KAJIAN REGULASI PEMBANGUNAN PERMUKIMAN AREA TEPI AIR

DI PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR

SKRIPSI

OLEH

DANIEL TRISKA

150406053

DEPARTEMEN ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA KAJIAN REGULASI PEMBANGUNAN PERMUKIMAN AREA TEPI AIR

DI PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR

SKRIPSI

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik

Oleh :

DANIEL TRISKA

150406053

DEPARTEMEN ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Judul Skripsi : Kajian RegulasiPembangunanPermukiman Area Tepi

Air diPangururan Kabupaten Samosir

Nama Mahasiswa : Daniel Triska

NomorPokok : 150406053

Departemen : Arsitektur

Menyetujui

DosenPembimbing,

Beny O.Y. Marpaung, S.T., M.T.,Ph.D., 1PM

NIP 197110222002122001

Ketua Departemen Arsitektur,

Dr. I r. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc

NIP. 196305271993032005

Tanggal Lulus 17 Juli 2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ABSTRAK

Di , penyebaran permukiman dapat berkembang secara alami karena pengaruh sosial dan budaya. Permukiman seperti ini timbul dari kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal dan tempat untuk beraktivitas dalam suatu komunitas. Sehingga tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor internal dan eksternal yang tumbuh pada masyarakat. Masyarakat yang tinggal di area tepi air cenderung membangun permukiman yang tidak terencana terhadap regulasi pemerintah. Tujuan dari penelitian ini untuk menemukan konsep regulasi yang tepat terhadap perkembangan permukiman yang terbentuk secara alami. Konsep regulasi memiliki nilai-nilai khusus dalam kehidupan masyarakat sehingga akan menjadi peraturan pemerintah yang lebih mudah diterima oleh masyarakat di desa perkotaan. Penelitian ini dilakukan dengan mengkaji regulasi dalam membangun permukiman tepi air. Selain itu juga dilakukan observasi untuk memperhatikan nilai budaya, potensi, dan karakteristik dalam membangun permukiman yang memiliki ciri khas sebagai permukiman yang tumbuh secara alami. Ditinjau dari aspek perkembangan ilmu pengetahuan, penelitian ini akan berkontribusi dalam bidang morfologi permukiman. Penemuan dari penelitian ini akan menjadi rekomendasi dalam perencanaan pembangunan permukiman di tepi air yang mempertimbangkan nilai-nilai sosial dan budaya yang berkembang di masyarakat.

Kata kunci: Incremental, regulasi, permukiman, tepi air

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ABSTRACT

In Indonesia, the incremental of settlements can develop naturally due to social and cultural influences. This settlement emergence from the need for a place to live and the community's activities. Therefore it can not be separated from the effect of internal and external factors that grow in society. People living in waterfront areas tend to build unplanned settlements against government regulations. The incremental of settlements does not support the development process of the Indonesia archipelago, which is divided into long-term, short-term, and annual. This research purpose is to find out the concept of proper regulation for settlements that developed naturally. Furthermore, the concept has preferential values in people's lives will be a government regulation that is more easily accepted by people in urban villages. This research will carry out by examining the regulation for building waterfront settlements. Besides, observations will also make to pay attention to cultural values, potentials, and characteristics in settlements that have characteristics as naturally incremental settlements. In terms of aspects of the development of science, this research will contribute to the field of settlement morphology. The findings of this research will be a recommendation in waterfront development planning that reflects the social and cultural values that develop in the community.

Keywords: Incremental, regulations, settlements, waterfront

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat-Nya penulis dapat mengerjakan dan menyelesaikan penulisan skripsi ini.Adapun skripsi ini berjudul "Kajian Regulasi Pembangunan Permukiman Area

Tepi Air di Pangururan Kabupaten Samosir" sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik Arsitektur pada Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak mungkin berjalan lancar tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak terkait. Oleh karena itu, atas segala bantuan yang telah diberikan selama proses pengerjaan skripsi ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Beny O. Y. Marpaung, ST., MT., PhD., IPM selaku Dosen Pembimbing

yang senantiasa dan tanpa lelah membimbing serta memberikan petunjuk

selama proses pengerjaan skripsi ini,

2. Bapak Hajar Suwantoro, S.T., M.T dan Ibu Novi Rahmadhani, S.T., M.T.,

selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat

membangun bagi penulis.

3. Ibu Dr.Ir.Dwira Nirfalini Aulia M.Sc. selaku Ketua Departemen Arsitektur

dan Ibu Beny O. Y. Marpaung, ST., MT., PhD., IPM selaku Sekretaris

Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara

4. Seluruh dosen serta staf dan pegawai Departemen Arsitektur Fakultas

Teknik Universitas Sumatera Utara.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 5. Bapak Arifin dan Ibu Nurhayati selaku orang tua penulis yang telah

memberikan semangat, dorongan, serta bantuan untuk menyelesaikan studi

dan skripsi penulis di Universitas Sumatera Utara.

6. Keluarga Buddhayana Indonesia, terutama Sekber PMVBI Sumut yang

senantiasa memberikan waktu, motivasi dan semangat kepada penulis.

7. Sahabat-sahabat penulis yaitu Jenny, William Surya Kamjaya, Robin

Senders, Franky, Kenny Chrisen, Oki Wibowo Halim, serta Calvint, teman

seperjuangan dari Fakultas Kedokteran Gigi, yang telah membantu

menyemangati penulis dari awal hingga akhir semester.

8. Teman dekat penulis yaitu John Cholryson, F9, G97, KDSRSWE, dan

Kaninabo yang telah memberikan motivasi dan moril kepada penulis.

9. Seluruh teman-teman stambuk 2015 Departemen Arsitektur yang

memberikan motivasi, dorongan serta dukungan dalam menyelesaikan

skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi masih jauh dari sempurna. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberi manfaat yang besar bagi semua pihak.

Medan, Juli 2019

Penulis

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR ISI

ABSTRAK ...... i

KATA PENGANTAR ...... iii

DAFTAR ISI ...... v

DAFTAR GAMBAR ...... viii

DAFTAR TABEL ...... xi

BAB I PENDAHULUAN ...... 1

1.1 Latar Belakang ...... 1 1.2 Permasalahan Penelitian ...... 3 1.3 Tujuan Penelitian ...... 3 1.4 Manfaat Penelitian ...... 4 1.5 Batasan Penelitian ...... 4 1.6 Kerangka Berpikir ...... 5 1.7 Sistematika Penulisan...... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...... 9

2.1 Bentuk Permukiman incremental Tepi Air ...... 9 2.1.1 Bentuk Permukiman ...... 9 2.1.2 Permukiman Berbentuk Organik ...... 11 2.1.3 Permukiman Incremental Tepi Air ...... 13 2.2 Pengaruh Budaya Dalam Terbentuknya Permukiman Incremental ...... 17 2.2.1 Pendekatan Budaya...... 17 2.2.2 Permukiman Tradisional ...... 19 2.2.3 Keterkaitan Budaya Terhadap Bentuk Fisik Permukiman ...... 21 2.3 Regulasi Pembangunan Permukiman Tepi Air di Indonesia ...... 24 2.3.1 Regulasi Dalam Bermukim ...... 24 2.3.2 Kebijakan Penataan Kawasan Tepi Air ...... 26 2.4 Regulasi Pembangunan Permukiman Tepi Air di Pangururan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kabupaten Samosir ...... 29 2.4.1 Penataan Kawasan Danau Toba ...... 29 2.4.2 Kebijakan Permukiman Tepi Air di Pangururan ...... 31 2.5 Keterkaitan Regulasi Pembangunan dan Permukiman yang Terbentuk incremental ...... 34 2.6 Rangkuman ...... 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...... 48

3.1 Metode Penentuan Lokasi Penelitian ...... 48 3.2 Metoda Penentuan Variabel ...... 48 3.3 Metoda Pengumpulan Data ...... 58 3.4 Metode Analisa Data ...... 64

BAB IV KAWASAN PENELITIAN ...... 70

4.1 Lokasi Penelitian ...... 70 4.2 Permukiman di Tepi Air Pangururan Kabupaten Samosir ...... 72

BAB V PEMBANGUNAN PERMUKIMAN AREA TEPI AIR DI PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR ...... 73 5.1 Pertumbuhan Pembangunan Permukiman di Tepi Air Pangururan Kabupaten Samosir ...... 73 5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Pembangunan Permukiman di Tepi Air Pangururan Kabupaten Samosir ...... 76 5.2.1 Faktor Topografi ...... 79 5.2.2 Faktor Budaya...... 81 5.2.3 Faktor Pola Permukiman dan Kepadatan Penduduk...... 85 5.2.4 Faktor Penyebaran Kampung pada Desa dalam Pertumbuhan Permukiman ...... 88 5.3 Peraturan Pembangunan Permukiman Tepi Air ...... 92 5.3.1 Regulasi Pembangunan Permukiman Tepi Air di Indonesia .... 97 5.3.2 Regulasi Pembangunan Permukiman pada Area Tepi Air

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA di Pangururan Kabupaten Samosir ...... 100 5.4 Penerapan Regulasi Pembangunan Permukiman pada Area Tepi Air di Pangururan Kabupaten Samosir ...... 102 5.5 Potensi Area Tepi Air Pangururan dalam Mendukung Regulasi Pembangunan Permukiman ...... 111

BAB VI PENEMUAN ...... 118

BAB VII KESIMPULAN ...... 126

DAFTAR PUSTAKA ...... 133

LAMPIRAN 1: ISI WAWANCARA ...... 137

LAMPIRAN 2: ISI REGULASI ...... 141

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR GAMBAR

No Judul hal

1.1 Kerangka berpikir 6

2.1 Pola Permukiman Tepi Air 13

2.2 Pola Permukiman dipengaruhi topografi 14

2.3 Pola permukiman Mengelompok dan clustered 15

3.1 Metoda Analisa Data Dalam faktor-faktor yang mempengaruhi

pertumbuhan pembangunan permukiman di tepi air Pangururan

Kabupaten Samosir 65

3.2 Metoda Analisa Data Dalam mengkaji regulasi pembangunan

permukiman area tepi air di Indonesia 66

3.3 Metoda Analisa Data dalam mengkaji regulasi pembangunan

permukiman area tepi air di Pangururan Kabupaten Samosir 67

3.4 Metoda Analisa Data dalam mengkaji potensi yang dapat

mendukung regulasi dalam rangka pembangunan permukiman

area tepi air Pangururan Kabupaten Samosir 68

3.5 Metoda Analisa Data dalam menghasilkan konsep regulasi untuk

pembangunan permukiman area tepi air Pangururan Kabupaten

Samosir 69

4.1 Peta Indonesia 70

4.2 Kabupaten Samosir 70

4.3 Kecamatan Pangururan 70

4.4 Desa/Kelurahan di Kecamatan Pangururan 71

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4.5 Pembagian Segmen Kecamatan Pangururan 72

5.1 Pusuk Buhit dan Matahari 73

5.2 Kelurahan/Desa di Tepi Air Kecamatan Pangururan 74

5.3 Jalan Nasional atau Jalan Utama 75

5.4 Ideologi Kaki Ladang 76

5.5 Pembagian Segmen Kecamatan Pangururan 77

5.6 Segmen 1 Kecamatan Pangururan 78

5.7 Segmen 2 Kecamatan Pangururan 78

5.8 Segmen 3 Kecamatan Pangururan 79

5.9 Topografi pada Segmen 1 80

5.10 Topografi pada Segmen 2 80

5.11 Topografi pada Segmen 3 81

5.12 Lahan milik penduduk di Desa Parlondut 82

5.13 Rumah berhadapan dan area terbuka di Desa Pardomuan 1 83

5.14 dengan Gorga di Kampung Raja 84

5.15 Rumah baru tanpa Gorga di tepi jalan utama Desa Rianiate 84

5.16 Makan leluhur di tepi jalan Desa Situngkir 85

5.17 Pola permukiman dan kepadatan penduduk segmen 1 86

5.18 Pola permukiman dan kepadatan penduduk segmen 2 87

5.19 Pola permukiman dan kepadatan penduduk segmen 3 88

5.20 Desa Sialanguan 89

5.21 Desa Parlondut 91

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

5.22 Kelurahan Pintu Sona 92

5.23 Peta indikatif dan areal perhutanan 93

5.24 Fasilitas jalan untuk mencapai pusat kota 94

5.25 Konsep perkembangan permukiman incremental 96

5.26 Garis sempadan pantai 100m di Desa Sialanguan 97

5.27 Batas akses jalan sekunder di Desa Sialanguan 99

5.28 Ilustrasi kepadatan bangunan 100

5.29 Jarak sempadan menurut Perpres RI Nomor 81 Tahun 2014 101

5.30 Sistem permukiman terpusat 104

5.31 Tata letak bangunan dan ruang terbuka yang tidak terkendali 105

5.32 Fasilitas umum pada Kecamatan Pangururan 106

5.33 Bangunan yang terletak pada garis sempadan 107

5.34 Tata bangunan di tepi air terhadap bentuk topografi 108

5.35 Jarak akses sekunder ke tepi air 109

5.36 Tata guna lahan untuk bangunan yang lebih dari 25% 109

5.37 Pemanfaatan tepi air untuk ruang terbuka 1 110

5.38 Pemanfaatan tepi air untuk ruang terbuka 2 112

5.39 Pola permukiman mengelompok dan clustered di Desa Sialanguan 113

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR TABEL

NO Judul Hal

2.1 Rangkuman Kajian Teori 36

3.1 Metoda Penentuan Variabel 49

3.2 Metoda Pengumpulan Data 58

4.1 Batasan Kecamatan 71

4.2 Daftar Desa/Kelurahan di tepi air Kecamatan Pangururan 71

5.1 Daftar Desa/Kelurahan di tepi air Kecamatan Pangururan 74

5.2 Garis sempadan menurut Ditjen Cipta Karya (2000) 98

6.1 Penemuan 118

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Indonesia dikenal sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan pada dasarnya harus senantiasa berdasarkan hukum. Hal ini menjadikan Indonesia memiliki potensi besar dikemudian hari dengan rencana dan peraturan yang sudah disusun untuk menjadi negara maju. Dengan keadaan alam dan budaya yang melimpah, Indonesia menjadi negara yang kaya akan keanekaragaman. Sehingga sektor terpenting dalam perencanaan dan pembangunan di Indonesia adalah wisata. Kondisi ini memberi potensi besar kepada masyarakat terutama di kawasan Danau Toba untuk membangun permukiman yang menunjang wisata alam tersebut. Bentuk permukiman harus berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan agar menjadi pariwisata yang berstandar internasional.

Menurut Perpres 81 tahun 2014, kawasan permukiman merupakan lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan masyarakat tersebut. Perencanaan permukiman diharapkan dapat mewujudkan keselarasan kualitas tata ruang lingkungan dengan morfologi area tersebut untuk mencapai keseimbangan antara tata ruang, fungsi, estetis dan integrasi sosial.

Kecamatan Pangururan yang terletak di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara merupakan wilayah yang memiliki potensi cukup tinggi dalam mengelola dan membangun permukiman yang sesuai dengan wisata tepi danau dan budaya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA masyarakat. Struktur kampung di Kecamatan Pangururan dipengaruhi oleh budaya, sehingga pembangunan permukiman memiliki citra dan karakteristik budaya yang berkaitan langsung dengan ritual dan ideologi setempat. Konsep pembangunan permukiman di Kecamatan Pangururan terbentuk secara alami seiring berjalannya waktu, sehingga pertumbuhannya tidak sesuai dengan regulasi dan menutup peluang menjadi kawasan permukiman yang menunjang wisata tepi danau. Keadaan pertumbuhan permukiman yang tidak terintegrasi dan tidak ditunjang dengan ruang publik yang memadai menjadi salah satu penyebab potensi di Kecamatan Pangururan sulit untuk berkembang.

Regulasi yang telah ditetapkan pemerintah disertai dengan budaya dapat menjadi acuan dalam mengembangkan pertumbuhan dan pembangunan permukiman di Kecamatan Pangururan. Selain dapat memunculkan jiwa dari Pangururan, peraturan dan budaya yang menjadi dasar pertimbangan pembangunan permukiman juga turut serta berperan dalam pengembangan perekonomian daerah dari sektor pariwisata.

Regulasi yang dikaji dalam pembangunan permukiman di Pangururan juga harus disesuaikan dengan wilayah lain yang serupa dalam menonjolkan aktivitas kehidupan dan ekonomi masyarakat. Dalam pengendalian pembangunan permukiman, tidak hanya memperhatikan fungsi, tetapi bentuk bangunan dan ruang publik harus memiliki visual dan nilai budaya agar menjadi daya tarik wisatawan.

Pemerintah dalam perencanaannya sudah menetapkan regulasi dalam proses pembangunan bumi nusantara, yang terbagi menjadi jangka panjang, jangka pendek, dan tahunan. Dengan adanya kajian regulasi yang mendukung proses pembangunan tersebut, akan memudahkan pemerintah ataupun pihak tenaga ahli dalam

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mewujudkan permukiman sesuai dengan regulasi yang berpotensi meningkatkan sektor pariwisata tanpa menghilangkan keistimewaan pada Kecamatan Pangururan.

1.2. Permasalahan Penelitian

Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pertumbuhan pembangunan

permukiman di tepi air Pangururan Kabupaten Samosir?

2. Bagaimana regulasi pembangunan permukiman tepi air di Indonesia?

3. Bagaimana penerapan regulasi pembangunan permukiman pada area tepi air

di Pangururan Kabupaten Samosir?

4. Potensi apakah yang dapat mendukung regulasi dalam rangka Pembangunan

Permukiman pada area tepi air Pangururan Kabupaten Samosir?

5. Bagaimana konsep regulasi untuk Pembangunan Permukiman pada area tepi

air Pangururan Kabupaten Samosir?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pembangunan

permukiman di tepi air Pangururan Kabupaten Samosir.

2. Mengidentifikasi regulasi pembangunan permukiman tepi air di Indonesia.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 3. Menganalisa penerapan regulasi pembangunan permukiman pada area tepi air

di Pangururan Kabupaten Samosir.

4. Mengkaji potensi yang dapat mendukung regulasi dalam rangka

Pembangunan Permukiman di area tepi air Pangururan Kabupaten Samosir.

5. Merekomendasikan regulasi yang tepat untuk Pembangunan Permukiman di

area tepi air Pangururan Kabupaten Samosir.

1.4. Manfaat Penelitian

Ditinjau dari aspek perkembangan ilmu pengetahuan, penelitian ini akan memberikan kontribusi dalam bidang morfologi permukiman. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan untuk Pemerintah Kabupaten Samosir ataupun tenaga ahli dalam membuat rencana detail tata ruang area tepi air di Pangururan.

1.5. Batasan Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh kajian yang membahas regulasi pembangunan permukiman area tepi air di Kecamatan Pangururan. Adapun batasan penelitian ini adalah membahas keterkaitan peraturan yang berlaku dengan intensitas pembangunan terhadap fakta pertumbuhan permukiman daerah tepi air di kawasan

Pangururan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1.6. Kerangka Berpikir

Banyak faktor yang mempengaruhi pembangunan permukiman selain regulasi dari pemerintah. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk mengkaji regulasi terhadap pembangunan permukiman yang bersifat incremental di tepi air. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan kerangka berpikir sebagai konsep pemecah masalah yang disusun untuk menjelaskan proses penelitian (Gambar 1.1).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LATAR BELAKANG • Regulasi pemerintah dalam membangun permukiman di tepi air dengan tujuan mengikuti pembangunan nasional dalam skala tahunan, dekat, dan jauh agar menjadi negara maju. LANDASAN TEORI • Peran masyarakat melalui keanekaragaman • Permukiman terbentuk melalui suatu proses yang panjang budaya dalam membangun permukiman di tepi air secara terus-menerus pada suatu tempat yang fungsional membuat kawasan permukiman menjadi dengan didasari oleh pola aktivitas manusia baik yang berkarakteristik. disebabkan pengaruh keadaan fisik dan non fisik (Rapoport, 2016) • Permukiman organik merupakan permukiman yang tumbuh secara kebetulan dan dihasilkan tanpa peran perencana dan atau seorang perancang, tetapi melalui ruang waktu yang RUMUSAN MASALAH dilewati oleh tata letak tanah dan kehidupan sehari-hari • Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi masyarakat (Kostof, 1999) pertumbuhan pembangunan permukiman di tepi • air Pangururan Kabupaten Samosir Setelah melalui suatu periode waktu, masyarakat di permukiman organik memiliki lahan yang diperoleh • Bagaimana regulasi pembangunan secara turun-temurun untuk meningkatkan dan permukiman tepi air di Indonesia melestarikan sosial-budaya dan aspek ekonomi, kemudian • Bagaimana penerapan regulasi pembangunan membangun permukiman yang disesuaikan dengan permukiman pada area tepi air di Pangururan permukiman yang terencana dari pemerintah (Marpaung, Kabupaten Samosir 2017) • Potensi apakah yang dapat mendukung regulasi • Dalam penataannya, kawasan Danau Toba memiliki dalam rangka Pembangunan Permukiman pada peraturan untuk melindungi lingkungan, danau melalui area tepi air Pangururan Kabupaten Samosir peraturan sempadan danau (Peraturan Presiden RI • Bagaimana konsep regulasi yang tepat untuk Nomor 81 Tahun 2014) Pembangunan Permukiman pada area tepi air Pangururan Kabupaten Samosir

DATA • Identifikasi kajian regulasi pembangunan permukiman di tepi air. METODE • Identifikasi budaya dalam membangun • Metode penelitian kualitatif permukiman • Observasi lapangan • Identifikasi penyebaran permukiman di tepi air. • Wawancara

ANALISA • Faktor-faktor pertumbuhan pembangunan permukiman di tepi air • Regulasi pembangunan permukiman tepi air • Penerapan regulasi pembangunan permukiman pada area tepi air • Potensi yang mendukung regulasi pembangunan permukiman pada area tepi air • Konsep regulasi yang tepat untuk pembangunan permukiman pada area tepi air

PENEMUAN Faktor Topografi, kepercayaan, agama, budaya, pola permukiman, kepadatan penduduk, arah pertumbuhan dan pertumbuhan desa memberikan pengaruh terhadap bentuk permukiman. Menetapkan kawasan di tepi air menjadi kawasan lindung. Memperhatikan kepadatan bangunan di kawasan tepi air yakni maksimum 25%. Menjalankan RPJMD hingga tahap III, yaitu memprioritaskan pembangunan infrastruktur, jaringan irigasi, penyediaan air bersih, sanitasi dan ruang terbuka hijau. Regulasi disesuaikan perkembangannya terhadap filosofi-filosofi yang dipercayai masyarakat Batak.

KESIMPULAN Menetapkan regulasi permukiman tepi air yang berasal dari kebijakan nasional. Menerapkan sistem permukiman terpusat untuk memudahkan akses fasilitas. Menyatukan regulasi dengan filosofi dan kearifan lokal masyarakat Batak. Mempertahankan keberadaan gorga sebagai wujud fisik yang memberikan identias lingkungan dan jiwa.

Gambar 1.1 Kerangka Berpikir

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1.7. Sistematika Penelitian

Dalam menyelesaikan penelitian ini, terdapat sistematika penulisan antara lain yaitu:

BAB I PENDAHULUAN

Bab pendahuluan terdiri dari Latar Belakang Penelitian, Permasalahan

Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Batasan Penelitian, Kerangka

Berpikir, dan Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab tinjauan pustaka terdiri dari Bentuk Permukiman incremental Tepi Air,

Pengaruh Budaya Dalam Terbentuknya Permukiman Incremental, Regulasi

Pembangunan Permukiman Tepi Air di Indonesia, Regulasi Pembangunan

Permukiman Tepi Air di Pangururan Kabupaten Samosir, Keterkaitan Regulasi

Pembangunan dan Permukiman yang Terbentuk incremental, dan Rangkuman.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bab Metodologi Penelitian terdiri dari Metode Penentuan Lokasi Penelitian,

Metode Penentuan Variabel, Metode Pengumpulan Data, dan Metode Analisa Data.

BAB IV DESKRIPSI KAWASAN PENELITIAN

Bab Deskripsi Kawasan Penelitian terdiri dari Lokasi Penelitian dan

Permukiman di Tepi Air Pangururan Kabupaten Samosir.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB V ANALISA

Bab Analisa terdiri dari Pertumbuhan Pembangunan permukiman di Tepi Air

Pangururan Kabupaten Samosir, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan

Pembangunan Permukiman di Tepi Air Pangururan Kabupaten Samosir, Peraturan

Pembangunan Permukiman Tepi Air, Penerapan Regulasi Pembangunan Permukiman ada Area Tepi Air di Pangururan Kabupaten Samosir, dan Potensi Area Tepi Air

Pangururan dalam Mendukung Regulasi Pembangunan Permukiman.

BAB VI PENEMUAN

Setelah proses analisa maka akan diperoleh penemuan yang akan dibahas pada

Bab VI. Penemuan ini diperoleh dari hasil kajian pengaruh pertumbuhan permukiman, regulasi pemerintah dan cara penerapannya, serta potensi yang mempengaruhi konsep regulasi dalam pengembangan permukiman di tepi air.

BAB VII KESIMPULAN

Pada penghujung penelitian, Bab VII berisikan kesimpulan penelitian yang diperoleh dari penemuan terkait dengan permasalahan dan landasan teori untuk mencapai tujuan penelitian.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Bentuk Permukiman Incremental Tepi Air

2.1.1 Bentuk Permukiman

Permukiman terbentuk melalui suatu proses yang panjang secara terus- menerus pada suatu tempat yang fungsional dengan didasari oleh pola aktivitas manusia baik yang disebabkan pengaruh keadaan fisik dan non fisik (Rapoport, 2016).

Keadaan fisik dapat berupa bentuk lingkungan yang dihuni oleh manusia dalam melakukan kegiatannya ataupun keadaan topografi suatu wilayah. Sedangkan keadaan non fisik merupakan pengaruh yang timbul dari keberadaan individu atau komunitas yang memiliki nilai untuk dipercaya dalam membentuk permukiman. Selain itu permukiman dapat dikatakan sebagai bentuk susunan kehidupan yang berisikan unsur fisik sebagai wadah untuk beraktifitas dan tempat untuk bersosialisasi antar komunitas dalam masyarakat (Niracanti, 2001:51). Manusia dalam melakukan kegiatannya memerlukan wilayah yang aman dan nyaman. Hal ini dapat diwujudkan dengan membentuk suatu lingkungan yang menunjang aktivitas agar terhindar dari pengaruh alam yang ekstrim.

Terbentuknya permukiman tentunya tidak terlepas dari fisik alami dari bentuk topografi dan geologi suatu alam. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial yang harus bertahan hidup, sehingga membutuhkan tempat tinggal dan lingkungan dalam melakukan berbagai kegiatan. Kelompok-kelompok sosial tersebut menciptakan tempat tinggal yang kemudian berkembang menjadi besar dan semakin

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kompleks sehingga terciptanya permukiman yang bersinergi antara manusia, lingkungan dan alam (Doxiadis, 1968).

Umumnya permukiman dapat terbentuk melalui proses perencanaan maupun tanpa perencanaan. Permukiman yang terbentuk melalui perencanaan biasanya terjadi di kota-kota yang telah memiliki aturan dalam pengembangannya. Sehingga pertambahan permukiman harus memiliki pola yang baik dan dikontrol dengan regulasi pemerintah yang berlaku. Disisi lain, permukiman yang terbentuk tanpa melalui perencanaan dapat dikatakan sebagai permukiman informal karena tidak mematuhi perencanaan dan peraturan bangunan. Permukiman ini tumbuh karena beberapa faktor yang disebabkan oleh masyarakat yang tidak mampu bersaing untuk memiliki permukiman di tengah kota. Dalam UN-Habitat III (2015) dijelaskan bahwa permukiman informal merupakan perumahan yang dihuni penduduk, dimana masyarakat tidak memiliki kuasa terhadap tanah atau perumahan dengan lingkungan yang tidak memadai dan terputus dari layanan dasar dan infrastruktur kota.

Bentuk permukiman yang telah berkembang akan membentuk pola-pola permukiman melalui penyebaran tempat tinggal dikarenakan kondisi keadaan geografi

(Jayadinata, 1986). Perkembangan permukiman juga dipengaruhi oleh masyarakat yang menempati permukiman tersebut. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka kebutuhan akan tempat tinggal dan permukiman semakin besar. Seiring bertambahnya tempat tinggal, pertumbuhan permukiman akan menyesuaikan terhadap keadaan alam, adat dan budaya, serta norma yang berlaku.

