Kakawin Ramayana

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Kakawin Ramayana KAKAWIN RAMAYANA Oleh I Ketut Nuarca PROGRAM STUDI SASTRA JAWA KUNO FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA APRIL 2017 Pengantar Peninggalan naskah-naskah lontar (manuscript) baik yang berbahasa Jawa Kuna maupun Bali yang ada di masyarakat Bali telah lama menjadi perhatian para peneliti baik peneliti nusantara maupun asing. Mereka utamanya peneliti asing bukan secara kebetulan tertarik pada naskah-naskah ini tetapi mereka sudah lama menjadikan naskah-naskah tersebut sebagai fokus garapan di beberapa pusat studi kawasan Asia Tenggara utamanya di eropa. Publikasi-publikasi yang ada selama ini telah membuktikan tingginya kepedulian mereka pada bidang yang satu ini. Hal ini berbeda keadaannya dibandingkan dengan di Indonesia. Luasnya garapan tentang bidang ini menuntut adanya komitmen pentingnya digagas upaya-upaya antisipasi untuk menghindari punahnya naskah-naskah dimaksud. Hal ini penting mengingat masyarakat khususnya di Bali sampai sekarang masih mempercayai bahwa naskah- naskah tersebut adalah sebagai bagian dari khasanah budaya bangsa yang di dalamnya mengandung nilai-nilai budaya yang adi luhung. Di Bali keberadaan naskah-naskah klasik ini sudah dianggap sebagai miliknya sendiri yang pelajari, ditekuni serta dihayati isinya baik secara perorangan maupun secara berkelompok seperti sering dilakukan melalui suatu tradisi sastra yang sangat luhur yang selama ini dikenal sebagai tradisi mabebasan. Dalam tradisi ini teks-teks klasik yang tergolong sastra Jawa Kuna dan Bali dibaca, ditafsirkan serta diberikan ulasan isinya sehingga terjadi diskusi budaya yang cukup menarik banyak kalangan. Tradisi seperti ini dapat dianggap sebagai salah satu upaya bagaimana masyarakat Bali melestarikan warisan kebudayaan nenek moyangnya, serta sedapat mungkin berusaha menghayati nilai-nilai yang terkandung di dalam naskah-naskah tersebut. Dalam tradisi ini teks-teks sastra Jawa Kuna menempati posisi paling unggul yang paling banyak dijadikan bahan diskusi. Karya-karya sastra Jawa Kuna dimaksud terutama adalah yang masuk genre kakawin (puisi) dan parwa (prosa). Denpasar, April 2017 Penulis Pendahuluan Kakawin adalah jenis karya sastra Jawa Kuno yang terikat oleh aturan-aturan metrum India yang sangat ketat. Karya sastra jenis ini menggunakan bahasa Jawa Kuno sebagai media sastranya. Bahasa Jawa Kuno itu sendiri adalah bahasa yang digunakan di dalam peninggalan tulis lama kebudayaan antara abad IX sampai XV yang meliputi karya-karya baik dalam bentuk parwa, kakawin, kidung maupun prasasti dan lain-lain (Rumusan seminar ahli-ahli Jawa Kuno,1975) Karya sastra Jawa Kuno jenis kakawin merupakan satu genre sastra yang sampai sekarang menduduki tempat yang paling dominan di kalangan para peneliti sastra Jawa Kuno seperti pernah dinyatakaan oleh Zoetmulder (1983 : 80). Salah salah satu karya kakawin yang paling digemari masyarakat hingga saat ni adalah kakawin Ramayana. Kakawin Ramayana adalah satu maha karya sastra Jawa Kuna yang sampai sekarang paling populer dibandingkan karya-karya sejenis lainnya. Karya ini tidak hanya dibaca, dipelajari serta didiskusikan isinya oleh masyarakat terutama kalangan pencinta sastra kawi tetapi juga banyak ditransformasikan baik ke dalam bentuk karya sastra yang lebih muda maupun dalam berbagai karya seni seperti seni pertunjukan, lukis, patung dan lain-lain. Dalam bentuk naskah lontar kakawin Ramayana merupakan kakawin terpanjang yang ditemukan sampai saat ini dengan jumlah lembaran naskah yang paling banyak dibandingkan dengan naskah kakawin lain. Demikian pula jumlah salinan dalam bentuk naskah lontar terutama yang dapat diselamatkan hingga saat ini di Bali juga memberi kesaksian tingginya penerimaan masyarakat