang, kalah taruhan. Barangsiapa kalah, dilarang membisiki karena setelah peranku sebagai bajingan dari tubuh ke anak Adam selama beratusratus tahun. Malaikat tahu, tubuh, malaikat tidak bisa membisiki manusia selama betapapun tubuhku terkena pengaruh ramuan perasuk beratus tahun untuk berkelakuan sesuai kitab suci. seribu warna, aku tetap menjadi pahlawan jika jatuh Pada hari itu kerusakan makin menjadi. Dari satu ke tangan orang yang baik. Setan tidak puas. Ia kota ke kota lain, dari satu negeri ke negeri lain, seluruh kerahkan daya upaya untuk membelokkan niat dunia, semua diliputi dosa. Kelak Tuhan memilih negeri biarawan. Dan, ya, seperti yang akhirnya ditebak; ialah paling rusak, paling jahanam, untuk dilahirkan seorang setan berjaket manusia. Aku dibimbing dengan cara nabi sejati. Di masa itu aku sudah mati, karena Jun lain dan malaikat tidak tahu itu. membawa pulang tubuhku sore ini, sebelum kuterjun- Setan di tubuh biarawan berperan dengan baik kan raga sang kapten ke mulut hiu. Jiwaku melayang pada pagi hari dan malamnya ia mendudukkanku di ke tubuh remaja yang sepuluh tahun lalu kutinggalkan. ruang rahasia untuk memperdalam ilmu mustahil. Jun, mendadak saja, terlalu tua untuk menjadi “Kau berbakat, Anakku,” katanya. kacungku.  Ketika satu per satu orang berbuat jahat padaku dan aku mulai benci hidupku, setan itu membuat Gempol, 11-12-15

452 453 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MICHELE, MA BELLE | Yudhi Herwibowo Michele, Ma Belle

Yudhi Herwibowo Sabtu, 20 Desember 2015

I sini, tak ada yang benar-benar mengenal Michelle. Mereka mungkin sekadar mengingatD senyumnya—saat ia menagih tagihan—tapi setelah itu ia akan dilupakan. Michelle memang terlalu biasa untuk  diperhatikan. Di tempat karaoke keluarga ini, yang bila malam tak bisa menolak menjadi karaoke esek-esek, ia memang tak terlalu menarik. Kawan-kawan lainnya jauh lebih berani. Mereka memakai tanktop tanpa bra, dan rok pendek 30 centi. Mereka juga akan tersenyum manja bila dicolek. Itu baru pegawai lainnya, belum termasuk LC-nya. Bila mereka sudah datang, dunia seakan terpusat pada mereka. Dan Michelle akan semakin tak dilirik. Sebenarnya kalau diperhatikan, Michelle tidaklah jelek. Ia manis. Senyumnya juga tak kalah dengan senyum Anna, Shinta dan Vina,

454 455 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MICHELE, MA BELLE | Yudhi Herwibowo

para LC itu. Tapi ia berpakaian terlalu biasa. Tata rambutnya juga nyaris kuno, dan kadang—bila sedang membaca—ia memakai kacamatanya yang lebar. Tak ada yang tahu, kenapa Michelle memilih bekerja di sini. Apa baginya sebegitu sulit mencari kerja? Atau karena bayaran di sini memang lumayan, dari pada hanya sekadar menjadi SPG toko? Tak ada yang tahu. Michelle terlalu pendiam untuk menjelaskan. Atau ia memang sengaja memposisikan dirinya tak menjawab apa-apa lagi selain berurusan dengan hanya masalah kasir? Tentu itu kesimpulan yang terlalu berlebihan. Michelle terus memilih ada di tepi. Namun di hari ini, semuanya nampaknya berubah. Ini dimulai dengan kedatangan laki-laki itu. Ia tentu pelanggan tetap karaoke ini. Namanya tentu tak perlu di sebutkan. Yang pasti, ia seorang pembalap. Walau tak ada yang tahu ia pernah membalap di mana, tapi di negeri ini, siapa pun yang sudah menyebut diri pembalap, selalu punya nilai plus. Tak perlu sampai semua orang mendengar prestasinya. Ia seperti sudah memiliki kartu pass untuk memacari perempuan cantik di negeri ini, plus diliput media. Maka itulah, saat ia memilih Michelle, semua yang ada di ruangan ini langsung berkerut kening. Para LC yang sudah mengerubutinya, memandang tak percaya. Tapi laki-laki itu seperti tak peduli. “Maaf,’’ Michelle mencoba tersenyum. “Tapi tugas saya di sini hanya menjadi kasir. Mungkin, Mas bisa...’’

