Gagal Paham Memaknai Kakawin Sebagai Pengiring Upacara Yadnya Dan Dalam Menembangkannya: Sebuah Kasus Di Desa Susut, Bangli

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Gagal Paham Memaknai Kakawin Sebagai Pengiring Upacara Yadnya Dan Dalam Menembangkannya: Sebuah Kasus Di Desa Susut, Bangli GAGAL PAHAM MEMAKNAI KAKAWIN SEBAGAI PENGIRING UPACARA YADNYA DAN DALAM MENEMBANGKANNYA: SEBUAH KASUS DI DESA SUSUT, BANGLI. I Ketut Jirnaya, Komang Paramartha, I Made wijana, I Ketut Nuarca Program tudi Sastra Jawa Kuno, akultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana E-mail: [email protected] Abstrak Karya sastra kakawin di Bali sering dipakai untuk mengiringi upacara yadnya. Dari itu banyak terbit dan beredar di masyarakat buku saku Kidung Pancayadnya. Isi setiap buku tersebut nyaris sama. Buku-buku ini membangun pemahaman masyarakat bahwa kakawin yang dipakai untuk mengiringi upacara yadnya telah baku tanpa melihat substansi makna filosofi bait-bait tersebut. Masalahnya beberapa anggota masyarakat berpendapat ada bait-bait kakawin yang biasa dipakai mengiringi upacara kematian, tidak boleh dinyanyikan di pura. Di samping itu juga cara menembangkan kakawin belum baik dan benar. Hal ini juga terjadi di desa Susut, Bangli. Setelah dikaji, ternyata mereka salah memahami makna filosofis bait-bait kakawin tersebut. Hasilnya, semua bait kakawin bisa dinyanyikan di pura karena salah satu fungsinya sebagai sarana berdoa. Setiap upacara yadnya diiringi dengan melantunkan bait-bait kakawin yang telah disesuaikan substansi makna dari bait-bait tersebut dengan yadnya yang diiringi. Demikian pula mereka baru tahu bahwa menembangkan kakawin ada aturannya. Kata kunci: kakawin, yadnya, doa, guru-lagu. 1.Pendahuluan Kakawin dan parwa merupakan karya sastra Jawa Kuna yang hidup subur pada zaman Majapahit. Ketika Majapahit jatuh dan masuknya agama Islam, maka karya sastra kakawin banyak yang diselamatkan di Bali yang masih satu kepercayaan dengan Majapahit yaitu Hindu (Zoetmulder, 1983). Dari segi bentuk, kakawin berbentuk puisi dengan persyaratan (prosodi) satu bait terdiri dari empat baris yang diikat dengan guru-lagu. Dengan demikian kakawin merupakan sastra tembang karena cara membacanya harus ditembangkan. Dari segi isi, kakawin mengandung kisahan atau narasi. Indikasinya ada tokoh, setting, konflik, dan penyelesaian (ending). Dari bentuk ini kemudian lahir beberapa istilah untuk sastra kakawin, seperti puisi Jawa Kuno, puisi naratif Jawa Kuno, prosa lirik Jawa kuno, prosa berirama Jawa Kuno (Jirnaya, 2017: 295). Setelah di Bali, sastra Jawa Kuno, baik kakawin maupun parwa direspon positif. Artinya dipelihara, dibaca, didiskusikan, dikembangkan, dan dipakai untuk mengiringi upacara yadnya sampai saat ini. Kita sering mendengar alunan kakawin terutama pada hari baik di pura maupun di rumah penduduk. Hal ini menandakan bahwa ditempat dimana kakawin itu mengalun sedang berlangsung upacara yadnya. Biasanya bait-bait kakawin yang dipakai untuk mengiringi upacara yadnya tergantung dari jenis upacara yadnya yang dilaksanakan olehmasyarakat. Walaupun demikian, bukannya tidak ada masalah terkait dengan bait-bait kakawin yang dipakai mengiringi upacara yadnya. Masalahnya, yaitu masih banyak masyarakat yang belum tahu makna filosofi bait kakawin tersebut yang dipakai pengiring upacara yadnya. Konsekuensinya, ada bait kakawin yang tidak berani menembangkan di pura karena dianggap gita untuk orang mati (kematian menurut Hindu dianggap suntaka dan keluarganya tidak dibolehkan ke pura atau tempat suci). Kenapa terjadi persepsi masyarakat seperti itu?, dan cara menembangkan kakawin belum sesuai dengan aturan. Hal ini terjadi di desa Susut, Balngli. 