KAKAWIN

Oleh I Ketut Nuarca

PROGRAM STUDI SASTRA JAWA KUNO FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA APRIL 2017

Pengantar

Peninggalan naskah-naskah lontar (manuscript) baik yang berbahasa Jawa Kuna maupun yang ada di masyarakat Bali telah lama menjadi perhatian para peneliti baik peneliti nusantara maupun asing. Mereka utamanya peneliti asing bukan secara kebetulan tertarik pada naskah-naskah ini tetapi mereka sudah lama menjadikan naskah-naskah tersebut sebagai fokus garapan di beberapa pusat studi kawasan Asia Tenggara utamanya di eropa. Publikasi-publikasi yang ada selama ini telah membuktikan tingginya kepedulian mereka pada bidang yang satu ini. Hal ini berbeda keadaannya dibandingkan dengan di . Luasnya garapan tentang bidang ini menuntut adanya komitmen pentingnya digagas upaya-upaya antisipasi untuk menghindari punahnya naskah-naskah dimaksud. Hal ini penting mengingat masyarakat khususnya di Bali sampai sekarang masih mempercayai bahwa naskah- naskah tersebut adalah sebagai bagian dari khasanah budaya bangsa yang di dalamnya mengandung nilai-nilai budaya yang adi luhung. Di Bali keberadaan naskah-naskah klasik ini sudah dianggap sebagai miliknya sendiri yang pelajari, ditekuni serta dihayati isinya baik secara perorangan maupun secara berkelompok seperti sering dilakukan melalui suatu tradisi sastra yang sangat luhur yang selama ini dikenal sebagai tradisi mabebasan. Dalam tradisi ini teks-teks klasik yang tergolong sastra Jawa Kuna dan Bali dibaca, ditafsirkan serta diberikan ulasan isinya sehingga terjadi diskusi budaya yang cukup menarik banyak kalangan. Tradisi seperti ini dapat dianggap sebagai salah satu upaya bagaimana masyarakat Bali melestarikan warisan kebudayaan nenek moyangnya, serta sedapat mungkin berusaha menghayati nilai-nilai yang terkandung di dalam naskah-naskah tersebut. Dalam tradisi ini teks-teks sastra Jawa Kuna menempati posisi paling unggul yang paling banyak dijadikan bahan diskusi. Karya-karya sastra Jawa Kuna dimaksud terutama adalah yang masuk genre (puisi) dan parwa (prosa).

Denpasar, April 2017 Penulis

Pendahuluan

Kakawin adalah jenis karya sastra Jawa Kuno yang terikat oleh aturan-aturan metrum yang sangat ketat. Karya sastra jenis ini menggunakan bahasa Jawa Kuno sebagai media sastranya. Bahasa Jawa Kuno itu sendiri adalah bahasa yang digunakan di dalam peninggalan tulis lama kebudayaan antara abad IX sampai XV yang meliputi karya-karya baik dalam bentuk parwa, kakawin, kidung maupun prasasti dan lain-lain (Rumusan seminar ahli-ahli Jawa Kuno,1975) Karya sastra Jawa Kuno jenis kakawin merupakan satu genre sastra yang sampai sekarang menduduki tempat yang paling dominan di kalangan para peneliti sastra Jawa Kuno seperti pernah dinyatakaan oleh Zoetmulder (1983 : 80). Salah salah satu karya kakawin yang paling digemari masyarakat hingga saat ni adalah . Kakawin Ramayana adalah satu maha karya sastra Jawa Kuna yang sampai sekarang paling populer dibandingkan karya-karya sejenis lainnya. Karya ini tidak hanya dibaca, dipelajari serta didiskusikan isinya oleh masyarakat terutama kalangan pencinta sastra kawi tetapi juga banyak ditransformasikan baik ke dalam bentuk karya sastra yang lebih muda maupun dalam berbagai karya seni seperti seni pertunjukan, lukis, patung dan lain-lain. Dalam bentuk naskah lontar kakawin Ramayana merupakan kakawin terpanjang yang ditemukan sampai saat ini dengan jumlah lembaran naskah yang paling banyak dibandingkan dengan naskah kakawin lain. Demikian pula jumlah salinan dalam bentuk naskah lontar terutama yang dapat diselamatkan hingga saat ini di Bali juga memberi kesaksian tingginya penerimaan masyarakat pada kakawin ini. Dari segi transformasi sastra, sejumlah karya sastra yang mengolah bahan dari kakawin ini cukup banyak dijumpai baik dalam khasanah sastra Melayu, Jawa, Bali dan lain-lain. Publikasi tentang karya ini juga cukup banyak, di antaranya ada yang membicarakan masalah kepengarangan termasuk waktu penulisan serta sumber

1

penulisannya. Semua ini memberi bukti popularitas cerita Ramayana melebihi karya-karya sejenis lainnya. (1964 : 4) memuji kakawin Ramayana sebagai salah satu karya yang sangat bermutu baik dari segi bahasa maupun sastranya. Bahkan Uhlenbeck dalam “De Interpretatie van Oud Javaansche Ramayana” yang dimuat dalam BKI jilid 131 no. 2 tahun 1975 hal 210 memuji kakawin Ramayana sebagai sebuah karya sastra klas satu.

