Plagiarism Checker X Originality Report Similarity Found: 24%

Date: Rabu, Desember 30, 2019 Statistics: 25094 words Plagiarized / 6022 Total words Remarks: High Plagiarism Detected - Your Document needs Critical Improvement. ------i MANUNGGALING KAWULA GUSTI DALAM SERAT WEDATAMA (SEBUAH KAJIAN THEOLOGI) Oleh : Dr. Drs. Marsono, M.Pd.H ii MANUNGGALING KAWULA GUSTI DALAM SERAT WEDATAMA (SEBUAH KAJIAN THEOLOGI) Penulis: Dr. Drs. Marsono, M.Pd.H Editor : Dr. I Ketut Sudarsana, S.Ag., M.Pd.H. PENERBIT : Jayapangus Press REDAKSI : Jl. Ratna No.51 Denpasar - Telp. (0361) 226656 Fax. (0361) 226656 http://jayapanguspress.org Perpustakaan Nasional Republik Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISBN : 978-602-51483-1-6 iii KATA PENGANTAR Om Swastyastu Dengan rasa angayubagia kehadapan Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia dan rahmatNya, maka penyusunan buku yang berjudul “Manunggaling Kawula Gusti Dalam Serat Wedatama (Sebuah Kajian Theologi)” dapat terselesaikan dengan baik.

Serat Wedatama mengandung nilai-nilai yang luhur sebagai tuntunan susila disamping sebagai tuntunan hidup, menjadikan karya sastra tersebut bertahan terus hingga saaat ini. Kehebatan bertahan sebuah karya sastra menunjukan hebatnya pengarang dibalik karya besar tersebut. Kajian theologi Serat Wedatama memberikan pemahaman dasar bahwa seorang manusia bisa memahami makna kehidupan ini, dan menjalani roda perputaran kehidupannya dengan penuh makna pula. Setiap detik yang berlalu dalam hidupnya, selalu bermakna, tidak ada kesia-siaan.

Karena manusia dilahirkan kedunia ini, pasti dengan tujuan yang mulia pula, bukan sekedar iseng belaka. Kesadaran akan kelahiran berarti kesadaran akan tujuan hidup lahir kedunia. Tujuan hidup yang sesungguhnya akan dapat iv dicapai melalui implementasi nilai-nilai luhur.

Nilai luhur itulah yang bias digunakan untuk menata kehidupan ini sehingga perubahan menuju penyeimbangan antara pemenuhan spiritual dan jasmani tercapai. Hingga manusia menyadari tujuan yang sejatinya hidup di dunia ini. Jalan untuk mencapai tujuan hidup tersebut banyak dituturkan dalam Serat Wedhatama. Melalui Catur sembah manusia akan dibimbing untuk berlaku baik dan mencapai kedamaian dan kebahagiaan.

Penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki, maka kritik dan saran yang sifatnya membangun penulis harapkan demi kebaikan dan kesempurnaan karya tulis ini. Sebagai akhir kata semoga buku ini bukan akhir dari segalanya melainkan awal dari lahirnya karya-karya yang lebih baik dan berguna untuk kepentingan pengembangan ilmu dan pembangunan. Om Santih, Santih, Santih Om.

Denpasar, Pebruari 2018 Penulis v DAFTAR ISI Halaman Dalam i Redaksi ii Kata Pengantar iii Daftar Isi v PENDAHULUAN 1 GAMBARAN UMUM SERAT WEDATAMA 7 Serat Wedhatama 7 Eksistensi Serat Wedatama 19 Penyusun Serat Wedatama 26 Sinopsis Serat Wedatama 32 Naskah Serat Wedhatama… 44 AJARAN TEOLOGI SERAT WEDATAMA 58 Pengertian Teologi 58 Konsep Tuhan Dalam Serat Wedhtama 63 1. Tuhan (Brahman) Sebagai Dzat Yang Mutlak 63 2. Alam Fana dan Alam Abadi 77 3. Jiwa (Atman), Sukma, Roh… 87 4.

Karma Phala (Ngunduh Wohing Pakarti) 114 5. Samsara atau Punarbhawa (Tumimbal lahir) 128 6. Moksa 131 vi TUJUAN HIDUP DALAM SERAT WEDHATAMA… 139 Manunggaling Kawula Gusti dalam Masyarakat Kejawen 139 Sangkan Paraning Dumadi. 153 Manunggaling Kawula Lan Gusti 179 Mamayu Hayuning Bawana 195 CARA MENCAPAI TUJUAN HIDUP DALAM SERAT WEDATAMA 210 Sebah Raga 213 Sembah Cipta 220 Sembah Jiwa 238 Sembah Rasa.

243 PENUTUP 253 DAFTAR PUSTAKA 255 1 PENDAHULUAN Kemajuan bangsa dibidang teknologi rupanya sangat mempengaruhi pola hidup dan pola berpikir masyarakat bangsa ini. Perubahan kehidupan hampir di setiap aspek kehidupan baik di bidang ekonomi, sosial, budaya, politik bahkan kehidupan beragama. Perubahan yang ada saat ini dapat dikatakan sudah sangat maju dibandingkan dengan zaman sebelumnya.

Di jaman globalisasi ini manusia dimanjakan dengan kemudahan teknologi sehingga aktivitas kehidupan manusia bias lebih efisien, praktis, dan ekonomis seperti jarak yang jauh bias menjadi dekat karena adanya perkembangan yang pesat di bidang teknologi dan informasi. Banyak kemudahan lainnya yang memanjakan kehidupan manusia sehingga manusia dengan mudah melakukan aktivitas kehidupannya.

Kemajuan zaman ibarat pedang yang bermata dua, di satu sisi membawa kemudahan, disatu sisi membawa malapetaka, kemudahan yang disajikan pada manusia akan menyebabkan terlena, dan lupa pada norma kebenaran yang berlaku, atau tidak selalu menghantarkan kehidupan manusia pada kehidupan yang lebih baik, celakanya lagi manusia hilang 2 sifat kemanusiaanya, dan tidak ingat lagi tujuan hidupnya.

Kemajuan zaman jika tidak diimbangi dengan moralitas, keluhuran budi, dan mental yang baik justru akan menghantarkan manusia pada kemerosotan moral, yang menyebabkan pada kegelapan. Kecerdasan manusia yang tidak dibarengi sikap bijak membawa pada kemerosotan akhlak moral, maka kehidupan ini akan berubah pada peradaban yang tidak didasari oleh norma dan nilai-nilai luhur masyarakat.

Kemanjaan yang disajikan teknologi menjadikan pola pikir manusia kearah pola pikir yang serba instan, contoh dibidang ekonomi, kepingin dapat uang banyak, tapi kerjanya minta ringan atau gampang, dibidang pendidikan misalnya ulangan kepingin dapat nilai baik tapi tidak dengan belajar, dibidang agama, budaya membeli sarana upacara, “menitip maturan” dan menurunnya kemampuan dalam bidang penguasaan membuat sarana upakara, baik dikalangan anak-anak atau orang tua apalagi wilayah perkotaan, intinya ingin hidup yang praktis dan mudah. Bahkan dalam sembahyang dan doa manusia lebih banyak meminta dari memujanya.

Kemajuan zaman bukanlah sesuatu yang harus dijauhi, atau sesuatu yang menakutkan tetapi merupakan hal yang harus diapresiasi. Oleh karena itu, manusia tidak perlu 3 khawatir dengan perkembangan zaman karena hal tersebut juga sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Hanya saja manusia perlu menyikapi kemajuan zaman dengan berpikir dewasa, bijak dan jangan sampai tenggelam dan larut dengan kemajuan zaman tanpa ada kontrol.

Manusia harus mengimbanginya dengan pengembangan moral dan mental yang positif. Moralitas dan sikap mental yang positif menjadi kontrol agar manusia tidak terjebak pada kehidupan yang individual, hedonisme, dan rapuhnya pengendalian diri. Tidak adanya moralitas dan sikap mental positif sebagai control justru membuat manusia mengumbar hawa nafsu, keserakahan, kebencian, terkikisnya rasa sosial, dan menipisnya keluhuran budi.

Terhimpitnya manusia oleh krisis ekonomi, menjadikan manusia menghalalkan segala macam cara, dan meninggalkan nilai-nilai luhur yang telah lama diyakininya. Implikasi nyata yang ada di hadapan kita, meningkatnya kebohongan /manipulasi, kekerasan, sikap apatis, sombong, tidak santun, kurang bijak, dan tidak punya rasa takut, malu, akan prilaku yang salah. Orientasi hidup cenderung pada filosofis barat, yang lebih mengutamakan logika kapitalis material dibandingkan dengan spiritual.

4 Timbulah filsafat yang menggunakan akal budi untuk membebaskan diri dari kebodohan yang berakhir pada perbudakan. Manusia semakin cerdas sehingga ingin menjadi dirinya sendiri, bukan budak dari siapapun. Manusia semakin “perkasa” karena sanggup memanfaatkan berbagai energy dan materi yang terdapat disekitarnya.

Hidup semakin nikmat berkat perkembangan teknologi yang berbasis materi. Materialisme berujung pada atheisme. Perkembangan tekhnologi dan materialism tanpa disadari menjadikan manusia tidak peduli lagi dengan spiritualisme alami. Kebahagiaan abadi yang dijanjikan oleh Tuhan Yang Maha Esa dinisbikan karena manusia “puas” dengan kenikmatan sementara yang menjadikan hidup “mereka rasakan sebagai sorga” berkat “perjuangan” manusia semata.

Ketimpangan menyebabkan terjadinya revolusi spiritual dan norma rasa hormat kepada guru, orang tua, dan orang yang lebih tua. Etika dan norma yang seharusnya dijaga tidak diindahkan lagi. Manusia menjadi tidak terkendali dan hanya mengumbar amarah, kebencian, mengandalkan kekuasaan, kepandaian dan kekayaannya (adigang adigung adiguna).

Karena keserakahan mereka tidak bisa menjaga dan menggunakan alam dengan bijak. Karena kebencian mereka 5 pun menyelesaikan persoalan dengan kekerasan. Karena kebodohan mereka menggunakan segala cara untuk mempertahankan kehidupannya. Tidak pernah ada yang tau akan rahasia kehidupan manusia baik rejeki, jodoh dan kematian.

Sementara didunia ini manusia saling berpacu dan berlomba meraih semua apa yang diingginkan, terkadang manusia sampai lupa mengorbankan hak anak-anak, keluarga dan orang lain dalam meraihnya. Bilamana semua telah diraih masih saja terasa kurang bahkan merasa semakin bertambah kurang dengan apa yang telah didapatkan, tetapi ketenangan dan kebahagiaan justru semakin menjauh dan tidak kunjung datang menghampirinya.

Jika direnungi apa yang telah diraih yang tidak mampu memberikan ketenangan hidup maka pada titik tertentu akan merasa jenuh dan semakin merasa kesepian dengan hinggar-bingar kehidupan dunia, semua yang diperoleh seakan terasa hampa tanpa makna. Pada saat itu sepertinya hanya satu yang dicari yaitu yang membuat hidup ini lebih bergairah dan bermakna bukan hidup dalam kegelisahan dan kebosanan, bukan hidup dalam berkelimpahan tetapi sunyi dihati dan gersang didalam jiwa. Akhirnya manusia lelah juga setelah segalanya diraih, titik 6 jenuh telah menghampirinya.

Tak ada yang bisa mengembalikan semangat hidup lagi kecuali kembali ke asalnya yaitu tujuan hidup yang dikehendaki. Agama menjelaskan pada manusia, mengenai makna hidup ini, apa tujuan hidup, apa yang dicari dalam kehidupan ini. Dengan pemahaman dasar tersebut seorang manusia bisa memahami makna kehidupan ini, dan menjalani roda perputaran kehidupannya dengan penuh makna pula.

Setiap detik yang berlalu dalam hidupnya, selalu bermakna, tidak ada kesia-siaan. Karena manusia dilahirkan kedunia ini, pasti dengan tujuan yang mulia pula, bukan sekedar iseng belaka. Kesadaran akan kelahiran berarti kesadaran akan tujuan hidup lahir kedunia. Tujuan hidup yang sesungguhnya akan dapat dicapai melalui implementasi nilai-nilai luhur.

Nilai luhur itulah yang bias digunakan untuk menata kehidupan ini sehingga perubahan menuju penyeimbangan antara pemenuhan spiritual dan jasmani tercapai. Hingga manusia menyadari tujuan yang sejatinya hidup di dunia ini. Jalan untuk mencapai tujuan hidup tersebut banyak dituturkan dalam Serat Wedhatama. Melalui catur sembah manusia akan dibimbing untuk berlaku baik dan mencapai kedamaian dan kebahagiaan.

7 GAMBARAN UMUM SERAT WEDATAMA Serat Wedhatama Serat Wedatama merupakan sebuah karya sastra yang sangat popular di jamannya. Sehingga sangat wajar bila Serat Wedhatama banyak dikaji dan ditelaah oleh para pemikir-pemikir dan sastrawan dalam negeri maupun Barat seperti terjemahan Serat Wedhatama oleh; Drs. S.Z. Hadisutjipto yang dikeluarkan oleh; yayasan Mengadeg tahun 1975, “Wedhatama Jinarwa” oleh: R. Tanoyo yang diterbitkan oleh Fa.

Triyana 29 juli 1963, Soedjonoredjo R. ”Wedhatama winardi” dalam huruf Jawa krama inggil disertai penjelasan arti dan maknanya, Menyingkap Serat Wedotomo oleh: Anjar Any Semarang: Aneka Ilmu,1986. Ajaran yang terkandung dalam Serat Wedatama pada awalnya, oleh KGPAA Mangkunegara IV, diperuntukan untuk putra dan turunannya, agar memiliki watak yang luhur.

Tetapi seiring perkembangan jaman ajaran ini berkembang lebih universal, yang artinya bermanfaat bagi siapapun dan sepajang masa. Isi ajaran Serat Wedatama yang luhur menjadi kekaguman masyarakat Jawa, bahkan saat ini banyak dari kalangan mahasiswa asing sepeti Belanda, Amerika, Inggris, 8 Australia, Jepang dan masih ada warga asing lainnya yang berminat mempelajarinya (Sabdacarakatama, 2010:7).

Serat Wedatama adalah karya agung yang tersusun dalam bentuk tembang alit/sekar alit atau pupuh yang berjumlah 100 bait (padha), yang tertuang dalam bentuk Pupuh Pangkur, Pupuh Sinom, Pupuh Pucung, Pupuh Gambuh Dan Pupuh Kinanti, sedangkan cara membacanya didendangkan dengan macapat, baik dengan gamelan atau tidak. Serat Wedatama yang mengandung nilai-nilai yang luhur sebagai tuntunan susila disamping sebagai tuntunan hidup, menjadikan karya sastra tersebut bertahan terus hingga saaat ini. Kehebatan bertahan sebuah karya sastra tersebut menunjukan hebatnya pengarang dibalik karya besar tersebut.

Kehebatan KGPAA Mangkunegara IV, diapreasikan dalam melakukan perlawanan terhadap musuhnya, cukup melalui tulisan pena, sudah cukup membuat penjajah mundur teratur. Cara inilah menjadi contoh sikap perilaku utama, dalam menjunjung tinggi etika berperang “nglurug tanpa bala” (maju tanpa bala tentara/pengiring) dan “menang tanpa ngasorake” (menang tanpa harus merendahkan harga diri musuh).

Kemenangan diraih secara kesatria, tanpa melibatkan 9 banyak orang, tanpa makan korban pertumpahan darah dan nyawa, dan tidak pernah mempermalukan lawan. Serat Wedhatama yang dikarang oleh; Mangkunegara IV pada abad XIX merupakan falsafah hidup khususnya bagi masyarakat Jawa pada masa itu. Namun dalam perkembangannya hingga kini serat Wedhatama yang berisi tentang petunjuk atau pedoman untuk menjadi manusia yang berbudi luhur dalam mencapai keberhasilan hidup lahir dan batin.

Sangat digemari baik kalangan muda dan tua karena Serat Wedhatama adalah suatu kitab yang padat dan ringkas yang disusun dalam bentuk sekar macapat dengan sastra yang amat indah, terutama sangat digemari oleh para pecinta kepustakaan dan kesenian Jawa. Bahkan isi dan kandungan ajarannya tentang budiluhur (etika) disejajarkan dengan etika dan pemikir-pemikir besar dunia Barat dan mirip dengan etika Aristoteles (384-322 SM) Anjar Any,1986: 10).

Renungan filsafat nusantara Indonesia terutama filsafat Jawa konsepsi mengenai “Ada” bukanlah diperoleh melalui penalaran rasio, melainkan melalui pengalaman atau penghayatan batin inner experience. Filsafat Jawa menurut Romo Zoet Mulder, yaitu: “pengetahuan (filsafat) yang merupakan sarana untuk mencapai kesempurnaan”. Dapat 10 dirumusakan bahwa di Jawa filsafat berarti: cinta kesempurnaan (The love of perfection) dengan memakai analogi philosophia Yunani.

Jika memakai bahasa Jawa, maka filsafat berarti: ngudi kasampurnaan, yaitu berusaha untuk mencapai kesempurnaan. Sebaliknya philosopia Yunani dibaca dengan bahasa Jawa menjadi: ngudi kawicaksanan (Abdullah, 1986:14). Titib dalam bukunya Weda Sabda Suci (1996:217) menjelaskan “segala sesuatu yang sungguh-sungguh ada, yang bergerak, yang memiliki kehidupan di alam semesta ini, diliputi oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Pandanglah dunia serba benda itu dengan perasaan penolakan (tanpa keterikatan), dan janganlah menginginkan kekayaan siapapun (milik orang lain)” (Yajurveda, LX.1). Sudharta (2010:225) O Tuhan jadikanlah aku hidup langgeng di dalam kerajaan itu di mana kebahagiaan dan kenikmatan spiritual berlimpah-limpah adanya, dimana kebahagiaan dan kegembiraan dilanjutkan bersama-sama dan seluruh keinginan terpenuhi, O Tuhan bermurah hatilah kepada kami demi tercapainya keadaan yang sejahtera itu (Reg.113.11).

11 Tim Penyusun (2006:26) Tujuan agama (dharma) kita adalah untuk mencapai Moksa (moksa artham) dan kesejahteraan umat manusia (jagadhita), yang tersusun dalam kalimat ”Moksarham jagadhitaya ca iti dharma”. Moksa berarti kebebasan dari ikatan duniawi, bebas dari karmaphala, bebas dari samsara. Moksa akan tercapai bukan saja setelah manusia mengakhiri hidupnya di dunia ini, tetapi di dalam dunia inipun moksa dapat dicapai.

Hanya dicapainya ialah bila sudah bebas dari ikatan-ikatan duniawi. Ciptoprawiro (1986:21) juga menegaskan bahwa berfilsafat dalam arti luas, di dalam kebudayaan Jawa berarti ngudi (mencari) kasampurnan. Manusia mencurahkan seluruh eksistensinya, baik jasmani maupun rohani, untuk mencapai tujuan tersebut.

Usaha tersebut merupakan suatu kesatuan, suatu kebualatan yang utuh. Menurut Kadjeng (2000:6) menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara(lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik, demikian keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia.

Tafsir ajaran Serat Wedhatama karya Adityo Jatmiko (2005), menerangkan isi dari tembang Jawa yang tertera 12 dalam Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV yang dikaitkan dengan nilai-nilai keagamaan. Dalam buku ini penulis lebih banyak membahas catur sembah yang terdapat dalam tembang gambuh, sedangkan pembahasan pupuh-pupuh lainya hanya sebagai penunjang.

Konsep Ketuhanan dirumuskan dengan sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa dan sembah rasa. Dengan catur sembah itu, apabila seseorang mencapai tingkat terdekat sedekat-dekatnya dengan Tuhan, niscaya ia memperoleh anugrah dari Tuhan. Empat sembah tersebut apabila dibandingkan dengan catur Marga dalam Hindu, yaitu empat jalan untuk mencapai Tuhan yang terdiri dari bakti marga, karma marga, jnana marga dan raja marga yang sebenarnya kempat jalan tersebut saling kait mengkait.

Serat Wedatama bait 49, kelak saya bertutur, empat macam sembah supaya dilestarikan; pertama; sembah raga, kedua; sembah cipta, ketiga; sembah jiwa, dan keempat; sembah rasa, anakku! Di situlah akan bertemu dengan pertanda anugrah Tuhan. Bait tersebut mempertegas bahwa sebagai seorang hamba Tuhan manusia wajib melakukan sembah catur jika mengingikan mendapatkan anugrah Tuhan.

13 Anugrah Tuhan yang paling mulia yaitu suatu kebahagiaan yang abadi bersatu dengan Tuhan (Manunggaling Kawula Gusti). Panembah adalah berasal dari kata “Sembah” yang berarti mempersembahkan sesuatu. Tetapi yang terjadi sekarang ini justru melakukan sembahyang memiliki arti yang berbeda.

Ketika berdoa, maka bukan mempersembahkan sesuatu pada Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan, atau mengagungkan kemahakuasaan-Nya, tetapi justru meminta melulu. Meminta rejeki, meminta umur panjang, meminta berkah atas usahanya dan dimudahkan semua kerjanya. Adapun keempat sembah/atau catur sembah itu sebagai berikut: a. Sembah Raga Sembah raga bisa juga disebut dengan sembah sarengat (syariat) yang mengutamakan gerakan raga dengan cara yang sudah ditentukan, disertai dengan doa baik dengan suara yang dapat di dengar orang lain maupun ucapan di dalam batin yang tidak terdengar.

Dalam Serat Wedhatama dijelaskan: Sembah Raga puniku Pakartining wong amagang laku sesucine asarana saking warih Kang wus lumrah limang wektu Wantu wataking wawaton Terjemahannya: 14 Sembah raga itu, pengertiannya orang yang sedang laku, caranya mensucikan diri dengan air, yang lumrah adalah lima waktu, cara-caranya sudah ditentukan. Sembah raga ini dimaksudkan untuk membersihkan diri dengan latihan tertentu khususnya latihan jasmani.

Semua itu merupakan tahap awal yang harus dilewati oleh seorang pencari kebenaran. b. Sembah Cipta Panembah dengan cara ini adalah mendekatkan diri dengan menggunakan sarana ciptanya. Yang dimaksud dengan sembah cipta adalah menghentikan ciptanya supaya menjadi tenang. Caranya adalah dengan berdiam diri, dan berusaha menghentikan ciptanya.

Berhentinya cipta seorang manusia itu disebut heneng yang memiliki arti meneng (diam dan tenang). Gerakan cipta harus dihentikan karena daya cipta manusia merupakan aling-aling (tabir penyekat yang menghalangi manusia dengan dunia ghaib). Dengan menghentikan cipta maka akan terbukalah tabir penyekat tersebut yang memungkinkan manusia masuk ke alam ghaib untuk mendekat pada Gusti kang murbeng dumadi.

15 c. Sembah Jiwa Bagi siapa saja yang sudah bisa melakukan sembah jiwa maka jiwa/suksma manusia tersebut dapat lepas dari raga atau jasmaninya. Peristiwa ini di kalangan masyarakat Kejawen disebut "Ngrogoh Sukmo" atau "Mati Sakjroning urip". Dalam tataran tersebut maka kedekatan hamba dengan Gusti/Tuhan sudah boleh dikatakan dekat. Hakikat atau sembah jiwa adalah tahap yang sempurna.

Pencapaian tahap ini diperoleh dengan mengenal Tuhan melalui pengetahuan yang sempurna dengan cara berdoa terus-menerus; menyebut nama Tuhan dan mencintai-Nya; mengenali Tuhan dan dirinya sendiri; acuh terhadap kesenangan dan kesusahan, karena senang-susah, kaya-miskin, nyaman-sakit, semuanya itu merupakan wujud Tuhan, yang berarti berasal dari Tuhan. Segala sesuatu milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, manusia hanya mengaku saja (Zoetmulder, 1991:138).

Tahap ini disebut tahap keadaan mati dalam hidup, dan hidup dalam mati; maknanya yang mati di sini adalah nafsunya, menjauhkan segala kemelekatan dengan semua yang ada. d. Sembah Rasa Sembah rasa biasa juga disebut sembah kalbu. Rasa manusia itu ada tiga yaitu rasa luar, rasa dalam, dan rasa 16 sejati. Rasa luar adalah rasa yang terdapat pada kulit kita. Misalnya, rasa sakit, rasa panas yang kita rasakan pada kulit kita.

Sedangkan rasa dalam, adalah rasa yang ada dalam diri kita. Misalnya, rasa marah, rasa senang dan lain-lain. Sementara rasa sejati adalah rasa yang dapat menerima dan mengerti aneka macam keghaiban. Tataran yang bisa terjadi pada sembah rasa menurut Serat Wedatama adalah: Keleme mawa emut, Lalamatan, Jroning alam kanyut, Sanyatane iku kenyataan kaki, Sejatine yen tan emut Sayekti tan bisa amor.

Terjemahannya: Tenggelamnya dengan selalu ingat, sayup-sayup, berada dalam alam hanyut, kebenarannya itulah kenyataannya, Sejatinya kalau tidak ingat, maka tidak akan bisa bertemu (dengan Gusti/Tuhan). Panembah rasa ini bisa disebut berhasil jika berada pada tingkat heneng-hening dan dapat mempertahankan kesadaran untuk masuk ke alam ghaib Gusti/Tuhan.

Jika sudah begitu, maka juga bisa disebut sumusuping rasa jati (menyusupnya rasa sejati). Hal itu bisa disimak dari tembang pangkur berikut ini: 17 Tan Samar Pamoring Suksma, Sinuksmaya winahyua ingasepi, sinimpen, telenging kalbu, Pambukaning warana, Tarlen saking liyep-layaping ngaluyup, Pindha pesathing supena, Sumusuping rasa jati.

Terjemahannya: Bisa melihat pamornya suksma, yang terlihat maya dan bisa dilihat di dalam sepi, tersimpan dalam dasar kalbu, Pembukaannya lantaran rasa yang mirip mengantuk, seperti melesatnya rasa, menyatu dengan rasa sejati. Namun dalam tataran sembah rasa tersebut, apabila sudah muncul rasa kantuk yang amat sangat maka hendaknya si pelaku spiritual tetap "eling dan waspada".

Artinya, jika rasa ngantuk tersebut dibiarkan, maka kita akan langsung tertidur pulas dan gagallah upaya untuk mendekat pada Gusti/Tuhan. Selanjutnya dalam kamus filsafat di sebutkan teologi secara sederhana yaitu suatu studi mengenai pertayaan tentang Tuhan dan hubungannya dengan dunia realitas. Dalam pengertian yang lebih luas, teologi merupkan salah satu cabang dari filsafat atau bidang khusus inquiri filosofi tentnag Tuhan (Runes,1953:317).

Kata teologi berasal dari kata theos yang artinya Tuhan dan logos yang artinya ilmu atau pengetahuan. Jadi teologi 18 adalah pengetahuan tentang Tuhan (Donder, 2006:4). Menurut Maulana dkk, mengemukakan bahwa teologi secara arfiah berarti teori atau study tentang Tuhan. Kata teologi berasal dari kata theos yang artinya „Tuhan? dan „logos? artinya „ilmu? atau „pengetahuan?. Jadi teologi berarti „pengetahuan tentang Tuhan?.

Ada banyak batasan atau definisi teologi sebagaimana uraian berikut: teologi secara harfiah berarti teori atau studi tentang „Tuhan?. Dalam praktek, istilah dipakai untuk kumpulan doktrin dari kelompok keagamaan tertentu atau pemikiran individu (Maulana, dkk. 2003: 500). Teologi atau dalam bahasa sansekertanya Brahmawidya atau Tattwa Jnana adalah ilmu tentang Tuhan (Pudja, 1984:14).

Teologi Hindu mendasarkan subtansi ajarannya pada Panca Sradha yaitu: (1) keyakinan akan kebanaran adanya Tuhan / Ida Sang Hyang Widi Wasa sebagai asal mula segala yang ada (Sangkan Paraning Dumadi), (2) Keyakinan adanya Atman (sumber hidup yang menghidupkan sesuatu hidup). Ia adalah sinar Brahman Yang Esa. Ia berada didalam setiap makhluk dan juga berada di luar. Ketika berada didalam tubuh dia disebut Jiwa.

Ketika tubuh ini ditinggalkan maka tubuh ini mati dan menjadi hancur, namun Atman tetap kekal (Katha 19 Upanisad I.2.18 dan II.2.4). Sang Jiwa yang terbungkus dalam Roh pergi membawa kesan karma/perbuatan selama ia berada dalam tubuh yang tidak kekal. (3) Keyakinan akan adanya Karmaphala, yaitu sebuah keyakinan bahwa setiap perbuatan pasti ada akibatnya (hukum causa prima), (4) Keyakinan akan adanya Samsara atau penjelmaan kembali dan (5) Keyakinan akan adanya tujuan yang paling tinggi yaitu bersatunya Atman dengan Parama Atma atau Brahman (Manunggaling Kawula Gusti).

Eksistensi Serat Wedatama Serat Wedatama merupakan salah satu karya seni yang berbentuk puisi atau tembang yang tersusun dalam bentuk pada. Keberadaan Serat Wedatama sebagai karya agung mempunyai kandungan nilai etika, religious, etos kerja yang sudah sepatutnya mempunyai kedudukan yang diperhitungkan oleh masyarakat bangsa Indonesia sebagai ahli warisnya. Bangsa Indonesia sudah seharusnya menjaga dengan baik budaya yang dimilikinya.

Budaya yang dimiliki itu merupakan suatu identitas asli bangsa itu sendiri. Tempo dulu bangsa Indonesia terkenal dengan bangsa yang besar, dengan budaya ramah atau santun terhadap sesama yang sangat 20 disegani oleh bangsa-bangsa lain. Tetapi realita saat ini berbeda, masyarakat sebagai lokalitas kultur itu sendiri perlahan mulai meninggalkannya, terhegamoni oleh jaman moderen.

Kenyataan ini membuktikan semakin menipisnya rasa bangga bangsa Indonesia terhadap budayanya sendiri. Tak heran bila banyak dari produk kebudayaan bangsa Indonesia yang marak diklaim oleh negara-negara lain. Budaya asing yang masuk disamping akan memperkaya dan menciptakan budaya baru juga akan mengkhawatirkan karena menjadi ancaman tersendiri bagi eksistensi kebudayaan indonesia. Ketika budaya egoistis, individualis dan materialis masuk, seolah tak peduli dengan budaya sendiri.

Contoh generasi muda saat ini lebih gandrung pada konser-konser lagu pop baik produk lokal atau produk luar (korea atau yang lain) dibandingkan dengan menikmati pertunjukkan tarian atau pementasan ataupun kidung-kidung khas bangsa Indonesia yang syarat dengan nilai-nilai luhur serta pesan spiritual. Realita kehidupan generasi muda saat ini sebagai produk modernisme semakin kurang tertarik terhadap hal-hal yang berbau tradisi.

Segala sesuatu yang berkaitan dengan budaya tradisi dianggap kuno, ketinggalan zaman dan hanya 21 milik generasi sebelumnya saja. Pada hakikatnya budaya tradisi sebagai produk asli para leluhur terkandung banyak nilai-nilai luhur pembentuk kepribadian atau budi yang luhur, jati diri bangsa, bukan kesenangan semata.

Jika nilai-nilai filosofis luhur dan spiritual yang terkandung dalam Serat Wedatama hilang dan tidak lagi dimengerti oleh generasi muda, maka mereka hanya akan memiliki nilai-nilai universal yang belum tentu bermanfaat dan tentunya akan mengikis nilai luhur jati diri bangsa Indonesia secara perlahan-lahan. Sesulit apapun usaha pemeliharaan dan pelestarian budaya tradisional harus tetap dilaksanakan.

Sikap tersebut bukan semata-mata menutup kemungkinan atau membatasi generasi muda saat ini untuk mengetahui dan mempelajari budaya luar, tetapi lebih menekankan mencintai budaya asli dan ikut serta melestarikannya. Kenyataan dalam kehidupan sehari-hari untuk melakukan upaya-upaya pelestarian budaya tradisidi era globalisasi saat ini memang menemukan banyak kendala.

Kendala tersebut dapat dianalisis dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang menjadi penghambat adalah sikap nasionalisme individu untuk lebih mencintai budaya asli 22 Indonesia yang masih rendah, terkadang pola hidup individualisme menjadi faktor penyebab minimnya kesadaran untuk memiliki sesuatu secara bersama-sama dan komperhensif.

Faktor eksternal yang menjadi penghambat dalam upaya pelestarian budaya tradisi tersebut adalah kurangnya sosialisasi dan mediasi baik itu dari pihak yang bertanggung jawab menangani masalah tersebut maupun media sebagai sarana publik relasi yang menjembatani informasi kepada masyarakat. Selain itu, peran masyarakat juga cukup penting untuk mengajarkan pada generasi muda baik melalui pendidikan formal, informal atau non formal agar memiliki keahlian untuk melestarikan budaya yang dimilikinya.

Usaha tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya adalah pementasan-pementasan seni budaya tradisional di berbagai pusat kebudayaan atau tempat umum yang dilakukan secara berkesinambungan seperti mengadakan lomba-lomba menyanyikan Serat Wedatama, membiasakan mengajarkan kidung tersebut di rumah oleh individual keluarga, mengkaji nilai-nilai yang terkandung dalam Serat Wedatama, mempublikasikan melalui multimedia menanamkan nilai-nilainya kepada generasi muda agar bangga dengan 23 budaya bangsa sendiri. Disamping membuat wadah atau lembaga untuk menyalurkan bakat dan kreatifitas generasi muda dalam hal seni tarik suara tradisional.

Mengingat Serat Wedatama memiliki kandungan spiritual yang tinggi dan bertahan sesuai jenjang manusia hidup. Serat Wedatama berbentuk pupuh atau tembang alit/macapat. Pupuh dalam tembang Jawa jumlahnya amat banyak, tetapi dari jumlah yang banyak tersebut dipilih pupuh-pupuh tertentu saja, dan pemilihan jenis pupuh tersebut tidak sesuai dengan urutan tembang sebagaimana mestinya yang memiliki simbul tahapan kehidupan manusia seperti, mijil, kinanti, dan seterusnya.

Pemilihan pupuh-pupuh tersebut pastinya tidak sembarangan, KGPAA Mangkunegara IV sekiranya mempunyai alasan yang pasti sehingga memilih lima jenis pupuh tersebut (Pangkur, Sinom, Pucung, Gambuh, dan Kinanti). Pemilihan tembang macapat mengandung makna yang tersembunyi selain makna tembang macapat itu sendiri. Dalam pupuh pertama dipilih tembang pangkur.

Pupuh pangkur tersebut bermakna sebagai pembuka yang menceritakan sifat manusia yang rwabhineda yaitu sifat daiwi sampat (sifat dewata) yang diwujudkan dalam prilaku 24 manusia yang mempunyai sifat yang luhur budinya dan sampat (sifat raksasa) yang diwujudkan pada sifat orang yang mempunyai sifat yang bodoh, sombong, kasar dan malas.

Pupuh yang kedua yaitu sinom, pupuh sinom dalam serat wedhatama mempunyai makna jika seseorang sudah mengetahui permasalahannya itu diharapkan dapat mencari ilmu dengan berguru pada orang yang lebih tahu akan ilmu tersebut. Selanjutnya dalam pupuh sinom diartikan, jika sudah mantab dengan ilmunya maka orang tersebut dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Lalu pada pupuh selanjutnya diharapkan dapat mempelajari hakikat ilmu yang dimaksud dalam serat wedhatama tersebut. Serat wedhatama yang di tulis oleh KGPAA Mangkunegara IV jika dikaitkan dengan ajaran Catur Marga, yaitu empat cara atau jalan untuk mencapai tujuan hidup Mokshartam Jagadhita ya Caiti Dharma (kesejahteraan dunia dan kebahagiaan abadi).

Seperti layaknya melaksanakan yoga maka akan ada tahapan yang harus dilaksanakan yaitu melaksanakan Panca Yama Brata (lima pengendalian diri yang bersifat jasmani). Dan bila sudah mampu melakukan brata dari Panca Yama akan dilanjutkan dengan melakukan Panca Nyama Brata (lima pengendalian diri yang berifat 25 batiniah). Tahapan selanjutnya barulah melakukan asana, pranayama, dharana dyana sampai pada samadhi.

Dalam samadhi ini seseorang akan mampu mencapai penyatuan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Penyatuan rasa dan jiwa ini dalam ajaran jawa umumnya disebut dengan Manunggaling Kawula Gusti atau Pamoring Kawula Gusti yaitu bersatunya hamba dengan Tuhan melalui jiwa dan rasanya.

Apabila pupuh diatas dikaitkan dengan empat macam sembah atau yang biasanya disebut dengan “sembah catur” maka akan didapati yaitu sembah raga, cipta, jiwa dan rasa. Sembah raga dianggap sebagai akan memulai sebuah perjalanan. Sembah cipta jika dilakukan terus menerus akan menjadi laku dengan mengendalikan hawa nafsu. Lalu sembah jiwa yaitu sembah yang dilakukan setiap saat dan merupakan perjalanan ritual terakhir dan yang tertinggi adalah sembah rasa yaitu akan mampu memahami hakikat dari kehidupan, tercapainya tanpa petunjuk, hanya dengan kesentausaan batin.

Serat wedhatama merupakan jenis serat piwulang yang ditulis oleh KGPAA Mangkunegara IV. Dalam serat wedhatama terdapat ajaran-ajaran (piwulang) yang luhur dari 26 para leluhur orang Jawa. Dan apabila dilaksanakan maka akan mendapat ketenangan hati dan jiwa dan dapat memahami arti dari kehidupan, menjalanani kehidupan, penuh tuntunan yang baik menurut pandangan dari orang jawa (Sabdacarakatama, 2009:8).

Penyusun Serat Wedatama Serat Wedatama merupakan sebuah karya agung yang ditulis oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Mangkunegoro IV. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Mangkunegoro IV merupakan putra pasangan Kanjeng Pangeran (KP) Hadiwijoyo I dengan Raden Ajeng (RA) Sekeli, lahir pada tanggal 3 Maret 1811 (Senin Pahing, 8 Sapar 1738 tahun Jawa Jumakir, Windu Sancaya) dengan nama kecil Raden Mas Sudira (Sabdacarakatama,2009:9). Ayahnya bernama KPH Adiwijaya I dan ibunya adalah putri KGPAA Mangkunagara II bernama Raden Ajeng Sekeli.

Oleh karena KPH Adiwijaya I adalah putera Raden Mas Tumenggung Kusumadiningrat yang menjadi menantu Sri Susuhunan Pakubuwono III, sedangkan R.A Sekeli adalah puteri dari KGPAA Mangkunagara II, maka secara garis keturunan R.M. Sudira silsilahnya adalah sebagai cucu dari 27 KGPAA Mangkunagara II dan cicit dari Sri Susuhunan Pakubuwono III. Selain itu ia merupakan cicit dari K.P.A.

Adiwijaya Kartasura yang terkenal dengan sebutan Pangeran Seda ing Lèpèn Abu yang gugur ketika melawan Kompeni Belanda. Masa pemerintahannya adalah sejak 1853 hingga wafatnya 1881 (Sabdacarakatama, 2009:9). Selain sebagai pengarang Serat Wedatama KGPAA Mangkunegoro IV merupakan seniman besar pencipta berbagai macam seni tari (beksa) dan tembang.

KGPAA Mangkunegoro IV juga ahli dalam menggubah wayang orang, wayang madya, juga sega seorang desainer. Hasil ciptaan KGPAA Mangkunegoro IV dalam desain baju diantaranya pencipta jas Langendriyan (sering digunakan sebagai pakaian pengantin Jawa/Solo). KGPAA Mangkunegoro IV adalah enterpreneur sejati yang sangat sukses memakmurkan rakyat pada masanya dengan membangun pabrik bungkil, pabrik gula Tasikmadu dan Colomadu di Jateng pada tahun (1861-1863) dengan melibatkan masyarakat, serta perkebunan kopi, kina, pala, dan kayu jati di Jatim dan Jateng (Sabdacarakatama, 2009:8).

Masih banyak lagi, termasuk merintis pembangunan Stasiun Balapan di kota Solo. KGPAA Mangkunegoro IV juga 28 terkenal gigih dalam melawan penjajahan Belanda. Kecerdasan dari KGPAA Mangkunegoro IV yang multi mewujudkan sosok pemimpin yang mampu membawa rakyatnya pada kemakmuran. Disamping ahli dalam sastra, ahli ekonomi juga ahli dalam memenejem rakyatnya, sehingga mampu membuka lapangan kerja yang menampung tenaga kerja yang amat banyak, disamping KGPAA Mangkunegoro IV juga ahli dan tekun dalam bela Negara (Sabdacarakatama,2009:10).

Ketekunan KGPAA Mangkunegoro IV dalam bela negara, dikarenakan sejak umur 15 tahun KGPAA Mangkunegoro IV telah masuk dinas militer, dan menjadi taruna infantri legiun Mangkunegoro, tiga tahun kemudian ia diangkat menjadi Kapten, lalu ia nikah dengan puteri KPH Surya Mataram dengan sebutan baru RMH Gondokusumo. Karena kecakapan dan power kepemimpinan yang tinggi KGPAA Mangkunegoro IV memperoleh kepercayaan dan terpilih menjadi pembantu dekat Mangkunegoro III dengan mengangkat pepatih Dalem (patih raja dalam urusan dalam) selanjutnya menjadi ajudan dalam dan terakhir menjadi komandan infantri legiun Mangkunegoro dengan pangkat Mayor (Sabdacarakatama, 2009:10). 29 Untuk meningkatkan keakraban dengan Mangkunegoro III, maka KGPAA Mangkunegoro IV dinikahkan dengan puteri sulung bernama BRA Dunuk.

Karena kepribadiannya yang kuat, cita-citanya yang tinggi, wawasannya yang jauh, kewibawaan yaitu dalam kemiliteran, ketrampilannya dalam pemerintahannya, kedalaman perasaannya dalam agama dan seni budaya, ia diangkat menjadi pengganti Mangkunegara III setelah beliau wafat, ia diangkat dengan sebutan Prabu Prangwadana letnan kolonel infantri legiun Mangkunegaran pada tanggal 14 Rabiul Awal tahun Jimawal 1781 atau tanggal 24 Maret 1853.

Adapun gelar Mangkunegoro IV diraihnya pada hari Rabu Kliwon 27 Sura tahun Jimakir 1786, berdasarkan Surat Keputusan tanggal 16 Agustus 1857 dalam usia 47 tahun (Sabdacarakatama, 2009:10). Mangkunegoro IV telah mencapai kematangan dalam berbagai bidang sejak sebelum menjadi raja Mangkunegaran, oleh sebab setelah ia menduduki jabatan tersebut, ia segera mengambil inisiatif dalam bidang politik, pemerintahan, ekonomi, sosial, seni budaya dan lain-lain, sehingga ia memiliki otonomi penuh mengenai urusan ke dalam seperti halnya Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.

Dan ia berhak mengatur pemerintahan sendiri, mengatur rakyatnya 30 menjamin ketenteraman dan kesejahteraan mereka sebagai penguasa penuh di daerahnya. Bahkan ia merasa sebagainya raja ketiga di samping Sunan Surakarta dan Yogyakarta sehingga pada masa pemerintahannya daerahnya bertambah luas hingga daerah Sukawati (Sragen) berkat bantuannya kepada pemerintah Inggris dalam menundukkan pemberontakan Sultan Yogyakarta (Sabdacarakatama, 2009:9).

Dalam masa pemerintahan Mangkunegoro IV diterangkan bahwa beliau mengalami kemajuan dalam segala bidang sehingga Mangkunegoro IV merupakan negarawan yang cukup terpandang. Kebesaran Mangkunegoro IV terutama sebagai seorang sastrawan dan kebudayaan Jawa, dapat dilihat dalam karya-karya sastra yang dihasilkannya yakin antara lain, Tripama, Manukarsa, Nayakawara, Yogatama, Paramnita, Pralambang lara kenya, Langen swara dan lain-lain.

Dari hasil-hasil karya sastra di atas, Mangkunegoro IV dipandang sebagai salah seorang sastrawan dalam masa kebangkitan kembali kesusastraan Jawa baru dalam masa Surakarta (Sabdacarakatama, 2009:9). Versi Lain Penulis Serat Wedhatama tentang siapa penulis Serat Wedhatama yang asli hingga kini ada beberapa versi dan pendapat. Ada yang mengatakan bahwa Serat 31 Wedhatama itu hasil karya R. Ng. Ronggowarsito.

Alasan yang mempunyai pendapat ini karena wileda (ikatan) kata demi kata sedemikian indah dan praktisnya sehingga mudah dihafal, itu ciri khas pujangga Ronggowarsito. Ada lagi yang berpendapat bahwa Wedhatama itu karya Raden Ngabehi Wiryokusumo, seorang bangsawan Mangkunegaran yang mengabdi di istana dengan Pangkat Mantri Langenprojo Mangkunegaran. Meskipun tidak begitu seterkenal seperti pujangga Ronggowarsito, tetapi ternyata Rn. Ng. Wiryokusumo.

Ini hasil karyanya digemari oleh umum pada zamannya, yaitu antara lain: Tembang Prana, Panitisastra dan lainnya lagi. Masalah tentang siapa pengarang Wedhatama mendapat perhatian penulis Barat antara lain Dr. P.A. Rinkes yang meragukan jika seluruh penulisan Wedhatama itu dikarang Mangkunegora IV karena penulisannya telah ikut di dalamnya Pakubuwono IX, Ronggowarsito, dan Wiryokusumo sebab sastra dan gaya bahasa dalam Wedhatama sangat berbeda dengan karya-karya yang lain.

Tetapi para penulis Indonesia pada umumnya dan penulis suku Jawa khususnya tidak meragukan bahwa Wedhatama adalah karya Mangkunegara IV. Hal ini terlihat dari berbagai penelitian di Indonesia khususnya di Jawa maupun dalam percakapan 32 sehari-hari atau dalam bahasa lisan, kesemuanya mengatakan bahwa Wedhatama itu adalah karya Mangkunegara IV dengan beberapa pertimbangan: 1. Gaya bahasa dan kandungan isi Wedhatama. 2.

Pencantuman nama pengarang dalam penerbitan Wedhatama mencantumkan Mangkunegara IV sebagai pengarangnya. Berdasarkan analisis kandungan isi dan berbagai penerbitan yang penulis baca, penulis cenderung untuk berpendapat bahwa Serat Wedhatama adalah karya Mangkunegara IV, setidaknya karya yang dinisbahkan kepadanya.

Sinopsis Serat Wedatama Selain terkenal kepandaiannya akan ilmu pengetahuan, juga terkenal karena beliau tokoh yang amat sakti mandraguna. Beliau terkenal adil, arif dan bijaksana selama dalam kepemimpinannya. Beliau adalah Ngarsa Dalem Ingkang Wicaksana Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Sri Mangkunegoro IV. Raja di keraton Mangkunegaran Solo.

