Putu Prana Darana – Trilogi Blambangan 2

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Putu Prana Darana – Trilogi Blambangan 2 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya : Putu Prana Darana Ebook ini dibuat berdasarkan file DJVU BBSC di http://rapidshare.com/files/268931895/TB02-GemaDiUfukTimur- Buku01.7z.html http://rapidshare.com/files/268932246/TB02-GemaDiUfukTimur- Buku02.7z.html Ebook PDF by Dewi KZ http://kangzusi.com/ atau http://dewi.0fees.net/ Penerbit PT Gramedia Tahun 1989 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ I. LUKA DAN DUKA Mentari tetap saja melayang. Karena janjinya pasti. Angin dan badai tetap juga berhembus menerpa bumi. Kehidupan berjalan terus. Semua... berjalan terus tanpa bisa dihalangi oleh siapa pun. Juga kehidupan. Peperangan tak bisa menghentikannya. Dia berjalan terus seperti roda ajaib yang tidak pernah berhenti. Walau mereka yang bernapas dan hidup, sudah sampai titik batas akhir. Demikian pula Yistyani berjalan terus membawa luka dan duka. Bahunya sebelah kiri robek oleh tembakan Kompeni di Banyu Alit. Bahkan dalam perjalanan pulang ke Raung ini, dua pengawalnya tertembak mati. Tinggal dua orang lagi. Pedih dan perih dari luka yang tak terobati secara baik itu ia bawa terus berjalan. Menempuh jarak yang jauh. Melintasi belantara dan jurang-jurang, dan bukit-bukit. Duka pun menusuk-nusuk hatinya sepanjang perjalanan. Duka kehilangan semua harta, kedudukan, dan cita-cita akibat perang. Bahkan yang nilainya lebih berharga dari semua itu, kehilangan suami, kekasih, dan sahabat-sahabatnya. Namun dengan kesadaran tinggi ia berusaha menindas semua duka itu. Ia harus mempertahankan semangat untuk tetap hidup dan sampai di Raung. Wilis, anaknya, sekarang menjadi pemimpin di Raung. Ia merasa perlu menjumpai anaknya itu. Ia akan ceritakan semua pengalaman perang Blambangan ini sebagai pelajaran berharga. Anaknya masih terlalu muda untuk menjadi seorang pemuka yang mampu memimpin suatu negara. Karena, itu pula ia harus menumpahkan segala pengetahuannya sebagai tambahan pesangon bagi anak itu. Seorang pemimpin tanpa pesangon cukup tak ubahnya katak dalam tempurung. Ah, jarak yang memisahkannya dengan Raung masih terlalu jauh. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Dan itu harus dikalahkan dengan melewati banyak ketegangan dan bahaya. Yang telah dilewatinya membawa korban dua orang pengawalnya. Mati oleh tembakan laskar Madura yang ternyata menjaga ketat Hutan Kepanasan. Kini mereka harus berjalan ke barat untuk menghindar dari daerah yang dikuasai laskar Madura dan Kompeni. Tentunya mereka akan berhadapan dengan belantara yang mungkin saja belum pernah diinjak manusia. Pohon-pohon besar menjulang tinggi dan berdaun lebat. Sinar mentari tidak mampu menembus sela dedaunan. Dan bukan mustahil bila hutan itu merupakan sarang nyamuk. Bukan cuma nyamuk, tapi juga binatang buas lainnya. Yistyani berdoa dalam hati agar tidak bersua ular puspakajang yang sering melingkar di cabang pohon-ponon besar begitu. Ia pernah menyaksikan keganasan seekor ular puspakajang yang memangsa kambing dengan sekali telan. Penghuni hutan lain yang tak kalah menakutkan adalah beberapa jenis harimau. Yistyani mengerti benar bahwa di hutan ini masih ada harimau gembong serta macan kumbang yang hitam dan mampu memanjat pohon dengan amat lincah. Namun ia tidak takut. Karena ia masih dapat membela diri dengan menggunakan senapannya. Demikian pula jika bersua dengan rombongan banteng. Mungkin saja ia masih berkesempatan memanjat ponon. Tapi jika bersua ular yang warnanya sering menyatu dengan cabang pohon yang ditempatinya itu? Untuk menjaga hal itu maka ia sering memperhatikan cabang-cabang sambil terus berjalan. Bukan untuk memperhatikan keindahan alam. Bukan pula langit dan