i

PROSIDING SEMINAR NASIONAL SASTRA DAN BUDAYA IV

KEARIFAN LOKAL SEBAGAI PEMBENTUK KARAKTER BANGSA

Tim Penyunting Drs. I Ketut Ngurah Sulibra, M. Hum. Drs. I Wayan Teguh, M. Hum. Dr. Dra. Ni Ketut Ratna Erawati, M. Hum.

DENPASAR, 29 – 30 MARET 2019

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2019

i KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kepada Ida Sang Widhi atas berkat- Nyalah kegiatan ini dapat diselengarakan sesuai dengan harapan. Pada kesempatan ini kami menghaturkan terima kasih kepada dua pembicara kunci, yakni Bapak Prof. Dr. Djoko Saryono, M. Pd., Guru Besar Universitas Negeri (UNM), dan Bapak H. Sunggono, Sekretaris Daerah Kartanegara. Selain itu, ucapan terima kasih yang tulus kepada kedua pembicara undangan, yaitu Bapak Dr. Ida Bagus Kade Gunayasa, M. Hum., dari Universitas Mataram, dan Bapak Dr. Drs. I Nyoman Wardi, M. Si. dari Prodi Arkeologi FIB Universitas Udayana yang telah bersedia menyampaikan ide-ide dan gagasannya untuk memperkuat isi SNSB IV ini. Terima kasih pula kami ucapkan kepada para pemakalah pendamping, peserta dan mahasiswa yang sudah berupaya menjadikan SNSB IV sangat berarti. Partisipasi Bapak Ibu sekalian sebagai pemakalah dan sebagai peserta sangat memotivasi bagi kami demi keberlangsungan SNSB IV ini maupun SNSB pada tahun-tahun berikutnya dan sudah tentu dengan tema dan materi yang berbeda. Kami juga mengucapkan terima kasih atas semua fasilitas yang diberikan oleh Ibu Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M. A. selaku dekan FIB beserta staf, serta para koordinator Program Studi di lingkungan FIB, Bapak/Ibu dosen, mahasiswa dan segenap civitas Akademika FIB Unud, yang telah memperlancar SNSB IV ini. Terima kasih kami ucapkan kepada seluruh panitia SNSB IV atas dukungan dan kerja samanya yang baik juga tidak kenal lelah. Harapan, tujuan, semangat, kerja sama yang dilandasi dengan komitmen baik telah menjadikan seminar ini berjalan dengan suasana akademik yang kondusif. Akhirnya kami tidak pernah lupa dengan pepatah bahasa Jawa Kuno ―Tan Hana Wang Saswatānulus‖ yang identik dengan ―Tiada gading yang tak retak‖. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat kami harapkan demi terlaksananya SNSB yang lebih berkualitas di masa mendatang. Kami mohon maaf jika ada hal-hal yang tidak berkenan di hati Bapak/Ibu selama acara ini berlangsung. Terima kasih.

Panitia Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Ketua,

Dr. Dra. Ni Ketut Ratna Erawati, M.Hum.

ii 

SAMBUTAN

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa karena atas asung kerta wara nugraha-Nya maka Buku Kumpulan Abstrak untuk Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV (SNSB IV) yang mengusung tema Kearifan Lokal sebagai Pembentuk Karakter Bangsa' dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tema ini menjadi sangat penting karena kita dapat memahami hubungan yang sangat erat antara Sastra dan Budaya sehingga Sastra dan Budaya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Melalui karya sastra yang penulisnya memiliki latar belakang budaya berbeda akan mampu memperindah karya-karya sastra yang dihasilkan baik untuk kebutuhan sebagai bahan ajar maupun untuk dihayati. Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana mengembangkan ilmu-ilmu Sastra dan Budaya. Dengan mengungkap hasil karya sastra yang berisikan kandungan budaya diharapkan dapat membangun karakter masyarakat dan bangsa dalam menghadapi era globalisasi yang penuh tantangan dapat terwujud dengan baik. SNSB IV dilaksanakan untuk mendiskusikan dan menginterpretasikan hubungan yang begitu erat antara Sastra dan Budaya sehingga muncul pemahaman, dan apresiasi terhadap keanekaragaman dan persamaan budaya untuk mewujudkan multikulturalisme. Multikulturalisme adalah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individu maupun budaya. Perbedaan dan persamaan Sastra dan Budaya dipandang sebagai landasan dalam multikulturalisme, yaitu peradaban manusia melalui rentang waktu dan tempat. Berkaitan dengan hal ini, perlu diperhatikan hubungan Sastra dan Budaya untuk pendidikan multikulturalisme yang terdiri atas: 1. Menginterpretasikan perbedaan Sastra dan budaya berdasarkan persamaan; 2. Membuat hubungan dan perbandingan secara lintas budaya (cross Cultural Connections and Comparisons); 3. Menunjukkan konteksnya; dan 4. Menyeimbangkan antara konteks (ecology) dan komparasi (cross-culture) dalam Sastra dan Budaya. Melalui kesempatan ini, kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Para Koordinator Program Studi di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana atas kerjasama yang baik sehingga SNSB IV bisa dilaksanakan secara berkesinambungan. 2. Bapak Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., dari Universitas Negeri Malang sebagai pembicara kunci, pemakalah utama yakni Bapak Dr. Drs. I.B. Kade Gunayasa, M.Hum. dari Universitas Mataram, dan Bapak Dr. I Nyoman Wardi, M.Si. dari Fakultas Ilmu Budaya Unud, serta para pemakalah pendamping lainnya yang terdiri atas dosen bahasa, pengamat sastra, budayawan, dll. 3. Peserta SNSB IV, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana yang terdiri atas, peneliti dan/atau dosen bahasa, sastra, dan budaya, guru, mahasiswa, pekerja dan pengamat media, sastra dan budaya, yang terlalu panjang bila disebutkan semuanya.

iii  4. Panitia SNSB IV Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana yang telah bekerja keras mempersiapkan segala sesuatu yang terkait dengan penyelenggaraan seminar ini dengan sebaik-baiknya. Semoga SNSB IV yang diselenggarakan atas kerjasama semua Program Studi di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana dapat memberikan pencerahan tentang hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara Sastra dan Budaya, dan diharapkan bermuara pada penyatuan Visi Fakultas Ilmu Budaya, Unud yaitu memiliki keunggulan dan kemandirian dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dengan aplikasi keilmuan yang berlandaskan kebudayaan. Melalui kesempatan ini sekali lagi kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran pelaksanaan SNSB IV, dengan harapan semoga Tuhan YME memberikan imbalan yang setimpal dengan pengorbanan Bapak/Ibu sekalian. Kami juga tidak lupa mohon maaf apabila ada hal-hal yang kurang berkenan dan semoga Buku ini bermanfaat untuk kita semua.

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Dekan,

Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A.

iv 

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... i

KATA PENGANTAR ...... ii

SAMBUTAN ...... iii

DAFTAR ISI ...... v

PEMAKALAH KUNCI

MEMUDAKAN KEARIFAN LOKAL, MEMPERKUAT KARAKTER BANGSA: Kearifan dan Karakter sebagai Kompas Kehidupan Zaman Disrupsi Djoko Saryono ...... 1

PEMAKALAH UTAMA

REVITALISASI NILAI DALAM CERITA RAKYAT SASAK LOQ SESEKEQ SEBAGAI PENGUATAN POLA ASUH ANAK DAN PENDIDIKAN KARAKTER Ida Bagus Kade Gunayasa ...... 15

RITUAL AIR DALAM SIKLUS PURNAMA KAPAT PADA KAWASAN CAGAR BUDAYA BATUKARU DI : KEARIFAN KONSERVASI LINGKUNGAN SEBAGAI IDENTITAS DAN KARAKTER MASYARAKAT BALI I Nyoman Wardi ...... 25

PEMAKALAH PENDAMPING

ANALISIS PUISI “SAJAK HOAX” KARYA SOSIAWAN LEAK MENGGUNAKAN TEORI SEMIOTIKA RIFFATERRE Ahmad Habib, Robbi Gunawan, Mamluqil Farihah ...... 37

TRADISI KULINER TRADISIONAL MASYARAKAT LUMAJANG REPRESENTASI IDENTITAS BUDAYA PENDALUNGAN Aliffiati, AA Ayu Murniasih ...... 43

PERANAN MADE ADA DALAM PERUBAHAN EKONOMI DI DUSUN PAKUDUI TEGALALANG GIANYAR (1984-2018) Anak Agung Inten Asmariati ...... 54

RIAK GELOMBANGRESILIENSI KELUARGA ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ) DALAM BALUTAN ASPEK BUDAYA BALI Bambang Dharwiyanto Putro ...... 59

v  MOTIFEME-MIGRASI-AKULTURASI BUDAYA DALAM CERITA RAKYAT JAKA TARUB DAN CERITA SERUPA DI ASIA (STRUKTUR NARATIF ALAN DUNDES) Dewi Ayuningtyas ...... 69

PERAN MISIONARIS DALAM TERBENTUKNYA MASYARAKAT MULTIBUDAYA DI BALI Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo ...... 75

REVITALISASI NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL TRI HITA KARANA DAN SAD KERTIH DALAM PENGEMBANGAN DESA WISATA SANGKAN GUNUNG Gede Ginaya, I.A. Kade Werdika Damayanti, Ni Wayan Wahyu Astuti, I Wayan Nurjaya ...... 82

ANALISIS ‗UNTUK KITA RENUNGKAN‘ I Gusti Ayu Gde Sosiowati ...... 88

METAFORA DI MEDIA CETAK: SEBUAH PENELITIAN PENDAHULUAN I Gusti Ngurah Parthama ...... 95

PEMBERDAYAAN SASTRA DAN BUDAYA DALAM MEMBANGUN KARAKTER BANGSA YANG SEHAT I Ketut Darma Laksana ...... 102

MEMILIH DAN MEMILAH SATUA DI DUNIA PENDIDIKAN UNTUK MEMBANGUN KARAKTER YANG TEPAT I Ketut Jirnaya ...... 107

RATU SAKTI PANCERING JAGAT DI DESA TRUNYAN I Ketut Setiawan ...... 112

KAKAWIN SIWARATRIKALPA: ALUR DAN TEMA CERITA I Made Suastika ...... 117

TRANSFORMASI SOSIAL DAN ETIKA BUDAYA RELIGIUS MASYARAKAT BALI ERA MODERN I Nyoman Duana Sutika ...... 123

HIPONIMI KATA‖SEKAR‖ DALAM BAHASA JAWA KUNA I Nyoman Sukartha, Komang Paramartha ...... 130

DINAMIKA SAPAAN DALAM BAHASA MELAYU BALI I Nyoman Suparwa ...... 136

vi 

DARI ISLAM KAMPUNG SAMPAI ISLAM BALI : PERANAN NILAI-NILAI TRADISIONAL DALAM KEBERTAHANAN MASYARAKAT ISLAM DI BALI I Putu Gede Suwitha ...... 143

BENANG MERAH SASTRA LISAN NUSANTARA: STUDI KASUS CERITA RAKYAT CORO ILA DAN I BELOG MANTU I Wayan Cika...... 153

MASYARAKAT MULTIKULTUR PADA ZAMAN BALI KUNO ABAD IX- XIV M BERDASARKAN REKAMAN ARKEOLOGI I Wayan Srijaya ...... 159

BUDAYA KRITIK DALAM TEKS SASTRA TRADISI: REPLEKSI TEKS GEGURITAN I KETUT BUNGKLING DAN GEGURITAN I KETUT BAGUS I Wayan Suardiana ...... 166

KEBERTERIMAAN KOMUNITAS HINDU DALAM PLURALITAS AGAMA DI LAMPUNG SELATAN I Wayan Tagel Eddy, Anak Agung Ayu Rai Wahyuni ...... 173

KEPRIBADIAN NASIONAL DAN BAHASA INDONESIA: SUATU TINJAUAN SINGKAT I Wayan Teguh ...... 178

KATA KETERANGAN ASPEK FREKUENTATIF DALAM BAHASA SASAK Ida Ayu Putu Aridawati ...... 185

KEARIFAN LOKAL DALAM KEBIJAKAN RAJA-RAJA PADA MASA KERAJAAN BALI KUNO Ida Ayu Putu Mahyuni ...... 193

DESA-DESA DI BALI, DALAM LINTASAN SEJARAH Ida Ayu Wirasmini Sidemen ...... 197

WACANA TRADISI TARI WALI BARIS SUMBU DALAM UPACARA NEDUH DI PURA DESA, DESA ADAT SEMANIK DESA PLAGA-BADUNG Ida Bagus Rai Putra ...... 205

KEARIFAN LOKAL SINKRETISME HINDU-BUDHA PADA RELIEF CANDI SEBAGAI JATI DIRI BANGSA Ida Bagus Sapta Jaya ...... 210

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT KAWASAN GUNUNG MUTIS DALAM PELESTARIAN HUTAN DI TIMOR TENGAH SELATAN, NUSA TENGGARA TIMUR Industri Ginting Suka ...... 216

vii  ORIENTASI NILAI BUDAYA PETANI SAYUR: STUDI KASUS DI DESA ARGOSARI, KECAMATAN SENDURO, KABUPATEN LUMAJANG, PROVINSI JAWA TIMUR Ketut Darmana ...... 221

CERITA SI LUTUNG DAN SIKEKUWE DALAM SEBUAH PERBANDINGAN Komang Paramartha, I Nyoman Sukartha ...... 227

KISAH CINTA DAN PENGORBANAN DI BALIK TRADISI PASOLA DI SUMBA (KONSEP AWAL PENULISAN SKENARIO FILM PASOLA SUMBA) Maria Matildis Banda ...... 234

KAJIAN SEMIOTIKA PEIRCE PADA PUISI IA TAK PERNAH JANJI LANGIT SELALU BIRU DALAM ANTOLOGI PUISI DI KOTA TUHAN AKU ADALAH DAGING YANG KAU PECAH-PECAH KARYA STEBBY JULIONATAN Moh. Yusril Hermansya ...... 240

PERAN EKOLOGI SASTRA PUISI TERHADAP PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP Mursalim ...... 247

PROBLEMATIKA KURIKULUM GENERIK PELAJARAN BAHASA BALI Nengah Arnawa ...... 252

DIVERSIFIKASI PEMAKNAAN ISTILAH BUDAYA BALI DI MEDIA ONLINE Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Gusti Ngurah Parthama ...... 258

PRASASTI SEBAGAI BUKTI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BALI KUNO Ni Ketut Puji Astiti Laksmi ...... 265

“ARDHANARESWARI”; REPRESENTASI NILAI KEARIFAN LOKAL BALI DALAM MEWUJUDKAN KESETARAAN GENDER Ni Luh Arjani ...... 270

PERSPEKTIF GENDER TUTURAN PERINTAH BAHASA JEPANG: STUDI PENDAHULUAN Ni Luh Kade Yuliani Giri ...... 275

REDUPLIKASI ADJEKTIF SECARA MORFEMIS DALAM BAHASA BALI Ni Luh Komang Candrawati ...... 280

GEGURITAN SIWARATRI KALPA (LUBDAKA): ANALISIS ALUR CERITA DAN PENOKOHAN Luh Putu Puspawati ...... 287

viii 

EKSPLOITASI BURUH YANG DIGAMBARKAN KOBAYASHI TAKIJI DALAM CERPEN HOKKAIDO NO „SHUNKAN‟ Ni Luh Putu Ari Sulatri, Silvia Damayanti ...... 292

MANFAAT DAUN DEDAP ‗Erythrina variegate‘ Ni Luh Sutjiati Beratha ...... 301

KESANTUNAN BERBAHASA YANG TERCERMIN DALAM AIMAI HYŌGEN Ni Made Andry Anita Dewi, Ni Putu Luhur Wedayanti ...... 310

REPRESENTASI IDENTITAS DALAM GAYA HIDUP PEREMPUAN BALI MASA KINI Ni Made Wiasti, Ni Luh Arjani...... 318

PEMILIHAN PEDOMAN PENULISAN AKSARA JAWA DI RUANG PUBLIK Rahmat, Tya Resta Fitriana ...... 326

NILAI PENDIDIKAN DALAM ANTOLOGI PUISI SENDJA DJIWA PAK BUDI Sri Jumadiah ...... 330

KEARIFAN LOKAL UPACARA RITUAL ERPANGIR KU LAUSEBAGAI PROYEKSI JATI DIRI MASYARAKAT KARO Vanesia Amelia Sebayang, Asmyta Surbakti ...... 337

KEARIFAN LOKAL DI BUMI KECAMATAN - KABUPATEN MOJOKERTO Zuraidah ...... 344

ix 

MEMUDAKAN KEARIFAN LOKAL, MEMPERKUAT KARAKTER BANGSA: Kearifan dan Karakter sebagai Kompas Kehidupan Zaman Disrupsi

Djoko Saryono Universitas Negeri Malang

Umat manusia sedang menghadapi revolusi yang belum pernah terjadi sebelumnya, semua cerita lama kita runtuh, dan tidak ada cerita baru yang muncul untuk menggantikannya. Bagaimana kita dapat mempersiapkan diri dan anak-anak kita untuk dunia dengan transformasi dan ketakpastian radikal yang belum pernah terjadi sebelumnya? (Yuval Noah Harari, 21 Lessons for 21st Century, 2018, Spiegel & Grau)

Dobbs, Manyika, dan Woetzel (2015) membaca perubahan dunia yang lebih besar (makro) dan menyebutkan saat ini kita tengah berada dalam ―no ordinary disruption‖ yang tidak biasa, yang membuat banyak orang gelisah kalau ditangani oleh orang-orang yang hanya mampu berwacana. (Renald Khasali, Disruption, 2017, Penerbit Gramedia Pustaka Utama)

Revolusi Industri Keempat dapat menjadi titik-temu bagi makna tradisional manusia (pekerjaan, masyarakat, keluarga, dan identitas) atau dapat meningkatkan rasa kemanusiaan menjadi kesadaran kolektif dan moral baru berdasarkan perasaan takdir bersama. Pilihannya ada pada kita. (Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution, 2016, World Economic Forum)

Revolusi Industri Keempat seharusnya menjadi revolusi nilai-nilai. (Amira Yahyaoui, dalam Astrid Savitri, Revolusi Industri 4.0, 2019, Penerbit Genesis).

Seperti dikatakan oleh salah seorang arif bijaksana dunia bernama Socrates bahwa ―hidup yang tidak boleh diperiksa kembali adalah hidup yang tidak layani dijalani‖, marilah kita periksa kembali hidup kita dan zaman tempat kita hidup sekarang agar kita dapat menjalani hidup dan kehidupan dalam dunia masa sekarang dan masa depan pada satu sisi dan pada sisi lain menghidupi dunia masa sekarang dan masa depan yang kita kehendaki. Dunia macam apakah yang sedang kita hadapi, bahkan menghidupi kita sekarang atau menjadi tempat hidup kita sekarang? Dengan ringkas pertanyaan ini dapat dijawab bahwa dunia masa sekarang, bahkan masa depan yang sedang kita hadapi dan hidupi adalah sebuah dunia yang sedang berubah sangat disruptif, radikal, fundamental, dan eksponensial! Dunia kita sekarang adalah dunia yang sedang mengalami tsunami perubahan dalam skala yang luas, dalam, dan kompleks. Tak heran, kita seakan- akan tidak mampu ―menangkapnya‖ secara utuh-lengkap sehingga kita tidak dapat

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 1 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 2 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 menamainya dengan satu istilah atau frasa yang berterima pada semua pihak. Banyak di antara kita menamainya dengan bermacam-macam istilah atau frasa sesuai dengan candraan masing-masing. Betapa tidak! Gejala perubahan, pergeseran, dan pergantian radikal, disruptif, fundamental, dan eksponensial itu berlangsung hampir di seluruh lapangan kehidupan sejak Abad XXI, baik dalam skala lokal, nasional, regional maupun global, bahkan planeter; baik dalam dimensi empiris maupun normatif. Sesuai candraan masing-masing, para ahli dan pengamat mencandra hal tersebut dengan berbagai-bagai sebutan, di antaranya Abad XXI sekarang telah berlangsung Revolusi Industri Keempat, Revolusi Internet Gelombang Ketiga (dari internet of thing‟s menuju internet of everything), Revolusi Digital, Revolusi Ilmu Pengetahuan, Revolusi Mahadata (Big Data), Revolusi Glokalisasi, dan revolusi-revolusi lain yang secara mendasar mengubah tatanan dunia manusia, bahkan tatanan alam semesta.

Rupa-rupa penyebutan atau penjenamaan tsunami perubahan disruptif- radikal-fundamental tersebut menggambarkan adanya perubahan yang serba tidak terduga, serba tidak pasti, demikian kompleks, dan senantiasa taksa. Di sinilah kita memasuki dunia VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity; VUCA World). Dunia VUCA menyodorkan tantangan, tuntutan, dan kebutuhan baru bagi keberlanjutan dan kelangsungan kehidupan manusia khususnya kelangsungan kebudayaan dan peradaban. Tantangan, tuntutan, dan kebutuhan baru bidang kebudayaan dan peradaban direspons secara setimpal berlandaskan dan bermodalkan kekayaan kebudayaan dan peradaban kita khususnya kearifan- kearifan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan kultural atau moral-etis yang sudah tumbuh dan berkembang di Indonesia disertai dengan usaha-usaha menemukan ―jawaban-jawaban baru‖ yang cocok dan sepadan dengan tantangan, tuntutan, dan kebutuhan kebudayaan dan peradaban pada Abad XXI yang merupakan Dunia VUCA tersebut. Secara khusus bidang kebudayaan dan peradaban ditantang, dituntut, dan ditagih untuk memperoleh jawaban-jawaban baru yang dapat menjadikan bidang kebudayaan dan peradaban kita tetap eksis, berdaulat, dan berdaya. Jadi, demi daulat dan daya-tahan kebudayaan dan peradaban kita diperlukan transformasi kebudayaan dan peradaban secara disruptif-radikal- fundamental. Di sini kita dituntut untuk mampu menjadi aktor atau agen transformasi matra-matra dan sendi-sendi tertentu kebudayaan dan peradaban.

Dalam transformasi kebudayaan dan peradaban tersebut kita tidak boleh terjebak dalam dikotomi-dikotomi biner-atomistis, hanya pendekatan dan wawasan hitam-putih belaka secara fanatis dan kaku. Diperlukan pendekatan dan wawasan holistis-pluriversal (transversal) yang transversal, interseksional, interkonektif, multimodal, dan inklusif dalam usaha-usaha transformasi kebudayaan dan peradaban demi keberlanjutan dan kelangsungan kehidupan manusia secara planeter. Berhubung masa sekarang, lebih-lebih masa depan yang semakin padat-kendali ilmu pengetahuan dan kreativitas-inovasi, maka keberadaan karakter dan intelektualitas sama-sama penting di samping humanitas dan spiritualitas; keduanya tidak boleh dipertentangkan satu sama lain, apalagi ditinggalkan salah satu di antaranya. Beranalogi dengan ucapan Albert Einstein, karakter tanpa intelektualitas menjadikan kehidupan masa depan kehilangan arah pada satu sisi dan pada sisi lain intelektualitas tanpa karakter menjadikan

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 3 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 kehidupan masa mendatang mengalami kegelapan. Di samping itu, karakter dan intelektualitas tanpa humanitas dan spiritualitas bisa menjerumuskan kehidupan dalam kehampaan dan keputusasaan. Baik karakter maupun intelektualitas yang ―dipimpin‖ oleh humanitas dan spiritualitas sama-sama dibutuhkan dalam kehidupan masa sekarang, lebih-lebih kehidupan masa depan. Sebab itu, beralaskan humanitas dan spiritualitas, baik karakter maupun intelektualitas harus ditumbuhkembangkan dan diperkuat secara serempak-bersamaan dan seimbang demi keselamatan dan keberlanjutan kehidupan masa sekarang dan masa depan.

Penumbuhkembangan dan penguatan karakter dan intelektualitas berlandaskan humanitas dan spiritualitas menjadi tugas-bersama kita. Hal ini perlu dilaksanakan secara simultan dan kontekstual, bukan serial-kronologis-prosedural. Dikatakan demikian karena karakter dan intelektualitas, bahkan Forum Ekonomi Dunia telah menambah literasi (2016), merupakan ―pinang dibelah dua‖, keduanya berkoesistensi atau saling mengada demi kemajuan kebudayaan dan peradaban. Demikian juga humanitas dan spiritualitas, keduanya berkoeksistensi, saling mengada bersama demi ketangguhan akar dan aras-tuju kebudayaan dan peradaban. Sejarah telah memberi pelajaran kepada kita bahwa manusia bermartabat merupakan manusia yang mempunyai karakter yang kuat dan intelektualitas yang tinggi di samping humanitas yang tegas dan spiritualitas yang kokoh. Implikasinya, peningkatan martabat bangsa Indonesia dapat dilakukan dengan penguatan karakter dan intelektualitas bangsa Indonesia beralaskan humanitas dan spiritualitas. Dalam usaha memperkuat karakter dan intelektualitas bangsa Indonesia beralaskan humanitas dan spiritualitas tersebut ―sumber-sumber atau bahan-bahan‖ kebudayaan dan peradaban mana pun yang memang ―bermanfaat, menyegarkan, memperkaya, dan memperkuat‖ karakter dan intelektualitas bangsa Indonesia. Terutama dalam konteks zaman glokalisasi, salah satu ―sumber atau bahan‖ penguatan karakter dan intelektualitas bangsa yang dapat dimanfaatkan adalah khazanah kebudayaan dan peradaban lokal dan ―pribumi‖ (indigenous) kita yang demikian kaya dan beranekaragam. Secara khusus kearifan-kearifan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan lokal dan ―pribumi‖ yang tersimpan atau berada dalam kebudayaan dan peradaban lokal dan ―pribumi‖ dapat dimanfaatkan atau didayagunakan sebagai salah satu ―sumber atau bahan‖ penguatan karakter bangsa. Di tengah-tengah tsunami perubahan disruptif-radikal- fundamental, yang mengakibatkan ketidakstabilan dan ketidakpastian hampir seluruh matra dan sendi kebudayaan dan peradaban lokal dan ―pribumi‖, tentulah kearifan dan kebijaksanaan lokal dan ―pribumi‖ tersebut perlu direstorasi, direvitalisasi, dan diadvokasi hak dan daya hidupnya agar benar-benar bermanfaat dan berdaya-guna sebagai sumber penguatan karakter bangsa. Ringkas kata, kearifan dan kebijaksanaan lokal dan “pribumi” yang terekspresi-terproyeksikan dalam matra simbolis, sosial, dan material kebudayaan perlu dimudakan kembali, direjuvinasi, seiring dengan pemanfaatannya sebagai salah satu sumber penguatan karakter bangsa.

Tulisan ringkas ini mencoba membeberkan bagaimana memudakan kembali kearifan dan kebijaksanaan lokal dan ―pribumi‖ seiring dengan usaha memperkuat karakter bangsa di tengah kehidupan zaman disrupsi sehingga kearifan dan kebijaksanaan lokal dan ―pribumi bersama karakter bangsa dapat berfungsi-peran

 4 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 sebagai kompas kehidupan zaman disrupsi. Untuk itu, dalam tulisan ringkas ini diuraikan berturut-turut (1) konsep karakter, intelektualitas, dan manusia bermartabat, (2) hubungan zaman disrupsi dengan modal manusia dan kebutuhan penguatan karakter dan intelektualitas beralaskan humanitas dan spiritualitas, (3) urgensi penguatan karakter dan intelektualitas sebagai tugas pemajuan kebudayaan dan peradaban, dan (4) upaya-upaya penguatan karakter dan intelektualitas melalui jalan pemajuan kebudayaan dan peradaban, (5) tempat dan peran kebudayaan mdan peradaban lokal dan ―pribumi‖ khususnya kearifan dan kebijaksanaan lokal dan ―pribumi‖ dalam upaya penguatan karakter dan intelektualitas bangsa, dan (6) strategi pemudaan kembali kearifan dan kebijaksanaan lokal dan ―pribumi‖ agar bermanfaat untuk mempersegar dan memperkaya, dan memperkuat karakter dan intelektualitas bangsa.

KONSEP KARAKTER DAN INTELEKTUALITAS Sampai sekarang terdapat berbagai perspektif dan pendekatan untuk menentukan konsep karakter dan intelektualitas sehingga terdapat berbagai pengertian karakter dan intelektualitas. Untuk menyegarkan ingatan kita, pertama- tama marilah kita telaah pengertian atau konsep karakter dan intelektualitas secara etimologis dan psikologis. Istilah karakter berasal dari istilah Yunani charassein yang berarti ―mengukir corak yang tetap dan tidak terhapuskan‖. Menurut Ki Hadjar Dewantara – seorang tokoh pendidikan nasional yang sangat terkemuka – karakter atau watak adalah ―paduan segala tabiat manusia yang bersifat tetap sehingga menjadi tanda yang khusus untuk membedakan orang yang satu dengan yang lain‖. Oleh karena itu, lanjut Dewantara, karakter itu merupakan ―imbangan antara hidup batin seseorang dengan segala perbuatan lahirnya; oleh karena itu, seolah-olah menjadi lajer atau sendi dalam hidupnya, yang selalu mewujudkan sifat atau perangai yang khusus bagi masing-masing manusia. Ini menunjukkan bahwa karakter merupakan keseluruhan sifat kejiwaan, kepribadian, dan akhlak atau budi pekerti yang membedakan seorang manusia dengan manusia lainnya. Bisa disimpulkan, karakter adalah keseluruhan sifat manusia yang meliputi kemampuan, kebiasaan, kesukaan, perilaku, potensi, nilai, dan pola pikir seorang manusia. Pada zaman sekarang, manusia berkarakter kuat lazimnya memiliki ciri (a) keimanan dan ketakwaan yang kuat, (b) spiritualitas yang kokoh, (c) emosionalitas yang mantap, (d) kedisiplinan yang tinggi, (e) sikap dan tindakan yang adil dan arif, (f) keberanian bertanggung jawab yang tinggi, (g) kemampuan menghargai dan menghormati orang lain, (h) orientasi pada keunggulan dan kesempurnaan, (i) kemampuan bekerja sama dengan pihak lain, (j) sikap dan perilaku demokratis dan hak asasi atau kemampuan menjunjung demokrasi dan hak asasi, dan (k) sikap dan perilaku yang mengutamakan kebenaran. Apakah karakter seseorang (baca: pribadi) atau sekelompok orang (baca: bangsa) menjadi kuat seperti tersebut atau lemah dibentuk oleh ―dasar yang telah kena pengaruhnya ajar‖, kata Dewantara. Dengan demikian, karakter seseorang dibentuk oleh pendidikan. Jika pendidikan merupakan entitas kelangsungan kebudayaan dan peradaban, maka karakter dibentuk dan dikembangkan oleh kebudayaan dan peradaban.

Sementara itu, istilah intelektualitas berasal intellectuality yang berarti kondisi atau kenyataan kemampuan kognitif seseorang. Intelektualitas atau

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 5 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 kecerdasan merupakan mutu kecendekiaan, kepandaian atau kepintaran seseorang yang ditujukan untuk menyatakan kebenaran yang bermaslahat bagi banyak orang atau masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa kecendekiaan, kepandaian, kebenaran, dan kemaslahatan menjadi intisari atau saripati intelektualitas. Seorang yang mampu menggunakan kemampuan kognitifnya untuk menyatakan kebenaran yang berguna bagi masyarakat sering disebut intelektual atau cendekiawan. Tidak mengherankan, W. S. Rendra – seorang sastrawan terkemuka Indonesia – menyatakan bahwa tugas intelektual adalah menjaga hati nurani masyarakat agar tetap dapat melihat kebenaran-kebenaran. Supaya tugas ini dapat terlaksana dengan baik, seorang intelektual harus otonom, mandiri, merdeka, dan bebas serta arif sehingga ―intelektual harus berumah di atas angin‖, kata Rendra. Jadi, dapat disimpulkan bahwasanya intelektualitas merupakan kecendekiaan atau kepandaian yang dimiliki oleh seseorang untuk menyatakan kebenaran secara bebas, otonom, mandiri, dan arif demi kemaslahatan bersama manusia – bagi sebagai makhluk personal dan makhluk sosial maupun sebagai makhluk spiritual. Mutu intelektualitas seseorang dibentuk oleh pendidikan, bukan pengajaran, sehingga lembaga pendidikan [baca: sekolah dan perguruan tinggi] bukan tempat satu- satunya bagi penguatan dan penguatan intelektualitas meskipun sekolah berkedudukan dan berfungsi strategis bagi penguatan dan penguatan intelektualitas.

Mutu karakter dan intelektualitas seseorang atau seorang manusia dapat menentukan martabat seorang manusia. Jika seorang atau sekelompok manusia memiliki mutu karakter yang kuat dan intelektualitas yang tinggi, maka dia atau mereka akan menjadi manusia bermartabat. Sebaliknya, bilamana seseorang atau sekelompok manusia memiliki mutu karakter dan intelektualitas yang rendah, maka dia atau mereka dianggap tidak atau kurang bermartabat. Ini menunjukkan bahwa karakter yang kuat dan intelektualitas yang tinggi menjadi prasyarat yang harus ada – conditio sine qua non – manusia yang bermartabat.

Manusia bermartabat di sini adalah seorang (baca: pribadi) atau sekelompok manusia (baca: bangsa) yang disegani, dihormati, dijunjung, diperhitungkan, dan diakui keberadaannya oleh pihak lain atau manusia lain. Di samping itu, manusia bermartabat pada umumnya senantiasa didengar pendapat-pendapatnya, dipakai pikiran dan pandangannya, dirujuk tindakan-tindakannya, dan diteladani segala perilakunya oleh manusia lain. Sebagai contoh, para ruhaniwan dan pemikir- ilmuwan merupakan manusia-manusia bermartabat luar biasa tiada tepermanai. Dalam masa sekarang, manusia bermartabat atau kelompok manusia bermartabat itu antara lain berkarakteristik sebagai berikut: (a) memiliki keimanan dan akhlah yang kuat, (b) memiliki kemampuan, keberanian, kejujuran, dan ketulusan untuk menyatakan segala kebenaran demi kemaslahatan manusia lain; (c) memiliki keotonoman, kemandirian, keberdikarian, keindependenan, dan daya saing positif serta daya sanding yang baik dari pihak lain atau manusia lain; (c) memiliki keberdayaan, keberkuasaan, kekuatan, dan kemampuan menentukan nasib sendiri baik secara politis, geografis, ekonomis maupun sosial budaya; (d) memiliki kemampuan memelopori dan mendorong kerja sama dan hubungan antar- manusia, (e) memiliki kemantapan, ketahanan, dan kelenturan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teknologi; (f) menguasai ilmu, teknologi, dan ekonomi yang

 6 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 berarti dan berguna bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan seluruh warga manusia dan dunia; (g) mampu memberikan sumbangan (kontribusi) penting bagi dunia dan kawasan tertentu, misalnya perdamaian dunia dan kemajuan dunia; dan (h) mampu mewujudkan keadilan, kemakmuran, demokrasi, dan hak asasi manusia baik bagi siapa saja. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa manusia bermartabat selalu bermodalkan karakter yang kuat dan intelektualitas yang tinggi secara padu dan utuh yang dialasi oleh humanitas dan spiritualitas sehingga bermaslahat bagi manusia lain dan kehidupan sesama- bersama.

ZAMAN DISRUPSI, MODAL MANUSIA, DAN KARAKTER— INTELEKTUALITAS Harus disadari bahwa sekarang kita telah tiba pada zaman disrupsi yang dipimpin oleh ilmu pengetahuan-teknologi dan kreativitas-inovasi; kita hidup di dalam zaman pengetahuan-teknologi dan zaman kreatif-inovatif. Dalam zaman pengetahuan-teknologi dan kreativitas-inovasi, segala sesuatu bertumpu atau berbasis pengetahuan-teknologi dan kreativitas-inovasi, tanpa tumpuan atau basis pengetahuan-teknologi dan kreativitas-inovasi yang layak segala sesuatu akan tergeser, terpinggirkan, bahkan tergusur. Kita telah menyaksikan dengan jelas beberapa gejala: perekonomian bertumpu pengetahuan-teknologi, teknologi bertumpu pengetahuan tingkat tinggi, pekerjaan bertumpu pengetahuan-teknologi [termasuk pekerja berpengetahuan-teknologi], dan kegiatan-kegiatan lain juga bertumpu pengetahuan-teknologi. Oleh karena itu, sejak lama Peter Drucker – seorang tokoh manajemen kelas dunia – dalam New Realities (1992) memaklumkan kehadiran masyarakat berpengetahuan, melanjutkan [atau malah menggantikan?] dominasi masyarakat informasi dan industrial, masyarakat pertanian [pra-industrial], dan masyarakat pra-pertanian. Dalam masyarakat berpengetahuan-teknologi, manusia-manusia tanpa penguasaan pengetahuan- teknologi memadai niscaya akan tergeser dan terpinggirkan, bahkan kalah karena mereka tidak akan mampu memasuki dan berkiprah pada berbagai aktivitas utama kehidupan manusia [ekonomi, pekerjaan, dan lain-lain] yang notabene berbasis pengetahuan-teknologi. Dalam pada itu, manusia-manusia berpengetahuan- teknologi memadai akan unggul dan berjaya karena mereka niscaya mampu memasuki dan eksis dalam berbagai aktivitas utama kehidupan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan-teknologi telah menjadi modal dasar keunggulan dalam zaman disrupsi sekarang. Sejalan dengan itu, Thomas A. Stewart dalam Intellectual Capital (1997) dan pakar-pakar lain menyatakan betapa penting, utama, dan sentralnya keberadaan dan peranan modal intelektualitas dalam zaman pengetahuan. Yuval Noah Harari dalam tiga buku laris-manisnya, yaitu Sapiens: A Brief History of Humankind (2011) dan Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (2015), dan 21 Lessons for 21st Century (2018), malah memaklumatkan sepak terjang intelektualitas terutama revolusi kognitif yang telah dan sedang menyapu seluruh tatanan dunia dan tatanan kehidupan manusia di dunia, bahkan ―di seberang dunia‖. Demikian juga Steven Pinker dalam Enlightenment Now: The Case for Reason, Science, Humanism, and Progress (2018) memaklumkan sekaligus membela nalar, sains, humanisme, dan kemajuan sebagai pencapaian kebudayaan

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 7 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 dan peradaban manusia yang perlu terus dikembangkan di tengah menjamurnya ―progresophobia‖. Dengan modal pengetahuan-teknologi [intelektualitas] yang bermutu dan unggul, seseorang (pribadi) atau sekelompok masyarakat (bangsa) niscaya mampu eksis, unggul, berjaya, dan berkiprah secara berarti dalam suatu bidang kehidupan mutakhir di manapun selain mereka juga mampu berkembang dengan baik di dalam kehidupan. Sebaliknya, dengan modal pengetahuan yang terbatas, ―pas-pasan sekali‖, apalagi usang, seseorang [atau sekelompok masyarakat] niscaya akan terancam, terpinggirkan, malah tergusur dari bidang kehidupan mutakhir. Hal ini mengimplikasikan, manusia berpengetahuan atau yang mempunyai modal intelektualitas akan menjadi manusia bermutu dan unggul, sedangkan manusia yang tidak memiliki modal pengetahuan akan menjadi manusia ―terbelakang‖ dan serba kalah.

Modal intelektualitas tersebut harus disertai dan dipadukan dengan modal karakter yang kuat agar benar-benar bermaslahat dan unggul bagi kemanusiaan dan kemasyarakatan. Hal ini menunjukkan betapa penting dan sentralnya modal manusia (yang berkandungan intelektualitas dan karakter yang kuat) bagi pertumbuhan, perkembangan, dan pembangunan manusia dan masyarakat. Tak mengherankan, dalam buku The Quality of Growth dan buku-buku lain yang ditulis atas nama Bank Dunia dan dipublikasikan oleh Bank Dunia (2000), modal manusia (bukan sekadar modal intelektualitas!) telah dianggap sebagai aset paling utama dan berharga bagi mutu pertumbuhan dan pembangunan yang akan mendatangkan kesejahteraan. Dikatakan dalam buku tersebut bahwa ―Secara umum, aset yang penting bagi pertumbuhan dan pembangunan adalah modal manusia, modal fisik, dan modal alam‖ (xxxiv). Jadi, modal manusia khususnya modal intelektualitas dan karakter telah menjadi investasi paling berharga dalam abad pengetahuan, jauh melebihi investasi uang dan tanah, apalagi tenaga manusia.

Sehubungan dengan itu, penguatan mutu modal manusia menjadi tugas, imperatif, dan tantangan bagi semua individu, masyarakat, dan bangsa jika ingin selamat memasuki dan mampu berkiprah secara signifikan dalam abad pengetahuan. Individu – juga masyarakat dan bangsa – yang mampu memperkuat mutu modal intelektualitas dan karakternya niscaya mampu bermain dan berjaya dalam kehidupan abad pengetahuan. Masyarakat dan bangsa yang mampu memperkuat mutu modal intelektualitas dan karakter mereka niscaya akan menjadi masyarakat dan bangsa unggul secara kompetitif dan kolaboratif di samping berperanan signifikan dalam abad pengetahuan. Sebab itu, tidak mengherankan, individu-individu, masyarakat-masyarakat, dan bangsa-bangsa di dunia [termasuk ke dalamnya lembaga atau organisasi masyarakat dan bangsa] sibuk dan disibukkan oleh kegiatan-kegiatan penguatan mutu modal manusia, dalam hal ini mutu modal intelektualitas dan karakter. Terlepas dari istilah, konsep, dan karakteristiknya, yang dapat berbeda-beda, tampak jelas bahwa individu, masyarakat, dan bangsa di dunia sekarang tengah mencurahkan perhatian pada upaya penguatan mutu modal karakter dan intelektual manusia – termasuk karakter dan intelektualitas kaum muda Indonesia Indonesia.

Dalam upaya penguatan mutu modal manusia terutama modal intelektualitas dan karakter, pendidikan telah dipandang oleh pelbagai kalangan sebagai wahana,

 8 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 wadah, ajang, dan jalur yang sangat utama dan vital sehingga mempunyai kedudukan, fungsi, dan peranannya sangat penting, strategis, bahkan taktis. Galibnya, individu, masyarakat, dan bangsa yang terobsesi untuk memperkuat mutu modal manusia menempatkan dan memperlakukan kebudayaan dan peradaban sedemikian penting dalam kehidupan di samping memprioritaskan pemenuhannya. Tidak mengherankan PPB atau masyarakat bangsa di dunia telah menetapkan pemenuhan dan pemajuan kebudayaan dan peradaban sebagai salah satu hak asasi manusia sebagaimana termaktub dalam kovenan Hak-hak Sosial, Ekonomi, dan Budaya. Amanat konstitusi kita terutama pembukaan UUD 45 juga berpusat pada pentingnya pendidikan bagi penguatan dan penguatan karakter dan intelektualitas manusia dan bangsa Indonesia. Bahkan jauh sebelum itu, agama- agama di dunia selalu mengamanatkan pemenuhan dan pemajuan kebudayaan dan peradaban dalam upaya pembentukan, pengembangan, dan peningkatan modal manusia khususnya modal karakter dan intelektualitas. Tanpa harus mengutip ayat-ayat kitab suci dan atau atau ajaran agama yang sudah pasti jumlahnya sangat banyak, dapat dikemukakan di sini bahwa agama-agama atau spiritualitas mana pun sangat menekankan vital, fundamental, strategisnya kebudayaan dan peradaban selain mengamanatkan utamanya menumbuhkembangkan dan memajukan kebudayaan dan peradaban. Jadi, dapat dinyatakan bahwa pengembangan dan pemajuan kebudayaan dan peradaban sebagai upaya membentuk dan memperkuat mutu modal karakter dan intelektualitas manusia telah menjadi obsesi, imperatif, dan visi—misi—tujuan manusia, bangsa, dan agama, termasuk manusia dan bangsa Indonesia.

URGENSI PENGUATAN KARAKTER DAN INTELEKTUALITAS Sejalan dengan uraian tersebut, dapat ditegaskan di sini bahwa upaya penguatan karakter (yang kuat) dan intelektualitas (yang tinggi) bangsa inilah yang sekarang menjadi tantangan, tuntutan, kebutuhan, dan tugas pemajuan kebudayaan dan peradaban, bahkan tugas semua sektor kehidupan manusia Indonesia. Mengapa demikian? Sejumlah alasan dapat dikemukakan berikut ini. 1. Dikatakan menjadi tantangan dan tuntutan pendidikan termasuk pendidikan nasional Indonesia karena hasil-hasil pendidikan modern kita selama ini – yang sangat menekankan dan mengunggulkan mutu intelektualitas atau kepandaian yang dilambangkan dengan IQ terbukti kurang berhasil atau malah telah gagal dalam membentuk dan memperkuat kaum muda Indonesia menjadi manusia-manusia bermartabat yang bermaslahat bagi bangsa dan negara, kemanusiaan, dan agama. Daniel Goleman – seorang pakar psikologi pendidikan dan pencetus teori kecerdasan emosional (EQ) – menceritakan (dalam buku monumentalnya yang berjudul Emotional Intelligence, 1995) bahwa di Amerika banyak sekali dijumpai kaum muda Indonesia pandai atau intelektualitasnya tinggi yang mudah putus asa, naik darah, dan bertindak brutal seperti menikam guru dan membunuh teman. Di tempat kita sendiri atau di Indonesia, dengan mudah juga dapat kita jumpai para kaum muda Indonesia yang sering berkelahi atau tawuran, berbuat kriminal seperti membajak buskota, bahkan membentuk gang kriminal meskipun banyak di antara mereka memiliki intelektualitas yang tinggi atau kecerdasan yang baik. Stolz dalam buku Adversity Quotient malah mengelompokkan manusia Indonesia bertipe

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 9 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

tukang kemah (camper) yang tidak memiliki tahan banting yang kuat. Ini semua terjadi karena intelektualitas mereka tidak diimbangi dengan karakter yang kuat. Lebih lanjut, hal ini menyarankan bahwa penguatan dan penguatan mutu karakter yang kuat dan intelektualitas yang tinggi menjadi tantangan dan tuntutan bagi pendidikan. Orang tua, masyarakat, bahkan negara Indonesia sekarang juga menuntut agar pendidikan mampu membentuk karakter dan intelektualitas secara seimbang dan utuh sebab karakter dan intelektualitas yang seimbang dan utuh akan menjadikan modal manusia unggul. 2. Sementara itu, dikatakan menjadi kebutuhan dunia pendidikan pada masa kini dan masa depan karena pandangan-pandangan dan teori-teori pendidikan mutakhir selalu menyerukan dan menyarankan agar pendidikan tidak hanya membentuk kecerdasan kognitif atau intelektual (IQ; Intelligence Quotient), tetapi juga kecerdasan emosional (EQ/EI; Emotional Quotient/Emitional Intelligence) dan kecerdasan spiritual (SQ/SI; Spiritual Quotient/Spiritual Intelligence) serta kecerdasan adversitas (AQ; Adversity Quotient); kecerdasan majemuk (MI; Multiple Intelligence) Sudah bukan zamannya lagi pendidikan hanya menekankan, mengutamakan, dan memuja-muja kecerdasan kognitif karena kecerdasan kognitif tidak cukup memadai untuk mengarungi kompleksitas dan konfigurasi abad pengetahuan. Para pemikir sosial dan pendidikan juga senantiasa mengingatkan agar penguatan dan penguatan karakter kaum muda Indonesia diperhatikan sekaligus digarap (ditangani) secara sungguh-sungguh selain penguatan dan penguatan intelektualitas. Jika hal tersebut dapat diwujudkan, maka mutu modal manusia niscaya unggul secara kompetitif atau surpetitif (istilah Giddens). Mutu modal manusia yang unggul secara kompetitif dan kolaboratif – yang berisikan karakter yang kuat dan intelektualitas yang tinggi – akan membuat seorang atau sekelompok manusia mampu berkiprah secara berarti di dalam konfigurasi abad pengetahuan di dunia yang serba berlari tanpa kendali (runway world – kata Anthony Giddens). Jadi, pada abad pengetahuan pendidikan harus memusatkan perhatian pada upaya penguatan karakter dan intelektualitas secara utuh, padu, seimbang, dan proporsional. 3. Dikatakan menjadi tugas dunia pendidikan termasuk dunia pendidikan nasional kita sekarang karena pendidikan yang berpusat pada penguatan dan penguatan karakter dan intelektualitas telah menjadi salah satu hak asasi manusia. Dalam Kovenan Hak Internasional Ekonomi, Sosial, dan Budaya, pasal 13, ayat 1 dinyatakan bahwa ―Negara-negara Peserta Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Mereka bersepakat bahwa pendidikan harus diarahkan pada perkembangan seutuhnya dari kepribadian manusia dan kesadaran akan harga dirinya dan memperkuat rasa hormat terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Mereka selanjutnya bersepakat bahwa pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat yang bebas, meningkatkan rasa pengertian, toleransi serta persahabatan antara semua bangsa dan semua kelompok rasional, etnis atau beragama‖. Demikian juga Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan Bab XIII, pasal 31, ayat (2) Batang Tubuh UUD 45 mengamanatkan penguatan dan penguatan karakter yang kuat dan intelektualitas yang tinggi sebagai wujud pencerdasan kehidupan bangsa sebagai tugas utama pendidikan. Lebih daripada semua itu,

 10 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

sejak awal keberadaannya, agama-agama mencanangkan dan menyerukan bahwa pendidikan itu sangat utama-fundamental-vital dan tugas pokoknya adalah membentuk dan memperkuat karakter dan intelektualitas manusia – selain spiritualitas dan religiositas. Agama malah secara luar biasa menyerukan agar semua manusia menempuh pendidikan demi terbentuknya karakter dan intelektualitas – juga spiritualitas dan religiositas – secara seimbang dan proporsional selain mengamalkan hasil pendidikan berupa ilmu dan kearifan kepada orang lain. Dapat dikatakan bahwa agama telah menempatkan pendidikan sebagai proses penguatan dan penguatan karakter dan intelektualitas sedemikian tinggi dan utama serta pokoknya. 4. World Economic Forum (2015, 2016) merumuskan visi baru bagi pembangunan khususnya visi baru bagi pendidikan yang menawarkan konfigurasi kecakapan Abad XXI. Menurut World Economic Forum, kecakapan Abad XXI itu berintikan tiga entitas pokok, yaitu kualitas karakter, kompetensi, dan literasi fondasional, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut menjadi 17 macam kecakapan. Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya karakter dan intelektualitas, bahkan dapat dikatakan bahwa poros atau ruh pendidikan Abad XXI adalah karakter dan intelektualitas. Selaras dengan hal tersebut, Kemendikbud meluncurkan Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang bertujuan mengembalikan atau menempatkan kembali karakter dan intelektualitas selain literasi sebagai poros pendidikan nasional. Gerakan PPK itu diperankan sebagai wahana penunaian Nawa Cita dan perwujudan Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM). Lebih lanjut, belakan Gerakan PPK tersebut diperkuat oleh Perpres 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Semua itu memperlihatkan bahwa teras atau poros pendidikan nasional sekarang mencakup karakter, intelektualitas, dan literasi sebagai satu keutuhan. Hal ini jelas menjadi tugas dan tantangan utama bagi pendidikan nasional Indonesia.

UPAYA PENGUATAN KARAKTER DAN INTELEKTUALITAS Upaya penguatan karakter yang kuat dan intelektualitas yang tinggi dapat dilaksanakan melalui pendidikan keluarga, pendidikan masyarakat, dan pendidikan formal. Tulisan ini mencoba memusatkan perhatian pada pendidikan sebagai wahana penguatan karakter yang kuat dan intelektualitas yang tinggi. Sejak dulu sampai sekarang pendidikan kita sudah melaksanakan penguatan dan penguatan karakter dan intelektualitas baik melalui kegiatan warga belajar. Berbagai kegiatan warga belajar yang dilaksanakan oleh berbagai satuan pendidikan mencerminkan komposisi penguatan dan penguatan karakter dan intelektualitas. Sebagai contoh, kegiatan pendidikan agama dan pendidikan budi pekerti diarahkan pada penguatan dan pengembangan karakter, sedangkan kegiatan pemahaman pengetahuan alam dan sosial diarahkan pada penguatan dan pengembangan intelektualitas. Program Pendidikan Karakter yang sekarang sedang digencarkan beberapa tahun belakangan ini di berbagai lembaga pendidikan di Indonesia juga bertujuan membentuk dan memperkuat karakter kaum muda. Jadi, pada dasarnya dan sesungguhnya pendidikan kita telah mengupayakan pelbagai program dan kegiatan penguatan mutu karakter dan intelektualitas kaum muda Indonesia Indonesia meskipun ada pula warga belajar

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 11 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 yang tergolong tua secara biologis. Pendidik dan tenaga kependidikan telah berusaha secara sungguh-sungguh dan optimal untuk mengupayakan penguatan karakter dan intelektualitas kaum muda.

Walaupun demikian, harus diakui dengan jujur, bahwa upaya penguatan mutu karakter dan intelektualitas melalui pendidikan tersebut belum mendatangkan hasil optimal dan memuaskan berbagai pihak. Hal ini terbukti dari berbagai indikator yang langsung atau tidak langsung merupakan keluaran, hasil, dan dampak proses pendidikan selama ini. Sudah berulang-ulang dikemukakan oleh banyak kalangan dan media massa, misalnya, mutu indeks pembangunan manusia (HDI) Indonesia sangat rendah, jauh di bawah negara jiran kita Singapura dan Malaysia. HDI Indonesia, yaitu peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala, makin lama makin menurun: pada tahun 1996 HDI Indonesia menempati peringkat 102 dari 174 negara, pada tahun 1997 naik ke urutan 99, kemudian mesorot kembali ke urutan 105 pada tahun 1998 dan tambah merosot ke urutan 109 pada tahun 1999. Rendahnya kualitas, kompetensi, dan kinerja HDI Indonesia ini cerminan rendahnya daya saing Indonesia. Data yang dilaporkan The World Economic Forum (2000) menempatkan Indonesia sebagai negara berdaya saing rendah, yaitu menempati urutan 37 dari 57 negara yang disurvai di dunia. Laporan Learning Curve tahun 2012 tentang adidaya pendidikan dunia juga menempatkan mutu pendidikan Indonesia pada peringkat terbawah dari 40 negara yang disurvai. Berbagai keadaan tersebut juga tidak berubah signifikan hingga sekarang. Demikian juga perkelahian antar-pelajar, bahkan perkelahian antar-mahasiswa, pembajakan bus kota oleh pelajar, tindakan pencurian oleh pelajar, dan lain-lain mengisyaratkan bahwa usaha penguatan dan penguatan karakter dan intelektualitas melalui pendidikan belum mencapai hasil yang diharapkan. Kenyataan lain – yang menunjukkan bahwa terdapat 50 ribu anak jalanan di 12 kota besar Indonesia, sekitar 400 ribu anak pengungsi domestik menghapi permasalahan sosial, sekitar 10,6 juta menderita berbagai kecacatan, sekitar 70 ribu anak dalam cengkeraman eksploitasi seksual, dan sekitar 80% tindak kekerasan menimpa anak-anak berusia 15 tahun serta puluhan ribu siswa terkena narkoba – nyata-nyata menggambarkan betapa upaya penguatan karakter dan intelektualitas kaum muda Indonesia sangat jauh dari memuaskan dan memenuhi harapan semua pihak.

Hal tersebut terjadi bukan semata-mata kesalahan dan kelemahan pendidikan dan pendidik yang ada yang telah bekerja secara sungguh-sungguh sekalipun dengan belum memadai. Dikatakan demikian karena ada berbagai faktor lain yang berpengaruh terhadap berhasil tidaknya penguatan karakter dan intelektualitas kaum muda Indonesia Indonesia. Di samping lembaga lembaga pendidikan, pendidik dan tenaga kependidikan, dan anggaran pendidikan yang belum efektif, tak kalah pentingnya adalah faktor gaya hidup keluarga, dan masyarakat. Gaya hidup modern sekarang yang disokong oleh kapitalisme gaya hidup hedonis yang senantiasa menyerbu lewat televisi, media, dan iklan telah membuat para pelajar, bahkan manusia pada umumnya, memilih jalan pintas, kehilangan pertahanan diri, dan kehilangan akal sehat – seolah-olah lemah sekali karakternya. Demikian juga kebanyakan keluarga Indonesia cenderung menyerahkan anaknya kepada lembaga pendidikan, padahal kemampuan lembaga

 12 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 pendidikan sangat terbatas. Partisipasi keluarga Indonesia masih tergolong rendah dalam proses pendidikan anak-anak mereka dibandingkan dengan partisipasi kelurga dari negara lain. Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat. Masyarakat juga cenderung menyerahkan segala urusan pendidikan dan menimpakan segala kesalahan kepada lembaga-lembaga pendidikan dan para pendidik. Partisipasi dan dukungan mereka terhadap proses pendidikan kurang optimal. Oleh karena itu, dalam rangka mengoptimalkan dan menyukseskan upaya penguatan karakter dan intelektualitas melalui pendidikan formal, partisipasi dan dukungan keluarga dan masyarakat Indonesia perlu ditingkatkan dan digalang secara optimal selain partisipasi keluarga dan masyarakat ditingkatkan dalam proses pendidikan keluarga dan masyarakat. Untuk itu, secara sistemik dan terencana harus menggalang partisipasi keluarga dan masyarakat Indonesia dalam pendidikan guna membentuk dan memperkuat karakter yang kuat dan intelektualitas yang tinggi.

PERAN BUDAYA LOKAL DALAM PENGUATAN KARAKTER DAN INTELEKTUALITAS Bagian akhir uraian di atas memperlihatkan bahwa penguatan karakter dan intelektualitas melalui pendidikan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal proses pendidikan di samping faktor internal proses pendidikan. Berbagai faktor eksternal dan internal itu dapat disebut budaya dalam pengertian empiris, bukan normatif. Hal ini mengimplikasikan bahwa proses penguatan karakter sekaligus intelektualitas bukan hanya dipengaruhi atau ditentukan oleh budaya, melainkan merupakan proses budaya. Di sinilah dapat dikatakan bahwa penguatan karakter dan intelektualitas merupakan proses budaya di samping ditentukan oleh budaya. Tegasnya, budaya memainkan peran sangat fundamental dan strategis dalam penguatan karakter dan intelektualitas bangsa. Dikatakan fundamental karena budaya akan menjadi sumber, sumbu, dan landasan penguatan karakter dan intelektualitas kaum muda Indonesia, sedang dikatakan strategis karena budaya harus dijadikan perspektif dan pendekatan penguatan karakter dan intelektualitas melalui berbagai sektor kehidupan budaya.

Arah perkembangan budaya Indonesia akan menentukan arah penguatan karakter dan intelektualitas Indonesia. Demikian juga corak dan kecenderungan budaya di Indonesia jelaslah akan menentukan corak dan kecenderungan karakter dan intelektualitas kaum muda Indonesia yang dibentuk. Politik atau kebijakan budaya Indonesia juga akan menentukan proses penguatan profil karakter dan intelektualitas kaum muda Indonesia. Ketika budaya Indonesia tidak jelas arah perkembangannya, seperti yang sekarang terjadi atau sedang berlangsung, maka sesungguhnya sekarang tidak jelas arah penguatan karakter dan intelektualitas Indonesia: karakter dan intelektualitas macam apa yang kita dikehendaki untuk eksistensi manusia dan bangsa Indonesia pada Abad Pengetahuan? Pada saat corak dan kecenderungan perkembangan budaya Indonesia tidak jelas, tidak terarah, dan tidak utuh seperti sekarang, maka sesungguhnya tidak jelas pula penguatan corak dan kecenderungan karakter dan intelektualitas manusia Indonesia yang dikehendaki bersama. Demikian juga ketika politik atau kebijakan budaya Indonesia tidak jelas dan kurang kokoh seperti sekarang, maka

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 13 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 sesungguhnya tidak jelas pula politik atau kebijakan penguatan karakter dan intelektualitas kaum muda Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa penguatan karakter yang kuat dan intelektualitas yang tinggi – sebagaimana kita kehendaki – memerlukan politik atau kebijakan budaya yang jelas arah, corak, dan kecenderungannya.

PENUTUP Dalam Abad Pengetahuan yang demikian kompetitif sekaligus kooperatif, dalam arti derajat kompetisi dan kooperasi sedemikian tinggi, sudah barang tentu ketinggian intelektualitas atau kemampuan intelektual yang sangat tinggi saja tidak cukup. Kekuatan dan ketahanan karakter juga sangat diperlukan. Abad Pengetahuan yang sedang menjelang memang tidak membutuhkan orang-orang yang hanya mempunyai kemampuan intelektual tinggi, tetapi juga membutuhkan orang-orang yang mempunyai ciri karakter yang kuat, berdaya sanding hebat, dan berdaya tahan tinggi – di samping spiritualitas dan religiositas yang mantap. Dikatakan demikian karena dalam abad tersebut perubahan berlangsung sangat cepat sehingga kebaruan dan keusangan cepat terjadi, pilihan-pilihan menjadi sedemikian banyak, dan persaingan menjadi sedemikian tinggi. Kenyataan ini dapat dikelola dan dilalui dengan baik kalau manusia memiliki karakter yang kuat sekaligus intelektualitas yang tinggi. Pendidikan perlu cepat merespons kebutuhan tersebut, yaitu dengan baik mempersiapkan manusia yang berkarakter kuat sekaligus berintelektualitas tinggi. Inilah tugas penting pendidikan sekarang, mengingat eksistensi dan posisinya yang sedemikian strategis dan vital dalam zaman modern sekarang. Dalam melaksanakan tugas penting tersebut, budaya berperanan sangat penting. Oleh karena itu, budaya harus ditempatkan sebagai sumbu sekaligus landasan dalam penguatan karakter dan intelektualitas kaum muda Indonesia Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA Amir, Hazim. 1984. Nilai-nilai Etis dan Pendidikan Watak Guru. Disertasi, tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana IKIP Malang. Dewantara, Ki Hadjar. 1967. Pendidikan: Buku I. Jogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa dan Penerbit Tamansiswa. Drucker, Peter. 1999. New Realities. Jakarta: Penerbit Elex Komputindo. Kartika, Sandra dan Sapto Yunus. 2001. Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan bekerja sama dengan The Asia Foundation. Nucci, Larry P. dan Darcia Narvaez (Penyunting). 2008. Handbook of Moral and Character Education. Madison Awe, New York: Routledge Pat Duffy Hutcheon. 1999. Building Character and Culture. Wespot, Connecticut: Praeger. Ritchhart, Ron. 2002. Intellectual Character: What It Is,Why It Matters, and How to Get It. San Fransisco: Jossey Bass Stewart, Thomas A. 1997. Intelectual Capital. Terjemahan T. Hermaya. Jakarta: Penerbit Elex Komputindo.

 14 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Supriadi, Dedi. 2000. Internasionalisasi Pendidikan: Perbandingan Mutu Pendidikan Antar-negara. Makalah disajikan dalam Kovensi Nasional Pendidikan Indonesia di Hotel Indonesia, Jakarta, pada 19 – 22 September 2000. Winston, Joe. 1998. Drama, Narrative and Moral Education: Exploring Traditional Tales in the Primary Years. Washington, D.C: The Falmer Press

 REVITALISASI NILAI DALAM CERITA RAKYAT SASAK LOQ SESEKEQ SEBAGAI PENGUATAN POLA ASUH ANAK DAN PENDIDIKAN KARAKTER

Ida Bagus Kade Gunayasa Universitas Mataram

ABSTRAK

Tujuan pembahasan ini adalah merevitalisasi nilai-nilai yang ada pada dongeng Loq Sesekeksebagai kekayaan intelektual daerah atau masyarakat Sasak yang ada di Pulau Lombok. Pembahasan ini mencoba mengukap fakta bahwa dalam cerita rakyat Sasak Loq Sesekeqdapat ditemukan nilai-nilai kearifan lokal tentang penguatan pola asuh anak dan pendidikan karakter, meliputi; (a) pembentukan pribadi yang rajin, (b) pembentukan pribadi kreatif, (c) pribadi menghormati guru, (d) dan sikap jujur dan menepati janji. Diketahui saat ini pola asuh anak dan pendidikan karakter masih bercermin atau mengikuti pola yang dari luar, di daerah tempat kita membina dan melakukan pendidikan terdapat kekayaan intelektual yang mampu memberikan solusi dalam permasalahan bangsa dewasa ini tentang krisis moral atau karakter, pembahasan tentang cerita rakyat SasakLoq Sesekeq ini dapat sebagai jawaban permasalahan yang dihadapi.

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Membentuk pribadi berkarakter adalah angan-angan luhur bangsa yang pada masa sekarang masih banyak rintangan (Nurgyantoro, 2010). Pengaruh budaya global sebagai salah satu hal penyebab degradasi moral anak generasi penerus bangsa kita. Suryaman (dalam Herfanda, 2008:131) menyatakan bahwa karya sastra memiliki peluang utama dalam pembentukan dan perubahan karakter. Melalui karya sastra dapat dipelajari berbagai nilai-nilai yang bersifat humanis mengenai hubungan antara manusia secara horizontal dan spiritual sebagai manusia yang beriman kepada Allah SWT secara vertikal, serta menghargai segala yang ada dalam kehidupan sekitar kita. Para ahli psikologi dan pendidikan berpendapat bahwa masa anak-anak adalah masa keemasan (the golden ages). Hidayah (2009:10) menyatakan bahwaanak usia balita sedang mengalami masa pertumbuhan yang sangat pesat. Pertumbuhan otak dan kepala anak lebih cepat daripada pertumbuhan organ yang lain. Dilihat dari aspek perkembangan kecerdasan balita, banyak ahli mengatakan: (a) pada usia 0-4 tahun mencapai 50%; (b) pada usia 4-8 tahun mencapai 80%; dan (c) pada usia 8-18 tahun mencapai 100%. Suyadi (dalam Subiyantoro, 2012:2) menjelaskan bahwa menurut para psikolog, masa kanak-kanak adalah masa yang penuh dengan imajinasi. Anak mempunyai daya imajinasi yang lebih beragam dari pada orang dewasa. Terlebih lagi ketika anak-anak bermain peran, yaitu memerankan tokoh dari sebuah cerita.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 15 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 16 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa ―Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.‖ Pembangunan karakter sudah menjadi amanat dalam pendidikan dan menjadi kewajiban bersama untuk mewujudkan Indonesia yang berakhlak, bermoral, dan beretika (Soelistyarini, 2011:1). Pada saat ini bangsa Indonesia dalam konteks perkembangan zaman karakter anak bangsa mengalami degradasi, hubungan antar orang tua, guru dan siswa boleh dikatakan mengalami penurunan nilai, dalam banyak kasus kita mendapati anak menganiyaya orang tua, siswa menganiyaya guru. Kasus-kasus penganiayan yang dialami oleh guru yang dilakukan oleh muridnya sendiri seperti kasus Ahmat Budi Cahyono seorang guru yang tewas dianiaya oleh muridnya di Sampang Madura, Nuryana seorang guru di Tanggerang dibacok siswanya, Dasrul seorang guru dianiaya oleh wali murid gara-gara tidak terima anaknya ditegur oleh gurunya tersebut, Osi wulandari seorang guru di Sumatra Selatan hidungnya patah dianiaya oleh siswanya gara-gara tidak terima ditegur jangan duduk di atas meja, di Banten seorang guru bernama Yoga dianiaya oleh murid bersama kakaknya, gara-gara tidak terima rambutnya dipotong. Masih banyak kasus yang seperti ini. Pada awal 2019 beredar video seorang murid menantang gurunya, gara-gara di tegur merokok oleh gurunya bahkan sampai berani memegang kepala gurunya. Gambaran kasus antara guru dan murid bahkan wali murid memberikan gambaran nilai-nilai tentang karakter dan pola asuh anak sudah mengalami degradasi. Penelitian ini akan mengkaji tentang nilai-nilai yang ada dalam cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq. cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq ini memiliki keunikan tersendiri sehingga peneliti merasa tertarik untuk mengungkapnya dalam sebuah penelitian terutama tentang penguatan pola asuh anak dan penanaman pendidikan karakter. Nilai-nilai inilah yang menmbuat penulis ingin melakukan peneliti tentang kearifan lokal khususnya bagaimana orang tua atau seorang ibu menanamkan karakter pada seorang anak melaluicerita rakyat Sasak Loq Sesekeq ini, sebagai langkah revitalisasi nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh daerah khususnya yang ada pada suku Sasak. Nilai-nilai ini yang akan mengembalikan pola asuh anak dan penanamanpendidikan karakteruntuk mencegah terjadi degradasi moral. Dan mentrasnformasi nilai-nilai dalam cerita rakyat Sasak Loq Sesekeqini sebagai nilai yang dimiliki oleh masyarakat Sasak sejak lama yang terlupakan saat ini. Cerita rakyat SasakLoq Sesekeq ini merupakan dongeng yang penyebarannyasecara lisan dan dilakukan turun memurun sebagai metode memberikan pendidikan karakter oleh orang tua kepada anaknya. Dalam cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq ini terdapat gambaran, seorang ibu menanamkan pemahamankepada anaknya dan mengajarkan bagaimana cara memperlakukan guru. Jika nilai-nilai yang ada dalam cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq ini diaplikasikan dalam otak anak sedikit kemungkinan kasus-kasus di atas akan terjadi.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 17 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

2. Perumusan Masalah Permasalahan yang diangkat dalam pembahasan ini adalah peranan Cerita Rakyat Sasak sebagai media dalam penguatan pola asuh anak dan pendidikan karakter.Penguatan pola asuh anak melalui cerita rakyat Sasak ini sebagai salah satu upaya dalam pembentukan kepribadian anak. Seiring dengan permasalahan di atas penulis memberikan penekanan pada tujuan pembahasan yakni, dongeng sebagai cerita rakyat dan peranannya dalam pembentukan pola asuh anak dan pendidikan karakter. Nilai-nilai yang terkandung dalamcerita rakyat ini sangat penting dikemukakan dan diangkat kembali dengan tujuandapat dijadikan sebagai referensi pendidikan karakter bernuansa kearifan lokal.

3. Tujuan Bertolak dari rumusan masalah di atas, maka secara umum pembahasan ini dilakukan dengan tujuan untuk menggali, mempertahankan, dan mengembangkan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam cerita rakyat Sasak Loq Sesekeqwarisan leluhur masyarakat Sasak, sebagai alternatif pendidikan karakter dan pola asuh anak dalam mengembangkan kepribadian anak bangsa, sebagai acuan dalam pengembangan pendidikan karakter, baik melalui pendidikan formal maupun non formal. Secara khusus merevitalisasi nilai-nilai yang ada pada dongeng Loq Sesekeksebagai kekayaan intelektual daerah atau masyarakat Sasak yang ada di Pulau Lombok.Pembahasan ini mencoba mengukap fakta bahwa dalam cerita rakyat Sasak Loq Sesekeqdapat ditemukan nilai-nilai kearifan lokal tentang penguatan pola asuh anak dan pendidikan karakter. Diketahui saat ini pola asuh anak dan pendidikan karakter masih bercermin atau mengikuti pola yang dari luar, di daerah tempat kita membina dan melakukan pendidikan terdapat kekayaan intelektual yang mampu memberikan solusi dalam permasalahan bangsa dewasa ini tentang krisis moral atau karakter, pembahasan tentang cerita rakyatSasakLoq Sesekeq ini dapat sebagai jawaban permasalahan yang dihadapi.

4. Manfaat Data dan fakta yang ditemukan melalui pembahasan ini merupakan sebuah gagasan dalam penguatan pola asuh anak dan pendidikan karakter yang ditanamkan melalui nilai-nilai yang ada pada cerita rakyatSasak Loq Sesekek yang sudah terlupakan atau sedikit dimarjinalkan. Dalam perkembangan zaman dan teknologi sekarang ini , bertambahnya pengatahuan berubahnya gaya hidup, banyak muncul sastra baru yang tidak mengindahkan jati diri bangsa atas azas kebebasan. Folklore dalam hal ini cerita rakyat sebagai salah satu hiburan rakyat yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan budi pekerti kepada anak-anak atau tuntunan dalam hidup. Berkewajiban sebagai kalangan akademisi yang peduli pada aspek pendidikan karakter,untuk merivitalisasi nilai-nilai dalam cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq ini, dapat dikembangkan sebagai satu solusi dalam penanaman dan penguatan pola asuh anak dan penguatan pendidikan karakter bangsa. 5. Metode Tahapan yang ditempuh dalam menganalisis data sebagai berikut : 1. Membaca dengan cermat secara keseluruhan teks cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq hasil transkrip dan translitrasi

 18 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

2. Menandai hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai karakter. 3. Megidentifikasi nilai-nilai yang terdapat dalam dongeng Loq Sesekeq dalam kontek kultur dan budaya. 4. Menganalisis nilai-nilai yang terdapat dalam cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq dengan menggunakan teori yang telah ditetapkan sebelumnya, 5. Menarik kesimpulan. Prosedur yang ditempuh dalam pengumpulan data ini meliputi beberapa tahapan: 1. Persiapan meliputi: a. Penentuan pencerita b. Perekaman penceritaan c. Penulisan / transkripsi teks cerita d. Penerjemahan teks cerita 2. Membaca, mendalami, dan mencatat nilai-nilai yang terkandung dalam cerita. 3. Pengolahan data secara deskriptif kualitatif.

B. TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah uraian tentang konsep teori yang dianggap memiliki relevansi dengan penelitian ini. Relevansi tersebut dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dan pertimbangan penelitian ini, yang secara langsung terkait dengan kerangka teori, metode, dan hasil penelitian. 1. Konsep Teori Hermeneutika Secara etimologis Hermeneutika berasal dari kata hermeneuein, bahasa Yunani yang berarti ‗menafsirkan‘ atau ‗menginterpretasikan‘. Secara mitologis hermeneutika dikaitkan dengan Hermes, nama Dewa Yunani yang menyampaikan pesan illahi kepada manusia. Pada dasarnya medium pesan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan. Jadi, penafsiran disampaikan lewat bahasa, bukan bahasa itu sendiri. Karya sastra perlu ditafsirkan sebab di satu pihak karya sastra terdiri atas bahasa, di pihak lain, di dalam bahasa sangat banyak makna yang tersembunyi, atau dengan sengaja disembunyikan (Ratna, 2004:45). Fungsi utama hermeneutika sebagai metode adalah untuk memahami agama, maka metode ini dianggap tepat untuk memahami karya sastra dengan pertimbangan bahwa di antara karya tulis, yang paling dekat dengan agama adalah karya sastra. Oleh karena itu, maka hermeneutika cocok untuk membaca karya sastra karena dalam kajian sastra, apapun bentuknya, berkaitan dengan aktivitas yakni interpretasi (penafsiran). Kegiatan apresiasi dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, bersangkut-paut dengan karya sastra yang harus diinterpretasi dan dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra terutama dalam prosesnya pasti melibatkan peranan konsep hermeneutika. Oleh karena itu, hermeneutika menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan (Newton, 1994:51-52). Atas dasar itulah hermeneutika akan digunakan sebagai landasan teoritis untuk memahami secara komprehensif cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq guna memperoleh pemahaman yang memadai.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 19 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

2.Pola Asuh Anak Pola asuh yang benar dan kasih sayang yang luar biasa dicurahkan oleh ibumembentuk pribadi yang baik. Sifat-sifat baik yang dimiliki memberikan gambaran prilaku yang dihasilkan dari pendidikan karakter, Menjaga pesan ibu, dalam cerita ini dikisahkan bagaimana dia berani mengambil resiko dalam mempertahankan pesan ibunya untuk berbakti pada guru, sebagai nilai yang ditanamkan dalam kisah ini, karakter itu adalah sebagai pegangan hidup, apa pun terjadi harus dilakukansebagai bukti kuat pesan moral yang disampaikan. Nilai yang ada pada cerita rakyat memberikan karakter nilai sastra tradisional. Mengetahui berbagai cerita rakyat dapat juga dipandang sebagai memahami akar eksistensi manusia dan kemanusian serta hidup dan kehidupan pada masa lalu yang menjadi akar kehidupan dewasa ini (Nurgiantoro, 2005:167). Sebagai orang tua sadar kalau anak butuh seorang guru. Namun sebelum dia menyerahkan anaknya, karakter sudah tertanam dengan penuh kasih sayang.Nilai-nilai pola asuh anak yang sudah turun memurun bertahan sebagai cerita rakyat yang bisa bertahan lama, pada hakikatnya suatu moral baik dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan orang-seorang. Cerita rakyat bukan moral dalam arti sempit, yakni yang sesuai dengan suatu kode atau sistem tindak-tanduk tertentu, melainkan pengertian bahwa dia terlibat dalam kehidupan dan menampilkan tanggapan evaluatif. Dengan demikian cerita rakyat adalah eksprimen moral (Endraswara, 2003:92).

C. PEMBAHASAN Perlu diinformasikan bahwa ringkasan cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq yang dijadikan sebagai objek kajian tidak dicantumkan dalam memulai pembahasan ini karena beberapa alasan terkait efektivitas penyajian, dan selajutnya di bawah ini secara berurutan dibahas, yakni meliputi; (a) pembentukan pribadi yang rajin, (b) pembentukan pribadi kreatif, (c) pribadi menghormati guru, (d) sikap jujur dan menepati janji. Perhatikan uraian berikut. 1. Pembentukan Pribadi Yang Rajin Dalam cerita ini juga dikisahkan Loq Sesekeq, anak yang rajin membantu pekerjaan orang tua di rumah, tidak malas. Pagi hari dia sudah melakukan pekerjaan rumah. Dalam kisah ini ingin memberikan nilai kepribadian agar tidak malas pada anak-anak. Berikut kutipan ceritanya. Spok jelo leq waktu genne araq subuh, manuk ngungkung tende benar. Selapuk kemanukan tarik muni, tesambut isik sueren bang leq masjid. Loq Sesekek tures lalo sembahyang. Selese sembahyang, Sesekeq lalo tulung inakne nyepu meriri, ronas piring, mopoq natap dait siram tetaletan. Tetu- tetu mule bodo, sesuai isik aranne Lok Sesekeq. Sekalipun sak ngeno, Sesekeq sanget isine tetunah kangen isik inakne. ‗Suatu hari pada waktu subuh ayam berkokok, semua burung-burung berbunyi disambut suara azan di masjid, Sesekeq langsung pergi salat,

 20 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

setelah selasai salat ia kemudian membantu ibunya membersihkan rumah, mecuci piring, mencuci pakaian, dan siram tanaman ‗.

Cerita ini menjelaskan bagaimana seorang anak rajin membantu orang tua dan pembiasaan bangun pagi dan mengerjakan pekerjaan rumah, terbalik dengan pola asuh anak sekarang bagaimana ketika kasih sayang orang tua saat ini, jika menyangi anaknya sangat berlebihan kasih sayang di ukur dengan materi, anak yang disayangi tidak boleh melakukan pekerjaan rumah, sehingga rasa malas anak timbul dan tidak bisa mengurus diri sendiri. Cerita rakyat khususnya cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq merupakan cermin kehidupan untuk kehidupan yang bersifat pragmatis. Memahami cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq penting sebagai pengalaman sehingga terjadi persepsi dan pengatahuan dan kepribadian yang bersifat positif. Karakter Sesekeq yang rajin membantu orang tua dan penurut dan sebaliknya orang tua yang mencurahkan kasih sayang secara penuh secara tidak langsung pada saat mendongeng kita telah membangun dan menanamkan karakter kepribaadian pada anak.Pola asuh orang tua merupakan pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi negatif maupun positif, seorang anak akan beradaptasi dengan lingkungannya, sehingga dapat menanamkan sikap disiplin dan mandiri. 2. Pembentukan Pribadi Kreatif Dalam cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq ini dikisahkan bagaimana seorang ibu mengajarkan kepada anaknya berbagai hal, walau dalam keseharian banyak kesalahan yang dilakukan oleh anaknya dalam proses pengembangan diri si anak. Dalam dongeng diceritakan bagaimana Sesekeq diajarkan untuk berwirausaha dengan jual beli kemek (alat masak yang terbuat dari tanah liat) dalam kenyataan pada langkah awal Sesekeq melakukan kesalahan, namun ibunya menyuruh ulang melakukan dan mengajari cara membawa kemek agar tidak dilubangi seperti kesalahan pertama yang dilakukan Sesekeq karena ketidak tahuannya. Dalam proses mendidik anak memang butuh kesabaran sebagaimana tercermin dalam kutifan berikut. Sopoq jelo, inakne suruk Sesekeq lalo beli kemek ojok peken, lalo nguruk jeri saudagar kemek, saudagar si jujur dait pecu. Sesekeq ndek neuah tolak perintah inakne. Sambil terenyuk lalok si tesuruk beli kemek. Si pikiranane berembe entan yak jauk kemek. Dateng leq peken, langsung ye pileq kemek si ndek boke atau ntek. Yahne beli kemek sino, bingiung ye Loq Sesekeq. Berembe bae ntan yak jauk kemek sino. ” Oh, eku bingung jauk kemek sine. Bedagang doang dekke tao, epe legi jauk kemek. Oh, eku dait akal… Mem ! ” Unin Sesekeq. Banjur boyakne telu, beterusne totos kemek sino ntan-ntan sopoq. Suahan sino boyakne teli, beterus perentokne kemek sino jeri sekeq, langsung teoros ojok sopok taok, Sesekeq lampaq ndek nearak kereguan. Sesekeq pencar kemekne teapek yakne bedagang jeri saudagar kemek. Ndek arak bae dengan mele beregak sekek-sekek. Bahkan lueq dengan si bengak lalok gitak kemek tarik tepong. Ndek jak arak leku kemekne, Sesekeq ulek lalo ngelapur tipak inakne. Muni inakne ” O, gamak anakku, tetu jak luek dengan dateng, tetujak luek pemborong, laguk pasti pede bengak si gitak kemekde si selapukne tepong” Lamun ngeno, becat de lalo malik ojok peken.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 21 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

‗Pada suatu hari ibunya menyuruh Sesekeq pergi beli kemek ke pasar, melatih atau mengajar untuk menjadi saudagar yang jujur dan benar, Sesekeq tidak pernah menolak perintah ibunya, sambil ia merasa lucu disuruh beli kemek, dalam pikiran Sesekeq bagaimana cara akan membawa kemek. Sampailah ia di pasar lalu memilih kemek yang tidak ada cacatnya, masih bingung bagaimana cara membawa kemek, ―saya bingung membawa kemek ini kata Sesekeq, berdagang aja belum bisa, apalagi bawa kemek, oh saya dapat cara‖ kata Sesekeq. Dia ambil tiga, terus dia pukul melubangi satu persatu, kemudian ia tarik membawa kesuatu tempat, tanpa ragu Sesekeq menggelar dagangannya menjadi saudagar kemek. Tidak ada yang menawar dagangannya satupun, bahkan banyak orang yang heran melihat kemek yang semuanya bolong. Tidak ada yang laku kemeknya Sesekeq pulang memberi tahu ibunya ― oh anakku memang banyak orang datang, banyak pembeli, tapi pasti mereka bingung melihat kemek kamu semuanya rusak‖ kalau begitu cepatan ke pasar lagi‘. Dalam kutipan cerita tersebut tokoh seorang ibu bagaimana memberikan pendidikan karakter menjadi saudagar yang jujur dan benar. Walaupun sang anak melakukan kesalahan karena ketidaktahuan anak tersebut bagaimana cara membawa dan berjualan kemek di pasar. Setelah anak melakukan kesalahan seorang ibu tidak memarahi akan tetapi menjelaskan bagaimana seharusnya membawa dan menjual kemek. Cerita ini dapat memberikan wawasan kepada orang tua dan anak bagaimanaa pola asuh yang baik untuk perkembangan anak dengan menciptakan suasana yang mendukung dengan memberikan kasih sayang, cinta dan kehangatan, dapat mengembangkan sel-sel syaraf dan kecerdasan emosional. Tokoh ibu di dalam cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq merupakan tokoh ibu yang mengajarkan berbagai macam nilai karakter yang baik sebagai pengembangan pribadi anak yang kreatif dan berjiwa wirausaha dengan mengajarkan anaknya berjualan di pasar. 3. Pribadi Menghormati Guru Maraknya peristiwa negatif yang terjadi beberapa tahun belakangan ini apabila tidak ada rasa hormat, jika kita mengabaikan siapapun atau apapun pasti ada yang terluka dan dampaknya cukup besar, salah satunya menghormati guru. Di dalam buku living Values,a Guide Book (1995) dijelaskan bahwa respek itu dimulai dari dalam individu. Keadaan hormat awalnya didasarkan pada kesadaran diri sebagai suatu kesatuan yang unik, kekuatan yang hidup di dalam diri, sesuatu yang spiritual. Tokoh Sesekeq adalah sosok yang sangat menghormati guru, rasa hormat dia pada guru tidak terlepas bagaimana pola asuh yang diceritakan dalam cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq ini yang melibatkan nasihat ibunya. Sebelum Sesekeq menuntut ilmu pada seorang guru, ibunya menitipkan pesan, Sesekek harus mengikuti gurunya kemana saja, kata ini mengandung makna apapun yang akan diperintahkan gurunya dan kemana arah gurunya harus ia ikuti dan taati. Cerita rakyat khususnya cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq merupakan media pembelajaran yang dapat digunakan secara reseptif, untuk penerimaan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Perhatikan kutipan berikut.

 22 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Oh, gamak anakku, lamun ngene lalok si bodo belokde jak mae bae kuserah ojok guru ngeji unin inakne lek sopok malem. Inakne bepesen, endak bae mele bekelin kence guru. Lamun mangan harus tetep bareng- bareng. Malem si sanget telihne, ye taokne lalo teatong ojok guru ngeji. Teserah ngeji sangne beu arak pengetaone, erak adekne beu jeri kanak si terrpuji. Sekeno harepan inakne.

‗ wahai anakku, kalau begini ketidaktahuan kamu, saya akan serahkan ngaji kepada guru ngaji kata ibunya di suatu malam, ibunya berpesan, jangan sekali-kali kamu bepisah dengan gurumu. Kalau ia makan harus tetap bersama.Di dinginnya malam diantarlah anaknya ke guru ngaji. Diserahkan ngaji supaya ada pengetahuan, nanti agar menjadi anak yang terpuji, itu harapan ibunya‘. Tokoh ibu menekankan rasa hormat kepada guru sangat penting, pesan sebelum Sesekeq diserahkan untuk menuntut ilmu, ibunya berpesan agar selalu mengikuti gurunya. Pesan yang disampaikan sangat penting sebagai orang tua bagaimana mengajarkan posisi murid dan guru, sampai sampai dalam cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq harus terus mengikuti gurunya. Nilai-nilai seperti ini harus ditanamkan kepada anak agar menghormati guru. Diceritakan setelah diserahkan mengaji sesekeq sangat taat kepad gurunya, apapun yang dilakukan gurunya ia ikuti. Seperti kutipan cerita. Mbe jak lein gurunye ye milu doang jeri bentek sandel. Make ye tetunah isik gurune. Tetunah endah sik selapuk baturne.

‗ Kemana gurunya pergi Sesekeq selalu ikut, walaupun hanya membawakan sandal gurunya. Makanya ia di sayang oleh gurunya dan semua teman-temannya‘.

Tokoh Sesekeq memiliki rasa hormat pada gurunya. Hal ini prilaku yang baik bagi murid kepada gurunya. Jika ingin timbul kasih sayang maka rasa hormat harus dilakukan, tidak sebaliknya akan mengakibatkan pada kejadian tidak menghargai dan menghormati sesesma. Cerita rakyat sebagai media komunikasi yang menyampaikan pesan-pesan moral secara tidak langsung akan meniru tokoh yang diceritakan pada pendengar dan pembacanya. 4. Sikap Jujur dan Menepati Janji Kejujuran adalah modal utama, reputasi bisa dibuat dalam sekejap tapi karakter dibangun dalam seumur hidup. Setiap kejadian dari hidup dan setiap proses dalam hidup, membangun karakter seseorang. Jika menambahkan lapisan kejujuran untuk itu, orang akan menganggap sebagai orang yang memiliki nilai- nilai yang tinggi. Karena kejujuran adalah yang terbaik dari semua kebajikan. Tokoh Sesekeq dalam dongeng ini memiliki prilaku yang jujur dan menepati janji. Betaun bebalit Sesekeq si nuntut ilmu leq gurune, laguk ndekne inik tao. Huruf sepeleng dekne inik dait. Laguk ye tetep tekun dekne inik putus asa. Timakne teparan bodo isik baturne tetep ye tenang. Sesekek kanak jujur, timakne bodo. Lamun uah bejenji pastine tepatin. Dekne girang berugung endah. Lamune ngeraos ndekne girang berugung. Epejak unine ye uah dalem atene.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 23 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

‗Beberapa tahun Sesekeq menuntut ilmu kepada gurunya, namun dia tetap tidak bisa, meskipun satu hurup. Biarpun begitu dia tetap tekun dan tidak putus asa. Temannya mengira dia bodoh dia tetap tenang, Sesekeq anak jujur kalau berjanji pasti ditepati tidak pernah berbohong kalau dia berkata pasti benar apa yang ada di dalam hatinya‘. Kutipan di atas mengajarkan bahwa siapapun yang mendambakan dapat meraih kehidupan yang lebih baik dan sukses maka nilai-nilai kebaikan yang tercermin dalam kutipan di atas yakni ketekunan, keuletan, kedisiplinan, keteguhan hati, kejujuran menjadi suatu hal yang sangat prinsip dan harus dipegang teguh.

C. SIMPULAN Cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq merupakan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Sasak yang telah turun-menurun disebarkan secara lisan.Cerita rakyat Sasak Loq Sesekeqini sebenarnya memiliki tujuan yang jelas, yakni oleh masyarakat digunakan sebagai media pengembangan pendidikan karakter secara tradisional. Hasil pembahasan ini menunjukkan bahwa dalam cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq ini terkandung nilai-nilai budaya terutama yang berhubungan dengan pola asuh anak dan pendidikan karakter, yakni meliputi; (a) pembentukan pribadi yang rajin, (b) pembentukan pribadi kreatif, (c) pribadi menghormati guru, (d) dan sikap jujur dan menepati janji. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut terhadap cerita rakyat yang lainnya, karena cerita-cerita tersebutmerupakan kekayaan lokal yang perlu direvitalisasi nilai-nilai kebaikan yang terkandung di dalamnya sehingga dapat digunakan sebagai referensi dalam dunia pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Epistemologi Model Teori dan Aplikasi. : Pustaka Widyatama.

Herfanda, A.Y. 2008. ―Sastra sebagai Agen Perubahan Budaya‖ dalam Bahasa dan Budaya dalam Berbagai Perspektif, Anwar Effendi, ed. FBS UNY dan Tiara Wacana: Yogyakarta.

Hidayah, Rifa. 2015. Psikologi Pengasuhan Anak. Press Malang: UIN Miliki

Howard, Roy J., 2001. Pengantar Atas Teori-teori Pemahaman kontemporer: Hermeneutika; Wacana Analitis, Psikososial, & Ontologis. Yayasan Adikarya IKAPIdan The Pord Foundation:Bandung.

Hutomo, Suripan Sadi, 1991. Mutiara Yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. HISKI:Komisariat Jawa Timur.

Kurniawan, Heru. 2009. Sastra Anak: Dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika, hingga Penulisan Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

 24 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Nasir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia: Jakarta

Newton, K.M., 1994. Menafsirkan Teks: Pengantar Kritis mengenai Teori dan Praktek Menafsirkan Sastra. (penerjemah Dr. Soelistia, ML). Harvester Wheatsheaf: New York London Toronto Sydney Tokyo Singapore.

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Propp, V. 1987. Morfologi Cerita Rakyat. Terjemahan. Noriah Taslim. Kuala Lumpur. Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.

Ratna, Nyoman , 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme Hingga Postrukturalime Perspektif Wacana Naratif. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Sarumpaet. Toha, Riris K. 2010. Pedoman Penelitian Sastra Anak. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Soelistyarini,Titien Diah. 2011. Cerita Anak dan Pembentukan Karakter, http://www.academia.edu/7304333/diakses 15 januari 2018

Subiyantoro, 2012. Membangun Karakter Bangsa Melalui Cerita Rakyat Nusantara (Model Pendidikan Karakter untuk Anak MI Awal Berbasis Cerita Rakyat dalam Perspektif Sosiologi Pendidikan Islam), http:/digilib.uin-suka.ac.id/15935/,14 Januari 2019 Laman. www.masbagikfestival.site https://www.researchgate.net/publication/327663899

 RITUAL AIR DALAM SIKLUS PURNAMA KAPAT PADA KAWASAN CAGAR BUDAYA BATUKARU DI BALI : KEARIFAN KONSERVASI LINGKUNGAN SEBAGAI IDENTITAS DAN KARAKTER MASYARAKAT BALI

I Nyoman Wardi Program Studi Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [email protected]

ABSTRAK

Karya tulis ini bertujuan mengungkap pengetahuan lokal masyarakat Bali (etnosains) terkait dengan kearifan lingkungan yang secara implisit terekspresi dalam ritual air (mendak toya) dalam siklus purnama kapat di kawasan Cagar Budaya Batukaru- Tabanan. Hal ini dipandang penting dalam upaya mewujudkan pembangunan character-building (kepribadian) dan dalam memitigasi krisis ekologi (krisis air).Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan pengumpulan data dengan teknik observasi, wawancara mendalam dan studi dokumen. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan teori Deep Ecology.

Hasil studi menunjukkan bahwa ritual air dalam siklus purnama kapat di kawasan Cagar Budaya Pura Batukaru yang kini berkedudukan sebagai kahyangan jagat Bali dan world heritage merupakan peradaban hidraulik yang berasal dari masyarakat agraris (subak) purba yang hingga kini masih tetap eksis dan dipraktikan oleh masyarakat tradisional bersama pemerintah di Kabupaten Tabanan-Bali. Ritual tersebut sarat dengan kandungan kearifan konservasi lingkungan, khususnya dalam konteks manajemen air yang mempunyai hubungan interdependensi dengan keberadaan gunung, hutan, danau dan sungai. Kini kearifan budaya/kearifan lingkungan menghadapi tantangan yang cukup berat di era pembangunan Modern yang mengglobal yang di Bali mewujud dalam industri pariwisata.

Kata kunci : ritual air, purnama kapat, cagar budaya Batukaru, kearifan lingkungan

1. Pendahuluan Kebudayaan masyarakat Bali dikenal memiliki akar sejarah budaya Austronesia yang cukup ―dalam‖ dan diperkaya oleh Budaya Hindu (Agama Hindu dan Budha dari India), budaya suku bangsa China dan budaya dari etnis- etnis Asia Tenggara. Di era modern/era kolonial (abad XX M) budaya masyarakat

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 25 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 26 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Bali (Hindu) juga bersentuhan dengan budaya Eropa yang kemudian ikut mewarnai karakteristik keanekaragaman wujud dan nilai budayanya. Dalam perjalan waktu yang sangat panjang dan perubahan ruang yang sangat dinamis, tampaknya terlalu sedikit yang dapat disaksikan dan diwarisi dari hasil karya budaya para leluhur dari masa silam, baik warisan budaya yang tangible (budaya material) maupun intangible (budaya immaterial). Di dalam warisan budaya yang bersifat tangible maupun intangible terkandung berbagai kearifan budaya, kearifan sosial dan kearifan lingkungan. Kearifan lingkungan di Bali cukup banyak tertuang dalam oral tradition seperti cerita mitos, ritual maupun dalam artefak/ekofak, monument, tata ruang, dan wujud lainnya. Kearifan lingkungan merupakan salah satu bentuk pengetahuan lokal (local knowledge) baik yang terkait dengan lingkungan alam biotik (flora dan fauna), unsur lingkungan geofisik (tanah, air, iklim), maupun yang terkait pandangan masyarakat terhadap alam kosmis (cosmic world view). Pengetahuan lokal pada umumnya didasarkan atas pengalaman tradisional, maupun pengalaman praktis dan inovasi yang diwujudkan dalam cara atau gaya lokal (local style). Karakteristik sistem pengetahuan lokal, di antaranya yaitu terintegrasi dalam kebudayaan dan dengan sistem kepercayaan masyarakat setempat (Manoharan, Dhusenti, et.al., 2009 : 6 ). Di antara kearifan lingkungan tersebut secara implisit tertuang dalam ritual air dalam siklus purnama kapat di kawasan Cagar Budaya Pura Batukaru- Tabanan. Kini di era global, pengaruh Modernisme melalui industri pariwisata di Bali membawa perubahan-perubahan yang begitu cepat dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan alamnya. Pada satu sisi pariwisata untuk sementara dipandang membawa dampak positif pada pada bidang ekonomi, tetapi pada sisi lain mulai muncul kekhawatiran, khususnya terkait dengan nilai-nilai budaya yang luhur dan mengandung kearifan sosial budaya dan lingkungan. Kebijakan pembangunan yang hanya berorientasi pada pembangunan fisik dan ekonomi semata, cenderung dan berpotensi melunturkan nilai-nilai budaya luhur yang mengandung kearifan budaya dan lingkungan. Hal ini juga memicu terjadinya kiris ekologis, khususnya krisis sumberdaya air bersih yang kini terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk juga di Indonesia dan Bali khususnya. Studi yang dilakukan oleh ― Club of Rome‖ dalam bukunya yang berjudul The Limit to Growth (1972) menunjukkan, bahwa dalam sistem global terdapat 5 variable pokok yang saling mempengaruhi, yang dalam waktu panjang sangat mengkhawatirkan keberadaan umat manusia di planet bumi. Kelima varibel tersebut, yaitu: (1) penduduk, (2) persediaan pangan, (3) sumber kekayaan alam, (4) produksi industri, dan (5) pecemaran lingkungan (pollution) (Djojohadikusumo, 1981: 71 -73). Karya tulis ini dimaksudkan untuk mengungkap pengetahuan lokal masyarakat (etnosains) terkait dengan kearifan lingkungan yang secara implisit terekspresi dalam ritual air dalam siklus purnama kapat di kawasan Cagar Budaya Batukaru-Tabanan. Hal ini dipandang penting dalam upaya mewujudkan pembangunan character-building (kepribadian), sosial budaya, ekologi, dan pariwisata budaya dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 27 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

2. Metodologi Penulisan karya ilmiah ini dilakukan melalui riset. Untuk mencapai tujuan penelitian dilakukan langkah-langkah pengumpulan data dengan teknik observasi partisipatif, wawancara mendalam (indept interview) dan studi dokumen. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan teori Deep Ecology dari Arne Naess (Keraf, 2002: 79-80).

3. Ritual Air Dalam Siklus Purnama Kapat dan Makna Kearifan Lingkungan Kawasan Cagar Budaya Batukaru 3.1 Aspek Historis Cagar Budaya Pura Batukaru Dalam UU No.11 Th 2010 tentang Cagar Budaya (Kemenbudpar, 2010), dinyatakan bahwa Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan /atau kebudayaan melalui proses penetapan. Pada Pasal 5 disebutkan, bahwa kriteria Cagar Budaya meliputi : a) Berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih; b) Mewakili masa gaya paling singkat 50 (lima puluh) tahun; c) Memiliki arti khusus bagi: sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan d) Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa; Sementara itu, pada Pasal 10 dinyatakan, bahwa satuan ruang geografis dapat ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya apabila: a. Mengandung dua situs cagar budaya atau lebih yang letaknya berdekatan b. Berupa landskap budaya hasil bentukan manusia berusia paling sedikit 50 tahun; c. Memiliki pola yang memperhatikan fungsi ruang pada masa lalu , berusia paling sedikit 50 tahun; d. Memperhatikan pengaruh manusia masa lalu pada proses pemanfaatan ruang berskala luas; e. Memperlihatkan bukti pembentukan lanskap budaya; dan f. Memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti kegiatan manusia atau endapan fosil; Warisan budaya Pura Batukaru telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya dengan kawasannya sebagai bagian dari World Cultural Landscape of Bali Province. Keberadaan yang terletak di kaki Selatan Gunung Batukaru (833 m .dpl) merupakan satu kesatuan dengan keberadaan Kahyangan Pucak Kedaton Batukaru yang terletak di Gunung Batukaru (ketinggian 2.275 m dpl) yang merupakan puncak daerah Kabupaten Tabanan. Keberadaan Kahyangan Pucak Kedaton dan Pura Batukaru, terungkap dalam mitos yang mengisahkan tentang pasangan dua tokoh dewa dan dewi yang berstatus sebagai suami-istri (alaki-rabi/raja dan ratu) dan sebagai penguasa sebuah kerajaan kosmis (kedatuan/kedaton atau keraton). Sang Raja Kosmis berstana di puncak gunung dan Sang Dewi berstana di kaki Selatan Gunung (Pura Penataran Batukaru). Hingga dewasa ini, di puncak Gunung Batukaru (ketinggian 2.275 m dpl), terdapat sebuah palinggih bebaturan (tahta batu) yang berudak (berteras) dua, dan di atasnya berdiri sebuah menhir yang terbuat dari batu alam

 28 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 sebagai media pemujaan Bhatara Pucak Kedaton-Batukaru atau juga disebut Sang Hyang Tumuwuh. Sementara itu, palinggih untuk pemujaan Bhatari (permaisuri Bhatara Pucak Kedaton) yang ada di Pura Penataran Batukaru tidak diketahui secara jelas. Diperkirakan, palinggih candi induk yang tinggi dan ramping (pengaruh budaya Jawa Timur) dengan struktur atap tumpang tujuh yang ada di halaman jeroan menjadi palinggih utama dan menjadi pusat media pemujaan dalam ritual yang sering dilakukan oleh masyarakat pangempon, subak, dan penyungsung pura Batukaru di Tabanan (Bali) menjadi stana beliau (Bhatari Sakti Batukaru). Kesejarahan Pura Batukaru juga disebutkan dalam lontar Usana Bali, yaitu Mpu Kuturan (XI M) yang juga bergelar Mpu Rajahretha membangun parhyangan (angawe parhyangan) atau pura di Bali. Di antaranya ada disebutkan Bhatara ring Batukaru… . (Lontar Penyusun, dan Tim Penyusun Pura Luhur Batukaru, 1994: 35). Selain itu, keberadaan Pura Batukaru atau Kahyangan Puncak Kedaton di Puncak Gunung Batukaru juga ada diuraikan dalam sebuah lontar yang berjudul Tatwa Purana Hyang Ning Wukir yang berasal dari Geriya Madhu. Di dalam lontar tersebut juga ada disebutkan nama Hyang Ning Wukir (Sang Hyang Giri Putri) yang berstana di Pura Pucak Kedaton (Pura Batukaru) (Mandia, 2008). Pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Bali (th 1918), Nieuwenkamps tampaknya pernah melakukan kunjungan ke Pura Luhur Batukaru. Demikian pula, seorang ahli Filologi Belanda, yaitu Hoykaas belakangan juga pernah melakukan kunjungan ke Pura Luhur Batukaru. Beliau menyatakan, bahwa warisan budaya Pura Luhur Batukaru yang terletak di lereng selatan Gunung Batukaru merupakan puncak daerah Kabupaten Tabanan. Berdasarkan keberadaan ekofak batu berdiri tegak (menhir) yang jumlahnya cukup banyak ditemukannya pada bangunan palinggih, situs ini juga disebut kompleks lingga kuno (archaic “lingga sanctuary”) dan diasumsikan, bahwa tempat suci atau Pura Batukaru terkait dengan kompleks pemujaan arwah leluhur (ancestral sanctuary) (Kempers,1977 : 180). Berdasarkan cerita mitos yang bersifat oral tradition dan yang tertuang secara vebal tertulis dalam lontar tersebut, maka dapat diintepretasikan bahwa Sang Hyang Tumuwuh yang berstana di puncak Gunung Batukaru merupakan dewa alam yang dikaitkan dengan pemujaan Dewa Gunung. Kepercayaan terhadap gunung sebagai tempat suci atau stana arwah leluhur sudah dikenal pada masa prasejarah, khususnya zaman Megalithik. Pemujaan Dewa Gunung ( Sang Hyang Tumuwuh) yang berstana di Pucak Kedaton di Puncak Gunung Batukaru dapat dipandang sebagai sistem religi masyarakat asli lokal ( authochtonic) dan dipandang sebagai Dewa Tertinggi. Sebagai Dewa Tertinggi, Sang Hyang Tumuwuh yang berstana di Pucak Kedaton mempunyai hubungan kosmis magis dengan Danau Tamblingan, Jajar Kemiri Catur Angga Pura Batukaru (Pura Muncaksari, Tambawaras, Pucak Petali dan Pura Besi Kalung) dan warisan budaya lain di sekitarnya. Dapat diinterpretasikan, bahwa pada awalnya ( Zaman Megalithik) cagar budaya Pura Batukatu merupakan tempat pemujaan orang-orang Bali Aga yang dipimpin oleh seorang Kubayan. Pada zaman Bali Kuno, sejalan dengan menguatnya pengaruh Agama Hindu di Bali dengan pusat kerajaannya di Pejeng-Bedahulu (Gianyar), warisan budaya Pura Batukaru kemudian ditetapkan sebagai salah satu kahyangan jagat dalam struktur kosmologis Nawa Sanggha Jagat Bali, dan dipandang sebagai representasi dewa kosmis arah Barat dengan Dewa Mahadewa sebagai penguasanya.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 29 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Cagar budaya Pura Batukaru kini memiliki multi status dan fungsi, yaitu sebagai: (1) pura genealogis (pemujaan karihinan/leluhur Kubayan, raja/cokorda Tabanan, Badung dan Panjisakti/Buleleng), (2) pura Ulun Subak /Ulun Swi, (3) Kahyangan Jagat (Pura Gunung) Kerajaan Tabanan, dan (4) Kahyangan Jagat (Sad Kahyangan) Bali. Kini Kahyangan Pucak Kedaton diempon oleh dua Desa Adat, yaitu Desa Adat Piling-Kecamatan Penebel dan Desa Adat Sanda-Batungsel (Kecamatan Pupuan- Kabupaten Tabanan). Semenmtara itu, Cagar Budaya Pura Batukaru yang terletak di selatan kaki Gunung Batukaru diempon oleh 8 Desa Adat. Ke delapan Desa Adat selaku Panjak Pekandelan Ida Bhatara Batukaru tersebut, yaitu : Desa Wongaye Gde; Desa Adat Tengkudak; Desa Adat Kloncing; Desa Adat Batu Kambing; Desa Adat Bengkel; Desa Adat Penganggahan; Desa Adat Amplas, dan Desa Adat Sandan). Sejak 29 Juni 2012 , Cagar Budaya Pura Luhur Batukaru dengan jajar kemiri catur angganya (Pura Muncaksari,Tambawaras, Pucak Petali,dan Pura Besi Kalung) statusnya telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai salah satu bagian dari World Cultural Landscape of Bali Province. Penetapan status sebagai salah satu world cultural landscape secara tidak langsung berpengaruh signifikan pada peningkatan jumlah kunjungan wisatawan ke situs-situs tersebut dan menjadi tantangan dalam pengelolaannya untuk mempertahankan status tersebut (Wardi, 2018: 30-34).

3.2 Ritual Air Dalam Siklus Purnama Kapat dan Makna Kearifan Konservasi Lingkungan Pada Kawasan Cagar Budaya Batukaru

3.2.1 Ritual Air Dalam Siklus Purnama Kapat Pada Kawasan Cagar Budaya Batukaru Ritual Air yang disebut upacara mendak toya dilakukan oleh Lembaga Subak bersama pemerintah daerah di Kabupaten Tabanan Bali dalam Siklus Purnama Kapat (setiap hari Purnama bulan Oktober). Bagi masyarakat Hindu di Bali, purnama kapat merupakan hari yang sangat spesial (khusus) dan dipandang sangat sakral. Kata mendak toya terdiri atas dua patah kata, yaitu mendak yang lengkapnya dari kata mamendak yang berarti menyambut, dan toya (Bahasa Bali) artinya air. Dengan demikian secara harfiah kata mendak toya berarti menyambut kedatangan air. Air yang dimaksudkan dalam konteks ritual ini adalah air yang turun dari langit (air hujan). Air tersebut dipandang sebagai air yang sakral sebagai berkah dari Dewa Langit. Air Sakral berkah dari Dewa lazim disebut tirtha. Permohonan berkah air dari para dewa dimaksudkan untuk menjamin kelancaran dan keberhasilan aktivitas pertanian (air irigasi) dalam budidaya padi bagi krama subak (para petani) di Tabanan khususnya, bagi warga desa dan masyarakat Bali pada umumnya. Ritual air oleh Lembaga Subak (Subak Sabhantara-Tabanan) di kawasan Cagar Budaya Batukaru dilakukan setiap tahun dalam siklus segitiga Purnama Kapat, dengan pusat ritual yang berpindah-pindah secara sirkuler, yaitu: 1) Purnama Kapat I, ritual dipusatkan di Pucak Kedaton Batukaru yang ada di puncak Gunung Batukaru. Ritual diwali dengan persembahyangan oleh krama subak dan staf Dispenda Sedahan Agung Pemda Tabanan di bangunan suci candi utama di halaman jeroan Pura Batukaru. Kemudian dilanjutkan dengan pendakian spiritual menuju puncak Gunung Batukaru,

 30 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

dan ritual kurban (pakelem) dan persembahan yang sangat khidmat dilakukan pukul 12 malam di puncak gunung. 2) Purnama Kapat II, ritual dipusatkan di hulu Sungai (Tukad) Mawa, yaitu terletak di kaki gunung yang ada di sebelah Barat Pura Batukaru; dan 3) Purnama Kapat III, ritual terakhir dari rangkaian siklus ritual air dengan upacara terbesar (kurban sepasang kerbau bertanduk emas), dan sebagai puncak ritual dari siklus tahunan Purnama Kapat (dalam hitungan tiga tahun) dilakukan di Danau Tamblingan (Pura Gubug-Ulun Danu Tamblingan) yang terletak di Desa Munduk-Gobleg Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng. Ritual air (mendak toya) tersebut selalui diawali dengan upacara persembahan dan atur-piuning (pemberitahuan secara niskala) pada Dewa yang berstana di palinggih candi utama yang ada di halaman jeroan Pura Batukaru. Ritual air atau upacara mendak toya tersebut selalu disertai dengan upacara kurban binatang (mulang pakelem). Demikian ritual air itu dilakukan secara sirkulir dalam siklus purnama kapat pada kawasan Cagar Budaya Pura Batukaru. Untuk tiga tahun siklus berikutnya, ritual juga dilakukan dengan cara, tahapan dan tempat yang sama, yaitu dengan mengambil pusat lokasi ritual yang berpindah-pindah, yaitu Pucak Kedaton (Puncak Gunung Batukaru)- Hulu DAS Mawa dan Danau Tamblingan.

3.2.2 Makna Kearifan Konservasi Lingkungan Sebagai Identitas dan Karakter Masyarakat Bali Kearifan lingkungan (kearifan tradisional/kearifan lokal) adalah pengetahuan kebudayaan yang dimiliki kelompok masyarakat tertentu, mencakup model-model pengelolaan sumberdaya alam melalui pemanfaatan yang bijaksana dan bertanggung jawab (Zakaria,1994 dalam Kartodiharjo, H. dan Jhamtani, H.,(ed.), 2006: 175). Kearifan lokal (kearifan lingkungan /kearifan tradisional) adalah sebuah sistem yang mengintegrasikan pengetahuan, budaya dan kelembagaan serta praktik mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan. Ritual air oleh Lembaga Subak (Subak Sabhantara-Tabanan) di kawasan Cagar Budaya Batukaru yang dilakukan setiap tahun dalam siklus segitiga Purnama Kapat tersebut dapat dipandang sebagai etnosains yang mengandung kearifan lingkungan. Walaupun tempatnya, jenis sarana, dan kelengkapan ritualnya berbeda-beda, namun pada intinya ritual tersebut dimaksudkan untuk memohon berkah air hujan dari para dewa untuk kelancaran dan kerberhasilan dalam aktivitas pertanian bagi para petani (krama Subak) dan masyarakat Desa di Tabanan dan masyarakat Bali pada umumnya. Pada sisi lain, lokasi pusat ritual yang berbeda-beda tersebut secara konotatif dapat dimaknai dalam konteks konservasi lingkungan alam, khususnya konservasi gunung-hutan (wanādri/wana-wukir), sungai (DAS), dan danau. Hubungan ketiga segmen unsur lingkungan alam tersebut (wanādri – sungai – danau) bersifat holistic integrated dan keberadaannya saling mempengaruhi (interdependensi) satu dengan yang lainnya. Secara implisit ritual air yang dipusatkan di puncak gunung, dapat dimaknai bagaimana masyarakat bersama pemerintah harus menjaga, merawat dan melestarikan gunung dan hutan yang ada di sekitarnya (wanādri /wana-wukir),

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 31 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 karena gunung-hutan mempunyai fungsi yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem alam, khususnya ekosistem air di bhumi. Seperti diilustrasikan dalam lontar Usana Bali, khususnya dalam konteks catur lokapala, gunung dipandang sebagai penjaga kestabilan jagat (ekosistem alam) Bali. Dalam teks lontar Usana Bali ini, nama Batukaru muncul sebagai nama dewa yang berstana di Gunung Bharatan. Dalam frase bait 4a teks lontar Usana Bali di antaranya disebutkan: ―Kunang malih iti katuturaning Usana Bali, nga. Cinarita tingkahing bhumi Bali, hana gunung catur lokapala, nghing tingkah ing among ika amarah pat, lwire: maring purwwa gunung lempuyang, nga. Pangastanan Ida Bhatara Gnijaya. Maring pascima , Gunung Bharatan, nga. pangastanan Ida Bhatara Batukaru. Maring Uttara, Gunung Mangu nga. Pangastananira Hyang Danawa. Maring Daksina, Gunung Andhakasa, nga. Pangastanan Ida Bhatara Hyanging Tugu…‖. (Warna , dkk.: 1986: 3).

Artinya : ‗Demikian selanjutnya diceritakan dalam Usana Bali namanya. Dikisahkan keadaan di Pulau (Jagat) Bali, ada gunung Catur Lokapala ( Empat Gunung Penjaga Kestabilan Alam/Jagat Bali), keadaan gunung penjaga itu berada pada empat bagian wilayah (Nyatur Desa), yaitu : wilayah di sebelah Timur bernama Gunung Lempuyang sebagai stana Ida Bhatara Gnijaya. Di Barat bernama Gunung Bharatan sebagai stana Ida Bhatara Batukaru. Di Utara bernama Gunung Mangu (sekarang Gunung Pucak Mangu) sebagai stana Hyang Danawa. Di wilayah bagian Selatan bernama Gunung Andhakasa sebagai stana Ida Bhatara Hyanging Tugu…‘. Secara ekologi budaya, bagi suku bangsa selaku pendukung budaya Austronesia (termasuk etnis Bali), gunung merupakan permukaan bumi yang tertinggi yang dekat dengan langit (alam dewa) dipandang sakral dan sebagai stana para dewa, arwah nenek moyang (arwah leluhur) dan mahkluk suci lainnya. Gunung menjadi pusat kosmis di bhumi dan berfungsi sebagai axis mundi yang menghubungkan alam dewa (alam atas) dengan alam manusia (alam tengah) dan alam para bhuta (alam bawah) melalui ritual yang bersifat religious-magis. Secara fisik biologis, gunung berfungsi untuk menahap uap air dalam siklus hidrologis makro. Kemudian uap air mengalami kondensasi (dingin) dan akhirnya jatuh menjadi rintik-rintik air dari langit/hujan (presitipasi). Hutan di sekitar gunung dengan keanekaragaman vegetasi dan sebagai habitat berbagai fauna, diibaratkan sebagai paru-paru dunia yang menyerap polusi udara (CO2, dan jenis polutan lain) yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Dalam sistem respirasi, hutan (pohon) menyerap CO2 (Karbondioksida) dan menghasilkan O (Oksigen) untuk kelangsungan hidup manusia dan makhluk lainnya. Jasa keberadaan pohon (hutan) yang utuh dan lestari juga berkontribusi untuk menciptakan iklim mikro/makro yang sejuk dan mencegah terjadinya erosi dan bencana longsor. - Hutan menyimpan air pada akar di dalam tanah, batang, dan daun yang kemudian dialirkan secara gradual ke hilir melalui jaringan mata air (yeh klebutan), danau, dan badan sungai atau Daerah Aliran Sungai (DAS). Dalam sistem kepercayaan masyarakat Bali, keberadaan gunung dan hutan sering dipandang sebagai hulu atau sumber amertasari.

 32 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Ritual air yang dipusatkan di hulu sungai (Tukad Mawa) dapat dimaknai, bahwa sungai yang sering diibaratkan sebagai urat nadi dalam kehidupan suatu makhluk hidup (manusia) mempunyai fungsi penting dalam mengalirkan air (darah) kehidupan untuk manusia dan makhluk lain. Badan air atau Sungai yang juga diibaratkan sosok seekor ular Naga Basuki yang kepalanya di gunung dan ekornya di laut, juga berfungsi sakral yang menghubungkan kawasan zone hulu (bukit/gunung), zona tengah (dataran), dan hilir (teben) atau kawasan pesisir dan laut (samudera). Demikian penting dan besarnya jasa sungai (tukad) untuk mengalirkan air demi kehidupan manusia dan makhluk lain, karena itu secara imperatif sungai mesti dirawat dan dijaga kelestariannya. Dengan demikian, ritual air di hulu sungai dapat dimaknai, bahwa volume aliran dan kemurnian (kebersihan) air yang mengalir dan keutuhan dan kelestarian sempadan sungai, sedapat mungkin dirawat dan dijaga kestabilannya. Kestabilan dan kecukupan air sungai untuk irigasi pertanian (subak) sangat peting artinya dalam budidaya padi, khususnya daerah Tabanan yang dikenal sebagai lumbung berasnya Bali. Ritual air yang paling besar dalam siklus purnama kapat ketiga di Ulun Danu Tamblingan dapat dimaknai bahwa danau sebagai cekungan alam besar berfungsi sangat penting untuk menampung air hujan yang turun dari langit melalui puncak dan lereng-lereng gunung dan hutan yang ada di sekitarnya. Dalam pandangan dan kepercayaan masyarakat Bali, secara umum danau dipandang sebagai tempat sakral dan hulu atau sumber dari segala mata air yang kemudian menyatu dan mengalir ke sungai-sungai, mengaliri sawah-sawah dan kebun para petani (subak) di hilir. Masyarakat petani (subak) di daerah Kecamatan Penebel dan Tabanan pada umumnya memandang eksistensi Danau Tamblingan tersebut identik dengan keberadaan gebeh/tempayan alam (gebeh adalah wadah air besar dari tanah liat yang dibakar) yang ada di hulu dan sangat dimuliakan sebagai sumber dan penyambung kehidupan masyarakat petani secara berkelanjutan. Dalam worldview masyarakat tradisional Bali, secara transendental esensi danau dipandang sebagai representasi dari seorang dewi (Dewi Danu/Dewi Air/Dewi Gangga) (feminin), sedangkan gunung sebagai representasi dari dewa (Dewa Gunung/Girinatha/Dewa Parwata) (maskulin). Ritual air yang dipusatkan di Danau Tamblingan sesungguhnya sebagai simbol dan perayaan pertemuan (perkawinan) kosmis yang bersifat sakral antara Dewa Gunung Batukaru ( Sanghyang Tumuwuh/Bhatara Pucak Kedaton) dengan Dewi Air yang berstana di Danau Tamblingan (Dewi Ulun Danu/Dewi Gangga). Pertemuan tersebut juga dapat diidentikan sebagai pertemuan kosmis magis Lingga dan Yoni yang bersifat alami yang dipandang mengandung energi kreatif yang bersifat magis-religius. Berangkat dari ritual air ini, diharapkan mampu menciptakan kesuburan dan kemakmuran, kesehatan, kerahayuan dan kesejahteraan dalam konteks kehidupan pertanian (subak) dan aspek kehidupan lainnya di Bali. Ritual air dalam siklus tahunan purnama kapat di kawasan Cagar Budaya Pura Batukaru yang kini berkedudukan sebagai kahyangan jagat dan world heritage Bali merupakan peradaban hidraulik yang berasal dari masyarakat agraris (subak) purba yang hingga kini masih tetap eksis dan dipraktikan oleh masyarakat tradisional bersama pemerintah di Kabupaten Tabanan-Bali. Kearifan manajemen air dalam konservasi lingkungan yang diekspresikan dalam ritual air siklus

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 33 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 purnama kapat ini dapat dipandang sebagai identitas budaya dan menjadi karakteristik masyarakat Bali, khususnya masyarakat agraris (subak) dalam berinteraksi dengan lingkungan alam. Identitas dan karakteristik budaya Bali ini mempunyai nilai penting dalam mencegah dan mengatasi (mitigasi) kecenderungan terjadinya krisis ekologi (kiris air) di Era Modern yang bersifat global. Domestikasi air melalui ritual mendak toya tersebut sarat dengan makna kearifan lingkungan, khususnya terkait dengan manajemen air. Berdasarkan makna kearifan lingkungan yang terkandung pada ritual air dalam siklus purnama kapat pada kawasan Cagar Budaya Batukaru tersebut dapat dibangun sebuah slogan atau motto: ― No Mount-Forest (Wanādri), No Water No Water, No Future ―.

4. Kearifan Lingkungan dan Tantangan Pengelolaan Sumberdaya Air di Era Modern Modernisme yang berawal dari negara Eropa ( abad XVII M) dintandai dengan perkembangan sistem ekonomi pasar uang/modal (kapitalisme) dan kemajuan industrialisasi dalam bidang teknologi transportasi, telekomunikasi, dan teknologi eksploitasi sumberdaya alam secara masif. Modernisme membawa perubahan sosial ekonomi, sosial budaya dan lingkungan alam (ekologi) yang sangat dinamis, kompleks dan mengglobal. Perubahan terjadi demikian masif dan dinamis, melintas dan menembus batas ruang dan waktu hingga ke plosok-plosok kehidupan rumah tangga di pedesaan (Ritzer, G., dan Douglas,J. 2007: 550-557). Terkait dengan Modernisme Simmel menyatakan, bahwa modernisasi memberikan keuntungan bagi umat manusia, terutama fakta bahwa melalui modernisasi, manusia mampu mengungkapkan berbagai potensi yang belum pernah terungkapkan, tersembunyi dan tertekan dalam masyarakat pramodern (era monarkhi). Simmel memandang Moderniitas sebagai ―epiphany‖ dalam arti sebagai tanda manifestasi kekuatan instrinsik manusia, kekuatan manusia yang sebelumnya tak terjelmakan. Namun pada sisi lain Simmel juga mengakui, besarnya pengaruh uang terhadap kehidupan masyarakat modern. Dampak negatif pengaruh uang, terutama terjadinya alienasi. Lebih lanjut dinyatakan, masalah alienasi membawa kita kembali ke masalah sentral, yaitu tragedi kultur, yaitu terhentinya pertumbuhan ―kultur individu‖ dan pesatnya pertumbuhan ―kultur objektif‖. (Ritzer, G., dan Douglas,J.,2007: 551). Sementara itu Giddens (penganut Postmodern) menyatakan, bahwa salah satu keunggulan dari modernitas yaitu memungkinkan tumbuhnya organisasi rasional seperti birokrasi dan negara bangsa (state nation) dengan dinamismenya, dan kemampuan menghubungkan otoritas lokal dam global. Ciri kedinamisan modernitas digambarkannya sebagai refleksivitas yang secara khusus diartikan bahwa dalam praktik kehidupan sosial terus menerus diuji dan diubah berdasarkan informasi yang baru masuk yang paling praktis dan dengan demikian mengubah ciri modernitas itu sendiri (Gidedens, 1990 dalam Ritzer, G., dan Douglas,J.,2007:556-557). Kenyataan terjadi di tengah masyarakat negara-negara berkembang, seperti halnya Indonesia dan negara-negara lain, termasuk pada masyarakat Bali, menunjukkan bahwa kemajuan Ilmu Pengetahuan dan teknologi (Iptek) dari Era

 34 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Modern, khususnya di bidang medis telah banyak menolong dan menyelamatkan warga masyarakat dari berbagai ancaman penyakit kritis yang dideritanya, serta dapat mempepanjang usia harapan hidupnya. Demikian pula, kemajuan teknologi transportasi, telekomunikasi dan informasi, secara tidak langsung mempengaruhi perkembangan pembangunan industri pariwisata di Bali yang kini membuka peluang kerja dan berusaha serta menapung tenaga kerja dan menjadi sumber pendapatan utama bagi masyarakat lokal dan pemerintah. Namun pada sisi lain terjadi, bahwa sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk, kemajuan teknologi produksi komoditas, transportasi, dan teknologi digital membuat warga masyarakat modern seakan termanjakan dalam pemenuhan kebutuhan yang bersifat materialistis dan cenderung kuantitasnya meningkat. Pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kebutuhan masyarakat cenderung meningkatkan eksploitasi terhadap sumberdaya alam. Masyarakat kemudian cenderung bersifat konsumtif. Terstein Veblen dalam bukunya The Theory of The Leisure (Ritzer, G., 2009: 213), cenderung menggolongkan masyarakat Modern sebagai masyarakat kelas penikmat. Kelas penikmat melibatkan diri dalam ―penikmatan yang berlebihan‖ (penggunaan waktu secara tidak produktif) dan ―konsumsi yang berlebihan‖. Eksploitasi sumberdaya alam secara berlebih-lebih, dan pemenuhan kebutuhan penduduk yang cenderung meningkat, ditambah dengan keserakahan kelompok-kelompok tertentu (kapitalis) dalam pemenuhan kebutuhan yang tidak pernah terpuaskan cenderung menimbulkan degradasi lingkungan. Kondisi ini cenderung menggerakan hukum entropi yang tewujud dalam bentuk meningkatnya pencemaran lingkungan, menipisan dan kelangkaan sumberdaya alam (air, lahan, hutan, biodiversitas), bencana alam, dan terjadinya konflik sosial di kalangan masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat modernitas maju, isu utamanya adalah resiko. Giddens menyatakan, bahwa kehidupan modern adalah ―sebuah dunia yang tidak terkendali‖ (running world) dengan langkah, cakupan, dan kedalaman perubahannya yang jauh lebih besar dan dasyat daripada zaman sebelumnya (pramodern). Lebih lanjut dinyatakan, Modernitas ini tidak mengikuti suatu jalan tunggal (linear), tetapi terdiri atas sejumlah bagian berlawanan dan saling bertentangan. Bahkan kehidupan modern dianalogikannya sebagai makhluk ―juggernaut‖ (panser raksasa) yang resiko dan dampaknya sangat berbahaya jika tidak dapat dikendalikan (Ritzer, G., dan Douglas,J.,2007:553). Di era Modern, Bali (luas Pulau Bali 5633 km2 dengan jumlah penduduk 4,2 juta tahun 2018) diwarnai dengan pertumbuhan penduduk yang cenderung meningkat ditambah dengan pembangunan fisik (fasilitas pariwisata) yang kurang terkontrol, dan terjadinya deforestasi di beberapa tempat. Dampaknya terjadi krisis ekologis, khususnya krisis air. Krisis air bersih telah terjadi di beberapa tempat di Bali. Demikian pula konflik sosial terkait dengan kompetisi pemanfaatan sumberdaya air. Hasil beberapa studi mengindikasikan, bahwa ada kecenderung terjadi pengalihan sumberdaya air irigasi pertanian (subak) ke industri pariwisata di Bali. Hal ini dapat ditunjukkan dari beberapa kasus konflik air yang terjadi di beberapa tempat sebelumya, seperti konflik antara subak dan PDAM di situs Pura Tirtha Empul dan mata air Gamrong di Desa Soka Kecamatan Penebel-Tabanan. Demikian pula konflik pemanfaatan air antara krama Subak dengan pengelola sebuah Villa di Desa Jatiluwih, dan tempat

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 35 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 lainnya (Wardi, 2018: 350-353). Tipe pembangunan pariwisata semacam ini tentu tidak mencermikan konsep Pariwisata Budaya seperti yang dituangkan dalam Perda Provinsi Bali No.2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali yang berbasis pada falsafat Tri Hita Karana yang mengisyaratkan adanya keseimbangan pembangunan dalam bidang ekonomi, ekologi dan sosial budaya (sustainable development). Keberadaan kearifan budaya dalam konteks lingkungan di Bali tampaknya belum dapat mencegah secara optimal dan efektif terjadinya krisis ekologis, khususnya krisis air dalam pembangunan era Modern. Tentu ada berbagai factor yang menyebabkan terjadinya hal ini. Di antaranya karena kurangnya sosialisasi dan revitalisasi kearifan lingkungan, pembangunan yang hanya menekankan pertumbuhan ekonomi semata, adanya relasi kuasa antara kelompok kapiltalis tertentu dengan agen otoritas rasional legal, dan faktor lainnya. Kearifan budaya kini juga mengalami tantangan di Bali sejalan dengan munculnya kecenderungan desakralisasi dan proses demitologi dalam kehidupan masyarakat sebagai bias dampak negatif Modernisme. Perlu ada upaya dan strategi untuk meminimalkan dan mencegah dampat negatif tersebut. Beberapa upaya untuk meminimalkan dan mencegah dampak negatif pembangunan Modern terhadap lingkungan dalam kehidupan masyarakat di Bali, di antaranya dapat dilakukan dengan : (1) menggali dan mengungkap lebih banyak dan lebih dalam khasanah kearifan budaya dan kearifan lingkungan yang dimiliki masyarakat lokal Bali melalui sumber-sumber tradisional (oral traditions: ritual dan mitos, kepustakaan tradisional seperti babad/lontar, pamacangah, kesusasteraan klasik; prasasti, artefak, ekofak, monument, dan yang lain); (2) upaya pendidikan dan sosialisasi secara terus menerus terkait dengan karakteristik ekosistem alam sekitar dan keberadaan kearifan budaya dan lingkungan yang dimiliki masyarakat lokal; (3) melakukan revitalisasi kearifan budaya dengan berbagai strategi kultural, dan sosial politik, seperti merumuskan dan menetapkan regulasi perlindungan sumberdaya alam dan budaya ( awig-awig dan perda), dan praktik Law Enforcement dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dan dalam praktik pembangunan modern; (4) melakukan aksi lingkungan melalui penghijauan (reboisasi), gotong royong menjaga kebersihan lingkungan, dan bentuk aksi nyata lainnya; (5) komitmen merombak prilaku tidak ramah lingkungan menuju prilaku ramah lingkungan secara individu maupun kolektif; dan (6) memadukan kearifan budaya lokal dan budaya global melalui proses glokalisasi.