Berkat “laku” spiritual yang tinggi beliau diketahui wafat dengan meraih kesempurnaan hidup sejati dalam menghadap Tuhan Yang Mahawisesa; yakni “warangka manjing curiga” 33 atau meraih kamuksan; menghadap Gusti (Tuhan) bersama raganya lenyap tanpa bekas (Sabdacarakatama, 2009:8) Wedhatama merupakan ajaran luhur untuk membangun budi pekerti dan olah spiritual bagi kalangan raja-raja Mataram, tetapi diajarkan pula bagi siapapun yang berkehendak menghayatinya.

Wedhatama menjadi salah satu dasar penghayatan bagi siapa saja yang ingin “laku” spiritual dan bersifat universal lintas kepercayaan atau agama apapun. Karena ajaran dalam Wedhatama bukan lah dogma agama yang erat dengan iming-iming surga dan ancaman neraka, melainkan suara hati nurani, yang menjadi “jalan setapak” bagi siapapun yang ingin menggapai kehidupan dengan tingkat spiritual yang tinggi.

Mudah diikuti dan dipelajari oleh siapapun, diajarkan dan dituntun step by step secara rinci. Puncak dari “laku” spiritual yang diajarkan serat Wedhatama adalah; menemukan kehidupan yang sejati, lebih memahami diri sendiri, manunggaling kawula-Gusti, dan mendapat anugrah Tuhan untuk melihat rahasia kegaiban (meminjam istilah Gus Dur; dapat mengintip rahasia langit).

Serat yang berisi ajaran tentang budi pekerti atau akhlak mulia, digubah dalam bentuk tembang agar mudah diingat dan lebih “membumi”. Sebab sebaik apapun ajaran itu tidak akan 34 bermanfaat apa-apa, apabila hanya tersimpan di dalam “menara gadhing” yang megah. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagoro IV di Surakarta merupakan seorang raja yang telah mampu membuka tabir kegaiban (njangkunglannjampangi) atas ajaran luhur, sehingga dengan “laku” yang sangat berat dapat dibahas dan diuraikan dalam bahasa nasional.

Secara ringkas ajaran yang termaktub dalam serat Wedhatama tersimpul dalam 6 acuan, sebagai berikut: 1. Penting sekali bagi setiap insan mencari dan menuntut ilmu lahir dan batin, agar hidup dan kehidupannya di dunia yang hanya berlangsung satu kali tidak mengalami kerusakan ataupun kepapaan. 2. Menempa jiwa dan melaksanakan agama dengan tuntunan para ahli dalam bidang tersebut. 3.

Harus menyadari, bahwa ilmu yang benar itu tidak selalu bersemayang pada orang yang lanjut usia ataupun masih muda. Namun dapat pula pada insan yang hina papa, asalkan ia mendapatkan rahmat atau nugraha Tuhan, pasti mampu mendapatkan ilmu tersebut. 4. Bagi mereka yang taat menjalankan agama, harus mampu membuktikan satunya kata dengan perbuatan atau terpadunya ilmu dengan amalnya. 35 5.

Barang siapa ingin menghayati ilmu, harus dilambari/ dilandasi dengan jalan mengekang hawa nafsu, disertai perasaan tawakal, berserah diri terhadap kekuasaan Tuhan. 6. Limpahan anugrah Tuhan Yang Maha Kuasa, harus ditebus dengan penghayatan mutlak, didasarkan pada kesucian batin, menjauhkan diri dari watak angkara murka (ego yang berlebihan), disertai ketekunan melakukan sembah yang empat macam yakni: sembahyang raga, sembahyang cipta, sembahyang jiwa dan sembahyang rasa (Sabdacarakatama, 2009:16). Sembahyang raga, ialah sembahyang lima waktu sedangkan dalam Hindu adalah melakukan sembahyang wajib tiga kali pagi, siang dan sore.

Sembahyang cipta, tidak bersuci diri dengan air seperti sembahyang raga. Maksudnya jika melakukan sembahyang dalam Hindu harus melakukan pembersihan baik lahir dan batin. Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran, roh dibersihkan dengan ilmu dan tapa, akal dibersihkan dengan kebijaksanaan.

Apa yang harus dilakukan, ialah dengan melatih diri mengurangi nafsu amarah secara cermat, adapun orang yang berhasil dalam melaksanakan sembahyang cipta akan menjadi manusia arif dan bijaksana. 36 Sembahyang jiwa, ialah bertujuan mengenal pribadinya sendiri, adapun sarana yang dipergunakan untuk bersuci diri adalah mengolah batin dan harus selalu ingat akan alam baka. Sembahyang rasa, ialah suatu usaha agar manusia dapat merasakan hakikat hidup.

Ajaran Wedhatama dapat juga diringkas menjadi dua kelompok yakni: 1. Ajaran bagi golongan muda 2. Ajaran bagi Golongan tua (Sabdacarakatama,2009:16). Kedua kelompok tersebut di atas dapat diuraikan lagi, sebagai berikut: 1. Ajaran bagi golongan muda: a. Dianjurkan agar mempelajari etika dan sopan santun dan memahami sumber ilmu yang benar. b.

Hendaknya jangan bersikap angkuh dan menyombongkan diri mentang-mentang memiliki kelebihan ilmu, karena ilmu tersebut sebenarnya tidak dapat diandalkan. Janganlah berprilaku mentang-mentang ayahnya berkuasa atau seorang bangsawan. c. Hendaknya dapat menilai dengan cermat segala macam ajaran-ajaran, sehingga dapat memanfaatkan ajaran tersebut dan memilih ilmu manakah kiranya yang benar-benar sesuai dengan bakat pribadi masing-masing. 37 d.

Sadarlah dengan apa yang dimaksud dengan menunaikan darma semasa hidup di dunia ini, antara lain wajib bagi setiap manusia untuk berikthiar meraih trisarana hidup, ialah wirya, arta, wasis (kemuliaan, harta dan kepandaian) (Sabdacarakatama, 2009:17). 2. Ajaran bagi golongan tua: a. Ilmu atau cara mendidik anak. b. Bagaimana caranya jika ingin menentukan atau meyakinkan kebenaran suatu ilmu. c.

Bagaimana caranya menjalankan sembah sujud kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, agar tidak merugi dan sia-sia saja usahanya dalam menghadap Tuhan. d. Meskipun seseorang telah cukup usia(tua), akan tetapi bila tidak berilmu dan tidak memahami rasa-rasa, pasti mendapatkan sebutan tuwa-tuwas, dapat dikatakan hanya karena umurnya saja telah banyak. Orangtua seperti itu dapat dibaratkan laksana sepah, lagi pula tingkah lakunya sering kali memalukan Sabdacarakatama, 2009:17).

Demikian banyaknya garis-garis besar isi kitab Wedhatama, yang diharapkan dapat dijadikan pegangan dan acuan menjelang terjemahan bebas seluruh isi kitab 38 Wedhatama. Berdasrkan uraian tersebut maka dapat dirumuskan isi ringkas atau sinopsis kitab Wedhatama adalah pedoman hidup yang diklasifikasikan menjadi dua yaitu golongan muda dan golongan tua. Melalui mata hati bisa dikenal kekuatan penggerak, penghidup dan pengatur.

Berkaitan dengan hal tersebut sembahyang pada akhirnya harus dimaknai sebagai upaya penundukan diri yang lemah, dan bahkan tak tahu sedikitpun tentang Tuhan yang maha misteri, kecuali sekedar bisa merasakan tanda-tanda kebedaannya melalui wajah dunia yang terbentang tempat tinggal manusia beserta makluk lainnya. Manusia wajib menundukan kepada Tuhan karena manusia masih membutuhkan-Nya. Manusia ada tanpa disadari, bahwa keberadaannya tersebut karena kemauannya sendiri.

Setiap hembusan nafas sebagai sarana untuk menyambung hidup juga bukan atas kendali manusia sendiri. Sembahyang adalah sarana untuk menjalin komunikasi dengan asal muasal sekaligus tujuan, dengan sumber sekaligus muara kehidupan manusia yang selamanya menjadi misteri. Terkadang manusia dengan jujur berani menyatakan sungguh tak tahu Tuhan itu seperti apa dan bagaimana, maka saat yang sama, bijaksanalah juga jika manusia mengatakan 39 bahwa cara sembahyang kita bukan satu-satunya jalan untuk menjangkau-Nya.

Cara yang dilakukan tak lebih dari sebuah pendekatan, yang dirumuskan oleh seorang yang dianggap bijak dan dijadikan teladan, untuk mendekati Dia Yang Maha Misteri. Orang lain tentu saja punya hak untuk memiliki pendekatan yang berbeda dengan manusia pada umumnya. Dan akhirnya menyalahkan pendekatan itu, bukankah lebih mencerminkan kewelasasihan jika didoakan agar baik diri manusia itu (orang tersebut) maupun orang lain yang memiliki pendekatan berbeda itu agar sama-sama sampai pada tujuan dari sembahyang itu sendiri? Menyangkut bentuk sembahyang, maupun tempat dalam menjalankan sembahyang, pada faktanya, bisa saja sangat berbeda. Semua perbedaan itu mencerminkan keberadaan Tuhan yang tak terbatas.

Tuhan bisa didekati lewat Timur, Barat, Utara, Selatan, karena memang Tuhan bukan sesuatu yang ada di Barat, Timur, Utara, maupun Selatan. Cara yang berbeda juga sekaligus menjadi cermin Kemahabesaran-Nya yang telah menciptakan makhluk bernama manusia yang demikian warna-warni. Namun demikian, dibalik perbedaan menyangkut cara dan tempat manusia mendekatkan diri atau sembahyang, sesungguhnya ada prinsip-prinsip dasar yang layak yang 40 jadikan bahan renungan bersama untuk mencapai tujuan dari sembahyang itu sendiri.

Salah satunya menyangkut 4 tingkatan sembahyang, yang menggambarkan hakikat dari sembahyang itu sendiri, dari tahap dasar yang bersifat lahiriah hingga sampai tingkat yang paling tinggi yang bersifat rasa. Sembahyang pada tingkat pertama disebut dengan sembah raga. Dalam tradisi Hindu, ia dikenal sebagai sembahyang tiga kali sehari yang didahului dengan pensucian diri dengan air (penyucian lahir).

Manfaat yang paling nyata dari sembah raga adalah badan yang menjadi segar, pikiran menjadi jernih, dan itu kemudian menjadi landasan tumbuhnya hati yang damai. Hanya di hati yang damai, kelembutan dan keagungan bisa dirasakan kehadirannya. Tingkat berikutnya adalah sembah kalbu. Dalam Serat Wedhatama digambarkan sebagai berikut: “Nantinya, sembah kalbu itu, jika berkesinambungan juga menjadi olah spiritual.

Olah (spiritual) tingkat tinggi yang dimiliki Raja. Tujuan ajaran ilmu ini; untuk memahami yang mengasuh diri (guru sejati/pancer).” Itu diwujudkan melalui cara berikut: “Bersucinya tidak menggunakan air; Hanya menahan nafsu di hati; Dimulai dari perilaku yang tertata, teliti dan hati-hati 41 (eling dan waspada); Teguh, sabar dan tekun, semua menjadi watak dasar. Teladan bagi sikap waspada.”

Jauh, menyangkut Sembah Kalbu itu digambarkan fenomena-fenomena yang akan terjadi: “Dalam penglihatan yang sejati. Menggapai sasaran dengan tata cara yang benar. Biarpun sederhana tata lakunya dibutuhkan konsentrasi. Sampai terbiasa mendengar suara sayup-sayup dalam keheningan. Itulah, terbukanya alam lain, bila telah mencapai seperti itu. Selanjutnya adalah sembah kalbu.

Sembah kalbu ini diilustrasikan sebagai berikut: “Saratnya sabar segala tingkah laku. Berhasilnya dengan cara membangun kesadaran, mengheningkan cipta, pusatkan fikiran kepada energi Tuhan. Dengan hilangnya rasa sayup-sayup, di situlah keadilan Tuhan terjadi (jiwa memasuki alam gaib rahasia Tuhan). Gugurnya jika menuruti kemauan jasad (nafsu).

Tidak suka dengan indahnya kehendak rasa sejati. Jika merasakan keinginan yang tidak-tidak akan gagal. Maka awas dan ingatlah dengan yang membuat gagal tujuan.” Tingkatan berikutnya adalah Sembah Jiwa. Serat Wedhatama menjelaskan soal ini: “Sembah ketiga yang sebenarnya diperuntukkan kepada Hyang sukma (jiwa). Hayatilah dalam kehidupan sehari-hari. Usahakan agar mencapai sembah jiwa 42 ini anakku, salah satu pitutur dari Sang Rama (Bapak) kepada putranya.

Sungguh lebih penting, yang disebut sebagai ujung jalan spiritual. Tingkah laku olah batin, yakni menjaga kesucian dengan awas dan selalu ingat akan alam nan abadi kelak. Cara menjaganya dengan menguasai, mengambil, mengikat, merangkul erat tiga jagad yang dikuasai.

Jagad besar tergulung oleh jagad kecil, Pertebal keyakinanmu anakku ! Akan kilaunya alam tersebut. Tenggelamnya rasa melalui suasana “remang berkabut”. Mendapat firasat dalam alam yang menghanyutkan. Sebenarnya hal itu kenyataan, anakku ! Sejatinya jika tidak ingat, sungguh tak bisa “larut”. Jalan keluarnya dari luyut (batas antara lahir dan batin). Tetap sabar mengikuti “alam yang menghanyutkan”.

Asal hati-hati dan waspada yang menuntaskan tidak lain hanyalah diri pribadinya yang tampak terlihat di situ. Tetapi jangan salah mengerti, di situ ada cahaya sejati. Ialah cahaya pembimbing, energi penghidup akal budi. Bersinar lebih terang dan cemerlang, tampak bagaikan bintang. Yaitu membukanya pintu hati, terbukanya yang kuasa-menguasai (antara cahaya/div/nur dengan jiwa/roh). Cahaya itu sudah kau (roh) kuasai.

Tapi kau (roh) juga dikuasai oleh cahaya yang seperti bintang cemerlang.” 43 Beralih sembah yang ke empat. Ia disebut dengan Sembah Rasa. Menyangkut sembah rasa ini, Serat Wedhatama menggambarkan sebagai berikut: “Sembah rasa terasalah hakekat kehidupan. Terjadinya sudah tanpa petunjuk, hanya dengan kesentosaan batin.” Pada tingkatan ini, maka rahasia ketuhanan: “Demikian itu sebagai ketetapan hati.

Yang membuka penghalang/tabir antara insan dan Tuhan, (hamba dengan Tuhannya) tersimpan dalam rahasia, terletak di dalam batin. Rasa hidup itu dengan cara manunggal dalam satu wujud, wujud Tuhan meliputi alam semesta, bagaikan rasa manis dengan madu. Begitulah ungkapannya.” Sembah pada tingkat keempat ini diwujudkan melalui tatacara sebagai berikut: “Melaksanakan petuah itu harus kokoh budipekertinya.

Teguh serta sabar, tawakal lapang dada. Menerima dan ikhlas apa adanya sikapnya dapat dipercaya. Mengerti “sangkan paraning dumadi”. Segala tindak tanduk dilakukan ala kadarnya. Memberi maaf atas kesalahan sesama, menghindari perbuatan tercela, (dan) watak angkara yang besar. Sehingga tahu baik dan buruk, demikian itu sebagai ketetapan hati.”

Demikianlah, sembahyang bisa dipahami sebagai sebuah kegiatan yang menggulung perilaku hidup mulia pada satu momen agar bisa bertemu dengan 44 Tuhan, lalu pada saat yang sama, buah dari pertemuan dengan Tuhan itu dibuktikan melalui perilaku mulia kepada sesama makhluk. Naskah Serat Wedhatama. Serat wedhatama berbeda dengan serat-serat piwulang lainnya, karena kedudukannya yang sangat penting sejak dahulu sampai sekarang maka tidak mengherangkan jika serat tersebut lebih banyak diminati, di bahas dan dikaji orang dari pada serat piwulang lainnya.

Permasalahan serat Wedhatama menyangkut dua hal pertama masalah naskah dan penerbitan, kedua masalah pengarangnya. Dalam hal ini sekurang-kurangnya ada empat macam versi Wedhatama: 1. Wedhatama sayembara, terdiri atas Pupuh pangkur 14 bait, Sinom 15 bait, Gambuh 21 bait, jumlah seluruhnya 65 bait. dalam naskah serat wedhatama ada dua versi yang satu berjumlah 100 bait yang terdiri dari tembang : pangkur, sinom, pucung, dan kinanthi. tetapi ada yang hanya terdiri dari 72 bait terdiri dari pangkur, sinom, pucung dan gambuh saja. menurut yang berkeyakinan hanya terdiri dari 72 bait mengatakan bahwa yang 18 bait itu hanya tambahan saja. 45 2. Wedhatama terbitan Van Der Heidi en.co 1885, di Surakarta, terdiri atas; pupuh pangkur 14 bait, sinom 15 bait, pucung 15 bait, gambuh 20 bait jumlah seluruhnya 69 bait. 3.

Wedhatama terbitan Ki Padma Susastra, Pujaarja Institut. S.Z. Hadi Sutjipto terdiri dari pupuh pangkur 14 bait, sinom 18 bait, pucung 15 bait, gambuh 25 bait, dan jumlah seluruhnya 72 bait. 4. Wedhatama lanjutan terbitan Java Institut dan Yayasan Mengadeg, terdiri atas 5 pupuh pangkur 14 bait, sinom 18 bait, pucung 15 bait, gambuh 25 bait, gambuh (lanjutan) 18 bait, jumlah seluruhnya 100 bait.

Keempat versi Wedhatama tersebut memperlihatkan beberapa persamaan dan perbedaan tentang jumlah pupuh Wedhatama versi pertama, kedua dan ketiga memperlihatkan persamaan sedangkan versi keempat di samping empat pupuh tersebut masih ada lagi pupuh lanjutan dan Kinanti. Menurut Anjar Any bahwa Serat Wedhatama yang asli adalah 72 bait dengan alasan sebagai berikut : 1.

Di dalam buku yang bertuliskan huruf Jawa dari museum Mangkunegoro, setelah bait 72 itu ada tanda “titik” artinya selesai. Kemudian pada halaman sebaliknya ada 46 keterangan “Sambungan dari Serat Wedhatama yang berdiri sebagai judul tersendiri. Dan pada akhir bait 100 ada tanda “titik” lagi. 2. Dan kebiasaan memakai kata dapat dilihat bahwa antara 72 bait didepan dan 18 bait terakhir ada tanda “titik” lagi.

3. Pada bait 1 s/d 72, apakah akan berganti tembang tentu ada kode. (mulanya wong anom sami..... akan masuk sinom, “pamucunge wring ..... akan masuk Pucung, “anggambar mring …..” akan masuk gambuh). Tetapi pada bait 73 dan seterusnya akan masuk Tembang kinanthi tidak ada kode seperti itu. Hanya setelah tembang itu tembang kinanthi ada petunjuk tentang Kinanthi Mangka kanthining tumuwuh.

Tabel Makna Masing-Masing Pupuh Dalam Serat Wedhatama No Nama Karakter Tembang/Pupuh 1. Pupuh Pangkur Tembang macapat pangkur ditafsirkan bahwa, harus memilih kata-katayangbijakuntuk mendidik anak. Dimulai dari cara 47 bertutur kata orang tua harus dapat menjadi contoh yang baik, karena dengan kata-kata yang baik tentunya akan lebih nyaman juga untuk didengarkan.

Mendidik dapat melalui media tembang yang dirangkai indah agar menarik si anak untuk mengikuti ajaran yang baik. Sehingga semua nasihat-nasihat tentang ilmu leluhur yang ada di Jawa bisa diterapkan dan agama dapat dijadikan salah satu ajaran dalam kehidupan. Di dalam Serat Wedhatama pupuh I ini, KGPAA Mangkunegoro IV memberikan sebuah gambaran betapa pentingya manusia agar selalu belajar bisa menguasai ilmu luhur.

Maksud dari pernyataan tersebut adalah dengan ilmu luhur konteks kekinian yang tentu cerdas 48 secara intelektual, cerdas secara emosi dan spritual. Cerdas secara intelektual yang berarti pandai untuk menggunakan logika-logika, sedangkan untuk cerdas secara emosi dan spiritual berarti dapat mengelola emosi, sikap, mampu membawa diri dan mempunyai kesadaran yang tinggi degnan lingkungan dan Tuhan.

Tembang macapat pangkur di atas merupakan hanya tembang pembuka dalam Serat Wedhatama Pupuh I Pangkur. Disetiap bait-bait tembang berikutnya KGPAA Mangkunegoro IV dengan jelas memberi gambaran tentang perbedaan orang yang berilmu luhur beserta orang yang kurang ilmu. Dalam Serat Wedhatama ingin mengajarkan ilmu yang 49 sempurna, yang menjadi pedoman bagi setiap orang yakni berisi tentang sopan santun.

Syarat utama untuk memperolehnya ialah dengan mawas diri. Orang yang berhasil mawas diri akan menemukan dalam dirinya ketenteraman dan keserasian sehingga dapat menguasai dunia, itulah rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa. 2. Pupuh Sinom Kata sinom yang memiliki arti pucuk yang baru bersemi dan tumbuh.

Tembang sinom sendiri memiliki filosofi yang menggambarkan seorang manusia tengah beranjak dewasa dan menjadi seorang pemuda atau remaja yang sedang bersemi. Saat menjadi dewasa seorang remaja, memiliki tugas wajib ialah untuk menuntut ilmu sebaik mungkin agar 50 dapat menjadi bekal kehidupannya kelak dimasa depan. Tembang macapat sinom mengkisahkan tahapan manusia pada puberitas.

Masa tersebut merupakan masa ketika seorang anak akan mengalami perubahan fisik, psikis dan pematangan dari fungsi seksual. Masa puberitas pada kehidupan biasanya dimulai ketika berumur delapan sampai sepuluh tahun dan berakhir kurang lebih di usia 15 sampai 16 tahun. Hal tersebut yang dimaksud dengan pengertian puber atau pengertian pebuertias.

Dalam bentuk perubahan psikologis anak pada masa puber berusaha mencari jati diri untuk memenuhi rasa ingin tahunya yang sangat besar. Dalam proses mencari jati diri, seringya remaja menentang kemapanan 51 karena merasa hal tersebut membelenggu kebebasannya. Mereka tidak ingin disebut sebagai anak-anak lagi. Hal yang sangat umum terjadi dalam puberitas adalah ketertarikannya terhadap lawan jenis.

Timbulnya rasa tersebut biasanya disebut dengan sebutan “cinta monyet” ialah hubungan asmara yang bersifat sementara dan tidak bertahan lama serta cepat menghilang. Berisi tentang keberhasilan mawas diri, adegan dalam Senopati, raja Mataram yang dalam hal ini mendapat gelar wong Ngeksigondo (orang yang hambanya) seorang raja teladan, ramah dan memasyarakatkan serta secara teratur menjalankan tapa (puasa), tetapi selamanya beliau tidak pernah mengasingkan diri dari masyarakat.

Beliau telah mendapatkan 52 pengalaman mistik, misalnya di pantai selatan beliau diberi pengertian mengenai sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh manusia pada umumnya. 3. Pupuh Putjung Putjung merupakan salah satu dari 12 puisi jawa tembang macapat yang paling sederhana. Putjung biasanya disebut juga dengan pocung. Putjung adalah tetembangan yang digunakan untuk mengingat akan kematian, karena mirip dengan kata yang memiliki arti sebagai pembungkus mayat akan dikubur.

Pucung juga memiliki arti woh-wohan atau dalam bahasa Indonesianya adalah buah-buahan yang memberi kesegaran. Kata cung sendiri ialan mengingatkan pada kuncung yang lucu, sehingga perkembangan dari tembang ini merujuk pada seseuatu yang lucu, 53 parikan atau badhekan (tebak- tebakan).

Berisi tentang kebijaksanaan sejati, kebijaksanaan yang sejati tidak pernah terlihat pada suatu tempat, sebagai contoh orang yang membanggakan pengetahuan dari Mesir, Belanda tetapi esensi dan sesuatu yang dicari terletak pada kepribadiannya sendiri. Hakekat kebijaksanaan tersebut adalah harus selalu dilaksanakan. Kedewasaan hidup menurut Mangkunegara IV meliputi: lilo (rela) narima dan legawa atau rela batinnya sudah pasrah, tetap sabar tulus ikhlas serta tawakkal atau berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan.

Barang siapa ingin menghayati ilmu, harus dengan jalan mengekang hawa nafsu, perasaan tawakkal berserah diri terhadap kekuasaan Tuhan 54 4. Pupuh GambuhTembang macapat gambuh adalah salah satu tembang yang mengajarkan tentang berbagai macam ajaran kepada generasi muda, terkhusus iala tentang mengenai bagaiman cara menjalin hubungan antara manusia dengan manusia yang lainnya.

Banyak juga yang menafsirkan bahwa kata gaambuh memiliki arti sebuah kecocokan, sepaham dan sikap kebijaksaan. Sikap bijaksana tersebtu memiliki arti bahwa dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya, sesuai takarannya, dan dapat bersikap adil. Nasihat-nasihat tentang betapa pentingnya membangun rasa persaudaraan, toleransi dan kebersaman sebagai mahluk sosial banyak tergambar dari tembang-tembang macapat gambuh. Watak dan karakter tembang 55 macapat gambuh adalah biasa atau digunakan dalam suasana tidak ragu-ragu dan yakin. Tentang keramah tamahan dan persahabatan.

Tembang juga biasa digunakan untuk menyampaikan cerita-cerita kehidupan. Yakni mengungkapkan limpahan anugerah Tuhan YME harus ditebus dengan penghayatan mutlak, didasarkan pada kesucian batin, menjauhkan diri dari watak angkara murka (sifat egois yang berlebih-lebihan), serta ketekunan melakukan sembahyang 4 macam 5.Pupuh Kinanti Kinanthi berasal dari kata kanthi atau tuntunan.

Seorang anak yang tumbuh dan berkembang membutuhkan tuntunan dari orang dewasa. Mereka tidak bisa dibiarkan tumbuh begitu saja, oleh karena itu mereka membutuhkan 56 bimbingan atau tuntunan baik dari orang dewasa maupun orang tua yang memiliki pengalamn dan pengetahuan lebih. Menurut pendapat John Locke dalam teori “Tabula Rasa” (bahasa latin) yang diartikan dalam bahasa Indonesia adalah kertas kosong.

Memiliki pandangan bahwa seroang manusia lahir bagaikan kertas putih kosong tidak mempunyai mental bawaan. Pembentuk kepribadian, perilaku sosial dan emosional, serta kecerdasan yang diperoleh sedikit demi sedikit melalui pengalaman dan persepsinya alata indera terhadap dunia diluar dari dirinya sendiri.

Meskipun tidak semuanya benar, dengan rujukan teori tersebut maka seorang anak yang sedang 57 tumbuh membutuhkan bimbingan supaya kelak nanti menjadi manusia dewasa yang dapat dibanggakan. Anak-anak harus mempunyai pendidikan tinggi agar memiliki kecerdasan dan pengetahuan yang cukup. Anak-anak perlu diberi pelatihan agar kelak nanti mempunyai keterampilan untuk menjadi kreatif dan mandiri dan sangat penting anak-anak harus diajarkan keimanan serta ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal tersebut harus melalui bimbingan dari kinanthi atau orang dewasa/orang tua.

Sumber : dirangkum dari Serat Wedhatama 58 AJARAN TEOLOGI SERAT WEDATAMA Pengertian Teologi Dalam kamus Bahasa Indonesia W.J.S. Poerwardamita arti kata teologi adalah pengetahuan tentang Tuhan, dasar-dasar kepercayaan kepada Tuhan dan agama berdasarkan pada kitab-kitab suci. Selanjutnya dalam kamus filsafat di sebutkan teologi secara sederhana yaitu suatu studi mengenai pertayaan tentang Tuhan dan hubungannya dengan dunia realitas.

Dalam pengertian yang lebih luas, teologi merupakan salah satu cabang dari filsafat atau bidang khusus inquiri filosofi tentang Tuhan (Runes,1953:317). Kata teologi berasal dari kata theos yang artinya Tuhan dan logos yang artinya ilmu atau pengetahuan. Jadi teologi adalah pengetahuan tentang Tuhan (Donder, 2006:4). Menurut Maulana dkk, mengemukakan bahwa teologi secara arfiah berarti teori atau study tentang Tuhan.

Dalam praktek, istilah ini dipakai untuk kumpulan doktrin (ajaran) dari kelompok keagamaan tertentu atau pemikiran individu. Teologi atau dalam bahasa sansekertanya Brahmawidya atau Brahma Tattwa Jnana adalah ilmu tentang Tuhan (Pudja, 1984:14). 59 Serat Wedhatama dikarang oleh Mangkunegara IV pada abad XIX merupakan falsafah hidup sekaligus syarat dengan teologi kejawen khususnya bagi masyarakat Jawa pada masa itu.

Serat Wedhatama adalah suatu kitab yang padat dan ringkas yang disusun dalam bentuk sekar macapat dengan sastra yang amat indah, terutama sangat digemari oleh para pecinta kepustakaan dan kesenian Jawa. Dalam serat Wedhatama terdapat tiga cabang filsafat yaitu; Metafisika, Filsafat manusia, dan Etika (Pramono, 1985 : 94). Tetapi sehubungan dengan penelitian ini hanya mengkaji salah satu su bagian dari ketiga cabang tersebut yaitu teologi yang merupakan cabang dari metafisika.

Dalam perkembangan dan penyebaran agama di jawa sebelum datang, orang Jawa telah memiliki suatu kepercayaan berupa animisme dan dinamisme yang memuja roh nenek moyang, dan percaya terhadap kekuatan gaib yang terdapat pada benda, tumbuh-tumbuhan dan binatang yang dianggap memiliki kesaktian. Tetapi kepercayaan dan pemujaan diatas belum memiliki identitas keragaman yang nyata dan sadar.

Setelah suku Jawa menerima pengaruh agama dan kebudayaan Hindu barulah para golongan bangsawan dan cendikiawan Jawa menerima pengarun Hinduisme yaitu mengerti bahasa 60 sansekerta, yang akhirnya berkembang dengan mengolah huruf-huruf yang berasal dari Hindu sebagai dasar untuk menulis bahasa Jawa, dengan menggunakan tulisan huruf Jawa perhitungan tahun saka, merupakan modal bagi pertumbuhan dan perkembangan kesusasteraan Jawa.

Dengan masuknya pengaruh kebudayaan India (Hindu-Budha), kebudayaan dari tanah India ini bersifat ekspansif. Sedangkan kebudayaan Jawa bersifat yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme, prosesnya bukan hanya sekedar akulturasi saja. Akan tetapi yang terjadi adalah kebangkitan kebudayaan jawa dengan memanfaatkan unsur-unsur agama dan kebudayaan India.

Disini para budayawan Jawa bertindak aktif, yakni berusaha mengolah unsur agama dan kebudayaan Jawa (Simuh,1988:1). Bukti kebudayaan Hindu Budha yang berkembang di Jawa ditunjukan dari pergerakan seni sastra yang menggunakan kisah dan dari bahasa sansekerta yang di sadur dan diterjemahakan kedalam bahasa Jawa.

Penyaduran kisah Mahabharata dan Ramayana merupakan awal yang membawa pertumbuhan kesusasteraan Jawa, sehingga perkembangan kesusasteraan ini menjadi sarana efektif mengembangkan berbagai cabang kebudayaan 61 Jawa. Perkembangan ini melahirkan pula kerajaan-kerajaan besar sesudah abad ke-5 M seperti Tarumanegara, Sriwijaya, Mataram kuno, Singasari, Kediri, , Demak, dan lain-lain. sebagaimana telah diulas sebelumnya Kerajaan besar ini membawa pertumbuhan masyarakat dan kebudayaan feodal yang tumbuh subur (Simuh, 2002:119).

Sejak pertengahan abad ke-10 M hingga kira-kira pertengahan abad ke-15 M kepustakaan Hindu-Budha mengalami zaman keemasan naskah-naskah agama Siwa yang menjadi sumber pengetahuan tentang ajaran kepercayaan Hindu-Jawa mewujudakan buku-buku pegangan bagi pelaksanaan yoga dalam agama Siwa yang mempunyai maksud untuk memberi saran yang cocok kepada para murid supaya dapat terhubung dengan Tuhan, dengan Siwa (Hadiwiyono, 1983:31).

Sumber yang paling utama bagi konsep teologi atau mengenai Tuhan atau ajaran tentang ajaran tentang manunggaling kawula gusti (mistik) yang berasal dari paham Hinduisme dan Budhisme yang berkaitan dengan kebudayaan dan masyarakat Jawa pada zaman dahulu kala adalah syair Hanacaraka selain merupakan penciptaan abjad Jawa juga merupakan karya seni sastra Jawa yang berisi kebatinan.

62 Penciptaan syair hanacaraka itu ialah Janabhadra orang Jawa asli yang menjadi dan pendeta Budha Hinayana dan menjabat Emban Tuwanggana dan mahapatih Mangkubumi dan maharaja Hindu Agastya bernama Sanjaya (723-744) yang berasal dari ras Arya, Janabhadra adalah orang yang pertama kali menjawanisasikan Hinduisme dan Budhisme atau yang disebut istilah “kebatinan” terhadap orang Jawa sendiri menyebutkannya dengan istilah kawruh Kejawen atau Jawaisme kebatinan ini merupakan kebudayaan spiritual keraton Jawa lama yang terdapat unsur sinkretisme antara mistik agama Hindu dan Budha yang berperan sebagai intinya dengan kepercayaan jawa kuno.

Menurut Rasyidi, metafisika atau sangkan paraning dumadi merupakan suatu dasar konsepsi yang dapat membentuk thesis mistik, moral dan ilmu ghaib atau occultisme (Sufa?at M, 1984:27). Konsep mengenai Tuhan juga dapat dijumpai dalam karya para pujangga kraton seperti Yasadipura I dan putranya Yasadipura II, serta Raden Ngabehi Ranggawarsita, dalam gubahannya yang berjudul serat Sasana Sunu Yasadipura II banyak menulis bait-bait mengenai sifat Tuhan dan mengenai hakekat dari hubungan antara Tuhan dan manusia.

63 Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa teologi adalah ilmu yang membahas tentang Tuhan yang terkadung dalam Serat Wedhatama yang ditulis oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya mangkunegaro IV. Konsep Tuhan Dalam Serat Wedhtama Konsep ke-Tuhanan dalam Serat Wedhatama di gambarkan dalam berbagai dimensi, diantaranya Tuhan dianggap sebagai Dzat yang Mutlak sebagai sumber dan kuasa atas segalanya, disamping diakuinya adanya alam fana dan alam lawas atau alam suwung (alam kosong).

Adanya jiwa (Atman), adanya kepercayaan ngunduh wonghing panggawe (hukum karmaphala), dan adanya Manunggaling Kawula Gusti (Moksa). Untuk jelasnya berikut akan diuraikan di bawah ini. 1. Tuhan (Brahman) Sebagai Dzat Yang Mutlak Agama apapun selalu mengajarkan tentang Tuhan (dzat sebagai sumber segala sumber) yang merupakan suatu prinsip dasar dari ajaran agama itu sendiri dan Tuhan dinyatakan sebagai pencipta semua yang ada ini. Semua agama prinsip dasarnya adalah keyakinan terhadap Tuhan (Asyarie, 2001:165).

64 Jika dilihat dari segi penciptaan, manusia tercipta oleh anugerah Hyang Widhi, tumbuh atas anugrah Hyang Widhi, dapat berbicara atas kehendak Hyang Widhi, dapat melihat karena adanya penglihatan dan atas kehendak Hyang Widhi, mendengar atas kehendak Hyang Widhi, hidup dan bernafas atas kehandak Hyang Widhi, dan manusia tak memiliki satu apapun di dunia ini melainkan Hyang Widhi, Yang Maha Memiliki, manusia tak memiliki hak apapun, maka dari itu hidup manusia ini juga bukan milik dirinya, bagaimana manusia dapat menyebut bahwa dirinya itu ada dan mempunyai hak? Bagaimana manusia itu dapat menyebut bahwa manusia dapat menghidupi dirinya sendiri? Hyang Widhilah satu-satunya yang berkuasa sehingga manusia bisa berkata bahwa yang benar-benar ada adalah Hyang Widhi.

Manusia adalah se-onggok daging yang lemah, lumpuh, tak berdaya dan mati jika tak diberi kehidupan oleh Hyang Widhi. Hyang Widhi telah menghidupkannya, Hyang Widhi telah memberikan atman sehingga sesuatu itu hidup dan hidup itu bukan tak dapat dimiliki selamanya. Semua yang ada di dunia ini adalah milik Hyang Widhi. Manusia tak berhak mengatakan bahwa dirinya memiliki sesuatu.

Hidup manusia adalah milik-Nya dan manusia tidak 65 berhak untuk mengambil, mempertahankan atau memilikinya. Manusia hanya diwajibkan menjaga milik Hyang Widhi. Maka dari itu apakah manusia masih bisa berkata bahwa manusia itu ada, bahwa manusia itu eksis, bahwa manusia itu berhak? Manusia adalah sebuah kekosongan, dan yang hidup hanyalah Hyang Widhi. Karena manusia hidup di dunia ini diberikan anugrah pinjaman atman/jiwa maka suatu saat manusia harus rela untuk mengembalikannya.

Maka kembalikanlah diri manusia kepada Hyang Widhi. Kembalikanlah atman manusia yang dipinjam kepada Hyang Widhi dengan bersih sama ketika manusia diberikan pinjaman atman/jiwa yang suci oleh Hyang Widhi. Maka disaat manusia telah siap untuk mengembalikan atman/jiwa kepada Hyang Widhi saat itu akan merasakan kemanunggalan dengan Hyang Widhi.

Tuhan yang merupakan sangkan paran (asal mula) hidup manusia haruslah dipatuhi dan dilaksanakan segala perintahnya dan dijauhi segala larangannya, agar kehidupan yang manusia jalani di dunia ini tidaklah menjadi sia-sia. Manusia sebagai makhluk Hyang Widhi tergantung kepada Hyang Widhi hendaklah manusia berserah diri dan berusaha agar manusia mendapat anugerah Hyang Widhi.

66 Orang Jawa terbentuk karena kebudayaan Jawa akibat pengaruh filsafat Hindu, Budha dan filsafat Islam, meyakini terhadap Tuhan sebagai Sang Pencipta, karena Dialah penyebab dari segala kehidupan, dunia dan seluruh alam semesta dan mengakui hanya ada satu Tuhan (ingkang Maha Esa) (Satoto,1985:72). Menurut konsepsi agama Jawa, Tuhan adalah keseluruhan dalam alam dunia ini, yang dilambangkan dengan wujud suatu makhluk Dewa yang sangat kecil sehingga setiap waktu dapat masuk ke dalam hati sanubari orang.

Tetapi Tuhan sekaligus juga besar dan luas seperti samudra, tidak berujung dan tidak berpangkal seperti angkasa, dan terdiri dari semua warna yang ada di dunia ini. Pandangan orang Jawa ini sifatnya pantheistis(Koentjoroningrat, 1994: 323). Dalam Serat Wedhatama uraian tentang Tuhan, yakni mengenai zat, sifat, nama, sesungguhnya hampir tidak disinggung secara jelas.

Namun penyebutan Tuhan sebagai Dzat yang mutlak di sini menggunakan istilah yang berbeda-beda, sesuai konteksnya. Seperti yang diungkapkan dalam pupuh putjung bait ke 12: Bathara gung Inguger graning jajantung 67 Jenek Hyang Wisesa Sana pasenedan suci Nora kaya si mudha mudhar Angkara (Mangkunegara,IV,1979:44). Terjemahannya: Tuhan Yang Maha Agung, selalu ditempatkan di punjak jantungnya.

Atas ridho atau anugrah Yang Maha Kuasa, berkenan bersemayam di tempat yang suci. Namun tidak demikian dengan pandir yang selalu mengumbar hawa nafsunya (Sabdacarakatama, 2010:46). Berdasarkan bait putjung tersebut kata Bathara gung pada ungkapan diatas tidak lain adalah nama penyebutan Tuhan yang berada pada pusat kehidupan manusia yang bertempat di (jantung) setiap manusia.

Manusia mendapatkan anugrah suci yaitu atman yang dapat menghidupi manusia, sehingga manusia dapat berbuat (berkarma) yang baik, tidak seperti manusia yang pandir atau bodoh yang berbuat sesuai dengan angkara murkanya. Atma yang suci yang telah dianugerahkan oleh Hyang Widhi harus benar-benar dimanfaatkan sebaik-baiknya karena atman yang merupakan anugrah sekaligus pinjaman tersebut kelak harus 68 dikembalikan dalam keadaan suci pula.

Oleh karena itu segala perbuatan dan tingkah laku manusia haruslah haturkan kepada Hyang Widhi sebagai penghambaan dirinya kepada sang pencipta yang menguasai segala sesuatu. Karena jika tidak menjaga atman yang dipinjamkan oleh Hyang Widhi, sehingga atman tersebut menjadi kotor dan terbelenggu oleh kegelapan, seperti dalam pucuh putjung bait ke 11 diterangkan: Lila lamun kelangan nora Gegetun, trima yen ketaman Sakserik sameng dumadi Tri legawa nalangsa ing Bathara (Mangkunegara IV, 1979:43) Terjemahannya: (Tiga hal penting tersebut di atas) ialah: yang pertama rela jika kehilangan tidak menyesal, yang kedua tetap bersabar bila terkena prasangka dari sesama insan.

Adapun yang ketiga tulus iklas berserah diri kepada Tuhan (Sabdacarakatama, 2010:45). Kehilangan selalu menjadi pengalaman yang tidak mengenakkan bagi mereka yang mengalaminya, tapi biarlah 69 ketika pengalaman itu mendatangi maka ambilah waktu untuk memaknai dan belajar darinya. Tuhan itu sangat kreatif untuk selalu mengingatkan dan memberi pelajaran lewat berbagai cara. Sabar berarti menahan dan mencegah.

Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Sabar adalah menahan diri dari sifat kegundahan dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan.

Kedudukan sabar dalam bhakti laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh. Sehingga sesungguhnya sabar tidak identik dengan kepasrahan dan ketidakmampuan. Justru orang yang seperti ini memiliki indikasi adanya ketidaksabaran untuk merubah kondisi yang ada, ketidaksabaran untuk berusaha, ketidaksabaran untuk berjuang dan lain sebagainya.

Sabar bukanlah sesuatu yang harus diterima seadanya, bahkan sabar adalah usaha kesungguhan yang juga merupakan sifat Tuhan yang sangat mulia dan tinggi. Sabar ialah menahan diri dalam memikul 70 sesuatu penderitaan baik dalam sesuatu perkara yang tidak diingini maupun dalam kehilangan sesuatu yang disenangi. Sabar juga berarti sabar terhadap apa yang diperoleh tanpa upaya, misalnya kesabaran dalam menjalankan ketentuan Tuhan yang menimbulkan kesukaran baginya.

Berdasarkan ketiga sifat itu maka manusia harus memiliki kemampuan untuk membebaskan diri dari dunia kebendaan dan kehidupan duniawi juga melakukan sikap narima yaitu sikap menerima nasib, dan sikap bersabar, yang berarti sikap menerima nasib dengan rela (lila legawa). Kemampuan untuk memiliki sikap-sikap semacam itu dapat diperoleh dengan hidup sederhana dalam arti yang sesungguhnya, hidup bersih, tetapi juga dengan jalan melakukan berbagai kegiatan upacara kegiatan upacara yang meningkatkan kemampuan berkonsentrasi dengan jalan mengendalikan diri, dan melakukan berbagai latihan samadi.

Melalui latihan bersemedi di harapkan agar orang dapat membebaskan dirinya dari keadaan sekitarnya, yaitu mengendalikan segala fungsi tubuh dan keinginan serta nafsu jasmaninya. Hal ini dapat memberikan keheningan pikiran dan membuatnya mengerti dan menghayati hakekat hidup serta keselarasan antara kehidupan rohaniah dan jasmaniah. 71 Apabila orang sudah bebas dari beban kehidupan duniawi (pamudharan), maka orang itu setelah melalui beberapa tahap berikutnya, pada suatu saat akan dapat bersatu dengan Tuhan (jumbuhing kawula Gusti, atau manunggaling kawula-Gusti).

Untuk memudahkan pemahaman tentang kajian teologi dalam Serat Wedhatama perlu disajikan data mengenai jenis tembang yang terdapat dalam Serat Wedhatama dalam bentuk tabel sebagai berikut: Tabel Jenis tembang dalam Serat Wedhatama No Nama Tembang/Pupuh Bait Jumlah Bait 6. Pupuh Pangkur 1- 14 14 Bait 7. Pupuh Sinom 15 - 31 17 Bait 8. Pupuh Putjung 32 - 46 15 Bait 9. Pupuh Gambuh 47 - 82 35 Bait 10.

Pupuh Kinanti 83 - 100 18 Bait Sumber: diringkas dari Serat Wedatama bait 1-100 Serat Wedhatama terdiri atas 100 bait atau pada yang terdiri dari lima macam tembang yaitu: Pupuh Pangkur, Pupuh Sinom, Pupuh Putjung, Pupuh Gambuh dan Pupuh Kinanti. Jumlah masing-masing bait pada jenis tembang tidak sama, dan diantara semua jenis tembang atau pupuh.

Pupuh Gambuh memiliki jumlah yang paling dominan mencapai 35 72 bait, Sedang jumlah bait yang paling sedikit adalah jenis pupuh Pangkur. Serat Wedhatama memiliki beberapa nama (istilah-istilah) yang digunakan untuk menyebut Tuhan seperti pada tabel sebagai berikut: Tabel Nama-Tuhan dalam Serat Wedhatama Urutan Bait bait Sebutan Jenis dari No Arti dalam Tuhan tembang seratus tembang pada (bait) 1. Allah Pangkur Maha Esa 12 12 Sinom Maha Esa 14 27 2.

Bathara Putjung Maha Agung 12 12 Gung 3. Hyang Pangkur Maha 14 14 Widhi Gambuh Mentakdirkan 31 78 Kinanti 12 98 4. Gusti Sinom Maha Kuasa 14 27 5. Hyang Sinom Maha 16 30 Sukma Gambuh Roh/Jiwa 16 63 6. Hyang Putjung Maha Kuasa 10 47 Wisesa 7. Hyang Gambuh Maha melihat 1,6,14 48,53, Manon 61 8. Hyang Kinanti Maha Suci 11 97 Maha Suci Sumber: diringkas dari Serat Wedatama bait 1-100 73 Adanya berbagai macam istilah yang digunakan untuk penyebutan Tuhan dan Serat Wedatama dikarenakan sesuai dengan tingginya kebudayaan Jawa dan khazanah bahasa Jawa yang amat kaya dan halus sehingga pastilah untuk penyebutan Tuhan disesuaikan dengan situasi, fungsi, dan kondisi batin hambanya dalam penghayatan kepada Tuhan yang dianggap sebagai suatu Dzat mutlak.