pada kakawin ini. Dari segi transformasi sastra, sejumlah karya sastra yang mengolah bahan dari kakawin ini cukup banyak dijumpai baik dalam khasanah sastra Melayu, Jawa, Bali dan lain-lain. Publikasi tentang karya ini juga cukup banyak, di antaranya ada yang membicarakan masalah kepengarangan termasuk waktu penulisan serta sumber 1 penulisannya. Semua ini memberi bukti popularitas cerita Ramayana melebihi karya-karya sejenis lainnya. Poerbatjaraka (1964 : 4) memuji kakawin Ramayana sebagai salah satu karya yang sangat bermutu baik dari segi bahasa maupun sastranya. Bahkan Uhlenbeck dalam “De Interpretatie van Oud Javaansche Ramayana” yang dimuat dalam BKI jilid 131 no. 2 tahun 1975 hal 210 memuji kakawin Ramayana sebagai sebuah karya sastra klas satu. Cerita Ramayana Dalam Khasanah Sastra Nusantara Cerita Ramayana dalam khasanah sastra nusantara selain dijumpai dalam bentuk kakawin juga dijumpai dalam berbagai bentuk karya sastra. Pada jaman Surakarta Awal kurang lebih pada abad ke-18, seorang pujangga keraton Jawa Yasadipura I telah menyadur kakawin Ramayana ke dalam bentuk sebuah karya sastra Jawa yang lebih muda yakni Serat Rama. Serat Rama adalah satu jenis sastra dalam khasanah sastra Jawa Baru yang digubah dalam bentuk jarwa (kawi miring), yaitu satu jenis (genre) puisi dalam sastra Jawa yang digubah dalam bentuk tembang macapat jawa. Poerbacaraka menyebut Serat Rama sebagai karya yang amat penting pada jamannya bahkan hingga di jaman modern ini pun penting untuk dibaca. Selain Serat Rama ada lagi karya lain dalam pebendaharaan sastra Jawa Baru, yakni Serat Kanda. Karya ini merupakan cerita Rama khas Jawa yang di dalamnya juga terdapat sisipan cerita Islam dan Pandawa. Dalam perbendaharaan sastra Melayu cerita Ramayana dapat dijumpai pada Hikayat Sri Rama dan Ramayana Patani. Dalam khasanah kesusastraan Bali tradisional cerita Ramayana digubah dalam bentuk sastra geguritan yang menggunakan metrum macapat. Kesinambungan cerita Ramayana dalam berbagai bentuk karya yang lebih muda seperti ini cukup memberi bukti tingginya apresiasi masyarakat terhadap Ramayana. 2 Khusus terhadap kakawin Ramayana sebagaimana dikatakan Uhlenbeck dalam “De Interpretatie van Oud Javaansche Ramayana” yang dimuat dalam BKI jilid 131 no. 2 tahun 1975 hal 210 sebagai karya sastra klas satu berhasil menarik minat para peneliti untuk melakukan studi terhadap karya ini. Satu hal yang patut dicatat, walaupun di antara para peneliti saling berbeda dalam memberi penafsiran terhadap kakawin ini tetapi dalam satu hal mereka sepakat untuk mengatakan kakawin ini sebagai sebuah karya sastra maha agung yang mutunya sangat tinggi baik dilihat dari segi isi, bentuk serta keindahannya sehingga mereka menyebut karya ini sabagai adhikawya. Dari segi masyarakat yang menghasilkannya kehadiran karya ini dapat dikatakan merupakan sukses yang sangat besar. Resepsi masyarakat terhadap karya ini cukup tinggi, tidak hanya dibuktikan dari banyaknya tiruan dalam bentuk karya sastra yang lebih muda tetapi juga dalam kehidupan berkesenian pun cerita Ramayana banyak dijadikan inspirasi oleh para seniman dalam berkarya baik dalam seni lukis, seni drama (pertunjukan), seni ukir dan lain-lain. Prototipe India Sampai dua atau tiga dasawarsa yang lalu banyak kalangan beranggapan bahwa kakawin Ramayana ini berasal dari sebuah epik Ramayana yang berbahasa Sanskerta yang menurut tradisi dikatakan ditulis oleh pujangga besar Walmiki. Dalam satu hal anggapan ini dianggap mengandung kewajaran mengingat selain judul ke dua karya tersebut memiliki kesamaan juga dari segi popularitasnya pun hampir sama. Sebagai pujangga besar, Walmiki berhasil menjadikan karyanya sebagai sebuah karya maha agung yang dalam beberapa kurun waktu tertentu sangat dekat dengan masyarakat serta selalu