5. Simpulan Ritual air (mendak toya) dalam siklus tahunan purnama kapat di kawasan Cagar Budaya Pura Batukaru yang kini berkedudukan sebagai kahyangan jagat Bali dan world heritage merupakan peradaban hidraulik yang berasal dari masyarakat agraris (subak) purba yang hingga kini masih tetap eksis dan dipraktikan oleh masyarakat tradisional bersama pemerintah di Kabupaten Tabanan-Bali. Ritual tersebut sarat dengan kandungan kearifan konservasi lingkungan, khususnya dalam konteks manajemen air yang mempunyai hubungan interdependensi dengan keberadaan gunung, hutan, danau dan sungai.

 36 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Dalam konteks krisis ekologis global (krisis air), kearifan konservasi lingkungan dari ritual air dalam siklus purnama kapat pada kawasan Cagar Budaya Batukaru tersebut perlu dijaga, dipelihara dan direvitalisasi dalam pembangunan dan perubahan kehidupan modern yang sangat dinamis dan kompleks. Era pembangunan Modern menjadi tantangan yang cukup berat dalam menjaga keutuhan dan kelestarian eksistensi kearifan budaya/kearifan lingkungan.Terpenting di antaranya, yaitu bagaimana kita dapat mengelola resiko-resiko Modernitas dengan upaya-upaya tertentu agar dampak negatifnya dapat dicegah, diminimalkan atau disalurkkan menjadi hal-hal yang positif.

Daftar Pustaka

Djojohadikusumo, Sumitro. 1981. ―Aspek Ekonomi dan Politik Sekitar Masalah Ekologi dan Lingkungan Hidup ― , dalam Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup. Diedit oleh M.T. Zen. Penerbit PT Gramedia, Jakarta. Kartodiharjo, H. dan Jhamtani, H.,(ed.). 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: PT Equinox Publishing Indonesia. Kemendikbudpar.2010. Undang-Undang Republik Indonesia Nomoe 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dirrektorat Jenderal Sejarah dan Pubakala, Jakarta. Kempers, A.J. Bernet.1977.Monumental Bali : Introduction to Balinese Archaeology Guide to Monuments. Den Haag. Keraf, A.Sonny, 2002. Etika Lingkungan. Pernerbit Buku Kompas, Jakarta. Manoharan, Dhusenti, Hilscher, Manuel, Birkenberg, Athena. 2009. Local Knowledge and The Ecology of Medicinal Plants in Northen Thailand. Stuttgart: Departemen of Gender and Nutritions, Hohenhim University. Pemerintah Provinsi Bali. 2012. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali. Denpasar. Ritzer,G., Douglas J.Goodman, 2009. Teori Sosiologi: dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Teori Sosiologi Postmodern. Diterjemahkan oleh Nurhadi dari buku Sociological Theory. PenerbitKreasi Wacana, Yogyakarta. Wardi, I Nyoman. 2018. Marjinalisasi Kearifan Lingkungan Kosmologis Warisan Budaya Pura Batukaru-Pakendungan di Kabupaten Tabanan Bali. (Disertasi) Program Doktor Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Denpasar. Warna, I Wayan, dkk. 1986. Usana Bali -Usana Jawa. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bali,Denpasar.

 ANALISIS PUISI “SAJAK HOAX” KARYA SOSIAWAN LEAK MENGGUNAKAN TEORI SEMIOTIKA RIFFATERRE

Ahmad Habib1, Robbi Gunawan2, dan Mamluqil Farihah3 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa & Seni, Universitas Negeri Surabaya [email protected], [email protected], [email protected]

ABSTRAK

Puisi merupakan sebuah karya sastra yang dihasilkan dari sebuah pemikiran dan imajinasi seseorang yang disampaikan secara tersirat dan menggunakan penggambaran yang berbeda namun memiliki makna yang sama. Karya sastra ini memiliki tanda-tanda yang kompleks yang sulit untuk ditafsirkan untuk mendapatkan makna sebenarnya yang dirasakan dan dipikirkan oleh penulis. Tetapi puisi dapat dideskripsikan dengan rinci untuk mendapatkan sebuah makna yang tepat dalam suatu tanda yang dibuat dengan menggunakan beberapa teori dari para ahli. Puisi merupakan sebuah karya tulis dan bukanlah sekedar karya tulis sastra yang hanya untuk dinikmati saja, melainkan juga bisa sebagai penyampai pendapat dan/atau perasaan yang ingin diungkapkan dengan gaya penyampain yang berbeda oleh penulis itu sendiri. Penelitian puisi ―Sajak Hoax‖ karya Sosiawan Leak bertujuan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan tanda-tanda yang ada pada puisi tersebut. Agar pembaca puisi tidak hanya mengenal setiap bait puisi melainkan juga kandungan makna dalam tanda yang dibuat pada setiap bait puisi. Untuk mengidentifikasi adanya tanda yang bermakna dalam puisi Sajak Hoax menggunakan pendekatan pragmatik yang mana peran pembaca sangat penting, dan teori yang digunakan ialah semiotika Riffaterre yang mengkaji suatu karya sastra dengan menijau antara hubungan penanda dan petanda yang ada dalam karya sastra. Yang menggunakan 4 langkah proses pengkajian tanda, yaitu (1)ekspresi tidak langsung, (2)pembacaan heuristik dan hermeneutik, (3)matris, model, dan varian, dan (4)hipogram.

Kata Kunci : Puisi, Semiotika Riffaterre, dan Tanda

Pendahuluan Karya sastra merupakan hasil dari cara berfikir kreatif yang diciptakan untuk disampaikan secara tertulis maupun lisan dengan menggunakan bahasa yang indah serta terdapat nilai-nilai kehidupan didalamnya. Menurut Waluyo (2003:01) Puisi merupakanbentuk karya sastra dengan pemadatan bahasa dan pemberian irama bunyi yang padu serta pemilihan kata kias guna memperindah

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 37 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 38 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 dan menyembunyikan arti sebenarnya. Bahasa puisi sering disebut dengan bahasa yang puitis. Bahasa atau kata puitis merupakan suatu hal yang sulit untuk didefinisikan. Namun, bahasa atau kata puitis mengandung nilai keindahan pada puisi yang dapat membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas, dan menimbulkan keharuan (Pradopo, 2014:13). Dapat diambil garis besar bahwa puisi merupakan bentuk sastra yang paling tua dengan pernyataan yang paling padat dan sarat akan makna. Sejarah yang melatarbelakangi proses penciptaan puisi mempunyai fungsi sangat berpengaruh dalam membentuk atau memberikan makna pada puisi. Puisi tidak hanya untuk dinikmati, dibaca, dan didengar saja. Akan tetapi puisi juga dapat diapresiasi. Kegiatan mengapresiasi suatu karya puisi dapat memberikan suatu penghargaan dan juga penilaian terhadap puisi yang telah dibuat. Dalam mengapresiasi suatu puisi diperlukan sebuah pendekatan dan teori sebagai pisau untuk membedah karya tersebut. Salah satu teori yang dapat digunakan untuk melakukan apresiasi puisi yaitu dengan menganalisis tentang tanda-tanda yang terdapat pada puisi. Tentunya dalam puisi banyak sekali tanda yang memiliki makna tersirat seperti simbol-simbol yang perlu dipahami maksud sebenarnya. Teori analisis tanda-tanda dikenal dengan teori semiotik. Zoest (dalam Lantowa, 2017:01) berpendapat bahwa semiotika adalah salah satu cabang ilmu yang berkaitan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berkaitan dengan tanda seperti sistem tanda dan proses yang berlaku dalam menggunakan tanda. Teori semiotik memiliki empat tokoh yaitu Ferdinand De Saussure, C. S. Peirce, Roland Barthes, dan Riffaterre. Empat tokoh ini memiliki metode yang berbeda dalam mengungkapkan teori semiotik terhadap suatu karya sastra. Untuk proses analisis puisi “Sajak Hoax” karya Sosiawan Leak ini akan dilakukan dengan menggunakan teori Semiotika dari Riffaterre yang menggunakan 4 langkah yaitu (1)ekspresi tidak langsung, (2)pembacaan heuristik dan hermeneutik, (3)matris, model, dan varian, dan (4)hipogram. Puisi ―Sajak Hoax” dipilih karena rangkaian diksi yang digunakan penulis mudah untuk dipahami. Puisi ini merupakan puisi satirik yang mengkritik secara halus atau sering disebut dengan sindiran. Puisi tersebut merupakan karya dari seorang penulis sekaligus aktor dan sutradara dalam suatu teater yaitu Sosiawan Leak.

Metodologi Semiotika merupakan suatu ilmu yang berkaitan dengan tanda. Pada tanda terdapat dua aspek yaitu penanda dan petanda. Dua aspek pada tanda memiliki tiga bentuk yaitu ikon, indeks, dan simbol (Pradopo, 2014:123). Menurut Michael Riffaterre terdapat empat langkah dalam mengkaji suatu karya sastra. Yang pertama ialah karya sastra yang bukan bentuk ekspresi tidak langsung.Puisi merupakan salah satu karya sastra yang bukan bentuk ekspresi tidak langsung. Dalam menyatakan suatu hal dengan pengertian lain puisi mengungkapkan melalui penggantian arti, penyimpangan atau pemencongan arti, dan penciptaan arti (Riffaterre dalam (Pradopo, 1999:77)). Kedua adalah pembacaan heuristik dan hermeneutik (tetroaktif). Pembacaan heuristik merupakan tahap pembacaan pertama yang dilakukan dengan membaca puisi dari awal hingga akhir dengan melihat segi kebahasaanya. Meliputi

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 39 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 kemampuan pembaca dalam melihat kesesuaian atau penyimpangan dari setiap kata yang ada. Pada semiotik tingkat kedua pembacaan puisi melihat segi kesustraan atau dalam arti lain pembacaannya lebih terfokus pada peninjauan, perbaikan, dan membandingkan sampai invariant, untuk menemukan sebuah struktur dan hubungan variasi-variasi yang nantinya akan membentuk kesatuan makna secara utuh pada karya sastra tersebut. Ketiga ialah mencari matriks, model, dan varian. Matriks merupakan kata kunci yang bukan kiasan. Matriks bisa berbentuk satu kata, kalimat, bagian kalimat, atau kalimat sederhana. Keempat adalah hipogram. Hipogram merupakan latar belakang suatu karya sastra yang menjadi inspirasi sebuah karya sastra baru. Hipogram akan membuat suatu pengaitan teks satu dengan teks lain yang telah dikaji sebelumnya. Suatu yang menjadi hipogram tidak hanya didapat melalui teks karya sastra saja melainkan bisa dari sebuah berita atau kejadian yang pernah terjadi sebelumnya.

Pembahasan 1. Puisi merupakan Ekspresi Tidak Langsung Ekspresi tidak langsung menggunakan langkah penggantian arti, penyimpangan arti, dan atau penciptaan arti.

1.1 Penggantian Arti Penggantian arti pada sajak-sajak puisi digunakan majas hiperbola, majas simbolik, majas metafora, majas personifikasi, majas tautologi, majas klimaks, dan majas sarkasme. Pada bait pertama, orang-orang tanpa kepala yang memiliki arti orang-orang yang memiliki pemikiran yang kurang bagus, masuk ke dalam majas tautologi dikarenakan dalam setiap bait puisi kalimat tersebut terus diulang. Tak bisa menyimpan argumentasi, fakta, dan data serta kebenaran logika di otaknyaberarti tak bisanya seseorang untuk menyimpan suatu rahasia di dalam dirinya yang digambar melalui otak, kalimat tersebut masuk kedalam majas klimaks. Dari kelingking, sikut, dengkul, bahkan dubur dan belahan pantat; kata- kata muncrat menjelma sihir provokasi, lendir, agitasi juga kedangkalan nurani berarti diri seseorang yang mudah untuk mengeluarkan sebuah pendapat yang dapat menyulut orang lain untuk mengikuti apa yang telah dibicarakannya. Pada bait kedua, tersesat di rimba maya yang mengambarkan tersesatnya seorang atau sekelompok orang dalam luasnya media sosial.. Namun loyo tanpa pulsa, gelombang udara, dan puja-puji frekwensiberarti tidak berdayanya masyarakat zaman sekarang tanpa adanya internet yang sudah menjadi kebutuhan pokok. Pada bait ketiga, berjubah online murahan, bersenjata kebebasan yang mengartikan masyarakat yang menggunakan media sosial (online) sebagai senjata untuk membuat kritik ataupun berita. Karena adanya hak asasi manusia yaitu kebebasan berpendapat yang mengakibatkan hoax. Pada bait keempat, namun selalu terpercik pesing kencing dan mani hasil onani! merupakan kalimat sindiran kasar kepada para masyarakat yang menggunakan media sosial secara tidak benar. 1.2 Penyimpangan Arti Penyimpangan arti pada sajak pusi akan dianalis mengenai ambiguitas, kontradiksi, dan juga nonsense. Ambiguitas merupakan adanya kata, kalimat,

 40 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 ataupun kumpulan kalimat yang memiliki banyak makna dan dapat ditafsirkan dengan bermacam-macam pemikiran. Pada bait pertama terdapat ambiguitas pada kalimat orang-orang tanpa kepala yang dapat diartikan sebagai seseorang yang telah mati dipenggal dan kehilangan kepalanya. Pada bait ketiga, berjubah online murahan yang dapat diartikan baju yang dijual online secara murah, Pada bait keempat, namun selalu terpercik pesing kencing yang diartikan seseorang yang sedang membuang air kecil. Kontradiksi dihasilkan dari adanya penggunaan majas ironi, pradoks, dan antitesis.Pada bait kedua, namun loyo tanpa pulsa, gelombang udara, dan puja- puji frekwensi mengartikan bahwa masyarakat saat ini tidak bisa hidup dengan tidak adanya pulsa, sinyal, dan jaringan. Merekaberanggapan bahwa teman merekahanya di dalam media sosial. Jika, tidak adanya ketiga hal tersebut akan membuat kehidupannya lemah dan tidak berarti. Pada bait ketiga, menumpang status, jempol, dan blokir picisan mengartikan bahwa masyarakat saat ini hanya menyuarakan apa yang ia ingin katakan dalam status, disukai banyak orang dan saling blokir-memblokir satu sama lain karena tidak samanya persepsi. Pada bait keempat, hidungnya sakau blog-blog sampah mengartikan bahwa kepekaan masyarakat terhadap lingkungan sekitar dikarenakan dari sebuah sumber blog media sosial di internet yang membuat candu. Nonsense pada keseluruhan sajak puisi diatas terdapat maknanya dan dalam bahasa yang digunakan secara keseluruhan terdapat dalam kamus. Nonsense adalah kata-kata yang tidak memiliki arti dan arti tidak terdapat dalam kamun, namun kata tersebut memiliki arti gaib atau tidak terduga. Maka, dapat disimpulkan sementara bahwa secara keselurahan bahasa dan bunyi dalam puisi memiliki arti dan makna. 2. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik 2.1 Pembacaan Heuristik Puisi ―Sajak Hoax‖ dapat diartikan pada semiotik tingkat pertama. Yaitu, mengenai orang-orang tanpa kepala mengartikan orang-orang yang tak bisa berfikir. Dari kelingking, sikut, dengkul bahkan dubur dan belahan pantat; kata- kata muncrat, yang mengartikan perkataan yang dihasilkan tidak hanya dari mulut melainkan dari sikut, dengkul, belahan dubur, dan belahan pantat yang ikut andil dalam perkataan tersebut. Menjelma sihir provokasi, lendir agitasi juga kedangkalan nurani. Bermakna bahwa setiap perkataan menjadi bahan provokasi guna mempengaruhi pemikiran dan hati karena acuhnya terhadap sekitar.

2.2Pembacaan Hermeneutik Orang-orang tanpa kepala mengartikan orang-orang yang tak memiliki pemikiran secara jangka panjang yang mudah terpengaruh dengan ucapan atau berita yang belum diketahui dan bisa dianggap sebagai orang yang kurang cerdas. Merakit kepala dari remah-remah peradaban. Bermakna bahwa daya pikir orang- orang yang masih dalam tahap pembentukan yang sangat rentan untuk menangkap sebuah berita atau info yang membuat pemikiran terpecah karena cepatnya informasi yang bisa didapat tanpa adanya saringan. Matanya layar pudar, mulutnya keyboard butut karatan, telinganya tautan tanpa jiwa, hidungnya sakau blog-blog sampah. Mengartikan bahwa manusia yang telah dirusak dengan teknologi. selain itu, juga telah merusak bagian-bagian tubuh manusia seperti

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 41 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 mata, dan tentunya batin manusia itu sendiri dari mulut yang tidak bisa menjaga perkataannya, telinganya yang tak bisa mendengarkan saran orang lain, dan pemikirannya tidak bisa berhenti untuk terus mencari blog-blog yang tidak sesuai dengan kebenaran dan tergolong negatif. Yang sedang menebar fitnah di mata kaki, mengartikan bahwa segala bentuk ketidakbenaran atas fakta yang ada ia tularkan melalui manusia terlebih dahulu yang tergolong mudah untuk disusupi dengan berita yang tidak sesuai. Namun selalu terpercik pesing kencing, bermakna bahwa perkataan yang orang ucapkan selalu perkataan yang mengandung unsur negatif, tidak bermanfaat dan hanya membawa unsur pembodohan.

3. Matriks, Model, dan Varian-Varian Matriks dalam sajak ―Sajak Hoax‖ adalah orang-orang yang tak memiliki pemikiran panjang dantidak bisa menyimpan data atau rahasia. Matriks ini dirubah menjadi model dalam bentuk “kata-kata muncrat menjelma sihir provokasi, lendir agitasi, juga kedangkalan nurani menabur filsafat kebodohan dan iri dengki tanpa tandingan”, bermakna bahwa perkataan yang orang-orang ucapkan merupakan sebuah provokasi untuk mengikuti apa yang orang lain katakan yang hanya menyebarkan berita-berita tak benar dan diterima karena kurangnya pengetahuan dan acuh terhadap keadaan. Matriks tersebut adalah sebuah hipogram intern yang terdapat dalam sajak puisi yang ditransformasikan dalam bentuk varian-varian dalam bait 1, 2, 3, dan 4. Pada bait pertama, terdapat varian kepicikan gagasannya lebih durjana. Yang mengartikan bahwa orang-orang yang memiliki pemikiran yang sangat curang dengan menggunakan pemikiran dan perkataan yang digunakan sebagai cara untuk melancarkan kejahatannya. Pada bait kedua, terdapat varian jatuh cinta pada kebohongan massal. Yang mengartikan bahwa masyarakat lebih menyukai hal-hal yang disukai banyak orang meskipun itu salah bisa dianggap benar karena banyak yang mengikuti. Pada bait ketiga, terdapat varian berjubah online murahan, bersenjata kebebasan. Yang mengartikan bahwa orang-orang menggunakan media online secara negatif dan hanya menggunakan sebagai media memberikan pendapat secara bebas karena setiap manusia memiki hak untuk berpendapat yang sesuai dengan hak asasi manusia. Pada bait keempat, terdapat varian yang menebar fitnah di mata kaki. Yang bermakna bahwa penyebaran berita yang tidak benar atau bohong dimulai dari bawah yaitu kepada orang-orang yang minim akan pengetahuan dan akan mudah untuk dipengaruhi.

4. Hipogram Sebuah karya sastra, baik puisi maupun prosa,mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian.Pengaruh- pengaruh yang didapatkan pengarang dari berbagai karya sastra sebelumnya dan sezamannya tersebut membuat karya sastra hasil ciptaannya tersebut tidaklah orisinil dan hampir tidak mungkin seorang pengarang tidak terpengaruh oleh karya sastra lainnya. Puisi ―Sajak Hoax‖ memiliki kesamaan dengan puisi ―Topeng Kebohongan‖ karya Beny Guntarman yang dibuat pada 15 Juli 2014.

 42 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Pada puisi ―Topeng Kebohongan‖, memiliki kesamaan dengan puisi ―Sajak Hoax‖ yaitu dari segi tema yang sama-sama menggunakan tema berita tidak benar (hoax). Dan dari segi isi puisi juga memiliki kesamaan yang membahas mengenai berita yang tidak benar yang disebar luaskan demi mendapatkan sesuatu yang diinginkan dengan berpedoman bahwa semua orang memiliki hak untuk berpendapat. Puisi ―Sajak Hoax‖ juga bisa disamakan dengan keadaan manusia jaman sekarang yang mudah terpengaruh dengan berita-berita yang ada di sosial media dan mereka juga lebih menyukai hal-hal yang didukung secara massal tanpa harus mengerti kebenaran berita sebenarnya benar.

Simpulan Berdasarkan analisis puisi Sajak Hoax katya Sosiawan Leak yang menggunakan teori semiotika Riffaterre dengan pendekatan pragmatik, telah ditemukan ekspresi tidak langsung, pembacaan heuristik dan hermeneutik, matris, model, dan varian, dan hipogram. Jadi, puisi tersebut yang dapat dikaji menggunakan semiotika Riffaterre yang dapat dimengerti makna sebenarnya yang ada, puisi ini menceritakan mengenai manusia yang mudah untuk menerima berita-berita yang tidak benar yang merupakan hasil dari adanya fitnah yang di sebarkan melalui media online dengan banyaknya orang yang menyukai berita tersebut dan membuat berita tersebut dianggap benar karena memiliki banyak pendukung. Berita yang membuat banyak orang terlihat bodoh karena tidak mengerti mengenai berita sebenarnya yang ada. Yang pada puisi diberikan kata-kata sindiran yang tergolong frontal untuk mengungkapkan hal tersebut kepada pembaca. Kata-kata sindiran yang dipakai menjadi sebuah tanda petanda yang dapat dikaji pada semiotika Riffateree ini.

Daftar Pustaka

Leak, Sosiawan. 2018. Antologi Puisi “Sajak Hoax”. Elmatera: Maguwoharjo Yogyakarta. Pradopo, Rachmat Djoko. 1999. Humaniora. Gadjah Mada University Press: Yogjakarta. Pradopo, Rachmat Djoko. 2014. Pengkajian Puisi. Gadjah Mada University Press: Yogjakarta. Waluyo, Herman. 2003. Apresiasi Puisi untuk Pelajar dan Mahasiswa. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

 TRADISI KULINER TRADISIONAL MASYARAKAT LUMAJANG REPRESENTASI IDENTITAS BUDAYA PENDALUNGAN

Aliffiati, AA Ayu Murniasih Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah ‖reinventarisasi tradisi kuliner tradisional masyarakat Lumajang sebagai upaya pelestarian seni kuliner tradisional masyarakat dengan budaya pendalungan serta memberi manfaat besar bagi masyarakat dalam jangka panjang dalam rangka meningkatkan taraf kehidupannya―.

Tujuan tersebut hendak dicapai dengan mewujudkan target khusus penelitian, yaitu menginventarisasi berbagai tradisi kuliner tradisional yang menunjukkan jatidiri masyarakat Lumajang sebagai masyarakat dengan budaya pendalungan. Adapun hal-hal yang hendak diketahui dan dipahami dalam penelitian ini adalah sebagai berikut; (1) Bagaimanakah klasifikasi tradisi kuliner pada masyarakat Lumajang sebagai identitas budaya pendalungan ?; (2) Bagaimanakah masyarakat Lumajang dalam memanfaatkan kuliner tradisional?

Metode penelitian yang akan digunakan untuk mencapai tujuan dan target tersebut di atas adalah metode kualitatif, dan ditunjang metode kuantitatif seperlunya, berparadigma fenomenologis dan interpretatif.

Temuan penelitian, ragam tradisi kuliner tradisional masyarakat Lumajang dapat diklasifikasikan menjadi tradisi kuliner sehari-hari, tradisi kuliner terkait waktu tertentu, tradisi kuliner terkait dengan daur hidup. Masyarakat Lumajang mengembangkan kuliner tradisional sebagai salah satu komoditas bagian dari ekonomi kreatif masyarakat.

Kata Kunci : identitas budaya, pendalungan, kuliner tradisional

Pendahuluan

Kabupaten Lumajang merupakan salah satu kabupaten di wilayah provinsi Jawa Timur terletak di kawasan tapal kuda yang memiliki potensi alam khususnya potensi pangan (makanan) yang berlimpah, dibuktikan dengan lima kali memperoleh prestasi predikat sebagai kabupaten sehat untuk zona Jawa. Penilaian dari TPID yaitu Tim pengendali Inflasi Daerah didasari oleh 3 program unggulan di kabupaten Lumajang yaitu: 1) Aksi gerakan pemupukan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 43 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 44 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 organik dan benih unggul bersertifikat (Sigarpun Bulat); 2) Aksi gemar makanan pokok lokal (Si Gempal); 3) Gemar makan ikan dan pasar agropolitan.

Masyarakat Lumajang dicirikan sebagai masyarakat dengan corak budaya pendalungan yaitu pencampuran dua budaya yaitu Jawa dan Madura sehingga tergolong masyarakat bercorak multikultur karena dalam perkembangan selanjutnya tidak hanya budaya Jawa dan Madura tapi berbaur pula budaya etnis lain seperti Arab, Cina. Hal ini sangat menarik terlebih pada tradisi kuliner yang berkembang di masyarakat Lumajang yang mengambarkan pencampuran antara berbagai tradisi kuliner namun bagi masyarakat itulah tradisi kuliner yang mereka miliki yang mereka warisi secara turun temurun serta mengandung unsur kearifan lokal, meskipun pada kenyataannya tradisi kuliner tradisional mulai terpinggirkan oleh kehadiran kuliner modern.

Upaya pelestarian tradisi kuliner tradisional sebagai jatidiri masyarakat pendalungan melalui reinventarisasi makanan dengan tujuan jangka panjang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Hal-hal yang hendak diketahui dan dipahami dalam penelitian ini adalah bagaimanakah klasifikasi kuliner pada masyarakat Lumajang sebagai identitas masyarakat pendalungan dan bagaimana masyarakat memanfaatkannya. Tujuan penelitian adalah menekankan pada aspek pemahaman. Metode yang relevan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dan didukung pula dengan data kuantitatif. Lokasi penelitian dilakukan pada 3 kecamatan di kabupaten Lumajang propinsi Jawa Timur. Pemilihan lokasi penelitian karena kabupaten Lumajang salah satu daerah sumber pangan atau lumbung pangan di wilayah provinsi Jawa Timur dengan corak masyarakat dan budaya pendalungan.

Kuliner sebagai Identitas Budaya

Dua kutub besar di dalam kajian antropologi mengkaji hubungan makanan dan kebudayaan, yakni pertama, bahwa makanan merupakan unsur budaya, memiliki nilai-nilai ritual, kepercayaan dan lain sebagainya. Dalam kajian ini dikenal dengan model kognisi. Model ini menunjukkan kecenderungan kajian yang meletakkan masalah-masalah dalam mengkaji makanan adalah karena faktor kebudayaan. Faktor kebudayaan adalah satu-satunya penyebab tanpa menghubungkannya dengan faktor yang lain. Misalnya ketika melihat budaya makan suatu etnis, maka ini dikaitkan dengan nilai-nilai budaya, kepercayaan, pantangan-pantangan, tahayul, mitos dan lain sebagainya. Tema yang muncul dalam kajian seperti ini adalah peta pengetahuan. Pendekatan kedua adalah yang melihat makanan merupakan sesuatu yang tidak hanya terkait faktor kebudayaan dan ideologi semata, dimana faktor kebudayaan hanya sebagian kecil saja daripada makanan. Model ini dikembangkan oleh Jerome, Kandel dan Pelto (1980) yang dikenal dengan nama model ekologi. Ini dikarenakan adanya perubahan sosial budaya masyarakat yang menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya mengalami reduksi. Kebudayaan sejajar dengan unsur lainnya seperti organisasi sosial, lingkungan sosial, lingkungan fisik dan teknologi mempengaruhi makanan sebagai kebutuhan dasar manusia. Artinya konstribusi kebudayaan sama porsinya dengan item-item lainnya. Ini menunjukkan bahwa kebudayaan akan berubah apabila berinteraksi dengan lingkungan, sebagaimana pendekatan-pendekatan

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 45 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 ekologi deterministik melihat interaksi kebudayaan dan lingkungan. Namun seberapa jauh perubahan kebudayaan itu tidak dibahas dalam pendekatan ini. Padahal perubahan kebudayaan itu memiliki gradasi dan variasi dalam perubahannya (Bee, 1974). Kedua pendekatan akan digunakan dalam penelitian ini untuk mengkaji ragam kuliner tradisional di Lumajang dengan latar belakang budaya berbagai etnis khususnya etnis Madura dan Jawa serta bagaimana masyarakat Lumajang memaknai tradisi kuliner yang mereka miliki

Makanan merupakan pembentuk identitas etnis, yang dapat dikenali dari jenis masakannya yang memiliki karakteristik rasa yang khusus. Makanan juga sebagai pembentuk identitas individual yang berkaitan dengan klass dan gender. Goody (1982) menyebutkan bahwa sebetulnya hirarki klass, kasta, ras dan gender terbentuk melalui differensiasi kontrol terhasap akses terhadap makanan. Pola- pola konsumsi yang berbeda adalah satu dari banyak cara yang membedakan diri mereka sendiri dengan orang lain. Makanan juga mempunyai peran social sebagai sarana adat komunikasi, standar kekayaan, sebuah barometer status social, dan sebagai mediator simbolikdalam mendefinisikan dan memanipulasi kekerabatan dan hubungan sosial.

Guerrero (2009) menjelaskan bahwa, makanan tradisional atau kuliner lokal adalah produk makanan yang sering dikonsumsi oleh suatu kelompok masyarakat atau dihidangkan dalam perayaan dan waktu tertentu, diwariskan dari generasi ke generasi, dibuat sesuai dengan resep secara turun-temurun, dibuat tanpa atau dengan sedikit rekayasa, dan memiliki karakteristik tertentu yang membedakannya dengan kuliner daerah lain (seperti dikutip oleh Guerrero et al, 2009). Makanan tradisional artinya dapat dikatakan sebagai identitas lokal karena keberadaannya yang menjadi bagian dari budaya masyarakat, seperti tata cara tertentu dalam mengolah bahan makanannya, perannya dalam budaya masyarakat dan tata perayaan, serta resep yang terjaga secara turun-temurun.

Miller menggambarkan identitas budaya sebagai kondisi dimana setiap individu menerima dan menghargai perbedaan dan kearifan lokal serta mengakui hak atas perbedaan (dalam Miller, Kostogriz, & Gearon, 2009, hal.127). Orang yang memiliki identitas budaya yang kuat bersedia untuk menerima keberagaman budaya dan mampu untuk mengadakan kontak dengan budaya lain tanpa menghilangkan budayanya sendiri.

Potensi Alam dan Lingkungan Kabupaten Lumajang Kabupaten Lumajang merupakan salah satu kabupaten yang terletak dikawasan tapal kuda Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Lumajang secara geografis berada pada posisi 112o -53' - 113o -23' Bujur Timur dan 7o -54' -8o -23' Lintang Selatan. Kabupaten Lumajang diapit oleh 3 gunung berapi, yaitu gunung , gunung Bromo, dan gunung Lamongan. Luas wilayah Kabupaten Lumajang adalah 1.790,90 km2 yang terbagi ke dalam 21 kecamatan, 198 desa, 7 kelurahan, 1.749 RW dan7.023 RT, dengan jumlah penduduk sampai dengan Juni tahun 2016 adalah 1.104.759 jiwa.

Data BPS tahun 2016, menyatakan bahwa mata pencaharian penduduk sebagian besar bekerja di sektor pertanian (termasuk perkebunan, peternakan,

 46 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 perikanan, dan kehutanan) yaitu sebesar 230.656 jiwa atau 44, 51% dari jumlah penduduk usia produktif. Sebagian lainnya bekerja di sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel sebesar 94.521 jiwa (18,24%), sektor industry pengolahn sebesar 57.025 jiwa (11,00%), sektor bangunan/konstruksi sebesar 45.904 jiwa (8,86%). Sisanya bekerja di sektor transportasi, pertambangan, jasa dan keuangan. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dihitung oleh BPS tahun 2016, perekonomian kabupaten Lumajang sebagian besar ditunjang oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan (36,49%), sektor pengolahan industri (19,48%), sektor perdagangan (14,20%).

Tradisi Kuliner dalam Kehidupan Sehari-hari

Konsep makanan di masyarakat Lumajang terkait dengan kebiasan atau tradisi kuliner yang dilakukan secara turun temurun dan berkembang hingga saat ini. Konsep makan atau mangan bagi sebagian besar masyarakat Lumajang adalah ketika mereka mengkonsumsi bahan makanan pokok, seperti ungkapan berikut, ‖ wis mangan lek wis mangan sego” artinya sudah makan jika telah makan nasi. Tentunya makan nasi tidak hanya nasi saja tetapi dengan bahan pangan lainnya seperti lauk pauk dan sayur.

Sedangkan makanan non makanan pokok merupakan makanan pendamping atau sampingan atau selingan, lebih dikenal sebagai camilan atau jajan. Pendamping dari makanan pokok, selingan atau sampingan yaitu makanan yang dikonsumsi diantara pergantian waktu makan, misalnya menunggu saat sarapan, menunggu waktu makan siang. Masyarakat Lumajang pada umumnya makan tiga kali sehari yakni pagi, siang dan malam. Penyajian makan sehari-hari, cenderung menyesuaikan dengan kemampuan wilayah tempat tinggal yaitu terkait dengan sumber bahan pangan yang tersedia dan keadaan ekonomi keluarga. Pada umumnya makan pagi atau biasa disebut sarapan dengan menu yang sederhana dalam proses dan penyajian bahkan banyak diantara masyarakat yang makan pagi atau sarapan dengan konsumsi kue atau jajan didampingi dengan minum kopi, teh atau susu. Minuman kopi merupakan minuman yang banyak disukai masyarakat, demikian juga teh. Salah satu menu sarapan yang sangat populer di masyarakat adalah ketan dan kopi, yaitu beras ketan ditanak dan diatasnya ditaburi dengan kedelai yang telah dihaluskan yang dikenal dengan nama ketan bubuk, selain ketan bubuk ada juga ketan kinco yaitu ketan dengan topping kelapa parut yang telah dimasak dengan gula merah; ketan koro yaitu ketan yang dicampur dengan kacang koro. Jenis makanan ini merupakan makanan yang merakyat dan dinikmati oleh semua kalangan masyarakat, umumnya mereka peroleh dengan membeli di warung. Selain ketan, yang masih disukai oleh masyarakat adalah jajan pasar. Jenis jajan pasar yang khas di Lumajang adalah : latok, yaitu jenis makanan yang bentuknya mirip dengan kue lapis tapi berbahan tepung tapioka diberi warna merah dan hijau serta putih, dimakan dengan topping fla gula merah jawa dan kelapa parut; tawonan yaitu sejenis kue putu tetapi dicampur dengan kacang merah atau kacang tolo, buki samadengan tawonan tetapi diberi warna hitam. Lebih jelas lihat gambar berikut. Makan siang dan makan malam pada umumnya lebih bervariasi atau beragam dalam pengolahan dan penyajian. Pola makan siang dan malam masyarakat desa dengan perkotaan ada perbedaan. Masyarakat pedesaan memiliki

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 47 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 kesulitan untuk mengembangkan jenis makanan dan minuman. Jumlah makanan dan minuman yang disediakan atau konsumsi terbatas setiap harinya. Sayur biasanya hanya diambil dari hasil kebun atau ladang atau dari tanaman pagar pekarangan rumah dan tidak banyak menggunakan bumbu, dengan cara pengolahan yang sederhana sesuai dengan tata cara yang dilakukan secara turun temurun. Sebaliknya dengan masyarakat perkotaan jenis makanan, cara pengolahan dan penyajian lebih beragam. Tradisi Kuliner terkait Waktu Tertentu atau Peristiwa Tertentu Masyarakat Lumajang tergolong masyarakat yang masih memegang teguh tradisi warisan leluhur, khususnya dalam hal memperingati hari-hari atau waktu yang dianggap punya nilai tersendiri atau sakral. Peringatan hari-hari itu dilakukan dengan menyelenggarakan slametan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan. Ketika acara slametan ini disajikan beragam makanan, salah satu makanan yang hampir ada ada di setiap perayaan adalah tumpeng. Falsafah tumpeng berkaitan dengan kondisi geografis Indonesia yang dikelilingi oleh gunung. Tumpeng berasal dari tradisi masyarakat Indonesia sejak jaman dahulu sebagai bentuk memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam arwah leluhur. Kebudayaan Hindu pun berpengaruh terhadap filosofi tumpeng, bentuk tumpeng yang dicetak kerucut dimaksudkan meniru gunung Mahameru tempat bersemayamnya para dewa-dewi. Tumpeng menurut tradisi Islam-Jawa merupakan kependekan dari bahasa Jawa, yen metu kudu sing mempeng artinya harus bersungguh-sungguh dan benar. Lauk yang menyertai tumpeng biasanya berjumlah 7 dalam bahasa Jawa disebut pitu, maksudnya pitulungan atau pertolongan. Tumpeng memiliki makna sebagai permohonan kepada Tuhan agar diberi kemudahan, kebaikan dan pertolongan. Berikut beberapa waktu atau hari yang diperingati oleh masyarakat Lumajang: a. Suro, peringatan 1 Muharam (kalender Hijriyah) atau 1 Suro yaitu peringatan tahun baru berdasarkan kalender hijriyah atau sistem Qomariyah (berdasarkan peredaran bulan). Peringatan 1 Suro ini memiliki arti khusus di kalangan masyarakat Jawa, Madura atau masyarakat Lumajang, khususnya mereka yang masih menganut tradisi Kejawen. Mereka akan melakukan slametan dengan menyajikan makanan dengan menu antara lain nasi, lauk pauk berupa daging ayam dan telur, tempe tahu , sayur mayur, mie, perkedel kentang. Selain nasi, mereka membuat bubur yang biasa disebut dengan bubur suro. b. Sapar, diperingati dengan membuat bubur atau biasa disebut dengan jenang sapar atau jenang grendul. Bahan utama jenang grendul dari tepung ketan yang dibentuk bulat-bulat sebesar biji kelerng, direbus dan ditambahkan gula merah, dikonsumsi dengan topping santan kental. c. Muludan atau maulid nabi yaitu peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw, berkaitan dengan masyarakat Lumajang mayoritas beragama Islam. Muludan dirayakan dengan cara melaksanakan slametan dilakukan meramai-ramai dengan membawa makanan dan buah-buahan ke masjid atau langgar. Masing-masing warga saling menukar apa yang mereka bawa atau ijol-ijolan, kemudian setelah doa bersama maka melakukan makan bersama-sama. Tujuan peringatan ini untuk selalu ingat dan dapat mencontoh perilaku nabi. d. Megengan atau slametan menyambut datangnya bulan ramadhan. Makanan

 48 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 e. yang khas pada acara megengan adalah kue apem yang merupakan jajanan utama yang harus ada pada slametan ini. f. Riyoyo atau slametan yang dilakukan menyambut datangnya 1 Syawal, jenis makanan yang khas adalah kue apem. g. Kupatan atau slametan yang dilakukan 7 hari setelah lebaran atau tanggal 7 Syawal. Jenis masakan utama pada acara Kupatan adalah kupat yaitu beras yang dibungkus daun kelapa muda atau janur, lepet adalah ketan dibungkus janur, lontong yaitu beras dibungkus daun pisang dan pada umumnya lontong berbentuk kerucut segitiga dengan makanan pelengkap opor ayam, sambel goreng, telur petis, bubuk kedelai atau koya, kelapa parut yang digoreng tanpa minyak atau srundeng. h. Barikan atau slametan dan makan bersama yang dilakukan di perempatan desa/jalan desa dalam rangka memperingati hari penting, dalam hal ini malam menjelang 17 Agustus atau malam 16 Agustus, seluruh warga di Lumajang melaksanakan barikan.

Tradisi Kuliner dalam Daur Hidup Tradisi kuliner dalam daur hidup adalah slametan yang dilakukan terkait proses perjalanan hidup seseorang sejak dlam kandungan hingga meninggal, tujuannya untuk meminta perlindungan Tuhan agar selalu terjaga keselamatan dan tercapai kebahagian dunia akherat, antara lain: a. Slametan terkait dengan kehamilan, terdiri dari slametan ketika usia kandungan 3 bulan dan 7 bulan dan slametan ini hanya dilakukan untuk kehamilan pertama (anak pertama). Makanan yang disiapkan adalah nasi, sayur, mie, telur, daging ayam serta bubur merah. b. Slametan bayi yang baru lahir atau brokohan dengan bubur merah dan nasi kulupan (sayur urap), atau kue yang terbuat dari tepung ketan, gula merah dan dibungkus daun pisang yaitu jajan iwel-iwel. c. Slametan pupak puser yaitu ketika bayi pusarnya telah mengering dan lepas jahitannya. Makanan yang disajikan sama dengan acara brokohan. d. Sunatan atau acara khitanan anak laki-laki yaitu sebagai tanda anak laki-laki memasuki masa dewasa atau akil baliq, dilakukan slametan. e. Acara perkawinan atau slametan manten jenis makanan yang disiapkan terdiri dari makanan untuk kenduri slametan, makanan hantaran untuk calon besan, makanan sajian untuk dimakan bersama-sama f. Slametan untuk orang meninggal terdiri dari makanan ketika menggali kuburan, slametan kirim doa mulai peringatan 3 hari sampai dengan 7 hari, 40 hari, 100 hari, mendhak 1 (1 tahun), mendhak 2 (2 tahun), 1000 hari.

Perkembangan Tradisi Kuliner Tradisional Masyarakat Lumajang

Trend pembangunan di berbagai daerah era 2000 hingga sekarang adalah pengembangan pariwisata berbasis budaya, trend ini berimpas secara langsung kepada tradisi kuliner masyarakat. Kegiatan wisata yang identik jalan-jalan atau melancong secara tidak langsung berdampingan dengan kegiatan makan khususnya mencari dan menikmati makanan khas di daerah tujuan wisata. Berbagai daerah berlomba-lomba menggali makanan rakyat atau tradisional untuk

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 49 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 ditampilkan sebagai daya tarik wisata kuliner dan berupaya membuat ikon-ikon makanan khas daerah. Kuliner memiliki peranan penting dalam promosi pariwisata Indonesia dan kebudayaan Nusantara. Beberapa kuliner khas Indonesia sudah mulai terkenal hingga mancanegara. Indonesia juga disebut sebagai salah satu surga kuliner di dunia didukung dengan letak kepulauan Nusantara yang subur dalam menghasilkan sumber daya alam sebagai bahan pangan yang berkualitas.

Tradisi kuliner tradisional masyarakat Lumajang mengalami perkembangan seiring berkembangnya jaman dan masyarakat serta budaya. Kultur masyarakat pendalungan yang merupakan masyarakat campuran atau embeded menjadikan masyarakat Lumajang pada umumnya bersikap terbuka terhadap pendatang dan budaya serta perubahan. Kondisi ini berdampak hampir di segala bidang kehidupan demikian juga dengan budaya kuliner di masyarakat. Tradisi kuliner tradisional masyarakat Lumajang merupakan salah satu aset atau potensi yang bisa dikembangkan sebagai sub sektor ekonomi kreatif dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terlebih dengan dikembangkannya daerah Lumajang sebagai daerah tujuan wisata di provinsi Jawa Timur, maka tradisi kuliner akan ikut berkembang sebagai wisata kuliner. Kondisi ini disadari oleh pemerintah daerah, melalui berbagai kebijakan (sebagai regulasi) yang bertujuan untuk mengembangkan potensi kuliner tradisional dari ranah domestik ke ranah publik yaitu dari hidangan keluarga dan hajatan atau ritual menjadi bernilai ekonomi menambah pendapatan keluarga.

Ikon Lumajang sebagai Kota Pisang sudah lama dikenal, karena memang daerah Lumajang banyak menghasilkan aneka ragam jenis pisang dan salah satunya yang merupakan ciri khas pisang dari Lumajang adalah Pisang Agung. Upaya memperkuat identitas sebagai kota pisang maka hampir di setiap sudut kota khususnya tempat-tempat yang strategis didirikan patung pisang agung, bahkan taman kantor bupati dihiasi dengan patung pisang agung. Pisang agung ini diolah oleh masyarakat menjadi produk olehan pangan berupa kripik pisang agung. Kripik pisang agung banyak diproduksi oleh masyarakat di daerah Senduro sebagai salah satu produk UMKM. Kripik pisang agung merupakan salah satu produk olahan pangan andalan kabupaten Lumajang dan telah menjadi salah satu oleh-oleh khas dari Lumajang. Selain pisang agung adalah jeruk siam (dari garut) yang oleh masyarakat lebih dikenal dengan nama jeruk Lumajang dan masih banyak lagi jenis makanan atau kuliner masyarakat yang berkembang menjadi komoditas ekonomi.

Pemerintah daerah melalui Tim Penggerak PKK kabupaten secara berkesinambungan melakukan berbagai kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan potensi kuliner lokal. Salah satunya adalah lomba makanan khas Lumajang yang diikuti oleh semua kecamatan di Kabupaten Lumajang. Kekayaan kuliner di kabupaten Lumajang yang berlimpah, hampir di setiap desa di wilayah kabupaten Lumajang memiliki makanan khas yang merupakan tradisi kuliner tradisional, namun seiring perkembangan jaman keberadaannya hampir hilang atau bahkan punah. Harapan dari kegiatan ini mampu mengenalkan dan

 50 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 mengangkat makanan khas kabupaten Lumajang untuk menjadi satu potensi wisata kuliner di kabupaten Lumajang.

Lomba kuliner ini didasarkan pada kriteria penilaian yaitu penampilan, kreatifitas, gizi dan resep. Setiap kuliner yang dilombakan selain mencantumkan resep juga harus dijelaskan tentang sejarah makanan, latar belakang keberadaan makanan yang menjadi khas suatu wilayah. Lomba ini memperkenalkan 21 makanan khas yang berasal dari 21 kecamatan di wilayah kabupaten Lumajang. Contohnya beberapa makanan tradisional yang berasal dari daerah Ranuyoso Kecamatan Klakah. yaitu rujak nangka muda yang dari dulu hingga sekarang tetap menjadi makanan rakyat atau makanan tradisional, bahkan sekarang sudah dijual di warung-warung. Nangka muda banyak ditemukan di Ranuyoso hampir setiap rumah memiliki tanaman nangka ini. Makanan khas wilayah di kecamatan lain juga banyak diantaranya krecek bung yaitu makanan dengan bahan baku utama dari tunas bambu muda atau rebung. Makanan tersebut ada kalanya disajikan saat acara sedekah desa dan acara selamatan selapanan bayi.

Selain melalui lomba kuliner tradisional, pemerintah daerah juga memfasilitasi para warga masyarakat yang membuka usaha makanan dengan memberikan satu lokasi atau tempat mereka membuka usaha sebagai kawasan kuliner di kota Lumajang. Lesehan Stadion Semeru (LSS) atau sering juga dikenal dengan nama Lesehan Taman Toga merupakan salah satu tempat destinasi wisata kuliner yang bisa dikunjungi oleh wisatawan baik lokal maupun internasional saat berlibur di Lumajang. Tujuan didirikannya LSS adalah mengurangi pengangguran dan sebagai penunjang kehidupan masyarakat Lumajang sebagai wujud keperpihakan pemerintah dengan ekonomi kerakyatan. LSS berlokasi di Jl. Gajah Mada atau di areal bagian belakang dari stadion dan berada di lingkungan hutan kota. Tempatnya cukup strategis relatif di tengah kota, dekat daerah perkantoran, pendidikan dan perumahan penduduk. Pemerintah kota menyediakan 30 lapak untuk pedagang makanan, meskipun kenyataannya yang berdagang lebih dari 30 pedagang makanan dan minuman. Aneka menu kuliner, mulai dari masakan tradisional hingga masakan kekinian ditawarkan oleh para pedagang kepada pengunjung. Saat malam Minggu LSS ramai pengunjung, terutama para kaum muda. Selain lapak dan pedagang kaki lima, di sepanjang jalan Gajah Mada telah banyak berdiri tempat-tempat jajanan yang bergaya kota atau modern seperti café, restaurant yang biasanya pengunjungnya kalangan anak muda dan masyarakat kelas menengah ke atas.

Perkembangan wisata kuliner di wilayah Lumajang berkembang pesat, ditunjang dengan berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pihak swasta atau kerjasama antara pemda dan swasta serta yang paling menentukan adalah semangat dari para warga untuk mengembangkan kuliner mereka sebagai asset ekonomi. Hampir di setiap pusat-pusat perdagangan baik di ibukota kabupaten maupun kecamatan bermunculan dan berkembang kedai – kedai, warung warung makanan lesehan dengan menu yang bervariasi dari makanan tradisional, hingga modern. Kondisi ini sangat beralasan karena kultur masyarakat Lumajang secara umum adalah masyarakat yang terbuka, mudah menerima berbagai unsur dari luar, ulet dalam berusaha khususnya dicirikan oleh etnis

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 51 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Madura yang lebih banyak berusaha di sektor perdagangan selain pertanian. Berbagai makanan yang dahulunya merupakan makanan rumahan yang sebatas untuk pemenuhan pangan keluarga saat ini sudah berkembang menjadi komoditas bagian dari ekonomi kreatif masyarakat Lumajang, contohnya nasi jagung.

Nasi jagung yang merupakan makanan pokok etnis Madura, saat ini menjadi ciri khas menu makanan lesehan di Lumajang. Nasi jagung menjadi trend kekinian masyarakat kota Lumajang, mereka tidak malu bahkan dengan bangga mengkonsumsi makanan ini. Meskipun hanya sebagai makanan selingan tapi makanan ini menjadi popular di kalangan anak muda. Selain alasan kesehatan , mengenang romantisme masa lalu menjadi alasan generasi tua mengkonsumsi makanan ini. Situasi ini ditunjang dengan gerakan penganekaragaman makanan pokok non beras yang dicanangkan oleh pemerintah daerah dan dimanfaat oleh masyarakat sebagai peluang bisnis, sehingga banyak dijumpai warung-warung nasi jagung.

Selain nasi jagung kuliner yang juga banyak diminati oleh masyarakat Lumajang adalah minuman Wedang Angsle. Minuman yang berkomposisi dari santan, gula, ketan, kacang hijau dan roti ini memang benar-benar mantap jika disajikan saat suasana dingin. Rasanya yang tidak terlalu manis dan tidak berat, ditambah lagi dengan rasa rotinya yang lembut membuat beberapa orang menggemarinya. Minuman ini merupakan salah satu minuman tradisional etnis Jawa, merupakan perpaduan antara berbagai jenis bahan dengan citarasa yang khas rasa jahe yang menghangatkan. Minuman ini biasa dikonsumsi malam hari untuk menghangatkan badan serta untuk menghilangkan rasa lapar selain dahaga tentunya.

Penutup

Tradisi kuliner masyarakat pada umumnya selalu memiliki keunikan akibat dari pengaruh lingkungan, karena tradisi kuliner merupakan salah satu dari cerminan budaya masyarakat. Tradisi kuliner tidak hanya terkait dengan masalah makanan atau konsumsi bahan pangan namun lebih dari itu kearifan lokal terkandung di dalam tradisi kuliner tradisional suatu masyarakat. Tradisi kuliner masyarakat Lumajang merupakan salah satu masyarakat dengan budaya pendalungan yaitu pencampuran antara budaya Jawa dan Madura memiliki tradisi kuliner tradsisional yang unik.

Secara umum tradisi kuliner tradisional masyarakat Lumajang sama dengan pada umumnya tradisi kuliner masyarakat Jawa dan Madura. Tradisi kuliner masyarakat Lumajang sangat beragam, secara khusus dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu tradisi kuliner sehari- hari dan tradisi kuliner terkaitan dengan perayaan atau syukuran atau slametan. Tradisi kuliner terkait dengan perayaan secara khusus dibedakan menjadi 2 yaitu tradisi kuliner terkait memperingati waktu atau peristiwa yang dianggap penting, tradisi kuliner terkait dengan daur hidup.

Trend pembangunan dan pengembangan pariwisata di Lumajang berdampak terhadap perkembangan tradisi kuliner tradisional. Potensi dan peluang ini

 52 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 menjadi masyarakat Lumajang mengembangkan kuliner yang mereka miliki sebagai sebagai salah satu komoditas bagian dari ekonomi kreatif, melalui kegiatan mandiri maupun dengan bantuan pemerintah dan pihak swasta. Pemerintah daerah secara aktif bekerjasama dengan swasta melalui berbagai kebijakan dan kegiatan mengembangkan potensi kuliner tradisional dari ranah domestik ke ranah publik yaitu dari hidangan keluarga dan hajatan atau ritual menjadi bernilai ekonomi menambah pendapatan keluarga.

Pengembangan kuliner tradisional harus terus dilakukan baik oleh masyarakat dengan pemerintah sebagai pengambil kebijakan dengan tetap memperhatian nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalam tradisi kuliner tradisional agar jangan diabaikan. Perlu dilakukan upaya untuk mendokumentasikan dan menginventarisasi ragam kuliner tradisional yang ada di masyarakat Lumajang agar generasi muda lebih mengenalnya, karena banyak kalangan generasi muda yang mulai tidak mengenal ragam kuliner tradisional.

DAFTAR PUSTAKA

Baharsyah dan Karana 2003 Pengembangan Pangan Tradisional dalam Rangka Penganekaragaman Pangan. Jakarta: Departemen Pertanian. Budi, Noor Sulistyo Bringeus, Nils-Arvid. 1975 Food and folk belief: on boiling blood sausage gastronomi the anthropology of food and food habits. Margaret L Arnott (ed) Paris: Mouton Pubhlisher Douglas, Mary. 1971 Dechipering a meal, myth symbol and culture. C Geertz (ed) New York: W.W.Norton & Company, Inc. Foster, G. M., Anderson, B. G. Ernayanti, dkk 2003 Ensiklopedi Makanan Tradisional (Di Pulau Jawa dan Pulau Madura). Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Gardjito, Murdijati. dkk 2016 Kuliner Yogyakarta Pantas Dikenang Sepanjang Masa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hatley, Ron. 1984. Mapping cultural regions of ‖, editor Ron Hatley dalam Other away from the Kraton. Clayton, Australia: Monash University. Hidayat, Mansur 2013. Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang Juru Menafsir Ulang Sejarah Majapahit Timur. Denpasar: Pustaka Larasan Hirschoff, Paula, M. dan Kotler, N. G. 1989 Completing the food chain. Washington & London: Smithsonian Institusion Press. Jerome, Norge W & Randy F. Kandel & Gretel H Pelto. 1980 Nutritional anthropology, contemporary approaches to diet and culture. USA: Redgrave Publishing Company Makfoeld, D., dkk. 2002. Kamus Istilah Pangan dan Nutrisi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 53 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Maryoto, Andreas. 2009 Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Nurti, Yevita 2017 Kajian Makanan Dalam Perspektif Antropologi dalam Jurnal Antropologi, Vol. 19 (1),hal. 1-10 Rahman, Fadly 2016 Jejak Rasa Nusantara Sejarah Makanan Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Suryadarma, P. P., & Swasono, M. F. 1986 Antropologi kesehatan. Penerbit Universitas Indonesia. Sutarto, Ayu. 2006. Sekilas tentang Masyarakat Pandalungan. Makalah disampaikan pada acara pembekalan Jelajah Budaya, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 7-10 Agustus Tajudin, Qaris., dkk. 2015 Antropologi Kuliner Nusantara (Seri Buku Tempo). Jakarta : PT Gramedia Tim Tempo 2015. Antropologi Kuliner Nusantara Ekonomi, Politik dan Sejarah di Belakang Bumbu Makanan Nusantara. Jakarta: PT. Gramedia.

 PERANAN MADE ADA DALAM PERUBAHAN EKONOMI DI DUSUN PAKUDUI TEGALALANG GIANYAR (1984-2018)

Anak Agung Inten Asmariati Program Studi Sejarah Fakultas Ilmu budaya Universitas Udayana [email protected]

ABSTRAK

Sebelum Bali dikenal sebagai daerah wisata, kehidupan ekonomi masyarakatnya sebagian besar bergerak di sektor agraris. Untuk daerah pegunungan perekonomian masyarakatnya tidak hanya ditopang dari sektor pertanian, tetapi juga dari hasil-hasil perkebunanan, seperti kopi, cengkeh, jeruk, dan kelapa. Salah satu daerah pegunungan, yaitu di Dusun Pakudui Tegalalang, daerah ini merupakan daerah yang sejuk dengan menghasilkan biji kopi,kelapa yang pemasarannya hingga ke Denpasar. Tulisan ini mengulas bagaimana peranan Made Ada dalam perubahan perekonomian di dusun Pakudui Tegalalang Gianyar. Berawal pada tahun 1984, terjadi perubahan mata pencaharian penduduknya yaitu sebagai pengrajin patung. Ketekunan Made Ada mengembangkan seni patung yaitu patung . Keberanian dia berguru hingga ke desa mas dan mengembangkan seni patung garuda hingga melambungkan namanya ke mancanegara. Melalui Bapak Kembar Kerepun yang pada waktu itu menjabat sebagai bupati Gianyar memperkenalkan karya-karya Made Ada ke Istana Negara. Hasil karya Ada yang menarik minat presiden Soeharto, sehingga Bapak Presiden memesan 25 patung ukuran sedang untuk di istana negara dan 100 patung kecil untuk di Taman Mini Indonesia. Pesanan ini dikerjakan dengan baik melibatkan tenaga-tenaga ukir dari dusun Pakudui. Made Ada tidak mau mengambil tenaga pengrajin selain dari dusunnya sendiri. Dalam perkembangan, lambat laun Bali semakin di kenal tidak hanya keindahan alam begitu pula dengan kebudayaannya. Hal inilah yang berhasil dimanfaatkan Made Ada untuk menjadikan dusunnya sebagai daerah penghasil patung garuda. Diberikan pelatihan gratis oleh Made Ada pada generasi muda setempat, dan dilibatkan mereka dalam setiap pesanan patung garuda yang diterima Ada. Kegiatan ini menjadikan mata pencaharian tambahan bagi masyarakat di dususn Pakudui, ini berlangsung hingga sekarang. Dan melalui kegiatan ini mampu meningkatkan perekonomian keluarga masyarakat Pakudui.

Kata Kunci: Peranan Made Ada, Perubahan Ekonomi, Dusun Pakudui.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 54 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 55 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

I PENDAHULUAN

1.Latar belakang Dusun Pakudui merupakan wilayah yang berada di desa Kedisan Kecamatan Tegalalang Kabupaten Gianyar. Daerah ini merupakan daerah pegunungan dengan hawanya yang sejuk. Kehidupan masyarakatnya sebagian besar mata pencaharian mereka sebagai petani. Selain itu, wilayah ini merupakan salah satu wilayaj penghasil kopi. Ada juga yang menjadi tukang bangunan dan pengrajin patung. Keluarga Bapak Made Ada sangat terkenal sebagai pengrajin patung, terutama karya kakeknya yang sering digunakan oleh masyarakat setempat untuk menghiasi rumah mereka yaitu di bale dangin. Tanpa Made Ada sadari kegiatan kakeknya inilah yang kemudian menjadikan dia terkenal di bidang seni patung dan di sebut sebagai maestro. Keterbatasan ekonomi yang dialami keluarga Made Ada menjadikan seorang Ada yang ulet dan tekun. Keterlibatan Made Ada kecil dalam pekerjaan kakek dan ayahnya menghambat pendidikan Ada. Untuk menyelesaikan bangku Sekolah Dasar menemuh waktu hingga 10 tahun. Hal itu diselesaikan melalui timbal balik yang di minta oleh guru laki-laki di sekolah Ada agar mereka diajari seni patung. Keahlian yang dimili Made Ada di dengar oleh Bapak Ida bagus Tilem yang terlebih dulu di kenal mancanegara sebagai ahli patung modern. Diajaklah Ada untuk bekerja di galery Ida bagus Tilem di desa Mas Gianyar. Kepiawaian Ada dalam seni patung semakin terasah, kemudian Adapun dilibatkan oleh bupati Gianyar saat itu Bapak kembar Kerepun untuk menghiasi Istana Negara dengan patung garuda karya Made ada Berkembangnya keahlian Made Ada pada seni patung memberi dampak yang positip pada sektor ekonomi bagi masyarakat dusun Pakudui. Ana-anak mulai dilatih sebagai pematung dan ibi-ibi rumah tangga mereka sebagai tukang amplas patung.untuk mengisi waktu senggang mereka di sela-sela kesibukan sebagai ibu rumah tangga. Pada tahun 1980-an daerah Pakudui mulai dikunjungi wisatawan asing untuk melihat keindahan alam terutama sawah dengan teraseringnya. Terputusnya jalan yang menghubungkan dusun Pakudui dengan jalan utama menghambat perkembangan Pakudui untuk dikunjungi wisatawan asing. Melalui dana Made Ada dan swadaya masyarakat di dusun tersebut maka dibutkanlah jembatan penghubung secara permanen. Dengan adanya jembatan ini, maka semakin lancar perekonomian masyarakatnya terutama dalam memasarkan hasil pertanian dan perkebunan mereka. Tulisan ini, memberikan gambaran tentang bagaimana peranan Bapak Made Ada dalam perubahan ekonomi mayarakat dusun Pakudui dari tahun 1984 sebagai awal penelitian karena di tahun inilah karya-karya Made Ada di kenal dan pesanan yang di dapat dari istana negara melibatkan tenaga-tenaga dari dusun Pakudui. Dengan batas akhir tulisan di tahun 2018 dengan data lapangan berupa wawancara hingga tahun tersebut.

 56 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

II PEMBAHASAN

2.1 Perubahan Ekonomi di Dusun Pakudui Dalam konsep kebudayaan, sistem budaya adalah seperangkat pengetahuan yang melingkupi pandangan hidup, keyakinan, nilai norma, aturan, hukum yang menjadi milik suatu masyarakat melalui suatu proses belajar yang kemudian diacu untuk menata, menilai dan menginterpretasikan sejumlah benda dan peristiwa dalam berbagai aspek kehidupan dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan (Melalatoa,1997 dalam Sudhana Astika,2008:40). Batasan ini memberikan sebuah pengertian atas beberapa konsep penting seperti: pengetahuan, keyakinan, nilai, norma, aturan dan hukum yang ada dalam kehidupan masyarakat atau suatu komunitas. Pada kehidupan komunitas masyarakat desa di Bali bekerja adalah bagian dari yadnya. Dalam bekerja akan berhubungan dengan mata pencaharian masyarakatnya. Jenis-jenis mata pencaharian biasanya bergantung pada wilayah di mana tinggal. Masyarakat yang tinggal di daerah pantai cenderung mata pencahariannya sebagai nelayan. Begitu pula yang tinggal di daerah pegunungan sebagian besar bergerak di sektor pertanian, peternakan dan juga perkebunan. Begitu pula dengan wilayah Dusun Pakudui Kedisan Tegalalang, wilayah ini terletak di daerah pegunungan dan mata pencaharian masyarakatnya dominan dari sektor pertanian. Hasil perekonimian masyarakatnya tidak saja dari hasil pertanian juga dari hasil perkebunan dan peternakan. Dusun Pakudui di kenal sebagai sentra penghasil patung garuda, namun sebelum Pulau Bali berkembang sebagai daerah pariwisata, kehidupan perekonomian masyarakatnya di topang dari sektor pertanian, perkebunan dan juga peternakan. Kondisi wilayah Pakudui pada tahun 80-an sulit untuk diakses karena jembatan yang menghubungkan Dusun Pakudui dengan jalan utama yang menuju Gianyar atau Denpasar. Perubahan ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat Pakudui, tidak terlepas dari peranan Made Ada melalui hasil-hasil karyanya yang dikenal hingga ke Mancanegara. Bila kita merujuk pada teori perubahan situasi ekonomi, menitikberatkan pada mekanisme transformasi yang dialami oleh dualism, yang semula bersifat subsistem dan menitikberatkan pada dualis tradisional menuju ke situasi lebih modern yang didominasi oleh dualis sektor non-primer khusunya dualism jasa. Masyarakat Pakudui bisa dikatakan telah mengalami transformasi ekonomi dari masyarakat agararis ke industrialis. Namun tidak sepenuhnya mereka meninggalkan kegiatan mereka pada sektor pertanian. Masyarakat Pakudui memandang pertanian sebagai sektor utama perekonomian mereka, karena keberadaan sawah yang mereka miliki merupakan warisan keluarga dan mereka masih memandang tabu untuk menjual harta warisan keluarga.

2.2 Faktor Penyebab Perubahan Ekonomi di Dusun Pakudui Perubahan ekonomi bisa juga disebut sebagai pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai proses perubahan kondisi perekonomian suatu wilayah secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama peride tertentu. Perubahan ekonomi dapat diartikan juga sebagai

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 57 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan masyarakat. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan ekonomi di Dusun Pakudui yaitu; (a), faktor Sumber Daya Manusia. Sumber daya manusia selaku subjek perubahan memiliki kompetensi yang memadai untuk melaksanakan proses perubahan. Ini merujuk pada tokoh Made Ada selaku subjek di Dusun Pakudui telah memberikan kontribusi positif terhadap perubahan ekonomi masyarakatnya. (b), Faktor sumber daya alam. Sebagian besar wilayah di Dusun Pakudui menggunakan sumber daya alam dalam melaksanakan proses perubahan ekonomi. Namun demikian, sumber daya alam saja tidak menjamin keberhasilan proses perubahan ekonomi apabila tidak di dukung oleh kemampuan sumber daya manusianya dalam mengelola sumber daya alam yang tersedia. (c), Faktor ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat mendorong adanya percepat proses perubahan ekonomi seperti pergantian pola kerja, pemanfaatan media sebagai sarana promosi, kualitas dan kuantitas serangkaian aktivitas yang dilakukan dan pada akhirnya berakibat pada percepat lajunya perubahan ekonomi. Faktor ini dimanfaatkan oleh Made Ada untuk mempromosikan karya-karyanya melalui media cetak, elektronok maupun penempatan brosur di daerah destinasi wisata. (d), Faktor Budaya; Faktor budaya memberikan dampak tersendiri terhadap pertumbuhan ekonomi yang dilakukan. Faktor budaya memberikan dampak tersendiri terhadap erubahan ekonomi yang dilakukan. Faktor ini dapat berfungsi sebagai pembangkit atau pendorong proses pertumbuhan tetapi dapat juga menjadi penghambat. Budaya yang dapat mendorong diantaranya sikap kerja keras dan kerja cerdas, jujur, ulet dan sebagainya. Adapun budaya yang dapat menghambat diantaranya sikap anarkis, egois, boros dan sebagainya. Justru dari dua hal di atas sikap yang dimiliki oleh penduduk Pakudui cenderung mereka pekerja keras dan ulet, berangkat dari keinginan mereka memperbaiki perekonomian keluarga dan meningkatkan kualitas keluarga. (e), Sumber daya modal. Sumber daya modal dibutuhkan manusia untuk mengolah sumber daya alam dan meningkatkan kualitas IPTEK. Sumber daya modal berupa barang-barang modal sangat penting bagi perkembangan dan kelancaran perubahan ekonomi karena modal juga dapat meningkatkan produktivitas. Modal skill seni ukir yang dimiliki made Ada kemudian dikembangkan dengan memberikan pelatihan gratis kepada generasi muda di Pakudui. Akses ini disalurkan dengan hasil-hasil karya dikenalkan ke istana negara dan juga ke mancanegara.

III PENUTUP Kelebihan yang dimiliki Made Ada di bidang seni ukir dapat dimanfaatkan secara baik oleh Made Ada. Pariwisata memiliki peranan penting dalam mengenalkan hasil-hasil karya Made Ada. Namun hal ini tidak dinikmati sendiri oleh Ada namun juga melibatkan masyarakat Pakudui, baik tenaga laki-laki maupun perempuan. Ini memberikan dampak positip terhadap perekonomian masyarakat Pakudui, sehingga mampu meningkatkan taraf hidup keluarga mereka.

Daftar Pustaka Burke, Peter. Sejarah dan Teori Sosial. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2011

 58 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Griya, Wayan. Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal, Nasional dan Global. Denpasar: Upada Sastra. 1996.

Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta Tiara Wacana. 2003

Nordholt, Henk Schulte, Bali Benteng Terbuka 1995-2005. Pustaka Larasan. KITLV-Jakarta.2007

Pitana, I Gde (ed). Dinamuka Masyarakat dan Kebudayaan Bali (sebuah ontologi), Balai Pustaka. 1994.

Soekanto,Soejono. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Dian Rakyat, 1985.

 RIAK GELOMBANGRESILIENSI KELUARGA ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ) DALAM BALUTAN ASPEK BUDAYA BALI

Bambang Dharwiyanto Putro Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [email protected]

ABSTRAK

Keluarga yang memiliki anggota keluarga orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) mengalami beban berat dan berbagai macam bentuk stres yang mengakibatkan kondisi ini sulit untuk dihadapi. Hal ini dipengaruhi oleh isolasi sosial, stigmatisasi dan beban psikologis serta beban ekonomi yang makin meningkat. Namun disisi lain keluarga tetap berharap penderita dapat sembuh total.Pribadi yang mampu bertahan dalam kondisi sulit tersebut disebut dengan pribadi yang memiliki resiliensi. Resiliensi dilihat sebagai kualitas pribadi yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan, baik internal maupun eksternal, tetapi juga pada akhirnya mereka dapat menjadi lebih kuat dari pada sebelumnya.

Di Bali menurut kepercayaan orang Bali yang beragama Hindu terdapat suatu konsep bahwa sehat sakit terjadi bila tidak ada keseimbangan ketiga unsur yaitu Buana Alit, Buana Agung dan Sang Hyang Widhi Wasa sebagai faktor sekala atau niskala yang dapat menimbulkan gengguan pada manusia. Kepercayaan ini yang menyebabkan penderita atau keluarga akan mengunjungi atau balian untuk mendapatkan petunjuk atau pengobatan. Begitu pun setelah penderita keluar dari rumah sakit, sebagian besar penderita berobat ke dokter dan balian dan ada yang lebih sering ke balian saja atau dokter saja. Jika mereka kambuh maka sebagian besar datang ke balian. Balian mampu mempengaruhi pasien dan keluarganya dan kebanyakan percaya dengan yang dinyatakan balian. Terlihat bahwa peranan budaya Bali khususnya yang ada kaitannya dengan terjadinya gangguan jiwa perlu mendapat perhatian khusus.

Penulisan artikel ini ingin menunjukkan rekomendasi untuk perawatan potensial yang dapat menolong dalam tahap penyembuhan atau pemulihan paling tidak sebagai tambahan pengalaman.

Kata Kunci: resiliensi, sehat-sakit, balian, aspek budaya

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 59 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 60 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

1. Pendahuluan Proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi informasi memberi dampak terhadap nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat. Sementara tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama untuk menyesuaikan dengan berbagai perubahan tersebut. Akibatnya, gangguan jiwa saat ini telah menjadi masalah kesehatan global.Lebih dari 450 juta penduduk dunia hidup dengan gangguan jiwa. Secara global angka kekambuhan pada pasien gangguan jiwa ini mencapai 50% hingga 92% yang disebabkan karena ketidakpatuhan dalam berobat maupun karena kurangnya dukungan dan kondisi kehidupan yang rentan dengan meningkatan stress (Sheewangisaw, 2012: 1-10). Penderita gangguan jiwa di Indonesia berdasarkan data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2007 melaporkan angka gangguan jiwa berat (skizofrenia) 4-6 per 1000 penduduk. Sebelumnya angka kelainan jiwa (psikosis) di Indonesia diperkirakan sebesar 1-3 per 1000 penduduk. Gangguan mental emosional hasil Riskedas 11,6%. Sebelumnya gangguan jiwa (neurosis) termasuk neurosis cemas, obsesif, hysteria, serta gangguan kesehatan jiwa psikosomatik/psikofisiologik sebagai akibat tekanan hidup berkisar antara 20-60 per 1000 penduduk.Demikian pula halnya dengan ketergantungan obat, kenakalan remaja, dan penggunaan atau ketergantungan alkohol serta penyimpangan perilaku manusia (Depkes RI.KMK. No. 1627/Menkes/SK/XI, 2010: 2). Banyak peraturan perundangan di bidang kesehatan yang telah disusun oleh pemerintah mulai dari UU.No. 3 Tahun 1966 tentang kesehatan jiwa, UU. No. 36 Tahun 2009, hingga peraturan dan keputusan menteri dengan tujuan untuk mengatur upaya-upaya kesehatan jiwa. Namun dalam pelaksanaannya, sistem perundang-undangan yang berlaku hingga saat ini belum cukup banyak membantu dalam hal peningkatan upaya layanan kesehatan jiwa.Penderita gangguan jiwa, selanjutnya disebut Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) seringkali menjadi korban ketidakadilan dan perlakuan yang semena-mena oleh masyarakat. Dari data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI (2013), diketahui bahwa Provinsi Bali masuk dalam daftar lima besar gangguan jiwa berat terbanyak di Indonesia, yaitu masing-masing DI Yogyakarta (2,7%), DI Aceh (2,7%), Provinsi Selatan (2,6%), Provinsi Bali (2,3%), dan Provinsi Jawa Tengah (2,3%) (Riskedas, 2013: 126). Di daerah Bali jumlah angka gangguan jiwa yang dipasung di masyarakat menunjukkan masih terjadi peningkatan kasus dari tahun ke tahun. Pada tahun 2016 lalu di Bali tercacat 32 kasus pemasungan penderita gangguan jiwa yang berhasil ditangani. Jumlah itu justru meningkat tiap tahunnya. Berbagai cara dan upaya strategi keluarga ODGJ untuk mengobati anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa seakan tak pernah berhenti. Mencoba dari satu pengobatan ke pengobatan lainnya baik pengobatan tradisional (rumah tangga, kedukunan) ataupun pengobatan modern (rumah sakit jiwa) secara tumpang tindih. Pelayanan kesehatan tradisional yang sudah mengakar di Indonesia umumnya dan di Bali khususnya sejak dahulu tetap dikunjungi oleh masyarakat. Sesuai dengan Alma Alta Declaration1978 disepakati bahwa semua kemampuan yang ada dimanfaatkan untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada seluruh anggota masyarakat. dengan demikian disamping usaha kesehatan formal perlu dipikirkan potensi-potensi lain dalam masyarakat anatara lain pengobat tradisional dalam upaya pelayanan kesehatan dalam batas-batas

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 61 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 tertentu (Nala, 1997). Pengobat tradisional merupakan cara penatalaksanaan menurut azas kebudayaan yang berlaku untuk tempat tertentu (bukan neotradisional yang menggunakan listrik, akupunktur dllnya). Dukungan dan penyertaan keluarga dari pasien-pasien dengan spektrum dari gangguan jiwa yang dialami dalam program manajemen penyakit menunjukkan hasil yang bagus dalam aspek psikopatologi, relaps, rehospitalisasi dan fungsi sosialnya (Sumantra, 2005).Walaupun adanya penemuan farmakoterapi terbaru, kehidupan beberapa orang dengan skizofrenia seringkali mengalami kekambuhan, perawatan berulang-ulang dirumah sakit, penyesuaian kehidupan sosial yang buruk dan kualitas hidup yang tidak memuaskan. Efek yang kurang optimal dari pengobatan yang terbaru walaupun sudah dikombinasikan dengan terapi psikososial menyebabkan perlunya pengembangan dari intervensi bio-psiko-sosial-spiritual terbaru.

2. Metodologi Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang lebih menekankan pada deskripsi yang bersifat emik, etik, holistik dan mendalam (thick description).Menurut Moleong (2014), penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh informan penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi secara holistik. Pendekatan penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi. Pendekatan fenomenologi berfokus pada pengalaman fenomenologikal dan suatu studi tentang kesadaran dan perspektif pokok dari seseorang (Moleong, 2014).

3. Hasil dan Pembahasan Sistem-sistem medik tradisional dalam kenyataannya masih tetap hidup, tidak terhapuskan oleh praktik-praktik biomedik kedokteran yang makin mengalami perkembangan. Kenyataan inilah yang menunjukkan bahwa pelayanan dan perawatan kesehatan merupakan fenomena sosial budaya yang kompleks. Usaha penyembuhan penyakit oleh keluarga penderita tidak hanya dilakukan di puskesmas, rumah sakit, dokter praktik umum dan spesialis, tetapi dapat pula dilakukan secara tradisional (Kasniyah, 1985:71). Ditambahkan oleh Connor bahwa untuk sebagian besar orang atau masyarakat Bali mempunyai kecenderungan untuk memanfaatkan sistem pelayanan kesehatan modern apabila sakit. Akan tetapi, tidak dapat dimungkiri pula secara relatif masih banyak masyarakat juga mendatangi praktisi medis tradisional (prametra) dalam suatu kasus penyakit tertentu atau masalah-masalah kesehatan yang tidak dapat diatasi melalui sistem pelayanan kesehatan modern (Connor, 1982:3). Sependapat dengan Connor, Nala menyatakan bahwa dalam kehidupan masyarakat Bali umumnya untuk mencari pemecahan masalah kesehatan dan usaha-usaha dalam sistem pelayanan kesehatan (health care system), sistem pengobatan tradisional masih merupakan pilihan yang sangat penting di samping pengobatan modern (Nala, 1997:6--10). Pengambilan keputusan dalam memilih sumber pengobatan ini dijadikan pedoman dalam perilaku kesehatan oleh masyarakat. Diketahui bahwa perilaku perawatan tradisional (yang dijadikan pilihan pengobatan oleh keluarga penderita) terbagi dalam dua pilihan perawatan

 62 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 kesehatan, yaitu pilihan perawatan rumah tangga (home remedies) dan pilihan perawatan kedukunan (folk sector). Kedua sistem perawatan ini dalam pelaksanaan pengobatan ataupun perawatan terhadap si sakit memenuhi indikator pelaksanaan perawatan/pengobatan tradisional. Adapun indikator yang dimaksud, antara lain penyembuhan dengan jalan mengurut atau memijat anggota tubuh, meracik berbagai ramuan khusus, obat-obatan yang terbuat dari tumbuh- tumbuhan, penggunaan mantra dan jimat, serta berbagai halangan/pantangan (tabu). Bentuk pelaksanaan pengobatan ataupun perawatan pada sistem perilaku perawatan tradisional tersebut sudah pasti tidak ditemukan dalam sistem perilaku perawatan kesehatan modern/profesional (kedokteran). Pada masyarakat Bali yang beragama Hindu, berobat ke Battra (pengobatan tradisional yang terkenal dengan sebutan Balian, Tapakan atau Jero Dasaran, masih merupakan pilihan yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja.Penyakittidak hanya merupakan gejala biologis saja, tetapi memiliki dimensi yang lain yakni sosial dan budaya. Itulah sebabnya untuk menyembuhkan suatu penyakit tidaklah cukup hanya ditinjau masalah biologisnya saja, tetapi harus digarap pula masalah sosial budayanya.Sering kali berobat ke Dokter atau Puskesmas, pada kenyataannya lebih banyak pengobatan ditujukan kepada masalah biologisnya saja, dan melupakan atau tidak sempat menangani masalah sosial budayanya. Apalagi bila menjalani rawat inap di rumah sakit, mereka akan enggan karena masalah sosial budaya ini. Dokter dan perawat, walaupun orang Bali, dianggap orang asing, disebabkan cara berpikir, bertindak, kerja sudah berbeda dengan kebiasaan masyarakat Bali pada umumnya. Dokter dan perawat berpikir, berbicara serta bertindak mempergunakan budaya asing, yang lebih menitik beratkan pada masalah rasional dan ilmiah, sulit diajak berbicara masalah yang irrasional dan tradisional. Itulah sebabnya ada sebagian masyarakat yang kurang mendapat kepuasan akan pelayanan pengobatan modern, mereka akan merasa lebih puas berobat ke Battra, pengobat tradisional. Di pengobat tradisional ditangani masalah sosial budayanya secara baik dan memuaskan. Di Bali menurut kepercayaan agama Hindu, sakit terjadi bila tidak ada keseimbangan 3 unsur yaitu buana alit, buana agung dan Sanghyang Widhi Wasa sebagai faktor sekala atau niskala yang dapat menimbulkan gangguan pada manusia(Suryani, 2000). Jadi menurut kepercayaan dan keyakinan tersebut bahwa penyakit dapat disebabkan oleh dua penyebab/kausa yaitu kausa sekala (natural, alami) maupun kausa niskala (supranatural, personalistik). Kausa sekala adalah penyebab natural sakit yang tampak, nyata, berwujud, misalnya suhu yang berubah/pilek, benturan fisik/luka karena pisau, patah tulang karena jatuh. Sedangkan kausa niskala merupakan wujud halus, seperti roh, hantu dan kekuatan magis hitam adalah penyebab sakit yang tidak tampak, tidak nyata dan tanpa wujud yang pasti.Kedua unsur ini masuk ke dalam tubuh atau tetap di luar tubuh dan menyebabkan ketidakseimbangan buana alit tempat keberadaan Tri-dosha yang terdiri dari Vayu, Pita, Kapha atau berupa udara,panas, cairan. Di dunia barat dikenal istilah untuk penyakit ini dengan disease dan illness.Penyakit sebagai disease mencakup satu konsep tentang patologi ilmu penyakit merupakan gangguan yang terbatas pada kelainan medis dan organobiologis sedangkan illness merupakan suatu konsep kebudayaan yang merupakan masalah atau gangguan yang dialami yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Kepercayaan ini yang menyebabkan penderita atau keluarga akan mengunjungi dukun atau balian

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 63 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 untuk mendapatkan petunjuk atau pengobatan. Begitu pun setelah penderita keluar dari rumah sakit, sebagian besar penderita berobat ke dokter dan balian dan ada yang pergi ke balian saja atau ke dokter saja.Dan kalau mereka kambuh maka sebagian besar datang ke balian.Balian mampu mempengaruhi pasien dan keluargannya dan kebanyakan percaya dengan yang dinyatakan balian(Putro, 2004). ODGJ sesungguhnya menimbulkan beban berat pada keluarga dan orang yang dekat dengan pasien. Penatalaksanaan yang melibatkan keluarga secara dini dalam proses pengobatan dapat mengurangi kambuh dan menurunkan stres serta kekacauan dalam keluarga(Power, 2015). Penderita yang dalam perawatannya hampir selalu memerlukan obat biasanya tidak berhasil optimal kalau tidak mendapatkan pelayanab dan dukungan untuk mengatasi penyakitnya dalam menghadapi ketakutan, pengasingan dan hinaan yang sering menyertainya.Pendekatan bio-psiko-sosio-budaya adalah anggapan bahwa gangguan jiwa skizofrenia disebabkan oleh ketiga faktor diatas yang satu dengan lainnya saling berhubungan.Dari segi biologis Skizofrenia adalah penyakit otak, dari segi psikologis dipengaruhi oleh psikodidinamika kepribadian dan dari segi sosiobudaya dipengaruhi budaya, lingkungan dan keluarga penderita(Schulze & Rosler, 2005).

Karakteristik Pasien ODGJ Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali Karakteristik pasien ODGJ diolah dari Bagian Data & Rekam Medis RSJ Provinsi Bali 2018 diperoleh hasil sebagai berikut. Distribusi kelompok umur pasien ODGJ rawat inap yang paling banyak adalah kelompok umur 30--39 tahun, kemudian disusul kelompok umur pasien rawat inap 40--49 tahun.Angka kesakitan yang paling jarang adalah berturut-turut kelompok umur pasien 0--9 tahun dan 10--19 tahun.Distribusi pasien rawat inap menurut jenis kelamin menunjukkan bahwa sebagian besar pasienberjenis kelamin laki-laki dibandingkan pasien perempuan.Terkait status perkawinan pasien sebagian besar berstatus belum kawin. Didapatkan pula bahwa jenis kelamin laki-laki yang belum kawin lebih banyak daripada jenis kelamin perempuan. Untuk status pendidikan pasien ODGJ terbanyak adalah tidak bersekolah, disusul berturut-turut pasien yang berpendidikan SMA, SD, SMP, PT dan SLB.Distribusi pasien rawat inap menurut pekerjaan menunjukkan bahwa sebagian besar pasien rawat inaptidak memiliki pekerjaan. Tidak bekerja (pengangguran) biasanya menimbulkan perasaan-perasaan inferior (minder, rendah diri), rasa tidak berguna, tidak dipakai lagi, tak dibutuhkan,dan menimbulkan banyak frustasi. Berdasarkan jaminan, pasien rawat inap terbanyak menerima JKBM (Jaminan Kesehatan Bali Mandara) juga disusul oleh Jamkesmas dan Askes. Dari data asal daerah pasien rawat inap menunjukkan bahwa yang terbanyak adalah dari daerah Gianyardisusul berasal dari Kota Denpasar, kemudian berturut-turut berasal dari Karangasem, dari Bangli dan dari Buleleng. Bila dilihat dari sepuluh besar penyakit rawat inap pasien ODGJ diketahui bahwa sebagian besar pasien rawat inap mengidap penyakit gangguan jiwa diagnosis skizofrenia.

 64 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Pengobat Tradisional (Battra) Di Bali, dukun sebagai pengobat tradisional dikenal dengan istilah balian, tapakan atau jero dosaran. Kemampuan untuk mengobati ini diperoleh dengan berbagai cara. Tidak seperti di dunia pengobatan modern atau paramedicmemperoleh pengetahuan dan kemampuan untuk mengobati orang sakit dari bangku sekolah, pengobat tradisional memperoleh keahliannya berdasarkan atas tradisi, keturunan, taksu, pica atau dapat pula akibat belajar pada orang yang sudah jadi balian dan berbagai cara lainnya. Ada beberapa balian yang tidak mau disebut balian atau jero dasaran, mereka hanya mengaku sebagai orang yang menolong atau mengobati. Kebanyakan balian melakukan tugas pengobatannya tanpa mengharapkansasantun, mereka dengan rela mengobati siapapun orang yang memerlukan pertolongannya tanpa melihat sesari atau jumlah sasantun yang ditaruh didalam sesajinya.. Semua pengobatan berlangsung dengan tulus iklas tanpa pamrih. Sebab semua balian yang benar-benar balian di Bali, tahuakibat dari kelobaan akansasantun dan materi lainnya. Kesaktian atau kesidiannya dalam hal mengobati orang sakit akan menurun dan luntur. Kalau mereka tahu tidak akan mampu mengobati pasiennya, dengan terus terang akan mengatakan dan menyarankan agar mencari balian yang lebih pintar dari dirinya. Bila tahu prognosisnya jelek (mati) mereka tidak akan mau mengobati.

Malukat Malukat dan mohon restu adalah proses untuk menyucikan diri. Malukat suatu kata yang sangat akrab bagi krama Bali untuk dilakukan dalam kehidupan ritual.Tujuan dan harapan upacara ini untuk mampu meningkatkan kualitas kehidupan yang lebih baik.Tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapai adalah meliputi menyembuhkan penyakit medis maupun non medis.Malukat dilakukan di mata air, air pancuran, sungai, dilaut bahkan menggunakan air suci dari Sang Sulinggih.Kumbara (2017) menyatakan bahwa orang Bali umumnya akan meminta pertolongan kepada seorang dukun atau balian untuk memperoleh penjelasan mengenai sebab-sebab sakit dan sekaligus cara-cara mengatasinya. Selain meminta bantuan kepada seorang dukuh atau balian, keluarga akan mengajak yang bersangkutan untuk melakukan ritual melukat yang memiliki fungsi dan makna simbolik yang mengarah pada upaya pembersihan jiwa-raga ODGJ dalam rangka mencapai atau mengembalikan keseimbangan jiwa yang terganggu.

Persepsi dan Perilaku Perawatan ODGJ Orang Bali Konsep sakit menurut kepercayaan orang Bali yangberagama Hindu terjadi akibat ketidakseimbangan 3 unsur Buana Alit, Buana Agung dan Sang Hyang Widhi Wasa sehingga faktor sekala atau niskala dapat menimbulkan gangguan pada manusia. Maka kepercayaan ini yang menyebabkan penderita atau keluarganya mengunjungi pengobat tradisional, dukun(balian) untuk mendapat pengobatan.Di pengobat tradisional di Bali, proses pengobatan biasanya disertai upacara sembahyang dan persembahan sajen di Pura (Merajan),tempat suci, laut dan sebagainya sesuai dengan pandangan atau kepercayaan pengobat tradisional tersebut.Dilihat dari materi pengobatan tradisional antara lain dengan loloh, simbuh, boreh, metirta, melukat.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 65 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Keluarga pasien datang ke Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali dengan alasan atas permintaan keluarga setelah mendapat petunjuk/pertimbangan Balian. Disamping itu juga atas saran tenaga kesehatan serta anjuran tokoh agama. Ditemukan juga bahwa hampir sebagian besar kunjungan ke pengobat tradisional (balian) lebih dari sekali dengan hasil yang sangat bervariasi. Ada yang merasakan sembuh cukup lama, hanya sembuh sebentar, selalu kumat atau kambuh, tidak ada perubahan sama sekali, dan semakin parah. Jika dilihat dari siapa yang menyarankan mereka mencari pengobatan medis antara lain keluarga, tetangga, balian, teman, dan juga karena keyakinan sendiri.Ditemukan juga alasan konsep keluarga mencari pembersihan setelah ke rumah sakit dikarenakan merasa leteh/kotor, mala/cacat,supaya roh pasien tidak ngambang. Setelah keluar dari Rumah Sakit, pengobatan yang dicari adalah pengobat tradisional, medis, dan kombinasi/tumpang tindih (antara medis dan tradisional). Keluarga pasien akan memanfaatkan kedua pengobatan tersebut secara tumpang tindih (Foster dan Anderson, 1986).Kalau mereka kambuh maka sebagian besar datang ke balian.Konsep penderita dan keluarganya dikatakan sakitnya karena sakit Bali karena merasa leteh/kotor sehingga merasa perlu dilakukan pembersihan atau malukat.Balian mampu memengaruhi pasien dan keluarganya dan kebanyakan percaya dengan yang dinyatakan balian.Setelah dilakukan upacara pembersihan perasaan penderita lebih tenang, lebih semangat, merasa bersih. Pasien ODGJ selama mendapatkan perawatan medis di RSJ terkait penjelasan terhadap keluarga oleh para tenaga medis mengenai sakit, sistem perawatan medis, kondisi pasien, kepatuhan minum obat, bagi keluarga pasien dirasakan masih sangat kurang. Bagi keluarga pasien bahwa kekambuhan penderita disamping karena faktor niskala yang dipercaya, juga terjadi karena merasa bersalah, perasaan tertekan, merasa dijauhi/tidak diperhatikan, ketidaksabaransikap keluarga, tidak dipercaya dan selalu dicurigai.Rasa bersalah ini bisa dalam bentuk keyakinan bahwa penyebab gangguan yang dialami karena lemahnya diri dalam cobaan/ujian hidup, hukuman dari Tuhan, ataupun kesalahan masa lalu (Putro, 2016). Mengenai bentuk komunikasi serta pola interaksi pada pengobat tradisional berlangsung terbuka dan tanparahasia. Keluarga dapat menemani dan mengemukakan pendapat atau komentar tentang masalah yang dihadapi pasien secara terbuka kepada pengobat tradisional maupun penderita. Berkaitan dengan kualitas hubungan di pengobat tradisional pada umumnya bersifat nonformal, terbuka, santai, ramah dan tidak diperlukan tata cara yang ketat. Kontak emosional biasa saja. Kalaupun ada yang bersifat formal terbatas ketika dalam keadaan trance saja, setelah itu biasa lagi, tidak formal. Sehubungan dengan sikap, untuk masyarakat di Bali yang masih memiliki adat budaya tradisional yang kuat, tidak tedapat sikap ambivalen terhadap pengobat tradisionalnya (Glynn, 2016).Mengenai sifat sakral dan tidak sakral di Bali, sifat sakral menonjol sekali di bandingkan dengan daerah lain, dan sifat sakral ini juga berbeda-beda pada masing-masing pengobat tradisional, misalnya sifat sakral lebih menonjol pada pengobat tradisional yang menggunakan keadaan trance pada praktek pengobatannya.Dalam hubungan dengan pandangan penyakit di Bali bagi seorang balian, keluhan dan gangguan yang dikemukakan pasiennya sebagian besar diperlakukan sebagai penyakit (disease).Kaitan dengan realitas klinik adalah salah satu aspek dari realitas sosial yang berkaitan dengan kesehatan

 66 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 terutama sikap dan norma-norma tentang penyakit, etiologi penyakit, proses dan mekanisme pengabilan keputusan, hubungan klinik dan aktivitas penyembuhan. Hal ini sangat ditentukan oleh keadaan sosial budaya setempat.

4. Simpulan Pengkajian dan penatalaksanaan gangguan jiwa melalui pendekatan bio- psiko-sosio-budaya-spiritual sangat penting dalam penangganan gangguan iwa berbasis komunitas.Pengobat tradisional dapat dilibatkan dan bekerjasama dalam menangani gangguan jiwa sehingga penderita merasa sembuh sempurna dari kedua aspek illness dan disease.Pengobat tradisional mempunyai kemampuan khusus yang tidak dimiliki oleh dokter yang berpendidikan barat dan tidak menutup kemungkinan adanya kerjasama yang baik di antara kedua disiplin yang berbeda ini dalam rangka memberi pertolongan yang optimal kepada penderita. Para ahli medis dan praktisi ahli lainnya (psikiater, psikolog) akanmerasakan banyak manfaatnya melakukan kerjasama dengan pengobat tradisional, terutama dalam hal memahami psikopatologi dan psikodinamika dari penyakit mental yang erat kaitannya dengan kondisi sosial dan budaya.Kegelisahan dan ketakutan yang dialami orang-orang sakit yang takkunjung sembuh baik yang berpendidikan tinggi atau buta huruf, kaya maupun miskin, sangat membutuhkan penyaluran atau kompensasi dan mendapatkan jalan pemecahannya pada balian pada hal yang rasional maaupun irrasional, logis ataupun tidak logis sehingga tercapailah suatu ketenangan diri pada si sakit/keluarganya. Para pengobat tradisionalmengobati keseluruhan kliennya sebagai seorang manusia dalam arti pendekatan yang bersifat holistik.Dalam hal pemahaman terhadap penyakit (illness), persepsi penyembuhan yang dialami oleh klien adalah sesuatu yang nyata tanpa memandang apakah kelainan organik atau psikopatologi masih tetap ada.Para petugas kesehatan formal seyogyanya mempersiapkan diri untuk menghadapi kasus seperti ini.

5. Saran Dalam perencanaan penempatan fasilitas pelayanan kesehatan perlu memperhatikan dan mempertimbangkan bahwa perilaku mencari pengobatan dipengaruhi juga oleh rujukan-rujukan informal yang menentukan pemilihan dalam fasilitas pengobatan. Diupayakannya secara terus meneruspengintegrasian kuliah-kuliah dan praktek-praktek ilmu social budaya (antropologi medis, sosiologi medis) dalam kurikulum pendidikan dokter dengan harapan agar para dokter di kemudian hari sudah terlatih untuk menjadi sensitif terhadap aspek-aspek sosial-budaya (non- biomedi)k dan masalah pasiennya. Agar diperoleh informasi yang lebih ilmiah dan sistematik tentang sikap profesional dari staf kesehatan, maka penelitian antropologi psikiatri tentang interaksi staf kesehatan dan keluarga maupun pasien perlu dilakukan. Pendekatan terhadap pengobat tradisional oleh pemerintah dan pengobat modern hendaknya terus dilaksanakan.Penelitian terhadap konsep sehat sakit, efektifitas obat tradisional dan hal-hal lainnya hendaknya terus ditingkatkan. Rumah sakit jiwa diharapkan dapat lebih meningkatkan dan mengembangkan lagi sosialisasi program-program pascaperawatan yang lebih

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 67 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 bersifat terbuka dalam hubungan relasi yang bersifat intersubjektivitas, baik antara pihak rumah sakit dan pasien beserta keluarga pasien maupun masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA Connor, L.H. 1982. In Darkness and Light: A Study of Peasant Intelectuals in Bali. Department of Anthropology of Sydney. Departemen Kesehatan RI KMK. No. 1627/Menkes/SK/XI, 2010 tentang Pedoman Pelayanan Kegawatdaruratan Psikiatrik. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Foster, G. M. dan Anderson, B. G. 1986. Antropologi Kesehatan. Alih Bahasa Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swasono. Jakarta: UI Press. Glynn S. M. 2016. The Potential Impact of Recovery Movement on Family Interventions for Schizophrenia :Opportunities and Obstacles, Schizophrenia Buletin Vol 32 No 3 x—pp. 451 - 463, Oxford University Press. Kasniyah, Naniek. 1985. ―Etiologi Penyakit secara Tradisional dalam Alam Pikiran Orang Jawa: Celaka, Sakit, Obat, dan Sehat Menurut Konsepsi Orang Jawa‖. Soedarsono, Djoko Soekiman, dan Retno Astuti (ed.). Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi). Direktorat Jenderal Kebudayaan Depdikbud. Kumbara, A. N. 2017. Fungsi dan makna ritual melukat dalam penyembuhan gangguan jiwa di Bali. Diambil dari www.phdi.or.id: http://phdi.or.id/artikel/fungsi-dan-makna- ritual- melukat-dalam- pemnyembuhan-gangguan-jiwa-di-bali. Moleong, L. J. (2014). Metodologi penelitian kualitatif . Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nala, Ngurah. 1997. Usada Bali. Denpasar: PT Upada Sastra. Putro, Bambang Dharwiyanto. 2004. ―Gangguan Jiwa (Buduh) di BaliSebagai Fenomena Budaya, Studi tentang Persepsi dan Perilaku Pilihan Perawatan Gangguan Jiwa Orang Bali‖. Tesis, Program Studi Antropologi Pascasarjana.Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Putro, Bambang Dharwiyanto. 2016. ―Bayang-Bayang Stigma Terhadap Penderita Gangguan Jiwa: Studi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali‖. Disertasi, Program Doktor Kajian Budaya. Denpasar: Universitas Udayana. Power, J. et al. 2015.Family resilience in families where a parent has a mental illness.Juornal of Social Work.16 (1).1-17. Riskedas. 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI Schulze, B. And Rosler, W. 2005. ―Caregiver burden in mental illness: review of measurement, findings and interventions in 2004-2005‖. CurrOpin Psychiatry 2005. 18(6).684-691. Sheewangisaw.2012.―Prevalence and Associated Factors of Relapse in Patent with Schizophernia At Amanuel Mental Specialized Hospital". Congress on Public Health, 1(1). Sumantra, I Nengah. 2005. Pembinaan Mental Spiritual dalam Upaya Pengobatan Pasien di Rumah Sakit Jiwa Bangli Ditinjau dari Psikologi Agama

 68 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Hindu. Program Pasca Sarjana Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Suryani, L.K., 2000. Peranan Psikiatri dalam mewujudkan Masyarakat Sehat, Pendekatan Bio- Psiko-Spirit-Sosiobudaya, Orasi Pengukuhan Jactan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar.

 MOTIFEME-MIGRASI-AKULTURASI BUDAYA DALAM CERITA RAKYAT JAKA TARUB DAN CERITA SERUPA DI ASIA (STRUKTUR NARATIF ALAN DUNDES)

Dewi Ayuningtyas Program Studi S1 Sastra Indonesia, FBS, Universitas Negeri Surabaya [email protected]

ABSTRAK

Cerita rakyat sebagai jenis sastra lisan merupakan representasi budaya masyarakat di wilayah tertentu memiliki motifeme cerita yang dapat berkaitan dengan cerita rakyat lainnya. Melalui proses pewarisan cerita rakyat oleh nenek moyang secara turun temurun melalui lisan menimbulkan kekayaan gaya cerita atau versi cerita, yang kemudian menjadi identitas suatu masyarakat. Di nusantara, terdapat cerita Jaka Tarub yang memiliki berbagai gaya atau versi cerita sesuai dengan representasi budaya masyarakat di wilayah- wilayah Asia. Penelitian sastra lisan ini termasuk penelitian deskriptif-kualitatif dengan menggunakan metode studi kepustakaan yang bertumpu pada teori struktur naratif Alan Dundes. Sumber data penelitian ini adalah teks cerita rakyat Jaka Tarub dan cerita rakyat yang serupa di Asia, yaitu cerita rakyat Telaga Bidadari- Selatan, Arya Menak-Madura, Puan Si Taddung-Kalimantan Timur, Maligai Keloyang-Riau, Malim Deman-Sumatera Barat, Peri Pegunungan Kumgang-Korea, Putri Tanabata-Jepang, dan Niu Lang dan Dewi Penenun-Cina. Temuan dari penelitian ini adalah: 1) minimum unit (motifeme) cerita rakyat Jaka Tarub dan cerita serupa di Asia, 2) tipologi cerita rakyat Jaka Tarub dan cerita serupa di Asia, 3) proses migrasi cerita rakyat Jaka Tarub dan cerita serupa di Asia, 4) akulturasi budaya dalam cerita rakyat Jaka Tarub dan Cerita Serupa di Asia.

Kata kunci: Sastra Lisan, Cerita Rakyat Jaka Tarub, Cerita serupa di Asia, motifeme, migrasi, akulturasi

Pendahuluan Mulanya kesusastraan yang ada di Indonesia lahir dari kebiasaan yang berujung pada kebudayaan yang turun temurun. Sastra lisan atau folklore tidak dapat terlepas dengan sastra, masyarakat, dan kedaerahan, karena sastra lisan merupakan sebagian kebudayaan secara kolektif yang diwariskan secara turun- temurun antar generasi, yang di dalamnya termuat identitas suatu masyarakat, dan seni (keindahan), serta cerita atau narasi yang bernilai luhur (Dananjaja, 1997: 2). Sama halnya seperti cerita rakyat, kisah yang berangsur-angsur pindah dari mulut ke telinga lalu diteruskan kembali dengan gaya bercerita yang berbeda hingga membuat kisah itu menjadi kaya. Hal demikianlah yang membuat adanya beberapa versi dari cerita. Salah satunya adalah cerita Jaka Tarub, cerita ini telah

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 69 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 70 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 dikenal banyak orang sebagai cerita rakyat Jawa, khususnya pada cerita rakyat Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan versi Jawa Tengah. Di Indonesia terdapat beberapa cerita yang hampir mirip dengan cerita JakaTarub. Seperti cerita Telaga Bidadari dari Kalimantan Selatan, Arya Menak dari Jawa Timur, Peri Pegunungan Kungang dari Korea, Niu Lang dan Dewi Penenun dari China, Putri Tanabata dari Jepang, Puan Si Taddung dari Kalimantan Timur, Maligai Kelayong dari Riau, Malim Demam dari Sumatera Barat. Hal ini merupakan bukti bahwa karya sastra lisan berupa cerita rakyat akan semakin kaya dan memunculkan berbagai versi bila terus menerus dijaga dan diceritakan kembali secara turun temurun. Atas dasar itulah peneliti memilih teori struktur naratif ala Alan Dundes, dan kajian sastra bandingan untuk dapat mencari pola motifeme pada kesembilan cerita tersebut karena adanya kesamaan dan perbedaan muatan kisah yang diangkat dari tiap-tiap daerah maupun negara yang ada di Asia.

Metodologi Penelitian tentang cerita rakyat Jaka Tarub dan cerita serupa di Asia merupakan penelitian deskriptif-kualitatif. Data dalam penelitian ini adalah 9 (sembilan) teks cerita rakyat, yaitu Jaka Tarub dari Jawa Tengah, Telaga Bidadari dari Kalimantan Selatan, Arya Menak dari Jawa Timur, Peri Pegunungan Kungang dari Korea, Niu Lang dan Dewi Penenun dari China, Putri Tanabata dari Jepang, Puan Si Taddung dari Kalimantan Timur, Maligai Kelayong dari Riau, Malim Demam dari Sumatera Barat. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dengan mengambil data-data berupa cerita rakyat yang telah ditetapkan sebagai obyek penelitian melalui artikel. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis strukturalisme Alan Dundes yang membedah sebuah folklore dengan membuat sebuah urutan. Urutan tersebut berupa perjalanan dari sebuah kondisi ―kekurangan‟ yang kemudian berakhir dalam kondisi ―berkecukupan‟. Sudikan (2017:99) menerangkan proses kekurangan menuju berkecukupan dengan skema; lack (kekurangan), lack liquidate (pemenuhan pada kekurangan), task (tugas), task completed (tugas terpenuhi), interdiction (larangan) violation pelanggaran), consequences (konsekuensi), attempescape (usaha menyelamatkan diri), deceit (tipuan), deception (penipuan) untuk mengetahui motifeme secara rinci, gambaran pola, dan perbandingan budaya yang terkandung di dalamnya.

Pembahasan 1. Motifeme Cerita Rakyat Jaka Tarub dan Cerita Serupa di Asia Berdasarkan analisis data, diperoleh motifem pada cerita rakyat Jaka Tarub dan cerita serupa di Asia, sebagai berikut: Tabel 1. Motifeme Cerita Rakyat Jaka Tarub dan Cerita Serupa di Asia Cerita Rakyat AspekMotifeme (Alan Dundes) L LQ T TC I V C A D1 D2 JUMLAH Jaka Tarub- Jawa 2 2 - - 1 1 1 1 1 1 10 Tengah Telaga Bidadari - 1 1 1 1 - - - - 1 1 6 Kalimantan Selatan Arya Menak-Jawa 3 3 - - 1 1 1 1 1 1 12 Timur

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 71 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Peri Pegunungan 3 3 ------1 1 8 Kungang- Korea Niu Lang dan Dewi 2 2 - - 1 1 1 1 - 1 9 Penenun- China Putri Tanabata-Jepang 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 17

Puan Si Taddung- 3 3 2 2 1 1 1 - 1 - 14 Kalimantan Timur Maligai Kelayong-Riau 3 3 - - 1 1 1 1 1 1 12

Malim Demam- 4 4 ------1 1 10 Sumatera Barat Keterangan: L = Lack V = Violatin LQ= Lack Liquidate C = Consequences T = Task A = Attempescape TC = Task Complete D = Deceit I = Interdiction D2 = Deception

2. Tipologi Cerita Rakyat Jaka Tarub dan Cerita Serupa di Asia a. Tipologi cerita rakyat Jaka Tarub dari Jawa Tengah yaitu keinginan- pernikahan-perjumpaan dengan Bidadari-pencurian selendang-pernikahan- larangan yang dilanggar-tipu daya Jaka Tarub terbongkar-permintaan maaf. b. Tipologi cerita rakyat Peri Pegunungan Kungang dari Korea yaitu perjumpaan Bau dengan Rusa-pertolongan Bau pada Rusa-balas budi rusa- perjumpaan dengan putri-pencurian pakaian-pernikahan-kepergian-memohon pertolongan pada Rusa-adanya kekuatan magis (sendok raksasa)-perjumpaan lagi dengan putri. c. Tipologi cerita rakyat Niu Lang dan Dewi Penenun dari China yaitu keinginan-menyembunyikan gaun-tipu daya-pernikahan-larangan dilanggar- kekuatan magis (jepit) membuat sunga pemisah sebagai konsekuensi- kekuatan magis berupa jembatan surgawi. d. Tipologi cerita rakyat Telaga Bidadari dari Kalimantan Selatan yaitu keinginan-mencuri selendang-pernikahan-tipu daya terbongkar-pesan merawat anak-kepergian. e. Tipologi cerita rakyat Putri Tanabata dari Jepang yaitu keinginan mengambil pakaian-perjumpaan-tipu daya-pernikahan-tipu daya terbongkar- permintaan putri-pertemuan kembali-larangan dilanggar-pengampunan-tugas-tugas dilanggar-tugas-tugas dilanggar-hukuman dipisahkan. f. Tipologi cerita rakyat Arya Menak dari Jawa Timur yaitu pencurian selendang-pernikahan-pantangan-pantangan dilanggar-kepergian putri- sumpah. g. Tipologi cerita Puan Si Taddung dari Kalimantan Timur yaitu keinginan- pencurian selendang-tipu daya-pernikahan-tugas-larangan dilanggar- kepergian. h. Tipologi cerita rakyat Maligai Keloyang dari Riau yaitu keinginan-pencurian selendang-pernikahan-pentangan dilanggar-kepergian. i. Tipologi cerita rakyat Malim Demam dari Sumatera Barat yaitu keinginan- pencurian selendang-tipu daya-pernikahan- tipu daya terbongkar-kepergian.

 72 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

3. Proses Migrasi Cerita Rakyat Jaka Tarub dan Cerita Serupa di Asia Sudikan (2017: 30) perpindahan sastra lisan dapat dibandingkan dengan perpindahan ‗kata-kata budaya‘, sebab sastra lisan penyampaiannya dari mulut ke mulut melalui bahasa, yang kemungkinan dapat beralih bahasa pula. Hutomo (dalam Sudikan. 2017: 33) menegaskan bahwa dalam pewarisan turun-menurun, pencerita dapat memasukan hal-hal baru yang bersifat anakronisme untuk menunjukan konteks zaman cerita berasal. Migrasi atau perpindahan yang terjadi pada cerita rakyat Jaka Tarub dan cerita serupa di Asia, yaitu satu bahasa ke bahasa Lain, dalam hal ini Bahasa Indonesia ke bahasa Korea, China, dan Jepang, seperti pada skema berikut:

Bahasa Indonesia Bahasa Korea, bahasa China, bahasa Jepang

Dan migrasi atau perpindahan cerita rakyat Jaka Tarub dan cerita serupa terjadi karena perpindahan dialek satu ke dialek lainnya, seperti pada skema berikut:

Jaka Tarub ฀ Telaga Bidadari ฀ Arya Menak ฀ Puan Si Taddung ฀ Maligai Kelayong ฀ Malim Demam

4. Akulturasi Budaya Cerita Rakyat Jaka Tarub dan Cerita Serupa di Asia Pada cerita Jaka Tarub dan cerita serupa di Asia, terdapat motifeme tipu daya dengan menggunakan alat kebudayaan yang sama, seperti pada tabel berikut:

Cerita Rakyat Alat Tipu Daya Kekuatan Magis

Pakaian Gaun Selendang

Jaka Tarub √ Panci penanak nasi Peri Pegunungan √ Sendok raksasa perak dari Kungang langit Niu Lang dan √ Sungai dari jepit ratu Dewi Penenun surgawi Telaga Bidadari √ Dasar bumbung bambu Putri Tanabata √ Burung merpati, seribu pasang sandal jerami, sungai dari gigitan labu Arya Menak √ Panci penanak nasi Puan Si Taddung √ Menari tarian bidadari Maligai Kelayong √ - Malim Demam √ -

Berdasarkan tabel di atas, menunjukan adanya budaya dari setiap cerita rakyat melalui penggunaan pakaian, gaun, selendang sebagai alat tipu daya mencapai keinginannya menikahi seorang putri. Cerita rakyat Jaka Tarub dan cerita serupa di Asia penggunaan alat-alat tersebut terdapat kesamaan yaitu pakaian, gaun, dan selendang yang identik dengan sosok perempuan, menunjukan adanya penerimaan budaya (berupa gaun, pakaian, selendang) di setiap wilayah

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 73 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 yang melahirkan cerita rakyat tersebut. Selain itu, adanya kekuatan magis dari setiap cerita juga menjadi muatan budaya asal cerita. Seperti pada cerita Jaka Tarub dari Jawa Tengah dan Arya Menak dari Jawa Timur terdapat kesamaan kekuatan magis yang berupa panci penanak nasi. Kekuatan magis tersebut menunjukan bahwa asal cerita (Jawa Tengah dan Jawa Timur) termasuk dalam wilayah pulau Jawa masyarakatnya berkultur agraris, dan menggunakan nasi sebagai makanan pokok. Sedangkan pada cerita rakyat lainnya yang tidak memiliki kesamaan kekuatan magis dengan cerita rakyat lainnya menjadi karakteristik atau ciri khas cerita tersebut berasal. Cerita rakyat Putri Tanabata berasal dari Jepang, menunjukan adanya peralatan tradisional masyarakat Jepang berupa sandal jerami yang merupakan daun padi yang sudak kering, Hal tersebut juga menunjukan penggunaan nasi sebagai makanan pokok masyarakat Jepang.

Simpulan Dari kesembilan cerita rakyat yang digunakan sebagai penelitian, maka diketahui proses migrasi cerita rakyat Jaka Tarub dan cerita rakyat Putri Tanabata terjadi perubahan bahasa Indonesia menjadi bahasa Jepang, cerita rakyat Jaka Tarub dan Niu Lang dan Dewi Penenun terjadi perubahan bahasa Indonesia menjadi bahasa China, dan pada cerita cerita rakyat Jaka Tarub dan Peri Pegunungan Kungang terjadi perubahan bahasa Indonesai menjadi bahasa Korea. Serta cerita Jaka Tarub dengan cerita rakyat Telaga Bidadari, Arya Menak, Puan Si Taddung, Maligai Kelayong, Malim Demam terjadi perubahan dialek satu ke dialek lainnya. Dari proses migrasi tersebut yang kemudian menghasilkan cerita- cerita serupa (selalu terjadi pengurangan dan penambahan motifeme), sehingga jumlah motifeme berbeda-beda. Pada kesembilan cerita rakyat tersebut berakhir pada kesedihan sedang satu cerita (Peri Pegunungan Kumgang) berujung pada kisah bahagia. Akhir dari seluruh kisah dipengaruhi oleh bagaimana pernikahan yang dilakukan antara manusia dan makhluk langit itu berlangsung. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa semua kisah akan kembali lagi merujuk pada bagaimana tipuan tokoh yang menginginkan kebahagiaan dengan cara yang tidak baik. Dari kesembilan cerita tersebut penggunaan pakaian, gaun, dan selendang yang selalu identik dengan perempuan sebagai alat tipu daya menunjukan adanya motifeme yang dipertahankan dari kesembilan cerita rakyat tersebut meskipun bedara pada wilayah dan budaya masyarakat yang berbeda. Selain itu, adanya budaya yang terkandung dalam cerita rakyat menjadi karakteristik tempat suatu cerita rakyat berasal, seperti budaya masyarakat agraris yang tampak pada cerita Jaka Tarub, Arya Menak, dan Putri Tanaba, sedangkan pada cerita lainnya budaya yang termuat sebagai karakteristik daerah suatu cerita berasal.

Daftar Pustaka Amir, Andiyetti.2013. Sastra Lisan Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset Astika, I Made, DKK. 2014. Sastra Lisan Teori dan Penerapannya. Yogyakarta: Graha Ilmu Dananjaja, James. 1997. Folklor Indonesia Ilmu Gosip Dongeng dan Lain-Lain. Jakarta: Midas Surya Grafindo Endaswara, Suwardi, 2010. Folklor Jawa Macam Bentuk dan Nilainya. Jakarta: Penaku Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS

 74 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara Yang Terlupakan Pengantar Studi Sastra Lisan. Jawa Timur: HISKI Ihromi, 2006. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya: Citra Wacana Zed, Mestika, 2008. Metode Penelitian Kepustakaaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Barkah, Lazuardi. (2013-2014). Analisis Motifeme Pola Cerita Irui-kon dalam Cerita Rakyat Jepang.Japanology, Vol 2, No.1, September 2013-februari 2014 : 29-36. caritasato.blogspot.co.id/2014/04/kisah-malim-deman-sumatera-barat.html?m=1. diakses terakhir kali pada tanggal 20 Mei 2018 dongeng1001cerita.blogspot.co.id/2014/10/putri-tanabata-jepang.html?m=1. Diakses terakhir kali pada tanggal 31 Maret 2018 dongengceritarakyat.com/dongeng-cerita-rakyat-jaka-tarub/. Diakses terakhir kali pada tanggal 31 Maret 2018 edytauhid.wordpress.com/cerita-rakyat-dari-kalimantan-selatan-legenda-telaga- bidadari/. Diakses terakhir kali pada tanggal 31 Maret 2018 legendakita.wordpress.com/2008/08/22/legenda-aryo-menak/. Diakse terakhir kali pada tanggal 31 Maret 2018 salombafile.esy.es/ceritaku/si-taddung/. Diakses terakhir kali pada tanggal 20 Mei 2018 Sudikan, Setya Yuwana. 2017. Metode Penelitian Sastra Lisan. Lamongan :Pustaka Ilalang Group. traditionghoanews.blogspot.co.id/2011/01/legenda-niu-lang-dan-dewi- penenun.html?m=1. diaksesterakhir kali padatanggal 31 Maret 2018 www.kaskus.us/showthread.php?t=3775185. Diakses terakhir kali pada tanggal 31 Maret 2018 www.riaudailyphoto.com/2012/11.cerita-rakyat-riau-maligai- keloyang.html?m=1#sthash.aQCzemiR.dpuf. Diakses terakhir kali pada tanggal 20 Mei 2018

 PERAN MISIONARIS DALAM TERBENTUKNYA MASYARAKAT MULTIBUDAYA DI BALI

Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo Program Studi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [email protected]

ABSTRAK

Tidak banyak yang memahami secara komprehensif tentang peran tokoh-tokoh rohani awan luar negeri dalam kaitannya dengan terbentuknya masyaraka tmulti budaya di Bali. Padahal peran mereka sangat signifikan untuk diperhitungkan, yang didasari atas tingkat pengalaman dan pendidikan yang erat kaitannya dengan nuansa nilai-nilai kemanusiaan dari mana mereka berasal. Ini dapat dilihat dari kontribusi mereka yang berkaitan dengan nilai-nilai religius yang sarat dengan nuansa kearifan lokal, yang tampaknya dilakukan dengan pendekatan-pendekatan kemanusiaan dan kemasyarakatan yang bersifat inklusif.

Berbagai tantangan yang muncul akibat proses perkembangan ini dapat diatasi dengan baik, tanpa menimbulkan riak-riak sosial di lapisan masyarakat. Bahkan, di pihak lainnya dapat memperkuat kearifan lokal yang ada yang sudah mentradisi dalam proses kesejarahan yang cukup panjang. Kontribusi para missionaris sangatlah signifikan, karena pendekatan akulturasi budaya yang diterapkannya tampaknya mampu meredam berbagai persoalan atau konflik di satu pihak, dan membangun rasa harmoni sosial yang semakin mengental dengan nilai-nilai budaya luar di pihak yang lainnya. Di sinilah pentingnya untuk memahami bagaimana dinamika historis yang berlangsung di masa lalu, dan masih dapat disaksikan hingga sekarang di Bali.

Dalam tulisan ini akan difokuskan pada bagaimana dengan penggalian budaya lokal yang dilakukannya dan kemudian diadopsi dan diadaptasi dengan budaya luar yang kemudian tampaknya memperkuat rasa multikulturalisme yang sudah berakar di Bali. Dalam kaitan inilah muncul beberapa pertanyaan yang hendaknya dapat dipahami dengan baik berkaitan dengan pertama, bagaimana perkembangan awal tokoh-tokoh religious tersebut dapat mengembangkan kegiatan misionaris di Bali? Kedua, seberapa jauh komunitas lokal dapat menerima pandangan-pandangan mereka, dan ketiga, apa tantangan dan peluang yang ada, sehingga kontribusi mereka dapat diperhitungkan dengan baik dalam konteks dinamika historis terbentuknya masyarakat multi budaya di Bali.

Kata kunci: missionaris, masyarakat multi budaya, dan Kebudayaan Bali

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 75 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 76 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

1. PENDAHULUAN

Para Misionaris yang datang ke Bali memiliki peranan yang cukup signifikan terutama untuk perkembangan umat Katolik yang ada di Bali. Kehadiran misionaris dapat diterima dengan baik karena karakter masyarakat Bali yang terdiri dari masyarakat multibudaya. Etnis Bali telah mengalami kontak dengan etnis lain seperti Jawa, Bugis, Sasak, Flores dan lain sebagainya dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya. Dalam bidang agama etnis Bali telah mengadakan kontak dengan Belanda, Inggris dan Amerika sejak jaman kolonial.(Ardhana,2011 :1) Pada umumnya kehidupan masyarakat di Bali hidup berdampingan sesuai dengan konsep masyarakat multibudaya, namun dengan perbedaan etnis dan agama juga sering terjadi perbedaan pendapat dalam tatanan prilaku kehidupan sehari-hari. Hal itupula yang terjadi ketika misionaris tiba di Bali pada tanggal 11 September 1935. Pada waktu misionaris bernama Pater Joanes Kersten, SVD yang hendak melayani umat Katolik Eropa dan Melayu yang tinggal di Bali. Pada awalnya misionaris ini dilarang mengadakan hubungan langsung dengan orang Bali asli, tidak boleh mengunjungi rumah-rumah mereka apalagi mengajarkan agama kepada mereka. Karena ada ketakutan dari pihak pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah memandang jika agama Katolik membawa kebudayaan Barat masuk Bali, maka kebudayaan Bali yang sangat menarik dunia akan punah. Dalam perkembangannya para misionaris yang datang ke Bali dapat diterima dengan baik, bahkan memiliki peranan penting yang dapat dirasakan dalam kehidupan sosial masyarakat di Bali. (Patriwirawan, 1974:1411) Penulisan makalah ini mengambil skupe temporal dari tahun 1935-2018. Tahun 1935 dipilih sebagai awal tahun penulisan dalam paper ini karena pada tahun ini misionaris pertama datang ke Bali yaitu Pater Yohenes Kersten, SVD. Tahun 2018 dijadikan sebagai akhir tahun penulisan karena sepanjang 83 tahun telah dapat dilihat perkembangan umat Katolik di Bali serta peran misionaris di Bali dan dalam kurun waktu sepanjang tahun tidak pernah terjadi konflik yang besar dalam kehidupan masyarakatnya. Skup spasial yang digunakan dalam makalah ini adalah di Bali. Bali dipilih sebagai tempat kajian karena peran para misionaris hampir merata di seluruh kabupaten yang ada di Bali. Dari penjelasan di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan antara lain. 1. Bagaimana perkembangan awal tokoh-tokoh religious tersebut dapat mengembangkan kegiatan misionaris di Bali? 2. Seberapa jauh komunitas local dapat menerima pandangan-pandangan mereka? 3. Apa tantangan dan peluang yang ada, sehingga kontribusi mereka dapat diperhitungkan dengan baik dalam konteks dinamika historis terbentuknya masyarakat multibudaya di Bali?

Inilah beberapa pertanyaan penting yang dibahas dalam makalah ini dalam upaya untuk memahami lebih baik tentang peran misionaris dalam terbentuknya masyarakat multikultural Bali.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 77 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

2. METODOLOGI

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif yaitu pengamatan, wawancara, dan penelaahan dokumen. Melalui penelitian kualitatif budaya ini, memungkinkan peneliti untuk menata, mengkritisi, dan mengklasifikasikan data yang menarik. Di samping itu, melalui penelitian kualitatif ini membimbing peneliti untuk memperoleh temuan-temuan yang tidak terduga sebelumnya dan membangun kerangka teoritis baru. Data yang digunakan dalam makalah ini adalah data sekunder seperti buku Sejarah Gereja Katolik Denpasar dan Masyarakat Multikultural Bali Tinjauan Sejarah, Migrasi dan Integrasi.

3.PEMBAHASAN

Perkembangan Awal Tokoh-tokoh Religious di Bali

Pada tanggal 11 September 1935 seorang misionaris Katolik pertama yang datang ke Bali bernama Pater Joanes Kersten,SVD. Pada awalnya, ia menyewa sebuat tempat tinggal di Denpasar dengan aturan dari Pemerintah Belanda yang menegaskan, bahwa ia dilarang untuk mengadakan hubungan dengan orang Bali asli, mengunjungi rumah-rumah mereka serta mengajarkan agama kepada mereka. Misi juga dilarang mendirikan sekolah dan rumah sakit. Jadi tugas misi yang utama adalah melayani belasan umat Katolik Eropa atau melayu yang tinggal di seluruh Bali. Setelah dua bulan pelayanannya di Bali, Pater Joanes Kersten dikunjungi oleh dua orang pemuda Bali yang beragama Kristen yaitu I Wayan Dibloeg dan I Made Bronong. Mereka bermaksud ingin menawarkan Injil Perjanjan Baru yang berbahasa Bali kepada Pater Kersten. Dalam perkembangannya terjadi dialog dan akhinya terlibat dalam kursus agama Katolik. Kedua pemuda ini merasa tertarik dengan agama Katolik yang baru dikenalnya yang kemudian bersedia untuk bergabung dengan Gereja katolik. Pada tahun 1936 pada hari raya Paskah kedua pemuda ini secara resmi diterima sebagai umat katolik di Gereja Katolik Denpasar. (Patriwirawan, 1974 : 1411) Dalam perkembangan selanjutnya kedua umat Katolik baru ini mulai memperkenalkan Injil kepada orang- orang Bali lainnya. Tidak sedikit orang Bali di Desanya mulai tertarik dan minta supaya diterima di Gereja Katolik. Tetapi oleh Pater Kersten tidak serta merta diijinkan. Mereka disarankan agar jangan tergesa-gesa masuk Katolik. Sebaiknya mereka belajar dan mengenal dengan baik dulu ajaran gereja Katolik sebelum memutuskan untuk masuk Katolik. Hal inilah yang menyebabkan pada waktu itu hubungan orang Bali Katolik dengan orang Bali yang Hindu tetap harmonis seperti sebelum ada yang memeluk agama Katolik. Orang Bali Katolik juga tetap menjalankan kewajiban- kewajiban dari desa yang tidak berhubungan dengan soal keagamaan seperti Kerja Bakti. Sehingga kerukunan dan ketentraman tetap terjaga dengan baik.(Patriwirawan, 1974 : 1412)

 78 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Kondisi Pater Kersten dalam perkembangannya tidaklah memungkinkan untuk bekerja sendiri di Bali. Ia kemudian digantikan oleh Pater Simon Buis misionaris Flores yang pada waktu itu sedang berlibur ke Eropa. Pada tanggal 30 September 1936, P. Simon Buis meneruskan pembangunan Kapel yang telah digagas sebelumnya oleh P. Kersten dan hendak membangun sebuah rumah di Tuka agar lebih dekat dengan umat yang tinggal di Tuka. Setelah kedatangan P Simon Buis di Bali ia mulai melayani umat Katolik yang terpencar seperti di Singaraja, Candi Kesuma Jembarana, Karangasem, Klungkung, Gianyar, dan Negara. Keadaan ini yang menyebabkan P Simon Buis meminta agar dibantu oleh misionaris ketiga yaitu Pater Agustinus de Broer untuk untuk membantunya melayani umat Katolik di Bali pada tahun 1938.

Dalam kaitannya dengan kehidupan multikultur, dimana relasi mayoritas dan minoritas terjadi dalam konteks harmoni dan riak-riak sosial. Demikian pula halnya dengan kehidupan umat Hindu Bali dan umat Katolik Bali, yang pada awalnya terdapat persoalan atau riak-riak sosial dalam kaitannya dengan masalah kuburan di Tuka. Namun demikian, dalam konteks harmoni yang terjalin, dimana tidak dilepaskan dari persoalan ikut sertanya umat Katolik dalam perbaikan tempat ibadah umat Hindu. Hubungan yang dianggap tidak bersinergis ini tampaknya tidak berlangsung cukup lama. Namun demikian persoalan ini tidak berlangsung lama yang disebabkan karena mereka dapat mengatasi persoalan dengan membagi tanah kuburan menjadi dua bagian. Dalam hal ini tampak sebagian untuk umat Hindu Bali dan sebagian untuk umat Katolik. Demikian pula dalam hal organisasi desa, umat Katolik dibebaskan dari kewajiban yang berhubungan dengan soal agama. (Kusumawanta,2009: 45) Pada tahun 1949 kedatangan misionaris dari Amerika yakni Pater Josef Flaska dan Pater Norbert Antonius Shadeg, SVD. Dengan kedatangan misionaris baru ini umat disekitar Tuka berkembang menjadi lebih luas seperti Babakan, Cemagi, Abianbase. Pada tahun 1951 Pater Simon Buis kembali ke Belanda karena alasan kesehatan setelah ia membangun Gereja di Bali yang pada tahun 1950 menjadi Prefektur Apostolik.

Misionaris yang berasal dari Amerika ini bernama Pater Nobert Antonius Shadeg, SVD lahir di Minnesota, Amerika Serikat pada tanggal 10 Desember 1921. Setelah ditahbiskan menjadi imam, bersama 13 rekannya P. Shadeg diutus ke Indonesia. Pater N. Shadeg tiba di Bali pada tanggal 20 Juli 1950 setelah datang berkunjung dari Ujungpandang dan Flores. Selain berperan sebagai seorang pastor dengan melayani umat Katolik di sejumlah paroki di Bali, Pater Shadeg juga punya perhatian besar pada dunia pendidikan dan masalah kebudayaan. Ia juga menjadi guru Bahasa Inggris di Singaraja, yang saat itu menjadi ibu kota Provinsi Sunda Kecil. Sejak mengajar itulah, dia tertarik untuk lebih intens mempelajari Bahasa Bali, sampai terbitlah kamus yang disusun P. Shadeg yang berjudul, A Basic Balinese Vocabulary' dan Bali Pocket Dictionary. (Suprobo,2000:13)

Komunitas Lokal Dapat Menerima Pandangan-Pandangan Misionaris

Kehadiran misionaris di Bali membawa pengaruh tidak hanya bagi umat Katolik, tetapi juga bagi umat beragama lain yang ada disekitarnya.Dalam aktivitas

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 79 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 misionaris, tidak hanya melakukan kegiatan rohani saja, tetapi juga melakukan kegiatan sosial lainnya yang dapat diterima oleh masayarakat luas di Bali. Kegiatan sosial tersebut antara lain mencakup: 1. Bidang Kesehatan Dalam bidang Kesehatan, misi menaruh perhatian yang sangat besar. Pada awalnya misionaris mengadakan pengobatan dengan berkeliling dari desa ke desa. Dalam rangkaian pengobatannya misionaris melakukan pengobatan dengan penuh kesabaran dan cinta kasih. Komunikasi yang intensif berdialog dari hati ke hati membuat pasien merasa nyaman dan percaya dengan pengobatan yang dilakukan oleh misionari. Ini tampak menarik, apalagi jika dikunjungi oleh pastor, secara psikologis mereka merasa sangat senang karena merasakan sudah mulai diberikan perhatian. Dari sinilah dapat dilihat bagaimana masyarakat lokal dapat menerima pandangan-pandangan misionaris tentang cinta kasih dan saling melayani kepada sesama manusia, tanpa membeda-bedakan suku, ras, dan agama dalam ajaran agama Katolik. Untuk mengobati pasiennya pastor meminjam sebuah rumah untuk dijadikan balai pengobatan. Klinik dan BKIA (Badan Kesehatan Ibu dan Anak) didirikan di Palasari, Tuka, dan Gumrih oleh P. Simon Buis. Klinik ini mendapat bantuan dari suster-suster Fransiskanes. Melalui pendekatan kemanusiaan, para misionaris melayani umat tidak hanya yang beragama Katolik saja, melainkan umat lain yang datang berobat ke klinik. Hal inilah salah satu faktor penyebab misionaris dapat diterima dengan baik ditengah masyarakat Bali yang multibudaya. 2. Bidang Pendidikan. Dalam bidang pendidikan pada tahun 1949 Pater Kersten dan P. Simon Buis mendirikan Sekolah Dasar Katolik pertama di Tuka, lalu pada tahun 1951 mendirikan sekolah yang sama di Palasari dan Gumbrih pada tahun 1953. Selanjutnya dibangun pula Sekolah Menengah di bebagai tempat seperti Tuka, Palasari, Tangeb, Singaraja, dan Denpasar. Meskipun sekolah yang didirikan merupakan sekolah Katolik, namun sekolah ini menerima murid dari seluruh agama yang berasal dari seluruh Bali pada khususnya dan dari seluruh Indonesia pada umumnya. Tidak jarang murid yang masuk ke sekolah ini berasal dari NTB dan NTT yang pada waktu itu memilih menyekolahkananaknya di Sekolah Katolik Denpasar karena mutu dan kualitas yang masih terjaga saat itu. Pada awal berdirinya sekolah, untuk menunjang kegiatan belajar untuk murid yang tidak mampu tidak dikenai biaya. Misi selalu berusaha untuk membantu keluarga yang tidak mampu dan tidak hanya untuk keluarga Katolik saja.

