MAKNA ORNAMEN DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS ARSITEKTUR TOBA

TESIS

Oleh: HARYANTO SIMANJUNTAK 167020012/AR

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019

Universitas Sumatera Utara 2

MAKNA ORNAMEN DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS ARSITEKTUR BATAK TOBA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Teknik dalam Program Studi Teknik Arsitektur Jurusan Alur Riset Arsitektur pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Oleh

HARYANTO SIMANJUNTAK 167020012/AR

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019

Universitas Sumatera Utara 3

PERNYATAAN:

MAKNA ORNAMEN DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS ARSITEKTUR BATAK TOBA

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Teknik pada Program Studi Teknik Arsitektur Universitas

Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri. Adapun hasil karya penulisan tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah. Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 30 Agustus 2019

( Haryanto Simanjuntak )

Universitas Sumatera Utara 4

JUDUL TESIS : MAKNA ORNAMEN DALAM ARSITEKTUR, STUDI KASUS ARSITEKTUR BATAK TOBA

NAMA MAHASISWA : HARYANTO SIMANJUNTAK

NOMOR POKOK : 167020012

PROGRAM STUDI : M A G I S T E R TEKNIK ARSITEKTUR

BIDANG KEKHUSUSAN : STUDI-STUDI ARSITEKTUR ALUR RISET

Menyetujui Komisi Pembimbing,

(Prof. Ir. M. Nawawiy Loebis, M.Phil, PhD) (Dr. Ir. Dwi Lindarto, MT) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Ir. Nurlisa Ginting, M.Sc, PhD, IPM) (Ir. Seri Maulana, M.Si., Ph.D.)

Tanggal Lulus: 15 Agustus 2019

Universitas Sumatera Utara 5

Telah Diuji Pada Tanggal: 15 Agustus 2019

Panitia Penguji Tesis

Ketua Komisi Penguji : Prof. Ir. M. Nawawiy Loebis, M. Phil, Phd

Anggota Komisi Penguji : 1. Dr. Ir. Dwi Lindarto, MT

2. Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M. Sc, IPM

3. Beny O.Y Marpaung, ST, MT, Phd, IPM

4. Amy Marisa, ST, M.Sc, PhD

Universitas Sumatera Utara i

ABSTRAK

Ornamen merupakan elemen penting untuk menghias suatu objek yang membentuk karakter style arsitektur, yang banyak dibahas para ahli dalam perkembangan sejarah arsitektur dunia. Jejak ornamen sudah ada dari awal sejarah arsitektur. Pada masa arsitektur klasik ornament tumbuh subur dan ditentang pada masa arsitektur modern, namun perkembangan teknologi, era digital membuat ornament tumbuh subur dalam bentuk yang baru pada arsitektur kontemporer. Perlu mengkaji fungsi ornamen dalam arsitektur pada masa lalu dan sekarang untuk dapat memberi gambaran penggunaan ornamen untuk masa depan. Studi kasus pada penelitian ini adalah Arsitektur Tradisional Batak Toba dan Arsitektur Kontemporer Batak Toba, dengan pendekatan semiotika dalam arsitektur, karena ornamen berfungsi sebagai “sign” yang membawa makna budaya sehingga bisa sebagai alat komunikasi. Penelitian ini menggunakan adalah metode kualitatif deskriptif yang ditujukan untuk menggambarkan kejadian dan fenomena kebudayaan yang ada pada daerah studi kasus antara lain Arsitektur Tradisional Batak Toba dan Arsitektur Kontemporer Batak Toba. Dari hasil analisa terhadap makna ornamen yang meliputi fungsi estetika, fungsi prestise, fungsi ekspresi dan fungsi religi kemudian disandingkan. Hasil temuan ini juga menjadi kesimpulan apa makna ornamen dalam arsitektur.

Kata kunci: ornamen arsitektur, makna ornamen, semiotika arsitektur, Arsitektur Batak Toba.

i

Universitas Sumatera Utara ii

ABSTRACT

Ornament is an important element to decorate an object for establishing the character of architectural style. It is commonly discussed by experts in the world’s architectural history development. Its track has been existed since the history of architecture. It flourished in the architectural classic, but it is rejected in the modern one. Nevertheless, by technological development, the digital era has made it flourish again in the form of contemporary architecture. The objective of this study was to analyze the function of ornament in architecture in the old days and nowadays to get the description of using it in the future. The case study was on traditional architecture of Batak Toba, using semiotics in architecture approach since ornament functioned as a ‘sign” of aesthetics and a means of communication. The study used descriptive qualitative method which was aimed to describe cultural events and phenomena in the research area such as Traditional Architecture ad Contemporary Architecture of Batak Toba. The result of the study showed that the meaing of ornament included aesthetic function, prestige function, expression function, and religious function and they were combined. It was also the conclusion of their meaning in architecture.

Keywords: architectural ornament, meaning of ornament, architectural semiotics, batak toba architecture

ii

Universitas Sumatera Utara iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul “Makna Ornamen Dalam

Arsitektur”, yang disusun sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Teknik dalam Program Studi Teknik Arsitektur pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera

Utara.

Sejarah dan perkembangan arsitektur adalah bagian dari peradapan manusia.

Setiap jaman dalam perkembangan arsitektur selalu meninggalkan karakter/ciri atau style tertentu. Dimana ornamen arsitektur merupakan bagian yang sangat fital dalam menghadirkan karakter pada bangunan. Keberadaan ornamen arsitektur yang diletakkan pada permukaan, bisa menjadi pusat perhatian bagi para pengamat. Kesimpang-siuran terjadi pada masa Arsitektur Modern, dimana banyak para arsitek yang menyatakan hasil karyanya ‘jujur’ tanpa ditutupi oleh ornamen arsitektur, seperti simplicity, purisme, dan functionalism. Namun pada kenyataan, ornamen selalu hadir dalam karya para arsitek aliran modern, itulah yang disebutkan ‘contradiction’ oleh Robert Venturi. Arsitektur adalah bagian dari kehidupan manusia, sebagai tempat yang tinggal/beraktifitas yang bercita rasa, sehingga pembahasan sangat ‘complexity’.

Pada saat sebuah objek arsitektur dibuat untuk menggambarkan cita rasa pemiliknya, maka pada bagian itulah ornamen arsitektur hadir untuk memenuhinya.

Dengan kata lain ornamen arsitektur dibuat dengan maksud tertentu dan sudah tentu memiliki suatu makna. Tulisan ini membahas bagaimana makna dalam sebuah ornamen

iii

Universitas Sumatera Utara iv

arsitektur dibentuk untuk tujuan tertentu pada satu masa, dan juga bagaimana sebuah ornamen dimaknai pada masa berikutnya. Dalam hal ini Penulis mengambil studi kasus ornamen arsitektur batak Toba, dengan membandingkan makna ornamen pada masa tradisional dengan makna ornamen pada masa kontemporer.

Tulisan ini tidak dapat selesai tanpa bantu berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dengan tulus, diantaranya kepada Bapak Prof. Ir. M. Nawawiy Loebis, M.Phil, PhD selaku Dosen utama dari awal sampai akhir semester kuliah yang dengan semangat berbagi ilmu pengetahuan, membuka cakrawala berpikir Penulis tentang arsitektur menjadi lebih luas, dan sekaligus

Pembimbing I untuk Tesis ini, kiranya semangat Bapak dalam mengajari kami bisa saya balas dengan karya arsitektur yang lebih baik kedepan. Terima kasih kepada Bapak Dr. Ir.

Dwi Lindarto, MT selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan masukan dan arahan dalam penyusunan Tesis Ini. Terima kasih kepada Ibu Dwira Nirfalini Aulia,

Ibu Beny O.Y Marpaung dan Amy Marisa selaku Dosen Penguji, yang turut memberikan masukan yang sangat berharga dalam penyusunan Tesis ini. Terima kasih kepada Ir.

Nurlisa Ginting, M.Sc, PhD, IPM selaku Ketua Program Studi Magister Teknik Arsitektur

Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dukungan untuk menyelesaikan perkuliahan. Terima kasih juga kedapa para Dosen dan Staff di lingkungan Program Studi

Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara, khususnya Ibu Novi Yanthi yang telah mendukung proses perkuliahan dan memberikan koreksi dalam penulisan Tesis ini.

iv

Universitas Sumatera Utara

Terima kasih kepada Para Pemilik Bangunan Arsitektur Batak Toba yang menjadi objek penelitian dalam Tesis ini, yang menerima Penulis dengan baik dan penuh keramah- tamahan. Teman-teman satu angkatan 2016 di Magister Teknik Arsitektur Universitas

Sumatera Utara, khususnya kelas Studi-Studi Arsitektur Alur Riset, yakni; Jhon Tua

Saragih, Asdiana dan Fattah Jamaluddin, kalian merupakan patner yang baik untuk sharing. Terima kasih juga kepada Bapak Zaldi Yenri, selaku Pimpinan Rafara Group tempat Penulis bekerja sebagai Tenaga Ahli Arsitek, yang telah memberikan dukungan dan kelonggaran waktu. Kolega di Rafara Group, khususnya Divisi Perencanaan yang saling mendukung.

Terima kasih kepada para kerabat dan seluruh keluarga besar Penulis, yang telah membantu memberikan dukungan dan semangat. Khususnya orang tua Penulis, pertama

Ibu Riama Manurung selaku ibu mertua yang telah memberikan dukungan yang besar doa yang tulus, memberi teladan untuk tetap tekun dan semangat dalam menjalani kehidupan.

Terima kasih kepada Ibu Samaria Gurning selalu ibu kandung yang selalu mendoakanku dan gelar ini saya persembahkan kepadamu, kiranya bisa menjadi kebanggaan bagimu yang telah memilih meninggal bangku Sekolah Dasar demi membantu kakek di sawah.

Terima kasih kepada Ayanda Bapak Sabar Simanjuntak, yang selalu mendukung dalam doa, beliau sekaligus ahli pembuat ornamen Batak Toba (Panggorga) dan isi tesis ini saya dedikasikan untukmu.

Terima kasih yang sebesar-besaranya kepada istri saya Putri Parma Pebrim

Sitorus, yang dengan setia dan sabar serta memberikan dukungan, untuk bisa melalui rintangan pada masa-masa sulit. Disaat berdoa, bekerja dan belajar harus dikerjakan dalam

v

Universitas Sumatera Utara

waktu bersamaan, kamu selalu ada untuk memberi semangat. Kedua anak Penulis,

Dimpos Anggun Manata Simanjuntak dan Daulat Simanjuntak, yang menjadi penyemangat hidup. Semua pihak yang tidak daat disebutkan satu-persatu, khususnya para penulis perdahulu.

Akhir kata, penulis mengharapkan kiranya Tesis ini dapat memberikan manfaat bagi khalayak ramai, khususnya kepada pelaku akademisi dan praktisi di bidang arsitektur. Tesis ini jauh dari kesempurnaan dan tidak luput dari kesalahan, untuk itu sebelumnya Pemulis mohon maaf. Adapun kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan Tesis ini.

Medan, 30 Agustus 2019 Penulis

Haryanto Simanjuntak NIM. 167020012

vi

Universitas Sumatera Utara vii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap Haryanto Simanjuntak, lahir tanggal 30 November 1985 di Desa

Sigumpar Julu, Kabupaten Toba Samosir. Saat ini tinggal di Jalan Sembada XVI,

Perumahan Grand Koserna No 88M, Kelurahan PB. Selayang II, Kecamatan Medan

Selayang, Kota Medan. Sudah menikah pada tanggal 7 Februari 2013 dengan Putri Parma

Pebrim Sitorus, dan dikarunikan Tuhan dua orang anak yakni Dimpos Anggun Manata

Simanjuntak (putri usia 5 tahun), dan Daulat Simanjuntak (putra usia 8 bulan).

Riwayat pendidikan formal, tamat dari SD Negeri 317585 Pargaolan tahun 1997, kemudian tamat dari SMP Negeri 2 Silaen di Sigumpar tahun 2000, dan tamat sekolah menengah atas dari SMU N 1 Laguboti tahun 2003. Pada tahun 2003 melanjutkan pedidikan di Program Studi Arsitektur Universitas Sumatera Utara (USU) dan lulus tahun

2007, dengan judul skripsi “Rumah Susun di Kampung Hamdan, dengan tema Arsitektur

Tropis”. Melanjutkan pendidikan di Magister Arsitektur Universitas Sumatera Utara pada

Tahun 2016.

Riwayat pekerjaan, tahun 2008 sampai dengan 2013 bekerja di PT. Multi Arta

Semesta sebagai engineer di proyek Hotel dan Residence Grand Aston City Hall Medan.

Pada tahun 2013 sampai dengan 2016 bekerja di PT. Dinamika Furindo Medan juga engineer. Pada tahun 2016 sampai dengan sekarang bekerja di Rafara Group sebagai arsitek.

vii

Universitas Sumatera Utara viii

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ...... i

ABSTRACT ...... ii

KATA PENGANTAR ...... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...... vii

DAFTAR ISI ...... viii

DAFTAR GAMBAR ...... xii

DAFTAR TABEL ...... xvi

BAB I PENDAHULUAN ...... 1

1.1 Latar Belakang ...... 1

1.2 Rumusan masalah ...... 8

1.3 Tujuan Penelitian...... 8

1.4 Batasan Penelitian ...... 8

1.5 Manfaat Penelitian...... 8

1.6 Kerangka Berfikir ...... 9

1.7 Sistematika Penulisan ...... 11

BAB II KAJIAN TEORI ...... 13

2.1 Semiotika ...... 13

2.1.1 Sejarah dan definisi semiotika ...... 13 2.1.2 Tokoh semiotika ...... 15 2.1.3 Semiotika Arsitektur...... 20 2.1.4 Kerangka teori Semiotika Arsitektur ...... 30

viii

Universitas Sumatera Utara ix

2.2 Ornamen Arsitektur ...... 32

2.2.1 Defenisi ornamen arsitektur ...... 32 2.2.2 Perkembangan ornamen arsitektur ...... 34 2.2.3 Fungsi ornamen arsitektur ...... 34 2.3 Studi Kasus Ornamen Arsitektur Tradisional dan Kontemporer Batak

Toba ...... 54

2.3.1 Kebudayaan ...... 54 2.3.2 Arsitektur Tradisional Batak Toba ...... 56 2.3.3 Arsitektur kontemporer Batak Toba ...... 76 2.4 Kerangka Teori ...... 81

BAB III METODOLOGI PENELITIAN...... 84

3.1 Jenis Penelitian ...... 84

3.2 Skema Metodologi Penelitian ...... 85

3.3 Sumber dan Metode Pengumpulan Data ...... 87

3.3.1 Sumber dan Metode Pengumpulan Data Ornamen Arsitektur Tradisional Batak Toba ...... 88 3.3.2 Sumber dan Metode Pengumpulan Data Ornamen Arsitektur Kontemporer Batak Toba ...... 92 3.4 Analisis Data ...... 95

3.5 Pengecekan Keabsahan Data ...... 96

3.5.1 Derajat kepercayaan (credibility) ...... 97 3.5.2 Keteralihan (Transferability) ...... 97 3.5.3 Kebergantungan (dependability) ...... 97 3.5.4 Kriteria kepastian (confirmability) ...... 97

BAB IV DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN ...... 98

4.1 Ornamen Arsitektur Tradisional Batak Toba ...... 98

4.1.1 Objek penelitian arsitektur tradisional dengan observasi lapangan .. 98 4.1.2 Objek penelitian arsitektur tradisional Batak Toba dengan studi literatur ...... 110 4.1.3 Ornamen arsitektur tradisional Batak Toba...... 113 4.2 Ornamen Arsitektur Kontemporer Batak Toba ...... 115

ix

Universitas Sumatera Utara

4.2.1 Objek penelitian 1 arsitektur kontemporer Batak Toba (rumah)..... 115 4.2.2 Objek penelitian 2 arsitektur kontemporer Batak Toba (rumah)..... 117 4.2.3 Objek penelitian 3 arsitektur kontemporer Batak Toba (rumah)..... 120 4.2.4 Objek penelitian 4 arsitektur kontemporer Batak Toba (rumah)..... 122 4.2.5 Objek penelitian 5 arsitektur kontemporer Batak Toba (rumah)..... 124 4.2.6 Objek penelitian 6 arsitektur kontemporer Batak Toba (rumah)..... 125 4.2.7 Objek penelitian 7 arsitektur kontemporer Batak Toba (rumah)..... 127 4.2.8 Objek penelitian 8 arsitektur kontemporer Batak Toba (gereja) ..... 128 4.2.9 Objek penelitian 9 arsitektur kontemporer Batak Toba (gereja) ..... 130 4.2.10 Objek penelitian 10 arsitektur kontemporer Batak Toba (wisma) .. 133 4.2.11 Ornamen arsitektur kontemporer Batak Toba ...... 134

BAB V ANALISA, PEMBAHASAN DAN PENEMUAN ...... 136

5.1 Makna Ornamen (Gorga) Arsitektur Tradisional Batak Toba ...... 136

5.1.1 Gorga ulu paung ...... 138 5.1.2 Gorga dila paung/santung-santung ...... 141 5.1.3 Gorga gaja dompak ...... 143 5.1.4 Gorga jengger-jenggar ...... 145 5.1.5 Gorga jorngom ...... 148 5.1.6 Gorga -singa ...... 150 5.1.7 Gorga adop-adop ...... 152 5.1.8 Gorga boraspati ...... 155 5.1.9 Gorga simeol – eol ...... 158 5.1.10 Gorga dalihan natolu ...... 160 5.1.11 Gorga hoda-hoda ...... 161 5.1.12 Gorga simataniari ...... 163 5.1.13 Gorga sitagan ...... 166 5.1.14 Gorga simarogung-ogung ...... 168 5.1.15 Gorga hariara sundung di langit/sangkamadeha ...... 170 5.1.16 Gorga desa Naualu ...... 176

5.2 Makna Ornamen (Gorga) Arsitektur Kontemporer Batak Toba...... 178 5.2.1 Objek Penelitian 1 arsitektur kontemporer Batak Toba (rumah) .... 178 5.2.2 Objek Penelitian 2 arsitektur kontemporer Batak Toba (rumah) .... 181 5.2.3 Objek Penelitian 3 arsitektur kontemporer Batak Toba (rumah) .... 184 5.2.4 Objek Penelitian 4 arsitektur kontemporer Batak Toba (rumah) .... 187 5.2.5 Objek Penelitian 5 arsitektur kontemporer Batak Toba (rumah) .... 189 5.2.6 Objek Penelitian 6 arsitektur kontemporer Batak Toba (rumah) .... 191 5.2.7 Objek Penelitian 7 arsitektur kontemporer Batak Toba (rumah) .... 194 5.2.8 Objek Penelitian 8 arsitektur kontemporer Batak Toba (gereja) ..... 196 5.2.9 Objek Penelitian 9 arsitektur kontemporer Batak Toba (gereja) ..... 198

x

Universitas Sumatera Utara

5.2.10 Objek Penelitian 10 arsitektur kontemporer Batak Toba (wisma) .. 201

5.3 Perbandingan Makna Ornamen Pada ArsitekturTradisional dan Kontemporer

Batak Toba ...... 203

5.3.1 Fungsi estetika ...... 216 5.3.2 Fungsi prestise ...... 216 5.3.3 Fungsi ekspresi ...... 217 5.3.4 Fungsi religi ...... 217

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ...... 219

6.1 Kesimpulan...... 219

6.2 Saran ...... 221

DAFTAR PUSTAKA ...... 222

GLOSARIUM ...... 230

xi

Universitas Sumatera Utara xii

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

Gambar 1.1 Kerangka Berpikir ...... 10 Gambar 2.1 Skema Diadik Sistem Tanda Dalam Semiotika Menurut Saussure ...... 17 Gambar 2.2 Skema Triadik Semiotika Charles Sanders Peirce ...... 20 Gambar 2.3 Skema sistem tanda dalam arsitektur menurut Umberto Eco ...... 27 Gambar 2.4 Skema Kerangka Teori Semiotika Arsitektur ...... 31 Gambar 2.5 World Trade Center (1973-2001) di New York karya Minoru Yamasaki ...... 42 Gambar 2.6 Basilika Notre-Dame di Kanada Karya James O' Donnell (1823) ...... 45 Gambar 2.7 Gedung Dominus Winery di Napa Valley, California, Herzog dan de Meuron (1997) ...... 49 Gambar 2.8 Karya Frank Gehry, kiri: Guggenheim Museum di Bilbao Spanyol (1997) dan kanan Walt Disney Concert Hall di Los Angeles (2003)...... 50 Gambar 2.9 Gerbang kemagangan di kompleks keraton Yogyakarta ...... 52 Gambar 2.10 Skema Kosmologi dan Kosmogoni Masyarakat Tradisional Batak ...... 71 Gambar 2.11 Skema hubungan kekerabatan Debata Natolu di banua ginjang...... 72 Gambar 2.12 Rumah Tradisional Batak Toba Merupakan Simbol Kosmologi ...... 73 Gambar 2.13 Tuhan Menciptakan Alam Semesta Dan Manusia Menurut Agama Kristen ...... 80 Gambar 2.14 Kerangka Teori...... 83 Gambar 3.1 Rancangan Skematik Metodologi Penelitian ...... 87 Gambar 3.2 Peta Daerah Batak Toba Tua...... 90 Gambar 3.3 Ilustrasi bagan penataan kampung Batak Toba (huta) ...... 90 Gambar 3.4 Lokasi Penelitian Desa Banua Huta, Kecamatan Sigumpar-Kabupaten Toba Samosir...... 91 Gambar 3.5 Skema Metode Analisa Data ...... 96

xii

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4.1 Peta Administrasi Kabupaten Toba Samosir (kiri), dan Peta Kecamatan Sigumpar dan Lokasi Penelitian (kanan) ...... 98 Gambar 4.2 Peta Objek Penelitian Arsitektur Tradisional Batak Toba di Huta Margala Desa Banua Huta...... 99 Gambar 4.3 Objek Penelitian 1 dan 2 Arsitektur Tradisional Batak Toba ...... 100 Gambar 4.4 Objek Penelitian 3, 4 dan 5 Arsitektur Tradisional Batak Toba ...... 100 Gambar 4.5 Objek Penelitian 6, 7 dan 8 Arsitektur Tradisional Batak Toba ...... 101 Gambar 4.6 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 1 Arsitektur Tradisional...... 102 Gambar 4.7 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 2 Arsitektur Tradisional...... 103 Gambar 4.8 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 3 Arsitektur Tradisional...... 104 Gambar 4.9 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 4 Arsitektur Tradisional...... 105 Gambar 4.10 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 5 Arsitektur Tradisional...... 106 Gambar 4.11 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 6 Arsitektur Tradisional...... 107 Gambar 4.12 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 7 Arsitektur Tradisional...... 108 Gambar 4.13 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 8 Arsitektur Tradisional...... 109 Gambar 4.14 Objek Penelitian 9 Arsitektur Tradisional Batak Toba ...... 111 Gambar 4.15 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 9 Arsitektur Tradisional...... 112 Gambar 4.16 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 10 Arsitektur Tradisional ...... 113 Gambar 4.17 Objek Penelitian 1 Arsitektur Kontemporer Batak Toba ...... 116 Gambar 4.18 Detail Ornamen Pada Fasade Utama...... 116

xiii

Universitas Sumatera Utara Gambar 4.19 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 1 Arsitektur Kontemporer ...... 117 Gambar 4.20 Objek Penelitian 2 Arsitektur Kontemporer Batak Toba ...... 118 Gambar 4.21 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 2 Arsitektur Kontemporer ...... 119 Gambar 4.22 Objek Penelitian 3 Arsitektur Kontemporer Batak Toba ...... 120 Gambar 4.23 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 3 Arsitektur Kontemporer ...... 121 Gambar 4.24 Objek Penelitian 4 Arsitektur Kontemporer Batak Toba ...... 122 Gambar 4.25 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 4 Arsitektur Kontemporer ...... 123 Gambar 4.26 Objek Penelitian 5 Arsitektur Kontemporer Batak Toba ...... 124 Gambar 4.27 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 5 Arsitektur Kontemporer ...... 125 Gambar 4.28 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 6 Arsitektur Kontemporer ...... 126 Gambar 4.29 Objek Penelitian 7 Arsitektur Kontemporer Batak Toba ...... 127 Gambar 4.30 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 7 Arsitektur Kontemporer ...... 128 Gambar 4.31 Objek Penelitian 8 Arsitektur Kontemporer Batak Toba ...... 129 Gambar 4.32 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 8 Arsitektur. Kontemporer ...... 130 Gambar 4.33 Objek Penelitian 9 Arsitektur Kontemporer Batak Toba ...... 131 Gambar 4.34 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 9 Arsitektur Kontemporer ...... 132 Gambar 4.35 Objek Penelitian 10 Arsitektur Kontemporer Batak Toba ...... 133 Gambar 4.36 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 10 Arsitektur Kontemporer ...... 134 Gambar 5.1 Rumah Tradisional Menggambarkan Konsep Kosmologi ...... 136 Gambar 5.2 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) dan letaknya dalam konsep

xiv

Universitas Sumatera Utara

kosmologi ...... 137 Gambar 5.3 Gorga Ulu Paung ...... 139 Gambar 5.4 Gorga Dila Paung/santung-santung...... 142 Gambar 5.5 Gorga Gaja Dompak ...... 144 Gambar 5.6 Gorga Jenggar-jenggar ...... 146 Gambar 5.7 Gorga Jorngom ...... 149 Gambar 5.8 Gorga Singa-singa ...... 151 Gambar 5.9 Perempuan bertelanjang dada, menunjukkan wanita yang sudah menikah dan memiliki anak (hagabeon)...... 153 Gambar 5.10 Gorga adop-adop ...... 154 Gambar 5.11 Gorga Boraspati ...... 156 Gambar 5.12 Gorga Simeol-eol ...... 159 Gambar 5.13 Gorga Dalihan Natolu ...... 160 Gambar 5.14 Gorga Hoda-hoda ...... 162 Gambar 5.15 Gorga Simataniari ...... 165 Gambar 5.16 Gorga Sitagan ...... 167 Gambar 5.17 Gorga Simarogung-ogung ...... 169 Gambar 5.18 Gorga Hariara Sundung di Langit/Sangkamadeha (posisi dinding samping) ...... 171 Gambar 5.19 Gorga Hariara Sundung di Langit/Sangkamadeha ...... 172 Gambar 5.20 Gorga Desa Naualu ...... 177 Gambar 5.21 Gorga Singa-singa PadaDua (2) Tiang Teras Rumah ...... 179 Gambar 5.22 Gorga Simataniari ...... 179 Gambar 5.23 Tampilan Ornamen Pada Objek Penelitian 2 ...... 181 Gambar 5.24 Tampak Samping Gorga Singa-singa...... 182

xv

Universitas Sumatera Utara

xvi

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

Tabel 2.1 Klasifikasi Fungsi Ornamen ...... 37 Tabel 2.2 Uraian Fungsi Ornamen Arsitektur ...... 54 Tabel 2.3 Perbandingan nama hari dalam Bahasa Sanskerta dan Bahasa Batak Toba ...... 58 Tabel 2.4 Jenis-jenis Ornamen (Gorga) Pada Rumah Tradisional Batak Toba Dilihat Dari Segi Bentuk ...... 76 Tabel 3.1 Daftar Pertanyaan-pertanyaan Pokok Dan Tujuannya Untuk Wawancara . 94 Tabel 4.1 Ornamen Pada Objek Penelitian Arsitektur Tradisional Batak Toba ...... 115 Tabel 4.2 Ornamen Pada Objek Penelitian Arsitektur Kontemporer Batak Toba .... 135 Tabel 5.1 Makna Ornamen Gorga Ulu Paung ...... 141 Tabel 5.2 Makna Ornamen Dila Paung/Santung-Santung ...... 143 Tabel 5.3 Makna Ornamen Gaja Dompak ...... 144 Tabel 5.4 Makna Ornamen Jenggar-Jenggar...... 148 Tabel 5.5 Makna Ornamen Jorngom ...... 150 Tabel 5.6 Makna Ornamen Singa-singa ...... 152 Tabel 5.7 Makna Ornamen Adop-adop ...... 155 Tabel 5.8 Makna Ornamen Boraspati ...... 157 Tabel 5.9 Makna Ornamen Gorga Simeol-eol ...... 159 Tabel 5.10 Makna Ornamen Dalihan Natolu ...... 161 Tabel 5.11 Makna Ornamen Gorga Hoda-hoda ...... 163 Tabel 5.12 Makna Ornamen Gorga Simataniari ...... 166 Tabel 5.13 Makna Ornamen Gorga Sitagan ...... 167 Tabel 5.14 Makna Ornamen Gorga Simarogung-ogung ...... 170 Tabel 5.15 Makna Ornamen Gorga Hariara Sundung di Langit/sangkamadeha ...... 175 Tabel 5.16 Makna Ornamen Desa Naualu ...... 177

xvi

Universitas Sumatera Utara

Tabel 5.17 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 1, Arsitektur Kontemporer Batak Toba...... 180 Tabel 5.18 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 2, Arsitektur Kontemporer Batak Toba...... 183 Tabel 5.19 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 3, Arsitektur Kontemporer Batak Toba...... 186 Tabel 5.20 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 4, Arsitektur Kontemporer Batak Toba...... 188 Tabel 5.21 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 5, Arsitektur Kontemporer Batak Toba...... 190 Tabel 5.22 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 6, Arsitektur Kontemporer Batak Toba...... 192 Tabel 5.23 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 7, Arsitektur Kontemporer Batak Toba...... 194 Tabel 5.24 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 8, Arsitektur Kontemporer Batak Toba...... 196 Tabel 5.25 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 9, Arsitektur Kontemporer Batak Toba...... 199 Tabel 5.26 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 10, Arsitektur Kontemporer Batak Toba...... 202 Tabel 5.27 Makna Ornamen Pada Arsitektur Tradisional Batak Toba ...... 204 Tabel 5.28 Makna Ornamen Arsitektur Kontemporer Batak Toba ...... 211

xvii

Universitas Sumatera Utara BAB 1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ornamen merupakan elemen penting untuk menghias (enrichment or embellishment) suatu objek sehingga membentuk karakter atau style arsitektur tersebut

(Ward, J., 1896; Brett, D., 2005; Alexandra, dkk., 2016). Keberadaan ornamen merupakan ekspresi seni yang ditampilkan pada permukaan (surface) ekterior maupun interior arsitektur, yang dapat dilihat secara visual dari segi warna, pola dan tekstur (tangible expression) namun bisa juga memberi makna khusus (intangible essence) seperti makna simbolik, politik, ekspresi dan lain sebagainya. Ornamen telah menjadi elemen dalam desain arsitektur, sejak zaman prasejarah sampai dengan sekarang (Speltz, A., 1906;

Bragdon, C., 2005; Picon, A., 2014).

Keberadaan ornamen dalam kehidupan manusia sudah ditemukan sejak masa prasejarah (prehistoric), dilanjutkan kemasa Zaman Batu dan Zaman Logam. Speltz

(1906) dalam bukunya Styles of Ornament menyatakan Ornamen Prasejarah ditemukan tidak hanya di antara sisa-sisa ras orang-orang yang tinggal di Mediterania selama lebih dari 6000 tahun yang lalu, tapi juga ornamen primitif antara orang-orang yang tinggal secara terpisah (separated) di bumi ini. Selama Paleolitik atau Zaman Batu Kuno, batu digunakan sebagai bahan dari alat yang dibuat dengan lambat, alat dipoles dan diberi bentuk artistik, dan bejana yang terbuat dari tanah liat yang dihias sederhana semuanya merupakan ciri khas era ini. Penggunaan perunggu diperkenalkan dari Timur ke seluruh

1

Universitas Sumatera Utara 2

Eropa sekitar tahun 1500 SM. Maka bercerita tentang ornamen dan arsitektur, merupakan bagian dari jejak sejarah peradaban manusia, sebagai ruang hidup yang turut berkembang seiring masa peradabannya. Sehingga ornamen dan arsitektur dapat menjadi bukti sejarah perjalanan manusia dari satu era ke era berikutnya. Maka dalam perkembangan peradaban manusia dapat dilihat dan ditinjau dari perkembangan ornamen dan arsitektur yang ditunjukan dalam satu era mulai dari era Prehistoric Architecture (10000 SM-3000 SM),

Ancient Architecture (3000 SM-373M), Classical Architecture (800 SM-1750M), The

Age Of Enlightenment (1750M-1900M), Modern Architecture (1900-sekarang),

Postmodern Architecture (1960-sekarang). Perkembangan ornamen dan arsitektur berlanjut sampai era digital sekarang ini, dimana saat ini kebutuhan manusia semakin kompleks, seiring perkembangan inovasi dan teknologi hasil rekayasa manusia. Dimana seluruh aspek yang mempengaruhi hidup manusia pada masing-masing era menjadi pembentuk ornamen dan arsitektur di jamannya, seperti paradigma berfikir, kepercayaan, geografis, penguasa suatu wilayah, maupun pengaruh dari inovasi teknologi.

Para era Classical Architecture ornamen pada arsitektur tumbuh subur, hal ini dapat dilihat dari penggunaan ornamen yang ada di setiap bangunan. Sejak Adolf Loose menulis artikel yang berjudul “Ornamen and Crime” di tahun 1908 yang berisi analogi yang menyatakakan masyarakat Papua yang bertato dengan objek-objek sekeliling mereka yang berdekorasi adalah suatu masyarakat yang tidak beradab dan ketinggalan. Pahamnya telah menginspirasi arsitektur modern yang beranggapan bentuk modern adalah bentuk yang murni, bersih dan terbebas dari ornamen dengan alasan bahwa ornamen adalah suatu budaya masa lalu atau yang primitive yang harus dihilangkan untuk menuju suatu

Universitas Sumatera Utara 3

masyarakat yang modern. Artikel yang ditulis oleh Adolf Loose secara ekstrim mengutamakan fungsi dalam arsitektur, senada dengan artikel Louis Sullivan (1958-1924) pada tahun 1896, “The Tall Office Building Artistically Considered,” didalamnya dia membuat statement, “form ever follows function.” Dalam pandangan Sullivan keberhasilan suatu arsitektur, akan ditentukan dari fungsi yang dihasilkannya. Penekanan akan dominasi fungsi dalam arsitektur juga diutarakan oleh, Ludwig Mies van der Rohe

(1886–1969) arsitek Jerman dengan memperkenalkan pepatahnya “less is more”, yang dalam pemikirannya tampilan yang murni akan memberikan manfaat yang lebih banyak.

Namun pada kenyataanya era modernist tidak bisa meninggalkan ornamen, karena dalam setiap hasil karyanya selalu muncul walaupun dalam intensitas yang berbeda dari era sebelumnya.

Setelah beberapa dekade arsitektur modern memimpin timbullah perlawanan dari paham arsitektur post modern dimana beranggapan modernisme telah menghilangkan konteks lokasi, sosial, budaya setempat dengan memaksakan pahamnya. Paham post modern mengembalikan kembali ornamen karena menganggap modern tidak mempunyai jiwa dan membosankan. Tentu saja post modern hadir dengan mencari nilai dan expresi dalam penggunaan teknik membangun, bentuk dan referensi style-style lama yang sangat bertolak belakang dengan aliran modern.

Pada era digital komtemporer sekarang ini ornamen kini hadir secara meningkat dalam arsitektur, hal ini didukung oleh kemajuan teknologi industri dan software komputer. Bahkan menurut Picon, A. (2014), “Selama 10 sampai 15 tahun terakhir, ornamen atau praktik hias telah membuat perubahan spektakuler dalam arsitektur.”

Universitas Sumatera Utara 4

Keberadaan ornamen cenderung berbeda dari ornamen pada masa arsitektur sebelumnya

(arsitektur klasik dan arsitektur modern). Bila pada arsitektur klasik, ornamen dibuat untuk mempertegas ritme atau irama suatu bangunan dan biasanya terkonsentrasi pada titik-titik kunci tertentu, dan pada arsitektur modern hadir dalam berbagai bentuk samaran menempatkan material bangunan itu sendiri sebagai ornamen, kecenderungan pada era sekarang ornamen itu dibuat membungkus secara total dengan mengambil beragam bentuk pola pengubinan (tessellation).

Pada masa kemerdekaan tahun 1945 aliran Arsitektur Modern di dunia sedang berkembang dengan pesat, diterapkan di Indonesia oleh arsitek Belanda yang tinggal di Indonesia dan juga arsitek Indonesia lulusan kuliah dari Eropa. Misi yang sulit dari Presiden Soekarno untuk memperlihatkan Indonesia kepada dunia bahwa kita telah bergerak menuju bangsa yang maju dan modern khususnya melalui pembangunan

(arsitektur monumental). Persoalan timbul ketika ingin menunjukkan identitas jati diri arsitektur Indonesia ke pentas dunia, karena dengan keaneka ragama budaya yang menghasilkan arsitektur tradisional yang berbeda-beda dari Sabang sampai Merauke maka tidak mungkin hanya mengexplorasi satu arsitektur tradisional yang bisa menimbulkan perpecahan. Persoalan ini semakin rumit karena arsitektur tradisional mempunyai nilai- nilai yang bersifat sosial, budaya atau sakral atau spritual dalam menentukan ornamen dan bentuk dari bangunannya. Semuanya ada dasar dalam menentukan bangunannya seperti orientasi yang sakral terhadap alam, aturan yang ketat terhadap elemen-elemen arsitekturnya dari kolom, dinding, atap juga ornamen.

Konflik yang lain terjadi disini ketika bangunan modern mempunyai suatu fungsi

Universitas Sumatera Utara 5

yang tidak pernah ada dalam tipologi bangunan tradisional seperti hotel, kantor, shopping centre, rumah sakit, dan lain sebagainya. Semuanya hadir dari budaya barat yang telah meyakinkan kita inilah yang modern dan terkini. Tidak pernah ada sebelumnya cara membangun bangunan modern ini di budaya kita dan referensi tentu berasal dari arsitektur negara lain. Dikarenakan post modern sendiri mencari hubungan dengan masa lalu, dipaksakanlah gaya tradisional ke bangunan modern dengan cara menampilkan yang terlihat dipermukaan seperti bentuk atap, pola ornamen tradisional yang dipadukan bentuk dan fungsi yang modern seperti layaknya theme park bertema budaya. Maka yang terjadi akhirnya di era post modern, kita merasa tidak enak melihat atap tradisional dan ornamen tampil di setiap bangunan post modern ini. Tentu saja ini hanyalah tempelan atau dekorasi semata yang tidak ada makna, tidak ada dasarnya, dan tidak bersuara.

Meskipun beberapa arsitek di Indonesia telah sadar pentingnya fungsi ornamen ini untuk berkomunikasi ke publik tetapi sayangnya banyak juga dari bangunan di Indonesia tidak menyuarakan dengan benar ornamennya dan hanyalah menjadi unsur estetika semata yang tidak berbicara. Meskipun sudah lama paham modern menolak segala bentuk ornamen, namun hal itu tidak bisa dihindari, ornamen sendiri selalu muncul dengan sendirinya dalam perkembangan arsitektur kita. Saatnya kita perlu meninjau ulang fungsi ornamen dalam menyuarakan identitas arsitektur modern Indonesia. Dalam hal ini arsitektur dengan salah satu elemen ornamen didalamnya dapat dikatakan alat ungkap kehidupan masyarakat (Sardadi, 2009). Timbulnya keinginan para arsitek untuk memasukkan pesan sosial dalam tampilan bangunan, pandangan ini menjadi titik tolak pembahasan simbolisme dalam dunia arsitektur.

Universitas Sumatera Utara 6

Untuk pencarian makna dalam arsitektur, maka salah satu cabang ilmu pengetahuan yang relevan adalah semiotika. Munculnya semiotika arsitektur sebagai gerakan antitesa terhadap Gerakan International Style (arsitektur modern) di nilai para tokoh postmodern dinilai telah membuat arsitektur ‘krisis makna’ dan menimbulkan perdebatan. Para tokoh arsitektur postmodern menekankan pemahaman yang lebih luas tentang arsitektur bukan hanya sebagai wadah untuk melakukan aktifitas, melainkan arsitektur merupakan produk kebudayaan yang sangat beragam dalam masyarakat. Salah satu alternatife yang dimunculkan adalah semiotika untuk mencari alternatif nilai-nilai lokal, regional atau historis dalam arsitektur (Jencks, 1977). Semiotika arsitektur menurut

Eco (1980) untuk menjawab pertanyaan arsitektur dan lingkungan binaan yang menyajikan kasus khusus karena sering dimaksudkan untuk menjadi fungsional dan tidak menjadi komunikatif. Lebih lanjut Eco mengatakan dengan semiotika memungkinkan arsitektur berfungsi sebagai bentuk massa komunikasi, dimana ia membedakan antara fungsi utama arsitektur sebagai objek utilitarian (denotasi) dan dan fungsi sekunder arsitektur sebagai objek simbolis (konotasi).

Asumsi awal dari penelitian ini adalah, terdapat kaitan yang erat diantara pesan

(massage) dalam arsitektur, pengertian pesan secara keseluruhan, serta benda dalam hal ini ornamen yang membawa pesan tersebut. Ini menyangkut persoalan "bahasa" yang berlaku di masyarakat. Selera (taste) kontemporer merupakan aspek yang paradoks dalam periode modern, yang ditandai dengan konsumsi “form” yang begitu cepat (akibat perubahan code dan latar belakang ideologi yang drastis). Kehidupan modern dan kontemporer saat ini juga membuat pemulihan form yang dikonsumsi tersebut terjadi

Universitas Sumatera Utara 7

dengan sangat cepat melampaui kecepatan obsolensinya, pada tingkat kecepatan yang belum pernah ada dalam sejarah (Eco, 1980). Dengan penerapan konsep semiotika dalam arsitektur akan dapat menghasilkan arsitektur yang transformatif yang merangsang kreativitas arsitek dalam berkarya untuk menghasilkan arsitektur kontemporer yang tidak kosong (tanpa makna), namun bisa menghasilkan getar-getar budaya (cultural resonances) yang menyiratkan kesinambungan dengan keadiluhungan warisan masa silam. Dengan adanya unsur komunikasi dalam arsitektur maka hasil karya arsitek akan lebih dekat dengan konteks geografis serta kebudayaan setempat, sehingga masyarakat merasa memiliki, nyaman dan tidak merasa asing dengan suat objek arsitektur yang menjadi tempat tinggalnya sendiri (Dharma, 2010).

Bagi masyarakat Indonesia yang ada di Provinsi Sumatera Utara khusus masyarakat Batak Toba, penggunaan ornamen pada bangunan rumah tradisional sudah lama dikenal, disebut dengan gorga. Penempatan gorga pada Arsitektur Tradisional Batak

Toba yang terdiri dari dua jenis yakni yang pertama ruma (tempat tinggal) dan kedua

(tempat menyimpan padi, tempat musyawarah), sebagian besar diukir dan dipahat pada dinding depan dan samping rumah tinggal, sebagian lagi hanya di lukis atau disebut gorga dais. Seiring dengan perkembangan jaman dan kebutuhan modern masyarakat Batak Toba cenderung sudah meninggal bentuk arsitektur tradisional yakni ruma ataupun sopo.

Namun sebagian masyarakat masih menggunaan ornamen tradisional sampai dengan sekarang, tidak hanya pada bangunan rumah tinggal, juga pada bangunan dengan fungsi modern atau kontemporer seperti hotel, kantor, museum, pasar, wisma atau gedung serba guna, rumah ibadah. Hal ini menjadi fenomena yang menarik untuk mengungkap makna

Universitas Sumatera Utara 8

ornamen yang pada Arsitektur Tradisonal dan Kontemporer Batak Toba dengan fungsi yang modern pada masa sekarang.

1.2 Rumusan masalah

Bagaimana makna ornamen pada Arsitektur Tradisional Batak Toba dan

Arsitektur Komtemporer Batak Toba dengan pendekatan semiotika?

1.3 Tujuan Penelitian

Menemukan makna ornamen pada Arsitektur Tradisional Batak Toba dan

Arsitektur Kontemporer Batak Toba. Kemudian menyandingkan kedua penemuan makna tersebut untuk dapat mendeskripsikan sebuah ornamen (sebagai tanda) yang diproses berkali-kali apakah mengalami erosi makna dan provisional atau bahkan pengayaan makna (accretion).

1.4 Batasan Penelitian

Penelitian ini mengkaji makna ornamen pada Arsitektur Tradisional Batak Toba dan ornamen tersebut masih digunakan dalam Arsitektur Kontemporer Batak Toba.

1.5 Manfaat Penelitian

Dengan mendeskripsi budaya tradisional lokal (khususnya ornamen arsitektur), bisa membuka cakrawala berpikir masyarakat akan kekayaan budaya bangsa, mengutip hal baik pada masa lalu untuk diterapkan pada masa sekarang demi kemajuan bangsa khususnya dalam bidang arsitektur.

Penelitian ini diharapkan dapat mengangkat kearifan lokal Arsitektur Batak Toba untuk dikenal dan berkontribusi dalam untuk pengembangan dunia arsitektur secara

Universitas Sumatera Utara 9

global dan khususnya arsitektur Indonesia. Dengan memberikan deskripsi makna ornamen pada arsitektur hal ini bisa digunakan para arsitek yang untuk berkarya menghadirkan style atau langgam arsitektur tertentu.

Pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang Semiotika Arsitektur bagaimana sebuah objek sign vehicle (dalam penelitian ini ornamen arsitektur) dapat diproduksi dengan bentuk yang sama untuk masa yang berbeda, kaitannya dengan makna atau pesan yang terkandung dalam objek tersebut.

1.6 Kerangka Berfikir

Dari latar belakang penelitian yang telah diuraikan, yakni ornamen arsitektur yang selalu eksis dalam kehidupan manusia, sempat ditentang dalam era Arsitektur Modern, muncul kembali pada era Arsitektur Postmodern. Keberadaan ornamen perlu dan menarik untuk dikaji, agar dapat diprediksi penggunaan ornamen pada masa yang akan datang.

Dari latar belakang penelitian telah tergambar rumusan masalah. Kemudian penelitian ini dilanjutkan dengan kajian teori yang sudah dibuat oleh para ahli tentang fungsi ornamen dan juga teori semiotika dalam arsitektur. Dilanjutkan dengan menetapkan metodologi penelitian dalam pencarian, pengolahan, dan analisa data serta pembahasan, dengan menggunakan teori yang sudah ada dengan teknik analisa kualitatif deskriptif. Dari hasil analisa dilakukan pembahasan untuk menghasilkan satu penemuan, yang dapat mendukung teori yang sudah ada atau sebaliknya. Hasil penemuan penelitian ini kemudian dibuat satu kesimpulan (Gambar 1.1).

Universitas Sumatera Utara 10 Latar Belakang: - Jejak ornamen sudah ada awal sejarah umat manusia. Pada masa arsitektur klasik ornamen tumbuh subur dan ditentang pada masa arsitektur modern, Perkembangan teknologi, era digital membuat ornamen tumbuh subur dalam bentuk yang baru pada arsitektur kontemporer. - Perlu mengkaji fungsi ornamen dalam arsitektur pada masa lalu dan sekarang untuk dapat memberi gambaran penggunaan ornamen untuk masa depan sebagai pembentuk jati diri arsitektur Indonesia.

Rumusan Masalah: Bagaimana makna ornamen pada Arsitektur Tradisional Batak Toba dan ornamen pada Arsitektur Kontemporer Batak Toba dengan pendekatan semiotika?

Kajian Teori. - Semitotika yakni ilmu yang mempelajari tentang tanda (Sign) - Ornamen arsitektur sebagai sign, yang secara fungsi denotasi tidak memberikan fungsi utilitas, namun memiliki fungsi konotasi.

Pencarian Data (Studi Kasus 1) Pencarian Data (Studi Kasus 2) Ornamen pada Arsitektur Ornamen pada Arsitektur Tradisional Batak Toba: Kontemporer Batak Toba: mengumpulkan data melalui studi mengumpulkan data melalui observasi literature dan observasi lapangan. lapangan, wawancara dan studi literatur. Analisa: Analisa: Mengkaji makna ornamen dengan Mengkaji makna ornamen dengan metode analisis isi (content analysis), artinya data yang terkumpul metode analisis isi (content analysis), artinya data yang terkumpul dikelompokkan secara isi dikelompokkan secara isi diorintasikan terhadap teori, diorintasikan terhadap teori, kemudian di interpretasi yakni fungsi kemudian di interpretasi yakni fungsi sign (ornamen) dengan elaborasi kebudayaan masyarakat sign (ornamen) dengan elaborasi kebudayaan masyarakat

Penemuan 1: Penemuan 2: Menguraikan makna ornamen pada Menguraikan makna ornamen pada Arsitektur Tradisional Batak Toba. Arsitektur Kontemporer Batak Toba.

Kesimpulan

Gambar 1.1 Kerangka Berpikir

Universitas Sumatera Utara 11

1.7 Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun dalam enam bab, untuk memudahkan dalam penyajian dan pembahasan. Dimana masing-masing bab bisa terdiri dari beberapa sub-bab, dengan rincian sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN,

Bab Pendahuluan ini merupakan penjelasan awal penelitian ini yang terdiri dari sub bab tentang Latar Belakang Penelitian, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat

Penelitian, Batasan Penelitian dan Kerangka Berpikir serta Sistematika Penulisan Laporan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA,

Bab Kajian Pustaka ini mengumpulkan teori atau pandangan yang pernah dikemukakan oleh ahli yang berkaitan dengan penelitian ini, meliputi teori Semitoka,

Teori Ornamen berupa sejarah dan fungsinya serta kajian pustaka tentang Kebudayaan

Masyarakat Tradisonal dan Masyarakat Kontemporer Batak Toba.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bab Metodolologi Penelitian ini menguraikan metode dalam penentuan: Lokasi

Penelitian, Variabel Penelitian, Populasi/Sampel, Metoda Pengumpulan data serta Metoda

Analisa Data.

BAB IV DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN.

Pada Bab ini diuraikan tentang Objek Penelitian yang terdiri dari Arsitektur

Tradisional Batak Toba dan Arsitektur Kontemporer Batak Toba. Hasil identifikasi objek penelitian yang diperoleh dari observasi, studi pustaka dan wawancara.

BAB V ANALISA, PEMBAHASAN DAN PENEMUAN

Universitas Sumatera Utara 12

Bab Analisa Data ini berisi analisa data dari identifikasi objek penelitian. Hasil analisa kemudian rangkum untuk mendapat kesimpulan menjadi hasil penemuan.

Selanjutnya hasil penemuan ini dibandingkan dengan teori yang sudah ada. Apakah hasil penemuan mendukung teori yang sudah ada atau sebaliknya

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini memuat hasil kesimpulan makna oramen dalam arsitektur, yang diperoleh dari hasil studi kasus, yakni arsitektur tradisional dan arsitektur kontemporer Batak Toba.

Saran untuk tindakan lanjutan ke depan, berupa pengembangan ilmu pengetahuan serta prakter arsitektur.

Universitas Sumatera Utara BAB 2BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Semiotika

2.1.1 Sejarah dan definisi semiotika

Istilah semiotika (semiotics) secara etimologi berasal dari bahasa Yunani

"semeion" artinya adalah tanda. Ide-ide semiotik tentang penggunaan tanda dan maknanya secara implisit sudah dikembangkan dari zaman kuno dan Abad Pertengahan, namun teori umum tanda-tanda dengan nama semiotik tidak muncul sebelum periode semiotik modern

(Noth, W., 1995). Pendapat yang sama juga dinyatakan oleh Chandler (2007) yang mengungkapkan teori tanda (atau simbol) muncul sepanjang sejarah filsafat manusia sejak zaman kuno sampai dengan sekarang, namun referensi eksplisit yang pertama untuk semiotika sebagai cabang filsafat baru muncul dalam esai John Locke tahun 1690 “An

Essay Concerning Human Understanding”. Perkembangan ilmu semiotika didukung oleh banyak ahli, ditandai dengan pada tahun 1969 telah berdiri organisasi IASS (International

Association for Semiotic Studies) merupakan organisasi semiotika utama di dunia yang menerbitkan jurnal resminya berjudul Semiotica. Asosiasi ini secara teratur menyelenggarakan kongres dunia dalam membahas semiotika.

Noth, W. (1995) menyatakan dua istilah utama dalam semiotika modern berasal dari seorang ahli bahasa dari negara Swiss, Ferdinand de Saussure (1857–1913) menamakannya dengan istilah semiology dan filsuf Amerika Charles Sanders Peirce

(1839–1914) dengan istilah semiotic. Saussure, menyatakan semiotika merupakan ilmu

13

Universitas Sumatera Utara 14

yang mengkaji tentang tanda dari bagian kehidupan sosial (Leeds-Hurwitz, 1993).

Pengertian yang disampaikan oleh Saussure menjelaskan secara implisit, kajian semiotika berkaitan dengan aturan-aturan umum atau kode sosial (social code) yang ada pada sebuah masyarakat, sehingga suatu tanda bisa dipahami maknanya secara kolektif. Dengan demikian sebagai sebuah ilmu, semiotika bisa digunakan untuk membaca sebuah tanda

(decoding) atau untuk menciptakan sebuah tanda (encoding).

Sedangkan Peirce menyebut semiotika adalah suatu aksi, suatu pengaruh, yang merupakan, atau yang melibatkan, suatu kerja bareng antara tiga subjek, yaitu tanda, objeknya dan interpretannya didasarkan pada logika (Leeds-Hurwitz, 1993; Piliang, Y.

A., 2017). Menurut Peirce kata ‘semiotika’, merupakan sinonim kata logika. Dengan logika dapat mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran, menurut Pierce yang mendasar dilakukan melalui tanda-tanda. Dengan tanda-tanda memungkinkan manusia berfikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna atas apa yang terjadi di alam semesta (Sobur, 2017).

Secara umum semiotika dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang tanda (Chandler, 2007). Lebih lanjut Daniel mengemukakan bahwa tanda yang dimaksud disini bukan hanya tanda-tanda visual seperti rambu-rambu lalu lintas, logo toko atau pub melainkan meliputi kata-kata, suara dan bahasa tubuh. Di luar definisi paling dasar sebagai

'studi tentang tanda-tanda', ada variasi yang cukup besar di antara para ahli semiotik terkemuka mengenai apa yang melibatkan semiotika. Salah satu definisi yang paling luas diutarakan Eco (1976), yang menyatakan bahwa semiotika berkaitan dengan segala sesuatu yang dapat dipandang sebagai tanda dimana sebuah tanda merupakan segala

Universitas Sumatera Utara 15

sesuatu yang dapat dipakai pengganti sesuatu yang lain secara signifikan. Bidang-bidang yang terlibat dalam semiotika cukup luas, mencakup dunia manusia, binatang, dan benda- benda. Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif, mampu menggantikan suatu yang lain (stand for something else) yang dapat dipikirkan atau dibayangkan (Broadbent, dkk., 1980). Dalam pengertian Broadbent tersebut arti semiotik, tanda-tanda mengambil bentuk kata, gambar, suara, gerak tubuh dan objek. Para semiotika kontemporer mempelajari tanda-tanda yang tidak terisolasi tetapi sebagai bagian dari 'tanda-sistem' semiotik. Semiotika mempelajari bagaimana makna dibuat dan bagaimana realitas direpresentasikan.

Dari pengertian yang disampaikan para ahli tersebut, maka dalam tulisan ini digunakan defenisi semiotika merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda, dimana tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif, mampu menggantikan suatu yang lain (stand for something else) yang dapat dipikirkan secara logika, bersifat umum yang berlaku pada sebuah masyarakat.

2.1.2 Tokoh semiotika

Dalam perbincangan mengenai sejarah semiotika sebagai ilmu pengetahuan pada era modern, akan ditemukan dua tokoh utama yang sangat berpengaruh, yakni Saussure dan Peirce (Piliang, Y. A., & Adlin, A., 2003). Perbedaan teori semiotika yang dikembangkan oleh kedua tokoh tersebut bukan hanya dalam penamaan ilmu tersebut dimana Saussure dengan istilah semiology dan Peirce dengan istilah semiotic, namun juga teori tentang tanda (sign). Teori tanda Saussure dikenal dengan pola diadik yakni terdiri dari penanda (signifier) dan pertanda (signified), sedangkankan teori tanda Peirce dikenal

Universitas Sumatera Utara 16

dengan pola hubungan triadik yakni terdiri dari object, representament, interpretant.

Tradisi linguistik dari Saussure yang didefinisikan sebagai semiologi dikembangkan oleh Hjelmslev dan Barthes. Sedangkan Peirce dengan teori umum tanda- tanda yang disebut semiotika dikembangkan oleh Morris (Noth, W., 1995). Saat ini, semiotica secara umum diterima sebagai sinonim dari semiology atau sebagai istilah yang lebih umum, yang mencakup semiologi sebagai salah satu cabangnya. Namun seiring perkembangan waktu, istilah semiotica menjadi lebih populer dibandingkan dengan istilah semiotilogy, sehingga istilah semiotika menjadi dominan digunakan yang juga diikuti para pengikut (Sobur, 2017).

2.1.2.1 Pola diadik Ferdinand de Saussure Dalam teori semiotika yang dikemukakan oleh Saussure, semiotik dibagi menjadi dua bagian (diadik) yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud, misalnya dalam karya arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi atau nilai-nilai yang terkandung didalam karya arsitektur (Gambar 2.1). Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi.

Dalam bukunya Course in General Linguistics, pertama kali diterbitkan pada tahun 1916, Saussure mempostulatkan keberadaan ilmu umum tentang tanda-tanda, atau

Semiologi, di mana linguistik menjadi satu bagian didalamnya (Barthes, 1964). Karena itu semiologi bertujuan untuk mengambil dalam sistem tanda apa pun, apa pun substansi dan batasannya; gambar, gerak tubuh, suara musik, objek, dan asosiasi kompleks dari

Universitas Sumatera Utara 17

semua ini, yang membentuk konten ritual, konvensi atau hiburan publik. Hal ini menurut

Barthes (1964), menjadikan semiotika semakin berkembang, perkembangan komunikasi massa memberikan relevansi khusus atas bidang luas media penandaan, tepat ketika keberhasilan disiplin ilmu seperti linguistik, teori informasi, logika formal dan antropologi struktural menyediakan analisis semantik dengan instrumen baru.

Gambar 2.1 Skema Diadik Sistem Tanda Dalam Semiotika Menurut Saussure

Ide-ide Saussure telah membuat kemajuan besar pada bidang ilmu semiotika

(Barthes, 1964). Namun ilmu semiotika yang diuraikan Saussure hanya menyangkut linguistik yang membentuk bagian dari ilmu secara umum tentang tanda, sedangkan menurut Barthes, dalam kehidupan sosial saat ini harus ditemukan sistem tanda yang luas di luar bahasa manusia. Memang benar bahwa objek, gambar, dan pola perilaku dapat menandakan, dan melakukannya dalam skala besar, tetapi tidak pernah secara mandiri, setiap sistem semiotika memiliki campuran linguistiknya. Di mana ada substansi visual, misalnya, artinya dikonfirmasikan dengan digandakan dalam pesan linguistik. Sehingga setidaknya bagian dari pesan ikonik, dalam hal hubungan struktural, baik berlebihan atau

Universitas Sumatera Utara 18

diambil oleh sistem linguistik. Adapun koleksi benda (pakaian, makanan), mereka menikmati status sistem hanya sejauh mereka melewati estafet bahasa, yang mengekstraksi penanda mereka (dalam bentuk nomenklatur) dan memberi nama mereka yang ditandai (dalam bentuk penggunaan atau alasan), kita, jauh lebih banyak daripada di masa lalu, dan meskipun penyebaran ilustrasi bergambar, peradaban kata tertulis.

Akhirnya, dan dalam istilah yang lebih umum, tampaknya semakin sulit untuk membayangkan suatu sistem gambar dan benda-benda yang ditandai dapat eksis secara independen dari bahasa. Dengan demikian, meskipun bekerja pada permulaan substansi non linguistik, semiologi diperlukan, cepat atau lambat, untuk menemukan bahasa (dalam pengertian umum istilah) di jalurnya, tidak hanya sebagai model tetapi juga sebagai komponen, relai atau ditandai. Meski begitu, bahasa seperti itu tidak sepadan dengan ahli bahasa: ia adalah bahasa tingkat dua, dengan kesatuannya tidak lagi monem atau fonem, tetapi fragmen wacana yang lebih besar merujuk pada objek atau episode yang maknanya mendasari bahasa, tetapi tidak pernah bisa eksis secara mandiri itu. Semiologi karena itu mungkin ditakdirkan untuk diserap ke dalam trans-linguistik, bahan yang mungkin mitos, narasi, jurnalisme, atau di sisi lain objek peradaban kita, sejauh mereka diucapkan

(melalui pers, prospektus, wawancara, percakapan dan bahkan mungkin bahasa batin, yang diperintah oleh hukum imajinasi). Dengan inversi ini Barthes berharap untuk menyoroti kesatuan penelitian semiotika dilakukan dalam antropologi, sosiologi, analisis psiko dan stylistics di sekitar konsep penandaan. Barthes (1964) mengembangkan elemen- elemen semiologi dikelompokkan dalam empat kategori, yakni:

1. Language and Speech (parole). 2. Signified and Signifier.

Universitas Sumatera Utara 19

3. Syntaqm and System. 4. Denotation and Connotation.

Elemen-elemen yang disajikannya bertujuan untuk mengekstraksi dari konsep- konsep analitik linguistik menjadi lebih spesifik. Akan terlihat bahwa judul-judul ini muncul dalam bentuk dikotomik; pembaca juga akan memperhatikan bahwa klasifikasi biner konsep tampaknya sering dalam pemikiran struktural. Dengan demikian taksonomi ilmu semiotika ini, jika diketahui dengan baik, niscaya akan memberikan banyak informasi tentang apa yang disebut bidang imajinasi intelektual di zaman kita (Barthes,

1964).

2.1.2.2 Pola triadik Charles Sanders Peirce Semiotika menurut Pierce adalah suatu tindakan (action) dan pengaruh

(influence) yang tercipta atas ikatan hubungan tiga subyek yaitu tanda (sign), obyek

(object) dan interpretan (interpretant). Menurut Peirce sebuah tanda tidak pernah berupa suatu entitas yang sendirian, tetapi akan selalu memiliki ketiga aspek tersebut (sign, object, interpretant). Sistem triadik yang ada dalam konteks pembentukan tanda membangkitkan semiotika yang tidak terbatas, selama suat penafsir (gagasan) yang membaca tanda sebagai bagi tanda yang lain (yaitu sebagai wakil dari suat makna atau penanda) bisa ditangkap oleh penafsir lainnya (Gambar 2.2). Penafsir ini adalah unsur yang harus ada untuk mengaitkan tanda dengan objeknya. Sehingga agar bisa ada suatu tanda, maka tanda tersebut harus ditafsirkan dan sekaligus mengharuskan memiliki penafsir (Sobur, 2007; Yakin, H. S. M., & Totu, A., 2014).).

Universitas Sumatera Utara 20

Gambar 2.2 Skema Triadik Semiotika Charles Sanders Peirce

2.1.3 Semiotika Arsitektur

Paham tentang semiotika dalam arsitektur telah dimulai secara implisit dari awal abad pertama yang dikemukakan oleh Vitruvius (2015) dalam bukunya The Ten Books On

Architecture menyatakan “dalam segala hal, tetapi khususnya pada arsitektur ada ini dua poin, sebagai signified (penanda) dan bagaimana benda itu memberikan significance

(makna)”. Semiotika arsitektur, merupakan cabang semiotika komunikasi visual, terkait erat dengan estetika, dengan semiotika objek, dan proxemik, semiotika ruang (Eco, 1976).

Menurut Barthes (1986), semiotika arsitektur dimulai ketika diskusi metaforis bahasa kota

(language of the city) dilanjutkan oleh penelitian analitik dan sistematis dalam tanda dan kode arsitektonik. Penelitian semacam itu sebagian besar berasal dari tahun 1960-an. Hal ini dibahas baik pada tingkat teoretis pada konferensi semiotik internasional dan oleh para praktisi arsitektur. Beberapa dari mereka menganggap semiotika sebagai alat untuk mengatasi krisis dalam metodologi desain atau jalan keluar dari fungsionalisme naif.

Semiotik dapat berkontribusi untuk memecahkan masalah praktik arsitektur dengan

Universitas Sumatera Utara 21

menunjukkan pluralitas interpretasi dan dengan demikian menempatkan manusia di pusat perhatian arsitektur (Noth, W., 1995).

Pada awalnya semiology yang di utarakan oleh Saussurean dan dikembangkan oleh Levi-Strauss ke dalam strukturalisme diterapkan pada analisis fenomena budaya secara umum (Broadbent, 1977). Studi dengan pembahasan metafora bahasa dalam arsitektur (the language of architecture) merupakan pelopor semiotika arsitektur. Menurut

Noth (1995) pembahasan awal semiotika arsitektur diawali dari estetika semiotik, kemudian secara eksplisit pendekatan semiotik untuk arsitektur berasal dari sejumlah studi dalam konteks strukturalisme.

Menurut Broadbent (1994), teori Semiotik dalam arsitektur semakin menarik perhatian para ahli setelah Jencks dan Baird menerbitkan buku yang menjadi perintis yang berjudul Meaning in Architecture pada tahun 1969. Diikuti dengan berbagai konferensi dan pertemuan yang secara rutin dilakukan yang melibatkan para arsitek besar.

Diantaranya sebuah pertemuan terorganisir oleh Lagopoulos di 1985, yang dinamakan

Semiotics of Space di Yunani. Inisiatif lain diambil oleh Manar Hammad, yang kemudian menyelenggarakan pertemuan pada Semiotics and Aesthetics of Space di Urbino di 1987 dan satu lagi pada 'Affordances' pada tahun 1988. Dari sini tumbuh IASPE (Asosiasi

Internationale de Semiotique de l'Espace), dengan orang-orang yang aktif terlibat didalamnya, dan ikut aktif dalam konteks yang lebih besar dari IASS (International

Association for Semiotic Studies) di Perpignan pada tahun 1989, di mana IASPE diakui secara resmi sebagai badan pendukung. Pada pertemuan itu terdapat perbedaan filosofis atau ideologis antara orang-orang Eropa daratan yang mengambil pandangan diadik

Universitas Sumatera Utara 22

tentang hal-hal yang berkaitan dengan makna, berasal dari semiologi Saussure yang dikembangkan oleh Greimas dan lainnya; dan orang-orang Anglo Saxon yang, yang mengambil semiotika Peirce, cenderung berpikir dalam triadik serta hali ini membuat diskusi yang hidup dan produktif (Broadbent, 1994). Produk-produk dari diskusi ini secara keseluruhan telah tersebar di jurnal arsitektur, perencanaan, semiotik, dan lainnya, proses konferensi yang lebih umum, dan sebagainya. Lingkup pembahahasan dalam semiotika arsitektur diberi judul bagian utama diantaranya Ruang dan Ideologi (Space and

Ideology), Semiotika Arsitektur dan Estetika (Semiotics of Architecture and Aesthetics),

Konotasi Arsitektur (Architectural Connotation), Struktur Spasial (Spatial Structures),

Arsitektur dan Intervensi Perkotaan (Architecture and Urban Intervention), Pendekatan

Semiotik Ruang (Approaches to the Semiotics of Space).

Menurut Broadbent (1977), sejak buku Jencks ‘The Language of Post Modern

Architecture’, para arsitek di seluruh dunia telah berupaya lagi untuk membangun makna ke dalam bangunan mereka, namun sedikit yang tahu bahwa prinsip semiotik dapat membantu mereka; dan kedua, sementara kita dalam disiplin melihat arsitektur dengan input multisensorinya sebagai wahana yang sangat berguna untuk memperluas studi semiotik di luar konvensi Saussure dan Peirce yang diturunkan dalam bahasa.

Universitas Sumatera Utara 23

Semiotika arsitektur juga dikembangkan Norberg Schultz dengan memperkenalkan tiga model semiotik Morris yakni Pragmatik, Sintaksis, dan Semantik dalam bukunya yang berjudul Intentions in Architecture (1963). Tetapi kemudian Norberg

Schultz tidak melanjutkannya dan lebih fokus kedalam kompleksitas pemikiran milik

Husserl dan Heidegger bidang fenomenologi. Broadbent (1977) mengatakan para arsitek dalam praktik cenderung bekerja (meskipun secara tidak sadar) dengan pragmatik, sintaksis, dan semantik, sering dengan lebih menekankan salah satunya daripada yang lain. Berdasarkan semiotika, arsitektur dapat dianggap sebagai "teks".

Pendekatan interpretasi arsitektur sebagai sistem tanda telah didasarkan pada model yang berbeda dari tradisi semiotik utama (diadik dan triadik). Kode (atau sistem) dari tanda-tanda ini sebagian besar ditafsirkan sesuai dengan model semiotik kode bahasa.

Terdapat setidaknya 3 kategori model analisis tanda dalam semiotika arsitektur yaitu

Model Behavioristic Morris, Model Dyadic Saussure dikembangkan juga menjadi Model

Glossematic Hjelmslev, dan Model Triadic Sign Peirce (Noth, 1995).

- Model Behavioristic Morris: dalam kategori behavioris Morris sebagai sesuatu yang

mengarahkan perilaku sehubungan dengan objek stimulus yang tidak ada yang

merupakan denotatumnya. Dalam interpretasi ini, fungsi semiotik sebuah bangunan

adalah perilaku yang diterapkan pada penghuninya. Dengan model ini denotata sebuah

bangunan adalah manusia "yang keberadaannya memungkinkan penyelesaian urutan

tanggapan." Denotata sebuah sekolah, misalnya, adalah anak-anak yang belajar di

sana. Jadi yang penting dari bangunan tersebut adalah kenyataan bahwa anak-anak ini

bersekolah.

Universitas Sumatera Utara 24

- Model Dyadic Saussure: Interpretasi spesifik arsitektur dalam hal model ini diusulkan

dengan menghubungkan dikotomi penanda dan ditandai dengan kategori arsitektonik

ruang luar dan dalam. Ruang dalam (ditandai), menurut De Fusco, mewujudkan esensi

arsitektur, motif untuk penciptaan bangunan, karena di dalamnya fungsi kehidupan

yang praktis dan representatif dikembangkan. Model ini juga dikembangkan menjadi

Model Glossematic Hjelmslev dalam bentuk yang lebih rumit yang dikembangkan

oleh Hjelmslev. Mengikuti Hjelmslev, Eco mendefinisikan tanda arsitektural sebagai

memiliki empat tingkatan berikut (1) ekspresi dan substansi (expression and

substance) adalah jumlah total dari semua kemungkinan yang dapat mengartikulasikan

ruang dan benda arsitektonik. Ekspresi dan bentuk (expression and form) adalah

sistem oposisi arsitektonis dan dengan demikian struktur bentuk. Konten dan substansi

(content and substance) adalah semua fungsi arsitektur yang mungkin dalam budaya

tertentu. Kontennya dan bentuk (content and form) adalah sistem makna yang

diasosiasikan budaya dengan arsitektur. Eco memberikan garis besar dari sistem

semantik arsitektonis seperti itu, yang ia pelajari dengan metode semantik analisis

komponen. Dalam analisis ini, unit-unit bentuk ekspresi arsitektonik disebut morfem.

Mereka dikorelasikan dengan unit konten, yang disebut sememes, yang selanjutnya

disusun oleh komponen semantik.

- Model Triadic Sign Peirce: Model tanda triadik dan tipologi tanda-tanda Peirce

dengan menentukan bangunan yang sudah ada secara faktual sebagai indexical sinsign.

Objek tunggal yang tetap sehubungan dengan waktu dan ruang membuatnya menjadi

sinsign. Dengan merujuk pada arsitek yang mendesainnya, bangunan itu menjadi

Universitas Sumatera Utara 25

indeks, dan sebagai objek budaya yang membangkitkan penilaian dan evaluasi,

bangunan itu layak.

Tanggapan Eco terhadap model triadik dari tanda arsitektural perbedaan antara kendaraan tanda material (atau penanda) dan objek referensial tampaknya tidak mungkin karena kedua entitas memiliki keberadaan fisik yang sama, yaitu, benda arsitektonik itu sendiri (Eco, 1980). Dalam tulisan ini mengunakan analisa dengan Model Dyadic

Saussure yang telah di kembangkan oleh Umberto Eco, khususnya dengan tulisannya yang berjudul “Function and sign, the semiotics of architecture” yang ditulisnya tahun 1980.

2.1.3.1 Makna dalam Semiotika Arsitektur

Untuk dapat menemukan makna dari arsitektur maka dapat dilihat dari bagaimana masyaratakat pengguna arsitektur tesebut bertindak atau bereaksi menggunakannya. Ini menjadi penting disadari bahwa aspek “fungsi” dalam arsitektur hal utama, dan bahwa ini berlaku untuk ekonomi, konsumsi, untuk semua artefak dan kepemilikan sosial, bahkan untuk makanan (Rapoport, 1969). Namun makna dalam arsitektur juga penting ketika disadari bahwa konsep "fungsi", yang begitu penting dalam gerakan modern, jauh melampaui fungsi-fungsi yang murni bersifat instrumental atau nyata. Ketika aspek laten dari fungsi dipertimbangkan, dengan cepat disadari bahwa makna adalah pusat dari pemahaman tentang bagaimana lingkungan bekerja. Perhatikan bahwa tipologi ini berhubungan dengan cara yang menarik dengan hierarki tingkat makna, mulai dari objek konkret melalui objek pakai, objek nilai hingga objek simbolik.

Hal tersebut menunjukkan bahwa makna bukanlah sesuatu yang terpisah dari fungsi, tetapi itu sendiri merupakan aspek fungsi yang paling penting. Padahal, aspek

Universitas Sumatera Utara 26

makna lingkungan itu penting dan sentral, sehingga lingkungan fisik-pakaian, perabot, bangunan, taman, jalan-jalan, lingkungan, dan sebagainya-digunakan dalam penyajian diri, dalam membangun identitas kelompok (Rapoport, 1990), dan dalam enkulturasi anak-anak. Pentingnya makna ini juga dapat diperdebatkan atas dasar pandangan bahwa pikiran manusia pada dasarnya bekerja dengan mencoba memaksakan makna pada dunia melalui penggunaan taksonomi kognitif, kategori, dan skema, dan bentuk-bentuk yang dibangun, seperti aspek-aspek material lainnya. budaya, adalah ekspresi fisik dari skema dan domain ini. Elemen fisik tidak hanya membuat kategori budaya yang terlihat dan stabil, mereka juga memiliki makna; yaitu, mereka dapat diterjemahkan jika dan ketika mereka cocok dengan skema orang.

Dalam asal-usul budayanya, arsitektur memiliki fungsi praktis menyediakan tempat berteduh, dan tidak seorang pun akan menyangkal bahwa atap dan jendela sebagian besar bangunan kontemporer melayani fungsi-fungsi utama seperti melindungi dari hujan dan menyediakan cahaya (Eco, U., 1980). Pada pandangan pertama, arsitektur tampaknya tidak komunikatif atau mewakili apa pun kecuali dirinya sendiri. Namun, arsitektur tidak terbatas pada fungsi utilitariannya dan ada beragam fungsional lain yang dimiliki bisa tercipta dari dimensi makna. Misalnya sebuah pintu atau jendela, selain maknanya sebagai akses (fungsi utilitarian) dapat menunjukkan beragam makna lain, bisa menjadi simbol keindahan dan kemegahan (gambar 2.3).

Universitas Sumatera Utara 27

Makna:

(Denotasi-konotasi)

Bentuk Fungsi Arsitektur Arsitektur

Gambar 2.3 Skema sistem tanda dalam arsitektur menurut Umberto Eco Sumber: Interpretasi Penulis dari tulisan ”Function and sign, the semiotics of architecture (Eco, 1980) Bentuk arsitektur memiliki banyak dimensi makna. Salah satu upaya untuk menyusun ruang semantik arsitektur adalah dengan cara dikotomi konotasi dan denotasi.

Eco (1980) menginterpretasikan fungsi utama (utilitarian) bangunan sebagai denotasinya dan fungsi sekunder sebagai domain konotasi tanpa batas. Sebuah rumah merupakan tempat tinggal menunjukkan utilitasnya (denotasi) dan namun rumah tersebut bisa berkonotasi berdasarkan sejarahnya, konten estetika, dan konteks antropology sebuah ideologi kehidupan. Menurut Nort (1995) dikotomi makna arsitektur dalam fungsi denotasi – konotasi yang digunakan sebagai interpretasi kajian semiotika arsitektur seperti yang dilakukan Umberto Eco juga telah digunakan oleh banyak ahli lainnya diantaranya;

Dorfles (dengan tulisannya Structuralism and semiology in architecture -1969),

Seligmann (dengan tulisannya What is door? Notes toward a semiotic guide to design -

1982), dan Scalvini (dengan tulisannya A semiotic approach to architectural criticism -

1979).

Universitas Sumatera Utara 28

2.1.3.2 Denotasi dan konotasi dalam Arsitektur Semua benda yang digunakan akan selalu menjadi wahana tanda yang memberikan informasi konvensional mengenai fungsi dari benda tersebut. Demikian juga arsitektur, secara umum dapat dikatakan bahwa bangunan mempunyai informasi pertama

(denotasi) sebagai tempat hunian, temat beraktifitas, namun ini bukanlah berarti bahwa bangunan tidak mengandung arti lain bersifat konotasi (Dharma, 2010; Ching, 2017)).

Jadi arsitektur selain memiliki makna denotasi yaitu fungsi, juga memiliki makna konotasi berupa makna atau pesan didalamnya. Dalam semiotika arsitektur pesan yang terkadung (signified) dalam obyek terbentuk dari hubungan antara pemberi tanda

(signifier) dan fungsi nyata atau sifat benda. Makna denotasi dalam arsitektur menjadi tanda pertama melalui sistem termilogi, sedangkan makna konotasi sebagai sistem tanda kedua dapat diperoleh melalui sistem retoris atau mitologi. Dalam tanda denotasi dapat dikelompokkan bersama untuk membentuk suatu konotasi tunggal; sedangkan petanda konotasi berciri sekaligus umum, global, dan tersebar. Makna konotasi dapat pula disebut fragmen ideologi, petanda ini memiliki komunikasi yang sangat dekat dengan budaya, pengetahuan, dan sejarah (Ishak dan Mochsen, 2005).

Bahwa arsitektur telah menunjukkan maknanya melalui fungsi praktis atau intrumental (denotasi), merupakan yang harus dipertimbangkan para arsitek. Disamping itu arsitektur selalu menghasilkan sebuah makna ekspresi (konotasi), dimana hal ini hanya dapat diterjemahan secara asosiatif oleh pengguna yang terdiri dari berbagi latar belakang.

Sehingga makna ekspresi dalam arsitektur bersifat asosiatif, dapat dipahami melalui asosional sejarah, budaya dalam masyarakat (Rapoport, 1980). Makna ekspresi (konotasi) dalam arsitektur juga menjadi penting ketika disadari jauh melampaui fungsi-fungsi yang

Universitas Sumatera Utara 29

murni bersifat instrumental atau nyata (denotasi). Maka dalam arsitektur, arsitektur dirancang secara perseptual oleh arsitek, tetapi dievaluasi secara asosiatif oleh pengguna.

Arsitektur memiliki kemungkinan yang menghasilkan makna yang bertingkat yang disebut tingkat signifikasi. Tahap pertama signifikansi merupakan hubungan penanda dan petanda dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal (denotasi) menghasilkan makna eksplisit, langsung. Signifikansi kedua yaitu konotasi adalah hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika arsitektur dikaitkan dengan perasaan atau emosi, nilai kebudayaan dari pengamat, di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Barthes 1986; Eco, U. 1980; Sobur, 2017;

Kusumarini, 2006, Mayasari dkk., 2014; Ching, F., 2017). Sehingga makna dalam arsitektur terkait dengan denotasi yaitu manfaat atau guna yang terdapat pada sesuatu objek arsitektur yang dapat dirasakan dan dilihat secara objektif atau secara langsung, sedangkan makna terkait dengan konotasi yaitu makna budaya yang terdapat pada arsitektur atau nilai yang terkandung dibalik bentuk dan manfaat sebuah benda arsitektur tersebut (Mentayani, 2012). Dengan demikian dapat dipahami bahwa aspek makna secara denotasi dalam arsitektur sifatnya terdiri dari unsur bentuk atau ranah fisik, sedangkan makna konotasi berada dalam ranah abstrak.

Jadi dapat disimpulkan dalam dunia arsitektur, terdapat makna denotasi dan konotasi dengan penjelasan sebagai berikut: a. Denotasi. Dalam tingkat denotatif, sebuah arsitektur (tanda) mempunyai hubungan

eksplisit dengan referensi atau realitas. Dimana objek arsitektur akan

menggambarkan fungsi yang dapat dilakukan penghuni didalamnya, misalnya

Universitas Sumatera Utara 30

dalam sebuah ruangan terdapat kasur, makna ruangan tersebut dikatakan sebagai

tempat tidur, sehingga makna yang ditunjukkan merujuk pada apa yang diyakini

akal sehat oleh orang banyak (common-sense). b. Konotasi. Makna konotasi dalam arsitektur ini tercipta dari interaksi yang

dihasilkan ketika melihat arsitektur (sebagi tanda) berkaitan dengan perasaan atau

emosi dari pengguna dan nilai-nilai di dalam budaya mereka. Jadi dalam tingkat

konotatif, makna sebuah arsitektur dikaitkan dengan dengan perasaan dan emosi

serta nilai-nilai kebudayaan dan ideologi yang diyakini suatu masyarakat.

2.1.4 Kerangka teori Semiotika Arsitektur

Semiotika secara implisit telah digunakan dari zaman kuno, namun secara eksplisit menjadi istilah semiotika sebagai cabang ilmu pengetahuan yang muncul tahun 1690 oleh

John Locke dalam jurnalnya yang berjudul An Essay Concerning Human Understanding.

Semiotika merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda, dimana tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif, mampu menggantikan suatu yang lain (stand for something else) yang dapat dipikirkan secara logika, bersifat umum yang berlaku pada sebuah masyarakat.

Semiotika era modern dikembangkan dengan 2 pola yakni pola diadik Saussure dan pola triadik Pierce. Selanjutnya pola diadik Saussure dikembangkan Barthes (1964) kedalam 4 elemen. Untuk Semiotika Arsitektur dipelopori dengan studi pembahasan metafora bahasa dalam arsitektur (the language of architecture). Menutut Nort (1955) terdapat setidaknya 3 kategori model analisis tanda dalam semiotika arsitektur yaitu

Universitas Sumatera Utara 31

Model Behavioristic Morris, Model Dyadic Saussure dikembangkan juga menjadi Model

Glossematic Hjelmslev, dan Model Triadic Sign Peirce (Gambar 2.4).

SEMIOTIKA: merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda, dimana tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif, mampu menggantikan suatu yang lain (stand for something else) yang dapat dipikirkan secara logika, bersifat umum yang berlaku pada sebuah masyarakat.

Pola diadik Saussure: Pola Triadik Pierce: Signified (pertanda) dan Sign (tanda), object (objek) Signifier (penanda) Dan interpretant (interpretan)

Elemen semiotika: 1. Language & Speech (parole) 2. Signified (pertanda) dan Signifier (penanda) 3. Syntaqm dan System 4. Denotasi dan Konotasi (Barthes, 1964)

Model analisis semiotika arsitektur: 1. Behavioristic Morris 2. Dyadic Saussure / Glossematic Hjelmslev 3. Triadic Sign Peirce. (Nort, 1955)

Arsitektur dapat berkomunikasi dan bermakna dilihat dari fungsinya (Eco, U. 1980), yakni; 1. Fungsi Denotasi 2. Fungsi Konotasi

Gambar 2.4 Skema Kerangka Teori Semiotika Arsitektur

Universitas Sumatera Utara 32

2.2 Ornamen Arsitektur

2.2.1 Defenisi ornamen arsitektur

Kata ornamen sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu ornare, berarti menghiasi.

Dalam arsitektur, ornamen merupakan dekorasi yang digunakan untuk memperindah bagian dari sebuah bangunan atau objek (International Library of Technology,1922;

Mitrache, A., 2012). Ornamen arsitektural dapat diperoleh dari ukiran, tempelan atau dari komposisi bentuk. Bahan ornamen arsitektur dapat digunakan dari batu, kayu, logam, beton, bahan pewarna, plastik dan juga kaca atau material lainnya untuk menambah dalam permukaan arsitektur.

Menurut Criticos (2004) perlu satu pengertian dan definisi yang tepat untuk membedakan dengan jelas antara yang ornamen dan bukan ornamen namun hal ini sulit untuk dilakukan karena objek, gerakan, gambar, melodi dalam kondisi tertentu juga dapat dinilai sebagai ornamen. Keberadaan ornamen terjerat dengan hiasan, desain, pola dan motif yang digunakan. Dalam formulasi sederhana, ornamen adalah seni yang kita tambahkan pada seni (Trilling, 2003). Apa yang Trilling sarankan adalah bahwa ornamen memiliki estetika tetapi bukan nilai fungsional, ornamen ditambahkan aspek objek (atau tindakan) dapat dilakukan tanpa, aspek yang tidak diperlukan untuk identitas dan fungsinya (yaitu objek atau tindakan akan tetap utuh secara struktural dan fungsional dalam ketiadaan mereka, dan juga bisa diakui). Untuk Trilling, fitur ini membedakan antara ornamen dan desain. Pada gilirannya, ornamen sering mengandaikan keberadaan motif, sering diatur dalam pola. Kunci untuk memahami pola-pola dekoratif ini terletak dalam hubungan mereka dengan gagasan kenikmatan (visual). Karenanya, ornamen

Universitas Sumatera Utara 33

adalah hiasan di mana kenikmatan visual dari bentuk secara signifikan melebihi nilai komunikatif konten (Trilling, 2001).

Sejarawan arsitektur Sir John Summerson (1941 dalam Wikipedia,. 2011) menyebut ornamen sebagai "modulasi permukaan". Pernyataan Summerson ini sama dengan yang dinyatakan Glaveanu (2014) juga memberikan defenisi ornamen sebagai tanda di permukaan objek yang bisa memberikan persepsi bagi pengamatnya. Berdasarkan pendapat yang diutarakan Summerson dan Glaveanu tentang ornamen arsitektur dapat dikatakan merupakan segala sesuatu baik berupa ukiran, coretan, goresan, pewarnaan, dan lain sebagainya dengan tujuan untuk menambah keindahan. Selain itu ornamen merupakan salah satu unsur penting dari arsitektur yang digunakan dalam usaha memenuhi tuntutan jiwani (Mangunwijaya, 2009). Dari apa yang disampaikan oleh

Manguwijaya bahwa ornamen itu mempunyai tujuan penyampaian pesan atau bertidak sebagai alat komunikasi sarana ekspresi jiwa.

Dari beberapa pengertian yang disampaikan para ahli diatas maka dapat diambil kesimpulan pengertian ornamen yang digunakan dalam penelitian ini; setiap detail dari bentuk, tektur dan warna yang sengaja dieksploitasi atau ditambahkan pada bangunan arsitektur yang tidak memiliki fungsi utilitas namun bisa membentuk karakter style, menarik perhatian/kenikmatan visual, bisa memberikan persepsi bagi pengamatnya dan sebagian dimaksudkan memenuhi tuntutan jiwani (simbol keyakinan).

Universitas Sumatera Utara 34

2.2.2 Perkembangan ornamen arsitektur

Ornamen arsitektur telah menjadi saksi dalam peradaban sejak awal sejarah mulai dari "arsitektur Mesir Kuno" hingga berkurangnya ornamen secara nyata dari arsitektur modern abad ke-20. Ornamen bukanlah hal sepele dalam kehidupan umat manusia (Kuhn dan Stiner, 2007; Necipoglu, G., dan Payne, A., 2016) dan kehidupan sehari-hari itu sendiri tidak akan terbayangkan tanpa keberadaan pola dan ornamen.

Keberadaan ornamen, memiliki makna yang sangat signifikan dalam arsitektur pada masa kuno sampai dengan era awal Renaisanse (Jones, O., 2016). Namun seiring dengan perkambangan pengetahuan manuasia, pada era modern ornamen dianggap hal yang tabu dan harus dihindari. Namun sesungguhnya keberadaan ornamen dalam arsitektur tidak bisa dihindari, yang terjadi hanya perubahan intensitas dan bentuk. Setelah masa post modernisme, keberadaan ornamen justru tumbuh subur, hal ini didukung dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada masa kontemporer sekarang ini kecenderungan penggunaan ornamen dalam arsitektur jauh lebih meningkat

(Sankovitch, A., 1998).

2.2.3 Fungsi ornamen arsitektur

Berbeda dengan Adolf Loos (1908), yang menyatakan bahwa ornamen adalah tindakan kejahatan, yang merupakan pemboroasan dan tidak memiliki peraan dan arti,

Aryo Sunaryo (2009) menyatakan kehadiran sebuah ornamen pada bangunan adalah memiliki arti, sebagai fungsi murni estetis, fungsi simbolis atau fungsi teknis konstruksi.

Fungsi murni estetis, merupakan fungsi ornamen untuk memperindah penampilan bentuk produk yang dihiasi sehingga menjadi sebuah karya seni. Fungsi simbolis, pada umumnya

Universitas Sumatera Utara 35

dijumpai pada produk-produk benda upacara atau benda-benda pusaka dan bersifat keagamaan atau kepercayaan. Namun dalam hal ini penulis tidak sependapat dengan

Sunaryo mengenai ornamen berfungsi teknis konstruktif, terlihat jelas dari contoh yang diberikannya bahwa talang air yang diperindah menjadi sebuah ornamen, merupakan tambahan untuk memberi nilai estetis. Dengan kata lain ornamen pada talang tersebut hanya membungkus (berada dipermukaan) namun terlihat seolah-olah turut berfungsi sebagai talang. Contoh lainnya dari kolom berukir (ornamen), secara utilitarian berfungsi sebagai pemikul beban gedung (fungsi konstruksi), akan tetap bekerja walau tanpa ornamen. Sehingga fungsi konstruksi yang dimaksudkan pada ornamen tidak tepat.

Harries, K. (2000) mengungkapkan ornamen merupakan bagian dari struktur esensial sistem puitis tampilan komposisi arsitektur yang dapat mengaburkan perbedaan dan dapat pula memperjelasnya. Pemahamannya tentang ornamen sebagai ekspresi jiwa dari komunitas pada karya arsitektur. Disamping itu ornamen juga merupakan ungkapan dunia komunal yang koheren berbentuk ekspresi dalam gaya historis cara hidup bersama selanjutnya memiliki fungsi etis sebagai tanda kehidupan. Dari apa yang disampaikan

Harries tersebut diatas bahwa ornamen merupakan identitas, yang disajikan dalam sebuah ekspresi komunal dari sebuah komunitas, serta merupakan interpretasi cara hidup yang berlaku pada satu zaman.

Hampir sejalan dengan Harries fungsi ornamen yang disampaikan Moussavi, F and Kubo, M. (2006) dalam kajian terhadpa fungsi ornamen pada bangunan-bangunan modern dan komtemporer, mengungkapkan bahwa ornamen diperlukan pada arsitektur untuk menghasilkan efek sensasi dan resonansi dalam jumlah tidak terbatas, selain

Universitas Sumatera Utara 36

menjadi dekorasi, juga menjadi sarana menegaskas perbedaan (diferensiasi). Mereka menunjukkan bahwa ornamen secara intrinsik memberi pengaruh sebagai dekorasi pada arsitektur, sehingga menghasilkan ekspresi bangunan. Menurut mereka ornamen ditampilkan dari substrat material, dibentuk melalui proses konstruksi sehingga menghasilkan ekspresi yang kuat.

Antoine Picon (2014) mengungkapkan terdapat triadik stuktur fungsi ornamen yaitu (1) kesenangan dan keindahan, (2) pangkat dan prestise, (3) komunikasi dan pengetahuan. Menurut Picon pada masa tradisional, pola triadik ornamen tersebut selalu hadir secara bersamaan, namun pada arsitektur kontemporer hanya muncul unsur kesenangan dan keindangan serta pangkat dan prestise belum sepenuhnya terlihat, sedangkan komunikasi dan pengetahuan belum muncul. Namun pada kenyataannya ornamen tradisional arsitektur dan kontemporer tetap dimaksudkan untuk menarik perhatian (dilihat) dan dihargai. Ornamen arsitektur hadir untuk selalu menghiasi kehidupan manusia, serta menunjukkan kualitas kehidupan.

Dari beberapa pandangan para ahli yang sudah dipaparkan maka dapat ditarik kesimpulan yang menjadi fungsi ornamen dalam arsitektur adalah (Tabel 2.1):

Universitas Sumatera Utara 37

Tabel 2.1 Klasifikasi Fungsi Ornamen No Ahli Fungsi Fungsi Fungsi Fungsi religi Estetika Prestise Ekspresi 1 Kansten mengatur Ornamen Ornamen - Haries tampilan sebagai sebagai (2000): bangunan. identitas ekspresi jiwa komunal 2 Farshid Sebagai Sarana Fungsi - Moussavi dekorasi representasi/dif ekspresi dan Michael erensiasi bangunan. Kubo (2006): 3 Aryo Fungsi murni - - simbolis religi Sunaryo estetis /kepercayaan (2009). 4 Antoine Fungsi Menunjukkan Fungsi - Picon kesenangan pangkat dan ekspresi (2014) dan keindahan prestise

5 Kesimpulan Fungsi Ornamen meliputi; (1) Fungsi estetika; untuk keindahan atau dekorasi. (2) Fungsi prestise; menunjukkan rangking sosial, kedudukan seseorang pemiliknya. (3) Fungsi ekspresi; luapan emosi yang menciptakan efek dan sensasi: dengan ornamen bisa memberi efek tertentu secara visual dan indra perasa dari bentuk dan tekstur yang pada ornamen. (4) Fungsi religi; ornamen bisa merupakan sarana ibadah, simbol dewa-dewa (berkaitan dengan sakral/ keramat)

2.2.3.1 Fungsi estetika Pemenuhan fungsi estetika dalam arsitektur sudah berlaku sejak umat manusia mulai merencanakan bangunan yang secara rasional dimana bangunan-bangunan lebih dari sekedar jawaban atas masalah-masalah programatis instrumental (Krier, 1996). Rob

Krier dengan tegas mengatakan, bahwa dalam arsitektur: fungsi, konstruksi dan bentuk merupakan faktor-faktor yang sama pentingnya yang secara bersama-sama menentukan arsitektur dan tidak tidak satupun yang dominan atas yang lainnya. Pemenuhan

Universitas Sumatera Utara 38

kebutuhan-kebutuhan estetika dalam arsitektur bergantung pada faktor-faktor berikut yakni proporsi, struktur, bahan dan warna, dan interpretasi artistiknya. Estetika rasa keindahan dalam arsitektur berkar pada hasrat manusia untuk melimpahi objek sehari-hari dengan muatan puitis yang akan menyampaikan semangat zamannya kepada generasi selanjutnya. Pendapat yang serupa juga diungkapkan Harries, K. (2000) yang menyatakan bahwa ornamen merupakan bagian dari struktur esensial sistem puitis tampilan komposisi arsitektur, dapat mengaburkan perbedaan dan memperjelasnya.

Ornamen merupakan sarana pemenuhan estetika dalam arsitektur sebagai konsepsi yang berlaku dalam meningkatkan nilai objek, melalui penyusunan tekstur, pola dan topologi (Picon, 2014). Dalam arsitektur Renaisans dan Barok, ornamen jarang menutupi keseluruhan fasad dan interior bangunan, biasanya terkonsentrasi pada titik-titik kunci tertentu. Para ilmuwan (dalam hal ini khususnya sejarawan seni), dengan mudah akan menafsirkan fungsi estetika sebagai salah satu ekspresi paling lincah dalam mengejar kesenangan dan keindahan, yang seharusnya mengkarakterisasi segala macam usaha artistik, termasuk arsitektur. Pencarian untuk kesenangan dan keindahan merupakan salah satu peran dasar ornamen dalam tradisi Vitruvian. Ornamen bisa membuat tampilan bangunan terlihat lunak dan ditempat lain bisa juga membuat komposisi keseluruhan semakin bersemangat. Kesenangan yang berasal dari persepsi keduanya dialami pada tingkat individu dan diinvestasikan dengan nilai konsepsi dalam masyarakat, sehingga ornamen muncul sebagai komponen fundamental dari rasa estetika yang saling berbagi.

Universitas Sumatera Utara 39

Moussavi dan Michael Kubo (2006) menyatakan estetika oranamen dihasilkan dari pilihan material, mekanisme pemasangan ornamen, menjadi komposisi solid pada arsitektur menghasilkan kekuatan yang tidak terlihat, efek resonansi dalam jumlah tidak terbatas. Ornamen arsitektur dibutuhkan menjadi mekanisme yang memungkinkannya untuk terhubung dengan budaya. Kemajuan dalam arsitektur terjadi melalui konsep- konsep baru yang dengannya ia dihubungkan dengan materi ini dan ia memanifestasikan dirinya dalam komposisi dan pengaruh estetika baru.

Fungsi murni estetis, merupakan fungsi ornamen untuk memperindah penampilan bentuk produk yang dihiasi (bisa dengan diukir, dicat, dilukis) sehingga menjadi sebuah karya seni (Sunaryo, 2009). Fungsi ornamen yang demikian itu tampak jelas dapat ditemukan pada sofa antik atau railing tangga dan peralatan rumah tangga lainnya yang banyak menekankan nilai estetisnya pada ornamen-ornamen yang diterapkannya. Tidak jarang sebuat produk yang karena nilai estetisnya kemudian sangat sayang apabila digunakan untuk memenuhi fungsi praktisnya. Dengan demikian bahwa nilai estetis ornamen dalam hal ini mampu mengubah fungsi praktis menjadi fungsi hias.

John Lang dan Walter Moleski (2016) menerangkan 2 tingkatan fungsi yang diemban arsitektur sebagai pemenuhan kebutuhan manusia, yang pertama fungsi dasar

(basic functions) dan fungsi lanjutan (advanced functions). Pada fungsi lanjutan inilah mereka menempatkan aspek fungsi estetika dalam arsitektur. Dua tubuh teori yang menggambarkan dan menjelaskan apresiasi manusia terhadap tampilan arsitektur; estetika eksperimental (experiential aesthetics) dan estetika intelektual (intellectual aesthetics).

Hal-hal yang berurusan dengan apresiasi alam bawah sadar setiap hari manusia terhadap

Universitas Sumatera Utara 40

arsitektur atau lingkungan adalah subjek dari pengalaman estetika sedangkan yang berurusan dengan makna asosiasional sadar dan dengan ide-ide desain yang dinyatakan dalam bentuk yang dibangun adalah subjek estetika intelektual. Intelektual fungsi estetika bangunan berkaitan dengan kisah-kisah yang pamahami dan yakini seorang arsitek untuk mengekspresikan dalam bentuk yang dibangun. Bangunan berfungsi dengan cara ini terutama untuk interpretasi intelektual oleh arsitek lain dan para elit dunia lainnya.

Pendekatan estetika eksperimental ada tiga aspek untuk arsitektur, (1) respons terhadap sensasi yang ditimbulkan oleh lingkungan (estetika sensorik), (2) pengalaman geometri bangunan (estetika formal), dan (3) respons terhadap makna yang terkait

(estetika simbolik) sekaligus merupakan dimensi utama (John Lang dan Walter Moleski,

2016). Pengalaman sensorik muncul dari gairah sistem persepsi kita: visual, auditori, penciuman, atau haptic yang ditemukan dalam bentuk warna, suara, bau, kelembaban, dan kehangatan dunia di sekitar kita. Apresiasi seorang pengamat terhadap struktur geometris dari permukaan lingkungan tampaknya muncul dalam empat cara; yang pertama adalah secara intelektual melalui pengakuan bahwa strukturnya sesuai dengan beberapa kanon atau prinsip-prinsip desain arsitek. Kedua muncul dari persepsi bahwa struktur memenuhi fungsi dasar tertentu dengan baik (yaitu, estetika penggunaan). Ketiga adalah bahwa tingkat kerumitan atau kesederhanaan sesuai dengan tingkat pembiasaan pemirsa atau mereka dapat beradaptasi. Keempat adalah bahwa pola yang mempertahankan perhatian pemirsa dipandang menyenangkan menjadi norma. Yang penting adalah bahwa sifat estetika dari geometri dunia yang dibangun tergantung pada kualitas empat dimensi dan pada makna asosiasionalnya simbolismenya. Estetika simbolik dalam arsitektur berkaitan

Universitas Sumatera Utara 41

dengan kesenangan yang didapat dari makna yang dilekatkan atau dikaitkan dengan pola lingkungan binaan. Pola dari bangunan ketinggian, rasio jendela ke dinding, bahan, kursus tali, bahan dan warna semua berpotensi membawa makna tergantung pada asosiasi yang mereka bangkitkan di mata yang melihatnya. Penanda (yaitu, bangunan) terlihat dalam cahaya positif, netral, atau negatif tergantung pada apakah sikap (kepercayaan dan nilai) terhadap item terkait positif atau negatif. Pergaulan sering tidak bersifat intelektual tetapi intuitif dan bahkan di bawah sadar. Sebagai contoh, sikap pengamat terhadap World Trade

Center yang menjulang tergantung pada sikap dan asosiasinya terhadap karakteristik bangunan tersebut. Mungkin positif dalam hal ketinggian menara, kesederhanaan geometris atau sistem strukturalnya, tetapi negatif dalam hal maknanya sebagai simbol kapitalisme. Bangunan keagamaan bisa penuh dengan makna asosiasi yang sangat emosional. Hal itu tergantung pada interpretasi dan pemahaman seseorang tentang simbolisme.

Estetika intelektual dibentuk dari latar belakang yang menjelaskan ide desain arsitektur sering dinyatakan dalam istilah metaforis (John Lang dan Walter Moleski,

2016). Bagi banyak arsitek dan filsuf arsitektur, fungsi estetika intelektual bangunan adalah fungsi utama, jika bukan satu-satunya yang berada dalam domain teori arsitektur.

Sebagai contoh pada awal abad kedua puluh sejumlah ide arsitektur bersekutu dengan kubisme di dunia seni. Pemahaman tentang kubisme diperlukan untuk memahaminya.

Kemudian datang upaya untuk merepresentasikan dalam bentuk yang dibangun berbagai ide lain tentang cara terbaik untuk mengekspresikan pandangan kontemporer.

Perkembangan bentuk-bentuk arsitektur baru sering dihasilkan dari sistem inovasi

Universitas Sumatera Utara 42

teknologi dan bahan-bahan struktural (Gambar 2.5). Pemahaman tentang fungsi sistem struktural meningkatkan pengalaman arsitektur seseorang. Seperti dengan mengetahui sifat konstruksi lengkungan Gotik dan pemahaman struktural yang diperlukan untuk memahami mereka meningkatkan apresiasi seseorang terhadap Katedral Gotik di Eropa.

Insinyur mengeksplorasi bentuk struktural baru tidak hanya di untuk menemukan cara- cara inovatif memecahkan masalah sekaligus memberi kesenangan bagi mereka. Insinyur bekerja sama dengan arsitek, mereka mencari konfigurasi estetika baru yang memukau.

Gambar 2.5 World Trade Center (1973-2001) di New York karya Minoru Yamasaki Sumber: www.wtc.com

Universitas Sumatera Utara 43

Dari apa yang disampaikan para ahli tersebut diatas, elemen pembentukan estetika menurut Kreir; proporsi, struktur, bahan, warna dan interpretasi artistiknya, dan

Harries, K.; struktur esensial puitis, tampilan komposisi dan menurut Picon; nilai objek, penyusunan, tekstur, pola, topologi, kesenangan, keindahan, sedangkan menurut

Moussavi dan Kubo; pilihan material, mekanisme pemasangan, komposisi, dan menurut

Sunaryo; memperindah, dihiasi (bisa dengan diukir, dicat, dilukis). John Lang dan Walter

Moleski; (1) estetika eksperimental (experiential aesthetics): hal-hal yang berurusan dengan apresiasi alam bawah sadar setiap hari manusia terhadap arsitektur (a) respons terhadap sensasi yang ditimbulkan oleh lingkungan (estetika sensorik): warna, bentuk, tekstur (b) pengalaman geometri bangunan (estetika formal),: Prinsip-prinsip desain

(kanon), penyusunan (kerumitan atau kesederhanaan), pola (c) respons terhadap makna yang terkait (estetika simbolik): makna asosiasi, (2) estetika intelektual (intellectual aesthetics). sedangkan yang berurusan dengan makna asosiasional sadar dan dengan ide- ide desain yang dinyatakan dalam bentuk yang dibangun: Ide metaforis, sistem inovasi teknologi (bahan/struktural). Pemahaman yang lebih sistematik John Lang dan Walter

Moleski mampu merangkup elemen pembetuk estetika baik secara umum atau dalam tulisan ini secara khusus estetika ornamen. Maka dapat disimpulkan elemen pembentuk estetika dapat dilihat dari kategori:

1. Estetika eksperimental (experiential aesthetics):

- Estetika sensorik: warna, bentuk, tekstur

- Estetika formal: Prinsip-prinsip desain (kanon), penyusunan (kerumitan atau

kesederhanaan), pola

Universitas Sumatera Utara 44

- Estetika simbolik: makna asosiasi, interpretasi

2. Estetika intelektual (intellectual aesthetics):

- Ide metaforis

- Sistem inovasi teknologi (bahan/struktural).

2.2.3.2 Fungsi prestise Harries, K. (2000) mengungkapkan ornamen merupakan identitas dalam sebuah komunal dan interpretasi cara hidup yang berlaku pada satu zaman. Ornamen sebagai pembawa gaya (style) menggambarkan realitas dan identifikasi individualnya. Artistika ornamen dimanifestasikan oleh individu dalam bahasa formal bersama. menyatakan, ornamen digunakan dalam masyarakat tradisional sebagai sarana diferensiasi sebagai fungsi sosial (Moussavi, F. dan Kubo, M. 2006).

Menurut Picon (2014) penggunaan ornamen sepanjang abad ke-19 digunakan untuk menunjukkan superioritas, dimana ia memberikan contoh gothic melambangkan banyak perspektif lain, dimulai dengan kemungkinan kepercayaan bersama yang bisa mengikat orang lebih efisien daripada konstitusi sekuler. Sepanjang abad ke-19, berbagai gereja Kristen menggunakan arsitektur gothic, dimaksud untuk pengakuan atau membangun kembali keunggulan agama atas masyarakat (Gambar 2.6).

Lebih lanjut Picon (2014) menyatakan rangking dan prestise muncul sebagai perhatian bersama lainnya saat menggunakan ornamen arsitektural, karena dekorasi mengatakan sesuatu tentang kondisi sosial pelindung bangunan yang menghiasi. Namun, fungsi ini diperluas lagi di luar identitas individu karena hal itu mengacu pada keseluruhan organisasi hierarkis masyarakat mengenai posisi yang diduduki oleh seseorang dalam

Universitas Sumatera Utara 45

hierarki tersebut. Sebagai indikator status sosial, ornamen adalah bagian dari sistem perbedaan sosial. Namun peran ornamen sebagai penanda status sosial atau rangking hilang pada era modernitas yang terbukti lebih revolusioner dalam penolakannya terhadap segala bentuk hubungan antara dekorasi dan hierarki sosial daripada pembatasan berat yang dibawa ke penggunaan ornamen.

Gambar 2.6 Basilika Notre-Dame di Kanada Karya James O' Donnell (1823) Sumber: www. wikipedia.org

Namun ornamen sebagai penanda peringkat sosial dan prestise juga sudah mulai muncul kembali pada era post modernisme. Ilmu pengetahuan, atau lebih tepatnya relevansi politik ornamen, merupakan benang lain yang mungkin ada kaitannya dengan masa lalu dan sekarang Meskipun dimensi ini pada mulanya tampak kurang jelas daripada yang subjektif, biasanya setidaknya tiga hal di atas. Pertama, ornamen umumnya dikaitkan dengan modal dan biaya tenaga kerja. Dengan demikian, ornamen harus dilakukan dengan kekayaan dan kekuatan pamer. Kekaisaran Romawi telah benar-benar memahami fungsi hiasan ini. Roma dan kota-kota besar Kekaisaran dihiasi dengan kelereng langka dan

Universitas Sumatera Utara 46

patung-patung berharga, yang mengekspresikan kekuatan rezim melalui kapasitasnya untuk menghabiskan boros. Gereja Katolik Roma, yang mengklaim bagian dari warisannya, meniru rasa kehebatan ini.

Dalam kedua kasus tersebut, hiasan didaftarkan dalam proyek dominasi. Dari

Versailles Louis XIV dan berbagai eksemplarnya pada akhir abad ke-17 dan ke-18 di

Eropa, hingga upaya Soviet untuk menciptakan dekorasi arsitektural yang merayakan kemenangan massa dan mitranya dari Amerika yang membentuk tempat-tempat seperti

Washington, banyak jenis ornamen politik lainnya dapat diidentifikasi sepanjang sejarah.

Fungsi ornamen pertama sebagai tampilan kekuatan politik ini mengungkapkan dirinya tidak terlepas dari peran kedua sebagai medium yang membawa pesan penting secara politis. Sampai akhir abad ke-19, seperti yang telah kita lihat, ornamen menyampaikan gagasan filosofis dan ideologis. Yang terpenting, ini merupakan indikator kepentingan relatif institusi dan orang yang terkait dengan pembangunan sebuah bangunan. Hiasan tradisional sama hirarkisnya dengan simbolis. Padahal banyak penelitian telah dikhususkan untuk konten simbolisnya, perannya sebagai indeks pangkat sosial telah diselidiki secara tidak teliti.

Mereka merupakan semacam kanvas dimana arsitek seharusnya meletakkan detail dari dekorasinya seperti goresan warna, sesuai dengan posisi yang ditempati oleh kliennya dalam hirarki sosial. Selain informasi yang disampaikan oleh ordo yang dipilih untuk fasad dan tingkat kekayaan dekorasi, ornamen arsitektural dapat berkomunikasi lebih khusus melalui elemen simbolis, seperti mantel senjata untuk istana dan hotel aristokrat, dan piala untuk bangunan militer. Dekorasi arsitektur seharusnya menstabilkan

Universitas Sumatera Utara 47

masyarakat dengan mencerminkan struktur dan keabadiannya.

Dari yang uraian yang disampaikan para ahli, fungsi prestise ornamen dapat diperoleh melalui konsensus komunal sehingga ornamen bisa menjadi identitas. Harries,

K m; identitas dalam sebuah komunal, interpretasi cara hidup, menggambarkan realitas dan identifikasi individualnya, menurut Moussavi, F. dan Kubo, M.; sarana diferensiasi social, dan Menurut Picon; oranamen dapat menunjukkan superioritas, lambang kondisi sosial, identitas individu, gagasan filosofis dan ideologis, hirarki sosial. Fungsi prestise ornamen dapat diperoleh melalui konsensus komunal, menjadi identitas (ciri individu) dalam hirarki sosial, dan lambang kondisi sosial karena memuat gagasan filosofis dan ideologis.

2.2.3.3 Fungsi ekspresi Ekspresi merupakan apa yang telah kita lihat menurut pangaruh atau pengalaman sebelumnya (Surasetja, 2007). Dimana setiap orang memiliki perbedaan latar belakang dan pengalaman dari segi tingkat pendidikan, agama, kehidupan sosial dan lain sebagainya, sehingga masing-masing memberi tanggapan berbeda pula yakni ekspresi yang dimunculkan oleh suatu obyek. Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa ekspresi ini bisa bersifat subyektif. Kualitas ekspresi dalam arsitektur diperoleh dengan persepsi terhadap garis, bidang dan volume ataupun massa yang menunjukkan bentuk. Selain bentuk, terdapat warna yang menjadi elemen seni yang paling ekspresif dan dilihat dari cara cahaya merefleksikan permukaan (Liebing, R. W., 2011). Warna digunakan untuk menciptakan ilusi kedalaman, karena warna merah tampak maju sementara biru tampak surut ke kejauhan. Warna, dan khususnya kontras juga digunakan untuk menarik perhatian

Universitas Sumatera Utara 48

ke bagian tertentu dari gambar. Pada beberapa kasus desain interior, warna dapat ditambahkan untuk meningkatkan daya tarik visual seperti warna alami kayu kabinet Cina.

Warna dapat menambah daya tarik visual pada ornamen rumah seperti halnya bunga berwarna dapat menambah keindahan pada bidang di padang rumput.

Harries, K. (2000) menyatakan ornamen sebagai ekspresi jiwa dari sebuah karya arsitektur, menunjukkan hubungan antara penciptaan ornamen dan keanggotaan pencipta dalam komunitas yang berkelanjutan. Dengan terhubungnya ornamen dengan cara hidup yang terintegrasi, sehingga menemukan ekspresi dalam gaya historis, seperti Gotik atau

Barok. Tampilan Gotik atau Barok, menunjukan gaya yang menembus semua cara berbeda di mana suatu zaman mengekspresikan dirinya sendiri, dengan demikian memungkinkan kita untuk memahami ornamen sebagai ungkapan dunia komunal yang koheren.

Moussavi, F. dan Kubo, M. (2006) menyatakan komposisi estetika tentang ekspresi bangunan telah dieksplorasi dengan berbagai cara dalam sejarah, dimana ornamen turut berperan didalamnya. Material ornamen disusun, dibentuk sedemian rupa, menghasilkan efek tertentu. Dengan interaksi yang kuat (bentuk, struktur, layar atau permukaan) dan bahan tertentu (seperti program, gambar, atau warna) menghasilkan ornamen (misalnya terlihat kompleks, layar berlubang, atau pola struktural) yang mentransmisikan efek unik pada setiap kasus. Seperti pada bangunan Gedung Dominus

Winery di Napa Valley, California, Herzog dan de Meuron (1997), material ornamen diperoleh dari susunan batu kali dalam jaring-jaring besi dibentuk sedemian rupa, menghasilkan efek kesunyian dan keheningan suasana desa (rusticated) (Gambar 2.7).

Universitas Sumatera Utara 49

Gambar 2.7 Gedung Dominus Winery di Napa Valley, California, Herzog dan de Meuron (1997) Sumber: www.dezeen.com

Menurut Picon (2014) penggunaan ornamen sepanjang abad ke-19 digunakan, ornamen tradisional tidak dimaksudkan semata-mata untuk kesenangan, juga menyampaikan informasi penting tentang tujuan bangunan serta tentang pangkat pemiliknya, dengan dengan demikian, ia berpartisipasi dalam ekspresi nilai-nilai sosial, hierarki dan ketertiban. Arsitektur sebagai sarana ekspresi jiwa yakni melalui karya-karya seni arsitektur, para arsitek mengungkapkan ide dan perasaannya tentang Tuhan, manusia dan alamnya. Dalam arsitektur ekspresi merupakan pengungkapkan atau proses menyatakan untuk memperlihatkan maksud, gagasan, perasaan, dan sebagainya. Jadi ekspresi adalah kekuatan pendorong yang lebih dalam dalam perselingkuhan daripada sekadar fasilitasi instrumental (Picon, 2014).

Kebangkitan budaya digital dalam arsitektur telah disertai oleh melemahnya pendekatan tektonik dan meningkatnya kepentingan yang melekat pada fasade. Dalam banyak proyek kontemporer, fasade ini terlihat lebih penting daripada strukturnya. Jika proyek Frank Gehry, seperti Guggenheim Museum di Bilbao Spanyol (1997) atau Walt

Universitas Sumatera Utara 50

Disney Concert Hall di Los Angeles (2003), mungkin menawarkan ekspresi paling mencolok dari sikap ini, kecenderungan serupa dapat diamati dalam banyak kasus lainnya

(Gambar 2.8).

Gambar 2.8 Karya Frank Gehry, kiri: Guggenheim Museum di Bilbao Spanyol (1997) dan kanan Walt Disney Concert Hall di Los Angeles (2003). Sumber: www.architecturaldigest.com

Pergerakan fasad bisa menjadi ornamen. Dengan kurva lembut mereka yang dijiwai dengan fluiditas Baroque, Maison Folie Lars Spuybroek di Lille (2004) atau

Menara Aqua Jeanne Gang di Chicago (2010) dengan jelas menggambarkan kemungkinan ini dipupuk oleh kemudahan dimana para perancang sekarang dapat memanipulasi geometri kompleks dan 'bernyawa' formulir, untuk menggunakan ekspresi Greg Lynn.

Gerakan memutar fasad Museum Seni Tel Aviv Preston Scott Cohen (2011) juga dapat ditafsirkan dengan cara ini. Seperti fasad lain, interior kali ini, pusat 'Lightfall' bangunan tersebut memiliki tampilan hias yang lebih jernih. Selain tekstur dan pola, topologi merupakan bagian dari kosakata hias kontemporer.

Universitas Sumatera Utara 51

Dari uraian yang disampaikan para ahli, pengalaman atau latar belakang merupakan aspek penting dalam membaca/mempersepsikan ekspresi sebuah ornamen dalam arsitektur. Ekspresi ornamen arsitektur menurut Surasetja dapat dilihat dari bentuknya (terdiri garis, bidang dan voume), dan menurut Liebing selain bentuk terdapat warna yang membentuk ekspresi. Sedangkan Moussavi, F. dan Kubo, M. menyatakan bahwa jenis material, teknik penyusunan (pola, irama, komposisi) serta bentuk ornamen yang menghasilkan efek yang menunjukkan ekspresi sebuah ornamen. Pernyataan yang hampir sama diungkapkan oleh Picon, bahwa pemilihan jenis material, tekstur dan pola atau topologi merupakan pembentuk ekspresi sebuah ornamen. Jadi dapat dikatakan ekspresi sebuah ornamen didapatkan dari hasil kompinasi dari bentuk (garis, bidang dan voume), jenis material (tekstur, warna) serta komposisi (pola, tipologi) yang menghasilkan efek tertentu untuk memperlihatkan maksud, gagasan, perasaan, dan sebagainya.

2.2.3.4 Fungsi religi Fungsi simbolis religi dapat dijumpai pada benda-benda upacara yang bersifat keagamaan atau kepercayaan (Sunaryo, 2009). Dimana sebuah motif ornamen sengaja dibuat sebagai simbol keyakinan atau kepercayaan pemiliknya. Sunaryo memberikan contoh, pada gerbang candi menggunakan motif wajah raksasa atau banaspati yang diyakani menjadi penolak bala. Contoh lain yang disampaikan Sunaryo menyebutkan pada gerbang kemagangan di kompleks keraton Yogyakarta, terdapat motif hias berbentuk dua ekor naga yang saling berbelit ekornya, sebagai tanda titimangsa berdirinya keraton,

Universitas Sumatera Utara 52

juga merupakan simbol bersatunya raja dan rakyat yang selaras dengan konsep mangunggaling kawula-gusti dalam kepercayaan Jawa (Gambar 2.9).

Gambar 2.9 Gerbang kemagangan di kompleks keraton Yogyakarta Sumber: Kompastv 2017

Merujuk seorang ahli sejarah kebudayaan bernama J.L.A. Brandes (2000, dalam

Munandar, 2009) yang pernah melakukan kajian mendalam tentang perkembangan kebudayaan Asia Tenggara dalam masa proto-sejarah, mengungkapkan bahwa penduduk

Asia Tenggara daratan ataupun kepulauan telah memiliki pencapaian di bidang religi, dimanifestasikan melalui: (1) memuliakan tempat-tempat tertentu (pada umumnya dataran tinggi) sebagai lokasi yang suci dan keramat; (2) pemujaan kepada arwah nenek moyang/leluhur (ancestor worship); (3) mengunakan penguburan kedua (secondary burial) dalam bentuk gentong, tempayan, atau sarkofagus.

Pada umumnya bangunan tradisional dibuat dalam hubungan dengan kepercayaan, dengan 'yang kudus'. Sehingga dalam mendirikan sebuah rumah, dibuat dengan mengindahkan aturan-aturan sakral. Termasuk menempatkan atau memberi tempat pada 'yang kudus' di dalam rumah. Dalam masyarakat tertentu di dalam rumah,

Universitas Sumatera Utara 53

juga disedikan bangunan khusus yang digunakan hanya untuk kepentingan ritual dengan

'yang kudus'. Pada era setelah modernitas, maka ada ekspansi pandangan ruang yang melabrak batasan-batasan lokalitas. Sedangkan 'pramodern' menunjukkan respons arsitektural terhadap 'yang kudus' sebagaimana dikenal, dipuja, atau dihormati dalam lingkup lokalitas/ruang yang spesifik (Domenig, 2014).

Dengan sudut pandang seperti itu, dapat dipahami, bahwa dari mulanya, dari sejak gagasannya, arsitektur adat itu sudah berhubungan dengan religi. Entah membentuk pengertian tertentu tentang 'yang kudus', entah sebaliknya dibentuk dan diturunkan dari religi yang memuja 'yang kudus' tadi. Konsep ruang linier -misalnya sebagaimana dikenal religi yang punya pegertian tentang alfa-omega, penciptaan-akhirat akan berbeda ungkapan arsitekturalnya dengan religi yang konsep ruangnya siklis atau radial.

Domenig (2014), yang meneliti bangunan-bangunan adat di indonesia mengajak kita untuk melihat bagaimana kesakralan dihadirkan melalui arsitektur. Sebuah arsitektur mengandung makna simbolis melalui elemen-elemen didalamnya seperti tiang, balok, atap, lubang, tangga, telah menghadirkan kontinuum suasana dan hirarki kualitas ruang, dari profan hingga sakral. Arsitektur lokalitas itu berkenaan erat dengan kesakralan yang dibangun, dihadirkan melalui elemen-elemen arsitektural tadi.

Namun kesakralannya sebuah arsitektur, tidak hanya diperoleh dari elemen- elemen arsitektural, namun juga dinilai hubungannya dengan alam sekitarnya, seperti posisi dimana bangunan tersebut berdiri, arah atau hadap bangunan, bisa menunjukkan kepatuhan terhadap sesuatu, bisa menghadap gunung yang dikeramatkan dan lain sebagainya. Sehingga sebuah arsitektur, pada akhirnya hadir dan diyakini bukan sekadar

Universitas Sumatera Utara 54

wadah, ia konstitutif bagi hadirnya 'yang kudus'.

Fungsi religi dari sebuah ornamen, diperoleh karena adanya pesan religi yang terkandung didalamnya, bisa sebagai simbol dewa-dewa, hirarki kualitas susunan dari profan hingga sakral, dan bisa juga sebagai simbol penolak bala.

2.2.3.5 Kesimpulan fungsi ornamen dalam arsitektur Dari beberapa pandangan para ahli yang sudah dipaparkan maka dapat ditarik kesimpulan yang menjadi fungsi ornamen dalam arsitektur merupakan sebagai berikut

(Tabel 2.2):

Tabel 2.2 Uraian Fungsi Ornamen Arsitektur No Variable Uraian (sub variable) 1 Fungsi Estetika a. estetika eksperimental (experiential aesthetics): estetika sensorik diperoleh dari warna, bentuk, tekstur, cahaya estetika formal: prinsip-prinsip desain (kanon), penyusunan (kerumitan atau kesederhanaan), pola estetika simbolik: makna asosiasi, interpretasi b. estetika intelektual (intellectual aesthetics): Ide metaforis, sistem inovasi teknologi (bahan/struktural). 2 Fungsi Prestise Lambang identitas sosial (ciri individu) 3 Fungsi Ekspresi Dihasilkan dari interpretasi terhadap: Bentuk (garis, bidang dan volume), Jenis material (tekstur, warna), Komposisi (pola, tipologi) 4 Fungsi Religi Simbol Ketuhanan atau Dewa-dewa, Penghormatan (hierarki), Permohonan (tolak bala)

2.3 Studi Kasus Ornamen Arsitektur Tradisional dan Kontemporer Batak Toba

2.3.1 Kebudayaan

Elaborasi budaya Batak Toba tradisional ini dimaksudkan untuk dapat

Universitas Sumatera Utara 55

memberikan gambaran yang jelas dan latar belakang bentuk formal arsitektur dengan elemen ornamen didalamnya. Elaborasi budaya ini akan digunakan sebagai titik awal untuk mengkaji arsitektur tradisonal Batak Toba dalam upaya untuk menyelidiki jalan, arah, dan penyebab terjadinya ornamen arsitektur didalamnya. Dengan demikian dapat ditemukan makna oranamen tersebut dalam masyarakat Batak Toba.

Kebudayaan sebuah masyarakat merupakan pernyataan dan perwujudan kehendak perasaan dan pikiran manusia yang terbentuk melalui proses belajar yang didapat, didukung, dan diteruskan oleh manusia sebagai anggota masyarakat (Koentjaraningrat,

2002). Oleh karena itu, kebudayaan dapat berkembang dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih kompleks sesuai dengan tingkat pengetahuan manusia. Kebudayaan yang kompleks terdiri atas unsur-unsur khusus dimana setiap unsur tersebut akan saling berkaitan dan membentuk suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Unsur-unsur kebudayaan tersebut bersifat universal karena dapat ditemukan pada semua kebudayaan bangsa-bangsa di dunia yaitu pola-pola yang terdapat dalam setiap kebudayaan. Dari sejumlah pengamatan, terungkap bahwa walaupun terdapat banyak perbedaan di antara kebudayaan-kebudayaan manusia, namun isi dari kebudayaan yang berbeda tersebut dapat digolongkan ke dalam sejumlah kategori yang sama. Wissler (1929) menamakannya dengan pola budaya yang universal (universal culture pattern).

Kluckhohn (1953) mengemukakan bahwa pola atau aspek tertentu dari kebudayaan manusia timbul karena adanya faktor-faktor konstitutif yang sama sifatnya pada manusia, seperti kebutuhan akan makanan, faktor umur dan jenis kelamin. Ada di antara pola yang universal itu yang ditujukan kepada lingkungan, seperti pemanfaatan

Universitas Sumatera Utara 56

sumber-sumber alam untuk membantu usaha manusia, pemukiman dan transportasi. Pola yang lain mempunyai ciri yang sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat dan watak yang umum terdapat pada warga masyarakat bersangkutan, seperti norma-norma yang dianut serta aturan-aturan yang dijunjung tinggi. Terdapat tujuh unsur kebudayaan universal (cultural universal) yakni: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial atau sistem kemasyarakatan, peralatan hidup dan teknologi, mata pencaharian hidup, religi dan kesenian (Kluckhohn, C., 1953; Koentjaraningrat, 2002; Tumanggor, dkk., 2017).

2.3.2 Arsitektur Tradisional Batak Toba

2.3.2.1 Kebudayaan tradisonal masyarakat Batak Toba

Kebudayaan tradisional masyarakat Batak Toba tumbuh dan berkembangan seiring dengan perkembangan zaman. Bagi masyarakat tradisional Batak Toba kultur individual dan kultur komunal terkandung dalam dua budaya dasar yaitu budaya religi

(keyakinan dan kepercayaan) dan budaya kekerabatan (Silalahi, U., 2012). Nilai-nilai budaya religi dan budaya kekerabatan menjadi nilai-nilai dasar yang mengikat kehidupan dan interaksi sosial dan organisasional masyarakat Batak Toba Tradisional. Hubungan kerja sama dengan bangsa-bangsa lain (terutama dengan Bangsa India dengan agama

Hindunya) melalui hubungan perdagangan, tukar ilmu pengetahuan tentang astronomi, obat-obatan, telah memberikan pengaruh bagi kebudayaan Tradisional Batak Toba.

Secara spesifik akan diuraikan sebagai berikut:

2.3.2.1.1 Bahasa Penduduk tanah Batak adalah suku bangsa Batak dan suku bangsa ini masih

Universitas Sumatera Utara 57

terbagi-bagi ke dalam berbagai subsuku, salah satu pembagian subsuku ini berdasarkan dialek bahasa yang digunakan. Joustra membagi suku bangsa Batak atas enam subsuku, salah satunya adalah Batak Toba bermukim di tanah Batak pusat dan di utara Padang

Lawas menggunakan Bahasa Batak Toba (Jousta 1910 dalam Simanjuntak, 2006).

Isidore Dyen yang melakukan pengelompokan bahasa-bahasa bangsa-bangsa di

Pasifik berdasarkan basil penelitian lexicostatistical yang dilakukannya mengatakan bahwa bahasa Batak termasuk kelompok bahasa Malayo-Polineslan (Dyen 1910 dalam

Simanjuntak, 2006). Di dalam sub-kelompok ini terdapat bahasa-bahasa terisolasi lainnya yang ada persamaannya dengan bahasa Batak, yaitu bahasa Gayo, bahasa Sundic, bahasa

Maluku, bahasa Totemboan, bahasa Cru di Vietnam.

Simanjuntak (2006) menyatakan ada pengaruh Hindu dalam kebudayaan Batak namun hubungan Batak dengan Hindu hanya merupakan hubungan pengaruh saja, bukan karena satu rumpun. Orang Batak (terutama Toba) hanya melakukan pengambil alihan istilah-istilah serta peniruan-peniruan hal-hal tertentu saja sesuai kepentingan, seperti peniruan kepercayaan, kebiasaan maupun kebudayaan termasuk tulisan. Sebagai contoh adanya kesamaan peristilahan hari antara Bahasa sansekerta dan Bahasa Batak (Tabel 2.3)

Universitas Sumatera Utara 58

Tabel 2.3 Perbandingan nama hari dalam Bahasa Sanskerta dan Bahasa Batak Toba No Bahasa Sanskerta Bahasa Batak Toba 1 Aditya Artia 2 Soma Suma 3 Anggara Anggara 4 Boedha Muda 5 Brhaspati Boraspati 6 Sjoekra Singkora 7 Sjanaisjtjara Samisara Sumber: Simanjuntak, (2006)

Bahasa dalam bahasa Batak Toba disebut hata. Dalam kehidupan masyarapat

Batak Toba mengenal bahasa Batak sehari-hari (prokem) dan ada juga bahasa Batak halus

(hata pantun). Misalnya dalam berkomunikasi bahasa sehari-hari digunakan untuk pergaulan yang sudah akrab atau sejajar dan bahasa yang halus untuk pergaulan yang umum dan lebih hormat. Bahasa batak halus ini juga dapat ditemukan dalam tonggo- tonggo (sajak-sajak doa) kepada para dewa. Tonggo merupakan permohonan takzim atau doa yang disampaikan dengan menggunakan rangkaian gaya bahasa yang indah, puitis, penuh kiasan, sanjak atau pantun. Melalui tonggo diyakini bahwa apa yang dimohonkan dapat dikabulkan. Isi daripada tonggo termasuk, memuji dan memuliakan, ucapan syukur dan terimakasih, permohonan, pengakuan kesalahan, sebagai contoh:

Ompu Mulajadi Nabolon,mula ni nasa na adong, na manjadihon langit dohot tano on dohot nasa isina. Na so marmula-mula, na ro sian sisomarmula, na so marbona jala na so binoto nang ujungna.

Terjemahannya bebasnya:

Sang Maha Pencipta Maha Besar, yang menciptakan segala yang ada, yang menjadikan langit dan bumi beserta segala isinya. Yang tidak berawal, yang berasal dari yang tidak berawal,

Universitas Sumatera Utara 59

yang tidak berpangkal yang tidak berakhir.

Bahasa Batak halus ini juga dapat ditemukan dalam peribahasa yang digunakan dalam upacara adat yang (umpasa dan umpama). Bahasa Batak halus ini juga umumnya digunakan oleh datu (dukun) dalam mengucapkan tabas (mantra). Bahasa Batak halus ini juga umum digunakan pada saat meratapi orang meninggal, sebagai bentuk rasa kasih sayang dan sekaligus penghormatan bagi yang sudah meninggal, oleh sebab itu Bahasa

Batak halus ini sering dikatakan hata andung (meratapi, menangisi).

Dalam Bahasa Batak terdapat penyebutan atau panggilan (panjouon) bagi seseorang dalam masyarakat adat. Dengan demikian dia bisa mengambil sikap dan posisi dalam masyarakat adat. Susunan kekerabatan suku Batak Toba memiliki tingkatan vertikal seperti berikut:

1. Ompu (nenek moyang)

2. Amang/ Inang mangulahi (kakek/nenek dari ayah)

3. Ompung (kakek/nenek)

4. Among/inong (ayah/ibu dan juga sebutan untuk mertua)

5. Anakhon (putera/puteri)

6. Pahompu (cucu)

7. Nini/nono (cicit)

8. Ondokhondok (cucu dari cucu)

Universitas Sumatera Utara 60

Susunan kekerabatan suku Batak Toba memiliki tingkatan horizontal seperti berikut:

1. Akkang: abang, kakak

2. Anggi: adik laki-laki, adik (untuk perempuan ke perempuan)

3. Ito/iboto/pinaribot: panggilan untuk saudara laki-laki dari saudarinya dan

sebaliknya.

4. Pariban: anak perempuan dari tulang (untuk yang laki-laki), anak laki-laki

amangboru (untuk yang perempuan)

5. Lae: suaminya saudari (ito)

6. Tunggane: itonya isteri, anak laki-laki tulang

7. Eda: isteri memanggil ito dari suami, atau sebaliknya ito pihak laki-laki

(suami) kepada isteri

8. Amang bao: panggilan dari istri kepada suami dari edanya.

9. Inang bao: panggilan dari laki-laki kepada isteri dari anak laki-laki

tulangnya

Masyarakat Batak Tradisional juga memiliki sistem tulisan atau aksara. Aksara

Batak bisa ditemukan dalam sebuah buku yang diolah dari kulit kayu, ada juga ditulis pada batang bambu atau bisa juga diukir pada tulang hewan. Kemampuan membaca dan menulis biasanya hanya dimiliki oleh golangan tertentu, misalnya datu yaitu orang-orang yang memiliki pengetahuan adikodrati, meramal, mengobati.

Universitas Sumatera Utara 61

2.3.2.1.2 Sistem pengetahuan Masyarakat Tradisional Batak Toba mengenal sistem gotong-royong kuno dalam hal bercocok tanam (marsiadapari). Kegiatan marsiadapari dilakukan dimana sekelompok orang tetangga atau kerabat dekat bersama-sama mengerjakan tanah dan masing-masing anggota secara bergiliran dan suka rela.

Sistem pengetahuan masyarakat Batak tampak pada perubahan-perubahan musim yang diakibatkan oleh siklus alam, misalnya musim hujan dan musim kemarau.

Perubahan dua jenis musim tersebut dipelajari masyarakat Batak sebagai pengetahuan untuk keperluan bercocok tanam.

Selain pengetahuan tentang perubahan musim, masyarakat suku Batak juga menguasai konsep pengetahuan yang berkaitan dengan jenis tumbuh-tumbuhan di sekitar mereka. Pengetahuan tersebut sangat penting artinya dalam membantu memudahkan hidup mereka sehari-hari, seperti makan, minum, tidur, pengobatan, dan sebagainya.

Kemampuan untuk meramalkan cuaca ditulis dalam sebuah parhala. Kemampuan untuk membaca parhalaan dimiliki oleh datu maupun sibaso. Ramalan seorang datu atau sibaso dilakukan dengan cara meditasi atau laku mistik, perhitungan magis atau pengetahuan mengenai perbintangan.

2.3.2.1.3 Sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial Susunan masyarakat Tradisional Batak Toba berdasarkan kekerabatan merupakan patrilineal atau mengikuti garis keturunan dari ayah. Sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba, dinamakan dengan Dalihan Na Tolu, yang merupakan struktur tata hubungan sosial masyarakat Batak yang didasarkan pada hubungan darah atau

Universitas Sumatera Utara 62

keturunan (genealogis) terdiri dari tiga bagian yakni dongan tubu/sabutuha, boru dan hula-hula (Niessen, 1985; Loebis, 2000; Gultom, D., 1992).

Hubungan kekerabatan dalam dalihan na tolu diwujudkan dalam hubungan kekerabatan yang lebih konkrit dalam tutur panggilan (Simanjuntak, 2006). Itulah yang nampak tergambar dari sistem kekerabatan (partuturan) suku Batak Toba. Konsep yang sangat mendasar dalam organisasi kekerabatan ini adalah marga. Marga adalah kelompok orang-orang yang merupakan keturunan dari seorang kakek bersama, dan garis keturunan itu dihitung melalui bapak (bersifat patrilineal). Semua anggota dari satu marga memakai satu identitas yang dibubuhkan sesudah nama kecilnya, dan nama marga itu merupakan pertanda bahwa orang-orang yang menggunakannya masih mempunyai kakek bersama.

Mungkin secara nyata tidak dapat lagi diperinci rentetan nama para kakek yang menghubungkan orang-orang satu marga dengan kakek bersamanya, sekian generasi yang lalu, namun ada suatu keyakinan bahwa orang-orang yang menggunakan nama marga yang sama terjalin oleh hubungan darah, dan salah satu konsekuensinya adalah larangan menjalin ikatan perkawinan bagi perempuan dan laki-laki yang mempunyai nama marga yang sama. Sistem kekerabatan merupakan sendi utama dalam kebudayaan orang Batak

Toba.

Maka sangat penting menanyakan marga menjadi pembicaraan penting bagi setiap orang batak ketika bertemu sesamanya. Ini semua mau menyatakan dengan jelas bahwa orang batak memiliki sifat bersaudara atau membangun semangat kekeluargaan.

Bila diperhatikan berbagai segi kehidupan kemasyarakatan serta beberapa hal penting, seperti kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga orang Batak Toba, maka dapat dilihat

Universitas Sumatera Utara 63

adanya benang merah yang terjalin di dalamnya, yaitu kaitan yang erat dengan hubungan- hubungan kerabat.

Sistem kemasyarakat dalam Masyarakat Batak Toba, dibentuk juga dengan hagabeon (memiliki keturunan). Maka untuk mencapai hagabeon maka setiap anak yang sudah dewasa akan dinikahkah, hal ini di ungkapakan dalam umpasa yang menyatakan

“molo bolon anak pangolihononton, molo bolon boru pahutaan” artinya bila anak pria sudah besar (cukup umum) maka harus dinikahkan, bila anak perempuan sudah besar maka harus dinikahkan juga. Maka dengan demikian tanggung jawab orang tua secara adat sudah selesai kepada anak tersebut, artinya anak sudah menikah punya kemandirian dalam strata adat.

Pernikahan merupakan peristiwa yang penting dalam masyarakat batak toba tradisional, sehingga dalam upacara pernikahan masyarakat tradisional dilakukan dengan upacara adat dengan melibatkan struktur dalihan natolu. Pernikahan itu sendiri akan membentuk struktur dalihan antolu yang baru. Pencapaian strata adat bagi anak sudah menikah akan lebih meningkat setelah kelahiran buha bajunya (anak pertamanya).

Dengan kelahiran anak pertamanya maka akan tabu bagi orang lain memanggil namanya secara langsung, melainkan panggialan Ama ni Polan (misalnya nama anaknya anak pertamanya Si Polan). Bila anak yang lahir tersebut merupakan cucu pertama bagi keluarga orangtua dari ayah dan ibunya (kakek dan nenek), maka panggilan dari kakek dan nenek bayi yang lahir tersebut juga berubah menjadi Ompu ni si Polan.

Masyarakat Batak Trasional Batak Toba selalu memiliki cita-cita untuk mencapai hagabeon (memiliki keturunan yang banyak), dari studi tentang bahasa batak

Universitas Sumatera Utara 64

ada empat tingkatan yakni dengan;

1. Maranak-marboru (dengan memiliki anak laki-laki dan perempuan)

2. Marpahompu sian anak-marpahompu sian boru (memiliki cucu dari anak

laki-laki dan perempuan),

3. Marnini-marnono (memiliki cicit dari anak laki-laki dan perempuan),

4. Marindik hinding dohot marondok-ondok (memiliki cucu dari cucu anak

laki-laki dan perempuan).

Pencapaian atas hagebeon ini ada dicatat oleh kerabatnya dan diumumkan pada saat di meninggal dunia, dan sekaligus metode untuk menentukan jenis acara adat yang harus dilakukan untuk upacara kematiannya (adat tu namarujung ngolu). Setidaknya ada delapan kategori jenis sebutan dalam bahasa batak bagi orang yang meninggal (Sinaga,

2013):

1. Mate dibortian (meninggal dalam kandungan), tidak ada acara adat

2. (a) Mate poso-poso (mati anak-anak), terlibat dalihan natolu, dan

mayatnya sudah tutup ulos dari orang tuanya. (b) Mate dakdanak (mati

anak-anak) dan (c) mate bulung atau mate ponggol (mati remaja), terlibat

dalihan natolu, dan mayatnya sudah tutup ulos dari tulangnya.

3. Mate diparang-alang atau mate punu (sudah berumah tangga tetapi

belum punya anak), terlibat dalihan natolu, dan mayatnya sudah tutup

ulos saput dan satu lagi ulos tunjung yang dikerudungkan kepada

pasangan yang ditinggal mati.

Universitas Sumatera Utara 65

4. Mate mangkar (sesorang meninggal, dimana anak-anaknya masih kecil-

kecil), terlibat dalihan natolu, dan mayatnya sudah tutup ulos saput dan

satu lagi ulos tunjung yang dikerudungkan kepada pasangan yang

ditinggal mati. Para pelayat yang datang tidaklah lazim diberi makan.

5. Mate hatungganeon (anak-anaknya sudah dewasa, bahakan sudah ada

yang kawin, namun belum juga bercucu), terlibat dalihan natolu, dan

mayatnya sudah tutup ulos saput dan satu lagi ulos tunjung yang

dikerudungkan kepada pasangan yang ditinggal mati. Para pelayat yang

datang lazim diberi makan.

6. Sari matua (meninggal dunia, sudah punya cucu namun masih ada anak

yang belum menikah), terlibat dalihan natolu, menyediakan jambar dari

lembu dan para pelayat yang datang tidaklah lazim diberi makan.

7. Saur matua (meninggal dunia, masing-masing anaknya sudah punya

anak), pihak keluarga wajib mengundang kerabat terutama pihak hula-

hula, dan menyediakan jambar dari kerbau dan ada acara makan, dapat

diiringi dengan tabuh gendang

8. Saur matua bulung (dimana masing-masing anaknya sudah punya cucu

dan marnini-marnono atau bahkan sudah marindik hinding dan

marondok-ondok selama hidupnya tidak ada satu orangpun yang

meninggal dunia), tingkat kematian tertinggi dan terhormat, pihak

keluarga wajib mengundang kerabat terutama pihak hula-hula, dan

Universitas Sumatera Utara 66

menyediakan jambar dari kerbau dan ada acara makan, dapat diiringi

dengan tabuh gendang.

Disamping itu susunan kekerabatan dalam masyarakat tradisional juga diatur masing-masing dalam satu kampung yang dipimpin oleh Raja Huta. Gelar Raja diberikan kepada si pendiri (sipungka huta), dan hak itu selamanya berada di tangan keturunannya selama mereka terus bertempat tinggal di kampung itu. Hak atas kampung itu baru akan hilang jika pendiri atau keturunannya dengan sengaja meninggalkannya (huta na niulang, lobu). Disamping raja huta, berdasarkan teritori, ada dua tipe kerjaan (harajaon) masyarakat Batak Toba tradisional, yaitu Harajaon Horja dan Harajaon Bius. Dalam harajaon horja diangkat raja yang disebut raja horja. Mereka adalah raja huta sebagai wakil huta menjadi raja horja dari harajaon horja yang menjadi konfederasi mereka.

Akhirnya, dalam harajaon bius diangkat raja yang disebut raja bius. Mereka dipilih dari raja horja untuk menjadi wakil mereka sebagai raja bius yang menjadi konfederasi mereka.

2.3.2.1.4 Sistem peralatan hidup dan teknologi

Masyarakat Tradisional Batak Toba telah mengenal dan mempergunakan alat- alat sederhana yang dipergunakan untuk bercocok tanam dalam kehidupannya. Seperti cangkul, bajak (tenggala dalam bahasa batak), tongkat tunggal sabit (sabi-sabi).

Masyarakat Batak juga memiliki senjata tradisional yaitu, piso surit (sejenis belati), piso gajah dompak (sebilah keris yang panjang), hujur (sejenis tombak), podang (sejenis pedang panjang). Unsur teknologi lainnya yaitu kain ulos yang merupakan kain tenunan yang mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan adat Batak.

Universitas Sumatera Utara 67

Alat pertukangan untuk membuat ornamen arssitektur tradisional ada 2, yakni gorga uhir atau dengan teknik ukir, menggunakan pisau yang disebut piso pangalontik dengan alat pukul yang disebut pasak-pasak. Khusus untuk gorga singa-singa, sebelum diukir terlebih dibentuk secara kasar dengan dengan alat kapak aatau disebut takke.

2.3.2.1.5 Sistem ekonomi dan mata pencaharian hidup

Pada umumnya mata pencaharian masyarakat Batak adalah bertani, betemak, menangkap ikan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar pinggir Danau Toba dan kerajinan tangan. Bercocok tanam di sawah adalah mata pencaharian hidup utama dari orang Batak, beras merupakan makanan pokok sehari-hari. Beras juga sangat berfungsi dalam memenuhi kebutuhan dari setiap upacara-upacara adat dalam masyarakat Batak misalnya: upacara adat kelahiran anak, upacara adat perkawinan, upacara adat kematian dan upacara mendirikan bangunan.

Beras juga dipergunakan oleh orang Batak sebagai "sipir ni tondi" kepada borunya, artinya orang-orang tua selalu mengatakan bahwa manusia dapat hidup karena mempunyai tondi. Jadi tondi itu selalu diartikan mereka sebagai kekuatan (ngolu) yang berasal dari Tuhan. Bagi daerah tertentu yang tidak memungkinkan untuk bersawah karena tidak ada air, maka penduduk daerah tersebut hidupnya dari basil tanam-tanaman kebun seperti: kopi, kemenyan, cengkeh, tanaman buah-buahan, tanaman sayur•sayuran, kacang-kacangan, ubi, nenas, dan lain-lain.

Beternak juga merupakan mata pencaharian orang Batak. Binatang peliharaannya umumnya terdiri dari kerbau, lembu, kuda, babi, ayam, bebek, dan jenis binatang piaraan lainnya. Namun demikian tidaklah berarti bahwa pada setiap orang Batak

Universitas Sumatera Utara 68

itu tidak mempunyai binatang-binatang piaraan lainnya. Pada umumnya kerbau lembu, kuda, hanyalah dapat dimiliki oleh orang-orang berada saja.

Bagi masyarakat Batak Toba Tradisional yang berprofesi sebagai petani, kuasa

Boraspati ni Tano atau Dewa Bumi sangat diharapkan untuk menjamin keberhasilan usaha hasil bumi melimpah, ternak beranak-pinak (gabe na niula, sinur pinahan). Dan tidak kalah penting kuasa Boru Saniang Naga atau Dewi Air, sangat diperlukan dalam pertanian dan usaha ternak dan terkhusus bagi nelayan yang menangkap ikan di Danua

Toba.

2.3.2.1.6 Religi atau kepercayaan

Masyarakat Batak Toba mempercayai adanya pencipta yang punya kuasa atas semua jagat raya yang dinamakan Debata Mulajadi Nabolon, secara harafiah artinya adalah Sang Dewata, Maha Pencipta (awal), Maha Besar. Dalam menyebut Debata

Mulajadi Bobolon, selalu diawali dengan sebutan Ompung atau Omputa merupatan stata tertinggi dalam adat Batak. Pada masa Tradisional, kepercayaan didasari pada adanya roh- roh nenek moyang dan penyembahan dewa-dewa tertentu. Berbagai penelitian terdahulu banyak membahas tentang konsep pemikiran kuno suku Batak Toba tentang asal usul dan dunia tempat hidup mereka,yang juga didasari pada penyembahan para Dewa (Tobing, P.

O. L., 1963, Waterson 1990, Loebis 2000, Fitri 2004). Seperti halnya beberapa suku kuno di Nusantara, konsep tentang dunia mistik (mythical world) dan konsep tentang asal usul nenek moyang dan dewa-dewa, mempengaruhi konsep tentang dunia sebagai tempat hidup dan pada akhirnya mempengaruhi konsep hunian.

Universitas Sumatera Utara 69

Dalam pendekatan mitologi, para datu (ahli pengobatan, sihir dan ramalan) banyak mengungkapkan mitos tentang leluhur Batak. Ditemukan berbagai macam versi mitos. Satu mitos yang sangat populer ialah mitologi Mitos “Debata Natolu terdiri dari tiga dewa yakni Batara Guru, Balasori atau Soripada, Balabulan atau Mangala Bulan” dan

“Siboru Deak Parujar”. Mitos inipun diungkapkan dengan berbagai versi. Tetapi dari aneka macam versi mitos tersebut memiliki kesamaan yakni leluhur Masyarakat Batak, ibu dari manusia pertama di bumi adalah Siboru Deak Parujar, yang merupakan putri dari

Batara Guru.

Dalam konsep totalitas makrokosmos dipastikan masyarakat Batak Toba Tua percaya bahwa Debata Mulajadi Nabolon menguasai seluruh banua, baik banua ginjang, banua tonga maupun banua toru. Disamping itu Debata na tolu yaitu Batara Guru,

Soripada dan Mangala Bulan adalah diciptakan oleh Debata Mulajadi Nabolon. Masing- masing dari Debata natolu memiliki sifat dan fungsi. Batara Guru bersifat pemimpin: pamong, bijaksana dilambangkan dengan warna hitam; Soripada memiliki sifat wanita: pengasih, pemelihara, welas asih dilabangkan dengan warna putih; sementara

Mangalabulan atau Balabulan bersifat perwira: perkasa, tangkas, lincah, kuat dilambangkan dengan warna merah. Adapun fungsi dan tugas dari masing;masing Debata

Natolu dapat dikemukakan sebagai berikut; Batara Guru yang disebut Tuan Bubi Na

Bolon menjaga harmoni di banua-ginjang. Ia mengatur hidup dan maut (hasangapon).

Debata Soripada yang juga disebut Tuan Silaon Na Bolon menjaga harmoni di banua- tonga. Ia menganugerahkan anak kepada manusia (hagabeaon). Debata Mangala Bulan yang disebut Tuan Pane Na Bolon menjaga harmoni di banua toru, ia mengirimkan

Universitas Sumatera Utara 70

cahaya, guruh, hujan, ombak dan kesuburan tanah (hamoraon) dan berkuasa atas laut, kilat, dan guntur (Tampubolon, 2012; Hutagalung, 1991).

Telah dikemukakan bahwa totalitas dari tiga Debata ada pada diri Debata

Mulajadi Nabolon. Karena itu Debata Mulajadi Nabolon merupakan harmoni dan sekaligus kesatuan dari tiga unsur yang berbeda yang mengatur tiga dunia tersebut.

Kemudian masyarakat Batak Toba tradisional percaya bahwa keharmonisan dan ketidakharmonisan jagat raya akan berdampak kepada kehidupan masyarakat.

Keharmonisan jagat raya akan menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi dunia manusia. Sebaliknya, malapetaka, penderitaan dan gangguan lain yang merugikan masyarakat merupakan akibat dari ketidakharmonisan jagat raya.

Selain Debata Mulajadi Nabolon dan Debata Natolu, masyarakat Batak Toba percaya masih ada dua dewa yang ikut menentukan kehidupan dan kesejateraan mereka dan selalu muncul dalam doa yakni Boraspati ni Tano dan Boru Saniang Naga. Kuasa yang mereka miliki juga dipercaya berasal dari Mulajadi Nabolon. Boraspati ni Tano diyakini berkuasa untuk menentukan kesuburan tanah, dimana dewa ini berbentuk menyerupai seekor kadal. Berdasarkan keyakinan ini, Boraspati ni tano sering menduduki tempat utama di dalam tonggo-tonggo, kepadanya dimohonkan keselamatan dan kesuksesan mendirikan kampung, mendirikan sebuah rumah baru, dan pada saat tiang persembahan ditancapkan dalam tanah (Vergouwen, 2013). Hal ini disebabkan oleh semua tindakan aktifitas manusia itu berkaitan erat dengan tanah, dan oleh karenanya dianggap perlu mendapat perlindungan yang sebesar-besarnya dari Dewa Boraspati ni

Tano (Gambar 2.10 dan 2.11).

Universitas Sumatera Utara 71

Sedangkan Boru Saniang Naga berkuasa atas air sehingga dianggap juga sebagai dewi air yang diyakini berbentuk se ekor ular. Dia memerintah kuasa-kuasa air, dia bisa membahayakan dan mengancam nelayan dan orang-orang yang memiliki aktivitas yang ada hubungannya dengan aliran air, namun sekaligus dapat memberikan berkat setelah ia diberi persembahan.

Gambar 2.10 Skema Kosmologi dan Kosmogoni Masyarakat Tradisional Batak Sumber: Interpretasi penulis dari tulisan ”Pustaha Tumbaga Holing” (Tampubolon, 2012) dan ”Pustaha Batak” (Hutagalung, 1991)

Universitas Sumatera Utara 72

Gambar 2.11 Skema hubungan kekerabatan Debata Natolu di banua ginjang. Sumber: Interpretasi Penulis dari”Pustaha Tumbaga Holing” (Tampubolon, 2012)

Pemikiran akan adanya dunia mistis dan pembagian dunia tersebut sangat berpengaruh pada konsep kosmologinya. Secara kosmologi, suku Batak Toba membagi dunia menjadi 3 layer: dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah. Dunia atas merupakan tempat bertahtanya Mulajadi Nabolon, dewa tertinggi. Dunia tengah menjadi tempat hidup manusia sedangkan dunia bawah menjadi tempat hidup bagi orang yang sudah mati, hantu dan roh-roh jahat. Konsep kosmologi yang membagi dunia menjadi 3 lapis dianggap berpengaruh pada pembagian tingkatan dalam rumah tradisional (Gambar 2.12).

Universitas Sumatera Utara 73

Banua ginjang: tempat raga-raga (persembahan), tempat penabuh gendang dalam upacara

Banua tonga: tempat tinggal

Banua toru: area gelap (kotor)

Gambar 2.12 Rumah Tradisional Batak Toba Merupakan Simbol Kosmologi Sumber: Domenig, 2014; Fitri, 2004

2.3.2.1.7 Kesenian Kesenian pada Masyaratkan Trandisional Batak Toba dapat ditemukan dalam berbagai bentuk, diantaranya seni ukiran (pada rumah tradisonal disebut gorga), gambar, tulisan, ungkapan/peribahasa bisa berupa umpasa dan umpama, teater dan pentas bisa berupa pertunjukan opera, dan gerak/tari dinamakan tortor. Selain itu terdapat juga seni musik yang digunakan dalam masyarakat batak toba tradisional. Seni musik yang terdiri dari gondang atau hasapi menjadi bagain yang sangat penting dari tata upacara adat maupun upacara agama.

2.3.2.2 Ornamen arsitektur tradisional Batak Toba

Ornamen pada arsitektur tradisional Batak Toba umumnya ada pada fasade dan sebagai lagi pada dinding samping rumah dinamakan gorga. Gorga Batak adalah ukiran

Universitas Sumatera Utara 74

atau pahatan tradisional yang merupakan simbol yang sekaligus dekorasi atau hiasan yang dibuat dengan cara memahat kayu (papan) dan kemudian mewarnainya dengan tiga warna yaitu merah, putih dan hitam. Warna yang tiga macam ini disebut tiga bolit.

Dari segi warna dominasi warna maka gorga yang digunakan dapat dikatergorikan dalam 3 jenis gorga sampur borna (dominan warna putih), gorga sipalang

(dominan warna merah) dan gorga sidomdom di robean (dominan warna hitam). Setiap warna memiliki arti tersendiri yakni warna merah melambangkan ilmu pengetahuan dan kecerdasan yang berbuah kebijaksanaan. Warna putih melambangkan ketulusan dan kejujuran yang berbuah kesucian. Warna hitam melambangkan kerajaan dan kewibawaan yang berbuah kepemimpinan. Sebutan lain jenis gorga batak menurut warnanya:

1. Gorga sigaraniapi lebih cerah karena banyak menggunakan warna merah.

Gorga sigaraniapi secara khas menunjukkan kepemilikan rumah.

Umumnya gorga sigaraniapi dipakai untuk menghias rumah keluarga biasa

dan masyarakat umum.

2. Gorga silinggom lebih terkesan serius dan mistis karena memakai

perpaduan triwarna hitam, putih dan merah secara menyeluruh. Akibatnya

warna gorga ini tidak terlalu cerah namun sedikit gelap dan redup seperti

bayangan atau keteduhan dibawah naungan. Linggom sendiri dapat

diartikan sebagai teduh atau ternaung. Gorga jenis ini lebih banyak dipakai

untuk menghiasi rumah raja atau orang yang sanggup melindungi,

menaungi (rakyat atau orang kebanyakan).

Sedangkan dari segi teknik membuat, maka gorga dapat dikatergorikan dalam

Universitas Sumatera Utara 75

dua jenis yakni:

1. Gorga Uhir yaitu gorga yang dipahatkan dengan memakai alat pahat

2. Gorga Dais yaitu gorga yang dilukiskan dengan cat warna tiga bolit. Gorga

dais ini merupakan pelengkap pada Batak Toba umunya

terdapat pada bahagian samping rumah, dan dibahagian dalam.

Pembagian jenis gorga juga dapat dilihat dari segi bentuknya. Dari segi bentuk terdapat beberapa keragaman bentuk yang bisa ditemukan dalam rumah Tradisional Batak

Toba, yang pernah diutarakan para ahli. Jenis Gorga berdasarkan bentuk menurut

Napitupulu, dkk. (1970): Gorga simeoleol, Gorga hariara sundung di langit, Gorga hoda- hoda, Gorga boraspati, Gorga adop-adop, Gorga jorngom, Gorga gaja dompak, Gorga ulu paung, Gorga singa-singa, Gorga ipon-ipon, Gorga simata ni ari, Gorga desa naualu,

Gorga sitagan, Gorga simarogung-ogung. Sedangkan jenis gorga berdasarkan bentuk menurut Wahid, J., & Alamsyah, B. (2013), antara lain Gorga simeol-meol, Gorga sitagan,

Gorga simarogung-ogung, Gorga hoda-hoda, Gorga simataniari, Gorga singa-singa,

Gorga boraspati, Gorga gaja dompak, Gorga jenggar atau jorngom, Gorga ulu paung,

Gorga boraspati, Gorga adopadop, Gorga Jenggar-jenggar. Jenis gorga berdasarkan bentuk menurut Simanjuntak (2007): Gorga ipon-ipon, Gorga simataniari, Gorga desa naualu, Gorga si marogung-ogung, Gorga singa-singa, Gorga jorngom, Gorga boraspati,

Gorga adop adop, Gorga ulu paung.

Selanjutnya pembahasan ornamen atau gorga rumah tradisional batak toba yang digunakan dalam tulisan ini adalah berdasarkan bentuk (Tabel 2.4) sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara 76

Tabel 2.4 Jenis-jenis Ornamen (Gorga) Pada Rumah Tradisional Batak Toba Dilihat Dari Segi Bentuk No Nama Ornamen (gorga) 1 Gorga ulu paung 2 Gorga dila paung/santung-santung 3 Gorga gaja dompak 4 Gorga jengger-jenggar 5 Gorga jorngom 6 Gorga singa-singa 7 Gorga adop-adop 8 Gorga boraspati 9 Gorga simeol eol 10 Gorga dalihan natolu 11 Gorga hoda-hoda 12 Gorga simataniari 13 Gorga sitagan 14 Gorga simarogung-ogung 15 Gorga hariara sundung di langit/sangkamadeha 16 Gorga desa naualu Sumber: Napitupulu, dkk. (1970); Wahid, J., & Alamsyah, B. (2013); Simanjuntak (2007)

2.3.3 Arsitektur kontemporer Batak Toba

2.3.3.1 Kebudayaan kontemporer masyarakat Batak Toba

Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi pada era kontemporer, telah mempengaruhi tata kehidupan masyarakat Indonesia termasuk Masyarakat Batak

Toba. Terbukanya hubungan interaksi dengan berbagai suku yang ada di Indonesia, bahkan interaksi terhadap seluluh masyarakat dunia, telah mempengaruhi kebudayaaan masyarakat Batak Toba kontemporer. Hal ini dimungkinkan dengan perkembangan teknologi canggih, dan pembangunan di Indonesia. Pekembangan teknologi pada masa sekarang ini telah berdampak pada perubahan kebudayaan, pada masyarakat Indonesia termasuk masyarakat Batak Toba. Walaupun dapat dikatakan perubahan sosial budaya

Universitas Sumatera Utara 77

yang merupakan sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Dengan masuknya pengaruh suatu kebudayaan yang lain, tidak membuat kebudayaan sendiri menjadi luntur, hilang, atau digantikan.

Kebudayaan yang masuk, akan dilihat apakah sesuai dengan kebudayaan yang telah ada, jika kebudayaan yang masuk itu tidak bertentangan dengan kebudayaan asli maka akan dipakai dan hal ini akan memberikan adanya kemajuan pada kebudayaan yang menerimanya.

Dilihat dari segi tempat tinggal, masyarakat batak toba kontemporer dapat dikategorikan dalam dua bagian, yang pertama masyarakat bona pasogit yakni masyarakat yang tetap tinggal di daerah tanah batak, yang kedua masyarakat pangaranto yakni masyarakat yang sudah pergi merantau dari daerah tapanuli atau wilayah asal Batak Toba.

Terdapat kaitan erat hubungan antara masyarakat bona pasogit dan masyarakat pangaranto. Dengan perpindahan masyarakat pangaranto dengan sendirinya menjadi agen perubahan kebudayaan pada daerah asalnya atau bona pasogit, untuk lebih jelasnya adakan diuraikan dibawah ini:

2.3.3.1.1 Bahasa Pada masyarakat kontemporer, khususnya di bona pasogit penggunaan Bahasa

Batak masih digunakan, terutama oleh golongan orang tua. Penggunaan bahasa batak secara dominan digunakan dalam acara adat. Penggunanaan bahasa batak juga dapat ditemukan dalam acara peribadatan di gereja, khususnya pada Gereja HKBP (Huria

Universitas Sumatera Utara 78

Kristen Batak Protentan) dan Geraja Katolik secara bergantian. Namun dalam pergaulan sehari-hari penggunaan bahasa Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi Bangsa Indonesia, sudah cukup signifikan. Pada masyarakat Batak Pangaranto, penggunaan bahasa sehari- hari akan disesuaikan dengan bahasa lokal.

2.3.3.1.2 Sistem pengetahuan Masyarakat Batak Toba Kontemporer mempelajari ilmu pengetahuan dilakukan melalui jalur pendidikan formal dan informal. Sistem pengetahuan untuk nama- nama hari menggunakan kalender masehi. Disamping itu pengertahuan tentang ramalan cuaca tidak lagi dilakukan oleh datu, melaikan melalui badan yang dibentuk pemerintah

Indonesia sekarang. Kemudian pengetahuan tentang kesehatan masyarakat dilakukan dengan bantuan medis, namun praktek pengobatan tradisional dengan batuan datu masih ada. Peranan sibaso tidak lagi dimanfaaatkan masyarakat untuk membantu persalinan.

2.3.3.1.3 Sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial Sistem kemasyarakat masyarakat Batak Toba Kontemporer, tetap berdasarkan patrilineal. Sebagain besar penggunaan marga masih digunakan. Dalam acara adat, sistem dalihan natolu masih berlalu. Bila dalam pernikahan dalam masyarakat batak toba tradisional dilakukan dalam satu tahapan yakni dengan pernikahan adat (pasu-pasu raja) pada masyarat toba kontemporer yang telah menganut agama baru umunya kristen dan

Islam, dilakukan dalam dua tahapan, tahap pertama perberkatan secara agama di gereja bagi yang beragama Kristen dan yang beragama Islam pergi ke seorang alim yang dapat melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam. Upacara perkawinan juga dilangsungkan pada hari atau dekat dengan hari marunjuk, dan sepanjang yang kami

Universitas Sumatera Utara 79

ketahui marunjuk tidak harus mengalami perubahan sebagai syarat.

Dengan keberadaan agama baru pada masyarakat batak kontemporer, juga diadopsi menjadi pembentuk strata sosial. Pada pelaksaan upacara adat, pemuka agama juga dilibatkan untuk membuka dan menutup dengan doa cara adat tersebut. Eksistensi pemuka agama, juga tergambar dengan jelas, ketika mereka juga mendapat bagian daging adat (jambar) yang sebutkan jambar tu pangula ni huria. Selain itu eksistensi pemerintahan Indonesia juga diakuti dalam tataran adat batak, dengan memberikan bagian daging adat yang sebutkan jambar tu pemerintah setempat, akan diberikan kepada strata tertinggi pemerintahan, namun umumnya dihadiri oleh kepala desa.

2.3.3.1.4 Sistem peralatan hidup dan teknologi Sistem peralatan hidup masyarakat masyarakat Batak Toba Kontemporer, mengadopsi teknologi modern. Dalam pengolahan lahan pertanian, dialkukan secara manual dan bantuan mesin trantor. Penggunan teknologi juga dilakukan dalam alat komunikasi, antara kerabat dengan telepon dan juga media sosial. Sehingga bila pada masa tradisional, undangan untuk acara adat dilakukan secara lisan dari rumah ke rumah yang dinamakan manggokkon dohot manjou (mengundang dan memanggil), pada masa sekarang yang kemudian dituliskan dalam surat undangan berbunyi gokkon dohot jou- jou,", dilakukan juga dengan surat elektronik, pesan singkat (sms) dan juga telepon.

2.3.3.1.5 Sistem ekonomi dan mata pencaharian hidup Sistem ekonomi dan mata pencaharian hidup masyarakat masyarakat Batak

Toba Kontemporer cukup beragam. Namun praktek bertani, beternak, dan nelayan masih dilakukan sebagian besar masyarakat di Bona pasogit. Mata pencaharian atau pekerjaan

Universitas Sumatera Utara 80

Batak Toba Kontemporer dapat ditemukan dalam berbagai kategori, mulai dari bekerja sebagai pemerintahan, aparatur sipil negara, pengusaha, buruh dan lain sebagainya.

2.3.3.1.6 Religi atau kepercayaan Agama atau kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Batak Toba

Kontemporer, komposisi agama yang dianut oleh Penduduk Kabupaten Toba Samosir terdiri dari Kristen Protestan, Kristen Katolik, Islam dan Aliran Kepercayaan (agama lokal). Komposisi yang terbesar berturut–turut adalah penganut agama Kristen Protestan diikuti Kristen Katolik, Islam dan Aliran Kepercayaan (agama lokal). Dalam kepercayaan

Agama Kristen, Tuhan merupakan pencipta seluruh alam semesta; langit, bumi, udara, air dan seluruh komponennya. Tuhan juga yang menciptakan manuasi, di mana Adam dan

Hawa diyakini sebagai manusia pertama di bumi (Gambar 2.13).

TUHAN (DEBATA)

ALAM SEMESTA; LANGIT, BUMI, UDARA, AIR, dll. (HASIANGAN)

MANUSIA PERTAMA ADAM DAN HAWA (JOLMA PARJOLO)

Gambar 2.13 Tuhan Menciptakan Alam Semesta Dan Manusia Menurut Agama Kristen

2.3.3.1.7 Kesenian Kesenian masyarakat Batak Toba Kontemporer, dapat ditemukan dalam

Universitas Sumatera Utara 81

berbagai bentuk, diantaranya gambar, tulisan, ungkapan/peribahasa bisa berupa umpasa dan umpama masih digunakan dalam acara adat, teater dan pentas bisa berupa pertunjukan dalam kegiatan (bisa berupa karnaval budaya, atau audisi kontes nasional), gerak/tari dinamakan tortor, seni ukiran pada bangunan juga masih ditemukan dalam bangunan kontemporer.

2.3.3.2 Ornamen arsitektur kontemporer Batak Toba Pada Arsitektur Kontemporer Batak Toba, sebagian besar bentuknya sudah mengalami transformasi, tidak lagi mengikuti bentuk arsitektur tradisional. Rumah berpanggung, dengan atap melengkung sudah ditinggalkan. Namun seiring berjalannya waktu, timbul kembali keinginan masyarakat untuk menggunakan ornamen gorga. Dalam tulisan ini bangunan yang dipilih adalah bangunan kontemporer yang menggunakan ornamen (gorga) Arsitektur Tradisional Batak Toba yang diutarakan para ahli yaitu ulu paung, dila paung, gaja dompak, jengger-jenggar, jorngom, singa-singa, boraspati, adop- adop, simeol-eol, dalihan natolu, hoda-hoda, simataniari, sitagan, gorga simarogung- ogung, hariara sundung di langit/sangkamadeha, desa naualu.

2.4 Kerangka Teori

Secara keseluruhan studi literatur yang dikumpulkan dalam penelitian ini, terdiri dari 3 bagian pokok yakni kajian teori semiotika, teori ornamen arsitektur dan teori strukturalisme kebudayaan. Ketiga pokok kajian teori ini digunakan untuk menganalisa makna arsitektur secara umum dan makna ornamen arsitektur secara khusus. Dari kajian teori semiotika arsitektur didapatkan bahwa makna dalam arsitektur diperoleh dari fungsi objek arsitektur itu sendiri, yakni fungsi intrumentasi langsung (denotasi) dan fungsi

Universitas Sumatera Utara 82

interpretasi (konotasi). Pada kajian teori ornamen ornamen arsitektur, terdapat empat makna yang diperoleh dari penggunaan ornamen yakni fungsi estetika, fungsi prestise, fungsi ekspresi, fungsi religi. Bila dihubungkan dengan makna arsitektur dalam kajian semiotika arsitektur, keempat fungsi ornamen tersebut masuk dalam ranah fungsi interpretasi (konotasi). Sedangkan strukturlisme kebudayaan membahas 7 unsur universal yang terdiri dari unsur bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial atau sistem kemasyarakatan, peralatan hidup dan teknologi, mata pencaharian, religi atau kepercayaan dan kesenian. Dari ketujuh unsur ini akan dilihat hubungannya terhadap ornamen arsitektur sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan tersebut. Hasil penelitian ini menguraikan makna apa yang ada dalam ornamen tersebut dan unsur kebudayaan apa saja yang membentuk ornamen tersebut (Gambar 2.14).

Universitas Sumatera Utara 83

Gambar 2.14 Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara BAB 3 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif, sesuai dengan yang disampaikan Moleong (2014), fungsi dan pemanfaatan penelitian kualitatif diantaranya untuk menemukan persfektif baru tentang hal-hal yang sudah banyak diketahui dan bermaksud meneliti secara mendalam. Dimana pengetahuan tentang ornamen arsitektur sudah berjalan dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, dan hal ini menjadi latar belakang dalam penelitian ini. Penelitian kualitatif ini untuk menelaah sesuatu latar belakang misalnya tentang motivasi, peranan, nilai, sikap dan persepsi terhadap suatu objek penelitian dalam hal ini ornamen arsitektur. Penelitian kualitatif ini juga dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah

(Groat, L. N., & Wang, D., 2013). Pendekatan kualitatif untuk pengumpulan data, analisis, interpretasi, dan penulisan laporan dan pengambilan sampel yang bertujuan (purposive sample), pengumpulan data terbuka (open-ended data), analisis teks atau gambar, representasi informasi dalam gambar dan tabel, dan membuat interpretasi penunis terhadap temuan (Creswell, 2017).

Metode kualitatif ini mengandalkan data teks, naskah wawancara, catatan lapangan, gambar atau foto, video tape, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan

84

Universitas Sumatera Utara 85

dokumen resmi lainnya menggunakan teknik deskriptif untuk analisis data untuk menggambar situasi atau keadaan yang beragam dengan tujuan berusaha memahami latar dan fenomena secara holistik atau menyeluruh (Creswell, 2017; Moleong, 2014).

Berupaya menampilkan fenomena yang kompleks dengan jalan mengujinya dalam keseluruhan konteks, dimana semua data yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Dengan demikian, laporan penelitian ini akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran dalam penyajian laporan. Kemudian menganalisis data yang sangat kaya tersebut dan sejauh mungkin dalam bentuk aslinya

(naturalistik).

3.2 Skema Metodologi Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan cara kualitatif deskritip, dimana fenomena awal yang dikumpulan adalah pandangan hidup (world view) masyaratkat Tradisional dan

Kontemporer Batak Toba. Dengan pandangan hidup yang ada akan mengarahkan manusia untuk berbuat sesuatu apa yang ingin dicapai maupun yang harus dihindari selama hidup, dimana hal yang sangat mendasarinya adalah pengetahuan tentang kosmogoni (asal usul manusia) dan kosmologi (asal usul alam semesta). Pandangan hidup dalam masyarakat, akan membentuk sebuah kebudayaan yang merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang menjadi sebuah konsepsi yang diwariskan dalam bentuk-bentuk simbolik untuk melestarikan dan mengembangkan pengetahuan dan sikap manusia terhadap kehidupan. Salah satu wujud dari kebudayaan itu adalah ornamen arsitektur. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa ornamen arsitektur tersebut adalah sebuah tanda (sign) yang membawa pesan atau

Universitas Sumatera Utara 86

menggambarkan nilai-nilai kebudayaan. Sebagai sebuah tanda dalam kajian semiotika, akan dapat diuraikan makna denotasi dan konotasi yang terkandung atau terkait dengan tanda tersebut (Eco, U. 1980).

Pada masyarakat Tradisional Batak Toba yang animistik ornamen arsitektur

(gorga) diciptakan sebagai bentuk kepatuhan terhadap dewa-dewa untuk memohon berkat

(keuntungan) atau menghidari bencana (celaka, sial, derita). Seiring dengan perkembangan jaman modernisme, arsitekur tradisional (dalam hal ini Batak Toba) tidak diminati lagi. Namun secara mengejutkan pada sebagian masyarakat Kontemporer Batak

Toba, tidak lagi menggunakan bentuk arsitektur tradisional, namun ornamen tradisional digunakan dalam bangunannya. Masyarakat Kontemporer Batak Toba menggunakan ornamen arsitektur (gorga), untuk menunjukkan status sosial (prestise) dalam masyarakat.

Sebagai panduan awal untuk mengumpulkan dan menganalisis data maka kajian fungsi ornamen dalam penelitiaan ini diawali dengan pandangan para ahli dari hasil kajian teori, yakni fungsi estetika, fungsi prestise, fungsi ekspresi, fungsi estetika. Dari keempat fungsi ornamen tersebut akan dikaji bagaimana ornamen arsitektur tersebut dimaknai dalam masyarakat. Hal inilah yang menjadi temuan dalam penelitian ini, dan sebagai kesimpulan dari penelitian ini akan disandingkan makna ornamen pada Arsitektur

Tradisional Batak Toba dan makna ornamen pada Arsitektur Kontemporer Batak Toba

(Gambar 3.1)

Universitas Sumatera Utara 87

Gambar 3.1 Rancangan Skematik Metodologi Penelitian

3.3 Sumber dan Metode Pengumpulan Data

Adapun data yang dikumpulkan untuk keperluan penelitian ini data yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat Batak Toba yang dapat dilihat dalam tiga wujud kebudayaan yang sebagaimana diutarakan Koentjaraningrat (2002), yakni ideas (sistem ide), activities (sistem aktivitas), dan artifacts (system artefak). Dengan data kebudayaan ini maka akan dapat di gambarkan peran dan makna yang ditunjukkan ornamen arsitektur

Universitas Sumatera Utara 88

sebagai produk dan wujud dari kebudayaan itu sendiri terdapat tujuh unsur kebudayaan universal (Cultural Universal) yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial atau sistem kemasyarakatan, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi (Kluckhohn, C.,1953; Koentjaraningrat, 2002; Tumanggor dkk.,

2017).

Metode pengumpulan data yang digunakan untuk penelitian kualitatif ini dengan teknik observasi, wawancara, dan pengumpulan dokumen (Groat, L. N., & Wang, D.,

2013; Creswell, 2017; Sugiono, 2011). Dalam penelitian ini terdapat dua kategori data yang dikumpulkan Ornamen Arsitektur Tradisional Batak Toba dan Ornamen Arsitektur

Kontemporer Batak Toba dengan kriteria sebagai berikut:

3.3.1 Sumber dan Metode Pengumpulan Data Ornamen Arsitektur Tradisional Batak

Toba

Untuk kajian ornamen Arsitektur Tradisional Batak Toba adapun data yang dikumpulkan tentang kebudayaan masyarakat Tradisional Batak Toba. Data diperoleh dari pengumpulan dokumen (studi literatur) dan juga observasi (pengamatan lapangan), untuk mendapatkan photo dokumentasi ornamen Arsitektur Tradisional Batak Toba.

Sebagai batasan untuk data yang dikumpulkan adalah kebudayaan dan Arsitektur

Tradisional Batak Toba sampai dengan pertengahan abad ke-20.

3.3.1.1.1 Pengumpulan dokumen (studi literature).

Kegitaan pengumpulan dokumen dilakukan dengan mengumpulan data pustaka berupa buku, jurnal, majalah ilmiah, dokumen pribadi dan dokumen resmi yang

Universitas Sumatera Utara 89

membahas tentang kebudayaan atau ornamen Arsitektur Tradisional Batak Toba.

Kemudian data pustaka ini dikelola dengan dibaca dan dicatat bagian-bagian yang berhubungan kajian topik penelitian untuk dijadikan rujukan untuk memperkuat argumentasi-argumentasi yang ada.

3.3.1.1.2 Observasi (pengamatan lapangan)

Untuk menentukan objek yang akan diteliti dengan menggunakan, tekni sample bertujuan (purposive sample), dilakukan dengan penyesuaian berkelanjutan dari sample dan pemilihan sample akan diakhiri jika sudah terjadi pengulangan. Objek penelitian yang akan menjadi sample adalah ornamen Arsitektur Tradisional Batak Toba, dari yang diutarakan para ahli terdapat 16 jenis ornamen yaitu Gorga Ulu paung, Gorga Dila paung,

Gorga Gaja dompak, Gorga Jengger-jenggar, Gorga Jorngom, Gorga Singa-singa, Gorga

Boraspati, Gorga Adop-adop, Gorga Simeol-eol, Gorga Dalihan natolu, Gorga Hoda- hoda, Gorga Simataniari, Gorga Sitagan, Gorga Simarogung-ogung, Gorga Hariara sundung di langit/sangkamadeha, Gorga Desa naualu.

Untuk menemukan lokasi penelitian, terlibih dahulu dipelajari atau menggali informasi sebanyak mungkin tentang Suku Batak Toba. Masyarakat ini tinggal di sekitar

Danau Toba dan Pulau Samosir, meliputi wilayah administarasi Kabupaten Toba Samosir,

Kabupaten Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara sekarang (Gambar 3.2; Gambar 3.3). Berdasarkan informasi yang lebih kuno, wilayah

Batak Toba dapat disebut juga sebagai Batak pusat, hal ini karena lokasinya yang berada di tengah-tengah sub-etnis suku Batak yang lainnya (Sargeant, G., dan Saleh, R., 1973;

Fitri, 2004).

Universitas Sumatera Utara 90

Gambar 3.2 Peta Daerah Batak Toba Tua Sumber: Sargeant & Saleh (1973)

Gambar 3.3 Ilustrasi bagan penataan kampung Batak Toba (huta) Sumber: Napitupu (1997)

Universitas Sumatera Utara 91

Tinjauan lapangan, untuk mendeskripsikan ornamen yang terdapat arsitektur tradisional Batak Toba (populasi) dalam objek (sample) penelitiaan ini. Populasi ini meliputi semua Aarsitektur Tradisional Batak Toba khususnya pada ruma dan sopo yang berdiri dari satu kampung sebagaimana dikatakan Napitupulu (1997). Desa suku Batak

Toba disebut juga sebagai huta (bahasa Toba). Huta biasanya merupakan kesatuan teritorial yang dihuni oleh keluarga asal dari satu klen (Bangun, 2007). Napitupulu mendeskripsikan bahwa huta dikelilingi tembok semacam benteng yang terbuat dari tanah. Desa memiliki dua pintu masuk (harbangan) dan menara pengawas (hubu-hubu) di pojok benteng. Ruang terbuka di desa atau halaman berorientasi timur-barat, rumah dan sopo berdiri saling berhadapan. Ujung atap rumah menghadap selatan sedangkan ujung atap sopo menghadap utara, kedua ujung atap melindungi halaman dari sinar matahari

(Gambar3.4).

Gambar 3.4 Lokasi Penelitian Desa Banua Huta, Kecamatan Sigumpar-Kabupaten Toba Samosir.

Universitas Sumatera Utara 92

Tinjauan lapangan dilakukan di di Desa Banua Huta, Kecamatan Sigumpar di kabupaten Toba Samosir. Adapun alasan pemilihan lokasi penelitian ini, karena ditempat ini masih lengkap rumah Arsitektur Tradisional Batak Tobanya dan sebagian besar masih digunakan sampai dengan sekarang, hal ini sangat membantu dalam penelitian ini untuk mendapatkan informasi tentang bangunan tersebut. Keragaman ornamen di huta ini juga menjadi hal yang menarik untuk diteliti dari penerapan ornamen yang sederhana sampai dengan rumah dengan fasade yang dipenuhi ornamen yang rumit ada ditempat ini.

3.3.2 Sumber dan Metode Pengumpulan Data Ornamen Arsitektur Kontemporer Batak

Toba

Untuk kajian ornamen Arsitektur Kontemporer Batak Toba adapun data yang dikumpulkan tentang kebudayaan masyarakat Kontemporer Batak Toba. Data diperoleh dari observasi (pengamatan lapangan), wawancara, pengumpulan dokumen (studi literature). Sebagai batasan untuk data yang dikumpulkan adalah kebudayaan dan

Arsitektur Kontemporer Batak Toba, dengan ornamen tradisional yang dibangun abab ke-

21.

3.3.2.1.1 Observasi (pengamatan lapangan) Penelitian ini menggunakan tekni sample bertujuan (purposive sample) dimana sebagai objek penelitian dipilih dari Arsitektur Kontemporer Batak Toba baik dengan fungsi sebagai rumah tinggal atau fungsi baru namun masih menggunakan ornamen tradisional Batak Toba, yang dibangun di Abad-21. Objek Observasi yang dipilih diantaranya bangunan pribadi yaitu rumah tinggal, bangunan publik yaitu wisma,

Universitas Sumatera Utara 93

bangunan peribadatan yaitu gereja. Bangunan yang dipilih setidaknya memiliki 4 jenis ornamen dari 16 jenis ornamen yang diutarakan para ahli yaitu Gorga Ulu paung, Gorga

Dila paung/santung-santung, Gorga Gaja dompak, Gorga Jengger-jenggar, Gorga

Jorngom, Gorga Singa-singa, Gorga Boraspati, Gorga Adop-adop, Gorga Simeol – eol,

Gorga Dalihan natolu, Gorga Hoda-hoda, Gorga Simataniari, Gorga Sitagan, Gorga

Simarogung-ogung, Gorga Hariara sundung di langit/sangkamadeha, Gorga Desa naualu

3.3.2.1.2 Wawancara Teknik pengumpulan data yang digunakan menggunakan cara wawancara semiterstruktur (semisctructure interview) untuk mengemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diwawancarai diminta pendapat, dan ide-idenya (Sugiono,

2011). Pada penelitian ini pihak yang diwawancarai (responden) merupakan owner atau stakeholder bangunan yang menjadi objek penelitian. Dalam melakukan wawancara ini telah terbih dahulu dipersiapkan instrument penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan pokok sebagai pedoman wawancara, tanpa menyediakan alternative jawabannya (Tabel

3.1). Metode ini digunakan untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam tentang pemahaman, ide ataupun tanggap responden terhadap objek penelitian (in-depth interviews).

Pertanyaan-pertanyaan pokok sebagai instrument penelitian untuk wawancara disusun dari hasil kajian teori, bagaimana pemahaman dari responden terhadap makna ornamen Arsitektur Batak Toba yang digunakan pada bangunannya. Wawancana ini akan dilakukan dengan responden yang berkompeten dalam memberikan informasi tentang makna ornamen dalam objek arsitektur yang diteliti bisa terdiri dari owner atau

Universitas Sumatera Utara 94

stakeholder lainnya seperti tukang (ahli) pembuat ornamen batak yang dalam bahasa

daerah disebut pande.

Tabel 3.1 Daftar Pertanyaan-pertanyaan Pokok Dan Tujuannya Untuk Wawancara No Pertanyaan Tujuan 1 Bagaimana latar belakang, sehingga Pertanyaan ini, supaya responden mengungkap apa bangunan Anda ini menggunakan tujuannya, sumber inspirasinya, semangat yang ornamen Batak (gorga)? mendasari untuk menggunakan gorga. 2 Apakah Anda tahu (mengenal) jenis Dengan pertanyaan ini diharap responden ornamen Batak (gorga) apa yang mengungkapkan seberapa besar pengetahuannya digunakan di bangunan ini?, siapa tentang gorga, berkaitan dengan jenis gorga apa yang yang menentukan jumlah, ukuran, diinginkanya dan apa tujuannya menggunakan gorga jenisnya dan tata letaknya? tersebut. 3 Sebelum Anda memutuskan Dengan pertanyaan ini diharapkan responden bangunan ini menggunakan ornamen mengungkap secara terbuka apakah gorga memiliki Batak (gorga), apakah dilakukan makna khusus/spesial bagi dia dari cara diskusi dengan keluarga, pengetua memperlakukan gorga tersebut (fungsi prestise, adat atau dengan pendeta? Adakah estetika, ekspresi, religi) acara khusus untuk memulai pengerjaan atau setelah selesai? 4 Bagaimana makna ornamen ini Dengan pertanyaan ini diharapkan responden menurut Anda Anda? mengungkap makna dari gorga. 5 Ada berbagai warna dalam gorga Dengan pertanyaan ini diharapkan responden batak ini, apa arti dari masing-masing mengungkap estetika apa yang dihasilkan gorga dari warna tersebut? segi warna? 6 Ada berbagai bentuk gorga pada Dengan pertanyaan ini diharapkan responden bangunan ini, apa arti dari masing- mengungkap apa pesan ekspresi yang dihasilkan masing bentuk tersebut bagi Anda? gorga bagi pemiliknya. 7 Pada masa tradisional, ornamen gorga Dengan pertanyaan ini diharapkan responden ini termasuk benda sakral, bagaimana mengungkap fungsi religi yang dihasilkan gorga pendapat anda tentang itu? bagi pemiliknya.

Universitas Sumatera Utara 95

3.3.2.1.3 Pengumpulan dokumen (studi literature). Literatur yang dikumpulkan bisa berupa buku, jurnal, majalah atau koran serta website/blog yang membahas tentang kebudayaan dan ornamen Arsitektur Kontemporer

Batak Toba. Kemudian data pustaka ini dikelola dengan dibaca dan dicatat bagian-bagian yang berhubungan kajian topik penelitian untuk dijadikan rujukan untuk memperkuat argumentasi-argumentasi yang ada.

3.4 Analisis Data

Konsep analisi data dilakukan dengan menorganisasikan data atau memilah-milah dengan klasifikasi yang jelas (Faisal, 2003). Dalam penyusunan ini data yang diperoleh akan diklasifikasin berdasarkan berdasarkan teori fungsi ornamen dan juga terio semiotika dalam arsitektur. Pada tahap awal membuat kata-kata kunci (indikator) dari fungsi ornamen (variable).

Variable penelitian ini meliputi fungsi ornamen dalam arsitektur, yang dikelompokkan dalam 4 kategori:

1. Fungsi estetika

2. Fungsi prestise

3. Fungsi ekspresi

4. Fungsi religi

Dari keempat kategori tersebut diatas akan dinalisis melalui kajian literatur yang menjadi fungsi ornamen dalam Arsitektur Batak Toba, pada masa lalu dan pada masa sekarang atau kontemporer (Gambar 3.5) .

Universitas Sumatera Utara 96

Gambar 3.5 Skema Metode Analisa Data

3.5 Pengecekan Keabsahan Data

Dalam teknik pemeriksaan keabsahan data yang dikemukakan Moleong (2014) dan Kanto (2003), ada 4 kriteria yang digunakan dalam penelitian ini:

Universitas Sumatera Utara 97

3.5.1 Derajat kepercayaan (credibility)

Dengan melakukan observasi yang detail, triangulasi, per debriefing, analisis kasus negatif, membandingkan dengan hasil penelitian lain, dan member check.

Pengamatan yang terus menerus, untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang diteliti.

3.5.2 Keteralihan (Transferability)

Sebagai persoalan yang empiris bergantung pada kesamaan antara konteks pengirim dan penerima. Untuk melakukan pengalihan tersebut maka akan dicari dan dikumpulkan kejadian empiris tentang tentang kesamaan konteks. Dengan demikian hasil penelitian ini dapat dipertanggung jawab dengan menyediakan data deskriptif yang cukup untuk membuat keputusan tentang pengalihan tersebut atau pembanding.

3.5.3 Kebergantungan (dependability)

Memastikan peneliti menggunakan metodologi yang tepat, memastikan proses pengumpulan data secara lengkap (dengan catatan-catatan data mentah, data reduksi), memastikan proses dan hasil analisis atas data yang ada.

3.5.4 Kriteria kepastian (confirmability)

Memastikan apakah hasil penelitian benar-benar berasal dari data yang ada an bukan rekayasa, menelusuri jejak audit data mentah khusus bahan literature sedapat mungkin membaca dan mengutip langsung dari sumber referensi yang dibutuhkan.

Universitas Sumatera Utara BAB 4 BAB IV

DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN

4.1 Ornamen Arsitektur Tradisional Batak Toba

4.1.1 Objek penelitian arsitektur tradisional dengan observasi lapangan

Lokasi Penelitian rumah tradisionan Batak Toba ini berada di Desa Banua Huta yang berada di Kecamatan Sigumpar, Kabupaten Toba Samosir Propinsi Sumatera Utara

(Gambar 4.1). Dari desa ini difokuskan dalam tiga huta atau perkampungan tradisional yang terdiri dari beberapa rumah (berupa ruma dan sopo). Adapun huta tersebut, pertama

Huta Sosor, kedua Huta Bagasan, dan ketiga Huta Tur Simarbarimbing (Gambar 4.2).

Desa Banua Huta (Lokasi Penelitian)

Gambar 4.1 Peta Administrasi Kabupaten Toba Samosir (kiri), dan Peta Kecamatan Sigumpar dan Lokasi Penelitian (kanan)

98

Universitas Sumatera Utara 99

Huta Sosor

Huta Bagasan

Huta Tur Simarbarimbing

Gambar 4.2 Peta Objek Penelitian Arsitektur Tradisional Batak Toba di Huta Margala Desa Banua Huta. Sumber: Google Earth 2019

Pada Huta Sosor saat ini terdapat 9 bangunan rumah, dimana 7 diantaranya merupakan rumah tradisional. Dari 7 bangunan dengan bangunan arsitektur tradisional dipilih 2 yang menjadi objek penelitian, yakni objek penelitian 1 dan 2, dimana ornamen pada bangunan tersebut masih cukup terawat (Gambar 4.3). Pada Huta Bagasan terdapat

10 bangunan rumah, dimana 7 diantaranya merupakan bangunan rumah tradisional. Dari

Huta Bagasan dipilih 3 bangunan yang menjadi objek penelitian yakni objek penelitian nomor 3, 4 dan 5 (Gambar 4.4). Pada Huta Tur Simarbarimbing, terdapat 9 bangunan rumah, dimana 7 diantaranya bangunan arsitektur tradisional. Pada Huta Tur

Simarbarimbing, dipilih 3 yang menjadi objek peneletian yakni objek penelitan 6, 7 dan

8 (Gambar 4.5).

Universitas Sumatera Utara 100

2 1

Gambar 4.3 Objek Penelitian 1 dan 2 Arsitektur Tradisional Batak Toba

3

4 5

Gambar 4.4 Objek Penelitian 3, 4 dan 5 Arsitektur Tradisional Batak Toba

Universitas Sumatera Utara 101

8

6 7

Gambar 4.5 Objek Penelitian 6, 7 dan 8 Arsitektur Tradisional Batak Toba

Selanjutnya dari delapan bangunan yang telah dipilih, dilakukan identifikasi jenis- jenis ornamen yang ada pada bangunan tersebut (Gambar 4.6 sampai dengan Gambar

4.13). Secara keseluruhan posisi ornamen pada objek penelitian ini hanya terdapat pada dinding depan dan juga dinding samping, sedangkan pada dinding belakang sama sekali tidak menggunakan ornamen. Keberadaan ornamen pada tampak depan jauh lebih dominan, dari segi jumlah dan bentuk yang digunakan dibandingkan dengan dinding samping. Untuk jenis warna yang digunakan, walaupun sudah cukup tua, namun sebagian besar masih dapat diidentifikasi, warna yang digunakan adalah warna merah, putih dan hitam.

Universitas Sumatera Utara 102

Gambar 4.6 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 1 Arsitektur Tradisional

Universitas Sumatera Utara 103

Gambar 4.7 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 2 Arsitektur Tradisional

Universitas Sumatera Utara 104

Gambar 4.8 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 3 Arsitektur Tradisional

Universitas Sumatera Utara 105

Gambar 4.9 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 4 Arsitektur Tradisional

Universitas Sumatera Utara 106

Gambar 4.10 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 5 Arsitektur Tradisional

Universitas Sumatera Utara 107

Gambar 4.11 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 6 Arsitektur Tradisional

Universitas Sumatera Utara 108

Gambar 4.12 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 7 Arsitektur Tradisional

Universitas Sumatera Utara 109

Gambar 4.13 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 8 Arsitektur Tradisional

Universitas Sumatera Utara 110

4.1.2 Objek penelitian arsitektur tradisional Batak Toba dengan studi literatur

Terdapat 2 rumah Arsitektur Tradisional Batak Toba yang menjadi Objek

Penelitian dari studi literatur dimana bangunan yang dipilih adalah bangunan sopo.

Bangunan sopo bisa digunakan sebagai tempat tinggal, lumbung dapat melayani beberapa fungsi sosial praktis lainnya. Di mana sopo dibangun dengan platform terbuka di bawah area penyimpanan, ruang ini menjadi area publik yang penting untuk bersantai, mengobrol, atau melakukan berbagai tugas. Bangunan sopo Batak Toba, memiliki platform terbuka yang dapat digunakan sebagai tempat pertemuan. Pada masa lalu, Toba memberi nama sopo juga berfungsi sebagai tempat pertemuan komunal berdinding terbuka, dan juga sebagai tempat di mana kaum muda yang belum menikah pria akan tidur di malam hari (Gambar 4.14).

Universitas Sumatera Utara 111

Gambar 4.14 Objek Penelitian 9 Arsitektur Tradisional Batak Toba Sumber: Buku Living House (Waterson, R., 2012)

Bangunan objek penelitian 9 berupa bangunan sopo, yang didokumentasikan pada tahun 1920-an di Desa Lumban Nabolon di pantai timur Danau Toba oleh Waterson dalam bukunya Living House (Waterson, R., 2012). Bangunan ini membuat Waterson takjub dan terkesan akan ornamennya yang sangat bagus, sudah tua, lembut dan proporsinya membuatnya terlihat menawan (Gambar 4.15). Pada saat disurvei oleh Waterson, penduduk desa setempat mengatakan bahwa bangunan itu berumur 200 tahun.

Universitas Sumatera Utara 112

Gambar 4.15 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 9 Arsitektur Tradisional Sumber: Buku Living House (Waterson, R., 2012)

Adapun objek penelitian 10 juga merupakan bangunan tradisional Batak Toba berupa sopo. Dokumentasi bangunan ini dilakukan sekitar 1930, bangunan ini berada di

Pulau Samosir. Pada sopo ini terdapat setidaknya tujuh jenis ornamen (gorga) yakni gorga singa-singa, gorga boraspati, gorga adop-adop, gorga simeol-eol, gorga jenggar-jenggar, gorga gaja dompak dan gorga dalihan natolu (Gambar 4.16). Pada dinding samping juga menggunakan ornamen, namun tidak dapat diidentifikasi.

Universitas Sumatera Utara 113

Gambar 4.16 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 10 Arsitektur Tradisional Sumber: KITVL Image Library (1930)

4.1.3 Ornamen arsitektur tradisional Batak Toba

Terdapat 10 rumah Arsitektur Tradisional yang menjadi objek penelitian dalam tulisan ini. Objek penelitian ini terdiri dari 2 jenis Arsitektur Tradisional Batak Toba yakni

Universitas Sumatera Utara 114

bangunan ruma dan sopo. Jenis Arsitektur Tradisional Batak Toba dengan ruma yakni objek penelitian nomor 1 sampai dengan nomor 8, sedangkan bangunan sopo ada pada objek penelitian nomor 9 dan 10.

Dari hasil identifikasi ragam ornamen (gorga) yang ada pada 10 objek penelitan tersebut maka diperoleh bahwa terdapat empat jenis ornamen yang selalu ada pada setiap rumah, yakni: gorga jengger-jenggar, gorga singa-singa, gorga simeol-eol dan gorga dalihan natolu. Selain itu pada objek penelitian dengan jenis ruma (nomor sampai dengan nomor 8) ornamen gorga jorngom selalu ada. Disamping gorga jorngom, gorga hariara sundung di langit/sangkamadeha selalu digunakan pada bangunan ruma, kecuali pada objek penelitian 8 keberadaan ornamen ini tidak dapat diidentifisi karena sudah sangat pudar.

Adapun gorga yang paling sedikit digunakan adalah gorga desa naualu, hanya digunakan pada 1 dari 10 objek penelitian. Penggunaan gorga boraspati hanya ditemukan pada bangunan sopo, dan diletakkan berdampingan dengan gorga adop-adop. Penggunaan gorga adop-adop sendiri juga ditemukan pada bangunan ruma dengan jumlah yang sama dengan pada bangunan sopo. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel dibawah ini

(Tabel 4.1):

Universitas Sumatera Utara 115

Tabel 4.1 Ornamen Pada Objek Penelitian Arsitektur Tradisional Batak Toba Objek Penelitian Arsitektur Tradisional No Nama Ornamen (gorga) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 Gorga ulu paung √ √ √ ------2 Gorga dila paung/santung √ √ √ √ √ √ √ - - - 3 Gorga gaja dompak √ √ - - - - √ - √ √ 4 Gorga jengger-jenggar √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 5 Gorga jorngom √ √ √ √ √ √ √ √ - - 6 Gorga singa-singa √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 7 Gorga adop-adop - √ - - √ - √ √ √ √ 8 Gorga boraspati ------√ √ 9 Gorga simeol-eol √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 10 Gorga dalihan natolu √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 11 Gorga hoda-hoda √ √ - √ √ - √ - √ - 12 Gorga simataniari √ - √ - - √ √ - - - 13 Gorga sitagan - √ √ √ - - - - √ - 14 Gorga simarogung-ogung √ √ - - √ √ √ √ - - Gorga hariara sundung di 15 √ √ √ √ √ √ √ - - - langit/sangkamadeha 16 Gorga Desa naualu - √ ------Keterangan: √ = ada, - = Tidak ada

4.2 Ornamen Arsitektur Kontemporer Batak Toba

4.2.1 Objek penelitian 1 arsitektur kontemporer Batak Toba (rumah)

Rumah tinggal ini dibangun tahun 2015, berlokasi di Jalan Menteng 7, Gang

Nasional no 66 Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara (Gambar 4.17 dan Gambar 4.18).

Rumah ini merupakan milik keluarga K. Napitupulu dan Istrinya M. Girsang beragama

Kristen. Suaminya bekerja sebagai karyawan BUMN dan istrinya adalah seorang guru di sekolah swasta.

Universitas Sumatera Utara 116

Ornamen arsitektur Batak Toba pada bangunan ini terdapat pada bagian fasade rumah ini terdapat ornamen gorga dengan jenis antara lain, gorga singa-singa, gorga jengger atau jorngom, gorga simeol-eol (Gambar 4.19).

Gambar 4.17 Objek Penelitian 1 Arsitektur Kontemporer Batak Toba

Gambar 4.18 Detail Ornamen Pada Fasade Utama

Universitas Sumatera Utara 117

Gambar 4.19 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 1 Arsitektur Kontemporer

4.2.2 Objek penelitian 2 arsitektur kontemporer Batak Toba (rumah)

Rumah tinggal ini dibangun tahun 2018, berlokasi di Jalan dr. Bisuk Siahaan, Desa

Sosor Sihobuk, Kecamatan Parmakasian, Kabupaten Tobasa Samosir, Provinsi Sumatera

Utara (Gambar 4.20). Rumah ini merupakan milik keluarga J. Panjaitan dan istrinya B.

Manalu beragama Kristen. Suami berprofesi sebagai karyawan swasta dan istrinya adalah

Aparatur Sipil Negara (pegawai negeri).

Universitas Sumatera Utara 118

Gambar 4.20 Objek Penelitian 2 Arsitektur Kontemporer Batak Toba

Pada bagian fasade rumah ini terdapat ornamen gorga dengan jenis antara lain, gorga ulu paung, dila paung, gaja dompak, jengger-jenggar, jorngom, singa-singa, boraspati, adop-adop, Simeol-eol, hoda-hoda, simataniari, desa na ualu, sitagan, simarogung-ogung, hariara sundung di langit/sangkamadeha (Gambar 4.21). Pada bangunan ini terdapat 2 buah ornamen boraspati dan empat buah gorga adop-adop berada ditengah, berbeda dengan pada umumnya bangunan tradisional jumlah gorga adop-adop sebanyak delapan buah, berada pada sisi bagian kiri dan bagian kanan. disamping itu, warna yang digunakan untuk gorga boraspati dan gorga adop-adop adalah warna emas, berdeda dengan warna pada masa tradisional yang hanya terdiri dari merah, putih dan hitam.

Universitas Sumatera Utara 119

Gambar 4.21 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 2 Arsitektur Kontemporer

Universitas Sumatera Utara 120

4.2.3 Objek penelitian 3 arsitektur kontemporer Batak Toba (rumah)

Rumah tinggal ini dibangun tahun 2016, berlokasi di Jalan D.I. Panjaitan

Narumonda, Kecamatan Porsea, Kabupaten Tobasa Samosir, Provinsi Sumatera Utara

(Gambar 4.22). Rumah ini merupakan milik keluarga W. Marpaung dan istrinya T.

Batubara beragama Katolik. Suami berprofesi sebagai karyawan swasta dan istrinya adalah Aparatur Sipil Negara (pegawai negeri).

Pada bagian fasade rumah ini terdapat ornamen gorga dengan jenis antara lain, gorga singa-singa, Simeol-eol, hoda-hoda, simataniari, desa na ualu, sitagan, simarogung- ogung, hariara sundung di langit/sangkamadeha (Gambar 4.23).

Gambar 4.22 Objek Penelitian 3 Arsitektur Kontemporer Batak Toba

Universitas Sumatera Utara 121

Gambar 4.23 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 3 Arsitektur Kontemporer

Universitas Sumatera Utara 122

4.2.4 Objek penelitian 4 arsitektur kontemporer Batak Toba (rumah)

Rumah tinggal ini dibangun tahun 2018, berlokasi di Lumban Nabolon, Desa

Luban Lobu, Kecamatan Bonatua Lunasi, Kabupaten Tobasa Samosir, Provinsi Sumatera

Utara (Gambar 4.24). Rumah ini merupakan milik keluarga B. Butar-butar dan istrinya R.

Sinaga beragama Kristen. Suami dan istri berprofesi sebagai petani.

Gambar 4.24 Objek Penelitian 4 Arsitektur Kontemporer Batak Toba

Pada bagian fasade rumah ini terdapat ornamen gorga dengan jenis antara lain, gorga ulu paung, dila paung, gaja dompak, jengger-jenggar, jorngom, singa-singa, boraspati, adop-adop, Simeol-eol, hoda-hoda, simataniari, desa na ualu, sitagan, simarogung-ogung, hariara sundung di langit/sangkamadeha (Gambar 4.25).

Universitas Sumatera Utara 123

Gambar 4.25 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 4 Arsitektur Kontemporer

Universitas Sumatera Utara 124

4.2.5 Objek penelitian 5 arsitektur kontemporer Batak Toba (rumah)

Rumah tinggal ini dibangun tahun 2013, Jalan Balige, Desa Dolok Jior, Kecamatan

Sigumpar, Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatera Utara (Gambar 4.26). Rumah ini merupakan milik keluarga D. Sianipar dan istrinya B. Manalu beragama Kristen. Suami dan istri berprofesi sebagai wiraswasta.

Gambar 4.26 Objek Penelitian 5 Arsitektur Kontemporer Batak Toba

Pada bagian fasade rumah ini terdapat ornamen gorga dengan jenis antara lain, gorga ulu paung, dila paung, gaja dompak, jengger-jenggar, jorngom, singa-singa, boraspati, adop-adop, Simeol-eol, hoda-hoda, simataniari, desa na ualu, sitagan, simarogung-ogung, hariara sundung di langit/sangkamadeha (Gambar 4.27).

Universitas Sumatera Utara 125

Gambar 4.27 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 5 Arsitektur Kontemporer

4.2.6 Objek penelitian 6 arsitektur kontemporer Batak Toba (rumah)

Rumah tinggal ini dibangun tahun 2000, berlokasi di Jalan Sisingamangaraja No.

63 Desa Hutanamora, Kecamatan Silaen, Kabupaten Tobasa Samosir, Provinsi Sumatera

Utara. Rumah ini merupakan milik keluarga B. Silaen dan istrinya R. Manik beragama

Kristen. Suami berprofesi sebagai pengacara dan istrinya merupakan guru.

Terdapat tiga fasade berbentuk segitiga yang menggunakan ornamen Batak Toba.

Dimana masing-masing fasade tersebut menggunakan ornamen yang berbeda, dari segi bentuk. Pada bagian fasade rumah ini terdapat ornamen gorga dengan jenis antara lain: ulu paung, dila paung, gaja dompak, jengger-jenggar, simataniari, singa-singa, boraspati, simeol-eol (Gambar 4.28).

Universitas Sumatera Utara 126

Gambar 4.28 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 6 Arsitektur Kontemporer

Universitas Sumatera Utara 127

4.2.7 Objek penelitian 7 arsitektur kontemporer Batak Toba (rumah)

Rumah tinggal ini dibangun tahun 2016, Jalan Balige, Desa Dolok Jior, Kecamatan

Sigumpar, Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatera Utara (Gambar 4.29). Rumah ini merupakan milik keluarga H. Sianipar dan T. Simarmata beragama Kristen. Suami berprofesi sebagai karyawan swasta dan istrinya bekerja sebagai wiraswasta.

Gambar 4.29 Objek Penelitian 7 Arsitektur Kontemporer Batak Toba

Pada bagian fasade rumah ini terdapat ornamen gorga dengan jenis antara lain: dila paung, jengger-jenggar, simeol-eol, dalihan natolu, desa na ualu, hariara sundung di langit/sangkamadeha (Gambar 4.30).

Universitas Sumatera Utara 128

Gambar 4.30 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 7 Arsitektur Kontemporer

4.2.8 Objek penelitian 8 arsitektur kontemporer Batak Toba (gereja)

Bangunan Gereja ini dibangun tahun 2016, berlokasi di Desa Lumban Lobu,

Kecamatan Bonatua Lunasi, Kabupaten Tobasa Samosir, Provinsi Sumatera Utara

(Gambar 4.31). Saat ini gereja ini dipimpin oleh Pendeta Nagariang Hutagalung. Pada awalnya fasade teras gereja ini belum menggukan ornamen (gorga). Namun pada tahun

2017 para jemaat gereja tersebut sepakat untuk merenovasi area teras tersebut sehingga menggunakan ornamen (gorga) Batak Toba.

Universitas Sumatera Utara 129

Gambar 4.31 Objek Penelitian 8 Arsitektur Kontemporer Batak Toba

Pada bagian fasade rumah ini terdapat ornamen gorga dengan jenis antara lain: gaja dompak, jengger-jenggar, singa-singa, simeol-eol, simataniari, dalihan natolu

(Gambar 4.32). Ornamen gorga ini terbuat dari material beton yang diukir.

Universitas Sumatera Utara 130

Gambar 4.32 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 8 Arsitektur. Kontemporer

4.2.9 Objek penelitian 9 arsitektur kontemporer Batak Toba (gereja)

Bangunan Gereja Katolik Stasi St. Yosef, Silaen ini dibangun tahun 2017, berlokasi di Jalan Sisingamangaraja Kecamatan Silaen, Kabupaten Tobasa Samosir,

Provinsi Sumatera Utara (Gambar 4.33). Gereja ini dipimpin oleh Pastor Leopold Purba, dan merupakan wilayah Paroki Balige.

Universitas Sumatera Utara 131

Gambar 4.33 Objek Penelitian 9 Arsitektur Kontemporer Batak Toba

Secara keseluruhan bentuk bangunan gereja ini menyerupai bangunan rumah tradisional Batak Toba. Namun bangunan Gereja ini menggunakan gorga termasuk pada tampak belakang, berbeda denga arsitektur tradisional yang hanya menggunakan gorga pada tampak depan dan tampak samping. Penggunaan gorga tidak hanya pada bangunan utama, namun diterapkan juga pada lonceng menara, pagar keliling dan gapura. Pada bagian fasade gereja ini terdapat ornamen gorga dengan jenis antara lain, ulu paung, dila paung, gaja dompak, jengger-jenggar, jorngom, singa-singa, boraspati, adop-adop,

Simeol-eol, hoda-hoda, simataniari, desa na ualu, sitagan, simarogung-ogung, hariara sundung di langit/sangkamadeha (Gambar 4.34).

Universitas Sumatera Utara 132

Gambar 4.34 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 9 Arsitektur Kontemporer

Universitas Sumatera Utara 133

4.2.10 Objek penelitian 10 arsitektur kontemporer Batak Toba (wisma)

Bangunan ini Wisma Tomora Indah ini merupakan wisma atau gedung serbaguna yang dibangun tahun 2002, berada di Jalan Lintas Sumatera Km. 14.3, Limau Manis,

Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara (Gambar

4.35). Bangunan wisma ini merupakan milik keluarga N. Silitonga dan J. boru Ritonga beragama Kristen. Kedua suami istri ini berprofesi sebagai wiraswasta.

Pada bagian fasade bangunan ini terdapat ornamen gorga dengan jenis antara lain; ulu paung, dila paung, jengger-jenggar, singa-singa, simeol-eol, simarogung-ogung, dalihan natolu (Gambar 4.36).

Gambar 4.35 Objek Penelitian 10 Arsitektur Kontemporer Batak Toba

Universitas Sumatera Utara 134

Gambar 4.36 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) pada Objek Penelitian 10 Arsitektur Kontemporer

4.2.11 Ornamen arsitektur kontemporer Batak Toba

Dari sepuluh objek penelitian Arsitektur Kontemporer Batak Toba, menunjukkan bawah jenis ornamen yang paling banyak digunakan adalah gorga simeol-eol. Ornamen yang terbanyak berikutnya adalah gorga singa-singa, ditemukan pada 9 dari 10 objek penelitian. Diikuti dengan gorga jengger-jenggar dan gorga dalihan natolu yang masing- masing digunakan 7 dari 10 objek penelitiaan. Sedangkan gorga atau ornamen yang paling jarang digunakan adalah gorga adop-adop, gorga hoda-hoda, gorga sitagan, gorga simarogung-ogung, gorga Gorga hariara sundung di langit/sangkamadeha hanya ditemukan

Universitas Sumatera Utara 135

masing-masing 1 dari 10 objek penelitian. Ragam atau jenis yang ditemukan pada objek penelitian

Arsitektur Kontempore Batak Toba ini dapat dilihat sebagai berikut (Tabel 4.2):

Tabel 4.2 Ornamen Pada Objek Penelitian Arsitektur Kontemporer Batak Toba Objek Penelitian Arsitektur Kontemporer No Nama Ornamen (gorga) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 Gorga ulu paung - √ - - √ √ - - √ √ 2 Gorga dila paung/santung - - - √ - √ √ - √ √ 3 Gorga gaja dompak - √ - - √ √ - √ - - 4 Gorga jengger-jenggar - √ - √ - √ √ √ √ √ 5 Gorga jorngom √ ------√ - 6 Gorga singa-singa √ √ √ √ √ √ - √ √ √ 7 Gorga adop-adop - √ ------8 Gorga boraspati - √ - - - √ - - - - 9 Gorga simeol-eol √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 10 Gorga dalihan natolu - √ √ √ - - √ √ √ √ 11 Gorga hoda-hoda - - - √ ------12 Gorga simataniari √ - √ - - √ - √ √ - 13 Gorga sitagan ------√ - 14 Gorga simarogung-ogung ------√ - Gorga hariara sundung di 15 ------√ - - - langit/sangkamadeha 16 Gorga desa naualu ------√ - √ - Keterangan: √ = ada, - = Tidak ada Sumber: Penulis

Universitas Sumatera Utara

BAB 5 BAB V

ANALISA, PEMBAHASAN DAN PENEMUAN

5.1 Makna Ornamen (Gorga) Arsitektur Tradisional Batak Toba

Kosmologi suku Batak Toba membagi dunia menjadi 3 tingkatan: banua ginjang

(dunia atas), banua tonga (dunia tengah) dan banua toru (dunia bawah). Dunia atas merupakan tempat bertahtanya Mulajadi Nabolon sebagai dewa tertinggi penguasa jagat raya. Dunia tengah menjadi tempat hidup manusia sedangkan dunia bawah menjadi tempat hidup bagi orang yang sudah mati, hantu dan roh-roh jahat. Kepercayaan akan kosmologi akan dunia yang terdiri 3 bagian, digambarkan juga pada pembagian rumah tradisional menjadi tiga tingkatan (Gambar 5.1).

Banua ginjang

Banua Tonga Banua Toru

Gambar 5.1 Rumah Tradisional Menggambarkan Konsep Kosmologi

136

Universitas Sumatera Utara 137

Dari hasil observasi terhadap 10 objek penelitian Arsitektur Tradisional Batak

Toba, didapatkan bahwa ornamen (gorga) hanya ada pada 2 level (tingkat) tersebut yaitu banua ginjang, banua tonga, sedangkan pada level paling bawah sebagai simbolisasi banua toru tidak terdapat ornamen (Gambar 5.2). Dalam penempatan ornamen (gorga) terdapat pola yang sama pada semua rumah Arsitektur Tradisional Batak Toba. Dimana ornamen yang sama diletakkan pada posisi dan jumlah yang sama, misalnya gorga ulu paung di tempatkan di puncak bubungan paling tinggi rumah.

Gambar 5.2 Indentifikasi Ragam Ornamen (Gorga) dan letaknya dalam konsep kosmologi

Dari Gambar 5.2 terdapat 3 (tiga) jenis ornamen yang hanya ada di tingkat banua ginjang yakni gorga ulu paung, gorga dila paung dan gorga gaja dompak. Kemudian terdapat 9 (sembilan) jenis gorga yang ada hanya pada di tingkat banua tonga, yakni; Gorga

Universitas Sumatera Utara 138

Jorngom, Gorga Singa-singa, Gorga Boraspati, Gorga Adop-adop, Gorga Hoda-hoda,

Gorga Sitagan, Gorga Simarogung-ogung, Gorga Hariara sundung di langit/sangkamadeha.

Ada hal yang menarik terdapat 4 (empat) jenis gorga yang terdapat pada tingkat banua ginjang dan juga banua tonga yakni, Gorga Jengger-jenggar, Gorga Simeol-eol, Gorga

Dalihan natolu, Gorga Simataniari.

5.1.1 Gorga ulu paung

Dari hasil observasi 10 objek penelitian arsitektur tradisional batak toba, gorga ulu paung di tempatkan di puncak bubungan paling tinggi dari rumah (di level banua ginjang)

. Posisi ini merupakan posisi terhormat. Posisi terhormat selalu ditunjukan untuk orang- orang tertentu yang punya kedudukan strata lebih tinggi. Bila dikaitkan dengan posisi adat, yang berlandaskan dalihan natolu (hula-hula, dongan tubu, boru) maka posisi yang terhormat merupakan hulu-hula. Seperti sudah dijelaskan asal usul dalam kajian teori, asal usul dari konsep dalihan natolu sudah ada dari sejak awal di banua ginjang. Konsep dalihan natolu ini dimulai dari Debata Natolu (Batara Guru, Balasori, Balabulan) yang saling menikahkan anaknya di banua ginjang. Dimana Batara Guru menikahkah putranya dengan putri Balasori, sedangkan Balasori menikahkah putranya dengan putri Balabulan dan Balasori menikahkah putranya dengan putri Batara Guru.

Skema kekerabatan Skema kekerabatan Debata Natolu di Banua Ginjang, dapat digambarkan hubungan manusia dengan Debata Natolu, khususnya Batara Guru merupakan hula-hula bagi Raja Odapodap dan istrinya Siboru Deak Parujar yang melahirkan manusia di dunia atau banua tonga. Sikap somba marhula-hula (hormat kepada hula-hula) dimanifestasikan pada upacara adat batak dengan pemberian jambar

Universitas Sumatera Utara 139

berupa kepala kerbau/lembu yang dipotong dalam acara persta adat. Manisfestasi rasa hormat ini jugalah yang ditunjukkan dalam arsitektur tradisional batak toba. Gorga Ulu paung yang merupakan gambaran kepala kerbau yang di ukir sedemikian rupa, terjadi distorsi, sehingga terkadang terlihat seperti raksasa (Gambar 5.3).

Gambar 5.3 Gorga Ulu Paung

Jika seseorang mengawinkan boru (anak perempuannya) maka ia pun memperoleh

seorang hela (menantu lelakinya), yang juga disebut sebagai boru-nya. Karena itu,

keturunan anak perumpuan tadi (ianakkon atau tubu ni boru i) menjadi anak boru

(disingkat menjadi boru), dari bapak dan dari sanak saudara si bapak.

Untuk orang Batak Toba pihak pemberi istri (hula-hula) adalah sumber kehidupan

bagi pihak penerima istri (boru). Secara konkret hal itu nampak karena pihak pemberi

istri memberikan putri mereka kepada penerima istri, dan putri ini akan melahirkan anak

Universitas Sumatera Utara 140

laki-laki. Anak laki-laki tersebut menjadi penerus marga. Secara simbolis pemberi istri

mempunyai status yang lebih tinggi daripada pemberian penerima istri. Pemberi istri

mempunyai sahala, yaitu kualitas tondi (prinsip hidup) yang lebih tinggi, terhadap

penerima istri. Menurut keyakinan masyarakat Batak Toba Tradisional, mengganggap

hula-hula sebagai wakil Debata, yang memberi hidup kepada penerima istri.

Kuasa sahala pemberi istri ini memengaruhi nasib penerima istri baik dalam hal

yang baik maupun dalam hal buruk, yaitu keturunan, gagal panen, kecelakaan, penyakit

dan bahkan kematian. Penerima istri merasa bahwa eksistensinya tergantung kepada

berkat pemberi istri. Perananan hula-hula dalam masyarakat batak juga digambarkan

dalam umpasa yang berbunyi; “Obuk do jambulan nanidandan bahen samara, Molo

mamasu-masu hula-hula marsundut-sundut dao sahit dohot mara” artinya bila hula-

hula sudah memberikan berkat, diyakini akan selamat dari penyakit dan marabahaya

secara turun-temurun.

Hal ini membawa konsekuensi bahwa penerima istri harus menaruh hormat yang tinggi kepada pemberi istri, yang dalam bahasa Batak Toba dikatakan samba marhula- hula, pemberi istri harus disembah atau dihormati (Vergouwen, 2013; Gultom, D., 1992).

Pada ritus perkawinan, penerima istri menyembah pemberi istri dengan menyerahkan persembahan kepala kerbau (tudutudu ni sipanganon) bagian-bagian penting dari kurban kerbau. Kemudian sebaliknya datang berkat dari Debata melalui pemberi istri (hula-hula) kepada penerima istri (boru). Dengan demikian secara religius kedudukan pemberi istri

(hula-hula) lebih tinggi daripada penerima istri (boru). Persembahan naik dari penerima istri kepada pemberi istri. Dan berkat turun dari pemberi istri kepada penerima istri.

Universitas Sumatera Utara 141

Estetika gorga ini didapat dari material gorga terbuat yang terbuat dari kayu, difinishing dengan cat yang diolah dari material lokal. Susunan komposisi gorga ini, simetris antara bagian kiri dan bagian kanan. Sumber metafor bentuk gorga ini dari kepala kerbau, yang merupakan persembahan tertinggi dalam upaca adat horja. Maka dapat ditarik kesimpulan fungsi gorga ulu paung pada Arsitektur Tradisional Batak Toba, sebagai berikut (Tabel 5.1):

Tabel 5.1 Makna Ornamen Gorga Ulu Paung No Variable Uraian (sub variable) Keterangan 1 Fungsi a. estetika eksperimental Gorga ini menggunakan tiga jenis warna hitam, Estetika estetika sensorik putih, merah (tolubolit) estetika formal Material dari kayu estetika simbolik Bentuk gorga ini simetris b. estetika intelektual Menggunakan tiga warna hitam, putih dan merah. Ide metaforis Metaforis bentuk dari hewan kerbau Sistem inovasi teknologi 2 Fungsi - Lambang identitas Simbol hagabeon Prestise sosial 3 Fungsi - Bentuk Tiga warna yang digunakan; representasi spirit atau Ekspresi - Jenis material kuasa Debata Natolu - Komposisi Dari segi bentuk menggambarkan sebuah kepala kerbau yang terdistrosi 4 Fungsi - Simbol Simbol kosmogoni Batara Guru ayah dari Siboru Religi Ketuhanan/Dewa Deakparujar di banua ginjang. - Penghormatan (hierarki) Simbol penghormatan kepada hula-hula yang - Permohonan (tolak bala) memberikan istri, untuk mencapai hagabeon (keturunan), mencapai hamoraon (harta benda) dengan demikian mendapatkan hasangapon (pangkat kehormatan, kemuliaan).

5.1.2 Gorga dila paung/santung-santung

Dari hasil observasi 10 objek penelitian arsitektur tradisional batak toba, gorga dila paung/santung-santung berada di level banua ginjang (Gambar 5.4). Secara harafiah dila

Universitas Sumatera Utara 142

paung artinya adalah lidah panjang dan besar, sedangkan santung-santung artinya adalah tentakel pisang atau jantung pisang. Jadi sesuai dengan namanya gorga dila paung/santung-santung, bentuknya memanjang dan tergantung. Bentuknya dipangkal agak besar dan makin ke bawah makin kecil, serta ujungnya bagai anak panah. Pada pangkal atas terdapat ukiran kepala raksasa, dan juga pada ujung paling bawah terdapat ukiran kepala raksasa. Gorga ini merupakan bentuk penghargaan kepada Raja Odap-odap, yang dalam cerita mitos tradisional merupakan suami dari Siboru Deak Parujar yang melahirkan manusia di Bumi.

Gambar 5.4 Gorga Dila Paung/santung-santung

Estetika gorga ini didapat dari material gorga terbuat yang terbuat dari kayu, difinishing dengan cat yang diolah dari material lokal. Susunan komposisi gorga ini, simetris antara bagian kiri dan bagian kanan. Sumber metafor bentuk gorga ini dari dua

Universitas Sumatera Utara 143

buah kepala yang disatukan dengan papan berukir. Maka dapat ditarik kesimpulan fungsi gorga dila paung/santung-santung pada Arsitektur Tradisional Batak Toba, sebagai berikut (Tabel 5.2):

Tabel 5.2 Makna Ornamen Dila Paung/Santung-Santung No Variable Uraian (sub variable) Keterangan 1 Fungsi a. estetika eksperimental Gorga ini menggunakan tiga jenis Estetika estetika sensorik warna hitam, putih, merah (tolubolit) estetika formal Bentuk gorga ini simetris estetika simbolik Material dari kayu b. estetika intelektual Posisi menggantung dan posisinya Ide metaforis harus selalu tegak dan lurus. Sistem inovasi Konstruksinya dengan menggunakan teknologi pen pada pangkalnya 2 Fungsi - Lambang identitas Simbol hagabeon, menjadi seorang Prestise sosial ayah

3 Fungsi - Bentuk Tiga warna yang digunakan; Ekspresi - Jenis material representasi spirit atau kuasa Debata - Komposisi Natolu Dari segi bentuk menggambarkan dua buah kepala yang dihubungkan dengan papan berukir 4 Fungsi - Simbol Penghargaan kepada Raja Odap-odap Religi Ketuhanan/Dewa - Penghormatan (hierarki) - Permohonan (tolak bala)

5.1.3 Gorga gaja dompak

Dari hasil observasi 10 objek penelitian arsitektur tradisional batak toba, gorga gaja dompak berada di level banua ginjang. Secara harafiah gaja dompak artinya hewan gajah yang berdiri hadap depan. Menunjukkan keberanian, kebesaran dan keteguhan hati pemilik rumah. Gorga ini merupakan penghargaan terhadap Debata Balabulan. Gorga ini

Universitas Sumatera Utara 144

berada di area tombak layar paling belakang. Dalam bahasa batak dinding area berdirinya gorga ini disebut sibombong ari artinya menahan sinar matahari. (Gambar 5.5).

Gambar 5.5 Gorga Gaja Dompak

Estetika gorga ini didapat dari material gorga terbuat yang terbuat dari kayu, difinishing dengan cat yang diolah dari material lokal. Susunan komposisi gorga ini, simetris antara bagian kiri dan bagian kanan. Sumber metafor bentuk gorga ini dari kepala gaja dengan belalainya, menjadi simbol besar dan kuat. Maka dapat ditarik kesimpulan fungsi gorga gaja dompak pada Arsitektur Tradisional Batak Toba, sebagai berikut (Tabel

5.3):

Tabel 5.3 Makna Ornamen Gaja Dompak No Variable Uraian (sub variable) Keterangan 1 Fungsi a. estetika eksperimental Gorga ini menggunakan tiga jenis warna Estetika estetika sensorik hitam, putih, merah (tolubolit) estetika formal Bentuk gorga ini simetris estetika simbolik Material dari kayu b. estetika intelektual

Universitas Sumatera Utara 145 Tabel 5.3 Makna Ornamen Gaja Dompak (lanjutan)

Ide metaforis Sistem inovasi teknologi 2 Fungsi - Lambang identitas Simbol hasangapon (kebesaran dan Prestise sosial kekuatan) 3 Fungsi - Bentuk Tiga warna yang digunakan; representasi Ekspresi - Jenis material spirit atau kuasa Debata Natolu - Komposisi Dari segi bentuk menggambarkan sebuah kepala hewan yang terdistrosi 4 Fungsi - Simbol Penghargaan kepada Debata Balasori Religi Ketuhanan/Dewa - Penghormatan (hierarki) - Permohonan (tolak bala)

5.1.4 Gorga jengger-jenggar

Dari hasil observasi 10 objek penelitian arsitektur tradisional batak toba, gorga jenggar-jenggar terdiri dari 3 buah dalam satu rumah, dimana dua berada di level banua ginjang dan satu lagi berada di level banua tonga (Gambar 5.6). Secara harafiah jenggar- jenggar artinya menyala. Gorga jenggar-jenggar ini merupakan simbolisasi dari Siboru

Deakparujar yang dalam mitodologi/kosmogoni Batak Toba merupakan putri kayangan yang turun ke banua tonga menjadi ibu suri yang melahirkan manusia di bumi.

Universitas Sumatera Utara 146

Gambar 5.6 Gorga Jenggar-jenggar

Diceritakan bahwa Debata Natolu yang terdiri dari Batara Guru, Balasori,

Balabulan, diperintahkan Mulajadi Nabolon untuk saling menikahkan anak laki-laki dan anak perempuan mereka. Dimana anak laki-laki Batara Guru menikah dengan anak perempuan Balasori, anak laki-laki Balasori menikah dengan anak perempuan Balabulan, anak laki-laki Balabulan menikah dengan anak perempuan Bataraguru. Pada saat itu

Siborudeak Parujar (putri dari Bataraguru) menolak dijodohkan Mulajadi Nabolon dengan

Raja Odap-odap (putra dari Balabulan). Namun penolakan itu tidak diungkapkan secara langsung, melainkan dengan mengulur-ulur waktu dengan alasan menyiapkan tenunan ulos (pakaian).

Namun sampai tiba waktu yang ditetapkan, tenunan ulos Siborudeak Parujar tidak kunjung selesai. Sehingga membuat marah Mulajadi Nabolon, benang tenunannya dilemparkan sehingga gumpalan benang bahan ulos itu turun ke banua tonga. Dari benang tenun itulah Siboru Deak Parujar turun ke banua tonga, yang pada saat itu masih berupa

Universitas Sumatera Utara 147

hamparan air. Lalu dia meminta segumpah tanah dari Mulajadi Nabolon, untuk menciptakan bumi.

Setelah bumi terbentuk, Mulajadi Nabolon mengirimkan benih tanaman dan hewan-hewan ke bumi. Atas perintah Debata Mulajadi Nabolon, Raja Odap-odap kemudian turun ke bumi (banua tonga) untuk menemui si Boru Deak Parujar, disanalah mereka diberkati Mulajadi Nabolon, melahirkan manusia di bumi (dunia). Setelah tiba masanya, Siboru Deak Parujar meminta kepada Mulajadi nabolon untuk tinggal di bulan agar senantiasa bisa melihat bumi ciptaannya, terutama manusia keturunannya.

Estetika gorga ini didapat dari material gorga terbuat yang terbuat dari kayu, difinishing dengan cat yang diolah dari material lokal. Susunan komposisi gorga ini, simetris antara bagian kiri dan bagian kanan. Sumber metafor bentuk gorga ini dari rupa wanita yang digambarkan secara distorsi, menjadi simbol belas kasih, pengayom dan penyayang. Maka dapat ditarik kesimpulan fungsi gorga jenggar-jenggar pada Arsitektur

Tradisional Batak Toba, sebagai berikut (Tabel 5.4):

Universitas Sumatera Utara 148

Tabel 5.4 Makna Ornamen Jenggar-Jenggar No Variable Uraian (sub variable) Keterangan 1 Fungsi a. estetika eksperimental Gorga ini menggunakan tiga jenis Estetika estetika sensorik warna hitam, putih, merah (tolubolit) estetika formal Bentuk gorga ini simetris estetika simbolik Material dari kayu b. estetika intelektual Ide metaforis Sistem inovasi teknologi 2 Fungsi - Lambang identitas Simbol hagabeon, seorang ibu Prestise sosial 3 Fungsi - Bentuk Tiga warna yang digunakan; Ekspresi - Jenis material representasi spirit atau kuasa Debata - Komposisi Natolu Dari segi bentuk menggambarkan sebuah kepala manuasi yang terdistrosi 4 Fungsi - Simbol Penghargaan kaum ibu, khususnya Religi Ketuhanan/Dewa kepada Siboru Deak Parujar - Penghormatan (hierarki) - Permohonan (tolak bala)

5.1.5 Gorga jorngom

Gorga jorngom selalu diletakkan di bagian depan rumah tradisional batak Toba.

Dari hasil observasi 10 objek penelitian arsitektur tradisional batak toba, gorga jenggar- jenggar terdiri dari 3 buah dalam satu rumah, berada di level banua tonga (Gambar 5.7).

Jorngom ini merupakan simbol sahala harajaon (kekuasaan) bagi pemilik rumah, yakni terdiri hagabeon (banyak keturunan), hamoraon (kekayaan) dan hasangapon (kemuliaan, kehormatan atau pangkat).

Universitas Sumatera Utara 149

Gambar 5.7 Gorga Jorngom

Berdasarkan religi, kekerabatan Dalihan Na Tolu mensyaratkan kalau ingin gabe maka harus hormat kepada hula-hula (somba marhula-hula), kalau ingin sangap maka harus hormat kepada sanak saudara, khususnya yang semarga (manat mardongan tubu), dan kalau ingin mora maka harus sayang kedapa boru (elek marboru). Dengan kata lain, orang Batak percaya kalau somba marhulahula akan mendapatkan hagabeon, kalau manat mardongan tubu akan mendapatkan hasangapon, dan kalau elek marboru akan mendapatkan hamoraon. Ketiganya menjadi tujuan hidup dari masyarakat pada tradisional dan ketiga bagian tersebut juga menunjukkan kesetaraan untuk menghasilkan kebahagiaan dan kesejahteraan. Keseimbangan di antara dalihan dongan sabutuha sangat jelas yaitu bahwa antara mereka harus menunjukkan sikap/perilaku manat. Sementara keseimbangan dan kesejajaran fungsional antara hula;hula dan boru juga jelas yaitu antara elek dan somba.

Universitas Sumatera Utara 150

Estetika gorga ini didapat dari material gorga terbuat yang terbuat dari kayu, difinishing dengan cat yang diolah dari material lokal. Susunan komposisi gorga ini, simetris antara bagian kiri dan bagian kanan. Sumber metafor bentuk gorga ini dari rupa hewan yang digambarkan secara distorsi. Maka dapat ditarik kesimpulan fungsi gorga jorngom pada Arsitektur Tradisional Batak Toba, sebagai berikut (Tabel 5.5):

Tabel 5.5 Makna Ornamen Jorngom No Variable Uraian (sub variable) Keterangan 1 Fungsi a. estetika eksperimental Gorga ini menggunakan tiga jenis warna estetika sensorik Estetika hitam, putih, merah (tolubolit) estetika formal estetika simbolik Bentuk gorga ini simetris b. estetika intelektual Material dari kayu Ide metaforis Sistem inovasi Simbol Sahala teknologi 2 Fungsi - Lambang identitas Simbol Kemegahan (hagabeon, hamoraon, sosial Prestise hasangapon) 3 Fungsi - Bentuk Tiga warna yang digunakan; representasi - Jenis material Ekspresi spirit atau kuasa Debata Natolu - Komposisi Dari segi bentuk menggambarkan tiga wujud makhluk yang terdistrosi 4 Fungsi - Simbol Penghormatan dan prmohonan kepada Ketuhanan/Dewa Religi Sahala - Penghormatan (hierarki) - Permohonan (tolak bala)

5.1.6 Gorga singa-singa

Gorga Singa-singa selalu diletakkan di bagian depan rumah tradisional batak Toba pada sisi kiri dan sisi kanan, berada pada level banua tonga (Gambar 5.8). Ornamen singa- singa ini adalah ornamen yang paling besar, dari semua ornamen yang ada. Dua buah singa-singa ini menjadi simbol mandat dari Debata Soripada yang mengumandangkan keadilan hukum dan kebenaran yang mengatur nasib manusia, nasib baik dan nasib buruk.

Universitas Sumatera Utara 151

Bila manusia menjalankan hukum dan kebenaran, maka akan memperoleh hidup yang baik, namun bila tidak berlaku adil akan mendapat celaka.

Gambar 5.8 Gorga Singa-singa

Jadi ornamen singa-singa ini menunjukkan karisma atau wibawa pemilik rumah, yang sediabertindak adil. Bentuknya seperti wajah manusia yang berwibawa dengan lidah terjurai ke bawah sampai ke dagu. Kepala dilengkapi dengan kain tiga belit dengan sikap kaki berlutut ke bawah pipi kiri dan kanan. Sifat kaki tersebut sulit dibayangkan sepintas lalu, karena distorsinya hingga sulit membayangkan figur manusia. Diletakkan pada ujung kiri dan kanan dinding depan rumah tempat tinggal, dan betina pada sopo (lumbung).

Sebagai lambang keadilan hukum dan kebenaran.

Universitas Sumatera Utara 152

Estetika gorga ini didapat dari material gorga terbuat yang terbuat dari kayu, difinishing dengan cat yang diolah dari material lokal. Susunan komposisi gorga ini, simetris antara bagian kiri dan bagian kanan. Sumber metafor bentuk gorga ini dari rupa manusia yang digambarkan secara distorsi. Maka dapat ditarik kesimpulan fungsi gorga singa-singa pada Arsitektur Tradisional Batak Toba, sebagai berikut (Tabel 5.6):

Tabel 5.6 Makna Ornamen Singa-singa No Variable Uraian (sub variable) Keterangan 1 Fungsi a. estetika eksperimental Gorga ini menggunakan tiga jenis estetika sensorik Estetika warna hitam, putih, merah (tolubolit) estetika formal estetika simbolik Bentuk gorga ini simetris b. estetika intelektual Material dari kayu Ide metaforis Sistem inovasi teknologi 2 Fungsi - Lambang identitas Simbol keadilan dan keberanian sosial Prestise (hasangapon) 3 Fungsi - Bentuk Tiga warna yang digunakan; - Jenis material Ekspresi representasi spirit atau kuasa Debata - Komposisi Natolu Dari segi bentuk menggambarkan tubuh manusia yang terdistrosi 4 Fungsi - Simbol Penghargaan kepada Balasori Ketuhanan/Dewa Religi - Penghormatan (hierarki) - Permohonan (tolak bala)

5.1.7 Gorga adop-adop

Gorga Adop-adop selalu diletakkan di bagian (dorpi) depan rumah tradisional batak Toba, berada di level banua tonga. Secara harafiah adop-adop dalam bahasa batak artinya adalah payudara. Pada masa tradisional, anak perempuan yang sudah remaja dinamakan namarbaju artinya menggunakan baju. Sedangkan wanita yang sudah menikah

Universitas Sumatera Utara 153

dan melahirkan, anak pertamanya dinamakan anak buhabaju artinya anak yang pertama membuatnya membuka baju. Pada masa tradisional masyarakat batak toba bukanlah hal tabu bagi perempuan yang sudah punya anak dan menyusui untuk tidak menggunakan baju, melainkan hal itu merupakan kebanggaan bagi setiap wanita pada masa itu (Gambar

5.9). Perempuan yang bertelanjang dada, menunjukkan dia sebagai wanita sempurna yang sudah dikaruniai hagabeon (memiliki anak).

Gambar 5.9 Perempuan bertelanjang dada, menunjukkan wanita yang sudah menikah dan memiliki anak (hagabeon). Sumber: KITLV (c. 1900) Ungkapan rasa syukur dan kebanggaan atas hagabeon bagi masyarakat batak toba di manisfestasikan dalam ornamen (gorga) adop-adop pada arsitektur tradisional. Dalam penggunaan gorga adop-adop, selalu menggambarkan 8 delapan buah payudara yang terdiri dari 2 kelompok yakni 4 dibagian kiri dan 4 dibagian kanan (Gambar 5.10).

Sedangkan satu orang perempuan normalnya memiliki 2 buah payudara untuk menyusui anaknya. Jadi penggunaan gorga adop-adop ini juga sebagai simbolisasi akan hamoraon

Universitas Sumatera Utara 154

(kekayaan), dimana mereka punya makanan digambarkan dengan payudara yang mengandung asi, yang bisa dibagikan bagi warga sekitar yang membutuhkan.

Gambar 5.10 Gorga adop-adop

Hal ini berkaitan dengan ungkapan batak toba yang menyatakan “raja urat ni uhum, namora urat ni hosa” artinya kepada raja meminta perlindungan untuk keadilan dan kepada namora (orang berada) meminta makanan untuk menyambung hidup. Orang- orang dengan harta benda yang melimpah atau menumpuk digambarkan dengan ungkapan

“gok eme di sopo, gok pinahan dibara” artinya lumbungnya penuh dengan padi, kandangnya (bagian bawah rumah) penuh dengan ternak disebut “paradongan”. Namun sebutan namora (orang berada) adalah sebutan kehormatan untuk yang aktip menolong sesama dengan harta bendanya sendiri. Namora, juga jabatan yang disandang dalam

“harajaon” yang diartikan sebagai bendahara.

Estetika gorga ini didapat dari material gorga terbuat yang terbuat dari kayu, difinishing dengan cat yang diolah dari material lokal. Susunan komposisi gorga ini, simetris secara vertikal dan horizontal. Sumber metafor bentuk gorga ini dari payudara

Universitas Sumatera Utara 155

wanita. Maka dapat ditarik kesimpulan fungsi gorga adop-adop pada Arsitektur

Tradisional Batak Toba, sebagai berikut (Tabel 5.7):

Tabel 5.7 Makna Ornamen Adop-adop No Variable Uraian (sub variable) Keterangan 1 Fungsi a. estetika eksperimental Gorga ini menggunakan tiga jenis Estetika estetika sensorik warna hitam, putih, merah (tolubolit) estetika formal Bentuk gorga ini simetris estetika simbolik Material dari kayu b. estetika intelektual Ide metaforis Sistem inovasi teknologi 2 Fungsi - Lambang identitas Simbol hagabeon dan hamoraon Prestise sosial 3 Fungsi - Bentuk Tiga warna yang digunakan; Ekspresi - Jenis material representasi spirit atau kuasa Debata - Komposisi Natolu Dari segi bentuk menggambarkan delapan buah payudara. 4 Fungsi - Simbol Penghargaan kepada Siboru Deak Religi Ketuhanan/Dewa Parujar - Penghormatan (hierarki) - Permohonan (tolak bala)

5.1.8 Gorga boraspati

Dari hasil observasi 10 objek penelitian arsitektur tradisional batak toba. Ornamen ini posisinya menghadap pada ornamen adop-adop, figur 4 payudara, simbol kesuburan dan kemakmuran, merujuk pada persona "ibu". Posisisinya di bagian muka rumah, satu di bagian kiri dan satu lagi di bagian kanan. Boraspati di sini merujuk pada Brihaspati atau

Wrehaspati, salah satu dewa dalam agama Hindu, disebut sebagai guru para dewa, penguasa hari Kamis dan planet Jupiter. Dalam sistem hatiha (penanggalan) Batak,

Boraspati adalah nama untuk hari kelima. Diyakini sebagai hari baik untuk menyelenggakan pesta, membangun rumah baru, memulai usaha, dan mencari pekerjaan.

Universitas Sumatera Utara 156

Dalam khasanah kepercayaan asli dan perdukunan Batak, yang lazim dikenal adalah

Boraspati Ni Tano. Wujud biologisnya adalah bengkarung (Eutropis multifasciata), atau kadal tanah, dalam Bahasa Batak Toba, disebut ilik (Gambar 5.11).

Gambar 5.11 Gorga Boraspati

Dalam keyakinan masyarakat Tradisional Batak Toba, Boraspati ni tano adalah . dewa bumi yang mengambil bentuk seekor kadal. Dia hidup di bawah tanah, dan kesuburan tanah adalah karena berkat dia. Berdasarkan keyakinan ini, Boraspati ni tano sering menduduki tempat utama di dalam tonggo-tonggo. Berkatnya dimohonkan pada peristiwa mendirikan kampung, mendirikan sebuah rumah baru, dan pada saat tiang persembahan ditancapkan dalam tanah. Sebab, bukankah semua tindakan manusia itu berkaitan erat dengan tanah, dan oleh karenanya dianggap perlu mendapat perlindungan yang sebesar-besarnya melalui berkatnya.

Boraspati ni tano sebagai simbol kesuburan, kemakmuran dan dunia bawah tanah.

Dalam tonggo-tonggo (doa) tetua adat atau dukun, saat mendoakan kegiatan awal musim tanam agar membuahkan hasil melimpah, atau saat mendoakan pembangunan rumah atau pembukaan kampung baru agar menjadi tempat penuh berkah, salah satu nama kuasa roh agung yang disebut (dipanggil) adalah Boraspati ni Tano. Bagi masyarakat Batak Toba

Universitas Sumatera Utara 157

Tradisional yang berprofesi sebagai petani, kuasa Boraspati ni Tano sangat diharapkan untuk menjamin keberhasilan usaha hasil bumi melimpah, ternak beranak-pinak (gabe na niula, sinur pinahan).

Pada ornamen rumah Batak, figur Boraspati ni Tano ada dua sosok yang di tempatkan pada bagian kiri dan kanan dinding depan (dorpi jolo), menghadap figur Adop- adop, atau figur dua pasang (empat) payudara perempuan, sebagai simbol kesuburan.

Dibaca secara keseluruhan, kesatuan Boraspati ni Tano dan Adop-adop itu menyatakan

(simbolik) bahwa "penghuni rumah itu terberkati, usaha pertani dan ternaknya memberi hasil berlimpah, sehingga memperoleh hidup sejahtera". Estetika gorga ini didapat dari material gorga terbuat yang terbuat dari kayu, difinishing dengan cat yang diolah dari material lokal. Susunan komposisi gorga ini, simetris secara vertikal. Sumber metafor bentuk gorga ini dari hewan kadal.

Maka dapat ditarik kesimpulan fungsi gorga boraspati pada Arsitektur Tradisional

Batak Toba, sebagai berikut (Tabel 5.8):

Tabel 5.8 Makna Ornamen Boraspati No Variable Uraian (sub variable) Keterangan 1 Fungsi a. estetika eksperimental Gorga ini menggunakan tiga jenis Estetika estetika sensorik warna hitam, putih, merah (tolubolit) estetika formal Bentuk gorga ini simetris estetika simbolik Material dari kayu b. estetika intelektual Ide metaforis Sistem inovasi teknologi 2 Fungsi - Lambang identitas Simbol hamoraon Prestise sosial

Universitas Sumatera Utara 158 Tabel 5.8 Makna Ornamen Boraspati (lanjutan) No Variable Uraian (sub variable) Keterangan 3 Fungsi - Bentuk Tiga warna yang digunakan; Ekspresi - Jenis material representasi spirit atau kuasa Debata - Komposisi Natolu Dari segi bentuk menggambarkan sebuah kepala hewan yang terdistrosi 4 Fungsi - Simbol Penghargaan Dewa Bumi, Boraspati ni Religi Ketuhanan/Dewa Tano yang memberiakn tanah yang - Penghormatan (hierarki) subur, sehingga tanaman dan ternak - Permohonan (tolak bala) hasil berlimpah dan bisa mencapai hamoraon.

5.1.9 Gorga simeol-eol

Dari hasil observasi 10 objek penelitian Arsitektur Tradisional Batak Toba, posisi gorga simeol-eol berada di dua level banua ginjang dan banua tonga. Simeoleol berarti melenggak-lenggok. Gorga Simeoleol ini berbentuk sulur yang terjalin dengan kesan melenggak-lenggok yang menghasilkan keindahan (Gambar 5.12). Gorga ini melambangkan kegembiraan dan berfungsi untuk menambah keindahan. Variasi lain dari gorga ini disebut gorga simeoleol marsialoan, yang bentuknya tidak jauh berbeda hanya karena motif yang berlawanan (marsialoan).

Estetika gorga ini didapat dari material gorga terbuat yang terbuat dari kayu, difinishing dengan cat yang diolah dari material lokal. Susunan komposisi gorga ini terlihat simetris. Sumber metafor bentuk gorga ini dari tanaman rambat. Maka dapat ditarik kesimpulan fungsi gorga simeol-eol pada Arsitektur Tradisional Batak Toba, sebagai berikut (Tabel 5.9):

Universitas Sumatera Utara 159

Gambar 5.12 Gorga Simeol-eol

Tabel 5.9 Makna Ornamen Gorga Simeol-eol No Variable Uraian (sub variable) Keterangan 1 Fungsi a. estetika eksperimental Gorga ini menggunakan tiga jenis Estetika estetika sensorik warna hitam, putih, merah (tolubolit) estetika formal Bentuk gorga ini simetris estetika simbolik Material dari kayu b. estetika intelektual ide metaforis sistem inovasi teknologi 2 Fungsi - Lambang identitas Simbol kegembiraan Prestise sosial 3 Fungsi - Bentuk Tiga warna yang digunakan; Ekspresi - Jenis material representasi spirit atau kuasa Debata - Komposisi Natolu Dari segi bentuk dari tanaman merabat yang melenggak-lenggok, tumbuh dengan bebas tanpa himpitan beban. 4 Fungsi - Simbol Rasa syukur kepada Debata Religi Ketuhanan/Dewa - Penghormatan (hierarki) - Permohonan (tolak bala)

Universitas Sumatera Utara 160

5.1.10 Gorga dalihan natolu

Dari hasil observasi 10 objek penelitian Arsitektur Tradisional Batak Toba, posisi gorga dalihan natolu ini ada di dua level pada rumah yakni banua ginjang dan banua tonga. Gorga ini menggambarkan falsafah struktur kekeratan masyarakat batak toba yakni

(1) hula-hula, (2) dongan tubu dan (3) boru. Dimana ketiga elemen ini memiliki hubungan resiprositas yang seimbang dan harmonis, saling berkaitan/saling mendukung (Gambar 5.

13).

Gambar 5.13 Gorga Dalihan Natolu

Sumber dari dalihan natolu adalah hubungan kekerabatan Debata Natolu di banua ginjang diajarkan dan diteruskan Siboru Deak parujar kepada keturunannya dibumi, agar memperoleh hagabeon, hamoraon dan hasangapon. Struktur sosial dalam budaya kekerabatan Batak Toba bermakna berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Dalam ungkapan Batak Toba disebut:

Molo naeng gabe, somba marhulahula Molo naeng mora, elek marboru. Molo naeng sangap, manat mardongan tubu

Universitas Sumatera Utara 161

Terjemahan bebasnya: Jika ingin banyak keturunan, hormat kepada hulahula. Jika ingin kaya, sayang kepada boru. Jika ingin kehormatan dan kemuliaan, rukun bersaudara semarga

Estetika gorga ini didapat dari material gorga terbuat yang terbuat dari kayu, difinishing dengan cat yang diolah dari material lokal. Susunan komposisi gorga ini terlihat simetris. Maka dapat ditarik kesimpulan fungsi gorga dalihan natolu pada

Arsitektur Tradisional Batak Toba, sebagai berikut (Tabel 5.10):

Tabel 5.10 Makna Ornamen Dalihan Natolu No Variable Uraian (sub variable) Keterangan 1 Fungsi a.estetika eksperimental Gorga ini menggunakan tiga jenis Estetika estetika sensorik warna hitam, putih, merah (tolubolit) estetika formal Bentuk gorga ini simetris estetika simbolik Material dari kayu b. estetika intelektual ide metaforis sistem inovasi teknologi 2 Fungsi - Lambang identitas Simbol kemegahan (hagabeon, Prestise sosial hamoraon dan hasangapon) 3 Fungsi - Bentuk Tiga warna yang digunakan; Ekspresi - Jenis material representasi spirit atau kuasa Debata - Komposisi Natolu Dari segi bentuk menggambarkan sebuah kepala hewan yang terdistrosi 4 Fungsi - Simbol Penghargaan kepada Siboru Deak Religi Ketuhanan/Dewa Parujar - Penghormatan (hierarki) - Permohonan (tolak bala)

5.1.11 Gorga hoda-hoda

Dari hasil observasi 10 objek penelitian Arsitektur Tradisional Batak Toba, posisi gorga hoda-hoda berada di leve banua tonga. Gorga ini menggambarkan suasana pesta

Universitas Sumatera Utara 162

adat yang besar, yaitu mangaliat horbo (Gambar 5.14). Gorga hoda-hoda ini merupakan lambang kebesaran. Komunitas silsilah yang lebih besar memiliki homitan sendiri dalam bentuk ruma parsantian dengan raga-raga-nya. Ada pula yang disebut hoda miahan atau hoda Debata, yakni kuda dewata yang disucikan. Biasanya, kuda dewata ini dibeli oleh satu galur keturunan, ketika besarnya sapanganan lombu; hal ini dilakukan biasanya setelah yang bersangkutan ditimpa oleh banyak kemalangan dan setelah datu menganjurkan melalui wangsitnya bahwa kuda seperti itu harus dipelihara. Setiap galur diminta untuk menyumbang guna membeli kuda dewata tersebut.

Gambar 5.14 Gorga Hoda-hoda

Hewan yang akan dipersembahkan terlebih dahulu disucikan (dimiahi), dengan cara memercikinya dengan air (pangurasion) dan diiringin dengan gondang untuk mengimbau leluhur agar sudi memberi berkat acara pada penyucian itu. Galur-galur dari marga yang bersangkutan dan tinggal berdekatan, diundang ke upacara itu agar mengetahui kuda yang istimewa itu. Dia dilepaskan ke ladang, dibiarkan ke sana kemari sesuka hatinya, dan memakan apa yang dimauinya tanpa risiko akan dihalau pergi. Ia hanya boleh diusir dari ladang orang lain yang tidak memiliki kaitan dengan upacara

Universitas Sumatera Utara 163

tersebut, dan itu pun harus dengan hati-hati, atau dapat juga ia dibawa kembali kepada kepala galur keluarga yang menjadi pemiliknya. Jika kuda itu sudah tua, ia akan dipersembahkan kepada ketiga dewata yang paling tinggi, dan semua anggota galur akan ikut dalam perjamuan. Ia kemudian diganti dengan kuda yang lebih muda, dan sebisa mungkin yang menyerupai hewan peliharaan ompu parsadaan di masa jayanya.

Estetika gorga ini didapat dari material gorga terbuat yang terbuat dari kayu, kemudian dilukis (gorga dais), difinishing dengan cat yang diolah dari material lokal.

Maka dapat ditarik kesimpulan fungsi gorga hoda-hoda pada Arsitektur Tradisional Batak

Toba, sebagai berikut (Tabel 5.11):

Tabel 5.11 Makna Ornamen Gorga Hoda-hoda No Variable Uraian (sub variable) Keterangan 1 Fungsi a. estetika eksperimental Material dari kayu, dengan teknik lukis Estetika estetika sensorik Gorga hoda-hoda ini merupakan lambang estetika formal kebesaran. estetika simbolik Menggunakan tiga warna hitam, putih dan b. estetika intelektual merah. Ide metaforis Sistem inovasi teknologi 2 Fungsi - Lambang identitas sosial Simbol Kegembiraan Prestise 3 Fungsi - Bentuk Tiga warna yang digunakan; representasi Ekspresi - Jenis material spirit atau kuasa Debata Natolu - Komposisi Dari segi bentuk menggambarkan suasana pesta adat besar. 4 Fungsi - Simbol Ketuhanan/Dewa Penghargaan kepada roh ‘sahala ni Religi - Penghormatan (hierarki) ompung’ terlebih kepada Debata - Permohonan (tolak bala) 5.1.12 Gorga simataniari

Dari hasil observasi 10 objek penelitian Arsitektur Tradisional Batak Toba, posisi gorga simatania ada yang di level banua ginjang dan ada juga di level banua tonga. Secara harafiah simataniari berarti matahari. Gorga simataniari biasanya ditempatkan pada sebelah kiri dorpi jolo. Diatas parhongkom, ada yang diukir dan ada yang dilukis.

Universitas Sumatera Utara 164

Bentuknya mirip matahari bersinar. Bila digambarkan di level banua ginjang merupakan simbol karisma seorang raja, yang tidak dapat dihalau tau ditandingi. Demikian penting posisi raja bagi masyarakat Batak Toba tradisional sehingga dijolo raja sipareahan, dipudi raja sipaimaon, ditonga-tonga sirugun-rugunan artinya didepan raja dikejar sebagai panutan, dibelakang raja ditunggu dan ditengah dikelilingi. Lebih dari itu masyarakat

Batak Toba tradisional memosisikan seorang raja sebagai.

Tanduk so suharon. Mataniari so dompakon. Hatana so laoson. Tonana sotarjuaon. Terjemahan bebasnya; Tanduk tidak dibalikkan. Matahari tidak dapat pandangi. Ucapannya tidak diacuhkan. Amanah/pesannya tidak tertolak.

Berdasarkan kepercayaan kosmologisnya, maka masyarakat Batak Toba tradisional wajib taat kepada raja. Dengan taat kepada raja akan mendapatkan imbalan ialah keberuntungan seperti dinyatakan dalam ungkapan metafora berikut:

Baris-baris ni gaja, dirura pangaloan. Marsuru raja, ingkon do oloan. Nioloan dapot pangomoan.So nioloan dapot hamagoan. Terjemahan bebasnya; Barisan gaja di lembah pengangonan. Memerintah raja, harus dituruti. Dituruti mendapat keberuntungan. Tidak dituruti mendapat kerugian

Ungkapan metafor di atas merupakan kodifikasi hukum “pemerintahan tradisional” yang menjelaskan kedudukan, kekuasaan dan tanggungjawab raja, serta hak dan kewajiban termasuk fungsi dan tugas pokok seorang raja sebagai “administrator” dalam pemerintahan kerajaan tradisional. Juga diatur tentang kedudukan, hak dan

Universitas Sumatera Utara 165

kewajiban rakyat serta hubungan antara raja dan rakyat. Karisma seorang raja diperoleh atas berkat dari Debata Natolu yakni Bata Guru dimanifestasikan dalam ornaman arsitektur berupa gorga simataniari (Gambar 5.15).

Gambar 5.15 Gorga Simataniari

Pada level banua tonga, gorga mataniari menunjukan nasib mujur bagi pemilik rumah. Hal ini dapat dilihat bait doa (tonggo-tonggo); ‘asa anggiat parngoluon nami, tiur songon ari, rondang songon bulan, tio songon mata mual’ yang artinya ‘semoga kehidupan kami, terang seperti sinar matahari, hening seperti bulan, dan jernih seperti mata air”. Jadi fungsi gorga ini memberi arti penerangan, kesuburan dan kehidupan bagi pemilik rumah. Gorga ini diperbuat tukang ukir (Pande) mengingat jasa matahari yang menerangi dunia ini, karena matahari juga termasuk sumber segala kehidupan, tanpa matahari tidak akan ada yang dapat hidup. Estetika gorga ini didapat dari material gorga

Universitas Sumatera Utara 166

terbuat yang terbuat dari kayu ukir, difinishing dengan cat yang diolah dari material lokal.

Maka dapat ditarik kesimpulan fungsi gorga simataniari pada Arsitektur Tradisional Batak

Toba, sebagai berikut (Tabel 5.12):

Tabel 5.12 Makna Ornamen Gorga Simataniari No Variable Uraian (sub variable) Keterangan 1 Fungsi a. estetika eksperimental Gorga ini menggunakan tiga jenis warna hitam, putih, Estetika estetika sensorik merah (tolubolit) estetika formal Bentuk gorga ini simetris estetika simbolik Material dari kayu b. estetika intelektual ide metaforis sistem inovasi teknologi 2 Fungsi - Lambang identitas sosial Simbol Kemegahan Prestise 3 Fungsi - Bentuk Tiga warna yang digunakan; representasi spirit atau Ekspresi - Jenis material kuasa Debata Natolu - Komposisi Dari segi bentuk menggambarkan matahari, dengan bentuk spiral yang dihiasi. 4 Fungsi - Simbol Ketuhanan/Dewa Penghargaan kepada karisma (sahala) raja, yakni Religi - Penghormatan (hierarki) Batara Guru - Permohonan (tolak bala) Rasa syukur atas nasib baik di dunia. 5.1.13 Gorga sitagan

Dari hasil observasi 10 objek penelitian Arsitektur Tradisional Batak Toba, posisi

Gorga sitagan di tingkat banua tonga.Secara harafiah tagan artinya alat tempat menyimpan barang, seperti kotak kapur sirih (Gambar 5.16). Bentuknya menyerupai dua buah gorga simeolmeol yang dipasang berhadapan. Penempatannya pada tepi bidang ukiran dan pada dinding muka dan samping. Arti dan maksudnya berupa peringatan pada penghuni rumah terhadap tamu, agar kiranya bersikap sopan santun kepada tamu yang datang dan menghilangkan rasa angkuh atau sombong kepada siapapun terutama terhadap tamu. Mengartikan kewajiban tuan rumah untuk ramah, hormat, sopan berhadapan dengan

Universitas Sumatera Utara 167

tamu. Gorga sitagan ini terdiri atas dua jenis yaitu Gorga sitampar dasar untuk datu dan

Gorga sitagan sipak sirih untuk bangsawan.

Gambar 5.16 Gorga Sitagan

Gorga ini menggunakan warna merah, putih hitam. Dibenttuk simetris secara vertikal dan horizontal. Ukiran gorga ini terlihat saling mengunci pada simpul pertemuan.

Maka dapat ditarik kesimpulan fungsi gorga sitagan pada Arsitektur Tradisional Batak

Toba, sebagai berikut (Tabel 5.13):

Tabel 5.13 Makna Ornamen Gorga Sitagan No Variable Uraian (sub variable) Keterangan 1 Fungsi a. estetika eksperimental Gorga ini menggunakan tiga jenis warna Estetika estetika sensorik hitam, putih, merah (tolubolit) estetika formal Bentuk gorga ini simetris estetika simbolik Material dari kayu b. estetika intelektual ide metaforis sistem inovasi teknologi

Universitas Sumatera Utara 168

Tabel 5.13 Makna Ornamen Gorga Sitagan Dan Uraiannya (lanjutan) No Variable Uraian (sub variable) Keterangan 2 Fungsi - Lambang identitas Simbol ilmu pengetahuan (hasangapon) Prestise sosial 3 Fungsi - Bentuk Tiga warna yang digunakan; representasi Ekspresi - Jenis material spirit atau kuasa Debata Natolu - Komposisi Dari segi bentuk menggambarkan bentuk geometris 4 Fungsi - Simbol Penghargaan kepada Bataraguru dan Religi Ketuhanan/Dewa Balabulan - Penghormatan (hierarki) - Permohonan (tolak bala)

5.1.14 Gorga simarogung-ogung

Dari hasil observasi 10 objek penelitian Arsitektur Tradisional Batak Toba, posisi

Gorga simaarogung-ogung berada di tingkat banua tonga. Ogung adalah satu diantara alat musik tradisional Batak Toba. Penambuh gendang ini disebut juga Batara Guru

Humundul, di mana kepercayaan masyarakat tradisional, bunyi gendang ini merupakan kesenangan Mulajadi Nabolon dan semua para dewa pengguni banua ginjang. Jadi perangkat ogung dan penabuhnya diberlakukan secara terhormat, karena dengan media tersebut doa (tonggo-tonggo) serta persembahan mereka didengar Mulajadi nabolon, dan para dewa yang bersemayam di banua ginjang. Penempatannya ada hampir pada setiap rumah adat ditempatkan pada dinding muka dan samping. Arti dan maksudnya gong adalah sebagai simbol pesta yang menjadi idaman setiap manusia, melambangkan kejayaan dan kemakmuran. Gorga ini menggambarkan suasana keceriaan pesta, keterbukaan, keramahan yang dimiliki oleh penghuni rumah (Gambar 5.17).

Universitas Sumatera Utara 169

Gambar 5.17 Gorga Simarogung-ogung

Kegitan yang berkaitan dengan pemukulan ogung (gendang) perjamuan

(panganan) atau pesta (horja). Gondang adalah seperangkat gendang dan gong. Ia dimainkan jika arwah para leluhur (sumangot ni ompu) dipanggil pada segala macam upacara memohon kehadiran, berkat, dan pertolongan para leluhur yang dipuja. Ia dimainkan pada saat penerimaan suatu nama jika satu rumah disucikan; jika penyakit dan bencana untuk ditangkal; jika tulang-belulang leluhur dikuburkan kembali, dan sebagainya. Istilah sagondang (termasuk dalam satu gondang) dan sapargondangan

(termasuk dalam satu-satuan pemukulan gondang), dipakai untuk suatu persekutuan gendang yang berkumpul pada upacara pemujaan leluhur bersama semua anggota. Karena pada upacara ini diadakan persembahan (dipele) maka kita dapat juga berkata tentang suatu komunitas persembahan (sapelean).

Maka dapat ditarik kesimpulan fungsi gorga simarogung-ogung pada Arsitektur

Tradisional Batak Toba, sebagai berikut (Tabel 5.14):

Universitas Sumatera Utara 170

Tabel 5.14 Makna Ornamen Gorga Simarogung-ogung No Variable Uraian (sub variable) Keterangan 1 Fungsi a. estetika eksperimental Gorga ini menggunakan tiga jenis Estetika estetika sensorik warna hitam, putih, merah (tolubolit) estetika formal Bentuk gorga ini simetris estetika simbolik Material dari kayu b. estetika intelektual ide metaforis sistem inovasi teknologi 2 Fungsi - Lambang identitas Simbol Kemegahan (hagabeon, Prestise sosial hamoraon, dan hasangapon) 3 Fungsi - Bentuk Tiga warna yang digunakan; Ekspresi - Jenis material representasi spirit atau kuasa Debata - Komposisi Natolu Dari segi bentuk menggambarkan sebuah kepala hewan yang terdistrosi 4 Fungsi - Simbol Penghargaan kepada Debata Natolu, Religi Ketuhanan/Dewa khususnya Batara Guru - Penghormatan (hierarki) - Permohonan (tolak bala)

5.1.15 Gorga hariara sundung di langit/sangkamadeha

Dari hasil observasi 10 objek penelitian Arsitektur Tradisional Batak Toba, posisi gorga hariara sundung di langit/sangkamadeha berada di tingkat banua tonga. Betuk gorna ini seperti pohon hayat yang merupakan ilustrasi penciptaan manusia sehingga manusia harus senantiasa mengingat Penciptanya. Gorga ini merupakan simbol kesatuan ketiga kosmos dilambangkan dengan pohon hariara sundung di langit. Pohon ini berada di lingkungan ketiga banua, dedaunan serta pucuknya berada di banua ginjang batang dan cabang-cabangnya di banua tonga, dan akarnya menembus banua toru (Gambar 5.18).

Universitas Sumatera Utara 171

Gambar 5.18 Gorga Hariara Sundung di Langit/Sangkamadeha (posisi dinding samping)

Dalam mitologi masyarakat Batak Toba Batak, terdapat keyakinan tentang keberadaan satu pohon mitis-kosmis yang dinamai hariara Sundung di langit (pohon hariara bertajuk di langit). Dalam budaya mukim orang Batak, hariara digunakan sebagai penanda kelayakan perkampungan. Sebelum menetapkan suatu tempat sebagai lokasi kampung baru, maka terlebih dahulu disana ditanam pohon hariara. Jika setelah tujuh hari hariara itu bertahan hidup, maka lokasi itu dianggap tepat sebagai perkampungan, dengan keyakinan bahwa tanah di situ subur, cocok untuk bertani.

Karena itu pohon hariara lazim sebagai penanda bagi perkampungan (huta) orang

Batak, posisinya ditempatkan area gerbang kampung. Umur pohon hariara itu dengan sendirinya menunjuk pada usia sebuah kampung Batak. Pohon hariara diberi predikat sundung di langit karena tampilan fisiknya yang selalu tumbuh tegak lurus, tajuknya tumbuh tinggi ke atas seakan menyunggi langit yang kemudian diaplikasikan dalam bentuk ornament gorga (Gambar 5.19). Pohon hariara, jika ditanam sejak pembukaan kampung, bisa dipastikan sebagai pohon tertinggi di sebuah kampung asli Batak.

Universitas Sumatera Utara 172

Gambar 5.19 Gorga Hariara Sundung di Langit/Sangkamadeha

Gorga hariara sundung di langit, ini adalah pohon imajiner, suatu pohon hidup atau poros jagad yang hidup dalam keyakinan masyarakat tradisional Batak Toba. Dalam kepercayaan agama asli (paganism) orang Batak, hariara sundung di langit itu diyakini sebagai pohon yang diciptakan oleh Mulajadi Nabolon. Dalam kosmologi orang Batak, hariara sundung di langit itu dibayangkan sebagai pohon mahabesar dan mahatinggi yang mengisi "tiga dunia" yaitu banua toru (dunia bawah, dunia dalam/perut bumi), banua tonga (dunia tengah, dunia manusia), dan banua ginjang (dunia atas, langit, dunia dewa tertinggi dan dewa tinggi). Pohon mitis-kosmis ini dibayangkan tumbuh tepat di puncak

Gunung Pusukbuhit, gunung magis orang Batak. Akarnya menghunjam jauh ke dunia bawah, batangnya tegak lurus ke atas di dunia tengah, dan tajuknya membentang (madeha,

Universitas Sumatera Utara 173

sangkamadeha) di dunia atas. Itu sebabnya dinamai hariara sundung di langit, suatu sosok pohon imajiner tertinggi sejagad raya.

Karena "tumbuh" menembus tiga lapis banua (dunia) maka hariara sundung di langit itu merupakan "poros jagad" yang menghubungkan Dunia Bawah tempat Dewa

Tanah meraja, dunia tengah tempat manusia hidup, dan dunia atas (langit) tempat dewa- dewa tertinggi dan tinggi bersemayam. Artinya, dia menjadi "poros komunikasi" antara manusia dengan Mulajadi Nabolon dan dewa-dewa lain di Dunia Atas, dan dewa- dewa/roh-roh penguasa tanah/bawah tanah. Fungsi sebagai "poros komunikasi" itu tercermin dalam tonggo-tonggo (doa) para datu (dukun) dalam suatu upacara adat.

Sebagai contoh, dalam upacara adat memasuki musim tanam padi, maka datu akan memanjatkan tonggo-tonggo yang memohon kepada Mulajadi Nabolon agar memberi berkah hujan, sinar matahari, dan udara yang baik dan juga mohon kepada dewa-dewa tanah dan air (Naga Padoha, Boraspati ni Tano, Boru Saniangnaga) untuk memberi kesubururan tanah dan air, sehingga pertanaman memberi hasil melimpah-ruah (gabe na niula).

Dalam statusnya sebagai "poros jagad", hariara sundung di langit itu bagi orang

Batak, dan ini yang terpenting, adalah "pohon hidup". Ini tergambarkan dalam gorga

(dekorasi) hariara sundung di langit pada dinding (dorpi) Rumah Adat Batak. Bentuknya berupa sebatang pohon tumbuh tegak berdahan banyak, lengkap dengan akar yang kokoh.

Dari akar ke batang bawah ada figur seeokor ular melilit sebagai simbol Naga Padoha,

Dewa Penguasa Bawah Tanah yang bisa mendatangkan bencana (gempa bumi) atau ketenangan dan kesuburan (jika dipuja secara layak). Di bagian pucuk pohon terdapat

Universitas Sumatera Utara 174

figur burung yang disebut Manuk-manuk Hulambujati, simbol pembawa berkah sekaligus semacam malaikat perantara komunikasi antara Mulajadi Nabolon dan manusia. Di bagian tajuk tengah ada juga figur burung membawa padi dan kapas yang disebut Manuk-manuk

Imbulubuntal (warna merah) simbol karunia pemenuhan kebutuhan lahiriah manusia dari

Mulajadi Nabolon.

Kedelapan dahan hariara Sundung di Langit itu menunjuk pada delapan pilihan nasib manusia dalam kehidupan yang diberikan oleh Mulajadi Nabolon. Dahan arah timur

(emas) menunjuk pada nasib hidup sebagai raja besar atau penguasa tinggi; dahan tenggara (emas dan tembaga) menunjuk pada raja biasa/menengah; dahan selatan (perak) menunjuk pada raja tanah atau raja boru (penerima isteri) di desa hulahula (pemberi isteri); dan dahan barat daya (kuningan) menunjuk pada boru kelas menengah.

Selanjutnya dahan barat (timah) menunjuk pada dukun besar; dahan barat laut (tembaga) menunjuk pada parripe (pendatang) yang banyak keturunan; dahan utara (besi) menunjuk pada parripe biasa atau orang miskin; dan dahan timur laut (kayu) menunjuk pada nasib sebagai budak. Kemudian akar pohon menunjuk pada usia panjang sedangkan daun pucuk pohon menunjuk pada usia sangat pendek. Lalu buah yang tua menunjuk pada orang perkasa, buah yang buruk bentuk menunjuk pada orang bodoh, dan buah busuk menunjuk pada orang jahat.

Begitulah, pada bagian-bagian pohon hariara sundung di langit itu sudah diterakan nasib yang dapat dipilih oleh setiap orang Batak yang lahir ke dunia ini. Dalam hal ini orang Batak percaya bahwa nasib itu adalah pilihan manusia, bukan ketetapan mutlah dari Mulajadi Nabolon. Artinya, manusia Batak boleh berusaha mengubah

Universitas Sumatera Utara 175

nasibnya, dengan cara memohon kepada Mulajadi Nabolon sambil berupaya keras meraih nasib yang diinginkannya.

Pohon imajiner ini menggambarkan secara lengkap kehidupan orang Batak, dari lahir sampai mati, dari dunia sampai akhirat. Pohon ini menggambarkan "Awal" (Alpha) dan "Akhir" (Omega) kehidupan menurut kosmologi asli orang Batak. Hariara sundung di langit merupakan khasanah pengetahuan masyarakat tradisional Batak Toba, sebagai

"pohon hidup" dia menunjuk pada sebuah gagasan tentang kesatuan manusia dengan alam dan penciptanya yaitu Mulajadi Nabolon. Dimana Mulajadi Nabolon telah menciptakan manusia untuk hidup berdaulat di bumi, memenuhi nafkah dari pemanfaatan kekayaan tanah secara selaras alam (simbol akar hariara), lalu tumbuh ke atas dengan orientasi pada

Mulajadi Nabolon atau Tuhan Yang Maha Kuasa (simbol pucuk hariara lurus ke langit), dan pada saat bersamaan melebar ke samping untuk berbagi sumber hidup dengan sesama

(dahan hariara yang terentang, sangkamadeha) sesuai dengan jalan hidup yang dipilih manusia atas restu ilahi.

Maka dapat ditarik kesimpulan fungsi gorga hariara sundung di langit/sangkamadeha pada Arsitektur Tradisional Batak Toba, sebagai berikut (Tabel

5.15):

Tabel 5.15 Makna Ornamen Gorga Hariara Sundung di Langit/sangkamadeha No Variable Uraian (sub variable) Keterangan 1 Fungsi a. estetika eksperimental Gorga ini menggunakan tiga jenis estetika sensorik Estetika warna hitam, putih, merah (tolubolit) estetika formal estetika simbolik Bentuk gorga ini simetris b. estetika intelektual Material dari kayu Ide metaforis Sistem inovasi . teknologi

Universitas Sumatera Utara 176 Tabel 5.15 Makna Ornamen Gorga Hariara Sundung di Langit (lanjutan)

No Variable Uraian (sub variable) Keterangan 2 Fungsi - Lambang identitas Simbol Kemegahan (hagabeon, Prestise sosial hamoraon, dan hasangapon) 3 Fungsi - Bentuk Tiga warna yang digunakan; Ekspresi - Jenis material representasi spirit atau kuasa Debata - Komposisi Natolu Dari segi bentuk menggambarkan sebuah pohon mistik, ular dan sejenis burung ayam 4 Fungsi - Simbol Penghargaan kepada Debata Natolu Religi Ketuhanan/Dewa - Penghormatan (hierarki) - Permohonan (tolak bala) 5.1.16 Gorga desa Naualu

Dari hasil observasi 10 objek penelitian Arsitektur Tradisional Batak Toba, posisi

Gorga Desa Naualu berada di tingkat banua tonga. Gorga desa naulu ini secara harafiah artinya delapan desa, yang merupakan penunjuk arah mata angin dalam bahasa batak.

Kedelapan arah mata angin (Desa na Ualu) yaitu Timur (Purba/Habinsaran), Tenggara

(Anggoni), Selatan (Dangsina), Barat Daya (Nariti), Barat (Pastima/ Hasundutan), Barat

Laut (Manabia), Utara (Otara), Timur Laut (Irisanna).

Gorga ini menggambarkan gambar mata angin yang ditambah hiasan-hiasannya.

Orang Batak dahulu sudah mengetahui/kenal dengan mata angin (Gambar 5.20). Mata angin ini pun sudah mempunyai kaitan-kaitan erat dengan aktivitas-aktivitas ritual ataupun digunakan di dalam pembuatan horoscope seseorang/sekeluarga. Sebagai pencerminan perasaan akan pentingnya mata angina pada suku Batak maka diperbuatlah dan diwujudkan dalam bentuk Gorga. Maka dapat ditarik kesimpulan fungsi gorga desa naualu pada Arsitektur Tradisional Batak Toba, sebagai berikut (Tabel 5.16):

Universitas Sumatera Utara 177

Gambar 5.20 Gorga Desa Naualu

Tabel 5.16 Makna Ornamen Desa Naualu No Variable Uraian (sub variable) Keterangan 1 Fungsi a. estetika eksperimental Gorga ini menggunakan tiga jenis warna Estetika estetika sensorik hitam, putih, merah (tolubolit) estetika formal Bentuk gorga ini simetris estetika simbolik Material dari kayu b. estetika intelektual Menggunakan tiga warna hitam, putih dan ide metaforis merah. sistem inovasi teknologi 2 Fungsi - Lambang identitas Simbol Kemegahan Prestise sosial 3 Fungsi - Bentuk Tiga warna yang digunakan; representasi Ekspresi - Jenis material spirit atau kuasa Debata Natolu - Komposisi Dari segi bentuk menggambarkan sebuah kepala hewan yang terdistrosi 4 Fungsi - Simbol Penghargaan kepada Siboru Deak Parujar Religi Ketuhanan/Dewa - Penghormatan (hierarki) - Permohonan (tolak bala)

Universitas Sumatera Utara 178

5.2 Makna Ornamen (Gorga) Arsitektur Kontemporer Batak Toba.

5.2.1 Objek Penelitian 1 arsitektur kontemporer Batak Toba (rumah)

Dari hasil wawancara Pemilik rumah ini mengungkapkan, tujuannya membuat atau menggunakan ornamen (gorga) Batak Toba adalah untuk ungkapan rasa kecintaannya terhadap kebudayaan Batak. Menurut pemilik untuk melestarikan kebudayaan batak, di mana salah satu produknya adalah ornamen (gorga) dengan tetap menggunakan hasil karya kebudayaan itu. Penggunaan gorga pada rumahnya, membawa kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri bagi pemiliknya. Sebagai bagian dari masyarakat Batak Toba, pemilik merasa berhasil dengan menggunakan gorga, diharapkan memberikan tren yang berbeda dari rumah atas tampilan rumahanya. Walaupun menjadi kebanggaan pemiliknya sendiri tidak paham jenis ataupun nama-nama ornamen (gorga) yang digunakan pada rumahnya. Namun secara umum dengan menggunakan gorga menurut pemilik bagunannya menjadi lebih indah dan spesial atau ‘unik’ berbeda denan bangunan- bangunan rumah modern lainnya yang ada diskitarnya.

Mereka memiliki intrepretasi tersendiri terhadap ornamen (gorga) yang terpasang di rumahnya, yakni yang pertama dua gorga singa-singa yang ada pada tiang, mengingatkan mereka akan kedua orangtuanya (ayah dan ibu). Gorga singa-singa dengan ukiran segitiga kecil yang melingkar pada bagian mata gorga singa-singa, menjadi gambaran pancaran sianar matahari. Mata yang bersinar ini dalam analogikan mereka dengan sinar matahari yang selalu menyinari bumi menjadi gambaran kasih sayang dari orang tua yang tidak pernah usai terhadap anak-anaknya (Gambar 5.21). Dengan

Universitas Sumatera Utara 179

keberadaan ornamen gorga singa-singa ini membuat pemiliknya merasa nyaman, tenang dan aman setiap pulang ke rumah.

Gambar 5.21 Gorga Singa-singa PadaDua (2) Tiang Teras Rumah

Interpretasi yang kedua diberikan untuk ornamen (gorga) dengan ukiran/alur

(andor) yang sambung-menyambung, mereka mengartikannya sebagai tali persaudaraan sesama anggota keluarga harus terjalin terus. Tali persaudaraan ini meliputi keluarga inti

(hubungan darah), dan masyarakat Batak secara umum yang ditunjukkan dengan tarombo antar marga (Gambar 5.22).

Gambar 5.22 Gorga Simataniari

Estetika gorga ini didapat dari material gorga terbuat yang terbuat dari beton, difinishing dengan cat buatan pabrik. Susunan komposisi gorga, simetri antara bagian kiri

Universitas Sumatera Utara 180

dan bagian kanan. Bentuk simetri ini juga ada masing-masing jorngom. Maka dapat ditarik

kesimpulan fungsi ornamen (gorga) pada objek penelitian 1, Arsitektur Kontemporer

Batak Toba (Rumah Tinggal) ini, adalah sebagai berikut (Tabel 5.17):

Tabel 5.17 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 1, Arsitektur Kontemporer Batak Toba Jenis Makna ornamen ornamen 3. Fungsi 4. Fungsi 1. Fungsi Estetika 2. Fungsi Prestise (gorga) Ekspresi Religi 1. Gorga Menggunakan tiga Menunjukkan Kombinasi tiga warna hitam, putih sebagai masyarakat warna, membuat jorngom dan merah. Batak Toba. tampilan rumah Bentuk gorga ini Masyarakat Batak lebih simetris Toba yang sukses bersemangat/riang Material dari beton Kerumitan dari bentuk gorga 2. Gorga Menggunakan tiga Menunjukkan Kombinasi tiga Keberadaan 2 warna hitam, putih sebagai masyarakat warna, membuat gorga singa- singa-singa dan merah. Batak Toba. tampilan rumah singa sebagai Bentuk gorga ini Masyarakat Batak lebih simbol 2 orang simetris Toba yang sukses bersemangat/riang tua (ayah dan Material dari beton ibu) Kerumitan dari bentuk gorga 3. Gorga Menggunakan tiga Menunjukkan Kombinasi tiga warna hitam, putih sebagai masyarakat warna, membuat simeol-eol dan merah. Batak Toba. tampilan rumah Bentuk gorga ini Masyarakat Batak lebih simetris Toba yang sukses bersemangat/riang Material dari beton Kerumitan dari bentuk gorga 4. Gorga Menggunakan tiga Menunjukkan Kombinasi tiga Gorga warna hitam, putih sebagai masyarakat warna, membuat Simataniari, simataniari dan merah. Batak Toba. tampilan rumah dengan Bentuk gorga ini Masyarakat Batak lebih ukiran/alur simetris Toba yang sukses bersemangat/riang (andor) yang Material dari beton sambung- Kerumitan dari menyambung, bentuk gorga simbol tali persaudaan

Universitas Sumatera Utara 181

5.2.2 Objek Penelitian 2 arsitektur kontemporer Batak Toba (rumah)

Pemilik rumah ini mengungkapkan membangun rumah dengan menggunakan ornamen Batak Toba (jabu namargorga) merupakan cita-citanya. Mereka meyakini bahwa rumah gorga adalah rumah tinggal khusus bagi seorang raja. Jadi tujuannya menggunakan rumah gorga, membangkitkan karisma atau spirit seorang raja yang kesatria, tegas dan berwibawa (pitonggam). Pemiliknya memiliki pemahaman khusus tentang tiga warna gorga di rumahnya, yaitu merah, putih dan hitam. Setiap warna memiliki arti tersendiri, yaitu merah melambangkan ilmu pengetahuan dan kecerdasan yang melahirkan kebijaksanaan. Warna putih melambangkan ketulusan dan kejujuran. Warna hitam melambangkan keteguhan hati, sikap melindungi sesama yang menghasilkan jiwa kepemimpinan (Gambar 5.23).

Gambar 5.23 Tampilan Ornamen Pada Objek Penelitian 2

Universitas Sumatera Utara 182

Bentuk-bentuk gorga seperti ulupaung, gaja dompak, singasinga, menunjukkan semangat, jiwa kesatria, yang selalu bertanggung jawab atas setiap tindakan (Gambar

5.24). Tanggung jawab ini tidak hanya diteruskan ke sesama manusia atau lingkungan sekitarnya tetapi juga pada tanggung jawab Tuhan Sang Pencipta. Sementara gorga boraspati merupakan gambar cicak sebagai simbol kegigihan dalam hidup, semangat pantang menyerah untuk menafkahi semua anggota keluarga.

Gambar 5.24 Tampak Samping Gorga Singa-singa

Tampilan gorga ini berbentuk simetri secara vertikal, antara bagian kiri dan bagian kanan. Susunan komposisi simetri juga ada masing-masing gorga ulupaung, gajah dompak, singa-sing, adon-adop. Gorga ini terbuat dari beton ukir, difinishing dengan cat

3 warna (tolubollit), warna merah, putih, hitam di mana cat yang digunakan adalah buatan pabrik. Maka dapat ditarik kesimpulan fungsi ornamen (gorga) pada objek penelitian 2,

Arsitektur Kontemporer Batak Toba (Rumah Tinggal) ini, adalah sebagai berikut (Tabel

5.18):

Universitas Sumatera Utara 183

Tabel 5.18 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 2, Arsitektur Kontemporer Batak Toba Jenis Makna ornamen ornamen 3. Fungsi 1. Fungsi Estetika 2. Fungsi Prestise 4. Fungsi Religi (gorga) Ekspresi 1. Gorga ulu Menggunakan tiga Menunjukkan Menampilakan Menggambar spirit paung warna hitam, putih sebagai ideologi Batak, rumah seorang raja dan merah. masyarakat Batak untuk saling- Jiwa kesatria, Bentuk gorga ini Toba tolong-menolong bertanggung-jawab simetris Masyarakat Material dari beton Batak Toba yang Kerumitan dari sukses bentuk gorga 2. Gorga gaja Menggunakan tiga Menunjukkan Menampilakan Menggambar spirit dompak warna hitam, putih sebagai ideologi Batak, rumah seorang raja dan merah. masyarakat Batak untuk saling- Jiwa kesatria, Bentuk gorga ini Toba tolong-menolong bertanggung- simetris Masyarakat jawab Material dari beton Batak Toba yang Kerumitan dari sukses bentuk gorga 3. Gorga Menggunakan tiga Menunjukkan Menampilakan Menggambar spirit jengger- warna hitam, putih sebagai ideologi Batak, rumah seorang raja dan merah. masyarakat Batak untuk saling- Jiwa kesatria, jenggar Bentuk gorga ini Toba tolong-menolong bertanggung- simetris Masyarakat jawab Material dari beton Batak Toba yang Kerumitan dari sukses bentuk gorga 4. Gorga Menggunakan tiga Menunjukkan Menampilakan Menggambar spirit singa-singa warna hitam, putih sebagai ideologi Batak, rumah seorang raja dan merah. masyarakat Batak untuk saling- Jiwa kesatria, Bentuk gorga ini Toba tolong-menolong bertanggung-jawab simetris Masyarakat Material dari beton Batak Toba yang Kerumitan dari sukses bentuk gorga

Universitas Sumatera Utara 184

Tabel 5.18 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 2, Kontemporer Batak Toba (lanjutan) Jenis Makna ornamen ornamen 3. Fungsi 1. Fungsi Estetika 2. Fungsi Prestise 4. Fungsi Religi (gorga) Ekspresi 5. Gorga Menggunakan Menunjukkan Menampilakan Menggambar spirit emas. sebagai ideologi Batak, rumah seorang raja adop-adop Bentuk gorga ini masyarakat Batak untuk saling- simetris. Toba. tolong-menolong Material dari beton Masyarakat Kerumitan dari Batak Toba yang bentuk gorga sukses 6. Gorga Menggunakan Menunjukkan Menampilakan Menggambar spirit warna emas sebagai ideologi Batak, rumah seorang raja boraspati Bentuk gorga ini masyarakat Batak untuk saling- Sikap pantang simetris Toba. tolong-menolong menyerah Material dari beton Masyarakat Kerumitan dari Batak Toba yang bentuk gorga sukses 7. Gorga Menggunakan tiga Menunjukkan Menampilakan Menggambar spirit warna hitam, putih sebagai ideologi Batak, rumah seorang raja simeol-meol dan merah. masyarakat Batak untuk saling- Bentuk gorga ini Toba tolong-menolong simetris Masyarakat Material dari beton Batak Toba yang Kerumitan dari sukses bentuk gorga 8. Gorga Menggunakan tiga Menunjukkan Menampilakan Menggambar spirit warna hitam, putih sebagai ideologi Batak, rumah seorang raja dalihan dan merah. masyarakat Batak untuk saling- natolu Bentuk gorga ini Toba. tolong-menolong simetris Masyarakat Material dari beton Batak Toba yang Kerumitan dari sukses bentuk gorga

5.2.3 Objek Penelitian 3 arsitektur kontemporer Batak Toba (rumah)

Bagi pemilik rumah, gorga yang ada pada rumahnya ditujukan untuk menyalurkan

hobbynya. Gorga ini ditujukan untuk menunjukkan ciri khas rumah adat batak dan juga

untuk memperindah rumahnya. Gorga baginya merupakan kekayaan intelektual

Masyarakat Batak dari zaman dulu. Dengan menggunakan gorga ini kesan yang pemilik

Universitas Sumatera Utara 185

rasakan adalah ia merasa tampilan rumahnya benar-benar menjadikan rumah ini orang

Batak. Sebab gorga adalah ciri kas suku Batak Toba.

Untuk makna gorga singa-singa ini menggambarkan sebagai penjaga atau pengawal ada di bagian kiri atau kanan. Sedangkan terdapat tiga warna gorga memiliki makna, yakni putih, merah dan hitam. Warna putih menggambarkan kebersihan, lalu warna merah artinya berani serta warna hitam itu menunjukkan kewaspadaan.

Kewaspadaan ini bisa terhadap musuh dan teman. Sebab banyak sekarang ini yang sifatnya hanya berpura-pura. Jadi ibarat umpasa ni hita batak (ungkapan pada masyarakat

Batak), manat unang tarsuga, dadap uang tarrobung (hati-hati agar tidak tertusuk duri, waspada agar tidak terjerumus).

Tampilan gorga ini berbentuk simetri secara vertikal, antara bagian kiri dan bagian kanan. Susunan komposisi simetri juga ada masing-masing gorga gajah dompak, singa- singa, adon-adop. Kaidah-kaidah yang harus diikuti untuk menghasilkan gorga yang indah, seperti lekuk-lekuk (andor) yang berwarna putih dan tata letak warna”. Material gorga ini terbuat dari kayu dan beton ukir. Material kayu hanya digunakan untuk gorga singa-singa, sedangkan sisa adalah material beton. Material finishing gorga dengan cat 3 warna (tolubollit), warna merah, putih dan hitam, dimana cat yang digunakan merupakan buatan pabrik. Maka dapat ditarik kesimpulan fungsi ornamen (gorga) pada objek penelitian 3, Arsitektur Kontemporer Batak Toba (Rumah Tinggal) ini, adalah sebagai berikut (Tabel 5.19):

Universitas Sumatera Utara 186

Tabel 5.19 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 3, Arsitektur Kontemporer Batak Toba Jenis ornamen Makna ornamen (gorga) 1. Fungsi 2. Fungsi Prestise 3. Fungsi Ekspresi 4. Fungsi Religi Estetika 1. Gorga Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Rasa syukur singa-singa tiga warna hitam, sebagai masyarakat warna, membuat kepada Tuhan putih dan merah. Batak Toba tampilan rumah Bentuk gorga ini Masyarakat Batak lebih simetris Toba yang sukses bersemangat/riang Material dari beton Kerumitan dari bentuk gorga 2. Gorga Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Rasa syukur simeol-eol tiga warna hitam, sebagai masyarakat warna, membuat kepada Tuhan putih dan merah. Batak Toba tampilan rumah Bentuk gorga ini Masyarakat Batak lebih simetris Toba yang sukses bersemangat/riang Material dari beton Kerumitan dari bentuk gorga 3. Gorga Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Rasa syukur dalihan natolu tiga warna hitam, sebagai masyarakat warna, membuat kepada Tuhan putih dan merah. Batak Toba tampilan rumah Bentuk gorga ini Masyarakat Batak lebih simetris Toba yang sukses bersemangat/riang Material dari beton Kerumitan dari bentuk gorga 4. Gorga Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Rasa syukur simataniari tiga warna hitam, sebagai masyarakat warna, membuat kepada Tuhan putih dan merah. Batak Toba tampilan rumah Bentuk gorga ini Masyarakat Batak lebih simetris Toba yang sukses bersemangat/riang Material dari beton Kerumitan dari bentuk gorga

Universitas Sumatera Utara 187

5.2.4 Objek Penelitian 4 arsitektur kontemporer Batak Toba (rumah)

Bagi pemilik rumah, gorga merupakan simbol kebesaran masyarakat Batak Toba.

Menurutnya kemampuan untuk mendirikan rumah gorga, hanya dimiliki orang-orang tertentu, seperti mempunyai pengaruh kuat, sehingga mampu mengarahkan orang banyak.

Kemampuan lainnya yang harus dimiliki agar bisa mendirikan rumah gorga adalah harta benda, agar bisa menyediakan makanan bagi orang-orang yang turut serta dalam proses konstruksi rumah tersebut, dengan jangka waktu yang cukup lama. Kemampuan itulah yang dimiliki kakek pemilik bangunan itu, ditunjukkan dengan berdirinya bangunan rumah gorga kakeknya. Namun bangunan rumah gorga kakeknya sudah rubuh, dan bangunan ini merupakan sebagai penggantinya. Dengan harapan dengan membangun kembali rumah ini, membangkitkan kembali spirit keberhasilan kakeknya pada masa lalu, sebagai pendiri kampung (raja huta), orang berada (namora), terkenal raja yang bijaksana

(nabisuk).

Maka dapat ditarik kesimpulan fungsi ornamen (gorga) pada objek penelitian 4,

Arsitektur Kontemporer Batak Toba (Rumah Tinggal) ini, adalah sebagai berikut (Tabel

5.20):

Universitas Sumatera Utara 188

Tabel 5.20 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 4, Arsitektur Kontemporer Batak Toba Jenis ornamen Makna ornamen (gorga) 1. Fungsi 2. Fungsi 3. Fungsi 4. Fungsi Religi Estetika Prestise Ekspresi 1. Gorga Dila Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Untuk tiga warna sebagai warna, membuat menghadirkan paung/santung- hitam, putih dan masyarakat tampilan rumah spirit nenek santung merah. Batak Toba lebih moyang Bentuk gorga ini Masyarakat bersemangat/riang pemiliknya simetris Batak Toba yang Material dari sukses beton Kerumitan dari bentuk gorga 2. Gorga Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Untuk tiga warna sebagai warna, membuat menghadirkan jengger-jenggar hitam, putih dan masyarakat tampilan rumah spirit nenek merah. Batak Toba lebih moyang Bentuk gorga ini Masyarakat bersemangat/riang pemiliknya simetris Batak Toba yang Material dari sukses beton Kerumitan dari bentuk gorga 3. Gorga singa- Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Untuk tiga warna sebagai warna, membuat menghadirkan singa hitam, putih dan masyarakat tampilan rumah spirit nenek merah. Batak Toba lebih moyang Bentuk gorga ini Masyarakat bersemangat/riang pemiliknya simetris Batak Toba yang Material dari sukses beton Kerumitan dari bentuk gorga 4. Gorga simeol- Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Untuk tiga warna sebagai warna, membuat menghadirkan eol hitam, putih dan masyarakat tampilan rumah spirit nenek merah. Batak Toba lebih moyang Bentuk gorga ini Masyarakat bersemangat/riang pemiliknya simetris Batak Toba yang Material dari sukses beton Kerumitan dari bentuk gorga

Universitas Sumatera Utara 189

Tabel 5.20 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 4, Kontemporer Batak Toba (lanjutan) Jenis ornamen Makna ornamen (gorga) 1. Fungsi 2. Fungsi 3. Fungsi 4. Fungsi Religi Estetika Prestise Ekspresi 5. Gorga dalihan Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Untuk tiga warna sebagai warna, membuat menghadirkan natolu hitam, putih dan masyarakat tampilan rumah spirit nenek merah. Batak Toba lebih moyang Bentuk gorga ini Masyarakat bersemangat/riang pemiliknya simetris Batak Toba yang Material dari sukses beton Kerumitan dari bentuk gorga 6. Gorga hoda- Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Untuk tiga warna sebagai warna, membuat menghadirkan hoda hitam, putih dan masyarakat tampilan rumah spirit nenek merah. Batak Toba lebih moyang Bentuk gorga ini Masyarakat bersemangat/riang pemiliknya simetris Batak Toba yang Material dari sukses beton Kerumitan dari bentuk gorga

5.2.5 Objek Penelitian 5 arsitektur kontemporer Batak Toba (rumah)

Gorga pada rumah ini yang ada pada rumah ini untuk meneruskan adat istiadat

masyarakat Batak. Dimana gorga sudah kebiasaan dari orang tua jaman dulu, seperti

umpasa (ungkapan) dalam masyarakat Batak, ompunta raja di jolo martungkot siala

gundi, na pinungka ni naparjolo ido siihuthonon ni naumpudi (adat budaya yang

diciptakan oleh leluhur itulah yang harus diikuti atau dipedomani yang belakangan atau

generasi penerus). Namun lebih lanjut pemilik menyatakan niatanya untuk menggunakan

gorga ini adalah karena rumah kakeknya dulu menggunakan gorga. Sehingga dia merasa

sebagai masyarakat Batak (Toba), ingin terus menjaga nilai-nilai luhur dari Arsitektur

Batak, yang secara nyata dia dapatkan dari hasil ajaran kakeknya. Dia sangat banggga

menjadi bagian dari masyarakat Batak, sebab dia menilai kompleksitas adat Batak Toba

Universitas Sumatera Utara 190

sangat tinggi dan belum tentu dimiliki suku lain, seperti gorga, ulos, partuturon, umpasa dan umpama.

Makna warna gorga yang digunakan yakni, warnanya merah, putih, hitam (tiga bolit), itu merupakan gambarkan sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba yaitu dalihan natolu; somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Bagi pemilik sebuah rumah merupakan cerminan dari karakter/tabiat dan nasik pemilik rumah tersebut. Gorga dapat menjadi gambaran turpuk (nasib) dari pemilik rumah. Apabila kita perhatikan sebuah gorga dengan seksama, jika kelihatan seperti sendu/sedih atau bahkan gorganya menangis maka dapat dipastikan bahwa, apa yang dimiliki pemilik rumah

(hagabeon,hamoraon dan hasangapon) tersebut tidak dapat diikuti atau diwariskan kepada keturunannya. Maka dapat ditarik kesimpulan fungsi ornamen (gorga) pada objek penelitian 5, Arsitektur Kontemporer Batak Toba (Rumah Tinggal) ini, adalah sebagai berikut (Tabel 5.21):

Tabel 5.21 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 5, Arsitektur Kontemporer Batak Toba Jenis Makna ornamen ornamen 3. Fungsi 4. Fungsi 1. Fungsi Estetika 2. Fungsi Prestise (gorga) Ekspresi Religi 1. Gorga ulu Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Menggambar tiga warna hitam, sebagai warna, simbol karakter/tabiat paung putih dan merah. masyarakat Batak ideologi dan nasib pemilik Bentuk gorga ini Toba partuturon yakni rumah simetris Masyarakat dalihan natolu Material dari Batak Toba yang beton sukses Kerumitan dari bentuk gorga

Universitas Sumatera Utara 191

Tabel 5.21 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 5, Kontemporer Batak Toba (lanjutan) Jenis Makna ornamen ornamen 3. Fungsi 4. Fungsi (gorga) 1. Fungsi Estetika 2. Fungsi Prestise Ekspresi Religi 2. Gorga gaja Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Menggambar tiga warna hitam, sebagai warna, simbol karakter/tabiat dompak putih dan merah. masyarakat Batak ideologi dan nasib pemilik Bentuk gorga ini Toba partuturon yakni rumah simetris Masyarakat dalihan natolu Material dari Batak Toba yang beton sukses Kerumitan dari bentuk gorga 3. Gorga Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Menggambar tiga warna hitam, sebagai warna, simbol karakter/tabiat singa-singa putih dan merah. masyarakat Batak ideologi dan nasib pemilik Bentuk gorga ini Toba partuturon yakni rumah simetris Masyarakat dalihan natolu Material dari Batak Toba yang beton sukses Kerumitan dari bentuk gorga 4. Gorga Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Menggambar tiga warna hitam, sebagai warna, simbol karakter/tabiat simeol-eol putih dan merah. masyarakat Batak ideologi dan nasib pemilik Bentuk gorga ini Toba partuturon yakni rumah simetris Masyarakat dalihan natolu Material dari Batak Toba yang beton sukses Kerumitan dari bentuk gorga

5.2.6 Objek Penelitian 6 arsitektur kontemporer Batak Toba (rumah)

Gorga merupakan kekayaan kebudayaan masyarakat Batak Toba. Dengan adanya

gorga pada rumah ini dianggap pemiliknya menjadi lebih indah, lebih gagah dan lebih

berkarakter. Jadi penggunaan gorga dalam rumah itu menunjukkan jati diri pemilik rumah

sebagai orang batak sejati artinya tidak malu menunjukkan identitasnya sebagai

masyarakat Batak. Bagi pemiliknya sebagai masyarakat Batak, tidak perlu minder atau

malu sebagai masyarakat Batak, justru harus tetap berusaha menjaga marwah jadi diri

Universitas Sumatera Utara 192

Batak itu sendiri. Maka dapat ditarik kesimpulan fungsi ornamen (gorga) pada objek penelitian 6, Arsitektur Kontemporer Batak Toba (Rumah Tinggal) ini, adalah sebagai berikut (Tabel 5.22):

Tabel 5.22 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 6, Arsitektur Kontemporer Batak Toba Jenis ornamen Makna ornamen (gorga) 1. Fungsi 2. Fungsi 3. Fungsi 4. Fungsi Estetika Prestise Ekspresi Religi 1. Gorga ulu Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga - tiga warna sebagai warna, membuat paung hitam, putih dan masyarakat tampilan rumah merah. Batak Toba lebih Bentuk gorga ini Masyarakat bersemangat/riang simetris Batak Toba yang Material dari sukses beton Kerumitan dari bentuk gorga 2. Gorga dila Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga - tiga warna sebagai warna, membuat paung/santung- hitam, putih dan masyarakat tampilan rumah santung merah. Batak Toba lebih Bentuk gorga ini Masyarakat bersemangat/riang simetris Batak Toba yang Material dari sukses beton Kerumitan dari bentuk gorga 3. Gorga gaja Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga - tiga warna sebagai warna, membuat dompak hitam, putih dan masyarakat tampilan rumah merah. Batak Toba lebih Bentuk gorga ini Masyarakat bersemangat/riang simetris Batak Toba yang Material dari sukses beton Kerumitan dari bentuk gorga

Universitas Sumatera Utara 193

Tabel 5.22 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 6, Kontemporer Batak Toba (lanjutan) Jenis ornamen Makna ornamen (gorga) 4. Fungsi 1. Fungsi Estetika 2. Fungsi Prestise 3. Fungsi Ekspresi Religi 4. Gorga Menggunakan tiga Menunjukkan Kombinasi tiga - warna hitam, putih sebagai warna, membuat jengger- dan merah. masyarakat Batak tampilan rumah lebih jenggar Bentuk gorga ini Toba bersemangat/riang simetris Masyarakat Batak Material dari beton Toba yang sukses Kerumitan dari bentuk gorga 5. Gorga Menggunakan tiga Menunjukkan Kombinasi tiga - warna hitam, putih sebagai warna, membuat singa-singa dan merah. masyarakat Batak tampilan rumah lebih Bentuk gorga ini Toba bersemangat/riang simetris Masyarakat Batak Material dari beton Toba yang sukses Kerumitan dari bentuk gorga 6. Gorga Menggunakan tiga Menunjukkan Kombinasi tiga - warna hitam, putih sebagai warna, membuat boraspati dan merah. masyarakat Batak tampilan rumah lebih Bentuk gorga ini Toba bersemangat/riang simetris Masyarakat Batak Material dari beton Toba yang sukses Kerumitan dari bentuk gorga 7. Gorga Menggunakan tiga Menunjukkan Kombinasi tiga - warna hitam, putih sebagai warna, membuat simeol-eol dan merah. masyarakat Batak tampilan rumah lebih Bentuk gorga ini Toba bersemangat/riang simetris Masyarakat Batak Material dari beton Toba yang sukses Kerumitan dari bentuk gorga 8. Gorga Menggunakan tiga Menunjukkan Kombinasi tiga - warna hitam, putih sebagai warna, membuat simataniari dan merah. masyarakat Batak tampilan rumah lebih Bentuk gorga ini Toba bersemangat/riang simetris Masyarakat Batak Material dari beton Toba yang sukses Kerumitan dari bentuk gorga

Universitas Sumatera Utara 194

5.2.7 Objek Penelitian 7 arsitektur kontemporer Batak Toba (rumah)

Pemilik rumah ini meyakini gorga ini mampu membuat rumahnya terlihat lebih indah. Baginya gorga adalah hasil kebudayaan batak, yang sangat bernilai tinggi. Pemilik meras cukup bangga bisa menerapkan gorga pada rumahnya, sebab menurutnya tidak semua masyarakat Batak bisa atau manapun menggunakan gora. Jadi dengan menggunakanya pada rumahnya, juga akan meningkatkan nilai rumahnya, salah satunya menjadi lebih indah, unik dan lain sebagainya. Maka dapat ditarik kesimpulan fungsi ornamen (gorga) pada objek penelitian 7, Arsitektur Kontemporer Batak Toba (Rumah

Tinggal) ini, adalah sebagai berikut (Tabel 5.23):

Tabel 5.23 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 7, Arsitektur Kontemporer Batak Toba Jenis ornamen Makna ornamen (gorga) 1. Fungsi 2. Fungsi 3. Fungsi 4. Fungsi Estetika Prestise Ekspresi Religi 1. Gorga dila Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Meningkatkan tiga warna sebagai warna, membuat semangat paung/santung hitam, putih dan masyarakat tampilan rumah hidup -santung merah. Batak Toba lebih Bentuk gorga ini Masyarakat bersemangat/rian simetris Batak Toba yang g Material dari sukses beton Kerumitan dari bentuk gorga 2. Gorga Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Meningkatkan tiga warna sebagai warna, membuat semangat jengger-jenggar hitam, putih dan masyarakat tampilan rumah hidup merah. Batak Toba lebih Bentuk gorga ini Masyarakat bersemangat/rian simetris Batak Toba yang g Material dari sukses beton Kerumitan dari bentuk gorga

Universitas Sumatera Utara 195

Tabel 5.23 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 7, Kontemporer Batak Toba (lanjutan) Jenis ornamen Makna ornamen (gorga) 1. Fungsi 2. Fungsi 3. Fungsi Ekspresi 4. Fungsi Religi Estetika Prestise 3. Gorga simeol- Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Meningkatkan tiga warna sebagai warna, membuat semangat hidup eol hitam, putih dan masyarakat tampilan rumah merah. Batak Toba lebih Bentuk gorga ini Masyarakat bersemangat/riang simetris Batak Toba Material dari yang sukses beton Kerumitan dari bentuk gorga 4. Gorga dalihan Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Meningkatkan tiga warna sebagai warna, membuat semangat hidup natolu hitam, putih dan masyarakat tampilan rumah merah. Batak Toba lebih Bentuk gorga ini Masyarakat bersemangat/riang simetris Batak Toba Material dari yang sukses beton Kerumitan dari bentuk gorga 5. Gorga hariara Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Meningkatkan tiga warna sebagai warna, membuat semangat hidup sundung di hitam, putih dan masyarakat tampilan rumah langit/sangkama merah. Batak Toba lebih Bentuk gorga ini Masyarakat bersemangat/riang deha simetris Batak Toba Material dari yang sukses beton Kerumitan dari bentuk gorga 6. Gorga desa Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Meningkatkan tiga warna sebagai warna, membuat semangat hidup naualu hitam, putih dan masyarakat tampilan rumah merah. Batak Toba lebih Bentuk gorga ini Masyarakat bersemangat/riang simetris Batak Toba Material dari yang sukses beton Kerumitan dari bentuk gorga

Universitas Sumatera Utara 196

5.2.8 Objek Penelitian 8 arsitektur kontemporer Batak Toba (gereja)

Sebagai bangsa yang juga ciptaan Tuhan, masyarakat Batak Toba diberi akal dan

kemampuan untuk membangun kebudayaannya, termasuk didalamnya ornamen gorga

batak. Jadi awalnya gorga batak itu menunjukan kepribadian masyarakat batak, yang

bersahabat, tolong menolong namun teguh dalam menjunjung nilai-nilai kebenaran.

Namun pengetahuan masyarakat batak juga penuh dengan mistik, atau mengandalkan

kekuatan dunia. Dengan menggunakan gorga batak pada fasade gereja ini, mununjukkan

simbol masyarakat batak yang mau dan patuh terhadap ajaran Kristen.

Pada bagian kiri dan kanan gorga ini ditambahkan simbol alfa dan omega, yang

artinya Tuhan Allah yang awal dan akhir. Dengan kuasa Tuhan Allah juga sehingga

masyarakat bisa mengenal ajaran Kristen yang menjadi jalan kebernaran. Maka dapat

ditarik kesimpulan fungsi ornamen (gorga) pada objek penelitian 8, Arsitektur

Kontemporer Batak Toba (Geraja) ini, adalah sebagai berikut (Tabel 5.24):

Tabel 5.24 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 8, Arsitektur Kontemporer Batak Toba Jenis ornamen Makna ornamen (gorga) 1. Fungsi 4. Fungsi 2. Fungsi Prestise 3. Fungsi Ekspresi Estetika Religi 1. Gorga gaja Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Menunjukkan tiga warna hitam, sebagai warna, membuat kemaha besaran dompak putih dan merah. masyarakat tampilan rumah Tuhan, Bentuk gorga ini Batak Toba lebih menciptakan simetris Masyarakat bersemangat/riang ragam sifat dan Material dari Batak Toba rupa manuasi beton yang sukses Kerumitan dari bentuk gorga

Universitas Sumatera Utara 197

Tabel 5.24 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 8, Kontemporer Batak Toba (lanjutan) Jenis ornamen Makna ornamen (gorga) 4. Fungsi 1. Fungsi Estetika 2. Fungsi Prestise 3. Fungsi Ekspresi Religi 2. Gorga Menggunakan tiga Menunjukkan Kombinasi tiga Menunjukkan warna hitam, putih sebagai warna, membuat kemaha jengger-jenggar dan merah. masyarakat Batak tampilan rumah besaran Tuhan, Bentuk gorga ini Toba lebih menciptakan simetris Masyarakat bersemangat/riang ragam sifat Material dari beton Batak Toba yang dan rupa Kerumitan dari sukses manuasi bentuk gorga 3. Gorga Singa- Menggunakan tiga Menunjukkan Kombinasi tiga Menunjukkan warna hitam, putih sebagai warna, membuat kemaha singa dan merah. masyarakat Batak tampilan rumah besaran Tuhan, Bentuk gorga ini Toba lebih menciptakan simetris Masyarakat bersemangat/riang ragam sifat Material dari beton Batak Toba yang dan rupa Kerumitan dari sukses manuasi bentuk gorga 4. Gorga Simeol- Menggunakan tiga Menunjukkan Kombinasi tiga Menunjukkan warna hitam, putih sebagai warna, membuat kemaha eol dan merah. masyarakat Batak tampilan rumah besaran Tuhan, Bentuk gorga ini Toba lebih menciptakan simetris Masyarakat bersemangat/riang ragam sifat Material dari beton Batak Toba yang dan rupa Kerumitan dari sukses manuasi bentuk gorga 5. Gorga dalihan Menggunakan tiga Menunjukkan Kombinasi tiga Menunjukkan warna hitam, putih sebagai warna, membuat kemaha natolu dan merah. masyarakat Batak tampilan rumah besaran Tuhan, Bentuk gorga ini Toba lebih menciptakan simetris Masyarakat bersemangat/riang ragam sifat Material dari beton Batak Toba yang dan rupa Kerumitan dari sukses manuasi bentuk gorga 6. Gorga Menggunakan tiga Menunjukkan Kombinasi tiga Menunjukkan warna hitam, putih sebagai warna, membuat kemaha simataniari dan merah. masyarakat Batak tampilan rumah besaran Tuhan, Bentuk gorga ini Toba lebih menciptakan simetris Masyarakat bersemangat/riang ragam sifat Material dari beton Batak Toba yang dan rupa Kerumitan dari sukses manuasi bentuk gorga

Universitas Sumatera Utara 198

5.2.9 Objek Penelitian 9 arsitektur kontemporer Batak Toba (gereja)

Ornamen gereja ini, simbol atau tanda bahwa jemaat yang beribadah didalamnya adalah mayoritas masyarakat Batak Toba. Seperti yang sama-sama diketahui bahwa rumah gorga adalah ciri khas masyarakat batak. Hal menunjukkan kebesaran dan kuasa

Tuhan, yang mampu menjangkau ke seluruh penjuru dunia, termasuk sampai ke tanah

Batak. Bagi para jemaat gereja tersebut, kebersamaan sangat perlu dan itulah yang digambarkan ornamen tersebut. Dari pola dan perletakan gorga, ada bagian kira ada di bagian kanan, ada bagian atas ada bagian bawah dan sebagainya mengahasilkan komposisi yang indah, seperti itulah gambaran yang harus dijalakan umat manusia dalam menjalan perintah Tuhan. Struktur dalam gereja juga bermacam-macam, dimana ada Pendeta yang tugasnya melayani atau memberikan nasihat dengan Firman Tuhan, dan jemaat sebagai pendengar, ada juga jemaat nya menyalakan lilin dan lain sebagainya, secara keseluruhan membuat kehidupan gereja itu berjalan dengan harmonis, bila masing-masing mengerti hak dan kewajibannya.

Maka dapat ditarik kesimpulan fungsi ornamen (gorga) pada objek penelitian 9,

Arsitektur Kontemporer Batak Toba (Geraja) ini, adalah sebagai berikut (Tabel 5.25):

Universitas Sumatera Utara 199

Tabel 5.25 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 9, Arsitektur Kontemporer Batak Toba Jenis ornamen Makna ornamen (gorga) 1. Fungsi 2. Fungsi 3. Fungsi 4. Fungsi Religi Estetika Prestise Ekspresi 1. Gorga ulu Menggunakan Menunjukkan Tiga warna Menunjukkan tiga warna sebagai gorga, kemaha besaran paung hitam, putih dan masyarakat menunjukkan Tuhan, merah. Batak Toba keberagaman menciptakan Bentuk gorga ini Masyarakat sifat Masyarakat ragam sifat dan simetris Batak Toba yang Batak Toba. rupa manuasi Material dari sukses beton Kerumitan dari bentuk gorga 2. Gorga dila Menggunakan Menunjukkan Tiga warna Menunjukkan tiga warna sebagai gorga, kemaha besaran paung/santung- hitam, putih dan masyarakat menunjukkan Tuhan, santung merah. Batak Toba keberagaman menciptakan Bentuk gorga ini Masyarakat sifat Masyarakat ragam sifat dan simetris Batak Toba yang Batak Toba. rupa manuasi Material dari sukses beton Kerumitan dari bentuk gorga 3. Gorga Menggunakan Menunjukkan Tiga warna Menunjukkan tiga warna sebagai gorga, kemaha besaran jengger-jenggar hitam, putih dan masyarakat menunjukkan Tuhan, merah. Batak Toba keberagaman menciptakan Bentuk gorga ini Masyarakat sifat Masyarakat ragam sifat dan simetris Batak Toba yang Batak Toba. rupa manuasi Material dari sukses beton Kerumitan dari bentuk gorga 4. Gorga Menggunakan Menunjukkan Tiga warna Menunjukkan tiga warna sebagai gorga, kemaha besaran jorngom hitam, putih dan masyarakat menunjukkan Tuhan, merah. Batak Toba keberagaman menciptakan Bentuk gorga ini Masyarakat sifat Masyarakat ragam sifat dan simetris Batak Toba yang Batak Toba. rupa manuasi Material dari sukses beton Kerumitan dari bentuk gorga

Universitas Sumatera Utara 200

Tabel 5.25 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 9, Kontemporer Batak Toba (lanjutan) Jenis ornamen Makna ornamen (gorga) 1. Fungsi 2. Fungsi 3. Fungsi 4. Fungsi Religi Estetika Prestise Ekspresi 5. Gorga singa- Menggunakan Menunjukkan Tiga warna Menunjukkan tiga warna sebagai gorga, kemaha besaran singa hitam, putih dan masyarakat menunjukkan Tuhan, merah. Batak Toba keberagaman menciptakan Bentuk gorga ini Masyarakat sifat Masyarakat ragam sifat dan simetris Batak Toba yang Batak Toba. rupa manuasi Material dari sukses beton Kerumitan dari bentuk gorga 6. Gorga Menggunakan Menunjukkan Tiga warna Menunjukkan tiga warna sebagai gorga, kemaha besaran simeoleol hitam, putih dan masyarakat menunjukkan Tuhan, merah. Batak Toba keberagaman menciptakan Bentuk gorga ini Masyarakat sifat Masyarakat ragam sifat dan simetris Batak Toba yang Batak Toba. rupa manuasi Material dari sukses beton Kerumitan dari bentuk gorga 7. Gorga dalihan Menggunakan Menunjukkan Tiga warna Menunjukkan tiga warna sebagai gorga, kemaha besaran natolu hitam, putih dan masyarakat menunjukkan Tuhan, merah. Batak Toba keberagaman menciptakan Bentuk gorga ini Masyarakat sifat Masyarakat ragam sifat dan simetris Batak Toba yang Batak Toba. rupa manuasi Material dari sukses beton Kerumitan dari bentuk gorga 8. Gorga Menggunakan Menunjukkan Tiga warna Menunjukkan tiga warna sebagai gorga, kemaha besaran simataniari hitam, putih dan masyarakat menunjukkan Tuhan, merah. Batak Toba keberagaman menciptakan Bentuk gorga ini Masyarakat sifat Masyarakat ragam sifat dan simetris Batak Toba yang Batak Toba. rupa manuasi Material dari sukses beton Kerumitan dari bentuk gorga

Universitas Sumatera Utara 201

Tabel 5.25 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 9, Kontemporer Batak Toba (lanjutan) Jenis ornamen Makna ornamen (gorga) 1. Fungsi 2. Fungsi 3. Fungsi 4. Fungsi Religi Estetika Prestise Ekspresi 9. Gorga sitagan Menggunakan Menunjukkan Tiga warna Menunjukkan tiga warna sebagai gorga, kemaha besaran hitam, putih dan masyarakat menunjukkan Tuhan, merah. Batak Toba keberagaman menciptakan Bentuk gorga ini Masyarakat sifat Masyarakat ragam sifat dan simetris Batak Toba yang Batak Toba. rupa manuasi Material dari sukses beton Kerumitan dari bentuk gorga 10. Gorga Menggunakan Menunjukkan Tiga warna Menunjukkan tiga warna sebagai gorga, kemaha besaran simarogung- hitam, putih dan masyarakat menunjukkan Tuhan, ogung merah. Batak Toba keberagaman menciptakan Bentuk gorga ini Masyarakat sifat Masyarakat ragam sifat dan simetris Batak Toba yang Batak Toba. rupa manuasi Material dari sukses beton Kerumitan dari bentuk gorga 11. Gorga Menggunakan Menunjukkan Tiga warna Menunjukkan tiga warna sebagai gorga, kemaha besaran desanaualu hitam, putih dan masyarakat menunjukkan Tuhan, merah. Batak Toba keberagaman menciptakan Bentuk gorga ini Masyarakat sifat Masyarakat ragam sifat dan simetris Batak Toba yang Batak Toba. rupa manuasi Material dari sukses beton Kerumitan dari bentuk gorga

5.2.10 Objek Penelitian 10 arsitektur kontemporer Batak Toba (wisma)

Kebiasaan masyarakat batak untuk melakukan pesta pernikahan secara besar-

besar, yang seyogianya melaksanakannya di rumah atau di halaman rumahnya (dijolo jabu

hasuhuton), namun dikota terkendali masalah tempat yang sempit. Pemilik bangunan

wisma ini sengaja membuat ornamen gorga batak pada bangunannya, untuk menarik

perhatian para calon custumernya (penyewa gedung). Dari awal, bangunan wisma ini

Universitas Sumatera Utara 202

sudah menargetkan pasang pasar masyarakat batak secara umum, dan secara khusus masyarakat batak toba, untuk kegiatan acara pernikahan, acara natal dan acara perta adat lainnya.

Secara umum pemilik wisma ini, tidak tahu nama-nama gorga yang ada pada bangunannya. Namun bagi dia, dengan adanya gorga pada fasade bangunan, membuat gedungnya terlihat lebih indah. Di mana warna-warni, bentuk gorga itu sediri menunjukkan rasa senang dan gembira. Material yang digunakan adalag beton ukir, yang difinishing dengan cat buatan pabrik. Maka dapat ditarik kesimpulan fungsi ornamen

(gorga) pada objek penelitian 10, Arsitektur Kontemporer Batak Toba (Wisma) ini, adalah sebagai berikut (Tabel 5.26):

Tabel 5.26 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 10, Arsitektur Kontemporer Batak Toba Jenis ornamen Makna ornamen (gorga) 3. Fungsi 4. Fungsi 1. Fungsi Estetika 2. Fungsi Prestise Ekspresi Religi 1. Gorga ulu Menggunakan tiga warna Menunjukkan Tiga warna hitam, putih dan merah. sebagai gorga, paung Bentuk gorga ini simetris masyarakat Batak menunjukkan Material dari beton Toba rasa gembira Kerumitan dari bentuk atau bahagia gorga 2. Gorga dila Menggunakan tiga warna Menunjukkan Tiga warna hitam, putih dan merah. sebagai gorga, paung/santung- Bentuk gorga ini simetris masyarakat Batak menunjukkan santung Material dari beton Toba rasa gembira Kerumitan dari bentuk atau bahagia gorga

Universitas Sumatera Utara 203

Tabel 5.26 Makna Ornamen Pada Objek Penelitian 10, Kontemporer Batak Toba (lanjutan) Jenis ornamen Makna ornamen (gorga) 2. Fungsi 3. Fungsi 4. Fungsi 1. Fungsi Estetika Prestise Ekspresi Religi 3. Gorga Menggunakan tiga warna Menunjukkan Tiga warna hitam, putih dan merah. sebagai gorga, jengger-jenggar Bentuk gorga ini simetris masyarakat menunjukkan Material dari beton Batak Toba rasa gembira Kerumitan dari bentuk atau bahagia gorga 4. Gorga singa- Menggunakan tiga warna Menunjukkan Tiga warna hitam, putih dan merah. sebagai gorga, singa Bentuk gorga ini simetris masyarakat menunjukkan Material dari beton Batak Toba rasa gembira Kerumitan dari bentuk atau bahagia gorga 5. Gorga simeol- Menggunakan tiga warna Menunjukkan Tiga warna hitam, putih dan merah. sebagai gorga, meol Bentuk gorga ini simetris masyarakat menunjukkan Material dari beton Batak Toba rasa gembira Kerumitan dari bentuk atau bahagia gorga 6. Gorga dalihan Menggunakan tiga warna Menunjukkan Tiga warna hitam, putih dan merah. sebagai gorga, natolu Bentuk gorga ini simetris masyarakat menunjukkan Material dari beton Batak Toba rasa gembira Kerumitan dari bentuk atau bahagia gorga

5.3 Perbandingan Makna Ornamen Pada ArsitekturTradisional dan

Kontemporer Batak Toba

Agar dapat menggambarkan makna orname pada arsitektur tradisional, makna dari

masing-masing ornamen ditabulasikan (Tabel 5. 27). Pada masa tradisional material

ornamen menggunakan kayu. Alur gorga lebih halus dan presisi. Secara umum gorga ini

untuk menunjukkan status pemilik rumah, yang terdiri dari hagabeon, hamoraon,

hasangapon.

Universitas Sumatera Utara 204

Tabel 5.27 Makna Ornamen Pada Arsitektur Tradisional Batak Toba Jenis Makna ornamen ornamen Fungsi Fungsi Estetika Fungsi Ekspresi Fungsi Religi Prestise Gorga ini Simbol Tiga warna yang Simbol menggunakan tiga hagabeon digunakan; kosmogoni jenis warna hitam, representasi spirit Batara Guru putih, merah atau kuasa Debata ayah dari Siboru 1.Gorga ulu (tolubolit) Natolu Deakparujar di paung Material dari kayu Dari segi bentuk banua ginjang. Bentuk gorga ini menggambarkan Simbol simetris sebuah kepala penghormatan Menggunakan kerbau yang kepada hula- tiga warna hitam, terdistrosi hula yang putih dan merah. memberikan Metaforis bentuk istri, untuk dari hewan kerbau mencapai hagabeon (keturunan), mencapai hamoraon (harta benda) Gorga ini Simbol Tiga warna yang Penghargaan menggunakan tiga hagabeon, digunakan; kepada jenis warna hitam, menjadi representasi spirit Balabulan/Raja 2.Gorga dila putih, merah seorang ayah atau kuasa Debata Odap-odap paung (tolubolit) Natolu Bentuk gorga ini Dari segi bentuk simetris menggambarkan Material dari kayu dua buah kepala posisi yang menggantung dan dihubungkan posisinya harus dengan papan selalu tegak dan berukir lurus. Konstruksinya dengan menggunakan pen pada pangkalnya

Universitas Sumatera Utara 205 Tabel 5.27 Makna Ornamen Arsitektur Tradisional Batak Toba (lanjutan)

Jenis Makna ornamen ornamen Fungsi Fungsi Estetika Fungsi Ekspresi Fungsi Religi Prestise Gorga ini Simbol Tiga warna yang Penghargaan 3.Gorga menggunakan tiga hasangapon digunakan; kepada Debata gaja jenis warna hitam, (kebenaran) representasi spirit Balasori dompak putih, merah atau kuasa Debata (tolubolit) Natolu Bentuk gorga ini Dari segi bentuk simetris menggambarkan Material dari kayu sebuah kepala hewan yang terdistrosi Gorga ini Simbol Tiga warna yang Penghargaan menggunakan tiga hagabeon, digunakan; kaum ibu, 4.Gorga jenis warna hitam, seorang ibu representasi spirit khususnya jengger- putih, merah atau kuasa Debata kepada Siboru jenggar (tolubolit) Natolu Deak Parujar Bentuk gorga ini Dari segi bentuk simetris menggambarkan

Material dari kayu sebuah kepala manuasi yang terdistrosi Gorga ini Simbol Tiga warna yang Penghormatan 5.Gorga menggunakan tiga Kemegahan digunakan; dan permohonan jorngom jenis warna hitam, (hagabeon, representasi spirit kepada Sahala putih, merah hamoraon, atau kuasa Debata (tolubolit) hasangapon) Natolu Bentuk gorga ini Dari segi bentuk simetris menggambarkan Material dari kayu tiga wujud Simbol Sahala makhluk yang terdistrosi Gorga ini Simbol Tiga warna yang Penghargaan 6.Gorga menggunakan tiga keadilan dan digunakan; kepada singa-singa jenis warna hitam, keberanian representasi spirit Balabulan putih, merah (hasangapon) atau kuasa Debata (tolubolit) Natolu Bentuk gorga ini Dari segi bentuk simetris menggambarkan Material dari kayu tubuh manusia yang terdistrosi

Universitas Sumatera Utara 206 Tabel 5.27 Makna Ornamen Arsitektur Tradisional Batak Toba (lanjutan)

Jenis Makna ornamen ornamen Fungsi Fungsi Estetika Fungsi Ekspresi Fungsi Religi Prestise Gorga ini Simbol Tiga warna yang Penghargaan 7.Gorga menggunakan tiga hagabeon dan digunakan; kepada Siboru jenis warna hitam, hamoraon representasi spirit Deak Parujar adop-adop putih, merah atau kuasa Debata (tolubolit) Natolu Bentuk gorga ini Dari segi bentuk simetris menggambarkan Material dari kayu delapan buah payudara. Gorga ini Simbol Tiga warna yang Penghargaan menggunakan tiga hamoraon digunakan; Dewa Bumi, jenis warna hitam, representasi spirit Boraspati ni 8.Gorga putih, merah atau kuasa Debata Tano yang boraspati (tolubolit) Natolu memberiakan Bentuk gorga ini Dari segi bentuk tanah yang simetris menggambarkan subur, sehingga Material dari kayu sebuah hewan tanaman dan (irik) yang ternak hasil terdistrosi berlimpah dan bisa mencapai hamoraon. Gorga ini Simbol Tiga warna yang Rasa syukur menggunakan tiga kegembiraan digunakan; kepada Mulajadi jenis warna hitam, representasi spirit Nabolon 9.Gorga putih, merah atau kuasa Debata simeol-eol (tolubolit) Natolu Bentuk gorga ini Dari segi bentuk simetris dari tanaman Material dari kayu merabat yang melenggak-

lenggok, tumbuh dengan bebas tanpa himpitan beban. Gorga ini Simbol Tiga warna yang Simbol sitem menggunakan tiga kemegahan digunakan; dalihan natolu 10.Gorga jenis warna hitam, (hagabeon, representasi spirit dalihan putih, merah hamoraon dan atau kuasa Debata natolu (tolubolit) hasangapon) Natolu Bentuk gorga ini Dari segi bentuk simetris menggambarkan Material dari kayu bentuk geometri segitiga

Universitas Sumatera Utara 207 Tabel 5.27 Makna Ornamen Arsitektur Tradisional Batak Toba (lanjutan)

Jenis Makna ornamen ornamen Fungsi Fungsi Estetika Fungsi Ekspresi Fungsi Religi Prestise Material dari Simbol Tiga warna yang Penghargaan kayu, dengan Kegembiraan digunakan; kepada roh 11.Gorga teknik lukis representasi spirit ‘sahala ni hoda-hoda Gorga hoda-hoda atau kuasa Debata ompung’ ini merupakan Natolu terlebih lambang Dari segi bentuk kepada kebesaran. menggambarkan Mulajadi Menggunakan suasana pesta adat Nabolon tiga warna hitam, besar. putih dan merah. Gorga ini Simbol Tiga warna yang Penghargaan menggunakan tiga Kemegahan digunakan; kepada 12.Gorga jenis warna hitam, representasi spirit karisma simataniari putih, merah atau kuasa Debata (sahala) raja, (tolubolit) Natolu yakni Batara Bentuk gorga ini Dari segi bentuk Guru simetris menggambarkan Rasa syukur Material dari kayu matahari, dengan atas nasib baik bentuk spiral yang di dunia. dihiasi.

Gorga ini Simbol ilmu Tiga warna yang Penghargaan menggunakan tiga pengetahuan digunakan; kepada 13.Gorga jenis warna hitam, (hasangapon) representasi spirit Bataraguru sitagan putih, merah atau kuasa Debata dan Balabulan (tolubolit) Natolu Bentuk gorga ini Dari segi bentuk simetris menggambarkan

Material dari kayu bentuk geometris

Gorga ini Simbol Tiga warna yang Penghargaan 14.Gorga menggunakan tiga Kemegahan digunakan; kepada Debata simarogung jenis warna hitam, (hagabeon, representasi spirit Natolu, -ogung putih, merah hamoraon, dan atau kuasa Debata khususnya (tolubolit) hasangapon) Natolu Batara Guru Bentuk gorga ini simetris Material dari kayu

Universitas Sumatera Utara 208 Tabel 5.27 Makna Ornamen Arsitektur Tradisional Batak Toba (lanjutan)

Jenis Makna ornamen ornamen Fungsi Fungsi Estetika Fungsi Ekspresi Fungsi Religi Prestise Gorga ini Simbol Tiga warna yang Penghargaan menggunakan tiga Kemegahan digunakan; kepada Debata 15.hariara jenis warna hitam, (hagabeon, representasi spirit Natolu sundung di putih, merah hamoraon, dan atau kuasa Debata langit (tolubolit) hasangapon) Natolu Bentuk gorga ini Dari segi bentuk simetris menggambarkan Material dari kayu sebuah pohon mistik, ular dan sejenis burung ayam Gorga ini Simbol ilmu Tiga warna yang Balabulan 16.Gorga menggunakan tiga pengetahuan digunakan; Desa naualu jenis warna hitam, (hasangapon) representasi spirit putih, merah atau kuasa Debata (tolubolit) Natolu Bentuk gorga ini Dari segi bentuk simetris menggambarkan Material dari kayu delapan arah mata angin

Pada kontemporer arsitektur Batak Toba, bentuk dan warna yang digunakan cenderung sama dengan pada masa tradisional. Namun material yang digunakan untuk pembuatan gorga sebagian besar menggunakan beton. Pemilihan beton untuk media gorga, karena diangap lebih murah dan lebih mudah dalam pengerjaan. Hal ini tentu mempengaruhi kualitas ukiran yang dihasilkan. Pada material beton alur gorga cenderung lebih besar dan tidak presisi.

Pada masyarakat Batak Toba telah terjadi pro dan kontra dalam memandang adat istiadat yang sudah berjalan secara turun temurun. Penolakan terhadap adat istiadat itu sebagian besar didasari oleh berubahnya agama atau kepercayaan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Batak Toba. Sejak kedatangan misionaris ke Tanah Batak,

Universitas Sumatera Utara 209

sebagian besar masyarakat menjadi menganut Agama Kristen. Salah satu missionaris yang sangat terkenal adalah Nommensen, yang mendirikan Gereja Huria Kristen Batak

Protestan (HKBP) salah satu gereja kesukuan di tanah Batak. Pada masa kepemimpinan misionaris Nommensen, mencoba membagi adat atas tiga kategori, yaitu: (1) adat yang netral, (2) adat yang bertentangan dengan Injil, (3) adat yang sesuai denga Injil. Namun kajian pembagian adat batak itu tidak dapat dituntaskan oleh Nommensen sampai akhir hayatnya. Perdebatan ini terus berlanjut, sebagian menggangap bahwa adat Batak adalah penyebahan terhadap berhala (hasipelebeguon) yang harus dihindari karena bertentangan dengan ajaran agama Kristen (Silalahi, 2011).

Kerasnya gerakan yang kontra terhadap adat-istiadat, membuatnya redup namun tidak sampai padam. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang telah dijalani sebagian masyarakat Batak Toba, menjadi cikal bakal kesadaran untuk menggali adat istiadat Batak Toba. Dengan demikian, mereka melihat ada sesuatu yang istimewa dalam adat istiadat Batak. Mereka menyadari bahwa terdapat ajaran kasih sayang, etika dan kebijaksanaan yang diajarkan dalam adat istiadat Batak Toba. Sebagian besar mereka terus menggali dan mempelajari adat Batak toba dengan seksama. Para masyarakat yang pro dengan adat istiadat Batak, mulai melakukan gerakan kampanye, melalui acara dialog baik secara langsung maupun melalui interaksi dalam media sosial. Pada masa sekarang in telah banyak didirikan Persatuaan Lembaga Adat, dan uniknya sebagian besar berdirinya lembaga ini ada dikota besar, seperti di Jakarta dan Medan.

Semakin kuat masyarakat yang kontra terhadap adat Batak yang menyatakan bahwa masyarakat tradisional ‘sesat, terbelakang atau kolot’, dengan demikian semakin

Universitas Sumatera Utara 210

kuat pula masyarakat yang pro dalam menyuarakan keistimewaan kebudayaan Batak

Toba. Suara yang pro terhadap kebudayan ini, semakin banyak didengar karena disuarakan oleh elite masyarakat Batak Toba yakni orang-orang sukses secara materi, berpendidikan tinggi dan sebagian dari tokoh agama. Saat ini kampanye untuk menggunakan kembali kebudayaan pada masyarakat dapat dilihat dari gerakan-gerakan dalam masyarakat, berupa berdirinya lembaga-lambaga adat, kemudian menggunakan group media sosial untuk berdiskusi, sekaligus menyuarakan penggunaan kebudayaaan tesebut. Salah satu manifestasi keyakinan akan kecintaan masyarakat Batak Toba terhadap budayanya adalah dengan penggunaan elemen kebudayaan pada kehidupan mereka.

Dimana ornamen arsitektur merupakan salah satu elemen kebudayaan itu sendiri.

Penggunaan ornamen tradisional pada bangunan kontemporer merupakan manifestasi ekspresi rasa syukur mereka sebagai bagian dari masyarakat Batak Toba yang bagi mereka merupakan suku bangsa yang beradap dan istimewa. Nilai-nilai estetika lama pada ornamen, mereka gunakan kembali (Tabel 5.28).

Universitas Sumatera Utara 211

Tabel 5.28 Makna Ornamen Arsitektur Kontemporer Batak Toba Jenis Makna ornamen ornamen Fungsi Fungsi Estetika Fungsi Prestise Fungsi Religi Ekspresi Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Menggambar spirit 1.Gorga ulu tiga warna hitam, sebagai warna, membuat rumah seorang raja paung putih dan merah. keturunan raja tampilan rumah Jiwa kesatria, Bentuk gorga ini Menunjukkan lebih bertanggung-jawab simetris sebagai bersemangat/ria Meningkatkan Material dari masyarakat ng semangat hidup beton Batak Toba Kombinasi tiga Rasa syukur kepada Kerumitan dari warna, simbol Tuhan bentuk gorga ideologi kekerabatan dalihan natolu

Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Menggambar spirit 2.Gorga dila tiga warna hitam, sebagai warna, membuat rumah seorang raja paung putih dan merah. keturunan raja tampilan rumah Meningkatkan Bentuk gorga ini Menunjukkan lebih semangat hidup simetris sebagai bersemangat/ria Rasa syukur kepada Material dari masyarakat ng Tuhan beton Batak Toba Kombinasi tiga Kerumitan dari warna, simbol bentuk gorga ideologi kekerabatan dalihan natolu

Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Menggambar spirit tiga warna hitam, sebagai warna, membuat rumah seorang raja 3.Gorga putih dan merah. keturunan raja tampilan rumah Jiwa kesatria, gaja Bentuk gorga ini Menunjukkan lebih bertanggung-jawab simetris sebagai bersemangat/ria Meningkatkan dompak Material dari masyarakat ng semangat hidup beton Batak Toba Kombinasi tiga Rasa syukur kepada Kerumitan dari warna, simbol Tuhan bentuk gorga ideologi kekerabatan dalihan natolu

Universitas Sumatera Utara 212 Tabel 5.28 Makna Ornamen Arsitektur Kontemporer Batak Toba (lanjutan)

Jenis Makna ornamen ornamen Fungsi Fungsi Estetika Fungsi Prestise Fungsi Religi Ekspresi Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Menggambar spirit tiga warna hitam, sebagai warna, membuat rumah seorang raja putih dan merah. keturunan raja tampilan rumah Jiwa kesatria, 4.Gorga Bentuk gorga ini Menunjukkan lebih bertanggung-jawab jengger- simetris sebagai bersemangat/ria Meningkatkan jenggar Material dari masyarakat ng semangat hidup beton Batak Toba Kombinasi tiga Rasa syukur kepada Kerumitan dari warna, simbol Tuhan bentuk gorga ideologi

kekerabatan dalihan natolu

Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Menggambar spirit tiga warna hitam, sebagai warna, membuat rumah seorang raja 5.Gorga putih dan merah. keturunan raja tampilan rumah Meningkatkan Bentuk gorga ini Menunjukkan lebih semangat hidup jorngom simetris sebagai bersemangat/ria Rasa syukur kepada Material dari masyarakat ng Tuhan beton Batak Toba Kombinasi tiga Kerumitan dari warna, simbol bentuk gorga ideologi kekerabatan dalihan natolu

Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Menggambar spirit tiga warna hitam, sebagai warna, membuat rumah seorang raja 6.Gorga putih dan merah. keturunan raja tampilan rumah Jiwa kesatria, singa-singa Bentuk gorga ini Menunjukkan lebih bertanggung-jawab simetris sebagai bersemangat/ria Keberadaan 2 Material dari masyarakat ng gorga singa-singa beton Batak Toba Kombinasi tiga sebagai simbol 2 Kerumitan dari warna, simbol orang tua (ayah dan bentuk gorga ideologi ibu) kekerabatan Meningkatkan dalihan natolu semangat hidup Rasa syukur kepada Tuhan

Universitas Sumatera Utara 213 Tabel 5.28 Makna Ornamen Arsitektur Kontemporer Batak Toba (lanjutan)

Jenis Makna ornamen ornamen Fungsi Fungsi Estetika Fungsi Prestise Fungsi Religi Ekspresi Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Menggambar spirit tiga warna hitam, sebagai warna, membuat rumah seorang raja putih dan merah. keturunan raja tampilan rumah Meningkatkan 7.Gorga Bentuk gorga ini Menunjukkan lebih semangat hidup adop-adop simetris sebagai bersemangat/ria Rasa syukur kepada Material dari masyarakat ng Tuhan beton Batak Toba Kombinasi tiga Kerumitan dari warna, simbol bentuk gorga ideologi kekerabatan dalihan natolu

Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Menggambar spirit tiga warna hitam, sebagai warna, membuat rumah seorang raja putih dan merah. keturunan raja tampilan rumah Meningkatkan 8.Gorga Bentuk gorga ini Menunjukkan lebih semangat hidup simetris sebagai bersemangat/ria Sikap pantang boraspati Material dari masyarakat ng menyerah beton Batak Toba Kombinasi tiga Rasa syukur kepada Kerumitan dari warna, simbol Tuhan bentuk gorga ideologi kekerabatan dalihan natolu

Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Menggambar spirit tiga warna hitam, sebagai warna, membuat rumah seorang raja putih dan merah. keturunan raja tampilan rumah ukiran/alur (andor) 9.Gorga Bentuk gorga ini Menunjukkan lebih yang sambung- simeol-eol simetris sebagai bersemangat/ria menyambung, Material dari masyarakat ng simbol tali beton Batak Toba Kombinasi tiga persaudaan. Kerumitan dari warna, simbol Meningkatkan bentuk gorga ideologi semangat hidup kekerabatan Rasa syukur kepada dalihan natolu Tuhan

Universitas Sumatera Utara 214 Tabel 5.28 Makna Ornamen Arsitektur Kontemporer Batak Toba (lanjutan)

Jenis Makna ornamen ornamen Fungsi Fungsi Estetika Fungsi Prestise Fungsi Religi Ekspresi Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Menggambar spirit tiga warna hitam, sebagai warna, membuat rumah seorang raja putih dan merah. keturunan raja tampilan rumah Meningkatkan 10.Gorga Bentuk gorga ini Menunjukkan lebih semangat hidup dalihan simetris sebagai bersemangat/ria Rasa syukur kepada natolu Material dari masyarakat ng Tuhan beton Batak Toba Kombinasi tiga Kerumitan dari warna, simbol bentuk gorga ideologi kekerabatan dalihan natolu Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Menggambar spirit tiga warna hitam, sebagai warna, membuat rumah seorang raja 11.Gorga putih dan merah. keturunan raja tampilan rumah Meningkatkan hoda-hoda Bentuk gorga ini Menunjukkan lebih semangat hidup simetris sebagai bersemangat/ria Rasa syukur kepada Material dari masyarakat ng Tuhan beton Batak Toba Kombinasi tiga Kerumitan dari warna, simbol bentuk gorga ideologi kekerabatan dalihan natolu Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Menggambar spirit tiga warna hitam, sebagai warna, membuat rumah seorang raja 12.Gorga putih dan merah. keturunan raja tampilan rumah Meningkatkan simataniari Bentuk gorga ini Menunjukkan lebih semangat hidup simetris sebagai bersemangat/ria Simbol tali Material dari masyarakat ng persaudaraan beton Batak Toba Kombinasi tiga Rasa syukur kepada Kerumitan dari warna, simbol Tuhan bentuk gorga ideologi kekerabatan dalihan natolu Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Menggambar spirit tiga warna hitam, sebagai warna, membuat rumah seorang raja 13.Gorga putih dan merah. keturunan raja tampilan rumah Meningkatkan sitagan Bentuk gorga ini Menunjukkan lebih semangat hidup simetris sebagai bersemangat/ria Rasa syukur kepada Material dari masyarakat ng Tuhan beton Batak Toba Kombinasi tiga

Kerumitan dari warna, simbol bentuk gorga ideologi dalihan natolu

Universitas Sumatera Utara 215 Tabel 5.28 Makna Ornamen Arsitektur Kontemporer Batak Toba (lanjutan)

Jenis Makna ornamen ornamen Fungsi Fungsi Estetika Fungsi Prestise Fungsi Religi Ekspresi Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Menggambar spirit tiga warna hitam, sebagai warna, membuat rumah seorang raja 14.Gorga putih dan merah. keturunan raja tampilan rumah Meningkatkan simarogung Bentuk gorga ini Menunjukkan lebih semangat hidup -ogung simetris sebagai bersemangat/ria Rasa syukur kepada Material dari masyarakat ng Tuhan beton Batak Toba Kombinasi tiga Kerumitan dari warna, simbol bentuk gorga ideologi kekerabatan dalihan natolu Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Menggambar spirit tiga warna hitam, sebagai warna, membuat rumah seorang raja 15.hariara putih dan merah. keturunan raja tampilan rumah Meningkatkan sundung di Bentuk gorga Menunjukkan lebih semangat hidup langit tidak simetris sebagai bersemangat/ria Rasa syukur kepada Material dari masyarakat ng Tuhan beton Batak Toba Kombinasi tiga Kerumitan dari warna, simbol bentuk gorga ideologi kekerabatan dalihan natolu Menggunakan Menunjukkan Kombinasi tiga Menggambar spirit tiga warna hitam, sebagai warna, membuat rumah seorang raja 16.Gorga putih dan merah. keturunan raja tampilan rumah Meningkatkan Desa naualu Bentuk gorga ini Menunjukkan lebih semangat hidup simetris sebagai bersemangat/ria Rasa syukur kepada Material dari masyarakat ng Tuhan beton Batak Toba Kombinasi tiga Kerumitan dari warna, simbol bentuk gorga ideologi kekerabatan dalihan natolu

Selanjutnya dari Tabel 5.27 dan Tabel 28, dapat ditarik perbandingan dalam empat

kategori fungsi ornamen yakni fungsi estetika, fungsi prestise, fungsi ekspresi dan fungsi

religi pada Arsitektur Batak Toba masa tradisional dan masa kontemporer, dengan rincian

dibawah ini.

Universitas Sumatera Utara 216

5.3.1 Fungsi estetika

Fungsi estetika pada arsitektur tradisional ditunjukan dari bentuk dan warna gorga, hal yang sama juga ditemukan dala arsitektur kontemporer. Material yang berbeda pada arsitektur tradisional menggunakan kayu, sedangkan sebagian besar pada arsitektur kontemporer menggunakan beton, menghasilkan tekstur yang berbeda. Warna yang digunakan pada arsitektur tradisional dan kontemporer secara umum adalah sama yakni warna hitam, putih dan merah. Pada arsitektur kontemporer, sebagian kecil ornamen ada yang menggunakan warna emas, yakni pada objek penelitian 2, gorga adop-adop dan gorga boraspati menggunakan warna emas.

5.3.2 Fungsi prestise

Fungsi prestise pada arsitektur tradisional umumnya menggambarkan strata sosial pemilik rumah atas hagabeon, hamoraon dan hasangapon. Sedangkan pada arsitektur kontemporer ornamen gorga secara umumnya menunjukkan pemilik rumah adalah masyarakyat Batak, kecuali pada pemilik rumah objek penelitian 4, tetap menganggap bahwa rumah gorga menunjukkan kualitas lebih dari segi hagabeon, hamoraon dan hasangapon. Sebagian lagi sebagai ajang atau media untuk menunjukkan kesuksesan.

Penomena untuk menunjukkan identitas sebagai masyarakat Batak Toba, menjadi penting bagi sebagian orang, sebagai perlawanan terhadap orang-orang (baik internal dan eksternal) yang menganggap bahwa kebudayaan Batak Toba ‘kolot’ dan ‘terbelakang’.

Sebagian lagi dipengaruhi isu agama (Kristen), yang oleh sebagian masyarakat Batak

Toba yang mengganggap budaya Batak Toba (gorga, ulos, mangongkal holi, dan adat istiadat lainnya) adalah magis (animisme) sehingga bertentang dengan Alkitab (Silalahi,

Universitas Sumatera Utara 217

2001). Namun pada kenyataan budaya Batak Toba tetap eksis, bisa hidup berjalan dengan selaras dengan kehidupan Agama Kristen (Nainggolan, 2014). Kebudayaan Batak bisa dapat ditemukan dalam acara keagamaan di Gereja, demikian juga sebaliknya dalam pelaksanaan budaya Batak juga hampir sepenuhnya diikuti dengan acara keagaman.

Hadirnya ornamen arsitektur tradisional Batak Toba pada bangunan Gereja menjadi, simbol bahwa masyarakat Batak Toba hidup di dalam Agama Kristen.

5.3.3 Fungsi ekspresi

Pada arsitektur tradisional tiga warna yang digunakan yakni warna hitam, putih dan merah, merupakan simbol kuasa dari Debata Natolu, hitam melambangkan spirit atau kuasa Batara Guru yang melahirkan sahala (karisma) raja, warna putih melambangkan spirit atau kuasa Balasori yang melahirkan nilai-nilai kebenaran dan merah melambangkan spirit atau kuasa Balabulan yang melahirkan keberanian, ketangkasan, kecerdasan.

Pada astitektur kontemporer penggunaan tiga warna ini dianggap sama pada warna putih sebagai simbol kebersihan dan ketulusan hati, dan warna merah sebagai simbol keberanian, kegembiraan, sedangkan warna hitam sebagai simbol melambangkan keteguhan hati, sikap melindungi sesama.

5.3.4 Fungsi religi

Pada arsitektur tradisional, secara umum gorga ini merupakan simbol penghargaan terhadap spririt atau roh para dewa sesuai dengan keayakinan meraka pada saat itu. Pada arsitektur tradisional penggunaan ornamen permohonan dan rasa terima kasih kepada spririt atau roh para dewa, agar apa yang sudah dicapai pemilik rumah dalam aspek

Universitas Sumatera Utara 218

hagabeon, hamoraon dan hasangapon, tidak hilang, melainkan semakin meningkat.

Sedangkan pada arsitektur kontemporer, secara umum tidak merujuk kepada penghargaan atau penghormatan pada spririt atau roh para dewa tertentu, sebab keyakinan atau agama mereka sudah berubah menjadi Kristen. Namun bagi gereja (objek penelitian 8 dan 9 pada

Arsitektur Kontemporer), keragaman bentuk dan warna jenis gorga menunjukkan kemahaberasaran Tuhan sebagai Sang Pencipta, yang menciptakan rupa dan sifat manuasia yang berbeda-beda.

Universitas Sumatera Utara

BAB 6 BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari hasil pembahasan perbandingan makna ornamen pada Arsitektur Tradisional dan Arsitektur Kontemporer Batak Toba, dapat disimpulkan keberadaan ornamen memiliki makna yang signifikan bagi pemiliknya. Walaupun makna yang terdapat pada ornamen tidak berupa denotasi (fungsi utilitaria atau instrumental yang nyata), melainkan makna konotasi yang terdiri dari estetika, prestise, ekspresi dan religi. Ornamen diciptakan untuk menyampaikan suatu makna yang merupakan kodifikasi dari perasaan, hasrat, ide dan keinginan dari pemiliknya. Dari segi semiotika, sebuah ornamen dengan bentuk yang tetap (sama) tidak selalu menghadirkan makna yang sama. Hal ini ditunjukkan dalam penelitian ini, di mana ornamen arsitektur pada tradisional dan kontemporer memiliki bentuk yang tetap, tetapi menunjukkan makna yang berbeda.

Dari segi fungsi estetika, terjadi pengayaan makna antara arsitektur kontemporer dibandingkan arsitektur tradisional. Terlihat pada arsitektur tradisional, ornamen merupakan simbol kesuksesan. Pada arsitektur kontemporer, ornamen digunakan sabagai simbol kebanggaan akan kebudayaan, dan sekaligus untuk menunjukkan kesuksesan pemiliknya.

Dari segi prestise ornamen arsitektur pada masa tradisional merupakan simbol kesuksesan dari pemiliknya atas pencapaian hagabeon, hasangapon dan hamoraon.

Demikian juga pada masa kontemporer, penggunaan ornamen arsitektur juga

219

Universitas Sumatera Utara 220

menunjukkan kesuksesan pemilik bangunan, namun sekaligus menunjukkan bahwa pemiliknya adalah bagian dari masyarakat Batak Toba.

Dari segi ekspresi pada arsitektur tradisional tiga warna yang digunakan yakni warna hitam, putih dan merah, merupakan simbol kuasa dari Debata Natolu, menunjukkan rasa hormat kepada Dewa tersebut. Sedangkan pada masa astitektur kontemporer penggunaan tiga warna ini dianggap menunjukkan citra tertentu, warna putih sebagai simbol kebersihan dan ketulusan hati, dan warna merah sebagai simbol keberanian, kegembiraan, sedangkan warna hitam sebagai simbol melambangkan keteguhan hati, sikap melindungi sesama.

Pada ornamen arsitektur secara keseluruhan memiliki makna religi, namun makna tersebut berubah pada arsitektur kontemporer. Namun perubahan itu tidak terlalu signifikan, dimana pada masyarakat Batak Toba Tradisional keberadaaan ornamen berhungan dengan para Dewa sebagai simbol penghormatan, dan pada masa kontemporer hal ini juga digunakan sebagai simbol kemaha besaran Tuhan, yang menciptakan manusia dengan rupa dan karakter yang berbeda-beda.

Ornamen berfungsi mutlak bagi pemiliknya. Sehingga kehadiran ornamen pada arsitektur akan tetap berjalan, karena memiliki makna bagi pemilik bangunan dan masyarakat. Jadi teori Adolf Loos (1908) “Ornament And Crime”, terlalu naif, sebab menyatakan ornamen sesuatu yang jahat karena harus diproduksi dengan biaya yang lebih

‘banyak’. Sebab dengan biaya yang relatif lebih banyak untuk membuat ornamen, pemiliknya juga mendapat nilai tambahan lebih atas bangunannya setelah menggunakan ornamen.

Universitas Sumatera Utara 221

6.2 Saran

Sebagai saran, kepada seluruh para pemangku kepentingan, akademisi, praktisi dan pemerintah perlu melakukan penelitian lebih lanjut terhadap berbagai ornamen arsitektur di daerah lainnya, agar bisa membuka cakrawala berpikir masyarakat akan kekayaan budaya bangsa. Kajian akan ornamen dapat ditinjau dari berbagai aspek, diantaranya material yang digunakan, teknik pembutan, bentuk, warna, komposisi, dan karakter atau ekspresi yang dihasilkan.

Dengan mempelajari ornamen arsitektur dan mengungkap makna yang terkandung didalam, akan dapat mengangkat citra ornamen arsitektur lokal dari Indonesia. Sehingga ornamen tersebut lebih dikenal dan dapat berkontribusi dalam untuk pengembangan dunia arsitektur secara global dan khususnya arsitektur Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA

Barthes, R. (1964). Elements of semiology. New York: Hill and Wang.

Barthes, R. (1986). Semiology and the Urban. The city and the sign: An introduction to

urban semiotics, 8, 7-98

Bragdon, C. (2005). Projective ornament. Cosimo, Inc..

Brett, D. (2005). Rethinking decoration: pleasure and ideology in the visual arts.

Cambridge University Press.

Broadbent, G. (1977). A plain man's guide to the theory of signs in architecture.

Architectural Design 1977, Number 7; hal 474-482.

Broadbent, G. (1994). Recent developments in architectural semiotics. Semiotica, 101(1-

2), 73-102

Broadbent, G., Bunt, R., and Jencks, C. (1980). Sign, Symbols, and Architecture. New

York: John Wiley & Sons Ltd.

Chandler, D. (2007). Semiotics: the basics. Routledge.

Ching, F. D. (2014). Architecture: Form, space, and order. John Wiley & Sons.

Creswell, J. W., & Creswell, J. D. (2017). Research design: Qualitative, quantitative, and

mixed methods approaches. Sage publications.

Criticos, M. (2004). The ornamenal dimension: contributions to a theory of ornamen. New

Europe College Yearbook, 185-219.

Dharma, A. (2010). Semiotika Dalam Arsitektur. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Universitas Gunadarma.

222

Universitas Sumatera Utara 223

Domenig, G. (2014). Religion and architecture in premodern Indonesia: studies in spatial

anthropology. Brill.

Eco, U. (1976). A theory of semiotics (Vol. 217). Indiana University Press.

Eco, U. (1980). Function and sign: the semiotics of architecture. Dalam Geoffrey

Broadbent, Dkk, (Ed). Signs, Symbols and Architecture, (hlm. 356-367). Jhon

Wiley & Sons Chichestes New York; BrisbaneToronto

Faisal, S. (2003). Filosofi dan Akar Tradisi Penelitian Kualitatif. dalam Burhan Bungin

(Ed.). Analisis Data Penelitian Kualitatif (hlm. 3-17). Jakarta: PT Raja Grafinfo

Persada.

Fitri, I. (2004). A Study on Spatial Arrangement of Toba Batak Dwelling and Its Changes.

Medan: USU e-Repository (c) 2008.

Glaveanu, V. (2014). The Function of Ornamens: A cultural psychological exploration.

Culture & Psychology, 20(1), 82-101.

Groat, L. N., & Wang, D. (2013). Architectural research methods. John Wiley & Sons.

Gultom, D. Raja Marpodang.(1992). Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak. Medan:

CV. Armanda.

Harries, K. (2000). The ethical function of architecture. mit press.

Hutagalung, W. M. (1991). Pustaha Batak: tarombo dohot turiturian ni bangso Batak.

Tulus Jaya.

International Library of Technology. (1922). History of_Architecture and Ornamen

(volume 303). Scranton: International Textbook Company

Universitas Sumatera Utara 224

Ishak, M. T., & Mochsen, M. S. (2005). Pembacaan Kode Semiotika Rolan Barthes

terhadap Bangunan Arsitektur Katedral Evry di Prancis Karya Mario Botta. Rona

Jurnal Arsitektur FT Unhas, 2(1), 85-92.

Jencks, C. (1977). The language of post-modern architecture. Rizzoli New York

Jones, O. (2016). The Grammar of Ornament: A Visual Reference of Form and Colour in

Architecture and the Decorative Arts-The complete and unabridged full-color

edition. Princeton University Press.

Kanto, S. (2003). Sampling, Validitas dan Realitas dalam Penelitian Kualitatif. Dalam

Burhan Bungin (Ed.). Analisis Data Penelitian Kualitatif (hlm. 51-63). Jakarta: PT

Raja Grafinfo Persada.

Kluckhohn, C. (1953). Universal categories of culture. Anthropology today, 276, 507.

Koentjaraningrat. (2002). Pengantar antropologi. Rineka Cipta.

Krier, R. (1996). Komposisi Arsitektur Ed. 2. Erlangga.

Kuhn, S. L., & Stiner, M. C. (2007). Paleolithic ornamens: Implications for cognition,

demography and identity. Diogenes, 54, 40–48.

Kusumarini, Y. (2006). Analisis Teks Dan Kode Interior Gereja Karya Tadao Ando"

Church of the Light" Dan" Church on the Water". Dimensi Interior, 4(1), 38-48.

Lang, J., & Moleski, W. (2016). Functionalism revisited: architectural theory and

practice and the behavioral sciences. Routledge.

Leeds-Hurwitz, W. (1993). Semiotics and communication: Signs, codes, cultures.

Routledge.

Liebing, R. W. (2011). The “Other Architecture”?. The Other Architecture, 85-89.

Universitas Sumatera Utara 225

Loebis, M. N. (2000). Architecture in Transformation: Past Culture and Arcitecture (The

Case of Batak Toba). Malaysia: Universiti Sains Malaysia.

Loose, Adolf (1908). Ornamen and Crime. Dalam Smith, K. (Ed.). (2013). Introducing

Architectural Theory: Debating A Discipline (hlm. 42-47). New York: Routledge.

Mangunwijaya, Y. B. (2009). Wastu citra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, cetakan

keempat.

Mayasari, M. S., Tulistyantoro, L., & Rizqy, M. T. (2014). Kajian Semiotik Ornamen

Interior Pada Lamin Dayak Kenyah (Studi Kasus Interior Lamin Di Desa Budaya

Pampang). Intra, 2(2), 288-293

Mentayani, I., & Ikaputra, A. (2012). Menggali Makna Arsitektur Vernakular: Ranah,

Unsur, dan Aspek-Aspek Vernakularitas. LANTING Journal of Architecture, 1(2),

68-82.

Mitrache, A. (2012). Ornamenal art and architectural decoration. Procedia-Social and

Behavioral Sciences, 51, 567-572.

Moleong, J. Lexy (2014). Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung:

Rosda.

Moussavi, F., & Kubo, M. (Eds.). (2006). The function of ornament (pp. 110-1).

Barcelona: Actar.

Munandar, A. A. (2009). Kawasan Asia Tenggara dalam Dinamika Sejarah Kebudayaan.

dalam Majalah Arkeologi Indonesia.

Nainggolan, T. (2012). Batak Toba, Sejarah dan Transformasi Religi. Medan: Bina Media

Perintis.

Universitas Sumatera Utara 226

Napitupulu, S. P. (1997). Arsitektur Tradisional Daerah Sumatera Utara. Direktorat

Jenderal Kebudayaan.

Necipoglu, G., & Payne, A. (Eds.). (2016). Histories of Ornament: From Global to Local.

Princeton University Press.

Niessen, S. A. (1985). Motifs of life in Toba Batak texts and textiles (Vol. 110). Foris

Publications.

Norberg Schulz, C., (1963). Intentions in architecture (No. 74). MIT press.

Noth, W. (1995). Handbook of semiotics. Indiana University Press.

Picon, A. (2014). Ornamen: The politics of architecture and subjectivity. John Wiley &

Sons.

Piliang, Y. A. (2017). Antara Semiotika Signifikasi, Komunikasi dan ‘Ekstra-

Komunikasi’ dalam Sobur, A. Semiotika komunikasi. Remaja Karya.

Piliang, Y. A., & Adlin, A. (2003). Hipersemiotika: tafsir cultural studies atas matinya

makna. Jalasutra.

Rapoport, A. (1969). House form and Cultua. Prentice-Hall of India Private Ltd.: New

Delhi, India.

Rapoport, A. (1990). The meaning of the built environment: A nonverbal communication

approach. University of Arizona Press.

Sankovitch, A. M. (1998). Structure/ornamen and the modern figuration of architecture.

The Art Bulletin, 80(4), 686-717.

Sardadi, B. (2009). Arsitektur Tradisional: Sebuah Faktor dalam Perancangan dalam

Budihardjo, E. (Ed.). Pengaruh Budaya dan Iklim dalam Perancangan Arsitektur

Universitas Sumatera Utara 227

(hlm. 60-69). Penerbit Alumni: Bandung.

Sargeant, G., & Saleh, R. (1973). Traditional Buildings of Indonesia Vol.1: Batak Toba.

Bandung: United Nations Regional Housing Centre ECAFE.

Silalahi, H. J., (2011). Pandangan Injil Terhadap Upacara Adat Batak. Yayasan Karya

Misi Kasih: Medan.

Silalahi, U. (2012). Kedudukan dan Kekuasaan Raja dalam Kerajaan Tradisional dari Satu

Masyarakat di Sumatera Utara: Masyarakat Batak Toba. Research Report-

Humanities and Social Science, 2.

Simanjuntak (2007). Ruma Gorga Batak Diakses pada 18 Januari 2018, dari

https://tanobatak.wordpress.com/2007/06/07/ruma-gorga-batak/

Simanjuntak, B. A. (2006). Struktur sosial dan sistem politik Batak Toba hingga 1945:

suatu pendekatan antropologi budaya dan politik. Yayasan Pustaka Obor

Indonesia.

Sinaga, R. (2013). Meninggal Adat Dalihan Natolu. Dian Utama dan Kerabat (Kerukunan

Masyarakat Batak).

Sobur, A. (2017). Semiotika komunikasi. Remaja Karya.

Speltz, A. (1906). Styles of Ornament, Exhibited in Designs, and Arranged in Historical

Order, with Descriptive Text.

Sugiono (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta

Sullivan, Louis (1896). The Tall Office Building Artistically Considered. Dalam Smith,

K. (Ed.). (2013). Introducing Architectural Theory: Debating A Discipline (hlm.

147-153). New York: Routledge.

Universitas Sumatera Utara 228

Sunaryo, A. (2009). Ornamen Nusantara: kajian khusus tentang ornamen Indonesia.

Semarang: Dahara Prize.

Surasetja, R. I. (2007). Fungsi, Ruang, Bentuk Dan Ekspresi Dalam Arsitektur. FTKP-

UPI. Hand-out Mata Kuliah Pengantar Arsitektur.

Tampubolon, R. P. (1964). Pustaha tumbaga holing, adat Batak-patik/uhum. Selbstverl.

Tobing, P. O. L. (1963). The structure of the Toba-Batak belief in the High God. South

and South-East Celebes Institute for Culture.

Trilling, J. (2001). The language of ornament (p. 224). New York.–: Thames & Hudson.

Trilling, J. (2003). Ornamen: A Modern Perspective. University of Washington Press.

Tumanggor, R., Kholis Ridlo, S. A., Si, M., & H Nurochim, M. M. (2017). Ilmu Sosial

dan Budaya Dasar. Kencana.

Vergouwen, J. C. (2013). The social organisation and customary law of the Toba-Batak

of northern Sumatra (Vol. 7). Springer Science & Business Media.

Vitruvius, V. (2015). Ten books on architecture. eKitap Projesi & Cheapest Books.

Wahid, J., & Alamsyah, B. (2013). Teori Arsitektur: Suatu Kajian Perbedaan

Pemahaman Teori Barat dan Timur. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Ward, J. (1896). The principles of ornament. Chapman and Hall.

Waterson, R. (2012). Living House: An Anthropology of Architecture in South-East Asia.

Tuttle Publishing.

Wikipedia. (2011). Ornamen-Arsitektur. Diakses pada 21 Januari 2018, dari

Https://id.wikipedia.org/wiki/Ornamen_(arsitektur)

Universitas Sumatera Utara 229

Wissler, C. (1929). An introduction to social anthropology.

Yakin, H. S. M., & Totu, A. (2014). The semiotic perspectives of Peirce and Saussure: A

brief comparative study. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 155, 4-8.

Universitas Sumatera Utara

GLOSARIUM

Banua ginjang : Dunia atas, tempat bersemayam Debata Mulajadi Nabolon,

Debata Natolu dan para dewa

Banua tonga : Dunia tengah, tempat tinggal manusia di bumi/dunia

Banua toru : Dunia bawah, dasar bumi

Boru : Pihak penerima istri, merupakan unsur dari dalihan natolu

Dalihan Natolu : Hubungan atau sistem kekerabatan dalam masyararakat Batak

Toba, yang terdiri dari tiga unsur yakni, hula-hula, dongan

tubu, boru

Dongan tubu : Saudara satu marga atau satu ibu, merupakan unsur dari dalihan

natolu

Hagabeon : Memiliki keturunan yang banyak yakni anak (pria dan wanita),

cucu, cicit dan seterusnya

Hamoraon : Kekayaan, harta benda yang melimpah

Hasangapon : Kemuliaan, martabat, pangkat dan kedudukan

Hula-hula : Pihak pemberi istri, merupakan unsur dari dalihan natolu

Marga : Hubungan darah dari satu moyang, menjadi kelompok

kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba, ditandai dengan

menggunakan nama moyangnya pada nama belakangnya

230

Universitas Sumatera Utara 231

Partuturon : Mata rantai silsilah kekerabatan, ditunjukkan dengan sebutan

atau panggilan tertentu

Tarombo : Silsilah kekerabatan

Umpasa : Ungkapan dalam bahasa batak toba yang berisi tetang petuah

atau nasehat

Universitas Sumatera Utara