K.H. Sjam'un: Pemuda Sederhana, Patuh Dan Haus
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
I K.H. SJAM’UN: PEMUDA SEDERHANA, PATUH DAN HAUS ILMU A. Latar Belakang Keluarga Ia diberi nama Sjam’un oleh orang tuanya. Ia lahir pada l5 April 18831 di kampung Beji desa Bojonegara 2 Kecamatan Cilegon Kabupaten Serang Keresidenan Banten. 3 Ia merupakan keturunan kyai 4 Banten, hasil perkawinan dari H. Alwijan dan Hj. Siti Hadjar.5 Ibunya, Siti Hadjar adalah putri K.H. Wasjid,6 ia mempunyai saudara kandung yang bernama Yasin. K.H. Wasjid merupakan salah seorang tokoh yang terkenal pada peristiwa Geger Cilegon tahun 1888. 7 K.H. Wasjid termasuk bangsawan 1Arsip Nasional Republik Indonesia di Jakarta, Gunseikanbu 2604, Koleksi Arsip Pendaftaran Orang Indonesia Jang Terkemoeka Jang ada di Djawa. No. Inventaris 74. 2Dalam hal ini Achmad Djajadiningrat menyebut Bajonegara mengikuti cerita orang tua, Bajonegara artinya “negeri” orang Bajo (bajak laut) (Suharto, Naskah, 200, 43). 3Keresidenan Banten yang terletak di sebelah ujung barat Pulau Jawa melingkupi daerah Kabupaten Lebak, Pandeglang dan Serang. Di bagian utara terdapat Laut Jawa, bagian barat terdapat Selat Sunda, dan di bagian selatan terletak Samudra Indonesia. Lihat Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudori, Catatan Masa Lalu Banten , Serang 1993, hlm. 19. 4Kyai adalah sebutan atau gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seseorang yang ahli agama Islam, yang biasanya memiliki dan mengelola pondok pesantren. 5Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003. 6K.H. Wasjid dilahirkan di Grogol Cilegon Banten tahun 1843, ia adalah anak dari pasangan Abbas dan Ny. Mas Jokaromah, yang menikah tahun 1841. Pada usia 6 tahun K.H. Wasjid oleh ayahnya diperkenalkan dengan K.H. Wakhia. Perkenalan ini berdampak positif bagi perkembangan pengetahuan agamanya. Selama enam bulan ia tekun belajar memperdalam ilmu-ilmu agama. Di usia 9 tahun, ia mendapat pendidikan langsung dari ayahnya yang mempunyai cita-cita agar kelak anaknya jadi mujtahid besar. Setelah menginjak dewasa, K.H. Wasjid memperdalam ilmu-ilmu agama kepada ulama-ulama di Banten. Sekembalinya dari Mekah ia semakin aktif ditarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah . Ia menikah dengan Ny. Atiyah dari Dalingseng Pulomerak Serang. K.H. Wasjid baru tampil sebagai pemimpin pemberontak beberapa tahun sebelum pemberontakan itu pecah. Ia sangat berpengaruh, tidak hanya kedudukannya sebagai guru agama, tetapi juga karena kepribadiannya yang kuat. Selain itu, ia dikenal sebagai orang yang suka bertengkar dan gampang marah dengan kecendrungan kepada mistik. Tidaklah mungkin untuk memberikan gambaran yang lengkap mengenai kepribadian K.H. Wasjid, oleh karena hampir tidak ada hal yang diketahui mengenai riwayat hidupnya sebelum ia melibatkan diri dari gerakan pemberontakan petani di Banten (Studi lebih lanjut lihat Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, (Terj. Hasan Basari), Jakarta, 1984, hlm. 269- 274. Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudori, Catatan Masa Lalu Banten , Serang, 1993, hlm. 83. Lihat juga Idris Thoha, Naskah K.H. Wasjid Pemantik Cilegon Berdarah, Makalah, Cilegon, tth., hlm. 6). 