Arah dari pertumbuhan permukiman akan menghasilkan pola-pola baru menurut tata letaknya. Sehingga pola tata letak permukiman menurut Rapoport

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (1989) pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi empat pembagian, yaitu: (1) Batas

(boundaries) merupakan daerah kekuasaan suatu wilayah permukiman yang ditentukan oleh masyarakat setempat secara turun-temurun, (2) Jenis fasilitas (massa) dengan mengelompokkan elemen fisik untuk beraktivitas dan bersosialisasi sekaligus fasilitas yang menunjang kehidupan masyarakat, (3) Tata ruang (zona), membagi fungsi dari tata ruang dengan struktur daerah masyarakat dalam melakukan aktivitas dan kegiatan, seperti tata ruang berdasarkan keyakinan, norma, adat istiadat dan kebiasaan masyarakat, (4) Ragam hias, berupa faktor-faktor alami ataupun buatan yang banyak ditemukan pada permukiman. Hal tersebut juga dapat dilatarbelakangi oleh kebudayaan dan kepercayaan masyarakat setempat. Pembagian bentuk permukiman merupakan hal yang paling sederhana untuk mengetahui penyebaran permukiman di suatu wilayah.

2.1.2 Permukiman Berbentuk Organik

Pembangunan permukiman organik terutama muncul selama periode waktu tertentu tanpa tindakan sadar yang mengarah pada legal atau ilegal, seperti kota-kota tua, pedesaan dan permukiman yang awalnya terbentuk di tepi air. Namun terkadang, permukiman organik yang dapat dikategorikan sebagai permukiman informal yang dibiarkan terpelihara, tergantung pada keanekaragaman, kompleksitas, dan sifatnya yang tersebar luas. Menurut Kostof (1991), permukiman organik merupakan permukiman yang tumbuh secara kebetulan dan dihasilkan tanpa peran perencana dan atau seorang perancang, tetapi melalui ruang waktu yang dilewati oleh tata letak tanah dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Hasil dari pengembangan bentuk yang tidak teratur dan alami menyebabkan terbentuknya jalan yang melengkung, terputus dan berujung pada ruang terbuka. Dalam proses membentuk permukiman organik,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA sering diutarakan sebagai pengembangan tanpa direncanakan atau pertumbuhan secara naluriah. Pertumbuhan permukiman secara organik bukan berarti tidak terkordinasi atau pertumbuhannya tidak terkontrol (Kostof, 1991). Dalam prosesnya membentuk kota, permukiman yang tumbuh secara organik dan tidak direncanakan diartikan sebagai hal yang paling dasar dalam membentuk permukiman. Analogi organik menjadi sangat popular karena konsepnya tidak disadari dapat membentuk pertumbuhan pada permukiman. Pemikiran organik ini muncul dari upaya untuk memahami kota sebagai satu kesatuan yang berkembang dari waktu ke waktu dan tidak diketahui bentuk optimalnya (Lynch, 1981).

Permukiman organik tumbuh lebih terhambat dibandingkan dengan pertumbuhan yang terencana, dimana permukiman organik banyak terbentuk dari keputusan secara individual dibandingkan dengan permukiman terencana (Batty and

Longley, 1994). Pengembangan organik dalam prosesnya terbentuknya permukiman terlihat lebih artistik dan humanis. Terkadang juga memiliki pendekatan terhadap alam dan memiliki struktur yang homogen dalam penyebarannya. Pertumbuhan dan perubahan organik melibatkan keduanya tumbuh dan mengabaikan gambaran pengembangan permukiman saat ini sebagai dasar yang alami atau pertumbuhan organik, kedua hal tersebut dapat terjalin dengan pengembangan permukiman yang terencana berdasarkan waktu dan tempat (Kostof, 1991). Bentuk organik ini berkembang secara tidak teratur mengikuti keadaan alam dan keseluruhan perkembangannya atas inisiasi dari seseorang tanpa arah koordinasi. Penyebaran dari permukiman organik menghasilkan pola-pola baru yang menurut Taylor (1980) dapat dikelompokkan menjadi tiga: (1) Pola mengelompok sering ditemui pada daerah tepi air atau kontur tanah yang landai dilengkapi dengan pepohonan untuk menjaga

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kelestarian lingkungan dan umumnya setiap unit tempat tinggal memiliki jarak. (2)

Pola menyebar terjadi karena adanya fasilitas yang harus terpenuhi dan dijangkau masyarakat sehingga pertumbuhan permukiman diupayakan lebih mendekat dengan fasilitas-fasilitas dengan arah penyebaran ke darat. (3) Pola memanjang merupakan permukiman dengan pola linier yang bergerak memanjang mengikuti permukiman tepi air atau ruas jalan, sehingga pertumbuhan ini dapat dikatakan terjangkau dan lebih mudah untuk mengakses fasilitas umum. (Gambar 2.1)

Gambar 2.1 Pola Permukiman Tepi Air Sumber: Taylor, 1980

2.1.3 Permukiman Incremental Tepi Air

Lingkungan tepi air dapat mempengaruhi pola permukiman masyarakat. Hal ini dikarenakan terbentuknya suatu pola permukiman didasarkan oleh beberapa aspek seperti tingkat keamanan, saling membutuhkan, hubungan antar kelompok, politik, agama, ideologi, budaya dan bentuk fisik alam (Abdullah, 2000). Pola permukiman yang dipengaruhi topografi dibagi menjadi tiga kondisi fisik alam (Gambar 2.2). Di daerah perbukitan, pola permukiman umumnya mengikuti kontur

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dari tanah, yakni relatif datar dan cenderung memiliki pola yang relatif teratur, seperti pola grid dan linear. Untuk kondisi alam di sepanjang sungai, pertumbuhan permukiman berbentuk linear sejajar mengikuti garis tepi sungai. Pada kawasan yang berada di tepi air seperti danau ataupun laut lebih sering ditemukan pola permukiman yang cenderung tidak teratur, cluster dan tumbuh secara alami.

Gambar 2.2 Pola Permukiman dipengaruhi topografi Sumber: Dokumentasi pribadi

Menurut Suprijanto (2002), awalnya pengembangan permukiman di tepi air bermula dari keberadaan sekelompok etnis yang menetap di tepi air dan berkembang secara alami dari generasi ke generasi. Sehingga sering ditemukan masyarakat yang bermukim di tepi air merupakan masyarakat yang homogen, tertutup dan mengembangkan tradisi serta nilai atau norma yang berlaku pada etnis tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Rapoport (2016), menyatakan bahwa arsitektur terbentuk dari nilai tradisi masyarakat dan menggambarkan secara langsung budaya masyarakat, nilai-nilai yang dianut, dan kebiasaan masyarakat. Sebagian besar permukiman yang dibangun dengan kondisi lingkungan tepi air mendorong

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA masyarakatnya untuk membangun rumah panggung. Bentuk bangunan rumah panggung dapat dikaitkan dengan kebiasaan, kepercayaan dan tradisi masyarakat, bukan hanya karena untuk menyesuaikan dengan keadaan alam.

Bentuk permukiman pada tepi air umumnya menggunakan pola mengelompok

(compact settlements) yang terdiri atas sub kelompok komunitas (cluster) dalam bentuk memusat atau mengelilingi ruang-ruang penting, baik ruang buatan ataupun ruang dari topografi alam (Gambar 2.3). Permukiman yang telah tumbuh pada tepi air lambat laun akan meluas dan timbul permukiman baru di sekitar tepi air atau pada keadaan geologi tertentu. Penyebaran unit-unit permukiman yang timbul cenderung terjadinya pengelompokkan unit terhadap sesuatu yang memiliki nilai ataupun ruang terbuka komunal untuk melakukan aktivitas bersama. Pertumbunhan permukiman yang terjadi merupakan penyebaran secara alamiah dan organik, sehingga pertumbuhannya sulit untuk di data dan tidak mengikuti peraturan permukiman yang berlaku. Pembangunan permukiman yang bersifat liar dan alami ini dapat dikategorikan sebagai permukiman informal yang tidak merusak kota, tetapi dalam proses yang salah dapat menyebabkan permukiman kumuh (slums).

Gambar 2.3 Pola Permukiman Mengelompok dan Clustered Sumber: Taylor, 1980

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Menurut Triger (1978), permukiman dapat dikelompokkan berdasarkan kepercayaan dari masyarakat dan teknologi dalam sistem mata pencahariaan. Refleksi dari kekuatan sosial dan budaya, seperti kepercayaan, hubungan keluarga, organisasi sosial, interaksi sosial atau individu juga menyebabkan terbentuknya permukiman incremental tepi air. Pertambahan jumlah permukiman yang memiliki unsur non fisik selalu mengupayakan berlokasi tidak jauh dari permukiman sebelumnya agar masyarakat sekitar tetap dapat melaksanakan kegiatan dan tradisi sesuai dengan gaya hidup suatu etnik.

Pembangunan permukiman incremental yang tersebar di tepi air pada dasarnya tidak memperhatikan regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Tanah atau lahan yang berada di tepi air memiliki garis sempadan yang harus diperhatikan agar tidak merusak tempat tinggal dan lingkungan. Hak atas kepemilikkan tanah di daerah tepi air merupakan bagian dari pengelolaan pemerintah, tetapi di beberapa tempat yang merupakan kawasan permukiman tradisional dan tumbuh secara alami, hak tersebut menjadi hak milik masyarakat yang mendiami kawasan tersebut. Kepemilikkan tanah di kawasan tersebut sesuai dengan pembagian hak atas tanah secara turun-temurun.

Keadaan ini membuat pemerintah kesulitan dalam mengelola kawasan tepi air. Secara perlahan, permukiman tepi air yang semakin melebar akan menguasai kawasan dalam periode waktu yang sangat lama dan sulit untuk menyesuaikan dengan regulasi pemerintah, sehingga diperlukan pendekatan masyarakat secara khusus.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2. 2 Pengaruh Budaya Dalam Terbentuknya Permukiman Incremental

2.2.1 Pendekatan Budaya

Krisna (2005:15), mengatakan bahwa kebudayaan adalah jerih payah manusia dalam menghasilkan suatu karya dalam mempertahankan keturunan dan mengupayakan sumber-sumber di alam dan sekitarnya tetap sejahtera. Dalam prosesnya, budaya muncul sebagai bentuk tanggapan manusia dalam menghadapi rintangan dan berproses untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, baik sebagai makhluk yang berbudaya ataupun biologis. Menurut Keesing (1974), budaya merupakan sistem yang terdiri atas pola-pola tingkah laku yang diturunkan dari generasi ke generasi yang bertujuan untuk menghubungkan komunitas dan kegiatan manusia dalam lingkungan ekologi. Cara hidup komunitas manusia sangat beragam, termasuk teknologi, bentuk organisasi ekonomi, pola-pola permukiman, bentuk pengelompokkan secara sosial dan organik, kepercayaan, serta praktek keagamaan.

Dalam kelompok etnis, dapat ditemui nilai sistem budaya sebagai konsep hidup dalam pikiran manusia. Konsep tersebut berpotensi untuk mewujudkan nilai-nilai kehidupan dan budaya. Kondisi masyarakat tertentu pada suatu waktu mencerminkan gaya hidup peradabannya, khususnya dalam kehidupan sehari-hari, kehidupan keluarga, interaksi sosial, seni, sastra, dan unsur lainnya. Gaya hidup masyarakat juga dapat dilihat dari status, posisi, kekuatan, kekayaan dan kemampuan (Gien dan Law, 2010).

Budaya bermukim disebabkan oleh kelakuan manusia yang memiliki pola tingkah laku, daya, dan kegiatan yang menghubungkan manusia dengan lingkungannya untuk mengelola dan mengubah alam menjadi suatu lingkungan bermukim. Pola tingkah laku manusia tersebut berdasarkan ilmu pengetahuan dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA nilai-nilai yang terbentuk dan berkembang pada komunitas (Sangalang, 2013).

Sedangkan menurut Foruzanmehr dan Vellinga (2011), budaya bermukim merupakan salah satu kehidupan pada suatu kawasan yang menghasilkan nilai-nilai bersejarah sebagai bentuk fisik dari kegiatan yang telah dilakukan. Kegiatan budaya dalam bermukim sangat erat kaitannya dengan tempat-tempat yang diwujudkan manusia untuk melakukan kegiatan hidupnya. Kegiatan budaya yang diwariskan secara generasi ke generasi berikutnya merupakan salah satu tradisi bermukim, sehingga sering ditemui adanya seorang pimpinan informal dari suatu komunitas dalam permukiman.

Dalam budaya, sistem kekerabatan pada setiap masyarakat memiliki arti dan ciri khas tertentu. Kekerabatan merupakan bentuk dan alat sosial yang bersifat umum dan berperan dalam menentukan aturan, tingkah laku, dan susunan kelompok (Mansur,

1988:21-22). Kerabat memiliki makna yang sangat berarti bagi kehidupan masyarakat, hal ini dikarenakan peran kerabat sebagai tali kehidupan yang merupakan bagian dari suatu budaya dan diturunkan oleh nenek moyang. Sikap ini membawa hal positif dalam menghargai satu sama lain dalam berbudaya. Budaya dalam realistisnya muncul karena banyaknya sistem kekerabatan yang ada pada suatu masyarakat menimbulkan berbagai macam jenis budaya yang dapat dipelajari dari berbagai komunitas.

Pemahaman berbagai komunitas dalam suatu masyarakat dimulai dengan urutan kerabat terkecil, yaitu keluarga inti (nuclear family), keluarga besar (extended family), kelompok sedarah (kindred), kelompok kerabat yang lebih besar (clan) (Melalatoa,

2005:39).

Menurut Koentjaraningrat (1987:12), karakteristik dan bentuk suatu kebudayaan merupakan unsur-unsur yang universal. Hal tersebut dapat terlihat pada:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (1) Sistem religi dan upacara keagamaan, mempengaruhi kehidupannya sehari-hari dalam pelaksanaannya; (2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan, menciptakan suatu pola hubungan tertentu seperti pernikahan; (3) Sistem pengetahuan, menghasilkan suatu karya dalam kehidupan; (4) Bahasa, sebagai alat untuk berkomunikasi suatu masyarakat atau golongan; (5) Kesenian, merupakan bentuk fisik hasil karya manusia berupa seni rupa, suara, dan gerak (6) Mata pencahariaan hidup, sebagai kewajiban untuk memenuhi kehidupan sehari-hari; dan (7) Sistem teknologi dan peralatan yang diciptakan melalui ilmu pengetahuan. Selanjutnya unsur-unsur dari kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat dapat dibagi mejadi tiga sistem: (1) Sistem budaya (culture system), kebudayaan sebagai ide yang rumit, gagasan, norma dan peraturan yang bersifat abstrak; (2) Sistem sosial (social system), kebudayaan sebagai kegiatan- kegiatan yang terbentuk atas pola manusia bermasyarakat; (3) Budaya fisik (physical culture), kebudayaan berupa bentuk fisik dari benda-benda yang dihasilkan oleh manusia melalui sebuah karya yang dapat diraba, diteliti, dan didokumentasikan.

Unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat dapat ditemui pada budaya lain yang tersebar di dunia karena merupakan unsur budaya yang universal. Keberadaan unsur- unsur budaya menghasilkan ciri khas dan sifat yang unik antara satu tempat dengan tempat lainnya. Keadaan ini mengundang suatu rasa untuk menikmati dan menyadari bahwa lingkungan yang dikunjungi memiliki jiwa sehingga berbeda dengan wilayah lain.

2.2.2 Permukiman Tradisional

Menurut Rapoport (1989), tradisional adalah sesuatu yang berasal dari masa lampau atau yang diwariskan. Tradisional sangat erat hubungannya dengan wujud dari berbagai lambang, tingkah laku, dan tradisi berupa sosial-budaya yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA diwariskan dari masa ke masa. Elemen-elemen yang terkandung dalam tradisi akan mengalami perpindahan dari generasi ke generasi yang dijadikan sebagai prinsip untuk membentuk kawasan yang berbudaya.

Permukiman tradisional merupakan perubahan wujud dari nilai sosial budaya masyarakat yang berkaitan dengan norma-norma tradisi dalam proses pembangunannya (Putro dan Nurhamsyah, 2010). Permukiman tradisional sering dianggap sebagai tempat yang memiliki nilai-nilai adat dan budaya serta memiliki hubungan dengan nilai kepercayaan masyarakat yang unik sebagai asal mula dari sebuah permukiman. Menurut Sasongko (2005), struktur ruang dalam permukiman tradisional dapat terlihat melalui identifikasi tempat, lintasan dan batasan sebagai komponen utama, kemudian diorientasikan dengan hirarki dan jaringan sehingga muncul suatu lingkungan binaan yang tidak hanya mementingkan orientasi, tetapi juga objek nyata secara fisik.

Wikantiyoso dalam Krisna (2005:17) mengatakan bahwa permukiman tradisional merupakan aset suatu kawasan yang memberikan identitas lingkungan, jiwa, dan ciri khas dari sosial budaya dan kegiatan ekonomi. Di dalam pemukiman tradisional, terdapat masyarakat yang hidup secara sederhana dan memiliki tempat tinggal berbentuk bangunan tradisional. Rumah tradisional dapat dinilai keasliannya melalui kebiasaan-kebiasaan yang menjadi suatu norma tidak tertulis saat rumah dibangun seperti adanya ritual upacara pemancangan tiang pertama, selamatan, sesajen, doa, dan mantra yang harus dibaca pada saat pembangunan. Disamping itu, juga terdapat aturan atau tata cara dalam mendirikan tempat tinggal, seperti orientasi rumah, bentuk, warna, simbol, motif hiasan dan bahan bangunan yang digunakan sangat erat terkait rumah tradisional. Menurut Machmud (2006), rumah tradisional

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA diartikan sebagai rumah yang dibangun dengan cara dan teknik konstruksi yang sama oleh beberapa generasi. Bentuk dari rumah-rumah tradisional dalam permukiman memberikan kesan unik dan khusus, sehingga secara tidak sadar kita merasakan ditempat yang tidak ada duanya. Pengalaman yang disuguhkan permukiman menggambarkan local wisdom suatu wilayah yang memiliki citra dan jiwa sesuai dengan genious loci.

Permukiman tradisional juga dapat muncul tanpa latar belakang religi. Menurut

Utomo (2000), keberadaan permukiman tradisional yang terdiri dari bangunan arsitektur tradisional juga dipengaruhi oleh hubungan kekeluargaan dalam kemasyarakatan, seperti hubungan pertalian darah, dan bangunan tradisional yang dipengaruhi oleh iklim. Di Indonesia, keadaan iklim tropis lembab menuntut masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Sehingga bentuk bangunan tradisional harus dapat tanggap terhadap iklim melalui susunan masa, arah orientasi bangunan, pemilihan bentuk atap, pemilihan bahan bangunan dan aspek lain dalam menghadapi iklim tropis. Permukiman tradisional dalam pertumbuhannya bukan sebagai permukiman yang direncanakan, tetapi permukiman yang tumbuh secara alami dan menciptakan suatu wilayah dengan kondisi yang menjadi lingkup penelitian bagi sebagian orang. Selain itu dalam pertumbuhannya pemerintah memilih untuk melestarikannya dibandingkan memberi sanksi atas pelanggaran terhadap regulasi yang berlaku.

2.2.3 Keterkaitan Budaya Terhadap Bentuk Fisik Permukiman

Hubungan antara kegiatan bermukim dengan lingkungan berbudaya mencerminkan gambaran masa lalu yang terbentuk melalui sebuah wujud budaya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dan telah diwariskan turun-temurun. Hubungan ini menghasilkan perilaku masyarakat dalam membentuk budaya yang bersifat kontinuitas dan bertahan hingga saat ini.

Dalam prosesnya, tradisi mengalami perubahan dalam bermukim, baik dari satu individu, ataupun generasi. Akibatnya budaya bermukim menjadi elemen permukiman sebagai prinsip dasar membentuk sebuah kawasan dengan latar belakang budaya.

Dengan demikian, kebudayaan menjadi warisan fisik manusia dalam membentuk lingkungan untuk beraktivitas.

Bentuk fisik permukiman menjadi salah satu bukti adanya budaya pada masyarakat. Ellen (2010), mengutarakan bahwa gagasan dan aktivitas yang kompleks membentuk sistem budaya yang mencerminkan pola dari sistem sosial, sehingga mewujudkan suatu tempat dengan budaya fisik. Konsep budaya fisik merupakan bagian dari penataan permukiman. Segala hal yang terdapat dalam permukiman terbentuk melalui ruang dan aspek sosial budaya dalam bermasyarakat. Aktivitas dalam sosial dan budaya membentuk suatu ruang yang multifungsi dan mempengaruhi bentuk lingkungan. Budaya tradisional membentuk lingkungan tradisional sebagai cerminan dari pola piker dan aktivitas masyarakat suatu wilayah. Budaya selalu menjadi penyeimbang dalam suatu sistem. Permukiman tumbuh secara teratur dan terarah karena adanya aspek sosial dan budaya yang berkembang dalam masyarakat.

Putro dan Nurhamsyah (2010), mengatakan bahwa sosial budaya merupakan faktor pembentuk dalam sebuah permukiman. Hal ini mencerminkan pengaruh kuat budaya, seperti kepercayaan, hubungan kerabat, organisasi sosial, interaksi individu, dan konstruksi dalam membentuk permukiman. Pertumbuhan dari permukiman terjadi melalui proses yang sangat panjang dan berkesinambungan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Budaya dalam membentuk permukiman menurut Putro dan Nurhamsyah

(2010), dapat diidentifikasi melalui: (1) Lokasi, keberadaan fisik pada suatu tempat;

(2) Berhubungan dengan bentang alam; (3) Mempunyai elemen khusus seperti unsur fisik khusus yang menjadi cirri khas; (4) Mempunyai tata letak yang khusus, seperti penempatan ruang yang memiliki maksud tersirat; (5) Mempunyai ruang dengan fungsi khusus; (6) Diberi nama dengan cara yang unik pada suatu kawasan permukiman; (7) Memanfaatkan orientasi khusus; (8) Menggunakan warna, tekstur dan dimensi lain yang khusus sebagai karakter fisik; (9) Mempunyai suara, bau, temperatur dan gerakan udara; (10) Mempunyai masyarakat dengan keterampilan khusus dalam menarik perhatian. Selain menggunakan identifikasi, permukiman yang dipengaruhi oleh budaya dapat terlihat jelas melalui bentuk fisik dari bangunan. Hal ini ditunjukkan melalui unsur-unsur budaya yang terdapat pada permukiman. Soekanto

(2003), mengklasifikasikan unsur budaya yang bersifat universal: (1) Peralatan dan perlengkapan manusia, meliputi pakaian, rumah, alat-alat rumah tangga, senjata, transport, dan lainnya; (2) Mata pencaharian hidup, seperti bercocok tanam, berternak, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya; (3) Sistem kemasyarakatan, merupakan hubungan sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti kekerabatan, organisasi, sistem hukum dan pernikahan; (4) Bahasa, berupa tulisan ataupun lisan; (5)

Kesenian, menjadi hal yang paling mencolok, karena menghasilkan karya seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya; (6) Sistem pengetahuan; dan (7) Religi, berupa kepercayaan yang dianut oleh masyarakat. Budaya-budaya di setiap wilayah permukiman berbeda-beda, meskipun kadang kala terdapat kemiripan. Sehingga permukiman yang dilandasi budaya memiliki makna dan nilai yang terkandung sebagai permukiman yang alami. Bentuk permukiman

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dengan budaya yang kental dan masih lestari menciptakan suasana yang secara tidak sadar harus diakui keberadaannya. Sehingga bentuk permukiman yang memiliki budaya menjadi kawasan luhur dan perlu dilestarikan. Keterkaitan budaya dengan kepercayaan setempat juga mempengaruhi bentuk dan pola dalam membentuk permukiman. Kepercayaan setempat dapat berupa orientasi terhadap suatu wilayah yang dianggap memiliki kekuatan gaib atau leluhur. Jika pembangunan permukiman tidak mengikuti budaya dan traidisi pada suatu wilayah, maka dipercaya akan membawa dampak negatif. Dengan begitu, masyarakat yang bukan merupakan penduduk asli juga tetap mematuhi aturan budaya.

2. 3 Regulasi Pembangunan Permukiman Tepi Air di Indonesia

2.3.1 Regulasi Dalam Bermukim

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016, kawasan permukiman merupakan lingkungan hidup di luar kawasan lindung, yakni kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan sebagai lingkungan tempat tinggal dan kegiatan masyarakat dalam penghidupan. Sedangkan permukiman termasuk lingkungan hunian yang berisikan perumahan dan ditunjang dengan sarana dan prasarana, utilitas, serta kegiatan fungsi lain di sebuah kawasan perkotaan atau perdesaan. memiliki peran vital dalam membentuk gaya hidup dan lingkungan hidup.

Gaya hidup yang timbul karena permukiman merupakan cerminan dari masyarakat sekitar, baik gaya hidup dengan selera mewah ataupun gaya hidup yang sederhana.

Dalam merencanakan kawasan permukiman, perlu adanya proses perencanaan lingkungan hunian kota dan desa, serta tempat pendukung kegiatan yang dilengkapi dengan perumahan, sarana dan prasarana, serta utilitas umum.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016, kawasan permukiman dalam perencanaanya harus memenuhi: (1) Peningkatan sumber daya perkotaan atau perdesaan; (2) Tanggap terhadap bencana; (3) Menyediakan sarana dan prasarana serta utilitas umum. Dalam proses pengembangan permukiman perlu adanya pengawasan dan dikendalikan agar penyelenggaraan kawasan permukiman dapat terwujud sesuai dengan rencana.

Pada ayat 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016 juga dikatakan bahwa dalam merencanakan pengembangan suatu permukiman harus memenuhi syarat: (1) Telah mengidentifikasi lokasi permukiman sesuai dengan regulasi dan tata letak ruang dalam kawasan perkotaan; (2) Mengidentifikasi kepemilikkan dan pemanfaatan tanah; (3) Mengetahui arah penyediaan tanah permukiman baru yang dilakukan oleh pemerintah; (4) Mengindikasikan program penyediaan tanah untuk permukiman baru berdasarkan tata ruang. Kajian ini bermaksud agar tidak terjadi penyimpangan dalam pembangunan permukiman yang baru terhadap peraturan pembangunan pemerintah. Hal ini bisa dibilang dasar dari pencegahan terhadap permukiman informal.

Untuk menciptakan lingkungan permukiman yang sesuai dan diharapkan oleh pemerintah, pembangunan permukiman juga harus terarah dan dilandasi dengan penelitian terlebih dahulu. Proses perancangan permukiman yang telah mempertimbangkan banyak aspek penghidupan akan memberikan pengalaman hidup dan permukiman formal yang layak. Sehingga menurut Peraturan Menteri Pekerjaan

Umum Nomor 41/PRT/M/2007, kawasan perencanaan permukiman perlu memperhatikan karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan: (1) Topografi datar sampai bergelombang (kelerengan lahan 0 - 25%); (2) Tersedia sumber air, baik air tanah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA maupun air yang diolah oleh penyelenggara seperti PDAM yang dapat menyuplai air antara 60 liter/org/hari - 100 liter/org/hari; (3) Tidak terletak pada daerah rawan bencana (longsor, banjir, erosi, abrasi); (4) Drainase yang baik sampai sedang; (5)

Tidak bertempat pada sempadan sungai/pantai/waduk/danau/mata air/saluran pengairan/rel kereta api dan daerah aman penerbangan; (6) Tidak berada pada kawasan lindung; (7) Tidak berkawasan budi daya pertanian/penyangga; (8) Menghindari daerah irigasi sawah.

Peraturan-peraturan pemerintah dalam mengendalikan pertumbuhan permukiman terbilang cukup efektif untuk di kawasan permukiman yang telah berkembang. Pengembang permukiman saat ini harus memenuhi persyaratan berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan membuat permukiman tumbuh sesuai dengan pengembangan yang diharapkan oleh pemerintah. Akan tetapi, bagi sebagian masyarakat yang bermukim di pinggiran kota mengalami kesulitan dalam memperoleh tempat tinggal yang aman dan nyaman. Hal ini dikarenakan faktor ekonomi masyarakat yang tidak mampu untuk bersaing dan memiliki tempat tinggal di permukiman yang sudah sesuai dengan regulasi. Akibatnya masyarakat yang tidak dapat memenuhi permintaan pengembang permukiman akan tetap bertahan pada permukiman aslinya. Seiring berjalannya waktu, permukiman tersebut akan mengalami pertumbuhan secara alami dan menghasilkan permukiman informal dan kumuh.

2.3.2 Kebijakan Penataan Kawasan Tepi Air

Perlindungan dan pelestarian perlu diperhatikan dalam melindungi wilayah pantai, sehingga perlu adanya tanggapan terhadap sempadan pantai. Menurut

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Keputusan Presiden RI Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, garis sempadan pantai minimum 100m diukur dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

Di sekitar garis sempadan pantai ini tidak diperbolehkan untuk membangun bangunan fisik yang dapat membahayakan penghuni ataupun alam. Akan tetapi terdapat lingkungan khusus, seperti sektor wisata dalam pengembangannya boleh membangun bangunan fisik yang bersifat tidak permamen. Wilayah tertentu tersebut merupakan kawasan yang dikembangkan untuk kepentingan menikmati keindahan alam.