Dapat dikatakan, bahwa dengan dibukanya sekolah dari berbagai tingkatan berarti juga membuka kesempatan untuk tenaga kerja sebagai pengajar dan tenaga administrasi dari masyarakat Bali, sebab ada pula tenaga pengajar dan administrasi dari agama lain yang diterima bekerja di Sekolah Katolik.

Tantangan dan Peluang Misionaris di Bali

Tantangan yang dihadapi oleh misionaris di Bali, sehingga kontribusi mereka dapat diperhitungkan dengan baik dalam konteks dinamika historis terbentuknya masyarakat multibudaya di Bali antara lain adalah pada awalnya kendala dari pasal 117 dari UUD Hindia (Indisiche Straatsregeling) tentang sikap pemerintah

 80 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 yang netral terhadap agama. Hal ini terlihat dari sikap pemerintah yang melarang adanya hubungan antara misionaris dengan orang Bali asli. Tantangan lainnya adalah masalah sosial seperti keadaan umat yang sangat miskin. Sebagai rohaniwan, mereka tidak hanya memperhatikan masalah rohani saja, tetapi juga memikirkan masalahekonomi umatnya. Pada tahun 139 P. Buis memohon pada Assisten Residen Bali Selatan agar umatnya diberi tanah di Bali Barat. Permintaan tersebut baru dapat terpenuhi pada bulan September 1940. P. Buis bersama dengan 24 orang umat laki-laki membuka lahan hutan yang lebat menjadi pemukiman lalu pada tanggal 12 November 1940 sebanyak 22 KK yang berasal dari Desa Tuka pindah dan menetap di Desa Palasari Jembrana. Tantangan kembali dihadapi pada periode okupasi Jepang pad tahun 1942, dimana tentara Jepang mendarat di Bali. Pada saat itu, banyak misionaris di Bali yang ditangkap dan ditawan oleh tentara Jepang. Misalnya saja dapat disebutkan dengan ditangkapnya P. Kersten di Flores dan kemudian ditawan di Sulawesi. Pater Agus de Broer juga ditawan di Jawa, sedangkan P. Simon Buis ditahan di Penjara Singaraja lalu dipindahkan ke Pare-pare, Sulawesi sehingga dapat berjumpa dengan rekan-rekannya dari Flores. Dengan ditahannya imam-imam yang ada di Bali untuk sementara sakramen permandian dan perkawinan diberikan oleh umat yang bernama I Wayan Dibloeg setelah di beri kuasa oleh Mgr. Leven dari Ndona Flores sambil menunggu imam dari Jawa untuk memberikan sakramen lainnya.Setelah kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1946, para misionaris dibebaskan dari tawanan. Mereka satu per satu kembali seperti P. Kerten di Tuka, P Simon Buis di Palasari.(Patriwirawan, 1974:1415).

Demikian dinamika umat yang berada di Bali yang mengalami berbagai pasang surut dalam kaitannya pembertahanan konsep masyarakat multikultur yang ada di Bali pada khususnya, dan di Indonesia pada umumnya.

SIMPULAN

Dari uraian dan analisis yang disampaikan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, kehadiran misionaris di Bali memang pada awalnya mendapat pertentangan dari pemerintah kolonial, karena mereka ingin menjaga dan melestarikan keutuhan dan budaya asli serta struktur sosial masyarakat Bali. Kedua, adanya kekhawatiran karena Kehadiran misionaris menjadi ancaman apabila banyak umat Hindu Bali yang beralih menjadi Katolik, namun hal ini tidak terjadi sebab dalam perkembangannya kehadiran misionaris yang datang ke Bali tidak hanya untuk memberi pelayanan rohani kepada umat Katolik Eropa ataupun melayu saja melainkan juga membantu masyarakat Bali lainnya yang berada disekitarnya seperti di daerah Tuka, Singaraja, Karangsem dan Jembrana. Ketiga, para misionaris memberikan bantuan kepada masyarakat yang pada waktu itu kondisinya sangat miskin. Terutama yang berada di daerah Tuka. Peran misionaris dalam hal pemberian layanan kesehatan di klinik dan Balai Kesehatan Ibu dan Anak serta mendirikan sekolah-sekolah dari tingkat dasar hingga menengah yang dibuka untuk umum memberikan kesempatan kepada umat di Bali untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Keempat, misionaris diberi

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 81 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 kesempatan untuk melaksanakan pelayanannya dalam sejarah perkembangan gereja Katolik di Bali, meskipun mendapat tantanganyang menunjukkan, bahwa misionaris juga berperan dalam pembentukan masyarakat multibudaya di Bali. Hal ini dapat dilihat dari terbukanya masyarakat Bali dapat menerima pendatang dari luar yang sama-sama mempertahankan etinisitas dan identitas budayanya masing-masing di masa kini dan masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Ardhana, I Ketut, dkk. 2011. Masyarakat Multikultural Bali Tinjauan Sejarah, Migrasi dan Integrasi. Pustaka Larasan : Yogyakarta. Bagian Dokumentasi Penerangan Kantor Wali Gereja Indonesia. 1974. Sejarah Gereja Katolik Indonesia. Percetakan Arnoldus : Ende. Suprobo, Leo. 2000.50 Tahun Karya Missionaris Romo Norbertus Antonius Sahdeg, Svd, Ma (1949-1999).Skripsi yang belum diterbitkan, Jurusan Sejarah : Universitas Udayana. Kusumawanta, Rm.D.Gusti Bagus, Yoseph Made Ratnatha, Mathias Rony . 2009. Gereja Katolik Di Bali (Suatu Penelusuran Sejarah Awal Kekatolikan Sampai dengan 2006). Yayasan Pustaka Nusatama:Yogyakarta.

 REVITALISASI NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL TRI HITA KARANA DAN SAD KERTIH DALAM PENGEMBANGAN DESA WISATA SANGKAN GUNUNG

Gede Ginaya, I.A. Kade Werdika Damayanti, Ni Wayan Wahyu Astuti, I Wayan Nurjaya Jurusan Pariwisata Politeknik Negeri Bali [email protected]

ABSTRAK

Bali merupakan salah satu tujuan wisata di Indonesia yang telah dikenal luas di dunia. Pada tahun 2017, Bali memperoleh penghargaan sebagai tujuan wisata terbaik dunia oleh TripAdvisor, situs perjalanan terbesar di dunia. Penghargaan ini juga berdampak pada peningkatan upaya pemerintah untuk mencapai target 20 juta wisatawan asing pada tahun 2019. Bahkan, penghargaan ini dan sejumlah penghargaan lainnya yang telah disematkan pada pulau dewata ini tercapai karena kesatuan pengejawantahan implementasi nilai-nilaiTri Hita Karana (THK) dan Sad Kertih (SK) sebagai kearifan lokal dalam menjaga keseimbangan Bali. Namun, Pembangunan kepariwisataan kini hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi dengan begitu masifnya pengembangan pariwisata masal (mass tourism),sehingga para wisatawan menjadi sulit menemukan keunikan Bali karena mereka tidak cukup menemukan informasi yang benar tentang Bali. Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi revitalisasi nilai-nilai-nilai THK dan SK dalam pengembangan desa wisata Sangkan Gunung, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem.Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan studi dokumen. Sedangkan teori yang digunakan adalah teori hermeneutik dan fenemenologiHasil penelitian menunjukkan bahwa perlu adanya revitalisasi, transformasi, konservasi, dan re- aktualisasi nilai-nilai kearifan lokal THK dan SK, sebagai upaya mewujudkan multiplier effects dari pengembangan desa wisata yang berbasis masyarakat serta dilandasi dengan nilai-nilai kearifan lokal yang pada akhirnya bermuara pada kesejahteraan masyarakat yang seimbang antara lahir dan batin.

Kata Kunci: revitalisasi, kearifan lokal, THK dan SK,multiplier effects, kesejahteraan lahir dan batin

Latar Belakang Pengembangan pariwisata tidak hanya terkonsentrasi dengan pengembangan yang berbasis komodifikasi dari suatu produk yang bernilai ekonomis sehingga mempunyai nilai tambah (added value) saja, tetapi juga perlu dilandasi dengan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 82 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 83 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 nilai-nilai kearifan lokal agar tercipta keharmonisan dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, sehingga tidak terjadi pergulatan kepentingan (conflict of interest) antar pemangku kepentingan dan masyarakat pelaku pariwisata karena perebutan kue pariwisata (Ginaya, 2017). Salah satu kearifan lokal yang tumbuh subur dalam kehidupan sosial masyarakat Bali adalah Tri Hita Karana (THK) dan Sad Kertih (SK). Windia dan Ratna Komala Dewi (2007), Pitana (2010), Purana (2016), Ardika (2017), Mudana et al (2018), dan Ginaya (2018)menyebutkan pengertian THK sebagai tiga hubungan yang harmonis, yaitu hubungan yang harmonis dengan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan harmonis antara sesama manusia dan hubungan harmonis antara manusia dengan alam serta makhluk lainnya.SK adalah enam jenis upacara yang bertujuan untuk menjaga keharmonisan alam dan isinya atau enam konsep dalam melestarikan lingkungan (Wiana, 2004, 2018). Menurut Wiana konsep Sad Kertih adalah ajaran Hindu di Bali yang dapat ditelusuri ke sumbernya di Bali Purana atau lontar di mana alam semesta ini termasuk manusia menurut Veda terdiri dari unsur-unsur Panca Maha Butha atau lima unsur yang terdiri alam semesta. Implementasi THK dalam pembangunan pariwisata Bali yang dianggap mempunyai dampak sangat luas bagi masyarakat serta lingkungan di Bali, yaitu sektor perhotelan, akomodasi, serta atraksi wisata telah diakui oleh Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata, I Gd. Ardika (Anonim, 2003: 80). I Gd. Ardika dalam sumber yang sama menyatakan bahwa ada beberapa hal yang penting dari pelaksanaan THK Tourism Awards: bersifat bottom up, memberdayakan masyarakat, bersifat voluntary, dan partisipatif. Keadaan yang cenderung membuat pembangunan kepariwisataan kini hanya difokuskan pada pertumbuhan ekonomi, para penikmat pariwisata menjadi sulit menemukan keunikan Bali adalah bertentangan dengan prinsip utama pariwisata berkelanjutan(key principles of sustainable tourism) (Ardika, 2009) dan prinsip- prinsip local genius atau cultural identity seperti yang dikemukakan oleh Soebadio (Ayat,1986: 18). Berdasarkan prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan, menurut Ardika bahwa salah satunya tertulis secara tegas bahwa pariwisata hendaknya dilakukan dengan asas kesetaraan guna terdistribusinya secara adil keuntungan(benefits)dan biaya(costs)di antara investor, masyarakat lokal, dan kawasan wisata. Oleh karena itu, Bali sebagai daerah destinasi wisata mengalami ketimpangan saat menghadapi derasnya arus informasi dari luar dengan semakin meningkatnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi antar generasi, sehingga terjadi disorientasi pemaknaan sistem nilai budaya lokal. Di sisi lain, dari prinsip-prinsip cultural identity, Soebadio menyatakan bahwa kemampuan untuk menyerap dan mengolah pengaruh kebudayaan dari luar adalah ketahanan di bidang budaya sebagai ketahanan bangsa di mana suatu bangsa akan lebih mampu untuk bertahan menghadapi ancaman budaya luar, sehingga mampu menyerap apa yang cocok dan menolak apa yang tidak cocok.Hal ini menjadi akar permasalahan dalam pengembangan pariwisata di mana kemampuan masyarakat dalam menangani percepatan perubahan, kompleksitas, dan ketidakpastian perkembangan kepariwisataan di Bali masih rendah, sehingga kapasitas masyarakat dalam mengelola pariwisata yang berbasis budaya perlu ditingkatkan. Permasalahan ini perlu untuk diteliti sebagai sebuah kajian budaya (cultural studies) yang bersifat kritis dan multidisipliner serta berusaha membela kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan seperti yang disarankan oleh

 84 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 para pakar kajian budaya, di antaranya Barker (2005: 6), sehingga nantinya dapat memberikan gambaran tentang pengembangan model pariwisata kreatif di desa Sangkan Gunung sebagai pengejawantahan sebuah pembangunan pariwisata berkelanjutan melalui integrasi komunitas, budaya dan lingkungan yang berlandaskan nilai-nilai kearifan lokal Tri Hita Karana dan Sad Kertih untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera lahir dan batin dengan tetap menjaga kelestarian linkungan alam dan keajegan budaya lokal.

Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang langsung didapatkan berdasarkan hasil survei pada saat penjajagan awal pengabdian kepada masyarakat di desa Sangkan Gunung dan wawancara langsung terhadap tokoh-tokoh masyarakat di desa tersebut, seperti kepala desa, bendesa adat, ketua kelompok sadar wisata desa Sangkan Gunung beserta kelompok mitra lainnya seperti kelompok tani, pengerajin, kesenian. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelusuran studi dokumen dan pustaka. Data selanjutnya dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif yang didasari paradigma metodologis induktif. Artinya, suatu paradigma yang bertolak dari sesuatu yang khusus ke sesuatu yang umum (Mahsun dalam Ginaya, 2018). Dengan metode analisis deskriptif, data yang telah dikumpulkan dideskripsikan secara lengkap sehingga akhirnya didapatkan suatu simpulan. Hasil penelitian disajikan dengan metode formal dan informal. Menurut Sudaryanto (1993: 145) metode penyajian informal adalah menyajikan hasil analisis dengan uraian atau kata-kata biasa, sedangkan metode penyajian formal adalah perumusan dengan tanda-tanda dan lambang-lambang Menurut Muhammad dalam Ginaya (2018) lambang-lambang atau tanda-tanda digunakan untuk menyajikan atau merumuskan hasil analisis sehingga makna kaedah, hubungan antar-kaedah, dan kekhasan kaedah dapat diketahui dan dipahami.

Hasil dan Pembahasan Pengembangan sebuah desa wisatayang dirumuskanhendaknya sedapat mungkin merupakan representasi partisipasi masyarakat dalam setiap aspeknya. Demikian pula harapan masyarakat Sangkan Gunungdalam pengembangan desawisata sesuai dengan potensi desa ke depannyaadalah(1) Pengembangan Pokdarwis desa Sangkan Gunung sedapat mungkin dapat melibatkan masyarakat sebagai konsep pengembangan pariwisata berbasis masyarakat (PBM) dengan melibatkan seluruh komponen warga masyarakat yang terlibat aktifdalampengembangan potensi wisatadesa menjadi sebuah destinasi wisata; (2) Pariwisata Berbasis Masyarakat (PBM) yang lebih menekankan pada sisi ekonomi hendaknya dilandasi juga dengan kearifan lokal THK dan SK. THK adalah keseimbangan hubungan di antara 3 unsur di masyarakat desa Sangkan Gunung dalam menjalankan kehidupannya sebagai upaya untuk terciptanya kehidupan masyarakat yang damai, harmonis dan bahagia, yaitu hubungan masyarakat dengan Sang penciptanya, hubungan harmonis sesama warga masyarakat, dan hubungan harmonis masyarakat dengan lingkungannya. Ketiga hubungan harmonis yang menyebabkan kebahagiaan ini dan enam unsur dalam SK akan memupuk rasa ―paras paros sarpanaya salulung sabayantaka‖ atau adanya

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 85 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 penghargaan terhadap hak-hak masyarakat lokal serta menjaga kelestarian linkungan yang ada di kawasan desa Sangkan Gunung. Gambar 1 berikut menunjukkan perpaduan konsep filosofis kearifan lokal THK dan SK sebagai model pengembangan desa wisata Sangkan Gunung.

Parhyangan/AtmaK ertih

Tri Hita Karana (Tigahubunganhar monisantaramanus Sad Kertih iadenganTuhan, Pawongan/Jana (Enamkonsepdala manusiadenganma Kertih mmelestarikanling nusia, dan manusiadenganala kungan)

m)

Palemahan/Segara, Wana, Danu, Jagat Kertih

PariwisataBerkelanjutan

Gambar 1. Konsep filosofis THK danSK

Metode yang dipergunakan untuk mencapai target pengembangan PBM yang dilandasi dengan nilai-nilai kearifan lokal THK dan SK dalam pengembangan desa wisata Sangkan Gunung yang secara garis besar dapat diklasifikan menjadi 3 sesuai dengan identifikasi permasalahan dalam pengembangan desa Sangkan Gunung sebagai desa wisata, yaitu keterbatasan daya jangkau terhadap pasar; keterbatasan SDM bidang manajemen, administrasi dan kompetensi operasional; keterbatasan fasilitas fisik. Oleh karena itu, metode rancangan pengembangan desa wisata Sangkan Gunung seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Metode rancangan pengembangan desa wisata Sangkan Gunung Data Kegiatan Metode Rasional Mendata Pengadaanwebsite Procurement of website Websitememberikanak Potensi Pokdarwis desa in English and other ses wisata Sangkan Gunung foreign languages informasitentangPokda yang ada serta rwisterhadappasar untuk mengembangkan dikembang Pokdarwis desa kan Sangkan Gunung menjadi Desa wisata (Dewi) Pengemba Mengembangkan Materi situs web Situs web ini ngan Pokdarwis desa dikumpulkan dan disusun menyediakan akses prasarana Sangkan Gunung bersama antara tim dan informasi tentang dan sarana menjadi desa personel Pokdarwis Pokdarwis ke pasar pendukung wisata

Pengemba Sosialisasi PBM PendadarantentangPBM Pemahamanterhadapprin ngan berlandaskan THK berlandaskan THK dan SK sip PBM berlandaskan

 86 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

produk dan SK diberikanuntukmembang THK dan SK wisata un akanmenuntunpada pemahamantentangesensi pengembanganpariwisat dari ayang lebihterarah. parwisataberbasismasyar akat berlandaskan THK dan SK

Potensi yang dapat dikembangkan sebagai atraksi wisata di desa wisata Sangkan Gunung adalah sumber daya alam dan keindahan alam serta seni dan budaya. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, potensi yang ada di desa Sangkan Gunungmerupakan daerah pedesaan yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai tujuan wisata dengan daya tariknya termasuk keindahan alamnya. Desa Sangkan Gunung terletak pada ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan laut dapat ditemukan petak persawahan dengan teras sering, aliran sungai Telaga Waja yang terkenal dengan wisata arung jeram, air terjun, bendungan irigasi, dan beberapa sumber mata air untuk ritual malukat atau penyucian. Gambar 2 berikut adalah penduduk lokal yang memanfaatkan mata air mumbul untuk aktivitas penyucian atau pembersihan diri.

Gambar 2. Malukat di mata air Mumbul

Simpulan Semua komponen masyarakat yang tergabung dalam organisasi yang ada di desa Sangkan Gunung adalah sangat potensial dalam mendukung keberhasilan pengembangan Pokdarwis di desa tersebut. Semua Potensi tersebut sangat perlu diberdayakan sebagai upaya mendukung pengembangan Pokdarwis di desa tersebut. Dalam pengembangannya diharapkan terjadi kebersamaan dalam suatu aktivitas yang dilandasi dengan semangat gotong royong saling bahu membahu di antara seluruh komponen masyarakat yang memiliki visi dan misi yang sama yaitu pengembangan potensi wisata desa untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, bahagia, dan damai sebagai realisasi dari esensi pengembangan pariwisata yang berlandasan THK dan SK dan berbasis masyarakat atau PBM. Dalam pengembangan komodifikasi potensi wisata di desa Sangkan Gunung semaksimal mungkin diharapkan untuk melibatkan partisipasi masyarakat yang sejalan dengan konsep pariwisata berbasis masyarakat (PBM) yang menurut para pemerhati pariwisata berbasis masyarakat tersebut, PBM merupakan model pembangunan yang memberikan peluang yang sebesar-besarnya kepada masyarakat pedesaan untuk berpartisipasi dalam pembangunan pariwisata. Melalui pengembangan desa wisata diharapkan terjadi pemerataan yang sesuai dengan konsep pembangunan pariwisata yang berkelanjutan. Di samping itu,

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 87 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 keberadaan desa wisata menjadikan produk wisata lebih bernilai budaya pedesaan karena dilandasi oleh nilai-nilai kearifan lokal THK dan SK, sehingga pengembangan desa wisata bernilai budaya tanpa merusaknya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim (2003). Bali: Objek dan Daya Tarik Wisata (Buku Panduan Pramuwisata). Denpasar: Dinas Pariwisata Provinsi Bali. Ardika, I. W. (2009). ―Aspek Sosial Budaya dalam Pariwisata Berkelanjutan‖. (Makalah disampaikan pada Kuliah Globalisasi dan Pariwisata Budaya Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana). Ardika, I. W. (2018). The Implementation of Tri Hita Karana on the World Heritage of Taman Ayun and Temples as Tourist Attractions in Bali. E-Journal of Tourism, 85-93. Ayat, R. (1986). Kepribadian budaya bangsa (local genius). Jakarta: Pustaka Jaya. Ginaya, G. (2018). The Balinese calendar system: From its epistemological perspective to axiological practices. International Journal of Linguistics, Literature and Culture (IJLLC), 4(3), 24-37. Ginaya, G. (2017). Pergulatan Kepentingan antara Representatif Asing dan Pramuwisata dalam Penanganan Wisatawan Rusia pada PT. Tiga Putrindo Lestari, . Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, 13. Mudana, I. G., Suamba, I. B. P., Putra, I. M. A., & Ardini, N. W. (2018, January). Practices of Bali Tourism Development, Threefolding, and Tri Hita Karana Local Knowledge in New Order Indonesia. In Journal of Physics: Conference Series (Vol. 953, No. 1, p. 012108). IOP Publishing. Pitana, I., (2010). Tri Hita Karana–the local wisdom of the Balinese in managing development. In Trends and issues in Global Tourism 2010 (pp. 139- 150). Springer, Berlin, Heidelberg.Agusnawar, A.Md.Par. 2004. Resepsionis Hotel. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Purana,IMade.(2016).―PelaksanaanTriHitaKaranadalamKehidupanUmatHindu‖.Ju rnalKajian PendidikanWidyaAccarya,FKIPUniversitas Dwijendra,Maret2016. Sudaryanto. (1993). Metode dan aneka teknik analisis bahasa: pengantar penelitian wahana kebudayaan secara linguistis. Duta Wacana University Press. Wiana. I. K.(2004).Mengapa Bali di sebut Bali.Penerbit Paramita Surabaya Wiana. I. K.(2018). ―Implementasi Filosofi dan Konsepsi Pembangunan Bali (Bagian VII, Rubrik Wija Kasaur): Empat Fungsi Kebersamaan Universal‖, Pos Bali, Sunday, 20 May, p. 1. Windia,W.andRatnaKomalaDewi.(2007).AnalisisBisnisyangberlandaskantrihitaka rana. Denpasar:Universitas Udayana.

 ANALISIS ‘UNTUK KITA RENUNGKAN’

I Gusti Ayu Gde Sosiowati Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [email protected]

ABSTRAK

Banyak cara manusia untuk menyampaikan apa yang ada di dalam pikirannya dan salah satu dari cara tersebut adalah melalui lagu. Pada dasarnya lagu adalah sebuah puisi yang disampaikan dengan bantuan nada-nada musik yang biasa disebut musikalisasi. Oleh karena bentuk dasarnya adalah puisi, penyampaiannya juga menggunakan perangkat puisi. Kenney (1966) menyatakan bahwa perangkat puisi ada bermacam-macam, misalnya simbol, metaphor, personifikasi dsb. ―Untuk Kita Renungkan‖ adalah sebuah lagu yang diciptakan oleh Ebit G.Ade. Lagu ini sama dengan lagu- lagunya yang lain yang biasanya mengusung tema tentang alam dan duka derita sekelompok orang yang teraniaya. Jenis musik yang biasa dimainkannya adalah musik pop, balada dan country. Dari sekian banyak lagu, lagu dengan judul ―Untuk Kita Renungkan‘ merupakan lagu yang memiliki kosa kata yang tidak terduga. Lagu ini sangat bernuansa religi karena banyak mengacu kepada pengetahuan agama dan Tuhan. Mengingat bahwa pada masa sekarang ini banyak terjadi bencana alam dan juga banyak manusia lupa kepada ajaran kebajikan, menganalisis lagi ini sangat relevan untuk dilakukan. Analisis lagu ini dilakukan untuk mengupas kandungan nilai-nilai moral yang ada di dalamnya dan bagaimana cara Ebit G.Ade menyampaikan pesan yang ingin disampaikannya. Meskipun hanya lagu, makna yang tersirat di dalamnya diharapkan dapat menggugah nurani pendengarnya dan memunculkan niat untuk selalu berbuat baik kepada sesama.

Kata kunci: puisi; lagu; musikalisasi; nilai-nilai moral

Pendahuluan Lagu adalah suatu bentuk karya seni yang banyak digemari oleh manusia sebagai alat menghibur diri. Lagu dapat memiliki beraneka ragam tema, misalnya tentang alam, cinta, kesedihan, kegembiraan ataupun kekecewaan. Oleh karena kemampuannya mengakomodasi berbagai macam perasaan, lagu seringkali dipakai oleh peciptanya untuk menyampaikan apa yang dirasakan atau dilihat. Sebagai sebuah bentuk seni yang dianggap sama dengan puisi, menganalisis untuk mendapatkan maknanyapun sama dengan menganalisis puisi. Analisis karya sastra, dalam hal ini puisi, dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan intrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan intrinsik adalah suatu cara menganalisis puisi berdasarkan elemen-elemen intrinsic seperti misalnya tema, gaya bahasa, bentuk

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 88 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 89 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 yang digunakan dan sebagainya sedangkan analisis ekstrinsik akan menghubungkan suatu puisi dengan kondisi sosial atau kehidupan pengarangnya. Analisis puisi yang pada akhirnya dipresentasikan melalui lagu sudah banyak dilakukan oleh para ahli. Salah satunya adalah karya ilmiah yang ditulis oleh Ransom (2015). Dia mengatakan bahwa music adalah salah satu alat komunikasi yang efektif dan lirik lagu sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan komunikasi. Dikatakan pula bahwa lagu dapat membangkitkan perasaan positif bagi pendengarnya. Lirik lagu disamping dapat membangkitkan perasaan positif, dapat pula merupakan pembelajaran. Hal ini disampaikan oleh Steinberg (2014) yang menyatakan bahwa generasi muda yang berumur belasan dengan kondisi otak yang masih lentur dapat dengan mudah belajar dan menyerap makna sebuah lagu. Pendapat ini sejalan dengan tujuan penulisan artikel ini yaitu menemukan ajaran moral dalam lagu ―Untuk Kita Renungkan‖ melalui analisis intrinsik dan ekstrinsik. Harapan yang dapat dikemukakan dengan menganalisis lagu ini adalah membuka kesadaran manusia terutama generasi muda sebagai generasi penerus bangsa terhadap kebesaran Tuhan sehingga perilaku religious dapat mendasari setiap tindakannya.

Metodologi Data artikel ini diambil dari sebuah lagu yang berjudul ―Untuk Kita Renungkan‖ yang ditulis oleh Ebit G.Ade tahun 1982 pada saat Gunung Galunggung di Jawa Barat meletus. Lagu ini merupakan lagu yang mengandung ajaran untuk introspeksi diri dan bagaimana menyikapi sebuah bencana. Oleh karena lagu dapat dikatakan sebagai puisi yang dimusikalisasi, analisisnya akan di awali dengan tema, kemudian diikuti oleh analisis bagian-bagian lagu itu dengan menggunakan teori Kenney (1966). Kenney menyebutkan bahwa perangkat puisi (poetic devices) terdiri atas: pilihan kata, bahasa figurative misalnya Hiperbola, Ironi, Metafora, Metonimi, Paradox, Personifikasi, Simili, Sinekdoce dan sebagainya. Menurut Morner & Rausch ( 1998) Hiperbola adalah menyatakan sesuatu dengan cara membesar-besarkan, Ironi adalah kontradiksi antara apa yang diharapkan dan yang terjadi sebenarnya, Metafora adalah menganalogikan sesuatu sucara imajinatif dengan hal lain yang berbeda, Metonimi adalah penggantian nama benda atau orang dengan nama lain yang berhubungan, Paradox adalah pernyataan yang nampaknya bertentangan, tetapi benar, Personifikasi adalah pemberian karakteristik manusia kepada benda-benda yang bukan manusia termasuk kekuatan alam dan konsep yang abstrak, Simili adalah perbandingan dua hal yang berbeda dengan menggunakan kata ―seperti‘ atau ‗bagaikan, dan Sinekdoce adalah menyatakan suatu objek secara keseluruhan dengan mengatakan bagiannya saja. Lagu ini dipilih karena sangat relevan dengan kondisi masa kini dimana banyak orang cenderung mencaci maki bahkan memfitnah orang lain tanpa pernah menyadari bahwa mereka sendiri bukan sosok yang lebih baik. Rasa takut berbuat dosa sudah tidak ada lagi demi materi. Mereka tidak menyadari bahwa Tuhan dapat membalikkan segala sesuatu dalam sekejap.

 90 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Pembahasan Pembahasan ini akan diawali oleh presentasi lagu yang berjudul ―Untuk Kita Renungkan‖ ciptaan Ebiet G. Ade. Selanjutnya baris demi baris akan dianalisis untuk melihat apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh pengarangnya.

Untuk Kita Renungkan

1 Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih 2 Suci lahir dan di dalam batin 3 Tengoklah ke dalam sebelum bicara 4 Singkirkan debu yang masig melekat, oh 5 Singkirkan debu yang masih melekat

Du du du du du oh oh oh

6 Anugerah dan bencana adalah kehendakNya 7 Kita mesti tabah menjalani 8 Hanya cambuk kecil agar kita sadar 9 Adalah Dia di atas segalanya oh 10 Adalah Dia di atas segalanya

11 Anak menjerit-jerit, asap panas membakar, lahar dan badai menyapu bersih 12 Ini bukan hukuman, hanya satu isyarat, bahwa kita mesti banyak berbenah 13 Memang, bila kita kaji lebih jauh 14 Dalam kekalutan, masih banyak tangan yang tega berbuat nista... oh

15 Tuhan pasti telah memperhitungkan 16 Amal dan dosa yang kita perbuat 17 Kemanakah lagi kita kan sembunyi 18 Hanya kepadaNya kita kembali 19 Tak ada yang bakal bisa menjawab 20 Mari, hanya runduk sujud padaNya

hooo...hooohooo du du du

21 Kita mesti berjuang memerangi diri 22 Bercermin dan banyaklah bercermin 23 Tuhan ada di sini di dalam jiwa ini 24 Berusahalah agar Dia tersenyum...

ho.....ho...ho...ho...du..du..du..du..

25 Berusahalah agar Dia tersenyum

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 91 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Seperti yang sudah dinyatakan sebelumnya, lagu ―Untuk Kita Renungkan‖ ini diciptakan berlatar belakang meletusnya gunung Galunggung di Jawa Bart pada tahun 1982. sehingga video clip nyapun dibuat dengan memanfaatkan potongan-potongan gambaran yang terjadi pada saat terjadinya bencana alam yang berupa gambar bayi, orang berdoa kondisi sebuah lokasi yang porak porand, aliran lahar yang masih membara dan tangan yang menerima uang. Kondisi seperti ini tentunya banyak mengundang komentar. Ada yang mengatakan bahwa bencana itu adalah teguran Tuhan akan tetapi adapula yang mengatakan bahwa bencana itu adalah hukuman dari Tuhan. Menyikapi bencana dan komentar tentang meletusnya gunung Galunggung itu serta sikap manusia yang memanfaatkan penderitaan orang lain, Ebiet G. Ade menulis lirik lagu yang seakan-akan mengingatkan bahwa manusia itu hendaknya jangan mengatakan dan melakukan hal-hal yang buruk kepada orang lain. Pada saat manusia mengalami kesulitan hanya Tuhan yang bisa menolong oleh karena itu tugas manusia adalah berbuat baik sehingga Tuhan menjadi senang. Latar belakang lagu ini akan digunakan sebegai elemen intrinsik yang sangat membantu dalam menganalisis lagu ini. Latar belakang penciptanya juga sangat membantu dalam penentuan tema. Musisi yang bernama asli Abid Ghoffar bin Aboe Dja‘far yang lahir di Wanadadi, Banjarnegara, Jawa Tengah pada 21 April 1954 ini adalah sosok yang suka bergaul dengan seniman muda Yogyakarta. Berlatar belakang pendidikan yang bernuansa agama (SMP dan SMA Muhammadiyah) bahkan menjalani pendidikan Guru Agama, tidak mengherankan bahwa lagu-lagunya banyak bernuansa religi, termasuk lagu ―Untuk Kita Renungkan‖ Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, lagu ―Untuk Kita Renungkan‖, apabila dilihat dari liriknya adalah lagu yang bertema religi. Melalui lagu ini penciptanya ingin menunjukkan betapa maha kuasanya dan maha pengasihnya Tuhan. Bagaimana Ebiet G Ade membangun tema ini melalui lirik lagu ―Untuk Kita Renungkan‖ dapat dilihat pada paparan berikut. 1 Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih 2 Suci lahir dan di dalam batin 3 Tengoklah ke dalam sebelum bicara 4 Singkirkan debu yang masig melekat, oh 5 Singkirkan debu yang masih melekat

Melalui lirik 1 – 5 para pendengar lagu ini dapat menyimpulkan bahwa penciptanya ingin mengajak orang untuk introspeksi diri sebelum membicarakan keburukan orang lain. Di baris (1) Ebiet menggunakan kata ―telanjang‖ yang apabila dilihat sebatas baris itu dapat mengundang pemahaman yang berbeda karena terdengar vulgar. Akan tetapi sebenarnya Ebit menggunakan Metafora untuk menyatakan bahwa bahwa sebaiknya kita bersikap seperti bayi yang bersih yang belum dikotori oleh berbagai nafsu. Bukankah pada saat bayi baru lahir telanjang? Sosok bayi Adalah sosok yang jujur dan belum dikotori nafsu duniawi. Begitulah hendaknya apabila manusia ingin mengomentari apa yang terjadi. Bersihkan hati dan pikiran diri terlebih dahulu (line 2: suci lahir dan di dalam batin). Di line (3) kita diminta untuk melihat ke dalam (hati) yang maksudnya adalah lihatlah secara jujur siapa kita sebenarnya. Pada line 3, gaya bahasa yang digunakan adalah Elipsis yaitu tidak menyebutkan kata ―hati‖ secara eksplisit. Himbauan untuk

 92 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 lebih membersihkan hati nurani disampaikan melalui baris (4 - 5). Kedua baris ini merupakan pengulangan yang juga merupakan salah satu gaya bahasa untuk menekankan makna. Ebit menggunakan kata ―debu‖ yang merupakan simbol dari kekotoran. Hilangkan kekotoran ini dari hati sehingga manusia dapat melihat apa yang terjadi dengan baik sehingga apa yang dikatakan juga akan dilandasi oleh niat baik. Ebiet mengibaratkan kesucian hati merupakan hal yang sangat penting sehingga baris itu diulang pada saat dinyanyikan.

Baris 6 – 10 menunjukkan betapa besarnya kuasa Tuhan. Anugerah dan bencana merupakan majas antitesis yang menggunakan dua kata berlawanan. Hal ini menunjukkan bahwa Tuhan, apabila berkehendak dapat melakukan apa saja. Bencana yang demikian besar diibaratkan hanya sebagai cambuk kecil. Gaya bahasa yang digunakan adalah Litotes yaitu gaya bahasa untuk mengecilkan sesuatu. Dengan menggunakan ungkapan ini Ebiet mencoba menyampaikan bahwa apa yang merupakan lecutan kecil ternyata berdampak begitu besar bagi umat manusia. ―Cambuk kecil‖ yang sudah membuat manusia sadar atas kuasaNya, ternyata juga dipakai oleh sekelompok manusia untuk melakukan hal- hal yang tidak terpuji. Perbuatan tidak terpuji ini misalnya memberi pertolongan kepada orang yang sudah mengalami kesusahan dengan meminta bayaran.

Baris 11: ―Anak menjerit-jerit, asap panas membakar, lahar dan badai menyapu bersih‖ menyajikan gaya bahasa Klimaks untuk menunjukkan betapa asap panas, lahar dan badai yang awalnya ―hanya‖ membuat anak-anak menjerit ketakutan dan kesakitan pada akhirnya menyapu semua yang ada di sekitranya tanpa memandang apa dan siapa yang diterjang. Sekilas memang Nampak seperti hukuman bagi manusia. Akan tetapi dengan menggunakan gaya bahasa koreksio

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 93 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

(line 12: Ini bukan hukuman, hanya satu isyarat, bahwa kita mesti banyak berbenah) Ebit menyatakan bahwa bencana tersebut hanya merupakan isyarat dari Tuhan bahwa manusia haris lebih memperbaiki perilaku terhadap sesame manusia dan perilaku terhadap alam. Dalam hal Tuhan bukan penghukum karena cambuk kecilNya saja sudah mampu menimbulkan asap panas dan lahar, dua hal yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia. Pada baris 14 (…banyak tangan yang tega berbuat nista), Ebit menggunakan gaya bahasa Sinekdoce yaitu menggunakan satu bagian tubuh manusia untuk merepresentasikan manusia secara utuh

Baris 15 – 20 mengandung arti bahwa manusia tidak seharusnya saling menghakimi karena Tuhan yang merupakan hakim paling adil telah memperhitungkan apa yang dilakukan manusia dan menunjukkannya melalui berbagai cara. Belum tentu peringatan itu langsung diberikan kepada pelaku akan tetapi diberikan melalui orang lain untuk menggugah hati nurani si pelaku bahwa perbuatannya bisa menyengsarakan orang lain. Misalnya eksploitasi terhadap alam sudah mengakibatkan perubahan lapisan bumi yang dapat menimbulkan bencana alam. Untuk menyampaikan kebesaran Tuhan, Ebit menggunakan gaya bahasa Retoris (baris 17: Kemanakah lagi kita kan sembunyi). Manusia tidak bisa bersembunyi dari Tuhan yang akan member ganjaran kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Semua itu hanya masalah waktu. Baris 21 – 25 adalah lirik yang mengajak kita semua untuk melawan hawa nafsu yang tidak baik. Baris 21: Kita mesti berjuang memerangi diri, mengaplikasikan gaya bahasa hiperbola melalui kata ‗memerangi‘ karena kata perang merupakan aktifitas yang melibatkan banyak orang. Baris 22 mengandung pengulangan kata ‗bercermin‘ dengan tujuan menekankan makna. ‗Bercermin‖ tidak mengandung arti harfiah karena maksudnya adalah kita harus melihat kedalam hati kita sendiri dan jujur karena cermin memantulkan diri kita dengan cara yang sangat jujur. Kembali Ebiet menggunakan Alegori. Baris 24 menampilkan Personifikasi dimana Tuhan yang merupakan konsep abstrak namun sangat dipercaya keberadaanNya dianggap dapat tersenyum apabila merasa bahagia. Tuhan akan bahagia apabila umatnya menjalankan ajaranNya dengan baik dan benar. Makna baris ini sangat penting sehingga Ebiet mengulangnya di baris 25.

 94 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Simpulan Paparan di atas menunjukkan bahwa untuk membangun suatu tema, pemilihan kata dan gaya bahasa yang digunakan merupakan hal yang sangat penting. Ebiet G Ade dalam usahanya memberikan pembelajaran religi melalui lagu kepada masyarakat sudah menggunakan elemen ekstrinsik yaitu bencana meletusnya gunung Galunggung dan pengetahuannya terhadap agama dan elemen intrinsik yaitu gaya bahasa untuk menyampaikan pesannya. Gaya bahasa yang digunakannya adalah Metafora, Ellipsis, Simbol, Repetisi, Antithesis, Litotes, Klimaks, Koreksio, Sinekdoce, Retoris dan Alegori. Lagu ini dapat dikatakan merupakan himbauan yang sangat kuat untuk memperbaiki perilaku hidup manusia sehingga nilai keimanan yang tergerus dapat kembali dipertebal untuk dapat menciptakan kehidupan yang mengedepankan kepentingan bersama dan menghilangkan keserakahan yang dapat menimbulkan malapetaka bagi masyarakat.

Daftar Pustaka https://www.viva.co.id > read. Profil Ebiet D Ade – VIVA. Diunduh tanggal 17 Maret 2019.

Kenney, William (1966). How to Analyze Fiction.

Morner, Kathlees; Rausch, Ralph (1998). NTC‟s Dictionary of Literary Terms. Chicago: NTC Publishing Group.

Ransom, Patricia Fox, "Message in the Music: Do Lyrics Influence Well-Being?" (2015).Master of Applied Positive Psychology (MAPP)Capstone Projects. 94. http://repository.upenn.edu/mapp_capstone/94

Steinberg, L. (2014). Age of opportunity: Lessons from the new science of adolescence. Houghton Mifflin Harcourt.

 METAFORA DI MEDIA CETAK: SEBUAH PENELITIAN PENDAHULUAN

I Gusti Ngurah Parthama Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana [email protected]

ABSTRAK

Paper ini membahas mengenai model – model tipologi metafora yang terdapat pada judul – judul berita media cetak. Metafora merupakan suatu bentuk gaya bahasa yang menarik perhatian lawan bicara. Penggunaan metafora memungkinkan seorang penutur untuk menggunakan pilihan – pilihan diksi tertentu. Diksi – diksi itu selanjutnya menjadi bagian yang menarik perhatian dalam suatu bentuk komunikasi. Hal tersebut juga berlaku bagi media cetak. Penggunaan metafora pada judul – judul berita media cetak menjadi daya tarik tersendiri bagi pembacanya. Dengan pemakaian metafora yang sesuai maka seorang penulis dapat menemukan alternatif untuk membandingkan persamaan atau perbedaan suatu kondisi dengan kondisi lainnya yang digunakan sebagai metafora. Penggunaan metafora pada judul berita juga memberikan kesempatan pembaca untuk mencari tahu lebih detail terkait berita yang hendak dibacanya. Sumber data dari paper ini adalah judul – judul berita yang diambil dari media cetak. Keseluruhan judul berita diambil dari media cetak terbitan bulan Nopember hingga Desember 2018. Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dengan teknik membaca rinci, memilah, dan mencatat. Selanjutnya metode analisa data dilakukan secara deskriptif kualitatif. Dalam hal ini teknik deskripsi dilakukan untuk mengklasifikasikan data berdasarkan tipologi metafora. Simpulan yang diperoleh adalah metafora yang ditemukan merupakan bagian dari metafora berdasarkan sifatnya. Berdasarkan karakteristik sifat, metafora – metafora pada judul berita media cetak terdiri dari metafora yang bersifat konkrit ke abstrak, metafora antropomorfik yang memindahkan sifat – sifat manusia kepada benda mati, dan metafora kehewanan yang cenderung memindahkan sifat – sifat kehewanan kepada persamaan atau perbandingan terhadap benda maupun situasi yang terjadi. Adapun variasi tipologi metafora berdasarkan sifatnya tersebut ditemukan dalam variasi bentuk yakni bentuk kata dan bentuk frasa.

Kata kunci: metafora, tipologi, judul berita

PENDAHULUAN Metafora merupakan fenomena menarik dalam komunikasi baik secara lisan maupun tertulis. Penggunaan metafora menjadi alternatif bagi penutur untuk

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 95 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 96 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 dapat mengekpresikan pendapat, pandangan, maupun model tuturan lainnya. Dengan menggunakan metafora, tuturan menjadi lebih dimungkinkan untuk menarik perhatian penutur lainnya. Setidaknya, para penutur yang terlibat memiliki kemampuan yang luas untuk mampu memahami tuturan berisikan metafora dalam konteks – konteks tertentu. Di samping itu, para penutur yang mengaplikasikan metafora dalam komunikasinya mempunyai pilihan – pilihan diksi maupun makna tertentu dengan penggunaan metaforanya. Dengan demikian, proses komunikasi berlangsung menjadi lebih menarik. Dalam bahasa tulis, metafora sering kali digunakan pada karya – karya sastra maupun ekspresi puistis tertentu. Namun, metafora justru mempunyai peran yang lebih luas pada komunikasi – komunikasi tertulis. Yang paling dominan terlihat adalah penggunaan metafora pada judul – judul berita media cetak. Penggunaan metafora pada judul berita media cetak tentunya mempunyai latar belakang tersendiri. Judul sebuah berita pada media – media terutamanya media cetak wajib dan harus mempunyai keunikan tertentu yang menarik perhatian pembaca. Hal tersebut mengingat posisi judul berita pada media cetak merupakan bagian paling krusial dari sebuah berita. Judul berita yang unik tentunya menarik minat pembaca untuk membaca isi berita lebih lanjut. Dengan demikian, pembaca memperoleh gambaran seutuhnya terhadap berita yang disampaikan. Sehingga mereka tidak hanya menarik kesimpulan subyektif terhadap isi suatu berita dengan hanya membaca judul beritanya saja. Namun, pembaca mempunyai kecenderungan memperoleh informasi secara lengkap dan komprehensif terhadap suatu berita. Untuk mendapatkan kriteria unik pada pembuatan judul suatu berita, penggunaan metafora menjadi pilihan. Pemakaian metafora memungkinkan seorang penulis memunculkan suatu perbandingan maupun persamaan. Perbandingan maupun persamaan tersebut tentunya menjadi sesuatu yang perlu dijelaskan pada isi berita. Dalam hal ini, perbandingan atau persamaan yang dimunculkan dalam bentuk metafora diungkapkan dengan gaya bahasa kiasan. Keraf (2007: 15) mengungkapkan tentang metafora sebagai gaya bahasa kiasan yang memiliki karakteristik perbandingan maupun persamaan. Gaya bahasa kiasan yang dimaksud adalah adanya ide kesamaan diantara dua hal yang dibandingkan. Namun, pada sisi lain juga terdapat perbandingan yang mempunyai dua karakter berbeda yaitu perbandingan gaya bahasa polos dan perbandingan gaya bahasa kiasan. Perbandingan gaya bahasa polos atau langsung biasanya terdapat pada tuturan seperti dia sama nakalnya dengan kakaknya. Sedangkan perbandingan gaya bahasa kiasan muncul pada ujaran giginya seperti untaian mutiara. Sukarno (2017) dalam artikelnya yang berjudul Makna dan Fungsi Ungkapan Metaforis dalam Wacana Hukum Pada Surat Kabar Harian Jawa Pos memaparkan konsep dasar metafora dalam penelitiannya. Metafora sesungguhnya mempunyai komponen – komponen semantis yang dikaitkan dengan perbandingan atau pengasosiasian antara wilayah sumber dan wilayah target. Secara sederhana, konsep metafora itu mengacu pada adanya suatu pemaknaan awal dan pemaknaan pada ujaran dengan perbandingan tertentu. Dalam hal ini Sukarno menambahkan bahwa metafora memunculkan makna leksikal dan makna kontekstual. Makna leksikal adalah makna yang sesungguhnya atau sebenarnya dan makna kontekstual lebih mengacu kepada makna yang berhubungan dengan

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 97 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 konteks dimana suatu kata atau ujaran digunakan. Untuk memberikan pemahaman terhadap konsep metafora itu, dirinya memberikan kata mengalir yang digunakan pada dua konteks berbeda. Kata mengalir umumnya diasosiasikan dengan air mengalir yang bermakna berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Sedangkan jika kata mengalir dikaitkan pada kalimat pikirannya mengalir dengan lancar saat menjawab ujian mempunyai makna yang nyaris serupa dan kasat mata. Dalam hal ini kita tidak dapat melihat bagaimana suatu pikiran itu mengalir. Pemaknaan kata mengalir pada pikirannya mengalir dengan lancar saat menjawab ujian lebih mengacu pada kemampuan seseorang menjawab ujian dengan baik. Sehingga Sukarno memaparkan bahwa metafora menjadi suatu bentuk ujaran yang tidak sempurna. Ketidaksempurnaan terjadi apabila tidak adanya suatu kaitan dengan komponen semantis pada wilayah sumber. Sehingga pemahaman secara menyeluruh pada suatu ujaran metafora diperlukan dengan mengkaitkan wilayah sumber dan wilayah target. Pemahaman metafora sebagai suatu bentuk asosiasi terhadap kondisi harfiah atau denotatif juga dipaparkan oleh Ekoyanantiasih (2015) dalam artikelnya yang berjudul Majas Metafora Dalam Pemberitaan Olahraga di Media Cetak. Pemaknaan asosiatif muncul sebagai suatu bentuk ekspresi yang berkaitan juga dengan makna konotatif. Ekoyanantiasih memaparkan pemahaman konotasi dari tiga perspektif ahli bahasa yang berbeda (Keraf, 1991: 26; Djayasudarma, 1994: 9; Alwi, et.al., 1992: 2). Merangkum dari ketiganya, pemahaman konotasi dikaitkan dengan makna tambahan, makna asosiatif, dan pemaknaan dalam kalimat yang selanjutnya memunculkan makna konotasi. Sehingga memaknai metafora sebagai suatu bentuk asosiasi berkaitan erat dengan hubungan antara makna denotasi dan makna konotasi. Lebih lanjut, Ekoyanantiasih menjelaskan variasi – variasi majas metafora dalam bentuk – bentuk kata, frasa, dan klausa. Adapun majas metafora dalam bentuk kata baik kata tunggal maupun berimbuhan seperti otak, tiket, algojo, bertempur, berjibaku, dan beroperasi. Sementara itu, majas metafora dalam bentuk frasa meliputi permainan cantik Persib, benang kusut, dan batu karang. Sedangkan dalam hal klausa yang menjadi contoh majas metafora adalah gantung sarung tinju, menjebol gawang, dan merobek gawang. Adanya variasi – variasi majas metafora tersebut mengindikasikan bahwa dalam pemberitaan media cetak terutamanya terkait bidang olahraga juga telah menerapkan metafora sebagai pilihan kata untuk menarik perhatian pembaca.

METODELOGI Tahapan penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan. Ketiga tahapan itu adalah tahapan penyediaan sumber data dan data, tahapan pengumpulan data, dan tahapan analisa data. Sumber data yang akan digunakan adalah media cetak harian Kompas terbitan bulan November hingga Desember 2018. Data yang akan dipilah dan digunakan pada penelitian ini adalah judul – judul berita pada bulan – bulan yang dimaksud. Judul – judul berita akan diambil dari satu media cetak terbitan nasional dan satu media cetak terbitan daerah. Tahap pertama adalah tahapan pengumpulan data. Metode dokumentasi akan digunakan pada tahapan pengumpulan data. Metode tersebut didukung dengan teknik – teknik seperti teknik membaca rinci dan memilah judul – judul berita yang berisikan unsur metafora. Selanjutnya teknik mencatat untuk menuliskan data yang akan digunakan sebagai data penelitian. Sementara pada

 98 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 bagian berikutnya akan dilakukan teknik pengklasifikasian data penelitian berdasarkan jenis – jenis metafora yang terdapat pada judul berita media cetak. Tahapan analisa data merupakan tahapan kedua dari penelitian ini. Tahapan tersebut akan mengaplikasikan metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif akan didasarkan pada penjelasan – penjelasan terkait tipologi metafora yang ditemukan pada judul – judul media cetak. Selanjutnya secara kualitatif penjelasan – penjelasan tersebut akan didukung oleh teori – teori yang berhubungan dengan metafora.

PEMBAHASAN Dari analisa data yang dilakukan terhadap media cetak harian Kompas edisi November hingga Desember 2018, diperoleh sejumlah data judul berita yang mempunyai karakteristik metafora. Masing – masing judul berita tersebut diklasifikasikan berdasarkan tipologi metafora yang berkaitan dengan sifat. Setiap klasifikasi metafora dipaparkan dalam bentuk tampilan data dan analisa deskriptif seperti di bawah ini. Tabel berikut ini berisikan judul berita yang termasuk dalam klasifikasi metafora kongkrit ke abstrak.

1 Rapor Merah Prestasi Timnas Minggu, 2 Desember 2017 (hal. 29) 2 Melenggang Tanpa Bintang Minggu, 2 Desember 2017 (hal. 31) 3 Narkoba Banjiri Indonesia Rabu, 5 Desember 2018 (hal. 1) 4 Salju Tebal Selimuti Eropa Kamis, 2 November 2018 (hal. 8)

Pemahaman dasar terhadap metafora dengan karakteristik kongkret ke abstrak adalah adanya suatu kondisi yang konkrit atau nyata pada suatu lingkungan masyarakat. Namun selanjutnya perbandingan atau persamaan tersebut justru menjadi abstrak ketika diaplikasikan dalam suatu bentuk metafora. Dalam hal ini, kata ataupun frasa pada tabel di atas yaitu rapor merah, bintang, banjiri, membara, dan selimuti menunjukkan suatu kenyataan atau kondisi konkrit yang dapat diketahui maupun dirasakan dalam suatu masyarakat. Namun, penggunaan kata maupun frasa tersebut dalam konteks judul berita justru memunculkan adanya bentuk abstrak. Dalam hal ini rapor merah prestasi timnas diartikan sebagai suatu bentuk kegagalan atau ketidakberhasilan prestasi dari sebuah tim. Padahal, jika dipahami secara konkrit rapor merah dipahami secara umum sebagai suatu bentuk penilaian yang buruk atau kegagalan peserta didik di tingkat pendidikan. Dalam hal ini pemahaman rapor merah secara nyata maupun metafora sama – sama berarti kegagalan atau ketidakberhasilan. Begitu juga halnya dengan bintang pada data 2. Pemahaman konkrit bintang adalah benda langit yang dapat disaksikan pada malam hari. Tetapi dalam judul berita melenggang tanpa bintang mengacu kepada keberhasilan sebuah tim yang kehilangan bintang atau atlet andalannya. Akan tetapi, mereka justru memperoleh hasil yang lebih baik tanpa kehadiran si atlet andalannya. Begitu halnya dengan banjir yang dalam makna konkrit adalah kondisi dimana air meluap dari sungai dan menggenangi wilayah – wilayah pemukiman. Pemahaman banjir juga memberikan makna kesulitan yang dihadapi ketika hal

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 99 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 tersebut terjadi. Dalam judul berita narkoba banjiri Indonesia memunculkan makna yang bersifat abstrak dalam persepsi metafora. Hal itu mengingat narkoba tidak mempunyai karakteristik seperti air sehingga mampu membanjiri suatu wilayah. Namun persamaan yang muncul adalah adanya suatu keadaan dimana narkoba sudah beredar luas di masyarakat tanpa bisa dicegah. Hal itu serupa dengan kondisi banjir yang jika tidak dicegah dapat dengan mudah membanjiri wilayah tertentu. Sedangkan pada data 4 terdapat kata selimuti yang mengacu pada bentuk konkrit dari selimut. Hal itu dipahami sebagai media atau alat yang menimbulkan rasa hangat. Tetapi pada judul berita salju tebal selimuti Eropa justru menimbulkan makna abstrak. Pemahaman selimuti justru memunculkan makna metafora abstrak yang berkaitan dengan permasalahan baru. Dalam hal ini salju yang terjadi di Eropa menimbulkan situasi yang tidak nyaman dan menjangkau seluruh wilayah Eropa. Sehingga wilayah tersebut dianggap sebagai daerah yang di-selimuti oleh salju. Tabel selanjutnya berisikan empat data judul berita yang termasuk dalam kategori metafora antropomorfik. Metafora antropomorfik memiliki kecenderungan menggunakan karakteristik manusia terhadap sesuatu atau benda mati.

1 Kelesuan Ekonomi Meluas di Bali Rabu, 5 Desember 2018 (hal. 9) 2 Wajah Baru Harco Glodok Rabu, 5 Desember 2018 (hal. 25) 3 Negara Bermuka Dua Rabu, 5 November 2018 (hal. 6) 4 Tanah Bergerak Warga Mengungsi Kamis, 2 November 2018 (hal. 22)

Dari keseluruhan frasa yang terdapat pada tabel di atas, masing – masing mengacu pada kategori metafora antropomorfik. Frasa kelesuan ekonomi, wajah baru, bermuka dua, dan tanah bergerak merupakan kategori metafora antropomorfik. Dengan pemahaman metafora antropomorfik yang meminjam karakteristik manusia terhadap sesuatu atau benda mati, maka karakteristik manusia dapat dilihat pada kata kelesuan, wajah, bermuka, dan bergerak. Karakteristik manusia tersebut digunakan untuk menjelaskan kondisi dari keadaan atau benda mati. Sehingga jika diperhatikan judul berita kelesuan ekonomi meluas di Bali memberikan arti bahwa keadaan ekonomi di Bali juga tidak bagus. Makna lesu pada karakteristik manusia berkaitan dengan kondisi tidak baik dan memerlukan istirahat. Sedangkan lesu pada judul berita di atas digunakan untuk menjelaskan keadaan ekonomi di Bali. Sedangkan kata wajah merupakan bagian muka dari tubuh manusia. Penggunaan kata wajah dalam judul berita wajah baru Harco Glodok lebih mengacu pada penampilan baru sebuah pusat perbelanjaan bernama Harco Glodok. Di sini dapat dilihat adanya suatu perbandingan kesamaan antara muka dan tampilan suatu benda atau kondisi melalui penggunaan kata wajah. Hal yang sama juga terdapat pada judul berita negara bermuka dua. Penggunaan kata muka memberikan acuan pada bagian tubuh dari manusia. Sebaliknya pada judul berita justru penggunaan muka memberikan makna metafora. Dalam kaitan dengan negara atau wilayah, penggunaan muka tidak dikaitkan dengan karakteristik dari tubuh manusia. Akan tetapi, penggunaannya

 100 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 dikaitkan dengan kondisi dimana negara melakukan dua hal yang berbeda. Sama halnya dengan judul berita tanah bergerak warga mengungsi. Kata bergerak adalah ciri atau karakteristik dari manusia. Manusia melakukan gerak untuk melakukan atau mencapai sesuatu. Adapun gerak dipahami sebagai keadaan yang berpindah dari kondisi awal menuju kondisi yang diinginkan. Sehingga pada judul berita tanah bergerak warga mengungsi menunjukkan adanya persamaan. Persamaan yang terjadi adalah kondisi tanah yang labil sehingga menyebabkan warga mengungsi. Kondisi tanah labil dijadikan suatu dasar metafora dengan kategori antropomorfik yang mengambil bentuk persamaan dengan gerak yang dilakukan manusia. Tabel selanjutnya di bawah ini berisikan judul berita yang mempunyai keterkaitan dengan metafora kehewanan. Masing – masing judul berita ditampilkan sebagai berikut.

1 Kicauan Trump Menuai Kecaman Selasa, 4 Desember 2018 (hal. 4) 2 Misi Rusia Menjinakkan Supporter Senin, 3 Desember 2018 (hal. 31) 3 Sultan: Waspadai Upaya Adu Domba Rabu, 5 November 2018 (hal. 20) 4 Partenopei Terancam Kehilangan Taji Minggu, 4 November 2018 (hal. 9)

Kategori metafora kehewanan menunjukkan adanya ciri atau perlakuan yang ada kaitannya dengan hewan pada benda maupun kondisi tertentu. Sehingga penggunaan kata maupun frasa kicauan, menjinakkan, adu domba, dan taji mengacu pada makna kehewanan. Kata kicauan berhubungan dengan perilaku burung, kata menjinakkan berkaitan dengan tindakan untuk menjadikan binatang khususnya binatang peliharaan jinak, frasa adu domba mempunyai keterkaitan dengan tindakan mengadu hewan domba, dan kata taji erat hubungannya dengan binatang ayam. Dalam penggunaannya pada judul berita, makna – makna sesungguhnya mengalami perubahan. Perubahan itu dapat dilihat pada judul berita kicauan Trump menuai kecaman. Kata kicauan yang berkaitan dengan burung disamakan dengan pernyataan atau ujaran yang disampaikan Trump. Dalam hal ini pernyataan maupun ujarannya menimbulkan permasalahan. Sementara itu, judul misi Rusia menjinakkan supporter tidak memperlihatkan adanya upaya yang berkaitan dengan menjinakkan binatang, namun lebih pada upaya untuk menyenangkan pendukung Rusia. Sehingga muncul persamaan makna pada penggunaan kata menjinakkan. Adanya kesamaan makna juga terdapat pada judul berita Sultan: waspadai upaya adu domba. Dapat dipahami dari makna asli bahwa adu domba adalah upaya untuk mengadu dua binatang domba. Namun, pada judul berita itu yang justru muncul adalah makna mempertentangkan dua pihak atau keinginan mengadu dua pihak yang berseberangan. Tentunya pihak – pihak yang berseberangan adalah kelompok orang, bukan binatang. Sementara itu, taji merupakan salah satu senjata ayam yang biasanya terdapat di kaki. Penggunaan taji biasanya dihubungkan dengan kegiatan adu ayam. Tetapi judul berita Partenopei terancam kehilangan taji tidak ada kaitannya dengan senjata seperti halnya ayam. Namun lebih kepada kemampuan individu seseorang terutama

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 101 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 berkaitan dengan skill. Kemampuan individu dikaitkan dengan makna taji pada judul berita tersebut.

SIMPULAN Dari analisa di atas, kategori metafora berdasarkan sifat yang digunakan pada judul berita media cetak terdiri dari tiga kategori. Masing – masing kategori tersebut adalah kategori konkrit ke abstrak, kategori antropomorfik, dan kategori kehewanan. Keseluruhan kategori dalam metafora menunjukkan adanya suatu bentuk persamaan maupun perbandingan kondisi terhadap makna sesungguhnya. Penggunaan metafora juga memberikan alternatif kosakata pada judul berita media cetak. Sehingga penggunaan metafora sekaligus juga menarik perhatian para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Ekoynantiasih, Ririen. 2015. Majas Metafora Dalam Pemberitaan Olahraga di Media Massa Cetak dalam Jurnal Pujangga Universitas Nasional, volume 1, no. 1.

Keraf, Gorys. 2007. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sukarno. 2017. Makna dan Fungsi Ungkapan Metaforis Dalam Wacana Hukum Pada Surat Kabar Harian Jawa Pos dalam Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, volume 17, nomor 1, April 2017, halaman 15 – 28.

 PEMBERDAYAAN SASTRA DAN BUDAYA DALAM MEMBANGUN KARAKTER BANGSA YANG SEHAT

I Ketut Darma Laksana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [email protected]

ABSTRAK

Sastra dan budaya keduanya tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain karena budaya hakikatnya tercermin dalam sastra. Pengarang karya sastra ibarat ―Ki Dalang‖ dalam dunia pewayangan (Nusantara: Jawa, Sunda, Bali) yang memainkan tokoh-tokoh wayangnya dalam bentuk karakter ―baik dan buruk‖, yang secara universal dikenal dengan istilah Orientasi Dua-Nilai. Pada dasarnya, keuniversalan nilai yang terkandung dalam sastra merupakan sesuatu yang abadi, karakter manusia telah tergambar di dalamnya, namun manusia banyak kealfaannya mengenai hal tersebut. Pertanyaan yang muncul adalah: (1) Berapa jauh pemberdayaan sastra dan budaya telah dilakukan? dan (2) Metode pemberdayaan seperti apa yang diterapkan? Pemberdayaan sastra dan budaya harus dilakukan secara intens dalam ruang dan waktu yang bersifat spesifik. Pemberdayaan keduanya jangan terlalu terikat pada kelas pembelajaran, dapat dilakukan kapan dan di mana saja sesuai dengan situasi. Sementara itu, metode pembelajaran haruslah bersifat ―doktrinatif‖, berbau religius, dengan mengetengahkan pristiwa-peristiwa (events) dan narasi- narasi yang bersifat psikologis yang terdapat dalam sastra yang dapat menumbuhkan koginisi pembelajar ke arah pembentukan karakter bangsa yang sehat, dalam hal ini, karakter nasional/bangsa, tanpa meninggalkan karakter daerah yang khas. Dengan demikian, hasil pembelajaran dapat menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang menghargai perbedaan dalam rangka persatuan dan kesatuan bangsa.

Kata kunci: sastra dan budaya, karakter, persatuan bangsa

PENAHULUAN

Sastra dilihat dari segi kategori dan bentuknya sangat kompleks. Dari segi kategori dikenal sastra nasional/Indonesia dan sastra dunia. Sementara itu, dari segi bentuknya dikenal sastra klasik dan sastra modern. Selain itu, juga dikenal sastra rakyat, yaitu kategori sastra yang mencakupi lagu rakyat, balada, dongeng, ketoprak, peribahasa, teka-teki, legenda (banyak yang termasuk tradisi lisan). Sehubungan dengan topik makalah ini, apa pun kategori dan bentuk sastra itu, yang diperhatikan ialah pemberdayaannya dalam konteks budaya untuk

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 102 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 103 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 membangun karakter bangsa yang sehat. Untuk itu, sejumlah sumber yang berbicara tentang sastra dan budaya yang dapat dikumpulkan digunakan sebagai bahan pembahasan. Sastra dan budaya keduanya tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain karena sastra pada dasarnya bertemakan budaya yang dikemas demikian rupa oleh pengarangnya, yang sesungguhnya mengusung ideologi pengarang sastra itu sendiri. Apa yang dinamakan sastra nusantara adalah sastra daerah, yang aslinya ditulis dalam bahasa daerah, namun kemudian dapat dituliskan dalam bahasa Indonesia. Penulisannya ke dalam bahasa Indonesia inilah yang dapat mendorong meluasnya pemahaman masyarakat akan nilai-nilai yang termuat dalam karya sastra itu karena umumnya dewasa ini pemakaian bahasa Indonesia telah tersebar luas. Namun, sejalan dengan perkembangan masyarakat dewasa ini, generasi muda tidak banyak yang tertarik untuk membaca karya sastra. Sebagai contoh, pengajaran sastra di sekolah dasar. Menurut Sulaiman Saleh, selama ini pengajaran sastra di Sekolah Dasar kurang efektif. Guru dan murid tidak pernah terlibat secara sistematis ke dalam pertemuan sastra. Menurutnya, ada tiga faktor yang tidak menunjang pengajaran sastra, yaitu bahan, waktu, dan guru. Apakah buku pelajaran bahasa Indonesia sudah meliputi sastra. Dalam praktiknya, waktu yang tersedia untuk pelajaran bahasa Indonesia dipakai seutuhnya untuk pelajaran bahasa Indonesia. Kemudian, sanggupkah guru menciptakan waktu yang permanen bagi kegiatan pengajaan sastra dan berapa persen mereka mengikuti perkembangan sastra di masyarakat secara teratur (Saleh, 1976). Walaupun tulisan Sulaiman Saleh tersebut lebih dari empat puluh tahun yang lalu, apa yang disampaikannya perlu mendapat respons dari para guru, apakah saat ini hal itu masih terjadi.

METODOLOGI

Metode pebelajaran sastra yag umum dikenal dalam dunia pedidikan adalah apresiasi sastra. Penerapan metode ini bertujuan memberikan pemahaman pada siswa agar mereka, jika perlu, menjiwai karakter tokoh. Karena sifatnya yang terlalu moderat, metode apresiasi sastra tidak banyak sumbangannya pada pembentukan karakter. Benar apa yag dikatakan oleh Sulaiman Saleh di atas, guru harus bisa menciptakan waktu yang permanen. Selain itu, pemberdayaan sastra dengan muatan budaya di dalamnya harus bersifat ―doktrinatif‖. Metode pembelajaran kelas doktrina dari Baquedano-Lopez (2001) dapat diterapkan dalam konteks yang lebih spesifik, misalnya di ruang terbuka (pantai, perbukitan—tidak bersifat eksklusif di kelas). Metode pembelajaran kelas doktrina tersebut juga menyertakan penyampaian peristiwa (events), doktrin tentang karakter yang ―baik‖ lawannya yang ―buruk‖ dengan mengutip nilai-nliai kemasyarakatan yang tercermin dalam sastra. Metode pembelajaran tersebut sudah dapat diterapkan di Sekolah Dasar. Jadi, makin dini anak ―didoktrinasi‖ dengan pemahaman karakter yang baik, makin baik akhlak anak yang bersangkutan.

 104 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

PEMBAHASAN

Kajian mengenai ―karakter‖ biasanya disandingkan dengan konsep ―kepribadian‖ (personality). Setiap individu memiliki apa yang disebut ―struktur dasar kepribadian‖. Apabila struktur dasar kepribadian itu mencakupi sebuah kolektiva yang luas, misalnya bangsa atau negara, maka lahirlah apa yang dinamakan karakter bangsa atau karakter nasional (Harris,1996). Konsep karakter bangsa/nasional dipertentangkan dengan ―stereotip‖, yakni sebuah kesan yang menggeneralisasikan kepribadian sekelompok individu sebagai milik suatu kolektiva. Selain karakter nasional tersebut, ada juga karakter daerah, yakni kekhasan daerah tertentu dalam berpikir, berkata, dan berbuat. Akan tetapi, kedua jenis karakter itu tidak boleh dipertentangkan. Pada tingkat daerah terdapat karakter daerah yang dapat menopang karakter nasional. Bagaimanapun, ada anggapan bahwa kebudayaan nasional merupakan puncak-puncak kebudayaan daerah.

Sastra dan Budaya

Dalam makalah ini diangkat beberapa karya sastra yang berlatar belakang tema-tema budaya kedaerahan yang pantas diberdayakan agar terus hidup di masyarakat. Tema-tema budaya yang terdapat di dalamnya dianggap sebagai cermin bagi setiap individu ataupun kolektiva dalam berperilaku di masyarakat. ―Orientasi Dua-Nilai‖ yang dikemukakan oleh H.J. Hayakawa (lihat Panggabean, ed., 1987), yaitu ―putih‖ dan ―hitam‖, yang ―baik‖ dan yang ―buruk‖, bersifat universal sebagaimana yang tercermin dalam sastra dunia, merupakan pilihan bagi setiap individu ataupun kolektiva.

Sastra dan Budaya Minangkabau

Novel Bako

Dalam Bako: Kumpulan Novel Karya Darman Moenir, yang dikupas oleh Edwar Djamaris (1987) dari sudut tema dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, kita disuguhkan tokoh cerita yang memiliki karakter yang terpuji. Perjuangan seorang ―Ibu‖ secara lahir dan batin pada keluarganya sampai ia sakit ingatan karena selalu dihina dan diejek oleh masyarakat lingkungannya karena ia tidak berasal dari lingkungan Minang. Namun, tokoh ―Umi‖ (saudara dari ayah ―Aku‖) sangat mulia pula perilakunya. Segala kebutuhan hidup si ―Ibu‖, yang ditinggal jauh oleh ―Ayah‖ dalam tugasnya sebagai guru SD, termasuk pendidikan si ―Aku‖,ditanggung oleh ―Umi‖.

Roman Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Salah Asuhan

Mursal Esten (1982), sebagaimana yang dikutip oleh Edwar Djamaris (1987), membuat perbandingan antara karya sastra, seperti Tenggelamnya Kapal van der Wijck oleh Hamka dan Salah Asuhan oleh Abdul Muis. Menurut Mursal Esten, kedua roman itu menyuguhkan adanya deskrimiasi di antara para tokohnya. Pada Tenggelamnya Kapal van der Wijck deskriminasi disebabkan oleh keturunan,

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 105 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 suku bangsa, sedangkan dalam Salah Asuhan deskriminasi disebabkan oleh asal bangsa atau ras. Menurut Edwar Djamaris, deskriminasi juga terdapat dalam Bako, yakni orang datang (dari luar: si ―Ibu‖) yang dianggap melanggar adat.

Sastra dan Budaya Sunda

Legenda Sangkuriang

Dewasa ini sering terjadi pelanggaran hokum, seperti pembunuhan anak terhadap orang tua, atau sebaliknya, orang tua terhadap anak. Cerita/legenda Sangkuriang, dalam hal ini, watak Dayang Sumbi merupakan cerminan seorang wanita (ibu) yang berbudi luhur, penuh kasih sayang pada anaknya (Sangkuriang). Meskipun setelah ia tahu bahwa anaknya sendiri mencintainya, Dayang Sumbi menuntut hal-hal yang sebenarnya mustahil, semuanya dilakukannya dengan maksud menyadarkan si anak bahwa keinginannya itu tidak patut. Dewasa ini dapat terjadi percintaan terlarang antara anak dan orang tua.

Cerita Si Kabayan

Si Kabayan adalah tokoh dalam cerita rakyat yang juga terkenal. Tokoh ini mencerminkan kepribadian orang Sunda yang to naon-naon ku naon-naon yang berarti ‗tidak apa-apa oleh apa pun‘ (Ayatrohaedi, 1980:146). Karena sifatnya yang istimewa itu, tokoh si Kabayan dapat hidup menembus ruang dan waktu. Pengarang Sunda masa kini sesungguhnya menjadikan si Kabayan sebagai tokoh ceritanya yang mencermikan pengalaman pribadinya atau orang-orang yang dikenalnya. Dalam cerita Si Kabayan baru itu, tokoh tersebut dipinjam untuk mewakili masyarakat umumnya dalam menyampaikan kritik tentang keadaan, penguasa, ketidakadilan. Karena watak si Kabayan yang senantiasa mengajak pembaca tertawa, pada umumnya orang tidak ada yang merasa tersinggung atas segala macam kritik yang dilontarkan. Hal ini bertolak belakang dengan situasi politik saat ini yang gemar melontarkan fitnah atau hujatan.

Sastra dan Budaya Jawa dan Bali

Kedua sastra dan budaya, yakni Jawa dan Bali, terkenal dengan cerita wayang dan . Wayang adalah sebuah wiracarita yang pada intinya mengisahkan kepahlawanan para tokoh yang berwatak ―baik‖ dan ―buruk‖. Menurut Burhan Nurgiyantoro (1980:20), wayang telah melewati berbagai peristiwa sejarah, dari generasi ke generasi, betapa budaya pewayangan telah melekat dan menjadi bagian hidup, khususnya masyarakat Jawa dan Bali. Wayang yang mengambil cerita Mahabharata dan Ramayana sudah tidak asing lagi bagi orang-orang tua Jawa dan Bali. Namun tidak demikian untuk generasi mudanya. Mereka ditengarai tidak tertarik menonton ataupun membaca kedua epos itu. Karakter baik dan buruk tercermin dalam tokoh-tokohnya: Pandawa (Pandawa Lima) dilukiskan sebagai ―yang baik‖, sedangkan Kurawa (Korawa Seratus) sebagai ―yang buruk‖, demikian pula, pada Ramayana, Rama dilukiskan sebagai tokoh ―yang baik‖, sedangkan Rawana sebagai tokoh ―yang buruk‖.

 106 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

SIMPULAN

Karakter manusia tidak dapat dipisahkan dari pandangan tentang ―Orientasi Dua-Nilai‖, baik dan buruk. Pada akhirnya, manusialah yang menjatuhkan pilihan terhadap kedua pandangan itu. Sastra dan budaya kita telah memberikan arah dan tuntunan ke mana harus bergerak. Persoalannya ialah upaya pemberdayaan sastra dan budaya itu jangan hanya mengandalkan metode apresiasi semata. Metode yang agak radikal perlu diterapkan, perlu dilakukan semacam doktrinasi kepada anak didik kita yang tidak mengenal batas ruang dan waktu.

DAFTAR PUSTAKA

Ayatrohaedi. 1980. ―Tradisi Sastra Sunda Buhun‖. Yang Tersirat dan Tersurat. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Baquedano-Lopez, P. 2001. ―Creating Social Identity Through Doctrina Class‖. Dalam: Duranti, A., ed., Linguistic Anthropology: A Reader. Malden, Masschusetts: Blackwell Publishers, hllm. 343—358.

Djamaris, E. 1987. ―Bako Novel Karya Darman Moenir: Tinjauan Tema dan Amanat‖. Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia, Tahun 8 No. 2, Juni 1987. Jakarta: Bhratara, hlm. 103—113. Harris, M. 1991. Cultural Anthropology. Edisi III. New York: Harfer Collins Publisher.

Panggabean, M. ed. 1981. Bahasa, Pengaruh dan Peranannya. Jakarta: PT Gramedia.

Saleh, S. 1976. ―Pengajaran Sastra di Sekolah Dasar‖. Pengajaran Bahasa dan Sastra. Tahun II No. 6. Jakarta : Pusat Pembiaan dan Pengembagan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm. 17—24.

 MEMILIH DAN MEMILAH SATUA DI DUNIA PENDIDIKAN UNTUK MEMBANGUN KARAKTER YANG TEPAT

I Ketut Jirnaya Program Studi Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [email protected]

ABSTRAK

Sastra tidak hanya dinikmati oleh pengarang, pembaca, dan masyarakat luas. Fungsi sastra sangat luas, diantaranya berfungsi untuk membangun karakter pembaca. Berbicara masalah karakter, pemerintah telah memasukkan sastra sebagai materi pelajaran dengan tujuan anak-anak agar lebih dini dapat terbentuk karakternya dan menjadi manusia yang berbudi serta bermatabat. Untuk materi sastra di ranah pendidikan di Bali masuk sastra tradisional yang dikenal dengan nama satua yang berarti cerita. Masalahnya apakah sudah ada pemilahan materi sastra sesuai dengan tingkat pendidikan anak-anak? Untuk memecahkan masalah ini, sastra akan dikaji dari sudut fungsi dan memilah materi sastra dihubungkan dengan tingkat pendidikan anak-anak. Sastra daerah Bali sangat beragam. Ada yang membalut nilai sastra itu dengan keluguan dan kelucuan, ada yang membalut sastra itu dengan logika, dan ada yang membalut nilai filosofi dalam sebuah narasi. Hasil kajian ini diharapkan akan menemukan formula materi sastra yang sesuai dengan tingkat pendidikan anak untuk ketepatan membangun karakter mereka.

Kata kunci: sastra, pendidikan, lugu, logika, filsafat, karakter.

1. Pendahuluan Perkembangan dunia di era globalisasi tidak dapat diprediksi dan selalu datang dengan membawa perubahan. Siapapun tidak kuasa untuk membendung arus globalisasi, Ketika ada usaha untuk melawan arus tersebut, maka ia akan tenggelam terbawa arus. Pemerintah mulai memikirkan pengaruh globalisasi tersebut terutama pada generasi muda atau anak-anak. Sejatinya kita telah memiliki karakter yang baik sesuai dengan nilai budaya yang diwariskan para leluhur. Nilai budaya tersebut salah satunya berupa karya sastra tradisional. Sebagian besar peninggalan karya sastra ini memuat ajaran filsafat, etika, dan estetika agama Hindu yang dijadikan pedoman dalam kehidupan masyarakat dan budaya Bali (Medera, 1997: 23). Dulu ada kebiasaan orang tua mesatua (mendongeng) pada anak atau cucu sebelum mereka tidur. Kebiasaan ini membawa dampak positif terhadap karakter anak-anak. Kini tradisi ini sudah tidak tampak lagi. Anak-anak di zaman millennia sudah memiliki kesibukan tersendiri, yaitu memegang dan main telpun seluler. Mereka tanpa bisa dikontrol lagi entah apa yang dilihat atau ditonton pada

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 107 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 108 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 handphone-nya. Mereka tidak lagi tahu dan tertarik pada satua yang akan sesungguhnya akan membangun karakter mereka agar menjadi manusia yang berbudi luhur. Salahkah mereka? mereka sering berdalih memiliki orang tua sibuk dengan pekerjaannya, atau orang tuanya memang tidak mengetahui satua-satua. Ini merupakan persoalan lain yang perlu diteliti untuk mengetahui berapa persen orang tua anak-anak yang tahu satua, berapa banyak para orang tua bisa mesatua, serta memiliki waktu untuk mesatua pada anak. Relevansi satua terhadap pembentukan karakter anak-anak dirasakan sangat penting. Dari itu pemerintah memasukkan satua di dalam dunia pendidikan sebagai bagian dari muatan lokal. Masalahnya untuk tingkat pendidikan dasar, satua apa yang cocok sesuai dengan kemampuan daya serap anak-anak. Untuk anak-anak sekolah lanjutan pertama (SLTP), satua apa yang cocok untuk mereka? Demikian pula pada tataran tingkat pendidikan selanjutnya. Kajian ini akan memilih dan memilah materi satua yang dirasakan cocok pada kemampuan daya serap peserta didik.

2.Pembahasan Pengelompokkan sebutan yang sudah umum diketahui dalam tataran umur terkait dengan dunia pendidikan meliputi: 1) Anak-anak; usia Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Dasar 2) Remaja; usia Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP-sederajat) sampai Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA- sederajat) 3) Dewasa; usia pendidikan Diploma, S- sederajat. Pengelompokan ini berdasarkan jenjang pendidikan yang berpengaruh pada kemampuan berpikir. Pengelompokkan ini pula dipakai acuan untuk memberikan materi pelajaran sastra tradisional yang berupa satua untuk membangun karakter. Secara umum kata satua dalam bahasa Bali berarti cerita (Anom, dkk. 2014: 627). Jika didalami lebih lanjut, kata satua merupakan kata yang memiliki arti lebih luas jika dikaitkan dengan karya sastra tradisional Bali. Satua merupakan karya sastra tradisional Bali yang mengandung nilai-nilai etika, estetika, filasafat agama Hindu. Kebanyakan satua tersebut berupa ceritera lisan yang kini telah banyak ditulis atau dibukukan. Beberapa satua yang telah banyak dikenal oleh masyarakat Bali, diantaranya, I Belog, Siap Selem, I Tiwas, I Balang Tamak, Pan Angklung Gadang, cerita binatang (fable) yang bersumber dari cerita Tantri (lihat Suarka, 2007). Di samping itu juga ada beberapa satua yang berasal dari naskah lontar, seperti Ni Diah Tantri, episode-episode dari Ramayana, kakawin Bharatayudha, sampai ke karya sastra yang merupakan cerita turunan dari dua karya sastra kakawin tersebut berupa karya sastra geguritan. Ada geguritan Salya, geguritan Dharma Kusuma, geguritan Bima Sakti, dan banyak yang lainnya. Semua karya sastra ini dilisankan dan menjadilah satua. Contoh kosa kata satua memiliki arti khusus dalam konteks karya sastra tradisional Bali, ketika si tukang satua memulai satuanya, mereka akan mengawali dengan kata pembuka: ―ada tuturan satua‖ bukan ―ada satua‖. Di sini terlihat bahwa kata satua ketika didahului dengan kata tuturan berarti satua yang mengandung nilai filsafat, etika, estetika. Sedangkan jika kata satua tanpa didahului dengan kata tuturan, maka berarti cerita biasa, yang merupakan informasi dalam komunikasi. Berikut salah satu cuplikan satua yang cocok untuk pendidikan dasar.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 109 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

―Suatu ketika I Belog disuruh ibunya membeli itik di pasar dan pesannya agar dipilih itik yang gemuk dan berat. Pada saat pulang dari pasar, I Belog mandi di sungai bersama itiknya berenang. Jelas itiknya berenang kesana kemari, I Belog marah merasa ditipu oleh dagang itik karena minta yang gemuk dan berat, nyatanya itik itu kambang. Artinya kalau betul gemuk dan berat, pasti tenggelam. Ditinggallah itik itu di sungai‖. Contoh satua di atas baik yang berasal dari cerita lisan maupun merupakan sastra tulis, masing-masing memerlukan kemampuan untuk menyimaknya. Dari itu harus diperhatikan satua apa yang cocok untuk tingkat usia pendidikan mereka. Satua I Belog, Men Tiwas, Siap Selem, I Bawang, cocok untuk anak-anak usia Sekolah Dasar. Satua-satua ini memiliki sifat lucu dan rasa iba. Anak-anak ketika diberikan satua lucu dan lugu pasti senang. Di akhir satua seorang guru yang berperan sebagai tukang satua akan menyampaikan pesan atau amanat yang dikandung tersebut. Contoh: ―anak-anak harus rajin belajar biar pintar, lihat I Belog yang tidak pernah dan tidak mau sekolah, begitu jadinya, memalukan dan merugikan‖. Berikut contoh salah satu satua yang cocok untuk anak usia remaja atau setingkat anak-anak SLTP.

Si Balang Tamak tokoh yang cerdik namun pintar, ole karena itu ia dimusuhi oleh raja dan masyarakat. Ia sering dijebak agar kena denda namun tidak pernah berhasil. Suatu ketika raja mempunyai acara berburu ke hutan. Semua warga disarankan membawa anjing pemburu. Warga harus kumpul di alun-alun ketika ayam pada turun (tuun siap) kira-kira subuh. Kata tuun siap ini menjadi patokan si Balang Tamak, Balang Tamak baru datang pukul sembilan pagi. Jadi ia diharuskan bayar denda. Si Balang Tamak melawan karena tidak merasa bersalah. Ia hanya memiliki seekor ayam betina yang sedang mengeram. Ayam itu turun dari sangkarnya sekitar pukul Sembilan. Jadi, si Balang Tamak benar dan tidak jadi didenda. Sekarang raja dituntut balik oleh si BalangTamak karena mencemarkan nama baik dan salah tuduh. Akhirnya si Balang Tamak mendapat uang denda yang diberikan oleh raja. Amanat dari satua si Balang Tamak sesungguhnya banyak, salah satunya kritikan pada pemimpin agar tegas, pintar, dan berlaku adil. Dari ketidak tegasan seperti kata tuun siap memang dapat berarti subuh secara umum, namun jangan lupa ada warga yang tidak punya ayam atau memiliki ayam seekor pas sedang mengeram. Ayam mengeram akan turun untuk mencari makan sekitar jam sembilan. Seandainya pemimpin tegas, jangan memakai patokan waktu subuh, pagi, siang, dan malam karena masing-masing kata tersebut memiliki rentang waktu. Umpama: pagi, rentang waktunya pukul 03.00 – 09.00. Untuk menghindari masalah, harus tegas memakai ukuran waktu, jam (Sukartha, dkk. 2015:45) Untuk satua pada tingkat usia tergolong dewasa (SLTA – Mahasiswa) sudah mulai mengenalkan satua yang mengandung nilai filsafat tentang kehidupan. Salah satu satua dengan tokoh yang bersumber dari kakawin Arjunawiwaha. Sang Arjuna tokoh sakti dan ganteng ketika bertapa di gunung Indrakila untuk mohon anugerah dewa Siwa, Indraloka (surga) menjadi

 110 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 kekhawatiran surga karena kelak bisa mengalahkan surga. Diutuslah para bidadari cantik untuk menggoda agar semadinya gagal. Para bidadari dari Kahyangan turun dan ada yang merayu Arjuna, ada yang gemes mencium pipinya, dan ada pula yang benci serta menangis di sudut sambil duduk di atas batu karena merasa cintanya dicampakkan. Arjuna tetap tegar tidak bergeming pada posisi duduk bersila dan mata terpejam. Dalam cerita ini pencerita akan menyampaikan amanat pada para siswa, mahasiswa, atau generasi milenial. Hidup ini harus ada tujuan, untuk mencapai tujuan perlu ada usaha dan perjuangan. Tujuan sering tidak tercapai karena kurang fokus dan tidak bisa menangkal godaan-godaan. Sekarang godaan yang paling dahsyat adalah handphone (HP). Jika salah menggunakannya maka akan merusak moral generasi. Contohlah sang Arjuna ketika bertapa, segala godaan dikesampingkan sehingga berhasil mencapai tujuan, yaitu memperoleh panah pasupati. Ketiga formulasi satua di atas baik untuk level tingkat anak-anak, remaja, dan dewasa, semua bertujuan dan berfungsi untuk mendidik karakter agar menjadi manusia yang berkarakter. Hal ini sesuai dengan fungsi cerita lisan menurut R. Bascom (1965: 3-10) adalah a) sebagai sebuah bentuk hiburan; b) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan; c) sebagai alat pendidikan anak-anak; d) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Sebuah karya sastra ketika disampaikan oleh penutur (tukang cerita) maka akan menjadi sastra lisan (bdk. Sukartha, 2015: 44). Satua sebagai sarana untuk membangun karakter anak-anak berpegangan pada realitas bahwa sastra menurut masyarakat Bali sampai saat ini masih tetap percaya pada sastra tradisional bahkan di pakai guru atau pedoman hidup. Sastra dalam hal ini berarti juga alat untuk mendidik (Ratna, 2005: 447). Lebih jauh dikatakan bahwa bagi masyarakat lama karya sastra tidak berbeda dengan hukum, adat-istiadat, dan tradisi. Memahami karya sastra pada gilirannya merupakan pemahaman terhadap nasehat dan peraturan, larangan dan anjuran, kebenaran yang harus ditiru, jenis-jenis kejahatan yang harus ditolak. Jika digali lebih dalam satua-satua sebagai produk karya sastra tradisional jumlahnya cukup banyak. Seorang guru yang berfungsi sebagai pencerita tidak boleh kekeringan materi satua. Galilah sumber-sumber satua dan ceritakan sesuai dengan tingkat usia anak-anak. Dengan demikian anak-anak atau para remaja tidak merasa bosan mendengarkan. Akhirnya pembentukan karakter pada anak didik akan berjalan dengan baik.

3.Simpulan Setelah dilakukan kajian dan memformulasikan satua sesuai dengan tingkat pendidikan anak didik, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan. 1) Pada umumnya semua senang mendengarkan satua sebagai produk karya sastra tradisional. 2) Satua sesungguhnya implementasi dari tatwa (filsafat). Untuk kosumsi anak- anak karena pasti kesulitan memahami tatwa, maka dibuatlah satua. 3) Di dalam satua terselip nilai pendidikan, etika, moral, dan estetika. Semuanya ini merupakan sarana untuk pembentukan karakter anak-anak, para remaja, para orang dewasa, dan kita semua.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 111 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

4) Agar kandungan nilai satua tersebut dapat dipahami dan diaplikasikan di dalam dirinya, maka harus disesuaikan dengan tingkat usia anak didik tersebut.

Daftar Pustaka Anom, I Gusti Ketut, dkk. 2014. Kamus Bali- Indonesia Beraksara Latin dan Bali. Denpasar: Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Provinsi Bali. Bascom, William r. 1965. ―The Form of Folkrole: Prose Naratives”. Journal American Folklore, 78, The Hague Moution, p 3-20. Medera, Nengah. 1997. Kakawin dan Mabebasan di Bali. Denpasar: Upada Sastra.

Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies Representaasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suarka, I Nyoman. 2007. Kidung Tantri Pisacarana. Denpasar: Pustaka Larasan.

Sukartha, I Nyoman. 2015. ―Kelisanan dalam Tradisi Mabebasan di Bali‖ Disertasi. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Sukartha, I Nyoman, dkk. 2015. ―Kritik Sosial dalam Satua Pan Balang Tamak sebagai Upaya menciptakan Revolusi Mental Anak Bangsa.‖ Denpasar: Laporan Hasil Penelitian Hibah Unggulan Program Studi Universitas Udayana.

 RATU SAKTI PANCERING JAGAT DI DESA TRUNYAN

I Ketut Setiawan [email protected]

ABSTRAK

Ratu Sakti Pancering Jagat oleh masyarakat Desa Trunyan dianggap sebagai dewa tertinggi yang dapat melindungi desa dan masyarakatnya. Oleh karena itu, dewa ini sangat dihormati dan disakralkan melalui beberapa proses upacara yang dilangsungkan dalam setiap tahun. Ratu Sakti Pancering Jagat adalah sebutan untuk sebuah arca yang sekarang tersimpan pada bangunan meru tumpang tujuh di Pura Bale Agung Desa Trunyan. Dalam prasasti- prasasti yang tersimpan di Desa Trunyan, Ratu Saksi Pancering Jagat disebut dengan Bhatara Da Tonta dan Sanghyang di Turunyan, disebut sebagai dewa tertinggi yang merupakan leluhur masyarakat Desa Trunyan. Masyarakat Desa Abang yang mendiami wilayah Desa Trunyan juga berkewajiban pada setiap bulan Badrawada (Agustus-September) untuk turut serta dalam upacara keagamaan dewa tertinggi tersebut. Pada upacara itu arca atau patung dewa tersebut harus dimandikan serta dihias oleh Sahayan Padang dari Desa Abang.

Kata Kunci: Trunyan, Ratu Sakti Pancaring Jagat, Dewa, Prasasti.

1. Pendahuluan Sejak terbitnya sebuah hasil penelitian atau disertasi mengenai Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali (1980) oleh James Danandjaya, Desa Trunyan yang terletak di bagian timur laut Danau Batur semakin dikenal dan menarik untuk didiskusikan. Sebagai desa yang cukup tua, desa ini telah banyak menarik perhatian di kalangan masyarakat, sehingga desa ini mendapat kunjungan yang cukup banyak. Keunikan-keunikan yang dimiliki serta kekhasannya semakin menarik untuk dikunjungi. Tradisi penguburan yang sangat unik hanya dengan meletakkan mayat tanpa ditanam, serta serangkaian upacara keagamaan yang memperlihatkan ciri khas desa tradisional adalah salah satu di antaranya, di samping keunikan-keunikan yang lain. Penduduk Desa Trunyan menyebut dirinya sebagai orang Bali mula atau Bali Trunyan, karena nama mula menunjukkan bahwa mereka adalah penduduk asli Pulau Bali. Demkian pula orang Trunyan sangat suka jika disebut Bali Trunyan, karena mereka percaya bahwa leluhur mereka “turun‖ dari langit ke bumi Trunyan. Jadi nama Bali Trunyan berarti orang Bali yang turun langsung dari langit ke Bali. Mereka menganggap dirinya berbeda dengan orang Bali Hindu (Danandjaya, 1980:2). Desa Trunyan dewasa ini telah menjadi objek wisata, karena cara pemakaman jenazah warga mereka bukan dikebumikan atau dibakar melainkan diletakkan saja di atas tanah di bawah udara terbuka. Tradisi pemakaman seperti

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 112 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 113 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 ini tampaknya merupakan pengaruh budaya pra Hindu. Walaupun demikian, hal ini bukan berarti bahwa kebudayaan masyarakat Trunyan yang kita kenal sekarang bebas dari pengaruh kebudayaan Hindu. Keberadaan prasasti-prasasti perunggu yang ditemukan di salah satu pelinggih di dalam kuil utama di Desa Trunyan, membuktikan bahwa pada abad X Desa Trunyan sudah kena pengaruh budaya Hindu. Demikian pula Desa Trunyan juga tidak lepas dari pengaruh kebudayaan Hindu Jawa Majapahit. Untuk membuktikan hal tersebut dapat ditunjukkan bahwa di dalam kompleks kuil utama Desa Trunyan ada satu bale yang disebut bale Maspahit, berupa bangunan suci untuk yang disebut sebagai kompleks pelinggih Maspahit. Demikian juga di beberapa bangunan suci klen kecil (sanggah dadya) ada patung kayu berupa kepala dan leher rusa (Menjangan Seluang), adalah sebuah bangunan suci (pelinggih) tempat bersemayam bhatara Majapahit (Goris, 1960:379). Sebagaimana diketahui bahwa untuk mengungkap tokoh dewa tertinggi di Desa Trunyan digunakan prasasti-prasasti, termasuk pula cerita rakyat (falklor), mitos (mite), dongeng, dan lain-lain. Untuk sumber tertlis, digunakan tujuh buah prasasti, yaitu prasasti Trunyan AI (833 Saka), Trunyan B (833 Saka), Bwahan A (916 Saka), Batur Pura Abang A (933 Saka), Trunyan C (97 Saka), Trunyan AII (971 Saka), dan prasasti Bwahan E (1103 Saka).Prasasti Trunyan AI, Trunyan B, dan prasasti Batur Pura Abang A menggunakan bahasa Bali Kuno, sedangkan keempat prasasti yang lainnya menggunakan bahasa Jawa Kuno. Terkait dengan Ratu Sakti Pancering Jagat, satu hal yang perlu dikemukakan adalah tentang keberadaan sebuah arca yang tersimpan pada bangunan suci meru tumpang tujuh di Pura Bale Desa Trunyan. Arca ini merupakan arca yang sangat besar dengan ukuran tinggi lebih kurang 4 meter (Kempers, 1956:91). Berdasarkan tipologinya, patung/arca ini memperliatkan gaya patung masa megalitik, dimana bentuknya sederhana, badan tambun, hidung besar, bibir tebal, mata bundar, kepala bulat tanpa hiasan, dan telinga agak menonjol. Arca berdiri dengan tangan kanan di lipat ke atas, seolah-olah memegang sesuatu. Gaya patung bertipe primitif seperti itu dipercaya oleh masyarakat mengandung suatu kekuatan magis dan penolak bahaya atau pengaruh jahat (Soejono, 1977).

2. Pembahasan 2.1 IdentifikasiRatu Sakti Pancering Jagat Prasasti-prasasti yang digunakan sebagai sumber utama penelitian ini tidak satupun menyebut tentang tokoh Ratu Sakti Pancering Jagat. Sebutan Ratu Sakti Pancering Jagat diberikan oleh masyarakat Desa Trunyan adalah untuk menyebut ―patung‖ yang tersimpan di Pura Bale Agung Desa Trunyan. Dalam prasasti- prasasti Trunyan patung sakti itu disebut Bhatara Da Tonta. Kata bhatara dapat berarti (1) tempat ketuhanan, yaitu bangunan suci untuk memuja dewa atau bhatara, (2) raja yang telah wafat dan disucikan sebagai dewa/bhetara, (3) raja yang masih hidup, dan (4) dewa, bhatara (Goris, 1954:233). Bhatara juga berarti ―pelindung‖(Mardiwarsito, 1978). Sedangkan kata da Tonta oleh James Danandjaya diartikan dengan ―Tuhan kita‖. Bhatara Da Tonta berarti Tuhan, dewa, bhatara yang melindungi kita semua. Terkait dengan cerita rakyat, ada dua buah cerita berupa mitos tentang ―Dewi yang turun dari langit‖dan ―Anak-anak Dalem Solo yang mengembara mencari bau harum‖. Cerita pertama mengisahkan

 114 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 tentang seorang Dewi yang terpesona oleh bau harum dari suatu tempat. Sang Dewi terus mencari bau harum itu, beliau turun dari langit, dan menemukannya bau tersebut berasal dari sebuah pohon yang bernama Taru Menyan. Kemudian Sang Dewi memutuskan untuk tetap berdiam di tempat itu. Cerita kedua, bau harum yang berasal dari Taru Menyan di Desa Trunyan, tampaknya tercium pula sampai di Keraton Dalem Solo. Empat orang anak Dalem Solo mencari sumber bau harum itu, dan menemukan di Desa Trunyan. Putra Sulung Dalem Solo menelusuri pinggir danau dan menemukan seorang Dewi yang sedang berada di bawah pohon Taru Menyan. Sedangkan ketiga adiknya menetap di sekitar danau Batur, yaitu di Pura Batur, di Desa Kedisan, dan di Desa Abang. Keberadaan Dewi yang sangat cantik, menyebabkan putra Sulung Dalem Solo jatuh cinta dan diakhiri dengan perkawinan Putra Sulung itu menjadi pancer dari jagat (dunia), yaitu menjadi tokoh atau penguasa yang memimpin Desa Trunyan yang bergelar Ratu Gede Pancering Jagat dan Sang Dewi (istrinya bergelar Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar yang menguasai danau Batur (Danandjaya, 1980:40-42).

2.2 Religi dan Kewajiban Masyarakat Terhadap Dewa Tertinggi Tradisi megalitik berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat, terutama sistem religi yang berpusat pada arwah nenek moyang. Masyarakat percaya bahwa arwah nenek moyang berada di puncak-puncak gunung atau bukit dan dapat memberi keselamatan kepada masyarakat. Penelitian tradisi megalitik di Bali sudah berhasil menemukan bentuk-bentuk megalitik yang beragam, yaitu menhir, dolmen, bangunan teras berundak, tahta batu, arca-arca nenek moyang, arca-arca sederhana, dan lain-lain. Sebelum agama Hindu masuk ke Bali, kehidupan masyarakat didominasi oleh kepercayaan kepada arwah nenek moyang (Sutaba, 1980, Soejono, 1975). Hal itu dapat ditemukan dimana bentuk-bentuk megalitik sampai sekarang berfungsi sakral bagi masyarakat setemapat. Sementara itu, kawasan budaya di antara sungai Pakerisan dan Petanu berkembang semakin maju. Di kawasan ini dan sekitarnya terjadi persentuhan dengan budaya India yang membawa aksara dan agama Hindu Budha. Penelitian arkeologi telah menemukan bukti-bukti tertulis (prasasti) dalam stupika-stupika tanah liat di Desa Pejeng dan sekitarnya. Prasasti-prasasti ini tidak menyebut nama raja dan angka tahun, tetapi berdasarkan studi paleografi, dapat diduga prasasti jenis ini berasal dari abad VIII (Goris, 1948, 1954). Kemudian masyarakat ditemukan prasasti-prasasti yang lain, yaitu prasasti Sukawana, Bebetin, Trunyan, Abang, Manik Liu, Serai, Bwahan, dan banyak lagi. Prasasti Trunyan AI dan Trunyan B menyebut mengenai pendirian sebuah bangunan suci sebagai tempat pemujaan ―Bhatara Da Tonta‖masamahin katurunan bhatara da tonta pirumahang pinakangudundadatu”…. Artinya mengumpulkan keturunan Bhatara Da Tonta agar dibuatkan tempat suci untuk pemujaan sang ratu. Perkataan masamahin katurunan yang dimaksud adalah semua masyarakat Desa Trunyan yang mereka percayai sebagai ―keturunan‖ tokoh pujaannya, yaitu Bhatara Da Tonta. Sebagai leluhur orang Trunyan, Bhatara Da Tonta tidak hanya dipuja oleh masyarakat Desa Trunyan saja, tetapi juga masyarakat lain yang berada di pinggir Danau Batur, seperti Songan, Abang, Bwahan, Kedisan, dan Air Beras.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 115 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Selain pendirian tempat suci, penghormatan terhadap Bhatara Da Tonta juga dilakukan melalui upacara keagamaan sebagai kewajiban dan bakti masyarakat. Untuk mewujudkan rasa bakti itu, maka dilakukan persembahan atau korban suci berupa sesaji. Berdasarkan keterangan prasasti-prasasti Trunyan, ada dua jenis upacara pemujaan terhadap Bhatara Da Tonta, yaitu, upacara caru dan rajakarya (karya agung), yang masing-masing dilakukan pada bulan Bhadrawada dan asuji. Upacara caru adalah korban suci untuk para Bhutakala agar tidak mengganggu manusia dan menjaga kehormatan alam semesta. Sedangkan upacara rajakarya adalah upacara terpenting dan terbesar bagi Bhatara Da Tonta. Dalam rajakarya ini patung Bhatara Da Tonta dimandikan dengan air suci, kemudian diberi bedak kuning serta dihiasai dengan cincin dan anting-anting. Selanjutnya, mulailah prosesi upacara gaib, yaitu manggurumandyang yang dilakukan oleh SahayanPadang dari Desa Abang. Setelah kekuatan gaib atau Sakti Bhatara Da Tonta dianggap telah bersthana di patung tersebut, kemudian disusul dengan upacara haywahaywan (selamatan) oleh seluruh masyarakat dengan menghaturkan berbagai macam sesajen untuk mohon keselamatan seluruh masyarakat dan ketentraman desa. Upacara diakhiri dengan pesta (makan bersama) dan dilengkapi dengan seni pertunjukkan.

3. Penutup Berdasarkan data arkeologi (prasasti) dapat diketahui bahwa Desa Trunyan merupakan salah satu desa tua yang telah ada sejak abad X atau mungkin jauh sebelumnya. Prasasti-prasasti Trunyan tahun 833 Saka menyebut desa ini dengan nama Turunyan yang memuja tokoh yang sangat disucikan, yaitu Ratu Sakti Pancering Jagat. Nama ini adalah sebutan yang diberikan oleh masyarakat Desa Trunyan sesuai dengan mitos, sedangkan dalam prasasti-prasasti disebut dengan nama Bhatara Da Tonta. Dengan demikian Ratu Sakti Pancering Jagat adalah sama dengan Bhatara Da Tonta, yang arcanya masih tersimpan dan dipuja pada bangunan suci berupa meru tumpang tujuh di Pura Bale Desa Trunyan. Dalam prasasti-prasasti pura ini disebut umah sanghyang turunyan. Ratu Sakti Pancering Jagat atau Bhatara Da Tonta adalah tokoh yang dianggap dewa tertinggi masyarakat Trunyan dan merupakan leluhur yang turun dari langit. Untuk memohon keselamatan, kebahagiaan, dan kesuburan tanaman, masyarakat wajib menyembah dan memuja tokoh ini, dengan perantaraan upacara keagamaan yang dilakukan pada tiap enam bulan atau satu tahun. Prasasti-prasasti yang berkaitan dengan tokoh ini menguraikan secara panjang lebar mengenai upacara keagamaan yang harus dilakukan oleh masyarakat Desa Trunyan dan desa-desa di sekitarnya, misalnya upacara rutin pada bulan Magha (Januari- Februari), upacara caru pada bulan Badrawada (Agustus-September), dan raja karyya (karya agung) pada bulan asuji (September-Oktober). Upacara seperti itu sampai sekarang masih dilakukan oleh masyarakat Desa Trunyan, namun namanya berbeda, misalnya upacara saba gede, yaitu ritual untuk menghormati Ratu Sakti Pancering Jagat. Upacara keagamaan juga berfungsi untuk menguatkan solidaritas sosial masyarakat Trunyan dengan masyarakat desa-desa sekitarnya.

 116 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

DAFTAR PUSTAKA Budiastra, Putu. 1978. Prasasti Bwahan Kintamani Bangli. Denpsar: Museum Bali. Callenfels, Van Stein. 1926. Epigraphy Balica I. Deel LXG. Kolf & Co. Dananjaya, James, 1980. Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali. Jakarta: Universitas Indonesia. Goris, R. 1948. Sejarah Bali Kuna. Singaraja. ______. 1954. Prasasti Bali I. Bandung: Masa Baru. Mardiwarsito, L. 1978. Kamus Jawa Kuno Indonesia. Flores: Nusa Indah. Parisada Hindu Dharma. 1967. Upadesa Tentang Ajaran Agama Hindu. Denpasar. Stutterheim. W.F. 1929. Oudheden Van Bali. Kirtya Lieffrinck Van Der Tuuk. Singaraja.

 KAKAWIN SIWARATRIKALPA: ALUR DAN TEMA CERITA

I Made Suastika Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

ABSTRAK

Teks kakawin Siwaratrikalpa berbahasa Jawa Kuna, kakawin itu terdiri atas beberapa wirama, isi teks kakawin Siwaratrikalpa berkaitan dengan kehidupan seorang pemburu bernama Lubdaka. Dalam perburuaanya ia tidak mendapatkan binatang tangkapannya.

Setelah kematian rohnya diperebutkan oleh Batara Yama dan Batara Siwa. Batara Yama mempertahankan roh Lubdaka dihukum di neraka 1000 tahun karena ketika hidup ia berbuat jahat. Dewa Siwa menyebabkan roh Lubdaka dibawa ke sorgaloka karena pada hidupnya melakukan tapa, berata, yoga, dan darma utama, sehingga rohnya menyatu dengan Siwa di Suralaya.

Terjadinya perebutan roh Lubdaka dan dimenangkan oleh prajurit Ganabala dan prajurit Yamapati kalah. Roh Lubdaka diterima oleh Sanghyang Siwa dan menerima anugrah terbebas dari dosa dan papa, menyatu dengan Sanghyang Siwa.

Kata kunci: Yama, Siwa, Kingkarabala.

1. Pendahuluan

Kakawin Siwaratrikalpa terdiri atas 39 sargah, dengan menggunakan bermacam-macam wirama, ada pergantian wirama sebanyak 38 kali dan yang terbanyak Sardula wikridita 4 kali, Ragakusuma 8 kali, Aswalalita 4 kali dan sebagainya. Berbagai pendapat yang menyebutkan, pengarang Mpu Tanakung dari kerajaan Kediri, akhirnya kakawin itu dibawa ke Bali dan hidup tetap sampai sekarang. Bait 1-3 berisikan pemujaan kepada Sanghyang Siwa dipuja oleh penghamba keindahan. Ditempatkan dalam hati sebagai bunga padma, pemusatan pikiran dilakukan dengan pemujaan , mantra, mudra dan mohon anugrah untuk mendapatkan keindahan. Keindahan yang dinikmati di pantai dan gunung, semoga Sang Raja Sri Adhi Supraprabawa gelar beliau raja keturunan Girindra, walaupun karya itu kurang dicela dan dicerca namun tujuan utama untuk mendapatkan kebebasan sejati.

2. Alur cerita Sardula wikridita Seorang pemburu bernama Lubdaka , senantiasa tinggal di puncak gunung, tidak pernah risau selalu bersenang-senang dengan istri dan anaknya.Sejak kecil melaksanakan perbuatan darma dan yasa, walaupun pekerjaannya membunuh

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 117 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 118 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 badak, gajah, semua binatang mati dan dipakai menghidupi anak-anaknya. Tiba saatnya hari ke 14, paroh gelap sasih ke 7, langit berawan indah. Ketika itu ia berangkat berpakaian hitam dan lengkap dengan alat perburuannya (panah dan busur). Perjalanannya ke timur laut, dengan lembah yang indah. Ada persawahan, gunung, jurang air terjun mengenangi sawah-sawah Ada desa di bawah di antara gunung, ada balai tetapi atapnya lapuk, asap menjulang bersatu dengan angkasa ada balai wantilan. Di bagian bagian barat ada letak sawah dengan pematang lurus, petak-petak ladang, diselimuti awan, burung kuntul terbang ditutup awan. Tak jauh dari tempat itu ada pura seperti memandang sungai, pintu pura tinggi, sangat suci, pohon tanjung, bana, nagapuspa sedang mekar asri berjajar dengan tembok dan kumbang mendengung. Ada pada bagian dalam balai indah beratap ijuk bagaikan lukisan yang dipajang. Ada lilitan bunga gadung dan bunga bunga harum, bunga kenanga bunganya di atas atap di tiup angin. Di sebelah utara tempat upacara halaman hijau, suara sungai berbaur dengan suara genta.

Wirama Ragakusuma Ada pura padarman menjulang tinggi di tepi sungai, pohon merambat seperti menceriterakan kedukaan, ada balai runtuh seperti menceriterakan penderitaan tidak dikunjungi oleh pencari keindahan. Persada yang rusak ditumbuhi oleh pohon rerumputan, tetapi para Dewata tetap kokoh di tengah- tengah bangunan. Banyak bangunan rusak taman tidak asri bunga dan tanaman layu karena dirusak kumbang. Ada batu karang air menyembur bersahutan dengan suara kodok di jurang, pohon di bawahnya subur dan berbunga. Penuh cerita keindahan alam bunga sampai di samudra tampak perahu kecil menghilang dan samar-samar ditelan gelap.

Wirama Suwandana Berbagai hal diceriterakan dalam perjalanan, perjalanan Lubdaka semakin jauh dari tempat itu. Kini Lubdaka sampai di hutan tempat perkumpulan binatang, sangat sukar lewat di tempat itu. Disana ia berhenti sambil membidik, banyak binatang di sana dan tidak ragu. Ia berkeliling mencari binatang buruan, tidak ada bekas kaki binatang dan binatang yang dilihatnya. Ia bingung tidak seperti biasanya . Terus berburu sampai jauh tetapi tidak menemukan binatang satupun. Ia lelah dan kesakitan, ia lapar karena tidak makan saat berangkat, ia kehabisan akal, kalau pulang tidak akan ada makanan di rumah. Ia meneruskan berburu, ada tempat yogana perjalanannya tetapi tidak menemukan buruannya, lalu ia menemukan telaga luas dan minum air, mandi, cuci muka. Ia sadar karena sudah malam, menginap di pinggir telaga, tetapi ada binatang yang minum air kesana

Wirama Aswalalita Matahari terbenam, hari mulai semakin gelap. Akhirnya Sang Lubdaka naik ke atas pohon tetapi tidak ada binatang. Akhirnya ia mengantuk takut tertidur lalu memetik daun maja tidak hentinya di lemparkan ke telaga yang dalam. Ia tidak

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 119 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 tidur semalaman takut jatuh dimakan buaya.Matahari terbit, siang muncul, binatang riang gembira.

Wirama Wisantatilaka Perjalanan Lubdaka, ia ingin pulang pagi itu dengan busurnya, tiba di rumahnya ketika senja hari dijemput istri dan anaknya, dengan mengatakan anakmu lemas dan lapar mana hasil buruannya.

Wirama Tebusol Ia tidak mendapatkan hasil buruan dari kemarin dan bertengger di atas pohon maja karena ketakutan. Sungguh haru di tepi danau, betapa sedih hasil buruan tidak ada jika jatuh akan mati. Istrinya berkata jangan ceroboh dan sedih mendengarkan perjalannya.

Wirama Ragakusuma Datang kematian Lubdaka sesak nafas tidak dapat diobati, anak dan istrinya menunggu, dengan perasaan sedih dan penderitaan terutama siapa yang menghidupi anaknya nanti. Lubdaka menderita dalam kesakitan tidak ada denyut nadi dan dada karena tidak pernah berbuat darma sebagai jalan menuntun jiwa pada saat kematian. Lubdaka pun meninggal keluarganya menangis dengan berkata‖ mengapa kakanda pura-pura tidak mengetahui, perhatikan dukaku‖. Dengan menyebut- nyebut ketika pulang dari berburu istrinya menanyakan binatang buruannya dan anak-anaknya. Mayat Lubdaka dibungkus dan diantarkan ke lereng gunung.

Wirama Sucyandewi Diceriterakan perjalanan atma Si Lubdaka, melayang di angkasa tidak tahu jalan ke sorga, dilihat oleh sanghyang Siwa, Beliau tahu perilaku hidup pastilah dibawa ke alam Neraka. Makanya para prajurit (Ganabala) datang menyembah, apa tugas kami Hyang Iswara, kami diundang semua datang. Tujuannya adalah agar menjemput atma Lubdaka dan bawa kehadapanku. Meskipun parajurit Yama, jangan takut merebut atma Si Lubdaka bawa ke Suralaya. Selama hidupnya jahat membunuh binatang, tanpa tapa brata mengapa ia datang ke siwalaya. Para Kingkara tak henti-hentinya roh orang yang tidak berbuat susila dan brata, ada catatan Kingkara roh siapa ke sorga dan ke neraka.

Wirama Sardulawikridita Hyang Siwa berkata kepada Ganabala, ―Anakku berata dilaksanakan semasa hidupnya sungguh utama‖ tidak pernah dilaksanakan oleh umat manusia sesuai ajaran sastra utama dalam ceritera Siwaratri yang tidak ada bandingannya. Itulah aku mengutus agar mengambil arwah Si Lubdaka, ia telah berbuat luhur melaksanakan darma utama dan brata, berangkatlah jangan ragu-ragu. Berangkatlah para Ganabala.

Wirama Turidagati Diceriterakan perjalanan Ganabala gagah perkasa Sang Nandana pemimpin pasukan, di belakangnya Sang Udwabesa, Ganarata dan Puspadanta, menjemput roh Lubdaka.

 120 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Wirama Swalalita Prajurit kingkara bgaikan macan dan membawa senjata. Sang Candra, Pracanda, Sang Kala Sang Pramestinretya, Sang Nila dan Ugrakarma. Sang Citradenkara Sang garaeikrama Sang Recanda Sang Antika gagah berani. Roh Lubdaka ketakutan melihat prajurit Hyang Yama, sambil bersimpuh menangis, mengatakan Lubdaka terimalah pahala dari perbuatan yang hina.

Wirama Ragakusuma Penderitaan roh Lubdaka diikat oleh Kingkara, tolonglah aku agar terbebas.

Wirama Udgatawisama Aku(Lubdaka) ada di angkasa sejak ajalku tiba tidak ada tempat untuk mengabdi. Ratapan roh Lubdaka terus-menerus di angkasa.

Wirama Kusumawilasita Roh Lubdaka semakin menangis dan sengsara semakin diikat keras-keras, perbuatanya dulu jahat.

Wirama Sardulawikridita Kingkara menyiksa roh Lubdaka, datang Ganabala bernama Wimana menjemput roh Lubdaka, dan sangat terkejut atas siksaan itu. Sang Mahadara menanyakan mengapa roh Si Lubdaka disiksa, hukuman itu tidak tepat. Waktu masih hidup ia melakukan berata utama, kedatanganku mengambil roh Lubdaka atas perintah Dewa Siwa. Bahkan akan tetap menghukum roh Lubdaka, jawab prajurit Yamadipati. Roh Lubdaka diantar ke Yamadipati untuk mengisi alam neraka, hukuman dimulai. Lalu direbut beramai-ramai oleh prajurit Betara Siwa dan diterbangkan ke Siwaloka dan berusaha merebut kembali. Perang terjadi antara prajurit Kingkara dan pasukan Dewata. Pasukan Ganabala maju menyerang prajurit Kingkara dan prajurit Yama Lari. Laskar Kingkara mundur dan melarikan diri.

Wirama Aswalalita Perang antara prajurit Yama dan Dewata.

Wirama Wasartatiloka Prajurit berperang dengan berbagi senjata.

Wirama Indrabajra Peperangan diteruskan.

Wirama Sardulawikridita Perang berlangsung terus. Prajurit Hyang Yama lari berhamburan. Laskar Ganabala ditambah prajurit Siwaloka terus berperang akhirnya pasukan Kingkara kalah.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 121 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Wirama Ragakusuma Prajurit Kingkara menghadap Hyang Yama, Prajurit Ganabala menang dan mengambil roh Lubdaka kembali. Prajurit Ganabala menghadap Hyang Siwa, Lubdaka bersujud dan disambut kata manis‖syukur anakku datang yang sangat darma, berjasa dan taat melakukan brata‖. Sekarang terimalah olehmu pahala brata utama yang kamu laksanakan. Terimalah anugrahku, mudah-mudahan engkau mau menemukan kebahagiaan abadi di Siwalaya beserta puspaka utama 8 jalan pengetahuan utama (astagina) permata tak ternilai dan juga mata (trilocana) dan segala jenis busana akan diserahkan kepadamu. Selama ini kamu akan menikmati kebahagiaan di Siwalaya. Ia menyatu dengan Hyang Siwa dan dipercaya karena tekun melakukan brata Siwa Rajani.

Wirama Raganata Pasukan Kingkrabala kembali ke Hyang Yama, karena Hyang Siwalah yang menentukan dan menugaskan untuk mencantumkan setiap perilaku manusia dan memerintahkan untuk mengetahui perbuatan baik buruk seseorang. Hanyalah orang yang berbuat baik dan menghayati darma itulah yang untuk memuja atma Siwa (Siwaloka). Roh yang berbuat salah dan durhaka akan diterima sebagai penghuni Neraka, Hyang Yama menghadap Hyang Siwa.

Wirama Sekarini Hyang Siwa di puncak gunung Kailasa, Hyang Siwa mengatakan kepada Yama dalam meminta kepadamu hanya satu roh ini bernama Si Lubdaka. Janganlah engkau bersikeras untuk mengambil ia telah melaksanakan darma, berbudi luhur, dan berhasil melaksanakan brata utama. Akhirnya Si Lubdaka berhasil mencapai Siwalaya. Si Lubdaka yang telah melaksanakan brata utama, brata Siwaratri, pada paroh gelap keempatbelas, sekitar bulan Januari sasih (kapat).

III. Tema Kakawin Siwaratrikalpa Tokoh Lubdaka sebagai tokoh manusia dengan pekerjaan sehari-hari sebagai pemburu membunuh binatang di dalam hutan. Pada suatu hari perburuannya gagal tidak seekor binatang yang didapat, ia gagal mendapat buruannya. Ketika itu pada hari panglong ping 14, paroh gelap sasih kepitu (bulan Januari), karena takut kemalaman di hutan maka ia naik ke atas pohon bila. Ia memetik daun satu persatu sampai pagi, karena takut jatuh dan dimakan binatang buas. Ia tidak makan minum , pada besok paginya ia pulang dan istrinya menanyakan binatang tangkapannya. Ia menyatakan tidak dapat dan istrinyapun bertambah sedih apa yang akan dimakan anaknya. Waktu kematianpun tiba, mayatnya terbang ke angkasa tidak tahu kemana tujuannya. Akhirnya diketahui oleh Sanghyang Siwa kemudian memanggil prajuritnya untuk menangkapnya. Begitulah Sanghyang Yama mengetahui atma Lubdaka dan memerintahkan prajuritnya untuk menangkap dan menyiksanya bahkan sampai menjerit ketakutan. Terjadi perkelahian antara prajurit Siwa dengan prajurit Yama, dan dimenangkan oleh prajurit Siwa. Roh Lubdaka dibawa kehadapan Sanghyang Siwa dengan disambut meriah penuh kegembiraan. Dulu Lubdaka bertapa, yoga, semadi dan menjalankan darma utama. Sekaranglah

 122 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 waktunya menikmati kebahagiaan dengan menerima anugrah Sanghyang Siwa berupa Aji Astagina dan kebahagiaan sejati. Terjadinya dialog panjang sebelumnya antara Sanghyang Siwa dan Sanghyang Yama, Sanghyang Siwa berpendapat bahwa Lubdaka seharusnya tidak dihukum karena pada waktu panglong ping 14, sasih ke 7 paroh gelap melaksanakan darma utama, tapa, yoga. Sedangkan Sanghyang Yama mengatakan bahwa Lubdaka harus dihukum berat selama 1000 tahun karena perbuatannya didunia dulu jahat dan membunuh binatang. Akhirnya dapat disebutkan tema Kakawin Siwaratrikalpa yaitu tentang malam suci Siwa (Siwa Ratri). Barang siapa yang dapat melaksanakan tapa berata dan darma utama pada waktu malam Siwa Ratri maka ia terbebas dari dosadan papa dan mendapatkan anugrah dari Siwa bernama Aji Astagina dari Sanghyang Siwa, demikian ajaran Siwa Ratri. IV. Simpulan Berdasarkan uraian di atas dapat disimpukan sebagai berikut: a. Teks Kakawin Siwaratrikalpa berisikan perjalan tokoh seorang pemburu yang awalnya memburu binatang pada hari tertentu buruannya kosong. b. Suatu hari Lubdaka meninggal, rohnya menjadi perebutan antara dewa yama dan Batara Siwa oleh Batara Yama Si Lubdaka menghuni neraka 1000 tahun oleh Dewa Siwa terbebas dari papa karena telah menjalankan brata pada hari Siwaratri, jatuh hari panglong ping 14 sasih kepitu paroh gelap. c. Terjadinya perebutan roh Lubdaka yang dimenangkan oleh prajurit Batara Siwa mengalahlah prajurit Yamadipati, roh lubdaka dibawa ke Suralaya. d. Roh lubdaka menyatu dengan Sanghyang Siwa di Siwalaya. e. Tema dari Kakawin Siwaratrikalpa adalah malam suci Siwa (Siwaratri).

Daftar Pustaka

Kakawin Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung (Diterjemahkan IBG Agastia), Yayasan Dharma Sastra, 2002. Zoetmulder,P.J. 1994, Kalanguan Karya Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang: Jakarta:Jambatan.

 TRANSFORMASI SOSIAL DAN ETIKA BUDAYA RELIGIUS MASYARAKAT BALI ERA MODERN

I Nyoman Duana Sutika Program Studi Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

ABSTRAK

Pengaruh modernisasi dan arus globalisasi yang begitu cepat telah menghanyutkan semua orang untuk mengikuti pola-pola kehidupan modern yang dicirikan oleh adanya perubahan nilai kehidupan. Era global ini telah membawa perubahan secara signifikan terhadap nilai-nilai sosial dan etika budaya religius masyarakat Bali. Masyarakat Bali yang awalnya dikenal sebagai masyarakat agraris/komunal yang sarat dengan kearifan lokal, adiluhung, taat pada tuntunan etis dan tunduk pada dunia niskala mengalami perubahan dan pergeseran oleh progresivitas asing (Barat) yang lebih mementingkan objek material (citra) yang artifisial. Masyarakat yang tidak lagi mementingkan esensi, tetapi sebuah dunia citra yang ditunjukkan melalui objek sebagai media yang dianggap menentukan status, prestise dan simbol-simbol sosial tertentu. Kata kunci: modernisasi, globalisasi, transformasi, dan budaya religius

PENDAHULUAN Dewasa ini ada kecendrungan terjadi perubahan sosial yang amat signifikan pada hanpir semua aspek kehidupan masyarakat. Semua wilayah dunia tidak bisa berkelit dari perubahan sosial yang terjadi. Termasuk juga masyarakat Bali, kini berada di tengah pusaran menuju perubahan sosial dan budaya yang tidak terkendali. Era modernisasi menimbulkan arus globalisasi yang begitu deras mengalir secara intensif tanpa mampu untuk membendungnya, bahkan dapat meruntuhkan, mengancam eksistensi dan jati diri serta kebudayaan Bali itu sendiri. Arus modernisasi yang begitu kencang telah menghanyutkan semua orang untuk mengikuti pola-pola kehidupan modern yang dicirikan oleh perubahan- perubahan nilai kehidupan. Gelombang globalisasi disadari atau tidak telah melahirkan orientasi nilai kehidupan yang cendrung bersifat individualistis dan materialistis. Nilai-nilai kehidupan kini lebih tertuju pada pola-pola fetisisme dan gaya hidup materialisme untuk kesenangan (hedonisme) semata dengan mengabaikan aspek kehidupan yang lain. Piliang (2006: 189) menyebutkan bahwa manusia masa kini tidak lagi dikelilingi oleh manusia-manusia lain, melainkan oleh objek-objek, semacam fetisisme komoditi, yaitu simbol yang sebenarnya tidak merupakan substansi dari komoditi. Objek di luar diri tersebut seakan menjadi identitas dan status sosial seseorang yang menentukan derajat sosialnya. Budaya konsumerisme telah menciptakan berbagai gaya hidup berkaitan dengan unsur-unsur simbolik yang menandai kelas, status atau simbol sosial lainnya.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 123 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 124 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Konsumsi mengekspresikan posisi sosial dan identitas kultural seseorang di dalam masyarakat. Masyarakat Bali sebagai bagian dari masyarakat global tidak bisa lepas dari pengaruh dunia Barat. Akselerasi kultur Barat sepertinya tidak bisa dihindari sebagai bagian integral dari pergaulan dunia modern. Kultur budaya Barat ini terserap dalam gaya hidup, norma, nilai, adat dan aspek kehidupan yang lain membentuk kultur budaya baru yang berbeda dari budaya sebelumnya. Walaupun pada dasarnya tidak ada masyarakat yang tidak berubah baik masyarakar tradisional maupun masyarakat modern. Tetapi yang terjadi pada dekade ini adalah perubahan dan pergeseran nilai yang amat signifikan dan bahkan mengejutkan bagi kehidupan masyarakat yakni pergeseran-pergeseran yang merubah orientasi dan nilai kehidupan masyarakat. Masyarakat Bali yang pada awalnya dikenal sebagai masyarakat agraris/komunal yang sarat dengan kearifan lokal perlahan namun pasti mengalami perubahan dan pergeseran oleh progresivitas asing (Barat). Perubahan menuju arah pendangkalan kultural akibat nilai-nilai baru dalam masyarakat terkonstruksi menjadi simbol yang tampil tanpa makna. Perubahan sudut pandang dan perubahan orientasi nilai masyarakat terjadi oleh cara berpikir dan sikap hidup yang lahir dari modernitas Barat yang lebih menekankan pada rasio dan objek materialistis. Terjadi dampak perubahan budaya religius yang lebih mementingkan objek material (keuntungan) daripada nilai-nilai kemuliaan bagi kehidupan masyarakatnya. Budaya religius telah terkontaminasi dan dirasuki oleh nilai-nilai ekonomis yang bisa mendatangkan keuntungan materi. Unsur-unsur komodifikasi telah merasuki pola-pola kehidupan religius masyarakat Bali khususnya sehingga budaya ngayah berubah menjadi budaya buruh yang berorientasi pada upah dan keuntungan. Dengan demikian Tutik (2008: 4) menyebutkan bahwa peradaban manusia dewasa ini senantiasa mengalami metamorfosis sehingga melahirkan realita baru yang mengubah kehidupan wajah manusia itu sendiri. METODOLOGI Data bersumber dari beberapa fenomena sosial tentang etika budaya religius masyarakat Bali yang terjadi berdasarkan pengamatan (observasi) dalam kehidupan masyarakat Bali. Data yang diperoleh dianalisis dan disajikan dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan teknik simak serta interpretatif. Data yang berkaitan dengan fenomena sosial dan etika budaya religius ini, dicatat dan diidentifikasi serta diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan yang ditetapkan. Selanjutnya data diinterpretasikan sesuai sehingga menghasilkan suatu hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. PEMBAHASAN 1. TRANSFORMASI SOSIAL BUDAYA RELIGIUS MASYARAKAT BALI ERA MODERN Transformasi sosial budaya pada hakikatnya adalah perubahan yang didasari oleh keinginan dari warga suatu masyarakat, untuk meninggalkan hal-hal yang sudah mentradisi dalam suatu masyarakat kebudayaan tertentu. Perubahan budaya yang terjadi dewasa ini dipercepat oleh adanya proses globalisasi yakni perkembangan budaya internasional yang memasuki wilayah berbagai negara di dunia. Tentu saja wilayah kebudayaan dunia ini sangat kompleks. Walaupun

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 125 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 diakui trasformasi sosial budaya sebagaimana dikemukakan oleh Hoed (2008:119) tidak hanya terjadi karena dipaksakan dari luar melainkan dapat juga terjadi karena keinginan dari dalam yang memang dibutuhkan oleh masyarakat bersangkutan. Sebagai warga masyarakat mana pun tidak dapat mengisolasi diri dari perubahan yang terjadi sebagaimana dikemukakan Tutik (2008: 6) bahwa pada akhirnya semua di hadapkan pada dua pilihan, yaitu bertarung atau bergabung, bersanding atau bertanding yang kemudian melahirkan dinamika. Menurut Geriya (2008: 5) ada dua kubu pandangan berbeda dalam menanggapi dan memberikan interpretasi mengenai keberadaan, dinamika dan perubahan kebudayaan Bali. Kubu pertama, menilai dinamika kebudayaan Bali tradisional menuju kebudayaan Bali modern atau pasca agraris bergerak menuju konsepsi continuity in changes dengan dukungan konsep-konsep, seperti revitalisasi, pencerahan, adaptif, akomodatif, fleksibel, dan selektif. Dengan penilaian betapa kokohnya keberadaan kebudayaan tradisional di tengah-tengah arus modernisasi dan globalisasi yang pada hakekatnya hanya mampu merubah sisi permukaan. Kubu kedua, menilai dinamika kebudayaan Bali tradisional menuju kebudayaan Bali modern mengandung ancaman yang serius, krisis dan ketidakberdayaan kebudayaan tradisional tengah mengalami distorsi, diskontinu dan disintegrasi. Dengan demikian masyarakat yang masih kuat berpegang pada nilai-nilai lama memerlukan penyesuaian untuk bisa menerima kebudayaan baru, bahkan ini sering menimbulkan konflik sosial akibat dari benturan nilai-nilai yang belum menyerap ke dalam masyarakat. Tingginya dinamika kebudayaan yang terjadi pada satu sisi membuka peluang pada peningkatan kesempatan kerja dan sumbangan ekonomi, namun di sisi lain makin runtuhnya dimensi nurani kehidupan kemanusiaan akibat kuatnya ancaman komersialisasi dan materialisme. Perubahan budaya atau transformasi budaya itu terjadi sepanjang zaman hanya saja mengalami percepatan yang sangat signifikan pada dua puluh tahun terakhir mengiringi era globalisasi. Makin terbukanya hubungan antarmanusia, antarnegara yang didukung oleh peralatan canggih memberikan keleluasaan bagi perkembangan semua aspek kehidupan. Perkembangan masyarakat selain didukung oleh perkembangan teknologi komunikasi, informasi dan transformasi juga didukung oleh teknologi modern lainnya. Hanya saja perkembangan teknologi yang begitu cepat akan pula mengandung resiko (risk culture) terhadap dampak budaya yang justru merugikan karena bertentangan dengan azas masyarakat. Transformasi sosial atau perubahan sosial pada umumnya terjadi akibat perubahan kondisi sosial primer, seperti unsur ekonomi, biologis, politik, agama dan lain-lain. Terjadinya perubahan kebutuhan sosial mendorong perubahan pada unsur-unsur yang lain. Setiap perubahan yang terjadi pada mulanya dianggap sebagai penyimpangan (deviation) yang kemudian penyimpangan tersebut mengalami penyesuaian-penyesuaian dengan ide-ide yang baru. Tutik (2008: vi) menyebutkan bahwa modernisasi yang berkembang sebagai buah dari transformasi sosial budaya dewasa ini, baik langsung maupun tidak telah melahirkan distorsi, terutama ketidakseimbangan antara ranah material dan ranah spiritual. Ketidakharmonisan kedua aspek menimbulkan berbagai gejolak, seperti degradasi moral dan runtuhnya sendi-sendi transendental kehidupan masyarakat.

