CITRA PEMELUK AGAMA HINDU-BUDDHA DAN AGAMA ISLAM DALAM NOVEL ARUS BALIK KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER (Analisis Struktutalisme Genetik)

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Sastra Indonesia

Oleh Hendra Sigalingging 044114028

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2009

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Orang yang tidak pernah membuat kekeliruan adalah orang yang tidak pernah

melakukan apapun

(Theodre Roosevelt)

Saya bukanlah manusia gagal, saya hanya menemukan sepuluh ribu cara yang tidak

efektif

(Benjamin Franklin)

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

Sang Maha Kasih, Yesus Kristus

Amang dohot Inang yang telah membuat aku ada

Rika dan Riko yang mengasihiku

Serta semua orang yang kukasihi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat akhir dalam menempuh ujian sarjana pada Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yaitu:

1. Drs. B. Rahmanto, M.Hum, sebagai dosen pembimbing I, terima kasih

atas segala bimbingan dan masukan kepada saya untuk meyelesaikan

skripsi ini.

2. SE Peni Adji, S.S, M.Hum sebagai dosen pembimbing II, terima kasih

telah meluangkan banyak waktu untuk memberi masukan dan

membimbing saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Seluruh dosen jurusan Sastra Indonesia, yang telah dengan sabar

membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Sastra Indonesia.

4. Amang dohot Inang yang telah memberi dukungan secara materiil dan

spirituil kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat selesai.

5. Rika dan Riko, terima kasih atas dukungan dan celotehannya “Cepat

selesai, Bang”. 6. Bawoxku, terima kasih atas segala kesabaran dan dukungannya untuk

tetap memberiku semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Teman-teman Bengkel Sastra yang telah membantu penulis

mewujudkan penulisan skripsi ini.

8. Menyun dan Doler, terima kasih atas sharingnya pada penulis.

9. Teman-teman seperjuangan Sastra Indonesia 2004, terima kasih atas

kebersamaannya selama di bangku perkuliahan.

10. Semua karyawan di Universitas Sanata Dharma, terima kasih atas

pelayanannya selama ini.

11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun

telah banyak memberikan dukungan dan perhatian sampai selesainya

skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Untuk itu, segala saran dan kritik dari berbagai pihak akan penulis terima dengan segala kerendahan hati dan harapan dapat lebih menyempurnakan penelitian ini. Penulis juga berharap skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, 15 April 2009

Penulis

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : Hendra Sigalingging Nomor Mahasiswa : 044114028

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

CITRA PEMELUK AGAMA HINDU-BUDDHA DAN AGAMA ISLAM DALAM NOVEL ARUS BALIK KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER (Analisis Struktutalisme Genetik) beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me- ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Yogyakarta, 20 April 2009 Yang menyatakan

(Hendra Sigalingging) ABSTRAK

Sigalingging, Hendra. 2009. “Citra Pemeluk Agama Hindu-Buddha dan Agama Islam dalam Novel Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer : Analisis Strukturalisme Genetik.” Skripsi Strata (S-1). Yogyakarta. : Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji tentang citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam dalam novel Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dan mendeskripsikan analisis struktural yang difokuskan pada analisis alur, mendeskripsikan situasi kehidupan keagamaan dalam masa keruntuhan , dan menganalisis serta mendeskripsikan citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam dalam novel Arus Balik. Penelitian ini menggunakan pendekatan strukturalisme genetik yang dikembangkan oleh Lucian Goldmann. Diawali dengan analisis struktur teks yang difokuskan pada analisis alur, lalu dilanjutkan pada analisis struktur historis, yaitu situasi kehidupan keagamaan dalam masa keruntuhan Majapahit sebagai kelas-kelas sosial dan bandingan untuk menemukan citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam sebagai struktur sosial yang ada dalam teks sastra. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis isi. Metode analisis isi digunakan untuk menganalisis isi teks sastra. Dalam penelitian ini, metode analisis isi digunakan untuk mengkaji isi teks sastra tanpa melihat isi komunikasi (pesan yang diterima oleh pembaca) dari teks sastra tersebut. Hasil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Alur dalam novel Arus Balik adalah alur campuran. Peristiwa-peristiwa yang terjadi tidak berjalan secara kronologis atau progresif. Ini dikarenakan ada beberapa peristiwa yang mengalami flash back. Konflik utama dalam novel Arus Balik sendiri adalah kedatangan bangsa Peranggi di . (2) Struktur historis dan kelas-kelas sosial yang terliput dalam situasi kehidupan keagamaan dalam masa keruntuhan Majapahit, menggambarkan perkembangan agama Islam yang maju pesat. Agama Hindu-Buddha sendiri mengalami kemerosotan dan penindasan. Hal ini merupakan imbas dari “islamisasi paksa” oleh kerajaan-kerajaan Islam. Posisi Tuban sebagai setting utama, hadir sebagai bandar terpenting pada masa Majapahit. Tuban juga berdiri sebagai benteng pertahanan dan basis militer Majapahit. (3) Citra agama Hindu-Buddha dominan digambarkan secara positif. Citra positif agama Hindu-Buddha terangkum dalam poin citra positif ajaran Hindu-Buddha dan citra positif pemeluk agama Hindu-Buddha. Citra positif yang ada dalam ajaran agama Hindu-Buddha meliputi (a) Hindu-Buddha melarang penghujatan dewa, (b) Hindu-Buddha menuntut manusia menggunakan nalar, (c) Hindu-Buddha mengajarkan hakikat kebenaran, (d) Hindu-Buddha menciptakan kedamian, dan (e) Hindu-Buddha dapat berakulturasi dengan budaya masyarakat. Citra positif pemeluk agama Hindu-Buddha juga terangkum dalam sembilan poin, yaitu (i) pemeluk agama Hindu-Buddha lebih menghargai alam, (ii) pemeluk Hindu-Buddha tidak rakus akan ambisi pribadi, (iii) Pemeluk Hindu-Buddha tetap menjaga kebudayaannya, (iv) Pemeluk Hindu-Buddha sangat menghargai dewanya, (v) pemeluk Hindu-Buddha taat menjalankan ritual keagamaannya, (vi) pemeluk Hindu-Buddha tidak memaksakan kehendak, (vii) sikap mental yang mandiri dari pemeluk Hindu-Buddha, (viii) pemeluk Hindu-Buddha menghargai manusia lainnya, dan (ix) pemeluk Hindu-Buddha memiliki cinta kasih. Agama Hindu-Buddha tidak memiliki citra negatif. Ada tiga poin citra positif Islam yang dibentuk oleh sikap pemeluknya meliputi (a) pemeluk agama Islam adalah individu yang ulet, (b) pemeluk Islam juga mengkritisi kelemahan ajaran Hindu-Buddha, dan (c) pemeluk agama Islam taat menjalankan ajaran agamanya. Citra Islam sendiri dominan bersifat negatif dalam novel Arus Balik. Citra negatif ajaran agama Islam adalah memaksakan aturan- aturannya sendiri. Citra negatif pemeluk agama Islam terangkum dalam lima poin, yaitu (i) pemeluk agama Islam gemar melakukan penghinaan dan pelecehan, (ii) pemeluk agama Islam juga gemar menghina antarsesama Islam, (iii) pemeluk agama Islam menggunakan agamanya sebagai pembenaran, (iv) pemeluk agama Islam kurang memiliki iman yang kuat, dan (v) pemeluk agama Islam suka melakukan kekerasan. Pandangan dunia Pramoedya yang tergambar dalam Arus Balik mengatakan jika citra “Islamnya Pram” adalah Islam yang identik dengan anarkisme dan fanatisme. Agama Hindu-Buddha sendiri berdiri sebagai agama yang sesuai dengan budaya Nusantara, khususnya Jawa dan berakulturasi hingga menciptakan kedamaian bagi manusia di Nusantara secara umum. Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa perkembangan agama Islam dalam novel Arus Balik tidak mutlak selalu dilakukan secara damai. Islamisasi juga dilakukan dengan kekerasan, doktrinisasi, dan pemaksaan. Kerajaan-kerajaan Islam dihadirkan sebagai faktor yang menyebabkan kemerosotan agama Hindu-Buddha. Hal ini juga disebabkan oleh situasi politis zaman. Agama Hindu-Buddha sendiri menjadi objek eksploitasi yang terombang-ambing dalam arus zaman yang mengalami perubahan.

ABSTRACT

Sigalingging, Hendra. “Image Of Hindu-Buddha Followers and Islam Followers from Arus Balik Novels’s written by Pramoedya Ananta Toer: An Analysis Of Genetic Structuralism.” Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Department Of Indonesian letter, Faculty Of Letter, Sanata Dharma University. 2009.

This research examines the image of Hindu-Buddha religions and Islam from Arus Balik novel written by Pramoedya Ananta Toer. The aims of this research are to analyze and describe novel’s structure that focus to plot, describe the situation of religion’s livelihood on Majapahit collapse period, and analyze along with describing the image of Hindu-Buddha religions and Islam from Arus Balik novel This research uses genetic structuralism which was expanded by Lucian Goldmann. It’s starting with text structure analysis that focus to plot analysis, then continue with historical structure analysis about the situation of religions livelihood on Majapahit collapse period as social classes and comparison to find the image of Hindu-Buddha religions and Islam as social structure that was written in letter’s text. The method which is used to analyze the data in this research is content analysis method. Content analysis method is used to analyze the content of letter’s text. In this, research, content analysis method is used to examine only for the content of letter’s text, without the communication content analysis (the commands which are received by the reader) from letter’s text. The results on this research are (1) The plot of Arus Balik is mixture plot. The incidents were not ride chronological or progressive. It’s happened there for many flash back incidents. The main conflict of Arus Balik is the Peranggi’s arrival in Nusantara. (2) Historical structure and social classes which are included in the situation the religion’s livelihood on Majapahit collapse period, described the amazing progress of Islam. The Hindu-Buddha religions experienced some drops and oppressions. That are caused by forcing the islamitation by Moslem kingdoms. The position Tuban as the main setting was presented as the most important harbour in time of Majapahit. Tuban was also exist as fortrees and Majapahit military base. (3) The image of Hindu-Buddha was dominant described positively. The positive image of Hindu-Buddha include (a) Hindu-Buddha prohibit the insult of gods, (b) Hindu- Buddha require the human to use the logical way in thinking, (c) Hindu-Buddha teach about the truth, (d) Hindu-Buddha make peace, and (e) Hindu-Buddha could mix with the local genius. The positive image of Hindu-Buddha followers were also describe in nine points, include (i) Hindu-Buddha followers appreciated the nature, (ii) Hindu- Buddha followers were not greedy about personal will, (iii) Hindu-Buddha followers kept their culture, (iv) Hindu-Buddha followers to be more appreciate for their gods, (v) Hindu-Buddha followers kept their devotion, (vi) Hindu-Buddha followers were not force their will, (vii) The solid mentality from Hindu-Buddha followers, (viii) Hindu-Buddha followers appreciated the other human, (ix) Hindu-Buddha followers have love. Hindu-Buddha have not many negative images. There are three points the positive image of Islam wihich were sign by their followers attitude include (a) Islam followers were perseverance persons, (b) Islam followers were also criticize the weakness of Hindu-Buddha, and (c) Islam followers kept their devotion. The image of Islam were dominant negative in Arus Balik. The negative image of Islam is force their rules. The negative image of Islam followers described in five points include (i) Islam followers enjoy to did some humiliation, (ii) Islam followers were also enjoy to did humiliation fellow Islam followers, (iii) Islam followers used their religion as justification, (iv) Islam followers had not solid faith, and (v) Islam followers enjoy to did some violence. Pramoedya’s world view which was describe in Arus Balik tell if the image of Pram’s Islam was close with anarchism and fanatism. Hindu-Buddha exist as the religion that was better for Nusantara culture, especially Java and mixed until make peace for the people in Nusantara in general. The consclusions of this research are the Islam’s progress of Arus Balik were not always done in peace. The Islamitation was also done in violence, instigation forcing, and compulsion. Islamic kingdoms were presented as the factor that caused the drop of Hindu-Buddha religions. It’s caused the political situation from each epoch. The Hindu-Buddha religions had become an exploitation object drifted in the current-changeable epoch.

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... i

HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………. ii

HALAMAN PENGESAHAN ...... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN...... iv

KATA PENGANTAR……………………………………………………… v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……………………………………. vii

ABSTRAK ...... viii

ABSTRACT ...... x

DAFTAR ISI...... xii

BAB I PENDAHULUAN...... 1

1.1 Latar Belakang...... 1

1.2 Rumusan Masalah...... 9

1.3 Tujuan Penelitian...... 10

1.4 Manfaat Penelitian...... 10

1.5 Tinjauan Pustaka……………………………………….. 11

1.6 Landasan Teori...... 12

1.6.1 Teori Struktural dan Teori Alur ...... 12

1.6.2 Strukturalisme Genetik...... 15

1.6.3 Citra...... 18

1.6.4 Agama ...... 19 1.6.5 Agama Hindu-Buddha...... 20

1.6.6 Agama Islam...... 23

1.6.7 Citra Pemeluk Agama…………………………. 24

1.7 Metode Penelitian...... 25

1.7.1 Pendekatan...... 25

1.7.2 Metode Penelitian...... 25

1.8 Teknik Pengumpulan Data…………………………….. 27

1.9 Sumber Data……………………………………………. 28

1.10 Sistematika Penyajian…………………………………... 28

BAB II ANALISIS ALUR NOVEL ARUS BALIK...... 30

2.1 Tahap Penyituasian…………………………………….. 30

2.2 Tahap Pemunculan Konflik……………………………. 33

2.3 Tahap Peningkatan Konflik……………………………. 74

2.4 Tahap Klimaks………………………………………… 135

2.5 Tahap Penyelesaian…………………………………….. 139

2.6 Rangkuman…………………………………………….. 143

BAB III SITUASI KEHIDUPAN KEAGAMAAN DALAM MASA

KERUNTUHAN MAJAPAHIT ...... 145

3.1 Kehidupan Agama pada Masa Majapahit…………… ... 149

3.2 Kehidupan Agama dalam Masa Keruntuhan Majapahit… 155

3.3 Rangkuman……………………………………………… 165

BAB IV CITRA AGAMA HINDU-BUDDHA DAN AGAMA ISLAM DALAM

NOVEL ARUS BALIK………………………………………. . 168

4.1 Citra Agama Hindu-Buddha…………………………… 170

4.1.1 Citra Positif Agama Hindu-Buddha……………... 171

4.1.2 Citra Negatif Agama Hindu-Buddha…………….. 200

4.2 Citra Agama Islam……………………………………... 200

4.2.1 Citra Positif Agama Islam……………………….. 201

4.2.2 Citra Negatif Agama Islam………………………. 205

BAB V PENUTUP...... 252

5.1 Kesimpulan ...... 252

5.2 Saran...... 255

DAFTAR PUSTAKA...... 256

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Dunia sastra merupakan sebuah wadah seni yang dapat memberi kepuasan ataupun pengetahuan yang diterima oleh pembaca melalui refleksinya terhadap karya sastra, realitas, dan imajinasi. Hanya saja, yang membedakannya dengan seni yang lain adalah sastra memiliki aspek bahasa (Semi, 1984:39).

Karya sastra merupakan suatu karya yang dihasilkan melalui proses kreatif pengarang. Dalam proses ini dibutuhkan suatu kreativitas dalam diri pengarang.

Kreativitas ini dapat bersumber pada imajinasi pengarang atau hasil observasi pengarang terhadap realitas yang dihadapinya. Hal ini juga dijelaskan oleh Sumardjo

(1979:65) yang mengatakan karya sastra merupakan hasil pengamatan sastrawan terhadap kehidupan sekitarnya. Novel sebagai salah satu genre sastra juga merupakan produk kehidupan yang banyak mengandung nilai-nilai sosial, politik, etika, religi, dan filsafat yang bertolak dari pengungkapan kembali fenomena kehidupan

(Sardjono, 1992:10).

Selain berhubungan dengan masyarakat, karya sastra juga dapat bersumber dari peristiwa sejarah. Peristiwa sejarah juga merupakan motivasi seorang pengarang untuk menciptakan karya sastra. Menurut Kuntowijoyo (2006: 171), objek karya sastra adalah realitas, apa pun juga yang dimaksud dengan realitas oleh pengarang.

Apabila realitas itu berupa peristiwa sejarah, maka karya sastra dapat, pertama

1 mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa yang imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang. Kedua, karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan, serta tanggapan mengenai suatu peristiwa sejarah. Ketiga, seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali sebuah peristiwa sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang.

Seorang pengarang novel sejarah dapat menggunakan masa lampau yang luas untuk menolak atau mendukung suatu interpretasi atau gambaran sejarah yang sudah mapan. Hal ini juga dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya disingkat

Pram) dalam novelnya berjudul Arus Balik. Arus Balik adalah sebuah novel sejarah yang mengangkat Nusantara dalam segala kejayaannya sebagai kesatuan maritim.

Peristiwa sejarah yang diangkat Pram adalah masa pascaruntuhnya Majapahit sampai pendudukan Portugis di Nusantara.

Arus Balik bercerita tentang seorang anak desa, Galeng, yang terlibat dalam arus kekuasaan dan intrik politik yang mengatasnamakan agama di kerajaan

Nusantara. Galeng hidup di desa Awis Krambil, salah satu desa di bandar Tuban yang merupakan pecahan dari runtuhan kejayaan Majapahit. Galeng yang menjadi juara gulat dan diangkat menjadi Syahbandar muda Tuban, memiliki seorang istri, Idayu, penari cantik yang juga menjuarai kompetisi tari di Tuban. Pasangan ini menjadi pujaan dalam masyarakat Tuban sehingga mereka dianggap sebagai turunnya Dewa

Kamajaya dan Dewi Kamaratih di atas bumi Tuban. Galeng dan Idayu menjadi ikon masyarakat Tuban mengalahkan Sang Adipati Tuban Tumenggung Wilwatikta yang

2 dianggap telah merosot pamornya karena tidak berjuang mengembalikan kejayaan

Majapahit, tetapi mengubah bandar Tuban menjadi bandar perdagangan.

Galeng dan Idayu terseret dalam dunia kekuasaan dan politik sejak Galeng dipilih menjadi Syahbandar Muda Tuban. Padahal, cita-cita pasangan ini hanyalah menjadi petani biasa di desanya. Sebagai Syahbandar Muda Tuban, Galeng diwajibkan untuk ikut mengurus segala sesuatu mengenai Tuban termasuk keamanan

Tuban dari serangan saudara sendiri ataupun serangan dari bangsa luar.

Ketika Nusantara bergelut dengan kenyamanan perdagangan, arus zaman pun berbalik. Arus yang selama ini bergerak dari selatan (kejayaan Nusantara) ke utara

(dunia luar), berganti haluan menjadi arus dari utara (bangsa /dunia luar) ke selatan

(Nusantara). Bangsa-bangsa asing mulai melakukan pelayaran dan memonopoli bandar-bandar perdagangan di Nusantara. Bangsa-bangsa yang datang dari utara ini telah menaklukkan Malaka yang merupakan bandar terpenting di Nusantara. Hal ini mengancam keberlangsungan perdagangan di Nusantara. Arus pemikiran yang mengatakan bahwa kekuatan Majapahit merupakan kekuatan yang paling kuat di bumi ini menjadi terbalik ketika melihat keperkasaan bangsa yang datang dari utara

(Portugis) bersama meriamnya yang mengalahkan cetbang Majapahit.

Secara perlahan, arus kekuasaan yang berpusat di selatan (Jawa), mulai digeser oleh kekuasaan utara (Portugis). Malaka dan Pasai pun telah dikuasai oleh

Portugis. Hal ini seharusnya mendapat perlawanan dari Tuban yang merupakan sisa armada terkuat pasukan Majapahit. Akan tetapi, Adipati Tuban tidak memerangi

Portugis, melainkan berharap Portugis mau bekerja sama dengan Tuban dalam

3 perdagangan. Otak Adipati yang penuh dengan perdagangan ini tidak mendapat respon dari masyarakat Tuban yang telah antipati kepada Adipati.

Perlawanan pertama terhadap Portugis malah dilakukan oleh kerajaan Demak di bawah panji Adipati Unus. Demak dengan bantuan dari kerajaan-kerajaan kecil di

Jawa pun mulai menyerang Portugis di Malaka. Salah satu pasukan bantuan tersebut adalah pasukan Tuban dengan Galeng di dalamnya yang akan menyusul dari belakang pasca-pemberangkatan pasukan Demak. Demak terdesak oleh taktik

Portugis. Adipati Unus menunggu kedatangan pasukan Tuban yang dijanjikan akan menyusul akan tetapi sia-sia karena pasukan Tuban sengaja diperlambat keberangkatannya oleh Adipati Tuban. Imbasnya, pasukan Demak diporak- porandakan oleh Portugis. Serangan Demak gagal total akibat perilaku Adipati

Tuban. Galeng pun bingung akan sikap Adipatinya yang tidak ksatria.

Dimulai dari peristiwa itulah, Galeng menginjakkan kakinya dalam hiruk- pikuk politik dan kekuasan. Galeng memiliki harapan, yaitu kembalinya kejayaan

Majapahit di Nusantara. Intrik politik yang terjadi pascapenyerangan Adipati Unus ke

Malaka membuat Galeng sadar kalau kekuatan yang ada sekarang adalah kekuatan agama Hindu-Buddha, agama Islam, dan Portugis. Pergulatan juga terjadi dalam keluarganya. Idayu, sang isteri yang cantik jelita menjadi objek sasaran dari Adipati

Tuban dan Syahbandar Tuban, yang menyukai Idayu. Klimaksnya adalah pemerkosaan yang dilakukan oleh Syahbandar Tuban, Sayid Habibullah setelah terlebih dahulu membius Idayu. Idayu pun melahirkan anak hasil perbuatan

Syahbandar Tuban. Hal ini mengancam kehidupan Idayu.

4 Di lain sisi, Rangga Iskak mantan Syahbandar Tuban yang dipecat secara sepihak oleh Adipati Tuban, melakukan pergolakan di daerah pedalaman Tuban.

Pengaruhnya pun mulai meluas hingga ia dapat menghimpun kekuatan dari berbagai desa di bawah nama Islam, seperti dalam kutipan berikut.

“ Allah telah kirimkan meriam, perlengkapan, dan penembaknya kepadaku untuk kupergunakan sebagaimana kehendaknya. Demi Allah, demi kekuasaan yang ada pada tanganku, kalian harus tujukan meriam itu kepada kafir Jawa, kafir Peranggi, dan kafir apa saja” (Pramoedya, 1995: 307).

Dalam kutipan di atas, terlihat bagaimana Rangga Iskak membawa agama sebagai pembenaran tindakannya untuk melakukan pergolakan. Selanjutnya, Rangga

Iskak menamakan dirinya Sunan Rajeg dan berniat membalas dendam kepada Adipati

Tuban. Perang saudara pun terjadi. Patih Tuban yang ditugaskan oleh Adipati untuk mengatasi pemberontakan Sunan Rajeg, tidak juga melakukan pergerakan. Hal ini dikarenakan kekecewaan Patih atas sikap Adipati yang tidak mengambil tindakan tegas dari dulu sehingga pergolakan Sunan Rajeg tidak akan terjadi. Melihat Patihnya yang hanya ceramah tentang Adipati dan tidak melakukan pergerakan, Galeng yang pada saat itu telah berposisi sebagai kepala pasukan laut pun membunuh Sang Patih dan mengangkat dirinya sebagai Senapati sekaligus Patih Tuban. Galeng memimpin pasukan Tuban memerangi pasukan Sunan Rajeg. Galeng pun meraih kemenangan.

Galeng meraih kejayaannya bersama sorakan masyarakat Tuban yang semakin memberi hormat kepadanya. Tuban bersorak.

Di lain pihak, Demak di bawah komando Fatahillah mulai menyerang kerajaan-kerajaan di Jawa. Banten dan Sunda Kelapa menjadi korban. Niat Adipati

5 Trenggono sebagai pengganti Adipati Unus untuk mengusir Portugis di Malaka belum juga terbukti. Hal ini membuat ibunya, Ratu Aisah membentuk armada gabungan untuk melakukan penyerangan ke Malaka karena lawan sesungguhnya adalah Portugis bukan kerajaan tetangga. Armada gabungan ini terbentuk antara armada Jepara, Aceh, Bugis, Lao Sam, dan Tuban. Pemimpin pasukan gabungan ini adalah Galeng yang telah memenangi perang saudara di Tuban.

Mengingat kesempatan untuk mengusir Portugis datang, Galeng yang telah memutuskan untuk menjadi petani, kembali tergerak untuk meneruskan cita-cita

Adipati Unus yang pernah dikhianati oleh Adipatinya. Akan tetapi, kejadian ini hanya trik rencana dari Demak agar Tuban sebagai pusat sisa kejayaan Majapahit di Jawa kosong dan dapat ditaklukkan. Penyerangan Galeng ke Malaka dengan armada apa adanya dan tanpa persenjataan yang lengkap gagal total. Demak pun menyerang

Tuban, akan tetapi masih dapat ditahan oleh pasukan Tuban di bawah komando Patih baru, Kala Cuwil. Dalam peristiwa ini, Adipati Tuban tewas.

Di tengah kesibukan Tuban mencegah penjajahan yang akan dilakukan

Demak, Portugis kembali menyerang Tuban. Tuban jatuh ke tangan Portugis. Galeng pun pulang ke Tuban. Karena karismanya, Galeng masih dianggap sebagai Senapati

Tuban oleh pasukan dan masyarakat Tuban. Ia pun menyiapkan peperangan untuk merebut kembali Tuban. Dengan taktiknya, Galeng dapat merepotkan Portugis dalam serangan mendadaknya. Portugis kalah, Tuban pun mendapatkan kembali kehormatannya.

6 Masyarakat Tuban melihat kembali sosok Gajah Mada dalam diri Galeng.

Dengan perjuangannya yang heroik dan dapat memberi perlindungan pada seluruh masyarakat Tuban, ia diminta untuk menjadi pemimpin Tuban yang dianggap dapat mengembalikan arus yang telah terbalik sehingga mencapai kejayaan yang dulu pernah dilakukan oleh Gajah Mada. Akan tetapi, Galeng menolak anggapan dan harapan tersebut karena dia beranggapan kalau dari awal dia hanyalah seorang anak desa yang selamanya akan menjadi anak desa. Galeng menyerahkan Tuban kepada seluruh kepala pasukan Tuban dengan memberi nasihat-nasihat hidup seperti yang dilakukan oleh Rama Cluring, Pendeta panutan Galeng dan Idayu.

Intrik politik dan kekuasaan yang ada dalam novel Arus Balik ini juga dihiasi dengan idealis agama. Agama dijadikan suatu pembenaran dari perbuatan manusia penganutnya. Hal ini sangat tergambar dalam novel Arus Balik. Sebagai contoh, kejadian pergolakan yang terjadi di pedalaman Tuban yang dilakukan oleh Rangga

Iskak. Rangga Iskak selalu mendoktrin massanya melalui ceramah-ceramah kepada pengikut-pengikutnya di pedalaman desa. Ia menjelekkan agama selain Islam dan orang-orang yang menganutnya serta mengharuskan agar hanya ada Islam di

Nusantara, seperti dalam kutipan berikut.

“Islam datang dari kandungan hati mereka yang bersih, dan disambut oleh mereka dengan hati yang bersih pula, berkembang damai seperti berkembangnya bunga jambu. Lain dengan Peranggi dan Nasraninya. Dia datang dengan tembakan meriam, dan dengan perangginya sekali. Kalau Tuban telah kita kuasai, kita akan bergerak ke selatan, mengusir Hindu, Nasrani dan Peranggi dari Blambangan” (Pramoedya, 1995: 364).

7 Hal ini membentuk suatu gambaran Islam melalui perilaku dan sikap dari penganutnya maupun ajarannya. Islam digunakan sebagai pembenaran dalam merebut atau menguasai suatu daerah.

Dalam novel Arus Balik, Pram juga membuat suatu benturan yang terjadi antara agama Hindu-Buddha dan agama Islam sebagai citraan agama Hindu-Buddha dan agama Islam. Ini dipaparkan melalui alur dan dialog-dialog antartokoh yang menjurus pada bentrokkan idealis agamanya masing-masing. Di sini, terlihat bagaimana superiornya Islam dan bagaimana Islam sebagai ajaran yang paling mulia mengizinkan umatnya menumpas umat agama lain, serta bagaimana keegoisan Islam untuk mengislamkan Nusantara.

Hal inilah yang menjadi ketertarikan penulis untuk mengangkat novel Arus

Balik dengan gambaran agama yang ada di dalamnya sebagai objek kajian. Penulis akan mengkaji bagaimana tindak laku para penganut agama serta benturan antara agama Hindu-Buddha dan agama Islam yang secara tidak langsung memberi gambaran atau citra mengenai agama Hindu-Buddha dan agama Islam.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan strukturalisme genetik yang dikemukakan dan dikembangkan oleh Lucian Goldmann. Ratna menjelaskan bahwa strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar penolakan terhadap analisis strukturalisme murni, analisis terhadap unsur-unsur intrinsik. Dibanding strukturalisme murni, strukturalisme genetik melangkah lebih jauh dari karya, yaitu ke struktur sosial (Ratna, 2004: 121) Jadi, strukturalisme genetik meneliti struktur teks tidak secara egois mematikan unsur-unsur lain yang ada di dalamnya, akan tetapi

8 analisis lebih pada struktur kemaknaan dari persesuaian karya tersebut dengan struktur sosial yang ada di dalamnya.

Dalam hal ini, analisis struktur yang akan dikaji oleh penulis adalah alur cerita Arus Balik. Hal ini dikarenakan alur ceritalah yang sangat potensial menggambarkan benturan agama yang secara tidak langsung juga membentuk citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam. Penulis juga akan memberi gambaran keadaan atau kehidupan keagamaan di Nusantara, khususnya di Jawa pascaruntuhnya

Majapahit sebagai struktur sejarah dan kelas-kelas sosial dalam konsep strukturalisme genetik. Sedangkan, struktur sosial yang akan dianalisis dari novel Arus Balik adalah agama melalui citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam yang ada dalam novel

Arus Balik. Citra ini digambarkan melalui benturan yang terjadi antara agama Hindu-

Buddha dan agama Islam serta perilaku atau sikap dari masing-masing penganut agamanya dalam novel Arus Balik.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka masalah-masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.2.1 Bagaimanakah unsur alur yang ada dalam novel Arus Balik?

1.2.2 Bagaimanakah situasi kehidupan keagamaan dalam masa keruntuhan

Majapahit?

1.2.3 Bagaimana citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam dalam

novel Arus Balik?

9 1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut .

1.3.1 Menganalisis dan mendeskripsikan bagaimana alur dari novel Arus

Balik.

1.3.2 Mendeskripsikan bagaimana situasi kehidupan keagamaan dalam

masa runtuhnya Majapahit.

1.3.2 Menganalisis dan mendeskripsikan bagaimana citra agama Hindu-

Buddha dan agama Islam dalam novel Arus Balik.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.4.1 Dalam dunia sastra, khususnya sastra Indonesia, penelitian ini dapat

menambah khazanah kritik sastra, khususnya kritik sastra

strukturalisme genetik.

1.4.2 Dari segi praktis, penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan

apresiasi kesusastraan Indonesia khususnya novel sejarah Arus

Balik.

1.4.3 Penelitian ini diharapkan dapat memotivasi pembaca sastra untuk

meninjau kembali fenomena sejarah dalam novel-novel sejarah yang

ada di Indonesia.

10 1.4.4 Penelitian ini juga dapat menjadi referensi studi sejarah, khususnya

sejarah perkembangan agama Hindu-Buddha dan agama Islam di

Indonesia pascaruntuhnya Majapahit.

1.5 Tinjauan Pustaka

Novel ini pernah diresensi oleh Christanty (2003) dengan judul Arus Balik dalam Hidup Pramoedya Ananta Toer. Dalam tulisannya, Christanty berusaha melihat kelemahan-kelemahan yang ada dalam novel Arus Balik, di antaranya adalah novel ini bertolak dari kota pelabuhan Tuban, yang tak sebanding dengan kebesaran

Majapahit apalagi Sriwijaya. Novel ini seolah mengatakan seluruh perubahan iklim modal dan politik Nusantara bertumpu pada sebuah kota kadipaten. Di samping itu,

Pram selaku penulis hanya melebih-lebihkan kejayaan Majapahit sebagai kerajaan laut terbesar di Nusantara dengan menyampingkan kejayaan kerajaan Sriwijaya yang lebih berjaya di atas laut dari pada Majapahit. (www.forums.apakabar.com).

Di samping itu, ada sebuah penulisan skripsi yang mengkaji novel Arus Balik sebagai bahan penelitiannya. Krisnanto (2005) dengan judul skripsi Aspek-Aspek

Sejarah dalam Novel Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer, Suatu Tinjauan

Historis memfokuskan penelitiannya dengan menganalisis struktur novel dan mencari keterkaitan antara sejarah yang terjadi pada novel dengan fakta sejarah yang terjadi di

Nusantara pada abad XV-XVI Masehi (www.digilib.upi.com).

Sejauh pengamatan penulis, belum ada yang menganalisis novel Arus Balik dengan benturan dan sikap para penganut agama Hindu-Buddha dan Islam yang

11 secara tidak langsung membentuk citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam dalam novel ini sebagai objek kajiannya. Hal inilah yang membuat penulis menganalisis citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam dalam novel Arus Balik.

1.6 Landasan Teori

Dalam hal pengambilan teori untuk penelitian ini, penulis hanya menggunakan teori sebagai kerangka berpikir, bukan sebagai dasar dalam memecahkan rumusan masalah. Teori tersebut, yaitu teori struktural dan teori alur, teori strukturalisme genetik, konsep citra, agama, agama Hindu-Buddha, agama

Hindu, agama Buddha, agama Islam, dan citra agama.

1.6.1 Teori Struktural dan Teori Alur

Dalam upaya melakukan penelitian yang menggunakan kajian strukturalisme genetik, maka penulis harus terlebih dahulu melakukan analisis struktural. Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semenditel dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh (Teeuw, 1984 :

135).

Pradopo juga menambahkan bahwa, novel merupakan sebuah struktur.

Struktur di sini dalam arti bahwa novel itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik dan saling menentukan. Oleh karena itu, unsur-unsur dalam novel bukan hanya berupa

12 kumpulan atau tumpukan hal-hal yang berdiri sendiri melainkan hal yang saling terkait, saling berkaitan dan saling bergantung (Pradopo, 1987 : 18).

Pendapat itu telah diperkuat oleh pendapat Sudjiman yang mengatakan bahwa antara tokoh, alur dan latar dan tema itu saling kait-mengait. Unsur-unsur itu tidak bisa berdiri sendiri. Ada interaksi antara unsur-unsur itu (Sudjiman, 1988 : 40).

Dalam analisis struktur dari novel Arus Balik, penulis memfokuskan penelitiannya hanya pada analisis alur yang ada dalam novel Arus Balik. Hal ini dikarenakan alur ceritalah yang sangat potensial menggambarkan peristiwa benturan antara agama Hindu-Buddha dan agama Islam. Lalu, penulis akan menganalisis struktur sosial teksnya yang berupa citra agama lama (Hindu-Buddha) dan agama

Islam yang ada dalam novel Arus Balik.

1.6.1.2 Alur

Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.

Istilah alur dalam hal ini sama dengan istilah plot maupun struktur cerita (Aminuddin,

1991 : 83).

Sudjiman (1988: 30) menambahkan jika alur merupakan peristiwa-peristiwa yang diurutkan untuk membangun tulang punggung cerita. Peristiwa-peristiwa tidak hanya meliputi yang bersifat fisik seperti cakapan/ lakuan, tetapi juga termasuk perubahan sikap tokoh yang merubah jalan nasib.

13 Semua peristiwa yang terjadi dalam sebuah teks sastra tidak selalu dimasukkan dalam tahapan alur, hanya peristiwa-peristiwa yang potensial yang dapat menjalankan sebuah alur cerita saja. Peristiwa-peristiwa ini juga disebut dengan peristiwa penting. Peristiwa penting adalah kejadian-kejadian yang mempengaruhi gerak sebuah alur cerita. Dalam sebuah teks sastra, peristiwa penting ini berkembang dengan sifat yang saling terkait sehingga menciptakan sebuah alur cerita. Untuk menganalisis sebuah alur cerita, maka yang harus dirurut dan dianalisis hanya kejadian-kejadian yang termasuk dalam peristiwa penting saja.

Alur sebuah cerita bagaimanapun tentulah mengandung unsur urutan waktu, baik dikemukakan secara eksplisit maupun emplisit. Jadi, alur memiliki tahapan- tahapan yang berisi peristiwa-peristiwa penting yang terurut menurut unsur waktu yang ada dalam cerita tersebut.

Menurut Nurgiyantoro (2007: 149), tahapan alur dapat dibagi menjadi lima tahapan, yaitu (1) tahap situation atau tahap penyituasian, (2) tahap generating circumstances atau tahap pemunculan topik, (3) tahap rising action atau tahap peningkatan konflik, (4) tahap climax atau tahap klimaks, dan (5) tahap denouement atau tahap penyelesaian.

Tahap penyituasian adalah tahapan yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembuka cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandasi cerita yang akan dikisahkan pada tahap bertikutnya (Nurgiyantoro, 2007: 149).

14 Tahap pemunculan konflik adalah tahapan munculnya konflik. Konflik itu sendiri akan berkembang atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Tahap peningkatan konflik merupakan tahapan ketika konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencengkam dan menegangkan (Nurgiyantoro, 2007: 149).

Tahap klimaks merupakan tahapan ketika konflik yang terjadi mencapai titik intensitas puncak. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks. Tahap penyelesaian adalah tahapan konflik yang telah memasuki babak penyelesaian atau ketegangan dikendorkan. Dalam tahap ini, konflik-konflik yang lain atau konflik-konflik tambahan (jika ada) diberi jalan keluar atau ceritanya diakhiri (Nurgiyantoro, 2007: 150).

1.6.2 Strukturalisme Genetik

Menurut Ratna (2004: 121), strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar penolakan terhadap analisis strukturalisme murni, analisis terhadap unsur-unsur intrinsik. Dibanding strukturalisme murni, strukturalisme genetik melangkah lebih jauh dari karya, yaitu ke struktur sosialnya. Faruk (1994: 19) menambahkan bahwa strukturalisme genetik menganggap struktur karya sastra merupakan struktur kemaknaan, artinya karya sastra berkaitan dengan usaha manusia memecahkan persoalan-persoalannya dalam kehidupan sosial yang nyata.

15 Strukturalisme genetik dikembangkan oleh sosiolog Perancis, Lucian

Goldmann atas dasar ilmu sastra seorang Marxis lain yang terkenal, Georg Lukacs.

Secara definitif, strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul karya. Meskipun demikian, sebagai teori yang telah teruji validitasnya, strukturalisme genetik masih ditopang beberapa konsep yang tidak dimiliki oleh teori sosial yang lain, misalnya ; Simetri atau Homologi, kelas-kelas sosial, subjek transindividual, dan pandangan dunia (Ratna, 2004 : 123).

Konsep homologi dipinjam melalui kekayaan biologi, dengan asumsi persamaan struktur sebab diturunkan melalui organisme primitif yang sama. Dalam strukturalisme genetik, homologi memiliki implikasi dengan hubungan bermakna antara struktur literer dengan struktur sosial. Untuk memahami konsep kelas-kelas sosial, strukturalisme genetik menganggap kelas sebagai salah satu indikator untuk membatasi kenyataan sosial yang dimaksudkan oleh pengarang, sehingga peneliti memfokuskan perhatiannya semata-mata terhadap kelompok yang dimaksudkan.

Sejajar dengan konsep kelas-kelas sosial, Goldmann juga mengintroduksi konsep transindividual. Transindividual menampilkan pikiran-pikiran individu tetapi dengan struktur mental kelompok. Konsep pandangan dunia juga dijelaskan oleh

Goldmann. Menurutnya, pandangan dunialah yang memicu subjek untuk mengarang.

Identifikasi pada dunia juga dianggap sebagai salah satu ciri keberhasilan suatu karya.

Dengan kalimat lain, mengetahui pandangan dunia suatu kelompok tertentu berarti mengetahui kecendrungan suatu masyarakat, sistem ideologi yang mendasari perilaku sosial sehari-hari (Ratna, 2004: 126).

16 Teeuw menambahkan strukturalisme genetik berasumsi bahwa karya sastra dapat diterangkan melalui strukturnya dengan varian dari homologi atau persesuaiannya dengan struktur sosial (Teeuw, 1984: 153). Dengan konsep pandangan dunia yang ada dalam strukturalisme genetik, peneliti dapat membandingkan pandangan dunia yang ada dengan data-data dan keadaan sosial masyarakat yang ada dalam karya tersebut. Karya sastra dapat dipahami asal terjadinya (genetic) dari latar belakang sosial tertentu. varian strukturalisme

Goldmann disebut strukturalisme genetik yang menerangkan karya sastra dari homologi atau persesuaiannya dengan struktur sosial (Teeuw, 1984: 153).

Struktur sosial dalam teks Arus Balik yang akan dianalisis adalah citra agama

Hindu-Buddha dan agama Islam. Dalam hal ini, citra agama dapat dikatakan sebagai sumber kegenetikan dari teks Arus Balik. Struktur sosial ini yang menjadi struktur kemaknaan dari teks Arus Balik, yaitu bagaimana usaha manusia dalam teks tersebut untuk memecahkan atau menjalani persoalan-persoalan sosial yang ada, salah satunya agama. Dalam hal ini, kehidupan agama dalam teks tersebut dapat menjadi gambaran- gambaran persoalan sosial yang dialami sebuah masyarakat. Gambaran kehidupan agama ini terlihat dalam citra agama Hindu-Buddha dan Islam dalam teks Arus Balik.

Setelah mengetahui citra agama sebagai struktur sosial dalam teks, baru dapat disimpulkan hal mengenai pandangan dunia pengarang. Pandangan dunia pengarang dalam konsep strukturalisme genetik adalah yang memicu subjek untuk mengarang.

Identifikasi pada dunia juga dianggap sebagai salah satu ciri keberhasilan suatu karya.

Artinya adalah sejauh mana seorang pengarang mengidentifikasi atau

17 menginterpretasikan sebuah dunia ke dalam karyanya sesuai kadar kemampuan pengarang tersebut. Dengan kata lain, mengetahui pandangan dunia suatu kelompok tertentu berarti mengetahui kecendrungan suatu masyarakat, sistem ideologi yang mendasari perilaku sosial sehari-hari (Ratna, 2004: 126).

Jadi, setelah mengetahui citra agama Hindu-Buddha dan Islam sebagai struktur sosial dari teks, dapat diketahui pandangan dunia dari pengarang tersebut.

Dalam hal ini, dapat digambarkan bagaimana Pram memandang sebuah sejarah dalam teks Arus Balik khususnya bidang agama. Pandangan dunia yang terambil dari analisis citra agama ini juga difungsikan sebagai kegenetikan dari teks Arus Balik.

1.6.3 Citra

Citra adalah gambar atau rupa (Poerwadarminta, 1976: 207). Citra juga merupakan rupa, gambar atau gambaran. Dalam dunia kesusastraan, citra dapat berarti kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase, atau kalimat, dan juga merupakan unsur dasar yang yang khas dalam karya prosa dan puisi (Kridalaksana, 1995:192). Dalam dunia sastra, citra merupakan kesan mental atau bayangan visual yang dihadirkan pengarang dalam sebuah karya sastra meliputi individu (tokoh) maupun kelompok sosial. Gambaran inilah yang akan membentuk sebuah image mengenai kesan mental atau suatu bayangan visual yang dideskripsikan pengarang melalui karyanya. Kesan mental atau bayangan visual ini dapat dilihat dari sikap fisik, batiniah, maupun pemikiran dari individu (tokoh cerita) maupun sebuah kelompok sosial dalam karya sastra tersebut.

18 1.6.4 Agama

Agama adalah segenap kepercayaan (kepada Tuhan, Dewa, dan sebagainya) serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut (Poerwadarminta, 1976: 18). Agama lahir, berkembang dan ada berdasarkan iman kepada Tuhan. Dalam artian tertentu, agama berasal dari Tuhan dan merupakan anugerah bagi umat manusia. Dalam arti tertentu pula, agama juga merupakan usaha manusia. Oleh karena itu, agama sejauh dihayati tidak dapat dilepaskan dari manusia yang menghayatinya.

Dalam hal ini, manusia memiliki segi-segi positif dan negatif, segi terang dan gelap, kecenderungan baik dan jahat. Dalam menghayati agamanya, manusia juga dapat menghayatinya secara otentik dan tidak otentik, baik dan buruk, benar dan tidak benar. Pada tingkat masyarakat, agama dapat merupakan faktor harmoni dan disharmoni, pemersatu dan pemecah belah, serta perkembangan dan pemandegan

(Hardjana, 2006: 5).

Agama tidak hanya dapat didekati lewat ajaran-ajaran atau lembaga-lembaga nya, tetapi juga dapat didekati sebagai suatu sistem sosial. Sudarmanto menambahkan bahwa agama dapat menjadi ideologi bila ritus yang merupakan simbol religius digunakan sebagai pembenaran sejarah khususnya pembenaran kekuasaan

(Sudarmanto,1987: 44). Jadi, agama dapat juga dijadikan landasan pembenaran dalam upaya perebutan kekuasaan.

19 1.6.5 Agama Hindu-Buddha

Di dalam bagian ini akan dibicarakan mengenai Hindu-Buddha. Penggunaan

Hindu-Buddha dikarenakan kedua agama ini memang berjalan bersama-sama di

Indonesia. Karena perkembangan kedua agama ini sedemikian rupa, hingga secara teori tak ada lagi perbedaan antara Siwa dan Buddha (Hadiwijono,1971: 99).

Masa Majapahit secara khusus menjadi masa ketika puncak sinkretisme agama. Ada tiga aliran agama hidup secara rukun dan damai, yaitu Siwa, Wisnu, dan

Buddha Mahayana. Ketiganya itu dipandang sebagai bentuk yang bermacam-macam dari kebenaran yang sama. Siwa dan Wisnu dipandang sebagai sama nilainya. Mereka digambarkan sebagai patung Harihara, yaitu patung setengah Siwa dan setengah

Wisnu. Siwa dan Buddha juga mengalami hal yang sama. Tak ada perbedaan antara konsep dharma dan kenyataan terakhir menurut Siwa dan Buddha. Di dalam buku

“Kunjara Karna”, bahkan disebutkan tiada seorang pun, baik pengikut Siwa maupun

Buddha yang bisa mendapat kelepasan jika ia memisahkan apa yang sebenarnya satu, yaitu Siwa-Buddha. Demikianlah keyakinan bahwa Siwa-Buddha adalah satu Tuhan adalah tuntutan pertama bagi kelepasan (Hadiwijono, 1971: 111-112).

Peleburan antara Hindu-Buddha, khususnya Siwa-Buddha juga terlihat dalam kitab Sutasoma yang menggambarkan sebuah cukilan peristiwa. Peristiwa tersebut bercerita mengenai kemarahan Kalarudra yang hendak membunuh Sutasoma, titisan

Buddha. Para dewata mencoba meredakan Kalarudra dengan mengingatkannya perihal Buddha dan Siwa tidak dapat dibeda-bedakan. Keduanya, sekalipun disebut dengan dua nama, tetapi tidak bisa dibedakan menjadi dua. Jinatwa (hakikat Buddha)

20 adalah sama dengan Siwatattwa (hakikat Siwa). Tidak akan ada dua dharma. Kedua dewata itu adalah sama. Selanjutnya dianjurkan pada orang-orang untuk merenungkan Siwa-Buddha-tattwa, sebagai hakikat Siwa-Buddha (Hadiwijono, 1971:

112).

Uraian menurut Hadiwijono memperlihatkan jika pada masa Majapahit terjadi puncak sinkritisme agama. Peleburan terjadi antara Hindu dan Buddha. Bukti nyatanya adalah dengan adanya konsep Siwa-Buddha karena dianggap satu dharma.

Peleburan inilah yang menjadi patokan jika Hindu-Buddha mengalami peleburan dan hal ini berkembang hingga ke masyarakatnya.

Dalam penelitian novel Arus Balik ini, agama Hindu-Buddha menjadi sebuah kesatuan yang diyakini oleh masyarakat dan berakulturasi secara dinamis dengan budaya Nusantara. Hindu-Buddha menjadi pusat ajaran dalam berperilaku bagi masyarakat Nusantara sebelum masuknya agama baru, yaitu Islam. Agama Siwa,

Brahma, dan Wisnu yang terus berkembang merupakan salah satu gambaran jika

Hinduisme menjadi agama mayoritas pada masa Majapahit (Mulyana, 1979: 199).

Penulis juga menggunakan istilah Hindu-Buddha dikarenakan Pram sebagai pengarang Arus Balik tidak memberi batasan pasti apakah referen yang digunakannya adalah Hindu atau Buddha untuk menyampaikan pemikiran para tokoh-tokoh ceritanya. Hindu-Buddha digunakan sebagai peleburan agama yang terkadang disebut

Pram dengan istilah agama lama sebagai oposisi agama baru, Islam. Jadi, Hindu-

Buddha merupakan sebuah sinkritisme agama ketika kedua agama ini dianggap

21 melebur karena kesamaan diantaranya. Agama Hindu-Buddha juga menjadi agama yang dipercaya masyarakat Nusantara pada zamannya sebelum masuknya Islam.

1.6.5.1 Agama Hindu

Agama Hindu adalah agama yang berlandaskan pada kitab Weda sebagai inti ajaran-ajarannya. Agama Hindu mengandung adat-istiadat, budi pekerti, dan gambaran kehidupan orang-orang Hindu. Agama ini juga disebut dengan agama

Brahma yang wujudnya berupa suatu kekuatan besar yang mempunyai daya pengaruh tersembunyi yang memerlukan amalan-amalan, ibadat seperti membaca doa-doa, menyanyikan lagu-lagu, pemujaan, dan pemberian korban-korban (Shalaby,

2001:18).

Shalaby (2001:19) juga menjelaskan bahwa agama Hindu lebih merupakan suatu cara hidup dari pada merupakan kumpulan kepercayaan. Sejarahnya menerangkan mengenai isi kandungannya yang meliputi berbagai kepercayaan mengenai hal-hal yang boleh dilakukan dan yang harus dilakukan.

1.6.5.2 Agama Buddha

Agama Buddha adalah agama yang berpusat pada ajaran sang Buddha,

Sidharta Gautama. Agama Buddha lahir dari pemikiran Sidharta atas kehidupan dan penolakannya terhadap sistem perkastaan yang ada dalam agama Hindu.

Buddha dalam bahasa Sanskerta artinya pengetahuan yang sempurna. Jadi,

Buddha bukanlah nama yang khusus tetapi gelar bagi tiap-tiap orang yang telah berhasil mendapat pengetahuan yang sempurna (Lubis, 1982: 72).

22 Buddha menekankan agar manusia berusaha untuk tidak menyakiti dan sebanyak mungkin memberi pertolongan kepada orang lain. Esensi ajaran Buddha tercakup dalam tiga kaidah dari jalan ; pelepasan yang pasti, hati yang mengabdi, dan kebijaksanaan dalam menyadari kekosongan (sunyata) (Chodron, 1990: 2).

Sang Buddha menyebarkan ajarannya dengan banyak cara karena makhluk hidup (semua makhluk yang memiliki pikiran tetapi belum menjadi Buddha, termasuk juga di alam-alam kehidupan yang lain) mempunyai watak, kebiasaan, dan minat yang berbeda-beda. Buddha tidak pernah mengharapkan setiap manusia cocok dengan satu bentuk, sehingga ajarannya pun diberikan dalam banyak cara dan dalam beragam cara melatih diri (Chodron, 1990: 3-4). Jadi, Buddha sangat menyesuaikan pengajaran agamanya dengan budaya dan watak masyarakat sekitar yang ada.

1.6.6 Agama Islam

Agama Islam adalah agama yang diajarkan oleh nabi Muhammad

(Poerwadarminta, 1976: 388). Almirzanah mengatakan bahwa agama Islam merupakan agama yang ajaran-ajaranya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui

Nabi Muhammad sebagai rasulnya (Almirzanah, 1997: 6)

Konsep bahwa nabi Muhammad adalah penutup para nabi dan rasul cukup sentral dalam sistem kepercayaan Islam (Madjid, 2007: 16). Kaum Muslim, apa pun madzhabnya dan firqahnya, bersepakat dalam keyakinan bahwa rasul-rasul Allah yang dikirim kepada umat manusia berakhir pada diri Nabi Muhammad. Dalam surat

QS, Al-Maidah ayat 3 berbunyi “Hari ini Aku (Allah) sempurnakan bagimu

23 agamamu, lengkaplah untukmu nikmatKu dan Aku (Allah) rida bagimu Islam sebagai agama” (Via Madjid, 2007: 35).

Dasar Islam adalah mengatur perhubungan manusia dengan Tuhan dan mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia. Jadi, nyatalah Islam tidak dapat dipisahkan dari masyarakat karena mengatur hubungan antarmanusia dan tidak dapat dipisahkan dari negara karena negara juga mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia (Lubis, 1982: 31).

1.6. 7 Citra Pemeluk Agama

Citra pemeluk agama adalah gambaran atau sketsa mengenai pemeluk suatu agama. Agama menjadi objek dalam pembentukan sebuah citra, subjeknya adalah pemeluk agama dan ajaran-ajaran agama itu sendiri. Citra agama dapat dibentuk oleh ajaran agama itu sendiri dan bagaimana para pemeluk agama tersebut mengimplementasikan ajaran-ajaran agamanya. Perilaku seorang umat dapat memberikan atau membentuk sebuah citra pada agama itu sendiri, terlepas apakah citra tersebut positif atau negatif.

Penulis memfokuskan citra agama dalam dua kategori, yaitu citra positif dan citra negatif. Citra positif adalah gambaran suatu agama ketika agama tersebut dinilai baik atau memberi dan membawa kebaikan pada individu, masyarakat, dan komunitas agama yang lainnya. Citra positif dapat dibentuk oleh perilaku atau cara bersikap para pemeluk agamanya sendiri. Pembentukan citra agama yang positif bergantung pada cara individu yang mempercayai agama tersebut dalam

24 mengimplementasikan ajaran-ajaran agama tersebut pada kehidupan realitas maupun religiusitas.

Kebalikan dari citra positif, citra negatif adalah gambaran suatu agama jika agama tersebut dinilai jelek atau tidak membawa kebaikan bagi individu, masyarakat, dan komunitas agama yang lainnya. Citra negatif dapat terbentuk karena image atau gambaran dari ajaran agama tersebut. Citra negatif juga dapat terbentuk bila para pemeluk agama tersebut hanya membawa “kejelekan”, “kericuhan” atau bahkan

“kekerasan” bagi individu, masyarakat atau komunitas agama yang lainnya.

1.7 Metode Penelitian

Pada bagian ini akan dikemukakan mengenai pendekatan dan metode.

1.7.1 Pendekatan

Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan strukturalisme genetik. Strukturalisme genetik mengkaji analisis struktur sebuah karya sastra dengan persesuaian struktur sosial yang ada di dalamnya. Secara definitif, strukturalisme genetik harus menjelaskan struktur dan asal-usul struktur itu sendiri dengan memperhatikan relevansi konsep homologi, kelas sosial, subjek transindividual, dan pandangan dunia (Ratna, 2004: 127).

1.7.2 Metode Penelitian

Metode berasal dari kata Yunani meta, berarti ‘dari’ atau ‘sesudah’, dan hodos, yang artinya ‘perjalanan’. Kedua istilah tersebut dipahami sebagai perjalanan

25 atau mengejar suatu tujuan (Basuki, 2006: 92). Metode dapat didefinisikan sebagai cara yang teratur dan terpikir baik untuk mencapai maksud atau juga cara kerja sistematis untuk memudahkan pelaksanaan sebuah kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (Basuki, 2006:93).

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis isi. Metode analisis isi adalah metode yang digunakan untuk mengkaji isi dari suatu hal. Isi tersebut yang menjadi objek prioritas yang akan dianalisis. Misalnya, karya sastra, maka yang akan dianalisis adalah isi karya tersebut secara utuh dan pesan-pesan yang ada dengan sendirinya sesuai dengan hakikat sastra.

Isi dalam metode analisis ini terdiri atas dua macam, yaitu isi laten dan isi komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen atau naskah, sedangkan isi komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai akibat komunikasi yang terjadi. Isi laten adalah isi sebagaimana dimaksudkan oleh penulis, sedangkan isi komunikasi adalah isi sebagaimana terwujud dalam hubungan naskah dengan konsumen (Ratna, 2004: 48). Analisis isi laten akan menghadirkan arti, sedangkan analisis isi komunikasi akan melahirkan makna.

Dasar pelaksanaan metode analisis isi adalah penafsiran. Dasar penafsiran dalam analisis isi adalah menitikberatkannya pada isi dan pesan. Oleh karena itu, metode analisis isi dilakukan dalam dokumen-dokumen yang padat isi.

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode analisis isi yang menganalisis isi laten dari sebuah naskah. Dalam upaya ini, penulis akan memfokuskan penelitian pada isi yang terkadung dalam sebuah naskah tanpa melihat

26 isi komunikasi (pesan yang diterima oleh pembaca) dari naskah tersebut. Data-data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan tujuan untuk memaparkan secara tepat bagaimana alur cerita dan citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam dalam teks

Arus Balik.

Adapun langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah, pertama menganalisis struktur novel Arus Balik yang berupa analisis alur ceritanya.

Kedua, memberi gambaran mengenai keadaan atau kehidupan keagamaan di

Nusantara, khususnya Jawa pasca runtuhnya Majapahit. Hal ini dilakukan sebagai bahan bandingan atau referensi untuk memudahkan pemahaman dalam menganalisis citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam. Ini juga berguna sebagai pembahasan kelas-kelas sosial yang ada dalam Arus Balik. Ketiga, menganalisis struktur sosial yang ada dalam Novel Arus Balik berupa citra agama Hindu-Buddha dan agama

Islam. Pada bagian akhir, penulis akan membahas pandangan dunia pengarang mengenai citra agama dalam Arus Balik. Ketiga langkah tersebut, dapat memberi gambaran penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, yaitu penelitian yang berorientasi penuh pada isi novel Arus Balik (isi laten novel Arus Balik).

1.8 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data didapat melalui studi pustaka. Teknik tersebut dipakai untuk mendapatkan data yang ada, yaitu sebuah novel berjudul Arus Balik, buku-buku referensi, dan artikel atau tulisan-tulisan yang berkaitan dengan objek tersebut.

27 Dalam teknik ini juga digunakan teknik simak dan teknik catat. Teknik simak digunakan untuk menyimak teks sastra yang telah dipilih sebagai bahan penelitian.

Teknik catat digunakan untuk mencatat hal-hal yang dianggap sesuai dan mendukung penulis dalam memecahkan rumusan masalah. Teknik catat merupakan tindak lanjut dari teknik simak (Sudaryanto, 1993: 133-135).

1.9 Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Judul Buku : Arus Balik

Pengarang : Pramoedya Ananta Toer

Tahun Terbit : 1995

Penerbit : Hasta Mitra

Halaman : 751 halaman

1.10 Sistematika Penyajian

Untuk mempermudah pemahaman terhadap proses dan hasil penelitian ini, dibutuhkan suatu sistematika yang jelas. Sistematika penyajian dari penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut. Bab satu merupakan pendahuluan yang berisi latar balakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, pendekatan, metode penelitian, teknik pengumpulan data, sumber data dan sistematika penyajian. Bab dua merupakan analisis struktur alur dalam novel Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer. Bab tiga merupakan analisis

28 mengenai keadaaan atau kehidupan keagamaan di Nusantara pasca runtuhnya

Majapahit. Bab empat merupakan analisis tentang citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam dalam novel Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer. Bab lima merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

29 BAB II ANALISIS ALUR NOVEL ARUS BALIK KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

Dalam upaya melakukan penelitian yang menggunakan kajian strukturalisme genetik, maka penulis terlebih dahulu melakukan analisis struktural atau analisis unsur intrinsik. Penulis memfokuskan analisis strukturnya hanya pada analisis alur yang ada dalam novel Arus Balik. Hal ini dikarenakan alur ceritalah yang sangat potensial menggambarkan peristiwa benturan dan citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam.

Penulis menganalisis alur dengan menitikberatkan pada peristiwa-peristiwa penting dalam urutan waktu yang membentuk alur Arus Balik. Tahapan alur yang digunakan penulis adalah lima tahapan alur menurut Nurgiyantoro. Nurgiyantoro membagi tahapan tersebut menjadi tahap penyituasian, tahap pemunculan konflik, tahap peningkatan konflik, tahap klimaks, dan tahap penyelesaian (Nurgiyantoro,

2007: 149). Analisis alur novel Arus Balik ini akan diuraikan sebagai berikut.