Cerita Ramayana Dalam Khasanah Sastra Nusantara Cerita Ramayana dalam khasanah sastra nusantara selain dijumpai dalam bentuk kakawin juga dijumpai dalam berbagai bentuk karya sastra. Pada jaman Surakarta Awal kurang lebih pada abad ke-18, seorang pujangga keraton Jawa Yasadipura I telah menyadur kakawin Ramayana ke dalam bentuk sebuah karya sastra Jawa yang lebih muda yakni Serat . Serat Rama adalah satu jenis sastra dalam khasanah sastra Jawa Baru yang digubah dalam bentuk jarwa (kawi miring), yaitu satu jenis (genre) puisi dalam sastra Jawa yang digubah dalam bentuk tembang macapat jawa. Poerbacaraka menyebut Serat Rama sebagai karya yang amat penting pada jamannya bahkan hingga di jaman modern ini pun penting untuk dibaca. Selain Serat Rama ada lagi karya lain dalam pebendaharaan sastra Jawa Baru, yakni Serat Kanda. Karya ini merupakan cerita Rama khas Jawa yang di dalamnya juga terdapat sisipan cerita Islam dan Pandawa. Dalam perbendaharaan sastra Melayu cerita Ramayana dapat dijumpai pada Hikayat Sri Rama dan Ramayana Patani. Dalam khasanah kesusastraan Bali tradisional cerita Ramayana digubah dalam bentuk sastra geguritan yang menggunakan metrum macapat. Kesinambungan cerita Ramayana dalam berbagai bentuk karya yang lebih muda seperti ini cukup memberi bukti tingginya apresiasi masyarakat terhadap Ramayana.

2

Khusus terhadap kakawin Ramayana sebagaimana dikatakan Uhlenbeck dalam “De Interpretatie van Oud Javaansche Ramayana” yang dimuat dalam BKI jilid 131 no. 2 tahun 1975 hal 210 sebagai karya sastra klas satu berhasil menarik minat para peneliti untuk melakukan studi terhadap karya ini. Satu hal yang patut dicatat, walaupun di antara para peneliti saling berbeda dalam memberi penafsiran terhadap kakawin ini tetapi dalam satu hal mereka sepakat untuk mengatakan kakawin ini sebagai sebuah karya sastra maha agung yang mutunya sangat tinggi baik dilihat dari segi isi, bentuk serta keindahannya sehingga mereka menyebut karya ini sabagai adhikawya. Dari segi masyarakat yang menghasilkannya kehadiran karya ini dapat dikatakan merupakan sukses yang sangat besar. Resepsi masyarakat terhadap karya ini cukup tinggi, tidak hanya dibuktikan dari banyaknya tiruan dalam bentuk karya sastra yang lebih muda tetapi juga dalam kehidupan berkesenian pun cerita Ramayana banyak dijadikan inspirasi oleh para seniman dalam berkarya baik dalam seni lukis, seni drama (pertunjukan), seni ukir dan lain-lain.

Prototipe India Sampai dua atau tiga dasawarsa yang lalu banyak kalangan beranggapan bahwa kakawin Ramayana ini berasal dari sebuah epik Ramayana yang berbahasa Sanskerta yang menurut tradisi dikatakan ditulis oleh pujangga besar Walmiki. Dalam satu hal anggapan ini dianggap mengandung kewajaran mengingat selain judul ke dua karya tersebut memiliki kesamaan juga dari segi popularitasnya pun hampir sama. Sebagai pujangga besar, Walmiki berhasil menjadikan karyanya sebagai sebuah karya maha agung yang dalam beberapa kurun waktu tertentu sangat dekat dengan masyarakat serta selalu akan dikenal untuk selamanya. Hal ini sengaja diucapkan Walmiki pada salah satu sloka yang digubahnya (Bala Kanda Bab II:36) yang bila diterjemahkan kurang lebih maknanya demikian :