 126 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Perubahan tersebut juga menimbulkan keguncangan baik secara individu, keluarga, sistem kekerabatan dan kehidupan sosial lainnya. Masyarakat Bali (Hindu) yang dulu terkenal dengan kehidupan sosialnya yang sangat religius, taat pada tuntunan etis dan tunduk pada dunia niskala kini nampak bergerak keluar dari pakem-pakem etika menuju ke agem-agem atau anubhawa (gaya) estetika yang lebih menonjolkan performance (penampilan) yang artifisial. Nilai-nilai etika religius telah banyak dilanggar yang cendrung bersuka cita di ranah estetik dengan menanggalkan atau meninggalkan tuntunan etik. Potensi ekonomi yang ditandai oleh keberlimpahan materi memberikan kesempatan umat Hindu Bali khususnya untuk mengeksplorasi dan mengekploitasi diri melalui media tubuh yang dikomunikasikan dengan bermacam-macam simbol. Penampilan umat masa kini lebih menonjolkan sisi estetika/keindahan dan penampilan (performance) ketimbang nilai-nilai etika yang menjadi inti tujuan beragama. Pengutamaan penampilan ini justru didorong oleh pamrih atau keinginan untuk mendapat pujian, pehatian dan kekaguman atau bahkan pamer diri untuk mendapatkan prestise diri. Masyarakat umumnya kurang memahami aspek fungsional materi tanpa disadari telah menyeretnya pada arus pencitraan yang dipenuhi simbol-simbol kebendaan. Di balik semua ini ada kekawatiran terjadi di masa depan bahwa aturan kultural, termasuk di dalamnya budaya religius dan hukum agama akan kehilangan daya mengikatnya yang menurut Widana (2011,: 255-256) cendrung menuju keadaan anomie atau tanpa norma, sehingga sikap dan prilaku seakan tanpa nilai atau aturan. Ketiadaan norma yang tentu saja kalau dibiarkan akan menjerumuskan umat menjadi kehidupan umat yang bebas, sekuler dan hedonis. Dinamika dan fenomena ini dianggap sebagai proses transformasi era postmodern dari masyarakat tradisional ke masyarakat industri yang tentunya dapat menimbulkan masalah sosial tersendiri. Norma-norma masyarakat tidak lagi memiliki daya kohesif pemaksa yang cukup kuat untuk mengukuhkan norma- norma yang telah berlaku yang juga cendrung meninggalkan norma agama yang dianutnya. Pada titik itulah umat Hindu Bali akan kehilangan/kehampaan norma yang menurut Durkheim (dalam Widana, 2011: 258) disebut anomie. Jika di masa lalu masyarakat Bali diperdaya oleh ningrat lokal bernama kerajaan, di zaman modern saat ini justru dikuasai oleh ningrat kapitalis yang masyarakatnya tetap menjadi objek semata. Putrawan (2011: 135) bahkan menyebut jati diri orang Bali dengan akar pertumbuhan budayanya telah tercerabut akibat mengadopsi secara mentah budaya Barat yang tidak sepenuhnya sesuai dengan budaya ketimuran. Bermaksud pindah ke rumah mewah malahan jadi gelandangan atau lebih ironis lagi menjadi pembantu di rumah sendiri. Itulah gambaran masyarakat yang tentu tidak menjastifikasi masyarakat Bali secara menyeluruh.

2. SPIRIT BERKETUHANAN MASYARAKAT BALI ERA MODERN Spirit berketuhanan dikemukakan Piliang (2009: 334) adalah spirit pengekangan hasrat, pembentengan libido, pengutamaan perenungan, pencarian jalan kesucian, pengutamaan kedalaman, pengutamaan kesederhanaan, penjauhan diri dari dunia (materi). Inilah refleksi masyarakat tradisional yang di zaman sekarang ini telah terjadi perubahan menuju ke hal-hal yang besifat artifisial. Spirit berketuhanan cendrung digiring ke dalam ruang-ruang imanen yang di

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 127 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 dalamnya tampil dalam wujud tanda-tanda dan citraan yang pada tingkat tertentu tidak lagi merefleksikan esensi spiritual itu sendiri, akan tetapi telah terditorsi ke dalam realitas tanda dan citra itu sendiri. Perubahan terjadi karena menganut pandangan yang berorientasi pada nilai-nilai yang lahir dari modernitas Baratdengan lebih mengutamakan dunia objektif yang rasional materialistis dibandingkan dengan aspek spiritual religius yang bersandar pada agama. Adanya progresivitas ritual dalam kehidupan masyarakat Bali yang cendrung bergerak sebagai realitas ritual sebagai penanda identitas sosial sebagaimana dilakukan dalam upacara ngaben Di dalam prosesi berlangsungnya upacara ngaben (manusa yadnya) merasuk unsur-unsur fashion yang sarat dengan komuditas material. Begitu pula yang terjadi pada pelaksanaan upacara yadnya (dewa yadnya) di pura, para pemedek cendrung mengutamakan penampilan (fashion) ala selebritis untuk mendapatkan status sosial dan bentuk pujian serta penghormatan lainnya, dibandingkan dengan kualitas rohaninya. Dengan demikian produktivitas rohani yang diharapkan terinternalisasi dalam diri umat, justru lebih menampakkan manifestasinya dalam bentuk produktivitas materi yang tidak saja merefleksikan simbol ekonomi, tetapi identitas sosial kultural lainnya. Dalam kenyataannya masyarakat Bali haus akan aktivitas spiritual yang dilakukannya melalui berbagai macam ritus keagamaan yang mampu memberikan rasa puas bagi kehidupannya. Tidak menampik kalau kemudian Tutik (2008: 21) menyebutkan bahwa kehidupan tanpa kandungan spiritual akan menjadi absurd sehingga yang terjadi adalah hujatan terhadap hal-hal metafisik atas kekosongan spiritual dan ketidakbermaknaan hidup. Simbiosis gaya hidup ke dalam wilayah spiritual telah menciptakan sebuah kondisi yang di dalamnya masyarakat mencampurkan jagad materi dan gaya hidup yang bersifat dangkal dengan ranah spiritual yang suci. Masyarakat Bali Hindu sekarang ini telah dimanjakan oleh suguhan upacara siap saji untuk dipersembahkan ke hadapan Tuhan/Ida Sanghyang Widhi, sehingga apapun peralatan upacara bisa diperoleh dengan cepat dan mudah asalkan ada uang. Masyarakat manapun lebih-lebih masyarakat perkotaan tidak sulit mendapatkan segala peralatan upacara karena telah tersedia menurut keinginan; nista, madia dan utama. Prinsip ―uang maha raja‖ bukanlah isapan jempol, tetapi senyatanya di era sekarang ini segala sesuatu dapat dibeli asalkan memiliki uang. Keadaan ini yang kemudian membuat setiap orang harus berlari kencang mengejar uang atau kekayaan untuk memperoleh simbol kesejahtraan dan keberhasilan bagi seseorang. Dengan materi berlimpah seseorang mampu melakukan pelepasan hasrat termasuk tubuh sebagai objek tontonan yang di dalamnya lebih menawarkan tampilan, citra dan gaya hidup. Ketika orang melakukan persembahyangan ke pura, tidak bisa dipungkiri, baik kaum laki-laki maupun perempuan akan memilih pakaian yang tidak kalah mewahnya untuk membangun citra diri secara sosial ekonomi. Inilah era yang tidak lagi mementingkan esensi, tetapi sebuah dunia citra yang ditunjukkan melalui objek (benda/barang) sebagai media yang dianggap menentukan status, prestise dan simbol-simbol sosial pemakainya. Piliang (2009:336) menyebutkan bahwa ketika ritual keagamaan terseret ke dalam ruang citra maka ia akan terperangkap di dalam sifat-sifat kedangkalan dan artifisialitasnya serta akan semakin menjauhkannya dari makna-makna dan nilai-nilai hakikinya.

 128 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Aktivitas ritual keagamaan adalah sebuah ruang penyucian jiwa, yaitu pembersihan jiwa dari berbagai kotoran lewat mekanisme pengekangan hasrat. Ritual agama juga memberi spirit akan adanya perubahan pada pola prilaku sosial dengan cara mengekang berbagai aspek materialitas. Akan tetapi aktivitas ritual yang terperangkap dalam dunia citra yang terjadi adalah pendangkalan ritual yang semakin tercabut dari makna hakikinya. Nilai-nilai spiritual keagamaan kini ditafsirkan secara sangat subyektif sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu, dalam upayanya untuk mencari kesempurnaan diri sesuai dengan tafsiran mereka masing-masing (Piliang, 2006: 5002). Dengan demikian meskipun Tuhan itu sama setiap orang dapat mempunyai penamaan yang berbeda terhadap institusi agama yang mewadahinya. Masyarakat Bali adalah masyarakat yang banyak memuja simbol-simbol ketuhanan karena keterbatasan manusia untuk mengetahui sesuatu yang berada di luar dirinya. Ada sejarah panjang manusia dalam mencari, memahami dan menafsirkan sesuatu yang disebut sakral (benda suci), baik berupa keris, lontar, dan benda lainnya yang dianggap mempunyai atribut kesucian yang sesungguhnya hanyalah sumber spirit yang tak diketahui dari kekuatan yang disebut Tuhan. Spiritualitas saat ini sedang menuju perkembangan ke arah sekular yang cendrung tampil sebagai sesuatu yang mengobjek yang berbeda dari agama konvesional. Berbagai jalan spiritual berkembang dalam masyarakat Bali, seperti meditasi, upacara-upacara magis, tenaga dalam, pengobatan alternatif sebagai bagian dari lukisan obsesi masyarakat dewasa ini. Ada semacam keyakinan baru yang berkembang yang memandang informasi tersebut bermula dari Tuhan. Laku spiritual tersebut mampu membawa pikiran, suasana mental, ke dalam alam virtual (hayal) dan meninggalkan tubuh yang nyata di dunia nyata. Spiritual sekuler yang berkembang saat ini cenrung bersifat individu yang di dalamnya tidak diperlukan kehadiran Tuhan sebagai keyakinan tertinggi. Spirituan semacam ini mampu memberikan kepuasan yang bersifat individual berupa ketenangan sebagai bentuk pemenuhan hasrat, akan tetapi tidak dapat menjawab berbagai persoalan teologis yang lebih besar. Kenyataan dalam kehidupan masyarakat Bali saat ini juga banyak berkembang spiritualitas sekuler yang secara positif dapat menyenangkan hati, menghibur dan sebagai penyegaran diri, bahkan terapi untuk berbagai penyakit, seperti halnya seni yoga yang marak bermunculan dewasa ini. Berbeda dengan spiritual religius yang lebih menawarkan sebuah keheningan, kesucian, konsentrasi, kekhusukan dan kedalaman seperti yang dapat dialami dalam berbagai upacara Hindu di Bali dan ritual komunitas lainnya.

1. SIMPULAN Perubahan sosial budaya masyarakat berimplikasi pada perubahan pada cara pandang masyarakat terhadap orientasi sosial budayanya, dan bahkan menimbulkan degradasi/kelongsoran moral. Modernisasi dan pengaruh globalisasi langsung atau tidak langsung telah mempengaruhi orientasi masyarakat Bali terhadap nilai-nilai dasar kehidupannya. Masyarakat Bali yang terkenal menganut budaya religius magis kini telah mengalami perubahan menuju masyarakat hedonis, masyarakat yang beorientasi pada materi dan cendrung mengutamakan performance dengan mengejar simbol-simbol pencitraan pada diri seseorang.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 129 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Masyarakat berlomba mengejar citra untuk mendapatkan kelas sosial dan prestise bagi kehidupannya.

DAFTAR PUSTAKA Geriya, I Wayan. 2008. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki abad XXI. Surabaya: Paramita. Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI Depok. Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra. Piliang, Yasraf Amir. 2006. Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas- batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra. Piliang, Yasraf Amir. 2009. Posrealitas, Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Yogyakarta&Bandung: Jalasutra. Tutik, Titik Triwulan dan Trianto. 2008. Dimensi Transendental dan Transformasi Sosial Budaya. Jakarta: Lintas Pustaka. Widana, I Gusti Ketut. 2011. Menyoroti Etika Umat Hindu. Denpasar: Pustaka Bali Post.

 HIPONIMI KATA”SEKAR” DALAM BAHASA JAWA KUNA

I Nyoman Sukartha dan Komang Paramartha Prodi Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [email protected]

ABSTRAK

Bahasa Jawa Kuna merupakan bahasa yang sudah mati atau tidak digunakan lagi sebagai bahasa komunikasi. Namun dalam sastra klasik bahasa itu masih hidup. Begitu juga dalam beberapa jenis kesenian di Bali seperti: seni pewayangan, mabebasan, sendratari, dan seni arja, bahasa tersebut masih digunakan walau bukan sebagai bahasa pengantar. Kata ―sekar‖ (‗bunga‘) dalam bahasa Jawa Kuna memiliki memiliki makna yang khas bila dilihat dari teori structural maupun teori fungsional. Bila dilihat secara formalis, maka kata ―sekar‖ memiliki kehiponiman dengan kata ―puspa‖, ―kembang‖, ―santun‖, dan ―wunga‖. Begitu pula bila dilihat secara fungsional. Kajian seperti itu belum pernah ada. Untuk itu tulisan ini akan mencoba mengajinya.

Kata kunci: wacana, makna, dan fungsi

1. Pendahuluan Bahasa Jawa Kuna merupakan bahasa documenter yang sangat menarik untuk ditelaah. Hal itu disebabkan karena di dalam bahasa itu terkandung warisan budaya bangsa yang adiluhung, baik mengenai kesenian, peradaban, maupun yng menyangkut susastra dan religi. Sebagai bahasa wrisan leluhur yang hanya bisa ditemukan lewat dokumen-dokumen masa lalu, bahasa Jawa Kuna masih bisa ditemukan pada masyarakat Hindu Bali terutama dalam bidang agama, kesusastraan klasik, nama-nama, baik nama orang, gedung, dan nama istilah. Bahasa Jawa Kuna merupakan bahasa integrasi dari bahasa Jawa (masa lalu) dengan bahasa Sansekerta. Bahasa tersebut kemudian tergeser ke Bali dan di Bali disebut dengan bahasa Kawi. Bahasa Jawa Kuna memang ernah dijadikan bahasa resmi di Bali yaitu ketika raja Udayana memerintah Bali. Namun kemudian bahasa tersebut hanya bisa ditemukan dalam naskah-naskah susastra klasik, agama, dan dalam kesenian tradisional. Bahasa Jawa Kuna amat kaya akan perbendaharaan kata (leksikal). Salah satunya adalah kata ―sekar‖. Kata tersebut memiliki hiponim seperti: ―puspa‖, ―kembang‖,

2. Lingkup Kajian

Berkenaan dengan banyaknya varian ang berkaitan dengan konsepsi ―sekar‖ di dalam bahasa Jawa Kuna, maka kajian ini dibedakan menjadi: a) Apa hiponim ―sekar‖? b) Bagaimana bentuk sinoniminya?

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 130 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 131 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

c) Bagaimana bentuknya dalam sanding kata dan bentuk mana yang memiliki distribusi pemakaian paling banyak?

3. Kerangka Berpikir Telaah tentang kehiponiman kata ―sekar‖ dalam tulisan ini mengacu kepada teori wacana Formalis dan fungsional seperti yang dikemukakan oleh Vandjik dan Halliday. Menurut Halliday (dalam Tomasowa:1994;36) terdapat 3 (tiga) komponen makna dalam suatu struktur bahasa (meta fungsi). Komponen yang dimaksud seperti: komponen tekstual, komponen interpersonal, dan komponen ideasional. Komponen tekstual meliputi organisasi tematis, struktur informasi serta dari suatu kandungan oposisi. Pola tematis menguraikan cara-cara unsur komponen ideasional disusun menjadi suatu wacana. Struktur tematis terdiri atas ―tema‖ dan ―rema‖. Tema merupakan unsur terdepan dari klausa. Sedang sisanya merupakan unsur ―rema‖. Tema digunakan oleh penutur sebagai titik tolak ujarannya. Tema bisa merupakan: subjek, predikat, komplemen atau keterangan. Komponen interpersonal merupakan aspek interaksi dan aspek personal dari tatabahasa. Aspek itu meliputi hal; bagaimana seoang penutur/pengujar berinteraksi dengan orang lain (tentu saja interaksi dengan memakai bahasa sebagai alat komunikasi). Hubungan yang dimaksud menyangkut, baik hubungan secara sosial maupun hubungan secara pengaturannya dan hubungan secara instrumental dalam membangun sebuah komunikasi. Komponen ideasional menyangkut hal yang mendasar dari sebuah ujaran. Patut dipahami bahwa bahasa merupakan alat untuk manusia membentuk suatu gambaran mental dari kenyataan yang ada untk memberi arti pada pengalamannya tentang apa yang terjadi di sekitar dan pada dirinya (tindakan, kejadian, perasaan, dan keberadaannya). Vandjik membedakan wacana menjadi: wacana mikro, wana makro, dan super struktur.

4. Pembahasan Kata ―sekar‖ dalam bahasa Jawa Kuna bermakna ‗bunga‘. Bila dilihat kata yang berhiponim dengan kata ―sekar‖ maka didapatkan kata-kata seperti: ―puspa‖, ―kembang‖, ―sari‖, ―kusuma‖, dan ―santun‖. a. Kehiponiman

Hiponim (hyponym) diartikan sebagai ‗kata yang memiliki makna yang lebih sempit dari pada makna generic spesifik dan makna generic anggota taksonomi dan nama taksonomi (Moeliono dkk, 2014;502). Sejalan dengan makna itu, hiponimi (hyponym) diartikan sebagai‗ hubungan dalam semantik antara makna spesifik, atau antara anggota taksonomi dan makna taksonomi. Contoh; antara anjing, kucung, dan kambing disebut hiponim dari hewan. Hewan disebut sebagai superordinate dari kucing, anjing, dan kambing. Sedangkan kata kucing, anjing, dan kambing disebut sebagai kohiponim (Kridalaksana, 1993;74). Dalam bahasa Jawa Kuna kata ―sekar‖ memiliki kohiponim seperti;

Tabel 1; Hiponimi*)

 132 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

No Superordinat Subordinat/kohiponim Jumlah 1 Sekar 1) - gandira ‗hiasan bunga di kepala‘ Banyak 2) raga - ‗nama metrum/Ragakusuma)‘ 3) - carang ‗nama halaman rumah‘ 4) - kuning ‗bunga kuning‘ 5) - petak ‗bunga putih‘ 6) - emas ‗bunga emas‘ 7) - suhun ‗untaian bunga hiasan kepala‘ 8) - taji ‗nama bunga hiasan kepala‘ 9) - tahun ‗upeti‘ 10) - ura ‗taburan bunga dlm upacara‘ 11) - wangi ‗bunga dan wangi-wangian‘ 2 Puspa 1) ṡara - ‗nama senjata‘ 2) - capa ‗nama senjata‘ Sedikit 3) - danta ‗bergigi bunga‘ 4) - dewati ‗dewi bunga‘ 5) - gandha prawandha ‗wewangian‘ 3 Kembang 1) - ura ‗bunga tabur‘ 2) - emas ‗bunga emas‘ Agak 3) - rajata ‗kembang perak/putih‘ Banyak 4) - petak ‗bunga putih‘ 4 Santun 1) padma - ‗bunga lotus‘ Sangat sedikit 5 Padma. 1) - caraka ‗nama bunga‘ 2) Antapadma ‗teratai di dalam (diri/jantung)‘ 6 Kusuma 1) - ‗bunga‘ Sangat 2) - bhawana ‗sorga bunga‘ banyak 3) - capa ‗panah bunga‘ 4) - padapa ‗ranting bunga‘ 5) - parwata ‗gunung bunga‘ 6) - śaňcaya ‗(‗ikat‘) ‗timbunan bunga‘ 7) - śara ‗berpanah bunga, 8) - saňjata ‗bersenjata bunga‘ 9) - sȃri ‗tepung sari‘ 10) Kusumȃstra ‗berpanah bunga‘ 11) Kusumȃstradewi ‗dewi Ratih‘ 12) - ȃstrapȃni ‗panah bunga di tangan‘ 13) Kusumȃstrapatni ‗Ratih (istri Kama)‘ 14) - warsa ‗hujan bunga‘ 15) - wicitra berbagai macam bunga‘; ‗nama metrum/pola gurulaghu‘ 16) - wilasita ‗nama metrum‘ 17) Kusumȃyudha ‗senjata bunga‘; ‗nama Kama‘ 18) Kusumȃyudhatantra ‗Kamatantra‘ 19) Kusumesu ‗panah bunga‘ 20) - mitajanma ‗manusia mulia‘;‘nama

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 133 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

metrum‘

7 wunga 1). Bunga/kembang**) *) Arti kata disesuaikan dengan Kamus Jawa Kuna-Indonesia dari Zoutmulder. **) Ditemukan pemakaiannya hanya 1 kali saja dalam , Sargah l7. Melihat contoh kata-kata di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. 1) Kata kusuma memiliki varian terbanyak yaitu sebanyak 17 buah. Kata kusuma mengacu kepada refrent bunga secara keseluruhan yang meliputi; tangkai, kuncup, putik dbenang sari dan tepung sari. 2) Kata sȇkar memiliki varian sebanyak 11 buah atau lebih sedikit dibandingkan dengan kata kusuma. Kata itu pun mengacu kepada refren bunga secara keseluruhan seperti; tangkai, kuncup, putik dan benang sari dan tepung sari. 3) Kata puspa memiliki varian 5 buah dan memiliki peringkat ketiga dalam hal varian untuk kata bunga. 4) Kata kembangmemiliki varian sebanyak 4 buah 5) Kata Padma memiliki varian 2 buah dan 6) Kata santun hanya 1

Semua varian kata-kata di atas mengacu kepada refren yang luas yang meliputi; tangkai, kuncup, putik, benang sari, dan tepung sari bunga. Namun bila dirunut pemakaiannya di dalam kalimat maka diketemukan hal-hal sebagai berikut.

Semua jenis bunga Sȇkar

Kusuma - bhawana - gandira Sȇkar - capa- padapa raga - - parwata - carang - śaňcaya - kuning - śara - petak - saňjata -emas -sȃri - suhun Kusumȃstra - taji- tahun Kusumȃstradewa - ura - ȃstrapȃni - wangi Kusumȃstrapatni - warsa - wicitra -wilasita ‗ Kusumȃyudha Kusumȃyudhatantra Kusumesu - mitajanma

 134 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

puspa - ṡara - caraka padma - capa antapadma - danta -nabha - dewati -keṡara - gandha prawandha -yoni Kembang -- ura santun - emas - rajata - petak

Contoh pemakaian Bila semua kata-kata di atas diimbuhi dengan afiks (imbuhan) maka akan terjadi perbedaan. Maksudnya adalah ada kata yang kurang pas bila dilekati prefiks-, -infiks-, -suffiks dank konfiks, dan ada kata-kata yang cocok/boleh dilekati imbuhan. Contoh: Prefix a- /ma- Cocok/benar Asȇkar/masȇkar A-/makusuma Tidak cocok/salah Akusuma/- Mapadma Akembang/makȇmban Mapuspa g Masantun Apadma/ - Apuspa/- Asantun Prefiks ma- Cocok Manȇkar Mangêsuma Tidak Mapadma cocok Makembang mapuspa Infiks –in- dan –um- Cocok Sumȇkar Kumusuma Tidak Sinȇkar Pumuspa Cocok Pinuspa Kumembang Pumadma

Imbuhan gabung –um-/-in- Sinȇkaran/ Sinȇkarakȇn Kinusuman/kinusumakȇn sumȇkaran/sumȇkarakȇ Kumusuman/kumusumakȇn n kinusumakȇn pinuspanȇn kinȇmbangan/kinȇmbangakȇn kumumbangan/kumumbangkȇ n kinȇmbangȇn pinuspanan/pinuspanakȇn umuspanȇn/umuspanakȇn

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 135 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

5. Kesimpulan Kata yang memiliki hiponimi yang paling banyak adalah kata ―kusuma‖ (20 kata), diikuti oleh kata ―sêkar‖ (11 kata), ―puspa‖ (5 kata), ―kêmbang 4 kata), ―padma‖ (2 kata), dan ―santun‖ (1 kata).

Daftar Pustaka

Keraf, Gorys. 1980. Tatabahasa Indonesia. Ende Flores; Nusa Indah. Mardiwarsita, L. 1981. Kamus Jawa Kuna – Indonesia. Ende Flores. Nusa Indah. Mardiwarsita, L dan Harimurti Kridalaksana, 1978. Struktur Bahasa Jawa Kuna. Ende Flores. Kanisius Moeliono dkk, 2014. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Soegriwa, I Gusti Bagus. 1978. Penuntun Pelajaran Kakawin. Denpasar. Bali Mas. Suarka, I Nyoman. 2009. Telaah Sastra Kakawin. Denpasar. Percetakan Bali Sukartha, I Nyoman. 1982. ―Mabebasan dan Cara-Cara Menerjemahkannya di Kabupaten Klungkung‖ (Skripsi S1). Fakultas Sastra Universitas Udayana Sukartha, I Nyoman. 2015. Tradisi Lisan Mabebasan Di Bali. Denpasar. Program S3 Linguistik Pascasarjana Universitas Udayana. Sukartha, I Nyoman. 2016.―Pendidikan Karakter Dalam Kidung Manduka Praharana Episode I Lutung, I Tetani, Dan I Katak‖ (Proseding). Denpasar. Pustaka Larasan Sukartha, I Nyoman. 2017. ‗Makna Pendidikan Moral Dalam Kidung Raga Winasa Episode Persahabatan Si Lutung Dengan Si Keker‖ (Proseding). Denpasar; Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Tarigan, Henry Guntur. 1990. Pengajaran Semantik. Bandung; Penerbit Angkasa. Zoutmulder, P.J. 2009. Kamus Bahasa Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. Zoutmulder. P.J. 1984. Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang (terjemahan Dick Hartoko cs. Jakarta; Jambatan

 DINAMIKA SAPAAN DALAM BAHASA MELAYU BALI

I Nyoman Suparwa Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [email protected]

ABSTRAK

Tujuan kajian ini adalah untuk menemukan dinamika sapaan dalam bahasa Melayu Bali. Teori yang digunakan mengacu kepada teori T-V Brown-Gilman (1960:253—379), yaitu untuk menganalisis bentuk, fungsi, dan makna. Teori T-V merupakan teori dua makna, yaitu makna kekuasaan (the power semantic) dan makna solidaritas (the solidarity semantics). Data kajian ini didapat dari informan bahasa Melayu Bali yang berdomisili di Loloan Barat dan Loloan Timur (dua belas orang; enam orang per desa), Kecamatan Negara, Jembrana, Bali. Terhadap informan dilakukan wawancara mendalam untuk mendapatkan data yang diperlukan, yaitu berupa kata, frasa, klausa, atau kalimat. Analisis data dilakukan secara kualitatif deskriptif dengan penjelasan bila diperlukan.

Hasil kajian menemukan bahwa ada tiga kelompok sapaan menurut kekerabatan, yaitu (a) sapaan dalam keluarga inti, seperti Bapak, Ayah, Wak, (b) sapaan antara kerabat, seperti Pak/Mak Olong, Pak/Mak Ngah; dan (c) sapaan pada orang asing, seperti sodare, abang, mas. Berdasarkan hubungan keakraban, ditemukan juga tiga macam pemakaian istilah sapaan, yaitu (a) tinggi-rendah (TV) untuk menunjukkan kekuasaan, seperti kau; (b) sama tinggi/rendah (VV) untuk keakraban, seperti Nama diri (misalnya Nana); dan (c) rendah-tinggi (VT) untuk kesopanan, seperti Abang. Dinamika pemakaian istilah sapaan diperlihatkan oleh tidak digunakannya lagi istilah sapaan, seperti Wak, Encu; diganti dengan istilah sapaan bahasa Indonesia Pak/Bapak, Bi/Bibi unsur bahasa Indonesia.

Kata kunci: dinamika, sapaan, bahasa Melayu Bali

Pendahuluan

Dalam kegiatan berkomunikasi, dengan bahasa, kegiatan menyapa merupakan aktivitas pokok karena komunikasi tidak bisa berlangsung tanpa ada saling sapa antarpihak. Begitu pentingnya kegiatan saling menyapa, sehingga dalam proses pembelajaran bahasa, khususnya pengajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing (BIPA), materi sapaan ditempatkan pada kegiatan pembelajaran awal. Dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing FIB 1, materi sapaan dengan judul ―Salam dan Perkenalan‖ sebagai materi 1; sedangkan dalam buku ―Selamat Datang: Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing Tingkat Dasar‖, materi ―salam‖ sebagai materi 1. Misalnya, dicontohkan ―Selamat malam, Pak; nama saya Ketut Restu, panggil Restu‖.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 136 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 137 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Kata panggilan Pak atau panggil Restu pada contoh di atas merupakan kata sapaan karena definisi kata sapaan menurut kamus adalah kata yang digunakan untuk menyapa seseorang (misalnya kata Anda, Saudara, Tuan, Nyonya, Ibu, Bapak, Kakak, dan Adik) (KBBI, 1991:452). Kamus bidang khusus (istilah) linguistik juga mendefinisikan kata sapaan yang mirip dengan itu, yaitu sapaan (address) adalah morfem, kata, atau frasa yang dipergunakan untuk saling merujuk dalam situasi pembicaraan dan yang berbeda-beda menurut sifat hubungan antara pembicara itu (Kridalaksana, 1982:147). Dengan demikian, berbicara masalah sapaan tidak hanya mengulas masalah bahasa, tetapi juga masalah budaya karena di dalamnya terkandung nilai sosial kesopanan, kebiasaan, norma, dan lain-lain. Bahasa Melayu Bali adalah sebuah bahasa daerah yang hidup dan berkembang di daerah pergaulan antaretnis (multikultural) di Indonesia, khususnya di Bali, tepatnya Desa Loloan (barat dan timur) Kota Negara, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali. Daerah pakai itu merupakan daerah pusat dan pemakaian bahasa itu juga tersebar di beberapa desa pinggir pantai, yaitu Desa Tegal Badeng Barat, Tegal Badeng Timur, Banyubiru, Air Kuning, Cupel, Pengambengan yang berada di wilayah Kecamatan Negara,dan Desa Tuwed serta Melaya (pantai) yang berada di wilayah Kecamatan Melaya, Jembrana Bali. Keberadaan bahasa Melayu sebagai bahasa minoritas di lingkungan bahasa mayoritas (bahasa Bali) menyebabkan bahasa ini berinteraksi secara ekstralingual. Penutur bahasa Melayu Loloan, umumnya, dwibahasawan (menguasai bahasa Melayu Loloan dan bahasa Indonesia serta mengerti bahasa Bali) dengan pemakaian bahasa Melayu Loloan dalam ranah informal, seperti intrakeluarga, upacara adat, dan pengajian (Suparwa, dkk., 2014:514). Dinamika bahasa Melayu tersebut tentu tidak lepas dari daya sentripetal dan sentrifugal (Kridalaksana, 1996:1). Daya sentripetal merupakan usaha penutur bahasa untuk mempertahankan bahasanya karena bahasa Melayu Loloan itu merupakan ciri identitas Melayu Islam di Jembrana. Daya sentrifugal merupakan usaha akomodasi bahasa tersebut dalam perkembangannya sebagai alat komunikasi di dalam pergaulan intraetnis dan antaretnis. Dalam hal ini pengaruh bahasa Bali sebagai bahasa mayoritas di Jembrana dan di Bali serta bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional di Indonesia tidak bisa dihindari. Dalam linguistik, pengaruh itu menimbulkan unsur retensi (kebertahanan) dan unsur inovasi (perubahan). Perubahan/dinamika unsur bahasa secara mikrolinguistik telah dikerjakan berupa artikel berjudul ―Dinamika Fonologis Bahasa Melayu Bali‖ oleh Suparwa, dkk. (2014) dan Dynamics of the Sentences System in Balinese-Malay Language oleh Suparwa dkk. (2017). Akan tetapi, unsur bahasa yang bersifat makrolinguistik, termasuk dinamika unsur sapaan belum pernah diteliti. Untuk itu, kajian ini perlu dilakukan untuk mengungkap sistem sapaan dalam bahasa Melayu Bali. Secara eksplisit, kajian yang dilakukan ini menganalisis masalah, ―Bagaimanakah dinamika sapaan dalam bahasa Melayu Bali?‖

Metodologi

Kajian Dinamika Sapaan Bahasa Melayu Bali ini mengikuti alur berpikir berupa kerangka teori dan metode sebagai berikut. Teori yang diterapkan dalam

 138 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 kajian ini adalah teori T-V Brown-Gilman (1960:253—379). Teori tersebut digunakan untuk menganalisis bentuk, fungsi, dan makna sapaan dalam bahasa Melayu Bali. Teori T-V merupakan teori dua makna, yaitu makna kekuasaan (the power semantic) dan makna solidaritas (the solidarity semantics). Makna kekuasaan adalah makna yang ditentukan berdasarkan usia, status, jenis kelamin, dan yang lainnnya. Dalam makna kekuasaan itu terdapat hubungan nonresiprokal superior. Dalam hal ini, T adalah superior dan V adalah inferior karena adanya perbedaan status dan yang lainnnya, seperti perbedaan kekuasaan atau usia. Di pihak lain, makna solidaritas adalah makna yang dihasilkan oleh adanya norma hubungan resiprokal, yaitu saling menyatakan V (baik pembicara maupun penerima) karena adanya persamaan status, kekuasaan, usia, dan yang lainnnya. Data kajian ini didapat dari informan bahasa Melayu Bali yang berdomisili di Loloan Barat dan Loloan Timur (dua belas orang; enam orang per desa), Kecamatan Negara, Jembrana, Bali. Terhadap informan dilakukan wawancara mendalam untuk mendapatkan data yang diperlukan, yaitu berupa kata, frasa, klausa, atau kalimat. Analisis data dilakukan secara kualitatif deskriptif dengan penjelasan bila diperlukan.

Pembahasan

Sapaan dalam bahasa Melayu Bali ditemukan bervariasi menurut hubungan kekeluargaan dan variasi kelompok umur. Menurut hubungan kekeluargaan dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) sapaan dalam keluarga inti, (2) sapaan antar-kerabat, dan (3) sapaan pada orang asing. Sementara itu, berdasarkan kelompok umur dibedakan atas (a) kelompok umur 40 sampai dengan 60 tahun, (b) kelompok umur 25 sampai dengan 39 tahun, dan (c) kelompok umur 15 sampai dengan 20 tahun. Pengelompokan tersebut dapat memperlihatkan dinamika penggunaan sapaan antar-beda generasi dan antar-kelompok hubungan kekeluargaan.

1. Sapaan dalam Keluarga Inti Dalam keluarga inti, terdapat orang tua dan anak. Istilah sapaan antara orang tua dan anak ditemukan beberapa variasi yang berbeda pada tiga kelompok informan. Informan dengan rentang usia 40—60 tahun menggunakan istilah wak ‗bapak‘ atau bapak kepada orang tuanya laki-laki dan mak ‗ibu‘ pada orang tua perempuan. Istilah ini mengalami sedikit perubahan pada informan dengan rentang usia 25—39 tahun yang menggunakan istilah bapak untuk mengacu kepada orang tua laki-laki dan mak atau mamak untuk mengacu kepada orang tua perempuan. Pada rentang usia ini, istilah wak ‗bapak‘ sudah tidak ditemukan. Pada informan dengan rentang usia 15—20 tahun ditemukan variasi yang lebih banyak dalam penggunaan istilah sapaan antara orang tua dan anak. Pada rentang usia tersebut, istilah wak ‗bapak‘ sudah tidak lagi dikenal. Pada rentang usia tersebut, istilah yang banyak digunakan adalah bapak atau ayah untuk orang tua laki-laki dan ibu, bunda dan sebagian kecil mak ‗ibu‘ untuk orang tua perempuan. Dalam penggunaan istilah sapaan ini, terdapat pola Perhatikan contoh berikut.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 139 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

A: Nak kemane, Na? mau kemana Nd ‗Mau pergi kemana, Na?‘ B: Ke rumah kawan Mak. Nana maleman pulang ke rumah teman bu Nd malam Pulang ‗Ke rumah teman, Bu. Saya pulang agak malam.‘ A: Iye baek-baeki lanan iya hati-hati ‗Baik, hati-hati.‘

Pada contoh tersebut, penggunaan istilah sapaan mak ‗ibu‘ mengacu kepada orang tua perempuan. Sapaan Na pada contoh tersebut merupakan nama dari addressee yang menunjukkan kedekatan sekaligus kesopanan dalam tuturan tersebut. Untuk istilah sapaan untuk diri sendiri, penutur bahasa Melayu Bali menggunakan nama diri. Hal itu menunjukkan kedekatan serta kesopanan dibandingkan dengan penggunaan awak untuk mengacu kepada diri sendiri. Pola yang terlihat pada contoh tersebut adalah pola V-V yang menunjukkan hubungan simetris antara A sebagai orang tua dan B sebagai anak. Penggunaan pola V-V ini bukan berarti orang tua tidak memiliki kekuasaan atau kekuatan kepada anak. Hal tersebut menunjukkan adanya hubungan yang didasarkan pada kesopanan dan kasih sayang kepada anak. Bandingkan dengan contoh berikut.

A: sudah uwak taoi kau jangan maen sudah bapak beritahu 2T jangan bermain

sampe‟ malem-malem tinggal an sampai malam-malam masih saja ‗Sudah bapak beritahu untuk tidak keluar malam, masih saja.‘

Pada contoh tersebut, sapaan kau ‗kamu‘ digunakan untuk menunjukkan kekuasaan yang dimiliki oleh A sehingga tuturan yang diekspresikan akan memiliki kekuatan untuk mengatur ataupun memberikan perintah. Pola sapaan antara orang tua dan anak diterangkan dalam tabel berikut. Tabel 1 Istilah sapaan antara Orang Tua dan Anak Addresser Addressee Istilah Keterangan Pola Orang tua Anak Nama Resiprokal V-V Orang tua Anak kau Nonresiprokal T-V Bapak, Ayah, Nonresiprokal V-T Anak Orang tua Wak Resiprokal V-V Mak, Ibu, Nonresiprokal V-T Anak Orang tua Bunda Resiprokal V-V

Selain antara orang tua dan anak, istilah sapaan dalam keluarga juga ditemukan pada sapaan antara saudara. Variasi sapaan yang digunakan antara saudara dari yang lebih muda kepada yang lebih tua yaitu menggunakan istilah bang ‗kakak‘ atau abang ‗kakak‘ kepada saudara laki-laki atau akak ‗kakak‘

 140 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 kepada saudara perempuan. Penutur usia 40—60 mengenal istilah bang olong dan kak olong untuk saudara tertua. Sebagian penutur tersebut juga mengenal istilah sapaan bang/kak ngah untuk saudara kedua, bang oman/kak oman untuk saudara ketiga, bang cik/kak cik untuk saudara keempat dan seterusnya. Akan tetapi, istilah ini sangat jarang ditemukan penggunaannya. Sapaan yang digunakan umum kepada saudara yang lebih tua biasanya hanya menggunakan istilah bang atau kak saja kepada yang lebih tua sedangkan kepada yang lebih muda menggunakan nama yang bersangkutan. Hal tersebut digunakan untuk menunjukkan kedekatan sekaligus kesopanan. Terkadang istilah kau ‗kamu‘ juga digunakan dalam menunjukkan kekuatan. Akan tertapi, hal tersebut dianggap kurang sopan dan cenderung merujuk pada kondisi emosi seseorang.

Penggunaan sapaan antara saudara ini dapat dilihat dari tabel berikut. Tabel 2 Istilah Sapaan antara Saudara Addresser Addressee Istilah Keterangan Pola Lebih tua Lebih muda Nama Resiprokal V-V Nonresiprokal T-V Lebih tua Lebih muda kau Resiprokal T-T Nonresiprokal V-T Lebih muda Lebih tua Abang, akak Resiprokal V-V Lebih muda Lebih tua kau Resiprokal T-T

2. Sapaan antara Kerabat Istilah sapaan lain yang terdapat dalam bahasa Melayu Bali berkaitan erat dengan sistem kekerabatan dalam kebudayaan Melayu (Loloan) Bali. Sapaan yang digunakan kepada orang yang lebih tua dari orang tua ego, akan sangat bervariasi bergantung pada posisinya dalam kekerabatan. Sebagai contoh, Ayah/Ibu ego merupakan anak keempat dari lima bersaudara maka sapaan saudara tertua Ayah/Ibu adalah pak/mak olong, untuk saudara kedua menggunakan istilah pak/mak ngah, untuk saudara ketiga menggunakan istilah pak/mak oman, dan yang seterusnya menggunakan pak/mak encu atau encu saja. Jika orang tua ego merupakan anak tertua maka ego tidak memiliki pak/mak olong. Sapaan untuk mengacu kepada diri sendiri digunakan istilah diri yang bersangkutan atau nama diri untuk menunjukkan kedekatan hubungan. Hal itu menunjukkan keakraban. Perhatikan contoh berikut.

A: bile encu nak Ke Denpasar? kapan bibi/paman akan prep Denpasar? ‗Kapan bibi/paman ke Denpasar?

B: paling besok encu ke sane. Ina nak mekot? mungkin besok Pron ke sana Nd mau ikut? ‗Mungkin besok saya ke sana. Kamu mau ikut?‘

Penggunaan encu ‗paman/bibi‘ yang digunakan A mengacu kepada kata ganti orang kedua tunggal. Berbeda dengan encu ‗paman/bibi‘ yang digunakan

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 141 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 oleh B merupakan acuan pengganti saya sebagai kata ganti orang pertama tunggal. Begitu juga dengan penggunaan Ina yang merupakan nama seseorang digunakan untuk mengacu kepada kata ganti orang kedua tunggal. Istilah sapaan yang pada contoh tersebut digunakan untuk menunjukkan kedekatan antara satu sama lainnya. Brown dan Gilman (1960: 257—258) menjelaskan bahwa penggunaan V merupakan bentuk keintiman atau kedekatan dan T merupakan bentuk penghormatan dan bentuk formal. Dalam bahasa Melayu Bali, keintiman, penghormatan, dan bentuk formal juga dapat diwakilkan oleh T tersebut. Tabel berikut menjelaskan sapaan yang digunakan antar kerabat dan pola yang terdapat di dalamnya.

Tabel 3 Istilah sapaan antar- kerabat Addresser Addressee Istilah Keterangan Pola Pak/mak olong, pak/mak Saudara keponakan ngah, pak/mak oman, Resiprokal V-V ayah/ibu pak/mak encu, encu Saudara keponakan Nama diri Resiprokal V-V ayah/ibu

Selain yang terdapat pada tabel tersebut, ditemukan juga istilah sapaan dari bahasa daerah yang lain. Hal ini ditemukan jika penutur bahasa Melayu Bali menikah dengan pasangan dari luar daerah. Istilah sapaan yang digunakan untuk pasangannya tersebut menggunakan istilah dari tempat asalnya. Sebagai contoh, jika pasangannya tersebut berasal dari jawa, maka keponakannya akan menggunakan istilah pakdhe/budhe atau paklik/bulik.

3. Sapaan pada Orang Asing Untuk istilah sapaan pada orang asing, sapaan yang digunakan oleh responden usia 40—60 tahun adalah adik, sodare, abang, akak, bapak, atau ibu bergantung pada usia orang tersebut. Untuk penutur lain, ditemukan juga penggunaan istilah mas, mbak yang merupakan serapan bahasa Indonesia. Penggunaan istilah tersebut digunakan untuk orang yang berasal dari luar daerah penutur bahasa Melayu Bali.

Simpulan

Berdasarkan analisis yang dilakukan di dalam bahasa Melayu Bali, khususnya mengenai istilah sapaan, ditemukan tiga kelompok istilah sapaan menurut hubungan kekerabatan, yaitu (a) sapaan dalam keluarga inti, seperti Bapak, Ayah, Wak, (b) sapaan antara kerabat, seperti Pak/Mak Olong, Pak/Mak Ngah; dan (c) sapaan pada orang asing, seperti sodare, abang, mas. Berdasarkan hubungan keakraban, ditemukan juga tiga macam pemakaian istilah sapaan, yaitu (a) tinggi-rendah (TV) untuk menunjukkan kekuasaan, seperti kau; (b) sama tinggi/rendah (VV) untuk keakraban, seperti Nama diri (misalnya Nana); dan (c) rendah-tinggi (VT) untuk kesopanan, seperti Abang. Dinamika pemakaian istilah sapaan diperlihatkan oleh tidak digunakannya lagi istilah sapaan, seperti Wak,

 142 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Encu; diganti dengan istilah sapaan bahasa Indonesia Pak/Bapak, Bi/Bibi unsur bahasa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Brown, R dan A. Gilman. 1960. ‗The Pronouns of Power and Solidarity‘ dalam T.A. Seobeok (ed.), Style in Language. MIT Press, halaman 253—276.

Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.

Sumarsono. 1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Suparwa, I Nyoman dan Made Sri Satyawati. 2017. ―Dynamics of the Sentences System in Balinese-Malay Language‖ dalam Jurnal Melayu 16(1). Online.

Suparwa, I Nyoman, A.A. Pt. Putra, Ni Luh Nyoman Seri Malini. 2014. Dinamika Fonologis Bahasa Melayu Bali. https://docplayer.info/69929420- Dinamika-fonologis-bahasa-melayu-bali.html

Tim Penyusun. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Balai Pustaka.

===

 DARI ISLAM KAMPUNG SAMPAI ISLAM BALI : PERANAN NILAI-NILAI TRADISIONAL DALAM KEBERTAHANAN MASYARAKAT ISLAM DI BALI

I Putu Gede Suwitha Program Studi Sejarah Universitas Udayana

ABSTRAK

Studi ini akan membahas peranan nilai-nilai tradisional Bali dalam kolaborasi dengan nilai-nilai dalam dinamikanya di Bali. Kebertahanan masyarakat Islam di Bali bahwa keberhasilannya memadukan dan nilai-nilai masyarakat lokal.Islam datang ke seluruh penjuru nusantara membawa ajaran-ajaran yang universal, tetapi nilai-nilai lokal diakomodir, termasuk nilai-nilai lokal Bali.

Metode yang dipergunakan adalah metode historis kualitatif dengan mengumpulkan data kepustakaan dan wawancara mendalam.Dalam analisis data dipergunakan analisis sejarah dan semua data yang terkumpul diolah secara deskriptif kualitatif.

Hasil studi yang didapat bahwa kolaborasi dan kerjasama antara masyarakat Islam dan masyarakat Bali telah berlangsung lama dan mendalam. Dalam aras kontemporer terjadi perubahan dan transformasi dalam hubungan dengan usaha-usaha mencari nilai yang baru dengan kenyataan yang aktual. Nilai-nilai baru tersebut seperti pariwisata, merupakan penghadapan terbaru masyarakat Islam Bali dalam membangun masyarakat multikultur.

Kata kunci : Identitas, kolaborasi, kebertahanan, kerjasama, transformasi.

I Pendahuluan Percampuran budaya merupakan kekuatan budaya Bali.kesadaran akan kekuatan Bali sebagai penjaga pluralitas budaya mendorong penulis untuk melakukan studi tentang budaya lokal Bali yang adi luhung yang mampu menjalani komunikasi dengan baik dengan budaya luar. Kekuatan- kekuatan ini pula yang menempatkan Bali sebagai pulau pluralis sejak lama, sehingga mendapat julukan-julukan yang eksotis.Antropolog Barat menemukan Bali sebagai sebuah pulau dimana budaya dan alam saling berpautan erat.Jalinan manusia Bali dan alamnya melalui semangat religious dalam bingkai yadnya melahirkan harmoni kehidupan. Keterbukaan masyarakat Bali terhadap pendatang sudah terjadi sejak ratusan tahun dan tidak pernah menimbulkan masalah. Kehadiran para pendatang sebagai dampak proses perumabahan menghasilkan masyarakat

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 143 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 144 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

plural yang harus dipahami sungguh-sungguh. Oleh karena itu dapat menghasilkan modus, cara manajemen yang paling sesuai dengan situasi masyarakat plural dan multikultur. Oleh karena itu diperlukan kajian model- model adaptasi dan akulturasi unsur-unsur kebudayaan luar yang berkesinambungan. Termasuk kehadiran pariwisata yang harus dilihat bukan saja sebagai tantangan, tetapi juga sekaligus sebagai peluang bagi proses kreatif orang Bali mengikuti perubahan-perubahan. Interaksi antara pendatang Islam dengan masyarakat Bali menarik untuk ditelaah karena khas bagaimana dinamika Islam didalam kehidupan di tengah-tengah masyarakat Hindu dan bagaimana potret Islam sekarang.

II Metodologi Metode penelitian yang digunakan adalah metode sejarah yang meliputi empat tahap yaitu : Heuristik, Kritik, Analisa dan Pemeriksaan. Bahan-bahan berupa dokumen dan tulisan-tulisan lainnya dianalisis dengan mempergunakan teori sosial.Penelitian juga dibantu dengan metode surve ke kantong-kantong Islam Tradisional di Bali.

III Uraian 3.1 Kerjasama dan Kolaborasi Budaya Masyarakat Islam Bali meskipun jumlahnya relatif kecil (minoritas), tetapi sejak lama telah memainkan peran yang penting terutama di daerah pesisir, khususnya dalam bidang ekonomi.Kehadiran kelompok- kelompok Islam secara historis tidak pernah dipermasalahkan.Hal ini karena adanya entitias politik yang menjadi patron yaitu beberapa puri di Bali1. Demikian juga adanya kultur pertukaran (culture of change) antara masyarakat Islam dan masyarakat Bali lainnya dalam berbagai aktifitas sosial, politik, budaya, maupun ekonomi. Kehadiran masyarakat Islam di Bali kontributif terhadap sistem ekonomi masyarakat Bali dan terlibat dalam struktur pertukaran sosial-ekonomi yang terbangun sejak lama.Hubungan ini menampakkan relasi sosial antar etnik lebih bersifat kolaboratif dibanding kompetitif. Kelangkaan sumber daya manusia (SDM) dengan kompetensi tertentu seperti pedagang dan aktifitas maritim yang perntah terjadi dalam sistem ekonomi dan politik Bali, membuat satu-satunya pilihan yang tersedia secara historis adalah orang-orang Islam ini. Selanjutnya terjadi kerjasama dan kontak-kontak lewat pranata tradisional sekaa, subak, banjar yangada di Bali2. Demikian juga terjadi kontak-kontak kultural melalui ―cultural broken‖ (pialang budaya) seperti ulama, haji, tokoh puri, tokoh-tokoh yang lainnya saling mengadakan kontak kultural, saling memberi dan menerima

1Masyarakat Islam di Kepaon, Suwung, Serangan, mempunyai hubungan Sejarah dengan Puri Pemecutan di Badung. Demikian juga masyarakat Islam lain di Bali, mempunyai patron puri (istana) sebagai pelindung.

2Sekaa, Subak, Banjar adalah pranata atau organisasi sosial yang bersifat sukarela salam masyarakat Bali yang ada sampai sekarang lihat I Gst Ngr Bagus, kebudayaan bali, dalam Koentjaraningrat Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Jambatan, 1975

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 145 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

unsur budaya masing-masing. Hal ini kemudian berkembang sebagai alat untuk mendekatkan diri menuju kehidupan bersama yang bersifat trans etnik, multikultur, menuju terwujudnya komunitas yang lebih luas yaitu masyarakat Bali yang mandiri (sivil society), menjadi komunitas bangsa. Islam yang berkembang di Bali saat ini dominan berasal dari Jawa yang merupakan pengaruh Islam budaya, para ahli sering menyebut Islam Walisongo yang berkembang pada masa Majapahit di Jawa.Menurut Agus Sunyoto (Kompas, 6-12-2016) sebutan Walisongo sebetulnya mengambil petikan pada Sembilan pengaruh yang digambarkan pada simbol ―Surya Majapahit‖.Memang dalam dunia perkembangan Islam sangat menarik untuk diteliti karena terdapat variasi-variasi geografis yang amat luas dan populaisnya mendunia dan melanda semua ras.Keberadaan Islam di pesisir Bali sejak lama dapat dikatakan kasus unik, dimana komunitas Islam mampu bereksistensi dengan komunitas Bali yang memiliki identitas budaya sendiri.Hubungan dan kontak-kontak budaya ini merupakan variasi yang menarik.Varian Islam yang mengarah ke sinkretisme sampai ke Islam modern yang menuju ke ortodoksi.Raja-raja Bali sejak dahulu sangat toleran terhadap masyarakat Islam dan melindungi Islam dengan baik. Raja mengharapkan masyarakat Islam melakukan kewajibannya dengan baik sebagai muslim (Korn, 1932). Karakter Islam Bali yang dibawa oleh Wali Songo sebagai Islam yang harmoni, akulturatif, adaptif, dan toleransi, di Bali bukan hanya sekedar wacana, tetapi merupakan praktek dalam kehidupan keseharian. Penekanan pada toleransi juga dikatakan oleh sejarawan Prancis Lombard, yang mengatakan bahwa banyak elemen Majapahit yang dipakai oleh Islam.Disamping simbol surya Majapahit, juga sistem pesantren yang merupakan warisan Hindu-Budha (Lombard, 1999).3 Pembawa Islam dari Jawa mengutamakan pendekatan damai. Abdurachman Wahid dalam bukunya : Menggerakkan Tradisi, menyebut pendekatan ini mengena di hati warga nusantara yang bercampur dengan kepercayaan lokal Hindu-Jawa. Dalam perjalanan sejarah yang panjang.Islam Bali sejak abad ke-16, Islam yang bernafas tasawuf ini bertumpang tindih dengan pandangan masyarakat lokal Bali.Pada awal-awal Islam masuk ke Bali sinkretisme memang mewarnai interaksi dengan masyarakat Bali.sebaliknya masyarakat Bali juga banyak mengadopsi tradisi-tradisi Islam. Sebuah fakta dapat dilihat bahwa mantra-mantra pada dukun pengobatan Bali selalu menyebut Muhammad pada awal-awal pengobatannya.Penghormatan pada masyarakat Islam juga dapat disaksikan sampai sekarang ada beberapa pura yang didalamnya ada pemujaan terhadap Islam yang sering disebut ―Ratu Mekah‖ seperti di Bangli, Buleleng, Sanur, Ubung (Denpasar) dan lainnya. Sepertinya pernah dikatakan oleh Abdurachman Wahid, hakekat muslim adalah memberi kedamaian untuk sesama. Tidak hanya bermanfaat

3Dalam konsep Hindu-Budha, Surya Majapahit menggambarkan Sembilan dewa yaitu : Wisnu (Utara), Iswara (T.Laut), Sambu (Timur), Maheswara (Tenggara), (Selatan), Rudra (B.Daya), MAhadewa (Barat), Sankara (B. Laut) dan Ciwa sebagai titik pusat. Lihat Agus Sunyoto Kompas, 6-12-2016.

 146 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

bagi agama yang dianut saja, melainkan para pengikut agama lain. Menghargai ajaran dan keyakinan agama yang berbeda tidak lantas mengiris keimanan seseorang, bahkan akan makin meningkatkan spiritualisnya (Rachmanto, Bali Post, 8-1-2018). Pikiran dan gagasan Abdurachman Wahid diatas ternyata sangat kontekstual dengan kondisi Bali sekarang. Masih relevan kiranya pendapat Abdurachman Wahid ini jika dikomparasikan dengan kenyataan masa kini di Bali, saat Islam bersahabat dengan lingkungan dan kultur Bali. disini pendekatan budaya yang menonjol yang mengena dihati masyarakat. Dari data sejarah, sejak awal masyarakat Islam masuk ke Bali sudah memperlihatkan watak yang kolaboratif, bukan konfrontatif.Mereka melakukan kontak kultural, saling menerima dan memberi unsur-unsur budaya masing-masing.Dalam bidang sosial-ekonomi mereka sama-sama menjadi anggota dan pengurus subak (organisasi pengairan masyarakat Bali). Clifford Geertz menyebut kolaborasi ini karena sama-sama menjadi anggota organisasi sukarela (seka), menjadi anggota kekerabatan dan organisasi petani lainnya (Geertz, 1959 : 991-1012). Sehubungan dengan organisasi petani (subak), di Jembrana, orang-orang Islam sudah lama menjadi anggota dan pengurusnya, seperti yang diketemukan oleh Grader di Banyubiru. Dalam artikelnya yang berjudul : The irrigation system in the region of Djembrana, Grader mengatakan antara lain : ―Though there no subaks in Djembrana consisting entirely of Muslims, there are association there and there were their proportion is fairly high. The subaks of Yeh Anakan, in the vicinity of Muslems settlement of Banyubiru, it‘s the largest proportion of muslems members, sixty percent of the total. The board of the subaks contains the following, fungtionaries : kalian subak (Bali Islam). Assosiation klian (Bali Hindu, and there assistant (Bali Islam) (Grader, 1960 : 285)‖

Beberapa simbol kolaborasi ini dapat dilukiskan pulapada dua buah manuskrip yang sekarang tersimpan di perpustakaan Kirtya di Singaraja yaitu : ―Pepalihan Gama Bali Ring Gama Selam‖, dan sebuah lagi yang berjudul : Ahmad Muhammad, secara garis besarnya kedua manuskrip ini menceritakan dua orang bersaudara yang satu beragama Hindu, dan yang lain beragama Islam.Keduanya hidup berdampingan secara damai. Perpaduan antara unsur Islam degan unsur Hindu dalam abad 18 juga tercermin dalam komplek beberapa pura yang pada bagian dalamnya terdapat bangunan pemujaan Islam dalam bentuk langgar.Yang dihormati dalam pura langgar (atau yang dipuja).Adalah leluhur yang beragama Islam, tetapi dihormati atau dipuja juga oleh umat Hindu.Terkadang juga didalam pura di Bali terdapat bagian yang memuja atau tempat pemujaan ―Ratu Mekah‖. Pura Meru di pantai Seseh Mengwi Kabupaten Badung dan Pura ―Taman Suci‖ di kota Denpasar dipuja oleh umat Islam di sekitarnya karena mereka percaya bahwa orang yang di ―meru‖kan atau dihormati adalah orang yang beragama Islam. Penggunaan bahasa Melayu yang identik dengan Islam juga dipakai tidak saja dalam bahasa pergaulan atau ―lingua franca‖, tetapi juga

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 147 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

dipergunakan dalam sastra-satra merupakan kolaborasi budaya yang sangat menarik. Terjadi akulturasi dalam sastra Bali – Melayu (Islam) dalam bentuk geguritan. Geguritan merupakan jenis sastra (genre) yang mengandung unsur-unsur bahasa Melayu (Islam).Keunikan dari geguritan ini ditulis dalam huruf / aksara Bali dengan menggunakan bahasa Melayu yang menerangkan berbagai ajaran Islam dan juga beberapa aspek Islam.Seperti contoh kisah Nabi Muhammad SAW yang dinyanyikan dengan tembang khusus yang bernama Tembang Amat. Geguritan Tamtam, berkisah tentang tokoh Tamtam yang masuk Islam dan belajar Islam sampai ke Istana Prabu Mesir. Pengaruh lain yang berhubungan dengan Melayu (Islam) adalah praktek dukun yang memperaktekkan ritual yang Islam yang sering disebut ―nyelam‖. Hubungan antara Islam dan pengobatan diabadikan dalam satu etimologi Loloan di Jembrana yang berasal dari kata loloh, sebuah kosa kata bahasa Bali yang berarti ―ramuan‖ atau ―obat‖ yang diberikan oleh dukun muslim di Loloan (Jembrana) (Suwitha, 1983 : 189). Dalam praktek Balian (dukun) yang nyelam selalu menyebut figure, formula, dan nama Islam. Islam adalah kekuatan eksotis asing yang berbeda dengan praktek dukun Bali, dan perbedaan ini dianggap lebih.Ini merupakan gagasan kunci dalam praktek ilmu pengobatan di Bali.dualitas foundamental berdampingan dapat dimanfaatkan untuk meraih pembebasan magis atau control atas elemen-elemen natural dan supernatural. Dengan demikian menjadi penting bahwa Islam tetap berbeda, tetapi serentak dengan itu pula diakrabi. Begitu akrabnya sampai sampai diperhitungkan sebagai unsur kekuatan leluhur pada sementara kelompok (Adrian Vickers, 2009 : 407). Praktek ilmu gaib Islam dan figure balian kemungkinan besar adalah sumber dari banyak mantra ―Islami‖ yang terdapat dalam berbagai manuskrip usada (pengobatan) yang ada di Bali. Hooykaas seperti yang dikutip oleh Adrian Vickers meneliti sejumlah manuskrip (lontar) yang khusus mencurahkan perbuatan pada aktifitas dukun beranak tentang kehamilan dan persalinan yang selalu menyebut ―asma Allah‖ dan ―Muhammad‖ (Vickers, 2009 : 38). Dalam tuturan yang lebih mendalam penggunaan berbagai identitas Islam dalam ―konsep Kanda Empat‖ di Bali sangat menarik untuk dicermati.―Kanda Empat‖ adalah empat saudara mistis yang mendampingi ego setiap orang Bali dalam perjalanannya menempuh kehidupan sampai dengan kematian.Empat saudara kandung harus ditentramkan dan dirangkul secara harmoni melalui ritual kehidupan. Nama-nama saudara empat ini sering disebut dalam tradisi Islam seperti : Jibrail, Mikail, Sarapil ,dan Israil dan sebagainya yang berkonotasi Islam. Teks-teks Islam dalam praktek Balian islam yang umum di Bali pada masa lalu, mengilustrasikan betapa kesadaran tentang Islam telah menjadi bagian dari apa yang disebut oleh Adrian Vickers sebagai agama popular di Bali. mengingat kecilnya ukuran pulau Bali dan kepadatan penduduknya yang tinggi sejak jaman pra kolonial, hampir-hampir tidak mengejutkan bahwa ciri Islam banyak ditemukan dalam ritual penyembuhan dan ritual lainnya di pelosok Bali (Vickers, 2007 : 39).

 148 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Pengaruh Islam dalam Usada (pengobatan) tradisional juga ditemukan oleh peneliti Wayan Jendra dari Universitas Udayana. Dalam Manuskrip (lontar) usada manual, banyak ditemukan kata-kata yang menyebut nama Allah. Pada lembar pertama (I a) manuskrip ini menyebutkan mantra yang berbunyi sebagai berikut : ―Ong tutup kancing buana Allah Buana keeling, tutupan Gedong Allah wuwus pepet, sariname Sianu teke pepet (Wayan Jendra, 1981 ― 84)‖

Mantra diatas ini adalah mantra yang diperuntukkan bagi seorang calon ibu yang hamil, supaya kandungannya kuat, tidak keguguran.

Bila kandungan seorang ibu sudah berhasil sampai menjelang kelahiran bayinya, maka sebelum bayi lahir dibuat lagi mantra.Mantra ini sebagai pembuka supaya jabang bayi lahir dengan lancar. Mantra pembuka berbunyi sebagai berikut :

―Buka aku kancing Allah Rasullullah‖ Maka dilanjutkan setelah bayi lahir, baukan pengobatan berupa air yang ditempatkan dalam sebuah wadah, diminumkan kepada Ibu, sisanya untuk mencuci kemaluan si Ibu. Mantra lanjutan sebagai berikut : ―Allah, uung, mang, bungkah kancing Allah Kancing Muhammad, opan aku ngedeg duwa Pamungkah kancing Muhammat (Jendra, 1981 : 86)

Pemakaian kata-kata Allah, Muhammad, Rasulullah memberi petunjuk bahwa pengobatan (usada) dalam proses persalinan (manak) dipengaruhi oleh Islam. Kata-kata itu makna yang erat hubungannya antara pengobatan dan konteks keagamaan.Adanya pengaruh budaya Islam adalah salah satu hal yang wajar dalam dinamika kehidupan antara masyarakat Islam dan masyarakat Bali Hindu.Tidak ada kebudayaan yang luput dari pengaruh-pengaruh sesamanya. Tradisi lokal yang menarik adalah persaudaraan antara masyarakat Islam dengan masyarakat Bali yang disebut ―menyama braya‖ yang berkembang luas di Bali Selatan.Ikatan ―menyamabraya‖ berkembang menjadi ikatan yang merekatkan masyarakat Bali dengan pendatang.Nyama adalah saudara dekat secara biologis karena hubungan perkawinan. Braya adalah saudara dekat karena tetangga, karena pekerjaan dan ikatan sosial yang lain. Wilayah Bali Selatan secara geografis merupakan pelabuhan alam yang berfungsi sebagai pelabuhan tradisional sejak lama.Sudah sejak lama terjadi percampuran budaya di kawasan pesisir Badung dan Denpasar sekarang.Percampuran antara Islam, Melayu, Cina, Arab yang melahirkan budaya Mestizo.Budaya mestizo merupakan budaya campuran yang menghasilkan budayadan adat istiadat yang berbeda dengan daerah Bali

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 149 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

lainnya. Bali Selatan sekitar Teluk Benoa sudah lama menjadi tempat silang budaya dan kontak-kontak peradaban, meminjam konsep Restu Gunawan (Kompas, 15 Januari 2016), laut bebas ini bukan sekedar laut perdagangan tetapi juga laut peradaban. Tidak berlebihan Bali Post edisi 3 Juli 2015 menyebutkan laut sekitar Teluk Benoa sebagai ―Beranda Pulau Dewata‖.

3.2 Pemertahanan dan Perubahan Identitas Secara historis penduduk yang beragama Islam di Bali dibagi menjadi dua kelompok besar.Kelompok pertama, penduduk yang sekarang merupakan keturunan para pendatang abad 17-18, sering disebut orang kampung.Kebanyakan dari mereka berasal dari Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Sumatera, Arab, Melayu. Kelompok ini mendiami kampung-kampung Islam seperti Loloan (Jembrana), Pegayaman (Buleleng), Toyo Pakeh, Gelgel, Kusamba (Klungkung), Serangan, Kepaon, Suwung, Tanjung Benoa (Badung/Denpasar). Para peneliti tentang Bali menyebut kelompok ini Bali Islam (Korn, 1932; Grader : 1960; Barth, 1988) atau juga disebut Bali Melayu (Bagus, 1978 ; Sumarsono, 1978). Sebutan Bali Islam atau Islam Bali (muslim Bali) sesungguhnya berasal dari terminologi lama atau muslim kuno yang mempunyai ikatan genealogi, kekerabatan dan menyamabraya (keluarga dekat) dengan masyarakat Bali. hakekatnya secara historis kultural bagian integral dari masyarakat Bali. secara geografis mereka tidak mempunyai asal-muasal di luar Bali, sehingga mereka menyebut diri orang Bali. biasanya diikuti dengan dengan daerah asalnya di Bali yaitu misalnya dari Loloan, dari Kepaon, Serangan dan lainnya. Kelompok kedua mereka yang datang ke Bali akhir abad 19, awal abad 20, karena didorong oleh sebab-sebab sosial ekonomi.Merkea berasal dari Sasak (Lombok), Madura, dan Jawa Timur lainnya.Tempat tinggal mereka sekarang menyebar di desa-desa pantai di Jembrana, Buleleng.Kelompok kedua ini ditambah dengan mereka yang datang setelah tahun 1970 an karena perkembangan pariwisata yang pesat di Bali.kelompok ini sering disebut muslim di Bali. Dalam kajian post modernism, identitas sesungguhnya tidak bersifat tunggal (multi identitas) dan setiap budaya bersifat multikultur. Identias memang merupakan kebutuhan esensial setiap individu atau kelompok.Dalam kaitan dengan masyarakat Islam di Bali, petanda utama identitas adalah budaya dan bahasa.Bahasa merupakan salah satu alat pengidentifikasi ciri-ciri yagn paling meluas. Menurut Kramsch (dalam Suastra, 2010 : 4) bahasa sebagai sistem tanda untuk megnungkapkan, membentuk, dan menyimbulkan realitas budaya. Dalam hal ini identitas masyarakat Islam di Bali bersifat cair, dinamis, dan variatif, identitas sengaja dibentuk, bukan warisan (given), Bourdieu (1986), Madan Sarup (1987) mengatakan identitas itu tidak pernah tetap, selalu berubah-ubah, tidak utuh, tidak satu, tetapi fabricated atau constructed dan terus digodok oleh proses sesuai dengan kebutuhan. Bahkan Barth (1988) berpendapat bahwa identitas dan etnisitas, bukan hanya bersifat askriptif melainkan perjuangan politik untuk memperebutkan sumber daya ekonomi dan politik.

 150 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Mencermati konsep diatas, dapat dipakai sebagai acuan untuk melihat perubahan identitas masyarakat Islam di Bali.suatu hal yang menarik dalam perubahan identitas ini dipergunakan bahasa Melayu oleh masyarakat Islam khususnya di Jembrana. Bahasa Melayu Bali oleh beberapa peneliti sering disebut bahasa khas ―Loloan‖ (Bagus, 1978, Sumarsono, 1978).Bahasa ini dipergunakan sebagai ―lingua franca‖ oleh para pendatang yang mendiami desa-desa pantai di Jembrana.Bahasa ini jika diselidiki lebih lanjut ternyata banyak mengandung unsur-unsur bahasa Bugis-Makassar maupun Melayu.Kelompok penutur bahasa Melayu (dialek Loloan) hidup dalam kesatuan sosial yang tidak berdasarkan ikatan kekerabatan, tetapi ikatan tempat kehidupan (geografis) dan agama.Dalam perkembangan kemudian, penutur bahasa Melayu tidak mau disebut Bali Islam.Alasan mereka sangat praktis, karena sebutan itu terlalu menjolok.Mereka lebih senang disebut ―nak kampung‖ yang artinya orang kampung.Pada masa orde baru, situasi pembangunan pada masa itu (1969- 1998), rupanya berpengaruh terhadap sikap masyarakat setempat. Timbul anggapan bahwa nama ―nak kampung‖ tidak sesuai dengan zamannya. Ada anggapan bahwa orang kampung berarti orang desa. Pada umumnya mereka tidak senang lagi disebut orang desa, karena itu mulai popular dengan nama Melayu Bali. dalam kaitan dengan identitas Melayu, seperti yang dikatakan oleh Andaya dan Andaya (dalam Ardhana, 2010 : 13) bahwa mereka juga didifinisikan sebagai muslim yang berwujud melayu seperti halnya di Sabah, dalam hal di Bali menjadi Melayu Bali. Dalam jaman kerajaan abad 18-19 mereka disebut wong suanantara / wong dura negara (orang asing luar Bali), seperti Bugis, Mandar, Makassar, Arab, sesuai dengan etnisnya. Penggunaan penanda-penanda identitas memang memiliki kecenderungan berubah-ubah.Sekarang kecenderungan memilih asal-usul mereka sebagai identitas yang berkelindan dengan agama seperti Islam dari Loloan, Islam dari Kepaon dan seterusnya. Beberapa orang yang diwawancarai mengaku sebagai orang Islam dari Bali, seperti penjelasan dibawah ini : ―Saya orang Bali yang lahir di Serangan (Denpasar) Saya tidak tahu dari mana leluhur saya berasal Yang jelas saya lahir di Serangan, Sebagai orang Bali yang kebetulan beragama Islam, Sama seperti orang Bali lain yang beragama Hindu Atau beragama Kristen‖ (Ahmad Sastra, 70 tahun) Tokoh Islam lain yang diwawancarai, juga menyebut diri orang Bali yang beragama Islam, seperti pengakuannya dibawah ini :

―Saya lahir di Kepaon (Denpasar), saya tidak begitu tahu dari mana saya berasal. Tetapi ibu Saya orang Bali yang beragama Hindu. Ayah saya katanya dari Palembang yang beragama Islam. Saya diasuh dan dibesarkan oleh Kakek saya Yang beragama Hindu. Bahasa sehari-hari saya Adalah bahasa Bali‖.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 151 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

(Padani, 65 Tahun)

Kerinduan pencarian identitas baru di tengah gemuruhnya dunia tanpa sekat yang bernama globalisasi, membangun identitas baru sebagai pertahanan globalisasi pariwisata yang melanda Bali.identitas Bali, identitas Islam, identitas Melayu dimainkan dan ditukar-tukar silih berganti. Pariwisata yang tadinya merupakan dunia negatif bagi masyarakat Islam, sekarang sudah menjadi bagian dari dunia Islam di Bali.―Kue Pariwisata‖ juga mulai diminati oleh masyarakat Islam (Adnan, 1997). Ketika bom bali meledak tahun 2002 dan 2005, keadaan cepat pulih karena masyarakat Islam di Bali bahu-membahu memulihkan keadaan lewat para tokoh agama (Haji Bambang, 2015, Wildaniyati, 2017). Bersamaan dengan datangnya pelajar dan mahasiswa Islam dari pesantren-pesantren di Jawa, mereka menguatkan identitas Islam Bali, Islam yang berasal dari Bali.ketika Lebaran (Idul Fitri), justru orang-orang Islam yang berasal dari Bali mudik ke Bali, ke kampung-kampung Islam yang tersebar di Bali. sekarang ada fenomena baru, banyak orang-orang Islam yang menempati perumahan seperti ―BTN‖, karena tanah Bali makin terbatas, mereka menyebut diri Islam ―BTN‖.

IV Kesimpulan Kehidupan masyarakat Bali sampai sekarang masih dilandasi oleh nilai- nilai budaya yang tercermin dalam tata kehidupan dan tata pergaulan gotong royong.Gotong royong dan kerjasama ini melibatkan lembaga-lembaga sosial seperti banjar, desa adat, seka, subak dan organisasi sosial lainnya.Hubungan sosial harmonis ini menembus batas-batas agama.Kolaborasi masyarakat Islam dan masyarakat Bali merupakan mainstream, seperti dikatakan oleh Lombard (1999) masyarakat Islam di Bali berada di luar Islam dan tidak bisa dijelaskan dengan teori-teori yang ada. Dari beberapa fakta diatas, terutama bagaimana dinamika identitas masyarakat Islam dalam rangka kebertahanan, sesungguhnya dapat dilihat dari makna transformatif.Sebuah kecenderungan / trend, sebuah pembaharuan dalam hubungan dengan usaha mencari etika baru, untuk mencari nilai-nilai baru dengan kenyataan yang aktual.Roland Robertson menyebut hal ini sebagai ―Ascetic Mistic‖.Pariwisata yang pada sebagai masyarakat Islam dianggap ―tabu‖, sebagian besar sudah diterima oleh masyarakat Islam di Bali.Islam dan pariwisata merupakan penghadapan terbaru masyarakat Islam di Bali dalam membangun multikultural.

DAFTAR PUSTAKA C.J. Grader, ―The Irrigation System in Jembrana‖, dalam Swellengrebel (ed.), Bali Studies; Life, Thought and Ritual, The Hague, 1960. V.E. Korn. Het Adatrecht van Bali. u‘Gravenhage : C. Naeff, 1932. Ardhana, I Ketut dkk. Masyarakat Multikultur Bali : Tinjauan Sejarah, Migrasi, dan Integrasi : Pustaka Larasan, 2011. Lombard, Denys. Nusa Jawa Silang Budaya. Vol.I. Jakarta : Gramedia, 1999. Vickers, Adrian. ―Hinduism and Islam in Indonesia : Dalam Indonesia No. 44‖, 1987.

 152 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

______. Peradaban Pesisir Menuju Sebuah Budaya Nusantara. Denpasar : Pustaka Larasan, 2009. Clifford Geretz. ―Gorm and Variation in Balinese Village Structure‖.American Anthropology, No. 61, 1959. Wildaniyati. Dinamika Kerukunan Antar Umat Beragama : Eksistensi Masyarakat Islam di Bali Pasca Bom 2002 – 2012. Skripsi, Udayana, 2017. Bagus, I Gusti Ngurah. ―Kebudayaan Bali‖, dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Jambatan, 1975. Adnan, H.S. Habib. Islam dan Dinamika Kehidupan.MUI Bali, 1997. Bagus, I Gusti Ngurah, Sekilas Tentang Latar Belakang Sosial Budaya dan Struktur Dialek Melayu Bali.laporan Penelitian, 1978. Jendra, I Wayan. Pengaruh Agama Islam Dalam Uada Tradisional Bali : Suatu Studi Kasus Dalam Usada Manak. FS, 1981. Sumarsono. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan-Bali. Jakarta : Pusat Bahasa, 1993. I Putu Gede Suwitha, ―Islam dan Perahu Pinisi di Selat ali‖, dalam Masyarakat Indonesia, Th. X, No. 1, 1983. Jakarta : LIPI. Kompas, 6-12-2016. Kompas, 15-01-2016. Bali Post, 8-01-2018. Bali Post, 03-07-2015. Suastra, I Made. Bahasa Bali Sebagai Simbol Idenditas Manusia Bali.Denpasar : Makalah, 2008.

 BENANG MERAH SASTRA LISAN NUSANTARA: STUDI KASUS CERITA RAKYAT CORO ILA DAN I BELOG MANTU

I Wayan Cika Program Studi Sastra Indonesia, FIB Unud [email protected]

ABSTRAK

Berdasarkan perbandingan antara cerita rakyat Coro Ila (dari Bima) dan I Belog Mantu (dari Bali) ditemukan adanya hubungan. Hubungan itu terlihat dalam bentuk tema, latar, dan penokohan. Tema kedua cerita adalah sama, yakni menyunting seorang gadis dengan cara tipu daya. Latar kedua cerita pun nuansanya sama, yaitu sama-sama terjadi di sebuah tempat keramat pada malam hari. Hubungan aspek penokohan tercermin, baik dari segi fisik maupun psikisnya. Unsur perbedaannya terletak pada latar cerita, yakni dalam cerita rakyat Coro Ila terjadi di sebuah pohon sedangkan dalam cerita I Belog Mantu terjadi di sebuah merajan (tempat sembahyang umat Hindu). Selain itu, kata-kata atau ungkapan yang digunakan dalam cerita Coro Ila bermakna denotatif sedangkan dalam cerita I Belog Mantu banyak ditemukan kata yang bermakna ambigu, terutama ketika I Belog memperdaya calon mertuanya.

Kata-kata kunci: Coro Ila, I Belog Mantu, tipu daya, kesinambungan, pemisahan.

1. Pendahuluan Cerita rakyat adalah salah satu genre sastra lisan yang terdapat di seluruh wilayah Nusantara. Cerita rakyat itu memiliki bentuk dan jenis yang beraneka ragam. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini akan dicoba ditelusuri cerita rakyat Bali yang berjudul I Belog Mantu dan cerita rakyat daerah Donggo, Kabupaten Bima, NTB yang berjudul Coro Ila. Cerita rakyat I Belog Mantu diangkat dari Satua-satua Sane Banyol ring Kesusastran Bali yang dikumpulkan oleh I Gusti Ngurah Bagus dan diterbitkan oleh Balai Penelitian Bahasa Singaraja, l976; sedangkan cerita rakyat Coro Ila yang diangkat di sini adalah cerita rakyat yang telah ditransliterasikan oleh Ni Putu Asmarini, dkk. yang dimuat dalam laporan hasil penelitiannya yang berjudul ―Sastra Lisan Donggo‖ (l994/l995); Kedua cerita tersebut cukup menarik. Di dalamnya dilukiskan cara-cara untuk mempersunting seorang gadis dengan motif tipu daya. Kedua tokoh utama dalam cerita tersebut memiliki cita-cita yang tinggi, yakni untuk mempersunting gadis cantik yang disegani di desanya. Padahal dari segi fisik, kedua tokoh utama itu termasuh tokoh hina. Oleh karena itu, untuk mempersunting gadis yang cantik di desanya, mereka menggunakan motif tipu daya.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 153 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 154 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Berdasarkan uraian tersebut, kedua cerita memiliki motif-motif persamaan (hubungan), baik hubungan tema dan amanat, hubungan latar, maupun hubungan penokohan, di samping juga ada perbedaannya terutama cara penyajiannya dan tempat terjadinya peristiwa. Untuk itu, masalah yang akan dibahas adalah sejauh mana hubungan antara cerita rakyat cerita rakyat Coro Ila (dari Bima) dan cerita rakyat I Belog Mantu (dari Bali) dan II. METODOLOGI Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, kedua cerita itu mempunyai hubungan secara tekstual. Oleh karena itu,dalam kesempatan ini akan dicoba dianalisis dengan menggunakan teori intertekstualitas. Teori intertekstualitas maksudnya adalah untuk mengetahui sejauh mana hubungan kedua cerita tersebut. Teori ini diguakan karena kedua teks diprediksi mempunyai hubungan tertentu dengan teks-teks lain, misalnya hubungan tema, penokohan, dan unsur-unsur intrinsik lainnya. Telaah interteks berangkat dari asumsi bahwa kapan pun sebuah karya ditulis, termasuk karya sastra, tidak mungkin lahir dari kekosongan budaya. Karya itu merupakan respons pada karya sastra yang terbit sebelumnya (Teeuw, dalam Ratih, l994:177). Tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, kerangka karya sastra yang ditulis kemudian, bisanya mendasarkan diri pada karya-karya lain, baik secara langsung maupun tidak langsung (Nurgiyantoro, l995:51). Menurut Kristeva (dalam Junus, l985: 87—88), intertekstualitas adalah kehadiran suatu teks pada teks lain. Hal itu dapat ditandai oleh adanya petunjuk yang menunjukkan hubungan, persambungan, dan pemisahan antara suatu teks dengan sebuah teks yang pernah ada. III. PEMBAHASAN 3.1 Hubungan Tema dan Amanat Tema dan amanat dapat dirumuskan dari berbagai peristiwa, latar, dan penokohan. Tema adalah inti permasalahan yang hendak disampaikan pengarang dalam karyanya. Oleh sebab itu, tema merupakan hasil konklusi dari berbagai peristiwa yang terkait dengan penokohan dan latar (Hasanuddin, l996:103). Setelah dirumuskan dari berbagai peristiwa, maka cerita Coro Ila dan I Belog Mantu mempunyai tema yang sama, yaitu ‖mempersunting seorang istri dengan cara tipu daya‖. Namun demikian, masih tampak ada sedikit perbedaan, terutama dalam teknik penyajian peristiwa. Dalam cerita Coro Ila, semula Hasan (tokoh utama), tampaknya tidak mungkin menikah dengan Aminah, karena adanya perbedaan status antara keduanya. Hasan dikenal sebagai orang hina, sakit- sakitan, dan sangat miskin; sedangkan Aminah anak kepala kampung, kaya, dan disegani di desa itu. Akan tetapi, dengan tipu dayanya itu, Hasan dapat menikahi Aminah. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. Ade ngadi kai ai la Hasan lao nee aka fuu mangge sampe taese elona labo kani maburu, ese fuu la Hasan kanggica labo nggahira. Hasa Eeeee menana dou mawara di kampoe itadoho musti kanikamu la Hasa mbonco labola Aminah ana doumanae kai rasa, watisi kanikamu rasa ake pede nawara bala diwaa ba mada, saraana dou mawara ade rasa wancuku wedina ringana eli mandede nae, ringana eli mandede nae dou ade rasa haroci roci lao ngoa doumanae kai rasa. Edempara au mandadi doumanae kai rasa kaboro saraana dou ma loa loa ade rasa ede, mabe dou ma disa kau lao tio deniku aka hidi wara kai douma kanggica, edempara lao

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 155 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 sabua sando mawancuku loa ade rasa ede aka kompe wara kai dou ma kanggica kande. Waumpara sado rongga aka hidi akande, edempara edana wara nipu mabura ma nggoncu ese elo fuu mangge, nihu mabura ede nakauku dou mawara taawa fuu mangge kanikapu la Hasan labo la Aminah (Asmarini, l994/95:93).

Terjemahannya: Pada tengah malam yang gelap, pergilah Hasan memanjat pohon asam dan duduk di atas pohon itu dengan berkerudung kain putih. Hasan dengansuara lantang berteriak. ―Hai Bapak-bapak-ibu-ibu seluruh masyarakat penduduk desa ini, kawinkanlah Hasan Mbonco dengan Aminah anak kepala kampung. Apabila tidak, bala dan bencana akan saya tuangkan dan limpahkan di desa ini. Semua masyarakat kaget mendengar suara yang begitu besar dan lancang. Akhirnya, masyarakat di desa itu berembug dan melaporkan kejadian itu kepada kepala kampung. Malam itu juga kepala kampung mengumpulkan para pemuka desa, dan kepada yang berani disuruh menyelidiki, apa gerangan yang terjadi di pohon itu. Berangkatlah seorang dukun terkenal dan melihat-lihat ke atas pohon. Pohon- pohon itu dilihatnya satu per satu, dan ternyata ada satu bayangan putih yang sedang berteriak-teriak dan menginstruksikan agar masyarakat kampung mau mengawinkan Hasan dengan Aminah (Asmarini, l994/95: 116—117).

Setelah mereka menikah, Hasan tetap berkeinginan untuk membalas sakit hatinya. Ia masih tetap teringat akan sakit hatinya ketika ia dihina oleh mertuanya sebelum menikah. Oleh karena itu, ia membuat tipu daya. Hasan membeli ikan di pasar, kemudian ia melapor kepada istrinya, bahwa ikan yang dibawa itu adalah hasil memancing di sungai. Melihat kejadian itu, Aminah tertarik, lalu menyampaikan kepada ayahnya. Ayahnya pun tertarik juga; lalu ia membeli alat- alat memancing dan pergi ke sungai. Begitu ia melemparkan kail ke dalam sungai, tiba-tiba, secara sembunyi-sembunyi, Hasan menyelam ke dalam sungai itu, lalu kail itu ditarik. Dalam proses tarik-menarik itu, mertuanya terjatuh lalu dicubit- cubit. Mertuanya lari tunggang langgang, disangka ada ikan besar yang mencubitnya. Setelah sampai di rumah, mertuanya baru sadar bahwa yang mencubit itu adalah Hasan. Kejadian itu akan dibalas oleh mertuanya (Asmarini, 1994/95:119). Pada suatu ketika, Hasan pergi memancing di tempat yang sama. Ayah mertuanya pun sudah ada di situ sebelumnya dan melakukan aktivitas sama seperti yang dilakukan Hasan. Akan tetapi, Hasan tampak lebih cerdik. Ketika terjadi saling tarik dengan ayah mertuanya, Hasan menghentikan tarikannya, kemudian mengambil batu dan melempar ikan dalam air bertubi-tubi, sambil menggerutu ―ikan kurang ajar, ikan kurang ajar‖. Ayah mertuanya muncul tiba- tiba dan mohon maaf kepada Hasan. Dalam cerita I Belog Mantu, tipu daya hanya terjadi sebelum I Belog menikah dengan Ni Luh Sari. Tipu daya itu ada yang berupa ungkapan-ungkapan yang bermakna ambigu, dalam bahasa Bali disebut raos ngempelin, dan ada juga yang berupa tindakan. Tipu daya yang berupa ungkapan-ungkapan yang bermakna ambigu, dapat dilihat pada contoh berikut. ―Apa, tain siape ne tuh-tuh di tembok paone, kadung pang liu kanyahnyah kakulang, basange bas kalayahane‖ (apa, tai ayam yang kering di tembok dapur, kebetulan banyak, digoreng seperti kakul, perut kelewat lapar). ―Apa, tain cicinge,

 156 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 katumplu iwel manis jaan pesan‖ (apa, tai anjing disodok dodol manis sekali). ―Bapa sing ja bisa apa naar taluh kakul matah-matahan, cara icang kene ngamah jaja bagina magoreng‖ (ayah tidak bisa makan telur kakul mentah-mentah, seperti saya makan kue bagina goreng) Ayah Luh Sari tampaknya kurang jeli menangkap makna ungkapan- ungkapan itu, sehingga ia tertipu olehnya. Ayah Luh Sari ternyata makan ―tai ayam yang digoreng‖, ―tai anjing‖, dan ―telur kakul mentah‖. Padahal yang dimaksud bukan itu melainkan ―kakul yang digoreng‖, ―kue iwel (dodol)‖, dan ―kue bagina yang digoreng‖ Selanjutnya, ayah Luh Sari menyadari bahwa dirinya diperdayai. Oleh karena itu, ia ingin membalas dengan tipu daya. I Belog diajak pergi ke hutan mencari ijuk. Setelah tiba di hutan, ayah Luh Sari naik pohon ijuk, sedangkan I Belog disuruh menunggu di bawah. Dengan begitu, ia mengharap agar I Belog diterkam macan (Bagus, 1976:45). Setelah dipetik, ijuk itu dijatuhkan. Ijuk itu dirapikan, digulung, dan I Belog masuk di dalamnya. Kemudian ia menjerit-jerit, pura-pura diterkam macan. Mendengar kejadian itu, ayah Luh Sari gembira sekali karena keinginannya untuk membalas dendam terpenuhi. Ayah Luh Sari bergegas pulang sambil memikul ijuk itu. Ia merasakan bahwa ijuk itu sangat berat, tahu- tahu setelah tiba di rumah, I Belog muncul dari dalam ijuk itu. Ayah Luh Sari sangat menyesal, disangka I Belog benar-benar diterkam macan. Keesokan harinya, ayah LuhSari kembali mengajak I Belog pergi ke hutan mencari ijuk. Sekarang giliran I Belog yang disuruh naik pohon sedangkan ayah Luh Sari berada di bawah. Ayah Luh Sari ingin memperdayai I Belog, seperti yang dilakukan sebelumnya. Setelah ijuk berjatuhan, ayah Luh Sari merapikan dan menggulungnya, kemudian ia memasukkan dirinya ke dalam gulungan itu, sambil berteriak pura-pura diterkam macan. Kejadian itu sudah dibaca sebelumnya oleh I Belog. I Belog pun bergegas mengambil tali lalu mengikat gulungan ijuk itu dengan keras. Ayah Luh Sari berteriak kesakitan. Akan tetapi tidak dihiraukan oleh I Belog. Gulungan ijuk itu diseret bahkan dibanting-banting ketika tiba di rumahnya (Bagus, 1976:47) Sebelum tercapai niatnya, I Belog masih tetap melanjutkan perjuangannya dengan tipu daya. Tipu daya itu tampak dalam kutipan berikut. I Belog buin mangeka daya kalaning peteng, nyingid ia kema kasanggah bapan Luh Sarine. Macelep kasanggah kamulane, lantas ia ngawe munyi kauk- kauk ngaukin bapan Luh Sari, manyaru pangandikan Dewa Hyang Gurunne. Kene munyinne: ―Cai Pan Sari, mai tangkilin ira, ira Dewa Hyang caine. Jani ira nagihin cai punjung rayunan, mabe siap maguling, yan sing iba ngaturin ira punjung rayunan jani, sing buungan iba pongor ira‖. (Terjemahan: I Belog kembali membuat tipu daya di waktu malam, sembunyi ia ke sanggah (tempat pemujaan Hyang Widi) ayah Luh Sari. Masuk ke dalam sanggah kemulan lalu ia berteriak keras-keras memanggil ayah Luh Sari, menyamar bagaikan suara Dewa Hyang Guru. Suaranya begini: ―Engkau Pan Sari, datanglah ke mari, aku Dewa Hyangmu. Sekarang aku minta santapan nasi berisi ayam guling, jika engkau tidak menghaturkan sekarang, tidak urung engkau akan kusakiti (Bagus, 1976:48).

Ada lagi permintaan I Belog, seperti tampak dalam kutipan berikut. Jani ada pakayun ira, ento pianak ibane Ni Sari apang iba ngantenang teken I Belog, ia mula jatu karmane, da iba bani-bani teken ia I Belog. I Belog

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 157 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 anak ririh pesan madaya. Yen iba buin bani teken ia, sing buungan iba mati. Yen sing ia I Belog baang iba pianak ibane nganggo kurenan, sing buungan iba lacur kapegatan sentana, nyen bakal ajak iba manyungsung manira dini di sanggah, manira duka teken iba. Da iba buin ngalih dewasa, bin telun sakapang ia I Belog teken pianak ibane! Pragat amonto, kema iba mulihan, jani manira tuun ngunggahang aturan ibane, sing dadi tongosin dini. (Terjemahan: Sekarang ada keinginanku, itu anakmu Ni Sari supaya dinikahkan dengan I Belog, dia memang jodohnya, jangan kau berani dengan I Belog. I Belog pintar sekali berdaya-upaya. Jika kau berani dengannya, tidak urung kau akan mati. Jika tidak I Belog yang kau beri anakmu, tidak urung kau sengsara ketinggalan keturunan, siapa yang akan kau ajak menyembahku di tempat pemujaan ini, aku marah denganmu. Tidak perlu lagi mencari waktu baik, lagi tiga hari nikahkan I Belog dengan anakmu! Hanya sekian, pergilah ke kamarmu, sekarang aku turun menyantap suguhanmu, tidak boleh ditunggu (Bagus, 1976:49).

Pan Luh Sari tampaknya percaya betul dengan suara itu. Akhirnya, ia menikahkan putrinya (Ni Luh Sari) dengan I Belog. 3.2 Hubungan Latar Latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial (Nurgiyantoro, l995:227). Ketiga unsur itu, walaupun menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, namun pada kenyataannya saling berkaitan, dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Hal itu penting untuk menciptakan suasana dalam karya naratif (Hartoko, l986:78) Aspek ruang dan waktu dalam cerita Coro Ila, adalah sebuah pohon asam yang dianggap keramat oleh penduduk setempat. Di atas pohon itu, Hasan duduk memakai kain kerudung putih, kemudian bersuara keras-keras agar Aminah dikawinkan dengan Hasan. Peristiwa itu terjadi tepat tengah malam Jumat. Kejadian itu menyebabkan suasana desa tercekam rasa ketakutan. Demikian pula kepala kampung menjadi gelisah. Akhirnya, kepala kampung menikahkan putri kesayangannya dengan Hasan. Hal seperti itu terjadi pula dalam cerita I Belog Mantu. Peristiwanya terjadi di sebuah tempat suci (sanggah, merajan) di rumah Pan Luh Sari. Di tempat itu, I Belog menyamar dan bersuara seperti suara Dewa Hyang Guru. Suara itu memanggil-manggil Pan Luh Sari agar segera mendatanginya, dan selanjutnya dimohon agar putrinya dikawinkan dengan I Belog. Peristiwa itu terjadi tengah malam. Dengan adanya peristiwa itu, Pan Luh Sari justeru merasa senang, karena ia percaya bahwa suara itu benar-benar suara Dewa Hyang Gurunya. Selain itu, persembahan berupa nasi dan ayam guling yang telah dihaturkan sebelumnya, hilang tanpa bekas, dikira sudah diambil oleh Dewa Hyang Guru. 3.3 Hubungan Penokohan Tokoh utama dalam kedua cerita, Coro Ila dan I Belog Mantu mempunyai keselarasan, setidaknya dapat dilihat dari dua segi, yaitu segi fisik dan psikis. Secara fisik, tokoh Hasan dilukiskan sebagai sosok yang sakit-sakitan. Sejak dalam kandungan, ia sudah ditinggal oleh ayahnya. Ia hanya diasuh oleh ibunya, Ina Hasan. Ia hidup dalam keluarga yang sangat miskin. Secara psikis, Hasan termasuk orang yang cerdik. Ia berkali-kali berhasil memperdaya ayah mertuanya,

 158 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 mulai dari sebelum sampai sesudah ia menikah dengan Aminah. Semuanya itu dilakukan, karena rasa cintanya dengan Aminah sangat dalam. Tokoh I Belog, secara fisik memang tidak banyak dilukisakn, sama seperti tokoh Hasan. Namun, masih dapat ditelusuri bahwa I Belog adalah tokoh yang tidak simpatik (bocok buin jelek, ubuh, tiwas) (Bagus, l976:49); artinya tidak menarik, buruk, yatim piatu, dan miskin. Akan tetapi, ia termasuk tokoh yang cerdik. IV. Simpulan Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa secara intertekstual, cerita Coro Ila dan cerita I Belog Mantu mempunyai benang merah yang jelas. Benang merah itu dapat dibuktikan dengan adanya hubungan tema amanat, latar, dan penokohan. Kedua cerita mempunyai tema yang sama, yaitu menyunting seorang istri dengan cara tipu daya. Hanya saja teknik penyajiannya sedikit berbeda. Dari tema itu tersirat adanya amanat yang mengisyaratkan kepada pembaca agar selalu berhati-hati dalam menerima ungkapan-ungkapan yang mengandung makna ambiguitas. Sebab, ungkapan semacan itu sering membuat seseorang terkecoh, yang pada akhirnya akan membawa dampak yang dapat menjerumuskan seseorang. Kedua cerita, I Belog Mantu dan Coro Ila menampilkan nuansa tokoh utama dan latar yang sama, yaitu sama-sama terjadi di suatu tempat yang keramat dan pada waktu malam hari. Bedanya terletak pada latar. Latar cerita Coro Ila adalah di sebuah pohon asam yang dianggap keramat oleh penduduk setempat dan latar cerita I Belog Mantu di sebuah sanggah kemulan, yang juga dianggap sebagai tempat keramat (suci). Daftar Pustaka Asmarini, Ni Putu, dkk. l994/l955. Sastra Lisan Donggo. Denpasar: Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Bali, Depdikbud, Denpasar. Bagus, IGN. L976. Satua-satua Sane Banyol ring Kasusastran Bali. Singaraja: Balai Penelitian Bahasa. Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. Hartoko, Dick dan B. Rachmanto. L986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius. Hasanudin, W.S. 1996. Drama Karya dalam Dua Dimensi. Bandung: Angkasa. Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ratih, Rina. 1994. ―Pendekatan Intertekstual dalam Penelitian Sastra‖, dalam Teori Penelitian Sastra: Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia, IKIP Muhammadiyah.

 MASYARAKAT MULTIKULTUR PADA ZAMAN BALI KUNO ABAD IX- XIV M BERDASARKAN REKAMAN ARKEOLOGI

I Wayan Srijaya [email protected]

ABSTRAK

Indonesia merupakan Negara dengan masyarakatnya yang multikultur. Masyarakat multikultur tidak saja dilihat dari banyaknya suku bangsa yang mendiami Negara kepulauan ini, melainkan juga menyiratkan banyaknya kebudayaan yang ada didalamnya. Kekayaan budaya ini menjadi kekuatan untuk mengikat masyarakat multikultur ke dalam bingkai Negara kesatuan. Demikian pula halnya dengan Bali yang menjadi bagian dari Negara Indonesia mempunyai keberagaman budaya dan adat istiadatnya yang diimplentasikan ke dalam berbagai bentuk kebudayaan. Masyarakat Bali juga telah dibentuk menjadi masyarakat multikultur sejak abad IX M sebagaimana ditunjukkan oleh bukti-bukti arkeologis.

Kata kunci:masyarakat multikultur, budaya, rekaman arkeologis

Pendahuluan Masyarakat Bali telah menjalin persahabatan dengan dunia luar sejak awal abad masehi (Ardika, 1991) yang ditandai dengan adanya bukti-bukti arkeologi berupa gerabah India yang berasal dari situs Arikamedu.Keberadaan gerabah India ini memberikan petunjuk bahwa telah terjadi kontak-kontak antara masyarakat pesisir Bali utara dengan pedagang India. Namun demikian kehadiran budaya India ini belum dapat dipastikan apakah dibawa oleh para pedagang India, masih menjadi pertanyaan. Sebab secara formal masyarakat Bali baru diketahui memasuki zaman sejarahnya sekitar abad VIII M sebagaimana ditunjukkan prasasti tertua yang belum menyebut nama raja yang oleh Goris disebut prasasti Yumu pakatahu (Goris, 1954). Sejak saat ini, masyarakat Bali mulai memahami tatanan sosial yang bernafaskan agama Hindu dan Budha. Kemudian dengan kontak-kontak formal yang membentuk masyarakat religious ini melahirkan berbagai kebudayaan yang di padukan dengan tradisi lokal yang sudah ada sebelumnya. Tradisi lokal masyarakat Bali tidak hilang begitu saja, melainkan dapat diselaraskan dengan unsur-unsur budaya yang dibawa oleh para pedagang dan pendeta India. Itulah sebabnya, dibanyak desa di Bali (desa-desa Bali mula) tetap dapat mempertahankan tradisinya yang sudah diwarisi secara turun temurun. Begitu juga konsep Hindu dan Budha yang datang belakangan tidak serta merta menghilangkan tradisi masyarakat melainkan saling melengkapi. Sejak munculnya sistem politik yang berbetuk kerajaan di Bali, masyarakat mulai diperkenalkan dengan masyarakat multikultur yang ditandai dengan hadirnya para migrant India yang membawa perubahan dalam tatanan sosial masyarakat. Aspek- aspek yang mengalami pembauran dalam sistem sosial masyarakat adalah dalam

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 159 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 160 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 stratifikasi sosial, bahasa, seni, teknologi, ilmu pengetahuan, politik,dan agama. Unsur-unsur inilah yang paling mudah dicermati dari berbagai bukti arkeologis yang ada di Bali. Dari bukti-bukti arkeologis ini dapat dijelaskan bahwa di Bali telah terbentuk masyarakat multikultur. Definisi Masyarakat Multikultur Sebelum membahas masyarakat multikultur di Bali, kiranya ada baiknya diberikan difinisi tentang masyarakat multikultur. Ada beberapa pendapat tentang pengertian masyarakat multikultur yaitu: (a) J.S.Furnivall memberikan difinisi masyarakat multikultur adalah suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup sendiri- sendiri tanpa ada pembauran satu sama lainnya di dalam satu kesatuan politik; (b) Nasikun seorang sosiolog kenamaan dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta memberikan definisi masyarakat multikultur adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih dari tatanan sosial masyarakat , atau kelompok yang secara kultural, ekonomi, dan politik dipisahkan(diisolasi), dan memiliki struktur kelembagaan dan berbeda satu sama lain. (c) Cliffort Geertz memberikan definisi masyarakat multikultur adalah masyarakat yang terbagi ke dalam kebudayaan subsistem dimana masing- masing subsistem terikat oleh ikatan primordial; (d) Parekh memberikan definisi masyarakat multikultur adalah masyarakat yang memiliki berbagai jenis komunitas budaya dengan segala manfaat dan sekit perbedaan yang ada seperti sejarah, adat istiadat, dan kebiasaan yang ada.

Dari definisi konsefsional yang disampaikan oleh para ahli di atas, kiranya yang menjadi inti dari masyarakat multikultur adalah terdiri atas dua atau lebih elemen masyarakat yang secara bersama-sama bertempat tinggal pada wilayah tertentu. Bali yang sejak abad VIII M, telah menjalin kontak dengan masyarakat internasional dapat dipastikan sudah didiami oleh setidak-tidaknya dua suku bangsa yaitu suku bangsa Bali dan suku bangsa para pedagang/pendeta yang diduga datang dari India. Suku bangsa pendatang ini telah melakukan berbagai perubahan terutama dalam mengantarkan masyarakat Bali memasuki peradaban sejarahnya, memperkenalkan bahasa Sansekerta, tatanan politik dengan sistem pemerintahan kerajaan, dengan rajanya yang mendapat gelar warmadewa, yang tak kalah pentingnya adalah diperkenalkannya sistem relegi Hindu dan Budha. Oleh karena itu, sejalan dengan definisi di atas, maka Bali sejak abad VIII M telah menganut sistem sosial masyarakat multikultur. Masyarakat multikultur sering disebut pula dengan masyarakat majenuk (masyarakat plural). Sementara untuk mewujudkan masyarakat multikutur perlu ada acuannya yaitu multikulturalisme.Multikulturalisme adalah sebuah pandangan yang mengakaui dan mengagukan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Multikulturalisme dapat berkembang ketika didukung adanya tolerasi dan kesediaan untuk saling menghargai. Burhanuddin (2003) sebagaimana dikutip oleh Sutjiati Beratha dkk (2010)

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 161 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 memberikan pengertian multikulturalusme adalah gerakan sosial intelektual yang mempromosikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip perbedaan serta menekankan pentingnya penghargaan pada setiap kelompok yang mempunyai kultur yang berbeda. Orientasinya adalah kehendak untuk membawa masyarakat ke dalam suasana rukun, damai,egaliter, toleran, saling menghargai, saling menghormati, tanpa ada konflik dan kekerasan, tanpa mesti menghilangkan kompleksitas perbedaan yang ada. Demikian pula pendapat Berry dkk seperti dikutip Sutjiati Beratha dkk (2010) menyatakan bahwa multikulturalisme bermaksud menciptakan suatu konteksosiopolitis yang memungkinkan individu dapat mengembangkan kesehatan jati diri dan secara timbal balik mengembangkan sikap-sikap antar kelompok yang positif. Kebijakan-kebijakan yang mempertimbangkan pluralism biasanya banyak ditemui, acapkali hanya tersirat, tetapi dapat juga ekplisit. Mereka yang secara positif menyukai pluralisme diistilahkan dengan kebijakan- kebijakan multikulturalisme. Berdasarkan kutipan di atas, mengisyaratkan bahwa multikulturalisme merupakan sebuah doktrin yang mempromosikan keberagaman antaretnik maupun antarkelompok secara sosiobudaya dalam suatu suasana yang rukun, damai, egaliter, toleran,saling menghargai, dan saling menghormati perbedaan. Bersamaan dengan itu, masing-masing pihak pun bisa menumbuhkembangkan jati diri mereka secara optimal tanpa dinisbikan oleh yang lainnya (Sutjiati Beratha dkk, 2010: 17). Dalam kontek masyarakat Bali abad VIIIM-XIV M secara tersIrat dan tersurat dalam prasasti mengindikasikan bahwa masyarakat multikulturalisme sudah menjadi bagian dari keseharian mereka. Hal ini dapat diketahui dari adanya istilah-istilah banyaga dalam prasasti Julah (Goris, 1954: Ardika dkk,2013) yang mendakan adanya pedagang asing yang berdagang di pelabuhan Bali utara saat itu. Namun demikian belum dapat dipastikan apakah kelompok pedagang asing yang melakukan aktivitas perdagangan di Bali utara sudah membentuk komunitas sendiri belumlah dapat diketahui. Berdasarkan teori yang ada, bahwa ketika awal- awal proses Indianisasi di Indonesia, bahwa telah terjadi perkawinan antara kaum pedagang dengan wanita pribumi yang selanjutnya menurunkan keturunan campuram (Soemadio ed. 1984). Apabila hal itu yangterjadi kiranya tidak dapat dipungkiri bahwa sejak masuknya peradaban Hindu dan Budha ke Bali diikuti pula oleh terjadinya perkawinan antara wanita pribumi dengan pedagang asing (India) yang melahirkan keturunan campuran sehingga membentuk komunitas masyarakat yang dilandasi oleh budaya India. Kontak-kontak yang makin intensif dilakukan oleh masyarakat Bali terjadi pada abad-abad berikutnya baik secara langsung maupun melalui perantara kerajaan-kerajaan yang sudah berkembang di Jawa. Oleh karena itu dapat dikatakan pada waktu itu di Bali setidak-tidaknya sudah berkembang masyarakat multikultur yang bersumber dari budaya India dan budaya lokal. Stereotipe budaya India dan lokal ini semakin jelas ketika kita memperhatikan prasasti-prasasti yang ditemukan di Bali. Pada mulanya prasasti yang termasuk katagori yumu pakatahu menggunakan hurup dan Bahasa Bali kuno, ketika masuknya peradaban India prasasti ditulis dengan hurup Prenegari dan bahasa Sansekerta sebagaimana ditunjukkan dalam prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh raja Kesariwarmadewa. Penggunaan bahasa Sansekerta dalam prasasti rupanya tidak banyak digunakan lagi pada masa pemerintahan raja-raja

 162 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 berikutnya. Tetapi dalam prasasti-prasasti itu terkadang masih ada unsur-unsur kata sansekertanya. Masyarakat Bali kuno sebagaimana disebutkan di atas, menyiratkan adanya masyarakat multikultur (masyarakat plural) yang terdiri atas dua kelompok yaitu masyarakat lokal yang kuat dengan tradisi turun temurun dan masyarakat pendatang (India) dengan tradisi Hindu dan Budha. Kedua steriotif masyarakat ini, semakin kelihatan pada abad XIII-XV M yaitu dengan adanya penyebutan masyarakat Bali mula (yang mendiami dataran tinggi) dan masyarakat majapahit(wong majapahit) yang mendimi dataran rendah. Stereotive kedua kelompok masyarakat ini masih kuat dalam sistem sosial masyakat hingga saat ini. Perbedaan steriotive ini juga terlihat dari budaya yang mereka warisi secara turun temurun, kendatipun mereka merasa satu keyakinan yaitu Hindu tetapi dalam prakteknya ada perbedaan. Perbedaan ini tidak sampai menimbulkan terjadinya konflik antar kelompok yang berbeda tradisi ini. Contoh masyarakat yang masih kuat dengan tradisi ini misalnya masyarakat desa Trunyan di Bangli, Tenganan Pegeringsingan di Karangasem, Timrah di Karangasem, Sembiran, Tigawase, Sidatapedi Buleleng. Desa-desa ini umumnya berlokasi pada daerah-daerah pedalaman atau pegunungan, sementara kelompok masyarakat lainnya yang disebut wong Majapahit mendiami sebagian besar dataran rendah Bali. Sutjiati Beratha dkk(2010) dalam penelitiannya terhadap komunitas mansyarakat Bali dan masayarakat Cina memberikan petunjuk adanya perbedaan perlakuan di satu sisi dan adanya persamaan hak dan kewajiban disisi yang lain. Dalam kajian ini dijelaskan status orang Cina dalam kontek desa pakraman. Keikutsertaan mereka dalam berbagai kegiatan di desa Pakeraman tidak selalu didasarkan padastatus mereka sebagai anggota desa Pakraman. Di dea Paakraman Baturiti, orang Cina tidak tercatat sebagai anggota desa pakraman , tetapi dalam hal-hal tertentu mereka (orang Cina ) banyak berkontribusi dalam bentuk tenaga, barang maupun uang dalam berbagai kegiatan desa Pakraman setempat. Hal ini disebabkan karenaawig-awig desa pakraman mengatur tentang itu sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat 4 awig-awig desa Pakraman Baturiti sebagai berikut: ―Sane kabawos krama desa adat inggih punike kulewarga sane magama Hindu saha ngamong karang paumahan. Sjabe punika sinanggeh tamiu” artinya: bahwa yang dimaksud dengan warga/anggota Desa Adat/Desa Pakraman dalam hal ini adalahkeluarga yang beragama Hindudan mempunyaipekarangan rumah diwilayah desa tersebut.Selain itu disebut tamu. Masyarakat Cina yang umumnya sebagai pemeluk agama Budha, tidaklah memungkinkan untuk menjadi anggota desa Pakeraman. Sementara keikutsertaan mereka dalam desa Pakeraman di desa Baturiti oleh sementara informan disebut sudah menjadi tradisi yang berlangsung sejak lama. Agak berbeda dengan didesa Pakraman Padangbai dan Carangsari Badung.Pada kedua desa Pakraman ini, walaupunawig-awig mereka tidak jauh berbeda dengan awig-awig desa pakraman Baturiti, tetapi keanggotaan warga Cina dalam desa Pakraman didasarkan atas kesepakatan antara orang Bali dan orang Cina untuk meneruskan tradisi yang sudah ada secara turun temurun. Oleh karena itu,kesepakatan yang mereka buat dianggap sah dan memiliki kekuatan sama dengan peraturan atau awig-awig desa setempat (Sutjiati Beratha dkk, 2010: 96-97).

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 163 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Dalam kesempatan yang berbeda masyarakat Cina yang sudah turun temurun mewarisi tradisi leluhurnya di Bali mereka tidak dapat lepas tanggung jawabnya dengan desa pakraman dimana mereka bertempat tinggal. Dikatakan bahwa mereka terlibat secara aktif baik terkait dengan paryangan, pawongan dan palemahan. Dalam hal paryangan mereka ikut serta melaksanakan kegiatan yang ada didalam pura kahyangan tiga, seperti saat akan ada upacara di pura kahyangan tiga mereka ikut dari mulai persiapan hingga selesai kegiatan upacara. Demikian pula yang berkaitan dengan pawongan, secara khusuk mereka terlibat dalam berbagai kegiatan manusa yadnya. Mulai dari persiapan sampai selesai kegiatan. Dalam kontek palemahan, masyarakat Cina secara aktif ikut serta dalam menjaga lingkungan melalui kegiatan gotong royong yang diadakan oleh kerama banjar atau desa adat (Dialog Tv, tanggal 2Maret 2019 tayang pk.22.05). Dari dialog yang dilakukan Metro Tv dengan masyarakat Cina yang ada di Bali kiranya dapat dipetik maknanya bahwa kebersamaan diantara dua suku bangsa yang sudah ada sejak berabad-abad silam dapat menjadi inspirasi bagi keberagaman masyarakat Indonesia. Dankeberagaman ini merupakan jati diri bangsa Indonesia. Sejarah mencatat bahwa diantara penguasa-penguasa kerajaan Bali kuno salah satunya adalah Raja Jayapangus telah menikahi putri Cina yang bernama Cing Kei Wi namun tidak memberikan keturunan. Perkawinan raja Jayapangus dengan putri Cing Kei Wi menjadi bagian dari cerita kehadiran masyarakat Cina di Bali yang melegenda. Bahkan sesudah keduanya meninggal kemudian di reprentasikan sebagai bentuk landung (laki-perempuan). Barong laki representasi dari raja Jayapangus dan barong landung perempuan represntasi dari Cing Kei Wi. Representasi perkawinan ini tidak saja berbentuk barong landung, tetapi juga ditemukan dalam bentuk pahatan topeng padabeberapa bangunan kuno di Bali. Contohnya adalah motif hias topeng yang ada pada prasada di pura Giri Kusume Abiansemal Badung.

Multikultul dalam Ragam Bentuk Tinggalan Arkeologi Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa Bali telah mendapat pengaruh kebudayaan asing sejak awal-awal abad masehi. Namun secara jelas baru diketahui pada abad VIII M dengan adanya prasasti. Prasasti sebagai bukti tertulis, menyiratkan di Bali berkembang masyarakat multikultur dengan agama yang berbeda yaitu Hindu dan Budha. Dalam berbagai prasasti yang dikeluarkan oleh penguasa Bali kuno selalu disertakan dua penasehat kerajaan yang bergelar dang acharya (pendeta Siwa) dan dang upadiyaya (pendeta Budha) untuk memberikan pertimbangan kepada raja dalam mengambil keputusan penting. Kehadiran orang-orang India yang beragama Budha tentu merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dikesampingkan dalam sejarah Bali termasuk juga orang-orang Cina yang telah berbaur dengan masyarakat lokal. Berbagai bukti arkeologi yang ditemukan di Bali diketahui bahwa agama Budha sudah berkembang sejak abad IX M. Kehadiran agama Budha (Mahayana) pada abad ini ditandai dengan ditemukannya stupika-stupika tanah liat di Pejeng dan Singaraja. Stupika-stupika ini didalamnya berisikan meterai-meterai tanah liat. Pada meterai-meterai ini terdapat prasasti yang memuat mantra-antra budha. Selain memuat mantra-mantra budha ada pula yang memuat relief Dyani Budhayang merupakan panteon Budha. Stupika-stupika ini tidak satupun berisi penanggalan, namun prasasti yang sama di temukan di ambang pintu Candi

 164 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Kalasan Yogyakarta. Pada prasasti Kalasan terdapat penanggalan yang berangka tahun 778 M (Goris, 1948; Stutterheim, 1929). Dari perbandingan ini dipastikan bahwa prasasti yang ditemukan dalam stupika-stupika tanah liat (dalam jumlah ratusan ) di Bali diperkirakan berasal dariabad IX M.

Stupa Pegulingan Runtuhan Catra Yasti di Goa Gajah Selain stupika-stupika tanah liat, ada pula situs-situs yang merupakan situs Hindu tapi didalamnya terdapat bangunan budha. Situs tersebut adalah Pura Pegulingan, Pura Goa Gajah, serta Pura Batur, dan Pura Balingkang. Pura Pegulingan yang terletak di Banjar Basangambu Tampaksiring merupakan sebuah bangunan suci untuk agama Hindu. Namun dalam pura ini juga terdapat sebuah bangunan stupa Budha yang berasal dari abad IX M. Keberadaan stupa Budha ini menjadi bukti kuat betapa harmoninya masyarakat penganut Siwaisme dan Budhisme di Bali. Dalam kontek ini, masyarakat Budha yang di Bali setiap hari- hari besar keagamaan selalu hadir melakukan persembahyangan ditempat ini. Namun sekarang ini karena masyarakat yang menjadi pengempon dari pura Pegulingan adalah pemeluk Hindu maka tanggung jawab yang berkaitan dengan kegiatan ritual keagaman di pura ini dilaksanakan sepenuhnya oleh masyarakat yang menjadi bagian dari krama desa setempat. Masyarakat yang beragama Budha datang secara insidental untuk melakukan kegiatan pemujaan di bangunan stupa ini. Agak berbeda dengan masyarakat Cina yang bertemapat tinggal di Kintamani, yang menjadi bagian dari krama desa adat setempat sebagaimana di ceritakan di atas. Bukti arkologi kedua adalah pura Goa Gajah yang terletak di desa Bedulu Gianyar. Oleh masyarakat Hindu tempat ini dikenal sebagai pura Goa yang diempon oleh keluarga pemangku pura Goa. Namun saat berlangsungnya upacara piodalan maka krama adat Bedulu secara bersama-sama melakukan persembahyangan. Dalam komplek pura ini, terdapat bangunan budhis yang berupa pahatan catra yasti bersusun 13. Pahatan catra yasti ini terletak di tepi tukad Pangkung, yang saat ini tertinggal dalam bentuk runtuhan di jurang tukad Pangkung. Selain itu, di komplek ini juga terdapat dua buah arca Dyani Budha di timur Goa. Satu diantaranya sudah hilang sejak tahun 1991 dan sekarang masih satu buah tanpa kepala.. Arca ini dilihat dari langgamnya diduga kuat sejaman dengan arca-arca Budha yang menghiasi candi yaitu abad IX M. Terkait dengan keberadaan tempat ini, kitab Negara Kertagama yang digubah oleh Mpu Prapanca pujangga besar dari masa pemerintahan raja Hayam Wuruk menyebut nama dua tempat di Bali yaitu Lwa Gajah dan Bedahulu (Slamet Mulyana, 1979). Lwa Gajah oleh banyak ahli diduga adalah Goa Gajah sekarang, sedangkan Bedahulu sekarang menjadi nama desa Bedulu. Apabila pernyataan

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 165 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Prapanca ini diyakini kebenarannya maka Goa Gajah setidak-tidaknya sudah menjadi tempat kegiatan keagamaan sejak abad IX M. Dari dua contoh di atas dapat diduga bahwa sejak abad IX M-XIV M di Bali telah muncul masyarakat multikultur yang hidup berdampingan secara harmoni. Kedua agama ini sebagaimana disebutkan di atas mempunyai peranan penting dalam keberlangsungan roda pemerintahan di Bali saat itu. Itulah sebabnya tokoh-tokoh agama dari kedua agama ini ditempatkan sebagai penasehat raja untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan penting yang dilakukan oleh raja.

Simpulan Masyarakat multikultur telah ada sejak abad IX M yang ditandai dengan adanya masyarakat yang menganut agama Hindu dan Budha. Para pemeluk kedua keyakinan yang berbeda ini dapat hidup secara hormis untuk dapat menjalankan agamanya masing-masing. Kedua agama ini mendapat perhatian besar dari para penguasa, sehingga tokoh-tokoh/pemimpin umat ditempatkan menjadi penasehat kerajaan. Pura Pegulingan dan Goa Gajah merupakan bukti keberadaan masyarakat multikultur tersebut walaupun belum dapat dirunut sebagaimana dikonsefsikan oleh para ahli seperti di atas.Masyarakat multikultur merupakan jati diri bangsa Indonesia.

Daftar Pustaka Ardika, I Wayan, I Gde Parimartha, dan A.A.Bagus Wirawan, 2013 Sejarah Bali dari Prasejarah sampai Modern. Denpasar: Udayana Press. Goris, R. 1948 Sejarah Bali Kuno.Singaradja 1954 Prasasti Bali.Bandung: NV Masa Baru Slamet Mulyana, 1979Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta:Bratha Stuterheim, W.F, 1929 Oudheden van Bali. Singaradja Soemadio Ed, 1984 Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka Sutjiati Beratha, Ni Luh, I Wayan Ardika, dan Inyoman Dana, 2010 Dari Tatatapan Mata ke Pelaminan sampai di Desa Pakraman. Studi Tentang Hubungan Orang Bali dengan Orang Cina di Bali. Denpasar: Udayana Prees. https://blog.ruangguru.com Mengenal masyarakat multikultur dan karakteristiknya ditulis oleh EMbun Beng Diniari 28 Maret 2018.

 BUDAYA KRITIK DALAM TEKS SASTRA TRADISI: REPLEKSI TEKS GEGURITAN I KETUT BUNGKLING DAN GEGURITAN I KETUT BAGUS

I Wayan Suardiana Prodi Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [email protected]

ABSTRAK

Kehidupan ini dapat berjalan dengan baik dan semarak bila ada dinamika di dalamnya. Kritik itu penting sebagai salah satu penggerak dinamika kehidupan. Dalam sastra Bali tulis tradisional, kritik itu diungkapkan kawi sastra dengan sangat elegan. Artikel ini menelisik budaya kritik yang berkarakter tradisi Bali lewat teks Geguritan I Ketut Bungkling dan Geguritan I Ketut Bagus. Kedua tokoh utama dalam teks bersangkutan, yakni, I Ketut Bungkling dan I Ketut Bagus diberikan ‗tugas‘ oleh pengarangnya untuk menyampaikan pesan-pesan moral kepada pembaca dengan sangat apik. Pesan-pesan moral berupa kritik itu, dalam tulisan ini coba akan diungkapkan dengan menggunakan metode simak. Metode simak dibantu dengan teknik catat untuk mengutip hal-hal penting berkaitan dengan kritik yang disampaikan oleh kedua tokoh utamanya. Selanjutnya, dilakukan teknik terjemahan (ke bahasa Indonesia) mengingat teks sumber berbahasa Bali untuk memudahkan analisis pemaknaan. Hasil terjemahan akan diinterpretasikan dengan teori hermeneutika untuk mengungkapkan makna teks secara keseluruhan. Secara keseluruhan, teks Geguritan I Ketut Bungkling dan Geguritan I Ketut Bagus memiliki karakter yang sama, yakni kritis dalam menyikapi fenomena sosial tanpa merusak tatanan masyarakat pendukung teks bersangkutan.

Kata kunci: Budaya kritik, karakter, dan Sastra tradisi.

1. Pendahuluan Teks Geguritan I Ketut Bungkling, selanjutnya disingkat (GIKBk.) dan Geguritan I Ketut Bagus, selanjutnya disingkat (GIKBg.) adalah dua buah teks geguritan di Bali yang memiliki kesamaan ide, yaitu tentang kritik sosial. Keberadaan dari kedua teks tersebut sesungguhnya sudah diteliti secara seksama oleh penulis sendiri dalam sebuah penelitian disertasi (Suardiana, 2009). Meskipun demikian, kajian tematik terhadap kedua teks tersebut tidaklah secara mendalam dilakukan. Untuk itu, dalam artikel ini akan dilakukan kajian yang komprehensip tentang tema kritik sosial yang diungkapkan dalam kedua teks bersangkutan. Sebagaimana telah penulis ungkapkan dalam disertasi (2009) itu bahwa ada sebuah teks lagi yang memiliki tema yang sama, yaitu dengan judul Geguritan I Ketut Bangun, namun dalam ulasan ini teks tersebut diabaikan karena dianggap teks plagiat dari teks GIKBg. (lih. Suardiana, 2009: 206--279).

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 166 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 167 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Budaya kritik dalam sejarahnya telah berlangsung lama dan istilah kritik sastra mempunyai sejarah yang panjang. Istilah itu telah dikenal pada sekitar tahun 500 sebelum Masehi. Kata kritik berasal dari bahasa Yunani, krinein yang bermakna menghakimi, membanding, atau menimbang. Kata krenein menjadi pangkal atau asal kata kreterion yang berarti dasar, pertimbangan, penghakiman. Orang yang melakukan pertimbangan dan penghakiman itu disebut krites yang berarti hakim. Bentuk krites inilah yang menjadi dasar kata kritik yang selanjutnya digunakan dalam analisis ini (Semi, 1985: 7). Pentingnya melakukan kajian secara komprehensip tentang kedua teks ini, mengingat di Bali masyarakatnya berlatarbelakang beragam. Keberagaman latar belakang sosial dan status berdasarkan golongan (klen) bagi masyarakat Bali itu penting dikelola agar tidak menimbulkan konflik baik vertikal maupun horizontal. Model kritik sebagaimana disampaikan oleh teks GIKBk. dan GIKBg. sementara waktu tidak ditemukan dalam teks-teks sejenis di Bali. 2. Budaya Kritik dalam Teks Geguritan I Ketut Bungkling

Protes sosial dalam sastra sebagaimana diungkapkan oleh Saini K.M. (1990: 1-3) dilakukan tokoh utama GIKBk., yakni I Ketut Bungkling terhadap tokoh suci dari klen Sengguhu bergelar Ida Resi Ganggasura. Ia mohon penjelasan tentang pelaksanaan memandikan jenazah bagi umat Hindu sebelum dibawa ke kuburan. Ida Wayan menjelaskan makna sarana saat setelah memandikan jenazah itu, seperti: kaca yang ditaruh di kedua mata bermakna nanti ketika kembali menjelma agar matanya dapat melihat dengan terang; serpihan baja yang ditaruh di gigi, sebagai simbul agar setelah menjelma giginya kokoh dan kuat; kulit orang yang terlahir kembali menjadi kuning langsat dan lembut itu konon berkat umbi gadung dan telur yang dipakai untuk menggelilingi sekujur tubuh jenazah; minyak menyebabkan kulih halus; dan monmon yang ditaruh di bibir membuat orang yang akan menjelma nantinya tutur katanya halus, manis, menyejukkan, dan bertuah. Mendengar penjelasan Ida Resi Ganggasura seperti itu, I Ketut Bungkling bertanya balik sambil menyanggah. Punika anak Pranda, wénten kakah burik cungih, twara nyingak badil séngkok, manawi lali sané dumun, meka waja sedek arang, kurang kunyit, taluh sikapané arang. Tuké kebo sampi jaran, kuda celang lemah latrì, sira mangejangin meka?”, Ida Gedhé duka murub, tamyuné katah mabriyag, mangedékin, Ida Gedhé maangsegan (GIKBk., bait 23 dan 24). Terjemahan: Kenapa putra Tuanku, ada yang kulitnya kasar, bopeng, sumbing, tiada melihat, cadel dan tangannya bengkok, mungkinkah dulu lupa, cermin baja langka?, kurang kunir, telor dan umbi gadungnya langka? Tokek kerbau sapi dan kuda, kenapa dia melihat siang malam, siapa yang membekali cermin (saat meninggal)?‖, Ida Wakih marah bukan kepalang, para tamu semuanya tertawa, menertawai, Ida Wakih tertegun. Kritik I Ketut Bungkling terhadap tokoh yang arogan seperti Ida Resi Ganggasura dilanjutkannya pula terhadap tokoh Sengguhu Pangi. Sengguhu Pangi, adalah tokoh suci yang arogan juga kemaruk harta. Akibat perbuatannya itu, akhirnya Sengguhu Pangi kena jebak ketika I Ketut Bungkling menanyakan batasan arah angin, seperti berikut.