2.1 Tahap Situation/ Penyituasian

Tahap penyituasian adalah tahap awal dalam novel Arus Balik. Tahap penyituasian dalam novel Arus Balik berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini juga menjadi pembuka cerita, pemberian informasi awal

30 cerita yang melandasi cerita yang akan dikisahkan pada tahap berikutnya. Tahap penyituasian dalam novel Arus Balik adalah sebagai berikut.

Dalam sub judul Di Bawah Bulan Malam Ini, alur dimulai pada abad ke enam belas Masehi. Deskripsi mengenai situasi laut Jawa dan desa Awis Krambil menjadi pembuka alur. Situasi laut Jawa yang digulung ombak-ombak besar, memanjang terputus, mengejajari pesisir pulau Jawa. Di atas lautan Jawa ini, tampak sebuah perahu peronda yang sedang berlayar. Perahu tersebut memiliki bendera berwarna merah putih, bendera Tuban (hlm. 1-2).

Pengenalan latar juga beranjak pada deskripsi suasana di desa Awis Krambil, salah satu desa di kadipaten Tuban. Suasana latar desa Awis Krambil digambarkan dengan hutannya yang senyap dan berubah jadi hiruk. Sunyi-senyap hanya terjadi di sebuah ruang balai desa. Semua yang ada hanya memanjangkan leher mendengarkan lolongan ratusan anjing. Ratusan sumbu damar sewu yang menyala di sepanjang dan seputar rumah umum itu bergoyang-goyang terkena angin silir (hlm.3)

Di tengah suasana desa Awis Krambil di seputar rumah umum, terjadi dialog antara rama guru dan pendengarnya yang sebagian besar penduduk desa Awis

Krambil. Ini dipaparkan dalam kutipan berikut.

(1) “Apakah yang akan terjadi, Rama?” kepala desa yang duduk agak di belakang orang tua itu bertanya. “Bulan purnama begini, semua indah. Hanya anjing-anjing pada menangis. Bulan itu takkan menanggapi mereka. Bulan purnama sekarang, tapi bukan purnama untuk kalian. Untuk kita. Kita sedang tenggelam” “Kita belum pernah tenggelam, Rama,” protes seorang gadis di tengah-tengah hadirin.

31 “Kau belum pernah tenggelam, gadis. Kau pun belum pernah terbit. Dulu, desa ini dinamai Sumber Raja..” Tiba-tiba suaranya terangkat naik, melengking. “ Kalian biarkan desa ini dihina oleh orang kota, dan kalian sendiri setuju dengan nama Awis Krambil” Ia tertawa sengit (hlm. 3).

Pengenalan tokoh pertama adalah pengenalan terhadap rama guru, Rama

Cluring. Rama Cluring adalah seorang penceramah yang mendatangi desa-desa.

Rama Cluring memiliki postur yang pendek-kecil, berkain dan berkalung kain pula, berdestar putih, berjanggut dan bermisai putih, seperti kepala Anoman dalam

Ramayana (hlm. 4).

Masyarakat desa Awis Krambil sangat mengenal Rama Cluring. Rama

Cluring merupakan pemuja Ken Arok Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi, berlidah pedang dan berludah api itu. Orang-orang di desa tersebut pun menaruh rasa hormat pada Rama Cluring (hlm. 4).

Rama Cluring merupakan sosok penceramah yang memiliki karisma dalam berceramah. Ceramahnya mencakup berbagai hal, tergantung pada respon dari pendengarnya. Ceramah yang dilakukannya berkisar tentang kemerosotan zaman, hakikat ajaran Buddha, suasana negeri Atas Angin, kejayaan Majapahit, dan kritikan mengenai pemerintahan masa sekarang, khususnya Adipati Tuban.

Pengenalan tokoh berlanjut pada pendengar ceramah yang meyakini ceramahnya, yaitu Idayu dan Galeng. Galeng dan Idayu merupakan salah seorang dari pendengar ceramah Rama Cluring. Pengenalan pertama dipaparkan ketika salah seorang pendengar bertanya mengenai pengayoman. Idayu dan Galeng adalah pasangan yang memiliki perhatian dalam ceramah Rama Cluring (hlm. 10).

32 Pengenalan tokoh Adipati Tuban juga dipaparkan via ceramah Rama Cluring.

Pengenalan awal terhadap tokoh Adipati Tuban dapat dilihat dari sikap Rama Cluring yang mengkritisi sosok Adipati Tuban yang menjadi seorang pembesar Majapahit sewaktu muda dan di tangannya juga Majapahit mengalami keruntuhan (hlm. 6).

Ceramah juga mengarah pada ramalan Rama Cluring mengenai akan terjadinya perang. Perang akan menimpa desa yang sekarang mendengarkan ceramahnya. Rama Cluring meramalkan jika perang terjadi, itu karena munculnya budaya baru, dewa-dewa baru, dan bangsa-bangsa dengan warna kulit yang berbeda.

Ini juga diyakini oleh masyarakat Awis Krambil yang telah mendengar ramalan tersebut dari kakek-kakek mereka (hlm. 10).

Penyituasian yang tampak adalah kegiatan di desa Awis Krambil yang biasa mendengarkan ceramah dari seorang Rama Guru. Situasi dalam lingkungan ceramah inilah yang akan memunculkan konflik pertama dalam tahapan alur selanjutnya.

Dalam novel Arus Balik, pengenalan tokoh dan setting cerita tidak dijelaskan mendetail secara langsung di awal. Hal ini karena novel Arus Balik terbagi dalam sub-sub judul lagi. Jadi, pengenalan tokoh dan setting cerita akan terus terjadi dalam tiap sub judul cerita.

2.2 Tahap Generating Circustances/Tahap Pemunculan Konflik

Tahap ini merupakan tahap ketika konflik awal mulai dimunculkan. Masalah- masalah atau peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai

33 dimunculkan. Konflik akan berkembang menjadi konflik pada tahap yang berikutnya

(Nurgiyantoro, 2007: 149).

Konflik dalam alur Arus Balik dimulai dari ceramah Rama Cluring yang dianggap para pendengarnya yang sebagian besar adalah penduduk desa Awis

Krambil merupakan sebuah pemberontakan. Rama Cluring berceramah kalau para pendengarnya adalah budak dari Adipati, bukan kawula. Jika mereka adalah kawula

Adipati, maka Adipati akan membantu jika mereka mengalami kesulitan. Fakta yang terjadi ternyata berbeda. Bagi Rama Cluring, para pendengarnya hanyalah budak dari

Sang Adipati Tuban. Hal ini adalah pemberontakan bagi para pendengarnya karena menghujat Sang Adipati. Kecaman pun berdatangan, khususnya dari kepala desa

(hlm. 6-12).

Penduduk desa Awis Krambil mejadi ketakutan mendengar hujatan dari Rama

Cluring. Mereka mengetahui jika kuasa Adipati adalah mutlak. Pemberontakan terhadapnya akan berimbas pada maut. Ini membuat kepala desa mengambil sikap aman dan meracuni Rama Cluring karena dianggap telah melakukan provokasi dengan hujatannya pada Sang Adipati (hlm. 15).

Dalam sejarah, belum ada seorang guru pembicara yang diracuni karena ceramahnya. Ini merupakan suatu kesalahan. Galeng dan Idayu yang meyakini ceramah Rama Cluring segera mengambil sikap menolong. Rama Cluring dirawat oleh Galeng dan Idayu. Galeng mengecam orang yang meracuni Rama guru. Galeng dan Idayu mencoba menyelamatkan Rama Cluring, akan tetapi usaha mereka sia-sia.

34 Rama Cluring akhirnya tewas (hlm. 16-17). Konflik inilah yang akan membawa

Galeng dan Idayu menjalani tiap kejadian yang akan membentuk alur Arus Balik.

Konflik tambahan juga muncul di bandar Tuban. Salah satu daerah kekuasaannya diduduki oleh Demak tanpa ada pernyataan perang terlebih dahulu.

Konflik ini memiliki imbas tersendiri yang juga mengiringi konflik yang dimulai dari usaha Galeng dan Idayu dalam menyelamatkan Rama Cluring. Pendudukan Demak atas Jepara dapat dilihat dalam laporan seorang Patragading kepada Patihnya (hlm. 19 dan 25).

Dalam sub judul Tuban, konflik yang lain mulai muncul. Isu kemunculan bangsa asing di Tuban menjadi fenomena tersendiri. Ini dapat terjadi karena kapal- kapal asing tersebut memiliki ukuran yang besar dan dengan perlengkapan meriam, serta datangnya dari jalur selatan Wulungga, jalur keramat. Kapal-kapal asing inilah yang bisa mengancam perdagangan dari negeri Atas Angin. Ini akan berdampak pada jalur perdagangan di Tuban. Deskripsi mengenai kapal-kapal asing dan senjata ampuhnya, meriam, tampak pada laporan Patih kepada Adipatinya. Sang Patih melaporkan bentuk kapal-kapal asing yang ukurannya jauh lebih besar dan memiliki kecepatan yang laju, ditambah lagi dengan senjata yang bisa mengeluarkan biji besi sebagai pelurunya, meriam (hlm. 27-28).

Adipati Tuban terkesan meremehkan kedatangan Peranggi dan Ispanya. Sikap ini muncul karena Adipati ahli dalam perniagaan. Selama yang dicari oleh Peranggi adalah rempah-rempah, maka Peranggi dapat diredam secara dagang dan damai.

Adipati lebih mengkhawatirkan gerakan dari barat dibanding Peranggi. Adipati lebih

35 memikirkan tentang pergerakan Demak, Semarang, Lao Sam, dan Jepara di barat

Tuban (hlm. 37).

Alur cerita berlanjut pada pagelaran seni dan olahraga di Tuban. Acara tahunan ini merupakan sebuah acara agung yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat Tuban. Alur ini dipaparkan melalui sub judul Menjelang Pesta Lomba

Seni dan Olahraga. Pesta ini merupakan ajang perlombaan dalam ketangkasan tubuh

(pria) dan tari (wanita). Desa Awis Krambil pun mengambil bagian dalam acara ini.

Peserta dari desa Awis Krambil adalah Idayu dan Galeng. Mereka merupakan pemenang dari pagelaran lomba di tahun sebelumnya. Idayu merupakan sosok yang paling dipuja karena ia telah menjuarai bidang tari pada pagelaran sebelumnya.

Galeng dan Idayu harus mengurungkan niatnya untuk menikah karena diharuskan untuk mengikuti perlombaan. Galeng dan Idayu akhirnya mengikuti perlombaan karena ancaman kepala desa atas perbuatan mereka yang mencoba menyelamatkan

Rama Cluring, Sang pemberontak. Inilah imbas dari perbuatan Galeng dan Idayu, yaitu hukuman dari kepala desa. Bagi kepala desa Awis Krambil, perbuatan Galeng-

Idayu atas usaha untuk menyelamatkan Rama Cluring adalah sebuah pencemaran

(hlm. 39-42).

Pesta lomba seni dan olahraga akan segera digelar. Rombongan desa Awis

Krambil pun telah sampai ke kadipatenan. Di dalamnya, terdapat asrama bagi para peserta yang akan mengikuti lomba. Dalam asrama, para peserta pria dipisahkan dengan peserta wanita. Galeng yang berposisi sebagai kekasih Idayu, juga dipisahkan dengan Idayu. Karena aturan yang berlaku, ia hanya dapat berkirim pesan melalui

36 surat via tokoh Pada yang menjadi perantara hubungan dua kekasih ini. Pada merupakan seorang bocah yang mengurus keperluan para peserta dan juga merupakan pengurus di keputrian Sang Adipati. Pada lah yang menjadi perantara pengiriman lontar antara Galeng dan Idayu (hlm. 46-47).

Desas-desus mengenai Idayu yang akan diperselir Adipati menjadi pokok pembicaraan di kadipatenan. Kekuasaan Adipati juga yang membentengi Galeng untuk dapat melarang atau menghambat hasrat Adipati untuk memperselir Idayu, kekasihnya. Hal inilah yang menjadi gunjang-ganjing di asrama putera dan asrama puteri, tempat para peserta. Banyak yang memberi iba atas nasib percintaan Galeng-

Idayu yang dibentengi oleh kekuasaan mutlak Sang Adipati. Adipati pun menemui

Idayu dalam sebuah kesempatan. Ini memberi petunjuk kepada massa jika Adipati serius dalam niatnya untuk memperselir Idayu (hlm. 54-55).

Di tengah pergunjingan tersebut, terdapat peristiwa yang mengejutkan.

Seorang saudagar Arab datang ke Tuban untuk melakukan persembahan pada Adipati

Tuban. Dengan persembahan yang berasal dari empat Raja Islam di Atas Angin, saudagar itu menawarkan agar Tuban mau ikut serta dalam memerangi Peranggi yang mulai menguasai daerah-daerah Islam di Atas Angin. Ini juga berguna bagi Tuban, kerena dapat mencegah datangnya Peranggi ke Nusantara, khususnya Tuban. Empat

Raja Islam di Atas Angin meminta pertolongan Tuban karena Tuban merupakan kerajaan terkuat di Jawa setelah Majapahit (hlm. 55-56).

37 Ketakutan para penguasa Negeri Atas Angin (Islam) terhadap Peranggi tidak terlalu dipikirkan oleh Adipati Tuban. Ia hanya khawatir dengan pergerakan Demak.

Adipati meremehkan Peranggi selama yang dicari Peranggi sebatas rempah-rempah.

Pemikiran Adipati mengenai fenomena Peranggi mengharuskannya untuk mengambil sebuah kebijakan. Menurut pemikirannya, kebijakan itu harus dapat meredam keganasan Peranggi sehingga Tuban pun terhindar dari perang. Kebijakan yang diambilnya adalah mengganti Syahbandar Tuban yang sekarang, Ishak Indrajit.

Ini tampak pada kutipan berikut.

(2) Peranggi dan Ispanya pasti akan datang. Syahbandar harus seorang yang pandai melayaninya. Ishak Indrajit alias Rangga Iskak tak pandai berbahasa Peranggi dan Ispanya. Ia harus diganti. Bangsa dan kapal unggul yang digentari harus dilayani oleh seorang yang bijaksana dan tahu segala. Jelas itu bukan Rangga Iskak (hlm. 56).

Dari Tuban, alur berpindah ke Malaka. Dalam sub judul Sayid Habibullah Al-

Masawa, dipaparkan peristiwa datangnya Peranggi (Portugis) di Malaka. Malaka mendapat serangan dari Peranggi. Penyerangan Peranggi ini berhasil, sehingga

Peranggi dapat menduduki Malaka.

(3) Armada Portugis itu berlabuh jauh, jauh, terlalu jauh dari dermaga. Lubang- lubang bulat pada lambung kapal Portugis mulai terbuka. Moncong-moncong meriam mulai bermunculan dari sebaliknya. Peluru besi beterbangan, membentuk kerucut udara dengan besi-besi sebagai matanya. Semua menuju ke bandar Malaka (hlm. 62). (4) Kembali meriam-meriam berdentuman. Peluru beterbangan dan menyambari mereka, tak menggubris tak menghormati tombak dan pedang dan sorak-sorai. Tahun 1511 Masehi. Alfonso d’Albuquerque-Kongso Dalbi- menyerbu dan menduduki Malaka (hlm. 63). (5) Dengan tergopoh-gopoh, Sultan Mahmud Syah, keturunan Paramesyawara itu, memerintahkan pengerahan pasukan gajah. Binatang-binatang itu didapati telah bergelimpangan termakan racun. Mereka melawan mati-matian. Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke Johor, Bintan, Kampar. Kerajaan berumur

38 seabad lebih beberapa belas tahun itu jatuh. Dan bandar kunci Asia ini kini berada di tangan Portugis (hlm. 64).

Kekalahan Malaka pada Peranggi disebabkan peralatan perang Peranggi yang jauh lebih unggul dibanding kerajaan Malaka. Hanya bermodalkan tombak, pedang, dan sorak-sorai, Malaka tidak dapat mengalahkan meriam dan milik Peranggi.

Matinya gajah-gajah andalannya, menambah bobroknya perlawanan Malaka terhadap

Portugis karena tidak dapat menurunkan pasukan gajah.

Kekalahan Malaka ini membuat Syahbandar Malaka saat itu, Sayid Mahmud

Al-Badawi kehilangan pekerjaan. Sesungguhnya, ia ikut andil dalam pendudukan

Peranggi atas Malaka. Sekarang, Sayid Mahmud Al-Badawi hendak berangkat ke

Tuban karena mendengar warta dari nahkodanya. Warta itu berisi perihal Adipati

Tuban yang sedang mencari seseorang untuk menjadi Syahbandar Tuban. Syarat- syarat yang ditentukan Sang Adipati untuk menjadi Syahbandarnya telah ada dalam diri Sayid Mahmud. Syaratnya adalah dapat berbahasa Melayu, Arab, dan khususnya bahasa Peranggi dan Ispanya (hlm. 66).

Di Tuban, pesta lomba seni dan olahraga yang diagung-agungkan penduduk

Tuban pun dimulai. Gegap-gempita suasana di kadipaten Tuban pun melonjak. Pesta lomba dibuka dengan sodor berkuda dan unjungan dan lomba benteng serta gulat.

Sodor berkuda diikuti hanya oleh para prajurit perjaka. Sorak-sorai gegap-gempita tak putus-putusnya mengiringi sudah sejak pertandingan belum dimulai (hlm. 69).

Di sela-sela perlombaan, Tuban kedatangan para pengungsi dari Malaka. Ini mengakibatkan Syahbandar Tuban, Rangga Iskak sibuk. Salah satu pendatang dari

39 Malaka yang menginjak bumi Tuban adalah mantan Syahbandar Malaka, Sayid

Mahmud Al-Badawi. Dalam perantauan barunya di Tuban, Sayid Mahmud alias

Tholib Sungkar, mantan Syahbandar Malaka itu mengganti identitasnya lagi menjadi

Sayid Habibullah Almasawa. Hal ini tampak dari kutipan berikut.

(6) Di antara para pendatang, terdapat bekas Syahbandar Malaka Sayid Mahmud Al-Badawi alias Tholib Sungkar Az-Zubaid. Sekilas Rangga Iskak mengetahui pendatang itu seorang Arab, Arab yang dibencinya (hlm. 73). (7) Iring-iringan penghadap berangkat, termasuk Syahbandar Malaka, Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud Al-Badawi dan sekarang bernama Sayid Habibullah Almasawa dari Malagasi (hlm. 73).

Persembahan Sayid Mahmud pada Adipati membuat Syahbandar Tuban merasa akan ancaman pada kedudukannya. Ini disebabkan persembahan Sayid

Mahmud tidak lebih adalah pemenuhan dari syarat-syarat yang diajukan Adipati untuk menjadi Syahbandar Tuban yang baru. Ini menimbulkan kebencian Rangga

Iskak kepada Sayid Mahmud. Ia sadar kalau kehadiran Sayid Almasawa akan mengancam jabatannya sebagai Syahbandar Tuban (hlm. 75).

Perilaku Sayid Mahmud yang santun diimbangi dengan kefasihannya berbahasa asing, dapat menarik simpati Adipati. Setelah menghadapai berbagai proses pengujian yang diawasi langsung oleh Patih Tuban, Sayid Mahmud langsung mendapat tempat di mata Adipati. Sayid Mahmud adalah orang asing pertama yang ditempatkan khusus oleh Adipati di gandok belakang kadipaten. Hal ini pun tersebar ke seluruh Tuban (hlm. 78).

Kehebatan Sayid dalam menaklukkan hati orang dan mencari simpati orang, membuat ia akrab dengan salah seorang pengurus keputrian Tuban, Pada. Mereka

40 berdua fasih berbahasa Melayu. Padalah yang mengantarnya menghadap Patih. Pada juga pandai melayani orang-orang besar, dan Sayid pandai mengambil hati orang.

Terjadilah persahabatan di antara mereka berdua. Sayid berubah menjadi sosok yang dekat dengan para pembesar Tuban dengan kemampuannya dalam bersilat lidah.

Hal ini menambah kebencian Rangga Iskak, Syahbandar Tuban pada Sayid

Almasawa. Ia telah medapat firasat kalau Sayid adalah Syahbandar Malaka. Karena merasa posisinya sebagai Syahbandar Tuban terancam dan kebenciannya kepada

Sayid menumpuk, Rangga Iskak memutuskan untuk membunuh Sayid. Orang yang ditugaskannya untuk merealisasikan rencananya adalah Yakub (hlm. 83).

Dalam sub judul Idayu dan Galeng, alur berkembang pada hasil pesta lomba seni dan olahraga. Galeng menjadi juara gulat pada ajang lomba seni dan olehraga kali ini, sedangkan Idayu, pujaan Tuban juga menjuarai tari. Sorak-sorai massa dikhususkan pada pasangan ini walau mereka tahu kalau tidak lama lagi Galeng-

Idayu tidak akan bisa menjadi pasangan lagi berkat kuasa Adipati. Prestasi tersendiri diukir oleh Idayu dengan menjuarai tari tiga kali berturut-turut.

(8) Sorak-sorai, gegap-gempita, berderai-derai seperti gelombang samudera, bergulung seperti hendak membenamkan bumi. “Setelah dua puluh tahun ini, muncul sekarang juara tiga kali beturut! Dua puluh tahun! Ingat-ingat. Dan namanya: Idayu. Desanya Awis Krambil! Tenang. Sang Adipati Tuban bertitah..” Sunyi-senyap (hlm. 86).

Sorak-sorai ini lenyap begitu mendengar Adipati akan memberi titah. Galeng mengalami puncak dilema. Ini karena titah yang akan diucapkan oleh Adipati adalah memperselir kekasihnya. Kuasa Adipati pula yang membuat Galeng tidak dapat

41 melakukan sesuatu untuk mempertahankan kekasihnya. Jika, Idayu mengiyakan titah

Adipati, maka Galeng bersedia mati setelah membunuh Sang Adipati terlebih dahulu

(hlm. 90).

Lain lagi yang dirasakan oleh Adipati yang sudah terlanjur jatuh hati kepada

Idayu. Ia yakin kalau kuasanya dapat membuat Idayu menjadi selirnya. Idayu sendiri memiliki hak untuk mengajukan sebuah permintaan karena ia telah menjuarai lomba seni tari tiga kali berturut-turut. Hak ini dihormati juga oleh Sang Adipati yang menanyakan permintaan Idayu.

Semua yang mendengar permintaan Idayu terkejut, terutama Galeng dan

Adipati. Idayu meminta kepada Adipati untuk merestuinya menjadi isteri Galeng. Ini mengejutkan semua orang karena hukuman yang akan diterima oleh Idayu adalah kematian atas penolakannya terhadap titah Adipati yang hendak memperselirnya.

Idayu pun telah bersiap untuk mati. Suasana gegap-gempita pun menggelegar dari masyarakat Tuban mengiringi amarah Sang Adipati yang berusaha menahan emosinya.

Persembahan Idayu membuat Adipati murka. Harga dirinya telah hilang hanya karena keinginannya sebagai Adipati baru pertama kali ditolak. Idayu pun bersiap untuk mati. Keberaniannya melakukan persembahan yang melawan permintaan Adipati mendapat simpati dari seluruh masyarakat Tuban.

(9) Matanya membeliak. Tangan kanannya berayun, kemudian mencengkam hulu keris. Dadanya terengah-engah. Suasana pendopo tegang. Para peseru bungkam. Mati kau, Idayu! Mati kau di ujung keris, pikir orang.

42 Tangan Sang Adipati terhenti pada hulu keris. Nampak ia sedang bergulat menguasai diri. Cengkaman pada hulu senjata itu terurai dan tangannya jatuh lesu di samping badan. Ia mencoba tersenyum sambil memperbaiki letak kaki (hlm. 92). (10) Canang peringatan yang makin bertalu tenggelam dalam lautan sorak-sorai: I- da-yu, i-da-yu, i-da-yu! Di tengah-tengah keriuhan itu, seorang nenek menutup mata, menunduk sampai-sampai ke tanah. Memohon: “Berbahagialah kau, wanita pilihan. Khayangan terbukalah pada cinta setia. Kau pilih petani desa daripada Adipati berkuasa. Ya Dewa Batara: Betapa berbahagia ada jaman seindah ini (hlm. 92).

Keberanian Idayu dalam meminta restu dari Adipati sendiri untuk menikahkannya dengan Galeng menjadi penghangat masyarakat atas kehidupan yang menjemukan selama ini. Harapan turunnya berkah Dewa melalui pasangan Galeng-

Idayu memuncak dalam diri masyarakat Tuban. Atas pertimbangan Patih yang kagum atas keberanian Idayu menantang titah Adipatinya yang dapat mendatangkan maut dan dukungan masyarakat seluruh Tuban, membuat Adipati merestui permintaan

Idayu.

Alur berjalan lurus pada terjadinya pernikahan Galeng dan Idayu. Dalam arak- arakan massal, pasangan ini pun digiring dalam acara pernikahan. Pernikahan ini membawa arti bagi masyarakat Tuban. Arak-arakkan yang terkesan bagaikan pengantin kerajaan, dianggap sebagai turunnya Dewa Kamajaya dan Dewi Kamaratih di tanah Tuban.

(11) Memang mereka tak ubahnya pengantin kerajaan. Turunnya Kamajaya dan Kamaratih di atas bumi Tuban mungkin tak bakal terjadi dalam dua ratus tahun mendatang. Kesempatan sekali ini takkan mereka biarkan berlalu tanpa mendapatkan berkah dan kenangan. Kulit pengantin yang sedang diliputi kasih para Dewa harus disentuh (hlm. 98).

43 Dalam berjalannya arak-arakan pengantin Galeng-Idayu, ada sebuah bencana yang diramal akan datang oleh masyarakat Tuban. Bencana itu ditandai dengan jatuhnya tandu tempat pengantin karena dorongan-dorongan massal yang berebut posisi. Hal ini merupakan pembayangan yang dilakukan oleh pengarang. Ini berguna sebagai indikator jika akan ada sebuah bencana di keluarga Galeng-Idayu dan juga

Tuban. Ini telah menjadi kepercayaan dalam masyarakat Tuban.

(12) Sebuah pekikan tinggi melengking keluar dari mulut seorang nenek pengawal Idayu: Dewa Batara! Jangan biarkan jatuh tandu itu!” Dan justru pada waktu itu tandu mulai miring, kemudian hilang dari pemandangan bersama dengan dua sejoli pengantin di atasnya. Di hadapan mata batin, orang mengawang kutukan para Dewa, karena membiarkan pengantin kekasih Kamajaya dan Kamaratih terguling dari kedudukannya (hlm. 99).

Alur bergerak lagi pada rencana Adipati Tuban atas nasib Galeng dan Idayu.

Hal ini dipaparkan dalam sub judul Adipati Tuban Arya Tumenggung Wilwatikta.

Pasca pernikahan Galeng-Idayu, Adipati mendapat sebuah kesan. Kesan tersebut tampak pada kecintaan masyarakat Tuban pada pasangan ini. Dia pun memulai sebuah rencana, yaitu memberi Galeng sebuah jabatan atau tugas di Tuban kota.

Adipati juga mengambil keputusan sepihak mengenai nasib Rangga Iskak,

Syahbandar Tuban. Ia memecat Rangga dan memilih Sayid Almasawa sebagai

Syahbandar Tuban yang baru. Ini sedikit kontroversi mengingat sebelum pengangkatan Sayid Almasawa sebagai Syahbandar, Adipati mendapat peringatan dari Sultan Mahmud Syah tentang pengkhianatan Sayid. Utusan dari Sultan Malaka tersebut memberi tahu kalau Sayid Almasawa adalah pengkhianat Malaka. Sayid

44 Almasawa inilah yang menyebabkan kekalahan pada kubu Malaka. Akan tetapi, persembahan utusan Sultan Mahmud Syah itu tidak membuat Adipati heran. Bahkan,

Adipati Tuban tidak mengurungkan niatnya untuk mengangkat Sayid Almasawa menjadi Syahbandar Tuban yang baru (hlm. 105-106).

Galeng mendapat tugas dari Adipati. Tugas tersebut sebagai hukuman karena

Galeng telah berusaha menyelamatkan Rama Cluring. Galeng juga sangat mempercayai ajaran-ajaran Rama Cluring karena hanya dia yang rajin mendengar ceramah Rama cluring. Galeng medapat tugas untuk melindungi Syahbandar Tuban yang baru, Sayid Almasawa. Adipati menitahkan Galeng untuk menyelidiki segala sesuatu mengenai Syahbandar baru Tuban dan melaporkannya pada Sang Patih.

Maka, Galeng menjadi pembantu utama Syahbandar Tuban yang baru (hlm. 109).

Seminggu pasca kedatangan utusan rahasia dari Sultan Mahmud Syah,

Adipati kedatangan tamu lagi. Tamu tersebut merupakan duta dari Jepara atas nama

Demak, Aji Usup. Aji Usup yang mendatangi Adipati menjadi sasaran amarah

Adipati. Ini karena tindakan Demak yang menyerang dan menduduki Jepara, daerah kekuasaan Tuban secara tiba-tiba. Semua diterima oleh Aji Usup walau pembenaran yang disampaikannya ditolak semua. Misinya hanya membawa pesan dari Gusti

Adipati Jepara, Adipati Unus untuk mengajak Tuban membentuk armada gabungan dalam penyerangan Peranggi di Malaka. Tawaran ini tidak langsung dijawab Adipati.

Adipati memerlukan waktu satu bulan untuk memberi jawaban. Adipati juga memiliki rencana sendiri sebagai balasan atas sikap Demak yang menduduki Jepara.

45 Setelah penghadapan Aji Usup, Adipati pun melangkahkan kaki. Keputrian atau haremnya, tempat para selir berada menjadi tempat pemberhentiannya. Ia mendapat kejutan yaitu mendapati sebuah tulisan di kertas dalam subang selirnya,

Nyi Sekar Pinjung. Kertas adalah suatu hal yang belum dikecam oleh pribumi.

Adipati menduga kalau keputriannya telah terjamah oleh Peranggi atau sesuatu yang berbau Peranggi. Kecurigaannya mengarah pada Syahbandar Tuban yang baru, Sayid Almasawa. Permasalahannya adalah bagaimana surat itu sampai ke dalam keputriannya yang sangat ketat. Kecurigaan pun mengarah kepada Pada. Pada merupakan orang yang memiliki kebebasan bergerak di keputrian dan juga orang yang melayani Syahbandar Tuban.

Sub judul Syahbandar Tuban: Rangga Iskak & Sayid HabibullahAl-Masawa membawa alur pada penugasan Galeng sebagai pengawas Syahbandar Tuban. Galeng dan Idayu ditempatkan di gedung kesyahbandaran, satu tempat dengan Syahbandar

Tuban. Perubahan terjadi dalam diri Galeng, dari sosok petani desa menjadi punggawa di ibukota. Ia pun mendapat nama dan gelar baru, Wiranggaleng,

Syahbandar Muda (hlm. 127).

Adipati Tuban juga memberi posisi baru kepada Nyi Gede Kati, penjaga keputrian yang juga telah menerima surat dari luar sebagai hukuman. Adipati memerintahkan Nyi Gede Kati untuk juga melayani Syahbandar Tuban sebagai isteri.

Dengan hadirnya Nyi Gede Kati sebagai isteri Syahbandar, membuat Idayu memiliki teman baru di gedung kesyahbandaran.

46 Wiranggaleng menjalankan tugasnya untuk mengawasi pergerakan Sayid

Almasawa. Di gedung kesyahbandaran, Wiranggaleng memata-matai Syahbandar ketika Syahbandar Tuban itu menemui Yakub. Kenyataan berbeda terjadi karena

Yakub telah menjadi koloni Sayid dan mengkhianati Rangga Iskak yang menugaskannya membunuh Sayid. Hal ini yang diketahui oleh Wiranggaleng dari pengintaiannya terhadap Syahbandar yang menemui Yakub di warung tuaknya.

Perjalanan tokoh Wiranggaleng merambat pada tugas baru yang diberi Adipati kepadanya. Dalam sub judul Wiranggaleng Pergi Ke Barat, Wiranggaleng mendapat tugas dari Adipati untuk pergi ke barat (Jepara) bersama Pada. Pada diikutsertakan untuk menerima hukuman melalui Wiranggaleng. Adipati tetap berpegang kepada kecurigaannya terhadap Pada kalau Padalah yang mengirim surat Syahbandar ke keputriannya. Tuduhan-tuduhan itu pun terlontar dari mulut Wiranggaleng sewaktu berada di kapal. Ini membuat Pada yakin kalau pengirimannya bersama

Wiranggaleng ke Banten adalah eksekusi matinya. Pada tetap pada pendiriannya untuk tidak mengakui tindakan yang telah dilakukannya (hlm. 138-140).

Pada akhirnya, Wiranggaleng tidak membunuh Pada. Pada juga yang berjasa padanya sewaktu berada di asrama dalam perlombaan seni dan olahraga. Ia membiarkan Pada untuk terjun ke laut. Hidup atau mati, ia serahkan pada ketahanan

Pada berenang sampai ke daratan. Setelah Pada melompat ke laut, Wiranggaleng memproklamasikan pada awak kapal kalau ia telah membunuh Pada atas titah Adipati

(hlm. 141).

47 Alur bergerak terus dengan perpindahan latar cerita ke Demak. Di Demak, terjadi pergunjingan di masyarakat mengenai pendudukan Peranggi di Malaka.

Masyarakat mengecam Demak sebagai pengecut yang tidak berani menggambil sikap atas pendudukan Peranggi di Malaka. Demak hanya berani pada kerajaan kecil,

Jepara. Hal ini membuat Unus “berang” dan membentuk galangan kapal perang sebagai jawaban untuk pergunjingan tersebut.

Adipati Unus mengambil tindakan dan mulai membangun galangan-galangan kapal dan cetbang-cetbang yang semuanya merupakan perlengkapan untuk berperang.

Pusat pembangunan galangan-galangan kapal adalah Jepara, daerah Tuban yang baru diduduki oleh Demak.

Pelayaran yang dilakukan Wiranggaleng mengantarkannya ke bandar Yuana, perbatasan daerah Tuban paling barat dan Jepara. Di Jepara, Wiranggaleng melihat kesibukan bandar yang memusatkan diri pada pembangunan galangan kapal. Untuk melancarkan misinya mencari informasi, Wiranggaleng juga menyamar dan ikut sebagai pekerja dalam galangan kapal tersebut. Setelah dua bulan berlalu,

Wiranggaleng akhirnya mendapat sebuah kesimpulan di Jepara, yaitu mengenai pembangunan galangan kapal yang dibentuk oleh Adipati Unus hanya untuk melindungi Islam, bukan untuk memanggil kejayaan Majapahit kembali (hlm. 149).

Keterangan-keterangan yang telah didapat Wiranggaleng di Demak, telah memenuhi misinya. Ia telah mendapat informasi mengenai pembangunan armada perang di Jepara dan informasi tentang sekutu-sekutu Demak dalam penyerangan

Malaka (hlm. 150).

48 Setelah enam bulan meninggalkan Tuban, Wiranggaleng memutuskan untuk pulang ke Tuban karena ia merasa informasi yang didapatnya telah mencukupi.

Ketika Wiranggaleng sampai ke Jepara lagi, ia melihat sebuah peristiwa aneh. Di pelabuhan Jepara, ia melihat dua orang Peranggi yang dikejar-kejar pasukan penjaga

Jepara. Wiranggaleng pun mendapat sebuah kesimpulan di luar misinya. Kenyataan baru telah didapatnya. Peranggi telah memasuki Jepara.

Flash back terjadi dalam sub judul Esteban dan Rodriguez. Dalam bagian ini, mulai dipaparkan identitas dua orang asing yang dilihat oleh Wiranggaleng di Tuban.

Kedua Portugis itu adalah Esteban dan Rodriguez. Esteban dan Rodriguez merupakan pelarian dari kapal Portugis. Mereka melakukan pelayaran sendiri ke wilayah-wilayah pribumi. Tujuannya adalah Jawa. Tapi, dalam pelayaran yang dilakukannya, tidak semua pribumi dapat menerima orang asing dengan tangan terbuka. Maka, mereka memulai pelayaran mereka ke Jawa dan berlabuh di Jepara (hlm. 156).

Di Jepara, Esteban dan Rodriguez melihat suasana yang berbeda dengan bandar-bandar yang lain. Di Jepara, semua orang sibuk membuat kapal dan cetbang.

Cetbang yang dibuat oleh pribumi ditertawakan oleh kedua Peranggi ini. Mereka menertawakan alat yang belum bisa mengimbangi meriam mereka. Sikap inilah yang tidak diterima oleh orang-orang yang ada di tempat pembuatan galangan kapal tersebut. Suatu kebetulan terjadi, orang-orang yang melihat sikap Esteban dan

Rodriguez adalah para petinggi Jepara. Maka, terjadilah apa yang dilihat oleh

Wiranggaleng di Jepara.

49 Alur pun mulai berjalan lurus kembali dan memaparkan kisah pelarian

Esteban dan Rodriguez. Mereka melakukan pelayaran dengan anggapan Bandar- bandar di Nusantara bebas untuk dimasuki. Pelayaran Esteban dan Rodriguez ke timur membawa mereka ke sebuah bandar, Lao Sam. Esteban dan Rodriguez berlabuh ke bandar Lao Sam. Di sini, mereka heran karena penduduk Lao Sam adalah

Tionghoa, bukan pribumi. Satu hal yang membuat mereka terkejut lagi adalah bandar

Lao Sam memiliki peraturan bagi kapal-kapal pendatang yang mendarat. Setiap kapal harus mengalami proses pemeriksaan oleh petugas (hlm. 157-158).

Karena telah dihadang oleh penjaga yang bersiap menyerang, Esteban dan

Rodriguez pun mendarat di Lao Sam. Ini sekedar untuk menyelamatkan kapalnya.

Esteban dan Rodriguez pun dibawa ke sebuah rumah, tempat pemimpin Lao Sam. Di rumah pimpinan Lao Sam, kejutan kembali dialami oleh Esteban dan Rodriguez.

Salah seorang pemeriksa mereka adalah orang yang mengerti bahasa Portugis.

Pemeriksa tersebut bernama Liem Mo Han. Liem Mo Han adalah korban dari kesadisan Portugis sewaktu ia menjadi budak di dapur kapal Portugis. Hal itulah yang membuat Liem Mo Han dapat berbahasa Portugis dengan baik.

Pemeriksaan yang dilakukan di Lao Sam oleh Liem Mo Han mengarahkan tuduhan bahwa Esteban dan Rodriguez merupakan mata-mata kapal Portugis ke Lao

Sam. Hal ini diakibatkan ditemuinya musket, peta, mesiu, dan kompas. Karena dianggap sebagai mata-mata ditambah tuduhan sebagai pembajak, Esteban dan

Rodriguez harus menerima hukuman. Hukuman bagi mata-mata dan pembajak di

50 Tuban adalah hukum mati. Ini membuat Esteban dan Rodriguez tidak dapat berbuat sesuatu apapun.

Gong Eng Cu, pimpinan Lao Sam memberi alternatif hukuman yang lebih ringan. Gong Eng Cu hanya menahan Esteban dan Rodriguez untuk sementara waktu hingga para petinggi Lao Sam dapat menilai kebenaran jika mereka bukan mata-mata.

Dalam penahanan, Esteban dan Rodriguez wajib memberi tanggapan dan nasihat dalam pembuatan kapal-kapal di Lao Sam (hlm. 167-168).

Sub judul Idayu, Kamaratih Tuban, memberi latar yang berbeda dengan alur yang masih sama dengan perjalanan Wiranggaleng ke barat. Di tempat lain, tepatnya

Tuban, Idayu yang ditinggal oleh Wiranggaleng masih tinggal di gedung kesyahbandaran bersama Sayid dan Nyi Gede Kati. Sesekali, Idayu dititahkan Adipati untuk menari di kadipaten. Idayu pun sering menunaikan tugasnya sebagai penari kadipaten menuruti permintaan Adipati. Tugas ini telah dijalankan Idayu sebagai pemenang lomba tari dan kawula Gusti Adipati. Ia pun tahu kalau Adipati masih memiliki hasrat yang tinggi kepadanya.

Kenyataan lain juga terjadi di luar pemikiran Idayu. Sayid Almasawa juga memiliki hasrat yang sama dengan Adipati. Kekaguman Sayid Almasawa dan hasratnya kepada Idayu yang begitu besar membentuk keinginannya untuk memiliki dan memangsa Idayu. Sayid tahu kalau hal itu tidak mungkin dilakukan. Idayu adalah pujaan Tuban dan didampingi oleh suaminya yang juga dipuja oleh Tuban,

Wiranggaleng. Akhirnya, Sayid mengambil tindakan untuk memenuhi hasratnya pada

51 Idayu. Sayid membius Idayu pascamenari di kadipaten, lalu memperkosanya. Hal ini tampak pada kutipan berikut.

(13) Tholib Sungkar Az-Zubaid berjalan cepat-cepat pulang. Langkahnya panjang- panjang dan jubahnya diangkat tinggi-tinggi seakan bejalan di atas becekan. Didapatinya Nyi Gede Kati telah nyenyak dalam tidurnya. Ia nyalakan sebatang lilin baru dan berjalan menuju ke dapur.Di atas sebuah meja kayu kasar di ruangan dapur, terdapat sebuah nampan, di atasnya berdiri gendi berisi air dan sesisir pisang susu. Ia keluarkan sebuah bungkusan dari saku di balik jubah. Dituangnya sedikit serbuk ke dalam gendi itu, diusap-usapnya gendi itu sambil tersenyum dan mengangguk (hlm. 172). (14) Tak lebih dari setengah jam kemudian, muncul Idayu membawa pelita gantung ke ruangan dapur. Diambilnya nampan berisi gendi dan sesisir pisang susu dan bersiap-siap hendak pergi. Sesampainya di kamar, ia letakkan nampan di atas meja, juga pelita itu. Dengan diam-diam, ia kupas pisang dan memakannya kemudian menaruh kulitnya di atas nampan di atas meja. Setelah itu, ia pun minum dari gendi (hlm. 173). (15) Tiba-tiba dirasainya kepalanya menjadi berat. Ia tahu bagaimana pegangannya pada tepi ambin lepas tanpa semaunya sendiri. Ia heran dan gugup, tetapi tak dapat berbuat sesuatu. Tubuhnya serasa bukan tubuhnya sendiri. Dan ia terkapar di lantai. Segala kesadarannya tersedot ke luar dari badan. Yang tersisa hanya suatu kesuraman (hlm. 174). (16) Pada waktu itulah masuk Tholib Sungkar Az-Zubaid ke dalam kamar. Ia telah tiada berjubah lagi, tetapi bersarong dan berbaju kalong. Ditutupnya pintu dan dipasaknya dari dalam. Diambilnya pelita gantung dari atas meja dan disinarinya wajah Idayu yang terkapar di lantai, tertidur. Diusap-usapnya pipi wanita itu. Pelita kemudian dijatuhkannya. Diangkatnya tubuh wanita itu dengan hati-hati dan dengan hati-hati pula digolekkannya di atas ambin….(hlm. 174).

Proses pemerkosaan itu hanya dapat diingat Idayu dalam rupa ingatan. Ia hanya bisa menduga-duga dalam ingatannya kalau yang masuk ke kamarnya itu adalah Tholib alias Sayid Almasawa dengan segala kata-kata rayuan dalam pingsannya. Hal ini membuat Idayu dilema. Apakah yang dirasakannya adalah mimpi atau tidak (hlm. 175).

52 Idayu hamil akibat perbuatan Sayid Almasawa. Ia mengalami dilema mengenai siapa bapak dari anak yang dikandungnya. Wiranggaleng sendiri baru pulang dari tugasnya di Jepara dan di Demak. Wiranggaleng langsung melaporkan hasil pengamatannya di Jepara dan di Demak kepada Patih Tuban. Wiranggaleng pun mendapat pujian dari sang Patih dan Adipati Tuban.

Setelah laporan, Wiranggaleng menuju ke gedung kesyahbandaran, tempat isterinya berada. Idayu pun bercerita mengenai mimpi buruk yang dialaminya hampir tiap malam. Wiranggaleng hanya menenangkan isterinya jika mimpi hanya mimpi dan meyakinkan isterinya kalau anak itu adalah anaknya, walau ia juga tidak memungkiri kebiadaban dari Syahbandar Tuban, Sayid Almasawa.

Cerita dari Idayu diselingi pemikiran Wiranggaleng yang mulai terbuai akan pujian-pujian yang ia dapatkan. Pujian-pujian dari Patih dan Adipati membuatnya teringat kata-kata Rama Cluring mengenai pengembalian kejayaan Guargaba

(Majapahit). Obsesi Wiranggaleng mengenai pengembalian kejayaan telah membawa dirinya menjejakkan kaki dalam dunia kekuasaan dan politik di Tuban.

Imbas dari konflik perbuatan Demak menduduki Jepara tampak dalam sub judul Menyerang Malaka. Adipati menitahkan pengiriman gugusan Tuban dalam rencana Demak menyerang Malaka. Langkah Wiranggaleng dalam dunia politik di

Tuban berlanjut pada pengirimannya bersama gugusan Tuban untuk menjadi sekutu

Demak.

Gugusan Tuban dipimpin oleh Raden Kusnan. Wiranggaleng berposisi sebagai pembantu utama Raden Kusnan beserta lima ratus prajurit. Kapal-kapal

53 gugusan Tuban pun meninggalkan Tuban menuju ke Demak untuk turut menyerang

Peranggi di Malaka. Adipati sendiri yang merestui keberangkatan gugusan Tuban

(hlm. 184).

Dalam pelayarannya di atas kapal, perhatian para prajurit kepada

Wiranggaleng melebihi perhatian prajurit pada pimpinannya, Raden Kusnan. Di kapal, Wiranggaleng mendengar pergunjingan para prajurit mengenai rumah tangganya yang sekarang sudah menjadi rahasia umum. Seluruh masyarakat Tuban pernah mendengar mengenai isu perkosaan Syahbandar, Sayid Almasawa (hlm. 188).

Alur kembali mengalami flash back. Flash back terjadi pada kejadian pasca kelahiran anak pertama Idayu. Sepulang dari desa Awis Krambil, Idayu langsung menemui Wiranggaleng. Ia memberi tahu kalau anaknya bukanlah anak

Wiranggaleng. Ini dikarenakan ciri fisik sang anak serupa dengan Sayid Almasawa, bukan Wiranggaleng. Karena merasa tidak setia, Idayu meminta Wiranggaleng untuk membunuhnya. Tindakan Idayu ditolak oleh Wiranggaleng (hlm. 189-190).

Alur kembali berjalan lurus. Berlatar di kapal, tempat gugusan Tuban berada,

Raden Kusnan yang memimpin gugusan dan Wiranggaleng sama-sama belum mempunyai pengalaman perang, apalagi perang laut.

Gugusan Tuban sendiri telah memasuki bandar Jepara untuk bergabung dengan Sekutu yang lainnya. Akan tetapi, yang mereka temukan adalah kekosongan.

Di Jepara, gugusan Tuban hanya didatangi oleh Ki Aji Kalijaga, abang Raden

Kusnan. Dari Kalijaga, gugusan Tuban sadar kalau mereka telah terlambat lima hari dari rencana awal. Mutlak ini menciptakan sebuah kejutan tersendiri. Karena waktu

54 dan prosesi pengiriman gugusan diatur oleh kehendak Adipati sendiri. Ini tampak dari persembahan Raden Kusnan pada Ki Aji Kalijaga (hlm. 191).

Keterlambatan ini telah membuat Raden Kusnan malu. Emosi melanda pikirannya begitu tahu keterlambatan gugusannya yang disengaja oleh Adipati Tuban sendiri. Gugusan pun sampai ke Banten. Di sana, Raden Kusnan menerima perintah dari Adipati Unus melalui pamannya, Aji Usup. Sesuai titah Adipati Unus, gugusan

Tuban pun diambil alih oleh Aji Usup. Segala peristiwa ini membuat Wiranggaleng mengambil sebuah kesimpulan, yaitu keterlambatan gugusan Tuban yang disengaja dan pemboikotan Demak atas gugusan Tuban (hlm. 194).

Raden Kusnan yang terkejut dan shock akhirnya tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Kepemimpinannya telah hilang di mata prajurit. Ini mengakibatkan semangatnya patah. Kemerosotan mental yang dialami Raden Kusnan membuat Aji Usup mengangkat Wiranggaleng sebagai pimpinan gugusan Tuban.

Dalam tapakan alur yang masih sama dengan pemberangkatan gugusan Tuban dari Tuban, latar berpindah ke Riauw. Di Riauw, Adipati Unus telah menunggu kedatangan gugusan Tuban selama lima setengah hari. Rencana yang telah ia susun juga bergantung pada kedatangan gugusan Tuban. Akan tetapi, gugusan yang ditunggu tidak juga tampak. Ini membuat Adipati Unus tetap melakukan penyerangan dengan armada yang sedikit pincang.

Taktik yang diciptakan Unus adalah membagi armada-armada sekutu dalam dua gugusan. Gugusan I adalah gugusan yang menyerang Malaka sewaktu kosong.

Gugusan I bertanggung jawab dalam perang di daratan. Gugusan II akan menyerang

55 dari lautan jika Peranggi menyerang balik dari lautan. Ketidakhadiran gugusan

Tuban, sedikit mengacaukan rencana yang telah dibuat oleh Adipati Unus. Armada sekutu Demak perlahan mulai memasuki Malaka. Perang di darat pun terjadi.

Gugusan I telah mendaratkan pasukannya dan telah bertempur melawan Peranggi yang ada di darat. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(17) Serangan darat sudah dimulai. Prajurit-prajurit dari gugusan II berlompatan dan berjingkrak di geladak. Dan tak lama kemudian mereka melihat api dan asap mulai membumbung ke udara. Tetapi Portugis bukanlah penakut. Dari pengalaman perangnya di berbagai benua, mereka mengerti benar bagaimana harus menghadapi serangan pasukan pribumi, sehingga sejumlah kecil orang harus bisa menghalau mereka semua, membendung, membubarkan, dan menghancurkan (hlm. 197).

Taktik Adipati Unus terbukti lancar. Portugis terdesak oleh rencananya.

Untuk semalam, Malaka dapat diduduki oleh Armada gabungan Demak. Ini membuat para prajurit menjadi terlena akan kemenangan yang sudah ada di depan mata. Taktik

Unus mengharuskan seluruh pasukan langsung kembali ke kapal pascapenyerangan di darat. Ini dilakukan untuk mengantisipasi serangan balik Portugis dari lautan. Akan tetapi, hal ini tidak dilakukan oleh para prajurit yang tetap berada di darat untuk merayakan kemenangan. Kelalaian dari gugusan I yang sebagian juga diikuti oleh prajurit dari gugusan II, membuat pertahanan di laut menjadi menipis.

Keasyikan para prajurit dalam merayakan kemenangan dan melanggar taktik

Adipati unus berbuah pahit. Portugis mulai tampak di lautan dengan armada yang jauh lebih besar. Armada Sekutu terkejut dan tergesa-gesa memasuki kapal yang telah kosong dari penjagaan (hlm. 199-201).

56 Serangan balik Portugis tidak dapat ditahan oleh armada gabungan. Ini dikarenakan banyak dari kapal-kapal yang ditinggal prajuritnya untuk mendarat dan merayakan kemenangan di daratan Malaka. Imbas dari kesalahan para prajurit mematuhi rencana Adipati Unus, membuat serangan yang telah dilancarkan oleh

Adipati Unus menjadi sia-sia. Hasil akhir dari penyerangan armada gabungan Demak ke Malaka adalah kekalahan pada armada gabungan. Penyerangan ke Malaka gagal.

(18) “Cetbang tak mampu, Gusti” “Kami sudah lihat sendiri. Mereka memang lebih unggul. Apa pun yang terjadi, kita sudah menantang mereka, sudah melawan dan mendatangi” Kapal bendera itu terasa menggetar. Satu diantara tiang-tiangnya roboh ke samping dengan suara seperti ledakan petir. Layarnya jatuh ke atas air seperti sayap dayung patah. Dua orang bermandi darah tertindih di bawahnya, pipih seperti lontar (hlm. 203). (19) Sebuah peluru lagi menyambar siku haluan, dan mancung yang semalam dibetulkan, kini terbongkar lagi. Sebutir logam lagi menghantam ulang mancung itu, menembus dan dengan lengkungan masuk ke dalam laras cetbang, menghantam bilik ledak, meletus, dan serpihan besi beterbangan. Laksamana Adipati Unus menggeletak di geladak bermandikan darah. Serpihan besi telah menghujani tubuhnya (hlm. 203). (20) Dan dengan demikian armada gabungan Aceh-Jambi-Riauw-Demak-Jepara dengan kekuatan dua puluh ribu orang itu binasa dengan kekalahan…(hlm. 203).

Gugusan Tuban yang terlambat lima hari akhirnya sampai ke Malaka. Mereka hanya mendapati bangkai-bangkai kapal armada gabungan. Mereka menjadi saksi kekalahan armada gabungan dan bagaimana kehebatan Peranggi (Portugis). Gugusan

Tuban membawa Adipati Unus yang terluka untuk kembali ke Jepara bersama ratusan prajurit yang selamat. Wiranggaleng, pimpinan gugusan mencoba memikirkan penyebab kekalahan armada gabungan dan kehebatan Portugis. Rasa kagum

Wiranggaleng pun diberikan pada Adipati Unus yang menurutnya sangat berwibawa.

57 Di Jepara, gugusan diterima langsung oleh Ratu Aisah, Ibunda Adipati Unus

(Isteri dari Raden Patah). Wiranggaleng juga menaruh rasa kagum pada Ratu Aisah yang masih memiliki rasa optimistik atas kekalahan armada gabungan. Ratu Aisah mengatakan jika Adipati Unus telah mendatangi Peranggi dan kelak akan mendatanginya lagi (hlm. 206-207).

Gugusan Tuban yang menyertai kepulangan Adipati Unus, di Jepara dianggap sebagai pengkhianat. Wiranggaleng sangat menghargai keputusan massa yang menganggap Tuban sebagai pengkhianat. Ia sadar akan kelicikan Adipati yang sengaja memperlambat keberangkatan gugusan Tuban. Pada hari keempat,

Wiranggaleng pun menghadap Ratu Aisah untuk meminta diri pulang ke Tuban.

Gugusan Tuban dan gugusan Banten yang tidak diizinkan pulang ke Banten berangkat menuju Tuban.

Sesampai di Tuban, gugusan disambut oleh Adipati yang merasa gembira karena kesatuannya pulang dengan selamat. Adipati merasa jika dendamnya pada

Demak telah terbalas dengan keterlambatan gugusan yang disengajanya. Bahkan, keberadaan puteranya, Raden Kusnan sendiri tidak dipertanyakannya (hlm. 208).

Dalam sub judul Timbulnya Kericuhan, dipaparkan jika Portugis melakukan pergerakan untuk menguasai wilayah-wilayah di Nusantara. Ini merupakan imbas dari kemenangan mereka atas armada gabungan yang digalang Adipati Unus.

Sebulan pasca kepulangan Wiranggaleng, terdengar isu-isu jika Portugis telah memasuki jalur perdagangan di Nusantara. Ini menyebabkan bandar Tuban menjadi sepi dari jalur perdagangan. Beberapa kapal Tuban yang mencoba berlayar ke

58 Maluku dirampas oleh Portugis. Pelayaran dan perdagangan Maluku-Tuban merosot.

Adipati Tuban yang melakukan kelicikan merasa menyesal atas sikapnya yang mengkhianati armada gabungan. Pengkhianatan yang dilakukan Adipati Tuban hanya untuk memberi balasan atas sikap Demak yang merampas Jepara. Imbas dari tindakannya adalah sepinya bandar Tuban dari perdagangan.

Masalah yang dihadapi Tuban tidak itu saja. Isu pergolakkan yang dilakukan oleh Rangga Iskak, mantan Syahbandar Tuban juga menjadi masalah tambahan. Dua ratus prajurit sisa pasukan gugusan Banten yang dibawa ke Tuban pasca penyerangan ke Malaka menghilang. Para prajurit yang hilang ini dikabarkan bergabung dengan

Rangga Iskak yang telah memimpin lima desa di pedalaman. Rangga Iskak menerima lima desa di pedalaman Tuban sebagai ganti rugi pemecatannya yang dilakukan oleh

Adipati Tuban secara sepihak. Rangga Iskak juga memiliki wewenang dalam mengembangkan dan memimpin lima desa, termasuk dalam urusan agama. Ini membuat Rangga mengambil sikap memusuhi Tuban (hlm. 216-217).

Isu pemberontakan yang akan dilakukan oleh Rangga Iskak dianggap remeh oleh Adipati Tuban. Di tempat yang lain, Wiranggaleng mendapati Syahbandar

Tuban menemui orang Portugis di pelabuhan Tuban. Di laut Tuban sendiri, terlihat kapal Portugis. Wiranggaleng mendapati penjaga menara pelabuhan tertidur setelah dibius oleh Sayid Almasawa agar ia leluasa bergerak.

Keesokan harinya, kapal Peranggi berlabuh di bandar Tuban. Pimpinan iringan penghadap dari Peranggi adalah Martinique Lamaya. Diiringi oleh

59 Syahbandar Tuban dan Wiranggaleng, orang-orang Peranggi menghadap Gusti

Adipati Tuban (hlm. 223).

Adipati Tuban menerima Peranggi menetap di Tuban. Ini salah satu caranya untuk menjalani persahabatan dengan Peranggi. Peranggi diterima dengan tangan terbuka oleh Adipati. Syahbandar Tuban mendapat tugas menjadi pelayan utama mereka. Dengan begitu, resmilah Peranggi menginjakkan kakinya di tanah Tuban untuk pertama kali.

Wiranggaleng yang bertugas melayani Syahbandar, juga melayani Peranggi.

Beberapa saat setelah pendaratan di Tuban, Peranggi telah berbuat ulah. Orang-orang

Peranggi mengamuk dan merampas barang dagangan pedagang. Wiranggaleng pun mengambil sikap melindungi rakyat Tuban. Perkelahian pun terjadi, Wiranggaleng melawan orang-orang Peranggi. Perkelahian ini dimenangkan oleh Wiranggaleng.

Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(21) “Kembali kalian ke kapal kalian. Syahbandar muda, Wiranggaleng sudah bicara. Kembali! Kembali!” seorang Portugis telah melayangkan tangan pada mukanya. Ia tangkap tangan itu dan dipatahkannya perbukuan lengannya. Satu pekik kesakitan melengking. Berbareng dengan itu, penyerangan umum dimulai (hlm. 225). (22) Satu sambaran telah mencengkam lengan seorang dan orang itu ditariknya dan dihantamkan lututnya pada kemaluannya. Sekaligus orang yang pingsan itu ia pegangi kedua belah kakinya dan ia putarkan jadi baling-baling untuk membubarkan kepungan. Melihat para pengepung mundur, ia lepaskan korbannya, jauh melayang dan bergedebug jatuh di pasiran bandar. Kawan- kawannya merubungnya. Mereka mengangkat temannya yang tak bangun lagi itu. Dua orang yang patah lengan berjalan meringis-ringis mengikuti dari belakang. Mereka naik ke atas kapalnya. Dan keadaan aman kembali (hlm. 225).

60 Perkelahian yang dilakukan Wiranggaleng melawan orang-orang Portugis terjadi dua kali. Semua dimenangkan oleh Wiranggaleng. Perbuatannya itu mendapat simpati dari masyarakat. Kemenangan Wiranggaleng dianggap sebagai sikap yang superioritas atas Peranggi. Wiranggaleng pun dipuja oleh masyarakat Tuban. Hal sebaliknya terjadi pada Syahbandar dan Adipati Tuban. Masyarakat sangat antipati atas sikap mereka yang menerima dan melayani Peranggi. Hal ini dianggap sebagai sikap yang tidak terpuji bagi seorang pemimpin. Superioritas Wiranggaleng di mata masyarakat tampak pada kutipan berikut.

(23) Dan suara-suara itu ditutup oleh kesimpulan: Syahbandar mudalah orang yang pertama-tama yang telah menciderai orang-orang Peranggi. Wiranggaleng! Tidak lain dari Wiranggaleng! Dan di Tubanlah mereka dicederai! Di Tuban! (hlm. 226).

Setelah peristiwa tersebut, Wiranggaleng menarik kesimpulan jika ada hubungan atasan dan bawahan antara Portugis dan Sayid Almasawa. Wiranggaleng pun memiliki obsesi untuk memerangi Portugis di Malaka.

Kejadian datangnya Peranggi ke Tuban dikisahkan oleh pengarang untuk menunjukkan perkembangan tokoh Wiranggaleng dalam mengikuti arus perkembangan politik di Tuban. Kejadian perkelahian Wiranggaleng melawan

Peranggi untuk menunjukkan superioritas Wiranggaleng dalam menghadapi

Peranggi. Nilai tambahnya adalah simpati masyarakat Tuban terus mengalir pada

Syahbandar muda Tuban, Wiranggaleng. Hal sebaliknya terjadi pada sosok Adipati

Tuban dan Syahbandar Tuban.

