GAGAL PAHAM MEMAKNAI KAKAWIN SEBAGAI PENGIRING UPACARA YADNYA DAN DALAM MENEMBANGKANNYA: SEBUAH KASUS DI DESA SUSUT, BANGLI. I Ketut Jirnaya, Komang Paramartha, I Made wijana, I Ketut Nuarca Program tudi Sastra Jawa Kuno, akultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana E-mail: [email protected] Abstrak Karya sastra kakawin di Bali sering dipakai untuk mengiringi upacara yadnya. Dari itu banyak terbit dan beredar di masyarakat buku saku Kidung Pancayadnya. Isi setiap buku tersebut nyaris sama. Buku-buku ini membangun pemahaman masyarakat bahwa kakawin yang dipakai untuk mengiringi upacara yadnya telah baku tanpa melihat substansi makna filosofi bait-bait tersebut. Masalahnya beberapa anggota masyarakat berpendapat ada bait-bait kakawin yang biasa dipakai mengiringi upacara kematian, tidak boleh dinyanyikan di pura. Di samping itu juga cara menembangkan kakawin belum baik dan benar. Hal ini juga terjadi di desa Susut, Bangli. Setelah dikaji, ternyata mereka salah memahami makna filosofis bait-bait kakawin tersebut. Hasilnya, semua bait kakawin bisa dinyanyikan di pura karena salah satu fungsinya sebagai sarana berdoa. Setiap upacara yadnya diiringi dengan melantunkan bait-bait kakawin yang telah disesuaikan substansi makna dari bait-bait tersebut dengan yadnya yang diiringi. Demikian pula mereka baru tahu bahwa menembangkan kakawin ada aturannya. Kata kunci: kakawin, yadnya, doa, guru-lagu. 1.Pendahuluan Kakawin dan parwa merupakan karya sastra Jawa Kuna yang hidup subur pada zaman Majapahit. Ketika Majapahit jatuh dan masuknya agama Islam, maka karya sastra kakawin banyak yang diselamatkan di Bali yang masih satu kepercayaan dengan Majapahit yaitu Hindu (Zoetmulder, 1983). Dari segi bentuk, kakawin berbentuk puisi dengan persyaratan (prosodi) satu bait terdiri dari empat baris yang diikat dengan guru-lagu. Dengan demikian kakawin merupakan sastra tembang karena cara membacanya harus ditembangkan. Dari segi isi, kakawin mengandung kisahan atau narasi. Indikasinya ada tokoh, setting, konflik, dan penyelesaian (ending). Dari bentuk ini kemudian lahir beberapa istilah untuk sastra kakawin, seperti puisi Jawa Kuno, puisi naratif Jawa Kuno, prosa lirik Jawa kuno, prosa berirama Jawa Kuno (Jirnaya, 2017: 295). Setelah di Bali, sastra Jawa Kuno, baik kakawin maupun parwa direspon positif. Artinya dipelihara, dibaca, didiskusikan, dikembangkan, dan dipakai untuk mengiringi upacara yadnya sampai saat ini. Kita sering mendengar alunan kakawin terutama pada hari baik di pura maupun di rumah penduduk. Hal ini menandakan bahwa ditempat dimana kakawin itu mengalun sedang berlangsung upacara yadnya. Biasanya bait-bait kakawin yang dipakai untuk mengiringi upacara yadnya tergantung dari jenis upacara yadnya yang dilaksanakan olehmasyarakat. Walaupun demikian, bukannya tidak ada masalah terkait dengan bait-bait kakawin yang dipakai mengiringi upacara yadnya. Masalahnya, yaitu masih banyak masyarakat yang belum tahu makna filosofi bait kakawin tersebut yang dipakai pengiring upacara yadnya. Konsekuensinya, ada bait kakawin yang tidak berani menembangkan di pura karena dianggap gita untuk orang mati (kematian menurut Hindu dianggap suntaka dan keluarganya tidak dibolehkan ke pura atau tempat suci). Kenapa terjadi persepsi masyarakat seperti itu?, dan cara menembangkan kakawin belum sesuai dengan aturan. Hal ini terjadi di desa Susut, Balngli. 