7Mengenai keterlibatan K.H. Wasjid dalam Pemberontakan Petani Banten lihat karya Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 , (Terj Hasan Basari), Jakarta, 1984, hlm. 269-274. keturunan Adipati Serenggene, yaitu pendamping Sultan Hasanuddin 8 yang di Pemerintahan Banten pada abad XVI. 9 Silsilah K.H. Sjam’un jika ditelusuri dari pihak ibunya, dari atas ke bawah tampak sebagai berikut: SILSILAH K.H.SJAM'UN Adipati Srenggene (Pendamping Sultan Hasanuddin di Kesultanan Banten) Ki Rakse Qosdhu Abbas K.H. Wasjid Siti Hadjar K.H. Sjam'un Sedang silsilah dari pihak ayahnya tidak diketahui. H. Alwijan meninggal di Sumatra, makamnya tidak ditemukan oleh keluarganya hingga sekarang. 10 Sjam’un adalah anak tunggal dari Hj. Siti Hadjar, meskipun keturunan kyai, ayah dan ibunya tidak kaya. 11 Apalagi dimasa Hindia Belanda keluarga dari keturunan 8Sultan Maulana Hasanuddin dilahirkan di Cirebon pada tahun 1479, sebagai anak kedua dari perkawianan Syarif Hidayatullah dengan Nyi Kawung Anten, putri Ki Gedeng Kawung Anten. Sultan Maulana Hasanuddin mendapatkan petunjuk dari ayahnya agar mendirikan kota Surasowan pada 1526. Ia menikah dengan putri Sultan Trenggana, Nyi Mas Ayu Kirana yakni setelah dinobatkan Sultan pertama di Banten oleh Sultan Demak pada tahun 1552. Sultan Maulana Hasanuddin memegang pemerintahan di Kesultanan Banten selama 18 tahun (1552-1570). Pada tahun 1570 ia wafat dalam usia 91 tahun (1479-1570). Lihat Khatib Mansur, Perjuangan Rakyat Banten Menuju Propinsi, Jakarta, 2001, hlm. 18-19. 9Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudhori, op.cit ., hlm. 60. 10 Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003. 11 Mansyur Muhyidin, Naskah, Karya Seorang Prajurit Banten (Kiai Haji Sjam’un), Karya Tulis Berdasarkan Pengalaman Anak-Anak K.H. Sjam’un, Cilegon, 1990, hlm. 25. K.H. Wasjid ini selalu diawasi tingkah lakunya dan dikejar-kejar oleh pihak Belanda, karena kuatir keturunan K.H. Wasjid balas dendam. Untuk menghindari kejaran Belanda, maka pada tahun 1888 keluarga Siti Hadjar ke Mekah dan menetap di sana. Ketika itu, Sjam’un baru berusia 5 tahun. 12 Pemerintah Belanda tidak pernah berhenti dalam usahanya menghabisi keturunan K.H. Wasjid, terutama setelah terjadinya Geger Cilegon. 13 Tetapi Belanda selalu gagal, karena keluarga K.H. Wasjid menyelamatkan diri dari kejaran Belanda. Setelah gagal, akhirnya Belanda membumihanguskan Kampung Beji sebagai pengganti keluarga K.H. Wasjid.14 Belanda berpendapat bahwa “anak macan” akan menjadi macan tetap berbahaya. Oleh karena itu keluarga K.H. Wasjid tidak dibiarkan hidup di muka bumi. Karena Belanda tidak mau pemberontakan di Banten tahun 1888 terulang yang dikenal dengan Geger Cilegon. 15 Geger Cilegon ini merupakan sumber kesadaran bagi masyarakat khususnya untuk bagaimana upaya agar lepas dari belenggu penjajahan Belanda. Setelah peristiwa itu, Belanda mengintruksikan supaya semua peraturan- peraturan yang dikeluarkan hendaknya jangan menyinggung perasaan keagamaan rakyat jajahan. 