61 Alur berjalan lurus lagi dalam sub judul Meningkatnya Kericuhan.

Syahbandar muda, Wiranggaleng melakukan patroli, melihat-lihat ke sekelilingnya.

Wiranggaleng dikejutkan oleh panggilan seorang Tionghoa. Orang tersebut membawa surat dari seseorang yang bernama Mohammad Firman, musafir Demak.

Dia merupakan ayah angkat Mohammad Firman di Lao Sam. Orang Tionghoa itu adalah Liem Mo Han.

Wiranggaleng membaca surat yang diberikan oleh Liem Mo Han.

Wiranggaleng sadar kalau yang bernama Mohammad Firman itu adalah Pada. Sebuah realitas yang mengejutkan, mengingat Pada berhasil berenang hingga terdampar di

Lao Sam sebelum diselamatkan oleh Liem Mo Han. Bagi Pada, Wiranggaleng merupakan seorang kakak. Pada alias Mohammad Firman mengirim Liem Mo Han untuk membantu Wiranggaleng menjalankan tugas-tugasnya di Tuban. Liem Mo Han memiliki kemampuan berbahasa Portugis (hlm. 135).

Liem sendiri datang ke Tuban dengan maksud lain, yaitu mengejar buronan

Lao Sam, Esteban dan Rodriguez. Liem menduga jika Esteban dan Rodriguez berada di Tuban. Dengan begitu, terciptalah sebuah hubungan antara Wiranggaleng dan

Leim Mo Han. Dari Liem Mo Han juga Wiranggaleng mengetahui kemampuan

Esteban dan Rodriguez sebagai penembak meriam Peranggi yang dapat dimanfaatkan

(hlm. 136).

Alur bergerak lagi lebih maju. Isu mengenai pemberontakan Rangga Iskak perlahan menjadi kenyataan. Desa-desa di bawah kekuasaan Rangga Iskak menjadi pusat kekuasaan dalam menyerang Tuban. Patih Tuban pun mengadakan pertemuan

62 dengan setiap kepala desa. Patih menuntut laporan dari para kepala desa mengenai pemberontakan yang telah terjadi di masing-masing desa. Patih menitahkan seluruh kepala desa untuk mengerahkan seluruh pagar desanya. Jika pagar desa tidak mampu meredam pemberontakan, maka tentara Tuban sendiri yang turun tangan (hlm. 241).

Desa Rajeg, itulah nama desa yang menjadi pusat kekuasaan Rangga Iskak yang sekarang berganti nama Ki Aji Benggala. Pergerakannya yang membuat gelisah masyarakat umum menjadi ancaman bagi Tuban. Syahbandar Tuban, Sayid

Almasawa mengirim Wiranggaleng ke desa Rajeg. Dalih dari Syahbandar Tuban adalah mengambil barang yang terbawa Rangga Iskak alias Ki Aji Benggala.

Menurut Sayid Almasawa, barang tersebut merupakan benda berharga kesyahbandaran yang harus diambil kembali oleh Wiranggaleng.

Wiranggaleng lalu menemui Sang Patih untuk melaporkan rencana Sayid

Almasawa dalam pengirimanya menemui Rangga Iskak di desa Rajeg. Hal ini juga mendapat restu dari Patih. Tugas yang diterima Wiranggaleng dari Sang Patih adalah melihat situasi dan pergerakan Rangga Iskak di desa Rajeg. Akhirnya, Wiranggaleng berangkat ke desa Rajeg dengan empat prajurit Tuban yang mengiringinya.

Wiranggaleng mengambil kesimpulan sendiri atas putusan Sayid mengirimnya menemui Rangga Iskak dengan membawa sebuah surat. Menurutnya, rencana Sayid adalah menghubungi perusuh dan sekaligus menyingkirkan Wiranggaleng dari dunia

(hlm. 246).

Wiranggaleng berangkat ke desa Rajeg sambil membawa surat yang hanya berisi tulisan arab. Tulisan dari Sayid Almasawa yang ditujukan pada Rangga Iskak

63 hanya sebaris. Wiranggaleng pun sampai ke desa Rajeg. Dari perjalanan di desa

Rajeg, Wiranggaleng dapat melihat pamor Ki Aji Benggala seperi layaknya Adipati di desa tersebut.

Wiranggaleng bertemu dengan Ki Aji Benggala di kediamannya. Dia menerima perlakuan layaknya seorang kafir dari Ki Aji Benggala dan masyarakat desa Rajeg. Wiranggaleng menyerahkan surat Sayid Almasawa kepada Ki Aji

Benggala. Setelah membaca surat, Ki Aji Benggala marah. Dia merasa dilecehkan oleh Sayid Almasawa. Surat itu hanya berisi salam, tidak lebih dan tidak kurang. Ki

Aji Benggala menganggap ini sebagai sebuah penghinaan. Wiranggaleng yang tidak tahu apa-apa hanya diam menerima amarah dari Ki Aji Benggala alias Rangga Iskak.

Ki Aji Benggala dapat mengatur emosinya setelah mendapat ketenangan dari isterinya. Ki Aji Benggala menyuruh Wiranggaleng pulang sambil membawa surat balasan darinya. Wiranggaleng pun beranjak menuju Tuban. Titah Ki Aji Benggala pada Wiranggaleng adalah menyampaikan surat balasannya untuk Sayid Habibullah

(hlm. 254).

Dalam sub judul Syahbandar, Idayu dan Gelar, pengarang hanya ingin memberikan indikasi tentang kesetiaan Idayu pada Wiranggaleng. Peristiwa Sayid

Almasawa yang tidak mau mengakui jika Gelar adalah anaknya, juga dipaparkan dalam sub judul ini. Konflik-konflik yang terjadi sebelumnya tidak mengalami perkembangan yang cepat seperti sub-sub judul sebelumnya.

Alur berkembang juga dalam sub judul Perjalanan Sepucuk Surat Rahasia.

Dari desa Rajeg, latar kembali ke Tuban. Wiranggaleng telah tiba di Tuban dari

64 perjalanannya ke desa Rajeg. Ketika Wiranggaleng hendak langsung menghadap

Patih, ia melihat Sang Patih sedang meminta dua orang Peranggi yang ditahan oleh

Syahbandar Tuban sebagai tahanan Tuban. Permintaan ini ditolak oleh Syahbandar.

Ia memiliki hak yang didapatnya dari Sang Adipati atas perlindungan orang-orang

Peranggi tersebut.

Dengan sebuah surat yang dibawanya, Wiranggaleng menghadap Patih

Tuban. Patih Tuban menerima persembahan Wiranggaleng. Sang Patih telah yakin jika Rangga Iskak akan memberontak. Ketika Wiranggaleng memberi surat dari

Rangga Iskak, Sang Patih juga tidak bisa membaca tulisan arab yang ada dalam surat itu. Wiranggaleng ditugaskan ke Bonang untuk mencari penerjemah bahasa arab.

Wiranggaleng tiba kembali di Tuban dengan membawa Mashud. Atas titah

Sang Patih, Mashud mulai menerjemahkan surat tersebut. Mashud dapat menerjemahkan baris tiap baris. Akan tetapi, ketika melanjutkan pembacaannya, tiba- tiba Mashud ketakutan. Ketakutan ini membuatnya tidak dapat meneruskan pembacaannya. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

(24) Mashud membaca baris demi baris dan menterjemahkan: “Selamat bagimu” sebaris lagi “Dilimpahkan Allah kiranya padamu taufik dan hidayatnya”, sebaris lagi, “Dijauhkan Tuan kiranya dari jilatan api neraka” selanjutnya,” Kecuali bila kau lakukan hal-hal yang diwajibkan kepadamu untuk mengembangkan, dan menyampaikan, melindungi, mempertahankan, dan mengamalkan,” sebaris lagi “Maka itu, kerjakan apa yang kami sebutkan di bawah ini….” Mashud tiba-tiba terdiam. Mukanya pucat. Tangan dan bibirnya menggeletar. Matanya liar ke mana-mana seperti keranjingan (hlm. 262).

Kepucatan Mashud membuat Patih menyuruhnya pergi. Lalu, dipanggil lagi

Jamhur Tenga, guru Mashud. Akan tetapi, hal yang sama terjadi. Jamhur Tenga juga

65 ketakutan membacakan apa yang membuat Mashud ketakutan. Kesimpulan yang ditarik oleh Patih dan Wiranggaleng adalah ada sesuatu yang sangat berbahaya dalam surat balasan tersebut. Belum lagi pulang, masalah surat membawa Wiranggaleng pergi meninggalkan Tuban. Wiranggaleng dititahkan Sang Patih untuk pergi ke

Gresik mencari terjemahan yang benar dari surat balasan Rangga Iskak. Alur pun beranjak ke Gresik.

Wiranggaleng tiba ke Gresik dengan suatu keheranan. Islam sangat terlihat mendominasi kehidupan masyarakat Gresik. Wiranggaleng tak melihat keagungan agama lamanya. Ia pun menjadi pusat perhatian dengan rambut panjangnya. Karena kondisi di Gresik jauh berbeda dengan Tuban, Wiranggaleng memotong rambutnya di sebuah pesantren. Ini dilakukannya untuk mempermudah misinya.

Wiranggaleng juga harus berpura-pura menjadi Islam. Ia pun diresmikan sebagai Islam oleh Kiai di pesantren tersebut. Wiranggaleng meminta tolong Kiai tersebut untuk menerjemahkan surat yang dibawanya. Hal yang dirasakan oleh

Mashud juga dialami oleh Kiai. Kiai memutuskan untuk menahan surat tersebut karena dianggap berbahaya. Wiranggaleng harus merebut surat tersebut secara paksa, lalu meninggalkan pesantren tersebut.

Akhirnya, Wiranggaleng kembali masuk ke sebuah pesantren. Di pesantren inilah, Wiranggaleng berkenalan dengan seorang santri muda yang terkenal cerdas,

Danu. Setelah beberapa hari menjadi anggota pesantren, Wiranggaleng menemui

Danu pasca beraktivitas di sawah. Dalam keadaan yang mulai sepi karena hampir memasuki jam sholat, Wiranggaleng meminta Danu untuk menerjemahkan surat

66 tersebut. Dari terjemahan Danu, Wiranggaleng mengetahui jika Rangga Iskak menuntut Sayid Almasawa untuk memberinya dua meriam ke desa Rajeg. Danu juga hendak menahan surat itu karena dianggap berbahaya. Wiranggaleng harus merebut lagi surat tersebut secara paksa, lalu berangkat menuju Tuban (hlm. 271-272).

Setibanya di Tuban, Wiranggaleng langsung menemui Patih Tuban.

Wiranggaleng menyampaikan terjemahan yang berisi permintaan dua pucuk meriam oleh Ki Aji Benggala pada Sayid Almasawa. Patih Tuban telah mengetahui rencana

Rangga Iskak sebagai pemberontak. Patih menitahkan Wiranggaleng untuk pulang ke gedung kesyahbandaran.

Di gedung kesyahbandaran, Wiranggaleng langsung menghadap Syahbandar

Tuban dan memberikan surat balasan dari Ki Aji Benggala. Sayid Almasawa curiga terhadap Wiranggaleng karena keadaan surat yang agak rusak seperti telah dibaca oleh banyak orang. Sewaktu membaca surat tersebut, Wiranggaleng menangkap mimik wajah Sayid Almasawa yang juga terkejut. Wiranggaleng berpikir jika

Syahbandar tersebut telah sampai pada kalimat permintaan meriam (hlm. 273-274).

Flash back kembali terjadi lagi dalam sub judul Datangnya Meriam Peranggi.

Dalam sub judul ini, alur bercerita mengenai penemuan Liem Mo Han atas keberadaan buronannya, Esteban dan Rodriguez di gedung kesyahbandaran.

Liem Mo Han mengajak Wiranggaleng untuk melihat Esteban dan Rodriguez yang tertahan di salah satu gedung kesyahbandaran. Mereka juga melihat seluruh peristiwa yang dilakukan oleh Sayid Almasawa. Sayid Almasawa menahan kedua orang Peranggi tersebut dan mengajak mereka untuk bekerja sama. Penolakan yang

67 dilakukan oleh Esteban dan Rodriguez membuat Sayid Almasawa emosi dan menyiksa Esteban serta Rodriguez hingga pingsan. Sayid memanggil beberapa orang untuk mengangkut Esteban dan Rodriguez ke pelabuhan dan dimasukkan dalam sebuah perahu. Semua kejadian tersebut menjadi tontonan bagi Wiranggaleng dan

Liem Mo Han (hlm. 286).

Esteban dan Rodriguez yang pingsan akhirnya terbangun. Esteban sadar kalau mereka telah berada di kapal Portugis. Menurut peraturan Portugis, pelarian Portugis akan mengalami pengadilan kapal (hukuman gantung). Rodriguez yang menyusul siuman juga ketakutan akan pengadilan kapal yang akan mereka hadapi. Seorang perwira tinggi mengancam dan membeberkan hukuman apa yang akan diterima oleh

Esteban dan Rodriguez. Akan tetapi, mereka tidak akan dihukum jika mau berbakti dan melakukan apa saja demi Portugis. Di samping itu, keselamatan Esteban dan

Rodriguez telah diminta oleh Sayid Almasawa, Syahbandar Tuban. Esteban dan

Rodriguez berjanji akan melakukan apa saja untuk selamat dari pengadilan kapal.

Esteban dan Rodriguez yang mengira akan dibawa ke pengadilan kapal, ternyata diturunkan ke sebuah perahu yang telah tersedia dua pucuk meriam. Esteban dan Rodriguez pun melakukan perjalanan dengan perahu yang berisi orang-orang pribumi, termasuk Yakub (hlm. 296).

Alur kembali bergerak lurus, mengikuti pergerakan Rangga Iskak yang semakin menjadi. Dalam sub judul Balatentara Tuban Turun Tangan, Rangga Iskak mulai melancarkan pemberontakan. Kebesarannya sebagai pemimpin desa Rajeg ditandai dengan pergantian nama menjadi Sunan Rajeg.

68 (25) Lebih dari itu dari beberapa tempat orang mulai menyebut Rangga Iskak bukan lagi Ki Aji Benggala, tetapi sudah menjadi Kiai Benggala, dan terakhir malah berubah lagi menjadi Sunan Rajeg (hlm. 299).

Patih Tuban pun menurunkan prajurit-prajuritnya ke desa-desa secara sembunyi-sembunyi. Taktik yang dilakukan oleh Patih adalah meredam pemberontakan Sunan Rajeg secara perlahan agar tidak menimbulkan keributan.

Menurut Sang Patih, keributan hanya akan mengundang Bupati-bupati tetangga dan

Peranggi untuk menyerang Tuban (hlm. 299).

Kejadian yang aneh menghampiri Sang Patih Tuban. Pasukan yang ia kirim bersama kepala desa tidak ada yang kembali. Ini mengindikasikan jika terjadi sesuatu yang tidak beres di pedalaman Tuban. Patih mempersembahkan pergolakan yang terjadi kepada Adipati. Akan tetapi, Sang Adipati menganggap remeh persembahan

Patihnya. Adipati menganggap remeh kekuatan Rangga yang tidak seberapa jika pasukan Tuban dikerahkan. Walau begitu, Sang Patih tetap meminta kesatuan pasukan Tuban yang lebih besar untuk meredam pemberontakan Rangga Iskak, sebelum pemberontakan mencapai klimaksnya. Permintaan ini ditolak oleh Adipati.

Adipati merasa jika pasukan Rajeg bisa sekali habis jika pasukan Gajah Tuban digerakkan. Patih Tuban pun memutuskan untuk mengirim dua ratus prajurit untuk meredam pergerakan Rangga Iskak. Pasukan itu dipilih sendiri oleh perwira yang memimpin serangan, Mahmud Barjah. Tentu saja, pengiriman ini dilakukannya secara sembunyi (hlm. 301).

69 Patih Tuban kembali menemui Sang Adipati tanpa mempedulikan tempat pertemuannya dengan Sang Adipati, yaitu di keputrian. Persembahan yang kedua kali tersebut berbuah pahit bagi Sang Patih. Ia dipermalukan oleh Sang Adipati di depan keputrian. Seluruh persembahan Sang Patih tidak ada yang digubris oleh Sang

Adipati. Persembahan mengenai Syahbandar Tuban yang merupakan mata rantai

Peranggi dan permintaan Ki Aji Benggala atas dua pucuk meriam dianggap ringan oleh Sang Adipati. Kesia-siaan persembahan yang dilakukannya ditambah dengan penghinaan Adipati yang diterimanya di depan keputrian membuat Sang Patih jengkel dan mengambil sikap tidak peduli lagi (hlm. 302).

Patih Tuban yang telah mengalami rasa sakit hati harus menerima kepahitan yang kedua. Dua ratus prajurit yang dikirimnya bersama Mahmud Barjah menghilang. Persitiwa ini semakin membuatnya makin kecewa hingga terbenam dalam sikap tak acuh (hlm. 304).

Latar berpindah ke desa Rajeg. Yakub, Esteban dan Rodriguez sampai ke desa

Rajeg. Rombongan itu membawa dua meriam pemberian Sayid Almasawa, walau meriam itu tidak dalam keadaan yang sempurna. Meriam ini diterima dengan senang hati oleh Sunan Rajeg sembari berkata: “Alhamdulillah” (hlm. 306).

Sunan Rajeg memberi hukuman kurungan selama seminggu dengan pemenuhan kebutuhan makan yang sangat minim, hanya pisang setengah masak untuk jatah satu hari. Ini sebagai imbas Esteban dan Rodriguez yang tidak mau memberi hormat pada Sunan Rajeg.

70 Hukuman yang dirasa berat oleh Esteban dan Rodriguez telah mengantar mereka untuk setuju menjadi pelayan meriam Rajeg, bahkan melatih tentara Rajeg dengan perang ala Eropa, walau harga diri mereka telah diinjak-injak oleh Sunan

Rajeg yang memanggil mereka dengan sebutan “kafir”. Sunan Rajeg melihat keseriusan dalam mata Esteban dan Rodriguez. Ia yakin akan loyalitas Esteban dan

Rodriguez walau harus melewati masa hukuman terlebih dahulu. Untuk mengikat mereka secara emosional dengan massa Rajeg, Sunan Rajeg pun mengislamkan keduanya. Esteban dan Rodriguez yang awalnya tidak mau menjadi Islam, mau tidak mau mengiyakan tawaran Sunan Rajeg karena berposisi sebagai tawanan. Esteban dan Rodriguez diislamkan dengan nama Manan dan Rois (hlm. 310-311).

Belum selesai pengislaman Esteban dan Rodriguez, massa Rajeg dikejutkan oleh seorang pemuda. Pemuda itu mengenakan pakaian prajurit Tuban. Dia adalah kemenakan dari Sunan Rajeg, Mahmud Barjah. Mahmud Barjah mempersembahkan dua ratus prajurit Tuban yang telah dipilihnya.

(26) “Du-a ra-tus prajurit yang sahaya pilih sendiri, Paman.” “Kau pilih sendiri!” “Semua prajurit Tuban asli, gagah berani. Anak-anak laut pelawan ombak penakluk pulau.” “Tuhan memberkahi, Nak. Di mana mereka sekarang?” “Masih di perbatasan, Paman. Menunggu ijin masuk dari Kanjeng Sunan Rajeg” “Betul juga, tak percuma kau jadi perwira. Bawa mereka masuk, Mahmud. Tiada kafir di antara mereka, bukan? “Pilihan terperinci, Paman” “Ah-ah, panglimaku datang, panglimaku! Jemput mereka segera biar kulihat wajah mereka seorang demi seorang” ia bangkit untuk memberi isyarat pada Mahmud Barjah agar segera pergi. Mahmud Barjah pergi, melompat ke atas kudanya dan berpacu hilang di balik debu yang mengepul (hlm. 312).

71

Sunan Rajeg memperkenalkan panglimanya, Mahmud Barjah pada Manan dan Rois. Secara perlahan kekuatan prajurit pemberontak Rajeg menjadi kuat.

Bertambahnya dua ratus prajurit Tuban yang berkhianat, menambah nilai dalam pasukan Rajeg. Persiapan untuk melakukan perang dengan Tuban pun akhirnya dipersiapkan.

Alur berpindah setting ke kadipaten Tuban. Adipati Tuban mengadakan pertemuan penting dengan seluruh kepala pasukan Tuban dan petinggi Tuban.

Pertemuan ini diadakan untuk membahas pemberontakan Rajeg. Sang Adipati marah sewaktu ia mendengar kalau dua ratus prajurit kaki Tuban menghilang. Semua telah berkumpul di kadipaten, termasuk Wiranggaleng yang telah diangkat menjadi kepala pasukan laut Tuban. Orang yang ditunggu-tunggu oleh Adipati adalah Sang Patih.

Sang Patih Tuban telah mengambil sikap cuek terhadap apa yang akan terjadi pada Tuban, termasuk kewajibannya mengikuti pertemuan tersebut. Sang Patih lebih memilih di rumah dan tidak mendatangi pertemuan yang diadakan Sang Adipati yang mulai kebingungan.

Amarah Sang Adipati akhirnya meledak, menunggu Sang Patih yang tak kunjung datang. Adipati menugaskan Rangkum, kepala pasukan kaki untuk membawa Patih ke pertemuan. Sang Patih pun tiba di pertemuan dengan pakaian apa adanya, tidak terkesan layaknya seorang Patih. Sang Patih membenarkan pengkhianatan yang dilakukan oleh dua ratus prajurit kaki yang dikirimnya ke desa

Rajeg. Dalam pertemuan ini, Sang Patih hanya memberikan persembahan tanpa

72 berkata apa pun, salah satu wujud ketidak peduliannya. Ini menjadi pertanyaan bagi

Wiranggaleng. Sikap Patih panutannya pun membuat ia kecewa. Ia tidak menduga kalau Sang Patih dapat bersikap tidak peduli terhadap pertemuan tersebut.

Adipati pun meminta persembahan dari semua kepala pasukan Tuban. Mulai dari pasukan penjaga kadipaten, pasukan kaki, pasukan kuda, pasukan gajah, dan pasukan laut. Semua persembahan didengar oleh Adipati secara menyeluruh, kecuali

Wiranggaleng. Wiranggaleng belum selesai memberi persembahan tetapi telah diberhentikan. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(27) Sikapnya itu membikin gelisah para penghadap. Dan Wiranggaleng sendiri merasa jengkel karenanya. Mengapakah orang yang terkenal bijaksana itu tak ada semangat untuk mempertahankan pendapatnya dan kebijaksanaannya? Ia pun merasa tidak puas terhadap Sang Adipati yang terus-menerus memojokkan Sang Patih. Apakah jadinya kalau dua-duanya hanya bisa bermain kata-kata, sedang Syahbandar tenang-tenang menempa rencananya (hlm. 327). (28) “Jangan ada cetbang dipergunakan dalam pertempuran darat, karena itulah aturan Majapahit. Tarik semua yang di darat ke pelabuhan, dan yang di pelabuhan ke kapal” Wiranggaleng hampir saja menyangkal titah yang dianggapnya tidak tepat. Tak jadi. Dan semakin terheran-heran ia mengapa Sang Adipati tak juga ingin mengetahui tentang kapal asing yang mencurigakan (hlm. 328).

Pertemuan tersebut dikejutkan oleh sebuah suara ledakan. Semua peserta pertemuan kaget mendengar serangan meriam yang pertama kali di tanah Tuban.

Adipati tetap bersikeras untuk meneruskan pertemuan. Pasca ledakan, seorang prajurit yang menunggangi kuda, mendatangi kadipaten dan melemparkan sebuah tombak. Tombak tersebut berisi sebuah lontar yang berisi pernyataan perang dari

Rangga Iskak.

73 Sang Adipati yang merasa suasana yang semakin genting segera mengambil tindakan. Sang Adipati memberikan lima ratus prajurit Tuban kepada Patih. Sang

Adipati juga memberi gelar Senapati kepada Patih Tuban. Kemarahan Adipati memuncak ketika Sang Patih hendak mempersembahkan keberatannya. Sang Patih menerima ganjaran dari perbuatannya tersebut, yaitu Sang Adipati melemparkan tempolong ludah pada Sang Patih. Sebuah penghinaan sangat besar diterima oleh

Sang Patih, sepupu Sang Adipati sendiri. Semua penghadap dalam pertemuan itu membubarkan diri, kecuali para kepala pasukan. Mereka membantu membersihkan ludah sirih dari muka dan tubuh Sang Patih. Balatentara Tuban bergerak (hlm. 331).

Konflik kedatangan Peranggi menjadi konflik utama dalam Arus Balik, di samping penyerangan Demak ke Tuban yang jadi konflik tambahan. Konflik awal mengenai usaha penyelamatan Rama Cluring oleh Galeng-Idayu berimbas pada masuknya Galeng dalam dunia kekuasaan dan politik di Tuban. Konflik awal yang dilakukan oleh Wiranggaleng dan Idayu menjadikan mereka sebagai pemain yang mengikuti pergerakan alur Arus Balik secara keseluruhan. Jadi, konflik-konflik di ataslah yang menjadi barometer perkembangan alur dalam novel Arus Balik.

2.3 Tahap Rising Action atau Tahap Peningkatan Konflik

Tahap rising action atau peningkatan konflik merupakan tahapan di mana konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencengkam dan menegangkan (Nurgiyantoro, 2007: 149).

74 Dalam tahapan ini, konflik-konflik yang ada mulai mengalami peningkatan dari tahapan alur yang sebelumnya. Konflik-konflik telah mengalami penaikan intensitas hingga menuju tahapan puncak intensitas.

Peningkatan konflik dalam Arus Balik terjadi ketika pemberontakan Rangga

Iskak telah mencapai kata perang. Konflik yang berawal dari pemecatan Rangga

Iskak sebagai Syahbandar karena adanya pengaruh Peranggi maupun Demak berubah menjadi medan perang. Poin atau kejadian inilah yang memberi gambaran bahwa konflik yang terjadi sebelumnya telah mengalami peningkatan intensitas.

Peningkatan konflik atau konflik mulai meningkat terjadi dalam sub judul

Dan Pertempuran Meletus. Dalam sub judul ini, alur dimulai dengan kepuasan Sunan

Rajeg atas meriam kiriman Sayid Almasawa. Sunan Rajeg telah melihat sendiri keampuhan kedua meriam tersebut ketika meriam itu mengeluarkan letusan pertamanya ke Tuban Kota. Dengan semangat tinggi. Ia hadiahkan satu regu dari prajuritnya untuk melayani meriam, dan satu regu khusus untuk menjaga keselamatan senjata ampuh dan keselamatan senjata ampuh dan pelayannya (hlm. 332).

Konflik kecil terjadi dalam pasukan Rajeg. Terjadi pertikaian antara Manan-

Rois dan Mahmud Barjah, panglima perang Rajeg. Pertikaian terjadi seputar taktik perang. Manan dan Rois percaya akan taktik Eropa mereka, ini karena pengalaman perang mereka yang melebihi dari Mahmud Barjah. Di sisi lain, Mahmud Barjah tetap berpegang pada taktik kuno Majapahit yang telah diterimanya. Akhirnya,

Mahmud Barjah tidak bisa memenangkan adu argumentasi dengan Manan dan Rois.

75 Mahmud Barjah mengalah dan itu berarti menerima pemecahan balatentara Rajeg jadi laskar-laskar (hlm. 334).

Pertikaian tidak hanya terjadi dalam pasukan Rajeg, dalam pasukan Tuban terjadi hal yang sama. Pertikaian terjadi sewaktu Wiranggaleng mencoba menyadarkan Sang Patihnya untuk berperang. Sang Patih belum juga melakukan sebuah tindakan sebagai Senapati. Di alun-alun, Sang Patih yang dikelilingi oleh rombongan kepala pasukan Tuban dan Syahbandar Tuban hanya bercerita tentang perlakuan dan segala kejelekkan Sang Adipati, juga tentang kelicikan Syahbandar

Tuban. Wiranggaleng tidak mengerti akan sikap Sang Patih yang belum bertindak sedangkan musuh mulai bertindak. Dia mencoba menyadarkan Sang Patih, tetapi tidak dipedulikan, bahkan Wiranggaleng menerima bentakan dari Sang Patih (hlm.

338).

Sikap Sang Patih yang belum juga bertindak membuat Wiranggaleng sadar jika Sang Patih tidak memiliki niat untuk bertindak. Selain Peranggi dan Rangga

Iskak, Sang Patih juga telah berdiri sebagai musuh di mata Wiranggaleng. Hal ini membuatnya mengambil tindakan yang mengejutkan. Wiranggaleng membunuh Sang

Patih di tengah-tengah para kepala pasukan. Tidak hanya itu, Wiranggaleng juga mengangkat dirinya sebagai Senapati Tuban. Hal ini tampak pada kutipan berikut.

(29) Ia kebaskan apitan, melompat menerjang lingkaran, mencabut keris dan menikam Sang Patih pada pinggangnya. Orang-orang itu terpekik. Sang Patih terhuyung ke depan dan tertahan oleh keris dengan seluruh mata masuk ke dalam tubuhnya. Dan hulu keris itu masih tetap dipegangin oleh kepala pasukan laut, Wiranggaleng. “Ampuni Patik, Gusti Patih Senapati Tuban!” pekik juara gulat itu dengan suara lantang.

76 “Baik, aku ampuni kau, Galeng. Berangkatlah ke medan perang. Kau Gajah Mada baru. Hanya kau dapat kerahkan seluruh balatentara. Aku ampuni kau! Tapi semua akan percuma selama raja-raja adalah seperti Gusti Adipati, gustiku”. Ia tak mengedipkan mata pada orang yang menikamnya. Tubuhnya mulai meliuk, jatuh ke tanah (hlm. 339). (30) “Sekarang Wiranggaleng Senapati Tuban, Senapati kalian. Sebutkan lebih keras”. “Wiranggaleng Senapati kami” “Wiranggaleng Senapatiku!” Wiranggaleng membetulkan. “Wiranggaleng Senapatiku. Kepala-kepala pasukan mengulangi dan mengulang dengan suara keras, akan terdengar ke seluruh alun-alun sekitarnya (hlm. 340).

Pengangkatan Wiranggaleng sebagai Senapati membuatnya diposisikan sebagai pemimpin perang. Di samping persetujuan dari Patih yang telah dibunuhnya, pengangkatan Wiranggaleng sebagai Senapati sendiri ada unsur pemaksaan. Para kepala pasukan menyetujui ia sebagai Senapati tidak lain karena perasaan terancam karena Wiranggaleng menuntut sembari memegang keris yang masih berlumuran darah. Peristiwa ini membawa alur menuju peperangan yang dipimpin oleh Senapati

Wiranggaleng.

Wiranggaleng mengambil taktik untuk mengosongkan kadipaten dari penjagaan. Pasukan penjaga Kadipaten ia kerahkan di pelabuhan untuk menghindari serangan Peranggi dari laut. Wiranggaleng juga menyisakan pasukan kuda dan pasukan kaki untuk menjaga Tuban kota dari serangan tiba-tiba pasukan Rajeg.

Sisanya, berangkat menuju medan perang, termasuk seluruh pasukan gajah.

Perang pun terjadi. Pasukan kuda Tuban menyerang barisan depan pasukan

Rajeg yang terdiri dari pasukan kaki. Begitu blokade barisan depan pasukan Rajeg

77 telah hancur, pasukan gajah menyusul untuk menerobos ke dalam pasukan Rajeg.

Dalam pasukan gajah, terdapat Wiranggaleng yang berdiri di samping Kala Cuwil, kepala pasukan gajah.

Pasukan gajah yang menjadi pasukan inti Tuban merupakan nilai plus dari

Tuban yang tidak dimiliki oleh pasukan Rajeg yang mayoritas merupakan petani.

Dari atas gajah, Wiranggaleng dapat melihat kepemimpinan Mahmud Barjah yang berkharisma. Wiranggaleng memberi pujian pada Mahmud Barjah akan keberaniannya dalam memimpin dan melindungi pasukannya (hlm. 349).

Suatu kesempatan, Banteng Wareng langsung menyerang panglima pasukan

Rajeg, Mahmud Barjah. Wiranggaleng melarang Wareng membunuh Mahmud

Barjah. Bagi Wiranggaleng, perang bukanlah ajang pembunuhan sesama masyarakat

Tuban. Perang ini hanyalah sekedar menginsafkan para pemberontak.

Malam juga yang menghentikan perang perdana ini. Perang perdana ini dimenangkan oleh pasukan Tuban. Pasukan Tuban dapat mendesak dan merusak strategi pasukan Rajeg dengan segala kelebihannya yang ada. Para prajurit pun beristirahat dalam pesanggrahannya masing-masing (hlm. 351).

Sub judul Kesepian di Tuban menjadi cerita yang mengakhiri perang perdana antara Tuban dan desa Rajeg. Dalam sub judul ini, hanya diceritakan keadaan di

Tuban kota sewaktu perang terjadi di pedalaman. Keadaan di bandar Tuban sepi.

Pasar pelabuhan kosong. Perkampungan orang-orang Islam di sebelah timur tertinggal lenggang. Warung tuak Yakub juga terlihat tutup (hlm. 352).

78 Tuban kota seperti kota mati tanpa aktivitas. Hanya ratusan lelaki berjalan kuat di pelabuhan. Mereka adalah pasukan penjaga kadipaten yang diberi tugas oleh

Wiranggaleng untuk menyusun cetbang di semak-semak, sebagai wujud antisipasi serangan Peranggi. Di sisi lain, Wiranggaleng dilimpahi kecintaan masyarakatnya layaknya Ken Arok dan Gajah Mada pada masa Majapahit. Pengaruh Wiranggaleng semakin membesar di mata masyarakat ketika ia memimpin pasukan Tuban melawan pasukan Rajeg. Kecintaan massa juga digambarkan dengan pengharapan masyarakat

Tuban atas anak kedua Wiranggaleng yang akan lahir. Mereka berdoa agar anak kedua Wiranggaleng tidak seperti anak pertamanya (hlm. 359).

Perkembangan yang aneh menurut masyarakat Tuban adalah semakin dekatnya Sayid Almasawa dengan Sang Adipati. Syahbandar ini menjadi penghibur tunggal Sang Adipati. Ia pun memilki hak untuk masuk ke kadipaten dengan sesuka hatinya. Pekerjaannya ini medapat respon yang positif dari Sang Adipati yang semakin percaya jika hanya melalui Sang Syahbandarlah dapat tercipta persahabatan dengan Peranggi (hlm. 359).

Melangkah dengan alur yang lebih berkembang dalam sub judul Pertempuran dan Pertempuran. Sub judul ini memaparkan kelanjutan perang pasukan Tuban melawan pasukan Rajeg. Pasukan Tuban yang pada perang perdana mengalami kesuksesan, beristirahat di pesanggrahannya. Wiranggaleng sebagai Senapati menitahkan pada Rangkum untuk menugaskan pasukan kakinya melakukan pengejaran terhadap pasukan Rajeg malam itu juga. Ini ditolak oleh Rangkum mengingat pasukannya masih mengalami kelelahan. Selain itu, belum ada dalam

79 sejarah Majapahit prajurit melakukan pergerakan pada malam hari. Titah

Wiranggaleng pun mendapat penolakan dari seluruh kepala pasukan Tuban. Kejadian ini memberi sebuah gambaran jika Wiranggaleng masih belum diakui sebagai

Senapati Tuban.

Penolakan yang dilakukan oleh seluruh kepala pasukan Tuban tidak membuat

Wiranggaleng patah arang. Wiranggaleng tetap akan melakukan pengejaran walaupun melakukannya sendirian. Keteguhan hati Wiranggaleng juga yang membuat kepala pasukan Tuban menyetujui taktiknya. Pasukan Tuban pun melakukan pengejaran malam itu juga, tanpa istirahat.

Latar berpindah ke desa Rajeg. Di mesjid Rajeg, Sunan Rajeg melakukan doktrin pada massanya untuk memberontak terhadap kekafiran Tuban. Ceramah

Sunan Rajeg mengarah pada himbauan untuk masssanya jika kejayaan Islam akan datang dari desa Rajeg. Sunan Rajeg juga menjelek-jelekkan Demak yang mengaku sebagai kerajaan Islam pertama (hlm. 368). Dalam ceramahnya di mesjid, terlihat juga kondisi kesehatan Sunan Rajeg yang memburuk.

Kembali latar ke medan perang. Seperti dugaan Wiranggaleng, pasukan Rajeg juga melakukan pergerakan pada malam hari. Pergerakan mereka juga diimbangi oleh taktik Mahmud Barjah dan Manan-Rois untuk membuat jebakan. Jebakan ini berfungsi untuk meminimalisir kelebihan pasukan Tuban, yaitu pasukan kuda dan pasukan gajah. Jebakan yang dibuat adalah sebuah parit yang berbentuk tapal kuda bermulut luas. Pasukan kuda dan pasukan gajah harus masuk ke dalam kantong kuda dan akan diserang dengan pasukan panah Rajeg (hlm. 370).

80 Perang kembali terjadi. Pasukan Tuban yang melakukan pengejaran akhirnya dapat menyusul. Semangat pasukan Tuban yang menggelora untuk menghabisi pemberontak membuat mereka mudah terpancing. Mahmud Barjah mengirim sebagian kecil pasukannya untuk menjadi pancingan. Mereka dititahkan untuk berpura-pura ketakutan atas pengejaran pasukan Tuban yang secara tidak langsung menggiring mereka ke jebakan yang telah dibuat.

Pasukan Tuban yang terpancing, khususnya pasukan kaki akhirnya mendarat di jebakan Rajeg. Banyak prajurit Tuban yang masuk terperosok, termasuk Rangkum, kepala pasukan kaki. Dengan terbata-bata Rangkum memberikan perintah berhenti dan menyebar pada garis henti untuk menunggu serangan. Banteng Wareng juga menyebarkan pasukannya di luar daerah jebakan untuk melakukan penyisiran (hlm.

371).

Pasukan Tuban yang terjebak, dipanahi oleh pasukan Rajeg yang bersembunyi di balik semak-semak. Semua peristiwa itu diikuti oleh Wiranggaleng dari atas gajah.

Ia segera mengambil tindakan. Ia menitahkan pada Kala Cuwil untuk menggerakan pasukan gajahnya melakukan penyisiran di balik semak-semak (hlm. 371).

Semak-semak yang diterjang pasukan gajah menjadi rata. Panah prajurit

Rajeg tak dapat melukai gajah-gajah tersebut. Dari atas gajah, Wiranggaleng melihat pasukan Rangkum di dalam jebakan berusaha hendak mundur berpayung perisai tanpa bisa membalas, dan dari belakang jebakan, sorak-sorai pasukan Rajeg semakin lama semakin semangat. Kerusakan pada pasukan kaki Tuban pun cukup besar, tanpa

81 bisa membalas namun berhasil keluar dari tungku maut. Rangkum sendiri menderita luka pada bahunya. Ia digotong keluar gelanggang oleh anak buahnya (hlm. 371).

Mahmud Barjah yang telah puas melihat kerugian yang diderita pasukan

Tuban, memundurkan pasukan dan pasukan meriamnya yang telah mengacaukan barisan Tuban dengan suara ledakannya. Perang kedua ini mengarahkan arus kemenangan pada kubu pasukan Rajeg. Mahmud Barjah pun baru bisa menemui

Sunan Rajeg untuk melaporkan kemenangannya. Kekalahan tidak patut dipersembahkan pada Sunan Rajeg. Mahmud Barjah pun merencanakan pembuatan jebakan dengan bentuk lurus memanjangi ke arah pasukan musuh. Tapi kali ini, diusahakannya agar tidak terdeteksi oleh pasukan gajah yang memanfaatkan ketinggian gajah. Untuk mengalahkan pasukan Tuban, pasukan gajah harus dikalahkan telebih dahulu (hlm. 372).

Pesiapan untuk perang ketiga pun telah dipersiapkan oleh pasukan Rajeg.

Meriam ditempatkan di atas bukit. Kali ini, Sunan Rajeg turut ke medan perang bersama pasukan meriamnya. Masalah yang dihadapi oleh Manan dan Rois adalah hanya sepucuk meriam yang bisa digunakan. Kerusakan pada sepucuk meriam lagi bisa meledakkan meriam dan melukai pasukan sendiri. Sunan Rajeg yang melihat kejanggalan itu menanyakan pemakaian meriam yang hanya sepucuk saja. Manan-

Rois hanya berkilah jika pasukan Tuban terlalu kecil untuk dilayani dengan dua meriam (hlm. 375).

Sunan Rajeg yang turut berperang merasa tidak sabar akan kemenangan yang akan diraihnya. Setelah melihat barisan Tuban muncul di medan perang, ia pun

82 menitahkan Manan-Rois untuk segera menembakkan meriam ke arah pasukan Tuban.

Ia mendesak Manan-Rois untuk melakukan titahnya sebagai pemimpin pasukan

Rajeg. Karena desakan Sunan Rajeg sendiri, Manan-Rois pun menembakkan meriamnya walau musuh belum berada dalam jarak tembak (hlm. 376).

Tembakan ini berbuah pahit. Pasukan Tuban tidak menderita luka satu pun.

Bahkan, mereka mengetahui letak meriam dan taktik pasukan Rajeg. Pasukan kuda

Tuban pun melesat ke medan perang. Tembakan meriam ini berbuah kemarahan pada

Mahmud Barjah. Dia belum memberi aba-aba pada pasukan meriam untuk melakukan penembakan. Amarahnya dilimpahkan pada Manan-Rois. Manan-Rois berdalih jika yang memberi perintah adalah Sunan sendiri. Keadaan yang kurang menguntungkan dialami oleh pasukan Rajeg untuk memulai perang yang ketiga.

Pasukan kuda dan pasukan gajah Tuban menyusul pasukan kaki yang telah mengetahui jebakan buatan pasukan Rajeg. Pasukan kaki Tuban pun mulai mengamuk untuk membalas kekalahan pada pertempuran sebelumnya. Semak-semak yang menjadi tempat persembunyian pasukan Rajeg, rata dengan tanah oleh pasukan gajah. Tembakan meriam pun tidak dapat menolong, karena pasukan musuh telah berbaur dengan pasukan Rajeg. Pasukan Rajeg terdesak. Manan dan Rois menitahkan untuk segera mengungsikan meriam. Pasukan Rajeg memundurkan pasukannya, hal ini terdapat pada kutipan berikut.

(31) Tentara Rajeg yang terdesak tak mampu lagi menyusun barisan. Mereka mundur atau melarikan diri ke dalam rumpunan semak yang lebih dalam. Mahmud Barjah tak mampu lagi mengirimkan penghubung. Laskar-laskarnya terpaksa mengambil kebijaksanaan sendiri-sendiri (hlm. 378).

83 Wiranggaleng yang merasa kemenangan ada di depan mata tetap menitahkan prajuritnya untuk melakukan penyisiran, siang dan malam. Pasukan Rajeg yang terdesak langsung mengambil langkah seribu. Sunan Rajeg yang kesehatannya makin memburuk di medan perang, terpaksa ditandu oleh pasukannya (hlm. 379).

Dalam sub judul ini, alur yang berkembang akibat konflik pemecatan Rangga

Iskak sebagai syahbandar Tuban melangkah pada perang ketiga antara pasukan Rajeg dan pasukan Tuban. Kemenangan pada perang ketiga ini berganti tangan pada pasukan Tuban. Dalam sub judul ini tampak kekacauan yang melanda pasukan Rajeg akibat Sunan Rajeg sendiri. Taktik yang direncanakan Mahmud Barjah dan Manan-

Rois tidak berjalan dengan sukses. Keuntungan pun mengarah pada kubu Tuban.

Berlanjut pada sub judul Keributan di Bandar Tuban. Pada saat yang bersamaan dengan perang ketiga antara Tuban dan desa Rajeg, di bandar Tuban terjadi suatu peristiwa yang mengejutkan. Peranggi mendarat di tanah Tuban. Di pelabuhan Tuban telah dipadati orang-orang yang melihat keanehan di tanah Tuban, termasuk Syahbandar Tuban sendiri yang terkejut seakan tidak mengetahui perihal kedatangan Peranggi yang tiba-tiba ini (hlm. 382).

Rombongan Portugis itu dipimpin oleh Fransisco De Sa. Ia meminta

Syahbandar Tuban menjemput mereka. Sayid telah berteriak mengenai keberadaannya di antara keramaian. Akan tetapi, suaranya tenggelam dengan suara massa yang mulai mendesak Peranggi untuk angkat kaki dari bandar Tuban. Portugis pun hendak membubarkan pagar manusia di pelabuhan dengan meriam. Portugis yang berniat menurunkan meriam dan pasukannya, dicegah oleh bentakan berbahasa

84 Portugis. Orang yang membentak itu adalah Liem Mo Han. Ia menggertak Portugis untuk menghabiskan peluru meriamnya, tapi massa Tuban tidak akan gentar (hlm.

384).

Pasukan Portugis yang hendak turun untuk membantu atasannya, mengurungkan niatnya untuk turun. Masyarakat Tuban telah bersiap-siap dengan senjata apa pun yang ada di tangan. Mereka pun mulai melempari pasukan Portugis yang hendak mendarat. Melihat desakan yang luar biasa kekuatannya, Portugis pun memutuskan untuk tidak mendarat. Mereka meneruskan pelayarannya sambil berjanji kalau suatu saat Fransisco De Sa akan kembali lagi.

Pasukan Tuban yang bersembunyi dengan cetbangnya mulai membalas ke arah kapal Peranggi yang mulai memporak-porandakan Tuban dengan tembakan meriamnya. Braja, pemimpin pasukan penjaga kadipaten yang ditugaskan di pelabuhan juga menaruh kagum kepada Wiranggaleng. Sebagai Senapati, taktik

Wiranggaleng untuk menempatkan cetbang di pelabuhan untuk menghalau Peranggi telah membantu keselamatan bandar Tuban. Braja mengirimkan lontar pada seorang prajurit untuk disampaikan pada Wiranggaleng (hlm. 386).

Alur kembali lagi ke medan perang dalam sub judul Pertempuran Penentuan.

Pasukan gajah Tuban terjebak dalam lubang yang berlumpur buatan pasukan Rajeg.

Pasukan gajah Tuban diserang dengan panah dan api. Ini membuat pasukan gajah sulit untuk mengendalikan gajah-gajah yang panik akan api. Suara kentongan bambu dari pasukan Rajeg juga menambah kepanikan pada pasukan gajah untuk mengendalikan gajah yang menjadi liar (hlm. 387).

85 Senapati Wiranggaleng lansung menitahkan pasukan gajah untuk mundur dan menenangkan gajah-gajah yang panik karena suara tembakan meriam dan panah api.

Setelah pasukan gajah mundur, pasukan kuda yang disembunyikan mulai diarahkan.

Pasukan kuda pun melesat melewati pasukan gajah dan melewati tepi jebakan.

Pasukan Rajeg yang sedang melintasi jebakan dengan meniti bambu terkejut akan serangan pasukan kuda dalam jumlah yang besar. Mereka pun terjebak masuk dalam jebakan sendiri. Ini juga sebagian besar dipengaruhi oleh hujan.

Malam juga yang mengakhiri perang untuk beberapa saat. Rehat perang ini tidak digunakan Wiranggaleng untuk mengistirahatkan pasukannya. Ia menitahkan pasukan kaki untuk tetap melakukan penyisiran pada malam hari untuk mencari keberadaan meriam Rajeg.

Di desa Rajeg, Sunan Rajeg mendesak Mahmud Barjah untuk segera memasuki Tuban kota. Mahmud juga berencana memasuki Tuban kota, akan tetapi, ia belum mengetahui keberadaan pasukan cadangan Tuban. Ini yang membuatnya tidak bisa bergerak sembarangan (hlm. 398).

Siasat Mahmud Barjah adalah memasuki Tuban kota dengan melewati jalur- jalur yang belum dikuasai oleh Tuban. Pasukan Rajeg pun bergerak dengan sayup- sayup, tanpa suara, membela jalur pedalaman hutan Tuban. Meriam Rajeg pun telah diungsikan siang dan malam mengikuti pergerakan para prajurit Rajeg.

Pasukan pengintai yang telah dititahkan Wiranggaleng di pedalaman dapat melihat pergerakan pasukan Rajeg setelah melakukan pengintaian di atas pohon. Ia pun menyampaikan pergerakan pasukan Rajeg tersebut pada temannya yang lain.

86 Maka, kedua prajurit ini berpisah, yang satu menuju Tuban kota untuk menyampaikannya pada Braja, dan yang lainnya menuju ke tempat Galeng berada.

Ketika pengintai kedua hendak mengganti kuda di garis kota Tuban, ia menitahkan pada prajurit lainnya untuk menemui Maesa Wulung (penanggung jawab pasukan kuda Tuban yang menjaga garis kota Tuban) untuk bersiap-siap atas serangan desa

Rajeg. Ia pun melanjutkan perjalanannya menuju tempat Wiranggaleng berada (hlm.

399).

Pasukan pengintai yang bertugas membawa pesan pada Maesa Wulung untuk bersiap-siap tewas di jalan. Ia ditombaki oleh beberapa orang di tengah hutan.

Mahmud Barjah telah berpesan pada pasukan yang akan langsung memasuki Tuban kota untuk bergerak tanpa menimbulkan suara. Pasukan inti Rajeg yang dikomandoinya secara langsung memasuki Tuban melalui pesisir timur kota Tuban

(hlm. 403).

Di tempat lain, Maesa Wulung yang mengira tidak akan mendapat pekerjaan dalam perang kali ini, kesulitan untuk mengumpulkan seluruh pasukannya. Semua pasukannya bersantai ria entah kemana. Hanya setengah kekuatan yang bisa ia siapkan untuk meredam serangan musuh. Waktu keluar dari hutan, pasukan kuda bawahannya melihat pasukan di seberang padang ilalang dalam jumlah yang sangat besar. Seumur hidup, Maesa Wulung tidak pernah melihat pasukan besar yang bergerak tanpa menimbulkan suara. Ia pun kebingungan untuk bergerak dengan pasukan yang jumlahnya jauh di bawah jumlah pasukan Rajeg. Ia mengalami sebuah ketakutan yang luar biasa. Ia kembali mendapat kepribadiannya sebagai pemimpin

87 sewaktu pasukan kaki cadangan datang dengan jumlah pasukan yang cukup banyak

(hlm. 404).

Pertikaian terjadi di kubu Tuban. Maesa Wulung dan Danang saling menyalahkan kegagalan masing-masing dalam menggerakkan pasukan. Akibatnya, komposisi penyerangan pun kacau-balau. Ketidakserasian itu sementara menguntungkan tentara Rajeg. Walau mereka tertahan, tidak bisa memasuki Tuban kota, mereka dapat merobohkan banyak pasukan Tuban.

Wiranggaleng memerintahkan Banteng Wareng dan pasukan kudanya mengejar pergerakan pasukan Rajeg yang langsung menuju kota. Setelah mendapat kabar dari pengintainya, Wiranggaleng memerintahkan pasukan kaki tetap menyisiri daerah lama dan sebagian pasukan gajah kembali memasuki Tuban (hlm. 405).

Galeng menitahkan pada seluruh prajuritnya untuk tidak menghadap Sang

Adipati sebelum perang berakhir. Kecepatan pasukan kuda yang dipimpin oleh

Banteng Wareng dapat menyusul barisan belakang pasukan Rajeg. Perang pun kembali terjadi. Pasukan kuda memporak-porandakan barisan belakang pasukan

Rajeg dan meneruskan usahanya menyerang barisan tengah. Wiranggaleng dan Kala

Cuwil mengejar barisan depan pasukan Rajeg. Wiranggaleng dapat melihat pada barisan tengah pasukan Rajeg, terlihat Maesa Wulung dan Danang yang kesulitan meredam kekuatan musuh. Hal ini karena pertikaian yang terjadi antara dua pimpinan pasukan tersebut. Di kejauhan, Wiranggaleng dapat melihat pasukan Rajeg yang sedang mengangkuti sesuatu. Itulah meriam Rajeg. Wiranggaleng langsung

88 menitahkan Maesa Wulung beserta pasukannya meninggalkan gelanggang dan mengejar meriam Rajeg.

Maesa Wulung mengikuti perintah Senapatinya. Ia pun meninggalkan pasukan kaki di tengah-tengah barisan musuh. Justru pada saat itu, pasukan sisa

Maesa Wulung yang belum siap di awal perang berdatangan berganti posisi. Pasukan

Maesa Wulung telah mendapati dan mengepung pasukan meriam Rajeg. Regu pengawal dan pengikut meriam yang telah digetarkan oleh terjangan kuda, cambuk, tombak, dan sekarang pedang semakin tipis. Mereka mulai berlarian mencoba lepas dari kepungan pasukan Maesa Wulung (hlm. 408).

Akhirnya, pasukan meriam yang dapat tersisa hanya dua orang, yaitu Esteban dan Rodriguez (Manan-Rois). Mereka berdua pun tidak dapat melakukan perlawanan dan ditangkap hidup-hidup oleh Maesa Wulung. Meriam Rajeg dapat dikuasai oleh

Maesa Wulung (hlm 409). Medan pertempuran semakin diperluas oleh Banteng

Wareng yang langsung menyerang barisan depan musuh. Dari kejauhan mulai terdengar dentuman-dentuman cetbang. Pertempuran di pinggir kota juga telah dimulai (hlm. 409).

Dalam sub judul Pertempuran Penentuan ini tergambar bagaimana arus perang membawa alur pada perang penentuan antara Tuban dan desa Rajeg. Untuk saat ini, pasukan Tuban telah mengambil alih keadaan. Dalam sub judul ini terlihat jika pasukan Tuban akan memenangkan pertarungan. Meriam yang menjadi senjata andalan berhasil direbut dan semua taktik Mahmud Barjah dapat dibaca oleh pasukan

Tuban menjadi nilai minus kubu Rajeg.

89 Alur berlanjut dalam sub judul Idayu Jadi Sandera. Dalam awal sub judul ini, alur dimulai dari desa Awis Krambil. Idayu melahirkan anak keduanya. Galeng pun belum sempat melihat anak kedua karena masih disibukkan dengan perang. Idayu hanya ditemani oleh Nyi Gede Kati. Setiap hari penduduk desa ada saja yang memerlukan datang untuk menjenguk dan untuk ikut merawat. Semua di antara mereka, tahu belaka: ayah si bayi itulah sekarang Patih Senapati Tuban. Maka kebesaran pun sudah mulai dipersembahkan pada sang bayi (hlm. 410).

Di tengah-tengah kebahagiaan atas kelahiran anak keduanya, Idayu didatangi oleh beberapa prajurit yang dititahkan untuk membawa Idayu dari desa Awis

Krambil. Idayu dan Nyi Gede Kati digiring keluar desa. Idayu dan Nyi Gede Kati was-was terhadap pemanggilan ini. Kalau benar pasukan tersebut utusan

Wiranggaleng, sudah tentu akan membawa tandu, bukan menyuruh Idayu berjalan kaki (hlm. 410).

Di perbatasan menuju kota Tuban, Nyi Gede Kati dititahkan oleh prajurit penggiring itu untuk kembali ke Tuban sendirian. Idayu dan Nyi Gede Kati pun berpisah. Idayu masih harus mengikuti prajurit-prajurit bersama kedua anaknya.

Idayu dan anak-anaknya tidak diperkenankan beristirahat. Ini membuat Idayu yakin jika ia telah jatuh ke tangan musuh.

Rombongan itu akhirnya tiba di suatu desa. Idayu disekap di sebuah rumah tanpa penerangan di dalamnya. Keesokan harinya, Idayu ditemui oleh Sunan Rajeg.

Sunan Rajeg menjelaskan kalau penyekapan yang ia lakukan adalah imbas dari gerakan Wiranggaleng. Idayu diposisikan sebagai sandera untuk mengantisipasi

90 kegemilangan Wiranggaleng dalam memerangi pasukannya. Sunan Rajeg pun mulai menghina Idayu atas kekafiran dan kemaksiatannya hingga lahirnya si Gelar, anak

Sayid Almasawa.

Seminggu berlalu pasca penyanderaan Idayu. Desa tempat Idayu berada dilanda keributan. Pasukan Tuban melakukan penyisiran di desa tersebut. Semua penduduk desa mengungsi, melarikan diri dari penyisiran yang dilakukan oleh pasukan Tuban. Pelarian tersebut juga dilakukan oleh Sunan Rajeg dan keluarganya beserta para pengikutnya. Idayu juga tidak luput untuk diungsikan. Seorang pria mengungsikan Idayu dengan lembut. Suara pemuda tersebut tidak asing lagi di telinga Idayu. Ia sering mendengar suara yang menenangkan hatinya tersebut. Ia pun berusaha mengingat, tapi gagal karena keadaannya sebagai sandera (hlm. 419).

Sub judul Idayu Jadi Sandera ini hanya dipaparkan mengenai penyanderaan

Idayu yang dilakukan Sunan Rajeg. Mengungsinya para pengikut Sunan Rajeg, memberi gambaran jika pasukan Tuban telah menguasai keadaan.

Arus cerita berlanjut pada sub judul Demak. Sewaktu Tuban memerangi para pemberontak pimpinan Sunan Rajeg, Demak sedang berduka. Pada tahun 1518

Masehi, Sultan Demak: Sultan Syah Sri Alam AkbarAl-Fattah atau Raden Patah meninggal. Delapan minggu kemudian, Demak bersukacita. Adipati Unus terpilih menjadi Sultan Demak II (hlm. 420-421).

Terpilihnya Unus menjadi Sultan Demak yang kedua membawa perubahan dalam kerajaan Demak. Adipati Unus memimpin Demak di atas sebuah tandu. Ia mengalami cacat fisik karena sisa-sisa cetbang yang meledak sewaktu penyerangan

91 ke Malaka masih melekat di tubuhnya. Adipati Unus pun menitahkan untuk semua masyarakat Jawa agar memerangi Peranggi yang ada di Malaka. Selama Peranggi masih berada di Malaka, maka kehidupan di Nusantara tidak akan aman. Sultan

Demak kedua berseru agar para raja menentang setiap kekuasaan yang mencoba bersahabat dengan Peranggi dan agar mereka pun dianggap sebagai sekutu musuh, sehingga dihancurkan juga.

Titah Unus ini membawa perkembangan yang baik bagi Jawa. Banyak pemimpin daerah yang hendak bergabung dengan Demak untuk mengusir Peranggi dari daratan Malaka. Titah yang menguncangkan ini disusul dengan titah keduanya yang tak kalah hebat. Seluruh keuangan Demak, ia alihkan pada pembangunan armada sebagai persiapan melawan Peranggi (hlm. 422).

Portugis pun merasa ancaman yang dilemparkan oleh Unus melalui titahnya.

Bukan Portugis saja yang kerepotan, kerajaan Hindu Giri Dahanapura Blambangan dan Pajajaran juga membaui bahaya titah Unus. Mereka pun berusaha kuat agar dapat menjalin kerja sama dengan Peranggi sedini mungkin.

Para kaum ulama Demak tidak setuju pada kebijakan Adipati Unus.

Kebijakan Unus tidak satu pun yang menyentuh persoalan agama. Ini menjadi polemik dalam kerajaan Demak. Sebagian ulama mengasingkan diri serta menolak mengikuti Demak dan sibuk menyiarkan agama secara mandiri.

Titah Unus juga berimbas pada pelayaran Nusantara. Kapal-kapal Portugis ditarik mundur dan bersikap awas. Hal ini menghidupkan lagi jalur pelayaran bumi selatan ke utara. Kapal-kapal telah berani untuk berlayar dan mendapatkan rempah-

92 rempah di Maluku hanya dengan berbekal bendera kupu tarung Jepara. Jalur perdagangan Nusantara pun kembali normal (hlm. 424).

Dalam sub judul Demak alur hanya bergerak menceritakan keadaan di Demak pasca kematian Raden Patah. Titah Unus sebagai pengganti ayahnya, membuat pelayaran dan perdagangan Nusantara menjadi hidup kembali. Portugis pun bersikap awas terhadap pergerakan Demak, khususnya Adipati Unus yang merupakan lawan utama Portugis.

Dari Demak, alur berganti latar ke Tuban. Dalam sub judul Akhir Perang, perang antara Tuban dan Rajeg masih berlanjut. Pasca meriam Rajeg dapat dikuasai, pasukan gajah turun ke medan perang. Wiranggaleng dan Kala Cuwil mengibaskan pedangnya pada prajurit Rajeg sambil menyuruh mereka pulang ke rumah. Di barisan tengah, Mahmud Barjah masih memotivasi pasukannya jika Tuban selangkah lagi dapat dikuasai. Akan tetapi, semangat itu diporak-porandakan Banteng Wareng yang terus merusak barisan pasukan Rajeg.

Mahmud Barjah hendak langsung memerangi pemimpin perang Tuban,

Wiranggaleng. Akan tetapi, prajurit Wiranggaleng tidak mengizinkan Wiranggaleng untuk turut tangan melawan Mahmud Barjah. Wiranggaleng pun tidak menghiraukan provokasi Mahmud Barjah. Mahmud Barjah menerima itu sebagai penghinaan.