3

Selama gunung-gunung masih tegak berdiri

selama sungai masih tetap mengalir ke daratan

maka kisah agung Rama dan

akan tetap dikenal (masyur) di dunia Sloka yang bernuansa ”ramalan” ini menurut pandangan beberapa orang dikatakan banyak mengandung kebenaran karena sekurang-kurangnya sampai saat ini lebih dari 2000 tahun setelah diucapkan untuk pertama masalah tersebut memang menjadi kenyataan. Bunyi sloka yang diucapkan atau ditulis Walmiki sebagaimana maknanya dikutip di atas dengan sengaja dikutip oleh Hooykaas ketika beliau menulis buku Over Malaische Literatuur sebagai pertanda ketertarikannya pada ucapan Walmiki yang dianggapnya sangat puitis. Jadi apa yang diucapkan Walmiki untuk beberapa kurun waktu tertentu memang menjadi kenyataan. Hal inilah barangkali yang mendasari munculnya asumsi yang sempat berkembang bahwa kakawin Ramayana bersumber dari epos Ramayana gubahan Walmiki. Barangkali yang tidak terbayangkan oleh Walmiki sebagaimana pernah dinyatakan Dr. Supomo bahwa dalam kurun waktu yang begitu panjang hingga berabad-abad tersebut anak-anak sungai agung Walmiki sebagaimana dilukiskan di dalam terjemahan sloka di atas telah mengalir ke pelbagai penjuru dunia hingga melewati daerah-daerah tandus. Sambil terus mengalir kemudian aliran sungai tersebut bertemu dengan sungai-sungai lain yang menghanyutkan pepohonan yang roboh, sampah dan lain-lain sebagai efek dari perilaku umat manusia (ilegal loging) sehingga mengakibatkan tersumbatnya aliran sungai. Akibat tersumbatnya aliran sungai dimaksud kemudian airnya dialihkan ke kanal-kanal serta parit yang jumlahnya demikian banyak. Parit-parit inilah kemudian yang mengalirkan air yang berbeda ”warna” dan ”rasa” dengan air dari sungainya Walmiki (1980: 1-2). Kalimat-kalimat puitis yang dinyatakan Supomo di atas memberi kesan adanya keinginan kuat dari seorang peneliti untuk merunut perjalanan setiap naskah yang ada. Keinginan untuk merunut kehadiran setiap naskah akhirnya membuahkan hasil karena ternyata asumsi y ang mengatakan kakawin Ramayana penulisannya

4

didasarkan pada Ramayana Walimiki tidak terbukti. Sejak Hooykaas secara tekun mempelajari dan meneliti kakawin Ramayana dengan mengadakan perbandingan pada dua versi sumber yang ada dalam khasanah sastra India berbahasa Sansekerta hasil yang diperolehnya ternyata berbeda dengan asumsi yang berkembang sebelumnya. Hasil-hasil studi Hooykaas tersebut dipublikasikannya pada beberapa tulisan dalam berbagai majalah sekitar tahun 1950-an dan secara meyakinkan dapat membuktikan bahwa kakawin Ramayana tidak bersumber dari Ramayana gubahan Walmiki, melainkan dari sebuah sumber lain yakni satu karya yang bernama Rawanawadha (gugurnya Rawana) gubahan pujangga Bhatti. Rawanawadha gubahan Bhatti ini juga dikenal dengan nama lain yakni Bhattikavya. Hasil studi yang dilakukan Hooykaas ini hampir sejalan dengan kesimpulan peneliti India, Himansu Bhusan Sarkar dan Manomohan Ghosh (Poerbatjaraka, 1952:2). Pada tahun 1934 Himansu Bhusan Sarkar dalam sebuah studinya menemukan secara jelas adanya persamaan antara sebuah pupuh (bagian) tertentu dari kakawin Ramayana dengan sebuah karya klasik Sansekerta yang ditulis antara abad ke-6 dan ke-7, yaitu Rawanawadha yang dikarang oleh Bhatti (Bhattikavya). Temuan ini dilanjutkan oleh peneliti lain, Manomohan Ghosh yang mendapatkan adanya delapan bait (sloka) pada Rawanawadha yang secara jelas memperlihatkan kesamaan dengan kakawin Ramayana. Dari temuan ini kemudian disimpulkan bahwa kakawin Ramayana yang menurut tradisi Bali dikatakan dikarang oleh Yogiswara bersumber dari Rawanawadha atau Bhattikavya. Bila dibandingkan kisah Rama yang terdapat dalam kakawin Ramayana dengan berbagai kisah Rama dalam khasanah sastra tulis lainnya seperti dalam sastra Melayu (Hikayat Sri Rama), Jawa (Rama Keling) serta dalam sastra-sastra nusantara lainnya, maka dapat dikatakan kisah-kisah Rama tersebut tidak bersumber dari satu tradisi yang sama. Tetapi secara garis besar memiliki kemiripan dengan epos Sansekertanya yang digubah oleh maha kawi Walmiki. Dalam khasanah sastra Jawa Kuna terdapat satu karya sastra prosa yang

5

sumbernya diambil dari Ramayana Sansekerta gubahan Walmiki, karya sastra dimaksud adalah Uttarakanda. Tetapi cerita Uttarakanda ini sama sekali tidak dijumpai di dalam kakawin Ramayana. Dari sini dapat diasumsikan bahwa Uttarakanda ini kemungkinan di-jawakuna-kan jauh kemudian dari kakawin Ramayana, dan kemungkinan sengaja ditulis untuk menyebutkan bagian yang tidak ada pada kakawin Ramayana.