Dalam keberhasilan menata permukiman di kawasan tepi air, diwajibkan untuk mematuhi peraturan agar membangun bangunan yang bersahabat dengan alam.

Menurut Ditjen Cipta Karya (2000): (1) Garis sempadan tepi air landai dengan kemiringan 0°-15° minimum 20 meter diukur dari titik pasang tertinggi ke arah darat;

(2) Garis sempadan tepi air curam dengan kemiringan 15°-40° minimum 35 meter diukur dari titik pasang tertinggi ke arah darat; (3) Garis sempadan tepi air curam dengan kemiringan di atas 40° minimum 100 meter diukur dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Jarak dari pengukuran minimum ini diupayakan untuk melestarikan pantai dan membuat bangunan tidak dalam kondisi berbahaya.

Diukur dari segi akses penataan permukiman tepi air, menurut Ditjen Cipta

Karya (2000) akses harus memperhatikan: (1) Akses jalur kendaraan harus terletak di batas terluar dari sempadan tepi air dengan area bangunan; (2) Jarak antara akses masuk menuju tepi air dari jalan raya sekunder atau tersier minimum 300 meter; (3)

Jaringan jalan tidak boleh digunakan untuk parkir kendaraan roda empat; (4) Lebar minimum pedestrian di sepanjang tepi air adalah 3 meter. Tambahan infrastruktur dalam menikmati alam di tepi air juga menjadi opsi yang patut diperhitungkan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Melalui akses yang tertata rapi, akan membuat kemudahan dalam mencapai suatu lokasi tepi air dan tidak menghalangi penglihatan terhadap alam.

Penataan dalam hal peruntukan atau tata guna lahan menurut Ditjen Cipta

Karya (2000) sebagai berikut: (1) Penggunaan lahan sebagai bangunan diutamakan atas penggunaan lahan yang bergantung dengan air (water-dependent uses), penggunaan lahan yang bergantung dengan adanya air (water-related uses) dan penggunaan lahan tanpa berhubungan dengan air (Independent and unrelated to water uses); (2) Untuk pengembangan area publik, kemiringan lahan lebih dianjurkan 0-

15%. Sedangkan kemiringan lahan yang lebih dari 15 % perlu penangan tambahan;

(3) Jarak fasilitas umum yang satu dengan fasilitas umum lainnya maksimum 2 km.

Sedangkan untuk mendirikan sebuah bangunan, menurut Ditjen Cipta Karya

(2000) harus memperhatikan: (1) Kepadatan bangunan di kawasan tepi air maksimum

25 %; (2) Tinggi bangunan maksimum 15 meter dihitung dari permukaan tanah; (3)

Arah dari Orientasi bangunan harus mempertimbangkan posisi matahari dan arah angin; (4) Bangunan-bangunan yang dapat dikembangkan pada kawasan sepadan tepi air berupa ruang terbuka seperti taman atau ruang rekreasi sebagai fasilitas umum, tempat duduk dan sarana olah raga; (5) Bangunan yang diperbolehkan berdiri di kawasan sempadan tepi air berupa tempat ibadah, bangunan penjaga pantai, bangunan fasilitas umum, serta bangunan tanpa dinding dengan luas maksimum 50 m2/unit.

Biasanya bangunan yang bersifat tidak permanen juga sering ditemui sekitar kawasan sempadan tepi air, berupa kios-kios kecil, pondok, dan tempat beristirahat.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Bangunan tersebut hadir dalam rangka memfasilitasi pengunjung pada suatu kawasan wisata. Selain itu, opsi bangunan atau fasilitas lain dapat diterapkan menggunakan konsep apung. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan karena merasakan seolah-olah berada ditengah air. Konsep terapung ini tentunya tidak melanggar peraturan pemerintah, karena pada hakekatnya tidak merusak lingkungan secara fisik apabila masyarakat dan pengunjung tetap menjaga kebersihan lingkungan.

2. 4 Regulasi Pembangunan Permukiman Tepi Air di Pangururan

Kabupaten Samosir

2.4.1 Penataan Kawasan Danau Toba

Menurut Peraturan Presiden RI Nomor 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata

Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya, ruang kawasan Danau Toba perlu ditata agar dapat mewujudkan: (1) Air kehidupan (Aek Natio) masyarakat melalui

Pelestarian Kawasan Danau Toba, ekosistem, lingkungan dan kawasan kampung masyarakat adat Batak; (2) Pengembangan kawasan pariwisata berskala internasional melalui pengendalian kawasan budi daya dan tanggap terhadap bencana alam.

Penataan kawasan Danau Toba di sektor pelestarian ekosistem dan lingkungan dimulai dengan membuat ruang-ruang terbuka di tepi danau. Ruang terbuka yang dimaksud merupakan fasilitas umum yang tidak merusak kondisi alam. Pembersihan air danau juga dilakukan dengan pengalihan limbah masyarakat dan pengelolaan matapencaharian dari air danau.

Menurut pasal 9 ayat 2 pada Peraturan Presiden RI Nomor 81 Tahun 2014 penataan permukiman melalui sistem permukiman yang terpusat sebagai sistem pusat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pelayanan kawasan yang bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan fungsi dan jangkauan fasilitas pelayanan dengan maksud untuk mendorong kawasan Danau

Toba sebagai kawasan pariwisata dengan skala dunia. Sistem permukiman terpusat diterapkan pada kawasan Danau Toba dengan maksud untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendorong kawasan tepi air danau menjadi lokasi yang berpotensi untuk meningkatkan ekonomi melalui pariwisata dan budi daya.

Pengendalian bangunan akan menjadi fokus dalam pengembangan kawasan tepi air di Danau Toba, hal ini diperjelas dengan peraturan sempadan danau. Sempadan danau merupakan wilayah lahan yang mengelilingi dan memiliki jarak tertentu dari tepi danau sebagai kawasan pelindung danau. Penetapan sempadan danau bertujuan untuk melestarikan lingkungan di sekitar danau dan menjadi batas kawasan permukiman terhadap danau. Pengembangan permukiman yang dilakukan pemerintah menjadikan kawasan tepi air danau menjadi lokasi yang dapat dinikmati keindahannya oleh orang banyak. Dalam penataannya, kawasan Danau Toba memiliki peraturan untuk melindungi lingkungan, seperti yang tertulis pada Peraturan Presiden RI Nomor

81 Tahun 2014 mengenai sempadan danau: (1) Wilayah daratan ditetapkan dengan jarak 50 (lima puluh) meter sampai dengan 100 (seratus) meter dari titik pasang air danau tertinggi sebagai sempadan danau; (2) Wilayah sempadan danau di sepanjang tepian danau lebarnya disesuaikan dengan proporsi bentuk dan kondisi fisik danau.

Selain mengutamakan unsur estetika, pemerintah juga bermaksud menjadikan sempadan danau sebagai batas dalam membangun permukiman agar terhindar dari bencana-bencana yang timbul karena rusaknya alam. Sesuai dengan Peraturan

Presiden RI Nomor 81 Tahun 2014, Kawasan rawan bencana yang dimaksud merupakan wilayah yang memiliki kondisi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA geologi yang tanggap dan dapat mengurangi, mencegah, meredam, mencapai kesiapan, terhadap dampak buruk bahaya tertentu.

Perencanaan tata wilayah Danau Toba diawali dengan sarana dan prasarana sebagai infrastruktur dalam bermasyarakat. Dengan mengacu pada Peraturan

Pemerintah RI Nomor 14 Tahun 2016, arahan pengembangan kawasan permukiman di kawasan Danau Toba meliputi: (1) Hubungan antar kawasan fungsional agar masyarakat lebih mudah dalam menjangkau fasilitas; (2) Keterkaitan lingkungan hunian perkotaan dengan lingkungan hunian pedesaan agar dapat saling berintegrasi;

(3) Hubungan pengembangan permukiman berupa lingkungan hunian perkotaan dan pengembangan kawasan yang terjadi di perkotaan; (4) Hubungan pengembangan lingkungan berupa hunian perdesaan dan pengembangan kawasan di perdesaan; (5)

Kesinambungan antara tata kehidupan manusia dengan lingkungan hidup; (6)

Keseimbangan antara kepentingan publik dan kepentingan individu; dan (7) Lembaga atau organisasi yang mengarahkan pengembangan kawasan Permukiman.

Pengendalian dalam perencanaan dan pengembangan daerah kawasan Danau Toba memberikan kesempatan kepada masyarakat setempat untuk turut bekerja sama dengan pemerintah melalui suatu lembaga dalam melestarikan kawasan kampung masyarakat adat Batak dan kawasan lainnya agar menjadi wisata budaya dan alam yang memiliki keanekaragaman.

2.4.2 Kebijakan Permukiman Tepi Air di Pangururan

Merujuk pada Peraturan Presiden RI Nomor 81 Tahun 2014, Kecamatan

Pangururan merupakan kawasan sekitar danau. Kajian kebijakan mengenai pengembangan permukiman dan penataan kawasan tepi danau menjadi fokus

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pemerintah daerah dalam mewujudkan pembangunan nasional dalam jangka tahunan, menengah dan panjang. Pangururan dianggap memiliki potensi yang sangat beragam sebagai kawasan berbudaya dan pariwisata. Menurut Perda Nomor 3 Kabupaten

Samosir Tahun 2011, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD)

Kabupaten Samosir bermaksud agar memberikan arah bagi pemerintah dan masyarakat. Arah yang telah ditentukan akan menciptakan hubungan yang sinergi terhadap semua pelaku pembangunan agar tercapai pembangunan yang efisien dan efektif dalam kurun waktu 20 (dua puluh) tahun kedepan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008, tentang RTRW

Nasional, kawasan Danau Toba ditetapkan menjadi salah satu kawasan Nasional di

Indonesia dengan jaminan pelestarian agar taraf hidup masyarakat dapat mengalami peningkatan. Sedangkan dalam Permenbudpar, Nomor 3 Tahun 2008 Tentang

Penetapan Pariwisata Unggulan, kawasan Danau Toba juga menjadi kawasan sebagai tujuan Wisata Nasional dan akan dikembangkan menjadi keunggulan Indonesia di dunia. Kecamatan Pangururan yang terletak di Kabupaten Samosir merupakan wilayah yang tepat berada di pinggir dan tengah Pulau Samosir. Hal ini menjadikannya sebagai lokasi yang berpotensi baik dalam segi wisata air dan sebagai kawasan agropolitan

Dataran Tinggi Buit Barisan di Provinsi Sumatera Utara. Kecamatan Pangururan dianggap unik karena terdapat batuan Alluvial fan yang merupakan batuan vultanik toba hasil letusan gunung berapi tertua dan terbesar di dunia, dapat dimanfaatkan sebagai kerajinan souvenir dalam meningkatkan perekonomian masyarakat.

Pembangunan permukiman tepi air di Pangururan merupakan bagian dari pembangunan Kabupaten Samosir yang dikembangkan melalui prioritas dan potensi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA wilayah. Sehingga menurut Perda Nomor 3 Kabupaten Samosir Tahun 2011, arah kebijakan pembangunan dalam mewujudkan pembangunan permukiman adalah: (1)

Memberdayakan masyarakat melalui tingkat kesehatan, ilmu pendidikan, berbudaya, beriman, sejahtera dan sadar akan lokasi wisata; (2) Melakukan pembangunan terpadu dan menyeluruh hingga terjadi keadilan yang merata pada kawasan pelestarian lingkungan; (3) Menciptakan rasa aman, nyaman dan damai dengan perlindungan kepada masyarakat dan wisatawan. Selain pemerintah, peran masyarakat juga menyumbang pembangunan permukiman yang dapat diterima keberadaannya sebagai kawasan tepi air yang memiliki adat dan budaya melalui seorang tokoh agama dan tokoh adat. Melalui moral dan pengetahuan leluhur seperti Soripada Habonaran,

Pasur Hangoluan (bumi terawat, air kehidupan) masyarakat akan lebih tanggap terhadap pelestarian lingkungan, sehingga mengurangi dampak bencana alam dan pencemaran. Pemerintah juga membuka peluang bagi pelaku usaha untuk berinvestasi dan menjadikan kawasan Pangururan menjadi permukiman yang bergerak di bidang kepariwisataan. Kecamatan Pangururan yang terletak di Kabupaten Samosir memiliki bentang alam pegunungan Bukit Barisan sekaligus dikelilingi oleh Danau Toba dengan keindahan panorama alam. Kawasan ini terbilang cukup sejuk dan tanah yang subur, sehingga dengan pemberdayaan sumber daya manusia yang tepat akan memberikan manfaat dan kemakmuran bagi masyarakat.

Kebijakan pemerintah daerah Pangururan dalam pembangunan permukiman di tepi air selama ini masih mengacu kepada regulasi permukiman tepi air di Indonesia.

Kondisi budaya setempat yang kental menyebabkan regulasi pembangunan tidak berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan kepemilikan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA tanah yang diwariskan secara turun-temurun, sehingga pembangunan permukiman terjadi secara alami tanpa mengikuti peraturan yang berlaku. Norma-norma yang ada dalam masyarakat juga tidak menghalangi tumbuhnya permukiman baru, akibatnya muncul tempat tinggal baik dalam bentuk mengelompok ataupun menyebar secara alami. Dalam proses pembangunan permukiman, pemerintah perlu melakukan pendekatan kepada masyarakat sehingga tidak hanya harus menguasai peraturan- peraturan, tetapi juga harus bisa menguasai adat dan budaya.

2. 5 Keterkaitan Regulasi Pembangunan dan Permukiman yang Terbentuk

Incremental

Ditinjau dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016 salah satu syarat dalam merencanakan pengembangan suatu permukiman harus mengidentifikasi kepemilikkan dan pemanfaatan tanah. Pembangunan permukiman yang terbentuk secara incremental berasal dari permukiman yang tumbuh secara organik dan tidak teratur karena dalam prosesnya diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat. Kepemilikan lahan yang diturunkan secara generasi ke generasi memungkinkan masyarakat untuk mengembangkan permukiman berdasarkan kebutuhan, gaya hidup, dan budaya.

Tata ruang dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 14 Tahun 2016 menjadi acuan dalam penyediaan tanah. Pembagian tata ruang dalam pelaksanaannya mewujudkan pembangunan nasional mendorong masyarakat untuk memanfaatkan lahan sesuai dengan peraturan. Namun dalam pelaksanaannya, masyarakat sering mendirikan bangunan yang pada kawasan yang tidak diperuntukkan sebagai kawasan permukiman. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan dalam segi ekonomi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA masyarakat tertentu, sehingga muncul permukiman yang bertumbuh secara natural dan tidak terorganisir oleh peraturan yang berlaku. Awalnya pertumbuhan permukiman yang tidak terencana akan memberikan dampak kacau di perkotaan. Menurut

Marpaung (2017), setelah melalui suatu periode waktu, masyarakat di permukiman organik memiliki lahan yang diperoleh secara turun-temurun untuk meningkatkan dan melestarikan sosial-budaya dan aspek ekonomi, kemudian membangun permukiman yang disesuaikan dengan permukiman yang terencana dari pemerintah. Perkembangan dari pola permukiman organik memiliki potensi untuk mengikuti pola permukiman formal dan terencana dari pemerintah.

Permukiman yang tumbuh secara incremental melalui lingkungan tradisional memberi karakteristik permukiman yang berbeda dengan permukiman yang tumbuh karena kebutuhan masyarakat yang perekonomiannya tidak memadai. Arah pengembangan permukiman tradisional yang bersifat organik dipengaruhi oleh sosial, budaya dan religi. Menurut Fekade (2000) perumahan dalam partisipasi membentuk permukiman terintegrasi dengan perkembangan hidup keluarga dan berkembang berdasarkan sumber daya alam, budaya sumber daya alam, budaya, religi dan persepsi masyarakat.

Menurut Marpaung (2017), Pertumbuhan permukiman organik di Indonesia selalu dimulai keberadaanya melalui sebuah desa. Umumnya sebuah kota akan selalu menggunakan perencanaan dan strategi desain, seperti faktor geometri, mempertimbangkan teori, dan teknik konstruksi yang baik. Sedangkan pola perencanaan sebuah desa terjadi secara alami melalui desain tradisional dan pengalaman. Pola perencanaan desa merupakan sebuah proses yang tidak mempertimbangkan perencanaan sebagai keseluruhan bagian dari desain.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pertumbuhan permukiman sederhana di Indonesia tidak menggunakan standar desain dan muncul secara tidak teratur. Permukiman incremental bukan berarti memiliki struktur yang tidak sistematis, ini terjadi karena proses kepemilikkan tanah yang dikelola oleh masyarakat dan dipengaruhi oleh keadaan sosial seperti kebutuhan dan gaya hidup.

2. 6 Rangkuman

Adapun rangkuman dari kajian pustaka dapat dilihat dalam tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1 Rangkuman Kajian Teori

Masalah Penelitian Landasan Teori Kajian Teori Faktor-faktor yang Permukiman terbentuk melalui Keadaan fisik berupa mempengaruhi suatu proses panjang secara lingkungan yang dihuni pertumbuhan terus-menerus pada suatu tempat oleh manusia dalam pembangunan fungsional dengan didasari oleh melakukan kegiatan permukiman di tepi pola aktivitas manusia baik yang ataupun keadaan topografi air Pangururan disebabkan pengaruh keadaan suatu wilayah. Sedangkan Kabupaten Samosir fisik dan non fisik (Rapoport, keadaan non fisik 2016). merupakan pengaruh yang timbul dari keberadaan individu atau komunitas yang memiliki nilai untuk membentuk permukiman. Bentuk permukiman yang telah Pola permukiman yang berkembang akan membentuk dipengaruhi topografi pola-pola permukiman melalui dibagi menjadi tiga kondisi penyebaran tempat tinggal fisik alam. Kawasan yang dikarenakan kondisi keadaan berada di tepi air lebih

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Masalah Penelitian Landasan Teori Kajian Teori geografi (Yusran, 2006). sering ditemukan pola permukiman yang cenderung tidak teratur, cluster dan tumbuh secara alami. Suatu pola permukiman Bertumbuhnya didasarkan oleh beberapa aspek permukiman disebabkan seperti tingkat keamanan, saling oleh faktor non fisik membutuhkan, hubungan antar dipengaruhi oleh pola kelompok, politik, agama, hidup masyarakat dalam ideologi, budaya dan bentuk membentuk hubungan fisik alam (Abdullah, 2000). antar komunitas. Menurut Suprijanto (2002), Masyarakat yang awalnya pengembangan bermukim di tepi air permukiman di tepi air bermula merupakan masyarakat dari keberadaan sekelompok yang homogen, tertutup dan etnis yang menetap di tepi air dan mengembangkan berkembang secara alami dari tradisi serta nilai atau generasi ke generasi. norma yang berlaku.

Menurut Foruzanmehr dan Kegiatan budaya dalam Vellinga (2011), budaya bermukim sangat erat bermukim merupakan salah satu kaitannya dengan tempat- kehidupan pada suatu kawasan tempat yang diwujudkan yang menghasilkan nilai-nilai manusia untuk melakukan bersejarah sebagai bentuk fisik kegiatan hidupnya. dari kegiatan yang telah Kegiatan budaya yang dilakukan. diwariskan secara generasi ke generasi berikutnya merupakan salah satu tradisi bermukim.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Masalah Penelitian Landasan Teori Kajian Teori Menurut Utomo (2000), Di Indonesia, keadaan keberadaan permukiman iklim tropis lembab tradisional yang terdiri dari menuntut masyarakat bangunan arsitektur tradisional untuk beradaptasi dengan juga dipengaruhi oleh hubungan lingkungannya. Sehingga kekeluargaan dalam bentuk bangunan kemasyarakatan, seperti tradisional harus dapat hubungan pertalian darah, dan tanggap terhadap iklim bangunan tradisional yang melalui susunan masa, arah dipengaruhi oleh iklim. orientasi bangunan, pemilihan bentuk atap, pemilihan bahan bangunan dan aspek lain dalam menghadapi iklim tropis. Regulasi Menurut Kostof (2005), Hasil dari pengembangan Pembangunan permukiman organik merupakan bentuk yang tidak teratur Permukiman tepi air permukiman yang tumbuh dan alami menyebabkan di Indonesia secara kebetulan dan dihasilkan terbentuknya jalan yang tanpa peran perencana dan atau melengkung, terputus dan seorang perancang, tetapi berujung pada ruang melalui ruang waktu yang terbuka. Dalam proses dilewati oleh tata letak tanah membentuk permukiman dan kehidupan sehari-hari organik, sering diutarakan masyarakat. sebagai pengembangan tanpa direncanakan atau pertumbuhan secara naluriah. Menurut Peraturan Pemerintah Dalam proses Republik Indonesia Nomor 14 pengembangan Tahun 2016, kawasan permukiman perlu adanya permukiman dalam pengawasan dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Masalah Penelitian Landasan Teori Kajian Teori perencanaanya harus memenuhi: dikendalikan agar (1) Peningkatan sumber daya penyelenggaraan kawasan perkotaan atau perdesaan; (2) permukiman dapat Tanggap terhadap bencana; (3) terwujud sesuai dengan Menyediakan sarana dan rencana. prasarana serta utilitas umum. Peraturan Menteri Pekerjaan Untuk menciptakan Umum Nomor 41/PRT/M/2007, lingkungan permukiman kawasan perencanaan yang sesuai dan diharapkan permukiman perlu oleh pemerintah, memperhatikan karakteristik pembangunan permukiman lokasi dan kesesuaian lahan: (1) juga harus terarah dan Topografi datar sampai dilandasi dengan penelitian bergelombang (kelerengan lahan terlebih dahulu. Proses 0 - 25%); (2) Tersedia sumber perancangan permukiman air, baik air tanah maupun air yang telah yang diolah oleh penyelenggara mempertimbangkan seperti PDAM yang dapat banyak aspek penghidupan menyuplai air antara 60 akan memberikan liter/org/hari - 100 liter/org/hari; pengalaman hidup dan (3) Tidak terletak pada daerah permukiman formal yang rawan bencana (longsor, banjir, layak. erosi, abrasi); (4) Drainase yang baik sampai sedang; (5) Tidak bertempat pada sempadan sungai/pantai/waduk/danau/mata air/saluran pengairan/rel kereta api dan daerah aman penerbangan; (6) Tidak berada pada kawasan lindung; (7) Tidak berkawasan budi daya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Masalah Penelitian Landasan Teori Kajian Teori pertanian/penyangga; (8) Menghindari daerah irigasi sawah. Menurut Ditjen Cipta Karya Dalam keberhasilan (2000): (1) Garis sempadan tepi menata permukiman di air landai dengan kemiringan kawasan tepi air, 0°-15° minimum 20 meter diwajibkan untuk diukur dari titik pasang tertinggi mematuhi peraturan agar ke arah darat; (2) Garis membangun bangunan sempadan tepi air curam dengan yang bersahabat dengan kemiringan 15°-40° minimum alam. 35 meter diukur dari titik pasang Jarak dari pengukuran tertinggi ke arah darat; (3) Garis minimum ini diupayakan sempadan tepi air curam dengan untuk melestarikan pantai kemiringan di atas 40° dan membuat bangunan minimum 100 meter diukur dari tidak dalam kondisi titik pasang tertinggi ke arah berbahaya. darat. Diukur dari segi akses penataan Melalui akses yang tertata permukiman tepi air, menurut rapi, akan membuat Ditjen Cipta Karya (2000) akses kemudahan dalam harus memperhatikan: (1) Akses mencapai suatu lokasi tepi jalur kendaraan harus terletak di air dan tidak menghalangi batas terluar dari sempadan tepi penglihatan terhadap alam. air dengan area bangunan; (2) Jarak antara akses masuk menuju tepi air dari jalan raya sekunder atau tersier minimum 300 meter; (3) Jaringan jalan tidak boleh digunakan untuk parkir kendaraan roda empat; (4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Masalah Penelitian Landasan Teori Kajian Teori Lebar minimum pedestrian di sepanjang tepi air adalah 3 meter. Penerapan regulasi Penataan dalam hal peruntukan Pembagian lahan pembangunan atau tata guna lahan menurut didasarkan pada tata ruang permukiman pada Ditjen Cipta Karya (2000) agar terbentuk permukiman area tepi air di sebagai berikut: (1) Penggunaan yang sesuai dengan utilitas Pangururan lahan sebagai bangunan memadai. Pembangunan Kabupaten Samosir diutamakan atas penggunaan permukiman perlu lahan yang bergantung dengan mempertimbangkan air (water-dependent uses), kondisi tanah, sehingga penggunaan lahan yang dapat diperhitungkan bergantung dengan adanya air konstruksinya. Hal ini (water-related uses) dan berguna agar dapat penggunaan lahan tanpa menghindari bencana alam. berhubungan dengan air Selain itu, fasilitias umum (Independent and unrelated to menjadi acuan dalam water uses); (2) Untuk mengembangkan pengembangan area publik, permukiman secara kemiringan lahan lebih incremental. dianjurkan 0-15 %. Sedangkan kemiringan lahan yang lebih dari 15 % perlu penangan tambahan; (3) Jarak fasilitas umum yang satu dengan lainnya maksimum 2 Km. Untuk mendirikan sebuah Kepadatan permukiman di bangunan, menurut Ditjen Cipta tepi air wajib menjaga Karya (2000) harus tingkat kepadatan memperhatikan: (1) Kepadatan bangunan agar tidak bangunan di kawasan tepi air menyebabkan permukiman

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Masalah Penelitian Landasan Teori Kajian Teori maksimum 25 %; (2) Tinggi incremental yang bangunan maksimum 15 meter mengarah kepada dihitung dari permukaan tanah; permukiman kumuh. (3) Arah dari Orientasi Peraturan permukiman di bangunan harus tepi air juga menjaga mempertimbangkan posisi kelestarian alam. Selain matahari dan arah angin; (4) itu, bangunan juga menjadi Bangunan-bangunan yang dapat bangunan yang tanggap dikembangkan pada kawasan akan alam. sepadan tepi air berupa ruang terbuka seperti taman atau ruang rekreasi sebagai fasilitas umum, tempat duduk dan sarana olah raga; (5) Bangunan yang diperbolehkan berdiri di kawasan sempadan tepi air berupa tempat ibadah, bangunan penjaga pantai, bangunan fasilitas umum, serta bangunan tanpa dinding dengan luas

maksimum 50 m2/unit. Menurut Peraturan Presiden RI Penataan kawasan Danau Nomor 81 Tahun 2014 Tentang Toba di sektor pelestarian Rencana Tata Ruang Kawasan ekosistem dan lingkungan Danau Toba dan Sekitarnya, dimulai dengan membuat ruang kawasan Danau Toba ruang-ruang terbuka di tepi perlu ditata agar dapat danau. Ruang terbuka yang mewujudkan: (1) Air kehidupan dimaksud merupakan (Aek Natio) masyarakat melalui fasilitas umum yang tidak Pelestarian Kawasan Danau merusak kondisi alam. Toba, ekosistem, lingkungan Pembersihan air danau

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Masalah Penelitian Landasan Teori Kajian Teori dan kawasan kampung juga dilakukan dengan masyarakat adat Batak; (2) pengalihan limbah Pengembangan kawasan masyarakat dan pariwisata berskala internasional pengelolaan melalui pengendalian kawasan matapencaharian dari air budi daya dan tanggap terhadap danau. bencana alam. Menurut pasal 9 ayat 2 pada Sistem permukiman Peraturan Presiden RI Nomor 81 terpusat diterapkan pada Tahun 2014 penataan kawasan Danau Toba permukiman melalui sistem dengan maksud untuk permukiman yang terpusat meningkatkan sebagai sistem pusat pelayanan kesejahteraan masyarakat kawasan yang bertujuan untuk dan mendorong kawasan mengembangkan dan tepi air danau menjadi meningkatkan fungsi dan lokasi yang berpotensi jangkauan fasilitas pelayanan untuk meningkatkan dengan maksud untuk ekonomi melalui mendorong kawasan Danau pariwisata dan budi daya. Toba sebagai kawasan pariwisata dengan skala dunia. Potensi yang dapat Dalam penataannya, kawasan Pengendalian bangunan mendukung regulasi Danau Toba memiliki peraturan akan menjadi fokus dalam dalam rangka untuk melindungi lingkungan, pengembangan kawasan pembangunan seperti yang tertulis pada tepi air di Danau Toba, hal permukiman pada Peraturan Presiden RI Nomor 81 ini diperjelas dengan area tepi air Tahun 2014 mengenai peraturan sempadan danau. Pangururan sempadan danau: (1) Wilayah Sempadan danau Kabupaten Samosir daratan ditetapkan dengan jarak merupakan wilayah lahan 50 (lima puluh) meter sampai yang mengelilingi dan dengan 100 (seratus) meter dari memiliki jarak tertentu dari