Dengan emosional, ia menerjang barisan hendak mendatangi Wiranggaleng tanpa melihat keadaan. Akibatnya, ia tidak sadar kalau telah terkepung oleh lima pasukan kuda. Pasukan kuda itu pun menyerang Mahmud Barjah secara serentak. Mahmud

93 Barjah kewalahan menghadapi serangan lima orang sendirian. Mahmud Barjah tewas di medan tempur. Ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(32) Dengan muka tertutup darah dan telah buta, ia meraungi: “Galeng, selesaikan aku dengan pedangmu! Jangan kau hinakan aku begini. Aku pun seorang prajurit”. Ia merangkak-rangkak berdiri. Sebilah tombak telah menyambar dadanya. Ia terjatuh lagi sambil dengan dua tangan memegangi mata tombak yang menyembul dari rusuk, kemudian ia tak bangun lagi untuk selama-lamanya di dekat sebongkah batu, terinjak-injak oleh kaki kuda dan prajurit kedua belah pihak yang sedang berkelahi. “Mahmud Barjah mampus!” seseorang memekik. “Panglima Rajeg tewas!” seorang lagi menjerit (hlm. 427).

Seluruh tentara Tuban bersorak. Tentara Rajeg yang mendengar kabar tewasnya sang Panglima, sebagian membuang senjata. Mereka menyerah dan menghentikan perang. Wiranggaleng pun menitahkan pasukannya untuk menghentikan serangan dan membiarkan musuh pulang dengan selamat. Serangan pasukan Rajeg yang hendak memasuki Tuban Kota pun gagal.

Pasukan inti Rajeg yang ditugaskan menyisir dari timur Tuban masih melakukan perlawanan. Braja juga masih berusaha meredam serangan dari timur

Tuban. Braja memanfaatkan kelebihan cetbang yang ada dalam pasukannya. Perang untuk beberapa saat terjadi sengit. Semangat tentara Rajeg tiba-tiba menghilang begitu melihat jika yang memasuki Tuban kota bukan sekutu melainkan pasukan gajah dan prajurit Tuban. Perlawanan pun semakin menipis hingga berakhirnya perang Tuban melawan pemberontak Rajeg.

94 Penduduk Tuban pun bersorak meneriakkan nama Wiranggaleng dan seluruh kepala pasukan Tuban. Prajurit pemberontak berhasil diredam. Akhir perang saudara ini memberi kemenangan pada kubu Tuban (hlm. 430).

Pasca perang, Wiranggaleng menitahkan pasukannya memasuki Tuban dan memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi pasca perang. Wiranggaleng juga mengeluarkan titah untuk mengurung Esteban dan Rodriguez dalam sebuah kerangkeng besi dan dipertontonkan di pelabuhan. Seluruh masyarakat yang mendatangi pelabuhan diizinkan mengumpat, meludahi, dan memaki Esteban dan

Rodriguez, tapi bukan menyiksa mereka. Kebijakan Wiranggaleng ini berimbas dengan ramainya kembali bandar Tuban oleh kapal-kapal yang hendak melihat tahanan Tuban di pelabuhan.

Masyarakat Tuban dapat melihat jika kekuasaan untuk sementara berpindah dari Adipati ke Wiranggaleng, Senapati Tuban. Tak lain dari Sayid Almasawa yang sangat ketakutan akan kekuasaan Wiranggaleng sebagai Senapati. Adipati yang menjadi tamengnya telah kehilangan kekuasaan sementara. Nyi Gede Kati yang telah menunggu Wiranggaleng sekian waktu akhirnya dapat bertemu dengan Galeng. Ia pun menceritakan perihal penculikan Idayu.

Sayid Almasawa sangat khawatir akan nasibnya. Yakub yang menjadi koloninya telah lama menghilang, Adipatinya tak juga menunjukkan kekuasaannya.

Ditangkapnya Esteban dan Rodriguez hidup-hidup, merupakan sebuah ancaman baginya. Esteban dan Rodriguez adalah saksi hidup bagi Tuban untuk memaparkan semua tindakan Sayid Almasawa yang memfasilitasi pemberontakan Rajeg. Sayid

95 merasa kehidupannya terancam selama Esteban dan Rodriguez masih hidup. Sayid pun memutuskan untuk membunuh kedua orang Peranggi tersebut.

Pada suatu malam, Sayid melancarkan misinya. Ia membawa tongkatnya yang di dalamnya terdapat sebilah pedang yang telah dilumuri racun. Ia merasa jika tidak ada yang menjaga kerangkeng tersebut. Keadaan di pelabuhan pun sepi dari keberadaan manusia. Ia menghampiri kerangkeng tersebut dan mulai mengajak

Esteban dan Ridriguez bicara. Setelah mengetahui mangsanya mendekat, Sayid pun menusukkan pedangnya. Kedua Peranggi itu mendapat gilirannya untuk menerima tusukan Sayid Almasawa. Esteban dan Rodriguez tewas (hlm. 435-436).

Setelah melakukan perbuatannya, Sayid meninggalkan pelabuhan dengan lega. Sayid tidak mengetahui jika ada sepasang mata yang mengikuti pembunuhan yang dilakukannya. Saksi mata inilah yang membawa sebuah peristiwa yang juga membentuk perkembangan alur lebih lanjut.

Dari bandar Tuban, latar berpindah ke sebuah goa yang bernama Gowong.

Goa inilah yang menjadi tempat penyekapan Idayu selanjutnya. Tidak hanya Idayu,

Sunan Rajeg bersama keempat isterinya dan para pengikutnya juga menetap di sini.

Gowong menjadi markas rahasia Sunan Rajeg. Diiringi oleh seorang pemuda, Sunan

Rajeg memasuki Gowong. Pemuda itu juga yang mengawal Idayu hingga ke

Gowong. Pemuda tersebut bernama Mohammad Firman.

Firman adalah pemuda yang bertugas untuk memasak bagi prajurit-prajurit

Rajeg. Dalam pelarian ke Gowong, Firman juga yang bertugas memasak untuk semua orang yang setia mengikuti Sunan Rajeg. Mohammad Firman sangat mengagumi

96 sosok Sunan Rajeg. Di matanya, Sunan Rajeg adalah sosok Islam yang cerdas. Pasca perang, kekaguman itu luntur. Mohammad Firman antipati akan sikap Sunan Rajeg yang mementingkan kesalamatan pribadi dan hartanya sendiri. Sunan Rajeg telah menjadi sosok yang tidak terpuji di matanya.

Firman telah menyiapkan tungku perapian untuk memasak dan telah menyiapkan bumbu masakan. Dalam aturan Sunan Rajeg, jika seseorang sedang memasak, tidak diperbolehkan ada orang lain yang melihat prosesi memasak tersebut, kecuali Sunan sendiri. Sewaktu hendak memasak, Firman didatangi oleh Sunan

Rajeg. Sunan Rajeg memberi serbuk untuk dicampurkan dalam masakannya. Serbuk tersebut merupakan bumbu gulai yang akan menambah kelezatan masakan tersebut menjadi sempurna. Sunan juga melarang Firman mencicipi masakannya. Jika masakannya dicicipi, maka makanan tersebut akan berubah menjadi racun. Itulah tulah dari Sunan Rajeg. Sunan pun meniggalkan Firman memasak makanan untuk jamuan besar yang akan diadakannya.

Firman curiga akan persyaratan Sunan yang tidak logis. Ia pun memutuskan mencicipi masakan yang telah diberinya serbuk pemberian Sunan Rajeg. Ketika ia mengambil sepotong daging untuk dicicipinya, daging tersebut terlepas dari tangannya karena rasa panas dari daging tersebut. Firman mengurungkan niatnya untuk mencicipi karena merasa tidak “diridhoi”. Ia pun melepaskan lelah sesaat meninggalkan masakannya. Sepulangnya, ia mendapati seekor biawak mati karena memakan daging yang terjatuh dari tangannya tadi. Ia sadar jika serbuk tersebut

97 adalah racun. Ia menduga jika Sunan Rajeg hendak membunuh para pengikutnya dan memakan kekayaannya sendirian. Ia pun murka terhadap sikap Sunannya tersebut.

Saat perjamuan makan tiba. Firman membagi-bagikan masakannya pada semua orang yang ada di dalam goa tersebut, kecuali Idayu. Seperti dugaannya, para pengikut Sunan Rajeg tewas keracunan satu-persatu. Sunan merasa senang karena racunnya bekerja. Ia pun mulai memanggil-manggil isterinya. Akan tetapi, isterinya juga turut memakan masakan tersebut. Ia pun terkejut mengetahui isteri-isterinya turut tewas, dan hal yang lebih mengejutkan lagi adalah ia mendapati Firman yang tidak tewas. Firman hanya berpura-pura memakan masakan tersebut. Firman yang dilanda emosi memuncak akan sikap Sunan yang dibecinya tersebut, membunuh

Sunan Rajeg dengan sebuah tikaman keris (hlm. 445-446).

Tewasnya Sunan Rajeg, menutup alur pemberontakan yang dilancarkan oleh

Rangga Iskak. Firman mendatangi Idayu dalam tahanannya. Ia menyuruh Idayu untuk keluar. Idayu merasakan suara dari Firman bukanlah suara yang membahayakan. Ia pun keluar bersama kedua anaknya. Firman membawa Idayu dan anak-anaknya keluar dari Gowong (hlm. 446).

Sub judul Akhir Perang membawa alur berkembang pada berakhirnya pemberontakan Rangga Iskak. Pemberontakan ini berakhir dengan kegagalan. Sub judul ini berakhir dengan penyelamatan Idayu yang dilakukan oleh Firman.

Melangkah lagi pada sub judul Pertemuan Kembali. Wiranggaleng mencari

Idayu setelah mendengar persembahan Nyi Gede Kati. Wiranggaleng bersama dua puluh pasukan kuda mencoba melakukan pencarian. Pencarian pun telah berkembang

98 sampai Wiranggaleng mencapai Gowong. Wiranggaleng mendapati sekumpulan mayat yang berjejer di dalam goa. Wiranggaleng juga mendapati mayat Rangga Iskak tertikam sebilah keris (hlm. 449).

Wiranggaleng dan seluruh prajuritnya memeriksa seluruh mayat yang ada di dalam goa. Wiranggaleng hanya mendapati selembar popok. Popok ini lah yang memberi dugaan pada Wiranggaleng jika anak dan isterinya masih hidup.

Latar berpindah dari Gowong ke sebuah hutan, salah satu tempat di mana

Idayu melakukan perjalanan bersama anak-anaknya dan Firman. Idayu telah mengetahui jika Firman adalah Pada, pengurus keputrian. Dalam perjalanan ini, hanya terjadi adu argumen mengenai kepercayaan yang dianut oleh Idayu dan Pada.

Mereka berdua saling membanggakan keyakinan masing-masing. Idayu memutuskan untuk pulang ke Awis Krambil, bukan Tuban. Idayu berkilah kepada Pada jika

Wiranggaleng sendiri yang akan menemuinya di Awis Krambil, bukan dirinya yang menemui Wiranggaleng (hlm. 460).

Sub judul Pertemuan Kembali hanya memaparkan pencarian Wiranggaleng atas penculikan Idayu hingga ia mendapati mayat Rangga Iskak. Perjalanan Idayu dalam sub judul ini hanya memaparkan penokohan Idayu dan Pada yang meyakini keyakinan mereka mengenai agama sendiri-sendiri.

Alur mengalami perkembangan lagi dalam sub judul Demak Bergejolak. Sub judul ini diawali dengan deskripsi perkembangan perairan laut Jawa. Perairan laut

Jawa yang semakin ramai dikunjungi oleh kapal-kapal Nusantara. Perairan laut Jawa

99 yang kembali pulih. Di Jepara, berkembang pembangunan armada perang Demak

(hlm. 461).

Tahun 1521 Masehi, Adipati Unus tewas akibat sakit imbas dari pecahan cetbang di tubuhnya semakin parah. Nusantara berkabung, Malaka bersorak gembira.

Satu-satunya penantang Portugis tewas. Pengganti Adipati Unus sebagai Sultan

Demak III adalah adiknya, Trenggono. Banyak yang menyayangkan pengangkatan

Trenggono sebagai sultan Demak III. Trenggono tidak memiliki perhatian pada perkapalan, perdagangan, apalagi Malaka. Pengangkatan Trenggono sebagai Sultan

Demak III merupakan hasil pembunuhannya terhadap abangnya (hlm. 462).

Perkembangan terjadi dalam tubuh orang-orang Portugis di Malaka. Portugis mulai melakukan ekspansinya. Mereka kembali melakukan penguasaan ke daerah- daerah. Alur berlanjut pada pengenalan tokoh Fatahillah. Pemimpin perang tentara banda Aceh yang mengalami kekalahan memerangi Portugis. Tak ada seorang pun yang tahu di mana keberadaannya (hlm. 463).

Trenggono bersikap sangat kontroversial. Persahabatan yang dijalin oleh

Pajajaran dan Peranggi tidak diambil pusing olehnya. Baginya, itu bukan urusan

Demak. Pergunjingan pun terjadi. Mulai dari pembunuhan yang dilakukan Trenggono pada abangnya untuk mendapat posisi raja di Demak, hingga kecuekannya atas

Peranggi. Puncaknya adalah penghentian pembanguan armada perang yang telah setengah jalan. Cita-cita Unus untuk memerangi Peranggi di Malaka gagal. Kebijakan

Trenggono ini mendapat penolakan dari Ratu Aisah, ibunya sendiri.

100 Latar berpindah ke Banten. 21 Agustus 1522, diadakan perjanjian Pajajaran-

Portugis di Pakuan. Portugis diperbolehkan membangun kantor dagang di Pakuan dan

Pajajaran mendapat perlindungan dari Portugis (hlm. 469).

Trenggono hanya menitikberatkan pengembangan pasukan daratnya, khususnya pasukan kuda, bukan pasukan laut. Pasukan kuda inilah yang menjadi kebanggannya. Hal ini ditolak oleh ibunya. Bagi ibunya, yang perlu dikembangkan adalah pasukan laut untuk memerangi Portugis. Tetapi, Trenggono masih mempertahankan idealis untuk mengembangkan pasukan kudanya. Pertikaian antara anak dan ibu pun meruncing. Kebijakan Trenggono untuk menguatkan pasukan daratnya menciptakan rasa was-was pada para pemimpin daerah. Jika, Unus yang meminta bantuan tentara untuk penyerangan Malaka, maka mereka dengan senang hati turut memberi para tentaranya. Berbeda dengan Unus, pergerakan Trenggono membuat para pemimpin daerah berjaga-jaga jika Trenggono akan meluaskan daerah kekuasaannya sendiri di Jawa.

Sub judul Demak Bergejolak merupakan sub judul yang memprioritaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Demak dan juga berpengaruh terhadap Nusantara.

Terpilihnya Trenggono sebagai pengganti Adipati Unus, membawa arus suram di tanah Jawa. Jawa terancam obsesi Trenggono yang diduga akan memerangi tetangganya sendiri untuk perluasan kekuasaan, bukan memerangi Peranggi. Alur dalam sub judul ini memberi penggambaran mengenai konflik Trenggono dan Ratu

Aisah, serta ancaman Trenggono dalam perluasan kekuasaan ke daerah tetangganya,

101 serta ketidakpedulian Trenggono terhadap pergerakan Portugis yang semakin menjadi.

Alur berkembang lebih maju lagi dalam sub judul Tuban dalam Suasana

Baru. Pasca terpilihnya Trenggono sebagai Sultan Demak III, latar berpindah kembali ke Tuban. Kedaan di Tuban mulai berangsur pulih. Perdagangan bandar mulai ramai kembali. Kala Cuwil terpilih sebagai Patih Tuban dengan julukan Wirabumi, Gusti

Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi (hlm. 480).

Adipati pun meminta laporan kerusakan pasca perang Rajeg. Wiranggaleng yang mendapat lirikan mata dari seluruh kepala pasukan melaporkan kerusakan. Akan tetapi, sebelum laporan selesai, Wiranggaleng telah dibentak sang Adipati. Adipati tidak menerima jika Wiranggaleng yang menjawabnya pertama kali karena ia bukanlah Patih maupun Senapati Tuban. Para kepala pasukan Tuban memberi pembelaan atas tindakan Wiranggaleng, akan tetapi ditolak Sang Adipati.

Wiranggaleng pun mundur dari kursi Senapati dan Patih Tuban. Ia telah berada pada kursi kepala pasukan. Sang Adipati juga menolak posisi yang diduduki

Wiranggaleng. Baginya, Wiranggaleng hanya seorang pelancang yang membunuh

Patih Tuban, tidak lebih. Wiranggaleng pun mendapatkan posisinya di luar, pelataran kadipaten. Ini merupakan pemaparan implisit dari penghinaan yang dilakukan oleh

Sang Adipati terhadap Wiranggaleng (hlm. 483).

Dalam penghadapan itu, seluruh kepala pasukan telah mempersembahkan persembahannya atau laporannya masing-masing kecuali Wiranggaleng. Dia hanya mempersembahkan permintaannya untuk diizinkan menguburkan mayat sang Patih

102 yang masih belum pendapat penguburan yang layak sebelum ia menerima hukuman atas kelancangannya. Mayat Sang Patih sendiri belum dikubur karena rasa amarah

Adipati Tuban terhadap sepupunya tersebut yang tidak segera bertindak memerangi desa Rajeg. Sang Adipati pun memberi hukuman pengusiran Wiranggaleng dari tanah

Tuban kota. Penghadapan pun bubar, seiring sang Adipati yang memasuki kadipatennya dengan susah payah.

Seluruh kepala pasukan Tuban hendak membantu Wiranggaleng untuk menguburkan mayat Sang Patih. Wiranggaleng yang masih dianggap sebagai

Senapati para prajurit Tuban, menolak untuk dibantu. Ia hanya meminta untuk disiapkan seekor kuda untuk pulang ke desanya. Sebelum meninggalkan Tuban kota,

Wiranggaleng berpesan pada Kala Cuwil sebagai Patih Tuban untuk berhati-hati terhadap Demak. Itulah yang disampaikan oleh Rama Cluring padanya dan telah ia sampaikan lagi pada Kala Cuwil. Wiranggaleng pulang ke Awis Krambil.

Pasca pengusiran Wiranggaleng dari Tuban kota, Adipati Tuban didatangi oleh seorang duta dari Jepara. Duta tersebut adalah Aji Usup. Aji Usup meminta kesediaan sang Adipati untuk membantu pembentukan armada gabungan sekali lagi untuk melawan Peranggi di Malaka.

Adipati Tuban menyatakan kesanggupannya untuk bekerja sama dalam penghalauan Peranggi. Adipati memberi Jepara lima ratus prajurit Tuban untuk armada gabungan. Akan tetapi, Adipati tidak dapat menyertai kapal-kapal Tuban dalam penyerangan ini. Menurut Sang Adipati kapal-kapal Tuban telah tua dan kalah

103 jauh dengan kapal-kapal Jepara. Aji Usup pun menerima bantuan dari Sang Adipati

Tuban, walau tanpa kapal Tuban satu pun.

Aji Usup merasa sangat senang ketika Adipati menyebutkan pemimpin gugusan Tuban kali ini. Tak lain dari Wiranggaleng sendiri yang akan memimpin pasukan Tuban menuju Malaka. Aji Usup hanya ingin mendengar satu nama itu dari pada ratusan prajurit lainnya. Dalam rencananya, pembentukan armada gabungan kali ini akan dipimpin oleh Liem Mo Han dan Wiranggaleng (hlm. 489).

Dalam sub judul Demak Bergejolak, alur berkembang dengan pengusiran

Wiranggaleng dari Tuban kota. Wiranggaleng hanya menjadi anak petani biasa pasca pengusiran yang dilakukan oleh sang Adipati. Konflik yang lain telah mulai muncul lagi, yaitu rencana pembentukan armada gabungan untuk memerangi Peranggi di

Malaka. Hal ini kembali menyeret nama Wiranggaleng dalam persembahan Sang

Adipati kepada Aji Usup. Menurut rencana Adipati, Wiranggaleng akan menjadi pemimpin lima ratus pasukan Tuban yang akan turut serta dalam penyerangan

Malaka, walau tanpa kapal perang Tuban satu pun.

Perkembangan di Jawa semakin pelik. Para penguasa daerah di seluruh Jawa kecuali Tuban telah bersiaga akan pergerakan Demak. Hal ini menjadi awal perkembangan alur dalam sub judul Lahirnya Persekutuan Rahasia. Kebijakan

Trenggono untuk mengembangkan pasukan daratnya saja, membuat bandar Jepara terboikot sendiri. Kegiatan penggalangan armada perang telah berhenti sepenuhnya atas titah Sultan Demak III.

104 Pasca pertemuan pentingnya dengan Ratu Aisah, Trenggono mengeluarkan titah yang sangat mengejutkan. Trenggono mengajak seluruh pemimpin daerah di

Jawa untuk bersatu dengan Demak dalam penyerangan Malaka. Pernyataannya ini mengundang kecurigaan massa akan perubahannya yang begitu drastis. Akan tetapi, tidak ada satu penguasa di Jawa yang menanggapi titah tersebut. Bagi mereka,

Demak, khususnya Trenggono adalah seorang pengkhianat yang licik (hlm. 492).

Di Jepara, Ratu Aisah kedatangan seorang tamu, Liem Mo Han. Liem Mo

Han menyokong Ratu Aisah untuk meneruskan cita-cita Adipati Unus yang terhenti karena Trenggono. Liem Mo Han menyatakan pendapatnya jika hanya Wiranggaleng yang sanggup menjadi pemimpin armada gabungan tersebut. Liem Mo Han menceritakan kehebatan Wiranggaleng dalam menumpas pemberontak Rangga Iskak dan kelebihan Wiranggaleng sebagai individu dan juga sebagai seorang pemimpin.

Ratu Aisah percaya seluruh ucapan Liem Mo Han. Ratu Aisah pun menugaskan Liem

Mo Han untuk mendatangkan Wiranggaleng dan menjadikannya panglima perang, pemimpin armada gabungannya (hlm. 496).

Persekutuan rahasia antara Liem Mo Han, Aji Usup, dan Ratu Aisah mengenai pembentukan armada gabungan untuk meneruskan cita-cita Unus akhirnya terbentuk. Mereka mengangkat isu kejelekan dan kerugian yang timbul jika Peranggi terus bercokol di Malaka serta isu kerakusan Trenggono yang hendak memerangi tetangganya. Ini digunakan untuk menarik perhatian dan membentuk armada gabungan dari beberapa daerah. Aji Usup pun telah menitahkan pada pasukan laut

105 Demak di Jepara untuk menanggalkan seragam Demaknya dan menjadi pasukan

Jepara jika Trengono masih menganaktirikannya dan lebih memilih pasukan kudanya.

Aji Usup segera melakukan pergerakan untuk mencari daerah-daerah yang mau bekerja sama dengan Jepara. Hanya dari daerah Aceh dan Bugis yang menyatakan kesiapannya untuk ikut dalam pembentukan armada gabungan. Daerah- daerah lainnya tidak menyatakan kesiapan karena rasa was-was atas Demak.

Persekutuan rahasia itu menganggap, kesanggupan Aceh dan Bugis telah memadai untuk tingkat permulaan. Aji Usup akan menghadap sekutu lama di Jawa: Tuban.

Persekutuan juga telah sepakat untuk menampilkan Wiranggaleng sebagai pemimpin pasukan gabungan dari Jawa (hlm. 499).

Trenggono kebingungan melihat perkembangan pasukan lautnya di Jepara.

Ternggono mengalami dilema mengenai pengaturan pasukan laut, pasukan lama dan pasukan kudanya untuk menjadi satu. Ia pun menitahkan pasukannya untuk menyerang ke daerah tetangga-tetangganya. Pertempuran pun terjadi di sana-sini. Di tengah kebingungannya menghadapi situasi perang, Trenggono mendapat surat dari

Mekkah yang menyatakan kesediannya membantu Trenggono. Surat tersebut bertulisan arab dan berasal dari Fatahillah. Trenggono pun mengiyakan ajakan tersebut. Terjadilah persahabatan antara Trenggono dan Fatahillah.

Fatahillah tiba di Demak dengan obsesi sendiri. Ambisinya dapat digabungkan dengan ambisi Treggono, dengan begitu terjadi kecocokan antara keduanya. Fatahillah berambisi menyiarkan Islam ke seluruh Jawa dan membalas dendam terhadap Portugis atas kekalahanya di Pasai. Ternggono hanya berambisi

106 menguasai Jawa. Untuk meredakan konflik Demak dengan Jepara (Ratu Aisah dan

Aji Usup), Fatahillah mendatangi Ratu Aisah dan Aji Usup secara terpisah. Fatahillah memberi tahu jika seluruh armada perang Demak akan dikerahkan ke Malaka kapan pun jika dikehendaki. Ratu Aisah dan Aji Usup merasa puas atas persembahan

Fatahillah tersebut.

Sebulan kemudian, posisi Fatahillah di Demak menjadi lebih kuat. Fatahillah menikahi adik perempuan Trenggono. Ratu Aisah dan Aji Usup curiga terhadap sikap panglima perang Demak, Fatahillah yang dengan cepatnya mendapat kepercayaan dari Trenggono. Mereka lebih terkejut lagi ketika melihat pasukan kaki Demak dalam jumlah besar ditempatkan di luar kota Tuban. Hal ini dianggap Aji Usup sebagai upaya menghalangi pergerakan pasukan laut di Jepara.

Kondisi yang diperparah dengan kehadiran Fatahillah sebagai panglima

Demak yang mengetahui rencana peresekutuan rahasia tersebut, membuat Aji Usup harus bergerak cepat. Ia kembali ke Tuban untuk meminta janji Adipati atas gugusan

Tuban yang hendak turut serta menyerang ke Malaka. Aji Usup harus mendapatkan

Wiranggaleng serta pasukannya dan langsung menyerang Malaka sebelum armada perang Demak yang dikomandoi Fatahillah bergerak (hlm. 501).

Sub judul ini membawa alur berkembang pada terciptanya armada gabungan dalam penyerangan Malaka. Rencana persekutuan ini juga mengikutkan

Wiranggaleng dalam rencananya. Kehadiran Fatahillah sebagai pendamping

Trenggono dan menjadi panglima perang Demak membawa perubahan tersendiri dalam kubu Demak.

107 Melangkah lagi dalam sub judul Petani Wiranggaleng. Latar cerita berpindah ke desa Awis Krambil. Di rumah Wiranggaleng, bertambah satu orang anggota keluarganya, yaitu Pada. Pasca penyelamatan yang dilakukan Pada terhadap Idayu, membuat Pada mendapat simpati dari masyarakat setempat. Ia pun memutuskan untuk tinggal di desa tersebut dan tidak berniat kembali ke Demak. Pada dulu merupakan seorang musafir Demak yang ditugaskan ke desa Rajeg. Di Awis Krambil pun ia menjalankan tugasnya sebagai musafir, tetapi bukan sebagai musafir Demak, melainkan atas niat pribadi. Wiranggaleng sendiri kembali menjadi petani biasa.

Alur mengalami flash back ketika pengarang memaparakan peristiwa tibanya

Idayu ke rumahnya. Pasca pelarian dari Gowong, Idayu beserta anak-anaknya dan

Pada melakukan perjalanan kembali ke Tuban. Sesampainya di rumah, Idayu melihat rumahnya telah berpenghuni dan di depan rumah ada seekor kuda prajurit Tuban.

Dengan perasaan was-was, mereka memasuki rumah. Penghuni tersebut ternyata

Wiranggaleng. Suka cita pun melanda rumah pujaan tersebut (hlm. 507-508).

Alur kembali lurus ketika Trenggono bersama Demaknya telah memulai persiapan untuk menyerang timur dan barat Jawa. Ternggono telah menjalankan misinya untuk menguasai Jawa. Perkembangan ini dilaporkan Pada kepada

Wiranggaleng. Ia pun meminta pendapat Wiranggaleng. Wiranggaleng kembali mengingat perkataan Rama Cluring jika kejayaan akan datang jika Nusantara bersatu, bukan hanya Jawa. Bagi Wiranggaleng, Trenggono tidak akan dapat menguasai Jawa.

Menurutnya lagi, Trenggono tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin besar yang bisa memanggil kejayaan Nusantara kembali (hlm. 512).

108 Di Awis Krambil, Pada berangkat ke kota setelah dianjurkan Wiranggaleng untuk mencari isteri. Wiranggaleng mengetahui ketertarikan Pada terhadap isterinya.

Pada diantarkan oleh Gelar, anak pertama Idayu. Alur berlanjut pada pengenalan anak kedua Idayu, Kumbang. Perkembangan fisik juga terjadi pada Gelar. Ia memiliki kemampuan berkuda yang lebih baik daripada ayahnya, Wiranggaleng (hlm. 514).

Tiga bulan telah berlalu, Pada kembali lagi ke desa Awis Krambil.Ia telah bertemu Liem Mo Han dan mendapat informasi mengenai pergerakan Demak. Ia memberi tahu Wiranggaleng jika Demak hendak menyerang Peranggi di Malaka ditambah dengan gugusan Aceh-Bugis. Armada penyerangan Peranggi yang kedua kalinya ini, memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dari penyerangan Adipati Unus terdahulu. Wiranggaleng hanya menyimak laporan tersebut sembari meragukan kebenaran berita rencana penyerangan Demak ke Malaka. Wiranggaleng masih meragukan perubahan Demak yang begitu drastis. Menurutnya, ada sesuatu yang tidak beres akan perubahan sikap Demak yang tiba-tiba berniat memerangi Peranggi.

Di sawah, Wiranggaleng dikejutkan dengan panggilan Senapati oleh seorang prajurit kuda Tuban. Ia menolak panggilan Senapati tersebut, akan tetapi prajurit tersebut tetap memanggilnya dengan panggilan Senapati. Prajurit tersebut memberitakan jika Patih Tuban, Kala Cuwil sedang menuju rumah Wiranggaleng.

Kala Cuwil tiba di Awis Krambil dengan kebesarannya sebagai Patih Tuban.

Kala Cuwil juga tetap memanggil Wiranggaleng dengan sebutan Senapati. Ia menyampaikan titah Sang Adipati pada Wiranggaleng. Sang Adipati menitahkan pada Wiranggaleng sebagai pemimpin gugusan Tuban yang terdiri dari lima ratus

109 prajurit menuju Demak dan bergabung dalam penyerangan ke Malaka. Karena merasa sebagai kawula Tuban, Wiranggaleng menerima permintaan sang Adipati sebagai tugas yang harus dilaksanakan oleh kawulanya. Persetujuan Wiranggaleng mendapat tolakan dari sang isteri, Idayu. Idayu sedikit melakukan penolakan karena ia merasa jika misi yang berat selalu diberikan kepada suaminya (hlm. 522).

Pada tahun 1525 Masehi, gugusan Tuban pimpinan Wiranggaleng berangkat menuju Malaka. Pemberangkatan gugusan Tuban berlangsung sepi, hanya ada masyarakat Tuban dan Patih Kala Cuwil yang mengantarkan pemberangkatannya.

Adipati Tuban tidak turut mengantar pemberangkatan Wiranggaleng, begitu juga halnya dengan keluarga Wiranggaleng. Gugusan tersebut berangkat dengan pendapat umum jika mereka berangkat untuk tidak akan kembali lagi. Mereka berangkat hanya dengan jung, bukan dengan kapal perang serta dua meriam yang telah disita juga tidak menyertai pemberangkatan ini. Kejadian ini menjadi pembuka dalam sub judul

Kembali ke Malaka.

Sebelum berlayar, Wiranggaleng mengucapkan janji jika dia tidak akan kembali ke Tuban sebelum Sang Adipati mati. Wiranggaleng juga berkesimpulan kalau pengiriman mereka merupakan hukuman mati. Ini dikarenakan peralatan yang mereka gunakan bukanlah perlengkapan perang. Perlengkapan yang mereka punya tidak memungkinkan berperang melawan Peranggi. Wiranggaleng berangkat ke

Malaka beserta Pada yang membantunya dalam misi kali ini (hlm. 524).

Idayu juga mengucapkan sumpah jika dia tidak akan menginjakkan kakinya di

Tuban kota. Inilah yang mengantarkan keberangkatan Wiranggaleng ke medan

110 perang. Sebuah misi yang tidak mendapat dukungan dari keluarganya dan juga merupakan rencana licik Sang Adipati untuk melenyapkan Wiranggaleng.

Gugusan Tuban sampai ke Lao Sam. Wiranggaleng menemui Liem Mo Han yang menyuruh gugusan tersebut agar segera berlayar dan jangan menginap di Jepara.

Liem Mo Han menjelaskan jika kesatuan Tuban, Aceh dan Bugis merupakan kesatuan sendiri dan Demak juga sendiri. Mereka akan menyerang dengan dua arah yang berbeda. Wiranggaleng bingung ketika ia tahu jika yang menyusun strategi adalah Liem Mo Han, bukan Fatahillah panglima Demak.

Wiranggaleng memutuskan menginap di Jepara untuk menghilangkan kebingungannya akan keadaan yang berbeda jauh dari yang direncanakan. Di Jepara,

Wiranggaleng bertemu dengan Ratu Aisah. Ratu Aisah menjelaskan jika kesatuan

Jepara-Demak adalah kesatuan yang berbeda dengan kesatuan Tuban-Aceh-Bugis.

Wiranggaleng menyampaikan kelemahan pasukannya yang hanya menaiki Jung, bukan kapal perang dan juga tanpa pendayung. Bahkan, tidak ada perlengkapan yang bisa mengimbangi serangan ke Malaka. Tapi, Ratu Aisah hanya menegaskan jika

Peranggi tidak dilawan di Laut, melainkan di darat. Wiranggaleng hanya perlu mendarat dan berperang di darat.

Kembali terjadi alur flash back ketika Wiranggaleng mengingat ceramah

Rama Cluring mengenai Mpu Nala, seorang pembuat kapal dan panglima laut

Majapahit yang masyhur. Rama Cluring pun menjelaskan tentang kejayaan masa lalu dan hancurnya kerajaan Majapahit (hlm. 530).

111 Alur pun kembali lurus pada perjalanan gugusan Tuban. Gugusan Tuban berlayar hingga sampai di bandar Banten, tapi mereka tidak mendarat. Mereka hanya dapat melihat armada laut Demak yang berlayar ke selatan bukan ke utara menuju

Malaka. Galeng dan seluruh prajuritnya semakin yakin jika mereka dikhianati oleh

Demak.

Armada perang Demak pun mulai melakukan pergerakan untuk menguasai

Jawa sesuai obsesi Trenggono. Trenggono yang akan memimpin penyerangan di darat, sedangkan pasukan laut akan dipimpin oleh Fatahillah. Demak hanya menunggu gugusan Tuban berangkat ke Malaka, lalu melakukan pergerakan yang lebih leluasa. Taktik ini mempermudah mereka dalam menundukkan Jawa.

Persekutuan yang dibangun Ratu Aisah pun telah digagalkan oleh Trenggono.

Pasukan kuda Trenggono telah membunuh Aji Usup dan menyusul membunuh Liem

Mo Han. Dengan begini, selesailah cerita persekutuan rahasia Ratu Aisah-Liem Mo

Han-Aji Usup (hlm. 541).

Gugusan Tuban berlabuh di Banda Aceh dan disambut hangat oleh pasukan

Aceh. Di sana, Tuban bergabung dengan pasukan Aceh dan Bugis. Tiga ratus prajurit

Aceh dan dua ratus prajurit Bugis bergabung dengan lima ratus prajurit Tuban.

Armada gabungan pun mulai bersatu dan berangkat ke Malaka. Wiranggaleng diangkat sebagai panglima gabungan dengan panggilan Hang Wira (hlm. 542).

Gugusan gabungan ini mendarat di sebuah kampung nelayan di sebelah utara

Malaka. Setelah melakukan pendaratan, Wiranggaleng menunggu selama tiga hari datangnya pasukan dari semenanjung (Tionghoa) yang dijanjikan oleh Liem Mo Han.

112 Pasukan yang ditunggu-tunggu akhirnya tidak datang. Hal ini membuat semangat prajurit merosot.

Dalam penyusunan taktik penyerangan dan pengenalan medan, terjadi pertarungan kecil antara kesatuan Bugis dan beberapa prajurit Portugis. Pertempuran dengan skala yang lebih besar terjadi, gugusan Tuban dan beberapa dari kesatuan

Aceh-Bugis menyerang tempat peristirahatan Portugis. Serangan ini dipimpin langsung oleh Wiranggaleng atau Hang Wira. Pertempuran musket melawan tombak pun tak dapat dihindari. Portugis yang kalah jumlah tetap melakukan perlawanan yang sengit. Malam juga yang menghentikan pertarungan ini.

Dalam pengamatannya, Wiranggaleng berkesimpulan jika pertempuran sekali ini sama sekali tidak dimenangkan oleh Peranggi, juga tidak oleh Tuban. Namun, seluruh pasukan gabungan telah mendapatkan satu kemenangan mutlak: kemenangan atas ketakutan terhadap Peranggi dan kehebatannya (hlm. 547).

Dalam sub judul Kembali ke Malaka, Wiranggaleng beserta kesatuan prajurit

Tuban berangkat ke Malaka untuk memerangi Peranggi. Kesatuan Tuban ini tetap berlayar ke Malaka walau telah dikhianati oleh Demak dan Jepara. Persekutuan rahasia yang dibentuk Ratu Aisah pun berakhir dengan kegagalan. Sub judul ini diakhiri dengan terjadinya perang antara armada gabungan melawan Portugis di

Malaka.

Sub judul Gelar Jadi Sandera menjadi peristiwa selanjutnya pasca peperangan armada gabungan dengan Portugis. Dalam sub judul ini, pengarang hanya memaparkan perkembangan fisik dan psikologis dari tokoh Gelar, anak Idayu dari

113 kebejatan Syahbandar Tuban. Gelar dititahkan Sang Adipati untuk dipanggil ke

Tuban kota dan tinggal di asrama prajurit Tuban.

Pemanggilan yang dilakukan oleh Sang Adipati adalah semata-mata untuk dapat memanggil kembali Wiranggaleng sewaktu-waktu jika terjadi serangan dari

Demak. Penyanderaan inilah yang membuat Gelar berkembang secara psikis dan fisiknya. Gelar memiliki badan yang tak kalah besar dari Wiranggaleng. Ia pun memiliki kemampuan berkuda yang jauh melebihi prajurit Tuban. Kehebatan inilah yang membuat para prajurit lainnya iri dan terus menekan psikis Gelar jika derajatnya hanyalah sebagai sandera Adipati. Sandera adalah tempat terhina dan terendah dalam tata hidup masyarakat Tuban. Dalam penyanderaan ini, Gelar tidak diperkenankan keluar dari asrama. Dari asrama inilah, Gelar mengetahui pergunjingan dan ejekan yang mengatakan jika Wiranggaleng bukanlah bapak kandungnya (hlm. 555).

Pada suatu kesempatan, Nyi Gede Kati menemui Gelar di asrama dan memberinya makan. Ia pun berusaha menemui suaminya, Sayid Almasawa untuk mengeluarkan Gelar dari asrama, tapi gagal. Selama di asrama, Gelar mendapat surat dari ibunya. Idayu selalu mengatakan keinginannya untuk bertemu dengan Gelar.

Gelar yang bosan dengan perannya sebagai sandera dan diperlakukan tidak adil akhirnya memutuskan untuk kabur dari asrama. Hanya ibu dan adiknyalah yang masih mencintainya. Dengan motivasi itu, Gelar melarikan diri sembari membawa kuda kesayangannya, Sultan (hlm. 564).

Perkembangan Gelar dalam sub judul ini adalah ia menerima pergunjingan mengenai siapa bapak kandungnya. Ini yang akan mempengaruhi perkembangan alur

114 selanjutnya. Untuk pertama kali, Gelar merasa jika ia harus mengetahui siapa bapak kandungnya.

Di tempat lain, Demak mulai bergerak. Begitu mengetahui kalau pergerakan armada gabungan yang dipimpin oleh Wiranggaleng dapat membatasi ruang gerak

Peranggi hanya di dalam kota saja, Demak melakukan pergerakan untuk menguasai

Jawa. Inilah yang menjadi pembuka dalam sub judul Demak Mulai Bergerak.

Demak mulai menyerang ke daerah timur. Santenan dan Blora menjadi target.

Tapi, gabungan Santenan dan Blora dapat menahan serangan Demak. Armada laut

Demak dibawah komando Fatahillah juga melakukan penyerangan ke Banten. Setelah bertempur selama tujuh hari, Banten dapat diduduki Demak (hlm. 567).

Persekutuan Trenggono dan Fatahillah telah membuahkan hasil, yaitu Banten.

Banten menjadi pusat armada Demak. Dalam jangka waktu tiga bulan, Fatahillah telah dapat mengembalikan kehidupan Banten seperti semula. Ia menitahkan lelaki dewasa untuk menjadi prajurit. Semua pandai besi yang ada dikerahkan untuk membuat peralatan perang. Sebagian kapal-kapalnya terus melakukan penjagaan di pesisir Pantai Banten. Ini dilakukan untuk meredam serangan Portugis jika menyerang secara tiba-tiba. Karena kharisma dan kecerdasannya, Fatahillah dapat menaklukkan hati masyarakat Banten. Mereka melupakan penyerbuan yang dilakukan olehnya. Mereka juga mendukung semua kebijakan yang dibuat oleh

Fatahillah.

Latar berpindah ke Malaka. Berita pendudukan Demak atas Pesantenan dan

Banten, menimbulkan rasa jengkel dalam diri Wiranggaleng. Wiranggaleng pun

115 mendapat sebuah kejutan. Kesatuan Aceh dititahkan rajanya untuk kembali ke Aceh.

Pulangnya kesatuan Aceh juga diiringi oleh titah Wiranggaleng kepada Pada untuk pergi ke Jawa mencari informasi dan melihat keadaan sembari mengunjungi Idayu dan anak-anaknya. Dengan demikian, berangkatlah Pada menuju Jawa (hlm. 569).

Latar kembali ke Jawa. Rembang dan Blora berhasil diduduki Demak. Demak pun merencanakan untuk perluasan daerah ke timur. Tuban dan Bojonegara menjadi target berikutnya. Kala Cuwil, Patih Tuban telah memprediksi jika Demak akan menyerang dari sebelah barat daya Tuban. Ia telah mempersiapkan pasukan Gajah di perbatasan itu untuk meredam serangan Demak. Perhitungannya tidak keliru, Demak datang menyerang. Perang Tuban melawan Demak pun terjadi (hlm. 570).

Pasukan Demak terdesak oleh pasukan gajah Tuban. Trenggono tetap memerintahkan pasukannya menyerang. Targetnya adalah menguasai Tuban.

Tunduknya Tuban akan memudahkannya untuk menguasai Jawa bagian timur, begitu juga dengan kerajaan Hindu Blambangan. Jatuhnya Jawa bagian timur berarti memenuhi ambisinya untuk menguasai Jawa dan mengislamkan Jawa. Terdesak di bagian barat daya Tuban, Trenggono menitahkan sebagian prajuritnya untuk menyerang dari utara. Penyerangan ini dijamu oleh tembakan meriam Peranggi yang disita Tuban dari desa Rajeg. Trenggono kembali menitahkan sebagian pasukannya untuk menyerang bagian selatan Tuban. Pasukan gajah yang ditarik Kala Cuwil ke kota kembali harus meredam serangan Demak dari selatan. Akhirnya, bagian utara

Tuban jebol. Demak dapat memasuki Tuban (hlm. 571).

116 Di Tuban kota, Banteng Wareng beserta pasukannya menunggu titah Kala

Cuwil untuk bergerak. Akan tetapi, mereka tidak mengetahui jika penghubung

(prajurit perantara) mereka tewas dalam perjalanan. Sikap para prajurit Tuban yang meremehkan Demak sebagai kerajaan kemarin juga membuat pertahanan Tuban melemah. Mereka semua menunggu titah Kala Cuwil untuk bergerak via penghubungnya.

Braja, kepala pasukan penjaga kadipaten Tuban dengan tergopoh-gopoh mengambil tindakan untuk mengungsikan Adipati. Ini karena serangan Demak yang mulai mendesak hingga ke Tuban kota. Ketika hendak mengungsikan Adipati, Braja mendapati Sang Adipati telah tewas di peraduannya. Braja pun memerintahkan pada seluruh orang yang ada di kadipaten untuk mengungsi.

Pertahanan yang telah dibangun pasukan Tuban akhirnya jebol hingga ke

Tuban kota. Para prajurit Tuban, termasuk Kala Cuwil telah kehabisan alasan untuk berperang. Orang yang hendak mereka perjuangkan dan lindungi telah tewas. Ini membuat semangat pasukan menjadi merosot total. Dengan tiga puluh ribu prajurit ditambah lima ribu prajurit dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan, Demak menduduki Tuban (hlm. 573).

Trenggono memasuki kadipaten Tuban dan mendapati jenazah Sang Adipati

Tuban. Di depan jenazah Adipati Tuban, ia pun mulai menyombongkan pasukan kudanya yang dapat mengalahkan pasukan gajah kebanggaan Sang Adipati. Pasukan

Tuban sendiri, menyingkir ke arah selatan Tuban. Kala Cuwil kebingungan untuk berbuat apa lagi begitu mengetahui Sang Adipati tewas. Banteng Wareng kecewa

117 melihat kepemimpinan Kala Cuwil. Dia memiliki prinsip lebih baik mati di medan perang dari pada kalah tanpa bisa berbuat sesuatu.

Keesokan harinya, Banteng Wareng bersama pasukan kudanya menyerang kadipaten tanpa sepengetahuan Patihnya, Kala Cuwil. Di kadipaten, pasukan Demak sedang beristirahat seusai pesta perayaan kemenangan. Mereka tidak menduga akan ada serangan yang begitu cepat dari pasukan kuda Tuban. Mereka tidak memperhitungkan jika Tuban tetap bertahan walau Rajanya telah tewas. Dalam sejarah Nusantara, belum pernah terjadi kejadian seperti ini.

Dalam serangan mendadak ini, Banteng Wareng dapat menggiring musuh hingga keluar kota Tuban. Ia segera menguburkan jenazah Sang Adipati serta memerintahkan pasukannya untuk kembali ke selatan dan membiarkan kota Tuban kosong. Demak hanya menduduki Tuban kota selama satu hari saja, lalu dihalau keluar oleh pasukan Banteng Wareng.

Latar berpindah ke Malaka. Prajurit gabungan yang ada di Malaka telah mengalami kemerosotan mental. Mereka kekurangan alat dan manusia sebagai prajurit. Pergerakan Demak yang telah menguasai selat Sunda dan menjajah daerah tetangganya membuat semangat perang prajurit gabungan ini menjadi hilang. Mereka lebih disibukkan urusan asmara dengan penduduk setempat. Para prajurit pun secara perlahan mulai menjadi kepala rumah tangga. Wiranggaleng sadar jika ia tidak dapat menolong kemerosotan ini dan Malaka tidak bakal jatuh ke tangannya (hlm. 577).

Latar kembali ke Tuban, Pada telah berlabuh di Tuban. Di pelabuhan, ia melihat prajurit kaki Tuban yang masih memerangi Demak. Pada dapat melihat

118 pasukan-pasukan Demak yang menjarahi rumah-rumah penduduk Tuban, termasuk kesyahbandaran. Peristiwa ini menjadi penutup sub judul Demak Mulai Bergerak.

Dalam sub judul Kekacauan di Jawa, dipaparakan peristiwa yang dialami oleh Pada selama kembali ke Jawa. Dalam persembunyiannya untuk menghindari pasukan Demak, Pada bertemu dengan para selir Adipati yang mengungsi di bawah lindungan Nyi Gede Daludarmi. Dari para selir inilah, Pada mengetahui tentang kematian Sang Adipati. Pada akhirnya menuju rumah Idayu. Setibanya di sana, Pada menceritakan perkembangan dan keadaan Wiranggaleng di Malaka. Setelah menemui

Idayu, Pada berpamitan untuk pulang ke Malaka.

Idayu menyampaikan sebuah pesan sebelum Pada pulang ke Malaka. Wanita pujaan Pada itu menitahkannya untuk segera mencari isteri. Sewaktu diantar Gelar, anak pertama Idayu, Pada dapat melihat kebencian Gelar terhadap Tuban yang selalu menyusahkan kedua orangtuanya.

Sub judul ini tidak mengalami perkembangan alur. Hanya informasi mengenai kematian Sang Adipati yang diterima oleh Pada dari para selir Adipati. Pemujaan

Pada atas Idayu juga menghiasi sub judul ini. Perkembangan watak Gelar yang sangat membenci Tuban menjadi penutup sub judul ini.

Sub judul Lao Sam-Pajajaran-Sunda Kelapa, menjadi rangkaian peristiwa yang ikut mengembangkan alur cerita. Perjalanan Pada dari desa Awis Krambil berlanjut hingga ke Lao Sam. Di sini, Pada mendapat kenyataan jika Liem Mo Han telah tewas. Sumber informasi yang dipercayainya telah tiada. Kematian Liem Mo

Han ia dapat dari Cia Mie An, salah seorang saudagar kenalan Pada di Lao Sam. Dari

119 penuturan Cia Mie An, Pada mendapat keterangan mengenai situasi Jawa yang semakin gawat. Pada pun kembali ke Awis Krambil begitu mendengar keadaan yang berbahaya dan bisa mengancam keluarga Idayu.

Pada tiba lagi di desa Awis Krambil dan mengungsikan keluarga Idayu hingga ke Bojonegara. Setelah menetap dan membantu Idayu membentuk rumah dan huma selama tiga bulan, Pada berangkat lagi menuju Malaka. Perjalanan menuju Malaka mengharuskan Pada untuk singgah ke Jepara.

Persinggahan Pada ke Jepara bertujuan untuk menemui Ratu Aisah. Orang yang hendak ditemui telah berjanji untuk tidak menemui siapa pun lagi. Ini menyebabkan Pada tidak dapat menemui Ratu Aisah walau telah menunggunya. Pada hanya diberi sebuah bungkusan yang dititipkan Ratu Aisah pada cucunya sebagai perantara. Ratu Aisah menitipkan bungkusan tersebut agar diberikan kepada

Wiranggaleng jika Pada tiba di Malaka. Pada pun meninggalkan Jepara.

Perjalanan Pada sampai juga ke Pajajaran. Ia belajar bahasa Sunda di sini. Ini untuk memudahkannya mencari informasi. Di Pajajaran, Pada memutuskan membuka bungkusan yang diberi Ratu Aisah untuk Wiranggaleng. Bungkusan tersebut berisi perlengkapan kebesaran Adipati Unus, seperti pakaian, keris, pinggang, cincin, dan kalung. Semua terbuat dari emas dan bergambarkan kupu tarung, lambang kebesaran Adipati Unus. Pada memutuskan untuk menyamar sebagai pangeran dengan menggunakan perlengkapan Adipati Unus.

Pada tiba di desa Baleugbak dan telah berpakaian layaknya pangeran. Di desa ini, ia disambut hangat oleh kepala desa dan penduduk desa. Pada mengaku sebagai

120 pangeran yang berasal dari Jepara yang tidak menyetujui pergerakan Trenggono dan

Fatahillah. Dengan begitu, Pada diterima menetap di desa dan dilayani oleh penduduk desa layaknya pangeran.

Latar berpindah ke bandar Sunda Kelapa. Sunda Kelapa telah sepenuhnya dikuasai oleh Demak. Kekuatan Pajajaran terlalu sedikit untuk membendung kekuatan Demak. Pangeran Pajajaran tewas. Fatahillah merobohkan tugu perjanjian

Pajajaran-Portugis.

Latar kembali ke desa Baleugbak. Sabarani, anak kepala desa merupakan salah satu orang yang bertugas memenuhi kebutuhan sang Pangeran Pada. Di desa ini, ada sebuah perayaan yang dirayakan seperti di Tuban, namanya pesta panen.

Dalam pesta ini pula, Pada diminta untuk bertarung fisik dengan Sabarani, juara tanpa tanding. Pada tidak memiliki kemampuan bertarung. Pada hanya menggunakan akal agar para penduduk tidak megetahui jati dirinya. Ia pun menyerang psikis Sabarani dengan mengajaknya menikah. Sabarani tergetar dan tidak dapat berbuat apa-apa dengan pengakuan Pada tersebut.

Sabarani diputuskan kalah karena tidak dapat bergerak dihadapan pangeran

Pada. Sesampainya di rumah, Sabarani mengajak Pada untuk melarikan diri.

Mendengar keributan penduduk di luar rumah yang mencari Pangeran Adipati Jepara,

Pada tersadar jika ia dalam posisi bahaya. Ajakan Sabarani untuk melarikan diri disetujui olehnya. Mereka berdua pun melarikan diri melewati kali Ciliwung dengan menggunakan rakit. Karena keperkasaan Sabaranilah, rakit dapat melewati arus kali yang cukup deras. Pada hanya bisa duduk dan diam tanpa bisa melakukan apa-apa.

121 Dalam pelariannya, Pada mendapat informasi dari pelarian Sunda Kelapa jika

Sunda Kelapa sepenuhnya telah dikuasai Demak. Fatahillah pun menggunakan kerja paksa untuk pembentukan benteng. Setelah mengganti pakaian pangerannya dengan pakaian santri, Pada dan Sabarani meneruskan perjalanannya ke Sunda Kelapa (hlm.

615-616).

Dengan ucapan “assalamu alaikum”, Pada dan Sabarani berhasil melewati penjagaan di perbatasan Sunda Kelapa. Pada melihat kesibukan kerja untuk pembangunan benteng pertahanan. Pada pun menikahi Sabarani secara Islam dan mengislamkan Sabarani di Sunda Kelapa (hlm. 619).

Kebijakan Fatahillah yang menutup Sunda Kelapa sebagai pelabuhan bebas, membuat Sunda Kelapa menjadi sepi dari perdagangan Lada. Imbasnya, bandar

Panjang di ujung selatan sumatera menjadi meriah karena pasaran lada yang mengarah ke Panjang. Akhirnya, Fatahillah menyadari kekeliruannya. Fatahillah membuka kembali Sunda Kelapa sebagai pelabuhan bebas. Pada saat titah ini dikeluarkan, Pada bersama isterinya melakukan pelayaran ke Sumatera.

Sub judul ini merupakan penjelasan dari perjalanan Pada dari Malaka menuju

Tuban, Lao Sam, Pajajaran, hingga Sunda Kelapa. Dalam perjalanan inilah Pada mendapatkan semua informasi mengenai perkembangan Jawa. Pada pun mendapatkan seorang isteri dari Pajajaran, Sabarani.

Alur pun beralih pada sub judul Blambangan. Sub judul ini secara implisit menggambarkan peristiwa flash back. Setting waktu pada kejadian dalam sub judul ini, bersamaan dengan penyerangan Demak ke Tuban. Situasi yang kacau-balau dan

122 tidak memberi rasa aman, membuat Sayid Almasawa meninggalkan Tuban.

Syahbandar Tuban ini pergi menuju Blambangan, tetapi karena nasihat nahkodanya, ia pun berlabuh di Panarukan, bukan di Blambangan (hlm. 621). Di Panarukan, Sayid

Almasawa langsung menuju kantor dagang Portugis yang ada di sana.

Martinique, salah seorang Portugis yang berada di kantor dagang tersebut menjamu dan menyiapkan kamar bagi Sayid Almasawa. Martinique menunjukkan rasa tidak senang atas kehadiran Sayid yang terkenal licik. Ia merasa ketenangannya terancam dengan kehadiran Sayid. Sayid bisa mengadukan ke Malaka atas kemewahan yang didapatnya dari Raja Blambangan tanpa berperang dan tanpa berusaha membesarkan nama Portugis. Martinique telah mempersiapkan cara untuk menyerang balik perlakuan Syahbandar Tuban ini.

Martinique membuka perangkapnya untuk menjatuhkan Sayid Almasawa yang telah merasa posisinya di atas Martinique. Martinique menganjurkan Sayid untuk bertemu dengan Cortez, paman Rodriguez. Martinique menjelaskan perbuatan

Sayid yang menyuruh Yakub untuk mengikat dan membius Rodriguez serta membawanya dalam sebuah perahu. Sayid pun mengikuti anjuran Martinique yang mengetahui perbuatannya untuk menemui Cortez.

Dalam pertemuannya dengan Cortez, Sayid dikejutkan atas tuduhan Cortez kepadanya. Cortez memberi tahu jika Sayid juga yang telah menjual kemenakannya

(Rodriguez) dan Esteban (hlm. 634). Cortez yang tidak senang akan kehadiran Sayid, mengusir Sayid dari rumahnya.

123 Setibanya di tempat Martinique, Sayid berpikir bagaimana bisa Cortez mengetahui tentang penjualan Esteban dan Rodriguez yang dilakukannya. Parahnya,

Cortez mengetahui jika Sayid juga yang membunuh Esteban dan Rodriguez. Sayid sadar kalau sudah tidak ada lagi tempat dalam kekuasaan Portugis jika Portugis tahu ia telah membunuh dua orang Portugis.

Kejutan juga diterima Sayid dari pengakuan Martinique. Martinique mengetahui pembunuhan yang dilakukan Sayid di dermaga. Martinique mengancam jika di Malaka, tiang gantungan telah menunggu kepulangan Sayid Almasawa.

Martinique juga memberi tahu kalau ada seorang saksi yang memberi tahu mereka tentang pembunuhan yang dilakukannya atas Esteban dan Rodriguez. Saksi tersebut adalah Yakub.

Sayid menyadari jika Panarukan bukan tempat aman baginya. Saat ini, semua orang Portugis merupakan ancaman baginya. Ia pun memutuskan untuk pergi dari

Panarukan. Ia pun kembali ke Tuban begitu mendengar dari seorang pelaut pribumi jika Banteng Wareng dapat menghalau Demak dari Tuban kota. Sayid merasa tempatnya berlindung hanya di Tuban. Sekarang, Malaka atau tempat dimana ada seorang Portugis adalah neraka baginya (hlm. 637).

Sub judul ini merupakan pemaparan mengenai perjalanan Sayid Almasawa untuk berlindung dari perang. Dari panarukan, Sayid mengetahui jika perbuatannya membunuh dua orang Portugis telah diketahui oleh bangsa Portugis.

Juli 1527, Pada dan Sabarani tiba di Panjang. Di pelabuhan, Pada mendapati lada yang begitu banyak. Kapal-kapal Peranggi akan mendatangi Panjang dan mulai

124 mengambil lada-lada tersebut. Peristiwa ini menjadi bagian dalam sub judul Panjang-

Jayakarta. Latar kembali berpindah ke perairan Nusantara. Fransisco de Sa menolak untuk berlindung ke Panjang. Ia meneruskan pelayarannya menuju Sunda Kelapa. De

Sa dititahkan untuk membangun kantor dagang di Sunda Kelapa dan mengambil persediaan Lada di Panjang. Akan tetapi, ia juga ingin menjalankan misi pribadi, yaitu membangun kebesaran baru di Jawa untuk Portugis dan untuk dirinya sendiri.

Salah satu misi pribadinya adalah membalas dendam perlakuan Tuban yang berani menghinanya beberapa tahun yang lalu (hlm. 642-643).

Pelayaran De Sa beserta prajuritnya mendapat rintangan. Iringan kapal

Portugis dihantam ombak besar. Ombak ini memisahkan iringan kapal menjadi dua.

Kapal yang dikapteni Duarte Coelho terdampar ke darat. Kapal yang mendarat tersebut hancur berantakan. Beberapa prajurit Portugis masih dalam keadaan hidup dan mendapati kaptennya pingsan di geladak kapal.

Beberapa pasukan Demak yang sedang bertugas, mendengar keributan di daerah rawa-rawa. Pasukan Demak dengan jumlah yang kecil melihat keadaan.

Mereka melihat kapal Portugis yang terdampar dalam keadaan hancur. Pasukan

Demak ini langsung menyerbu Portugis yang masih dalam keadaan tidak menguntungkan.

Perlawanan yang dilakukan prajurit Portugis sia-sia. Mereka hanya dapat bertahan sebentar, sebelum dihabisi oleh prajurit Demak yang menang jumlah.

Kapten kapal juga mengalami hal yang sama. Prajurit Demak pun mulai melakukan pemeriksaan di dalam kapal. Semua perlengkapan perang Portugis yang masih

125 dipakai, disita oleh Demak, diantaranya sembilan pucuk meriam, peluru dan mesiu, dua ratus pucuk musket, dan perlengkapan hidup yang lainnya.

Latar pun beralih pada markas Fatahillah di Sunda Kelapa. Fatahillah mengajarkan prajuritnya bagaimana menggunakan musket. Dari teropong, Fatahillah dapat melihat tiga kapal Portugis lainnya. Ia pun menempatkan meriam di belakang bentengnya dan bersiap melakukan penyerangan.