Waktu Penulisan

Dalam teks kakawin Ramayana tidak ada satu keterangan pun yang secara langsung (eksplisit) memberikan informasi tentang waktu penulisan karya. Berbeda dengan kakawin-kakawin lainnya yang digubah pada periode Jawa Timur dan Bali. Kakawin yang digubah pada periode ini dari data yang ada semuanya menyertakan bait-bait pembuka (manggala) yang mengawali kakawin. Manggala sebuah kakawin kadang-kadang memberi informasi yang berharga mengenai kepengarangan termasuk waktu penulisannya. Demikian pula uraian yang terdapat pada bagian akhir teks (epilog). Dalam kakawin Ramayana yang kita kenal selama ini semua keterangan mengenai masalah itu tidak kita dapatkan. Mungkin karena masalahnya seperti itu para peneliti memberi penafsiran yang sangat beragam. Ketika H. Kern menerbitkan kakawin Ramayana dengan aksara Jawa (1900) beliau mendapatkan kesan bahwa kakawin Ramayana usianya sedikit lebih muda dibandingkan beberapa karya sastra Jawa Kuna lainnya seperti Adiparwa, dan tetapi lebih tua dari kakawin Sutosoma dan Bhomantaka. H.Kern memperkirakan penulisan kakawin Ramayana sekitar abad ke-13. Pada kesempatan yang lain seperti penelitian yang pernah dilakukan oleh Poerbatjaraka diperoleh kesimpulan bahwa kakawin Ramayana ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung, raja yang berkuasa di Jawa Tengah dan Jawa

6

Timur antara tahun saka 820-832. Hasil penelitiannya ini terutama didasarkan atas perbandingan bahasa dan dokumen-dokumen tertulis lainnya pada batu dan tembaga yang ditemukan di Jawa (1952:2). Dalam sebuah prasasti yang dikeluarkan oleh raja Balitung (907) ditemukan uraian bahwa pada sebuah pertunjukan yang diadakan dalam rangka pengesahan tiga desa menjadi milik suatu wihara dikisahkan ada berbagai macam pertunjukan, di antaranya ada yang melawak, ada pertunjukan yang mengambil lakon atau tarian Kicaka, ada yang macarita Bhimakumara dan ada yang macarita Ramayana. Apakah kata macarita dapat diartikan membaca teks atau bercerita tanpa teks sebagaimana pada sastra lisan pada umumnya, hal ini tidak jelas diketahui. Yang pasti bahwa kisah Bhimakumara dan Kicaka adalah bagian cerita yang terdapat dalam Wirataparwa. Sebagaimana kita ketahui Wirataparwa baru dibahasajawakan pada masa pemerintahan Teguh Dharmawangsa, hampir satu abad setelah masa pemerintahan Balitung. Ini berarti pada masa pemerintahan Balitung kemungkinan cerita dan Ramayana sudah dikenal secara luas oleh masyarakat. Stutterheim, seorang peneliti Belanda dalam desertasinya yang berjudul Rama-Legenden Und Rama Reliefs in Indonesia berpendapat bahwa kakawin Ramayana dikarang pada abad ke-11 atau 12. Pendapat ini didasarkan atas cerita- cerita yang sudah lumrah di Indonesia seperti Rama Keling dan Hikayat Sri Rama dan pula berdasarkan relief Ramayana yang terdapat pada candi . Menentukan waktu penulisan kakawin Ramayana menurut Zoetmulder memang diakuinya merupakan pekerjaan yang rumit karena karya ini sangat berbeda dengan karya-karya kakawin lain yang dijumpai pada periode Hindu-Jawa di Jawa Timur dan pula kakawin-kakawin Bali. Perbedaan tersebut sangat jelas terutama dalam beberapa hal : (1) Manggala Semua kakawin pada bagian awalnya berisi bait-bait pembuka yang disebut manggala sedangkan pada kakawin Ramayana hal ini tidak dijumpai. (2) Dari segi bahasa, kata-kata seperti lango dan lengeng yang merupakan kosa kata baku yang biasa dijumpai pada karya-karya kakawin sama sekali tidak ` 7