2.Pembahasan Ketika ada upacara Dewayadnya (odalan) di pura, sering terdengar alunan kakawin. Sumber kakawin yang dibaca cukup banyak, seperti kakawin Ramayana, kakawin Bharatayudha, Arjunawiwaha, dan sebagainya. Namun jika ada upacara Pitrayadnya seperti salah satunya prosesi upacara kematian, maka bait-bait kakawin yang biasa ditembangkan: - Pada saat menurunkan mayat untuk dimandikan; dipakai wirama Girisa dari kakawin Bharatayudha (Ata sedengira mantuk …..). Kemudian disambung denga gita yang dikarang oleh tetua di Bali, tetapi wiramanya di bawa ke Girisa (Bala ugu dina melah …..). - Pada saat memberangkatkan mayat menuju ke kuburan (setra) diiringi dengan wirama Indrawangsa dari kakawin Arjunawiwaha (Mamwit narendratmaja ……..). Masyarakat tahu dan melaksanakan seperti itu karena banyak buku-buku kecil (buku saku) tentang Pancayadnya berdedar di took dan dibeli oleh masyarakat. Isi buku-buku tersebut hamper sama, artinya gita untuk Dewayadnya sampai ke Bhutayadnya. Hal ini yang membuat persepsi masyarakat bahwa gita yang biasa dipakai untuk mengiringi upacara kematian tidak boleh ditembangkan di pura karena termasuh gita suntaka. Beberapa buku kidung Pancayadnya yang beredar di toko dan dimiliki masyarakat diantaranya, Kidung Yadnya yang ditulis oleh Ketut Lagas (1988); Kidung Wargasari yang ditulis oleh I Wayan Mangku (1990); Kidung Yadnya diterbitkan Kanwil Depag Propinsi Bali (1994); Kidung Pancayadnya, Paramita (2004); Kidung Panca Yadnya yang ditulis oleh Wayan Pardana (2005). Buku kecil (buku saku) yang berisi gita terkait dengan pengiring upacara yadnya beredar luas di masyarakat. Kondisi ini melahirkan pemahaman di masyarakat bahwa ada sebuah gita kakawin tidak boleh dinyanyikan di pura (tempat suci). Bait kakawin itu dipahami sebagai pengiring upacara kematian. Di dalam masyarakat Hindu, ada kondisi dan situasi yang disebut cuntaka atau sebel, yaitu salah satunya kematian. Jika ada keluarga meninggal, maka keluarga inti tidak diperkenankan ikut upacara suci, seperti sembahyang di pura sampai batas waktu yang telah ditentukan. Terkait dengan gita yang biasa dipakai untuk mengiringi upacara kematian, ada beberapa bait kakawin yang dipahami sebagai gita khusus untuk mengiringi prosesi upacara kematian. 1) Pada saat memandikan mayat, biasanya diiringi dengan gita kakawin yang dianmbil dari kakawin Bharatayuda, wirama Girisa. Ata sedengira mantuk sang sura laga ringayun, Tucapa haji Wiratan karyyasa nangisi weka, Pinehajengira laywan sang putre nala piniwa, Padha lituhajeng anwam lwir kadarppa pinetelu.I (KBY, …. Terjemahannya: Sang ksatria sejati yang baru pulang dari medan laga, Diceritakanlah raja Wirata yang sangat berduka menangisi putranya, Dielus-elus mayat putra beliau sambil bersedih, Yang gugur semua rupawan dan masih amat muda bagai Hyang Semara dibagi tiga. Wirama Girisa ini diambil empat bait. Setelah itu dilanjutkan dengan gita awi-awian (karangan) Bali yang iramanya mengiluti wirama Girisa walaupun persyaratan guru-lagu nya kurang tepat. Bala ugu dina melah manuju dina lan sasih, Pan