456 457 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MICHELE, MA BELLE | Yudhi Herwibowo

“Tidak, tidak,’’ laki-laki itu menggeleng. “Aku hanya kejadian mengerikan yang pernah terjadi di sini. ingin dirimu.’’ Bagaimana seorang LC pernah harus lari terbirit-birit Michelle terdiam. Ia tahu, menemani seorang laki- saat kawanan laki-laki yang mabuk mulai berniat laki berkaraoke bisa jadi tak hanya menemaninya saja. memerkosanya beramai-ramai. Di antara kata menemani sudah terselip kata mani, Tapi, Suseno, manager karaoke ini, menarik tangan jadi kau bisa memikirkan sendiri hubungannya. Toh, Michelle sebelum ia mengucapkan keberatannya. Layani laki-laki memang tidaklah bodoh. Bila ia benar-benar saja secara profesional, bisiknya. hanya berniat berkaraoke, ia akan melakukannya di “Tapi... aku...’’ Michelle hanya bisa mengucapkan rumah. Ia bisa menyambinya dengan makan , kata-kata yang menggantung itu. Apa yang dimaksud nonton bokep, atau memainkan gadgetnya. Tapi bila profesional? Ia tentu profesional sebagai kasir, bukan ia ke sini, tentu tujuannya bukanlah sekadar itu. yang lainnya. Kawan-kawan laki-laki itu diam-diam mulai men- “Ingat, dia pelanggan lama,’’ ujar Suseno lagi. “Ia duga-duga. Mungkin kawannya itu lelah mendapatkan selalu datang bersama kawan-kawannya menghabiskan perempuan yang terlalu gampang. Mungkin ia kini banyak minuman. Ia tak boleh kecewa.’’ sedang mencari perempuan lugu, yang jarang tidur Tapi Michelle tetap menggeleng. “Dulu saat saya dengan laki-laki lain. Bagaimana pun, cukup menjijikkan melamar kerja di sini, sudah saya tegaskan, pekerjaan membayangkan sebuah vagina dipakai juga oleh banyak saya hanya kasir saja. Tidak lebih.’’ orang. Jadi Michelle melangkah lagi ke posisinya, Michelle sebenarnya tahu tentang itu semua. menghadapi kembali laki-laki itu. “Maaf saya tak bisa Hampir setahun bekerja di sini, ia tahu apa yang kadang- menemani Mas,’’ ujarnya dengan tetap tersenyum kadang terjadi di bilik-bilik karaoke itu. Semakin malam, tamu-tamu kadang tak cukup sabar untuk pindah ke DI sini, tak pernah ada yang benar-benar mengenal tempat lain. Toh bercinta hanya butuh 7 menit, ini Michelle. Jalanan ini selalu sepi. Pohon-pohon bergerak merupakan hasil survey yang pernah dibacanya. Jadi lambat, nampak sudah terlalu tua dan hanya menunggu untuk apa membuang waktu lebih dari itu untuk waktu mati. Para penghuni lain ñyang seperti dirinya- sekadar mencari tempat lain? hanya diam di bilik-bikik kamar mereka. Kelelahan, Yang membuat Michelle semakin tak mengingin- setelah seharian bekerja. Tak heran bila setiap malam, kannya adalah ia sudah pernah melihat sendiri kejadian- jalanan terasa begitu lengang. Hanya seorang pemabuk

458 459 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MICHELE, MA BELLE | Yudhi Herwibowo saja yang terlihat tersungkur di selokan. Michelle tentu yang ada di pinggir sungai. Lalu di sana, ia tak menyangka, kalau hari ini akan terjadi sesuatu memerkosanya dengan kemarahan. Ia bahkan padanya. Ia nyaris melupakan kejadian tadi di karaoke. memerintahkan kawan-kawannya melanjutkan apa Ia berjalan bergegas sambil mendengarkan Beatles dari yang sudah dilakukannya. earphonenya... Lalu mereka selesai, mereka semua membuang tubuh Michelle ke arah sungai. Michelle, ma belle These are words that go together well DI sini, tak ada yang benar-benar mengenal My MichelleÖ Michelle. Ikan, katak dan serangga-serangga malam, Michelle, ma belle hanya diam melihat tubuhnya yang terbawa aliran Sont les mots qui vont tres bien ensemble sungai. Seorang gelandangan yang berniat berak di situ, Tres bien ensemble begitu terkejut saat melihat tubuh itu mendekat padanya. Keinginannya berak seketika lenyap, dengan Michelle benar-benar sudah melupakan kejadian takut-takut ia segera menarik tubuh Michelle. tadi. Padahal kalau ia lebih sensitif, ia seharusnya bisa Tanpa disadarinya, ia sudah menyelamatkan melihat kilatan marah di mata laki-laki itu. Bagaimana Michelle di detik-detik terakhirnya. Kini, ia melihat pun juga, penolakan bukanlah perkara yang bisa tubuh Michelle yang telanjang dan penuh lebam-lebam diterima bagi makluk-makluk tertentu. Termasuk laki- di sekujur tubuhnya. Namun saat ia melihat selangkang- laki itu. Selama ini, ia nyaris selalu berada di atas. Ia an Michelle, nafsunya tiba-tiba muncul. Ia laki-laki yang selalu berpikir bisa mengajak siapa pun, bahkan tak pernah bercinta sepanjang hidupnya. Jadi penisnya perempuan yang jelas-jelas lebih cantik dari Michelle. begitu mudah menegang. Dan ia tak kuasa lagi untuk Maka penolakan itu tentu saja bagai sebuah tamparan tak melakukannya. Cepat-cepat ia melakukannya, wajahnya. Tamparan yang sangat telak. cepat-cepat pula ia kemudian melarikan diri. Jadi dengan kemarahan itulah, ia menunggu Beberapa saat kemudian, Michelle tersadar. Michelle pulang. Tentu orang seperti ini, tak akan Tubuhnya terasa hancur. Ia tentu masih ingat apa yang melakukan segala sesuatunya sendiri. Ia memerintah terjadi padanya. Kemarahannya muncul. Apalagi saat kawan-kawannya untuk menangkap Michelle dan ia teringat pada wajah laki-laki itu, yang memaki dan membawanya ke tempat sepi: sebuah rumah kosong menamparnya berkali-kali. Sempat terpikir untuk