Iringan kapal terlihat di teropong Fatahillah. Mereka adalah iringan kapal De

Sa yang selamat dari ombak. Sesampainya di Sunda Kelapa, De Sa menurunkan pasukannya melalui sekoci-sekoci dan mendarat di pelabuhan. Begitu mendarat, De

Sa heran melihat kesepian bandar. Ia juga tidak dapat menemukan Syahbandar. Dari pengalamannya di Tuban, jika Syahbandar tidak datang menyambut, maka ada sesuatu yang tidak beres. Ia melihat tugu perjanjian Pajajaran dan Portugis hancur.

Demak mulai menyerang pasukan De Sa dengan tombak. Taktik Fatahillah adalah bertarung dengan jarak dekat melawan Portugis. Portugis melakukan perlawanan dengan tembakan musket. Jumlah pasukan yang tidak berimbang membuat Portugis mundur, kembali ke kapalnya. De Sa gagal menjalankan misinya di Sunda Kelapa. Ketidaktahuannya mengenai Sunda Kelapa yang telah diduduki

Demak, bukan lagi kekuasaan Pajajaran membuatnya salah perhitungan.

Kekalahan Portugis di Sunda Kelapa disambut meriah oleh pasukan Demak.

Fatahillah yang memimpin pertarungan yang tidak imbang ini, dengan bangga mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Pergantian nama ini terjadi pada tanggal 22 Juni 1527 (hlm. 650-651).

126 Kekalahan Portugis di Sunda Kelapa sampai ke telinga Pada. Dari penuturan para pelaut pribumi yang mengambil lada di Panjang, Portugis melanjutkan pelayarannya ke timur. Seorang pelaut dari Bali menyampaikan informasi terbaru dari tanah Jawa, salah satunya adalah pendudukan Peranggi di Tuban. Pada menduga jika secara tidak sengaja, Tuban dikeroyok oleh Demak dan Peranggi. Ia pun memutuskan untuk segera menemui Wiranggaleng di Malaka (hlm. 653).

Sub judul ini membawa perkembangan alur. Pendudukan Demak di Sunda

Kelapa sedikit banyak mempengaruhi pergerakan Portugis. Kekalahan De Sa di

Sunda Kelapa, dibayarnya dengan menduduki Tuban.

Di semenanjung Malaka, prajurit gugusan Tuban dan Bugis telah mengalami kemerosotan. Mereka telah sepenuhnya berubah menjadi petani dan nelayan. Mereka telah melupakan tanah kelahiran mereka dengan sibuk mengurusi rumah tangga mereka sendiri. Wiranggaleng tidak dapat melakukan apa-apa untuk mengembalikan semangat mereka. Dia tahu jika hasrat dan pengharapan mereka atas bumi Jawa telah sirna. Inilah yang menjadi pembuka dalam sub judul Yang Lola di Semenanjung.

Pada akhirnya berlabuh di semenanjung Malaka dan menemui Wiranggaleng.

Pada memperkenalkan isterinya dan mulai memberikan seluruh informasi yang didapatnya di Jawa. Pada juga memberitahu Wiranggaleng, jika Adipati Tuban telah tewas. Jadi, Wiranggaleng telah terbebas dari sumpahnya.

Karena kondisi Jawa yang semakin kacau dengan kehadiran Trenggono,

Wiranggaleng berhenti menjadi panglima pasukan gabungan Tuban dan Bugis. Di tengah-tengah para prajurit, Wiranggaleng melepaskan para prajurit dari tugas

127 keprajuritannya. Misi penyerangan Peranggi di Malaka untuk yang kedua kalinya diberhentikannya. Wiranggaleng hendak pulang ke Tuban yang telah diduduki oleh

Peranggi. Hanya ada dua puluh lima prajurit yang mau mengikuti Wiranggaleng pulang ke tanah kelahirannya. Wiranggaleng pun berangkat menuju Tuban bersama dua puluh lima prajurit yang lainnya. Sebelum berangkat, Wiranggaleng memberi nama tempat tinggal mereka di semenanjung Malaka dengan nama Trenggono.

Pulangnya Wiranggaleng ke Tuban menjadi penutup sub judul ini. Lepasnya

Wiranggaleng dari sumpahnya, membuatnya merasa terpanggil kembali ke Tuban.

Wiranggaleng pun menghentikan misi penyerangan Malaka yang dipimpinnya.

Sub judul Tuban Jadi Kancah Perang memaparkan peristiwa kembalinya

Sayid Almasawa ke Tuban dari Panarukan. Setibanya di Tuban, Sayid Almasawa langsung ditangkap dan dikerangkeng besi oleh Kala Cuwil. Sama halnya dengan

Esteban dan Rodriguez, Sayid juga dipertontonkan di pelabuhan (hlm. 671).

Masyarakat Tuban pun berbondong-bondong datang untuk melihat Sayid yang dikerangkeng. Mereka tidak mau ketinggalan untuk melampiaskan kebencian mereka atas tingkah Sayid selama ini. Sayid pun kehujanan cacian dan air ludah dari para penontonnya. Hanya Nyi Gede Kati, isterinya yang mau memberi Sayid makan dan terus mengunjunginya. Sayid pun berjanji jika dapat keluar dari kerangkeng, ia akan melayani Nyi Gede Kati layaknya seorang suami yang baik.

Seminggu berlalu pasca penangkapan Sayid Almasawa. Yakub beserta teman- temannya pun berhasil ditangkap oleh prajurit Tuban. Pengadilan Yakub dimulai dari kesyahbandaran. Yakub membeberkan semua tindakan Sayid yang merugikan Tuban

128 selama ini, hingga pembunuhan yang dilakukannya atas Esteban dan Rodriguez (hlm.

678-679).

Kala Cuwil atau Gusti Patih Tuban Sang Wirabumi menitahkan hukuman mati pada Yakub beserta teman-temannya karena telah membantu Syahbandar Tuban atas terciptanya pemberontakan Rajeg. Sayid Almasawa dihukum kurungan di kerangkeng besi dan dipertontonkan ke dunia hingga akhir hayatnya (hlm. 682).

Seminggu setelah keluarnya hukuman mati kepada Yakub, perang besar terjadi. Trenggono mengerahkan kesatuan pasukannya yang terkuat. Kala Cuwil pun mengarahkan seluruh pasukan Tuban ke arah barat luar kota. Pasukan Demak merasa gentar ketika melihat Sembilan puluh ekor gajah yang mulai menyerangi mereka. Di sela-sela gajah, muncullah ratusan pasukan kuda Tuban melesat menyerang pasukan

Demak. Trenggono sadar jika pasukannya sedang terdesak. Ia pun memutuskan untuk mundur. Pasukannya ia tarik hingga ke rembang. Pasukan Tuban berhasil sepenuhnya mengusir pasukan Demak ke luar Tuban (hlm. 683).

Penggambaran keadaan Tuban pasca perang melawan Demak menjadi pembuka dalam sub judul Dan Portugis pun Memasuki Tuban. Keadaan Tuban semakin pulih dari keadaan perang. Keadaan yang tenang itu tiba-tiba menjadi kacau ketika kedatangan kapal asing di pelabuhan Tuban. Peranggi pun telah mendatangi bandar Tuban lagi. Dari kejauhan, mulai terdengar ledakan meriam melepaskan peluru. Tak lama kemudian, peluru meriam beterbangan di atas kerangkeng. Riuh- rendah atap dan rumah yang bongkar-namgkir kena terjang (hlm. 685).

129 Peranggi menyerang Tuban. Pasukan Tuban yang sebagian masih berada di perbatasan, tidak dapat meredam serangan meriam ini. Perlawanan dari pasukan

Tuban adalah dengan menembak Peranggi dengan meriam yang didapat mereka dari pasukan Rajeg. Untuk beberapa saat, Peranggi terus menyerang dengan tembakan dan membuat bandar Tuban menjadi kosong.

Armada De Sa melanjutkan misinya untuk menguasai Tuban sebagai ajang balas dendam. Pasca kegagalannya di Sunda Kelapa ia dan pasukannya bertekad untuk menjatuhkan Tuban. Serangan yang tiba-tiba ini membuahkan hasil. Pasukan

Tuban yang tidak membaca pergerakan Peranggi akhirnya terdesak. Peranggi berlabuh di Tuban.

Perang pun kembali terjadi ketika prajurit Peranggi mendarat. Pasukan Tuban menyerang dengan tombak dan beramai-ramai. Serangan ini tidak mempan bagi

Peranggi. Dengan musketnya, Peranggi menyerang balik prajurit Tuban. Pasukan

Tuban kembali terdesak akibat senjata api ini. Bandar Tuban pun berhasil diduduki oleh Peranggi.

De Sa juga membebaskan Sayid Almasawa dari kerangkeng besi. Sayid kembali menjadi individu yang bebas. Di kubu Tuban, terjadi pertikaian di antara kepala pasukan. Kala Cuwil dan Banteng Wareng saling mengkambinghitamkan atas pendudukan Peranggi. Tuban pun terancam bubar karena pertikaian ini (hlm. 691).

Situasi yang makin kacau berimbas pada masyarakat Tuban. Masyarakat

Tuban mengambil sikap cuek terhadap kejadian yang menimpa buminya. Perang

130 yang terus-menerus berlangsung membuat mereka tidak ambil bagian lagi atas pendudukan Peranggi. Mereka lebih menyibukkan diri untuk hidup sendiri.

Pendudukan Peranggi ini memberi Sayid tugas baru. Sayid Almasawa,

Syahbandar Tuban menjadi penunjuk jalan prajurit Portugis menuju kampung- kampung untuk menumpas pagar desa dan menangkap semua lelaki. Lelaki-lelaki ini akan dipekerjakan dalam pembangunan benteng. Pamor Syahbandar Tuban sendiri berubah atas perbuatannya yang membunuh minimal satu orang pribumi dalam satu hari. Ia membunuh dengan tongkat beracunnya. Syahbandar Tuban telah menjadi sumber maut bagi masyarakat Tuban. Tidak jarang ia bersama prajurit Portugis memperkosa wanita Tuban. Syahbandar Tuban makin merajalela.

Perkembangan yang dirasakan oleh Portugis pasca pendudukannya lebih terasa dengan dibangunnya benteng bawah tanah. Meriam-meriam dipasang disekitar benteng dan menghadap ke pedalaman. Perkembangan lainnya yang terjadi di pelabuhan adalah munculnya perkampungan perempuan gelandangan dengan gubuk- gubuknya (hlm. 693).

Latar berpindah ke Bojonegara, tempat kediaman Idayu. Masuknya Peranggi dan perkembangan yang terjadi di Tuban kota telah sampai ke telinga Idayu via

Gelar. Gelar pun kembali menanyakan siapa bapak kandungnya. Karena desakan si anak, Idayu memberitahu realitas jika bapak kandung Gelar adalah Sayid Almasawa

(hlm. 700).

Setelah mengetahui perbuatan Sayid Almasawa yang membuat ibunya menderita selama ini, Gelar berangkat dari rumah. Ia mengambil perlengkapan serta

131 baju perangnya dan bertitah pada adiknya, Kumbang untuk menjaga sang Ibu selama

Ia pergi. Tanpa memberi tahu tujuannya pada sang Ibu, ia berangkat meninggalkan rumah setelah mendapat restu dari Ibunya (hlm. 701).

Pendudukan Peranggi di Tuban pada sub judul ini merupakan rangkaian peristiwa flash back. Peristiwa ini dihadirkan setelah Wiranggaleng mendengar pendudukan Peranggi di Tuban. Wiranggaleng pun memutuskan untuk kembali ke

Tuban. Jadi, peristiwa dalam sub judul ini merupakan flash back. Peristiwa inilah yang membuat Galeng melepaskan misinya di Malaka.

Alur kembali berjalan lurus dalam sub judul Setitik Busa di Samudera

Kehidupan. Gelar yang berangkat dari rumah bertemu dengan teman-teman seangkatannya sewaktu di asrama keprajuritan. Gelar pun bergabung dengan prajurit

Tuban dan mendapat tugas sebagai telik. Ia ditugaskan ke Tuban kota untuk melihat perkembangan Peranggi di sana. Dari sinilah, Gelar mendapat kabar jika Senapati

Wiranggaleng telah tiba di Tuban (hlm. 704).

Gelar memiliki obsesi pribadi untuk menyangkal jika ia merupakan anak

Syahbandar Tuban. Ia hendak mengukir prestasi yang tinggi dalam tiap misinya. Ini dilakukannya agar prestasinya dapat dibanggakan orang tuannya. Itulah bukti jika dia merupakan anak Senapati Tuban, Wiranggaleng.

Gelar menjalankan misinya sebagai telik ke Tuban kota. Ia menyamar menjadi orang gila. Ia dengan sukses memasuki area Peranggi. Gelar dapat melihat kondisi persenjataan Peranggi dan kelemahan penjagaan Peranggi di Tuban kota. Dalam

132 menjalankan tugasnya, Gelar sering melihat Sayid Almasawa mengunjungi gubuk

Nyi Gede Kati yang berada di pelabuhan (hlm. 707).

Suatu hari, Gelar melihat Sayid Almasawa memasuki gubuk Nyi Gede Kati.

Ia pun ikut masuk. Sesaat, Nyi Gede Kati sadar jika orang gila itu adalah Gelar. Sayid yang melihat orang gila mendekatinya bersikap awas dan jijik terhadap Gelar. Di dalam gubuk inilah, Gelar membunuh Sayid Almasawa. Gelar memukul kepala Sayid

Almasawa dengan sebuah tongkat hingga pecah (hlm. 714).

Pembunuhan yang dilakukan Gelar terhadap Sayid Almasawa menghentikan cerita mengenai tokoh Sayid Almasawa. Gelar merasa puas karena telah membunuh sumber penderitaan keluarganya. Pembunuhan ini akan membawa imbas pada perkembangan alur ke depan.

Alur berkembang lagi dalam sub judul Koma. Di Tuban, terjadi pertemuan antara seluruh kepala pasukan Tuban dan Wiranggaleng. Pembicaraan diangkat seputar taktik penyerangan Peranggi. Seluruh kepala pasukan menyerahkan keputusan pengambilan taktik pada Wiranggaleng. Keberadaan Wiranggaleng sendiri di Tuban tidak diketahui oleh umum.

Wiranggaleng menitahkan Kala Cuwil untuk memberikan tiga ratus prajurit kepada Telik yang telah membunuh Sayid Almasawa. Wiranggaleng belum tahu jika telik tersebut adalah Gelar. Tiga ratus prajurit yang dititahkannya bertugas untuk mencari minyak tanah (hlm. 717).

Di tempat lain, Gelar menunggu pertemuannya dengan Wiranggaleng dan memberi tahu jika ia telah membunuh Sayid Almasawa. Ia selalu berpikir jika ia telah

133 menjadi pahlawan dalam keluarganya. Gelar pun mendapat titah langsung dari

Wiranggaleng untuk memimpin tiga ratus pasukan untuk mencari minyak tanah.

Titah ini disampaikan oleh seorang prajurit kepadanya. Sebelum berangkat menuju lahan minyak tanah, Gelar menghampiri Ibunya di Bojonegara.

Di Bojonegara, Gelar menemui Ibunya dan menyampaikan dengan bangga jika ia telah membunuh Sayid Almasawa. Idayu shock ketika mendengar pengakuan anaknya tersebut. Idayu pun menghujat Gelar dan menganggap jika Gelar bukan anaknya lagi. Idayu seperti kehilangan akal. Menurut Idayu, Buddha tidak akan memaafkan perbuatan Gelar (hlm. 719).

Gelar mengalami degradasi semangat. Ia melihat Idayu tidak lagi seperti

Ibunya selama ini. Sikap Idayu berubah drastis ketika mengetahui perbuatan Gelar.

Gelar salah menduga jika Ibunya akan senang mendengar pembunuhan Sayid yang telah dilakukannya. Sebelum berangkat, Gelar memberitahu jika Wiranggaleng telah tiba di Tuban. Di tempat lain, Wiranggaleng selalu memberi semangat kepada pasukannya. Ia memberi tahu pasukannya jika mereka bisa mengalahkan Peranggi. Di tengah kesibukannya, Wiranggaleng didatangi oleh sang isteri. Pertemuan keluarga pun terjadi di tengah-tengah persiapan penyerangan Peranggi di Tuban (hlm. 722).

Galeng mengeluarkan titah kepada seluruh ibu-ibu dan wanita untuk membuat beberapa ribu gendi kecil tak bercucuk berbentuk lonjong dan tak dapat berdiri.

Dalam titahnya ini, Idayu dan Kumbang turut mengerjakan titah tersebut.

Rombongan prajurit yang ditugaskan mencari minyak juga telah kembali. Mereka kembali regu per regu sambil membawa minyak yang didapat.

134 Sub judul ini berakhir dengan keberhasilan pasukan pencari minyak tanah.

Pembuatan gendi-gendi kecil juga melengkapi persiapan penyerangan Peranggi. Tak ada satu pun yang tahu fungsi dari minyak tanah dan gendi-gendi tersebut.

Wiranggalenglah yang telah mempersiapkan taktik untuk menyerang balik Peranggi.

2.4 Tahap Klimaks atau Climax

Tahap klimaks merupakan tahapan di mana konflik yang terjadi mencapai titik puncak intensitas. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks (Nurgiyantoro, 2007: 150).

Dalam fiksi yang panjang memungkinkan terjadinya klimaks-klimaks kecil yang mengiringi klimaks utama. Klimaks-klimaks kecil ini biasanya berasal dari konflik-konflik yang sangat bervariatif. Dalam hal ini, penulis hanya memasukkan klimaks utama dari alur Arus Balik. Alur cerita ini mencapai puncak intensitas atau klimaks ketika Wiranggaleng bersama pasukannya memerangi Peranggi, musuh utama Tuban. Peranggi yang telah bercokol di bumi Tuban mendapat serangan balik dari Tuban. Peristiwa inilah yang memberi gambaran jika alur telah berkembang pada puncak intensitas.

Klimaks terjadi dalam sub judul Tuban Dibebaskan. Para kepala pasukan

Tuban telah mengetahui seluk-beluk dan peta kekuatan musuh. Kekuatan Peranggi seluruhnya ditaksir 450 orang prajurit yang berpengalaman perang di mana-mana.

Obat ledaknya yang berkadar tinggi tak dapat dianggap enteng (hlm. 726).

135 Wiranggaleng menganggap jika mesiu yang menjadi andalan Peranggi, dapat digunakan sebagai kelemahan mereka. Seribu lodong bambu minyak tanah telah dituang ke dalam beribu botol tanah buatan wanita dan anak-anak. Setiap prajurit yang akan maju ke medan perang juga merupakan pembakar. Di setiap pinggang mereka, disisipkan gendi-gendi yang berisi minyak tanah.

Komposisi pasukan Tuban pun telah disusun oleh Wiranggaleng. Barisan paling depan yang bergendi delapan, sama sekali tidak berperisai. Mereka hanya membawa tombak. Pasukan yang lain mengangkut peluru cetbang dan disusun secara selang-seling dengan kayu kering. Susunan ini disirami minyak tanah. Laskar kedua hanya bersenjatakan panah dan membawa delapan gendi. Mereka bergerak setelah laskar pertama menyelesaikan tugasnya. Laskar ketiga adalah pasukan inti yang akan menyerang langsung ke kota melalui darat dan laut. Laskar terakhir menyusul di pesisir pantai dan bergerak paling akhir (hlm. 727).

Tak lama kemudian, api mulai menyambar. Peluru-peluru cetbang yang disusun di antara kayu kering berledakan. Kejutan akan ledakan dan kilatan api membuat pasukan Peranggi panik. Mereka mencoba melarikan diri, tapi habis dipanahi oleh laskar kedua. Hujan anak panah mengakibatkan kerugian bagi

Peranggi.

Peranggi yang kepanikan hanya bisa membalas dengan tembakan musket.

Gelar mendapat tugas untuk membakar benteng bawah tanah. Gelar tidak kesulitan menjalankan misinya. Penjagaan benteng sangat sedikit. Ini disebabkan taktik

Wiranggaleng untuk memecah pasukan Peranggi dengan kejutan dan serangan umum

136 berhasil. Penjagaan benteng bawah tanah hanya beberapa orang saja. Pembakaran benteng ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(33) Ia masuki benteng dengan pedang terhunus, diikuti oleh laskarnya. Beberapa belas orang sedang bersiap-siap untuk juga turun ke medan pertempuran. Gendi-gendi minyak dilemparkan pada mereka. Orang-orang Portugis yang sedikit itu terdesak terus oleh tombak dan pedang dari musuhnya yang berpuluh kali lebih banyak. Mereka disorong ke ujung penghabisan benteng dan berlompatan ke atas peti-peti mesiu. Hujan gendi membuat mereka basah kuyup. Minyak membasahi semua yang ada, bahkan telah mengalir di lantai. “Keluar!” pekik Gelar. Orang berlarian keluar dan gendi-gendi terus juga dilemparkan ke dalam. Tombak berapi melayang memasuki benteng (hlm. 729). (34) Gelar memerintahkan keluar. Bangunan baru pun menjadi unggunan api, tinggi menjilat-jilat langit. Di tengah-tengah kota, balatentara Tuban menguasai seluruh medan. Kadipaten mulai diserbu oleh gelombang besar prajurit. Gendi-gendi beterbangan dan membasahi segala yang dikenainya. Orang-orang Portugis yang berhasil meloloskan diri lari tanpa menoleh lagi, masuk ke dalam kegelapan, ke mana saja asal selamat (hlm. 730). (35) Di atas setumpuk tanah yang ketinggian berdiri wanita dan kanak-kanak memandangi api yang menjilat-jilat di kejauhan, di Tuban kota. Mereka melihat unggun yang hanya sebuah, kemudian menjadi dua, tiga, empat. Letusan dan ledakan diikuti semburat bunga api ke udara menyebabkan mereka membisu terpukau. Kemudian terdengar ledakan paling dahsyat di Tuban kota sana. Di atas ledakan itu, segala macam berwarna merah menyala terangkat naik ke udara, mengembangkan bunga api. Hujan percikan ke bawah seperti berasal dari letusan gunung berapi. Setelah itu sunyi-senyap (hlm. 730).

Meledaknya benteng utama dan serangan tiba-tiba pasukan Tuban menjadi faktor terdesaknya Peranggi di Tuban kota. Pasukan Peranggi tidak mengira akan diserang pada malam hari dan terpancing pada ledakan cetbang yang membuat mereka panik. Kepanikan juga diikuti oleh panah dan tombak yang mengincar nyawa.

Taktik Wiranggaleng berhasil. Pasukan Peranggi yang selamat, melarikan diri ke pedalaman di tengah kegelapan.

137 Peranggi pun mengalami kekalahan pada perang kali ini. Tanpa bisa melakukan perlawanan yang berarti, Peranggi meninggalkan kadipaten yang telah mereka kuasai untuk beberapa saat. Kekalahan Peranggi dapat dilihat pada kutipan berikut.

(36) Meriam-meriam tak sempat ditembakkan berjajar-jajar di lapangan kadipaten seperti mainan kanak-kanak tanpa dosa. Barang-barang itu berdiri mati di atas roda masing-masing, moncong sedikit mendongak (hlm. 733).

Wiranggaleng melakukan patroli pasca serangan malam. Ia dapat melihat sisa- sisa pembakaran dan ledakan dari taktiknya. Setelah beberapa saat, Wiranggaleng memproklamasikan kemenangan Tuban, ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(37) “Dengar semua kalian!” katanya pada para penggiring. “Mereka takkan mencoba datang kemari lagi. Untuk sepanjang masa Tuban akan bebas dari Peranggi. Itulah berkah semua temanmu yang tewas pada malam tadi. Pada hari ini aku nyatakan musuh telah kalah dan kita menang.” (hlm. 733).

Wiranggaleng melihat seorang Peranggi yang sedang berdoa. Ia telah dikepung oleh pasukan Tuban. Wiranggaleng segera menuju kepungan tersebut dan melarang pasukannya membunuh Peranggi yang sedang berdoa tersebut. Dia memerintahkan pasukannya untuk merawat Peranggi tersebut. Jika telah sembuh dari luka perang, Wiranggaleng menitahkan pasukannya untuk memberi Peranggi tersebut bekal makan dan perahu. Wiranggaleng membiarkan Peranggi tersebut pulang dengan selamat. Peranggi tersebut bernama Sylvester da Costa (hlm. 735).

Sub judul Tuban Dibebaskan memaparkan peristiwa-peristiwa klimaks.

Peranggi yang dari awal merupakan musuh Nusantara diperangi oleh tokoh

Wiranggaleng yang mewakili manusia Nusantara. Peperangan yang dilakukan oleh

138 Wiranggaleng merupakan misi penyelesaiannya terhadap Peranggi. Konflik inilah yang merupakan konflik utama dan menjadi klimaks utama dalam alur Arus Balik, walau juga terdapat klimaks-klimaks kecil lainnya. Dalam hal ini, penulis hanya mengkaji peristiwa yang menggambarkan klimaks utama dari alur utama, yaitu kehadiran Peranggi.

Klimaks kecil lainnya yang terjadi hanya pelengkap dan dikategorikan sebagai peritiwa penting yang menciptakan klimaks utama dari sebuah alur. Jadi, peristiwa- peristiwa perang, seperti perang Tuban melawan desa Rajeg, Tuban melawan Demak,

Demak melawan Pajajaran, dan Demak melawan Peranggi di Sunda Kelapa hanya peristiwa penting yang menciptakan klimaks utama dalam alur Arus Balik ini.

2.5 Tahap Denouement atau Tahap Penyelesaian

Tahap penyelesaian adalah tahapan konflik yang telah memasuki babak penyelesaian atau ketegangan dikendorkan. Dalam tahap ini, konflik-konflik yang lain atau konflik-konflik tambahan (jika ada) diberi jalan keluar atau ceritanya diakhiri (Nurgiyantoro, 2007: 150).

Tahap penyelesaian atau tahapan konflik yang mengalami pengendoran intensitas dari tahapan klimaks memaparkan peristiwa-peristiwa yang terjadi pasca klimaks. Peristiwa ini bisa saja menjadi akhir atau hanya peristiwa yang bersifat intensitasnya menurun saja tanpa ada penyelesaian. Peritiwa yang mengalami pengendoran intensitas dan akan membawa cerita pada penyelesaian menjadi bagian dalam tahapan ini.

139 Alur Arus Balik menempatkan sub judul Arus Balik sebagai tahapan penyelesaian. Sebelum memasuki tahap akhir, alur berkembang dulu dalam tahap penurunan intensitas pasca klimaks. Dalam hal ini, Wiranggaleng memperingatkan pada prajurit Tuban jika kemenangan mereka bukanlah kemenangan sejati selama

Peranggi masih di Malaka.

Wiranggaleng juga menjelaskan pada pasukannya makna arus balik suatu zaman. Dahulu di zaman kejayaan Majapahit, arus bergerak dari selatan ke utara, dari

Nusantara ke Atas Angin. Segala-galanya datang dari Selatan. Majapahit jatuh.

Sekarang, orang tak mampu lagi membuat kapal besar. Kapal besar hanya bisa dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil menyebabkan arus tidak bergerak ke utara, sebaliknya, dari utara sekarang ke selatan, karena Atas Angin lebih unggul, membawa segala-galanya ke Jawa, termasuk penghancuran, penindasan dan penipuan (hlm. 738).

Wiranggaleng dianggap masyarakat Tuban sebagai Gajah Mada. Akan tetapi,

Wiranggaleng menolak anggapan massa tersebut. Wiranggaleng hanya menganggap dirinya sebagai anak desa yang gagal dalam penyerangan Malaka. Wiranggaleng pun menyerahkan kepemimpinan Tuban pada seluruh kepala pasukan Tuban. Ia membagi-bagikan perlengkapan Adipati Unus yang diberikan padanya kepada seluruh kepala pasukan Tuban (hlm. 740-741).

Wiranggaleng pun melepaskan jabatannya sebagai Senapati. Ia sekarang hanya seorang petani. Ini dapat dilihat dalam ucapan Wiranggaleng pada pasukannya.

140 (38) “Perhatikan barang-barang itu dan jangan perhatikan Wiranggaleng Senapati kalian. Wiranggaleng sekarang sudah tidak ada. Sekarang dia hanya seorang petani yang bernama Galeng. Tinggallah kalian dalam kerukunan, karena perpecahan adalah pembunuh kalian yang pertama. Aku akan pergi dan jangan kalian cari. Hanya bila Peranggi datang lagi, Wiranggaleng akan datang untuk memusnahkannya” (hlm. 741).

Gelar pun menemui Galeng yang hendak pulang ke desa. Gelar dititahkan

Galeng untuk kembali ke pasukannya. Galeng hanya menunggunya di desa jika Gelar telah mencapai cita-citanya. Setelah memberi restu, Wiranggaleng memacu kudanya dan menuju desanya. Gelar menyesal karena telah melakukan pembunuhan.

Pembunuhan Sayid Almasawa yang dilakukannya berimbas pada tidak diterimanya ia di rumah. Sikap Galeng dan Idayu sebagai orangtua berubah padanya setelah pembunuhan yang dilakukannya.

Kisah perjalanan seorang Galeng berakhir dengan kembalinya ia sebagai petani. Ia hanya petani desa Awis Krambil dan kembalinya ia dalam keluarganya mengakhiri kisah cerita Galeng dan Idayu. Ini tampak pada kutipan berikut.

(39) Senapati itu sendiri terus berpacu ke selatan. Di sebuah jalanan hutan, ia berhasil menyusul Idayu dan Kumbang dan turun dari kuda. “Bapak!” seru Kumbang. Wiranggaleng mengangkatnya dan menaikkannya di atas punggung binatang itu. Ia berjalan di samping Idayu, pelan-pelan tanpa bicara. “Bapak ikut pulang ke desa?” tanya Kumbang. “Ya, Nak, ikut pulang” jawabnya. “Demak setiap waktu menyerang lagi, Kang.” “Sekarang Galeng hanya petani, Idayu.” Idayu berhenti berjalan dan mememgangi tangan suaminya, memandanginya dengan mata berkaca-kaca (hlm. 743). (40) Demikianlah cerita tentang seorang anak desa lain yang mengemban cita-cita menahan arus balik. Berbeda dari anak desa yang lain, yang seorang ini tidak berhasil, patah di tengah jalan, namun ia telah mencoba (hlm. 743).

141 Kutipan (40) menjadi gambaran selesainya cerita mengenai seorang anak desa yang bernama Galeng. Peristiwa ini mengawali penutupan alur Arus Balik yang ada dalam sub judul Penutup. Cerita Galeng berakhir dengan kembalinya ia menjadi seorang suami, seorang bapak, seorang petani, dan seorang anak desa Awis Krambil.

Sub Judul Penutup dihadirkan pengarang sebagai penutup secara keseluruhan dari Alur Arus Balik. Dalam sub judul ini, dipaparkan mengenai catatan sejarah yang dibuat oleh Sylvester De Costa mengenai penyelamatan Wiranggaleng atas nyawanya. De Costa juga mencatat jika di Ternate ia menemui seorang tukang kebun, seorang Moro. Melalui penuturannya, Moro tersebut adalah Gelar yang telah mengganti nama menjadi Paulus. Dari cerita Gelarlah, De Costa mengetahui sepak terjang Gelar pasca bertemu ayahnya, Wiranggaleng. Gelar juga yang menceritakan bagaimana kematian Trenggono yang dibunuh oleh sahabat Gelar sendiri (anak Pada, orang yang menyelamatkan Idayu di Gowong). Gelar juga yang menuturkan pada De

Costa mengenai runtuhnya Demak (hlm. 748-750).

Akhir cerita, Gelar yang berganti nama menjadi Paulus menceritakan jika ia mendapatkan ketenangan ketika menjamah jubah Fransiscus Xaverius, dan menjadi

Kristen. Paulus pun memutuskan untuk pergi dari Ternate dengan menaiki kapal

Portugis (hlm. 751).

Peristiwa yang ada dalam sub judul Penutup hanya menjadi kesimpulan mengenai tewasnya Trenggono dan runtuhnya Demak. Peristiwa dalam sub judul ini membingkai perkembangan Jawa pasca kalahnya Peranggi di Tuban. Pengarang mengambil peristiwa ini sebagai penutup cerita Arus Balik.

142 2.6 Rangkuman

Analisis struktur teks yang dikhususkan pada analisis alur memberi kesimpulan jika alur dalam Arus Balik adalah alur campuran. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam tahapan alur tidak berjalan lurus, progresif. Ini disebabkan adanya beberapa peristiwa flashback yang telah diuraikan dalam tahapan alur sebelumnya, seperti yang terjadi dalam sub judul Esteban dan Rodriguez, Menyerang Malaka,

Datangnya Meriam Peranggi, Petani Wiranggaleng, Blambangan, Dan Portugis

Memasuki Tuban, dan lainnya.

Deskripsi mengenai lattar laut Jawa dan desa Awis Krambil serta deskripsi tokoh Rama Cluring, Idayu, Wiranggaleng, dan Adipati Tuban adalah tahapan penyituasian dalam alur Arus Balik. Tahapan konflik mulai muncul dimulai dengan peristiwa pertolongan terhadap Rama Cluring yang dilakukan oleh Wiranggaleng dan

Idayu. Pergerakan Demak yang menguasai Jepara menjadi konflik tambahan di samping kedatangan Peranggi yang menjadi konflik utama dalam Arus Balik.

Tahapan konflik mulai meningkat dimulai dari terjadinya pergolakan yang dilakukan oleh Sunan Rajeg. Tahapan ini juga diwarnai beberapa peristiwa lainnya, seperti peristiwa penyerangan kembali yang dilakukan oleh armada gabungan ke

Malaka, peristiwa Demak yang mulai memerangi tetangganya, dan peristiwa

Peranggi yang dapat menduduki Tuban.

Klimaks dalam Arus Balik terjadi pada sub judul Tuban Dibebaskan. Konflik utama dalam cerita Arus Balik adalah perlawanan Wiranggaleng sebagai manusia

Nusantara yang melawan arus zaman yang datang dari Peranggi (Portugis). Persoalan

143 konflik ini mengalami puncak intensitas ketika perlawanan Wiranggaleng memerangi

Peranggi di Tuban. Kesuksesan Wiranggaleng menghalau Peranggi dari Tuban menjadi penyelesaian dalam tahapan alur Arus Balik.

144 BAB III

SITUASI KEHIDUPAN KEAGAMAAN

DALAM MASA KERUNTUHAN MAJAPAHIT

Dalam bab ini, penulis akan memaparkan bagaimana situasi kehidupan agama dalam masa keruntuhan Majapahit. Kehidupan agama dalam masa keruntuhan

Majapahit menjadi struktur sosial yang ada dalam realitas. Struktur sosial inilah yang dipandang atau dijadikan inspirasi bagi seorang pengarang dalam menciptakan struktur sosial dalam teks sastra. Pemaparan struktur sosial yang ada dalam realitas ini dilakukan penulis sebagai bahan bandingan terhadap analisis struktur sosial yang ada dalam teks, yaitu citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam.

Penulis hanya memfokuskan situasi kehidupan agama dalam masa keruntuhan

Majapahit. Ini berkatian dengan setting waktu yang ada dalam Arus Balik. Pram mengambil setting pada masa keruntuhan Majapahit menuju kerajaaan Demak. Jadi, fokus pengkajian kehidupan agama pada bab ini adalah masa keruntuhan Majapahit yang erat hubungannya dengan lahirnya kerajaan Demak. Penulis juga akan memaparkan posisi Tuban dalam kerajaan Majapahit. Ini dilakukan karena Tuban merupakan setting utama dari Arus Balik.

Pengkajian kehidupan agama dalam masa keruntuhan Majapahit mengharuskan penulis untuk memaparkan kehidupan agama di Majapahit terlebih dahulu. Kehidupan beragama dalam masa keruntuhan Majapahit dapat dilihat dalam analisis berikut ini.

145 3.1 Kehidupan Agama pada Masa Majapahit

3.1.1 Perihal Majapahit

Dalam sejarah kepulauan Indonesia, berdirinya kerajaan Majapahit sangat erat berhubungan dengan berakhirnya kerajaan Singosari. Kublai Khan merasa terpaksa mengirimkan ekspedisi hukuman ke Jawa. Hukuman dijatuhkan pada raja

Kertanegara yang telah mempermalukan tentara Mongol. Tentara Mongol yang diperintahkan oleh Kublai Khan tidak ditugaskan untuk menghancurkan Singosari.

Ini dikarenakan raja Singosari, Kertanegara telah dibunuh oleh Jayakatwang, Adipati

Kediri.

Ketika itu, Jayakatwang atau Adipati Kediri, sudah membunuh Kertanagara.

Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden

Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan

Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Raden Wijaya juga berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di teritori asing (Suleiman, __:

202).

Setelah tentara Mongol mundur, Raden Wijaya mempergunakan keadaan yang sangat tak teratur di Jawa secara licik untuk memperoleh gelar sebagai

146 pemenang atas orang-orang Mongol. Pusat kerajaan baru yang hendak didirikannya ditempatkan di Majapahit (Seputera, 1973: 36).

Zaman keemasan Majapahit dicapai pada abad ke-14. Pada masa itu, raja yang memerintah adalah raja Hayam Wuruk, putera Ratu Tribuwana. Hayam Wuruk menggantikan ibundanya pada tahun 1350, dan membawa kejayaan bagi Majapahit selama hampir 40 tahun. Patih Amangku Bumi Gajah Mada mendampingi Hayam

Wuruk selama 14 tahun, dan mengalami perkembangan Majapahit hingga meluas ke wilayah yang saat ini dikenal sebagai Indonesia Timur (Suyono, 2003: 15-16).

Majapahit yang mengandalkan kekuatan maritim, menuntut adanya pembentukan kota-kota pelabuhan yang besar. Sudah pasti, kota-kota pelabuhan ini dikembangkan dengan multi fungsi dan bertujuan untuk memakmurkan masyarakat

Nusantara dengan kerajaan Majapahit sebagai pusat kebesarannya. Menurut Mulyana

(2008: 171), dalam masa Majapahit, kota pelabuhan Tuban merupakan bandar yang sangat penting. Tuban menjadi pintu masuk dari laut ke pusat Majapahit. Tuban memiliki peran penting khususnya yang berkaitan dengan pelayaran.

Kitab Pararaton (Sedyawati,1997: 8) memberi keterangan jika sejak masa

Singosari kota Tuban telah dikelilingi tembok kota. Adanya tembok keliling kota sesungguhnya dapat menjadi indikator adanya dua hal penting, yaitu: (1) Tuban telah berkembang menjadi pusat pemukiman yang penting, setidak-tidaknya bagi pusat– pusat kekuatan politik dan ekonomi. Pembuatan pagar keliling kota tentu tidak terlepas dari keinginan para penguasa untuk melindungi kepentingannya dari kemungkinan serangan dari pihak luar. (2) Kota Tuban merupakan daerah yang

147 cukup rawan karena merupakan pintu gerbang masuknya kekuatan-kekuatan luar yang hendak menembus ke wilayah pusat kekuasaan. Dari sudut ini, Tuban menjadi benteng terdepan untuk menghambat serangan lawan.

Tuban merupakan salah satu kota terpenting pada masa Majapahit. Kota-kota lainnya adalah Gresik, Surabaya, dan Majapahit sebagai ibu kota kerajaan. Sampai abad ke-16 posisi Tuban masih lebih unggul dibandingkan Gresik. Karena itu, pada akhir masa Majapahit, Tuban masih merupakan pelabuhan utama. Jelaslah bahwa bagi elit Majapahit di pedalaman, Tuban merupakan penyokong kesejahteraan baik secara ekonomi maupun dari segi sosial (Sedyawati, 1997: 39).

Dalam kenyataan, Tuban bukanlah daerah surplus hasil pertanian, bahkan mungkin tergolong minus karena lingkungan alamnya bukanlah daerah subur untuk pertanian. Karena itu, Tuban lebih menonjol peranannya pada fungsinya yang strategis sebagai pelabuhan dagang dan sebagai ujung tombak untuk menghadapi musuh-musuh dari luar. Peran pelabuhan Tuban sebagai ujung tombak pertahanan telah berlaku sejak masa kerajaan Singasari dan diteruskan hingga masa Majapahit dan masa-masa sesudahnya. Tome Pires mendapat informasi bahwa pada saat perang,

Tuban dapat mengirim enam sampai tujuh ribu tentara untuk memenuhi kebutuhan

Majapahit (Sedyawati, 1997: 42).

Terlihat jelas, bandar Tuban merupakan bandar yang sangat penting pada masa

Majapahit. Selain sebagai jalur perdagangan, Tuban juga menjadi tolakan sebagai pintu gerbang pertahanan militer Majapahit. Dalam artian lain, Tuban menjadi basis militer pada masa Majapahit.

148 3.1.2 Kehidupan Agama pada Masa Majapahit

Dalam kejayaan Majapahit, ada sebuah hubungan taklukkan. Hubungan itu saling bertalian antara para petani dan keluarga-keluarga raja, para bangsawan dan alim ulama tinggi bertempat tinggal di keraton. Pertalian dan hubungan ketaklukkan itu terletak baik dalam bidang keagamaan maupun bidang kebudayaan, kesejahteraan, dan ketentaraan. Segala aspek kehidupan yang dijalani rakyat berjalan sesuai kastanya masing-masing. Raja-raja pada masa ini memiliki kekuasaan yang mutlak terhadap kawulanya.

Menurut Cl. Geertz via Seputera (1973), negara-negara kota Hindu-Buddha yang kuno dikepalai oleh seorang raja yang juga Dewa. Seorang raja ilahi yang bertakhta pada puncak kesempurnaan rohani di atas gunung ilahi yang secara simbolis ditempatkan di pusat ibu kota. Kaum tani bersetia kepada pangeran- pangeran yang baik bukan hanya untuk memperoleh perlindungan militer melainkan juga karena para pangeran itu dilingkari sinar gaib mistik yang oleh Max Weber disebut karisma. Keunggulan rohani dikorelasikan dengan keagungan politik dan mencapai puncaknya dalam raja yang dianggap penjelmaan Visynu atau Siwa

(Seputera, 1973: 38).

Pada Masa Majapahit, Raja dianggap seperti Dewa sehingga memiliki kekuasaan yang mutlak terhadap kawulanya. Konsep ini mulai ada sejak Buddha dan

Hindu memasuki Nusantara. Sampai zaman keemasan Majapahit dalam pertengahan abad ke-14, Hinduisme telah berakar di Jawa Timur, kira-kira selama empat ratus tahun. Waktu selama itu, ditambah dengan kegiatan para pendeta untuk menyebarkan

149 agamanya, cukup panjang untuk menyebarluaskan agama Hindu di wilayah Jawa sampai ke pelosok-pelosok.

Nagarakretagama pupuh LXXIII-LXXVI mencatat terdapat candi makam keluarga raja yang berjumlah 27, dan berpuluh-puluh biara milik empat aliran agama,

Siwa, Brahma, Wisnu, dan Buddha. Agama Siwa, Brahma, dan Wisnu yang terus berkembang merupakan salah satu gambaran jika Hiduisme menjadi agama mayoritas pada masa Majapahit. Hinduisme sangat dominan menjamah kehidupan masyarakat masa Majapahit jika dibanding dengan agama Buddha yang pada saat itu mengalami masa penurunan (Mulyana, 1979: 197-199).

Pada masa Hayam Wuruk memimpin Majapahit, ia berusaha menyatukan tiga agama yang disebut tripaksa. Dalam Nagarakretagama pupuh LXXXI (Mulyana,

1979: 198), diuraikan bahwa Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanagara berusaha keras menyatukan tiga aliran agama di wilayah Majapahit yang disebut tripaksa: tiga sayap, yakni Siwa, Wisnu, dan Buddha. Pupuh itu juga menyebutkan bahwa para pendetanya yang disebut caturdjiwa, tunduk pada ajaran tutur. Tutur ialah sastra naluri berupa uraian tentang upacara dan ajaran agama Siwa dan Buddha, berdasarkan cukilan-cukilan teks Sansekerta.

Atas dasar pemberitaan Negarakretagama, dapat disimpulkan bahwa di

Majapahit pada abad keempat belas ada empat golongan pendeta, yakni Siwa,

Brahma, Wisnu, dan Buddha. Jadi, ada empat agama, yakni Siwa, Brahma, Wisnu, dan Buddha. Oleh karena jumlah pemeluk agama Brahma terlalu kecil, aliran itu tidak dimasukkan dalam tripaksa (Mulyana, 1979: 198).

150 Di antara tiga aliran itu, Siwa mempunyai pengikut yang paling banyak berkat kedudukannya sebagai agama resmi kerajaan Majapahit. Agama Buddha menduduki tempat kedua. Perkembangan agama Buddha sengaja ditekan agar tidak menyaingi agama Siwa. Dalam Negarakretaga pupuh XVI via Mulyana (1979), dinyatakan bahwa para pendeta Buddha yang diutus ke daerah untuk mengumpulkan upeti, dilarang berkunjung dan menyiarkan agama di daerah-daerah sebelah barat Majapahit dengan alasan bahwa di daerah tersebut agama Buddha tidak memiliki pengikut.

Mereka hanya diperbolehkan menyiarkan agamanya di daerah sebelah timur

Majapahit, terutama di pulau Bali dan Lombok. Kebalikannya, para pendeta Siwa boleh berkunjung dan menyiarkan agamanya di mana saja tanpa mengenal batas.

Dari uraian di atas, terlihat bagaimana budaya Hinduisme berkembang dalam masyarakat Majapahit. Agama Buddha yang telah ada juga tetap bertahan di tengah tekanan agama Hindu. Agama Siwa, Brahma, dan Wisnu yang terus berkembang merupakan salah satu gambaran jika Hinduisme menjadi agama mayoritas pada masa

Majapahit. Unsur kehinduan ini juga tampak pada tata masyarakat Majapahit. Ciri khusus penerapan Hinduisme adalah pembagian masyarakat dalam empat golongan yang disebut warna, yakni Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Dalam hal ini, warna identik disebut kasta. Sebenarnya, ada perbedaan pokok antara pengertian kasta dan warna. Warna tidak mengalami perubahan dalam perkembangan masyarakat, sedangkan kasta dapat berubah-ubah berkat perubahan kedudukan sosial seseorang (Mulyana, 1979: 199).

151 Pada masa kejayaan Majapahit, sistem penggolongan masyarakat ini sangat tertib dan dipatuhi oleh kawula. Sanksi keras akan dikenakan bagi si pelanggar penggolongan ini. Setiap golongan memiliki posisi dan fungsi masing-masing.

Brahmana tidak diizinkan untuk bertindak layaknya Ksatria ataupun golongan yang lainnya, begitu juga sebaliknya. Peraturan ketatamasyarakatan ini diatur dalam undang-undang Manawa.

Faktor ekonomi juga mempengaruhi kehidupan beragama pada masa kejayaan

Majapahit. Orang Majapahit boleh dikatakan menguasai sepenuhnya perdagangan di darat dan di laut di Nusantara. Penguasaan wilayah dan perdagangan mendapat dukungan sepenuhnya dari kekuatan armada Majapahit dan kekuasaan yang telah ditanam oleh pemerintah pusat di berbagai daerah. Karenanya, Majapahit dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bersamaan dengan peningkatan kemakmuran rakyat, ikut meningkat pula kehidupan keagamaan. Rakyat yang patuh kepada ajaran agama Siwa, Buddha, dan Brahma mempunyai kemampuan untuk mendirikan candi- candi tempat pemujaan. Pemujaan candi-candi berpuluh-puluh jumlahnya di wilayah

Majapahit dan Bali, seperti yang tercatat dalam Negarakretagama pupuh 73-78, adalah sebagian besar hasil pekerjaan rakyat Majapahit sendiri (Mulyana, 2008: 177).

Keadaan ekonomi yang menunjang kesejahteraan rakyat, menyuburkan pembangunan candi demi kepentingan kehidupan keagamaan, walau pembangunan tersebut memerlukan biaya banyak dan tenaga kerja, keahlian memahat dan membangun.

Hinduisme dan Buddha merupakan kepercayaan utama dari masyarakat

Majapahit. Terutama, ketika Hayam Wuruk membuat agama Siwa menjadi agama

152 negara dan juga membentuk tripaksa. Kebesaran Hayam Wuruk beserta Patihnya

Gajah Mada membawa kawulanya mematuhi segala ajaran Hindu dan Buddha yang telah berakulturasi dengan budaya asli masyarakatnya.

Posisi negara dan masyarakat yang saling menguntungkan juga menjadi faktor berkembangnya Hindu dan Buddha di Majapahit. Peraturan dan kebijakan pemerintah

Majapahit yang dapat membentuk kesejahteraan rakyatnya, berjalan seiringan dengan berkembangnya kehidupan keagamaan. Rakyat sangat antusias dalam menjalani peran keagamaan masing-masing dengan pembangunan candi-candi walau harus mengeluarkan biaya yang banyak. Kehidupan yang sejahtera ini membentuk pola kehidupan agama dan masyarakat yang saling bertoleransi. Hidup damai dengan berpusat pada keagamaan dan peraturan dari pemerintah pusat Majapahit membentuk kelompok sosial yang aman dan saling menghargai. Ketentraman keagamaan pada saat kejayaan Majapahit telihat dalam Negarakretagama pupuh 80/3-4:

Segala bangunan suci setiap orang budiman terjaga dan terlindungi. Begitulah tabiat sri nata utama, yang berkuasa, jaya, dan perkasa. Semoga kelak pun para raja suka melanjutkan penjagaan semua bangunan suci. Maksudnya, agar musnalah segenap durjana dari muka bumi wilayah Negara. Oleh karena itu, Sang Prabu tidak segan- segan melintasi sawah mengunjungi dusun-dusun sampai di tepi laut untuk menentramkan hati para pertapa, yang dengan suka hati menetap di pantai, di puncak gunung, dan di tengah hutan. Mereka aman tenteram bertapa dan bersamadi demi kesejahteraan negara (Mulyana, 2008: 181).

Selain Hindu dan Buddha, ada agama baru yang muncul di Majapahit, yakni

Islam. Kedatangan Islam di Majapahit berlangsung pada pertengahan abad ke-15.

Pada zaman pemerintahan Dyah Hayam Wuruk pengikut agama Islam masih terbatas

153 sampai ke pedagang asing, Arab dan Cina yang kebanyakan menetap di kota-kota pelabuhan.

Para pedagang Persia dan India memperkenalkan dan menyebarkan agama

Islam dengan tekun, sembari melakukan aktivitas berdagangnya di Nusantara.

Pedagang yang berasal dari Jawa juga akhirnya terkena imbas Islam dari pedagang- pedagang Islam. Di Jawa, setelah seorang penduduk masuk agama Islam, biasanya ia akan tetap berkeyakinan dalam agama ini. Tak terpengaruh sama sekali meskipun di sekelilingnya Raja dan penguasa masih menganut agama Hindu.

Agama ini mudah mendapat tempat karena beberapa keuntungan yang ditawarkannya. Di antaranya adalah Islam hanya membedakan orang dalam dua golongan, yaitu orang yang percaya kepada agama dan yang tidak. Berbeda dengan agama Hindu yang membagi-bagi orang dalam berbagai golongan (warna) atau sering disebut kasta.

Pola penyebaran agama ini juga terjadi melalui pernikahan. Bila seorang pedagang beragama Islam menikah dengan seorang perempuan pribumi, tentulah si perempuan akan mengikuti agama suaminya. Setelah itu, menyusul pula anggota keluarganya yang lain. Bila seorang raja di suatu daerah masuk Islam, akan segera menyusul pula para bawahannya. Dengan cara demikian, Islam mulai berkembang pesat di pulau Jawa. Sebagaimana terlihat pada sejumlah raja di pantai utara Jawa, yaitu Demak dan Surabaya (Suyono, 2003: 21-22).

Menurut Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda via Mulyana (1979), pembawa agama Islam ke Majapahit adalah Raden Rahmat alias Sunan Ngampel, pendatang

154 dari Campa. Pada pertengahan abad ke-15, ia datang untuk mengunjungi bibinya, puteri Campa yang kawin dengan raja Brawijaya (Mulyana, 1979: 199).

Islam dengan segala kemudahan dan penghapusan penggolongan masyarakat menjadi sebuah alternatif bagi masyarakat Majapahit khususnya Jawa yang mulai jenuh dengan sistem penggolongan masyarakat menurut Hindu.

Jadi, pada masa Majapahit, masyarakatnya dominan beragama Hindu-Buddha.

Akan tetapi, dari uraian di atas, tampak jika Islam juga telah memasuki Majapahit.

Pada masa Hayam Wuruk, Islam masih bisa ditekan perkembangannya dalam kota- kota pelabuhan saja, hanya sebatas para pedagang. Akan tetapi, pascapemerintahan

Hayam Wuruk, perkembangan Islam mengalami kemajuan.

3.2 Kehidupan Agama dalam Masa Keruntuhan Majapahit

3.2.1 Perihal Keruntuhan Majapahit

Sepeninggal Patih Amangku Bumi Gadjah Mada, kerajaan Majapahit mengalami kemunduran sedikit demi sedikit. Kegemilangannya mulai pudar.

Keagungan Gadjah Mada dalam sejarah perkembangan Majapahit memang diakui oleh segenap rakyat Majapahit, terutama oleh prabu Hayam Wuruk selaku kepala

Negara. Pengakuan Hayam Wuruk terhadap keagungan Gadjah Mada termuat dalam

Nagarakretagama pupuh 71. Beliau sangat berduka cita karena mangkatnya Gadjah

Mada dan berusaha mencari penggantinya yang senilai (Mulyana, 2008: 175).

Menurut Mulyana (2008), pasca meninggalnya Gadjah Mada, Hayam Wuruk mengurus sendiri pemerintahannya. Ia merasa tidak ada orang yang sebanding dengan

155 Gadjah Mada. Kursi kepatihan kosong selama tiga tahun. Baru pada tahun 1367,

Gadjah Enggon dipilih sebagai Patih Majapahit. Terhitung setelah Gadjah Mada wafat, ada empat orang yang menggantikannya, Gadjah Enggon, Gadjah Manguri,

Gadjah Lembana, dan Tuan Tanaka.

Gadjah Mada dikenal sebagai orang kuat di Majapahit dan disegani baik di pusat kerajaan maupun di dearah-daearah jajahan di Nusantara. Wafatnya Gadjah

Mada dirasakan sebagai kerugian besar bagi Majapahit. Karenanya, pemerintah pusat

Majapahit kehilangan pejabat yang sangat disegani oleh para pembesar di daerah- daerah jajahan. Imbasnya, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah mulai kendor. Wafatnya Gadjah Mada membawa degradasi semangat nasional pada masa itu. Para pejabat daerah yang telah hidup enak, tidak lagi memiliki semangat untuk meluaskan daerah jajahannya. Imbasnya, berbagai daerah telah melepaskan diri dari

Majapahit dan menjadi daerah yang otonom. Ini mengakibatkan terhambatnya jalur perdagangan. Persatuan Majapahit mulai pecah, akibatnya penghasilan negara turun dan kemakmuran masyarakat mulai merosot.

Prabu Hayam Wuruk mangkat pada tahun 1389. Kematian Hayam Wuruk juga merupakan faktor kemunduran Majapahit. Mangkatnya kedua orang yang paling berkuasa di Majapahit ini membawa angin kekacauan. Kekacauan ini mulai muncul dari para alih waris raja yang mulai saling mempertentangkan kekuasaan. Ditambah lagi, para pembesar di daerah-daerah juga mendirikan kekuasaan sendiri.

Pergantian raja pasca Hayam Wuruk juga tidak membawa angin segar untuk kejayaan Majapahit. Pada masa pemerintahan Wikramawardhana, suami dari

156 Kusumawardhani (puteri Hayam Wuruk), Majapahit terbagi menjadi dua. Ini menjawab tuntutan Bhre Wirabhumi (anak Hayam Wuruk dari selirnya) yang juga meminta hak sebagai alih waris. Maka, Majapahit terbelah menjadi dua bagian, sebelah barat dengan Majapahit sebagai ibu kotanya, dipimpin oleh

Wikramawardhana dan sang permaisuri Kusumawardhani. Majapahit bagian timur dipimpin oleh Bhre Wirabhumi (Mulyana, 2008: 178).

Pembagian kerajaan ini secara langsung membuat kekuasaan Majapahit terpecah. Dua kerajaan yang timbul akibat pemecahan Majapahit saling bertengkar kemudian. Terjadi perebutan kekuasaaan. Pada tahun Saka 1323, Bhre Wirabhumi bersengketa dengan Wikramawardhana. Tiga tahun kemudian, sengketa itu tumbuh menjadi perang saudara antara bagian timur dan barat. Perang saudara yang berlangsung dari tahun 1404-1406 ini, dikenal dengan Paregreg.

Perang Paregreg ini membawa kehancuran Majapahit. Kewibawaan Majapahit sebagai pemerintahan pusat remuk. Perekonomian negara dan rakyat menjadi kocar- kacir akibat perang Paregreg. Rakyat yang semestinya bekerja di ladang untuk kepentingan produksi pangan, dikerahkan ke medan perang. Perahu yang semestinya digunakan untuk berdagang, dipergunakan untuk mengangkut tentara. Kelemahan pemerintah pusat akibat perang, memberi kesempatan pada daerah jajahan untuk melepaskan diri dari ikatan dengan Majapahit. Ringkasnya, perang Paregreg membawa kehancuran ekonomi dan politik Majapahit (Mulyana, 2008: 179).

Sesudah pemerintahan Hayam Wuruk, kerajaan Hindu-Jawa Majapahit dalam abad ke-15 terpecah belah. Orang-orang Islam makin bertambah banyak dalam abad-

157 abad itu, terutama di pelabuhan-pelabuhan Jawa sebelah utara. Para raja di situ tidak lain hanya menginginkan secepat mungkin terlepas dari kedudukan mereka sebagai raja taklukkan Majapahit (Seputera, 1973: 45).

Perkembangan Islam di kota-kota pelabuhan Majapahit semakin berkembang.

Mayoritas dari mereka adalah Tionghoa Islam. Dari sejarahnya, mereka merupakan armada yang dibawa Laksamana Ceng Ho untuk mengunjungi negara bagian selatan.

Dalam penumpang armada yang dari 27.800 orang, banyak terdapat orang Tiongkok

Islam yang berasal dari Yuan. Kiranya, Raden Rahmat alias Bong Swio Hoo atau

Sunan Ngampel adalah seorang Tionghoa Yunan Islam yang ikut dalam rombongan

Ceng Ho dan berangkat ke Jawa. Sunan Ngampel inilah yang menyebarkan agama

Islam di Jawa (Mulyana, 2008: 185).

Sejak tahun 1424, diadakan perwalian khusus dari Tiongkok di pusat kerajaan

Majapahit. Duta Tiongkok yang pertama di kerajaan Majapahit adalah Ma Hong Fu.

Ia tinggal di kota Majapahit sampai tahun 1449. Pada waktu itu, kekuatan Majapahit sudah sangat goyah akibat perang saudara tentang perebutan takhta kerajaan, sebagai lanjutan sengketa antara Wikramawardhana dan Bhre Wirabhumi. Saat itulah

Tiongkok pertama kali memasuki kerajaan Majapahit.

Masyarakat Tionghoa di kota-kota pelabuhan yang penting dipimpin oleh seorang kapten Cina. Kapten Cina itulah yang sebenarnya bertanggung jawab atas kesuburan masyarakat yang dipimpinnya, demi kelancaran hubungan politik dan dagang. Oleh karena itu, untuk jabatan kapten Cina itu dipilihkan orang-orang yang dianggap kuat. Untuk kota Palembang (sewaktu masih menjadi daerah taklukkan

158 Majapahit), diangkat Swan Liong alias Arya Damar, putera raja Majapahit

Wikramawardhana alias Hyang Wisesa, yang lahir dari puteri Cina (Ni Endang

Sasmitapura) pada tahun 1445.

Di kota pelabuhan Tuban, pintu masuk dari laut ke pusat Majapahit, merupakan tempat yang sangat penting. Kapten Cina yang ditempatkan di situ harus pandai melayani raja Majapahit. Pada tahun 1423, diangkatlah oleh Bong Tak Keng bekas kapten Cina dari Manila, Gang Eng Tju sebagai kapten cina di Tuban.

Demikian pandainya melayani raja Majapahit, sehingga ia mendapat gelar arya dari

Rani Suhita (Mulyana, 2008: 171).

Pengaruh Tionghoa Islam sangat tampak pada pergerakan Bong Swi Hoo alias Sunan

Ngampel. Bong Swi Hoo diangkat menjadi Kapten Cina di Bangil, di muara sungai kali Porong pada tahun 1447.

Demikianlah, hampir segala kota pelabuhan telah didirikan masyarakat

Tionghoa Islam. Semua kota pelabuhan di pantai utara, yang merupakan tempat berdagang dan urat nadi perekonomian kerajaan Majapahit telah dikuasai oleh

Tionghoa Islam dari Yunan. Dengan adanya masyarakat Tionghoa Islam di kota-kota pelabuhan di pantai Jawa itu, sumber perekonomian Majapahit tersumbat. Majapahit telah dikepung oleh orang Tionghoa Islam dari laut.