dijumpai pada kakawin Ramayana. Kosa kata ini dalam teks-teks kakawin lain selalu digunakan secara berulang-ulang. Ibaratnya kata-kata tersebut menjadi pilihan kata favorit bagi seorang pujangga. Pada teks-teks prosa Jawa Kuna seperti parwa kata-kata seperti itu jarang sekali digunakan karena karya sastra jenis parwa memang secara tekstual tidak bersifat puitis. (3) Pembagian cerita atau susunan teks dalam kakawin Ramayana disusun dalam bentuk susunan sargah dan setiap sargah terdiri dari beberapa jenis pupuh atau metrum (terdiri atas 26 sargah). Hal ini sangat berbeda dengan kakawin- kakawin yang lain. Data-data yang dijelaskan di atas melahirkan satu penafsiran bahwa kemungkinan kakawin Ramayana ini sebagai kakawin pertama yang ditulis sebelum ditemukannya kakawin-kakawin lain yang dihasilkan pada periode Hindu-Jawa di Jawa Timur. Dengan demikian kemungkinan kakawin ini berasal dari masa kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Tengah.

Penafsiran Menurut Tradisi Bali Bali memiliki tradisi tersendiri dalam menafsirkan waktu penulisan kakawin Ramayana dan sangat berbeda dengan cara-cara penafsiran lain seperti yang telah diuraikan terdahulu. Untuk mengetahui cara penafsiran ini berikut akan dikutip secara utuh satu bait kakawin Ramayana sargah XXV bait 50 seperti berikut :

Saksat Manmata sila sang Raghusutamenuhi wisaya dharma ring sarat, ngkan Ramayana Bhadrawada nira mogha mawangi rumesep teke hati, sang Yogiswara sista sang sujana suddha manah ira huwus mace sira, byaktawas ucapanta ring Julung adohmuka pinaka nimittaning lepas.

Ada beberapa ungkapan yang perlu mendapat perhatian terutama bila hal itu dikaitkan dengan masalah (candara sangkala). Tetapi sebelum ungkapan tersebut diberi penafsiran terlebih dahulu bait di atas akan diterjemahkan seperti berikut : 8

Bagaikan Dewa Manmata (Asmara) keadaan Sang Rama yang perbuatan dharmanya memenuhi dunia, demikianlah cerita Ramayana semoga harum menyusup sampai ke dalam hati, sang pendeta semakin bijaksana, sang sujana semakin suci pikirannya setelah membaca cerita ini, tentu pandangannya jelas terhadap benar dan salahnya sebagai sebab mencapai kebebasan.

Kata Yogiswara dalam kutipan bait di atas menurut pandangan orang Bali ditafsirkan sebagai nama seorang pujangga yang mengarang kakawin Ramayana. Menurut Zoetmulder (1983:295) untuk sementara waktu pandangan masyarakat Bali seperti ini dinilai cukup berpengaruh di kalangan peneliti Barat walaupun hal ini tidak didasarkan atas satu bukti ilmiah yang kuat. Hal ini berbeda dengan pandangan Poerbatjaraka yang menyebut kata yogiswara bukan nama diri, jadi pengarang kakawin Ramayana anonim (1952:3). Dalam konteks penafsiran penulisan kakawin Ramayana beberapa kata yang terdapat di dalam bait penutup (epilog) juga agaknya perlu mendapat perhatian. Di antaranya adalah : bhadrawada serta ungkapan sista sang sujana suddha. Kata bhadrawada mengacu pada nama bulan yakni bulan Agustus. Sedangkan kata sista menurut perhitungan candra sangkala berarti 6; sujana berarti 1; suddha berarti 0; dan manah berarti 1. Bila cara perhitungan seperti ini dijadikan pegangan berarti kakawin Ramayana kemungkinan dikarang oleh Yogiswara pada tahun saka 1016. Masih ada sederetan kata lain dalam bait di atas yang perlu mendapatkan perhatian. Di antaranya adalah kata-kata seperti : was, ucapanta dan julungadohmuka. Kata was dalam perhitungan kalender Bali (Jawa) adalah nama hari yang kelima dari hari yang berjumlah enam (sadwara : tungleh, aryang, urukung, paniron, was, maulu). Kata ucapanta dapat dieja menjadi dua kata yakni uca dan panta. Kata panta dianggap mengandung makna “singkatan” atau ada sesuatu yang disingkat. Yang disingkat dalam hal ini adalah kata uca yang dapat dieja menjadi U dan Ca. Fonem atau suara U ditafsirkan sebagai singkatan dari kata Umanis, yakni nama hari pertama dari hari yang berjumlah lima (pancawara: 9