akan dikenal untuk selamanya. Hal ini sengaja diucapkan Walmiki pada salah satu sloka yang digubahnya (Bala Kanda Bab II:36) yang bila diterjemahkan kurang lebih maknanya demikian : 3 Selama gunung-gunung masih tegak berdiri selama sungai masih tetap mengalir ke daratan maka kisah agung Rama dan Sita akan tetap dikenal (masyur) di dunia Sloka yang bernuansa ”ramalan” ini menurut pandangan beberapa orang dikatakan banyak mengandung kebenaran karena sekurang-kurangnya sampai saat ini lebih dari 2000 tahun setelah diucapkan untuk pertama kali masalah tersebut memang menjadi kenyataan. Bunyi sloka yang diucapkan atau ditulis Walmiki sebagaimana maknanya dikutip di atas dengan sengaja dikutip oleh Hooykaas ketika beliau menulis buku Over Malaische Literatuur sebagai pertanda ketertarikannya pada ucapan Walmiki yang dianggapnya sangat puitis. Jadi apa yang diucapkan Walmiki untuk beberapa kurun waktu tertentu memang menjadi kenyataan. Hal inilah barangkali yang mendasari munculnya asumsi yang sempat berkembang bahwa kakawin Ramayana bersumber dari epos Ramayana gubahan Walmiki. Barangkali yang tidak terbayangkan oleh Walmiki sebagaimana pernah dinyatakan Dr. Supomo bahwa dalam kurun waktu yang begitu panjang hingga berabad-abad tersebut anak-anak sungai agung Walmiki sebagaimana dilukiskan di dalam terjemahan sloka di atas telah mengalir ke pelbagai penjuru dunia hingga melewati daerah-daerah tandus. Sambil terus mengalir kemudian aliran sungai tersebut bertemu dengan sungai-sungai lain yang menghanyutkan pepohonan yang roboh, sampah dan lain-lain sebagai efek dari perilaku umat manusia (ilegal loging) sehingga mengakibatkan tersumbatnya aliran sungai. Akibat tersumbatnya aliran sungai dimaksud kemudian airnya dialihkan ke kanal-kanal serta parit yang jumlahnya demikian banyak. Parit-parit inilah kemudian yang mengalirkan air yang berbeda ”warna” dan ”rasa” dengan air dari sungainya Walmiki (1980: 1-2). Kalimat-kalimat puitis yang dinyatakan Supomo di atas memberi kesan adanya keinginan kuat dari seorang peneliti untuk merunut perjalanan setiap naskah yang ada. Keinginan untuk merunut kehadiran
Recommended publications
  • Concise Ancient History of Indonesia.Pdf
    CONCISE ANCIENT HISTORY OF INDONESIA CONCISE ANCIENT HISTORY O F INDONESIA BY SATYAWATI SULEIMAN THE ARCHAEOLOGICAL FOUNDATION JAKARTA Copyright by The Archaeological Foundation ]or The National Archaeological Institute 1974 Sponsored by The Ford Foundation Printed by Djambatan — Jakarta Percetakan Endang CONTENTS Preface • • VI I. The Prehistory of Indonesia 1 Early man ; The Foodgathering Stage or Palaeolithic ; The Developed Stage of Foodgathering or Epi-Palaeo- lithic ; The Foodproducing Stage or Neolithic ; The Stage of Craftsmanship or The Early Metal Stage. II. The first contacts with Hinduism and Buddhism 10 III. The first inscriptions 14 IV. Sumatra — The rise of Srivijaya 16 V. Sanjayas and Shailendras 19 VI. Shailendras in Sumatra • •.. 23 VII. Java from 860 A.D. to the 12th century • • 27 VIII. Singhasari • • 30 IX. Majapahit 33 X. The Nusantara : The other islands 38 West Java ; Bali ; Sumatra ; Kalimantan. Bibliography 52 V PREFACE This book is intended to serve as a framework for the ancient history of Indonesia in a concise form. Published for the first time more than a decade ago as a booklet in a modest cyclostyled shape by the Cultural Department of the Indonesian Embassy in India, it has been revised several times in Jakarta in the same form to keep up to date with new discoveries and current theories. Since it seemed to have filled a need felt by foreigners as well as Indonesians to obtain an elementary knowledge of Indonesia's past, it has been thought wise to publish it now in a printed form with the aim to reach a larger public than before.