2.Pembahasan Ketika ada upacara Dewayadnya (odalan) di pura, sering terdengar alunan kakawin. Sumber kakawin yang dibaca cukup banyak, seperti kakawin Ramayana, kakawin Bharatayudha, Arjunawiwaha, dan sebagainya. Namun jika ada upacara Pitrayadnya seperti salah satunya prosesi upacara kematian, maka bait-bait kakawin yang biasa ditembangkan: - Pada saat menurunkan mayat untuk dimandikan; dipakai wirama Girisa dari kakawin Bharatayudha (Ata sedengira mantuk …..). Kemudian disambung denga gita yang dikarang oleh tetua di Bali, tetapi wiramanya di bawa ke Girisa (Bala ugu dina melah …..). - Pada saat memberangkatkan mayat menuju ke kuburan (setra) diiringi dengan wirama Indrawangsa dari kakawin Arjunawiwaha (Mamwit narendratmaja ……..). Masyarakat tahu dan melaksanakan seperti itu karena banyak buku-buku kecil (buku saku) tentang Pancayadnya berdedar di took dan dibeli oleh masyarakat. Isi buku-buku tersebut hamper sama, artinya gita untuk Dewayadnya sampai ke Bhutayadnya. Hal ini yang membuat persepsi masyarakat bahwa gita yang biasa dipakai untuk mengiringi upacara kematian tidak boleh ditembangkan di pura karena termasuh gita suntaka. Beberapa buku kidung Pancayadnya yang beredar di toko dan dimiliki masyarakat diantaranya, Kidung Yadnya yang ditulis oleh Ketut Lagas (1988); Kidung Wargasari yang ditulis oleh I Wayan Mangku (1990); Kidung Yadnya diterbitkan Kanwil Depag Propinsi Bali (1994); Kidung Pancayadnya, Paramita (2004); Kidung Panca Yadnya yang ditulis oleh Wayan Pardana (2005). Buku kecil (buku saku) yang berisi gita terkait dengan pengiring upacara yadnya beredar luas di masyarakat. Kondisi ini melahirkan pemahaman di masyarakat bahwa ada sebuah gita kakawin tidak boleh dinyanyikan di pura (tempat suci). Bait kakawin itu dipahami sebagai pengiring upacara kematian. Di dalam masyarakat Hindu, ada kondisi dan situasi yang disebut cuntaka atau sebel, yaitu salah satunya kematian. Jika ada keluarga meninggal, maka keluarga inti tidak diperkenankan ikut upacara suci, seperti sembahyang di pura sampai batas waktu yang telah ditentukan. Terkait dengan gita yang biasa dipakai untuk mengiringi upacara kematian, ada beberapa bait kakawin yang dipahami sebagai gita khusus untuk mengiringi prosesi upacara kematian. 1) Pada saat memandikan mayat, biasanya diiringi dengan gita kakawin yang dianmbil dari kakawin Bharatayuda, wirama Girisa. Ata sedengira mantuk sang sura laga ringayun, Tucapa haji Wiratan karyyasa nangisi weka, Pinehajengira laywan sang putre nala piniwa, Padha lituhajeng anwam lwir kadarppa pinetelu.I (KBY, …. Terjemahannya: Sang ksatria sejati yang baru pulang dari medan laga, Diceritakanlah raja Wirata yang sangat berduka menangisi putranya, Dielus-elus mayat putra beliau sambil bersedih, Yang gugur semua rupawan dan masih amat muda bagai Hyang Semara dibagi tiga. Wirama Girisa ini diambil empat bait. Setelah itu dilanjutkan dengan gita awi-awian (karangan) Bali yang iramanya mengiluti wirama Girisa walaupun persyaratan guru-lagu nya kurang tepat. Bala ugu dina melah manuju dina lan sasih, Pan Berayut panumaya asisig adyus akaramas, Sinalinan wastra petak mamusti mamadayang batis, Sampun puput maprayoga tan asuwe ngemasin mati. 2) Pada saat mayat akan diberangkatkan ke kuburan (setra). Ketika mayat akan diberangkatkan ke pemakaman dan juga di perjalanan, biasanya diiringi dengan gita kakawin wirama Indrawangsa yang dikutip dari kakawin Arjunawiwaha. Mamwit narendratmaja ring tapowana, Manganjali ryagraningindra parwwata, Tan wiswreti sangka nikang ayun teka, Swabhawa sang sajjana rakwa mangkana. (KAw, …) Terjemahannya: Berpamitanlah sang raja putra (Arjuna) dari