umanis, paing, pon, wage, kliwon). Sedangkan suku kata Ca ditafsirkan sebagai singkatan dari Coma atau Senin, yaitu hari kedua dari hari yang berjumlah tujuh (Saptawara : redite, coma, anggara, buda, wrespati, sukra, saniscara). Kata-kata tersebut kemudian diikuti oleh kata julungadohmuka yang dapat ditafsirkan sebagai wuku Julungwangi sudah berlalu. Jadi wuku setelah julungwangi adalah wuku sungsang. Bila cara penafsiran seperti di atas digunakan pegangan maka kakawin Ramayana kemungkinan digubah oleh Yogiswara pada hari Senin (Coma) Umanis wuku Sungsang pada bulan Bhadrawada (sekitar Agustus) pada tahun saka 1016.

Uttarakanda di Indonesia Uttarakanda adalah bagian (kanda) terakhir dari tujuh kanda yang terdapat dalam Ramayana Walmiki. Kata uttara selain berarti utara juga dapat berarti terakhir. Ramayana Walmiki yang sangat populer ini terdiri dari 24.000 sloka yang dibagi dalam tujuh kanda (bab). Ketujuh kanda tersebut adalah sebagai berikut. (1) , berisi kisah Rama semasa kecil. (2) Ayodyakanda, melukiskan keadaan negeri Ayodya. (3) Araniakanda, melukiskan kisah Rama, Sita dan Laksamana ketika di tengah hutan. (4) Kiskendakanda, melukiskan kisah Rama, Sita dan Laksamana ketika mendapat bantuan dari raja kera, Anoman dari Goa Kiskenda. (5) Sundarakanda, melukiskan keadaan kerajaan Alengka dengan rajanya Rahwana. (6) Yuddhakanda, mengisahkan peperangan antara Rama melawan Rahwana. (7) Uttarakanda, mengisahkan pembuangan Sita; kelahiran putra Rama Kusa dan Lawa serta kembalinya Sita ke Ayodya. Pada uraian di depan telah disinggung dua versi sumber mengenai cerita Rama dalam khasanah sastra India (Sansekerta), yakni Ramayana Walmiki dan

10

Rawanawadha (Bhattikavya). Ramayana Walmiki sebagaimana dijelaskan di depan ceritanya terdiri atas tujuh kanda sementara Rawanawadha isinya kurang lebih meliputi isi cerita dari kanda pertama sampai dengan kanda keenam dari Ramayana Walmiki. Dalam Rawanawadha tidak terdapat kisah kelahiran putra Rama, Kusa dan Lawa yang dalam Ramayana Walmiki diceritakan dalam Uttarakanda. Sebagaimana diketahui usaha untuk menyadur parwa-parwa Mahabharata ke dalam bahasa Jawa Kuna dilakukan pada masa pemerintahan raja Teguh Dharmawangsa, raja yang memerintah di Jawa Timur sekitar abad ke-11, termasuk Uttarakanda yaitu kanda terakhir dari Ramayana Walmiki. Pada saat usaha ini dirintis kita ketahui di masyarakat sudah ada sebuah karya kakawin yang sangat populer, yakni kakawin Ramayana. Kakawin ini isinya secara keseluruhan dapat dikatakan kurang lebih sama dengan sumber Sansekertanya, yakni Rawanawadha. Sementara Rawanawadha sebagaimana dijelaskan di depan isinya kurang lebih meliputi isi kanda pertama sampai kanda keenam dari Ramayana Walmiki. Dengan demikian muncul pertanyaan, mengapa hanya Uttarakanda saja yang digubah dalam bahasa Jawa Kuna dari tujuh kanda yang terdapat dalam Ramayana Walmiki? Mungkin disadurnya Uttarakanda ke dalam bahasa Jawa Kuna hanya dimaksudkan untuk melengkapi kakawin Ramayana yang sudah ada sebelumnya, karena sebagaimana dijelaskan di atas pada kakawin Ramayana kisah lahirnya putra Rama Kusa dan Lawa tidak ada.

Studi Hooykaas Tentang Kakawin Ramayana Hooykaas adalah peneliti Belanda yang dikenal sangat serius meneliti masalah penulisan kakawin Ramayana terutama dikaitkan dengan dua versi sumber cerita berbahasa Sansekerta yang terdapat di India. Sebelum hasil studinya dipublikasikan dalam berbagai majalah penafsiran mengenai penulisan kakawin Ramayana ini sangat beragam sebagaimana telah disinggung di depan.