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Masalah Penelitian Landasan Teori Kajian Teori titik pasang air danau tertinggi tepi danau sebagai sebagai sempadan danau; (2) kawasan pelindung danau. Wilayah sempadan danau di Penetapan sempadan danau sepanjang tepian danau lebarnya bertujuan untuk disesuaikan dengan proporsi melestarikan lingkungan di bentuk dan kondisi fisik danau. sekitar danau dan menjadi batas kawasan permukiman terhadap danau. Menurut Perda Nomor 3 Pangururan dianggap Kabupaten Samosir Tahun 2011, memiliki potensi yang Rencana Pembangunan Jangka sangat beragam sebagai Panjang Daerah (RPJPD) kawasan berbudaya dan Kabupaten Samosir bermaksud pariwisata. agar memberikan arah bagi Arah yang telah ditentukan pemerintah dan masyarakat. akan menciptakan hubungan yang sinergi terhadap semua pelaku pembangunan agar tercapai pembangunan yang efisien dan efektif dalam kurun waktu 20 (dua puluh) kedepan. Berdasarkan Peraturan Kecamatan Pangururan Pemerintah Nomor 26 Tahun yang terletak di Kabupaten 2008, tentang RTRW Nasional, Samosir merupakan kawasan Danau Toba ditetapkan wilayah yang tepat berada menjadi salah satu kawasan di pinggir dan tengah Pulau Nasional di Indonesia dengan Samosir. Hal ini jaminan pelestarian agar taraf menjadikannya sebagai hidup masyarakat dapat lokasi yang berpotensi baik mengalami peningkatan. dalam segi wisata air dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Masalah Penelitian Landasan Teori Kajian Teori Sedangkan dalam sebagai kawasan Permenbudpar, Nomor 3 Tahun agropolitan Dataran Tinggi 2008 Tentang Penetapan Buit Barisan di Provinsi Pariwisata Unggulan, kawasan Sumatera Utara. Danau Toba juga menjadi Kecamatan Pangururan kawasan sebagai tujuan Wisata dianggap unik karena Nasional dan akan terdapat batuan Alluvial dikembangkan menjadi fan yang merupakan keunggulan Indonesia di dunia. batuan vultanik toba hasil letusan gunung berapi tertua dan terbesar di dunia, dapat dimanfaatkan sebagai kerajinan souvenir dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. Konsep regulasi Sehingga menurut Perda Nomor Selain pemerintah, peran untuk pembangunan 3 Kabupaten Samosir Tahun masyarakat juga permukiman pada 2011, arah kebijakan menyumbang area tepi air pembangunan dalam pembangunan permukiman Pangururan mewujudkan pembangunan yang dapat diterima Kabupaten Samosir permukiman adalah: (1) keberadaannya sebagai Memberdayakan masyarakat kawasan tepi air yang melalui tingkat kesehatan, ilmu memiliki adat dan budaya pendidikan, berbudaya, beriman, melalui seorang tokoh sejahtera dan sadar akan lokasi agama dan tokoh adat. wisata; (2) Melakukan Melalui moral dan pembangunan terpadu dan pengetahuan leluhur seperti menyeluruh hingga terjadi Soripada Habonaran, keadilan yang merata pada Pasur Hangoluan (bumi kawasan pelestarian lingkungan; terawat, air kehidupan) (3) Menciptakan rasa aman, masyarakat akan lebih

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Masalah Penelitian Landasan Teori Kajian Teori nyaman dan damai dengan tanggap terhadap perlindungan kepada masyarakat pelestarian lingkungan, dan wisatawan. sehingga mengurangi dampak bencana alam dan pencemaran. Ditinjau dari Peraturan Pembangunan permukiman Pemerintah Republik Indonesia yang terbentuk secara Nomor 14 Tahun 2016 salah incremental berasal dari satu syarat dalam merencanakan permukiman yang tumbuh pengembangan suatu secara organik dan tidak permukiman harus teratur karena prosesnya mengidentifikasi kepemilikkan diserahkan sepenuhnya dan pemanfaatan tanah. kepada masyarakat. . Kepemilikan lahan yang diturunkan secara generasi ke generasi memungkinkan untuk mengembangkan permukiman berdasarkan kebutuhan, gaya hidup, dan budaya. Menurut Marpaung (2017), Perkembangan dari pola setelah melalui suatu periode permukiman organik waktu, masyarakat di memiliki potensi untuk permukiman organik memiliki mengikuti pola lahan yang diperoleh secara permukiman formal dan turun-temurun untuk terencana dari pemerintah. meningkatkan dan melestarikan sosial-budaya dan aspek ekonomi, kemudian membangun permukiman yang disesuaikan dengan permukiman yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Masalah Penelitian Landasan Teori Kajian Teori terencana dari pemerintah. Menurut Marpaung (2017), Umumnya sebuah kota Pertumbuhan permukiman akan menggunakan organik di Indonesia selalu perencanaan dan strategi dimulai keberadaanya melalui desain, seperti faktor sebuah desa. geometri, mempertimbangkan teori, dan teknik konstruksi yang baik. Sedangkan pola perencanaan sebuah desa terjadi secara alami melalui desain tradisional dan pengalaman.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metoda Penentuan Lokasi Penelitian

Untuk menentukan lokasi penelitian, peneliti harus memilih lokasi yang mencakup seluruh kriteria sesuai dengan perumusan masalah sebagai berikut:

1. Lokasi penelitian merupakan permukiman yang berada di tepi air yang

sedang mengalami pembangunan.

2. Lokasi penelitian merupakan permukiman yang terbentuk secara incremental.

3. Lokasi penelitian memiliki faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

pembangunan permukiman selain regulasi.

Permukiman yang berada di tepi air Pangururan Kabupaten Samosir menjadi lokasi penelitian karena memenuhi kriteria sebagai permukiman yang tumbuh secara alami di tepi air dan memiliki bentuk alam serta kaya akan sosial budaya.

3.2. Metoda Penentuan Variabel

Variabel diperoleh melalui interpretasi tinjauan pustaka yang berlandaskan rumusan masalah. Fungsi variabel akan digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian dan menjadi basis dalam metoda pengumpulan data dapat dilihat pada tabel

3.1

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Tabel 3.1 Metode Penentuan Variabel

Masalah Penelitian Landasan Teori Variabel Faktor-faktor yang Permukiman terbentuk melalui Keadaan fisik dan non fisik mempengaruhi suatu proses panjang secara mempengaruhi pola pertumbuhan terus-menerus pada suatu tempat aktivitas manusia pembangunan fungsional dengan didasari oleh permukiman di tepi pola aktivitas manusia baik yang air Pangururan disebabkan pengaruh keadaan Kabupaten Samosir fisik dan non fisik (Rapoport, 2016). Bentuk permukiman yang telah Keadaan geografi yang berkembang akan membentuk membentuk pola pola-pola permukiman melalui permukiman. penyebaran tempat tinggal dikarenakan kondisi keadaan geografi (Yusran, 2006). Suatu pola permukiman Aspek keamanan, saling didasarkan oleh beberapa aspek membutuhkan, komunitas, seperti tingkat keamanan, saling agama, ideologi, budaya membutuhkan, hubungan antar dan bentuk fisik alam kelompok, politik, agama, membentuk pola ideologi, budaya dan bentuk permukiman. fisik alam (Abdullah, 2000). Menurut Suprijanto (2002), Perkembangan awalnya pengembangan permukiman di tepi air permukiman di tepi air bermula melalui generasi dari keberadaan sekelompok sekelompok etnis. etnis yang menetap di tepi air dan berkembang secara alami dari generasi ke generasi. Menurut Foruzanmehr dan Nilai sejarah dalam Vellinga (2011), budaya membentuk budaya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Masalah Penelitian Landasan Teori Variabel bermukim merupakan salah satu bermukim. kehidupan pada suatu kawasan yang menghasilkan nilai-nilai bersejarah sebagai bentuk fisik dari kegiatan yang telah dilakukan. Menurut Utomo (2000), Bangunan arsitektur keberadaan permukiman tradisional dipengaruhi tradisional yang terdiri dari oleh hubungan bangunan arsitektur tradisional kekeluargaan dan iklim. juga dipengaruhi oleh hubungan kekeluargaan dalam kemasyarakatan, seperti hubungan pertalian darah, dan bangunan tradisional yang dipengaruhi oleh iklim. Regulasi Menurut Kostof (2005), Pertumbuhan permukiman Pembangunan permukiman organik merupakan incremental sebagai awal Permukiman tepi air permukiman yang tumbuh secara pengembangan di Indonesia kebetulan dan dihasilkan tanpa permukiman. peran perencana dan atau seorang perancang, tetapi melalui ruang waktu yang dilewati oleh tata letak tanah dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Menurut Peraturan Pemerintah Kawasan permukiman Republik Indonesia Nomor 14 memiliki lokasi sumber Tahun 2016, kawasan daya, tanggap bencana, permukiman dalam sarana dan prasarana dalam perencanaanya harus memenuhi: perencanaan permukiman.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Masalah Penelitian Landasan Teori Variabel (1) Peningkatan sumber daya perkotaan atau perdesaan; (2) Tanggap terhadap bencana; (3) Menyediakan sarana dan prasarana serta utilitas umum. Peraturan Menteri Pekerjaan Karakteristik lokasi dalam Umum Nomor 41/PRT/M/2007, merancang permukiman kawasan perencanaan yang aman dan nyaman. permukiman perlu memperhatikan karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan: (1) Topografi datar sampai bergelombang (kelerengan lahan 0 - 25%); (2) Tersedia sumber air, baik air tanah maupun air yang diolah oleh penyelenggara seperti PDAM yang dapat menyuplai air antara 60 liter/org/hari - 100 liter/org/hari; (3) Tidak terletak pada daerah rawan bencana (longsor, banjir, erosi, abrasi); (4) Drainase yang baik sampai sedang; (5) Tidak bertempat pada sempadan sungai/pantai/waduk/danau/mata air/saluran pengairan/rel kereta api dan daerah aman penerbangan; (6) Tidak berada pada kawasan lindung; (7) Tidak berkawasan budi daya pertanian/penyangga; (8)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Masalah Penelitian Landasan Teori Variabel Menghindari daerah irigasi sawah. Menurut Keputusan presiden RI Jarak garis sempadan tepi Nomor 32 tahun 1990 Tentang air dari titik pasang Pengelolaan Kawasan Lindung, tertinggi ke arah darat. garis sempadan pantai minimum 100m diukur dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Menurut Ditjen Cipta Karya Keterkaitan kemiringan (2000): (1) Garis sempadan tepi tanah di sempadan tepi air air landai dengan kemiringan 0°- terhadap jarak garis 15° minimum 20 meter diukur sempadan. dari titik pasang tertinggi ke arah darat; (2) Garis sempadan tepi air curam dengan kemiringan 15°- 40° minimum 35 meter diukur dari titik pasang tertinggi ke arah darat; (3) Garis sempadan tepi air curam dengan kemiringan di atas 40° minimum 100 meter diukur dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

Diukur dari segi akses penataan Penataan permukiman tepi permukiman tepi air, menurut air berupa akses pada Ditjen Cipta Karya (2000) akses permukiman di tepi air. harus memperhatikan: (1) Akses jalur kendaraan harus terletak di batas terluar dari sempadan tepi air dengan area bangunan; (2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Masalah Penelitian Landasan Teori Variabel Jarak antara akses masuk menuju tepi air dari jalan raya sekunder atau tersier minimum 300 meter; (3) Jaringan jalan tidak boleh digunakan untuk parkir kendaraan roda empat; (4) Lebar minimum pedestrian di sepanjang tepi air adalah 3 meter. Penerapan regulasi Penataan dalam hal peruntukan Pemanfaatan dan pembangunan atau tata guna lahan menurut pembagian tata guna lahan permukiman pada Ditjen Cipta Karya (2000) pada permukiman di tepi area tepi air di sebagai berikut: (1) Penggunaan air. Pangururan lahan sebagai bangunan Kabupaten Samosir diutamakan atas penggunaan lahan yang bergantung dengan air (water-dependent uses), penggunaan lahan yang bergantung dengan adanya air (water-related uses) dan penggunaan lahan tanpa berhubungan dengan air (Independent and unrelated to water uses); (2) Untuk pengembangan area publik, kemiringan lahan lebih dianjurkan 0-15 %. Sedangkan kemiringan lahan yang lebih dari 15 % perlu penangan tambahan; (3) Jarak fasilitas umum yang satu dengan fasilitas

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Masalah Penelitian Landasan Teori Variabel umum lainnya maksimum 2 Km. Sedangkan untuk mendirikan Penataan kepadatan sebuah bangunan, menurut bangunan pada Ditjen Cipta Karya (2000) harus permukiman di tepi air. memperhatikan: (1) Kepadatan bangunan di kawasan tepi air maksimum 25 %; (2) Tinggi bangunan maksimum 15 meter dihitung dari permukaan tanah; (3) Arah dari Orientasi bangunan mempertimbangkan posisi matahari dan arah angin; (4) Bangunan-bangunan yang dapat dikembangkan pada kawasan sepadan tepi air berupa ruang terbuka seperti taman atau ruang rekreasi sebagai fasilitas umum, tempat duduk dan sarana olah raga; (5) Bangunan yang diperbolehkan berdiri di kawasan sempadan tepi air berupa tempat ibadah, bangunan penjaga pantai, bangunan fasilitas umum, serta bangunan tanpa dinding dengan luas

maksimum 50 m2/unit. Menurut Peraturan Presiden RI Tata ruang kawasan Danau Nomor 81 Tahun 2014 Tentang Toba dalam mewujudkan Rencana Tata Ruang Kawasan permukiman yang Danau Toba dan Sekitarnya, memiliki potensi kawasan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Masalah Penelitian Landasan Teori Variabel ruang kawasan Danau Toba pariwisata. perlu ditata agar dapat mewujudkan: (1) Air kehidupan (Aek Natio) masyarakat melalui Pelestarian Kawasan Danau Toba, ekosistem, lingkungan dan kawasan kampung masyarakat adat Batak; (2) Pengembangan kawasan pariwisata berskala internasional melalui pengendalian kawasan budi daya dan tanggap terhadap bencana alam. Menurut pasal 9 ayat 2 pada Sistem permukiman Peraturan Presiden RI Nomor 81 terpusat dalam menjangkau Tahun 2014 penataan pelayanan fasilitas. permukiman melalui sistem permukiman yang terpusat sebagai sistem pusat pelayanan kawasan yang bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan fungsi dan jangkauan fasilitas pelayanan dengan maksud untuk mendorong kawasan Danau Toba sebagai kawasan pariwisata dengan skala dunia. Potensi yang dapat Dalam penataannya, kawasan Persyaratan dalam mendukung regulasi Danau Toba memiliki peraturan penataan sempadan danau dalam rangka untuk melindungi lingkungan, sesuai dengan regulasi. pembangunan seperti yang tertulis pada

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Masalah Penelitian Landasan Teori Variabel permukiman pada Peraturan Presiden RI Nomor 81 area tepi air Tahun 2014 mengenai Pangururan sempadan danau: (1) Wilayah Kabupaten Samosir daratan ditetapkan dengan jarak 50 (lima puluh) meter sampai dengan 100 (seratus) meter dari titik pasang air danau tertinggi sebagai sempadan danau; (2) Wilayah sempadan danau di sepanjang tepian danau lebarnya disesuaikan dengan proporsi bentuk dan kondisi fisik danau. Menurut Perda Nomor 3 Arah pembangunan Kabupaten Samosir Tahun 2011, permukiman oleh Rencana Pembangunan Jangka pemerintah melalui Panjang Daerah (RPJPD) regulasi Kabupaten Kabupaten Samosir bermaksud Samosir. agar memberikan arah bagi pemerintah dan masyarakat. Berdasarkan Peraturan Pengembangan Pemerintah Nomor 26 Tahun permukiman di kawasan 2008, tentang RTRW Nasional, Danau Toba dalam kawasan Danau Toba ditetapkan mewujudkan kawasan menjadi salah satu kawasan wisata unggul. Nasional di Indonesia dengan jaminan pelestarian agar taraf hidup masyarakat dapat mengalami peningkatan. Sedangkan dalam Permenbudpar, Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Penetapan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Masalah Penelitian Landasan Teori Variabel Pariwisata Unggulan, kawasan Danau Toba juga menjadi kawasan sebagai tujuan Wisata Nasional dan akan dikembangkan menjadi keunggulan Indonesia di dunia. Konsep regulasi Menurut Perda Nomor 3 Arah perencanaan untuk pembangunan Kabupaten Samosir Tahun 2011, pembangunan permukiman permukiman pada arah kebijakan pembangunan di Pangururan Kabupaten area tepi air dalam mewujudkan Samosir. Pangururan pembangunan permukiman Kabupaten Samosir adalah: (1) Memberdayakan masyarakat melalui tingkat kesehatan, ilmu pendidikan, berbudaya, beriman, sejahtera dan sadar akan lokasi wisata; (2) Melakukan pembangunan terpadu dan menyeluruh hingga terjadi keadilan yang merata pada kawasan pelestarian lingkungan; (3) Menciptakan rasa aman, nyaman dan damai dengan perlindungan kepada masyarakat dan wisatawan. Ditinjau dari Peraturan Kepemilikkan dan Pemerintah Republik Indonesia pemanfaatan tanah dalam Nomor 14 Tahun 2016 salah perencanaan permukiman. satu syarat dalam merencanakan pengembangan suatu permukiman harus mengidentifikasi kepemilikkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Masalah Penelitian Landasan Teori Variabel dan pemanfaatan tanah Menurut Marpaung (2017), Pembangunan kembali setelah melalui suatu periode permukiman organik harus waktu, masyarakat di terintegrasi dengan permukiman organik memiliki perkembangan kebijakan lahan yang diperoleh secara pemerintah. turun-temurun untuk meningkatkan dan melestarikan sosial-budaya dan aspek ekonomi, kemudian membangun permukiman yang disesuaikan dengan permukiman yang terencana dari pemerintah. Menurut Marpaung (2017), Munculnya permukiman Pertumbuhan permukiman organik di Indonesia selalu organik di Indonesia selalu berawal dari suatu dimulai keberadaanya melalui kampung atau suatu desa. sebuah desa.

3.3. Metoda Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan oleh peneliti untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan berdasarkan permasalahan penelitian terkait tujuan penelitian.

Tabel 3.2 Metode Pengumpulan Data

Variabel Data yang Diperlukan Metoda Keadaan fisik dan non fisik topografi, Observasi yang mempengaruhi pola keadaan geografi. aktivitas manusia. tingkat keamanan, Wawancara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Variabel Data yang Diperlukan Metoda saling membutuhkan, hubungan kelompok, politik, agama, ideologi, budaya kepercayaaan Keadaan geografi yang Dokumentasi pola Observasi membentuk pola permukiman permukiman. Peta keadaan geografis di Menggambar ulang tepi air Pangururan dengan CAD Perkembangan permukiman Identifikasi etnis yang Observasi, wawancara dan di tepi air melalui generasi tersebar di tepi air studi dokumen. sekelompok etnis. Pangururan. Nilai sejarah dalam Sejarah dan budaya Studi dokumen. membentuk budaya Batak. bermukim. Bangunan arsitektur Bentuk bangunan Studi dokumen dan tradisional yang tradisional Batak observasi. dipengaruhi oleh hubungan kekeluargaan dan iklim. Pertumbuhan permukiman Peta pertumbuhan Observasi dan incremental sebagai awal permukiman di tepi air menggambar ulang arah pengembangan Pangururan. penyebaran permukiman permukiman. dengan CAD. Karakteristik lokasi dalam Kebijakan perancangan Studi dokumen. merancang permukiman permukiman. yang aman dan nyaman. Jarak garis sempadan tepi Kebijakan penataan Observasi dan air dari titik pasang kawasan tepi air. studi dokumen. tertinggi ke arah darat.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Variabel Data yang Diperlukan Metoda Keterkaitan kemiringan Kebijakan sempadan Observasi dan tanah di sempadan tepi air danau kawasan tepi air. studi dokumen. terhadap jarak garis sempadan. Penataan permukiman tepi Kebijakan penataan Observasi dan air berupa akses pada akses kawasan tepi air. studi dokumen. permukiman di tepi air. Pemanfaatan dan Kebijakan tata guna Observasi dan pembagian tata guna lahan lahan kawasan tepi air. studi dokumen. permukiman di tepi air. Penataan kepadatan Kepadatan permukiman Observasi dan bangunan pada permukiman pada area tepi air. studi dokumen. di tepi air. Tata ruang kawasan Danau Kebijakan tata ruang Studi data sekunder Toba dalam mewujudkan kawasan Danau Toba. Rencana Tata Ruang permukiman yang memiliki Kawasan Danau Toba potensi kawasan pariwisata. Sistem permukiman Kebijakan perancangan Identifikasi data sekunder terpusat dalam menjangkau permukiman. pelayanan fasilitas. Arah pembangunan Kebijakan Pemerintah Identifikasi data sekunder permukiman tepi air Daerah Kabupaten Pangururan oleh pemerintah Samosir dalam melalui regulasi Kabupaten membentuk permukiman Samosir. di tepi air. Pengembangan Kebijakan Pemerintah Identifikasi data sekunder permukiman di kawasan Daerah Kabupaten Danau Toba dalam Samosir dalam mewujudkan kawasan membentuk permukiman wisata unggul. wisata. Kepemilikkan dan Kebijakan kepemilikkan Identifikasi data sekunder

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Variabel Data yang Diperlukan Metoda pemanfaatan tanah dalam dan pemanfaatan tanah dan wawancara. perencanaan permukiman. Pemerintah Daerah Kabupaten Samosir. Pembangunan permukiman Kebijakan Pemerintah Identifikasi data sekunder organik harus terintegrasi Daerah Kabupaten dan wawancara. dengan perkembangan Samosir terhadap kebijakan pemerintah. permukiman organik Munculnya permukiman Teori permukiman Identifikasi data sekunder organik di Indonesia selalu organik dan wawancara. berawal dari suatu kampung atauu suatu desa.

Berkaitan dengan rumusan masalah penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pembangunan permukiman di tepi air Pangururan

Kabupaten Samosir, maka pertanyaan yang dikemukakan dalam wawancara adalah sebagai berikut:

1. Mengapa Bapak/Ibu dapat tinggal di tepi danau ini?

2. Sejak kapan Bapak/Ibu tinggal di tepi danau ini?

3. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana rumah-rumah disini dapat terbangun pada

area tepi air seperti ini?

4. Menurut Bapak/Ibu, adakah syarat-syarat yang berlaku untuk mendirikan

bangunan pada area tepi air ini?

5. Apa aktivitas Bapak/Ibu sehari-hari? Apakah aktivitas tersebut

mempengaruhi posisi rumah-rumah disekitar sini?

6. Adakah hubungan tinggal di tepi danau ini dengan mata pencaharian?

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 7. Apakah tanah tempat tinggal Bapak/Ibu sekarang adalah milik sendiri?

8. Bentuk surat kepemilikkan tanah seperti apa yang Bapak/Ibu miliki sekarang?

9. Apakah ada yang mengatur Bapak/Ibu dalam mendirikan bangunan?

10. Apakah Bapak/Ibu mengetahui fungsi apa yang diperbolehkan untuk

dibangun pada area tepi danau ini?

11. Apakah Bapak/Ibu mengetahui peraturan pembangunan daerah tepi danau di

Pangururan ini?

12. Pernahkah ada sosialisasi peraturan pembangunan perumahan untuk daerah

tepi danau di Pangururan ini?

13. Ketika bangunan rumah tinggal ini didirikan, pernahkah Bapak/Ibu ditegur

Pemerintah Pangururan Kabupaten Samosir?

14. Apakah Bapak/Ibu mempercayai adanya hubungan religi dan kepercayaan

dalam proses membangun rumah?

15. Menurut Bapak/Ibu, dalam membangun rumah, apakah ada pengaruh dari

pemikiran atau pandangan penduduk di sini?

16. Menurut Bapak/Ibu, apakah ada hubungan keturunan suku terhadap

perkembangan rumah-rumah di sini?

17. Apakah Bapak/Ibu mengetahui adanya kalimat-kalimat leluhur yang

diterapkan dalam membangun rumah?

Berkaitan dengan rumusan masalah penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pembangunan permukiman di tepi air Pangururan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kabupaten Samosir, maka pertanyaan yang dikemukakan dalam wawancara kepada pemerintah daerah adalah sebagai berikut:

1. Menurut Bapak, bagaimana masyarakat dapat memiliki tanah di tepi danau

Pangururan?

2. Pernahkah ada sosialisasi peraturan pembangunan untuk daerah tepi danau di

Pangururan ini?

3. Apakah Pemerintah memberitahukan masyarakat apabila ada yang

membangun dan melanggar peraturan pembangunan daerah tepi danau di

Pangururan ini?

4. Apakah pemerintah pernah menindak masyarakat apabila melanggar peraturan

pembangunan tepi danau yang berlaku di Pangururan?

5. Apakah ada masyarakat yang membangun daerah tepi danau sesuai peraturan

yang berlaku, padahal mereka belum mengetahui kebijakan pembangunan tepi

air yang berlaku di Pangururan?

6. Bagaimana cara mengatasi pembangunan dengan fungsi kepemerintahan di

tanah yang status kepemilikkannya merupakan milik masyarakat namun tidak

memiliki bukti kepemilikkan?

Metoda dalam menentukan responden yang akan diwawancarai adalah sebagai berikut:

1. Narasumber merupakan masyarakat yang bertempat tinggal di Kecamatan

Pangururan Kabupaten Samosir.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2. Narasumber merupakan seorang tokoh yang memahami budaya Batak.

3. Narasumber merupakan seorang tokoh yang memahami regulasi di

Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.

3.4. Metoda Analisia Data

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pembangunan permukiman di tepi air Pangururan Kabupaten Samosir, maka metoda penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut (Gambar 3.1):

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LANDASAN TEORI • Permukiman terbentuk melalui suatu proses yang panjang secara terus-menerus pada suatu tempat yang fungsional dengan didasari oleh pola aktivitas manusia baik yang disebabkan pengaruh keadaan fisik dan non fisik (Rapoport, 2016) • Bentuk permukiman yang telah berkembang akan membentuk pola-pola permukiman melalui penyebaran tempat tinggal dikarenakan kondisi keadaan geografi (Yusran, 2006) • Suatu pola permukiman didasarkan oleh beberapa DATA aspek seperti tingkat keamanan, saling • Observasi membutuhkan, hubungan antar kelompok, politik, • Hasil wawancara agama, ideologi, budaya dan bentuk fisik alam. • Dokumentasi (Abdullah, 2000) • Faktor-faktor fisik • Menurut Suprijanto (2002), awalnya pengembangan • Faktor-faktor non fisik permukiman di tepi air bermula dari keberadaan • sekelompok etnis yang menetap di tepi air dan Data etnis berkembang secara alami dari generasi ke generasi. • Bentuk bangunan tradisional • Menurut Foruzanmehr dan Vellinga (2011), budaya bermukim merupakan salah satu kehidupan pada suatu kawasan yang menghasilkan nilai-nilai bersejarah sebagai bentuk fisik dari kegiatan yang telah dilakukan. • Menurut Utomo (2000), keveradaan permukiman tradisional yang terdiri dari bangunan arsitektur tradisional juga dipengaruhi oleh hubungan kekeluargaan dalam kemasyarakatan, seperti hubungan pertalian darah, dan bangunan tradisional dyang dipengaruhi oleh iklim.

KAJIAN • Faktor-faktor fisik berupa lingkungan yang dihuni dan topografi, sedangkan faktor non fisik berupa nilai-nilai dalam membentuk permukiman, seperti tingkat keamanan, hubungan antar kelompok, politik, agama, ideologi, religi, budaya dan kepercayaan. • Kawasan yang berada di tepi air lebih sering ditemukan pola permukiman yang cenderung tidak teratura, cluster dan tumbuh secara alami. • Masyarakat yang bermukim di tepi air merupakan masyarakat yang homogen, tertutup dan mengembangkan tradisi serta nilai atau norma yang berlaku. • Keadaan iklim di Indonesia membuat bangunan harus dapat tanggap terhadap iklim melalui susuanan massa, orientasi bangunan, bentuk atap, bahan bangunan dan aspek lainnya.