460 461 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 MICHELE, MA BELLE | Yudhi Herwibowo melakukan balas dendam. Tapi tentu dirinya bukanlah yang berdarah, toh ia bisa menutupinya dengan tokoh-tokoh seperti di film-film horror. Yang bisa senyum. dilakukannya sekarang, hanyalah menyeret kakinya menuju rumah. DI sini, tak ada yang benar-benar mengenal Michelle membersihkan tubuhnya berkali-kali. Michelle. Sepanjang hari ini, sampai di pagi hari Sejenak saat ia melihat wajahnya di cermin, ia bertanya menjelang waktu kerja, tak ada satu pun kawannya sendiri, ‘’Mirror mirror on the wall,’’ ia seperti mengikuti yang menghubunginya. Kali ini, Michelle mungkin nada-nada sebuah film yang pernah ditontonnya, ‘’apa hanya menduga-duga. Toh, ia tak bisa benar-benar yang harus kulakukan sekarang? Apa aku harus tahu, karena ponselnya memang hilang sejak malam melaporkan kejadian ini pada polisi?’’ tadi. Tapi ia sudah mendengar untuk melaporkan Dengan tubuh yang masih terasa perih, Michelle sesuatu pada polisi, ia harus mengeluarkan uang. datang ke kantornya. Ia sengaja datang paling awal. Padahal sekarang ia tak punya cukup uang. Gajinya Tapi ternyata Suseno -managernya- sudah ada di dalam masih akan dibayar dua-tiga hari lagi. kantor. Ia seketika menatap Michelle dengan tatapan Michelle menangis perih. Apalagi, bila ia benar- tak mengerti. benar melapor, semua orang akan tahu aib yang “Kau masih datang?’’ tanyanya. menimpa dirinya ini. Ia tahu bagaimana media “Apa kau tak membaca pesanku?’’ mengekspos kejadian-kejadian seperti ini. Orang tuanya “Ponselku hilang...’’ ujar Michelle mencoba di desa, yang masih harus dikirimi uang setiap bulan, menutupi wajahnya. pastilah akan sangat malu. Terlebih baginya, ini seperti “Memangnya ada apa?’’ membunuh dirinya sendiri. Ia pasti tak akan punya Suseno menghela napas, ‘’Aku minta kau tak perlu muka untuk kembali datang ke tempatnya bekerja. Ia datang lagi ke sini. Kau dipecat sejak semalam.’’  tak akan punya keberanian bicara lagi dengan para pelanggan karaoke lainnya. Tangis Michelle makin menyayat. Hatinya benar- benar bimbang. Namun pada akhirnya, menjelang dini hari, Michelle menarik napas panjang. Ia memutuskan untuk melupakan saja kejadian ini. Biarlah hatinya saja

462 463 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 NATAL YANG MUKIM DI KAMAR LINDRA | Setia N.A. Natal yang Mukim di Kamar Lindra Setia Naka Adrian Sabtu, 27 Desember 2015

ATAL segera tiba. Besok Natal akan mengunjungi rumahku. Juga pasti Natal akanN mukim di kamarku. Namun kurasa masih sama dengan Natal yang tiap tahun mukim di  kamarku, tetap tak beda. Aku masih tak mampu berbuat apa-apa. Hanya terbaring saja di ranjang sambil meniti kesunyian ini. Walaupun katanya Natal itu sangat indah, damai, dan hanya dentang lonceng yang damai saja yang mampu kudengar. Walaupun aku tak mampu membalas dentang damai bebunyian itu. Kata ibuku, yang setiap Natal selalu bilang kepadaku, katanya Natal adalah hari yang damai. Ramai dengan lampu yang melantunkan doa-doa dari setiap rumah-rumah. Dentang damainya mengalun ke mana-mana. Kedatangannya ditunggu-tunggu oleh umat Kristiani sedunia. Namun hingga tujuh belas