11

Uraian pada bagian ini akan membicarakan secara singkat dua tulisan Hooykaas yang dipublikasikan pada tahun 1955 dan tahun 1958. Kedua tulisan tersebut adalah seperti berikut. (1) “The Old Javanese Ramayana Kakawin with Special Reference to the Problem of Interpolation in Kakawin” dimuat dalam majalah VKI Nomor 16 tahun 1955. (2) “The Old Javanese Ramayana on the Exemplary kakawin to its form and Content”, yang dimuat dalam majalah VKAWL Nomor 65 tahun 1958. Dalam tulisan pertama Hooykaas secara tegas dapat membuktikan bahwa kakawin Ramayana sungguh-sungguh berasal dari satu sumber mahakawya yang dikarang oleh pujangga Bhatti, yang karyanya disebut Rawanawadha (Bhattikawya). Tulisan Hooykaas ini dipublikasikan untuk menjawab keraguan beberapa kalangan peneliti akibat anggapan yang pernah dilontarkan oleh H. Kern ketika beliau menerbitkan kakawin Ramayana pada tahun 1900. Dalam penerbitan kakawin Ramayana oleh Kern yang diterbitkan dengan aksara Jawa (1900) dinyatakan bahwa kakawin Ramayana ini dikatakan penuh dengan sisipan. Adapun yang dianggap sebagai sisipan di sini adalah bagian cerita yang berisi adegan- adegan romantis yang mengandung unsur pornografi. Bagian-bagian cerita yang dianggap sisipan oleh Kern dikatakan tidak ada pada sumber aslinya yang berbahasa Sansekerta. Sisipan-sisipan ini dianggap sebagai tambahan dari pujangga Indonesia (Yogiswara) yang menggubah kakawin Ramayana. Tetapi hasil penelitian yang dilakukan Hooykaas dengan sangat meyakinkan dapat menggugurkan teori Kern, karena semua yang dianggap sebagai sisipan ternyata terbukti ada dalam Rawanawadha. Dalam tulisan kedua selain berisi lukisan kisah Rama dan Sita juga terdapat uraian mengenai aspek-aspek puisi dari kakawin Ramayana. Hooykaas dalam tulisan ini menyebut kakawin Ramayana sebagai adikawya, kawya pertama dan terbaik, dan benar-benar sangat bermutu serta indah baik dari segi bentuk maupun isi. Pengarang kakawin Ramayana oleh Hooykaas dikatakan tidak saja bermaksud 12

melukiskan kisah agung Rama dan Sita tetapi juga agaknya dimaksudkan untuk membuat satu model kakawin yang berbeda dengan kakawin-kakawin lain yang ada, baik bentuk maupun isinya. Hal inilah yang menjadikan kakawin Ramayana sebagai satu karya yang istimewa karena dalam beberapa hal terbukti sangat berbeda dengan kakawin-kakawin yang lain yang ditulis belakangan. Barangkali inilah yang dijadikan alasan mengapa Yogiswara dianggap sebagai pujangga yang mengarang kakawin Ramayana memilih sumber Rawanawadha sebagai induk karangannya. Padahal dari segi popularitas Rawanawadha kurang populer dibandingkan Ramayana Walmiki, karena dalam Rawanawadha selain dilukiskan kisah Rama dan Sita juga terdapat uraian tatabahasa Sansekerta serta aspek-aspek puisi atau persajakan (alankara: yaitu permainan kata atau bunyi yang terdapat pada suatu bait puisi yang dapat menyebabkan adanya keindahan). Hooykaas mengatakan sebagian besar teknik-teknik persajakan yang dijumpai dalam kakawin Ramayana ternyata ada dalam sumber aslinya, Rawanawadha. Barangkali karena adanya uraian-uraian seperti inilah yang menjadikan bahasa Rawanawadha lebih sulit dibandingkan Ramayana Walmiki. Dalam perbendaharaan sastra India dikenal dua macam teknik persajakan (alankara), yaitu sabdalankara dan arthalankara. Sabdalankara adalah hiasan menurut bunyi bahasa. Atau keindahan yang diakibatkan oleh adanya permainan kata atau bunyi-bunyi bahasa dalam setiap bait puisi. Sabdalankara dibagi dua macam : anuprasa dan yamaka. Anuprasa dikenal juga dengan sebutan purwwa kanti, yaitu keindahan yang disebabkan adanya persamaan bunyi konsonan (asonansi/alitrasi). Sedangkan yamaka adalah asonansi yang bentuknya lebih sistematis dan batas-batasnya tidak jelas (Hooykaas, 1958:40). Yamaka bentuknya lebih meyerupai gaya bahasa perulangan yang terjadi dalam satu bait. Yang diulang mungkin kata, suku kata, konsonan ataupun yang lain. Karena bentuk perulangan yang beragam, maka yamaka juga dibagi dalam beberapa macam, di antaranya seperti berikut.