Pada tahun 1475, datang lagi duta besar Tionghoa di keraton Majapahit. Duta besar itu tidak lain dari Kin San alias Raden Kusen dari Palembang, adik tiri Raden

Patah alias Jin Bun. Ia diperintahkan oleh Bong Swi Hoo untuk menjadi mata-mata dari dalam Majapahit dan melaporkan seluk-beluk dalam keraton untuk kepentingan

159 masyarakat Tionghoa. Kin San berhasil menggembirakan hati raja Kertabhumi

(Mulyana, 2008: 187).

Orang Tionghoa juga ingin meruntuhkan semangat dagang Majapahit dan merobohkan ekonomi kerajaan Majapahit. Mereka bermaksud meruntuhkan

Majapahit, dan kemudian mendirikan negara Islam Tionghoa, yang kemudian diputar ke arah pembentukan Islam Jawa di kota-kota pelabuhan.

Demikianlah memang ada maksud dari pihak masyarakat Tionghoa Islam untuk merobohkan kekuasaan Majapahit, baik dari dalam, dan jika telah tiba saatnya, akan ditekan dari luar. Serbuan tentara Islam Demak yang terdiri dari orang-orang

Tionghoa dan Jawa yang telah masuk Islam sebagai pengikut Jin Bun dan Bong Swi

Hoo terhadap Majapahit terjadi pada tahun 1478.

Ringkasnya, masyarakat Tionghoa Islam, dalam hal ini pengaruh Islam juga mulai berkembang pesat ketika Majapahit mengalami kemunduran. Serangan orang- orang Islam dari segi perdagangan (ekonomi) dan politik juga memperparah kebobrokan Majapahit. Atas usul Bong Swi Hoo, Jin Bun alias Raden Patah memperoleh gelar pangeran dan pengakuan atas kegiatan subversifnya di Bintara. Di

Bintara inilah, Jin Bun memiliki pengikut dan mulai membentuk wilayah sendiri. Jin

Bun memiliki darah Majapahit dari raja Kertabhumi dan dari pergaulannya dengan

Bong Swi Hoo sebagai ulama Islam, ia memperoleh fanatisme dalam keagamaan.

Pasca kematian Bong Swi Hoo, Jin Bun melakukan penyerangan ke keraton

Majapahit secara mendadak. Ia menawan sang ayahnya, Raja Kertabhumi. Majapahit menyerah tanpa perlawanan, tanpa pertumpahan darah. Segala harta pusaka dan uba

160 rampe kebesaran kerajaan Majapahit diangkut ke Demak. Kerajaan Majapahit yang berdiri selama 184 tahun, berhasil ditaklukkan oleh seorang pemuda yang sedang berumur 23 tahun tanpa perlawanan, tanpa pertumpahan darah. Dyah Ranawijaya

Girindrawardhana, menantu raja Kertabhumi diangkat oleh Jin Bun sebagai bupati atau raja bawahan Demak (Mulyana, 2008: 191).

Jadi, penyebab lainnya keruntuhan Majapahit adalah kemajuan agama Islam.

Orang-orang yang beragama Islam secara perlahan mulai memasuki kerajaan

Majapahit. Lambat laun, mereka mulai mengambil sikap memusuhi Majapahit yang telah pudar kegemilangannya. Serangan orang-orang Islam terangkum dalam serangan kerajaan Demak. Kerajaan Demak di bawah pimpinan Jin Bun atau Raden

Patah menyerang Majapahit yang pada waktu itu dipimpin oleh Raja Kertabhumi.

Kekuasaan Majapahit pun beralih ke Demak. Baru pada tahun 1527, kerajaan

Majapahit musnah dari permukaan bumi, karena dibumihanguskan oleh tentara

Demak di bawah pimpinan Toh A Bo alias Sunan Gunung Jati (Mulyana, 2008: 192).

3.2.2 Kehidupan Keagamaan dalam Masa Keruntuhan Majapahit

Dalam pemaparan di atas, telah dipaparkan Islam turut andil dalam jatuhnya pemerintahan Majapahit. Islam yang pada masa Hayam Wuruk hanya berkembang pada pedagang-pedagang asing dan terbatas ruang geraknya, mulai berkembang dan masuk dalam pemerintahan Majapahit. Islam mulai mendapat hati di dalam kerajaan

Majapahit dimulai dari pergerakan orang-orang Tionghoa Islam. Dari zaman Suhita

161 memimpin, Suhita memberi gelar Arya pada Gan Eng Tju hingga Jin Bun alias Raden

Patah (anak dari raja Kertabhumi), diberi wilayah Bintara serta gelar pangeran.

Akhir masa tersebut, yakni jatuhnya kerajaan Majapahit, dianggap sebagai keruntuhan suatu peradaban. Sebelum ini, pandangan sejarah barat itu terlalu sedikit menaruh perhatian terhadap cerita Jawa yang banyak sekali jumlahnya dan mengisahkan pengambilalihan kekuasaan secara damai atas Jawa oleh penguasa

Islam Demak dari “Kafir” Majapahit. Peradaban Jawa Majapahit tidak lenyap, melainkan sedikit demi sedikit diislamkan (De Graaf, 1985: 3).

Perkembangan keagamaan pada masa runtuhnya Majapahit ditandai dengan terbentuknya kerajaan Demak. Pengaruh Islam perlahan mengimbangi keagamaan masyarakat Hindu-Buddha Majapahit. Menurut Tome Pires via De Graaf (1985), perpindahan kekuasaan politik ke tangan orang-orang Islam terjadi dengan dua cara:

Pertama: bangsawan-bangsawan Jawa yang “kafir” dengan sukarela memeluk agama baru itu; di tempat-tempat mereka memegang kekuasaan (dan tetap berkuasa), pedagang-pedagang Islam mencapai martabat tinggi. Demikian juga para cendikiawan agama Islam yang tinggal di rumah para pedagang.

Kedua: orang-orang asing yang beragama Islam, dari bermacam-macam bangsa, bertempat tinggal di kampung (factorij) tersendiri di bandar-bandar, membuat rumah mereka menjadi kubu pertahanan; dari tempat-tempat itulah mereka mengadakan serangan-serangan terhadap perkampungan orang-orang “kafir”; akhirnya mereka merebut seluruh pemerintahan bandar. Pengislaman dengan jalan

162 kekerasan itu konon terjadi di bandar-bandar di pantai utara Jawa tengah, yakni

Demak dan Jepara.

Pernyataan Tome Pires yang kedua memberi kenyataan jika Islam berkembang di Jawa tidak mutlak dengan cara yang damai. Islamisasi di Jawa justru muncul dalam serangan-serangan Demak ke kerajaan Hindu-Buddha Majapahit yang telah mengalami kemunduran.

Dari pemaparan Slamet Mulyana (2008), tampak bagaimana Tionghoa Islam yang mulai menembusi kerajaan Majapahit dengan perlahan-lahan dan tanpa disadari oleh raja Majapahit sendiri hingga runtuh. Izin pembentukan masyarakat Islam

Tionghoa, yang kemudian diubah ke arah masyarakat Islam dalam masyarakat Hindu merupakan kesalahan pemerintahan Majapahit saat itu. Bagaimanapun, masuknya agama Islam dalam masyarakat Hindu akan menimbulkan ketegangan dalam kehidupan kemasyarakatan. Legalisasi agama Islam dalam masyarakat Majapahit mengandung benih pertentangan agama. Sikap masyarakat Tionghoa Islam terhadap masyarakat Hindu di Majapahit makin tajam. Hal itu tidak sebatas pertentangan agama saja, tetapi juga pertentangan bangsa dan pertentangan kepentingan. Apa yang menguntungkan masyarakat Tionghoa, terutama dalam bidang materiil, merugikan kehidupan perekonomian Majapahit.

Perbedaan agama, perbedaan kebangsaan, dan sikap permusuhan antara pemerintah pusat dan daerah pedalaman merupakan benih pertentangan di dalam negeri. Negara Islam Demak tidak popular di kalangan masyarakat pedalaman, karena sebenarnya mereka tidak mengetahui seluk-beluknya. Mereka hanya tahu

163 Majapahit telah jatuh dan negara Islam Demak telah muncul dengan pimpinan seorang Tionghoa.

Pada masa Jin Bun mempimpin awal kerajaan Demak, hubungan pemerintah pusatnya dan rakyat pedalaman terlalu jauh. Pemerintah pusat tidak menghiraukan kehidupan rakyat di pedalaman. Yang mendapat perhatian adalah masyarakat

Tionghoa di kota-kota pelabuhan. Hanya saudagar-saudagar Jawa yang menghendaki fasilitas dagang, segera meninggalkan agama Hindu dan menyebar ke agama Islam.

Sebagian besar diantara masyarakat di pedalaman yang hidup dari pertanian, tetap melakukan upacara keagamaan yang lama (Mulyana, 2008:200)

Pada masa runtuhnya Majapahit, pendeta telah kehilangan fungsinya.

Kesejahteraan masyarakat yang telah terperosok, membuat upacara keagamaan yang memakan biaya lebih disederhanakan lagi. Pembangunan candi-candi baru dihentikan. Candi yang sedang dalam tahap pembanguan tetap dibangun secara sederhana. Persajian kenegaraan secara besar-besaran dihentikan. Dengan hilangnya ritual persajian, pendeta tidak lagi memiliki kedudukan.

Sedikit demi sedikit, pengaruh Islam mulai masuk dalam kehidupan masyarakat di daerah bekas wilayah kerajaan Majapahit. Pendewaan terhadap raja semakin tipis, dan pada suatu saat lenyap. Orang tidak lagi percaya jika raja adalah

Dewa. Dengan sendirinya, pemujaan terhadap Dewa berkurang, meskipun tidak lenyap sama sekali. Runtuhnya Majapahit juga menyebabkan keruntuhan seni pahat dan bangunan yang bersumber pada pembangunan candi. Islam melarang pembuatan

164 arca atau gambar makhluk hidup. Gambar orang digantikan dengan gambar dedaunan

(Mulyana, 2008: 202).

Perubahan penting dalam hidup kemasyarakatan adalah hilangnya sistem kasta. Dalam Islam, sistem kasta tidak ada. Semua manusia sama derajatnya. Agama

Islam bersifat demokratis terhadap susunan kemasyarakatan, yang ada hanyalah perbedaan derajat akibat jabatan yang diduduki dalam masyarakat, dan menurut kekayaan yang dimilikinya. Inilah perubahan penting dengan berkembangnya Islam pasca keruntuhan Majapahit.

Karena Jin Bun tidak memperhatikan perkembangan Islam di pedalaman, terjadi pertautan agama. Pertautan kedua ajaran itu menghasilkan paham Islam Jawa

(Islam Kejawen). Dasar-dasar ajaran Hindu yang telah diwarisi turun-temurun dilapisi dengan ajaran Islam.

Jadi, pasca runtuhnya Majapahit, kehidupan keagamaan bercampur-baur.

Islam berkembang di tengah masyarakat Hindu-Buddha yang mulai berpindah haluan secara perlahan. Perbauran ini, juga sering menimbulkan pertentangan. Akibatnya, penindasan agama Hindu pun mulai hidup seiring Demak meluaskan kekuasaannya.

Kerajaan-kerajaan Hindu yang masih hidup, diserang dan dilakukan Islamisasi

“secara paksa” oleh Demak.

3.3 Rangkuman

Uraian mengenai situasi kehidupan keagamaan merupakan bandingan sejarah mengenai perkembangan agama pasca runtuhnya Majapahit. Uraian ini juga

165 merupakan konsep kelas-kelas sosial dari analisis strukturalisme genetik dalam novel

Arus Balik. Kelas-kelas sosial adalah indikator untuk membatasi kenyataan sosial yang dimaksud pengarang. Kelas-kelas sosial di sini adalah masyarakat Nusantara, khususnya Jawa yang memeluk agama Hindu-Buddha dan agama Islam beserta kehidupan keagaamannya dalam masa runtuhnya Majapahit.

Posisi kelas sosial yang mengacu pada setting cerita Arus Balik adalah posisi

Tuban pada masa Majapahit. Tuban menjadi kota pelabuhan yang sangat vital bagi

Majapahit. Tuban berkembang sebagai jalur perdagangan dan basis kekuatan militer pada masa Majapahit. Dalam artian lain, Tuban merupakan pintu gerbang masuknya suatu kekuatan maupun ajaran-ajaran dari luar ke pusat kerajaan Majapahit.

Dari uraian bab III, tampak jika Islam menjadi salah satu faktor runtuhnya

Majapahit. Islam mengalami kemajuan seiring dukungan kerajaan Demak. Demak sendiri berdiri sebagai kerajaan Islam dan kerajaan yang menaklukkan Majapahit.

Sudah dapat dipastikan jika Islam mengalami kemajuan pesat di Jawa pada masa ini.

Agama Hindu-Buddha atau agama lama sendiri mengalami masa kemunduran dan penindasan. Aturan-aturan dari ajaran Islam di bawah komando Demak, telah mengikis ritual-ritual keagamaan agama Hindu-Buddha. Kemerosotan agama lama pun tidak dapat dihindari. Kerajaan-kerajaan Islam mulai melakukan penyerangan dalam upaya “Islamisasi paksa” terhadap kerajaan-kerajaan Hindu yang masih bertahan.

Kehidupan agama pasca runtuhnya Majapahit hingga munculnya pengaruh

Demak khususnya di Jawa, merupakan indikator batasan atau struktur realitas dari

166 novel Arus Balik. Ini berfungsi sebagai bandingan yang membentuk jarak realitas sejarah di mata seorang pengarang. Situasi kehidupan keagamaan pada masa keruntuhan Majapahit juga menjadi referensi untuk melakukan analisis struktur sosialnya, yaitu citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam yang dibahas dalam bab

IV.

167 BAB IV

CITRA AGAMA HINDU-BUDDHA DAN AGAMA ISLAM

DALAM NOVEL ARUS BALIK

Citra adalah gambar atau rupa (Poerwadarminta, 1976: 207). Gambar dapat juga dikatakan sebagai sketsa atau potret (Poerwadarminta, 1976: 292). Dengan kata lain, citra merupakan sketsa atau potret mengenai sesuatu hal, misalnya daerah yang kotor akan mendapat image atau citra daerah tersebut rawan penyakit. Contoh lainnya adalah Yogyakarta. Yogyakarta merupakan daerah yang terkenal dengan budayanya.

Citra daerah Yogyakarta dapat dikatakan sebagai kota budaya. Ini disebabkan oleh pemerintah daerah dan penduduk Yogyakarta yang masih menjunjung tinggi budaya bangsa yang ada di daerah tersebut. Apresiasi penduduknya terhadap budaya memberi gambaran jika Yogyakarta merupakan kota budaya. Begitu banyak pagelaran budaya diadakan di Yogyakarta tiap tahunnya. Kehadiran keraton

Yogyakarta sendiri, berdiri sebagai sentra budaya. Jadi, tidak salah jika gambaran atau citra kota Yogyakarta adalah kota budaya.

Kumpulan dari ikon-ikon atau proses tindakan yang dilakukan suatu komunitas sosial secara langsung memberi potret, gambar, atau citra pada komunitas sosial tersebut. Dengan kata lain, segala sifat dan tindakan (psikis dan jasmani) dari suatu hal maupun dari individu atau bahkan komunitas sosial itu sendiri dapat membentuk suatu gambaran yang berakhir pada citra bagaimana komunitas sosial tersebut.

168 Citra agama sendiri adalah gambaran atau sketsa mengenai suatu agama.

Agama menjadi objek dalam pembentukan sebuah citra, subjeknya adalah pemeluk agama dan ajaran-ajaran agama itu sendiri. Citra agama dapat dibentuk oleh ajaran agama itu sendiri dan bagaimana para pemeluk agama tersebut mengimplementasikan ajaran-ajaran agamanya. Perilaku seorang umat memberikan atau membentuk sebuah citra pada agama itu sendiri, terlepas apakah citra tersebut positif atau negatif.

Dalam mengimplementasikan ajaran-ajaran agamanya, seorang pemeluk agama dapat membuat sebuah kesalahan. Fanatisme pada agama dapat mencoreng atau memberi citra buruk pada agamanya sendiri. Tidak dapat dipungkiri jika manusia yang beragama terkadang menghalalkan segala cara untuk mensakralkan agamanya sendiri, walau dalam bentuk kekerasan sekali pun. Itulah yang terjadi pada kehidupan beragama dalam novel Arus Balik.

Citra agama yang akan dibahas pada bab ini adalah citra agama Hindu-

Buddha dan agama Islam. Penulis menggunakan istilah “Hindu-Buddha” karena tidak adanya pembedaan yang pasti dalam nilai-nilai agama yang dipaparkan dalam Arus

Balik, apakah menggambarkan Hindu atau Buddha secara keseluruhan. Agama

Hindu-Buddha dalam Arus Balik berbaur menjadi keyakinan yang telah dulu ada sebelum masuknya Islam dan Nasrani di Nusantara. Pengarang tetap menggunakan kata-kata Syiwa untuk pemujaan, dan juga menggunakan kata “Buddha” untuk menyampaikan ajaran-ajaran yang diterima oleh tokoh-tokoh di Arus Balik. Jadi, penulis menggunakan istilah “Hindu-Buddha”.

169 Penulis memfokuskan citra agama dalam dua kategori, yaitu citra positif dan citra negatif. Citra positif adalah gambaran suatu agama ketika agama tersebut dinilai baik atau memberi dan membawa kebaikan pada individu, masyarakat, dan komunitas agama yang lainnya. Citra positif juga dapat dibentuk oleh perilaku atau cara bersikap para pemeluk agamanya sendiri. Pembentukan citra agama yang positif bergantung pada cara individu yang mempercayai agama tersebut dalam mengimplementasikan ajaran-ajaran agama tersebut pada kehidupan realitas maupun religiusitas.

Kebalikan dari citra positif, citra negatif adalah gambaran suatu agama jika agama tersebut dinilai jelek atau tidak membawa kebaikan bagi individu, masyarakat, dan komunitas agama yang lainnya. Artinya, citra negatif dapat terbentuk bila para pemeluk agama tersebut hanya membawa “kejelekan”, “kericuhan” atau bahkan

“kekerasan” bagi individu, masyarakat atau komunitas agama yang lainnya. Citra negatif juga dapat terbentuk karena image atau gambaran dari ajaran agama tersebut.

Pembahasan mengenai citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam yang ada dalam Arus Balik adalah sebagai berikut.

4.1 Citra Agama Hindu-Buddha

Dalam sub Judul ini, akan dibahas mengenai citra agama Hindu-Buddha yang ada dalam Arus Balik. Citra agama Hindu-Buddha dapat terbentuk dari isi ajaran agama tersebut atau perilaku para pemeluk agama Hindu-Buddha. Berikut pembahasan mengenai citra agama Hindu-Buddha dalam Arus Balik.

170 4.1.1 Citra Positif Agama Hindu-Buddha

Gambaran mengenai agama Hindu-Buddha dalam Arus Balik dapat dilihat dari tindakan, sikap, atau pemikiran umatnya dalam meyakini ajaran agama Hindu-

Buddha. Segala perbuatan, sikap, atau pemikiran para pemeluk agama Hindu-Buddha yang membawa kebaikan atau tidak menimbulkan kerugian secara fisik maupun batiniah pada pemeluk agama lainnya akan membentuk citra positif agama Hindu-

Buddha. Berikut pembahasan citra positif agama Hindu-Buddha yang ada dalam Arus

Balik.

4.1.1.1 Citra Positif Mengenai Isi Ajaran Agama Hindu-Buddha

Citra positif mengenai isi ajaran agama Hindu-Buddha adalah gambaran mengenai ajaran agama Hindu-Buddha yang dianggap tidak mengakibatkan kerugian pada orang lain atau membentuk iklim damai pada kehidupan manusia. Ajaran-ajaran inilah yang membentuk kepribadian dan pola-pikir para pemeluk agama Hindu-

Buddha. Berikut pembahasan mengenai citra positif isi ajaran agama Hindu-Buddha yang ada dalam Arus Balik.

a. Larangan Menghujat Dewa atau Hyang Tunggal

Salah satu ajaran Hindu-Buddha adalah pelarangan hujatan terhadap dewa- dewanya. Hal ini menjadi positif karena perubahan zaman dan masuknya agama baru

(Islam) yang membuat sebagian manusia mulai melakukan penghujatan kepada para

171 dewa. Dewa menjadi pelarian para manusia untuk membenarkan ketidakmampuan manusia. Ini merupakan imbas dari datangnya agama baru (Islam).

Citra agama Hindu-Buddha dimulai pada waktu Rama Cluring berceramah mengenai hakikat bumi yang merupakan pemberian Hyang Tunggal. Ini sebagai jawaban bagi seorang pendengar yang menghujat ciptaan-Nya. Hal ini tampak pada kutipan berikut.

(41) “Aku dan kami mungkin memang bebal.” Seseorang di tengah-tengah hadirin membantah. “Tapi para Dewa, Rama Guru, pada kami tak diberikan tanah yang cukup baik untuk kelapa”. “Puah!” seru Rama Cluring. “Sewaktu ku kecil takkan ada orang yang menyalahkan dewa. Mandala masih berwibawa, guru-guru dihormati, maka bocah-bocah yang belum terpanggil oleh sang Buddha pun tahu, bumi ini diberikan oleh Hyang Tunggal pada manusia dalam keadaan yang sebaik-baiknya. Tak ada seorang pun menghinakan keadaannya, karena manusia diciptakan dalam keadaan sempurna (hlm. 4-5).

Kutipan (41) memberikan gambaran bagaimana seorang guru ceramah agama

Hindu-Buddha emosi karena ada pendengarnya yang menghujat dewa. Sebuah pantangan bagi agama Hindu-Buddha jika manusia menyalahkan dewa untuk pembenaran atas kemerosotan zaman yang disebabkan oleh manusianya. Hindu-

Buddha mengajarkan jika manusia diciptakan dalam keadaan sempurna. Jadi, tidak ada alasan bagi manusia untuk melakukan pembenaran atas ketidakmampuan mereka, apalagi sampai menghujat dewa. Kutipan (41) juga mengindikasikan jika semangat kepada agama Hindu-Buddha mulai pudar. Ini terbukti dari pendengarnya yang mulai berani menghujat dewa.

172 b. Manusia Dituntut untuk Menggunakan Nalar

Nilai ini terlihat dalam ceramah Rama Cluring. Dalam lanjutan ceramah Rama

Cluring mengenai ajaran Buddha dan Syiwa, Rama Cluring mengatakan jika manusia harus menggunakan nalar dalam menghadapi sebuah realita. Rama Cluring mengulangi ajaran Buddha dan Syiwa tentang manusia dan kebajikannya sebagai makhluk dewa, tentang alam dan kemungkinan-kemungkinannya. Kemudian Rama

Cluring menutup dengan nada tinggi meledak. Rama Cluring mengucapkan ajaran- ajaran Buddha-Syiwa mengenai sesuatu yang buruk datang pada manusia yang salah menggunakan nalar, sehingga nalar yang buruk memanggil keburukan untuk dirinya

(hlm. 5).

Perkataan Rama Cluring merupakan gambaran jika Hindu-Buddha menuntut manusia untuk menggunakan nalar dengan baik, dalam artian sempit manusia harus menggunakan otaknya. Manusia akan mendapat keburukan jika tidak menggunakan nalar dan otaknya. Sebuah citra positif yang menuntut manusia untuk menjalani dan meraih sukses atau kenyamanan hidup dengan menggunakan nalar sendiri.

c. Hakikat Kebenaran Menurut Agama Hindu-Buddha

Nilai agama Hindu-Buddha juga terangkum dalam hakikat kebenaran yang disampaikan oleh Rama Cluring. Pasca Rama Cluring dituduh menghujat Adipati

Tuban dan dituduh sebagai pemberontak, Rama Cluring memberi ceramahnya kembali mengenai hakikat kebenaran Hyang Widhi. Pendengar yang menuduh Rama

Cluring menghujat Adipati merupakan manusia yang percaya pada kebenaran yang

173 ada dalam kuasa Adipati. Hal ini ditolak oleh Rama Cluring yang berasumsi dari ajaran agama Hindu-Buddha. Rama Cluring menolak anggapan yang menganggap kebenaran mutlak milik Adipati. Rama Cluring berceramah jika Hyang Widhi dan para dewa sekali berucap, kebenaran akan meluncur turun dari ketinggian, menjalar kemana-mana, berkembang biak dalam hati manusia waras, karena kebenaran akan selalu datang dari Hyang Widhi sendiri (hlm. 6).

Ceramah Rama Cluring memberi indikasi mengenai hakikat kebenaran menurut agama Hindu-Buddha yang percaya jika kebenaran mutlak datang dari

Hyang Widhi, bukan dari manusia. Ini memberi gambaran mengenai salah satu isi ajaran dari agama Hindu-Buddha yang positif.

Rama Cluring kembali menyentuh hakikat kebenaran dalam ceramahnya.

Menurut ajaran agama Hindu-Buddha, kebenaran tidak dapat diadili, karena dialah pengadilan tertinggi di bawah Hyang Widhi. Barang siapa yang mengadili kebenaran, dia memanggil Sang Hyang Kala, dia akan dilupakan orang kecuali kedunguannya

(hlm. 14).

Dari ceramah Rama Cluring ini, memberi deskripsi mengenai konsep kebenaran yang diajarkan oleh agama Hindu-Buddha. Menurut agama Hindu-

Buddha, kebenaran itu mutlak adanya di bawah keberadaan Hyang Widhi. Kebenaran tidak dapat diadili oleh seorang manusia pun, karena kebenaran adalah pengadilan tertinggi. Hal ini terjadi karena di Tuban terjadi pergeseran makna kebenaran. Tuban yang mengusung sistem feodalisme dalam pemerintahannya, meletakkan Adipati sebagai penguasa mutlak. Jadi, sudah seharusnya kebenaran itu berasal dan mengarah

174 pada sang Adipati. Hal inilah yang dikritisi oleh Rama Cluring melalui ceramahnya mengenai hakikat kebenaran menurut agama Hindu-Buddha.

d. Agama Hindu-Buddha Menciptakan Kedamaian

Agama Hindu-Buddha digambarkan oleh Pram sebagai agama yang dapat berakulturasi dengan budaya Nusantara yang telah dulu ada. Kebudayaan yang telah berakulturasi ini membawa sebuah kenyamanan yang berujung pada rasa damai kepada penduduk Blambangan. Kebudayaan untuk puji-pujian bagi Sang dewa telah menjadi bagian dari ajaran agama Hindu-Buddha. Dalam hal ini, puji-pujian yang dilakukan oleh masyarakat Blambangan adalah masih memberi puji-pujian pada sang

Bulan. Ini memberikan gambaran bagaimana komunitas agama Hindu-Buddha yang ada di Blambangan (salah satu kerajaan yang masih mayoritas beragama Hindu-

Buddha) melakukan puji-pujian dan memberikan gambaran jika kehidupan mereka berlangsung dengan sangat damai seiring dengan ritualisasi dari agama Hindu-

Buddha yang mereka lakukan.

Perawan dan perjaka, beratus-ratus melingkari bocah-bocah yang sedang menyampaikan pujian pada sang Bulan. Antara sebentar, semua bertepuk-tepuk dan bersorak-sorai. Seluruh dunia seakan dalam keadaan tenang dan damai, seakan tidak lagi setetes darah memerahi medan pertempuran (hlm. 9).

Alur berkembang pada saat Sunan Rajeg atau Rangga Iskak hendak melakukan pemberontakan pada Tuban. Ketika sang Patih Tuban menemui para kepala desa, Patih menceritakan silsilah Rangga Iskak. Dalam pembicaraannya inilah

175 terjadi benturan agama. Terlihat bagaimana dari pola pikir sang Patih yang masih kental dengan ajaran agama Hindu-Buddha, mengkritisi ajaran baru (Islam).

Patih Tuban dengan sangat keras memberi perlawanan terhadap ajaran baru yang selama ini terus berkembang dengan konsep memusuhi agama lainnya. Seperti kebiasaan baru di sebelah timur dan barat negeri Tuban sekarang ini, kalau seorang ningrat, apalagi bukan ningrat telah menamakan Ki Aji dan mendapatkan banyak pengikut, ia merasa sudah setingkat dengan Adipati, berlagak sebagai raja tanpa penegasan hak, seakan-akan kedudukan raja bukan lagi urusan para dewa, seakan- akan sudah boleh ditempati oleh setiap orang. Ajaran leluhur mulai dilupakan, sedangkan ajaran baru belum ada isinya. Itulah kebiasaan baru sekarang ini dari beberapa orang yang bakal bikin celaka semua orang di seluruh pulau Jawa (hlm.

242).

Citra positif dari pemeluk agama Hindu-Buddha diwakili oleh Patih Tuban.

Patih Tuban menolak pengukuhan sebuah kekuasaan yang tanpa memperhitungkan kuasa dewa. Hal ini sebagai pengkritisan atas ajaran Islam yang dengan mudahnya menjadi pemimpin begitu mereka menggunakan gelar Ki Aji. Bagi para pemeluk agama Hindu-Buddha, seorang penguasa haruslah mendapat berkat dari para dewa.

Raja atau Adipati tidaklah mudah untuk ditempati oleh setiap orang, apalagi hanya menggunakan gelar Ki Aji.

Keterangan di atas juga memberi gambaran jika ajaran baru (Islam) hanya akan membawa keterpurukan di Jawa. Ajaran baru mengajarkan pada masyarakat untuk tidak lagi menghargai dewa-dewanya. Ini terbukti dengan penggunaan gelar Ki

176 Aji yang dianggap sederajat dengan Adipati dan dapat dipegang oleh setiap orang.

Ajaran baru (Islam) inilah yang menuntut masyarakat untuk melupakan ajaran Hindu-

Buddha. Imbasnya adalah keterpurukan yang akan melanda Jawa secara khusus. Ini menandakan jika ajaran Hindu-Buddha telah membawa masa yang lebih baik dan lebih damai dibanding ajaran Islam.

e. Agama Hindu-Buddha Berakulturasi Dengan Budaya Nusantara

Salah satu citra positif dari agama Hindu-Buddha adalah dapat berakulturasi dengan budaya asli yang telah dulu ada. Agama Hindu-Buddha dapat berkembang baik karena menjujung tinggi dan mencoba menghargai budaya asli penduduk

Nusantara. Imbasnya, tidak ada banyak larangan kepada masyarakat untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan yang telah lama mereka jalani. Ini tampak pada keinginan masyarakat Tuban yang jenuh dengan pelarangan-pelarangan yang dibentuk oleh

Islam. Perlawanan untuk kebebasan pun dilakukan oleh masyarakat Tuban.

Pada saat rombongan penduduk Awis Krambil memasuki kadipatenan untuk mengikuti pesta lomba seni dan olahraga, mereka harus menuruti peraturan yang dibuat oleh agama Islam. Aturan tersebut mengharuskan setiap wanita, kecuali anak- anak di bawah umur, harus menutup dadanya jika hendak memasuki kadipaten.

Paling tidak, menggunakan kemban (hlm. 40).

Peraturan ini ditolak oleh penduduk Awis Kerambil dengan dalih jika yang membuat peraturan, yaitu Penghulu Negeri Umat Islam telah dipecat. Jadi, bagi mereka peraturan itu tidak berlaku. Penolakan dari penduduk desa Awis Krambil

177 sebagai bentuk perlawanan dari aturan Islam yang sangat mengekang. Citra pemeluk agama Hindu-Buddha untuk melawan pengaruh Islam di Tuban ini juga tampak pada kutipan berikut.

(42) “Nah, wanita-wanita Awis Krambil. Kalian sudah dengar peraturan ini. Ambil kemban dan pakailah!” Upacara selesai. Pemuda-pemuda menghalangi mereka memakai kemban, seakan-akan itu pun sudah jadi bagian upacara, setelah keluarnya larangan. “Jangan biarkan sang Surya malu melihat kalian. Cepat, karena seluruh kota sudah menunggu”. Maka gerak-gerik perawan yang hendak berkemban dan pemuda- pemuda yang menghalangi berubah jadi tarian yang sesungguhnya. Gamelan semakin riuh dan tarian semakin indah (hlm. 40).

Kutipan (42) merupakan gambaran perlawanan para pemeluk agama Hindu-

Buddha terhadap aturan Islam yang mengekang kebiasaan mereka yang telah lama ada. Perlawanan ini sendiri tidak pernah terjadi sewaktu agama Hindu-Buddha masih dipegang teguh. Hal ini menjadi sebuah pertanda jika agama Hindu-Buddha berakulturasi secara baik dengan budaya Nusantara yang telah dulu ada. Agama

Hindu-Buddha tidak melakukan pelarangan-pelarangan yang dipaksakan untuk menghilangkan kebiasaan budaya Nusantara.

Citra positif agama Hindu-Buddha ini terlihat dari pola hidup masyarakat

Tuban. Penduduk negeri dan kota Tuban yang telah cinta kebebasan terlihat sangat terganggu dengan aturan-aturan penghulu (orang asing beragama Islam).

Ketidaksenangan ini tidak muncul pada masa jayanya agama Hindu-Buddha. Hal ini merupakan nilai plus dari agama Hindu-Buddha. Agama Hindu-Buddha tidak mengekang budaya lama, melainkan berakulturasi dengan budaya lama. Agama

Hindu-Buddha tidak pernah melakukan pelarangan seperti aturan berpakaian dan

178 pemujaan terhadap arwah atau benda-benda magis yang merupakan kepercayaan asli penduduk lokal. Inilah yang membentuk kepercayaan atau loyalitas penduduk terhadap agama Hindu-Buddha.

Penduduk Tuban sangat mencintai kebebasan. Ini didapat mereka ketika agama Hindu-Buddha masih menjadi pegangan di Tuban. Perubahan terjadi ketika

Islam masuk dengan segala aturan yang mengekang kebebasan mereka. Penduduk

Tuban yang melihat kehadiran orang asing (Sayid Almasawa) merasa tidak senang.

Adipati Tuban telah berkenan dengan orang asing satu ini. Penduduk Tuban banyak yang bertanya mengenai posisi apa yang akan diterima oleh Sayid Almasawa. Pada umumnya orang menebak: Penghulu Negeri. Tebakan itu saja sudah cukup menjengkelkan, mengingat penghulu sebelumnya telah banyak mengurangi kesenangan mereka dengan berbagai aturan yang masih juga berlaku sampai sekarang. Aturan baru selalu mengurangi kebebasan. Penduduk negeri dan kota

Tuban terkenal pencinta kebebasan (hlm. 81).

Dalam Arus Balik, ada sebuah peristiwa yang menarik. Semua etnis dan agama bersatu ketika Idayu meminta izin sang Adipati untuk menikah dengan

Wiranggaleng. Ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(43) Mendadak keriuhan reda. Suasana baru menguasai keadaan. Orang duduk kembali di tempat masing-masing dengan tertib. Pada suatu jarak, seseorang berdiri, tak peduli pada larangan, suaranya lantang menyanyikan nyanyian pujaan untuk kebesaran Dewa Kamajaya dan Dewa Kamaratih. Setiap orang ikut menyanyi, tak peduli agama mereka: Syiwa, Buddha, Wisnu, Islam, kesayhduan menguasai bumi, langit dan manusia Tuban (hlm. 92).

179 Kutipan (43) merupakan gambaran bagaimana terjadi sebuah momen yang dapat menanggalkan perbedaan agama di antara masyarakat Tuban. Permintaan Idayu untuk menikah dengan Galeng dan menyampingkan keinginan sang Adipati, merupakan rahmat bagi penduduk Tuban. Tidak peduli apa agamanya, mereka melakukan pemujaan terhadap Dewa Kamajaya dan Dewa Kamaratih. Pemujaan ini merupakan pemujaan untuk para dewa, dalam artian sempit, mereka melakukan ritualisasi budaya religius yang telah dilakukan sejak dulu (agama Hindu-Buddha).

Kutipan (43) juga menggambarkan jika masyarakat Tuban sebenarnya jenuh dengan aturan-aturan dari agama baru (Islam) yang mengekang. Terlihat dalam kutipan (43), secara naluri, masyarakat Tuban melakukan sebuah ritualisasi agama

Hindu-Buddha tanpa mengingat jika sebagian dari mereka adalah Islam. Sebuah bukti jika agama Hindu-Buddha merupakan agama yang cocok bagi mereka. Agama

Hindu-Buddha digambarkan dapat berakulturasi secara baik dengan budaya dan kebiasaan masyarakat Tuban.

4.1.1.2 Citra Positif Pemeluk Agama Hindu-Buddha

Citra positif agama Hindu-Buddha juga dibentuk oleh sikap, pikiran, dan perilaku pemeluk agama Hindu-Buddha. Segala perbuatan mereka merupakan proses dari cara mereka membawa Hindu-Buddha dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, sebagian perilaku penganut agama Hindu-Buddha, juga dibentuk oleh ajaran Hindu-

Buddha yang telah mengakar dalam diri penganutnya.

180 a. Pemeluk Agama Hindu-Buddha Lebih Menghargai Alam

Citra positif agama Hindu-Buddha juga terbentuk karena perilaku para pemeluk agama tersebut. Segala perbuatan pemeluk agama Hindu-Buddha merupakan cerminan seberapa jauh ajaran Hindu-Buddha diterapkan dalam hidup mereka.

Dalam ceramahnya lagi yang sebagian besar berasal dari ajaran agama Hindu-

Buddha, Rama Cluring meramalkan akan hadirnya agama baru yang membawa dewa- dewa baru dan membawa kemerosotan zaman. Agama baru ini sangat bertentangan dengan agama Hindu-Buddha. Kehadiran agama baru dapat menyebabkan kerusakan bagi tataran ajaran agama Hindu-Buddha selama ini. Ini dapat dilihat dari kutipan berikut.

(44) “Di bandar-bandar, ada orang yang mulai menggunakan perhitungan rembulan-orang gila itu. Mereka mempunyai dewa yang lain dari kita. Mereka hidup hanya dengan berdagang, tidak menginjakkan kaki di sawah ataupun ladang. Mereka tak memerlukan gunung. Mereka tak memerlukan surya. Mereka hanya memerlukan harta dan kekayaan (hlm. 11).

Kutipan (44) memberi gambaran mengenai citra agama baru. Bagi agama

Hindu-Buddha, agama baru ini sangat berbeda sekali dengan mereka. Bagi pemeluk agama Hindu-Buddha, sumber pencaharian adalah dengan bersawah atau berladang.

Mereka membutuhkan gunung dan surya untuk hidup. Hal ini berbeda jauh dengan agama baru yang bertolak belakang hidupnya dari komunitas agama Hindu-Buddha.

Kutipan ini juga memberikan gambaran jika para pemeluk agama Hindu-

Buddha menghargai alam yang telah memberikan kehidupan bagi mereka.

181 Masyarakat agama Hindu-Buddha hanya membutuhkan ketenangan dan kehidupan dari alam dan Hyang Widhi. Kontras berbeda dengan agama baru yang hanya mencari harta dan kekayaan (implisit agama Islam yang datang dari Negeri Atas

Angin).

Perbandingan ini membentuk citra agama Hindu-Buddha yang lebih positif.

Perbandingan dilakukan sebagai alat untuk memperlihatkan bagaimana agama Hindu-

Buddha begitu menghargai dan melindungi alam yang diberikan dewanya, berbeda dengan agama baru yang melepaskan diri dari alamnya.

b. Pemeluk Agama Hindu-Buddha Tidak Rakus Akan Ambisi Pribadi

Pemeluk agama Hindu-Buddha berkembang sebagai indvidu yang tidak memiliki ambisi pribadi. Ambisi di sini merupakan keinginan yang lebih terhadap kekuasaan dan kekayaan. Para pemeluk agama Hindu-Buddha telah terbiasa hidup secara sederhana dengan menekan ego-ego pribadi akan nafsu duniawi. Sebagian besar, pola hidup seperti ini dapat dilakukan karena pengajaran-pengajaran yang dilakukan oleh guru penceramah dari agama Hindu-Buddha. Citra positif ini dimulai dengan penggambaran agama Hindu-Buddha yang dilakukan oleh Rama Cluring.

Rama Cluring juga berceramah mengenai budaya dari agama baru yang lebih memilih harta dan kekayaan saja. Menurut Rama Cluring, agama yang berasal dari

Negeri Atas Angin membawa kemerosotan zaman. Orang-orang dari Negeri Atas

Angin inilah yang menyuap para Bupati dan Adipati pesisir yang hanya mengingat pada harta kekayaan, lupa pada baginda kaisar di Majapahit. Mereka menyuap para

182 Bupati dan Adipati di pesisir dengan emas, sutera, tembikar, dan permadani.

Merekalah yang membawa zaman pada arus kemerosotan. Pada saat agama baru datang, orang mulai tak dapat memilih apa yang baik untuk dirinya (hlm. 11-12).

Keterangan di atas memberi gambaran jika masyarakat dulu yang masih berpegang pada ajaran agama Hindu-Buddha tidak dimungkinkan untuk disuap. Jika penyuapan yang diterima oleh para Bupati dan Adipati tidak terjadi, mungkin saja

Majapahit tidak akan runtuh. Ceramah Rama Cluring ini juga ingin mengatakan agama Hindu-Buddha yang tidak mementingkan harta dan kekayaan dapat mempersolid keutuhan Majapahit. Kehidupan akan tenang dengan tidak adanya ambisi pribadi untuk menelan kekayaan duniawi. Awal atau penyebab merosotnya zaman menurut Rama Cluring, yaitu budaya baru dan dewa-dewa baru dari Negeri

Atas Angin (Islam). Sebuah citra positif yang menutup kemungkinan manusia untuk rakus akan kekuasaan pribadi dan tidak memandang ajaran dewanya lagi.

Citra positif agama Hindu-Buddha juga tampak dari pemikiran Idayu yang disampaikannya kepada Pada. Kejadian ini terjadi ketika Pada menyelamatkan Idayu dari peristiwa di Gowong. Pada dan Idayu sedang melakukan perjalanan pulang ke desa Awis Krambil. Idayu memberi gambaran mengenai pola pikir agama Hindu-

Buddha yang mengajarkan tentang penerimaan sebuah keadaan atau posisi yang telah diberikan oleh Hyang Widhi. Ajaran Hindu-Buddha tidak mengajarkan pemeluknya akan ambisi yang berlebihan, tidak seperti Islam.

Pada menanyakan Idayu mengapa tidak masuk Islam. Idayu sendiri merasa jika ia dan Wiranggaleng tidak berniat mempersoalkan agama Islam atau bukan. Bagi

183 Idayu Islam atau tidak, tidak akan mempengaruhi mereka berdua. Mereka hanya ingin menjadi manusia yang biasa. Bagi Idayu, Wiranggaleng tidak ingin menjadi apa-apa seperti Pada. Jadi, tak perlu bagi mereka untuk masuk Islam (hlm. 455).

Pemikiran Idayu ini merupakan sebuah pengkritisan terhadap kekuasaan.

Secara tidak langsung, Idayu menyindir para pemeluk agama Islam yang haus akan kekuasaan. Ajaran agama Hindu-Buddha mengajarkan pada umat manusia untuk tidak memiliki ambisi berlebih untuk sebuah kekuasaan. Hal ini menutup kemungkinan terjadinya perpecahan dan peperangan akibat perebutan kekuasaan. Hal inilah membentuk citra positif pemeluk agama Hindu-Buddha.

Citra positif pemeluk agama Hindu-Buddha lainnya tercermin pada pemikiran

Idayu mengenai kehidupan. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

(45) “Dia tak butuh kekuasaan, baik dari manusia, dari para dewa, ataupun dari Allahmu, maka dia tidak ingin membunuh atau dibunuh oleh siapa pun”. “Mbokayu!” Pada menegah. “Mengapa? Jangan gusar. Itulah kami berdua, sikap dan hidup kami. Kami hanya manusia biasa, dan hanya ingin menjadi manusia biasa..” “Mbokayu!” “Lihat, rakus kekuasaan menyebabkan Rangga Iskak ingin menggantikan sang Adipati. Kerakusan itu juga menyebabkan Demak membunuh Rangga Iskak melalui tanganmu…” “Mbokayu!” “…Takut kehilangan kekuasaan, menyebabkan balatentara Tuban memerangi Rangga Iskak dan Kang Galeng dipaksa jadi Senapati Tuban. Kerakusan menyebabkan matinya begitu banyak orang. Tidak, Pada, kami hanya mau dan ingin jadi manusia biasa”(hlm. 456).

Kutipan (45) memberi gambaran bagaimana pemikiran Idayu yang ingin menjadi manusia biasa. Pemikiran Idayu dipengaruhi oleh ajaran agama Hindu-

Buddha yang ia terima dari guru-guru penceramah, salah satunya Rama Cluring. Dari

184 ajaran itulah, Idayu hanya ingin menjadi manusia biasa yang tidak memusingkan kekuasaan. Karena, kerakusan dan kekuasaan hanya akan menyebabkan pertumpahdarahan bagi banyak orang. Pemikiran ini sedikit menyinggung para pemuluk agama Islam.

Kutipan (45) memberi penegasan jika orang-orang yang menyebabkan peperangan atau memiliki ambisi lebih pada kekuasaan adalah Rangga Iskak, Demak, dan Sang Adipati Tuban. Mereka semua adalah pemeluk agama Islam. Pemeluk agama Hindu-Buddha yang diwakili oleh Idayu telah merasa puas jika mereka hanya menjadi manusia biasa. Tidak adanya kerakusan terhadap kekuasaan akan menciptakan sebuah kedamaian. Inilah yang dicari oleh para pemeluk agama Hindu-

Buddha. Kedamaian dan kebebasan merupakan hasil ajaran agama Hindu-Buddha yang melarang manusia untuk memiliki ambisi yang berlebih.

Citra positif pemeluk agama Hindu-Buddha juga dapat dilihat dari sikap Idayu yang kagum terhadap Rama Cluring dan ajaran-ajarannya. Rama Cluring merupakan salah seorang guru pembicara yang memeluk agama Hindu-Buddha. Ini dapat dilihat dari kutipan berikut.

(46) “Guruku bilang, mereka itu seperti hidup di zaman Daud dan Musa…Siapa di antaranya yang Mbokayu puja?” “ Rama Cluring. Suaranya lantang penuh keberanian dan kebesaran”. “Tentu dia sudah mati”. “Ya. Sebelum kami berdua berangkat ke Tuban”. “Siapakah kiranya yang berhasil membunuhnya?” “Dia tidak mati terbunuh. Siapakah yang akan membunuh orang sebijaksana itu, penuh kebenaran, tidak rakus akan sesuatu, kecuali menginginkan kesabaran dan kejayaan di kemudian hari untuk sesama orang?” Mereka berhenti.

185 “Mengapa Rama Cluring harus dibunuh?” mendadak Idayu bertanya. Melihat Pada tak menjawab ia bertanya lagi. “Demakkah yang menghendaki? Dan kau yang harus kerjakan?” Pada tak menengahi. “Setelah mendengarkan ceritamu, Pada, terpaksa aku membayangkan Demak, di sana tentu takkan ada guru-pembicara. Semua sudah atau akan mati terbunuh” (hlm. 456-457).

Kutipan (46) memberi deskripsi bagaimana seorang Rama Cluring di mata

Idayu. Rama Cluring merupakan sosok teladan yang tidak rakus akan sesuatu. Secara implisit, kutipan ini mendeskripsikan Rama Cluring sebagai produk manusia dari ajaran agama Hindu-Buddha. Ini terbukti dengan perkataan Idayu yang menyebutkan

Rama Cluring tidak rakus, penuh kebenaran, dan sabar. Hal ini berbeda jauh dengan manusia beragama baru (Islam) yang rakus akan kekuasaan dan menyebarkan sesuatu yang tidak benar, subyektif belaka. Kehadiran guru-guru pembicara merupakan ancaman bagi Islam, khususnya kerajaan Islam Demak. Jadi, guru-guru pembicara agama Hindu-Buddha harus dimusnahkan dan diganti dengan musafir Demak.

Kutipan (46) merupakan citra positif agama Hindu-Buddha melalui Rama Cluring dan citra negatif Islam melalui Demak yang membunuhi guru-guru pembicara agama

Hindu-Buddha.

Citra positif pemeluk agama Hindu-Buddha kembali tampak dari sikap dan pikiran Idayu. Sosok wanita pengagum Rama Cluring ini merupakan produk agama

Hindu-Buddha bersama Wiranggaleng. Dari pemikiran Idayu, kembali terlihat bagaimana para pemeluk agama Hindu-Buddha tidak memiliki ambisi yang terlalu besar akan kekuasaan atau pembantaian agama lain. Ini tampak dari pemikiran Idayu pasca peristiwa meledaknya benteng Peranggi di Tuban. Sudah tak keluar bisikan

186 kata dari mulut Idayu. Suara itu bergema-gema hanya dalam hati sendiri: “Perang, kekuasaan, kekayaan, seperti api unggun dalam kegelapan dan orang beterbangan untuk mati tumpas di dalamnya (hlm. 732).

c. Pemeluk Agama Hindu-Buddha Tetap Menjaga Budayanya

Secara fisik, orang-orang beragama Hindu-Buddha memiliki ciri fisik atau berpakaian yang berbeda dengan agama Islam. Bandingan gambaran fisik dari agama

Hindu-Buddha dan agama Islam adalah sebagai berikut.

(47) Pria berambut pendek, bahkan gundul tak berdestar atau berkopiah, adalah mereka yang menanggalkan agama leluhur. Mereka tidak berkain batik, tetapi berkain tenun genggang atau polos tanpa belahan, tak mengenakan wiron atau dodot. Pria berambut panjang berdestar batik pertanda masih mengukuhi Buddha atau Syiwa atau Wisnu, dan hampir selalu berkain batik atau wulung. Dan bila rambut panjang mereka tergulung dalam destar, itulah pertanda mereka pedagang pedalaman yang berurusan dengan pedagang-pedagang beragama Islam (hlm. 21- 22).

Pada kutipan (47) terlihat perbedaan kontras mengenai cara berpakaian agama

Hindu-Buddha dengan agama Islam. Pemeluk agama Hindu-Buddha masih mempertahankan tradisi berpakaian mereka dengan rambut tetap panjang. Berbeda dengan Islam yang gundul dan berkopiah. Gambaran mengenai pemeluk agama

Hindu-Buddha memperlihatkan jika para pemeluknya selalu menggunakan kain batik

(produk budaya lokal). Citra yang tampak adalah para pemeluk agama Hindu-Buddha tidak menggunakan sesuatu yang baru untuk menghiasi penampilannya. Cara berpakaian yang mereka tampilkan tetap menjaga keseimbangan budaya yang telah

187 diwariskan pada mereka. Inilah citra atau gambaran fisik para pemeluk agama Hindu-

Buddha.

d. Pemeluk Agama Hindu-Buddha Sangat Menghargai Dewa-Dewanya

Perlawanan dari para pemeluk agama Hindu-Buddha diperlihatkan sebagai bentuk perlawanan atas otoritas Islam di Tuban. Pelarangan batu-batu berukir yang merupakan simbolisasi dari penyembahan pada para dewa, menjadi momok bagi para pemeluk agama Hindu-Buddha. Bagi mereka, pelarangan ini sama dengan pelarangan dewa turun ke bumi Tuban. Jika ini terjadi, maka yang akan datang hanya kekacauan bukan rahmat. Ini tampak dari benturan pemikiran dari tokoh Boris (salah seorang pegulat) dan tokoh Pada.

(48) “Bagaimana wajah dunia tanpa gapura?” Boris mengaum. “Dewa-dewa akan enggan turun ke bumi. Hancurkanlah gapura kahyangan, dan para dewa akan pindah ke tempat lain..” suaranya keluar lagi, seperti tangis bayi, tanpa daya: “Pindah entah ke mana para dewa itu. Celakalah manusia bila para dewa tak mau tahu lagi. Apakah Gusti Adipati sudah bertekad melawan para dewa? “Begitulah kata warta,” Pada meneruskan dengan hati-hati, matanya tertuju pada Boris. “Biadab! Disambar petirlah dia!” Boris meraung, seakan batu-batu itu bagian dari dirinya sendiri. “Dia hendak cekik semua pemahat dan semua dewa di kahyangan. Dikutuk dia oleh Batara Kala” (hlm. 53).

Boris mewakili pemeluk agama Hindu-Buddha lainnya. Boris ingin memperjuangkan eksistensi agamanya di tengah dominasi Islam yang mulai tumbuh di Tuban. Bagi Boris, aturan yang melarang batu-batu berukir berarti pelarangan dewa di bumi Tuban. Ini berarti pengharapan akan datangnya kehancuran di bumi

Tuban.

188 Kutipan (48) juga ingin mendeskripsikan aturan dari ajaran agama baru

(Islam) hanya merupakan pemanggilan pada Batara Kala. Simbolisasi jika ajaran dan kebijakan agama baru (Islam) hanya akan mendatangkan bencana. Benturan ini membentuk citra pemeluk agama Hindu-Buddha yang berjuang mempertahankan eksisitensi agamanya yang mulai dikikis oleh aturan Islam. Citra positif dari pemeluk agama Hindu-Buddha yang begitu menghargai dewa hingga menolak pelarangan pembuatan gapura.

e. Pemeluk Agama Hindu-Buddha Taat Menjalankan Ritual Agamanya

Agama Hindu-Buddha dalam Arus Balik telah mengalami masa degradasi.

Gambaran mengenai perkembangan agama Hindu-Buddha terlihat ketika

Wiranggaleng mencari Idayu hingga ke pedalaman desa Rajeg. Di sinilah

Wiranggaleng mengerti jika perguruan-perguruan Buddha semakin susut. Dengan adanya pengajian-pengajian, anak-anak mendapat dalih untuk tidak mengunjungi dua-duanya. Pengaruh Buddha dan Syiwa semakin susut. Tak bisa lain, berabad-abad lamanya agama raja adalah agama kawula, dan sang Adipati dimasyhurkan oleh kawulanya telah memeluk agama Islam (hlm. 448).

Bentuk pengekangan yang dilakukan Islam dengan segala aturannya tampak dengan dihapuskannya sebuah ritual, pesta api. Pesta api adalah pembakaran para janda yang telah ada sejak dulu di Tuban. Pesta api ini telah dilarang oleh Islam untuk dilakukan lagi di Tuban. Walaupun pada umumnya penduduk negeri Tuban beragama

Buddha, tetapi pengaruh Hindu dan adat-istiadatnya masih mendarah daging.

189 Pergantian raja karena perang ataupun tidak, mengakibatkan banyak terjadi pergantian agama: Syiwa, Wisynu, Brahma, dan Buddha, bagaimana saja rajanya.

Dengan demikian, penduduk negeri tidak mempunyai kesempatan cukup lama untuk menganut salah satu agama dengan mendalam. Suatu hal yang menyebabkan pembakaran janda tetap umum di mana-mana di negeri Tuban. Wanita yang menceburkan diri ke dalam api mengikuti mendiang suami mendapat nilai sebagai wanita setiawan dan terpuji (hlm. 279).

Penghargaan tinggi diberikan kepada wanita yang menjalankan pesta api, yaitu gelar wanita setiawan. Karena agama Hindu-Buddha telah lama menjadi pegangan masyarakat, maka pesta api tetap dilakukan walau agama Hindu-Buddha telah mengalami degradasi akibat pengaruh agama Islam. Masih adanya wanita yang menjalankan pesta api, menggambarkan jika ritual agama Hindu-Buddha masih tetap dilakukan walau ditengah kekangan aturan agama Islam.

f. Pemeluk Agama Hindu-Buddha Tidak Memaksakan Kehendak

Pemeluk agama Hindu-Buddha juga diajarkan untuk tidak memaksakan kehendak pada orang lain. Inilah yang mencegah terjadinya bentrokan atau perselisihan antarsesama. Citra ini tampak dari perkataan Idayu. Idayu melakukan perbandingan mengenai guru pembicara agama Hindu-Buddha dengan guru pembicara agama Islam. Idayu mengutarakan pendapatnya kepada Pada.

(49) “Tentu, aku percaya. Rasa-rasanya akan tetap lain dari pada di desa-desa di luar Demak. Dari ceritamu tadi, sekali lagi aku terpaksa membayangkan, Pada, guru pembicara alias musafir Demak itu bicara

190 untuk mendapatkan pengikut atau merebut pengikut orang lain. Guru pembicara kami tidak mancari pengikut, maaf, mereka hanya menyatakan perasaan dan pikirannya. Mereka tak punya apa-apa kecuali pikiran, pendapat, dan perasaannya. Mereka tidak menginginkan kekuasaan seperti kau. Bukankah kau jadi musafir Demak karena kebencianmu terhadap sang Adipati? Dan sang Adipati hendak membunuhmu karena kau merugikannya lebih dahulu?” Ia memerlukan menengok ke belakang melihat pada Pada, dan lelaki itu tak membantah. “Kata orang, dahulu kala mereka itu adalah guru-guru Buddha. Makannya pun didapatkannya dari para pengagumnya, juga pakaian dan pemondokan. Tak ada raja atau siapapun yang menyuruh atau memberinya perlindungan”. “Ternyata kau pun pandai bicara, Mbokayu.” (hlm. 457).

Kutipan (49) mendeskripsikan bandingan antara guru pembicara agama

Hindu-Buddha dan agama Islam. Idayu memaparkan bagaimana seorang guru pembicara agama Hindu-Buddha, khususnya agama Buddha melakukan ceramah tanpa tuntutan atau tujuan tertentu. Berbeda dengan Islam yang melakukan ceramah dengan tujuan penyebaran agamanya dan merebut (memaksa) pengikut orang lain.

Guru ceramah agama Hindu-Buddha juga tidak memiliki ambisi untuk kekuasaan seperti musafir Islam Demak. Pemikiran dan perkataan Idayu memberikan gambaran bagaimana citra para guru pembicara agama Hindu-Buddha yang cenderung lebih positif jika dibanding dengan guru pembicara agama Islam yang tidak murni berniat menyampaikan ajaran Islam.

Ceramah guru pembicara Islam selalu memiliki embel-embel penyebaran agama Islam dan mencari pengikut yang berimbas pada pencarian kekuasaan. Hal ini terlihat dari sikap Pada, musafir Demak yang tidak bisa melakukan pembenaran di hadapan Idayu dan seolah membenarkan ucapan Idayu. Perbandingan pun terjadi lagi

191 ketika objek yang dibicarakan oleh Pada dan Idayu mengenai kebenaran. Berikut kutipan mengenai perbandingan tersebut.

(50) “Bagaimana pun kebenaran akan menang, Mbokayu. Untuk sampai pada kebenaran itu ada jalan-jalan tertentu yang harus ditempuh. Lihatlah, kalau ada seribu guru pembicara di desa-desa seperti itu, maka ada seribu macam pendapat, dan kebenaran itu sendiri akan semakin jauh, semakin jauh, sampai takkan ada kebenaran sama sekali.” “Di desa-desa, Pada, kau pun tahu sendiri, orang sudah terbiasa memilih satu di antara kebenaran-kebenaran yang paling cocok untuk dirinya. Tak ada orang yang marah karena itu, apalagi membunuhnya. Apakah kata-kataku keliru?” “Ah, Mbokayu, selama kebenaran berasal dari manusia, dia meragukan, karena hanya Allah pemilik kebenaran, Yang Maha Esa.” “Aku pernah dengar tentang Allahmu. Aku belum mengenal. Orang tua kami tak mengenalnya sama sekali, karena mendengarnya pun belum. Betapa berdosanya kami kalau harus menganggap mereka tidak mengenal kebenaran, hanya karena tak mengenal Allahmu”. Idayu merasa, ia sudah sampai pada titik di mana pertikaian akan bermula, maka ia tak meneruskan kata-katanya (hlm. 457-458).

Kutipan (50) mendeskripsikan bagaimana corak pandangan yang berbeda antara Pada (Islam) dan Idayu (agama Hindu-Buddha) mengenai konsep kebenaran.

Konsep Islam yang diwakili oleh Pada mengakui jika kebenaran hanya Allah sedangkan Idayu yang mewakili agama Hindu-Buddha berpendapat jika kebenaran berasal dari ceramah dan pemikiran para guru yang telah menghayati agama Hindu-

Buddha dan kehidupan. Bagi agama Hindu-Buddha, kebenaran yang dipilih oleh pendengar sendiri bergantung pada subyektivitas individu masing-masing, bukan karena doktrinisasi atau pemaksaan seperti yang dilakukan oleh pemeluk Islam.

Idayu merasa tidak bijaksana kalau Islam mengatakan kebenaran menurut agama Hindu-Buddha tidak benar hanya karena konsep baru yang diterima oleh pemeluk Islam yang diwakili Pada. Bukan salah penduduk Jawa jika mereka belum

192 bisa menerima kebenaran menurut Islam karena budaya agama Hindu-Buddha yang masih melekat pada diri masing-masing. Dari percakapan Idayu dan Pada, tergambar mengenai perbedaan atau benturan antara agama Hindu-Buddha dan Islam.