464 465 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 NATAL YANG MUKIM DI KAMAR LINDRA | Setia N.A.

tahun usiaku ini, aku belum pernah menyaksikannya dengan sempurna. Aku tak tahu, kapan Tuhan mendengar doa-doaku pada setiap Natal agar aku diperkenankan menikmati kesempurnaan hari damai itu. Kadang hatiku begitu berat dan berkecamuk dengan begitu dahsyat jika hari hendak menjelang Natal. Lebih-lebih pada masa Natal ini, Sinterklas telah mengecewakanku. Malam itu, pada tanggal 6 Desember, Sinterklas datang di kamarku. Kata ibuku, “Lindra, malam ini kau mesti bahagia. Karena Sinterklas malam ini mengunjungimu. Benar, Lindra. Ini dia datang, akan datang pada malam menjelang pestanya setiap tahun. Sinterklas datang dengan membawa berbagai macam hadiah untuk anak-anak yang manis. Dan kau adalah salah satu anak manis itu, Lindra. Kali ini Sinterklas datang membawakanmu hadiah baju bagus. Sentuhlah, Lindra. Baju yang sangat halus ini, sehalus tubuh dan hatimu.” Aku ingat betul waktu itu, Sinterklas menyapaku, yang kata ibuku, Sinterklas berbaju merah. Kata ibuku, merah adalah warna, walaupun aku sendiri tak tahu warna merah itu seperti apa, “Hai anak manis, aku datang lagi kepadamu. Kali ini aku membawakanmu hadiah baju yang sangat bagus. Berbahagialah ya, Lindra? Malam ini, seorang malaikat penolong yang membawa daftar nama anak-anak yang baik telah memperlihatkan catatannya bahwa kau anak yang baik,

466 467 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 NATAL YANG MUKIM DI KAMAR LINDRA | Setia N.A. kau sangat sayang kepada ibumu. Maka aku Pikirku Sinterklas terkadang memang sungguh memberimu hadiah. Jangan bersedih ya, Lindra. Kau keterlaluan. Namun terkadang aku sadar, tak apa seperti anak manis. Maka aku berhak memberimu hadiah baju itu. Aku cukup bersyukur ketika tiap tahun Sinterklas bagus ini. Berbahagialah.” selalu mau datang kepadaku untuk memberi hadiah. Sejujurnya waktu itu aku sangat marah kepada Dan aku berbahagia, karena seorang malaikat penolong Sinterklas. Kenapa harus memberiku hadiah baju? yang membawa daftar nama anak-anak yang baik telah Bukankah aku sudah banyak memiliki baju bagus? Aku memperlihatkan catatannya bahwa aku anak yang baik, sebenarnya ingin mataku bisa melihat, mulutku bisa kata Sinterklas aku sangat sayang kepada ibuku. Ya, bicara, dan aku tak lagi lumpuh. Aku ingin kau bilang benar begitu. Karena ibuku juga sangat menyayangiku. kepada Tuhan tentang permohonanku ini, Sinterklas! Tetapi ketika itu dan hingga kini aku tetap saja Bukan malah membawakanku hadiah baju! merasa sangat kurang bersyukur atas segala yang Waktu itu aku sangat marah dan sangat bersedih. diberikan Tuhan kepadaku. Aku merasa sepertinya Aku yakin, ibu pasti juga bersedih, karena melihat yang ada di kepala dan sekujur tubuhku tak lebih dari cucuran airmataku. Tapi bagaimana lagi, aku tak hiasan saja. Mataku kosong, airmataku yang hujan selalu mampu menolak ataupun menyanggah segala sesuatu basah meminang kesepian ini. Mata yang seharusnya yang disebut hadiah dari Sinterklas itu. Kapan Sinterklas mampu menemukan yang hendak kucari dan kunikmati mampu mendengar bahasa hatiku? keindahan serta kedamaian hidup di dunia, namun Sungguh aku sangat kecewa dengan Sinterklas. hingga kini aku belum mampu memperoleh itu. Aku Tapi ini mending, ia memberiku hadiah baju, barang juga masih lumpuh dan tidak bisa berjalan. Mulutku yang bisa bermanfaat bagiku. Coba kalau tahun juga bisu. Tuhan tidak adil! Apa dosaku Tuhan? kemarin, aku ingat betul. Tahun kemarin Sinterklas dan Aku ingin menikmati hidup ini dengan sempurna, sukacita yang ia datangkan ke dalam perayaan Natal Tuhan! Karena kata ibuku, dunia ini indah. Ada cahaya di kamarku telah memberiku hadiah sepatu. Apa dan keistimewaan lainnya. Seperti juga tentang Natal Sinterklas tak tahu kalau aku lumpuh dan tidak bisa yang berwarna-warni dengan lampu-lampunya yang berjalan? Tapi tak tahu juga bila Sinterklas punya bermekaran nan indah. Namun itu semua sebatas kata maksud lain kepadaku, ketika memberiku sepatu. ibuku, juga kadang guru privatku yang berkata begitu. Pikirku malah tahun ini ia akan memberiku hadiah agar Ya benar, ibu dan guru privatku sering berkata seperti aku bisa berjalan. Eh, ternyata tidak. itu. Namun aku hanya mampu mendengar saja, hanya