hutan tempat bertapa, Menyembah menghadap ke puncak gunung Indrakila, Tak pernah lupa dari mana asal kebahagiaan itu datang, Konon demikian wibawa orang yang mulia. Di dalam buku-buku Pancayadnya tersebut, ada yang mengutip tiga bait, dan ada pula yang mengutip sampai sepuluh bait (lihat Anonim, 2001: 124-133). Selanjutnya disambungkan dengan wirama Basantatilaka dari kakawin Ramayana ketika mayat sudah diperjalanan menuju pemakaman. Kawit saratsamaya kala nirar parangka, Nton tang pradesa ri hawanira kapwa ramya, Kweh lwah magong katemu de nira tirtha dibya, Udyana len talaga nirjhara kapwa mahning. Terjemahannya: Awal musim semi ketika beliau sang Rama dan Laksmana pergi ke sana, Terlihatlah daerah di sepanjang perjalanan beliau semua indah, Banyak sungai besar ditemui beliau dan airnya semua jernih, Taman dan telaga serta jeram semua airnya bening dan suci. Kembali ke pokok persoalan apakah benar ada bait-bait dari gita kakawin tidak boleh dinyanyikan di pura karena khusus untuk mengiringi prosesi upacara kematian? Seperti bait-bait di atas yang bersumber dari kakawin Bharatayudha, kakawin Arjunawiwaha, kakawin Ramayana? Untuk menjelaskan persoalan ini kita kembali pada fungsi gita tersebut. Para penikmat sastra tradisional yang sering bergelut dengan karya sastra kakawin mencoba memberikan pandangan fungsi gita tersebut. I Nyoman Suarka dalam sebuah wawancara mengatakan gita tersebut berfungsi sebagai tuntunan yang meliputi, ibadat keindahan, persembahan, aktualisasi bakti, dan berfungsi sebagai tontonan, yakni hiburan. Apa yang dikatakan Suarka sejalan dengan pemikiran Horatius bahwa karya sastra harus menggabungkan sifat utile dan dulce, yaitu bermanfaat dan manis (Teeuw. 1984:51). Karya sastra kakawin memiliki manfaat atau fungsi. Ketika didalami isi kandungan dari gita tersebut, semua merupakan tuntunan agar kita di dalam mengarungi kehidupan tidak banyak jalan yang salah kita pilih dan kita lalui. Sebagai tontonan atau hiburan, karena gita ketika ditembangkan dengan aturan yang tepat, dengan suara sesuai yang dibutuhkan masing- masing genre kidung, maka alunan indah tersebut akan mengalirkan fibrasi ke sanubari kita. Bathin terasa puas dan terasa ada kedamaian di dalam hati. Gita tersebut ditransformasikan dari Itihasa, yaitu epos besar Ramayana dan Mahabharata (lihat Puja, 1984: 28). Itihasa merupakan salah satu intisari dharma (kebenaran dan kebajikan). Dari wiracarita India sampai ke Indonesia menjadi berbagai genre kidung, seperti kakawin, kidung, geguritan,dan yang lainnya. Di dalam pustaka suci Srimad Bhagawatam (XII
Recommended publications
  • Kakawin Ramayana
    KAKAWIN RAMAYANA Oleh I Ketut Nuarca PROGRAM STUDI SASTRA JAWA KUNO FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA APRIL 2017 Pengantar Peninggalan naskah-naskah lontar (manuscript) baik yang berbahasa Jawa Kuna maupun Bali yang ada di masyarakat Bali telah lama menjadi perhatian para peneliti baik peneliti nusantara maupun asing. Mereka utamanya peneliti asing bukan secara kebetulan tertarik pada naskah-naskah ini tetapi mereka sudah lama menjadikan naskah-naskah tersebut sebagai fokus garapan di beberapa pusat studi kawasan Asia Tenggara utamanya di eropa. Publikasi-publikasi yang ada selama ini telah membuktikan tingginya kepedulian mereka pada bidang yang satu ini. Hal ini berbeda keadaannya dibandingkan dengan di Indonesia. Luasnya garapan tentang bidang ini menuntut adanya komitmen pentingnya digagas upaya-upaya antisipasi untuk menghindari punahnya naskah-naskah dimaksud. Hal ini penting mengingat masyarakat khususnya di Bali sampai sekarang masih mempercayai bahwa naskah- naskah tersebut adalah sebagai bagian