 168 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

“Nggih Bapa tunasang tityang, Kaja Kelod Kawuh Kangin”, Dé Sengguhu panuding ngébot, “Ento Kangin adanipun, yan ring awak papusuhan, rupa putih, mulih urangkané juwang!” “Nggih Bapa malih tunasang, teked dija madan Kangin?”, Dé Sengguhu bangras angucap, “Teked di guminé nanggu, ditu langit nguda-nguda, pagulawir, buka kuwud geban-geban.” “Dangin to napi waûtannya?”, Dé Sengguhu angling aris, “Masih Kangin nto adannya”, “Bapa nahen lungà sàmpun?”, Dé Sengguhu ya kamemegan, “Bapa to sing, satuannyané Bapa nawang.” (GIKBk., bait 42, 43, dan 44) Terjemahannya: ―Ya, Tuan yang hamba tanyakan, Utara, Selatan, Barat, dan Timur, Sengguhu Pangi menuding dengan telunjuk kiri, ―Itu Timur namanya!, bila dalam badan jantung, warnanya putih, pulang ambillah pangkal sarung kerisnya!‖ Ya Tuan, (hamba) lagi menanyakan, sampai di mana bernama Timur?‖, Sengguhu Pangi berujar ketus, ―Sampai batas dunia, di sana langitnya muda-muda, terjuntai-juntai, seperti daging kelapa muda melonjak- lonjak.‖ ―Di Timurnya (Timur) apa namanya?‖, Sengguhu Pangi berkata lagi, ―Masih Timut itu namanya‖, ―Tuan pernah pergi ke sana?‖, Sengguhu Pangi terperangah, ―Aku tidak pernah, ceritanya Aku mengetahui.‖ Sengguhu Pangi kalah jawab, tidak mampu menjelaskan batas akhir arah angin sehingga ia disuruh bersilat lidah dengan empat muridnya. I Ketut Bungkling minta dua hal kepada murid Sengguhu Pangi yang juga bergelar Sengguhu, yakni suara angin dan suara burung Sawanujan, seperti berikut. Ngindayang kuda suratang, Maman munyin angin tarik, munyin kedis Sawanujan, edoh paca apang muput!”, I Sengguhu kamemegan, tur matari, ingeh-ingeh maka patpat. “Apa anggon manulisang, ama-ama ya to dadi?, gredeg-gredeg uwug alon”, maka patpat suba inguh, peluh pidit patuh atah, nganggar pangutik, data késkés tuara tawang. (GIKBk. bait 52 dan 53) Terjemahannya: Cobalah ditulis, Paman suratkan suara angin kencang, (surat pula) suara burung Sawanujan, cobalah dibaca sampai selesai!‖, Si Sengguhu terperanjat, saling tanya, keempatnya gelisah. ―Apa dipakai menuliskan?, ama-ama itu jadinya, (suara) gemuruh keras dan pelan‖, keempatnya telah gelisah, bercucuran keringat, mengacungkan pangutik, sambil menggaruk-garuk tidak tahu.

Terakhir, I Ketut Bungkling mengadu kecerdasan ke rumah Ida Wayan, seorang pendeta dari klen brahmana. Sama seperti sebelumnya, Ida Wayan pun dapat dipecundangi oleh I Ketut Bungkling karena tidak mampu menunjukkan rupa Dewi , yaitu Dewinya ilmu pengetahuan menurut kepercayaan Hindu, seperti berikut. Déwané nganggo darma, Yan kadi pangrasan Beli, né mangraksa Saraswatya, manongos di lidah iku!”, I Bungkling matur nyekenang, “Kadi napi, warnan Ida Saraswatya?

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 169 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Édéngang pang not titiang!”, Ida Wayan manyaurin, “Sing nyak not dané kénto, kéwala kena baan ngitung, suba melah suba bisa!”, “Titiang ngiring, lamun kénten néné bisa (GIKBk.bait 78 dan 79). Terjemahannya: Déwa yang mempergunakan dharma, bila menurut pendapat ‗ku, yang memberkati Saraswati, bersemayam di lidah (beliau)!‖, Si Bungkling bertanya menegaskan, ―Seperti apa, wujud beliau (Déwa) Saraswati? Tunjukkanlah supaya hamba lihat!‖, Ida Wayan menjawab, ―Tidak mampu dilihat yang seperti itu, namun hanya dapat dihitung, telah baik telah bisa!‖, ―Hamba menurut, bila demikian sudah dapat. Karena terdesak, Ida Wayan lantas menanyakan asal-usul I Ketut Bungkling. I Ketut Bungkling mengatakan dirinya merupakan titisan Dewa Wisnu, sehingga ia diakui sebagai anak dan diberi nama Mantri serta bergelar Ida Gede Anyar oleh Ida Wayan dan dinikahkan dengan putri beliau bernama Ida Srayu.

3. Budaya Kritik dalam Teks Geguritan I Ketut Bagus Dalam teks GIKBg., tokoh sentral I Ketut Bagus berperan melancarkan kritik kepada tokoh-tokoh seperti seorang dukun,….. Pertama-tama ia mendatangi I Gede Tugu, seorang dukun mumpuni, namun kemaruk harta serta omongannya kurang bukti otentik sehingga sangat mudah I Ketut Bagus menjebaknya. Jeroné tui mangawag pisan, natengerin anak mati, bungut enggang jati pêjah, titiang katah mamanggihin, bungut enggang nu maurip, tuah jeroné liwat denguh, nu luih ririhan titiang, matengerin anak mati, tong melihang, tatenger titiangé lintang! Kayun masiwa ring titiang! Titiang nyadia ngawarahin, apang jati tuara ngawag, apang jati pasti-pasti, niki patengeran jati, yan wénten tong mabayu, nora kari maangkihan, ento purun nyuakang mati, nundén purun, mananem mangupakara! (GIKBg. bait 29 dan 30). Terjemahannya: Tuan sungguh sembrono, meramal kematian orang, mulut menganga pasti mati, hamba banyak menjumpai, mulut menganga masih hidup, Tuan terlalu bodoh, hamba masih jauh lebih pintar, meramal orang mati, bukan menyalahkan, ramalan hamba yang lalu.‖ ―Maukah berguru kepada hamba?, hamba bersedia mengajarkan, supaya sungguh-sungguh tidak sembarangan, agar benar-benar, inilah ramalan sesungguhnya, jika ada orang tidak bertenaga, tidak lagi bernafas, itu bisa dikatakan mati, bisa menyuruh, mengubur memberi upacara. Terdesak karena keterangan I Gede Tugu tentang konsep sehat, sakit, dan meninggalnya seseorang dibantahkan oleh I Ketut Bagus, I Gede Tugu dan istrinya marah besar. Bukan introspeksi diri, justru semakin arogan, I Gede Tugu mengambil lontar dan membacanya dengan keras sambil berkata, ―Demikianlah ucap sastra!‖ Dengan enteng I Ketut Bagus membantah, bahwa yang berucap bukan sastra, namun mulut I Gede Tugu yang berujar, seperti berikut. Pangonéké ngatih keras, tuara nyak kejil sawiji, I Ketut kedék mangakak, “Nah, mangkin terang titiang uning, tuara sastrané mamunyi, kadi baos jeroné bau, lambén jeroné makemélan, kanggo kitané mamunyi, wiakti

 170 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

lemuh, layahé biana matulang!” (GIKBg. bait 35). Terjemahannya: Pembacaannya jelas dan keras, tidak mau kalah sedikit pun, I Ketut tertawa terbahak-bahak, ―Ya, kini hamba jelas tahu, bukanlah ajaran itu mengatakan, sebagaimana tuan katakan tadi, bibir tuan berucap, sekehendak hati berkata, memang lembut, dasar lidah tidak bertulang‖. Selanjutnya, I Ketut Bagus menyambangi tempat I Mangku Éngéngan, seorang tukang tenung untuk mengadu kepintaran. Dengan berpura-pura menanyakan penyebab sakit yang diderita ayahnya, ia menguji kecerdasan I Mangku Éngéngan. Ira Hyang Guru Kamulan, manyakitin Nanang Ca(h)i, tuara rungu tekén Nira, tusing ngaturang sasepuh, miwah ngaturang odalan, klésa gati, akéto apang tawang! Akék-akék siga pérmas, ba bani nani ngadianin, ya lamun tuara kadianan, pilegang baong apang elung, mentik punggel carang empak!” Tur makejit, I Ketut kedék mangakak. “Jero Mangku dija Batara?, tuara ko tiang nepukin?, Jero Mangku ngomong padidian, mangécél munyiné liu, ngora(h)ang Déwa masih didian, jeroné nguci, mirib anak bebainan. Jero Mangku bas mauk pisan, ngadu daya sa(h)i-sa(h)i, kadung payu ulih loyang, nguluk-uluk anak pacul, dayan Jroné tawang tiang, suba pasti, ngaku katapak baan Déwa? Jero Mangku nyak ngugu tiang?, Tiang kapangluh né jani, Jeroné melahang manatak! “Batara jani mawuwus!, Ira Batara di Suargan, Mangku ma(h)i, Ira ngicén Mangku emas! (GIKBg. bait 17 -- 21) Terjemahannya: Aku adalah Hyang Guru Kamulan, menyakiti ayahmu, tidak peduli kepadaku, tidak mempersembahkan pembersihan, dan membuat upacara odalan, kotor sekali, begitulah agar (kamu) tahu! Beginilah, hai kamu! Kamu berani, terserah kamu, jika berani putar lehernya hingga patah, tumbuh tumpul ranting patah!‖, Dan berkedut, I Ketut tertawa terbahak. ―Tuan Mangku, di manakah roh suci leluhur?, Hamba tidak melihat!, Tuan Mangku berkata sendiri, mengomel bersuara banyak, mengatakan Déwa juga sendiri, Tuanku berbohong, seperti sedang terkena sihir. Tuan Mangku terlalu berbohong, menipu setiap hari, agar memperoleh harta karena tipuan, membohongi orang lugu, akal busukmu aku pamahi, sudah jelas, mengaku sebagai persemayaman Déwa. Tuan Mangku tidak mempercayaiku, kini hamba menerangkan, baik-baiklah Tuan mendengarkan, sekarang Batara bersabda, ―Aku adalah Batara di sorga, kemarilah, Mangku! Aku memberimu emas! Tipu muslihat I Mangku Éngéngan dalam mencari uang dengan berpura- pura sebagai tukang tenung dibantahkan oleh I Ketut Bagus. Ia mengambil sarana persembahyangan yang telah dihaturkan di tempat I Mangku Éngéngan dan bergegas pergi. Tokoh berikutnya yang menjadi sasaran tembak I Ketut Bagus adalah tokoh cerdik pandai I Déwa Resi seorang suci dari klen ksatria. Ia berpura- pura mohon kepada I Déwa Resi agar dirinya mampu mengeluarkan api dari

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 171 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 dalam tubuhnya. Ya I Ketut matur alus patelaanan, “Prasangga titiang akidik, nemuang sastra ring basang, saking napi ambil nika?, sinah biana pacang dadi!, sastrané untal?, méh maadukan bacin. Kadi baos yan mangringkes Dasàkûara, keni dados Pañcakûarì, lalima kija bakta?, dados pacang pejunang?, mangda dados Pañcakûarì, yan ngringkes sastra, dados bongkos dadiang siki? Malih sapunapiang matemuang Sùryya Candra, sira anaké ririh?, nyidayang manyemak, nunggalang Sùryya bulan, genah sawat mangulangit, baos tuah tawah, boya nyandang dingeh koping.” (GIKBg. bait 18--20). Terjemahannya: I Ketut berkata lembut perlahan-lahan, ―Hamba menanggapi sedikit, mempertemukan aksara suci di perut, dari mana diambil?, mustahil akan berhasil, menelan aksara itu, mungkin akan bercampur kotoran! Sebagaimana dikatakan jika memeras kesepuluh aksara suci, sehingga menjadi lima aksara suci, yang lima lagi dibawa ke mana?, apakah bisa diberakkan, agar bisa menjadi lima aksara suci?, jika memeras aksara suci, apakah boleh dibungkus dijadikan satu? Seterusnya, bagaimana caranya mempertemukan matahari dan bulan?, siapa yang mampu, bisa mengambil, menyatukan matahari dan bulan, tempatnya nun jauh di langit, perkataan aneh-aneh, tidak pantas didengar telinga!‖ Mendengar perintah dari I Dewa Resi aneh-aneh, yakni dengan meringkas aksara suci dirinya akan dapat melakukan apa yang diminta, I Ketut Bagus tidak mengamini dan sebaliknya menyerang dengan logikanya sendiri. Selanjutnya, I Ketut Bagus kembali mengolok-olok I Dewa Resi dengan maksud agar dapat menikahi putrinya yang jelita itu. Untuk kedua kalinya I Dewa Resi dapat dipermalukan karena kecerobohannya menafsirkan arti mimpi. I Ketut Bagus mengatakan ia mimpi menghaturkan kelapa kepada I Dewa Resi sebanyak lima puluh biji. Menurut I Dewa Resi, mimpi itu tidak boleh dipungkiri karena merupakan perintah Tuhan! Dengan demikian, I Ketut Bagus menganggap, jeratnya sudah mengena. Ia dengan segera menghaturkan kelapa kepada I Dewa Resi. Berikutnya, ia mengatakan dirinya mimpi dinikahkan dengan putri I Dewa Resi bernama Désak Manik. Apa ada buin Ca(h)i praya uningang?, nah caritayang jani!” I Ketut maatur ngasab, “Agung nunas pangampura, ibi soré titiang ngipi,” Déwa Resi ngakak, “Nah kénkén ipian Ca(h)i?” “Ratu Agung Pranda Resi sasuhunan, ipian titiang sapuniki, titiang midartayang, titiang reké kaanténang, ring i anak Désak Manik, inggih picayang, réh ipian maraga Widhi. Déning Pranda maraga lir pageh dharma, biana purun manungkasin, ipian mautama, mangkin ko tunas titiang, i anak I Désak Manik!” Pranda nyangongak, tan keni antuk nyaurin (GIKBg.bait 47--49). Terjemahannya: Ada apa lagi yang kamu mau tanyakan? Silakan katakan sekarang!‖ I Ketut menyahut hormat, ―Hamba mohon ampun, kemarin sore hamba bermimpi‖, Déwa Resi tertawa terbahak-bahak, ―Nah mimpi apa lagi kamu?‖ ―Daulat Tuanku Pendeta Agung, mimpi hamba begini, hamba menjelaskan, konon hamba dinikahkan, dengan Ananda Ni Désak Manik, sudilah

 172 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

diberikan, sebab mimpi perwujudan Tuhan! Karena Tuan Pendeta perwujudan kebenaran abadi, tiada berani mengingkari, mimpi utama, kinilah hamba mohon, Ananda I Désak Manik!‖ Tuan Pendeta mendongak, tidak bisa menjawab. I Dewa Resi kehabisan jawaban dan kebetulan kakak Ni Desak Manik, I Dewa Yangapi datang maka I Ketut Bagus undur diri dengan membawa kekecewaan tidak dapat menikah dengan Ni Desak Manik. Akhirnya, I Ketut Bagus menyesali perbuatannya yang suka mengolok-olok orang serta selanjutnya ingin menyucikan diri ke hutan. Setelah bertemu dengan Ida Peranda Bodakeling, ia disucikan menjadi pendeta dari golongan Siwa diberi gelar Mpu Sruti.

4. Simpulan Teks tradisi di Bali memiliki ciri tersendiri dalam menyuarakan kritik terhadap situasi sosial masyarakat pembacanya. Pengarang teks tradisi (kasus teks GIKBk. dan GIKBg.), sebagai representasi pengarang, masyarakat, dan masyarakat pembaca, menyampaikan kritik dengan cara yang elegant. Meskipun kritik yang disampaikan oleh pelaku dalam ceritanya itu memasuki ranah yang berbahaya dan rawan menimbulkan konflik, namun teks GIKBk. dan GIKBg. tetap dapat dibaca sampai saat ini. Kepiawaian itu tercermin dari pemilihan nama tokoh (I Ketut Bungkling dan I Ketut Bagus) yang secara status sosial merupakan golongan kebanyakan sehingga mengkritisi tokoh yang disucikan oleh klen tertentu di Bali, awalnya dianggap tidak wajar. Namun, akhirnya menjadi wajar mengingat kedua tokoh tersebut dinaikkan statusnya menjadi sederajat dengan tokoh yang dikritisinya.

Daftar Pustaka

Saini, K.M. 1990. Protes Sosial dalam Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa. Semi, Atar. 1985. Kritik Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa. Suardiana, I Wayan. 2009. ―Geguritan I Gedé Basur dan I Ketut Bungkling Karya Ki Dalang Tangsub: Analisis Interteks dan Resepsi. Disertasi pada Program Doktor Program Studi Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana.

 KEBERTERIMAAN KOMUNITAS HINDU DALAM PLURALITAS AGAMA DI LAMPUNG SUMATRA SELATAN

I Wayan Tagel Eddy, Anak Agung Ayu Rai Wahyuni

ABSTRAK

Lampung adalah wilayah multietnik dan multi agama yang tersirat dalam sesanti bhinneka tunggal ika.Kenyataan menunjukkan bahwa di Lampung Sumatra Selatan, pluralitas agama ditandai oleh keberterimaan komunintas Hindu oleh masyarakat setempat.Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap fenomena yang berkaitan dengan kehidupan komunitas Hindu dalam pluralitas agama.Sebagai kajian yang kritis dan emansipatoris, dirumuskan beberapa masalah dalam bentuk pertanyaan. (1) Bagaimanakah bentuk keberterimaan komunitas Hindu dalam pluralitas agama di Lampung Sumatra Selatan?, (2) Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan keberterimaan komunitas Hindu dalam pluralitas agama di Lampung Sumatra Selatan?, dan (3) apa dampak serta makna keberterimaan komunitas Hindu dalam pluralitas agama di Lampung Sumatra Selatan?

Data terkait dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi serta dianalisis dengan teknik deskriptif-kualitatif dan interpretatif. Sumber data dari sejumlah informan, yang diawali pemeluk dan tokoh Hindu sebagai informan kunci (key informan), yang dalam proses wawancara dilakukan dengan cara snowballing.

Kata kunci: multietnik, komunitas Hindu, keberterimaan, pluralitas agama, emansipatoris

Latar Belakang Pluralitas merupakan ciri kemajemukan yang nyata, termasuk dalam hal keagamaan. Di Provinsi Lampung, Sumatra Selatan, hal itu tampak relevan dengan keberadaan berbagai agama, di samping yang ada sejak dahulu hingga kini. Pluralitas keagamaan di Lampung telah mampu membuat cita-cita multikulturalisme melalui sesanti bhinneka tunggal ika tercapai secara signifikan dalam realitasnya. Di Lampung, komunitas Hindu menduduki posisi kedua jika dibandingkan dengan agam lain setelah Islam. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, komunitas Hindu mengalami penambahan jumlah penduduk. Hal ini dimungkinkan karena adanya pembinaan dan pengembangan secara intensif dari lembaga keagamaan Hindu di Lampung.Hal ini sangat terkait dengan apa yang terjadi pada masa lampau, yakni Hindu merupakan agama tertua dengan jumlah pemeluk yang sangat dominan. Komunitas Hindu yang hidup di Lampung tersebar pada beberapa kecamatan mengalami kemajuan dalam kontestasi baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 173 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 174 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Peper ini akan membahas faktor-faktor penyebab keberterimaan komunitas Hindu dalam pluralitas agama di Lampung serta makna keberterimaan komunitas Hindu dalam pluralitas agama di Lampung.Kajian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan multidisipliner. Keberterimaan komunitas Hindu dalam pluralitas agama di Lampung menjadi wacana hubungan manusia, agama, dan kebudayaan. Hal ini menarik di tengah cita-cita kehidupan yang multikultur atau berbinneka tunggal ika.Dalam kaitannya dengan ini, keberterimaan komunitas Hindu dalam pluralitas agama di Lampung disebabkan baik internal maupun struktur dominan yaitu agama yang lebih dominan.Fenomena keberterimaan komunitas Hindu dalam pluralitas agama tidak muncul secara sepontan, tetapi memiliki masa transisi, yaitu diawali dari proses transmigrasi spontan hingga transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah pusat.

Pembahasan Lampung merupakn salah satu provinsi di Sumatra Selatan yang terletak di bagian selatan Sumatra.Penduduk Lampung merupakan penduduk yang bercirikan multikultur dan dapat dipahami dari konteks sejarah dan migrasi penduduk dalam kaitannya dengan kebijakan politik kolonialBelanda dalam abad ke-19 yang dikenal dengan kolonisasi dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia pada pasca kemerdekaan.Kebijakan ini tidak hanya diberlakukan untuk Lampung saja tetapi juga berlaku bagi wilayah lainnya seperti Lombok, Sumbawa, Kalimantan dan Sulawesi. Provinsi Lampung yang berbatasan dengan Provinsi Bengkulu dengan ibukotanya memiliki pelabuhan udara Internasional Pelabuhan Panjang dan pelabuhan lokal Bakauheni yang menghubungkan wilayah Sumatra dengan Jawa lewat transportasi laut. Terdapat pelabuhan perdagangan ikan laut seperti pasar ikan Teluk Betung, Tarahan dan Kalianda di Pelabuhan Lampung. Lampung terkenal sebagai wilayah yang dihuni oleh etnis Bali yang beragama Hindu terbanyak kedua setelah agama Islam. Kendatipun ada perbedaan agama diantara mereka, namun kehidupan harmonis dapat terjaga dengan baik diantara mereka. Orang Jawa dan orang Bali sebagai komunitas pendatang di Lampung sudah merasa menjadi penduduk Lampung karena adanya sebuah proses yang panjang dalam dinamika perkembangan kawasan wilayah ini. Orang Jawa memiliki keterampilan dalam usaha dagang, pertukangan, sementara etnis Bali yang dikenal memiliki ketrampilan dalam bidang pertanian dan perkebunan. Karena kehidupan orang Bali yang sangat terkait dengan bidang ini, maka tidak mengherankan kalau orang Bali di Lampung mempunyai nilai-nilai kreatif dan inovatif dalam upaya mengembangkan dan meningkatkan peran budaya lokal yang diakomodasikan dengan berbagai pengaruh budaya daerah yang ada di Lampung selaras dengan konsepsi Tri hita karana. Potensi dalam pengembangan budaya lokal ini tampaknya menjadi karakter yang signifikan sehingga kehidupan kedua etnis yang saling berdampingan itu dapat berkembang secara harmonis hingga saat ini, sehingga kedatangan etnis Bali yang beragam Hindu ke Lampung bisa berterima diantara beberapa etnis lainnya yang ada di Lampung. Penduduk Lampung terdiri atas etnis lokal atau penduduk orang Lampung, etnis Jawa sebagai pemeluk agama Islam, dan sebagian kecil dari mereka ada

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 175 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 yang menganut agama Hindu. Etnis Bali sebagai penduduk pendatang sebagai penganut agama Hidu sebagai penduduk mayoritas terbesar kedua setelah etnis Jawa sebagai penganut agama Islam Sebagaimana yag telah dipahami bahwa dalam sejarah transmigrasi di Indonesia tampaknya pepindahan penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lainnya sudah dikenal sejak lama. Program transmigrasi yang diintrodusir oleh pemerintah Indonesia pascakemerdekaan, bercikal bakal pada politik kolonial Belanda dalam abad ke-19.Kebjakan kolonial ini dikenal dengan program kolonisasi yang berhubungkait dengan masalah kebutuhan tenaga kerja di wilayahonderneming yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda di pantai timur Pulau Sumatra yang telah menyebabkan bertemunya bebagai etnis di wilayah Lampng. Program koloniasi yang diperkenalkan ini sangat menguntungkan pihak pemerintah Belanda pada masa kekuasaannya di Indonesia umumnya dan di Sumatra khususnya.Namun, ketika rezim kolonial Belanda berakhir karena didesak oleh kekuasaan Jepang, maka memungkinkan bagi pemerintah Indonesia untuk mengambil alih kebijakan ekonomi dan politik sebagai pengganti kebijakan pemerintah jajahan di Indonesia.Setelah Indonesiameraih kemerdekaan pada tahun 1945, Nampak program Belanda ini masih berlanjut dampaknya dan pemerintah Indonesia berupaya mengubahnya menjadi program transmigrasi yang masih dikenal hingga saat ini.

Transmigrasi dari Bali berlangsung pertama kali sekitar tahun 1958 dengan dibiayai oleh pemerintah.Pemerintah memberikan lahan kepada transmigran di Desa Sidorejo Lampung.Pemerintah mengimbau agar lahan tersebut dapat diolah menjadi lahan produktif.Namun, kondisi lahan tersebut masih banyak yang ditumbuhi tanaman liar sehingga harus dibersihkan sendiri oleh transmigran. Menghadapi kondisi baru di tanah rantauan, terlebih masih ada beberapa daerah transmigran dengan medan tidak datar (naik-turun), beberapa transmigran tidak sanggup tinggal lebih lama. Mereka yang tidak mampu beradaptasi, memutuskan untuk kembali ke Bali. Sebagian lainnya tetap di daerah tersebut, ada juga yang pindah ke daerah lain dengan permukaan tanah yang lebih datar sehingga lebih mudah untuk membuka lahan persawahan.

Setelah itu transmigrasi bergulir kembali pada tahun 1963.Transmigrasi asal Bali ini dilatarbelakangi oleh adanya bencana letusan Gunung Agung di Bali.Masyarakat pergi ke Sumatera Selatan dengan harapan dapat memulai kehidupan baru dan mendapatkan penghidupan yang lebih baik.Keseluruhan transmigrasi ini membawa gelombang baru perpindahan masyarakat beragama Hindu ke Sumatera Selatan yang kemudian terus berkembang hingga saat ini. Selain transmigrasi yang diselenggarakan pemerintah, masyarakat Bali juga banyak yang merantau ke Sumatera Selatan secara mandiri maupun karena pindah tugas atau utusan dinas. Ketika mereka berada di daerah Lampung, berupaya untuk menyesuaikan diri dalam segala aspek agar bisa beradaptasi dengan lingkungan serta tidak menmbulkan konflik antara penduduk yang didatangi dan dengan etnik lainnya yang memiliki latar belakang budaya berbeda-beda. Dengan berpegang teguh pada konsepsi tri hita karana, maka proses adaptasi antara komunitas Hindu dengan komunitas etnik lainnya bisa berjalan secara harmonis tanpa menimbulkan

 176 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 gejolak yang dapat mengganggu ketentraman dan kenyamanan bagi penduduk lokal dan etnik pendatang lainnya.

Peran Lembaga Keagamaan PHDI PHDI secara umum berperan untuk mengayomi umat Hindu di wilayahnya baik secara agama maupun sosial.PHDI membantu memecahkan permasalahan keagamaan yang terjadi di masyarakat.Secara sosial, organisasi ini berperan melindungi dan memperjuangkan kepentingan umat ke berbagai pihak terkait.Oleh karenanya, PHDI juga berupaya membina hubungan baik dengan berbagai lembaga, organisasi, jajaran pemerintahan, legislatif dan intitusi lainnya baik di tingkat lokal, nasional dan internasional.PHDI juga bertugas untuk mengembangkan dan merawat keharmonisan internal dan antar umat beragama. Kegiatan PHDI di Lampung dapat ditentukan dari kebutuhan umat di daerah tersebut.Saat ini PHDI masih memperjuangkan pengangkatan guru agama Hindu di sekolah-sekolah jenjang SD sampai SMA.Dalam hal pendidikan, PHDI juga ikut membangun dan mengelola pasraman dan bekerjasama dengan para penyuluh agama Hindu untuk memberikan pelayanan bagi umat Hindu di wilayahnya.Secara khusus, PHDI di kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan saat ini sedang berusaha mendata dan mendaftarkan seluruh tempat ibadah dan pasraman di wilayahnya.Data ini diminta oleh Bimas Hindu Kanwil Agama Provinsi Sumatera Selatan. Tujuannya adalah untuk mempermudah jika hendak mengajukan proposal bantuan untuk pembangunan, renovasi atau penyediaan sarana prasarana pura dan pasraman, sehingga kegiatan yang terkait dengan keagamaan bisa berjalan dengan baik.Hal ini mendapat tanggapan yang sangat serius dari pemerintah khususnya dari Gubernur Lampung M. Ridho Ficardo yang memberikan lahan seluas tiga hektar di kota Lampung yang diserahkan kepada umat Hindu untuk pembangunan pura dan The centre of Exellent Hindu di Lampung (Bali Post, 25 Maret 2019). Ini merupakan realitas dari keberterimaan komunitas Hindu dalam pluralitas agama di Lampung. Komunitas Hindu di Lampung sebagian besar adalah etnis Bali dan juga etnis Jawa, tapi bukan orang Bali dan Jawa lagi, namun sudah sah menjadi warga Lampung keturunan Bali dan Jawa, sehingga dimana bumi dipijak di sana langit dijunjung, suatu bentuk penghormatan kepada budaya lokal dalam upaya menjaga perdamaian dan kondusivitas Lampung dengan harapan komunitas Hindu mampu menjadi teladan kebangsaan.Dengan memiliki sifat kesatria yang berani membela negara (nindihin tanah palekadan), argumentatif dan berani mabelapati terhadap sradha dan bhakti kepada pemerintah maka keberterimaan komunitas Hindu dalam pluralitas agama di Lampung bisa berjalan dengan harmonis.

Simpulan Multikulturalisme menekankan pada perbedaan yang muncul di antara budaya etnik yang ada di Lampung. Multikulturalisme menjadi pendekatan etik dan emik dalam pertukaran antar budaya.Dalam hal ini penguatan pandangan multikulturalisme bertumpu pada perbedaan dan kesederajatan, baik secara individu maupun secara kultur. Penguatan solidaritas merupakan suatu aspek penting dalam hubungan antar kelompok dan inter kelompok. Di samping itu mengingat agama dan budaya bukan sesuatu yang beku, tetapi berada dalam proses menjadi, maka akan

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 177 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 memberikan pemahaman bahwa agama Hindu sebagai agama dominan pada masa lalu, dan diakui sebagai inspirasi budaya Lampung Keberterimaan komunitas Hindu ada di antara pluralitas agama dan multikulturalitas keagamaan.Artinya mereka tidak sekadar representasi pluralitas, tidak juga dapat dikatakan mltikultural sejati, tetapi ada di antaranya.Keberterimaan komunitas Hindu dalam pluralitas agama di Lampung merupakan cermin keberhasilan multikultural di bidang keagamaan di Indonesia. Keberterimaan komunitas Hindu di Lampung merupakan suatu posisi sebuah entitas yang diwujudkan dari ruang spasialnya. Berkaitan dengan hal ini maka dalam praktik-praktik religious dalam setiap agama ke depannya dapat menerima hal yang berbeda, seperti di sini ada pendeta, di sana ada biksu, ditempat lain ada pinandita. Kecuali itu harus dipahami bahwa sulit ditemkan sifat umum yang berbentuk kesamaan yang menggiringnya pada satu paham karena representasi religious merupakan representasi kolektif.

DAFTAR PUSTAKA ―Data Keagamaan Hindu tahun 2017‖ Bimas Hindu Kanwil Dept. Agama Provinsi Sumatera Selatan. ―Indonesia‘s Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape.‖ 2003. Institute of Southeast Asian Studies. ―Jumlah Penduduk Provinsi Sumatera Selatan menurut Kabupaten/Kota dan Agama yang Dianut (orang), 2014.‖ Kanwil Dept. Agama Provinsi Sumatera Selatan. ―Jumlah Penduduk Provinsi Sumatera Selatan menurut Kabupaten/Kota dan Agama yang Dianut (orang), 2015-2017.‖ Kanwil Dept. Agama Provinsi Sumatera Selatan. Abdullah, Ma‘moen. 1991/1992.Sejarah Daerah Sumatera Selatan.Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Propinsi Sumatera Selatan. Levang, Patrice. 2003. Ayo Ke Tanah Sabrang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Siregar, Sondang Martini. 2018. ―The Statues, Plants and Animals in The Region of Bumiayu Temple Tanah Abang Sub District, Penukal Abal Ilir Regency.‖ Indonesian Journal of Environmental Management and Sustainability. 2 (2018 Sulistyaningsih, Cahyo. 2017. Taman Wisata Kerajaan Sriwijaya. Palembang : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Selatan UPTD Taman Wisata Kerajaan Sriwijaya. Transmigrasi: Masa Doeloe, Kini dan Harapan ke Depan. 2015. Jakarta: Direktorat Bina Potensi Kawasan Transmigrasi, Direktorat Jenderal Penyiapan Kawasan dan Pembangunan Permukiman Transmigrasi, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi RI. Utomo, Bambang Budi. 2010. Atlas Sejarah Indonesia Masa Klasik (Hindu- Buddha). Jakarta: Direktorat Geografi Sejarah, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

 KEPRIBADIAN NASIONAL DAN BAHASA INDONESIA: SUATU TINJAUAN SINGKAT

I Wayan Teguh Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [email protected]

ABSTRAK Ungkapan ―bahasa cermin bangsa‖ menunjukkan bahwa pola pikir bangsa dapat dikaji melalui bahasa. Artinya, bahasa memengaruhi cara berpikir masyarakat dan cara masyarakat memahami lingkungan atau dunia sekelilingnya. Dalam hal ini salah satu kenyataan identitas atau kepribadian nasional Indonesia melalui bahasa Indonesia adalah unsur bahasa yang disebut konstruksi pasif. Konstruksi pasif berhubungan dengan pola pikir bangsa Indonesia yang tidak menonjolkan pelaku dibandingkan dengan konstruksi aktif yang menonjolkan pelaku.

Pada era globalisasi hendaknya bahasa Indonesia dapat memenuhi kepentingan peradaban modern. Namun, identitasnya harus dipertahankan agar tidak hilang akibat globalisasi. Semua tradisi yang bersifat positif hendaknya tidak hilang akibat globalisasi. Dalam kaitan ini warisan bahasa yang menjadi identitas atau jati diri masyarakat bahasa mutlak dituntut. Artinya, kelengkapan unsur pengungkap diri secara alami hanya dimiliki oleh bahasa sebagai jati diri atau kepribadian.

Tantangan bagi bahasa Indonesia sebagai asas peradaban modern adalah dalam hal bahasa Indonesia sebagai das Sein di samping sebagai das Sollen. Di sini dituntut kemampuan bahasa Indonesia dalam pemenuhan kebutuhan peradaban modern. Jadi, kebijakan yang perlu ditempuh dalam lintas bahasa Indonesia dan bahasa asing adalah mempertimbangkan bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa atau kepribadian nasional (Indonesia).

Kata kunci: kepribadian nasional, konstruksi pasif

1. Pendahuluan Alisyahbana (1988) menyatakan bahwa salah satu konstruksi bahasa Indonesia yang berhubungan dengan kepribadian nasional adalah pemasifan atau konstruksi pasif. Konstruksi pasif telah menjadi materi pembelajaran, baik di tingkat sekolah dasar maupun di tingkat sekolah menengah. Keberhasilan pembelajaran bahasa (dan sastra) Indonesia telah berdampak sangat positif bagi bangsa Indonesia dalam membangun jati diri, martabat, dan kepribadian sebagai bangsa (band. Kompas, 26 Oktober 2011). Artinya, dengan bahasa Indonesia, bangsa Indonesia menyatakan secara verbal sebagai bangsa yang berbeda dengan bangsa lain. Berkat bahasa Indonesia yang dipelajari, baik secara formal maupun informal, warga Indonesia merasa satu sebagai bangsa. Dalam hal ini walaupun

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 178 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 179 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 berbeda suku dan bahasa daerah, warga Indonesia dapat berkomunikasi dengan lancar, dapat melakukan aneka kegiatan sosial budaya, dapat memperoleh informasi, serta dapat menikmati seni budaya melalui bahasa dan sastra Indonesia (band. Alisyahbana, 1988).

Indonesia merupakan negara sekaligus bangsa yang multietnik dan multikultural. Tuntutan kehidupan modern, lebih-lebih terjadinya terjangan bahasa dan budaya global yang dianggap mengganggu pertumbuhan jati diri dan kepribadian nasional patut diwaspadai. Dalam hal ini bangsa Indonesia tidak berniat mengingkari arus bawah juga pilar keetnikan. Di samping itu, juga tidak memagari bangsa dari arus bahasa dan budaya global. Akan tetapi, hanya menapis arus dalam dan arus luar atau globalisasi yang menerjang. Artinya, proses pembelajaran bahasa (dan sastra) Indonesia harus dapat dikelola secara lebih berhasil guna dan berdaya guna dalam membangun jati diri sebagai bangsa. Di pihak lain persoalan internal, khususnya orientasi atau kultur pembelajaran bahasa (juga pendidikan umumnya) perlu didalami secara kritis. Bahasa Indonesia (yang tumbuh dari bahasa Melayu) yang pada awalnya hanya sebagai bahasa perhubungan antaretnis ternyata mempunyai fungsi yang cukup kompleks. Kekompleksan fungsi itu menyebabkan bahasa Indonesia harus membentuk konstruksi-konstruksi baru sesuai dengan perkembangan masyarakat modern. Pada hahikatnya masyarakat modern merupakan masyarakat yang berwawasan nasional. Hal tersebut tentu tidak disangka oleh para pencetus gagasan ketika bahasa Melayu diangkat sebagai bahasa persatuan dengan nama bahasa Indonesia (Kridalaksana, 1997:1). Artinya, di Indonesia bahasa Indonesia tidak hanya memiliki fungsi komunikatif antarwarga, tetapi juga mempunyai fungsi lain. Sehubungan dengan hal itu, berikut dibicarakan secara singkat hubungan bahasa Indonesia dan kepribadian nasional (Indonesia).

2. Bahasa Indonesia dan Kepribadian Nasional Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:788) dinyatakan bahwa kepribadian berarti sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa yang membedakan dirinya dari orang atau bangsa lain. Berdasarkan pengertian itu, kepribadian nasional dapat diartikan sebagai ciri-ciri watak yang menonjol ada pada banyak warga suatu kesatuan nasional. Kepribadian nasional juga dapat disamakan dengan kepribadian bangsa. Seperti telah dinyatakan sebelumnya bahwa salah satu konstruksi bahasa Indonesia yang berhubungan dengan kepribadian nasional adalah pemasifan atau konstruksi pasif (Alisyahbana, 1988). Lebih lanjut dikemukakan bahwa prefiks di- dalam bentuk pasif terikat pada fungsi objek dan peran pelaku (objek pelaku) orang ketiga. Apabila objek pelaku itu adalah orang pertama atau orang kedua, prefiks di- tidak dapat digunakan lagi. Selain itu, objek pelakunya bersatu dengan verba (predikatnya). Contoh: (1) a. Penyebar berita bohong itu telah ditangkap oleh polisi (dia, -nya). (2) b. Penyebar berita bohong itu telah kutangkap. c. Penyebar berita bohong itu telah kautangkap.

 180 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Hal lain yang juga diungkapkan oleh Alisyahbana adalah ketidakmungkinannya dapat diselakan kata atau unsur lain di antara pelaku pasif dengan pelaku pertama dan pelaku kedua seperti tampak di bawah ini. (3) *a. Penyebar berita bohong itu saya telah tangkap. *b. Saya telah tangkap penyebar berita bohong itu. Adanya penyelaan unsur atau kata lain di antara pelaku pasif dengan pelaku pertama menunjukkan konstruksi yang tidak gramatikal seperti (3a) dan (3b). Konstruksi itu akan gramatikal apabila dijadikan seperti (4a) dan (4b) berikut. (4) a. Penyebar berita bohong itu telah saya tangkap. b. Saya telah menangkap penyebar berita bohong itu. Konstruksi pasif bahasa Indonesia juga dibahas dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1993:391—395). Pada buku tersebut diungkapkan bahwa dalam bahasa Indonesia terdapat dua cara pembentukan (kalimat) pasif, yaitu sebagai berikut. Pertama, yaitu (a) pengisi subjek dipertukarkan dengan pengisi objek, (b) prefiks meng- pada predikat diganti dengan prefiks di-, dan (c) kata oleh ditambahkan di depan pelengkap (yang semula subjek aktif). Kedua, yaitu (a) objek kalimat aktif dipindahkan ke awal kalimat sebagai subjek kalimat pasif, (b) prefiks meng- pada predikat ditanggalkan, dan (c) pelaku (pronomina yang semula subjek) dipindahkan ke depan verba (predikat) apabila ada kata lain yang mendahului verba. Kaidah pasif dengan cara pertama digunakan jika subjek kalimat berupa nomina atau frasa nominal. Di pihak lain jika subjek kalimat aktif berupa gabungan nomina dengan pronomina atau frasa lain, yang digunakan adalah kaidah pasif dengan cara kedua. Contoh penerapan kaidah pasif cara pertama tampak pada (5b), (6b), dan (7b), sedangkan penerapan cara kedua tampak pada contoh (8b) seperti di bawah ini. (5) a. Romeo membeli sepeda motor baru. b. Sepeda motor baru dibeli oleh Romeo. (6) a. Yoga mengangkat sebuah kursi. b. Sebuah kursi diangkat (oleh) Yoga. (7) a. Ibu Yunita harus memperbaiki tata letak dagangannya dengan cepat. b. Tata letak dagangannya harus diperbaiki dengan cepat oleh Ibu Yunita. *c. Tata letak dagangannya harus diperbaiki dengan cepat Ibu Yunita. (8) a. Saya telah menyelesaikan pekerjaan rumah itu. b. Pekerjaan rumah itu sudah saya selesaikan. *c. Pekerjaan rumah itu sudah diselesaikan saya. Pemakaian kata oleh pada kalimat pasif bersifat manasuka. Apabila verba pasif langsung diikuti oleh pelaku (yang semula subjek aktif), kata oleh wajib hadir. Oleh karena itu, kalimat (8c) tidak gramatikal. Berdasarkan uraian dan sejumlah konstruksi di atas dapat dipahami bahwa kepribadian nasional sesungguhnya adalah jati diri pemilik bahasa Indonesia secara lebih luas. Dalam arti khusus identitas dipahami sebagai ciri bahasa Indonesia itu sendiri sehubungan dengan pemahaman identitas individual yang berkaitan langsung dengan bahasa ibu, yaitu bahasa yang pertama kali diperoleh. Di samping itu, masyarakat penutur bahasa Indonesia juga mempunyai identitas

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 181 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 sosiologis yang berhubungan dengan bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia. Dengan demikian, identitas individual akan mewarnai bahasa nasional dalam hal tertentu. Situasi peradaban modern ditandai oleh situasi budaya inovatif. Situasi itu diawali dengan masuknya kosakata bagi benda atau peristiwa budaya yang teramati. Artinya, suatu budaya akan dipungut oleh suatu bangsa melalui bahasa. Hal itu tampak dari sejumlah nama yang tidak dapat ditelusuri lagi asal identitasnya. Dalam hubungan ini bahasa Indonesia yang komunikatif dan efektif makin merupakan tantangan, terutama bagi bahasa Indonesia sebagai das Sein (sebagaimana adanya). Di pihak lain, bahasa Indonesia sebagai identitas nasional merupakan das Sollen (yang seharusnya) dalam pertahanannya, lebih-lebih pada era globalisasi (Djajasudarma, 1999:1). Kebijakan mengenai lintas bahasa nasional (Indonesia) dengan bahasa-bahasa daerah telah diatur melalui Politik Bahasa Nasional (Halim, 1978). Akan tetapi, lintas bahasa Indonesia dengan bahasa asing sulit ditentukan, terutama pada era globalisasi. Dalam hubungan ini era globalisasi hendaknya dipahami sebagai ―berpikir global, tetapi bertindak lokal‖. Artinya, modern harus dipahami dalam cara berpikir universal, tetapi dalam bertindak harus selalu mempertimbangkan lingkungan, yaitu budaya, termasuk bahasa lokal. Lingkungan diartikan sebagai lingkungan bahasa (Indonesia) yang menjadi ciri, jati diri, dan identitas nasional. Dalam kondisi kemanusiaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan seperti sekarang ini hendaknya bangsa Indonesia tidak hanya berpatokan pada ―ilmu untuk ilmu‖, tetapi juga berorientasi pada ―ilmu untuk kemanusiaan, kemasyarakatan, kebudayaan, lingkungan, dan ke(ber)adaban. Artinya, secara khusus pula aplikasi bahasa (dan sastra) Indonesia demi kemanusiaan, kemasyarakatan, lingkungan, dan kebudayaan dapat berpijak pada isu dasar, yaitu ―krisis jati diri (identitas), krisis nilai kultural lingual, masih terenggutnya kebebasan (berekspresi verbal), ketercerabutan akar lokal, dan penurunan semangat nasionalisme di bidang bahasa, sastra, dan budaya Indonesia di tengah dahsyatnya arus budaya global. Salah satu kenyataan identitas atau kepribadian nasional Indonesia melalui bahasa Indonesia adalah unsur bahasa yang disebut konstruksi pasif. Konstruksi pasif itu berhubungan dengan pola pikir bangsa Indonesia yang tidak menonjolkan pelaku atau agen dibandingkan dengan konstruksi aktif. Contoh: (9) Sudahkah diberi hadiah pemenang lomba esai itu? (10) Sudahkah Anda beri hadiah pemenang lomba esai itu? (11) Suahkah Anda memberi hadiah pemenang lomba esai itu? Dalam karya ilmiah juga sering muncul ekspresi seperti itu. Contoh: (12) Di dalam makalah ini dikemukakan …. (13) Di dalam makalah ini saya kemukakan …. Jika konstruksi (9) sampai dengan (13) dicermati, dapat dikatakan bahwa penutur bahasa Indonesia akan memilih konstruksi (9) dibandingkan dengan (10) karena lebih ekonomis. Di samping itu, apabila dilihat dari segi budaya, ekspresi (9) tidak menonjolkan pelaku. Hal tersebut terjadi karena prefiks di- cenderung menginklusifkan pelaku. Ekspresi (11) jarang muncul dalam tuturan bahasa Indonesia, sedangkan ekspresi (12) lebih sering muncul dibandingkan dengan

 182 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

(13). Akan tetapi, konstruksi (13) lebih sering muncul atau frekuensi pemakaiannya lebh tinggi dengan kaidah pronomina persona pertama + verba dasar, terutama di dalam transformasi aktif pasif seperti di bawah ini. (14) Saya telah menyelesaikan pekerjaan rumah itu. Apabila konstruksi aktif (14) dipasifkan, akan menjadi seperti di bawah ini. (15) Pekerjaan rumah itu telah saya selesaikan. Konstruksi (15) itu dapat divariasikan sekaligus dibandingkan dengan konstruksi di bawah ini. (16) Pekerjaan rumah itu telah dirampungkan *(oleh saya). Dalam pemakaian bahasa Indonesia konstruksi (16) lebih tinggi frekuensi penggunaannya dibandingkan dengan konstruksi (15). Hal ini menunjukkan bahwa pelaku sering dilesapkan dan seakan-akan pronomina persona pertama sebagai pelaku atau agen diinklusifkan oleh prefiks di- yang digunakan dalam konstruksi tersebut. Di samping konstruksi pasif seperti di atas, kecenderungan pola pikir bangsa Indonesia melalui bahasa (Indonesia) yang mencerminkan kepribadian nasional Indonesia dapat diperhatikan dalam konstruksi frasa. Frasa bahasa Indonesia cenderung bertipe diterangkan-menerangkan (D-M). Namun, kenyataannya dalam bahasa Indonesia juga terdapat konstruksi M-D (menerangkan-diterangkan). Dalam hubungan ini pola frasa bahasa Indonesia cenderung dipertimbangkan dari segi D-M. Akan tetapi, dapat pula dipertimbangkan dari segi pola urutan M-D. Pola-pola atau konstruksi frasa itu dapat diperhatikan pada contoh berikut. (17) mahasiswa cerdas D M (18) putri pejabat D M Dalam konstruksi (18) terdapat hubungan termilik (T), yaitu putri dan pemilik (P), yaitu pejabat. Di pihak lain, konstruksi (17) menunjukkan hubungan anteseden (mahasiswa) dan kualifier (cerdas). Hubungan milik atau posesif yang lebih kompleks tampak pada konstruksi (19) di bawah ini. (19) koperasi desa kami T P P ______T P Konstruksi frasa dengan susunan M-D cenderung terdapat pada urutan numeralia (Num-)-nomina (N) seperti tampak pada contoh berikut. (20) seorang anak Pola urutan frasa (20) menunjukkan frasa bahasa Indonesia yang menyatakan jumlah. Jumlah yang tercermin dalam pola frasa seperti itu adalah pola sistem tunggal-jamak-tak tentu. Dengan demikian, konstruksi bahasa Inggris two or more people harus diterjemahkan sesuai dengan pola bahasa Indonesia menjadi konstruksi (21), bukan konstruksi (22). (21) dua orang atau lebih *(22) dua atau lebih orang Dalam tipe yang lebih kompleks dapat ditemukan konstruksi seperti (23) di bawah ini.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 183 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

(23) sebuah rumah pejabat negara M D D M ______D M Tipe bahasa Indonesia, terutama dalam hal pola urutan frasa ternyata memengaruhi konstruksi baru pada peradaban dunia modern, misalnya dalam penerjemahan business woman. Konstruksi itu diterjemahkan menjadi konstruksi (24) berikut. (24) wanita pengusaha D M Konstruksi (24) dapat dibandingkan dengan konstruksi (25). Konstruksi (25) memungkinkan munculnya dua pola, yaitu (a) pola D-M dan (b) pola M-D. Perhatikanlah konstruksi (25) di bawah ini. (25) pengusaha wanita a. D M b. M D Masalah yang dapat dipahami dari konstruksi (24) dan (25) adalah konstruksi (24) menunjukkan pola D-M dan menyatakan konstruksi hasil terjemahan dan cocok dengan pola bahasa Indonesia. Di samping itu, konstruksi (24) juga dapat dikatakan sebagai usahawati (sebagai padanan wanita pengusaha). Pada hakikatnya konstruksi (25) muncul sebagai akibat peradaban modern dan dapat dipahami sebagai pengusaha wanita sama dengan usahawati pada (25a) dengan pola D-M atau dapat pula dipahami sebagai usahawan pada (25b) dengan objek usaha adalah wanita. Konstruksi (25) dapat menimbulkan penafsiran ganda. Hal itu mengingatkan penutur bahasa Indonesia pada istilah TKI (tenaga kerja Indonesia), khususnya TKW (tenaga kerja wanita).

3. Simpulan Uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Semua tradisi yang bersifat positif hendaknya tidak hilang akibat globalisasi. Dalam kaitan ini warisan bahasa yang menjadi identitas atau jati diri masyarakat bahasa mutlak dituntut. Artinya, kelengkapan unsur pengungkap diri secara alami hanya dimiliki oleh bahasa sebagai jati diri atau kepribadian. Ungkapan ―bahasa cermin bangsa‖ menunjukkan bahwa pola pikir bangsa dapat dikaji melalui bahasa. Artinya, bahasa memengaruhi cara berpikir masyarakat dan cara masyarakat memahami lingkungan atau dunia sekelilingnya. Salah satu kenyataan identitas atau kepribadian nasional Indonesia melalui bahasa Indonesia adalah unsur bahasa yang disebut konstruksi pasif. Konstruksi pasif berhubungan dengan pola pikir bangsa Indonesia yang tidak menonjolkan pelaku dibandingkan dengan konstruksi aktif yang menonjolkan pelaku. Para era globalisasi bahasa Indonesia hendaknya dapat memenuhi kepentingan peradaban modern. Namun, identitasnya harus dipertahankan agar tidak hilang akibat globalisasi. Tantangan bagi bahasa Indonesia sebagai asas peradaban modern adalah dalam hal bahasa Indonesia sebagai das Sein di samping sebagai das Sollen. Sehubungan dengan itu, dituntut kemampuan bahasa Indonesia dalam pemenuhan kebutuhan peradaban modern. Jadi, kebijakan yang perlu ditempuh dalam lintas bahasa Indonesia dan bahasa asing adalah

 184 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 mempertimbangkan bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa atau kepribadian nasional (Indonesia).

Daftar Pustaka Alisyahbana, Sutan Takdir. 1988. Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat. Alwi, Hasan. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Djajasudarma,T.Fatimah. 1999. ―Melalui Bahasa Manusia Membudaya‖. Dalam Majalah Koridor. Bandung: Fakultas Pascasarjana, Universitas Padjadjaran. Halim, Amran. 1980. Politik Bahasa Nasional II. Jakarta: PN Balai Pustaka. Nirwanto, P.B. 1997. ―Antipasif dalam Bahasa Indonesia‖. Dalam Linguistika: Wahana Pengembang Cakrawala Linguistik. Denpasar: Program Magister (S2) Linguistik, Universitas Udayana. Parera, Jos Daniel. 1995. ―Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah Dilihat dari Segi Sosiopolitikolinguistik‖. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Ridwan, T. Amin. 2005. Kedaulatan Bahasa Melayu sebagai Bahasa Utama Thompson, B. John. 2003. Analisis Ideologi: Kritik Wacana Ideologi-Ideologi Dunia. Yogyakarta: IRCioD.

 KATA KETERANGAN ASPEK FREKUENTATIF DALAM BAHASA SASAK

Ida Ayu Putu Aridawati Balai Bahasa Bali

ABSTRAK

Tulisan ini mengkaji kata keterangan aspek frekuentatif yang menyatakan bahwa suatu peristiwa terjadi beberapa kali berturut- turut, atau dengan kata lain bahwa suatu peristiwa sering terjadi. Masalah yang dibahas meliputi (1) bagaimana pemarkah kata keterangan aspek frekuentattif dalam bahasa Sasak?, (2) bagaimana distribusi kata keterangan aspek frekuentatif dalam bahasa Sasak?, dan (3) apa saja fungsi kata keterangan aspek frekuentatif dalam bahasa Sasak? Tujuan penelitian ini mendeskripsikan pemarkah, distribusi, dan fungsi kata keterangan aspek frekuentitatif dalam bahasa Sasak. Teori yang diterapkan dalam kajian ini adalah teori analisis linguistik struktural berdasarkan pada data (data oriented). Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dan metode kontak dibantu dengan teknik libat simak, teknik catat, dan teknik cakap bersemuka. Dalam analisis data digunakan metode distribusional dibantu dengan teknik permutasi, substitusi, dan pelesapan. Dalam penyajian hasil analisis data digunakan metode formal dan informal, dibantu dengan teknik induktif dan deduktif. Berdasarkan hasil pembahasan, dapat disimpulkan terdapat enam pemarkah aspek frekuentatif, yaitu girang ‗selalu‘, tetep‟selalu/sering‘, mokor‟selalu/‗sering‘, bilang jelo „sering‟, terus‟sering‘, kereng‘sering‘. Keenam pemarkah aspek frekuentatif itu dapat berdistribusi di awal frasa verbal, frasa adjektival dan frasa nominal. Dalam tataran sintaksis, kata keterangan aspek frekuentatif menjadi atributif bagi unsur pusat pada frasa verbal, frasa adjektival, dan frasa niominal. Pada tataran kalimat kata keterangan aspek ini berfungsi sebagai predikat. Dilihat dari peranan semantiknya, kata keterangan aspek frekuentatif menyatakan makna bahwa suatu peristiwa atau tindakan yang telah sering terjadi atau berulang-ulang.

Kata kunci: kata keterangan, aspek frekuentatif, bahasa Sasak

1. Pendahuluan Aspek adalah kategori gramatikal verba yang menunjukkan lama dan jenis perbuatan, apakah mulai, selesai, sedang berlangsung, dan berulang. Jadi, aspek adalah segi proses berlangsungnya perbuatan, kejadian atau peristiwa, peristiwa itu belum berlangsung, akan berlangsung, mulai berlangsung, sedang berlangsung, berlangsung secara singkat, serta merta, dan tidak terduga, selesai

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 185 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 186 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 berlangsung, berlangsung berulang-ulang, dan peristiwa yang berlangsung terus- menerus sehingga merupakan suatu kebiasaan (Kridalaksana, 2008). Kata keterangan aspek ialah kata yang menjelaskan berlangsungnya suatu peristiwa secara objektif, yaitu suatu peristiwa terjadi dengan sendirinya tanpa suatu pengaruh atau pandangan dari pembicara (Keraf, 1984:81). Padmosoekotjo (1986:116) menyebut keterangan aspek sebagai kata keterangan predikat, yaitu kata yang menjadi keterangan bagi kata kerja, kata keadaan, dan kata bilangan. Dwidjosusono (1979:22) menyebut kata kerangan aspek sebagai kata keterangan yang menyatakan waktu yang terdiri atas tiga golongan, yaitu waktu yang sedang terjadi, akan terjadi, dan sudah terjadi. Kata keterangan aspek meliputi aspek habituatif, inkoatif, perfektif, dan aspek frekuentatif. Kata keterangan aspek frekuentatif adalah kata keterangan yang menyatakan bahwa suatu peristiwa terjadi beberapa kali berturut-turut, atau dengan kata lain bahwa suatu peristiwa sering terjadi. Namun, kejadian itu terputus-putus atau terhenti-henti. Penelitian terhadap kata keterangan aspek dalam bahasa Sasak khususnya aspek frekuentatif belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini masalah tersebut dijadikan bahan kajian, sehingga secara rinci dapat diketahui pemarkah, distribusi dan fungsi kata keterangan aspek frekuentatif tersebut. Masalah yang dibahas dalam kajian ini, meliputi (1) bagaimana pemarkah kata keterangan aspek frekuentattif dalam bahasa Sasak?, (2) bagaimana distribusi kata keterangan aspek frekuentatif dalam bahasa Sasak?, dan (3) apa saja fungsi kata keterangan aspek frekuentatif dalam bahasa Sasak? Tujuan khusus penelitian ini mendeskripsikan pemarkah, distribusi, dan fungsi kata keterangan aspek frekuentatif bahasa Sasak. Tujuan umum penelitian ini untuk mendokumentasikan salah satu tataran bahasa-bahasa nusantara, khususnya tataran sintaksis bahasa Sasak. Upaya ini akan menunjang usaha pemerintah dalam melestarikan salah satu unsur budaya bangsa. Teori yang diterapkan dalam kajian ini adalah teori analisis linguistik struktural. Artinya semua analisis berdasarkan pada data (data oriented). Landasan teori yang bersifat data oriented ialah landasan teori itu dapat menghasilkan kejelasan-kejelasan, yaitu tentang klasifikasi bentuk dan makna, frekuensi penggunaannya seperti dalam linguistik deskriptif (Poedjosoedarmo, 1981:4). Analisis hubungan gramatikal yang menyangkut hubungan aspek dengan unsur lain mengikuti pendapat Ramlan tentang unsur inti (pusat) dan atribut (2005). Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dan metode kontak. Dalam pelaksanaannya kedua metode itu dibantu dengan teknik libat simak, teknik catat, dan teknik cakap bersemuka. Setelah pengumpulan data, dilanjutkan dengan pengklasifikasian data, selanjutnya tahap analisis. Dalam analisis data digunakan metode distribusional. Metode ini dibantu dengan teknik permutasi, substitusi, dan pelesapan. Dalam penyajian hasil analisis data digunakan metode formal dan informal, dibantu dengan teknik induktif dan deduktif (Sudaryanto, 1988:13). Sumber data penelitian ini adalah sumber data tertulis dan yang tidak tertulis atau lisan. Penentuan sumber data tersebut dilakukan untuk memudahkan pemerolehan data yang lengkap. Hal ini dimaksudkan agar dalam tahap pengolahan data diperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai pemarkah, distribusi, dan fungsi aspek frekuentatif dalam bahasa Sasak.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 187 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

2. Pemarkah Aspek Frekuentatif Pemarkah aspek frekuentatif dalam kajian ini, yaitu girang ‗selalu‘, tetep „selalu/sering‘, bilang jelo ‗sering‘, mokor „selalu/sering‘, terus ‗sering‘, dan kereng ‗sering‘. Penggunaan pemarkah aspek frekuentatif tersebut dapat dilihat pada contoh berikut. (1) Nia girang lalo lamun jelo uahserep. ‗Dia selalu pergi jika matahari sudah terbenan.‘ (2) Nia girang nangis lamun tesili isiqsemamanna. ‗Dia selalu menangis jika dimarahi oleh suaminya.‘ (3) Sejeloan nia girang tindoq-tindoqan doang. ‗Seharian dia selalu tidur-tiduran saja.‘ (4) Nia maseh tetep lalo botoh. ‗Dia masih selalu/sering pergi berjudi.‘ (5) Nia bilang jelo lalo jaoq. ‗Dia sering pergi jauh.‘ (6) Nia mokor teoloq kanca batur-baturna. ‗Dia selalu/sering diejek oleh teman-temannya.‘ (7) Aku terus bekedeq joq to. ‗Saya sering bermain ke sana.‘ (8) Siti kereng madiq leq balen aku. ‗Made sering menginap di rumah saya.‘

Pada contoh diatas tampak bahwa peristiwa atau perbuatan yang dinyatakan pada verba lalo ‗pergi‘ (1), nangis ‗menangis‘(2), tinduq-tinduqan ‗tidur-tiduran‘ (3), lalo ‗pergi‘ (4) dan (5), teoloq ‗diejek‘ (6) bekedeq ‗bermain‘ (7), dan madiq ‗menginap‘ (8), masing-masing menyatakan perbuatan atau peristiwa telah berlangsung berulang-ulang atau telah terjadi beberapa kali. Untuk menguji apakah kata girang ‗selalu‘, tetep „selalu/sering‘, bilang jelo ‗sering‘, mokor „selalu/sering‘, terus ‗sering‘, dan kereng ‗sering‘ merupakan pemarkah aspek frekuentatif, keenam kata itu akan dilesapkan dalam konteks kalimat yang bersangkutan. Jika kata-kata itu sudah dilesapkan dan ternyata kalimatnya tetap menyatakan suatu peristiwa atau perbuatan terjadi berulang (sering terjadi), berarti kata-kata itu bukan merupakan keterangan aspek frekuentatif. Sebaliknya, jika pemarkah aspek frekuentatif itu sudah dilesapkan dan makna frekuentatifnya hilang, berarti kata-kata itu merupakan pemarkah aspek frekuentatif. Kalimat (1-- 8) diatas akan diuji ketegaran makna frekuentatifnya dengan cara melesapkannya sehingga kalimat tersebut menjadi (1a—8a) di bawah ini.

(1a) Nia lalo lamun jelo uah serep. ‗Dia pergi jika matahari sudah terbenan.‘ (2a) Nia nangis lamun tesili isiq semamanna. ‗Dia menangis jika dimarahi oleh suaminya.‘ (3a) Sejeloan nia tindoq-tindoqan doang. ‗Seharian dia tidur-tiduran saja.‘ (4a) Nia maseh lalo botoh. ‗Dia masih pergi berjudi.‘ (5a) Nia lalo jaoq. ‗Dia pergi jauh.‘

 188 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

(6a) Nia teoloq kanca batur-baturna. ‗Dia diejek oleh teman-temannya.‘ (7a) Aku bekedeq joq to.. ‗Saya bermain ke sana.‘ (8a) Siti madiq leq balen aku.. ‗Siti menginap di rumah saya.‘

Setelah kata girang ‗selalu‘, tetep „selalu/sering‘, bilang jelo ‗sering‘, mokor „selalu/sering‘, terus ‗sering‘, dan kereng ‗sering‘ dilesapkan ternyata kalimat-kalimat di atas tidak lagi menggambarkan perbuatan atau peristiwa terjadi berkali-kali dan terus menerus. Hal itu berarti bahwa keenam kata tersebut memang merupakan pemarkah aspek frekuentatif.

3. Distribusi Kata Keterangan Aspek Frekuentatif Distribusi kata keterangan aspek yang menyatakan makna frekuentatif dapat menduduki posisi awal dalam sebuah frasa. Selain dapat berposisi pada awal frasa juga dapat berposisi pada akhir sebuah frasa. Kata keterangan aspek frekuentatif pada sebuah frasa mempunyai arti bahwa kata keterangan tersebut berfungsi sebagai atribut diikuti verba, adjektiva dan nomina sebagai unsur pusat.

3.1 Distribusi di Awal Frasa Verbal Kata keterangan aspek frekuentatif dapat berdistribusi di awal kelas verba yang berfungsi sebagai atribut, sedangkan unsur verba yang mengikutinya sebagai inti (pusat). Dengan demikian, kata keterangan aspek frekuentatif membentuk frasa verbal yang endosentris. Keenam pemarkah aspek frekuentatif dalam bahasa Bali ini, keseluruhnya dapat berdistribusi di awal frasa verbal. Contoh : girang tindoq ‗selalu tidur‘ tetep bedagang ‗selalu/sering berjualan‘ terus plai ‗sering lari‘ bilang jelolekaq nae ‗sering berjalan kaki‘ mokor teriq ‗selalu/sering jatuh‘ kereng betijoh ‗sering berludah‘

3.2 Distribusi di Awal Frasa Adjektival Kata keterangan aspek frekuentatif berposisi di awal kelas adjektiva yang membentuk frasa adjektival. Frasa adjektival ini adalah frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan adjektiva. Aspek frekuentatif pembentuk frasa adjektival berfungsi sebagai atribut dan adjektiva yang mengikutinya sebagai unsur inti (pusat). Contoh : girang inges ‗selalu (dalam keadaan) cantik‘ tetep kereng „selalu kuat‘ terus bersih ‗selalu (dalam keadaan) bersih‘ bilang jelo nyang ‗sering gelisah‘ mokor kelem ‗sering gelap‘ kereng basaq ‗sering basah‘

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 189 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

3.3 Distribusi di Awal Frasa Nominal Kata keterangan aspek frekuentatif yang berdistribusi di awal kelas nomina membentuk frasa nominal. Aspek frekuentatif pada frasa nominal ini berfungsi sebagai atribut dan diikuti kelas nomina sebagai unsur inti (pusat). Contoh : girang kelambi ‗selalu pakaian‘ mokor bale ‗selalu rumah‘ tetep empaq segara ‗selalu ikan laut‘

Perlu diketahui bahwa tidak semua kata keterangan aspek frekuentatif dapat berkonstruksi dengan nomina. Contoh pemakaiannya dalam kalimat dapat dilihat sebagai berikut. (9) Girang kelambi saq tebeli. ‗selalu pakaian yang dibelinya.‘ (Hanya pakaian yang selalu dibelinya) (10) Mokor bale saq teperiri. „Selalu rumah yang diperbaikinya.‘ (Hanya rumah yang selalu diperbaikinya) (11) Tetep empaq segara saq tekadu empaq sejelo-jelo. ‗Selalu ikan laut yang dijadikan lauk sehari-hari.‘ (Ikan laut selalu dijadikan lauk sehari-hari)

Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa frasa girang kelambi ‗selalu pakaian, mokor bale ‗selalu rumah‘, dan tetep empaq segara „selalu ikan laut‘ merupakan penjelasan bagi frasa konstruksi tebeli, teperiri, dan tekadu mengandung makna tindakan (membeli, memperbaiki, dan menjadikan lauk) yang dilakukan berulang-ulang (sering dilakukan) secara berturut-turut. Jadi, yang menyatakan tindakan atau peristiwa itu sering terjadi atau dilakukan berulang- ulang bukan untuk nomina itu sendiri melainkan verbanya, yaitu tebeli, tepetiri, dan tekadu empaq.

3.4 Distribusi di Akhir Frasa Verbal Kata keterangan aspek frekuentatif dapat berdistribusi di akhir frasa verba. Adapun kata keterangan aspek frekuentatif tersebut sebagai berikut. bedagang terus ‗sering berjualan (berjualan berulang- ulang) uliq kereng ‗sering pulang‘(pulang berulang-ulang) bowos bilang jelo ‗sering mabuk‘(mabuk berulang-ulang)

4. Fungsi Kata Keterangan Aspek Frekuentatif

4.1 Fungsi Sintaksis Kata keterangan aspek frekuentatif dalam tataran sintaksis berfungsi sebagai unsur pembentuk frasa. Artinya, pada posisi mana pun dalam suatu kalimat, kehadiran kata keterangan aspek selalu dalam wujud frasa, karena kehadirannya selalu bersama-sama dengan kata lain. Oleh karena itu, fungsi sintaksis kata keterangan aspek frekuentatif adalah sebagai atribut, yaitu kata yang menjelaskan

 190 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 unsur inti suatu frasa yang berkonstruksi endosentrik. Unsur inti yang dimaksud dapat berupa verba adjektiva, dan nomina. Contoh dalam bentuk frasa dapat dilihat sebagai berikut. (12) Sumarni kereng sili kanca ariqna. „Sumarni sering marah kepada adiknya.‘ (13) Zubaidah mokor inges lamun sugul langan bale. „Zubaidah selalu cantik jika ke luar rumah.‘ (14) Empaqna tetep empaq manuq. „Lauknya selalu daging ayam.‘ Satuan frasa kereng sili „sering marah‟ (12), mokor inges ‗selalu cantik‘ (13), dan tetep empaq manuq „selalu daging ayam‘ (14) berfungsi sebagai pedikat. Unsur sumarni, Zubaidah, dan empaqna ‗Lauknya‘ berfungsi sebagai subyek, sedangkan kanca ariqna ‗kepada adiknya‘ (12), lamun sugul langan bale ‗jika ke luar rumah‘ (13) pengisi fungsi keterangan.

4.2 Fungsi Semantis Yang dimaksud dengan fungsi semantis disini adalah fungsi kata keterangan aspek frekuentatif yang menimbulkan makna dalam suatu konteks. Pengertian ini dihubungkan dengan kenyataan yang menunjukkan bahwa kata keterangan aspek frekuentatif tidak mempunyai makna leksikal, tetapi makna dalam suatu konteks. Kata keterangan aspek frekuentatif mempunyai satuan makna semantis baik dalam frasa ataupun kalimat, yaitu menyatakan suatu peristiwa atau tindakan telah terjadi beberapa kali atau telah sering terjadi. Perhatikan contoh : (14)Bilang bedait kanca aku,nia girang ngendeng kepeng. ‗Setiap bertemu dengan saya, dia selalu minta uang.‘ (15)Timaq nani balenna jauq, nia masiq tetep bekedeq joq te. ‗Walaupun sekarang rumahnya jauh, dia masih selalu bermain ke sini.‘ (16)Sida dendeq bilang jelo dengahan raos saq lenge. ‗Kamu jangan sering mendengarkan perkataan yang tidak benar.‘

(17)Aku kereng tuku nasiq joq to. ‗Saya sering membeli nasi di sana.‘

Kata girang„selalu‘, pada frasa girang ngendeng ‘selalu minta‘ (14) dan kata tetep ‗selalu‘ pada frasa tetep bekedeq„selalu bermain‘ (15) menyatakan makna bahwa suatu peristiwa berlangsung secara berulang-ulang dan terus menerus, sedangkan kata bilang jelo ‗sering‘ pada frasa bilang jelo dengahan ‗sering mendengarkan‘ (16) dan kata kereng ‗sering‘ pada frasa kereng tuku „sering membeli‘ (17) menyatakan makna suatu peristiwa sering berlangsung, tetapi tingkat kekerapannya tidak seperti pada kalimat (14—15). Apabila kata girang, tetep, bilang jelo, dan kereng pada kalimat (14—17) dilesapkan, makna kalimat tersebut tidak tegas dan tidak diketahui apakah peristiwa atau tindakan itu sering berlangsung atau keberlangsungannya hanya pada saat pertuturan. Berikut ini akan diperlihatkan beberapa contoh kalimat keterangan keaspekannya.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 191 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

(14a)Bilang bedait kanca aku,nia ngendeng kepeng. ‗Setiap bertemu dengan saya, dia minta uang.‘ (15a)Timaq nani balenna jauq, nia masiq bekedeq joq te. ‗Walaupun sekarang rumahnya jauh, dia masih bermain ke sini.‘ (16a)Sida dendeq dengahan raos saq lenge. ‗Kamu jangan mendengarkan perkataan yang tidak benar.‘ (17a)Aku tuku nasiq joq to. ‗Saya membeli nasi di sana.‘

5. Simpulan Berdasarkan hasil pengamatan penulis, hanya ditemukan enam kata keterangan yang menyatakan makna aspek frekuentatif. Keenam pemarkah aspek frekuentatif tersebut girang ‗selalu‘, tetep‟selalu/sering‘, mokor‟selalu/‗sering‘, bilang jelo „sering‟, terus‟sering‘, kereng‘sering‘ Keenam pemarkah kata keterangan aspek frekuentatif dapat berdistribusi di awal frasa verbal, ajektifal, nominal dan berfungsi sebagai atribut, sedangkan unsur verba, adjektiva, dan nomina yang mengokutinya sebagai pusatnya. Kata keterangan aspek yang menyatakan makna frekuentatif dapat mendahului kelas verba. Apabila dilihat dari segi posisinya dalam kalimat, pada umumnya dapat menduduki posisi awal dan tengah kalimat. Akan tetapi, tidak dapat menduduki posisi akhir dalam sebuah kalimat. Dalam tataran sintaksis, kata keterangan aspek frekuentatif membentuk frasa endosentrik yang atributif, yakni menjadi atributif bagi unsur pusat pada frasa verbal, frasa adjektival, dan frasa niominal. Pada tataran kalimat kata keterangan aspek ini berfungsi sebagai predikat. Dilihat dari peranan semantiknya, kata keterangan aspek frekuentatif menyatakan makna bahwa suatu peristiwa atau tindakan berulang-ulang.

DAFTAR PUSTAKA

Dwidjosusono. 1979. Tata Bahasa Jawa Baru. Jakarta Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Keraf, Gorys. 1984. Tata Bahasa Indonesia. Ende: Nusa Indah.

Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Padmosoekotjo, S. 1986. Pramaasastra Jawa. Surabaya: Citra Jaya Murti.

Poedjosoedarmo, Soepomo. 1981. ―Sistem Pemajemukan dalam Bahasa Jawa‖. Yogyakarta: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, DIY.

Ramlan, M. 2005. Sintaksis. Yogyakarta: CV Karyono.

 192 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Sudaryanto. 1988. ―Metode dan Aneka Teknik Analisa Bahasa‖. Yogyakarta: Komisaris MLI. UGM.

 KEARIFAN LOKAL DALAM KEBIJAKAN RAJA-RAJA PADA MASA KERAJAAN BALI KUNO

Ida Ayu Putu Mahyuni Prodi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

ABSTRAK

Salah satu ciri kearifan lokal adalah memiliki tingkat solidaritas yang tinggi atas lingkungannya. Kearifan lokal memiliki kandungan yang tinggi dan layak terus digali, dikembangkan serta dilestarikan sebagai perubahan sosial budaya masa modernisasi. Kearifan lokal produk budaya masa lalu yang secara terus menerus dijadikan pegangan hidup, meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal (http://seputarpengertian.blogspot.com /2018/10/pengertian- kearifan-lokal-dan-bentuknya.html?m=1).

Dalam kesempatan ini perlu untuk mengkaji secara mendalam dan kritis tentang kearifan lokal pada masa kerajaan kuno di Bali . Kajian tentang kearifan lokal ini dicoba didekati melalui salah satu teori kebudayaan yang berkaitan dengan solidaritas. Jika agama dianggap sebagai salah satu ikatan solidaritas masyarakat (Sutrisno dan Hendar Putranto, 2005). Dengan demikian akan dicoba juga melihat, bahwa kearifan lokal berupa kebijakan raja pada masa kerajaan kuno di Bali dapat menciptakan nilai solidaritas, dan perlu dikembangkan sebagai pedoman hidup pada masa sekarang.

Seorang Raja/Pemimpin pada masa kerajaan kuno di Bali, agar dapat menjadi pemimpin yang diidolakan dan dihormati, maka seorang Raja/Pemimpin harus bertingkah laku seperti seorang pendeta utama, seperti dewa-dewa sebagai pelindung, penjaga, pemelihara, alam jagat raya beserta isinya. Tipe idola seorang raja atau pemimpin dalam Wiracarita Ramayana disebut dengan istilah Asta Brata.

Kata Kunci : Kearifan Lokal, Asta Brata

Pendahuluan Sebelum kekuasaan kerajaan Majapahit di Bali, Bali sudah merupakan satu kesatuan wilayah yang telah berdaulat, otonom, menjalankan pemerintahan tersendiri terlepas dari ikatan-ikatan kerajaan lain. Adapun satu kesatuan yang dimaksud adalah : 1.Wilayah kekuasaan Singhamandala Sumber yang dapat mengungkap periode Singhamandala ini digunakan beberapa prasasti. Prasasti-prasasti yang ada di Bali jumlahnya ada 224 buah

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 193 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 194 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

(Kartidirdjo (Dkk), 1975). Untuk memahami periode Singhamandala didukung oleh tujuh (7) buah prasasti. Dari sejumlah prasasti ini diketahui mengisaratkan tentang kebijakan-kebijakan penguasa pada saat itu. Hanya sangat disayangkan prasasti semua sumber-sumber berupa prasasti itu tidak jelas menyebutkan nama raja atau pejabat pada saat itu. Dalam prasasti Sukawana suatu ketetapan dibuat oleh penguasa dengan alasan tertentu para Bhiksu dibebaskan dari tugas serta pajak-pajak tertentu. Dalam prasasti lain, prasasti , menetapkan ketentuan Para Bhiksu juga mendapatkan hak istimewa, misalnya para Bhiksu tidak boleh diwajibkan antara lain, ikut bergotong royong mengangkut kayu dan bambu, tidak boleh dilibatkan dalam masalah jual beli, dan pemungutan pajak (Ardika (DKK), 2015). Belum ada alasan yang jelas, mengapa Raja atau pejabat pada saat itu membuat ketentuan seperti itu. Barangkali alasannya karena para Bhiksu umumnya sudah mempunyai peran yang sangat mulya, mengurus dan bertanggungjawab terhadap upacara dan upakara yang berkaitan dengan bidang spiritual hingga pembangunan tempat suci atas ketentuan Raja atau pejabat lainnya, Dipahami secara saksama, ketetapan yang terdapat dalam kedua prasasti tersebut di atas didapatkan suatu ketentuan yang sangat bijak yang dibuat oleh Raja atau penguasa pada saat itu. Kebijakan yang ditetapkan dan dilaksanakan itu identik dengan kearifan lokal yang patut dikembangkan dan dilestarikan agar dapat dijadikan sebagai pedoman oleh siapapun, dimanapun, baik dalam masyarakat lokal maupun masyarakat modern seperti sekarang ini. Dalam bidang keamanan Raja tergolong sangan memperhatikan masalah keamanan rakyatnya. Dalam Prasasti Bebetain AI berisi tentang perhatian Raja terhadap desa, yakni Desa Bharu, karena desa tersebut telah diserang atau dirusak oleh perampok, sehingga banya penduduknya yang mati terbunuh. Akhirnya Raja beserta para pejabatnya berhasil mengendalikan keadaan hingga keadaan menjadi aman dan penduduknya yang sempat melarikan diri ke desa lain dapat kembali lagi ke desa mereka dalam keadaan aman. Kebijakan yang dibuat oleh Raja dan para pejabatnya itu merupakan bentuk solidaritas salah satu wujud dari kearifan lokal yang juga perlu dikembangkan dan dilestarikan sehingga dapat dijadikan pedoman bagi setiap orang untuk berbuat secara bijaksana, memupuk solidaritas, lebih manusiawi demi keselamatan dan keamanan orang banyak.

2. Pemerintahan Dinasti Warmadewa Raja pertama berdasartkan Prasasti Blanjong Sri Kesari Warmadewa diduga keturunan Raja Sailendra di Sriwijaya ke Bali dalam mengembangkan agama Budha Mahayana. Keturunannya adalah Raja Dharma Udayana beserta permaisurinya Gunapriyadharmapatni (putri Mahendradatta) dari Jawa Timur, cucu dari Empu Sindok. Sejak pemerintahannya banyak membawa perubahan di Bali, baik dalam struktur pemerintahan, bidang kebudayaan, penulisan prasasti mulai dilakukan dengan bahasa jawa kuno berbeda dengan prasasti sebelumnya yang menggunakan bahasa Bali kuno (Team Penyususn Naskah Dan Pengadaan Buku Sejarah Bali Daerah Tingkat I Bali, 1980). Selama pemerintahan keturunan dinasti Warmadewa, beberapa kali pergantian tampuk pemerintahan di Bali dipegang oleh pasangan Sri Gunapriyadharmapatni bersama Sri Dharmodayana warmadewa (Ardika (DKK), 2015). Perempuan telah mempunyai kedudukan penting dan dihormati pada masa

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 195 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 itu. Berarti, bahwa pada saat itu sudah terdapat masyarakatnya yang menghargai kedudukan perempuan. Penghargaan terhadap perempuan sesuai dengan kemampuan, dan kepentingannya sejalan dengan model pendekatan perjuangan kesetaraan gender dewasa ini yang berasumsi, bahwa perempuan dan laki- merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi, dan seharusnya diberikan manfaat secara adil pula. Kesetaraan gender yang ditanamkan dalam pemerintahan, dalam bidang politik, atau kepemimpinan yang diterapkan pada masa Dinasti Warmadewa mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang juga perlu dikembangkan, dilestarikan, serta diwujudnyatakan pada masyarakat dewasa ini secara lebih luas, tidak terbatas pada lembaga pemerintahan, juga dalam lembaga keluarga, sekolah, lingkungan pekerjaan, dan lembaga kemasyarakatan lainnya, selalu responsif gender dalam pelaksanaannya agar kesetaraan gender dapat diwujudkan semakin optimal. Dalam prasasti yang lain, disebutkan Sang Ratu Sri Aji Tabanendra Warmadewa. Ia memerintah bersama dengan permaisurinya, Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Dharmadewi. Selain itu disebutkan juga seorang raja perempuan, Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi (Kartodirdjo (Dkk), 1975). Dari perspektif gender, kebijakan yang dibuat pada saat itu perempuan sudah dihargai, dan diakui memiliki kemampuan yang setara dengan peran laki-laki dalam bidang politik pemerintahan. Kebijakan seperti ini dapat dikatakan mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang perlu dikembangkan dan dilestarikan sebagai pedoman hidup dalam mewujudkan kesetaraan gender dewasa ini. Pada masa kerajaan kuno raja memiliki keuasaan tertinggi, agar raja tetap di idolakan dan dihormati oleh rakyatnya, maka seorang raja perlu bahkan dituntun selalu bertikah laku arif bijaksana. Sebagai tabiat seorang pendeta utama, bahkan sering juga rakyatnya yang akan menilai dari sifatnya, raja bukan saja dihormati karena tingkahblakunya yangarif bijaksana, namun raja juga sering dipercaya sebagai titisan dewa dengan manifestasinya sebagai pelindung, pemelihara, pengasih, penyayang, pemberi kesejahteraan, pemberi rasa aman, berlaku adil terhadap seluruh rakyatnya. Dalam Ramayana, tipe idola seorang raja atau pemimpin di mata rakyat atau masyarakatnya disebut dengan istilah Asta Brata, yakni 8 asas utama yang harus dituruti oleh seorang raja atau pemimpin (Ardika, 2015 : 135). Ajaran ini terdapat dalam Wiracarita Ramayana ketika Rama Wijaya memberikan nasehat- nasehat Nitipraja kepada Sang Pangeran Gunawan Wibisana yang akan menjadi Raja setelah hancurnya Alengkadiraja dan kepada adiknya Sang Brata, bahwa seorang Prabu/Pemimpin hendaknya meniru sifat-sifat alam/dewa- dewa/manifestasinya Hyang Widhi Wasa (Suteja, 1978 : 13). Ini berarti kepemimpinan yang dikehendaki adalah kepemimpinan sosial dan religius. diantara 8 asas utama tersebut, yaitu : 1. Brata : Raja/Pemimpin harus berwibaea, dan bersikap senantiasa memperjuangkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. 2. Yama Brata : Raja hendaknya bersikap tegas dan berani menegakkan keadilan berdasarkan hukum yang berlaku untuk mengayomi masyarakatnya. 3. Surya Brata : Raja hendaknya dapat memberikan sumber energy semangat dankekuatan bagi rakyatnya.

 196 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

3.Simpulan Dari uraian tentang kearifan lokal pada masa kerajaan kuno di Bali di atas, maka seorang raja/pemimpin pada saat itu telah memimpin dengan bijaksana selalu berpijak pada ajaran asta brata. Nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Asta Brata tersebut telah melahirkan nilai-nilai kearifan lokal yang sangat perlu dikembangkan dan dilestarikan sebagai pegangan hidup masyarakat dewasa ini.

4 Kepustakaan Ardika, I Wayan (DKK), 2015. Pemerintahan Raja-Raja Bali Kuno. Denpasar : Udayana University Press. Team Penyusun Naskah Sejarah Bali Dan Pengadaan Buku Sejarah Bali Daerah Tingkat I Bali, 1980.Sejarah Bali. Denpasar : Pemda Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Kartodirdjo (Dkk), 1975. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid II. Jakarta : Departeman Pendidikan Dan Kebudayaan. Putranto,Hendar dan Mudji Sutrisno, 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius. Suteja, Wayan Mertha, 1978. Dasar-dasar Kepemimpinan Tradisional Di Bali. Denpasar : CV.Sumber Mas Bali. http://seputarpengertian.blogspot.com/2018/10/pengertian-kearifan-lokal-dan- bentuknya.html?m=1)

 DESA-DESA DI BALI, DALAM LINTASAN SEJARAH

Ida Ayu Wirasmini Sidemen Prodi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [email protected]

ABSTRAK

Bagi masyarakat Bali, desa itu adalah kesatuan manusia dengan manusia yang mendiami sebuah wilayah dengan batas-batas yang pasti. Masyarakat Bali sangat terikat dengan kenyataan empirik kehidupan, yaitu tri hita karana tentang hubungan hakiki antara manusia dengan manusia yang disebut pawongan, hubungan interaksi hakiki antara manusia dan tempat hidupnya yang disebut dengan palemahan, dan hubungan interaksi hakiki antara manusia dengan Tuhan yang disebut dengan parhyangan. Penduduk yang tinggal dalam satu wilayah desa disebut kerama desa yang jumlahnya ditentukan oleh mereka yang sudah terdaftar sebagai penduduk, laki-laki perempuan, tua muda. Dalam wilayah Bali, wilayah desa merupakan bagian wilayah terkecil dari wilayah Bali yang lebih besar. Desa sebagai unit terkecil dari wilayah dan dapat dibagi menjadi lebih kecil lagi yang disebut dengan wilayah banjar. Wilayah banjar dibagi menjadi bagian yang lebih kecil disebut dengan tempekan. Ada bagian utara, timur, selatan dan barat, yang dilihat dari titik nadir wilayah desa yang disebut dengan pempatan agung atau catus pata. Pimpinan tertinggi prajuru desa disebut dengan bendesa. Jabatan bendesa dibantu oleh beberapa pejabat yang memegang jabatan tertentu, yang statusnya sesama pejabat bersifat horisontal. Di bawah bendesa terdapat beberapa jabatan yaitu penyarikan, dapat disamakan dengan sekretaris; petengen dapat disamakan dengan bendahara; jabatan jururaksa dapat disamakan dengan kasir; juru surat dapat disamakan dengan orang yang mengetik surat. Pemerintah seharusnya mulai memperhatikan desa sebagai bagian terkecil wilayah NKRI, yang harus mendapat perhatian khusus dan memahami kondisi desa zaman dulu, untuk menemukan local genius yang sebenarnya tidak perlu dihapus, tetapi harus ditumbuh kembangkan dari berbagai aspek. Tidak bisa menyamakan semua desa yang ada di Indonesia. Desa sebagai basis dasar terselenggaranya pembangunan dan pemerintahan. Jika ada yang harus diubah, sebaiknya disesuaikan dengan yang telah berlangsung di desa. Kata Kunci: desa, kerama desa, bendesa

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 197 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 198 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

I Pengantar

Latar Belakang dan Permasalahan Bagi masyarakat Bali, membaca atau mendengar kata ―desa‖ dengan cepat dapat mengerti makna yang terkandung, sehingga sering tidak membutuhkan penjelasan. Bagi masyarakat Bali, desa itu adalah kesatuan manusia dengan manusia yang mendiami sebuah wilayah dengan batas-batas yang pasti. Masyarakat Bali sangat terikat dengan kenyataan empirik kehidupan, yaitu tri hita karana tentang hubungan hakiki antara manusia dengan manusia yang disebut pawongan, hubungan interaksi hakiki antara manusia dan tempat hidupnya yang disebut dengan palemahan, dan hubungan interaksi hakiki antara manusia dengan Tuhan yang disebut dengan parhyangan.1 Desa juga berarti sebuah kesatuan pemujaan terhadap kepercayaan Hindu yang terpusat pada pemujaan Kahyangan Tiga, terdiri atas Pura Desa Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem. Pura Desa Bale Agung merupakan tempat pemujaan kepada Tuhan sebagai pencipta, Pura Puseh tempat pemujaan kepada Tuhan sebagai pemelihara dan kehidupan, sedangkan Pura Dalem pemujaan kepada Tuhan sebagai tempat mengembalikan semua kehidupan kepada asalnya.2 Pengertian desa, selain ditentukan oleh wilayah masih ada lagi syarat yang secara eksplisit menjadi persyaratan. Misalnya sebuah desa harus memiliki pasar yang disebut peken gede, atau tenten.Perbedaan antara peken gede dengan tenten, selain lokasinya di desa dan di banjar, juga bahwa peken gede harus memiliki pura melanting pasar, namun tenten tidak perlu memikili pura melanting pasar.Desa juga harus memiliki tanah kuburan yang disebut dengan sema, khusus untuk tempat menguburkan jenazah. Dalam tulisan ini, yang dibahas mengenai kearifan lokal desa yang berkaitan dengan masyarakat desa,wilayahdan struktur pemerintahan desa.

Metode Karya tulis ini menggunakan metode sejarah yang diaplikasikan sebagai perangkat kerja dalam usaha menemukan sumber (heuristik). Digunakan sumber tertulis dan lisan. Sumber tertulis ditemukan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Gedong KirtyaSingaraja dan perpustakaan pribadi milik Ida Bagus Sidemen. Sumber lisan diperoleh dari hasil wawancara dengan bendesa sebagai narasumber, antara lain dengan I Gusti Ngurah Mahendradata,I Putu Ardana. Sumber-sumber lain berupa artikel majalah dan bentuk penerbitan yang lain.Sumber-sumber tersebut diperoleh dari menilai otensitas dan kredibelitas

1Dinas Pertanian Propinsi Bali, Monografi Propinsi Daerah TK. I Bali (Denpasar: Pertanian Propinsi Daerah Tingkat I Bali, 1980), hlm. 47. Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Bali, Monografi Daerah Bali, 1985), hlm. 65-66. 2Team Penyusun Monografi Daerah Bali, Monografi Daerah Bali, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1976), hlm. 59. Dinas Pertanian Propinsi Bali, Monografi Propinsi Daerah TK. I Bali (Denpasar: Pertanian Propinsi Daerah Tingkat I Bali, 1980), hlm. 47. Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Bali, Monografi Daerah Bali, 1985), hlm. 65-66.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 199 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 sumber (kritik). Berikutnya intepretasi terhadap sumber dan penulisan sejarah sebagai hasil penelitian (historiografi).3

II Penduduk, Wilayah dan Struktur Pemerintahan

1. Penduduk Desa. Pengertian desa tidak hanya wilayah sebagai bagian dari daratan, tetapi juga manusia yang tinggal, hidup dan berkembang dalam wilayah (palemahan).4 Penduduk yang tinggal dalam satu wilayah desa disebut kerama desa yang jumlahnya ditentukan oleh mereka yang sudah terdaftar sebagai penduduk, laki- laki perempuan tua muda. Kerama desa terdiri atas mereka yang sudah bersuami istri, disebutkerama desa angkep; mereka yang janda atau duda karena ditinggalkan mati atau cerai oleh suami atau istri, disebutkerama desa ayah balu, semua penduduk laki-laki perempuan yang sudah akil balik tetapi belum nikah, disebutkerama desa bajang.5 Dari sudut pandang administrasi pemerintahan desa, yang disebut dengan kerama desaadalah kerama desa angkepdan kerama desa ayah balu. Oleh karena itu kerama desa adalah manusia yang tinggal dalam wilayah yang disebut sebagai desa. Pada umumnya angka diatas 75 kepala keluargasudah cukup memenuhi syarat disebut sebagai penghuni wilayah yang disebut desa. Alasannya, karena jumlah itu dianggap telah mampu melaksanakan dan membiayai piodalankahyangan desa atau membantu kerama pada saat upacara upacara ngaben (pitra yadnya).6 Kerama desa memiliki beberapa sebutan nama. Penyebutan kerama desa yang tampak berbeda-beda itu, terkait dengan tugas dan kewajibannya terhadap desa. Ketika kerama desa terkait dengan urusan pura, disebut dengan kerama pemaksan. Ketika berurusan dengan kewajiban banjar, disebut sebagai kerama banjar dan ketika terkait dengan penyelenggaraan kematian (pitra yadnya), disebut dengan kerama patus. Ketika dikaitkan dengan tugas dan kewajiban terhadap leluhurdari garis ayah disebut dengan kerama dadya atau garis ibu disebut kerama paibon.Dalam hal yang melaksanakan kewajiban yang berbeda- beda itu, pelaksananya semua sama sebagai penduduk atau kerama desa.

2. Pembagian Wilayah Desa. Dalam wilayahBali, wilayah desa merupakan bagian wilayah terkecil dari wilayah Bali yang lebih besar. Wilayah yang lebih besar itu disebut dengan

3 G.J. Garraghan, S.J, A GuideofHistoricalMethod (New York: FordhamUniversityPress, 1957), hlm. 33; Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah (Jakarta: Yayasan UI, 1975), hlm. 80-95. 4Palemahan merupakan salah satu bagian dari trihitakarana. Palemahan yang merupakan wilayah suatu desa. 5Berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan. 6Hasil wawancara dengan, nama: I Gusti Ngurah Mahendradata; pekerjaan: swasta; jabatan: BendesaDesa Saba-Gianyar sejak tahun 2009; umur: 44 tahun; alamat: Desa Saba; tanggal wawancara: 15 September 2012.

 200 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 gumiBali, atau kerajaan Bali. Ada sembilan wilayah yang disebut dandiakui sebagaiwilayahkerajaanyaitu kerajaan Klungkung, Payangan, Mengwi, Den Bukit (Buleleng), Badung, Karangasem, Bangli, dan Gianyar.7 Wilayah kerajaan masih terbagi menjadi wilayah kepunggawaan dan kemancaan, yang luas wilayahnya berbeda-beda. Ada wilayah kepunggawaan yang mewilayahi beberapa wilayah kemancaan dan sejumlah wilayah desa. Namun ada satu punggawa hanya mewilayahi satu wilayah manca, yang juga samadengan wilayah sebuah desa.8 Desa sebagai unit terkecil dari wilayah kerajaan masih dapat dibagi menjadi lebih kecil lagi yang disebut dengan wilayah banjar. Wilayah banjar dibagi menjadi bagian yang lebih kecil disebut dengan tempekan. Ada tempek kaja(utara), tempek kangin(timur), tempek kauh(barat) dan tempek kelod (selatan), yang dilihat dari titik nadir wilayah desa yang disebut dengan pempatan agung atau catus pata.9 Tempekan merupakan pengelompokan wilayah karang desa yang ditempati oleh kerama desa sebagai bagian dari wilayah banjar. Batas-batas setiap karang desa ditentukan oleh tembok atau pagar yang dibuat oleh pemilik karang desa dan penyanding karang desa. 10 Dalam hal ini berlaku ulu, teben, kiwa, tengen. Untuk menentukan batas unit terkecil desa yang disebut dengan karang desa, maka kerama desa yang menempati karangdesa harus membuat tembok pembatas(penyengker) yang sudah ditetapkan oleh desa. Tembok pembatas yang wajib dibuat oleh kerama desa adalah tembok sebelah utara (ulu) dan tembok sebelah timur(tengen), sedangkan tembok sebelah selatan (teben) dan sebelah barat (kiwa) dibuat oleh yang bertempat tinggal disebelahnya (keramapenyanding). 11 Batas-batas tersebut sangat penting karena akan digunakan sebagai pedoman untuk acuan menyelesaikan sengketa antar keraman, apabila terjadi pelanggaran terhadap palemahan karang desa yang disebut kataban karang. 12 Untuk melindungi hak dan kewajiban penduduk desa dalam kasus

7Paswara Astanegara, naskah koleksi Gedong Kirtya Singaraja, Nomor IIa.967/3, hlm. 1b-9a. 8J.J. de Hollander, Handleiding bij de Boeefening der Land en Volkenkunde van Nederlandsch Oos-Indie, (Breda: van Broese&Compagnie, 1898), hlm. 697. 9Hasil wawancara dengan, nama: I Gusti Ngurah Mahendradata; pekerjaan: wiraswasta; jabatan: BendesaDesa Saba-Gianyar; umur: 44 tahun; alamat: Desa Saba; tanggal wawancara: 15 September 2012. 10Contoh kasus tentang batas penyandin, salahsatunyatermuatdalamnaskah lontar koleksi PerpustakaanNasional RI. Kode Penelitian. 068/24/PNRI/JKT/PT 43 LKB 5 **/ 05. 2013. 11 Hasil wawancara dengan, nama: Ida Bagus Sidemen; umur: 75 tahun; pekerjaan: pensiunan dosen Sejarah Fakultas IlmuBudaya Universitas Udayana; alamat: Jln. Tunggul Ametung II/15 Denpasar-Bali; tanggal wawancara: 23 September 2013. 12Beberapa contoh yang termasuk dengan pelanggarankataban karang misalnya lebah banyu artinya air cucuran atap melewati tembok tembok batas pekarangan(penyengker), sehingga air cucuran atap jatuh pada halaman pekarangan kerama penyanding.Ngungkulinkarang, kalau ada pohon atau tumbuhan besar, yang daun

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 201 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 kataban karang yang berkaitan dengan masalah antar kerajaan, dalam PaswaraAstanegaraantara kerajaan dapat ditemukan beberapa petikan untuk kesepakatan antara beberapa kerajaan, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Di dalamnyaantara lain berkaitan dengankesepakatan perlindungan antar kerajaan Klungkung, Karangasem, Singaraja, Gianyar, Bangli, Payangan dan Mengwi, yang disebutkan mengenai kewajiban membantu menyelamatkan isi kapal yang terdampar (melayar kampih), yang dilakukan oleh penduduk desa nelayan, dan kepada penduduk harus dibayarkan ganti rugi atau uang penebusan yang jumlahnya sudah disepakati 1.000 keping pis bolong, untuk setiap orang yang mampu diselamatkan.13 Ada juga perlindungan terhadap penduduk desa yangmenikah dengan orang asing, seperti dengan Tionghoa dan Bugis. Jika ada lelaki orang asing yang menikahi gadis penduduk desa, baik dengan menikahberdasarkan cinta, atau kawin lari, atau terkait pembayaran utang, maka kepada lelaki asing itu tetap harus membayar kepada orang tua perempuan (untuk gadis) 14.000 keping pis bolong dan untuk janda 12.000 keping pis bolong.14 Istilah kataban karang, yang pada dasarnya berlaku dalam batas pekarangan rumah, atau batas wilayah kerajaan, pada zaman kedatangan Belanda, istilah kataban karang itu berubah menjadi tawan karang. Kata karang diterjemahkan bukan sebagai wilayah, tetapi sebagai batu karang yang sering menyebabkan perahu besar kandas. Pemahaman ini telah membuat Belanda menerjemahkan hukum tawan karang itu dengan kata kliprecht. Klip itu artinya karang, rect itu artinya hukum. Dalam paswara antar kerajaan di Bali, ditetapkan hukum tawan karang ini dengan istilah melayar kampih. Apabila ada perahu kandas (kampih), maka penduduk desa nelayan yang berdekatan dengan lokasi perahu yang kandas itu, wajib memberikan bantuan penyelamatan nyawa terhadap awak atau penumpang kapal dan bantuan penyelamatan barang-barang. Setelah kapal itu dilaporkan, maka pemilik kapal harus menebus orang yang telah diselamatkan dan menebus pula barang-barang yang telah diselamatkan. Apabila tidak bersedia menebus, maka awak atau penumpang kapal menjadi budak hak raja yang memiliki lokasi tempat kapal itu kandas dan barang-barang menjadi milik desa yang membantu menyelamatkan barang-barang itu.15 Bagi Belanda aturan ini dianggap sangat merugikan niaga pelayarannya, baik milik Belanda sendiri atau penduduk wilayah lain yang sudah berada di bawah kekuasaan Belanda. Hampir semua sengketa antara Bali dengan Belanda,

atau cabangnya berada di halaman rumah tetangga, sehingga sampahnya jatuh menjadi sampah tetangga. Apabila kasus ini dilaporkan kepada prajuru desa, maka akan dikenakan denda sesuai dengan awig-awig desa atau banjar yang berkaitan dengan kataban karang. Hasilwawancaradengan Ida Bagus Sidemen, loc.cit. 13Paswara Astanegara, op.cit., hlm.3a. 14Ibid., hlm.4b. 15 Paswara Asta Negara, naskah koleksi Gedong KirtyaSingaraja, Nomor IIa.967/3, hlm 2a-2b. V.E.Korn, BalischeOvereenkomsten, (‗s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1922), hlm. 14-15.

 202 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 yang diawali dengan kasus tawan karang.16Perang Buleleng tahun 1846 dimulai dengan yang pihak Belanda tidak bersedia menebus, bahkan berbalik meminta ganti rugi dengan tuduhan bahwa kerajaan dan penduduk desa telah melakukan perampasan. Perang Buleleng tahun 1846, didahului oleh kasus kapal Cina yang kandas di pesisir desa Sangsit, yang dikenakan hukum tawan karang oleh kerajaan Buleleng. Perang Kusamba tahun 1849 berawal dari kasus kapal milik Cina kandas di pesisir Pesinggahan Kasumba. Perang Puputan Badung tahun 1906, diawali oleh kasus kapal bernama Sri Komala berbendera Belanda milik Cina kandas di pantai Sanur.17 3. Struktur Pemerintahan Desa Penduduk desa terbagi atas kerama desa sebagai yang diperintah dan prajuru desa sebagai yang memerintah. Pimpinan tertinggi prajuru desa disebut dengan bendesa (jero bendesa/kelian desa).Kata jero adalah sebuah penghormatan kepada pejabat yang diberikan oleh keramadesa.18 Jabatan bendesa dibantu oleh beberapa pejabat yang memegang jabatan tertentu, yang statusnya sesama pejabat bersifat horisontal. Di bawah bendesa terdapat beberapa jabatan yaitu penyarikan, dapat disamakan dengan sekretaris; petengen dapat disamakan dengan bendahara; jabatan jururaksa dapat disamakan dengan kasir; juru surat dapat disamakan dengan orang yang mengetik surat. Status jabatan tersebut sama tingginya baik ditinjau dari bendesa sebagai atasan maupun dari kerama desa sebagai bawahan, seperti di bawah ini:

16 Dalam hal ini kata karang diterjemahkan sebagai batu karang yang sering membuat kapal kandas. Dalam paswara, karang itu artinya wilayah dengan batas- batasnya yang pasti, wilayah kerajaan atau wilayah perumahan. Belanda lebih memperhatikan pelanggaran di laut, tetapi jarang sekali memperhatikan pelanggaran tapal batas di darat yang sering menyebabkan perang-perang kecil (branangan) antar desa perbatasan yang berpengaruh atas perubahan tapal batas kerajaan pada desa-desa tepi batas kerajaan. 17Gaguritan Bhuwana Winasa, naskah koleksi Gedong KirtyaSingaraja, nomor Vc 1565/4, hlm. 16b–19b. Lihat pula karya Ida Bagus Sidemen,“Bali Jilid Dua:Melawan dengan Matelasan”,(naskah belum diterbitkan), (Denpasar : 2010), hlm. 356 – 365. 18Kata jero adalah sebuah penghormatan kepada pejabat yang diberikan oleh keramadesa.Hasil wawancara dengan: (1), nama: I Nengah Mardika; jabatan: juru raksa desa adat Tenganan Dauh Tukad; umur: 37 tahun pekerjaan: jero mangku Dalem; tanggal wawancara: 17 Mei 2012. (2), nama: I Putu Ardana; jabatan bendesa adat Tenganan Dauh Tukad; umur: 38 tahun; pekerjaan: wiraswasta; tanggal wawancara: 21 Oktober 2012.(3), nama: I Wayan Sukardana; jabatan: penyarikan desa adat Tenganan Dauh Tukad; umur: 39 tahun; pekerjaan: wiraswasta; tanggal wawancara: 17 Mei 2012.Di Desa Tenganan Dauh Tukad-Karangasem yang dituakan disebut penghulun desa. Ada juga keliang lingsir dan keliang desa. Keliang lingsir terdiri dari 12 (dua belas) orang yang diangkat menurut jenjang perkawinan yang tertua. Keliang lingsir bertugas untuk mengawasi kinerja keliang desa dan sekaligus menjalankan upacara di desa.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 203 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

bendesa

penyarikan petengen juru raksa

Setiap banjar akan dipimpin oleh kelian banjar (keliang banjar),19 yang juga dibantu oleh penyarikan, petengen, juru raksa dan juru surat tingkat banjar. Dalam hubungan struktural antara banjar dengan desa, jabatan yang terkait hanya bendesa dan kelianbanjar, sedangkan pejabat prajuru hanya bertanggung jawab kepada atasan masing-masing.

III Simpulan

Ketika pemerintah mulai memperhatikan desa sebagai bagian terkecil wilayah NKRI, yang harus mendapat perhatian khusus, seharusnya pemerintah memahami kondisi desa zaman dulu, untuk menemukan local genius yang sebenarnya tidak perlu dihapus, tetapi harus ditumbuh kembangkan dari berbagai aspek. Tidak bisa menyamakan semua desa yang ada di Indonesia. Desa sebagai basis dasar terselenggaranya pembangunan dan pemerintahan. Jika ada yang harus diubah, sebaiknya disesuaikan dengan yang telah berlangsung di desa. Salah satunya yang sedang terjadi perbincangan di Bali, tentang perda Lembaga Perkreditan Desa (LPD, yang menurut beberapa pendiri menyatakan dimedia cetak, bahwa pembentukannya telah lebih dulu melakukan kajian sejarah desa. LPD dibangun telah sesuai dengan local genius manusia Bali.

DAFTAR PUSTAKA Buku dan Artikel

Balai Bahasa. Kamus Bali Indonesia. Denpasar: Balai Bahasa Denpasar, 2005. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Bali Kuno-Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985. Dinas Pertanian Propinsi Bali. Monografi Propinsi Daerah TK. I Bali. Denpasar: Pertanian Propinsi Daerah Tingkat I Bali, 1980.

19Kelian atau kelihan berarti orang yang dituakan. Ada juga yang menyebut keliang yang berarti orang yang selalu memberikan kesenangan. Dari kedua istilah tersebut menunjukkan bahwa seorang pemimpin diwajibkan memberikan kegembiraan kepada kerama, maka dari itu dianggap sebagai tetua. G.J Graner menyebutkan, sebuah desa di Bali dipimpin oleh orang yang dituakan yang disebut dengan dulun desa. Dulun desa diangkat berdasarkan kemampuan dan kesepakatan keramadesa. G.J. Graner, Nota vanToelichtingenbetreffendehet in stollenZelfbesturendLandschapBoeleleng, 1932, hlm. 45.

 204 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Dinas Pertanian Propinsi Bali. Monografi Propinsi Daerah TK. I Bali. Denpasar: Pertanian Propinsi Daerah Tingkat I Bali, 1980. Gaguritan Bhuwana Winasa. Naskah koleksi Gedong Kirtya Singaraja, nomor Vc 1565/4. Garraghan, G.J. S.J. A Guide of Historical Method. New York: Fordham University Press, 1957. Gorris. Prasasti Bali Jilid I. Bandung: Masa Baru, 1954. Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Jakarta: Yayasan UI, 1975. Graner, G.J. Nota van Toelichtingen betreffende het in stollen Zelfbesturend Landschap Boeleleng, 1932. Hollander, J.J. de.Handleiding bij de Boeefening der Land en Volkenkunde van Nederlandsch Oos-Indie. Breda: van Broese&Compagnie, 1898. Korn, V.E.Balische Overeenkomsten. ‗s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1922. Naskah lontar koleksi PerpustakaanNasional RI. Kode Penelitian. 068/24/PNRI/JKT/PT 43 LKB 5 **/ 05. 2013. Paswara Astanegara. Naskah koleksi Gedong Kirtya Singaraja, Nomor IIa.967/3. Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Bali. Monografi Daerah Bali, 1985. Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Bali. Monografi Daerah Bali, 1985. Sidemen,Ida Bagus. ―Bali Jilid Dua:Melawan dengan Matelasan‖.(naskah belum diterbitkan). Denpasar : 2010. Team Penyusun Monografi Daerah Bali. Monografi Daerah Bali. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1976. Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.

 WACANA TRADISI TARI WALI BARIS SUMBU DALAM UPACARA NEDUH DI PURA DESA, DESA ADAT SEMANIK DESA PLAGA-BADUNG

Ida Bagus Rai Putra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

ABSTRAK

Baris sumbu merupakan tarian keagamaan yang dipentaskan setiap upacara Neduh di Pura Desa, Desa Adat Semanik, Desa Plaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Upacara Neduh merupakan upacara bersih desa yang dimaksudkan untuk memohon kemakmuran dan kesejahteraan ke hadapan Ida Hyang Widhi, Tuhan penganugerah kerahayuan alam semesta beserta isinya. Tarian Baris Sumbu dalam kaitan upacara Neduh ditarikan setahun sekali, sasih Kapitu nemu Umanis, sekitar bulan Januari dalam perhitungan Panca Wara ( Umanis, Paing, Pon, Wage, Kliwon) bertepatan dengan hari kelima yang pertama, yaitu Umanis. Pada penelitian ini dijelaskan 2 hal permasalahan pokok, yaitu pertama mengapa tradisi Tari Baris Sumbu dilaksanakan secara berkelanjutan dari tahun ke tahundan dari generasi ke generasi. Kedua, apa makna tradisi Tari Baris Sumbu bagi masyarakat Desa Adat Semanik, Desa Plaga, Kecamatan Petang Kabupaten Badung. Penelitian ini bersifat kualitatif, deskriptif interpretatif. Diawali dari fakta empiris,penelitian terjun ke lapangan, mempelajari, menganalisis, menafsirkan, dan menarik kesimpulan dari fenomena yang ada di lapangan. Menafsirkan dan mendiskripsikan data ataspencarian fakta berdasarkan pemahaman dan interpretasi yang tepat. Teori yang digunakan adalah teori pasca struktur, yaitu teori wacana dan semiotik. Proses Tari Wali Baris Sumbu sangatlah sederhana sebagaimana karakteristik tari wali pada umumnya. Ditarikan 4 orang pemuda membawa Sumbu yang telah digelantungi ketupat, jajan bantal, dan jenis jajanan lainnya dengan mengelilingi piyadnyan (balai suci tempat upacara) ke arah kanan sebanyak 3 kali. Tipat bantal dan jajanan lainnya pada sumbu diambil, ditaburkan, diperebutkan dan dinikmati oleh masyarakat. Sisanya kemudian ditaburkan ke tegal masing-masing dengan maksud memperoleh kesuburan. Makna tradisi Tari Wali Baris Sumbu di Desa Adat Semanik, adalah bentuk penghormatan dan permohonan kemakmuran dari umat kepada Ida Hyang Widhi. Pementasan tradisi Tari Wali Baris Sumbu memunculkan rasa kebersamaan, persatuan, dan integritas sosial pada masyarakat Desa Adat Semanik, Desa Plaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Kata-kata kunci: tradisi, tari wali, baris sumbu, dan neduh.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 205 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 206 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

1. Pendahuluan Tradisi Tari Wali Tari Baris sumbu adalah tarian keagamaan yang dipentaskan setiap dilangsungkannya Upacara Neduh di Pura Desa, Desa Adat Semanik, Desa Plaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Upacara Neduh oleh masyarakat Desa Adat Semanik digolongkan upacara bersih desa dengan tujuan memohon kemakmuran dan kesejahteraan ke hadapan Ida Hyang Widhi Wasa penganugerah kerahayuan alam semesta beserta isinya. Tari Baris Sumbu ditarikan setahun sekali, bersamaan dengan dilangsungkannya upacara Neduh pada sasih Kapitu nemu Umanis, sekitar bulan Januari dalam perhitungan Panca Wara ( Umanis, Paing, Pon, Wage, Kliwon) bertepatan dengan hari kelima yang pertama, yaitu Umanis. Tradisi Tari Wali Baris Sumbu, sebagaimana halnya tarian keagamaan(sakral/ Wali) di Bali, terkait dengan bangun kesenian masyarakatnya. Keduanya, seni dan agama menjadi penguat konsepsi dan implementasi ajaran Catur Marga, yaitu Bhakti, Karma, Jnana, dan Raja Marga. Penganut agama Hindu di Bali mendapatkan banyak carasesuai dengan minat dan bakatnya untuk memilih jalan terbaik menuju dharma. Akan tetapi dalam prakteknya masyarakat Bali, tanpa kecuali masyarakat Desa Adat Semanik jalan Bhakti Marga adalah yang menonjol. Bhakti Marga merupakan ajaran yang langsung dan dirasakan riil oleh umat Hindu mencari Sang Hyang Widhi. Implementasi ajaran Bhakti Marga, terlihat dan terasa begitu alamiah,dan mudah diterima untuk dilaksanakan oleh mereka yang awam sekalipun. Rasa cinta kasih Hyang Widhi/Hyang Welas Asih terasa di dalam sanubari mereka yang memperaktekkan ajaran Bhakti Marga. Tradisi tari Wali Tari Baris Sumbu, yang ditarikan di Pura Desa, di Desa Adat Semanik, Desa Plaga, Kecamatan Petang Badung dirasakan sangat mudah dicerna baik dalam satuan-satuan gerak tariannya, persiapan, awal gerak, tengah, dan akhir. Mereka yang menarikan terbawa arus cinta kasih Hyang Widhi berupa kerahayuan dan kemakmuran untuk tetanaman yang sedang dibudidayakan ditanam di ladang masyarakat. Berdasarkan latar belakang itulah, penulis tertarik untuk meneliti wacana tradisi tari wali Baris Sumbu di desa Adat Semanik, kabupaten Badung ini. Ada dua masalah pokok yang diketengahkan dalam tulisan ini untuk dicarikan jawabannya, yaitu: pertama mengapa tradisi Tari Baris Sumbu dilaksanakan rutin dari tahun ke tahun, dan dari generasi ke generasi. Kedua, apa makna tradisi Tari Baris Sumbu bagi masyarakat Desa Adat Semanik, Desa Plaga, Kecamatan Petang Kabupaten Badung.

2. Kesederhanaan Gerak dan Pewarisan Tari Wali Tari Baris Sumbu Desa Adat Semanik Pegamatan terhadap penampilan Tari Wali, Tari Baris Sumbu memiliki keunikan atau kekhasan, yaitu tarian yang ditarikan oleh 4 orang pemuda ini menggunakan sarana Sumbu, alat yang terbuat dari batang bambu, ujungnya berbentuk sumbu, bulat lonjong.Panjang sumbu bambu kurang lebih 2 meter. Setiap pementasan ujung bambu digelantungi tipat,bantal, blayagdan jajanan

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 207 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 lainnya. Pakaian atau perhiasan penari cukup menggunakan pakaian adat ke pura, berupakamen, kampuh, dan destar. Saat menari, penari yang menarikan Tari Baris Sumbu tidak menggunakan agem-ageman yang khusus sebagaimana layaknya pada tarian baris yang kita kenal selama ni. Gerakan-gerakan para penarinya cukup sederhana, hanya memegang sumbu yang kemudian berjalan dan tangan sesekali dikipaskan sedemikian rupa (nayog) mengelilingi panggungan banten, berputar kea rah kanan (pradaksina) sebanyak 3 kali putaran. Gerak tubuh dan pikiran penari pada saat menari terkosentrasi pelaksanaan upacara Neduh yang berlangsung khimat. Tari Baris Sumbu dipentaskan secara rutin pada sasihKapitu yang jatuh pada hari kelima Umanis, bertepatan dengan dilangsunkannya upacara Neduh, upacara Dewa Yadnyauntuk pembersihan desa dan semua sajen dipersembahan ke hadapan . Dewa penganugerah kemakmuran. Upacara ini rutin dilaksanakan setiap tahun sekali, terlaksana sebelum upacara Mendak Widhi yang berlangsung di Pura Pucak Mangu. Semua banjar adat yang ada di wilayah Desa Plaga, yaitu Semanik, Tiyingan Auman, Nungnung, Kiadan, Bukian, Plaga, Tinggan melaksanakan upacara Neduh. Akan tetapi yang unik adalah hanya Desa Adat Semanik yang mementaskan Tari Wali Baris Sumbu beriringan dengan pelaksanaan Upacara Neduh. Rutin setiap tahun dilaksanakan, tidak pernah terputus. Akan tetapi sebagai tradisi warisan leluhur, masyarakat Desa Adat Semanik sampai hari inipun tidak ada yang mengetahui kapan sesungguhnya awal mula Tari Wali Baris Sumbu ini ditarikan di Desa Adat Semanik. ―Dapet tiang sampun memargi kadi asapuniki. Panglingsir tiang taler maosang asapunika, sampun napet‖. Artinya, saya dapatkan sudah berlangsung seperti ini. Tetua saya juga mengatakan seperti ini, sudah memang ada. Informasi di atas menerangkan bahwa Tari Wali Baris Sumbu dalam Upacara Neduh di Desa Adat Semanik telah menjadi tradisi yang diwariskan secara turun-temurun.

3. Pementasan tari Baris Sumbu dalam Upacara Neduh Tidak ada persyaratan khusus sebagai seorang penari Tari Wali Baris Sumbu, hanya saja penarinya anggota daa truna atau pemuda krama Desa Adat Semanik yang belum menikah. Sebelum menari para penari diperciki tirtha prayascita yang dimaksudkan untuk membersihkan segala bentuk kekotoran yang melekat pada diri penarinya. Iringan gambelan dari Tari Wali Baris Sumbu adalah tabuh gong kebyar. Setelah pemangku selesai melaksanakan tugasnya, nganteb Upakara Neduh, barulah Tari Wali Baris Sumbu dipentaskan. Para penari yang terdiri dari empat orang pemuda berdiri di setiap pojok panggungan banten, kemudian mereka bergerak memulai menari mengitari panggungan(tempat sajen upacara) sebanyak 3 kali, berputar searah jarum jam, ke kanan (Murwadaksina). Kemudian Sumbu yang ditarikan dikumpulkan di natar palataran Pura Desa.Bersamaan dengan itu pemedek mulai merapat di natar pura. Sumbu yang berisi tipat bantal diambil masing-masing penari dan ditaburkan ke arah masyarakat adat. Sambil berebutan mengambil hidangan yang ditaburkan penari Tari Wali Baris sumbu, mereka

  208 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 bersorak sorai riang gembira menyambut anugerah kemakmuran untuk dinikmati dan ditaburkan pula ke masing-masing ladang tegalannya. Penaburan dan perebutan isi sumbu dari penari Baris Sumbu mengandung maksud, bahwa amertha (sumber kehidupan) itu tersebar adanya dan dibutuhkan upaya dan kerja keras untuk mendapatkannya. Demikan pula arti tipatbantal yang didapatkan.Selain dinikmati juga ditaburkan di semua areal perkebunan secara merata. Tirtha (air suci) yang dicampur dengan lungsuranjajauli dan jajabegina(jajanan yang telah dipersembahkan) kemudian dipercikkan ketegal masyarakat Desa Adat Semanik. Masyarakat mendapatkan tipat dan bantal, boleh memakannya sebagai simbol anugerah dari Hyang Widhi.

4.Makna Tradisi Tari Wali Tari Baris Sumbu Makna tradisi Tari Wali Baris Sumbu di Desa Adat Semanik, dapat dipahami setelah melakukan pendalaman dan interpretasi melalui kewacanaan meliputi satuan prosesi, gerak dan pewarisan, serta maksud dan tujuan tradisi tari wali Baris Sumbu ditampilkan pada upacara Neduh di Pura Puseh Desa Adat Semanik, Desa Palaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Makna yang terkandung dari tradisi tari wali Baris Sumbuadalahsarana penghormatan dan permohonan kemakmuran dari masyarakat desa adat Semanik kepada Ida Hyang Widhi, memunculkan rasa kebersamaan, persatuan dan integritas sosial pada masyarakat Desa Adat Semanik, Desa Plaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Makna yang pertama wacana tradisi Tari Wali Baris Sumbu di Desa Adat Semanik, adalah bentuk penghormatan dan permohonan kemakmuran ke hadapan Ida Hyang Widhi. Tari Wali Baris Sumbu ini adalah bagian integral dari kegiatan upacara yadnya (DewaYadnya) Neduh yang dilakukan oleh masyarakat Desa Adat Semanik, Desa Plaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Yadnya Neduh yang dilaksanakan dimaksudkan agar terjadi hubungan harmoni antara manusia dan Tuhan, manusia denganleluhur (neneh moyang), manusia dengan alam, serta manusia dengan sesama. Makna kedua dari wacana tradisi Tari Wali Baris Sumbu di pura Desa Desa Adat Semanik, adalah ungkapan nyata rasa bakti masyarakat Desa Adat Semanik yang dilaksanakan secara turun temurun. ―Niki sampun tami titiang saking panglingsir desane deriki ring Desa Adat Semanik. Prasida memargi riantukan yadnya puniki pinaka bhakti titiang ring Ida Hyang Widhi‖. Ini (Tari Baris Sumbu) sudah menjadi warisan dari leluhur masyarakat desa adat Semanik. Hal ini bisa terlaksana secara turun temurun karena pada hakikatnya adalah perwujudan rasa bhakti kepada Truhan Yang Maha Esa‖, kata Nyoman Madra (82 tahun) tetua masyarakat desa adat Semanik. Makna ketiga dari wacana tradisi Tari Wali Baris Sumbu di pura Desa Desa Adat Semanik, adalah menjadi pendorong dan penggerak rasa persatuan dan integritas sosial di tengah-tengah masyarakat Desa Adat Semanik. Pada saat upacara berlangsung dan ditarikannya Tari Wali Baris Sumbu, masyarakat Desa Adat Semanik wajib datang dan mengikuti prosesing upacara Neduh dan menyaksikan dengan seksama Tari Wali Baris Sumbu yang ditarikan oleh empat orang pemuda desa adat Semanik. Dengan keberadaan ini, tari Baris Sumbu menjadi alat untuk membangun integrasi sosial dalam masyarakat. Di samping itu

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 209 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Tari Wali Barius Sumbu berhasil mempererat rasa persaudaraan di antara sesama penduduk desa adat Semanik.

5. Kesimpulan Wacana tradisi Tari Wali Baris Sumbu merupakan tarian keagamaan yang dipentaskan setiap upacara Neduh di Pura Desa, Desa Adat Semanik, Desa Plaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Upacara Neduh merupakan upacara bersih desa yang dimaksudkan untuk memohon kemakmuran dan kesejahteraan ke hadapan Tuhan Siwa penganugerah kerahayuan alam semesta beserta isinya. Tarian Baris Sumbu dalam kaitan upacara Neduh ditarikan setahun sekali , sasih Kapitu nemu Umanis, sekitar bulan Januari dalam perhitungan PancaWara ( Umanis, Paing, Pon, Wage, Kliwon) bertepatan dengan hari kelima yang pertama, yaitu Umanis. Proses Tari Wali Baris Sumbu sangatlah sederhana sebagaimana kharakteristik tari wali pada umumnya. Ditarikan 4 orang pemuda membawa Sumbu yang telah digelantungi ketupat, jajan bantal , dan jenis jajanan lainnya dengan mengelilingi piyadnyan (balai suci tempat upacara) ke arah kanan sebanyak 3 kali. Tipatbantal dan jajanan lainnya didalam sumbu diambil, ditaburkan, diperebutkan dan dinikmati oleh masyarakat. Sisanya kemudian ditaburkan ke tegalan masing-masing dengan maksud memperoleh kesuburan. Makna tradisi Tari Wali Baris Sumbu di Desa Adat Semanik, Desa Palaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung adalah sarana penghormatan dan permohonan kemakmuran dari masyarakat desa adat Semanik kepada Ida Hyang Widhi, memunculkan rasa kebersamaan, persatuan dan integritas sosial pada masyarakat Desa Adat Semanik, Desa Plaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung.

Daftar Pustaka Ardika, I Wayan, 2006.Pengelolaan Pustaka Budaya Sebagai Objek dan Daya Tarik Pariwisata Di Bali. Makalah dalam Seminar Bali Bangkit Bali Kembali. Roland. 2003. Mitologi. Terjemahan oleh Christian Ly dariMythologies. Padang: Dian Aksara Press. Berry, John W. dkk, 1999. Psikologi Lintas Budaya: Riset dan Aplikasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Diastika, I Wayan, 1985.―Peningkatan Senitasi Lingkungan pada Ilustrasi Pariwisata di Bali‖ Makalah dalam Rangka Sepekang Seminar Dies Natalis UNUD. Ibrahim, Abdul Syukur, ed. 2000. Metode Analisis Teks dan Wacana. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Parimartha, dkk. 2011. Nilai Karakter Bangsa dan Aktualisasinya dalam Kehidupan Masyarakat Bali.Denpasar: Udayana University Press. Putra, Ida Bagus Rai. 2019. Wacana Mabuug-buugan Masyarakat Desa Adat Kedonganan-Badung. Denpasar: Makalah Seminar Bahasa Ibu FIB Unud. Usman, Husaini, 1995.Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT Bumi Aksara.

  KEARIFAN LOKAL SINKRETISME HINDU-BUDHA PADA RELIEF CANDI PENATARAN SEBAGAI JATI DIRI BANGSA

Ida Bagus Sapta Jaya [email protected]

ABSTRAK

Kearifan Local Sinkretisme Hindu-Budha Pada Relief Candi Penataran Sebagai Jati Diri Bangsa menganalisis sinkretisme Relief cerita yang bersifat Budha pada candi Penataran yang bersifat Hindu,dalam seni bangunan atau candi, sifat Hindu-Buda terlihat harmonis dan serasi sekali pada candi Penataran.Sinkretisme di relief candi Penataran dapat membuktikan terjadinya toleransi dua agama yang berbeda yaitu agama Hindu dan Budha, dengan mengambil sikap politik sinkretisme pada masa lalu. Hal tersebut dimaksudkan demi menjaga kerjasama dan pengawasan secara damai antara sekta-sekta agama masa itu yang bermakna sebagai jati diri bangsa.

Kata Kunci : Relief Hindu-Budha, Sinkretisme, jati diri bangsa

I.Pendahuluan Peninggalan purbakala adalah warisan budaya nenek moyang yang tinggi nilai, baik sebagai sumber sejarah maupun sebagai sumber inspirasi bagi kehidupan bangsa di masa kini dan yang akan datang. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya untuk memahami dan melestarikan benda-benda tersebut. Namun kurangnya pemahaman dan kesadaran akan makna, serta kurangnya rasa memiliki warisan budaya bangsa tersebut, sering terjadi tindakan-tindakan tidak bertanggung jawab. (Sambung Widodo, 1992 : 33) Sebagaimana diketahui bahwa warisan budaya khususnya tinggalan arkeologi merupakan sumber daya budaya yang memiliki berbagi nilai dan makna antara lain : nilai, dan makna informasi/ilmu pengetahuan, ekonomi, estetika dan asosiasi/simbolik (Cleere 1984; Lipe 1984; McManamon 2000; et all Ardika 2004 : 50). Peninggalan purbakala adalah warisan budaya nenek moyang yang tinggi nilai, baik sebagai sumber sejarah maupun sebagai sumber inspirasi bagi kehidupan bangsa di masa kini dan yang akan datang. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya untuk memahami dan melestarikan benda-benda tersebut. Namun kurangnya pemahaman dan kesadaran akan makna, serta kurangnya rasa memiliki warisan budaya bangsa tersebut, sering terjadi tindakan-tindakan tidak bertanggung jawab. (Sambung Widodo, 1992 : 33) Jatidiri adalah suatu kata yang secara harfiah dapat berarti karakter pokok, sifat inti yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat, etnis, atau secara individu. ―Penguatan jatidiri haruslah diawali dengan pemupukan rasa cinta dan kebanggaan terhadap warisan para pendahulu yang mewariskan perangkat nilai, norma-norma sosial dan kegiatan sosial politik, ekonomi maupun budaya yang

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 210 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 211 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 terekam dalam sejarah. Rekaman sejarah itulah yang akan menjadi ilham, pemacu semangat teladan bagi generasi penerus untuk memupuk, mengembangkan, dan mengukuhkan jatidiri bangsa,‖.(Masyhudi, 2012 : 100-101) Latar belakangkurangnya rasa memiliki warisan budaya bangsa tersebut, sering terjadi tindakan-tindakan tidak bertanggung jawabdan diharapkan timbul kepekaan serta kepedulian untuk memeliharanya sebagai jatidiri bangsa. Bertolak dari tema ―kearifan local sebagai pembentuk karakter bangsa dengan sub topik ―kearifan local sebagai jatidiri bangsa‖, maka dalam tulisan ini akan dikaji Kearifan Local Sinkretisme Hindu-Budha Pada Relief Candi Penataran Sebagai Jati Diri Bangsa. 2. Relief cerita yang bersifat Budha pada candi Penataran yang bersifat Hindu Terdapatnya seni rupa relief cerita yang bersifat Budha pada candi Penataran yang bersifat Hindu sebenarnya sudah sesuai dengan keadaan periode Jawa Timur masa itu yang terdapat perubahan dalam kehidupan beragama, karena pada masa itu agama Hindu dan Buda dipeluk sekaligus bersamaan. Di samping kedua agama tersebut, unsur kepercayaan asli Indonesia juga member pengaruh yang besar, sehingga yang dinamakan agama Negara pada periode Jawa Timur berbeda dengan Jawa Tengah. Pada periode Jawa Tengah yang dinamakan agma Negara adalah agama Hindudan Buda, sedangkan pada periode Jawa Timur keduanya menjadi agamaresmi kerajaan (Rassers, 1982 : 17, 41). Sehingga puncak dari hubungan Hinduisme denga Budisme di Jawa Timur terjadi pada zaman Singasari sampai dengan Majapahit. Maka hamper semua cabang kebudayaan, seperti seni bangun, seni pahat atau seni sastra bernafaskan Hindu- Buda. Dalam seni bangunan atau candi, sifat Hindu-Buda terlihat harmonis dan serasi sekali pada candi Penataran, dengan dipahatkannya relief cerita Bubuksah Gagangaking. Berdasarkan pengamatan dan penelitian yang dilakukan Kern, Zoetmulder, Krom, Rassers perpaduan Hinduisme dan Budisme itu disebut sinkretisme, yang berarti kedua agama tersebut pada lahirnya tetap merupakan dua wujud yang berdiri sendiri, tapi pada dasarnya dwi tunggal (Kern, 1901 : 26). Dari Pengertia tersebut maka Haryati Subadio cenderung menyebutkan dengan istilah koalisi. Hal ini disebabkan dalam kedua sistem tersebut tidak terdapat pembauran yang sesungguhnya. Lebih lanjut Haryati Subadio menegaskan antara kedua agama itu dapat diumpamakan dengan pendakian sebuah gunung. Meskipun banyak jalan yang dapat ditempuh, tetapi pada akhirnya puncak yang sama akan tercapai juga (Haryati Subadio, 1985 : 50-51). Terlepas dari beberapa istilah tentang perpaduan kedua agama tersebut, pada tulisan ini akan digunakan istilah sinkretisme. Hal ini mengingat istilah sinkretisme merupakan istilah yang sudah umum dan telah meluas pengertiannya pada masyarakat. Seperti telah diketahui, sejak di tanah asalnya (India) agama Siwa (Hindu) dan Buda sudah memiliki persamaan yang harmonis, khususnya dalam konsepsi ke-Tuhanannya yang terdapat dalam Saivasiddhanta dan Buda Mahayana, yang merupakan aliran dalam Siwaisme dan Budhisme paling berpengaruh di Indonesia (Mantra, 1985 : 279).

