Sejarah Sosial Pesantren Menurut Prof
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Sejarah Sosial Pesantren Menurut Prof. KH. Saifuddin Zuhri | iii SEJARAH SOSIAL PESANTREN Menurut Prof . KH. SAIFUDDIN ZUHRI Sejarah Sosial Pesantren Menurut Prof. KH. Saifuddin Zuhri | v MOH. SLAMET UNTUNG SEJARAH SOSIAL PESANTREN Menurut Prof . KH. SAIFUDDIN ZUHRI vi | Moh. Slamet Untung SEJARAH SOSIAL PESANTREN Menurut Prof . KH. SAIFUDDIN ZUHRI Penulis: Moh. Slamet Untung Editor: Ahmad Ta’rifin Setting Lay-out & Cover: ATA & Zaedun Diterbitkan Oleh: Cetakan Pertama oleh Penerbit Duta Media Utama Cetakan Kedua oleh IAIN Pekalongan Press Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Cet. I. Nopember 2016 ISBN: 978-602-1195-37-6 Cet. 2 Januari 2018 ISBN: _________________________________ Sejarah Sosial Pesantren Menurut Prof. KH. Saifuddin Zuhri | vii PENGANTAR PROF. ABDURRAHMAN MAS’UD, MA., Ph.D Dalam perjalanan sejarahnya, pesantren mengalami pasang surut mengikuti ritme perubahan zaman. Pesantren sebagai cikal bakal sistem pendidikan di Indonesia dengan corak dan karakter yang khas dianggap menjadi ikon masyarakat pribumi dalam memancangkan ideologi pendidikan di Indonesia. Kekhasan tersebut selalu melekat dan semakin mengukuhkan tradisi pendidikan pribumi yang mempunyai tingkat otentisitas yang tidak diragukan lagi. Dengan segala macam kekhasannya tersebut, pesantren dari waktu ke waktu selalu menjadi perhatian menarik para peneliti, baik dari dalam maupun luar negeri (Indonesianis), untuk menjadikannya sebagai obyek studi. Para sarjana Barat, khususnya yang berminat terhadap sosiologi, antropologi, dan perbandingan agama berbondong- bondong ke pesantren serta tidak segan-segan untuk sekadar bercengkrama dan hidup bersama para santri dalam rangka riset dan studinya. Tidak asing dalam ingatan kita, intelektual-intelektual Barat maupun Asia seperti Clifford Geertz, Karel A. Steenbrink, Martin Van Bruinessen, Manfred Ziemek, Hiroko Horikoshi, dan masih banyak lagi yang lainnya yang memberikan perhatian terhadap sejarah dan masa depan pesantren di Indonesia. Ketajaman analisis mereka telah memberikan berbagai kontribusi pemikiran dalam bentuk pilihan strategis yang dapat mengarahkan para pemangku tradisi pesantren untuk mengambil peranan lebih besar dalam pembangunan peradaban Indonesia modern. Salah seorang pemikir handal pesantren yang “dari pesantren datang, dan untuk cita-cita pesantren berjuang” adalah KH. Saifuddin Zuhri. KH. Saifuddin Zuhri dikenal luas sebagai tokoh NU, Menteri Agama, pendidik, dan wartawan. Namun lebih dari itu viii | Moh. Slamet Untung Saifuddin Zuhri adalah seorang santri yang pribadinya dibentuk oleh lingkungan pesantren dengan tradisi belajar yang bersahaja. Proses autodidak membawanya aktif dalam gerakan sosial dan pendidikan. Ia pun lalu berjuang dengan pena dan senjata untuk bangsa dan negara. Pergeseran NU menjadi partai politik melibatkannya juga terjun ke dalam kancah politik. Pada tahun 1962-1967 ia mencapai tahta pemerintahan memimpin Kementerian Agama. KH. Saifuddin Zuhri menuangkan pikiran- pikirannya melalui karya-karya tulis. Pandangan dan pemikirannya tentang pesantren dituangkan dalam beberapa buku. Secara historis, sistem pendidikan pesantren di masa-masa awal abad ke-20 belum sepenuhnya menjadi perhatian pemerintah Hindia Belanda. Bahkan, Inspektur Pendidikan J.A. Van der Chijs yang punya otoritas mengelola pendidikan kalangan orang bukan Eropa waktu itu, seperti ditulis Karel A. Steenbrink jauh-jauh hari sudah menolak untuk menggabungkan dan menyesuaikan pendidikan pribumi (pendidikan Islam) dengan alasan yang sangat teknis seperti berikut: “Walaupun saya sangat setuju kalau sekolah pribumi diselingi dengan kebiasaan pribumi, akan tetapi saya tidak bisa menerimanya karena pada dasarnya kebiasaan tersebut sangat jelek, sehingga tidak dapat dipakai dalam sekolah pribumi.” 1 Yang dimaksud dengan kebiasaan jelek itu terutama berkaitan dengan metode membaca teks Arab yang hanya dihafal tanpa disertai dengan makna dan pengertian. Dengan kata lain, Van der Chijs menganggap bahwa pendidikan pesantren hanya menekankan aspek kognitif belaka dan menafikan aspek-aspek substantif dalam penyelenggaraan pendidikan lainnya, seperti afektif dan psikomotorik. Dengan demikian, model pendidikan pribumi tersebut pada tataran idealitas jelas kontraproduktif dengan sistem pendidikan 1 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen , (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 3 Sejarah Sosial Pesantren Menurut Prof. KH. Saifuddin Zuhri | ix modern serta dianggap tidak memenuhi kriteria maupun kompetensinya. Inilah sebenarnya pangkal tolak mengapa terjadi tarik menarik antara sistem pendidikan pesantren yang klasik- konservatif dihadapkan dengan sistem pendidikan a la Eropa era awal abad ke-20 yang notabene