Kakawin Ramayana
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
KAKAWIN RAMAYANA Oleh I Ketut Nuarca PROGRAM STUDI SASTRA JAWA KUNO FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA APRIL 2017 Pengantar Peninggalan naskah-naskah lontar (manuscript) baik yang berbahasa Jawa Kuna maupun Bali yang ada di masyarakat Bali telah lama menjadi perhatian para peneliti baik peneliti nusantara maupun asing. Mereka utamanya peneliti asing bukan secara kebetulan tertarik pada naskah-naskah ini tetapi mereka sudah lama menjadikan naskah-naskah tersebut sebagai fokus garapan di beberapa pusat studi kawasan Asia Tenggara utamanya di eropa. Publikasi-publikasi yang ada selama ini telah membuktikan tingginya kepedulian mereka pada bidang yang satu ini. Hal ini berbeda keadaannya dibandingkan dengan di Indonesia. Luasnya garapan tentang bidang ini menuntut adanya komitmen pentingnya digagas upaya-upaya antisipasi untuk menghindari punahnya naskah-naskah dimaksud. Hal ini penting mengingat masyarakat khususnya di Bali sampai sekarang masih mempercayai bahwa naskah- naskah tersebut adalah sebagai bagian dari khasanah budaya bangsa yang di dalamnya mengandung nilai-nilai budaya yang adi luhung. Di Bali keberadaan naskah-naskah klasik ini sudah dianggap sebagai miliknya sendiri yang pelajari, ditekuni serta dihayati isinya baik secara perorangan maupun secara berkelompok seperti sering dilakukan melalui suatu tradisi sastra yang sangat luhur yang selama ini dikenal sebagai tradisi mabebasan. Dalam tradisi ini teks-teks klasik yang tergolong sastra Jawa Kuna dan Bali dibaca, ditafsirkan serta diberikan ulasan isinya sehingga terjadi diskusi budaya yang cukup menarik banyak kalangan. Tradisi seperti ini dapat dianggap sebagai salah satu upaya bagaimana masyarakat Bali melestarikan warisan kebudayaan nenek moyangnya, serta sedapat mungkin berusaha menghayati nilai-nilai yang terkandung di dalam naskah-naskah tersebut. Dalam tradisi ini teks-teks sastra Jawa Kuna menempati posisi paling unggul yang paling banyak dijadikan bahan diskusi. Karya-karya sastra Jawa Kuna dimaksud terutama adalah yang masuk genre kakawin (puisi) dan parwa (prosa). Denpasar, April 2017 Penulis Pendahuluan Kakawin adalah jenis karya sastra Jawa Kuno yang terikat oleh aturan-aturan metrum India yang sangat ketat. Karya sastra jenis ini menggunakan bahasa Jawa Kuno sebagai media sastranya. Bahasa Jawa Kuno itu sendiri adalah bahasa yang digunakan di dalam peninggalan tulis lama kebudayaan antara abad IX sampai XV yang meliputi karya-karya baik dalam bentuk parwa, kakawin, kidung maupun prasasti dan lain-lain (Rumusan seminar ahli-ahli Jawa Kuno,1975) Karya sastra Jawa Kuno jenis kakawin merupakan satu genre sastra yang sampai sekarang menduduki tempat yang paling dominan di kalangan para peneliti sastra Jawa Kuno seperti pernah dinyatakaan oleh Zoetmulder (1983 : 80). Salah salah satu karya kakawin yang paling digemari masyarakat hingga saat ni adalah kakawin Ramayana. Kakawin Ramayana adalah satu maha karya sastra Jawa Kuna yang sampai sekarang paling populer dibandingkan karya-karya sejenis lainnya. Karya ini tidak hanya dibaca, dipelajari serta didiskusikan isinya oleh masyarakat terutama kalangan pencinta sastra kawi tetapi juga banyak ditransformasikan baik ke dalam bentuk karya sastra yang lebih muda maupun dalam berbagai karya seni seperti seni pertunjukan, lukis, patung dan lain-lain. Dalam bentuk naskah lontar kakawin Ramayana merupakan kakawin terpanjang yang ditemukan sampai saat ini dengan jumlah lembaran naskah yang paling banyak dibandingkan dengan naskah kakawin lain. Demikian pula jumlah salinan dalam bentuk naskah lontar terutama yang dapat diselamatkan hingga saat ini di Bali juga memberi kesaksian tingginya penerimaan masyarakat pada kakawin ini. Dari segi transformasi sastra, sejumlah karya sastra yang mengolah bahan dari kakawin ini cukup banyak dijumpai baik dalam khasanah sastra Melayu, Jawa, Bali dan lain-lain. Publikasi tentang karya ini juga cukup banyak, di antaranya ada yang membicarakan masalah kepengarangan termasuk waktu penulisan serta sumber 1 penulisannya. Semua ini memberi bukti popularitas cerita Ramayana melebihi karya-karya sejenis lainnya. Poerbatjaraka (1964 : 4) memuji kakawin Ramayana sebagai salah satu karya yang sangat bermutu baik dari segi bahasa maupun sastranya. Bahkan Uhlenbeck dalam “De Interpretatie van Oud Javaansche Ramayana” yang dimuat dalam BKI jilid 131 no. 2 tahun 1975 hal 210 memuji kakawin Ramayana sebagai sebuah karya sastra klas satu. Cerita Ramayana Dalam Khasanah Sastra Nusantara Cerita Ramayana dalam khasanah sastra nusantara selain dijumpai dalam bentuk kakawin juga dijumpai dalam berbagai bentuk karya sastra. Pada jaman Surakarta Awal kurang lebih pada abad ke-18, seorang pujangga keraton Jawa Yasadipura I telah menyadur kakawin