    [Show full text]
  • Kakawin Ramayana
    Paramita:Paramita: Historical Historical Studies Studies Journal, Journal, 30(2), 30(2), 2020, 2020 193 -207 ISSN: 0854-0039, E-ISSN: 2407-5825 DOI: http://dx.doi.org/10.15294/paramita.v30i2.23690 MANAGING DIVERSITY IN HISTORY LEARNING BASED ON THE PERSPECTIVE OF KAKAWIN RAMAYANA Nur Fatah Abidin1, Fakrul Islam Laskar2 1) History Education Department, Sebelas Maret University, Surakarta, Indonesia 2) History Department, Bahona College, Jorhat, Assam, India ABSTRACT ABSTRAK This research aims to build a framework of Penelitian ini bertujuan untuk membangun diversity management in history learning kerangka manajemen keberagaman dalam based on the reinterpretation of diversity from pembelajaran sejarah berbasis reinterpretasi the perspective of Kakawin Ramayana. The kebhinekaan dari perspektif Kakawin Rama- authors used a critical hermeneutic approach yana. Penulis menggunakan pendekatan her- to interpret the texts of Kakawin Ramayana, meneutik kritis untuk menafsirkan teks Ka- especially in the texts of Prěthiwi and Aṣṭabra- kawin Ramayana, terutama dalam teks ta. The text of Prěthiwi and Aṣṭabrata implicitly Prěthiwi dan Aṣṭabrata. Teks Prěthiwi dan elucidates that diversity should be acknowl- Aṣṭabrata secara implisit menjelaskan bahwa edged based on the moral and ethical attrib- keberagaman harus diakui berdasarkan atribut utes of an individual. There are no spaces for moral dan etis seseorang. Tidak ada ruang arbitrary prejudices based on social identities, untuk prasangka sewenang-wenang berdasar- such as ethnicity, race, or even religiosity
    [Show full text]
  • Ramayan Around the World Ravi Kumar [email protected]
    Ramayan Around The World Ravi Kumar [email protected] , Contents Acknowledgement.......................................................................................................2 The Timeless Tale .......................................................................................................2 The Universal Relevance of Ramayan .........................................................................2 Ramayan Scriptures in South East Asian Languages....................................................5 Ramayana in the West .................................................................................................6 Ramayan in Islamic Countries .....................................................................................7 Ramayan in Indonesia Islam is our Religion but Ramayan is our Culture..............7 Indonesia Ramayan Presented in Open Air Theatres ................................................9 Ramayan in Malaysia We Rule in the name of Ram’s Paduka.............................10 Ramayan among the Muslims of Philippines..........................................................11 Persian And Arabic Ramayan ................................................................................11 The Borderless Appeal of Ramayan.......................................................................13 Influence of Ramayan in Asian Countries..................................................................16 Influence of Ramayan in Cambodia .......................................................................17
    [Show full text]
  • Gagal Paham Memaknai Kakawin Sebagai Pengiring Upacara Yadnya Dan Dalam Menembangkannya: Sebuah Kasus Di Desa Susut, Bangli
    GAGAL PAHAM MEMAKNAI KAKAWIN SEBAGAI PENGIRING UPACARA YADNYA DAN DALAM MENEMBANGKANNYA: SEBUAH KASUS DI DESA SUSUT, BANGLI. I Ketut Jirnaya, Komang Paramartha, I Made wijana, I Ketut Nuarca Program tudi Sastra Jawa Kuno, akultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana E-mail: [email protected] Abstrak Karya sastra kakawin di Bali sering dipakai untuk mengiringi upacara yadnya. Dari itu banyak terbit dan beredar di masyarakat buku saku Kidung Pancayadnya. Isi setiap buku tersebut nyaris sama. Buku-buku ini membangun pemahaman masyarakat bahwa kakawin yang dipakai untuk mengiringi upacara yadnya telah baku tanpa melihat substansi makna filosofi bait-bait tersebut. Masalahnya beberapa anggota masyarakat berpendapat ada bait-bait kakawin yang biasa dipakai mengiringi upacara kematian, tidak boleh dinyanyikan di pura. Di samping itu juga cara menembangkan kakawin belum baik dan benar. Hal ini juga terjadi di desa Susut, Bangli. Setelah dikaji, ternyata mereka salah memahami makna filosofis bait-bait kakawin tersebut. Hasilnya, semua bait kakawin bisa dinyanyikan di pura karena salah satu fungsinya sebagai sarana berdoa. Setiap upacara yadnya diiringi dengan melantunkan bait-bait kakawin yang telah disesuaikan substansi makna dari bait-bait tersebut dengan yadnya yang diiringi. Demikian pula mereka baru tahu bahwa menembangkan kakawin ada aturannya. Kata kunci: kakawin, yadnya, doa, guru-lagu. 1.Pendahuluan Kakawin dan parwa merupakan karya sastra Jawa Kuna yang hidup subur pada zaman Majapahit. Ketika Majapahit jatuh dan masuknya agama Islam, maka karya sastra kakawin banyak yang diselamatkan di Bali yang masih satu kepercayaan dengan Majapahit yaitu Hindu (Zoetmulder, 1983). Dari segi bentuk, kakawin berbentuk puisi dengan persyaratan (prosodi) satu bait terdiri dari empat baris yang diikat dengan guru-lagu.