Semua paham itu memiliki kelebihnan dan kekurangannya masing-masing. Karena hakikat Tuhan itu tidak terbatas. Sedangkan manusia sangat terbatas. Bagaimana suatu yang terbatas dapat mengetahui sepenuhnya Yang Tidak Terbatas. Definisi-definisi yang dibuat tidak mungkin sempurna mampu menjangkau semua makna Tuhan, karena manusia sangat terbatas kemampuan untuk menjangkau makna Tuhan.

Dalam Hindu dijelaskan tepatnya pada kitab Brahmasutra I.I.2 disebutkan “Janmadyasya yatah” yang artinya Tuhan ialah merupakan dari mana asal mula semua ini. Jadi Tuhan Yang Maha Esa merupakan asal atau sumber dan sekaligus kembalinya seluruh alam semesta beserta isinya ini. Dalam keyakinan agama Hindu, Tuhan hanya satu, esa, tidak ada duanya, namun karena kebesaran dan kemuliaan-Nya, para Rsi menyebutnya dengan berbagai nama.

74 Dalam Kitab Veda juga membicarakan wujud Brahman (Tuhan). Di dalamnya menjelaskan bahwa Brahman sebenarnya adalah energi, cahaya, sinar yang sangat cemerlang dan sulit sekali diketahui wujudnya. Dengan kata lain Abstrak, Kekal, Abadi, atau dalam terminologi Hindu disebut Nirguna atau Nirkara Brahman (Impersonal ) artinya Tuhan tidak berpribadi dan Transenden.

Meski Brahman tidak terjangkau pemikiran manusia atau tidak berwujud, namun jikalau Brahman menghendaki dirinya terlihat dan terwujud, hal itu sangat mungkin dilakukan. Brahman yang berwujud disebut Saguna atau Sakara Brahman (personal God), Tuhan yang berpribadi atau immanent. Tuhan didalam agama Hindu merupakan suatu esensi tertinggi yang meresapi seluruh jagat raya ini, di dalam naskah-naskah kitab suci keberadaan Tuhan banyak di jelaskan didalam kitab-kitab tersebut seperti misalnya didalam kitab suci Bhagawad Gita yakni disebutkan sebagai berikut: Etadyonini bhutani sarvani ty upadharaya aham kristnasya jagatah prabhavah pralayas tatha. (BG. VII.6) Terjemahannya: 75 Ketahuilah, bahwa semua insani mempunyai sumber-sumber kelahiran disini, Aku adalah asal mula alam semesta ini demikian pula kiamat-kelaknya nanti.

Aham atma gudakesa sarva bhutasaya sthitah aham adis cha madhyam cha bhutanam anta eva cha. (BG.X.20) Terjemahannya: Aku adalah jiwa yang berdiam dalam hati segala insani, wahai Gudakesa. Aku adalah permulaan, pertengahan dan penghabisan dari mahluk semua. yach cha pi sarvabhutanam bijam tad aham na tad asti vina syan maya bhutam characharam. (BG. X.39) Terjemahannya: Dan selanjutnya apapun, oh Arjuna, aku adalah benih dari segala mahluk, tidak ada sesuatupun bisa ada, bergerak atau tidak bergerak, tanpa aku.

76 Tuhan (Hyang Widhi), yang bersifat Maha Ada, juga berada disetiap mahluk hidup, di dalam maupun di luar dunia (imanen dan transenden). Tuhan (Hyang Widhi) meresap disegala tempat dan ada dimana-mana (Wyapi Wyapaka), serta tidak berubah dan kekal abadi (Nirwikara). Di dalam Upanisad disebutkan bahwa Hyang Widhi adalah "telinga dari semua telinga, pikiran dari segala pikiran, ucapan dari segala ucapan, nafas dari segala nafas dan mata dari segala mata", namun Hyang Widhi itu bersifat gaib (maha suksma) dan abstrak tetapi ada. Walaupun amat gaib, tetapi Tuhan hadir dimana-mana.

Beliau bersifat wyapi-wyapaka, meresapi segalanya. Tiada suatu tempatpun yang Beliau tiada tempati. Beliau ada disini dan berada disana Tuhan memenuhi jagat raya ini. Karena Tuhan tidak terjangkau oleh pikiran, maka orang membayangkan bermacam-macam sesuai dengan kemampuannya.

Tuhan yang Tunggal (Esa) itu dipanggilnya dengan banyak nama sesuai dengan fungsinya. Tuhan dipanggil Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Siwa sebagai pelebur/pemralina. Banyak lagi panggilannya yang lain. Tuhan maha tahu, berada dimana-mana. Karena itu tak ada apapun yang dapat kita sembunyikan dihadapan-Nya.

Orang- 77 orang menyembah-Nya dengan bermacam-macam cara pada tempat yang berbeda-beda. Kepada-Nyalah orang menyerahkan diri, mohon perlindungan dan petunjuk-Nya agar hambanya menemukan jalan terang dalam mengarungi hidup ini. Hampir semua kitab menjelaskan keberadaan Tuhan dimana Tuhan itu pada hakekeatnya ada pada semua mahluk dan Tuhan juga merupakan tunggal, seperti matahari yang menyinari jagat raya ini. Penggambaran tentang Tuhan Yang Maha Esa ini, meskipun telah berusaha menggambarkan Tuhan semaksimal mungkin, tetap saja sangat terbatas.

Oleh karena itu kitab-kitab Upanisad menyatakan definisi atau pengertian apapun yang ditujukan untuk memberikan batasan kepada Tuhan Yang Tidak Terbatas itu tidaklah menjangkau kebesaran-Nya. Sehingga kitab-kitab Upanisad menyatakan tidak ada definsi yang tepat untukNya, Neti-Neti (Na + iti, na + iti), bukan ini, bukan itu. 2. Alam Fana dan Alam Abadi Serat Wedhatama menerangkan bahwa alam semesta yang dihuni oleh makhluk hidup ini dibedakan menjadi dua alam yakni alam yang selalu berubah (fana?) dan alam yang tetap (abadi).

Konsep mengenai hal tersebut antara lain termuat dalam pupuh pangkur bait ke 14 yang berbunyi : 78 Sejatine Kang mangkana Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi Bali alaming ngasuwung, Tan karem karameyan Ingkang sipat wisesa winisesa wus, Mulih mula mulanira Mulane wong anom sami(Mangkunegara IV,1970: 3) Terjemahannya: Sebenarnya yang demikian itu Sudah mendapat anugerah Tuhan Kembali ke alam kosong, Tidak mabuk keduniawian Yang bersifat kuasa menguasai, Kembali ke asal mula Oleh karena itu wahai anak muda (Sabdacarakatama, 2010:27) Kutipan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa disamping alam tempat hidup manusia sekarang ini, dalam Serat Wedhatama berpandangan bahwa ada suatu alam lainnya yang disebut sebagai alam suwung.

Ini merupakan tempat asal dan sekaligus tempat kembalinya manusia yang dapat memperoleh karunia Tuhan. Pandangan Kejawen 79 tentang makna hidup manusia dunia ditampilkan secara rinci, realistis, logis dan mengena di dalam hati nurani; bahwa hidup ini diumpamakan hanya sekedar mampir ngombe, (mampir minum), hidup dalam waktu sekejab, dibanding kelak hidup di alam keabadian setelah raga ini mati.

Tetapi tugas manusia sungguh berat walaupun hanya sekejab hidup di alam fana ini, karena jasad ini adalah pinjaman Tuhan. Tuhan meminjamkan raga kepada atman/jiwa, tetapi atman harus mempertanggungjawabkan “barang” pinjamannya itu. Pada awalnya Tuhan Yang Mahasuci meminjamkan jasad kepada atman dalam keadaan suci (bayi yang baru lahir), apabila waktu “kontrak” peminjaman sudah habis, maka atman diminta tanggungjawabnya, atman harus mengembalikan jasad pinjamannya dalam keadaan yang suci seperti semula.

Atman dengan jasadnya diijinkan Tuhan “turun” ke bumi, tetapi dibebani tugas yakni menjaga barang pinjaman tersebut agar dalam kondisi baik dan suci setelah kembali kepada pemiliknya, yakni Gusti Ingkang Akaryo Jagad. Atman dan jasad menyatu dalam wujud yang dinamakan manusia. Tempat untuk mengekspresikan dan mengartikulasikan diri manusia adalah tempat pinjaman Tuhan juga yang dinamakan bumi berikut segala macam isinya; atau 80 mercapada.

Karena bumi bersifat “pinjaman” Tuhan, maka bumi juga bersifat tidak kekal/fana (maya). Kehidupan manusia di bumi tidak bisa sendiri, untuk memenuhi kebutuhannya membutuhkan orang lain atau makluk lain seperti hewan dan tumbuhan atau bahkan alam sendiri tempat berpijak. Fasilitas yang diberikan oleh Tuhan berupa alam beserta isinya inipun harus dipertanggungjawabkan kelestariannya.

Itulah tanggungjawab manusia yang sesungguhnya hidup di dunia ini; yakni menjaga barang “titipan” atau “pinjaman”, serta boleh memanfaatkan semua fasilitas yang disediakan Tuhan untuk manusia dengan tanpa merusak, dan tentu saja menjaganya agar tetap utuh, tidak rusak, dan kembali seperti semula dalam keadaan suci. Itulah “perjanjian” gaib antara Tuhan dengan manusia makhlukNya.

Untuk menjaga klausul perjanjian tetap dapat terlaksana, maka Tuhan membuat hukum Tuhan yang harus dilaksanakan oleh pihak peminjam yakni manusia. Hukum Tuhan ini yang disebut pula sebagai kodrat Tuhan berbentuk hukum sebab-akibat. Pengingkaran atas isi atau hukum Tuhan tersebut berupa akibat sebagai konsekuensi logisnya.

Misalnya; keburukan akan berbuah keburukan, kebaikan akan berbuah kebaikan pula (karmaphala). 81 Alam yang selanjutnya adalah alam yang abadi. Alam sekarang ini disebut alam kinaot (pupuh gambuh bait ke 13) Serat Wedhatama yakni alam yang tinggi tingkatannya atau alam yang sangat istimewa indahnya. Jika manusia sudah sampai pada tingkat tersebut seakan-akan pingsan atau setengah tidur/tak sadarkan diri, itulah pertanda sudah tiba pada batas antara ada dan tiada akan dirinya sendiri. Atman atau Sukma sejati dalam olah ngelmu memilki pengaruh yang lebih kuat dibandingkan berbagai nasehat dari ahli ilmu dan ahli nalar.

Ilmu seperti itu tersimpan kuat pada pangkal sukma, bagaikan benih yang tertanam dalam tanah, atau mutiara di dasar laut. Kewajiban orang hidup tidak lain adalah selalu berusaha menjadikan daya potensial yang ada di dalam dirinya menjadi suatu bentuk aksi (perbuatan) yang bermanfaat. Sebagaimana manusia juga wajib mengubah daya potensial yang ada dalam dirinya menjadi perbuatan, melalui belajar.

Ilmu merupakan kekuatan seperti benih atau tepatnya seperti tumbuh-tumbuhan. Apabila suksma sudah matang, ia akan menjadi seperti pohon yang berbuah, atau seperti mutiara yang sudah dikeluarkan dari dasar laut. Jika kekuatan badaniah mengalahkan jiwa, berarti manusi masih harus terus menjalani 82 laku prihatin dalam olah ngelmu dengan menyelami kesulitan demi kesulitan dan kepenatan demi kepenatan, dalam rangka menggapai manfaat.

Oleh karena kesempurnaan hidup merupakan tujuan utama bagi setiap manusia agar tercapai kebahagiaan hidup sejati baik pada kehidupan ini (fana?) maupun kehidupan setelah mati. Kebahagiaan hidup sejati di dunia ini bukan diukur dari keadaan terpenuhinya kebutuhan materil secara melimpah tetapi sebaliknya berupa pemenuhan kebutuhan yang wajar, adil dan seimbang bagi keperluan jasmani serta rohaninya (Usman,1999: 111).

Lebih lanjut alam suwungipun disebut alam lama (lawas) maot yang terdapat pada pupuh gambuh bait ke 17 yaitu: Sayekti luwih perlu, Ingaranan pepuntoning laku, Kalakuwan tumrap kang bangsaning batin, Sucine lan awas emut, Mring alaming lama maot (Mangkunegara IV,1970: 8). Terjemahannya: Sebenarnya lebih penting Disebut penghabisannya tindakan, Tindakan yang bersangkutan dengan batin, 83 Pembersihnya dengan awas dan ingat Kepada alam yang Maha Besar (dapat memuat) Alam kelanggengan (Sabdacarakatama,2010:56).

Bait gambuh di atas memberikan arti bahwa alam lama amot (maot) secara harfiah bermakna alam yang dapat memuat dalam waktu yang lama atau dengan perkataan lain langgeng atau abadi (alam kelangengan) (Serat Wedatama Winardi, 1991:44). Dalam alam akhir inilah akan mengalami kehidupan kelanggengan sebagai lawan kehidupan dunia yang fana dan kehidupan kelanggengan adalah kehidupan yang berjangka panjang, dan jauh, kehidupan ini akan dialami oleh semua manusia tanpa terkecuali sesudah mati dari dunia fana dan yang dapat mengapainya, kehidupan ini tidak bisa dijelaskan secara keilmuwan, karena diluar jangkauan keilmuwan sehingga untuk memahami realitas kehidupan di alam kelanggengan harus melalui perenungan yang transenden, yang melintasi batas-batas dimensi fisik, ruang dan waktu yang terbatas.

Melalui pengembaraan iman yang cerdas, yang secara gaib menembus dinding dan pembatas yang berada dalam ruang dan waktu yang bersifat fisik, hakikat kehidupan ini tidak berada pada kepentingan-kepentingan duniawi yang sifatnya sementara. 84 Manusia diajak mendekatkan diri kepada Tuhan, menyelaraskan sifat-sifat manusia dengan sifat-sifat Tuhan, bersandar dan menyelaraskan diri dengan kuasa Tuhan, dan diajak untuk melepaskan diri dari belenggu keduniawian, melepaskan sifat-sifat tamak dan serakah pada kepemilikan duniawi yang dapat mengotori kesucian hati dan batin manusia.

Oleh karena itu hakikat kehidupan adalah kehidupan akhirat kehidupan jangka panjang yang hanya bisa dicapai dengan menekan keakuan dititik rendah, sebuah perjalanan yang amat panjang, yang hanya dapat dihayati dengan menjauhkan diri dari kesombongan (Asyarie, 2001:179). Berdasarkan uraian di atas maka jelaslah bahwa dalam Serat Wedhatama ada kehidupan yang abadi yakni alam suwung yang merupakan alam asal dan tempat kembalinya manusia yang mendapat karunia Tuhan. Hal senada juga diungkap dalam (?gveda X.129.1-7) Pada waktu itu, tidak ada mahluk (eksistensi) maupun non makhluk (non eksistensi); pada waktu itu tidak ada atmosfir dan juga tidak ada lengkung langit di luarnya.

Dari terjemahan mantram ?gveda di atas dapat diketahui pandangan yang mendasar tentang misteri dari alam semesta ini. 85 S?kta di atas menjelaskan tentang asal alam semesta dan Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan asal dari alam semesta tersebut. S?kta pertama menjelaskan bahwa pada mulanya adalah kosong, tidak ada apa pun benda material.

S?kta kedua menjelaskan eksistensi Tuhan Yang Maha Esa yang bernafas dengan kekuatan-Nya sendiri. S?kta ketiga menjelaskan bahwa pada mulanya adalah kekosongan, tidak ada sesuatu apa pun dan tanpa bentuk. Disebutkan pula dari pada-Nya tenaga panas (energi) muncul yang merupakan proses awal penciptaan.

Dari keinginan-Nya muncul penciptaan dan hal ini dapat diketahui oleh para ??i yang bermeditasi kepada-Nya (S?kta 4). S?kta kelima menjelaskan terciptanya benih-benih kehidupan. S?kta keenam dan ketujuh menjelaskan terjadinya alam semesta. Serat Wedhatama juga menguraikan alam suwung yang merupakan tempat bersemayamnya Tuhan itu sendiri.

Hal ini diungkapkan dalam pupuh putjung bait ke 12 “…Hyang Wisesa sana pasenedan suci…” (Mangkunegara IV, 1979: 12). Jiwa itu adalah rasa perasaan yang halus dari jantung manusia yang lazim disebut juga dengan sanubari. Ia adalah bagaikan utusan Tuhan yang mengatur dan menguasai jasad hidup seluruh badan, dan disitulah letak singgasana suci.

86 Tidak seperti para muda yang tidak menurut sanubarinya sendiri itu tetapi menuruti hawa nafsunya saja. Jiwa yang terlahirkan ke alam fana mengalami sebuah perjalanan yang berjangka panjang dan jauh yaitu sebuah perjalanan yang mengharuskan melalui tahapan-tahapan, baik untuk istirahat, membersihkan diri atau mengisi dan membawa bekal untuk perjalanan berikutnya yaitu harus mengalami, hari kiamat, kebangkitan, pengadilan, hukuman dan pembalasan, baik sorga ataupun neraka adalah bagian dari kehidupan akhirat itu sendiri.

Pada hakikatnya kehidupan akhirat adalah perjalanan panjang menuju Tuhan, bukan perjalanan menuju sorga atau menghindari neraka. Karena sesungguhnya kita semua berasal dari Tuhan dan akan kembali juga kepadanya, perjalanan panjang menuju Tuhan dalam kehidupan akhirat dilakukan manusia pada tahapan nafsu dan nafsu pada hakikatnya adalah transendental dari nafsu yang terbatas menuju nafsu yang tak terbatas (Tuhan).

Sifat Brahman (Tuhan) yang sama dengan Atman menjadikan ada kerkaitan yang sangat erat, dan bagi orang Jawa ini bisa disatukan. Melalui olah batin, orang Jawa dapat menerobos ruang dan waktu, untuk mengenal ingsun (dzat jati). Hal-hal yang 87 perlu ada pada sifat ke-Tuhanan (Dzat jati) dapat menjadi jalan lurus bagi orang Jawa ke arah memayu hayuning bawana.

Rumus penting yang semuala tidak ada, ketika itu masih kekosongan (awing-uwung) tidak ada siapa-siapa kecuali Aku (ingsun atau aku) selalu menjadi acuan logika Jawa. Pada mulanya, tidak ada raja tetapi Aku “Dzat sejati dari kudus besar”, meliputi atribut-Ku, tingkah laku diri-Ku (Tanoyo, 1954:19). Konsep di atas menjadikan sebuah pandangan, pengakuan, bahwa Tuhan itu jauh tapi dekat. Tuhan itu hangebegi (memenuhi), berada di dalam dirinya, tetapi tidak tersentuh.

Oleh karena itu, jika manusia berprilaku tidak memperindah dunia, baik microkosmos (badan manusia) maupun (macrokosmos) alam semester merasa belum hidup sejati. Penguasa diri atau ingsung yang bersemayan dalam diri manusia akan membimbing hidup, agar mampu mencapai memayu hayuning bawana. 3. Jiwa (Atman), Sukma, Roh Serat wedhatama mengajarkan bahwa hidupnya manusia adalah karena adanya penyatuan jiwa dan raga.

Dengan adanya jiwa manusia bisa memenuhi keinginannya. 88 Manusia diciptakan dengan segala kesempurnaannya, namun dibalik kesempurnaan itu juga mempunyai suatu elemen penting yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan ini. Tuhan menciptakan manusia dengan dua hal yang membuat hidup penuh dengan peraturan yang dianut dalam kehidupan ini.

Jiwa (Atman), Sukma, Roh, adalah elemen yang mengisi tubuh manusia, ibarat komputer mereka adalah softwarenya. Lalu apa perbedaan antara roh dan sukma. Roh diciptakan Tuhan dan ditiupkan ketika manusia terlahir kedunia dari rahim seorang ibu dalam Hindu hal ini sering di sebut Jiwatman yang artinya Atman telah bersemayam dan menghidupi bayi yang baru lahir.

Jiwatman atau Roh yang menguasai seluruh nafsu-nafsu yang menggerakkan perbuatan manusia cenderung baik atau buruk, sedangkan sukma tercipta jauh -jauh hari sebelum manusia terlahir dari rahim ibu, sukma diciptakan Tuhan dan disimpan di dalam surga dengan segala nasib yang telah di tulis untuk manusia, mulai dari kapan lahir rizki dan kapan manusa mati telah ditulis dalam rapor kehidupan manusia bersamanya.

Roh dan sukma mengisi tubuh manusia bersama-sama tetapi mereka tak saling mengenal satu sama lain. Jiwa adalah sebutan lain dari sukma bukan roh. Jadi manusia akan mati jika ditinggal sukma/jiwa. 89 Roh sendiri akan selalu mengikuti kemana perginya jasad/tubuh. Kebenaran manusia hidup karena adanya penyatuan jiwa atau sukma dan raga, hal ini dituliskan dalam Serat Wedatama pupuh gambuh bait 21 yang berbunyi : Nging away salah surup, kono ana sejatining urub…. (Mangkunegara IV,1970:8).

Terjemahannya: Namun hendaknya jangan ragu, bahwa dalam pada itu akan ada suatu cahaya (Nur) yang terang benderang (bukan cahaya seperti dari lampu, ataupun matahari, sebagainya, melainkan cahaya gaib). Makah al itu pertanda hidupnya budi (kasunyataan). Cahaya itu bersinar tanpa membuat bayangan, bagaikan Kartika (bintang) yang memancar-mancarkan cahaya gemerlapan (Sabdacarakatama, 2010:58).

Berdasarkan bait tersebut, memberikan keyakinan bahwa dalam diri manusia ada esensi yang paling istimewa yaitu cahaya yang terang benderang yang memberikan energi dan kehidupan pada manusia. Cahaya tersebut yang menyebabkan manusia bisa beraktifitas, berkarya, dan memfungsikan semua indra yang dimilikinya. Jika manusia mati maka sukmanya akan kembali menghadap Tuhan, sedangkan ruh akan 90 mengikuti jazad di kuburan sampai akhir masa.

Itulah kekuasaan sang pencipta, dan kita wajib mempercayainya bahwa ruh dan sukma diciptakan atas kehendaknya. Pernyataan di atas sepaham dengan paham Hindu yang beranggapan bahwa Atman adalah penyebab segala sesuatu itu hidup. Ia adalah sinar Brahman Yang Esa. Ketika berada didalam tubuh Atman disebut Jivi atau Jiwa.

Ketika tubuh ini ditinggalkan maka tubuh ini mati dan menjadi hancur, namun Atman tetap kekal (Katha Upanisad I.2.18 dan II.2.4). Sang Jiwa yang terbungkus dalam Roh pergi membawa kesan karma/perbuatan selama Atman berada dalam tubuh yang tidak kekal. Segala bentuk perbuatan atau karmanya selama menghuni tubuh, akan memperoleh pahala yang setimpal dan sang Jiwa/Roh yang masih terikat oleh dunia maya akan lahir kembali yang disebut punarbhava.

Tetapi apabila Sang Jiwa selama menghuni badan terbebas dari belenggu dunia maya, atman melihat semua makhluk ada pada dirinya dan dirinya berada pada semua makhluk serta tiada lagi rahasia yang tersembunyi (Isa Upanisad 6), maka Sang Jiwa mencapai identitas Atman yang suci, menemukan kesadaran yang tak terbatas dan menyatu dengan Brahman. Bagaikan lampu yang memperlihatkan sinar 91 yang dapat pergi jauh diluar batas materialnya dan memproklamirkan hubungan persaudaraannya dengan matahari.

Itulah cita-cita akhir dari kehidupan, mencapai ”ananda rupam“, wujud kebahagiaan kekal, terbebas dari suka-duka yang disebut Moksa. Lebih lanjut Serat Wedatama tembang Gambuh bait 29 tertulis: Rasaning urip iku Krana momor pamoring sawujud (Mangkunegara IV, 1970:9). Terjemahannya: Rasa hidup itu karena manunggal dengan adanya ujud, ialah pribadi, Dan segala ujud yang ada di dalam dunia ini menandakan adanya yang mengujudkan.

Maka manakah yang disebut manis dan madu (dari tawon) (Sabdacarakatama, 2010:62). Diibaratkan seperti madu yang terasa manis, manakah yang disebut manis, dan manakah madunya: apakah manis dapat dipisahkan dari madu, sebab gula juga manis, akan tetapi madu tidak dapat dipisahkan dengan manis, hal ini adalah suatu kenyataan sebagai waranugraha dari Tuhan yang kalau ditanggapi harus tidak hanya dengan pengertian saja, melainkan harus juga dengan rasa perasaan.

92 Berdasarkan arti bait di atas memberikan esensi yang kuat tentang pemahaman bahwa tiada ayal lagi bahwa orang hidup itu merasa hidup, karena ada yang memberi kehidupan. Dan yang memberinya itu tak lain hanyalah Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan memberikan jiwa yang suci murni. Dalam Hindu Atman yaitu percikan terkecil dari Tuhan dimana atman itu tidak terpengaruh dengan sifat keduniawian.

Sehingga atman tidak terikat dengan adanya Panca Mahabhuta. Contohnya misalnya disaat proses kehamilan seorang ibu maka anak yang akan dilahirkan mendapat percikan dari Tuhan yang disebut Atman. Sehingga si-anak tersebut menjadi hidup dan dilahirkan dalam keadaan polos. Sedangkan Roh yakni sudah terikat dengan Panca Mahabhuta (keduniawian).

Contoh misalnya orang yang meninggal kemudian kadang terlihat hantunya. Maka itu sebenarnya yang dilihat adalah Roh yang masih terikat dengan sifat keduniawian sehingga si-Roh tersebut masih merasakan adanya ketergantungan terhadap duniawi sehingga masih gentayangan. Maka dengan penjelasan di atas bisa memahami bahwa Atman dan roh itu sangat berbeda.

Sebab Atman merupakan percikan Tuhan yang tidak terikat (suci murni), sehingga bisa berbentuk apa saja misalnya seperti 93 cahaya dari sang Dewata sedangkan Roh masih mengalami bentuk seperti darimana dia berasal (masih kadang berbentuk seperti di masih hidup). Misalnya baru ada kecelakaan sampai meninggal, tapi tak sengaja terlihat seperli melihat orang tersebut saat masih hidup.

Artinya roh telah bercampur dengan pengaruh maya sehingga bentuknya masih ada yang melekat padanya. Dalam hubungannya dengan maya, atman itu seolah- olah “terkurung” atau terbelenggu. Sehingga atman memiliki tiga fungsi, yaitu: (a) Sebagai sumber hidup citta dan sthula sariranya makluk.

Citta adalah alam pikiran, meliputi pikiran atau akal, perasaan kemauan inderanya dan instuisi. Sedangkan sthula sarira adalah badan wadah seperti darah, daging, tulang, lender, otot, sumsum, otak, dan sbagainya, (b) Bertanggung jawab atas baik buruk atau amal dosa dari segala karmanya makluk yang bersangkutan, (c) Menjadi tenaga hidup dari suksma sariranya makluk yang bersangkutan, (Sudirga, 2003.73).

Lebih lanjut atman memiliki sifat yang sama dengan Brahman (Tuhan). Jiwa perorangan tidak bisa dipandang sebagai khayalan belaka dari Brahman, karena jiwa adalah Brahman. Hanya saja Brahman disini menampakan dirinya 94 dengan sarana tambahan (upadhi), yang konsekuensinya Brahman dibatasi oleh sarana itu sendiri.

Atman adalah Brahman seutuhnya sehingga atman mempunyai sifat yang sama dengan Brahman, yaitu berada dimana - mana, tanpa terikat ruang dan waktu, maha tahu, tidak berbuat dan tidak menikmati. Hal tersebut bisa terjadi karena Tuhan bersifat maha ada, maha kekal, tanpa awal dan akhir yang disebut Wyapaka Nirwikara. Wyapaka berarti meresap, mengatasi, berada disegala tempat termasuk pada masusia.

Karena Atman/Jiwa merupakan bagian dari Tuhan, sifatnya sangat gaib (Parama suksma), tidak pernah mengalami kelahiran dan kematian (Najaye naha niyamahe). Dalam kehidupan sehari-hari ada keanekaragaman perorangan yang disebabkan oleh avidya. Dalam keadaan avidya manusia tidak dapat membedakan dirinya yang sebenarnya dengan sarana-sarana tambahan (upadhi).

Avidya atau ketidaktahuan mengakibatkan manusia mengalami segala macam penderitaan. Karma wasana juga termasuk dalam upadhi, sehingga karma wasana juga menyebabkan manusia menjadi avidya (kegelapan) (Sudiani, 2012.82). Dalam agama Hindu terdapat keyakinan bahwa ada "sesuatu yang sejati" dalam tiap individu yang disebut atman, 95 sifatnya abadi atau tidak terhancurkan.

Taittiriya-upanishad mendeskripsikan bahwa atman individu diselimuti oleh lima lapisan: annamayakosa (lapisan badan kasar yang mengandung daging dan kulit), pranamayakosa (lapisan tenaga kehidupan), manomayakosa (lapisan pikiran atau indera yang menerima rangsangan), wijanamayakosa (lapisan nalar, akal budi, atau kecerdasan), anandamayakosa (lapisan kebahagiaan atau tubuh kausal). Istilah atman dan jiwa kadangkala dipakai untuk konteks yang sama.

Dalam suatu pengertian, atman adalah percikan dari Brahman, sedangkan jiwa adalah penggerak segala makhluk hidup. Menurut teologi Hindu yang monistis/panteistis (seperti mazhab Adwaita Wedanta), sukma individu sama sekali tiada berbeda dari Brahman. Sukma individu disebut atman, sedangkan Brahman disebut paramatman. Maka dari itu, ajaran ini disebut aliran non-dualis.

Ketika tubuh individu hancur, jiwa tidak turut hancur. Sebaliknya, ia berpindah ke tubuh baru melalui reinkarnasi (samsara). Jiwa mengalaminya karena diselubungi oleh awidya atau "ketidaksadaran" bahwa dirinya sesungguhnya sama dengan Paramatman. Tujuan kehidupan menurut 96 mazhab Adwaita adalah untuk mencapai kesadaran bahwa atman sesungguhnya sama dengan Brahman.

Kitab Upanishad menyatakan bahwa siapa pun yang merasakan bahwa atman merupakan esensi dari tiap individu, maka ia akan menyadari kesetaraan dengan Brahman, sehingga mencapai moksa (kebebasan atau kemerdekaan dari proses reinkarnasi/ samsara). Yoga dari Resi Patanjali sebagaimana yang diuraikan dalam Yogasutra berbeda dengan monisme yang diuraikan dalam filsafat Adwaita.

Menurut yoga, pencapaian spiritual tertinggi bukanlah untuk menyadari bahwa segala kemajemukan di alam semesta merupakan maya. Jati diri yang diperoleh saat mencapai pengalaman religius tertinggi bukanlah atman belaka. Itu hanyalah salah satu jati diri yang ditemukan oleh individu. a. Hubungan Jiwa/Atman Dengan Badan (Angga) Perpaduan atman dengan raga (angga atau jasmani) manusia menyebabkan manusia itu hidup yang disebut jiwaraga.

Jiwatman itu disebut nama dan raga disebut rupa. Jiwatman itu disebut Si A, Si B dan seterusnya. Apabila jiwatman (nama) itu hilang dari raganya (rupa) maka disebut mati. Sosok yang mati itu bukan Si A, Si B dan seterusnya, 97 tetapi karena raga (rupa) telah ditinggalkan oleh atmanya (Sudirga dkk, 2013:210).

Dalam bahasa Yunani Psychê yang berarti jiwa dan logos yang berarti nalar, logika atau ilmu. Tubuh adalah bagian yang fenomenal, dapat ditangkap oleh pancaindera dan bersifat fana sedangkan jiwa menurut Plato (500 SM) merupakan bagian yang memiliki substansi tersendiri (terpisah dari jasad) dan bersifat abadi.

Plato berargumen, bahwa jiwa menempati tempat yang lebih tinggi daripada tubuh, lebih jauh ia mengatakan bahwa tubuh adalah kubur bagi jiwa karena tubuh menghambat kebebasan jiwa. Hal ini agak bersebrangan dengan pandangan Bhagawadgita yang mengatakan tubuh adalah sarana yang dapat digunakan untuk berbuat baik sehingga manusia dapat memperbaiki karmanya. Sedang Aristoteles (400 SM), semua yang hidup mempunyai jiwa seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan tentu saja manusia.

Bagi Plato jika seseorang mati, maka jiwanya akan tetap ada dan kembali kedunia ide di mana di sana terdapat segala hal yang ideal (sempurna) untuk kemudian jiwa akan mereinkarnasi diri dan menubuh kembali pada saatnya, artinya pandangan Plato ini sama dengan pandangan mengenai atman/jiwa yang terdapat pada Kitab Wedhatama 98 atau menurut Hindu. Di sisi lain Aristoteles muridnya, memiliki pandangan berbeda, ia tidak setuju keduaan ala gurunya.

Bagi Aristoteles tubuh dan jiwa itu bukan keduaan melainkan kesatuan. Oleh karenanya jika seseorang mati, maka konsekuensinya jiwapun turut mati bersama tubuh. Hal ini bukan berarti para filsuf pendahulu kita gegabah dalam memaknai tentang jiwa. Dapat dimaklumi sebab mempelajari tentang seluk beluk kejiwaan, musti menggunakan jiwa sendiri.

Golek latu adadamar, atau mencari bara api dengan menggunakan obor sebagai penerang jalan. Sangatlah bisa dimaklumi sebab pembahasan jiwa sudah bersinggungan dengan ranah gaib yang tak tampak oleh mata wadag. Sedang menurut filsuf Jawa Ki Ageng Suryo Mentaram, jiwa dikelompokan menjadi dua yaitu jiwa Kramadangsa, dan jiwa bukan Kramadangsa.

Jiwa kramadangsa adalah jiwa yang tidak abadi disebut pula sebagai rasa “Aku Kramadangsa”. Aku kramadangsa termasuk di dalamnya adalah “rasa nama” atau ke-aku-an, misalnya aku bernama Joko, Anita dan sebagainya. Sedang “rasa jiwa” yang bersifat abadi dimaknai sebagai Aku bukan kramadangsa.

Menurut Ki Ageng Suryo Mentaram, rasa aku kramadangsa adalah ke-aku-an (naari atau “unsur api”) yakni 99 aku yang masih terlena, terlelap dalam berbagai rasa aku yang terdapat di dalam lautan kramadangsa. Sebaliknya aku bukan kramadangsa adalah aku yang telah otonom yang sudah memiliki kesadaran memilih mana yang benar dan mana yang salah sehingga ia dapat dinamai “Aku kang jumeneng pribadi”. Pandangan tersebut senada dengan konsep Hindu dimana atman adalah sumber hidup sedangkan citta dan stulasarira adalah alat untuk hidupnya.

Dalam keadaan makluk itu hidup, tentu terjadi hubungan timbal balik antar atman dengan citta dan stulasarira. Hubungan ini yang akan menentukan karakteristik makluk itu sendiri. Jika atman yang lebih besar pengaruhnya pada citta dan sttula sarira pada manusia, maka manusia akan bersifat sattwam atau bijaksana akan tetapi jika stula sarira yang lebih besar mempengaruhi atma maka manusia itu akan bersifat rajah (nafsu) dan tamah (malas) karena ahamkara yang lebih menonjol sehingga kelak atmannya akan menjadi sengsara. Ki Ageng Surya Mentaram alat manusia untuk mendapatkan pengetahuan terdiri dari tiga bagian yakni pancaindera, rasa hati dan pengertian.

Pertama, pancaindera, seperti yang telah kita ketahui yaitu alat penglihatan (mata), 100 alat pendengaran (telinga), alat penciuman (hidung), alat pencecap (lidah) dan alat peraba (kulit, misalnya: jari- jari tangan merasa panas kena api, kulit merasa gatal terkena bulu ulat, dll). Kedua, rasa hati, adalah suatu kesadaran diri tentang keberadaan aku di mana aku dapat merasa senang, susah dan lain-lain.

Ketiga, adalah pengertian, kegunaan pengertian dapat menentukan tentang hal-hal yang berasal dari pancaindera dan juga dari rasa hati. Pengertian di sebut pula sebagai persepsi, yang pada gilirannya akan menentukan mind-set atau pola pikir. (Sabdalangit, 2016). Dengan demikian alat pengertian ini dapat dikatakan sebagai alat yang tertinggi tingkatan otonominya bagi manusia karena ia sudah melampaui pengetahuan yang didapat dari alat pertama dan kedua.

Ia sudah merupakan suatu refleksi kritis, kontemplasi, endapan yang didapat dengan cara menyeleksi hal-hal yang tidak diperlukan kemudian hanya memilih yang berguna atau bermanfaat saja. Sedangkan alat di luar ketiga tersebut tak diketahui karena di dalamnya terdapat banyak hal yang masih mysteré sulit terjangkau oleh kemampuan alat manusia.

Aku Bukan Kramadangsa selanjutnya atau disebut sebagai jiwa yang “nuruti kareping rahsa,” lebih mudah 101 dipahami bila dianalogikan sebagai jiwa yang tunduk kepada sukma sejati (atman) sehingga memancarkan sifat dan sikap bijaksana dan mulia. Sebaliknya apa yang disebut sebagai jiwa kramadangsa, aku kramadangsa, tidak lain adalah jiwa yang “nuruti rahsaning karep” atau lebih menuruti nafsu atau keinginan yang tanpa ada refleksi atau saringan pemikiran benar dan salah.

Lebih tegas lagi disebut sebagai jiwa yang ditaklukkan oleh jasad, sehingga terrefleksikan dalam tindakan yang rajas dan tamas. Perlu dipahami bahwa jiwa kramadangsa (rasa nama) kesadarannya lebih dari jiwa yang berhasil diidentifikasi oleh Aristoteles sebagai jiwa yang ikut mati. Saya kira Aristoteles hanya menangkap jiwa-jiwa sebagaimana jiwa binatang dan tumbuhan yang ikut mati.

Dan Sementara itu jiwa kramadangsa di sini adalah jiwa dengan kesadaran rendah, yang dimiliki manusia. Jiwa kramadangsa hanya terdiri dari kumpulan seluruh catatatan di dalam memori jasad manusia yang berisi semua tentang dirinya dan semua yang pernah dialaminya. Tidak seluruh memori itu bersifat abadi karena banyak catatan-catatan in memorial dapat terlupakan bahkan lenyap bersama jasad yang mati.

Berbeda dengan “aku bukan kramadangsa”, berarti yang dimaksudkan adalah “aku yang 102 dapat mengatasi kramadangsa” karena itu “aku” adalah aku yang dapat mengatur dengan baik kramadangsa-ku. Serat Wedhatama mengajarkan bahwa hubungan antara jiwa dan raga ini benar adanya dan harus disadari dengan sepenuh hati. Walaupun jiwa dan roh berkaitan dengan gaib, namun bukankah entitas gaib itu berada dalam diri setiap manusia.

Manusia yang terdiri dari unsur gaib dan unsur wadag (fisik), tak ada alasan bagi siapapun untuk tidak bisa merasakan dan menyaksikan “obyektivitas” kegaiban. Mencegah manusia terhadap kemauan untuk mengetahui unsur dan wahana yang gaib sama saja artinya mengasingkan dan membatasi diri manusia dari “diri sejati” yang sungguh dekat dan melekat di dalam badan raga setiap manusia. Hubungan antara roh/sukma dengan raga bagaikan rangkaian perangkat internet.

Sukma atau roh dapat diumpamakan IP atau internet protocol, yang mengirimkan fakta-fakta dan data-data “gaib” dalam bentuk “bahasa mesin” yang akan diterima oleh perangkat keras atau hardware. (Sabdalangit, 2010). Adapun hardware di sini berupa otak (brain) kanan dan otak kiri manusia. Sedangkan tubuh manusia secara keseluruhan dapat diumpamakan sebagai seperangkat alat 103 elektronik bernama PC atau personal komputer, note book, laptop dst yang terdiri dari rangkaian beberapa hardware (perangkat keras) dan software (perangkat lunak).

Hardware otak tak akan bisa beroperasional dengan sendirinya menerima fakta dan data gaib yang dikirim oleh sukma. Hardware otak terlebih dulu harus diisi (instalation) dengan perangkat lunak atau sofware berupa “program” yang bernama spiritual mind atau pemikiran spriritual tentang ke-Tuhanan, atau pemikiran tentang yang gaib.

Walapun demikian, hardware otak tidak akan mampu memahami fakta-fakta gaib tanpa adanya jembatan penghubung bernama jiwa. Jiwa merupakan jembatan penghubung antara sukma dengan raga (stullasarira). Aktivitas sukma antara lain mengirimkan bahasa universal kepada raga. Bahasa universal tersebut dapat berupa sinyal-sinyal gaib, pralampita, perlambang, simbol-simbol, dalam hal ini saya umpamakan layaknya bahasa mesin, di mana jiwa harus menterjemahkannya ke dalam berbagai bahasa verbal agar mudah dimengerti oleh otak manusia.

Tugas jiwa tak ubahnya modem untuk menterjemahkan “bahasa mesin” atau bahasa universal yang dimiliki oleh sukma menjadi bahasa verbal manusia. Walapun begitu, masing-masing jiwa 104 memiliki kemampuan berbeda-beda dalam menterjemahkan bahasa universal atau sinyal yang dikirim oleh sukma kepada raga, tergantung program atau perangkat lunak (software) jenis apa yang diinstal di dalamnya (atau tergantung dari kecerdasan spiritualnya masing-masing).

Setelah jiwa berhasil menterjemahkan “bahasa mesin”, atau bahasa universal sukma ke dalam bahasa verbal, selanjutnya menjadi tugas otak bagian kanan manusia untuk mengolah dan menilainya melalui spiritual mind atau pemikiran spiritual. Semakin besar kapasitas random acces memory (RAM) yang dimiliki otak bagian kanan, seseorang akan lebih mampu memahami “kabar dari langit” yang dibawa oleh sukma, dan diterjemahkan oleh jiwa. Itulah alasan perlunya kita meng upgrade kapasitas “RAM” otak bagian kanan agar supaya lebih mudah memahami fakta gaib secara logica.

Keadaan tersebut tidak bisa dipaksakan karena kemauan dan kemampuan berbeda-beda. Sebab sejauh yang bisa disaksikan, kenyataan gaib itu tak ada yang tidak masuk akal. Jika dirasakan ada yang tak masuk akal, letak “kesalahan” bukan pada kenyataan gaibnya, tetapi karena otak kita belum cukup menerima informasi dan “data-data gaib.”

Dimensi gaib memiliki rumus-rumus, dan 105 hukum yang jauh lebih luas daan rumit daripada rumus-rumus yang ada di dalam dimensi wadag bumi. Contoh yang paling mudah, misalnya segala sesuatu yang ada di dalam dimensi wadag bumi, mengalami rumus atau prinsip terjadi kerusakan (mercapadha). Merca berarti panas atau rusak, padha adalah papan atau tempat. Mercapadha adalah tempat di mana segala sesuatunya pasti akan mengalami kerusakan.

Sementara itu di dalam dimensi gaib, rumus kerusakan tak berlaku. Sehingga disebutnya sebagai dimensi keabadian, atau alam kehidupan sejati, alam kelanggengan, papan kang langgeng tan owah gingsir. Sekalipun organ tubuh manusia, apabila dibawa ke dalam dimensi kelanggengan, pastilah tak akan rusak atau busuk.

Sebaliknya, sukma yang hadir ke dalam dimensi bumi, pastilah terkena rumus atau prinsip mercapadha, yakni mengalami rasa cape, sakit, rasa lapar, ingin menikmati makanan dan minuman yang ia sukai sewaktu tinggal di dimensi bumi bersama raga atau hukum kodrat. Hanya saja, sukmanya merupakan unsur gaib, maka tak akan terkena rumus atau prinsip mengalami kematian sebagaimana raga.

Jiwa yang menghidupi ke dalam jasad manusia merupakan software yang bebas menentukan pilihan. Apakah 106 akan menjadi jiwa yang mempunyai prinsip keseimbangan (sattwam), yakni seimbang berdiri di antara sukma dan raga, menjadi pribadi yang seimbang lahir dan batinnya. Ataukah akan menjadi jiwa yang berat sebelah, yakni tunduk kepada sukma, ataukah jiwa yang menghamba kepada raga saja (rajas).

Untuk menjadi pribadi yang dapat meraih keseimbangan lahir dan batin, jiwanya harus memperhatikan dan menghayati apa saran sang sukma (nuruti kareping rahsa). Tak perlu meragukan kemampuan sang sukma sebab ia tak akan salah jalan dalam menuntun seseorang menggapai keseimbangan lahir dan batin. Pribadi yang seimbang lahir dan batinnya akan mudah menggapai kemuliaan hidup di dunia dan kehidupan sejati setelah raganya mati.

Sementara itu bagi jiwa yang mau diperbudak oleh raga berarti menjadi pribadi yang hidup selalu mengumbar hawa nafsu (nuruti rahsaning karep). Tentu saja kehidupannya akan jauh dari kemuliaan sejak hidup di mercapadha maupun kelak dalam kehidupan sejati. Sebaliknya, bagi jiwa yang terlalu condong kepada sukma, ia akan menjadi pribadi yang fatalis, tak ada lagi kemauan, inisiatif, dan semangat menjalani kehidupan di dimensi wadag (tamas). Seseorang akan terjebak ke dalam 107 pola hidup yang mengabaikan kehidupan duniawi.

Hal ini sangatlah timpang, sebab kehidupan duniawi ini akan sangat menentukan bagimana kehidupan kelak di alam keabadian. Apakah seseorang akan menggapai kemuliaan bahkan kemuliaan hidup di dunia merupakan bekal kehidupan abadi. Sebagaimana para murid Syeh Siti Jenar yang gagal dalam memahami apa yang diajarkan oleh gurunya.

Para murid menyangka kehidupan di bumi ini tak ada gunanya, bagaikan mayat bergentayangan penuh dosa. Kehidupan dunia bagaikan penghalang dan penjara bagi roh menuju ke alam keabadian. Jalan satu-satunya melepaskan diri dari penjara kehidupan dunia ini adalah jalan kematian.

Sehingga banyak di antara muridnya melakukan tindakan keonaran supaya menemui kematian atau bahkan sampai bunuh diri. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa jiwa, sukma atau atman adalah bersumber dari Tuhan (Brahman) yang menghidupi dan bersemayam dalam setiap makluk, yang memiliki sifat yang suci, bersih bagaikan cahaya.

Antara atman dan badan wadag atau stula sarira memiliki hubungan yang erat karena badan wadag sebagai tempat jiwa bersemayam sehingga raga bisa melakukan aktifitas, begitu sebaliknya jiwa jiwa/atman meninggalkan 108 raga maka raga tidak bisa melakukan apa-apa atau mati dan jiwa tidak ikut mati. b. Hubungan Atman/Jiwa dengan Brahman/Tuhan Sesungguhnya atman itu adalah Tuhan yang keadaanya terkurung dalam setiap makluk.