  212 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Dalam Saivasiddhanta terdapat tri tunggal atau tiga kebenaran yang tertinggi disebut Siva-tattva, Sadasiva-tattva dan Maheca-tattva. Masing-masing tattva tersebut diwakili oleh Paramasiva dengan alamnya Niskala, Sadasiva dengan alamnya Niskala-sakala dan Mahecvara dengan alamnya sekala. Selanjutnya dari Siva-tattva yang bersifat pasif itu diturunkan lima cacti yang bersifat aktif, yaitu : Para Cakti, Adi Cakti, Icha-Cakti, Jnana-Cakti, dan Kriya- Cakti. Kemudian lima cacti dari Paramasiva itu akan mewujudkan dirinya sebagai Sadasiva-tattva dan Maheca-tattva. Dalam Buda Mahayana, tri tunggal atau tiga kebenaran itu adalah Buda, Vajrasatva dan Avalokitecwara. Masing-masing berada dalam Dharma-kaya, Sambhoga-kaya dan Nirmana-kaya. Selanjutnya Buda atau Adi Buda juga mewujudkan dirinya dalam wujud lima Tathagatha, yaitu : Wairocana, Aksobya, Ratnasambhawa, Amitabha dan Amoghasidhi. Dari konsepsi dasar ke-Tuhanan yang dimiliki oleh aliran Saivasiddhanta dan Budha Mahayana di atas, akhirnya Ida Bagus Mantra menyimpulkan bahwa Dharma-kaya sejajar dengan niskala, Sambhoga-kaya dengan Sekala-Niskala dan Nirmana-kaya dengan Sakala. Kemudian tingkatan tertinggi pada dunia Niskala dan Dharma-kaya tersebut menurut Ida Bagus Mantra dikatakan Siwa=Siwa, Buda = Buda (Mantra, 1985 : 268 : 287). Walaupun demikian, prinsip dasar ke-Tuhanan yang sama tanpa didukung oleh suasana hubungan baik antara pemeluk kedua agama tersebut, mustahil dapat terwujud sinkretisme antara Hindu dengan Buda. Kenyataan ini dapat dilihat di Negara asal kedua agama itu (india) dan meskipun di India, Buda adalah salah satu avatara Wisnu (Slamet Mulyana, 1983 : 48). Namun demikian sinkritisme antara agama Hindu (Siwa) dengan Budha tidak terdapat adanya rasa toleransi, khususnya di kalangan penguasa sendiri (Oka, 1978 : 10-13). Pada periode Jawa Timur, sikap toleransi antara pemeluk kedua agama tersebut telihat dari masa pemerintahan Mpu Sindok (Harun Hadiwijono, 1971 : 97), dan awal pemerintahan raja Ken Arok (Slamet Mulyana III, 1983 : 51-56). Toleransi tersebut kemudian berkembang mencapai puncaknya pada akhir Singhasari sampai Majapahit. Bukti-bukti itu diketahui dari bangunan-bangunan candi maupun kitab-kitab kesusastraan yang bernafaskan agama Hindu-Budha. Pada bangunan candi hal tersebut diperlihatkan dengan harmonis sekai di candi Jago, Jawi dan . Pada karya sastra sinkretisme Hindu-Buda terutama diperlihatkan dalam hasil kesusastraan dari zaman Majapahit. Antara lain dalam kitab Arjunawijaya, Sutasoma dan Kunjarakarna. Meskipun sikap toleransi di Jawa Timur, apabila ditelusuri lebih jauh sudah ada pada masa Jawa Tengah. Petunjuk ini dapat diketahui dari prasasti Kelurak (782M) (Bosch, 1929 : 19-22), prasasti Taji Gunung (910M) (Damais, 1955 : 246) dan Prasasti Kalasan (778 M) (Csparis, 1950 : 21-22). Walaupun demikian, bukti monumen masih membedakan kedua agama tersebut. Tetapi apabila dilihat dari lokasi monument agama Hindu dan Budha yang letaknya saling berdekatan, hal itu akan menunjukan adanya rasa toleransi yang tinggi di kalangan masyarakat pemeluk agama tersebut. Bukti itu dapat disaksikan dari letak candi yang bersifat Siwaistis berdekatan letaknya dengan candi Sewu, Plaosan dan Kalasan yang bersifat Budistis. Dari petunjuk di atas, dapat diperoleh gambaran mengenai terjadinya sinkretisme Hindu-Buda di Jawa Timur. Sinkretisme tersebut dapat terjadi karena

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 213 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 factor persamaan dasar konsepsi ke-Tuhanan antara agama Hindu dengan Buda dan adanya dukungan sikap toleransi dari pemeluk agama Hindu dan Buda sejak di Jawa Tengah.

3. Makna Filosofis Relief-relief Candi Penataran sebagai Jati diri Bangsa Relief candi Penataran yang sudah jelas identitasnya adalah relief cerita Sang Satyawan, Sri Tanjung Bubuksah Gagangaking, Ramayana, Krnayana dan relief cerita binatang. Jika ditelah makna keagamaannya, cerita tersebut sudah jelas berlatar belakang Hindu Buda. Relief cerita Sang Satyawan, Sri Tanjung, Ramayana dan Krnayana mewakili agama yang berlatar belakang Hindu, sedangkan agama Buda diwakili oleh relief cerita Bubuksah Gagangaking dan cerita binatang (tantri). Pemahatan relief berlatar belakang dua agama yang berbeda bukan berarti telah terjadi suatu penyimpangan dalam bidang ritual. Tetapi hal ini berkaitan dengan situasi keagamaan pada periode Jawa Timur, khususnya pada zaman Singasari dengan Majapahit. Toleransi kehidupan beragama sudah berpangkal pada masa Jawa Tengah. Selanjutnya pada periode Jawa Timur hal tersebut berkembang menjadi perpaduan yang harmonis antara Hindu-Buda yang sekaligus mencapai puncaknya. Maka hamper semua cabang kebudayaan, seperti seni bangunan, seni pahat atau seni sastra bernafaskan keagamaan Hindu-Buda, sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dipahatkannya relief-relief tersebut pada candi penataran memang mengacu pada kehidupan keagamaan di masa itu, yang sekaligus merupakan petunjuk adanya hubungan yang harmonis antara Hindu-Buda dalam candi Penataran. Relief-relief tersebut sebagai bukti bahwa raja-raja Majapahit dalam pemerintahannya memeluk agama Hindu sekaligus Buda, pada zaman Singhasari sampai Majapahit hubungan harmonis Hindu-Buda mengalami perkembangan yang pesat, khususnya di kalangan atas. Peranan seorang pemimpin sangat menentukan dalam segala hal termasuk dalam bidang keagamaan. Berkembang tidaknya suatu agama sangat tergantung dari kebijaksanaan dari sang pemimpin, misalnya pada raja Acoka di India, agama Hindu tidak dapat bersatu dengan agama Buda, sekalipun keduanya mempunyai prinsip dasar Ketuhanan yang sama dan di India Buda dianggap sebagai avatara Wisnu. Hal ini disebabkan tidak adanya rasa toleransi, khususnya di kalangan raja sendiri (Oka, 1978 : 10-13). Sebaliknya pada periode Jawa Timur, penguasa (raja) memberikan contoh kearah toleransi antara kedua agama tersebut, yaitu dengan mengambil sikap politik sinkretisme.Hal tersebut dimaksudkan demi menjaga kerjasama dan pengawasan secara damai antara sekta-sekta agama masa itu (Sartono Kartodirdjo, 1969 : 14). Toleransi antara kedua agama tersebut, yang tercermin dalam relief Bubuksah Gagangaking yaitu bermakna sebagai jatidiri bangsa.

4. Simpulan Berdasarkan uraian di depan, maka dapat disimpulkan bahwa kearifan local Sinkretisme Hindu-Budha Pada Relief Candi Penataran Sebagai Jati Diri Bangsa dapat membuktikan terjadinya toleransi dua agama yang berbeda yaitu agama Hindu dan Budha, dengan mengambil sikap politik sinkretisme pada masa

  214 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 lalu. Hal tersebut dimaksudkan demi menjaga kerjasama dan pengawasan secara damai antara sekta-sekta agama masa itu yang bermakna sebagai jatidiri bangsa. Daftar Pustaka

Ardika, I Wayan2004. Manajemen Warisan Budaya. KUMPULAN MATERI Program Inovatif TOT (Training of Trainer) Konservasi Warisan Budaya Bali Dalam Pemberdayaan Lembaga Pelestarian Warisan Budaya Bali (Bali Heritage Trust). Edi Triharyantoro, 2002. Aspek Ideologi Dalam Management Sumberdaya Arkeologi. Dalam BukuManfaat Sumberdaya Arkeologi Untuk Memperkokoh Integrasi Bangsa. Denpasar. Upada Sastra. Geria, Made, 2010. Penguatan Jatidiri dalam Perspektif Aktualisasi Arkeologi. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Balai Arkeologi Denpasar. Harun Hadiwijono 1975 Agama Hindu dan Budha, BPK Gunung Mulia, Jakarta. Haryati Subadio 1985 Jnanasiddhanta, seri ILDEP, Djambatan, Jakarta. Kern, J.H.C 1901 De Legende van Kunjarakarna, Volgens her oudst bekende Handscrift. Mantra, Ida Bagus 1985 ―Pengertian Siwa Budha Dalam Sejarahnya di Indonesia‖, Laporan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional I, MIPI, Jakarta. Masyhudi, 2012. ―Temuan Naskah Kuno Di Kampung Arab Sebagai Bukti Penguatan Jatidiri Bangsa‖. ArkeologiUntukPublik. Jakarta : Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Oka, Ida Bagus 1978 ―Peranan Pimpinan Di Bali‖, Warta Hindu Dharma134, Denpasar. Purna, I Made, 2010. Memperkuat Jatidiri dan Pembentukan Karaktergenerasi Muda Melalui Tinggalan Arkeologi. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bali Wilayah Kerja Provinsi Bali, NTB, dan NTT. Rassers, W.H 1982 ―Ciwa dan Budha di Kepulauan Indonesia‖, Ciwa dan Budha, Djambatan, Jakarta. Rata, Ida Bagus., 1993 Manfaat Peninggalan Arkeologi untuk Kepentingan Agama, Sosial Budaya, Sosial Ekonomi, Pendidikan & Ilmu Pengetahuan. Dalam Buku Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa. Denpasar : PT Upada Sastra. Sambung Widodo, 1992. Makna Tinggalan Arkeologi Sebagai Warisan Leluhur. PIA VI. Kumpulan Makalah. Batu, Malang, Jawa Timur 26-30 Juli. Sartono artodirdjo, 1969 ―Struktur Sosial Dari Masyarakat Tradisional dan Kolonial‖, Lembaran Sejarah No. 3 Desember, Seksi Penelitian Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM, Yogyakarta. Slamet Mulyana 1983 Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit, Intidayu Press, Jakarta.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 215 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Soediman, 1983. Peranan Arkeologi Dalam Pembangunan Nasional. Pertemuan Ilmiah Arkeologi III, Ciloto, 23-28 Mei.1-16. Soerjanto Poespowardojo, 1989. Strategi Kebudayaan, Suatu Pendekatan Filosofis, Gramedia, Jakarta. Sumartika, I Nyoman, 2010. Pelestarian Benda Cagar Budaya Untuk Memperkuat Jatidiri Ditengah Globalisasi. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali Wilayah Kerja Provinsi Bali, NTB, Dan NTT. Slamet Mulyana 1983 Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit, Intidayu Press, Jakarta.

  KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT KAWASAN GUNUNG MUTIS DALAM PELESTARIAN HUTAN DI TIMOR TENGAH SELATAN, NUSA TENGGARA TIMUR

Industri Ginting Suka Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [email protected]

ABSTRAK

Kearifan lokal(local wisdom) yaitu keseluruhan bentuk pengetahuan, kepercayaan, pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas masyarakat adat. Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu, karena ada ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan kuat dengan lingkungan hidup, ada sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. Masyarakat adat kawasan Gunung Mutis yang telah lama bermukim memiliiki kearifan local yang sampai saat kini bertahan dari serangan kebudayaan modern, hal ini terlihat dari tetap lestarinya kawasan hutan gunung Mutis. Permasalahannya ialah bagaimana wujud kearifan lokal masyarakat gunung Mutis sehingga mampu mempertahankan kelestarian kawasan hutan. Tulisan ini ingin mendeskripsikan kearifan local dari masyarakat adat kawasan gunung Mutis yang memiliki kepedulian pada pelestarian lingkungan, khususnya dalam ekosistem kawasan hutan. Pendekatan yang dipakai dalam tulisan ini adalah pendekatan antropologi ekologi dengan memakai konsep adaptasi manusia terhadap lingkungan. Masyarakat di kawasan gunung Mutis memanfaatkan hutan untuk energi, membuat rumah, mengambil madu hutan danberternak, namun hutannya terjaga kelestariannya. Hal ini disebabkan ada kearifan local yang tercermin dalam nilai aturan adat yang melarang melakukan eksploitasi yang berlebihan. Kearifan local itu terdapat pada filosofi mansion muit nasi na bua, yang artinya ada kesatuan antara manusia, hewan ternak dan hutan.

Kata kunci: kearifan local, masyarakat adat, mansion muit nasi na bua.

I. Pendahuluan Rusaknya kawasan hutan telah menjadi ancaman yang berdampak luas seperti kekeringan, banjir dan hilangnya sumberdaya genetik. Situs dan hutan keramat telah menjadi bagian dari banyak komunitas lokal di Indonesia. Mengacu pada pengetahuan dan kepercayaan tradisional, pola pengamatan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 216 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 217 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 menjadi langkah yang strategis dalam membangun sistem produksi sumber daya hutan lokal dan pemanfaatannya untuk kepentingan spiritual. Upaya konservasi yang berasal dari kesadaran masyarakat lokal berdasarkan akal sehat dan kepercayaanakan lebih efektif dalam menjaga kelestarian hutan dibandingkan dengan pengelolaan oleh pemerintah dengan sistem birokrasinya yang rumit. Permasalahannya ialah: bagaimanakah wujud kearifan lokal masyarakat gunung Mutis sehingga mampu mempertahankan kelestarian kawasan hutan. Tujuan tulisan ini ingin mendeskripsikan kearifan lokal masyarakat adat kawasan gunung Mutis yang memiliki kepedulian pada pelestarian lingkungan, khususnya dalam ekosistem kawasan hutan. Pendekatan atau metode yang dipakai dalam tulisan ini adalah deskriptifkualitatif, serta didukung dengan studi perpustakaan (literature).

1.1. Wujud Kearifan Lingkungan Masyarakat Kawasan Gunung Mutis

Kearifan lokal merupakan bagian dari masyarakat untuk bertahan hidup sesuai dengan kondisi lingkungan, sesuai dengan kebutuhan, dan kepercayaan yang telah berakar dan sulit untuk dihilangkan. Pendapat lain mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang digunakan oleh masyarakat untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungan yang menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, budaya dan diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama. Fungsi kearifan lokal adalah sebagai berikut. Pertama, sebagai penanda identitas sebuah komunitas. Kedua, sebagai elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama dan kepercayaan. Ketiga, kearifan local memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas. Keempat, mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok dengan meletakkannya di atas nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki. Kelima, mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebagai sebuah mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang meredusir, bahkan merusak, solidaritas komunal, yang dipercayai berasal dan tumbuh di atas kesadaran bersama, dari sebuah komunitas terintegrasi (Sumarmi dan Amirudin, 2014). Kearifan lingkungan merupakan wujud dari perilaku komunitas atau masyarakat tertentu sehingga dapat hidup berdampingan dengan alam lingkungan tanpa harus merusaknya. Kearifan lokal merupakan suatu kegiatan unggulan dalam masyarakat tertentu, keunggulan tersebut tidak selalu berwujud dan kebendaan, sering kali di dalamnya terkandung unsur kepercayaan atau agama, adat istiadat dan budaya atau nilai-nilai lain yang bermanfaat seperti untuk kesehatan, pertanian, pengairan, dan sebagainya. Berangkat dari pengertian tersebut dapat dijelaskan bahwa kearifan lokal sudah mengakar, bersifat mendasar, dan telah menjadi wujud perilaku dari suatu warga masyarakat guna mengelola dan menjaga lingkungan secara arif atau bijaksana.. Dalam persepsi masyarakat kawasan gunung Mutis dipercaya memiliki nilai-nilai filosofi yang mendalam, sehingga kawasan tersebut menjadi kawasan kramat, sebagai sumberdayakehidupan, pemasok berbagai kebutuhan pokok sekitarnya, dan merupakan tempat yang dipercaya sebagai asal usul orang Timor.

  218 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Dalam keyakinan penduduk Timor pada umumnya Mutis bukan hanya dipandang sebagai gunung yang menjulang tinggi. Mutis bermakna sebagai sumber kehidupan, dan dalam pemahaman mereka sumber kehidupan adalah berhubungan dengan persediaan air yang berlimpah dari gunung Mutis bagidaratan Timor (Boymau, 2001) Mutis mengandung pengertian, sesuatu yang melengkapi, artinya gunung Mutis mampu menyediakan atau melengkapi segala kebutuhan orang Timor mulai dari air, kayu, tali, madu, hewan buruan (babi hutan, burung, rusa, kuskus, kera, dan lainnya) serta berbagai hasil hutan lainnya. Dalam pengertian lain masyarakat juga menyebutkan bahwa Mutis merupakan sumber kekuatan. Awal mula kehidupan nenek moyang penduduk Timor adalah berasal dari gunung Mutis, yang menyimpan sejumlah kekuatan dan kedahsyatan tertentu. Penduduk Timor mempunyai keyakinan bahwa gunung Mutis dapat melepaskan penduduk Timor dari segala bencana yang membahayakan (Marettra W, 2001) Secara harafiah Mutis berasal dari kata mum tis yang artinya melengkapi dan merupakan tempat raja (uwis=usif)oematan melakukan penyembahan (gunung Mutis) di wilayah Timor Tengah Selatan), sedangkan bagian atau sisi gunung Mutis yang menghadap Timor Tengah Utara merupakan tempat dari uwis kono( di Miomafo) untuk melakukan penyembahan. Sementara itu penduduk Timor di Kabupaten Belu menyebut gunung Mutis Bab-nai (bab artinya pelihara dan nai artinya kelompok suku yang ada di Timor). Penduduk Timor yang hidup di dataran Timor hidup karena tetesan gunung Mutis. Sampai sekitar tahun sekitar 1970 an puncak gunung Mutis masih dianggap tempat yang keramat dan tidak boleh dimasuki siapapun. Alasan dari larangan itu ialah karena puncak gunung Mutis merupakan tempat kramat bagi raja dan golongan usif. Selain itu puncak gunung Mutis tempat bagi golongan usif untuk melepas hewan ternak yang dikenal dengan namaluke teme pusu, yaitu ternak yang tidak bercap dan tidak dipotong telinganya. Ternak yang dipelihara antar lain kerbau, kuda, babi, kambing dan ayam. Cara pemeliharaan ternak dilepas di sekitar rumah. Salah satu fungsi penting ternak adalah untuk kepentingan adat terkait dengan upacara sekitar silus hidup kelahiran, perkawinan, kematian dan siklus hidup berladang. Ternak untuk kepentingan ekonomi (dijual) terbatas pada ternak besar seperti sapi, kuda dan kerbau. Pada waktu dulu oreintasi pemeliharaan tenak untuk dijual belum berkembang (membudaya). Khusus ternak besar seperti sapi, kuda dan kerbau dilepas agar pemilik ternak dapat mengenali dengan mudah digunakan tanda cap yang disebut malak. Setiap keluarga (suku) memiliki tanda cap ternak (malak) yang berbeda-beda. Cap ternak tidak saja diketahui oleh yang bersangkutan tetapi diketahui oleh seluruh masyarakat setempat. Selain tanda cap (malak) juga masyarakat mengenal tanda berupa potongan daun telinga hewan yang disebut (hetis) oleh masing- masing suku (marga).

III. Konsepsi masyarakat tentang hutan, tanah dan air Konsepsi yang digunakan manusia untuk menafsirkan hidup dan menentukan sikap terhadapnya. Konsepsi mengakomodir idealisme dan harapan yang erat kaitannya dengan perilaku manusia. Sebuah konsepsi tidk mengubah wajah dunia secara langsung, melainkan melalui tindakan manusia. Tanpa tindakan, sebuah konsepsi tidak pernah akan berdaya menciptakan realitas empiris.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 219 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Bagi masyarakat Mutis hutan memiliki arti yang sangat penting bagi kelangsungan kehidupan mereka, seperti yang diungkapkan oleh masyarakat bahwa: hutan itu seperti rambut apabila kita buang rambut kita maka rambut akan botak dan menderita karena panas. Hutan juga bermanfaat untuk melindungi air sehingga kalu hutan ditebang habis mungkin di Mutis ini tinggal beberapa puluh penduduk saja, menurut penduduk local.Masyarakat Mutis menggolongkan hutan ke dalam beberapa tipe menurut fungsi dan statusnya, antara lain hutan suku (sufma autuf), hutan larangan (nasi talas), dan hutan keramat (nasi le u) atau (nasi mnuni). (Marettra W, 2001).

IV. Konsepsi masyarakat tentang kearifan lokal Man sian muit Nasi Na bua Kearifan lokal masyarakat adat ada dalam pengelolaan sumberdaya alam mengandung nilai-nilai kebaikan dan kebijaksanaan, selalu ada keseimbangan antara manusia dan alam sekitarnya, oleh karena itu tidak heran jika lingkungan terpelihara dengan baik. Kehidupan yang selaras dengan lingkungan alam bukan berarti masyarakat tradisional bersifat pasif, akan tetapi memanfaatkan lingkungan alam sebaik baiknya demi kelangsungan hidupnya. Hal tersebut tersirat dalam keyakinan dasar masyarakat di mana antara manusia, ternak dan lingkungannya dipandang mempunyai kaitan yang sangat erat dan merupakan bagian yang tersusun secara sederhana dan tidak terpisahkan antara satu dengan lainnya. Hutan dan ternak mempunyai arti yang sangat penting bagi masyarakat menurut penuturan masyarakat konon dalam sejarah jaman kerajaan telah dibuat perjanjian anatar tiga raja Mutis, yaitu raja Kono, Wamatan dan Sonbai mengenai konsep segi tiga kehidupan man sian muit nasi na bua. Artinya manusia, ternak, dan hutan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan saling memiliki ketergantungan. Manusia mengambil manfaat dari ternak, ternak mencari makan di hutan dan hutan dijaga kelestariannya oleh manusia. Untuk mengukuhkan perjanjian ini dikorbankan satu ekor kerbau jantan berumur 3 tahun sebagai materai hukum adat sekaligus disebarluaskan kepada masyarakat dari ke tiga raja tersebut. Bertitik dari kearifan lokal tersebut hutan memiliki arti penting bagi masyarakat selain ekonomis, setiap marga atau suku memiliki faud kana foe kanaf( batu nama, air nama). Di dalam hutan pada waktu tertentu seluruh anggota keluarga berkumpul di tempat tersebut untuk melakukan upacara adat sesuai kepentingan. Faut kana foe kanaf di dalam hutan dianggap sebagai tempat pertama kali nenek moyang mereka datang dan menginjakkan kaki di desa itu. Hutan keluarga tersebut dikeramatkan oleh sukunya dan disegani oleh suku suku lain karena diyakini bahwa hutan tersebut memiliki kekuatan gaib yang dapat membawa rejeki ataupun menimbulkan malapetaka bagi manusia (Boymau, 2001). Selain fat kanaf/oe kanaf, di dalam desa juga ada nais/tala (hutan larangan umum) artinya semua kehidupan yang ada di dalam hutan dilarang untuk diambil sesuka hati baik penebangan pohon, panen hasil utan maupun berburu satwa liar. Larangan itu akan dicabut stelah menurut kreteria objektif, hasil hutan tersebut memenuhi syarat panen dan kegiatan pemanenan pada umumnya diawali dengan upacara adat. Setiap masyarakat yang melanggar aturan tersebut dapat dikenakan sangsi adat dalam bentuk denda yang besar dan jumlahnya beragam tergantung bentuk dan ukuran keslahan. Tetapi denda umumnya berupa kerbau, sapi, babi, kopi, beras dan uang perak Belanda. Penetapannais tala dilakukan oleh

  220 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 tokoh tokoh adat dengan ditandai satu ekor sapi atau kerbau dagingnya dibagikan kepada kepala keluarga. Sedangkan tanduk sapidan kerbaunya diikat pada tempat strategis sebagai pengumuman bagi masyarakat desa lain.

V. Kesimpulan

1. Pada dasarnya masyarakat di sekitar kawasan gunung Mutis Kabupaten Timor Tengah Selatan terdiri dari beberapa komunitas kecil atau suku bangsa (etnis), yang masih tetap berupaya mempertahankan dan melestarikan nilai- nilai budaya kearifan local sebagai warisan yang diterima dari nenek moyang mereka. Hal ini dapat dibuktikan dengan peninggalan benda-benda budaya material dan non material seperti upacara-upacara ritual adat yang masih tetap dilaksanakan sebagai pendukungnya.

2. Dalam menjaga hutan komunitas adat terus memegang kuat filosofi tentang alam dan merangkainya dalam wujud budaya bahwa tanah adalah daging, hutan adalah rambut, batu adalah tulang dan air adalah darah. Filosofi ini menjadi kekuatan masyarakat di Timor Tengah Selatan untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Pelestarian lingkungan berbasis budaya ini merupakan warisan leluhur yang sampai kini dilakukan walaupun perkembangan teknologi dan modernisasi, namun masyarakat tetap konsisten mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal.

Daftar Pustaka 1. Adrianus Lopo Anunut dan Kusmayadi, Analysis of Local Wisdom Tamkesi Indigenous Village as a tourist attraction in the North Central Timor Regency of East Nusa Tenggara, Jurnal Sains Terapan Pariwisata, Vol. 1, No. 1, Tahun 2011, pp. 100-108. 2. Ardana dalam Apriyanto, 2008. Hubungan Kearifan Lokal Masyarakat Adat dengan Pelestarian Lingkungan Hidup. Bandung, Universitas Pendidikan Indonesia. 3. Boymau,Yulianti Marlina, 2001., Pola Beternak Lepas dan Pengaruhnya Terhadap Kawasan Konservasi Cagar Alam Gunung Mutis di Timor Tengah Selatan, Skripsi Jurusan Antropologi Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Bali. 4. Keraf, 2010. Hubungan Kearifan Lokal Masyarakat Adat dengan Pelestarian Lingkungan Hidup. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung. 5. MarettaW, Dida Hermandini, 2001., Konsepsi Mansian Muit Nasi Na Bua di Kawasan Gunung Mutis Timor Tengah Selatan, Skripsi Jurusan Antropologi Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Bali. 6. Rohana Sufia, Sumarmi, Ach. Amirudin., Kearifan Lokal Dalam Melestarikan Lingkungan Hidup (Studi Kasus Masyarakat Adat Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi), Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan Volume: 1 Nomor: 4 Bulan April Tahun 2016.

 ORIENTASI NILAI BUDAYA PETANI SAYUR: STUDI KASUS DI DESA ARGOSARI, KECAMATAN SENDURO, KABUPATEN LUMAJANG, PROVINSI JAWA TIMUR

Ketut Darmana Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [email protected]

ABSTRAK

Di Desa Argosari hampir seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai petani sayur.Oleh karena itu, warga petani penduduk desa ini sebagai salah satu pemasuk atau penyuplai sayuran yang signifikan untuk memenuhi permintaan beberapa pasar kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa Timur.Agen besar penyalur produk bahan pangan sayuran ini, selain menyasar pasar tradisional untuk konsumen kelas ekonomi menengah ke bawah, juga pasar modern, seperti toserba, swalayan, supermarket, hypermarket, dan sejenisnya bagi konsumen kelas ekonomi atas. Masyarakat petani sayur di desa ini, mampu meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga, sekaligus juga mengangkat derajat kehidupan masyarakat dari penjualan hasil kebunnya, seperti kentang, bawang prei, dan jenis sayuran yang lainnya.Kondisi kehidupan masyarakatnya dipandang dari aspek ekonomi cukup baik, tetapi tidak mendorong anak-anaknya dalam peningkatan pendidikan untuk perbaikan sumber daya manusia (SDM) yang lebih berkualitas. Mengingat, anak-anak orientasinya sebagai petani sayur, apa telah diwariskan oleh orang tuanya. Oleh karena itu, kasus ini menarik untuk diungkapkan mendalam, sehingga tulisan ini mengangkat masalah tentang Orientasi Nilai Budaya Petani Sayur: Studi Kasus Petani Sayur di Desa Argosari. Adapun rumusan masalahnya yang difokuskan sebagai berikut: (1) Bagaimana orientasi nilai budaya petani sayur di Desa Argosari?, dan (2) Apa dampaknya bagi kehidupan masyarakat di desa tersebut. Persoalan ini dibedah dengan mengacu teori orientasi nilai budaya yang diungkapkan oleh Kluckhohn, meliputi 5 pokok masalah, yaitu: (1) Masalah hakekat hidup manusia (MH), (2) Masalah hakekat karya manusia (MK), (3) Masalah hakekat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu (MW), (4) Masalah hakekat hubungan manusia dengan lingkungan alam (MA), dan (5) Masalah hakekat hubungan manusia dengan sesamanya (MM). Data bersumber dari data lapangan dikumpulkan melalui pengamatan langsung, dan wawancara beberapa informan dari petani sayur, serta analisis data bersifat kualitatif-deskrptif. Kata Kunci: Orientasi Nilai Budaya, dan Petani Sayur.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 221 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 222 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

I. Pendahuluan Sektor pertanian masih menjadi tumpuan utama untuk menunjang bagi kehidupan warga masyarakat Desa Argosari.Sektor pertanian yang digarap ini adalah berupa kebun sayur, jenisnya seperti kentang, bawang pre, kubis, kacang,tomat, cabai, dan lain-lainnya. Di antara jenis sayuran ini pemanfaatanya dapat dibedakan sebagai berikut: Pertama, jenis sayuran, seperti kentang, bawang pre, dan kubis/kol, semuanya itu dijadikan sebagai produk komoditas untuk dijual ke pasar. Hasil penjualan ini sebagai aset ekonomi rumah tangga keluarga yang diinvestasikan kembali untuk modal membeli bibit, rabuk, obat-obatan, pengolahan lahan, dan pemeliharaannya.Hal ini sangat diprioritaskan agar terjadi kesinambungan untuk menjaga kestabilan ekonomi dalam rumah tangga. Selain itu, digunakan membangun rumah, termasuk perabutan rumah tangga, televisi, sepeda motor atau mobil. Kedua, jenis sayuran lain, seperti tomat, kacang, Lombok, dan jenis sayur yang lainnya yang dikonsumsi sendiri untuk dimasak setiap hari. Masing-masing keluarga dalam sebuah rumah tangga di Desa Argosari, hampir mengelola lahan kebun sayur ini luar arealnya rata-rata di atas 1 hektar, bahkan sampai 5 hektar.Lahan yang begitu luas sejauh mata memandang tanpa pembatas yang jelas antara pemilik lahan yang satu dengan lainnya.Walaupun, letak lokasi lahan perkebunan tersebut mencapai kemiringan 45 bahkan ada yang lebih miring lagi.Namun, petani sayur masih bisa tetap mengolah lahan ini agar tetap bisa produktif berdasarkan pola kearifan lokal yang telah diwariskan dari pendahulunya.Mengingat kemiringan yang begitu terjal, memang dilihat dari sudut topografinya merupakan daerah pegunungan yang berbentuk relief dengan ketinggian 2200 meter dari permukaan laut.Kondisi ini yang menyebabkan jalan melintas di atas perbukitan yang berkelak-kelok naik-turun yang terjal dan dikelilingi dengan tanaman kentang, kubis, dan bawang pre. Keadaan tanah yang subur didukung dengan kondisi lingkungan alam yang sejuk, bahkan dingin dan disertai kabut, amat cocok dengan berbagai jenis sayuran seperti disebutkan di atas. Kecocokan sangat jelas terlihat dari pertumbuhan pada daun tanaman sayur tersebut.Terlepas dari kesuburan tanaman sayur ini, juga disebabkan karena pemberian pupuk organik maupun kimia. Pemupukan tanaman ini dilakukan melalui dua jalur, yaitu (1) cara menaburkan pupuk pada tanaman seperti pupuk organik(kompos)/urea (kimia), dan (2) cara menyemprot daunnya denngan cairan kimia. Selain menyuburkan daunnya agar tumbuh lebih baik, juga untuk mencegah sekaligus membasmi berbagai jenis hama penyakit yang bisa mengganggu pertumbuhan tanaman tersebut, bahkan menyebabkan tanaman sayuran itu mati. Produk pertanian pangan yang dihasilkan oleh petani berupa sayur mayur ini ternyata memiliki prospek ekonomi yang cukup menjanjikan terhadap kondisi perekonomian warga masyarakat di Desa Argosari.Kontribusinya cukup signifikan untuk mensuplai sayuran guna memenuhi kebutuhan permintaan pasar, terutama bagi konsumen, mengingat sayur merupakan menu makanan yang disantap setiap hari.Pasokan pangan ini harus dijaga dengan baik, karena berimplikasi terhadap stabilitas harga di pasar yang dibeli oleh konsumen.Sebagaimana yang berlaku dalam hukum pasar yang menyatakan bahwa permintaan dan penawaran berkorelasi dengan perubahan harga.Begitu

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 223 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 pula, perubahan harga ini sangat sangat dinamis, karena dipengaruhi oleh faktor stok (ketersediaan) barang tersebut di pasar yang dibutuhkan oleh masyarakat konsumen. Kehidupan masyarakat Argosari, hampir seluruhnya tergantung dari penjulan hasil kebun sayuran menunjang dan menggerakkan roda perekonomian keluarga.Oleh karena itu, sumber pendapatan atau penghasilan hanya dari penjualan hasil penjualan sayuran saja. Jadi sektor pertanian masih lebih kelihatn dominan, dibandingkan dengan sektor non pertanian, yang bekerja di luar desanya.Penduduk Desa Argosari lebih cendrung memilih pekerjaan sebagai petani sayur dibandingkan bekerja di luar bidang pertanian (non pertanian).Di sini sesungguhnya letak masalahnya, sehingga fenomena ini menarik untuk dikaji lebih mendalam.Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka fokus masalah menyenai orientasi nilai budaya petani sayur dengan mengangkat kasus di Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur. Ada dua pokok masalahantara lain sebagai berikut: (1) Bagaimana orientasi nilai budaya petani sayur di Desa Argosari?, dan (2) Apa dampaknya bagi kehidupan perekonomian masyarakat di desa tersebut? Landasan teori orientasi nilai budaya yang dikembangkan oleh Kluckhohn (Koentjaraningrat, 1992) dijadikan acuan sebagai pisau analisis untuk membedah permasalahan tersebut.Menurut pandangan Kluckhohn (Koentjaraningrat, 1992) menjelaskan bahwa ada 5 masalah pokok yang berkaitan dengan orientasi nilai budaya yang berlaku secara universal pada semua kebudayaan di dunia.Hal ini mencakup dalam lingkungan ekonomi, kekerabatan, dan religi yang berkaitan dengan kepercayaan dan keyakinan. Ke-5 masalah orientasi nilai budaya mencakup: (1) Masalah hakekat hidup manusia (MH), (2) Masalah hakekat karya manusia (MK), (3) Masalah hakekat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu (MW), (4) Masalah hakekat hubungan manusia dengan lingkungan alam (MA), dan (5) Masalah hakekat hubungan manusia dengan sesamanya (MM). Metode analisis data kualitatif diskriptif yang bersumber dari data primer (lapangan) dan data skunder berdasarkan studi pustaka.Data primer diperoleh dari hasil pengamatan (observasi) selama 6 hari (4—9 Maret 2019), dan wawancara dengan beberapa informan yang menggeluti sektor perkebunan sayur-mayur di lokasi penelitian (Bachtiar, 1977, dan Koentjaraningrat, 1997). II. Pembahasan 1.1. Orientasi Nilai Budaya Petani Sayur Masyarakat Argosari. Dalam pembahasan ini ada dua hal pokok yang perlu dipahami lebih dalam, yaitu (1) Pemahaman konsepsional yang berkaitan dengan orientasi nilai budaya, dan (2) konsep petani sayur itu sendiri bila dikaitkan dengan orientasi nilai budaya seperti apa dalam kehidupan realitas empiris pada masyarakat petani sayur di Desa Argosari. Oleh karena itu, pelukisan secara etnografis tentang orientasi nilai budaya petani sayur-mayur bagi masyarakat Argosari sebagai sebuah sub-sektor yang masih eksis digeluti sampai saat ini.Keberadaan petani berdasarkan analisis data lapangan, walaupun data yang dikumpulkan masih terbatas, sehingga masih dibutuhkan data yang lebih memadai agar analisis deskripsi lebih mendalam (thick description) (Geertz, 1990) untuk memperoleh potret gambaran sesuai dengan warna aslinya di lapangan.Kembali kepada konsepsi orientasi nilai budaya itu, menurut pandangan Koentjaraningrat (1992), menjelaskan bahwa suatu persepsi yang dipandang berharga dan penting dalam kehidupan masyarakat.

  224 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Contohnya: nilai gotong royong dipandang penting dan berharga dalam kehidupan masyarakat, karena yang dibangun kerjasama dalam bentuk gotong royong untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat di Indonesia. Namun, konsepsi berbeda dengan masyarakat kebudayaan Barat bahwa bernilai tinggi apabila manusia berhasil atas usahanya sendiri, sehingga nilai individualisme dipandang berharga tinggi dalam kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 1992). Selanjutnya, petani (peasant society) secara operasional di lapangan, maka konsep ini dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) masyarakat petani yang hasil pertaniannya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, (2) masyarakat petani yang memiliki hak-hak atas dan mengolahnya dengan teknologi sederhana untuk meningkatkan hasil produksi pertaniannya, (3) seorang petani, tetapi bukan bisnis memperoleh keuntungan, (4) seseorang petani secara pribadi bertani di atas lahan yang diusahakan sendiri, dan (5) seorang petani, karena pendidikan rendah, maka sangat menolak kehadiran inovasi (Reading, 1986). Berdasarkan acuan konsepsi mengenai orientasi nilai budaya petani sayur masyarakat Argosari, jika dikaitkan dengan kerangka teori orientasi nilai budaya, sebagaimana telah dijelaskan oleh Kluckhohn (Koentjaraningrat, 1992) tersebut di atas, yang meliputi 5 masalah pokok.Namun, dalam pembahasan tulisan ini, hanya batasi pada pokok masalah yang kedua, yaitu masalah hakekat karya manusia (MK) mengingat dibatasi jumlah halaman penulisan, dan data yang diperlukan untuk analisis masih sangat terbatas. Walaapun, ke-5 pokok masalah tersebut sesungguhnya berkaitan satu sama lain. Akhirnya, dalam pembahasan ini hanya mengungkapkan orientani nilai budaya petani sayur masyarakat Argosari yang berhubungan dengan hakekat karya manusia. Berdasarkan kerangka pemikiran Kluckhohn (Koentjaraningrat, 1992), secara jelas digambarkan, bahwa masalah dasar dalam hidup manusia, yang terkait dengan hakekat karya manusia itu. Hal tersebut, secara garis besa mempunyai oreintasi nilai budaya dalam pandangan hidup masyarakat sebagai berikut: (a) bekerja atau berkarya itu untuk nafkah hidup, (b) bekerja atau berkarya itu, untuk kedudukan, kehormatan, kekayaan, dan lain-lainnya, dan (c) bekerja atau berkarya itu, untuk menambah karya. Jadi, orientasi nilai budaya masyarakat petani sayur di Desa Argosari lebih menonjol pada komponen butir (a) dan butir (b), sedangkan komponen butir (c) tidak ada sama sekali. Hal ini berdasarkan data realitas empiris di lapangan, sangat sulit menyatakan penduduk warga Desa Argosari itu miskin, walaupun lokasi pemukim penduduk terletak di lereng areal pegunungan.Ada data lapangan yang mendukung kondisi kehidupan ekonomi penduduk di desa ini.Pertama, bangunan rumah tempat tinggal warga masyarakat, hampir semua masyarakat memiliki rumah modern.Artinya, rumahnya berlantai, lantai keramik, tembok di cat dengan bervariasi warna cat masa kini, bahkan ada menggunkan keramik.Bentuk bangunan rumah disertai dengan berbagai asesoris, layaknya seperti villa.Rumah dalam bentuk tradisional hanya masih tinggal beberapa buah saja, kerena menggunakan diding kayu atau gedeg dan atapnya genteng atau seng, Kedua, perabotan rumah tangga sudah serba modern.Ketiga, alat transpotasi untuk mobilitas menggunakan sepeda motor dan mobil roda 4, rata-rata penduduk memiliki kendaraan sepeda motor pada setiap keluarga lebih dari satu. Begitu dengan mobil roda 4, ada beberapa memiliki lebih dari satu, walaupun jumlah pemilik masih tergolong kecil.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 225 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Gambaran yang ditunjukan tentang kepemilikan bentuk rumah yang bagus, dan kendaraan motor itu, sesungguhnya ingin menunjukkan status sosial dalam kontestasi kehidupan masyarakat sekitar sebagai hasil dari jerih-payah usaha taninya yang selama ini telah digeluti. Tampaknya, secara tersembunyi terjadi persaingan secara kompetitif di antara petani untuk menampilkan kekayaannya untuk dikomunikasi kepada masyarakat lingkungannya secara tidak langsung (Daeng, 1985). Justru pada sektor pendidikan tidak mendapat perhatian sama sekali bagi orang tua. Oleh karena itu, tingkat pendidikan formal penduduk Desa Argosari sangat rendah. Hanya ada fasilitas gedung TK dan SD, sehingga melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi (SMP, SMA, dan PT) hanya di kota kecamatan, kabupaten, dan provinsi. Anak-anak merasa enggan dan orang tuanya tidak memotivasi untuk sekolah. Sebagaimana diketahui bersama bahwa pendidikan formal lewat bangku sekolah/kuliah itu dapat meningkatkan mutu sumer daya manusia (SDM) untuk menyosong perubahan kearah peradaban manusia yang lebih maju di masa depan. 1.2. Dampaknya Orientasi Nilai Budaya Petani Sayur bagi Kehidupan Perekonomian Masyarakat Argosari. Petani sayur-mayur di Desa Argosari ini dapat digolongkan ke dalam bentuk- bentuk utama ekotipe petani neoteknik.Sebagaimana diilustrasikan oleh Wolf (1985) bahwa holtikultura yang dispesialisasikan (specialized horticulture), karena bercirikan hasil kebun, seperti kentang, bawang pre, kol/kubis, jagung, tomat, cabai/Lombok, dan lain-lainnya.Semua jenis tanaman ini diusahakan di atas lahan yang dipelihara secara permanen.Petani ini dalam menggarap lahan kebun sayurnya (hortikulturanya) selalu melibatkan keluarga (suami+istri, dan anak-anak).Kaum ibu (istri) sangat aktif membantu suaminya bekerja di dikebun.Begitu pula, anak-anak diikutsertakan dalam aktivitas pengolahan lahan kebun tersebut, terutama diwaktu masa panen.Kadang-kadang anaknya disuruh memetik buah tomat, lombok/cabai, jagung, dan sebagainya untuk dikonsumsi sendiri. Bagi kaum laki-laki (suami) pagi sekitar jam 06.00 waktu setempat sudah berangkat ke kebunnya. Nanti pulang sekitar pukul 14.00 sore, karena memupuk daun dengan semprotan lebih baik dilakukan pada pagi hari, agar penyerapan pupuk pada daun tanaman tersebut daya serapnya lebih baik, dan tidak merusak pertumbuhan tanaman itu sendiri. Mengacu pada uraian di atas, tentang orientasi nilai budaya petani sayur bagi masyarakat Desa Argosari, ternyata pendapatan atau penghasilan dari hasil penjualan sayur digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat konsumtif.Seperti kebutuhan makan keluarga sehari-hari.Sisanya, membangun rumah, membeli sepada motor/mobil, cadangan untuk hajatan maupun ritus siklus hidup dalam keluarga.Selain itu, ada upacara tertentu ditingkat desa yang melibatkan seluruh warga masyarakat.Jika, dikaitkan dengan dampak orientasi nilai budaya pada masalah pokok ke-2 tentang manusia dan karya (MK), di satu sisi menunjukkan hal-hal yang bersifat positif.Hal ini disebakan karena kontribusinya sangat signifikan dalam mendongkrak perekonomian keluarga.Di sisi lain, terlihat juga unsur negatifnya, bagi petani sayur dengan memperoleh pendapatan cukup tinggi sangat rendah minat untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi. Jadi investasi di bidang pendidikan memang sangat rendah.Jumlah penduduk yang mengenyam pendidikan formal tingkat SMP sederajat dan SMA sederajat sangat rendah sekali.Bahkan yang

  226 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 kuliah perguruan tinggi (PT Negeri dan PT swasta sangat rendah sekali. Mengingat juga investasi di bidang pendidikan untuk menikmati hasilnya membutuhkan proses waktu yang panjang.

III. Penutup

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 1. Persepsi petani sayur warga masyarakat Desa Argosari, jika dikaitkan dengan orientasi nilai budaya mengungkapkan bahwa memandang penting bekerja atau berkarya dalam hidup untuk memenuhi kehidupan ekonomi keluarga merupakan prioritas utama. Hal ini menyebabkan semua hasil produksi yang diperoleh dari penjualan sayur-mayur, keuangan (dana) diarahkan untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat konsumtif. 2. Dampaknya, ada dua hal, yaitu positif, karena dapat menjamin stabilitas perekonomian keluarga, semua kebutuhan hidup dapat dipenuhi dari hasil produk penjualan yang diperoleh pada lahan kebunnya serta ada kecendrungan bersifat konsumtif. Bila dipandang dari sisi negatif, kurang berminat untuk berinvestasi di bidang pendidikan formal anak-anaknya ke jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi. Mengingat, pendidikan dapat dijadikan salah satu indicator dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) untuk memasuki era industri 4.0 di masa datang.

DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, Harsja W., 1977. ―Pengamatan Sebagai Suatu Metode Penelitian‖ dalam Metode-metode Penelitian Masyarakat (Editor: Kontjaraningrat). Jakarta: PT Gramedia. Daeng, Hans J., 1985. ―Pesta, Persaingan, dan Konsep Harga Diri di Flores‖ dalam Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam Modernisasi (Penyunting Michael R.Dove). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kepala Desa Argosari, 2019. Profil Desa 2015—2019.Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur. Koentjaraningrat., 1977. ―Metode Wawancara‖ dalam Metode-metode Penelitian Masyarakat (Editor: Kontjaraningrat). Jakarta: PT Gramedia. Koentjaraningrat, 1992.Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Utama Pustaka. Reading, Hugo F., 1986. Kamus Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: CV Rajawali. Wolf, Eric R., 1985. Petani Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta: CV Rajawali.

 CERITA SI LUTUNG DAN SIKEKUWE DALAM SEBUAH PERBANDINGAN

Komang Paramartha dan I Nyoman Sukartha Prodi Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [email protected]

ABSTRAK

Ceritera si Lutung dan si Kekuwe saat ini sudah jarang diketahui oleh masyarakat Bali. Hal itu disebabkan oleh gempuran pengaruh budaya asing. Pada hal, bila dicermati dengan baik, ceritera-ceritera klasik sangat sarat akan kandungan nilai moral. Untuk itu akan dicoba menggangkat ceriter tersebut sebagai bahan kajian. Kajian akan dititikberatkan pada perbandingan cerita yang bersumber dari dua sumber. Sumber pertama adalah bceritera si Lutung dan Si Kekuwe versi buku Kembang Rampe Kesusastraan Bali Purwa oleh I Gusti Ngurah Bagus dan I Nyoman Ginarsa. Yang kedua adalah bersumber dari Kidung Raga Winasa atauTantri Manduka Prakarana. Keduanya akan diperbandingkan dengan menggunakan teori sastra bandingan. Dengan demikian dapat diketahui persamaan dan perbedaan kedua versi ceritera tersebut.

Kata kunci: sastra bandingan, watak jahat, dan Kekuwe.

1. Pendahuluan Masyarakat Bali sangat kaya akan ceritera klasik. Salah satunya adalah ceritera tentang binatang seperti ceritera si Lutung dan si Kekuwe (kura-kura). Ceritera tersebut masih hidup pada masyarakat Bali hingga kini. Ceritera itu mengisahkan persahabatan antara si Lutung dengan si Kekuwe yang pada awalnya saling menolong, namun kemudian menjadi ajang balas dendam. Si Lutung dikisahkan sebagai tokoh licik yang tidak tahu balas budi. Akhirnya karena kelicikannya itu ia mendapat kematian. Ceritera si Lutung dan si Kekuwe yang ada di masyarakat Bali memiliki versi yang beragam. Dalam tulisan ini akan dicoba membandingkan ceritera tersebut. Sumber ceritera diambil dari ceritera si Lutung dan Si Kekuwe yang termuat dalam Kidung Rȃga Winȃsa dan ceritera si Lutung dan si Kekuwe yang termuat dalam buku Kembang Rampe Kesusastraan Bali karya I Gusti Ngurah Bagus (1974). Kidung Rȃga Winȃsa merupakan gendre sastr klasik yang berbentuk puisi. Kidung tersebut merupakan ceritera berbingkai yang juga merupakan sempalan kidung Tantri. Kidung Tantri ada tiga yaitu : Kidung Tantri Nandaka Harana, Kidung Tantri Rȃga Winȃsa, dan Kidung Tantri Pisaca Harana (Sukartha dkk, 2017, 45, Sukartha, 2018, 78). Sedang Kesusastraan Bali Purwa merupakan kumpulan ceritera dari I Gusti Ngurah Bagus dkk. Ceritera si Lutung dan Si Kekuwe terdapat di dalam Kidung Raga Winasa

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 227 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 228 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Robert J. Clements menyatakan bahwa sastra bandingan muncul sebagai salah satu disiplin akademik. Kajian sastra bandingan terfokus kepada pada berbagai aspek seperti; tema, jenis atau bentuk, gerakan atau tern, hubungan sastra dengan bidang yang lain serta media seni lainnya, sejarah kritik dan teori sastra. Pandangan yang sedikit berbeda adalah pandangan François Jost. Menurutnya, sastra bandingan lebih memusatkan pada interaksi dan kemiripan di antara dua atau lebih sastra nasional. Interaksi itu dapat dilihat dari perbedaan pada pengarang, fungsi khusus ada proses tranmisi yang terlihat pada tekhnik dan aliran sastra (Susanto, 2015:737). Ceiritera si Lutung dan si Kekuwe seperti yang telah dikemukakan di atas memiliki persamaan dan juga perbedaan. Hal itu menggelitik dan merangsang untuk diketahui. Apa persamaan dana pa pula perbedaan yang terdapat dalam ceritera itu. Apakah perbedaan yang dimilikinya mengubah tema dan makna dai ceritera itu. Hal itu bisa diketahui melalui paparan di bawah ini. 2. Cerita versiKembang Rampe Kesusastran Bali Purwa(Versi 1). Cerita itu berupa cerita yang disajikan pada cerita ketiga setelah cerita Sang Kidang Teken Sang Cekcek dan sebelum cerita Sang Muun ring Sang Lanjana (1978: 23). Menggunakan bahasa Bali Isi Cerita. Konon, tersebutllah keluarga petani yang hidup memondok di suatu ladang. Ia memiliki seorang puri yang jelita. Pekerjaannya hanya sebagai petani kebun, namun kebunnya tidak menghasilkan apa-apa. Hal itu disebabkan oleh ulah seekor kera yang bernama sang Lutung yang merusak kebunnya. Itulah sebabnya sang Petani mencari akal untuk menangkap sang Lutung. Sang Petani berniat membuat perangkap (santeb) untuk menangkap sang Lutung. Singngkat cerita, setelah santeb selesai dibuat lalu dipasang beserta umpan buah-buahan. Sang Lutung tidak mengetahui dirinya akan ditangkap dengan santeb. Akhirnya sang Lutung tertangkap di dalam santeb dan tidak bisa ke luar. Setelah sang Petani melihat sang Lutung sudah terkena perangkap maka ia lalu membawanya ke pondok. Sang Petani memberitahu anak-istrinya bahwa ia sudah menangkap sang Lutung yang selalu tali. Ia dimasukka ke dalam sangkar bambu lalu ditaruh di belakang pondoknya. Diceritakan sang Lutung yang terikat di dalam kerangkeng bambu. Ia sangat sedih hingga menitikkan air mata memikirkan bahwa dirinya akan dibunuh utuk dijadikan masakan oleh sang Petani. Bertepatan dengan itu, tersebutlah seekor kura-kura (sang Kura=Kura) ke luar dari bawah balok kayu yang bermaksud mencari air ke sungai yang ada di belakang pondok sang Petani. Ketika sang Lutung melihat sang Kekuwelalu ia berdehem. Sang Kekuwelalu menolehnya sambil bertanya: ―Sedang apa kamu di sana Lutung?‖. Sang Lutung menjawab: ―Wah, kamu tidak tahu ya, bahwa aku dirayu oleh ayah gadis yang sedang menggerus param itu. Tetapi aku tidak mau kawin makanya aku diborgol dan dimasukkan ke dalam sangkar bambu ini. Bila kamu mau menggantikanku, aku persilahkan‖. ―Ya, aku mau menggantikanmu sebagai penganten bila memang bisa diganti‖. Begitulah jawaban sang Kura=Kura. Sang Lutung kembali berkata: ―Okelah!. Bukalah sangkar ini lalu lepaskan aku dari ikatanku. Sebagai gantinya, kamulah yang akan aku ikat‖. Sang Kura-Kura sangat girang hatinya. Dengan cepat ia membuka ikatan sang Lutung. Setelah

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 229 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 sang Lutung lepas maka sang Kura-Kura diikat dan dimasukkan ke dalam kurungan babu. Selanjutnya sang Lutung lalu berlari dan naik ke atas pohon untuk bersembunyi. Ia lalu tertawa karena hatinya senang sudah bebas. Ketika sudah berada di atas pohon sang Lutung lalu bernyanyi: “Sang Kekuwe, sang Kekuwe beten kranjang, sang Lutung babuan di kayu, sang Kekuwe celakne kenyang,sang Lutung celakne layu”. Terjemahannya. Sang Kekuwe sang kekuwe ada di bawah keranjang. Sang Lutung diatas pohon. Sang Kekuwe kemaluannya tegang, sang Lutungkemaluannya layu Gadis anak sang Petani mendengar nyanyian sang Lutung. Ia datang mendekatinya. Ia lalu melihat ke dalam sangkar bambu. Dilihatnyalah ada seekor kura-kura terikat berada di dalam sangkar itu. Melihat hal itu sang gadis lalu berlari memanggil ayahnya. Diceritakanlah prihal tentang sang Kekuweyang terikat berada di dalam sangkar, sedangkan sang Lutung sudah hilang. Sang petani lalu berkata: ‗Biar pun kura-kura, toh dagingnya lebih lezat dibandingkan dengan monyet. Ia tetap kita akan masak jadikan anyang.‖. (anyang berarti ‗lawar atau sayuran cincang dicampur dengan daging, kulit, darah, isi, dan perut yang dicincang kecil-kecil dan dibumbui untuk lauk makan‘). Sang Kura-Kura sangat sedih hatinya ketika diambil dari dalam sangkar. Air matanya menetes karena ia mengetahui bahwa dirinya akan dipotong untuk dijadikan masakan. Akhirnya sang Kura-Kura dipotong dan dimasak. Diceritkan kini sang Lutung yang kegirangan. Ia lalu turun ke kali untuk mandi. Pada saat itu ada seekor kepiting (sang Yuyu) sedang bersembunyi di sela- sela batu. Ketika sang Lutung melihat sang Yuyu, timbul niatnya untuk membencanai. Ia lalu menyuruh sang Yuyu agar naik untuk diajak berembug. Sang Yuyu tidak mau kaena ia mengetahui sang Lutung memiliki sifat sangat jahat. Ia berdalih mengaku kakinya keseleo dan tidak mampu berjalan naik.Sang Yuyu minta ditarik agar bis naik. Sang Lutung lalu mengikuti permintaan sang Yuyu. Ia lalu menjulurkan ekornya ke sela-sela batu. Sang Yuyu lalu menjepit ekor sang Lutung. Sang Lutung menjerit kesakitan. Kebetulan jeritannya didengar oleh seseorang yang sedang mencari ikan. Melihat sang Lutung kesakitan dan tidak mampu melepaskan diri maka sang pencari ikan lalu menangkapnya dan menyembelihnya. Sang Lutung akhirnya mati. 3. Cerita Sang Lutung dan Sang Kekuwe Versi Kidung Rȃga Winȃsa (Versi 2). Diceritaka setelah si Lutung terlepas dari lilitan ekor si Macan. Ia terjatuh di dalam hutan. Ia lama tidak sadarkan diri. Setelah siuman ia ke luar dari semak- semak. Ia bertemu dengan seekor kura-kura (si Kekuwe). Ketika itu sang Lutung ditanyai oleh sang Kekuwe tentang penyebab dan tujuannya datang ke tempat itu. Dasar Lutung jahat dan usil, maka pertanyaan sang Kekuwedijawabnya dengan menghina si Kekuwe . Sang Kekuwe mengatakan dirinya adalah keturunan seekor penyu yang bernama Bedawangnala. Menurutnya, pada waktu dahulu kala, ia ditugaskan menjaga bumi agar tidak hancur. Mendengar keterangan sang Kekuwemaka sang Lutung mulai hormat. Namun dalam hatinya ia bermaksud menguji dan membencanai sang Kekuwe. Suatu hari diajaknya sang Kekuwepergi ke suatu ladang perkebunan untuk mencari makan. Sesampainya di tengah perkebunan, sang Lutung mengajaknya

  230 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 masuk ke dalam kebun untuk menikmati hasil kebun itu. Sang Lutung dengan cekatan melompat-lompat sambil makan buah-buahan. Sedang sang Kekuweberjalan di sela-sela pohon jahe. Niat jahil sang Lutung untuk mencelakai sang Kekuwemuncul saat itu. Sang Lutung lalu turun ke kebun jahe, serta mencabut-cabut pohon jahe hingga kebun jahe itu rusak. Ia berteriak-teriak ribut. SangKekuwemelarangnya namun tidak dihiraukan oleh sang Lutung. Tersebutlah pemilik kebun yang bernama bernama Pan Durbudi. Mendengar ada monyet rebut di kebunnya lalu ia dating melihat kebunnya. Ketika sampai di kebun Pan Durbudi sangat marah melihat banyak pohon jahenya yang rusak. Pan Durbudi mengejar sang Lutung. Namun sang Lutung tidak mampu ditangkapnya. Sang Lutung lalu bernyanyi di atas pohon untuk memanas-manasang Pan Durbudi. Dalam nyanyiannya disebutkan bahwa ada kura-kura jelek bersembunyi di sela-sela pohon jahe. Dicarilah dan ditemukannlah sang Kekuwe yang ketika itu sedang bersembunyi di sela-sela pohon jahe. Sang Kekuwelalu diikat dan dibawanya pulang. Sesampainya di rumah Pan Durbudi menyuruh istri dan anaknya untuk menyiapkan bumbu dan beras untuk dimasak esok harinya. Sangbuklah mereka mencari bahan-bahan masakan untuk memasak kura-kura, Sang Kekuweyang terikat lalu dimasukkan ke dalam keranjang agar tidak bisa lepas. Pada malam harinya sang Lutung datang ke tempat sang Kekuwediikat dengan tujuan mengejek. Sang Lutung mengejek sang Kekuwedengan mengatakan bahwa sang Kekuwesangat dungu tetapi ngaku pintar. Sang Kekuwemengetahui bahwa dirinya sengaja ditipu agar tempat persembunyiannya diketahui oleh pan Durbudi dan lalu dibunuh. Kala itu timbullah niatnya untuk menipu balik.. Sang Kekuwemengatakan dirinya bukan akan dipotong untuk dimasak, tetapi sengaja diikat dan dimasukkan ke dalam keranjang agar tidak bisa melarikan diri. Sang Kekuweberkata bahwa dirinya besok akan dikawinkan dengan anak Pan Durbudi yang cantik. Mendengar ceritera sang Kekuweseperti itu maka sang Lutung memaksa sang Kekuweuntuk menggantikan menjadi mempelai. Ahirnya sang Kekuwesetuju digantikan oleh sang Lutung. Sang Lutung lalu menyerahkan diri untuk diikat dan dimasukkan ke dalam keranjang bambu. Setelah sang Lutung terikat dan dipastikan tidak akan bisa lepas maka sang Kekuwelalu pergi menjauh dan masuk ked lam hutan. Pada keesokan harinya Pan Durbudi sekeluarga sudah bangun dan bersiap--siap untuk memasak kura-kura. Tetapi, betapa kagetnya ia ketika melihat bahwa tidak ada kura-kura di dalam keranjang. Sebagai gantinya ada seekor lutung yang sedang terikat. Merekapun sangat gembira sebab daging lutung tentu lebih banyak dan lebih lezat dibandingkan dengan daging kura-kura. Pan Durbudi menyuruh anak-istrinya menambah lebih banyak lagi bumbu masaknya. Mengethaui bahwa dirinya bukan dikawinkan, tetapi akan dipotong dan dimasak, maka sang Lutung sangat sedih dan ketakutan. Ia lalu mencari akal agar bisa membebaskan diri. Pada malam harinya datanglah seekor anai-anai (sang Tetani) sedang mencari makan. Ketika sang Lutung melihat sang Tetani, maka timbul idenya minta bantuan. Sang Lutung memohon minta agar sang Tetani mau melepaskannya. Ia menyuruh sang Tetani untuk memanggil kawan-kawannya untuk rela melepaskannya dari ikatan itu. Sang Tetani lalu memanggil kawan- kawannya. Setelah mereka banyak yang datang maka tali pengikat sang Lutung

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 231 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 dimakan bersama-sama.Sebentar saja sang Lutung sudah terlepas dari ikatan talinya. Sang Lutung lalu pergi berlari ke tangah hutan. Setelah sampai di Hutan ia lalu menyuruh sang Tetani berkumpul lagi untuk diberi penghormatan atas pertolongannya. Setelah sang Tetani berkmpul lalu sang Lutung meraup dan memakannya. Akhirnya sang Tetani hanya tinggal sepasang saja lalu bersembunyi di bawah pohon teep.

4. Perbandingan Ceritera.Bila cerita sang Lutung dan sang Kekuwedisimak dengan cermat maka dapat diketahui perbedaan yang sangat sanggnifikan. Perbedaan tersebut dapat diuraikan seperti di bawah ini.

Versi Kembang Rampe Kasusastran Bali versi Kidung Rȃga Winȃsa. Purwa a) Cerita dimulai dengan kisah a) Ceriter dimulai dengan pelarian sorang petani yang gagal si Macan dan si Lutung di dalam berkebun. ditengah hutan. b) Kegagalannya disebabkan b) Si lutung terjatuh di semak- ulah seekor Lutung yang semak. Setelah sadar ia merusak kebunnya. berjumpa dengan si Kekuwe. c) Sang petani marah lalu c) Terjadi dialog saling iamemasang jerat. menyombongkan diri. Si d) Si Lutung terkena jerat, ia lalu Kekuwe mengaku keturunan diikat dan akan dimasak untuk Bedawang Nala lauk. d) Lutung mengajak jalan jalan ke e) Malam harinya datanglah sebuah kebun yang banyak ada seekor kura-kura ingin makanan mencari air, terjadi dialoh dan e) Sesampainya di kebun si Lutung kura-kura mau menggantikan merusak tanaman jahe Pak Lutung untuk diikat karena Durbudi. tipu muslihat Lutung. f) Pak Durbudi datang lalu f) Kura-kura sangat sedih ditipu menangkap si Kekuwe dan lalu si Lutung. diikatnya di taruh di bawah g) Kura-kura ahirnya disembelih keranjang. dijadikan lauk oleh si petani. g) Si Kekuwe bersedih karena mau h) Kejadian itu diketahui oleh disembelih seekor kepiting yang h) Keesokan harinya si Lutung merupakan sahabat si Kekuwe mendatangi si Kekuwe dan i) Kebetulan si Lutung pergi ke mengejeknya. Si Kekuwe kali untuk mencari minum menipu si Lutung, mengatakan j) Ia melihat si Kepiting dirinya bukanlah akan k) Ia membohongi si Kepiting disembelih tetapi akan agar mau naik ke darat untuk dikawinkan dengan anak Pak diajak jalan-jalan Durbudi yang cantic. l) Kepiting mau naik asal i) Mendengar ceritera si Kekuwe dibantu oleh Lutung. maka si Lutung tertarik dan mau m) Lutung menurunkan ekornya menggantikan si Kekuwe jadi dan kepiting menjepitnya. pengantin.

  232 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

n) Si Lutung berteriak-teriak j) Si Lutung terkena tipuan si kesakitan. Kekuwe. o) Jeritannya di dengar oleh k) Pada malam harinya si Lutung seorang yang sedang mencari ditolong oleh si Tetani sehingga ikan di sungai. ia bisa melepaskan diri. p) Si Lutung lalu ditangkapnya l) Pada akhir cerita si Lutung dan dan disembelih untuk si Kekuwe keduanya masih dijadikan lauk. hidup. q) Si Lutung mati.

Penjelasan

Melihat paparan di atas dapatlah diketahui bahwa ada persamaan dan perbedaan antara kedua versi itu. Hal itu dapat dijelaskan sebagai beriku

1) Ceritera versi 1 dan 2 sama-sama menceritakan Lutung dan Kekuwe. 2) Dalam versi 1 si Lutung dan si Kekuwe diceritakan sama-sama suka bohong. 3) Dalam versi 1 Lutung dan Kekuwe sama-sama mati. 4) Sedang Versi 2 keduanya masih hidup. 5) Versi 2 Lutung adalah tokoh jahat. 6) Versi 1 keduanya jahat karena sama-sama suka berbohong. 7) Versi 1 memiliki tokoh tambahan yaitu sang Kepiting dan tukang pancing Versi 2 tokoh tambahan adalah si Tetani

Kesimpulan a) Kedua versi ceritera seperti tersebut di atas mengandung pesan bahwa tidak baik menjadi orang yang suka berbohong apa lagi menjadi orang jahat. Sebab perbuatan seperti itu akan menjerumuskan ke dalam kesengsaraan bahkan kematian. b) Makna kedua cerita itu adalah: kejahatan akan selalu berakibat buruk sedang kebaikan akan selalu berakibat kebahagiaan. Untuk itu dalam kehidupan ini janganlah suka berbohong atau berbuat jahat. Daftar Pustaka Bagus dkk. 1974. Kembang Rmpe Kesusastraan Bali Purwa. 1974. Denpasar; Fakultas Sastra UNUD. Moeliono, Anton. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional. Sudiana.T. I Made. 2012. Kidung Rȃga Winȃsa (Tantri Mandhuka Prakarana). Denpasar; Percetakan Bali. Sukartha, I Nyoman. 2016. ―Pendidikan Karakter Dalam Ceritera Si Lutung, Si Tetani, dan Si Katak‖, dalam Proseding Seminar Nasional Asosiasi Tradisi Lisan. Denpasar; Pustaka Larasan. Sukartha. I Nyoman. 2017. ―Makna Pendidikan Moral dalam Kidung Raga Winasa Episode Persahabatan Si Lutung dengan Si Keker‖dalam

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 233 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Proseding Seminar Nasional Sastra dan Budaya II. Denpasar; Fakultas Ilmu Budaya UNUD. Sukartha, I Nyoman. 2017. ―Kepengarangan Kidung Tantri Mandhuka Prakarana‖ dalam Proseding Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Austronesia VIII. Denpasar; Fakultas Ilmu Budaya. Sukartha I Nyoman dkk. 2017. ―Pendidikan Moralitas Dalam Kidung Manduka Prakarana‖. Denpasar. Program Stodi Bahasa Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana.

Susanto, Dwi. 2015. Kamus Istilah Sastra. Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

  KISAH CINTA DAN PENGORBANAN DI BALIK TRADISI PASOLA DI SUMBA (KONSEP AWAL PENULISAN SKENARIO FILM PASOLA SUMBA)

Maria Matildis Banda Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [email protected]

ABSTRAK

Pasola adalah tradisi heroik masyarakat tradisional Sumba. Pasola mempertemukan dua kelompok pemuda yang "berperang" mempertontonkan ketangkasan berkuda dan ketepatan melempar tombak dari atas kuda yang sedang melaju kencang. Tradisi ini dilaksanakan setiap tahun pada bulan Februari sampai Maret, yang dilakukan oleh orang Sumba terutama yang masih menganut agama asli yang disebut (agama lokal masyarakat sumba). Tradisi pasola lahir dari kisah mitologi tentang Putri Rabu Kaba yang diperebutkan Umbu Dullah (suaminya) dan Teda Gaiparano (pria idaman lain). Bagaimanakah alur, karakter tokoh-tokoh, serta latar kisah mitologi tersebut akan dibahas dalam makalah ini. Tujuannya untuk mendapatkan masukkan kearifan lokal tentang kisah Putri Rabu Kaba; serta untuk memperdalam karakter cerita yang penting untuk penulisan skenario film. Metode yang digunakan adalah metode kepustakaan dan metode wawancara, sementara teori yang digunakan untuk analisis strtuktur adalah teori strukturalisme dan semiotik. Hasilnya menjelaskan tentang struktur cerita Putri Rabu Kaba dan tradisi pasola yang merupakan simbol kepahlawanan masyarakat Sumba dalam menghadapi dan mensyukuri berbagai tantangan hidup.

Kata Kunci: Pasola, Putri Rabu Kaba, mitologi, skenario.

I. Pendahuluan Pasola adalah tradisi heroik masyarakat tradisional Sumba. Pasola mempertemukan dua kelompok pemuda yang "berperang" mempertontonkan ketangkasan berkuda dan ketepatan melempar tombak dari atas kuda yang sedang melaju kencang. Tradisi ini dilaksanakan setiap tahun pada bulan Februari sampai Maret, yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama asli yang disebut Marapu (agama lokal masyarakat sumba). Tradisi pasola diadakan pada empat kampung di kabupaten Sumba Barat dan Sumba Barat Daya. Keempat kampung tersebut antara lain Kodi di Sumba Barat Daya, dan Lamboya, Wonokaka, dan Gaura di Sumba Barat, serta beberapa kampung lainnya demi kepentingan pariwisata. Pelaksanaan pasola dilakukan secara bergiliran setelah pelaksanaan tradisi nyale (pencarian/pengambilan cacing laut). Pasola dilaksanakan di arena luas terbuka dan disaksikan oleh masyarakat sekitar, turis domestik, maupun turis asing.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 234 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 235 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Tradisi pasola dilatari oleh kisah asmara antara Umbu Dullah (atau nama lainnya), Rabu Kaba (istri Umbu Dullah), serta Teda Gaiparano Pria Idaman Lain (PIL) dari Rabu Kaba. Ada beberapa variasi cerita dari beberapa versi yang menarik untuk ditelusuri dan dikaji secara filologis demi mendapatkan cerita yang mendekati asli. Pada kesempatan ini akan dibahas secara singkat alur, karakter, dan latar cerita berdasarkan versi cerita yang dijelaskan melalui wawancara dan diskusi singkat dengan Romo Atnan Ndate (Jumat, 08 Maret 2019) dan Tony Umbu Zasa (Sabtu, 09 Maret 2019) di Kupang serta informasi yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Masalah dan tujuan penulisan makalah ini untuk: 1) mendapatkan gambaran umum tentang tradisi pasola, tradisi nyale, serta cerita rakyat (mitos) tradisional Putri Rabu Kaba yang diyakini masyarakat setempat berhubungan dengan kedua tradisi tersebut; 2) mendapatkan sebuah kajian struktur alur, perwatakan, dan latar cerita Putri Rabu Kaba. Analisis akan memberi manfaat bagi penulisan skenario film tentang tradisi pasola berdasarkan cerita Putri Rabu Kaba; 3) mendapatkan masukkan berupa referensi dan teori demi penelitian lebih lanjut serta tercapainya tujuan penulisan skenerio film tentang pasola. Teori yang digunakan adalah teori strukturalisme dan semiotik yang menggarisbawahi tiga konsep estetika sastra prosa yaitu alur, perwatakan, dan latar serta makna tanda-tanda yang ada di baliknya.

II. Metodologi Metode yang digunakan untuk penulisan makalah ini adalah sebagai berikut. Metode kepustakaan dilakukan dengan membaca sejumlah referensi dan teori yang berkaitan dengan tradisi nyale, tradisi pasola, dan estetika cerita Putri Rabu Kaba dari sudut alur, perwatakan, dan latar. Selanjutnya dilakukan pula wawancara dengan tokoh-tokoh yang memahami pasola dari sudut pandang warisan kebudayaan dan kebijakan pembangunan ekonomi pariwisata dengan upaya peningkatan potensi destinasi pariwisata khususnya tradisi pasola.

III. Pembahasan Secara etimologi pasola berasal dari "sola" atau "hola", yang artinya tombak. Pasola artinya menggunakan sola. Tradisi pasola artinya melempar tombak (lembing) tombak ke arah lawan dari atas kuda pada saat kuda sedang dipacu kencang. Ada dua ketrampilan penting dalam tradisi pasola yaitu ketrampilan menunggang kuda dan ketangkasan melempar tombak ke arah lawan dari atas kuda yang sedang berlari. Tradisi ini pun tidak hanya dilaksanakan pada satu kampung (desa) saja tetapi beberapa desa, bahkan pada wilayah yang tidak ada kaitannya dengan tradisi tersebut. Latar belakang sejarah dan mite tentang Putri Rabu Kaba (selanjutnya disingkat PRK) di balik lahirnya tradisi pasola pun bervariasi (Romo Atnan, 2019; dan Umbu Saza, 2019) dan menjadi latar budaya lahirnya pasola. Tradisi Pasola ini dikenal dan dikenang secara luas, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Tradisi ini telah memiliki nilai jual bagi pariwisata Sumba NTT. Pada kesempatan ini akan dijelaskan ringkasan cerita (salah satu versi) yang melatari lahirnya tradisi pasola, kajian struktur dan semiotik, serta

  236 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 kemungkinan mengembangkan cerita PRK ke dalam bentuk skenario berdasarkan ringkasan cerita.

Ringkasan Cerita Putri Rabu Kaba Latar belakang lahirnya tradisi pasola adalah hubungan cinta segi tiga antara suami istri Umbu Dullah (dalam versi lain disebut Umbu Amahu) dan Rabu Kaba dari kampung Waiwuang dan pria idaman lain (PIL) bernama Teda Gaiparona yang berasal dari kampung Kodi. Percintaan Rabu dan Teda itu terjadi bukan karena Rabu berkhianat, tetapi karena kepergian Umbu Dullah bertahun-tahun tanpa berita. Setelah Rabu dan Teda hidup bersama di Kodi, tiba-tiba Umbu Dullah kembali. Rasa marah dan rasa malu yang luar biasa menghantam harga diri Umbu Dullah. Dia kerahkan segenap tenaga untuk merebut kembali Rabu dari sisi Teda. Terjadilah perang pasola, saling tombak, dan kejar mengejar di arena terbuka antara Umbu serta pengikutnya berhadapan dengan Teda dan pengikutnya. Konon banyak orang mati akibat pertempuran itu. Mendengar bahwa pasola terjadi karena memperebutkan dirinya, Rabu pun bunuh diri dengan menerjunkan diri kel laut. Rabu berubah menjadi cacing laut yang selanjutnya memberi kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya. Hingga kini kenangan terhadap Rabu terus berlanjut dalam tradisi nyale (pencarian cacing laut) dan peringatan perang antara Umbu dan Teda tetap dikenang melalui tradisi pasola.

Cerita Putri Rabu Kaba: Kajian Struktur dan Semiotik

Abrams dalam The Mirrow and The Lamp (1976) menjelaskan tentang keragaman pendekatan struktur karya sastra yang mesti dipahami secara utuh atau secara total demi pemahaman totalitas makna (Teeuw, 1984:50). Alur cerita Putri Rabu Kaba (PRK) sebagaimana cerita rakyat pada umumnya adalah alur maju. Rangkaian alurnya adalah sebagai berikut.

1. Suami istri: Umbu Dullah (Umbu Amahu) dan Rabu Kaba di Waiwuang. 2. Umbu Dullah bersama kedua tokoh adat lainnya meninggalkan kampung untuk melaut. Rabu Kaba ditinggalkan. 3. Umbu Dullah dan kedua tokoh adat tidak pergi melaut melainkan pergi mencari padi di wilayah selatan Sumba Barat. 4. Tiada kabar tentang Umbu Dullah dkk. Setelah menunggu lama Umbu dinyatakan hilang. Sementara itu Rabu Kaba mulai menjalin hubungan denganTeda Gaiparano dari Kampung Kodi. 5. Warga kampung Waiwuang mengadakan ritual perkabungan untuk Umbu Dullah, dkk. 6. Meskipun tidak direstui keluarga, Rabu Kaba meninggalkan kampung Waiwuang dan hidup bersama dengan Teda. Keduanya menetap di Kodi. 7. Umbu Dullah dkk kembali ke Waiwuang dalam keadaan sehat. Ia sangat marah saat mengetahui istrinya telah diambil Teda sebagai istri. 8. Terjadi perang antara warga Waiwuang yang dipimpin Umbu Dullah dan warga Kodi yang dipimpin Teda. Perang tersebut untuk memperebutkan kembali Putri Rabu Kaba. 9. Putri Rabu Kaba melakukan bunuh diri setelah mengetahui bahwa perang tersebut untuk memperebutkan dirinya. Dia menceburkan dirinya ke laut agar

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 237 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

perang berhenti. Tubuh Rabu Kaba menjadi menjadi cacing laut membawa kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya. 10. Perang antara Umbu dan teda berakhir dengan dendam dan rasa marah yang masih berlanjut hingga lahirnya tradisi pasola.

Ada tiga karakter utama dalam cerita Putri Rabu Kaba. Pertama Rabu Kaba yang digambarkan cantik. Dia adalah seorang istri dari Umbu Dullah. Istri yang setia ini jatuh cinta pada Teda pemuda dari Kampung Kodi setelah suaminya pergi, tidak ada kabar, dan ritual perkabungan dilakukan untuk keselamatan jiwanya. Umbu Dullah adalah pemuda bangsawan yang kehilangan Rabu Kaba akibat kesalahannya sendiri yaitu pergi dan hilang tanpa berita. Kemarahannya pada Teda dan keinginannya merebut kembali Rabu Kabu menjadikan perang antara kedua kampung tidak terelakkan. Sementara itu Teda adalah pemuda dari Kodi yang berani dan berhasil menaklukan hati Rabu Kaba untuk menikah dan menetap di Kodi sebagai istrinya. Pengembangan karakter ini didukung oleh latar cerita di Waiwuang dan Kodi, serta beberapa wilayah yang tidak disebutkan secara jelas dalam cerita. Latar sosial cerita PRK ini adalah kehidupan bangsawan pemimpin kampung yang berupaya menegakkan harga diri dan menempatkan kehormatan perempuan (istri) dan memperebutkannya, meskipun dengan jalan perang. Apakah makna di balik cerita PRK? Dalam kajian semiotik (ilmu tanda) menurut Rolland Barthes (Barthes,1972, edisi Indonesia terjemahan Ikramullah Mahyuddin, 2010) terdapat tiga tingkatan makna yaitu makna denotatif, makna konotatif, dan mitos dengan menggarisbawahi semiotika konotatif. Makna konotatif adalah makna ganda berdasarkan pengalaman kultural dan personal. Mitos adalah aspek lain dari penandaan yang bermakna dalam tingkat kedua. Jalinan kisah hidup Rabu Kaba, Umbu Dullah, dan Teja menunjukkan sebuah hubungan cinta personal. Pengalaman kultural terjadi ketika rasa marah Umbu Dullah mengungkapkan rasa marah dan harga diri masyarakat Waiwuang yang tersakiti akibat di"rampas"nya Rabu Kaba. Selanjutnya bukan lagi tentang cinta antara Umbu, Rabu, dan Teja, tetapi menyangkut harga diri, perlawanan, dan perjuangan demi integritas kelompok. Pada tataran ini perang perebutan Rabu telah menjadi perang tentang harga diri kelompok. Hal inilah yang menjadikan tradisi pasola berkembang sebagai mitos dan keyakinan pada harga diri. "Perang" dalam tradisi pasola adalah salah satu rekaman kenangan sekaligus simbol untuk mempertahankan harga diri apa pun hasilnya. Demikian pula akhir hidup Rabu yang rela berkorban menjadi cacing laut berprotein tinggi melampaui makna denotatifnya menuju makna konotatif sebagai kerelaan berkorban, menjadi mitos tentang tradisi nyale, dan keyakinan masyarakat setempat tentang panen berlimpah yang juga disyukuri melalui tradisi pasola. Nilai-Nilai kearifan lokal pasola (filosofi tradisi pasola): Ibarat derap kaki kuda yang terdengar menggemuruh, jauh lebih dahsyat dari derap degup jantung yang menggemuruh ketika harga diri tersakiti dan harus ditegakkan. Tidak ada seorang pun yang mau kalah dalam pertempuran mempertahankan harga diri dan kehormatan dalam bertahan maupun dalam keikhlasan menghadapi kenyataan.

Skenario Film Tentang Pasola

  238 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Kisah cinta dan pengorbanan di balik lahirnya tradisi pasola merupakan salah satu akar kultural yang menjadikan tradisi ini terwariskan turun temurun secara lisan. Akar kultural ini perlu diposisikan dengan tepat agar pewarisan dapat bertahan dan hidup sebagai roh perjuangan masyarakat pemiliknya. Dalam kaitannya tentang pariwisata potensi tradisi pasola ini dapat dikemas dan dialihwahanakan secara kreatif. Untuk itu diperlukan adanya sebuah bentuk penyajian yang lain (alih wahana) (Banda, 2016), media baru untuk tradisi pasola di era milenial demi mendukung tradisi pasola sebagai salah satu icon pariwisata Sumba. Misalnya dalam bentuk drama yang dipentaskan, drama radio, cerpen, novel, puisi-puisi dan musikalisasi puisi, lagu, tarian dan musik, sendratari, skenerio film, lukisan, serta berbagai bentuk karya seni lain yang berpotensi ekonomi kreatif dalam pengembangan pariwisata daerah di NTT. Salah satu yang dapat dilakukan adalah penulisan skenario film. Penulisan skenario diharapkan dilakukan berdasarkan alur cerita, perwatakan, dan latar sebagaimana dijelaskan di atas. Filosofi apakah yang paling mendasar dari lahirnya tradisi ini merupakan benang merah cerita sehingga tradisi pasola diialihwahanakan ke dalam bentuk skenario berdasarkan akar kutural dan tidak meninggalkan hakikat dan filosofinya.

Bagaimanakah alur, perwatakan, dan latar cerita PRK yang dirancang dalam bentuk skenario singkat dapat dijelaskan berikut ini.

Peristiwa 1: Keriuhan pasola berhadapan kelompok Umbu Dullah atau Umbu Amahu (mantan kekasih Rabu Kaba) berhadapan dengan kelompok Teda Gaiparona (kekasih Rabu Kaba). Peristiwa 2: Di Bukit yang sunyi Umbu Dullah terkenang masa lalunya bersama Rabu Kaba, gadis cantik yang sangat dicintainya. Bayangannya kembali... saat itu Umbu Dullah mengatakan bahwa dia akan segera pergi melaut bersama Ngongo Tau Masusu dan Bayang Amahu. Rabu Kaba melepas kepergiannya dengan sedih. Peristiwa 3: Umbu Dullah dkk, tidak pernah kembali. Berita tentang hilang lenyapnya ketiga pemimpin pun tersiar ke desa-desa lainnya. Rabu Kaba terlihat sangat sedih kehilangan Umbu Dullah. Peristiwa 4: Waku berlalu, seorang Pemuda dari Kodi bernama Teda Gaiparano yang terpesona dengan kecantikan Rabu Kaba mulai sering datang ke Kampung Waiwuang, tempat Rabu Kaba berasal. Peristiwa 5: Karena sudah berlangsung lama, para tetua adat pun menjalankan ritual perkabungan bagi keselamatan jiwa Umbu dan kedua pemimpin lainnya. Peristiwa 6: Rabu dan Teda menikah dan menetap di Kodi. Peristiwa 7: Tiba-tiba Umbu Dullah, Ngong Tau Masusu, dan Bayang Amahu pulang kembali ke kampungnya. Ketiganya ternyata masih hidup. Akan tetapi berita Rabu telah dilarikan ke Kodi menampar wajah Umbu Dullah. Ia dengan segenap pemuda memacu kuda menuju Kodi untuk merebut kembali Rabu. Peristiwa 8: Perang antara kubu Umbu dan kubu Teda tidak dapat dihindari. Perang tersebut terjadi lapangan terbuka dengan melempar tombak di atas kuda yang sedang berlari kencang. Perang memperebutkan Rabu Kaba. Rabu Kaba memilih bunuh diri dengan cara terjun ke dalam laut ketika menyadari bahwa perang tersebut karena memperebutkan dirinya.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 239 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Peristiwa 9: Kisah itu diabadikan dengan tradisi pasola setelah tradisi nyale (tradisi penangkapan cacing laut sebelum tradisi pasola dimulai). Pertempuran di arena terbuka disaksikan oleh semua pihak, sebagai simbol harga diri dan kepahlawanan.

III. Simpulan

Ringkasan skenerio di atas adalah salah satu contoh cerita rakyat (mite) Putri Rabu Kaba yang melatari lahirnya tradisi pasola di Sumba. Selain skenario film, kisah Rabu Kaba tersebut bisa dikemas dalam bentuk karya tulisan kreatif lainnya seperti puisi, syair lagu, cerpen, drama panggung, sendratari, drama radio, sinetron, dan lainnya. Demikian catatan singkat tentang tradisi pasola, cerita rakyat Putri Rabu Kaba yang melatari lahirnya tradisi pasola, serta nilai-nilai filosofis di baliknya. Nilai filosofis inilah yang pantas ditempatkan untuk pendasaran pariwisata budaya di Sumba dalam bentuk skenario film yang mudah-mudahan dapat diwujudkan dalam film yang memiliki nilai jual dan berarti bagi perkembangan pariwisata Sumba.

Daftar Pustaka Banda, Maria Matildis. 2016. "Alih Wahana dari Cerpen ke Drama Panggung, Refleksi Lomba Drama Modern Bali" Seminar Nasional Sastra dan Budaya, 2016. Denpasar: FIB Unud. Barthes, Rolland. 2009. Mitologi (Nurhadi dan Sibabul Millah, penerj.) Yogyakarta: Kreasi Wacana. Barthes, Rolland. 2010. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa Semiotika atau Sosiologi Tanda, Simbol, dan Representasi (Mahyuddin Ikramullah, penerj.) Yogyakarta: Jalasutra. Barthes, Rolland. 2007. Petualangan Semiologi (Herwinarko S.A. penerj.) 2007. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Barthes, Rolland. 2012. Elemen-Elemen Semiologi (Nazaruddin, K. penerj.) Yogyakarta: Jala Sutra. Boro, Paulus Lete (1995). Pasola, permainan ketangkasan berkuda lelaki Sumba, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Jakarta: Obor. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. https://indahnesia.co.id/jadwal-pasola-sumba-2019 https://indonesiatrip.id/paket-wisata/festival-pasola-sumba-2019 Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

  KAJIAN SEMIOTIKA PEIRCE PADA PUISI IA TAK PERNAH JANJI LANGIT SELALU BIRU DALAM ANTOLOGI PUISI DI KOTA TUHAN AKU ADALAH DAGING YANG KAU PECAH-PECAH KARYA STEBBY JULIONATAN

Moh. Yusril Hermansya Universitas Negeri Surabaya [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanda-tanda dan makna yang terdapat dalam puisi Ia Tak Pernah Janji Langit Selalu Biru. Puisi tersebut diambil dari buku antologi puisi Di Kota Tuhan Aku Adalah Daging Yang Kau Pecah-Pecah karya Stebby Julionatan. Bahasa dalam puisi memang padat, sehingga tersimpan banyak tanda. Dalam penelitian ini digunakan teori semiotika Peirce untuk mengkaji karya sastra tersebut. Teori darinya menjadi teori mutakhir dan paling banyak dipakai dalam berbagai bidang, tidak lepas dari gagasan yang bersifat menyeluruh (mengaitkan unsur tanda secara logis), serta deskripsi struktural dari semua sistem penandaan. Peirce membagi menjadi tiga trikotomi yaitu representamen, objek, dan interpretan. Representamen terdiri dari qualisign, sinsign, legisign. Objek terdiri dari ikon, indeks, simbol. Interpretan terdiri dari rheme, dicent, argument. Metode yang digunakan untuk meneliti yaitu deskriptif kualitatif-interpretatif yaitu metode yang berisi ungkapan atau pandangan mengenai data yang diperoleh dari objek yang diteliti dengan cara menafsirkan data tersebut dengan pandangan yang logis. Langkah penelitian yang dilakukan yaitu membaca karya sastra puisi yang akan dianalisis, lalu menandai tanda yang terdapat di dalamnya, memaknai atau menafsirkan satu-persatu tanda tersebut melalui trikotomi Peirce, memaknai keseluruhan isi puisi yang diteliti, dan menyimpulkan makna tanda pada keseluruhan isi puisi. Setelah diteliti, puisi tersebut ditemukan lima tanda yang bermakna, yaitu langit selalu biru, hujan, mahkota duri, doa, dan parang.

Kata kunci: Semiotik, teori Peirce, puisi

PENDAHULUAN

Bahasa sangatlah penting dalam karya sastra. Bahasa dalam karya sastra memiliki makna yang menunjukkan isi dari karya sastra tersebut. Oleh karena itu, dalam bahasa mengandung tanda-tanda atau dengan kata lain yaitu semiotik. Semiotik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sistem tanda dan lambang dalam kehidupan manusia. Dalam tulisan ini, dibahas mengenai penelitian semiotik pada karya sastra puisi. Puisi merupakan ungkapan secara

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 240 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 241 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 implisit, samar dengan makna yang tersirat, di mana kata-katanya condong pada makna konotatif. Oleh karena itu, dilakukan penelitian puisi menggunakan semiotik untuk mengetahui tanda apa saja yang ada dalam puisi yang diteliti dan agar mengetahui makna yang terkandung di dalamnya. Tokoh semiotika sangatlah banyak. Namun dalam hal ini digunakan semiotika Peirce, karena berdasarkan fakta dari Zoest bahwa Peirce merupakan ahli filsafat dan ahli logika (Sudjiman, 1992:1). Charles Sanders Peirce (1839 - 1914) adalah filsuf Amerika yang merupakan tokoh penting dalam semiotik. Teori dari Peirce menjadi teori mutakhir dan paling banyak dipakai dalam berbagai bidang tidak lepas dari gagasan yang bersifat menyeluruh karena mengaitkan unsur tanda secara logis, serta deskripsi struktural dari semua sistem penandaan (Sobur, 2009:97). Selain itu, semiotik Peirce bersifat pragmatik, yakni semiotik yang mempelajari hubungan di antara tanda-tanda dengan interpreternya atau para pemakainya (Budiman, 2011:4). Peirce membagi semiotik ke dalam tiga trikotomi, yaitu representamen (tanda), objek (denotatum), dan interpretan (tanda baru). Trikotomi pertama (representamen) terbagi menjadi qualisign, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah tanda yang menunjukkan kualitas atau sifat dari tanda tersebut. Sinsign adalah tanda yang menampilkan kenyataan (sesuai tampilannya). Legisign adalah tanda yang merupakan peraturan yang berlaku umum (konvensi). Trikotomi kedua (objek) terbagi menjadi ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah segala sesuatu yang memiliki hubungan berdasarkan kemiripan dengan objek yang mewakilinya. Indeks adalah segala sesuatu yang memiliki hubungan kausalitas pada objek. Simbol adalah tanda yang telah disetujui dalam masyarakat (konvensi). Trikotomi ketiga (interpretan) terbagi menjadi rheme, dicent, dan argument. Rheme adalah segala sesuatu dianggap sebagai tanda (kemungkinan-kemungkinan interpretan). Dicent adalah tanda yang memberikan informasi, namun tidak memberikan penjelasan (bisa benar dan juga bisa salah mengenai tanda tersebut). Argument adalah tanda yang menunjukkan kesimpulan (tanda baru) yang membuktikan kebenarannya.

METODOLOGI

Metode penelitian yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif-interpretatif dengan memfokuskan pada tanda-tanda yang terdapat pada puisi Ia Tak Pernah Janji Langit Selalu Biru dalam antologi puisi Di Kota Tuhan Aku Adalah Daging Yang Kau Pecah-Pecah karya Stebby Julionatan. Metode deskriptif kualitatif- interpretatif merupakan metode yang berisi ungkapan atau pandangan mengenai data yang diperoleh dari objek yang diteliti dengan cara menafsirkan data tersebut dengan pandangan yang logis. Tanda-tanda tersebut dianalisis berdasarkan teori semiotika Peirce karena merupakan teori yang umum dan menghubungkannya dengan hal logis. Langkah penelitian yang dilakukan yaitu membaca karya sastra puisi yang dianalisis tersebut, menandai tanda yang terdapat di dalamnya, memaknai atau menafsirkan satu-persatu tanda tersebut melalui trikotomi Peirce, memaknai keseluruhan isi puisi yang diteliti, menyimpulkan makna tanda pada keseluruhan puisi tersebut.

  242 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

PEMBAHASAN

Pemaknaan melalui semiotik Peirce yang pertama ditinjau dari judul, Ia Tak Pernah Janji Langit Selalu Biru, adalah sebagai berikut:

Penjelasan tanda Langit Selalu Biru pada tahapan Trikotomi pertama (Represetamen) terbagi menjadi tiga yaitu Qualisign, Sinsign, dan Legisign. Qualisign langit selalu biru, merupakan bentuk dari kualitas hati yang sedang cerah/baik. Sinsign langit selalu biru, yang ada pada judul Ia Tak Pernah Janji Langit Selalu Biru menandakan bahwa akan ada masa dimana langit akan berubah menjadi gelap atau menghitam. Legisign langit selalu biru, langit selalu biru yang menandakan bahwa awan sedang cerah dan adanya kebebasan beraktifitas oleh umat manusia. Selanjutnya penjelasan tanda langit selalu biru pada tahapan Trikotomi kedua (Objek). Pada tahapan objek ini juga terbagi menjadi tiga yaitu Ikon, Indeks, dan Simbol. Ikon langit selalu biru yaitu awan cerah. Indeks langit selalu biru, langit selalu biru disebabkan karena sebuah proses hamburan cahaya (Rayleigh scattering) sehingga langit menjadi cerah. Cahaya dari matahari akan menumbuk molekul-molekul di udara, kemudian terhambur ke semua arah. Besar hamburan sangat bergantung pada frekuensi warna cahaya. Cahaya biru, yang memiliki frekuensi tinggi, terhambur sepuluh kali lebih banyak dari pada cahaya merah yang memiliki frekuensi lebih rendah. Simbol langit selalu biru, langit selalu biru sangat terlihat indah dimata seseorang yang mengaguminya dan menjadikannya nyaman setelah memandangnya. Selanjutnya tahapan trikotomi ketiga (Interpretasi) terbagi menjadi tiga, yaitu Rheme, Dicent, dan Argument. Rheme langit selalu biru, langit selalu biru bisa menandakan kebahagiaan hati, kesenangan, kepuasan atas apa yang diraih atau dirasakan. Dicent langit selalu biru, langit selalu biru menandakan bahwa tidak akan terjadi hujan. Argument langit selalu biru, langit selalu biru selalu tidak terjadi hujan hal ini dikarenakan jikalau hujan akan turun langit akan mejadi gelap atau menghitam. Selain pemaknaan judul, pemaknaan tanda dalam isi puisi juga diperlukan untuk mengetahui makna keseluruhan puisi, pemaknaan pada tanda dalam isi puisi sebagai berikut:

Tak ada langit yang berasal dari hujan;

Penjelasan tanda hujan pada tahapan Trikotomi pertama (Represetamen) terbagi menjadi tiga yaitu Qualisign, Sinsign, dan Legisign. Qualisign hujan, hujan berupa air jernih dan bersih yang menyegarkan, turun dari langit menghasilkan suara (ricik) bila jatuh ke bumi. Sinsign hujan, hujan berupa air. Air tersebut jatuh dari langit ke bumi melalui beberapa tahapan/proses alamiah. Legisign hujan, hujan yang menandakan bahwa awan sedang mendung dan menghitam, dalam hal ini pastinya kebebasan beraktifitas diluar ruangan oleh umat manusia akan terganggu dan harus dihentikan. Selanjutnya penjelasan tanda hujan pada tahapan Trikotomi kedua (Objek). Pada tahapan objek ini juga terbagi menjadi tiga yaitu Ikon, Indeks, dan Simbol. Ikon hujan yaitu gemericik air. Indeks hujan, hujan terjadi karena mengalami

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 243 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 proses. Proses tersebut diawali oleh penguapan air di muka bumi akibat panas matahari, dari uap air tersebut terbentuklah awan, kemudian angin membawa awan-awan kecil saling bertemu dan berkumpul menjadi awan besar. Angin tersebut menjadi semakin kelabu (mendung) karena semakin banyaknya kandungan air, sehingga turunlah air ke bumi sebagai hujan. Simbol hujan, hujan memiliki arti berkah atau keberkahan akan tetapi ada juga yang memberikan makna malapetaka. Selanjutnya tahapan trikotomi ketiga (Interpretasi) terbagi menjadi tiga, yaitu Rheme, Dicent, dan Argument. Rheme hujan, hujan bisa menandakan kekalutan hati, kesedihan, kesengsaraan, keharuan. Dicent hujan, dengan terjadinya hujan bisa menandakan keberuntungan dan/atau kesengsaraan. Argument hujan, memiliki makna kegelisahan dalam hidup, hal ini dikarenakan terjadinya hujan menjadikan terperangkapnya kenangan-kenangan untuk berlalu lintas dipikiran dan menjadikan kegelisahan teramat dalam.

Ia tak selalu bunga;

Penjelasan tanda bunga pada tahapan Trikotomi pertama (Represetamen) terbagi menjadi tiga yaitu Qualisign, Sinsign, dan Legisign. Qualisign bunga, bunga merupakan tanaman yang indah dan wangi. Sinsign bunga, bunga adalah suatu jenis tanaman yang pertumbuhan atau keberadaannya dirawat oleh pemiliknya dan/atau penanamnya. Legisign bunga, bunga yang menandakan adanya rasa cinta atau kebahagiaan yang tiap manusia boleh untuk merasakannya. Selanjutnya penjelasan tanda bunga pada tahapan Trikotomi kedua (Objek). Pada tahapan objek ini juga terbagi menjadi tiga yaitu Ikon, Indeks, dan Simbol. Ikon bunga yaitu taman yang rindang. Indeks bunga, bunga ada dikarenakan terdapat seseorang yang menanamnya dan merawatnya, seperti memberikan pupuk setiap harinya dan juga menyiramnya setiap sore hari. Simbol bunga, bunga memiliki arti kebahagiaan hati, kesenangan hati. Selanjutnya tahapan trikotomi ketiga (Interpretasi) terbagi menjadi tiga, yaitu Rheme, Dicent, dan Argument. Rheme bunga, bunga bisa menandakan kesenangan, kepuasan batin, keberkahan hidup. Dicent bunga, bunga pada kenyataannya digunakan untuk mengungkapkan isi hati seseorang terhadap orang yang dicintainya. Argument bunga, bunga digunakan sebagai bukti ungkapan kepada seseorang yang dicintainya karena bunga memiliki khas yaitu warnanya yang sangat mencolok dan memberikan kesan kebahagiaan, tidak hanya itu wangi khas yang muncul dari suatu bunga mampu memberikan kepuasan tersendiri kepada penikmatnya. dengan surai kerikil dan mahkota duri.

Penjelasan tanda mahkota duri pada tahapan Trikotomi pertama (Represetamen) terbagi menjadi tiga yaitu Qualisign, Sinsign, dan Legisign. Qualisign mahkota duri, mahkota duri merupakan ranting berduri yang memiliki ciri keras, kasar dan berduri. Sinsign mahkota duri, mahkota duri berasal dari ranting berduri yang berdiameter sangat kecil dan dipakai hanya dikepala Yesus. Legisign mahkota duri, mahkota duri ditengarai boleh dikenakan diatas kepala Yesus menandakan kemiskinan.

  244 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Selanjutnya penjelasan tanda mahkota duri pada tahapan Trikotomi kedua (Objek). Pada tahapan objek ini juga terbagi menjadi tiga yaitu Ikon, Indeks, dan Simbol. Ikon mahkota duri yaitu Ziziphus spina-christi. Indeks mahkota duri, mahkota duri ada dikarenakan bunyi dari Kejadian 3:18: Semak dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu. Simbol mahkota duri, mahkota duri memiliki arti lapang dada, menerima apa yang telah dimiliki. Selanjutnya tahapan trikotomi ketiga (Interpretasi) terbagi menjadi tiga, yaitu Rheme, Dicent, dan Argument. Rheme mahkota duri, mahkota duri bisa menandakan kekurangan, tidak tercukupinya suatu hal yang dibutuhkan. Dicent mahkota duri, mahkota duri pada kenyataannya digunakan untuk menyiksa Yesus dan digunakan di atas kepala Yesus sebelum disalibkan. Argument mahkota duri, mahkota duri dihasilkan dari tumbuhan yang tumbuh di daerah Yerusalem dan dikenakan oleh Yesus sebelum disalib, hal ini memberikan makna kemiskinan dan kekurangan atas apa yang telah dimiliki.

Berdoalah, semoga dari sekarang dan untuk seterusnya

Penjelasan tanda doa pada tahapan Trikotomi pertama (Represetamen) terbagi menjadi tiga yaitu Qualisign, Sinsign, dan Legisign. Qualisign doa, doa merupakan permohonan khusyuk kepada Tuhan yang dilakukan secara khidmat. Sinsign doa, doa merupakan ucapan yang mengacu pada religi dalam hal ini menandakan bahwa ada seseorang yang sedang memohon kepada apa yang disembahnya. Legisign doa, doa boleh dilakukan sebagai perwujudan harapan seseorang agar dapat mencapai suatu keinginan. Selanjutnya penjelasan tanda doa pada tahapan Trikotomi kedua (Objek). Pada tahapan objek ini juga terbagi menjadi tiga yaitu Ikon, Indeks, dan Simbol. Ikon doa yaitu memiliki acuan yang bersifat kemiripan, dalam hal ini yaitu permohonan. Indeks doa, doa terucap karena seseorang memiliki harapan atau permohonan yang kuat terhadap suatu hal dan ingin cepat terkabulkan atau terpenuhi. Simbol doa, doa menyimbolkan permintaan atau permohonan yang bersifat religi. Selanjutnya tahapan trikotomi ketiga (Interpretasi) terbagi menjadi tiga, yaitu Rheme, Dicent, dan Argument. Rheme doa, doa bisa menandakan harapan, permohonan, kereligiusan, permintaan, atau keinginan kepada Tuhan. Dicent doa, doa menandakan percakapan dengan Tuhan dengan segala harapannya atau bisa juga curahan hati seseorang kepada Tuhan. Argument doa, doa memiliki makna religius yang memiliki kekuatan ghaib atau sakral. Dalam hal ini terdapat hubungan antara hamba dengan Tuhannya. ia memberimu parang yang tajam

Penjelasan tanda parang pada tahapan Trikotomi pertama (Represetamen) terbagi menjadi tiga yaitu Qualisign, Sinsign, dan Legisign. Qualisign parang, parang merupakan sebuah benda yang kasar dan keras memiliki sisi yang tajam pada fisiknya. Sinsign parang, parang menandakan adanya suatu gejolak yang kuat untuk segera dipotong atau ditebas. Legisign parang, dengan adanya parang

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 245 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 yang menandakan bahwa tidak digunakan untuk hal-hal yang merugikan atau berbahaya melainkan untuk kebermanfaatan. Selanjutnya penjelasan tanda parang pada tahapan Trikotomi kedua (Objek). Pada tahapan objek ini juga terbagi menjadi tiga yaitu Ikon, Indeks, dan Simbol. Ikon parang, parang biasa disebut ambang yang memiliki kemiripan atau kesamaan. Indeks parang, parang terbentuk akibat orang-orang Melayu sangat membutuhkan alat tajam yang digunakan dalam pertempuran pada masa silam. Simbol parang, parang memiliki makna tajam yang digunakan dalam mematikan lawannya. Selanjutnya tahapan trikotomi ketiga (Interpretasi) terbagi menjadi tiga, yaitu Rheme, Dicent, dan Argument. Rheme parang, parang akan digunakan oleh seseorang yang memiliki semangat menggebu-gebu, emosional yang tidak bisa dikendalikan. Dicent parang, parang pada kenyataannya digunakan untuk berperang dan berburu hewan buas. Argument parang, parang digunakan untuk berperang dan berburu dikarenakan memiliki sisi yang tajam dan terbuat dari besi yang kuat, terkadang juga digunakan sebagai bentuk ungkapan hati yang sedang teriris.

SIMPULAN

Nilai estetis pastinya terkandung dalam suatu karya sastra, terutama nilai estetis yang terkandung pada bahasa dalam puisi. Bahasa dalam puisi sangatlah padat, sehingga terkadang sulit dipahami maksudnya. Pada penelitian ini digunakan teori semiotika Peirce untuk menemukan makna dari tanda-tanda yang diteliti pada puisi Ia Tak Pernah Janji Langit Selalu Biru dalam antologi puisi Di Kota Tuhan Aku Adalah Daging yang Kau Pecah-Pecah karya Stebby Julionatan. Setelah digunakan teori semiotika Peirce, ditemukan beberapa tanda antara lain langit selalu biru, hujan, mahkota duri, doa, dan parang. Berdasarkan pemaparan tanda-tanda konsep semiotika Peirce, dapat ditarik benang merah bahwa puisi tersebut merupakan puisi yang mencapai nilai religius. Makna puisi tersebut adalah bahwa dalam suatu kehidupan pastinya tidak akan berjalan dengan mulus melainkan pasti terdapat suatu hambatan, masalah, mala petaka yang datang secara tiba-tiba tanpa disangka. Sebagai umat yang memiliki tuhan, tentuya diharuskan untuk tetap bersikukuh memohon atau meminta pertolongan kepada-Nya agar sebagai umat yang patuh bisa menjalani suatu lika- liku kehidupan dengan mulus dan sedikit hambatan atau masalah. Berdasarkan tingkatan dalam sastra, suatu karya sastra bila mencapai religius tinggi, maka kualitas pada karya sastra tersebut juga tinggi. Melalui analisis puisi ini, dapat diketahui bahwa puisi tersebut berhasil melukiskan kehidupan seseorang yang berdampak pada penyadaran diri sendiri dan pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Aini, Nurul Alfiah. 2013. Analisis Semiotik Terhadap Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata Sebagai Alternatif Bahan Pengajaran Sastra di SMA. Skripsi. Surabaya: FS Unair

  246 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Budiman, Manneke, ―Indonesia: Perang Tanda,‖ dalam Indonesia: Tanda yang Retak (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2002)

Haris, Faisal. 2012. Cinta Sebagai Ekspresi Perubahan Zaman Pada Peralihan Akhir Abad XIX Sampai Awal Abad XX (Kajian Semiotika Charles Sander Peirce). Skripsi. Bandung: FIB Unpad

Julionatan, Stebby. 2018. Di Kota Tuhan Aku Adalah Daging yang Kau Pecah- Pecah. Yogyakarta: Indie Book Corner

Pradopo, Rachmat Djoko. 2012. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Sobur, Alex. Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004)

Teeuw, A. 1983. Tergantung Pada Kata. Jakarta Pusat: PT Dunia Pustaka Jaya

Van Zoest, Aart, Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita Lakukan Dengannya (Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1993)

 PERAN EKOLOGI SASTRA PUISI TERHADAP PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP

Mursalim Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman Samarinda [email protected]

ABSTRAK

Alam semesta adalah guru sastrawan, guru abadi, dan sastra memang kaya seni. Sastra dapat dilirik dari kacamata ekologi, karena sastra memang hidup berdampingan dengan alam, dan sastra memang gambaran lingkungan atau alam semesta. Di Indonesia ekologi sastra baru dikenal pada abad 21. Kehadiran ekologi sastra tidak terlepas dari keprihatinan para pakar sastra. Dengan beberapa alasan, salah satu contoh alasan yaitu sastrawan mengkritisi pengembangan kota yaitu pendirian plaza hotel, perumahan mewah berbentuk apartemen yang tidak mempertimbangkan hutan kota dan pemusnahan peninggalan budaya yang bernilai sejarah tidak terhitung jumlahnya. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan informasi kepada masyarakat pembaca mengenai peran ekologi sastra puisi terhadap pelestarian lingkungan hidup. Selanjutnya, menganai metode yang digunakan dalam pengumpulan data penulisan makalah adalah dengan metode kajian pustaka. Dengan mengacu kepada uraian di atas, maka dalam penulisan pada makalah ini, penulis uraikan hal- hal sebagai berikut. 1. Pendahuluan, 2. Pembahasan dan uraian yang meliputi; (a) Makna peran dan ekologi sastra, (b) Peran sastrawan dalam ekologi sastra puisi, (c) Pelestarian kearifan lokal lingkungan (ekologis dalam karya sastra puisi), (d) Teori ekologi sastra yang berwawasan ekologi budaya, 3. Penutup.

Kata Kunci : Peran, Ekologi Sastra Puisi, Pelestarian Lingkungan Hidup

1. Pendahuluan Sastra itu suara alam. Alam Semesta adalah guru sastrawan, guru abadi, dan sastra memang kaya seni.Sastra dapat dilirik dari kacamata ekologi, karena sastra memang hidup berdampingan dengan alam, dan sastra memang gambaran lingkungan atau alam semesta. Di Indonesia ekologi sastra baru dikenal pada abad 21. Kehadiran ekologi sastra tidak terlepas dari keprihatinan para pakar sastra dengan beberapa alasan. Pertama, karena kerusakan lingkungan hidup seperti lingkungan alam, sosial, dan budaya. Kedua, yaitu mengingatkan umat manusia agar alam dan budaya (kearifan lokal tetap terjaga dengan baik). Ketiga, Sastrawan mengkritisi pengembangan kota yaitu pendirian plaza hotel, dan perumahan mewah termasuk apartemen yang tidak mempertimbangkan ‗hutan kota‘dan pemusnahan peninggalan budaya, yang bernilai sejarah tidak terhitung

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 247 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 248 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 jumlahnya. Keempat, demikian juga dengan eksploitasi alam untuk penambangan emas, batu bara, timah dan lain lain. Belum lagi pembalakan liar hutan kota, dan pendirian pabrik triplek dan kertas yang berbahan baku pulp, menghabiskan hutan yang kita miliki. Dengan mengacu kepada uraian di atas, maka dalam penulisan pada makalah ini, penulis mengangkat judul yaitu, ―Peran ekologi Sastra terhadap pelestarian lingkungan hidup‖. Mengacu pada uraian ersebut, maka isi makalah ini adalah sebagai berikut a. Pendahuluan, b. Metodologi Penulisan c. Pembahasan dan uraian yang meliputi, (1) makna peran dan ekologi sastra, (2) peran sastrawan dalam ekologi sastra puisi, (3) pelestarian kearifan lokal lingkungan (ekologis dalam karya sastra), (4) teori ekologi sastra yang berwawasan ekologi budaya, d. Simpulan. 2. Metodologi Penulisan Ada pun metode yang digunakan oleh penulis dalam penulisan makalah ini adalah melalui metode kajian pustaka. 3. Pembahasan a. Makna Peran dan Ekologi Sastra KBBI (2003: 854) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan peran adalah perangkat tingkah yang dimiliki orang yang berkedudukan dalam masyarakat. Kemudian, Setya Yuwana Sudikan (2016:x) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ekologi sastra adalah perpaduan ilmu ekologi dan ilmu sastra melahirkan ekologi sastra. Selanjutnya, Bate (2000:264), mengatakan bahwa ekologi sastra memberikan pijakan asumsi bahwa karya sastra akan memiliki nilai berwawasan lingkungan, jika memiliki kriteria yaitu untuk menulis lingkungan mempertimbangkan sejauhmana dan bagaimana sastra menggabungkan etos akuntabilitas terhadap lingkungan alam. Dengan demikian, penulis mencoba menggabung penadapat di atas bahwa yang dimaksud dengan peran ekologi sastra adalah perangkat tingkah yang dimiliki orang yang berkedudukan dalam masyarakat yang secara khusus memiliki tanggung jawab terhadap lingkungannya dan bagaimana alam dipresentasikan dalam karya sastra (puisi, novel, dan drama). b. Peran Sastrawan dalam Ekologi Sastra Puisi Dalam menciptakan karya sastra, baik secara eksplisit, maupun secara implisit sastrawan memiliki tujuan yaitu, penyadaran kepada pembaca betapa penting mempertahankan dan melestarikan lingkungan hidup. Eksploitasi dan perusakan lingkungan akan menyebabkan penderitaan panjang pada anak cucu kita. Penanaman kesadaran kepada pembaca karya sastra, menjadi pusat perhatian sastrawan. Mengacu kepada uraian di atas, maka berikut penulis akan mengutip tiga karya sastra yang masuk dalam kategori karya sastra ekologis seperti berikut. Puisi Ekologis Puisi 1 Oleh Piek Ardiyanto Soepriyanto Bumiayu Jamilah Bumiayu betapa manis

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 249 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Bumimu berpayung langit biru Lelah memandang rindu Bangun subuh segar udara Angin gunung menusuk batas kota Harapan mekar padi tua sawah mengemas Sepi menyusuri jalan raya dari utara Gedung – gedung masih bisu di pagi buta Sebentar kusilangkan lengan atas jembatan

Gericik kali menceritakan kehidupan Sendiri di muka masjid kau lewat berbaju kering Bandul kalung emas manis menghias dadamu gading Oh gadis gunung berwajah sumringah Dalam Puisi ―Bumiayu‖ karya Piek Ardijanto Soeprijadi tersebut ada pesan moral mengenai kelestarian lingkungan hidup terkait dengan bumi, tumbuh-tumbuhan, satwa, air, angin, dan udara. Ada kerinduan bagi pembaca terhadap alam pedesaan yang dikisahkan oleh penyair. Kedekatan penyair dengan alam tak terelakkan lagi. Puisi 2 Oleh D Zawawi Imron Hutan Kupandang gunung – gunung itu Jutaan pohon yang menyerap hujan dan air Melindungiku, melindungimu dari bencana longsor dan banjir

Terima kasih teman-temanku! Karena kau tidak menebang hutanku, hutanku itu, hutanmu juga Hingga burung, ular, dan kambing hutan tetap hidup dengan tenteram Damaikan jiwamu bercermin firman agar hatimu damai dibelai pantun Sebatang pohon sebesar satu pelukan Dibesarkan Tuhan lima puluh tahun

Tapi hutan bukan sebatang pohon Hutan bukan seratus batang, hutan adalah jutaan pohon habitat ragam binatang

Jika hatimu damai,

 250 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

hutan akan damai, dunia akan damai dengki dan dendam akan dikubur Amboi, bumi selembut hamparan Kasur Puisi tersebut mengandung pesan moral agar kita selalu menjaga hutan untuk kelangsungan hidup manusia. Hutan tropis yang kita miliki menjadi jantung kehidupan manusia di seluruh dunia. c. Pelestarian Kearifan Lokal Lingkungan dalam Karya Sastra Kearifan lokal adalah modal utama masyarakat dalam membangun dirinya tanpa merusak tatanan sosial yang adaptif dengan lingkungan alam dan sekitarnya. Selanjutnya, dalam kearifan lokal dalam UU No. 32 Tahun 2009 yaitu nilai – nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain mengelola lingkungan hidup secara lestari. Kearifan lingkungan merupakan kata kunci untuk membentuk keseimbangan bagi kehidupan. d. Ekologi Sastra Berwawasan Ekologi Budaya

Menurut Setya Yuwana Sudikan (2016: 167) istilah ekologi budaya yaitu sistem pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial dalam memahami dan menginterpretasikan lingkungan alam. Budaya suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui atau dipercayai seseorang agar dia dapat berperilaku sesuai dengan cara yang diterima oleh masyarakat sebagai satuan ide, kebudayaan terdiri atas serangkaian nilai – nilai, norma – norma yang berisikan larangan – larangan untuk melakukan suatu tindakan dalam menghadapi sesuatu lingkungan sosial, kebudayaan, dan alam, dan berisikan serangkaian konsep – konsep serta model – model pengetahuan mengenai berbagai tindakan dan tingkah laku yang seharusnya diwujudkan oleh pendukungnya dalam menghadapi sesuatu lingkungan sosial, kebudayaan, dan alam. Jadi, nilai – nilai norma, dan konsep – konsep serta model - model pengetahuan tersebut dalam penggunaannya adalah selektif sesuai dengan lingkungannya yang dihadapi oleh pendukungnya. III. Simpulan Mengacu kepada beberapa uraian di atas, maka penulis dapat merumuskan beberapa kesimpulan dalam penutup seperti berikut. 1. Sastra adalah dunia baru ciptaan pengarang, yang tentu saja memerlukan bahan – bahan untuk materi ciptaan itu. 2. Bahan – bahan yang diperlukan pengarang adalah sesuatu yang ada, sesuatu yang pernah ada, atau sesuatu yang mungkin ada di dunia ini. Tentu saja fokus utama adalah nilai – nilai karakter dan nilai kemanusiaan. 3. Karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap – lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan atau peradaban yang menghasilkannya. 4. Sastrawan adalah manusia kritis yang mengkritisi lingkungan dan peradaban. Hasil dari usaha yang mengkritisi itu adalah dalam bentuk karya sastra berupa dalam puisi, novel,cerpen atau naskah drama. 5. Karya sastra itu dapat memberikan pencerahan bagi pembacanya.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 251 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

DAFTAR PUSTAKA Chodjim, Achmad. 2007. Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta: Serambi. Depdiknas. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Gobyah, I Ketut. 2009. ―Berpijak pada Kearifan lokal‖.http//www.iloveblue.com/bali-gaul-funky(Artikel bali/detail/2750.htm. Kadarisman, A. Effendi. 2010. Mengurai Bahasa Menyibak Budaya. Malang UIN: Maliki Press. Margana, Sri. 2004. Pujangga Jawadan Bayang – Bayang Kolonial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Saidi, Shaleh. 2003. Melayu Klasik. Denpasar : Serasan –sejarah. Sudikan, Yuwana, Setya. 2016. Ekologi Sastra. Lamongan: Pustaka Ilalang. Wahab, Abdul. 2006. Teori Semantik. Surabaya: .

 PROBLEMATIKA KURIKULUM GENERIK PELAJARAN BAHASA BALI

Nengah Arnawa Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Bali [email protected]

ABSTRAK

Makalah ini ditulis untuk menunjukkan bahwa ada masalah mendasar pada pembelajaran bahasa Bali, yang pelaksanaannya didasarkan pada Peraturan Gubernur Bali Nomor 20/2013 dan Peraturan Daerah Nomor 1/2018. Berdasarkan peraturan itu, bahasa Bali wajib diajarkan pada semua jenis dan jenjang sekolah. Namun, tuntutan peraturan itu paradoks dengan potret kurikulum pembelajaran bahasa Bali sebagai pedoman dasar pelaksanaannya. Salah satu indikator keparadoksan itu dapat dilihat dari sasaran kompetensi dalam kurikulum yang sangat generik sehingga mengabaikan kebutuhan khusus pembelajaran bahasa Bali. Kondisi empirik ini tidak sesuai dengan logika filsafat epistemologi- induktif. Spesifikasi cakupan kompetensi dalam kurikulum dan silabus pembelajaran bahasa Bali mutlak dilakukan karena kebutuhan pembelajaran bahasa tidak sama pada semua jejang dan jenis sekolah. Kebutuhan Pembelajaran bahasa Bali pada madrasah pasti berbeda dengan sekolah umum pada jenjangnya. Kebutuhan pembelajaran bahasa Bali di SMA seharusnya berbeda dengan SMK; bahkan antara rumpun SMK pun membutuhkan sub- spesifikasi. Demikian pula, pembelajaran bahasa Bali pada masing- masing jenjang dan jenis SLB juga membutuhkan spesifikasi. Peserta didik tunanetra, tunarungu, dan tunagrahita, yang memiliki keterbatasan masing-masing, seharusnya kepadanya dipajankan bahan ajar bahasa Bali yang sesuai kebutuhannya. Hal yang sama pun terjadi pada pendidikan paket A, B, dan C yang peserta didiknya memiliki umur di atas rata-rata usia sekolah. Oleh karena itu, penyusunan kurikulum pembelajaran bahasa Bali perlu didasarkan pada kompetensi dan kebutuhan pembelajaran pada masing-masing jenis dan jenjang sekolah.

Kata kunci : kurikulum, kompetensi, kebutuhan pembelajaran

ABSTRACT

This paper is written to show that there are fundamental problems in learning Balinese, whose implementation is based on Bali Governor Regulation Number 20/2013 and Bali Regional Regulation Number 1/2018. Based on both regulations, Balinese

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 252 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 253 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

must be taught to all types and levels of schools. However, the regulatory demands are paradox with a portrait of the Balinese learning curriculum as a basic guideline for its implementation. One indicator of paradoxical can be seen from the competency target in curriculum is very generic so that it ignores the special needs of Balinese learning. This empirical condition does not conform to the logic of inductive-epistemological philosophy. The scope of competence specification in the curriculum and syllabus of Balinese learning is necessary because the need for language learning is not the same in all levels and types of schools. The needs of Balinese learning at the Madrasah definitely be different from general schools at the same level. The need of Balinese learning in general high school differs from vocational high school; even between kinds of the vocational high school also need sub- specifications. Similarly, learning Balinese at each level and type of SLB also requires specifications. Students who are blind, deaf, and mentally disabled, should be exposed to Balinese teaching materials that their needs. The same thing happened to the education of packages A, B, and C whose students had an age above the school age average. Therefore, the planning of the Balinese learning curriculum must be based on competencies and learning needs in each type and level of school.

Keywords: curriculum, competence, learning needs.

1. Pendahuluan

Pelajaran bahasa Bali merupakan muatan lokal wajib bagi semua jenis dan jenjang sekolah di seluruh Provinsi Bali (Perda No. 1/2018 pasal 1.6; pasal 4.e; pasal 11.a). Pengajaran bahasa Bali pun dipandang sebagai salah satu strategi pelindungan dan pembinaannya (pasal 7.a dan pasal 10.a Perda No.1/2018). Mengacu pada peraturan daerah itu, pembelajaran bahasa Bali dapat dipetakan seperti pada tabel berikut ini. Tabel 1: Peta Pembelajaran Bahasa Bali Jenjang Pendidikan Pendidikan Pendidikan Dasar Menengah Pertama Menengah Atas Jenis Umum SD SMP SMA Madrasah Aliyah Madrasah Madrasah Ibtidaiyah Madrasah Tsanawiyah / MAK

SLB SD SLB SMP SLB SMA SLB A, B, C, D, E, G A, B, C, D, E, G A, B, C, D, E, G SMK (Berbagai Kejuruan Rumpun) Non- Paket A Paket B Paket C Formal

 254 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Keterangan: SLB A = tunanetra SLB D = tunadaksa SLB B = tunarungu SLB E = tunalaras SLB C = tunagrahita SLB G = tunaganda Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa ada banyak variabel pembeda yang wajib dipertimbangkan untuk memenuhi kebutuhan dan/atau tujuan pembelajaran bahasa Bali pada semua jenjang dan jenis sekolah. Variabel-variabel pembeda tersebut menjadi kekhususan dan karakteristik pembelajaran bahasa Bali pada masing-masing jenjang dan jenis sekolah; misalnya, program pendidikan paket A yang setara dengan SD. Perbedaan mencolok antara program pendidikan paket A dengan SD terletak pada veriabel usia peserta didiknya. Peserta didik pada program paket A adalah mereka yang telah melampaui batas usia wajib belajar Sekolah Dasar. Perbedaan usia ini berpengaruh terhadap kebutuhan pembelajaran bahasa Bali. Menurut Piaget (1969), Sund (1976), dan Chaer (2003) bahwa tingkat kognitif seseorang, yang memiliki perkembangan normal, akan linier dengan pertambahan usianya. Selanjutnya, perkembangan kognitif menjadi intake bagi pembelajaran bahasa Bali sehingga seleksi materi ajar mengikuti formula i + 1, yang artinya satu tingkat di atas kompetensi yang telah dimiliki pembelajar (Baradja, 1990; Tolla, 1990). Mengacu pada fase perkembangan kognitif dan prinsip formulasi bahan ajar itu, perlu didesain standar kompetensi dalam silabus pembelajaran bahasa Bali yang lebih sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Atas prinsip ini, sangat tidak masuk akal jika peserta didik baru pada program paket A diajarkan pengenalan anggota tubuh (misalnya, melalui materi ajar kosabasa Bali) seperti yang tertuang pada kompetensi dasar 2.1 pelajaran bahasa Bali untuk kelas I SD (Lampiran Pergub No. 20/2013). Contoh persoalan lain adalah ketidaktersediaan aksara Bali dalam sistem braille sehingga tidak mungkin mengajarkan aksara Bali di SLB A pada semua jenjang. Oleh karena itu, diperlukan desain isi pelajaran bahasa Bali yang sesuai dengan karakteristik jenis dan jenjang pendidikan.

1. Metode Makalah ini merupakan hasil penelitian pustaka (library research). Sumber data berupa dokumen Pemerintah Provinsi Bali, yakni: Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2018 dan Peraturan Gubenur Bali Nomor 20 Tahun 2013 beserta lampirannya yang memuat standar kompetensi pembelajaran bahasa Bali pada semua jenis dan jenjang sekolah. Data dikumpulkan melalui pencatatan dokumen. Data dielisitasi sesuai tujuan penulisan sehingga menghasilkan data utama. Data utama ditriangulasi melalui wawancara tidak terstruktur dengan akademisi, pemerhati, dan praktisi pengajaran bahasa Bali. Data utama dianalisis secara kualitatif (Bungin, 2003) serta hasilnya disajikan secara informal (Sudaryanto, 1993).