    [Show full text]
  • Provisional Reel List
    Manuscripts of the National Library of Indonesia Reel no. Title MS call no. 1.01 Lokapala CS 1 1.02 Sajarah Pari Sawuli CS 2 1.03 Babad Tanah Jawi CS 3 2.01 Pratelan Warni-warni Bab Sajarah Tanah Jawa CS 4 2.02 Damarwulan CS 5 2.03 Menak Cina CS 6 3.01 Kakawin Bharatayuddha (Bratayuda Kawi) CS 7 3.02 Kakawin Bharatayuddha (Bratayuda Kawi) CS 9 3.03 Ambiya CS 10 4.01 Kakawin Bharatayuddha CS 11a 4.02 Menak Lare CS 13 4.03 Babad Tanah Jawi CS 14a 5.01 Babad Tanah Jawi CS 14b 5.02 Babad Tanah Jawi CS 14c 6.01 Babad Tanah Jawi CS 14d 6.02 Babad Tanah Jawi CS 14e 7.01 Kraton Surakarta, Deskripsi CS 17 7.02 Tedhak Dalem PB IX Dhateng Tegalganda CS 18 7.03 Serat Warni-warni CS 19 7.04 Babad Dipanagara lan Babad Nagari Purwareja KBG 5 8.01 Platuk Bawang, Serat CS 20 8.02 Wulang Reh CS 21 8.03 Cabolek, Serat CS 22 8.04 Kancil CS25 8.05 Carakabasa CS 27 8.06 Manuhara, Serat CS 29 8.07 Pawulang Ing Budi, Serat CS 30 8.08 Babad Dipanegara CS 31a 8.09 Dalil, Serat CS 28 9.01 Kraton Surakarta, Deskripsi CS 32 9.02 Primbon Matan Sitin CS 33 9.03 Harun ar-Rasyid, Cerita CS 34 9.04 Suluk Sukarsa CS 35 9.05 Murtasiyah CS 36 9.06 Salokantara CS 37 9.07 Panitipraja lsp CS 38 9.08 Babasan Saloka Paribasan CS 39 9.09 Babad Siliwangi CS 40 9.10 Dasanama Kawi Jarwa (Cirebonan) CS 42 9.11 Primbon Br 139 9.12 Pantitipraja lap KBG 343 10.01 Babad Dipanegara CS 31b 10.02 Babad Tanah Jawi (Adam - Jaka Tingkir) KBG 7a 11.01 Babad Tanah Jawi KBG 7c 11.02 Babad Tanah Jawi KBG 7d 11.03 Babad Tanah Jawi KBG 7e 11.04 Purwakanda Br 103a 12.01 Purwakanda Br 103b 12.02 Purwakandha Br 103c 12.03 Purwakandha Br 103d Reel no.