PENEMUAN Faktor Topografi, memberikan pengaruh terhadap bentuk permukiman karena mengikuti kontur dari tanah. Faktor kepercayaan terhadap leluhur, membawa pengaruh terhadap susunan kampung yang berorientasi terhadap Pusuk Buhit. Faktor terhadap matahari, masyarakat cenderung mendirikan tempat tinggal dengan orientasi matahari, karena kepercayaan bahwa matahari merupakan sumber kehidupan. Faktor Agama, dalam kehidupannya, masyarakat Batak sangat menghormati leluhur. Faktor Budaya, membawa pengaruh terhadap permukiman kampung. Faktor pola permukiman, menggambarkan bentuk permukiman pada suatu desa dan pemanfaatan tanah dalam kehidupan sehari-hari. Faktor kepadatan penduduk, masyarakat Batak cenderung akan mendirikan kampung baru apabila terjadi pernikahan. Faktor arah pertumbuhan permukiman di tepi air, masyarakat cenderung mendirikan bangunan-bangunan baru dengan meninggalkan ornamen dan bentuk rumah adat di tepi jalan atau lokasi yang mudah diakses.

65 Gambar 3.1 Metode Analisa Data UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Untuk mengkaji regulasi pembangunan permukiman area tepi air di Indonesia, maka metoda penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut (Gambar 3.2):

DATA LANDASAN TEORI • Peta pertumbuhan permukiman di • Menurut Kostof (2005), permukiman organik tepi air Pangururan merupakan permukiman yang tumbuh secara • Kebijakan perancangan kebetulan dan dihasilkan tanpa peran perencana permukiman melalui ruang waktu. • Kebijakan penataan kawasan tepi • Kawasan permukiman yang terencana harus air memenuhi peningkatan sumber daya perkotaan, • Kebijakan sempadan danau tanggap terhadap bencana dan menyediakan sarana • Kebijakan penataan akses prasarana serta utilitas umum. (Peraturan Pemerintah kawasan tepi air RI Nomor 14 Tahun 2016) • Kebijakan tata guna lahan • Kawasan perencanaan permukiman juga perlu kawasan tepi air. memperhatikan karakteristik lahan, sumber air, • Kepadatan permukiman pada area drainase yang baik, dan tidak berada pada daerah tepi air. rawan bencana, sempadan air, serta menghindari kawasan budi daya dan irigasi. (Peraturan Menteri PU Nomor 41/PRT/M/2007)

KAJIAN • Hasil dari pengembangan bentuk yang tidak teratur dan alami menyebabkan terbentuknya jalan yang melengkung, terputus dan berujung pada ruang terbuka. • Untuk menciptakan lingkungan yang terencana, pembangunan permukiman harus terarah dan dilandasi dengan penelitian terlebih dahulu agar menghasilkan permukiman formal yang layak. • Terdapat jarak pengukuran minimum yang diupayakan agar melestarikan pantai dan membuat bangunan tidak dalam kondisi berbahaya.

PENEMUAN Menetapkan kawasan di tepi air menjadi kawasan lindung Untuk mendirikan kawasan lingkungan hidup, perlu memerhatikan sumber air tanah, wilayah rawan bencana, tidak pada daerah rel kereta api, daerah aman penerbangan dan kawasan lindung. Memperhatikan kepadatan bangunan di kawasan tepi air yakni maksimum 25%. Mendirikan bangunan di tepi air tidak lebih tinggi dari 15 meter. Gambar 3.2 Metode Analisa Data

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Untuk mengkaji regulasi pembangunan permukiman area tepi air Pangururan

Kabupaten Samosir, maka metoda analisa penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut (Gambar 3.3):

LANDASAN TEORI • Penataan dalam hal peruntukkan dan tata guna lahan seperti penggunaan lahan yang disesuaikan dengan ketersediaan air dalam membangun bangunan, kemiringan dalam pengembangan area publik dan jarak antar fasilitas umum (Ditjen Cipta Karya, 2000) • Untuk mendirikan bangunan di tepi air, kepadatan bangunan maksimum 25% dengan tinggi bangunan DATA maksimum 15 meter. Sedangkan arah dari orientasi • Kebijakan tata guna lahan bangunan harus mempertimbangkan posisi matahari kawasan tepi air. dan angin. Bangunan yang dapat dibangun seperti • Kepadatan permukiman pada area ruang terbuka, tempat ibadah, dan fasilitas umum. tepi air (Ditjen Cipta Karya (2000). • Kebijakan tata ruang kawasan • Menurut Peraturan Presiden RI Nomor 81 Tahun Danau Toba 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau • Kebijakan perancangan Toba dan sekitarnya, Danau Toba perlu ditata agar permukiman. mewujudkan Air Kehidupan masyarakat melalui pelestarian kawasan dan pengembangan kawasan pariwisata. • Menurut Pasal 9 Ayat 2 pada Peraturan Presiden RI Nomor 81 Tahun 2014, penataan permukiman melalui sistem permukiman yang terpusat bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan fungsi dan jangkauan fasilitas.

KAJIAN • Pemanfaatan dan pembagian tata guna lahan pada permukiman di tepi air telah ditetapkan berdasarkan kebutuhan masing-masing wilayah, bukan berdasarkan individu tertentu. • Penataan kepadatan bangunan pada permukiman di tepi air menunjukkan seberapa banyak kawasan yang diperbolehkan untuk di bangun dalam menjaga kelestarian alam. • Tata ruang kawasan Danau Toba dalam mewujudkan permukiman yang memiliki potensi kawasan pariwisata. • Sistem permukiman terpusat dalam menjangkau pelayanan fasilitas umum dalam menciptakan permukiman yang sesuai dengan regulasi

PENEMUAN Pembangunan permukiman didasarkan atas siasat dari kepala suku. Menetapkan sempadan danau dengan jarak 50 meter sampai 100 meter dihitung dari titik air pasang tertinggi Menerapkan sistem permukiman terpusat. Melestarikan kawasan kampung adat Batak menjadi kawasan wisata budaya Menjalankan RPJMD hingga tahap III. Pembebasan lahan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Untuk mengetahui potensi yang dapat mendukung regulasi dalam rangka pembangunan permukiman area tepi air Pangururan Kabupaten Samosir, maka metoda analisa penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut (Gambar 3.4):

LANDASAN TEORI • Menurut Peraturan Presiden RI Nomor 81 Tahun 2014, sempadan danau ditetapkan dengan jarak 50 meter sampai 100 meter dari titik pasang air danau tertinggi. • Menurut Perda Nomor 3 Kabupaten Samosir Tahun 2011, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Samosir bermaksud agar memberikan arah bagi pemerintah dan masyarakat. DATA • Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomo 26 Tahun • Kebijakan Pemerintah Daerah 2008, tentang RTRW Nasional, kawasan Danau Kabupaten Samosir dalam Toba ditetapkan menjadi salah satu kawasan membentuk permukiman di tepi Nasional di Indonesia dengan jaminan pelestarian air. agar taraf masyarakat dapat mengalami peningkatan • Kebijakan Pemerintah Daerah dan menjadi kawasan tujuan wisata nasional. Kabupaten Samosir dalam membentuk permukiman wisata.

KAJIAN • Persyaratan dalam penataan sempadan danau harus sesuai dengan regulasi yang berlaku. Wilayah sempadan tepian danau juga disesuaikan dengan proporsi bentuk dan kondisik fisik danau. • Arah pembangunan permukiman oleh pemerintah melalui regulasi Kabupaten Samosir sebagai acuan dasar dalam mewujudkan permukiman yang sesuai regulasi. • Pengembangan permukiman di kawasan Danau Toba dilakukan melalui pelestarian kawasan agar selain mewujudkan kehidupan yang baik, tetapi juga menjadi tujuan wisata nasional.

PENEMUAN Kawasan Danau Toba menjadi Kawasan Strategis Nasional yang menjamin pelestarian Kawasan Danau Toba dalam perkembangan permukiman. Pengembangan permukiman selalu diperhatikan oleh pemerintah karena Danau Toba ditetapkan menjadi Heritage World (Harta Warisan Dunia). Kawasan Agropolitan Dataran Tinggi Bukit Barisan di Provinsi Sumatera Utara Filososi kerarifan lokal dalam pembangunan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Untuk menghasilkan konsep regulasi untuk pembangunan permukiman area tepi air Pangururan Kabupaten Samosir, maka metoda analisa penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut (Gambar 3.5):

LANDASAN TEORI • Menurut Perda Nomor 3 Kabupaten Samosir Tahun 2011, arah kebijakan pembangunan dalam mewujudkan pembangunan permukiman melalui pemberdayaan masyarakat, pembangunan terpadu yang menyeluruh, dan menciptakan rasa aman dan DATA nyaman kepada masyarakat. • Kebijakan kepemilikkan dan • Salah satu syarat dalam merencanakan pemanfaatan tanah Pemerintah pengembangan suatu permukiman harus Daerah Kabupaten Samosir. mengidentifikasi kepemilikkan dan pemanfaatan • Kebijakan Pemerintah Daerah tanah (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Kabupaten Samosir terhadap Nomor 14 Tahun 2016) permukiman organik • Menurut Marpaung (2017), masyarakat di • Teori permukiman organik. permukiman organik memiliki lahan yang diperoleh secara turun-temurun untuk meningkatkan dan melestarikan sosial budaya dan digunakan untuk membangun permukiman yang dapat disesuaikan dengan rencana pemerintah. • Pertumbuhan permukiman organik di Indonesia selalu dimulai keberadaannya melalui sebuah desa (Marpaung, 2017).

KAJIAN • Perencanaan pembangunan permukiman di Pangururan Kabupaten Samosir memiliki arah yang terencana berdasarkan Perda yang berlaku dalam mewujudkan permukiman terencana dari pemerintah. • Kepemilikkan dan pemanfaatan tanah sangat berpengaruh dalam perencanaan permukiman, sehingga perlu dikaji ulang dengan kebijakan pemerintah • Munculnya permukiman organik di Indonesia selalu berawal dari permukiman kecil atau suatu desa.

PENEMUAN Regulasi disesuaikan perkembangannya terhadap filosofi-filosofi yang dipercayai masyarakat Batak. Memasukkan faktor-faktor non-fisik dalam pengembangan permukiman. Melestarikan kebudayaan dan kearifan lokal agar menjadi kawasan yang memiliki roh atau jiwa dan menghadirkan Genius Loci. Mendirikan bangunan-bangunan di tepi jalan dengan mempertahankan ornamen-ornament gorga ataupun bentuk miniatur dari bangunan adat Batak. Menghadirkan landmark-landmark berbasis budaya dan adat yang mudah ditemui di persimpangan ataupun ruang terbuka agar mudah diingat.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB IV

DESKRIPSI KAWASAN PENELITIAN

4.1. Lokasi Penelitan

Kecamatan Pangururan merupakan bagian dari Kabupaten Samosir, Sumatera

Utara Indonesia. Kecamatan Pangururan yang menjadi ibu kota Kabupaten Samosir ini terdiri atas 28 desa yang tersebar baik di tepi air ataupun perbukitan. Pada tahun

2018, wilayah ini tercatat memiliki luas kurang lebih 121,43 km2 dengan jumlah penduduk mencapai kurang lebih 30.000 jiwa.

Gambar 4.1 Peta Indonesia Sumber: emadeus.devianart.com

Gambar 4.2 Kabupaten Samosir Gambar 4.3 Kecamatan Pangururan Sumber: Creative Commons Sumber: Olahan pribadi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kecamatan Pangururan di kelilingi oleh empat kecamatan lain di Kabupaten

Samosir sebagai berikut (Tabel 4.1):

Tabel 4.1 Batas Kecamatan

Batasan Kecamatan Arah Utara Kecamatan Simanindo Arah Timur Kecamatan Ronggur Nihuta Arah Selatan Kecamatan Palipi Arah Barat Kecamatan Sianjur Mulamula

Kawasan Permukiman di tepi air Kecamatan Pangururan terdiri atas tujuh belas desa seperti berikut (Gambar 4.4):

1

2 Tabel 4.2 Batas Desa

No. Desa/Kelurahan 3 1. Desa Sialanguan 2. Desa Situngkir 4 5 3. Desa Huta Bolon 6 4. Desa Siopat Sosor 7 8 5. Desa Lumban Suhi-suhi Toruan 9 10 6. Desa Sitolu Huta 11 7. Desa Panampangan 12

8. Desa Pardogul 13 9. Desa Parlondut 10. Desa Sianting-anting 14

11. Desa Sait Nihuta 12. Desa Parsaroan 15 13. Kelurahan Pasar Pangururan

14. Desa Pardomuan 1 15. Kelurahan Pintu Sona 16

16. Desa Huta Namora 17. Desa Rianiate 17

Gambar 4.4 Desa/Kelurahan di Kecamatan Pangururan Sumber: Olahan pribadi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 4.2. Permukiman di Tepi Air Pangururan Kabupaten Samosir

Meskipun Kecamatan Pangururan merupakan salah satu Kecamatan yang terletak di tepi air, banyak masyarakat yang masih bekerja sebagai seorang petani. Hal ini terlihat dari luasnya lahan yang digunakan untuk bercocok tanam. Selain itu masyarakat juga berpenghasilan melalui budi daya hewan ternak dan ikan. Hanya sebagian kecil masyarakat mengelola permukiman berbasis wisata. Kawasan ini akan dibagimenjadi 3 segmen oleh peneliti.

Segmen 1

Segmen 2

Segmen 3

72

Gambar 4.5 Pembagian Segmen KecamatanUNIVERSITAS Pangururan SUMATERA UTARA Sumber: Olahan pribadi BAB V

ANALISA DAN PEMBAHASAN

5.1. Pertumbuhan Pembangunan Permukiman di Tepi Air Pangururan

Kabupaten Samosir

Bermula dari suku Batak yang mendarat di Muara Sungai Sorkam, kemudian masyarakat Batak memutuskan untuk mendirikan kampung di kaki bukit Pusuk Buhit yang lebih dikenal dengan sebutan Sianjur Sagala Limbong Mulana. Seiring berjalannya waktu, masyarakat Batak mulai mendominasi wilayah Danau Toba hingga ke Pulau Samosir. Permukiman masyarakat Batak terbentuk secara incremental atas kebutuhan sosial dan budaya. Bentuk perkembangannya juga dipengaruhi kepercayaan akan nenek moyang. Masyarakat Batak berpandangan bahwa arah orientasi rumah harus mengarah pada matahari terbit dan memiliki acuan utama yaitu Pusuk Buhit. Hal ini dikarenakan masyarakat Batak menghormati leluhurnya yang bermula dari Sianjur

Mula-mula yang terletak di Pusuk Buhit. Sehingga Pusuk Buhit dianggap sangat sakral dalam membangun tempat tinggal. Sedangkan matahari dianggap sebagai sumber kehidupan, sehingga sangat diusahakan agar tempat tinggal tidak membelakangi matahari untuk menghindari kesulitan (gambar 5.1).

Barat Timur Pusuk Buhit

Gambar 5.1 Pusuk Buhit dan Matahari Sumber: Dokumentasi pribadi 73

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Perkembangan permukiman kampung yang menyebar ke seluruh wilayah

Pulau Samosir sangat pesat. Bahkan perkembangannya dari pelosok hingga ke tepi danau. Kabupaten Samosir terbagi menjadi sembilan kecamatan, yaitu Kecmatan

Pangururan, Kecamatan Simanindo, Kecamatan Ronggur Nihuta, Kecamatan Palipi,

Kecamatan Nainggolan, Kecamatan Onanrunggu, Kecamatan Sianjur Mula-mula,

Kecamatan Harian dan Kecamatan Sitio-tio. Kecamatan Pangururan Pangururan merupakan yang paling padat penduduknya, hal ini dikarenakan Kecamatan

Pangururan merupakan Ibu Kota Kabupaten sehingga menjadi pusat perdagangan, pemerintahan, ekonomi dan sarana prasarana pendidikan. Kecamatan Pangururan dibagi menjadi 28 desa, namun desa yang terletak di Tepi Air Pangururan terdiri atas

17 desa (tabel 5.1). Desa-desa di Pangururan berkembang hingga ke tepi jalan utama yang sekarang dikelola negara sebagai jalan nasional (gambar 5.2).

Tabel 5.1 Daftar Desa/Kelurahan di tepi air Kecamatan Pangururan

No. Desa/Kelurahan 1 1. Desa Sialanguan 2. Desa Situngkir 2

3. Desa Huta Bolon 4. Desa Siopat Sosor 3

5. Desa Lumban Suhi-suhi Toruan 4 5 6. Desa Sitolu Huta 6 7 8 7. Desa Panampangan 9 1 8. Desa Pardogul 1 1 9. Desa Parlondut 1 10. Desa Sianting-anting 1 11. Desa Sait Nihuta

12. Desa Parsaroan 1 13. Kelurahan Pasar Pangururan

14. Desa Pardomuan 1 1 15. Kelurahan Pintu Sona

16. Desa Huta Namora 1

17. Desa Rianiate

Gambar 5.2 Kelurahan/Desa di tepi air Kecamatan Pangururan Sumber: Dokumentasi pribadi 74

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kelurahan Pasar Pangururan merupakan salah satu desa yang telah berkembang menjadi Kelurahan. Sehingga wilayah ini menjadi pusat perdagangan dan munculnya permukiman baru di tepi jalan. Masyarakat Batak yang tinggal di

Pangururan menganggap wilayah ini adalah sebuah kota. Permukiman di Kelurahan

Pasar Pangururan berkembang sangat pesat, sehingga terlihat lebih padat dari pada kelurahan atau desa lain. Perkembangan ini memberi dampak terhadap nilai jual tanah, sehingga harga tanah menjadi naik dan masyarakat yang tinggal di desa mencoba peruntungan untuk berdagang di Kelurahan Pasar Pangururan. Sedangkan di wilayah desa lain, masyarakat mencoba membangun jalan lingkungan dan akses tersendiri dari satu kampung menuju jalan utama. Disini menjadi potensi tumbuhnya permukiman baru di sepanjang jalan menuju jalan utama.

Keterangan gambar Jalan Arteri

Jalan Lingkungan

Gambar 5.3 Jalan Nasional atau Jalan Utama Sumber: Dokumentasi pribadi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Perumahan yang berjejer di sepanjang jalan lingkungan juga melakukan kegiatan perekonomian dengan berjualan ataupun memberi jasa. Sedangkan wilayah permukiman di tepi danau, di dominasi oleh kebun dan ladang. Hanya sebagian kecil yang dimanfaatkan sebagai kawasan pariwisata. Masyarakat Batak di Kabupaten

Pangururan memiliki ideologi Padme Jumah (Kaki Ladang) yang menetapkan tanah yang timbul karena turunnya air Danau Toba menjadi kaki ladang atau pertambahan ladang bagi pemiliknya. Padahal menurut pemerintah, tanah tersebut menjadi tanah komunal. Hal ini menyebabkan pemerintah kesulitan dalam mengelola tanah dan pembangunan permukiman di tepi air. Akibatnya Badan Pertanahan Nasional tidak akan memberikan sertifikat atas rumah yang dibangun pada sempadan danau.

Keterangan gambar:

Kaki Ladang

Lahan

Pohon

Danau

Gambar 5.4 Ideologi Kaki Ladang Sumber: Dokumentasi pribadi

5.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Pembangunan

Permukiman di Tepi Air Pangururan Kabupaten Samosir

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pembangunan permukiman di tepi air Pangururan Kabupaten Samosir tentunya tidak terlepas dari cara hidup dalam keseharian masyarakatnya. Masyarakat yang menempati tepi air berupaya memanfaatkannya sebagai irigasi sawah ataupun kegiatan lain dalam mengelola perekonomian. Sehingga masyarakat membuat jalan- jalan kecil dari tepi jalan raya menuju tepi air. Di sepanjang jalan kecil tersebut juga banyak dibangun rumah-rumah kontemporer dan meninggalkan corak-corak yang biasa ditemui pada rumah adat Batak.

Selain masalah kebutuhan, pertumbuhan pembangunan juga dipengaruhi oleh keadaan fisik dan non fisik yang mempengaruhi pola aktivitas manusia pada

Kecamatan Pangururan. Pada tepi air Pangururan Kabupaten Samosir, terdapat 17 desa yang yang langsung bersentuhan dengan tepi danau. Keadaan ini memberi potensi dalam hal ekonomi dan pariwisata yang dapat disuguhkan Kecamatan Pangururan.

Karena luas kecamatan mencapai 121,43km2, maka dalam penelitian dibagi menjadi 3 segmen (gambar 5.5).

Segmen 1

Segmen 2

Segmen 3

Gambar 5.5 Pembagian Segmen Kecamatan Pangururan Sumber: Dokumentasi pribadi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Segmen pertama terdiri atas 5 desa (gambar 5.6), yaitu Desa Sialanguan, Desa

Situngkir, Desa Huta Bolon, Desa Siopat Sosor, dan Desa Lumban Suhi-suhi Toruan.

Desa Sialanguan

Desa Situngkir

Desa Huta Bolon

Desa Siopat Sosor

Desa Lumban Suhi-suhi Toruan

Gambar 5.6 Segmen 1 Sumber: Dokumentasi pribadi

Sedangkan pada segmen kedua terbagi menjadi 7 desa (gambar 5.7), yakni

Desa Sitolu Huta, Desa Panampangan, Desa Pardogul, Desa Parlondut, Desa Sianting- anting, Desa Sait Nihuta dan Desa Parsaroan

Desa Sitolu Huta Desa Panampangan Desa Pardogul Desa Parlondut Desa Sianting-anting Desa Sait Nihuta

Desa Parsaroan

Gambar 5.7 Segmen 2 Sumber: Dokumentasi pribadi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Pada segmen ketiga, wilayah ini dibagi menjadi 3 desa dan 2 kelurahan

(gambar 5.8). Desa tersebut adalah desa Pardomuan 1, Desa Huta Namora, Desa

Rianiate. Sedangkan kelurahan yang dimaksud adalah Kelurahan Pasar Pangururan dan Kelurahan Pintu Sona.

Kelurahan Pasar Pangururan

Desa Pardomuan 1

Kelurahan Pintu Sona

Desa Huta Namora

Desa Rianiate

Gambar 5.8 Segmen 3 Sumber: Dokumentasi pribadi

5.2.1 Faktor Topografi

Sebagai wilayah yang terletak strategis di tengah Danau Toba, permukiman di

Kecamatan Pangururan di Pulau Samosir sebagian besar memiliki orientasi terhadap danau. Hal ini disebabkan sumber kehidupan dan asal nenek moyang yang terletak di sebelah barat. Topografi di wilayah segmen 1 (Gambar 5.9) dan topografi di wilayah segmen 2 (Gambar 5.10) terlihat cukup datar pada bagian tepi danau.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Dengan ketinggian 0-20m (±10%). Sedangkan pada sisi timur daratan, terlihat memiliki wilayah yang landai mencapai 2-150m (±25%). Keadaan topografi yang cukup datar ini merupakan wilayah yang paling sangat mudah di akses. Sehingga pada wilayah ini cukup banyak permukiman dan pertanian yang dikelola oleh masyarakat.

Gambar 5.9 Topografi pada Segmen 1 Sumber: Dokumentasi pribadi

Gambar 5.10 Topografi pada Segmen 2 Sumber: Dokumentasi pribadi

Sedangkan pada wilayah segmen 3 (Gambar 5.x), terletak pada daerah selatan

Kecamatan Pangururan memiliki kemiringan yang beragam. Daerah yang terletak di tenggara dan berbatasan langsung dengan perbukitan (gambar 5.11) memiliki kemiringan mencapai 15-400m (±55%). Keadaan topografi menyebabkan masyarakat menyesuaikan kehidupannya dengan membentuk rumah-rumah di daerah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA yang cenderung datar. Berdasarkan Ditjen Cipta Karya (2000), kemiringan lahan yang dianjurkan 0-15% untuk mendirikan bangunan. Sedangkan untuk kemiringan yang lebih dari 15% maka diperlukan penanganan tambahan untuk menghindari bencana.

Keadaan ini juga di dukung dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

41/PRT/M/2007 dengan menyarankan kelerengan lahan 0-25% adalah yang terbaik untuk mendirikan suatu permukiman. Akibatnya didaerah tenggara dari Kecamatan

Pangururan hanya terdapat beberapa permukiman terletak dengan ketinggian diatas

25%.

Gambar 5.11 Topografi pada segmen 3 Sumber: Dokumentasi pribadi

5.2.2 Faktor Budaya

Soekanto (2003) menjelaskan bahwa unsur budaya yang bersifat universal dapat diklasifikasikan, sehingga jika dikaitkan dengan regulasi pada pertumbuhan permukiman di tepi air, maka mata pencaharian hidup, sistem kemasyarakatan,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kesenian dan religi menjadi faktor-faktor budaya yang mempengaruhi pertumbuhan permukiman. Umumnya mata pencaharian masyarakat di tepi air Kecamatan

Pangururan merupakan petani dan peternak. Tidak heran jika sering ditemui area persawahan dan ladang di sepanjang jalan utama. Penduduk mengelola lahan pertanian milik keluarga secara turun-temurun, dan letak lahan tersebut biasanya tidak jauh dari permukiman (gambar 5.12). Sedangkan usaha ternak dapat memanfaatkan lingkungan sekitar rumah untuk berternak. Akibatnya rumah-rumah di pedesaan yang masih berarsitektur Batak, memanfaatkan rumah panggung sebagai tempat menyimpan hewan ternak. Lapangan terbuka yang biasanya dimanfaatkan untuk sosialisasi juga menjadi tempat hewan-hewan tersebut tumbuh. Selain sebagai tempat untuk memelihara hewan ternak, area terbuka tersebut juga kerap dimanfaatkan sebagai tempat untuk menjemur hasil pertanian.

Kampung Siadari Kampung Siambaton Kampung Sianturi Kampung Sianipar Kampung Sibarani

Kampung Silaen Kampung Buhit Kampung Sijabat

Gambar 5.12 Lahan milik penduduk di Desa Parlondut Sumber: Dokumentasi pribadi Penduduk yang bermukim di Kecamatan Pangururan memiliki sistem adat kemasyarakatan yang erat, baik dengan leluhur, kerabat dan organisasi. Dalam menganut sistem ini, masyarakat Batak sering mendirikan kampung bersama secara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA gotong royong dengan sesama kerabatnya. Inisiasi mendirikan kampung terjadi setelah sistem pernikahan dengan prinsip Dalihan natolu pa opat Sihal-sihal yang mewajibkan pihak lelaki memberikan penghargaan terhadap pihak perempuan dengan memberikan tanah. Tanah tersebut kemudian didirikan kampung baru dan dihuni bersama oleh kerabat. Pada beberapa upacara adat, lahan terbuka di tengah- tengah rumah yang saling berhadapan dijadikan sebagai tempat berlangsungnya acara.

Sehingga masyarakat Batak yang di pedesaan masih mempertahankan kepercayaan terhadap Pusuk Buhit dan Matahari.

Huta Tahuan

Gambar 5.13 Rumah berhadapan dan area terbuka di Desa Pardomuan 1 Sumber: Dokumentasi pribadi

Kesenian di Kecamatan Pangururan juga tidak kalah dalam menyumbang pertumbuhan permukiman. Masyarakat Batak pada umumnya selalu memberikan corak-corak tertentu yang mengandung makna tersendiri dari leluhur. Corak-corak tersebut sering ditemui pada rumah-rumah adat di pedesaan dan dikenal dengan sebutan Gorga (gambar 5.14). Kesenian tersebut merupakan bukti adanya budaya bermukim seperti yang dikatakan oleh Foruzanmehr dan Vellinga (2011). Kawasan permukiman yang tumbuh secara budaya memiliki nilai-nilai bersejarah yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Namun, seiring dengan berjalannya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA waktu, kesenian perlahan disampingkan. Terlihat pada rumah-rumah baru yang

dibangun pada suatu permukiman, selain tidak menggunakan arsitektur Batak, juga

telah menghilangkan ciri khas kesenian Batak. Umumnya rumah-rumah tersebut

berada di tepi jalan utama (gambar 5.15).

Kampung Raja

Gambar 5.14 Rumah adat Batak dengan Gorga di Kampung Raja Sumber: Dokumentasi pribadi

Gambar 5.15 Rumah baru tanpa Gorga di tepi jalan utama Desa Rianiate Sumber: Dokumentasi pribadi

Menurut Machmud (2006), rumah tradisional diartikan sebagai rumah yang

dibangun dengan cara dan teknik konstruksi yang sama oleh beberapa generasi. Tidak

bertambahnya rumah tradisional dan dengan menghilangkan salah satu ciri

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA terpenting pada fasad rumah tradisional, maka mengurangi kesan unik dan khusus dari pengalaman yang disuguhkan permukiman sebagai citra dan jiwa sesuai dengan genious loci dan pengaruh local wisdom yang terbawa arus globalisasi.

Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat di Kecamatan Pangururan merupakan Agama Kristen. Selain itu juga terdapat kepercayaan-kepercayaan terhadap leluhur. Sehingga dalam kesehariannya, menghormati leluhur dipercaya akan memberikan kemahsyuran terhadap keturunannya. Salah satu cara untuk menghormati leluhur adalah dengan membangun makam yang megah. Makam- makam tersebut umumnya terletak di seberang kediaman permukiman keluarganya. Dengan demikian, banyak ditemui makam megah yang terletak tidak jauh dari permukiman masyarakat, bahkan di tepi jalan utama gambar (5.16).