Atman itu luput dari wisaya (keadaan lahir, hidup, sakit, mati dan sebagainya), tetapi jiwa (sebagai saktinya Atman) dapat kena (wisaya) atau indra, sepeti memfitnah, mencaci, dan sebagainya dapat ditekan oleh angga misalnya sakit, merana, duka dan lainya (Sudirga, dkk, 2013:212). Tujuan akhir hidup di atas bumi adalah untuk menyadari Atman, pencapaian yang tidak gampang dan nirvikalpa samadhi.

Setiap jiwa menemukan Ketuhanannya, Realitas Absolut, Brahman yang kekal, tanpa waktu, tanpa bentuk, tanpa ruang, Sang Atman. Realisasi dan Atman, Brahman/Hyang Widhi, kodrat dan setiap jiwa, dapat dicapai melalui renunsiasi (penolakan atau penyangkalan), diteruskan yoga dan membakar benih-benih karma yang masih bertunas. Ini adalah pintu gerbang menuju moksha, pembebasan dan reinkarnasi.

Atman berada di luar perkiraan pikiran, di luar perasaan yang alami, di luar aksi atau pergerakan bahkan bagian tertinggi dan kesadaran (chitta). Persamaan atman dengan Brahman adalah sama 109 kekal abadi, abstrak, dan gaib. Tetapi pertemuan antara atma dengan badan yang kemudian menimbulkan ciptaan menyebabkan atma dalam keadaan “Awidhya“. Awidhya artinya gelap lupa kepada kesadaran.

Awidhya muncul karena pengaruh unsur panca maha butha yang mempunyai sifat duniawi. Sehingga dalam hidup ini atma dalam diri manusia di dalam keadaan awidhya. Dalam keadaan seperti ini hidup kedunia bertujuan untuk menghilangkan awidhya untuk meraih kesadaran yang sejati dengan cara melaksanakan Subha karma. Menyadari sifat atma yang serba sempurna dan penuh kesucian menimbulkan usaha untuk menghilangkan pengaruh awidhya tadi.

Karena apabila manusia meninggal kelak hanya badan yang rusak, sedangkan atmanya tetap ada kembali akan mengalami kelahiran berulang dengan membawa “Karma Wasana“ (bekas hasil perbuatan). Oleh karena itu, manusia lahir kedunia harus berbuat baik atas dasar pengabdian untuk membebaskan Sang Hyang Atma dari ikatan duniawi. Sesungguhnya jika tidak ada pengaruh duniawi Hyang Widhi dan Atma itu adalah tunggal adanya (Brahman Atman Aikyam).

Tunggalnya atman dan Brahman (Hyang Widhi) bagaikan hawa dalam satu ruangan dengan hawa di angkasa. 110 Sedangkan, ikatan perasaan terhadap benda duniawi adalah penghalang manunggalnya atman dengan Brahman (Brahman Atma). Hubungan Atman dengan Brahman bisa diibaratkan dengan udara yang terbang bebas di ruang angkasa rasa.

Tetapi pada suatu ketika udara tersebut harus masuk ban mobil, masuk ban sepeda, masuk ruangan yang ber AC, masuk ruangan yang pengap, dan masuk ke rongga dada, rongga hidung dan bahkan ke rongga perut. Sebenarnya semua udara tadi sama hanya tempatnya saja yang berbeda dan jika semua udara yang berada pada tempat tersebut dilepaskan maka udara tersebut akan balik lagi berbaur dengan asalnya yaitu udara diruang angkasa.

Pandangan Kejawen juga mengibartkan seperti berikut: Dumununge Syetan ing wadag Manungsa iku ana ing Pikirmu, ananging dumununge Gusti ing wadag manungsa iku ana ing Atimu, mulane yen mangonceki dedalaning Gusti nganggo pikirmu bisa wae Syetan kang nyetir mula dadi gede ing karebmu, ananging yen mangoncei nganggo atimu Gusti kang nuntun dadi meneping atimu Terjemahannya: 111 Tinggalnya setan di tubuh manusia itu ada di pikiranmu, tetapi tinggalnya Gusti (Tuhan) di tubuh manusia itu di hatimu, maka kalau mengupas jalan Gusti dengan pikirmu akan besar dalam keinginanmu, tetapi kalau mengupasnya lewat hatimu, Gusti yang membimbing menjadi heningnya hatimu.

Orang Kejawen jika ingin mengupas akan sikap Manembahing Kawula Gusti/ jalan Tuhan/ Agama, haruslah lewat hati tidak diperbolehkan lewat pikir, sebab jika lewat pikiran maka akan dipengaruhi dengan bayang-bayang setan, seperti minta dihormati, dikagumi, bisa terkenal, berpamrih, karena semua itu berdampak akan materi semata, merasa dirinya yang benar, sehingga mudah melakukan perdebatan tafsir dengan yang tidak selaras dengan jalannya, berbeda pendapat satu dengan yang lain hingga timbul perdebatan antar jalan Gusti satu dengan yang lain. Kupaslah jalan Gusti itu dengan hatimu, karena bahasa hati sedunia itu adalah sama.

Contoh kalau sedih orang menangis, dan kalau senang orang tersenyum atau tertawa. Pengertian tersebut diatas sesuai pula petunjuk dari Kanjeng Sunan Kali Jaga dengan petuah atau pengertian Kodok Kinemul Leng Kang Kapisan isinya sebagai berikut: 112 Gusti pepering Ruh dening Manungsa, sak jroning Ruhmu iku ana Sukma, Sakjroning Sukmamu ana Nyawa, sakjroning Nyawamu ana Rasa, sakjroning Rasamu ana Rahsa / Sirrullah, sakjroning Rahsamuana Dzatullah, sakjroning Dzatullahmu ana Allah.

Terjemahannya: Allah memberikan Roh pada Manusia, didalam Ruhmu itu ada Sukma, didalam Sukmamu itu ada Nyawa, didalam Nyawamu itu ada Rasa, didalam Rasamu itu ada Rahsa, didalam Rahsamu itu ada Dzatullah, didalam Dzatullahmu itu ada Allah. Pengertian tersebut di atas menunjukkan bahwa Allah/Tuhan ada dalam hati masing-masing manusia yang mana tidak diperbolehkan menyakiti orang lain karena Allah/Tuhan juga tinggal dihati orang tersebut maka jika disakiti sama artinya menyakiti Allah/Tuhan, demikian pula jika menipu orang lain sama artinya dengan menipu Allah/Tuhan.

Konsep tersebut sama dengan Konsep Etika Hindu dimana ajaran Tat Twam Asi mengajarkan keuniversalan yang bebas, dimana manusia harus menyayangi dan mengasihi semua makluk, yang lebih dikenal dengan 113 ungkapan Itu/Dia adalah Kamu/Engkau. Kitab Brhad Aranyaka Upanisad menyebutkan sebagai berikut “Aham Brahma Asmi”artinya aku adalah Brahman. Ajaran ini merupakan dasar utama untuk dapat mewujudkan masyarakat yang damai (santhi ) yang patut kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga tercipta hubungan yang harmonis diantara semua (memayu hayuning bawana).

Bila kita sungguh-sungguh dapat memahami dan menerapkannya maka dalam diri kita akan muncul sikap cinta kasih terhadap semua ciptaan-Nya. Seperti halnya, "menyayangi orang lain sebagaimana halnya menyayangi diri sendiri." Kesadaran dalam falsafah hidup Jawa dimulai dari kesadaran rasio (akal budi atau cipta) yang ditopang oleh pilar utamanya yakni kesadaran batin meliputi kesadaran jiwa atau sukma, dan kesadaran rahsa (rasa).

Tidak hanya berhenti di situ, kesadaran rahsa masih harus dimanifestasikan dalam perbuatan konkrit untuk menjalani aktivitas hidup sehari-hari (karsa). Parameter keberhasilan manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari sebagai makhluk ciptaan Tuhan (titahing Gusti), adalah bilamana berhasil melakukan harmonisasi dan sinergi antara perilaku manusia dengan kearifan alam semesta, antara jagad alit dengan jagad ageng, 114 antara mikrokosmos dengan makrokosmos.

Oleh sebab itu manusia Jawa (nusantara) selalu berusaha untuk menciptakan harmonisasi dan sinergisasi antara jagad alit (diri pribadi) dengan jagad ageng (alam semesta). Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Atman/Jiwa sangat berhubungan erat dengan Brahman/Tuhan. Karena atman berasal dari Brahman sama halnya manusia bayi yang dilahirkan oleh ibunya, sekalipun sudah besar dan bisa hidup mandiri, sekali waktu pasti rindu akan keluarga asalnya, dan ingin bersamanya, karena keduanya ada daya tarik menarik yang kuat. 4.

Karma Phala (Ngunduh Wohing Pakarti) Hidup di jagad raya berdampingan dengan berbagai makluk ciptaan Sang Hyang Widhi yang maha kuasa. Karena manusia hidup bersama maka diperlukan aturan atau hukum. Hukum inilah yang akan mengatur jalannya hidup agar bisa hidup damai dan tidak ada yang disakiti atau dirugikan, mengingat manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan yang paling utama sekaligus manusia yang paling kejam. Banyak orang takut dengan Harimau karena tatapan matanya, atau raungannya.

Tetapi manusia yang paling ditakuti adalah 115 Kareb (Keinginan) nya yang tiada habisnya. Padahal semua kedamaian yang ada diakibatkan oleh nafsu atau keinginan untuk berbuat baik, sebaliknya kekacauan, huru hara atau bahkan ketidak stabilan alam juga akibat karep (keinginan/nafsu). Lali Marang Sangkan Paraning Dumadi, Bakal Ngunduh Wohing Pakarti.

Hukum Karma Phala adalah hukum sebab-akibat, Hukum aksi reaksi, hukum usahan dan hasil atau nasib. Hukum ini berlaku untuk alam semesta, binatang, tumbuh - tumbuhan dan manusia. Jika hukum itu ditunjukan kepada manusia maka di sebut dengan hukum karma dan jika kepada alam semesta disebut hukum Rta.

Hukum inilah yang mengatur kelangsungan hidup, gerak serta perputaran alam semesta. Dalam Kekawin Ramayana Sargah 1 bait nomor 4: “Nafsu dan lain sebagainya (Sad Ripu) adalah musuh yang terdekat, di dalam hati letaknya tidak jauh dari badan, Hal itu tidak ada pada Beliau, hanya keberanian dan kebijaksanaan serta pengetahuan politik yang beliau miliki”.

“Apa yang kamu tanam maka itulah yang akan kamu tuai”, Sesungguhnya tafsiran tersebut tidak sepenuhnya betul. Di dalam Agama Hindu perhitungan karma itu tidak di dasarkan 116 pada pisik, karena semua yang bersifat pisik merupakan bersifat maya. Misalkan orang sedih dia menangis, orang tertawa juga menangis, mengeluarkan air mata yang sama dari mata yang sama, tetapi perasaan yang terkandung di dalam hatinya berbeda. Hukum Karma mengatakan bahwa semua pikiran, perkataan, dan perkataan yang tidak baik melahirkan penderitaan. Hal ini sejalan dengan Bagawadgita, III, 8.

42 sebagai berikut: Nitayam kuru karma tvam, karma jyayohy akarmanah, sarirayatra pi ca te, na prasidyed, akarmanah. Terjemahannya: Lakukanlah pekerjaan yang diberikan padamu, karena melakukan perbuatan. karmany evadhikaras te ma phalesu kadachana ma karma-phala-hetur bhur ma te sango ?stv akarmani" (Bhagwat Gita: II.47) Terjemahannya: Itu lebih baik sifatnya dari pada tidak melakukan apa-apa, sebagai juga untuk memelihara badanmu tidak akan jika engkau tidak bekerja.

117 Wedhatama mengajarkan bahwa manusia hudup harus berbuat keiklasan. Cara manusia memahami hidup, mendekatkan diri kepada Tuhan (ngelmu) mengenai keiklasan dikelompokan menjadi dua laku yaitu laku lewel bawah (orientasi pribadi) dan lewel tinggi (orientasi bersama/publik). Laku prihatin level bawah berorientasi untuk kebutuhan meningkatkan kualitas diri pribadi.

Masing-masing orang sah-sah saja menjalani laku prihatin level bawah ini dengan cara dan gaya yang berbeda-beda, misalnya dengan cara berpuasa, cegah tidur, cegah sahwat, cegah makan, atau mengembara tanpa bekal uang di tangan, makan hanya apa yang ditemukan saja, menjalani hidup dalam kondisi serba pas-pasan bahkan serba kekurangan. Semua dijalani dengan kesabaran dan ketulusan, untuk membangun kekuatan mental lahir dan batin.

Hilangnya rasa takut berganti dengan nyali berani hidup dalam gelimang derita dan sengsara (lara lapa). Namun laku prihatin ini efeknya sebatas mematangkan dan menguatkan keadaan mental lahir dan batin si pelaku. Apapun cara laku prihatin yang lakukan tidaklah menjadi soal, yang penting dilakukan dengan sepenuh hati, jangan setengah-setengah karena akan percuma sia-sia saja, tak akan mendapatkan hasil yang maksimal. Manusia sejati kuat mental lahir dan batin 118 bukanlah orang yang berani mati, tetapi orang yang berani hidup.

Yakni hidup dalam gelimang sengsara dan derita (kuat tapa brata; lara lapa, lara wirang). Namun, menjalani laku prihatin seperti itu belumlah cukup untuk meraih suatu kemuliaan yang sejati. Diumpamakan, baru memperoleh instrumen atau alat untuk meraih tujuan.

Alat itu berupa kematangan sikap, lahir dan batin, solah (perilaku lahir) dan bawa (perilaku batin) yang arif dan bijaksana dalam memahami dan menjalani kehidupan yang teramat kompleks ini. Level Tinggi (Orientasi Publik) berbeda dengan laku prihatin di atas, yang dikategorikan sebagai bentuk laku prihatin level bawah, maka laku prihatin orientasi publik saya kategorikan sebagai laku prihatin level tinggi.

Penghayat laku prihatin bukan lagi berorientasi untuk meningkatkan kualitas mental lahir dan batin dengan obyek (sasaran) pribadinya sendiri. Dengan bekal instrumen atau alat berupa kualitas diri lahir dan batin sudah tercapai, maka yang paling utama adalah memanfaatkan instrumen tersebut dalam kehidupan sehari-hari dalam lingkup “ruang publik”, dengan obyek/sasaran yang lebih luas yakni orang banyak.

Laku prihatin berorientasi publik, dilakukan dengan penuh kesadaran diri 119 akan makna sejatinya kehidupan ini. Termasuk untuk menjawab atas pertanyaan, ”untuk apa kita lahir dan berada di bumi ini? Bagi pribadi, hidup bukan untuk “mencari”. Melainkan untuk “memberi.” Memberi artinya membuat diri bermanfaat untuk seluruh makhluk dan lingkungan alam di sekitar.

Yakni saling memberi kasih sayang (welas asih) kepada seluruh makhluk tanpa kecuali. Welas asih memiliki wujud konkrit, yakni berupa sedekah atau memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan seluruh makhluk. Meliputi sedekah lahir berupa harta, tenaga, pikiran, sedekah doa (paling lemah). Dan sedekah batin berupa kasih sayang yang menghasilkan rasa nyaman, aman, tenteram.

Memberi, (mepunia) dalam falsafah hidup Jawa disebut sebagai “mulat laku jantraning bumi.” Mengikuti sifat tabiat bumi yang selalu memberi kehidupan kepada seluruh makhluk tanpa kecuali, dan tanpa pilih kasih. Untuk menghayatinya, terlebih dahulu harus menjadi manusia yang memiliki instrumen lahir dan batin yang cukup ideal.

Yakni menjadi manusia yang merdeka lahir & batin, yang manusia yang tidak lagi tersekat-sekat oleh primordialisme agama, golongan, kepentingan politik, suku, dan ras. Mari simak baik-baik serat Wedhatama bait Sinom pupuh 29 berikut ini: 120 Mungguh ugering ngaurip, Uripe lan tri prakara, Wirya arta tri winasis, Kalamun kongsi sepi, Saka wilangan tetelu, Telas tilasing janma, Aji godhong jati aking, Temah papa papariman ngulandara.

(Mangkunegara IV) Terjemahannya: Pedoman hidup itu demikian seyogyanya, hidup dengan tiga prinsip; Keluhuran (kemuliaan, kekuasaan), harta (kemakmuran), ketiga ilmu pengetahuan. Bila tiga perkara itu tak satu pun dapat diraih, habislah harga diri manusia. Masih lebih berharga daun jati kering, bakal mendapatlah derita, sengsara dan terlunta.

Berdasarkan Pupuh Sinom 22 Serat Wedhatama karya Ingkang Wicaksana Gusti Mangkunegoro IV di atas menggambarkan prestasi hidup seseorang yang sangat ideal untuk menjalani laku prihatin. Sekilas tampak paradoksal dengan laku prihatin yang sering diidentikkan dengan keadaan 121 yang serba tidak enak, menderita dan sengsara. Jika direfleksi dan ditelaah dengan melibatkan hati nurani sangat diperlukan.

Laku prihatin bisa dijalani oleh semua orang artinya bisa dijalani oleh orang yang miskin, oleh orang yang kaya raya, bisa juga oleh orang yang berkuasa, atau orang yang sedang berkuasa dan kaya raya atau variasi yang lain. Misal prihatinnya orang kaya harta. Orang yang kaya harta melakukan prihatin dengan cara memanfaatkan hartanya tidak hanya untuk kepentingan dan kebutuhan dirinya sendiri dan keluarganya saja.

Tetapi harta-kekayaannya dimanfaatkan pula agar menjadi berkah bagi orang-orang di sekitarnya termasuk lingkungan alamnya. Hartanya bermanfaat untuk menolong dan membantu orang banyak tanpa pilih kasih, tidak berdasarkan sentimen agama, ras, suku, golongan, kelompok kepentingan. Itulah orang kaya harta yang mau menjalani laku prihatin. Hidupnya mberkahi, jauh lebih bermanfaat ketimbang orang yang menjalani laku prihatin level bawah.

Prihatinnya Orang Kaya Ilmu. Orang kaya ilmu, baik ilmu pengetahuan maupun ilmu spiritual, akan menjalani laku prihatin dengan cara memanfaatkan ilmunya tidak hanya untuk kepentingan dirinya sendiri dan keluarganya saja.

Tetapi dimanfaatkan pula agar menjadi berkah bagi orang- 122 orang di sekelilingnya, untuk masyarakat luas, bangsa, termasuk lingkungan alam sekitarnya. Ilmunya dibagi secara tulus, tanpa mengharap upah atau imbalan kepada siapa saja yang memerlukan. Dan dilakukan tanpa pilih kasih, tidak berdasar sentimen agama, ras, suku, golongan, kelompok, dan kepentingan. Itulah orang kaya ilmu yang menjalani laku prihatin.

Prihatinnya Orang Punya Kekuasaan. Orang punya otoritas kekuasaan menjalani laku prihatin dengan cara memanfaatkan kekuasaannya untuk menciptakan berkah bukan saja bagi diri dan keluarganya, lebih utama adalah untuk dipersembahkan kepada rakyat dan ibu pertiwinya (alam semesta).

Kekuasaannya dijadikan sarana untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat yang dipimpinnya serta untuk menjaga kelestarian lingkungan alam. Dengan kata lain, kekuasaan dimanfaatkan untuk menciptakan negeri yang adil makmur, gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem kerta raharja. Itulah orang punya otoritas kekuasaan yang menjalani laku prihatin. Negarawan sejati, adalah wajah orang yang sugih kuwasa yang menjalani laku prihatin.

Berbeda dengan “politikus sejati” yang hanya membela kelompoknya, kepentingannya, golongannya, sesama keyakinan, sesama suku dan rasnya sendiri. Namun 123 untuk memenuhi kriteria ini bukan berarti harus menjadi pemimpin, pejabat, penguasa. Perlu menyadari bahwa setiap diri (pribadi) merupakan seorang pemimpin. Yakni pemimpin untuk diri sendiri, keluarga, sahabat, kelompok, organisasi dan seterusnya.

Tujuan hidup yang sangat mulia dan tertinggi dilukiskan dalam Manunggaling Kawula Gusti. Dalam hidup di maya pada ini semua orang memilki kesempatan mencapai tujuan yang mulia tersebut. Tidak harus melalui sugih bondo, sugih ngelmu, sugih kuwasa. Bagaimanapun juga seseorang yang dilengkapi dengan 3 macam kemampuan tersebut (setidaknya memiliki salah satu di antaranya), akan memiliki kesempatan besar untuk selalu memberi (telapak tangan telungkup) kepada yang lain.

Lain halnya orang yang menjalani laku prihatin untuk dirinya sendiri, walau kemauan ada, tetapi belum tentu memiliki kemampuan untuk memberi. Secara logika orang yang lengkap memiliki 3 kemampuan tersebut akan mempunyai lebih banyak kesempatan untuk menjalani laku prihatin level tinggi. Ia memiliki “ladang amal”. Sehingga ia lebih banyak kesempatan untuk menanam “pohon kebaikan” dengan jumlah sebanyak-banyaknya.

Tentu “buah-buah” yang dihasilkan pun akan lebih banyak lagi. 124 Dalam satu kali tanam saja bisa mencapai ribuan, bahkan jutaan “pohon kebaikan”. Dengan kata lain, jika benar-benar memanfaatkan kesempatan yang dimilikinya, seseorang lebih mudah menggapai kamulyan sejati dalam kehidupan dunia maupun kehidupan sejati kelak.

Seorang presiden, ratu, raja, gubernur, bupati, dan pejabat daerah lainnya, adalah orang-orang yang memiliki ladang amal, alias memiliki kesempatan besar meraih kamulyan sejati. Serat Wedatama pupuh pangkur 44 tidak pernah menganjurkan seseorang menghitung-hitung pahala dalam setiap beribadah. Serat Wedhatama, motifasi beribadah atau melakukan perbuatan baik kepada sesama bukan karena tergiur surga.

Demikian pula dalam melaksanakan sembahyang manembah kepada Tuhan Yang Maha Suci bukan karena takut neraka dan tergiur iming-iming surga. Manusia diharapkan memiliki tingkat kesadaran bahwa kebaikan-kebaikan yang dilakukan seseorang kepada sesama bukan atas alasan ketakutan dan intimidasi dosa-neraka, melainkan kesadaran kosmik bahwa setiap perbuatan baik kepada sesama merupakan sikap adil dan baik pada diri sendiri.

Kebaikan pada sesama adalah kebutuhan diri sendiri. 125 Kebaikan akan berbuah kebaikan. Karena setiap kebaikan yang dilakukan pada sesama akan kembali untuk diri sendiri, bahkan satu kebaikan akan kembali secara berlipat. Demikian juga sebaliknya, setiap kejahatan akan berbuah kejahatan pula.

Jika suka mempersulit orang lain, maka dalam urusan-urusan apapun juga akan sering menemukan kesulitan. Jika gemar menolong dan membantu sesama, maka hidup maka akan selalu mendapatkan kemudahan. Menurut Wehatama, kebiasaan mengharap dan menghitung pahala terhadap setiap perbuatan baik hanya akan membuat keikhlasan seseorang menjadi tidak sempurna.

Kebiasaan itu juga mencerminkan sikap yang serakah, lancang, picik, dan tidak tahu diri. Karena menyembah Tuhan adalah kebutuhan manusia, bukan kebutuhan Tuhan. Mengapa seseorang masih juga mengharap-harap pahala dalam memenuhi kebutuhan pribadinya sendiri? Serat Wedhatama Pangkur 44 memandang bahwa seseorang yang menyembah Tuhan dengan tanpa pengharapan akan mendapat pahala atau surga dan bukan atas alasan takut dosa atau neraka, adalah sebuah bentuk kemuliaan hidup yang sejati.

Sebaliknya, menyembah Tuhan, berangkat dari kesadaran bahwa manusia hidup di dunia ini selalu berhutang 126 kenikmatan dan anugrah dari Tuhan. Dalam satu detik seseorang akan kesulitan mengucapkan satu kalimat sukur, padahal dalam sedetik itu manusia adanya telah berhutang puluhan atau bahkan ratusan kenikmatan dan anugerah Tuhan.

Maka seseorang menjadi tidak etis, lancang dan tak tahu diri jika dalam bersembahyang manusia masih menjadikannya sebagai sarana memohon sesuatu kepada Tuhan. Tuhan tempat meminta, tetapi manusialah yang tak tahu diri tiada habisnya meminta-minta. Dalam sikap demikian ketenangan dan kebahagiaan hidup yang sejati akan sangat sulit didapatkan.

Sembahyang tidak lain sebagai cara mengungkapkan rasa berterimakasihnya kepada Tuhan. Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama memandang bahwa rasa sukur kepada Tuhan melalui sembahyang atau ucapan saja tidaklah cukup, tetapi lebih utama harus diartikulasikan dan diimplementasikan ke dalam bentuk tindakan atau perbuatan baik kepada sesama dalam kehidupan sehari-harinya.

Jika Tuhan memberikan kesehatan kepada seseorang, maka sebagai wujud rasa sukurnya orang itu harus membantu dan menolong orang lain yang sedang sakit atau menderita. Menyembah Tuhan, berbuat baik pada sesama, bukanlah kewajiban (perintah) yang datang dari 127 Tuhan, melainkan diri sendiri yang mewajibkan yang merupakan kesadaran pribadi.

Hal ini identik dengan ajaran Serat Wedatama, yang beragnggapan ada dua bentuk ancaman besar yang mendasari sikap kewaspadaan (eling lan waspada), karena dapat menghancurkan kaidah-kaidah kemanusiaan, yakni; hawanepsu dan pamrih. Manusia harus mampu meredam hawa nafsu atau nutupi babahan hawa sanga. Yakni mengontrol nafsu-nafsunya yang muncul dari sembilan unsur yang terdapat dalam diri manusia, dan melepas pamrihnya.

Sebenarnya jauh lebih sulit dan berat membebaskan diri dari perbudakan hawa nafsu benda-benda duniawi, dari pada perbudakan oleh orang atau bahkan bangsa lain. Karena agen-agennya ada dalam pikiran sendiri. Keinginan itu adalah agen licik dan licin, bergerak secara halus dan tersembunyi. Prinsip kerja adalah pelayanan dan cinta kasih.

Seeorang pelayan yang bekerja tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau ada rasa ingin dapat upah, kalau demikian namanya juga budak. Pelayan yang tulus sama dengan pengabdi artinya tidak ada tendensi apapun kecuali semua rasa persembahan pada Yang Kuasa. Berdasarkan 128 uraian tersebut di atas maka sifat karmapala adalah abadi, universal, berlaku sepanjang zaman dan sempurna. 5.

Samsara atau Punarbhawa (Tumimbal lahir) Bahasan menganai numitis, atau tumimbal lahir (samsara atau punarbhawa) pada Serat Wedhatama tidak banyak dibahas. Akan tetapi bagi masyarakat Jawa keyakinan akan tumimbal lahir atau numitis itu telah membumi dikalangan orang tua atau paham kejawen. Keyakinan akan adanya kelahiran, hidup dan mati secara berulang-ulang yang dialami oleh seseorang sesungguhnya suatu penderitaan yang disebabkan oleh perbuatan masa kehidupan yang lampau. Perbuatan pada masa kehidupan akan membentuk wasana pada badan asalnya, inilah yang menentukan munculnya punarbhawa.

Sesungguhnya ajaran Karma dan Punarbhawa itu keduanya merupakan suatu proses. Keberadaan Punarbhawa hendaklah dipandang sebagai kesempatan untuk melakukan karma yang baik bukan suatu yang negatif. Dengan demikian adanya kelahiran kembali kedunia disebabkan oleh karma/perbuatan yang terdahulu atau yang sekarang.

129 Berkenaan dengan keyakinan adanya punarbawa atau kelahiran kembali Bhagawadgita. IV.5 menjelaskan: “Sri Bhagawan bersabda: Banyak kelahiran yang Ku jalani dan demikian engkau, O Arjuna. Semua kelahiran itu aku ketahui, tetapi engkau tidak dapat mengetahuinya O Arjuna.”

Berdasarkan sloka tersebut walaupun tujuan manusia adalah menghindari kelahiran kembali untuk mencapai tujuan yang tertinggi, maka hendaklah kelahiran ke dunia ini di pandang sebagai suatu kesempatan untuk meningkatkan kesempurnaan hidup guna mengatasi kesengsaraan dan suka duka ini. Manusia yang belum terbebas dari nafsu, kesenangan dan keinginan.

Bila manusia meninggal dengan karma kriyamana, yaitu karma yang dimana akibatnya akan terasa dalam penghidupan kemudian dari manusia maka roh terpaksa akan dilahirkan kembali untuk menanggung akibat dari karma yang pernah dilakukan. Manusia yang meninggal dengan karma kriyamana, ia tidak dapat Moksha. Roh akan selalu dilahirkan dan berada di bumi hingga akhirnya ia akan meninggal sebagai manusia dengan karma yang sesuai, jadi kelahiran kembali adalah akibat dari hukum karma, sedangkan kemampuan dan kepintarannya sebagai manusia dapat dimanfaatkan menghilangkan akibat buruk dari karma.

130 Selama hidup di dunia, manusia memperoleh pengalaman dan pengetahuan, setelah kematiannya, pemikiran dan kemauan yang rendah (mengandung sifat kebinatangan) akan dibersihkan oleh rohnya, dan dalam proses ini maka kemampuan dan pengalaman pemikiran kebinatangannya akan diubah menjadi cara berpikir yang lebih tinggi dari roh kerohaniaannya. Dalam proses peralihan roh (jiwa) kerohanian, roh kebinatangan yang ada ditakdirkan dibawa ke dunia kelangitan dan secara perlahan musnah disana.

Akhirnya, jiwa kebinatangan dan pemikirannya akan hilang sebagai bayangan. Intinya selama manusia masih terikat hukum karma, oleh kesenangan duniawi, kemelekatan selama itu harus mengalami kelahiran yang berulang-ulang terus menerus. Hal ini sesuai dengan kitab Swetadwatara Upanisad, V.12, “Atman yang berinkarnasi sesuai dengan sifat dan karmanya, memilih sebagai tubuhnya wujud yang kasar atau halus.

Dia menjadi tampak berkeadaan berbeda dari satu inkarnasi ke inkarnasi berikutnya (Sudirga, dkk,2013:8). Hanya Tuhanlah yang mengetahui tentang kelahiran yang berulang-ulang itu, sedangkan manusia tidak mengetahui karena kegelapannya (awidya). Keberadaan punarbhawa 131 hendalah dipandang sebagai kesempatan untuk melakukan karma yang baik, bukan sesuatu yang negatif, sehingga dengan demikian akan terwujudlah kehidupan yang seimbang. 6.

Moksa Manusia hidup mempunyai tujuan, jika manusia hidup tidak mempunyai tujuan layaknya berlayar tanpa arah dan terombang-ambing di tengah lautan yang penuh badai. Tujuan hidup seperti yang digariskan dalam Serat Wedhatama adalah memperoleh penyatuan dengan Zat Yang Agung. Jika tujuan hidup tercapai maka atman/jiwa tersebut akan mengalami kebebasan.

Kebebasan itu akan bisa dicapai jika bisa keluar dari katan-ikatan batas-batas hukum, melampaui dari batas-batas sebab akibat. Pemahaman seperti itu menunjukkan bahwa apa yang menjadi sehat antar awal-akhir hidup ialah diri sendiri (Kusumajaya, 2003: 31) Untuk mencapai kemanggulangan antara hamba dan Tuhan (Manunggaling Kawula Gusti) manusia harus mengatasi belenggu yang mengikat setiap individu dengan eksistensi fenomenal, seperti nafsu dan rasionalitas duniawi, yang menggiring manusia pada persepsi yang menyesatkan tentang kebenaran.

Seorang yang ingin mencapai kemanunggalan 132 (ahli mistik) harus bisa mengatasi egoismenya, bebas dari pamrih dalam melaksanakan kehidupannya (Zoet Mulder, 2001:101). Kemampuan untuk memiliki sikap-sikap semacam itu dapat diperoleh dengan hidup sederhana dalam arti yang sesungguhnya, hidup bersih, tetapi juga kemampuan untuk berkonsentrasi dengan jalan pengendalian diri dan melakukan berbagai latihan semedi.

Melalui latihan semedi diharapkan agar orang dapat membebaskan dirinya dari keadaan sekitarnya, sehingga hal ini dapat memberikan keheningan pikiran, dan membuatnya mengerti dan menghayati hakekat hidup serta keselarasan antara kehidupan rohaniah dan jasmaniah. Apabila orang sudah bebas dari beban kehidupan duniawi, maka orang itu setelah melalui beberapa tahap berikutnya, yang pada saatnya akan dapat bersatu dengan Tuhan (pembimbing kawula Gusti, atau Manunggaling Kawula Gusti (Koentjoroningrat. 1994:404).

Serat Wedhatama mengungkapkan tentang landasan mengenai unsur fundamental realitas kehidupan yakni terkandung dalam pupuh pangkur bait ke 12 sebagai berikut: Sapantuk wahyuing Allah Gya dumilah mangulah ngelmu bangkit 133 Bakat mikat reh mangukut, Kukutaning jiwangga yen mangkono kena sinebut, wong sepuh Lire sepuh sepi hawa, Awas loroning atunggil Terjemahannya: Barang siapa mendapatkan wahyu Illahi ia akan segera memiliki kemampuan yang cemerlang dan mempelajari ilmu.

Dan ia akan mampu mendapatkan dan mengatasi tata tertib bersamadi. Manusia yang demikian keadaannya baru dapat dikatakan sebagai juga sebab-sebab yang dimaksudkan dengan tua itu (haruslah mengandung makna) telah terbebas dari hawa nafsu dan waspada terhadap adanya dua macam unsur yang sebenarnya merupakan dwi tunggal (Mangkunegara, K.G.P. A. A,1978:88).

Berorientasi isi pupuh Pangkur di atas maka jelaslah bahwa menurut Serat Wedatama unsur fundamental daripada kenyataan itu adalah yang disebut jiwangga. Jiwangga adalah kependekan dari dua perkataan dalam bahasa Jawa “jiwa” dan “angga” yang artinya yakni jiwa dan raga atau badan. Dalam pupuh tersebut juga dijelaskan sekaligus, bahwa kedua unsur 134 fundamental ini meskipun bagi orang kebanyakan atau pada umumnya kelihatan sebagai dua, namun bagi orang bijaksana sebenarnya dapat diketahui sebagai tunggal. Jadi yang dua unsur tersebut dengan demikian sebenarnya merupakan satu hal juga.

Dalam peristilahan Wedhatama disebut loroning manunggal (monodualisme) (Mangkunegara, K. G. P. A. A, 1978:89). Dalam penghayatan paham Manunggaling Kawula Gusti menjadi tujuan hidup bagi orang yang bijaksana, hal ini diungkapkan dalam pupuh pangkur bait 13 yang artinya sebagai berikut: Agar tiada ragu terhadap bersatunya sukma penghayatan ini terbuka di dalam penyepian tersimpan didalam kalbu.

Adapun proses terungkapnya tabir (penutup alam gaib) laksana terlintasnya dalam kantuk bagi orang yang sedang mengantuk penghayatan gaib itu datang laksana hiasan mimpi (K.G.P.A.A. Mangkunegara IV, 1978:89). Dari ungkapan diatas, Serat Wedhatama mengandung paham kesatuan manusia dengan Tuhan. Manunggaling Kawula Gusti dapat berarti beradanya manusia dalam Tuhan.

Disanalah tempatnya yang sejati kesanalah ia harus kembali, oleh manusia ia seolah-olah berada diluar Tuhan. Dalam paham adalah bukan Tuhan, tetapi juga bukan dari pada Tuhan. 135 Selanjutnya dalam pupuh gambuh bait 20, 21 dan 22 diterangkan tentang penghayatan terhadap Tuhan sebagai berikut: Menjadi nyata (antara Tuhan dan manusia) adalah saling cukup mencakup. Kerajaannya telah tercakup dalam diri akan tetapi lain juga dikuasai oleh Dzat yang laksana bintang gemerlapan (K.G.P.A.A.

Mangkunegara IV, 1978:104). Dalam penghayatan penyatuan dengan Tuhan diatas tampak apabila rasa was-was telah hilang, yang ada hanyalah yakin dan percaya akan berlakunya takdir Tuhan. Banyak istilah-istilah yang dipakai dalam mistisisme untuk menamai pengalaman mistik ini seperti, Pamoring Kawula Gusti, Jumbuhing Kawulo Gusti, Curiga Manjing Warangka, Warangka Manjing Curiga, union Mystica, Manunggal dan lain-lain.

Dalam pencapaian Manunggaling Kawula Gusti ada suatu tahap yang ingin dicapai manusia kepada level tertinggi yaitu insan kamil dalam konsep Islam, aturan kepercayaan menyebutnya jalma winilis. Kalau dalam konsepsi Jawa menyebutnya (artinya penandhita seorang ilmuwan Barat Tielhard de Chardin memakai istilah titik omega sementara Radhakhishnan menyebutnya dengan istilah Samvadanya (Sujamto, 2000: 69-70).

136 Serat Wedhatama ilmu yang berusaha mencapai penghayatan dengan Tuhan disebut juga “Ngelmu Kang Nyata/Ngelmu Luhung, untuk mempelajari ngalam nyata ini orang harus belajar pada seorang guru yang disebut Sarjana Kang Martapi, yaitu para pertapa yang bijaksana. Dalam Serat Wedhatama dapat kita jumpai suatu ajaran tentang konsep alam semesta yang terbagi menjadi tiga dunia (triloka), ajaran ini merupakan pengaruh dari filsafat Hindu yang mempunyai konsep mengenai dunia, manusia, dunia bawah dan dunia atas, tetapi dalam uraian ini tidak dijelaskan secara pasti, sebagaimana yang tercantum dalam pupuh putjung pada bait ke 2: Angkara gung Neng angga anggung gumulung, Gegolonganira Triloka lekere kongsi, Yen den umbar ambabar dadi rubeda.

Terjemahannya: Nafsu angkara yang besar Didalam diri selalu berkumpul dengan kelompok nafsu Sampai menguasai tiga dunia 137 Bila dibiarkan berkembang menjadi bahaya (K.G.P.A.A, Mangkunegara IV, 1978:106). Berorientasi pada pupuh di atas terdapat suatu peristiwa tentang perlunya pengolahan raga dan pengolahan jiwa, agar tercapainya kesatuan dari ke dalam daya kosmos universal sebagai tujuan untuk mencapai kesempurnaan dan kontrol terhadap sikap individualitasnya.

Tindakan itu berupa pembebasan diri dari belenggu alam empiris (bersifat materi) menuju pada kondisi eksistensial secara transenden, dan terciptanya kesatuan mutlak manusia, yang digambarkan secara emanatif, sebagai penerang (cahaya) dan ia harus kembali ke asalnya (paraninng dumadi) yaitu Dzat kosmos (yang Illahi/mutlak). Untuk mencapainya harus bisa melawan dan melenyapkan ego, yakni perasaan yang menyibukkan dengan hal-hal yang bersifat duniawi dan semu, sehingga menjauhkan dari segala yang konkrit yaitu sang pencipta dunia.

Oleh karena itu harus mencapai kebebasan batin secara sempurna, yaitu dari material menuju tingkatan menjadi diri mutlak yang identik dengan ada mutlak (kenyataan hidup sejati) (Subagya,1989: 89). Selanjutnya pembahasan mengenai theologi terkait keyakinan pada moksa (Manunggaling Kawula Gusti) dalam 138 Serat Wedhatama akan lebih rinci dibahas pada Bab VI bagian Manunggaling Kawula Gusti.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pokok-pokok ajaran teologi dalam Serat Wedatama adalah keyakinan Tuhan merupakan suatu Dzat yang mutlak, adanya sumber kehidupan yang menghidupi manusia, sebagai penyebab dari segala sesuatu sehingga terciptalah makhluk dan dunia seisinya, dan Dialah pengatur segala alam ini karena Tuhan mempunyai sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh siapapun.

Tuhan bersemayam (imanen) dalam diri manusia, sehingga tujuan hidup tertinggi bagi manusia adalah mencapai penghayatan Manunggaling Kawula Gusti (kesatuan hamba dengan Tuhan). Kehidupan yang dijalani oleh manusia pada saat ini didunia adalah bersifat sementara (fana) dan manusia akan menuju pada kehidupan selanjutnya yang bersifat abadi yaitu alam suwung yakni alam dimana tempat kembali dan bersemayamnya Tuhan, disana manusia akan mempertanggung jawabkan selama hidup didunia.

139 TUJUAN HIDUP DALAM SERAT WEDHATAMA 1. Manunggaling Kawula Gusti dalam Masyarakat Kejawen Di Jawa, pada jaman sebelum berkembangnya agama Islam, orang-orang Jawa hidup dengan kepercayaan kebatinan spiritual kejawen (kejawaan), yang sebagian juga mengadaptasi ajaran agama Hindu dan Budha. Mereka percaya akan keberadaan Roh Agung Alam Semesta (sekarang disebut Tuhan).

Mereka menjalani suatu laku untuk menyelaraskan rasa kebatinan mereka dan hidup mereka dengan kearifan sifat-sifat Tuhan. Mereka juga menyelaraskan hidup mereka dengan keserasian alam (termasuk dengan roh-roh halus). Tujuan tertinggi penghayatan kepercayaan mereka adalah penyatuan dengan Tuhan, selain supaya hidup mereka di dunia diberkahi, juga supaya nanti sesudah kematian mereka dapat kembali menyatu dengan Tuhan.

Ajaran-ajaran dalam kebatinan spiritual kejawen tersebut mengajarkan kepercayaan kepada Tuhan dan mengarah pada ajaran Kemanunggalan seperti tersebut di atas, misalnya ajaran Manunggaling Kawula Lan Gusti, Sangkan Paraning 140 Dumadi, Sukma Sejati, dan sebagainya, yang mengajarkan kesejatian diri sebagai manusia dan penyembahan kepada Roh Agung Alam Semesta (Tuhan).

Mereka yang sangat dalam menekuni penghayatan kebatinan kejawaan itu memiliki tingkat kekuatan sukma yang tinggi sekali, sehingga bila pada masa sekarang orang percaya/tidak percaya ketika mendengar istilah moksa, pada masa itu seorang tokoh kebatinan yang melakukan moksa adalah suatu hal yang biasa. Dalam ajaran-ajaran kejawen tersebut manusia diajak mendekatkan diri kepada Tuhan, menyelaraskan sifat-sifat manusia dengan sifat-sifat Tuhan, bersandar dan menyelaraskan diri dengan kuasa Tuhan, dan diajak untuk melepaskan diri dari belenggu duniawi, melepaskan sifat-sifat tamak dan serakah iri hati dan segala sifat keegoisan atau keakun pada kepemilikan duniawi yang dapat mengotori kesucian hati dan batin manusia.

Ajaran ini didasarkan pada kepercayaan untuk kembali pada kemurnian jati diri dan sifat-sifat manusia yang murni, sejati sesuai kehendak Tuhan pada saat penciptaan manusia. Ajaran-ajaran kejawen menekankan penghayatan keyakinan bahwa dalam diri manusia sebenarnya sudah 141 terkandung roh agung ciptaan Tuhan yang berbeda dengan roh-roh lain, hanya saja dalam kehidupan sehari-hari manusia terlalu larut dalam hidup keduniawian, sehingga menjauhkan roh manusia dari Roh Tuhan.

Manusia lebih dekat dengan duniawinya, sehingga jauh dari penciptanya. Banyaknya pengkultusan di dalam kehidupan beragama justru semakin menjauhkan manusia dari Tuhan, menjadikan Tuhan semakin jauh untuk dijangkau, sehingga dianggap mustahil manusia dapat mengenal Tuhan secara langsung, dan mendorong manusia untuk mengedepankan agama dan ibadah formal, bukan Ketuhanan.

Kebatinan Jawa pada dasarnya adalah pemahaman dan penghayatan kepercayaan manusia Jawa terhadap Tuhan, yang kemudian diajarkan turun-temurun menjadi tradisi dan warisan budaya leluhur sejak jaman kerajaan purba, jauh sebelum hadirnya agama Hindu-Budha dan Islam di pulau Jawa. Penghayatan keTuhanan itu bukanlah agama. Agama bisa apa saja, tetapi masyarakat Jawa mempunyai penghayatan sendiri tentang Tuhan.

Agama Hindu dan Budha yang telah lebih dulu masuk ke Jawa telah diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa dan mewarnai sikap kebatinan Jawa, karena memiliki banyak kesamaan dengan spiritualisme Jawa. 142 Kebatinan Jawa (Kejawen) pada dasarnya adalah sebuah kepercayaan ketuhanan, bukan agama, dan kepercayaan ketuhanan kejawen itu tidak membutuhkan kitab suci, karena pendekatan mereka kepada Tuhan dilakukan secara langsung dan pribadi, dengan rasa, dengan batin, tidak mendasarkan diri pada ajaran sebuah kitab suci.

Dan pengertian umum Manunggaling Kawula Lan Gusti dalam konsep kejawen adalah hubungan manusia dengan Tuhannya secara langsung dan pribadi, melalui olah rasa dan batin manusia berusaha mengenal Tuhan dan menyatu secara langsung, tidak melalui nabi-nabi seperti halnya agama modern. Dengan demikian terdapat perbedaan yang signifikan antara agama modern dengan ketuhanan kejawen.

Penganut agama modern menggunakan ajaran-ajaran dalam kitab sucinya sebagai sumber pengetahuan mereka tentang Tuhan dan menjadi acuan peribadatan mereka. Semua keharusan dan larangan di dalam kitab suci harus dipatuhi, menjadi dasar peribadatan yang tidak boleh dilanggar. Pengenalan dan pengetahuan mereka tentang Tuhan umumnya hanyalah sebatas apa yang sudah tertulis dan diajarkan dalam kitab suci dan agama mereka saja, tidak lebih, dan tidak boleh 143 menyimpang dari itu, yang kemudian banyak memunculkan dogma dan doktrin dan pengkultusan tentang Tuhan, tentang pahala dan dosa, surga dan neraka, sehingga menjadi umum bahwa kemudian mereka akan meninggikan agama, bahkan mempertuhankannya, lebih daripada mereka mempertuhankan Tuhan.

Sedangkan penganut ketuhanan kejawen berusaha menyelaraskan kehidupan mereka sesuai penghayatan ketuhanan mereka masing-masing untuk mendapatkan jalan menuju Manunggaling Kawula Lan Gusti. Para pelaku kejawen tersebut, yang sangat dalam menekuninya, menemukan suatu kekuatan yang mengalir di dalam tubuh mereka, yaitu kekuatan Sukma Sejati, roh agung yang diciptakan Tuhan dalam pribadi manusia, kekuatan yang sama sekali berbeda dengan kekuatan tenaga dalam kanuragan, tetapi kekuatan ini jauh lebih kuat daripada tenaga dalam. Kekuatan ini tidak dapat dipelajari dengan cara latihan fisik ataupun olah nafas.