16 Untuk memadamkan semangat pergerakan K.H. Wasjid itu, dengan mengadakan operasi penangkapan-penangkapan terhadap siapa saja yang dianggap berbahaya, terutama terhadap anak cucu K.H. Wasjid. Untuk melemahkan kekuatan masyarakat Banten, pemerintah Hindia Belanda sengaja membuat operasi psikologi melalui sekolah-sekolah pemerintah. Para guru sekolah desa dipaksa untuk mengajarkan nyanyian-nyanyian (tembang) anti K.H. Wasjid dalam bahasa Jawa. 17 Aslinya demikian: Wengi Senen kiro jam papat subuh ono brandal saka Beji. Lebur papan tulis ngerampog para priyantun. Yang artinya: Malam Senin kira-kira jam empat subuh ada berandal (rampok) dari Beji. Membasmi habis para priyayi. 18 12 Wawancara dengan Sarbini di Cilegon, 8 Februari 2003. 13 Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003. 14 Mansyur Muhyidin, Naskah, “Kiai Jenderal Haji Sjam’un Pejuang Kemerdekaan Asal Banten”, Makalah , Cilegon, t.th., hlm. 5. 15 Mansyur Muhyidin, Naskah, 1990, op.cit. , hlm. 17. 16 Sartono Kartodirdjo, op.cit. , hlm. 274. 17 Wawancara dengan Mahdiyah di Cilegon, 28 Juli 2003. 18 Mansyur Muhyidin, Naskah, 1990, op.cit ., hlm. 17. Walaupun akhirnya pemberontakan itu mengalami kegagalan secara fisik, namun sangat bermakna sebagai sebuah gambaran ketidakpuasan dan kebencian seluruh masyarakat Banten terhadap penjajah Hindia Belanda. Dalam tahun-tahun berikutnya, bekas dan akibat pemberontakan Cilegon ini cukup mendalam pada kedua belah pihak, mayarakat Banten sangat benci terhadap Belanda dan pamongpraja sebagai kakitangannya, sebaliknya pihak Belanda juga menaruh kewaspadaan tinggi untuk daerah Keresidenan Banten terutama masyarakatnya yang militan itu. 19 B. Masa Kanak -kan ak Sampai Dewasa Siti Hadjar berhasil menyelamatkan Sjam’un kecil dari kejaran Belanda, sekalipun harus melalui liku-liku pengalaman yang sulit, akhirnya selamat berhasil sampai Makkah. Di sana sambil mengurus Sjam’un, Siti Hadjar melaksanakan ibadah haji. Selama tiga tahun (1889-1891) bermukim di Mekah, kemudian setelah keadaan di Beji merasa cukup aman, Hj. Siti Hadjar dan keluarganya pulang ke kampung halamannya yakni Kampung Beji, Desa Bojonegara, Cilegon. Walaupun Hj. Siti Hadjar masih kuatir dan tertekan kalau-kalau Belanda masih penasaran untuk memusnahkan keturunan K.H. Wasjid yang dianggap musuh besarnya. Tetapi tidak lama di Kampung Beji, Ibunya bersama Sjam’un pindah ke desa Citangkil dan menetap di sana dengan penuh kewaspadaan dan kekuatiran. 20 Sjam’un, dibesarkan di Desa Citangkil yang langsung dibawah pengasuhan ibunya tanpa seorang ayah. Kehidupan pada masa kanak-kanak tidaklah ada yang istimewa hanya dikenal anak yang patuh, periang dan rajin belajar. 21 Pada masa dewasa, ia hidup dalam keadaan sederhana, namun hal itu dijadikannya sebagai motivasi untuk menuntut ilmu, bercita-cita kelak dikemudian hari menjadi orang yang berguna. 22 Sjam’un mempunyai karakter dan watak pribadi yang menonjol, yaitu ia selalu patuh dalam mengikuti bimbingan dan asuhan ibunya sekalipun serba sederhana. 23 Ia dikaruniai otak yang cerdas dan keinginannya yang keras untuk menjadi seorang pemimpin agama. Ilmu dasar Al-Qur’an dan bahasa Arab menjadi 19 Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudori, op.cit. , hlm. 204. 20 Mansyur Muhyidin, Naskah, 1990, op.cit ., hlm. 25. Wawancara juga dengan Sarbini di Cilegon, 8 Februari 2003. 21 Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003 22 Wawancara dengan Sarbini di Cilegon, 8 Februari 2003. 23 Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003. perhatiannya