dari khasanah budaya bangsa yang di dalamnya mengandung nilai-nilai budaya yang adi luhung. Di Bali keberadaan naskah-naskah klasik ini sudah dianggap sebagai miliknya sendiri yang pelajari, ditekuni serta dihayati isinya baik secara perorangan maupun secara berkelompok seperti sering dilakukan melalui suatu tradisi sastra yang sangat luhur yang selama ini dikenal sebagai tradisi mabebasan. Dalam tradisi ini teks-teks klasik yang tergolong sastra Jawa Kuna dan Bali dibaca, ditafsirkan serta diberikan ulasan isinya sehingga terjadi diskusi budaya yang cukup menarik banyak kalangan. Tradisi seperti ini dapat dianggap sebagai salah satu upaya bagaimana masyarakat Bali melestarikan warisan kebudayaan nenek moyangnya, serta sedapat mungkin berusaha menghayati nilai-nilai yang terkandung di dalam naskah-naskah tersebut. Dalam tradisi ini teks-teks sastra Jawa Kuna menempati posisi paling unggul yang paling banyak dijadikan bahan diskusi.
    [Show full text]
  • Kakawin Ramayana
    Paramita:Paramita: Historical Historical Studies Studies Journal, Journal, 30(2), 30(2), 2020, 2020 193 -207 ISSN: 0854-0039, E-ISSN: 2407-5825 DOI: http://dx.doi.org/10.15294/paramita.v30i2.23690 MANAGING DIVERSITY IN HISTORY LEARNING BASED ON THE PERSPECTIVE OF KAKAWIN RAMAYANA Nur Fatah Abidin1, Fakrul Islam Laskar2 1) History Education Department, Sebelas Maret University, Surakarta, Indonesia 2) History Department, Bahona College, Jorhat, Assam, India ABSTRACT ABSTRAK This research aims to build a framework of Penelitian ini bertujuan untuk membangun diversity management in history learning kerangka manajemen keberagaman dalam based on the reinterpretation of diversity from pembelajaran sejarah berbasis reinterpretasi the perspective of Kakawin Ramayana. The kebhinekaan dari perspektif Kakawin Rama- authors used a critical hermeneutic approach yana. Penulis menggunakan pendekatan her- to interpret the texts of Kakawin Ramayana, meneutik kritis untuk menafsirkan teks Ka- especially in the texts of Prěthiwi and Aṣṭabra- kawin Ramayana, terutama dalam teks ta. The text of Prěthiwi and Aṣṭabrata implicitly Prěthiwi dan Aṣṭabrata. Teks Prěthiwi dan elucidates that diversity should be acknowl- Aṣṭabrata secara implisit menjelaskan bahwa edged based on the moral and ethical attrib- keberagaman harus diakui berdasarkan atribut utes of an individual. There are no spaces for moral dan etis seseorang. Tidak ada ruang arbitrary prejudices based on social identities, untuk prasangka sewenang-wenang berdasar- such as ethnicity, race, or even religiosity
    [Show full text]
  • Ramayan Around the World Ravi Kumar [email protected]
    Ramayan Around The World Ravi Kumar [email protected] , Contents Acknowledgement.......................................................................................................2 The Timeless Tale .......................................................................................................2 The Universal Relevance of Ramayan .........................................................................2 Ramayan Scriptures in South East Asian Languages....................................................5 Ramayana in the West .................................................................................................6 Ramayan in Islamic Countries .....................................................................................7 Ramayan in Indonesia Islam is our Religion but Ramayan is our Culture..............7 Indonesia Ramayan Presented in Open Air Theatres ................................................9 Ramayan in Malaysia We Rule in the name of Ram’s Paduka.............................10 Ramayan among the Muslims of Philippines..........................................................11 Persian And Arabic Ramayan ................................................................................11 The Borderless Appeal of Ramayan.......................................................................13 Influence of Ramayan in Asian Countries..................................................................16 Influence of Ramayan in Cambodia .......................................................................17