Kekuatan ini terbangkitkan ketika seseorang mesu raga, mengesampingkan kekuatan biologis dan hasrat keduniawian. Kekuatan ini berasal dari jiwanya yang paling dalam, dari jiwa yang menyembah Tuhan. Orang-orang yang menekuni kebatinan, perhatian kebatinan mereka 144 lebih ditujukan "ke dalam" (ke dalam batin sendiri), berupa penghayatan kebatinan yang juga menyentuh relung batin yang paling dalam, jiwanya, sukmanya, sehingga proses laku mereka "membangunkan" inner power, yaitu kekuatan dari batin, jiwa, sukma.

Dan kekuatan kegaiban sukma pada diri mereka jelas berbeda dibandingkan orang-orang lain yang tidak menekuni kebatinan. Ketika kekuatan itu menyatu dengan diri seseorang, maka kekuatan dari niat batin dan kehendaknya bisa menjadikan suatu kejadian gaib, tanpa perlu amalan gaib atau aji-aji. Kegaiban seorang linuwih dan waskita.

Dan semua perkataannya jadi! Dan ketika kekuatan itu menyatu dengan kesaktian fisiknya, maka sulit sekali ada orang yang dapat menandinginya, karena kesaktiannya menjadi berlipat-lipat ganda kekuatannya setelah dilambari dengan kekuatan sukmanya. Sekalipun seseorang tidak memiliki ilmu kesaktian kanuragan, tetapi kekuatan fisiknya akan menjadi jauh lebih kuat ketika dilambari dengan kekuatan sukmanya, suatu kekuatan yang jelas tidak semata-mata berasal dari kekuatan fisiknya.

Seseorang yang menekuni dan mendalami ajaran ini biasanya akan memiliki kegaiban dan kekuatan sukma yang tinggi, yang berasal dari penghayatan kebatinan dan keselarasan sukmanya dengan 145 kemaha-kuasa-an Tuhan, menjadikan mereka memiliki kegaiban tinggi sebagai orang-orang yang linuwih dan waskita. Mereka membentuk pribadi dan sukma yang selaras dengan keillahian Tuhan.

Mereka membebaskan diri dari belenggu keduniawian, sehingga berpuasa dan berprihatin tidak makan dan minum berhari-hari bukanlah beban berat bagi mereka, dan melepaskan keterikatan roh mereka dari tubuh biologis mereka, kemampuan melolos sukma, bukanlah sesuatu yang istimewa. Bahkan banyak di antara mereka yang kemudian moksa, bersama raganya berpindah dari alam manusia ke alam roh tanpa terlebih dahulu mengalami kematian.

Pengetahuan dan ajaran tentang Sedulur Papat Kalima Pancer, Manunggaling Kawula Lan Gusti, Sangkan Paraning Dumadi, Sukma Sejati, Guru Sejati, dan sebagainya, sebenarnya adalah puncak-puncak dari keilmuan kebatinan dan spiritual jawa, jauh sebelum datangnya agama Islam di pulau Jawa. Konsep-konsep tersebut adalah terminologi asli kejawen dan adalah hasil pencapaian kebatinan dan spiritual tokoh-tokoh kejawen, yang kemudian diajarkan kepada para pengikutnya, dan akhirnya berkembang menjadi ajaran 146 kebatinan jawa atau menjadi kerohanian kejawen.

Istilah kebatinan Manunggaling Kawula Lan Gusti, yaitu ajaran penghayatan penyatuan dan keselarasan manusia dengan Tuhan, adalah istilah di dalam kepercayaan kebatinan jawa dan menjadi tujuan dari laku penghayatan kepercayaan kejawen. Istilah itu menjadi populer setelah digunakan oleh Syech Siti Jenar dalam ajaran kebatinan Islam jawa, karena saat itu bertentangan dengan pendapat Sunan Kudus yang menganggap ajaran itu bukan murni ajaran Islam.

Dalam hal ini Syech Siti Jenar sebagai seorang pemuka agama Islam dianggap telah mengajarkan ajaran yang bukan asli ajaran Islam, menyimpang dari ajaran Islam yang benar, dan dianggap sesat. Syech Siti Jenar pada dasarnya adalah seorang ulama / pengajar agama Islam yang datang dari luar Jawa. Pengetahuan kebatinan kejawen dipelajarinya dari Ki Ageng Pengging, dan yang dipelajarinya hanyalah intisarinya saja, untuk menambah wawasan kebijaksanaannya tentang kejawaan dan menambah kedalaman kebatinan ketuhanannya. Ajaran kejawen itu pada dasarnya adalah ajaran penghayatan ketuhanan dari sudut pandang orang Jawa.

Dan atas pemahamannya pada ajaran kebatinan ketuhanan kejawaan itu 147 Syech Siti Jenar menemukan banyak pencerahan mengenai agamanya sendiri, agama Islam, mendapatkan sudut pandang lain tentang pemahaman ketuhanan yang tidak akan didapatkannya jika hanya mengikuti tata cara Islam seperti yang selama ini dijalaninya. Kebatinan Jawa pada dasarnya adalah pemahaman dan penghayatan kepercayaan manusia Jawa terhadap Tuhan, yang kemudian diajarkan turun-temurun menjadi tradisi dan warisan budaya leluhur sejak jaman kerajaan purba, jauh sebelum hadirnya agama Hindu-Budha dan Islam di pulau Jawa. Penghayatan ketuhanan itu bukanlah agama.

Agama bisa apa saja, tetapi, di samping ajaran ketuhanan dalam agamanya, masyarakat Jawa mempunyai penghayatan sendiri tentang Tuhan. Agama Hindu dan Budha yang sudah lebih dulu masuk ke Jawa telah diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa dan mewarnai sikap kebatinan Jawa, karena memiliki banyak kesamaan dengan kebatinan dan spiritualisme Jawa.

Pemahaman yang dalam mengenai ketuhanan Islam setelah menjalani laku penghayatan kebatinan ketuhanan cara Jawa telah memperkaya wawasan ketuhanan Syech Siti Jenar dan menjadi bahan untuk mengajarkan agama Islam di pulau Jawa. Semua pengetahuan itu berguna dalam 148 mengadaptasikan ajaran Islam kepada masyarakat jawa pada saat itu yang mayoritas adalah penganut kejawen, dan berguna untuk bertukar pikiran atau berdebat tentang ketuhanan dan agama, tetapi selain itu laku penghayatan kebatinan itu juga telah menambah tinggi kekuatan kebatinan dan kegaiban sukma Syech Siti Jenar sendiri. Di Jawa ada seorang pertapa / panembahan yang dahulu hidup pada jaman kerajaan Kediri.

Beliau adalah salah satu orang yang menekuni ketuhanan kejawaan di atas. Beliau juga moksa. Tetapi tidak seperti manusia moksa yang lain, beliau, karena kekuatan ilmunya, dapat bebas keluar masuk alam manusia dan alam gaib. Ketika masuk ke alam manusia, beliau benar-benar berwujud manusia berdaging. Ketika masuk ke alam gaib, beliau akan sama dengan sukma / roh manusia yang lain.

Tidak seperti roh manusia lain yang sudah menerima hidupnya sebagai roh, beliau aktif mencari keberadaan Tuhan dan mengejar kesempurnaan menyatunya dirinya dengan Tuhan. Dari dulu sampai sekarang sudah banyak tokoh keagamaan di alam roh (almarhum) yang ditemuinya, tetapi tidak ada satu pun yang dapat menyempurnakan penyatuannya dengan Tuhan.

Begitu juga ketika hadir dalam sosok manusianya di alam manusia yang masih hidup, tidak 149 ada satu pun yang ditemuinya dapat mengantarkan dirinya menyatu dengan Tuhan. Mungkin suatu saat kita sendiri dapat bertemu dengan beliau, di kehidupan yang sekarang atau nanti di kehidupan setelah kematian. Ini adalah salah satu contoh kuatnya keyakinan kepercayaan manusia kepada Tuhan.

Tetapi manusia dengan usahanya sendiri tidak dapat mencapai Tuhan, dan Tuhan juga tidak menunjukkan kesejatianNya kepada semua orang, kecuali kepada orang-orang tertentu saja yang Dia berkenan. Bagi mereka yang mempelajari atau diberi ilmu-ilmu gaib, sudah umum bila mereka berkaitan dengan gaib, ada penyatuan secara langsung maupun tidak langsung, antara dirinya dengan gaibnya.

Gaib itu bisa menjadi khodam pendamping, ataupun dihadirkan untuk diperintah melaksanakan tujuan dari ilmu gaibnya, seperti untuk keselamatan, kekuatan / kesaktian, pelet, santet, guna-guna, pengasihan, penglaris dagangan. Jenis-jenis ilmu inilah yang biasa disebut sebagai ilmu khodam, yaitu yang menggunakan jasa mahluk gaib lain (khodam ilmu / prewangan) sebagai kekuatan ilmunya.

Tingkat kemanjuran ilmunya tergantung pada tingkat penyatuan seseorang dengan khodamnya dan kekuatan dari khodamnya itu sendiri. Di beberapa tempat di 150 Indonesia juga kerap terdengar cerita tentang seseorang yang ketempatan sesuatu roh, yang kemudian menyebabkan orang tersebut dapat melakukan perbuatan-perbuatan ajaib di mata umum. Biasanya roh yang datang kepadanya itu adalah khodam dari leluhurnya yang merasa cocok dengannya dan mengikut.

Khodam itulah yang menyebabkannya dapat melakukan perbuatan-perbuatan ajaib yang sebelumnya sama sekali tidak dapat dilakukannya, seperti mengobati / menyembuhkan orang sakit secara gaib, meramal, dsb. Roh gaib tersebut menyatu dengan orang tersebut, sehingga kekuatan ilmunya menjadi sebanding dengan roh tersebut. Di negara India dan sekitarnya, yang hingga saat ini masih tetap merupakan wilayah dengan budaya kebatinan dan spiritual nomor 1 tertinggi di dunia, ada banyak ajaran tentang Kemanunggalan manusia dengan Sang Penguasa Alam, bentuknya adalah ajaran penyatuan dan pemujaan kepada Dewa-Dewa India, yang mereka percayai sebagai figur-figur yang mewakili Sang Penguasa Alam, dan menempatkan hidup mereka di bawah naungan para Dewa.

Di wilayah itu juga ada banyak sekali ajaran ilmu khodam, yaitu penyatuan manusia dengan roh lain sebagai kekuatan ilmunya. Penyatuan yang paling tinggi antara manusia dengan roh lain adalah berupa 151 penitisan roh Dewa ke dalam diri seseorang, seperti penitisan Dewa Wisnu ke dalam pribadi Prabu Kreshna (Dewa Wisnu juga pernah menitis ke dalam diri Prabu , raja kerajaan Kediri, dan Prabu Siliwangi, raja kerajaan Pajajaran).

Penyatuan itu menghasilkan kesaktian dan kewaskitaan yang luar biasa, bahkan semenjak si manusia tersebut masih kecil dan belum belajar ilmu kesaktian. Penyatuan dari penitisan ini merupakan bentuk kesaktian kemanunggalan tertinggi yang diketahui manusia, kecuali ada penitisan roh duniawi lain yang lebih sakti dari dewa.

Budha Gautama adalah seorang bangsawan yang telah meninggalkan keduniawiannya untuk menjalani panggilan hidup sebagai seorang spiritualis yang akan menerangi orang lain agar menjadi lebih baik kualitas kepribadiannya sebagai manusia. Seorang spiritualis sejati, yang karena panggilan hidupnya, beliau telah meninggalkan segala pamrih duniawi dan menjalani berbagai macam laku tirakat dan prihatin untuk mencapai tujuannya.

Beliau telah mencapai tahapan "Pencerahan" setelah mengenal sifat-sifat Tuhan dari "Cahaya-Nya” dan karenanya kemudian juga mengetahui banyak rahasia kehidupan, sehingga menjadi seorang yang "Tercerahkan" dan beliau mendedikasikan diri sesuai panggilan hidupnya. 152 Sesuai pencapaiannya itu juga segala keilmuan kesaktian kanuragan, kebatinan dan spiritualnya menjadi bertumbuh-bertambah, karena beliau telah menguasai aspek filosofis dari keilmuannya, menjadi seorang yang digdaya, linuwih dan waskita, jiwa dan raganya.

Karenanya, beliau menjadi seseorang yang memiliki kesaktian "super" dibandingkan manusia lain, semasa hidupnya di dunia maupun sukmanya setelah hidup di alam roh. Dan atas dedikasinya pada panggilan hidupnya itu menjadikannya seseorang yang memiliki hikmat kebijaksanaan kesepuhan yang digunakannya untuk menerangi dan mengayomi orang lain.

Banyak pengikutnya yang meneladani hidupnya dan melaksanakan keagamaan dan meditasi sesuai ajarannya untuk juga dapat mencapai tahapan "Pencerahan", dan beberapa di antaranya sudah berhasil mencapai tingkatan Budha. Tetapi ajarannya itu adalah untuk mendapatkan pencerahan, bukan untuk manunggal dengan Tuhan. Berbagai bentuk ajaran dan keilmuan tersebut di atas, sekalipun terkait dengan ajaran ketuhanan, tingkatannya belum dapat menyamai tingkatan kemanunggalan Manunggaling Kawula Lan Gusti yang sempurna seperti dimaksudkan disini. 153 2.

Sangkan Paraning Dumadi Keyakinan dalam masyarakat mengenai konsep Ketuhanan adalah berdasarkan sesuatu yang riil atau “kesunyatan” yang kemudian di realisasikan dalam peri kehidupan sehari hari dan aturan positip agar masyarakat Jawa dapat hidup dengan baik dan bertanggung jawab. Hubungan manusia dengan Tuhan, di dalam budaya Jawa diekspresikan dalam kehidupan seorang individu dengan orang tua.

Ini dilakukan karena Tuhan sebagai pusat dari segala kehidupan tidak dapat diraba, tidak dapat dilihat dan hanya dapat dirasakan. Oleh karena penghormatan terhadap Tuhan dilakukan dengan bentuk-bentuk perlambang yang memberikan makna pada munculnya kehidupan manusia di dunia, yaitu orang tua, yang harus dihormati melalui pola ngawula, ngabekti dan ngluhurake tanpa batas waktu. Tuhan merupakan aspek esensial dalam setiap agama.

Oleh karena itu, ilmu tentang Tuhan menjadi tema menarik atau pokok dalam studi agama-agama, baik klasik maupun kontemporer. Apalagi studi agama mendapatkan agama menjadi inti dari kebudayaan yang dipraktekkan dalam dunia sosial. Agama merupakan fenomena sosial kultural sebagai ekpresi religiusitas masyarakat beragama.

154 Konsep dasar penghayatan mahluk yaitu manusia harus mengetahui tujuh sifat Kang Murbeng Dumadi(Tuhan) yaitu: (1) Tuhan itu Esa (Kang Murbeng Dumadi), (2) Tuhan itu bisa mewujud apa saja, tetapi pewujudan itu bukanlah Tuhan. (3) Tuhan Itu ada dimana-mana, maksudnya walau Tuhan ada dimana mana, Tuhan satu juga maksudnya manusia itu dalam lingkupan Tuhan secara jiwa dan raga.

Tuhan ada dalam dirinya tetapi manusia tak merasakanya dengan panca indra, hanya dapat di rasakan dengan “Roso” bahwa dia ada.” (4) Tuhan Itu Langgeng, Tuhan Itu Abadi. dari masal dahulu, sekarang, esok dan sampai seterusnya Tuhan, Gusti Kang Murbeng Dumadi tetaplah Tuhan dan tak akan berubah. (5) Tuhan Itu tidak Tidur “Gusti Kang Murbeng Dumadi ora nyare” maksudnya Tuhan itu mengetahui segalanya dan semuanya, tak ada satupun kata hilaf dan lalai.

(6) Tuhan itu Maha Pengasih, Tuhan Itu Maha Penyayang, maksudnya Tuhan itu maha adil tak membeda bedakan kepada mahluknya, siapa yang berusaha dia yang akan mendapatkan. (7) Tuhan Itu Esa dan Maha Kuasa, apa yang di putuskannya tak ada yang dapat menolaknya. Tuhan adalah “Sangkan Paraning Dumadi”. Ia adalah sang Sangkan sekaligus sang Paran, karena itu juga disebut 155 Sang Hyang Sangkan Paran (Layung kuning, 2013:9).

Ia hanya satu, tanpa kembaran, dalam bahasa Jawa dikatakan Pangeran iku mung sajuga, tan kinembari. Orang Jawa biasa menyebut “Pangeran” artinya raja, sama dengan pengertian “Ida Ratu” di Bali. Masyarakat tradisional sering mengartikan “Pangeran” dengan “kirata basa”.

Katanya pangeran berasal dari kata “pangengeran”, yang artinya “tempat bernaung atau berlindung”, yang di Bali disebut “sweca” Dengan pengertian “” atau “sesuatu yang tak tergambarkan” itu mereka ingin menyatakan bahwa hakekat Tuhan adalah sebuah “kekosongan”, atau “suwung”, Kekosongan adalah sesuatu yang ada tetapi tak tergambarkan. Jadi hakekat Tuhan adalah “kekosongan abadi yang padat energi”, seperti areal hampa udara yang menyelimuti jagad raya, yang meliputi segalanya secara immanen sekaligus transenden, tak terbayangkan namun mempunyai energi luar biasa, hingga membuat semua benda di angkasa berjalan sesuai kodratnya dan tidak saling bertabrakan.

Sang “kosong” atau “suwung” itu meliputi segalanya, “suwung iku anglimputi sakalir kang ana”. Ia seperti udara yang tanpa batas dan keberadaannya menyelimuti semua yang ada, baik di luar maupun di dalamnya. 156 Sedang wujudNYA tak tergambarkan, karena pikiran tak mampu mencapaiNYA dan kata kata tak dapat menerangkanNYA.

Didefinisikan pun tidak mungkin, sebab kata-kata hanyalah produk pikiran hingga tak dapat digunakan untuk menggambarkan kebenaranNYA. Karena itu orang Jawa menyebutnya “tan kena kinaya ngapa” (tak dapat disepertikan). Artinya sama dengan sebutan “Acintya” dalam ajaran Hindu. Terhadap Tuhan, manusia hanya bisa memberikan sebutan sehubungan dengan perananNYA.

Karena itu kepada NYA diberikan banyak sebutan, misalnya: Gusti Kang Karya Jagad (Sang Pembuat Jagad), Gusti Kang Gawe Urip (Sang Pembuat Kehidupan), Gusti Kang Murbeng Dumadi (Penentu nasib semua mahluk), Gusti Kang Maha Agung (Tuhan Yang Maha Besar), dan lain-lain. Sistem pemberian banyak nama kepada Tuhan sesuai perananNYA ini sama seperti dalam ajaran Hindu.

“Ekam Sat Viprah Bahuda Vadanti” artinya “Tuhan itu satu tetapi para bijak menyebutNYA dengan banyak nama” Agama dalam konteks sosial telah mengambil bagian dalam menentuan batas-batas identitas individu dan masyarakat. Agama telah mengambil bagian pada saat yang paling penting pada pengalaman kehidupan manusia. Hal ini 157 berarti bahwa agama bukan hanya mengiat individu dengan yang Adikodrati, tetapi juga manusia satu dengan manusia lainnya sehingga agama berhimpitan dengan kehidupan sosial. Kata Tuhan merujuk kepada suatu zat abadi dan supranatural, biasanya dikatakan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta atau jagat raya.

Hal ini bisa juga digunakan untuk merujuk kepada beberapa konsep-konsep yang mirip dengan ini misalkan sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam semesta, di mana keberadaan-Nya membuat alam semesta ada; sumber segala yang ada; kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup; atau apapun yang tak bisa dimengerti atau dijelaskan.

“Tuhan” merupakan satu dari sekian banyak ekspresi puitis tentang suatu nilai yang tertinggi dalam sejarah kemanusiaan (Fromm, 2002: 21). Tuhan semula diakui sebagai prinsip dasar dalam memahami semua hukum alam dan pikiran manusia (Jacobs, 2002: 72). Namun dalam perkembangan selanjutnya Tuhan dijadikan sebagai “Dugaan sementara” yang kadang tidak dibutuhkan manusia.

Maka masalah Tuhan dikemukakan berpangkal dari manusia. Dalam sejarah kehidupannya, manusia selalu diwarnai dengan 158 kepercayaan terhadap Tuhan. Kebenaran ungkapan ini dibuktikan dengan tumbuh dan berkembangnya berbagai kepercayaan dan agama yang dianut dan dipeluk oleh umat manusia (homo sapiens) yang pernah hidup di atas bumi dari masa pra sejarah sampai zaman modern (Sukardji, 1993:38).

Setiap agama selalu diajarkan tentang Tuhan sebagai suatu prinsip dasar dari ajaran agama itu sendiri dan Tuhan dinyatakan sebagai pencipta semua yang ada ini. Semua agama prinsip dasarnya adalah keyakinan terhadap Tuhan. Serat Wedhatama yang merupakan salah satu teks kuno Jawa yang berisikan ajaran rahasia, sedikit banyak tentu menjelaskan ajaran mengenai konsep Ketuhanan yang dianut masyarakat Jawa saat itu.

Tuhan yang merupakan sangkan paran hidup manusia haruslah dipatuhi dan dilaksanakan segala perintahnya dan dijauhi segala larangannya, agar kehidupan yang manusia jalani di dunia ini tidaklah menjadi sia-sia. Manusia sebagai makhluk Tuhan tergantung kepada Tuhan hendaklah manusia berserah diri dan berusaha agar manusia mendapat rahmat Tuhan.

Orang Jawa yang terbentuk karena kebudayaan Jawa hasil akukturasi yang mendapat pengaruh filsafat Hindu dan 159 filsafat Islam (Satoto,1985:72), meyakini terhadap Tuhan sebagai Sang Pencipta, karena dialah penyebab dari segala kehidupan, dunia dan seluruh alam semesta dan mengakui hanya ada satu Tuhan (ingkang Maha Esa). Tuhan biasa sebut Gusti, Tuhan menurut konsepsi agama Jawa, adalah keseluruhan dalam alam dunia ini, yang dilambangkan dengan wujud suatu makhluk Dewa yang sangat kecil sehingga setiap waktu dapat masuk ke dalam hati sanubari orang.

Tetapi Tuhan sekaligus juga besar dan luas seperti samudra, tidak berujung dan tidak berpangkal seperti angkasa, dan terdiri dari semua warna yang ada di dunia ini. Pandangan orang Jawa ini sifatnya pantheistis, Pandangan ini sebenarnya lebih tepat disebut pandangan theopanstis seperti yang disebut oleh ahli kesusastraan Hindu Vath, ia menyarankan agar perbedaan antara pandangan pantheistis dan pandangan theopanstis ialah bahwa yang pertama “Semua adalah Tuhan”.

Sedangkan, yang kedua adalah “Semua menjadi Tuhan.” Ahli kesusastraan Jawa PJ. Zoetmoelder, yang telah mengajarkan perbedaan itu menggunakan istilah pantheistis untuk kedua-duanya. (Koentjaraningrat, 1994: 323). 160 Konsep keagamaan Jawa mengenai Tuhan dilambangkan sebagai Dewa Suci diadopsi oleh para pemuka agama dan para cendekiawan dan orang-orang yang selama kekuasaan Islam masuk ke pulau Jawa dan menulis kesusasteraan Jawa dengan unsur-unsur agama Islam di Mataram antara abad ke-16 dan abad ke-18.

Kesusasteraan ini terdiri dari Serat Centhini, Dewa Ruci, Serat Darmo Gandhul, Serat Wedhatama dan Serat Gatholoco (Koentjaraningrat, 1994: 324). Dalam Serat Wedhatama uraian tentang Tuhan, yakni mengenai zat, sifat, asma dan af?alnya, sesungguhnya hampir tidak disinggung secara jelas. Namun penyebutan Tuhan sebagai Dzat yang mutlak disini menggunakan istilah yang berbeda-beda, sesuai dengan konteksnya.

Seperti yang diungkapkan dalam pupuh pucung bait ke 12: Bathara gung Inguger graning jajantung Jenek Hyang Wisesa Sana pasenedan suci Nora kaya si mudha mudhar Angkara Terjemahannya: 161 Yang maha baik di tempatkan di Dalam hati, yang maha kuasa Kerasan ditempat peristirahatan Yang suci. Tidak seperti ulah Si muda yang menuruti nafsu angkara (Mangkunegara IV, 1979: 110).

Kata Bathara gung pada ungkapan diatas merupakan nama lain untuk penyebutan Tuhan yang berada pada disetiap manusia, sehingga Tuhan Maha Mengetahui apapun yang diperbuat oleh hambanya didunia. Oleh karena itu segala perbuatan dan tingkah laku manusia haruslah diniatkan kepada Tuhan sebagai penghambaan dirinya kepada sang pencipta yang menguasai segala sesuatu.

Dalam pupuh pucung bait ke 11 diterangkan: Lila lamun kelangan nora Gegetun, trima yen ketaman Sakserik sameng dumadi Tri legawa nalangsa ing Bathara Terjemahannya: Rela apabila kehilangan tidak Masygul (kecewa), menerima (sabar) bila Mendapat sesuatu yang menyakitkan 162 Hati dan orang lain, Tiga: ikhlas, menyerahkan Kepada Tuhan (Mangkunegara IV, 1979: 110).

Maksud dari bait diatas adalah manusia adalah makhluk Tuhan dan segala sesuatu yang terjadi pada alam ini dan manusia tergantung kepada Tuhan. Oleh karena itu manusia harus berserah diri, sabar dan ikhlas dalam menjalankan kehidupan ini, manusia dilarang berputus asa apabila segala keinginannya tidak tercapai karena semuanya adalah milik Tuhan.

Manusia hanya wajib berusaha dan sabar menjalankan perintah Tuhan tetapi segala keputusan diserahkan dan mutlak ada di tangan Tuhan Yang Esa. Kemutlakan Tuhan dalam Agama Hindu dapat kita rujuk dalam Advaita Vedanta yang diajarkan oleh Adi Sankaracarya melalui mahawakya yang terkenal “Brahma Satyam Jagat Mithya jivo brahmaiva na aparah” yang berarti bahwa Brahman (Tuhan) itu satu, Tuhan dan alam semesta ini tidaklah berbeda.

Tuhan adalah mutlak, adanya Tuhan ialah karena dirinya sendiri. Dia tidak terikat dan tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain, Aristoteles seorang filsuf Yunani menyebut Tuhan dengan istilah Causa Prima, yaitu sebagai penyebab pertama yang sifatnya sangat general atau mover unmover, penggerak yang tidak digerakkan.

Dia tidak 163 menyebabkan segala sesuatu akan tetapi yang menjadikan akibat dan sebab. Tuhan tidak terperikan oleh dan dengan segala sesuatu predikat apapun, karena ia tunggal. Dia adalah ada mutlak dan tunggal, maka sudah semestinya ada adanya oleh adanya Tuhan, dan tentunya ada adalah tunggal.

Secara hakiki, bahwa ada bukanlah yang berganda atau jamak. Jadi dari yang tunggal mengalir yang ada tunggal, meskipun tampak sebagai kejamakan. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa didalam Tuhan terdapat sesuatu keanekaan yang tidak bertentangan dengan ketunggalannya, dalam hal ini yang dimaksud adalah keanekaan logis dan berkaitan dengan yang dapat diungkapkan mengenai ada yang tunggal, tanpa menghancurkan ketunggalan tersebut.

Tuhan merupakan kenyataan tertinggi dan mutlak dalam dirinya serta untuk dirinya sendiri. Dia merupakan Dzat yang menjadi sebab bagi akibat dan sebab-sebab berikutnya. Sehingga Dia dipandang pula sebagai awal dari yang awal dan yang akhir. Adanya berbagai macam istilah yang digunakan untuk penyebutan Tuhan dan Serat Wedatama seperti diuraikan pada bab V dikarenakan sesuai dengan tingginya kebudayaan Jawa dan khazanah bahasa Jawa yang amat kaya dan halus 164 sehingga peristilah untuk penyebutan Tuhan disesuaikan dengan situasi dan kondisi batin hambanya dalam penghayatan kepada Tuhan yang dianggap sebagai suatu Dzat mutlak.

Eksistensi Tuhan bersifat abadi dan tidak pernah berhenti, sehingga Tuhan sesungguhnya tidak pernah berhenti untuk mencipta dan penciptaan akan terus terjadi, karena penciptaan adalah bagian dari eksistensi Tuhan sendiri. Kerusakan hanya akan terjadi dalam wujud-wujud eksistensinya atau dalam ciptaan-Nya, termasuk manusia sebagai makhluk ciptaannya yang paling sempurna yang kadang bersifat sombong dan merasa paling hebat dengan kedudukan, harta dan akalnya sehingga membutakan dirinya sebagai makhluknya yang fana, tetapi pada eksistensi Tuhan sebagai sang Pencipta tidak akan mengalami kerusakan dan kebinasaan karena Dia bersifat mutlak dan abadi (Parmono, 1985: 78).

Dalam Serat Wedhatama diterangkan bahwa alam semesta yang dihuni oleh makhluk hidup dibedakan menjadi dua alam yakni alam yang selalu berubah dan alam yang tetap (abadi). Konsep mengenai hal tersebut antara lain termuat dalam pupuh pangkur bait ke 14 yang berbunyi: 165 Sejatine Kang mangkana Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi Bali alaming ngasuwung, Tan karem karameyan Ingkang sipat wisesa winisesa wus, Mulih mula mulanira Mulane wong anom sami.

Terjemahannya: Sebenarnya yang demikian itu Sudah mendapat anugerah Tuhan Kembali ke alam kosong, Tidak mabuk keduniawian Yang bersifat kuasa menguasai, Kembali ke asal mula Oleh karena itu wahai anak muda (Mangkunegara IV, 1979: 90). Dari kutipan di atas ditarik kesimpulan bahwa disamping alam tempat hidup manusia sekarang ini, dalam Serat Wedhatama berpandangan bahwa ada suatu alam lainnya yang disebut sebagai alam suwung. Ini merupakan tempat asal dan sekaligus tempat kembalinya manusia yang dapat memperoleh karunia Tuhan.

Alam sekarang ini disebut 166 pula alam kinaot pupuh gambuh bait ke 13) yakni alam yang tinggi tingkatannya atau alam yang sangat istimewa indahnya. Atman/cahaya/jiwa, yang tak lain adalah cahaya atau pancaran energi Tuhan, maka hakekat atman adalah juga “kekosongan yang padat energi itu”. Jika atman ingin bersatu dengan asalnya yaitu Gusti Kang Akaryo Jagad, maka atman harus mengosongkan diri juha sehingga bersih tanpa ada muatan yang lain, misalnya nafsu dan keinginan, maka “energi atman” itu akan berhubungan atau menyatu dengan sang “sumber energi”.

Untuk itu yang diperlukan dalam usaha pencarian atau penyatuan adalah mempelajari proses “penyatuan” antara Atman dengan Brahman itu. Logikanya, apabila hakekat Tuhan adalah “kekosongan” maka untuk menyatukan diri, maka diri itu pun harus “kosong”, Sebab hanya “yang kosonglah yang dapat menyatu dengan Sang Maha Kosong”.

Caranya dengan berusaha “mengosongkan diri” atau “membersihkan diri” dengan “menghilangan muatan-muatan yang membebani atman” yang berupa berbagai nafsu dan keinginan. Dengan kata lain manusia berusaha membangkitkan energi atman agar tersambung dengan maknet energi Brahman. 167 Dengan uraian di atas maka cara yang harus ditempuh adalah melaksanakan “yoga samadi”, yang intinya adalah menghentikan segala aktifitas pikiran beserta semua nafsu dan keinginan yang membebaninya. Sebab pikiran yang selalu bekerja tak akan pernah menjadikan diri “kosong”.

Karena itu salah satu caranya adalah dengan “Amati Karya,” menghentikan segala aktifitas kerja, baik kerja pikiran, perkataan ataupun perbuatan untuk mendapatkan kesempurnaan hidup. Oleh karena kesempurnaan hidup merupakan tujuan utama bagi setiap manusia agar tercapai kebahagiaan hidup sejati baik pada kehidupan ini maupun kehidupan setelah mati.

Kebahagiaan hidup sejati didunia ini bukan diukur dari keadaan terpenuhinya kebutuhan materil secara melimpah tetapi sebaliknya berupa pemenuhan kebutuhan yang wajar, adil dan seimbang bagi keperluan jasmani serta rohaninya (Usman, 1999: 111). Kesempurnaan hidup, kebahagiaan hidup di alam maya ini bersifat sementara, dan selalu berubah-ubah, sedang tujuan hidup yang lain yang jauh lebih berarti adalah mencapai kesempurnaan yang abadi atau selamanya. Kesempurnaan hidup abadi akan dapat dicapai di alam maot atau alam lawas.

168 Keberadaan alam maot atau alam lawas (alam suwung) diterangkan dalam pupuh gambuh bait ke 17 yaitu: Sayekti luwih perlu, Ingaranan pepuntoning laku, Kalakuwan tumrap kang bangsaning batin, Sucine lan awas emut, Mring alaming lama maot. Terjemahannya: Sebenarnya lebih penting Disebut penghabisannya tindakan, Tindakan yang bersangkutan dengan batin, Pembersihnya dengan awas dan ingat Kepada alam yang Maha Besar (dapat memuat) Alam kelanggengan (Mangkunegara IV, 1979: 119).

Alam lama amot secara harfiah bermakna alam yang dapat memuat dalam waktu yang lama atau dengan perkataan lain langgeng atau abadi. Dapat pula diartikan sebagai alam baka atau alam akhir. Dalam alam akhir inilah akan mengalami kehidupan akhirat sebagai lawan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat adalah kehidupan yang berjangka panjang, dan jauh, kehidupan ini akan dialami oleh semua manusia tanpa terkecuali sesudah mati, kehidupan ini tidak 169 bisa dijelaskan secara keilmuwan, karena diluar jangkauan keilmuwan sehingga untuk memahami realitas kehidupan akhirat harus melalui perenungan yang transenden, yang melintasi batas-batas dimensi fisik, ruang dan waktu yang terbatas.

Melalui pengembaraan iman yang cerdas, yang secara ghaib menembus dinding dan pembatas yang berada dalam ruang dan waktu yang bersifat fisik, hakikat kehidupan ini tidak berada pada kepentingan-kepentingan duniawi yang sifatnya sementara seperti permainan yang segera berakhir. Oleh karena itu hakikat kehidupan adalah kehidupan akhirat kehidupan jangka panjang yang hanya bisa dicapai dengan menekan keakuan dititik rendah, sebuah perjalanan yang amat panjang, yang hanya dapat dihayati dengan menjauhkan diri dari kesombongan.

Dari uraian diatas maka jelaslah bahwa bagi Serat Wedhatama ada kehidupan yang abadi yakni alam suwung yang merupakan alam asal dan tempat kembalinya manusia yang mendapat karunia Tuhan. Disamping itu alam suwung ini pun merupakan tempat bersemayamnya Tuhan itu sendiri. Hal ini diungkapkan dalam pupuh putjung bait ke 12: “…Hyang Wisesa sana pasenedan suci” (Mangkunegara IV,1979: 111).

170 Terjemahanya: “Maha Kuasa itu bersemayang di alam yang suci” Dari kehidupan dunia yang fana? ini manusia akan menuju ke alam akhirat yaitu alam keabadian. Dalam kehidupan akhirat adalah kehidupan yang berjangka panjang dan jauh yaitu sebuah perjalanan yang mengharuskan melalui tahapan-tahapan, baik untuk istirahat, membersihkan diri atau mengisi dan membawa bekal untuk perjalanan berikutnya yaitu harus mengalami, hari kiamat, kebangkitan, pengadilan, hukuman dan pembalasan, baik sorga ataupun neraka adalah bagian dari kehidupan akhirat itu sendiri.

Pada hakikatnya kehidupan akhirat adalah perjalanan panjang menuju Tuhan, bukan perjalanan menuju sorga atau menghindari neraka. Karena sesungguhnya kita semua berasal dari Tuhan dan akan kembali juga kepadanya, perjalanan panjang menuju Tuhan dalam kehidupan akhirat dilakukan manusia pada tahapan nafsu dan nafs pada hakikatnya adalah transendental dari nafs yang terbatas menuju nafs yang tak terbatas (Tuhan).

Iman ialah kekuatan batin, dengan kekuatan batin itu manusia menanggapi sesuatu yang bermakna, entah itu kekuatan gaib, entah Roh Tertinggi (Tuhan). Kekuatan- 171 kekuatan itu dianggap ”yang suci” atau sakral dan manusia melakukan penyerahan diri secara menyeluruh kepada yang gaib itu (Hendropuspito, 1983: 36). Upaya pencarian Tuhan melalui penyerahan diri seutuhnya, dengan pemujaan.

Ketika memuja itulah mereka berusaha “mengosongkan diri” dengan berkonsentrasi untuk menyatukan diri dengan “Sang Maha Kosong”. Dengan demikian mereka berharap dapat menyatu dalam rasa, dalam sifat, yaitu rasa damai sebenarnya. Menurut orang Jawa, apabila tujuan “samadi” itu berhasil, terdapat tanda-tanda khusus.

Konon, ketika puncak ke “hening” an tercapai, orang serasa terjun ke suasana “heneng” atau “sunya”, tenggelam dalam suasana “kedamaian batin sejati, rasa damai yang akut”, yang dikatakan “manjing jroning sepi”, atau “rasa damai yang tak terkatakan”. Suasana demikian terjadi hanya sesaat, yang oleh orang Jawa digambarkan secara indah dengan kata-kata “tarlen saking liyep layaping aluyup, pindha pesating supena sumusup ing rasa jati” (ketika tiba di ambang batas kesadaran, hanya seperti kilasan mimpi, kita seolah menyelinap ke dalam rasa sejati).

Di sini makna kedamaian adalah “kekosongan sejati di mana jiwa terbebas dari beban 172 apa pun”, yang diistilahkan dengan suasana “hening heneng” atau “kedamaian sejati”. Mungkin suasana demikian itulah yang dalam agama Hindu disebut “sukha tan pawali dukha”. Kebahagian abadi yang tanpa sedikit pun rasa duka. Terbebas dari hukum rwa bhinneda. Dalam upaya penyatuan dengan Yang Maha Suwung tersebut manusia dibimbing oleh atman.

Atman adalah cahaya Brahman sehingga atmanlah yang mampu membimbing, menuntun secara gaib untuk proses penyatuan. Atman sebagai guru sejati, Ia Maha Energi yang ada pada diri setiap manusia, karena itu oleh orang Jawa diberi sebutan “Pangeran ingsun” atau “Tuhan yang ada dalam diriku”.

Karena itulah ketika mengawali proses “kramaning sembah” dengan pertama-tama menyebut “OM Atma Tattvatma”, orang Jawa menganggapnya sebagai ganti dari kata-kata “Duh Pangeran ingsun”, yang sebelumnya amat dikenal. Namun sebelum Atman jadikan guru sejati atau guru utama dalam usaha penyatuan itu. Sebagai tahap permulaan manusia harus yakin bahwa dalam dirinya terdapat atman atau energi yang luar biasa dan sangat setia.

Kehebatan energi atman itu secara simbolis digambarkan sebagai berikut: Gedhene amung sak mrica binubut nanging lamun ginelar angebegi jagad, 173 artinya: Ia hanya sebesar serbuk merica, namun bila dikembangkan (triwikrama) seluruh jagad raya akan tergenggam olehnya. Pengertian energi ini dalam istilah Jawa disebut “geter”. Tuhan Yang Maha Kuasa. Sumber cahaya suci, terang benderang tiada duanya (gilang-gumilang tan ana pindhane).

Sang Maha Ada (transenden) yang menciptakan segala yang ada, dan oleh karena itu ia ada disegala yang ada (imanen). Dalam pandangan budaya spiritual Jawa, dinyatakan bahwa Tuhan menciptakan segala mahluk, kemudian ciptaan tersebut berubah berkembang tumbuh (hidup, dumadi), tetapi Dia tidak terpengaruh oleh perubahan yang terjadi pada ciptaanNya.

Pangeran nganakake geni manggon ing geni nanging ora kobong dening geni, nganakake banyu manggon ing banyu ora teles dening banyu” Terjemahannya: Tuhan menciptakan api dan berada dalam api namun tidak terbakar oleh api, menciptakan air dan berada dalam air namun tidan basah oleh air (Wisnumurti, 2012: 215) 174 Menurut teologi Hindu, manusia terwujud dari badan sarira dan atman. Atman adalah Brahman yang berada di dalam diri manusia (bhuana alit) dan bhuana ageng.

Atman pada manusia dan mahluk hidup (sarwa prani), semua berasal dari Brahman yang tunggal (Nala, 2004: 101). Manusia dikatakan dapat mencapai kesempurnaan hidup bila kematiannya dapat menghantarkan badan sarira kembali keasalnya yaitu Prakrti atau pancamahabhuta, serta atman kembali ke Purusha atau menyatu dengan Brahman.

Tetapi oleh karena atman berbadan jasmani maka terikat oleh hukum perbuatan (karmaphala) sehingga masuk dalam pusaran punarbhawa (samsara) yaitu proses kelahiran kembali ke dunia berganti badan sarira. Moksa merupakan kebahagiaan tertinggi, yaitu ketika Atman dapat kembali dan manunggal dengan Brahman. Moksa adalah pembebasan terakhir dari pusaran lahir dan mati, atman lepas dari proses punarbhawa.

Tetapi manakala atman terbelenggu karena adanya dosa, maka atman harus menjalani hidup di dunia (jagad ageng) dengan ber-raga (jasmani). Atman yang berjasmani disebut jiwatman. Apabila jiwatman dengan alatnya yang berupa badan raga dapat 175 terlepas dari belenggu dosa (mala), maka menjadi atman suci dan dengan demikan dapat kembali ke sangkan paraning dumadi, menyatu dengan Brahman atau moksa. Oleh karena itu seseorang harus memperjuangkan pelepasan atau ?pembebasan terakhir?.

Proses penyatuan (meditasi) itu dimaksudkan sebagai usaha memperpendek jarak antara Manusia dengan Tuhan, antara Sira dengan Ingsun, atau antara Brahman dengan Atman, yang dalam istilah Jawa disebut ngudi cinaket ing Widhi, artinya berusaha agar semakin dekat dengan Tuhan (caket=dekat). Di sini jelas bahwa pemanfaatan energi Atman mutlak perlu, tetapi ternyata sebagian orang ada yang tidak mengetahui bahwa pada diri ada atman, Sang Maha Energi itu.

Mungkin karena dasar filsafatnya memang berbeda. Kepada mereka, yang tidak mempercayai adanya atman itu, sebuah kidung sengaja diciptakan Apek banyu pikulane warih, apek geni dedamaran, kodhok ngemuli elenge, tanpa suku lumaku, tanpa una lan tanpa uni, dan seterusnya.

Artinya terlihat ada orang mencari air, padahal ia telah memakai air sebagai pikulan, dan ada yang mencari api, padahal telah membawa lentera, katak menyelimuti liangnya, tanpa kaki ia berjalan, tanpa rasa dan tanpa suara, dan seterusnya. 176 Rupanya mereka tidak mengerti bahwa Gusti dan Kawula Tunggal, hingga tidak menyadari bahwa yang dicari sebenarnya telah ada dalam dirinya sendiri, meski dengan nama yang berbeda. Mereka tidak tahu bahwa warih adalah air dan damar adalah api, sama halnya dengan atman adalah Brahman.

Ia immanen sekaligus transenden, ia bisa berjalan tanpa kaki, dan tanpa suara maupun rasa. Pendapat bahwa Brahman sama dengan Atman, oleh orang Jawa ditunjukkan dengan perkataan “kana kene padha bae” artinya “sana dan sini sama saja”. Ketidaktahuanlah yang menyebabkan orang kebingungan / awidya.

Usaha pendakian untuk menemukan Brahman atau Gusti ini diibaratkan dalam cerita yang tidak asing bagi masyarakat Jawa. Ceritera tentang Bima bertemu dengan “Hanoman”, kera putih lambang kesucian batin, dalam usahanya mencari “tunjung biru” atau “teratai biru? adalah sehubungan dengan pencarian Tuhan.

Menyatunya Tuhan dengan ciptaanNYA secara simbolis juga dikatakan “kaya kodhok ngemuli leng, kaya kodhok kinemulan ing leng”, seperti katak menyelimuti liangnya dan seperti katak terselimuti liangnya (Layungkuning, 2013:16). Pengertiannya sama dengan istilah immanen sekaligus transenden dalam filsafat modern, yang 177 dalam Bhagavad Gita dikatakan “DIA ada padaKU dan AKU ada padaNYA”.

Dengan pengertian demikian maka jarak antara Tuhan dan ciptaannya pun menjadi tak terukur lagi. Tentang hal ini orang Jawa mengatakan: “adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan”, artinya jauh tanpa batas, dekat namun tak bersentuhan. Dari keterangan di atas jelaslah bahwa pada hakekatnya filsafat Jawa adalah Hinduisme, yang monotheisme pantheistis.

Karena itu pengertian Brahman Atman Aikyam, atau Tuhan dan Atman Tunggal, juga dinyatakan dengan kata-kata “Gusti lan kawula iku tunggal”. Di sini pengertian Gusti adalah Tuhan yang juga disebut Ingsun, sedang Kawula adalah Atman yang juga disebut Sira, hingga kalimat “Tat Twam Asi” pun secara tepat dijawakan dengan kata kata “Sira Iku Ingsun” atau “Engkau adalah Aku”, yang artinya sama dengan kata-kata “Atman itu Brahman”.

Pemahaman yang demikian itu tentunya memungkinkan terjadinya salah tafsir, karena menganggap manusia itu sama dengan Tuhan. Untuk menghindari pendapat yang demikian, orang Jawa dengan bijak menepis dengan kata-kata “ya ngono ning ora ngono”, yang artinya “ya begitu tetapi tidak seperti itu”.

Mungkin sikap demikian inilah yang menyebabkan sesekali muncul 178 anggapan bahwa pada dasarnya orang Jawa penganut pantheisme yang polytheistis, sebab pengertian keberadaan Tuhan yang menyatu dengan ciptaannya ditafsirkan sebagai Tuhan berada di apa saja dan siapa saja, hingga apa saja dan siapa saja bisa diTuhankan. Anggapan demikian tentulah salah, sebab Brahman bukan Atman dan Gusti bukan Kawula walau keberadaan keduanya selalu menyatu.

Brahman adalah sumber energi, sedang Atman cahayanya. Kesatuan antara Krisna dan Arjuna oleh para dalang wayang sering digambarkan seperti “api dan cahayanya”, yang dalam bahasa Jawa “kaya geni lan urube”. Meski ciptaanya selalu berubah atau “menjadi” (dumadi) Tuhan tidak terpengaruh oleh perubahan yang terjadi pada ciptaanya.

Dalam kalimat puistis orang Jawa mengatakan: “Pangeran nganakake geni manggon ing geni nanging ora kobong dening geni, nganakeke banyu manggon ing banyu ora teles dening banyu” (Layungkuning, 2013:16). Artinya Tuhan mengadakan api, berada dalam api, namun tidak terbakar, mencipta air, bertempat di air tapi tidak basah. Ini memberikan visualisasi bahwa walaupun Tuhan mencipta dan berada dalam ciptaanya tetapi Tuhan tidak terpengaruh, tercemari oleh ciptaannya walaupun berada pada air yang 179 keruh atau pada kotoran sekalipun.