burung-burung. Tapi ular. Kegelisahan Yistyani bukan terbatas soal-soal itu saja. Tapi juga khawatir tersesat dan tidak bisa mencapai Raung sebelum persediaan makanan habis. Kelaparan menimbulkan ketakutan tersendiri. Betapa ngerinya jika ia mati kelaparan seperti anjing kurap. Dalam kelaparan banyak kemungkinan bisa terjadi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Yistyani mulai memperhitungkannya. Ia berulang menoleh pengawalnya. Tubuh mereka dibasahi peluh. Bahan makanan yang mereka pikul masih kelihatan berat. Kain dan ikat kepala kedua pengawal itu kelihatan lusuh. Yistyani hampir tidak mampu lagi mengingat, Berapa hari sudah mereka menempuh perjalanan. Ia sadar bahwa mereka telah keluar dari jalan yang semestinya. Tiba-tiba saja rasa iba pada kedua pengawalnya menyelimuti hati Yistyani. Mukanya tidak bercahaya dan kumisnya tidak terawat. Tanpa banyak berpikir maka ia memerintahkan keduanya berhenti. "Ada apa, Yang Mulia?" tanya Gonar. "Taruhlah dulu bebanmu. Kita istirahat," jawab Yistyani. Kedua orang itu meletakkan ubi kayu dan dendeng daging babi serta perbekalan sedikit peluru yang mereka pikul ke tanah. Lega rasanya. Setelah menggerak-gerakkan bahu ke kiri dan kanan, mereka mencari tempat duduk. "Kita tidak tahu apakah tempat ini aman atau tidak. Karenanya tetap waspadalah!" Yistyani memperingatkan. Mereka membenarkan peringatan Yistyani. Sekalipun yang memperingatkan seorang wanita namun mereka tetap patuh, karena mereka tahu Yistyani bekas menteri cadangan negara. "Bagaimana dengan luka Yang Mulia?" Buang kini yang bertanya. "Sudah agak baik. Darah sudah berhenti mengalir." "Syukurlah. Hyang Maha Ciwa masih menyertai kita." Gonar ikut senang. Senyuman mulai membayang di wajahnya. Entah sejak kapan senyuman menghilang dari bibirnya yang tebal itu. Angin bertiup tertahan dahan-dahan tua. Dedaunan bergerak seirama alunan angin. Namun begitu angin tetap Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ saja menerobos sela dahan dan kayu untuk membantu menyusutkan peluh mereka. Bahkan lebih dari itu, mendatangkan rasa kantuk. Yistyani berusaha keras mengusir rasa kantuknya. Kantuk yang menyerang karena kelelahan. Buang dan Bonar pun berusaha. Namun rasa kantuk itu tak mau berdamai. Maka mereka minta izin Yistyani untuk tidur barang sebentar. "Tidurlah! Aku akan berjaga. Tapi usahakan jangan terlalu larut! Ingat?" Suara Yistyani keibuan. "Kami akan berusaha, Yang Mulia." Mereka mengambil keputusan tidur sambil duduk beradu punggung. Lutut mereka tekuk dan peluk dengan tangan dan dijadikan tumpuan kepala mereka yang tertunduk. Yistyani memperhatikan sambil menghela napas. Tentu ia tak berdaya mencegah kantuk mereka. Beberapa bentar kemudian ia beringsut mencari tempat duduk. Agak jauh dari tempat mereka tidur, di bawah pohon rindang, Yistyani duduk sambil membersihkan senapan yang berlaras panjang. Mentari bergeser terus ke barat. Dalam hati Yistyani berdoa agar malam segera tiba. Bagi mereka istirahat malam lebih aman. Tiba-tiba matanya memperhatikan sekawanan burung kecil yang terbang seperti ketakutan. Barangkali ada harimau lewat? Ia tajamkan mata dan telinganya. Lagi... Kini kawanan elang ketakutan. Naluri keprajuritan membuatnya berlari cepat membangunkan kedua pengawalnya. "Ada apa? Ada apa, Yang Mulia?" Buang gugup. Detak jantung mereka mengencang. "Musuh!" Napas Yistyani terengah. "Ha? Musuh?" Keduanya melompat sambil menyambar senapan dan panah mereka. "Drubiksa!" Buang mengumpat. "Mereka tidak mau berhenti memburu." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Siapa kalah akan terus diburu dan dibunuh." Yistyani mengajak mereka mencari tempat persembunyian yang aman. Mereka berlari dari balik pohon ke pohon lain sambil mengendap-endap. Kemudian menenggelamkan diri dalam semak. Berhenti sambil menunggu apa yang bakal terjadi. Namun beberapa bentar kemudian gerombolan semut merah dan nyamuk mulai berdatangan mengusik. Kawanan serigala lari dengan ekor melengkung ke bawah menutupi kemaluan mereka. Takut dan marah. Tapi tidak berani melawan. Karena itu hanya menyalak saja. Menyalak merupakan satu bentuk perlawanan tersendiri. Karena wilayah dan hak mereka dijamah oleh manusia. Beberapa bentar kemudian terdengar suara derak ranting patah terinjak kaki- kaki yang berat. Kaki bersepatu. Jantung Yistyani berdebar keras. Ah... jika luka ini pulih, pastilah tidak seberat ini aku menanggung aniaya. Aku akan melawan semampu dapat. Ketiganya makin merapatkan tubuh ke tanah. Berulang Yistyani membuat gerakan, luka di bahunya tersentuh rerumputan dan menimbulkan rasa nyeri. "Tahan diri! Jangan menembak jika tak terpaksa.” "Ya. Tapi Yang Mulia jangan terlalu banyak bergerak-gerak. Agar mereka tidak curiga," sahut Gonar. Sekali lagi Yistyani menyesali lukanya. Dalam hati ia berdoa, agar Hyang Durga melindunginya. Sambil terus menahan rasa sakit. Dan... beberapa bentar kemudian mereka melihat kembali burung-burung malio terbang tergopoh- gopoh. Ayam hutan pun berhenti berkokok. Sesaat setelah itu rombongan serdadu Belanda dan Madura muncul. Dengan gagah dan senjata di tangan mereka berjalan berdua-dua sambil mengamati kiri-ka-nan. Tiap gerak akan mereka curigai. Yistyani tidak tahu topi bundar di atas kepala mereka itu terbuat dari bahan apa. Ada dua orang dari tiga puluh orang itu yang bertopi tinggi. Berwarna merah dan pada bagian mukanya diberi penutup seperti serambi kecil yang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ berwarna hitam. Itu barangkali yang dinamakan pet. Di atas penutup muka yang kecil itu ada hiasan seperti bunga tebu berwarna kuning emas. Mereka adalah opsir. Ketiga orang itu menahan napas sambil terus mengintai tiap gerakan tentara Belanda dan laskar Madura itu. Kesalahan kecil akan membawa mereka pada kematian. Yistyani tak dapat menangkap makna pembicaraan mereka. Riuh tanpa makna. Keringat dingin meleleh di pori-pori ketiga orang itu. Bahkan Yistyani terpaksa menggigit bibir bawahnya sambil mengernyitkan dahi karena menahan sakit. Luka-lukanya
Recommended publications
  • CITRA PEMELUK AGAMA HINDU-BUDDHA DAN AGAMA ISLAM DALAM NOVEL ARUS BALIK KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER (Analisis Struktutalisme Genetik)
    CITRA PEMELUK AGAMA HINDU-BUDDHA DAN AGAMA ISLAM DALAM NOVEL ARUS BALIK KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER (Analisis Struktutalisme Genetik) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia Oleh Hendra Sigalingging 044114028 PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2009 MOTTO DAN PERSEMBAHAN Orang yang tidak pernah membuat kekeliruan adalah orang yang tidak pernah melakukan apapun (Theodre Roosevelt) Saya bukanlah manusia gagal, saya hanya menemukan sepuluh ribu cara yang tidak efektif (Benjamin Franklin) Skripsi ini kupersembahkan untuk: Sang Maha Kasih, Yesus Kristus Amang dohot Inang yang telah membuat aku ada Rika dan Riko yang mengasihiku Serta semua orang yang kukasihi KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat akhir dalam menempuh ujian sarjana pada Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yaitu: 1. Drs. B. Rahmanto, M.Hum, sebagai dosen pembimbing I, terima kasih atas segala bimbingan dan masukan kepada saya untuk meyelesaikan skripsi ini. 2. SE Peni Adji, S.S, M.Hum sebagai dosen pembimbing II, terima kasih telah meluangkan banyak waktu untuk memberi masukan dan membimbing saya dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Seluruh dosen jurusan Sastra Indonesia, yang telah dengan sabar membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Sastra Indonesia.