    [Show full text]
  • Of Manuscripts and Charters Which Are Mentioned In
    INDEX OF MANUSCRIPTS AND CHARTERS WHICH ARE MENTIONED IN TABLES A AND B 1 Page Page Adip. - Adiparwa . 94 Dj.pur. - Jayapural}.a . 106 Ag. - Agastyaparwa . 103 Dpt. - VangQang petak . 106 A.N. - Afiang Nilartha . 1(}3 A.P. - Arjuna Pralabda 103 E46 91 A.W. - Arjunawijaya 100 Gh. - Ghatotkaca.\;raya 97 Babi Ch. A . 94 G.O. - GeQangan Ch. 90 BarabuQur (inscription) 90 Gob1eg Ch. (Pura Batur) B . 95 Batuan Ch.. 94 Batunya Ch. A I . 93 H. - Hari\;raya Kakawin 106 Batur P. Abang Ch. A 94 Hr. - Hariwijaya 106 B.B. - Babad Bla-Batuh 103 Hrsw. - Kidung Har~awijaya . 107 Bebetin Ch. A I . 91 H.W. - Hariwang\;a 95 B.K. - Bhoma.lcawya . 104 J.D. - Mausalaparwa . 110 B.P. - Bhi~maparwa . 104 Br. I pp. 607 ff. 95 K.A. - Kembang Arum Ch. 92 pp. 613 ff.. 95 Kid. Adip. - Kidung Adiparwa 106 pp. 619 ff.. 95 K.K. - KufijarakarQ.a . 108 Br. II pp. 49 if. 95 K.O. I . 92 Brh. - Brahmal}.Qa-pural}.a . 105 II 90 Bs. - Bhimaswarga 104 V 94 B.T. - Bagus Turunan 104 VII . 93 Bulihan Ch.. 97 VIII 92 Buwahan Ch. A 93 XI 91 Buwahan Ch. E 97 XIV 91 B.Y. - Bharatayuddha 96 XV. 91 XVII 92 C. - Cupak 106 XXII 93 c.A. - Calon Arang 105 Kor. - Korawa\;rama . 108 Campaga Ch. A 97 Kr. - Krtabasa 108 Campaga Ch. C 99 Kr.B. - Chronicle of Bayu . 106 Catur. - Caturyuga 106 Krsn. - Kr~l}.iintaka 108 Charter Frankfurt N.S. K.S. - Kidung Sunda . 101 No.
    [Show full text]
  • Sita Ram Baba
    सीता राम बाबा Sītā Rāma Bābā סִיטָ ה רְ אַמָ ה בָבָ ה Bābā بَابَا He had a crippled leg and was on crutches. He tried to speak to us in broken English. His name was Sita Ram Baba. He sat there with his begging bowl in hand. Unlike most Sadhus, he had very high self- esteem. His eyes lit up when we bought him some ice-cream, he really enjoyed it. He stayed with us most of that evening. I videotaped the whole scene. Churchill, Pola (2007-11-14). Eternal Breath : A Biography of Leonard Orr Founder of Rebirthing Breathwork (Kindle Locations 4961-4964). Trafford. Kindle Edition. … immortal Sita Ram Baba. Churchill, Pola (2007-11-14). Eternal Breath : A Biography of Leonard Orr Founder of Rebirthing Breathwork (Kindle Location 5039). Trafford. Kindle Edition. Breaking the Death Habit: The Science of Everlasting Life by Leonard Orr (page 56) ראמה راما Ράμα ראמה راما Ράμα Rama has its origins in the Sanskrit language. It is used largely in Hebrew and Indian. It is derived literally from the word rama which is of the meaning 'pleasing'. http://www.babynamespedia.com/meaning/Rama/f Rama For other uses, see Rama (disambiguation). “Râm” redirects here. It is not to be confused with Ram (disambiguation). Rama (/ˈrɑːmə/;[1] Sanskrit: राम Rāma) is the seventh avatar of the Hindu god Vishnu,[2] and a king of Ayodhya in Hindu scriptures. Rama is also the protagonist of the Hindu epic Ramayana, which narrates his supremacy. Rama is one of the many popular figures and deities in Hinduism, specifically Vaishnavism and Vaishnava reli- gious scriptures in South and Southeast Asia.[3] Along with Krishna, Rama is considered to be one of the most important avatars of Vishnu.