Gambar 5.16 Makam leluhur di tepi jalan Desa Situngkir Sumber: Dokumentasi pribadi

5.2.3 Faktor Pola Permukiman dan Kepadatan Penduduk

Pola permukiman pada segmen satu terlihat jarang antar satu permukiman dengan permukiman lainnya (gambar 5.17). Wilayah ini didominasi oleh lahan pertanian dan ladang. Wilayah ini terbilang masih asri, karena masih banyak hutan- hutan kecil yang masih dijaga untuk melestarikan Danau Toba. Arah permukiman

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA sangat jelas mengarah ke tengah jalan utama. Banyak rumah-rumah baru bermunculan di tepi jalan utama karena berpenghasilan sebagai pedagang. Sedangkan di tepi air, selain berinvestasi dengan pertanian dan ladang, masyarakat juga memfasilitasi turis dengan penginapan dan objek wisata bahari.

Keterangan gambar

Pohon JalanLingkungan

RumahAdat

Rumah non-adat JalanArteri

Gambar 5.17 Pola permukiman dan kepadatan penduduk segmen 1 Sumber: Dokumentasi pribadi

Penduduk yang tinggal pada segmen dua terlihat cukup padat, menurut Buku

Data dan Angka Kecamatan Pangururan, wilayah ini memiliki kepadatan penduduk yang mencapai 462,32 jiwa/km2. Pengaruh banyaknya masyarakat yang tinggal pada segmen ini dikarenakan lokasinya cukup dekat dengan Ibu Kota Kecamatan, yaitu

Kelurahan Pasar Pangururan. Meskipun terlihat padat, namun daerah disekitar tepi air dan perbukitan masih didominasi oleh lahan pertanian masyarakat. Selain sebagai mata pencaharian utama, desa-desa yang terletak di segmen dua ini memiliki kesempatan untuk mengolah sawah dan kebun untuk menjadi lokasi wisata (gambar

5.18). Pertumbuhannya diawali dari sebuah kampung yang kemudian berkembang menjadi desa-desa. Kemudian pertumbuhannya melebar ke arah tepi jalan utama.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Sedangkan lokasi kampung yang berdiri sebelum melebar ke tepi jalan utama, terletak cukup jarang dan lebih didominasi oleh lahan pertanian dan ladang milik warga.

Keterangan gambar

Pohon JalanLingkungan

RumahAdat

Rumah non-adat

JalanArteri Gambar 5.18 Pola permukiman dan kepadatan penduduk segmen 2 Sumber: Dokumentasi pribadi

Jika dilihat pada segmen ketiga, semakin dekat dengan Ibu Kota Kecamatan, maka kepadatan penduduk semakin tinggi. Pola permukiman terlihat tidak merata perkembangannya (gambar 5.19). Pada daerah kelurahan, permukiman cenderung dipenuhi dengan rumah tinggal dan berorientasi terhadap jalur utama. Sedangkan pada wilayah desa, masih didominasi oleh hutan dan lahan pertanian penduduk. Karena pada segmen ini terdapat pusat kota yaitu Kelurahan Pasar Pangururan, maka kelurahan ini menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan Kecamatan Pangururan.

Sedangkan pada tepi air, masyarakat berupaya menarik minat pengunjung untuk menikmati kondisi alam melalui taman dan wisata air. Pertumbuhan permukiman diawali dari sebuah keberadaan kampung yang tersebar hampir diseluruh desa di

Kecamatan Pangururan. Tidak terkecuali pada wilayah segmen tiga. Kampung- kampung tersebut terletak pada wilayah yang sedikit jauh dari kota. Hal ini disebabkan karena penduduk yang tinggal di perkampungan masih bermata pencaharian sebagai seorang petani ataupun peternak. Setelah menjadi pusat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pemerintahan, masyarakat mencoba untuk mendirikan rumah-rumah yang terletak di kota dengan meninggalkan arsitektur rumah adat. Perkembangannya memberikan bentuk nyata bahwa di pusat kota, mayoritas penduduk berprofesi sebagai pedagang ataupun penyedia jasa. Pertumbuhan yang pesat menjadikan wilayah di pusat kota memiliki nilai jual tanah yang mahal.

Keterangan gambar

Pohon JalanLingkungan

RumahAdat

Rumah non-adat

JalanArteri

Gambar 5.19 Pola permukiman dan kepadatan penduduk segmen 3 Sumber: Dokumentasi pribadi

5.2.4 Faktor Penyebaran Kampung pada Desa dalam Pertumbuhan

Permukiman

A. Desa Sialanguan

Desa Sialanguan merupakan salah satu desa pada segmen 1, desa ini terletak paling utara sehingga berbatasan langsung dengan Kecamatan Simanindo (gambar

5.20). Dengan luas desa yang mencapai 2,00km2, penduduk sekitar memiliki mata

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pencaharian sebagai peternak dan berkebun. Salah satu kampung yang merupakan awal pertumbuhan permukiman adalah Kampung Situngkir. Kampung ini didirikan oleh kepala kampung atas sistem kekerabatan. Sehingga rumah-rumah yang didirikan saling berhadapan dan memberikan jarak yang dapat digunakan untuk bersosialisasi.

Seiring berjalannya waktu, muncul kampung-kampung lainnya di sekitar Desa

Sialanguan dengan kepala kampung yang berbeda-beda.

Melalui kepercayaan terhadap leluhur dan matahari, penghuni permukiman di

Desa Sialanguan berupaya sebisa mungkin mendirikan permukiman yang berorientasi kepada kepercayaan tersebut. Mereka berpikir bahwa dengan permukiman yang tidak berorientasi dengan matahari akan memberi dampak buruk dalam kehidupan.

Pemikiran penghuni desa memiliki dampak terhadap susunan rumah-rumah baik di tepi danau ataupun di pinggir jalan memiliki orientasi yang searah dan saling berhadapan. Konsep lokal wisdom dalam pertumbuhan permukiman ini juga diaplikasikan terhadap permukiman baru yang berada di tepi jalan utama, namun tidak merata.

Huta Aritonang Kampung Hutasoit Huta Simarmata

Huta Baringbing

Kampung Hutauruk

Huta Butar-butar

Gambar 5.20 Desa Sialanguan 89 Sumber: Dokumentasi pribadi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA B. Desa Parlondut

Desa Parlondut terletak pada segmen dua dengan luas hanya sekitar 0,5km2 ini merupakan salah satu desa di Kecamatan Pangururan yang terdiri atas beberapa kampung yang berasal dari berbagai marga (gambar 5.21). Dalam kesehariannya, masyarakat di Desa Parlondut bekerja sebagai petani dan peternak di wilayah tempat tinggalnya. Hubungan masyarakat melalui pertalian darah akan menjadi penyebab munculnya kampung baru pada Desa Parlondut. Kampung yang muncul tersebut tanpa perencana, artinya hanya kepala kampung atau tokoh adat yang pertama kali mendirikan kampung tersebut. Penyebaran kampung-kampung sebagai awal mula suatu permukiman berlangsung secara incremental.

Karena kesibukannya sebagai seorang petani dan peternak, umumnya penduduk di Desa Parlondut meninggalkan rumah dalam keadaan kosong untuk berkebun ataupun mengelola ternak. Sedangkan anggota keluarga lainnya melakukan aktivitasnya masing-masing di luar rumah. Salah satu kampung di Desa Parlondut di

Kampung Buhit biasanya menggunakan halaman di depan rumah sebagai tempat untuk bersosialisasi. Area terbuka tersebut juga sering dimanfaatkan sebagai tempat melakukan upacara adat pada waktu tertentu. Daerah sawah yang berada di desa ini cukup luas, penyebarannya tergantung kepada pemilik tanah yang merupakan warisan dari leluhur dan biasanya berdekatan dengan permukiman dari keluarga.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Kampung Siadari

Kampung Siambaton Kampung Sianturi Kampung Sianipar Kampung Sibarani

Kampung Silaen Kampung Buhit Kampung Sijabat

Gambar 5.21 Desa Parlondut Sumber: Dokumentasi pribadi

C. Kelurahan Pintu Sona

Pada segmen tiga terdapat Kelurahan Pintu Sona yang merupakan salah satu wilayah terluas di tepi air pada Kecamatan Pangururan, yakni memiliki luas sekitar

2,80km2 (gambar 5.22). Masyarakat yang tinggal di kelurahan ini memiliki mata pencaharian bertani, berkebun dan berternak. Kegiatan tersebut dilakukan di sekitar tempat tinggalnya.

Kampung-kampung yang terbentuk merupakan hasil merantau dari salah satu penghuni kampung. Setelah itu, perantauan tersebut mengajak kerabatnya untuk mendirikan kampung baru secara gotong royong. Para pendiri kampung percaya akan manfaat dari ruang terbuka yang teletak di antara rumah yang saling berhadapan dapat digunakan sebagai kegiatan bersosialisasi serta kegiatan budaya. Wilayah ini sudah mencapai bentuk kelurahan karena terdapat fasilitas-fasilitas yang memadai untuk menunjang permukiman. Meskipun fasilitas umum di Kelurahan Pintu Sona

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA memiliki jarak yang cukup jauh jika di akses dari Desa Rianiate, fasilitas umum tersebut sudah mempermudah desa-desa lain sehingga mengacu pada Peraturan

Pemerintah RI Tahun 2016, dalam memudahkan masyarakat menjangkau fasilitas.

Kampung Tonga-tonga Kampung Pangarobuan Kampung Parapat Kampung Batugordong Kampung Pardede Kampung Pardosi Kampung Parhusip Kampung Pintubatu

Gambar 5.22 Kelurahan Pintu Sona Sumber: Dokumentasi pribadi

5.3. Peraturan Pembangunan Permukiman di Tepi Air

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016, untuk membangun kawasan permukiman, harus terletak pada kawasan lingkungan hidup. Sebagian kawasan di tepi air merupakan kawasan lindung, sehingga dalam pemanfaatanya, tidak dibenarkan untuk membangun permukiman (gambar 5.23).

Proses membangun permukiman pada kawasan lingkungan hidup memerlukan sarana dan prasarana serta utilitas sebagai peran penting untuk menunjang kehidupan manusia. Perencanaan lingkungan hunian sebagai tempat bermukim tentunya dilakukan dengan merusak sebagian keadaan fisik alam. Untuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menghindari hal tersebut maka pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 14 Tahun 2016 mengenai pembangunan permukiman khususnya di tepi air agar pembangunan tidak mengganggu alam. Selain itu, permukiman di tepi air juga mencegah terjadinya penyimpangan yang biasa dilakukan masyarakat dalam membentuk permukiman informal.

Gambar 5.23 Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sumber: http://appgis.menlhk.go.id/appgis/PIAPS/PIAPS-0618.pdf

Untuk menghasilkan permukiman yang sesuai dengan arahan dari pemerintah, perlu diadakan penelitian terlebih dahulu dengan memperhatikan aspek- aspek penghidupan agar memberikan pengalaman hidup dan menciptakan permukiman formal yang layak. Pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 41/PRT/M/2007 tertulis bahwa perencanaan kawasan permukiman perlu memperhatikan aspek-aspek lokasi dan kesesuaian lahan. Topografi datar dengan kelerengan lahan 0-25% adalah yang terbaik untuk mendirikan permukiman. Kebutuhan seperti sumber air juga harus mencukupi, baik sumber air tanah ataupun pengelola. Kawasan juga perlu diperhatikan agar tidak berada pada wilayah yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA rawan akan bencana, berada pada sempadan air, daerah rel kereta api, daerah aman penerbangan dan kawasan lindung. Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2014,

Kawasan rawan bencana yang dimaksud merupakan wilayah yang memiliki kondisi geologi yang tanggap dan dapat mengurangi, mencegah, meredam, mencapai kesiapan, terhadap dampak buruk bahaya tertentu.

Arahan pengembangan kawasan permukiman di tepi air diatur dalam Peraturan

Pemerintah RI Nomor 14 Tahun 2016. Hubungan antar kawasan harus bersifat fungsional agar mudah dijangkau oleh masyarakat, sehingga dibentuk jalan arteri yang berstatus sebagai jalan nasional dan jalan-jalan lingkungan. Perkembangan permukiman di daerah kota lebih pesat dibandingkan dengan perdesaan. Akan tetapi penduduk yang tinggal di perdesaan memiliki keseimbangan penggunaan fasilitas umum yang terdapat di kelurahan.

Keterangan gambar Jalan Arteri

Jalan Lingkungan

Kelurahan/Pusat Kota

Gambar 5.24 Fasilitas jalan untuk mencapai pusat kota Sumber: Dokumentasi pribadi

Sebagian besar permukiman di tepi air merupakan permukiman yang bersifat informal dan tumbuh karena masalah ekonomi masyarakat yang tidak mampu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA bersaing untuk dapat tinggal pada kawasan permukiman yang sesuai dengan arahan pemerintah. Tetapi pada wilayah tertentu, permukiman yang tumbuh secara incremental di tepi air merupakan asal mula permukiman di suatu wilayah berkembang. Marpaung (2017) menjelaskan bahwa pola pertumbuhan organik dapat menjadi permukiman formal dan terencana. Melalui kesepakatan antara pemerintah, perencana, dan masyarakat pemilik tanah, tidak menutup kemungkinan bahwa permukiman di tepi air dapat diarahkan pemerintah untuk menjadi kawasan permukiman yang berkembang mengikuti peraturan-peraturan pemerintah.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 5.25 Konsep Perkembangan permukiman incremental Sumber: Dokumentasi pribadi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 5.3.1 Regulasi Pembangunan Permukiman Tepi Air di Indonesia

Permukiman tepi air sangat erat kaitannya dengan wilayah pantai yang harus dilindungi dan dilestarikan sebagai bentuk tanggapan pemerintah terhadap kawasan lindung atau kondisi fisik alam. Pada Keputusan Presiden RI Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, menetapkan agar garis sempadan pantai mininum 100m yang diukur dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Sempadan pantai hanya digunakan sebagai ruang terbuka agar pengunjung bisa melihat langsung lepas pantai dan dapat dikembangkan menjadi kawasan sektor wisata untuk kepentingan menikmati keindahan alam. Akan tetapi dalam pembangunannya, harus menggunakan bangunan fisik yang tidak bersifat permanen dan tidak mengganggu jarak pandang ke lepas pantai.

100m

Gambar 5.26 Garis sempadan pantai 100m di Desa Sialanguan Sumber: Dokumentasi pribadi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Sedangkan untuk menata permukiman di kawasan tepi air, pemerintah melalui

Menteri Pekerjaan Umum Ditjen Cipta Karya membagi jarak garis tepi pantai berdasarkan kemiringan tepi air. Tepi air dengan kemiringan 0°-15° memiliki garis sempadan pantai 20 meter diukur dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Untuk tepi air dengan kemiringan mencapai 15°-40° minimum memiliki garis pantai 35 meter yang diukur dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Sedangkan garis sempadan minimum 100 meter diterapkan pada tepi air yang curam dengan kemiringan mencapai

40°. Pembagian garis sempadan pada tepi air diharapkan dapat menghindari bangunan dari kondisi yang berbahaya dan menjaga kelestarian alam.

Tabel 5.2 Garis sempadan menurut Ditjen Cipta Karya (2000)

No. Kemiringan tepi air Sempadan pantai 1. 0°-15° 20 meter 2. 15°-40° 35 meter 3. ≥40°. 100 meter

Kehidupan sehari-hari pada permukiman di tepi air tidak terlepas dari akses yang menghubungkan jalan utama dengan tepi pantai. Sehingga dalam penataannya,

Ditjen Cipta Karya (2000) juga memperhatikan akses jalur kendaraan atau jalur utama yang harus terletak di batas terluar dari sempadan tepi air. Kemudian jalur utama tersebut boleh dibuat jalan-jalan kecil berupa jalan sekunder atau tersier yang menghubungkan jalur utama dengan tepi air dengan jarak minimum 300 meter. Jalan- jalan kecil yang menjadi jalan sekunder ataupun tersier tidak diperbolehkan sebagai tempat parkir khususnya kendaraan roda empat. Untuk menunjang kegiatan tepi air, pedestrian di sepanjang tepi air juga memiliki lebar minimum 3 meter. Akses

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA yang tertata rapi akan memberikan kemudahan dalam mencapai suatu lokasi di tepi air dan memperluas jarak pandang terhadap alam.

300 m

Gambar 5.27 Batas akses jalan sekunder di Desa Sialanguan Sumber: Dokumentasi pribadi

Tata guna lahan untuk mendirikan suatu bangunan di tepi air menurut Ditjen

Cipta Karya (2000) perlu dibagi menjadi lahan yang bergantung dengan adanya air

(water-dependent uses), lahan yang bergantung dengan adanya (water-related uses) dan lahan yang tidak bergantung dengan air (independent and unrelated to water uses).

Sedangkan kawasan lingkungan hidup yang dapat didirikan untuk pengembangan area publik, kemiringan lahan dianjurkan 0-15%. Jika lebih dari 15% maka diperlukan penanganan tambahan. Selain itu jarak antar fasilitas umum maksimum 2 km.

Selain memperhatikan tata guna lahan, bangunan yang akan didirikan pada kawasan tepi air menurut Ditjen Cipta Karya (2000) harus memperhatikan kepadatan bangunan di kawasan tepi air yakni maksimum 25%. Bangunan-bangunan yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA didirikan juga tidak boleh lebih dari 15 meter yang dihitung dari permukaan tanah agar tidak mengganggu kondisi fisik alam. Pemanfaatan arah dan orientasi bangunan juga disesuaikan dengan posisi matahari dan arah angin. Selain hal tersebut juga terdapat batasan fungsi dalam mendirikan bangunan. Pada kawasan tepi air, bangunan yang dapat didirikan hanya berupa tempat ibadah, bangunan penjaga pantai, bangunan fasilitas umum, serta bangunan tanpa dinding dengan luas maksimum 50 m2/unit.

Sedangkan 75% dari ruang terbuka dapat dimanfaatkan sebagai taman, ruang rekreasi, tempat duduk dan sarana olahraga, ataupun fasilitas umum yang sejenis.

25%

Gambar 5.28 Ilustrasi kepadatan bangunan Sumber: Dokumentasi pribadi

5.3.2 Regulasi Pembangunan Permukiman Pada Area Tepi Air di Pangururan

Kabupaten Samosir

Regulasi-regulasi yang digunakan pada area tepi air di Pangururan Kabupaten

Samosir pada umumnya merupakan bagian dari kebijakan-kebijakan yang digunakan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pada wilayah nasional. Turunan dari regulasi tersebut kemudian ditinjau bersamaan dengan peraturan-peraturan mengenai pelestarian terhadap kawasan Danau Toba.

Melalui Peraturan Presiden RI Nomor 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata

Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya, pemerintah berupaya menata kawasan

Danau Toba agar dapat mewujudkan Air Kehidupan (Aek Natio) masyarakat melalui pelestarian ekosistem Danau Toba dan pelestarian kawasan kampung adat Batak.

Program ini diawali dengan membuat ruang-ruang terbuka di tepi danau dengan fasilitas yang tidak merusak kondisi alam. Disamping itu, pelestarian melalui pembersihan danau juga dilakukan dengan pengalihan limbah masyarakat dan pengelolaan mata pencaharian agar terkendali dan menjadi kawasan pariwisata berskala internasional.

Untuk menata kawasan Danau Toba, pemerintah berupaya melindungi lingkungan melalui peraturan yang tertulis pada Peraturan Presiden RI Nomor 81

Tahun 2014 mengenai sempadan danau dengan jarak 50 meter sampai 100 meter dari titik pasang air danau tertinggi. Selain karena alasan estetika, daerah sempadan di sepanjang tepian danau dijadikan sebagai batas dalam membangun permukiman agar terhindar dari bencana yang timbul karena kerusakan alam.

50-100 meter Gambar 5.29 Jarak sempadan menurut Perpres RI Nomor 81 Tahun 2014 101 Sumber: Dokumentasi pribadi UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Arah perkembangan permukiman pada area tepi air di Pangururan memiliki peraturan yang mengacu pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 14 Tahun 2016, yang memudahkan masyarakat dalam menjangkau fasilitas dengan membuat hubungan antar kawasan fungsional. Permukiman yang tersebar di Kecamatan Pangururan terdiri atas hunian perkotaan dan hunian pedesaan, sehingga butuh adanya integrasi antar keterkaitan lingkungan. Untuk mengendalikan dalam perencanaan dan pengembangan daerah kawasan Danau Toba, pemerintah juga memberi kesempatan kepada masyarakat melalui badan atau lembaga yang turut melestarikan kawasan kampung masyarakat adat Batak dan kawasan lainnya agar menjadi wisata budaya dan wisata alam yang beranekaragam.

5.4. Penerapan Regulasi Pembangunan Permukiman pada Area Tepi Air di

Pangururan Kabupaten Samosir

Pada Perda Nomor 3 Kabupaten Samosir Tahun 2011 tentang RPJPD

Kabupaten Samosir, tahun 2019 sudah memasuki tahapan Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Daerah ke 3, yakni dari tahun 2016 hingga 2020. Pelaksanaannya merupakan lanjutan dari RPJMD I dan RPJMD II dalam mempercepat pembangunan daerah secara menyeluruh di berbagai bidang pemerintahan. Pembangunan dikelola dengan potensi-potensi yang didasarkan pada nilai-nilai agama, moral, dan kearifan lokal secara berkelanjutan. Tahap RPJMD diproyeksikan menjadi 5 prioritas: (1)

Reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan; (2) Pembangunan pendidikan dan kesehatan; (3) Pembangunan industri pariwisata yang berbasis lingkungan; (4)

Pengembangan ekonomi kerakyatan; (5) Pembangunan infrastruktur.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pada tahap III RPJMD, pembangunan permukiman berfokus pada pembangunan infrastruktur yang memprioritaskan pengembangan jaringan infrastruktur transportasi, jaringan irigasi, penyediaan air bersih dan sanitasi serta pembangunan ruang terbuka hijau dan taman-taman khususnya di tepi air. Kecamatan

Pangururan sebagai salah satu pintu masuk menuju Pulau Samosir telah membebaskan lahan dan akan direncanakan menjadi taman yang berbasis kecamatan di Kelurahan

Pasar Pangururan. Sehingga pada tahap IV RPJMD mendatang yang diproyeksikan dari tahun 2021-2025, pembangunan infrastruktur dalam pembangunan permukiman akan memprioritakan aksesibilitas ke dan dari Kabupaten Samosir, sentra produksi, dan wilayah permukiman yang lebih baik.

Dalam penataan permukiman, pemerintah melalui Pasal 9 ayat 2 pada

Peraturan Presiden RI Nomor 81 Tahun 2014 juga menetapkan permukiman yang berada pada kawasan Danau Toba dengan sistem permukiman yang terpusat.

Pemerintah berharap dengan diterapkannya sistem permukiman terpusat, masyarakat mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendorong kawasan tepi air berpotensi meningkatkan ekonomi melalui sektor pariwisata dan budi daya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Kepadatan permukiman menengah, karena kemiringan lahan yang sesuai sebagai tempat tinggal yakni di bawah 25% (Permen PU 41/PRT/M/2007).

Kepadatan permukiman tertinggi, karena terdapat Kelurahan Pasar Pangururan sebagai ibu kota kecamatan dan menjadi pusat pemerintahan.

Kepadatan permukiman terendah, karena kondisi kemiringan lahan di atas 25%

Gambar 5.30 Sistem pemukiman terpusat Sumber: Dokumentasi pribadi

Masyarakat di Kecamatan Pangururan masih memiliki pandangan Padme

Jumah (kaki ladang), sehingga tata letak bangunan dan kepemilikkan tanah sulit dikendalikan oleh pemerintah (gambar 5.31). Akan tetapi berdasarkan pembagian kawasan lindung oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2018),

Kecamatan Pangururan terletak pada areal penggunaan lain, artinya pemerintah daerah memiliki wewenang untuk pembagian tata ruang. Tatanan penggunaan tanah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dan lanskap dapat terwujud apabila status kepemilikkan tanah pada setiap wilayah di masyarakat jelas. Keberadaan kepercayaan terhadap kaki ladang tidak dapat disingkirkan begitu saja. Pemerintah wajib melakukan pendekatan dengan memanfaatkan kaki ladang sebagai ruang komunal yang dapat dinikmati seluruh masyarakat.

Gambar 5.31 Tata letak bangunan dan ruang terbuka yang tidak terkendali Terkait fasilitas umum, KecamatanSumber: Dokumentasi Pangururan yangpribadi menggunakan sistem permukiman terpusat cukup efisien. Dengan keberadaan fasilitas utama yang terletak di tengah dan didukung oleh jalan utama yang berstatus jalan nasional, seluruh desa dapat dengan mudah mengaksesnya. Fasilitas pendidikan dan kesehatan untuk melayani penduduk terletak pada Kelurahan Pintu Sona, sedangkan fasilitas keamanan terletak pada Kelurahan Pasar Pangururan (gambar 5.32).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Polres Samosir

Keterangan gambar RSUD Dr. Hadrianus Jalan Arteri SMAN 1 Pangururan

Jalan Lingkungan

Kelurahan/Pusat Kota

Gambar 5.32 Fasilitas Umum pada Kecamatan Pangururan Sumber: Dokumentasi pribadi

Jika diperhatikan, penerapan peraturan pada sempadan danau tidak begitu ketat. Karena pemerintah hanya mengikuti aturan dari Peraturan RI Nomor 81 Tahun

2014 dengan jarak 50-100 meter diukur dari garis tertinggi air ke daratan. Jika ditelusuri sepanjang pesisir tepi danau di Kecamatan Pangururan sudah mengikuti aturan, keadaan ini bukan berarti penduduk mengetahui aturan tertulis tersebut secara jelas, melainkan ketika mendirikan permukiman, penduduk berpangku pada kepercayaan terhadap filosofi leluhur yakni Soripada Habonaran, Pansur Hangoluan

(Bumi terawat, Air kehidupan), yang mengajarkan agar tidak merusak lingkungan.

Pada beberapa wilayah, seperti desa Situngkir, sempadan danau tidak diperhatikan ketika mendirikan permukiman (gambar 5.33).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

50-100 meter

Gambar 5.33 Bangunan yang terletak pada garis sempadan Sumber: Dokumentasi pribadi

Perihal tata guna lahan untuk pengembangan area publik, Kecamatan

Pangururan yang terletak di tepi air memiliki potensi terbaik, karena disepanjang tepi air kemiringan lahan paling tinggi mencapai 25% (gambar 5.34). Sebagaimana tertulis pada Ditjen Cipta Karya (2000), kemiringan yang dianjurkan tidak lebih dari 15%, jika lebih dari 15% perlu penanganan khusus seperti teknik penggalian dan penimbunan tanah, atau dengan struktur tertentu yang dapat menunjang konstruksi bangunan.

Sedangkan untuk ketersediaan fasilitas umum belum cukup merata, karena dengan sistem permukiman terpusat, segala fasilitas berada pada satu wilayah dan belum dikembangkan ke masing-masing desa. Jika dikaitkan Peraturan PU Ditjen Cipta

Karya (2000), bangunan antar fasilitas umum sebaiknya berjarak 2 km.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 5.34 Tata bangunan di tepi air terhadap bentuk topografi Sumber: Dokumentasi pribadi

Untuk membuat akses jalur kendaraan atau jalan utama, harus berada pada batas terluar dari sempadan tepi air. Hal ini tertulis pada Ditjen Cipta Karya (2000), dimaksudkan agar pengguna jalan tetap merasa aman dan terhindar dari bahaya seperti longsor. Sedangkan jarak akses sekunder atau tersier minimal sejauh 300 meter dihitung dari titik air tertinggi ke daratan, sedangkan pada Desa Sialanguan hanya memiliki jarak 100 meter (gambar 5.35). Jaringan jalan tersebut tidak boleh digunakan untuk parkir kendaraan roda empat, sedangkan jalan pedestrian di sepanjang tepi air minimum 3 meter.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

100 meter

Jalan Lingkungan

Gambar 5.35 Jarak akses sekunder ke tepi air Sumber: Dokumentasi pribadi Kepadatan permukiman di tepi air juga berbeda-beda pada setiap desa. Terlihat pada Desa Situngkir, kepadatan permukiman melebihi 25% sesuai dengan Ditjen Cipta

Karya (2000) (gambar 5.36). Sedangkan untuk tinggi bangunan pada tepi air secara turun-temurun masih mengikuti aturan pemerintah tanpa disengaja. Karena ketinggian pada bangunan tradisional pada perkampungan tercatat sekitar 8- 12 meter.