13

(1) kanci yamaka, bentuk perulangan dengan mengulang kata terakhir dari sebuah larik dalam satu bait dan diulang pada kata pertama larik berikutnya. (2) puspa yamaka, pengulangan suku kata terakhir dari setiap larik secara berlanjut dalam larik-larik berikutnya dalam satu bait. (3) padadyanta yamala, pengulangan kata pertama setiap larik. (4) padanta yamaka, kebalikan dari padadyanta yamaka, di sini yang diulang adalah kata-kata terakhir dari setiap larik. (5) Wrnta yamaka, pengulangan suku kata pertama pada larik pertama dan diulang pada larik-larik berikutnya. Dalam kakawin Ramayana pemakaian gaya bahasa seperti yamaka ini dijumpai cukup banyak sebagaimana pernah diutarakan Hooykaas dalam Four- lines yamaka in the Old-Javanese Ramayana (JARS). Dari sekian banyak teknik yamaka ini menurut Hooykaas beberapa di antaranya tidak berasal dari India melainkan diciptakan sendiri oleh Yogiswara. Keindahan sebuah syair (puisi) selain akibat adanya permainan kata atau bunyi (sabdalankara) dapat pula ditimbulkan karena permainan kata berdasarkan arti yang dikandungnya. Dalam sastra India gaya bahasa seperti ini dikenal dengan sebutan arthalankara. Mengenai pemakaian gaya bahasa seperti ini serta macam- macamnya dalam perbendaharaan sastra India Hooykaas mengatakan cukup banyak. Hal ini dikatakan dalam sebuah tulisannya yang berjudul On some arthalankara in the Bhattikawya X (BSOAS 20 tahun 1957). Dalam kakawin Ramayana tidak kurang dari 16 macam teknik arthalankara yang ditemukan. Adapun macam-macam teknik arthalankara dimaksud dapat disebutkan seperti berikut: (1) rupaka; (2) rupaka bhyadika; (3) wyatireka; (4) slesa; (5) upreksa; (6) wibhawana; (7) atisayokti; (8) warta; (9) yatha snkkwa; (10) wiroda; (11) ninda-stuti; (12) nidarsana; (13) wisosekti; (14) arthantara- nyasa; (15) upanyasa; (16) ananwaya.

14

Penutup Uraian-uraian di atas memberi gambaran betapa uniknya kakawin Ramayana dibandingkan karya-karya kakawin lain yang ditemukan sampai saat ini. Keunikan inilah yang menjadikan daya tarik peneliti untuk mengetahui secara lebih jauh tentang karya ini. Popularitas kakawin ini tidak hanya dapat dilihat melalui transformasi teks dalam bentuk karya sastra yang lebih muda dalam khasanah sastra nusantara tetapi juga terlihat dalam berbagai aspek kehidupan berkesenian masyarakat baik seni lukis, seni ukir (pahat) maupun seni pertunjukan. Dalam masyarakat Bali cerita Ramayana sering diangkat sebagai lakon cerita drama tari oleh ISI Bali pada setiap pagelaran kesenian dalam rangkaian pelaksanaan pesta kesenian Bali. Demikian pula halnya dalam pementasan cak di beberapa desa atau pusat layanan kesenian sebagai tarian untuk menghibur tamu manca negara.

15

Daftar Pustaka

Hooykaas, C. 1958. “The Old Javaanese Ramayana” dalam VKAWL, LXV no. 3

______. 1958. “Four Line Yamaka in the Old Javaanese Ramayana Kakawin” dalam JRAS.

Kern, H. 1900. Ramayana Kakawin, Oud djavaavsch heldendicht. ’s Gravenhage

Pigeaud, G.Th. 1967. Literature of . Vol 1. Sypnosis of Old Javanese Literature 900-1500. The Hague : Martijnus Nijhoff.

Poerbatjaraka, Prof. Dr. Ng. 1952. Kepustakaan Djawa. Djakarta

Rumusan Seminar Ahli-Ahli Jawa Kuna se-Indonesia di Wisma Prajamukti Tanjung Bungkak Denpasar 1975.

Supomo, S. 1979. “Perobahan dan Kesinambungan dalam Sastra Jawa” Materi yang dibawakan selama menjadi dosen Tamu pada Jurusan Bahasa Dan sastra Daerah Univ. Udayana tahun 1979.

Uhlenbeck. 1975 “De Interpretatie van Oud Javaansche Ramayana” dimuat dalam BKI jilid 131 no. 2

Zoetmulder, P.J. 1983. Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta : Djambatan

16