Pengertian di atas sama dengan istilah konsep Tuhan dalam Hindu yaitu Tuhan immanen sekaligus transenden dalam filsafat Hindu. Dengan demikian maka jarak antara Tuhan dan ciptaanya pun menjadi tak terukur lagi. Berdasarkan uraian di atas Sangkan paraning dumadi adalah tujuan manusia dalam Serat Wedhatama yang merupakan ajaran budi lihur yang diajarkan, diwariskan untuk putra putri Raja yang selanjutnya dijadikan pedoman manusia Jawa atau paham Kejawen pada umumnya dari dahulu kala hingga saat ini. 3.

Manunggaling Kawula Lan Gusti Bagi masyarakat Jawa ungkapan manunggaling Kawula Gusti merupakan ungkapan yang sudah sering di dengar dan di pahami oleh kalangan penganut Kejawen atau pelestari ajaran leluhur yang sangat mulia. Bagi masyarakat Jawa ajaran Manunggaling Kawula Gusti ini sangat popular di kalangan para Pujangga atau Sastrawan kerajaan, di samping itu tokoh Siti Jenar sangat berpengaruh dalam aplikasi ajaran tersebut, sehingga bagi masyarakat Jawa ungkapan manunggaling Kawula Gusti ini sangat membumi.

Menurut 180 konsep Siti Jenar manusia (manungsa) adalah singkatan dari manunggaling rasa, penyatuan roh Tuhan pada diri manusia (Huda, 2012: 262). Ajaran “Manunggaling Kawula Gusti” adalah (Ajaran Bersatunya Manusia dengan Tuhan). Ajaran tersebut merupakan falsafah Jawa tentang tanggapan diri pribadi manusia (ciptaan) atas belas kasih atau welas asih Tuhan (Pencipta) yang berkenan menyertai setiap hati sejati manusia (Manunggaling Kawula Gusti).

Diyakini bahwa karena belas kasih-Nya maka sejak manusia diciptakan, Tuhan selalu menyertai manusia sebagai ciptaan paling sempurna yang diutus menjadi “kepanjangan tangan Tuhan” supaya hidup rukun dengan sesama dan alam semesta sebagaimana diteladankan Tuhan, untuk memuliakan nama-Nya. Karena kasih-Nya (katresnan Dalem Gusti), Tuhan tidak otoriter tetapi menghargai manusia sebagai pribadi utuh yang diberi kebebasan.

Kebebasan inilah yang membuat perjalanan hidup manusia menjadi berbeda satu dengan yang lain. Kasih sayang Hyang Widhi ditunjukan dengan sangat mengenal diri manusia lebih baik daripada manusia mengenal dirinya sendiri, Tuhan welas asih kepada manusia lebih daripada manusia mengasihi dirinya sendiri.

181 Perbuatan yang selama ini dilakukan kepada Tuhan, sesama dan alam semesta yang menurut manusia sudah baik ternyata masih sebatas ragawi yang kasad mata penuh pamrih dan pilih kasih hanya untuk kepentingan manusia (dirinya sendiri). Contoh: Ketika seseorang beribadah kepada Tuhan menganggap yang dilakukan sudah cukup (karena sikap dan perbuatannya tidak berubah), tetap melakukan kekerasan phisik / non phisik, pemarah, atau bahkan ingin mendapat sanjungan dari orang lain, hal ini karena dilakukan secara normatif, agamis tanpa hati sejati.

Demikian pula ketika perbuatan baik kepada sesama tidak mendapatkan balasan, tanggapan semestinya atau bahkan sama sekali tidak ditanggapi menjadi kecewa, marah, tersinggung. Padahal kasih yang diteladankan Tuhan tidak pernah menuntut balas dan pilih kasih: tanah yang dicangkul malah memberikan tanaman untuk dikonsumsi, oksigen untuk bernapas manusia, hangatnya matahari, segarnya air hujan diberikan kepada setiap orang secara cuma-cuma tanpa membedakan status, etnis/ warna kulit, agama, layaknya sinar bulan yang menerangi bumi tanpa terkecuali yang merupakan bentuk dari laku welas asih dan tulus.

182 Untuk menggali kesadaran diri hati sejati diperlukan percaya sejati kepada Tuhan. Percaya sejati berarti berserah diri tanpa reserve, melepaskan nafsu ingin memiliki dan kemauan sendiri kepada kehendak Tuhan, semua yang ada dipersembahkan sebagai alat-Nya memuliakan nama-Nya.

Kemauan berserah diri atau pasrah kepada Tuhan salah satunya dapat diwujudkan dengan laku batin meneng atau diam terpusat di hati: tersenyum, rileks melepaskan semua ketegangan tubuh dan pikiran. Laku meneng mengarahkan hati kepada Tuhan dilakukan secara tekun tanpa target, tanpa pamrih dan tidak memaksakan diri, batin menjadi wening (jernih).

Rasa ati wening ini menumbuhkan kesadaran hati sejati bahwa Tuhan sungguh hadir mengasihi dirinya. Buahnya hati sejati menjadi dunung (mengerti) bahwa hidupnya harus menyatu dengan Sang Pencipta. (makna kebatinan). Kesadaran Manunggaling Kawula Gusti berarti harus mau meneladani kasih-Nya yang diungkapkan dalam hidup sehari-hari semakin berbelas kasih sejati kepada sesama dan alam semesta, memaafkan kesalahan, menyesal dan mohon maaf kepada Tuhan dan sesama atas segala kesalahan (yang sering membuat tertekan hatinya), menerima orang lain dan 183 keadaan / peristiwa seperti apa adanya, tidak akan mempengaruhi orang lain dengan paksa, merubah sikap kekerasan menjadi tanpa kekerasan, dari permusuhan menjadi damai, dari hidup dengan berbagai kepalsuan menjadi jujur dan apa adanya, dari sombong, egois dan menonjolkan diri menjadi rendah hati dan peka akan perasaan orang lain, dari serakah menjadi ikhlas untuk berbagi, berbela rasa, melestarikan alam semesta, tidak pernah mengadili orang lain, mengritik, memaksakan kehendak.

Relasi spiritual Kawula Gusti ini harus bermuara pada sikap hormat atau ngajeni sesamining gesang (menghargai sesama hidup) Sikap ini membuahkan relasi welas asih sejati dalam persaudaraan. Ajaran “Manunggaling Kawula Gusti” ini sangat pas untuk bekal hidup jaman modern dimana orang hanya dibiasakan menggunakan otak kiri / kognisi yang menarik manusia kepada hitung-hitungan tambah dan kurang, konsumerisme, hedonisme, normatif yang hanya ragawi dan kasad mata tanpa hati sejati, berkembangnya paham komersialisme.

Akibatnya orang ingin cepat memperoleh hasil secara instant mengabaikan proses, untung rugi, yang disadari atau tidak mempengaruhi hidup spiritual keagamaan, persaingan, kalah menang, pembenaran diri, egoisme yang 184 berbuntut konflik dengan kedok agama, suku dan ras, penguasaan sumberdaya alam tanpa ada kemauan melestarikan dan berbagai, kekerasan, yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan sejati yang adil dan beradab.

Hal tersebut akan menjauhkan dari sifat kasih sayang yang universal, sehingga akan menambah tebal dinding pembatas antara atman dan Brahman atau antara Kawula dengan Gusti. Manunggaling Kawula Gusti, ngahiyang, mukswa, kamuksan, merupakan sebuah peristiwa perpindahan manusia dari dimensi planet bumi/wadag ke dalam dimensi gaib, alam kelanggengan atau keabadian. Biasa di sebut sebagai peristiwa kematian. Sama halnya dengan peristiwa kematian, tetapi kematian untuk menunjuk raganya saja.

Sedangkan sukmanya masih akan terus hidup selamanya di alam keabadian. Kematian yang sudah bersifat umum, tentu saja yang mati raganya saja. Sedangkan kamuksan, moksa raga tidak mati, melainkah masuk ke dalam dimensi keabadian. Syaratnya cukup “sederhana” asalkan raga bersih atau suci dari segala macam kesalahan, terutama terhadap sesama manusia dan seluruh makhluk, dan selama hidup di dalam dimensi wadag planet bumi sangat memberikan manfaat seluas-luasnya kepada seluruh makhluk, maka akan 185 memenuhi syarat untuk pindah tempat ke alam keabadian melanjutkan suatu kehidupan model baru.

Peristiwa tersebut bagi masyarakat Jawa digambarkan sebagai warangka manjing curiga, atau selongsong keris masuk ke dalam pamornya. Raga yang menyatu ke dalam sukma (Layungkuning, 2013:19). Agak aneh dibayangkan, tetapi anda akan manggut-manggut begitu memahami rumus-rumus yang berlaku di alam gaib khususnya tentang hal ini.

Sebab tak ada hal gaib yang tidak masuk akal. Jika masih belum masuk akal, ibarat dongeng, dapat dipastikan anda belum lengkap mengetahui rumus-rumus Tuhan yang berlaku di alam gaib, khususnya peristiwa ini. Untuk mempermudah pengertian, peristiwa moksa sebagai kebalikan dari peristiwa kelahiran.

Peristiwa lahir digambarkan secara simpel sebagai curiga manjing warangka, atau sukma yang manjing, menyatu ke dalam raga. Peristiwa ini tidaklah aneh, karena memang telah memang telah memahami rumus-rumusnya. Kamajaya (2007:84-85) menjelaskan bahwa kebudayaan Jawa adalah pancaran atau pangejawantahan budi manusia Jawa, yang merangkum kemauan, cita-cita, ide, maupun semangatnya dalam mencapai kesejahteraan, 186 keselamatan, dan kebahagiaan lahir batin. Kebudayaan Jawa telah ada sejak zaman prahistori.

Datangnya bangsa Hindu-Jawa dan dengan masuknya agama Islam dengan kebudayaannya, maka kebudayaan Jawa menjadi filsafat sinkretis yang menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu-Jawa, dan Islam. Arif (2010:35) mengatakan filsafat menempatkan kebudayaan pada aras metafisis yang merujuk pada penempatan nilai sebagai aspek formal intrinsik. Ciptoprawiro (1986: 11) berdasarkan definisi bahwa “filsafat diartikan suatu pencarian dengan kekuatan sendiri tentang hakikat segala wujud (fenomena), yang bersifat mendalam dan mendasar”, apa yang ada dalam banyak perenungan di Jawa yaitu suatu usaha untuk mengartikan hidup dengan segala pangejawantahannya, mansia dengan tujuan akhirnya, hubungan yang nampak dengan yang gaib, yang silih berganti dengan yang abadi, tempat manusia dalam alam semesta, adalah merupakan pemikiran filsafat.

Ciptoprawiro (1986:12) lebih lanjut menyatakan bahwa ungkapan-ungkapan renungan-renungan filsafat Jawa merupakan sarana untuk mencapai kesempurnaan, suatu langkah ke jalan menuju kelepasan atau bahkan mencapainya, satu-satunya jalan bagi manusia untuk sampai kepada tujuan 187 akhirnya. Pengeahuan (filsafat) senantiasa hanya merupakan sarana untuk mencapai kesempurnaan atau cinta kesempurnaan (the love of perfection).

Filsafat Jawa juga dapat dikatakan ngudi kasampurnan (berusaha mencari kesempurnaan). Serat Wedhatama merupakan sebuah ajaran luhur untuk membangun budi pekerti dan olah spiritual bagi kalangan raja-raja Mataram, tetapi diajarkan pula bagi siapapun yang berkehendak menghayatinya.

Wedhatama menjadi salah satu dasar penghayatan bagi siapa saja yang ingin laku spiritual dan bersifat universal lintas kepercayaan atau agama. Ajaran dalam Wedhatama bukanlah dogma agama yang erat dengan iming-iming surga dan ancaman neraka, melainkan suara hati nurani, yang menjadi "jalan setapak" bagi siapa pun yang ingin menggapai kehidupan dengan tingkat spiritual yang tinggi.

Puncak dari laku spiritual yang diajarkan Serat Wedhatama adalah menemukan kehidupan yang sejati, lebih memahami diri sendiri, manunggaling kawula-Gusti, dan mendapat anugerah Tuhan untuk melihat rahasia kegaiban. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan Zoetmulder, Ciptoprawiro, dan Kusbandriyo, bahwa dalam filsafat Jawa 188 yang menekankan pentingnya kesempurnaan hidup (ngudi kasampurnan), bahwa manusia itu selalu berada dalam hubungan dengan lingkungannya, yaitu Tuhan dan alam semesta serta meyakini kesatuannya (manunggaling kawula Gusti).

Beberapa contoh penggambaran ngelmu kasampurnan (ilmu kesempurnaan hidup) dalam Serat Wedhatama dapat dilihat pada pupuh tembang pangkur pupuh 1-6 sebagai berikut: Mingkar mingkuring angkara Akarana karenan Mardi siwi Sinawung resmining kidung Sinuba sinukarta Mrih ketarta pakartining ngelmu luhung Kang tumrap ing tanah Jawa Agama ageming aji Terjemahannya: Menjauhkan diri dari nafsu angkara, karena berkenan mendidik putra melalui bentuk tembang, dihias dengan penuh variasi, agar menjiwai ilmu luhur, terhadap orang di tanah Jawa, yang hakiki itu adalah agama sebagai pegangan hidup.

189 Jinejer neng Wedatama Mrih tan kemba kembenganing pambudi Mangka nadyan tuwa pikun. Yen tan mikani rasa, Yekti sepi asepa lir sepah Samun, Samangsane pasamuan gonyak ganyuk nglelingsemi. Terjemahnnya: Disajikan di Wedatama, agar jangan kekurangan pengertian. Meskipun telah tua bangka, jika tak punya perasaan, sebenarnya tanpa guna bagai sepah buangan.

Bila dalam pertemuan, sering bertindak salah dan memalukan. Nggugu karsane priyangga, Nora ngganggo peparah lamun angling, Lumuh ingaran balilu, Uger guru aleman, Nanging janma ingkang wus Waspadeng semu Sinamun ing samudana, Sesadon ingadu manis.

Terjemahannya: 190 Hanya mengikuti kehendak diri sendiri, tidak menggunakan perhitungan, tidak mau dianggap bodoh, hanya ingin dipuja, tetapi saat yang lalu, hanya waspada secara samar-samar, tidak secara teus terang, menanggapi semuanya dengan baik. Si pengung nora nglegawa, Sangsayarda denira cacariwis, Ngandhar-andhar angendhukur, Kandhane nora kaprah, Saya elok alangka longkanganipun, Si wasis waskitha ngalah, Ngalingi marang si pingging. Terjemahannya: Si Dungu tidak menyadari. bualannya semakin menjadi-jadi, melantur tidak karuan, bicaranya tidak seperti biasanya, makin aneh dan tak masuk akal. Si Pandai maklum dan mengalah, menutupi ulah si Bodoh. Mangkono ngelmu kang nyata, Sanyatane mung weh reseping ati, Bungah inganaran cubluk, Sukeng tyas yen denina, Nora kaya si punggung anggung gumrunggung 191 Ugungan sadina dina Aja mangkono wong urip.

Terjemahannya: Demikianlah ilmu yang sejati, sebenarnya hanya menyenangkan hati, senang dianggap bodoh, senang apabila dihina, tidak seperti si Dungu yang selalu sombong, ingin dipuji setiap hari, jangan seperti itu orang yang hidup. Uripe sepisan rusak, Nora mulur nalare ting saluwir, Kadi ta guwa kang sirung, Sinerang ing maruta, Gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung, Pindha padhane si mudha, Prandene paksa kumaki.

Terjemahannya: Hidup hanya sekali di dunia berantakan, tidak berkembang pikirannya tercabik-cabik, ibarat goa gelap menyeramkan, terlanda angin, suaranya berkumandang keras sekali, seperti anak muda jika picik pengetahuannya, namun demikian sombongnya sekali. 192 Mangku Negara IV mulai menguraikan ajaraan kesempurnaan hidup dengan kalimat mingkar mingkuring angkara (menjauhkan diri dari nafsu angkara), di sini berarti harus mensucikan diri agar apa yang disampaikan dapat meresap di hati sebagai ilmu yang luhur, bagi orang Jawa ajaran kesempurnaan hidup itu harus berdasarkan pada ajaran agama.

Selanjutnya, Mangku Negara IV mengingatkan pada orang Jawa tanpa mengenal usia agar mengolah rasa, kalau tidak peka rasa-nya akan memalukan (gonyak-ganyuk nglelingsemi). Orang yang hanya menuruti kehendak sendiri, tidak menggunakan perhitungan, hanya ingin dipuja, hanya waspada secara samar-samar, inginnya dipuja semakin mejadi-jadi. Berbeda dengan orang yang pandai, dalam mencari ilmu yang sejati slalu merendahkan diri tidak ingin dipuja.

Orang hidup di dunia hanya sekali harus dijaga, jangan dibiarkan berantakan, pikirannya tercabik-cabik, seperti anak muda yang picik pengetahuannya, namun sangat sombong. Selanjutnya Mangku Negara IV, menutup pupuh pangkur dengan menyampaikan ngelmu kasampurnan (ilmu kesempurnaan hidup) sebagai berikut: Sapantuk wahyuning Allah, Gyadumilah mangulah ngelmu bangkit, 193 Bangkit mikat reh mangukut, Kukutaning jiwangga, Yen mengkono kena sinebut wong sepuh, Lire sepuh sepi hawa, Awas roroning atunggil Terjemahannya: Siapapun yang menerima wahyu Illahi, lalu dapat mencerna dan menguasai ilmu mampu menguasai ilmu kasampurnan, kesempurnaan diri pribadi, orang yang demikian itu pantas disebut “orang tua” yang dapat menjauhkan dari hawa nafsu, dapat memahami dwi tunggal.

Tan samar pamoring sukma, Sinuksmaya Winahya ing ngasepi, Sinimpen telenging kalbu, Pambukaning warana, Tarlen saking liyep layaping aluyup, Pindha pesating sumpena, Sumusuping rasa jati. Terjemahannya: 194 Tidak ragu-ragu terhadap terhadap Tuhan, diresapi dan dibuktikan di kala sepi (hening), diendapkan dalam lubuk hati, pembuka tirai itu tidak lain dari keadaan antara sadar dan tidak, seperti dalam mimpi, hadirnya rasa sejati.

Sejatine kang mangkana, Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi, Bali alaming ngasuwung, Tan karem karameyan, Ingkang sipat wisesa winisesa wus, Mulih mula mulanira, Mulane wong anom sami. Terjemahannya: Sebenarnya yang demikian itu, sudah mendapat anugerah Tuhan, kembali ke alam kosong (alam hening/alam rohani), tidak mabuk keduniawian, yang bersifat kuasa menguasai, kembali ke asal mula, oleh karena itu hai anak muda sekalian.

Berdasarkan pupuh tembang tersebut, tampak nyata bahwa siapa pun yang telah menerima wahyu Illahi (dalam bahasa filsafat Jawa adalah manunggaling kawula Gusti), 195 dapat menguasai ngelmu kasampurnan. Orang yang demikian akan menjauhkan diri dari hawa nafsu dan tidak memiliki sifat keragu-raguan terhadap terhadap Tuhan. Orang akan selalu meresap dalam dirinya atau diendapkan dalam lubuk hati yang paling dalam, sehingga timbul rasa sejati, yang dalam pupuh tembang di bagian belakang disebut sembah rasa. Sifat-sifat itu pertanda sudah mendapat anugerah Tuhan, kembali ke alam hening atau alam rohani dengan menjauhkan diri dari keduniawian.

Akhirnya akan kembali ke asal mula yaitu ke asal mula hidup kepada Tuhan Yang Maha Esa (manunggaling kawula Gusti). 4. Mamayu Hayuning Bawana Istilah memayu hayuning bawana ini merupakan konsep kosmologi masyarakat Jawa. Ungkapan tersebut bukan hanya sekedar kata-kata yang tiadak berarti melainkan merupakan budaya lisan yang turun temurun.

Memayu Hayuning Bawana memiliki dua makna yaitu:(1) sebagai falsafah hidup, (2) sebagai laku (pakerti). Memayu Hayuning Bawana merupakan perisai hidup, yang banyak ditaati oleh para penghayat kepercayaan kejawen. Penganut kejawen amat akrap dengan ungkapan spiritual itu untuk mewadahi seluruh 196 tindakan religi Jawa yang mendambakan keselamatan hakiki (Endraswara, 2013:15).

Memayu Hayuning Bawana ternyata memiliki relevansi dengan wawasan kosmologi kejawen. Kejawen memiliki wawasan kosmos yang tidak lain sebagai perwujudan konsep Memayu Hayuning Bawana. Bagi penghayat kejawen ungkapan Memayu Hayuning Bawana merupakan ungkapan yang sakral yang merupakan untaian falsafah hidup sebagai pijaran pemikiran kritis untuk mengingatkan bahwa di masih ada kehidupan di balik kehidupan ini. Jika dicermati Memayu Hayuning Bawana adalah ihwal space culture dan sekaligus spiritual culture.

Dipandang dari space culture ungkapan ini memuat serentetan ruang (bawana). Bawana tidak lain adalah jagad raya beserta isinya. Jagad dan isi sekaligus terkait dengan pencipta jagadraya. Bawana adalah kawasan kosmologi Jawa. Sebagai wilayah kosmos, bawana justru dipandang sebagai jagad rame. Bawana merupakan tanaman, ladang dan sekaligus taman hidup setelah mati.

Orang yang hidupnya menanam kebaikan, kelak akan menuai (ngunduh) hasilnya (Endraswara, 2013:16). 197 Memayu Hayuning Bawana dicermati dari sisi Spiritual culture adalah ekspresi budaya batin, yang dilakukan orang Jawa ditengah-tengah jagad rame (spece culture). Jagad rame, adalah tempat manusia hidup dalam realitas. Pada tataran ini, orang Jawa menghayati laku-laku kebatinan, yang senantiasa menghiasi kesejahteraan dunia.

Realitas hidup di jagad rame, perlu menendapkan nafsu-nafsu, agar lebih terkendali, dan dunia semakin terarah. Kata hayu berasal dari kata rahayu yang artinya selamat lahir dan batin. Memayu Hayuning Bawana merupakan upaya melindungi keselamatan (kesejahteraan) dunia baik lahir maupun batin.

Koentjaraningrat (1984:435) menyinggung pula Memayu Hayuning Bawana pada bab “hubungan antara manusia dengan alam sebagai berikut: Orang Jawa merasa berkewajiban untuk memperindah dunia, karena hanya yang memberi arti pada hidup itu. Adagium Franciss Bacon “Knowledge is Power” sepertinya memiliki peran penting terhadap yang terjadi dewasa ini, melalui pengetahuan akan diperoleh kekuasan termasuk salah satunya adalah menguasai alam.

Saat ini banyak pembangunan-pembangunan yang mengatas namakan perbaikan terhadap alam, ataupun pembangunan terhadap 198 alam, yang dibalik itu semua ada tujuan untuk menguasai alam dan menikmati segala fasilitas yang ada pada alam. Saras Dewi dalam bukunya yang berjudul Ekofenomenologi: mengurai disekulibrium relasi manusia dengan alam (2015) memberikan gambaran bahwa dalam kehidupan dimasa sekarang ini telah terjadi perlakuan brutal manusia terhadap alam.

Manusia telah berlaku asimetris terhadap alam, berusaha menguasai alam, menaklukkan alam dan melakukan eksploitasi secara besar-besaran terhadap alam, dan parahnya lagi manusia berusaha mengambil jarak dari alam. Saras Dewi berusaha menguraikan masalah disekulibrium yang terjadi antara manusia dan alam melalui pendekatan fenomenologi, sehingga didapatkan kesimpulan bahwa manusia tidak bisa mengambil jarak dan adalah kesatuan dengan alam, mestinya tidak bisa terpisahkan dan melakukan eksploitasi terhadap alam.

Dalam Serat Wedhatama terdapat ajaran “Mamayu Hayuning Bawana” yaitu falsafah masyarakat Jawa dalam membina hubungan yang harmonis dengan semua entitas, termasuk membina hubungan harmonis dengan alam semesta yang didiami oleh semua makhluk ciptaan Tuhan. Dengan menjalin hubungan yang harmonis dngan semua makhluk dna 199 alam diharapkan akan terciptanya ekuilibrium manusia, alam, dan semua makhluk.

Mamayu Hayuning Bawana adalah filosofi atau nilai luhur tentang kehidupan dari kebudayaan Jawa. Memayu hanuning bawana jika diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi memperindah keindahan dunia. Orang jawa memandang konsep ini tidak hanya sebagai falsafah hidup namun juga sebagai pekerti yang harus dimiliki setiap orang.

Filosofi Mamayu Hayuning Bawana juga kental terasa dalam ajaran Kejawen. Kejawen (dalam bahasa Jawa Kejawèn) adalah sebuah kepercayaan yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Kejawen hakikatnya adalah suatu filsafat di mana keberadaanya ada sejak orang Jawa (Tiyang Jawi) itu ada.

Hal tersebut dapat dilihat dari ajarannya yang universal dan selalu melekat berdampingan dengan agama yang dianut pada zamannya. Kitab-kitab dan naskah kuno Kejawen tidak menegaskan ajarannya sebagai sebuah agama meskipun memiliki laku. Kejawen juga tidak dapat dilepaskan dari agama yang dianut karena filsafat Kejawen dilandaskankan pada ajaran agama yang dianut oleh filsuf Jawa.

Berdasarkan 200 uraian di atas dapat di garis bawahi bahwa Memayu Hayuning Bawana adalah suatu hubungan yang erat dan harmonis antara manusia (hidup) dengan alam dan penguasa hidup yang selalu brusaha untuk menciptakan keindahan dunia, dalam Hindu konsep tersebut sama dengan konsep Tri Hita Karana. Tri Hita Karana memiliki arti tiga hubungan yang harmonis dalam menciptakan kedamaian atau kerahayuan.

Ketiga hungan tersebut adalah : (1) Hubungan manusia dengan pencipta-Nya, (2) hubungan manusia dengan manusia dan (3) hubungan manusia dengan alam semesta. Artinya untuk mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup manusia harus membangun hubungan yan harmonis diantara ketiganya. Hubungan antara “Atman - Brahman - dunia”, merupakan inti pandangan dunia? (kosmos) dalam Hinduisme yang sampai hari ini masih tetap hidup dan yang dijabarkan dengan aneka cara (Zoetmulder, 1990: 59).

Dalam dunia pewayangan, jagad atau kosmos dijabarkan terdiri dari: 1) Jagad Alit yaitu jagad manusia yang terdiri dari para ksatria, raksasa dan manusia biasa; 2) Jagad Ageng atau alam semesta yang tergelar, yang digambarkan dalam bentuk „gunungan atau kayon?; dan 3) Jagad Pepadhang (padhang = terang) 201 yaitu kahyangan (hyang=suci) tempat tinggal para dewa (dewa=cahaya) Pandangan kosmis yang terbagi menjadi tiga dimensi jagad tersebut juga dijabarkan pada karya-karya sastra Jawa Kuna.

Dalam , proses (penciptaan kakawin) ditampilkan oleh sang Kawi (pujangga) sebagai manggala sastra (bait pembukaan). Sang Kawi memulai karyanya dengan “hong”, yaitu mempersatukan diri (mikro-kosmos) dengan dewa pilihannya (dewa = cahaya Tuhan) dan meleburkan diri dalam keindahan semesta (makro-kosmos). Melalui manggala kakawinnya, Mpu mengawali ajarannya dengan konsep istadewata.

Ajaran sakral ini menunjukkan bahwa manusia hidup dalam tiga dimensi kosmik: tiga jagad (Tribuwana). Jagad pertama adalah jagad pribadi manusia atau ruang kesadaran ego (Jagad Alit, mikro kosmos). Jagad kedua adalah jagad raya atau Jagad Ageng (makro-kosmos), ialah ruang kesadaran dimana terjadi dialog antara manusia dengan manusia dalam paguyuban masyarakat sejagad. Dalam hal ini, sebagai makhluk yang hidup di dalam alam semesta, maka manusia memiliki kaitan dengan seluruh isi alam, manusia dan alam menyatu dalam kesemestaan.

Jagad yang ketiga adalah Jagad 202 Cahaya atau jagad dewa-bathara, yaitu keterkaitan manusia sebagai mikro-kosmos (imanent) dengan aspek-aspek Sang Maha Pencipta di alam cahaya (transenden). Dalam dimensi ini terdapat “benang emas” yang menghubungkan manusia dengan aspek-aspek kekuasaan Sang Maha Kuasa (Istadevata). Di dalam konsepsi istadevatapuja dapat ditemui mantra-mantra sesuai dengan sistem pantheon dalam teologi Hindu, yakni Trimurti dan dewa-dewa pada kitab Veda (Titib.

2007:259). a. Jagad Alit Jagad Alit adalah alam mikro yang berwujud ?manusia hidup?. Jagad Alit, jagad kecil. Jagad pribadi, alam dalam diri manusia. Manusia terdiri dari badan kasad dan badan tan kasad. Badan kasad atau badan kasar, juga disebut badan ragawi atau jasmani. Badan tan kasad atau badan halus, juga disebut badan sukmawi atau rohani (atman).

Badan wadag manusia berasal dari jagad raya, terwujud dari sari pati panca maha bhuta. Oleh karena itu segala apa yang ada di alam raya juga ada di dalam diri manusia. Matahari, bulan, bintang, ataupun samodra serta segala yang sudah tergelar di Jagad Gumelar (makro kosmos, Jagad Ageng), juga sudah tergelar di dalam diri manusia (mikro 203 kosmos, Jagad Alit). Dalam pandangan Hinduisme, alam semesta dengan segala isinya disebut dengan Buwana Agung (Jagad Ageng, makro-kosmos).

Sedangkan sari pati dari Buwana Agung tersebut dinamakan Buwana Alit (Jagad Alit, mikro-kosmos). Sukma atau Atman datang dari Alam cahaya, ia adalah percikan cahaya Tuhan yang ada di dalam Jagad Alit. Sukma atau atman tidak lahir dan tidak mati bersama kelahiran dan kematian raga. Menurut ajaran Upanisad, atman tidak dilahirkan dan abadi.

Dia berbeda dengan raga, indria dan udara kehidupan (vital air) dan senantiasa bebas. Justru semua itu dihidupkan oleh dia, dibuat berkerja oleh dia dan untuk dia. Namun demikian di dalam mikro kosmos ini, atman telah terbungkus dan terikat oleh kerangka tubuh ragawi dan akibatnya telah banyak kehilangan kebebasannya. Dalam kondisi ini ia disebut „jivatman? (atau „jiwa? saja), dan keadaan ini dikarenakan oleh „karma? (Harshananda, 2010; 206-207). b.

Jagad Ageng, Bhuana Agung Jagad Ageng, Buwana Agung, atau jagad gumelar adalah alam semesta beserta isinya, baik yang bersifat kasad maupun yang datan kasad. Isi alam yang bersifat nyata 204 tertangkap panca indra ataupun yang bersifat gaib. Yang nyata berujud benda padat, benda cair dan gas. Yang gaib berujud ?daya luwih? dan ?magi?. Filsafat Upanisad mengajarkan bahwa Brahman merupakan penyebab dasar dari semesta, penyebab dari semua penyebab.

Dunia ini (makro kosmos, Jagad Ageng) muncul dari padaNya, dipelihara olehNya dan kembali kepadaNya. Dia maha pencipta dan maha ada. Dia imanen dalam dunia ini, Dia juga Diri yang paling dalam dari semuanya. Pada awalnya, Brahman sendiri: ada, sebagai yang satu tanpa yang kedua. Dia memutuskan untuk menjadi banyak.

Lalu dia menciptakan dari diriNya sendiri akasa (langit, ruang, ether), vayu (udara), atau teja (api), apah (air), dan prthvi (tanah, bumi). Satu permutasi dan kombinasi dari kelima elemen ini, dengan Brahman dalam setiap tahapan, telah menghasilan dunia ini. Selanjutnya Brahman memasuki ciptaannya ini sebagai Atman atau jiwa yang mengendalikan. (Harshananda, 2010, 197).

Sejak dulu, orang Jawa mengakui keesaan Tuhan sehingga menjadi inti ajaran Kejawen, yaitu mengarahkan insan Sangkan Paraning Dumadhi (Dari mana datang dan kembalinya hamba Tuhan) dan membentuk insan se-iya se- 205 kata dengan Tuhannya “Manunggaling Kawula lan Gusti” (Bersatunya Hamba dan Tuhan). Dari kemanunggalan itu, ajaran Kejawen memiliki misi sebagai berikut: 1) Mamayu Hayuning Pribadhi (sebagai rahmat bagi diri pribadi) 2) Mamayu Hayuning Kaluwarga (sebagai rahmat bagi keluarga) 3) Mamayu Hayuning Sasama (sebagai rahmat bagi sesama manusia) 4) Mamayu Hayuning Bhuwana (sebagai rahmat bagi alam semesta) Mamayu Hayuning Bawana memiliki relevansi dengan wawasan kosmologi Jawa atau kosmologi Kejawen. Kejawen memiliki wawasan kosmos yang tidak lain sebagai perwujudan konsep Mamayu Hayuning Bawana. Memayu hayunig bawana adalah ihwal space culture atau ruang budaya dan sekaligus spiritual culture atau spiritualitas budaya.

Dipandang dari sisi space culture, ungkapan ini memuat serentetan ruang atau bawana. Bawana adalah dunia dengan isinya. Bawana adalah kawasan kosmologi Jawa. Sebagai wilayah kosmos, bawana justru dipandang sebagai jagad rame. Jagad rame adalah tempat manusia hidup 206 dalam realitas. Bawana merupakan tanaman, ladang dan sekaligus taman hidup setelah mati. Orang yang hidupnya di jagad rame menanamkan kebaikan kelak akan menuai hasilnya.

Selain itu, Mamayu Hayuning Bawana juga menjadi spiritualitas budaya. Spiritualitas budaya adalah ekspresi budaya yang dilakukan oleh orang Jawa di tengah-tengah jagad rame (space culture). Pada tataran ini, orang Jawa menghayati laku kebatinan yang senantiasa menghiasi kesejahteraan dunia.

Realitas hidup di jagad rame perlu mengendapkan nafsu agar lebih terkendali dan dunia semakin terarah. Realitas hidup tentu ada tawar-menawar, bisa dan untung rugi. Hanya orang yang luhur budinya yang dapat memetik keuntungan dalam realitas hidup. Dalam proses semacam itu, orang Jawa sering melakukan ngelmu titen dan petung demi tercepainya bawana tentrem atau kedamaian dunia.

Keadaan inilah yang dimaksudkan sebagai hayu atau selamat tanpa ada gangguan apapun. Suasana demikian oleh orang Jawa disandikan ke dalam ungkapan Mamayu Hayuning Bawana Mamayu Hayuning Bawana memang upaya melindungi keselamatan dunia baik lahir maupun batin.

Orang Jawa 207 merasa berkewajiban untuk Mamayu Hayuning Bawana atau memperindah keindahan dunia, hanya inilah yang memberi arti dari hidup. Di satu fisik secara harafiah, manusia harus memelihara dan memperbaiki lingkungan fisiknya. Sedangkan di pihak lain secara abstrak, manusia juga harus memelihara dan memperbaiki lingkungan spritualnya.

Pandangan tersebut memberikan dorongan bahwa hidup manusia tidak mungkin lepas dari lingkungan. Orang Jawa menyebutkan bahwa manusia hendaknya arif lingkungan, tidak merusak dan berbuat semena-mena. Beberapa kata-kata kunci diatas, bisa ditambahkan lagi; Daya kekuatan; Mulat Salira, Ojo Dumeh; Kasedan Jati; MKG, SPL -SPD; Kesempurnaan sejati (wruh hananing urip, putus ing kasidan jati). Pertanyaanya, (mungkin): Setelah terus direnungkan, dihayati dan dipahami, tetapi kenapa saya (kita?) masih belum bisa Eling lan Waspodo.

Sering (kalau mau jujur) didalam setiap ucap, tindakan/perbuatan, bahkan situasi “kesempatan” dimana saya masih bisa berbuat kebaikan dan kebajikan, sering hal itu tidak saya lakukan (lewat kesempatan untuk menolong), demikian sikap tindak tanduk saya sering merugikan orang lain (menipu, korupsi), Menambahkan konsep lain, mungkin saya kurang berlatih : 208 Gelar (waspodo berkiprah di/dengan dunia) dan Gulung (untuk mendapatkan kekuatan Eling tanpa lupa dari dalam = MIJIL), Atau kurang disiplin dalam laku hidup?, atau tidak mengolah dengan baik : cipto-Karsa-rasa atau tidak bisa manembah : Jiwo-Roso.

Menyadari dengan penuh kejujuran, semua pelajaran ini baru sebatas pemahaman konsep, puas di lintasan pikiran/kesadaran intelek saja/lingkup ratio/immanen. Sikap eling dan waspada akan memelihara seseorang dalam mendayagunakan prana yang berwujud mantra yang dimanfaatkan untuk kebaikan hidup bersama menggapai ketentraman dan kesejahteraan.

Yang paling utama bilamana semua jenis mantra ditujukan sebagai upaya untuk keselarasan dan harmonisasi alam semesta dalam dimensi horisontal dan vertikal dengan Yang Transenden. Mantra adalah salah satu bentuk pencapaian dalam pergumulan laku spiritual Sastra Jendra sedangkan tujuannya yang mulia menjadi makna dibalik Hamemayu hayuning Rat, hamemayu hayuning bawono, lan pangruwating diyu. Menjadi satu kalimat dalam falsafah Jawa tingkat tinggi yakni Sastra jendra, hayuning Rat, pangruwating diyu.

Yang tidak lain untuk menyebut pencapaian spiritual dalam konteks kemanunggalan diri dengan alam semesta (Hamemayu hayuning Bawono). 209 Dalam rangka panembahan pribadi dimanifestasikan budi pekerti luhur (Hangawula kawulaning Gusti /Pangruwating diyu), keduanya berpangkal dan berujung pada panembahan kepada Tuhan Yang Maha Tunggal (Hamemayu hayuning Rat).

Dengan kata lain budi pekerti membangun dua dimensi jagad, yakni; jagad kecil (pribadi) microkosmos dan jagad besar /macrokosmos manembah kepada Tuhan YME. 210 CARA MENCAPAI TUJUAN HIDUP DALAM SERAT WEDATAMA Salah satu ajaran filosofis orang Jawa tentang tujuan hidup manusia terdapat dalam ajaran “sangkan paraning dumadi”. Yang dimaksud dengan “sangkan paraning dumadi“ ini adalah asal mula (sangkan) dan tujuan dari akhir (paraning) segala yang ada di dunia (dumadi), termasuk juga manusia di dalamnya.

Asal mula dan tujuan akhir dari segala yang ada di dunia ini dipandang sebagai ciptaan atau berasal dari Tuhan Yanh Maha Esa, yang kelak pada akhirnya akan kembali lagi kepada-Nya. Pandangan filosofis Jawa tentang “sangkan paraning dumadi” itu dituangkan dalam bentuk tembang macapat “Dhandhanggula”. Secara tersirat, kehidupan manusia didalam tembang tersebut diibaratkan dengan ungkapan “manungso urip ono ing donya iku prasasat mung mampir ngombe” yang terjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah bahwa manusia hidup di dunia ini ibarat hanya singgah untuk minum (Endraswara, 2013:54).

Dalam pandangan orang Jawa, keberadaan manusia di dunia ini dipandang sangat singkat karena hanya singgah sebentar saja dan nantinya akan melanjutkan perjalannya 211 menuju ke alam selanjutnya, yaitu alam kelanggengan. Oleh karenanya dunia tempat manusia ini disebut dengan “alam madya” atau dunia fana. Dari “alam madya” ini manusia kemudian melanjutkan perjalannya menuju ke alam akhir, alam kelanggengan yang disebut dengan “alam wasana”.

Alam kelanggengan atau “alam wasana” ini merupakan tempat berakhirnya tujuan hidup manusia. Namun demikian, alam kelanggengan ini juga merupakan alam dimana manusia berawal mula atau “alam purwa”. Dengan demikian alam kelanggengan ini adalah asal sekaligus tujuan akhir kehidupan manusia. Itulah hakekat dari perkataan kembali ke asal mula.

Karena manusia hidup di “alam madya” ini hanya sebentar, waktunya hanya singkat, dibandingkan dengan di alam kelanggengan yang abadi, sudah sepantasnya kesempatan ini dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Di periode inilah manusia ditentukan nasibnya kelak, ditentukan sesuai dengan apa yang telah diperbuat semas hidupnya di alam sementara ini.

Di periode kehidupan yang singkat ini berlaku hokum “ngundhuh wohing panggawe”, dimana manusia akan bertanggung jawab sendiri-sendiri atas apa yang telah diperbuatnya di “alam madya” ini. Jika manusia melakukan banyak kebajikan di dalam hidupnya, tentu kelak akan 212 memperoleh tempat yang baik pula di alam kelanggengan. Sebaliknya, bila berbuat buruk, maka di alam kelanggengan pun manusia akan mendapatkan tempat yang buruk.

Dengan memahami ajaran tentang asal mula dan tujuan akhir hidupnya, manusia diharapkan akan selalu menumbuh suburkan perilaku-perilaku yang terpuji dan yang mulia. Melalui melakukan tindakan-tindakan yang terpuji dan mulia, manusia diharapkan akan sampai pada tataran hidup spiritual disebut sebagai “jalma pinilih” atau manusia terpilih.

Sebagai “jalma pinilih”, manusia diharapkan sudah mampu mengatur dirinya sendiri, mampu mengendalikan diri dan mampu menjaga tindakan serta sikapnya tanpa lepas dari kesadaran bahwa dirinya adalah mahkluk ciptaan Tuhan. Tidak hanya itu saja, manusia juga mampu untuk senantiasa menjaga dan memelihara ketentraman serta membawa perdamaian di dunia atau “memayu hayuning bawono”, sebagaimana yang telah Tuhan perintahkan. Tuhan Sang Pencipta, dimana asal mula dan tujuan akhir manusia kelak akan kembali.

Serat Wedhatama mengajarkan bahwa untuk menggapai tujuan hidup manusia melalui catur sembah. Catur sembah yaitu empat macam sembah yang harus dilakukan sesuai 213 tahapan-tahapannya hingga mencapai penyatuan. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai catur sembah, berikut akan diuraikan mengenai konsep catur sembah.

Catur sembah dimuat dalam pupuh Gambuh 1 terdiri dari sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa dan sembah rasa (Wedatama Winardi,1991:37). Berikut uraian masing-masing jalan tersebut. 1. Sembah Raga Tujuan manusia menurut Serat Wedatama adalah mencapai penyatuan dengan Tuhan atau lebih dikenal Manungaling Kawula Gusti, Sangkan Paraning Dumadi, Guru Sejati dan lainnya. Untuk mencapai tujuan tersebut bukanlah harus melakukan perjalanan yang panjang dan memerlukan kendaraaan seperti jaman modern.

Tujuan hidup itu dapat dicapai melalui laku. Tanpa laku tujuan hidup tersebut mustahil dapat dicapai. Mangkunegara IV mengajarkan dalam pupuh gambuh 1 sebagai berikut: Samengko ingsun tutur, Sembah catur supaya lumuntur, Dhihin raga cipta jiwa rasa karsa, Ingkono lamun ketemu, 214 Tandha nugrahaning Manon (Mangkunegara, IV, 1991:37). Terjemahannya: Sekarang aku jelaskan tentang empat macam sembah.

Yaitu Sembah Raga, Sembah Cipta, Sembah Jiwa dan Sembah Rasa. Disitu akan ketemu, tanda rahmatnya Tuhan. Panembah adalah berasal dari kata sembah yang berarti mempersembahkan sesuatu. Tetapi yang terjadi sekarang ini justru melakukan sembahyang memiliki arti yang berbeda. Dapat diamati ketika melakukan sembahyang, maka bukan mempersembahkan sesuatu pada Tuhan, tetapi kita justru meminta melulu. Tidak ada persembahan.

Sembahyang atau manembah dilakukan dengan laku. Laku batin mutlak harus dilakukan, karena tanpa laku batin terpusat di hati (bukan konsentrasi pikiran yang menegangkan) maka orang hanya mengerti sebatas wacana tetapi tidak menghayati.

Sembah raga ini adalah Sembah raga bisa juga disebut dengan sembah sarengat (syariat) yang mengutamakan gerakan raga dengan cara yang sudah ditentukan, disertai dengan doa baik dengan suara yang dapat didengar orang lain maupun ucapan di dalam batin yang tidak 215 terdengar. Dalam Serat Wedhatama Pupuh Gambuh 48 dijelaskan: Sembah Raga puniku, Pakartining wong amagang laku sesucine asarana saking warih Kang wus lumrah limang wektu Wantu wataking wawaton (Mangkunegara, IV,1991:37).

Terjemahannya: Sembah raga itu, pengertiannya orang yang sedang laku, caranya mensucikan diri dengan air, yang lumrah adalah lima waktu, cara-caranya sudah ditentukan. Sembah raga ini dimaksudkan untuk membersihkan diri dengan latihan tertentu khususnya latihan jasmani. Semua itu merupakan tahap awal yang harus dilewati oleh seorang pencari kebenaran.

Latihan khusus ini dalam Hindu diistilahkan dengan Panca Yama Brata yaitu lima pengendalian diri yang bersifat badaniah atau lahiriah. Lima bagian tersebut yaitu: Ahimsa artinya tidak menyiksa atau membunuh mahluk lain dengan sewenang-wenang, Brahmacari artinya tidak kawin selama dalam menuntut ilmu, berarti juga pengendalian nafsu seks, Satya artinya benar setia 216 dan jujur, Awyawahara/Awyawaharika artinya berusaha dengan tulus dan Asteya artinya tidak mencuri atau menggelapkan harta orang lain.

Dalam Serat Wedhatama, sembah raga merupakan persembahan yang dilakukan oleh raga, untuk melampaui raga itu sendiri, untuk melampaui kesadaran jasmani. Apabila Sembah Raga belum bisa juga mengantar ke tahap ketenteraman jiwa, ketahuilah bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Cara melakukannya sudah salah. Atau mungkin Sembah Raga yang dilakukan, sbukan Sembah Raga lagi, tetapi sudah menjadi olah raga.

Sembah raga ini membutuhkan kedisiplinan yang kuat seperti sembahyang tiga kali sehari. Sembah raga ialah menyembah Tuhan dengan mengutamakan gerak laku badaniah atau amal perbuatan yang bersifat lahiriah. Cara bersucinya sama dengan sembahyang biasa, yaitu dengan mempergunakan air (wudhu).

Sembah yang demikian biasa dikerjakan lima kali sehari semalam dengan mengindahkan pedoman secara tepat, tekun dan terus menerus, seperti bait berikut: Sembah raga, sebagai bagian pertama dari empat sembah yang merupakan perjalanan hidup yang panjang ditamsilkan sebagai orang yang magang laku (calon pelaku 217 atau penempuh perjalanan hidup kerohanian), orang menjalani tahap awal kehidupan bertapa (sembah raga puniku pakartining wong amagang laku).