    [Show full text]
  • Sumpit (Blowgun)
    Journal of Education, Teaching and Learning Volume 3 Number 1 March 2018. Page 113-120 p-ISSN: 2477-5924 e-ISSN: 2477-4878 Journal of Education, Teaching, and Learning is licensed under A Creative Commons Attribution-Non Commercial 4.0 International License. Sumpit (Blowgun) as Traditional Weapons with Dayak High Protection (Study Documentation of Local Wisdom Weak Traditional Weapons of Kalimantan) Hamid Darmadi IKIP PGRI Pontianak, Pontianak, Indonesia E-mail: [email protected] Abstract. The Dayak ancestors who live amid lush forests with towering tree trees and inhabited by a variety of wild animals and wild animals, inspire for the Dayak's ancestors to make weapons that not only protect themselves from the ferocity of forest life but also have been able to sustain the existence of their survival. Such living conditions have motivated the Dayak ancestors to make weapons called "blowgun" Blowgun as weapons equipped with blowgun called damak. Damak made of bamboo, stick and the like are tapered and given sharp-sharp so that after the target is left in the victim's body. In its use damak smeared with poison. Poison blowgun smeared on the damak where the ingredients used are very dangerous, a little scratched it can cause death. Poison blowgun can be made from a combination of various sap of a particular tree and can also be made from animals. Along with the development of blowgun, era began to be abandoned by Dayak young people. To avoid the typical weapons of this high-end Dayak blowgun from extinction, need to be socialized especially to the young generation and to Dayak young generation especially in order, not to extinction.
    [Show full text]
  • Genetic Inheritance in the Isolects of Kotawaringin Barat, Kalimantan
    Genetic Inheritance in the Malayic languages of Kotawaringin Barat, Indonesia by Chad K. White (Under the direction of Jared Klein) Abstract This thesis will attempt to classify the languages of Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia using comparative analysis and dialectology. Comparison will be made with Proto-Malayic and other comparative dialectal studies to determine if the KoBar lan- guages are autochthonous to Borneo or part of a back-migration of Malay languages from outside Borneo. If they are autochthonous, then I will seek to place them in the network of Malayic dialects based on phonological changes. Finally, the internal relationships of the languages will be determined based on sound changes. It is my hope that this paper will move forward the study of Malayic languages on Borneo. Index words: Malayic, Malay, Language, Historical Linguistics, Comparative Linguistics, Dialectology, Borneo, Kotawaringin Barat, back-migration, Kalimantan Tengah, Banjar, Kendayan, Iban, (academic) Genetic Inheritance in the Malayic languages of Kotawaringin Barat, Indonesia by Chad K. White B.A., Columbia International University, 1999 A Thesis Submitted to the Graduate Faculty of The University of Georgia in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree Master of Arts Athens, Georgia 2008 c 2008 Chad K. White All Rights Reserved Genetic Inheritance in the Malayic languages of Kotawaringin Barat, Indonesia by Chad K. White Approved: Major Professor: Jared Klein Committee: Don McCreary Michael A. Covington David Mead Electronic Version Approved: Maureen Grasso Dean of the Graduate School The University of Georgia August 2008 Dedication To Becky and my boys iv Acknowledgments I would like to thank Dr.