    [Show full text]
  • Understanding the Meaning of Wayang Kulit Performance Using Thick Description Approach
    Understanding the Meaning of Wayang Kulit Performance using Thick Description Approach Mario Nugroho Willyarto1, Krismarliyanti2 and Ulani Yunus3 1 Language Center, Primary Teacher Education Department, Faculty of Humanities, Bina Nusantara University, Jakarta, Indonesia 11480 2Independent Writer 3 Marketing Communication Program, Communication Department, Faculty of Economics & Communication, Bina Nusantara University, Jakarta, Indonesia 11480 Keywords: Wayang Kulit, Thick Description, Cultural Heritage Abstract: This paper described the meaning of Wayang Kulit in Javanese philosophy, a brief description of the figures represented by the puppets. Wayang is one of the cultural heritages of Java which is very deep understanding of the culture and character of the people of Indonesia. The meaning of symbols of wayang is the focus of this paper. The symbols are represented by character of Semar, Bagong, Petruk and Gareng. What is the role wayang in daily life, especially for Indonesian people, is becoming the main discussion as well. There are a lot of wayang performances that have a deep meaning of the life itself. Although there are some scholars who say that wayang is originally from India but it is not proved and, in the end, people accepted that wayang came from Java. Opinion about wayang originated from India was because the story in the puppet was adapted from the Mahabharata story originating from India. Using the concept of thick description by Clifford Geertz, the author tries to explain about the history and character of the puppet figures according to Javanese philosophy. Prominent figures such as Semar, Gareng, Petruk and Bagong were the reflection of the ideal human being depicted with an imperfect physical form.
    [Show full text]
  • Of Manuscripts and Charters Which Are Mentioned In
    INDEX OF MANUSCRIPTS AND CHARTERS WHICH ARE MENTIONED IN TABLES A AND B 1 Page Page Adip. - Adiparwa . 94 Dj.pur. - Jayapural}.a . 106 Ag. - Agastyaparwa . 103 Dpt. - VangQang petak . 106 A.N. - Afiang Nilartha . 1(}3 A.P. - Arjuna Pralabda 103 E46 91 A.W. - Arjunawijaya 100 Gh. - Ghatotkaca.\;raya 97 Babi Ch. A . 94 G.O. - GeQangan Ch. 90 BarabuQur (inscription) 90 Gob1eg Ch. (Pura Batur) B . 95 Batuan Ch.. 94 Batunya Ch. A I . 93 H. - Hari\;raya Kakawin 106 Batur P. Abang Ch. A 94 Hr. - Hariwijaya 106 B.B. - Babad Bla-Batuh 103 Hrsw. - Kidung Har~awijaya . 107 Bebetin Ch. A I . 91 H.W. - Hariwang\;a 95 B.K. - Bhoma.lcawya . 104 J.D. - Mausalaparwa . 110 B.P. - Bhi~maparwa . 104 Br. I pp. 607 ff. 95 K.A. - Kembang Arum Ch. 92 pp. 613 ff.. 95 Kid. Adip. - Kidung Adiparwa 106 pp. 619 ff.. 95 K.K. - KufijarakarQ.a . 108 Br. II pp. 49 if. 95 K.O. I . 92 Brh. - Brahmal}.Qa-pural}.a . 105 II 90 Bs. - Bhimaswarga 104 V 94 B.T. - Bagus Turunan 104 VII . 93 Bulihan Ch.. 97 VIII 92 Buwahan Ch. A 93 XI 91 Buwahan Ch. E 97 XIV 91 B.Y. - Bharatayuddha 96 XV. 91 XVII 92 C. - Cupak 106 XXII 93 c.A. - Calon Arang 105 Kor. - Korawa\;rama . 108 Campaga Ch. A 97 Kr. - Krtabasa 108 Campaga Ch. C 99 Kr.B. - Chronicle of Bayu . 106 Catur. - Caturyuga 106 Krsn. - Kr~l}.iintaka 108 Charter Frankfurt N.S. K.S. - Kidung Sunda . 101 No.
