1 BAB III PENYAJIAN DATA A. Biografi Abdurrahman Wahid 1. Biografi Abdurrahman Adalah Salah Seorang Figur Yang Fenomenal Yang T
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
BAB III PENYAJIAN DATA A. Biografi Abdurrahman Wahid 1. Biografi Abdurrahman adalah salah seorang figur yang fenomenal yang telah membawa dinamika kesejarahan Indonesia. Nama lengkap dia adalah Abdurrahman Ad-Dakhil1. Secara leksikal, “Ad-Dakhil” berarti “Sang Penakluk”, nama tersebut diambil oleh Wahid Hasyim, yaitu ayah dia, Ad- Dakhil adalah seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata “Ad-Dakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, sehingga menjadi Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas”. 2 Abdurrahman Wahid adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Abdurrahman Wahid adalah keturunan “darah biru”. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama>’ (NU) organisasi massa Islam terbesar di Indonesia dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah saudara K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan 1Syamsul Bakri & Mudhifir, Jombang Kairo, Jombang Chicago Sintesis Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur Dalam pembaharuan Islam di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai, 2004), 23 2 Ibid, 24. 1 2 tokoh NU, yang menjadi Rais ‘Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Abdurrahman Wahid merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia. Saat ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Abdurrahman Wahid juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di rumahnya. Sejak masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Abdurrahman Wahid akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Abdurrahman Wahid pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat. Di suatu tempat di sepanjang perjalanan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Abdurrahman Wahid bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal dunia pada usia 38 tahun3. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupan Abdurrahman Wahid dimana perasaan tanggung jawab terhadap NU semakin menguat.4 3Abdul Qodir, Jejak Langkah Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 52 4Syamsul Bakri & Mudhofir, Jombang Kairo, Jombang Chicago (Solo: Tiga Serangkai, 2004), 24. 3 Abdurrahman Wahid mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Abdurrahman Wahid telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Abdurrahman Wahid tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi tantang wacana sosial-politik, filsafat dan dokumen-dokumen manca negara tidak luput dari perhatianya. Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur dan musik. Hingga pada suatu saat Abdurrahman Wahid pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi5. 2. Latar Belakang Pendidikan Abdurrahman Wahid Abdurrahman Wahid pertama kali belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy’ari6. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca al-Qur’an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al- Qur’an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Abdurrahman Wahid masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan 5Syamsul Bakri & Mudhofir, Jombang Kairo, Jombang Chicago (Solo: Tiga Serangkai, 2004), 25. 6KH. Hasyim Asy’ari adalah seorang pendiri Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang Jawa Timur dan juga sebagai pendiri Nahdlotul Ulama (NU), organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. 4 Abdurrahman Wahid dengan dunia Barat dan dari sini pula Abdurrahman Wahid mulai tertarik dan mencintai musik klasik. Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar, Abdurrahman Wahid memenangkan lomba karya tulis (mengarang) se-wilayah kota Jakarta dan menerima hadiah dari pemerintah. Pengalaman ini menjelaskan bahwa Abdurrahman Wahid telah mampu menuangkan gagasan/ide-idenya dalam sebuah tulisan. Karenanya wajar jika pada masa kemudian tulisan-tulisan Abdurrahman Wahid menghiasai berbagai media massa. Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Abdurrahman Wahid dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953-1957 ia menempuh studinya di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama), sambil mondok di pesantren Krapyak. Di sekolah ini pula pertama kali Abdurrahman Wahid belajar Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah KH. Junaidi, seorang Ulama anggota Majlis Tarjih Muhammadiyah. Setelah itu Abdurrahman wahid belajar di pesantren al Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. Dan tinggal bersama K.H. Ali Maksum. Setamat dari SMEP Abdurrahman Wahid melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Abdurrahman Wahid dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah bimbingan kyai ini pula, 5 Abdurrahman Wahid mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Abdurrahman Wahid pindah kembali ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Di dibeberapa pesantren ini Abdurrahman Wahid mempelajari kitab-kitab klasik terutama yang terkait dengan bahasa arab, hadis dan fiqih. Pada tahun 1964, Abdurrahman Wahid berangkat ke Kairo, Mesir untuk belajar di Universitas Al-Azhar pada Departement of Higher Islamic and Arabic Studies. Namun ia merasa kecewa karena metode yang diajarkan mengutamakan hafalan sehingga apa yang dilakukan di Al-Azhar tidak jauh beda dengan apa yang dilaksanakan di pesantren jawa yang menekankan pada kekuatan hafalan.7 Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Abdurrahman Wahid sering mengunjungi perpustakaan nasional dan pusat layanan informasi milik kedutaan Amerika, American University Library. Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Abdurrahman Wahid berada di Mesir, di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang nasioonalis yang dinamis, Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk mengeluarkkan pendapat mendapat perlindungan yang cukup. Pada tahun 1966 Abdurrahman Wahid pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak ia masuk 7Syamsul Bakri & Mudhofir, Jombang Kairo, Jombang Chicago (Solo: Tiga Serangkai, 2004), 25. 6 dalam Departement of Religion di Universitas Bagdad samapi tahun 1970. Selama di Baghdad Abdurrahman Wahid mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di kota seribu satu malam ini Abdurrahman Wahid mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak didapatkan di Mesir. Pada waktu yang sama ia kembali bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Ia kembali menekuni hobinya secara intensif dengan membaca hampir semua buku yang ada di Universitas. Di luar dunia kampus, Abdurrahman Wahid rajin mengunjungi makam-makam keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir al- Jilani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Abdurrahman Wahid menemukan sumber spiritualitasnya. Pada akhirnya ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup dirantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Abdurrahman Wahid juga sempat pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari kajian-kajian keislaman secara mendalam. Namun, akhirnya ia kembali ke Indoneisa setelah terilhami berita-berita yang menarik sekitar perkembangan dunia pesantren. 3. Perjalanan Karir Abdurrahman Wahid Sepulang dari studinya, Abdurrahman Wahid kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di 7 Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Abdurrahman Wahid mulai menjadi penulis. Ia kembali menekuni bakatnya sebagai penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Abdurrahman Wahid mulai mendapat perhatian banyak. Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai bahwa Abdurrahman Wahid adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya, kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri. Sehingga