    [Show full text]
  • Kajian Terhadap Gambaran Jenis Senjata Orang Melayu Dalam Manuskrip Tuhfat Al-Nafis
    BAB 1 PENGENALAN ______________________________________________________________________ 1.1 Latar Belakang Masalah Kajian 1.1.1 Peperangan Dunia seringkali diancam dengan pergaduhan dan peperangan, sama ada peperangan antarabangsa, negara, agama, etnik, suku kaum, bahkan wujud juga peperangan yang berlaku antara anak-beranak dan kaum keluarga. Perang yang di maksudkan adalah satu pertempuran ataupun dalam erti kata lain merupakan perjuangan (jihad). Kenyataan ini turut di perakui oleh Sun Tzu dalam karyanya yang menyatakan bahawa peperangan itu adalah urusan negara yang penting untuk menentukan kelangsungan hidup atau kemusnahan sesebuah negara, maka setiap jenis peperangan itu perlu diselidiki terlebih dahulu matlamatnya.1 Di samping itu, perang juga sering dianggap oleh sekalian manusia bahawa ia merupakan satu perbalahan yang melibatkan penggunaan senjata sehingga mampu mengancam nyawa antara sesama umat manusia.2 Ini menunjukkan bahawa penggunaan senjata merupakan elemen penting dalam sebuah peperangan. Perang merupakan salah satu daripada kegiatan manusia kerana ia meliputi pelbagai sudut kehidupan. Peredaran zaman serta berkembangnya sesebuah tamadun telah menuntut seluruh daya upaya manusia untuk berjuang mempertahankan negara terutamanya dalam peperangan. Ini kerana pada masa kini perang merupakan satu 1 Saputra, Lyndon, (2002), Sun Tzu the Art of Warfare, Batam : Lucky Publisher, hlmn 8 2 Kamus Dewan Bahasa (Edisi Keempat), (2007), Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka , hlmn 1178 masalah yang sangat besar, rumit dalam sebuah
    [Show full text]
  • Socio-Economics and Culture
    Volume 4 Socio-economics and Culture General Editors I.V. Ramanuja Rao and Cherla B. Sastry Volu me Editors Brian Belcher, Madhav Karki and Trevor Williams International Network for Bamboo and Rattan (INBAR) Environmental Bamboo Foundation (EBF) Government of the Netherlands International Plant Genetic Resources Institute (EPGRI) international Development Research Centre (IDRC) 1996 International Development Research Centre All rights reserved. No part of this publication may be reproduced or transmitted in any form orby any means, electronic ormechanical, including photocopy, recording or any information storage and retrieval system, without permission in writing from the publisher. The presentation of material in this publication and in maps which appear herein does not imply the expression of any opinion on the part of INBAR or IDRC: con- cerningthe legal status of any country, or the delineation of frontiers or haunches. ISBN 81-86247- 15-7 Textdesign, layout and typesetting: Edit International, Bangalore, India. Cover design: Shalini Malhotra Printed and Bound in India by Thomson Press (India) Ltd. International Network for Bamboo and Rattan 17Jor Bagh New Delhi I10 003 India Contents Foreword V Preface vii The Role of Bamboo in Development Brian Belcher 1 The Role of Bamboo in Village-based Enterprises Mich Blowfield, Eric Boa and U.M. Chandrasekara 10 Towards a New Approach to Understanding the Bamboo Economy P.M. Mathew 22 Bamboo Shoot Industry and Development Songkram Thammincha 33 Knowing Bamboo, Knowing People Eric Boa 40 Employment Generation from Bamboos in India N.S. Adkoli 45 Bamboo for Socio-economic Development and Sustainable Resource Management: the Case of Indonesia B.D.