    [Show full text]
  • Wayang Kulit in Bali and Wayang Listrik in America
    Wesleyan University The Honors College A Sense of Place: Wayang kulit in Bali and wayang listrik in America by Tessa Charlotte Prada Young Class of 2013 A thesis submitted to the faculty of Wesleyan University in partial fulfillment of the requirements for the Degree of Bachelor of Arts with Departmental Honors in Theater and the East Asian Studies Program Middletown, CT April, 2013 Young 2 TABLE OF CONTENTS LIST OF FIGURES …………………………………………………………………… 3 ACKNOWLEDGEMENTS ……………………………………………………………… 4 INTRODUCTION ……………………………………………………………………… 5 WAYANG KULIT IN BALI……………………………………………………………… 6 WAYANG KULIT AS A CHANGING RITUAL …………………………………………… 14 SHADOWLIGHT PRODUCTIONS ……………………………………………………… 19 DREAMSHADOWS…………………………………………………………… 22 IN XANADU ………………………………………………………………… 26 SIDHA KARYA ……………………………………………………………… 29 MAYADENAWA ……………………………………………………………… 32 ELECTRIC SHADOWS OF BALI: AMBROSIA OF IMMORTALITY ………………… 33 COYOTE’S JOURNEY AND AFTERWARD ……………………………………… 35 TRANSLATING RITUAL ACROSS CULTURAL BOUNDARIES ………………………… 38 CONCLUSION ……………………………………………………………………… 44 APPENDIX I: DEFINITIONS ………………………………………………………… 47 WORKS CITED ……………………………………………………………………… 49 Young 3 LIST OF FIGURES FIGURE 1. Balinese wayang of Arjuna ……………………………………………… 10 Balinese Puppet, Arjuna. N.d. Australian Museum, Sydney, Austrialia. Australian Museum. 28 July 2011. Web. 11 Apr. 2013. <http://australianmuseum.net.au/image/Balinese-Puppet-Arjuna-E79061>. FIGURE 2. Balinese wayang of Durasasana ………………………………………… 11 Wayang Kulit Figure, Representing Dursasana. Before 1933. Tropenmuseum,
    [Show full text]
  • Sita Ram Baba
    सीता राम बाबा Sītā Rāma Bābā סִיטָ ה רְ אַמָ ה בָבָ ה Bābā بَابَا He had a crippled leg and was on crutches. He tried to speak to us in broken English. His name was Sita Ram Baba. He sat there with his begging bowl in hand. Unlike most Sadhus, he had very high self- esteem. His eyes lit up when we bought him some ice-cream, he really enjoyed it. He stayed with us most of that evening. I videotaped the whole scene. Churchill, Pola (2007-11-14). Eternal Breath : A Biography of Leonard Orr Founder of Rebirthing Breathwork (Kindle Locations 4961-4964). Trafford. Kindle Edition. … immortal Sita Ram Baba. Churchill, Pola (2007-11-14). Eternal Breath : A Biography of Leonard Orr Founder of Rebirthing Breathwork (Kindle Location 5039). Trafford. Kindle Edition. Breaking the Death Habit: The Science of Everlasting Life by Leonard Orr (page 56) ראמה راما Ράμα ראמה راما Ράμα Rama has its origins in the Sanskrit language. It is used largely in Hebrew and Indian. It is derived literally from the word rama which is of the meaning 'pleasing'. http://www.babynamespedia.com/meaning/Rama/f Rama For other uses, see Rama (disambiguation). “Râm” redirects here. It is not to be confused with Ram (disambiguation). Rama (/ˈrɑːmə/;[1] Sanskrit: राम Rāma) is the seventh avatar of the Hindu god Vishnu,[2] and a king of Ayodhya in Hindu scriptures. Rama is also the protagonist of the Hindu epic Ramayana, which narrates his supremacy. Rama is one of the many popular figures and deities in Hinduism, specifically Vaishnavism and Vaishnava reli- gious scriptures in South and Southeast Asia.[3] Along with Krishna, Rama is considered to be one of the most important avatars of Vishnu.
    [Show full text]
  • Teknik Penerjemahan Lisan Dalam Tradisi Bekayat Di Lombok
    TEKNIK PENERJEMAHAN LISAN DALAM TRADISI BEKAYAT DI LOMBOK (INTERPRETING TECHNIQUE APPLIED ON ORAL TRADITION BEKAYAT IN LOMBOK) Safoan Abdul Hamid Kantor Bahasa Provinsi NTB Jalan dr. Sujono, Kelurahan Jempong Baru, Sekarbela, Mataram, NTB, Indonesia Pos-el: [email protected] Diterima: 27 Oktober 2014; Direvisi: 20 November 2014; Disetujui: 3 Desember 2014 Abstract SasaN ethnic group‘s community in /omboN, Nusa Tenggara Barat Province, has an oral tradition of reciting hikayat namely bekayat. During the performance, step of the recitation is followed by interpretation from Melayu language to Sasak. As a part of literary work interpreting, the interpreter applies certain method, technique and ideology. This research is aimed at revealing interpreting technique applied in bekayat performance. Sample of this research is taken from Lombok Barat District, out of three other districts in Lombok. Data collection is conducted through recording and an interview technique. The data are transcribed and then analized by an interlinguistic and descriptive method. Result of the analysis shows that the interpreter of bekayat performance applied three techniques, namely paraphrase, contextual conditioning, and compensation. Keywords: technique, interpreting, bekayat, Lombok Abstrak Masyarakat suku Sasak di Pulau Lombok memiliki tradisi lisan pembacaan hikayat yang dikenal dengan bekayat. Dalam pelaksanaannya, tahap pembacaan hikayat dilanjutkan dengan penerjemahan lisan dari bahasa Melayu ke bahasa Sasak. Proses penerjemahan ini tergolong sebagai penerjemahan karya sastra yang memerlukan metode, teknik, dan ideologi tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengurai teknik penerjemahan lisan dalam pelaksanaan tradisi bekayat. Adapun pengambilan sampel penelitian dilakukan disalah satu kabupaten di Lombok yakni Kabupaten Lombok Barat. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik perekaman, wawancara, dan pencatatan.