Sebuah citra positif yang dibentuk oleh Idayu sebagai pemeluk agama Hindu-

Buddha. Ajaran Hindu-Buddha tidak memaksakan manusia atau pemeluknya untuk selalu percaya pada guru pembicara. Kebenaran dari Hyang Widhi dapat dicari atau dipegang jika masing-masing individu merasa kebenaran yang disampaikan oleh guru pembicara berguna untuk kehidupannya. Tak ada paksaan dalam ajaran agama

Hindu-Buddha. Inilah nilai positif agama Hindu-Buddha yang hadir dari perkataan

Idayu. Jauh berbeda dengan Islam yang melakukan pemaksaan dan doktrinisasi terhadap pemeluknya untuk mengembangkan ajaran Islam.

Citra agama Hindu-Buddha yang melekat pada keluarga Wiranggaleng pun bersumber pada Rama Cluring. Keluarga Wiranggaleng sangat mengagumi guru penceramah ini. Segala ceramahnya hidup dalam keluarga Wiranggaleng, termasuk

Idayu dan anak-anaknya. Religiusitas dan pola pikir dari agama Hindu-Buddha terlihat dari sikap Gelar, anak Idayu. Ia tidak mempercayai perkataan Pada mengenai

Islam. Segala pendapat Pada yang berakar dari Islam tidak dapat mempengaruhi pendirian dan pola pikir Gelar, seorang pemeluk agama Hindu-Buddha.

Terlihat bagaimana benturan antara agama Hindu-Buddha dan Islam. Islam tetap tidak dapat mempengaruhi pemikiran seorang pemeluk agama Hindu-Buddha, khususnya keluarga Wiranggaleng. Suatu upaya dari pengarang untuk tetap mempertahankan eksistensi agama Hindu-Buddha dalam keluarga Wiranggaleng.

193 Sebuah perdebatan dari dua sikap yang berlainan itu antara Pada dan Gelar, tak menghasilkan kelegaan pada kedua belah pihak. Pada mengakui tak dapat mematahkan pengaruh para guru pembicara yang telah berakar di dalam keluarga

Wiranggaleng (hlm. 595).

g. Mental Individu yang Mandiri dari Pemeluk Agama Hindu-Buddha

Citra positif pemeluk agama Hindu-Buddha lainnya tampak dari sikap

Wiranggaleng yang tidak membutuhkan pembenaran atas kegagalannya. Ini tampak dari kutipan berikut.

(51) “Ya, Kang, manusia hanya bisa mengusahakan. Allah juga yang menentukan. Terserahlah semua kepadaNya” “Hiburan semacam itu aku tak butuhkan, Pada. Murid-muridmu mungkin memerlukan lebih dari dirimu sendiri. Bagiku lain. Bagimu, aku seorang kafir, dan aku senang dengan kekafiranku. Aku tak membutuhkan kata-kata hiburan,” suaranya menjadi bersungguh- sungguh disarati oleh pergulatan batin, “Biarlah hati ini patah karena sarat dengan beban, dan biarlah dia meledak karena ketegangan. Pada akhirnya perbuatan manusia menentukan, yang mengawali dan mengakhiri” (hlm. 666).

Kutipan (51) menjadi gambaran bagaimana Wiranggaleng mencapai titik putus asa di semenanjung Malaka sewaktu penyerangan ke Malaka untuk kedua kalinya. Tuban, negeri Wiranggaleng telah diduduki oleh Peranggi setelah diserang oleh Demak. Demak pun menari di atas derita gugusan gabungan yang melakukan penyerangan ke Malaka atas titah Demak sendiri. Wiranggaleng merasa sebuah kesia- siaan atas segala tindakannya untuk menyelamatkan Jawa. Maka, Pada berusaha menghibur dengan menyerahkan segalanya kepada Allah, itulah ajaran Islam. Ajaran

194 ini tidak dibutuhkan oleh Wiranggaleng. Ajaran Hindu-Buddha yang telah diterima oleh Wiranggaleng dan terus diyakininya membentuk kepribadiannya yang mandiri.

Kutipan (51) menunjukkan jika Wiranggaleng tidak mau melakukan hal yang sama dengan Pada, yaitu mutlak menyerahkan segalanya kepada Allah. Benturan agama ini terjadi karena Wiranggaleng dengan ajaran agama Hindu-Buddhanya memiliki keyakinan jika apa yang terjadi dalam realitas, manusialah yang membentuk dan manusia juga yang menerima segala konsekuensinya. Ini menjadi sindiran bagi

Pada yang selalu melakukan pembenaran atau selalu menyerahkan segalanya kepada

Allah. Sindiran ini juga mengenai Islam secara langsung. Islam selalu membawa

Allah atas segala perbuatannya dan ketidakmampuan pemeluk agamanya.

Ajaran agama Hindu-Buddha membentuk pribadi dan mental yang kuat dalam diri Wiranggaleng. Agama Hindu-Buddha tidak pernah mengajarkan pada umatnya untuk melakukan pembenaran atas kesalahan dan ketidakmampuan manusia dalam menghadapi sebuah realita. Bencana atau musibah dalam hidup terjadi karena kedunguan manusia. Jadi, manusia juga yang harus menerimanya tanpa menyalahkan

Dewa atau Tuhannya. Sebuah citra positif dari ajaran agama Hindu-Buddha yang mengakar dalam diri pemeluknya, Wiranggaleng.

h. Sikap Menghargai Agama di Luar Agama Hindu-Buddha

Sikap Wiranggaleng menjadikannya sebagai ikon agama Hindu-Buddha.

Ajaran agama Hindu-Buddha tercermin dalam segala perbuatannya. Salah satu sikap

Wiranggaleng yang membentuk citra agama Hindu-Buddha adalah sebagai berikut.

195 (52) Wiranggaleng berhenti melihat ke suatu jurusan. Di kejauhan, ia melihat seorang prajurit Peranggi sedang berlutut menghadap pada sebatang pohon kayu, barangkali sedang bersembahyang. Dua belah tangannya terangkat di tentang dada. Ia jalankan kudanya dan mendekatinya perlahan-lahan. Mengetahui ada seorang musuh, para penggiring memacu kuda, mengepung serdadu itu. Tombak-tombak pun teracu siap untuk dijojohkan. “Jangan ganggu dia!” pekik Senapati mencegah. Orang pun menarik tombaknya kembali tetapi tetap mengepungnya. Dan Wiranggaleng berpacu menghampiri. “Jangan ganggu. Lihat baik-baik. Dia lagi bersembahyang pada dewanya. Tarik kembali semua tombak. Ingat-ingat kalian, prajurit Tuban, jangan sampai kalian meletakkan mata senjata pada seseorang yang takkan bisa melawan dan tak mampu melawan. Barangsiapa sedang bersembahyang, dia tidak menghadapi manusia. Menyingkir kalian dari dia.” (hlm. 734).

Kutipan (52) merupakan gambaran dari kedewasaan sikap Wiranggaleng.

Citra positif agama Hindu-Buddha terbentuk dari sikap wiranggaleng yang mencegah prajuritnya untuk membunuh musuh yang sedang bersembahyang. Kutipan (52) merupakan peristiwa ketika Wiranggaleng berpatroli pasca kekalahan Peranggi di ranah Tuban.

Kutipan ini juga memberi penggambaran bagaimana Wiranggaleng menghormati dewa orang Peranggi. Sikap yang bertolak belakang dari pemeluk

Islam. Wiranggaleng dapat menerima kemuliaan dewa orang-orang Peranggi sehingga ia tidak ingin ada yang mengganggu Peranggi yang sedang bersembahyang tersebut. Sembahyang merupakan sesuatu yang sakral bagi Wiranggaleng. Ini dikarenakan ketika seseorang yang sedang bersembahyang sedang berkomunikasi atau memuja Dewanya. Itulah yang hadir dalam pemikiran Wiranggaleng. Sebuah

196 penghormatan besar terhadap dewa-dewa, sekalipun bukan dewa agamanya. Sikap positif dari pemeluk agama Hindu-Buddha yang menghargai agama lainnya.

i. Sikap Saling Mengasihi dari Pemeluk Agama Hindu-Buddha

Sikap mengasihi juga menjadi citra positif seorang pemeluk agama Hindu-

Buddha. Seorang pemeluk agama Hindu-Buddha dituntut bisa menjaga ego dan emosi pribadi sehingga dapat mengasihi orang lain, walau ia musuh sekali pun. Sosok individu yang mengasihi keselamatan orang lain, muncul dalam sosok Wiranggaleng.

Kejadian yang menunujukkan hal ini adalah ketika Wiranggaleng bertemu dengan seorang Peranggi yang sedang berdoa untuk keselamatan diri. Ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(53) Orang pun menyingkir. Dari belakangnya, seseorang membantah: dan Senapati menoleh, berkata: “Dia musuh sewaktu memusuhi kau. Sewaktu dia tiada berdaya dan tenaga untuk bermusuhan, samalah keadaannya dengan bayi atau isteri yang sedang menyusui.” “Kalau kemudian dia memusuhi lagi, Senapatiku.” “Kembali kau harus memeranginya.” “Lebih baik dibunuh sekalian, Senapatiku” “Kalau begitu, kau bukan prajurit, tapi pembunuh,” ia menengok ke kiri dan ke kanan. “Itu tak boleh terjadi. Maka, kalian harus tetap waspada. Artinya kalian harus selalu tegak dan tetap perwira” (hlm. 734-735).

Kutipan (53) memberi gambaran bagaimana Wiranggaleng yang sangat membenci Peranggi memiliki kesanggupan untuk tidak terus memusuhinya. Sebuah perbuatan yang terpuji dari seorang pemeluk agama Hindu-Buddha.

Kutipan ini sendiri memberi penggambaran sosok Wiranggaleng yang membenci kebrutalan. Wiranggaleng melarang prajuritnya untuk melakukan

197 pembunuhan jika tanpa alasan permusuhan. Jika musuh tidak berdaya, maka sebuah keharusan untuk para prajurit untuk tidak membunuhnya. Bagi Wiranggaleng, hakikat prajurit sangat berbeda dengan hakikat pembunuh. Sikap ini juga tampak ketika

Wiranggaleng memerangi pemberontakan Sunan Rajeg. Membunuh orang yang bukan musuh atau tidak memiliki kemampuan untuk melawan adalah tindakan tercela. Kutipan (53) sekali lagi membentuk citra agama Hindu-Buddha yang cinta perdamaian dan saling mengasihi. Sikap damai dari Wiranggaleng juga tampak pada kutipan berikut.

(54) Orang Peranggi itu telah selesai bersembahyang. Dengan kudanya, Wiranggaleng makin mendekati. “Mengerti Melayu?” tanya Wiranggaleng. Sekarang orang Portugis itu mencoba bangun, tapi jatuh berlutut kembali. Dan orang melihat darah pada kaki dan pahanya. “Sedikit, ya, Tuan.” “Mengapa tak kau selamatkan jiwamu?” “Kaki tak bisa dibawa lari. Maut tak dapat dihindari. Telah kuserahkan semua pada Tuhan,” jawabnya sambil membuat salib. “Bawa dia. Peliharakan dia sampai baik,” Senapati memerintahkan. “Tak ada orang yang boleh ganggu atau sakiti dia. Bila sudah sembuh, sediakan perahu layar, persediaan makan untuk tiga minggu, dan bebaskan dia.” Orang Portugis itu sekali lagi mencoba bangun dan gagal untuk kedua kalinya. Pakaiannya yang compang-camping melambai-lambai tertiup angin. Ia angkat kedua belah tangan ke arah langit, mengucapkan syukur, dan sekali lagi membikin gerakan salib. Kemudian dengan suara lemah: “Semoga kebaikan Tuan akan terbalas”. “Semoga Dewa Batara melindungi kau, Peranggi. Siapa namamu selengkapnya?” “Sylvester da Costa, Tuan.” “Kosta!” Senapati mengulangi dan Portugis itu mengangguk (hlm. 735).

Kutipan (54) mendeskripsikan bagaimana Wiranggaleng mengambil sikap mengasihi, bukan memusuhi musuh yang selama ini dibencinya, Peranggi. Bahkan,

198 Wiranggaleng menitahkan keselamatan Peranggi tersebut pada prajuritnya. Sikap

Wiranggaleng yang tidak membunuh musuhnya melainkan menyelamatkan dan merawatnya hingga memfasilitasi pembebasan Peranggi tersebut merupakan cermin dari pemeluk agama Hindu-Buddha. Wiranggaleng tidak memiliki sedikitpun rasa permusuhan atau balas dendam. Baginya, Peranggi tersebut adalah manusia biasa.

Wiranggaleng bahkan mendoakan Sylvester da Costa agar dilindungi oleh Dewa

Batara. Sikap inilah yang mendukung terciptanya citra agama Hindu-Buddha yang menujunjung tinggi nilai mengasihi sesama manusia terlepas dia Peranggi atau tidak.

Citra positif pemeluk agama Hindu-Buddha kembali tampak pada sikap

Wiranggaleng yang memberi maaf dan restu pada Gelar yang telah membunuh Sayid

Alamasawa. Ini tampak dalam kutipan berikut.

(55) “Siapa Kau?” “Gelar, Bapak, anakmu.” “Kuterima sujud dan sembahmu dari atas kuda ini, Gelar” “Senapatiku, Bapakku, adakah aku,” ia terhisak-hisak. ”Aku, aku, aku, masih patut jadi…” hisakannya semakin keras, “Jadi, jadi, jadi anakmu?” “Kuberikan restuku padamu setiap saat kau teringat padaku dan melakukan segala yang baik dan benar, yang tidak mendatangkan kutukan dari Maha Buddha,” jawab Senapati dari atas kudanya dengan pandang terarah lurus ke selatan (hlm. 742).

Kutipan (55) memaparkan sikap Wiranggaleng yang memaafkan perbuatan anaknya yang sebenarnya tidak dapat lagi dapat dimaafkan. Perbuatan Gelar yang tidak dapat dimaafkan itu adalah pembunuhan yang dilakukannya terhadap Sayid

Almasawa. Wiranggaleng memaafkan Gelar sembari tetap mengingatkan anaknya akan ajaran agama Hindu-Buddha, khususnya Buddha. Wiranggaleng tetap meminta

199 anaknya untuk melakukan kebaikan dan kebenaran sesuai kehendak Buddha atau ajaran Hindu-Buddha yang telah didapat di keluarganya. Sikap ini membentuk citra agama Hindu-Buddha yang memberi pengajaran tentang kemurahan hati. Sebuah citra positif dari agama Hindu-Buddha.

4.1. 2 Citra “Negatif” Agama Hindu-Buddha

Citra negatif agama Hindu-Buddha merupakan sisi lain dari ajaran agama

Hindu-Buddha di Arus Balik. Citra ini terbentuk karena sikap, pemikiran, maupun perbuatan para pemeluk agama Hindu-Buddha yang dapat merugikan pemeluk atau ajaran agama lainnya.

Dalam Arus Balik sendiri, tidak ada indikasi mengenai citra negatif agama

Hindu-Buddha. Agama Hindu-Buddha ditampilkan dalam suasana yang damai dan merupakan agama yang telah lebih dulu ada. Agama Hindu-Buddha menjadi objek dari perubahan zaman yang dihadirkan oleh ajaran agama baru. Agama Hindu-

Buddha dihadirkan sebagai agama yang pasif dalam artian tidak melakukan pemberontakan maupun pergolakan sebagai balasan kepada Islam. Jadi, agama

Hindu-Buddha digambarkan sebagai agama yang jauh dari kata kekerasan maupun fanatisme berlebih kepada agamanya.

4. 2. Citra Agama Islam

Sub Judul ini akan membahas tentang citra agama Islam yang ada dalam Arus

Balik. Citra agama Islam dapat terbentuk jika dilihat dari isi ajaran agama Islam dan

200 perilaku para pemeluk agama Islam yang telah mendapat ajaran Islam. Berikut pembahasan mengenai citra agama Islam dalam Arus Balik.

4.2.1 Citra Positif Agama Islam

Gambaran mengenai agama Islam dalam Arus Balik dapat dilihat dari tindakan, sikap, atau pemikiran umatnya dalam meyakini ajaran agama Islam. Segala perbuatan, sikap, atau pemikiran umat Islam yang membawa kebaikan atau tidak menimbulkan kerugian secara fisik maupun batiniah pada pemeluk agama lainnya akan membentuk citra positif agama Islam.

Citra positif agama Islam dihadirkan oleh Pram dalam tingkah laku para pemeluknya. Untuk nilai atau isi ajaran Islam yang positif, tidak terlihat dalam Arus

Balik. Berikut citra positif pemeluk agama Islam yang ada dalam novel Arus Balik.

4.2.1.1 Citra Positif Pemeluk Agama Islam

Citra positif pemeluk agama Islam juga dibentuk oleh perilaku, sikap, dan pikiran umatnya. Segala tindakan dan pemikiran dari para pemeluk agama Islam secara langsung membentuk image agama Islam. Berikut pembahasan mengenai citra positif dari pemeluk agama Islam yang ada dalam Arus Balik.

a. Pemeluk Agama Islam Merupakan Individu yang Ulet

Citraan positif pemeluk agama Islam diawali dengan perkembangan Islam di

Gresik. Islam telah menjadi agama mayoritas di Gresik. Di Gresik, sewaktu

201 Wiranggaleng hendak mencari terjemahan surat Sunan Rajeg, ia mendapati Islam telah menjadi agama mayoritas. Islam dianggap sebagai ajaran baru yang jauh lebih baik bagi kehidupan. Inilah yang membuat Islam menjadi agama mayoritas di bandar

Gresik. Sebuah pencitraan yang positif dari agama Islam. Hal ini juga memberi gambaran bagaimana Islam sangat dihayati dan dirasa cocok bagi masyarakat di

Gresik. Ini terbukti dari perjalanan Wiranggaleng di Gresik. Di bandar Gresik, orang- orang berambut panjang lebih sedikit. Orang yang mengenakan baju juga jauh lebih banyak, menandakan golongan satria tidak lagi begitu berkuasa, dan kehidupan lebih banyak dikuasai oleh pedagang Islam (hlm. 264).

Gambaran positif dari pemeluk agama Islam sendiri dibentuk oleh pemikiran

Adipati Tuban. Dari pemikirannya, terlihat bagaimana kaum Islam sangat ulet dan lebih dapat mandiri dibanding pemeluk agama Hindu-Buddha. Mereka dapat bekerja sendiri tanpa mengharapkan pengayoman dari sang Raja. Kemandirian dan keuletan para pemeluk agama Islam inilah yang memberi citra Islam yang positif. Ini dapat dilihat dari kutipan berikut.

(56) Sang Adipati Tuban dapat melihat keuletan para pedagang Islam yang akhir-kelaknya akan menjamin, Islam juga yang akan mengganti agama lama. Pemeluk-pemeluknya memiliki kegesitan, punya kepercayaan pada usahanya sendiri, terlepas dari karunianya, punya prakarsa dalam banyak hal. Mereka dapat hidup jaya tanpa perdagangan antar-pulau dan tanpa menggarap tanah, tanpa memikul (hlm. 215).

Kutipan (56) merupakan pemikiran Adipati Tuban mengenai perkembangan

Islam di Tuban. Pemeluk agama Islam memiliki kemandirian yang tidak dimiliki oleh pemeluk agama Hindu-Buddha. Kutipan ini membentuk citra pemeluk agama Islam

202 yang dapat bertahan hidup bahkan berkembang tanpa terlalu bergantung pada kebijakan Sang Adipati, sawah maupun perdagangan antarpulau. Pemeluk agama

Islam dideskripsikan memiliki inisiatif dan kreativitas yang bisa memprakarsai hidupnya masing-masing. Dalam artian lain, pemeluk Islam memiliki otak yang lebih cerdas dalam menjalani kehidupan. Hal ini secara langsung membentuk citra positif agama Islam.

b. Pemeluk Agama Islam Mengkritisi Kelemahan Ajaran Hindu-Buddha

Citra positif pemeluk agama Islam juga dibentuk oleh tokoh Pada. Citra ini terbentuk dari sikap Pada yang mengkritisi ajaran agama Hindu-Buddha. Pengkritisan akan agama Hindu-Buddha dilakukan oleh Pada sebagai seorang musafir Islam

Demak. Pada mengkritisi ajaran agama Hindu-Buddha ketika Idayu bertanya mengenai pengikut-pengikut Sunan Rajeg yang mau mengikuti Sunan Rajeg yang malah membunuh mereka. Kejadian ini terjadi ketika Idayu dan anak-anaknya beserta

Pada hendak pulang ke Awis Krambil pasca peristiwa di Gowong. Ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(57) “Sunan Rajeg tak mau kehilangan sesuatu pun dari miliknya. Sesuap nasi pun ia tak pernah berikan pada seseorang. Semua petani membayar upeti tinggi padanya, lebih tinggi dari pada desa-desa lain kepada Tuban”. “Mengapa orang pada mengikutinya, tahu dia begitu?” “Itulah kekeliruan ajaran agama lama barangkali, kerumunilah orang berilmu, ikuti dia, selamatkan dia dan jalani petunjuk dan ajarannya. Kau sendiri tahu ajaran itu, Mbokayu. Anak desa segunung- gunungnya hafal nyanyian itu” (hlm. 455).

203 Kutipan (57) memberi gambaran bagaimana seorang yang telah mengecap agama baru mengkritisi agama lamanya. Dari pembelajaran agama Islam, Pada mulai mengerti kelemahan ajaran agama Hindu-Buddha. Pada atau Mohammad Firman mengkritisi ajaran agama Hindu-Buddha yang menganjurkan masyarakatnya untuk mengikuti (percaya) pada orang-orang berilmu. Ajaran ini berimbas pada masyarakat desa Rajeg. Mereka mengikuti orang yang menurut mereka berilmu. Padahal, Rangga

Iskak atau Sunan Rajeg tidak memperlakukan mereka selayaknya kawula melainkan seperti budak yang membayar upeti yang tinggi. Salah satu pengkritisan yang dilakukan Pada akibat banyaknya masyarakat yang menjadi pengikut Rangga Iskak hanya karena ia memiliki kepintaran.

c. Pemeluk Islam Taat Menjalankan Ajaran Agamanya

Citra positif pemeluk Islam lainnya tampak pada sikap Ratu Aisah, Isteri

Raden Patah, Ibunda Adipati Unus dan Trenggono. Perilaku Ratu Aisah menjadi gambaran seorang pemeluk agama Islam yang baik. Ratu Aisah merupakan sosok wanita Islam yang soleh. Ia rajin berdoa dan menyuruh cucunya untuk terus menghafalkan dan melafalkan ayat-ayat suci agamanya. Keteduhan sikap Ratu Aisah juga tampak ketika sehabis berdoa, ia kembali melakukan sembahyang tahajjud hingga subuh (hlm. 531).

Ratu Aisah dihadirkan sebagai sosok Ibu yang sholeh. Dalam Arus Balik, segala kebijakan atau perilaku Ratu Aisah merupakan cerminan seorang muslim yang taat. Ratu Aisah hanya memerintah anaknya, Trenggono untuk mengusir Peranggi di

204 Malaka. Ia tidak pernah menyuruh untuk pembantaian kerajaan-kerajaan Hindu-

Buddha yang ada di Jawa. Sikap sholeh Ratu Aisah salah satunya terwujud dalam perilaku Ratu Aisah yang rajin sholat dan menyuruh cucunya untuk menghafal dan melafalkan ayat-ayat suci Islam.

Contoh lain citra pemeluk Islam yang positif terlihat dari sosok Pada yang kembali ke Tuban sewaktu Demak menyerang Tuban. Di tengah penjarahan yang dilakukan oleh pasukan Demak, Pada tetap menjalankan sholat. Citra pemeluk Islam yang taat. Pada mewakili dirinya yang pantas disebut guru Islam. Walau sangat ketakutan, seorang hamba Tuhan tetap melakukan sembahyang. Citra positif dari seseorang yang telah mengecap ilmu Islam. Dengan mengenakan pakaian basah, ia mengambil wudhu dan bersembahyang di beranda rumah kosong yang telah dilanda para penjarah (hlm. 580).

Citra positif pemeluk agama Islam hanya terangkum dalam tiga poin dari pembahasan di atas. Sebagian kecil dari Arus Balik, Islam dihadirkan Pram lebih positif dalam pemikiran Adipati Tuban tentang keuletan umat Islam dan Pada yang mengkritisi ajaran Hindu-Buddha beserta pemeluknya, serta sikap dan perilaku Ratu

Aisah yang taat dalam menjalankan keyakinannya. Ratu Aisah diidentikkan sebagai ibu yang bijaksana.

4.2.2 Citra “Negatif” Agama Islam

Citra negatif agama Islam merupakan sisi lain dari Islam dalam novel Arus

Balik. Citra ini terbentuk karena sikap, pemikiran, maupun perbuatan umat Islam

205 yang dapat merugikan pemeluk atau ajaran agama lainnya. Citra Negatif Islam juga dapat dibentuk oleh aturan-aturan atau isi ajaran tersebut yang terdapat dalam novel

Arus Balik. Image negatif agama Islam yang ada dalam Arus Balik tampak dominan dalam perkembangan alur Arus Balik. Berikut Pembahasan citra negatif Islam.

4.2.2.1 Citra “Negatif” dalam Ajaran Islam

Citra negatif ajaran Islam adalah gambaran negatif mengenai peraturan atau sifat dari ajaran Islam sendiri. Citra negatif ajaran Islam ini sendiri hanya dalam lingkup novel Arus Balik. Ini menjadi negatif karena Pram sebagai pengarang menghadirkan agama Islam sebagai agama yang memaksakan aturan-aturan baru yang tidak cocok sepenuhnya terhadap pola hidup masyarakat Nusantara, khususnya

Tuban. Tercatat hanya ada satu citra negatif ajaran Islam, yaitu pemaksaan aturan- aturan baru yang belum dapat diterima oleh masyarakat Tuban. Pembahasan mengenai citra negatif ajaran Islam hanya ada satu, yaitu sering memaksakan aturan- aturannya sendiri.

Agama Islam dalam novel Arus Balik digambarkan sebagai agama baru yang membawa kebudayaan baru dalam lingkup Nusantara sebelum masuknya Nasrani.

Islam berkembang dengan budaya sendiri tanpa melihat kemungkinan akulturasi yang lebih baik. Hal inilah yang membuat sebagian masyarakat Hindu-Buddha dalam Arus

Balik merasa dikekang dan merasa tidak nyaman dengan Islam yang membawa banyak peraturan yang harus dipatuhi.

206 Citra Islam ini dapat dilihat dari benturannya dengan ajaran dan budaya agama Hindu-Buddha. Ini tampak dari aturan-aturan yang telah dibuat oleh pedagang-pedagang Islam.

(58) Lima tahun yang lalu, sidang para pedagang Islam telah menghadap Tuanku Penghulu Negeri, memohon agar wanita menutup buah dadanya. Sejak itu, semua wanita yang keluar dari rumah diharuskan mengenakan kemban. Maka, sekarang mereka tak bertelanjang dada lagi seperti halnya kaum pria pribumi (hlm. 22).

(59) Anak-anak kecil bermain-main dalam rombongan besar di setiap lapangan terbuka, mengisi udara pagi dan sore dengan cericau, tawa dan sorak-sorainya. Lima tahun yang lalu, jarang terjadi yang demikian. Setelah sidang pedagang Islam, pribumi, dan asing menghadap Tuanku Penghulu Negeri agar membatasi penghajaran kafir pada kanak-kanak, asrama-asrama mulai ditinggalkan oleh mereka, dan mulai mereka bergentayangan tanpa pengembala (hlm. 22).

Kutipan (58) memberi gambaran mengenai budaya masyarakat Hindu-Buddha

(budaya nenek moyang yang telah berakulturasi dengan agama Hindu-Buddha) telah diubah oleh pengaruh pedagang Islam. Dalam hal ini, ajaran Islam sangat mempengaruhi perubahan cara berpakaian masyarakat Hindu-Buddha yang telah diwajibkan pemakaian kemban pada wanita.

Kutipan (59) memberi gambaran jika ada perubahan kebiasaan pada anak- anak. Biasanya, mereka mengumpul di asrama-asrama untuk mendengarkan pengajaran. Ini telah lama terjadi dalam masyarakat yang dominan beragama Hindu-

Buddha tersebut. Datangnya Islam yang sedikit banyak telah mempengaruhi pribumi, memberi perubahan pada kebiasaan ini. Secara tidak langsung, dalam kutipan ini,

Islam menganggap ajaran-ajaran yang diajarkan pada anak-anak di asrama (dalam hal ini, ajaran agama Hindu-Buddha) merupakan ajaran kafir yang tidak harus

207 dibudayakan lagi. Maka, secara perlahan perubahan tersebut terjadi dan menjadi budaya yang baru lagi.

Di sisi lain, pengarang juga memaparkan jika Islam telah bermukim di Tuban.

Islam telah menjadi agama sebagian penduduknya. Ini tampak dari kebijakan Adipati

Tuban yang menitahkan pembangunan mesjid di pelabuhan. Maka, di daerah pesisir telah membentuk penduduk yang beragama Islam. Dalam waktu pendek, bangunan itu telah menjadi suatu perkampungan Islam dari orang-orang melayu, Aceh, Bugis,

Gujarat, Parsi, dan Arab (hlm. 25).

Citra negatif Islam juga dapat dilihat dari benturan konsep ajarannya dengan agama Hindu-Buddha. Ini dapat dilihat dari pertentangan antar tokoh dalam Arus

Balik, misalnya ketika Galeng dan pegulat lainnya (pemeluk agama Hindu-Buddha) hendak meminta tuak kepada Pada (pejabat kadipaten yang beragama Islam). Dari percakapan inilah terlihat bagaimana pertentangan antara kedua ajaran ini.

(60) “Tuak dilarang di sini!” Pada memekik sengit dan keras, berdiri tegak menantang semua orang: Ia tahu tak ada di antara pegulat-pegulat itu berani meletakkan tangan pada seorang penjabat. “Dulu tak begitu banyak larangan” Galeng memprotes. “Memang. Kang Galeng tidak keliru: Dulu, dulu-sekarang, sekarang. Daging babi pun sekarang sudah tak boleh dihidangkan di sini. Di asrama sini, juga daging anjing” “Nampaknya di kota ini hanya larangan saja yang ada” Galeng mengancam. “Belum lagi semua aku katakan. Nanti sore akan diresmikan larangan baru: orang tak boleh memahat batu. Semua batu berukir di dalam kota harus dikumpulkan di alun-alun besok sampai lusa, sebelum perlombaan dimulai, akan dibuang ke laut. “Apa salahnya batu-batu itu?” “Salahnya karena mereka berukir!” jawab Pada ketus. “Batu berukir dalam peraturtan Islam, katanya barang-barang jahat.” (hlm. 52).

208 Sekali lagi terlihat bagaaimana Islam dengan aturannya mulai mengikis kebiasaan masyarakat yang tidak dilarang dalam agama Hindu-Buddha. Kutipan (60) memberi gambaran bagaimana penolakan dari pemeluk agama Hindu-Buddha terhadap larangan-larangan tersebut. Ditambah lagi dengan pelarangan batu-batu berukir, memberi gambaran bagaimana agama Hindu-Buddha di Tuban sedang mengalami masa yang terdegradasi. Hampir seluruh aspek kehidupan diatur oleh peraturan Islam. Tidak heran, ini dikarenakan sang Adipati Tuban pun beragama

Islam walaupun Adipati sendiri belum mengerti betul konsep Islam. Islam secara perlahan mulai mendikte pola hidup masyarakat Tuban yang masih memeluk agama

Hindu-Buddha.

Pengekangan yang dilakukan oleh Islam dengan aturannya pada kutipan (60) memberi indikasi jika Islam mulai mengikis ajaran agama Hindu-Buddha secara perlahan. Islam mulai melancarkan misinya untuk membasmi ajaran agama Hindu-

Buddha. Ini dimulai dari pelarangan-pelarangan yang juga berkaitan dengan prosesi keagamaan ajaran Hindu-Buddha. Misalnya, pelarangan dan pemusnahan patung- patung berukir yang merupakan simbol pemujaan agama Hindu-Buddha pada dewanya. Gambaran pengekangan ini membentuk citra Islam yang negatif dan menginginkan musnahnya ajaran agama Hindu-Buddha.

Pengaruh Islam di Tuban secara perlahan mulai banyak mengubah peraturan yang telah dipatuhi dari zaman nenek moyang. Mulai dari cara berpakaian, pola pikir, dan juga ritual budaya. Salah satu budaya yang dilarang Islam adalah budaya pembakaran janda-janda yang mengikuti jejak kematian sang suami atau dikenal

209 dengan sebutan pesta api. Melalui pelarangan budaya ini, Islam dapat menarik simpati masyarakat untuk masuk Islam.

Sebuah cara penyebaran agama Islam di Tuban. Melalui peraturan yang dibuatnya, Islam mulai mengambil simpati masyarakat yang takut terhadap ritual pesta api. Orang-orang Islam telah berusaha melawan adat kejam dan mengerikan ini sambil memasyhurkan agamanya. Golongan wanita terutama yang menyambut perlawanan kaum muslimin itu. Menerima Islam pada tingkat pertama berarti bagi mereka dibenarkan menghindari api maut. Dalam hanya satu generasi, pembakaran janda mulai susut keras dan kemudian hilang seperti tertiup angin badai (hlm 278).

Kebijakan Islam ini membuahkan hasil yang cukup merugikan bagi Tuban.

Pelarangan pesta api, berarti menambah jumlah janda hidup. Janda-janda ini dianggap pembawa sial, mereka hidup berkeliaran untuk mencari makan. Janda-janda yang bernasib baik, akan diangkat sebagai gundik, tetapi yang kurang beruntung, akan menjadi pelacur. Dengan berpengaruhnya Islam terhadap mereka, sekalipun baru terbatas pada penghindaran diri dari sang api, makin lama makin banyak pelacur yang bergentayangan (hlm. 279).

Aturan Islam yang melarang pesta api membuahkan hasil yang buruk di

Tuban. Janda-janda ini dianggap sebagai “pembawa sial” dalam tataran hidup masyarakat Tuban yang sebagian masih berkeyakinan Hindu-Buddha. Sebuah hasil negatif dari pemaksaan aturan yang dilakukan oleh Islam.

Citra negatif Islam hadir dalam pemaksaan aturan-aturannya. Tanpa mencoba mencari alternatif lain, yaitu akulturasi, Islam secara egois mulai mendikte

210 masyarakat Tuban dengan aturan-aturan. Aturan-aturan ini sendiri sangat berbeda dengan pola hidup dan pola kebudayaan agama Hindu-Buddha selama ini. Pemaksaan inilah yang sedikit banyak mempengaruhi antipati masyarakat Tuban, khususnya pemeluk agama Hindu-Buddha atas Islam.

4.2.2.2 Citra “Negatif” Pemeluk Agama Islam

Citra negatif pemeluk agama Islam adalah citraan negatif yang terbentuk oleh perilaku maupun pikiran pemeluk agama Islam. Tindakan para pemeluk agama Islam sendiri dinilai sebagai implementasi dari ajaran Islam yang mereka terima. Tindakan dan pola pikir dari para pemeluk agama Islam inilah yang juga membentuk citra negatif Islam dalam novel Arus Balik. Ada lima poin citra negatif pemeluk agama

Islam dalam Arus Balik. Berikut pembahasan mengenai citra negatif pemeluk agama

Islam.

a. Pemeluk Agama Islam Gemar Melakukan Penghinaan atau Pelecehan

Pemeluk agama Islam digambarkan oleh Pram sebagai individu yang gemar melakukan penghinaan dan pelecehan terhadap orang dan agama lainnya. Secara umum, para pemeluk agama Islam dalam Arus Balik mengalami sebuah Fanatisme yang cukup parah. Hal inilah yang membuat mereka secara gampang untuk melecehkan agama-agama lainnya. Citra negatif tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut.

211 (61) Seorang prajurit lain datang, memekik: “Mengaku sudah Islam. Mengapa pada batu takut? Ayoh, gulingkan. Ceburkan ke laut.” Tapi, penduduk pesisir Jepara dan prajurit pertama itu ragu-ragu. Prajurit ke dua itu mendekati arca itu dan meludahinya (hlm. 7).

(62) Prajurit pertama itu nampak malu dalam cahaya bulan. Dengan langkah goyah, ia mendekati Ganesya yang belum selesai itu dan dengan takut- takut menyentuh belalainya dengan telunjuk. ”Ludahi dia!” perintah prajurit ke dua. Prajurit pertama melengos. Ia tak berani. “Barang siapa yang masih mengaku Islam, ayoh bantu aku gulingkan batu ini!” pekik prajurit kedua. Hanya sepuluh orang yang maju. Mereka mendorong kepala arca itu sampai terguling di tanah. Prajurit kedua bersorak, pengikutnya juga bersorak. Makin lama makin banyak orang yang ikut serta. Tak lama kemudian terdengar batu itu tercebur ke laut dan hilang dari pandangan bulan dan manusia (hlm. 7).

Kutipan (61) dan (62) memberikan gambaran mengenai perilaku dari prajurit

Islam yang merusak dan menggulingkan simbol agama Hindu-Buddha ke laut.

Terlebih lagi, prajurit Islam telah meludahinya terlebih dahulu. Gambaran yang terjadi pada kutipan ini adalah gambaran perusak dari prajurit Islam. Hal ini berbeda dengan prajurit agama Hindu-Buddha (prajurit pertama) yang masih menghormati arca Ganesya sehingga menimbulkan ketakutan pada dirinya untuk tidak berbuat kesalahan dengan menggulingkan Ganesya. Tindakan prajurit Islam yang meludah dan berbondong-bondong membuangnya ke laut merupakan pelecehan terhadap kepercayaan agama Hindu-Buddha.

Citra negatif lainnya terjadi sewaktu Syahbandar Tuban, Rangga Iskak memberi persembahan ke Adipati Tuban, persembahan yang dilakukannya adalah

212 penghinaan dan menuduh agama lainnya selain Islam adalah kafir. Islam, baginya merupakan kebenaran yang mutlak. Ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(63) Sang Adipati memperbaiki letak keris, kemudian dilambainya Syahbandar agar mendekat. “Apa pengetahuanmu tentang bangsa kulit putih?” “Bangsa kafir itu, Gusti, bangsa berkulit putih, tapi hatinya, rohnya, nyawanya, hitam, Gusti, hitam seperti jelaga periuk. Mereka tidak mengagungkan Allah Yang Maha Besar. Mereka penyembah patung. Sedangkan, orang Jawa pun bukan penyembah patung, kecuali pemeluk Buddha. Mereka penyembah patung, Gusti” (hlm. 30).

Kutipan (63) mendeskripsikan pernyataan dari Syahbandar Tuban yang waktu itu masih diduduki oleh Rangga Iskak. Rangga Iskak yang merupakan pemeluk agama Islam, melecehkan agama lainnya sebagai kafir. Secara spesifik, agama tersebut adalah agama Nasrani dan Buddha. Rangga Iskak dengan mudahnya melakukan penghinaan jika agama lainnya selain Islam memiliki hati yang hitam

(penuh dosa) dan kafir. Sebuah penghinaan yang dilakukan oleh seorang pemeluk agama Islam yang membentuk citra negatif Islam. Ini dapat terjadi karena sebuah fanatisme yang berkembang dalam diri Rangga Iskak.

Berpindah ke Tuban. Di bandar tersebut terdapat dua gedung utama. Sebuah adalah kadipaten, yang lain merupakan gedung penghulu negeri umat Islam Tuban.

Penghuninya, penghulu Negeri berasal dari seberang, telah dipecat oleh Sang Patih atas perintah Sang Adipati. Dahulu, ia diangkat untuk mengurusi soal-soal agama penduduk dan mengajarkan Islam pada anak-anak pembesar. Ia juga diangkat untuk jadi guru putera-putera sang Adipati. Tetapi, ia menyia-nyiakan agama-agama lain

213 yang masih dipeluk oleh penduduk negeri Tuban. Sekarang, gedung utama kedua itu tertinggal kosong (hlm. 38).

Sang Penghulu negeri umat Islam yang tampak pada kutipan di atas merupakan sosok yang membentuk citra negatif agama Islam. Ia sebagai pemeluk agama, bahkan guru agama Islam telah menyia-nyiakan agama lain (Hindu-Buddha) yang telah lebih dulu ada. Keegoisannya inilah yang memberi citra negatif bagi

Islam. Penghulu negeri umat Islam ini berani menyia-nyiakan agama lainnya karena merasa jika agamanyalah yang terbaik sehingga menganggap agama lainnya tidak perlu.

Benturan antara agama Hindu-Buddha dan Islam kembali membentuk citra negatif bagi agama Islam. Hal ini juga dapat dilihat dari percakapan yang dilakukan oleh para pekerja di galangan kapal. Mereka saling beradu argumen mengenai lontar- lontar yang sebagian besar merupakan hasil pengaruh agama Hindu-Buddha. Terlihat jelas, bagaimana Hayatullah yang merupakan musafir Demak menghina dan merendahkan derajat lontar-lontar Jawa. Lontar-lontar ini merupakan simbolisasi dari keyakinan masyarakat Jawa sebagai agama Hindu-Buddha yang selama ini menerima pengajaran juga melalui lontar-lontar.

Hayatullah sedikitpun tidak merasa jika lontar-lontar itu memiliki nilai.

Lontar tertinggi baginya hanyalah AlQur’an. Biar pun lontar-lontar itu dua puluh kali, seratus kali, atau berapa saja yang disebut para pembicara beragama Hindu-Buddha, bagi Hayatullah sama saja. Lontar-lontar tersebut tidak dapat dibandingkan dengan

Alqur’an atau Alkitab atau Alfurkon, karena kitab ini berasal dari Allah melalui

214 rasulnya. Lontar itu hanya berasal dari para raja dan para empu, para Pujangga (hlm.

146).

Hayatullah juga menghina gelar kejawaan yang dipakai para pemimpin daerah

Jawa sejak zaman Majapahit (Hindu-Buddha). Keislaman Hayatullah membuatnya berpikir jika hal-hal di luar Islam adalah kafir. Sikap ini yang memberikan citra negatif bagi Islam. Pemeluk Islam hanya dapat menganggap dirinya dan segala yang berkaitan dengan Islam adalah mulia. Hayatullah menjelaskan pada Wiranggaleng sewaktu bekerja di galangan kapal. Hayatullah menjelaskan jika gelar Raden, gelar leluhur dari Majapahit telah diganti dengan gelar keislaman Ki Aji. Gelar Jawa yang merupakan gelar kafir tak mengandung sesuatu arti di dalamnya. Dalam Islam, hanya perbuatan orang dinilai oleh sesama dan oleh Allah (hlm. 146-147).

Hayatullah kembali menghina konsep dewa-dewa dalam agama Hindu-

Buddha. Penghinaan atau penurunan derajat agama Hindu-Buddha terus dilakukan oleh Hayatullah yang menganggap ajaran di luar Islam adalah kafir.

(64) “Cet, cet, jangan samakan nabi dengan dewa, karena nabi memang bukan dewa. Nabi sungguh-sungguh pernah ada, pernah hidup di atas bumi dan di antara manusia, menerima wahyu langsung atau tidak langsung dari Allah. Dewa-dewa tak pernah ada hidup di atas bumi dan selalu ngawur.” “Siapa bilang para dewa tidak ada?” “Kalau pernah ada, mana keturunannya? Hadapkan padaku seorang saja di antaranya” “Apa kafir itu?” “Mereka yang tidak percaya dan tidak tahu ajaran para nabi. Ingat-ingat, kafir namanya. Jadi, setiap penyembah berhala yang nampak atau tidak, termasuk sang Kali, kafir namanya” (hlm. 147).

Kutipan (64) mempertegas sikap Hayatullah yang menganggap ajaran di luar

Islam adalah kafir. Hayatullah dapat berpikiran seperti itu karena konsep Islam yang

215 diterimanya. Sedangkan, sebaliknya terjadi pada pemeluk agama Hindu-Buddha. Para pemeluk agama Hindu-Buddha tidak satu pun yang menganggap Islam adalah kafir atau memberi umpatan yang sejenisnya. Ini memberikan gambaran bagaimana citra

Islam yang selalu merasa lebih mulia dibanding agama lainnya. Hayatullah sebagai musafir Demak merupakan seorang intelektual Islam. Dengan keislamannya,

Hayatullah menganggap jika kehadiran dewa-dewa hanyalah sebuah “kengawuran”.

Itu adalah konsep kafir yang ada dalam agama Hindu-Buddha. Sebuah citra negatif pada agama Islam yang diakibatkan sebuah fanatisme.

Citra negatif Islam kembali terlihat dari perilaku prajurit Rajeg di perbatasan desa Rajeg. Wiranggaleng yang mendapat tugas dari Syahbandar Sayid Almasawa dan sang Patih, bertugas untuk menemui Sunan Rajeg alias Rangga Iskak. Ketika sampai di perbatasan, Wiranggaleng ditangkap oleh pasukan Rajeg. Citra Islam yang menjelek-jelekkan dan menghina para pemeluk agama Hindu-Buddha dan agama

Hindu-Buddha itu sendiri kembali terlihat dari ucapan mereka. Penghinaan itu dapat dilihat dari kutipan berikut.

(65) “Hei, Kau!” tegur yang tertua. “tidak berbaju, tidak berkopiah, biadab! Berambut panjang seperti kuda betina! Sebutkan namamu sebelum nyawamu melayang ke neraka.” “Galeng, Bapa.” Orang itu tertawa melecehkan dan mata Wiranggaleng tetap waspada. Pada bibirnya, senyum itu masih juga menghias. “Galeng? Siapa tidak kenal Galeng? Biar pun kau juara gulat tiga-lima kali berturut, tak ada guna. Kau datang dari kota untuk memata-matai. Kau kafir sialan, kafir laknat.” (hlm. 248).

(66) “Jih!” orang yang tertua meludahi tangan Syahbandar muda yang mengulurkan surat. “Semua yang keluar dari pokal kafir hanyalah najis” (hlm. 250).

216

Kutipan (65) dan kutipan (66) merupakan pengambaran tindakan dari pemeluk Islam, prajurit Sunan Rajeg. Para prajurit Islam ini menghina Wiranggaleng sebagai kafir laknat, seperti yang terlihat dari kutipan (65). Kutipan (66) sendiri merupakan pelecehan agama Hindu-Buddha. Wiranggaleng diludahi dan segala yang keluar dari agama Hindu-Buddha adalah najis. Sikap prajurit Rajeg ini memperlihatkan kejijikan mereka terhadap agama Hindu-Buddha dan pemeluknya.

Sebuah citra yang negatif dari pemeluk agama Islam. Kembali sebuah fanatisme mewarnai pelecehan yang diterima oleh Wiranggaleng dan agama Hindu-Buddha.

Fanatisme Islam tampak kembali dari sikap Sunan Rajeg ketika hendak memberi surat balasan pada Sayid Almasawa via Wiranggaleng. Penghinaan pada

Wiranggaleng, wakil dari pemeluk agama Hindu-Buddha terulang kembali. Sikap fanatisme ini sangat terlihat ketika kehadiran dan sentuhan Galeng pada tangga rumahnya. Hal tersebut bagi Sunan Rajeg merupakan sebuah kenajisan dan haram hukumnya. Sebuah perilaku yang tidak terpuji dari seorang Sunan. Sikap seperti ini kembali membentuk citra Islam yang negatif. Hal ini dapat dilihat dari kutipan (67).

(67) “Kau sedang menyelamatkan tengkukmu sendiri rupanya, Galeng. Kau memang pandai, licik” “Sahaya hanya seorang utusan, apalah yang sahaya bisa perbuat selain menjalankan perintah.” “Baik. Kau boleh miliki tengkukmu sendiri. Aku akan balas surat ini,” ia merengut. “Tunggu kau di situ. Jangan tinggalkan tempatmu. Tombak akan merajang kau. Jangan sentuhkan jari-jari najismu pada tangga, dan haram jika mengenainya” (hlm. 253).

Perdamaian yang dilakukan Wiranggaleng ketika hendak pulang dari desa

Rajeg juga tidak mendapat sambutan dari masyarakat desa Rajeg yang mayoritas

217 Islam. Wiranggaleng hendak melakukan sikap berdamai dan santun pada mereka, seperti yang telah dibudayakan agama Hindu-Buddha. Wiranggaleng berusaha untuk mengucapakan salam Islam pada masyarakat Rajeg, tapi tidak menerima balasan.

Kejijikan mereka atas segala yang berbau agama Hindu-Buddha menjadi penyebab mereka tidak mau membalas salam Wiranggaleng. Sikap ini telah mendarah daging pada masyarakat Islam di desa Rajeg. Niat santun agama Hindu-Buddha dibalas dengan kecuekan dan penghinaan masyarakat Islam terhadap salam dari

Wiranggaleng. “Hasalamu alaikoom” Wiranggaleng, tidak mendapat balasan dari seorang pun penduduk desa Rajeg (hlm. 254).

Perjalanan Wiranggaleng ke desa Rajeg merupakan penggambaran mengenai citra negatif Islam. Wiranggaleng sebagai pemeluk agama Hindu-Buddha mengalami penghinaan dari penjaga desa, Sunan Rajeg, dan masyarakat desa Rajeg. Secara tidak langsung, penghinaan ini dilakukan karena fanatisme Islam yang telah didoktrin oleh

Rangga Iskak.

Wiranggaleng pun kembali ke Tuban pasca misinya ke Gresik. Wiranggaleng ke Gresik mencari terjemahan surat balasan dari Sunan Rajeg untuk Sayid Almasawa.

Di Tuban, wiranggaleng memberikan surat pada Syahbandar Sayid Almasawa setelah terlebih dahulu menemui sang Patih.

Sayid Almasawa terkejut melihat Wiranggaleng yang terlihat menjadi Islam.

Wiranggaleng pun menyebutkan nama Islam pemberian orang yang mencukur rambutnya, Salasa. Dari perkataan Syahbandar Tuban inilah yang memberi gambaran mengenai citra negatif Islam. Sayid Almasawa merupakan seorang pemeluk agama

218 Islam, ia pun menderita sebuah fanatisme terhadap agamanya. Perilaku yang sama terjadi dalam diri Sayid Alamasawa. Hal ini tampak dalam kutipan berikut.

(68) “Sekarang kita bicara soal lain, Wira Salasa. Sekarang kau sudah masuk Islam. Tetapi, isterimu masih kafir. Kau harus perhatikan itu, Wira. Tak ada orang kafir yang baik. Kalau seorang kafir itu pembohong, menipu suaminya, itu sudah selayaknya, karena dia kafir, tak tahu ajaran. Kau jauh lebih mulia dari pada kafir manapun, Salasa, apalagi isterimu, kau pun lebih mulia dari sang Adipati ataupun sang Patih. Mengerti Kau?” (hlm. 275).

Kutipan (68) memberi gambaran jika Sayid Almasawa menghina agama

Hindu-Buddha. Ia menghina Idayu dan Patih Tuban yang masih memeluk agama

Hindu-Buddha. Selain menyebut mereka dengan panggilan kafir, Sayid Almasawa juga menganggap Wiranggaleng yang telah menjadi Islam (percaya pada Islam) kedudukannya jauh lebih mulia dibanding para pemeluk agama Hindu-Buddha lainnya. Fanatisme Islam yang tercermin pada sikap para pemeluknya yang menganggap Islam merupakan ajaran yang paling mulia.

Alur bergerak kembali ke desa Rajeg. Esteban dan Rodriguez (pelarian

Peranggi) tiba bersama meriam Peranggi di rumah sunan Rajeg. Saat persembahan, mereka menolak menyembah Sunan Rajeg. Mereka mengalami kekerasan dari massa

Rajeg yang beragama Islam. Sunan Rajeg pun tak ketinggalan memberi gelar kafir bagi kedua orang Peranggi ini. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

(69) “Hormat! Hormati Kanjeng Sunan Rajeg,” orang-orang berseru-seru memperingatkan dalam Jawa. “Tiada kalian dengar itu?” Sunan Rajeg memperkuat perintah mereka dalam melayu. “Tak sabar melihat tingkah Esteban dan Rodriguez, beberapa orang lagi bangun dari duduknya sambil menyembah Rangga Iskak dan menekan

219 bahu mereka sehingga berlutut di tanah. Kepala mereka pun ditekan pula ke bawah sampai mencium debu. “Betapa angkuhnya kafir-kafir Peranggi ini”, kata Sunan Rajeg. “Angkuh dan sungguh berani mati. Hei, kafir! Bertahun-tahun kalian telah tembaki kapal-kapal dan bandar-bandar Islam” (hlm. 306).

(70) Mendengar itu, Rodriguez dan Esteban berdiri memprotes. “Kesalahan kalian?” Sunan Rajeg kini menarik air muka bersungguh- sungguh. “Bukan hanya padaku ”, ia menuding dirinya sendiri, kemudian tangan itu berkembang menunjuk pada semua orang di hadapannya, “Pada seluruh umat Islam. Dungu! Tak mengerti kalian apa kataku?” ia membentak. “Mengapa diam saja?” suaranya kini mendekati gerutu: “Nyawa semut pun lebih berharga daripada kalian! Hei, semua pengikutku, jagalah jangan sampai dua kafir laknat ini lepas tanpa seizinku.” (hlm. 306-307).

Kutipan (69) dan (70) memberi gambaran bagaimana para pemeluk Islam

(Sunan Rajeg beserta pengikutnya) menghina Esteban dan Rodriguez. Kekerasan dan penurunan derajat diterima oleh kedua peranggi ini. Fanatisme yang ada dalam diri para pemeluk Islam menyatukan mereka untuk menganggap agama lainnya kafir.

Sunan Rajeg juga memberi citra bagimana seorang Sunan menghina derajat kedua orang Peranggi tersebut. Nyawa orang-orang Peranggi tidak memiliki harga jika dibanding seekor semut. Sikap Sunan Rajeg dan pengikutnya inilah yang membentuk citra negatif Islam.

Perbandingan agama Islam dan agama lainnya juga dilakukan oleh Sunan

Rajeg dalam ceramahnya. Tentu saja, fanatisme selalu membumbui ceramah Sunan

Rajeg. Penghinaan atas agama lain, pasti dilakukannya. Itulah citra Islam yang ada dalam sosok Sunan Rajeg. Ceramah Sunan Rajeg di desa Rajeg pada masyarakatnya selalu berisi kemuliaan Islam. Menurut Sunan Rajeg, Islam datang dari kandungan hati yang bersih dan disambut oleh hati yang bersih pula dari penduduk Nusantara.

220 Islam berkembang dengan damai, berbeda dengan Peranggi dan Nasraninya. Dia datang dengan tembakan meriam (hlm. 364).

Alur bergerak ke perang Tuban melawan desa Rajeg. Terlihat kembali benturan agama sewaktu Sunan Rajeg menitahkan Manan dan Rois (nama Islam

Esteban dan Rodriguez) untuk segera menembakkan meriamnya. Titah Sunan dibantah oleh Manan karena pasukan Tuban belum masuk jarak tembak. Kembali sikap Sunan yang menghina ajaran Nasrani sebagai kafir. Sunan Rajeg berkilah jika hanya Allah yang menentukan. Manan berbeda pandangan dengan Sunan karena bagi

Manan yang bertanggung jawab akibat salah perhitungan adalah manusia, bukan

Allah. Bagi Sunan Rajeg, pendapat Manan merupakan ajaran Nasrani, ajaran kafir

(hlm. 376).

Citra negatif Islam lagi-lagi terlihat pada sikap Sunan Rajeg yang menghina tarian Idayu beserta gamelan-gamelannya. Menurut Sunan Rajeg, tarian Idayu tak ada arti baginya, juga gamelan yang merupakan barang kafir yang tidak ada dalam ajaran

(Islam). Penghinaan ini bernilai lebih, karena tarian yang ditarikan oleh Idayu merupakan tari-tarian yang ada dari dulu. Tarian yang sebagian berisi pemujaan terhadap dewa tersebut merupakan harga diri bagi penari sekelas Idayu. Penghinaan yang berlebih diterima Idayu, sewaktu ia dipanggil Sunan Rajeg dengan sebutan kafir turunan kafir (hlm. 416).

Sosok Islam yang menganggap agama Hindu-Buddha sebagai kafir juga tampak dalam diri Pada. Ini terlihat ketika Pada mengulurkan tangan untuk dicium oleh Gelar yang mengantarkannya untuk keluar dari desa, tetapi Gelar tidak mengenal

221 adat itu. Gelar mengangkat sembah dada. Kekafiran masih berkuasa atas mereka, keluh Pada, kemudian ia berjalan kaki keluar dari hutan (hlm. 595).

Ideologi mengenai segala di luar Islam adalah buruk adanya telah terdoktrin di otak Pada. Ia pun memiliki fanatisme terhadap agamanya. Ini dapat dilihat dari kutipan berikut.

(71) Setiap hari, ia berjalan seorang diri atau dalam rombongan dengan orang- orang lain. Sepanjang jalan, ia berusaha belajar bahasa Sunda. Dan hatinya harap-harap cemas untuk melihat kerajaan Hindu itu. Pasti segalanya akan lebih buruk daripada Demak yang Islam atau Tuban yang setengah Islam. Segala yang kafir pasti buruk (hlm. 601).

Kutipan (71) merupakan kisah perjalanan Pada yang hendak kembali ke

Pajajaran dalam perjalanannya kembali ke Malaka. Dalam kutipan ini, sikap Pada kembali membentuk citra Islam yang negatif. Pada secara mutlak menganggap sesuatu di luar Islam atau biasanya bergelar “kafir” pasti buruk. Doktrinisasi yang dilakukan penyebar agama Islam di Demaklah yang membentuk fanatisme ini.

b. Pemeluk Agama Islam Melakukan Penghinaan Antarsesama Islam

Pemeluk agama Islam dalam Arus Balik juga dihadirkan sebagai penghina sesamanya. Tidak hanya pada pemeluk agama lain, antarsesama Islam pun sering terjadi saling hina. Pemikiran jika dirinya yang paling mengerti Islamlah yang membentuk iklim saling hina ini.

Perilaku para pemeluk agama Islam terhadap pemeluk agama Islam lainnya memberikan gambaran pada citra negatif Islam. Ini tampak juga pada persembahan

Yakub (mata-mata Syahbandar Tuban) yang memberikan informasi mengenai

222 pelarangan batu-batu berukir di Tuban kepada Syahbandar Tuban, Rangga Iskak.

Yakub menceritakan anak Adipati Tuban, Raden Said yang telah menggunakan nama

Ki Aji Kali Jaga. Bagi Yakub, lidah orang Jawa memang lidah Kafir. Maksudnya menggunakan gelar arab Kali, tetapi tidak tahu jika kali berarti kholik (hlm. 58).

Perilaku Yakub dapat memberi gambaran jika sesama pemeluk Islam juga saling menghina. Yakub yang juga beragama Islam dengan mudahnya mengatakan

Raden Said yang juga beragama Islam sebagai kafir. Yakub juga menghina etnis Jawa dengan sebutan kafir.

Penghinaan antarsesama pemeluk Islam juga dilakukan oleh Sunan Rajeg.

Dalam ceramahnya, tergambar bagaimana Islam yang satu menjelekkan dan menghina Islam yang lainnya. Sunan Rajeg tertawa jika mendengar Demak sebagai kerajaan Islam di Jawa. Masyarakat Demak adalah kafir-kufur jahil. Bagi Sunan, kerajaan Islam pertama adalah desa Rajeg yang dipimpinnya. Sunan Rajeg berceramah pada massanya jika Demak bukanlah kerajaan Islam. Di Demak, yang

Islam hanyalah Dewan atau Majelis Kerajaan, beberapa Kiai dianggap Wali Islam yang diberi gelar Sunan, dan para pembesarnya. Kawula Demak sendiri tidak mengetahui sesuatu mengenai Islam sama sekali. Mereka kafir-kufur jahil (hlm. 319).

Citra negatif Islam hadir dalam perilaku umat Islam yang saling menghina.

Sikap saling hina ini tampak dari sosok Yakub dan Sunan Rajeg yang menghina pemeluk Islam lainnya. Ini terjadi karena perasaan jika keislaman mereka adalah yang paling sempurna.

223 c. Pemeluk Islam Menggunakan Agamanya Sebagai Pembenaran

Citra Islam terbentuk sendiri dari perilaku para pemeluknya. Dalam Arus

Balik, agama Islam juga digunakan pemeluknya sebagai pembenaran dari tindakan- tindakan mereka. Tindakan yang mengarah pada pemenuhan ambisi maupun emosi pribadi selalu dilakukan dengan membawa nama Allah dan Islam. Tindakan-tindakan yang dilakukan untuk pemenuhan ambisi pribadi ini dapat berupa tindak kekerasan hingga pembunuhan. Seolah-olah, agama Islam mengizinkan atau bahkan mengajarkan para pemeluknya untuk melakukan kekerasan, pembunuhan, dan pembasmian agama lainnya.

Islam dijadikan landasan untuk melakukan sebuah tindakan dari pemeluknya.

Ini tampak dari persembahan salah satu saudagar Arab yang dititahkan oleh raja-raja

Atas Angin. Raja-raja Atas Angin adalah raja-raja Islam. Mereka menitahkan saudagar tersebut untuk menjalin kerja sama dengan kerajaan Tuban yang Adipatinya juga beragama Islam. Ini tampak pada persembahan saudagar Arab tersebut kepada

Adipati Tuban.