Sembah ini didahului dengan bersuci yang menggunakan air (sesucine asarana saking warih). Yang berlaku umum sembah raga ditunaikan sehari semalam lima kali. Atau dengan kata lain bahwa untuk menunaikan sembah ini telah ditetapkan waktu-waktunya lima kali dalam sehari semalam (kang wus lumrah limang wektu). Sembah lima waktu merupakan shalat fardlu yang wajib ditunaikan (setiap muslim) dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya (wantu wataking wawaton).

Sembah raga yang demikian ini wajib ditunaikan terus-menerus tiada henti (wantu) seumur hidup. Dengan keharusan memenuhi segala ketentuan syarat dan rukun yang wajib dipedomani (wataking wawaton). Watak suatu waton (pedoman) harus dipedomani. Tanpa mempedomani syarat dan rukun, maka sembah itu tidak sah.

Sembah raga tersebut, meskipun lebih menekankan gerak laku badaniah, namun bukan berarti mengabaikan aspek rohaniah, sebab orang yang magang laku selain menghadirkan seperangkat fisiknya, juga menghadirkan seperangkat aspek spiritualnya sehingga meningkat ke tahap kerohanian yang lebih tinggi. 218 Serat Wedatama memberikan acuan pada pupuh Gambuh pada bait 2 (49) Sembah raga tersebut ibaratnya orang yang masih magang pegawai atau juga dikatakan langkah pertama/permulaan. Pokok tujuanya ialah guna memaksa dan membiasakan diri untuk “berdiam-hening” bersemedi.

Dan bagi orang Islam sembahyang lima waktu (Mangkunegara, IV, 1991:37). Lebih lanjut Mangkunegara IV membeberkan atau memberikan penegasan pada pupuh Gambuh 3 (50). Pada jaman yang lampau sembahyang lima waktu itu tidaklah disertai ajaran-ajaran yang pelik. Baru sekaranglah para pemeluk agama tersebut dalam mencari pengikut membuat akal yang serba elok/aneh-aneh dengan maksud memamerkan kepandaiannya saja (Mangkunegara, IV, 1991:37).

Bertendensi pada pupuh Gambuh 3 tersebut memberikan gambaran pada panembah atau pengabdi Tuhan bahwa sembahyang merupakan rutinitas yang beribet dan aneh-aneh jika dilaksanakan hanya untuk dipamerkan biar mendapat sanjungan dari orang lain dan dianggap orang yang beriman dan berbudi. Kedisiplinan berlatih jasmani disini adalah memaksa diri untuk terbiasa berbuat yang benar sehingga tumbuh menjadi manusia yang berkarakter.

219 Sebuah ilustrasi dari Serat Wedhatama yang mengandaikan pribadi yang menunjukan kepandaiannya itu mirip seorang Selatan daerah sepanjang pesisir Pacitan. Beribu-ribu orang percaya dan menjadi pengikut guru-guru yang memberikan ajaran-ajaran yang tidak masuk akal serta tak sesuai dengan kenyataan. Misalnya: kebal terhadap segala macam senjata, percaya yang fanatik/takhayul, dan sebagainya (Mangkunegara, IV, 1991:39).

Karena hanyut akan jaran yang seba elok/aneh-aneh itu maka banyak orang yang ingin segera dapat melihat /bertemu Tuhan. Dikarenakan kurangnya pengertian yang wajar (logis) mereka mengira-ngira bahwa Tuhan itu dapat dilihat dengan mata telanjang begitu saja seperti kalau melihat cahaya. Bila demikian mereka hendak sujud dan mengikutinya. Demikian hal tersebut sebenarnya keliru pendapat serta pengertiannya namun tak disadarinya.

Padahal yang dimaksudkan oleh KPAA Mangkunegara IV pada zaman dahulu adalah, cara-cara mengajar ilmu kebatinan itu dilakukan dengan runtut bertingkat-tingkat mulai dari sembah raga sampai sembah rasa. Jadi lahiriah dipisah-pisahkan daripada batiniah, sehingga tidak membingungkan orang yang menyembah kepada Tuhan. 220 Yang dimaksud pada sembah raga adalah cara atau lakunya serba teratur-tertib dan tekun.

Dengan demikian hasilnya membuat badan sehat walafiat dan memiliki kebiasaan bersikap teguh tenang (kalem). Sembah raga mengharuskan panembah bersikap teratur dan disiplin sehingga badan menjadi sehat, yakni otot, daging, tulang belulang, sumsum, otak dan sebagainya tidak sakit, demikian pula mengalirnya darah teratur, maka semua itu akan mempengaruhi hati dan fikiran menjadi teguh tenang dan sebagainya.

Yang seterusnya membuat pula tenang Panca Indra sebagai batu loncatan untuk melakukan sembah cipta. Demikian bahwa tiap orang berbeda-beda akan pendapat/ pendapatnya, hal ini karena sifat rwa bhinedha. Maka masalah tersebut terserah kepada para peminat. Bagi orang yang menganut ajaran kesaktian lahiriah (kekebalan, jimat dan sebagainya) tentu tidak setuju dengan Wedhatama. 2.

Sembah Cipta Sembah Cipta atau sembah kalbu itu sembahnya angan-angan luhur (manas luhur) kepada Tuhan (Narapati). Pertama ular nalar (pikiran) agar mengerti akan peraturan kasunyatan. Kedua harus menguasai manas rendah, agar 221 menuruti peraturan juga harus menguasai mengetahui (mangreh) yang momong (yang empu) diri.

Cipta luhur itu ratunya diri yang patuh kepada Tuhan (menerima perintah Tuhan yang terasa dalam pokoknya rasa rosing rasa) (Mangkunegara, IV 1991:41). Apabila cipta mengandung arti gagasan, angan-angan, harapan atau keinginan yang tersimpan di dalam hati, kalbu berarti hati, maka sembah cipta di sini mengandung arti sembah kalbu atau sembah hati, bukan sembah gagasan atau angan-angan.

Apabila sembah raga menekankan penggunaan air untuk membasuh segala kotoran dan najis lahiriah, maka sembah kalbu menekankan pengekangan hawa nafsu yang dapat mengakibatkan terjadinya berbagai pelanggaran dan dosa (sucine tanpa banyu, amung nyunyuda hardaning kalbu). Tujuan sembah cipta adalah membuat sucinya kalbu, maka cara membersihkanya tidaklah dengan air, melainkan dengan perbuatan karsa (kehendak/hasrat) nya antar lain berlaku tertib, teliti, hati-hati, tekun, terbiasa betapapun sulit dan beratnya, hingga akhir nya menjadi watak (kebiasaan).

Dalam hal ini yang perlu diperhatikan ialah senantiasa “ingat dan waspada.” 222 Panembah dengan cara ini adalah mendekatkan diri dengan menggunakan sarana ciptanya. Yang dimaksud dengan sembah cipta adalah menghentikan ciptanya supaya menjadi tenang. Caranya adalah dengan berdiam diri, dan berusaha menghentikan ciptanya. Berhentinya cipta seorang manusia itu disebut heneng yang memiliki arti meneng (diam dan tenang).

Mengapa gerakan cipta harus dihentikan? Karena daya cipta manusia merupakan aling-aling (tabir penyekat yang menghalangi manusia dengan dunia ghaib). Dengan menghentikan cipta maka akan terbukalah tabir penyekat tersebut yang memungkinkan manusia masuk ke alam ghaib untuk mendekat pada Gusti Allah. Tuhan hanya dapat diabdi dengan cinta dalam perbuatan nyata, tidak hanya dipikirkan.

Hanya dengan perbuatan belas kasih sejati Tuhan dapat diperoleh, tetapi dengan pikiran tidak mungkin. Sebagai pengandaian, untuk memperoleh prestasi olah raga diperlukan ketekunan latihan, demikian pula untuk dapat menanggapi kasih-Nya diperlukan ketekunan olah batin yang diawali dengan senyum, sikap rileks menghilangkan ketegangan tubuh dan pikiran tanpa memaksakan diri, untuk dapat menyadari kehadiran-Nya.

223 Sikap percaya dan berserah diri manunggal dengan Tuhan ini bisa diandaikan sebagai hak dan kewajiban, ketika orang telah memenuhi kewajibannya dengan baik pasti haknya akan diperoleh. Apabila orang sungguh percaya kepada Tuhan, mengarahkan hati sejati kepada-Nya yang diungkapkan dengan perbuatan baik penuh welas asih, maka orang akan dengan tegar dapat menerima setiap keadaan tanpa harus melawan dengan memaksakan kehendak, segala sesuatu yang negatif dari luar dirinya diterima dengan senyum sebagai hiburan, karena percaya bahwa kuasa welas asih & katresnan Dalem Gusti yang berkarya, diiringi ucapan syukur.

Tidak ada rasa iri hati, sombong, takut, kuatir, tegang, dihantui rasa bersalah, melainkan percaya Tuhan pasti akan mengatur memberikan kesejahteraan sejati bagi hidupnya. Demikian juga ketika berdoa memohon kepada-Nya, yakin segala permohonannya telah dikabulkan. Semua ini membuahkan rasa hati gembira, berani menghadapi kenyataan hidup, dalam segala hal selalu bersyukur (sumringah bingah, menapa-menapa wantun, syukur lan beja ingkang langgeng).

Seseorang yang sudah mampu menjalani hidup menyatu dengan Tuhan atau “Manunggaling Kawula Gusti” berarti sudah menanggapi “Manunggaling Gusti Kawula” dengan 224 baik. Buahnya orang menjadi sehat secara psikis karena selalu berpikir positip dan tenang atau sareh. Selanjutnya, di bawah ini dikutip tiga pupuh tembang Sinom pupuh 1, 2 dan 3 yang mengandung ajaran bertapa untuk mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa dengan menjauhkan diri dari keduniawian, sebagai berikut.

Nulada laku utama Tumrape wong tanah Jawi Wong agung ing Ngeksiganda Panembahan Senopati Kepati amarsudi Sudane hawa lan nepsu Pinepsu tapa brata Tanapi ing siyang ratri Amamangun karyenak tyasing sesame (Mangkunegara, IV 1991: 17). Terjemahannya: Contohlah perilaku utama, bagi kalangan orang Jawa, orang besar dari Ngeksiganda/Mataram, Panembahan Senopati, yang tekun mengurangi hawa nafsu, dengan jalan prihatin/bertapa, siang malam selalu berkarya membuat hati tenteram bagi sesama.

225 Samangsane pasamuan Mamangun marta martani Sinambi ing saben mangsa Kala kalaning asepi Lelana teki-teki Nggayuh geyonganing kayun Kayungyun eninging tyas Sanityasa pinrihatin Puguh panggah cegah dhahar lawan nendra (Mangkunegara, IV 1991: 17). Terjemahannya: Dalam setiap pertemuan/diskusi, membangun sikap tahu diri, setiap ada kesempatan, di saat waktu longgar, mengembara untuk bertapa, menggapai cita-cita hati, hanyut dalam keheningan kalbu, senantiasa menjaga hati untuk prihatin menahan hawa nafsu, dengan tekad kuat, membatasi makan dan tidur.

Saben mendra saking wisma lelana lalading sepi ngingsep sepuhing supana mrih pana pranaweng kapti 226 tis tising tyas marsudi mardawaning budya tulus mesu reh kasudarman neng tepining jalanidhi sruning brata kataman wahyu dyatmika (Mangkunegara, IV 1991: 17). Terjemahannya: Setiap pergi meninggalkan rumah (istana), berkelana ke tempat yang sunyi, menghirup tingginya ilmu, agar jelas apa yang menjadi tujuan hidup sejati, tekad hati selalu berusaha dengan tekun, memperdayakan akal budi, menghayati cinta kasih, ditepinya samudra, kuatnya bertapa diterimalah wahyu kebaikan.

Dari pupuh tembang Sinom 1, 2 dan 3 tersebut, untuk mencapai ngelmu kasampurnan, orang Jawa agar mencontoh perilaku utama Raja Mataram Panembahan Senapati, yaitu mengurangi hawa nafsu, dengan jalan prihatin (bertapa), siang malam selalu berkarya membuat hati tenteram memberi kasih sayang bagi sesama. Setiap ada kesempatan mengembara untuk bertapa, menggapai cita-cita hati, hanyut dalam keheningan kalbu.

Senantiasa menjaga hati untuk prihatin (menahan hawa nafsu), dengan tekad kuat, membatasi 227 makan dan tidur. Setiap pergi meninggalkan rumah, berkelana ke tempat yang sunyi, menghirup tingginya ilmu, agar jelas yang menjadi tujuan hidup sejati. Tekad hati selalu berusaha dengan tekun, memperdayakan akal budi, menghayati cinta kasih, bertapa untuk menerima wahyu kebaikan.

Seperti telah disebutkan di atas, bahwa tercapainya perasaan bersatunya jiwa dengan Tuhan Yang Maha Esa (manunggaling kawula Gusti) itu hanya sesaat, yaitu dalam keadaan tak sadar diri, dalam keadaan itu terasa tak ada yang ditakuti barang sedikit pun, tidak ada perasaan khawatir, kecuali dalam keadaan hening, tenang, merasa ketenteraman yang mengesankan. Sembah Kalbu atau Sembah Cipta, tidak perlu dan bahkan tidak dapat dipamerkan. dalam Hindu hal ini disebut dengan Panca Yama Brata yaitu lima pengendalian diri yang bersifat batiniah. Lima pengendalian tersebut adalah Akrodha artinya tidak marah, jika dicaji atau mendapat ucapan kasar yang menyakiti hati. Guru Susrusa artinya hormat kepada catur guru, taat dan tekun melaksanakan ajaran dan nasehat-nasehat guru, Dalam Hindu Catur Guru yaitu Guru Swadyaya (Tuhan) Guru Pangajian (guru disekolah atau orang yang lebih senior) Guru Wisesa (pemerintah) dan Guru Rupa yaitu orang tua.

Sauca artinya kebersihan, kemurnian dan kesucian 228 lahir dan bathin (tidak munafik, ada konsistensi antara yang dipikir dengan yang diucapkan. Aharalaghawa pengaturan makan dan minum. Apramada artinya taat tanpa ketakaburan melakukan kewajiban dan mengamalkan ajaran-ajaran suci. Makanan yang terlalu banyak akan menyebabkan rasa malas dan penuh kesombongan.

Oleh karena hal tersebut maka dalam sembah kalbu atau sembah cipta ini harus latihan menyebarkan cinta kasih. Kasih tidak dapat dipamerkan, tidak perlu dipamerkan. Kasih merupakan suatu sifat yang melengket dengan jiwa kita. Menurut Sri Bhagavan, orang seperti itu menjadi narapati. Narapati adalah julukan bagi seorang penguasa, bagi seorang raja. Namun yang dikuasainya apa? Bukan sesuatu di luar dirinya. Yang dikuasai adalah dirinya sendiri.

Nara berarti manusia. Pati berarti raja, penguasa atau pengendali. Yang dimaksudkan adalah pengendalian diri. Secara emosi menjadi lebih sabar, tidak pemarah, tidak akan putus asa, kecewa dan tidak mudah tersinggung karena yakin semua yang negatif dari luar tidak akan mempengaruhi dirinya (nyawang karep). Secara sosial menjadi mudah bergaul dan menerima orang lain dan keadaan seperti apa adanya tanpa menimbulkan emosi negatip.

229 Akhirnya, dengan didukung pola makan yang benar dan gerak badan cukup, semua sikap tersebut menyehatkan raga karena metabolisme tubuh normal tanpa diganggu emosi negatip yang mengakibatkan peredaran darah tidak lancar, detak jantung tidak teratur, tekanan darah naik. Meskipun ajaran ini tentang relasi pribadi manusia dengan Tuhan, tetapi memiliki nilai sosial dan kemanusiaan tinggi, karena sikap berserah diri kepada Tuhan selalu diungkapkan dengan perbuatan belas kasih kepada sesama dan alam semesta, dengan hati sejati sebagai nakhodanya.

Ajaran ini juga upaya mengakhiri kekerasan, karena sesungguhnya kekerasan yang dilawan dengan kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru. Sembah raga merupakan persiapan, sedangkan Sembah Cipta ini sudah mulai memasuki esensi agama. Hasil akhir Sembah Cipta adalah Kesadaran. Yang diolah bukan badan lagi. Membersihkan badan dengan air sudah tidak dapat membantu lagi. Yang harus dibersihkan adalah jiwa.

Jiwa yang ditutupi oleh awan ketidaksadaran, kabut kebodohan. Dalam kegelapan akan muncul kebodohan. Untuk menerangi kegelapan, dibutuhkan cahaya, cahaya itu adalah kesadaran dan kesadaran murni itu adalah Siwa (Tuhan) itu sendiri. 230 Agar kebodohan menjadi pintar menjadi tahu dibutuhkanlah pengetahuan (spiritual) atau jnana, inilah ajaran beserta aturan (ajaran agama) untuk membebaskan diri dari berbagai ikatan.

Ajaran agama juga adalah ikatan adalah hukum yang mengikat, namun jadikan hukum agama untuk melepaskan diri dari ikatan maya, dimana telah dikatakan “ikatan yang terkuat adalah ikatan maya dan hanya yoga yang merupakan kekuatan yang akan mampu melepaskan ikatan itu. Pernyataan tersebut memberikan motivasi spiritual dimana jika berhasil melakukan disiplin, realisasi spiritual sangatlah dekat digenggaman. karena atman, jiwa yang ada di dalam diri, selalu sempurna dan kegagalan yang terjadi dikarenakan sifat dasar terutama karena pikiran yang penuh ketidakmurnian yang mengganggu visi akan semua ini. Disiplin ini memberikan pemurnian. Atman dicapai bukan melalui indra atau akal intelek. Manusia bisa saja mengetahui kitab suci sampai hafal dan intelektual, tetapi tidak mengetahui sama sekali tentang Atman.

Intelektualitas murni tanpa hati akan membuat manusia skeptik dan licik (Tapasyananda, 2008:73). Berkenaan hal tersebut hati yang murni dan tulus adalah utama. Hormat yang diberikan kepada Tuhan di dalam 231 diri manusia, pada atma adalah kebenaran; atma adalah kasih murni; atma adalah Tuhan; atma adalah pengabdian tanpa pamrih.

Hormat kepada semua ini adalah harga diri atau hormat pada diri sejati, dan hanya hormat semacam inilah yang dapat mendatangkan kedamaian dan bukan hormat jenis lainnya. Selalu mengingat Tuhan yang penuh belas kasihan, perwujudan kebenaran, Tuhan yang sifatnya kasih, itulah harga diri yang sesungguhnya. Untuk memperoleh itu harus mengesampingkan kehormatan yang diberikan oleh dunia pada kekayaan dan kedudukan, sebagai hal yang tidak berharga, harus mengabaikan pujian dan celaan, cemohan dan sanjungan yang menjilat. Melakukan latihan rohani dengan kepercayaan penuh pada kebenaran dan pada Tuhan.

Itulah kedamaian sejati, kedamaian murni dan kedamaian yang abadi. Hanya manusialah yang memiliki kemampuan dan hak untuk mewujudkan kekuasaan itu, untuk memperoleh kekuasaan Tuhan. Tragisnya setelah mencapai kelahiran sebagai manusia pun sebagian besar orang tidak menyadari kenyataan diri yang abadi itu. Bahkan tidak berusaha memahaminya.

Tujuan kedatangannya ke dunia tidak dihindahkannya, apakah hidup seperti margasatwa, atau 232 seperti burung atau serangga. Hanya makan, berkelana, tidur, dan mencari kenikmatan. Manusia mempunyai kemampuan yang tidak dimiliki binatang yaitu; daya penalaran, kemampuan meninggalkan (segala keinginan dan ketagihan), serta kemampuan menentukan yang benar dan yang salah.

Ini adalah kemampuan khusus dalam diri manusia, tetapi apa gunanya semua itu jika tidak diterapkan dalam perbuatan yang nyata? Jika kemampuan itu digunakan maka sebutan manusia tepat baginya. Ketiga kemampuan di atas tidak hanya dalam masalah duniawi, tetapi yang terpenting juga adalah dalam mencari kebenaran terakhir. Sesungguhnya jika Viveka, penyangkalan diri dan penyelidikan batin diterapkan pada waktu mengarungi suka-duka kehidupan, pada suatu saat akan timbullah keyakinan bahwa semua ini tidak nyata, bahwa semua ini tidak mempunyai landasan kebenaran.

Bila kesadaran ini timbul dan bertumbuh pastilah manusia menempuh jalan spiritual dan melakukan latihan rohani. Kemudian akan melaksanakan penyelidikan bathin yang membawanya menuju kebenaran. Inilah tugas yang harus dilaksanakan manusia. Hasil dari sembah cipta itu adalah dapat melihat yang 233 benar (pramana) jalan menuju kesunyataan.

Karena kalau dilakukan sebagaimana diutarakan di atas, lazimnya akan lenyaplah penghalang yang menghalang-halangi pandangan lahir-batiniah. Sembah cipta ini bisa batal jika orang bersikap laku tidak setia serta mengabaikan hasrat dan tujuan semula (kesucian hati) misalnya jadi sombong, minta dipuji, serta dihormati pengikut-pengikutnya. Oleh karena itu hendaknya ingat/eling dan waspada akan hukum sebab akibat (kausal) dari pakartinya sendiri.

Dalam perspektif kaidah Jawa, nafsu-nafsu merupakan perasaan kasar karena menggagalkan kontrol diri manusia, membelenggu, serta buta pada dunia lahir maupun batin. Nafsu akan memperlemah manusia karena menjadi sumber yang memboroskan kekuatan-kekuatan batin tanpa ada gunanya. Lebih lanjut, menurut kaidah Jawa nafsu akan lebih berbahaya karena mampu menutup akal budi.

Sehingga manusia yang menuruti hawa nafsu tidak lagi menuruti akal budinya (budi pekerti). Manusia demikian tidak dapat mengembangkan segi-segi halusnya, manusia semakin mengancam lingkungannya, menimbulkan konflik, ketegangan, dan merusak ketrentaman yang mengganggu stabilitas kebangsaan alam ajaran kejawen, terdapat dua 234 bentuk ancaman besar yang mendasari sikap kewaspadaan (eling lan waspada), karena dapat menghancurkan kaidah kemanusiaan, yakni; hawa nafsu dan pamrih. Manusia harus mampu meredam hawa nafsu atau nutupi babahan hawa sanga.

Yakni mengontrol nafsunya yang muncul dari sembilan unsur dalam diri manusia, dan melepas pamrihnya. Nafsu akan memperlemah manusia karena menjadi sumber yang memboroskan kekuatan-kekuatan batin tanpa ada gunanya. Lebih lanjut, menurut kaidah Jawa nafsu akan lebih berbahaya karena mampu menutup akal budi.

Sehingga manusia yang menuruti hawa nafsu tidak lagi menuruti akal budinya (budi pekerti). Manusia demikian tidak dapat mengembangkan segi-segi halusnya, manusia semakin mengancam lingkungannya, menimbulkan konflik, ketegangan, dan merusak ketrentaman yang mengganggu stabilitas kebangsaan.

Hindu mengajarkan agar semua baktanya untuk mengendalikan musuh-musuh hidupnya, karena musuh yang paling susah dikalahkan adalah musuh yang ada dalam diri sendiri. Hal ini di muat dalam kekawin Ramayana sebagai berikut: Ragadi musuh maparo Rihatya tonggwanya Tan madoh ring awak (Ramayana I. 4) 235 Terjemahannya: Nafsu, kemarahan, iri, dengki, angkuh dan kegelapan Adalah musuh terdekat dalam diri manusia dihatilah tempatnya tiada jauh dari diri.

Berdasarkan sloka tersebut maka manusia harus mampu jadi pemimpin yang kuat dan tangguh yang mampu mengalahkan semua musuh-musuhnya. Karena musuh manusia tak terbatas jumlahnya dan amat sulit untuk dilkalahkan. Penghalang yang kedua adalah rasa pamrih merupakan ancaman ke dua bagi manusia. Bertindak karena pamrih berarti hanya mengutamakan kepentingan diri pribadi secara egois. Pamrih, mengabaikan kepentingan orang lain dan masyarakat.

Secara sosiologis, pamrih itu mengacaukan (chaos) karena tindakannya tidak menghiraukan keselarasan sosial lingkungannya. Pamrih juga akan menghancurkan diri pribadi dari dalam, karena pamrih mengunggulkan secara mutlak keakuannya sendiri (istilahnya Freud: ego). Karena itu, pamrih akan membatasi diri atau mengisolasi diri dari sumber kekuatan batin.

Dalam kaca mata Jawa, pamrih yang berasal dari nafsu ragawi akan mengalahkan nafsu sukmani yang suci. Pamrih mengutamakan kepentingan-kepentingan duniawi, dengan 236 demikian manusia mengikat dirinya sendiri dengan dunia luar sehingga manusia tidak sanggup lagi untuk memusatkan batin dalam dirinya sendiri. Oleh sebab itu pula, pamrih menjadi faktor penghalang bagi seseorang untuk mencapai kemanunggalan kawula Gusti.

Pamrih itu seperti apa, tidak setiap orang mampu mengindentifikasi. Kadang orang dengan mudah mengartikan pamrih itu, tetapi secara tidak sadar terjebak oleh perspektif subyektif yang berangkat dari kepentingan dirinya sendiri untuk melakukan pembenaran atas segala tindakannya.

Untuk itu penting Sabdalangit kemukakan bentuk-bentuk pamrih yang dibagi dalam tiga nafsu dalam perspektif kejawen: a. Nafsu selalu ingin menjadi orang pertama, yakni; nafsu golek menange dhewe; selalu ingin menangnya sendiri. b. Nafsu selalu menganggap dirinya selalu benar; nafsu golek benere dhewe. c. Nafsu selalu mementingkan kebutuhannya sendiri; nafsu golek butuhe dhewe.

Kelakuan buruk seperti ini disebut juga sebagai aji mumpung. Misalnya mumpung berkuasa, lantas melakukan korupsi, tanpa peduli dengan nasib orang lain yang tertindas. 237 Untuk menjaga kaidah-kaidah manusia supaya tetap teguh dalam menjaga kesucian raga dan jiwanya, dikenal di dalam falsafah dan ajaran Jawa sebagai lakutama, perilaku hidup yang utama.

Sembah merupakan salah satu bentuk lakutama, sebagaimana di tulis oleh pujangga masyhur (tahun 1811-1880-an) dan pengusaha sukses, yang sekaligus Ratu Gung Binatara terkenal karena sakti mandraguna, yakni Gusti Mangkunegoro IV dalam kitab Wedhatama (weda=perilaku, tama=utama) mengemukakan sistematika yang runtut dan teratur dari yang rendah ke tingkatan tertinggi, yakni catur sembah; sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, sembah rasa.

Catur sembah ini senada dengan yang digunakan untuk meraih nggayuh jumbuhing kawula Gusti. Apabila seseorang dapat menjalani secara runtut catur sembah hingga mencapai sembah yang paling tinggi, niscaya siapapun akan mendapatkan anugerah agung menjadi manusia linuwih, atas berkat kemurahan Tuhan Yang Maha Kasih, tidak tergantung apa agamanya.

Berbuat baik dalam hal ini melakukan sinergisme dan harmonisasi dengan alam idealnya dilakukan secara tulus ikhlas tanpa pamrih. Kalimat tulus ikhlas tanpa pamrih sering menjadi rancu dan bias manakala kita ingin 238 memahami apa yang seyogyanya menjadi motifasi dalam beramal atau berbuat baik.

Hanya saja, jika dilakukan oleh orang-orang yang mengaku telah berada dalam tataran kesadaran hakekat rasanya menjadi kurang pantas dan pencapaian spiritualnya diragukan. Sebab sebagai manusia dengan kesadaran hakekat akan memiliki perasaan duwe rasa, ora duwe rasa duwe. Bukankah Tuhan sudah tiap detik selalu memberikan pahala anugrah, rahmat dan kenikmatan yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan.

Mulai dari bisa bernafas, melihat, merasa, tidak kelaparan, tidak kekurangan air, rasa senang, memiliki properti. Bahkan tanpa pandang bulu anugrah dan kenikmatan itu tetap dirasakan oleh seorang koruptor, pencuri, penipu, pembohong, pembunuh. Begitualah kemuliaan Tuhan tidak membedakan perlakuannya baik kepada yang jahat atau yang baik. 3.

Sembah Jiwa Sembah jiwa dapat dikatakan pokoknya segala macam sembah, yang tiada lagi tercampur sedikitpun dengan segala sesuatu dari lahiriah yang ada. Jadi jiwa itu harus tetap suci bersih lantaran senantiasa ingat pada Tuhan. Adapun tatacara 239 sembah jiwa dijelaskan dalam pupuh Gambuh 18 (65) ialah membulatkan ingatan dan rasa yang datang dari lubuk hati, tertuju hanya pada Tuhan (dan percayalah kepada kekuasaan Tuhan yang Maha Besar (Mangkunegara, IV.1991:45).

Sembah Jiwa berarti menyadari sepenuhnya bahwa Sukma dan Hyang Sukma hanya terlihat berbeda, dan pada hakikatnya tidak berbeda. Selama penglihatan Anda masih terfokuskan pada benda-benda duniawi yang disinari oleh rembulan, selama itu pula Anda belum memahami esensi agama. Begitu Anda melihat ke atas, begitu Anda melihat Bulan, Anda akan sadar bahwa benda-benda duniawi ini tidak akan terlihat, tidak berguna sama sekali, apabila tidak disadari oleh rembulan yang merupakan bagian Bulan yang tak terpisahkan. Kesimpulannya, dalam persembahan ini, Anda masih harus berusaha.

Penglihatan Anda masih sempit dan datar harus ditingkatkan. Anda harus melihat ke atas untuk melihat sumber cahaya. Kesadaran Anda harus ditingkatkan. Pelaksanaan sembah jiwa ialah dengan berniat teguh di dalam hati untuk mengemaskan segenap aspek jiwa, lalu diikatnya kuat-kuat untuk diarahkan kepada tujuan yang hendak dicapai tanpa melepaskan apa yang telah dipegang pada saat itu. Dengan demikian triloka (alam semesta) 240 tergulung menjadi satu.

Begitu pula jagad besar dan jagad kecil digulungkan disatu padukan. Di situlah terlihat alam yang bersinar gemerlapan. Maka untuk menghadapi keadaan yang menggagumkan itu, hendaklah perasaan hati dipertebal dan diperteguh jangan terpengaruh apa yang terjadi. Hal yang demikian itu dijelaskan Mangkunegara IV pupuh Gambuh 18(65) pada bait berikut: Ruktine ngangkah ngukud / ngiket ngruket triloka kakukud / jagad agung ginulung lan jagad alit / den kandel kumandel kulup / mring kelaping alam kono."

(Mangkunegara IV, 1991:44) Sembah jiwa adalah sembah kepada Hyang Sukma (Allah) dengan mengutamakan peran jiwa. Jika sembah cipta (kalbu) mengutamakan peran kalbu, maka sembah jiwa lebih halus dan mendalam dengan menggunakan jiwa atau al-ruh. Sembah ini hendaknya diresapi secara menyeluruh tanpa henti setiap hari dan dilaksanakan dengan tekun secara terus-menerus, seperti terlihat pada pupuh Gambuh bait 16(63) sebagai berikut: Samengko kang tinutur / Sembah katri kang sayekti katur / Mring Hyang Sukma suksmanen saari-ari / 241 Arahen dipun kecakup / Sembahing jiwa sutengong (Mangkunegara IV, 1991:44) Dalam rangkaian ajaran sembah Mangkunegara IV yang telah disebut terdahulu, sembah jiwa ini menempati kedudukan yang sangat penting. Ia disebut pepuntoning laku (pokok tujuan atau akhir perjalanan suluk). Inilah akhir perjalanan hidup batiniah.

Cara bersucinya tidak seperti pada sembah raga dengn air atau mandi, tidak pula seperti pada sembah kalbu dengan menundukkan hawa nafsu, tetapi dengan awas emut (selalu waspada dan ingat/dzikir kepada keadaan alam baka/langgeng), alam Ilahi. Betapa penting dan mendalamnya sembah jiwa ini, tampak dengan jelas pada pupuh gambuh bait 17 (64) berikut: Sayekti luwih perlu / ingaranan pepuntoning laku / Kalakuan kang tumrap bangsaning batin / Sucine lan awas emut / Mring alaming lama amota (Mangkunegara IV,1991:44).

Berhasilnya sembah jiwa itu datangnya pada saat keadaan antara bangun dan tidur, sekejap saja tak sadarkan diri. Demikian itulah tandanya kalau sudah tiba pada batas alam kekuasaan Tuhan. Bila pada saat sudah datang masih ingat (memikirkan) pada alam lahiriah, maka sudah barang 242 tentu tidak akan menunggal atau gagal (Mangkunegara IV, 1991:44).

Di atas telah dikemukakan bahwa hasil dari pada sembah Jiwa itu datangnya pada saat sekejap tak sadarkan diri. Dalam pada itu harus tidak takut serta khawatir apapun, kecuali hanya hendak dengan hening-tenang merasakan jasad yang memberikan kehidupan (cq darah mengalir) bergerak kumpul di dalam jantung. Fase inilah merupakan fase penelitian apakah segala sesuatunya (raga, cipta dan karsa) telah bulat dikonsentrir.

Bila telah dapat berbuat demikian, maka yang nampak diketahui hanyalah pribadinya sendiri. Tetapi keadaan tersebut benar adanya dan jangan ragu, bahwa dalam keadaan itu akan ada cahaya (Nur) yang terang benderang (bukan cahaya seperti lampu, ataupun matahari, dan sebagainya melainkan cahaya gaib. Makah al itu pertanda hidupnya Budi (Kasunyatan).

Cahaya itu bersinar tanpa membuat bayangan, bagaikan Kartika (Bintang) yang memancar-mancarkan cahaya gemerlapan. Keadaan tersebut menunjukan terbukanya kalbu yang merupakan permulaan dari yang sebenar-benarnya akan rasa dan perasaan bahwa cahaya itu Dia sendirilah yang menguasai, tetapi sebaliknya dirinya itupun dikuasai pula oleh cahaya tersebut. 243 4. Sembah Rasa Sembah rasa adalah sembah yang ke empat atau sembah yang terakhir.

Sembah Rasa merupakan hasil akhir perjalanan spiritual kita. Sembah Rasa sudah bukan merupakan proses lagi, tetapi hasil suatu proses, the ultimate experience, the outcome. Kesadaran raga dapat dilewati oleh kesadaran cipta. Kesadaran cipta dapat dilampaui oleh kesadaran jiwa. Tetapi dalam kesadaran jiwa itu, rasa masih ada.

Ketenangan, ketenteraman, kesentosaan, kedamaian, semuanya ini merupakan rasa. Pada tingkat Sembah Rasa, rasa pun terlampaui. Bedanya proses ini terjadi sendiri. Dalam keadaan yang demikian itu hanyalah jiwa/ pribadinya sendiri yang nampak dalam keadaan bersih hening, laksana kaca yang dibersihkan dari segala kotoran. Sembah yang keempat adalah sembah rasa.

Dalam sembah rasa ini, tidak lagi kegiatan ritual yang menjadi titik pusat aktivitas, melainkan semua anggota badan, semua langkah kaki, sesuai kegiatan hdup serasa mendapat rasa “pasrah” (berserah diri) dalam menunaikan kewajiban, tak lagi ragu-ragu serta penuh harap, bahwa perbuatannya itu hanya diperuntukkan untuk kedamaian hidup. Hidupnya lebih bersemangat, perasaannya menjadi halus, rohaninya menjadi bersih. Keadaan rohaninya 244 itu memancar keluar sebagai suatu pribadi berwibawa.

Sembah rasa tergambar dalam pupuh tembang gambuh 23 (70). Samengko ingsun tutur Gantya sembah ingkang kaping catur Sembah rasa karana rosing dumadi Dadine wis tanpa tuduh Mung kalawan kosing batos (Mangkunegara IV, 1999:46) Terjemahannya: Sekarang saya akan berganti membahas mengenai sembah yang empat, yaitu sembah rasa.

Yang dimaksud rasa adalah keadaan batin yang paling halus yang ada pada pribadi manusia dan tidak dapat dilihat ujudnya, kecuali dengan kekuatan batin yang tak terkira besarnya. Demikian penjelasan Serat Wedhatama mengenai body, mind and soul. Ibarat roda lingkaran dengan porosnya berupa soul-ruh, dengan lapisan mental di lingkaran tengah sedang lapisan fisik berada di lingkaran luar, maka seseorang yang berada di lapisan luar akan merasakan banyak perbedaan, sedangkan semakin menuju ke dalam diri perbedaannya semakin kecil.

Panca indra menuntut kesadaran mengalir ke luar dan di luar ada berbagai keinginan (arah 360 derajat) 245 yang tidak ada batasnya. Sedangkan bila seseorang meniti ke dalam diri, tujuannya adalah satu dan sama. Pemahaman ini akan mempersatukan umat manusia. Sembah rasa ini berlainan dengan sembah-sembah yang sebelumnya.

Sembah yang keempat ini ialah sembah yang dihayati dengan merasakan inti sari kehidupan makhluk semesta alam, demikian menurut Mangkunegara IV. Jika sembah kalbu mengandung arti menyembah Tuhan dengan alat batin kalbu atau hati seperti disebutkan sebelumnya, sembah jiwa berarti menyembah Tuhan dengan alat batin jiwa atau ruh, maka sembah rasa berarti menyembah Tuhan dengan menggunakan alat batin inti ruh.

Alat batin yang belakangan ini adalah alat batin yang paling dalam dan paling halus yang menurut Mangkunegara IV disebut telenging kalbu (lubuk hati yang paling dalam) atau disebut wosing jiwangga (inti ruh yang paling halus). Dengan demikian menurut Mangkunegara IV, dalam diri manusia terdapat tiga buah alat batin yaitu, kalbu, jiwa/ruh dan inti jiwa/inti ruh (telengking kalbu atau wosing jiwangga) yang memperlihatkan susunan urutan kedalaman dan kehalusannya.

Pelaksanaan sembah rasa itu tidak lagi memerlukan petunjuk dan bimbingan guru seperti ketiga sembah sebelumnya, tetapi harus dilakukan 246 sendiri dengan kekuatan batinnya, seperti diungkapkan Mangkunegara IV dalam bait berikut: Apabila sembah jiwa dipandang sebagai sembah pada proses pencapaian tujuan akhir perjalanan suluk (pepuntoning laku), maka sembah rasa adalah sembah yang dilakukan bukan dalam perjalanan suluk itu, melainkan sembah yang dilakukan di tempat tujuan akhir suluk.

Dengan kata lain, seorang panembah telah tiba di tempat yang dituju. Dan di sinilah akhir perjalanan suluknya. Untuk sampai di sini, seorang salik masih tetap dibimbing gurunya seperti telah disebut di muka. Setelah diantarkan sampai selamat oleh gurunya untuk memasuki pintu gerbang, tempat sembah yang keempat, maka selanjutnya panembah salik dapat melaksanakan sendiri sembah rasa sesuai petunjuk-petunjuk gurunya. Pada tingkat ini dipandang telah memiliki kematangan rohani.

Oleh karena itu, dipandang telah cukup ahli dalam melakukan sembah dengan mempergunakan aspek-aspek batiniahnya sendiri. Di sini, dituntut kemandirian, keberanian dan keteguhan hati seorang salik, tanpa menyandarkan kepada orang lain. Kejernihan batinlah yang menjadi modal utama. Hal ini sesuai dengan wejangan Amongraga kepada Tembangraras dalam Centini bait 156.

247 Sembah tersebut, demikian dinyatakan Amongraga, sungguh sangat mendalam, tidak dapat diselami dengan kata-kata, tidak dapat pula dimintakan bimbingan guru. Oleh karena itu, seorang panembah harus merampungkannya sendiri dengan segala ketenangan, kejernihan batin dan kecintaan mendalam untuk melebur diri di muara samudera luas dan berjalan menuju kesempurnaan. Ajaran Yoga merupakan ajaran untuk menuntun manusia mencapai kesadaran transenden.

Untuk mencapai hal tersebut ada beberapa tahapan yang harus dipenuhi atau di pelajari. Berkaitan dengan hal tersebut dalam kitab Manawadharma Sastra dijelaskan beberapa sloka yang berkaitan dengan ajaran yoga tersebut. Abdhir gatrani sudhyanti Manah satyena sudhyanti Widhyatapobhyam bhrtatma Buddhir jnanena sudhyanti (Manawa Dharmasastra V.109) Terjemahannya: Badan dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran (satya), atma dengan ilmu dan tapa, akal dibersihkan dengan kebijaksanaan (jnana).

248 Terkait dengan sloka diatas di dalam ajaran yoga termasuk di dalam bagian dari Panca Nyama Brata yaitu Sauca yang artinya bersih lahir dan bathin. Penggunaan air sebagai alat pembersih baik badan, pakaian, dan lingkungan adalah merupakan kebersihan lahiriah agar badan bisa hidup dengan segar, sehat yang memberikan kontribusi sikap yang baik. Dengan kebersihan ini maka benda - benda fisik yang langsung berhubungan dengan diri di bersihkan sehingga baik untuk dipergunakan.

Baik badan itu sendiri akan lebih nyaman ketika beraktivitas jika dalam keadaan bersih dan badan yang bersih akan jauh dari penyakit sehingga badan yang merupakan alat bagi atma untuk menuju tujuan terakhirnya dapat menyatu dengan Brahman itu sendiri akan dapat dipergunakan lebih lama. Ketika didorong oleh instink mengarahkan pikiran kepada benda - benda menyenangkan tanpa didasari pengertian kesadaran, atau ketika jiwa pada akhirnya menjadi kasar karena selalu melekat pada motivasi yang mementingkan diri sendiri, apakah ketika itu berfikir menyakiti orang lain atau tidak, maka ketika itupun jiwa telah rusak.

Keadaan yang menyebabkan terjadinya kerusakan jiwa ini tidak lain dari kekotoran dan kekeruhan pikiran. Sama seperti pakaian dan rumah yang akan menjadi kotor dalam 249 sekejap ketika bertiup angin kencang. Orang harus selalu waspada terhadap badai nafsu yang melanda dan berusahalah untuk menekan ego yang ada dalam diri.

Karena suatu keadaan pikiran akan sangat tercermin melalui perkataan dan perbuatan, jadi dengan selalu berbuat dan berkata yang jujur sudah tentu mencerminkan pikiran yang bersih. Atma merupakan percikan terkecil dari Brahman yang sudah memasuki tubuh sehingga menimbulkan adanya penghidupan, dan gerak yang disemangati oleh atma itu sendiri.

Ia menjadi pelaku lima klesa atau sumber kesedihan yakni avidya (ketidaktahuan), asmita (kesombongan / keakuan), Raga (keterikatan dan kesukaan), Dvesa (kemarahan, keserakahan) dan Abhinivesa (ketakutan yang berlebihan terhadap kematian). Selama adanya perubahan dan kegoncangan pada pikiran, selama itu pula atma terpantulkan pada perubahan - perubahan itu.

Dan untuk melepaskan atma dari cengkraman lima klesa tersebut di dalam yoga dapat dilakukan dengan disiplin kriya yoga dimana kriya yoga sekaligus membawa pikiran pada keadaan Samadhi. Di dalam Kriya yoga itu sendiri diantaranya berisikan beberapa aktivitas yaitu: tapas (kesederhanaan), svadhyaya 250 (mempelajari dan memahami kitab suci) dan masih ada bagian dari kriya - yoga tidak dibahas disini. Akal atau budhi merupakan azas kejiwaan namun bukan merupakan roh yang memiliki kesadaran.

Ia yang halus dari segala proses kecakapan mental untuk lebih mempertimbangkan dan memutuskan segala sesuatu yang diajukan oleh indrya yang lebih rendah, namun ia (budhi). Sebagai azas kejiwaan atau psikologis, ia memiliki sifat jnana (pengetahuan), dharma (kebajikan, tidak bernafsu / wairagya) dan aiswarya (ketuhanan). Namun terkadang suara-suara kebajikan yang keluar dari budhi itu sendiri masih belum mampu mengalahkan kuatnya pengaruh daripada indrya - indrya yang ada pada diri kita sehingga timbul perbuatan yang tidak sesuai dengan apa yang dikatakan oleh budhi itu sendiri.

Melalui kebijaksanaan yang dapat kita peroleh dengan jnana atau pengetahuan akan dapat membersihkan akal itu sendiri sehingga sinar sattva mampu merefleksikan kesadaran jiwa (purusha) itu sendiri. Pencapaian kesadaran spiritualitas yang tinggi antara lain ditandai oleh rasa syukur yang tak pernah putus dalam setiap hela nafasnya. Dalam wilayah bhakti merupakan bentuk smaranam tanpa putus, sedangkan dalam tradisi Syeh 251 Siti Jenar dikenal sebagai sholat dhaim atau menembah kepada Tuhan dalam setiap hela nafasnya. Namun demikian rasa syukur tidak cukup hanya dilakukan sebatas ucapan mulut atau dalam batin saja.

Lebih utama adalah mewujudkannya dalam bentuk perbuatan yang konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Dalam berinteraksi dengan sesama manusia, makhluk hidup dan alam semesta. Rasa sukur yang ideal melibatkan empat unsur dalam diri yakni; hati, ucapan, pikiran dan tindakan.

Dan dilakukan secara sinkron serta kompak (tidak munafik) melibatkan keempat unsur tersebut. Rasa syukur serta ketulusan-keikhlasan idealnya didasari oleh kesadaran bahwa setiap detik kita telah berhutang ratusan anugrah dan nikmat Tuhan. Berbuat baik hendaknya didasari oleh kesadaran untuk mewujudkan rasa syukur tersebut ke dalam perbuatan konkrit.

Perbuatan atau amal baik yang kita lakukan seumpama sedang membayar hutang. Bagaimana bisa membayar hutang namun mengharapkan imbalan. Nah, walaupun laku perbuatan tersebut dilandasi sikap tanpa pamrih, alias tulus ikhlas, bukan berarti apa yang kita lakukan hanyalah sia-sia dan tidak ada efek positifnya. Perbuatan baik kita (ibadah, yang berupa sembahyang dan amal perbuatan baik) ditujukan semata-mata 252 sebagai laku netepi titahing Gusti.

Dalam Hindu setiap tindakan baik yang dilakukan alam pikiran, ucapan ataupun perbuatan harus didasari oleh Dharma. Dharma adalah kebenaran. Artinya, sudah sewajarnya manusia hidup di bumi berbuat baik. Oleh karena itu tidak ada yang istimewa di dalamnya. Dan tanpa diminta/dimohon pun asalkan manusia mau berbuat baik dengan tulus, ibarat menciptakan pusaran magnet yang secara otomatis akan menebarkan medan magnet (kebaikan) kepada orang lain lalu mengundang senyawa (kebaikan) yang sama.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa manusia hidup memiliki tujuan yang kadang dilupakan oleh manusia itu sendiri atau bahkan manusia itu tidak menyadarinya, kalau hidup ini memiliki tujuan yang paling esensial. Tujuan hidup tersebut akan dapat dicapai melalui Catur Sembah yaitu sembah raga, sembah cipta/kalbu, sembah jiwa dan sembah rasa.

