Putu Prana Darana – Trilogi Blambangan 2
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya : Putu Prana Darana Ebook ini dibuat berdasarkan file DJVU BBSC di http://rapidshare.com/files/268931895/TB02-GemaDiUfukTimur- Buku01.7z.html http://rapidshare.com/files/268932246/TB02-GemaDiUfukTimur- Buku02.7z.html Ebook PDF by Dewi KZ http://kangzusi.com/ atau http://dewi.0fees.net/ Penerbit PT Gramedia Tahun 1989 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ I. LUKA DAN DUKA Mentari tetap saja melayang. Karena janjinya pasti. Angin dan badai tetap juga berhembus menerpa bumi. Kehidupan berjalan terus. Semua... berjalan terus tanpa bisa dihalangi oleh siapa pun. Juga kehidupan. Peperangan tak bisa menghentikannya. Dia berjalan terus seperti roda ajaib yang tidak pernah berhenti. Walau mereka yang bernapas dan hidup, sudah sampai titik batas akhir. Demikian pula Yistyani berjalan terus membawa luka dan duka. Bahunya sebelah kiri robek oleh tembakan Kompeni di Banyu Alit. Bahkan dalam perjalanan pulang ke Raung ini, dua pengawalnya tertembak mati. Tinggal dua orang lagi. Pedih dan perih dari luka yang tak terobati secara baik itu ia bawa terus berjalan. Menempuh jarak yang jauh. Melintasi belantara dan jurang-jurang, dan bukit-bukit. Duka pun menusuk-nusuk hatinya sepanjang perjalanan. Duka kehilangan semua harta, kedudukan, dan cita-cita akibat perang. Bahkan yang nilainya lebih berharga dari semua itu, kehilangan suami, kekasih, dan sahabat-sahabatnya. Namun dengan kesadaran tinggi ia berusaha menindas semua duka itu. Ia harus mempertahankan semangat untuk tetap hidup dan sampai di Raung. Wilis, anaknya, sekarang menjadi pemimpin di Raung. Ia merasa perlu menjumpai anaknya itu. Ia akan ceritakan semua pengalaman perang Blambangan ini sebagai pelajaran berharga. Anaknya masih terlalu muda untuk menjadi seorang pemuka yang mampu memimpin suatu negara. Karena, itu pula ia harus menumpahkan segala pengetahuannya sebagai tambahan pesangon bagi anak itu. Seorang pemimpin tanpa pesangon cukup tak ubahnya katak dalam tempurung. Ah, jarak yang memisahkannya dengan Raung masih terlalu jauh. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Dan itu harus dikalahkan dengan melewati banyak ketegangan dan bahaya. Yang telah dilewatinya membawa korban dua orang pengawalnya. Mati oleh tembakan laskar Madura yang ternyata menjaga ketat Hutan Kepanasan. Kini mereka harus berjalan ke barat untuk menghindar dari daerah yang dikuasai laskar Madura dan Kompeni. Tentunya mereka akan berhadapan dengan belantara yang mungkin saja belum pernah diinjak manusia. Pohon-pohon besar menjulang tinggi dan berdaun lebat. Sinar mentari tidak mampu menembus sela dedaunan. Dan bukan mustahil bila hutan itu merupakan sarang nyamuk. Bukan cuma nyamuk, tapi juga binatang buas lainnya. Yistyani berdoa dalam hati agar tidak bersua ular puspakajang yang sering melingkar di cabang pohon-ponon besar begitu. Ia pernah menyaksikan keganasan seekor ular puspakajang yang memangsa kambing dengan sekali telan. Penghuni hutan lain yang tak kalah menakutkan adalah beberapa jenis harimau. Yistyani mengerti benar bahwa di hutan ini masih ada harimau gembong serta macan kumbang yang hitam dan mampu memanjat pohon dengan amat lincah. Namun ia tidak takut. Karena ia masih dapat membela diri dengan menggunakan senapannya. Demikian pula jika bersua dengan rombongan banteng. Mungkin saja ia masih berkesempatan memanjat ponon. Tapi jika bersua ular yang warnanya sering menyatu dengan cabang pohon yang ditempatinya itu? Untuk menjaga hal itu maka ia sering memperhatikan cabang-cabang sambil terus berjalan. Bukan untuk memperhatikan keindahan alam. Bukan pula langit dan burung-burung. Tapi ular. Kegelisahan Yistyani bukan terbatas soal-soal itu saja. Tapi juga khawatir tersesat dan tidak bisa mencapai Raung sebelum persediaan makanan habis. Kelaparan menimbulkan ketakutan tersendiri. Betapa ngerinya jika ia mati kelaparan seperti anjing kurap. Dalam kelaparan banyak kemungkinan bisa terjadi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Yistyani mulai memperhitungkannya. Ia berulang menoleh pengawalnya. Tubuh mereka dibasahi peluh. Bahan makanan yang mereka pikul masih kelihatan berat. Kain dan ikat kepala kedua pengawal itu kelihatan lusuh. Yistyani hampir tidak mampu lagi mengingat, Berapa hari sudah mereka menempuh perjalanan. Ia sadar bahwa mereka telah keluar dari jalan yang semestinya. Tiba-tiba saja rasa iba pada kedua pengawalnya menyelimuti hati Yistyani. Mukanya tidak bercahaya dan kumisnya tidak terawat. Tanpa banyak berpikir maka ia memerintahkan keduanya berhenti. "Ada apa, Yang Mulia?" tanya Gonar. "Taruhlah dulu bebanmu. Kita istirahat," jawab Yistyani. Kedua orang itu meletakkan ubi kayu dan dendeng daging babi serta perbekalan sedikit peluru yang mereka pikul ke tanah. Lega rasanya. Setelah