Gambar 5.36 Tata guna lahan untuk bangunan yang lebih dari 25% Sumber: Dokumentasi pribadi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pemanfaatan lahan kosong di tepi air pada Kelurahan Pasar Pangururan cenderung dimanfaatkan untuk ruang terbuka seperti taman, wisata air, ataupun tempat menikmati keindahan alam dan kegiatan berfoto (gambar 5.37).

Gambar 5.37 Pemanfaatan tepi air untuk ruang terbuka Sumber: Dokumentasi pribadi

Merujuk pada Peraturan Presiden RI Nomor 81 Tahun 2014, Kecamatan

Pangururan menjadi wilayah kawasan sekitar danau yang harus dijaga pelestariannya agar dapat menjadi kawasan Nasional di Indonesia dan menjadi Pariwisata Unggulan.

Strategi pelestarian dapat didasarkan pada peraturan daerah atau filosofi Soripada

Habonaran, Pansur Hangoluan (Bumi terawat, Air kehidupan). Dalam filosofi ini, leluhur kembali mengingatkan kepada generasi penerus akan pentingnya menjaga bumi dan air sebagai ciptaan Tuhan. Pelestarian dilakukan dengan menjaga kebersihan danau (melalui limbah dan mata pencaharian) dan mendirikan bangunan yang tidak merusak alam di tepi danau. Sehingga dalam penerapannya perlu adanya tambahan regulasi pada permukiman tepi air di Kecamatan Pangururan terkait pelestarian danau.

Adanya edukasi terhadap sumber daya manusia tentang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pandangan terhadap pelestarian danau juga menjadi kunci penting. Gien dan Law

(2010) mengemukakan bahwa gaya hidup masyarakat yang terlihat dari status, posisi, kekuatan, dan kemampuan mempengaruhi kehidupan sehari-hari yang berdampak pada lingkungan bermukim.

5.5. Potensi Area Tepi Air Pangururan dalam Mendukung Regulasi

Pembangunan Permukiman

Perkembangan permukiman di tepi air Pangururan tidak terlepas dari pengembangan kawasan yang diharapkan dapat menjadi salah satu kawasan strategis nasional di Indonesia, seperti yang tertera pada Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun

2008, tentang RTRW Nasional. Pemerintah bermaksud menetapkan Kawasan Danau

Toba sebagai salah satu Kawasan Strategis Nasional sehingga pemerintah akan menjamin pelestarian Kawasan Danau Toba. Hal tersebut berdampak positif terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat khususnya dalam pembangunan permukiman pada area tepi air. Pemerintah berupaya memberikan infrasturktur dan fasilitas-fasilitas dalam pembangunan permukiman agar lebih mudah dan teratur sehingga dapat mengusung perencanaan pembangunan yang telah ditetapkan selama 20 tahun, tepatnya hingga tahun 2025 mendatang. Pembangunan Kawasan Ekowisata di

Kecamatan Pangururan juga menjadi momentum berkembangnya sektor pariwisata.

Salah satu perencanaan yang sedang berlangsung adalah Kanal Tano Ponggol yang terletak di Kelurahan Pasar Pangururan (gambar 5.38). Selaras dengan

Permendbudpar, Nomor 3/UM.001/MKP/2008 tentang Penetapan Pariwisata

Unggulan, Danau Toba ditetapkan menjadi tujuan Wisata Nasional sehingga dalam pengembangannya selalu diperhatikan oleh pemerintah. Dengan menjadi salah satu

Kawasan Agropolitan Dataran Tinggi Bukit Barisan di Provinsi Sumatera Utara,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kabupaten Samosir merupakan salah satu kabupaten yang berpotensi dalam pengembangan wisata alam.

Gambar 5.38 Pemanfaatan tepi air untuk ruang terbuka Sumber: Dokumentasi pribadi Terdapat kelembagaan yang menangani kerjasama pelestarian dan pengembangan Kawasan Daerah Tangkapan Air Danau Toba, seperti LTEMP dan

LTRM yang memberikan harapan bagi masyarakat untuk menjadi permukiman yang lebih baik dan bersahabat dengan alam. Selain itu, masyarakat yang bertempat tinggal di luar Kecamatan Pangururan juga menjadi perhatian, karena dapat memberikan harapan terbaik sebagai anak rantau untuk pembangunan Kecamatan Pangururan.

Berdasarkan bentuk permukiman pada tepi air, pola mengelompok yang terdiri atas sub kelompok komunitas membentuk compact settlements (Taylor 1980).

Permukiman yang tumbuh secara incremental di tepi danau akan cenderung membentuk kelompok pola mengelompok, sedangkan pada tepi jalan cenderung pola clustered. Bentuk pola permukiman tersebut juga dapat ditemui pada tepi air

Kecamatan Pangururan (gambar 5.39).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 5.39 Pola permukiman mengelompok dan clustered di Desa Sialanguan Sumber: Dokumentasi pribadi

Perkembangan permukiman di tepi air bermula dari sekelompok etnis yang menetap dan berkembang secara alami dari generasi ke generasi seperti halnya dikatakan oleh Suprijanto (2002). Pertumbuhan permukiman seperti ini menghasilkan permukiman adat. Dalam mengembangkan permukiman adat, perlu adanya pemberdayaan sumber daya manusia agar dapat mengikuti regulasi dan berubah menjadi permukiman terencana. Menambahkan peraturan daerah tepi air berupa bangunan adat yang telah dan atau dibangun harus mengikuti peraturan permukiman tepi air yang berlaku. Jika terdapat penyimpangan maka diwajibkan mengubah fungsi bangunan menjadi fasilitas umum, sehingga dapat menguntungkan bagi individu dan pemerintah.

Rumah tradisional yang dibangun memiliki cara dan teknik konstruksi yang sama dari beberapa generasi (Machmud, 2006). Sehingga permukiman tradisional menjadi aset suatu wilayah karena memberikan identitas lingkungan, jiwa, dan ciri khas dari sosial budaya dan kegiatan ekonomi. Keberadaan corak khas Batak atau

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA yang dikenal sebagai Gorga membuat keberadaan jiwa dari tanah Batak muncul.

Sebaiknya dalam pertumbuhan permukiman, meskipun tidak dapat mendirikan rumah tradisional secara utuh, keberadaan gorga wajib dipertahankan. Kesenian ini juga dapat dikembangkan pada wilayah tertentu yang menjadi ciri khas dari suatu wilayah.

Menurut Putro dan Nurhamsyah (2010), keberadaan suatu wilayah dapat dengan mudah dikenali secara fisik.

Penataan kawasan Danau Toba tertulis pada Rencana Tata Ruang Kawasan

Danau Toba pada Peraturan Presiden RI Nomor 81 Tahun 2014 yang berupaya mewujudkan ekosistem dan lingkungan kawasan kampung berbasis adat. Kampung- kampung yang dilestarikan tersebut berpotensi untuk dijadikan objek wisata karena memiliki ciri dan khas tertentu, baik dalam seni maupun konstruksinya. Melalui Perda

Nomor 3 Kabupaten Samosir Tahun 2011, pemerintah berupaya memberdayakan masyarakat melalui edukasi di sekolah ataupun penyuluhan guna menciptakan rasa aman, nyaman dan damai sebagai wujud perlindungan terhadap masyarakat dan wisatawan. Peran ini mendukung terciptanya kawasan lingkungan dan mweujudkan perkampungan wisata.

Kearifan lokal menjadi menjadi salah satu acuan dalam menyusun rencana pembangunan jangka panjang di Kecamatan Pangururan. Berdasarkan Peraturan

Daerah Nomor 3 Kabupaten Samosir Tahun 2011, terdapat filosofi-filosofi yang dapat diangkat menjadi pedoman untuk mewujudkan pembangunan permukiman yang lebih baik, sehingga pemerintah dan masyarakat lebih mudah untuk menyepakati regulasi- regulasi yang ada. Filosofi sebagai kearifan lokal yang diperoleh merupakan filosofi dari luhur nenek moyang suku Batak, seperti: (1) Argado bona ni pinasa, memiliki makna tentang nilai dan arti penting tanah leluhur

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA etnis Batak, sehingga dimanapun masyarakat Batak berada, tetap selalu cinta kepada tanah leluhurnya; filosofi ini diperkuat oleh (2) Anakhon hi do hamoraon di ahu, bermakna setiap orang tua selalu mendahulukan kebutuhan pendidikan yang lebih tinggi terhadap keturunannya dari pada kebutuhan lainnya, sehingga masyarakat Batak percaya akan anak rantau yang akan memberikan pembangunan kampung halaman yang lebih baik. Sehingga pada filosofi pertama, dapat dibentuk suatu regulasi yang membagi tata guna ruang menjadi lebih jelas lagi di setiap kecamatan. Tata ruang tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu daerah kearifan lokal, daerah wisata, dan daerah pengelolaan sumber daya alam. Pembagian harus didukung dengan hubungan yang saling menguntungkan antar masyarakat dan pemerintah, seperti meringankan pajak bagi yang menaati aturam, dan meningkatkan pajak bagi yang menyimpang. Filosofi kedua mendukung regulasi pemberdayaan masyarakat yang ada pada Perda Kabupaten

Samosir Nomor 3 Tahun 2011 melalui jaminan pekerjaan di lembaga pemerintah jika warga masyarakat yang merantau untuk menempuh pendidikan kembali dengan prestasi. Sedangkan (3) Dalihan natolu pa opat Sihal- sihal yang berarti sistem kemasyarakatan etnis Batak telah terbukti dapat memelihara keharmonisan hubungan internal dan eksternal masyarakat Batak dalam waktu yang sangat lama. Dalam kaidahnya terdapat 3 (tiga) pemangku kepentingan internal, yaitu Hula-hula, Dongan

Tubu, dan Boru, sedangkan Sihal-sihal merupakan pemangku kepentingan eksternal.

Secara sederhana, filosofi ini mengatur bahwa seseorang harus menghormati hula- hulanya (somba marhula-hula), hati-hati dan perhatian terhadap dongan tubu (manat mardongan tubu), sabar dan penuh pengertian terhadap boru (elek marboru), serta bersikap ramah dan perduli terhadap kerabat ataupun pendatang (sihal-sihal). Sistem kekerabatan masyarakat Batak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA sejalan dengan penyelenggaraan Good Governance dan dianggap paling demokratis dalam menerapkan sistem demokrasi. Selain itu dengan adanya filosofi pertalian darah, maka untuk membangun permukiman baru, harus disesuaikan dengan Peraturan

Pemerintah RI Nomor 14 Tahun 2016. Filosofi ini dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga bisa diselipkan pada kurikulum pelajaran di daerah. Selain itu menyisipkan pengetahuan tentang menghargai tamu juga dapat menciptakan suasana ramah dan sopan di kawasan wisata pada umumnya; Pada filosofi (4) Mula jadi

Nabolon, mengandung makna bahwa semua masyarakat Samosir dimanapun berada selalu taat dan berpengharapan kepada sang pencipta Tuhan Yang Maha Esa;

Kemudian filosofi ini diperkuat dengan (5) Soripada Habonaran, Pansur Hangoluan

(Bumi terawat, Air kehidupan), merupakan amanat dari nenek moyang etnis Batak, bahwa setiap orang wajib memelihara bumi dengan baik dan benar agar memperoleh air dan kehidupan yang layak di bumi dan akhirat. Sesuai dengan pengertian pada filosofi keempat, maka dapat dibentuk regulasi mengenai rumah ibadah yang mengharuskan berjarak 500m hingga 1km. Dengan bertambahnya jumlah rumah ibadah, masyarakat akan terdorong untuk lebih dekat kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Disisi lain pada filosofi kelima secara tidak langsung mendukung regulasi-regulasi yang berlaku di tepi air dalam upaya perlindungan dan pelestarian terhadap lingkungan tempat tinggal dan kawasan lindung. Dalam hal ini, jika terjadi sosialisasi-sosialisasi ke kampung-kampung, filosofi ini yang paling tepat dalam mempertegas peraturan pembangunan di tepi air dengan aturan pajak yang diringankan bagi yang mengikuti, dan meningkatkan pajak pada daerah yang menyimpang, tidak terkecuali daerah wisata. Selain itu, konsep kaki ladang yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA berlanjut secara turun-temurun juga dapat dihentikan dengan kesepakatan bersama melalui tata guna lahan dan peraturan di tepi air.

Masyarakat Batak juga terkenal akan kebersamaan dan gotong-royong. Hal ini sering ditemui pada permukiman baru yang dibangun dan ditempati sesama kerabatnya. Dengan memiliki pikiran, hati, dan pendapat yang sama, penduduk mewujudkan pembangunan dengan filosofi kearifan lokal, yaitu Satahi Saoloan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB VI

PENEMUAN

Berdasarkan kajian yang sudah dilakukan pada BAB V, maka peneliti menghasilkan penemuan-penemuan sebagai berikut (Tabel 6.1):

Tabel 6.1 Penemuan

Permasalahan Penelitian Penemuan Keterkaitan Penemuan dengan Landasan Teori • Faktor Topografi, Pada Ditjen Cipta Karya (2000) kondisi di tepi air menganjurkan kemiringan pangururan, kontur tanah lahan yang dianjurkan memiliki kemiringan untuk mendirikan rata-rata 10%. bangunan 0-15%. Disepanjang tepi air • Faktor kepercayaan Kecamatan Pangururan, terhadap leluhur dan matahari, membawa topografi cenderung datar

pengaruh terhadap dengan kemiringan 10%, susunan kampung yang sehingga menjadi opsi berorientasi terhadap wilayah untuk mendirikan Pusuk Buhit dan permukiman dan matahari. fasilitasnya. Pada kawasan juga Faktor-faktor apakah yang • Faktor Budaya, terdapat kepercayaan mempengaruhi membawa pengaruh terhadap leluhur dan pertumbuhan bentuk pemanfaatan tata matahari. Masyarakat pembangunan ruang terhadap dalam mendirikan permukiman di tepi air permukiman kampung. permukiman baru Pangururan Kabupaten • Faktor kepadatan cenderung mengikuti arah Samosir? penduduk, masyarakat Batak cenderung akan orientasi Pusuk Buhit dan mendirikan kampung matahari. Suprijanto baru apabila terjadi (2002) mengatakan awal pernikahan. permukiman bermula dari • Faktor pertumbuhan keberadaan sekelompok desa, memberi etnis. Awal mula gambaran arah pola permukiman nenek permukiman masyarakat moyang masyarakat Batak Batak. berawal dari Pusuk Buhit. Sedangkan pada faktor budaya, Foruzanmehr dan Vellinga menyebutkan bahwa kesenian merupakan bukti adanya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Permasalahan Penelitian Penemuan Keterkaitan Penemuan dengan Landasan Teori budaya bermukim. Untuk mendirikan permukiman, kepala suku akan membangun rumah adat utama, kemudian diikuti dengan rumah-rumah kerabat. Masyarakat selalu membangun rumah yang saling berhadapan dan terdapat halaman untuk kegiatan sosial, mengelola perekonomian, ataupun kegiatan adat. Karena prinsip Dalihan Na Tolu (Perda Nomor 3, Kab. Samosir Tahun 2011), salah satu penghargaannya adalah tanah, yang kemudian dibangun menjadi kampung baru. Masyarakat Batak yang bertempat tinggal di desa cenderung tinggal di kampung dan mengelola lahan pertanian atau perternakan di sekitar permukimannya. Selain itu pertumbuhan desa memberikan dampak pengembangan dari tingkat desa menjadi kelurahan, sehingga terbentuk sistem permukiman terpusat dengan fasilitas-fasilitas yang lebih mudah dijangkau. • Menetapkan kawasan di Peraturan Pemerintah RI tepi air menjadi kawasan Nomor 14 Tahun 2016 Bagaimana regulasi lindung. tentang kawasan lindung pembangunan • Menetapkan garis menetapkan pemanfaatan permukiman tepi air di sempadan pantai lahan untuk permukiman Indonesia? minimum 100m yang tidak berada pada kawasan diukur dari titik pasang lindung dan sudah tertinggi ke arah darat. memenuhi aspek

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Permasalahan Penelitian Penemuan Keterkaitan Penemuan dengan Landasan Teori • Memperhatikan penghidupan seperti kepadatan bangunan di memerhatikan sumber air kawasan tepi air yakni tanah, wilayah rawan maksimum 25%. bencana, tidak pada daerah • Mendirikan bangunan di rel kereta api, daerah aman tepi air tidak lebih tinggi penerbangan dan kawasan dari 15 meter. lindung. Penetapan garis sempadan pantai sesuai dengan Keputusan Presiden RI Nomor 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung yang menetapkan secara keseluruhan garis pantai minimum 100m yang diukur dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Menata permukiman di kawasan tepi air melalui Menteri Pekerjaan Umum Ditjen Cipta Karya (2000) dengan menetapkan kepadatan bangunan pada kawasan tepi air adalah 25%. Sedangkan sisanya dimanfaatkan untuk area terbuka ataupun bangunan fasilitas umum. Jika fasilitas umum tersebut bersifat tertutup, tidak boleh memiliki ukuran yang lebih dari 50m2. Bangunan yang didirikan di tepi air juga tidak boleh melebihi batas 15m yang telah ditentukan agar tidak menghalangi pemandangan ke arah air dan tidak membahayakan bangunan. Bagaimana penerapan • Pembangunan Penerapan regulasi regulasi pembangunan permukiman didasarkan pembangunan permukiman pada area atas siasat dari kepala permukiman tepi air di tepi air di Pangururan suku. Pangururan Kabupaten Kabupaten Samosir? • Membuat ruang-ruang Samosir menggunakan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Permasalahan Penelitian Penemuan Keterkaitan Penemuan dengan Landasan Teori terbuka di tepi danau. regulasi turunan dari • Menetapkan sempadan tingkat Kabupaten. danau dengan jarak 50 Regulasi tersebut nantinya meter sampai 100 meter akan di terapkan dengan dihitung dari titik air filosofi dan aturan adat pasang tertinggi. dalam mengembangkan • Menerapkan sistem konsep regulasi. permukiman terpusat, Keberadaan budaya dalam yang berpusat pada pembangunan kelurahan terutama permukiman sangat erat Kelurahan Pasar kaitannya dengan tingkah Pangururan. laku manusia dan ilmu • Melestarikan kawasan pengetahuan. Untuk kampung adat Batak mendirikan permukiman, menjadi kawasan wisata biasanya masyarakat budaya. memiliki tokoh adat yang • Pembebasan lahan menentukan bentuk disekitar jalan utama kampung sehingga bersifat untuk memperlebar jalur incremental. nasional. Disamping itu, pemerintah • Pembebasan lahan untuk dalam mendukung regulasi membuat ruang terbuka dari Permen PU Ditjen dan akses utama menuju Cipta Karya (2000), Pulau Samosir. membuat ruang terbuka di tepi danau dengan fasilitas pendukung wisata melalui RPJMD tahap ketiga yang mengutamakan pembangunan RTH. Pada kenyataannya di lapangan, pemerintah tidak begitu ketat terhadap sempadan danau, karena masih ditemui rumah- rumah yang berada dengan jarak kurang dari 50m dari permukaan air. Menetapkan sistem permukiman terpusat, berbeda dengan teori dari Taylor (1980) mengenai permukiman mengelompok. Bentuk permukiman terbentuk berdasarkan kepercayaan masyarakat, teknologi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Permasalahan Penelitian Penemuan Keterkaitan Penemuan dengan Landasan Teori dalam sistem mata pencaharian dan kekuatan sosial budaya. Penerapan sistem permukiman terpusat menjadikan permukiman lebih mudah mengakses fasilitas umum. Melalui Perda Nomor 3 Kab. Samosir Tahun 2011, menerapkan RPJMD hingga tahap III, yaitu memprioritaskan pembangunan infrastruktur, jaringan irigasi, penyediaan air bersih, sanitasi dan ruang terbuka hijau. • Kawasan Danau Toba Menurut Perda Nomor 3 menjadi Kawasan Kabupaten Samosir Tahun Strategis Nasional yang 2011, tentang Rencana menjamin pelestarian Pembangunan Jangka Kawasan Danau Toba Panjang Daerah (RPJPD), Kabupaten Samosir dalam perkembangan permukiman. bermaksud memberikan

• Kawasan Agropolitan arah bagi pemerintah dan

Dataran Tinggi Bukit masyarakat dalam Barisan di Provinsi mengembangkan potensi Sumatera Utara wisata dan ekonomi di Potensi apakah yang dapat • Filososi kerarifan lokal Kecamatan Pangururan. mendukung regulasi dalam pembangunan Selain memberikan dalam rangka permukiman. dampak pembangunan Pembangunan • Kesenian untuk permukiman yang dapat Permukiman pada area menampilkan jiwa dan memanfaatkan keindahan tepi air Pangururan ciri khas keberadaan alam perbukitan ataupun Kabupaten Samosir? Suku Batak melalui danau, wilayah Kecamatan gorga. Pangururan memiliki potensi terhadap wisata budaya. Selain karena dekat dengan kawasan lindung, kawasan permukiman di tepi air Kecamatan Pangururan memiliki filosifi-filosofi kearifan lokal yaitu Satahi Saoloan yang menciptakan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Permasalahan Penelitian Penemuan Keterkaitan Penemuan dengan Landasan Teori persatuan dan kesatuan. Argado bona ni pinasa, bermakna nilai dan arti penting tanah leluhur etnis Batak. Dalihan natolu pa opat Sihal-sihal yang memelihara keharmonisan hubungan internal dan eksternal masyarakat Batak. Anakhon hi do hamoraon di ahu yang mendahulukan kebutuhan pendidikan yang lebih tinggi terhadap keturunan daripada kebutuhan lainnya. Mula jadi Nabolon yang bermakna selalu taat dan berpengharapan kepada sang pencipta Tuhan Yang Maha Esa. Soripada Habonaran, Pansur Hangoluan (Bumi, terawat, Air kehidupan, merupakan amanat nenek moyang yang mewajibkan memelihara bumi dengan baik dan benar. Keberadaan gorga yang menjadi ciri khas suatu wilayah karena dapat dikenali secara fisik (Putro dan Nurhamsyah, 2010). Budaya ini wajib dipertahankan dalam membuat ciri khas dari permukiman khas Batak. • Regulasi disesuaikan Filosofi-filosofi yang Bagaimana konsep perkembangannya tertera pada Perda Nomor regulasi untuk terhadap filosofi-filosofi 3 Kabupaten Samosir Pembangunan yang dipercayai Tahun 2011, tentang Permukiman pada area masyarakat Batak. Rencana Pembangunan tepi air Pangururan • Memasukkan faktor- Jangka Panjang Daerah Kabupaten Samosir? faktor fisik dan non-fisik (RPJPD), dapat dalam pengembangan mempermudah pemerintah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Permasalahan Penelitian Penemuan Keterkaitan Penemuan dengan Landasan Teori permukiman. dalam hal pendekatan • Melestarikan terhadap masyarakat kebudayaan dan kearifan mengenai regulasi-regulasi lokal agar menjadi yang dapat mendukung kawasan yang memiliki kegiatan masyarakat. roh atau jiwa dan Kostof (1991) menyatakan menghadirkan Genius permukiman organik Loci. merupakan permukiman • Mendirikan bangunan- yang tumbh tanpa seorang bangunan di tepi jalan perencana. Tumbuhnya dengan mempertahankan permukiman organik ornamen-ornament gorga dipengaruhi oleh faktor ataupun bentuk miniatur fisik dan non-fisik yang dari bangunan adat ada di lingkungan. Batak. Pola permukiman yang • Menghadirkan landmark- berkembang pada awalnya landmark berbasis dari permukiman yang budaya dan adat yang tumbuh secara organik. mudah ditemui di Pertumbuhan ini akan persimpangan ataupun menjadi permukiman ruang terbuka agar formal dan terencana mudah diingat. apabila ada kesepakatan • Bentuk permukiman antara pemerintah, yang mengelompok dan perencana, dan masyarakat clustered. pemilik tanah, hal ini sesuai yang diutarakan oleh Marpaung (2017). Pola permukiman juga dapat disebabkan oleh budaya (Abdullah, 2000), yang dapat menghadirkan jiwa suatu wilayah. Pertumbuhan permukiman dengan local wisdom dapat dilakukan melalui gorga ataupun corak pada landmark Permukiman di tepi air juga membentuk permukiman mengelompok dan clustered seperti yang dikatakan oleh Taylor (1980). Permukiman yang tumbuh secara incremental menggunakan sistem

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Permasalahan Penelitian Penemuan Keterkaitan Penemuan dengan Landasan Teori pemerintahan terpusat karena sistem ini lebih mudah untuk di akses.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB VII

KESIMPULAN

7. 1 Regulasi Pembangunan Permukiman pada Area Tepi Air Sebagai

Potensi Meningkatkan Tujuan Wisata Kampung di Pangururan

Kabupaten Samosir

Pembangunan permukiman di tepi air Pangururan Kabupaten Samosir terbentuk melalui proses yang panjang secara terus menerus (Rapoport, 2016). Pola aktivitas manusia dalam membangun permukiman dipengaruhi keadaan fisik dan non fisik. Pada faktor fisik, topografi menjadi faktor utama bagi suatu wilayah untuk mendirikan permukiman. Bentuk permukiman terwujud dari penyebaran tempat tinggal dan pola permukiman akibat kondisi keadaan geografi (Yusran, 2006). Kondisi kawasan yang berada di tepi air cenderung ditemukan pola permukiman yang tidak teratur, mengelompok dan tumbuh secara alami. Sebagai wilayah yang terletak strategis di tengah Danau Toba, permukiman tepi air di Kecamatan Pangururan memiliki keadaan topografi yang datar.

Faktor non-fisik juga berperan sangat penting dalam pertumbuhan pembangunan permukiman. Soekanto (2003) menjelaskan bahwa unsur budaya secara universal dapat diklasifikasikan menjadi faktor budaya yang mempengaruhi pertumbuhan permukiman yang dikaitkan dengan regulasi. Umumnya mata pencaharian masyarakat secara turun-temurun adalah petani dan peternak. Sehingga dalam penyebaran permukiman, sering ditemui lahan pertanian ataupun lahan terbuka untuk berternak di sekitar permukiman. Penduduk yang bermukim di Kecamatan

Pangururan juga memiliki sistem kemasyarakatan yang erat, baik

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA terhadap leluhur, kerabat, dan organisasi. Ketika terjadi hubungan kemasyarakatan seperti sistem pernikahan, maka pihak lelaki wajib memberikan tanah yang akan didirikan kampung baru dan dihuni bersama oleh kerabat dan menyebabkan penyebaran kampung. Kesenian juga menjadi salah satu unsur budaya yang tumbuh dengan nilai sejarah dan diwariskan ke generasi berikutnya melalui budaya bermukim

(Foruzanmehr dan Vellinga, 2011). Kesenian yang sangat mencolok terlihat pada corak-corak khas Batak yang dikenal sebagai Gorga. Masyarakat di Kecamatan

Pangururan juga kerap mempercayai leluhur dalam kehidupannya. Seperti menghormati leluhur dengan mendirikan makam yang megah dipercaya akan memberikan kemasyhuran terhadap keturunan, sehingga banyak ditemui makam leluhur yang letaknya tidak jauh dari permukiman warga.

Pola permukiman pada area tepi air umumnya bersifat mengelompok dan tersebar secara organik (Taylor, 1980). Penyebaran permukiman tidak merata di seluruh wilayah desa. Sebagian desa mengalami pertumbuhan yang sangat lambat karena belum terintegrasi dengan fasilitas umum dengan baik. Namun, juga terdapat desa yang telah berkembang menjadi kelurahan karena memiliki fasilitas yang layak dan memadai seperti Kelurahan Pintu Sona. Awal mula suatu permukiman berasal dari kampung yang tumbuh secara organik (Marpaung, 2018). Pertumbuhan kampung tersebut kemudian melebar hingga ke tepi jalan utama.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 14 Tahun 2016, untuk membangun kawasan permukiman harus terletak pada kawasan lingkungan hidup. Jika dilihat dari peta indikatif dan areal perhutanan yang diterbitkan oleh Menteri

Linkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2018, wilayah tepi air Kecamatan

Pangururan merupakan kawasan areal lain yang dapat dimanfaatkan sebagai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA permukiman. Untuk mendirikan permukiman formal yang layak, perlu adanya penelitian dan memperhatikan aspek-aspek penghidupan seperti yang tertera pada

Peraturan Menteri PU Nomor 41/PRT/M/2007 mengenai perencanaan kawasan yang memperhatikan aspek-aspek lokasi dan kesesuaian lahan. Selain aspek penghidupan, juga harus mempertimbangkan wilayah kawasan permukiman agar tidak berada pada kawasan rawan bencana sesuai yang di atur pada Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun

2004. Arah pengembangan kawasan permukiman di tepi air juga di atur dalam

Peraturan Pemerintah RI Nomor 14 Tahun 2016 yang mempertimbangkan agar masyarakat mudah menjangkau fasilitas umum. Dalam perwujudannya, pemerintah merealisasikan jalan arteri yang berstatus sebagai jalan nasional dan jalan-jalan lingkungan.