    [Show full text]
  • Teknik Penerjemahan Lisan Dalam Tradisi Bekayat Di Lombok
    TEKNIK PENERJEMAHAN LISAN DALAM TRADISI BEKAYAT DI LOMBOK (INTERPRETING TECHNIQUE APPLIED ON ORAL TRADITION BEKAYAT IN LOMBOK) Safoan Abdul Hamid Kantor Bahasa Provinsi NTB Jalan dr. Sujono, Kelurahan Jempong Baru, Sekarbela, Mataram, NTB, Indonesia Pos-el: [email protected] Diterima: 27 Oktober 2014; Direvisi: 20 November 2014; Disetujui: 3 Desember 2014 Abstract SasaN ethnic group‘s community in /omboN, Nusa Tenggara Barat Province, has an oral tradition of reciting hikayat namely bekayat. During the performance, step of the recitation is followed by interpretation from Melayu language to Sasak. As a part of literary work interpreting, the interpreter applies certain method, technique and ideology. This research is aimed at revealing interpreting technique applied in bekayat performance. Sample of this research is taken from Lombok Barat District, out of three other districts in Lombok. Data collection is conducted through recording and an interview technique. The data are transcribed and then analized by an interlinguistic and descriptive method. Result of the analysis shows that the interpreter of bekayat performance applied three techniques, namely paraphrase, contextual conditioning, and compensation. Keywords: technique, interpreting, bekayat, Lombok Abstrak Masyarakat suku Sasak di Pulau Lombok memiliki tradisi lisan pembacaan hikayat yang dikenal dengan bekayat. Dalam pelaksanaannya, tahap pembacaan hikayat dilanjutkan dengan penerjemahan lisan dari bahasa Melayu ke bahasa Sasak. Proses penerjemahan ini tergolong sebagai penerjemahan karya sastra yang memerlukan metode, teknik, dan ideologi tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengurai teknik penerjemahan lisan dalam pelaksanaan tradisi bekayat. Adapun pengambilan sampel penelitian dilakukan disalah satu kabupaten di Lombok yakni Kabupaten Lombok Barat. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik perekaman, wawancara, dan pencatatan.
    [Show full text]
  • Monkey-Ear Mushrooms.Pdf
    114 Telling Tales from Southeast Asia and Korea: Teachers’ Guide 115 Telling Tales from Southeast Asia and Korea: Teachers’ Guide Monkey-ear Mushrooms (Laos) Once, Queen Sida wanted to have a meal of tiger-ear mushrooms. But in the Northern Lao language this mushroom is called monkey-ear mushrooms. Queen Sida asked the Monkey King, Hanuman, to go search for the mushrooms for her from the mountain of Oudomxay. “Could you please go and get the mushrooms from Oudomxay Mountain for me?” said Queen Sida. “Yes, my Lady,” answered Hanuman. So Hanuman flew to Oudomxay Mountain and gathered some mushrooms for Queen Sida. He returned with a basket full of mushrooms for her. But Queen Sida looked at the mushrooms and said, “Oh no, this is not the kind of mushroom I would like to have. Please go and bring some others.” She did not want to say that she really wanted monkey-ear mushrooms for she thought that it would offend Hanuman, who is, after all, a monkey. “Yes, my Lady,” said Hanuman. He soared to the sky to pick up more mushrooms in Oudomxay Mountain. After awhile he returned with another basket full of mushrooms for Queen Sida. She again examined the mushrooms. “Oh no, this is still not the kind of mushrooms I would like to have. Please go bring some other kinds.” 116 Telling Tales from Southeast Asia and Korea: Teachers’ Guide “Yes, my Lady,” said Hanuman. He soared to the sky to pick more mushrooms in Oudomxay Mountain. After awhile he returned with another basket- full of mushrooms for Queen Sida.