    [Show full text]
  • Kata Pengantar
    This first edition published in 2007 by Tourism Working Group Kapuas Hulu District COPYRIGHT © 2007 TOURISM WORKING GROUP KAPUAS HULU DISTRICT All Rights Reserved, no part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system, or transmitted to any form or by any means, electronic, mecanical, photo-copying, recording, or otherwise without the prior permission of the copyright owners. CO-PUBLISHING MANAGER : Hermayani Putera, Darmawan Isnaini HEAD OF PRODUCTION : Jimmy WRITER : Anas Nasrullah PICTURES TITLE : Jean-Philippe Denruyter ILUSTRATOR : Sugeng Hendratno EDITOR : Syamsuni Arman, Caroline Kugel LAYOUT AND DESIGN : Jimmy TEAM OF RESEARCHER : Hermas Rintik Maring, Anas Nasrullah, Rudi Zapariza, Jimmy, Ade Kasiani, Sugeng Hendratno. PHOTOGRAPHIC CREDITS Sugeng Hendratno: 1, 2BL, 2BR, 4B, 5L, 6, 7, 14A, 14BR, 21R, 21BL, 22B, 26L, 27T, 27A, 30, 33, 35, 40AL, 40AR, 43A, 43BR, 46T, 51, 54BL, 55B, 58BL, 58BR, 64BR, 66A, 67A, 68, 72B, 75A, 76L, 77BL, 77BR, 78, 79BL, 80L, 83B, 84B, 85B, 90B, 94L, 94B, 94A, 99L, 102BL, 103M1, 103M3, 103M5, 103R3, 103R6, 104L1, 104M2, 105L3, 105L4, 105M3, 105R1, 105R3, 105R4, Jimmy: 2A, 3A, 3L, 4T, 5B, 13L, 14R, 14BL, 15, 16 AL, 16 AR, 16B, 17A, 18T, 18R, 18BL, 18BR, 19, 20, 21T, 21BR, 22T, 22A, 23AL, 24, 25, 32BL, 32BR, 40T, 40L, 42, 43BL, 44 All, 45 All, 47, 48, 49, 50 All, 52, 53L, 54BR, 55T, 57TR, 57B, 59 All, 61AL, 62, 64BL, 66R, 69A, 69BL, 69BR, 70 All, 71AL, 71AR, 71BL, 71BR, 72A, 74, 75B, 76B, 79A, 79BR, 80B, 81, 83, 84L, 85AL, 85AR, 87 All, 88, 89, 90AL, 90AR, 90M, 92, 93 All, 98B, 99B,
    [Show full text]
  • Silat Martial Ritual Initiation in Brunei Darussalam
    Southeast Asia: A Multidisciplinary Journal, Vol 14, 2014, pp 1–13 © FASS, UBD Silat martial ritual initiation in Brunei Darussalam Gabriel Facal Institut de recherches Asiatiques (Aix-Marseille Université) Abstract Almost no research has been done on the silat martial ritual initiations developed in Brunei even though silat continues to be a main cultural marker of the sultanate and it is recurrent in legendary narratives as well as in contemporary local film productions. For Bruneian people, the image of silat is also conveyed by the multitude of Malaysian and Indonesian movies they can watch. Therefore the upheavals that silat has endured since the inception of the sport’s federation in the 1980’s have challenged the possibility of local silat groups keeping alive their practice, structure and organization. These evolutions also reflect certain conflicts in the Bruneian cultural policy, as the government seeks to promote a traditional cultural heritage while at the same time transforming its content to match an alternative ideological discourse. Introduction Martial ritual initiations have spread widely across the so-called Malay world (for debate about this notion, see Barnard, 2004), and have been extensively documented. For example, Maryono (2002) describes pencak and silat in Indonesia, De Grave (2001) deals with pencak in Java, Facal (2012) focuses on penceu in Banten, Wilson (2002) analyzes penca in West Java, and Farrer (2012) considers silat in Malaysia. However, there has been less coverage of the situation in Brunei. This discrepancy can be explained by the secrecy surrounding the transmission and integration of the practice in a wide and complex set of transmission frames, based on an authority structure which refers to local cosmology and religious values.
    [Show full text]
  • A Vocabulary of the English and Malay Languages;
    t*8?§*fv e? Vfe Y t * Vc't'fehll Ml* V/BfrllTm ; -vv VOCABULARY OF THE English and Malay LANGUAGES WITH NOTES FRANK A. SWETTENHAM, C.M.G., H.M.'S RESIDENT, SELANGOR, MALAY PENINSULA. REVISED EDITION. VOL. I.—ENGLISH-MALAY. Singapore ; Printed at the Government Printing Office. London : W. B. WHITTINGHAM & Co., 91, Gracechurch Street, E.C. 1889. All Rights Reserved. PC- — — — — vocabulary of the English and malay languages, with notes, BY F. A. SWETTENHAM. Opinions of the Press. These objects appear to us to have been successfully attained. The work is a most scholarly production, which does Mr. SWETTENHAM the highest credit, and must have cost him much time and labour, and it cannot fail to prove a most useful vade-mecum to the student and the business man who wishes to obtain an accurate knowledge of the Malay language, its idiom, pronunciation, and written character. When Part II is published, the complete work will enable any one to learn how to speak and write Malay accurately without help or reference to any other work, such as MARSDEN's Dictionary, now out of print and difficult to get, or CRAWFURD's Grammar and Dictionary, now also more or less out of date and which does not give the Malay character. Singapore Daily Times, 1 8th April, 1881. When we say that the work does credit to his reputation as a Malay scholar and reflects highly on his abilities as an author and an industrious civilian official, we give him but faint praise. There is such small encouragement for a man in the Far East to devote his time to a work of the description referred to above, that we wonder Mr.