468 469 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 NATAL YANG MUKIM DI KAMAR LINDRA | Setia N.A. telingaku saja yang tidak buta. Aku hanya mampu berusaha bunuh diri. Namun ketika aku berusaha mendengarkannya saja, aku tak dapat melihat atau bunuh diri, ibu selalu saja menangis, juga ibu selalu menjawabnya. Hanya dalam hati saja aku bicara, dan memelukku dengan erat. Maka setelah itu berulang- pasti ibuku atau guru privatku tak tahu apa kata hatiku. ulang kulakukan, aku menjadi sadar, kalau ternyata ibu Dan padahal setiap ada orang berkata-kata kepadaku, sangat menyayangiku. Setelah itu aku menjadi sadar, aku selalu ingin menjawabnya. Siapapun tak pernah tak lagi berusaha bunuh diri atau sekadar menyakiti akan tahu jawaban kata hatiku. Kepada berita di radio diri sendiri. Karena kata ibuku itu adalah perbuatan dan televisi pun selalu aku berusaha menjawabnya. Ya, dosa, Tuhan tak suka dengan orang yang bunuh diri. radio dan televisi yang setiap hari selalu diputarkan oleh Selain itu juga ibu sangat menderita jika aku bunuh ibuku, yang katanya agar aku tahu wawasan. Dan aku diri. Karena kata ibuku, aku adalah satu-satunya yang pun mendengarkan kata ibu, juga apa saja yang keluar dimiliki setelah bapakku meninggal ketika aku dari televisi atau radio. Ya begitulah, informasi- dilahirkan. Ibu pun tak mau menikah lagi, karena ibuku informasi tentang hidup manusia di dunia yang kerap tak mau jika orang yang dinikahinya akan menyakitiku. selalu kudengar. Karena kata ibu dan guru privatku, itu Maka ibu yakin untuk memutuskan tidak menikah lagi, sangat penting sebagai wawasan. Aku turuti kata karena ibu sangat menyayangiku lebih dari apa pun. mereka. Karena aku sangat menyayangi mereka berdua, Berdasarkan pengalaman yang dikatakan ibuku, jika juga agar aku tahu tentang perkembangan dunia serta ibu menikah lagi, maka biasanya orang itu akan jahat manusia yang juga sama sepertiku. Mungkin yang kepada anaknya. Karena orang itu adalah bapak tiri. membedakan hanya nasib saja. Seseorang yang bukan bapak kandung. Karena bapak Sebenarnya aku sangat bosan dengan hidupku ini. kandungku telah meninggal semenjak aku dilahirkan. Dulu ketika masih kecil, beberapa kali aku hendak Kata ibuku, bapakku adalah orang yang sangat baik. bunuh diri. Beberapa kali aku berguling dan terjatuh di Bapakku adalah seseorang yang selalu bekerja keras. lantai, lalu ada benda-benda padat yang membentur di Buktinya ibuku kali ini tidak kerja. Ibuku hanya di kepalaku. Sempat ada gelas di lantai yang membentur rumah, menemaniku setiap saat dan ketika aku dengan keras di kepalaku. Sontak ketika itu darah membutuhkan. Ibuku selalu merawat dan melindungiku mengucur dengan deras dari kepalaku. Ibuku menangis dari apa pun, bahkan dari nyamuk sekalipun, ketika meraung-raung dan memelukku dengan erat. Itu aku sedang tidur ataupun terjaga. berkali-kali kulakukan, hampir setiap sebulan sekali aku Aku dan ibuku merasa sangat bangga memiliki