    [Show full text]
  • Introduction to Old Javanese Language and Literature: a Kawi Prose Anthology
    THE UNIVERSITY OF MICHIGAN CENTER FOR SOUTH AND SOUTHEAST ASIAN STUDIES THE MICHIGAN SERIES IN SOUTH AND SOUTHEAST ASIAN LANGUAGES AND LINGUISTICS Editorial Board Alton L. Becker John K. Musgrave George B. Simmons Thomas R. Trautmann, chm. Ann Arbor, Michigan INTRODUCTION TO OLD JAVANESE LANGUAGE AND LITERATURE: A KAWI PROSE ANTHOLOGY Mary S. Zurbuchen Ann Arbor Center for South and Southeast Asian Studies The University of Michigan 1976 The Michigan Series in South and Southeast Asian Languages and Linguistics, 3 Open access edition funded by the National Endowment for the Humanities/ Andrew W. Mellon Foundation Humanities Open Book Program. Library of Congress Catalog Card Number: 76-16235 International Standard Book Number: 0-89148-053-6 Copyright 1976 by Center for South and Southeast Asian Studies The University of Michigan Printed in the United States of America ISBN 978-0-89148-053-2 (paper) ISBN 978-0-472-12818-1 (ebook) ISBN 978-0-472-90218-7 (open access) The text of this book is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International License: https://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/ I made my song a coat Covered with embroideries Out of old mythologies.... "A Coat" W. B. Yeats Languages are more to us than systems of thought transference. They are invisible garments that drape themselves about our spirit and give a predetermined form to all its symbolic expression. When the expression is of unusual significance, we call it literature. "Language and Literature" Edward Sapir Contents Preface IX Pronounciation Guide X Vowel Sandhi xi Illustration of Scripts xii Kawi--an Introduction Language ancf History 1 Language and Its Forms 3 Language and Systems of Meaning 6 The Texts 10 Short Readings 13 Sentences 14 Paragraphs..
    [Show full text]
  • Ramayan Ki Kathayen, Pandemic and the Hindu Way of Life and the Contribution of Hindu Women, Amongst Others
    Hindu Sevika Samiti (UK) Mahila Shibir 2020 East and South Midlands Vibhag FOREWORD INSPIRING AND UNPRECEDENTED INITIATIVE In an era of mass consumerism - not only of material goods - but of information, where society continues to be led by dominant and parochial ideas, the struggle to make our stories heard, has been limited. But the tides are slowly turning and is being led by the collaborative strength of empowered Hindu women from within our community. The Covid-19 pandemic has at once forced us to cancel our core programs - which for decades had brought us together to pursue our mission to develop value-based leaders - but also allowed us the opportunity to collaborate in other, more innovative ways. It gives me immense pride that Hindu Sevika Samiti (UK) have set a new precedent for the trajectory of our work. As a follow up to the successful Mahila Shibirs in seven vibhags attended by over 500 participants, 342 Mahila sevikas came together to write 411 articles on seven different topics which will be presented in the form of seven e-books. I am very delighted to launch this collection which explores topics such as: The uniqueness of Bharat, Ramayan ki Kathayen, Pandemic and the Hindu way of life and The contribution of Hindu women, amongst others. From writing to editing, content checking to proofreading, the entire project was conducted by our Sevikas. This project has revealed hidden talents of many mahilas in writing essays and articles. We hope that these skills are further encouraged and nurtured to become good writers which our community badly lacks.