sudah melesat lebih jauh tingkat kemajuan dan perkembangannya. Di samping itu, ada alasan fundamental lainnya yang banyak diungkapkan para sarjana Barat, bahwa tradisi didaktis “pendidikan pribumi” yang punya kebiasaan menghafal an sich , tidak dapat diterima sebagai titik tolak untuk mengembangkan suatu sistem pendidikan umum. Jadi, kalau melihat pangkal masalahnya, secara politik tidak ada niatan bahwa pemerintah Hindia Belanda hendak membonsai dan mengebiri pendidikan pesantren. Sebab, dalam catatan Brugmans seperti dikutip Steenbrink sama sekali tidak ditemukan pretensi yang tanpa reserve mengenai proses diskriminasi pendidikan Islam pada masa kolonial . Bahkan Brugmans semakin menegaskan bahwa pemerintah Hindia Belanda melalui Van der Capellen berniat untuk mengadopsi sistem pendidikan rakyat Jawa pada saat itu, sebagai dasar untuk pengembangan pendidikan rakyat secara menyeluruh. 2 Terlepas dari semua itu, perlu dipahami bahwa sebagian besar pengamat menulis bahwa sistem pendidikan pesantren sebenarnya diadopsi dari proses akulturasi antara tradisi Hindu dan Budha, yang telah berkembang jauh sebelum Islam datang di Nusantara pada awal abad ke-13 M. Meskipun masih menjadi perdebatan tentang sejarah awal masuknya Islam di bumi Nusantara, namun dalam sepanjang sejarah Indonesia modern, hal tersebut tidak dianggap sebagai persoalan yang signifikan untuk dimunculkan ke permukaan. Sebab, masing-masing mempunyai argumennya sendiri. Sebagaimana diketahui, sampai saat ini, sejarah masuknya Islam masih abu-abu. Kurangnya sumber sejarah yang informatif dan terpercaya, mengakibatkan masih banyak ketidakjelasan, dan dengan demikian menimbulkan spekulasi dan perbedaan pendapat 2 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah , h. 25 x| Moh. Slamet Untung di kalangan para ahli seputar masalah-masalah seperti kapan Islam masuk ke Indonesia, melalui jalur mana, siapa yang menjadi pelaku utama sejarah penyebarannya, serta mengapa agama baru tersebut diterima secara luas menggantikan tradisi lama yang sudah ada sebelumnya (Drewes 1968, Ricklefs 1981, Johns 1975, Kahane 1984) sebagaimana dikutif Pradjarta Dirdjosanjoto. 3 Yang jelas, kesimpulan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang dikembangkan secara indigenous oleh masyarakat Indonesia sangatlah tidak berlebihan. Karena sebenarnya pesantren merupakan produk budaya masyarakat Indonesia yang sadar sepenuhnya akan pentingnya arti pendidikan bagi orang pribumi yang tumbuh secara natural. Terlepas dari mana tradisi dan sistem tersebut diadopsi, tidak akan mempengaruhi pola yang unik (khas) dan telah mengakar serta hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Buku yang ditulis oleh Saudara Moh. Slamet Untung ini berusaha menelusuri pandangan KH. Saifuddin Zuhri tentang sejarah sosial pesantren. Penulis memulainya dari latar belakang pemikiran KH. Saifuddin Zuhri tentang sejarah sosial pesantren, pokok-pokok pandangannya sejarah sosial pesantren, untuk kemudian dikontekstualisasikan di era sekarang. Pertama , perjalanan hidup KH. Saifuddin Zuhri sejak masa kanak-kanak hingga dewasa amat berpengaruh secara signifikan terhadap pandangannya mengenai pesantren. Faktor-faktor yang mempengaruhi pandangannya mengenai sejarah sosial pesantren antara lain ialah latar belakang sosio-kultural, keagamaan, dan politiknya, yakni perjuangan pada masa revolusi fisik, perjuangan di bidang politik dan birokrasi pada masa rezim Orde Lama, dunia pesantren yang melingkupinya, dan organisasi Nahdlatul Ulama. Kedua , pandangan KH. Saifuddin Zuhri tentang sejarah sosial pesantren dapat dijelaskan melalui tiga tema besar, yakni pandangannya tentang tradisi pesantren, kiai pesantren, dan 3 Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat: Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa , (Jogjakarta: LKiS, 1999), h. 33. Sejarah Sosial Pesantren Menurut Prof. KH. Saifuddin Zuhri | xi nasionalisme pesantren. Pertama, menurut KH. Saifuddin Zuhri wayang kulit merupakan salah satu tradisi yang digemari oleh komunitas pesantren. Alasannya, wayang memuat cerita yang mengandung ‘ibrah (pelajaran) dan sesuai dengan nilai-nilai pesantren, dan kedua, secara historis wayang digunakan oleh Walisanga untuk dakwah islamiyah. Kedua, terminologi kiai dalam pandangan KH. Saifuddin Zuhri bukan hanya sosok pendiri sekaligus pendidik dan pemimpin pesantren, tetapi mensyaratkan adanya aktivitas belajar-mengajar agama Islam (“mengaji”). Fungsi utama kiai dapat dilihat dari sudut pandang pendidikan dan sosial (kemasyarakatan). Ketiga, menurut KH. Saifuddin Zuhri gerakan nasionalisme Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kiprah para kiai pesantren. Peran strategis pesantren dalam gerakan nasionalisme Indonesia ditunjukkannya melalui kiprah tokoh kiai pesantren. Ketiga , kontekstualisasi pandangan KH.