470 471 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 NATAL YANG MUKIM DI KAMAR LINDRA | Setia N.A. bapakku, karena ia telah mewariskan semua harta dan benar. Katanya Tuhan adalah segala-galanya, Tuhan segala sesuatu yang dimilikinya untuk aku dan ibuku. adalah pemilik kebahagiaan dan kenikmatan. Maka ya Hingga kali ini aku dan ibuku tak perlu harus bersusah aku pun selalu memohon kepada Tuhan melalui doa, payah untuk mencari uang sebagai pemenuhan hidup, agar ibuku diberi pahala yang banyak. Karena ibu telah untuk makan, pakaian dan lain sebagainya. Lebih-lebih menyayangiku dengan tulus dan sepenuh hati. Juga bagi ibuku yang sudah cukup lelah termakan usia, ibu kepada bapakku yang telah terlebih dahulu menemui tak perlu repot-repot mencari uang untuk menghidupi- Tuhan, dan kepada guru privatku yang selalu mendidik ku yang tak berdaya berbuat apa-apa ini. Aku semakin dan mengajariku tentang berkehidupan di dunia. bangga memiliki ibu. Aku yakin ibu begitu menyayangi- Karena memang hanya mereka saja yang dekat dalam ku. Namun kadang aku masih heran kepada Tuhan, hidupku. Yang selalu setiap hari menemaniku, merawat lagi-lagi kepada Tuhan. Kenapa belum juga mau dan melindungiku dari apa pun. mengabulkan doa-doaku agar aku mampu melihat dan Malam ini aku kembali teringat. Natal segera tiba. berbicara? Aku juga ingin bisa berjalan, tidak lumpuh Besok Natal akan mengunjungi rumahku. Juga pasti terus seperti ini. Aku bosan jika harus selalu di kamar Natal akan mukim di kamarku. Namun kurasa masih ini, Tuhan! Aku tak kuat jika seumur hidup aku harus sama dengan Natal yang tiap tahun mukim di kamarku, selalu di kamar ini! Bayangkan saja, aku setiap waktu tetap tak beda. Aku masih tak mampu berbuat apa- harus selalu di kamar, dari mulai mandi, makan, berak, apa. Hanya terbaring saja di ranjang sambil meniti belajar dengan guru privat serta apa pun itu selalu saja kesunyian ini. Walaupun katanya Natal itu sangat indah, kulakukan di kamar. Yang buta tidak hanya mata dan damai, dan hanya dentang lonceng yang damai saja bibirku saja, namun tubuhku juga buta. yang mampu kudengar. Walaupun aku tak mampu Hanya ibu yang selalu sabar merawatku. Aku membalas dentang damai bebunyian itu. mendengar dengan baik kasih sayang yang selalu ibu “Lindra, apakah kau belum tidur?” sapa ibuku hujankan kepadaku. Semoga kelak aku mampu kepadaku, yang memang belum tidur, “Besok Natal, membalasnya, dan tentunya Tuhan juga harus mau Lindra. Berbahagialah. Ini Natal yang ke tujuh belas memberikan pahala yang melimpah kepada ibuku, juga bagimu. Kau kini telah dewasa. Karena umur tujuh kepada bapakku yang sudah terlebih dahulu menemui belas tahun adalah kematangan bagimu. Apa lagi kau Tuhan. Karena kata guru privatku, Tuhan itu baik hati. adalah perempuan. Berkah Tuhan buatmu, Lindra.” Tapi aku juga tak tahu itu bohongan atau memang Sembari iu mengelus-elus rambutku. Namun sangat

472 473 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 NATAL YANG MUKIM DI KAMAR LINDRA | Setia N.A. menyakitkan, aku tak mampu menjawab apa yang belum bersyukur atas karuniamu, Tuhan. Bagiku, dikatakan oleh ibuku, hanya airmata saja yang mampu hidupku merupakan suatu kesaksian yang cukup bagus kubalas, lebih-lebih agar ibu tahu kalau aku belum tidur. bagi diriku sendiri juga bagi ibuku. Dan airmata ini Dan hanya itu saja yang mampu kulakukan untuk adalah sukacita yang Tuhan datangkan ke dalam merespon lawan bicaraku. perayaan Natal kepadaku juga bagi ibuku. Aku harus “Kau cantik, Lindra. Kau semakin menjadi wanita. yakin, kiranya Tuhan benar-benar mengilhamiku Natal kali ini, ibu ingin bilang sesuatu, namun dengan doa-doaku dan semangat kasih sayang ibuku sebenarnya tak perlu kubilang kepadamu. Karena kau yang tak bertepi, serta teladan hidup agar kita dapat adalah tanggung jawabku. Namun ini juga harus kau merayakan Natal dengan penuh iman.  dengar, entah kau mampu mendengar suaraku atau tidak. Lindra, kau tak perlu bersedih. Ini yang ingin Palebone, Desember 2015 kubilang kepadamu, Lindra. Tentang harta serta kekayaan dari bapakmu kini telah habis. Maka mau tidak mau setelah Natal besok, ibu hendak pergi mencari uang. Entah bekerja apa saja. Mencari uang agar mampu menghidupimu. Hidup kita berdua, Lindra. Maaf, kalau mulai besok mungkin ibu tak mampu menemanimu setiap waktu. Dan mulai besok juga, ibu tak mampu membayar guru privat untuk belajar bersamamu. Juga mungkin besok ibu akan pergi ke gereja untuk menengadah kepada para pengunjung. Agar di antaranya mau berbagi harta. Maaf, Lindra. Ibu akan tidak selalu ada di dekatmu. Tapi percayalah, ibu sangat menyayangimu.” Airmataku mengalir, mengucur dengan deras. Balasku kepada ibu. Sebagai rasa sayang yang tiada terhenti. Aku yakin ibu juga sangat menangis melihat airmataku. Maaf, aku membuatmu sedih. Maaf, aku