    [Show full text]
  • Plagiarism Checker X Originality Report Similarity Found: 24%
    Plagiarism Checker X Originality Report Similarity Found: 24% Date: Rabu, Desember 30, 2019 Statistics: 25094 words Plagiarized / 6022 Total words Remarks: High Plagiarism Detected - Your Document needs Critical Improvement. ------------------------------------------------------------------------------------------- i MANUNGGALING KAWULA GUSTI DALAM SERAT WEDATAMA (SEBUAH KAJIAN THEOLOGI) Oleh : Dr. Drs. Marsono, M.Pd.H ii MANUNGGALING KAWULA GUSTI DALAM SERAT WEDATAMA (SEBUAH KAJIAN THEOLOGI) Penulis: Dr. Drs. Marsono, M.Pd.H Editor : Dr. I Ketut Sudarsana, S.Ag., M.Pd.H. PENERBIT : Jayapangus Press REDAKSI : Jl. Ratna No.51 Denpasar - BALI Telp. (0361) 226656 Fax. (0361) 226656 http://jayapanguspress.org Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISBN : 978-602-51483-1-6 iii KATA PENGANTAR Om Swastyastu Dengan rasa angayubagia kehadapan Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia dan rahmatNya, maka penyusunan buku yang berjudul “Manunggaling Kawula Gusti Dalam Serat Wedatama (Sebuah Kajian Theologi)” dapat terselesaikan dengan baik. Serat Wedatama mengandung nilai-nilai yang luhur sebagai tuntunan susila disamping sebagai tuntunan hidup, menjadikan karya sastra tersebut bertahan terus hingga saaat ini. Kehebatan bertahan sebuah karya sastra menunjukan hebatnya pengarang dibalik karya besar tersebut. Kajian theologi Serat Wedatama memberikan pemahaman dasar bahwa seorang manusia bisa memahami makna kehidupan ini, dan menjalani roda perputaran kehidupannya dengan penuh makna pula. Setiap detik yang berlalu dalam hidupnya, selalu bermakna, tidak ada kesia-siaan. Karena manusia dilahirkan kedunia ini, pasti dengan tujuan yang mulia pula, bukan sekedar iseng belaka. Kesadaran akan kelahiran berarti kesadaran akan tujuan hidup lahir kedunia. Tujuan hidup yang sesungguhnya akan dapat iv dicapai melalui implementasi nilai-nilai luhur. Nilai luhur itulah yang bias digunakan untuk menata kehidupan ini sehingga perubahan menuju penyeimbangan antara pemenuhan spiritual dan jasmani tercapai.
    [Show full text]
  • G. Resink from the Old Mahabharata - to the New Ramayana-Order
    G. Resink From the old Mahabharata - to the new Ramayana-order In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 131 (1975), no: 2/3, Leiden, 214-235 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com09/27/2021 04:10:30AM via free access G. J. RESINK FROM THE OLD MAHABHARATA- TO THE NEW RAMAYANA-ORDER* ". the Bharata Judha can be performed again — when Java will again be free . ." Pronouncement of a nineteenth century dalang. Some people not only live, but also die and kill by myths. So the well-known Darul Islam leader S. M. Kartosoewirjo wrote in a secret note to President Soekarno in 1951, prophesying entirely from the myth of a Javanese version of the Mahabharata epic, that a "Perang Brata Juda Djaja Binangun" was imminent. This conflict would lead to a confrontation with Communism — to which the expression "Lautan Merah" alluded —- and world revolution.1 The Javanese santri who was to advocate and lead the jihad or holy war in defence of an Islamic Indonesian state was writing to the Javanese abangan here in terms which both understood perfectly well. For it was precisely this wayang story that was usually staged as a bersih desa rite or a ngruwat ceremony for purposes of "purification" or the exorcism of all evil and misfortune that had ever struck or threatened still to befall the community. As a student I once witnessed such a performance together with my mother in the village of Karang Asem, to the north of Yogya. She wrote about it in the journal Djdwd, referring in particular to how the women fled the scène towards mid- * I feel most indebted to Dr.
    [Show full text]
  • H. Creese Ultimate Loyalties. the Self-Immolation of Women in Java and Bali
    H. Creese Ultimate loyalties. The self-immolation of women in Java and Bali In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Old Javanese texts and culture 157 (2001), no: 1, Leiden, 131-166 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl HELEN CREESE Ultimate Loyalties The Self-immolation of Women in Java and Bali Her deep sorrow became intolerable) and as there seemed nothing else to wait for, she. hurriedly prepared herself for death. She drew the dagger she had been holding all the while, which sparkled now taken from its sheath. She then threw herself fearlessly on it,.and her blood gushed forth like red mineral. (Bharatayuddha.45.1-45.2, Supomo 1993:242.1) With this, Satyawati, the wife of the hero Salya, cruelly slain in the battle between the Pandawas and Korawas, ends her life in the ultimate display of love and fidelity, choosing to follow her husband to the next world rather • than remain in this one without him. On hearing the news of Salya's death, Satyawati sets out to join him, firm in the knowledge that 'her life began to end the moment she fell asleep the night before', when &alya slipped from her bed and left her, and although she 'still had a body [...] it was just like a casket, for her spirit had gone when the king went into battle' {Bharatayuddha 42.4). Accompanied by her maid, Sugandhika, she wanders the battlefield, slip- ping in its 'river of blood' and stumbling over 'stinking corpses' as she search- es in vain for Salyas body.
    [Show full text]