2. Pembahasan 2.1 Problematika Yuridis Pendidikan Bahasa Bali Pelaksanaan pendidikan bahasa Bali didasarkan pada pasal 32 UUD 1945, yang menegaskan bahwa bahasa daerah wajib dihormati dan dipelihara oleh negara. Selanjutnya, pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 pun diatur penggunaan bahasa daerah untuk mendampingi penggunaan bahasa Indonesia. Selain kedua landasan hukum yang berlaku secara nasional itu, masih ada dua

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 255 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

produk hukum lokal oleh Pemerintah Provinsi Bali yang mengatur pendidikan bahasa Bali, yakni: Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2018 dan Peraturan Gubernur Bali Nomor 20 Tahun 2013. Dalam batang tubuh Perda itu ditemukan sejumlah pasal yang memiliki kaitan secara eksplisit dengan pendidikan bahasa Bali. Pada pasal 1 (6), bahasa Bali ditetapkan sebagai mata pelajaran muatan lokal wajib. Pada pasal 4 (e), dinyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan bahasa Bali pada semua jalur dan jenjang pendidikan merupakan salah satu sasaran pemajuan bahasa, aksara, dan sastra Bali. Pada pasal 7 (3.a) ditegaskan bahwa pendidikan bahasa Bali merupakan salah satu upaya pelindungan. Pada pasal 8 (e) diatur penggunaan bahasa Bali sebagai pengantar dalam pendidikan. Pada pasal 10 (2.a) ditegaskan bahwa pembinaan bahasa Bali dilakukan melalui jalur pendidikan formal dan non formal. Pada pasal 11 (1.a, c, d) diatur tentang alokasi waktu wajib minimal untuk pelajaran bahasa Bali, pengadaan guru, dan penyediaan bahan ajar. Mencermati pasal demi pasal tersebut kegigihan Pemerintah Provinsi Bali dalam upaya pelindungan, pembinaan, dan pengembangan bahasa, akasara, dan sastra Bali patut diapresiasi. Landasan yuridis lain yang gayut dengan pendidikan bahasa Bali adalah Peraturan Gubernur Bali Nomor 20 Tahun 2013. Peraturan Gubernur itu merupakan sikap dan jawaban Pemerintah Provinsi Bali atas kegelisahan masyarakat Bali terhadap eksistensi pelajaran bahasa Bali dalam Kurikulum 2013. Pada pasal 2 (1) dan pasal 4 (1, 2a.b) secara eksplisit ditegaskan bahwa bahasa, aksara, dan sastra Bali wajib diajarkan minimal 2 jam/minggu pada: SD/MI/SDLB/Paket-A, SMP/MTs/SMPLB/Paket-B, dan SMA/MA/SMALB/Paket-C/SMK. Selanjutnya, pada pasal 4 (3) ditegaskan bahwa pengajaran bahasa Bali berbasis kompetensi. Kompetensi pelajaran bahasa Bali dideskripsikan pada lampiran, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Pergub tersebut. Mencermati lampiran Pergub Bali Nomor 20/2013 tanggal 23 April 2013 itu ternyata bahwa deskripsi kompetensi pelajaran bahasa Bali hanya memuat kebutuhan pembelajaran untuk sekolah umum, seperti SD, SMP, dan SMA; sedangkan sekolah yang memiliki karakteristik khusus, seperti: madrasah, SLB, SMK, dan paket belajar belum tersentuh. Penyelenggaraan pendidikan khusus bertujuan mengembangkan kompetensi dan untuk mencapai tujuan khusus pula, dalam hal ini berlaku logika filsafat epistemologi-induktif, bahwa semakin khusus sesuatu semakin bernilailah sesuatu itu (Sumarsono, 2004). Kesenjangan yuridis ini membawa posisi guru bahasa Bali pada pada sekolah khusus menjadi dilematis. Jika pengajaran bahasa Bali dilakukan secara konsisten dengan mengacu pada lampiran Pergub Bali No. 20/2013 maka kompetensi yang diajarkan tidak sesuai kebutuhan pembelajaran (bahkan dalam hal tertentu mustahil dilakukan). Sebaliknya, jika guru berorentasi pada kebutuhan dan kondisi nyata pembelajar, maka melanggar pergub yang hingga saat ini masih berlaku. Misalnya, pada kompetensi dasar 4.1 untuk siswa kelas I SD tertulis membaca nyaring suku kata dan kata dengan lafal yang tepat. Bagaimana mengimplementasikan kompetensi dasar ini pada siswa kelas I SD SLB B (tunarungu)? Bagaimana menetapkan KKM? Bagaimana mengevaluasinya? Problematika yuridis ini dapat diatasi dengan merumuskan kembali kompetensi inti dan kompetensi dasar pelajaran bahasa Bali untuk sekolah yang berkarakteristik khusus.

 256 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

2.1 Problematika Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali Teori nosional-fungsional menegaskan bahwa kebermaknaan pelajaran bahasa sangat tergantung pada pemenuhan kebutuhan si pembelajarnya (Parera, 1987; Purwo, 1990). Kebutuhan pembelajar sangat tergantung pada lingkungan pemakaian bahasa yang dipelajari. Oleh karena itu, pajanan dalam pelajaran bahasa seharusnya sesuai dengan lingkungan sosial dan budaya anak-anak. Mengacu prinsip umum ini, perlu ada tindakan nyata untuk mendeskripsi secara cermat kebutuhan pembelajaran bahasa Bali yang sesuai dengan karakteristik jenis dan jenjang sekolah. Pendeskripsian kebutuhan pembelajaran bahasa Bali dirasakan sangat penting, perlu, dan mendesak karena alokasi waktu yang tersedia sangat terbatas, yakni hanya 2 jam pelajaran/minggu serta karakteristik peserta didik dan sekolah yang sangat bervariasi, seperti yang tertera pada tabel 1. Fakta adanya keragaman variabel peserta didik dan lembaga persekolahan harus diselaraskan dengan kompetensi inti dan kompetensi dasar yang menjadi tujuan pembelajarannya. Misalnya, kepada siswa SMK rumpun teknik civil akan lebih bermakna jika diajarkan wacana, kalimat, kosabasa yang berkaitan dengan asta kosala kosali; sedangkan bagi siswa SMK rumpun kesehatan lebih bermakna jika diajarkan wacana, kalimat, kosabasa yang berkaitan dengan usada dan taru premana. Demikian pula, kepada siswa SMK rumupun dunia usaha lebih bermakna jika diajarkan wacana, kalimat, kosabasa yang berkaitan dengan paceraken. Kepada siswa SMK rumpun pertanian lebih bermakna jika diajarkan wacana, kalimat, dan kosabasa tentang darma pamacul. Pada madrasah mungkin lebih efektif jika fokus pada pengajaran bahasa Bali untuk kepentingan bersosialisasi-integrated dan/atau kesusastraan Bali bernuansa Islam. Variabel pembeda lain yang perlu dipertimbangkan adalah jenis sekolah, seperti SLB. Karakteristik ‗keluarbiasaan‘ yang disematkan pada jenis sekolah ini memerlukan spesifikasi dalam rincian kompetensi inti dan kompetensi dasar. Misalnya, kepada siswa kelas II SD SLB A tidak mungkin diajarkan aksara Bali (kompetensi inti 2 dan kompetensi dasar 2.1) karena tidak tersedia aksara Bali dengan sistem braille. Kepada siswa kelas X SMA SLB B pun tidak mungkin diajak melagukan pupuh (kompetensi inti 7 dan kompetensi dasar 7.1). Hal yang sama pun terjadi pada program paket belajar yang usia peserta didiknya telah melampaui usia wajib belajar. Peserta didik baru pada program paket A, misalnya, tidak bermanfaat jika diajarkan penggunaan bahasa Bali dalam setting bermain (kompetensi inti 2 dan kompetensi dasar 2.7). Jadi, ada problematika penerapan kompetensi inti dan kompetensi dasar yang tertera pada lampiran Peraturan Gubernur Bali Nomor 20 Tahun 2013. Problematika ini perlu ditindaklanjuti dengan menyusun kembali kompetensi inti dan kompetensi dasar pelajaran bahasa Bali sesuai dengan karakteristik sekolah dan peserta didik.

3. Penutup Penetapan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2018 dan Peraturan Gubernur Bali Nomor 20 Tahun 2013 patut diapresiasi karena merupakan payung hukum pengajaran bahasa Bali sebagai mutan lokal wajib. Namun demikian, perlu ditindaklanjuti dengan penyusunan kembali secara cermat kompetensi inti (KI) dan kompetensi dasar (KD) agar lebih sesuai dengan kebutuhan pembelajaran bahasa Bali. Penyusunan dan pecermatan kembali KI dan

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 257 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

KD tersebut karena variabel peserta didik dan karakteristik sekolah sangat beragam. Kekurangtersediaan KI dan KD yang lebih spesifik merupakan problematika dalam mengimplementasikan Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur tersebut. Daftar Pustaka Baradja, M.F. 1990. Kapita Selekta Pengajaran Bahasa. Malang : Penerbit IKIP Malang. Bungin, B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada Chaer, A. 2003. Psikolinguistik : Kajian Teoretik. Jakarta : Rineka Cipta. Parera, J.D. 1987. Linguistik Edukasional. Jakarta: Erlangga. Piaget, J. 1969. ―Cognitive Development‖. [cited 25 Maei 2004]. Available from : http://www.psychiacomp.com/diadic/development-piaget.php. Purwo, B. K. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Kanisius. Sund, R. B. 1976. Piaget for Educators : A Multimedia Program. Ohio : Charles E. Merril Publishing Company. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta : Duta Wacana University Press. Sumarsono. 2004. Filsafat Bahasa. Jakarta: Grasindo. Tolla, A. 1990. ‗Tiga Versi Pandangan dalam Teori Pemerolehan Bahasa: Skinner, Chomsky, dan Krashen‘. Dalam Nurhadi dan Roekhan (Ed). Dimensi- Dimensi dalam Belajar bahasa Kedua. Bandung: Sinar Baru. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali. Avaiable from http://www.jdih.baliprov.go.id. Peraturan Gubernur Bali Tanggal 23 April 2013 Nomor 20 Tahun 2013 Tentang Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Avaiable from http://www.jdih.baliprov.go.id.

 DIVERSIFIKASI PEMAKNAAN ISTILAH BUDAYA BALI DI MEDIA ONLINE

Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Gusti Ngurah Parthama Program Studi Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [email protected]

ABSTRAK

Paper ini membahas mengenai diversifikasi pemaknaan terhadap penggunaan istilah – istilah budaya Bali di media online berbahasa Inggris. Media online menjadi media informasi yang paling cepat diakses di era global saat ini. Penggunaan media online juga efektif mengingat kemampuannya yang menjangkau pembaca dalam jumlah yang tidak terbatas. Sehingga informasi – informasi seperti halnya daerah tujuan wisata menjadi mudah untuk diperoleh. Salah satunya adalah penjelasan mengenai istilah budaya Bali di media online khususnya media online berbahasa Inggris. Penggunaan istilah budaya Bali pada bahasa yang berbeda dengan latar budaya berbeda menjadi tantangan tersendiri untuk dapat dipahami. Terutama berkaitan dengan makna khusus yang dibawa oleh istilah – istilah budaya tersebut. Untuk itu, penggunaan istilah – istilah budaya Bali di media online berbahasa Inggris menjadi menarik untuk dianalisa lebih lanjut terkait dengan pemindahan makna. Apalagi jika dikaitkan dengan beragam media online yang menjelaskan istilah budaya Bali dengan pemahamannya masing – masing. Sehingga hal tersebut memunculkan keberagaman dalam memaknai suatu istilah budaya Bali. Data dari paper ini diambil dari sejumlah media online berbahasa Inggris yang menggunakan istilah budaya Bali. Dalam hal pengumpulan data, metode dokumentasi diaplikasi dengan teknik observasi sejumlah media online yang menggunakan istilah budaya Bali. Selanjutnya dilakukan teknik membaca rinci, mencatat, dan mengklasifikasikan istilah budaya Bali. Sedangkan metode deskriptif kualitatif digunakan untuk memaparkan kajian terhadap istilah budaya Bali yang digunakan pada media online berbahasa Inggris. Temuan yang diperoleh adalah istilah – istilah budaya Bali pada sejumlah media online berbahasa Inggris dapat dipahami dan dimengerti maknanya melalui konteks baik berupa konteks kalimat maupun paragraf. Selain itu, sejumlah istilah budaya Bali, diberikan penjelasan berdasarkan frasa deskripsi yang dalam hal ini umumnya menjelaskan tentang bentuk dan fungsi dari istilah budaya Bali yang dimuat. Dalam hal ini, penjelasan diberikan dalam bentuk definisi maupun penjelasan khusus.

Kata kunci: istilah budaya Bali, media online, bahasa Inggris

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 258 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 259 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

PENDAHULUAN Teknik peminjaman (borrowing) merupakan teknik dalam alihbahasa yang berhubungan dengan istilah – istilah budaya tertentu. Secara umum, budaya menjadi entitas paling khas dari suatu golongan masyarakat. Budaya menjadi penanda yang membedakan satu kelompok masyarakat dengan kelompok – kelompok masyarakat lainnya. Hal itu juga yang diturunkan pada generasi – generasi selanjutnya. Dasar pemahaman tersebut menjadi latar belakang timbulnya tantangan - tantangan yang dihadapi seseorang ketika mempelajari budaya yang sangat berbeda dengan dirinya. Contoh sederhana adalah etika yang berkaitan dengan penggunaan tangan kanan dan tangan kiri. Pada budaya timur, penggunaan tangan kanan saat menerima sesuatu dianggap sebagai hal yang baik. Sedangkan tangan kiri justru dianggap tidak baik. Sebaliknya pada budaya Barat, menerima sesuatu dengan salah satu dari kedua tangan justru tidak menjadi masalah. Tidak terdapat justifikasi baik dan tidak baik jika menggunakan tangan kanan atau tangan kiri. Perbedaan – perbedaan budaya seperti itu menjadi tantangan tersendiri bagi seseorang untuk mempelajari budaya yang berbeda. Sehingga dengan mengetahui lebih awal, persoalan perbedaan budaya (shock culture) dapat dihindari. Dalam hal ini, media online dan penyebaran informasi mengenai istilah budaya Bali menjadi dua sisi yang saling berkaitan. Budaya Bali sebagai inti dari informasi yang disampaikan dan media online menjadi media atau alat komunikasi global yang mendukung penyebaran informasi terkait Bali. Menjadi hal yang menarik untuk mendeskripsikan media online dalam memberikan informasi dan pengetahuan terkait dengan kekhususan istilah – istilah budaya Bali sebagai salah satu penunjang pariwisata di Bali. Dengan begitu, media online yang memuat informasi – informasi terkait budaya Bali justru secara langsung maupun tidak langsung turut mempromosikan Bali. Terkait alih bahasa budaya, hal yang sangat menjadi perhatian adalah penerapan teknik saat proses pengalihan istilah dari bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa sasaran (BSa). Hal tersebut menjadi perhatian Setianingsih (2003) dalam tesisnya yang berjudul Some Alternative Ways of Establishing Lexical Equivalences of Balinese Cultural Terms in English. Perhatian pada penerapan teknik yang digunakan untuk mengalihbahasakan istilah budaya dikenal dengan ujaran atau ekspresi leksikal yang tidak ada padanan pada bahasa lain. Hal ini berhubungan dengan bahasa sebagai bagian budaya. Bahasa menjadi suatu yang sangat khusus jika berkaitan dengan budaya suatu kelompok masyarakat. Dalam tesisnya, Setianingsih memaparkan alternatif – alternatif teknik pengalihan bahasa dari istilah budaya Bali ke budaya lain yaitu budaya Bahasa Inggris. Pemilihan alternatif teknik juga menyesuaikan dengan kesepadanan alami yang dicapai dalam hal pentransferan makna. Dengan mencapai kesepadanan alami dalam hal pemahaman makna, maka pemahaman yang diperoleh oleh pembaca asing akan serupa dengan masyarakat Bali. Mereka juga mempunyai pemaknaan yang memadai terkait dengan istilah – istilah budaya Bali. Budaya dapat dipahami sebagai bagian dari gaya hidup. Newmark (1988: 94) mengemukakan jika dalam tingkatan alih bahasa terdapat tantangan yang berbeda untuk mengalihbahasakan dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Dia membagi kesulitan pengalihbahasa menjadi tiga tingkatan. Tingkatan pertama adalah pemahaman secara umum atau general yang dimengerti oleh sebagian

 260 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 besar masyarakat dengan latar budaya berbeda. Selanjutnya adalah tingkatan kedua yang sudah mulai lebih khusus. Kekhususan tersebut menjadi permasalahan awal dalam pengalihbahasaan. Sedangkan tahap ketiga adalah kekhususan yang spesifik dalam kaitannya dengan budaya – budaya tertentu. Tahapan inilah yang seringkali menjadi tantangan besar bagi pengalihbahasa. Dari keseluruhan tahapan yang dimaksud, Newmark (1988: 95) membagi istilah budaya ke dalam 5 kategori. Kategori yang dimaksud adalah kategori ekologi, kategori material atau artefak, kategori sosial kemasyarakatan, kategori organisasi/konsep/adat istiadat/aktivitas sosial, dan kategori kebiasaan dan perilaku. Kategori ekologi umumnya dikaitkan dengan kehidupan selain manusia seperti tumbuhan, binatang, maupun hal – hal seperti angin, dataran rendah, perbukitan, dan lainnya. Kategori material atau artefak memiliki pemahaman sangat luas di masyarakat. Kategori ini umumnya berkaitan dengan makanan, pakaian, perumahan atau perkotaan, dan transportasi. Kategori sosial kemasyarakatan mempunyai kedekatan pemahaman dengan struktur sosial suatu kelompok masyarakat. Kategori organisasi lebih mengarah kepada adat istiadat, aktivitas masyarakat pada umumnya, kebiasaan – kebiasaan turun temurun, dan konsep ajaran kehidupan di masyarakat. Kategori yang paling akhir adalah kategori kebiasaan dan perilaku. Newmark (1988: 102) memberikan pemahaman bahwa kategori terkait kebiasaan dan perilaku harus diperlakukan berdasarkan konteks komunikasi saat melakukan alih bahasa.

METODELOGI Tahapan penelitian dibagi menjadi tiga tahapan. Masing – masing tahapan memberikan kontribusi pada penelitian ini. Ketiga tahapan tersebut adalah tahapan penentuan sumber data dan data, tahapan pengumpulan data, dan tahapan analisa data. Masing – masing dijabarkan secara lebih terinci seperti di bawah ini. Tahapan pertama adalah sumber data dan data. Penelitian ini menggunakan sumber data dari media – media online berbahasa Inggris. Tahapan kedua merupakan pengumpulan data. Dalam hal pengumpulan data, metode dokumentasi diterapkan pada penelitian ini didukung oleh teknik – teknik seperti teknik membaca rinci data di media online, selanjutnya teknik pemilahan data yang digunakan dan yang tidak digunakan, dan teknik mencatat untuk memastikan data terekam dengan baik sebagai bahan penelitian. Tahapan berikutnya adalah tahapan analisa data menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan klasifikasi dan pemahaman mengenai fitur budaya yang disampaikan Newmark (1988).

PEMBAHASAN Terdapat tiga istilah budaya Bali yang dipilah untuk data pada paper ini. Ketiga istilah budaya tersebut adalah bale banjar, lontar, dan ogoh – ogoh. Masing – masing data pada ketiga istilah budaya tersebut ditampilkan dalam tabel. Selanjutnya ketiga istilah budaya dianalisa secara deskriptif kualitatif. Tabel berikut di bawah ini berisikan data terkait istilah budaya Bali bale banjar yang terdapat pada teks bahasa Inggris di media online.

NO DATA SUMBER 1 The Banjar is the smallest formal social unit of Balinese society. In https://de.wikipedia. particular, she maintains a Bale Banjar, a gathering place where org/wiki/Banjar_(Soz

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 261 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

community meetings and other activities (sports, iologie_Balis) dance, , etc.) take place. Each Banjar is led by a clan elected by the Plenum of Family Heads. The Banjar is a very old facility in Bali, probably dating back to prehistoric times.

2 The people from other places and happened to stay in the banjar are http://googleweblight welcomed to join the banjar if they want to. The center of banjar is .com/i?u=http://www ‘bale banjar’ (‘banjar’ hall), where the members of the banjar usually .baliaround.com/banj meet on a certain day. Banjar is le ar-balinese- d by a „kelian banjar‟. community/&hl=en- ID 3 Bale banjar adat (traditional community hall) in Bali is an important https://www.researc public building complex for Balinese societies which functions as a hgate.net/publication social and cultural identity. This building complex also functions as the /275481729_'Geren place where the community holds public activities and assembly ceng_bale_banjar_a dat'_change_and_co meetings. ntinuity_in_Balinese _architecture 4 Located in the resort‟s Lobby area, the Bale Banjar is an open http://baliplus.com/e pavilion that focuses on highlighting the typical functions of the verything-balinese- traditional Banjar that is present in every Balinese village on the at-the-bale-banjar island. The Banjar is the most fundamental unit of civil society in Bali - its origins can be traced to the Island‟s pervasive agricultural society.

5 The Banjar must have Bale Banjar which used for the place to https://baliindonesiai conduct meeting and doing ngayah – finishing work with sincerity nformation.wordpres and selflessly which is done by mutual assistance. Bale Banjar is the s.com/2017/02/03/b central place of the banjar activities. ale-banjar-balinese- society-home-base/

Dari keseluruhan tabel di atas terdapat diversifikasi pada pemaknaan istilah budaya Bali. Dalam hal ini variasi – variasi yang muncul pada pemaknaan terhadap istilah budaya Bali bale banjar beragam. Hal itu dapat dilihat dari keseluruhan tabel di atas yang memberikan pemaknaan terhadap istilah budaya Bali bale banjar. Pada data 1 bale banjar didefinisikan dalam konteks kalimat a gathering place where community meetings and other activities (sports, dance, gamelan, etc.) take place. Model definisi juga terdapat pada data 4 yang memberikan pemaknaan berupa Bale Banjar is an open pavilion that focuses on highlighting the typical functions of the traditional Banjar that is present in every Balinese village on the island Bale Banjar is an open pavilion that focuses on highlighting the typical functions of the traditional Banjar that is present in every Balinese village on the island.

NO DATA SUMBER 1 Basically, a lontar is written history and Bali has a unique way of https://www.baliblog.com/t preserving it. These manuscripts are writings from hundreds of years ravel-tips/bali-daily/the- ago that are inscribed on the leaves of the lontar palm (punyan entel). ancient-lontar-scripts-of- bali-are-going-digital.html 2 This library annex museum collects, copies and preserves thousands http://www.northbali.info/c of lontar (manuscripts made of palm leaf), "prasati" (transcriptions ulture/gedong_kirtya_sing on metal plates) and books which deal with various aspects of human araja.php life, such as religion, architecture, philosophy, genealogy, homeopathy, "usada" (medical manuscripts), black magic, and so on, in the Balinese, Kawi (old Javanese) and the Dutch, English and German language.

3 Lontar is a palm leaf manuscript made of the lontar palm which http://www.bladesofthegod

 262 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

was used in ancient Asia and south east Asia. Its use goes back to .com/barong-108- fifteenth century BCE, and possibly much earlier. box/keris-lontar/

4 Lontar is the most iconic and unique manifestations of tangible and https://balicultureinformati intangible cultural heritage preserved on Bali from the past through to on.wordpress.com/2015/1 the present day. The literature and religious lore of Balinese and 2/05/lontar-balinese- ancient Javanese traditions have been reproduced through the manuscript-which-contain- a-variety-of-aspects-of- centuries via a learned tradition of writing and reading texts on lontar. human-life/

5 More broadly sutra indicate Hindu and Buddhist religious texts that in https://australianmuseum. the form of palm leaf manuscripts helped to propagate this faith net.au/book-and-sutra through parts of Asia in the first millennium BCE and through the many centuries of the Common Era. Known as lontar in Bali, palm leaf manuscripts are considered the most appropriate form of preserving centuries-old tradition. They are still used as the most important sources of knowledge on religion, medicine, law, literature, social conventions, and the overall wisdom of tradition. Sedangkan data istilah budaya Bali bale banjar diberikan pemaknaan dengan tambahan informasi berupa frasa seperti pada data 2 dan 3. Pada data 2 bale banjar ditambahkan informasi dengan hall dan data 3 ditambahkan informasi traditional community hall. Penambahan informasi memberikan pemaknaan yang lebih dekat pada budaya pembaca. Dengan penambahan informasi hall atau community hall memberikan kedekatan gambaran makna istilah budaya Bali pada budaya berbeda. Sementara itu kesatuan istilah budaya Bali dalam konteks kalimat terdapat pada data 5. Kesatuan tersebut dimunculkan pada kalimat Bale Banjar which used for the place to conduct meeting and doing ngayah. Dengan menempatkan istilah budaya Bali dan pemaknaannya maka pembaca dengan latar budaya berbeda dapat memahami makna istilah budaya yang sekaligus dimunculkan dalam sebuah kalimat. Selanjutnya tabel di bawah ini berisikan data istilah budaya Bali lontar yang terdapat pada media online berbahasa Inggris.

Pada penggunaan istilah budaya Bali lontar di tabel di atas maka dapat diperhatikan jika pemilihan pemaknaan melalui konteks kalimat menjadi pertimbangan utama. Hal itu dapat disimak melalui data 1, data 4, dan data 5. Secara spesifik data 1 dan data 4 memberikan acuan pemaknaan melalui penggunaan konteks kalimat. Sehingga pembaca lebih mudah memahami konteks kalimat yang berisikan istilah budaya Bali dan pemaknaannya seperti pada a lontar is written history and Bali has a unique way of preserving it. These manuscripts are writings from hundreds of years ago that are inscribed on the leaves of the lontar palm (punyan entel) dan Lontar is the most iconic and unique manifestations of tangible and intangible cultural heritage preserved on Bali from the past through to the present day. The literature and religious lore of Balinese and ancient Javanese traditions have been reproduced through the centuries via a learned tradition of writing and reading texts on lontar. Sedangkan data 5 menerapkan dua model untuk memberikan pemahaman terhadap istilah budaya. Model yang digunakan adalah kombinasi konteks kalimat yang diikuti pola deskriptif untuk menjelaskan arti dari istilah lontar. Hal itu terlihat dari kalimat lontar in Bali, palm leaf manuscripts are considered the most appropriate form of preserving centuries-old tradition.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 263 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Sedangkan penggunaan teknik deskripsi menjadi pilihan pada data 2 dan data 3. Pada kedua data, istilah budaya Bali lontar diberikan pemahaman dengan manuscripts made of palm leaf dan a palm leaf manuscript made of the lontar palm which was used in ancient Asia and south east Asia. Kedua teknik deskripsi tersebut memberikan pemaknaan terhadap istilah lontar dalam pemahaman bentuk (form). Pada tabel di bawah ini berisikan istilah budaya Bali ogoh – ogoh yang terdapat pada media online berbahasa Inggris. Masing – masing tabel dideskripsikan secara lengkap dalam konteks kalimat.

NO DATA SUMBER 1 The name Ogoh Ogoh is derived from the Balinese “ogah-ogah”, http://nowbali.co.id/n meaning “to shake”, and it represents the Bhuta-Kala or evil spirits, grupuk-monster- vices that need to kept away from humans. Many locals from the parade/ Banjar community will carry their Ogoh-Ogoh on the convoy, shaking it to make it look likes it‟s moving and dancing.

2 Ogoh-ogoh whose appearance is very scary is usually paraded around http://www.baligolde the village or town by the Banjar or traditional village society which is ntour.com/ogoh- dominated by the youth. Ogoh-ogoh is a kind of statue / giant doll ogoh.php which is made of light materials such as the combination of wood, bamboo, paper, and styrofoam so it is easy to be lifted and paraded. With the development or technology and materials, people prefer using styrofoam because of its lightweight and easiness to be carved and processed, but of course it costs more.

3 The main function ogoh-ogoh Bhuta Kala is a representation made before the celebration of Nyepi (Silent) Day, where ogoh-ogoh will be http://www.infobalidri paraded around the rollicking banjar or village at dusk the day before ver.com/ogoh-ogoh- Nyepi (Pangrupukan). Ogoh-ogoh Bali is a masterpiece sculpture bali

depicting Balinese culture personality. Pangrupukan or a day before Nyepi, the events and procession every year is the same on each Banjar (smaller then village) Bali will compete in terms of making ogoh-ogoh as interesting as possible.

4 The island‟s streets lit up on Friday night as Balinese took to the https://coconuts.co/b streets to parade their Ogoh-ogoh, handmade floats depicting ali/features/ogoh- demons and evil spirits while commonly mistaken as an age-old ogoh-photos/ tradition, it turns out Ngrupuk is more of a modern invention, widely believed to have come about in the 1980s.

5 Ogoh - ogoh are giant dolls made from bamboo frames which are http://www.balimusic intricately weaved and tied and then covered with papier mache. anddance.com/articl They are made in the form of creatures of the underworld known in es/what-are-ogoh- ogoh.html?lang=id Balinese as buta-kala, in English something like „Satan‟.

Berdasarkan tabel di atas, istilah budaya Bali ogoh – ogoh menggunakan derivasi makna berdasarkan pada definisi dan penjelasan secara deskriptif. Dalam hal pemaknaan dengan definisi terlihat pada data 2, data 3, dan data 5. Sedangkan penjelasan secara deskriptif terdapat pada data 1 dan data 4. Pemaknaan secara deskriptif juga bervariasi dengan pemahaman secara konteks keseluruhan kalimat dan penjelasan deskriptif secara langsung. Pemaknaan melalui definisi terlihat pada paparan data 2, data 3, dan data 5. Istilah budaya Bali ogoh – ogoh didefinisikan sebagai a kind of statue / giant doll which is made of light materials such as the combination of wood, bamboo,

 264 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 paper, and styrofoam so it is easy to be lifted and paraded (data 2); Ogoh-ogoh Bali is a masterpiece sculpture depicting Balinese culture personality (data 3); dan Ogoh - ogoh are giant dolls made from bamboo frames which are intricately weaved and tied and then covered with papier mache (data 5). Sementara itu, pemaknaan melalui teknik deskriptif berdasarkan konteks keseluruhan makna kalimat terdapat pada data 1. Dalam hal ini penjelasan the name Ogoh Ogoh is derived from the Balinese “ogah-ogah”, meaning “to shake”, and it represents the Bhuta-Kala or evil spirits, vices that need to kept away from humans. Many locals from the Banjar community will carry their Ogoh-Ogoh on the convoy, shaking it to make it look likes it‟s moving and dancing. Keseluruhan penjelasan pada data 1 memberikan pemahaman atau pemaknaan terhadap istilah ogoh – ogoh. Sedangkan data 4 memberikan penjelasan langsung secara deskriptif dengan handmade floats depicting demons and evil spirits while commonly mistaken as an age-old tradition.

SIMPULAN Berdasarkan analisa pada bagian pembahasan maka diperoleh simpulan bahwa istilah budaya Bali dijelaskan melalui berbagai variasi penjelasan. Adapun variasi penjelasan tersebut bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang istilah budaya Bali kepada pembaca dengan latar belakang berbeda. Variasi – variasi yang dilakukan terhadap istilah budaya Bali dilakukan dengan memberikan penjelasan secara utuh dalam konteks – konteks kalimat dan penjelasan melalui frasa deskripsi. Dengan variasi penjelasan seperti itu maka pembaca dengan latar budaya berbeda dapat memahami makna yang dikandung oleh sebuah istilah budaya yang muncul pada media online berbahasa Inggris.

DAFTAR PUSTAKA Newmark, Peter. 1988. A Textbook of Translation. Washington: Longman Pearson Education.

Parthama, I Gusti Ngurah. 2017. Kajian Alih Bahasa Penggunaan Dua Bahasa Pada Papan Informasi Publik. Hasil penelitian Hibah Unggulan Program Studi, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM), Universitas Udayana.

Setianingsih, Alit Ida. 2003. Some Alternative Ways of Establishing Lexical Equivalences of Balinese Cultural Terms in English. (Tesis). Denpasar: Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana, Universitas Udayana.

Vinay, Jean-Paul, dan Jean Darbelnet. 2000. A Methodology for Translation dalam kumpulan naskah The Translation Studies Reader edited by Lawrence Venuti. London: Routledge.

 PRASASTI SEBAGAI BUKTI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BALI KUNO

Ni Ketut Puji Astiti Laksmi [email protected]

Prasasti dikeluarkan atas perintah seorang raja, maka sewajarnya apabila hal yang dikemukakan di dalam prasasti adalah hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas seorang raja, sesuai dengan kepentingan dikeluarkannya prasasti.Walaupun demikian tidak berarti bahwa hal-hal lain yang tidak disebut-sebut dalam prasasti khususnya yang berkaitan dengan aktivitas masyarakat tidak diketahui atau dikenal, melainkan karena tidak penting dikemukakan dalam isi prasasti yang biasanya singkat. Pernyataan ini justru mendorong penulis untuk melakukan penemuan- penemuan ruang kosong dalam teks prasasti khususnya dari sudut pandang masyarakat, karena prasasti merupakan bukti kearifan lokal masyarakat pada masa tersebut.

Kata Kunci : Prasasti, Masyarakat, Kearifan Lokal.

I. Pendahuluan

Prasasti telah terbukti memberikan banyak informasi penting dalam upaya merekonstruksi sejarah perkembangan masyarakat dan budaya Indonesia, khususnya pada masa Hindu-Buddha karena sebagian besar informasi mengenai zaman kuno di Indonesia diperoleh dari prasasti,demikian juga dengan rekonstruksi sejarah Bali. Penelitian prasasti dilakukan terutama untuk membangun kerangka waktu yang diperlukan dalam menjelaskan perkembangan budaya. Albert C. Spaulding (1971) menyatakan bahwa subject matter dari arkeologi adalah artefak (dalam arti yang luas), yaitu seluruh benda yang mencerminkan kegiatan budaya manusia atau disebut dengan budaya bendawi (material culture). Ian Hodder (1986:11) menyatakan bahwa ‖The writing of ink on paper is itself one type of material culture, and the inference of meaning from such evidence is equivalent to that for material objects in general‖ (Tulisan pada kertas (teks) merupakan salah satu jenis budaya materi itu sendiri, dan makna yang terkandung dari bukti tersebut setara dengan benda material pada umumnya).Oleh karena itu, maka prasasti juga merupakan kategori artefak, yang berarti pula potensial untuk dimanfaatkan bagi kajian arkeologi (Kusumohartono,1994 :17). Penelitian prasasti khususnya prasasti masa Bali Kunoabad IX-XIV Masehi telah dilakukan oleh beberapa ahli, baik ahli dari dalam maupun luar negeri.Sejak masa pemerintahan kolonial Belanda hingga sekarang beberapa ahli yang melakukan penelitian terhadap prasasti diantaranya ialah H.N van der Tuuk, J.L.A.Brandes, P.V.van stein Callenfels, R.Goris, M.M Soekarto K Atmodjo, Ketut Ginarsa, Putu Budiastra, Gde Semadi Astra, dan Wayan Ardika. Pada hakekatnya, makalah ini bertujuan untuk memaparkan keberadaan prasasti pada masa Bali Kuno abad IX-XIV Masehi sebagai salah satu bukti

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 265 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 266 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 kearifan lokal masyarakat pada masa tersebut. Pada prasasti tercatat beberapa aspek budaya yang terjadi pada waktu prasasti tersebut diturunkan, sehingga keakuratan data yang terkandung di dalam prasasti dapat lebih mudah dipercaya dan dipahami. Meskipun beberapa aspek budaya sering luput dan tidak dipaparkan secara gamblang di dalam prasasti tetapi disisi lain aspek-aspek yang menjadi fokus perhatian atau permasalahan pada saat prasasti itu diturunkan sering kali diulas secara mendetail. Mengacu pada ulasan-ulasan itulah kemudian dapat dipahami kehidupan masyarakat Bali Kuno.

II. Metodelogi Magetsari (2016: 79), mengatakan bahwa dalam konteks kesejarahan, kedudukan prasasti sebagai sumber sejarah dapat dianalogikan sebagai arsip. Hakekat arsip, menurut archival science atau archivistik merupakan peristiwa yang dengan sendirinya telah berlalu sehingga telah mengalami pembekuan. Tugas ahli kearsipan adalah membuat peristiwa itu cair kembali, sehingga dapat menjadi bermakna dalam masa sekarang. Oleh karena itu, maka tugas seorang epigraf adalah mengubah masa lampau menjadi masa kini, dengan cara menjadikan prasasti yang pada dasarnya statis menjadi dinamis. Sehingga dalam konteks epigrafi, apabila prasasti diperlakukan sebagai representasi fakta sejarah masa lampau, maka terhadapnya tidak dapat dipahami melalui interpretasi kata demi kata. Prasasti merupakan proses bekuan dari peristiwa, sehingga unit analisisnya pun seyogyanya juga peristiwa dan bukan kata. Oleh karena itu, maka metode interpretasi yang diterapkan tidak terbatas pada kata, melainkan kata dalam konteks.

III. Pembahasan

PrasastiBali Kuno adalah prasasti-prasasti yang dikeluarkan mulai dari abad IX (804 Śaka/882 Masehi) sampai dengan abad XIV (1259 Śaka/1337 Masehi). Sampai sekarang sedikitnya 250cakep prasasti tembaga dari 24 raja telah ditemukan di Bali. Tradisi tulis di Indonesia telah mewariskan peninggalan berupa prasasti dalam jumlah yang amat banyak serta beraneka ragam baik bentuk, jenis, maupun isinya. Keberadaan asset budaya berupa prasasti sebagai salah satu bentuk cagar budaya, tidak saja memperkaya keberadaan komunitas suatu masyarakat, tetapi sekaligus memberi pengetahuan mengenai budaya masa lalu, seperti kondisi sosial budaya, karakter budaya, dan identitas budaya yang merupakan bukti kearifan lokal masyarakat Bali Kuno. Berikut adalah aspek- aspek yang dapat menunjukkan bahwa prasasti dapat dipakai sebagai bukti kearifan lokal masyarakat Bali pada masa lampau.

3.1 Aspek Fisik dan Spiritual Prasasti Bali Kuno

Keberadaan suatu prasasti Bali Kuno hingga sekarang masih sangat disakralkan oleh masyarakat Bali. Pada umumnya prasasti disimpan di tempat suci seperti pura, pura kawitan, pemrajan/sanggah, dan dadia. Prasasti dibungkus dengan kain putih atau kuning dan dimasukan ke dalam suatu keropak yang kemudian disimpan pada bangunan pelinggih gedong

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 267 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

simpen. Perlakuan cara penyimpanan seperti tersebut menunjukan bahwa masyarakat sangat menghargai warisan leluhur secara fisik. Sedangkan secara spiritual masyarakat masih menghormati warisan prasasti seperti layaknya menghargai leluhur (tetamian leluhur). Masyarakat melaksanakan persembahan pada hari-hari tertentu misalnya Hari Raya Saraswati karena prasasti diibaratkan sebagai sumber ilmu pengetahuan. Meskipun tidak dapat dipungkiri terkadang masyarakat kurang mengerti aksara dan bahasa yang dituliskan pada prasasti, tetapi spirit menghargai dan menghormati warisan leluhur dapat dipakai sebagai langkah awal dalam pelestarian prasasti dan cagar budaya secara umum. Perlakuan baik secara fisik maupun spiritual terhadap prasasti menunjukan bahwa masyarakat memiliki kearifan lokal yang yang berujung pada pelestarian budaya Bali.

3.2 Aspek Isi Prasasti Bali Kuno

Secara garis besar prasasti Bali Kuno abad IX-XIV Masehimemiliki struktur isi yang dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu tipe prasasti yumu pakatahu, punah, dan ing/i Śaka. Tipe yumu pakatahu adalah tipe tertua dalam prasasti Bali. Tipe ini memiliki struktur isi yang berbeda dibandingkan kedua tipe yang lainnya karena selalu diawali dengan kata yumu pakatahu dan tidak menyebut nama raja yang mengeluarkan prasasti tersebut. Unsur pertanggalan diletakkan pada bagian akhir prasasti dan dikeluarkan di Panglapuan Singhamandawa. Sehingga prasasti-prasasti tersebut juga sering disebut sebagai prasasti dari periode Singhamandawa. Walaupun demikian juga ditemukan prasasti bertipe yumu pakatahu yang menyebut nama raja yakni Raja Ugrasena dan dikeluarkan di Penglapuan yang sama yakni Panglapuan di Singhamandawa. Penyebutan nama raja pada prasasti bertipe yumu pakatahu diletakkan pada bagian akhir prasasti. Struktur isi prasasti secara umum, terlepas dari prasasti bertipe yumu pakatahu yang memiliki struktur sedikit berbeda, baik yang bertipe punah maupun ing saka adalah sebagai berikut. (1) Unsur-unsur pertanggalan yang menyatakan waktu prasasti-prasasti yang bersangkutan dikeluarkan atau diturunkan secara resmi;(2) Nama raja atau ratu yang mengeluarkan prasasti;(3) Nama orang/pejabat atau karaman yang menerima perintah raja; (4) Inti titah raja/ratu; (5)Alasan yang melandasi prasasti itu dikeluarkan (sambandha);(6) Rincian tentang berbagai hak yang didapat oleh pihak desa penerima prasasti serta kewajiban yang harus dilakukannya; (7) Pejabat- pejabat pemerintah baik pusat maupun daerah yang berfungsi sebagai saksi dalam penganugerahan prasasti yang bersangkutan; (8) Sapatha yakni bagian yang memuat sumpah/kutukan bagi siapa pun yang berani melanggar ketetapan yang tercantum dalam prasasti, banyak prasastiberisi bagian sapathawalaupun tidak semua prasasti (Astra, 1997:17-18). Kedelapan struktur isi prasasti mencerminkan kearifan lokal masyarakat Bali Kuno. Masyarakat Bali Kuno sesungguhnya telah mendapat pengaruh budaya luar terutama budaya India dan Jawa, tetapi pada unsur pertanggalan tidak semua unsur budaya luar dipergunakan di dalam prasasti-prasasti Bali Kuno.Kearifan lokal masyarakat Bali Kuno

 268 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

telah tercermin dalam perhitungan pertanggalan yang tertulis di dalam prasasti. Beberapa unsur lokal seperti hari pasaran wijayamanggala, wijayakranta dan wijayapura dipergunakan di dalam prasasti-prasasti Bali Kuno dan tidak ditemukan di dalam prasasti lainnya. Berkaitan dengan penyebutan nama terutama nama pejabat serta jabatannya juga menunjukan adanya unsur-unsur budaya lokal. Sebagai contoh, di dalam prasasti SukawanaAI lempeng Ib baris 1ditemukan nama Kumpi Ananyang menjabat sebagai Nayakan Makarun (Goris, 1954: 65). Kata kumpi masih ditemukan pada masyarakat Bali masa sekarang yang berarti nenek/kakak buyut. Selanjutnya di bagian rincian aturan-aturan bagi masyarakat pada masa tersebut sangat jelas menunjukan adanya kearifan lokal. Antara raja beserta para pejabat dan rakyat bersama-sama memecahkan masalah yang sedang dihadapi demi kebaikan bersama. Kedudukan raja sebagai kepala pemerintahan yang tertinggi tidak semata-mata menyebabkan raja dapat bertindak sewenang-wenang. Stratifikasi sosial yang sampai sekarang dikenal dengan sistem kasta dan berasal dari budaya India tidak secara mutlak diadosi dan diterapkan pada masa Bali Kuno. Adapun Sapatha(kutukan) yang tertulis dalam prasasti-prasasti dapat dikatakan sebagai sanksi moral (immaterial) bagi mereka yang ingin mengubah atau melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh sang raja. Orang- orang yang melanggar ketentuan dalam prasasti akan mendapat bahaya, hina, papa, sepanjang masa atau dibunuh oleh para Dewa. Di sisi lain, kutukan yang tertulis dalam prasasti mencerminkan kekuasaan dan kekuatan seorang raja. Raja-raja Bali Kuno seolah-olah telah menciptakan strategi atau sistem pengawasan. Setiap individu melakukan pengawasan terhadap dirinya sendiri (pendisiplinan diri) atau semacam pengawasan melekat dan pengawasan tersebut seolah-olah melawan dirinya sendiri dari perbuatan buruk. Sanksi dengan kutukan kemungkinan merupakan perubahan dari hukuman jasmani ke hukuman jiwa (psikologi).

IV. Simpulan Berdasarkan paparan ringkas di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa perlakukan masyarakat Bali pada masa sekarang terhadap tinggalan berupa prasasti merupakan bukti kearifan lokal masyarakat Bali sebagai wujud pelestarian warisan leluhur yang merupakan budaya bangsa. Demikian juga halnya dengan struktur isi prasasti menunjukan adanya kearifan lokal masyarakat Bali Kuno dalam menyerap budaya yang berasal dari luar. Perpaduan antara budaya lokal dan budaya luar (India dan Jawa) dapat memperkaya budaya budaya Bali yang kemudian diwariskan hingga masa sekarang.

DAFTAR PUSTAKA

Astra, I Gde Semadi. 1997. ―Birokrasi Pemerintahan Bali Kuno abad XII-XIII : Sebuah Kajian Epigrafis‖, Disertasi. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 269 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Goris, R. 1954a. Prasasti Bali I. Bandung : NV. Masa Baru. ------1954b. Prasasti Bali II. Bandung : NV. Masa Baru. Hodder, Ian. 1986. Reading the Past, Current Aproaches to Interpretation in Archaeology. Cambridge: Cambridge University Press. Kusumohartono, Bugie. 1994. ―Data Baru dari Distribusi Artefak Prasasti‖, dalam Berkala Arkeologi Tahun XIV-Edisi Khusus. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta. Hlm 17-21. Magetsari, Noerhadi. 2016. Perspektif Arkeologi Masa Kini Dalam Konteks Indonesia. Jakarta : Kompas Media Nusantara.

Laksmi, Ni Ketut Puji Astiti. 2017. ―Identitas Keberagamaan PadaMasa Bali Kuno Abad IX-XIV Masehi: Kajian Epigrafis‖ Disertasi. Program Doktor Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Spaulding, Albert C. 1971. ―In The Dimensions of Archaeology‖, dalam Man‟s Imprint from The Past, Readings in The Methods of Archaeology. James Deetz (ed). Boston: Little Brown & Co.

 270 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

“ARDHANARESWARI”; REPRESENTASI NILAI KEARIFAN LOKAL BALI DALAM MEWUJUDKAN KESETARAAN GENDER

Ni Luh Arjani Prodi Antropologi FIB Unud

ABSTRAK

Kebudayaan Bali adalah kebudayaan yang dilandasi dan dijiwai oleh agama Hindu. oleh karena itu banyak aspek dari kebudayaan Bali dapat dilacak dari nilai-nilai yang terkandung dalam agama Hindu termasuk nilai-nilai kearifan lokal yang dapat dipakai sebagai landasan dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis terutama antara laki-laki dan perempuan baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat. Salah satu nilai kearifan lokal tersebut adalah konsepsi ―ardhanareswari”. Konsep ini secara harfiah diartikan bahwa Tuhan adalah sebagian laki-laki dan sebagian perempuan. Dalam agama Hindu hal ini bermakna bahwa laki-laki dan perempuan sebagai suami istri adalah dwi tunggal yang menyebabkan suatu keluarga menemui kebahagiaan dan keharmonisan.

Di era milenial saat ini dimana tuntutan kesetaraan gender menjadi isu nasional maupun global, tampaknya konsepsi ardhanareswari ini sangat tepat dipakai landasan dalam mewujudkan visi pemerintah menuju kesetaraan gender dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Oleh karena itu hal ini penting dipahami dan diterapkan dalam kehidupan keluarga sehingga antara suami istri/laki-laki dan perempuan tidak ada saling menguasai dan dikuasai demi terwujudnya keharmonisan.

Kata kunci: Ardhanareswari, kearifan local, kesetaraan gender.

Pendahuluan Perdebatan terkait persoalan kesetaraan gender sampai saat ini masih cukup mengemuka di ranah publik, wacana gender tidak hanya menjadi isu dilingkup lokal maupun nasional namun sudah menjadi isu global. Hal ini tampak dengan dimasukkannya isu ini dalam berbagai pertemuan/konfrensi wanita tingkat dunia di bawah payung PBB, seperti pada konfrensi PBB di Kopenhagen (1980), Naerobi (1985), dan Konfrensi Beijing (1995), yang telah melahirkan Convention for Eliminating Discrimination Againts Woman (CEDAW), dan konfrensi PBB tahun 2000 yang menelorkan deklarasi Millenium Development Goals (MDGs) dengan 8 isu sentral yang salah satu goalsnya (goals 3) menginginkan terwujudnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di tahun 2015. Target MDGs di yahun 2015 tampaknya belum dapat terwujud sehingga isu kesetaraan gender muncul kembali dalam kesepakatan sustainable development goals (SDGs) yang targetnya tercapai di tahun 2030.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 271 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Kesepakatan global ini mencirikan bahwa Indonesia sebagai bagian dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tampaknya juga belum terbebas dari persoalan ketidakadilan gender dalam kehidupan masyarakat. Permasalahan gender dalam bentuk diskriminasi, subordinasi, marginalisasi, kekerasan dan beban berat masih muncul diberbagai bidang kehidupan baik di lingkup keluarga maupun masyarakat yang lebih luas. Dalam kehidupan keluarga, budaya patriarkhi masih sangat kental dimana dominasi kekuasaan ada di tangan laki-laki. Ideologi patriarkhi ini merupakan ideology yang menempatkan laki-laki/bapak pada posisi yang superior, sebagai pemegang kekuasaan dan pengambil keputusan yang utama ( Engels dalam Budiman, 1985:19). Sementara di luar keluarga/mayarakat isu gender masih tampak antara lain di bidang politik dan ekonomi. Di bidang politik, isu gender terutama tampak di legislatif maupun eksekutif, pada tahun 2017 di Provinsi Bali, dari 389 anggota DPRD yang ada di tingkat provinsi dan di semua kabupaten/kota. jumlah anggota perempuan hanya 33 orang (8,5%) begitu pula dengan jumlah DPRD Provinsi Bali dari 55 orang anggota DPRD, hanya 5 orang ( 9,1%) perempuan, sementara di eksekutif tampak dari rendahnya posisi perempuan di jabatan truktural eselon dua yang hanya 11,4% (Arjani, dkk, 2017: 67). Kondisi ini merupakan gambaran realita ketimpangan gender yang masih terjadi di masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Bali khususnya. Jika dilihat secara normatif, baik dalam hukum nasional (UUD.45, UU. No.7/1984 tentang anti diskriminasi terhadap perempuan) maupun hukum agama khususnya agama Hindu telah tersirat dan tersurat kesetaraan gender. Namun secara nyata tampaknya tidak sejalan dengan norma- norma yang tercantum dalam regulasi nasional maupun ajaran agama khususnya agama Hindu. Dalam ajaran Agama Hindu, salah satu sastra Hindu yang mengajarkan tentang kesetaraan dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan tercantum dalam Siwatatwa yang dikenal dengan konsep ―Ardhanareswari‖ (Titib, dkk, 2009:103).

Ardhanareswari; Representasi Nilai Kearifan Lokal Bali dalam Mewujudkan Kesetaraan Gender Kesetaraan gender merupakan visi pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di Indonesia, ini artinya bahwa ke depan kesetaraan dan keadilan gender (KKG) menjadi tujuan utama yang ingin dicapai dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Meskipun kesetaraan gender telah menjadi visi pembangunan nasional, namun masih sering terjadi kesalahpahaman tentang istilah gender dan kesetaraan gender. Gender seringkali diartikan perempuan, padahal secara harfiah gender adalah perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial budaya, yakni perbedaan yang bukan kodrat dan bukan ketentuan Tuhan, melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yang panjang ( Fakih, 1996;72). Sementara Kesetaraan gender dalam konteks ini berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut (Angka I.3 dan 4 Lampiran Inpres No.9 Tahun 2000). Agar proses yang adil bagi perempuan dan laki-laki terwujud, diperlukan langkah-langkah untuk menghentikan berbagai hal yang secara sosial dan menurut sejarah telah

 272 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 menghambat perempuan dan laki-laki untuk bisa berperan dan menikmati hasil dari peran yang dimainkannya. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi persoalan gender, namun seperti telah disinggung pada uraian pendahuluan di atas sampai saat ini ketimpangan gender dalam kehidupan keluarga dan masyarakat Bali kususnya masih terjadi. Kondisi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain adalah masih kuatnya budaya patriarkhi yang dilandasi oleh sistem kekeluargaan patrilineal di Bali. Sistem kekerabatan patrilineal sudah menjadi bagian dari kebudayaan Bali yang berimplikasi terhadap status laki-laki dan perempuan. Salah satu cirri dari masyarakat yang paternalistik adalah peran dan kedudukan laki-laki yang lebih dominan dibandingkan perempuan dalam aspek kehidupan yang penting seperti dalam hal pengambilan keputusan dan pewarisan, sementara perempuan menduduki posisi yang subordinat atau inferior. Hal inilah yang secara realitas mempengaruhi terjadinya kesenjangan gender di masyarakat. Jika dilihat secara normatif, terutama dalam ajaran agama Hindu telah tersirat dan tersurat nilai-nilai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan seperti lingga-yoni, samara-ratih, purusha-pradhana, ardhanareswari yang kemudian terepresentasi dalam kebudayaan Bali. Kebudayaan Bali adalah kebudayaan yang dilandasi dan dijiwai oleh agama Hindu, oleh karena itu banyak aspek dari kebudayaan Bali dapat dilacak dari nilai-nilai yang terkandung dalam agama Hindu termasuk nilai-nilai kearifan lokal yang dapat dipakai sebagai landasan dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis terutama antara laki-laki dan perempuan baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat. Salah satu nilai kearifan lokal tersebut adalah konsepsi ―ardhanareswari”. Konsep ini secara harfiah diartikan bahwa Tuhan adalah sebagian laki-laki dan sebagian perempuan. Dalam agama Hindu hal ini bermakna bahwa laki-laki dan perempuan sebagai suami istri adalah dwi tunggal yang menyebabkan suatu keluarga menemui kebahagiaan dan keharmonisan (Agastia, 1994 dalam Sancaya, 1996;45). Ardhanariswari juga merupakan simbol Tuhan dalam manifestasinya sebagai setengah purusa dan setengah pradana. Kedudukan dan peranan purusa disimbolkan dengan Siwa yang memerankan fungsi maskulin, dan predana disimbolkan dengan Dewi Uma yang memerankan fungsi feminine. Tidak ada suatu apapun yang akan tercipta jika kekuatan purusa dan pradana tidak menyatu (Triguna, dalam Ariani, 2007;3). Jika dicermati makna simbol dari konsep tersebut mengandung arti bahwa status dan peranan laki-laki dan perempuan adalah setara dan saling melengkapi, Namun demikian seringkali ditemukan antara sistem nilai budaya atau norma yang ada dengan perilaku sosial suatu masyarakat tidak selamanya berada dalam kaitan yang selaras karena tidak semua masyarakat memahami dan menghayati nilai-nilai yang ada dalam ajaran agama yang dianutnya. Lebih-lebih di era milenial saat ini dimana masyarakat khususnya generasi muda sudah mulai semakin terlena dan tertarik dengan dunia maya dengan memanfaatkan gaget sehingga niat untuk memahami nilai-nilai agama menjadi semakin lemah. Sementara disisi lain tuntutan kesetaraan saat ini sudah menjadi isu nasional dan global, oleh karena itu tampaknya konsepsi ardhanareswari ini sangat tepat dipakai landasan dalam mewujudkan visi pemerintah menuju kesetaraan gender dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Hal ini penting dipahami dan diterapkan dalam kehidupan keluarga sehingga antara suami

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 273 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

istri/laki-laki dan perempuan tidak ada saling menguasai dan dikuasai demi terwujudnya keharmonisan. Untuk bisa membumikan nilai-nilai dari ―ardhanariswari‘ ini sangat diperlukan upaya mendasar yakni mensosialisasikan ke semua lapisan masyarakat sehingga pemahaman tentang kearifan lokal ini dapat dipakai dasar dalam mewujudkan kesetaraan gender. Ardhanareswari sebagai nilai kearifan lokal yang terkandung dalam ajaran agama Hindu juga terepresentasi dalam sloka-sloka kitab suci agama Hindu seperti dalam kitab Menawa Dharmasastra. Dalam Manawa Dharmasastra I.32 disebutkan Dwidhakartwatmanodeham Ardhenapurusabhawat Ardhenanaritasyam Wirayamasmrjatprabhuh

Terjemahannya: Tuhan membagi dirinya menjadi sebagian laki-laki dan sebagian menjadi perempuan (ardha nari). Darinya terciptalah viraja. Sloka di atas menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan oleh Tuhan. Laki-laki dan perempuan menurut pandangan Hindu memiliki kesetaraan karena keduanya tercipta dari Tuhan. Dengan demikian, maka perempuan dalam Hindu bukan merupakan subordinasi dari laki-laki. Demikian pula sebaliknya. Kedua makhluk yang berbeda jenis kelamin ini memang tidak sama namun perbedaan tersebut adalah untuk saling melengkapi. Mengapa Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan? Manawa Dharmasastra IX.96 menyebutkansebagaiberikut.

Prajanarthastriyahsrtah Samtanartamcamanawah Tasmatsaharanodharmah Srutaopatnyasahaditah

Terjemahannya: Tujuan Tuhan menciptakan wanita, untuk menjadi ibu. Laki-laki diciptakan untuk menjadi ayah. Tujuan diciptakan suami istri sebagai keluarga untuk melangsungkan upacara keagamaan sebagaimana ditetapkan menurut Veda. (http://majalahhinduraditya.blogspot.com/2012/04). Dari sloka tersebut di atas tersirat makna kesetaraan gender dalam perspektif agama Hindu telah terwujud, oleh karena itu ada anggapan di masyarakat bahwa kesetaraan gender di Bali tidak perlu dipersoalkan lagi. Sementara secara nyata isu ketidakadilan gender masih mewarnai kehidupan masyarakat di Bali.

Simpulan Secara normatif baik dalam hukum nasional maupun hukum Agama khususnya Agama Hindu sudah menunjukkan adanya kesetaraan gender. Namun secara realitas ketimpangan gender di masyarakat khususnya masyarakat Bali masih terjadi diberbagai bidang kehidupan, oleh karena itu persoalan gender masih tetap menjadi isu regional, nasional dan internasional. Hal ini terbukti dari

 274 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 dimasukkannya isu gender ke dalam kesepakatan sustainable development goals (SDGs) yang tujuan pencapaiannya di tahun 2030. Dengan demikian representasi konsep ―Ardhanareswari‖ sebagai nilai kearifan local Bali sangat penting diterapkan guna mempercepat terwujudnya kesetaraan gender di Bali.

Daftar Pustaka Agastia, I.B.G, 1994: ― Sosok Wanita Bali: Ditinjau dari Aspek Agama‖ , dalam Warta Jagatnatha: Denpasar, PHDI Bali. Arjani, Dkk. 2018 : Profil Perempuan Bali Tahun 2018. Denpasar. PSWPA UNUD. Ariani, 2007; Wanita Hindu dan Kerja; Peluang dan Tantangan. Denpasar. Makalah seminar. Budiman, Arief, 1985: Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan Sosiologis Tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat, Jakarta: P.T Gramedia. Fakih, Mansur. 1966. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial. Jogyakarta: Pustaka Pelajar. Titib, 2008. Gender dalam perspektif Agama Hindu; Kesenjangan antara Normatif dan Realitas Sosial, Denpasar.Makalah Seminar. Windhu Sancaya, I Dewa Gede, dkk. 1996. ―Citra Wanita Dalam Sastra Bali Tradisional dan Modern Sebuah Tinjauan Berdasarkan Kritik Sastra Feminis‖ Hasil penelitian. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana. Internet: http://majalahhinduraditya.blogspot.com/2012/04.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 275 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

PERSPEKTIF GENDER TUTURAN PERINTAH BAHASA JEPANG: STUDI PENDAHULUAN

Ni Luh Kade Yuliani Giri Program Studi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana [email protected]

ABSTRAK

Paper ini membahas mengenai perspektif gender tuturan perintah bahasa Jepang yang menggunakan bentuk imperative meirei. Perbedaan gender para pelibat tuturan memungkinkan adanya penambahan fitur-fitur linguistic tertentu sebagai ciri khas yang mewakili gender para pelibat tuturan tersebut. Sumber data dari paper ini diambil dari anime, drama, dan komik bahasa Jepang. Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dengan teknik catat. Selanjutnya metode deskriptif kualitatif digunakan pada tahapan analisa data. Simpulan yang diperoleh adalah bahwa penggunaan bentuk imperative meirei dalam tuturan perintah bahasa Jepang tidak hanya terbatas dikalangan pria saja. Akan tetapi dapat juga digunakan di antara pria-wanita, maupun dikalangan wanita. Penggunaan bentuk ini dikalangan pria cenderung dalam bentuk imperative sederhana berupa kata kerja bentuk meirei itu sendiri. Apabila dalam konteks tuturan dari penutur pria terhadap penutur wanita, terdapat penggunaan strategi soften the face threat dalam bentuk menyatakan alasan maupun penggunaan partikel akhir kalimat yo yang mempunyai daya ilokusi untuk menguatkan derajat imperativenya. Sedangkan penggunaannya di kalangan wanita lebih menunjukkan upaya untuk menurunkan derajat imperative tuturan melalui strategi soften the face threat yaitu dengan memberikan penjelasan dan penggunaan polite copula serta nominalizer untuk meningkatkan tingkat kesantunan dari bentuk imperative meirei.

Kata kunci: gender, imperative, meirei-kei

PENDAHULUAN Karakteristik tuturan yang dipengaruhi oleh gender dari penutur tidak pernah bisa lepas dari kehidupan sehari-hari. Hal ini kemudian menyebabkan ketertarikan dari para ahli bahasa untuk meneliti tentang keterkaitan gender dengan bahasa. Jespersen merupakan salah satu dari ahli bahasa yang pertama kali mengambil penelitian tentang ujaran kaum wanita pada tahun 1922. Jespersen mengamati bahwa wanita memiliki kosakata yang kurang luas, menggunakan struktur yang lebih sederhana dan memiliki kecenderungan untuk berbicara sebelum berpikir, serta sering mebiarkan kalimat yang mereka sampaikan tidak lengkap. 50 tahun kemudian, pada tahun 1973 penelitian dari Lakoff memberikan pengaruh sekaligus sebagai tanda awal dimulainya bidang studi tentang bahasa

 276 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 dan gender. Lakoff membedakan bahasa laki-laki dengan perempuan berdasarkan tanda linguistic yang dimunculkan. Tanda linguistic tersebut yaitu perbedaan leksikal seperti istilah warna, istilah yang kuat versus lemah, istilah ‗wanita‘ versus ‗netral‘, penggunaan kalimat tanya, serta penggunaan bentuk pernyataan dalam kalimat pertanyaan. Sebagai contoh, Ia mennyatakan bahwa wanita cenderung mengungkapkan sumpah serapah dengan kata-kata yang lebih halus, seperti „oh dear!‟ daripada „damn!‟. Wanita juga digambarkan lebih sering menggunakan tanda tanya dibandingkan dengan pria. Artikel Lakoff tentang hubungan bahasa dengan gender sampai saat ini pun masih terus berkembang dan diterapkan di berbagai bahasa (Itakura, 2001:14). Bahasa Jepang merupakan bahasa yang tidak lepas dari perspektif gender dalam setiap ujarannya. Itakura (2001:7) menyatakan bahwa gender merupakan salah satu factor yang menentukan status relative dari masing-masing individu dalam masyarakat Jepang. Pernyataan Itakura ini juga diperkuat oleh pernyataan dari Lebra (1984: 301) yang menyatakan bahwa peran seks menstabilkan dan menguatkan hierarki berdasarkan jenis kelamin. Struktur social masyrakat secara keseluruhan memandang bahwa status, kekuasaan, otonomi, serta peran yang dimiliki perempuan dianggap lebih rendah, terbatas, dan harus tunduk terhadap laki-laki. Perspektif gender juga bisa diperhatikan penggunaannya dalam bentuk tuturan perintah bahasa Jepang, terutama bentuk tuturan perintah langsung. Makino dan Tsutsui (1986), Lambers (2004), Yamaguchi (2007), Lee dan Ogi(2017) menyatakan bahwa tuturan perintah langsung dalam bahasa Jepang salah satunya dapat dilihat dari penggunaan bentuk meirei. Berikut merupakan contoh kata kerja dalam bemtuk meirei.

Jishokei meireikei ‗Verba btk kamus‘ Kuru „datang‘ Koi ‗datang!‘ Suru ‗melakukan‘ Shiro „lakukan!‘ Miru „melihat‘ Miro „lihat!‘ Taberu „makan‘ Tabero ‗makan!‘ Toru ‗mengambil‘ Tore ‗ambil!‘ Kau „membeli‘ Kae ‗beli!‘ Motsu ‗membawa‘ Mote „bawa!‟ Yobu „memanggil‟ Yobe ‗panggil!‘ Nomu ‗minum‘ Nome „minum!‘ Kaku ‗menulis‘ Kake ‗tulis‘ Oyogu ‗berenang‘ Oyoge „berenang!‘ Hanasu ‗bicara‘ Hanase ‗bicara!‘

METODOLOGI Metodologi penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan. Ketiga tahapan itu adalah tahapan penyediaan sumber data dan data, tahapan pengumpulan data, dan tahapan analisa data. Sumber data diambil dari komik, drama, dan anime. Data yang dipilih dan digunakan dalam penelitian ini adalah data tuturan perintah bahasa jepang yang menggunakan bentuk imperative meirei kei. Pada tahapan pengumpulan data digunakan metode simak dengan teknik catat (Sudaryanto,

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 277 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

1993). Metode simak dan teknik catat tersebut diterapkan dengan menyimak penggunaan tuturan perintah bahasa Jepang yang menggunakan bentuk imperative meirei kei kemudian mencatat dan mengklasifikasikan data-data tersebut berdasarkan gender dari penutur dan lawan tutur. Sementara metode deskriftif kualitatif digunakan pada tahapan analisa data dengan cara memberikan penjelasan terkait terkait strategi-strategi yang diterapkan pada tuturan perintah yang menggunakan bentuk meirei berdasarkan gender para pelibat tuturan.

PEMBAHASAN Berikut merupakan pembahasan tuturan perintah bahasa Jepang yang menggunakan bentuk imperative meirei kei berdasarkan gender para pelibat tuturan. Bentuk meirei adalah bentuk perintah yang paling kasar. Penggunaan bentuk ini tidak hanya menunjukkan otoritas kuat yang dimiliki oleh penutur, namun juga digunakan untuk menunjukkan kemarahan. Dalam percakapan sehari-hari penggunaannya sangat terbatas. Martin dalam Okamoto (2004) menyatakan bahwa jenis imperative ini secara tradisional dikategorikan sebagai bentuk ‗maskulin‘. Sehingga penggunaannya terbatas untuk kalangan pria. Seperti pada berikut. a. 「勝手に食いに行け」 “Katte ni kui ni ike!” ‗Sana pergi makan sendiri!‘ Tuturan pada data (a) merupakan tuturan di kalangan pria, yaitu antara Itsuki dan Setsuna. Itsuki menyuruh Setsuna untuk membeli makan sendiri. Bentuk imperative pada data (a) terdapat pada verba ike ‗pergi!‘. Bentuk imperative ike berasal dari verba iku ‗pergi‘. Kesan maskulin juga dipertegas oleh verba bentuk renyookei kui ‗makan‘ (Okamoto, 2004). Bentuk renyookei „kui‟ berasal dari verba kuu ‗makan‘. Bentuk standar dari verba kuu adalah taberu ‗makan‘. Akan tetapi penggunaan bentuk imperative meireikei tidak hanya terbatas dikalangan pria saja. Data berikut menunjukkan penggunaan oleh pria kepada wanita. b.「明日は早いだからさっさと寝ろ!」 “Ashita wa hayai dakara sassato nero!” ‗Karena besok harus bangun pagi, cepat tidur!‘

Tuturan pada data (b) dituturkan oleh Naofumi (pria) terhadap Raphtalia dan Filo (wanita). Naofumi menyuruh Raphtalia dan Filo untuk segera tidur karena keesokan paginya harus bangun lebih pagi. Bentuk imperative pada data (b) tercermin dari verba nero ‗tidur!‘ yang berasal dari verba neru ‗tidur‘. Akan tetapi penggunaan bentuk imperative meirei pada data ini, yang dituturkan oleh Naofumi terhadap Raphtalia dan Filo mengandung unsur yang berfungsi untuk melembutkan ancaman ‗wajah‘ (soften the face threat). Jarkey (2017) menyatakan bahwa salah satu cara untuk melembutkan ancaman ‗wajah‘ pada tuturan perintah sering dengan cara menyatakan alasan atau memberi penjelasan kepada lawan tutur. Soften the face threat ditunjukkan oleh tuturan ashita wa hayai dakara

 278 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

‗karena besok harus bangun pagi.‘ Naufumi memberikan penjelasan atau alasan yang melatarbelakangi perintah yang ia sampaikan kepada Raphtalia dan Filo.

c. 「感謝しろよ」 “Kansha shiro yo!” ‗Berterimakasihlah padaku!‘ Tuturan pada data (c) dituturkan oleh Ookami (pria) terhadap Kiritani (wanita). Ookami menyuruh Kiritani untuk berterima kasih kepadanya. Bentuk imperative pada data (c) dapat dilihat dari tuturan kansha shiro ‗berterima kasihlah!‘. bentuk imperative kansha shiro berasal dari kansha suru ‗berterima kasih‘ yang tergolong kedalam kata kerja golongan tiga. Bentuk tuturan perintah pada data ini dikombinasikan dengan penggunaan partikel yo pada akhir tuturan. Coniglio dan Zegrean dalam Endo (2012) menyatakan bahwa partikel yo yang terletak dibelakang bentuk meirei merupakan partikel yang mempunyai daya ilokusi. Penggunaan partikel yo setelah bentuk meirei berfungsi untuk mempertegas atau memperkuat bentuk meirei itu sendiri.

Okamoto (2004) menyatakan bahwa tuturan perintah yang berasal dari bentuk meirei merupakan bentuk ekslusivitas yang hanya dimiliki oleh pria dalam penggunaannya. Wanita, dari segi budaya dan idealnya disarankan untuk menghindari penggunaan bentuk meirei. Akan tetapi data berikut ini menunjukkan bentuk imperative dikalangan wanita.

d. 「終わったら帰れですの!」 “Owattara kaere desu no!” ‗Kalau sudah selesai, pulanglah!’ Tuturan pada data (d) dituturkan oleh Jashin (wanita) kepada Kori (wanita). Jashin menyuruh Kori untuk segera pulang kalau pekerjaannya sudah selesai. Bentuk imperative pada data (d) ditunjukkan oleh kaere ‗pulanglah! Bentuk imperative kaere berasal dari verba kaeru ‗pulang‘, yang merupakan kata kerja golongan satu. Dari data ini dapat dilihat bahwa terdapat penggunaan strategi soften the threat yang tercermin pada tuturan owattara ‗kalau sudah selesai‘. Owattara merupakan penjelasan yang disampaikan oleh penutur untuk menurunkan derajat keterancaman yang ditimbulkan oleh tuturanya. Selain itu penutur juga menyertakan desu no dibelakang bentuk imperative kaere. Desu merupakan bentuk sopan dari kopula da. Sementara no yang terdapat dibelakang desu dalam pola desu no merupakan nominalizer yang berfungsi untuk meningkatkan derajat kesantunan dari ujaran sebelumnya (Iwasaki, 2002).

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 279 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data yang mengandung bentuk meirei sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa penggunaannya tidak hanya terbatas dikalangan pria saja. Akan tetapi dapat juga digunakan di antara pria-wanita, maupun dikalangan wanita. Penggunaan bentuk ini dikalangan pria cenderung dalam bentuk imperative sederhana berupa kata kerja bentuk meirei itu sendiri. Apabila dalam konteks tuturan dari penutur pria terhadap penutur wanita, terdapat penggunaan strategi soften the face threat dalam bentuk menyatakan alasan maupun penggunaan partikel akhir kalimat yo yang mempunyai daya ilokusi untuk menguatkan derajat imperativenya. Sedangkan penggunaannya di kalangan wanita lebih menunjukkan upaya untuk menurunkan derajat imperative tuturan melalui strategi soften the face threat yaitu dengan memberikan penjelasan dan penggunaan polite copula serta nominalizer untuk meningkatkan tingkat kesantunan dari bentuk imperative meirei.

DAFTAR PUSTAKA Hasegawa, Yoko. 2015. Japanese: A Linguistic Introduction. London: Cambridge University Press Itakura, Hiroko. 2001. Conversational dominance and gender: A Study of Japanese speaker in first and second language context. Amsterdam: John Benjamins B.V Iwasaki, Shoiki. 2002. Japanese. Amsterdam: John Benjamins B.V Lambers, Wayne P. 2004. Japanese The Manga Way. California: Stone Bridge Press Leech, Geoffrey. 2014. The Pragmatic of Politeness. New York: Oxford University Press. Lee, Duck-Young and Naomi Ogi. 2017. Directive Strategies in Modern Korean and Japanese: With Special Reference to Commands and Requests. Dalam Imperative and Directive Strategies. Editor: Olmen, Daniel Van, dan Simone Heinold. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company. Mizutani, O and N. Mizutani. 1987.How To Be Polite in Japanese. Japan: The Japan Time Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa (Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis). Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Yamaguchi, Toshiko. 2007. Japanese Language in Use: An Introduction. London: Continuum

 REDUPLIKASI ADJEKTIF SECARA MORFEMIS DALAM BAHASA BALI

Ni Luh Komang Candrawati Balai Bahasa Bali [email protected]

ABSTRAK

Tulisan ini menggunakan metode agih yang alat penentunya adalah berupa bagian atau unsur bahasa itu sendiri. Teknik dasar yang digunakan adalah ―teknik pilah unsur penentu atau teknik PUP‖. Selanjutnya, teori yang digunakan dalam tulisan ini adalah teori struktural. Teori ini memiliki konsep dasar yang memandang bahasa sebagai objek penelitian yang organik, yang memiliki struktur fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikal. Di samping itu, bahasa selalu memiliki bentuk dan arti. Kedua aspek itu perlu diberi perhatian yang seimbang seperti yang dianjurkan oleh Lyons (1977:537). Berdasarkan pembahasan, makna reduplikasi adjektif bahasa Bali dapat dibedakan menjadi enam, yaitu (1) menyatakan makna ―tak tunggal‘, contohnya Keluargane sugih-sugih ‗kelurganya kaya-kaya‘ (2) makna intensif, ‘Intensif‘ yang mengandung makna ‘sangat D‘ atau ‗D sekali‘ contohnya Bajune putih-putih. ‗bajunya putih-putih‘, Intensif yang mengandung makna penonjolan, contohnya Ia seken-seken tresna teken kurenanne.‗ia benar-benar mencintai suaminya‘ (3) makna superlatif contohnya Ia medaar sewareg-waregne. ‗Ia makan sekenyang-kenyangnya‘, (4) makna pengaburan contohnya Torise demen mejemuh kulitne dadi kecoklat-coklatan ‗Wisatawan asing senang berjemur kulitnya menjadi kecoklat-coklatan‘ (5) makna seakan-akan D‘contohnya Masalahne ento gede- gedeange.‗Masalah itu dibesar-besarkan‘, dan (6) makna saling‘ contohnya Penumpange negak medesek-desekan di bise. ‗Para penumpang duduk berdesak-desakan di dalam bis‘

Kata kunci: reduplikasi, adjektif, morfemis.

1.Pendahuluan

Sampai saat ini, bahasa Bali masih tetap tumbuh dan berkembang. Bahasa Bali berfungsi sebagai media komunikasi bagi para penuturnya untuk mempelajari, menghayati, dan mengungkapkan nilai-nilai budaya Bali. Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Bali berfungsi sebagai sarana komunikasi dalam lingkungan keluarga, alat pengembangan bahasa dan budaya daerah, serta sebagai alat pengembangan bahasa nasional (band. Bagus, 1988:13).

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 280 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 281 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Selain itu, daerah Bali adalah daerah pusat pariwisata yang telah banyak bersentuhan dengan kebudayaan asing. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah bahasa Bali mendapat perhatian yang lebih besar dari para ahli bahasa. Pada saat ini, penelitian bahasa Bali semakin meningkat setelah Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa menggalakkan penelitian bahasa-bahasa daerah di seluruh Indonesia. Dari sejumlah penelitian tentang bahasa Bali yang telah dilakukan, berikut ini hanya sebagian kecil disebutkan, terutama yang ada kemiripannya dengan masalah yang dibahas. Hasil-hasil penelitian bahasa Bali yang ada kemiripan dengan masalah yang dibahas dalam tulisan ini, di antaranya sebagai berikut. (a)Tata Bahasa Bali (1983) oleh Wayan Warna, dkk. (b)Tata bahasa Baku Bahasa Bali (1966) oleh Sulaga, dkk. Pembahasan dalam kedua buku tersebut tidak secara khusus membicarakan reduplikasi adjektif dalam bahasa Bali. Reduplikasi (kata ulang) adjektif pada kedua buku tersebut hanya disinggung sedikit dalam subbab, yaitu subbab makna reduplikasi (kata ulang) . Makna reduplikasi (kata ulang) dalam buku tersebut, yaitu ‘menyatakan sangat, mengeraskan pengertian, atau benda yang menjadi inti frase, contohnya adeng-adeng ‘pelan-pelan‘. Selain itu, juga disinggung dalam subbab‘menyatakan tingkat paling‘, contohnya sejegeg-jegeg ‘secantik-cantik‘ dan sesiteng-siteng ‘sekuat- kuat‘. (Warna, 1983:60—61; Sulaga, 1996:165—166). Hasil penelitian seperti itu telah menampakkan pengaruhnya terhadap pembinaan dan pengembangan bahasa Bali. Namun, dengan hal seperti itu bukan berarti bahasa Bali tidak perlu diteliti lagi. Sehubungan dengan itu, pada kesempatan ini akan dibicarakan ‖Reduplikasi Adjektif Secara Morfemis Dalam Bahasa Bali‖ ―Reduplikasi Adjektif Secara Morfemis Dalam Bahasa Bali‖ sebagai judul tulisan ini. Adapun masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah makna apa saja yang ditemukan pada reduplikasi adjektif dalam bahasa Bali?. Tulisan ini menggunakan teori struktural. Teori ini memiliki konsep dasar yang memandang bahasa sebagai objek penelitian yang organik, yang memiliki struktur fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikal (Bloomfield, 1956). Di samping itu, bahasa selalu memiliki bentuk dan arti. Kedua aspek itu perlu diberi perhatian yang seimbang seperti yang dianjurkan oleh Lyons (1977:537). Selanjutnya, Saussure (1977:115) mengatakan bahwa tanda bahasa merupakan wujud psikis, tidak mempertimbangkan wujud dari parole. Tanda bahasa dikatakan mempunyai dua muka yang tidak dapat dipisahkan, yaitu konsep adalah signefie yang ‘ditandai‘ atau ‘petanda‘, dan citra akustis adalah signifiant yang ‘menandai‘ atau ‘penanda‘. Saussure (1977:122) juga mengatakan bahwa bahasa sebagai relasi sintagmatis dan paradigmatis, sistem itu terjadi dari tingkat-tingkat struktur, pada tiap-tiap tingkat terdapat unsur-unsur yang saling berkontras dan saling berkombinasi untuk membentuk satuan-satuan yang lebih tinggi. Prinsip- prinsip perstukturan pada tiap tingkat pada dasarnya sama, tujuannya adalah mencari sistem (langue) tersebut dari kenyataan konkret (parole). Selain itu, Saussure juga mengemukakan dikotomi sinkronik dan diakronik serta pendekatan intrinsik dan ekstrinsik. Dalam tulisan ini, yang

 282 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

akan diterapkan adalah penelitian yang bersifat sinkronik, yaitu memusatkan penelitian bahasa pada kurun waktu tertentu tanpa melihat unsur kesejarahannya. Dengan demikian, data yang diperoleh atau terkumpul adalah data yang bersifat kekinian. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode agih yang alat penentunya adalah berupa bagian atau unsur bahasa itu sendiri. Teknik dasar yang digunakan adalah ―teknik pilah unsur penentu atau teknik PUP‖. Adapun alatnya ialah daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh penelitinya. Sesuai dengan jenis penentu yang akan dipilah-pilahkan atau dipisah-pisahkan atau dibagi menjadi berbagai unsur itu, daya pilah itu disebut daya pilah referensi, daya pilah, fonetis artikulatoris, daya pilah translasional, daya pilah ortografis, dan daya pilah pragmatis. Adapun dasar pembagiannya atau dasar pemilahan atau pemisahannya sudah barang tentu disesuiaikan dengan sifat atau watak unsur penentu itu masing-masing (Sudaryanto, 2015:25—26). 3. Pembahasan 3.1 Reduplikasi Adjektif Bahasa Bali Selanjutnya, akan dideskripsikan mengenai reduplikasi adjektif bahasa Bali secara morfemis; yaitu, arti apa saja yang ditimbulkan akibat proses morfemisnya, dengan kata lain, tipe-tipe makna secara morfemis adalah makna kata yang dengan segera dapat diketahui tanpa melibatkan konteks sintaktiknya (Harimurti, 1978). Sebelum hal ini dibicarakan lebih lanjut, ada baiknya dibicarakan dua jenis arti proses morfemis secara umum. Dalam garis besarnya, makna dapat dibagi dua, yaitu makna leksikal dan makna gramatikal. Oleh proses morfemis tertentu kata yang dikenainya mengalami perubahan dalam kedua bidang ini. Kata megending ‗menyanyi‘ yang diturunkan dari kata gending ‗nyanyian‘ berbeda arti leksikalnya dari kata yang menurunkannya. Selain itu, proses yang sama secara serentak mengadakan perubahan keanggotaan kategorial kata. Namun, ada kalanya proses morfemis tidak mengadakan perubahan arti leksikal. Seperti halnya proses morfemis lainnya, reduplikasi juga dapat dibagi atas reduplikasi yang mengubah arti leksikal dan arti gramatikal. Selanjutnya, data memperlihatkan bahwa arti yang dapat dihubungkan dengan reduplikasi tertentu dapat ditentukan dengan segera tanpa memperhatikan konteks reduplikasi kata yang bersangkutan. Di pihak lain ada reduplikasi tertentu yang artinya tergantung dari konteksnya. Reduplikasi yang demikian disebut reduplikasi yang terikat konteks. Reduplikasi yang artinya dapat ditentukan dengan segera tanpa memperhatikan konteksnya disebut dengan reduplikasi yang bebas konteks. Untuk lebih jelasnya, yang dimaksud dengan terikat konteks sehubungan dengan bentuk-bentuk reduplikasi tertentu adalah diperlukannya konteks tertentu untuk mengetahui atau menentukan arti yang dikandung oleh bentuk- bentuk reduplikasi yang bersangkutan. Jika kata cenik-cenik ‗kecil-kecil‘ dalam kalimat berikut kita perhatikan akan tampak bahwa konteks kata tersebutlah yang menentukan arti reduplikasi tersebut. (1) Ia ningalin anak cenik-cenik negak di umah ento ‗Ia melihat orang kecil-kecil duduk di rumah itu‘ (2) Nu cenik-cenik, suba duweg mapayas.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 283 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

‗Masih kecil-kecil, sudah pintar berhias‘ Dalam kalimat (1) kata cenik-cenik ‗kecil-kecil‘ berarti tak ‗tunggal‘, sedangkan pada kalimat (2) kata cenik-cenik ‗kecil-kecil‘ berarti ‗konsesif‘. Arti kata cenik-cenik ‗kecil-kecil‘ pada kalimat (1) tanpa diberi konteks semacam itupun dapat ditebak artinya, yaitu berarti ‗tak tunggal‘, sedangkan pada kalimat (2) sulit ditebak artinya tanpa melibatkan konteks. Oleh karena itu, kata reduplikasi adjektif seperti yang terdapat pada contoh (1) itulah yang disebut makna kata reduplikasi adjektif secara morfemis, atau makna kata reduplikasi adjektif bebas konteks, yang akan dibicarakan dalam tulisan ini. 3.2 Makna Kata Reduplikasi Adjektif Secara Morfemis Berdasarkan analisis, makna kata reduplikasi adjektif secara morfemis dapat dibedakan menjadi beberapa tipe, seperti terlihat pada butir-butir pembicaraan berikut ini. 3.2.1 Menyatakan Makna ‘Tak Tunggal’ Arti ‗tak tunggal‘ yang dinyatakan oleh reduplikasi adjektif dapat dirinci berdasarkan dasar kata reduplikasi. Pada kata reduplikasi adjektif yang tentu saja kata adjektif sebagai dasarnya, reduplikasi dapat menyatakan makna ‗tak tunggal‘ kata benda yang diterangkannya. Contoh (3) Keluargane sugih-sugih. ‗Kelurganya kaya-kaya‘ Reduplikasi adjektif pada contoh di atas menyatakan makna ‗tak tunggal‘. Makna ketaktunggalannya tersebut menerangkan kata benda yang mendahuluinya. Misalnya, pada kalimat (3) kata reduplikasi adjektif sugih-sugih ‗kaya-kaya‘ adalah menjelaskan kata yang mendahuluinya, yaitu keluargane ‗keluarganya‘. Maksudnya, yang sugih-sugih ‗kaya-kaya‘ adalah keluarganya. 3.2.2 Menyatakan Makna ‘Intensif’ Reduplikasi yang dasarnya merupakan kata adjektif dapat dihubungkan dengan arti ‗intensif‘. Arti ‗intensif‘ yang dimaksud di sini tidak harus selalu diartikan dengan ‗D sekali‘ atau ‗sangat D‘. Namun, pengertian ‗intensif‘ yang akan dibicarakan sehubungan dengan reduplikasi juga mencakup macam-macam ‗pengerasan‘. Dalam berbahasa, ada kalanya seorang penutur ingin menarik perhatian para pendengarnya pada bagian tertentu dari hal yang ingin disampaikannya. Untuk itu dia menonjolkan bagian-bagian tertentu itu. Penonjolan dapat dilakukan dengan berbagai cara, dan salah satu di antaranya adalah dengan mengulang kata. Untuk lebih jelasnya perhatikan uraian di bawah ini. 3.2.2.1 ‘Intensif’ yang Mengandung Makna ‘Sangat D’ atau ‘D Sekali’ Pada reduplikasi semantis (Rs) dapat dengan segera dilihat makna ‗intensifnya‘. Reduplikasi seperti, putih-putih ‗putih-putih‘, misalnya akan segera dapat ditentukan maknanya, yaitu ‗D sekali‘ atau ‗sangat D‘, sedangkan bentuk- bentuk reduplikasi yang lain yang dapat dihubungkan dengan makna ‗intensif‘ sering perlu diperhatikan konteksnya untuk menentukan maknanya. Contoh: (4) Bajune putih-putih. ‗Bajunya putih-putih‘

 284 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Ada pula kata reduplikasi adjektif yang menyatakan makna ‗intensif‘ yang dikuatkan dengan akhiran (sufiks) -an. Contohnya: (5) Bangun uli nyongkok uyeng-uyengan asane. ‗Berdiri setelah jongkok pusing-pusing rasanya‘

3.2.2.2 ‘Intensif yang Mengandung Makna Penonjolan’ Seperti telah diuraikan di depan bahwa penonjolan dilakukan karena seorang penutur ingin menarik perhatian para pendengarnya pada bagian tertentu dari hal yang ingin disampaikannya. Untuk tercapainya tujuan tersebut dilakukanlah reduplikasi pada bagian yang ingin ditonjolkan supaya lebih menarik dan lebih jelas. Contoh: (6) Ia seken-seken tresna teken kurenanne. ‗Ia benar-benar mencintai suaminya‘ 3.2.3 Menyatakan Makna ‘Superlatif’ Di samping kata adjektif di atas yang menyatakan arti ‗intensif‘ ada pula kata keterangan (yang menerangkan cara) yang diturunkan dari kata adjektif dengan reduplikasi berimbuhan se-ne ‘se-nya‘ mengandung makna ‗superlatif‘ Contoh: (7) Suwud kayeh ia mepayas sejegeg-jegegne. ‗Sehabis mandi ia berhias secantik-cantiknya‘ 3.2.4 Menyatakan Makna ‘Pengaburan’ Sebelum diuraikannya kata reduplikasi adjektif yang menyatakan makna ‗pengaburan‘ ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan arti ‗pengaburan‘. dalam kehidupan sehari-hari ada kalanya kita tidak sanggup atau tidak ingin melukiskan atau menyatakan sesuatu secara pasti dan tegas. Jika dalam melukiskan seseorang kita menyatakan bahwa orangnya tinggi-tinggi maka yang dimaksud tentunya adalah orang tersebut termasuk kelompok orang dan merupakan satu kontinum agar apa yang dinyatakan tinggi itu lebih jelas, diperlukan norma ketinggian untuk manusia, gunung, dan sebagainya.

Seperti dikatakan di atas, arti pengaburan juga bersumber pada keengganan untuk menyatakan sesuatu secara tegas atau terus terang. Sopan - santun atau tata krama yang berlaku dalam masyarakat Indonesia tampaknya menghendaki hal demikian. Jika kita mengagumi hasil karya seseorang misalnya, sebuah lukisan, maka dapat diduga bahwa orang tersebut akan mencoba merendahkan diri dan mengelak untuk mengiyakan bahwa lukisannya memang hebat. Apabila ada yang menanyakan keadaan kita, kita biasanya akan menjawab dengan kata baik-baik saja, baik atau baik saja, kita mencoba menghaluskan maksud kita dengan pengaburan yang dalam bahasa Indonesia antara lain dapat diwujudkan dengan reduplikasi. Reduplikasi demikian disebut dengan ‗pengulangan penghalusan‘ (Simatupang, 1983:82).

Berikut ini akan akan diperlihatkan perincian bentuk-bentuk reduplikasi kata adjektif yang dapat dihubungkan dengan arti umum pengaburan Arti ‗pengaburan‘ yang dikandung oleh reduplikasi kata adjektif yang menyatakan

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 285 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

makna ‗agak‘ berdasarkan data yang diteliti, reduplikasi yang bebas konteks dengan arti demikian terdapat pada kata samur-samur ‗samar-samar‘, di samping itu reduplikasi yang bentuk dasarnya berasal dari kata adjektif dan mendapat imbuhan (konfiks) ke-/-an akan menunjukkan makna ‗agak‘ , yaitu kata adjektif itu ada hubungannya dengan warna.

Contoh: (8) Torise demen mejemuh kulitne dadi kecoklat-coklatan. ‗Wisatawan asing senang berjemur kulitnya menjadi kecoklat-coklatan‘

3.2.5 Menyatakan Makna ‘Seakan-akan D’ Reduplikasi yang bentuk dasarnya berupa kata adjektif dan mendapat imbuhan (sufiks) ange ‗di-/-kan‘, dapat dihubungkan dengan arti ‗seakan- akan D‘(sebenarnya bukan D namun dibuat sedemikian rupa sehingga tampak D). Contoh: (9) Masalahne ento gede-gedeange. ‗Masalah itu dibesar-besarkan‘ Makna reduplikasi di atas dapat dihubungkan dengan pengertian negatif, yaitu bahwa sesuatu dilakukan tidak secara sepatutnya karena bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya. Makna reduplikasi di atas akan berbeda dengan makna reduplikasi di bawah ini.

Contoh:

(10) Yen ngae baju gede-gedeang ukuranne apang sing enggal kelet. ‗Kalau membuat baju dilonggarkan ukurannya supaya tidak cepat sempit‘ Makna yang terkandung pada kata ulang (9) dan (10) di atas adalah menyatakan makna ‗lebih D‘. Pada contoh (9) di samping mengandung makna ‗lebih D‘ juga menyatakan makna ‗intensif‘ namun harus diperhatikan konteks sintaktiknya untuk dapat menentukan maknanya.

3.2.6 Menyatakan Makna ‘Saling’ Kata reduplikasi adjektif yang dapat dihubungkan dengan makna ‗saling‘dapat dilihat pada contoh di bawah ini. Contoh: (11) Penumpange negak medesek-desekan di bise. ‗Para penumpang duduk berdesak-desakan di dalam bis‘ 4.Simpulan Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa reduplikasi adjektif secara morfemis dalam bahasa Bali dilihat dari segi maknanya dapat dibedakan menjadi enam, yaitu (1) menyatakan makna ‘tak tunggal‘ keluargane sugih-sugih. ‗kelurganya kaya-kaya‘ (2) menyatakan makna ‘intensif‘ (a) ‘sangat D‘ bajune putih-putih ‘bajunya putih-putih‘

 286 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

(b) ‗makna penonjolan‘ ia seken-seken tresna teken kurenanne. ‗ia benar-benar mencintai suaminya‘ (3) menyatakan makna ‘superlatif‘ suwud kayeh ia mepayas sejegeg-jegene ‘sehabis mandi ia berhias secantik-cantiknya‘ (4) makna‘pengaburan‘ torise demen mejemuh kulitne dadi kecoklat- coklatan. ‗wisatawan asing senang berjemur kulitnya menjadi kecoklat-coklatan‘ (5)‘seakan-akan D‘ masalahne ento gede-gedeange ‘masalah itu dibesar- besarkan‘ (6)‘saling‘ penumpange negak medesek-desekan di bise ‘para penumpang duduk berdesak-desakan di dalam bis‘ Daftar Pustaka Bagus, I.G.N. 1988. ―melangkah Menuju Masa Depan‖ dalam Majalah Widya Pustaka. Tahun VI, Edisi Khusus, Oktober 1988. Denpasar:Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Bloomfield, Leonard. 1956. Language. New York:Holt, Rinehart and Winston Lyons, John 1977. Pengantar Teori Linguistik Jakarta:Pt Gramedia Pustaka Utama Marsono, D.J. 1983. Kata Sifat Bentuk Ulang Bahasa Jawa. dalam Majalah Linguistik Indonesia. Masyarakat Linguistik Indonesia. Parera, Jos Daniel. 1980. Pengantar Linguistik Umum Bidang Morfologi. Ende Flores:Nusa Indah. Ramlan, M. 1965. Tata Bahasa Indonesia Penggolongan Kata. Yogyakarta:Andi Ofset. Ramlan, M. 1983. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta:CV. Karyono. Saussure, de Ferdinand. 1977. Course in General Lingustics. London:Fontana Collins. Simatupang, M.D.D 1983. Reduplikasi Morfemis Bahasa Indonesia Jakarta:Djambatan.. Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa:Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta:Sanata Darma University Press. Sulaga, I Nyoman dkk. ed. 1996. Tata Bahasa Baku Bahasa Bali. Denpasar:Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Warna, I Wayan, dkk. 1983. Tata Bahasa Bali. Denpasar:Dinas Pengajaran Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

 GEGURITAN SIWARATRI KALPA (LUBDAKA): ANALISIS ALUR CERITA DAN PENOKOHAN

Luh Putu Puspawati Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

ABSTRAK

Geguritan Siwaratri Kalpa sebuah geguritan berbahasa bali, geguritan itu diikat oleh pemakaian pupuh. Pengarang Ida Bagus Putu Bangli dari sanur. Tujuan dibuat karya ini adalah untuk mengenalkan berbagai pupuh dalam kesusastraan Bali yang dapat dipahami oleh generasi muda, dalam rangka menyiapkan generasi yang paham dalam hal tembang Bali.

Isi geguritan ini berkaitan dengan tokoh Lubdaka yang hidup sebagai pemburu, setelah meninggal rohnya menjadi rebutan antara Dewa Siwa dan Dewa Yama. Dalam perebutan itu masing-masing mengerahkan prajurit dipihak Dewa Siwa dan Dewa yama. Dewa Siwa penguasa sorga dan Dewa Yama penguasa neraka. Dewa Siwa memenangkan roh Lubdaka dibawa ke Siwalaya dan mendapatkan anugrah Siwa.

Kata kunci: Siwa, Yama, roh, Lubdaka

I.Pendahuluan Karya sastra yang berbentuk geguritan ini, berjudul Siwaratri Kalpa, awalnya proses penciptaan geguritan Siwaratri Kalpa digubah berdasarkan cerita Lubdaka yang disusun dalam pupuh/gending Bali. Tujuan disusunnya buku ini sangat ideal seperti halnya penulis dari desa Sanur ini menjadi salah satu tujuan wisata dunia, sehingga pariwisata budaya sudah tentu harus didukung oleh manusia-manusia yang berbudaya. Motivasi terbitnya buku ini dalam kata pengantar buku yang dicetak 2004 (selesai ditulis 2001) dimaksudkan untuk kreativitas generasi muda yang getol dengan gending-gending Bali, dengan seni budaya yang bernafaskan agama Hindu, diyakini mampu mengantisipasi proses perkembangan dunia makin mengglobal. Pengarang geguritan dalam pemahbah parwa dengan unggapan bahasa Jawa Kuna didahului manggala dengan kata singgih……Ksamakuanguluniki ngawis tatakena pemargine carita dilanjutkan sanghyang murti niskala gemerlap sumerasah sunuruping rangdu praja mandala Mijil..Sanghyang Kawisuara murti, sawettuning tinuduh denira hyang perama siwa, danira gumatak wang para.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 287 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 288 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Sigra..Sanghyang ringgit amolah cara, angikit jatining asta dasa parwa. Wus jangkep punang Carita gumaweyakeniranngin pinunggal para ya ta yeki siwa rari kalpa pangarania Setelah selesai pemujaan kepada Dewa pengarang Asta Dasa Parwa lalu pengarang menceriterakan singkat tentang cerita Lubdaka minta diri kepada istrinya dan putranya dengan mengutip bagian-bagian Kakawin Ramayana dalam….kawi sarat samaya kala mirah parangka, kalon taleg paradesa ringawarna kepada ranya. Purwakaning angriptarum, kakandung labuh kartika massa…panedenging sari. Setelah tembang malampah yang berisikan makna singkat ceritera Siwaratri yaitu tentang pesan orang tua kepada seorang anak agar dikemudian hari menjadi manusia berguna. Lalu bagian akhir pengarang menyebutkan ….sanangkana maksalawaning brata siwaratri maka nimitap siwa pada binuktinira. Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka yaitu dengan membaca dan menganalisis teks-teks yang terkait.

II.Struktur Teks (forma) Geguritan Siwaratri Kalpa b. Pupuh Semarandana (10 pupuh) c. Pupuh Durma (6 pupuh) d. Pupuh Dandang (9 pupuh) e. Pupuh Pangkur (16 pupuh) f. Tembang Eman- Eman (10 pupuh) g. Pupuh Durma (10 pupuh) h. Sinom Lawe (5 pupuh) i. Pupuh Ginada (5 pupuh) j. Pupuh Durma (12 pupuh) k. Pupuh Dandang (10 pupuh)

III. Alur Cerita Geguritan Siwaratri Kalpa 3.1. Pupuh Semarandana Menyebutkan kerajaan Tumapel sebagai seorang raja adalah Ken Arok menuruti pikiran tamak, makanya pengarang membuat kakawin Lubdaka yang menceriterakan pemburu mirip dengan Ken Arok, Ken Dedes diculik yang bersuami Tunggul Ametung. Seorang istri utama ini dipakai gambaran pengarang sebagai suluh menjadi manusia, karena karmapala tidak melempas. Demikian peringatan Mpu Tanakung seperti di Bali yang berbudaya. Ketika sasih keempat, pesan kepada orang Bali agar paham dengan gending Bali ngawe lango, setiap tahun agar ingat Siwaratri Kalpa agar melek, bulan kepitu Betara Siwa menjaga. Di ceriterakan juru boros setiap hari berburu berbagai binatang, meninggalkan istri dan anak terus melakukan pembunuhan. Ketika hari cerah pergi pagi sekali sang Lubdaka keluar dari pedukuhan , lengkap sarana berburu. Dalam perjalanan tidak menemukan binatang, haripun sudah malam.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 289 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

3.2 Pupuh Durma Sang Lubdaka masuk ke dalam hutan dalam perburuan itu matahari sudah siang tidak menemukan binatang. Tidak berhasil merasa sedih, sekarang tiba-tiba muncul taman tempat Sang Pandawa melakukan pebersihan dulu dan ada suara/pesan begini nasib jadi orang, hidup menunggu kematian, ingat sangkan paraning meneresi, bila kurang pengetahuan yadnya dibuat, tri rna diingat dan dihormati kepada pitara.

3.3 Pupuh Dandang Pemburu bingung bermalam di hutan, lalu naik ke pohon bila, karena akan mendapatkan bahaya besar, bila ada binatang macan dating, ketika itu musim hujan, angina kencang, semakin tidak dapat tidur, di taru bila inilah menggigil sambil memetik daun-daun bila, menunggu besok pagi. Betara Siwa meyoga di bawah pohon bila, tiba-tiba arca dilihat, tempat Hyang Parama Guru beryoga dan semadi, tidak terasakan daun itu jatuh di arca itu dari malam hari Lubdaka terkejut Diberikan makna cerita tidak tidur semalaman akan melebur dosa tidak dapat dilebur semalaman juga dipikirkan begadang satu malam saja, yang utama adalah memahami yang dikuasai musuh loba dengki irihati, panca indria dipegang. Tri marga dijalani, melaksanakan karya Siwarartri, tutur penting disertai sembah bakti.

3.4. Pupuh Pangkur Pemburu merasa sedih balik dari gunung, sedih hati tidak makan minim merasakan lapar, jangan-jangan rasanya tidak kuat pulang, ingat anak istri dan merasakan miskin jadi orang. Ketika tiba di rumah, dengan bergurau mengapa kakak kurus bagaimana pekerjaannya. Sehat saja itu sudah senang itu jawabannya. Lalu dijelaskan tujuan menjadi manusia dan kelahiran manusia ingat sabda, bayu, idep dipegang, mati tidak ada pemberitauan, perbuatan yang patuh mengantarkan ke sorga. Pada karma ingat seperti Ke Arok kepastian kena keris Mpu Gandring.

3.5. Tembang Eman-Eman Ceritera di Pitaloka, Kingkarabala di depan Betara Yamadipati sebagai jaksa guru se dang rapat membicarakan hukuman pitara papa. Diceriterakan kematian Lubdaka, para cikrabala diutus oleh Yamadipati menyongsong roh sang Lubdaka 1000 tahun kena hukuman di kawah. Kesengsaraan roh di kawah, sedih akan dibawa bahwa perbuatan baik buruk jadi manusia tidak diketahui dan tidak bisa dihapus akan dinikmati nanti. Yamaloka dan sorga seperti Yudistira menghadap di depan Yamadipati dilihat para pitara, tidak tahu tujuannya pergi, ditanyai karena ke timur batas utara selatan roh tanpa jasa. Ada roh dalam sebatang bamboo karena tidak mempunyai anak cucu, leluhur sang Jayatkaru karena loba dalam tapa barata, brahmacari. Diceriterakan di Siwaloka, sang Lubdaka sudah pulang tinggal di Yamaloka, lalu mengutus untuk menjemput di Batara Yama, karena Lubdaka orang sadu, karena membuat yoga berata, Siwaratri, karena mendapat anugrah (kretawara). Roh sang Lubdaka papa di Yamaloka, akan minta Lubdaka sesuai ucapan Betara Guru sudah sesuai dengan Siwaratri Kalpa, terjadi perbedaan pendapat karena Siwa Sang Dyaksa (yama) mengatakan Lubdaka tidak sadu perbuatannya Hingsakarana, membunuh segala macam binatang di hutan, roh

 290 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 sang Lubdaka ada di kawah karena berbuat jahat. Dibantu para bidadari yang asih kepada Betara Guru menenangkan para sengsara oleh kerti pulang kea lam Siwa. Sang Cingkrabala marah atas perbuatan bidadari, pikirannya tidak benar, berbuat yang disebut asta dasta, kini atmanya sudah di depan Sang Hyang Siwa, bahwa roh I Lubdaka akan mendapat wara nugraha, ulah ikut ke jalan darma membuat brata yang benar, penuh/buat dan berhasil sida labda karya.

3.6. Pupuh Durma Perang terjadi antara Cingkrabala (rakyat Yamadipati) dan para widyadara (pasukan Dewa Siwa) dengan berbagai senjata gada, cakra, keris, rakyat cingkrabala kalah dan bersembunyi. Kekalahan Cingkrabala lalu menghadap Sang Hyang Yama lalu berpikir dalam hati.

3.7. Sinom Lawe Tentra (widyadara) bergembira dan kembali ke suraloka Si Lubdaka diceriterakan diterima Dewa Siwa dan menyembah bahwa anakku, senang datang sekarang, mendapatkan yasa kerti (anunggal), juga sadhu dan melaksanakan tapa brata Anakku menerima yasana sekarang didapat dengarkan panugrahan bapa, segala yang ada pada diri ayah, anakku memiliki semuanya, lama anakku muponin, ngulurin manah sakahyun sukane di Siwaloka. Anakku dengan ayah, selamat, berata Siwaratri Kalpa. Demikian orang sengsara tetap berbuat kebaikan, hanya itu ada dalam hati.

3.8. Pupuh Ginada Pasukan Kingkara menghadap Sang Hyang Yama berperang dengan bidadari (gandarwa) Sang Hyang Yama berkata kepada Cingkrabala, mengapa Sang Hyang Siwa menghalanginya, karena itu pituduh Sang Hyang Siwa menariknya baik buruk perbuatan manusia.

3.9. Pupuh Durma Diceriterakan sampai sekarang di gunung Kalase tempat Sang Hyang Ardhanareswari Sang Hyang Siwa malingga ring singgasana, disertai Dewi Giriputri datang Sang Hyang Yama ke tempat Dewa Siwa, menyembah betara yang menguasai urip, yang ada di triloka, termasuk menguasai pati, ucapan Betara Siwa pedek bahwa roh itu bernama Si Lubdaka, yang telah melakukan perbuatan darma utama, tapa berata dan banyak mengutus gandarwa.

3.10. Pupuh Dandang Si Lubdaka mendapatkan tempat sorga,dari dulu agar melaksanakan yasa, sebelum ada manusia, melaksanakan berata wiku, bapak sudah lupa baru sekarang ada orang melaksanakan brata Siwaratri. Yang utama berata dulu, lalu segala dosa lebur Yamaloka tur kaungsi, Siwaloka yang dituju segala papanya hilang.

IV. Tokoh Dalam Geguritan Siwaratri Kalpa Ada dua tokoh yang disebutkan dalam geguritan Siwaratri Kalpa yaitu tokoh manusia bernama Lubdaka, istri dan anaknya. Ini disebut tokoh dunia dengan berbagai mahluk binatang yang hidup di dunia.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 291 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Tokoh alam Dewa ada dua yaitu tokoh yang penguasa sorga, yaitu Dewa Siwa dan prajuritnya. Roh Lubdaka mendapatkan wara nugraha (anugrah) karena ke jalan darma, melakukan brata yang benar penuh dengan ketekunan dan kekusukan, berhasil sida labda karya (kelepasan). Karena baru sekarang ada yang melaksanakan Brata Siwaratri yang utama berarti segala dosa terhapuskan dan segala papa hilang Siwaloka yang dituju Tokoh alam neraka yang menghukum roh ke dalam alam neraka yaitu Betara Yamadipati dan prajuritnya Kingkarabala. Yamadipati bertugas sebagai jaksa guru (yang menghukum) roh di kawah/neraka, selama 1000 tahun mendapatkan hukuman di kawah, perbuatan baik buruk jadi manusia tidak diketahui dan tidak bisa dihapus akan dinikmati nanti, segala papanya hilang.

V. Simpulan Berdasarkan uraian di atas dapat disampaikan simpulan sebagai berikut: 1. Geguritan Siwaratri Kalpa (Lubdaka) berasal dari kakawin Jawa Kuna yang dibuat oleh Ida Bagus Putu Bangli dari Sanur (2001). 2. Isi geguritan ada pendahuluan sebagai penulis tentang kakawin Lubdaka, pengawi besar parwa dan akhirnya tercipta geguritan Siwaratri Kalpa dengan ungkapan izin singgih… menyebut rakawi besar, mijil dengan menyebut Sang Hyang Paramasiwa, lalu sigra muncul karya geguritan Siwaratri Kalpa, oleh penulis disebut sebagai tembang malampah. 3. Isi ini menceriterakan tentang tokoh pemburu Lubdaka yang setiap hari membunuh binatang, tetapi karena pada malam Siwa memetik daun bila yang dibunuh mucul lingga, singgasana Dewa Siwa maka Lubdaka diberikan anugrah sorga. 4. Siapa yang menjalankan tapa, brata, berbuat sadu dan darma yang jatuh pada panglong ping pat belas sasih kepitu maka teks Siwaratri Kalpa beliau akan mendapat anugrah terbebas dari papa neraka. 5. Tokoh dalam Geguritan Siwaratri Kalpa ada dua yaitu tokoh manusia biasa Lubdaka, istrinya, anaknya serta mahluk lainya di dunia ini. Tokoh alam Dewa yaitu tokoh Dewa Siwa dan prajurinya yang menghuni sorga, tokoh yang menghuni neraka adalah Dewa Yamadipati dan prajuritnya Kingkarabala.

DAFTAR PUSTAKA Kakawin Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung (diterjemahkan IB Agastya) Yayasan Dharma Sastra, 2002.

Bangli, IG Putu 2001, Geguritan Siwaratri Kalpa, Surabaya: penerbit Paramita

Zoetmulder, P.J. 1994, Kalangwan Karya Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang: 2005, Jakarta: Jambatan.

Tim Dinas Kebudayaan Propinsi Bali, 2005, Kesusastraan Bali, Denpasar, Jl Ir Juanda.

 EKSPLOITASI BURUH YANG DIGAMBARKAN KOBAYASHI TAKIJI DALAM CERPEN HOKKAIDO NO „SHUNKAN‟

Ni Luh Putu Ari Sulatri, Silvia Damayanti Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [email protected], [email protected]

ABSTRAK

Kesusastraan proletar yang mengusung ideologi perjuangan kelas kaum buruh berkembang pesat di Jepang sepanjang tahun 1921 hingga 1943. Salah satu sastrawan Jepang yang menjadi bagian dalam perkembangan kesusastraan proletar di Jepang adalah Kobayashi Takiji (1903-1933). Di dalam salah satu karyanya, yaitu cerpen Hokkaido no „Shunkan‟, digambarkan eksploitasi yang dialami para buruh kasar yang didatangkan dari daratan utama Jepang ke wilayah Hokkaido. Eksploitasi yang dialami para buruh, yaitu 1) buruh tidak mendapatkan upah yang layak dan 2) kondisi kerja yang mengabaikan keselamatan buruh. Eksploitasi terhadap buruh menimbulkan alienasi dalam bentuk 1) alienasi terhadap aktivitas produksi dan 2) alienasi terhadap buruh lainnya.

Kata Kunci: kesusastraan proletar, eksploitasi, alienasi

PENDAHULUAN Karl Marx dan Frederick Engels, tokoh yang berpengaruh dalam perkembangan teori sosial sastra pasca positivisme, mengemukakan bahwa sastra tidak dapat dipisahkan dari permasalahan perjuangan kelas, kapitalisme, serta sejarah kemanusiaan. Karya sastra merupakan wujud fenomena zaman (ephiphenomenon) dari struktur sosial sehingga karya sastra menjadi refleksi kesadaran maupun ketidaksadaran psikologis yang menjadi media perjuangan kelas bagi sastrawan. Pandangan ini menempatkan karya sastra sebagai sebuah kesadaran estetik untuk melegitimasi kekuasaan kelas sosial tertentu yang dominan (Anwar, 2010:40-47). Fungsi sosial sastra sebagai media perjuangan kelas menghubungkan secara langsung sastra dengan kelas proletar. Kelas proletar didefinisikan oleh Karl Marx sebagai produsen yang tidak memiliki sesuatu untuk dijual selain tenaga kerjanya sendiri (dalam Cohen, 1983:3) meskipun di dalam bahasa Bolshevik istilah ―proletar‖ memiliki dua makna utama, yaitu 1) kelas pekerja dan 2) Russian-cum-Soviet Communist Party. Pada periode Uni Soviet, karya sastra yang diproduksi oleh kelas pekerja atau individu yang terkait di dalamnya disebut sebagai kesusastraan proletar (proletarskaia literature) (Clark, 2017:1-7). Tidak hanya di Uni Soviet, kesusastraan proletar juga mengalami perkembangan pesat di Jepang sepanjang tahun 1921 hingga 1934

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 292 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 293 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

(Asoo,1983:219). Salah satu sastrawan Jepang yang berafiliasi dengan perserikatan kesenian proletar Jepang (Zen Nihon Musansha Geijutsu Renmei 全 日本無産者芸術聯盟) adalah Kobayashi Takiji (1903-1933). Selain seorang sastrawan, Kobayashi Takiji juga merupakan anggota dari Partai Komunis Jepang (Nihon Kyousan Tou 日本共産) yang merupakan partai terlarang pada masa tersebut. Sebelum meninggal dalam usia 29 tahun, dalam proses penahanan oleh satuan polisi khusus (Tokubetsu Kouto Keisatsu 特別高等警察), Kobayashi telah menghasilkan cukup banyak karya sastra yang mengangkat perjuangan kelas proletar (Keene, 1984:616-623). Salah satu karya Kobayashi Takiji yang membahas mengenai kelas proletar yang mengacu kepada kelas pekerja adalah cerpen berjudul Hokkaido no „Shunkan‟. Di dalam cerpen ini, Kobayashi Takiji menggambarkan eksploitasi yang dialami para pekerja yang didatangkan dari daratan utama Jepang sebagai buruh kasar untuk membuka wilayah Hokkaido yang belum berkembang. Bentuk eksploitasi serta dampak eksploitasi terhadap kelas pekerja yang digambarkan Kobayashi Takiji dalam kerangka perjuangan kelas dikaji lebih lanjut pada makalah ini.

METODOLOGI Sumber data dalam penelitian ini adalah cerpen berjudul Hokkaido no „Shunkan‘ karya Kobayashi Takiji. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian adalah metode kajian pustaka. Metode ini dipilih karena sumber data penelitian berupa bahan cetak, yaitu cerpen. Pada tahap analisis data digunakan metode deskriptif analisis. Guna menerapkan metode ini, data dideskripsikan atau diuraikan dengan memberikan pemahaman dan penjelasan terkait bentuk eksploitasi serta dampaknya.

PEMBAHASAN Eksploitasi Buruh dalam Cerpen Hokkaido no Shunkan Eksploitasi terhadap buruh mengacu kepada dua proposisi independen, yaitu dalam ekonomi dan sosiologi. Proposisi ekonomi terkait dengan teori nilai dari Adam Smith yang mendalilkan bahwa semua komoditas pada prinsipnya diproduksi oleh kelas pekerja dan kelas pekerja selalu menjadi satu-satunya agen produksi aktif. Di dalam Capital (1867), Karl Marx menuliskan bahwa kelas pekerja merupakan substansi yang menciptakan nilai sehingga apabila tidak menerima sejumlah nilai yang mereka ciptakan maka mereka telah dieksploitasi. Proposi sosiologi terkait dengan struktur kelas dalam masyarakat yang terdiri dari kelas pekerja yang bekerja untuk memperoleh upah dan kelas pemilik properti yang menerima sewa dan laba. Di dalam Communist Manifesto (1848), Marx dan Engels mengutarakan bahwa masyarakat terpecah menjadi dua kubu besar yang bertentangan, yaitu borjuis dan proletar. Menurut Marx, pada faktanya kelas pemilik properti memperoleh pendapatan dengan melakukan eksploitasi terhadap kelas pekerja (Dooley, 2005:177-178). Kobayashi Takiji sebagai sastrawan Jepang yang berasosiasi dengan Perserikatan Kesenian Proletar Jepang, merefleksikan perjuangan kelas kaum

 294 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 buruh dalam cerpen Hokkaido no „Shunkan‟. Cerpen ini menggambarkan eksploitasi yang dialami kelas pekerja yang didatangkan dari daratan utama Jepang (naichi)23 sebagai buruh kasar untuk membangun wilayah Hokkaido yang saat itu belum berkembang24. Bentuk eksploitasi yang dialami para buruh dalam cerpen Hokkaido no „Shunkan‟ adalah sebagai berikut.

1. Buruh Tidak Mendapatkan Upah yang Layak Bentuk eksploitasi yang dialami para buruh dalam cerpen Hokkaido no „Shunkan‟ salah satunya adalah para buruh tidak dibayar dengan upah yang layak. Kondisi ini digambarkan oleh Kobayashi Takiji melalui situasi para buruh tidak memiliki uang untuk pulang ke kampung halaman merayakan tahun baru, seperti yang ditunjukan dalam data berikut.

(1) 北海道へ「出稼」に来た人達は冬になると、「内地」の正月に 間に合うように帰つて行く。しかし帰ろうにも、帰れない人達 は、北海道で「越年(おつねん)」しなければならなくなるわ けである。

Hokkaidou e „dekasegi‟ ni kita hitotachi wa fuyu ni naru to, „naichi‟ no shougatsu ni ma ni au you ni kaette iku. Shikashi kaerou ni mo, kaerenai hitotachi wa, Hokkaidou de „otsunen‟ shinakereba naranaku naru wake de aru.

‗Orang-orang yang datang ke Hokkaido untuk bekerja, begitu memasuki musim dingin akan pulang ke daratan utama Jepang untuk dapat merayakan tahun baru tepat waktu. Akan tetapi, meskipun bermaksud untuk pulang, orang yang tidak bisa pulang maka mau tidak mau harus menyambut tahun baru di Hokkaido.‘

Pada data (1) Kobayashi Takiji menunjukan kondisi para buruh yang tidak memiliki cukup uang membeli tiket kapal agar dapat pulang ke kampung halaman mereka yang berada di daratan utama Jepang untuk merayakan tahun baru. Oleh karena itu, mereka terpaksa harus melewati pergantian tahun baru dengan tetap berada di Hokkaido. Ketidakmampuan para buruh untuk pulang kampung karena tidak memiliki cukup uang menunjukan bahwa para buruh tidak mendapatkan upah yang layak karena buruh tidak dibayar setara dengan nilai untuk dapat memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Kobayashi Takiji juga menunjukan rendahnya kesejahteraan para buruh terkait dengan upah yang tidak layak yang mereka terima melalui gambaran pakaian yang dikenakan, seperti data berikut.

23 Naichi (内地) secara literal bermakna ‗daratan di dalam‘ adalah istilah yang digunakan untuk membedakan wilayah Jepang dengan sekitarnya. Akan tetapi, secara tidak resmi istilah ini mengacu kepada kepulauan Jepang di luar wilayah Hokkaido dan Okinawa. 24 Hokkaido sebelumnya merupakan wilayah bebas yang secara resmi menjadi bagian Jepang pada tahun 1868.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 295 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

(2) 雪が足駄の歯の下で、ギユンギユンなり、硝子が花模様に凍て つき、鉄物が指に吸いつくとき、彼等は真黒になつたメリヤス に半纏一枚しか着ていない。

Yuki ga ashida no ha no shita de, gyun gyun nari, garasu ga hanamoyou ni itetsuki, tetsumono ga yubu ni sui tsuku toki, karera wa makkuro ni natta meriyasu ni hanten ichimai shika kite inai.

‗Ketika salju membuat alas bawah bakiak berbunyi kyunkyun dan membeku membentuk pola bunga serta barang-barang besi menjadi lengket pada jari, mereka hanya memakai selembar hanten di atas pakaian rajutan yang hitam pekat.

Pada data (2), Kobayashi Takiji menggambarkan bahwa para buruh bahkan tidak memiliki pakaian yang layak untuk menghangatkan tubuh mereka di tengah musin dingin di Hokkaido yang sangat dingin. Mereka hanya menggenakan pakaian rajutan yang kondisinya sudah usang yang ditambahkan dengan hatten ‗mantel pendek untuk musim dingin. Hal ini tentu tidak akan terjadi apabila para buruh memperoleh upah yang layak. Harga atau upah dari buruh yang layak merupakan jumlah nilai semua komoditi yang dibutuhkan oleh para buruh agar dapat hidup layak sesuai dengan tingkat sosial dan kultural yang berlaku pada suatu masyarakat (Marx dalam Suseno, 1999). Kondisi para buruh yang tidak memiliki uang yang cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dalam cerpen Hokkaido no „Shunkan‟ menunjukan para buruh mengalami eksploitasi dengan tidak mendapatkan bayaran yang layak.

2. Kondisi Kerja yang Mengabaikan Keselamatan Buruh Marx menggambarkan kelas buruh sebagai kelas yang hanya mampu menjual tenaga kerja kepada kelas pemilik modal. Kelas buruh tidak memiliki alat-alat dan bentuk-bentuk produksi sehingga mereka menjual tenaga untuk tetap bisa hidup (Suhelmi, 2001:270-271). Para pemilik modal yang membayar upah para buruh mempekerjakan mereka sesuai dengan cara yang mereka inginkan. Kelas pemilik modal mendapatkan keuntungan kapital dan material dengan cara mengeksploitasi kelas buruh, termasuk mengerjakan proses produksi yang berbahaya dan mengabaikan keselamatan para buruh. Bentuk eksploitasi ini juga digambarkan Kobayashi Takiji, seperti data berikut.

(3) 夏の間彼等は棒頭にたゝきのめされながら「北海道拓殖のため に!」山を崩した。熊のいる原始林を伐り開いて鉄道を敷設し た。

 296 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Natsu no ma karera wa bougashira ni tataki no mesarenagara „Hokkaidou takushoku no tame ni‟ yama o kuzushita. Kuma no iru genshirin o kiriaite tetsudou o fusetsu shita.

‗Selama musim panas mereka dipanggil sebagai buruh kasar dan merobohkan gunung ‗untuk membuka daerah Hokkaido yang belum berkembang. Membuka hutan rimba yang ada beruangnya dan membangun jalur kereta api.‘

Pada data (3) ditunjukan bahwa para buruh didatangkan ke Hokkaido sebagai buruh kasar untuk melakukan pekerjaan yang diperintah oleh kelas pemilik modal. Sebagai buruh kasar, pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan yang berat dan berbahaya karena mereka bekerja di wilayah Hokkaido yang pada masa itu masih belum berkembang. Pekerjaan merobohkan gunung, merambah hutan liar yang masih dihuni banyak beruang, serta membangun jalur kereta api merupakan pekerjaan yang memiliki resiko bahaya cukup tinggi. Akan tetapi, para buruh yang hanya memiliki tenaga untuk dijual bersedia melakukan pekerjaan tersebut.

Alienasi Buruh dalam Cerpen Hokkaido no „Shunkan‟ Akibat dari eksploitasi, buruh akan semakin miskin dan mengalami keterasingan. Keadaan buruh yang mengalami keterasingan dari kehidupannya disebut Marx dengan istilah alienasi. Marx merumuskan empat bentuk alienasi atau keterasingan kaum buruh, yaitu 1) terasing dari produk yang mereka kerjakan; 2) terasing dari aktivitas produksi; 3) terasing dari para buruh lainnya; dan 4) terasing dari diri mereka sendiri (Musto, 2010:79-82). Kobayashi Takiji di dalam cerpen Hokkaido no „Shunkan‟ berupaya menunjukan bahwa eksploitasi telah menyebabkan para buruh mengalami alienasi. Judul cerpen ini, yaitu Hokkaido no „Shunkan‟ secara literal bermakna Shunkannya Hokkaido. Shunkan (1143-1179) merupakan tokoh yang turut mengambil peran dalam rencana Shishigatani yang bertujuan untuk menggulingkan Taira Kiyomori. Sebelum rencana tersebut dilaksanakan, Shunkan diasingkan ke Pulau Kikaiga. Di Pulau tersebut dia ditinggalkan sendirian hingga akhirnya meninggal. Kondisi Shunkan yang mengalami pengasingan sesuai dengan kondisi para buruh yang juga terasing di Hokkaido, seperti yang ditunjukan dalam data berikut. (4) 冬になると、北海道の奥地にいる労働者は島流しにされた俊寛 のように、せめて内地の陸の見えるところへまでゞも行きたい と、海のある小樽、函館へ出てくるのだ。

Fuyu ni naru to, Hokkaidou no yama ni iru roudousha wa shimanagashi ni sareta Shunkan no you ni, semete naichi no riku no mieru tokoro e made mo ikitai to, umi no aru Otaru, Hakodate e dete kuru noda.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 297 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

‗Begitu musim dingin, para pekerja yang ada di daerah pedalaman Hokkaido seperti Shunkan yang dihukum dan diasingkan ke sebuah pulau sehingga apabila ingin pergi ke tempat dimana setidaknya terlihat daratan di pulau utama Jepang maka mereka pergi ke daerah laut Otaru atau Hakodate.‘ Data (4) menunjukan bahwa para buruh yang didatangkan dari daratan utama Jepang ke Hokkaido mengalami keterasingan karena eksploitasi yang mereka alami dalam bentuk upah yang tidak layak. Hal ini menyebabkan mereka tidak memiliki uang yang cukup untuk pulang ke kampung halaman sehingga mereka diibaratkan oleh Kobayashi Takiji sama dengan Shunkan yang mengalami pembuangan dan pengasingan. Kondisi para buruh yang mengalami ‗pembuangan‘ dengan harus melewati pergantian tahun dan musim dingin di Hokkaido menyebabkan mereka menjadi jauh dan terasing dengan daerah asal dan keluarga mereka. Pada data (4) ditunjukan bahwa, untuk dapat mengobati kerinduan mereka akan kampung halaman maka para buruh pergi ke wilayah laut Otaru dan Hakodate untuk setidaknya melihat pulau daratan utama Jepang dari kejauhan. Selain hal tersebut para buruh juga digambarkan oleh Kobayashi Takiji pergi ke stasiun agar dapat mendengar orang-orang berbicara dengan bahasa daerah asal mereka, seperti yang ditunjukan pada data berikut. (5) しかし何故彼等は停車場へ行くのだ。ストーヴがあるからだ。 ――だが、そればかりではなくて、彼等は「青森」とか、「秋 田」とか、「盛岡」とか――自分達の国の言葉をきゝたいのだ、 自分ではしかし行けないところの。

Shikashi naze karera wa teishaba e iku noda. Sutobu ga aru kara da. … da ga, sore bakari dewa nakute, karera wa „Aomori‟ toka. „Akita‟ toka, „Morioka‟ toka … jibun tachi no kuni no kotoba o kikitai no da, jibun dewa shikashi ikenai tokoro no.

Akan tetapi, mengapa mereka pergi ke stasiun? Karena ada penghangat. Akan tetapi bukan hanya itu, mereka ingin mendengarkan bahasa dari daerah mereka masing-masing, seperti ‗Aomori‘, ‗Akita‘, ‗Morioka‘, meskipun daerah asal mereka sendiri tetapi tidak bisa pergi. Pada data (5), Kobayashi Takiji menunjukan bahwa para buruh yang berada dalam keterasingan karena berada di daerah yang jauh dari kampung halaman datang ke stasiun hanya untuk dapat merasakan suasana kampung halaman yang tidak dapat mereka kunjungi dengan mendengarkan orang-orang berbicara dalam bahasa daerah asal mereka. Kondisi para buruh yang terbuang dan terasing, ibarat Shunkan, di Hokkaido merupakan alienasi sebagai dampak dari eksploitasi buruh. Bentuk alienasi yang dialami para buruh dalam cerpen Hokkaido no „Shunkan‟, diantaranya meliputi

 298 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

1. Mengalami Alienasi dari Aktivitas Produksi Para buruh melakukan aktivitas produksi berdasarkan instruksi dari para pemilik modal sehingga mereka mengalami alienasi atau keterasingan dalam aktivitas produksi tersebut. Para pemilik modal yang membayar upah para buruh, memutuskan segala hal terkait aktivitas produksi meliputi jenis produk, jam kerja, hingga cara atau teknis produksi. Para buruh dalam cerpen Hokkaido no „Shunkan‟ mengalami alienasi dari aktivitas produksi, salah satunya ditunjukan dalam data (3) yang menggambarkan para buruh mengerjakan pekerjaan berat dan berbahaya yang diinstruksikan oleh bos mereka, seperti merobohkan gunung, merambah hutan liar yang masih dihuni banyak beruang, serta membangun jalur kereta api.

2. Mengalami Alienasi Dari Buruh Lainnya Para pemilik modal menciptakan lingkungan yang menyebabkan para buruh mengalami alienasi dari buruh lainnya. Para buruh diarahkan untuk tidak saling mengenal sehingga tidak dapat membentuk aliansi yang mendukung gerakan buruh. Para buruh bahkan didorong untuk saling berkonflik dan berkompetisi satu dengan yang lainnya sehingga tidak terbentuk persatuan di antara para buruh yang pada akhirnya akan menguntungkan para pemilik modal. Kondisi ini juga dialami para buruh dalam cerpen Hokkaido no „Shunkan‟, seperti data berikut. (6) 冬近くなつて、奥地から続々と「俊寛」が流れ込んでくると、 「友喰い」が始まるのだ。小樽や函館にいる自由労働者は、こ の俊寛達を敵よりもひどくにめつける。冬になつて仕事が減る。 そこへもつてきて、こやつらは、そうでなくても少ない分前を、 更に横取りしようとする。この「友喰い」は労働者を雇わなけ ればならない「資本家」を喜ばせる。

Fuyu chikakunatte, yama kara zokuzoku to „Shunkan‟ ga nagare konde kuru to, „tomokui‟ ga hajimaru noda. Otaru ya Hakodate ni iru jiyuu roudousha wa, kono Shunkan tachi o kataki yori mo hidoku ni me tsukeru. Fuyu ni natte shigoto ga heru. Soko e motte kite, koyatsurawa, sou denakute mo sukunai punmae o, sara ni yokodori shiyou to suru. Kono „tomokui‟ wa roudousha o yatowanakereba naranai „shihonka‟ o yorokobaseru.

Musim dingin telah mendekat, dari daerah pedalaman berbondong- bondong ‗Shunkan‘ datang dan mulai ‗makan teman‘. Pekerja bebas yang berada di Otaru dan Hakodate menemukan para Shunkan yang lebih kejam daripada musuh. Begitu musim dingin pekerjaan pun menjadi berkurang. Dibawa ke sana, padat, ditambah saling merebut bagian yang hanya sedikit. ‗Makan teman‘ merupakan hal yang membahagiakan kapitalis yang harus membayar upah mereka. Pada data (5), Kobayashi Takiji mengambarkan kapitalisme menciptakan lingkungan kerja yang membuat buruh terasing antara satu dengan yang lainnya. Salju yang turun sangat lebat di Hokkaido pada musim dingin menyebabkan

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 299 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

berkurangnya lapangan pekerjaan karena pekerjaan yang bisa dilakukan di musim panas, seperti merambah hutan dan membangun jalur kereta api menjadi tidak dapat dilakukan. Para buruh yang tidak memiliki cukup uang menjadi tidak bisa pulang kampung ke daratan utama Jepang pada musim dingin sehingga mereka harus saling bersaing untuk memperebutkan lahan pekerjaan yang terbatas di musim dingin. Kondisi ini oleh Kobayashi Takiji digambarkan dengan istilah tomokui ‗makan teman‘. Tomokui merupakan alienasi para buruh dengan buruh lainnya karena berkompetisi dan berebut pekerjaan satu dengan yang lainnya. Kondisi surplus tenaga kerja ini merupakan kondisi yang menguntungkan para pemilik modal. SIMPULAN Kobayashi Takiji sebagai sastrawan Jepang yang mengusung kesusastraan proletar menjadikan karya sastra sebagai media perjuangan kelas untuk menunjukan bahwa kapitalisme telah menyebabkan eksploitasi terhadap kelas pekerja atau buruh. Di dalam salah satu karyanya, yaitu cerpen Hokkaido no „Shunkan‟, digambarkan eksploitasi yang dialami para buruh kasar yang didatangkan dari daratan utama Jepang ke Hokkaido. Bentuk eksploitasi yang dialami para buruh, yaitu tidak mendapatkan upah yang layak sehingga mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan baik serta menjalankan pekerjaan berat dan berbahaya dengan pengabaian terhadap keamanan dan keselamatan. Eksploitasi menimbulkan dampak alienasi bagi para buruh. Di dalam cerpen Hokkaido no „Shunkan‟, para buruh diibaratkan sama dengan tokoh Shunkan yang sedang mengalami pembuangan atau pengasingan. Para buruh digambarkan mengalami alienasi dari aktivitas produksi dan alienasi dari buruh lainnya.