Dalam ajaran Hindu jalan untuk memperoleh penyatuan dikenal dengan istilah Catur Marga Yoga yang terdiri dari bhakti marga, karma marga, jnana marga dan raja marga. Keempat jalan tersebut akan saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi. 253 PENUTUP Pokok-pokok ajaran teologi dalam Serat Wedatama keyakinan Tuhan merupakan suatu Dzat yang mutlak, adanya sumber kehidupan yang menghidupi manusia, sebagai penyebab dari segala sesuatu sehingga terciptalah makhluk dan dunia seisinya, dan Dialah pengatur segala alam ini karena Tuhan mempunyai sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh siapapun.

Tuhan bersemayam (imanen) dalam diri manusia, sehingga tujuan hidup tertinggi bagi manusia adalah mencapai penghayatan Manunggaling Kawula Gusti (kesatuan hamba dengan Tuhan). Kehidupan yang dijalani oleh manusia pada saat ini didunia adalah bersifat sementara (fana) dan manusia akan menuju pada kehidupan selanjutnya yang bersifat abadi yaitu alam suwung yakni alam dimana tempat kembali dan bersemayamnya Tuhan, disana manusia akan mempertanggung jawabkan selama hidup didunia.

Tujuan hidup tertinggi bagi manusia adalah mencapai kesempurnaan dalam pemahaman filosofi Jawa yaitu mengerti akan sangkan paraning dumadi (asal dan akhir) hidup manusia Manunggaking Kawula Gusti (bersatunya Atman dengan Brahman) ekisistensi manusia yang menyadari 254 hal ini, akan selalu eling (ingat), dan memahami akan kekuasaan Tuhan sebagai suatu dzat yang mutlak, untuk itu totalitas kehidupan manusia yang bersifat sementara ini diserahkan sepenuhnya kepada sang manusia sebagai suatu bentuk kepatuhan, dengan menjaga perdamaian dan kesimbangan alam yang sudah menjadi tugas dan kewajiban manusia.

Cara mencapai tujuan hidup dalam Serat Wedatama adalah melalui empat jalan atau tahapan yang harus dilalui yaitu Catur Sembah yang terdiri dari: sembah raga, sembah Cipta/kalbu, sembah jiwa dan sembah rasa. Keempat tahapan ini merupakan tahapan herarki yang tidak boleh dibulak-balik. 255 DAFTAR PUSTAKA Abdillah, Pius Danu Prasetya. tt. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Arkola. Anjar Any, 1986. Mengungkap Serat Wedotomo, Semarang: Aneka Ilmu. Anton Bakker, 1999. Metode Penelitian Filsafat.

Yogyakarta: Kanisius. Ashad Kusumajaya, 2003. Pewaris Ajaran Syekh Siti Jenar, Membuka Pintu Maarifat. Yogyakarta: Kreasi Wacana, Budiono Heru Satoto, 1985. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita, Cipta, Prawira. 1986. Filsafat Jawa. Semarang: Balai Pustaka. Darmanto Jatman, 1999. Psikologi Jawa. Yogyakarta: Bentang Downey, Merial & A.V. Kelly. 1978. Moral Education. London-Sydney: Harper & Row Publisher. Endraswara, Suwardi 2006. Falsafah Hidup Jawa.

Yogyakarta: Narasi. Endraswara, Suwardi 2013. Memayu Hayuning Bawana. Yogyakarta: Cakrawala 256 Franz Magnis-Suseno,1987. Etika Dasar; Masalah-masalah pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius. Frondizi, Risieri, 2001. Pengantar Filsafat Nilai (Cuk Ananta Wijaya, penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Harun Hadiwiyono, 1983. Konsep Tentang Manusia Dan Kebatinan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, Henk ten Napel, 2009. Kamus Teologi.

Jakarta: BPK Gunung Mulia. Imam Muhni, D. A, 1999. Moral dan Religi Menurut Emile Durkheim dan Henri Bergson. Yogyakarta: Yayasan Kanisius. Jatmiko, Adityo. 2005. Tafsir Ajaran Serat Wedhatama. Yogyakarta: Pura Pustaka, K.G.P.A.A Mangkunegara IV, 1979. Serat Wedhatama, terj. S.Z.Hadi Stjupto Jakarta: Pradnya Paramita Kadjeng, I Nyoman. 2000. Sarscamuscaya. Surabaya: Paramita Ki Sabdacarakatama, 2010.

Serat Wedhatama, Yogyakarta: Narasi Koentjoroningrat, 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 257 Koesoema A, Doni, 2009. Pendidik Karakter di Zaman Keblinger. Jakarta: Penerbit PT Grasindo. Krippendorff, Klaus. 1980. Content Analysis; An Introduction to Its Methodology. Baverly Hills-London: Sage Publications. Kurtiness, William M. dan Jacob L. Gerwitz,1992. Moralitas, Perilaku Moral dan Perkembangan Moral, alih bahasa M.I. Soelaeman. Jakarta: UI Pres.

Kurtiness, William M. dan Jacob L. Gerwitz, 1992. Moralitas, Perilaku Moral dan Perkembangan Moral, alih bahasa M.I. Soelaeman. Jakarta: UI Pres. Lickona, Thomas., editor,1976. Moral Development and Behavior: Theory; Research and Social Issues. New York: copyright by Holt, Rinehart, and Winston. Lorens Bagus, 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. Magnis Suseno, Franz, 1987. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Yayasan Kanisius. Miles, Matthew B. and Michael Huberman, 1985. Qualitative Data Analysis. London-New Delhi: Sage Publications Beverly Hills. 258 Moh. Ardani, Al Qur?an Dan Sufisme Mangkunegara I.1995. (Studi Serat-Serat Piwulang), (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, Mulyana, Deddy, 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mulyana, Rohmat, 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Penerbit Alfabeta. Musa Asyarie, Filsafat Islam Sunah Nabi Dalam Berpikir.

Yogyakarta: LESFI, 2001, hlm. 165. Poerwadarminto,1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : P.N Balai Pustaka. Pudja, I Gede, 1999. Isa Upanisad. Cetakan Pertama. Paramita Surabaya. Pudja, Gede. 1982. Bhagawadgita (Pancama Weda). Jakarta: Mayasari. Putra, Putu Ngakan, 2008. Tuhan Upanisad Menyelamatkan Masa Depan Manusia. Cetakan Pertama. Penerbit Media Hindu. R. Subagya, Kanisius, 1989. Kepercayaan Kebatinan, Kerohanian, Kejiwaan dan Agama, Yogyakarta. Radhakrisnan, S, 1953.

The Principal Upanisads.Yayasan Parijata. 259 Ryan, Kevin and Karen E. Bohlin, 1999. Buiding Character In Schools; Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life. San Francisco: Jossey-Bass A wiley Imprint. Sabdacarakatama, 2010. Serat Wedhatama. Narasi: Semarang.km Simuh, 1988. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Jakarta: UI Press. Simuh, 2002 Sufisme Jawa, Yogyakarta: Bentang Budaya. Subagiasta, I Ketut, 2007.

Etika Pendidikan Agama Hindu. Denpasar. Paramita. Sufa?at M, Beberapa Pembahasan Tentang Kebatinan. Yogyakarta: Kota Kembang, hlm.27 Sujamto, 2000. Rekonstruksi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa, Semarang: Dahara Prize. Suwarno, 2008. Sekar Macapat (Bahan Diklat Profesi Guru). Yogyakarta: UNY. Tanoyo, R. 1963. Wedhatama Jinarwa. Fa. Triyana: Soedjonorejo. Titib, I Made, 2003. Menumbuhkembangkan Pendidikan Budhi Pekerti pada Anak. Jakarta, Ganeca Exact,.

Titib, I Made. 2003. Teologi dan Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Edisi Pertama. Paramita Surabaya. 260 Zoet Mulder, 2001. Mistisisme Jawa Idiologi di Indonesia, Yogyakarta: LkiS. Zoet Mulder, 1990. Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa, terj. Dick Hattoko, Jakarta: Gramedia. Zuhdi, Darmiyati, 1993. Panduan Penelitian Analisis Konten. Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta.

INTERNET SOURCES: ------<1% - http://sim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-081703122148-89.pdf <1% - https://www.scribd.com/document/361175209/Sunan-Kalijaga-Dalam-Suluk-Linglung <1% - https://ariendahard.files.wordpress.com/2011/03/makalah-fiksafat-ii-arofah.docx <1% - http://frindias.blogspot.com/feeds/posts/default <1% - https://hdmessa.wordpress.com/2013/02/18/apakah-kesenangan-membawa-kebahagia an/ <1% - http://akucintanusantaraku.blogspot.com/2014/01/bancakan-weton-puasa-apit-weton.h tml 1% - https://airindania11.wordpress.com/2012/01/25/etika-jawa/ <1% - http://newsprabuwanayasa.blogspot.com/2010/12/contoh-makalah.html <1% - https://kumpulanmakalahlengakap.blogspot.com/2014/06/pelestarian-ekosistem-pantai -contoh.html <1% - https://www.facebook.com/ArcaHinduGalleria/ <1% - https://suciseptiapratiwi.wordpress.com/2014/10/03/pengaruh-teknologi-terhadap-man usia-dalam-bidang-ekonomi-sosial-budaya-dan-politik/ <1% - https://banyakmakalah.blogspot.com/2017/08/etika-dan-filsafat-komunikasi.html <1% - http://mcrizzwan.blogspot.com/2013/07/artikel-dampak-pengaruh-globalisasi.html <1% - https://mynewzchrecell.blogspot.com/2015/07/dibalik-sebuah-perubahan-kemajuan-za man.html <1% - http://cacanajayakertabhumi.blogspot.com/feeds/posts/default <1% - http://drsmusthofiqma.blogspot.com/2012/ <1% - https://cicikwijayanti.blogspot.com/2012/02/makalah-isbd-manusia-dan-iptek.html <1% - https://akungibnu.wordpress.com/2012/10/25/mungkinkah-roh-dapat-terlihat-atau-mel ihat-manusia-yang-masih-hidup/ <1% - http://www.academia.edu/11748557/Keterpaduan_Hubungan_Agama_Islam_dan_Sains <1% - https://cristology.wordpress.com/2013/10/25/menjawab-mengapa-orang-kristen-memil ih-alkitab-bukan-al-quran/ <1% - http://dheyon.blogspot.com/2013/05/titik-jenuh.html <1% - http://dheyon.blogspot.com/2013/ <1% - https://www.researchgate.net/publication/321450989_Kajian_Nilai_Pendidikan_Agama_H indu_Dalam_Kitab_Sarasamuccaya 5% - http://alifboyzs.blogspot.com/2012/02/metafisika-jawa-dalam-serat-wedhatama.html <1% - https://id.scribd.com/doc/59858073/Ngelmu-Kyai-Petruk <1% - http://ulfahnurulwahdah.blogspot.com/2016/05/karakteristik-pendidikan-multikultural.h tml <1% - https://pradipastore.wordpress.com/2010/09/08/serat-wedhatama-rahasia-spiritual-raja -mataram/ <1% - https://satriabajahikam.blogspot.com/2013/04/metafisika-dalam-pandangan-hidup-jaw a.html <1% - https://anzdoc.com/bab-i-tattwa-11-hindu-dharma-pengertian-agama-mengapa-agam a.html <1% - https://www.narayanasmrti.com/2009/10/maya-tenaga-material-tuhan-yang-maha-esa/ <1% - https://taksu.wordpress.com/2009/07/23/80/ <1% - http://kreativitas-filsafat.blogspot.com/2016/01/budaya-jawa-dan-filsafat-jawa_3.html <1% - https://linggashindusbaliwhisper.com/tag/hindu/ <1% - http://prasetyaaris21.blogspot.com/2013/10/v-behaviorurldefaultvmlo.html <1% - http://www.academia.edu/12200521/PEMAKNAAN_LINGGA-YONI_DALAM_MASYARAKA T_JAWA-HINDU_DI_KABUPATEN_BANYUWANGI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_STUDI_ETNO ARKEOLOGI <1% - http://giginanti-ayugigiblog.blogspot.com/2012/05/hindu-menjawab.html <1% - https://edhivirgi.wordpress.com/2010/09/07/beberapa-kutipan-sejarah/ <1% - https://panditoblog.wordpress.com/2012/05/17/serat-whedatama-1-3/ 1% - http://budayaleluhur.blogspot.com/2011/02/serat-wedhatama.html <1% - https://mtsn-bondowoso-01.blogspot.com/2013_03_30_archive.html 1% - https://infomediaviral.blogspot.com/2017/01/wajib-baca-manembah-marang-gusti-kan g.html <1% - https://news.detik.com/abc-australia/d-4370492/warga-kelas-menengah-australia-akan- kian-sulit-dapat-kredit-perumahan?tag_from=wp_nhl_img_8 1% - http://kiagengtarub.blogspot.com/2010/08/ <1% - http://belajar-blog-88.blogspot.com/2010/06/welcome-to-e-compusoft-online-english. html <1% - http://wangsitpandito.blogspot.com/2012/01/sembah-adat-jawi.html <1% - http://kanganwar.blogspot.com/2011/03/ <1% - http://muzeete.blogspot.com/2011/02/ajaran-jalan-menuju-kesempurnaan-hidup.html <1% - http://muzeete.blogspot.com/2011/ <1% - https://kumpulanaskepdanmaterikesehatan.blogspot.com/2011/01/sistem-integumen-g angguan-pada-lansia.html <1% - https://paseban-jati.blogspot.com/2015/03/hakekat-nyembah-dalam-ajaran-jawa.html <1% - http://www.percaya.web.id/2016/09/teologi-liberal.html <1% - https://suryawanhindudharma.wordpress.com/dukuments/pengertian-teologi/ <1% - http://manyul83.blogspot.com/2010/12/teologi-hindu_15.html <1% - https://linggashindusbaliwhisper.com/tag/upanishad/ <1% - http://membacaseratcenthini.blogspot.com/2011/01/novel-roro-mendut-centhini-dan- madam.html <1% - https://www.kompasiana.com/tricendekia/551ae889a33311c020b65b22/eksistensi-buda ya-tradisi-di-era-globalisasi <1% - https://jurnal.stikom.edu/index.php/ArtNouveau/article/download/1197/516 <1% - http://kumpulanmakalahilmiah.blogspot.com/2011/04/makalah-upaya-upaya-pelestaria n.html <1% - https://issuu.com/commdays/docs/prosiding_commdays_2011 <1% - https://id.scribd.com/doc/315678000/Kebudayaan-Nias-Lenta-2003 <1% - https://adventureof-masrukhin.blogspot.com/2015/08/serat-wedhatama-pupuh-gambu h-pupuh.html 1% - https://asmaraambanguncipta.wordpress.com/2012/03/28/serat-wedhatama-ajaran-ajar an-serta-makna-antar-pupuh/ <1% - https://www.scribd.com/document/367105790/Serat-Wedhatama-Ajaran-Ajaran-Serta- Makna-Antar-Pupuh-Asmaraambanguncipta <1% - http://wayansuyasa-webblog.blogspot.com/2016/10/bali-lombok.html <1% - http://www.senaya.web.id/ketikan/bahanajar4.docx <1% - http://leakmenurutteologihindudibali.blogspot.com/2013/02/leak-bali-menurut-teologi- hindu.html <1% - http://syeevaulfa.blogspot.com/2014/11/makalah-aspek-islam-dalam-sastra-jawa.html <1% - http://elangkhoetot.blogspot.com/ <1% - https://ngawengunungkidul.wordpress.com/2015/05/06/mangkunegara-dan-masa-pem erintahannya/ <1% - http://setyochannel.blogspot.com/2011/ <1% - https://id.m.wikipedia.org/wiki/Mangkunagara_IV <1% - https://www.slideshare.net/adindagifary/laporan-mapel-bahasa-jawa-serat-wedhatama <1% - http://teachingofhistory.blogspot.com/2012/05/keraton-dan-kompeni-surakarta-dan.ht ml 4% - http://bacailmuonline.blogspot.com/2012/06/mengenal-serat-wedhatama.html <1% - http://www.academia.edu/17572313/Agama_dan_Islam_dalam_Pembangunan <1% - http://agamabaru-augustecomte.blogspot.com/ <1% - http://www.madzhabmoderat.com/2016/12/agama-dan-kebudayaan.html <1% - http://siwagama.blogspot.com/2011/08/manusa-yadnya.html <1% - http://insan-kamil-mistik.blogspot.com/2018/ <1% - http://kresnamulya.blogspot.com/2014/12/serat-wedatama.html <1% - http://nferciindonesia.blogspot.com/2013/04/kesehatan-masyarakat-prof-dr-soekidjo.ht ml 1% - http://setyochannel.blogspot.com/2010/07/ <1% - http://setyochannel.blogspot.com/2010/07/pada-hakikatnya-kehidupan-manusia.html <1% - http://konter.org/apa-arti-kedewasaan-dan-bagaimana-menjadi-dewasa.html <1% - https://firmanrobiansyah.blogspot.com/2011/05/5-persepsi-yang-salah-tentang-islam.h tml <1% - http://fpmhd-unud.blogspot.com/feeds/posts/default <1% - https://www.synaoo.com/pupuh-gambuh-serat-wedhatama-tembang/ <1% - https://ilmuislamkejawen.wordpress.com/2013/11/16/kejawen-memahami-tataran-pane mbah-ala-kejawen/ <1% - https://wisnurajasa.wordpress.com/author/wisnuhelmy/ <1% - http://setyochannel.blogspot.com/2010/06/ <1% - https://satriabajahikam.blogspot.com/2013/04/naskah-serat-wedhatama.html 1% - https://bisakali.net/tembang-macapat/ <1% - https://mainichicreative.blogspot.com/2017/02/tembang-macapat-beserta-penjelasan-d an.html <1% - https://javalaw-bmg.blogspot.com/2015/06/tembang-macapat-pangkur-dan-maknanya. html <1% - http://wahidmahmudi.blogspot.com/2014/10/serat-wedhatama-mangkunegara-4.html# ! <1% - http://www.pelitahidup.com/2009/02/05/penyerahan-diri-seutuhnya/ <1% - http://nurarifah22.blogspot.com/2016/01/filsafat-ilmu-cara-kerja-ilmu-sosial.html <1% - https://kumpulanmakalahlengakap.blogspot.com/2015/06/perkembangan-islam-di-jaw a-dan.html <1% - http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1-2004-musriyanto-1488 -BABIV_21-8.pdf <1% - http://www.academia.edu/8267790/Pengaruh_Kebudayaan_India_Hindu-Budha_di_Indo nesia <1% - http://baharikusuma.blogspot.com/2015/12/analisis-roman-gadis-pantai.html <1% - https://www.senibudayaku.com/2019/01/tembang-dolanan-sebagai-karya-sastra.html <1% - http://sastraharry.blogspot.com/ <1% - https://waromuhammad.blogspot.com/2012/02/kepercayaan-ritual-dan-pandangan-hid up.html <1% - https://sabdadewi.wordpress.com/2012/09/07/gerakan-renaissance-jawa/ <1% - https://beritaperpustakaan.wordpress.com/2015/07/13/menengok-ribuan-naskah-kuno- di-rekso-pustoko-solo/ <1% - https://pelajaricaranya.blogspot.com/2016/06/cara-betulin-browser-mozila-firefox.html <1% - https://www.facebook.com/anta.kusuma.526 <1% - https://madepadmawati.blogspot.com/2016/12/yoga-menurut-agama-hindu.html <1% - https://issuu.com/epaper-kmb/docs/bpo_21052017 <1% - https://matapelajaranagama.blogspot.com/2016/02/pengertian-yajna-dalam-ramayana. html <1% - https://www.idntimes.com/life/education/fauzul-adhym-almuhtadyn/10-tips-lulus-kulia h-tepat-waktu-dengan-ipk-cum-laude-yang-bisa-dilakukuan-semua-orang-c1c2 <1% - http://wiahartono.blogspot.com/2015/01/hakikat-hati-manusia.html <1% - http://kawruh-kejawen.blogspot.com/2011/11/bagaimana-laku-ngelmu.html <1% - http://yppai-petikan-cahaya-iman.blogspot.com/2014/08/persoalan-keramat-safaat-ma unat-mujizat.html#! <1% - https://issuu.com/nafirigkybsd/docs/nafriri_des15_web <1% - https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=1854167877958584&id=1152356 808139698&substory_index=0 <1% - https://pencerahqolbu.wordpress.com/2011/01/25/sabar-keajaiban-seorang-mukmin/ <1% - https://belajar-tobat.blogspot.com/2015/08/manfaat-orang-sabar-ajaran-islam.html <1% - http://blogruryecuiber.blogspot.com/2016/04/ <1% - https://mustofakamaltrenggalek.wordpress.com/2014/01/13/tasawuf-definisi-tasawuf/ <1% - http://www.academia.edu/31539311/SEJARAH_TAREKAT_DAN_DINAMIKA_SOSIAL 1% - http://wiahartono.blogspot.com/2015/01/kawulo-gusti-lan-wijati-religi-jawa_20.html 1% - http://blogkejawen.blogspot.com/p/mangkunegara-iv.html <1% - https://farrasbiyan.wordpress.com/2016/11/25/buku-kawulo-gusti-lan-wijati/ <1% - http://abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112027_bab2.pdf <1% - http://anggara2805.blogspot.com/feeds/posts/default <1% - http://oerang-garoet.blogspot.com/ 1% - http://evholution.blogspot.com/ <1% - http://banjarksdpem.blogspot.com/2013/02/ilmu-pengetahuan-agama-hindu.html <1% - https://hindualukta.blogspot.com/2016/09/makalah-kegaiban-dan-keajaiban-sifat.html <1% - http://ferrycute87.blogspot.com/2012/09/panca-sradha.html <1% - http://unikahidha.blogspot.com/2011/ <1% - https://hindualukta.blogspot.com/2017/07/sloka-dan-mantram-terkait-dengan-asta.htm l <1% - https://www.kaskus.co.id/thread/000000000000000000877386/perkenalkan-saya-hindu- thread-terbuka/9 <1% - https://satriopiningitmuncul.wordpress.com/ 2% - https://mafiadoc.com/filsafat-jawa-dalam-serat-wedhatamapdf-staff-uny_59f2654f1723 dda75719b297.html 1% - https://akucintanusantaraku.blogspot.com/2014/01/ajaran-syeh-siti-jenar-kejawen-dala m.html <1% - https://songgobuwono.wordpress.com/2011/04/22/bukan-kehendak-angan-angan/ <1% - https://www.mediahindu.com/ajaran/ajaran-syekh-siti-jenar-kejawen-dalam-mengenal-t uhan.html <1% - https://issuu.com/saortua/docs/kelas_10_sma_pendidikan_agama_krist <1% - https://alifbraja.wordpress.com/tag/dan-rank/page/4/ <1% - https://langgerjete.wordpress.com/amalan-kehidupan/membuka-rahasia-ilmu/ <1% - http://ajaranwali.blogspot.com/2011/03/ <1% - https://ciptoroso.wordpress.com/2009/03/30/ilmu-kasampurnaa/ <1% - https://alifbraja.wordpress.com/tag/ngelmu/ <1% - https://dakwahislamdankebathinan.blogspot.com/2011/10/nasehat-syekh-wali-lanang.h tml <1% - http://w4t4kw4tuk.blogspot.com/ <1% - https://seowaps.wordpress.com/2014/03/17/metafisika-jawa-dalam-serat-wedhatama-k arya-k-g-p-a-a-mangkunegara-iv/ <1% - http://fppsi.um.ac.id/?p=1450 <1% - https://weinarifin.wordpress.com/2016/04/07/modernisasi-menurut-para-ilmuwan/ <1% - http://www.wongedanbagu.com/2015/09/sukma-sejati.html <1% - http://soegitha.blogspot.com/2012/04/makalah-penciptaan-alam-semesta-menurut.htm l <1% - https://madetitib.wordpress.com/2011/12/08/penciptaan-jagat-raya-menurut-hindu-da n-respon-terhadap-teori-teori-ilmiah-baru/ <1% - http://soegitha.blogspot.com/feeds/posts/default <1% - http://gedhangawohpakel.blogspot.com/2013/06/suwung-sajroning-asepi.html <1% - https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20130122175831AAIza05 <1% - https://mediskus.com/dasar/ttv-normal-bayi-baru-lahir <1% - https://www.kaskus.co.id/thread/516df7747e12434b1e000006/ask-perbedaan-nyawa-su kma-roh/4 <1% - https://www.scribd.com/document/357509775/Serat-Wedhatama-PDF <1% - https://cahayasirrullah.wordpress.com/page/8/ <1% - https://alangalangkumitir.wordpress.com/2008/08/03/tentang-allah-tauhid-dan-manun ggaling-kawula-gusti/ <1% - https://issuu.com/andalas/docs/e-paper_andalas_edisi_kamis__1_april_2010 <1% - https://linggashindusbaliwhisper.com/2012/01/26/pantheisme-dalam-teologi-hindu/ <1% - https://kasi2016.wordpress.com/author/kasi2016/page/2/ <1% - http://afandikusuma.blogspot.com/2009/03/mungkin-perlu-untuk-dic-atau-cus-dalam.h tml <1% - https://relegionstudi.blogspot.com/2013/09/urgensi-agama-dalam-kehidupan.html <1% - https://kisahdiantaracerita.blogspot.com/ <1% - https://hindualukta.blogspot.com/2015/09/perbedaan-atman-dan-roh.html <1% - http://huzmu85.blogspot.com/2011/07/hinduisme.html <1% - http://silsilahputihmayong.blogspot.com/ <1% - https://id.scribd.com/doc/235187433/Atma <1% - https://singaraja.wordpress.com/2009/05/08/mungkin-gak-kita-moksa-part-1/ <1% - https://gdyasasuriawan.blogspot.com/2018/ <1% - https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Hindu <1% - https://rayhanwarakas.blogspot.com/2016/10/agama-hindu.html <1% - http://reginasitirohmah.blogspot.com/2016/01/keyakinan-agama-hindu.html <1% - https://wayankarsana.wordpress.com/agama/ 3% - https://jalancintapencari.wordpress.com/2011/07/30/jiwa-raga-sukma-dan-nyawa/ <1% - http://abdirachmadi.blogspot.com/feeds/posts/default <1% - https://alifbraja.wordpress.com/2012/06/page/24/ <1% - https://yusufavanza.blogspot.com/ <1% - https://sabdalangit.wordpress.com/2010/02/17/jiwa-raga-sukma-nyawa/ <1% - https://www.malangtimes.com/baca/35350/20190124/155500/banyak-kecamatan-di-ka bupaten-malang-dulunya-adalah-bekas-gunung-api-di-dalam-laut/ <1% - https://id.scribd.com/doc/165072029/Materi-Ag-Buddha-Utk-PT <1% - https://alifbraja.wordpress.com/tag/religi/page/9/ <1% - https://songgobuwono.wordpress.com/2012/03/27/974/ <1% - http://sahidrudy.blogspot.com/2013/03/pengertian-hardware-dan-software.html <1% - http://www.pusakatanahjawa.com/2011/10/jiwa-raga-sukma-nyawa.html <1% - https://fantasticyantha.wordpress.com/category/uncategorized/ <1% - http://dot-majapahit.blogspot.com/2010/03/sangkan-paraning-dumadi.html <1% - https://bravijaya.wordpress.com/ <1% - http://gustibang.blogspot.com/2017/08/pengertian-atman-fungsi-atman-dan-sifat.html <1% - http://dharmadefender.blogspot.com/ <1% - http://comankkalaena.blogspot.com/2012/11/panca-sradha.html <1% - http://madewirasuhendra.blogspot.com/2012/03/keyakinan-dalam-agama-hindu.html <1% - http://suartawanindra.blogspot.com/2014/01/tintiyasana.html <1% - https://jelajahminiatur.wordpress.com/ <1% - http://syechsitijenar.blogspot.com/2008/ <1% - http://www.wongedanbagu.com/2016/03/wahyu-panca-ghaib-dan-wahyu-panca-laku.h tml <1% - https://alangalangkumitir.wordpress.com/2009/07/04/mutiara-ilmu-makrifat-bagian-05/ comment-page-25/ <1% - http://syechsitijenar.blogspot.com/2008/06/ <1% - http://eliciadwipratama.blogspot.com/2015/08/tat-twam-asi.html <1% - http://jurusapuh.com/tat-twam-asi-2/ <1% - https://zombiedoc.com/sastra-merajut-keberagaman-kebangsaan.html <1% - http://madedwipurwati02.blogspot.com/2014/09/darma-wacana-tat-twam-asi_83.html 1% - http://prana-shamballa.blogspot.com/2009/ <1% - http://rahayuningty45.blogspot.com/2014/11/mekanisme-surga-neraka-serta-moksa.ht ml <1% - https://kesalahanquran.wordpress.com/2009/10/04/pasal-11-natur-gelap-wahyu-wahyu -muhammad/ <1% - http://wongjowo86.blogspot.com/2009/02/makna-ajaran-wong-urip-iku-mung-mampir. html <1% - https://septihariani.wordpress.com/karma-pala/ <1% - http://www.mantrahindu.com/karma-phala-jenis-jenis-hukum-karma-hindu/ <1% - https://artakertawijaya.wordpress.com/author/ikadekartajaya/ <1% - https://mahabhrata.wordpress.com/mahabharata/bhagawadgita/karma-yoga/ <1% - https://sabdalangit.wordpress.com/2011/01/19/kritik-terhadap-laku-prihatin/comment- page-2/ <1% - http://offijogja.blogspot.com/2011/08/kritik-terhadap-laku-prihatin.html 1% - http://wiahartono.blogspot.com/2011/04/makna-prihatin.html <1% - https://www.academia.edu/30311869/Makna_Filsafat_Tentang_Lingkungan_dan_Arti_Pe nting_Filsafat_Lingkungan_dalam_Kehidupan <1% - https://kholilbantur.blogspot.com/2015/10/taman-siswa-dan-konsep-konsepnya.html <1% - https://haristepanus.wordpress.com/falsafah-jawa/serat-wedhatama/ <1% - https://wongalus.wordpress.com/konsultasi-nasib/ <1% - http://palupidasilva.blogspot.com/2013/04/laku-prihatin-dan-tirakat.html <1% - http://wiyonggoputih.blogspot.com/2018/12/laku-prihatin-dan-tirakat-ilmu-kebatinan.h tml <1% - http://digilib.iain-palangkaraya.ac.id/46/3/BAB%20II%20KAJIAN%20PUSTAKA%20%28AJ %29.pdf <1% - https://www.facebook.com/FilosofiSemar/posts/268383693317536:0 <1% - https://sabdalangit.wordpress.com/page/37/ <1% - https://henkykuntarto.wordpress.com/2008/11/21/mengapa-manusia-alami-reinkarnasi/ <1% - http://kaweruhsejati.blogspot.com/2012/12/hukum-karma-dan-rahasia-kehidupan_4150 .html <1% - http://www.fadhilza.com/2009/08/kkehidupan-akhirat/kematian-menurut-al-qur%e2%8 0%99an.html <1% - https://kertasusang23.blogspot.com/2015/03/ilmu-dan-filsafat-darsana-agama-hindu.ht ml <1% - https://mencobablogbaru.wordpress.com/2010/07/19/kumpulan-misteri-dunia/ <1% - http://blog.iain-tulungagung.ac.id/pkij/2018/04/02/ngaji-serat-wedatama-2-wedharipun -hawa-nafsu/ <1% - http://alim-online.blogspot.com/feeds/posts/default?orderby=updated <1% - https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=657778977572664&id=54439476 8911086&substory_index=0 <1% - http://www.academia.edu/14912330/TUGAS_UAS_LAGI <1% - http://ilyazheidegger.blogspot.com/2014/11/kamatian-menurut-heidegger-bab-iv.html <1% - http://staffnew.uny.ac.id/upload/131570315/penelitian/FILSAFAT+JAWA+DALAM+SERA T+WEDHATAMA.pdf 2% - https://sites.google.com/site/thomchrists/Kebatinan-dan-Spiritual/Manunggaling-Kawul a-Lan-Gusti <1% - https://sites.google.com/site/newjavanese2000/kebatinan-dan-spiritual/manunggaling- kawula-lan-gusti <1% - http://ahmadtohapratama.blogspot.com/2012/ <1% - https://sites.google.com/site/thomchrists/Kebatinan-dan-Spiritual/Kebatinan-dalam-Kea gamaan <1% - http://nur-maunah.blogspot.com/2012/10/seputar-budaya-kebatinan-jawa.html <1% - http://nur-maunah.blogspot.com/2012/10/seputar-budaya-kebatinan-jawa_28.html <1% - http://nur-maunah.blogspot.com/2012/10/olah-batin-dan-kebatinan.html <1% - http://agamakejawen.blogspot.com/2010/09/gerakan-kebatinan-dalam-masyarakat-jaw a_3664.html <1% - https://sites.google.com/site/thomchrists/Kebatinan-dan-Spiritual/sukma-sejati <1% - https://sites.google.com/site/thomchrists/Kebatinan-dan-Spiritual/kesaktian-manusia <1% - http://nur-maunah.blogspot.com/2012/10/sedulurpapat-lan-kalima-pancer-sejak.html <1% - http://nur-maunah.blogspot.com/2012/10/ <1% - http://www-alamghaib.blogspot.com/2015/03/mengungkap-tabir-misterius-syech-siti.ht ml <1% - https://www.kompasiana.com/aditya_alfajr01/56f941950e93732905e12dbd/fungsi-waya ng-kulit-dalam-penyebaran-agama-islam-di-pulau-jawa <1% - http://nur-maunah.blogspot.com/2012/10/ilmu-gaib-dan-ilmu-khodam.html <1% - https://sites.google.com/site/thomchrists/Kebatinan-dan-Spiritual/ilmu-gaib-dan-ilmu-k hodam <1% - http://nur-maunah.blogspot.com/2012/10/olah-spiritual-dan-kebatinan.html <1% - https://cepotkinayungan.wordpress.com/2011/07/02/konsep-spiritual-kaki-semar/ <1% - https://vicodimas.wordpress.com/2009/12/16/konsep-spiritual-kaki-semar/ <1% - http://kejawen-religion.blogspot.com/2008/04/kejawen_1186.html <1% - https://dominikusmargionobudiartanto.wordpress.com/2011/11/29/32/ <1% - http://14komangekayanapendidikanfisika69.blogspot.com/2014/02/konsep-ketuhanan- dalam-bhagawadgita.html <1% - http://www.academia.edu/4766010/KONSEP_KETUHANAN_DALAM_AGAMA_HINDU <1% - http://multiterapi.blogspot.com/2011/09/ajaran-hidup-dari-kaki-semar.html <1% - http://rayanrose.blogspot.com/2015/10/ajaran-hidup-dari-kaki-semar.html <1% - https://www.youtube.com/watch?v=Z-82aHfWGKE <1% - http://phajakarta.blogspot.com/2009_11_22_archive.html 1% - http://misterrakib.blogspot.com/2013/05/tuhan-tidak-ada-menurut-versi-tukang.html 1% - http://agamakejawen.blogspot.com/2008/04/tuhan-dalam-pandangan-orang-jawa_975 6.html <1% - http://kejawen-religion.blogspot.com/2008/04/tuhan-dalam-pandangan-orang-jawa_19 18.html <1% - http://kejawenku.blogspot.com/ <1% - http://saparudin80.blogspot.com/2014/06/perbedaan-konsep-tuhan-dalam-islam-dan.h tml <1% - https://pesantrenvirtualshahih.blogspot.com/2012/08/pengertian-tuhan-dan-agama.ht ml <1% - http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1-2004-suharnoton-157 7-bab1_419-8.pdf <1% - https://miskawiuntag1945banyuwangi.blogspot.com/2010/02/pengertian-sejarah.html <1% - http://mbahdam.blogspot.com/2015/11/studi-fenomenologi-interpretatif.html <1% - https://bambangplusar.blogspot.com/2015/12/kearifan-lokal-wong-jawa-yang.html <1% - http://laraswati.com/2015/08/14/hidup-ini-adalah-kesempatan/comment-page-1/ <1% - http://kakyangdalang.blogspot.com/2015/01/perkawinannsang-arjuna-sd-awatara-widh i_19.html#! <1% - https://renungandharma.wordpress.com/2011/01/02/tuhan-dan-manusia/ <1% - http://dgeablog.blogspot.com/2014/11/advaita-dan-dvaita-vedanta-1.html <1% - https://antoniusafri.wordpress.com/category/filsafat/ketuhanan/ <1% - http://yaumulmarkhamah17.blogspot.com/2016/10/ <1% - https://koirul4all.wordpress.com/tag/pupuh-pangkur-1-15/ <1% - http://kirtanto.blogspot.com/ <1% - https://xendro.wordpress.com/2007/08/13/tapak-kuntul-mabur/ <1% - https://jokondeso.wordpress.com/category/uncategorized/ <1% - http://kabarwictwicky.blogspot.com/2016/04/makalah-tentang-agama-dan-masyarakat- di.html <1% - http://duniawayang.blogspot.com/2008/ <1% - http://www.sarapanpagi.org/penciptaan-dan-evolusi-suatu-telaah-komprehensif-vt3074 .html <1% - https://maulanusantara.wordpress.com/2007/11/13/tuhan-dalam-pandangan-orang-jaw a-sebuah-tinjauan--dan-kejawen/ <1% - http://dakwahislamdankebathinan.blogspot.com/2011/04/mengenal-tuhan.html <1% - http://hendraaryadi-endru.blogspot.com/2014/09/pengertian-susila-dalam-agama-hind u.html <1% - http://shivadwara.blogspot.com/2012/06/sankara-acharya-sang-awatara-dewa-siwa.htm l <1% - http://portalnewsindo.blogspot.com/2017/03/upaya-pencarian-tuhan-dalam-tradisi.htm l <1% - http://anggakusumah.com/2015/10/page/6/ <1% - https://anix89.wordpress.com/ <1% - http://kawruh-kejawen.blogspot.com/2008/11/sangkan-paraning-dumadi.html <1% - https://hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com/2011/04/memahami-simbolisme-dalam-b udaya-jawa.html <1% - https://bagawanabiyasa.wordpress.com/2016/08/17/konsep-kepemimpinan-jawa/ <1% - https://f3rz.wordpress.com/2011/05/ <1% - http://www.akarasa.com/2014/10/piwulang-manunggaling-kawula-gusti.html 1% - http://wiahartono.blogspot.com/2014/07/manunggaling-kawula-gusti.html 1% - http://lakusemar.blogspot.com/2009/11/manunggaling-kawula-gusti.html <1% - http://makalah-makalah-makalah.blogspot.com/2016/04/tugas-dan-peran-manusia-seb agai.html <1% - http://anak-pertiwi.blogspot.com/ <1% - https://dna3jendral.blogspot.com/2013/12/ajaran-manunggaling-kawula-gusti.html <1% - http://www.wongedanbagu.com/2016/02/ <1% - http://sekularis.blogspot.com/2014/07/manunggaling-kawulo-gusti-menurut-syekh.htm l <1% - http://suprijono.blogspot.com/2015/03/berikan-contoh-upaya-perlindungan-dan-pene gakan-ham.html <1% - https://nyoman-budayadanfilosofi.blogspot.com/feeds/posts/default <1% - https://sabdalangit.wordpress.com/2010/05/09/faq-manitis-jangkung-pamomong-guru -sejati-moksa-ngahiang/ <1% - http://www.akarasa.com/2015/08/fenomena-moksa-di-zaman-digital.html <1% - http://penjagagaiba.blogspot.com/2012/12/ <1% - https://www.merdeka.com/peristiwa/caleg-pdip-dapil-aceh-ini-keluhkan-harga-tiket-pe sawat-yang-tidak-masuk-akal.html <1% - https://id-id.facebook.com/notes/ichsan-junirusda/mencapai-pencerahan-spiritual-deng an-ilmu-nur-sejati-puncak-kesempurnaan-segala-/471697741838/ <1% - http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Dr.%20Sutrisna%20Wibawa,%20M.Pd./ FILSAFAT%20JAWA%20DALAM%20SERAT%20WEDHATAMA.pdf <1% - https://www.youtube.com/watch?v=HgKc6NnqAro <1% - http://www.tigaserangkai.com/id/?p=1042 <1% - https://koirul4all.wordpress.com/2017/07/24/serat-wedhatama-pupuh-pangkur-1-14/ <1% - http://heru5924.blogspot.com/2009/05/serat-wedhatama-bag-1.html <1% - https://sabdadewi.wordpress.com/2018/01/29/ayat-oyote-elmu-jowo/ <1% - https://pt.scribd.com/document/258013336/FILSAFAT-JAWA-DALAM-SERAT-WEDHATA MA-pdf <1% - http://setiahatiteratejaya.blogspot.com/2014/03/ <1% - https://irudnews.blogspot.com/2016/10/membangkitkan-peran-media-penerangan.htm l <1% - http://dahroni-gurubasajawa.blogspot.com/2015/12/memayu-hayuning-bawana.html <1% - https://jawapalace.wordpress.com/ <1% - http://www.kaligrafijawa.com/tag/memayu-hayuning-bawana/ <1% - http://staffnew.uny.ac.id/upload/132319826/penelitian/30-falsafah-memayu-hayuning-b awana-2013.pdf <1% - http://menzour.blogspot.com/2016/11/makalah-teori-kepemimpinan-berbasis.html <1% - https://lindalinda188.wordpress.com/sejarah/indonesia-masa-kolonialisme/ <1% - http://deulfah1amtk.blogspot.com/2011/ <1% - https://budayajawa.id/kejawen-dalam-jawa/ <1% - https://www.facebook.com/street.prapatan/photos <1% - https://gadneh.wordpress.com/2016/02/20/islam-gado-gado-nusantara/ <1% - https://covergreen.wordpress.com/2010/10/21/ilmu-marifat/ <1% - http://wayanrudiarta.blogspot.com/2017/05/barong-landung-kajian-estetika-hindu.html <1% - http://maretanakbali.blogspot.com/2014/08/kerukunan-hidup-umat-beragama.html <1% - http://eprints.undip.ac.id/51344/1/45._(C)_teuku_moh_Saleh_-__PERAN_LEMBAGA_ADAT .pdf <1% - http://blogpki.blogspot.com/feeds/posts/default <1% - https://rinastkip.wordpress.com/category/bahan-kuliah/page/4/ <1% - http://www.academia.edu/27857660/MEMAYU_HAYUNING_BAWANA_Makalah_untuk_P uro_Pakualaman_ <1% - http://arik90.blogspot.com/ <1% - http://agungpambudi72-sangkanparaningdumadi.blogspot.com/2011/03/ <1% - https://belajarkebatinan.blogspot.com/feeds/posts/default?orderby=updated <1% - https://docplayer.info/63321718-Analisis-konteks-pengetahuan-dan-ekspresi-budaya-tr adisional-berbasis-muatan-lokal-provinsi-jawa-barat.html <1% - https://rare-angon.blogspot.com/2012/06/filsafat-upanisad.html <1% - https://www.dw.com/id/makin-banyak-warga-turki-jadi-ateis-gara-gara-erdogan/a-470 20921 <1% - http://agamalokalpa4b.blogspot.com/2016/06/responding-paper-kearifan-lokal-suku.ht ml <1% - https://id.wikipedia.org/wiki/Memayu_hayuning_bawana <1% - https://id.m.wikipedia.org/wiki/Memayu_hayuning_bawana <1% - https://serbaserbihindujawa.blogspot.com/2012/06/ajaran-kejawen-budaya-jawa-yang.h tml 1% - https://www.kompasiana.com/jatikumoro/55f567bde9afbd960ac495bb/asal-dan-tujuan- hidup-manusia <1% - http://waliyullahtanahjawi.blogspot.com/2010/05/sunan-kadilangu.html <1% - http://burgerkingstiebankbpdjateng.blogspot.com/2014/07/makalah-burger-king.html <1% - http://www.akarasa.com/2017/05/intisari-andharan-piwulang-kautaman.html <1% - http://www.griyokulo.com/2017/10/sengkelat-13/ <1% - http://gudangcontohskripsi.blogspot.com/2010/04/pesan-novel-lingkar-tanah-lingkar-a ir.html <1% - https://panditoblog.wordpress.com/page/2/ <1% - http://corojowo.blogspot.com/2010/06/cara-panembah-ala-kejawen.html <1% - http://merlitajodi.blogspot.com/p/tahap-tahap-pengolahan-data.html <1% - http://idabagussaduarsa.blogspot.com/2011/01/triguna-dan-sraddha.html <1% - http://arsanapande.blogspot.com/2012/12/subha-dan-asuba-karma.html <1% - http://hindubuddha2014.blogspot.com/2014/06/resume-kelompok-9.html <1% - https://id-id.facebook.com/notes/hindu-bali/panca-yama-brata-dan-panca-nyama-brat a-sumber-hindubatamcom/10150264409477596 1% - https://triwidodo.wordpress.com/2012/01/29/serat-wedhatama-mempersatukan-umat- manusia-melalui-pemahaman-body-mind-and-soul/ <1% - http://hartonoinstitute.blogspot.com/2012/06/semar-dalam-bahasa-jawa.html <1% - http://sahabat-gembala.blogspot.com/2010/12/beberapa-faktor-yang-menyebabkan-u mat.html <1% - https://indtruth.blogspot.com/2015/10/misteri-batu-mulia-di-jari-para.html <1% - http://www.fadhilza.com/2011/09/tadabbur/mengatasi-gangguan-jin-sihir-tenung-dan- santet-dengan-tadabbur-qur%E2%80%99an.html <1% - https://www.facebook.com/danang.ae.16 <1% - https://sinopsisfilmmu.blogspot.com/2015/01/shakuntala-di-antv.html <1% - https://wongalus.wordpress.com/2016/11/01/ilmu-sejati-dalam-serat-wedhatama-karya -kgpaa-mangkunegara-iv/ <1% - https://alangalangkumitir.wordpress.com/2008/04/19/ <1% - http://iwanmuljono.blogspot.com/2012/04/serat-wedhatama-bagaimana-sri_30.html <1% - http://avataraprabusatmata.blogspot.com/2012/01/serat-wedhatama.html <1% - https://bhenco.wordpress.com/2013/02/02/menelusuri-ajaran-syehk-siti-jenar-serat-we dhatama/ <1% - http://filsafat-hindu.blogspot.com/2015/ <1% - https://gitakehidupansepasangpejalan.wordpress.com/category/kisah-sepasang-pejalan / <1% - https://gitakehidupansepasangpejalan.wordpress.com/2018/05/29/refleksi-8-windu-dari -kakek-para-pujangga-ke-bapak-anand-krishna/ <1% - http://umathindu.blogspot.com/2014/07/hari-raya-siwaratri.html 1% - http://ceritahindu.blogspot.com/2010/01/manusia-dalam-kesadaran-tuhan.html