Berayut panumaya asisig adyus akaramas, Sinalinan wastra petak mamusti mamadayang batis, Sampun puput maprayoga tan asuwe ngemasin mati. 2) Pada saat mayat akan diberangkatkan ke kuburan (setra). Ketika mayat akan diberangkatkan ke pemakaman dan juga di perjalanan, biasanya diiringi dengan gita kakawin wirama Indrawangsa yang dikutip dari kakawin Arjunawiwaha. Mamwit narendratmaja ring tapowana, Manganjali ryagraningindra parwwata, Tan wiswreti sangka nikang ayun teka, Swabhawa sang sajjana rakwa mangkana. (KAw, …) Terjemahannya: Berpamitanlah sang raja putra (Arjuna) dari hutan tempat bertapa, Menyembah menghadap ke puncak gunung Indrakila, Tak pernah lupa dari mana asal kebahagiaan itu datang, Konon demikian wibawa orang yang mulia. Di dalam buku-buku Pancayadnya tersebut, ada yang mengutip tiga bait, dan ada pula yang mengutip sampai sepuluh bait (lihat Anonim, 2001: 124-133). Selanjutnya disambungkan dengan wirama Basantatilaka dari kakawin Ramayana ketika mayat sudah diperjalanan menuju pemakaman. Kawit saratsamaya kala nirar parangka, Nton tang pradesa ri hawanira kapwa ramya, Kweh lwah magong katemu de nira tirtha dibya, Udyana len talaga nirjhara kapwa mahning. Terjemahannya: Awal musim semi ketika beliau sang Rama dan Laksmana pergi ke sana, Terlihatlah daerah di sepanjang perjalanan beliau semua indah, Banyak sungai besar ditemui beliau dan airnya semua jernih, Taman dan telaga serta jeram semua airnya bening dan suci. Kembali ke pokok persoalan apakah benar ada bait-bait dari gita kakawin tidak boleh dinyanyikan di pura karena khusus untuk mengiringi prosesi upacara kematian? Seperti bait-bait di atas yang bersumber dari kakawin Bharatayudha, kakawin Arjunawiwaha, kakawin Ramayana? Untuk menjelaskan persoalan ini kita kembali pada fungsi gita tersebut. Para penikmat sastra tradisional yang sering bergelut dengan karya sastra kakawin mencoba memberikan pandangan fungsi gita tersebut. I Nyoman Suarka dalam sebuah wawancara mengatakan gita tersebut berfungsi sebagai tuntunan yang meliputi, ibadat keindahan, persembahan, aktualisasi bakti, dan berfungsi sebagai tontonan, yakni hiburan. Apa yang dikatakan Suarka sejalan dengan pemikiran Horatius bahwa karya sastra harus menggabungkan sifat utile dan dulce, yaitu bermanfaat dan manis (Teeuw. 1984:51). Karya sastra kakawin memiliki manfaat atau fungsi. Ketika didalami isi kandungan dari gita tersebut, semua merupakan tuntunan agar kita di dalam mengarungi kehidupan tidak banyak jalan yang salah kita pilih dan kita lalui. Sebagai tontonan atau hiburan, karena gita ketika ditembangkan dengan aturan yang tepat, dengan suara sesuai yang dibutuhkan masing- masing genre kidung, maka alunan indah tersebut akan mengalirkan fibrasi ke sanubari kita. Bathin terasa puas dan terasa ada kedamaian di dalam hati. Gita tersebut ditransformasikan dari Itihasa, yaitu epos besar Ramayana dan Mahabharata (lihat Puja, 1984: 28). Itihasa merupakan salah satu intisari dharma (kebenaran dan kebajikan). Dari wiracarita India sampai ke Indonesia menjadi berbagai genre kidung, seperti kakawin, kidung, geguritan,dan yang lainnya. Di dalam pustaka suci Srimad Bhagawatam (XII
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages7 Page
-
File Size-