    [Show full text]
  • Case Study: Borneo Culture)
    RE-BRANDING INDONESIAN CULTURE IN INTERNATIONAL LEVEL THROUGH CHARACTERS IN VIDEO GAMES (CASE STUDY: BORNEO CULTURE) Hadi Prayogo(1), Christyowidiasmoro(2), Mochamad Hariadi(3) (1)STIKOM Surabaya, (2)ITS Surabaya, (3)ITS Surabaya (1)[email protected], (2)[email protected], (3)[email protected] Abstract Indonesian diversions culture has been known to the world a long time ago, many films, animation or games from the other countries are adopting the elements of Indonesian culture. In this paper we pick a theme the cultural elements of the island of Borneo as a pioneer in the image of Indonesian culture at an international level through the media of handheld gaming. Introducing of Indonesian culture, represented by Borneo culture that we implementing through one of the characters in the Android handheld game that we have created. We hope the image of Indonesian culture can be lifted and known on international public, especially children and teenagers who love the game. Keywords: video games, culture. 1. Introduction Indonesia is a country that has the most diverse cultures, but rarely explored into modern forms of media such as video games. Video games can be mixed with elements of Indonesian culture, especially in the character. Borneo/Kalimantan island is the largest island in Indonesia and have the unique culture and closely related with magic. In our game Lume Wars, we adding Indonesian culture on one of character. In this character we are inspired by the figure of a bird commander who became a legend society in Borneo island. The main ethnic groups of Dayaks are the Bakumpai and Dayak Bukit of South Kalimantan, The Ngajus, Baritos, Benuaqs of East Kalimantan, the Kayan and Kenyah groups and their sub-tribes in Central Borneo and the Ibans, Embaloh (Maloh), Kayan, Kenyah, Penan, Kelabit, Lun Bawang and Taman populations in the Kapuas and Sarawak regions.
    [Show full text]
  • BATTLE of MACTAN Danilo Madrid Gerona, Ph.D
    BATTLE OF MACTAN Danilo Madrid Gerona, Ph.D. Foreword Especially written by Dr. Gerona for Sulu Garden’s BATTLE OF MACTAN PROJECT, this article describes this dramatic event from actual accounts of Ferdinand Magellan’s chronicler, Antonio Pigafetta, and other historians long after the conflict. Dr. Gerona is a faculty member in the Graduate School of Universidad de Isabel in Naga City and a research associate of the University of San Carlos Press in Cebu. He is the only non-Spanish member of Sevilla 2019- 2022, which coordinates the global celebration of the 5th Centenary of Magellan’s Circumnavigation of the World. In 2016, Dr. Gerona published his epic book, Ferdinand Magellan. The Armada de Maluco and the European Discovery of the Philippines, based on primary sources from years of research in Spain. The Diorama of the Battle of Mactan is a project to illustrate the real events of the battle between the forces of Magellan and Lapulapu on April 27, 1521. Both antagonists in this 16th century drama has been long misunderstood by our fellow countrymen because of long standing biases, sometimes disinterest in historical narratives and mostly from lack of true, historically accurate books on this subject. Why create a diorama? The battlefield in Mactan is a diverse battlefield with so many players. There were Magellan’s men, the Cebuano Rajahs Humabon and Sula, Rajah Lapulapu and his allies. The battlefield extended from the deep water edge of the almost 2 km coral reef fronting the Island of Mactan itself. There were over 2,500+ warriors of both sides, Magellan’s Conquistadores, three Spanish ships known as caravels, 30 balanghai ships, assorted smaller boats and the complicated terrain of Mactan.