(72) “Kekuatan Peranggi mulai memasuki daerah-daerah Islam di atas angin. Bila kekuatan mereka tak dibendung bersama-sama, ya Allah, pastilah Allah jua yang akan menghukum semua kita, karena tak berbuat sesuatu terhadap angkara si Kafir. Bila mereka sampai ke Jawa, matilah sudah semua pelayaran, matilah perdagangan, matilah bandar-bandar. Yang tinggal hanya Peranggi dengan angkaranya. Seluruh umat Islam bisa kehilangan perlindungan, kekafiran akan menang. Mereka akan menumpas ajaran Rasulullah s.a.w (hlm. 56).

Kutipan (72) memberi gambaran jika para pemeluk agama Islam melakukan pembenaran untuk menyerang Peranggi dengan dalih Allah atau keislamannya.

224 Kutipan ini juga memberi gambaran mengenai perilaku pemeluk Islam yang dengan mudahnya memberi sebutan “kafir” pada bangsa yang lainnya.

Kutipan ini menggambarkan bagaimana pemeluk Islam membawa Allahnya untuk urusan kekuasaan. Tidak memerangi Peranggi juga berarti tidak menjaga kekuasaan yang telah didapat para Raja dari Allah. Hal ini akan berimbas pada datangnya hukuman Allah. Ini merupakan sebuah pembenaran yang dilakukan umat

Islam untuk mempertahankan kekuasaannya di daerah masing-masing. Semua agama selain Islam haruslah diperangi, tidak terkecuali Peranggi. Karena bagi mereka, semua pemeluk agama yang berbeda dengan Islam adalah kafir.

Hal yang sama juga terjadi dalam diri Sunan Rajeg. Sunan Rajeg sebagai pemimpin masyarakat Islam di desa Rajeg memiliki otoritas dalam pembentukan massanya. Ajaran Islam yang diajarkannya mendapat tempat di hati masyarakat desa

Rajeg. Sunan Rajeg juga merupakan citra individu Islam yang membentuk citra Islam secara keseluruhan. Ia melakukan pembenaran kekuasaannya dengan berdalih “kuasa

Allah”.

Sunan Rajeg selalu menggunakan nama Allah atas segala kebijakannya. Allah digunakannya untuk mengambil hati massa dan membentuk kekuasaan mutlak layaknya seorang raja. Sunan Rajeg menggunakan istilah “kiriman Allah” atas kiriman meriam Syahbandar Tuban kepada dirinya. Sikap negatif pemeluk Islam yang merasa dibenarkan Allah untuk berperang demi sebuah kekuasaan. Ini berarti ia diberkati Allah untuk menunjukkan meriam tersebut kepada kafir Peranggi. Ini

225 sebagai ajang balas dendam kepada Peranggi yang telah menembaki umat Islam (hlm.

307).

Pembenaran kekuasaan dengan menggunakan “kuasa Allah” memberi cerminan bagaimana Allah berfungsi untuk menarik perhatian masyarakat. Menurut

Sunan Rajeg, semua kekuasaan yang ada dalam dirinya seolah direstui dan diberikan

Allah kepadanya. Ini sering dilakukan oleh Sunan Rajeg agar ia mendapat pembenaran atas segala tindakannya. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

(73) Sunan Rajeg tertawa senang sampai bahunya terguncang. “Bukan di dunia ini orang bisa percaya ada kafir Peranggi punya kehormatan, tapi hanya karena kalian bersedia mengakui kekuasaanku, mengakui kemurahanku, dan bersedia menjalankan perintahku. Demi Allah!” “Demi Allah!” para pengikat mendengung mengulangi. “Aku dapat melihat pada mata kalian, hai kafir Peranggi, kalian tidak rela takluk, tidak rela menerima dan mengakui kekuasaan yang diberikan Allah padaku” (hlm. 307).

Pemaksaan kembali dilakukan oleh Sunan Rajeg terhadap Esteban dan

Rodriguez. Secara implisit, Sunan Rajeg memaksa mereka untuk masuk Islam.

Esteban dan Rodriguez telah mengatakan kesiapan mereka untuk membantu pasukan

Rajeg. Sunan Rajeg pun senang, akhirnya, kedua Peranggi tersebut berarti menyetujui kekuasaan yang dibenarkan Allah kepadanya. Salah satu cara penambahan pemeluk agama Islam terlihat dari pemaksaan yang dilakukan oleh Sunan Rajeg. Dengan sedikit tekanan psikis, Sunan Rajeg dapat memaksa kedua Peranggi itu untuk menjadi

Islam. Esteban dan Rodriguez pun diislamkan oleh Sunan Rajeg (hlm. 310).

Sunan Rajeg yang memimpin desa Rajeg juga berposisi sebagai penceramah di mesjid. Segala ceramah Sunan Rajeg, dianggap sebagai pedoman bagi masyarakat

226 desa Rajeg. Momen inilah yang digunakan Sunan Rajeg untuk menyampaikan pendapatnya sebagai sesuatu yang nyata, padahal hal tersebut hanya subyektivitas belaka. Sunan Rajeg membakar semangat massanya untuk tetap berjuang untuknya demi nama Islam dan lambat laun akan menjadi kerajaan Islam yang sesungguhnya.

Doktrinisasi kembali dilakukan oleh Sunan Rajeg. Sunan Rajeg kembali menggunakan “Allah” untuk membenarkan ceramahnya di pendopo Rajeg. Sikap atau tindakan Sunan Rajeg sebagai salah satu pemuka agama Islam, membentuk citra

Islam yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Segala yang berbau agama Hindu-Buddha dan agama selain Islam menurutnya merupakan sekutu Iblis.

Orang-orang yang berteman dengan agama selain Islam adalah musuh bagi Allah.

Sunan Rajeg menghimbau masyarakatnya jika semua kendaraan laut binasa, hanya Peranggi yang menguasai lautnya semua hamba Allah ini. Itu tidak boleh, itu menentang ketentuan Allah, maka umat Islam di Rajeg tidak boleh membiarkan

Peranggi merajalela. Dia musuh semua bangsa. Menurut Sunan Rajeg, bumi ini diciptakan Allah untuk semua bangsa, bukan untuk Peranggi saja. Kunci untuk mengalahkan Peranggi ini sederhana saja: lawan dia. Lawan kapalnya, lawan orangnya, dan lawan ajarannya. Jika ada satu negeri yang tidak melawan Peranggi atau berniat menjalin persahabatan, berarti musuh Allah dan mereka telah bersekutu dengan iblis (hlm. 395).

Citra Islam lainnya dapat dilihat dari sikap Fatahillah, panglima perang

Demak. Fatahillah juga menyisipkan ambisi pribadinya dalam melakukan penyebaran agama Islam. Fatahillah sendiri adalah seorang di antara sekian puluh orang di Banten

227 yang telah naik haji, dan seorang di antara beberapa belas orang yang tahu berbahasa

Arab. Dengan pengetahuannya tentang agama Islam, dalam waktu hanya beberapa bulan orang mulai melupakan penyerbuannya dan melupakan tindakannya yang keras di Banten.

Fatahillah yang merupakan intelektual Islam dan telah naik haji, juga memiliki ambisi akan kekuasaan. Agama menjadi kendaraannya untuk mendapatkan kekuasaan dan kawula. Ia sering berkhotbah di mesjid dengan bahasa melayu. Ia panggili para ulama setempat, dan diperintahkan pada mereka mendirikan majelis dakwah, yang bukan saja bertugas menyebarkan agama Islam secara teratur, juga mewajibkan padanya membentuk barisan musafir sebagaimana pernah dilakukan oleh

Demak, hanya sekarang untuk memasyhurkan Gubernur-Panglima-Laksamana

Fatahillah (hlm. 567-568).

Suatu kejadian unik terjadi ketika Pada melihat Sabarani menyelam untuk mengambil tali rakit yang terbawa arus kali. Sabarani melakukan penyelaman tanpa mengenakan pakaian. Pada melihat kemolekan tubuh Sabarani. Uniknya, seakan telah diajarkan dalam agamanya, Islam, Pada mensyukuri kepada Tuhannya atas proses pengintipannya terhadap kemolekan tubuh gadis yang belum dinikahinya. Ini dapat dilihat dari kutipan berikut.

(74) Ia turun ke kali dan dilihatnya Sabarani dalam keadaan telanjang bulat sedang berenang menuju ke rakit yang kini telah berada di tengah- tengah. Pada menyembunyikan diri dan hanya bisa menyebut-nyebut melihat keindahan tubuh Sabarani :“Masyaallah….Allah Maha Besar…Kau karuniakan keindahan semacam itu kepadaku, ya Tuhan, kepada hamba-Mu yang justru tidak mencari ini. Betapa pemurahnya Engkau, ya, Tuhan” (hlm. 616).

228

Kutipan (74) memberi gambaran bagaimana Pada mensyukuri pemandangan yang dihadapkan Tuhannya kepadanya. Tanpa rasa malu, ia terus menikmati kemolekan tubuh Sabarani. Sebuah wujud pemeluk Islam yang mesum dan melakukan ucapan syukur terhadap Tuhannya atas pengintipannya. Pada tidak merasa bersalah atas kelancangannya yang menikmati pemandangan tubuh Sabarani, sebagaimana seorang yang tahu ajaran Islam. Satu citra Islam yang terbentuk kembali melalui pemeluk agamanya. Kembali Allah menjadi objek pembenaran atas tindakan

Pada. Seolah ingin menghilangkan rasa bersalah yang kalah dengan hasrat manusianya. Keillahian akhirnya menjadi pembenaran untuk perbuatan duniawi.

Alur cerita berkembang lagi, membawa Sayid Almasawa, Syahbandar Tuban untuk keluar dari Tuban menuju Panarukan. Serangan Demak yang membuatnya melarikan diri dari Tuban. Di Panarukan, Sayid juga dikejar oleh rasa ketakutan.

Kenyataan bahwa pembunuhan yang telah dilakukannya atas dua orang Peranggi telah diketahui Peranggi, menjadi sumber ketakutannya di Panarukan. Sayid pun memutuskan untuk kembali ke Tuban begitu mendengar Tuban berhasil direbut kembali oleh Banteng Wareng.

Sayid, Syahbandar Tuban memiliki intelektualitas beragama yang tinggi, khususnya Islam, seperti Rangga Iskak atau Sunan Rajeg. Perilaku Sayid Alamasawa sebagai pemeluk agama Islam secara langsung juga membentuk citra Islam. Ini terjadi ketika ia di kerangkeng oleh Kala Cuwil, Senapati Tuban. Kutipannya dapat dilihat sebagai berikut.

229 (75) “Sahaya akan menghadap, Tuan”. “Ya-ya, menghadaplah kau, isteriku yang setia, yang berani, yang mulia, Kati, Nyi Gede Kati…” “Mengapakah Tuan kembali ke Tuban?” Semangat Tholib mulai bangkit lagi. Dengan isterinya ini, dia, merasa menjadi kuat. Dengan suara berkeyakinan dalam kegugupan ia menjawab: ”Allah mengirimkan aku kemari dan Allahlah yang akan menghukum orang-orang zalim itu. Allah telah membisikkan padakku untuk mengambil dan memelihara isterinya sebaik-baiknya…” (hlm. 675).

Citra Islam kembali terbentuk dari kutipan (75) dengan sikap Sayid

Almasawa. Sayid Almasawa membawa-bawa Allah atas segala tindakannya. Sayid memutuskan jika Allahnya juga yang akan menghukum masyarakat Tuban yang disebutnya zalim. Kembali Allah di perlakukan untuk menunjukkan atau meninggikan derajat pemeluk Islam. Allah digunakan untuk pembenaran pikiran pemeluk Islam, termasuk Sayid yang menganggap jika Allah akan menghukum

Tuban karena mengkerangkengnya. Hal ini semata-mata sebagai wujud sumpah

Sayid karena dikerangkeng oleh Kala Cuwil. Dia membawa-bawa nama Allah seolah- olah Allahnya tidak mengetahui pihak mana yang benar.

d. Pemeluk Agama Islam Kurang Memiliki Iman yang Kuat

Citra Islam pun dapat dilihat ketika para santri di Kadipeten Tuban ikut memeriahkan pagelaran seni dan olahraga. Para santri tidak memusingkan status keislaman mereka. Di satu sisi, mereka dengan mudahnya menganggap para pemeluk agama yang lainnya sebagai kafir. Di sisi lainnya, mereka juga mengikuti acara tahunan para kafir ini.

230 Gambaran ini memberikan poin negatif terhadap Islam di mana para santri yang bisa dikatakan sebagai intelektual Islam tetap ikut acara tahunan orang yang dianggap kafir bagi mereka (pemeluk agama Hindu-Buddha). Ini terlihat ketika santri-santri yang kadang bersarung putih, berambut pendek atau gundul dan berkopiah putih, turun berbondong-bondong dari perguruannya masing-masing.

Mereka takkan melewatkan pesta lomba tahunan kafir yang teradisionil itu (hlm. 67).

Kembali kepada tokoh Pada atau Mohammad Firman. Pada bertugas untuk menyebarkan agama Islam perwakilan dari Demak. Hal ini menunjukkan jika Pada memiliki kapasitas iman dan pengetahuan mengenai agama Islam yang jauh lebih tinggi dan luas. Akan tetapi, ketika menghadapi serangan brutal dari kerajaan Demak sendiri, keimanan tersebut luntur. Pada menjadi cerminan bagaimana seorang guru

Islam tidak memiliki iman yang tinggi kepada Allahnya.

Keimanan yang telah ditempa Pada di Demak tetap kalah dengan wibawa maut yang bisa saja menghampirinya melalui pasukan Demak. Peristiwa ini terjadi ketika Pada tiba di Tuban yang baru mendapat serangan tentara Demak. Ia berjalan liar, mata tak tenang. Tak diperhatikannya lagi bau yang mengikuti dirinya barang ke mana ia melangkah. Ia merasa sungguh malu pada ketakutannya sendiri, seakan ia tidak percaya pada kekuasaan Tuhannya (hlm. 580).

e. Pemeluk Agama Islam Suka Melakukan Kekerasan

Pemeluk agama Islam juga digambarkan oleh Pram sebagai orang-orang yang gemar melakukan kekerasan. Kekerasan selalu digunakan untuk pemuasan emosi

231 pribadi. Lebih parah lagi jika berhubungan dengan perkembangan agama Islam sendiri, maka kekerasan bahkan pembunuhan untuk membasmi pengaruh Hindu-

Buddha dan pemeluknya dihalalkan. Segala bentuk perbuatan inilah yang membentuk citra negatif para pemeluk agama Islam dalam Arus Balik.

Alur cerita membawa Wiranggaleng tiba di bandar Yuana. Wiranggaleng dapat melihat kesibukan di bandar Yuana dalam pembuatan galangan kapal. Ia pun menyusup sebagai pengangkat kayu. Ketika para pekerja istirahat dan hendak tidur pada malam hari, ada pembicaraan di antara pekerja mengenai citra Islam. Suatu kepercayaan diri yang tinggi muncul dari seorang pembicara. Ia sangat percaya dengan keadilan yang dilakukan oleh Raja-raja Islam. Ia percaya jika Raja Islam tidak akan pernah lalim, karena selalu berlaku adil. Nilai plusnya adalah memberi gambaran bagaimana seorang kawula dapat mempercayai rajanya.

Kepercayaan diri yang tinggi akan seorang Raja Islam yang dianggap tidak akan pernah menjadi lalim, bahkan membunuh. Hal ini bertolak belakang dengan aktivitas raja-raja Demak, Raja-raja Islam yang membunuh para guru pembicara agama Hindu-Buddha. Menurut salah satu pembicara yang kemudian diketahui bernama Hayatullah (musafir Demak). Menurutnya, Raja Islam tidak mungkin membunuh kawulanya. Jika ia membunuh, maka raja itu merupakan raja lalim.

Dalam kerajaan Islam, tak ada raja lalim, sehingga semua adil (hlm. 144).

Sebuah kontadiksi yang jauh berbeda dengan realitas. Ucapan Hayatullah mengenai Raja Islam yang tidak mungkin membunuh, bertolak belakang dengan kenyataan yang ada. Para Raja Demak senantiasa melakukan kekerasan bahkan

232 pembunuhan untuk menjaga eksisistensi kekuasaannya di bawah nama Islam. Inilah kenyataan yang ada dalam Arus Balik. Citra negatif ini sangat identik dalam diri

Adipati Trenggono yang menggantikan Adipati Unus dalam cerita Arus Balik.

Benturan agama terjadi kembali. Agama Islam dan agama Hindu-Buddha kembali dibandingkan oleh para pemeluk agama masing-masing di Tuban. Ini terjadi ketika Wiranggaleng sedang minum di warung Yakub. Pada saat itu, Wiranggaleng disegani dan dipuja karena telah mengalahkan orang-orang Peranggi dengan otot- ototnnya. Benturan agama yang terjadi di warung Yakub ini bukanlah benturan fisik, melainkan adu argumentasi yang memperlihatkan sebagian penduduk Tuban setuju atas langkah Islam untuk mengusir Peranggi.

Sebuah perlawanan dari pemeluk agama Hindu-Buddha kepada pemeluk agama Islam yang selalu menganggap dirinya dan agamanya lebih baik. Pemeluk agama Hindu-Buddha menolak anggapan itu karena kerajaan Islam Demak merebut paksa Jepara, salah satu teritorial kekuasaan Tuban. Jadi, Islam tidak dapat sepenuhnya dipercaya. Wiranggaleng dimintai oleh salah seorang pembicara agar belajar kepada Islam untuk menahan arus yang makin besar datang ke Tuban.

Nasehat ini ditolak oleh yang lainnya. Bagi mereka, Islam juga tidak dapat dipercaya, karena Islam juga yang telah merebut paksa Jepara dari kekuasaan Tuban. Jadi, Islam beserta perilaku para pemeluknya, tidak layak untuk ditiru (hlm. 227).

Adanya perkataan mengenai perebutan paksa Jepara oleh kerajaan Islam

Demak, membentuk sebuah gambaran jika Penaklukan Jepara dilakukan secara paksa. Perang juga yang mengakibatkan Jepara jatuh ke tangan Demak. Terlihat jika

233 kerajaan Islam Demak melakukan perluasaan kekuasaan dengan menggunakan cara paksa atau perang. Sebuah tindak kekerasan yang dilakukan oleh kerajaan Islam

Demak. Islam seolah-olah tidak mengjarkan mereka untuk berpuas diri atau menciptakan kedamaian.

Mohammad Firman atau Pada juga merupakan pemeluk agama Islam. Ia merupakan seorang musafir Demak yang ditugaskan oleh majelis agama Demak untuk membawa Sunan Rajeg sebagai sekutu Demak karena kepintaran Sunan Rajeg.

Dalam pengutusan inilah, Mohammad Firman mendapat ceramah dari salah seorang gurunya mengenai hakikat Buddha dan Syiwa. Ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(76) Ia pun mendapat tugas untuk membersihkan pedalaman Tuban dari guru- guru pembicara kafir yang mengembara dari desa ke desa. Sebelum berangkat, seorang guru menyampaikan padanya di sebuah pojokan mesjid agung, bahwa agama Buddha dan Syiwa telah kehilangan kekuatannya, keruntuhan telah di ambang pintu, maka pembicaraan guru-guru sudah tidak punya pegangan lagi pada agama mereka dan lebih banyak melepas perasaan dan pikiran pribadinya. Mereka mengawur acak-acakan semaunya sendiri. Itu sangat baik untuk punahnya Syiwa dan Buddha sendiri. Maka, sekaranglah waktu itu datang untuk mengembangkan Islam, karena mereka sudah tidak diperlukan lagi (hlm. 439).

Kutipan (76) memberi gambaran bagaimana sikap seorang guru agama Islam yang menghendaki musnahnya agama lain, khususnya agama Hindu-Buddha. Ini tidak lain bertujuan untuk mengembangkan agama Islam sendiri. Pembasmian guru- guru pembicara seperti Rama Cluring dihalalkan jika untuk pengembangan agama

Islam. Sebuah cara yang tidak pernah dilakukan oleh orang-orang pemeluk agama

234 Hindu-Buddha. Inilah yang membangun citra negatif Islam. Penyebaran Islam dilakukan dengan pemusnahan ajaran agama Hindu-Buddha beserta pemeluknya.

Peristiwa pembunuhan para pengikut Sunan Rajeg, juga membentuk citra

Islam yang negatif. Seorang Sunan bahkan melakukan sebuah pembunuhan. Sunan

Rajeg meracuni para pengikutnya di Gowong. Hanya Mohammad Firman yang selamat dari bencana ini. Sunan Rajeg atau Rangga Iskak mengucapkan syukurnya terhadap Allah atas pembunuhan yang dilakukannya. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

(77) Ia lihat Rangga Iskak bangun dari tempat duduk. Air mukanya suram dan berkerut-kerut. Ia dekati salah seorang korban dan berbisik padanya: “Ya..Allah, terjadilah apa yang kau ijinkan untuk terjadi. Kau telah benarkan semua ini terjadi atas persetujuan-Mu. Tanpa kehendak-Mu, semua ini takkan mungkin berlaku. Dahulu, tidak, masih kemarin kalian dengarkan ajaran-ajaranku untuk bekal dunia dan akhirat. Anak-anakku, sekarang kalian tidur nyenyak seperti bocah-bocah, anak Adam yang damai. Semua ini telah terjadi atas kehendak-Nya” (hlm. 443).

Kutipan (77) memberi deskripsi bagaimana Sunan Rajeg atau Rangga Iskak mensyukuri pembunuhan yang dilakukannya. Segala tindakannya seolah-olah telah diberkati oleh Allah. Allah digunakan untuk pembenaran perbuatannya. Citra pemeluk agama Islam yang salah menggunakan konsep “Allah”nya, sehingga Allah terkesan mengizinkan umatnya untuk membunuh. Itulah citra Islam yang tampak pada kutipan (77).

Citra Islam lainnya dapat diambil dari sikap atau pemikiran para pemeluk

Islam bahkan hingga kebijakan kerajaan Islam pertama, Demak. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

235 (78) “Sunan Rajeg, biar pun Islam, karena menentangnya, dia celaka juga” “Dan kau yang membunuhnya, Pada. Apakah itu juga perintah dari Demak?” “Sudah lama semestinya aku kerjakan. Dia terlalu kuat dan terjaga. Dia terlalu merugikan Demak dan penyebaran agama Islam. Kalau cara- caranya itu diteruskan juga, raja-raja Jawa akan bangkit melawan Islam, apalagi yang jauh dari pesisir. Guruku bilang: orang Jawa tidak mau kehilangan peradabannya, hanya muballigh bodoh seperti Rangga Iskak yang berani mengawur sejauh itu, pengaruhnya pada suatu saat memang bisa besar, terlalu besar, tapi tidak bisa menetap, sebentar kemudian akan lebih kembali ke dalam alam jahiliah (hlm. 455).

Kutipan (78) kembali memberi gambaran bagaimana pola pikir Pada yang dipengaruhi Islam, Demak, dan gurunya. Pada yang beragama Islam juga menganggap pemeluk agama lainnya sebagai musuh yang harus dibinasakan, bahkan dibunuh. Ini semata-mata hanya untuk menjaga penyebaran agama Islam. Terlihat dengan jelas bahwa perintah Demak serta gurunya membenarkan pembunuhan seseorang jika berhubungan demi kebaikan Islam. Sebuah fanatisme yang berujung pada tindak kekerasan, bahkan pembunuhan.

Citra negatif Islam lainnya juga tampak pada pendapat Idayu mengenai ajaran yang dibawa Pada (Islam). Ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(79) “Apa guna cerita seperti itu? Pada, kau sudah pergi ke mana-mana. Pernahkah kau dengar cerita tentang suatu bangsa yang suka makan orang?” “Pernah. Itulah bangsa jahil, bangsa bodoh, tak tahu ajaran” “Barangkali itu lebih baik”. Sambung Idayu. “Apa baiknya kebodohan, kejahilan?” Pada menolak. “Mereka makan-memakan karena lapar, kiraku. Ajaran datang, barangkali melalui kau, mereka hanya bunuh-membunuh, tidak sampai makan-memakan, dan bukan karena lapar. Mungkin salah karena ajaran yang kau bawa”. Pada tak menanggapi. Idayu tahu, ia tersingung. “Aku pikir, Pada, benarkah barangkali menurut pendapatmu? Mereka itu ingin makan daging, tapi perburuan sulit didapat, sedang orang lebih

236 mudah ditangkap. Hanya dengan kata-kata manis, janji dan bujukan, atau gertakan, tanpa tenaga, daging bisa datang sendiri dengan jinaknya untuk disantap. Bagaimana pendapatmu, Pada?”. Pada tak menjawab (hlm. 459).

Kutipan (79) memberi indikasi jika ajaran Padalah yang membuat manusia memakan daging. Makan daging bermakna membunuh. Menurut Idayu, ajaran Pada

(Islam) beserta manusianya mengizinkan untuk memakan manusia. Mereka lebih gampang memburu daging manusia hanya dengan omongan-omongan manis, bujukan, dan gertakan. Dengan cara itulah, mereka mendapatkan “daging dengan jinaknya”. Dalam artian lain, Islam dengan kepintarannya bertutur kata dapat dengan mudah mencari pengikut yang taat dan kemudian memanfaatkannya.

Citra negatif Islam juga dapat dilihat dari ingatan Wiranggaleng mengenai ceramah Rama Cluring. Rama Cluring mengatakan pada para pendengarnya di Awis

Krambil mengenai hakikat kerajaan Islam Demak. Ini dapat dilihat dari kutipan berikut.

(80) “Kerajaan besar telah runtuh, kerajaan-kerajaan kecil tumbuh di mana- mana. Seperti panu. Sekarang, sudah ada kerajaan baru: Demak. Dewa- dewanya bukan dewa kalian. Dewa-dewanya tidak mengenal kalian, dan tidak mengenal dewa-dewa kalian. Hei, kalian yang lebih suka bebal, kelak kalau Demak mulai menyerang kalian, memburu dewa-dewa kalian, menghancurkan mandala dan candi-candi kalian, leluhur kalian pun tak aman lagi tinggal di alam Khayangan., dan kalian sendiri didera mendarah dan meregangkan nyawa, tak sempat diruwat oleh anak-cucu sendiri. Pada waktu itu, aku telah lebih dahulu mati. Dan kalian takkan sempat lagi menyesal, takkan sempat bilang padaku: Benar kata-katamu, Rama” (hlm. 511).

Kutipan (80) merupakan ceramah Rama Cluring yang disampaikan di desa

Awis Krambil. Rama Cluring telah meramalkan mengenai kebrutalan kerajaan

237 Demak dengan dewa barunya (Islam). Demak akan menghilangkan dewa-dewa agama Hindu-Buddha, yang ada hanya kemusnahan bagi agama Hindu-Buddha.

Momen ini akan segera datang menurut ramalan Rama Cluring. Pada kenyataannya, ramalan Rama Cluring menjadi realita.

Ceramahnya ini memberi gambaran bagaimana seorang guru pembicara atau pandita agama Hindu-Buddha memandang agama baru yang dipegang Demak.

Agama baru tersebut dengan paksa akan menghilangkan segala yang berkaitan dengan agama Hindu-Buddha. Boleh jadi, penghancuran mandala dan candi-candi yang diramalkan Rama Cluring sebagai wujud ambisi Islam sebagai agama mutlak di

Jawa. Ini berbeda dengan agama Hindu-Buddha yang selalu berakulturasi dengan agama asli penduduk Jawa atau dengan agama yang telah ada sebelumnya tanpa ada perusakan atau pemaksaan. Ramalan ini juga ternyata terjadi.

Citra Fatahillah juga tidak membawa sikap kepahlawanan yang melawan

Peranggi. Fatahillah ditampilkan sebagai sosok Haji Islam yang berupaya menghalau pengaruh agama Hindu-Buddha. Fatahillah terkesan memaksa manusia-manusia untuk mutlak menjadi Islam. Ketika berbeda pandangan, agama Hindu-Buddha dihalau atau terpaksa melarikan diri untuk selamat dari pembasmian tentara Demak di bawah Fatahillah. Ini tampak pada kutipan berikut.

(81) “Beberapa kali, ia melakukan pemeriksaan ke pedalaman. Beberapa kali pula ia mengerahkan pasukan untuk menghalau penduduk yang menolak Islam dalam segala isi dan bentuknya. Pada mulanya, orang melawan dengan senjata, tetapi kekuatan Demak yang membeludak itu tiada terlawan. Kemudian mereka melawan dengan kata-kata-makin tidak berarti dan tertindas. Dengan sikap pun tanpa makna. Mereka

238 terpaksa melarikan diri dan mencari daerah hidup baru tanpa Fatahillah (hlm. 568).

Citra Islam kembali tampak dari prajurit Islam Demak. Mereka melakukan penjarahan di Tuban di masa perang. Prajurit Demak yang sebagian pemeluk agama

Islam menemukan sebuah rumah di pedalaman Tuban. Rumah tersebut digunakan selir-selir Adipati yang melarikan diri. Pemimpin prajurit Demak dengan sigap menarik seorang selir ke atas kudanya dan menitahkan prajuritnya untuk masuk ke rumah tersebut. Ajang pemerkosaan massal pun terjadi. Pasukan Demak menggilir selir Adipati, sebelum dikejar dan dihalau kembali oleh pasukan Tuban yang melakukan penyisiran (hlm. 589-590).

Perilaku prajurit Demak yang sebagian besar telah mengecap ilmu agama

Islam ini membentuk citra negatif bagi Islam. Islam tidak menjamin seorang Individu terbentuk sebagai individu yang damai, tenang, dan religius.

Alur kembali membawa Pada ke desa Baleugbak pasca kepulangannya dari

Tuban. Pada menyamar sebagai seorang pangeran Jepara, sebuah bandar Islam di bawah Demak. Desa Baleugbak merupakan desa di dataran Sunda di mana masyarakatnya masih dominan memeluk agama Hindu-Buddha. Dari pemaparan kepala desa Baleugbak inilah, yang memberi gambaran mengenai citra negatif Islam.

Ini tampak pada kutipan berikut.

(82) “Patik semua di sini beragama Hindu, Gusti, sedang Gusti Islam. Orang-orang Islamlah yang menyerbu negeri kami dari laut, sedang Gusti memasuki negeri kami dari darat” (hlm. 605).

239 Kutipan (82) merupakan pengakuan dari kepala desa Baleugbak mengenai serangan dari Islam. Negerinya, Pajajaran telah dirampas oleh Demak melalui pasukan lautnya di bawah komando Fatahillah. Kepala Desa Baleugbak menjadi wakil dari pemeluk agama Hindu-Buddha yang mengutarakan perlakuan Islam terhadap kaumnya. Islam sangat terobsesi untuk menguasai Jawa dan mengislamkan

Jawa, salah satu usahanya adalah menaklukkan agama Hindu-Buddha di Pajajaran.

Penaklukkan kerajaan Pajajaran berarti menaklukkan pengaruh agama Hindu-

Buddha.

Penindasan kembali dilakukan Fatahillah pasca pendudukannya di Sunda

Kelapa. Fatahillah melakukan penjajahan di Sunda Kelapa, baik dari segi materi, kekuasaan, wilayah, hingga agama. Sekali lagi, perbuatan Fatahillah jelas membentuk citra negatif bagi Islam. Islam semakin “bertingkah” di bawah bendera Demak. Islam mulai merenggut kebebasan berpikir dan beragama di Jawa.

Fatahillah tak menghadapi sesuatu kesulitan dalam mengatur kembali kehidupan di Sunda Kelapa. Bahkan, perintahnya untuk mendirikan mesjid kemenangan di wilayah bandar disambut dengan bersemangat oleh penduduk. Orang- orang Hindu yang sedikit dan tak dapat meneggang kerja untuk desa lain serta untuk menguasai yang lain, pada membangkang atau melarikan diri, meninggalkan harta benda dan kampung halaman. Mereka hilang di balik-balik perbukitan pedalaman.

Yang tertinggal kemudian ditangkapi dan ditindas dengan paksa. Tak ada tempat lagi di bawah kekuasaan Fatahillah untuk mereka yang beragama Hindu (hlm. 607).

240 Dari ucapan kepala desa Baleugbak kembali tercermin bagaimana citra kerajaan Islam di Jawa. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

(83) Sekilas terangsanglah Pada untuk bercerita tentang Tuban dan pesta tahunannya. Satu kesadaran, bahwa ia seorang pangeran Jepara, mematikan rangsangan itu. Ia mengangguk dan menggarami: “Bagus. Calon-calon prajurit ulung”. “Bukan calon prajurit, Gusti. Perang soal lain lagi. yang pandai berkelahi belum tentu pandai berperang. Lagi pula, negeri kami tak pernah berperang seperti negeri Gusti. Kami lebih suka hidup dalam kedamaian” Pada menggeragap. Ia tahu telah salah menanggapi. Dan ia merasa beruntung kepala desa itu tidak melanjutkan persoalan (hlm 609).

Ucapan kepala desa Baleugbak pada kutipan (83) memberi perbandingan antara negeri kepala desa tersebut, Pajajaran dan negeri Pada yang sedang menyamar sebagai Adipati Jepara. Pajajaran merupakan salah satu kerajaan yang bernuansa agama Hindu sedangkan Jepara adalah bandar Islam di bawah kerajaan Demak.

Ucapan kepala desa Baleugbak membentuk citra agama Hindu-Buddha yang teduh dan menginginkan kedamaian, berbeda dengan Jepara atau bandar Islam yang haus akan peperangan dan kekuasaan untuk menjajah. Terlihat bagaimana Islam yang sangat anarkis dan memiliki ambisi besar untuk terus berperang dan menjajah daratan orang lain, khususnya kerajaan dan bandar-bandar yang kental dengan agama Hindu-

Buddha.

Citra kebrutalan Islam kembali terbentuk dari penuturan keluarga yang lari dari Sunda Kelapa. Mereka menuturkannya kepada Pada dan Sabarani yang saat itu hendak ke Sunda Kelapa. Fatahillah sebagai seorang panglima dan Haji

241 memerintahkan pembuatan benteng. Kerja paksa pun dilakukan oleh Fatahillah. Ini tampak dari penuturan keluarga yang melarikan diri kepada Pada.

Kekuasaan yang ada pada Fatahillah mengharuskan orang untuk bekerja atas titahnya. Penuturan keluarga tersebut menceritakan jika Sunda Kelapa telah mutlak diduduki oleh Demak. Tentara Demak sangat Berangasan. Semua orang tidak merasa aman, tak kecuali orang Islam. Mereka juga dipaksa bekerja dan menyerahkan batang-batang bakau untuk pembuatan benteng (hlm. 615).

Citra kerajaan Islam Demak juga dipaparkan dalam Arus Balik. Demak di bawah pemerintahan Trenggono memiliki ambisi untuk menguasai Jawa dan mengislamkan Jawa. Citra kerajaan yang berpegang pada ajaran Islam ini juga membentuk citra Islam secara langsung. Salah satu citra Islam yang muncul akibat tindakan kerajaan Demak adalah kerakusan para Rajanya, khususnya Trenggono yang hendak menggrogoti Jawa. Demak hendak membasmi agama Hindu-Buddha dengan memperalat prajurit Islamnya sendiri.

Demak dengan keotoriterannya hendak membasmi semua yang bernuansa kafir atau non-Islam. Ini terlihat dari percakapan Wiranggaleng dengan Pada yang telah kembali dari Jawa. Menurut Wiranggaleng, Demak di bawah Trenggono telah memerangi bangsa atau daerah yang bukan musuh. Mereka telah perhamba orang- orang serumah sendiri sedang di luarnya telah merampas dan menguasai sumber kehidupan (hlm. 666).

Citra Islam kembali terbentuk oleh perilaku Sayid Almasawa. Pasca penangkapan Sayid Almasawa oleh Kala Cuwil, Tuban diduduki oleh Peranggi.

242 Peranggi membombardir Tuban dengan meriamnya. Satu kesempatan emas mendatangi nasib Sayid Almasawa. Sayid Almasawa dibebaskan oleh Fransisco De

Sa, pimpinan Peranggi yang menduduki Tuban. Sayid kembali bebas. Dia pun mendapat tugas baru, sebagai kompas bagi prajurit Peranggi untuk menunjukkan keberadaan pasukan atau masyarakat Tuban yang melarikan diri.

Citra Islam terbentuk dari sikap Sayid Almasawa sebagai pemeluk agama

Islam. Tindakannya membunuh masyarakat dan pasukan Tuban selalu diembel- embeli cacian agama. Fanatisme Islam juga yang membentuk Sayid Almasawa seperti itu. Ia sendiri menjadi begitu terkenal di dalam dan di luar kota dengan tongkatnya yang beracun dan mendapatkan kenikmatan dalam merampas jiwa orang.

Dalam menikamkan senjatanya, ia selalu tersenyum sambil memekik senang :

”Kafir!”. Ia pun menjadi petunjuk ke arah pemerkosaan, di mana ia sendiri tak jarang juga ikut melakukannya (hlm. 692).

Sebuah citra Islam di mana para pemeluknya senantiasa melakukan penghinaan dan kekerasan terhadap pemeluk agama yang non-Islam. Hal ini kembali membentuk citra Islam yang negatif.

Dari uraian di atas, terlihat ada sebuah citra negatif dari ajaran Islam yang sering memaksakan peraturan-peraturan tanpa melihat cara akulturasi dengan budaya

Nusantara. Citra negatif yang dibentuk oleh pemeluk agama Islam sendiri ada lima poin seperti yang tampak pada uraian di atas. Hal-hal inilah yang menggambarkan citra negatif agama Islam dalam novel Arus Balik.

243 4.3 Pandangan Dunia Pengarang Mengenai Citra Agama Hindu-Buddha dan

Agama Islam

Citra agama yang telah dianalisis ini, membawa penulis berkesimpulan mengenai pandangan dunia pengarang. Pandangan dunia pengarang dalam strukturalisme genetik adalah identifikasi pengarang terhadap sebuah dunia. Dalam hal ini, Pram sebagai pengarang Arus Balik memiliki jarak yang mempengaruhi kepengarangannya. Jarak tersebut adalah jarak realitas sejarah yang dilihat dari sudut pandang seorang pengarang.

Pram sebagai pengarang novel Arus Balik mencoba melihat realitas sejarah menurut

“kaca mata” dan interpretasinya sendiri. Dari sudut pandangnya, Pram mengungkapkan jika novel sejarahnya yang berjudul Arus Balik memiliki sebuah pemaknaan tertentu. Arus Balik berarti sebuah masa di mana arus balik sebuah zaman terjadi di Nusantara. Sebelum abad ke-15-16, arus zaman mengalir dari arah

Nusantara ke Utara, dengan armada dagang. Karena kedatangan armada-armada

Eropa, mereka diusir. Jadi, arus zaman dialihkan dari utara ke selatan. Inilah titik tolak dalam sejarah di Nusantara pada abad ke-15-16 (Den Boef, 2008:161). Arus

Balik menjadi momentum untuk mengekspresikan sudut pandang Pram yang merangkum pandangan dunianya terhadap sejarah bangsanya.

Uraian Bab IV juga menggambarkan pemikiran atau pandangan Pram terhadap agama dalam tataran sejarah Nusantara. Dalam analisis ini, Pram mengambil kehidupan beragama pada masa runtuhnya Majapahit di Jawa sebagai kelas sosialnya.

Dalam kelas sosial yang dianalisis pada bab III, terlihat bagaimana kehidupan

244 beragama pasca runtuhnya Majapahit. Islam cenderung menindas para pemeluk agama Hindu-Buddha yang telah dulu ada. Pram memiliki pemikiran yang tidak jauh berbeda dalam sudut pandangnya sebagai pengarang dengan realitas sejarah yang ada pada bab III.

Arus Balik mengindikasikan pemikiran Pram yang mengatakan jika perkembangan Islam sejalan dengan kemunduran agama Hindu-Buddha di Jawa.

Tidak seperti paradigma umum, Pram menganggap penyebaran Islam tidak mutlak dilakukan secara damai. Dengan Arus Balik, Pram mengisahkan pandangan dunianya yang memaparkan kekerasan sebagai salah satu jalan penyebaran agama Islam.

Penindasan dan pembasmian dilakukan Islam terhadap ajaran agama Hindu-Buddha.

Islam dalam Arus Balik digambarkan sebagai agama yang anarkis dan memiliki sebuah fanatisme. Kerajaan-kerajaan Islam pun melakukan penyerangan dalam upaya

“Islamisasi paksa” terhadap kerajaan-kerajaan Hindu yang masih bertahan. Agama

Hindu-Buddha sendiri dihadirkannya sebagai agama yang cenderung mencintai kedamaian dan cocok dengan kehidupan masyarakat Jawa, secara khususnya pada masa runtuhnya Majapahit.

Pandangan dunia Pram sebagai pengarang dapat tergambar sebagai sikap yang antipati terhadap Islam. Pram sendiri tidak terlalu meyakini agama layaknya pemeluk agama yang taat. Pram juga tidak terlalu mempercayai agama. Proses hidupnya yang getir, sedikit banyak mempengaruhi pemikiran ini. Usahanya untuk bertahan hidup di penjara selama 34 tahun dianggapnya sebagai usaha pribadinya tanpa ada andil

245 Tuhan. Bagi Pram, orang-orang datang kepada Tuhan hanya untuk mengemis.

Menurutnya lagi, doa juga berarti mengemis (Vltchek, 2006 :16).

Kenyataan yang sedikit berbeda dengan kebanyakan orang, Pram menganggap agama hanya memberikan harapan-harapan surga. Bagi Pram, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini bergantung pada usaha manusia sendiri daripada bergantung dengan Tuhan. Orang tidak boleh berbuat dan berpikir yang tidak rasional. Semua yang menggunakan bahasa manusia adalah produk otak manusia, termasuk agama

(Vltchek, 2006: 52-53). Pandangan Pram mengenai rasionalitas ini jelas tampak dalam Arus Balik. Pemikiran Pram ini, terangkum pada tokoh-tokoh yang bercorak

Hindu-buddha, seperti Idayu, Wiranggaleng, dan Rama Cluring.

Keterangan di atas sedikit memberi gambaran bagaimana seorang Pram memandang agama. Dalam konteks Arus Balik, pemikiran Pram terangkum dalam tokoh-tokoh yang bercorak Hindu-Buddha. Hindu Buddha dihadirkan sebagai agama yang cocok dan selaras dengan manusia. Berbeda dengan agama Islam yang dihadirkannya sebagai agama yang penuh kekerasan dan fanatisme.

Pengalaman hidup Pram juga yang kembali membentuk rasa antipati terhadap

Islam. Konteks dunia politik yang pernah dilaluinya juga membentuk sikap antipati.

Salah satunya tampak dari penahanannya di pulau Buru. Pram menegaskan jika orang-orang agama Islam yang dikirim ke pulau Buru membuat ceramah-ceramah yang berisi caci-maki dan penghinaan terhadap para tahanan. Satu kalimat yang di ingat Pram dari ceramah tersebut, yaitu “ Nah, rasain kalian sekarang, seperti Anjing yang menekuk buntutnya ke bawah badannya”. Seluruh Kiai mencaci-maki para

246 tahanan. Ketika itulah, agamawan Katolik membawa bantuan dan lebih menghargai tahanan-tahanan ini sebagai manusia (Vltchek, 2006 :40).

Keterangan di atas sedikit menjelaskan mengenai antipati Pram terhadap

Islam, selain pengalaman hidup yang lainnya. Dengan Arus Balik, dapat ditarik kesimpulan mengenai sinisme Pram terhadap agama Islam. Pram sebagai seorang pengarang mengambil sebuah pemikiran jika Islam tidak masuk ke Indonesia, maka kejayaan Majapahit tetap bertahan. Kedatangan Islam menjadi landasan kemerosotan

Nusantara di zaman Majapahit. Sebuah pemikiran yang dituangkan Pram dalam novel

Arus Balik.

Jadi, pandangan dunia Pram mengenai agama pada masa runtuhnya Majapahit tidak bertolak belakang dengan aspek historis yang dibahas pada bab III. Pandangan dunia Pram yang tergambar dalam Arus Balik mengatakan jika “Islamnya Pram” adalah Islam yang identik dengan anarkisme dan fanatisme. Penyebarannya pun tidak mutlak dilakukan secara damai, melainkan melalui doktrinisasi, pemaksaan dan pemusnahan terhadap agama Hindu-Buddha beserta pemeluknya yang dianggap sebagai saingan (ancaman). Islam menjadi salah satu penyebab kemerosotan zaman

(runtuhnya Majapahit) tanpa membawa perubahan untuk menahan Arus Balik yang datang dari Eropa.

Agama Hindu-Buddha sendiri berdiri sebagai agama yang sesuai dengan budaya Nusantara, khususnya Jawa dan berakulturasi hingga menciptakan kedamaian bagi manusia di Nusantara secara umum. Agama Hindu-Buddha yang tergambar pada

247 pandangan dunia Pram dalam Arus Balik adalah agama yang menjadi korban dari keganasan Islam untuk mengislamkan Jawa.

4. 4 Rangkuman

Dalam analisis bab IV, dapat dijelaskan jika novel Arus Balik memberi penggambaran atau citra agama disamping aspek historisnya. Secara spesifik, penggambaran agama yang diacu adalah citra agama Hindu-Buddha dan agama

Islam. Agama Hindu-Buddha dalam uraian bab IV merupakan agama yang telah diterima masyarakat sebelum datangnya agama Islam dan Nasrani di Nusantara.

Bab IV juga mendeskripsikan konsep transindividual dalam kajian strukturalisme genetik. Transindividual dalam strukturalisme genetik menampilkan pikiran-pikiran individu tetapi dengan struktur mental kelompok. Keluarga

Wiranggaleng dan Rama Cluring menjadi transindividual yang memiliki dan mewakili struktur mental kelompok. Keluarga Wiranggaleng dan Rama Cluring menjadi individu yang mewakili sikap mental dan pikiran penduduk penganut agama

Hindu-Buddha. Mereka mewakili struktur mental kelompok agama Hindu-Buddha untuk melawan arus akibat berkembangnya agama Islam.

Keluarga Wiranggaleng dan Rama Cluring menjadi tokoh yang sangat dominan melakukan pengkritisan akan perubahan zaman. Mereka mewakili pemikiran penduduk Jawa yang dilandaskan pada ajaran agama Hindu-Buddha. Citra agama Hindu-Buddha tercermin dari pola pikir dan sikap Rama Cluring serta

248 keluarga Wiranggaleng, disamping tindakan dan pikiran-pikiran dari tokoh-tokoh yang memeluk agama Hindu-Buddha lainnya.

Uraian bab IV memberi gambaran mengenai citra agama Hindu-Buddha dalam Arus Balik yang cenderung lebih positif. Agama Hindu-Buddha digambarkan begitu menyatu dan berakulturasi secara damai dengan penduduk asli di Jawa.

Gambaran positif ini dilihat dari pola pikir para pemeluk agama Hindu-Buddha yang cenderung memihak pada kebenaran, kebebasan, dan kedamaian. Agama Hindu-

Buddha mengajarkan pada mereka untuk tidak memiliki ambisi atau nafsu pada kekuasaan. Hal inilah yang menjauhkan pikiran mereka untuk berperang melawan agama lainnya demi perebutan kekuasaan.

Agama Hindu-Buddha yang diwakili dari sikap keluarga Wiranggaleng dan

Rama Cluring, digambarkan tidak memiliki suatu rasa balas dendam kepada pemeluk

Islam. Mereka dan penduduk agama Hindu-Buddha hanya mendambakan kembalinya kejayaan Majapahit dulu yang bisa menciptakan dan menjamin kedamaian.

Agama Hindu-Buddha yang digambarkan dalam Arus Balik tidak memiliki citra yang negatif. Agama Hindu-Buddha hanya menjadi objek eksploitasi kekerasan agama Islam. Agama Hindu-Buddha tidak digambarkan melakukan kekerasan kembali sebagai pembalasan terhadap perlakuan Islam. Para pemeluk agama Hindu-

Buddha memilih menghindari permasalahan dengan pola pikir yang damai dan sejuk.

Itulah citra agama Hindu-Buddha dalam Arus Balik.

Citra Islam sendiri berdiri sebagai oposisi dan pengekang bagi agama Hindu-

Buddha. Agama Islam dalam Arus Balik dominan memiliki citra yang negatif. Citra

249 ini terbentuk dari sikap, tindakan, dan pemikiran para pemeluk agama Islam sendiri.

Dalam uraian bab IV, citra positif agama Islam hanya ada tiga poin yang menggambarkan keuletan, pemikiran kristis terhadap agama Hindu-Buddha, dan kesolehan para pemeluk agamanya yang diwakili oleh tokoh Pada dan Ratu Aisah.

Citra Islam dalam analisis di Bab IV mendeskripsikan jika Islam cenderung memiliki citra yang negatif. Hal ini ditambah dengan unsur politis dari tokoh-tokoh yang memeluk Islam dalam Arus Balik. Citra negatif Islam mayoritas terbentuk dari pemikiran, sikap, dan tindakan pemeluknya. Citra negatif Islam terangkum dalam sikap pemeluknya yang fanatik dan menganggap Islamlah agama yang paling mulia dan memandang agama selain Islam adalah kafir. Fanatisme inilah yang menciptakan iklim “menghina” dan “melecehkan” agama lain, bahkan juga antarsesama Islam.

Kekerasan juga dilakukan oleh orang-orang Islam untuk melakukan pembasmian pengaruh agama Hindu-Buddha di Jawa. Pembunuhan para guru penceramah agama

Hindu-Buddha pun dihalalkan. Islam juga digunakan sebagai kendaraan untuk merebut kekuasaan di daerah-daerah. Ini dilakukan oleh tokoh Sunan Rajeg, Adipati

Trenggono, dan Fatahillah.

Level Sunan atau Haji yang tertera dalam diri Rangga Iskak sebagai Sunan

Rajeg dan Fatahillah sebagai haji tidak mutlak membuat mereka dapat menciptakan toleransi dan kedamaian dengan agama lain, khususnya agama Hindu-Buddha.

Fanatisme Islam membuat mereka dan tentara Demak menghalalkan pembunuhan dan penindasan pemeluk dan ajaran agama Hindu-Buddha. Tujuannya adalah mengislamkan Jawa.

250 Jadi, citra agama Hindu-Buddha berlawanan dengan citra Islam. Ini juga terlihat dari benturan-benturan yang terjadi antara agama Hindu-Buddha dan agama

Islam yang ada dalam analisi bab IV. Benturan-benturan inilah yang membentuk citra agama Hindu-Buddha yang lebih positif dan agama Islam yang cenderung negatif.

Agama Hindu-Buddha digambarkan lebih “sejuk” dibanding Islam yang terus melakukan kekerasan, imbas dari fanatisme agama pada masa runtuhnya Majapahit.

Melangkah pada pandangan dunia Pram melalui citra agama Hindu-Buddha yang ada dalam Arus Balik. Pandangan dunia Pram yang tergambar dalam Arus Balik mengatakan jika “Islamnya Pram” adalah Islam yang identik dengan anarkisme dan fanatisme. Penyebarannya pun tidak mutlak dilakukan secara damai, melainkan melalui doktrinisasi, pemaksaan dan pemusnahan terhadap agama Hindu-Buddha beserta pemeluknya yang dianggap sebagai saingan (ancaman). Agama Hindu-

Buddha sendiri digambarkan Pram sebagai agama yang sesuai dengan budaya

Nusantara, khususnya Jawa dan berakulturasi hingga menciptakan kedamaian bagi manusia di Nusantara secara umum.

251 BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, penulis menarik kesimpulan bahwa novel Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer memiliki penggambaran mengenai citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam. Citra agama itu sendiri terbentuk dari ajaran-ajaran agama dan sikap, pikiran, serta tindakan dari para pemeluk agama itu sendiri.

Dalam upaya melakukan penelitian yang menggunakan kajian strukturalisme genetik, maka dalam bab II penulis terlebih dahulu melakukan analisis struktural atau analisis unsur intrinsik sebelum menganalisis citra agama Hindu-Buddha dan agama

Islam. Penulis memfokuskan analisis strukturnya hanya pada analisis alur yang ada dalam novel Arus Balik. Hal ini karena alur ceritalah yang sangat potensial menggambarkan peristiwa benturan dan citra agama Hindu-Buddha dan agama Islam.

Alur cerita dalam novel Arus Balik adalah alur campuran. Peristiwa-peristiwa yang terjadi, tidak berjalan secara kronologis atau progresif. Ini dikarenakan ada beberapa peristiwa yang mengalami flash back, seperti dalam sub judul Esteban dan

Rodriguez, Menyerang Malaka, Datangnya Meriam Peranggi, Petani Wiranggaleng,

Blambangan, Dan Portugis Memasuki Tuban. Konflik utama dalam novel Arus Balik adalah kedatangan bangsa Peranggi di Nusantara.

252 Dalam bab III, penulis mendeskripsikan situasi kehidupan keagamaan dalam masa keruntuhan Majapahit yang juga merupakan analisis kelas-kelas sosial pada kajian strukturalisme genetik dalam novel Arus Balik. Posisi Tuban sebagai setting utama, hadir sebagai bandar terpenting pada masa Majapahit. Tuban juga berdiri sebagai benteng pertahanan dan basis militer Majapahit. Dalam uraian bab III, juga terlihat Islam menjadi salah satu penyebab runtuhnya Majapahit. Hal ini sejalan dengan perkembangan Islam yang maju pesat. Islam berkembang di bawah naungan

Demak yang merupakan kerajaan penakluk Majapahit. Agama Hindu-Buddha sendiri mengalami kemerosotan dan penindasan. Ini dikarenakan islamisasi yang dilakukan secara paksa oleh kerajaan-kerajaan Islam.

Dalam bab IV, penulis menganalisis citra agama Hindu-Buddha dan agama

Islam. Dalam novel Arus Balik, citra agama Hindu-Buddha dominan digambarkan secara positif. Citra positif agama Hindu-Buddha terangkum dalam poin citra positif ajaran Hindu-Buddha yang melarang penghujatan dewa, menuntut manusia menggunkan nalar, mengajarkan hakikat kebenaran, menciptakan kedamian, dan citra

Hindu-Buddha yang dapat berakulturasi dengan budaya masyarakat. Citra positif pemeluk agama Hindu-Buddha juga terangkum dalam sembilan poin, yaitu pemeluk agama Hindu-Buddha lebih menghargai alam, pemeluk Hindu-Buddha tidak rakus akan ambisi pribadi, Pemeluk Hindu-Buddha tetap menjaga kebudayaannya, Pemeluk

Hindu-Buddha sangat menghargai dewanya, pemeluk Hindu-Buddha taat menjalankan ritual keagamaannya, pemeluk Hindu-Buddha tidak memaksakan kehendak, sikap mental yang mandiri dari pemeluk Hindu-Buddha, pemeluk Hindu-

253 Buddha menghargai manusia lainnya, dan pemeluk Hindu-Buddha memiliki cinta kasih.

Citra agama Islam sendiri dominan digambarkan bersifat negatif, walau terdapat tiga poin citra positifnya. Citra positif Islam dibentuk oleh sikap pemeluknya, di antaranya adalah, pemeluk agama Islam adalah individu yang ulet, pemeluk Islam juga mengkritisi kelemahan ajaran Hindu-Buddha, serta pemeluk agama Islam taat menjalankan ajaran agamanya. Citra Islam sendiri dominan bersifat negatif dalam novel Arus Balik. Citra negatif ajaran agama Islam adalah memaksakan aturan-aturannya sendiri.

Citra negatif pemeluk agama Islam terangkum dalam lima poin, yaitu pemeluk agama Islam gemar melakukan penghinaan dan pelecehan, pemeluk agama

Islam juga gemar menghina antarsesama Islam, pemeluk agama Islam menggunakan agamanya sebagai pembenaran, pemeluk agama Islam kurang memiliki iman yang kuat, dan pemeluk agama Islam suka melakukan kekerasan.

Pandangan dunia Pram sendiri yang tergambar dalam Arus Balik mengatakan jika “Islamnya Pram” adalah Islam yang identik dengan anarkisme dan fanatisme.

Penyebarannya pun tidak mutlak dilakukan secara damai, melainkan melalui doktrinisasi, pemaksaan dan pemusnahan terhadap agama Hindu-Buddha beserta pemeluknya yang dianggap sebagai saingan (ancaman). Agama Hindu-Buddha sendiri berdiri sebagai agama yang sesuai dengan budaya Nusantara, khususnya Jawa dan berakulturasi hingga menciptakan kedamaian bagi manusia di Nusantara secara umum.

254 Dari analisis yang dilakukan, penulis dapat menyimpulkan bahwa perkembangan agama Islam dalam novel Arus Balik tidak mutlak selalu dilakukan secara damai. Islamisasi juga dilakukan dengan kekerasan, doktrinisasi, dan pemaksaan. Kerajaan-kerajaan Islam dihadirkan sebagai faktor yang menyebabkan kemerosotan agama Hindu-Buddha. Hal ini juga menjadi imbas dari situasi politik zaman keruntuhan Majapahit. Agama Hindu-Buddha sendiri menjadi objek eksploitasi yang terombang-ambing dalam arus zaman yang mengalami perubahan.

5.2 Saran

Novel Arus Balik ini masih memiliki banyak permasalahan yang dapat digunakan untuk penelitian. Novel ini dapat diteliti lagi dengan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan ini mengkaji persoalan semangat manusia Indonesia pada tokoh

Wiranggaleng dalam mempertahankan eksistensinya melawan arus zaman yang terus berkembang.

255 DAFTAR PUSTAKA

Almirzanah, Syafa’atun. 1997. Agama Islam Suatu Pengantar. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Aminuddin. 1991. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Jakarta: Gramedia.

Basuki, Sulistyo. 2006. Metode Penelitian. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Chodron, Thubten. 1990. Agama Buddha dan Saya. Jakarta: Karaniya.

Christanty, Linda. 2003. Arus Balik dalam Hidup Pramoedya Ananta Toer. (www.forums.apakabar.com) download 12 Juni 2008.

Den Boef, August Hans dan Kees Snoek. 2008. Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir, Esei dan Wawancara dengan Prameodya Ananta Toer. Jakarta: Komunitas Bambu.

Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post- Modernisme. Jakarta: Pustaka Jaya.

Graaf, De.H.J dan Pigeaud. 1985. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: Grafitipers.

Hadiwijono, Harun. 1971. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: Badan Penerbit Kristen

Hardjana, A.M. 2006. Penghayatan Agama: yang Otentik & Tidak Otentik. Yogyakarta: Kanisius.

Harimurti, Kridalaksana,dkk. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Krisnanto, Deni. 2005. Aspek-Aspek Sejarah Dalam Novel Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer, Suatu Tinjauan Historis. (www.digilib.upi.com) download 12 Juni 2008.

Kuntowijoyo, 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Lubis, Ibrahim. 1982. Agama Islam Suatu Pengantar. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Madjid, Nurcholis, dkk. 2007. Islam Universal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

256 Mulyana, Slamet.1979.Negarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara

______.2008. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara- negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: Lkis

Nurgiyantoro, Burhan.2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Jaya.

Sardjono, Maria. A. 1992. Paham Jawa: Menguak Falsafah Hidup Manusia Jawa Lewat Karya Fiksi Mutakhir Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.

Sedyawati, Edi, dkk. 1997. Tuban: Kota Pelabuhan di Jalan Sutra. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI.

Semi, Atar. 1984. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

Seputera, Pipit.1973.Beberapa Aspek dari Sejarah Indonesia. Flores: Nusa Indah

Shalaby, Ahmad. 2001. Perbandingan Agama-Agama Besar di India (Hindu-Jaina- Buddha). Jakarta: Bumi Aksara.

Sudarmanto, JB. 1987. Agama dan Ideologi. Yogyakarta: Kanisius.

Sudaryanto. 1993. Metode & Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta

Wacana University Press.

Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sumardjo, Yacob.1979. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: CV. Nur Cahaya.

257 Suleiman, Satyawati.______Sejarah Indonesia. Bandung: K.P.P.K Balai Pendidikan Guru

Suyono, Capt.R.P. 2003.Peperangan Kerajaan di Nusantara. Jakarta: Grasindo

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Toer, Pramoedya Ananta. 1995. Arus Balik. Jakarta: Hasta Mitra.

Vltchek, Andre dan Rossie Indira. 2006. Saya Terbakar Amarah Sendirian. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

258 BIODATA PENULIS

Hendra Sigalingging lahir tanggal 16 September 1985

di Jambi. Mengawali pendidikan dasar di Sekolah

Dasar Negeri 86 Jambi pada tahun 1992-1998 dan

dilanjutkan ke tingkat menengah pertama di Sekolah

Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 10 Jambi pada tahun 1998-2001. Penulis melanjutkan studi ke Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Jambi pada tahun 2001-2004.

Pendidikan terakhir yang ditempuh penulis pada tahun 2004 hingga sekarang di

Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

259