Ramayana ke dalam bentuk sebuah karya sastra Jawa yang lebih muda yakni Serat Rama. Serat Rama adalah satu jenis sastra dalam khasanah sastra Jawa Baru yang digubah dalam bentuk jarwa (kawi miring), yaitu satu jenis (genre) puisi dalam sastra Jawa yang digubah dalam bentuk tembang macapat jawa. Poerbacaraka menyebut Serat Rama sebagai karya yang amat penting pada jamannya bahkan hingga di jaman modern ini pun penting untuk dibaca. Selain Serat Rama ada lagi karya lain dalam pebendaharaan sastra Jawa Baru, yakni Serat Kanda. Karya ini merupakan cerita Rama khas Jawa yang di dalamnya juga terdapat sisipan cerita Islam dan Pandawa. Dalam perbendaharaan sastra Melayu cerita Ramayana dapat dijumpai pada Hikayat Sri Rama dan Ramayana Patani. Dalam khasanah kesusastraan Bali tradisional cerita Ramayana digubah dalam bentuk sastra geguritan yang menggunakan metrum macapat. Kesinambungan cerita Ramayana dalam berbagai bentuk karya yang lebih muda seperti ini cukup memberi bukti tingginya apresiasi masyarakat terhadap Ramayana. 2 Khusus terhadap kakawin Ramayana sebagaimana dikatakan Uhlenbeck dalam “De Interpretatie van Oud Javaansche Ramayana” yang dimuat dalam BKI jilid 131 no. 2 tahun 1975 hal 210 sebagai karya sastra klas satu berhasil menarik minat para peneliti untuk melakukan studi terhadap karya ini. Satu hal yang patut dicatat, walaupun di antara para peneliti saling berbeda dalam memberi penafsiran terhadap kakawin ini tetapi dalam satu hal mereka sepakat untuk mengatakan kakawin ini sebagai sebuah karya sastra maha agung yang mutunya sangat tinggi baik dilihat dari segi isi, bentuk serta keindahannya sehingga mereka menyebut karya ini sabagai adhikawya. Dari segi masyarakat yang menghasilkannya kehadiran karya ini dapat dikatakan merupakan sukses yang sangat besar. Resepsi masyarakat terhadap karya ini cukup tinggi, tidak hanya dibuktikan dari banyaknya tiruan dalam bentuk karya sastra yang lebih muda tetapi juga dalam kehidupan berkesenian pun cerita Ramayana banyak dijadikan inspirasi oleh para seniman dalam berkarya baik dalam seni lukis, seni drama (pertunjukan), seni ukir dan lain-lain. Prototipe India Sampai dua atau tiga dasawarsa yang lalu banyak kalangan beranggapan bahwa kakawin Ramayana ini berasal dari sebuah epik Ramayana yang berbahasa Sanskerta yang menurut tradisi dikatakan ditulis oleh pujangga besar Walmiki. Dalam satu hal anggapan ini dianggap mengandung kewajaran mengingat selain judul ke dua karya tersebut memiliki kesamaan juga dari segi popularitasnya pun hampir sama. Sebagai pujangga besar, Walmiki berhasil menjadikan karyanya sebagai sebuah karya maha agung yang dalam beberapa kurun waktu tertentu sangat dekat dengan masyarakat serta selalu akan dikenal untuk selamanya. Hal ini sengaja diucapkan Walmiki pada salah satu sloka yang digubahnya (Bala Kanda Bab II:36) yang bila diterjemahkan kurang lebih maknanya demikian : 3 Selama gunung-gunung masih tegak berdiri selama sungai masih tetap mengalir ke daratan maka kisah agung Rama dan Sita akan tetap dikenal (masyur) di dunia Sloka yang bernuansa ”ramalan” ini menurut pandangan beberapa orang dikatakan banyak mengandung kebenaran karena sekurang-kurangnya sampai saat ini lebih dari 2000 tahun setelah diucapkan untuk pertama kali masalah tersebut memang menjadi kenyataan. Bunyi sloka yang diucapkan atau ditulis Walmiki sebagaimana maknanya dikutip di atas dengan sengaja dikutip oleh Hooykaas ketika beliau menulis buku Over Malaische Literatuur sebagai pertanda ketertarikannya pada ucapan Walmiki yang dianggapnya sangat puitis. Jadi apa yang diucapkan Walmiki untuk beberapa kurun waktu tertentu memang menjadi kenyataan. Hal inilah barangkali yang mendasari munculnya asumsi yang sempat berkembang bahwa kakawin Ramayana bersumber dari epos Ramayana gubahan Walmiki. Barangkali yang tidak terbayangkan oleh Walmiki sebagaimana pernah dinyatakan Dr. Supomo bahwa dalam kurun waktu yang begitu panjang hingga berabad-abad tersebut anak-anak sungai agung Walmiki sebagaimana dilukiskan di dalam terjemahan sloka di atas telah mengalir ke pelbagai penjuru dunia hingga melewati daerah-daerah tandus. Sambil terus mengalir kemudian aliran sungai tersebut bertemu dengan sungai-sungai lain yang menghanyutkan pepohonan yang roboh, sampah dan lain-lain sebagai efek dari perilaku umat manusia (ilegal loging) sehingga mengakibatkan tersumbatnya aliran sungai. Akibat tersumbatnya aliran sungai dimaksud kemudian airnya dialihkan ke kanal-kanal serta parit yang jumlahnya demikian banyak. Parit-parit inilah kemudian yang mengalirkan air yang berbeda ”warna” dan ”rasa” dengan air dari sungainya Walmiki (1980: 1-2). Kalimat-kalimat puitis yang dinyatakan Supomo di atas memberi kesan adanya keinginan kuat dari seorang peneliti untuk merunut perjalanan setiap naskah yang ada. Keinginan untuk merunut kehadiran