Umumnya tepi air merupakan kawasan yang harus dilindungi dan dilestarikan oleh pemerintah. Hal ini tertulis pada Keputusan Presiden RI Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Untuk menjaga agar permukiman tidak mengarah ke perbatasan tepi air, maka ditetapkan sempadan pantai yang dapat dikembangkan menjadi kawasan sektor wisata, akan tetapi tidak boleh berupa bangunan fisik yang bersifat permanen dan mengganggu jarak pandang ke lepas pantai. Sedangkan untuk menata permukiman, pemerintah melalui Menteri PU Ditjen

Cipta Karya telah membagi jarak garis tepi pantai berdasarkan kemiringan tepi air.

Akses jalan utama harus terletak di batas terluar dari sempadan tepi air, tentunya diperbolehkan membuat jalan sekunder dan tersier. Tata guna lahan mendirikan suatu bangunan di tepi air juga dibagi berdasarkan ketergantungan air terhadap lahan untuk mendirikan bangunan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Regulasi-regulasi yang digunakan pada area tepi air di Pangururan Kabupaten

Samosir pada umumnya merupakan bagian dari kebijakan-kebijakan yang digunakan pada wilayah nasional. Turunan dari regulasi tersebut kemudian ditinjau bersamaan dengan peraturan-peraturan mengenai pelestarian terhadap kawasan Danau Toba.

Melalui Peraturan Presiden RI Nomor 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang

Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya, pemerintah berupaya menata kawasan Danau

Toba agar dapat mewujudkan Air Kehidupan (Aek Natio) masyarakat melalui pelestarian ekosistem Danau Toba dan pelestarian kawasan kampung adat Batak.

Untuk meningkatkan tujuan wisata kampung di Pangururan Kabupaten

Samosir, pemerintah dalam regulasi-regulasinya memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Upaya pemerintah selama 20 tahun sejak tahun

2005 memaksimalkan RPJMD, yaitu memprioritaskan 4 tahap. Setiap tahap RPJMD memiliki fokus untuk memperbaiki Reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan, melakukan pembangunan pendidikan dan kesehatan, pembangunan pada sektor industri pariwisata yang berbasis lingkungan, pengembangan ekonomi kerakyatan, dan pembenahan serta pembangunan infrastruktur. Melalui pembenahan infrastruktur, pemerintah berupaya agar Kecamatan Pangururan mudah diakses oleh wisatawan dan membangun ruang terbuka hijau di beberapa tempat guna meningkatkan minat pengunjung dalam menikmati keindahan alam Danau Toba.

Sistem permukiman yang awal mulanya merupakan permukiman mengelompok berdasarkan penyebaran incremental, perlahan pemerintah membentuk sistem permukiman terpusat yang memudahkan masyarakat untuk mengakses fasilitas-fasilitas umum. Pemerintah berharap dengan diterapkannya sistem permukiman terpusat sesuai pada Pasal 9 Ayat 2 pada Peraturan Presiden RI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Nomor 81 Tahun 2014, masyarakat mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendorong kawasan tepi air berpotensi meningkatkan ekonomi melalui sektor pariwisata dan budi daya.

Regulasi mengenai sistem kepemilikan tanah yang berlawanan dengan prinsip

Kaki ladang masyarakat Batak juga akan mempermudah masyarakat dalam mengelola tanah agar tidak terjadi perebutan. Kesepakatan ini dapat terjalin jika pihak pemerintah dapat memberikan pengetahuan tentang status kepemilikkan tanah yang berlaku di seluruh Indonesia, terutama tepi air. Pihak kepala suku yang memaklumi kepemilikkan tanah menjadi tanah komunal dapat dikelola oleh kepala suku menjadi ruang terbuka hijau untuk menikmati keindahan alam.

Penetapan-penetapan yang menjadikan Kawasan Danau Toba menjadi kawasan yang khusus, seperti yang tertera pada Peraturan Pemerintah Nomor 26

Tahun 2008, tentang RTRW Nasional, Kawasan Danau Toba menjadi Kawasan

Strategis Nasional sehingga pelestariannya dijamin oleh pemerintah. Disamping itu, dengan ditetapkannya sebagai Heritage World, masyarakat Batak yang menganut

Soripada Habonaran, Pansur Hangoluan, menjadikan Kawasan Danau Toba wajib dilindungi dan dipelihara oleh masyarakat Batak.

7. 2 Rekomendasi:

Konsep Regulasi untuk Pembangunan Permukiman pada Area Tepi Air

di Pangururan Kabupaten Samosir

Konsep regulasi berupa regulasi gabungan dari pemerintah dan aturan adat yang dipelihara masyarakat Batak sejak lama. Regulasi tersebut di dasarkan pada filosofi dan kearifan lokal dari nenek moyang, yakni: (1) Argado bona ni pinasa,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA memiliki makna tentang nilai dan arti penting tanah leluhur etnis Batak membentuk regulasi yang membagi tata guna ruang menjadi lebih jelas pada setiap kecamatan, yaitu daerah kearifan lokal, daerah wisata, dan daerah pengelolaan sumber daya alam.

Pembagian ini didukung dengan aturan pajak yang diringankan apabila mengikuti peraturan, dan ditingkatkan jika menyimpang; (2) Dalihan natolu pa opat Sihal-sihal yang berarti sistem kemasyarakatan etnis Batak telah terbukti dapat memelihara keharmonisan hubungan internal dan eksternal masyarakat Batak dalam waktu yang sangat lama. Filosofi ini dapat diterapkan dalam hal mengelola wisata melalui sumber daya manusia yang menyelipkan filosofi dan pandangan bahwa tamu harus diperlakukan dengan baik pada kurikulum pelajaran di daerah; (3) Anakhon hi do hamoraon di ahu, bermakna setiap orang tua selalu mendahulukan kebutuhan pendidikan yang lebih tinggi terhadap keturunannya dari pada kebutuhan lainnya.

Filosofi ini juga mendukung regulasi pemberdayaan masyarakat pada Perda

Kabupaten Samosir Nomor 3 Tahun 2011 melalui jaminan pekerjaan di lembaga pemerintah jika warga masyarakat yang merantau untuk menempuh pendidikan kembali dengan prestasi; (4) Mula jadi Nabolon, mengandung makna bahwa masyarakat Samosir dimanapun berada selalu taat dan berpengharapan kepada sang pencipta Tuhan Yang Maha Esa. Dengan meningkatkan jumlah rumah ibadah akan mendorong masyarakat lebih dekat kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga dapat dibentuk peraturan jarak antar rumah ibadah berjarak 500m hingga 1km; (5) Soripada

Habonaran, Pansur Hangoluan (Bumi terawat, Air kehidupan), setiap orang wajib memelihara bumi agar memperoleh air dan kehidupan yang layak di bumi dan akhirat.

Filosofi ini dapat menjadi kunci dalam melakukan sosialisasi ke masyarakat untuk mempertegas peraturan pembangunan di tepi air melalui aturan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pajak yang diringankan bagi yang mengikuti dan ditingkatkan bagi yang menyimpang.

Konsep kaki ladang juga dapat ditengahi dengan mempertegas tata guna lahan dan peraturan tepi air.

Perkembangan permukiman di tepi air bermula dari sekelompok etnis yang menetap dan berkembang secara alami dari generasi ke generasi seperti halnya dikatakan oleh Suprijanto (2002). Dalam mengembangkan permukiman adat, perlu adanya pemberdayaan sumber daya manusia agar dapat mengikuti regulasi dan berubah menjadi permukiman terencana. Menambahkan peraturan daerah tepi air berupa bangunan adat yang telah dan atau dibangun harus mengikuti peraturan permukiman tepi air yang berlaku. Jika terdapat penyimpangan maka diwajibkan mengubah fungsi bangunan menjadi fasilitas umum, sehingga dapat menguntungkan bagi individu dan pemerintah.

Rumah tradisional yang dibangun memiliki cara dan teknik konstruksi yang sama dari beberapa generasi (Machmud, 2006). Sehingga permukiman tradisional menjadi aset suatu wilayah karena memberikan identitas lingkungan, jiwa, dan ciri khas dari sosial budaya dan kegiatan ekonomi. Keberadaan corak khas Batak atau yang dikenal sebagai Gorga membuat keberadaan jiwa dari tanah Batak muncul. Sebaiknya dalam pertumbuhan permukiman, meskipun tidak dapat mendirikan rumah tradisional secara utuh, keberadaan gorga wajib dipertahankan. Kesenian ini juga dapat dikembangkan pada wilayah tertentu yang menjadi ciri khas dari suatu wilayah.

Menurut Putro dan Nurhamsyah (2010), keberadaan suatu wilayah dapat dengan mudah dikenali secara fisik. Penambahan miniatur rumah adat ataupun landmark pada lokasi tertentu atau di setiap rumah juga dapat meningkatkan kesan pengunjung terhadap kawasan Danau Toba.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR PUSTAKA

Abdullah. (2000). Upaya Meningkatkan Income Penduduk Kawasan

Penyangga Kota Melalui Penataan Prasarana Permukiman. Laporan penelitian, Lemlit

Universitas Tadulako. Palu.

Doxiadis, C. A. (1968). Ekistics; an introduction to the science of human settlements.

Ellen, R. (2010). Theories in anthropology and ‘anthropological theory’. Journal of the Royal Anthropological Institute, 16(2), 387-404.

Fletcher, R. (2007). The limits of settlement growth: A theoretical outline.

Cambridge University Press.

Foruzanmehr, A., & Vellinga, M. (2011). Vernacular architecture: questions of comfort and practicability. Building Research & Information, 39(3), 274-285.

Gien, L., & Law, R. (2010). Integration of Newcomers to Newfoundland and

Labrador (NL). Settlement of Newcomers to Canada, 12, 200.

Indonesia, L. I. P. Koentjaraningrat, 1987. Sejarah Teori Antropologi I.

Irawan, A. T., & Antariksa, J. E. Lokalitas Pola Ruang Ritual dan Sosial pada

Permukiman Masyarakat Hindu Dusun Sawun Wagir Malang.

Jayadinata, J. T. (1986). Tata guna tanah dalam perencanaan pedesaan, perkotaan dan wilayah. Penerbit Itb.

Jive´ n, G., & Larkham, P. J. (2003). Sense of place, authenticity and character: a commentary. Journal of urban design, 8(1), 67-81.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Keesing, R. M. (1974). Theories of culture. Annual review of anthropology,

3(1), 73-97.

Kostof, S. (1999). The City Shaped: Urban Patterns and Meanings Through

History, second edition (New York:Thames & Hudson).

Kostof, S. (2005) The City Assembled: Elements of Urban Form through

History, Little Brown, Boston 1992 (New York : Second Printing Thames & Hudson).

Krisna, R. (2005). Antariksa.“Studi Pelestarian Kawasan Wisata Budaya Di

Dusun Sade Kabupaten Lombk Tengah.”. Jurnal Plannit, 3(2), 124-133.

Machmud. (2006). Pola Permukiman Masyarakat Tradisional Ammatoa

Kajang di Sulawesi Selatan. Jurnal Teknik. XIII (3):178-186.

Mansur, M. Y. (1988). Sistem kekerabatan dan pola pewarisan. Pustaka

Grafika Kita.

Marpaung, B. O. Y. (2017, March). Socio-Cultural Impacts in the Formation of Urban Village. In IOP Conference Series: Materials Science and Engineering

(Vol. 180, No. 1, p. 012083). IOP Publishing.

Oliver, P. (1987). Dwellings: the house across the world. Phaidon.

Peraturan Daerah Kabupaten Samosir Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Samosir Tahun 2005-20025.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006 Tentang

Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016 Tentang

Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2014 Tentang

Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya.

Putro, J. D., & Nurhamsyah, M. (2010). Pola Permukiman Tepian Air, Studi

Kasus: Desa Sepuk Laut, Punggur Besar dan Tanjung Saleh Kecamatan Sungai Kakap,

Kabupaten Kubu Raya. Langkau Betang: Jurnal Arsitektur, 2(1), 65-76.

Rapoport, A. (1989). Dwelling Settlement and Tradition. Prentice Hall Inc.

London.

Rapoport, A. (1983). Development, culture change and supportive design. Habitat International, 7(5-6), 249-268.

Rapoport, A. (2016). Human aspects of urban form: towards a man— environment approach to urban form and design. Elsevier.

Sangalang, I. (2013). Keterikatan Pada Tempat untuk Hunian di Tepi Sungai-

Referensi Suku Dayak Ngaju di Palangka Raya.

Sasongko, I. (2002). Transformasi Struktur Ruang Pada Permukiman Sasak,

Kasus: Permukiman Tradisional Desa Puyung. Jurnal ASPI, 2(1), 117-125.

Sasongko, I. (2005). PEMBENTUKAN STRUKTUR RUANG

PERMUKIMAN Studi Kasus Desa Puyung-Lombok Tengah. DIMENSI (Journal of

Architecture and Built Environment), 33(1).

Soekanto, S. (2003). Sosiologi Suatu Pengantar. Cetakan ke-35, Jakarta: Raja

Grafindo Persada.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Suprijanto, I. (2001). Model Pengembangan Kawasan Kota Tepi Air. Makalah pada KOLOKIUM Hasil Litbang PUSKIM 2002. Puslitbang Permukiman. Balitbang

Departemen Kimpraswil.

Taylor, L. (1980). Urbanized society. Goodyear Pub. Co..

Wikantiyoso, R. (1997). Konsep Pengembangan: Transformasi Pola Tata

Ruang Tradisional Studi Kasus: Permukiman Tradisional Jawa di

Yogyakarta-Indonesia. Science, 37, 25-33.

Yusran, A. (2006). Kajian Perubahan Tata Guna Lahan Pada Pusat Kota

Cilegon (Doctoral dissertation, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN ISI

WAWANCARA

1. Wawancara: Tokoh adat di Desa Rianiate

Suatu individu yang menetap di tepi Danau Toba merupakan keturunan dari sekumpulan etnis atau keluarga yang menetap sejak lama dan terus bertumbuh. Hal ini terjadi selama beratus-ratus tahun dan selalu muncul permukiman baru disekitar permukiman sebelumnya. Permukiman dapat terbangun pada tepi air karena adanya pengaruh Padme Jumah (kaki ladang) yang secara langsung dinyatakan sebagai perpanjangan lahan dari pemilik sebelumnya. Rumah yang di bangun pada tepi air sebenarnya merupakan siasat dari kepala suku atau tokoh adat yang mendirikan kampung. Jadi tergantung dimana kampung tersebut ingin didirikan oleh kepala suku, asalkan mengikuti arah orientasi yang telah di tetapkan oleh leluhur. Pertumbuhan permukiman berlangsung secara alami tanpa seorang perencana ataupun peran pemerintah.

Untuk mendirikan bangunan khususnya di tepi air, tidak ada syarat-syarat yang berlaku. Penduduk meyakini air danau tidak akan pernah naik, sehingga masyarakat sekitar tidak memiliki kekhawatiran terhadap kenaikan air danau. Dalam kesehariannya, masyarakat yang tinggal di tepi danau memiliki mata pencaharian sebagai petani dan peternak. Aktivitas tersebut tidak dapat dikatakan mempengaruhi posisi rumah, karena lahan pertanian terbentuk atas orientasi permukiman dan kemudahan dalam irigasi. Tidak ada kaitan mata pencaharian dengan tempat tinggal di tepi danau, karena permukiman di tepi danau terbentuk secara incremental dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA arahan dari kepala suku. Sedangkan mata pencaharian penduduk bergantung kepada status kepemilikkan dan keahlian penduduk dalam mengelola sumber daya alam.

Tanah tempat tinggal yang sedang didiami merupakan tanah leluhur yang diturunkan dari generasi ke generasi. Akan tetapi status kepemilikkan tanah tidak terdata ke pemerintah, sebab dalam prosesnya, tanah leluhur awalnya tidak melalui pihak pemerintah. Sedangkan untuk mendirikan bangunan pada tanah leluhur tidak sepenuhnya mengikuti aturan pemerintah, melainkan masih menggunakan tokoh adat yang berada pada permukiman tersebut. Masyarakat tidak mengetahui secara pasti tentang ketentuan pembangunan dan fungsi bangunan yang berada di tepi air karena umumnya penduduk hanya mendirikan bangunan tempat tinggal di tepi air. Peraturan pembangunan di tepi air belum sepenuhnya dipahami oleh pendiri permukiman.

Masyarakat mengakui sosialisasi peraturan pembangunan permukiman di tepi danau tidak menjamin pihaknya mengikuti keseluruhan aturan. Beridirinya bangunan di tepi air selama tidak merusak alam dianggap sudah mengikuti aturan pemerintah yang memiliki misi yang sama menjaga lingkungan.

Adanya kepercayaan msayarakat Batak membuat orientasi permukiman mengarah kepada kepercayaan-kepercayaan tersebut. Orientasi permukiman sebisa mungkin diarahkan ke Pusuk Buhit sebagai penghormatan kepada leluhur, yang dikenal dengan Sianjur Sagala Limbong Mulana. Sedangkan sebagian permukiman yang tidak bisa memposisikan orientasi terhadap Pusuk Buhit mencoba mengorientasikan terhadap arah terbit matahari. Masyarakat percaya perkataan leluhur bahwa matahari merupakan sumber kehidupan, sehingga jika mengabaikannya akan memberikan dampak negatif terhadap kehidupan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Keturunan yang masih menetap pada tanah leluhur tentunya mengembangkan kawasan permukiman dengan sesama kerabat. Rumah-rumah baru akan dibangun pada sisi yang bersebelahan atau berseberangan terhadap rumah pendahulunya. Untuk mendirikan rumah-rumah tersebut, masyarakat selalu mengacu pada filosofi- filosofi yang diberikan oleh leluhurnya. Salah satu yang paling diingat adalah amanat dari nenek moyang yang mewajibkan keturunannya memelihara bumi dengan baik agar memperoleh kehidupan yang layak semasa hidupnya. Filosofi ini dikenal dengan Bumi terawat, air kehidupan (Soripada Habonaran, Pansur Hangoluan).

2. Wawancara Camat Pangururan: Dumos Pandiangan

Masyarakat memperoleh tanah di tepi danau melalui warisan leluhur secara turun-temurun. Umumnya status kepemilikkan tanah tersebut tidak tercantum pada pemerintah yang mengatur tentang kepemilikkan tanah. Akibatnya, pemerintah kesulitan dalam memberikan sertifikat rumah ataupun izin tertentu dalam mendirikan bangunan. Pertumbuhan permukiman yang bersifat incremental untungnya tidak banyak yang menyimpang terhadap peraturan-peraturan yang berlaku di Kecamatan

Pangururan. Untuk memperbaikinya, perlu adanya sosialisasi tentang pentingnya peraturan untuk membatasi dan membuat kehidupan di tepi air menjadi layak huni.

Biasanya pemerintah melakukan pendekatan dan berbicara dengan tokoh adat mengenai rencana pembangunan dari pemerintah di tanah leluhur. Pemerintah berhadap, dengan mendata status kepemilikkan tanah di setiap desa, dapat melahirkan regulasi pembangunan tepi air yang dapat menunjang aktivitas dan perekonomian masyarakat. Pada kenyataannya, pemerintah sulit mengeluarkan suara untuk melanggar peraturan pembangunan yang berada di tepi danau. Selain karena ketertinggalan sumber daya manusia, kepemilikkan lahan yang tidak jelas

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menjadikan pemerintah sulit untuk menegur akan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Kepemilikkan tanah disetiap desa masih didominasi dengan peraturan adat mengenai kaki ladang. Pemerintah bersyukur karena dalam pertumbuhannya, masyarakat masih mempertimbangkan dan menjaga kelestarian lingkungan.

Banyak masyarakat yang tanpa menyadari telah membangun permukiman sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia ataupun skala Kabupaten. Hal ini terjadi karena prinsip dan filosofi yang diberikan oleh nenek moyang. Masyarakat selalu hormat kepada leluhur, sehingga meskipun terjadi arus globalisasi, masyarakat masih berpegang teguh dengan kepercayaan-kepercayaan yang diberikan oleh leluhur.

Kekayaan dan keanekaragaman budaya yang dipadu dengan sumber daya alam melimpah menjadikan Kecamatan Pangururan berpotensi dalam mengelola perekonomian di sektor pariwisata.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN

ISI REGULASI

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016, kawasan permukiman merupakan lingkungan hidup di luar kawasan lindung, yakni kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan sebagai lingkungan tempat tinggal dan kegiatan masyarakat dalam penghidupan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016, kawasan permukiman dalam perencanaanya harus memenuhi: (1) Peningkatan sumber daya perkotaan atau perdesaan; (2) Tanggap terhadap bencana; (3) Menyediakan sarana dan prasarana serta utilitas umum.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016 salah satu syarat dalam merencanakan pengembangan suatu permukiman harus mengidentifikasi kepemilikkan dan pemanfaatan tanah.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 14 Tahun 2016 menjadi acuan dalam penyediaan tanah. Pembagian tata ruang dalam pelaksanaannya mewujudkan pembangunan nasional mendorong masyarakat untuk memanfaatkan lahan sesuai dengan peraturan.

Pada ayat 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016 juga dikatakan bahwa dalam merencanakan pengembangan suatu permukiman harus memenuhi syarat: (1) Telah mengidentifikasi lokasi permukiman sesuai dengan regulasi dan tata letak ruang dalam kawasan perkotaan; (2) Mengidentifikasi kepemilikkan dan pemanfaatan tanah; (3) Mengetahui arah penyediaan tanah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA permukiman baru yang dilakukan oleh pemerintah; (4) Mengindikasikan program penyediaan tanah untuk permukiman baru berdasarkan tata ruang.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 14 Tahun 2016, arahan pengembangan kawasan permukiman di kawasan Danau Toba meliputi: (1) Hubungan antar kawasan fungsional agar masyarakat lebih mudah dalam menjangkau fasilitas; (2) Keterkaitan lingkungan hunian perkotaan dengan lingkungan hunian pedesaan agar dapat saling berintegrasi; (3) Hubungan pengembangan permukiman berupa lingkungan hunian perkotaan dan pengembangan kawasan yang terjadi di perkotaan;

(4) Hubungan pengembangan lingkungan berupa hunian perdesaan dan pengembangan kawasan di perdesaan; (5) Kesinambungan antara tata kehidupan manusia dengan lingkungan hidup; (6) Keseimbangan antara kepentingan publik dan kepentingan individu; dan (7) Lembaga atau organisasi yang mengarahkan pengembangan kawasan Permukiman.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 41/PRT/M/2007, kawasan perencanaan permukiman perlu memperhatikan karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan: (1) Topografi datar sampai bergelombang (kelerengan lahan 0 - 25%); (2)

Tersedia sumber air, baik air tanah maupun air yang diolah oleh penyelenggara seperti

PDAM yang dapat menyuplai air antara 60 liter/org/hari - 100 liter/org/hari;

(3) Tidak terletak pada daerah rawan bencana (longsor, banjir, erosi, abrasi); (4)

Drainase yang baik sampai sedang; (5) Tidak bertempat pada sempadan sungai/pantai/waduk/danau/mata air/saluran pengairan/rel kereta api dan daerah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA aman penerbangan; (6) Tidak berada pada kawasan lindung; (7) Tidak berkawasan budi daya pertanian/penyangga; (8) Menghindari daerah irigasi sawah.

Keputusan Presiden RI Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan

Lindung, garis sempadan pantai minimum 100m diukur dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

Ditjen Cipta Karya (2000): (1) Garis sempadan tepi air landai dengan kemiringan 0°-15° minimum 20 meter diukur dari titik pasang tertinggi ke arah darat;

(2) Garis sempadan tepi air curam dengan kemiringan 15°-40° minimum 35 meter diukur dari titik pasang tertinggi ke arah darat; (3) Garis sempadan tepi air curam dengan kemiringan di atas 40° minimum 100 meter diukur dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

Ditjen Cipta Karya (2000) akses harus memperhatikan: (1) Akses jalur kendaraan harus terletak di batas terluar dari sempadan tepi air dengan area bangunan;

(2) Jarak antara akses masuk menuju tepi air dari jalan raya sekunder atau tersier minimum 300 meter; (3) Jaringan jalan tidak boleh digunakan untuk parkir kendaraan roda empat; (4) Lebar minimum pedestrian di sepanjang tepi air adalah 3 meter.

Ditjen Cipta Karya (2000) sebagai berikut: (1) Penggunaan lahan sebagai bangunan diutamakan atas penggunaan lahan yang bergantung dengan air (water- dependent uses), penggunaan lahan yang bergantung dengan adanya air (water- related uses) dan penggunaan lahan tanpa berhubungan dengan air (Independent and unrelated to water uses); (2) Untuk pengembangan area publik, kemiringan lahan lebih dianjurkan 0-15%. Sedangkan kemiringan lahan yang lebih dari 15 % perlu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA penangan tambahan; (3) Jarak fasilitas umum yang satu dengan fasilitas umum lainnya maksimum 2 km.

Ditjen Cipta Karya (2000) harus memperhatikan: (1) Kepadatan bangunan di kawasan tepi air maksimum 25 %; (2) Tinggi bangunan maksimum 15 meter dihitung dari permukaan tanah; (3) Arah dari Orientasi bangunan harus mempertimbangkan posisi matahari dan arah angin; (4) Bangunan-bangunan yang dapat dikembangkan pada kawasan sepadan tepi air berupa ruang terbuka seperti taman atau ruang rekreasi sebagai fasilitas umum, tempat duduk dan sarana olah raga; (5) Bangunan yang diperbolehkan berdiri di kawasan sempadan tepi air berupa tempat ibadah, bangunan penjaga pantai, bangunan fasilitas umum, serta bangunan tanpa dinding dengan luas maksimum 50 m2/unit.

Peraturan Presiden RI Nomor 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang

Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya, ruang kawasan Danau Toba perlu ditata agar dapat mewujudkan: (1) Air kehidupan (Aek Natio) masyarakat melalui Pelestarian

Kawasan Danau Toba, ekosistem, lingkungan dan kawasan kampung masyarakat adat

Batak; (2) Pengembangan kawasan pariwisata berskala internasional melalui pengendalian kawasan budi daya dan tanggap terhadap bencana alam.

Pasal 9 ayat 2 pada Peraturan Presiden RI Nomor 81 Tahun 2014 penataan permukiman melalui sistem permukiman yang terpusat sebagai sistem pusat pelayanan kawasan yang bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan fungsi dan jangkauan fasilitas pelayanan dengan maksud untuk mendorong kawasan Danau Toba sebagai kawasan pariwisata dengan skala dunia.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Peraturan Presiden RI Nomor 81 Tahun 2014 mengenai sempadan danau: (1)

Wilayah daratan ditetapkan dengan jarak 50 (lima puluh) meter sampai dengan 100

(seratus) meter dari titik pasang air danau tertinggi sebagai sempadan danau; (2)

Wilayah sempadan danau di sepanjang tepian danau lebarnya disesuaikan dengan proporsi bentuk dan kondisi fisik danau.

Peraturan Presiden RI Nomor 81 Tahun 2014, Kawasan rawan bencana yang dimaksud merupakan wilayah yang memiliki kondisi geologi yang tanggap dan dapat mengurangi, mencegah, meredam, mencapai kesiapan, terhadap dampak buruk bahaya tertentu.

Peraturan Presiden RI Nomor 81 Tahun 2014, Kecamatan Pangururan merupakan kawasan sekitar danau. Kajian kebijakan mengenai pengembangan permukiman dan penataan kawasan tepi danau menjadi fokus pemerintah daerah dalam mewujudkan pembangunan nasional dalam jangka tahunan, menengah dan panjang.

Perda Nomor 3 Kabupaten Samosir Tahun 2011, Rencana Pembangunan

Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Samosir bermaksud agar memberikan arah bagi pemerintah dan masyarakat.

Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008, tentang RTRW Nasional, kawasan Danau Toba ditetapkan menjadi salah satu kawasan Nasional di Indonesia dengan jaminan pelestarian agar taraf hidup masyarakat dapat mengalami peningkatan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Permenbudpar, Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Penetapan Pariwisata Unggulan, kawasan Danau Toba juga menjadi kawasan sebagai tujuan Wisata Nasional dan akan dikembangkan menjadi keunggulan Indonesia di dunia.

Perda Nomor 3 Kabupaten Samosir Tahun 2011, arah kebijakan pembangunan dalam mewujudkan pembangunan permukiman adalah: (1) Memberdayakan masyarakat melalui tingkat kesehatan, ilmu pendidikan, berbudaya, beriman, sejahtera dan sadar akan lokasi wisata; (2) Melakukan pembangunan terpadu dan menyeluruh hingga terjadi keadilan yang merata pada kawasan pelestarian lingkungan; (3)

Menciptakan rasa aman, nyaman dan damai dengan perlindungan kepada masyarakat dan wisatawan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA