Artivac 2020

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Artivac 2020 Muhamad Prasatyo Nugroho ARTiVAC 2020 PENGANTAR DAFTAR ISI KEUNIKAN REPRESENTASI ALAM DALAM LUKISAN JELEKONG TEKNIK REPRESENTASI UNIK DALAM LUKISAN PEMANDANGAN ALAM JELEKONG Shopia Himatul Alya 1 VISUAL ARTS STUDENT FINAL PROJECT TOPICS AS AN INSIGHT OF PROFESSIONAL CHOICES AFTER GRADUATION Donny Trihanondo 7 KARAKTERISTIK KARYA-KARYA TUGAS AKHIR/SKRIPSI MAHASISWA PROGRAM STUDI SENI RUPA TELKOM UNIVERSITY Didit Endriawan 11 POTRET KREATIVITAS MAHASISWA MILENIAL DALAM PENCIPTAAN BUSANA BERBASIS BATIK Mira Marlianti, Wuri Handayani 15 KOMPUTASI SENI MOTIF TENUN GENERATIF SEBAGAI MODEL PENGEMBANGAN KRIYA SENI TRADISI DI MASA PANDEMI Wanda Listiani, Sri Rustiyanti, Fani Dila Sari, IBG. Surya Peradantha 23 FILOSOFI DALAM WAYANG GOLEK GAGASAN FILOSOFIS TERSEMBUNYI DALAM KISAH MAHABARATHA Iman Budiman 28 PESONA BATIK LASEM DAN PENERAPANNYA DALAM BUSANA BERKONSEP KONTEMPORER Dewi Isma Aryani, Hasnaa Taaj Aiman 33 ORNAMEN GORGA IPON-IPON SEBAGAI INSPIRASI MOTIF TEKNIK BLOCK PRINTING PADA PRODUK FASHION Mochammad Sigit Ramadhan, Olivia Yvonne 37 SENI DAN TEKNOLOGI: MANFAAT DAN FUNGSI DALAM KEHIDUPAN MANUSIA J Kiara Z Santosa, Ariesa Pandanwangi 41 POLA PIKIR, BUDAYA DALAM TATANAN KEHIDUPAN MASYARAKAT NIAS Kristina Iman, Yana Kristi Zai 47 AKULTURASI RUPA INDONESIA TIONGKOK DALAM KARYA SENI RUPA WAYANG RAHWANA DALAM WAYANG BEBER Sangid Zaini Gani 52 KAJIAN PERANCANGAN AKSESORI FASHION DENGAN INSPIRASI BUDAYA NUSANTARA SEBAGAI STRATEGI KOMUNIKASI FASHION Maradita Sutantio 57 PENERAPAN SIMBOL UPACARA KEMATIAN SUNDA PADA LUKISAN DENGAN TEKNIK CHINESE METICULOUS PAINTING Farid Kurniawan Nz 61 SENIMAN AKADEMIK DAN OTODIDAK SERTA PERBEDAAN LATAR BELAKANGNYA Florenza Octarina 67 Proceeding/ARTiVac#1/12/2020 | I | EKSISITENSI KAIN TAPIS LAMPUNG SEBAGAI SALAH SATU WARISAN KEBUDAYAAN TRADISIONAL INDONESIA PERKEMBANGAN VISUAL WAYANG GOLEK TANAH SUNDA Fauziah Rohmah 71 EKSISTENSI DAN AKULTURASI KESENIAN UBRUG DALAM ERA GLOBALISASI Aufa Fadillah 77 LOMPAT BATU SEBAGAI SIMBOL TRADISI KEBUDAYAAN SUKU NIAS Alexander Aleksandre Zai 81 TEKNOLOGI DIGITAL DALAM KARYA SENI KONTEMPORER VIDEO MAPPING SEMBILAN MATAHARI DI INDONESIA Alisha Sugianto 87 BONEKA “MENONG” SEBAGAI IKON PURWAKARTA Andini Futy 91 PERUBAHAN FUNGSI KESENIAN ONDEL-ONDEL PADA ERA MODERN Bintang Gumilar 95 PENELITIAN BATIK PENYU SUKABUMI Isma Awal Fitroh Cahyani 101 PELESTARIAN CERITA RAKYAT INDONESIA: UTARA DI TENGAH BHARATAYUDDHA Sari Dewi Kuncoroputri 105 PELESTARIAN CERITA WAYANG INDONESIA: NAKULA DAN SADEWA DI PEPERANGAN BHARATAYUDDHA Sekar Ayu Kuncoroputri 107 PERKEMBANGAN KESENIAN TUTUNGGULAN KAMPUNG SAMBAWA KABUPATEN TASIKMALAYA Wulandari 109 EKSISITENSI KAIN TAPIS LAMPUNG SEBAGAI SALAH SATUWARISAN KEBUDAYAAN TRADISIONAL INDONESIA Muhamad Prasatyo Nugroho 115 RUPA VISUAL KESENIAN TRADISIONAL WAYANG BAMBU DI KOTA BOGOR Nurul Siyamita 120 UNSUR KERUPAAN YANG MENJADI SIMBOL TRADISI DALAM KESENIAN SASAPIAN DESA CIHIDEUNG Ainun Nur Fadilah 123 VISUAL ARTISTIK TARI KEMBANG BEKASI Evania Sarah 127 | II | Proceeding/ARTiVac#1/12/2020 Shopia Himatul Alya KEUNIKAN REPRESENTASI ALAM DALAM LUKISAN JELEKONG TEKNIK REPRESENTASI UNIK DALAM LUKISAN PEMANDANGAN ALAM JELEKONG Shopia Himatul Alya Program Studi Seni Rupa Murni, Universitas Kristen Maranatha Alamat Instansi: Jl. Surya Sumantri No.65, Sukawarna, Kec. Sukajadi, Kota Bandung, Jawa Barat 40164 E-mail: [email protected] Telepon: 0857-5933-7319 ABSTRACT Jelekong is an area in South Bandung, West Java where most of the population work as painters. Based on the latest data, the number of painters in Jelekong has reached approximately 500 people. All of these painters have their respective specialties in creating a work. One of the popular streams of painting in Jelekong is painting that represents the beauty of natural landscapes that will remind us of the Indies Molek era (mooi indie) which was popular in the 19th century. Unfortunately, the uniqueness of the technique of visualizing natural landscapes into two-dimensional works by Jelekong painters is not widely known by the general public. So that the authors are interested in further examining the uniqueness of Jelekong. This research is intended to explore Jelekong painting in terms of its aesthetics viewed from the material and the creation process. The samples in this study were paintings produced by Jelekong artists. This study uses a qualitative method. The purpose of this research is to explore the uniqueness of the technique in representing the natural beauty of Jelekong paintings in terms of methods and materials. The samples in this study were paintings by Jelekong artists. The qualitative descriptive method is considered the most appropriate for analyzing Jelekong paintings. This research exposes the excellence of Jelekong painting which has a unique technique called the sponge technique. Keywords: Representation, Uniqueness, Technique, Jelekong, Painting, Nature, Work, Artist. PENDAHULUAN para pelukis semakin bervariatif dan membuat lukisan Sebuah daerah di Bandung Selatan, tepatnya Jelekong menonjol dan berkarakter atau mudah dikenali di Kampung Seni Jelekong yang terletak di Kelurahan dibandingkan karya seni rupa yang lain pada umumnya. Jelekong, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Berdasarkan wawancara dengan salah satu penggiat terdapat sebuah fenomena unik di mana sebagian besar seni lukis Jelekong, ada salah satu teknik yang sangat masyarakatnya menekuni profesi sebagai pelukis. Jelekong disukai para pengunjung dan penikmat seni lukis yang telah menjadi sentra seni lukis sejak tahun 1970-an. datang langsung ke Jelekong. Teknik tersebut merupakan Tema yang populer pada awal perkembangan seni rupa teknik spon yang merupakan sebuah teknik melukis di Jelekong ialah tema yang mengangkat mooi indie lokal yang sudah secara turun temurun menjadi sebuah teknik Jelekong. Seiring waktu, tema-tema lain mulai bermunculan yang melegenda dalam sejarah perkembangan seni rupa bahkan sampai perkembangan seni lukis Jelekong saat Jelekong. Teknik spon ini sukses memberikan identitas ini. Berdasarkan kronologi yang didapatkan dari warga khas terhadap seni lukis Jelekong yang fokus utamanya setempat, pada tahun 1970-an tersebut terdapat sebuah adalah penggambaran keindahan alam seperti keindahan perkembangan masif di mana terdapat ribuan pelukis pesawahan, air terjun, dan perkampungan. yang memproduksi lukisan-lukisan dengan berbagai tema. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian Namun, berdasarkan wawancara terbaru, saat ini hanya ini ialah teknik merepresentasikan pemandangan alam tersisa kurang lebih 500 orang perlukis di Jelekong. yang unik dalam lukisan Jelekong dikaji dalam segi Fenomena terbentuknya ratusan hingga ribuan proses kreasi dan material yang digunakan para pelukis pelukis ini mendorong para pelukis untuk melakukan Jelekong. Tujuan dari penelitian ini yaitu mengkaji teknik eksperimen dan eksplorasi terhadap gaya atau aliran melukis spon yang digunakan oleh para pelukis di Jelekong baru. Perkembangan gaya atau aliran dalam seni rupa dalam merepresentasikan pemandangan alam ke dalam Jelekong, mengakibatkan teknik yang diterapkan oleh sebuah karya, menggali keanekaragaman teknik seni Proceeding/ARTiVac#1/12/2020 | 1 | KEUNIKAN REPRESENTASI ALAM DALAM LUKISAN JELEKONG TEKNIK REPRESENTASI UNIK DALAM LUKISAN PEMANDANGAN ALAM JELEKONG rupa yang unik di ranah seni rupa tradisional Jelekong Rolland Strasser, Carel Dake Jr, dan banyak lagi. Seniman- serta mengkaji keunikan teknik spon dari segi proses dan seniman ini menghasilkan lukisan-lukisan bertema genre material. Kemudian manfaat yang penyusun peroleh dari lokal. Tema pemandangan alam : gunung, sawah, laut, penulisan laporan ini adalah menjadi sumber infomasi bagi penduduk pribumi–ekspresi khas pemikiran orientalisme para akademisi, mahasiswa, perupa/seniman/budayawan, mendominasi karya para seniman dalam berbagai gaya peneliti, pemerhati seni serta masyarakat umum mengenai naturalisme, realisme, impressionisme hingga post keunikan teknik merepresentasikan alam dalam seni lukis impressionisme. Ini kelak di sebut sebagai Mooi Indie Jelekong, membuka wawasan para akademisi, mahasiswa, (Hindia Molek) oleh pelukis Indonesia Sindudarsono perupa/seniman/budayawan, peneliti, pemerhati seni Sujoyono (terkenal dengan nama Sujoyono). Seiring dengan serta masyarakat umum tentang keunikan teknik spon berdatangannya para seniman Eropa dan meningkatnya dari segi proses dan material serta membuka wawasan kelas menengah Eropa pemegang kendali administrasi para akademisi, mahasiswa, perupa/seniman/budayawan, dan perdagangan, di tahun 1902 didirikan Bataviasche peneliti, pemerhati seni serta masyarakat umum dari Kunstking (The Batavian Art Cirle), kemudian diikuti Bond luar wilayah agar mengetahui keberadaan Jelekong yang van Nederlandsch Indische Kunstkringen (The Alliance memiliki ciri khas yang mandiri. of Art Circles of the Netherland East Indies) di tahun 1916. Sejak saat itu beberapa konser, pameran maupun seminar banyak diadakan di dua institusi tersebut. Hanya saja, baik METODOLOGI pengunjung maupun anggota yang diperkenankan hadir Penelitian ini menggunakan metode deskriptif mengikuti acara-acara tersebut dibatasi untuk orang- analitis yang bertujuan untuk mendeskripsikan data yang orang Eropa dan sedikit elit pribumi. Ironinya, bahwa penyusun peroleh dari berbagai sumber rujukan maupun banyak pertunjukkan lokal dipertontonkan untuk para elit dari data lapangan kemudian dianalisis. Penelitian ini tersebut. Sangat sedikit acara internasional dibuka untuk menggunakan teknik pengumpulan data seperti wawancara umum, antara lain
Recommended publications
  • Concise Ancient History of Indonesia.Pdf
    CONCISE ANCIENT HISTORY OF INDONESIA CONCISE ANCIENT HISTORY O F INDONESIA BY SATYAWATI SULEIMAN THE ARCHAEOLOGICAL FOUNDATION JAKARTA Copyright by The Archaeological Foundation ]or The National Archaeological Institute 1974 Sponsored by The Ford Foundation Printed by Djambatan — Jakarta Percetakan Endang CONTENTS Preface • • VI I. The Prehistory of Indonesia 1 Early man ; The Foodgathering Stage or Palaeolithic ; The Developed Stage of Foodgathering or Epi-Palaeo- lithic ; The Foodproducing Stage or Neolithic ; The Stage of Craftsmanship or The Early Metal Stage. II. The first contacts with Hinduism and Buddhism 10 III. The first inscriptions 14 IV. Sumatra — The rise of Srivijaya 16 V. Sanjayas and Shailendras 19 VI. Shailendras in Sumatra • •.. 23 VII. Java from 860 A.D. to the 12th century • • 27 VIII. Singhasari • • 30 IX. Majapahit 33 X. The Nusantara : The other islands 38 West Java ; Bali ; Sumatra ; Kalimantan. Bibliography 52 V PREFACE This book is intended to serve as a framework for the ancient history of Indonesia in a concise form. Published for the first time more than a decade ago as a booklet in a modest cyclostyled shape by the Cultural Department of the Indonesian Embassy in India, it has been revised several times in Jakarta in the same form to keep up to date with new discoveries and current theories. Since it seemed to have filled a need felt by foreigners as well as Indonesians to obtain an elementary knowledge of Indonesia's past, it has been thought wise to publish it now in a printed form with the aim to reach a larger public than before.
    [Show full text]
  • Kakawin Ramayana
    KAKAWIN RAMAYANA Oleh I Ketut Nuarca PROGRAM STUDI SASTRA JAWA KUNO FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA APRIL 2017 Pengantar Peninggalan naskah-naskah lontar (manuscript) baik yang berbahasa Jawa Kuna maupun Bali yang ada di masyarakat Bali telah lama menjadi perhatian para peneliti baik peneliti nusantara maupun asing. Mereka utamanya peneliti asing bukan secara kebetulan tertarik pada naskah-naskah ini tetapi mereka sudah lama menjadikan naskah-naskah tersebut sebagai fokus garapan di beberapa pusat studi kawasan Asia Tenggara utamanya di eropa. Publikasi-publikasi yang ada selama ini telah membuktikan tingginya kepedulian mereka pada bidang yang satu ini. Hal ini berbeda keadaannya dibandingkan dengan di Indonesia. Luasnya garapan tentang bidang ini menuntut adanya komitmen pentingnya digagas upaya-upaya antisipasi untuk menghindari punahnya naskah-naskah dimaksud. Hal ini penting mengingat masyarakat khususnya di Bali sampai sekarang masih mempercayai bahwa naskah- naskah tersebut adalah sebagai bagian dari khasanah budaya bangsa yang di dalamnya mengandung nilai-nilai budaya yang adi luhung. Di Bali keberadaan naskah-naskah klasik ini sudah dianggap sebagai miliknya sendiri yang pelajari, ditekuni serta dihayati isinya baik secara perorangan maupun secara berkelompok seperti sering dilakukan melalui suatu tradisi sastra yang sangat luhur yang selama ini dikenal sebagai tradisi mabebasan. Dalam tradisi ini teks-teks klasik yang tergolong sastra Jawa Kuna dan Bali dibaca, ditafsirkan serta diberikan ulasan isinya sehingga terjadi diskusi budaya yang cukup menarik banyak kalangan. Tradisi seperti ini dapat dianggap sebagai salah satu upaya bagaimana masyarakat Bali melestarikan warisan kebudayaan nenek moyangnya, serta sedapat mungkin berusaha menghayati nilai-nilai yang terkandung di dalam naskah-naskah tersebut. Dalam tradisi ini teks-teks sastra Jawa Kuna menempati posisi paling unggul yang paling banyak dijadikan bahan diskusi.
    [Show full text]
  • Lowalangi: from the Name of an Ethnic Religious Figure to the Name of God
    HTS Teologiese Studies/Theological Studies ISSN: (Online) 2072-8050, (Print) 0259-9422 Page 1 of 6 Original Research Lowalangi: From the name of an ethnic religious figure to the name of God Author: This article shows the success of local cultural adaptation strategies in communicating the 1 Sonny E. Zaluchu gospel to people of the Nias ethnicity in North Sumatra, Indonesia. This adaptation is the Affiliation: name Lowalangi, the name of the god of the pre-Christian era, to become the name of God, 1Department of Theology, the creator and saviour of the world incarnated in the person of Jesus Christ. As a result, the Indonesia Baptist Theological use of this name was not limited to a translation process. Still, the whole concept of divinity for Seminary, Semarang, the Nias people was transferred and transformed into a Christian understanding. They know Indonesia him as Lowalangi, have faith in him and pray to him in that name. The author uses a Corresponding author: comparative analysis with other places in Indonesia. The author tries to establish parallelism Sonny Zaluchu, with methods used elsewhere, assuming that the methods used tend to be the same. [email protected] Contribution: Churches and Christians in Nias are strengthened in their beliefs by praying Dates: and mentioning Lowalangi’s name, which imparts the same faith quality as the biblical use of Received: 14 Nov. 2020 Accepted: 27 Feb. 2021 God’s personal name. This adaptation can be a strategy for introducing the gospel in Published: 20 Apr. 2021 missiology and church planting in response to local culture as a wealth that cannot be negated.
    [Show full text]
  • Kajian Regulasi Pembangunan Permukiman Area Tepi Air
    KAJIAN REGULASI PEMBANGUNAN PERMUKIMAN AREA TEPI AIR DI PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR SKRIPSI OLEH DANIEL TRISKA 150406053 DEPARTEMEN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA KAJIAN REGULASI PEMBANGUNAN PERMUKIMAN AREA TEPI AIR DI PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR SKRIPSI Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Oleh : DANIEL TRISKA 150406053 DEPARTEMEN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Judul Skripsi : Kajian RegulasiPembangunanPermukiman Area Tepi Air diPangururan Kabupaten Samosir Nama Mahasiswa : Daniel Triska NomorPokok : 150406053 Departemen : Arsitektur Menyetujui DosenPembimbing, Beny O.Y. Marpaung, S.T., M.T.,Ph.D., 1PM NIP 197110222002122001 Ketua Departemen Arsitektur, Dr. I r. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc NIP. 196305271993032005 Tanggal Lulus 17 Juli 2019 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ABSTRAK Di Indonesia, penyebaran permukiman dapat berkembang secara alami karena pengaruh sosial dan budaya. Permukiman seperti ini timbul dari kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal dan tempat untuk beraktivitas dalam suatu komunitas. Sehingga tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor internal dan eksternal yang tumbuh pada masyarakat. Masyarakat yang tinggal di area tepi air cenderung membangun permukiman yang tidak terencana terhadap regulasi pemerintah. Tujuan dari penelitian ini untuk menemukan konsep regulasi yang tepat terhadap perkembangan permukiman yang terbentuk secara alami. Konsep regulasi memiliki nilai-nilai khusus dalam kehidupan masyarakat sehingga akan menjadi peraturan pemerintah yang lebih mudah diterima oleh masyarakat di desa perkotaan. Penelitian ini dilakukan dengan mengkaji regulasi dalam membangun permukiman tepi air. Selain itu juga dilakukan observasi untuk memperhatikan nilai budaya, potensi, dan karakteristik dalam membangun permukiman yang memiliki ciri khas sebagai permukiman yang tumbuh secara alami.
    [Show full text]
  • Provisional Reel List
    Manuscripts of the National Library of Indonesia Reel no. Title MS call no. 1.01 Lokapala CS 1 1.02 Sajarah Pari Sawuli CS 2 1.03 Babad Tanah Jawi CS 3 2.01 Pratelan Warni-warni Bab Sajarah Tanah Jawa CS 4 2.02 Damarwulan CS 5 2.03 Menak Cina CS 6 3.01 Kakawin Bharatayuddha (Bratayuda Kawi) CS 7 3.02 Kakawin Bharatayuddha (Bratayuda Kawi) CS 9 3.03 Ambiya CS 10 4.01 Kakawin Bharatayuddha CS 11a 4.02 Menak Lare CS 13 4.03 Babad Tanah Jawi CS 14a 5.01 Babad Tanah Jawi CS 14b 5.02 Babad Tanah Jawi CS 14c 6.01 Babad Tanah Jawi CS 14d 6.02 Babad Tanah Jawi CS 14e 7.01 Kraton Surakarta, Deskripsi CS 17 7.02 Tedhak Dalem PB IX Dhateng Tegalganda CS 18 7.03 Serat Warni-warni CS 19 7.04 Babad Dipanagara lan Babad Nagari Purwareja KBG 5 8.01 Platuk Bawang, Serat CS 20 8.02 Wulang Reh CS 21 8.03 Cabolek, Serat CS 22 8.04 Kancil CS25 8.05 Carakabasa CS 27 8.06 Manuhara, Serat CS 29 8.07 Pawulang Ing Budi, Serat CS 30 8.08 Babad Dipanegara CS 31a 8.09 Dalil, Serat CS 28 9.01 Kraton Surakarta, Deskripsi CS 32 9.02 Primbon Matan Sitin CS 33 9.03 Harun ar-Rasyid, Cerita CS 34 9.04 Suluk Sukarsa CS 35 9.05 Murtasiyah CS 36 9.06 Salokantara CS 37 9.07 Panitipraja lsp CS 38 9.08 Babasan Saloka Paribasan CS 39 9.09 Babad Siliwangi CS 40 9.10 Dasanama Kawi Jarwa (Cirebonan) CS 42 9.11 Primbon Br 139 9.12 Pantitipraja lap KBG 343 10.01 Babad Dipanegara CS 31b 10.02 Babad Tanah Jawi (Adam - Jaka Tingkir) KBG 7a 11.01 Babad Tanah Jawi KBG 7c 11.02 Babad Tanah Jawi KBG 7d 11.03 Babad Tanah Jawi KBG 7e 11.04 Purwakanda Br 103a 12.01 Purwakanda Br 103b 12.02 Purwakandha Br 103c 12.03 Purwakandha Br 103d Reel no.
    [Show full text]
  • Understanding the Meaning of Wayang Kulit Performance Using Thick Description Approach
    Understanding the Meaning of Wayang Kulit Performance using Thick Description Approach Mario Nugroho Willyarto1, Krismarliyanti2 and Ulani Yunus3 1 Language Center, Primary Teacher Education Department, Faculty of Humanities, Bina Nusantara University, Jakarta, Indonesia 11480 2Independent Writer 3 Marketing Communication Program, Communication Department, Faculty of Economics & Communication, Bina Nusantara University, Jakarta, Indonesia 11480 Keywords: Wayang Kulit, Thick Description, Cultural Heritage Abstract: This paper described the meaning of Wayang Kulit in Javanese philosophy, a brief description of the figures represented by the puppets. Wayang is one of the cultural heritages of Java which is very deep understanding of the culture and character of the people of Indonesia. The meaning of symbols of wayang is the focus of this paper. The symbols are represented by character of Semar, Bagong, Petruk and Gareng. What is the role wayang in daily life, especially for Indonesian people, is becoming the main discussion as well. There are a lot of wayang performances that have a deep meaning of the life itself. Although there are some scholars who say that wayang is originally from India but it is not proved and, in the end, people accepted that wayang came from Java. Opinion about wayang originated from India was because the story in the puppet was adapted from the Mahabharata story originating from India. Using the concept of thick description by Clifford Geertz, the author tries to explain about the history and character of the puppet figures according to Javanese philosophy. Prominent figures such as Semar, Gareng, Petruk and Bagong were the reflection of the ideal human being depicted with an imperfect physical form.
    [Show full text]
  • Game Review PAMALI: INDONESIAN FOLKLORE HORROR Storytale Studios, Point-And-Click Horror, ID 2018
    Kathrin Trattner Game Review PAMALI: INDONESIAN FOLKLORE HORROR StoryTale Studios, Point-and-Click Horror, ID 2018 In indie and mainstream popular culture alike, Asian horror has been gaining world- wide recognition for quite some time. The most widely known digital cultural goods are produced in Japan and South Korea. However, as a Google search demon- strates, the global popularity of Indonesian horror narratives has also seen a sharp increase despite their being less broadly disseminated. For example, the number of Indonesian horror titles on Netflix is striking. Interestingly, the majority of those sto- ries draw on and incorporate the country’s rich folk traditions. Thus, tradition in its plural meaning is absolutely key here: with its diverse ethnic groups, languages, and religious traditions, Indonesia is anything but culturally homogenous. This cultural plurality is often depicted in Indonesian horror tales just as they are deeply embed- ded in Indonesian everyday life and its practices. In fact, the remarkable proximity of horror and the seemingly mundane is the basic premise of Pamali, an Indonesian folklore horror game. The first-person point-and-click horror game was (and is still being) developed by StoryTale Studios, a small indie studio based in Bandung, Indo- nesia.1 As Mira Wardhaningsih, co-creator of Pamali, explains in an interview, one of the intentions in creating the game was to introduce international audiences to a distinctively Indonesian approach to horror. As she elaborates: We believe that every culture has a different perception towards horror. […] In Indonesia, it’s not a big, catastrophic, one-time phenomenon that is terrifying; it is something else, something closer.
    [Show full text]
  • Of Manuscripts and Charters Which Are Mentioned In
    INDEX OF MANUSCRIPTS AND CHARTERS WHICH ARE MENTIONED IN TABLES A AND B 1 Page Page Adip. - Adiparwa . 94 Dj.pur. - Jayapural}.a . 106 Ag. - Agastyaparwa . 103 Dpt. - VangQang petak . 106 A.N. - Afiang Nilartha . 1(}3 A.P. - Arjuna Pralabda 103 E46 91 A.W. - Arjunawijaya 100 Gh. - Ghatotkaca.\;raya 97 Babi Ch. A . 94 G.O. - GeQangan Ch. 90 BarabuQur (inscription) 90 Gob1eg Ch. (Pura Batur) B . 95 Batuan Ch.. 94 Batunya Ch. A I . 93 H. - Hari\;raya Kakawin 106 Batur P. Abang Ch. A 94 Hr. - Hariwijaya 106 B.B. - Babad Bla-Batuh 103 Hrsw. - Kidung Har~awijaya . 107 Bebetin Ch. A I . 91 H.W. - Hariwang\;a 95 B.K. - Bhoma.lcawya . 104 J.D. - Mausalaparwa . 110 B.P. - Bhi~maparwa . 104 Br. I pp. 607 ff. 95 K.A. - Kembang Arum Ch. 92 pp. 613 ff.. 95 Kid. Adip. - Kidung Adiparwa 106 pp. 619 ff.. 95 K.K. - KufijarakarQ.a . 108 Br. II pp. 49 if. 95 K.O. I . 92 Brh. - Brahmal}.Qa-pural}.a . 105 II 90 Bs. - Bhimaswarga 104 V 94 B.T. - Bagus Turunan 104 VII . 93 Bulihan Ch.. 97 VIII 92 Buwahan Ch. A 93 XI 91 Buwahan Ch. E 97 XIV 91 B.Y. - Bharatayuddha 96 XV. 91 XVII 92 C. - Cupak 106 XXII 93 c.A. - Calon Arang 105 Kor. - Korawa\;rama . 108 Campaga Ch. A 97 Kr. - Krtabasa 108 Campaga Ch. C 99 Kr.B. - Chronicle of Bayu . 106 Catur. - Caturyuga 106 Krsn. - Kr~l}.iintaka 108 Charter Frankfurt N.S. K.S. - Kidung Sunda . 101 No.
    [Show full text]
  • A STUDY of the NIAS REVIVAL in INDONESIA Julia Theis Dermawan 1. Introduction in the Years Betwe
    [AJPS 6:2 (2003), pp. 247-263] A STUDY OF THE NIAS REVIVAL IN INDONESIA Julia Theis Dermawan 1. Introduction In the years between 1915 and 1940, the Niasan church in Indonesia rapidly grew. During this twenty-five year period, between the Golden Jubilee and the Diamond Jubilee, the number of baptized believers in Nias increased from about 20,000 to 135,000. The great revival movement that occurred in the island caused this phenomenal growth. Known as the Fangesa Dodo (“the Great Repentance”),1 it manifested a great conviction for and confession of sin. This paper is a historical report on the Nias revival from available sources and will show how it contributed to the overall growth of the church. This paper has also a pragmatic purpose: to remind all Asian Christians of the importance of the outpouring of the Holy Spirit for the growth of Christianity in Asia today. 2. The Location of the Revival 2.1 Geography Nias is the largest of a chain of Indonesian islands in the Indian Ocean off the west coast of Sumatra. It has an area of 1,569 square miles (or 4,064 sq. km) and is subject to earthquakes. The chief town is Gunung Sitoli on the northeast coast.2 1 Lee Ira Bruckner, “The History and Character of the Niasan People Movement in Indonesia, 1865-1940” (D.Miss. dissertation, Fuller Theological Seminary, 1979), p. 86. 2 “Nias,” The Encyclopedia Americana International Edition (Danbury, Conn.: Grolier, c1997), vol. 20, p. 300. 248 Asian Journal of Pentecostal Studies 6:2 (2003) 2.2 People Most of the 400,000 people are descendants of Proto-Malays who built megalithic tombs all over the island.
    [Show full text]
  • POCONGGG JUGA POCONG” (Studi Semiotik Ilustrasi Sampul Buku ”Poconggg Juga Pocong” Pada ”Bukune”)
    PEMAKNAAN ILUSTRASI SAMPUL BUKU ”POCONGGG JUGA POCONG” (Studi Semiotik Ilustrasi Sampul Buku ”Poconggg Juga Pocong” Pada ”Bukune”) SKRIPSI Oleh : ADITYO WILDAN NPM. 0843010034 YAYASAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAWA TIMUR FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI SURABAYA 2012 Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. PEMAKNAAN ILUSTRASI SAMPUL BUKU “POCONGGG JUGA POCONG” (Studi Semiotik Ilustrasi Sampul Buku “Poconggg Juga Pocong” Pada “Bukune”) Oleh : ADITYO WILDAN NPM. 0843010034 Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skipsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada Tanggal 14 Juni 2012 PEMBIMBING UTAMA TIM PENGUJI : 1. Ketua Ir.H. Didiek Tranggono, M.Si Ir.H. Didiek Tranggono, M.Si NIP. 1958 1225 199001 1001 NIP. 1958 1225 199001 1001 2. Sekretaris Dra. Sumardjijati, M.Si NIP. 1962 0323 1999309 2001 3. Anggota Drs. Herlina Suksmawati, M.Si NIP. 1964 1225 1993009 2001 Mengetahui, DEKAN Dra.Ec. Hj. Suparwati, M.Si NIP. 1955 0718 198302 2001 Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. PEMAKNAAN ILUSTRASI SAMPUL BUKU POCONGGG JUGA POCONG ( Studi Semiotik Pada Ilustrasi Sampul Buku ”Poconggg Juga Pocong” Pada Bukune) Disusun oleh ADITYO WILDAN NPM: 0843010034 Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi Menyetujui Pembimbing Ir. H. Didiek Trenggono, M.Si NIP 19 581 2251 9900 11001 Mengetahui DEKAN Dra.Ec. Hj. Suparwati, M.Si NIP 19550718198302 2001 ii Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
    [Show full text]
  • Originating Outside the Island, Westerners As Well As Non-Westerners, on the Other
    ACCULTURATION IN TANG NIHA (THE ISLAND OF NIAS)I James Danandj aj a University of Indonesia, Djakarta Acculturation on' Nias is discussed with special attention to religion and the role of missionaries as agents of change. The traditional social organization and religion are reviewed, followed by an examination of the processes of Dutch colonization and missionization by German Protest- ants. The role of an indigenous revitalization movement in the Christianization of Nias is dis- cussed at length. Finally, the Nias case is placed within a broader framework of acculturation and change. (acculturation, Christianity, colonial- ism, culture change, culture contact, Indonesia, Nias, religion, revitalization movements) I. INTRODUCTION The topic of this paper is acculturation on the island of Nias. Nias is a small island of 4,000 square kilometers, located off the west coast of Sumatra in the Republic of Indonesia. By acculturation I mean what Robert Redfield, Ralph Linton, and Melville J. Herskovits (1936) defined as: "Those phenomena which result when groups of individuals having different cultures come into continuous first-hand contact, with subsequent changes in the original cultural patterns of either or both groups." I shall discuss acculturation in terms of the culture of the indigenous people of Nias on the one hand, and the cultures of immigrants originating outside the island, Westerners as well as non-Westerners, on the other. The Westerners include Dutch and British colonial officers (civil as well as military) and German Protestant missionaries. The non-Westerners include other Indonesian ethnic groups, such as the Atjehnese traders and slavers, Minangkabau traders, Buginese migrants, Mr.
    [Show full text]
  • SETTING HISTORY STRAIGHT? INDONESIAN HISTORIOGRAPHY in the NEW ORDER a Thesis Presented to the Faculty of the Center for Inte
    SETTING HISTORY STRAIGHT? INDONESIAN HISTORIOGRAPHY IN THE NEW ORDER A thesis presented to the faculty of the Center for International Studies of Ohio University In partial fulfillment of the requirements for the degree Master of Arts Sony Karsono August 2005 This thesis entitled SETTING HISTORY STRAIGHT? INDONESIAN HISTORIOGRAPHY IN THE NEW ORDER by Sony Karsono has been approved for the Department of Southeast Asian Studies and the Center for International Studies by William H. Frederick Associate Professor of History Josep Rota Director of International Studies KARSONO, SONY. M.A. August 2005. International Studies Setting History Straight? Indonesian Historiography in the New Order (274 pp.) Director of Thesis: William H. Frederick This thesis discusses one central problem: What happened to Indonesian historiography in the New Order (1966-98)? To analyze the problem, the author studies the connections between the major themes in his intellectual autobiography and those in the metahistory of the regime. Proceeding in chronological and thematic manner, the thesis comes in three parts. Part One presents the author’s intellectual autobiography, which illustrates how, as a member of the generation of people who grew up in the New Order, he came into contact with history. Part Two examines the genealogy of and the major issues at stake in the post-New Order controversy over the rectification of history. Part Three ends with several concluding observations. First, the historiographical engineering that the New Order committed was not effective. Second, the regime created the tools for people to criticize itself, which shows that it misunderstood its own society. Third, Indonesian contemporary culture is such that people abhor the idea that there is no single truth.
    [Show full text]