    [Show full text]
  • Monkey-Ear Mushrooms.Pdf
    114 Telling Tales from Southeast Asia and Korea: Teachers’ Guide 115 Telling Tales from Southeast Asia and Korea: Teachers’ Guide Monkey-ear Mushrooms (Laos) Once, Queen Sida wanted to have a meal of tiger-ear mushrooms. But in the Northern Lao language this mushroom is called monkey-ear mushrooms. Queen Sida asked the Monkey King, Hanuman, to go search for the mushrooms for her from the mountain of Oudomxay. “Could you please go and get the mushrooms from Oudomxay Mountain for me?” said Queen Sida. “Yes, my Lady,” answered Hanuman. So Hanuman flew to Oudomxay Mountain and gathered some mushrooms for Queen Sida. He returned with a basket full of mushrooms for her. But Queen Sida looked at the mushrooms and said, “Oh no, this is not the kind of mushroom I would like to have. Please go and bring some others.” She did not want to say that she really wanted monkey-ear mushrooms for she thought that it would offend Hanuman, who is, after all, a monkey. “Yes, my Lady,” said Hanuman. He soared to the sky to pick up more mushrooms in Oudomxay Mountain. After awhile he returned with another basket full of mushrooms for Queen Sida. She again examined the mushrooms. “Oh no, this is still not the kind of mushrooms I would like to have. Please go bring some other kinds.” 116 Telling Tales from Southeast Asia and Korea: Teachers’ Guide “Yes, my Lady,” said Hanuman. He soared to the sky to pick more mushrooms in Oudomxay Mountain. After awhile he returned with another basket- full of mushrooms for Queen Sida.
    [Show full text]
  • Introduction to Old Javanese Language and Literature: a Kawi Prose Anthology
    THE UNIVERSITY OF MICHIGAN CENTER FOR SOUTH AND SOUTHEAST ASIAN STUDIES THE MICHIGAN SERIES IN SOUTH AND SOUTHEAST ASIAN LANGUAGES AND LINGUISTICS Editorial Board Alton L. Becker John K. Musgrave George B. Simmons Thomas R. Trautmann, chm. Ann Arbor, Michigan INTRODUCTION TO OLD JAVANESE LANGUAGE AND LITERATURE: A KAWI PROSE ANTHOLOGY Mary S. Zurbuchen Ann Arbor Center for South and Southeast Asian Studies The University of Michigan 1976 The Michigan Series in South and Southeast Asian Languages and Linguistics, 3 Open access edition funded by the National Endowment for the Humanities/ Andrew W. Mellon Foundation Humanities Open Book Program. Library of Congress Catalog Card Number: 76-16235 International Standard Book Number: 0-89148-053-6 Copyright 1976 by Center for South and Southeast Asian Studies The University of Michigan Printed in the United States of America ISBN 978-0-89148-053-2 (paper) ISBN 978-0-472-12818-1 (ebook) ISBN 978-0-472-90218-7 (open access) The text of this book is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International License: https://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/ I made my song a coat Covered with embroideries Out of old mythologies.... "A Coat" W. B. Yeats Languages are more to us than systems of thought transference. They are invisible garments that drape themselves about our spirit and give a predetermined form to all its symbolic expression. When the expression is of unusual significance, we call it literature. "Language and Literature" Edward Sapir Contents Preface IX Pronounciation Guide X Vowel Sandhi xi Illustration of Scripts xii Kawi--an Introduction Language ancf History 1 Language and Its Forms 3 Language and Systems of Meaning 6 The Texts 10 Short Readings 13 Sentences 14 Paragraphs..
    [Show full text]