DAFTAR PUSTAKA Anwar. Ahyar. 2010. Teori Sosial Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Asoo, Isojo. 1983. Sejarah Kesusastraan Jepang diterjemahkan oleh Staf Jurusan Asia Timur Seksi Jepang Fakultas Sastra Universitas Indonesia dari buku Nihon Bungakushi. Jakarta: UI Press. Clark, Katerina. 2017. Working Class Literature and/or Proletarian Literature: Polemics of the Russian and Soviet Literary Left subbab dalam buku Working Class Literature(s): Historical and International Perspectives dieedit oleh John Lennon dan Magnus Nilsson. Swedia: Stockholm University Press. Cohen, G.A. 1983. The Structure of Proletarian Unfreedom artikel dalam Philosophy and Public Affairs Volume 12 Number 1. Diakses melalui http://www.jstor.org/stable/2265026 pada tanggal 18 Desember 2018 pukul 11.04 WITA. Dooley, Peter C. 2005. The Labour Theory of Value. New York: Routledge Taylor and Francis Group Keene, Donald. 1987. Down to the West: Japanese Literature of the Modern Era. New York: Henry Holt and Company.

 300 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Musto, Marcello. 2010. Revisiting Marx‟s Concept of Alienation artikel dalam jurnal Socialism and Democracy Volume 24 No 03. New York: Routledge Taylor and Francis Group Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama. Suseno, Franz Magnis. 1999. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialis Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 301 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

MANFAAT DAUN DEDAP ‘Erythrina variegate’

Ni Luh Sutjiati Beratha Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [email protected]

ABSTRAK

Filosofi hidup wasudewa kutumbakam yang dianut oleh masyarakat Bali menempatkan seluruh makhluk di alam semesta sebagai saudara. Secara konseptual masyarakat Bali tampak menyadari bahwa keberadaannya di dunia ini memiliki ketergantungan (interdependensi) yang tinggi dengan alam sebagai penyangga kehidupan. Salah satu unsur alam khususnya pohon yang sangat fungsional dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat Bali adalah daun Dedap yang dalam bahasa Latinnya Erythrina variegate. Daun Dedap yang dalam beberapa pustaka lontar disebut dengan istilah Dedap atau kayu sakti dijaga kelangsungan hidupnya hampir di seluruh Desa Pakraman di Bali.

Metode kualitatif diterapkan dengan pendekatan budaya, dan data dianalisis secara sosio-budaya, dan diuji di laboratorium FTP Universitas Udayana. Hasil menunjukkan bahwa pohon Dedap digunakan dalam aktivitas upacara yadnya di Bali (Panca Yadnya activities), yakni upacara Ngampak Lawang pada upacara pernikahan, Mendem Pedagingan, sampai upacara Ngaben. Berdasarkan lontar Taru Usada Pramana, manfaat daun Dedap adalah sebagai sarana pengobatan. Dengan kandungan zat yang dimiliki, tanaman ini sering digunakan sebagai obat untuk mengobati perut kembung karena masuk angin dan digunakan untuk menolong orang sakit perut.

Kata Kunci: Dedap, fungsi, manfaat, vitamin

1. Latar Belakang Di tengah-tengah krisis lingkungan yang mengancam umat manusia di berbagai belahan dunia, filosofi Vasudhaiva Kutumbakam(kita semua bersaudara) yang termuat dalam pustaka Hitopadesa dapat ditawarkan untuk mengembalikan kesadaran manusia bahwa sejatinya seluruh makhluk di alam semesta ini bersaudara. Pengakuan rasa persaudaraan di antara seluruh ciptaan yang ada di bumi initampaknya telah mengakar kuat dalam ajaran agama Hindu yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Bali.Oleh sebab itulahdalam bait-bait puja Tri Sandya yang dilantunkan tiga kali sehari ada harapan ideal agar sarwa prani hitangkara yang bermakna seluruh makhluk hidup berbahagia.

 302 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Secara konseptual masyarakat Bali menyadari bahwa eksistensinya di dunia ini memiliki ketergantungan yang tinggi dengan alam sebagai penyangga kehidupan. Hal itu kemudian termanifestasi melalui simbol-simbol yang erat kaitannya dengan ritual di Bali. Berdasarkan lontar Sundarigama, upacara khusus yang ditujukan untuk memberi penghormatan sekaligus pemuliaan terhadap alam khususnya tanaman disebut denganTumpek Wariga atau Tumpek Panguduh.Pada hari itu masyarakat Bali melakukan persembahan kepada Sang Hyang Sangkara karena beliaulah Dewa yang menumbuhsuburkan segala yang tumbuh seperti pepohonan.Upacara yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali itu jelas mengandung pesan agar manusia Bali senantiasa merajut harmoni dengantanaman karena untuk bertahan hidup, manusia senantiasa mengambil bagian-bagian bahkan urip ‗jiwa‘ dari tanaman. Bagian-bagian tanaman itulahyang selanjutnya digunakan untuk kebutuhan pakaian (sandang), makanan (pangan), rumah (papan), pengobatan, sarana upacara dan yang lainnya. TanamanDedap tersebut secara umum memang tumbuh di kawasan- kawasan yang diyakini memiliki nilai kesucian oleh masyarakat Bali seperti lingkungan pura, atau Sanggah atau Palinggih karena tumbuh di lingkungan seperti itu, pohon Dedap juga identik dengan pohon yang sakral. Tidak sembarang orang dapat menebang pohon Dedap, terlebih pada hari-hari yang tidak sesuai dengan dewasa ayuatau hari baik serta sarana upacara yang tertentu pula. Dedap adalah Erythrina variegate dalam bahasa Latinnya. Daun Dedap di Bali juga disebut dengan daun Kayu Sakti. Penamaan ini diberikan karena fungsi dan manfaaat yang dimiliki tanaman inibeberapa alasan, yakni: (1) semua bagian (dari akar, batang daun, dan bungan) dari pohon Dedap bermanfaat; (2) tanaman ini digunakan untuk berbagai macan sarana upakara bebantenan, seperti upacara Ngampak Lawang pada upacara pernikahan, Mendem Pedagingan, sampai upacara Ngaben;(3) batang pohon Dedap dipakai sebagai tiang Turus Lumbung tempat pemujaan umat Hindu yang disebut dengan Palinggih atauSanggah; dan(4) Pohon Dedap dapat tumbuh di mana saja. Kasus di atas menunjukkan interaksi, interelasi, dan interdependensi masyarakat Bali dengan pohon Dedap yang tinggi terutama untuk kebutuhan upacara yadnya. Di samping itu, penelusuran yang dilakukan terhadap sejumlah pustaka lontar Bali menunjukkan bahwa Dedap juga berfungsi untuk mengobati sejumlah penyakit. Dalam buku yang ditulis oleh Nala (1992: 226) berjudul Usada Balifungsi, pohon Dedap hanya disinggung sebagai obat untuk mengobati penyakit. Sejumlah pustaka lain juga menjelaskan khaziat pohon Dedap. Hal tersebut mengindikasikan bahwa artikel terhadap pohon Dedap dari aspek fungsi dan makna, serata zat yang terkandung dalam tanaman tersebut belum banyak dilakukan. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka artikel ini akan membahas tentang manfaat tanaman Dedap khususnya daun Dedap, dan kandungan Vitamindaun Dedap. 2. Teori dan Metode 2.1 Teori Vitamin merupakan senyawa kompleks yang sangat dibutuhkan oleh tubuh yang berfungsi untuk membantu pengaturan atau proses metabolisme tubuh. Vitamin dibagi menjadi 2 golongan, yaitu vitamin larut lemak: vitamin A, D, E, dan K; dan vitamin larut air: vitamin B kompleks dan vitamin C. Untuk

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 303 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

mempertahankan saturasi jaringan vitamin larut air perlu sering dikonsumsi (Dewoto dan Wardhini, 1995). Vitamin-vitamin tidak dapat dibuat oleh tubuh manusia dalam jumlah yang cukup, oleh karena itu harus diperoleh dari bahan pangan yang dikonsumsi (Winarno, 1995). Karoten yang dikenal sebagai prekursor vitamin A (beta karoten), saat ini telah dikembangkan karoten sebagai efek protektif melawan sel kanker, penyakit jantung, mengurangi penyakit mata, antioksidan, dan regulator dalam sistem imun tubuh. Menurut Counsell dan Hornig (1981), kadar vitamin C tersebar dengan luas dalam tanaman, kadar vitamin C ini dapat berbeda-beda dikarenakan beberapa faktor seperti varietas, pengolahan, suhu, masa pemanenan dan yang terakhir adalah tempat tumbuh. Vitamin C berperan dalam pembentukan kolagen interseluler (Winarno, 2008). Vitamin C meningkatkan daya tahan terhadap infeksi, kemungkinan karena pemeliharaan terhadap membran mukosa atau pengaruh terhadap fungsi kekebalan (Almatsier, 2002).Kebutuhan vitamin C untuk orang dewasa adalah 60 mg, lebih banyak dalam kehamilan dan laktasi, sedangkan untuk bayi dan anak- anak 35-45 mg. Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan kebutuhan vitamin C diatas 60 mg/hari termasuk merokok, pemakaian kontraseptif dan penyembuhan luka (Linder, 1992). Suatu tanaman dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya selalu melakukan metabolisme primer. Hasil metabolisme primer berupa metabolit primer seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Disamping memproduksi metabolisme primer, tanaman juga menghasilkan metabolisme sekunder yang tanaman dalam mempertahankan hidupnya dari serangan biotik dan abiotik disekitar tumbuhnya. Hasil metabolisme sekunder berupa metabolit sekunder seperti senyawa – senyawa fenol, penil propanoid, saponin, terpenoid, alkaloid, tanin, steroid dan flavonoid (Parwata, 2016). Skrining fitokimia merupakan cara untuk mengidentifikasi senyawa bioaktif yang belum tampak melalui pengujian yang dapat dengan cepat memisahkan antara bahan alam yang memiliki kandungan fitokimia tertentu dengan bahan alam yang tidak memiliki. Skrining fitokimia merupaka tahap pendahuluan dalam artikel fitokimia yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang golongan senyawa yang terkandung dalam tanaman yang sedang diteliti (Kristianti et al., 2008; Khotimah, 2016). Flavonoid merupakan senyawa yang terdiri dari 15 atom karbon yang umumnya terdapat pada berbagai tanaman. Flavonoid adalah pigmen tanaman untuk memproduksi warna bunga merah atau biru pigmentasi kuning pada kelopak yang digunakan untuk menarik hewan penyerbuk. Flavonoid hampir terdapat pada semua bagian tanaman termasuk buah, akar, daun dan kulit luar batang (Worotikan, 2011). Manfaat flavonoid antara lain untuk melindungi struktur sel, meningkatkan efektifitas vitamin C, antiinflamasi, mencegah keropos tulang dan sebagai antibiotik (Haris, 2011). Kurniasari (2006) melaporkan bahwa sejumlah tanaman obat yang mengandung flavanoid memiliki aktivitas antioksidan, antibakteri, antivirus, antiradang, antialergi dan antikanker.

 304 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

2.2 Metode Artikel ini menggunakan metode kualitatif dan mengambil data yang bersumber dari naskar lontar Taru Pramanayang dikoleksi di Pusat Kajian Lontar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, dan naskah sudah ditransliterasi, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sukersa (1996). Usada sebagai sistem pengobatan yang berbasis ramuan herbal diperkirakan diturunkan dari ajaran Weda khususnya Ayur Weda. Kitab Ayur Weda adalah bagian dari Weda Smerti yang banyak mengulas hal yang berkaitan dengan tatwa (falsafah) pengobatan, cara pemeriksaan terhadap orang yang sakit, menetapkan penyakit (diagnosis), pengobatan (terapi), memprakirakan atau meramalkan jalannya penyakit (prognosis), rehabilitasi, cara pembuatan obat, dan etika pengobatan (Nala, 1992: 27).Usada Taru Pramanadiakui sebagai salah satu sumber yang paling utama dalam mempelajari bahan obat yang berasal dari tumbuh-tanaman khusus untuk artikel ini adalah tanaman Dedap. Sampel dikoleksi dari habitat alaminya yakni tanaman Dedap. Sampel daun yang dikoleksi adalah: daun Dedap. Sebanyak 2 kilogram sampel daun Dedapdikoleksi, selanjutnya dikeringkanginkan selama satu minggu dan dipastikan tidak terkena sinar matahari langsung saat pengeringan. Sebanyak 250 gram daun kering per sampel disiapkan untuk analisa fitokimia. Analisa fitokimia dilakukan di Laboratorium Pelayanan Terintegrasi, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana. Analisa yang dilakukan meliputi kadar serat, kadar abu, analisis total Flavonoid, kandungan Tanin, Katekin, Klorofil, aktivitas antioksidan, kandungan vitamin A (sebagai beta karoten) dan vitamin C. Metode yang digunakan dalam skrining (penapisan) fitokimia adalah metode gravimetri dan spektrofotometer. Kandungan klorofil total dan karotenoid diukur dengan menggunakan metode spektrofotometri. Penentuan kadar vitamin C menggunakan metode spektrofometer UV-Vis. 3. Pembahasan Di antara klasifikasi upacara yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu, Yadnya di Bali biasanya dibedakan menjadi lima yang disebut dengan Panca Yadnya yang terdiri atas Bhuta, Manusa, Pitra, Resi, dan Dewa Yadnya. Yadnya yang berpusat pada lima unsur alam (Panca Maha Bhuta) disebut dengan Bhuta Yadnya. Yadnya ini mendahului Yadnya lainnya. Secara tradisi, Manusa Yadnya ditafsirkan kewajiban orang tua mengupacarai anaknya dari lahir hingga potong gigi dan kawin, demikian pula kewajiban anak adalah mengupacarai orang tua ketika mereka meninggal. Kepada Resi bentuk yadnyanya adalah punia. Upacara kepada Dewa disebut dengan Dewa Yadnya. Kelima yadnya ini berangkat dari konsep Tri Rna ‗Tiga Hutang‘ (Palguna, 2008: 89-90).Dedap memiliki peran vital dalam upacara Pitra Yadnya khususnya upacara Ngaben.Rimbunnya dedaunan, batangnya yang kokoh memberikan kesejukan dan keteduhan bagi orang yang berada di bawahnya. Pohon ini diyakini sebagai tanaman sorga, tempat anjangsana para pitara serta dewa-dewa. Dalam upacara keagamaan pun ini selalu digunakan, itulah keagungan dari pohon Dedap. Pohon Dedap sering dikatakan sebagai tanaman sorga, bagi masyarakat Hindu pohon Dedap mempunyai arti penting, sama halnya dengan pohon kura bagi umat Muslim, atau pohon bodi bagi umat Buda (Miarta Putra,

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 305 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

2009:34).Pentingnya pohon Dedap bagi umat Hindu karena daunnya sering digunakan sebagai sarana upacara. Daun Dedap secara filsafati bagi umat Hindu sebagai lambang kesucian, lambang , dan sebagai alas untuk kesucian, baik dalam upacara Dewa Yajnya, Pitra Yadnya, maupun pelaksanaan yajnya lainnya. Keyakinan masyarakat Bali tersebut bukanlah suatu hal yang tidak beralasan, tanpa landasan sastra yang jelas. Secara mitologi, pohon Dedap merupakan salah satu pohon yang mendapatkan panugrahan. Pohon Dedaptersebut bisa berkata-kata seraya memohon kepada Bhagawan Salukat. ―Yang Mulia Bhagawan Salukat leburlah dosa hamba, sebatang tanaman yang tumbuh di tempat-tempat suci, setiap waktu kurus dan selalu menjadi makanan hewan,‖ kata pohon Dedap dengan kerendahan hati kepada Bhagawan Salukat.Bhagawan Salukat yang dudah mengerti akan hakikat hidup, serta dengan kemurahan hati dianugerahilah pohon Dedap tersebut. ―ih kamu pohon Dedap, kini wajib kamu menjadi pendamai (membuat sentosa) dunia, melebur dosa, wajib menjadi pelindung para Dewa tumbuh di setiap tempat suci,‖ kata Bhagawan Salukat memberikan enugerah kepada pohon Dedap. Berdasarkan pustaka Siwagama tersebut, fungsionalnya pohon Dedap dalam konteks upacara yadnya dapat dipahami. Ida Padanda Wayahan Tianyar seorang pendeta yang nyastra juga menyatakan bahwa pohon Dedap yang dijadikan sarana upacara bermakna wahana penyucian. Dengan fungsionalnya pohon Dedap dalam kehidupan masyarakat Bali terutama sebagai sarana upacara dan pengobatan, maka pohon Dedap perlu dilindungi eksistensinya, baik hari ini maupun di masa depan. 3.1 Manfaat Tanaman Dedap Secara morfologis, leksikon Dedap merupakan bentuk dasar dan berkategori nomina. TanamanDedap merupakan jenis tanaman yang dapat tumbuh dengan mudah. Tanaman ini tumbuh baik di daerah lembab dan setengah kering, dengan curah hujan 800 – 1500 mm pertahun dan 5-6 bulan basah. Biasanya tanaman ini dapat dijumpai di wilayah pesisir hingga ketinggian sekitar 1500 m di atas permukaan laut. Meskipun mampu hidup pada pelbagai keadaan tanah, Dedap menyukai tanah-tanah yang dalam, sedikit berpasir, dan berdrainase baik. Dedap mampu tumbuh pada tanah-tanah bergaram, tanah yang terendam air secara berkala, dan tanah kapur berkarang. Apabila diamati secara biologis, tanamanDedap memiliki bagian kulit batang yang jika masih muda tampak halus bergaris-garis vertikal hijau, abu-abu, coklat muda atau keputihan, terdapat duriduri kecil yang menempel pada bagian batangnya (1–2 mm) dan berwarna hitam. Daun Dedap berwarna hijau muda dengan panjang tangkai 10-40 cm. Panjang daun berkisar antara 9-25 cm dengan lebar daun sekitar 10-30 cm. Selain itu, Bunga-bunga tersusun dalam tandan berbentuk kerucut, di samping atau di ujung ranting yang gundul, biasanya muncul tatkala daun berguguran. Secara sosiologis, masyarakat Bali menggunakan tanaman ini sebagai tanaman peneduh, tiang-tiang pagar hidup, atau tiang untuk sanggah (tempat pemujaan), dan sebagai obat tradisional. Kandungan zat pada seluruh bagian tanaman ini sangat sejuk. Dengan kandungan zat yang demikian, tanaman ini sering digunakan sebagai obat untuk mengobati perut kembung karena masuk

 306 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 angin dan digunakan untuk menolong orang sakit perut. Untuk membuat obat tersebut langkah-langkah yang dapat dilakukan yaitu mencampur bagian kulit batang dengan ketumbar 11 biji, garam arang, kemudian dilumatkan, diperas dan disaring, lalu diminum. Selain itu dapat pula dengan mencampurkannya dengan sindrong (sejenis rempah-rempah) yang disangrai, kemudian disemburkan.

Gambar 1: Dedap „Dedap‘(Erythrina Variegata) (Sumber: google search)

‗Dedap‘ bermanfaat, mulai dari akar hingga muncuk (pucuknya), (2) digunakan sebagai pembuatan berbagai sarana upacara atau bebantenan, misalnya digunakan saat upacara Ngampak Lawang, Mendem Pedagingan, saat Upacara Pernikahan, hingga upacara Ngaben, (3) digunakan untuk pembuatan palinggih atau sanggah ‗tempat sembahyang‘ permanen sehingga disebut juga dengan Turus Lumbung, dan (4)Kayu Dapdap dapat tumbuh di sembarang tempat seperti di air dan di tanah. Uniknya, tanaman ini dapat tumbuh dan bertunas walapun batangnya hanya menyentuh tanah dan tidak harus masuk ke dalam tanah. Sementra itu, dalam Lontar Usada Taru Premana pohon Dapdap ‗Dedap‘ disebutkan bahwa tanaman ini memiliki manfaat sebagai tanaman untuk bahan obat. Dapdap ‗Dedap‘ memiliki ciri-ciri morfologis tanaman, yaitu (1) morfologi batang, memiliki bagian kulit batang yang jika masih muda tampak halus bergaris-garis vertikal hijau, abu-abu, coklat muda atau keputihan, terdapat duri-duri kecil yang menempel pada bagian batangnya dan berwarna hitam, (2) morfologi daun, daun Dedap berwarna hijau muda dengan panjang tangkai 10-40 cm, dengan panjang daun berkisar antara 9-25 cm dengan lebar daun sekitar 10-30 cm, dan (3) morfologi bunga, bunga-bunga tersusun dalam tandan berbentuk kerucut berwarna merah yang muncul pada bagian ujung ranting yang gundul.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 307 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Gambar 2: Turus Lumbung dari Dedap Gambar3:RitualMendem Pedagingan (Erythrina variegata) yang merupakan rangkaian (Sumber: google search) upacara Dewa Yadnya (Sumber: google search)

Penelusuran terhadap pustaka-pustaka lontar yang termasuk dalam Usada Bali menunjukkan bahwa pohon Dedap memiliki manfaat yang sangat beraneka ragam dalam penyembuhan penyakit. Usada Taru Pramana merupakan salah satu naskah lontar yang memuat informasi mengenai pohon Dedap sebagai sarana pengobatan. Menariknya, teks usada ini secara naratif berkisah mengenai seorang dukun bernama Prabhu Mpu Kuturan yang kehilangan kemampuan mengobati setelah sekian lama membantu masyarakat menyembuhkan berbagai penyakit. Menyadari hal itu, Ia kemudian melakukan tapa brata di kuburan untuk mengembalikan kemampuannya. Setelah genap sebulan tujuh hari, turunlah Bhatari dari kayangan.Beliauberkenan memberi anugerah kepada Prabu Mpu Kuturan sehingga ia memiliki keahlian untuk memanggil pepohonan untuk ditanyai khasiatnya Pohon Dapdap „Dedap‟ memiliki manfaat untuk menyembuhkan penyakit perut kembung, seperti yang diungkapkan dalam teks lontar Usada Taru Pramana sebagai berikut. Titiang taru dapdap tis wau rauh, daging titiang tis, babakan titiange dados anggen tamba běngka, ragin ipune katumbah běbolong, 11 běsik, uyah arěng, pipis, pěrěs saring, tahap.

Terjemahan Saya pohon Dedap tis baru datang, kandungan zat saya sejuk, kulit hamba bisa dipakai untuk obat perut kembung karena masuk angin, campurannya ketumbar, 11 biji, garam arang, dilumat, diperas dan disaring, diminum.

Berdasarkan kutipan teks lontar Usada Taru Pramana di atas, pohon Dapdap ‗Dedap‘dapat mengatasi sakit perut kembung karena kandungan zat pada seluruh bagian tanaman ini yaitu sejuk. Dengan kandungan zat yang demikian tanaman ini sering digunakan sebagai obat untuk perut kembung karena masuk angin dan

 308 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 digunakan untuk menolong sakit perut. Untuk membuat obat tersebut langkah- langkah yang dapat dilakukan yaitu mencampur bagian kulit batang dengan ketumbar, 11 biji, garam arang, dilumat, diperas dan disaring, lalu diminum. Selain itu dapat pula dengan mencampurkan sindrong (sejenis rempah-rempah) yang disangrai setelah itu disemburkan. 3.2 Kandungan Vitamin dari Daun Dedap Uji fitokimia ini merupakan suatu metode pengujian awal untuk mengetahui kandungan senyawa aktif yang terdapat dalam tanaman obat lokal yang berperan penting dalam penyembuhan penyakit. Hasil artikel ini diharapkan dapat dilanjutkan dengan artikel yang lebih detil untuk menemukan suatu senyawa yang memiliki efek farmakologi tertentu sehingga memacu penemuan obat baru yang berasal dari keragaman jenis tanaman obat lokal. Pengujian kandungan fitokimia pada sampel tanaman obat masih berlangsung. Hingga saat ini diperoleh data hasil pengujian kandungan vitamin C seperti tercantum pada Tabel 1. Tabel 1. Kadar Vitamin C DaunDedap No Nama lokal Nama Latin Kadar Vitamin C (mg/L) 1 Dapdap Erythrina variegata 606,7

Hasil pengujian menunjukkan bahwa daun Dedapmemiliki kandungan vitamin C yaitu606,7 mg/L. Kandungan vitamin C tanaman yang diuji relatif tinggi dibandingkan tanaman atau buah-buahan seperti cabai yang mengandung 4.5 mg/L (Badriyah et al., 2015).Vitamin C merupakan salah satu vitamin yang seringkali dikaitkan dengan peningkatan daya tahan tubuh (Aina dan Suprayogi, 2011). Vitamin C berperan efektif untuk mengatasi radikal bebas yang merusak sel atau jaringan. Vitamin C saat ini merupakan jenis vitamin yang paling populer di masyarakat karena khasiatnya yang dikenal untuk kesehatan. 4. Simpulan Manfaat dari tanaman Dedapadalah secara morfologi tanaman, zat yang terkandung dalam tanamanDedap dapat menyembuhkan penyakit, cara pengobatinya, pengobatan baik untuk penyakit baik yang disebabkan oleh kausa sakala (Naturalistrik) dan kausa niskala (Personalistik) dan wujud obatnya. Hasil pengujian menunjukkan bahwa daun Dedapmemiliki kandungan vitamin C yaitu 606,7 mg/L.

Daftar Pustaka Aina, M., dan Suprayogi, D. (2011). Uji Kualitatif Vitamin C pada Berbagai Makanan dan Pengaruhnya Terhadap Pemanasan. Sainmatika. 3(1): 61-67. Almatsier, S. (2002). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Halaman 188. Anom, Ida Bagus. 2011. Indik Taru. Denpasar: CV Kayu Mas Agung. Badriyah, L. dan A. B. Manggara. 2015. Penetapan Kadar Vitamin C Pada Cabai Merah (Capsicum Annum L.) Menggunakan Metode Spektrofotometri UV Vis. Jurnal Wiyata 2(1): 25 – 28.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 309 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Dewoto, H. R., dan Wardhini B. P., S. (1995). Vitamin dan Mineral. Dalam: Farmakologi dan Terapi Edisi Keempat. Editor: Ganiswara, S. G. Jakarta: Gaya Baru. Halaman 714, 722. Khotimah, K. 2016. Skrining Fitokimia dan Indentifikasi Metabolit Sekunder Senyawa Karpain pada Ekstrak Metanol Daun Carica pubescens Lenne & K. Koch dengan LC/MS (Liquid Chromatograph-tandem Mass Spectrometry). Skripsi. Fakultas Sains ndan Teknologi. UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Kristianti, A. N., N.S. Aminah, M. Tanjung dan B. Kurniadi. 2008. Buku Ajar Fitokimia. Jurusan Kimia Laboratorium Kimia Organik. FMIPA, Universitas Airlangga,Surabaya. Linder, M. (1985). Nutritional Biochemistry and Metabolism. Penerjemah: Parakkasi, A. (1992). Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Jakarta: UI-Press. Halaman 165, 178. Nasution, S. E. 2018. Analisis Dan Perbandingan Kadar Vitamin C Pada Buah Srikaya (Annona squamosa L.) Dan Buah Sirsak (Annona muricata L.) Secara Titrasi Volumetri Dengan 2,6-Diklorofenol Indofenol. Skripsi. Fakultas Farmasi, Universitas Sumatra Utara, Medan. Palguna, I.B.M.Darma 2008. Leksikon Hindu. Mataram: Sadampatyaksara. Winarno. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Utama. Jakarta

 KESANTUNAN BERBAHASA YANG TERCERMIN DALAM AIMAI HYŌGEN

Ni Made Andry Anita Dewi, Ni Putu Luhur Wedayanti Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [email protected], [email protected]

ABSTRAK

Kesantunan berbahasa merupakan salah satu topik kebahasaan yang cukup banyak dikaji dalam penelitian. Kesantunan berbahasa dalam beberapa tahun belakangan ini tidak hanya berfokus pada masalah linguistik, akan tetapi juga dapat dikaitan dengan budaya masyarakat penutur bahasa yang melatarbelakanginya. Salah satunya adalah aimai hyōgen (ungkapan ambiguitas).

Aimai hyōgen merupakan salah satu konsep berkomunikasi yang masih digunakan oleh penutur masyarakat Jepang. Konsep aimai hyōgen ini berfokus pada gaya bahasa yang digunakan melalui makna-makna yang tidak jelas atau tidak pasti oleh karena terlalu banyaknya makna yang dimiliki oleh ungkapan tersebut. Hal ini bertujuan untuk menghindari penggunaan ungkapan yang lugas, tegas, dan jelas. Berdasarkan fenomena tersebut, maka beberapa aimai hyōgen yang dikaitkan dengan prinsip kesantunan Leech dibahas dalam makalah ini.

Kata kunci: aimai hyōgen, kesantunan berbahasa, maksim kesantunan

PENDAHULUAN Aimai hyōgen (ungkapan ambiguitas) merupakan salah satu konsep strategi berkomunikasi yang masih digunakan dalam masyarakat Jepang yang dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditafsirkan memiliki lebih dari satu makna yang dimaksudkan sehingga mengakibatkan ketidakjelasan, ketidaktentuan, dan ketidakpastian. Masyarakat non Jepang menganggap bahwa masyarakat Jepang pada umumnya memiliki rasa toleransi yang cukup tinggi terhadap ambiguitas. Rasa toleransi terhadap ambiguitas ini dianggap sebagai salah satu karakteristik budaya Jepang. Masyarakat Jepang dianggap cenderung menghindari mengutarakan sesuatu secara terbuka dalam interaksi sosialnya. Mereka pada umumnya masih berpegang pada prinsip bahwa hal yang disampaikan secara lugas dan terbuka kepada mitra tutur dianggap tidak sopan karena seolah-olah menganggap mitra tutur tidak mengetahui topik yang dibicarakan (Davies & Ikeno, 2002). Varisi aimai hyōgen dapat ditemukan dalam bentuk tuturan lisan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 310 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 311 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

pekerjaan. Salah satunya adalah bentuk tuturan lisan yang digunakan oleh staf hotel terhadap mitra tuturnya yaitu tamu hotel. Pada situasi pekerjaan di perhotelan, aimai hyōgen cukup banyak digunakan oleh staf hotel untuk melayani atau memenuhi kebutuhan tamu. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pada makalah ini dibahas mengenai ungkapan ambiguitas pada beberapa ungkapan aimai hyōgen yang dikaitkan dengan prinsip kesantunan yang diklasifikasikan oleh Leech. Data yang digunakan dalam makalah ini diambil dari drama berbahasa Jepang yang berjudul Hotel Concierge (ホテルコンシェルジュ) yang ditayangkan oleh stasiun televisi TBS Jepang dari tanggal 07 Juli sampai 22 September 2015.

PEMBAHASAN Berikut merupakan Aimai hyōgen (ungkapan ambiguitas) yang digunakan oleh staf hotel pada saat merespon permintaan tamu hotel yang terdapat dalam drama Hotel Concierge (ホテルコンシェルジュ)(2015). 1. Penggunaan aimai hyōgen (ungkapan ambiguitas) pada ungkapan o- kimochi dake de kekkō desu node Data 1 Sutaffu 1 : Shitsurei itashimasu. Sugano : Arigatō. Tadaima. Sutaffu 2 : Mōshiwake gozaimasen, Sugano-sama. O-kaeri ni maniawanakute. Sugano : Ii no. Ii no. Watashi ga hayaku kaette kichattakara. Sutaffu 3 : Sugu sumasemasu node. Sugano : Heiki heiki. Awatenai de ne. Sou da, anatatachi, anmitsu to o-dango to dochira ga ii kashira. Sutaffu 2 : O-kimochi dake de kekkō desu node. Sugano : Ii kara. Ii kara. Ja, hora. O-dango. Sutaffu 2&3 : Arigatō gozaimasu. Sutaffu 3 : Kono mae itadaita umeboshi mo sugoku oishikatta desu. (Hoteru konsheruju, eps 02, 2015:06.27- 07.00) Terjemahan: Staf 1 : Permisi. Bu Sugano : Terima kasih. Saya pulang. Staf 2 : Mohon maaf, Bu Sugano. Kami belum selesai membersihkan kamarnya. Bu Sugano : Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Saya yang pulang terlalu cepat. Staf 3 : Kami akan segera menyelesaikannya. Bu Sugano : Pelan-pelan…pelan-pelan saja. Tidak usah terburu-buru ya. Oya, kamu mau yang mana ya. Anmatsu atau dango?

 312 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Staf 2 : Terima kasih banyak sebelumnya (tidak usah repot-repot). Bu Sugano : Tidak apa-apa…tidak apa-apa. Kalau begitu, ayo ini dango. Staf 2&3 : Terima kasih banyak. Staf 3 : Umeboshi yang Ibu berikan kepada saya waktu ini juga sangat enak.

Situasi dalam percakapan dilakukan antara staf hotel dengan Bu Sugano (tamu hotel). Bu Sugano yang sedang keluar dari kamarnya, tiba-tiba kembali dalam waktu yang tidak lama. Saat Bu Sugano tidak berada di dalam kamar hotel, dua orang staf sedang membersihkan kamarnya. Bu Sugano merupakan salah satu tamu yang masa tinggal di hotel Vollmond dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, hubungan antara para staf hotel dan Bu Sugano sangat baik. Begitu juga yang terlihat pada percakapan di atas, Bu Sugano digambarkan membawa buah tangan yang ingin diberikan kepada dua orang staf hotel yang sedang membersihkan kamarnya. Ini terlihat dalam tuturan sō da, anatatachi, anmitsu to o-dango to dochira ga ii kashira ‗oya, kamu mau yang mana ya. Anmatsu atau dango?‘. Penawaran bu Sugano direspon oleh staf hotel dengan tuturan berikut o-kimochi dake de kekkō desu node ‗Terima kasih banyak sebelumnya (tidak usah repot-repot)‘. Aimai hyōgen ini apabila dituturkan memiliki makna bahwa si penutur mengutarakan perasaan terima kasih atas kebaikan dari mitra tutur. Akan tetapi, aimai hyōgen ini cenderung bermakna menolak sesuatu yang ditawarkan oleh mitra tutur. Begitu pula yang tergambar pada percakapan diatas. Bu Sugano menawari penganan anmatsu dan o-dango kepada dua orang staf yang sedang membersihkan kamarnya. Namun, tawaran Bu Sugano ditolak secara halus salah seorang staf tersebut dengan ungkapan o-kimochi dake de kekkou desu node. Dalam bahasa Indonesia mungkin tidak memiliki padanan yang tepat untuk ungkapan tersebut. Akan tetapi secara sederhana ungkapan tersebut memiliki makna ‗Saya menghargai perasaan/niat baik (kebaikan) Anda (menawarkan saya hal tersebut). Jadi, Anda tidak perlu (repot-repot) sampai menyiapkan sesuatu (untuk saya)‘. Dalam konteks diatas, penolakan staf hotel yang ditujukan kepada Bu Sugano sebenarnya salah satu etika yang biasa dilakukan oleh penutur bahasa Jepang dalam berinteraksi dalam komunitasnya. Jika dilihat dari posisi staf hotel, maka menerima sesuatu yang berupa buah tangan merupakan hal yang tidak lazim dilakukan. Oleh karena alasan itulah, staf tersebut berupaya menolak tawaran Bu Sugano. Selain itu, etika berinteraksi dalam masyarakat Jepang dilandasi dengan konsep honne tatemae. Menurut Honna & Hoffer (1986) dalam an English dictionary of Japanese culture, Honne didefinisikan sebagai motif atau niat dalam seseorang yang sebenarnya. Sebaliknya, tatemae didefinisikan sebagai motif atau niat yang disesuaikan secara sosial dan norma yang berlaku dan disepakati masyarakat Jepang. Secara sederhana dapat dikatakan bahawa motif atau niat tersebut yang dibentuk, didorong, atau ditekan oleh norma-norma mayoritas yang berlaku (Davies & Ikeno, 2002:115). Mengacu pada definisi tersebut, maka latar belakang sikap penolakan yang dilakukan staf hotel didasari konsep tatemae tersebut. Etika dalam masyarakat Jepang pada saat ditawari sesuatu adalah dengan

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 313 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

menolak sebagai salah satu bentuk basa basi. Apabila menerima tawaran dari seseorang, diharapkan tidak langsung menerimanya. Namun menunggu tawaran berikutnya dari mitra tutur.

Maksim Penghargaan Dalam tuturan antara staf hotel dengan Bu Sugano terwujud salah satu maksim kesantunan yang muncul yaitu maksim penghargaan. Maksim penghargaan tersirat dalam aimai hyōgen yaitu o-kimochi dake de kekkō desu node. Staf hotel menghargai perbuatan baik Bu Sugano yang menawari dirinya buah tangan berupa anmatsu atau o-dango. Melalui ungkapan tersebut, staf hotel menyampaikan rasa terima kasih atas perbuatan baik yang dilakukan Bu Sugano. Maksim penghargaan merupakan salah satu bentuk prinsip kesantunan dengan memaksimalkan pujian atau penghargaan kepada mitra tutur (Rahadi, 2005: 59).

Maksim Kebijaksanaan Terdapat maksin lain yang terwujud dalam percakapan diatas yaitu maksim kebijaksanaan. Hal ini terlihat pada percakapan staf hotel dan Bu Sugano. Staf hotel yang mengetahui Bu Sugano kembali ke kamar lebih awal berusaha untuk membersihkan kamar lebih cepat. Tuturan staf hotel yang menyatakan maksim kebijaksanaan yaitu: sugu sumasemasu node ‗kami akan segera menyelesaikannya‘. Maksim kebijksanaan menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat memaksimalkan keuntungan orang lain dan mengurangi kerugian orang lain (Rahadi, 2005:59). Maksim tersebut tersirat dalam tindakan yang diambil staf hotel untuk sesegera mungkin membersihkan kamar Bu Sugano. Meskipun, sebenarnya staf hotel tidak melakukan kesalahan apapun dalam hal ini. Justru, Bu Sugano yang terlalu cepat kembali ke kamar, yang menyebabkan perkerjaan staf hotel tidak selesai sesuai jadwal. Akan tetapi, staf hotel menyikapi kejadian ini dengan bijaksana. Mereka berprinsip bahwa kenyamanan adalah hak tamu. Oleh karena itu, apapun dilakukan untuk memaksimalkan keuntungan tamu dan meminimalisir kerugian tamu.

2. Penggunaan aimai hyōgen (ungkapan ambiguitas) pada ungkapan tondemo gozaimasen. Data 2 Sutaffu 1 : Taihen shitsurei itashimasu. Sutaffu 2&3 : Shitsurei itashimashita. Isaka : Iie, chekku auto jikan kanchigai shite ita watashi ga waruin desu. Sutaffu 1 : Tondemo gozaimasen. Isaka : Sore ni, watashi, depojitto no koto, sukkari wasuretete. A, ima ATM de. Sutaffu 1 : Osore irimasu. Sugano : Gokai saseru na koto nashite, mōshiwake nai desu. Sutaffu 1 : Tondemo gozaimasen. Shitsurei itashimashita.

 314 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Isaka : Mou, yōshite kudasai. A, tokoro de, hitotsu onegai ga arimashite. Sutaffu : Nan deshou. Isaka : Jitsu wa, shucchō ga nobichaimashite, oheya ga aitereba, ato ni haku sasete itadakereba to. Sutaffu : Mochiron go-yōi sasete itadakimasu. Isaka : Yokattaa. Sutaffu : Isaka sama, yoroshikereba, o-heya wo appuguredo sasete itadakitai no desu ga. Ryōkin wa mochiron sūji no mama kekkō desu node. Isaka : Hee, iin desu ka. Arigatō gozaimasu. (Hoteru konsheruju, eps 02, 2015:19.40-20.33: 2015) Terjemahan: Staf 1 : Mohon maaf. Staf 2&3 : Kami minta maaf. Pak Isaka : Tidak, saya yang salah. Saya salah mengerti tentang waktu check out. Staf 1 : Tidak apa-apa. Pak Isaka : Lalu, saya juga benar-benar lupa mengenai uang deposit. Oya, ini uangnya dari ATM. Staf 1 : Terima kasih. Maaf merepotkan. Pak Isaka : Saya minta maaf karena telah membuat Anda semua salah paham. Staf 1 : Tidak apa-apa. Kami juga minta maaf. Pak Isaka : Sudahlah. Silakan diterima (uangnya). Oya, ngomong-ngomong, saya ingin minta tolong tentang satu hal. Staf : Iya, bagaimana ya? Pak Isaka : Sebenarnya dinas saya diperpanjang… Jika ada kamar kosong, bisakah saya menginap 2 hari lagi? Staf : Tentu saja. Kami akan siapkan. Pak Isaka : Syukurlah. Staf : Bapak Isaka, apabila berkenan, kami bisa upgrade kamar Bapak. Biaya kamar tentu saja sama seperti biaya sebelumnya. Pak Isaka : Oya? Benarkah? Terima kasih banyak.

Pada situasi data 2 diatas digambarkan percakapan antara seorang tamu hotel dengan tiga orang staf hotel. Tamu hotel bernama Pak Isaka, yang dicurigai berencana melakukan kejahatan yang dikenal dengan istilah ―スキッパー“. Istilah ini berasal dari bahasa Inggris yaitu skipper. Dalam istilah perhotelan Jepang, ―スキッパー“yaitu jenis kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang dengan metode membuat reservasi di hotel pada hari bersamaan dengan waktu menginap, lalu memperpanjang masa menginap, menggunakan segala fasilitas

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 315 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

hotel, namun menjelang pembayaran, yang bersangkutan akan pergi meninggalkan hotel secara diam-diam untuk menghindari tagihan hotel. Begitu juga dugaan staf hotel Vollmond terhadap Pak Isaka. Oleh karena prilaku Pak Isaka yang terkesan mencurigakan, maka pihak hotel mencurigainya sebagai seorang skipper. Hal ini dikarenakan, kamar yang ditempati Pak Isaka telah kosong pada saat waktu check out telah tiba. Para staf hotel dibuat panik oleh Pak Isaka karena hal tersebut. Namun, ternyata ada kesalahpaham yang terjadi. Pak Isaka ternyata bermaksud mengambil uang tunai di ATM dengan membawa seluruh barangnya. Pihak hotel menduga Pak Isaka pergi meninggalkan hotel tanpa membayar tagihan. Sekembalinya ke hotel, Pak Isaka menjelaskan semuanya, bahwa dirinya salah paham mengenai waktu check out, sehingga keluar hotel sebelum membayar tagihan menginap. Pak Isaka meminta maaf kepada para staf hotel yang terlihat melalui tuturan ―iie, chekku auto jikan kanchigai shite ita watashi ga waruin desu”, ‗Tidak, saya yang salah. Saya salah mengerti tentang waktu check out‘. Tuturan tersebut direspon oleh staf hotel dalam aimai hyōgen, yaitu tondemo gozaimasen. Pada tuturan berikutnya, Pak Isaka kembali meminta maaf atas kesalahan yang dirinya perbuat secara tidak sengaja yaitu terlupa menyerahkan uang deposit kepada pihak hotel. Pernyataan maaf tersebut terdapat dalam tuturan Gokai saseru na koto nashite, mōshiwake nai desu ‗Saya minta maaf karena telah membuat Anda semua salah paham. Permintaan maaf Pak Isaka direspon kembali oleh staf hotel dengan ungkapan tondemo gozaimasen ‗Tidak apa-apa. Kami (juga) minta maaf‘. Ungkapan tondemo gozaimasen merupakan salah satu ungkapan ambiguitas yang terdapat dalam bahasa Jepang dan cukup sering digunakan oleh staf hotel dalam berkomunikasi dengan tamu hotel. Aimai hyōgen tondemo gozaimasen berasal dari bentuk tondemo nai. Pada dasarnya kedua ungkapan tersebut memiliki makna yang sama. Hanya saja bentuk tondemo gozaimasen merupakan bentuk ragam bahasa hormat (keigo), sedangkan tondemo nai merupakan bentuk sopan. Dalam kamus pemakaian bahasa Jepang dasar (1988:1225), dinyatakan terdapat tiga makna penggunaan ungkapan tondemo gozaimasen. Yang pertama adalah bahwa ungkapan tersebut merujuk pada sesuatu hal yang tidak masuk akal (diluar dugaan) yang cenderung mengarah ke penilaian yang negatif. Yang kedua adalah ungkapan tersebut dapat bermakna bahwa sesuatu hal tidak mungkin terjadi (mustahil) atau sama sekali tidak bisa diampuni. Yang ketiga adalah ungkapan tondemo gozaimasen yang digunakan untuk menolak pernyataan mitra tutur. Pernyataan yang pada umumnya ditolak yaitu berupa pujian. Berbeda dengan ketiga makna diatas, ungkapan tondemo gozaimasen yang digunakan oleh staf hotel pada data di atas digunakan sebagai negasi (penolakan) terhadap tuturan mitra tutur yang disebutkan sebelumnya. Adapun bentuk tuturan yang diujarkan oleh Pak Isaka adalah berupa permintaan maaf atas masalah yang telah dilakukan sehingga membuat kepanikan pihak hotel. Pada kenyataannya,

 316 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 perbuatan yang dilakukan oleh Pak Isaka memang telah menimbulkan kekacauan di hotel. Akan tetapi, sebagai pihak yang selalu memprioritaskan kenyamanan tamu, staf hotel merespon permintaan maaf tersebut dengan ungkapan ambiguitas tondemo gozaimasen, yang bermakna bahwa tindakan tamu (Pak Isaka) ―dianggap‖ bukan suatu masalah oleh pihak hotel. Sebaliknya staf hotel justru turut menyampaikan permintaan maaf atas kejadian tersebut. Hal ini terlihat pada ungkapan taihen shitsurei itashimashita dan shitsurei itashimashita. Hal ini merupakan salah satu strategi komunikasi yang digunakan oleh staf hotel dengan tujuan menyelamatkan muka (posisi) tamu agar tidak merasa dipermalukan.

Maksim Pemufakatan Percakapan pada data 2 di atas yang terjadi antara staf dengan tamu hotel mewujudkan salah satu prinsip kesantunan berbahasa yaitu maksim kemufakatan. Hal ini terlihat dari kebijakan yang diberikan diberikan oleh pihak hotel pada saat tamu terlupa memenuhi kewajiban untuk membayar deposit. Hal ini juga diiikuti oleh kesadaran tamu yang memiliki niat baik untuk kembali ke hotel untuk memenuhi kewajiban dan sekaligus meminta maaf kepada pihak hotel. Pihak hotel merespon tindakan tamu dengan menerima uang deposit yang terlambat dibayarkan. Selain itu, tindakan tamu yang segera meminta maaf kepada staf hotel atas keteledoran yang dilakukan, direspon positif oleh staf hotel, yaitu dengan menerima uang deposit dan dan juga menerima permintaan maaf tamu hotel melalui ungkapan tondemo gozaiamsen ―tidak apa-apa‖. Melalui situasi tersebut dapat dikatakan terjadi pemufakatan antara pihak hotel dengan tamu.

Maksim Kebijaksanaan Dalam percakapan antara staf hotel dengan Pak Isaka, dapat dilihat bahwa ada sebuah kebijakan yang diberikan pihak hotel melalui pemberian kompensasi atas keteledorannya menduga tamu sebagai seorang skipper. Tuduhan tersebut tentu saja memberikan rasa tidak nyaman kepada Pak Isaka. Sebagai upaya untuk menebus keteledoran tersebut, maka pihak hotel memberikan tawaran kompensasi berupa upgrade kamar kepada Pak Isaka. Hal ini terlihat pada tuturan Isaka sama, yoroshikereba, o-heya wo appuguredo sasete itadakitai no desu ga. Ryōkin wa mochiron sūji no mama kekkō desu node ‗Bapak Isaka, apabila berkenan, kami bisa upgrade kamar Bapak. Biaya kamar tentu saja sama seperti biaya sebelumnya‘. Kebijakan pihak hotel ini diterima dengan senang hati oleh Pak Isaka. Dengan demikian maksim kebijaksanaan yang diterapkan pihak hotel diterima dengan senang hati oleh Pak Isaka.

SIMPULAN Kesantunan berbahasa dalam bidang perhotelan seperti yang terdapat dalam drama Hotel Concierge (コンシェルジュ) cukup banyak ditemukan dalam bentuk tuturan aimai hyōgen. Aimai hyōgen ini juga cukup sering digunakan oleh staf hotel terhadap tamu hotel. Bentuk tuturan seperti o-kimochi dake de kekkō desu node dan tondemo gozaimasen digunakan untuk menghindari

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 317 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

pemakaian ungkapan yang terlalu lugas dan terbuka. Hal ini dikarenakan adanya budaya masyarakat Jepang membatasi tuturan yang diucapkan secara lugas dan terbuka, karena dianggap melanggar kesopanan.

DAFTAR PUSTAKA Davies, Roger dan Ikeno, Osamu.2002. The Japanese Mind. Tuttle Publishing: Tokyo. Honna, N., & Hoffer, B. (eds).1986. An English dictionary of Japanese culture. Tokyo: Yuhikaku. Rahadi, Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

 REPRESENTASI IDENTITAS DALAM GAYA HIDUP PEREMPUAN BALI MASA KINI

Ni Made Wiasti, dan Ni Luh Arjani Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah ―terwujudnya pemahaman keberagaman budaya berbasis pengetahuan lokal‖. Tujuan tersebut hendak dicapai dengan mewujudkan target khusus penelitian, yaitu pemahaman tentang gaya hidup perempuan Bali masa kini. Untuk itu, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana perempuan Bali memaknai identitas mereka yang direpresentasikan melalui gaya hidup. Adapun fokus penelitian adalah: 1) bentuk gaya hidup hedonisme di kalangan remaja putri, 2) implikasinya terhadap representasi identitas perempuan Bali masa kini.Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif melalui teknik pengumpulan data dengan observasi dan wawancara. Analisis data menggunakan análisis diskriptif interpretatif.

Temuan penelitian menunjukkan bahwa gaya hidup hedonisme remaja putri adalah dengan membentuk komunitas yang mereka beri nama (WBA) yakni tempat mereka mengaktualisasikan diri sebebas-bebasnya untuk mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. Implikasi terhadap representasi identitas perempuan Bali masa kini adalah munculnya konstruksi kecantikan perempuan Bali postmodern yang mengarah pencitraan dan gaya hidup. Cantik bagi perempuan Bali bukan merupakan persoalan privat semata, karena apa yang ditampilkan perempuan dengan tubuhnya menjadi konsumsi publik.

Kata Kunci: representasi, identitas, gaya hidup, perempuan Bali masa kini.

1. Pendahuluan

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah representasi identitas yang terkait gaya hidup perempuan Bali sebagai akibat arus globalisasi masa kini. Bisa dikatakan bahwa globalisasi hampir menjadi kosa kata yang tidak pernah ketinggalan dalam pembicaraan di forum-forum ilmiah, ruang diskusi, halaman surat kabar, program televisi hingga warung kopi. Pengertian globalisasi sendiri seringkali dipakai untuk merujuk pada

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 318 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 319 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

perluasan dan pendalaman arus perdagangan, modal, teknologi, informasi internasional dalam sebuah pasar global yang terintegrasi. Pengertian lainnya, globalisasi dipandang sebagai proses liberalisasi pasar nasional dan global yang mengarah pada kebebasan arus perdagangan, modal atau informasi dengan kepercayaan bahwa situasi tersebut akan menciptakan pertumbuhan dan kesejahteraan manusia (Petras & Veltmeyer, 2001: 11). Dua pengertian itu mengandung asumsi bahwa fenomena globalisasi merupakan sesuatu yang tak terelakkan, sesuatu yang pasti terjadi, dan mengharuskan masyarakat melakukan adaptasi atas perubahan yang terjadi. Pada kenyataannya, fenomena globalisasi mengubah banyak aspek kehidupan manusia. Perubahan arus perdagangan internasional membuat berbagai produk yang dibuat di negara-negara belahan benua Eropa atau Amerika dapat dikonsumsi oleh warga masyarakat di benua Afrika atau pun Asia. Globalisasi juga mampu mengubah gaya hidup seseorang maupun kelompok. Gaya hidup, baik dari sudut pandang individual maupun kolektif, mengandung pengertian sebagai tata cara hidup mencakup sekumpulan kebiasaan, pandangan, dan pola-pola respons terhadap hidup, perlengkapan untuk hidup, dan keterlibatan dengan kelompok sosial tertentu dalam kesehariannya. Gaya hidup merupakan hasil interaksi manusia dengan dunia fisik. Singkatnya, gaya hidup dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan sosial dan fisik (Takwin, 2006:36-38). Kini gaya hidup dominan yang muncul sebagai dampak dari globalisasi adalah hedonisme. Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia. Hedonisme muncul pada awal sejarah filsafat sekitar tahun 433 SM. Hedonisme ingin menjawab pertanyaan filsafat "apa yang menjadi hal terbaik bagi manusia?". Hal ini diawali dengan Sokrates yang menanyakan tentang apa yang sebenarnya menjadi tujuan akhir manusia. Lalu Aristippos dari Kyrene (433-355 SM) menjawab bahwa yang menjadi hal terbaik bagi manusia adalah kesenangan. Aristippos memaparkan bahwa manusia sejak masa kecilnya selalu mencari kesenangan dan bila tidak mencapainya, manusia itu akan mencari sesuatu yang lain lagi. Pandangan tentang 'kesenangan' (hedonisme) ini kemudian dilanjutkan seorang filsuf Yunani lain bernama Epikuros (341-270 SM). Menurutnya, tindakan manusia yang mencari kesenangan adalah kodrat alamiah. Meskipun demikian, hedonisme Epikurean lebih luas karena tidak hanya mencakup kesenangan badani saja— seperti Kaum Aristippos--, melainkan kesenangan rohani juga, seperti terbebasnya jiwa dari keresahan. https://id.wikipedia.org/wiki/Hedonisme

Saat ini gaya hidup hedonis diduga banyak merasuki kehidupan remaja putri di Bali, terlebih-lebih mereka yang tergabung dalam kelompok atau komunitas yang tersebar di Kota Denpasar. Berdasarkan fenomena

 320 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi dan memahami beberapa hal, yakni: bentuk gaya hidup hedonis remaja putri, dan implikasinya terhadap representasi identitas perempuan Bali masa kini.

2. Metodologi

Lokasi penelitian adalah di wilayah Kota Denpasar, mengingat Kota Denpasar adalah miniatur Bali dengan yang kental dengan nuansa multikultural banyak ditemukan komunitas remaja. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif yang lebih mengandalkan teknik pengamatan (observasi), wawancara mendalam, dan studi dokumen. Dalam upaya mepengumpulan data dan informasi yang dilakukan melalui langkah-langkah: penentuan lokasi penelitian, penentuan informan, pengamatan (observasi), wawancara mendalam,dan mendalami dokumen terkait. Teknik analisis data dilakukan dengan teknik analisis deskriptip interpretatif.

3. Pembahasan 3. 1. Gaya Hidup Hedonisme di Kalangan Remaja Putri Studi Kasus Komunitas Warung Bumi Ayu (WBA), Jalan Gunung Agung, Kota Denpasar Remaja merupakan masa-masa yang paling menyenangkan pada umumnya. Fase perkembangan remaja merupakan masa yang paling rentan dan kritis. Hal ini dimaksudkan karena masa remaja merupakan masa penyempurnaan dari perkembangan pada tahap-tahap sebelumnya. Definisi remaja untuk masyarakat Indonesia memiliki batasan umur antara 11 tahun hingga 24 tahun dan belum menikah (Sarlito, 2003:11-14). Globalisasi dan pergaulan teman sebaya mempengaruhi gaya hidup remaja. Hal ini terkait dengan konsumerisme yang dicerminkan oleh pengunaan IPTEK, trend fashion dari media massa, transportasi serta alat telekomunikasi yang kemudian membawa informasi kepada para remaja ini. Menurut Steven Miles (dalam Soedjatmiko, 2008:9), konsumerisme merupakan suatu pola pikir atau tindakan di mana orang membeli barang bukan karena dia membutuhkan barang melainkan karena tindakan membeli itu sendiri memberikan kepuasan kepadanya. Dengan kata lain, konsumerisme sebagai wujud pemuasan kebutuhan identitas dan makna, serta memiliki fungsi sosial dan ekonomis. Gaya hidup tersebut mempengaruhi ideologi dan perilaku remaja yang dapat kita lihat dalam gaya hidup hedonisme. Hal ini juga terjadi pada remaja putri komunitas WBA. Remaja putri memiliki citra di masyarakat sebagai sosok kelembutan, kesederhanaan, kepedulian, ketidakegoisan, diam di rumah dan tidak terpengaruh oleh hal yang negatif. Namun faktanya, remaja putri di komunitas Warung Bumi Ayu (WBA) tidak demikian. Tampak perilaku para remaja putri dalam komunitas ini mengarah pada gaya hidup hedonisme. Gaya hidup hedonisme menimbulkan pelanggaran status seperti

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 321 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

membolos sekolah, melanggar tata tertib sekolah, berkelahi, merusak infra struktur (vandalism), merokok di lingkungan atau di luar lingkungan sekolah, penggunaan minuman beralkohol dan melanggar jam malam yang diberikan orang tua, hingga pelanggaran hukum seperti perjudian, penggunaan narkotika, seks bebas dan juga track-trackan (kebut-kebutan).

3.2 Bentuk Aktivitas Komunitas WBA Sejak tahun 2003 komunitas ini sering melakukan aktivitas nongkrong di Warung Bumi Ayu. Anggotanya didominasi remaja laki-laki, namun tidak memungkiri adanya remaja perempuan dalam komunitas ini. Para remaja ini sama halnya dengan remaja umumnya mengaktualisasikan dirinya dengan cara berinteraksi dan membentuk suatu komunitas guna menjaga eksistensi dirinya di masyarakat atau kalangan remaja seusianya yaitu komunitas WBA (Warung Bumi Ayu). Remaja WBA melakukan aktivitas nongkrong di WBA disebabkan oleh munculnya oleh penolakan dari teman sebayanya, keluarga yang kurang harmonis dan ajakan dari teman-teman yang memiliki pemikiran yang sama. Bentuk aktivitas lainnya dilakukan di lingkungan WBA (internal) dan di luar lingkungan WBA (eksternal). Aktivitas internal remaja WBA di antaranya mengadakan pesta (party), aksi corat coret tembok (vandalism) dan main spirit (judi kartu). Aktivitas eksternal remaja WBA yaitu mengikuti lomba layang-layang, olahraga bersama, tour ke luar kota, track- trackan hingga clubbing atau ke tempat hiburan malam. Aktivitas yang mereka lakukan dalam wadah suatu komunitas memunculkan karakteristik tersendiri pada komunitasnya berupa penerimaan anggota baru, hubungan komunitasnya dengan komunitas lain, gaya hidup yang sama hingga penggunaan bahasa pergaulan.

3.3 Faktor Penyebab Gaya Hidup Hedonisme Efek dari era konsumsi atau konsumerisme telah dialami oleh berbagai lapisan masyarakat di dunia, tidak terkecuali remaja putri komunitas WBA. Sebagai remaja tentunya akan update terhadap apapun yang menjadi perkembangan trend dan juga IPTEK seperti style fashion, gadget, gaya rambut, bahasa pergaulan, tattoo dan masih banyak lagi gaya hidup lainnya. Inilah yang menyebabkan perilaku hedonisme muncul tanpa disadari oleh pelakunya. Budaya konsumerisme menjadi labelling dari berbagai pihak untuk mempertahankan citra mereka di masyarakat. Menurut Goffman (dalam Sutrisno, 2005:81) labelling sering diartikan sebagai cap sosial atas seorang individu sehingga terjadi semacam kontrol sosial atas diri seorang individu. Gaya hidup konsumerisme yang dilakukan oleh remaja putri WBA merupakan salah satu penopang labeling pada diri remaja tersebut. Mereka akan mempertahankan label tersebut demi cap sosial yang mereka dapatkan agar tetap eksis di kalangan komunitasnya.

 322 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Gaya hidup konsumerisme yang dilakoni oleh para remaja putri WBA tentunya tidak terlepas dari peniruan (imitation) budaya baru yang berkembang saat ini. Imitasi merupakan proses sosial atau tindakan seseorang untuk meniru orang lain, baik sikap, berpenampilan, gaya bicara, gaya hidup, bahkan apapun yang dimiliki oleh orang lain (Ahmadi, 2007:52). Peranan imitasi dalam gaya hidup hedonis ini tidak kecil, terbukti dari para remaja putri WBA yang mengikuti perkembangan trend mode yang berkembang di masyarakat melalui televisi, majalah fashion, jejaring sosial serta kecanggihan teknologi lainnya. Faktor penyebab hedonisme lainnya adalah sugesti (suggestion) yang secara internal ialah pengaruh psikis, baik yang datang dari dirinya sendiri maupun orang lain, yang pada umumnya diterima tanpa adanya daya kritik. Sugesti dapat dirumuskan sebagai suatu proses di mana seseorang individu menerima suatu cara penglihatan atau pedoman-pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu (Ahmadi, 2007:54). Rasa takut akan di-bully, diejek, gengsi yang tinggi dan dijauhi teman-temannya karena ketidakmampuan remaja putri WBA untuk mengikuti gaya hidup lingkungan atau tempatnya bergaul dapat dikategorikan ke dalam sebuah sugesti. Padahal kenyataannya tidak ada kata-kata yang jelas ataupun kritikan terhadap satu sama lain bahwa apabila memiliki gaya hidup yang berbeda ataupun berbeda kelas akan terjadi perpecahan ataupun adanya diskriminasi terhadap remaja putri tersebut. Apabila hal ini terjadi pada kalangan kelas sosial menengah ke bawah yang tentunya akan menimbulkan masalah baru di mana seseorang dengan kelas sosial rendah akan memaksakan kehendaknya dengan berbagai cara untuk menaikkan kelas sosialnya, dalam hal ini disebut dengan social mobility vertical (Soekanto, 2004:249).

3.4 Dampak Gaya Hidup Hedonisme Pada dasarnya perilaku hedonis berlanjut dan tidak bisa dihentikan ketika pelaku hedonis sudah tidak diterima di kalangan remaja putri biasa, sehingga pelaku hedonis sebisa mungkin mempertahankan gengsinya agar tidak dijauhi oleh teman sesama hedonisnya. Cara ini tentunya akan menimbulkan tekanan secara tidak langsung di dalam diri pelaku hedonis yang dituntut agar tetap eksis serta mengikuti gaya hidup yang mewah meski di luar kemampuan remaja tersebut. Kebutuhan ini mengarah pada munculnya hal-hal patologis seperti mencuri, ―menjual diri‖, hutang dan juga masuk ke dalam jaringan narkotika. Gaya hidup hedonisme juga berdampak pada perubahan identitas si pelaku, di mana mereka seringkali menyangkal standar orang tua mereka dan memilih nilai-nilai teman kelompok atau sekawan. Lebih mementingkan kebutuhan konsumerismenya dibandingkan dengan pendidikannya. Mengubah baju sekolah mereka menjadi lebih menarik seperti membuat baju sekolah lebih ketat dan rok pendek serta rambut tidak diikat dan diwarnai, dan mereka cenderung memiliki prestasi yang rendah di sekolahnya. Tidak jarang mereka bolos sekolah hingga abstain selama beberapa hari hanya untuk memenuhi hasrat ―bersenang-senangnya‖. Selain itu pelaku hedonis

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 323 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

akan lebih memuja uang dibandingkan dengan memuja keyakinannya (Tuhan), lebih memilih untuk pergi ke mall, rekreasi ataupun pacaran daripada ke tempat suci. Dampak lain dari gaya hidup hedonisme adalah terhadap keluarga serta masyarakat di lingkungan sekitarnya. Citra negatif dan rasa malu akan pengaduan dari warga sekitar akan menyudutkan orang tua mereka secara psikologi. Terlebih lagi pandangan masyarakat terhadap perempuan lebih menonjol dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan memiliki daya tarik yang sensitif. Penampilan seorang remaja putri yang menonjol rentan dipandang sensual oleh masyarakat terutama masyarakat di lingkungan yang awam dengan kemewahan. Tidak jarang remaja pelaku hedonis akan dikucilkan, menjadi buah bibir di lingkungannya dan memiliki citra ―nakal‖. Berdasarkan uraian pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa komunitas WBA terbentuk dari ajang nongkrong yang kemudian memiliki aktivitas bersama baik yang dilakukan di lingkungan WBA (internal) maupun di luar lingkungan WBA (eksternal). Hasil dari berinteraksi dalam wadah suatu komunitas serta perkembangan IPTEK memunculkan gaya hidup konsumerisme tinggi, adanya peniruan (imitation) dan juga sugesti (suggestion) rasa takut akan dikucilkan oleh komunitasnya karena ketidakmampuan mereka berpenampilan yang serupa sesuai dengan trend masa kini. Dampak perilaku hedonisme terhadap diri remaja pelaku hedonisme adalah tekanan psikologis, perubahan identitas dan perubahan ideologi. Perilaku hedonisme juga berdampak terhadap keluarga remaja hedonisme serta tanggapan masyarakat seperti pencemaran nama baik keluarga, perilaku yang tidak sesuai harapan keluarga serta citra negatif di masyarakat

3.5 Simpulan Gaya hidup merefleksikan perilaku individual, nilai-nilai, maupun pandangan seseorang tentang dunia. Dengan demikian gaya hidup juga dapat dijadikan acuan untuk melihat identitas diri seseorang maupun simbol- simbol kultural yang dipakainya dalam kehidupan sehari-hari. Terkait dengan perilaku para remaja putri dalam komunitas WBA ini mengarah pada gaya hidup hedonisme. Gaya hidup hedonisme menimbulkan pelanggaran status seperti membolos sekolah, melanggar tata tertib sekolah, berkelahi, merusak infra struktur (vandalism), merokok di lingkungan atau di luar lingkungan sekolah, penggunaan minuman beralkohol dan melanggar jam malam yang diberikan orang tua, hingga pelanggaran hukum seperti perjudian, penggunaan narkotika, seks bebas dan juga track-trackan (kebut- kebutan). Konsumerisme yang tidak terlepas dari peniruan (imitation) adalah salah satu faktor yang memunculkan gaya hidup hedonism dari komunitas WBA. Peranan imitasi dalam gaya hidup hedonis ini tidak kecil, terbukti dari para remaja putri WBA yang mengikuti perkembangan trend mode yang berkembang di masyarakat melalui televisi, majalah fashion, jejaring sosial serta kecanggihan teknologi lainnya. Faktor penyebab hedonisme

 324 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

lainnya adalah sugesti (suggestion) yang secara internal ialah pengaruh psikis, baik yang datang dari dirinya sendiri maupun orang lain, yang pada umumnya diterima tanpa adanya daya kritik. Gaya hidup hedonisme berdampak pada perubahan identitas si pelaku, di mana mereka seringkali menyangkal standar orang tua mereka dan memilih nilai-nilai teman kelompok atau sekawan. Lebih mementingkan kebutuhan konsumerismenya dibandingkan dengan pendidikannya. Dampak lain dari gaya hidup hedonisme adalah terhadap keluarga serta masyarakat di lingkungan sekitarnya. Citra negatif dan rasa malu akan pengaduan dari warga sekitar akan menyudutkan orang tua mereka secara sosial dan psikologis.

DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan, 2001. Seks Gender & kekuasaan. Yogyakarta: Tarawang. ______2006a. Studi Tubuh, Nalar dan Masyarakat: Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Tici Press. ______2008. ―Titik Balik Peradaban dan Kebangkitan Budaya Baru‖, Makalah disampaikan pada Sarasehan Pesta Kesenian Bali (PKB) XXX Denpasar, 2 Juli 2008. Adian, Donny Gabral, 2005. ―Gaya Hidup, Resistensi, dan Hasrat Menjadi‖, dalam Alfathri Adlin (ed.) Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas. Yogyakarta: Jalasutra.Halaman 23-34.. Agger, Ben, 2006. Teori Sosial Kritis: Penerapan dan Implikasinya, terjemahan Critical Social Theoritis: An Introduction. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Ahmadi, Abu. 2007. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta Althusser, Louis, 2008. Tentang Ideologi : Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies (Olsy Vinoli Arnof, penerjemah). Yogyakarta: Jalasutra. Aminuddin, 2002. ―Pendekatan Linguistik Kritis: Roger Flower‖, dalam Analisis Wacana dari Linguistik sampai Dekonstruksi ( Budiman Penyunting). Yogyakarta: Penerbit Kanal. Halaman 1-53. Antlov, H. 2002. Negara dalam Desa Patronase Kepemimpinan Lokal (Pujo Semadi, penerjemah). Yogyakarta : Lappera Pustaka Utama. Ardika, I Wayan, 2007. Pusaka Budaya & Pariwisata. Denpasar: Pustaka Larasan. Atmadja, Nengah Bawa, 2004. ―Pelabelan Seks dan Gender: Dekonstruksi Proses Menjadi Wanita melalui Pendidikan Keluarga pada Masyarakat Bali.‖, dalam Jurnal Kajian Budaya. Volume 1 No. 2 hal. 63-82. Atmadja, Nengah Bawa, dkk. 2005. Joged Bumbung Porno: Industri Seks Berbentuk Hiburan Seks melalui Rangsangan Mata (Studi Kasus di Buleleng Bali. Laporan Pelitian Dasar, Dikti. Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial IKIP Negeri Singaraja. Erikson, Erik H. 1989. Identitas dan Siklus Hidup Manusia, Bunga Rampai I, Jakarta : PT Gramedia. Giddens, Anthony.2003. Masyarakat Post-Tradisional, Yogyakarta : IRCiSoD.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 325 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Kartono, Kartini. 1986. Kenakalan Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Petras, James and Henry Veltmeyer. 2001. Globalization Unmasked. Imperialism in 21st Century, London : Zed Books. Picard, Michel. 2006. Bali : Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, Jakarta : KPG. Sarwono, Sarlito W. 2003. Psikologi Remaja. Jakarta: RajaGrafindo Persada Soedjatmiko, Haryanto. 2008. Saya Berbelanja, Maka Saya Ada: Ketika Konsumsi dan Design Menjadi Gaya Hidup Konsumerisme. Yogyakarta: Jalasutra Suryani, Luh Ketut. 2003. Perempuan Bali Kini, Denpasar : Penerbit BP.

 PEMILIHAN PEDOMAN PENULISAN AKSARA JAWA DI RUANG PUBLIK

Rahmat dan Tya Resta Fitriana Universitas Sebelas Maret [email protected]

ABSTRAK

Usaha menghidupkan kembali penulisan di ruang publik menggunakan Aksara Daerah menjadi salah satu prioritas dari usaha pelestarian aksara, bahasa, dan budaya tradisional. Demikian pula yang terjadi dengan usaha penulisan aksara Jawa di ruang publik seperti penulisan nama jalan, instansi, nama usaha, dan sebagainya. Usaha yang demikian luar biasa itu terkendala dengan landasan utama yaitu pedoman penulisannya. Hal ini terjadi karena setidaknya ada dua pedoman penulisan aksara Jawa yang masih dijadikan standar penulisan. Sehingga, menimbulkan kebingungan pada masyarakat. Adapun kedua pedoman itu adalah pedoman yang terbit pada tahun 1922 yang dikenal dengan istilah Pedoman Sriwedari dan pedoman yang terbit pada tahun 1995 yang sering disebut dengan istilah peraturan tiga gubernur. Untuk itu diperlukan kajian terhadap keduanya menggunakan metode perbandingan. Hasil dari penelitian ini akan menunjukkan potensi- potensi pedoman di antara keduanya. Harapannya, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi untuk penulisan menggunakan aksara Jawa.

Kata kunci: pedoman penulisan, aksara, aksara Jawa, ruang publik.

Pendahuluan Perkembangan zaman ternyata berpengaruh terhadap beberapa aspek kehidupan. Salah satunya adalah di bidang tulis-menulis. Peristiwa ini tentulah di alami oleh hampir semua suku bangsa. Salah satunya adalah Jawa. Masyarakat Jawa telah mengalami beberapa fase penggunaan aksara. Apabila didasarkan pada penulisan sastra, maka masyarakat Jawa telah mengenal tulisan sejak zaman kesastraan Jawa Kuna (abad ke-8) hingga Jawa Modern (abad ke-21). Fase pertama adalah kesastraan Jawa Kuna ditandai dengan penggunaan aksara Pallawa dan Jawa Kuna. Tulisan pertama berbahasa Jawa Kuna tertanggal 25 Maret 804 (Zoetmulder, 1985:3). Selanjutnya, ciri kesastraan Jawa Pertengahan yang ditandai dengan penggunaan aksara Jawa Kuna dan aksara Buda. Fase ketiga yaitu zaman kesastraan Jawa Baru ditandai dengan penggunaan aksara Jawa yang disebut dengan carakan, hanacaraka, atau aksara nglêgêna dan sezaman dengan itu dipakai pula aksara Arab untuk penulisan sastra yang bersifat Islami. Sementara itu, kesastraan Jawa Modern ditandai dengan penggunaan huruf

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 326 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 327 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Latin seperti yang secara global kita gunakan sekarang (termasuk untuk menulis dalam hal non sastra pun juga menggunakan huruf Latin). Ras (2014:4) menyebut masa akhir dari kesastraan Jawa Baru merupakan masa penetrasi Barat yang semakin mendalam. Selanjutnya, sehubungan dengan usaha-usaha pelestarian dan pengembangan bahasa, budaya, dan sastra daerah dewasa ini, maka aksara daerah termasuk di dalamnya yang juga harus dilestarikan. Hal itu dilakukan agar warisan intelektual nenek moyang tidak lenyap begitu saja. Pendapat itu kiranya selaras dengan pemikiran Haugen dan Kloss yang dikenal sebagai ahli yang menganggap sasaran utama pelestarian dan pengembangan bahasa adalah terhadap bahasa tulis. Ragam tulisan penting sekali dilestarikan dan dikembangkan dengan alasan bahwa ragam tulisanlah yang dapat menjembatani komunikasi antar generasi (Moeliono, 1985:85). Berdasarkan pandangan di atas, dalam rangka upaya pelestarian dan pengembangan bahasa maka penting kiranya untuk ―menghidupkan kembali‖ penulisan di ruang publik dengan menggunakan aksara Jawa di wilayah dengan penutur bahasa Jawa seperti Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Upaya tersebut sesungguhnya telah dihidupkan kembali sejak tahun 2005 dengan penulisan di papan nama instansi atau lembaga menggunakan aksara Jawa. Setelah itu, hampir di banyak titik ruang publik di tiga wilayah itu menggunakan aksara Jawa. Selain untuk penulisan nama instansi atau lembaga, aksara Jawa digunakan pula untuk penulisan nama jalan dan nama tempat usaha. Namun demikian, terdapat kendala terutama dalam penggunaan pedoman penulisan aksara Jawa. Hal itu terjadi karena setidaknya ada dua pedoman penulisan aksara Jawa yang dijadikan acuan. Sehingga, permasalahan dalam artikel ini dapat dijabarkan sebagai berikut. Pertama, apakah kedua pedoman penulisan aksara Jawa yang masih dikenali oleh masyarakat Jawa itu? Kedua, apakah isi yang terkandung di masing-masing pedoman? Ketiga, potensi apa yang belum bisa dipenuhi oleh masing-masing pedoman dalam kaitannya dengan penulisan di ruang publik saat ini?

Metodologi Metode disebut juga dengan langkah-langkah atau cara kerja. Sehingga, dapat dikemukakan di sini bahwa metode adalah rangkaian kerja untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan yang muncul. Adapun rangkaian kerja yang dilakukan yaitu perbandingan. Perbandingan di sini adalah perbandingan dari segi isi buku. Sehingga, nantinya akan tampak jelas persamaan dan perbedaannya. Selain itu, akan tampak pula bagian mana yang belum bisa dipenuhi oleh kedua pedoman tersebut dalam rangka penulisan di ruang publik.

Pembahasan Pedoman pertama yang akan di bahas adalah Pedoman Sriwedari. Pedoman ini disahkan pada tahun 1922. Adapun isinya antara lain tentang: 1 Tembung Lingga 2 Kata serapan

 328 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

3 Tembung Andhahan 4 Tembung Tanduk 5 Dwilingga 6 Camboran 7 Tembung ing 8 Gembung utawa pasangan wa

Pedoman kedua yang akan dibahas di sini yaitu Pedoman Penulisan Aksara Jawa yang terbit pertama kali pada tahun 1995. Buku pedoman ini dikenal juga dengan istilah peraturan tiga gubernur karena pada bagian awal buku disebutkan bahwa buku diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Nusatama yang bekerjasama dengan Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Adapun isi dari buku ini terdiri dari:

Bab I Pemakaian Aksara: Carakan, Pasangan, Aksara Murda, Aksara Suara, serta Aksara Rekaan dan pasangannya. Bab II Pemakaian Sandhangan: Sandhangan Swara, Sandhangan Wignyan, Sandhangan Layar, Sandhangan Cecak, dan Sandhangan Pangkon. Bab III Penanda Gugus Konsonan: Cakra, Keret, Pengkal, Panjingan Wa, dan Panjingan La. Bab IV Penulisan Kata: Kata Dasar, Kata Turunan, Singkatan dan Akronim, serta Angka dan Lambang Bilangan Bab V Pemakaian Tanda Baca: Pada Adeg-Adeg, Pada Guru dan Pada Pancak, Pada Lingsa, Pada Lungsi, Pada Pangkat, Pada Gedhe atau Pada Ageng, serta Purwapada, Madyapada, dan Wasanapada. Bab VI Penulisan Unsur Serapan.

Berdasarkan isi dari masing-masing pedoman, maka dapat dilihat persamaan dan perbedaannya. Adapun persamaannya adalah terdapat cara penulisan kata dasar, kata turunan, kata rangkap atau reduplikasi, dan kata serapan dari bahasa asing. Sementara itu, perbedaannya di antara keduanya yaitu Pedoman Sriwedari mempunyai isi yang sederhana dan fokus pada penulisan kata dasar, kata turunan, dan serapan sedangkan Pedoman Tiga Gubernur memiliki isi yang lebih banyak dan lebih detail karena terdapat cara penulisan aksara Murda, Suara, dan Rekaan. Selain itu, pada Pedoman Tiga Gubernur terdapat contoh-contoh penulisan kalimat dengan beberapa penggunaan tanda baca dan angka/bilangan, cara penulisan singkatan dan akronim. Berdasarkan pengamatan terhadap kedua pedoman penulisan itu, buku Pedoman Penulisan Aksara Jawa (1995) memiliki potensi yang jauh lebih lengkap dibandingkan dengan Pedoman Sriwedari (1922) terutama sehubungan dengan penulisan di ruang publik. Apabila akan menulis di ruang publik ternyata dapat diatasi dengan penggunaan Pedoman Penulisan Aksara Jawa (1995). Misalnya untuk menuliskan alamat, penomoran, dan serapan.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 329 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Simpulan Penulisan aksara Jawa di ruang publik di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sejauh pengamatan penulis ternyata banyak ditemui kesalahan. Hal ini terjadi karena kemungkinan besar mereka yang menulis tidak membaca secara detail dan lengkap buku pedoman itu. hanya berdasarkan selera pribadi ataupun ikut-ikutan. Kesalahan penulisan juga diakibatkan oleh tidak terlibatnya para pakar bahasa, sastra, dan budaya Jawa terutama ahli linguistik dan filologi terutama dalam kaitannya dengan pemvalidasian penulisan. Oleh sebab itu, kami merekomendasikan bahwa untuk setiap penulisan di ruang publik terutama untuk kalangan instansi maupun lembaga wajib untuk mendapatkan validasi dari ahli atau pakar. Sementara itu, untuk penulisan yang berkaitan dengan tempat usaha paling tidak didiskusikan terlebih dahulu dengan ahli atau pakar penulisan menggunakan aksara Jawa. Sehingga, upaya pelestarian dan pengembangan khususnya aksara Jawa dapat terlaksana dengan betul pada tingkatan penulisan dan juga generasi selanjutnya tidak akan memperoleh informasi yang keliru tentang penulisan aksara Jawa.

Daftar Pustaka Darusuprapta (Pengarah). 2003. Pedoman Penulisan Aksara Jawa. Cetakan Ketiga 2003. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. Moeliono, Anton. M. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Ancangan Alternatif di Dalam Perencanaan Bahasa). jakarta: Djambatan. Ras, J.J. 2014. Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa. Diterjemahkan oleh Achadiati Ikram. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Tanpa Nama. 1922. Pedoman Sriwedari. Zoetmulder. 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Cetakan kedua. Jakarta: Djambatan.

 NILAI PENDIDIKAN DALAM ANTOLOGI PUISI SENDJA DJIWA PAK BUDI

Sri Jumadiah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

ABSTRAK

Sendja Djiwa Pak Budi (2019) adalah sebuah Antologi Puisi tulisan berbagai penyair dan simpatisan tanah air, untuk mengenang almarhum Achmad Budi Bahyanto. Kisah tragis Achmad Budi Bahyanto (selanjutnya disebut singkat: Guru Budi) menarik simpati banyak pihak. Mengapa seorang murid MH tega 'menghajar' gurunya sendiri? Pembelaan terhadap nasib Pak Budi (nasib guru) datang dari berbagai pihak. Salah satunya dari Sanggar Generasi Medan yang menggagas lahirnya Antologi Puisi Sendja Djiwa Pak Budi (SDPB) yang terdiri dari 185 puisi kiriman 118 penyair dan pemerhati nasib pendidikan.

Makalah ini akan mengkaji tiga buah puisi yang ditulis Maria Matildis Banda (MMB) yang diterbitkan dalam SDPB. Puisi MMB yang dipilih untuk dibahas dalam makalah ini karena isinya menonjolkan penyesalan murid yang telah menyebabkan Pak Budi meninggal. Makalah ini bertujuan untuk menjawab masalah penting tentang nilai pendidikan yang tertuang dalam Antologi Sendja Djiwa Pak Budi (selanjutnya disingkat SDPB). Nilai pendidikan tidak dipandang dari sisi guru tetapi dari sisi murid yang melakukan tindakan yang salah.

Kajian singkat ini menjelaskan dua nilai utama yaitu nilai religius dan nilai tanggung jawab yang diungkapkan murid yang terpenjara. Dia mohon maaf dan menyampaikan juga kerinduan untuk pergi sekolah, meskipun nyatanya dirinya terpenjara. Pendidikan nilai penting artinya bagi pembentukkan karakter murid dan selanjutnya sebagai pembentuk karakter bangsa.

Kata Kunci: Sendja Djiwa Pak Budi, Nilai Religius, dan Nilai Pendidikan.

I. Pendahuluan

Sendja Djiwa Pak Budi (2019) adalah sebuah Antologi Puisi tulisan berbagai penyair dan simpatisan tanah air, untuk mengenang almarhum Achmad Budi Bahyanto. Almarhum adalah seorang guru seni rupa SMAN I Torjun, Sampang Madura Jawa Timur, yang meninggal karena dianiaya muridnya sendiri (San

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 330 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 331 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Suyadi, Ed. 2018:3). Beliau meninggal di PRSUD Dr. Soetomo Surabaya setelah dirujuk dari Puskesmas Jrengik Sampang. Kematian guru seni rupa ini menggemparkan tanah air dan berbagai protes dan penyesalan terhadap perlakuan murid yang tidak menghargai gurunya. Hal ini mencoreng dunia pendidikan di tanah air, ketika murid bertindak sebagai penjahat bahkan pembunuh gurunya sendiri. Keprihatinan tentang tingkah laku murid sebenarnya sudah pernah diungkapkan oleh Achmad Budi Bahyanto, jauh sebelum peristiwa tragis yang menyebabkan kematiannya sendiri, sebagaimana ditulis sebagai berikut.

Bahkan kalian tega dan tidak enggan - menyaksikan menyiksa gurumu wahai murid - air mata mana yang akan kalian suguhkan di pangkuannya? Penyesalan macam apa yang akan kalian haturkan di hadapannya? Lantas kemana arahmu melangkah tanpanya? Lantas siapa penuntunmu jika bukan dirinya? Doamu padanya tidak ada ampunannya - tanpa ampunannya pikirkan jika hatimu masih ada! Perhatikan jika pikiranmu belum binasa! (San, Suyadi, Ed. 2018:6-7).

Kisah tragis Achmad Budi Bahyanto (selanjutnya disebut singkat: Guru Budi) menarik simpati banyak pihak. Mengapa seorang murid MH tega 'menghajar' Pak Budi hanya karena Pak Budi mencoret pipi MH dengan cat lukis? Setelah sebelumnya MH ditegur Pak Budi karena MH membuat gangguan di kelas? Pembelaan terhadap nasib Pak Budi (nasib guru) datang dari berbagai pihak. Salah satunya dari Sanggar Generasi Medan yang menggagas lahirnya Antologi Puisi Sendja Djiwa Pak Budi yang terdiri dari 185 puisi kiriman 118 penyair dan pemerhati nasib pendidikan. Bagaimana nilai pendidikan tersebut dijawab melalui sejumlah puisi? Puisi yang dipilih adalah puisi-puisi yang ditulis Maria Matildis Banda (MMB) salah satu sastrawan yang puisinya diterbitkan dalam SDPB. Puisi MMB yang dipilih untuk dibahas dalam makalah ini karena isinya menonjolkan penyesalan murid yang telah menyebabkan Pak Budi meninggal. Makalah ini bertujuan untuk menjawab masalah penting tentang nilai pendidikan yang tertuang dalam Antologi Sendja Djiwa Pak Budi (selanjutnya disingkat SDPB). Nilai pendidikan tidak dipandang dari sisi guru tetapi dari sisi murid yang melakukan tindakan yang salah.

II. Metode

Metode yang digunakan dalam kajian singkat ini adalah metode kepustakaan dan metode wawancara. Metode kepustakaan digunakan untuk mengkaji data primer berupa Antologi Puisi SDPB khususnya tiga buah puisi yang ditulis MMB. Metode wawancara digunakan untuk melengkapi kajian. Teori yang digunakan dalam kajian ini adalah teori nilai, khususnya nilai pendidikan. Ketiga puisi yang merupakan data primer adalah: Dari Balik Terali, Surat Untuk Pak Guru, dan Pukul Tujuh Pagi (Banda, 2018:246-248). Sedangkan data sekunder diperoleh melalui wawancara dengan MMB terutama berkaitan dengan

 332 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 pandangannya tentang nilai pendidikan yang diungkapkan melalui puisi-puisi SDPB.

III. Pembahasan

Nilai pendidikan yang dibahas secara khusus pada kesempatan ini berdasarkan tiga buah puisi yang ditulis Maria Matildis Banda Cahyono dalam Sendja Djiwa Pak Budi (2018). MMB adalah Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Denpasar Bali. Penulis novel: Pada Taman Bahagia (Grasindo Jakarta: 2000), Liontin Sakura Patah (Grasindo Jakarta: 2000), Bugenvil di Tengah Karang (Grasindo Jakarta: 2000), Rabies (Care Internasional, 2003), Surat-Surat dari Dili (Nusa Indah Ende: 2005), Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga (Kanisius Yogyakarta: 2015, 2016, 2017), Doben (Lamalera, Yogyakarta: 2016), dan Suara Samudra (Kanisius, Yogyakarta: 2017). Selain novelis, beliau juga menulis puisi berdasarkan kisah tragis yang menimpa guru Budi, 2017. Sebelumnya MMB juga menulis puisi yang diadaptasi dari novel dengan judul Pada Sebuah Kapal karya NH. Dini. Novel ini berkisah tentang penari dan pelaut dalam dua sudut pandang yaitu sudut pandang penari dan sudut pandang pelaut. Penari mengungkapkan segenap isi hatinya kepada pelaut. Pelaut pun demikian, mengekspresikan segenap kedalaman perasaannya terhadap penari dari sudut pandang dirinya sebagai laki-laki pelaut. Hubungan pelaut dan penari ini terjadi pada sebuah kapal (Jumadiah, 2018). Meskipun berbeda isinya, puisi yang ditulis MMB ini sama-sama menggarisbawahi nilai pendidikan.

Dalam pendidikan karakter bangsa, terdapat 18 nilai pendidikan di antaranya: religius, jujur, toleransi, displin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahun, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikaif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab (Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa oleh Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan nasional, 2010; rumahinspirasi.com). Nilai pendidikan yang menonjol dalam ketiga puisi MMB dalam SDPB (2018) adalah sebagai berikut.

1. Nilai Religius

Nilai religius adalah salah satu nilai yang disebutkan di atas. Nilai ini menggarisbawahi pentingnya sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya (rumahinspirasi.com). Perhatikan kutipan berikut ini.

Dari balik terali kusampaikan seuntai doa Yang lahir dari gemuruh suara

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 333 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Yang mendesak relung hati Yang menyelinap ke sudut-sudut nurani Yang kini membara dalam kebisuan kata (Dari Balik Terali, 2018).

Penggalan tersebut mengungkapkan dari relung hatinya doadari Balik Terali. Penggalan ini menjelaskan permohoan maaf yang mendalam dari tokoh aku yang ingin mendapatkan pengampunan dari tokoh Bapak (guru), sekaligus ungkapan penyesalannya secara pribadi.

Bapak... tanganmukah yang terulur dari balik terali Genggamlah aku dan jangan lepas lagi mengalirkan cahaya Yang ingin kuletakkan pada bantal cerita Di sini dingin sekali.... (Dari Balik Terali, 2018).

Bapak... Kutulis surat ini dengan pena yang kau berikan "Terima kasih untuk sapu tangan... Yang engkau berikan untuk menghentikan Air mata sesal yang tak pernah terhapuskan." (Surat Untuk Pak Guru, 2018).

2. Nilai Tanggung Jawab

Nilai tanggung jawab diungkapkan secara lengkap melalui puisi "Surat Untuk Pak Guru". Keseluruhan puisi ini menggarisbawahi bagaimana si murid memohon maaf kepada gurunya. Jika dihubungkan dengan tragedi yang menimpa Guru Budi yang tewas mengenaskan akibat pukulan dari muridnya, puisi ini justru menempatkan murid yang sadar bahwa apa yang telah dilakukannya telah mengakhiri hak hidup orang lain, mencoreng dunia pendidikan, bahkan menghancurkan masa depannya sendiri. Perhatikan kutipan lengkap "Surat Untuk Pak Guru" berikut ini.

Surat untuk Pak Guru

Kutulis surat ini untukmu Semoga sampai padamu tepat di pintu surga Karena kutahu engkau akan meminta pada-Nya Agar pintu tetap terbuka untukku

Bacalah Pak, sebelum engkau masuk "Aku adalah lelaki muda yang... mematikan bintang,

 334 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

mematahkan bulan, dan menendang matahari Untuk kujadikan mainan perang di layar gatgetku Apakah benar anakmu telah mengantarmu menjemput ajal!"

Bacalah Pak, sebelum engkau masuk "Aku adalah lelaki muda yang... Mematahkan pedang ayah Melipat pisau dapur ibu Dan memasukkannya ke dalam saku seragamku Untuk kujadikan bekal sepanjang jalan menuju Mengapa tanganku sanggup membungkam suaramu Mengapa tanganku sanggup menghentikan denyut jantungmu

Bapak... Kutulis surat ini dengan pena yang kau berikan "Terima kasih untuk sapu tangan... Yang engkau berikan untuk menghentikan Air mata sesal yang tak pernah terhapuskan." (Maria Matildis Banda, 2018).

Nilai tanggung jawab tersebut digarisbawahi juga melalui puisi ketiga MMB berjudul "Pukul Tujuh Pagi" dalam Antologi Puisi SDPB. Ungkapan kerinduan tokoh yang terpenjara karena mengakhiri hidup gurunya.

Pukul Tujuh Pagi

Bapak... Saat aku membuka mata Ada secercah sinar dari kisi-kisi jendela Kugenggam erat dan kubawa dalam dada Pukul tujuh pagi ini Aku tetap di sini Melewati siang menunggu malam menjemput pagi dan secercah sinar dari kisi-kisi jendela Pukul tujuh pagi ini Aku tetap di sini Bapak... Aku rindu padamu (Maria Matildis Banda, 2018).

Si "Aku" tokoh menjelaskan kerinduannya untuk pergi ke sekolah pada pukul tujuh pagi. Ia ingin menunjukkan tanggung jawabnya sebagai murid kepada gurunya bahwa dirinya adalah murid yang baik yang rindu sekolah. Meskipun

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 335 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

kenyataannya dia tetap berada di balik terali besi, penjara, akibat perbuatannya sendiri. Nilai-nilai pendidikan yang diungkapkan melalui puisi dan dijelaskan di atas menunjukkan pandangan yang berbeda tentang kasus yang menimpa Guru Budi. Apa yang terjadi dengan nasib dan masa depan murid yang terpenjara akibat ulahnya melakukan kekerasan yang menyebabkan kematian gurunya sendiri? Apa yang salah dari dunia pendidikan dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat sehingga terjadi kasus tersebut? Nilai religius dan nilai tanggung jawab adalah dua hal serius yang perlu ditanamkan untuk membentuk karaktek anak-anak dan karakter bangsa.

IV. Simpulan Demikianlah penjelasan tentang "Nilai Pendidikan dalam Nilai Pendidikan dalam Antologi Puisi Sendja Djiwa Pak Budi". Beberapa catatan penting sebagai kesimpulan dari kajian singkat ini adalah sebagai berikut. 1. Puisi "Dari Balik Terali", "Surat Untuk Pak Guru", dan "Pukul Tujuh Pagi" karya MMB yang termuat dalam Antologi Puisi SDPB (2018) mengungkapkan nilai-nilai pendidikan khususnya nilai religius dan nilai tanggung jawab, dua dari delapan belas nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa. 2. Ketiga puisi tersebut mengungkapkan pentingnya nilai reigius dan nilai tanggung jawab dari sudut pandang murid. Murid yang memohon pengampunan dari gurunya, murid yang menyesali kesalahannya, murid yang rindu pergi ke sekolah meskipun secara fisik berada di balik terali (penjara). 3. Puisi-puisi ini dan segenap puisi dalam SDPB adalah salah satu ungkapan pentingnya pendidikan nilai sebagai pembentukan karakter bangsa.

Daftar Pustaka Banda, Maria Matildis. 2014. "Pada Sebuah Kapal" dalam Ratapan Laut Sawu Antologi Puisi Penyair NTT. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Banda, Maria Matildis. 2018. "Dari Balik Terali", "Surat Untuk Pak Guru", dan "Pukul Tujuh Pagi", dalam Antologi Puisi Senja Djiwa Pak Budi (San Suyadi, Ed). Medan: Gerhana Media Kreasi.

Jumadiah Sri, 2018. "Alih Wahana Novel Pada Sebuah Kapal Karya NH. Dini ke dalam Puisi "Pada Sebuah Kapal" karya Maria Matildis Banda" dalam Prosiding Seminar Nasional Sastra dan Budaya. Denpasar: FIB Unud.

San, Suyadi. 2018. Sendja Djiwa Pak Budi. Antologi Puisi Mengenang Almarhum Achmad Budi Cahyanto. Medan: Gerhana Media Kreasi.

Yapi Taum, Joseph (ed). 2014. Ratapan laut Sawu Antologi Puisi Penyair NTT. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

 336 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa oleh Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan nasional, 2010; rumahinspirasi.com

 KEARIFAN LOKAL UPACARA RITUAL ERPANGIR KU LAUSEBAGAI PROYEKSI JATI DIRI MASYARAKAT KARO

Vanesia Amelia Sebayang dan Asmyta Surbakti Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara [email protected]

ABSTRAK

Upacara ritual erpangir ku laumerupakan ritual mandi di sumber air mengalir yangberlandas pada ajaran agama Hindu Pemenayakni relasi tritunggal dalam sistem kosmos. Upacara ritual ini selain sebagai media untuk pembersihan jiwa dan raga juga dimaknai sebagai bentuk komunikasi dengan bégu jabu (leluhur). Upacara ini mengajarkan masyarakat karo memiliki sifat-sifat luhur yang kemudian membentuk konsep rakut sitelu dan tutur siwaluh.Akan tetapi pada era kolonialisme Belanda, upacara ritual ini dilarang dengan dalih agama Hindu Pemena merupakan bagian dari aliran ilmu hitam. Sejak saat itu, seluruh praktik upacara yang berhubungan dengan roh leluhur dihentikan. Hasil dari era kolonialisme tersebut berdampak pada kehidupan masyarakat Karo kini yang semakin hari semakin longgar dan hidup terkotak-kotak.

Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah metode penelitian kualitatif yang didukung oleh data kuantitatif. Data diperoleh melalui proses dokumentasi, observasi, wawancara, dan daring. Data kemudian dianalisis menggunakan teori dekonstruksi dan poskolonialisme.

Artikel ini menyimpulkan bahwa wacana kolonial yang disematkan pada upacara ritual erpangir ku lau harus dibongkar dan dimaknai ulang oleh masyarakat Karo itu sendiri. Dengan diresmikannya upacara ritual ini sebagai warisan budaya tak benda pada tahun 2016, masyarakat Karo harus mendukung pemerintah yang berupaya mengadakan kembali upacara ritual erpangir ku lau. Dengan pelaksanaan kembali upacara ritual ini, diharapkan generasi muda Karo dapat menemukan kembali jati diriserta menguatkan ideologi mereka dalam berbangsa.

Kata Kunci: upacara ritual erpangir ku lau, kolonialisme, postkolonialisme, dan jati diri.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 337 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 338 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Pendahuluan Kearifan lokal marak dibicarakan dalam kehidupan manusia dewasa ini. Bahkan isu kearifan lokal merupakan salah satu isu penting dalam ilmu-ilmu sosial kontemporer. Masyarakat abad ke-21 sekarang ini lazim disebut dengan masyarakat posmodern. Salah satu ciri masyarakat posmodern adalah lebih mempercayai penjelasan konteks lokal seperti narasi-narasi kecil kearifan lokal warisan luhur para leluhur. Masyarakat posmodern tidak lagi percaya pada model penjelasan dan pemahaman universal berdasarkan cerita agung (grand narrative) seperti penjelasan François Lyotard. Menurut posmodernisme ketercerabutan manusia dari nilai-nilai kearifan lokal membuat manusia mengalami keterpecahan jiwa (Lubis, 2004). Erpangir ku lau merupakan salah satu upacara ritualleluhur pada masyarakat Karo. Upacara ini dilaksanakan dengan berlandas kepada ajaran agama Hindu Pemena yang menganggap bahwa sistem dunia ini merupakan relasi harmonis antara manusia dengan Dibata (sang Pencipta), manusia dengan alam semesta, dan manusia dengan sesama manusia (relasi tritunggal). Upacara ritual ini dilaksanakan dengan cara mandi di sumber air mengalir dengan media guru sibaso(dukun perempuan) dan gendang(musik tradisional). Pelaksanaannya dilengkapi dengan kehadiransangkep nggeluh (keluarga inti) (Sebayang, 2013: 118-119).Setelah membersihkan diri, kita diperbolehkan berkomunikasi dengan bégu jabu (para leluhur) untuk senantiasa menyertai dan menjauhkan keturunannya dari gangguan sihir, membantu pertahanan diri saat berada di medan perang, dan segala jenis marabahaya lainnya. Upacara ini mengajarkan masyarakat Karo untuk selalu rendah hati, menghormati yang lebih tua dan membimbing yang lebih muda, serta menghargai alam semesta dalam kesehariannya. Sifat luhur tersebut yang kemudian membentuk konsep rakut sitelu(tiga posisi kekeluargaan) dan tutur siwaluh(delapan panggilan kekeluargaan) dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo. Namun, selama masa kolonialisme Belanda di Tanah Karo, masyarakat Karo penganut agama Hindu Pemena mendapat intervensi. Segala bentuk upacara ritual yang berkaitan dengan leluhur dilarang untuk dilaksanakan (Putro, 1979). Dalam melaksanakan politik devide et impera (pecah belah) dan politik 3G-nya (Gold, Glory, Gospel), Belanda melontarkan wacana yang menyiratkan agama Hindu Pemenamerupakan aliran ilmu hitam penyembah setan dan iblis. Belanda juga mengganti konsep Dibata dengan konotasi negatif. Masyarakat Karo kemudian meninggalkan Hindu Pemena dan hidup tanpa memerdulikan leluhur, terkotak-kotak dengan egoisme masing-masing. Penilaian sepihak kolonialisme Belanda tersebut dirasakan masih melekat erat hingga era kemerdekaan Indonesia, sehingga tanpa disadari berdampak langsung pada perubahan realitas sosial-budaya di masyarakat. Masyarakat Karo terpecah menjadi Karo Jahe, Karo Gugung, dan lainnya. Setiap kelompok masyarakat tersebut menganggap kelompoknya sebagai kelompok superior dan yang lainnya adalah kelompok inferior serta cenderung saling tidak menghargai. Oleh karena itu, sesuai semangat postkolonialisme penelitian ini dianggap penting agar masyarakat Karo mampu melepaskan diri dari stigmathe otherness yang disematkan oleh Belanda kepadanya. Masyarakat Karo harus kembali memaknai

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 339 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

dirinya lewat pemahamannya sendiri, terlebih lagi upacara ritual erpangir ku laukini telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda nasional oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan pada tanggal 27 Oktober 2016 (https://kebudayaan.kemdikbud.go.id). Kini, upacara ritual erpangir ku lau dijadikan sebagai salah satu atraksi wisata budaya di Kabupaten Karo pendukung Geopark Kaldera Toba dan dilaksanakan sekali dalam setahun. Pelaksanaan kembali upacara ritual tersebut diharapkan membuka jalan bagi masyarakat Karo dalam memaknai kembali jati diri warisan leluhurnya sendiri lepas dari stigma negatif pihak luar yang pernah diberikan kepadanya. Upacara ritual erpangir ku lau diharapkan membentuk kembali masyarakat Karo sebagai pribadi yang menghormati sang Pencipta dan menghargai alam semesta serta sesamanya. Penguatan jati diri pribadi masyarakat Karo diharapkan akan berdampak pada penguatan etnisitas serta penguatan bangsa yang sekaligus merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Metodologi Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif karena menggunakan teori sebagai pijakan. Format desain deskriptif kualitatif menganut paham fenomenologis dan postpositivisme.Penelitian ini juga bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu (Bungin, 2007: 68). Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan beberapa tahap diantaranya observasi, kepustakaan, dan penelusuran dokumen.

Pembahasan Upacara Ritual Erpangir Ku Lau pada Masyarakat Karo Upacara ritual erpangir ku lau berasal dari kata erpangir (mandi sambil mencuci rambut) dan ku lau (di sungai besar atau sumber air mengalir). Upacara ritual ini dapat juga dimaknai sebagai ritus pembersihan diri seorang manusia (ruwatan) dan mendekatkan diri dengan Tuhan, alam semesta, dan sesama manusia. Dukun perempuan(guru sibaso) dan para pemusik tradisional Karo(si erjabaten)menjadi media utama yang membantu pelaksanaan upacara ini (Brahmaputro, 1979: 89-90). Upacara ritual erpangir ku lau dilaksanakan pada hari-13 (cukra dudu) dan hari ke-14 (belah purnama raya) dalam penanggalan tradisional Karo. Dalam melaksanakan upacara ini terdapat perlengkapan mandi yang disebut pulungen pangir. Dahulu pulungen pangir terdiri dari 13 jenis bahan, namun seiring waktu bahan tersebut berkurang. Berikut beberapa bahan perlengkapan yang harus disediakan saat melaksanakan upacara erpangir ku lau yaitu: (1) Aneka macam jeruk (rimo mukur, rimo simalem-malem, rimo bègu, rimo cakar harimau); (2) Jèra; (3) Minyak kelapa); (4) Bunga berwarna putih (melati atau sedap malam).Selanjutnya, perlengkapan pendukung dalam pembuatan pangir antara lain adalah: mangkok meciho (mangkuk putih) untuk tempat menampung ramuanpangir, pisau biasa untuk memotong berbagai macam

 340 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 jeruk, piso raja (pisau ukir khusus) untuk memotong jeruk purut dan khusus dilakukan oleh guru, ember/baskom untuk menampung pangir dalam skala banyak, uis dagangen (kain polos berwarna putih) sebagai alas mangkuk pangir saat akan dimantrai, kemenyan untuk mendukung selama proses guru memantrai pangir, kampuh (sarung) sebagai basahan saat pasien akan melakukan proses erpangir, dan lainnya. Keseluruhan bahan dan perlengkapan dalam pembuatan pangir ini akan disediakan oleh pasien beserta keluarganya sesaat sebelum upacara dimulai (Sebayang, 2013). Pada umumnya, ritus pembersihan diri dilaksanakan dengan maksud tertentu, seperti (1) sebagai ucapan terima kasih kepada Tuhan (Dibata); (2) menghindari ancaman malapetaka, (3) menyembuhkan pengaruh gangguan sihir,dan (4) untuk memperoleh restu dan bantuan dari leluhur sebelum pergi ke medan perang (Prinst, 2004). Dalam pelaksanaannya, sangkep nggeluh (keluarga inti) akan saling membantu dan mendukung agar leluhur senantiasa hadir memberi berkatnya dan upacara ritual akan berjalan dengan lancar. Kepercayaan lama masyarakat Karo, sama halnya dengan kepercayaan bangsa Timur pada umumnya yakni selalu berhubungan ataupun berkaitan dengan kekuatan-kekuatan gaib yang digunakan untuk kepentingan diri sendiri atau kepentingan masyarakat lewat bermacam ritus dan mantera. Masyarakat Karo percaya bahwa tidak semua pemahaman harus berdasarkan akal. Alisyahbana (1982: 8), menjelaskan bahwa kepercayaan kepada roh-roh dan energi gaib meresapi seluruh kehidupan masyarakat Indonesia. Pikiran dan perbuatan kita tertuju kepada bagaimana mendapatkan bantuan dari roh baik dan bagaimana pula cara menghalangi pengaruh roh jahat di sekitar manusia.

Kearifan Lokal Upacara Erpangir Ku Lau sebagai Proyeksi Jati Diri Masyarakat Karo Pada tanggal 27 Oktober 2016, upacara ritual erpangir ku lauditetapkan sebagai salah satu warisan budaya tak benda nasional oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan(https://kebudayaan.kemdikbud.go.id). Sebagai bentuk tindak lanjut dari penetapan tersebut, pemerintah daerah memfasilitasi pelaksanakan upacara ritual erpangir ku lauini menjadisalah satu atraksi wisata budaya di Kabupeten Karo yang dilaksanakan sekali dalam setahun dengan bantuan sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Upacara ritual erpangir ku lau berlandas pada ajaran agama Hindu Pemena yakni relasi tritunggal dalam sistem kosmos (Tuhan, Manusia, dan Alam Semesta). Upacara ritual ini selain sebagai media untuk pembersihan jiwa dan raga juga dimaknai sebagai bentuk komunikasi dengan bégu jabu (leluhur). Upacara ritual ini mengajarkan masyarakat karo memiliki sifat luhur mehamat (selalu bersifat sopan), metami (bersifat membujuk), melias (penuh kasih sayang), perkuah(murah hati), dan perkeleng(penyayang). Sifat-sifat tersebutlah yang kemudian membentuk konsep rakut sitelu(tiga posisi kekerabatan) dan tutur siwaluh(delapan jenis panggilan kekerabatan) dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo. Akan tetapi selama masa kolonialisme Belanda di Tanah Karo, pelaksanaan segala bentuk upacara ritual termasuk erpangir ku lau dilarang

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 341 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

dengan dalih ajaran agama Hindu Pemena merupakan bagian dari aliran ilmu hitam. Sejak saat itu, seluruh praktik upacara yang berhubungan dengan roh leluhur dihentikan. Hasil dari era kolonialisme tersebut akhirnya berdampak pada kehidupan masyarakat Karo yang semakin hari semakin longgar, jauh dari berkat leluhur, kurang menghargai alam semesta, dan hidup terpecah-pecah. Menurut Berger dan Luckmann (dalam Sudikan, 2006: 7) konstruksi realitas sosial tidaklah berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan yang menghilangkan kepribadian dalam hal ini keperibadian masyarakat Karo. Penilaian sepihak kolonialisme tersebut masih melekat erat hingga era kemerdekaan Indonesia, sehingga tanpa disadari berdampak langsung pada perubahan realitas sosial budaya di masyarakat. Kepribadian luhur masyarakat Karoyang mehamat, metami, melias, perkuah, dan perkeleng akhirnya hilang dan digantikan dengan egoisme. Masing-masing kelompok masyarakat menganggap kelompoknya sebagai kelompok superior dan lainnya kelompok inferior dan cenderung saling tidak menghargai.Bahkan dalam kehidupan sehari-hari saat ini ditemui sebuah sifat atau penyakit sosial yang berkonotasi negatif yaitu anceng (senang melihat orang lain susah, susah melihat orang lain senang), cian (iri ati/dengki), dan cekurak(senang membicarakan keburukan orang lain) atau dikenal dengan istilah ―acc‖. Menurut Derrida (dalam Bungin 2001: 7) gagasan konstruksi sosial tersebut semestinya dikoreksi oleh gagasan dekonstruksi yang lahir guna melakukan interpretasi terhadap teks, wacana, dan pengetahuan masyarakat. Melalui dekonstruksi, Derrida membantu kita untuk membaca kembali dan menafsirkan ulang seluruh puncak pemikiran filosofis Barat, sehingga menghasilkan teks-teks baru. Konstruksi sosialhasil kolonialisme yang dibentuk oleh Belanda terbukti mengacaukan sistem kosmos dan kehidupan kultural masyarakat Karo.Masyarakat Karo tidak lagi terhubung secara batiniah dengan restu (pasu-pasu) leluhur, tidak menghargai sesama, hidup secara berkompok, dan tidak lagi menghormati alam semesta. Oleh karena itu, Postkolonialimeyang merupakan salah satu varian kontemporer dari Teori Kritis lahir guna mengkaji tentang dampak yang ditimbulkan oleh praktik kolonialisme. Adapun praktik kolonialisme atau kolonialisme itu tidak saja menimbulkan dampak pada sisi kerugian materi atau fisik, namun juga menimbulkan dampak pada sisi perubahan sosial, budaya, psikologis, nilai-nilai, dan identitas pada masyarakat atau bangsa terjajah. Di sini ilmuwan dari penelitian sosial dapat melakukan studi perubahan sosial misalnya dengan melakukan penelitian tentang perubahan budaya atau identitas yang dialami oleh masyarakat bekas jajahan pasca era Kolonialisasi (Lubis, 2016: 155- 156). Penelitian ini berupaya mendekonstruksi aturan-aturan dan pengkotak- kotakan ilmiah atas kaum konvensional lalu kemudian mendamaikannya. King (1999: 197) mengatakan bahwa: "The postmodernist and post-structuralist interest in dissolving unities into more complex heterogeneities has much in common with similar post-colonial moves but has been seen by some as undermining the legitimacy of the “search for an identity” by oppressed group”.

 342 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Sebagai salah satu kearifan lokal yang sudah dilindungi sebacara Nasional, upacara ritual erpangir ku laudinilai sama halnya seperti penjelasan Lyotard (Lubis, 2004: 37) adalah sesuatu yang bersifat konteks lokal di Kabupaten Karo. Para leluhur meyakini bahwa upacara erpangir ku lau berkaitan erat dengan siklus kehidupan (life-cycle) seorang manusia yang pada akhirnya berdampak pada sistem kosmos masyarakat Karo itu sendiri.Masyarakat Karo hendaknya kembali memaknai danmempercayai ajaran luhur tinggalan nenek moyang, dan menolak segala bentuk konsepthe otherness(yang lain/liyan) yang disematkanoleh Baratkepadanya. Chakrabarty (dalam King: 1999: 189) telah mendeskipsikan kritiknya terhadap penilaian sepihak kaum orientalis sebagai berikut: “...You know I was brough up with everything you name it. I‟m just a broad person. The earth is mine. We were born here man. It‟s out right. That‟s the way I see it. That‟s the way I deal with it...” Diharapkan dengan diresmikannya pelaksanaan kembali upacara ritual erpangir ku lau oleh pemerintah daerah dan didukung sejumlah lembaga swadaya masyarakat, masyarakat Karo kembali mengenal jati diri luhur mereka dan kembali menghargai sistem kosmos sesuai ajaran leluhurnya. Konsep rakut sitelu dan tutur siwaluhserta menerapkan sifat luhur mehamat, metami,melias, perkeleng, dan perkuah hendaknya dilaksanakan sesuai jati diri masyarakat Karowarisan leluhur seperti sedia kala. Diharapkan juga masyarakat Karo untuk kembali saling menghargai sesama tanpa memandang stratifikasi sosial karo jahé atau karo gugungdan bersatu atas nama etnisitas. Sikap saling menghargai ini diharapkan berdampak pada penguatan dan kesatuan masyarakat Karo sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Simpulan Artikel ini menyimpulkan bahwa wacana kolonial yang disematkan pada upacara ritual erpangir ku lau harus dibongkar dan dimaknai ulang oleh masyarakat Karo itu sendiri lepas dari pengaruh/stigma kolonial. Masyarakat Karo hendaknya kembali mengenal jati diri luhurnya yang diproyeksikan oleh upacara ritual erpangir ku lau. Warisan budaya luhur tinggalan leluhur sebaiknya dipisahkan dengan isu-isu agama dan nilai-nilainya dikenali kembali sebagai harmonisasi relasi tritunggal dalam sistem kosmos (manusia dengan Sang Pencipta, manusia dan manusia, dan manusia dengan alam semesta) sesuai amanat Hindu Pemena yang merupakan awal dari pelaksanaan ritual ini yakni. Pemerintah Kabupaten Karo diharapkan memberikan perhatian serta kontribusi dalam membantu penguatan jati diri, terbentuknya kesatuan identitas masyarakat Karo, serta menguatkan kembali ideologi mereka dalam berbangsa.

Daftar Pustaka Alisjahbana, S.T. 1982. Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat Dari Segi Nilai- Nilai. Jakarta: PT. Dian Rakyat. Bungin, B. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. Bungin, B (ed.). 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 343 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

King, R. 1999. Orientalism and Religion: Postcolonial Theory, India, and The Mystic East. New York: Routledge. ISBN:0-203-00608-9. Lubis, A.Y. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern: Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme Hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu. ______. 2004. Setelah Kebenaran dan Kepastian Dihancurkan, Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan. Sebuah Uraian Filsafat Ilmu Pengetahuan Kaum Posmodernis. Yogyakarta: BYRU Percetakan. Prinst, D. 2004. Adat Karo. Medan: Bina Media Perintis. Putro, B. 1979. Karo dari Zaman ke Zaman. Medan: Ulih Saber. Sebayang, V.A. 2013. ―Analisis Interelasi Guru Sibaso, Musik, dan Trance dalam Upacara Ritual Erpangir Ku Lau Pada Masyarakat Karo‖ (tesis). Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara: Medan. Sudikan, S.Y. 2001. ―Ragam Metode Pengumpulan Data Mengulas Kembali; Pengamatan, Wawancara, Analisis Life History, Analisis Folklore‖ (ed). Dalam Metodologi Penelitian Kualitatif Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id

 KEARIFAN LOKAL DI BUMI MAJAPAHIT KECAMATAN TROWULAN-KABUPATEN MOJOKERTO

Zuraidah Prodi Arkeologi Fakultas Ilmu BudayaUniversitas Udayana [email protected]

Menyebut nama Majapahit tentu tidak terlepas dari nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh sebuah kerajaan yang pernah berdiri sekitar abad 13-15 M. Banyak nilai-nilai luhur yang diwariskan sekarang ini tidak hanya menjadi identitas daerah, tetapi juga menjadi identitas bangsa. Makalah ini akan mengkaji bentuk- bentuk kearifan lokal yang ada di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Trowulan merupakan sebuah daerah yang diperkirakan sebagai pusat Kerajaan Majapahit, hal ini diperkuat dengan adanya ribuan temuan arkeologi yang sebagian besar terkonsentrasi di Kecamatan Trowulan. Meskipun Kerajaan Majapahit telah lama runtuh dan sekarang masyarakat yang tinggal di bekas ibukota Kerajaan Majapahit mempunyai ideologi yang berbeda (mayoritas beragama Islam), tetapi masyarakat berusaha menghadirkan kembali aura besar Kerajaan Majapahit baik melalui berbagai event budaya maupun lewat simbol-simbol identitas Kerajaan Majapahit. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Trowulan masih mempertahankan kearifan lokal yang berasal dari Kerajaan Majapahit.

Kata kunci: kearifan lokal, majapahit,masyarakat trowulan.

PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa baru yang terdiri dari berbagai suku bangsa, yang semua pada dasarnya adalah pribumi, artinya, semua adalah suku-suku bangsa yang meskipun dahulu kala bermigrasi dari tempat lain, secara turun-temurun telah tinggal di wilayah geografis Indonesia sekarang ini, dan merasa bahwa itu adalah tanah airnya. Kebudayaan yang dimiliki oleh manusia Indonesia hingga dewasa ini secara keseluruhan dapat digambarkan sebagai tumpukan pengalaman budaya dan pembangunan budaya yang terdiri dari lapisan-lapisan budaya yang terbentuk sepanjang sejarahnya. Adanya pilahan lapisan-lapisan tersebut dikesankan oleh terdapatnya perubahan- perubahan sistematik pada periode-periode tertentu, yang disebabkan oleh proses akulturasi. Tiga pengalaman besar dalam akulturasi di Indonesia adalah; yang pertama, ketika menyerap agama Hindu dan Budha, kemudian yang kedua adalah akulturasi dengan peradaban Islam, dan yang terakhir adalah akulturasi dengan kebudayaan Eropa (Sedyawati, 2006:315).

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 344 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 345 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Akulturasi pertama dengan kebudayaan Hindu-Budha yang dibawa pedagang-pedagang dari India membawa perubahan besar dalam tatanan sejarah nusantara, diantaranya nenek moyang kita mengenal agama Hindu dan Budha, mengenal tulisan, mengenal bangunan suci keagamaan berupa candi, dan mengenal sistem organisasi politik dalam bentuk kerajaan.Dalam perkembangannya organisasi politik dalam bentuk kerajaan banyak bermunculan silih berganti di Nusantara. Kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yang ada di Nusantara antara lain, Kerajaan Kutai, Tamunegara, Sriwijaya, Mataram Kuno, Kadiri, Singasari, Majapahit, dan Bali Kuno. Dalam makalah ini yang menjadi pembahasan adalah adanya kearifan lokal dari Kerajaan Majapahit yang masih dipertahankan hingga sekarang oleh masyarakat di Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto. Berbicara tentang Majapahit selalu dikaitkan dengan keberadaan sebuah kerajaan besar yang pernah berjaya di Nusantara dalam kurun waktu abad13-15 M. Pembuktian tentang kebesaran Majapahit telah banyak diteliti dari berbagai disiplin ilmu. Dimana bukti-bukti kebesaran Majapahit tersebut dapat ditelusuri dari berbagai sumber seperti; karya sastra kuno (Kitab Pararaton, Kitab Negarakertagama), data prasasti, candi, relief, seni arca, ribuan artefak Majapahit yang sudah ditemukan kembali dan sumber-sumber lainnya. Bukti tentang kebesaran Majapahit tidak hanya ditunjukkan dengan data arkeologi yang bersifat tangible, tetapi juga ditunjukkan dengan data yang bersifat intangible. Sudah banyak ditemukan bukti-bukti kebesaran Majapahit terutama di Situs Trowulan. Situs Trowulan yang diduga sebagai pusat Kerajaan Majapahit yang pernah memegang peranan amat penting dalam sejarah Indonesia, bahkan di kawasan Asia Tenggara, merupakan satu-satunya situs kota dari masa Klasik (abad 5-15 M). Dalam teori arkeologi, situs Trowulan ini digolongkan sebagai situs pemukiman (settlement site), khususnya jenis atau tingkat situs-kota karena di situs ini selain terdapat beberapa bangunan monumental (seperti candi, gapura dan kolam) ditemukan pula benda-benda (artefak) sisa kehidupan masyarakat Majapahit dalam jenis yang amat beragam dan dalam jumlah yang sangat besar serta tersebar dalam areal yang amat luas (Mundardjito, 2000).Di Situs Trowulan terdapat ribuan peninggalan arkeologi baik data berupa fitur maupun ribuan artefak. Tinggalan arkeologi yang berupa fitur antara lain; Candi Gentong, Candi Brahu, Gapura Wringin Lawang, Kolam Segaran, Gapura Bajang Ratu, Candi Tikus, Makam Troloyo, Makam Putri Campa, Candi Minakjinggo, Candi Kedaton, Situs Lantai Segi enam, dan lain sebagainya. Sedangkan data arkeologi yang berupa artefak yang jumlahnya ribuan dan karakter datanya sangat beragam disimpan di Pusat Informasi Majapahit, seperti arca, prasasti, uang kepeng, keramik, benda-benda logam, dan lain sebagainya. Meskipun sebagian besar peninggalan arkeologi di Situs Trowuan bersifat dead monument dalam artian sudah tidak difungsikan lagi oleh masyarakat sekarang, tetapi masyarakat Trowulan masih tetap mempertahankan dan berupaya menghidupkan kembali budaya Majapahit dalam kehidupan sehari-hari.

 346 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

PEMBAHASAN

Kearifan lokal disini merujuk pada pengertian kearifan dalam kebudayaan tradisional. Dimana kata ―kearifan‖ sendiri hendaknya juga dimengerti dalam arti luasnya, yaitu tidak hanya berupa norma-norma dan nilai- nilai budaya, melainkan juga segala unsur gagasan, termasuk yang berimplikasi pada teknologi, penanganan kesehatan, dan estetika. Dengan pengertian tersebut, maka yang termasuk sebagai penjabaran ―kearifan lokal‖ itu, di samping peribahasa dan segala ungkapan kebahasaan yang lain, adalah juga berbagai pola tindakan dan hasil budaya materialnya. Dalam arti yang luas itu, maka diartikan bahwa ―kearifan lokal‖ itu terjabar ke dalam seluruh warisan budaya, baik yang tangible maupun yang intangible (Sedyawati, 2006:382).Konsep ―kearifan lokal‖ pada makalah ini adalah menghadirkan kembali budaya Majapahit melalui budaya materi (bangunan fisik) dengan mendirikan ―Kampung Majapahit‖ di Kecamatan Trowulan. Sebelum sampai di Kecamatan Trowulan, dari arah Surabaya maupun Jombang kita akan merasakan suasana Majapahit dengan terdapatnya gapura yang mengambil bentuk dari gapura Majapahit (seperti gapura/Candi Wringin Lawang). Bentuk gapura Majapahitan terdapat pada gapura selamat datang di Kota Mojokerto, selamat datang di Kecamatan Trowulan, Kantor Bupati Mojokerto, dan di beberapa desa-desa di Kecamatan Trowulan. Suasana Majapahitan akan lebih terasa di lokasi yang diperkirakan sebagai pusatnya Kerajaan Majaphit yaitu di Situs Trowulan Kecamatan Trowulan. Terutama di Desa Bejijong Kecamatan Trowulan yang merupakan desa pertama yang disulap menjadi Kampung Majapahit. Dimana sejak tahun 2014 pemerintah daerah Mojokerto dan pemerintah Provinsi Jawa Timur menggagas terwujudnya Kecamatan Trowulan atau ingin menampilkan suasana Majapahit di Bumi Majapahit Kecamatan Trowulan. Untuk mewujudkan berdirinya Kampung Majapahit, pemerintah bekerjasama dengan beberapa pihak terkait seperti BPCB Trowulan (Balai Pelestarian Cagar Budaya) dan para pemerhati budaya Majapahit untuk menggali kearifan lokal Kerajaan Majapahit yang berupa seni bangunan/arsitektur beserta ornamen-ornamen Majapahit. Dari sinilah kemudian ditentukan bahwa di beberapa desa yang ada di Kecamatan Trowulan akan dibangun rumah kuno model Majapahitan. Gagasan pemerintah ini kemudian disambut baik oleh masyarakat, hal ini terbukti dengan antusiasnya masyarakat setempat menyulap kampungnya menjadi perkampungan dengan ciri khas Majapahit. Sampai tahun 2019 sudah ada 6 desa di Kecamatan Trowulan yang dijadikan prototipe ―Kampung Majapahit‖, yaitu Desa Bejijong, Sentonorejo, Kedaton, Trowulan (masih sebagian saja), Jati Pasar dan Jati Sumber. Rumah ―majapahitan‖ dibangun dibagian paling depan, sedangkan bagian belakang rumah warga bentuknya masih diperbolehkan bervariasi sesuai bangunan sebelumnya. Tujuannya direnovasi bagian depannya saja dengan model rumah kuno masa Majapahitan adalah untuk menghadirkan aura perkampungan Majapahit. Rumah ―majapahitan‖ menempati areal yang sebelumnya merupakan

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 347 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

halaman rumah. warga ada yang memfungsikannya sebagai ruang tamu maupun tempat usaha seperti warung, toko, art shop. Rumah-rumah model majapahitan berderet disepanjang jalan dengan bentuk yang seragam (lihat foto 1) dan berukuran kira-kira 4x5 meter, dengan ciri khas bangunan/arsitektur masa Majapahit; menggunakan bahan bata merah, jendela dan pintu terbuat dari kayu, dan penggunaan simbol Kerajaan Majapahit yaitu Surya Majapahit pada pagar depan rumah majapahitan (lihat foto 2). Pembangunan rumah model majapahitan selain dimaksudkan sebagai upaya pelestarian budaya Majapahit, tentunya juga untuk mendongkrak kunjungan wisatawan untuk datang ke Situs Trowulan. Sehingga wisatawan mendapatkan hal yang baru dan unik selain peninggalan arkeologi yang sudah ada. Wisatawan disuguhkan suasana pemukiman Majapahit secara langsung. Dimana bentuk rumah dari masa Majapahit bisa kita lihat replikanya di Pusat Informasi Majapahit (PIM) di Desa Trowulan Kecamatan Trowulan.`Sedangkan sumber bentuk rumah kuno dari masa Kerajaan Majapahit dapat ditelusuri dari beberapa relief candi masa Majapahit.

Foto 1. Model rumah majapahitan

Foto 2. Penggunaan ornamen Surya Majapahit pada pagar rumah model majapahitan.

 348 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Menghadirkan kembali budaya Majapahit melalui bentuk rumah tradisional beserta ornamen ciri khas majapahit merupakan sebuah upaya masyarakat mempertahankan kearifan lokal yang dimiliki oleh nenek moyang Bangsa Indonesia pada masa lampau. Mempertahankan kearifan lokal berarti sebuah upaya masyarakat melestarikan budaya daerah. Apa yang dilakukan masyarakat Kecamatan Trowulan beserta pemerintah (Provinsi dan Daerah) adalah sebuah bentuk menghadirkan kembali budaya majapahit melalui simbo- simbol yang identik dengan majapahit, sehingga masyarakat/generasi sekarang dapat mengingat kembali kebesaran Kerajaan Majapahit yang pusat kerajaannya diperkirakan terletak di Kecamatan Trowulan sekarang ini. Dapat dikatakan demikian karena di era globalisasi sekarang ini, banyak pengaruh kebudayaan luar yang masuk ke Indonesia salah satunya mempengaruhi unsur arsitektur. Hal ini dapat kita lihat dengan maraknya arsitektur dengan ciri-ciri budaya barat dan meninggalkan arsitektur lokal.Pada masa sekarang proses globalisasi cenderung mengaburkan batas-batas peradaban antar bangsa, bahkan pada saatnya dapat mengeliminasi jatidiri bangsa yang diglobalkan. Disinilah pentingnya pemilikan dan penguatan kepribadian bangsa agar tidak terlindas arus globalisasi, tetapi dengan cerdik menyaring dan mengolahnya untuk kemajuan budaya sendiri tanpa kehilangan keindonesiannya (Simanjuntak, 2012: 10). Dengan pelibatan masyarakat untuk ikut aktif dalam pelestarian kearifan lokal menunjukkan bahwa masyarakat di Kecamatan Trowulan masih menghargai budaya lokal yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Walaupun keberadaan kampung majapahit juga tidak terlepas dari adanya kepentingan dalam industri pariwisata, dimana dengan dibangunnya perkampungan Majapahitan masyarakat juga berharap adanya geliat pertumbuhan ekonomi dari sektor pariwisata.Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan adanya kampung majapahit, geliat kunjungan wisatawan menunjukkan peningkatan karena wisatawan penasaran dengan keberadaan kampung majapahit.peningkatan kunjungan wisatawan juga diimbangi dengan meningkatnya penjualan hasil-hasil kerajinan yang bercorak seni majapahit, seperti kerajinan patung, souvernir bercorak majapahit, dan munculnya batik majapahit yang mengambil motif pada candi yang ada di Situs Trowulan. Pelestarian budaya majapahit dengan cara menghadirkan kembali arsitektur rumah tradisional majapahit merupakan sebuah bentuk pelestarian kearifaan lokal dari masa Kerajaan Majapahit. Pelestarian kearifan lokal di Bumi Majapahit tidak hanya terbatas pada menghadirkan kembali rumah model majapahitan, tetapi masih banyak kearifan lokal budaya Majapahit yang masih tetap dilestarikan hingga sekarang di Kecamatan Trowulan, seperti kegiatan kirab budaya pada hari kemerdekaan Indonesia dengan mengangkat tema budaya Majapahit, adanya pengrajin logam dan teracota yang memproduksi hasil kerajinannya dengan mengambil bentuk seni pahat dari masa Majapahit, adanya kegiatan gelaran pekan budaya Majapahit yang diselenggarakan oleh BPCB Trowulan Jawa Timur bekerjasama dengan Pemda Mojokerto, dan masih banyak kearifan lokal yang lainnya dari masa Majapahit yang perlu dilestarikan.

 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 349 Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

SIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas tentang kearifan lokal di Bumi Majapahit Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pemerintah dan masyarakat berupaya mengenalkan kembali budaya Majapahit salah satunya melalui pembangunan rumah model majapahitan beserta ornamen ciri khas majapahit. Upaya pengenalan kembali budaya majapahit ini merupakan sebuah upaya pemerintah dan masyarakat untuk tetap mempertahankan budaya Majapahit.

DAFTAR PUSTAKA Mundardjito. 2000. ―Strategi Pelestarian Situs-Kota Majapahit, Trowulan‖, dalam Pengembangan Kawasan Pariwisata Trowulan-Mojokerto. Dinas Pariwisata Daerah Kabupaten Mojokerto. Sedyawati, Edi, 2007. Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Simanjuntak, Truman, 2012. ―Arkeologi dan Pembangunan Karakter Bangsa‖ dalam Arkeologi Untuk Publik‖. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.

 350 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV Denpasar, 29 - 30 Maret 2019