menggerak-gerakkan bahu ke kiri dan kanan, mereka mencari tempat duduk. "Kita tidak tahu apakah tempat ini aman atau tidak. Karenanya tetap waspadalah!" Yistyani memperingatkan. Mereka membenarkan peringatan Yistyani. Sekalipun yang memperingatkan seorang wanita namun mereka tetap patuh, karena mereka tahu Yistyani bekas menteri cadangan negara. "Bagaimana dengan luka Yang Mulia?" Buang kini yang bertanya. "Sudah agak baik. Darah sudah berhenti mengalir." "Syukurlah. Hyang Maha Ciwa masih menyertai kita." Gonar ikut senang. Senyuman mulai membayang di wajahnya. Entah sejak kapan senyuman menghilang dari bibirnya yang tebal itu. Angin bertiup tertahan dahan-dahan tua. Dedaunan bergerak seirama alunan angin. Namun begitu angin tetap Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ saja menerobos sela dahan dan kayu untuk membantu menyusutkan peluh mereka. Bahkan lebih dari itu, mendatangkan rasa kantuk. Yistyani berusaha keras mengusir rasa kantuknya. Kantuk yang menyerang karena kelelahan. Buang dan Bonar pun berusaha. Namun rasa kantuk itu tak mau berdamai. Maka mereka minta izin Yistyani untuk tidur barang sebentar. "Tidurlah! Aku akan berjaga. Tapi usahakan jangan terlalu larut! Ingat?" Suara Yistyani keibuan. "Kami akan berusaha, Yang Mulia." Mereka mengambil keputusan tidur sambil duduk beradu punggung. Lutut mereka tekuk dan peluk dengan tangan dan dijadikan tumpuan kepala mereka yang tertunduk. Yistyani memperhatikan sambil menghela napas. Tentu ia tak berdaya mencegah kantuk mereka. Beberapa bentar kemudian ia beringsut mencari tempat duduk. Agak jauh dari tempat mereka tidur, di bawah pohon rindang, Yistyani duduk sambil membersihkan senapan yang berlaras panjang. Mentari bergeser terus ke barat. Dalam hati Yistyani berdoa agar malam segera tiba. Bagi mereka istirahat malam lebih aman. Tiba-tiba matanya memperhatikan sekawanan burung kecil yang terbang seperti ketakutan. Barangkali ada harimau lewat? Ia tajamkan mata dan telinganya. Lagi... Kini kawanan elang ketakutan. Naluri keprajuritan membuatnya berlari cepat membangunkan kedua pengawalnya. "Ada apa? Ada apa, Yang Mulia?" Buang gugup. Detak jantung mereka mengencang. "Musuh!" Napas Yistyani terengah. "Ha? Musuh?" Keduanya melompat sambil menyambar senapan dan panah mereka. "Drubiksa!" Buang mengumpat. "Mereka tidak mau berhenti memburu." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Siapa kalah akan terus diburu dan dibunuh." Yistyani mengajak mereka mencari tempat persembunyian yang aman. Mereka berlari dari balik pohon ke pohon lain sambil mengendap-endap. Kemudian menenggelamkan diri dalam semak. Berhenti sambil menunggu apa yang bakal terjadi. Namun beberapa bentar kemudian gerombolan semut merah dan nyamuk mulai berdatangan mengusik. Kawanan serigala lari dengan ekor melengkung ke bawah menutupi kemaluan mereka. Takut dan marah. Tapi tidak berani melawan. Karena itu hanya menyalak saja. Menyalak merupakan satu bentuk perlawanan tersendiri. Karena wilayah dan hak mereka dijamah oleh manusia. Beberapa bentar kemudian terdengar suara derak ranting patah terinjak kaki- kaki yang berat. Kaki bersepatu. Jantung Yistyani berdebar keras. Ah... jika luka ini pulih, pastilah tidak seberat ini aku menanggung aniaya. Aku akan melawan semampu dapat. Ketiganya makin merapatkan tubuh ke tanah. Berulang Yistyani membuat gerakan, luka di bahunya tersentuh rerumputan dan menimbulkan rasa nyeri. "Tahan diri! Jangan menembak jika tak terpaksa.” "Ya. Tapi Yang Mulia jangan terlalu banyak bergerak-gerak. Agar mereka tidak curiga," sahut Gonar. Sekali lagi Yistyani menyesali lukanya. Dalam hati ia berdoa, agar Hyang Durga melindunginya. Sambil terus menahan rasa sakit. Dan... beberapa bentar kemudian mereka melihat kembali burung-burung malio terbang tergopoh- gopoh. Ayam hutan pun berhenti berkokok. Sesaat setelah itu rombongan serdadu Belanda dan Madura muncul. Dengan gagah dan senjata di tangan mereka berjalan berdua-dua sambil mengamati kiri-ka-nan. Tiap gerak akan mereka curigai. Yistyani tidak tahu topi bundar di atas kepala mereka itu terbuat dari bahan apa. Ada dua orang dari tiga puluh orang itu yang bertopi tinggi. Berwarna merah dan pada bagian mukanya diberi penutup seperti serambi kecil yang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ berwarna hitam. Itu barangkali yang dinamakan pet. Di atas penutup muka yang kecil itu ada hiasan seperti bunga tebu berwarna kuning emas. Mereka adalah opsir. Ketiga orang itu menahan napas sambil terus mengintai tiap gerakan tentara Belanda dan laskar Madura itu. Kesalahan kecil akan membawa mereka pada kematian. Yistyani tak dapat menangkap makna pembicaraan mereka. Riuh tanpa makna. Keringat dingin meleleh di pori-pori ketiga orang itu. Bahkan Yistyani terpaksa menggigit bibir bawahnya sambil mengernyitkan dahi karena menahan sakit. Luka-lukanya