474 475 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KORAN TEMPO | Annual Short Story Collection 2015

 Agus Salim, lahir dan tinggal di Sumenep, Madura, 18 Juli 1980. Cerpennya dimuat di beberapa media massa  Ajeng Maharani, lahir di Surabaya. Penikmat sastra ini penulis novel Animus (2014)  Aqib Wisnu Priatmojo, lahir di Bekasi 29 April 1993 dan berkuliah di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret, Surakarta  Budi Hatees, bergiat di Sanggar Menulis Tapanuli Selatan dan menulis karya sastra di berbagai media cetak. Kini tinggal di Kota Padangsidempuan, Sumut  Dadang Ari Murtono, lahir dan tinggal di Mojokerto, Jawa Timur. Buku ceritanya yang sudah terbit berjudul Wisata Buang Cinta (2013) dan Adakah Bagian dari Cinta yang Belum  Pernah Menyakitimu (2015). Saat ini bekerja penuh waktu sebagai penulis dan terlibat dalam kelompok Suka Jalan  Daruz Armedian, mahasiswa filsafat UIN Sunan Kalijaga. Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY) dan aktif mengelola Komunitas Sastra Sunnatunnur (KontraS)  Endang Supriadi, lahir di Bogor, Jabar. Puisi-puisinya termuat di beberapa media massa dan dalam antologi, antara lain Tontonan dalam Jam (1996), Lumpur di Mulutmu (2010), dan Meditasi (2013)  Fandrik Ahmad, cerpenis dan jurnalis yang menulis cerita di sejumlah media massa. Kini bermukim di Jember, Jatim  Fina Lanahdiana, lahir dan tinggal di Kendal, Jateng  Gaza Manta, lahir di Lamongan,

477 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KORAN TEMPO | Annual Short Story Collection 2015

30 Maret 1990, bergabung di LPM Dimensi Politeknik membedah puisinya di Universitas Hankuk Seoul, Negeri Semarang, dan tinggal di Tembalang, Kota Korsel. Dalam waktu dekat akan menerbitkan antologi Semarang  Handry TM., sastrawan dan sineas, tinggal puisi tunggalnya bertajuk Tembang Tembakau  Ken di Semarang  Ida Fitri, lahir di Bireuen 25 Agustus. Hanggara, lahir 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, Sekarang menjadi Penyuluh Kesehatan Masyarakat di dan esai. Karyanya terbit di media-media lokal dan Puskesmas Aceh Timur  Ida Refliana YH., penulis nasional  Lailatul Mafiyah, lahir di Batang, 13 tinggal di Bandarlampung  Iin Farliani, lahir di Februari 1993, mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Mataram, Lombok. Menulis cerpen, esai dan puisi. Dia Indonesia Unnes  Maltuf A. Gungsuma, adalah belajar penulisan kreatif di Departemen Sastra nama pena Ahmad Maltup, lahir di Sumenep, Madura. Komunitas Akarpohon, Mataram, NTB  Ilham Q. Mahasiswa Ilmu Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Moehiddin, buku Perempuan Perempuan Liguria (2015) Yogyakarta ini aktif di Komunitas Menulis Pinggir Rel adalah kumpulan cerpen terbarunya. Buku Ordinem (MPR) Yogyakarta. Cerpen dan Puisinya telah dimuat Peremto akan segera terbit  I Putu Supartika, lahir di di berbagai media  Mashdar Zainal, lahir di Madiun Karangasem, Bali pada 16 Juni 1994 dan berkuliah di 5 Juni 1984, suka membaca dan menulis puisi serta Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan prosa, kini bermukim di Malang  Mawaidi D. Mas, Ganesha Buleleng, Bali. Saat ini dia bergiat di Teater penulis dan aktif di Jurnal Kreativa FBS UNY  M. Kampus Seribu Jendela. Dia menulis puisi dan cerpen Najibur Rohman, lahir di Rembang pada 1986. Saat dalam bahasa Bali dan bahasa Indonesia  Jumari H.S., ini bekerja dan bermukim di Semarang  Nur Hadi lahir di Kudus, 24 November 1965. Puisi dan cerpen (Adi Zamzam), lahir di Jepara,1 Januari 1982. Tahun dimuat di beberapa media masa, antologi bersama. 2010, ia masuk nominasi Krakatau Award. Cerpennya Penyair ini sering diundang dan aktif terlibat dalam pernah dimuat di berbagai media massa di Tanah Air forum sastra nasional maupun internasional seperti dan sejumlah kumpulan cerpen. Bersama kawan- Forum Sastrawan Nusantara ASEAN di Brunei kawan, saat ini sedang aktif mengawal berdirinya Darussalam, dan forum sastra di Palembang, Aceh, Akademi Menulis Jepara  Raedu Basha, lahir 3 Juni Tanjung Pinang, Jakarta, Yogyakarta, Solo dan lainnya. 1988 dengan nama Badrus Shaleh, sedang menempuh Pada pertengahan 2012, dia diundang membaca dan studi Pascasarjana Ilmu Antropologi, Fakultas Ilmu