    [Show full text]
  • Berkala Arkeologi
    BERKALA ARKEOLOGI Vol. 16 No. 2, November 2013 ISSN 1410 – 3974 Naskah Bambu Namanangon Ribut: Salah Satu Teks dari Batak Mandailing Yang Tersisa Namanongon Ribut Bamboo Script: One of The Remaining Batak Mandailing Texts Churmatin Nasoichah Potensi Kepurbakalaan di Pulo Aceh Archaeological Potential In Pulo Aceh Dyah Hidayati Makna Penguburan Bersama Masa Prasejarah dan Tradisinya di Sumatera Bagian Utara The Meaning Of Pre-Historic Communal Burial And Its Tradition In North Sumatera Ketut Wiradnyana Studi Kelayakan Arkeologi Di Situs Kota Cina, Medan (Studi Awal Dalam Kerangka Penelitian Arkeologi) Archaeological Feasibility Study of the Kota Cina site, Medan (A Preliminary Study of the Archaeological Research Framework) Stanov Purnawibowo Syailendrawangsa: Sang Penguasa Mataram Kuno Syailendrawangsa: The Ruler Of The Ancient Mataram Baskoro Daru Tjahjono Komunikasi Efektif Dalam Penyelamatan Patung Pangulubalang Terhadap Potensi Konflik Vertikal di Kabupaten Simalungun An Effective Communication in The Salvation of Pangulubalang Statue as an Anticopation to Vertical Conflict Potentials in The Regency of Simalungun Defri Elias Simatupang Kelapa Dalam Catatan Arkeologi dan Historis: Upaya Pengembangan Kebijakan Tanaman Serba Guna Coconuts in Historical and Archaeological Records: an Effort of Developing Multi-Purposes Plants Lucas Partanda Koestoro KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BALAI ARKEOLOGI MEDAN Medan, BAS VOL. 16 NO. 2 Hal 113 -- 233 ISSN 1410 – 3974 November 2013 BERKALA ARKEOLOGI Vol. 16 No. 2, NOVEMBER 2013 ISSN 1410 - 3974 Berkala Arkeologi “SANGKHAKALA” adalah wadah informasi bidang arkeologi yang ditujukan untuk memajukan kegiatan penelitian arkeologi maupun kajian ilmu lain yang terkait dengan arkeologi, serta menyebarluaskan hasil-hasilnya sehingga dapat dinikmati oleh kalangan ilmuwan khususnya dan masyarakat luas umumnya. Redaksi menerima sumbangan artikel dalam bahasa Indonesia maupun asing yang dianggap berguna bagi perkembangan ilmu arkeologi.
    [Show full text]
  • Linguistic Comparison of Semai Dialects
    DigitalResources Electronic Survey Report 2013-010 ® Linguistic Comparison of Semai Dialects Timothy C. Phillips Linguistic Comparison of Semai Dialects Timothy C. Phillips SIL International® 2013 SIL Electronic Survey Report 2013-010, July 2013 © 2013 Timothy C. Phillips and SIL International® All rights reserved Abstract The Semai language of peninsular Malaysia is rich in diversity: each Semai village speaks its own variety. This report1,2 documents the various Semai dialects and explores the relationships between them, with regard to choice of words as well as the phonological changes that affect the pronunciation of each. Systematic analysis shows the dialects to be different enough from each other that it is unlikely that any one dialect can be adequately understood by all speakers. Thus, in the strictest sense of the terms, it may be argued that the Semai varieties are a cluster of closely related “languages” rather than “dialects.” Following local convention, however, the term “dialect” is maintained in this paper. This report lays the foundation for establishing which dialect or dialects could be used to provide an optimal means of communication across all the Semai dialects. 1This research was carried out under the auspices of the Economic Planning Unit (EPU), part of the Prime Minister’s Department, Malaysia. My Malaysian counterpart was Dr Wong Bee Eng, lecturer at Universiti Putra Malaysia. The original report was filed with the EPU in 2005. This version has been revised for publication in 2013. 2 I would like to thank the people of Malaysia for welcoming me and my family to their beautiful country and for their patience as we have struggled to learn their cultures and languages.
    [Show full text]