478 479 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KORAN TEMPO | Annual Short Story Collection 2015

Budaya UGM  Ridwan Munawwar Galuhwiraksa, di Komunitas Pena, perkumpulan penulis di Batang, lahir di Kuningan, Jabar, dan Bergiat di Komunitas Jawa Tengah  Teguh Affandi, lahir di Blora 26 Juli Budaya Sakra  Raymond Carver (1938-1988), 1990. Penggiat Klub Baca Yogyakarta dan sesekali cerpenis legendaris Amerika Serikat yang hidupnya menulis cerpen, esai, dan ulasan buku. Memperoleh dibayangi oleh ketidakbahagiaan rumah tangga dan PPSDMS Award kategori Pena Emas 2014, Juara I kecanduan alkohol. Why Don’t You Dance? (telah Sayembara Cerpen Femina, dan Juara III Green Pen difilmkan sebagai Everything Must Go) adalah salah satu Award Perhutani 2015  Tiara Kharisma cerpen dalam buku What We Talk About When We Talk Dhaneswari, mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra About Love. Adapun, Birdman, film terbaik di ajang Indonesia Unnes asal Kota Magelang ini aktif menulis Academy Award 2015 diilhami cerpen lain Carver yang dan berkegiatan kesenian di kampusnya  Ullan dijadikan judul buku itu  Senu Subawajid, penulis Pralihanta, penulis berdomisili di Pekanbaru, Riau  tinggal di Cileungsi, Bogor  Sigit Widiantoro, lahir Umar Affiq, lahir di Rembang, 14 Desember 1992. di Banjarnegara, alumnus Ilmu Komunikasi UI, pekerja Lelaki penyuka wayang kulit ini kini mengabdikan hidup media dan tinggal di Bogor  S. Prasetyo Utomo, sebagai santri Ponpes As-Somadiyyah Tuban. Meski cerpenis, dosen Universitas PGRI Semarang, kandidat menempuh Studi Teknik Informatika Unirow Tuban doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes  Sucipto, dan pegiat sastra di Kostra (Komunitas Sanggar Sastra) mahasiswa Program Studi Sastra Inggris Universitas  Warits Rovi, lahir di Sumenep Madura 20 Juli 1988. Jenderal Soedirman, Purwokerto. Ia pernah menjadi Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel pemimpin redaksi dan pemimpin umum Lembaga Pers dimuat di berbagai media nasional dan lokal. Ia Mahasiswa (LPM) Sketsa Unsoed Purwokerto  Sule berdomisili Sumenep Madura  Y. Agusta Akhir, Subaweh, adalah nama pena dari Suliman, penulis dari penikmat sastra yang aktif di Komunitas Sastra Alit Pamekasan, Madura yang saat ini bekerja di UAD dan Solo. Karyanya dimuat di beberapa media massa. Novel aktif di Komunitas Sastra Jejak Imaji  Sulistiyo perdananya yang sudah terbit berjudul Requiem Musim Suparno, lahir di Batang 9 Mei 1974. Cerpen- Gugur (2014)  Yudhi Herwibowo, aktif di buletin cerpennya tersiar di beberapa media seperti Wawasan, sastra Pawon, Solo. Buku terbarunya Halaman Terakhir, Cempaka, dan sejumlah media nasional lainnya. Ia aktif sebuah novel tentang Jenderal Polisi Hoegeng

480 481 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015 KORAN TEMPO | Annual Short Story Collection 2015

diterbitkan oleh penerbit Noura. Ia mukim di Mojosongo, Solo  Yuditeha, menulis puisi dan prosa, aktif di Komunitas Sastra Alit Surakarta. Dia telah menerbitkan buku puisi Hujan Menembus Kaca (2012) dan novel Komodo Inside (Grasindo, 2014)  Yus IS., yang menulis kisah demi membunuh stres ini bermukim di Kota Cimahi  Yus R. Ismail, menulis cerpen, puisi dan novel. Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit Disebabkan oleh Cinta, Pohon Tumbuh Tidak Tergesa-gesa, Sepanjang Jalan Cinta, Pencuri Hati, dan belasan antologi bersama. Tinggal di Bandung.

482 483 SUARA MERDEKA | Annual Short Story Collection 2015

484